AKIBAT HUKUM PERATIFIKASIAN PERJANJIAN INTERNASIONAL DI INDONESIA: KASUS KONVENSI PALERMO 2000
KONVENSI MENGENAI PERLAKUAN TAWAN PERANG DAN PERLINDUNGAN ORANG SIPIL DI WAKTU PERANG (KONVENSI...
-
Upload
independent -
Category
Documents
-
view
3 -
download
0
Transcript of KONVENSI MENGENAI PERLAKUAN TAWAN PERANG DAN PERLINDUNGAN ORANG SIPIL DI WAKTU PERANG (KONVENSI...
1
KONVENSI MENGENAI PERLAKUAN TAWAN PERANG DAN
PERLINDUNGAN ORANG SIPIL DI WAKTU PERANG
(KONVENSI JENEWA III & IV)
A. Pendahuluan
Istilah Hukum Humaniter Internasional merupakan
terjemahan dari bahasa Inggris yaitu International
Humanitarian Law. Istilah lain yang kadang – kadang
dipakai ialah hukum sengketa bersenjata (the law of armed
conflict). Sebelum perang dunia istilah yang lazimnya
dipakai ialah hukum perang (the law of war), juga di
lingkungan angkatan bersenjata (armed forces) dibanyak
negara biasanya digunakan istilah hukum perang.1
Perubahan istilah ini dikarenakan istilah hukum
perang (the law of war) memiliki konotasi yuridis yakni
perang adalah sengketa bersenjata yang memenuhi syarat-
syarat tertentu yaitu pihak-pihak yang bertikai adalah
negara dan harus adanya pernyataan perang, padahal
dalam kenyataannya masih ada pertikaian bersenjata yang
tidak melibatkan negara dan tidak didahului dengan
pernyataan perang, sehingga mengakibatkan pihak-pihak
yang terlibat dalam pertikaian tidak dapat dilindungi
dari Hukum Internasional dibidang perang karena para
pihak tidak memenuhi syarat-syarat tersebut. Oleh
karena istilah hukum perang terikat oleh syarat-syarat1 Ria Wierma Putri, Hukum Humaniter Internasional, Bandar Lampung:Universitas Lampung, 2012, hlm. 1.
2
tertentu maka dipilih istilah yang dianggap netral yang
dapat melindungi semua pihak yaitu Hukum Pertikaian
Bersenjata (the law of armed conflict). Kemudian dalam
perkembangannya Hukum Pertkaian Bersenjata dimasuki
prinsip-prinsip kemanusiaan maka istilah Hukum
Pertkaian Bersenjata dirubah namanya menjadi Hukum
Humaniter Internasional (International Humanitarian Law).2
Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan bahwa Hukum
Humaniter adalah : “Bagian dari hukum yang mengatur
ketentuan-ketentuan perlindungan korban perang,
berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang itu
sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara
melakukan perang itu sendiri”.
Tujuan Utama Hukum Humaniter adalah memberikan
perlindungan dan pertolongan kepada mereka yang
menderita/menjadi korban perang, baik mereka yang
secara nyata/aktif turut dalam permusuhan (kombatan),
maupun mereka yang tidak turut serta dalam permusuhan
(penduduk sipil/Civilian population).3 Selain itu Hukum
Humaniter dibuat untuk membatasi akibat kekerasan dan
korban dalam peperangan.4 Dengan kata lain Hukum
Humaniter Internasional yang diterapkan dalam sengketa
bersenjata bertujuan untuk menjamin sejauh mungkin
2 J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, Terjemahan Bambang IrianaDjajaatmadja, Jakarta: Sinar Grafika, Hlm. 7283 Haryomataram, Pengantar Hukum Humaniter, Jakarta: PT Raja GrafindoPersada, 2005, hlm. 3.4 Haryomataram. Hukum Humaniter, Jakarta: C.V. Radjawali, 1994.Hlm. 11.
3
penghormatan terhadap manusia, sesuai dengan
persyaratan militer dan keamanan umum, serta untuk
mengurangi penderitaan berlebihan yang disebabkan oleh
peperangan.5 Oleh karena itu dibentuklah Konvensi
Jenewa 1949 yang membahas tentang perlindungan
terhadap korban perang (the Protection of Victims of war) yang
kemudian dijadikan salah satu sumber hukum dari
Humaniter.
Konvensi-konvensi Jenewa Tahun 1949 tentang
Perlindungan Korban Perang (Geneva Convention of 1949 for the
Protection of Victims of war) terdiri atas 4 Konvensi, yaitu :
1.Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Keadaan yang Luka
dan Sakit dalam Angkatan Bersenjata di Medan
Pertempuran Darat (Geneva Convention for the Amelioration
of the Condition of the Wounded and Sick in Armed Forces in the
Field, of August 12, 1949).
2.Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Keadaan Anggota
Angkatan Bersenjata di Laut yang Luka, Sakit, dan
Korban Karam (Geneva Convention for the Amelioration of the
Condition of the Wounded, Sick, and Shipwrecked Members of
Armed Forces at Sea, of August 12, 1949).
3.Konvensi Jenewa mengenai Perlakuan Tawanan Perang
(Geneva Convention relative to the Treatment of Prisoners of War,
of August 12, 1949).
5 Ahmad Baharudin, Hukum Humaniter Internasional, Bandar Lampung:Universitas Lampung, 2010, hlm. 7
4
4.Konvensi Jenewa mengenai Perlindungan Orang Sipil
di waktu Perang (Geneva Convention relative to the Protection
of Civilian Persons in time of War, of August 12, 1949).
Dalam penulisan ini, Penulis akan membahas
mengenenai Konvensi Jenewa III dan Konvensi Jenewa IV
yang mengatur mengenai bagaimana perlakuan terhadap
kombatan yang menjadi tawanan perang dan bagaimana
perlindungan terhadap orang sipil di waktu perang.
B. Konvensi Jenewa III mengenai Perlakuan Tawanan
Perang (Relative to The Treatment of Prisoners of War)
Konvensi Jenewa III menentukan bahwa Negara
Penahan bertanggung jawab atas perlakuan yang diberikan
kepada tawanan-tawanannya. Tawanan yang dimaksud adalah
tawanan Negara musuh, yaitu orang-perorangan yang
merupakan kombatan dari negara musuh.6 Dalam hal ini
kombatan negara musuh yang menjadi tawanan mempunyai
suatu perlindungan hukum dan tetap mendapatkan hak-
haknya. Perlindungan hukum terhadap kombatan yang
telah menjadi tawanan perang dapat berupa perlindungan
umum dan perlindungan khusus. Perlindungan umum,
meliputi : 7
1. Tawanan perang hanya dapat dipindahkan oleh Negara
Penahan ke suatu Negara yang menjadi peserta
Konvensi, dan setelah Negara Penahan mendapat
6 Pasal 12 Konvensi Jenewa III7 Ria Wierma, Op.Cit, hlm. 26-28
5
kepastian bahwa negara yang disertai tawanan itu
berkehendak dan sanggup untuk melaksanakan
Konvensi. Apabila tawanan perang dipindahkan dalam
keadaan tersebut, maka tanggung jawab tentang
pelaksanaan Konvensi terletak pada Negara yang
telah menerima mereka, selama mereka berada di
bawah pengawasannya.8
2. Tawanan perang harus diperlakukan dengan
perikemanusiaan. Setiap perbuatan yang
bertentangan dengan hukum, atau kelalaian Negara
Penahan yang mengakibatkan kematian atau yang
benar-benar membahayakan kesehatan tawanan perang
yang berada di bawah pengawasannya, adalah
dilarang dan harus dianggap sebagai pelanggaran
berat dari Konvensi ini. Tawanan perang terutama
tidak boleh dijadikan obyek pengudungan jasmani,
percobaan-percobaan kedokteran atau ilmiah dalam
bentuk apapun juga yang tidak dibenarkan oleh
pengobatan kedokteran, kedokteran gigi atau
kesehatan dari tawanan bersangkutan dan dilakukan
demi kepentingannya. Tawanan perang juga harus
selalu dilindungi, terutama terhadap tindakan-
tindakan kekerasan atau ancaman-ancaman, terhadap
penghinaan-penghinaan, dan tontonan umum, serta
dilarang melakukan tindakan-tindakan pembalasan
terhadap tawanan perang ataupun menyiksa dan
8 Pasal 12 Konvensi Jenewa III
6
memaksa tawanan perang untuk memberikan suatu
keterangan/informasi.9
3. Tawanan perang dalam segala keadaan berhak akan
penghormatan terhadap pribadi dan martabatnya.
Wanita harus diperlakukan dengan segala kehormatan
yang patut diberikan mengingat jenis kelamin
mereka, dan dalam segala hal harus mendapat
perlakuan yang baik dan berbeda dibanding
perlakuan yang diberikan kepada pria.10
4. Tawanan perang wajib mendapatkan jaminan
kesehatan. Dalam hal ini Negara yang menahan
tawanan perang wajib menjamin pemeliharaan mereka
dan perawatan kesehatan yang dibutuhkan oleh
mereka.11
Selanjutnya perlindungan khusus yang harus
diberikan kepada tawanan perang, adalah meliputi :12
1. Pada awal penangkapan harus dicatat identitasnya,
dibuat kartu pengenal dan semua benda atau barang
untuk keperluan pribadi tetap dimiliki.13
2. Pengasingan tawanan hanya dapat diasingkan oleh
negara penahan yang harus memperhatikan hal-hal
sebagai berikut:
9 Pasal 13 Konvensi Jenewa III10 Pasal 14 Konvensi Jenewa III11 Pasal 15 Konvensi Jenewa III12 Ria Wierma, Op.Cit, hlm. 26-2813 Pasal 17 -18 Konvensi Jenewa III
7
a. Setelah ditangkap, tawanan perang harus
segera dievakuasi ke kamp-kamp tawanan yang
letaknya dalam suatu daerah yang cukup jauh
dari medan pertempuran yang berada diluar
bahaya. Selagi menunggu pengungsian dari medan
pertempuran, harus dijaga agar tawanan perang
tidak menghadapi bahaya yang tidak perlu.14
b. Tawanan perang hanya dapat diasingkan dalam
bangunan-bangunan yang terletak di daratan dan
yang memberikan segala jaminan kebersihan dan
kesehatan serta perlindungan dari bahaya.
Kecuali dalam hal-hal khusus yang dibenarkan
oleh kepentingan tawanan itu sendiri, tawanan
tidak boleh diasingkan dalam penjara.15
c. Kesehatan dan pengamatan kesehatan pribadi
tawanan perang harus terjamin. Setiap kamp
tawanan harus mempunyai rumah sakit yang cukup
memenuhi syarat di mana tawanan perang dapat
memperoleh pengamatan kesehatan yang mereka
perlukan, begitupun juga makanan yang tepat.16
d. Tawanan perang harus diberi tempat tinggal
yang layak dan baik. Dalam hal ini tempat
tinggal yang sama seperti yang diberikan
kepada tentara Negara Penahan, mendapatkan
makanan pokok yang berkualitas dan kuantitas
14 Pasal 19 Konvensi Jenewa III15 Pasal 22-23 Konvensi Jenewa III16 Pasal 29-30 Konvensi Jenewa III
8
serta pakaian yang cukup dengan memperhatikan
iklim di daerah tempat tawanan ditahan.17
e. Negara penahan memperkerjakan tawanan perang
secara manusiawi dengan memperhatikan umur,
jenis kelamin.18
f. Setiap pemindahan tawanan perang harus
dilakukan dengan manusiawi.19
Tawanan perang tetap mendapatkan hak-hak dan
kemampuan perdatanya, hak-hak dan kemampuan perdata
tersebut adalah sebagai berikut :
1. Tawanan perang dalam segala keadaan berhak akan
penghormatan terhadap pribadi dan martabatnya.20
2. Negara yang menahan tawanan perang wajib menjamin
pemeliharaan mereka dan perawatan kesehatan,
kebersihan dan pelindungan dari bahaya yang
dibutuhkan oleh mereka dengan cuma-cuma.21
3. Semua benda dan barang-barang untuk keperluan
pribadi, kecuali senjata, kuda, perlengkapan
militer dan dokumen-dokumen militer, harus tetap
dimiliki tawanan perang, begitu pula topi baja dan
kedok gas serta barang-barang serupa itu telah
disediakan untuk perlindungan pribadi. Benda dan
barang-barang yang digunakan untuk pakaian atau
17 Pasal 24-77 Konvensi Jenewa III18 Pasal 49 Konvensi Jenewa III19 Pasal 46-48 Konvensi Jenewa III20 Pasal 14 Konvensi Jenewa III21 Pasal 15 Konvensi Jenewa III
9
makanan mereka harus juga tetap mereka miliki,
sekalipun benda dan barang-barang tersebut
termasuk dalam perlengkapan militer mereka.22
4. Tanda-tanda pangkat dan kebangsaan, tanda-tanda
jasa dan barang-barang yang khususnya mempunyai
nilai pribadi atau barang kenangan tidak boleh
diambil dari tawanan perang.23
5. Uang yang dibawa tawanan perang tidak boleh
diambil atau dirampas dari mereka. Negara Penahan
hanya dapat mengambil barang-barang berharga dari
tawanan perang berdasarkan alasan-alasan keamanan;
apabila barang-barang tersebut diambil, maka
prosedur yang ditetapkan untuk pengambilan jumlah
uang akan berlaku. Yaitu uang tawanan perang dapat
diambil apabila atas perintah seorang perwira dan
setelah jumlah uang dan keterangan-keterangan
tentang pemiliknya dicatat dalam suatu daftar
khusus dan setelah diberikan suatu tanda terima
yang diperinci, yang dengan jelas memuat nama,
pangkat serta kesatuan dari orang yang
mengeluarkan tanda terima itu.24
6. Negara Penahan harus menyediakan segala fasilitas
bagi penyaluran alat-alat, surat-surat atau
dokumen-dokumen yang diperuntukkan tawanan perang
22 Pasal 18 Konvensi Jenewa III23 Ibid.24 Ibid.
10
atau yang dikirim oleh mereka, terutama surat
kuasa serta wasiat.25
7. Negara Penahan dalam segala hal harus mempermudah
persiapan dan pelaksanaan dokumen-dokumen tersebut
untuk kepentingan tawanan perang; terutama mereka
harus memperkenankan tawanan perang memperoleh
bantuan seorang pengacara dan harus mengambil
segala tindakan yang perlu untuk pengesahan tanda
tangan mereka.26
8. Tawanan perang harus memperoleh kebebasan penuh
dalam mejalankan kewajiban keagamaan mereka,
kegiatan pendidikan, hiburan dan olah raga bagi
tawananan perang.27
C. Konvensi Jenewa IV Tentang Perlindungan Orang
Sipil di Waktu Perang (Relative to the Protection of Civilian
Persons in time of War)
Konvensi Jenewa IV mengenai Perlindungan Penduduk
Sipil dalam waktu Perang merupakan konvensi yang yang
mengatur kedudukan penduduk sipil pada pihak-pihak yang
bersengketa, baik dalam daerah pertempuran maupun
daerah pendudukan serta di negara-negara netral.
Setiap pihak konflik baik secara langsung melalui
negaranya ataupun melalui negara netral wajib
melindungi pihak-pihak yang tidak ikut aktif berperang,
25 Pasal 77 Konvensi Jenewa III26 Ibid.27 Pasal 33-38 Konvensi Jenewa III
11
diantaranya orang-orang yang terluka atau sakit baik
itu kombatan ataupun non kombatan dan orang sipil yang
tidak terlibat konflik. Kombatan adalah golongan
penduduk yang merupakan angkatan bersenjata yang secara
aktif turut serta dalam pertempuran atau permusuhan
(hositilities), sedangkan non kombatan adalah golongan
penduduk yang merupakan angkatan bersenjata yang tidak
turut serta dalam pertempuran atau permusuhan.
Penduduk sipil (Civilian) ialah mereka yang tidak turut
serta secara aktif dalam permusuhan atau pertempuran,
mereka harus dilindungi dan tidak boleh dijadikan
sasaran serangan.28 Penduduk sipil (Civilian) adalah
golongan penduduk yang tidak turut serta dalam
permusuhan.29
Berdasarkan Konvensi Jenewa IV, penduduk sipil
yang dapat dilindungi adalah :
1.Orang asing di wilayah pendudukan.
Pada waktu pecah perang antara negara yang warga
negaranya berdiam di wilayah negara musuh, maka
orang-orang asing ini merupakan warga negara
musuh. Walaupun demikian, mereka tetap mendapatkan
penghormatan dan perlindungan di negara dimana
mereka berdiam.
28 Haryomataram, Sekelumit Tentang Hukum Humaniter, Surakarta: SebelasMaret University Press, 1994, Hlm. 10229 Arlina Permanasari, Aji Wibowo, Fadillah Agus, Achmad Romsan,Supardan Mansyur, Michael G. Nainggolan, Pengantar Hukum Humaniter,Miamita Print, Jakarta, 1999, Hlm. 73
12
2.Orang yang tinggal di wilayah pendudukan
Dalam wilayah pendudukan, penduduk sipil
sepenuhnya harus dilindungi. Penguasa Pendudukan
(occupying power) tidak boleh mengubah hukum yang
berlaku di wilayah tersebut. Dengan perkataan
lain, hukum yang berlaku di wilayah tersebut
adalah hukum dari negara yang diduduki. Oleh
karena itu, perundang-undangan nasional dari
negara yang diduduki masih berlaku (secara de
jure), walaupun yang berkuasa atas wilayah
pendudukan adalah Penguasa Pendudukan (secara de
facto). Sejalan dengan hal ini, maka Pemerintah
Daerah di wilayah yang diduduki, termasuk
pengadilannya, harus diperbolehkan untuk
melanjutkan aktivitas-aktivitas mereka seperti
sedia kala. Orang-orang sipil di wilayah ini harus
dihormati hak-hak asasinya; misalnya mereka tidak
boleh dipaksa bekerja untuk Penguasa Pendudukan,
tidak boleh dipaksa untuk melakukan kegiatan-
kegiatan militer. Penguasa Pendudukan bertanggung
jawab untuk memelihara dinas-dinas kesehatan,
rumah sakit dan bangunan-bangunan lainnya.
Perhimpunan Palang Merah atau Bulan Sabit Merah
Nasional harus tetap diperbolehkan untuk
melanjutkan tugas-tugasnya.
3. Interniran Penduduk Sipil
13
Penginterniran penduduk sipil musuh merupakan
tindakan perampasan kebebasan yang hanya dapat
diambil apabila memang ada alasan-alasan keamanan
yang riil yang mendesak. Penginterniran itu
sebenarnya suatu tindakan diskriminatif
administrativf prefentif bukan suatu tindakan
hukuman. Orang-orang sipil yang dapat diinternir
adalah :
a. Penduduk sipil musuh dalam wilayah pihak
yang bersengketa yang perlu diawasi dengan
ketat demi kepentingan keamanan30;
b. Penduduk sipil musuh dalam wilayah pihak
yang bersengketa yang dengan suka rela
menghendaki untuk diinternir; atau karena
keadaannya menyebabkan ia diinternir31;
c. Penduduk sipil musuh dalam wilayah yang
diduduki, apabila Penguasa Pendudukan
menghendaki mereka perlu diinternir karena
alas an mendesak32;
d. Penduduk sipil yang telah melakukan
pelanggaran hukum yang secara khusus
bertujuan untuk merugikan Kekuasaan
Pendudukan, asal saja bukan merupakan
percobaan pembunuhan atau apabila tidak
30 Pasal 41 Konvensi Jenewa IV31 Pasal 42 Konvensi Jenewa IV32 Pasal 78 Konvensi Jenewa IV
14
menimbulkan bahaya yang baesar bagi
Kekuasaan Pendudukan.33
Selanjutnya, para interniran sipil ini tidak boleh
ditempatkan di dalam daerah-daerah yang sangat terancam
bahaya perang. Bila kepentingan militer memerlukan,
tempat interniran ini harus ditandai dengan huruf “IC”
(TI = Tempat Interniran; IC = Internment Camps), atau
system penandaan lainnya yang disepakati. Pengurusan
para interniran, harus dilakukan oleh Negara Penahan,
termasuk meliputi layaknya tempat interniran, makanan
dan pakaian, kebersihan dan pengamatan kesehatan, serta
kegiatan-kegiatan keagamaan. Setiap tempat interniran,
harus ditempatkan di bawah kekuasaan seorang perwira
yang bertanggung jawab, yang dipilih dari anggota
angkatan bersenjata tetap atau pemerintahan sipil biasa
dari Negara Penahan. Para interniran sipil, walaupun
dilindungi sepenuhnya oleh Konvensi Jenewa, tetap dapat
dijatuhi sanksi pidana dan sanksi disipliner. Asal
penjatuhan sanksi-sanksi tersebut harus sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku di daerah
yang diinternir tersebut. Segera setelah permusuhan
berakhir, interniran sipil harus dipulangkan kembali ke
negara asal mereka. Namun hal ini tidak menutup
kemungkinan untuk melakukan tindakan-tindakan serupa
selama berlangsungnya permusuhan antara para pihak yang
bersengketa.34
33 Pasal 68 Konvensi Jenewa IV34 Arlina Permanasari dkk, Op.Cit, hlm. 175-176.
15
Berdasarkan Konvensi Jenewa IV, perlindungan umum
yang diberikan kepada penduduk sipil tidak boleh
dilakukan secara diskriminatif. Dalam segala keadaan,
penduduk sipil berhak atas penghormatan pribadi, hak
kekeluargaan, kekayaan dan praktek ajaran agamanya.
Terhadap mereka, tidak boleh dilakukan tindakan-
tindakan sebagaimana yang disebutkan dalam Konvensi
Jenewa IV yang menyatakan bahwa: 35
1. Orang-orang yang dilindungi, dalam segala keadaan
berhak akan penghormatan atas diri pribadi,
kehormatan hak-hak kekeluargaan, keyakinan dan
praktek keagamaan, serta adat istiadat dan
kebiasaan mereka. Mereka selalu harus diperlakukan
dengan perikemanusiaan, dan harus dilindungi
khusus terhadap segala tindakan kekerasan atau
ancamanancaman kekerasan dan terhadap penghinaan
serta tidak boleh menjadi objek tontonan umum;
2. Wanita harus terutama dilindungi terhadap setiap
serangan atas kehormatannya, khususnya terhadap
perkosaan, pelacuran yang dipaksakan, atau setiap
bentuk serangan yang melanggar kesusilaan. Tanpa
mengurangi ketentuan-ketentuan yang berkaitan
dengan keadaan kesehatan, umur dan jenis kelamin
mereka, maka semua orang yang dilindungi harus
diperlakukan dengan cara yang sama oleh Pihak
dalam sengketa dalam kekuasaan mana mereka berada,
35 Pasal 27-34 Konvensi Jenewa IV
16
tanpa perbedaan merugikan yang didasarkan terutama
pada suku, agama atau pendapat politik. Akan
tetapi Pihak-pihak dalam sengketa dapat mengambil
tindakan-tindakan pengawasan dan keamanan
berkenaan dengan orang-orang yang dilindungi, yang
mungkin diperlukan sebagai akibat perang;
3. Orang-orang yang dilindungi harus memperoleh
setiap fasilitas untuk berhubungan secara tertulis
dengan Negara Pelindung, dengan Komite Palang
Merah Internasional, Perhimpunan-perhimpunan
Palang Merah Nasional (Bulan Sabit Merah, Singa
dan Matahari Merah) dari negara-negara tempat
mereka berada, demikian pula dengan setiap
organisasi yang dapat memberi bantuan kepada
mereka.
4. Terhadap orang yang dilindungi tidak boleh
dilakukan paksaan phisik atau moral, terutama
untuk memperoleh keterangan-keterangan dari mereka
atau dari pihak ketiga
5. Dilarang mengambil tindakan apapun yang sifatnya
menimbulkan penderitaan-penderitaan jasmani atau
pemusnahan orang-orang yang dilindungi yang ada
dalam tangan mereka. Larangan ini tidak hanya
berlaku Universitas Sumatera Utara terhadap
pembunuhan, penganiayaan, hukuman badan,
pengudungan serta percobaan-percobaan kedokteran
atau percobaan-percobaan ilmiah yang tidak
17
diperlukan oleh perawatan kedokteran daripada
seorang yang dilindungi, akan tetapi juga berlaku
terhadap setiap tindakan kekuasaan lainnya, baik
yang dilakukan oleh alat-alat negara sipil maupun
militer.
6. Perampokan dilarang. Tindakan pembalasan terhadap
orang-orang yang dilindungi dan harta miliknya
adalah dilarang
7. Penangkapan orang untuk dijadikan sandera
(tanggungan) dilarang
Dapat disimpulkan isi dari pasal 27-34 tersebut
tentang perlindungan umum terhadap penduduk sipil yaitu
adalah:36
1. Melakukan pemaksaan jasmani maupun rohani untuk
memperoleh keterangan;
2. Melakukan tindakan yang menimbulkan penderitaan
jasmani;
3. Menjatuhkan hukuman kolektif;
4. Melakukan intimidasi, terorisme dan perampokan;
5. Melakukan pembalasan (reprisal);
6. Menjadikan mereka sebagai sandera;
Perlindungan yang diberikan kepada penduduk sipil
menurut konvensi jenewa IV adalah Perlindungan umum
kepada penduduk sipil terhadap akibat-akibat perang,
yaitu dilakukan dengan pengadaan daerah-daerah
keselamatan dan daerah yang dinetralisir oleh pihak-36 Arlina Permanasari dkk, Op.Cit, hlm. 170.
18
pihak peserta konvensi untuk memberikan perlindungan
kepada penduduk sipil yang karena usia dan keadaannya
lemah akibat perang, seperti orang yang luka dan sakit,
orang tua, anak-anak dibawah lima belas tahun, wanita
hamil, dan ibu-ibu dari anak-anak dibawah tujuh tahun.
Daerah-daerah keselamatan yang dimaksud adalah daerah-
daerah perkampungan-perkampungan rumah sakit atau
keselamatan dalam wilayah mereka sendiri atau wilayah
yang mereka duduki yang bersifat permanen.37 Sebaliknya
daerah yang dinetralisir adalah daerah yang diadakan
didaerah pertempuran yang tidak bersifat permanen
dengan maksud untuk memberikan perlindungan dari akibat
perang kepada orang-orang sipil yang tidak ikut turut
serta dalam pertempuran dan penduduk yang luka atau
sakit baik kombatan ataupun non kombatan.38
Demikian besarnya perhatian yang diberikan
Konvensi Jenewa untuk melindungi penduduk sipil dalam
sengketa bersenjata, sehingga konvensi ini juga
mengatur mengenai pembentukan kawasan-kawasan rumah
sakit dan daerah-daerah keselamatan (safety zones), dengan
persetujuan bersama antara pihak-pihak yang
bersangkutan.39
Selain perlindungan umum yang diberikan terhadap
penduduk sipil dalam sengketa bersenjata sebagaimana
diuraikan di atas, maka terdapat pula sekelompok
37 Pasal 14 Konvensi Jenewa IV38 Pasal 15 Konvensi Jenewa IV39 Pasal 14 Konvensi Jenewa IV
19
penduduk sipil tertentu yang dapat menikmati
perlindungan khusus. Mereka umumnya adalah penduduk
sipil yang tergabung dalam suatu organisasi social yang
melaksanakan tugas-tugas yang bersifat sosial untuk
membantu penduduk sipil lainnya pada waktu sengketa
bersenjata. Mereka adalah penduduk sipil yang menjadi
anggota Perhimpunan Palang Merah Nasional dan anggota
Perhimpunan Penolong Sukarela lainnya, termasuk anggota
Pertahanan Sipil. Pada saat melaksanakan tugas-tugas
yang bersifat social (sipil), biasanya mereka
dilengkapi dengan sejumlah fasilitas (transportasi,
bangunan-bangunan khusus), maupun lambing-lambang
khusus. Apabila sedang melaksanakan tugasnya, mereka
harus dihormati (respected) dan dilindung (protected).
‘Dihormati’ berarti mereka harus dibiarkan untuk
melaksanakan tugas-tugas sosial mereka pada waktu
sengketa bersenjata; sedangkan pengertian ‘dilindungi’
adalah bahwa mereka tidak boleh dijadikan sasaran
serangan militer.40
Selain perlindungan terhadap kombatan yang terluka
atau sakit, dan perlindungan terhadap orang sipil,
Konvensi Jenenewa IV juga mengatur perlindungan
terhadap rumah, gedung, dang instansi yang dimiliki
orang sipil. Rumah sakit sipil harus selalu dihormati
dan dilindungi pada saat terjadinya konflik dan diberi
lambang atau tanda sebagai penunjuk keberadaannya yang
40 Arlina Permanasari dkk, Op.Cit, hlm. 176-177
20
merupakan daerah yang tidak boleh diserang. Konvensi
Jenewa Ke IV juga memuat mengenai perlindungan terhadap
harta benda yakni pasal 53 yang melarang setiap
pengrusakan oleh kekuasaan pendudukan dari pada harta
benda yang bergerak, maupun tidak bergerak milik orang
sipil perseorangan atau kolektif maupun milik
organisasai sosial badan umum kecuali diperlukan untuk
kepentingan militer.
Konvensi Jenewa IV menyebutkan bahwa apabila dalam
perang yang diserang dan dibunuh adalah penduduk sipil
termasuk didalamnya wanita dan anak-anak dan
penyerangan dilakukan secara membabi buta tanpa
membedakan sasaran militer dan bukan serta dilakukan
dalam skala besar, pembunuhan dilakukan dengan sengaja,
melakukan tindakan penganiayaan, perlakuan tidak
berperikemanusiaan dan penahanan sewenang-wenang, yang
seharusnya merupakan kelompok orang yang wajib
dilindungi menurut konvensi ini merupakan suatu
kejahatan perang dan pelanggaran hukum humaniter yang
digolongkan sebagai pelanggaran berat.41 Kemudian Pasal
50 menengaskan kembali Pelanggaran hukum humaniter yang
digolongkan sebagai pelanggaran berat, apabila
pelanggaran tersebut dilakukan terhadap orang-orang
atau objek yang dilindungi oleh Konvensi, meliputi
perbuatan :
1. Pembunuhan disengaja.
41 Pasal 27 Konvensi Jenewa IV
21
2. Penganiayaan dan atau perlakuan yang tidak
berperikemanusiaan.
3. Percobaan-percobaan biologi yang menyebabkan
penderiataan besar atau luka atas badan atau
kesehatan yang berat.
4. Penghancuran yang luas.
5. Tindakan perampasan harta benda yang tidak
dibenarkan oleh kepentingan militer dan
dilaksanakan dengan melawan hukum serta semena-
mena.
D. Kesimpulan dan Saran
1. Kesimpulan
a. Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa
Konvensi Jenewa III adalah konvensi yang mengatur
mengenai bagaimana perlakuan terhadap tawanan
perang, yaitu orang-perorangan yang merupakan
kombatan atau angkatan bersenjata dari negara
musuh yang aktif dalam peperangan. Konvensi ini
mengatur adanya perlindungan hukum terhadap
tawanan perang tersebut dan mengatur bagaimana
negara penahan memperlakukan tawanan perangnya.
Sehingga negara penahan tidak seenaknya
memperlakukan tawanan perang tersebut. Dalam hal
ini tidak menyiksa, membunuh, maupun melakukan
balas dendam terhadap tawanan perang yang sudah
tidak berdaya. Sehingga apa yang menjadi tujuan
22
hukum humaniter bisa tercapai, yaitu meminimalisir
korban dan mengurangi penderitaan berlebihan yang
disebabkan oleh peperangan.
b. Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa
Konvensi Jenewa IV adalah konvensi yang mengatur
mengenai perlindungan orang-orang sipil di waktu
perang. Konvensi ini merupakan pelengkap dari
konvensi-konvensi sebelumnya. Berdasarkan konvensi
ini, negara-negara yang berperang, selain dilarang
melakukan penyerangan terhadap orang-orang yang
terluka atau sakit baik itu kombatan ataupun non
kombatan juga dilarang melakukan penyerangan pada
orang-orang sipil, dalam hal ini adalah golongan
penduduk yang tidak turut serta dalam peperangan
seperti seperti wanita, pria yang bukan kombatan,
anak-anak yang masih kecil, maupun anggota palang
merah (anggota medis). Selain itu negara-negara
dalam berperang dilarang menyerang rumah orang-
orang sipil, harta benda orang-orang sipil, dan
gedung/instalansi umum seperti rumah sakit,
sekolah, tempat beribadah. Sehingga korban dan
akibat dari peperangan dapat diminimalisir.
2. Saran
a. Sebisa mungkin perang itu dihindari oleh suatu
negara yang sedang mengalami konflik internal di
dalam negaranya sendiri maupun konflik antar satu
negara dengan negara lainnya agar penduduk sipil
23
tidak menjadi korbannya seperti wanita, pria,
maupun anak-anak yang masih kecil yang seharusnya
bisa menjadi penerus cita-cita dari suatu negara
tetapi harus menjadi korban pada usia yang masih
sangat muda.
b. Perang seharusnya tidak menjadi jalan penyelesaian
dari konflik internal yang terjadi di dalam suatu
negara ataupun konflik di antar negara. Ada
beberapa cara yang bisa dilakukan seperti
perundingan maupun negosiasi yang dimana cara
tersebut tidak menggunakan cara kekerasan yang
dapat menyebabkan banyak penduduk sipil menjadi
korban jiwa.
c. Negara-negara yang ikut dalam Konvensi Jenewa IV
yaitu Konvensi yang berisi tentang perlindungan
penduduk sipil di waktu perang harus benar-benar
mematuhi dan melaksanakan sepenuhnya isi Konvensi
tersebut dan jangan mengabaikannya agar penduduk
sipil yang berada di dalam wilayah negara yang
berperang merasa aman dan dilindungi oleh negara
di tempat dimana mereka berada. Dengan
dilaksanakannya dan dipatuhinya isi Konvensi
Jenewa IV tersebut oleh negara-negara yang ikut di
dalamnya, maka penduduk sipil yang berada di dalam
negara yang berperang tidak akan menjadi korban
jiwa.