Interaksi Sosial Kaum Lesbian Di Jakarta Selatan

106
Interaksi Sosial Kaum Lesbian Di Jakarta Selatan Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Azizah Cesa Meilia 11141110000042 PROGRAM STUDI SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2019

Transcript of Interaksi Sosial Kaum Lesbian Di Jakarta Selatan

Interaksi Sosial Kaum Lesbian Di Jakarta Selatan

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh:

Azizah Cesa Meilia

11141110000042

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2019

v

ABSTRAK

Skripsi ini menganalisis tentang interaksi sosial kaum lesbian dengan sesama

lesbian dan interaksi sosial kaum lesbian dengan masyarakat yang memiliki orientasi

seksual yang berbeda di Provinsi DKI Jakarta. Tujuan penelitian ini Untuk mengetahui

bagaimana cara seorang lesbian membangun interaksi dengan sesama lesbian dan dengan

anggota masyarakat, penelitian ini juga untuk mengetahui alasan seseorang menjadi

lesbian serta untuk mengetahui penjelasan tentang pandangan masyarakat terhadap

lesbian.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan metode pengumpulan data

melalui wawancara dan observasi. Data hasil wawancara dan observasi yang didapat dari

lima informan lesbian, diolah dan dianalisis dengan menggunakan kerangka teori.

Kerangka teori yang digunakan yaitu interaksionisme simbolik oleh George H. Mead dan

menggunakan konsep dramaturgi oleh Erving Goffman. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa faktor sosial yang mempengaruhi individu dalam menjadi lesbian, faktor keluarga

dan faktor lingkungan. Faktor-faktor tersebut dalam interaksi mereka di masyarakat

cenderung memainkan peran dalam hal kinerja. Keluarga dan lingkungan sosial menjadi

pengamat (fronstage), sedangkan mitra lesbian, teman-teman sepermainannya tempat

mereka menunjukkan diri sebagai heteroseksual, sedangkan panggung belakang (back

stage) tempat pribadi di mana pengamat tidak mengetahui aktivitas atau peran yang

dimainkan oleh kaum lesbian. tujuan dari peran di panggung depan adalah untuk

menyembunyikan identitas mereka yang sebenarnya dan untuk menghindari diskriminasi.

Mereka tidak tertarik untuk bergabung dengan komunitas lesbian, tetapi mereka

cenderung membuat kelompok sebaya.

Kata Kunci: Lesbian, Homoseksual, Dramaturgi, Interaksi Sosial

vi

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam yang telah memberikan nikmat-Nya,

sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Konstrruksi Identitas Orientasi

Seksual Sesama Jenis Di Lingkungan Sosial (Studi Terhadap Pada 5 Orang Lesbian Di Jakarta).

Tak lupa shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta

keluarga, sahabat dan para pengikutnya.

Merupakan suatu anugerah dan kebahagiaan bagi peneliti yang akhirnya dapat

menyelesaikan skripsi ini. Sebagai makhluk sosial, peneliti juga membutuhkan bantuan yang

pada akhirnya banyak sekali bantuan dan bimbingan baik moril maupun materil dari segala pihak

yang telah diberikan untuk peneliti. Oleh sebab itu, dalam kesempatan kali ini peeliti ingin

menyampaikan rasa terima kasih sebesar-besarnya dan penghargaan sedalam-dalamnya kepada:

1. Keluarga besarku, Ayah Osmaili dan Ibu Ati yang aku sayangi yang selama ini telah

mendoakan dan mensuport anak tercintanya hingga sekarang ini dan tidak lupa adik-

adikku Fadli yang sangat bawel dan Farhan yang telah mendukung penuh apapun langkah

yang diambil peneliti.

2. Dr. Vinita Susanti, M.Si, selaku dosen pembimbing peneliti yang telah memberikan

ilmunya, menyumbangkan ide-ide dan menyisihkan waktunya dalam membimbing

peneliti selama penulisan skripsi ini. Skripsi ini tidak akan selesai tanpa dukungan

motivasi yang diberikan oleh beliau.

3. Prof. Drs. Ali Munhanif, MA, Ph.D selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat.

4. Dr. Cucu Nurhayati. M.Si, Ketua Program Studi Sosiologi yang selalu memberikan ilmu

yang berguna dan dukungan bagi mahasiswa/i sosiologi.

vii

5. Joharotul Jamilah S.Ag., M.Si, selaku Sekretaris Program Studi Sosiologi yang selalu

memberikan arahan kepada mahasiswa/i sosiologi.

6. Segenap dosen Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang telah

memberikan ilmu sangat bermanfaat kepada penulis.

7. Para informan dalam penelitian ini yang tidak dapat disebutkan namanya, terima kasih

atas pengalaman yang kalian bagikan, dan waktu yang kalian sisihkan untuk wawancara.

8. Nugroho Aji, S.Sos dan Fahmaiar Nur Oktavena yang selalu memberikan dukungan

kepada penulis sebagai teman diskusi mengenai penelitian maupun pengoreksi tulisan

dalam skripsi ini.

9. Shabrina Belinda, Fahmaiar Nur, Habibah Bramandia, dan Novia Putri sahabat-sahabat

peneliti yang selalu mendukung secara moril, membantu dan selalu menyisihkan waktu

untuk penulis.

10. Yasmien, Galang S.Ikom, Retno S.H, Rahma S.E, Gandhezari, Amira yang selalu

memberikan warna dalam hidup penulis yang kelabu, dan selalu setia mengingatkan

penulis untuk segera menyelesaikan skripsi ini.

11. Team PUBG yang selalu menemani malam kelabu penulis, Fulki Yuga, Jibril Ridho, dan

Ahmad Bisri hehe.

12. Teman-Teman Seperjuangan Sosiologi 2014, Isma Aida, Viki Ni’mah S.Sos, Habibah

Bramandia, Alif Pahlevi, Risma Tri S.Sos, Tina Ramadanti, Restu Setio, Siti Asiah S.Sos,

Hani hanifah, Nugroho Aji S.Sos, Prayogo Pangestu S.Sos, Nining Nia, , Bayu Rachmat,

Novrizaldi, Fahmaiar Nur,Vicky Anilta, Ghayda Putri, Shabrina Belinda, Novia Putri,

Deni Hardiawan S.Sos, Shofiyyah Ash S.Sos, Nitasari, Runi Sikah, Shonyo, Afni dan

viii

kawan-kawan lainnya. Terima kasih atas persahabatan, diskusi dan kerjasamanya selama

perkuliahan.

13. Teman-teman KKN ARTERI, Rahmi, Farhan, Lely S.H, Rudy, Earvin S.Sos, Renita,

Ridho, Tamya, Amel, Elis, Bang Fikri, Bang Ojat, Afief, Fajar, bang iksan, kelompok

yang mengajarkan peneliti banyak hal tentang kehidupan dan kelompok kompak tiada

tara.

14. Annita Rizky dan Najwa seorang yang sangat menggangu pendengaran peneliti, tiada

hari tanpa menanyakan penulis kapan lulus.

Demikian ucapan terima kasih penuli, penulis sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari

kesempurnaan dan masih banyak kekurangan. Oleh sebab itu, peneliti sangat mengharapkan

masukan dan kritiknya agar nantinya skripsi ini dapat menyumbangkan manfaat dan

pengetahuan dibidang ilmu sosial.

Depok, 11 Maret 2019

Azizah Cesa Meilia

ix

DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL…………………………………………………………………………………i

LEMBAR PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME…………………………………………...ii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING……………………………...…………………….iii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI………………………………………iv

ABSTRAK………………………………………………………………………………………...v

KATA PENGANTAR……………………………………………………………………………vi

DAFTAR ISI……………………………………………………………...……………………...ix

DAFTAR GAMBAR…………………………………………………………………………….xi

BAB I PENDAHULUAN

A. Pernyataan Masalah……………………………………………………………………….1

B. Pertanyaan Penelitian……………………………………………………………………...7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian……………………………………………………………7

D. Tinjauan Pustaka…………………………………………………………………………..8

E. Kerangka Konseptual…..………………………………………………………………...21

F. Metode Penelitian…………………………………………………………...…………...33

G. Sistematika Penulisan…………………………………………………………...……….38

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

A. Kehidupan Sosial Di Jakarta……….……………………………………..……………..40

B. Gambaran Umum Lesbian di Jakarta…………………………………………...………..42

C. Homoseksual……………………………………………………………………………..56

x

BAB III INTERAKSI SOSIAL KAUM LESBIAN

A. Faktor Sosial Menjadi Lesbian……………………………………………...…………...64

B. Pola Interaksi Sosial Kaum Lesbian……………..………………………………...…….66

C. Impression Managemen yang dilakukan Kaum Lesbian……………………….……..…76

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan………………………………………………………………………………79

B. Saran……………………………………………………………………………………..80

DAFTAR PUSTAKA……………….……………………………………..……………………82

LAMPIRAN

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Pernyataan Masalah

Seiring perkembangan dan perubahan zaman pada saat ini, yang terjadi juga

terhadap derasnya arus informasi yang dapat mengakibatkan perubahan pola

kehidupan dan prilaku pada masyarakat Indonesia, seperti yang terjadi Indonesia

saat ini isu lesbi, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) dari tahun ke tahun terus

saja menggelinding. Isu ini selalu menjadi bola liar dan panas yang menjadi

sorotan banyak pihak, terutama yang terkait isu orientasi seksual yang berkembang

di masyarakat. (Republika.co.id 28 Januari 2016) Berkembangnya perilaku

orientasi yang disebutkan di atas, tampaknya bukan hal yang baru bagi sebagian

besar masyarakat. Beberapa bagian sudah mulai “menerima” keberadaan mereka

baik secara terbuka maupun tertutup. Sebagian lainnya menolak gagasan orientasi

seksual tersebut karena dianggap menyimpang. Bagi masyarakat yang menerima

tentu mempunyai alasan yang dapat diterima seperti kebebasan hak seseorang

dalam menggunakana hak azasinya sebagai anaggotaa masyaraakat, bagi

masyarakat yang menolak keberadaan LGBT juga mempunyai alasan tersendiri

terkait dengan norma dan aturan yang berlaku di masing-masing masyarakat.

Sebagai mana kita ketahui dibeberapa negara ada yang mengakui keberadaan

LGBT tersebut, seperti penerimaan keberadaan LGBT di masyarakat Amerika

sudah dianggap biasa bagi sebagian warga negaranya, tetapi pada kenyataanya

2

banyak juga yang tidak setuju dengan adanya LGBT dan pada akhirnya mereka

melakukan protes melalui demo untuk menolak LGBT. Selain itu juga penelitian

yang dibuat oleh Gisela Dea Nirwanto (2016) menganalisis isi dari berita yang

ditulis oleh Kompas.com terkait dengan isu LGBT. Hasil penelitian mengatakan

bahwa Kompas.com memihak sisi negatif dari keberadaan LGBT karena segala

bentuk aktivitas, kampanye, gerakan, dan perilaku LGBT yang bertentangan

dengan norma yang berlaku di Indonesia. Di Indonesia hal tersebut di atas

sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang

berbunyi “Orang Dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain

sesama kelamin yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa

diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun. (Soekamto, 1990:382)

Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa di Indonesia, hal yang terkait dengan

LGBT diatur dengan jelas dan tegas, dan dikenakan sanksi jika dilanggar.

Kita ketahui bahwa di Indonesia konstitusi kita tidak secara eksplisit

membahas orientasi seksual atau identitas gender yang menjamin semua warga

dalam berbagai hak hukum, termasuk persamaan di depan hukum, kesempatan

yang sama, perlakuan yang manusiawi di tempat kerja, kebebasan beragama,

kebebasan berpendapat, berkumpul secara damai, dan berserikat. Hak tersebut

semua jelas dibatasi oleh undang-undang yang dirancang untuk melindungi

ketertiban umum dan moralitas agama.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada Masyarakat Jakarta terkait

LGBT bahwa kenyataanya adalah kecenderungan seks seorang perempuan

3

menyukai sesama perempuan, merupakan sesuatu yang dianggap tabu yang

bertentangan dengan norma yang ada, maka sebagian besar dari kaum lesbian di

Jakarta masih menutupi identitas mereka dari masyarakat karena kurangnya

pengetahuan tentang orientasi seksual khususnya lesbian, hal ini membuat

masyarakat menilai negatif kaum lesbian. Kaum lesbian di Jakarta menutup

identitas mereka karena orientasi seksual merupakan aktivitas menyimpang, yang

menular jika terjadi kontak seksual antara sesama jenis dalam hal melakukan

sebuah kegiatan bersama dan berinteraksi langsung, serta melanggar aturan agama

yang ada, sehingga mereka dikucilkan dalam kehidupan bermasyarakat.

Berdasarkan fakta yang terungkap bagi masyarakat yang pro terhadap

humoseksual adalah dengan munculnya Lembaga Swadaya Masyarakat dan

kebebasan menggunakan media sosial membuat kaum lesbian merasa berhak

dalam kebebasan melakukan aktifitas dan berinteraksi. Sedangkan masyarakat

yang kontra dengan kaum lesbian menilai bahwa hal tersebut bertentangan dengan

norma dalam masyarakat dan ajaran agama yang ada di Indonesia. Dalam

pandangan Agama Islam perbuatan seks bebas dan homoseksual larangannya

diatur dalam Alquran dan Hadist, sedangkan dalam dunia barat perbuatan

homoseksual dianggap sebagai penyebab timbulnya penyakit kelamin yang belum

ada obatnya (AIDS) (Sawitri, 2005)

Menurut Kingsley Davis, Lesbian merupakan penyimpangan dari aturan peran

seksual. Masyarakat mengecam perilaku Lesbian karena dianggap telah melangar

nilai mengenai keluarga dan hubungan pria-wanita. (Kingsley, 1976:07).

Berdasarkan pendapat tersebut diketahui bahwa kegiatan lesbian adalah kegiatan

4

yang menyimpang dan melanggar nilai norma agama serta merusak hubungan

keluarga dalam masyarakat. Lesbian juga merupakan kegiatan atau perilaku tidak

bermoral, dan tidak diakui keberadaannya oleh masyarakat. Kita ketahui bahwa

pada akhir tahun 2010 Indonesia Festival Film Homoseksual oleh kaum lesbian

dilarang tidak dapat dilakukan karena bertentangan dengan norma yang ada dan

berlaku di masyarakaat Indonesia sehingga melaran keberadaan kegiatan kaum

homoseksual.

Dengan dilarangnya kegiatan homoseksual di Indonesia maka kaum

homoseksual secara diam-diam atau tersembunyi terus berupaya mencari pangung

agar mendapat pengakuan, kita ketahui pada akhir-akhir ini bagi para penyimpang

orientasi seksual, termasuk lesbian, usaha terus dilakukan dengan menghalalkan

segala cara, dengan tampil berpasangan sesama jenis didepan umum dan

beranggapan bahwa hubungan yang dilakukan merupakan hak asasi.

Penyebab terjadinya homoseksual atau lesbian, belum ada data yang pasti,

namun perilaku seksual sesama jenis terjadi disebuah pulau di tengah lautan Eigs

yang pada dahulunya dihuni oleh para wanita dan mereka satu sama lain

melakukan hubungan seks di sana. (Kartono, 1989) Namun ada beberapa alasan

yang menimbulkan seseorang menjadi seorang lesbian, seperti alasan biologis dan

psikologis maupun sekeliling. Faktor biologisnya seperti pengaruh genetik dan

level hormon prenatal, pengalaman masa kecil, dan pengalaman di masa remaja

yang menyakitkan dengan laki-laki, di mana perempuan merasa tersakiti, sehingga

timbul perasaan benci terhadap laki-laki. (Psikologi FK Unud, 2017) Seperti

5

halnya dengan X, salah satu informan dalam penelitian ini, yang merasa tersakiti

oleh lawan jenisnya. “Dulu aku pernah deket sama cowok, deket yang bener-bener

deket. Kita selalu dipasangin setiap kali ada acara sekolah. Secara pribadi aku

udah nerima dia dalam kehidupanku. Sampe detik-detik pengungkapan perasaan

cowok itu sama aku, tiba-tiba dia jalan sama cewek lain. Dari situ aku ngerasa

harga diriku dipermainkan”. serta faktor psikologisnya seperti pola pikir, yaitu

jika kita perhatikan maka dapat terlihat bahwa lingkungan mempengaruhi kaum

perempuan suka sesama jenis. Lesbian dirasakan dan terjadi saat usia menginjak

remaja atau setelah dewasa, pada saat tersebutlah mulai dirasakan suka sesama

jenis. Dapat kita ketahui bahwa hubungan lesbian suka sesama jenis terjadi dan

dapat dilihat di Kota-kota Besar seperti Jakarta, hal ini terlihat bagaimana

kehidupan dan perilakupara remaja yang menginjak dewasa karena permasalahan

kebebasan dan lingkungan yang ada dapat mempengaruhi mereka menjadi suka

sesama jenis. Lingkungan Kota Jakarta yang terdapat banyak tempat hiburan yang

dikunjungi oleh banyak orang baik dari warga Jakarta maupun warga luar kota,

sehingga dapat dimanfaatkan oleh kaum komunitas lesbian sebagai ajang untuk

bertemu dan berkumpul. Keberadaan organisasi lesbian baik yang tercatat resmi

dalam daftar LSM mapupun berdiri secara independen menunjukkan tidak sedikit

kaum lesbian yang terdapat di kota Jakarta ini. Dengan didirikannya beberapa

komunitas dan LSM di Jakarta yang melindungi perempuan lesbian seperti arus

pelangi (LGBT), Institut pelangi perempuan (IPP) lesbian remaja, dan swara

srikandi. Lesbian kini diketahui kehadirannya dan dilindungi oleh lembaga

tersebut.

6

Menariknya lagi para lesbian berani tampil secara terbuka di depan umum

maupun melalui dunia maya, terbukanya akses ke internet secara bebas membuka

kesempatan kaum lesbian untuk melakukan kontak komunikasi di dunia maya

dengan komunitas kaum lesbian dan masih banyak lagi situs-situs yang

dikhususkan untuk berkomunikasi antar kaum lesbian. Contoh situs lesbian untuk

chatting room www.voy.com, situs lesbian terbaik www.leshin.com, situs

penampung aspirasi bagi keluarga LGBT serta mengajak teman-teman LGBT

untuk berkumpul dan mendiskusikan hak-hak LGBT ourvoice.or.id. media

komunikasi ini dapat dilihat sebagai fakta yang terjadi dan sebagai media yang

digunakan mereka untuk melakukan komunikasi dan berinteraksi, karena dunia

maya ini dianggap tepat bagi mereka dalam berkomunikasi berdiskusi

menyampaikan pesan sesama mereka dengan tanpa membuka identitas secara

terbuka sehingga identitas diri dapat terjaga.

Berdasarkan penjelasan di atas, penulis melihat adanya fenomena menarik

yang terjadi dimasyarakat terkait orientasi seksual menyimpang. Dalam hal ini

para penyimpang orientasi seksual yang saya teliti adalah para lesbian. Orientasi

seksual yang menyimpang tersebut selain terjadi penolakan, terjadi pula usaha dari

para penyimpang orientasi seksual tersebut untuk mendapat pengakuan dalam

masyarakat, terutama di Jakarta. Oleh karena itu, fokus pembahasan dalam skripsi

ini adalah bagaimana interaksi sosial yang terjadi dalam masyarakat. Penulis akan

melihat interaksi yang dilakukan sebagai anggota masyarakat, melihat bagaimana

mereka melakukan kegiatan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana kita

ketahui bahwa ada beberapa faktor-faktor yang menjadi penyebab terjadinya

LGBT seperti; faktor lingkungan dan faktor keluarga.

7

B. Pertanyaan Penelitian

1. Apa saja faktor yang membuat mereka menjadi lesbian?

2. Bagaimana interaksi sosial antara lesbian dan antara lesbian dengan

masyarakat umum ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

C.1. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan permasalahan yang telah dirumuskan, maka tujuan penelitian

ini:

a. Untuk menjelaskan faktor mereka menjadi seorang lesbian

b. Untuk mengetahui interaksi lesbian dengan masyarakat umum

C.2. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memiliki nilai guna, baik secara akademis maupun

praktis.

a. Manfaat Akademis

Penelitian ini diharapakan untuk pengembangan materi gender

khususnya seksualitas, dan membangun interaksi lesbian dengan

sesama lesbian dan anggota masyarakat dengan pandangan lesbian

terhadap masyarakat.

8

b. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan menjadi informasi bagi perkembangan

permasalahan sosial serupa diwaktu mendatang. Serta menjadi evaluasi

bagi kelompok homoseksual khususnya lesbian dan masyarakat

khusunya dalam mengatasi permasalahan terkait penyimpangan

seksualitas. Sebagai pemberitahuan untuk masyarakat lebih mengetahui

bahwa kaum homoseksual itu memang sungguh ada kehadirannya di

sekitar kita.

D. Tinjauan Pustaka

Untuk melengkapi dan menambah data sebagai referensi maka dilakukan

pencarian referensi melalui tinjau pustaka, dengan membaca artikel, jurnal, skripsi,

tesis dan tulisan lain yang memiliki keterkaitan dengan lesbian yang diteliti.

Penulis menemukan terdapat beberapa penelitian yang membahas tentang

komunitas lesbian dari perspektif sosiologis maupun disiplin ilmu lainnya.

Iskandar Dzulkarnain (2006), tesis pascasarjana Sosiologi Universitas Gajah

Mada yang berjudul Perilaku Homoseksual di Pondok Pesantren penulisan ini

menggunakan metode kualitatif dengan analisis deskriptif, menggunakan studi

etnomenologi. Data yang digunakan adalah data primer observasi partisipan dan

wawancara, data sekunder dari dokumen resmi yang berhubungan dengan perilaku

homoseksual di pondok pesantren. Berdasarkan hasil penelitian bahwa pandangan

masyarakat pesantren terhadap kaum homoseksual sebagai dosa, amoral, dan

penyakit. Pandangan mereka berbeda terhadap perilaku alaq dalaq di pondok

9

pesantren tradisional An-Naqiyah terdapat tiga pola, pertama, pola relasi alaq

dalaq dengan ikatan, kedua, relasi alaq dalaq tanpa ikatan, dan ketiga pola relasi

alaq dalaq yang mengedepankan kesenangan. Pada sebuah lembaga pendidikan

seperti pondok pesantren interaksi dapat terjadi sesama penghuni pondok

pesantren seperti yang terjadi antara senior dengan junior atau sesama satu

angkatan yang sama. Karena pesantren mengontrol santri sangat ketat dan sangat

mengedepankan kedisiplinan sehingga para santri melakukan hubungan

seksualnya secara tertutup. Di pondok pesantren ini terdapat satu pola relasi yakni

pola relasi alaq dalaq dengan ikatan (Dzulkarnain 2006).

Menurut Susilandari Endah (2004), tesis pascasarjana program studi

kependudukan jurusan antar bidang, Universitas Gajah Mada yang berjudul

Konsep Diri Lesbian dan Strategi Penyesuaian Sosial dalam Komunitas Islam di

Yogyakarta. Bahwa penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Sedangkan

tujuan penelitian adalah untuk (1) mempermudah faktor-faktor yang mendorong

lesbian mempunyai orientasi seksual sejenis, sehingga menjadikan konsep diri

seorang lesbian, (2) Menggali dan menganalisis berbagai aspek kesulitan yang di

alami lesbian dalam melakukan hubungan sosial dan orientasi seksualnya, serta

bagaimana mereka melakukan cara menyelesaikan permasalahan, (3) Tahu cara

umat islam melihat lesbian, serta celah-celah umat islam bagaimana dapat

menerima atau menolak keberadaan kaum lesbian. Fakta memperlihatkan bahwa

sukar bagi kaum lesbian untuk mudah bergabung bersama dalam kehidupan

masyarakat, maka diperlukan cara-cara untuk dapat bersama masyarakat. Hal ini

akibat tidak semua orang sama dalam menerima keberadaan kaum lesbian. Karena

masalah seksual adalah suatu masalah yang ada tapi keberadaannya secara diam-

10

diam, tidak secara nyata. Oleh karena itu ada pandangan yang sama dalam melihat

lesbian. Dalam hal yang serupa banyak masyarakat yang tidak suka keberadaan

kaum lesbian, tapi mereka tidak melarang terhadap keterlibatan dalam kehidupan

social dalam masyarakat.

Budiarty Astry (2011) Skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan

Sosiologi Universitas Hasanudin Makassar yang berjudul Gaya Hidup Lesbian

(Studi Kasus di Kota Makassar. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif.

Penelitian bertujuan untuk mengetahui tata cara kehidupan kaum lesbian di Kota

Makassar ada beberapa hal yang mempengaruhi antara lain karakteristik,

kesempatan yang ada dan saat memnggunakan kesempatan tersebut, tata cara

berpakaian, kawan untuk berhubungan dan kegiatan yang dikerjakan oleh kaum

lesbian. Hasil penelitian menjelaskan bahwa kaum lesbian kehidupannya serupa

dengan manusia pada umumnya, pembedanya ada di perilaku seksual mereka.

Fakta juga membuktikan bahwa, pada umumnya lesbian jenis Bucth berasal dari

keluarga kelas menengah ke atas, keluarga yang tidak bahagia, lesbian jenis

Femme, adalah lesbian yang berasal dari keluarga menegah ke bawah, biasanya

keluarga hidup bahagia Dalam melakukan komunikasi dalam kelompok, mereka

dominan melakukan kontak dalam berhubungan lebih bersifat negatif, terutama

saat ada persoalan hidup. Dalam berkumpul pada komunitas, kelompok terjadilah

interaksi dan kesempatan berdiskusi terkait aktivitas yang dilakukan sebagaimana

anak muda pada umumnya, diskusi bisa terkait dengan hal-hal yang umum

maupun terkait kebutuhan biologis. Ciri lesbian jenis butch dalam berdandan

menyerupai cara berdandan laki-laki, menggunakan kaos, celana panjang dan

sepatu kets, dan selalu ingin berpenampilan maskulin. Sedangkan kaum lesbian

11

berjenis Femme, berdandan seperti kaum perempuan mereka banyak yang

berpenampilan menggunakan rok dan aksesoris layaknya perempuan, Dan

menunjukan sikap yang suka ria saat berinteraksi dengan sesamanya. Hal tersebut

di atas mengambarkan ciri-ciri dari gaya hidup lesbian di Kota Makassar.

Dalam tulisan Sari Nur Azizah (2013), Journal of Non Formal Education and

Community Empowerment yang berjudul Konsep Diri Homoseksual di Kalangan

Mahasiswa di Kota Semarang; Studi Kasus Mahasiswa Homoseksual di Kawasan

Simpang lima Semarang dalam Journal of Non Formal Education and Community

Empowerment. Penelitian mengenai mahasiswa homoseksual dengan judul

penelitian ini menggunakan teori Self-Concept, metode penelitian kualitatif dengan

mengumpulkan data menggunakan cara observasi, wawancara dan dokumentasi.

Subjek penelitian berjumlah 5 (lima) orang mahasiswa homoseksual dan 4 (empat)

orang informan bukan homoseksual. Masyarakat Semarang tidak bisa menerima

keberadaan kaum homoseksual hal tersebut karena kuatnya pemahaman keagamaan

yang dianut masyarakat, maka keberadaan kaum homoseksual dalam beraktivitas

secara tersembunyi. Dari hasil penelitian menunjukkan faktor penyebab mahasiswa

terkena homoseksual adalah dari faktor; pengaruh pergaulan dengan lingkungan

sekitar, dan faktor komunikasi yang terjadi dalam lingkungan keluarga akibat sakit

hati dan trauma terhadap suatu keadaan, umumnya masyarakat kita memandang

homoseksual merupakan suatu kegiatan yang menyimpang.

Tarigan Megawati (2011) Skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Nasional Veteran yang

berjudul Komunikasi Interpersonal Kaum Lesbian di Kota Pontianak Kalimantan

12

Barat. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Tujuan penelitian ini untuk

(1) untuk mengetahui antara seseorang dengan orang lain kaum lesbian dengan

masyarakat sekitarnya di Kota Pontianak, Kalimantan Barat, (2) Untuk

mengetahui bentuk hubungan interaksi yang dilakukan kaum lesbian dengan

masyarakat sekitar, (3) untuk mengetahui pro kontra yang terjadi dalam

masyarakat dengan adanya pengakuan sebagai kaum lesbian, (4) untuk

mengetahui faktor penyebab orang menjadi kaum lesbian. Dari hasil penelitian

dapat diketahui beberapa orang kaum lesbian menyampaikan pengakuan pada

masyarakat melalui interaksi dalam komunikasi yang dilakukan kaum lesbian.

Bagi kaum lesbian yang memiliki cara berpikir positif lebih mudah membuka diri

atau melakukan interaksi antara seseorang dengan orang lainnya dalam

masyarakat. Terbukanya batas informasi pribadi didalam batasan

kelompok/kolektif (collective boundry) yang dapat mereka terima dan dihargai.

Sementara ada kaum lesbian yang terhambat dalam melakukan komunikasi,

karena setiap orang memiliki kepentingan, motivasi dalam pasangan sehingga

memilih untuk tidak terbuka dan interaksipun tidak diketahui masyarakat sekitar,

mereka lebih tertutup secara pribadi (personal boundry) saja. Interaksi sesama

jenis dapat dilakukan dengan baik yang dilakukan kaum lesbian, dengan gestur,

tatapan, kode-kode yang mereka pahami oleh kelompoknya dengan Bahasa

tersendiri.

Menurut Shinstya Kristina dalam tulisannya dengan judul Informasi dan

Homoseksual-Gay (Studi Etnometodologi Mengenai Informasi dan Gay Pada

Komunitas GAYa Nusantara Surabaya) dijelaskan bahwa kaum gay melakukan

komunikasi secara lisan atau verbal dalam kegiatan homoseksual mereka terkait

13

informasi. Tulisan ini hasil penelitian di komunitas GAYa Nusantara Surabaya

merupakan pelopor organisasi gay di Indonesia yang terbuka. Dengan metode

penelitian kualitatif dengan teknik pengambilan sampel snowball sampling dengan

melakukan wawancara dan observasi dalam pengumpulan data. Sedangkan teori

yang digunakan adalah Dramaturgi oleh Erving Goffman dan juga Lancaster. Dari

hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dengan sikap homophobia masyarakat,

para kaum gay selalu menggunakan informasi sebagai cara menunjukkan

keeksistensian mereka untuk memperoleh kesamaan hak dan kesetaraan gender.

Masing-masing kaum gay memahami secara berbeda tentang informasi, ditentukan

bagaimana mereka melakukan komunikasi secara lisan maupun verbal. Dalam

komunikasi kaum gay menggunakan kode-kode tertentu yang hanya dipahami oleh

kelompok mereka. Jika melihat teori dramaturgi, gay saat berada di front stage

(masyarakat umum) tidak secara terbuka menyatakan dirinya gay, dan ketika

berada di backstage mereka kembali memperlihatkan gaya dan gesture

homoseksual. (Kristina 2013)

Dari penelitian yang telah dilakukan memperlihatkan bahwa fenomena

homoseksual berdasarkan dari sudut pandang yang tidak sama. Ada kesamaan

hasil penelitain yang dilakukan sebelumnya dengan hasil penelitian yang

dilakukan dengan objek yangsama, terkait kaum homoseksual, terutama lesbi.

Metode lain yang digunakan yaitu dengan pendekatan kualitatif dan pendekatan

yang digunakan adalah pendekatan interaksionisme simbolik, yang melihat proses

interaksi sesama jenis maupun dengan masyarakat umum. Secara spesifik

penelitian yang akan dilakukan dengan pendekatan interaksionisme simbolik dan

14

konsep dramaturgi oleh Erving Goffman. Ada beda dalam penelitian yang pernah

dilakukan dengan penelitian yang akan dilakukan fok us pada analisisnya.

Terdapat kesamaan teori, tapi penelitian yang pernah dilakukan dianalisis dari

sudut komunikasi, sekarang penelitian ini dilihat secara sosiologis. Objek yang

diteliti adalah individu, tidak terhadap komunitas tertentu. Oleh karena itu

penelitian ini akan melihat bagaimana seorang lesbian membangun diri dalam

interaksinya dengan sesama kaum lesbian maupun dengan anggota masyarakat

yang orientasi seksualnya berbeda.

Tabel 1.D.1 Tinjauan Pustaka

No. Nama dan Judul Teori Metodologi Hasil

1. Iskandar

Dzulkarnain

(2006)

Perilaku

Homoseksual di

Pondok Pesantren

Pola Miles dan

Huberman

Kualitatif Menurut masyarakat

pesantren kegiatan

homoseksual adalah

kegiatan dosa, amoral, dan

penyakit. mereka

beranggapan bahwa

perilaku alaq dalaq di

pondok pesantren

tradisional An-Naqiyah ada

tiga pola;

- pertama, pola relasi alaq

dalaq dengan ikatan,

15

- kedua, relasi alaq dalaq

tanpa ikatan, dan

- ketiga pola relasi alaq

dalaq yang

mengedepankan

kesenangan. pondok

pesantren ini terdapat satu

pola relasi yakni pola

relasi alaq dalq dengan

ikatan.

2. Susilandari Endah

(2004)

Konsep Diri

Lesbian dan

Strategi

Penyesuaian

Sosial dalam

Komunitas Islam di

Yogyakarta.

Kualitatif Tantangan bagi kaum

lesbian untuk dapat hidup

secara berdampingan dalam

masyarakat karena tidak

semua orang dapat

menerima perilakuhomo

seksual yang mereka anut.

Hal tersebut menjadi

permasalahan yang

tersembunyi dan tidak

tampak identitas mereka

dipermukaan. Masyarakat

tidak menolak aktivitas

keseharian yang mereka

lakukan sebagai warga

masyarakat akan tetapi

standar ganda yang dimiliki

oleh kaum lesbian

16

yang tidak dapat diterima

dan melanggar norma yang

ada dalam masyarakat.

3. Astry Budiarty

(2011)

Gaya Hidup

Lesbian (Studi

Kasus Di Kota

Makassar)

Dijelaskan dalam

teori Asosiasi

Differensial

sebagai berikut

bahwa perilaku

yang salah dan

tidak sesuai terjadi

dari proses ingin

tahu dengan

melalui belajar.

Jadi kesalahan

yang terjadi bukan

karena diturunkan

dari pendahulu,

tidak juga karena

kelemahan

kemampuan yang

dimiliki atau

kesalahan yang

terjadi. Perbuatan

yang salah bisa

Kualitatif Kaum lesbian dalam

aktivitasnya sehari-hari

sama dengan masyarakat

pada umumnya, dan hanya

perilakuseks membedakan

antara mereka dengan

masyarakat pada

umumnya. Dari hasil

penelitian yang dilakukan

memperlihatkan bahwa

mereka berasal dari

kalangan menengah ke atas

tapi kehidupan dalam

keluarga tidak harmonis

(lesbian jenis Butch).

Sedangkan lesbian yang

berasal dari kalangan

menengah ke bawah

cirinya kehidupan dalam

keluarga sangat harmonis

hal tersebut disebut juga

17

juga dari proses

belajar saat

melakukan kontak

dengan orang lain

dalam melakukan

komunikasi yang

serius. Pergaulan

yang dilakukan

dengan salah,

maka akan

mempengaruhi

dirinya untuk ikut

salah juga, saat ini

kaum lesbian

memiliki cara

tersendiri untuk

berinteraksi di

depan umum.

dengan lesbian jenis

Femme.

Jika kita lihat dari cara

berpakaian jenis laki-laki

seperti menggunakan kaos,

celana panjang dan sepatu

kets serta selalu tampil

seperti maskulin disebut

juga lesbian yang menganut

jenis Butch.

Sedangkan lesbian jenis

Femme, selalu

berpenampilan seperti

wanita dengan memakai

rok , menggunakan

assessorie bando, gelang,

kalung dan cincindengan

sikap yang manja dan selalu

intim dalam menjalin

hubungan.

4. Sari Nur Azizah

(2013)

Konsep Diri

Homoseksual di

Kalangan

Mahasiswa Di

teori Self-

Concept

Kualitatif Penyebab terjadinya

homoseksual dikalangan

mahasiswa diakibatkan

karena lingkungan

pergaulan, lingkungan

keluarga yang tidak

mendukung dan karena

18

Kota Semarang;

Studi Kasus

Mahasiswa

Homoseksual di

Kawasan

Simpanglima

Semarang dalam

Journal of Non

Formal Edication

and Community

Empowerment,

trauma masa lalu serta

akibat sakit hati dengan

pasangan. Masyarakat tetap

mengganggap perilakuyang

mereka lakukan adalah

kegiatan yang menyimpang

dan melanggar norma.

Umumnya kaum lesbian

melakukan kegiatannya

melalui interaksi sebagai

symbol perilakuyang

dilakukan.

5. Megawati Tarigan

(2011)

Komunikasi

Interpersonal

Kaum Lesbian Di

Kota Pontianak

Kalimantan Barat

Teori komunikasi

interpersonal

komunikasi yang

terjadi secara

langsung antara

seseorang dengan

orang lain.

Bagaimana suatu

hubungan dimulai,

bagaimana

mempertahankan

suatu hubungan

Kualitatif Kaum lesbian yang mudah

membuka diri dan terbuka

serta melakukan interaksi

berkomunikasi baik didepan

masyarakat adalah

merupakan kaum lesbian

yang memiliki konsep

hidup yang positif.

Terdapatnya batasan dalam

melakukan komunikasi

untuk mendapat informasi,

sedangkan kaum lesbian

berharap mendapat

19

dan keretakan

suatu hubungan.

Teori Interaksi

Simbolik

memahami

bagaimana

manusia, bersama

dengan orang lain,

menciptakan dunia

simbolik dan

bagaimana cara

dunia membentuk

perilaku manusia.

Interaksi simbolik

ada karena ideide

dasar dalam

membentuk makna

yang berasal dari

pikiran manusia

(Mind) mengenai

diri (Self), dan

hubungannya di

tengah interaksi

sosial, dan tujuan

informasi tanpa ada batasan

berada dalam batasan

kolektif (collective

boundry) agar dapat

diterima dan dihargai

sebagai anggota

masyarakat.

Terdapat hambatan dalam

melakukan komunikasi juga

dialami oleh kaum lesbian

hal ini karena ada

kepentingan, motivasi dan

prasangka memilih tertutup

dan tidak meperlihatkan

interaksi yang dilakukan

sehingga tertutup dalam

interaksi dan berada pada

batasan personal (personal

boundry). Pada umumnya

kaum lesbian dapat

melakukan interaksi dengan

baik melalui komunikasi

seperti gesture dan tatapan

atau kode kode tertentu

serta bahasa-

20

bertujuan akhir

untuk memediasi,

serta

menginterpretasi

makna di tengah

masyarakat

(Society) dimana

individu tersebut

menetap.

Teori Pengaturan

Privasi

Komunikasi/

Communication

Privacy

Management

(CPM). Pribadi

antara sesuatu

yang “bersifat

publik” dan

“rahasia” dalam

hubungan.

bahasa tertentu yang

mereka pahami.

6. Shinstya Kristina

(2013)

Informasi dan

Homoseksual-Gay

(Studi

Etnometodologi

Mengenai

Informasi dan Gay

Dramaturgi oleh

Erving Goffman

dan juga

Lancaster

Kualitatif Dalam melakukan aktifitas

sehari-hari informasi

menjadi faktor utama

mereka dalam menunjukan

aktifitas kaum gay untuk

mendapat hak dan

kesetaraan gender. Adanya

perbedaan dalam mereka

21

Pada Komunitas

GAYa Nusantara

Surabaya)

memperoleh informasi dan

melakukan komunikasi dan

perbedaan dalam

memahami informasi yang

ada dan difahami yang

berbeda oleh kaum gay

dengan symbol symbol

tertentu.

E. Kerangka Konseptual

a) Seksualitas : Definisi dan Perkembangan Maknanya

Dalam diskusi permasalahan seksualitas merupakan kajian yang kompleks.

Terdapat dua pandangan yang berbeda menyampaikan terkait seksualitas, ada

pandangan esensialisme (esssensialism) dan sosio konstruksionisme (social

costructionism). Dalam pandangan esensialisme dijelaskan bahwa seksualitas

memiliki kaitan dengan penciptaan secara alamiah, di dalam ilmu biologis hal

tersebut berkaitan dengan gen, hormon, dan organ-organ seksual yang

berproses dan berproduksi. Sedangkan dalam pandangan konstruksi soaial hal

tersebut berkaitan dengan konsep seksualitas yang terbentuk dari faktor

lingkungan dalam hal ini terkait dengan lingkungan budaya, sosial, ekonomi,

politik, hukum, agama, dan lain-lain. Kita sadari atau tidak bahwa proses

seksualitas terjadi pada setiap orang melaluim proses secara alami membentuk

identitas seksual. Jadi proses belajar di masyarakat memberikan kontribusi

membentuk identitas individu disamping apa yang telah diberi dalam diri

individu tersebut.

22

b) Identitas Orientasi Seksual

Menurut Piaget (Hurlock, 1980) menjelaskan bahwa proses seksualitas

pada remaja terjadi saat ia melakukan interaksi dengan sesamanya atau yang

lebih tua dalam masyarakat, maka saat ia menginjak dewasa dalam

pergaulannya sehari- hari terutama terkait dengan tuntutan hak psikologis yang

dimiliki.

Saat terjadi suatu perubahan dan kedewasaan dalam berpikir maka akan

dimungkinkan terjadi caopaian akan integritas dalam hubungan sosial dengan

yang dewasa sehari-hari akan terjadi suatu pertumbuhan diri.

Menurut Supratiknya (1995), terdapat sekelompok orang yang memiliki

orientasi seksual yang berbeda yaitu;

1. Heteroseksual, yaitu orang yang menyukai seksual pada jenis kelamin

yang berbeda, seperti seorang perempuan yang menyukai lelaki atau

sebaliknya lelaki yang menyukai seorang perempuan.

2. Biseksual, yaitu seseorang yang menyukai dua jenis secara seksual

yaitu menyukai perempuan dan laki-laki sekaligus.

3. Homoseksual, yaitu seseorang yang menyukai secara seksual pada jenis

kelamin yang sama, atau yang biasa dikenal dengan lesbian; perempuan

tertarik pada perempuan, dan gay yaitu laki-laki yang tertarik pada laki-

laki.

23

a) Kerangka Teoritis

1. Pendekatan Interaksionisme Simbolik

Serupa dengan Plummer, studi ini menggunakan pendekatan

interaksionisme simbolik dalam melihat pemaknaan diri seorang lesbian dalam

interaksinya dengan sesame lesbian maupun dengan anggota masyarakat

dengan orientasi seksual yang berbeda. Pertanyaan-pertanyaan seperti

bagaimana masyarakat “membentuk” individu atau sebaliknya bagaimana

individu menciptakan, memperhatankan, dan mengubah masyarakat, menurut

Raho merupakan pertanyaan yang tidak bisa dijawab oleh pendekatan makro

seperti fungsionalisme atau konflik. Itulah sebabnya pendekatan

interaksionisme simbolik muncul untuk mempelajari proses-proses yang terjadi

antara individu dengan individu dan individu dengan masyarakat. (Raho

2007:95)

Beberapa penganut interaksionisme simbolik mencoba mengemukakan

prinsip-prinsip dasar pendekatan interaksionisme simbolik, yaitu (Ritzer and

Goodman 2009:392)

a. Tidak seperti binatang yang lebih rendah, manusia ditopang oleh

kemampuan berpikir.

b. Kemampuan berpikir dibentuk oleh interaksi sosial.

c. Dalam interaksi sosial, orang mempelajaro makna dan symbol yang

memungkinkan mereka menggunakan kemampuan berpikir tersebut.

24

d. Makna dan symbol memungkinkan orang melakukan tindakan dan

interaksi khas manusia

e. Orang mampu memodifikasi atau mengubah makna dan symbol yang

mereka gunakan dalam tindakan dan interaksi berdasarkan tafsir

mereka terhadap situasi tersebut.

f. Orang mampu melakukan modifikasi dan perubahan ini, sebagian

karena kemampuan mereka untuk berinteraksi dengan diri mereka

sendiri, yang memungkinkan mereka memikirkan tindakan yang

mungkin dilakukan menjajaki keunggulan dan kelemahan relative

mereka, dan selanjutnya memilih.

g. Jalinan dan pola tindakan dengan interaksi ini kemudian menciptakan

kelompok dan masyarakat.

Salah satu pemikiran terpenting dalam sejarah interaksionisme simbolik

adalah George Herbert Mead. Bukunya yang berjudul “Mind, Self and Society”

menjadi karya terpenting Mead yang menganalisa kehidupan sosial. Menurut

Mead, keseluruhan kehidupan sosial mendahuluhi pemikiran individu secara

logis maupun temporer. Individu yang berpikir dan sadar diri tidak mungkin

ada sebelum kelompok sosial. Kelompok sosial hadir terlebih dahulu, dan

kemudian mengarah pada perkembangan kondisi mental sadar diri. (Mead

dikutip Rizer dan Goodman 2009:380)

Begitu banyak gagasan Mead dalam interaksionisme simbolik, seperti

proses berpikir, symbol, gesture, hingga konsep diri (self). Konsep self inilah

25

yang menjadi fokus peneliti dalam melihat proses sosisalisasi seorang lesbian.

Menurut Mead, self mengalami perkembangan melalui proses sosialisasi.

Tahapan pada proses sosialisasi tersebut adalah play stage, game stage dan

generalized other. Mead menekankan tahap-tahap yang dilalui oleh anak-anak

karena mereka memperoleh konsep diri sejak dini mulai dari keluarga,

kelompok kecil hingga kelompok besar. Tahapan pertama adalah tahap

bermain (play), yaitu individu belajar dan memainkan peran sosial dari orang

lain yang dilihatnya. Misalnya, seorang anak yang bermain masak-masakan

dan berperan sebagai Ibunya setelah mengamati Ibunya memasak di dapur.

Tahapan ini sangat penting bagi seorang individu untuk merangsang

perilakunya sendiri menurut perspektif orang lain dalam suatu peran yang

berhubungan tersebut.

Tahapan selanjutnya adalah pertandingan (game). Pada tahap ini

seorang individu mengembangkan konsep diri. Berbeda dengan tahap bermain,

tahapan ini terdapat tingkat organisasi sosial yang lebih tinggi. Setiap individu

dalam pertandingan, memainkan peran secara serentak dan

mengorganisasikannya dalam suatu kegiatan dimana mereka terlibat. Mead

menganalogikannya dengan sebuah pertandingan baseball, dimana setiap

permainan memperhitungkan peranan masing-masing dan para pemain

diorientasikan pada peraturan-peraturan umum yang mengatur pertandingan

tersebut. Peraturan menentukan tujuan akhir dari suatu rangkaian kegiatan, dan

tujuan tersebut tidak berarti tanpa adanya hambatan.

26

Tahapan ketiga dalam proses sosialisasi menurut Mead adalah

generalized other yaitu komunitas atau kelompok sosial yang terorganisasi,

yang memberikan individu suatu kesatuan dirinya. Sikap generalized other

berarti sikap komunitas atau kelompok sosial secara keseluruhan. Dengan kata

lain, apabila individu mengontrol perilakunya menurut peran-peran umum

yang bersifat impersonal, maka mereka mengambil peran dari generalized

other. Generalized other terdiri dari harapan-harapan dan standar umum yang

dipertentangkan dengan harapan individu secara khusus, dimana menurut

harapan umum itulah seorang individu merencanakan dan melaksanakan suatu

tindakan. Dalam kehidupan bermasyarakat, individu tersebut diminta untuk

menerima pandangan-pandangan dan sikap-sikap kehidupan bersama atau

bahkan nilai dan norma yang telah disepakati bersama (Mead 1934: 152-156)

2. Konsep Dramaturgi (Erving Goffman)

Secara spesifik, penelitian ini akan menggunakan salah satu konsep

dari pendekatan interaksionisme simbolik yaitu konsep dramaturgi.

Penelitian menganggap bahwa konsep ini adalah bagian dari pendekatan

interaksionisme simbolik karena penekanannya sama-sama pada proses

interaksi di tingkat mikro. Pendekatan dramaturgis Goffman khususnya

berintikan pandangan bahwa ketika manusia berinteraksi dengan

sesamanya, ia ingin mengelola kesan yang ia harapkan tumbuh pada

orang lain terhadapnya. Untuk itu setiap orang melakukan pertunjukan

bagi orang lain. Erving Goffman dalam karyanya yang berjudul

27

“Presentation of Self in Everyday Life” (1959). Konsep Goffman tentang

Self sangat dipengaruhi oleh George Mead, khususnya dalam diskusi

tentang ketegangan antara “I” (sebagai aspek diri yang spontan) dan

“Me” (sebagai aspek diri yang dibebani oleh norma-norma sosial).

Ketegangan itu terjadi karena ada perbedaan antara apa yang orang lain

harapkan supaya kita berbuat dengan apa yang ingin kita lakukan secara

spontan. Dalam kasus ini kemudian terjadi perbedaan antara keinginan

pribadi dengan keharusan yang diharapkan oleh masyarakat. Oleh karena

itu, Goffman menganalogikan kehidupan sosial sebagai satu seri drama

teatrikal atau seri performance dimana actor-aktor memainkan peran-

peran tertentu. Pendekatan ini yang disebut Goffman sebagai dramaturgi

(Raho 2007:115)

Dalam bukunya yang berjudul The Presentation of Self everyday Life

(Goffman 1959:28), Goffman mengutip dari buku “Race and Culture”

oleh Robert Ezra Park. Semua orang, secara sadar atau tidak, memainkan

peran tertentu dalam kehidupannya. Topeng menjadi sebuah representasi

konsep yang dibentuk oleh diri kita sendiri. Selain membangun karakter

didepan orang lain, dalam perannya individu juga membangun karakter

diri sendiri. Pada akhirnya, kita hadir di dunia sebagai individu, mencapai

karakter, dan menjadi seseorang. Kemudian Goffman menjelaskan

bagaimana suatu performance terjadi dengan latar belakang dan setting

yang sedemikian rupa dibentuk. Goffman mendefinisikan performance

sebagai semua aktifitas individu yang terjadi selama suatu periode oleh

28

keberadaannya selama itu belum ada pengamat dan yang mempunyai

pengaruh terhadap pengamat (penonton). Kemudian performance

berfungsi untuk mengekpresikan karakteristik dari tugas yang diperankan,

bukan karakteristik asli pemain. (Goffman 1959:32)

a. Diri (Self)

Goffman melihat Self bukan sebagai milik actor atau pelaku,

melainkan produk atau hasil interaksi antara actor dan observer. Atau

dengan kata lain, self mengarahkan tingkah lakunya sesuai dengan

harapan observer yang diperoleh actor ketika berinteraksi dengan

observer. Oleh karena self adalah produk atau hasil interaksi actor

dengan observer, maka terdapat kemungkinnan adanya gangguan

selama performance. Dalam hal ini kemudian Goffman menyelidiki

proses-proses yang ditempuh oleh actor untuk mengatasi gangguan-

gangguan yang mungkin saja timbul. Asumsinya adalah bahwa ketika

individu-individu berinteraksi atau memainkan peran dalam panggung

sandiwara, maka mereka ingin supaya diri (self) mereka diterima. Oleh

karena itu para aktor harus selalu menyesuaikan diri dengan keinginan

dan harapan observer. Para aktor berharap bahwa self atau diri yang

mereka tampilkan dalam performance itu, cukup kuat atau

mengesankan sehingga para observer bisa memberikan definisi

(deskripsi) tentang diri mereka sesuai keinginan aktor itu sendiri. Hal

29

tersebut berarti bahwa para aktor mengharapkan bahwa para observer

bisa mempunyai ideal positif tentang diri mereka (Raho 2007:116)

Terkait dengan homoseksual, penelitian ini mencari tahu

bagaimana self seorang lesbian berinteraksi dengan sesame aktor

(sesama lesbian) dan dengan observer (masyarakat). Tentu seorang

lesbian, khususnya yang tertutup, akan menyesuaikan diri dengan

keinginan dan harapan masyarakat yang menerapkan

heteronomativitas. Heteronomativitas adalah konstruksi sosial yang

mengistimewakan heteroseksual sebagai norma yang memerintahkan

perlakuan individu dan status mereka dan partisipasinya dalam

masyarakat (Neubeck, and Glasberg 2007:270). Stigma negative

terhadap homoseksualitas dalam masyarakat mungkin yang menjadi

gangguan pada kaum lesbian untuk menjadi apa adanya diri mereka

sendiri sehingga berusaha memainkan peran yang diharapkan

masyarakat dan membuat masyarakat memiliki deskripsi tersendiri

dalam melihat kaum lesbian sesuai keinginan aktornya.

b. Bagian Depan Panggung (Frontstage)

Goffman Menjelaskan bahwa Frontstage (Bagian Depan

Panggung) berfungsi untuk mendefinisikan situasi. (Raho 2007:118)

Bagian depan panggung dapat diartikan sebagai peran yang dilakukan

seseorang (aktor) dalam kehidupan sosialnya. Pendapat di atas dapat

30

dijelaskan bahwa peran depan panggung memungkinkan seseorang

melakukan peran yang berbeda dengan kepribadian aslinya dalam

menciptakan harapan yang berbeda yang diinginkan oleh masyarakat

(observer). Posisi front, dijelaskan bahwa bagian performance

individu berfungsi untuk memberikan definisi situasi para observer.

Posisi tersebut dimungkinkan untuk memain peran yang berbeda

dengan kehidupan aslinya untuk menciptakan harapan yang diinginkan

oleh observer.

Menurut Goffman dalam membedakan bagian-bagian front dalam suatu

performance, seperti:

1. Setting; yang mendukung performance yaitu dekorasi, tata ruang dan

alat-alat latar belakang lainnya.

2. Personal front merupakan bagian dari setting tetapi lebih melekat pada

performer seperti gaya berpakaian, ekspresi wajah, gesture, pakaian,

jenis kelamin, karakteristik ras, postur tubuh dan sebagainya.

c. Bagian belakang panggung (Backstage)

Berbeda dengan frontstage, backstage atau bagian belakang

panggung diartikan sebagai peran atau tindakan yang dilakukan aktor

secara bebas sesuai dengan keinginannya tanpa harus memerankan

yang sesuai dengan harapan masyarakat umum. Dengan kata lain,

bagian belakang panggung menjadi ranah yang bersifat pribadi dimana

31

masyarakat umum tidak perlu menyaksikan aktifitas pribadinya. Begitu

pula dengan setiap orang bahkan kaum lesbian, memiliki tindakan atau

aktifitas yang bersifat pribadi sehingga orang lain tidak perlu

mengetahuinya dan mereka dapat menjadi diri mereka sendiri tanpa

harus menjadi seorang individu yang diharapkan masyarakat. (Raho

2007:123)

d. Manajemen Kesan (Impression Management)

Goffman mengasumsikan bahwa ketika orang-orang berinteraksi,

mereka ingin menyajikan suatu gambaran diri yang akan diterima orang

lain. Menurut Goffman, aktivitas manusia digunakan untuk presentasi

diri yang termasuk dalam busana pakaian, tempat tinggal, cara kita

berjalan dan berbicara. Segala sesuatu yang terbuka mengenai diri kita

sendii dapat digunakan untuk memberi tahu orang lain siapa kita. Dia

menyebut upaya tersebut sebagai impression management atau

pengelolaan kesan, yaitu teknik yang digunakan aktor untuk memupuk

kesan tertentu, dalam situasi tertentu untuk mencapai tujuan tertentu.

Ketika berinteraksi atau berkomunikasi, seseorang akan mengelola

dirinya agar tampak seperti apa yang dikehendakinya, sementara juga

orang lain yang menjadi mitra komunikasinya melakukan hal yang

sama. Oleh karenanya setiap orang melakukan pertunjukkan bagi orang

lain, sehingga ia menjadi aktor yang menunjukkan penampilannya

untuk membuat kesan bagi lawannya: “People are actors, structuring

32

their performances to make impressions on audiences.” (Goffman,

1959:203).

Ada beberapa teknik impression management yang disebut atribut

defensif dan praktik (defensive attribute and practice). Ada tiga teknik

defensive attribute and practice yang digunakan untuk menghindari

gangguan dalam pertunjukan. Pertama, Dramaturgical Loyalty

berfungsi untuk menjadikan anggota dalam tim loyal kepada tim dan

berperilaku sesuai dengan pertunjukan tim. Dalam hal ini anggota tim

dilarang untuk mengeksploitasi pertunjukan tim di hadapan tim dengan

pertunjukannya sendiri (Goffman 1959:208). Yang menjadi dasar dari

dramaturgical loyalty adalah tentang mempertahankan solidaritas tim

yang kuat, sambil menciptakan citra panggung, juga menjaga jarak

antara tim dan audiens, jangan sampai ada rasa simpatik yang

mendalam sehingga akan merusak pertunjukan tim. Kedua,

Dramatugical Discipline untuk berhasil menampilkan karakter dan

pertunjukan tim, setiap anggota harus memiliki “kesadaran” dan

“kontrol diri”. Dengan begitu, setiap anggota mengingat bagiannya dan

tidak melakukan kesalahan saat pertunjukan dan dapat menyelamatkan

pertunjukan jika terjadi masalah. Anggota tim harus siap siaga dan

menggunakan kesadarannya untuk menutupi kekurangan atas perilaku

tidak pantas yang secara mendadak dilakukan oleh rekan se timnya.

Jika ada gangguan terjadi dan tidak dapat dihindari, angota yang

disiplin akan siap menawarkan alas an yang masuk akal untuk

33

mengabaikan peritiwa yang mengganggu tersebut. Focus pada disiplin

ini adalah pada pengendalian wajah dan suara pemain atau juga dengan

perilaku yang ditampilkan. (Goffman, 1956:137-138) Ketiga,

Dramaturgical Circumspection tentang kehati-hatian seperti, hati-hati

dalam emilih anggota tim yang tepat, dan memastikan bahwa mereka

loyal dan disiplin secara dramaturgi. Selain itu ini juga berkaitan

dengan kehato-hatian dalam memilih audiens, sebisa mungkin mencari

audiens yang akan memberikan paling tidak masalah yang sedikit

dalam pertunjukan yang akan ditampilkan pemain atau yang tidak di

ditampilkan. Goffman juga berpendapat bahwa pertunjukan pendek

memiliki resiko yang sedikit dibandingkan pertunjukan lama (Goffman,

1956: 139).

F. Metodologi Penelitian

F.1. Pendekatan Penelitian

Dalam melakukan penelitian ini penulis akan menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu:

Penelitian dilakukan dengan sasaran terhadap pola yang berlaku dan

terjadi secara menyolok yang terlihat dari gejala-gejala yang terjadi dalam

lingkungan kehidupan dalam masyarakat (Suparlan, 1994:4)

Dalam Penelitian ini penulis berusaha untuk menangkap sekaligus

memahami makna yang terdapat pada rangkaian Interaksi sosial sesama

jenis Di Jakarta Selatan. Maka peneliti memilih menggunakan pendekatan

kualitatif merupakan pendekatan mengeksplorasi dan memahami makna

34

yang dimiliki oleh sejumlah individu atau sekelompok yang berasal dari

masalah sosial atau kemanusiaan (Creswell, 2010).

Dari uraian tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa perlu menjadi

perhatian bagi peneliti untuk memahami persoalan yang dialami oleh kaum

lesbian dalam melakukan hubungan dan komunikasi antar sesamanya

dalam masyarakat agar mendapatkan informasi yang dapat dikembangkan

oleh peneliti.

Pendekatan dalam penelitian adalah untuk menangkap makna yang

terkandung dari hubungan sosial lesbian untuk membangun diri terhadap

lingkungan sesama lesbian dan dengan anggota masyarakat yang

berorientasi seksual berbeda.

Dalam melakukan penelitian dengan pendekatan studi kasus. Creswell

menjelaskan bahwa metode studi kasus merupakan strategi penelitian bagi

peneliti untuk menyelidiki secara cermat suatu peristiwa, aktivitas, proses

atau sekelompok individu.

F.2. Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data

Terdapat dua jenis data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu data

primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang dikumpulkan

secara langsung oleh peneliti dari lapangan, yang disebut dengan “first-hand

information”. Sedangkan data sekunder adalah data tidak dikumpulkan

secara langsung oleh peneliti, tapi dikumpulkan melalui sumber-sumber lain

35

yang telah tersedia, yang disebut juga dengan “second-hand information”

(Silalahi, 2010).

Dalam tekni wawancara yang digunakan untuk memperoleh data

dilakukan dengan tatap muka (face to face interview) partisipan (Creswell

2010). Wawancara juga dapat dilakukan dengan cara tidak terstruktur

(unstructured interview) yaitu peneliti dan informan saling berinteraksi

dengan baik (Marvasti, 2004) dan dapat menggunakan wawancara terbuka

dengan informan (Moeloeng, 2006:137).

Penelitian proses menjadi lesbian merupakan cara memperoleh data dari

sumber sedangkan observasi yang dilakukan oleh peneliti selama melakukan

penelitian terdapat banyak rintangan, kesulitan untuk mendapatkan informasi

dikarenakan berbagai alasan dari informan yang saya temui, seperti ada

penolakan dari informan yang saya temui yaitu informan yang bernama P, dia

menolak untuk diwawancara karena saya sudah dia identifikasi akan

menjatuhkan derajat sosial lesbiannya. Seperti infomasi yang saya temukan

yang mengatakan alasan utama mereka menghindar disebabkan traumatis

penolakan sosial. Didalam kesulitan mencari informasi yang saya alami, saya

menyimpulkan hal ini disebabkan karena adanya rasa Traumatis dari para

lesbian kepada masyarakat ketika identitasnya sebagai lesbian sudah

diketahui menyimpang. Hal ini seperti yang dikatakan dipendahuluan saya

yang menganggap bahwa perilaku lesbian merupakan tindakan yang

menyimpang. Setelah kesulitan yang saya hadapi, saya mendapatkan

36

infromasi yang selanjutnya saya analisa untuk menjawab pertanyaan-

pertanyaan penelitian. Selanjutnya kesulitan ketika dilakukan diruang-ruang

social, seperti tempat makan yang biasanya para pasangan lesbian kunjungi

sampai taman kota tempat para lesbian hangout. Dalam penelitian ini juga

dilakukan penelitianterkait makanan, minuman serta hangout yang dilakukan

ditempat berkumpul, dengan didampingi teman laki-laki agar tidak

menimbulkan kecurigaan diantara mereka, maupun saat observasi dilakukan

diruang pribadi, seperti ditempat tinggal informan.

Peneliti mulai melihat kehidupan lesbian, yang diawali dari kehidupan

pribadi, social, hingga kehidupan malam yang kerap menjadi trend dalam

kehidupan kaum lesbian. Solidaritas dalam kehidupan lesbian benar-benar

terjaga di antara mereka.

Peneliti memilih informan dengan cara purposive sampling, yaitu

pengambilan sample berdasarkan pada tujuan atau pertimbangan tertentu

(Usman, 47:1995) dengan subjek yang ada dalam waktu yang tepat

memberikan informasi yang dibutuhkan. Sampel diambil untuk menjaring

sebanyak mungkin informasi dari berbagai macam sumber dan bangunannya

(construction). Purposive sampling adalah teknik pengumpulan data

berdasarkan pada ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu yang mempunyai hubungan

yang erat dengan ciri-ciri atau sifat-sifat yang ada dalam populasi yang sudah

diketahui sebelumnya, pengambilan sampel dilakukan dengan cara

mengambil subyek bukan didasarkan atas strata, random atau daerah tetapi

37

didasarkan atas adanya tujuan tertentu. Secara formal peneliti melihat secara

mendalam dan melakukan wawancara kepada 5 (lima) orang lesbian di

Jakarta di mana dari masing-masing mereka memiliki pasangan lesbian. Usia

lesbian yang dijadikan penelitain adalah berumur dibawah 30 tahun dan

mereka masih tercatat sebagai mahasiswa dan pekerja yang tersebar di

beberapa tempat di Jakarta. Dalam wawancara pertanyaaan tidak di susun dan

dilakukan untuk sebagai perbandingan data antara sumber yang ada.

Pengambilan sampel juga dilakukan secara bersamaan kepada teman dekat,

teman bergaul, dan lingkungan sosial lesbian.

Dalam teknik pengumpulan data sekunder dilakukan pengumpulan

dokumen dan materi visual. Data bisa bersumber dari Koran, majalah, atau

dokumen lainnya yang berkaitan dengan Lesbian di Jakarta. Sedangkan untuk

pengumpulan materi visual dilakukan dengan mengumpulkan foto-foto

berbagai gambar subjek penelitian (Creswell, 2010) Data yang dikumpul

berasal dari 5 (lima) anggota lesbian yang ada di Jakarta sebagai sampel.

Mempertimbangkan dalam pemilihan tempat penelitian dengan

menjadikan Provinsi DKI Jakarta sebagai pilihan yang tepat tempat

penelitian, yang mana penulis ketahui sebagai Ibu Kota Negara Provinsi DKI

Jakarta memiliki berbagai ragam kehidupan sosial yang memiliki banyak

tempat hiburan, pusat perbelanjaan maupun tempat wisata yang ramai

dikunjungi tiap harinya, tempat-tempat tersebut menjadi tempat yang banyak

dimanfaatkan oleh kaum homoseksual untuk berkumpul dan berinteraksi.

38

Lokasi yang menjadi tempat pengumpulan data primer adalah Jakarta

Sedangkan pengumpulan data sekunder dilakukan melalui website yang

relevan dengan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini.

F.3. Teknik Analisis Data

Miles dan Huberman (1994 dalam Marvasti, 2004:88-90) bahwa pada saat proses

menganalisa data dalam kualitatif harus melewati beberapa tahap. Pertama, melakukan

proses pemilihan, penyederhanaan atau yang disebut dengan reducting, pengabstrakan, dan

transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis selama pengumpulan data

di lapangan secara berkelanjutan selama penelitian ini berlangsung. Kedua, melakukan

pengumpulan informasi secara tersusun yang memberi kemungkinan adanya proses

penarikan kesimpulan serta pengambilan tindakan atau yang disebut dengan displaying

data. Ketiga, penarikan kesimpulan proses ini melibatkan penggambaran makna dari data

yang ditampilkan.

G. Sistematika Penulisan

BAB I Pendahuluan

Pada bab pendahuluan ini menjelaskan terkait permasalahan, tujuan

penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka kerangka teoritis, dan

metode penelitian, serta sistematika penulisan.

39

BAB II Gambaran Umum Provinsi DKI Jakarta

Pada bab ini peneliti memaparkan tentang gambaran umum Provinsi DKI

Jakarta yang menjadi pilihan untuk penelitian.

BAB III Bagaimana seorang lesbian membangun diri dalam interaksi sosial

Bab ini berisikan tentang interaksi yang dibangun oleh seorang

lesbian kepada sesama lesbian dan anggota masyarakat dengan

orientasi seksual yang berbeda.

BAB IV Penutup. Dalam bab ini berisi kesimpulan dan saran

40

BAB II

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

A. Kehidupan Sosial Di Jakarta

Sebagai Ibu Kota Negara, masalah sosial yang terjadi di Indonesia,

juga terjadi di Jakarta yang menjadi pusat kegiatan pemerintahan. Karena

pusat pemerintahan, Kota Jakarta menjadi pusat bisnis untuk investor asing

maupun lokal. Sehingga di Jakarta terdapat gedung-gedung, perkantoran,

kendaraan roda empat dan roda dua yang berdampak pada kepadatan dan

kemacetenn yang terjadi dimana-mana, sehingga menyebabkan kesesakan

di jalan yang sering kita temui di setiap jalan yang ada di Jakarta.Walaupun

kondisinya penuh sesak, kota ini tetap merupakan sumber mimpi

masyarakat di Indonesia. Hampir semua orang dari daerah menginginkan

untuk datang ke Jakarta dan berharap mempunyai status ekonomi yang

lebih baik. Banyak diantara mereka datang ke Jakarta tanpa bekal yang

cukup. Padahal, Jakarta tidak menjanjikan kemajuan ekonomi bagi yang

mendatanginya.Tetapi, tetap saja semua orang datang ke Jakarta dan rela

bekerja menjadi apa saja, seperti tukang sapu, pemulung, pengemis, sampai

PSK, semua dikerjakan hanya agar tetap hidup di Jakarta. Masalah

urbanisasi ini merupakan satu dari sekian banyak masalah yang ada di

Jakarta.

Karena perjuangan akan kebutuhan hidup yang tinggi sehingga

permasalahan sosial juga terjadi dalam kehidupan sosial di Jakaarta. Pada

dasarnya manusia adalah mahluk sosial. Mahluk sosial adalah mahluk yang

41

tidak dapat hidup sendiri atau dengan kata lain membutuhkan bantuan dari

orang lain.

Dari aktivitas kehidupan kita yang terbesar sampai aktivitas kehidupan

kita yang terkecil sebenarnya sangat membutuhkan bantuan dari orang

lain. Seperti contoh makanan pokok kita beras yang kita dapatkan dari

hasil kerja keras para petani. Dari salah satu contoh tersebut pun sudah

terlihat ketergantungan kita pada mahluk lain, bukan hanya dari manusia

tetapi juga dari mahluk lain seperti : hewan dan tumbuhan. Memang pada

hakekatnya kita sebagai mahluk sosial harus saling tolong-menolong dan

menghindarkan sikap acuh tak acuh terhadap sesama.

Kehidupan sosial yang baik dapat digambarkan dengan sikap saling

tolong-menolong, peduli terhadap lingkungan sekitar, saling mempunyai

tenggang rasa, melakukan musyawarah dan mufakat dalam mengambil

keputusan dan banyak lagi contoh-contoh kehidupan sosial lainnya. Hal-

hal tersebut dapat kita lihat dalam lingkungan sekitar kita seperti contoh :

saling tolong menolong dalam membersihkan lingkungan sekitar kita

secara bersama-sama, contoh lain seperti menjenguk tetangga atau teman

yang sedang sakit. Walaupun kegiatan-kegiatan sosial yang kita lakukan

terlihat begitu sepele.

Seperti yang terlihat dalam kehidupan sehari-hari, lingkungan sosial

warga Jakarta setiap orang melakukan interaksi dan komunikasi dengan

sesamanya melalui berbagai kegiatan yang ada dalam masyarakat Jakarta

42

baik itu melalui kegiatan seni, kegiatan keagamaan maupun kegiatan sosial

lainnya.

B. Gambaran Umum Lesbian di Jakarta

1. Kehidupan Lesbian

Melihat hiruk pikuknya Ibu Kota Jakarta, membuat kehidupan

sebagai seorang lesbian, tidak menjadi pusat perhatian yang dibicarakan

karena kehidupan kaum lesbian mempunyai keterbatasan dalam

interaksi di lingkungan masyarakat. Kaum lesbian merahasiakan

identitas yang ada dan tidak diketahui oleh orang sekitarnya sehingga

dengan sistuasi kota seperti Jakarta akan dapat mereka manfaatkan

untuk melakukan interaksi sesama mereka.

Hubungan yang dilakukan oleh kaum lesbian dapat berdampak

buruk terhadap dirinya jika dalam menjalin hubungan kurang

memperhatikan bagaimana kecocokan, kesesuan sifat, tabiat dan

perilakuyang baik yang ada pada pasangan.

Kaum lesbian sebagaimana manusia pada umumnya saat melakukan

interaksi dengan pasangan juga mengalami hal yang sama dengan orang

pada umumnya, sifat-sifat yang dimiliki oleh kaum lesbian juga dimiliki oleh

orang pada umumnya, yang membedakan mereka adalah perilaku pribadinya

yang tidak sesuai dengan norma dan etika yang berlaku pada lingkungan

sekitarnya. Dalam kehidupan sehari-hari Kaum lesbian dengan berpasangan,

sebagaimana orang normal lainnya juga merasakan apa yang dialami oleh

orang pada umumnya. Karena masyarakat Jakarta pada umumnya

43

berinteraksi dalam lingkungan masyarakat secara terbuka dan taat pada

aturan serta norma yang berlaku.

2. Lesbian di dalam Masyarakat

Sampai pada tahun 1973, homoseksualitas masih ada di Diagnostic

and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) dan terdaftar

sebagai sebuah kelainan seksual. Namun, di tahun yang sama,

Nomenclature Committee dari American Psychiatric Association, di

bawah tekann dari para professional dan kelompok aktivis,

merekomendasikan dieliminasinya kategori “homoseksualitas” dan

substitusi dari “gangguan orientasi seksual”. Perubahan ini akhirnya

disepakati, meskipun dengan diiringi protes dari beberapa psikiatris

yang masih beranggapan bahwa homoseksualitas merefleksikan fiksasi

dari tahapan awal perkembangan psikoseksual (Kring, Jhonson,

Davidson & Neale, 2012).

Meskipun secara ilmiah homoseksualitas tidak lagi dianggap sebagai

sebuah abnormalitas, homoseksual, termasuk lesbian di dalamnya,

masih sering mendapatkan prasangka dan diskriminasi. Prasangka dan

diskriminasi yang diterima oleh homoseksual ini disebabkan oleh

adanya ideologi heteroseksisme yang telah ditanamkan sejak dini dan

dibentuk dalam beberapa tingkatan. Heteroseksisme merupakan sebuah

system ideologi yang menyangkal, menilai buruk dan menstigmatisasi

44

segala bentuk non-heteroseksual, baik dalam perilaku, identitas, relasi

maupun komunitas (Herek dalam Ben-Ari, 2001)

Penolakan masyarakat terhadap keberadaan homoseksual, termasuk

lesbian, tersebar di seluruh dunia (Rahardjo, 2007). Berdasarkan survey

yang dilakukan oleh Pew Research Center (2013b), empat dari sepuluh

orang (39%) mengaku pernah ditolak oleh keluarga atau teman terdekat

mereka dikarenakan orientasi seksual yang dimiliki. 29% mengatakan

bahwa mereka pernah tidak diterima di beberapa tempat dan 21%

mengungkapkan bahwa mereka pernah diperlakukan tidak adil oleh

orang lain. Enam dari sepuluh orang (58%) bahkan mengaku sering

diejek dan menjadi bahan olokan. Menurut Kitzinger (dalam Rahardjo,

2007), sekitar 92% kaum gay dan lesbian di Amerika melaporkn bahwa

dirinya menjadi target ancaman dan kekerasan dari kaum anti gay.

Selain itu, studi yang dilakukan oleh Tomsen (dalam Rahardjo, 2007)

menunjukkan bahwa pembunuhan oleh banyak orang tak dikenal yang

terjadi di New South Wales, Australia, biasanya dilatarbelakangi oleh

adanya homophobia. Kondisi seperti tersebut di atas tidak jauh berbeda

dengan kondisi di Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian yang

dilakukan oleh Arus Pelangi, bahwa sekitar 89,3% komunitas LGBT di

Indonesia terbukti pernah mengalami tindak kekerasan seksual terkait

identitas gender dan ekspresinya. (Arus Pelangi, 2015). Persentase

tersebut amat besar dan mengkhawatirkan terhadap pelanggaran hak

azasi manusia. Selain diskriminasi dan marginalisasi di lingkungan

45

sosial, di beberapa daerah seperti Aceh dan Sumatera Selatan, aktivitas

homoseksual dianggap sebagai sebuah tindakan kriminal dan

pelakukanya bisa dikenakan denda dan dihukum penjara. Menurut

Wibowo, pada 3 Maret 2015 Majelis Ulama Indonesia (MUI)

mengeluarkan keputusan tentang berbagai hukuman, dari cambuk

hingga hukuman mati, untuk kaum homoseksual.

Penelitian menemukan bahwa sikap masyarakat terhadap laki-laki gay

secara signifikan lebih negative dibandingkan terhadap lesbian

(Berkman & Zinberg dalam Ellis, Kitzinger & Wilkinson, 2003).

Temuan ini menunjukkan bahwa penolakan terhadap homoseksualitas

laki-laki mungkin menjadi komponen yang lebih pokok daripada

penolakan terhadap homoseksualitas secara umum (Herek dalam Kerns

& Fine, 1994). Homoseksualitas laki-laki dirasa sangat tidak

menyenangkan untuk laki-laki heteroseksual karena mengancam hak

social dan superioritas yang dimiliki laki-laki. Dalam konteks sikap

terhadap individu homoseksual, laki-laki heteroseksual menggap lakilaki

gay lebih menyimpang dari peran gender tradisional jika dibandingkan

dengan lesbian. Hasil penelitian serupa didapatkan oleh Pinel (dalam

Gottschalk, 2008). Perempuan lesbian cenderung lebih jarang

mendapatkan stigma apabila dibandingkan dengan laki-laki gay. Mereka

cenderung lebih sering didiskriminasi atas statusnya sebagai seorang

“wanita” daripada sebagai seorang “lesbian”.

46

Prasangka dan diskriminasi memberikan dampak terhadap individu,

baik secara social maupun personal (American Psychiatric Association,

diakses 28 Oktober 2018). Pada derajat sosial, prasangka dan

diskriminasi terhadap gay, lesbian dan biseksual terefleksikan pada

stereotype yang muncul setiap hari. Stereotype ini muncul tanpa bukti

yang nyata dan seringkali digunakan sebagai alasan untuk

memperlakukan gay, lesbian dan biseksual secara tidak setara, misalnya

diskriminasi dalam pekerjaan dan pelayanan sosial. Pada derajat

individu, prasangka dan diskriminasi tersebut juga memberikan

konsekuensi negatif, terutama ketika individu tersebut menolak

memberikan konsekuensi negatif, terutama ketika individu tersebut

menolak orientasi seksual yang mereka miliki. Walaupun individu

lesbian, gay dan biseksual belajar untuk menghadapi stigma social

terhadap orientasi seksual mereka, pola dari prasangka dan diskriminasi

memberikan efek negatif yang sangat serius terhadap kesehatan dan

kesejahteraan psikologis.

2.1 Lingkungan

2.2.1 Lingkungan Budaya

Kekayaan budaya yang dimiliki Indonesia, yang terdapat pada

masingmasing suku yang ada terdapat perbedaan dan dilakukan

pelestarian dengan caranya masing-masing. Menurut Nawari, dalam

budaya dan adat istiadat masyarakat tertentu terdapat ritual-ritual yang

membawa unsur homoseksualitas. Dari pendapat di atas dapat dijelaskan

47

bahwa budaya yang dianut dan dimiliki oleh seseorang juga dapat

mempengaruhi hubungan seksualitas yang ada. Sebagai contoh dapat kita

ketahui bahwa setiap budaya yang ada pada warga yang dibawa dari

daerah asalnya yang berbeda akan berbeda juga dalam perlakuannya hal

tersebut mereka yakini dan taati untuk dilaksanakannya. Jadi adat dan

kebiasan yang ada pada suku tertentu di Indonesia sangat menaati aturan

dan norma adat istiadat yang dimiliki.

2.2.2 Lingkungan Sosial (Keluarga)

A. Pola Asuh

Perbedaan dalam pola pengasuhan yang dilakukan dalam keluarga

sejak lahir sampai dewasa akan mempengaruhi terbentuknya pola yang

berbeda pada perilaku anak. Seorang anak laki-laki akan terbentuk

identitasnya sejak dini sebagai seorang laki-laki atau perempuan.

Pengenalan identitas diri ini tidak hanya sebatas pada sebutan namun juga

pada makna di balik sebutan laki-laki atau perempuan tersebut, meliputi:

1) Penampilan fisik seperti dalam pemakaian baju, penataan rambut,

perawatan tubuh yang sesuai, dan lain-lain.

2) Bentuk fisik seperti terdapat perbedaan jenis kelamin laki-laki dan

perempuan; laki-laki pada umumnya memiliki kondisi fisik yang lebih kuat

dibandingkan dengan perempuan, laki-laki pada umumnya tertarik dengan

48

kegiatan-kegiatan yang mengandalkan tenaga/otot kasar sementara

perempuan pada umumnya lebih tertarik pada kegiatan-kegiatan yang

mengandalkan otot halus.

3) Dilihat dari sifat: laki-laki umumnya lebih menggunakan

logika/pikiran sementara perempuan umumnya cenderung lebih

menggunakan perasaan/emosi; laki-laki umumnya lebih menyukai

kegiatan-kegiatan yang menantang, menuntut kekuatan dan kecepatan,

sementara perempuan lebih menyukai kegiatan-kegiatan yang bersifat

halus, menuntut kesabaran dan ketelitian.

4) Pada tuntutan dan harapan: terdapat perbedaan dalam tuntutan dan

harapan pada masyarakat yang dipengaruhi oleh budaya setempat, pada

masyarakat yang menganut sistem paternalistik, tuntutan bagi para laki-laki

adalah untuk menjadi kepala keluarga dan bertanggung jawab atas

kelangsungan hidup keluarganya. Berdasarkan hal tersebut di atas dapat

kita uraikan bahwa peran kaum laki-laki dalam system paternalistik diakui

dan berperan kuat sebagai pengayom, pelindung dan pemegang kekuasaan

dalam system tersebut. Sebagai contoh kita ketahui dianut oleh sebagian

besar suku Batak di Sumatera Utara yang menempatkan kaum lelaki

memiliki peranan dan waris yang lebih dari kaum perempuan.

Sedangkan yang mengandung sistem maternalistik berlaku sebaliknya

dimana kaum perempuan sangat dihargai dan dihormati serta memiliki

peran yang kuat sebagai penentu dalam suatu keluarga. Sebagaimana kita

ketahui system ini dianut oleh sebagian besar suku minang kabau di

49

Sumatera Barat, hak waris dan harta dalam pembagiannya perempuan

lebih besar mendapat pembagian disbanding dengan anak lelaki.

Terdapat perbedaan pada sistem paternalistik maupun maternalistik,

yaitu membedakan pada kepala keluarga: pria dalam paternalistik lebih

berperan dominan dan diakui secara adat istiadat kekuasaan dan

kewenangannya dan pada wanita dalam maternalistik adalah diberikan

kewenangan dan peran dominan dengan pendekatan yang digunakan

dalam memenuhi tanggung jawab mereka sebagai kepala keluarga.

Perubahan juga dapat terjadi jika pola asuh yang tidak tepat dilakukan

seperti anak perempuan yang diberi pakaian laki-laki, diberikan mainan

mobilmobilan, pola asuh yangn mempengaruhi prilakunya sebagai

layaknya anak laki laki atau perempuan.

2.2.3 Figur orang yang berjenis kelamin sama dan relasinya dengan lawan jenis.

Dalam melakukan aktifitas seseorang yang berjenis kelamin yang sama

dalam melakukan pembentukan seksualnya cenderung mencontohkan kepada

orang yang sejenis sama dan lebih tua dari dirinya. Seperti contoh seorang anak

laki-laki akan mencontoh apa yang dilakukan oleh ayahnya, begitu juga dengan

anak perempuan cenderung mencontoh apa yang dilakukan oleh ibunya, dan

begitu juga yang mereka lakukan sebagai contoh terhadap orang lain yang ada

pada lingkungannya.

50

Homoseksual biasanya dapat terbentuk karena kegagalan seorang anak

menidentifikasi dirinya sebagai apa, berbuat apa, melakukan apa dan menjadi apa

serta berperan sebagai apa dalam lingkungannya, hal ini karena tidak ada figur

yang bias mereka tiru dan contohkan.

Dr N Littner, ahli psikoanalisis dari program Child Therapy, Chicago,

mengatakan bahwa ibu seorang homoseksual sikapnya keras, agresif, kelaki-

lakian, atau kekanakan dan tidak efektif, serta sering kali tidak stabil. Hal tersebut

membuat gagal dalam menciptakan rasa aman, membina hubungan yang baik, dan

menumbuhkan keberanian pada anak-anaknya. Pada seorang ayah seorang

homoseksual secara fisik sering tidak hadir pada saat dibutuhkan atau jauh secara

emosional, sehingga didominasi istrinya karena sifat pasif dan lemah. Hubungan

antara kedua orang tua tidak dekat mengakibatkan terjadi tidak akrab, dan terjadi

saling menyalahkan atau tidak menghormati antara suami dan isteri, maka dalam

kejadian tersebut dapat terpengaruh dan membuat bingung dalam menentukan

sikap. Akibat dari hal tersebut bias menjadi perubahan perilakumenjadi lesbian

atau homoseksual. Terjadi perubahan pada anak laki-laki menjadi tidak mendapat

identitas maskulin, sukar mengadakan hubungan yang dekat dengan perempuan

dan sukar menumbuhkan rasa cinta pada perempuan.

Mereka takut melakukan itu dan merasa lebih aman mendekati laki-laki.

Keadaan ini mudah membuat dia menjadi homoseksual (gay) (Budiman, dalam

Nawari, 2012:29-30).

51

3. Identitas Informan

Koresponden pertama berinisial B, dengan identitas diri adalah seorang

berinisial B memutuskan menjadi lesbian sebagai pilihan hidupnya

semenjak menginjak 15 tahun, akibat binggung kenapa lebih tertarik pada

perempuan, ia rasakan sudah cukup lama, ia mengaku sudah dari kecil

merasa demikian. ia menyenangi film-film super hero yang saat itu

banyak dimunculkan dengan figur perempuan berbusana ketat. Ia merasa

bimbang dengan

kecenderungannya tertarik pada sesama jenis, ia belum berani bercerita

pada siapapun. Dunia maya ia gunakan sebagai tempat pencarian jati

dirinya. Ia berusaha mencari tahu apa yang terjadi pada dirinya. Dunia

maya dianggap tempat yang tepat, dengan berinteraksi di situs tentang

homoseksual dan room chat khusus lesbian, menemukan teman kencan

pertamanya (seorang perempuan) yang ia kenal dari room chat.

Kebimbangannya mulai hilang dan merasa menikmati dunianya sekarang,

si B merasa lebih senang, lebih semangat menjalani hari-harinya, di dunia

maya dapat bertemu dengan banyak lesbian dari berbagai daerah. Ia

mengaku takut mengecewakan keluarganya, hanya beberapa teman

dekatnya saja yang tahu bahwa B seorang lesbian.

Koresponden kedua berinisial Y, dengan identitas adalah seorang

perempuan berusia 26 tahun. Sedang melanjutkan studi S2, kuliah S1nya

diselesaikan di salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta. Ia mengaku

52

pilihan hidupnya sebagai lesbian membutuhkan banyak pengorbanan dan

perjuangan. Sejak di SMA, si Y memiliki kekasih seorang laki-laki.

Kecenderungan menyukai perempuan terjadi saat ia masuk kuliah. Sama

halnya seperti B di atas, akhirnya ia memutuskan untuk menjalani

hidupnya sebagai lesbian. Karena ayahnya memandang keputusan Y itu

salah menentang budaya dan agama, sedangkan ibunya bisa menerima

karena memang itu sudah pilihan hidup Y, ibunya tidak mau melarang apa

yang anaknya inginkan demi kebahagiaannya.

Koresponden ketiga berinisial N, dengan identitas diri seorang

perempuan berumur 24 tahun, menjalani kehidupan sebagai seorang

lesbian semenjak kuliah di Jakarta. Ia menjalin hubungan dengan seorang

laki-laki namun ia merasa tidak nyaman dan akhirnya ia merasa lebih

tertarik pada teman perempuannya saat ia SMA, merasa takut dan

akhirnya saat ia kuliah ia kenal dengan beberapa teman homoseksual.

Akhirnya mereka menjalin hubungan layaknya pasangan muda lainnya

diketahui teman-temannya dan setiap hubungan yang ia jalin, ia biasa

memperkenalkan pasangannya pada keluarganya.

Koresponden ke empat berinisial X, Lahir di kota Lamongan, umur 25

tahun. Subjek merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Subjek

beragama Islam dan saat ini subjek berdomisili di kota Jakarta. Subjek

bekerja di salah satu kantor swasta di kota Jakarta. Subjek yang sudah 7

tahun menjadi seorang lesbian, yaitu saat berusia 18 tahun, mengatakan

bahwa ia berlabel femme untuk status lesbinya. Saat ini subjek tidak

53

memiliki pasangan lesbi setelah putus dengan pasangan lesbinya terdahulu

yang berinisial E. Subjek memiliki latar belakang kehidupan yang lebih

cenderung happy, namun pada dasarnya Subjek juga memiliki latar

belakang kehidupan unhappy seperti hubungannya dengan sang ayah.

X mengemukakan bahwa ia berlabel femme untuk status lesbinya.

Label tersebut ditetapkannya karena temannya mengatakan bahwa X

berlabel femme. Selain itu, karena X mencarinya lewat internet, X juga

mengetahuinya dari beberapa teman komunitasnya yang merupakan

pecinta Mitha the virgin..

X mengatakan bahwa ia banyak memiliki teman lesbi. Karena ia

merupakan salah satu anggota komunitas pencinta Mitha the virgin

khususnya di kota Jakarta. Selain itu, X menceritakan bahwa ia memiliki

seorang tante-tantean dan om-om-an yang merupakan sepasang lesbi yang

tinggal satu rumah.

Pengalaman percintaan X sebelum menjadi seorang lesbi yang paling

berkesan adalah dengan pacarnya ketika ia masih duduk di kelas 1 SMA.

Ketika ia bertemu dengan seorang laki-laki yang terpaut empat tahun lebih

tua dari X. Saat itu X, dan laki-laki tersebut menjalin hubungan jarak jauh

selama satu tahun. Hubungan tersebut berjalan lancar dan beberapa kali

laki-laki tersebut datang ke Jakarta guna bertemu dengan X. Namun,

hubungan itu berakhir lantaran laki-laki tersebut meninggal dunia karena

penyakit kanker otak yang dideritanya. Selama berpacaran dengan laki-

54

laki tersebut, X mengakui bahwa ia sudah mengetahui penyakit yang

diderita oleh kekasihnya itu. Penilaian X tentang laki-laki tersebut adalah

baik, pengertian, dan tidak emosian seperti E. selama berpacaran, X dan

laki-laki tersebut sudah pernah kissing. X mengatakan bahwa ia saat ini

sedang dekat dengan seorang laki-laki yang merupakan seniornya di

kampus. Ternyata laki-laki yang merupakan seniornya dikampus sangat

kasar kepadanya, selalu mengekang X dalam melakukan aktifitas apapun.

Sampai akhirnya X sangat sakit hati dan pada saat itu ia tidak ingin

berpacaran dengan laki-laki dan memilih mejalin hubungan dengan

sesama perempuan.

Dalam keluarga mengenai status seksualnya X, sudah mengetahui dan

tidak mempermasalahkan karena itu sudah jalan anaknya ingin seperti apa

kedepannya asalkan anaknya selalu senang dengan pilihan hidupnya.

Koresponden kelima berinisial S, dengan identitas diri; seorang

Mahasiswi disalah satu Universitas di Jakarta. Informasi yang diberikan

bahwa sikap negatif orang tua yaitu ayah dan ibunya yang dilakukan

secara terbuka dihadapan anaknya seperti selisih paham/bertengkar.

sebagai wanita satu-satunya dari delapan bersaudara melihat langsung

perlakuan yang keras seorang ayah kepada ibunya.

Koresponden S merupakan seorang muallaf, perlakuan orang tua

tersebut mempengaruhi perilakunya sebagai perempuan karena

beranggapan yang sama terhadap semua kaum laki-laki keras dan kasar

55

terhadap perempuan, sebagaimana perilakum kasar yang dibuat oleh

ayahnya terhadap ibunya. Maka semenjak bangku kuliah dia memutuskan

untuk menjadi lesbian. Melihat perilaku ayahnya tersebut ia jera

ketakutan. Pengalaman dalam keluarga yang dialami tersebut membuat

„S” memiliki panutan sebagai seorang ayah yang baik Pada kenyataannya

justru sebaliknya.

Saat ini subjek memiliki pasangan lesbi berinisial D yang bekerja di

salah satu perusahaan di kota Jakarta. Pasangan subjek memiliki label

butchi dan berusia 25 tahun. Hubungan subjek dengan D sudah terjalin

satu tahun sampai sekarang. Subjek memiliki latar belakang kehidupan

yang cenderung unhappy lantaran kondisi keluarganya yang termasuk

broken home. Tak ada perhatian dari orang tua merupakan indikator

kecenderungan unhappy yang melatar belakangi kehidupan Subjek.

Meskipun demikian, respons subjek akan kesadaran orientasi seksual

yang cenderung berbeda. Setelah menyadari akan orientasi seksualnya, S

merasa senang karena akhirnya bisa menemukan sesuatu yang benar-benar

membuatnya nyaman dan berkesan. S pernah menjalnin relasi romantic

dengan lawan jenis. Meskipun merasa nyaman dan dilindungi, S

mengakui bahwa perasaan saat berpacaran dengan perempuan serba

berbeda dengan saat berpacaran dengan laki-laki. Relasi dengan laki-laki

terasa biasa saja ketika S mulai mencoba berpacaran dengan perempuan. S

mendeskripsikan relasi romantic dengan sesama jenis sebagai relasi yang

56

lebih nyaman, lebih santai, lebih dilindungi, lebih special serta lebih

bahagia jika dibanding saat bersama laki-laki.

Dengan keluarga yang terbilang keras terhadap didikan dan perilaku, S

menutupi identitasnya sebagai lesbian karena tidak ingin ayah dan ibunya

bertengkar atau jika ayahnya mengetahui S menjadi seorang lesbian

keluarganya semakin tidak karuan sehingga S menutupinya dari pihak

keluarga.

C. Homoseksualitas

Berkembangnya dan tersebarnya isu tentang homoseksual yang

ada di Indonesia maka masyarakat mulai menyadari terjadinya fenomena

tersebut. Hal ini semakin jelas setelah dinyatakan secara resmi oleh WHO

pada tahun 2005 pernyataannya tersebut berbunyi bahwa homoseksualitas

bukanlah penyakit sosial melainkan preferensi seksual individu. Jadi

dalam penjelasan tersebut sangat jelas bahwa homoseksual adalah

persoalan pribadi.

Menurut Siti Musdah Mulia, dalam tulisannya yang berjudul

“Islam dan Homoseksualitas: Membaca Ulang Pemahaman Islam”

menyebutkan bahwa homoseksualitas merupakan salah satu dari varian

orientasi seksual. Menurut Mulia, seksualitas merupakan proses sosial

yang menciptakan dan mengarahkan hasrat atau birahi manusia (the

socially constructed expression of erotic desire), dan dalam realitas sosial,

seksualitas dipengaruhi oleh interaksi faktor psikologis, biologis, sosial,

57

ekonomi, poitik, agama dan spiritual. Terminology penting menyangkut

seksualitas manusia diantaranya: identitas gender, orientasi seksual dan

perilaku seksual. (Mulia 2010:11)

Identitas gender mengacu pada pengalaman pribadi yang intens

dalam setiap diri manusia berkaitan dengan gendernya, dan tidak

berhubungan dengan jenis kelamin biologisnya. Jenis kelamin biologis

dibedakan berdasarkan faktor-faktor biologis hormonal, sedangkan jenis

kelamin sosial (gender) merupakan seperangkat sifat, peran, tanggung

jawab, fungsi, hak, dan perilaku yang melekat pada diri laki-laki dan

perempuan akibat bentukan budaya atau pengaruh lingkungan masyarakat.

Orientasi seksual adalah kapasitas yang dimiliki setiap manusia berkaitan

dengan ketertarikan emosi, rasa sayang, dan hubungan seksual.

Selanjutnya perilaku seksual, adalah cara seseorang mengekspresikan

hubungan seksualnya. (Foucoult dikutip Mulia 2010:12-15)

Dari uraian tersebut di atas maka skripsi ini diberi tema yang

terkait orientasi seks kaum lesbian. Dede Oetomo (2001), dalam bukunya

yang berjudul “Memberi Suara pada yang Bisu”, laki-laki homoseks

adalah laki-laki yang secara emosional dan seksual tertarik kepada laki-

laki, dan perempuan homoseks adalah perempuan yang secara emosional

dan seksual tertarik kepada perempuan. Menurut Oetomo homoseksualitas

merupakan orientasi atau pilihan seks yang ditujukan kepada seseorang

atau orang yang jenis kelamin yang sama atau suka karena secara

58

emosional dan seksual kepada orang jenis kelamin yang sama. Soerjono

Soekanto, menjelaskan bahwa homoseksual orang yang kecendrungan

seksualnya suka sesama jenis. Dapat dijelaskan bahwa homoseksual

adalah kecenderungan seseorang suka kepada orang lain yang sejenis,

merupakan sikap tindak dan pola perilakuhomoseksual. (Soekanto

1990:333)

Homoseksual dapat digolongkan ke dalam tiga kategori (Seokanto

1990:334), yakni:

a. Golongan aktif, yaitu yang secara aktif mencari mitra kencan di

tempat-tempat tertentu, seperti misalnya bar-bar homoseksual.

b. Golongan pasif, artinya yang menunggu

c. Golongan situasional, yang mungkin bersikap pasif atau melakukan

tindakan-tindakan tertentu dengan melihat sistuasi yang ada.

Pendapat dari Soerjono Soekanto terkait dimensi interaksi sosial

dari golongan baik aktif, pasif dan situasional dapat dibuktikan dengan

interaksi yang terjadi antar seorang dengan orang lainnya, sebagai bukti

terjadinya “kehomoseksualitas-annya” tersebut. Karena jika kita tinjau dari

ilmu sosiologis homoseksual itu terjadi karena interaksi sosial dalam

lingkungan sekitarnya. Oleh karena itu terjadi ketertutupan dengan

identitasnya agar masyarakat umum tidak mengetahui. Melalui studi ini

diharapkan dapat menyikapi identitas homoseksual yang terbangun melalui

59

konstruk diri seorang lesbian dan interaksinya dengan sesams kelompoknya

serta lingkungan sosialnya.

Menurut Agustina (2005) dalam buku Semua tentang lesbian ada

dua terminologi yang sering dihubungkan dengan menjadi seorang lesbian

yaitu:

1. Buch adalah merupakan pasangan yang dominan dalam interaksi

seksualnya. Butch lebih popular dengan istilah butchy yang mempunyai

stereotype..

Ada dua tipe Butch yaitu:

1) Soft Butch menggambarkan orang yang penampilannya lebih feminim

dalam cara berpakaian dan gaya potongan rambutnya. Secara fisik

tidak terkesan bahwa mereka adalah pribadi yang perkasa atau tangguh.

2) Stone Butch menggambarkan orang yang tampilannya lebih maskulin

dalam cara berpakaian maupun potongan rambutnya.

Cirinya selalu berpakaian laki-laki, terkadang membebat dadanya agar

terlihat lebih rata dan menggunakan sesuatu didalam pakaian dalamnya

sehingga menciptakan kesan lelaki. Butch berpakaian maskulin

seringkali lebih berperan sebagai seorang “laki-laki” baik dalam suatu

interaksi dengan pasangannya, maupun saat berhubungan seks.

2. Femme melakukan peran sebagai “feminin” dalam suatu interaksi yang

dilakukan dengan pasangannya, Femme yang berpakaian “feminin” selalu

60

digambarkan mempunyai rambut panjang dan berpakaian seperti

perempuan. Femme mempunyai stereotype sebangai pasangan yang pasif

dan sifatnya hanya menunggu atau menerima saja.

Menurut Plummer, para ahli interaksionis juga melihat

homoseksualitas sebagai proses, lalu disesuaikan pada sebuah bagian

“produk” yang belum selesai dan sempurna. Atau dengan kata lain, akan

terus berkembang dan dinamis. Oleh sebab itu, homoseksual dipandang

sebagai peran (yang dimainkan), dimana peran tersebut tidak terlihat

polanya ketika mereka berada di lingkugan homoseksual, tetapi pola

tersebut akan terlihat dalam kehidupan sehari-hari ketika berada di

lingkungan masyarakat. Konsep peran sendiri lebih elastis, sehingga dapat

diadopsi atau dibuang, dapat didekatkan atau dijauhkan atau juga bisa

sebagai perubahan (Plummer 1996:66)

Plummer juga menjelaskan bahwa kekhawatiran awal dari proses menjadi

homoseksual terletak pada orang-orang yang pertama kali sadar dan setengah

sadar saat seorang individu melihat dirinya berpotensi menjadi homoseksual.

Dalam bahasan ini, Plummer menyebutnya sebagai “sensitization”. Tidak dapar

dilihat secara otomatis bahwa seseorang itu homoseksual, tetapi harus dianalisis

situasi sosialnya dan gaya interaksinya, yang membawa individu ini untuk

membangun rangkaian tertentu dari makna seksual, sebuah identitas seksual

tertentu. Sumber potensi untuk mengidentifikasi homoseksual dapat dilihat dari

seseorang yang membangun ikatan emosional yang kuat dengan sesame jenis,

menghabiskan waktu untuk melamun seks dirinya secara erotis, dan sebagainya.

Kemudian seorang individu juga dapat menjadi tertarik dengan objek yang

61

berorientasi kepada perempuan, sehingga menjadi symbol bahwa dirinya adalah

lesbian.

Lebel atau cap dari orang tua, guru, dan bahkan teman sepermainan memiliki

konsekuensi nyata terhadap konsep diri seorang individu. Misalnya, ketika

seorang anak dikatakan “tidak seperti anak lainnya”, akan berpengaruh kepada

konsep dirinya. Tidak hanya memunculkan gagasan menjadi “queer”. Tetapi juga

stereotip. Pada akhirnya, sumber untuk menginterpretasi diri sebagai lesbian

sangatlah banyak dan bervariasi, dan dapat muncul pada banyak titik dalam

sejarah kehidupan indivu tersebut. Dari sebuah kepekan awal, pengalaman yang

kecil akan menjadi semakin tinggi dan signifikan. (Plummer 1996: 68-72)

Sensitization berakhir dan muncullah signification dan disorientation.

Signifikansi yaitu ketika seorang individu menyadari dirinya lesbian, Ia menerima

dirinya sebagai lesbian dan berani untuk coming out. Kemudian disorientasi, yaitu

ketika seorang individu menyadari dirinya adalah lesbian, yang muncul justru

kebingungan dan gugup. Faktor dari signifikansi dan disorientasi, bukan hanya

dikarenakan faktor personal, namun lebih kepada struktur sosial. Dua elemen

positif dan negatife dari reaksi sosial terhadap lesbian berdampak pada munculnya

berbagai bentuk masalah dan konsekuensi dari pengalaman lesbian. Pada sisi

negative, hal ini akan membawa kepada masalah yang terkait dengan kerahasiaan,

rasa bersalah, dan akses. Sedangkan pada sisi positif, pentingnya untuk mengikat

ke peran gender dan privatisasi umum yang melingkupi seksualitas akan

membawa pada masalah-masalah dari identitas dan kesendirian. Kesendirian ini

62

muncul ketika seseorang menjaga kerahasiaan tentang lesbiannya, namun ketika

individu tersebut bertemu dengan orang lain yang orientasi seksualnya sama, Ia

kemudian memiliki tempat untuk berbagi (sharing) mengenai ke-lesbiannya dan

itu yang disebut sebagai privatusasi umum. Dan pada akhirnya mereka

membentuk kelompok yang suportif.

Kemudian, ada 3 (tiga) masalah yang dapat diidentifikasi sebagai masalah

krusial menurut Plummer. Pertama, masalah akses: bagaimana untuk

menyingkirkan kesendirian dari pengalaman-pengalaman awal, menemukan

pasangan sosial dan seksual, dan teman yang mau berbicara tentang

homoseksualitas. Kedua, masalah rasa bersalah: bagaimana mengatasi keraguan

dan rasa gugup, rasa bersalah dan rasa takut yang dilami oleh individu sebagai

konsekuensi dari mengetahui lesbian sebagai penyimpangan. Ketiga, masalah

identitas: bagaimana cara mengubah sebuah gambaran diri yang memuskan dan

kesadaran mengenai identitas. Jika ketiga masalah ini tidak diselesaikan, maka

yang akan muncul adalah meningkatnya disorientasi dan meningkatnya

signifikansi dari pengalaman, dan bagi banyaknya lesbian, masalah ini akan ada

dalam jangka waktu yang lama, bahkan seumur hidup. Jika seorang lesbian

merasakan signifikansi, mereka biasanya mulai berani untuk coming out. Dalam

konteks lesbian, coming out merujuk pada proses identifikasi seseorang sebagai

lesbian. Plummer menggunakan kata coming out sebagai proses dari bagaimana

individu melewati pengalaman-pengalaman yang telah disebutkan di atas, dan

terlahir kembali sebagai aspek-aspek yang terorganisir dari komunitas lesbian.

(Plummer 1996 72-81)

63

Pada kesimpulannya, homoseksual merupakan suatu peran (yang dimainkan).

Peranan ini tidak terlihat polanya ketika berada di lingkungan lesbian, namun

akan terlihat ketika berada di lingkungan masyarakat umum yang memiliki

orientasi seksual yang berbeda. Dan lesbian juga merupakan proses yang dialami

seseorang, bukan hanya dari dalam dirinya sendiri, namun juga dipengaruhi oleh

situasi sosial. Pada akhirnya, seorang individu lesbian akan memilih untuk coming

out dari hadapan masyarakat atau tetap merahasiakan keberadaanya dalam

masyarakat.

64

BAB III

INTERAKSI SOSIAL KAUM LESBIAN

Dari data yang saya temukan berdasarakn metode wawancara dan penelitian

terhadap informan yang saya temui. Saya mendapatkan data-data menarik untuk

saya analisa dalam kerangka teori yang saya sudah jelaskan di atas.

A. Faktor Sosial Menjadi Lesbian

1. Keluarga

Secara sosiologis, faktor-faktor menjadi lesbian muncul dari orang-orang sekitar.

Salah satunya adalah keluarga sebagai agen utama sosialisasi sangat penting dalam

proses pembentukan karakter seseorang. Peneliti melihat adanya pengaruh keluarga

terhadap orientasi seksual para informan lesbian, diantaranya adalah B, Y, N, X dan S

memiliki latar belakang keluarga yang kurang harmonis dan kurangnya interaksi

dengan keluarga. Sedangkan X merasa kehidupan keluarganya yang kurang

menyenangkan dengan orang tuanya menyebabkan interaksi sosial mereka kurang

terbangun.

Keluarga merupakan agen sosial yang paling utama, oleh karenanya,

keluarga sangat berpengaruh dalam membentuk perkembangan individu sejak

kecil hingga dewasa. Nilai, norma, aturan, kebiasaan, maupun disiplin

sebagian besar ditanamkan dalam lingkungan keluarga. Bahkan pembelajaran

peran gender melalui faktor sosial melibatkan seperti keluarga dan media

(Jahar et al. 2010:56)

65

Oleh karena itu peran orang tua sangat penting untuk membekali anaknya

tentang nilai dan norma yang berlaku, interaksi yang dilakukan antara orang tua

dengan anak atau sesama anggota keluarga menjadi penting untuk diperhatikan,

peneliti menganggap bahwa kurangnya interaksi orang tua dengan informan, membuat

para lesbian ini tidak memiliki figure yang dijadikan panutan sehingga kehilangan arah

untuk berperilaku yang sesuai dengan harapan masyarakat.

Faktor keluarga merupakan penentu dalam keberhasilan dari seseorang

mendidik anaknya agar dapat diterima dimasyarakat dengan prilaku yang baik. Jika

seorang anak mengalami kekerasan di lingkungan keluarganya, maka hal tersebut bisa

menjadi salah satu factor yang menyebabkan dia menjadi LGBT. Seperti contoh,

seorang anak perempuan yang mendapatkan perlakuan kasar dari ayah atau saudara

laki-lakinya akan berpikir untuk membenci sosok lawan jenisnya, yang hasilnya dia

akan memilih untuk hidup sebagai LGBT karena pengalaman hidup yang tidak

mengenakkan. Oleh sebab itulah, peranan di dalam keluarga sangat penting.

Kehangatan dan keharmonisan keluarga akan mendorong anak untuk tumbuh normal

dan wajar. Selain itu, jika kedua orang tua memberikan pendidikan agama dan moral

yang baik, hal ini akan membentengi seseorang untuk menyimpang menjadi LGBT.

2. Lingkungan Sosial Baru

Setelah keluarga, seorang individu kemudian bersosialisasi dengan

lingkungan sosialnya seperti teman atau masyarakat. Dari hasil wawancara

terhadap informan, faktor lain yang membuat seseorang menjadi lesbian

adalah teman sepermainan (peer group). B tidak terbuka kepada orang lain

66

mengenai identitasnya pada saat itu tetapi media sosial menjadi tempat

awal ia menemukan teman kencan pertamanya (seorang perempuan).

Hingga suatu ketika bertemu teman kencannya dan intensitas pertemuan

mereka membuat B merasa lebih yakin akan identitasnya (Lesbian). B pun

nyaman dengan lingkungan sosialnya yang baru yang ia anggap bahwa

teman-temannya yang lesbian maupun heteroseksual, dapat menerima

keberadaan B. “awalnya gue binggung mau cerita ke siapa, dan akhirnya

gue cari-cari di media sosial, aplikasi chatingan gitu ternyata ada. Buat

gue cari temen sesame (lesbian) dan akhirnya gue punya temen-temen

sepermainan didunia nyata juga.” (Wawancara pribadi dengan B, Tanggal

18 September 2018)

Y dan N juga mengalami yang serupa. Walaupun Y cenderung kurang

pergaulan dan N takut untuk mengakui dirinya sebagai lesbian, lingkungan

sosial membawa mereka menjadi seorang yang percaya diri dan semakin

menguatkan identitasnya. Tepatnya ketika duduk dibangku kuliah, Y

berteman dengan seorang perempuan yang dianggap berbeda dengan

teman perempuan lainnya. Perhatian yang besar dan khusus terhadap Y,

membuat ia merasa menemukan teman lesbian sehingga memengaruhi

dirinya untuk membentuk identitas sebagai lesbian. Berbeda dengan N

yang mempunyai beberapa teman lesbian dan akhirnya N menjalin

hubungan dengan salah satu teman lesbiannya tersebut (Wawancara

pribadi dengan Y dan N, Jakarta Selatan 08 dan 23 Oktober 2018)

67

Kemudian X dan S, yang mempunyai latar belakang sama yaitu kurang

harmonisnya keluarga yang mengakibatkan X dan S mencari perhatian

diluar lingkungan keluar, yaitu lingkungan pertemanan. Dari situlah

kemudian mereka memilih untuk bermain dan bersosialisasi dengan teman-

teman perempuan. Semakin dewasa, hal tersebut berpengaruh kepada X

dan S (Wawancara pribadi dengan X dan S, Jakarta Selatan dan Timur 5

dan 16 November 2018)

Faktor lingkungan bisa menjadi faktor pemicu terjadinya LGBT,

sebagai akibat salah pergaulan dalam berteman, maka sudah selayaknya

kita harus memilih teman yang tepat dan memiliki prilaku yang baik dalam

bergaul. Jika berteman dengan seorang LGBT ada kemungkinan ikut

sebagai anggota LGBT yang disebabkan pengaruh teman. Jadi lingkungan

dan kebiasaan dalam masyarakat dapat mencadi factor pemicu yang

banyak terjadi di masyaraakat Jakarta. Pengaruh budaya yang dating dari

Dunia Barat juga dapat menjadi penyebab penyimpangan prilaku.

Penulis dalam mencari dan menggali informasi tentang data dan

informasi kaum homoseksual, maka dilakukan wawancara untuk mendapat

informasi yang lengkap tentang seseorang yang mengetahui dan dapat

memberikan informasi, dalam melakukan wawancara penulis

menggunakan pendekatan secara pribadi agar narasumber tersebut dapat

menjelaskan tentang kehidupan para lesbian secara terbuka. Dalam

pendekatan tersebut penulis melakukan secara selektif orang atau

68

narasumber yang diajak berbicara karena hal yang dibicaraakan sangat

sensitive/masalah pribadi (tentang homoseksual).

Penulis dalam mengali informasi menempatkan diri dengan melakukan

strategi yang saling menghormati agar tidak terjadi kesalah pahaman dari

pelaku lesbian, sehingga informasi yang diinginkan dapat disampaikan

oleh narasumber yang dapat dipercaya informasinya.

Kegelisahan dan kegalauan yang terdapat pada pelaku lesbian membuat

seorang pelaku mencari jalan untuk dapat diakui dan diterima dalam

masyarakat dengan cara memanfaatkan jejaring homoseksual melalui

media sosial, karena melalui jeraring tersebut akan terhubung dengan para

pelaku yang sudah terlebih dahulu terjun ke kegiatan homoseksual, dan

memanfaatkan jejaring lembaga swadaya masyarakat (LSM).

“awalnya saya sangat merasa takut kenapa saya lebih tertarik

pada sesama perempuan dari pada laki-laki sampai akhirnya mencoba

mencari tahu dengan browsing di internet. Saat saya menemukan social

network para lesbian, saya mencoba mengikutinya dan sampai akhirnya

saya merasa memang disitulah dunia saya. Perasaan saya waktu itu

campur aduk, saya merasa lega dan saya senang meskipun awalnya saya

agak malu dan takut.” (Wawancara pribadi dengan B, Jakarta Selatan 18

September 2018)

Kisah „B‟, Seorang yang mengalami keunikan menyukai sesama jenis,

dialami dan dirasakan ada keresahan, ketakutan dan kebimbangan yang

terjadi sejak dari kecil, dengan pengalaman pertama yang terjadi melalui

jejaring media sosial yang tersedia dan mudah diakses oleh siapa saja.

“pertama-tama saya merasa resah dan takut, ketika saya sadar

saya tidak tertarik pada laki-laki, saya mencoba menceritakan pada

teman baik saya dan akhirnya saya memutuskan untuk menjadi lesbian.

Perasaan itu pada awalnya mengganggu karena saya tidak percaya pada

69

perasaan saya ini. Saya merasa saya salah tapi saya tetap memilih

menjadi lesbian dan memang saya merasa nyaman ketika saya menjalin

hubungan dengan perempuan” (Wawancara pribadi dengan Y, Jakarta

Selatan 08 Oktober 2018)

Proses awal „Y‟, menyampaikan informasi tentang keresahan dan

kegelisahan pada seorang teman baik, yang akhirnya memutuskan untuk

menjadi seorang homoseksual. Keputusan yang diambil oleh „Y‟ untuk

menjadi seorang lesbian disadari dan dipahami merupakan hal yang sulit

menjadi npilihannya. Awalnya hal tersebut mengganggu tapi terasa sebagai

hal yang dilakukan.

“dulu saya kurang mengerti apa itu homoseksual, saat itu saya

merasa saya lebih tertarik pada perempuan. Saya sadar saya memiliki

kecenderungan tertarik pada perempuan namun saya takut untuk

memulai semuanya sampai akhirnya saya bertemu dengan teman lama

saya yang mana dia adalah lesbian sampai akhirnya saya bisa mengenal

dunia lesbian sampai sekarang ini”. (Wawancara pribadi dengan N,

Jakarta Selatan 23 Oktober 2018)

Pelaku „N‟, Ketakutan dan malu mengakui sebagai kecenderungan

pelaku homoseksual dirasakan tapi takut untuk mengakuinya. Pada saat

ketemu seorang teman lama yang sebagai pelaku lesbian yang

memperkenalkannya tentang lesbian dan memutuskan untuk ikut sebagai

lesbian.

“dulu saya pernah sakit hati terhadap laki-laki tapi saya juga

tidak menyangka akan menjadi lesbian seperti sekarang. Awalnya saya

memang ingin mencoba menjadi lesbian dengan berkencan dengan

perempuan, saya merasa takut dan aneh namun saya tidak bisa

membohongi perasaan saya sendiri, saya memang lebih tertarik pada

perempuan” (Wawancara pribadi dengan X, Jakarta Selatan 5

November 2018)

70

Dalam sebuah kasus kekecewaan yang dialami oleh seseorang dapat

juga membuat seseorang menjadi lesbian, hal ini karena merasa takut dan

binggung. Hal lain bisa juga mengakibatkan seseorang berpaling dan

berhubungan dengan lawan jenis sebagai pengalaman dan sebagai

pembanding. Namun juga merasa nyaman jika berhubungan dengan

sesama jenis dan tetap memilih menjadi lesbian.

“saya hampir tidak percaya pada perasaan saya sendiri waktu itu

saya merasa saya salah. Dulu saya bingung dan tidak mengerti apa

yang harus saya lakukan sampai suatu hari saya bertemu dengan

perempuan yang homoseksual dan kami berkencan. Saya berfikir

semua laki-laki sama saja keras kepala, kasar dan akhirnya membuat

saya jera untuk menjalin hubungan dengan laki-laki lagi. Mulai dari

situah saya membuang rasa takut dan memulai menjadi lesbian.”

(Wawancara pribadi dengan S, Jakarta Timur 16 September 2018)

Pengalaman merasa ketakutan dan bingung dapat berakibat seseorang

melakukan sesuatu yang diluar dugaannya, dan mengikuti apa yang

dijadikan contoh dalam hidupnya. Hal ini bias terjadi kaena perkenalan

yang diluar kesegajaan dan merasa nyaman sehingga melakukan apa yang

dilakukan kenalannya tersebut. Hubungan in-group antar lesbian memiliki

keterkaitan. Karena Hubungan antar lesbian mengalami permasalahan

apabila dalam group ada yang menjadi korban maka yang lainnya akan

merasakan hal ini karena rasa kebersamaan yang kuat dan terbentuk dalam

diri mereka mereka selalu saling tolong menolong.

71

B. Pola Interaksi Sosial Kaum Lesbian

1. Antara Lesbian dengan Lesbian

Kaum lesbian seperti masyarakt umumnya mempunyai istilah-istilah

tersendiri dalam percakapan, atau bisa disebut bahasa gaul. Bahasa ini

umumnya mereka pakai ketika mereka sendiri beridentitas sebagai lesbian,

atau ketika bertemu dengan kaum lesbian lainnya.

Lesbian melakukan aktifitas diri seperti pada umumnya/biasanya. Sebagai

symbol lesbian yang ada pada mereka tidak mereka perlihatkan kepada umum

akan identitas mereka sebagai lesbian, namun kaum lesbian melakukan

kegiatan apa yang mereka inginkan, dengan menjaga kerahasiaan agar tidak

diketahui oleh masyarakat banyak.

„N‟menyampaikan bahwa ia melakukan apa yang ia inginkan, penampilan

yang ada mengambarkan identitas pelaku lesbian, pelaku lesbian sering

berbusana layaknya seorang laki-laki, hal ini diperlihatkan sebagai bentuk

identitas diri sehingga penilaian dari banyak orang mengambarkan seperti yang

diharapkan, tetapi tidak “diri” sebagai harapan banyak orang

“gue percaya apa yang gue dan lo pake adalah ekspresi dan ketika gue jadi

lesbi dan lo gay, yaudah gak apa-apa… gue cewe dan rambut gue pendek dan gue

lebih nyaman pake pakaian kaya laki-laki. Gue hanya mengekspresikan diri gue,

biarkan orang menilai gue tapi gue seperti apa yang gue mau.” (Wawancara

pribadi dengan N, Jakarta Selatan 23 November 2018)

72

Menurut penulis, Plummer berpendapat bahwa „N‟ telah mengakhiri

sesuatu sensitization dan mengawali sesuatu yang signification sebagai lesbian,

serta mengambil langkah untuk coming out.

Apabila lingkungan keluarg dilakukan di belakang pangung dan di depan

pangung oleh pelaku lesbian sebagai pemberi informasi atau narasumber

pasangan terdekat dengan menampakkan identitas sebagai lesbian. Maka

belakang pangung (backstage) merupakan lingkungan personal para lesbian

karena para pengamat (observer) tidak mengetahui aktifitas yang dilakukan

pelaku lesbian, dan identitasnya hanya diketahui oleh orang terdekat.

Penulis meng identifikasi sebagai pasangan belakang pangung (backstage)

atas pengakuan yang dilakukan berpasangan sebagaimana yang diatur. Di

depan umum pelaku lesbian melakukan aktifitas seperti yang dilakukan

(setting) oleh perempuan pada umunya, begitu juga dengan lawan jenis mereka

lakukan selayaknya orang pada umumnya di depan lingkungan masyaraakat.

2. Antara Lesbian dengan Masyarakat

Dalam kehidupan lesbian khususnya di dalam lingkup masyarakat, mereka

sangat tertutup dengan identitasnya, dikarenakan label abnormal yang

dialamatkan kepada mereka. Kehidupannya sebagai seorang lesbian dibuat

sedemikian rupa agar terlihat seperti perempuan ‟normal‟ pada umumnya.

Bahkan tak segan mereka mencoba untuk berpacaran dengan lawan jenis agar

identitasnya tidak diketahui oleh orang tuanya, saudara-saudaranya dan

73

masyarakat . Apa yang dialami kaum lesbian ini, memang sudah lumrah di

kalangan lesbian di mana pun, hanya ada sebagian kecil lesbian yang berani

mengakui kepada keluarganya tentang orientasi seksualnya. Ada beberapa

kasus pertentangan yang terjadi pada kaum lesbian. Pertentangan tersebut tidak

hanya datang dari anggota masyarakat, tetapi juga kebijakan pemerintah yang

dianggap tidak seimbang oleh kaum lesbian. Banyaknya pertentangan yang

dialami oleh kaum lesbian, menjadikan mereka semakin terdiskriminasi dan

termarginalkan. Begitu pula dengan para informan lesbian, yang juga

merasakan.

Alasan para informan lesbian ini memainkan peran yang berbeda dengan

karakter asli adalah karena diskriminasi yang kerap dialami oleh mereka.

Banyak lesbian yang menghindari mengungkap identitas seksual mereka

karena takut akan penolakan atau mempertegang interaksi mereka dan

mengenai stereotipe tentang identitas seksual akan mengubah hubungan yang

telah mereka bangun. Oetomo mengatakan bahwa sebagai kaum marginal

(terpinggir) kaum lesbian seringkali merasakan ketertindasan dan perlakuan

tidak adil dari masyarakat pada umumnya. Penindasan itu pun terkadang

dilakukan secara halus (Oetomo 2001:129)

Pada umumnya, seorang lesbian cenderung membuat jarak dengan

lingkungannya. Hal ini, sangat erat kaitannya dengan sikap masyarakat, yang

pada umumnya belum dapat menerima keberadaan lesbian. Untuk

menghilangkan rasa cemas, takut terhadap tekanan dari lingkungan, maka

mereka membuat kelompok atau atau komunitas sendiri agar eksistensi mereka

74

tetap ada. Oleh karena itu kelompok atau komunitas lesbian sendiri memiliki

sifat yang heterogen, mereka pun membentuk kelompok-kelompok terttentu

(kelompok kecil).

Di dalam lingkungan masyarakat yang lebih luas, mereka berusaha sedapat

mungkin menyesuaikan dirinya. Mereka berusaha menyesuaikan diri dengan

norma-norma, nilai-nilai dan tuntutan-tuntutan masyarakat, sehingga mereka

dapat diterima dalam lingkungan tersebut.

Hubungan antara lesbian dengan masyarakat yang ada dipererat dengan

adanya kegiatan-kegiatan sosial masyarakat, seperti bersih-bersih lingkungan,

lomba-lomba dalam memperingati hari kemerdekaan.

“saya kalo dilingkungan masyarakat deket rumah biasanya ikut

bantu-bantu kerja bakti di posyandu, atau rumah ibu-ibu gitu. Kaya hari

kemerdekaan saya jadi panitia juga supaya bisa berbaur sama masyarakat.

Ya pokoknya saya kalo didepan masyarakat seperti saya (perempuan

tulen)” (Wawancara pribadi dengan Y, Jakarta Selatan 08 Oktober 2018)

Y memainkan peran fronstage karena Y tidak ingin menunjukkan

identitasnya sebagai seorang lesbian di lingkungan masyarakat tempat

tinggalnya. Karena menurut N identitasnya sebagai seorang lesbian tidak perlu

di ketahui oleh banyak orang, cukup teman sepermainannya sesama kaum

lesbian Y tidak mau hal-hal yang tidak diinginkan terjadi jika masyarakat

sekitar rumahnya mengetahui identitas aslinya sebagai seorang lesbian.

Pelaku „N‟ merupakaan pemain perilaku sesuai kondisi yang ada berbeda

atau tidak sama dengan empat pemberi informasi atau narasumber lainnya,

pelaku „B‟ menyampaikan bahwa sebagi seorang lesbian, ia melakukan sesuatu

75

layaknya sebagai perempuan pada umumnya. Hal ini juga diperlihatkan pelaku

pada saat berada pada lingkungan masyarakat umum. Penulis memperhatikan

adanya upaya pencitraan oleh „B‟ agar terlihat seperti sesuai dengan budaya

yang ada. Pada pelaku „S‟ juga memperlihatkan seperti perempuan pada

umumnya di lingkungan yang baru, mereka beranggapan bahwa tidak perlu

diketahui oleh masyarakat apa pilihan seknya, hanya dilingkungan kampus

yang harus menjadi perhatian.

Disampaikan „S‟ bahwa “buat dilingkungan baru, mereka engga perlu tau

apa orientasi seksual gue dan bodo amatla gue males mikirin mereka , kalo

mereka engga bisa nerima gue yaudah” (Hasil wawancara yang dilakukan

dengan B dan S, Jakarta Selatan 2018)

Umumnya pemberi informasi atau narasumber terkait lesbian melakukan

peran seperti perempuan pada umumnya. Sebagai orang yang hubungan tidak

akrab tidak mengetahui identias pelaku lesbian. karena pelaku berpenampilan

selayaknya seperti perempuan pada umumnya. Y, S, dan N mengaku ada

beberapa teman kampus yang dekat mengetahui identitas mereka, selain teman

karena mereka sama-sama beridentitas lesbian. X dan B sama sekali tertutup

dengan lingkungan kampusnya, seperti X lebih terbuka dengan teman-teman

komunitas dan B lebih terbuka dengan dunia maya untuk mencari jawaban atas

pertanyaan B selama ini dan tidak lupa untuk mencari pasangan. Menurut X

jika masyarakat tidak bisa menerima, mereka (lesbian) masih punya

orangorang yang mau menerima mereka (lesbian) apa adanya.

76

C. Impression Managemen yang dilakukan kaum lesbian

Pengelolaan kesan yang dilakukan kaum lesbian meliputi manipulasi

simbol-simbol, seperti cara berpakaian, gaya bahasa, serta sikap dan perilaku

yang meliputi lingkup lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat dan

lingkungan lesbian. Mulai dari bagaimana cara kaum lesbian bersikap ketika

berinteraksi dengan rekan-rekannya baik ketika berada di tempat kerja maupun

diluar tempat kerja. Selain itu, seorang lesbian membatasi sikap mereka ketika

berada di panggung depan. Hal ini, bertujuan untuk menutupi diri mereka

sendiri.

Pengelolaan yang dilakukan terhadap aspek penampilan dilakukan guna

mengantisipasi terjadinya interaksi tatap muka secara langsung dengan

penonton. Kaum lesbian menampilkan identitas dirinya di panggung depan

dengan perencanaan dan pengelolaan yang mencakup sikap dan perilaku yang

mengharapkan penilaian yang serupa dengan apa yang diinginkan. Menjalani

peran sebagai kaum lesbian dengan baik menjadi salah satu bentuk pengelolaan

kesan diri yang diupayakan dan dikelola sedemikian rupa oleh kaum lesbian.

Penggunaan bahasa yang mereka ucapkan ketika berinteraksi dengan teman-

teman mereka yang sesama lesbian tetap menggunakan bahasa komunikasi

Indonesia biasa. Tetapi, biasanya diantara sesama lesbian mereka dapat

menebak siapa saja orang yang sama seperti dirinya yaitu lesbian. Karena dalam

istilah mereka terdapat lesbian radar, yaitu merupakan sebuah insting tersendiri

yang dimiliki masing-masing individu.

77

Kaum lesbian berusaha untuk menyembunyikan perilaku

homoseksualnya atau lesbian dari lingkungannya. Dari lima informan, tiga

informan ini berpenampilan layaknya perempuan pada umumnya. Sedangkan

dua informan seperti laki-laki. Cara berpakaian informan lebih memakai baju

kemeja, kaos oblong, dan celana pendek. Penampilan cara duduk dari kaum

lesbian, biasanya menyimpan paha kirinya di atas paha kanan, seraya

menggerak-gerakkan telapak kakinya, dengan menggunakan manner untuk

memberi kesan tertentu.

Seperti halnya B informan yang senantiasa mengelola kesannya pada

saat dirumah, dengan membatasi gaya berbicara, atau body language dan

ekspresi yang tidak seperti laki-laki pada saat berinteraksi dengan anggota

keluarganya. Hal ini dilakukan supaya keluarganya, yaitu orang tua, kakak, dan

adiknya tetap tidak mengetahui akan jati dirinya yang sebenarnya sebagai

lesbian. Penuh kehati-hatian untuk mengelola informasi di lingkungan keluarga

dan masyarakat. Dalam panggung depan kaum lesbian akan menampilkan

manajemen kesan idela dirinya yang sekiranya bisa diterima. Kaum lesbian

pandai menyembunyikan perilaku sehingga tidak nampak berbeda dari

perempuan ketika berada di lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat

berinteraksinya.

Dalam kehidupan realitanya, untuk mendapatkan penilaian yang baik

dari orang lain mengenai dirinya saat berinteraksi. Banyak hal yang harus

dipersiapkan yang berhubungan dengan image dirinya. Baik dari segi fisik

maupun non fisik. Sebagai mahkluk sosial, hampir setiap waktu yang dimiliki

78

manusia digunakan untuk berinteraksi dengan orang lain. Akan tetapi, interaksi

itu dapat dikatakan berhasil (efektif) jika mereka berinteraksi memili

pemahaman, pemikiran, dan penilaian yang sama dengan komunikasinya.

Namun, itulah yang dirasakan oleh kaum lesbian. Kaum lesbian harus

menyiapkan banyak hal, seperti menciptakan kesan yang baik, bagaimana

terlihat perempuan pada umumnya. Kaum lesbian tentu saja tidak ingin

dipandang rendah oleh orang lain, apalagi diketahui kelemahannya.

79

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

Dari hasil penjelasan dan pembahasan dalam skripsi ini maka penulis dapat

menyampaikan kesimpulan dan saran sebagai berikut:

A. Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang telah dijelaskan di atas dapat menyimpulkan,

mengenai konstruksi identitas dalam dramaturgi kelompok lesbian, seperti di

bawah ini:

1. Identitas diri (self) atas seorang individu lesbian dibentuk dengan

melakukan hubungan sosial dalam masyarakat atau dengan sesama

lesbian. .

2. Faktor sosiologis dapat mempengaruhi kaum lesbian menjadi

lesbian yakni institusi keluarga ditambah lingkungan sosial.

3. Hasil analisis menurut Erving Goffman, konsep dramaturgi adalah

interaksi yang dilakukan kaum lesbian dalam berinteraksi

melakukan aktifitas. Anggota kelompok sebagai pengamat dari sisi

fronstage, dan dari pasangan lesbian dari sisi backstage, lesbian

berpasangan, dan memperlihatkan karakter asli sebagai lesbian.

4. Frontstage menjadi panggung kaum lesbian dalam berinteraksi

dengan peran sebagai perempuan dalam kebiasaan seksual dengan

80

orang yang berbeda jenis kelamin atau disebut juga dengan

heteroseksual, kebiasaan yang dialkukan secara tertutup atau

rahasia oleh kaum lesbian disebut juga dengan backstage, peran

dan aktifitas dilakukan oleh kaum lesbian dengan cara tertutup

tidak diketahui oleh kelompok lain.

5. Kaum lesbian memiliki peran di depan pangung dengan tujuan

untuk menyembunyikan statusnya sebagai lesbian dan menghindari

diskriminasi yang dilakukan terhadap kaum lesbian.

6. Dalam hasil penelitian ini kaum lesbian hanya satu yaitu yang

tergabung dalam komunitas lesbian, dalam sehari-hari kaum lesbian

tidak merasa dirinya perlu bersama dalam komunitas tertentu dan

melakukan interaksi dalam kelompok yang kecil.

7. Hasil penelitian ini memiliki keunikan karena terdapat 3 dari 5

orang informan lesbian yang diteliti, sudah diketahui identitasnya

oleh keluarga. Keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat dan

keluarga agen sosial pertama yang mengajarkan dan memberitahu

kita sebelum keluar masyarakat.

B. Saran

Dalam sebuah penelitian, seorang penulis harus mampu memberikan suatu

masukan berupa saran-saran yang bermanfaat bagi semua pihak yang berkaitan

dengan penelitian ini, Adapun saran-saran yang dapat penulis sampaikan dari

penelitin ini diantaranya:

81

1. Untuk melakukan penelitian mengenai lesbian memerlukan pendekatan yang

baik disebabkan karakter sensitive dan informan yang terkadang susah untuk

mengetahui informasi yang diperlukan karena dianggap pribadi.

2. Pada saat penelitian jangan membuat informan merasa tidak nyaman karena

akan menimbulkan sikap tertutup ketika berada pada suasana wawancara.

3. Untuk memperjelas data yang diperoleh, disarankan untuk lebih membaca

refrensi-refrensi dari berbagai literature baik buku dalam negeri maupun luar

negeri sebagai tambahan yang lebih luas dan mendalam.

82

DAFTAR PUSTKA

Agustina dkk, 2005. Semua Tentang Lesbian. Jakarta : Ardhanary Institute.

Akbar, Setiawan P dan Usman H. (1995). Metodologi penelitian Sosial. Jakarta: PT. Bumi

Aksara

Azizah, Sari N. 2013. “Konsep Diri Homoseksual Di Kalangan Mahasiswa Di Kota Semarang

(Studi Kasus Mahasiswa Homoseksual di Kawasan Simpanglima Semarang).” Journal of Non

Formal Education and Community Empowerment 39-45

Ben-Ari, A 2001, February. Homosexuality and heterosexism: Views from academics in the

helping professions. The British Journal of Social Work, 31(1), 119-131.

Budiartym Astry. 2011. Gaya Hidup Lesbian (Studi Kasus di Kota Makassar). Skripsi: Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, jurusan Sosiologi, Universitas Hasanudin Makassar

Creswell, John W. 2007. Qualitative Inquiry Research Design: Choosing Among Five

Approaches. California: SAGE Publications.

Dede Oetomo. Memberi Suara Pada Yang Bisu. Galang Press. Yogyakarta: 2001 Marching

Blackwood dkk, 2013: xxvi-xxv

Dzulkarnain, Iskandar. 2006. Perilaku Homoseksual di Pondok Pesantren. Tesis; Program

Pascasarjana Jurusan Sosiologi, Universitas Gajah Mada. Yogyakarta

Ellis, S.J., Kitzinger, C., & Wilkinson, S. 2003. Attitudes towards lesbians and gay men and

support for lesbian and gay human rights among psychology students. Journal of Homosexuality.

Goffman, Evring. 1959. The Presentation of Self in Everyday Life. London: Penguin Books.

Gottschalk, L. 2008. Coming out and living as lesbians and day men in regional and rural areas.

School of Business, University of Ballarat

Haryanto Sindung. 2012. Spektrum Teori Sosiologi Dari Klasik Hingga Posmodern. Ar-Ruzz

Media. Yogyakarta.

83

Kartono, Kartini. 1989. Psikologi Abnormal dan abnormalisasi Seksual. Bandung: CV Mandar

Maju

Kerns, J. G., Fine, M. 1994. The relation between gender and negative attitudes towards gay

men and lesbians: Do gender role attitudes mediate this relation. Sex Roles.

Kingsley Davis, 1976. “Sexal Behavior”, Contemporary Social Problems, Ed. Robert K. Merton,

Harcourt Brace Inc.

Kring, A.M., Johnson, S.L., Davison, G.C., & Neale, J.M. 2010. Abnormal Psychology. United

States of America: John Wiley & Sons, Inc. (Eleventh Edition)

Kristina, Shinstya 2013. “Informasi dan Homoseksual-Gay (Studi Etnometodologi Mengenai

Infromasi dan Gay pada Komunitas Gaya Nusantara Surabaya)” Jurnal Universitas Airlangga.

Marvasti, Amir B. 2004. Qualitative Reaserch in Sociology, an Introduction. Sage Publication.

London

Moleong, Lexy J. 2009. Metodologi Penelitian Kualitatif: PT: Remaja Rosdakarya. Bandung.

Neubeck, Kenneth J., Mary A. Neubeck, dan Davita S. Glasberg. 2007. Social Problems: A

Critical Approach. New Yourk: McGraw-Hill Companies.

Padaga, M dan M, E, Sawitri, 2005, Es Krim yang Sehat, Trubus Agrisarana, Surabaya

Plummer, Ken 1996. “Symbolic Interactionism and the Forms of Homosexuality” dalam Queer

Theory/Sociology, disunting oleh Steven Seidman. Cambridge, USA:Blackwell Publishers.

Rahardjo, W. 2007. Homophobia dan penolakan masyarakat serta hubungannya dengan

bicultural identity pada covert homoseksual. Jurnal Penelitian Psikologi,

Raho, Bernard. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prestasi Pustaka.

Santrock, J.W. 2003. Perkembangan Remaja. Penerjemah : Shinto Adelar. Jakarta : Erlangga.

Silalahi, Ulber. 2010. Metode Penelitian Sosial. Bandung: Refika Aditama

Soerjono, soekamto. 1990. Sosiologi suatu pengantar. PT. Grafindo Persada. Jakarta.

84

Supratiknya, 1995. Mengenal Perilaku Abnormal. Yogyakarta : Kanisius.

Susilandari, Endah. 2004. Konsep Diri Lesbian dan Strategi Penyesuaian Sosial Dalam

Komunitas Islam di Yogyakarta. Tesis: Program Pascasarjana Program Studi Kependudukan

Jurusan Antar Bidang, Universitas Gajah Mada.

Tarigan, Megawati. 2011. Komunikasi Interpersonal Kaum Lesbian di Kota Pontianak

Kalimantan Barat. Skripsi: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Komunikasi,

Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta.

W. Kusuma. 1997. Kedaruratan Psikiatrik Dalam Praktek. Profesional Books. Jakarta

Sumber Internet :

Bbc, Idahot 2015: Hak LGBT adalah hak asasi manus. Diakses 20 November 2017

(https://www.bbc.com/)

Hm Psikologi FK Unud, LGBT dari sudut pandang psikologis. Diakses 15 November

2017

(http://hmpsikologi.fkunud.com/lgbt-dari-sudut-pandang-psikologi/)

Pew Research center. 2013b, June. A survey of LGBT americans: Attitudes, experiences

and values in changing time. Diakses pada 20 Oktober 2018

(http://www.pewsocialtrends.org/2013/06/13/a-survey-of-lgbt-americans/)

Wibowo, S. 2015. MUI kelurahan fatwa hukum mati kaum homoseksual. Diakses pada 22

Oktober 2018

(http://m.tempo.co/read/news/2015/03/17/078650564/mui-keluarkan-fatwa-hukum-mati-

kaum-homoseksual/)

LAMPIRAN

LAMPIRAN

TRANSKIP WAWANCARA

Informan : B (22 Tahun)

Lokasi : Warung Kopi Tebet Dalam, Jakarta Selatan

Status : Mahasiswa

Tangga : 18 September 2018

NO. DIALOG

1. P: Sejak Kapan Anda Menjadi Seorang Lesbian ?

I : Aduh saya bawaan orok kali ya hehe, sejak SMA

P: Bagaimana perasaan anda menjadi seorang lesbian ?

I: Biasa aja, seneng-seneng aja

P: Apa yang menyebabkan anda menjadi seorang lesbian ?

I: engga tau kenapa, pokoknya dari kecil gue udah tertariknya sama cewe

P: Tergabung didalam komunitas dan dimana tempat berkumpulnya ?

I: gue engga gabung komunitas atau lsm-lsm gitu, kalo nongkrong ya

Cuma sama temen-temen aja

P: Apakah keluarga anda mengetahui anda seorang lesbian?

I: enggalah kalo dirumah gue cewe tulen haha

P: Berapa kali anda berganti pasangan ?

I: ada mungkin lebih dari 10 kali

P: Di mana tempat anda bertemu dengan pasangan anda?

I: engga nentu, kadang tempat nongkrong, kadang di kenalin temen

P: Apa yang anda pikirkan mengenai laki-laki?

I: gue pengen kaya mereka, yang jelas gue engga berminat pacaran sama

P : Peneliti

I : B

laki-laki

P: Apa yang anda lakukan ketika sedang berkumpul dengan rekan-rekan

lesbian ?

I: kadang kita hang out bareng, belanja bareng, cari cewe, ketawa-ketawa

P: Bagaimana anda menyikapi orang lain yang belum bisa menerima

kehadiran anda sebagai seorang lesbian?

I: ya bodo amat, gue ya gue, mereka ya mereka, kalo emang ada yang

gak bisa terima ya udah gak usah kenal sama gue, rempong amat

P: Apakah anda memiliki keinginan untuk sembuh? Mengapa?

I: dulu sempet pengen jadi cewe beneran tapi sekarang udah males, udah

terlanjur cinta sama keadaan kaya gini.

Informan : Y (26 Tahun)

Lokasi : Warung Mie Aceh, Pasar Minggu, Jakarta Selatn

Status : Mahasiswa

Tanggal dan Hari : 08 Oktober 2018

NO. DIALOG

2. P: Sejak kapan anda menjadi lesbian?

I: gue mulai menjalin hubungan sama cewe sejak gue kuliah, saat SMA

gue sempet pacaran sama cowo

P: Bagaimana perasaan anda menjadi seorang lesbian?

I: saat gue memilih untuk menjalani kehidupan sebagai lesbian, gue

ngerasa lega banget kayanya itulah diri gue

P: Apa yang menyebabkan anda menjadi seorang lesbian?

P: Peneliti

I: Y

I: bawaan orok kali ya, gak tau juga yang jelas gue lebih tertarik sama

cewe

P: Tergabung didalam komunitas dan dimana tempat berkumpulnya?

I: engga tuh, dulu gue emang eksis sama temen-temen suka nongkrong di

café-café, mall dll lah

P: Apakah keluarga anda mengetahui anda seorang lesbian?

I: mami gue tau dan beliau bisa menerima gue, papiku juga tahu tapi

beliau engga bisa terima. Beliau marah banget dan engga mau biayain

kuliah gue lagi, kemarin gue selesaiin kuliah gue dengan duit gue sendiri,

gue kerja tapi kadang mami gue kasih juga

P: Berapa kali anda berganti pasangan?

I: dulu gue sering ganti-ganti sampe engga keitung kali, sekarang gue

setia

P: Di mana tempat anda bertemu dengan pasangan ?

I: kebanyakan dari temen ke temennya

P: Apa yang yang anda pikirkan mengenai laki-laki ?

I: they are besfriend

P: Apa yang anda lakukan ketika sedang berkumpul dengan rekan-rekan

lesbian?

I: engga lain dan engga bukan biasanya nongkrong gitu

P: Bagaimana anda menyikapi orang lain yang belum bisa menerima

kehadiran anda sebagai seorang lesbian?

I: ih bodo amat deh, toh gue punya temen-temen yang lebih bisa terima

gue apa adanya

P: Apakah anda memiliki keinginan untuk sembuh ? Menagapa?

I: kayanyan engga deh, gue bukan tipe orang yang harus terpuruk dalam

kebohongan, bukan berarti gue berkepribadian ganda.

Nama Informan : N (24 Tahun)

Tempat Wawancara : KFC Lenteng Agung, Jakarta Selatan

Status : Mahasiswa

Tanggal : 23 Oktober 2018

NO. DIALOG

3. P: Sejak kapan anda menjadi lesbian?

I: Sejak kuliah, sekitar tahun 2012

P: Bagaimana perasaan anda menjadi seorang lesbian?

I: Biasa aja, kaya manusia pada umumnya aja

P: Apa yang menyebabkan anda menjadi seorang lesbian?

I: gue ngerasa si ngalir gitu aja dari diri gue

P: Tergabung didalam komunitas dan dimana tempat berkumpul?

I: engga, paling nongkrong sama anak-anak aja di club, atau café-café di

Jakarta

P: Apakah keluarga anda mengetahui anda seorang lesbian ?

I: enggalah, tapi setiap pacarku pastiku ajak kerumah, biar kenal sama

keluargaku tapi keluargaku tahunya ya Cuma temen

P: Berapa kali anda berganti pasangan ?

I: Berkali-kali gue ganti pasangan

P: Di mana tempat anda bertemu dengan pasangan ?

I: kadang dikenalin sama temen, kebanyakan si dari media social,

Facebook, Instagram gitu

P: Apa yang anda pikirkan mengenai laki-laki ?

I: Best friend aja kali ya

P: Apa yang anda lakukan ketika sedang berkumpul dengan rekan-rekan

lesbian?

I: ya tergantung mau ngapain, biasanya kita main-main, nonton bareng,

P: Peneliti

I: N

ngecengin cewe-cewe, kalo ada event atau acara kita dating rame-rame

P: Bagaimana anda menyikapi orang lain yang belum bisa menerima

kehadiran anda sebagai seorang lesbian?

I: ya cuek aja, gue sadar banget engga semua orang bisa terima gue

mangkanya gue curhat engga sama sembarang orang

P: Apakah anda memiliki keinginan untuk sembuh? Mengapa?

I: Kepikiran sih jadi cewe tulen tapi rasanya aku lebih enjoy jadi lesbian

Informan : X (25 Tahun)

Lokasi : Indo Poin Kemang, Jakarta Selatan

Status : Karyawan Swasta

Tanggal : 5 November 2018

NO. DIALOG

4. P: Sejak kapan anda menjadi lesbian?

I: Sejak gue membenci makhluk bernaman germo

P: Bagaimana perasaan anda menjadi seorang lesbian?

I: yang jelas gue lebih nyaman

P: Apa yang menyebabkan anda menjadi seorang lesbian?

I: dulu gue sakit hati gitu sama cowo

P: Tergabung didalam komunitas dan dimana tempat berkumpul ?

I: iya gue anggota komunitas pencinta Mitha the virgin, daerah Jakarta

kaya kota tua, atau tempat nongkrong anak-anak

P: Apakah keluarga anda mengetahui anda seorang lesbian?

I: tau kok dan engga ada masalah, asalkan gue selalu seneng sama

pilihan gue

P: Peneliti

I: X

P: Berapa kali anda berganti pasangan ?

I: gue belum pernah ganti pasangan sampe sekarang, masih satuu yang

dulu, mudah-mudahan buat yang pertama dan terakhir

P: Di mana tempat anda bertemu dengan pasangan ?

I: temen lama, udah kenal semenjak gue masih menjadi perempuan tulen

P: Apa yang anda pikirkan mengenai laki-laki ?

I: Buat jadi temen si okelah tapi kalo buat jadi pacar engga deh

P: Apa yang anda lakukan ketika sedang berkumpul dengan rekan-rekan

lesbian?

I: Biasanya nongkrong bareng atau kalo pada libur panjang kita suka

liburan bareng

P: Bagaimana anda menyikapi orang lain yang belum bisa menerima

kehadiran anda sebagai seorang lesbian?

I: biarin aja gue kurang peduli sama mereka yang engga bisa menerima

gue atau engga mau main sama gue, gue masih punya orang-orang yang

mau menerima gue apa adanya kok

P: Apakah anda memiliki keinginan untuk sembuh ? Mengapa?

I: engga, gue udah nyaman banget sama dunia gue, nyaman sama diri

gue yang sekarang ini.

Informan : S (23 Tahun)

Lokasi : Warunk Upnormal Rawamangun, Jakarta Timur

Status : Mahasiswa

Tanggal : 16 November 2018

NO. DIALOG

5. P: Sejak kapan menjadi lesbian?

I: Sejak gue kuliah

P: Bagaimana perasaan anda menjadi seorang lesbian ?

I: happy-happy aja gue jadi lesbian

P: Apa yang menyebabkan anda menjadi seorang lesbian ?

I: gue sering disakitin sama mantan-mantan gue yang cowo

P: Tergabung didalam komunitas dan dimana tempat berkumpul ?

I: engga, gua suka main sama anak-anak kaya biasa aja si, tapi biasanya

kita udah punya rombongan main gitu

P: Apakah keluarga anda mengetahui anda seorang lesbian?

I: enggalah, keluarga gue keras cuy

P: Berapa kali anda berganti pasangan ?

I: engga kehitunglah, gue hobby coba-coba

P: Di mana tempat anda bertemu dengan pasangan ?

I: banyak, ditempat dugem, mall, kebanyakan dikenalin temen

P: Apa yang anda pikirkan mengenai laki-laki ?

I: Mereka asik diajak jadi temen curhat, temen bertukar pikiran bukan

untuk menjalin hubungan

P: Apa yang anda lakukan ketika sedang berkumpul dengan rekan-rekan

lesbian ?

I: Biasanya sama temen-temen gue jalan ke mall, nongkrong, ngecengin

P: Peneliti

I: S

cewe-cewe

P: Bagaimana anda menyikapi orang lain yang belum bisa menerima

kehadiran anda sebagai seorang lesbian ?

I: buat di lingkungan baru mereka ga perlu tau apa orientasi seksual gue,

dan bodo amatlah, gue males mikirin mereka, kalo mereka engga bisa

nerima gue yaudah kita end aja

P: Apakah anda memiliki keinginan untuk sembuh ? Menagapa?

I: gue sadar gue sakit, tapi inilah gue

Saat observasi dan wawancara dengan para informan lesbian