kebijakan candu di Hindia Belanda dari VOC hingga Awal abad 20

24
Nama : M. Ichsan Budi P NIM : 14407141038 Prodi : Ilmu Sejarah (A) Kebijakan Candu Pemerintah Hindia-Belanda dari masa VOC Hingga Awal abad ke 20 ( 1667- 1943) Abstak Candu merupakan sesuatu yang tidak asing lagi bagi sejarah perkembangan Hindia-Belanda. Awalnya candu hadir sebagai suatu komoditas dagang biasa, namun, dengan segala pesonanya candu terus hadir dan memiliki sisi menarik dalam sejarah Indonesia. Pemerintah Hindia- Belanda tidak dapat dilepaskan dari peran dan pengaruhnya dalam masalah candu mulai dari perdagangan monopoli dan kebijakan politik. Hal tersebut terus berubah seiring dengan perkembangan zaman dan keadaan politik dan ekonomi yang ada. Peran masyarakat Tionghoa sebagai pedagang yang berperan penting dalam perdagangan candu. Hubungan antara keduanya menghasilkan hal yang menarik seperti kosporasi dan berbagai kecurangan. Namun pada dasarnya setiap kebijakan Pemerintah Hindia-Belanda dalam candu selalu menghasilkan dampak yang mempengaruhi kehidupan sosial dan ekonomi bagi seluruh masyarakat Hindia-Belanda. Kata Kunci : Candu, Kebijakan, Pemerintah Hindia-Belanda

Transcript of kebijakan candu di Hindia Belanda dari VOC hingga Awal abad 20

Nama : M. Ichsan Budi P

NIM : 14407141038

Prodi : Ilmu Sejarah (A)

Kebijakan Candu Pemerintah Hindia-Belanda dari

masa VOC

Hingga Awal abad ke 20 ( 1667- 1943)

Abstak

Candu merupakan sesuatu yang tidak asing lagi bagisejarah perkembangan Hindia-Belanda. Awalnya candu hadirsebagai suatu komoditas dagang biasa, namun, dengansegala pesonanya candu terus hadir dan memiliki sisimenarik dalam sejarah Indonesia. Pemerintah Hindia-Belanda tidak dapat dilepaskan dari peran dan pengaruhnyadalam masalah candu mulai dari perdagangan monopoli dankebijakan politik. Hal tersebut terus berubah seiringdengan perkembangan zaman dan keadaan politik dan ekonomiyang ada. Peran masyarakat Tionghoa sebagai pedagang yangberperan penting dalam perdagangan candu. Hubungan antarakeduanya menghasilkan hal yang menarik seperti kosporasidan berbagai kecurangan. Namun pada dasarnya setiapkebijakan Pemerintah Hindia-Belanda dalam candu selalumenghasilkan dampak yang mempengaruhi kehidupan sosialdan ekonomi bagi seluruh masyarakat Hindia-Belanda.

Kata Kunci : Candu, Kebijakan, Pemerintah Hindia-Belanda

A. Pendahuluan

Candu (Papaversomniferum Papaveraceae) adalah sebuah

tanaman yang berasal dari wilayah Asia Barat tepatnya di

India, Pakistan dan sekitarnya. Tanaman yang menghasilkan

candu disebut juga Opium. Candu setelah diolah berbentuk

pasta yang merupakan olahan dari getah opium yang telah

di extraksi tersebut dikonsumsi dengan cara yang beragam.

Di Jawa pasta candu tersebut di hisap dengan Bong1 lalu

dibakar di sebuah lampu minyak kecil dan asap dari

bakaran tersebut dihisap oleh sang penikmat candu. Candu

memiliki berbagai efek bagi pemakainya seperti penghilang

rasa sakit, anti depresan, dan tentunya menimbulkan

kecanduan bagi para pemakainya. Di Jawa saja awal abad

ke-16 hingga awal abad ke-20 candu digunakan oleh semua

kalangan dan etnis dalam masyarakat dan perdagangan juga

industrialisasinya tidak lepas dari peran VOC hingga

Pemerintah Hindia-Belanda juga peran etnis Tionghoa di

dalam peredarannya.

Berbagai metode digunakan untuk memasarkan candu.

Pada awalnya, candu dijual secara langsung oleh VOC

setelah Indonesia beralih ke tangan Pemerintah Hindia-

Belanda. Berbagai kebijakan mengenai candu terus

mengalami perubahan mulai dari monopoli sepihak

Pemerintah Hindia Benda juga keterlibatan etnis Tionghoa

sebagai pengecer hingga candu terpengaruh kebijakan

ekonomi liberal yang berkembang di akhir abad ke-192.

Perdagangan dan Industrialisasi candu di Jawa selalu

memberikan pengaruh berbagai perubahan sosial dan ekonomi

di Jawa. Artikel ini ditulis agar kita dapat mengetahui

bagaimana candu sebagai suatu komoditas dagang tidak

pernah lepas dari kebijakan-kebijakan Pemerintah Hindia-

Belanda baik secara politis, ekonomi dan sosial. Dalam

setiap perkembangannya candu selalu membawa perubahan

sosial dan ekonomi pada masyarakat Jawa.

1Bong merupakan sebuah alat berbentuk pipa hisapsepanjang kurang lebih 25 cm yang terbuat dari bambu,kayu, ataupun gading.

2 Robert Cribbdan Audrey Kahim, Kamus Sejarah Indonesia,(Jakarta: Komunitas Bambu, 2012), hlm. 93.B. Candu masuk ke Jawa dari masalah politik Mataram

menjadi keuntungan VOC

Masyarakat Jawa telah mengenal candu sejak lama

diperkirakan sejak orang Tionghoa mulai

memperdagangkannya di Indonesia pada abad ke-16 terbukti

dengan salah satu falsafah yang diajarkan oleh para wali

yang melarang untuk mengkonsumsi madat atau disebut juga

candu dalam konsep Malima. Namun, secara jelas alur

perdagangan candu di Jawa mulai menjadi bagian penting

baru setelah masa VOC memasuki Mataram. Akibat kemenangan

Amangkurat II yang melawan pemberontakan Trunajoyo dengan

bantuan VOC maka Amangkurat II member konsensi bagi VOC

dengan diberinya hak monopoli atas benang tenun dan candu

di wilayah Mataram, dengan demikian hanya VOC saja yang

berhak memasarkan candu dan menjadi distributor candu di

Mataram3. Candu pada mulanya dijual dalam jumlah sedikit

pada para pedagang Tionghoa yang memiliki lisensi saja.

Penjualan candu terus menunjukkan peningkatan dari

beberapa dekade ke depan bahkan candu menjadi salah satu

komoditas impor yang mendatangkan keuntungan besar bagi

VOC selain itu juga mendatangkan keuntungan bagi para

pedagang Tionghoa sebagai pemegang lisensi candu. Candu

didatangkan dari Benggala dan wilayah India yang menjadi

kekuasaan VOC4.

C. Dibentuknya Yayasan Societeit van den Amphioen Handel oleh

VOC

Diterimanya usul Van Imhoff, maka dibentuklah yayasan

yang mengatur perdagangan candu oleh VOC. Yayasan itu

bernama Societeit van den Amphioen Handel atau disebut juga

Yayasan Amfium. Yayasan ini bergerak khusus dalam

perdagangan candu di Jawa yang menangani impor candu dari

Benggala dan mengawasi peredarannya dan pemberian

lisensinya di Jawa.

3 Capt. R.P, Suyono.Seks dan Kekertasan pada Zaman Kolonial,(Jakarta: Grasindo, 2007), hlm. 78.

4 Ibid.,hlm. 79.Yayasan Amfium akan membeli candu dari VOC dalam

jumlah 1200 peti atau setara dengan 73.000 kologram

pertahunnya. Dengan harga tetap sebesar 450 ringgit per

petinya dengan berat 61 kilogram franko Belanda per peti

nya5. Sesuai akta pendiriannya ditetapkan bahwa yang

berhak menjadi direktur adalah pemegang 10% saham.

Sebenarnya Amfium juga merupakan anak perusahaan VOC,

jadi setiap keuntungan yang didapatkan oleh Amfium juga

menjadi keuntungan untuk VOC. Dengan cara mengedarkan

candu kepada pada priayi dan orang-orang kaya baik

pribumi maupun orang Tionghoa sehingga dapat meningkatkan

permintaan candu dan tentunya penjualannya. Candu sebagai

komoditas yang menerima keuntungan bagi VOC tidak pernah

menunjukkan penurunan harga maupun permintaan bahkan

candu tetap menjadi komoditas yang menguntungkan bagi VOC

hingga masa pembubarannya. Kebijakan mengenai candu terus

berlanjut sampai VOC dibubarkan dan digantikan oleh

Pemerintah Hindia-Belanda.

D. Candu di bawah Kebijakan Pemerintah Hindia-Belanda Politik dalam Perdagangan Candu

Setalah VOC dinyatakan bubar oleh Pemerintah Hindia-

Belanda pada tahun 1799 maka segala urusan VOC mulai dari

perjanjian dan juga perdagangan berada di tangan

Pemerintah Hindia-Belanda. Tidak terkecuali candu, di

bawah penguasaan yang baru maka monopoli perdagangan

candu berkembang lebih luas lagi karena berada di bawah

kekuasaan Pemerintah Hindia-Belanda. Pada tahun 1808

Dendeles menghapuskan Amfioen Dorectie6 dan menggantikannya

dengan Pachtstelsel7. Sedangkan sistem pemborangnya disebut

Opiumpacht.

5 Ibid., hlm. 82.6 Amfioem Directie adalah keorganisasian Societeit van den

Amphioen Handel yang kemudian dibubarkan oleh Dendeleskarena dianggap masih berkaitan dengan VOC

7Pachtstelsel adalah sistem pemborongan yang denganbegitu Pemerintah Hindia-Belanda memiliki hak memborong

opium dan memperdagangkan dalam sistem yang sama yangdisebut.

Pada tahun 1809, sistem Opimumpacht mulai dilaksanakan

di Jawa dan Madura yang dibagi tiap daerah dan menetapkan

jumlah candu untuk tiap daerah8. Namun setelah kekalahan

Napoleon Boneparte di Eropa dan Jawa jatuh ke tangan

Inggris, kebijakan candu tidak mengalami perubahan yang

signifikan pada masa Raffles. Pemborongan candu diubah

menjadi perdagangan bebas. Namun, sebenarnya Raffles

mengetahui dari dampak buruk opium bagi masyarakat Jawa9.

Pada tahun 1815, Raffles mencoba menghapuskan perdagangan

candu di Jawa namun usulan tersebut gagal karena tidak

disetujui atasannya di Calcutta. Usaha Raffles dianggap

merugikan kepentingan dagang Pemerintah Inggris. Sebagai

jalan lain setelah Pemerintah Hindia-Belanda berkuasa

kembali maka pada tahun 1824 oleh Raja Willem I10

didirikan sebuah perusahan yang berbentuk perseroan

terbatas yang bernama Nedeelandsche Handeles Maatchappij atau

biasa di singkat NHM. NHM didirikan dengan modal 37 juta

Gulden, dimana Raja Willem I secara pribadi menanamkan

modal terbesar sebesar 4 juta Gulden. Raja Willem I juga

menjamin para pemegang saham akan dibagi diven tahunan

sebesar 4,5%. Raja secara pribadi menjadi pendiri dan

pemegang saham utama di NHM dan penjamin perusahaan

tersebut. Sehingga dengan demikian kepentingan Nasional

Belanda akan jatuh bersama kepentingan Raja. Bahkan

Presiden Direktur diangkat langsung oleh Raja Willem.

Selanjutnya NHM memegang segala urusan ekonomi Pemerintah

Hindia-Belanda sebagai perusahaan swasta. NHM juga

memegang hak atas monopoli perdagangan candu dan berbagai

regulasinya.

8 Asmi Rahayu, Perdagangan Candu Di JawaAkhir Abad XIX awal abad XX.Skripsi, (Yogyakarta: FIS UNY, 2002), hlm23-24.

9 Y.P Jokosuyona, Masalah Narkotika dan Bahan Sejenisnya, (Yogyakarta :Kanisius, 1980), hlm. 35.

10 Raja Willem I adalah Raja Belanda yang bernama asli Willem Oranje. Dia menjadi Raja Belanda pertama yangdinobatkan setelah Belanda merdeka dari Prancis.

E. Oppiumpacht Antara Pedagang Tionghoa dan Pemerintah

Hindia-Belanda

Keberadaan HNM sebagai pemegang otoritas perdagangan

candu otomatis telah menjadikan HNM sebagai Bandar

sekaligus pemberi lisensi untuk para pengecer candu

selanjutnya maka diterapkanlah oppiumpacht yang telah

dimulai di Jawa dan Madura sejak tahun 1809. Dalam hal

ini peran Pemerintah Hindia-Belanda dan para pemegang

lisensi candu yang didominasi oleh para pedagang Tionghoa

sangatlah dominan. Banyak terjadi pertentangan dan juga

kerja sama antara keduanya yang terjadi di berbagai

tempat dan berbagai perkara. Masa oppiumpacht adalah masa

terlama suatu kebijakan Pemerintah Hindia-Belanda

mengenai candu dari awal abad ke-19 hingga awal abad ke-

20, meski tiap-tiap undang-undang dalam kebijakan

tersebut sering mengalami perubahan yang cukup dinamis

tetapi secara garis besar kebijakan oppiumpacht tidak

berubah yaitu pemerintah sebagai bandar candu dan

penjualan candu selanjutnya diserahkan secara bebas pada

para pedagang. Kebijakan ini juga mendatangkan keuntungan

yang besar bagi Pemerintah Hindia-Belanda dan para

perdagang candu.

Alur dari sistem ini dimulai dari Pemerintah Hinda-

Belanda, dimulai dari sebuah pelelangan hak lisensi

candu. Hak lisensi disebut oppiumpacht dan para pemegang

lisensi disebut Paachater namun lebih familiar disebut

dengan Pak-pak candu. Para Pak-pak candu didominasi oleh

para penguasa Tionghoa. Dalam sebuah pelelangan seorang

Pak-pak candu yang telah memenangkan pelelangan akan

mendapat hak membeli candu pemerintah dan menjualnya

kembali di suatu wilayah karesidenan, hak ini berlaku

selama satu tahun. Seorang Pak akan mendapat kontrak

resmi penyewaan sebagai berikut :

1) Pokok kontrak yaitu hak eksklusif untuk menjual

opium secara eceran di wilayah yang telah ditentukan

dengan jelas.

2) Masa berlakunya kontrak yaitu satu atau tiga tahun.

3) Harga yaitu pajak Pak ditambah pembelian opium resmi

dari pemerintah11.

11 James R. Rush. Candu Tempo Doeloe. (Jakarta: LKomunitas Bambu, 1012), hlm. 53.

Dari isi kontrak tersebut kita dapat melihat bahwa

pemerintah mengatur dengan ketat perdagangan candu mulai

dari proses pemberian hak lisensi perdagangan candu

melalui lelang pemerintah hingga candu ke tangan konsumen

melalui para pengecer yang mendapat candu resmi dari

pemerintah. Namun pada dekade berikutnya terjadi

perubahan pada wilayah penjualan dan waktu penjualan.

Wilayah yang semula terbatas pada satu karesidenan

ditambah menjadi tiga karesidenan dan waktu penyewaan

yang semula minimal satu tahun menjadi tiga tahun. Di

sini mulai tampak adanya unsur-unsur kepentingan dalam

perubahan kebijakan tersebut. Keuntungan perdagangan

candu yang menggiurkan mengundang potensi kecurangan dan

usaha pengambilan keuntungan sebesar-besarnya oleh para

pedagang. Para pedagang Tionghoa membujuk pemerintah

membuat kebijakan untuk memperlama masa sewa dan

memperluas wilayah penjualan. Para Pak opium juga kerap

kali berkomplot untuk menjaga agar harga pelelangan tetap

rendah, atau jika hasil lelang tidak memuaskan karena

alasan lain, pihak Belanda akan melaksanakan lelang

kedua atau memberi tawaran-tawaran rahasia12. Seperti yang

terjadi pada tahun 1886, 12 dari 20 Pak opium justru

dimenangkan di luar pemberi penawaran tertinggi yang

seharusnya menang. Diulangnya penetapan-penetapan itu

mencerminkan kekecewaan pihak Pemerintah Hindia-Belanda

atas hasil financial dari beberapa lelang, di samping

keraguan pasca lelang tentang kemampuan-kemampuan

managerial dan kepercayaan berbagai kongsi pemenang

lelang.

Kecurangan dan masalah-masalah dalam oppiumpach tidak

hanya terjadi di ranah perdagangan namun juga terjadi di

ranah hukum. Sebagaimana sebuah kasus, sebuah kongsi yang

dipimpin oleh seorang Tionghoa Batavia bernama Tan Tjhomh

Hoay mengumpulkan deficit sebesar f722.418,80. Pada

awalnya pihak Belanda menyetujui penyelesaian masalah

dengan setiap kongsi berjanji membayar hingga lunas

dengan cara mencicil bulanan.

12 Ibid., hlm. 50. Namun, ketika para kongsi justru mempertentangkan

mengenai hak kewajiban pembayarannya justru pihak Belanda

mengajukan tuntutan ke pengadilan. Akibatnya para anggota

kongsi ditahan termasuk Tan dan berkewajiban membayar

sebesar f600.0013. Hal ini menunjukkan betapa beresikonya

sebuah kongsi dan bagaimana cara Pemerintah Hindia-

Belanda menangani kerugian yang ditimbulkan melalui jalur

hukum.

Akan tetapi, kejadian dapat juga berbalik sepeti

yang terjadi pada kasus Liem Kie Soen, seorang Pak opium

Surabaya pada tahun 1817 yang berhasil menuntut

Pemerintah Hindia-Belanda atas kerugian-kerugian yang

dideritanya ketika terpaksa menutup took opiumnya selama

dua hari karena gudang pemerintah tidak bisa memasok

opium padanya. Hal tersebut dinilai melanggar kontrak dan

pihak pemerintah harus membayar ganti rugi sebesar

f150.0014. Hal ini kembali menunjukkan bahwa kesuksesan

oppiumpach tidak sepenuhnya berjalan lancar dari sisi

kebijakan maupun keuntungannya. Tetapi memang pada masa

ini Pemerintah Hindia-Belanda dalam bisnis opiumnya

mengalami masa kejayaannya juga para pedagang Tionghoa.

Namun seiring dengan berjalannya waktu dan semakin

parahnya korupsi dan penyelewengan maka pada awal abad

ke-20 Pemerintah Hindia-Belanda beralih ke sistem

opiumregie di mana Pemerintah Hindia-Belanda menjadi satu–

satunya pusat penjualan candu tanpa adanya pihak

perantara.

13 Ibid., hlm. 53.14 Ibid

F. Nederland Hendeles Maatschappij (NHM) Semakin KuatnyaMonopoli Candu Pemerintah Hindia-Belanda

Oppiumpachat atau hak candu, pada mulanya adalah hak

orang Cina saja. Tetapi sejak 1 Januari 1827, kontrak

candu di Jawa dan Madura dipegang langsung oleh NHM yang

telah berdiri sejak 1824. Dengan demikian perusahaan NHM

bebas mengimpor candu dari luar negeri tanpa ada prosedur

terlebih dahulu melalui Pemerintah Hindia-Belanda dan

juga NHM dapat mengambil keuntungan langsung melalui

perdagangan kecil yang dapat dilakukan mereka sendiri.

Tetapi biasanya hal tersebut dilimpahkan kepada pedagang

eceran Cina yang telah mendapat hak khusus dengan harga

dan jumlah yang telah ditentukan oleh NHM.

Dalam tiga tahun pertama, perusahaan NHM berhasil

menjual 1.725 peti candu dengan berat 16,18 kilogram per

petinya. Dengan berat keseluruhan 105 ton candu. Dalam

waktu yang sesingkat itu secara keseluruhan NHM telah

mendapat keuntungan sebesar 8 juta Gulden15.

Dan dalam catatan Pemerintah Hindia-Belanda sepanjang

sejarah pun belum ada suatu komoditas impor yang memiliki

pertumbuhan keuntungan secepat candu. Candu yang

didatangkan NHM dari Syamara dan Turki terlebih dahulu di

tempatkan di Belanda kemudian baru dikirim ke Hindia.

Dari alaur ini saja NHM telah mendapatkan keuntungan

sebesar 16% di luar biaya operasional yang terhitung

seluruhnya.

Jadi tiap tahun rata-rata NHM mendapat keuntungan

lebih dari tiga juta gulden. Bila seluruh anak perusahaan

NHM yang beroperasi di seluruh wilayah Hindia-Belanda

mengalami kerugian sebesar 440.000 gulden tetapi karena

oppiumpacht mereka mendapat keuntungan seperempat juta

gulden di tahun yang sama.

15 Capt. R.P. Suyono. Op.cit., hlm. 85.

Pendapatan dan Pengeluaran

Pemerintah Hindia-Belanda Tahun 1848-1866 (dalam jutaan

gulden)

Penerimaan

1. Penjualan Hasil Produk di Negeri Belanda

970,6

Penjualan Hasil Produk di Hinda-Belanda

125,8

Jumlah

1.096,4

2. Pendapatan dari candu

176,9

3. Jenis monopoli lain

100,5

Jumlah

277,4

4. Sewa Tanah

191,64

Cukai 140,35

Lain-lain 192,1

Jumlah

524,09

Total (dimana 927 gulden dari Hindia)

1.897,89

Pengeluaran

1. Biaya Produksi

477,9

2. Biaya Pemerintahan

488,8

3. Biaya untuk garam dan candu

349,2

Total

1.371,4

Dari jumlah 1.371,4 juta gulden, 128,9 juta gulden

di tanggung negeri Belanda dan 1.242,5 menjadi

tanggungan Hindia

Sumber : Seks dan kekerasan pada Zaman Kolonial (Jakarta:

Grasindo, 2007) hlm 90

Dari table di atas kita dapat mengetahui candu menjadi

komoditas yang perhitungannya disendirikan dan sebagai

komoditas tunggal memiliki nilai yang cukup besar

dibanding komoditas lain dan juga candu masuk dalam

perhitungan pengeluaran serta digunakan sebagai kebutuhan

yang penting disetarakan dengan garam sebagai kebutuhan

pokok.

G. Opium Ragie Pemerintah Hindia-BelandaMenjadi Penguasa Mutlak Candu

Pada tahun 1894, dilakukan percobaan suatu kebijakan

yang dinamakan Opium Ragie atau pajak langsung opium. Hal

ini diterapkan di Madura. Di bagian ini candu dalam

bentuk langsung atau “Candu Hisap” dijual langsung oleh

pemerintah melalui para pegawai yang ditentukan pegawai

tersebut setara dengan pegawai pos. Namun sebelum

kebijakan Opium Ragie diterapkan di seluruh wilayah Hindia-

Belanda terlebih dahulu pemerintah Hindia-Belanda

mengutus seorang anggota dewan Hindia-Belanda yang

bernama W.P Groeneveldt untuk mempelajari kebijakan

serupa yang diterapkan Prancis di wilayah jajahannya di

Indo Cina16.

Baru pada 1 Oktober tahun 1920 Opium Ragie diterapkan

di seluruh wilayah jajahan Hindia-Belanda. Sebagai

langkah pertama pemerintah Hindia-Belanda melakukan

pemborongan atas candu para Pak Opium yang mendapat candu

dari kebijakan sebelumnya. Kemudian candu tersebut

disimpan di gudang resmi milik pemerintah dan diberi

tulisan “Candu Negara dijual di sini” dalam bahasa

Belanda, Cina dan bahasa daerah setempat17.

Mulai dari masa inilah pemerintah menjadi pemilik

sekaligus penjual tunggal candu di seluruh Hindia-

Belanda. Gubernur Jenderal menetapkan dan mengatur

ketentuan mulai dari pemasokan, pembungkusan dan

pendistribusian hingga penjualan candu di daerah yang

ditentukan. Kebijakan ini ditunjang juga dengan dibuatnya

pabrik candu di Hindia-Belanda oleh pemerintah. Pabrik

candu pertama beroperasi di daerah Kramat Batavia sejak

tahun 1893 yang pada tahun 1901 di dimodernisasi dengan

dipasangnya alat-alat pengolahan candu yang lebih besar

bertenagakan uap, untuk menaikkan produktifitas candu18

berton-ton candu mentah yang diimpor dari Benggala dan

diolah di pabrik tersebut. Keberadaan pabrik ini menjadi

penunjang kebijakan Opium Ragie Pemerintah Hindia-Belanda

dengan memproduksi candu sendiri akan meningkatkan

keuntungan penjualan candu pemerintah.

Candu yang dijual pemerintah terbagi menjadi beberapa

jenis. Pertama adalah candu Regie, yaitu candu siap pakai

yang berbentuk pasta. Selanjutnya adalah Jicing atau lebih

sering disebut Tike, jenis candu ini berupa residu

pembakaran candu yang dicampur dengan daun awar-awar yang

sebelumnya telah dikeringkan terlebih dahulu. Tike

merupakan candu yang paling umum digunakan di Jawa karena

dinilai baik dan harganya lebih murah dari pada candu

Regie. Yang terakhir adalah Jicingko disebut juga dengan

Kletet, candu ini merupakan residu dari Jicing yang telah di

campur dengan air. Jenis candu ini merupakan yang

pamiagran dan biasanya untuk saran pengobatan ataupun

campuran bagi para konsumen candu kelas rendah.

Untuk membungkus candu pemerintah membungkusnya dalam

sebuah tube/ kaleng, pada kaleng tersebut tertera bulan

dan tanggal pengisian candu juga logo pemerintah sebagai

merk dagang. Selanjutnya tube tersebut dimasukkan dalam

kardus lalu dimasukkan lagi dalam peti kayu untuk

didistribusikan. Candu yang dijual pemerintah menggunakan

satuan ukur yang disebut Mata namun orang Jawa lebih

sering menyebutnya dengan Umpling. Tabel ukuran candu

adalah sebagai berikut:

Kode Mata Berat

(Gram)

A 1/2 193

B 1 386

C 2 772

D 5 1 gram 930

E 12 ,5 4 gram 825

F 25 9 gram 650

Sumber :Encyclopedie Van Nederlansch-Indie

Setelah melalui proses pembungkusan candu akan di

distribusikan ke depot-depot ragie dari pusat sampai

daerah. Melalui suatu dinas yang dibantu pemerintah

bernama Dinas Opium Ragie. Dinas ini berada di bawah

departemen keuangan Pemerintah Hindia-Belanda. Struktur

dinas ini adalah kolektor menjadi pimpinan dinas di suatu

karesidenan di bawahnya adalah asisten kolektor yang

membawahi beberapa depot yang diatur oleh mantra dan

asistennya.

Untuk menentukan pembuatan depot penjualan candu maka

Kepala Daerah setempat dengan persetujuan Residen dan

Kepala Dinas Opium Ragie menentukan tempat yang akan

dibangun sebagai tempat penjualan candu dan biaya

perawatan serta pembangunannya ditanggung oleh

pemerintah. Sebuah tempat penjualan candu wajib memasang

daftar harga candu agar pembeli dapat mengetahui harga

candu dengan jelas. Secara umum harga candu ditentukan

pemerintah daerah setempat dengan persetujuan Dinas Opium

Ragie. Hal tersebut disebabkan karena tingkat daya beli

dan jenis candu yang diminati konsumen berbeda pada

setiap daerahnya. Seorang pemilik warung candu akan

mendapat surat perjanjian yang berisi sebagai berikut:

1. Nama pemilik.

2. Bangunan atau bagian bangunan yang digunakan

sebagai warung.

3. Jumlah Jicing terbanyak yang disediakan di sebuah

pipa.

4. Orang yang minta izin memakai candu harus

memberikan orang yang diangkat sebagai wakil atau

pelayan dari warung candu19.

Kemudahan dalam mendirikan warung candu dan

mendapatkan candu dari pemerintah menjadikan semakin

berkembag pesatnya warung candu di berbagai tempat hingga

daerah perkebunan dan pasar-pasar di pedesaan. Di

perkebunan candu banyak disediakan oleh para pengelola

yang bekerjasama dengan depot untuk mendirikan warung

candu bagi para buruh perkebunan. Sedangkan di pasar

konsumen candu di dominasi oleh para kuli angkut pasar.

Kebijakan Opium Ragie terus bertahan dan tidak

mengalami perubahan hingga Pemerintah Hindia-Belanda

meninggalkan Indonesia. Kebijakan ini tetap menjadi

pendukung penting dalam perekonomian Pemerintah Hindia-

Belanda dengan keuntungannya yang begitu besar. Pada

kebijakan ini juga candu semakin menyebarluas ke berbagai

daerah hingga pedalaman. Peran para pedagang Tionghoa

juga tidak hilang begitu saja namun mereka justru memberi

modal pada para depot untuk membuka warung candu sesuai

dengan keinginan mereka.

H. Kesimpulan

Sebagai suatu komoditas perdagangan yang memberi

keuntungan yang besar, candu selalu menjadi “perebutan”

antara kepentingan Pemerintah Hinda-Belanda dan para

pedagang. Di sini yang dimaksud adalah para pedagang

Tionghoa. Pemerintah meski membuat berbagai kebijakan

mengenai candu mulai dari perdagangan, pendistribusian

hingga produksi tetap tidak akan lepas dari peran pada

pedagang Tionghoa. Masa kejayaan candu sendiri terjadi

saat diterpakannya kebijakan Opiumpacat dimana pemerintah

menarik hak-hak perdagangan candu para pedagang Tionghoa,

pada masa ini candu semakin luas menyebar ke seluruh Jawa

dengan jaringan dagang yang luas dan kuat. Para Pak-pak

candu Tionghoa menguasai hampir seluruh Karesidean di

Jawa.

Dengan hal tersebut dapat dipastikan bahwa setiap

Karesidenan tersebut terdapat tempat percanduaan. Namun,

kebijakan ini mengundang berbagai kecurangan seperti

korupsi dan kolusi dalam pelaksanaannya. Para Pak-pak

candu sering melakukan suap pada para pejabat kolonial

demi keuntungan bisnis candunya.

Setelah berjalan lama, sistem Opiumpacat akhirnya

dihapuskan dan diganti dengan sistem Opiumregie. Pada

sistem ini peran Pemerintah Hindia-Belanda semakin kuat.

Pemerintah berperan sebagai pedagang tunggal. Candu

dibeli langsung dari pemerintah tanpa perantara pihak

kedua. Namun pada sistem ini peran pedagang Tionghoa

tidak hilang, mereka menjadi pemilik tempat percanduan

dan tetap menguasai pengorganisasiannya.

Dari berbagai kabijakan tersebut kita dapat menarik

kesimpulan bahwa kebijakan-kebijakan Pemerintah Kolonial

selalu berkaitan dengan sebab ekonomi demi keuntungan

pemerintah. Di masalah candu ini Pemerintah Hindia-

Belanda memperleh keuntungan yang besar tanpa

memperhatikan keadaan bangsa Indonesia sendiri.

Darftar Pustaka

Buku

James R. Rush. Candu Tempo Doeloe. Jakarta: Komunitas

Bambu, 2013.

Cribb, Robert dkk. Kamus Sejarah Indonesia. Jakarta:

Komunitas Bambu, 2012.

Capt. R.P. Suyono. Seks dan Kekerasan pada Zaman Kolonial.

Jakarta: Grasindo, 2007.

Tim Nasional Penulisan Sejarah. Sejarah Nasional Indonesia jilid

2. Jakarta: Balai Pustaka, 2009.

Skripsi

Asmi Rahayu. “Perdagangan Candu di Jawa Akhir Abad XIX

Awal Abad XX”. Yogyakarta: Skripsi S-I

Universitas Negeri Yogyakarta, 2002.

Oryza Aditama. “Alur Perdagangan Opium di Karesidenan

Semarang Pada Akhir Abad XIX”. Yogyakarta:

Skripsi S-I Universtas Negeri Yogyakarta, 2009.