PENGKAJIAN NYERI KRONIK - Website Staff UI |

56

Transcript of PENGKAJIAN NYERI KRONIK - Website Staff UI |

PENGKAJIAN

NYERI KRONIK

MODUL PELATIHAN KETERAMPILAN DASAR UNTUK MAHASISWA

DAN PROFESIONAL KESEHATAN

RATNA FARIDA SOENARTO

RADEN BESTHADI SUKMONO

ARDI FINDYARTINI

ASTRID PRATIDINA SUSILO

Kata Pengantar

Kutipan ini diambil dari sebuah artikel berjudul Time to Flip the Pain Curriculum yang mengadvokasikan bahwa fokus pembelajaran nyeri lebih berorientasi ke aspek biomedis perlu “dibalik” menuju ke penguatan penggalian dan pengelolaan aspek fungsional dan psikososial. Artikel tersebut menjadi salah satu inspirasi modul keterampilan dasar yang kami susun: Pengkajian Nyeri Kronik: Modul Pelatihan Keterampilan Dasar untuk Mahasiswa dan Profesional Kesehatan. Modul ini berusaha menjawab kebutuhan penguatan pembelajaran pengkajian nyeri di Indonesia yang lebih komprehensif. Pengkajian nyeri adalah suatu proses “dialog” antara pasien dan tenaga kesehatan tentang deskripsi nyeri dan intensitasnya, respons pasien terhadap nyeri, serta dampak nyeri terhadap kehidupan pasien. Penekanan dan pengulangan prinsip pengkajian nyeri ini melalui berbagai metode pembelajaran berguna untuk membantu pembelajar mengaplikasikan pengkajian nyeri yang komprehensif. Penggunaan simulasi sebagai metode pembelajaran utama dan penerapan pelatihan secara longitudinal dalam kurikulum merupakan faktor yang mendukung keberhasilan penerapan modul ini. Mnemonic PQRST dan ACT-UP, yang akan diperkenalkan dalam modul ini, juga akan membantu pembelajar untuk melakukan pengkajian nyeri dengan lebih terstruktur. Substansi modul ini bersifat generik. Dengan menyesuaikan kompleksitas kasus, modul ini dapat diaplikasikan dalam berbagai tahapan pembelajaran, baik pra-klinis maupun rotasi klinis. Walaupun diujicobakan pada mahasiswa kedokteran, modul ini dapat dimodifikasi untuk profesi kesehatan lain seperti farmasi dan keperawatan, baik sebagai bagian dari pembelajaran formal maupun dalam pembelajaran profesional berkelanjutan. Skenario, video kuliah dan simulasi, struktur pelatihan, dan instrumen evaluasi kami sediakan sebagai contoh untuk diadopsi dalam berbagai pelatihan. Modul ini didasarkan pada tesis berjudul Pelatihan Pengkajian Nyeri Kronik untuk Meningkatkan

Pengetahuan dan Keterampilan Mahasiswa Fakultas Kedokteran: Uji Acak Tersamar Ganda untuk

Membandingkan Mnemonic PQRST dan ACT-UP dan Mnemonic PQRST saja yang disusun oleh Astrid Pratidina Susilo sebagai prasyarat Program Pendidikan Dokter Spesialis I Anestesiologi dan Terapi Intensif di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia tahun 2018.

“We believe…that the now-standard approach to pain education, which begins with and emphasizes processes at the subcellular and cellular scale, poorly prepares trainees to assess and

treat pain in everyday clinical practice.”

1

Carr DB, Bradshaw YS. Time to flip the pain curriculum? Anesthesiology. 2014;120:12–4.1

Kami berterima kasih terhadap semua pihak yang telah berperan dalam proses penyusunan dan uji coba modul ini, antara lain para pakar nasional dan internasional yang terlibat dalam proses validasi instrumen, Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI, Simulation Based Medical Education and Research Center (SIMUBEAR) – IMERI dan pihak FKUI yang telah mendukung proses penelitian melalui penyediaan fasilitas dan dana, Paguyuban Residen Anestesi FKUI yang telah menjadi panitia dan fasilitator pelatihan dan penelitian, mahasiswa dan pasien simulasi FKUI yang telah mengikuti proses pelatihan, serta Medical Education Unit FKUI yang membantu pengaturan tata letak modul ini. Kami berharap modul ini dapat menjadi kontribusi bagi pembelajaran manajemen nyeri dan peningkatan kualitas hidup penderita nyeri kronik di Indonesia.

Jakarta, Februari 2019 Tim Penyusun

Dr.dr. Ratna Farida Soenarto, SpAn-KAKVdr. Raden Besthadi Sukmono, SpAn-KARdr. Ardi Findyartini, PhDdr. Astrid Pratidina Susilo, SpAn, PhD

ii

DaftarIsi

Pendahuluan

Pembelajaran

Kata PengantarDaftar IsiDaftar Singkatan

2.1 Kompetensi yang Dicapai

2.2 Dasar Teori

Evaluasi 3.1 Tes Pengetahuan

3.2 Skenario dan Daftar tilik

3.3 Kuesioner Kepuasan

Daftar Pustaka

2.3 Komponen-komponen dalam Pembelajaran

2.2.1 Fisiologi Nyeri Kronik

2.2.2 Pengkajian Nyeri Kronik

2.3.1 Paparan dengan Pasien Nyeri Kronik

2.3.2 Kuliah

2.3.3 Simulasi

2.4 Narasumber dan Fasilitator

2.5 Contoh Skenario

2.6 Contoh Adopsi Modul dalam Berbagai Konteks Pembelajaran

2.7 Contoh Adopsi Modul untuk Berbagai Profesi Kesehatan

iii

iv

1

4

i

466

10

1415151517172324

263238

25

40

iii

DaftarSingkatan

ACT-UPFKUIHNPIASPIMERIKKDMRINRSPRQSTROMSKDIVASWHO

Activities, Coping, Think, Upset, PeopleFakultas Kedokteran Universitas IndonesiaHernia Nucleus PulposusInternational Association for the Study for PainIndonesian Medical Education and Research InstituteKeterampilan Klinik DasarMagnetic Resonance ImagingNumerical Rating Scale Provokes and Palliate, Quality, Region and Radiation, Severity, Time Range of MotionStandar Kompetensi Dokter IndonesiaVisual Analogue ScaleWorld Health Organization

iv

Pendahuluan1

Nyeri kronik adalah salah satu masalah kesehatan yang dapat menurunkan

kualitas hidup penderitanya. Kondisi ini dapat memengaruhi kondisi psikologis

penderita, menurunkan produktivitas kerja, mengganggu aktivitas sehari-hari

dan berdampak signifikan secara sosial dan ekonomis.1,2

Prevalensi nyeri kronik secara umum bervariasi di berbagai belahan dunia,

berkisar antara 10,1-55,2% populasi dewasa.1,3 Menurut estimasi WHO, 20%

populasi dunia menderita nyeri kronik.4 Di Indonesia, sebuah survei di 13 rumah

sakit di kota besar menunjukkan bahwa 21,8% pasien dengan keluhan nyeri di

klinik saraf memiliki keluhan neuropatik.5 Tingginya prevalensi nyeri ini

menunjukkan bahwa manajemen nyeri masih mengalami berbagai hambatan.

Hambatan manajemen nyeri dapat berhubungan dengan pasien, profesional

kesehatan atau sistem kesehatan.6 Salah satu hambatan dari sisi profesional

kesehatan adalah kurangnya pengetahuan dan keterampilan untuk mengenali

dan mengelola nyeri.6 Penelitian di beberapa negara menunjukkan bahwa

kompetensi nyeri tenaga kesehatan belum adekuat.7,8 Karena nyeri bersifat

personal dan subyektif, tenaga kesehatan seringkali tidak mampu memahami

pengalaman nyeri pasien secara komprehensif.6

Walaupun profesional kesehatan di komunitas adalah ujung tombak pelayanan

primer yang akan menghadapi berbagai kasus nyeri kronik,9 pembelajaran nyeri

belum menjadi prioritas dalam kurikulum.10,11 Di Indonesia, kurikulum nyeri tidak

dicantumkan secara eksplisit dalam Standar Kompetensi Dokter Indonesia

namun merupakan bagian dari pembelajaran penyakit lain yang memiliki gejala

nyeri.12

1

Untuk meningkatkan pembelajaran nyeri, International Association for the Study

for Pain (IASP) telah merekomendasikan kompetensi inti kurikulum nyeri untuk

berbagai profesi kesehatan.13 IASP juga mencanangkan tahun 2018 sebagai The

Globar Year of Excellence in Pain Education untuk advokasi pentingnya

pembelajaran nyeri bagi profesional kesehatan dan pasien.14

Salah satu hal penting dalam kurikulum tersebut adalah pengkajian nyeri (pain

assessment).13 Pada dasarnya pengkajian nyeri adalah suatu proses “dialog”

antara pasien dan profesional kesehatan tentang deskripsi nyeri dan

intensitasnya, respons pasien terhadap nyeri serta dampak nyeri terhadap

kehidupan pasien.15 Paradigma pembelajaran nyeri disarankan untuk diubah

secara radikal, dengan tidak hanya berfokus pada aspek biologis tetapi lebih

komprehensif dengan menekankan aspek psikologis dan sosial.16,17 Ini selaras

dengan paradigma layanan kesehatan yang menekankan pentingnya

pendekatan yang berpusat kepada pasien (patient-centeredness), yang

penerapannya harus dimulai dari institusi pendidikan.18 Pembelajaran nyeri yang

komprehensif dapat menjadi sarana untuk melatih kompetensi nonklinis, seperti

empati,19,20 aspek etika dan medikolegal,13 serta kemampuan kolaborasi

interprofesional.21-23

Modul pembelajaran pengkajian nyeri kronik ini menggunakan berbagai macam

pendekatan, yaitu paparan dengan pasien nyeri kronik, kuliah, dan simulasi.

Mnemonic PQRST dan ACT-UP akan digunakan sebagai struktur dalam pengkajian

nyeri. PQRST, yaitu Provokes and Palliate, Quality, Region and Radiation,

Severity dan Time, telah dipakai dalam berbagai praktik klinis dan dalam

pembelajaran di pendidikan kedokteran.15,24,25 Penggunaan PQRST memiliki

berbagai keuntungan. Pertama, mnemonic terbukti membantu pembelajar

mengingat dan mempraktikkan dengan cara yang lebih mudah.26 Kedua, aplikasi

mnemonic ini sederhana sehingga sesuai dengan konteks komunikasi antar

tenaga kesehatan dan pasien di Indonesia yang kompleks dan sering mengalami

keterbatasan waktu.27 Akan tetapi, fokus PQRST adalah aspek biomedis nyeri,

sehingga kurang mendukung penggalian aspek sosial dan psikologis pasien.15,25

Oleh karena itu dalam modul ini juga akan diperkenalkan mnemonic ACT-UP

(Activities, Coping, Think, Upset, People). Walaupun lebih jarang dikenal

dibandingkan dengan PQRST, ACT-UP memiliki nilai tambah untuk membantu

pembelajar melakukan pengkajian fungsional dan psikososial nyeri kronik.28,29

2

Kajian lebih lengkap tentang teori, pendekatan pembelajaran, dan mnemonic

PQRST dan ACT-UP akan dibahas di bab dua. Sedangkan rekomendasi cara

melakukan evaluasi yang dilengkapi dengan contoh alat ukur akan disajikan di

bab tiga. Gabungan dari berbagai pendekatan pembelajaran dalam modul ini

diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam pembelajaran pengkajian nyeri

kronik yang lebih komprehensif bagi profesional kesehatan di Indonesia.

3

Pembelajaran

2

4

yeri kronik adalah salah satu masalah yang dihadapi oleh lulusan pendidikan profesional

kesehatan.13 Sebagian besar pasien nyeri kronik mencari pertolongan dan mendapatkan

layanan kesehatan dalam konteks layanan primer.29 Kebutuhan untuk mengembangkan

pendekatan atau metode pembelajaran nyeri merupakan prioritas secara internasional. American

Pain Society menyatakan bahwa pengembangan manajemen nyeri melalui penelitian pendidikan

adalah salah satu agenda penelitian nyeri. Saat ini di dunia internasional diadvokasikan “flipping the

pain curriculum”. Fokus pembelajaran nyeri yang awalnya lebih berorientasi ke aspek biomedis

“dibalik” menuju ke penguatan penggalian dan pengelolaan aspek fungsional dan psikosial.16

Penguatan empati dan komunikasi dipandang sama pentingnya dengan penguasaan fisiologi dan

patofisiologi.30,31

2.1 Kompetensi yang Dicapai

IASP merekomendasikan kurikulum inti pembelajaran nyeri yang komprehensif untuk mahasiswa

pralisensi berbagai cabang ilmu kesehatan, salah satunya adalah kurikulum nyeri interprofesional,

yang secara singkat dapat dilihat di Tabel 1.13 Kompetensi pengkajian nyeri melingkupi ranah 1 dan

ranah 2. Jika dipadukan dengan dengan area kompetensi dokter sesuai SKDI, kompetensi pengkajian

nyeri yang menjadi capaian dapat dirumuskan di Tabel 2.

N

5

Tabel 1. Kurikulum Inti Pembelajaran Nyeri IASP

Sumber: diolah kembali dari Fishman et al. Core Competencies for Pain Management: Results of an Interprofessional Consensus Summit. Pain Med. 2013: 14-971-8113

6

Tabel 2. Kompetensi Pengkajian Nyeri Kronik

Untuk mendapatkan pembelajaran nyeri yang optimal, beragam pendekatan atau metode yang

berbasis bukti di bidang pendidikan kedokteran harus dimanfaatkan,32 misalnya melalui refleksi,

kuliah, simulasi dan paparan dengan pasien nyata.17,19 Modul ini akan menggabungkan berbagai

metode pembelajaran dengan simulasi sebagai metode pembelajaran utama.

2.2 Teori

2.2.1. Fisiologi Nyeri Kronik

Pembelajaran pengkajian nyeri kronik didasarkan pada pemahaman tentang definisi dan mekanisme

yang mendasari timbulnya nyeri. Nyeri, atau dalam bahasa Inggris disebut ‘pain’, berasal dari bahasa

Latin ‘poena’ yang berarti ‘hukuman’. IASP mendefinisikan nyeri sebagai pengalaman sensorik dan

emosional yang tidak menyenangkan, yang berhubungan dengan kerusakan jaringan yang sedang

berlangsung atau menggambarkan kemungkinan adanya kerusakan jaringan tersebut, atau

keduanya. Dalam bahasa Inggris, nyeri didefinisikan sebagai: unpleasant sensory and emotional

experience associated with actual or potential tissue damage, or described in terms of such

damage.33,34

Nyeri dapat diklasifikasikan berdasarkan durasi, patofisiologi, etiologi atau lokasi nyeri. Berdasarkan

durasinya, nyeri dibagi menjadi nyeri akut dan nyeri kronik. Berdasarkan patofisiologi, nyeri dibagi

menjadi nyeri nosiseptif dan neuropatik. Klasifikasi berdasarkan etiologi lebih ditekankan pada

proses penyakit yang mendasarinya, misalnya nyeri kanker atau nyeri nonkanker. Klasifikasi

berdasarkan lokasi menunjukkan anatomi tubuh yang cedera dan mengalami nyeri, misalnya nyeri

kepala atau nyeri punggung.33,35

7

2.2.1.1 Nyeri Akut dan Kronik

Nyeri akut disebabkan oleh stimulasi yang berasal dari kerusakan jaringan, proses penyakit atau

fungsi abnormal otot atau organ. Nyeri akut berperan sebagai ‘tanda’ untuk mendeteksi dan

membatasi kerusakan jaringan, pada umumnya bersifat self-limited dan teratasi dengan pengelolaan

selama beberapa hari atau minggu.33

Nyeri kronik memiliki beberapa pengertian. American Society of Anesthesiologist menyebutkan

bahwa nyeri kronik adalah “nyeri dengan durasi dan intensitas yang menyebabkan gangguan fungsi

dan rasa nyaman pasien.” IASP mendefinisikannya sebagai “nyeri tanpa penyebab biologis yang jelas

dan sudah berlangsung lebih lama dari waktu penyembuhan jaringan yang biasanya membutuhkan

waktu tiga bulan.”34 Istilah nyeri kronik juga sering digunakan untuk merujuk berbagai kondisi klinis

yang berhubungan dengan nyeri yang persisten dan berulang, misalnya artritis, nyeri sendi, nyeri

punggung bawah kronik, nyeri kepala, neuropati diabetik dan nyeri yang berhubungan dengan

proses metastasis.29 Nyeri kronik biasanya tidak berkorelasi dengan kerusakan jaringan yang terjadi

dan merupakan proses biologis yang kompleks, disertai proses psikososial dan dapat dipengaruhi

oleh faktor genetik, pengalaman dan kondisi pasien.6,29,33,36,37 Perbedaan nyeri akut dan nyeri kronik

dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Perbedaan Nyeri Akut dan Nyeri Kronik

Sumber: diolah dari Setiadi B. Neurobiologi nyeri kronik; 201436

Nyeri kronik sering digolongkan menjadi nyeri maligna dan nonmaligna. Nyeri kanker dapat berasal

dari invasi tumor ke jaringan atau berhubungan dengan terapi kanker, seperti radiasi atau

kemoterapi. Tidak banyak bukti yang menunjukkan bahwa mekanisme dasar terjadinya nyeri kanker

berbeda dengan nyeri kronik nonmaligna.29

8

2.2.1.2 Nyeri Berdasarkan Patofisiologi

Berdasarkan patofisiologinya, nyeri diklasifikasikan sebagai nyeri neuropatik dan nyeri nosiseptif.

Nyeri neuropatik terjadi akibat cedera struktur saraf. Nyeri neuropatik digambarkan sebagai rasa

menusuk atau terbakar. Nyeri nosiseptif berhubungan dengan kerusakan jaringan yang dapat

disebabkan oleh trauma, inflamasi atau cedera lain yang sulit menyembuh (non-healing) yang tidak

melibatkan sistem saraf pusat maupun perifer.29 Nyeri nosiseptif dibagi menjadi nyeri somatik dan

nyeri viseral.

Nyeri somatik terjadi akibat stimulasi reseptor nyeri pada jaringan somatik seperti tulang, sendi,

otot atau jaringan periartikular. Nyeri somatik digambarkan seperti rasa nyeri yang tajam, menusuk-

nusuk, seperti menggerogoti atau terasa berdenyut-denyut. Nyeri terlokalisir dengan jelas, dapat

bersifat intermiten atau konstan. Nyeri viseral dihubungkan dengan kerusakan jaringan viseral dan

bisa diakibatkan oleh kompresi, distensi, atau infiltrasi. Nyeri viseral digambarkan sebagai kolik, nyeri

tumpul atau rasa diremas-remas. Sifatnya difus, sulit dilokalisir dan dapat teralih ke lokasi lain. Nyeri

viseral sering disertai refleks otonom dan motorik seperti mual, muntah atau tegangan pada otot

bawah abdomen.36,37

2.2.1.3. Mekanisme Dasar Nyeri

Mekanisme dasar terjadinya nyeri terdiri dari empat proses, yaitu transduksi, transmisi, modulasi,

dan persepsi. Keempat proses ini terjadi pada nyeri akut maupun nyeri kronik.

Transduksi merupakan suatu proses konversi energi dari rangsangan nyeri, yang disebut rangsangan

noksius, menjadi energi listrik berupa impuls saraf. Proses ini dilakukan oleh reseptor sensorik untuk

nyeri yang disebut nosiseptor. Pada kondisi jaringan normal, nosiseptor bersifat tidak aktif. Jika

terdapat rangsang noksius yang mencapai tingkat ambang yang cukup, nosiseptor akan teraktivasi

dan mengubah rangsangan nyeri menjadi energi listrik. Sebagian besar reseptor nyeri adalah ujung

saraf bebas yang menangkap rangsangan panas, mekanik dan kimia yang berasal dari kerusakan

jaringan. Nosiseptor dapat ditemukan pada jaringan somatik dan viseral.55,59

Transmisi adalah proses penyampaian impuls saraf yang terdiri dari tiga tingkatan. Proses

penyampaian impuls saraf dari nosiseptor ke kornu dorsalis medula spinalis dilakukan oleh first-

order neuron, yang dapat berupa serabut saraf A-ß, A-𝛿 dan serabut saraf C. Proses ini dilanjutkan

oleh second-order neuron yang mentransmisi impuls dari medula spinalis ke thalamus. Selanjutnya,

third-order neuron mentransmisi impuls dari talamus ke girus postcentral ke korteks serebri melalui

kapsula interna dan korona radiata.

9

Modulasi adalah proses pengaturan impuls yang dihantarkan, yang dapat berupa proses eksitatori

(merangsang) atau proses inhibisi (menghambat). Proses modulasi dapat terjadi di tingkat perifer

maupun sentral. Gate Control Theory adalah teori yang mendasari mekanisme modulasi nyeri yang

menjelaskan bahwa di kornu dorsalis medula spinalis transmisi nyeri diatur oleh suatu gerbang.

Transmisi akan dilanjutkan ke otak jika gerbang ini dibuka atau dihambat jika gerbang ini ditutup.

Persepsi adalah proses terakhir dari mekanisme nyeri, yang mana terjadi apresiasi atau pemahaman

impuls saraf yang sampai ke susunan saraf pusat sebagai rasa nyeri. Proses ini terjadi di korteks

somatosensori dan sistem limbik.33,37,38

Keempat proses ini terjadi sepanjang jalur nyeri (pain pathway) yang secara skematis dapat dilihat

pada Gambar 1. Dalam proses terjadinya nyeri terdapat berbagai mediator, yaitu substansi kimia,

yang dapat berperan menghambat atau memfasilitasi hantaran nyeri.

Gambar 1. Jalur Nyeri Sumber: diolah kembali dari Vadivelu N, Whitney CJ, Sinatra RS. Pain pathways and acute pain

processing. In: Acute Pain Management. Cambridge: Cambridge University Press; 200939

2.2.1.4. Mekanisme Tambahan pada Nyeri Kronik

Fisiologi yang membedakan nyeri akut dan nyeri kronik adalah proses gabungan sensitisasi sentral

dan perifer serta faktor psikologis pada nyeri kronik. Pada proses akut, saat inflamasi mereda dan

jaringan mengalami penyembuhan, rasa nyeri akan hilang. Pada nyeri kronik, walaupun rangsang

nyeri sudah berkurang atau hilang, rasa nyeri masih tetap timbul karena terjadi sensitisasi perifer

dan sentral.

Sensitisasi perifer terjadi pada jalur nyeri di bawah medula spinalis. Proses ini timbul oleh

rangsangan terus menerus pada nosiseptor dan didukung oleh keterlibatan berbagai macam

mediator yang ikut berperan untuk menurunkan ambang nyeri.37 Sensitisasi sentral menggambarkan

perubahan pada susunan saraf pusat. Neuron meningkatkan frekuensi pelepasan impuls secara terus

10

menerus. Jumlah reseptor meningkat sehingga neuron yang berdekatan juga menjadi responsif

terhadap stimulus yang pada keadaan normal tidak menimbulkan respon.33,37

Sensitisasi ini menimbulkan hiperalgesia dan alodinia. Hiperalgesia adalah peningkatan respons nyeri

terhadap suatu stimulus yang melebihi respons nyeri yang muncul jika stimulus tersebut diberikan

pada kondisi normal. Hiperalgesia dapat terjadi secara primer dan sekunder.

Hiperalgesia primer terjadi pada lokasi cidera yang mana stimulus yang sama akan menimbulkan

sensasi nyeri yang lebih berat dari sebelumnya. Pada hiperalgesia sekunder terjadi transmisi kepada

kolateral dari sel-sel saraf yang sudah tersensitisasi sehingga area yang mengalami nyeri menjadi

lebih besar dari area kerusakan yang sebenarnya.33,38,39 Alodinia adalah persepsi nyeri pada stimulus

nonnoksius.33,37,39

Gambar 2 menunjukkan hiperalgesia dan alodinia secara skematik dalam hubungannya dengan

stimulus dan intensitas nyeri.

Gambar 2. Hiperalgesia dan Alodinia

Sumber: diolah kembali dari Vadivelu N, Whitney CJ, Sinatra RS. Pain pathways and acute pain processing. In: Acute Pain Management. Cambridge: Cambridge University Press; 200939

2.2.2. Pengkajian Nyeri Kronik

Nyeri kronik memiliki dampak yang besar terhadap kehidupan pasien. Oleh karena itu, pengkajian

nyeri kronik harus merupakan proses yang komprehensif yang tidak hanya melihat proses biologis

nyeri, namun juga mengevaluasi hubungan timbal balik antara kondisi fungsional dan psikososial

pasien dengan fenomena nyeri yang dialaminya.15,16,40

Proses pengkajian nyeri kronik merupakan suatu proses yang berkesinambungan.15 Pada dasarnya

pengkajian nyeri adalah suatu proses “dialog” antara pasien dan tenaga kesehatan tentang tiga hal:

deskripsi nyeri dan intensitasnya, respons pasien terhadap nyeri, serta dampak nyeri terhadap

kehidupan pasien.15,40 Proses dialog ini merupakan titik awal diskusi rencana penatalaksanaan yang

Alodinia

Peni

ngka

tan

inte

nsita

nye

ri

Hiperalgesia Respons Normal

Peningkatan stimulus nyeri

11

disepakati oleh dokter dan pasien, serta didukung secara kolaboratif dalam tim interprofesional.

Seperti halnya prosedur diagnosis yang lain, proses pengkajian nyeri kronik ini mencakup tiga

tahapan, yaitu anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang.41 Untuk dapat melakukan

pengkajian nyeri dengan baik, seorang dokter perlu memiliki pemahaman fisiologi nyeri dan anatomi

organ terkait, serta mengintegrasikannya dengan keterampilan komunikasi dan pemeriksaan

fisis.16,41

2.2.2.1 Anamnesis Nyeri

Anamnesis nyeri kronik mencakup beberapa komponen penting, misalnya informasi tentang lokasi,

onset, kualitas nyeri, serta faktor yang mengurangi dan menambah nyeri. Informasi tentang

penatalaksanaan yang telah dilakukan, termasuk efektifitas dan efek sampingnya, serta perubahan

gejala dari waktu ke waktu juga perlu dicari. Informasi tentang bagaimana nyeri tersebut

mempengaruhi kondisi psikologis pasien, dan pada akhirnya mempengaruhi kualitas hidup pasien,

juga perlu diperoleh.15,16,35,41,42 Gambar 3 menunjukkan algoritma yang dapat digunakan sebagai

kerangka anamnesis nyeri kronik.

Gambar 3. Algoritma untuk Anamnesis Nyeri Sumber: diolah kembali dari Hughes J. Pain Management: from Basics to Clinical Practice; 200842

Untuk membantu mengingat hal-hal yang perlu dieksplorasi dalam pengkajian nyeri, dapat

digunakan mnemonic “PQRST”. P adalah Provokes and Palliates, Q adalah Quality, R adalah Region

and Radiation, S adalah Severity, dan T adalah Time.15,25 PQRST telah dipakai dalam berbagai praktik

klinis, digunakan dalam berbagai buku ajar anamnesis dan pemeriksaan fisis dalam pendidikan

dokter umum,24 serta digunakan dalam modul dan evaluasi pembelajaran mahasiswa FKUI.25,43

Walaupuan memiliki elemen-elemen untuk menggali aspek fungsional dan psikososial nyeri, fokus

mnemonic PQRST adalah aspek biomedis.15

12

Oleh karena itu, untuk menilai kondisi fungsional dan psikososial penderita, kita dapat

menambahkan mnemonic ACT-UP. A adalah Activity, C adalah Coping, T adalah Think, U adalah

Upset, dan P adalah People. Mnemonic ACT-UP dikembangkan sebagai alat bantu penapisan kondisi

fungsional dan psikososial. Jadi ACT-UP tidak menggantikan penggunaan instrumen pengkajian nyeri

lain yang lebih terperinci atau konsultasi dengan profesi lain seperti psikolog.28,29,44

Mnemonic PQRST dapat dideskripsikan di Tabel 4. sedangkan mnemonic ACT-UP dideskripsikan di

Tabel 5.

Tabel 4. Mnemonic PQRST

Sumber: diolah kembali dari Kopf A dan Patel NB. Guide to Pain Management in Low-resource Setting; 201015

Tabel 5. Mnemonic ACT-UP

Sumber: diolah kembali dari Dansie EJ and Turk DC. Assessment of patient with chronic pain. Br J Anaesth. 2013; 111: 19-2528

13

No pain Worst pain imaginable

No pain

Worst Pain

imaginable

Dalam PQRST, disebutkan severity yang pada dasarnya adalah pengukuran intensitas nyeri.

Pengukuran ini bersifat kuantitatif dan dibutuhkan untuk dapat menentukan intervensi dan evaluasi

dari intervensi tersebut. Hal ini tidak mudah karena nyeri adalah suatu pengalaman yang subyektif

yang dipengaruhi oleh faktor psikologis, budaya dan faktor-faktor lain. Karena proses nyeri

melibatkan persepsi yang sangat dipengaruhi oleh subyektifitas pasien, sampai saat ini, baku emas

pengukuran nyeri adalah skala nyeri yang dilaporkan oleh pasien (self report).29 Skala nyeri sangat

dibutuhkan untuk menentukan baseline penatalaksanaan serta untuk monitoring keberhasilan

terapi.23 Contoh skala nyeri numerik yang sering digunakan adalah Visual Analogue Scale (VAS),

Numerical Rating Scale (NRS), dan Faces Rating Scale.15,23,31,45

VAS adalah skala nyeri yang menggunakan garis sepanjang 10 cm yang di satu ujungnya tertulis

“tidak nyeri” (no pain) sementara ujung yang lain bertuliskan “nyeri yang terburuk yang dapat

dibayangkan” (worst pain imaginable). Pasien diminta mereka memberi tanda pada garis tersebut

untuk menunjukkan intensitas nyeri mereka saat ini. VAS dapat dilihat di Gambar 4.15

Gambar 4. Visual Analogue Scale Sumber: diolah kembali dari Kopf A and Patel NB.

Guide to Pain Management in Low-resource Setting; 201015

NRS mirip dengan VAS, namun pada garis tersebut terdapat angka 1-10. Dengan skala ini, pasien

diminta untuk menilai intensitas nyeri pada suatu skala nyeri, yang mana 0 berarti “tidak nyeri” (no

pain) sementara ujung yang lain bertuliskan “nyeri yang terburuk yang dapat dibayangkan” (worst

pain imaginable). NRS dapat dilihat di Gambar 5.15

Gambar 5. Numerical Rating Scale Sumber: diolah kembali dari Kopf A and Patel NB.

Guide to Pain Management in Low-resource Setting; 201015

FACES rating scales adalah suatu instrumen yang lebih mudah dan tidak abstrak dibandingkan

dengan VAS dan NRS. FACES rating scale dapat digunakan untuk anak usia 4-12 tahun, atau yang

lebih tua. Ada beberapa versi FACES Rating Scale. Gambar 6 menunjukkan Wong-Baker FACES Rating

Scale. Yang membedakan instrumen ini dengan skala FACES lainnya adalah jangkar bawah skala

14

adalah 0 yang digambarkan dengan orang yang sedang tersenyum sedangkan skala tertinggi

digambarkan dengan orang menangis.15

Gambar 6. Wong-Baker Faces Rating Scale Sumber: diolah kembali dari Kopf A and Patel NB.

Guide to Pain Management in Low-resource Setting; 201015

2.2.2.2. Pemeriksaan Fisis

Dituntun oleh hasil anamnesis, pemeriksaan fisis dilakukan terhadap sistem tubuh tertentu untuk

melihat asal dan dampak nyeri terhadap fungsi tubuh. Pemeriksaan ini membutuhkan pengetahuan

tentang beragam diagnosis banding penyakit, pengetahuan anatomi dan fisiologi.16,23

Skala nyeri dapat memberikan informasi yang bermanfaat secara klinis namun pada pasien-pasien

dengan kondisi tertentu skala nyeri sulit digunakan. Sebagai contoh, anak kecil, individu dengan

gangguan kognitif atau komunikasi seperti pasien dengan ventilator atau pasien dengan dementia

akan kesulitan melakukan penilaian nyeri yang sahih. Untuk mendapatkan informasi yang lebih

lengkap, dibutuhkan cara mengevaluasi nyeri yang didasarkan pada perubahan fisiologi dan tidak

membutuhkan komunikasi. Penilaian fisiologis pada dasarnya dilakukan terhadap respons motoris,

sensoris dan autonom tubuh terhadap nyeri. Ekspresi wajah, gerakan, laju nadi, laju pernafasan atau

tekanan darah dapat memberikan informasi tentang intensitas nyeri.23,28

2.2.2.3. Pemeriksaan Penunjang

Nyeri juga dapat dievaluasi dengan pemeriksaan penunjang seperti foto rontgen, Magnetic

Resonance Imaging (MRI), elektromiografi dan studi konduksi saraf. MRI penting dalam diagnosis

nyeri muskuloskeletal seperti nyeri punggung (back pain). MRI bersifat noninvasif, memberikan

resolusi jaringan yang baik, bebas radiasi namun tidak selalu tersedia di semua sarana layanan

kesehatan.17 Elektromiografi dan studi konduksi saraf juga dapat digunakan untuk mendiagnosis

beberapa penyakit yang berhubungan dengan nyeri kronik seperti trauma neural, polineuropati atau

sindrom radikuler.33,35

2.3. Komponen-komponen dalam pembelajaran

Modul pelatihan dasar pengkajian nyeri kronik ini menggunakan kombinasi beberapa pendekatan

berbasis bukti. Materi kuliah, video simulasi dan skenario simulasi disusun berdasarkan literatur. Alat

15

evaluasi telah divalidasi oleh pakar. Semua materi pelatihan dan alat ukur telah diujicobakan untuk

mendapatkan masukan dari mahasiswa.

Mnemonic PQRST dan ACT-UP digunakan sebagai alat bantu pengkajian nyeri kronik yang

komprehensif. Namun demikian, penekanan dan pengulangan prinsip pengkajian nyeri kronik

komprehensif diberikan sepanjang pelatihan melalui paparan dengan pasien, kuliah dari

narasumber, demonstrasi dan simulasi.46 Tiap komponen pembelajaran akan dibahas di bawah ini.

2.3.1. Paparan dengan pasien nyeri kronik

Pada pelatihan, pasien nyeri kronik dapat didatangkan untuk berdiskusi dengan pembelajar tentang

dampak nyeri dalam kehidupan pasien. Sesi ini sebaiknya diberikan di awal pelatihan untuk

membantu membangun empati pembelajar. Bentuk diskusi dapat berupa sharing atau talk-show.

Keuntungan talk-show adalah kehadiran moderator untuk memandu pertanyaan bagi pasien. Pasien

nyeri kronik yang didatangkan harus dalam kondisi stabil. Pembelajar diminta untuk ikut memelihara

kerahasiaan pasien.

Sebagai alternatif, pembelajar dapat diminta untuk mewawancarai pasien nyeri kronik yang pernah

dijumpai (keluarga atau teman) dan menceritakan hasil wawancara dalam kelompok, serta

merefleksikannya.

Alternatif lain adalah pemutaran penggalan film yang menunjukkan dampak nyeri kronik terhadap

kehidupan pasien. Film yang dipilih disesuaikan dengan pembelajar karena film yang popular di

kalangan mahasiswa mungkin berbeda dengan film yang popular di kalangan profesional. Pada

pemutaran film, panitia pelatihan harus memastikan tidak terjadi pelanggaran hak cipta.

2.3.2. Kuliah

Sebagai informasi penunjang, dapat diberikan sebuah kuliah tentang dasar-dasar manajemen nyeri.

Pada modul ini dilampirkan sebuah video kuliah berdurasi sekitar 40 menit tentang dasar-dasar

manajemen nyeri yang dibawakan oleh dr. RB Sukmono, SpAn-KAR. Video ini dapat diputar pada

saat pelatihan atau dapat digunakan sebagai informasi penunjang yang dapat diakses oleh

pembelajar sebelum pelatihan.

2.3.3. Simulasi

Simulasi adalah replikasi artifisial dari elemen-elemen di dunia nyata untuk mencapai suatu tujuan

pembelajaran atau evaluasi pembelajaran. Sebagai alat pembelajaran, simulasi memiliki berbagai

keuntungan. Simulasi dapat memberikan lingkungan pembelajaran yang aman karena tidak

16

membawa risiko bagi pasien. Simulasi memberikan kesempatan bagi pembelajar untuk melakukan

kesalahan yang jika dilakukan pada konteks klinis yang nyata akan berbahaya bagi pasien. Simulasi

dapat diatur sesuai dengan kebutuhan pembelajar, dapat diulang untuk berfokus pada ranah

pembelajaran tertentu atau dapat dihentikan di tengah-tengah untuk memberikan kesempatan

diskusi. Sebuah kajian atas sekitar 400 penelitian menunjukkan bahwa simulasi memberikan

kontribusi yang berharga dalam pembelajaran profesional kesehatan.47,48 Simulasi yang baik

didukung oleh beberapa elemen seperti pasien simulasi, pasien terstandardisasi, skenario serta

debriefing.

Pasien simulasi adalah orang yang dilatih untuk mempresentasikan keluhan dan gejala pasien

sesungguhnya, sedangkan pasien terstandardisasi adalah orang dengan atau tanpa penyakit yang

dilatih untuk menunjukkan keluhan dan gejala secara konsisten. Pembelajaran dengan pasien

simulasi berguna untuk persiapan sebelum pembelajar bertemu dengan pasien nyata. Ketersediaan

waktu pasien simulasi dapat disesuaikan dengan kebutuhan pembelajar. Pasien simulasi dapat

dilatih untuk memberikan umpan balik dan diminta untuk memainkan atau mengulang skenario

yang dibutuhkan sesuai dengan tujuan pembelajaran.49

Skenario adalah deskripsi perubahan kondisi pasien yang akan digunakan pada saat simulasi. Hal-hal

yang perlu diperhatikan dalam pembuatan skenario yang baik adalah mengarah pada ranah dan

tujuan pembelajaran, sesuai dengan tingkat kemampuan pembelajar dan luaran yang ingin dicapai,

berbasis bukti, mencerminkan pandangan holistik pasien dan dapat diselesaikan dalam waktu yang

disediakan.50 Beberapa contoh skenario yang telah diujicobakan terlampir dalam modul ini. Dalam

suatu pelatihan, sebaiknya digunakan skenario yang bervariasi supaya pembelajar dapat

mengaplikasikan keterampilan dalam konteks yang berbeda.

Debriefing dibutuhkan dalam simulasi untuk membantu mahasiswa merefleksi proses pembelajaran

yang dijalankan. Dalam debriefing, mahasiswa akan diminta melakukan refleksi dan mendapatkan

umpan balik. Fasilitator perlu dilatih untuk dapat mengelola simulasi dan melakukan debriefing

dengan baik.

Pada modul ini dilampirkan video simulasi cuplikan konsultasi dokter dan pasien nyeri kronik yang

diperankan oleh dua orang residen anestesi. Dalam video ini disediakan subtitle untuk membantu

pembelajar mengenali bagian-bagian konsultasi yang perlu diperhatikan. Video ini dapat digunakan

sebagai contoh sebelum simulasi dimulai.

17

2.4. Narasumber dan Fasilitator

Narasumber berperan untuk memberikan informasi penunjang kuliah pengantar tentang pengkajian

nyeri. Narasumber adalah seorang pakar dalam bidang nyeri, misalnya dalam video kuliah yang kami

sediakan, narasumber adalah seorang dokter anestesi konsultan anestesi regional. Jika tidak tersedia

narasumber, video kuliah yang disediakan dalam modul ini dapat digunakan sebagai informasi

penunjang.

Fasilitator berperan untuk memimpin simulasi. Fasilator adalah seorang tenaga kesehatan yang telah

dilatih dalam dua topik di bawah ini:

1. materi pengkajian nyeri

2. teknik mengelola simulasi dan melakukan debriefing (Tabel 6)

Tabel 6. Panduan debriefing dengan teknik pemberian umpan balik dari Pendleton

Sumber: Chowdhury RR, Kalu G. learning to give feedback in medical education. Obstet Gynaecol. 2004; 6: 243-751

2.5. Contoh skenario

Dalam SKDI terdapat contoh-contoh penyakit yang dapat menimbulkan dengan nyeri kronik dan tingkat

kemampuannya yang dapat dilihat di Tabel 7. Pada modul ini, penyakit yang digunakan dalam contoh

skenario adalah nyeri kepala (dengan diagnosis banding tension headache dan migren) dan nyeri

punggung bawah (dengan diagnosis banding radicular syndrome dan Hernia Nucleus Pulposus), yang

memiliki tingkat kemampuan 3 dan 4. Contoh skenario terlampir dan disusun dalam struktur mnemonic

PQRST dan ACT-UP. Kata kunci dalam skenario dicetak tebal. Dalam skenario disediakan data terapi

secara sederhana untuk memastikan pembelajar melakukan proses diagnosis dan manajemen pasien

secara utuh.

18

Tabel 7. Contoh Penyakit yang Dapat Menimbulkan Nyeri Kronik dan Tingkat Kemampuan yang Harus Dicapai

*Keterangan tingkat kemampuan: 1. Mengenali dan menjelaskan 2. Mendiagnosis dan merujuk 3. Mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan awal dan merujuk

A. Bukan gawat darurat B. Gawat darurat

4. Mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan secara mandiri dan tuntas A. Kompetensi yang dicapai pada saat lulus dokter B. Profisiensi (kemahiran) yang dicapai setelah selesai internship dan/atau pendidikan kedokteran berkelanjutan

Sumber: Konsil Kedokteran Indonesia. Standar Kompetensi Dokter Indonesia 201212

19

SKENARIO 1 Laki-laki, 35 tahun, menikah dengan satu anak, mengeluh nyeri punggung sejak 6 bulan terakhir.

Pekerjaan pasien adalah cleaning service sebuah perusahaan di Jakarta. Nyeri dirasakan di punggung

bawah, terasa pegel, sering menjalar ke tungkai kanan sampai ke betis. Kadang-kadang ada rasa

seperti tersengat listrik. Jika nyeri muncul, NRS 5 (skala 5-10), saat istirahat skor 2-3. Nyeri dirasakan

saat membungkuk terlalu lama dan mengangkat barang berat. Nyeri berkurang jika pasien berdiri atau

berbaring di alas keras. Selama tiga bulan terakhir, hampir tiap hari pasien minum obat warung. Tidak

ada trauma, penurunan berat badan, demam.

Pasien sering tidak masuk kerja karena nyeri dan memilih berbaring. Sebagai petugas cleaning service,

pasien sering harus membungkuk dan mengangkat barang, dan pasien berusaha menghindari hal itu.

Tidak ada gangguan buang air kecil, besar, atau gangguan seksual. Jika nyeri, pasien berbaring dan

minum obat warung. Pasien merasa takut nyeri bertambah dan harus dioperasi. Pasien cemas

dikeluarkan dari pekerjaan karena sering tidak masuk. Pasien merasa anaknya jadi takut ke pasien

karena pasien menjadi mudah marah.

Pemeriksaan fisis: Inspeksi punggung dan tungkai (struktur anatomi dan gait), palpasi punggung

(termasuk nyeri tekan), ROM, Test Laseque, Refleks patella dan akiles

Analisis masalah

Nyeri punggung bawah kronik

Fungsional : Gangguan bekerja

Psikososial : Cemas dan mudah marah, hubungan dengan anak terganggu

Terapi

Parasetamol, olahraga dan tetap aktif

20

SKENARIO 2

Laki-laki, 20 tahun, mahasiswa, mengeluh nyeri kepala sejak 4 bulan terakhir. Nyeri kepala di sebelah

kanan, berdenyut, hilang timbul. Tidak ada aura (kilatan cahaya). Serangan nyeri dapat berlangsung

sampai 4 jam, dapat disertai mual, tidak ada muntah. Frekuensi 1-2x/minggu, saat nyeri NRS 5 (skala 1-

10). Nyeri juga muncul setelah ia makan makanan tertentu seperti keju atau coklat. Ia merasa lebih

nyaman saat istirahat dan berada di tempat yang tenang dan redup cahayanya. Nyeri berkurang jika ia

minum paracetamol 1 tablet, namun tidak lama muncul lagi. Tidak ada masalah kesehatan lain.

Jika nyeri muncul di sore atau malam, pasien sulit tidur, sehingga pasien sulit bangun pagi dan sering

terlambat kuliah. Pasien stress karena nyeri menyebabkan kuliahnya terganggu dan pasien menjadi

mudah tersinggung. Pasien berusaha menghindari keju atau coklat, namun sulit karena keduanya

merupakan makanan kesukaan. Pasien berpikir nyerinya bisa teratasi dengan obat yang tepat. Teman-

teman menjauh jika melihat pasien nyeri karena biasanya pasien menjadi mudah tersinggung

Pemeriksaan fisis: Pemeriksaan nervus kranialis

Analisis masalah

Migrain tanpa aura

Fungsional: Gangguan tidur dan mengikuti kuliah

Psikososial: Stress dan mudah tersinggung, teman-teman menjauh

Terapi

Akut: paracetamol 1000 mg, profilaksis: amitryptilin 10 mg sebelum tidur

Olahraga, hindari keju atau coklat

21

SKENARIO 3

Laki-laki, 30 tahun, sudah menikah, pekerjaan pasien arsitek, mengeluh nyeri kepala sejak 5 bulan

terakhir. Nyeri kepala di sebelah kanan, berdenyut, dirasakan hilang timbul, tidak ada kilatan cahaya

(aura). Serangan nyeri dapat berlangsung sampai 4 jam, jika nyeri, ia merasa mual namun tidak pernah

muntah. Frekuensi 1-2x/minggu, saat nyeri NRS 5 (skala 1-10). Nyeri juga muncul setelah ia makan

coklat. Ia merasa lebih nyaman saat istirahat dan berada di tempat yang tenang dan redup cahayanya.

Nyeri berkurang jika ia minum paracetamol 1 tablet, namun tidak lama muncul lagi. Tidak ada masalah

kesehatan lain.

Jika nyeri kepala muncul, pasien merasa tidak bisa berpikir dan ingin tidur. Karena kesulitan

konsentrasi, banyak pekerjaan yang tertunda. Pasien berusaha mengurangi konsumsi coklat, namun ini

dirasakan berat karena pasien seorang penggemar coklat. Pasien berharap nyeri kepala dapat benar-

benar hilang supaya ia bisa fokus ke pekerjaannya. Pasien cemas karena kinerja menurun. Istri pasien

paham dengan kondisi dan mendukung pasien berobat.

Pemeriksaan fisis: Pemeriksaan nervus kranialis

Analisis masalah

Migrain tanpa aura

Fungsional: Gangguan bekerja

Psikososial: Cemas dan sedih

Terapi

Akut: paracetamol 1000 mg, profilaksis: amitryptilin 10 mg sebelum tidur

olahraga, hindari coklat

22

SKENARIO 4

Laki-laki, 30 tahun, perawat di sebuah rumah sakit swasta di Jakarta, mengeluh nyeri punggung sejak 4

bulan terakhir. Nyeri di punggung bawah, terasa kemeng, sering menjalar ke tungkai kanan sampai ke

betis. Kadang-kadang ada rasa seperti tersengat listrik. Jika nyeri muncul, NRS 5 (skala 5-10). Nyeri

dirasakan saat membungkuk dan mengangkat benda berat. Nyeri berkurang jika pasien berdiri atau

berbaring di alas keras. Selama tiga bulan terakhir, hampir tiap hari pasien minum asam mefenamat.

Sebagai perawat, pasien harus membungkuk saat memeriksa pasien dan mengangkat berat saat

memindahkan pasien. Tidak ada gangguan buang air kecil, besar, atau gangguan seksual. Jika nyeri,

pasien berusaha menghindar pekerjaan-pekerjaan yang menyebabkan nyerinya bertambah. Pasien

merasa takut nyeri bertambah dan asam mefenamat yang diminum mengganggu fungsi ginjal. Pasien

cemas dikeluarkan dari pekerjaan karena kinerja menurun. Jika pasien mengeluh nyeri, dan menghindari

suatu pekerjaan, rekan-rekannya memandang pasien cari alasan saja.

Pemeriksaan fisis: Inspeksi punggung dan tungkai (struktur anatomi dan gait), palpasi punggung

(termasuk nyeri tekan), ROM, Tes Laseque, refleks patella dan akiles

Analisis masalah

Nyeri punggung bawah kronik

Fungsional: Gangguan bekerja

Psikososial: Cemas, hubungan dengan rekan kerja terganggu

Terapi

Parasetamol, olah raga dan tetap akti

23

2.6. Contoh Adopsi Modul dalam Berbagai Konteks Pembelajaran

Modul ini bersifat generik. Dengan menyesuaikan kompleksitas kasus, modul ini dapat diaplikasikan

dalam berbagai tahapan pembelajaran, baik pra-klinis, rotasi klinis, maupun pendidikan

berkelanjutan. Penekanan dan pengulangan prinsip pengkajian nyeri ini melalui berbagai metode

pembelajaran berguna untuk membantu pembelajar mengaplikasikan pengkajian nyeri yang

komprehensif. Penggunaan simulasi sebagai metode pembelajaran utama dan penerapan pelatihan

secara longitudinal dalam kurikulum merupakan faktor yang mendukung keberhasilan penerapan

modul ini. Mnemonic PQRST dan ACT-UP membantu pembelajar untuk melakukan pengkajian nyeri

dengan lebih terstruktur.

Modul ini diujicobakan dalam bentuk pelatihan sehari untuk mahasiswa kedokteran pra-klinis

dengan jadual pelatihan terlampir pada Tabel 8.

Tabel 8. Contoh Jadual Pelatihan Sehari

Modul ini juga dapat digunakan dalam suatu sesi Keterampilan Klinik Dasar berdurasi dua jam.

Video demonstrasi dapat digunakan sebagai contoh, kemudian diikuti dengan simulasi dalam

kelompok kecil. Dengan menggunakan skenario yang terlampir dalam modul ini, masing-masing

mahasiswa dapat diberi waktu 10-15 menit untuk melakukan simulasi dengan pasien simulasi, dan

diikuti sesi umpan balik.

Modul ini dapat diintegrasikan dengan sesi pemeriksaan fisis. Sebagai contoh, skenario sakit kepala

dapat dipadukan dengan latihan pemeriksaan nervus kranialis. Skenario nyeri punggung bawah

dapat dipadukan dengan latihan pemeriksaan neurologis ekstremitas bawah.

24

Seorang pasien datang ke apotek untuk membeli obat anti nyeri. Pasien tidak membawa

resep. Pasien seorang laki-laki, 35 tahun, menikah dengan satu anak, mengeluh nyeri

punggung sejak 6 bulan terakhir. Pekerjaan pasien adalah cleaning service sebuah

perusahaan di Jakarta. Ia tidak ingin berkonsultasi dengan dokter karena selama ini nyeri

berkurang dengan minum obat warung.

Apa yang Anda lakukan untuk memastikan pasien ini minum obat antinyeri dengan aman?

Lakukan pengkajian nyeri dan berikan edukasi yang tepat untuk pasien ini.

Jika digunakan dalam rotasi klinis, mahasiswa tidak perlu berlatih dengan pasien simulasi.

Mahasiswa dapat menggunakan mnemonic PQRST dan ACT-UP sebagai struktur saat melakukan

pengkajian nyeri kronik pada pasien di klinik atau bangsal rawat inap.

Modul ini dapat disajikan dalam bentuk blended learning, yang mana komponen e-learning adalah

video kuliah dan video simulasi, sedangkan komponen tatap muka adalah sesi simulasi. Pembelajar

dapat diminta untuk lebih dahulu belajar dari video sebelum mengikuti sesi simulasi.

2.7. Contoh Adopsi Modul untuk Berbagai Profesi Kesehatan

Menurut kurikulum inti pembelajaran nyeri yang direkomendasikan oleh IASP, pengkajian nyeri

merupakan kompetensi dasar beragam profesi kesehatan.13 Oleh karena itu, walaupun diujicobakan

untuk mahasiswa kedokteran, modul ini dapat diadopsi untuk profesi kesehatan yang lain. Skenario

yang digunakan dalam simulasi dapat disesuaikan dengan konteks profesi kesehatan tersebut.

Misalnya, filosofi layanan kefarmasian saat ini bergeser dari layanan yang berorientasi kepada obat

(drug-oriented) menjadi layanan yang berorientasi kepada pasien (patient-oriented). Saat melakukan

konseling dalam layanan kefarmasian, farmasis harus memiliki kemampuan untuk melakukan

pengkajian terhadap kondisi pasien.53 Berikut contoh penggalan instruksi simulasi yang dapat

digunakan dalam suatu pelatihan dengan mahasiswa farmasi tentang seorang pasien nyeri kronik

yang melakukan swamedikasi (Tabel 9).

Tabel 9. Contoh instruksi simulasi untuk mahasiswa farmasi

evaluasi

3

25

ntuk mengetahui keberhasilan pembelajaran, dapat dilakukan beberapa evaluasi, yaitu

tes pengetahuan, penilaian keterampilan, dan kuesioner tingkat kepuasan. Alat evaluasi

yang tercantum dalam modul ini telah divalidasi oleh pakar dan diujicobakan pada

mahasiswa. Mnemonic PQRST dan ACT-UP menjadi struktur dalam penilaian keterampilan untuk

memastikan bahwa pembelajar melakukan pengkajian yang komprehensif. Alat evaluasi yang

digunakan dalam modul ini dapat dimodifikasi sesuai dengan konteks pembelajaran. Penilai harus

dilatih terlebih dahulu untuk menggunakan daftar tilik.

U

26

3.1. Tes Pengetahuan

No Beri tanda “x” untuk jawaban yang menurut Anda paling tepat* Referensi

1 Apakah yang dimaksud dengan nyeri?

a. Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang dapat tanpa

disertai kerusakan jaringan yang kasat mata

b. Nyeri adalah proses genetik yang memiliki interaksi dengan proses

emosi pasien yang mengganggu aktivitas

c. Nyeri adalah pengalaman sensorik dan motorik yang tidak

berhubungan dengan kondisi psikososial pasien

d. Nyeri adalah tanda patognomonis kerusakan jaringan yang sedang

berlangsung dan bersifat progresif

33, 34

2 Apakah yang dimaksud dengan transduksi dalam mekanisme dasar nyeri?

a. Proses perubahan stimulus nyeri menjadi energi listrik

b. Proses penyampaian impuls oleh serabut saraf perifer

c. Proses pelepasan mediator nyeri di korteks serebri

d. Proses inhibisi impuls nyeri di medula spinalis

33, 37

3 Apakah yang dimaksud dengan transmisi dalam mekanisme dasar nyeri?

a. Proses perubahan stimulus nyeri menjadi energi listrik di korteks

serebri

b. Proses penyampaian impuls nyeri oleh serabut saraf

c. Proses pelepasan mediator nyeri di medula spinalis

d. Proses fasilitasi impuls nyeri di otak

33, 37

4 Apakah yang dimaksud dengan alodinia?

a. Transmisi nyeri pada sel-sel saraf sekitar yang tidak mendapatkan

stimulus nyeri

b. Persepsi nyeri pada stimulus yang normalnya tidak menimbulkan

nyeri

c. Peningkatan respons nyeri atas stimulus yang melebihi respons

normal

d. Proses perubahan struktur saraf pusat karena rangsangan noksius

33, 37, 39

27

5. Bagaimana gambaran nyeri neuropatik?

a. Sensasi dicengkeram c. Sensasi tumpul

b. Sensasi terbakar d. Sensasi tajam

29

6. Bagaimanakah karakteristik nyeri viseral?

a. Nyeri viseral sering digambarkan sebagai nyeri tajam atau rasa

tersengat listrik

b. Nyeri viseral dapat disertai refleks otonom seperti mual dan muntah

c. Nyeri viseral berhubungan dengan kerusakan kulit atau tulang

d. Nyeri viseral bersifat terlokalisir dan tidak menjalar

36, 37

7 Pada mnemonic PQRST, hal apa yang penting ditanyakan sehubungan dengan

“R”?

a. Pengobatan yang sudah diterima dan dampaknya terhadap nyeri

b. Skala nyeri yang dinilai menggunakan Numeric Rating Scale

c. Penjalaran dan lokasi nyeri yang dirasakan pasien

d. Karakteristik nyeri yang dialami oleh pasien

15

8 Skala nyeri apakah ini?

a. Wong Baker Rating Scale

b. Numerical Rating Scale

c. Visual Analogue Score

d. Faces Pain Scale

15

9 Serabut saraf apa yang bertanggung jawab terhadap nyeri tajam?

a. A-alpha c. A-delta

b. A-beta d. A-gamma

33

10 Saat menangani pasien dengan nyeri kronik, apa yang digali dengan

pertanyaan “Apakah menurut Anda nyeri Anda akan membaik?”

a. Harapan pasien akan penyakitnya

b. Preferensi pasien terhadap manajemen nyeri

c. Kemampuan pasien untuk menghadapi nyerinya

d. Beragam pendekatan pasien untuk menangani nyeri

28

28

11 Pengkajian nyeri kronik didasari oleh beberapa prinsip. Ada empat

prinsip yang tertulis di bawah ini. Prinsip mana yang paling sesuai untuk

pengkajian nyeri kronik yang komprehensif?

a. Untuk memperoleh pengkajian yang benar, anamnesis harus

menekankan aspek biomedis nyeri

b. Respons pasien atas nyeri sama pentingnya dengan dampak nyeri

terhadap kehidupan pasien

c. Diskusi tata laksana nyeri seharusnya melibatkan anggota

keluarga

d. Deskripsi nyeri lebih penting daripada keparahan nyeri

15, 40

Vignet di bawah ini adalah informasi untuk menjawab soal nomor 13-17

Anda seorang dokter puskesmas. Bu Rina, seorang penjual jamu gendong, 53 tahun

datang dengan keluhan nyeri punggung. Ibu ini mengeluh nyeri dengan VAS 5 (skala 1-10)

saat duduk terlalu lama. Nyeri yang dirasakan seperti tersengat listrik, menjalar ke tungkai

kanan. Bu Rina mengeluh telah menderita nyeri selama 4 bulan terakhir, namun baru

sempat datang ke dokter saat ini. Selama ini ia menggunakan minyak oles tradisional di

punggung untuk mengurangi rasa nyeri.

12 Apakah jenis nyeri yang dialami oleh Bu Rina?

a. Nyeri neuropatik

b. Nyeri somatik

c. Nyeri viseral

d. Nyeri akut

29

13 Anda melakukan pemeriksaan fisis terhadap Bu Rina. Setelah melakukan

inspeksi dan palpasi, anda melakukan pemeriksaan di bawah ini.

Pemeriksaan apakah ini?

a. Freiberg’s maneuver c. Laseque Test

b. Distraction test d. Faber Test

24

29

14 Jika pada Bu Rina test ini memberikan hasil positif, hal apa yang perlu

dipikirkan?

a. Terdapat paraparese inferior yang berasal dari gangguan medula

spinalis

b. Terdapat keterlibatan nervus skiatik dalam proses patologis ini

c. Terdapat komponen nyeri neuropatik pada pasien

d. Terdapat peradangan pada sendi facet

24

15 Bu Rina mengeluh nyeri dengan VAS 5 (dari 10) jika ia menggendong

dagangannya terlalu lama.

Ini adalah bagian percakapan Bu Rina dengan dokter.

R1: Dok, saya tidak dapat bekerja jika nyeri. Bagaimana saya dapat

membayar uang sekolah anak saya?

D1: Saya mengerti… Apa pekerjaan Anda, Bu?

R2: Saya menjual jamu. Saya berjalan sepanjang jalan menggendong jamu

di punggung saya. Saya biasa bekerja dari pagi sampai malam. Karena

nyeri, saya bahkan tidak bisa berdiri sampai tengah hari.

D2: Oh…pasti berat ya…

R3: Ya, saya kuatir dengan nyeri ini. Jika ini memburuk dan saya tidak bisa

berjalan, saya tidak bisa bekerja lagi.

Dalam percakapan ini, mengapa penting untuk menanyakan, “Apa

pekerjaan Anda, Bu?” (D1)

a. Untuk menggali emosi Bu Rina sehubungan dengan uang sekolah

anak

b. Untuk menggali harapan Bu Rina sehubungan dengan pilihan

manajemen nyeri

c. Untuk menggali kemampuan Bu Rina membayar biaya medis

sehubungan dengan tata laksana nyeri

d. Untuk menggali pengaruh nyeri terhadap status fungsional Bu

Rina

28

30

16 Bu Rina mengatakan, “Jika ini memburuk dan saya tidak bisa

berjalan, saya tidak bisa bekerja lagi.” (R3) Apa yang tercermin dari

pernyataan ini?

a. Aktivitas pasien sehubungan dengan nyeri

b. Emosi pasien sehubungan dengan nyeri

c. Persepsi pasien sehubungan dengan nyeri

d. Mekanisme “coping” sehubungan dengan nyeri

28

Vignet di bawah ini adalah informasi untuk menjawab soal no 17-21

Iwan, seorang mahasiswa 20 tahun, datang dengan keluhan nyeri kepala. Nyeri dirasakan

hilang timbul, sejak 5 bulan yang lalu, namun seringkali tidak dihiraukan. Jika nyeri, ia

merasa mual dan kadang-kadang muntah. Nyeri kepala dirasakan di sisi kanan, disertai

mual dan kadang muntah. Frekuensi 1-2x/minggu, saat nyeri VAS 5 (skala 1-10). Iwan

merasa lebih nyaman saat istirahat dan berada di tempat yang tenang dan redup

cahayanya.

17 Pada mnemonic PQRST, apa yang penting ditanyakan sehubungan dengan

“R”?

a. Kapan nyeri memberat? Pagi? Siang? Sore?

b. Bagaimana karakteristik nyeri?

c. Bagaimana penjalaran nyeri?

d. Bagaimana intensitas nyeri?

15

18 Pada mnemonic PQRST, apa yang penting ditanyakan sehubungan dengan

“Q”?

a. Apakah pasien merasa lebih baik setelah minum parasetamol?

b. Apakah pasien memiliki riwayat hipertensi dan diabetes?

c. Apakah ada sensasi terbakar atau tersengat listrik?

d. Apakah riwayat nyeri dalam keluarga pasien?

15

19 Pada pemeriksaan fisis, Anda melakukan pemeriksaan nervus kranialis.

Bagaimana pemeriksaan nervus VII dilakukan?

a. Meminta pasien melirik ke kanan dan ke kiri

b. Memeriksa kemampuan mendengar pasien

c. Meminta pasien mengernyitkan dahi

d. Melakukan prick test di wajah

24

31

20 Iwan mengeluh dua bulan terakhir ia tidak dapat belajar dengan baik

ketika ia mengalami nyeri kepala. Sebagai dokternya, Anda ingin

melakukan penggalian lebih lanjut. Hal apa yang pertama akan digali

sehubungan dengan keluhan ini?

a. Menggali lebih dalam siapa yang dapat mendukung Iwan untuk

memperbaiki studinya

b. Menggali lebih dalam bagaimana respons keluarga terhadap

perkembangan studinya

c. Menggali lebih dalam apa yang dirasakan Iwan tentang nyerinya

d. Menggali lebih dalam bagaimana nyeri mengganggu aktivitas

hariannya

24

21 Iwan berkata kepada dokternya dengan sedih, “Dok, kepala saya

bertambah nyeri jika saya mendengarkan teman-temannya bermain gitar.

Jadi saya minta mereka main jika saya sedang tidak hadir. Namun

sebenarnya saya kehilangan saat bermain bersama teman-teman saya dan

saya takut kehilangan mereka. “

Pernyataan yang dicetak tebal ini merefleksikan apa?

a. Respons orang-orang di sekitar pasien terhadap pengalaman nyeri

pasien

b. Pemikiran pasien sehubungan dengan nyeri

c. Pengaruh nyeri terhadap emosi pasien

d. Mekanisme “Coping” pasien

24

*Jawaban yang benar dicetak tebal.

32

3.2. Tes keterampilan

SKENARIO PENILAIAN KETERAMPILAN

Judul station Pengkajian nyeri kronik

Alokasi waktu 15 menit

Tingkat kemampuan kasus yang diujikan

Tingkat Kemampuan SKDI: 3A (Mendiagnosis, melakukan penatalaksaan awal dan merujuk) Nyeri punggung bawah; diagnosis banding Radicular Syndrome dan Hernia Nucleus Pulposus

Kompetensi yang diujikan

1. Anamnesis deskripsi dan intensitas nyeri 2. Anamnesis kondisi fungsional dan psikososial 3. Analisis masalah 4. Pemeriksaan fisis 5. Tatalaksana nonfarmakologis 6. Komunikasi 7. Perilaku professional

Instruksi peserta penilaian

KLINIK: Seorang laki-laki, 50 tahun, datang ke Puskesmas dengan keluhan nyeri punggung yang hilang timbul sejak 6 bulan yang lalu. TUGAS : 1. Lakukanlah anamnesis pada pasien ini 2. Sebutkan pemeriksaan fisis yang akan Anda lakukan (tidak perlu dilakukan) 3. Buatlah analisis masalah pada pasien ini dan sampaikan kepada pasien 4. Komunikasikan rencana tatalaksana nonfarmakologis pada pasien ini

Instruksi penilai

INSTRUKSI UMUM 1. Pastikan identitas peserta penilaian sesuai dengan identitas lembar nilai 2. Amatilah dan berilah skor (0/1/2/3) atas tugas yang dikerjakan

INSTRUKSI KHUSUS: Lakukan penilaian butir-butir di bawah ini: 1. Keterampilan menggali deskripsi dan intensitas nyeri yang sesuai dengan

PQRST 2. Keterampilan menggali kondisi fungsional dan psikososial yang sesuai dengan

ACT-UP 3. Pilihan pemeriksaan fisis mahasiswa yang minimal disebutkan oleh mahasiswa

a. Inspeksi area punggung dan tungkai (struktur anatomis dan gait) b. Palpasi area punggung yang nyeri c. Range of Motion d. Test Laseque e. Refleks patela dan akiles

4. Analisis masalah yang tercermin dari komunikasi mahasiswa ke pasien a. Nyeri punggung bawah kronik (boleh ditambahkan diagnosis banding) b. Gangguan fungsional (menggangu pekerjaan sebagai supir) c. Gangguan psikososial (merasa mejadi beban bagi teman-teman,

merasa takut penghasilan berkurang atau kemungkinan lumpuh dan gangguan seksual)

5. Tatalaksana nonfarmakologis yang menjawab masalah, mampu laksana, mudah dipahami yang tercermin dari komunikasi mahasiswa ke pasien.

6. Keterampilan komunikasi verbal dan nonverbal (sambung rasa, eksplorasi, melibatkan pasien dalam pengambilan keputusan)

7. Perilaku profesional yang ditunjukkan oleh mahasiswa; yaitu a. Memperhatikan keselamatan diri sendiri dan pasien (misalnya

dengan cuci tangan di awal konsultasi) b. Menunjukan rasa hormat kepada pasien sepanjang konsutasi c. Mengetahui keterbatasan sebagai dokter umum dan

merekomendasikan konsultasi dengan spesialis

33

Instruksi Pasien Standar

Nama Usia Jenis kelamin Pekerjaan Status pernikahan Pendidikan terakhir

Sesuai nama pasien simulasi 50 tahun Laki-laki Supir perusahaan ekspedisi Menikah SMP

Riwayat Penyakit Sekarang

Keluhan Utama Nyeri Punggung

PQRST Yang memperparah (P)

Menyetir terlalu lama, mengangkat barang-barang kiriman, tidur meringkuk

Yang mengurangi (P) Berdiri setelah menyetir, tidur di alas keras, minum obat warung (tiga bulan terakhir minum obat hampir tiap hari)

Karakteristik (Q) Kemeng/ngilu, kadang-kadang tersengat listrik

Penjalaran (R) Menjalar ke tungkai kanan sampai ke betis

Skala nyeri (S) Pada skala 1-10, nyeri dirasakan di skala 2-3

Durasi/frekuensi (T) Sudah lama dirasakan, tetapi memberat 6 bulan terakhir

ACT-UP

Pengaruh nyeri terhadap aktivitas pasien (A)

Pasien sering pulang cepat atau bolos kerja karena nyeri jika menyetir. Tidak ada gangguan buang air kecil atau besar.

Usaha yang dilakukan (C)

Pasien berobat ke mantri dan minum obat warung. Pasien berusaha menghindar pekerjaan-pekerjaan yang menyebabkan nyerinya bertambah atau pergi ke mantri

Harapan pasien terhadap nyeri (T)

Pasien takut nyeri tidak bisa sembuh dan bisa lumpuh. Pasien takut mengalami gangguan seksual karena kaki sering terasa lemas.

Perasaan pasien tentang penyakitnya (U)

Pasien merasa bingung dan tertekan karena penghasilan berkurang

Respons orang di sekitar terhadap penyakitnya (P)

Pasien merasa membebani teman-teman kerjanya karena sering bolos kerja.

34

Judul station Pengkajian nyeri kronik

Judul station Pengkajian nyeri kronik

Judul station Pengkajian nyeri kronik

Riwayat penyakit dahulu Riwayat penyakit keluarga Riwayat pribadi

Tidak ada

Tidak ada

Pasien merokok, tidak ada alergi obat

Pertanyaan wajib oleh PS

“Apakah saya bisa sembuh?”

Peran yang wajib ditunjukkan

Setelah duduk sepuluh menit, pasien menunjukkan rasa tidak nyaman saat duduk, mulai meringis dan bergoyang-goyang.

Pemeriksaan fisis Setelah mahasiswa menyebutkan pemeriksaan fisis yang akan dilakukan; pasien simulasi menyerahkan selembar kertas berisi data pemeriksaan fisis ke mahasiswa sebagai berikut:

Tanda vital dan status generalis dalam batas normal

Inspeksi gait dan area punggung (pada pasien ini tidak ada kelainan)

Palpasi area punggung yang nyeri; (pada pasien ini ada nyeri tekan di tulang belakang, sebelah median; pemeriksaan Range of Motion berkurang karena nyeri, Test Laseque positif)

Refleks patela dan akiles normal, tidak ada hiperrefleksi

Tata Letak Station

Ruang konsultasi dokter Alat perekam dan penyimpan data rekaman

Kebutuhan Laboran

Petugas perekam video

Referensi Weiss C, Staats P. Lumbosacral radiculopathy pain and its management. In Symptom oriented pain management. 2012. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers Institute of Health Economics Alberta Canada. Guideline for the evidence-informed primary care management of low back pain, 3rd edition – minor revision 2017. http://www.topalbertadoctors.org/download/1885/LBPguideline.pdf?_20160610011846. Diakses 10 Mei 2018

35

DAFTAR TILIK KETERAMPILAN PENGKAJIAN NYERI KRONIK

BUTIR PENILAIAN 0 1 2 3 BOBOT

1. Anamnesis deskripsi dan intensitas nyeri

Mahasiswa tidak melakukan tindakan

Mahasiswa melakukan 1-3 butir di bawah ini dengan benar: 1. Menggali faktor-faktor yang

meningkatkan dan mengurangi nyeri (Provoke and Palliate)

2. Menggali deskripsi nyeri (Quality) 3. Menggali letak dan penjalaran nyeri

(Region and Radiation) 4. Menggali tingkat keparahan nyeri

(Severity) 5. Menggali onset, durasi dan waktu-

spesifik munculnya nyeri (Time)

Mahasiswa melakukan 4-5 butir di bawah ini dengan benar: 1. Menggali faktor-faktor yang

meningkatkan dan mengurangi nyeri (Provoke and Palliate)

2. Menggali deskripsi nyeri (Quality) 3. Menggali letak dan penjalaran nyeri

(Region and Radiation) 4. Menggali tingkat keparahan nyeri

(Severity) 5. Menggali onset, durasi dan waktu

spesifik munculnya nyeri (Time)

Mahasiswa melakukan semua butir di bawah ini dengan benar: 1. Menggali faktor-faktor yang

meningkatkan dan mengurangi nyeri (Provoke and Palliate)

2. Menggali deskripsi nyeri (Quality) 3. Menggali letak dan penjalaran nyeri

(Region and Radiation) 4. Menggali tingkat keparahan nyeri

(Severity) 5. Menggali onset, durasi dan waktu

spesifik munculnya nyeri (Time)

2

2. Anamnesis kondisi fungsional dan psikososial

Mahasiswa tidak melakukan tindakan

Mahasiswa melakukan 1-2 butir di bawah ini dengan benar: 1. Menggali pengaruh nyeri terhadap

aktivitas pasien (Activity) 2. Menggali cara pasien mengelola nyeri

yang dialaminya (Coping) 3. Menggali harapan pasien terhadap

nyeri yang dialaminya (Think) 4. Menggali emosi pasien dalam

menghadapi nyeri (Upset) 5. Menggali sikap keluarga atau orang-

orang di sekitar pasien saat pasien merasa nyeri (People)

Mahasiswa melakukan 3-4 butir di bawah ini dengan benar: 1. Menggali pengaruh nyeri terhadap

aktivitas pasien (Activity) 2. Menggali cara pasien mengelola nyeri

yang dialaminya (Coping) 3. Menggali harapan pasien terhadap

nyeri yang dialaminya (Think) 4. Menggali emosi pasien dalam

menghadapi nyeri (Upset) 5. Menggali sikap keluarga atau orang-

orang di sekitar pasien saat pasien merasa nyeri (People)

Mahasiswa melakukan semua butir di bawah ini dengan benar: 1. Menggali pengaruh nyeri terhadap

aktivitas pasien (Activity) 2. Menggali cara pasien mengelola nyeri

yang dialaminya (Coping) 3. Menggali harapan pasien terhadap

nyeri yang dialaminya (Think) 4. Menggali emosi pasien dalam

menghadapi nyeri (Upset) 5. Menggali sikap keluarga atau orang-

orang di sekitar pasien saat pasien merasa nyeri (People)

2

36

BUTIR PENILAIAN 0 1 2 3 BOBOT

3.Pemeriksaan fisis

Mahasiswa tidak menyebutkan pemeriksaan fisis

Mahasiswa menyebutkan 1-2 pemeriksaan fisis di bawah ini 1. Inspeksi area punggung dan tungkai

(struktur anatomis dan gait) 2. Palpasi area punggung yang nyeri 3. Range of Motion 4. Test Laseque 5. Refleks patela dan akiles

Mahasiswa menyebutkan 3-4 pemeriksaan fisis di bawah ini 1. Inspeksi area punggung dan tungkai

(struktur anatomis dan gait) 2. Palpasi area punggung yang nyeri 3. Range of Motion 4. Test Laseque 5. Refleks patela dan akiles

Mahasiswa menyebutkan semua pemeriksaan fisis di bawah ini 1. Inspeksi area punggung dan

tungkai (struktur anatomis dan gait)

2. Palpasi area punggung yang nyeri 3. Range of Motion 4. Test Laseque 5. Refleks patela dan akiles

1

4. Analisis masalah

Mahasiswa tidak menyampaikan masalah pasien

Mahasiswa menyampaikan satu masalah pasien dengan benar: 1. Nyeri punggung bawah kronik

(mahasiswa boleh menambahkan diagnosis banding)

2. Gangguan fungsional (contoh: menggangu pekerjaan sebagai supir)

3. Gangguan psikososial (contoh: merasa mejadi beban bagi teman-teman, merasa takut penghasilan berkurang atau kemungkinan lumpuh dan gangguang seksual)

Mahasiswa menyampaikan dua masalah pasien dengan benar: 1. Nyeri punggung bawah kronik

(mahasiswa boleh menambahkan diagnosis banding)

2. Gangguan fungsional (contoh: menggangu pekerjaan sebagai supir)

3. Gangguan psikososial (contoh: merasa mejadi beban bagi teman-teman, merasa takut penghasilan berkurang atau kemungkinan lumpuh dan gangguang seksual)

Mahasiswa menyampaikan tiga masalah pasien secara holistik: 1. Nyeri punggung bawah kronik

(mahasiswa boleh menambahkan diagnosis banding)

2. Gangguan fungsional (contoh: menggangu pekerjaan sebagai supir)

3. Gangguan psikososial (contoh: merasa mejadi beban bagi teman-teman, merasa takut penghasilan berkurang atau kemungkinan lumpuh dan gangguang seksual)

2

5. Tatalaksana nonfarma-kologis

Mahasiswa tidak memberikan tatalaksana

Mahasiswa menyampaikan edukasi gaya hidup yang (satu butir benar): 1. Menjawab masalah (contoh: tetap

aktif dan berolah raga) 2. Mampu laksana 3. Mudah dipahami

Mahasiswa memberikan edukasi gaya hidup yang (dua butir benar): 1. Menjawab masalah (contoh: tetap

aktif dan berolah raga) 2. Mampu laksana 3. Mudah dipahami

Mahasiswa memberikan edukasi gaya hidup yang (semua benar) 1. Menjawab masalah (contoh: tetap

aktif dan berolah raga) 2. Mampu laksana 3. Mudah dipahami

1

37

BUTIR PENILAIAN 0 1 2 3 BOBOT

6. Komunikasi Mahasiswa tidak menunjukkan kemampuan komunikasi dengan baik

Mahasiswa menunjukkan kemampuan berkomunikasi dengan menerapkan satu prinsip berikut: 1. Membina sambung rasa dengan

pasien secara empatik melalui komunikasi verbal

2. Membina sambung rasa dengan pasien secara empatik melalui komunikasi nonverbal

3. Mendengarkan secara aktif untuk menggali masalah kesehatan yang holistik dan komprehensif

4. Melibatkan pasien dalam membuat keputusan tatalaksana

Mahasiswa menunjukkan kemampuan berkomunikasi dengan menerapkan dua prinsip berikut: 1. Membina sambung rasa dengan

pasien secara empatik melalui komunikasi verbal

2. Membina sambung rasa dengan pasien secara empatik melalui komunikasi nonverbal

3. Mendengarkan secara aktif untuk menggali masalah kesehatan yang holistik dan komprehensif

4. Melibatkan pasien dalam membuat keputusan tatalaksana

Mahasiswa menunjukkan kemampuan berkomunikasi dengan menerapkan tiga prinsip berikut: 1. Membina sambung rasa dengan

pasien secara empatik melalui komunikasi verbal

2. Membina sambung rasa dengan pasien secara empatik melalui komunikasi nonverbal

3. Mendengarkan secara aktif untuk menggali masalah kesehatan yang holistik dan komprehensif

4. Melibatkan pasien dalam membuat keputusan tatalaksana

1

7. Perilaku profesional

Mahasiswa tidak sama sekali tidak menunjukkan perilaku profesional

Mahasiswa menunjukkan perilaku profesional yang tercermin dalam salah satu butir di bawah ini 1. Memperhatikan keselamatan

diri sendiri dan pasien (misalnya dengan cuci tangan di awal konsultasi)

2. Menunjukan rasa hormat kepada pasien sepanjang konsutasi

3. Mengetahui keterbatasan sebagai dokter umum dan merekomendasikan konsultasi dengan spesialis

Mahasiswa menunjukkan perilaku profesional yang tercermin dalam dua butir di bawah ini 1. Memperhatikan keselamatan diri

sendiri dan pasien (misalnya dengan cuci tangan di awal konsultasi)

2. Menunjukan rasa hormat kepada pasien sepanjang konsutasi

3. Mengetahui keterbatasan sebagai dokter umum dan merekomendasikan konsultasi dengan spesialis

Mahasiswa menunjukkan perilaku profesional yang tercermin dalam tiga butir di bawah ini 1. Memperhatikan keselamatan

diri sendiri dan pasien (misalnya dengan cuci tangan di awal konsultasi)

2. Menunjukan rasa hormat kepada pasien sepanjang konsutasi

3. Mengetahui keterbatasan sebagai dokter umum dan merekomendasikan konsultasi dengan spesialis

1

Penilaian Anda secara umum terhadap mahasiswa (global rating): Kompeten/Tidak Kompeten.

38

KUESIONER TINGKAT KEPUASAN

No Bagaimana butir-butir di bawah ini menunjang

proses pembelajaran Anda?

Berikan tanda ‘v’ pada jawaban yang paling sesuai

1 2 3 4

AKTIVITAS

1 Diskusi dengan pasien nyeri kronik

2 Kuliah dari pakar

3 Demonstrasi pengkajian nyeri

4. Simulasi pengkajian nyeri

KOMPONEN

5. Penggunaan mnemonic PQRST

6. Penggunaan mnemonic ACT-UP

7. Peran pasien simulasi

8. Peran fasilitator dalam simulasi

9. Variasi skenario dalam simulasi

10. Debriefing setelah simulasi (sesi umpan balik bersama

fasilitator)

ORGANISASI PELATIHAN

11. Tempat pelatihan

12. Fasilitas pelatihan (media audiovisual, tata ruang

simulasi)

13. Pengelolaan waktu pelatihan

14. Interaksi dengan peserta pelatihan lainnya

RELEVANSI

15. Relevansi pelatihan dengan kebutuhan pembelajaran

Anda di masa dating

Skala 1 – 4 (1=tidak menunjang, 2=menunjang, 3=menunjang, 4=sangat menunjang)

39

16. Hal apa yang menurut Anda sudah baik dari pelatihan ini?

17. Hal apa yang menurut Anda masih bisa ditingkatkan dari pelatihan ini?

18. Manfaat apa yang Anda rasakan dari pelatihan ini?

19. Silahkan sampaikan komentar tambahan Anda tentang pelatihan ini

40

1. Reid KJ, Harker J, Bala MM, Truyers C, Kellen E, Bekkering GE, et al. Epidemiology

of chronic non-cancer pain in Europe: narrative review of prevalence, pain

treatments and pain impact. Curr Med Res Opin. 2011;27:449–62.

2. Dueñas M, Ojeda B, Salazar A, Mico JA, Failde I. A review of chronic pain impact on

patients, their social environment and the health care system. J Pain Res.

2016;9:457–67.

3. Goldberg DS, McGee SJ. Pain as a global public health priority. BMC Public Health.

2011;11:770.

4. The Lancet. Managing pain effectively. The Lancet. 2011;377:2151.

5. Purwata TE, Sadeli HA, Yuneldi Y, Amir D, Asnawi C, Dani S, et al. Characteristics of

neuropathic pain in Indonesia: A hospital based national clinical survey. Neurol

Asia. 2015;20:389–94.

6. Institute of Medicine (US) Committee on Advancing Pain Research, Care, and

Education. Relieving Pain in America: A Blueprint for Transforming Prevention,

Care, Education, and Research [Internet]. Washington (DC): National Academies

Press (US); 2011 [cited 2017 Nov 23]. (The National Academies Collection: Reports

funded by National Institutes of Health). Available from:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK91497/

7. Ung A, Salamonson Y, Hu W, Gallego G. Assessing knowledge, perceptions and

attitudes to pain management among medical and nursing students: a review of

the literature. Br J Pain. 2016;10:8–21.

8. Latchman J. Improving Pain Management at the Nursing Education Level:

Evaluating Knowledge and Attitudes. J Adv Pract Oncol. 2014;5:10–6.

9. Michiels E, Deschepper R, van der Kelen G, Bernheim JL, Mortier F, van der Stichele

R, et al. The role of general practitioners in continuity of care at the end of life: a

qualitative study of terminally ill patients and their next of kin. Palliat Med.

2007;21:409–15.

41

10. Briggs EV, Battelli D, Gordon D, Kopf A, Ribeiro S, Puig MM, et al. Current pain

education within undergraduate medical studies across Europe: Advancing the

provision of pain education and learning (APPEAL) study. BMJ Open.

2015;5:e006984.

11. Watt-Watson J, McGillion M, Hunter J, Choiniere M, Clark A, Dewar A, et al. A

survey of prelicensure pain curricula in health science faculties in Canadian

universities. Pain Res Manag J Can Pain Soc. 2009;14:439–44.

12. Konsil Kedokteran Indonesia. Standar Kompetensi Dokter Indonesia. Jakarta: Konsil

Kedokteran Indonesia; 2012.

13. Fishman SM, Young HM, Lucas Arwood E, Chou R, Herr K, Murinson BB, et al. Core

competencies for pain management: Results of an Interprofessional Consensus

Summit. Pain Med. 2013;14:971–81.

14. Wilkinson P. 2018 Global year for excellence in pain education [Internet]. 2018

[cited 2018 Mar 25]. Available from: http://s3.amazonaws.com/rdcms-

iasp/files/production/public/globalyear/2018%20Global%20Year%20Brand%20Pro

spectus.pdf

15. Powell RA. Pain history and pain assessment. In: Kopf A, Patel NB. eds. Guide to

pain management in low-resource setting. Seattle: International Association for

the Study of Pain; 2010. p. 67–78.

16. Carr DB, Bradshaw YS. Time to flip the pain curriculum? Anesthesiology.

2014;120:12–4.

17. Murinson BB, Gordin V, Flynn S, Driver LC, Gallagher RM, Grabois M.

Recommendations for a new curriculum in pain medicine for medical students:

Toward a career distinguished by competence and compassion. Pain Med.

2013;14:345–50.

18. Claramita M, Sutomo AH, Graber MA, Scherpbier AJ. Are patient-centered care

values as reflected in teaching scenarios really being taught when implemented by

teaching faculty? A discourse analysis on an Indonesian medical school’s

curriculum. Asia Pac Fam Med. 2011;10:4.

19. Webster F, Bremner S, Oosenbrug E, Durant S, McCartney CJ, Katz J. From

opiophobia to overprescribing: A critical scoping review of medical education

training for chronic pain. Pain Med. 2017;18:1467–75.

42

20. Rice K, Ryu JE, Whitehead C, Katz J, Webster F. Medical Trainees’ experiences of

treating people with chronic pain: A lost opportunity for medical education. Acad

Med. 2018;93:775-80

21. Erickson JM, Brashers V, Owen J, Marks JR, Thomas SM. Effectiveness of an

interprofessional workshop on pain management for medical and nursing

students. J Interprof Care. 2016;30:466–74.

22. Hunter JP, Stinson J, Campbell F, Stevens B, Wagner SJ, Simmons B, et al. A novel

pain interprofessional education strategy for trainees: Assessing impact on

interprofessional competencies and pediatric pain knowledge. Pain Res Manag J

Can Pain Soc. 2015;20:e12–20.

23. Simko LC, Rhodes DC, McGinnis KA, Fiedor J. Students’ perspectives on

interprofessional teamwork before and after an interprofessional pain education

course. Am J Pharm Educ. 2017;81:104.

24. Setyohadi B, Setiati S. Sistem muskuloskeletal. Dalam: Setiati S, Nafrialdi, Alwi I,

Syam AF, Simadibrata M, editor. Panduan sistematis untuk diagnosis fisis:

Anamnesis dan pemeriksaan fisis komprehensif. Jakarta: Interna publishing; 2013.

p.185-218

25. Susilo AP, Sukmono RB. What is missing from PQRST mnemonic as a tool for pain

assessment learning? A case report on a pre-internship module. Presented in

Indoanesthesia. Jakarta; 22-24 February 2018.

26. Dyson E, Voisey S, Hughes S, Higgins B, McQuillan P. Educational psychology in

medical learning: a randomised controlled trial of two aide memoires for the recall

of causes of electromechanical dissociation. Emerg Med J. 2004;21:457–60.

27. Claramita M, Utarini A, Soebono H, van Dalen J, van der Vleuten C. Doctor–patient

communication in a Southeast Asian setting: the conflict between ideal and reality.

Adv Health Sci Educ. 2011;16:69–80.

28. Dansie EJ, Turk DC. Assessment of patients with chronic pain. Br J Anaesth.

2013;111:19–25.

29. Stanos S, Brodsky M, Argoff C, Clauw DJ, D’Arcy Y, Donevan S, et al. Rethinking

chronic pain in a primary care setting. Postgrad Med. 2016;128:502–15.

30. Leila NM, Pirkko H, Eeva P, Eija K, Reino P. Training medical students to manage a

chronic pain patient: both knowledge and communication skills are needed. Eur J

Pain. 2012;10:167–167.

43

31. Mishra S. Do we need to change the medical curriculum: regarding the pain of

others. Indian Heart J. 2015;67:187–91.

32. Gereau RW, Sluka KA, Maixner W, Savage SR, Price TJ, Murinson BB, et al. A pain

research agenda for the 21st century. J Pain Off J Am Pain Soc. 2014;15:1203–14.

33. Rosequit R, Vrooman B. Chronic pain management. Dalam: Butterworth JF,

Mackey DC, Wasnick JD, editors. Morgan & Mickhail’s clinical anesthesiology. 5th

ed. United States; 2013. p. 1023–85.

34. Stein C, Kopf A. Anesthesia and treatment of chronic pain. Dalam: Miller RD, Cohen

ND, Eriksson LI, Fleisher LA, Jeanine P Wiener-Kronish, Young WL, editors. Miller’s

anesthesia. 8th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2015. p. 1898–918.

35. American Society of Anesthesiologists Task Force on Chronic Pain Management,

American Society of Regional Anesthesia and Pain Medicine. Practice guidelines for

chronic pain management: an updated report by the American Society of

Anesthesiologists Task Force on Chronic Pain Management and the American

Society of Regional Anesthesia and Pain Medicine. Anesthesiology. 2010;112:810–

33.

36. Setiadi B. Neurobiologi nyeri kronik [Tinjauan Pustaka]. [Jakarta]: Universitas

Indonesia; 2014.

37. Hui Y, Bie B, Naguib MA. Pain physiology. In: Flood P, Rathmell JP, Shafer S, editors.

Stoelting’s pharmacology and physiology in anesthetic practice. 5th ed.

Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2015. p. 204–16.

38. Voscopoulos C, Lema M. When does acute pain become chronic? Br J Anaesth.

2010;105:i69–85.

39. Vadivelu N, Whitney C, Sinatra R. Pain pathways and acute pain processing. In:

Pain pathways and acute pain processing. Cambridge: Cambridge University Press;

2009. p. 3–11.

40. Strong J, Sturgess J, Unruh AM, Vicenzino B. Pain assessment and measurement.

In: Strong J, Unruh AM, Baxter GD, editors. Pain: a textbook for therapists. 1st ed.

United Kingdom: Churchill Livingstone; 2002. p.123-47

41. Breivik H, Borchgrevink PC, Allen SM, Rosseland LA, Romundstad L, Hals EK, et al.

Assessment of pain. Br J Anaesth. 2008;101:17–24.

42. Gulve A. Pain assessment. In: Hughes, editor. Pain management: from basics to

clnical practice. 1st ed. Philadelphia: Elsevier; 2008. p. 213–29.

44

43. Wedhani RA, Sukmono RB, Dwimartutie N, Wijaya AA, Mirtha LT, Herqutanto, et al.

Buku rancangan pengajaran modul pre-internship. Jakarta: Medical Education Unit

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2017.

44. Turk DC. Some inquiry about the use of ACT-UP as an educational tool. 2018.

45. Noble B, Clark D, Meldrum M, ten Have H, Seymour J, Winslow M, et al. The

measurement of pain, 2945–2000. J Pain Symptom Manage. 2005;29:14–21.

46. van Merriënboer JJG, Clark RE, de Croock MBM. Blueprints for complex learning:

The 4C/ID-model. Educ Technol Res Dev. 2002;50:39–61.

47. Rall M, Gaba DM, Dieckmann P, Eich CB. Patient simulation. Dalam: Miller’s

anesthesia. 8th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2015. p. 167–209.

48. Williams B, Song JJY. Are simulated patients effective in facilitating development of

clinical competence for healthcare students? A scoping review. Adv Simul.

2016;1:6.

49. Bokken L, Rethans J-J. Simulated patients. Dalam: van Berkel H, Scherpbier A,

Hillen H, van der Vleuten C, editors. Lessons from Problem-based Learning. 1st ed.

New York: Oxford University Press; 2010. p. 75–86.

50. Bambini D. Writing a simulation scenario: A step-by-step guide. AACN Adv Crit

Care. 2016;27:62–70.

51. Chowdhury RR, Kalu G. Learning to give feedback in medical education. Obstet

Gynaecol. 2004;6:243–7.

52. Liu, Q., Peng, W., Zhang, F., Hu, R., Li, Y., & Yan, W. (2016). The Effectiveness of

Blended Learning in Health Professions: Systematic Review and Meta-

Analysis. Journal of medical Internet research, 18(1), e2. doi:10.2296/jmir.4807

53. Aslam M, Tan CK, Prayitno A. Editor. Farmasi klinis. Jakarta: PT. Elex Media

Komputindo; 2003.

TIM PENDUKUNG

Desain dan Foto Sampul

Daniar Setyo RiniAntonius Jansen SutantoRoy MartinoEdwin Deges

Video Kuliah dan Simulasi

Daniar Setyo RiniStefani Verona Indi

Layout Modul

Hendy Armanda ZaintamaAntonius Jansen SutantoYusuf Bertua SinagaIkhsan AnwarTjues AryoVivi Medina Ginting

REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

SURAT PENCATATANCIPTAAN

Dalam rangka pelindungan ciptaan di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, dengan ini menerangkan:

Nomor dan tanggal permohonan : EC00201942140, 13 Juni 2019

Pencipta

Nama :Dr. dr. Ratna Farida Soenarto, Sp.An-KAKV, dr. Raden Besthadi Sukmono, Sp.An-KAR., , dkk

Alamat : Jl. Barata Tama Raya 38 RT 004 RW 007 Karang Tengah, Tangerang, Banten, 15157

Kewarganegaraan : Indonesia

Pemegang Hak Cipta

Nama : Universitas Indonesia

Alamat : Gedung Pusat Administrasi, Lantai II, Kampus UI, Depok, Depok, Jawa Barat, 16424

Kewarganegaraan : Indonesia

Jenis Ciptaan : Modul

Judul Ciptaan : Pengkajian Nyeri Kronik: Modul Pelatihan Keterampilan Dasar Untuk Mahasiswa Dan Profesional Kesehatan

Tanggal dan tempat diumumkan untuk pertama kali di wilayah Indonesia atau di luar wilayah Indonesia

: 1 Februari 2019, di Depok

Jangka waktu pelindungan : Berlaku selama 50 (lima puluh) tahun sejak Ciptaan tersebut pertama kali dilakukan Pengumuman.

Nomor pencatatan : 000143621

adalah benar berdasarkan keterangan yang diberikan oleh Pemohon. Surat Pencatatan Hak Cipta atau produk Hak terkait ini sesuai dengan Pasal 72 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

a.n. MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA DIREKTUR JENDERAL KEKAYAAN INTELEKTUAL

Dr. Freddy Harris, S.H., LL.M., ACCS.NIP. 196611181994031001

LAMPIRAN PENCIPTA

No Nama Alamat

1Dr. dr. Ratna Farida Soenarto, Sp.An-KAKV

Jl. Barata Tama Raya 38 RT 004 RW 007 Karang Tengah

2dr. Raden Besthadi Sukmono, Sp.An-KAR.

Jl. Tebet Utara IV A/28 RT 001 RW 002 Tebet Timur, Tebet

3 dr. Ardi Findyartini, PhD. Jl. Rambutan VI No.2 KAV B RT 003 RW 005 Pejaten Barat, Pasar Minggu

4dr. Astrid Pratidina Susilo, Sp.An., PhD.

Rungkut Asri II/25 RT 004 RW 011 Kalirungkut, Rungkut

Powered by TCPDF (www.tcpdf.org)

PENGKAJIAN NYERI KRONIK

adalah "dialog" antara pasien dan tenaga

kesehatan tentang deskripsi nyeri dan

intensitasnya, respons pasien terhadap

nyeri serta dampak nyeri terhadap

kehidupan pasien. Prinsip inilah yang

ditekankan dalam modul pembelajaran

ini, sebagai model pelatihan pengkajian

nyeri kronik komprehensif berbasis

simulasi.

Modul ini dapat diadaptasi untuk

berbagai tahapan pembelajaran (pra-

klinis, rotasi klinis, pendidikan profesional

berkelanjutan) serta dimodifikasi untuk

berbagai profesi kesehatan (kedokteran,

farmasi, atau keperawatan). Skenario,

video, struktur pelatihan, dan instrumen

evaluasi disediakan sebagai contoh untuk

dapat diadopsi dalam beragam konteks

pembelajaran.

Tim penyusun berharap modul ini

dapat menjadi kontribusi bagi

pembelajaran nyeri dan peningkatan

kualitas hidup penderita nyeri kronik di

Indonesia.