KRITIK ATAS TUDUHAN KAUM PLURALIS TERHADAP IBN 'ARABI

26
KRITIK ATAS TUDUHAN KAUM PLURALIS TERHADAP IBN ‘ARABI (Telaah atas kerancuan dalam pemahaman ajaran al-Hubb wal-Mahabbah) Oleh; Agung Nurcholis I. Pendahuluan Pluralisme 1 dengan gagasan awalnya yang diorientasikan untuk menghilangkan konfik dan justru berimbas pada menghilangnya perbedaan dan identitas agama-agama, 2 sampai saat ini masih saja mencari pembenaran dari berbagai dimensi. Salah satu jalan yang ditempuh kaum pendukung 3 pluralisme untuk mencapai goal mereka adalah melalui dimensi mistik. Munculnya beberapa buku kontemporer 4 yang mendukung paham pluralisme seakan-akan mengatakan bahwa kajian pluralisme akan bisa menyentuh semua agama dalam wilayah tradisi mistik. Dalam Islam, beberapa tokoh sufi pun dikait-kaitkan dengan kajian pluralisme. 5 Padahal dalam pengalaman berspiritualnya, tokoh- 1 Pluralisme adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup dan berdampingan di surga. 2 Hamid Fahmi, “Pengantar: Islam dan Paham Pluralisme Agama”, dalam jurnal Islamia: Jurnal Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, Thn. 1 No. 3, September – November 2004, (Jakarta: Khoirul Bayan, 2004), hal. 2. 3 Fritjof Schuon sering disebut sebagai pioneer ajaran Perennial Philosophy sebagai madzhab filsafat dan mistisisme yang akhirnya menginspirasi Seyyed Hossen Nasr mempopulerkan istilah tersebut di barat. Di Indonesia pengusung pluralisme adalah Abdurrahman Wahid, Nurcholis Madjid, Djohan Effendi, Amin Abdullah dll. 4 Beberapa buku kontemporer yang mendukung pluralisme agama dalam ranah tasawuf contohnya; Mengaji Pluralisme kepada Mahaguru Pencerahan oleh KH. Husein Muhammad, Sufisme dan Pluralisme oleh Yunasril Ali, Satu Tuhan Banyak Agama, oleh Dr. Media Zainul Bahri dll. 5 Tokoh sufi yang sering disebut-sebut oleh pengusung ide pluralisme adalah Ibn ‘Arabi, Jalaluddin ar-Rumi dan al-Jili. 1

Transcript of KRITIK ATAS TUDUHAN KAUM PLURALIS TERHADAP IBN 'ARABI

KRITIK ATAS TUDUHAN KAUM PLURALIS TERHADAP IBN ‘ARABI(Telaah atas kerancuan dalam pemahaman ajaran al-Hubb

wal-Mahabbah)Oleh; Agung Nurcholis

I. Pendahuluan Pluralisme1 dengan gagasan awalnya yang diorientasikan

untuk menghilangkan konfik dan justru berimbas padamenghilangnya perbedaan dan identitas agama-agama,2 sampai saatini masih saja mencari pembenaran dari berbagai dimensi. Salahsatu jalan yang ditempuh kaum pendukung3 pluralisme untukmencapai goal mereka adalah melalui dimensi mistik. Munculnyabeberapa buku kontemporer4 yang mendukung paham pluralismeseakan-akan mengatakan bahwa kajian pluralisme akan bisamenyentuh semua agama dalam wilayah tradisi mistik. DalamIslam, beberapa tokoh sufi pun dikait-kaitkan dengan kajianpluralisme.5 Padahal dalam pengalaman berspiritualnya, tokoh-

1 Pluralisme adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agamaadalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebabitu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya sajayang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkanbahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup dan berdampingan di surga.

2 Hamid Fahmi, “Pengantar: Islam dan Paham Pluralisme Agama”, dalamjurnal Islamia: Jurnal Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, Thn. 1 No. 3, September– November 2004, (Jakarta: Khoirul Bayan, 2004), hal. 2.

3 Fritjof Schuon sering disebut sebagai pioneer ajaran PerennialPhilosophy sebagai madzhab filsafat dan mistisisme yang akhirnyamenginspirasi Seyyed Hossen Nasr mempopulerkan istilah tersebut di barat.Di Indonesia pengusung pluralisme adalah Abdurrahman Wahid, NurcholisMadjid, Djohan Effendi, Amin Abdullah dll.

4 Beberapa buku kontemporer yang mendukung pluralisme agama dalamranah tasawuf contohnya; Mengaji Pluralisme kepada Mahaguru Pencerahan oleh KH.Husein Muhammad, Sufisme dan Pluralisme oleh Yunasril Ali, Satu Tuhan Banyak Agama,oleh Dr. Media Zainul Bahri dll.

5 Tokoh sufi yang sering disebut-sebut oleh pengusung ide pluralismeadalah Ibn ‘Arabi, Jalaluddin ar-Rumi dan al-Jili.

1

tokoh sufi tidak pernah lepas kepada syariat Nabi Muhammadsaw.

Makalah ini akan lebih berfokus kepada ajaran ash-Syaikh al-Akbar6 tentang al-hubb wal mahabbah atau yang oleh pengusung pahampluralisme disebut dengan ajaran cinta, yang bisa ditemukandalam salah satu bukunya yaitu Tarjumān al-Ashwāq. Akhir-akhirini ajaran tersebut ramai dikampanyekan kembali oleh parapengusung pluralisme dalam bentuk buku-buku kontemporerbertemakan ajaran cinta. Kaum pluralis menjadikan Ibn ‘Arabisebagai tameng untuk melindungi wacana pluralisme terutamadalam agama Islam. Mereka bersembunyi di belakang pemikiranIbn ‘Arabi tentang al-hubb wa al-mahabbah dan wahdah al-wujūd,7

bersikeras menjadikannya dasar utama dalam menyatakan bahwaIslam mengakui kepercayaan tertinggi melalui jalur esoteristerhadap Tuhan al-Haq. Padahal jika membaca lagi karya Ibn‘Arabi lebih seksama, akan kita temukan wasiat-wasiatnya8

6 Bahasan-bahasan Ibn ‘Arabi secara terperinci sebagian besar masalahkeilmuan telah menyibukkan para sarjana muslim dan non muslim dalamberbagai bidang seperti Tafsir, Hadis, Fiqih, Kalam, Tasawuf dan Falsafah.Karna itu dia mendapatkan julukan ini. Lihat: Haidar Bagir, Buku Saku FilsafatIslam, (Bandung: Mizan Pustaka,2005) hal.150.

7 Wahdah al-Wujud, menyatakan bahwa seluruh ciptaan-Nya tidak mempunyaihakekat kecuali Tuhan. Maka ciptaannya merupakan eksistensi nisbi yangdinisbatkan pada Tuhan. Dari pendapat Ibn 'Arabi menyatakan bahwa alam initidak diciptakan dari yang tidak ada (creation ex nihilo), tetapi melaluiproses emanasi dengan demikian alam dan seisinya merupakan tajalliy Illahi yangkekal secara tidak langsung ia memungkiri mumkinu al-wujud. Lihat: AmalFathullah Zarkasyi, Kuliah Tentang Konsep Tauhid Dalam Perspektif Ilmu Kalam danTasawwuf, (Ponorogo: Fakultas Ushuluddin ISID, 2006), hal. 105.

8 Di antara wasiat-wasiat itu adalah agar selalu mengucapkan laa ilaahaillallah, agar selalu menjaga syariat dan hukum Allah, saling tegur menegurterutama dalam hal kufur dan syirik, menjaga segala waktu sholat yangwajib, menekankan perhatian terhadap azan dan qamat, menganjurkan sholatberjama'ah di masjid, memelihara sholat-sholat sunnat yang acapkalidiabaikan orang, yang diamalkan shalattul awwabin. Aboebakar Atcjeh, Ibid,hal. 77-86. Ini adalah pembuktian terhadap sikap ubudiyah Ibn ‘Arabiterhadap Allah dan seharusnya membebaskan dia dari fitnah ajaran hulul ataubersemayamnya Rabb ke dalam jism hamba.

2

mencerminkan seorang muslim yang taat beragama sertabersyariat Islam.9

Wacana al-hubb wa al-mahabbah sebagai titik temu agama-agamasangatlah rancu. Kaum pluralis keliru dalam membaca beberapateks dalam tasawuf dan mereka cenderung memaksakan ide bahwaIbn ‘Arabi adalah penganut ide pluralisme dan transcendent unity ofreligion. Berdasarkan problematika keagamaan di atas, maka perluadanya verifikasi tentang karya Ibn ‘Arabi yang disalahpahamitersebut sehingga dapat diketahui kesalahan asumsi parapluralis di situ.

II. Pembahasan a. Definisi dan sejarah singkat Pluralisme AgamaSebelum membahas masalah ini lebih dalam, sepertinya

pendefinisian pluralisme agama secara tegas adalah merupakansesuatu yang urgen.10 Rangkaian kata “pluralisme” dan “agama”membentuk sebuah pengertian terminologi kondisi hidup bersamaantar agama11 yang berbeda-beda dalam satu komunitas dengantetap mempertahankan ciri-ciri spesifik atau ajaran masing-

9 Aboebakar Atcjeh menuliskan bahwa wasiat-wasiat ini termuat lengkapdalam al-Futūhāt al-Makkiyah bagian pertama dari jilid yang ke empat dalam 500bab, berisi hikmah dan mutiara yang tinggi nilainya untuk diketahui,dipelajari dan diamalkan oleh tiap orang Islam. Lihat: Aboebakar Atcjeh,Wasiat-Wasiat Ibn ‘Arabi; Kupasan Hakekat dan Ma’rifat Dalam Tasawwuf Islam (Jakarta:Lembaga Penyelidikan Islam, 1976), hal. 75

10 Dalam beberapa buku yang mendukung pluralisme agama seperti MengajiPluralisme kepada Mahaguru Pencerahan, oleh KH. Husein Muhammad, Sufisme danPluralisme, oleh Yunasril Ali, Satu Tuhan Banyak Agama, oleh Dr. Media ZainulBahri dll. meskipun buku ini bertema besar -pluralisme-, akan tetapipenulisnya tidak menjelaskan secara tegas definisi pluralisme agama. Adadugaan kuat bahwa para penulis buku tersebut mendefinisikan pluralismesekadar keragaman atau toleransi terhadap keragaman agama dan pemikiran,tanpa telaah sejarah lebih mendalam.

11 Definisi agama di sini adalah definisi secara luas yang mencakupsemua jenis agama, kepercayaan, sekte maupun berbagai jenis ideologi modernseperti komunisme, humanisme, sekularisme, nasionalisme dan lainnya. Lihat:Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama (Jakarta: Perspektif, 2005). hal.14.

3

masing agama. Sedangkan pluralitas sendiri adalah realitasterhadap keanekaragaman yang ada. Akan tetapi bilamemperhatikan fakta objektif di lapangan dalam wacana-wacanasosio-ilmiah, istilah pluralisme agama telah menemukandefinisinya yang sejati, berbeda dengan yang dimilikinyasemula. Hal ini ditegaskan oleh para pegiat pluralisme macamJohn Hick bahwa sejatinya semua agama adalah merupakanmanifestasi-manifestasi dari realitas yang satu.12 Dengan katalain semua agama adalah sama tidak ada yang lebih baik darilainnya. Pada akhirnya definisi pluralisme agama yang palingkoheren dengan konteks adalah sebuah keyakinan bahwa semuaagama di dunia ini adalah sama. Memeluk dan meyakini satuagama sama saja memeluk dan meyakini semua agama karena semuaagama tertuju pada inti yang sama yaitu menuju kebenaranhakiki.

Adalah sebuah anomali besar apabila pluralisme masih sajadidefinisikan sebagai toleransi atau keanekaragamaan. Menurutpenjelasan Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi, setengah abad yang lalumemang pluralisme mulanya dimaknai toleransi. Dalam OxfordAdvanced Learners’s Dictionary of Current English, yang terbittahun 1948, pluralisme itu memang toleransi. Akan tetapisekarang, pluralisme itu berarti relativisme.13 Pluralismeadalah prinsip bahwa disana tidak ada pendapat yang benar,atau semua pendapat itu sama benarnya.

Seorang Profesor sosiolog yang juga pendukung pluralismedari Harvard Divinity School, Diana L. Eck sendiri menolakjika pluralisme didefinisikan hanya sekedar toleransi. Bahkan

12 John Hick, God Has Many Names, (Philadelphia: Westminster Press,1982), hal. 9. Hick mengatakan dalam pendahuluan bukunya: “. . . the religionsall conceive of the Real in the same way, or all produce the same human response to the Real, or allhave the same expectations concerning our human future beyond this life.”

13 Simon Blackburn, Oxford Dictionary of Philosophy, (New York: OxfordUniversity Press, 2005). Definisi pluralisme sebagai relativisme di situtelah baku (telah menjadi technical term).

4

lebih jauh lagi Diana dalam tulisannya From Diversity to Pluralism14

menyindir bahwa toleransi dalam pluralisme itu merupakan‘kebaikan’ yang menipu (but tolerance by itself may be a deceptive virtue).Dengan demikian anggapan bahwa pluralisme itu toleransi ataukeragaman belaka merupakan anggapan tidak tepat.

Selanjutnya pluralisme agama akan bisa dipahami lebihobjektif lagi apabila kita melihat sejarah mengenai awalpertama kali munculnya gagasan tersebut. Ada beberapa versi,yang pertama menyebutkan bahwa pluralisme agama berasal dariIndia.15 Nama Rammohan Roy (1773-1833) disebut-sebut sebagaipencetus16 gerakan Brahma Samaj,17 ia mencetuskan pemikiranTuhan satu dan persamaan antar agama (ajaran ini penggabunganantara Hindu-Islam). Lalu ada Sri Ramakrishna (1834-1886),seorang mistis bengali dengan ajaran “many paths one goal”18

menyusul kemudian Mahatma Ghandi (1869-1948) dengan ajaran

14 Makalah tersebut disampaikan pada acara UNESCO Universal Declaration OnCultural Diversity, di Paris pada tanggal 2 November 2011. Merupakan deklarasiyang diadopsi oleh Konferensi Umum PBB untuk pendidikan, ilmu pengetahuandan kebudayaan (UNESCO). Didasari oleh oleh 12 artikel, pasal 1 berjudul“Keragaman Budaya, Warisan Bersama Umat Manusia” menyatakan bahwa pertukaraninovasi dan kreativitas, serta keanekaragaman budaya diperlukan bagi umatmanusia sebagai keanekaragaman hayati bagi alam. Di situ dinyatakan bahwawarisan bersama umat manusia harus diakui untuk kepentingan generasisekarang dan mendatang. Dalam pasal 6 menegaskan kebebasan berekspresi,media pluralisme dan multilingualisme. Diana menyatakan perbedaan tetaplahperbedaan, ia selamanya tidak akan pernah sama. Menyamakan dua atau lebihsesuatu yang berbeda sama saja mematikan warisan budaya.

15 Anis Malik Thoha, Tren . . . , hal.21.16 S K Sharma, Raja Rammohun Roy; An Apostle of Indian Awakening, (New Delhi:

Krishan Mittal Publications, 2005), dalam bab pertama di buku tersebutdituliskan bahwa Rammohon adalah Founding Father dari Agama Universal.

17 Secara etimologi Brahma Samaj berarti tuhan/agama masyarakat,tuhan/agama komunitas, tuhan/agama sekumpulan orang dan juga agama simpati.Lihat: S K Sharma, Raja . . . , dalam bab Foundation Of Brahma Samaj.

18 Harold G. Coward, Modern Indian Responses to Religious Pluralism, (New York:New York Press, 1987), hal.65-66. Pada bab ke empat tersebut menjelaskantentang respon terhadap gagasan Ramakrishna yang paling sering menonjoldisebutkan bahwa semua agama adalah benar.

5

“satya ahimsa”19nya serta masih banyak lagi pencetus pluralismedari India, pada intinya teori pluralisme di India didasaripada penggabungan ajaran agama-agama yang berbeda.

Versi kedua yang agaknya lebih relevan menyebutkan bahwapluralisme agama berawal dari agama Kristen yang dimulaisetelah Konsili Vatikan II pada permulaan tahun 60-an yangmendeklarasikan “keselamatan umum” bahkan untuk agama-agamadiluar Kristen.20 Gagasan pluralisme agama ini sebenarnyamerupakan upaya-upaya peletakan landasan teologis Kristenuntuk berinteraksi dan bertoleransi dengan agama-agama lain.21

Gagasan ini dilatarbelakangi oleh ketakutan gereja padakondisi masyarakat yang carut marut akibat memanasnya konflikantar etnis beserta sikap intoleren mereka terhadap sekte-sekte lainnya yang berimbas pada pertumpahan darah antar ras,sekte dan mazhab.22 Pada kasus selanjutnya dalam wacanakekinian pengusung paham ini berpendapat bahwa selama agama-agama bersikap eksklusif, maka tidak akan pernah ada kedamaiandi dunia ini. Pendukung pluralisme mengatakan sikapfundamentalis pemeluk agama-agama akan menghambat prosestoleransi antar umat beragama.23 Karna mereka berkeyakinan,

19 Margaret Chatterjee, Ghandi and the Challenge of Religious Diversity: ReligiousPluralism Revisited, (New Delhi: Uthra Print Communication, 2005), hal.334. Satyaberarti bahwa Tuhan atau kebenaran hanyalah satu saja dan tak mungkindijangkau oleh manusia. Adapun ahimsa berkonotasi kesatuan manusia sertaseluruh makhluk hidup yang terlahir dari cinta kasih, persaudaraan,toleransi, keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan.

20 Anis Malik Thoha, Tren . . . , hal.18.21 Ibid: hal.1922 Kondisi kacau tersebut dalam sejarah dikenal sebagai The Dark Age

yaitu sebuah zaman antara runtuhnya kekaisaran Romawi dan Renasains padaparuh pertama abad ke-10. Pada zaman tersebut segala keputusan pemerintahdan hukum negara tidak diambil berdasarkan demokrasi di parlemen. Kekuasaansepenuhnya diambil oleh gereja. Tidak setiap individu berhak berpendapat,semua pendapat mutlak berada pada ahli agama.

23 Paramadina, Ikatan Cendekiawan se-Indonesia, Yayasan Dialog Bangsadan Goethe, Agama dan Dialog antar Peradaban, ed. Nasir Tamara, Elza Peldi Taher(Jakarta: Paramadina, 1996), hal. 149. Lihat juga: Budhy Munawar Rachman,

6

bila manusia fanatik terhadap agama, maka pertikaianlah yangterjadi. Untuk meraih toleransi antar agama, semua orang harusmenganut pluralisme. Padahal untuk meraih toleransi, seseorangmuslim tidak harus menjadi pluralis. Karna bila mempelajariIslam secara komprehensif, justru kita akan tahu bawa Islamadalah agama yang paling toleransi.

Sedangkan dalam dunia Islam sendiri pemikiran pluralismeagama muncul setelah perang dunia kedua. Diantara pencetuspemikiran pluralisme agama dalam Islam yaitu Rene Guenon danFrithjof Schuon.24 Karya-karya mereka ini sarat denganpemikiran dan gagasan yang menjadi inspirasi dasar bagi tumbuhkembangnya wacana pluralisme agama. Selain kedua orangtersebut juga ada juga Seyyed Hossein Nasr,25 seorang tokohmuslim Syi’ah moderat, merupakan tokoh yang bisa dianggappaling bertanggung jawab dalam mempopulerkan pluralisme agamadi kalangan Islam tradisional.

b. Kehidupan dan karya Ibn ‘Arabi26

Sebagai seorang sufi dan sekaligus guru sufi, iadipandang sebagai tokoh muslim terbesar dalam menyusun

Argumen Islam untuk Liberalisme, ed. Muhammad Salim al-Unsi (Jakarta: Grasindo,2010), hal. 122.

24 Rene Guenon beserta Fritjof Schuon dan Ananda Coomaraswamy seringdisebut sebagai pioneer ajaran Perennial Philosophy sebagai madzhab filsafat danmistisisme yang akhirnya menginspirasi Seyyed Hossen Nasr mempopulerkanistilah tersebut di barat.

25 Pemikiran-pemikiran Nasr tentang pluralisme agama tertuang padatesisnya yang membahas tentang Sophia Perennis atau Perennial Wisdom (al-Hikmah al-Khōlidah atau kebenaran abadi) yaitu sebuah wacana menghidupkan kembalikesatuan metefisika yang tersembunyi dalam tiap ajaran-ajaran agamasemenjak Nabi Adam AS. hingga sekarang.

26 Ia bernama lengkap Muhammad Ibn ‘Ali Ibn Muhammad Ibn Ahmad IbnAbdullah al-Hatimi al-Tai al-Andalusi, asal Murcia, Spanyol. Ia lahirtanggal 17 Ramadhan 560 H/28 Juli 1165M dan meninggal pada 22 Rabiul Akhir638H/16 November 1240M pada usia tujuh puluh tahun. Pada tahun 620H/1233M,Ibn ’Arabi menetap secara permanen di Damaskus, tempat sejumlah muridnya,termasuk al-Qunawi yang menemaninya sampai akhir hayat.

7

doktrin-doktrin metafisis.27 Ibn Arabi diberi julukan Syaikh al-Akbar (Doctor Maximus) atau Muḫyiddin (Sang Penghidup Agama)serta al-Kibrīt al-Aḫmar (Si Belerang Merah).28 Ibn ‘Arabi telahmenulis lebih dari 500 buku dan risalah.29 Di antara karya Ibn‘Arabi yang paling terkenal adalah al-Futūhāt al-Makiyyah, Fuṣuṣ al-Ḥikam, dan Tarjumān al-Ashwāq. Sejumlah pemikiran Ibn ‘Arabimengandung pemikiran ganda dan beberapa corak pluralisme yangmelahirkan bentuk keyakinan berlebihan. Karenanya ia seringdituduh sebagai kafir30 bahkan terdapat upaya pembenaran atastuduhan tersebut.31 Namun begitu tidak sedikit pula yang jugamembela Syaikh dari tuduhan tersebut.32 Terlepas dari vonis sesat

27 M. Abdul Mujieb, Syafi’ah, H. Ahmad Ismail, Ensiklopedi Tasawuf Imam Al-Ghazali, ed. Luqman Junaedi, (Jakarta: Hikmah, 2009), hal.162.

28 Belerang Merah merupakan term kimiawi yang mengandung pengertianbahwa Ibn Arabi mampu menciptakan suatu pengetahuan terlepas dariketidaktahuannya, bagaikan belerang yang mampu membentuk kuning emas darisebuah timah. Lihat: M. Abdul Mujieb dkk, Ensiklopedi . . . , hal.163.

29 KH. M. Sholikhin, Filsafat Dan Metafisika Dalam Islam, (Yogyakarta: Narasi,2008), hal.197-198. Jumlah pasti keseluruhan hasil karyanya memang tidakdiketahui pasti. Namun jika dibandingkan dengan usia produktifkepenulisannya yang hanya berkisar 40-an tahun, akan didapatkan angka yangfantastis seperti yang disebutkan oleh para sarjana dan peneliti. Sepertiyang ditulis KH. M. Sholikhin; bahkan Majid Fakhri menyebut 846 hasil karyaberasal dari Ibn ‘Arabi.

30 Ibn Taymiyah (w. 728H) dalam Haqīqotu Mazhabi al-Ittihadiyyīn dalamrisalahnya Majmu’ al-Fatawa memberi nilai yang buruk kepada Ibn Arabi danajarannya, mencela Ibn Arabi dan menamakannya munafik, memvonis Ibn Arabisebagai penganjur dalam ajaran hulul dan ittihad, yang oleh kebanyakanulama-ulama Ahlus Sunnah wal-Jama'ah dianggap sesat.

31 Contohnya seperti yang dilakukan oleh Badruddin ibn Jama’ah (w.733H), Sa’duddin al-Haritsi (w. 711H), Syamsuddin Muhammad Ibn Yusuf (w.711H), Zainuddin al-Kattani (w.738H) dan beberapa ulama fiqih lainnya.Lihat: Ali Hasan Ali Abdul Hamid, ‘Aqidatu Ibn Arabi Wa Hayatuhu, (al-Mamlakahal-Arabiyah as-Sa’udiyyah: Maktabah Ibn Al-Jauziyah, 1988), hal.17-31.

32 Sedangkan dari yang membela Ibn ‘Arabi seperti Jalaluddin as-Suyuthi (w.911H) imam besar ahli Tafsir dan Hadith, Tajuddin Ibn Atha’illah(w.709H) ulama dari kalangan mazhab Maliki, dan Afifuddin al-Yafi’i(w.768H), dari kalangan Syafi’i.

8

atau tidaknya Ibn ‘Arabi,33 sangat disayangkan bahwa padabeberapa dasawarsa terakhir Ibn ‘Arabi oleh sebagian kalangansering diklaim sebagai perintis paham Pluralisme Agama. DrSyamsuddin Arif menyebut, nama Ibn ‘Arabi sering diplot untukmembenarkan konsep “agama perennial” atau religion perennisyang dipopulerkan oleh Frithjof Schuon, William Chittick danSeyyed Hossein Nasr dalam tulisan-tulisan mereka.34

c. Misinterpretasi Para Pendukung PluralismeBerangkat dari teori al-hubb wal-mahabbah dan wahdah al-wujud,

William Chittick dalam Dunia Imajinal Ibn ‘Arabi menyatakan bahwasemua eksistensi kosmis hanyalah meminjam wujud Tuhan dantidak benar-benar ada. Di sini tidak ada tempat lagi untukperbedaan. Dalam pandangan Chittick bagi Ibn ‘Arabi semuaagama-agama wahyu (Judaisme, Nasrani dan Islam) sama sajamenuju kebahagiaan. Hanya saja berbeda dalam membahasakansesuai keadaan dan tuntutan yang mempengaruhi.35 Asumsi ini

33 Imam As-Suyuthi berkata:“Shaikh kami, Shaikhul Islam Al-MujtahidSyarafuddin Al-Manawi juga pernah ditanya tentang Ibn ‘Arabi, beliaumenjawab yang intinya bahwa diam lebih selamat, ini pendapat yang palinglayak bagi seseorang yang ingin menyelamatkan dirinya.” Kemudian beliaumenukil salah satu perkataan yang dinisbatkan kepada Ibn ‘Arabi, “Kamiadalah kaum yang (siapapun) diharamkan menelaah kitab-kitab kami.” Hal itudikarenakan kaum sufi sering menggunakan istilah-istilah khusus yang hanyadapat dipahami oleh orang yang sudah terjun ke dalam dunia mereka. Istilah-istilah itu jika dipahami secara literal atau tekstual akan membawa kepadapemahaman keliru yang dapat mengakibatkan kekufuran. Hal itu disampaikanoleh Imam Al-Ghazali dalam beberapa kitabnya, sebagaimana dinukil oleh As-Suyuthi, beliau berkata, “(Perkataan-perkataan mereka) itu menyerupai(ayat-ayat) mutashabihat dalam Al-Quran dan sunnah. Barangsiapa memahaminyasecara literal (zhohir) dia kafir. Ia memiliki makna-makna khusus yangberbeda dengan makna yang dipahami oleh orang biasa. Lihat: Jalaluddin as-Suyuthi, Tanbihu al-Ghabiyyi biTabriati Ibni ‘Arabi, (tanpa penerbit), hal.1-25.

34 Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, (Jakarta: Gema Insani,2008), hal. 262.

35 William C. Chittick, Dunia Imajinal Ibn Arabi Kreativitas Imajinasi dan PersoalanDiversitas Agama, terj. Achmad Syahid, (Surabaya: Risalah Gusti, 2001),hal.270-275

9

sebenarnya terkesan buru-buru. Karna bila Chittick mau melihatlagi karya Ibn ‘Arabi secara komprehensif, dia akan menjumpaibahwa Ibn ‘Arabi sendiri menyatakan bahwa pengikut Nabi Isaas. yang murni, tidak hanya mengimani kenabian Muhammad saw.akan tetapi juga melaksanakan syariat agama beliau saw. Inikarna dengan kedatangan nabi terakhir, maka syariat nabi-nabiterdahulu otomatis tidak berlaku lagi.36 Ibn ‘Arabi menegaskanfa inna syariata Muhammad saw. nasikhah, seraya mengutip hadithRasulullah saw: “Seandainya Nabi Musa hidup saat ini, makabeliaupun tidak dapat tidak, mesti mengikutiku”.37 Pendapat Ibn‘Arabi ini layak diperhitungkan oleh Chittick dan parapluralis yang menyalahpahami ajaran beliau.

William Chittick juga menuliskan bahwa agama-agama wahyuberbeda semata disebabkan keragaman persepsi dalam menangkapgambaran tuhan. Sedangkan persepsi ini berbeda disebabkankeragaman waktu agama itu diturunkan, gerakan, dan kadarperhatian. Semua itu disebabkan bedanya tujuan dan keberbedaanpenyingkapan diri (tajalliy).38 Dari situ Chittick menyimpulkansebenarnya semua agama, semua jalan yang berbeda menuju Tuhanyang satu. Yang membedakan hanyalah dalam aspek eksetorissaja. Padahal kenyataannya tidak demikian, bagaimana mungkin setiapagama yang secara eksoteris memiliki konsepsi yang berbeda-bedamengenai Tuhan, bisa bersatu dan bertemu pada tataran esoteris.39

36 Mohd Sani bin Badron, dalam tesisnya berjudul “Ibn al-‘Arabi’s Conceptionof Religion”, (tanpa penerbit, 1998), hal. 82. Di situ ditegaskan bahwa menurutIbn ‘Arabi, syariat para Nabi terikat dengan periode tertentu, yangakhirnya terhapuskan oleh syariat Nabi sesudahnya. Hanya Al-Quran,menurutnya, yang tidak terhapuskan. Bahkan Al-Quran menghapuskan syariatyang diajarkan oleh kitab-kitab sebelumnya. Karena itu, syariat yangberlaku bagi masyarakat, adalah syariat yang dibawa oleh Nabi terakhir.

37 Ibn ‘Arabi, Al-Futūhāt . . . , dalam bab 36, fii ma’rifati al-‘Isawiyyin waaqthabihim wa ushulihim.

38 William C. Chittick, Dunia Imajinal . . . , hal.270-275.39 Adian Husaini, Tinjauan Historis Konflik Yahudi Kristen Islam, (Jakarta: Gema

Insani Press, 2004). hal. 9

10

Sebenarnya teori Wahdatu al-Wujud yang sering diperdengarkanoleh kaum pluralis telah didistorsikan dari maksud aslinyauntuk kepentingan mereka.40 Tiada maksud Ibn ‘Arabi untukmenyamakan Tuhan dengan hamba atau makhluk lainnya. Semua ituhanyalah sebatas semangat dan kecintaan Ibn ‘Arabi dalamberibadah dan ber”mu’asharah” kepada Allah swt. Hal ini bisadibuktikan dengan bahwa Ibn ‘Arabi sendiri berkata:

ل�حاد" ه�ل الإ� لإ ا حاد� ا� الإت�� ال ب�� ه� م�علول،� وم�ا ق�� �ن ي! د �ال�حلول ق� ال ب�� 41"م�ن$ ق��

“Barang siapa meyakini hulul (bersemayamnya Allah ke dalam jismhamba atau makhluk), maka agamanya cacat. Dan tidaklah orangyang meyakini ittihad (bersatunya Allah dengan hamba) melainkan iaadalah ahlu al-ilhad (mulhid)”

Memang dari pernyataan ini Ibn ‘Arabi terkesan memberikangambaran yang paradoks terhadap gagasan-gagasannya tentangTuhan. Di satu sisi, dalam syair-syairnya syaikhmengekspresikan puncak kecintaannya kepada Allah dalamkalimat-kalimat tashbih (menyerupakan Allah dengan makhluk). Dandi sisi lain, syaikh memperingatkan pengikutnya agar tidaktergelincir ke dalam aqidah hulul dan ittihad. Tapi begitulah kaumsufi, mereka memiliki ungkapan-ungkapan yang simbolik,

40 Syeikh Abdul Wahhab Ash-Sya’roniy berkata dalam kitabnya Al-YawaqitWal Jawahir Fi ‘Aqoidil Akabir; “Segala isi kandungan kitab Ibn ‘Arabi yangbertentangan dengan syariat Islam dan bertentangan dengan jumhur ulama makaketahuilah bahwa ia adalah palsu, dusta dan ditambah-tambah oleh musuh-musuh Islam. Syeikh Sayyidy Abu At-Tohir Al-Maghribiy di Mekah juga telahmemberitahu aku sedemikian dan beliau membawa kepadaku naskhah asli kitabImam Ibn ‘Arabi yang berjudul Al-Futūhāt Al-Makkiyah yang diterima dari naskhahasal di Madinah Quniyyah maka aku dapati isi kandungannya tidak langsungterdapat akidah yang pernah aku lihat (hulul dan ittihad) dan ia sependapatdengan apa yang aku telah ringkaskan dari kitab Al-Futūhāt”.

41 Al-Futūhāt . . . , pada Bab Al-Asrar seperti yang telah dinyatakanoleh Ash-Sya’roni, amat jelas Imam Muhyiddin Ibn’Arabi menolak akidah hululdan ittihad.

11

bermakna ganda, dan hanya bisa dipahami oleh mereka yangterjun ke dalam dunia tasawuf.

Mengenai wahdatu al-wujud bahwa Esensi Tuhan merupakansesuatu yang transenden secara mutlak.42 Itu berarti hakikatkebenaran Tuhan tidak dapat diketahui kecuali oleh Diri-Nyasendiri. Barangkali celah inilah yang dimanfaatkan FritjofSchuon untuk mendukung teori Transcendent Unity of Religions-nya:

“Among the statements made by Ibn ‘Arabi about the universality of truth and thusabout the “religion of the heart”, the most explicit –and the one of most directly inconformity with the esoteric perspective- is doubtless the following, which comes fromthe Fusus al-Hikam: “The believer . . . praises only the Divinity contained within his belief(such as it is contained there in), . . .” 43

Schuon salah beranggapan bahwa Ibn ‘Arabi dengan ajaran“agama cinta” nya mengakui “kebenaran universal” dalamperspektif esoteris semua agama. Bahwa pengalaman rohani yangmenyatukan segenap pendamba al-mahabbah al-ilahiyyah merupakanpengalaman puncak yang didamba setiap abdi Tuhan. Tak peduli agamaapapun asalkan membawa ajaran cinta kasih seperti Nasrani,toleransi seperti Budha, inklusifisme seperti Hindu, 44makakeseluruhan agama tersebut akan bertemu pada satu puncak. Parapendukung teori Transcendent Unity of Religions ini seringkalimenggunakan analogi-analogi yang dibangun di atas logika yangrapuh.

Laksana orang-orang yang mendaki gunung bersama-sama,jalan manapun yang mereka tempuh, pada akhirnya mereka akanbersatu di pucuk gunung tersebut. Atau laksana air yang

42 Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas, terj. Hamid Fahmi, (Bandung: Penerbit Mizan, 1998), hal.135

43 Frithjof Schuon, Sufism: Veil and Quintessence : a New Translation with SelectedLetters, terj. Mark Perry & Jean Pierre Lafouge, (tanpa penerbit, 1998),hal.40.

44 Yunasril Ali, salah seorang pendukung pluralisme menyatakan bahwapengalaman al-Mahabbah al-Ilahiyyah adalah dambaan setiap abdi Tuhan apapunagamanya. Lihat: Yunasril Ali, Sufisme dan . . . , hal.183.

12

mengalir, di sungai manapun air-air tersebut mengalir, padaakhirnya akan bermuara pada laut yang sama. Dengan nalar yangpaling dangkalpun seseorang bisa membantah; tidak semua jalan-jalan di pegunungan bisa mengantarkan pendaki ke puncakgunung. Ada jalan yang justru mengantarkan pendaki ke titikpenuh lahar dan gas beracun, atau malah menyesatkannya kehutan lepas dan tak kembali. Adapun analogi bermuaranyaseluruh aliran sungai ke laut yang sama, mudah sajadipatahkan. Faktanya tidak semua sungai mengantarkan airbermuara ke laut. Ada yang dimonopoli para peternak ke kolamtambaknya atau dialihkan petani menuju sawahnya. Sungguhanalogi yang dibangun Schuon dan para pengikutnya ibaratmembangun istana dari pasir pantai.

Salah satu bait syair Ibn ‘Arabi dalam Tarjumān al-Ashwāqyang dijadikan legitimasi pembenaran pluralisme oleh parapendukungnya adalah:

ورة� ل ص� لإ ك� اب�� ي ق�� لب� ار ق�� "ص� ان$ ب� ره� ر ل� ي@ ود لإن$ �ز �غ ي ل� مرع� � ف��ف ة� ط�ائ� عن� وك� ان$ PQب و ت� لإ ي U!ي و �رآن$ ف� ق� ح ص وراة� وم� واح ت�� ل� وا

هت�ا وج�� �ي ت�� Qن ا ت� ح ال� ن$ ي@ د Uن$ ب� ي@ د �مان� ي وآي� gب hiي ن$ د ي@ ال�د �ة ق� ن� kl@ي ا 45"ي رك�

Merujuk kepada bait syair Ibn ‘Arabi dalam Tarjumān al-Ashwāq itu, Seyyed Hossein Nasr berasumsi bahwa Ibn ‘Arabimengakui bahwa cinta merupakan pengetahuan yang transendenyang mengungkap kesatuan tersembunyi agama-agama. Nasr juga

45 Henry Corbin, Creative Imagination in the Sufism of Ibn ‘Arabi, terj. Moh.Khozimdan Suhadi, (Yogyakarta: LKis, 2002), hal. 166, lebih jelas lihat Syair Ibn‘Arabi yang dikutip dalam Bab II, terj. Nicholson, hal. 66-67. Potongansyair itu bila diterjamahkan “Hatiku telah sanggup menerima aneka bentuk,ia merupakan padang rumput bagi rusa-rusa, biara bagi para rahib-rahibKristen, kuil anjungan berhala, Ka’bah tempat orang bertawwaf, batu tulisuntuk taurat dan mushaf bagi al-Qur’an. Agamaku adalah agama cinta, yangsenantiasa kuikuti kemana pun langkahnya; itulah agama keimananku.”

13

beranggapan bahwa Ibn ‘Arabi mengakui bahwasanya jalan-jalanyang diturunkan Tuhan pada akhirnya mengantarkan ke satupuncak yang sama.46 Sekilas tampak meyakinkan, namun pemaparanNasr ini jika dikaji lebih teliti sebenarnya jauh dari benar.Maksud ungkapannya itu telah ia jelaskan sendiri bahwa “agamacinta” yang ia maksud ialah agama Nabi Muhammad saw, merujukkepada surah Ali ‘Imran, ayat 31, yang artinya: “Katakanlah (haiMuhammad!), kalau kalian betul-betul mencintai Allah, makaikutilah aku! niscaya Allah akan mencintai kalian.”47

Demi menolak tuduhan bahwa Ibn ‘Arabi pencetus pluralismedalam Islam, Sani Badron dalam tesisnya mengenai konsep agamaIbn ‘Arabi mengatakan: “Kaum Yahudi wajib mengimani kenabianIsa as.dan Muhammad saw. Kaum Nasrani juga wajib berimankepada kenabian Muhammad saw. dan al-Quran. Jika merekamenolaknya, maka mereka menjadi kafir.”48 Para pemuka Yahudi danNasrani sebenarnya telah mengetahui kebenaran Muhammad saw,tetapi mereka tidak mau mengimaninya karena berbagai alasan,seperti karena kesombongan49 dan kedengkian.50

Orang Yahudi dan Nasrani dengan segala gengsi mereka,menolak bahwa al-Quran adalah mukjizat Nabi saw. Padahalmenurut Ibn ‘Arabi, sebagaimana dikutip oleh Sani Badron,tanda paling nyata kebenaran Muhammad saw. adalah bahwa al-Quran, yang diturunkan dalam bahasa Arab, mutlak tidak dapatditiru oleh orang-orang Arab sendiri (al-Futûhat, 3:145).51 BahkanIbn ‘Arabi bertanya secara retoris, “apalagi tanda yang lebih

46 Nasr mengatakan; “came to realize that the divinely revealed paths lead to the samesummit”, lihat: Seyyed Hossein Nasr, Three Muslim Sages, (Delmar, New York:Caravan Books, 1964), hal.118. dan juga Seyyed Hossein Nasr, Sufi Essays, (NewYork: Sunny Press, 1991), hal. 147.

47 Lihat: Ibn ‘Arabi, Dzakha’ir al-A‘laq syarh Tarjuman al-Ashwaq, ed. MuhammadSalim al-Unsi (Beirut, 1312 H), hal. 39-40.

48 Mohd Sani bin Badron, “Ibn al-‘Arabi’s . . . , hal. 86.49 QS: an-Naml: 14, QS: al-Fatir: 43, QS: al-Fath: 2650 QS: Ali-‘Imron: 19, QS: ash-Syuro: 14, QS: al-Jatsiyah: 17, QS: Muhammad:

29.51 Mohd Sani bin Badron, “Ibn al-‘Arabi’s . . . , hal. 86.

14

bermukjizat selain daripada al-Quran?” (al-Futûhat, 4:526)52. Al-Quran mendatangkan apa yang sebagiannya telah disampaikan olehkitab-kitab terdahulu yang Muhammad tidak tahu isikandungannya melainkan melalui dari al-Quran.

Tidak mau berhenti di situ, Sani Badron menambahkan bahwaIbn ‘Arabi meyakini bahwa orang-orang Yahudi, Nasrani, ahli-ahli kitab (ashab al-kutub) pasti tahu bahwa al-Quran adalahbukti dari Allah akan kebenaran agama Muhammad (al-Futûhat,3:145).53 Oleh karena mereka yang mendustakan kebenaran NabiMuhammad bakal diazab Tuhan karena Ia telah menurunkan al-Kitab dengan haq dan sesungguhnya orang-orang yang berselisihitu benar-benar dalam penyimpangan yang jauh (al-Futûhat,4:526).54

Ibn ‘Arabi juga menggarisbawahi bahwa para pemimpin ahlikitab telah menyesatkan pengikut mereka dengan memerintahkanapa yang tidak pernah dikatakan Allah, bahkan menyatakankepada pengikutnya bahwa “ini dari Tuhan”.55 Seperti dalam al-Quran, Ibn ‘Arabi mengumpamakan para pemimpin ahli kitab ituseperti orang yang diberi kitab tapi dilemparkan ke punggungmereka dan menjualnya dengan harga yang murah.56 Mereka berbuatdemikian karena sikap sombong (‘uluww).57

Sebagai fakta sejarah, ini cukup untuk menjadikan agamaahli kitab sebagai “agama hawa nafsu”. Pemimpin mereka telahmenyalahi kandungan Kitab mereka yang asli (al-Futûhat, 1:303).58

Menurut Ibn ‘Arabi, “agama hawa nafsu” ini terorganisirkan dikalangan Yahudi dan Nasrani yang akibatnya kebenaran NabiMuhammad saw tersembunyi dari pengikut ahli kitab. Hal ini takada bedanya dengan kaum pluralis yang menyalahi ayat Allah

52 Ibid.53 Ibid, hal. 121-124.54 Mohd Sani bin Badron, “Ibn al-‘Arabi’s . . . , hal. 121-12455 QS: al-Baqarah: 79.56 QS: al-Baqarah: 101.57 QS: al-Isra: 4.58 Mohd Sani bin Badron, “Ibn al-‘Arabi’s . . . , hal. 121-124.

15

demi memuaskan hasrat mereka dengan membuat “agama hawa nafsu”baru bernama “pluralisme”.59

d. Al-Hubb wal-Mahabbah. Al-hubb dan al-mahabbah merupakan dua kata yang berakar

dari asal yang sama, yakni ahabba, yuhibbu, mahabbatan, yangsecara harfiah berarti kecenderungan suka terhadap sesuatuatau seseorang disertai rasa kagum dan pujian.60 Al-mahabbahdapat pula berarti al-mawaddah yakni rasa kasih atau sayang.Dalam mu’jam al-Falsafi, Jamil Shaliba mengatakan mahabbah adalahlawan dari bughd, yakni benci.61 Seperti yang dijelaskan olehsyaikh Mahmoud Ghuroub,62 Ibn ‘Arabi sendiri memilikiungkapannya tersendiri untuk kata ini, yaitu hawa (cintanafsu), ‘ishq (cinta yang melewati batas), hubb (cinta murni) danwudd (cinta sebagai anugrah Allah).63 Al-Quran menyebutkanistilah yang berakar sama dengan al-mahabbah sebanyak 95 kali.

Dalam al-Quran mahabbah bermakna kecintaan kepada Allahyang diikuti dengan kecintaan mengikuti ajaran Rasul sawdengan baik dan benar.64 Karna kecintaan Allah pada hamba-Nya,

59 Adian Husaini, Pluralisme Agama: Haram! Fatwa MUI yang Tegas dan tidakKontroversial, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), hal.xi-xiii. Adianmenyatakan bahwa pluralisme adalah agama baru dan tuhannya adalah nilai-nilai yang relatif, sebagaimana humanisme juga merupakan agama baru dantuhannya adalah nilai-nilai kemanusiaan.

60 Majma’u al-Lughah al-Arabiyya, al-Mu’jam al-Wasith, (Mesir: Maktaba al-Syuruq al-Dawliyyah, cet. 4, 2004).

61 Jamil Shaliba, al-Mu’jam al-Falsafi, (Beirut: Dar el-Kitab, 1982), juz.2.

62 Mahmoud al-Ghuroub (1922-sekarang), adalah seorang profesor ahliIlmu Tasawuf kenamaan asal Mesir. Merupakan generasi pemikir yang dianggapmeneruskan dan menjaga kemurnian ajaran Ibn ‘Arabi. Ia telah menulisbelasan buku yang membahas karya-karya Ibn ‘Arabi. Corak tulisannyamemperlihatkan bahwa ia menjauhkan Ibn ‘Arabi dari rangkulantransendentalis dan pluralis.

63 Mahmoud al-Ghuroub, al-Hubb wal-Mahabbah min Kalami al-Shaikh al-Akbar Muhyial-Din Ibn al-‘Arabiy, (Mathba’a Nadhar, c. 2, 1992). hal. 77-86.

64 QS: Ali ‘Imron: 31.

16

bisa menghapus bekas dosa dan melenyapkan gelapnyakebathilan.65 Selain itu mahabbah yang selalu diiringi denganpengorbanan bisa mengantarkan hamba kepada keridhaan Allah dankemurahan rizki-Nya.66 Dalam al-Quran mahabbah selaluberkonotasi pada kepatuhan kepada-Nya dan membenci sikap yangmelawan kepada-Nya, mengosongkan hati dari segala-galanyakecuali Allah SWT serta menyerahkan seluruh diri kepada-Nya.67

Istinbath akhir dari itu semua bermuara pada satu titik bahwa,cinta pada tahap esoteris tidak bisa lepas dari unsur-unsurkeberserahdirian dengan menjalankan syariah yang telah Allahtetapkan dan dibawa oleh Nabi saw.

Sedangkan dari Hadith ajaran mahabbah didasari sabdaRasulullah saw; Diriwayatkan oleh Abu Musa bahwa Rasulullahsaw telah bersabda:

“Barangsiapa yang cinta bertemu dengan Allah, maka Allah akancinta bertemu dengannya. Dan barangsiapa yang benci bertemudengan Allah, maka Allah pun akan benci bertemu dengannya” (H.R.Muslim).68

Lalu hadith Anas bin Malik:

Dari Anas bin Malik berkata bahwa seorang arab badui datangkepada Nabi saw. sambil berkata; kapankah kiamat? Beliau saw.menjawab, "Apa yang telah kau siapkan?" Dia menjawab; "Cinta AllahAzza wa Jalla dan Rasul-Nya." Rasulullah saw. bersabda: "Kaubersama dengan yang kau cintai." (H.R. Muslim)69

Dan dari hadith Anas bin Malik lainnya: 65 QS: Al-Ahzab: 43.66 QS: Al-Baqarah: 207.67 QS: Al-Hujurat: 7.68 Muslim, Shahih Muslim, Kitab : Dzikir, Doa, Taubat Dan Istighfar, Bab

: Barangsiapa suka berjumpa dengan Allah maka Allah suka untuk berjumpadengannya, no. hadith: 4848.

69 Muslim, Shahih Muslim, Kitab : Berbuat Baik, Menyambut Silaturahmidan Adab, Bab : Seseorang akan bersama dengan yang disukainya, No. Hadith :4775.

17

"Anas bin Malik berkata Nabi saw. bersabda: Tiga perkara yangapabila ada pada diri seseorang, ia akan mendapatkan manisnyaiman: Dijadikannya Allah dan Rasul-Nya lebih dicintainya dariselain keduanya. Jika ia mencintai seseorang, dia tidakmencintainya kecuali karena Allah. Dan dia benci kembali kepadakekufuran seperti dia benci bila dilempar ke neraka" (H.R.Bukhori).70

Hikmah yang bisa diambil dari ketiga hadith tersebutadalah; cinta yang menjadi primordial dalam ajaran Rasul saw.adalah cinta kepada Allah dan Rasul-Nya yang darinya terdapatkebahagiaan dunia dan akhirat. Pastinya dengan mematuhi segalaperintah dan menghindari segala larangan-Nya yang dapatmenyebabkan seorang hamba terjatuh ke dalam kekufuran.

e. Al-Mahabbah al-Ilahiyyah oleh Ibn ‘Arabi Ibn ‘Arabi menempatkan cinta pada dua posisi: Pertama,

sebagai prinsip kosmis yang melandasi eksistensi alam ini. Iniberarti bahwa alam ini tidak akan eksis tanpa ada cinta dansebaliknya alam akan berakhir bila cinta telah sirna. Kedua,sebagai puncak pengalaman rohani yang menempuh jalan sufi.Bagi Ibn ‘Arabi mahabbah (cinta) merupakan maqam puncak dalampengalaman spiritual bertasawuf.71 Mahabbah dalam kedua posisiini tidak memiliki awal dan akhir, sehingga tidak bersifathuduts.72

Dalam Futūhāt Ibn Arabi menyatakan bahwa melalui al-Quranyang dibawa Nabi saw, Allah menyampaikan kepada kita beberapakategori golongan yang mendapatkan mahabbahNya.73 Bila menelaahayat-ayat yang berkaitan dengan golongan-golongan ini, kita

70 Bukhori, Shahih Bukhori, Kitab : Iman, Bab : Manisnya Iman, no.hadith: 15.

71 Yunasril Ali, Sufisme dan Pluralisme, (Jakarta: PT Elex MediaKomputindo, 2012), hal.181.

72 Mahmoud al-Ghuroub, al-Hubb . . . , hal. 17. 73Kajian Ibn ‘Arabi tentang mahabbah dan syawq bisa dilihat dalam

karyanya yang paling monumetal. Lihat: Ibn ‘Arabi, al-Futūhāt al-Makkiyyah,(Beirut: Dar Ihya at-Turats al-Islamiy, 1997), juz. 2, hal. 341-344.

18

tahu bahwa tidak sembarang orang bisa mendapatkan cinta Allah.Di antaranya adalah ialah dia harus menjadi orang yang at-tawwabun (golongan yang bertaubat) atau al-mutathahhirun74 (golonganyang mensucikan diri) yang berusaha berthaharoh dari kotorannajis. Lalu karna taubat dan thaharah tadi menjadi al-mutthahhirun75 (golongan yang bersih) secara lahir dan batin.Dalam rangka taubat melaksanakan perintah Allah dan menjauhilarangan-Nya serta bersabar atas segala ujian yang Allahberikan, seorang hamba haruslah termasuk golongan ash-shabirun76

(golongan yang sabar), lalu ash-shakirun77 (golongan yangbersyukur) bersyukur baik dalam ujian nikmat maupun ujianmusibah, hingga ia menjadi al-muhsinun78 (golongan yang berbuatbaik) yang mengerjakan perintah Allah dengan ihsan. Atau jugaal-muqatilun fi sabilillah79 (golongan yang berperang di jalan Allah)yang tidak ragu untuk mengorbankan segala-galanya untukmembela agama Allah. Kemudian juga al-muqshithun80 (golongan yangberlaku adil), al-muttaqun81 (golongan yang bertakwa) al-mutawakkilun82 (golongan yang bertawakkal). Keseluruhan sifat-sifat tersebut tidak akan mungkin terwujud tanpa melaksanakanittiba’ kepada syariah yang dibawa Nabi saw. sebagai Nabiterakhir.

Inilah yang dimaksud oleh Ibn ‘Arabi sebagai “agama cinta”dalam bait syairnya:

هت�ا وج�� �ي ت�� Qن ا ت� ح ال� ن$ ي@ د Uن$ ب� ي@ د �مان� ي وآي� gب hiي ن$ د ي@ ال�د �ة ق� ن� kl@ي ا ي رك�74 QS: Al-Baqarah: 222.75 QS: At-Tawbah: 108.76 QS: Ali ‘Imron: 146.77 QS: Ali ‘Imron: 144-145.78 QS: Al-Baqarah: 195.79 QS: Ash Shaff: 4.80 QS: Al-Mumtahanah: 8.81 QS: At-Tawbah: 782 QS: Ali ‘Imron: 159.

19

Agamaku adalah agama cinta, yang senantiasa kuikuti kemana punlangkahnya; itulah agama keimananku.”

Merujuk kepada firman Allah swt: “Katakanlah: “jika kamu(benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku (Muhammad),niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”.83 Makadari itu yang dimaksudkan “agamaku adalah agama cinta” bukanseperti apa yang diumbar oleh kaum pluralis, bahwa agamaapapun asalkan mengajarkan cinta kasih itulah yang diikuti Ibn‘Arabi. Akan tetapi agama cinta di situ adalah agama Muhammadsaw, di mana semua unsur-unsur cinta serta sebab-sebabnyaterangkum sempurna dalam syariah yang dibawanya. Lalu maksuddari “kuikuti kemana pun langkahnya” adalah apapun bentuk taklifyang dibebankan kepada hamba, pasti hamba akan ridha danlaksanakan, karna hamba tersebut sudah terlanjur cinta.

Sebuah hadith yang menjadi dasar ajaran al-mahabbah al-ilahiyyah yang selalu disuarakan oleh kaum sufi dan disalahpahamioleh sebagian orang bahkan kaum muslim sendiri. Hadith iniberbunyi:

. �ي ون� �ي ع�زف ب� �ا ف� لق� �ت� خ� لق� �ح �ع�زف� ف� ن$ ا ت� ا ي� Uخ�ب ا �ا ق� ب �ق �ا م�ح �"ك�ي�ت� ك�ن�ز "”Aku adalah Perbendaharaan Yang Tersembunyi, Aku cinta untukdikenal, maka Kuciptakan makhluk dan denganKu mereka mengenalKu.”84

83 QS: Ali ‘Imron: 31.84 Al’Ajaluni menyebutkan hadis ini dalam Kashfu al-Khafa, no.2016.

menurut al-‘Ajaluni adalah mawdlu’ makzhub, Lihat: Al’Ajaluni, Kashfu al-Khafa,(Dar al-Furqon, 2000), juz 2, hal. 173. Adapun Ibn Taymiyah seperti yangdikutip al-Albani menyatakan bahwa itu bukan dari perkataan Rasulullahsaw., sanadnya tidak diketahui apakah Shahih atau Dha’if. Begitu juga al-Hafidz Ibn Hajar al-‘Asqolani dan as-Suyuthi. Namun hadis ini populer danberedar luas di kalangan para sufi sebagai Hadis Qudsi dan pada erakontemporer ini dipakai kaum pluralis sebagai pembenaran akan gagasanmereka.

20

Esensi dari hadith tersebut menyatakan bahwa wujudkecintaan Allah yang mutlak agar dikenal oleh selain diri-Nyatelah mendorong-Nya untuk menciptakan jagat raya.85 Makapenciptaan makhluk adalah ekspresi cinta yang pertama dariAllah SWT. Ibn ‘Arabi menuturkan bahwa alam ini diwujudkandari cinta Ilahi untuk dikenal (wa ma khalaqtu al-jinna wa al-insa illaliya’buduni).86 Oleh sebab itu selama cinta-Nya masih ada makasemesta ini belum berakhir dari itu pula disimpulkan bahwacinta Ilahi adalah penyebab kelestarian alam semesta ini.Kalaulah bukan karna cintanya tentu alam ini sudah tiada.87

Namun, nampaknya hadith ini juga dijadikan sandaran oleh kaumpluralis, dalam usaha mereka menggaungkan pluralisme agama.Dengan nilai-nilai relatifisme mereka mengatakan bahwapersepsi manusia berbeda-beda dalam mengenal tuhan, sehinggamanusia bebas beragama apa saja. Agaknya kaum pluralisbersikap masa bodoh dengan keotentikan hadith tersebut, selamaitu membantu mereka mensukseskan ideologi mereka, mereka tidakpeduli apakah itu hadith mawdhu’ makzhub ataupun dha’if.

f. Konsekuensi Ajaran MahabbahAl-mahabbah yang diadopsi Ibn ‘Arabi menimbulkan

konsekuensi yang kompleks. Menurut syaikh Mahmoud Ghuroub,bagi Ibn ‘Arabi Al-hubbu la yaqbalu al-ishtirak88 merupakan salah satuhakikat yang harus ditanggung seorang muhib (pecinta). Ituberarti bahwa dalam pengabdiannya kepada Tuhannya, seoranghamba harus bersikap setia dan tidak boleh menduakan cintanya

85 Lihat: Ibn ‘Arabi, al-Futūhāt . . . , juz. 3, hal. 167. Tidak sampai disitu, menurut Ibn ‘Arabi segala gerak makhluk di dunia ini juga berawaldari cinta Ilahi. Segala perputaran kosmis senantiasa dilandasi oleh cinta-Nya, sehingga elemen yang bergerak dimuati oleh cinta. Gerakan tersebuttidak berujung ke mana-mana melainkan kembali kepada-Nya. Lihat: YunasrilAli, Sufisme . . . , hal.181.

86 QS: Adz-Dzariyyat: 56.87 Mahmoud al-Ghuroub, al-Hubb wal-Mahabbah min Kalami al-Shaikh al-Akbar Muhyi

al-Din Ibn al-‘Arabiy, (Mathba’a Nadhar, c. 2, 1992). hal. 13-14. 88 Mahmoud al-Ghuroub, al-Hubb . . . , hal. 27-28.

21

atau menyekutukannya. Inilah yang menjadi hikmah bahwa kalimatpernyataan setia “la ilaha illallah” menjadi kalimat thayyibah89 yangdiumpamakan oleh Allah sebagai pohon yang baik, berakar baik,bercabang baik dan berbuah baik. Kemudian ditegaskan lagi padaayat selanjutnya90 bahwa Allah akan meneguhkan orang yangberiman dengan ucapan kalimat thayyibah (meng-esakan) itu dan akanmenyesatkan orang yang beriman dengan kalimat khabitsah(menyekutukan Allah). Ayat ini seharusnya mematahkan doktrintransendentalitas yang mengaburkan makna ajaran mahabbah. Padahakikatnya Allah tidak rela agama cinta-Nya diduakan. Satu-satunya agama cinta yang Ibn ‘Arabi maksudkan adalah agamaIslam.

Konsekuensi lainnya adalah al-hubbu yu’mi wa yushimm91 yangartinya cinta itu membutakan dan menulikan. Seseorang yangjatuh cinta pastilah membutakan matanya, dalam artian diatidak akan melihat kecantikan di luar kecantikan kekasihnya.Metafora ini mencoba menyampaikan bahwa cinta kepada Allahseharusnya bersifat fanatik dan absolut. Maka seorang hambayang mencintai Tuhannya dengan cinta yang relatif, danmenganggap ada cinta kepada tuhan lain yang sama eksisnyadengan kepada Tuhannya, maka ia tidak dianggap mencintaiTuhannya. Ini sama saja menyatakan bahwa siapa saja memeluksuatu agama lantas berkata bahwa ada kebenaran lain di luaragama itu, maka sama saja ia tidak beragama. Pada akhirnyanilai-nilai relatifisme yang didakwakan kepada Ibn ‘Arabi akanmenjadi “mansukh” begitu saja dengan mengeksplorasi karya-karyaIbn ‘Arabi lebih mendalam.

III. Kesimpulan Sebagai kesimpulan, dengan membaca karya-karya Ibn ‘Arabi

secara serius, sangat keliru jika memasukkan sang tokoh ini kedalam barisan transendentalis, yang memandang bahwa semua

89 QS: Ibrahim: 24-25.90 QS: Ibrahim: 26-27.91 Mahmoud al-Ghuroub, al-Hubb . . . , hal. 27-28.

22

agama sebenarnya jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan danakan bertemu pada level esoteris. Ada terdapat banyakkonsekuensi dalam memahami ajaran hubb wa al-mahabbah yang dibawaoleh Ibn ‘Arabi ini. Salah satunya din al-hub yang dimaksudkanIbn ‘Arabi mengharuskan pemeluk agama untuk mengikuti syariatyang telah ditentukan, tidak menduakan kebenaran dalam agamaitu, pengakuan kebenaran dalam agama tersebut haruslahbersifat absolut dan tidak boleh relatif. Akumulasi darikonsekuensi-konsekuensi tersebut ditambah pengakuan Ibn ‘Arabisendiri, membebaskannya dari tuduhan transendentalis danpluralis.

Kekacauan terbesar soal pemikiran keagamaan Ibn ‘Arabimuncul dari karya William Chittick, Imaginal World: Ibn al‘Arabi andthe Problem of Religious Diversity. Kesalahan pemahaman terhadap Ibn‘Arabi yang juga pernah dilakukan oleh Frithjof Schuon initerjadi karna tidak seimbangnya eksplorasi terhadap karya-karya Ibn ‘Arabi. Sehingga terjadi simplikasi terhadapnya,kemudian pendangkalan bahkan distorsi yang akhirnya berujungpada justifikasi yang tidak hati-hati. Kerancuan pemahaman inijuga diperparah dengan berlebih-lebihan dalam mempopulerkanajaran beliau yang disebut bercorak pluralis. Agenda inimemang dilakukan barat untuk mencari pembenaran dari dalamIslam terhadap ide-ide mereka, sehingga banyak kaum Musliminsendiri yang salah dalam membaca pemikiran Ibn ‘Arabi karenamengikuti pemikiran pemikir Barat tersebut.

Wallahu a’lam bi ash-shawab.

23

Referensi

__________) Majma’u al-Lughah al-Arabiyya, al-Mu’jam al-Wasith,(Mesir: Maktaba al-Shuruq al-Dawliyyah, cet. 4, 2004).

‘Arabi, Ibn, al-Futūhāt al-Makkiyyah, ed. Osman Yahia, (Kairo: al-Hay’at a-Mishriyyat al-‘Ammah li al-Kitab, 1997)

‘Arabi, Ibn, Dzakha’ir al-A‘laq sharh Tarjumān al-Ashwāq, ed. MuhammadSalim al-Unsi (Beirut, 1312 H)

Al-‘Asqolani, Al-Imam Al-Hafidz Ibn Hajar, Fathu al-Bari SharhShahih al-Bukhori, terj. Ghazirah Abdi Ummah, (Jakarta:Pustaka Azzam, 2002)

Al’Ajaluni, Ismail, Kashfu al-Khafa, (Dar al-Furqon, 2000) Al-Ghuroub, Mahmoud, al-Hubb wal-Mahabbah min Kalami al-Syaikh al-Akbar

Muhyi al-Din Ibn al-‘Arabiy, (Kairo: Mathba’a Nadhar, 1992). Ali, Yunasril, Sufisme dan Pluralisme, (Jakarta: PT Elex Media

Komputindo, 2012).An-Nawawi, Imam, Shahih Muslim Bi Sharhi an-Nawawi, (Kairo: Dar el-

Hadith, 1994)Arif, Syamsuddin, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, (Jakarta: Gema

Insani, 2008).As-Suyuthi, Jalaluddin, Tanbihu al-Ghabiyyi biTabriati Ibni ‘Arabi, (tanpa

penerbit)Asy-Sya’roniy, Abdul Wahhab, Al-Yawaqit Wal Jawahir Fi ‘Aqoidil Akabir,

(Dar el-Shadr, 2003)Atcjeh, Aboebakar, Wasiat-Wasiat Ibn ‘Arabi; Kupasan Hakekat dan Ma’rifat

Dalam Tasawwuf Islam (Jakarta: Lembaga Penyelidikan Islam,1976)

Badron, Mohd Sani bin, “Ibn al-‘Arabi’s Conception of Religion”, (tanpapenerbit, 1998)

Blackburn, Simon, Oxford Dictionary of Philosophy, (New York: OxfordUniversity Press, 1995).

Chatterjee, Margaret, Ghandi and the Challenge of Religious Diversity:Religious Pluralism Revisited, (New Delhi: Uthra PrintCommunication, 2005)

24

Chittick, William C., Dunia Imajinal Ibn Arabi Kreativitas Imajinasi danPersoalan Diversitas Agama, terj. Achmad Syahid, (Surabaya:Risalah Gusti, 2001)

Corbin, Henry, Creative Imagination in the Sufism of Ibn ‘Arabi, terj.Moh.Khozim dan Suhadi, (Yogyakarta: LKis, 2002)

Coward, Harold G., Modern Indian Responses to Religious Pluralism, (NewYork: New York Press, 1987).

Daud, Wan Mohd Nor Wan, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M.Naquib al-Attas, terj. Hamid Fahmi, (Bandung: Penerbit Mizan,1998)

Hamid, Ali Hasan Ali Abdul, ‘Aqidatu Ibn Arabi Wa Hayatuhu, (al-Mamlakah al-Arabiyah as-Sa’udiyyah: Maktabah Ibn Al-Jauziyah, 1988).

Hick, John, God Has Many Names, (Philadelphia: Westminster Press,1982)

Husaini, Adian, Pluralisme Agama: Haram! Fatwa MUI yang Tegas dan tidakKontroversial, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005)

Husaini, Adian, Tinjauan Historis Konflik Yahudi Kristen Islam, (Jakarta:Gema Insani Press, 2004)

KH. M. Sholikhin, Filsafat Dan Metafisika Dalam Islam, (Yogyakarta:Narasi, 2008).

Mujieb, M. Abdul, Syafi’ah, H. Ahmad Ismail, Ensiklopedi TasawufImam Al-Ghazali, ed. Luqman Junaedi, (Jakarta: Hikmah, 2009).

Nasr, Seyyed Hossein, Three Muslim Sages, (New York: CaravanBooks, 1964)

Nasr, Seyyed Hossein, Sufi Essays, (New York: Sunny Press, 1991)Schuon, Frithjof, Sufism: Veil and Quintessence : a New Translation with

Selected Letters, terj. Mark Perry & Jean Pierre Lafouge,(tanpa penerbit, 1998)

Shaliba, Jamil, al-Mu’jam al-Falsafi, (Beirut: Dar el-Kitab, 1982),juz. 2.

Sharma, S K, Raja Rammohun Roy; An Apostle of Indian Awakening, (NewDelhi: Krishan Mittal Publications, 2005).

25

Thoha, Anis Malik, Tren Pluralisme Agama (Jakarta: Perspektif,2005)

Zarkasyi, Amal Fathullah, Kuliah Tentang Konsep Tauhid Dalam PerspektifIlmu Kalam dan Tasawwuf, (Ponorogo: Fakultas Ushuluddin ISID,2006)

26