Hubungan antara Nyeri dan Gangguan Cemas
-
Upload
independent -
Category
Documents
-
view
1 -
download
0
Transcript of Hubungan antara Nyeri dan Gangguan Cemas
REFERAT
Hubungan antara Nyeri Psikogenik dan
Cemas
Oleh :
Anak Agung Dewi Adnya Swari 112014142
Dokter Pembimbing :
dr. Ratna Mardiati, Sp. KJ
KEPANITRAAN KLINIK PSIKIATRI
1
PERIODE 20 APRIL 2015 – 23 MEI 2015
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
2015
Pendahuluan
Nyeri merupakan gejala yang paling sering membuat pasien
untuk datang ke dokter. Prinsip dasar dari manejemen nyeri
adalah mengobati kausatif dan mengobati nyeri. Jika hanya
mengobati nyerinya saja, terapi bisa gagal karena nyeri akut
memiliki onset. Jika nyeri akut tidak diobati maka akan jatuh
ke dalam nyeri kronis yang sulit diobati sebab nyeri meliputi
faktor emosional dan biologis. Faktor emosional berperan
penting saat timbulnya nyeri karena membuat pasien merasa
cemas.
Sensasi secara universal dibagi menjadi dua yaitu
epikritik dan protopatik. Sensasi protopatik adalah noxious
(harm/injury/traumatic), seperti tertusuk dan tersayat. Sensasi
epikritik adalah non-noxious (non-traumatic) seperti raba, sentuh,
tekanan, dan belai. Noxious berasal dari bahasa latin yaitu
nochi yang berarti harm/injury. Sensasi epikritik dibutuhkan
setiap saat tetapi protopatik tidak dibutuhkan setiap hari.
Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang
timbul akibat terjadinya kerusakan jaringan, sebab nyeri
merupakan pengalaman yang tidak mudah dilupakan. Jika nyeri
semakin cepat ditangani maka akan semakin mudah untuk diatasi.
Nyeri merupakan pembelajaran, contohnya jika anak kecil
bermain api lalu terkena api dan merasakan sakit, maka respon
2
anak kecil itu bisa takut untuk bermain api dan akan lebih
berhati-hati.
Mengobati pasien dengan keluhan nyeri juga harus
mengobati emosional pasien seperti cemas yang dialami setelah
kejadian tersebut terjadi. Sehingga kesembuhan pasien lebih
efektif.
Kecemasan tentang rasa sakit dapat memperburuk sensasi
nyeri. Berbagai penelitian menggunakan functional magnetic resonance
imaging (fMRI) untuk membuktikan hubungan antara cemas dengan
nyeri.
Nyeri Psikogenik
Nyeri adalah suatu persepsi yang merupakan mekanisme
proteksi tubuh yang bertujuan memberikan peringatan (alerting)
akan adanya penyakit, luka, atau kerusakan jaringan sehingga
dapat segera diidentifikasi penyebabnya dan dilakukan
pengobatan.1 Menurut The International Association for the Study of Pain
(IASP), nyeri didefinisikan sebagai pengalam sensorik dan
emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan
kerusakan jaringan atau potensial akan menyebabkan kerusakan
jaringan. Dari definisi diatas terlihat betapa pentingnya
faktor psikis. Timbulnya rasa nyeri tidak hanya sekedar
sebagai proses sensorik saja tetapi merupakan persepsi yang
kompleks yang melibatkan fungsi kognitif, mental, emosional,
dan daya ingat.2
Definisi dari gangguan nyeri menurut DSM-IV-TR adalah
adanya nyeri yang merupakan keluhan utama dan menjadi fokus
3
perhatian klinis.2 Faktor piskologis sangat berperan dalam
gangguan ini. Gejala utama adalah nyeri pada satu tempat atau
lebih, yang tidak dapat dimasukkan secara penuh sebagi kondisi
medik nonpiskiatrik maupun neurologik. Gangguan ini berkaitan
dengan penderitaan emosional dan hendaya dalam fungsi
kehidupan.
Secara neurofisiologi nyeri dapat dibagi atas nyeri
nosiseptik dan nyeri non-nosiseptik. Nyeri nosiseptik adalah
nyeri yang disebabkan oleh aktivitas nosiseptor baik bersifat
pada serabut u-delta maupun serabut c, oleh stimulus-stimulus
nyeri yang bersifat mekanis, terminal, maupun kimiawi.
Nyeri nosispetik dapat dibagi atas nyeri somatik dan
nyeri viseral. Nyeri somatik bersifat tumpul, lokasinya jelas
berhubungan dengan lesi dan biasanya dan akan membaik dengan
istirahat. Contoh nyeri somatik adalah nyeri muskuloskletal,
nyeri artritik, nyeri pasca bedah, dan metastasis.3 Nyeri
viseral berhubungan dengan distensi rongga yang berongga,
lokasinya sulit dideskripsikan bersifat dalam, seperti
diremas, dan disertai kram. Nyeri ini biasanya berhubungan
dengan gejala-gejala autonom, seperti mual,muntah, diaforesis.
Kadang-ladang nyeri viseral disertai rujukan (referred pain) di
kulit.
Nyeri yang berhubungan dengan aktivitas nosiseptor
disebut nyeri nonnosiseptik, yang dapat dibagi atas nyeri
neuropatik dan nyeri psikogenik. Nyeri neuropatik disebabkan
trauma neural atau iritasi saraf.3 Nyeri ini akan tetap
memanjang walaupun faktor presipitasinya sudah hilang. Pasien
4
akan merasa seperti nyeri terbakar, alodenia, atau sensasi
elektrik.
Nyeri psikogenik adalah nyeri yang tidak berhubungan
dengan nyeri nosiseptik maupun nyeri neuropatik dan disertai
dengan gejala-gejala psikis yang nyata. Proses nyeri dapat
dibagi menjadi adanya kerusakan jaringan akibat penyakit,
misalnya kanker, penyakit sendi otot dan lain-lain, disebut
sebagai nyeri nosiseptik. Nyeri akibat aktivitas abnormal
susunan saraf yang disebut nyeri neuropatik dan adanya
gangguan psikis yang mendasari sebab timbulnya nyeri disebut
nyeri psikogenik.
Epidemiologi
Nyeri merupakan keluhan tersering dalam praktek dunia
kedokteran. Di Amerika diperkirakan sebanyak 7 juta orang
menderita dan mengalami hendaya akibat nyeri pinggang bawah.2
Gangguan nyeri lebih banyak didiagnosis pada wanita
dibandingkan pria. Puncak awitan pada usia empat puluhan dan
lima-puluhan, yang mungkin disebabkan toleransi oleh rasa
nyeri menurun sesuai peningkatan usia. Gangguan nyeri sering
terjadi pada pekerja kasar, mungkin karena berkaitan dengan
tingginya kejadian trauma karena pekerjaan. Keturunan pertama
dari pasien dengan gangguan nyeri mempuyai kesempatan yang
lebih tinggi untuk menderita gangguan yang sama.
Etiologi
5
Pada DSM-IV sekitar 80% laki-laki dan 75% perempuan
memiliki pengalaman trauma selama kehidupannya.4 Trauma yang
terjadi biasanya karena adanya kematian yang tiba-tiba pada
orang yang dicintai, kecelakaan, kebakaran, bencana alam, atau
menyaksikan trauma yang berat.
Faktor psikodinamik
Pasien yang mengalami sakit dan nyeri pada tubuh tanpa
penyebab fisik yang dapat diidentifikasi mungkin
mengekspresikan konflik intrapsikik secara simbolik melalui
tubuh. Banyak pasien sulit berespons terhadap pengobatan
karena mereka yakin dirinya pantas untuk menderita.
Nyeri dapat berfungsi sebagai cara untuk memperoleh
cinta, hukuman terhadap kesalahan, dan menebus rasa bersalah
serta perasaan bahwa dirinya jahat. Mekanisme defensi yang
digunakan pasien dengan gangguan nyeri adalah pemindahan
(displacemnet), substitusi, dan represi. Indentifikasi sampai
saraf tertentu berperan apabila pasien mengambil alih-alih
obyek cinta ambivalen (contohnya orang tua) yang juga
menderita nyeri.
Faktor perilaku
Perilaku nyeri diperkuat apabila dihargai dan dihambat
apabila diabaikan atau diberi hukuman. Misalnya keluhan nyeri
sedang menjadi berat ketika orang lain mencemaskannya dan
memberi perhatian, mendapat keuntungan finansial, atau bila
keluhan nyeri berhasil dipakai untuk menghindari aktivitas
yang tak menyenangkan.
6
Faktor interpersonal
Nyeri yang sulit diobati telah diketahui sebagai sarana
untuk memanipulasi dan memperoleh keuntungan dalam hubungan
interpersonal, misalnya untuk memastikan kesetiaan anggota
keluarga atau untuk menjaga stabilitas perkawinan yang rapuh.
Keuntungan sekunder merupakan hal terpenting dari pasien
dengan gangguan nyeri.
Faktor biologis
Korteks serebral dapat menghambat tersulutnya serabut
aferen nyeri. Serotonin mungkin merupakan neurotransmiter
utama dalam jaras penghambatan, dan endorfin berperan dalam
memodulasi susunan saraf pusat untuk nyeri. Defisiensi
endorfin berhubungan dengan peningkatan stimulus sensorik yang
datang. Beberapa pasien yang menderita gangguan nyeri dan
tidak gangguan mental lainnya, karena abnormalitas struktur
limbik dan sensorik atau kimiawi yang menjadi faktor
predisposisi untuk mengalami nyeri.
Psikofisiologi dan patologi nyeri
Kerusakan jaringan, inflamasi akibat suatu penyakit akan
menyebabkan pelepasan zat-zat kimia seperti histamin,
serotonin, bradikinin, prostaglandin, substansi P, dan lain-
lain. Masing-masing mediator secara sendiri atau secara
bersamaan merangsang nosiseptor yang merupakan reseptor nyeri
nosiseptik.
7
Stimulasi nosiseptor ini kemudian diikuti proses
transduksi yaitu pengalihan stimulus menjadi proses neuronal,
yang kemudian diteruskan sepanjang serabur saraf eferen ke
ganglion radiks dorsalis medula spinalis membentuk sinaps
tempat signal rasa sakit mulai diproses dan kemudian
ditransmisikan ke korteks, menghasilkan rasa nyeri.5 Persepsi
nyeri melalui rangsang nosiseptor disebut nosiseption.
Ciri khas impuls nosiseptik yaitu stimuli nosiseptor yang
makin intensif diikuti kenaikan intensitas impuls yang
meninggi pula, yang tidak didapatkan dari stimuli reseptor
raba tekan dan temperatur. Pada tingkat medula spinalis
terutama pada radiks dorsalis terjadi modulasi baik eksitasi
maupun inhibisi impuls-impuls yang masuk.5 Kemudian diteruskan
ke korteks serebri. Transmisi korteks serebri sangat kompleks
dan melibatkan banyak aspek. Melalui jalur monosinaptik
serabut spinotalami ke korteks-somatosensorik yang
mendeskripsikan nyeri lokasi dan intensitas nyeri. Melalui
jalur polisinaps terjadi pada segmen-segmen medula spinalis.
Terdapat pula sinaps dengan serabut saraf otonom di
torakolumbal yang yang berhubungan dengan aktivitas otonom
yang dapat menyebabkan nyeri. Keadaan ini dapat menjelaskan
terjadinya gejala-gejala somatik multisistem yang dapat
menyertai nyeri atau akibat gangguan psikis.
Transmisi polisinaps ke korteks frontalis yang melibatkan
komponen afektif, menimbulkan gejala-gejala psikis pada
keadaan nyeri psikogenik, timbulnya nyeri oleh karena adanya
gangguan fungsi psikofisiologi secara umum, sedangkan pada
8
nyeri sentral yang dapat menyebabkan adalah perubahan
keseimbangan neurotransmiter.
Selain memberikan cabang pada tingkat medula, impuls
nosiseptik juga pada pons dan midbrain bercabang pada
perjalanan selanjutnya menuju ke korteks dan berakhir di girus
postsentralis yang kemudian menghasilkan rasa nyeri.
Pada tiap sinaps serabur aferen eferen, asending-
desending , pada tingkat perifer, spinal-sentral, terdapat
peran substansi neurotransmiter-neuromodulator, misalnya
serotonin, prostaglandin, susbtansi P, dan lain-lain.6
Serotonin, noerpinefrin, dopamin, asetilkolin, asam amino
aspartat, dan glutamat menginhibisi nyeri pada tingkat
serebral. Gama Amino Butiryc Acid (GABA) menginhibisi terutama pada
tingkat regulasi spinal. Inhibisi nyeri pada tingkat sentral
juga dilakukan oleh opiat endogen, yaitu B endorfin,
enkefalin, dan dinorfin.6 Katekolamin seperti norepinefrin pada
tingkat perifer menimbulkan eksaserbasi nyeri.
Keseluruhan aktivitas neurotransmiter ini belum
sepenuhnya diketahui tetapi sebagian yang diketahui ini
bermanfaat dalam memahami psikofisiologi dan patologi nyeri
dan konrol rasa nyeri secara biokimiawi.
Manifestasi klinis
Pasien dengan gangguan nyeri merupakan pasien yang
bersifat heterogen dengan nyeri pinggang, sakit kepala, nyeri
9
fasial atipikal, nyeri pelvik kronik, dan nyeri lainnya. Nyeri
mungkin terjadi setelah trauma, neuropatik, neurologik,
iatrogenik, atau muskuloskletal. Untuk menegakkan diagnosis
ganggaun nyeri harus terdapat faktor psikologis bermakna yang
terlibat dalam terjadinya keluhan nyeri.7
Pasien dengan gangguan nyeri memiliki riwayat panjang
perawatan medis dan pembedahan. Mereka mengunjungi banyak
dokter, meminta banyak obat, bahkan mendesak untuk dilakukan
pembedahan.2 Mereka berpreolupasi dengan rasa nyerinya dan
menyalahkan hal itu sebagai sumber kesengsarannya. Seringkali
pasien menyangkal sumber lain sebagai penyebab emosi
dismorfiknya dan meyakini hidupnya penuh kebahagiaan bila
tidak merasakan nyeri. Gambaran klinis dapat bercampur dengan
gangguan akibat penggunaan zat, apabila pasien menggunakan
alkohol atau zat lainnya sebagai upaya untuk mengurangi rasa
nyeri.
Ada pendapat yang meyakini bahwa nyeri kronik merupakan
varian dari gangguan depresi dengan gejala somatisasi. Gejala
depresi yang menonjol pada pasien nyeri adalah anergia,
anhedonia, penurunan libido, insomnia, dan iritabel, sedangkan
variasi diurnal, penurunan berab badan dan retardasi
psikomotor lebih jarang dialami.8
Diagnosis nyeri psikogenik
Anamnesis memegang peranan yang sangat penting pada
evaluasi nyeri. Faktor yang harus ditanyakan pada pasien nyeri
10
adalah lokasi nyeri, intensitas sifatnya terus menerus atau
hilang timbul, karakteristik nyeri, faktor pemberat, dan
faktor penyebabnya. Tanyakan juga apakah nyerinya sudah
berlangsung lama atau baru dan apakah pasien sudah pernah
konsumsi obat sebelumnya, misalnya penggunaan analgetik dan
keadaan lainnya yang berhubungan dengan nyeri.
Nyeri psikogenik pada umumnya bersifat difus, tidak jelas
hubungannya dengan struktur jaringan, dan intensitasnya
berubah-ubah.1 Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
perlu dilakukan dan harus sesuai indikasi terutama pada sistem
saraf, fungsi motoris, fungsi sensoris dan organ dalam
lainnya.
Diagnosis berdasarkan DSM-IV-TR :2
a. Nyeri pada satu tempat anatomis atau lebih yang merupakan
fokus utama dari manifestasi klinis dan cukup berat untuk
dijadikan perhatian klinis.
b. Nyeri menyebabkan penderitaan klinis bermakna atau
hendaya di bidang sosial, pekerjaan, dan fungsi penting
lainnya.
c. Faktor psikologis berperan penting dalam awitan,
keparahan, eksaserbasi, atau bertahannya nyeri.
d. Gejala atau defisit tidak dibuat sengaja atau berpura-
pura (seperti pada gangguan buatan atau berpura-pura).
e. Nyeri tidak dapat dijelaskan sebagai akibat gangguan
suasana perasaan (mood), cemas, atau gangguan psikotik.
Gangguan nyeri berasosiasi dengan faktor psikologis.
Faktor psikologis dan kondisi medik umum dinilai mempunyai
11
peran dalam awitan, keparahan, eksaserbasi, atau bertahannya
nyeri. Bila terdapat kondisi medik umum, hal itu tidak
berperan sebagi onset, keparahan, atau bertahannyan nyeri.
Jenis gangguan nyeri ini tidak didiagnosis bila kriterianya
juga memenuhi untuk gangguan somatisasi. Akut bila durasi
kurang dari 6 bulan sedangkan kronik durasi 6 bulan atau
lebih. Gangguan nyeri berasosiasi baik dengan faktor
psikologis maupun kondisi medik umum baik faktor psikologis
maupun kondisi medik umum dinilai berperan dalam awitan,
keparahan, eksaserbasi, atau bertahannya nyeri. Kondisi medik
umum yang terkait atau letak anatomis dari nyeri dikodekan
pada aksis III.3
Nyeri merupakan perasaan yang subjektif sehingga sulit
untuk dicari penyebabnya terutama pada pemeriksaan fisik
sehingga harus dilakukan pemeriksaan yang teliti. Untuk
menilai intensitas nyeri, biasanya menggunakan Visual Analog Scale
(VAS). Pada metode ini dibuat garis 10 cm dan diberi nilai
dari 1 sampai 10 atau 0 sampai 9, titik yang terendah (1 atau
0) menggambarkan titik awal nyeri, sedangkan titik tertinggi
(10 atau 9) menyatakan sangat nyeri atau nyeri maksimum,
kemudian pasien menentukan dimana letak nyeri tersebut.
Sedangkan untuk menilai nyeri secara terperinci, dapat
digunakan McGill Pain Questionnaire (MPQ). Untuk menilai nyeri kronik
dapat digunakan kuisioner lain yaitu Westhaven Yale Multimennsional
Pain Inventory (WHYMPI) yang dapat mengatur faktor-faktor
sensorik, medis, neurologis, kognitif, dan aspek psikis.
12
Gambar 1. Visual Analog Scale2
Penilaian status psikis pasien nyeri tidak hanya
ditujukan untuk membedakan antara nyeri organik dan nyeri
psikogenik, tetapi bertujuan untuk menilai pengaruh nyeri
terhadap fungsi psikis pasien atau menilai efek aspek
ansietas, depresi, atau pengalaman hidup sebelum timbulnya
nyeri. Yang pertama kali harus disadari oleh wawancara status
psikis bahwa dia harus percaya bahwa nyeri yang dirasakan itu
memang ada. Jadi nyeri tersebut memiliki afek fisis dan
psikis.
Nyeri dapat merupakan keluhan utama pada kelainan
psikosomatik. Kecemasan dengan gejala-gejala autonom yang
nyata sering kali menyertai nyeri akut yang pada umumnya
disebabkan oleh kerusakan jaringan. Intensitas gejala otonom
ini dipengaruhi oleh pengalaman nyeri sebelumnya dan
kepribadian. Pada nyeri kronik, peran sistem otonom tidak
menonjol, gejala yang tampak adanya perubahan neurovegetatif
seperti gangguan tidur, nafsu makan, libido, dan lain-lain.
Nyeri kronik merupakan keluhanan utama depresi yang
terselubung.
Anxietas dicetuskan oleh adanya situasi atau objek yang
jelas (dari luar individu itu sendiri), yang sebenarnya pada
13
saat kejadiaan ini tidak membahayakan. Kondisi lain (dari
individu itu sendiri) seperti takut akan adanya penyakit
(nosofobia) dan ketakutan akan perubahan bentuk badan
(dismorfofobia). Sebagai akibatnya objek atau situasi tersebut
dihindari atau dihadapi dengan perasaan terancam. Salah satu
bentuk cemas, yaitu general anxiety disorder (GAD) sangat berhubungan
dengan berbagai keluhan somatik terutama nyeri. Pasien akan
merasa khawatir dan gugup yang berlebihan dalam jangka waktu
yang lama dan muncul setiap menghadapi masalah dan tidak dapat
atau sulit untuk mengontrol masalah ini. Pasien akan mengeluh
cepat lelah, tidak dapat beristirahat, tidak dapat
konsentrasi, mudah tersinggung, gangguan tidur, dan ketegangan
otot.
Functional Magnetic Resonance Imaging (fMRI)
Pada grafik menunjukkan penilaian rata-rata katagori
disgust, fear, sadness, unpleasantness, and state empathy pada gambar.
Respon yang tinggi pada semua katagori kecuali sadness. Hasil
penelitian, membuktikan bahwa dengan menonton atau melihat
gambar atau film dari sebuah kecelakaan atau trauma maka
sensasi nyeri yang dirasakan terutama pada bagian tubuh
tertentu akan dirasakan juga oleh penonton. Bahkan pada
populasi yang diteliti tidak dapat melanjutkan untuk melihat
atau menonton karena sensasi nyeri terhadap hal tersebut.
Sedangkan, non responden mengatakan bahwa sensasi nyeri yang
mereka lihat dari gambar atau film tidak menimbulkan sensasi
14
nyeri karena mereka tidak merasakan hal itu dalam kehidupan
mereka.
Gambar 2. Pain Responders and Non-responders6
Hubungan antara otak dengan faktor emosional saling
berkaitan pada responden yang mengalami sensasi nyeri
dibandingkan dengan non responden. Seseorang yang merasakan
apa yang dirasakan seperti digambar mengaktifkan anterior
midcingulate cortex (aMCC), anterior insula, prefrontal cortex
dan somatosensori. Sedangkan non responden hanya mengaktifkan
aMCC dan prefrontal cortex.
15
Gambar 3. Hasil fMRI Responden dan Non-responden6
Responden yang menghasilkan rasa nyeri mengaktifkan aMCC,
insula, prefrontal cortex dan somatosensori berbeda dengan non
responden yang tidak merasakan nyeri hanya emosional,
mengaktifkan aMCC dan prefrontal cortex dengan perihal
pemberian kontras yang sama.6
Perjalanan penyakit dan prognosis
Nyeri pada gangguan nyeri umum muncul tiba-tiba dan
derajat keparahan meningkat dalam beberapa minggu atau bulan.
Prognosis bervariasi, namun biasanya menjadi kronik,
menimbulkan penderitaan dan ketidakberdayaan yang parah.
Apabila faktor psikologis mendominasi gangguan nyeri, nyerinya
akan hilang bila penguat eksternal diobati atau dikurangi.9
16
Pasien dengan prognosis yang buruk, dengan atau tanpa
pengobatan, mempunyai masalah yang menetap terutama menjadi
pasif dan tak berdaya. Biasanya pasien terlibat dalam
penyalahgunaan zat dan memiliki riwayat panjang nyeri.
Tatalaksana nyeri psikogenik
Terapi nyeri psikogenik yang ideal adalah dilakukan
dengan cara multidemensional. Penanganan secara holistik
dengan memerhatikan beberapa dimensi patologisnya sangat
bermanfaat tidak hanya untuk terapi nyeri psikosomatik saja
tetapi juga bermanfaat dalam penanganan nyeri organik.
Terapi multidemensi ini melibatkan faktor kognitif,
faktor emosi, dan sosial budaya dan lingkungan, spritual serta
aspek nosiseptik. Pada faktor-faktor tersebut terdapat
interaksi yang saling melengkapi. Terapi psikis akan
memberikan hasil pada nyeri organik dan sebaliknya terapi
somatik akan memberikan perbaikan pada fungsi psikis terutama
emosi yang dialami pasien akibat nyeri.
Farmakologi
Mengurangi kecemasan dan gangguan psikis yang menyertai
nyeri akut dapat diberikan antianxietas, sedangkan pada
penggunaan jangka panjang terutama pada nyeri kronik, hati-
hati terhadap efek samping dan penyalahgunaan. Pasien dengan
cemas akut sebaiknya diberikan farmakoterapi dan psikoterapi.
17
Antianxietas adalah kelompok obat yang digunakan terutama
untuk mengatasi kecemasan dan juga biasanya memiliki efek
sedasi, relaksasi otot, amnestik, dan antiepiletik.
Klasifikasi yang sering dipakai adalah derivat benzodiazepin
(diazepam, bromazepam, lorazepam, alprazolam, clobazam),
derivat gliserol (meprobamat), dan derivat barbiturat
(fenobarbital). Efek samping yang paling utama adalah
mengantuk, sakit kepala, ataxia, nafsu makan meningkat, mudah
terjadi toleransi, dan dependensi dalam pemberian dosis besar
dan dalam waktu yang lama, serta gejala putus zat bila obat
dihentikan secara tiba-tiba. Maka dilakukan dengan cara
bertahap atau tappering off. Lakukan dosis kesetaraan dengan
benzodiazepin yang memiliki waktu paruh pinjang, misalnya
diazepam dengan sediaan 2mg, 5mg, 10mg, pada dosis 1x2 – 40 mg
, kemudian turunkan 10-20% setiap 5-7 hari tergantung
toleransi kemampuan penderita. Pemberian obat golongan
benzodiazepin lebih dari 3 minggu sebaiknya dihindari.
Habituasi dapat terjadi akibat benzodiazepin, namun karena
waktu paruhnya panjang dan terjadi perubahan metabolit aktif,
gejala putus obat mungkin tidak akan nampak selama 1 minggu
sesudah penghentian obat pada pemakaian kronik.10
Pada nyeri psikogenik somatoform pemberian anlagetik pada
umumnya tidak memberikan hasil yang memuaskan. Sedangkan pada
nyeri psikosomatik seperti reumatoid artritis memberikan hasil
yang baik. Pada nyeri psikogenik-psikosomatik akibat spasme
otot dapat ditambahkan muscle relaxant. Pengobatan simptomatik
lain dapat diberikan dengan tetap memperhatikan aspek
psikofisiologi dan patologi timbulnya nyeri.
18
Hasil dari farmakologi ditentukan dari beratnya
diagnosis, dukungan dari keluarga, teman, dan orang terdekat
untuk pasien, serta kepatuhan yang teratur untuk mengonsumsi
obat.
Psikoedukasi
Klinisi hendaknya bersikap empati terhadap pasien
walaupun nyeri psikogenik hanya berupa nyeri somatisasi yang
sering dianggap sepele. Dokter juga harus menjelaskan kepada
pasien bahwa nyeri mempunyai hubungan dengan faktor emosi.
Keberhasilan intervensi aspek psikis-emosi akan segera
memperbaiki pasien dan segera dapat mengetahui masalah utama
yang menjadi sumber stress. Hipnosis, relaksasi dan
pengendalian diri (self control) serta sugesti dapat meningkatkan
nilai ambang rasa sakit sampai dengan 40%.
Terapi perilaku berperan penting dalam antisipasi
datangnya gangguan cemas, sehingga pasien menjadi peka
terhadap pengalaman. Teknik relaksasi juga membantu tingkat
kontrol pasien dengan gangguan cemas. Pelatihan pernafasan
dapat membantu mengontrol hiperventilasi selama serangan panik
dan membantu pasien mengontol kecemasan dengan pernafasan yang
dikendalikan.
Dalam pengobatan fibromialgia, keterlibatan pasien sangat
penting dibandingkan pemberian resep. Pasien harus menyadari
bahwa fibromialgia merupakan gangguan disfungsi dan bukan
merupakan gangguan fisis yang dapat menyebabkan kecacatan.
19
Pasien harus berusaha memperbaiki kesegaran fisisnya,
mengurangi stress, menyelesaikan kebiasaan tidurnya dan tetap
melakukan aktivitas sehari-hari seperti semula.
Pada akhirnya modalitas terapi lain dapat dikerjakan
dengan tetap memperhatikan untung ruginya.
Kesimpulan
Nyeri psikogenik adalah nyeri yang tidak berhubungan
dengan nyeri nosiseptik maupun nyeri neuropatik dan disertai
dengan gejala-gejala psikis yang nyata. Gangguan ini berkaitan
dengan penderitaan emosional dan hendaya dalam fungsi
kehidupan. Kecemasan tentang rasa sakit dapat memperburuk
sensasi nyeri. Menggunakan fMRI membuktikan adanya hubungan
antara nyeri dengan cemas. Pasien dengan prognosis yang buruk,
dengan atau tanpa pengobatan, mempunyai masalah yang menetap
terutama menjadi pasif dan tak berdaya. Dokter harus
menjelaskan kepada pasien bahwa nyeri mempunyai hubungan
dengan faktor emosi.
20
Daftar Pustaka
1. Shatri H, Setiyohadi B. Ilmu penyakit dalam. Nyeri
psikogenik. Edisi V. Jakarta: Interna
Publishing;2009.h.2143-7.
2. Sadock BJ, Sadock VA, Ruiz P. Comprehensive textbook of
psychiatry. Neuropsychiatry and behavioral neurology.
Ninth edition. USA: Lippincott Williams and Wilkins;
2009.p.428-9.
3. Hadisukanto G. Psikiatri. Gangguan somatoform. Edisi
kedua. Jakarta: FKUI; 2014.h.299-303.
4. Semple D, Smyth R. Oxford handbook of psychiatry. Anxiety
and stress related disorders. Third edition. United
Kingdom: Oxford University Press; 2013.p.380-1.
21
5. Hartwig MS, Wilson LM. Konsep klinis proses-proses
penyakit. Nyeri. Edisi 6. Jakarta: EGC.h.1064-89.
6. Osborn J, Derbyshire SWG. Pain sensation evoked by
observing injury in others. IASP. 14 October 2009; xxx:
2-5.
7. Longo DL, Fauci AS, Kaper DL, et all. Harrisons’s manual
of medicine. Psychiatric disorders. 18thEd. New York: Mc
Graw Hill; 2013.p.1315-23.
8. Bair MJ, Robinson RL, Katon W, Kroenke K. Depression and
pain comorbidty. JAMA Internal Medicine. 10 November
2013;163: 1.
9. Yates WR, Bienenfeld D. Anxiety disorders. April 2014.
Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/2113960-overview.
28 April 2015.
10. Arozal W, Gan S. Farmakologi dan terapi.
Psikotropik. Edisi 5. Jakarta: FKUI; 2012.h.171.
22