GANGGUAN ANXIETAS translate

39
GANGGUAN ANXIETAS Daniel S. Pine dan Rachel G. Klein Pada bagian ini, akan dibahas tentang lima jenis gangguan cemas yang meliputi gangguan anxietas fobik, gangguan anxietas terisolasi, gangguan anxietas sosial, gangguan cemas menyeluruh, dan gangguan panik. Pembahasan kali ini akan dibagi dalam empat bagian. Bagian pertama akan fokus kepada diagnosis, nosologi dan assessment. Bagian kedua akan merangkum data – data tentang prevalensi, faktor resiko dan outcome. Bagian ketiga akan membahas beberapa penelitian terhadap kaitan genetik dan psikobiologi. Bagian final adalah pembahasan penatalaksanaan. Manifestasi Klinis dari Gangguan Anxietas pada Masa Anak – Anak Diagnosis Hingga saat ini masih terdapat kontroversi mengenai keuntungan dan kerugian dalam mengkatagorikan gangguan anxietas anak – anak. Salah satu pertimbangan mengkatagorikan anak – anak yang datang ke klinik dengan gangguan anxietas adalah untuk mengalokasikan pelayanan bagi mereka anak – anak dengan gangguan anxietas yang sangat memerlukan. Namun, pengelompokkan anak – anak dengan gangguan anxietas tidak berimplikasi pada etiologi gangguan anxietas. Membedakan antara anxietas yang normal dan yang patologis dapat menjadi hal yang sulit mengingat anxietas pada masa anak – 1

Transcript of GANGGUAN ANXIETAS translate

GANGGUAN ANXIETASDaniel S. Pine dan Rachel G. Klein

Pada bagian ini, akan dibahas tentang lima jenis gangguan cemas

yang meliputi gangguan anxietas fobik, gangguan anxietas

terisolasi, gangguan anxietas sosial, gangguan cemas menyeluruh,

dan gangguan panik. Pembahasan kali ini akan dibagi dalam empat

bagian. Bagian pertama akan fokus kepada diagnosis, nosologi dan

assessment. Bagian kedua akan merangkum data – data tentang

prevalensi, faktor resiko dan outcome. Bagian ketiga akan

membahas beberapa penelitian terhadap kaitan genetik dan

psikobiologi. Bagian final adalah pembahasan penatalaksanaan.

Manifestasi Klinis dari Gangguan Anxietas pada Masa Anak – Anak

Diagnosis

Hingga saat ini masih terdapat kontroversi mengenai keuntungan

dan kerugian dalam mengkatagorikan gangguan anxietas anak – anak.

Salah satu pertimbangan mengkatagorikan anak – anak yang datang

ke klinik dengan gangguan anxietas adalah untuk mengalokasikan

pelayanan bagi mereka anak – anak dengan gangguan anxietas yang

sangat memerlukan. Namun, pengelompokkan anak – anak dengan

gangguan anxietas tidak berimplikasi pada etiologi gangguan

anxietas.

Membedakan antara anxietas yang normal dan yang patologis

dapat menjadi hal yang sulit mengingat anxietas pada masa anak –

1

anak bukan hanya merupakan hal yang biasa, namun juga bersifat

adaptif. Secara diagnostik, anxietas dapat dikatakan patologis

pada berbagai umur jika keadaan tersebut menghambat perkembangan

kepribadian sehingga menyebabkan keterbatasan fungsi. Walaupun

tidak mengganggu aktivitas anak – anak, tetapi jika terjadi

distres yang signifikan, kita juga dapat mencurigai anxietas

tersebut merupakan suatu keadaan patologis. Klasifikasi dengan

sedikit atau tidak ada gangguan fungsi sama sekali dan hanya

terdapat stresor saja kadang – kadang merupakan hal yang sulit

karena ambang batas stresor yang signifikan secara klinis

dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti umur anak, kehidupan

sosial ataupun latar belakang budaya. Petunjuk lain untuk

mendiagnosis adalah kemampuan anak untuk sembuh dari anxietasnya.

Jika anak gagal untuk berdaptasi maka akan jatuh ke keadaan

patologis.

Kontroversi mengenai batasan definisi antara anxietas yang

normal dan patologis akan selalu muncul selama keadaan klinis

dijadikan patokan untuk dasar diagnosis. Data lain mungkin

membantu, dimana akan mengarah pada perubahan nosologi dengan

mengidentifikasi sindrom mana yang membawa perubahan jangka

panjang yang signifikan. Seperti halnya definisi hipertensi,

definisi dari anxietas yang abnormal juga dapat berubah seiring

dengan teridentifikasinya faktor – faktor yang berkontribusi

terhadap resiko jangka panjang (Pine, Cohen, Gurley et al., 1998;

Pine, Cohen, & Brook, 2001). Selain itu, perkembangan pesat dalam

bidang genetik atau neuroscience juga berimplikasi pada nosologi.2

Namun perlu dilakukan diskusi lebih jauh sebelum pendekatan

tersebut diaplikasikan dalam klinis.

Nosologi dari Gangguan Anxietas Masa Anak – Anak

Tidak adanya batasan untuk sindrom spesifik yang memfasilitasi

komunikasi antar professional bukan merupakan standar pencapaian,

namun hanya merepresentasikan standar minimal untuk penggunaan

nomenklatur. DSM-IV dan ICD-10 telah memenuhi standar pencapaian

minimal tersebut, namun masih banyak pertanyaan tentang banyaknya

variasi gangguan anxietas. Pertanyaan ini mencuat sebagai akibat

dari komorbiditas pada gangguan anxietas, sejalan dengan tidak

konsistensinya penemuan dari riwayat dan faktor – faktor yang

digunakan untuk mendiagnosis gangguan anxietas. Kriteria

diagnosis untuk gangguan anxietas pada ICD - 10 dan DSM - IV

memiliki kemiripan satu sama lain. Perbedaan yang mencolok

hanyalah ICD - 10 menjadikan gangguan anxietas dan kepribadian

dalam satu diagnosis, sedangkan DSM - IV membedakan kondisi

tersebut satu sama lain. Selain itu, obsessive compulsive

disorder (OCD) dan post traumatic stress disorder (PTSD)

dikatagorikan dalam gangguan anxietas menurut DSM - IV, sedangkan

pada ICD - 10 kondisi tersebut dibedakan dengan pertimbangan

perbedaan gejala klinis dengan gangguan anxietas. Beberapa

perbedaan juga didapatkan dalam mendefinisikan gangguan anxietas

pada anak – anak baik pada DSM - IV maupun ICD - 10 (Klein,

1994), namun pada pembahasan kali ini akan fokus pada manifestasi

klinis yang mirip. 3

Manifestasi Klinis Gangguan Anxietas Spesifik

Gangguan Phobia

Gangguan Phobia didefinisikan sebagai ketakutan berlebihan yang

tidak beralasan terhadap objek spesifik yang secara intrinsik

tidak berbahaya seperti misalnya binatang atau situasi misalnya

ketinggian. Derajat ketakutan biasanya berlebihan dan eksposure

terhadap objek tersebut akan menimbulkan ketakutan yang ekstrim.

Selain itu, phobia ini harus menimbulkan stresor yang bermakna

secara klinis atau mengganggu fungsi dan kehidupan sehari – hari

karena pasien terus menghindari objek tersebut. Gangguan phobia

dapat muncul pada usia berapapun tetapi biasanya muncul saat anak

– anak (Fyer, 1998; Pine, Cohen, Gurley et al, 1998). Phobia

dapat diklasifikasikan berdasarkan jenis objek yang ditakuti

seperti binatang, lingkungan alam, darah, atau situasi khusus

seperti lift. Kebanyakan anak – anak dengan gangguan phobia

memiliki kesamaan phobia terhadap situasi tertentu. Patofisiologi

tentang gangguan phobia berdasarkan jenis objek yang ditakuti

belum banyak dipelajari (Fyer, 1998), kecuali phobia terhadap

darah dimana tanda fisiologis yang muncul biasana berupa

penurunan tekanan darah dan denyut nadi secara tiba – tiba serta

muntah.

Gangguan Anxietas Perpisahan

Gangguan anxietas perpisahan merupakan satu – satunya gangguan

anxietas yang dalam diagnosisnya harus didapatkan onset pada saat4

masa anak – anak. Dalam ICD – 10, onset harus terjadi pada awal

masa anak – anak, sementara dalam DSM – IV onset dapat terjadi

kapanpun selama masih di bawah usia 18 tahun. Onset yang paling

umum biasanya terjadi pada akhir masa anak – anak yaitu menjelang

pubertas, dan kejadiannya menurun seiring dengan bertambahnya

umur menjadi dewasa. Seperti namanya, gangguan ini merupakan

gangguan anxietas jika terpisah dari rumah yang menyebabkan

disfungsi dan biasanya menyebabkan anak – anak sering menghindar.

Istilah “phobia sekolah” atau “menolak sekolah” merupakan istilah

yang biasa digunakan untuk anak – anak yang menghindari sekolah

(Egger, Costello, Angold, 2003). Pada masa sebelum pubertas,

ketakutan dan penolakan anak untuk bersekolah sering sekali

berhubungan dengan gangguan anxietas terpisah. Ketakutan tersebut

sering kali tidak logis. Seperti misalnya, seorang anak yang

tidak mengalami kesulitan untuk pergi ke sekolah namun akan

menjadi sangat cemas ketika mengunjungi rumah temannya yang

familiar. Kesulitan untuk tidur seorang diri juga sering terjadi

pada anak dengan gangguan anxietas terpisah. Seperti akan

diuraikan pada bagian berikutnya, terdapat beberapa eviden yang

mengkaitkan adanya hubungan antara gangguan anxietas terpisah

pada masa anak – anak dengan gangguan panic pada orang dewasa.

Gangguan Anxietas Sosial / Phobia Sosial

Gangguan anxietas sosial mempunyai cirri khas dimana terjadi

kecemasan terhadap situasi sosial karena ketakutan, atau malu.

Beberapa anak mungkin tidak merasa memiliki gangguan ini namun5

yang lebih sering adalah adanya ketidaknyamanan dalam situasi

sosial. Anak – anak sering merasa tidak nyaman bersosialisasi

dengan orang dewasa, dan anxietas tidak dapat disebabkan oleh

inkapasitas dalam bersosialisasi karena fakta menunjukkan bahwa

anak – anak dapat berinteraksi dengan baik. Sering terjadi

tumpang tindih diagnosis antara gangguan anxietas sosial berat

dan gangguan perkembangan pervasive ringan. Menghindari interaksi

sosial dalam jangka lama dapat menghambat pertumbuhan kemampuan

sosial, yang akan memberikan gejala mirip dengan gangguan

perkembangan pervasive ringan. Namun, secara keseluruhan anak –

anak dan dewasa dengan anxietas sosial biasanya kurang memiliki

minat terhadap hubungan resiprokal.

Diagnosis phobia sosial menyeluruh menekankan pada keadaan

anxietas pada beberapa situasi sosial. Tidak ada definisi baku

untuk membedakannya dari bentuk tidak menyeluruh, sehingga hal

ini akan sering membuat misinterpretasi. Beberapa menyebutkan

bahwa bentuk anxietas tidak menyeluruh menekankan pada individual

yang mengalami anxietas pada satu atau dua situasi saja, seperti

situasi pesta; yang lainnya mendefinisikan sebagai individual

yang mengalami anxietas saat tampil di depan public seperti

misalnya berpidato di depan orang banyak, makan di depan orang

banyak, saat akan ujian, tetapi tidak mengalami masalah dalam

interaksi sosial sehari – hari. Anxietas di depan publik biasanya

terjadi tanpa diiringi dengan gangguan interaksi sosial, tetapi

tidak sebaliknya.

6

Eviden secara epidemiologi mendukung perbedaan antara

gangguan anxietas sosial menyeluruh dan tidak menyeluruh. Bentuk

menyeluruh dilaporkan sering terjadi pada onset yang lebih awal,

lebih bersifat kronik, memiliki komorbid lebih banyak dan

memiliki hubungan psikopatologis lebih banyak (Wittchen, Stein,

Kessler, 1999). Penemuan ini membuktikan bahwa studi epidemiologi

dapat memberikan bantuan dalam mendiagnosis penyakit.

Gangguan Anxietas Menyeluruh

Gangguan anxietas menyeluruh menekankan pada keadaan kekhawatiran

berlebihan terhadap beberapa aspek kehidupan seperti sekolah,

pekerjaan, penampilan atau masa depan. Onset terjadinya tidak

banyak diteliti, tetapi biasanya tidak terjadi pada awal masa

anak – anak. Menurut DSM – IV , “gangguan anxietas berlebihan”

biasanya digunakan untuk anak – anak dan remaja dengan kecemasan

terhadap beberapa hal. Hal ini masih belum sepenuhnya dimengerti

dan dapat terjadi tumpang tindih antara diagnosis gangguan

anxietas berlebihan dengan gangguan anxietas menyeluruh (Pine,

Cohen, Gury et al, 1998). Gangguan anxietas menyeluruh adalah

satu – satunya gangguan anxietas dengan gangguan somatic.

Di antara gangguan anxietas lainnya, gangguan anxietas

menyeluruh memiliki komorbid yang paling tinggi dan jarang

ditemukan sebagai penyakit tunggal di klinik. Di antara banyak

komorbid tersebut, gangguan anxietas menyeluruh memiliki hubungan

kuat dengan gangguan depresi mayor (Costello, Pine, Hammen et

al, 2002; Kessler, Andrade, Bijil, et al., 2002). Komorbid yang

tinggi ini kemudian menimbulkan pertanyaan apakah terdapat7

sindrom yang unik atau merupakan sebuah komplikasi dari gangguan

terkait. Karena manifestasi yang nampak nyata biasanya hanya

kecemasan, sehingga gangguan ini biasanya tidak dijumpai perilaku

suka menghindar, walaupun pada beberapa kasus merupakan suatu

pengecualian. Misalnya, anak – anak dengan kecemasan yang

berlebihan terhadap akademik biasanya sering tidak masuk saat

hari ujian.

Gangguan Panik

Kata kunci penting untuk mendefinisikan gangguan panik adalah

kejadian berulang dari serangan panik tanpa provokasi, yang dapat

menimbulkan keterbatasan atau agoraphobia. Serangan panik

dikarakteristikkan sebagai ketakutan berlebihan akan sesuatu

bahaya yang belum tentu terjadi yang diikuti dengan gejala –

gejala fisik, seperti peningkatan denyut nadi, sesak nafas, rasa

seperti tersedak, berkeringat, depersonalisasi atau derealisasi.

Gejala – gejala tersebut akan membantu membedakan subtype

gangguan panik. Sehingga pasien dengan gejala – gejala saluran

respirasi akan berbeda respons pengobatannya dengan jenis

gangguan panik lain (Briggs, Stretch, Brandon, 1993 ; Horwarth,

Adams, Wickramaratne et al, 1997). Onset biasanya terjadi saat

remaja. Progresivitas menjadi gangguan panic menyeluruh biasanya

jarang terjadi, namun jika terjadi biasanya saat awal menjelang

dewasa (Pine, Cohen, Gurley et al, 1998).

Sering terjadi kebingungan dalam mendiagnosis gangguan panic

karena reaksi panic dapat muncul dalam banyak situasi kecemasan,8

termasuk di dalamnya beberapa pasien dengan phobia saat

berhadapan dengan objek atau situasi yang ditakutinya. Yang

terpenting adalah pada gangguan panic, serangan muncul tanpa

provokasi. Beberapa anak dapat menunjukkan gejala reaksi panic

tetapi apakah reaksi tersebut muncul secara tiba – tiba, tanpa

provokasi masih menjadi hal yang kontroversi. Gangguan panik yang

muncul saat pre – pubertas masih sering diperdebatkan namun jika

memang terjadi, angka kejadiannya sangat jarang (Costello, Egger,

Angold, 2004).

Terdapat beberapa hipotesis yang mengatakan bahwa anak –

anak belum sepenuhnya memiliki fungsi kognitif yang sempurna dan

sering misinterpretasi beberapa kejadian somatik sehingga mereka

jarang mengalami serangan panic. Hipotesis tersebut tidak benar

karena reaksi panic pada anak – anakk biasanya berkaitan dengan

terror pada masa anak – anak. Pada anak – anak, aspek yang jarang

ditemukan adalah kejadian panic yang tiba – tiba tanpa provokasi,

bukan reaksi katastropiknya. Serangan panik diyakini memiliki

kaitan dengan umur dalam hal manifestasi klinisnya.

Komorbiditas dari Gangguan Cemas Anak-Anak

Komorbiditas adalah aspek klinis yang penting karena hal tersebut

memerlukan disfungsi yang lebih besar daripada kondisi sendiri.

Dua bentuk diagnosis yang tumpang tindih dipertimbangkan;

komorbiditas di antara gangguan cemas, dan gangguan cemas dengan

gangguan lainnya.

9

Komorbiditas Anxietas

Anak-anak ditunjuk untuk treatment exhibit khususnya komorbiditas

tinggi di antara gangguan cemas (Costello, Egger, Angold, 2004).

Pola tersebut mungkin mencermintan bias proses memastikan. Dalam

penelitian terapi yang besar, kecemasan sosial, kecemasan

perpisahan dan gangguan cemas menyeluruh terdiagnosis dalam 60%

anak-anak (RUPP, 2001). Komorbiditas khususnya meningkat pada

anak-anak dengan gangguan cemas menyeluruh yang dalam 90% kasus

juga memiliki gangguan cemas lainnya. Komorrbiditas kurang jelas

dalam komunitas dibandingkan dengan sampel klinis, tetapi

komorbiditas yang kuat diantara gangguan cemas, khususnya untuk

gangguan cemas menyeluruh atau terlalu cemas, juga ditemukan

dalam penelitian populasi (Anderson, William, McGee et al, 1987;

Bird, Canino, Rubio – Stipec et al, 1988, Essau, Condrat,

Petermann 1999; Ferguson, Horwood, Lynskey, 1993; Mc Gee, Feehan,

Williams et al, 1990; Verhulst, van der ende, Ferdinand et al,

1997). Komorbiditas yang tinggi ini telah meningkakan pertanaan

tergadap pemisahan diagnosis dari ketiga gangguan ini.

Gangguan Non Cemas

Ada kesepakatan bahwa depresi mayor komorbiditas tinggi dengan

gangguan cemas. Kekuatan dari hubungan ini menyaingi semua

psikopatologi dalam perkembangan (Angold, Costello, Erkanli,

1999; Costello, 2004; Costello, Pine, Hammen et al, 2002). Karena

depresi lebih jarang dibandingkan gangguan cemas, terutama dalam

pre pubertas, hal tersebut mengikuti bahwa diantara semua dengan10

kecemasan, tumpang tindih dengan depresi tidak terlalu mencolok

seperti ketika satu memilih hal tersebut dengan depresi dan bahwa

komorbiditas ini meningkat dengan umur. Walaupun beberapa laporan

klinis mengindikasikan komorbiditas antara kecemasan dan ADHD,

penelitian berdasarkan populasi menemukan hubugan yang lemah

(Angold, Costello, erkanli, 1999). Terdapat beberapa bukti dari

komorbiditas antara gangguan cemas dan penyalahgunaan zat atau

gangguan tingkah laku (Kaplow, Curran, Angold et al, 2001;

Rutter, Maughan, Kim – Cohen, 2006)

Assessment

Assessment dari kecemasan pediatric telah diuntungkan dari

perkembangan instrument. Hal tersebut termasuk pensil dan kertas

rating scales untuk anak-anak, orang tua dan guru, clinician rated scale

serta wawancara anak dan orang tua.

Skala penilaian

Skala penilaian menyajikan tujuan yang bervariasi. Skala tersebut

dapat menskrining anak-anak yang memerlukan bantuan atau untuk

pencegahan. Skala juga dapat digunakan untuk alasan ekonomi

(Topolski, Hewitt, Eaves et al, 1999). Dalam studi klinis, skala

digunakan untuk mengidentifikasi derajat keparahan penyakit

(RUPP, 2003).

Skala penilian yang terdapat pada DSM – III dan ICD – 10

bukanlah dibuat untuk membuat klasifikasi yang berlaku saat ini.

Skala tersebut terdiri atas berbagai faktor seperti kekhawatiran,11

kecemasan fisiologis dan ketakutan akan kekerasan fisik seperti

yang tercantum dalam Revised Children’s Manifest Anxiety Scale (RCMA;

Reynolds dan Richmond, 1985), the State – Trait Anxiety Inventory for Children

(STAIC; Speelberger, 1973) dan the revised fear study schedule for children

(FSSC – R; Ollendick, Yang, King, et al, 1996). Skala yang

digunakan secara luas adalah Children Behaviour Checklist (CBCL;

Achenbach, 1991) terdiri dari faktor non spesifik dari gangguan

emosional yang disebut faktor internalisasi. Secara keseluruhan,

skala ini berisi konstruksi yang berbeda dari skala – skala baru

yang beredar.

Tantangan klinis yang penting adalah dapat membedakan antara

kecemasan dan depresi, hal ini dikarenakan faktor tunggal dari

CLBL dapat mengarah pada disfungsi keduanya. Skala lain juga

belum dapat membedakan antara kecemasan dan depresi (Klein,

1994). Skala penilaian dari anxietas biasanya dipersulit dengan

persetujuan antara orang tua dan anak dengan informasi yang

didapat melalui wawancara klinis (RUPP, 2003). Dalam bagian in

akan didiskusikan psikometri apa saja yang dibutuhkan untuk

keperluan diagnosis.

Klasifikasi yang berkembang belakangan ini untuk gangguan

anxietas meliputi Multidimensional Anxiety Scale for Children

(MASC, March, Parker, Sullivan et al., 1997; March dan Sullivan,

1999) dan the self repor for child anxiety related disorders

(SCARED; birmaher, khetarpal, brent et al, 1997). MASC dan SCARED

tampaknya merupakan parameter yang paling menjanjikan

dibandingkan skala yang lainnya. Keduanya menunjukkan reabilitas12

yang adekuat, validitas yang divergen dari pengukuran depresi,

korelasi yang masuk akal terhadap penilaian klinis keparahan

gangguan anxietas dan sensitivitas terhadap respons pengobatan.

Beberapa skala penilaian telah dibuat untuk memudahkan

klinisi. Skala Anxietas Hamilton (HAS; Hamilton, 1969)

dikembangkan khusus untuk dewasa dan tidak sesuai jika

diaplikasikan untuk populasi dengan usia yang lebih muda. Pada

penelitian tentang pengobatan yang terkontrol, HAS memiliki

performa yang lebih buruk daripada Pediatric Anxiety Rating Scale

(PARS) yang cocok terhadap kriteria diagnostik dan memiliki

komponen psikometrik yang baik ( RUPP, 2003).

Wawawancara Diagnostik

Wawancara diagnostik memiliki beberapa tujuan. Telah dikembangkan

DISC yang terstruktur untuk keperluan penelitian epidemiologi,

yang dapat diaplikasikan kepada individual tanpa pelatihan klinis

atau melalui computer (Shaffer, Fisher, Lucas et al, 2000).

Kesepakatan antara diagnosis DISC dan wawancara klinis yang

dilakukan klinisi mendapatkan kesimpulan bahwa DISC memiliki

peran dalam setting klinis (Schwab – Stone, Shaffer, Dulcan et

al, 1996). Namun, beberapa penelitian tidak mendukung peran DISC

tersebut, karena berdasarkan studi epidemiologi rate diagnostik

sangat tinggi jika menggunakan DISC (Tabel 39.1). Selain itu,

beberapa studi juga mempertanyakan validitas pembuatan diagnosis

gangguan anxietas menggunakan DISC (March, Swanson, Arnold et al,

2000).13

The Child and Adolescent Psychiatric Assesment (CAPA; Angold

dan Costello, 2000), merupakan alat yang terstruktur dan

digunakan oleh non klinisi dan biasanya juga diaplikasikan dalam

studi epidemiologi. Berbeda dengan DISC, CAPA memerlukan

pelatihan yang lebih banyak dan lebih merepresentasikan wawancara

klinis, sehingga CAPA terlihat lebih menjanjikan daripada DISC.

Permasalahannya adalah apakah diagnosis gangguan anxietas

yang dibuat berdasarkan wawancara terstruktur termasuk katagori

valid atau tidak. Beberapa eviden dari studi longitudinal, latar

belakang keluarga dan studi imaging mengarah ke arah valid.

Namun, terdapat penemuan yang inkonsisten antara signifikansi

gangguan anxietas pada anak laki – laki dan perempuan yang

diteliti secara epidemiologi (Costello, Angold, Keeler, 1999;

McGee, Feehan, Williams et al, 1992; Pine, Cohen, Gurley et al,

1998) sehingga menimbulkan pertanyaan mengenai validitas

diagnosis gangguan anxietas di subjek pada populasi.

The Kiddie Schedule for Affective Disorder and Schizophrenia (K – SADS)

juga dikembangkan untuk klinisi. Terdapat beberapa versi termasuk

versi yang terstruktur dengan baik (Kaufman, Birmaher, Brent et

al, 1997, 2000). The diagnostic Inteview for Children and Adolescent (DICA;

Reich, 2000), juga terstruktur dengan baik dan telah digunakan

dalam bentuk format semistruktur. The Anxiety Disorders Interview Schedule

for Children (ADIS) menyediakan keperluan klinis secara keseluruhan

(Silverman, Saavedra, Pina, 2001). Seperti halnya wawancara

terstruktur lainnya, data yang dihasilkan sangat bergantung pada

keahlian dan kualifikasi pewawancara.14

Hanya sedikit referensi untuk memilih satu instrument dengan

instrument yang lain untuk menghasilkan data yang lebih reliable

dan valid. Semua instrument menunjukkan realibilitas test –

retest yang ringan hingga adekuat dimana gangguan anxietas lebih

buruk daripada gangguan mood dan sedikit lebih buruk daripada

gangguan kepribadian. Walaupun lebih banyak digunakan untuk

keperluan penelitian, wawancara diagnostik juga akan berguna bagi

klinisi karena memberikan status gejala yang komperhensif dan

merepresentasikan alat ajar yang baik untuk melatih diagnosis

klinis.

Epidemiologi Gangguan Anxietas pada Anak – Anak

Di beberap benua, telah dilakukan studi epidemiologi yang baik

untuk mengetahui komponen penting dari gangguan anxietas termasuk

studi tentang prevalensi, faktor resiko dan hasil longitudinal.

Penelitian – penelitian tersebut memiliki banyak manfaat untuk

menghindari bias klinis yang dilakukan oleh sampel klinis.

Prevalensi Gangguan Anxietas pada Anak – Anak

Studi prevalensi berdasarkan wawancara dengan orang tua dan /

atau anak – anak disajikan dalam tabel 39.1. Sebagian besar

melaporkan prevalensi dari gangguan anxietas konseptual.

Penelitian epidemiologi yang sedang dilakukan didasarkan pada

diagnosis sesuai DSM – IV dan ICD – 10. Namun, sebagian besar

diagnosis gangguan anxietas biasanya tidak berubah, sehingga

15

studi dahulu yang telah dilakukan masih relevan dengan

nomenklatur saat ini.

Sebagian besar studi epidemiologi yang mempelajari subjek

dengan segala usia menemukan bahwa gangguan anxietas merupakan

gangguan mental yang paling sering ditemukan. Penelitian berbasis

populasi dalam skala yang lebih kecil tentang gangguan panic

ditemukan dalam prevalensi yang kecil sekali di antara anak –

anak dan remaja, yaitu sekitar 1% selama penelitian dan hanya

dalam frekuensi yang kecil dalam kurun waktu 6 hingga 12 bulan

terakhir (Pine, Cohen, Gurley et al, 1998; Reed dan Wittchen,

1998; Verhulst, van der Ende, Ferdinand et al, 1997; Whitaker,

Johnson, Shafer et al, 1990). Pada masa sebelum remaja, gangguan

anxietas terpisah merupakan gangguan yang paling banyak ditemukan

(Anderson, Williams, Mc Gee et al, 1987; Costello, Angold, Burns

et al, 1996, 1999; Costello, Egger, Angold, 2005; Pine, Cohen,

Brook et al, 1998), sementara gangguan anxietas sosial, gangguan

cemas menyeluruh dan gangguan overanxious meningkat saat masa

remaja (Fergusson, Horwood, Lynskey, 1993; McGee, Feehan,

Williams et al, 1990; Pine, Cohen, Gurley et al, 1998; Verhulst,

van der ende, Ferdinand et al, 1997). Semua penelitian

epidemiologi longitudinal (Anderson, Williams, McGee et al, 1987;

Costello, Angold, Keeler 1999; Kim – Cohen, Caspi, Moffitt et al,

2003; McGee, Feehan, Williams et al, 1992; Pine, Cohen, Gurley et

al, 1998) menemukan adanya peningkatan prevalensi phobia sosial

saat remaja dan hal ini menguatkan hipotesis dimana gangguan ini

sering ditemukan pada remaja.16

Tabel 39.1 Prevalensi (%) dari gangguan anxietas pada anak –

anak, remaja dan dewasa secara berturut - turut

17

Prevalensi dari berbagai gangguan anxietas dalam kurun waktu

6 atau 12 bulan terakhir sangat bervariasi, dari 1.8% di Selandia

Baru (Anderson, Williams, McGee et al, 1987) hingga 23,5% di

Belanda (Verhulst,van der ende, Ferdinand et al, 1997). Variasi

ini diduga karena adanya pengaruh dari kultur. Namun, perbedaan

prevalensi walaupun berbeda negara hanya minimal. Seperti

misalnya, dua penelitian yang meneliti populasi remaja,

menggunakan wawancara sejenis dan keduanya dilakukan di daerah

perkotaan di Jerman, Bremen (Essau, Conradt, Petermann, 1999) dan

Munich (Wittchen, Stein, Kessler, 1999) melaporkan prevalensi

kejadian phobia sosial sebanyak 1,6% dan 4% berturut – turut.

Seperti yang tercantum dalam tabel 39.1, kasus lain dilakukan

pada studi di Selandia Baru dari Dunedin(McGee, Feehan, Williams

et al, 1990) dan Christchurch (Fergusson, Horwood, Lynskey,18

1993). Tidak terdapat perbedaan prevalensi yang berarti di antara

gangguan anxietas. Tabel 39.1 menggambarkan secara jelas tentang

rate diagnosis menurun secara tajam jika diagnosis dibuat

berdasarkan tanpa adanya stressor yang ekstrim, yang hanya

didiagnosis jika ada disabilitas yang muncul. Tidak heran jika

pada sebuah studi yang membandingkan prevalensi dari disabilitas

fungsi (Shaffer, Fisher, Dulcan et al, 1996) menemukan bahwa jika

kita memasukkan kriteria disabilitas fungsi sebagai kriteria

diagnosis maka akan menurunkan angka prevalensi secara tajam.

Apakah perubahan secular dapat mempengaruhi angka kejadian

gangguan anxietas ? Kemungkinan ini tidak sepenuhnya dapat

dieliminasi, tetapi sepertinya tidak terlalu mempengaruhi

perbedaan antara studi satu dengan yang lain karena hasil

penelitian tidak menunjukkan adanya faktor waktu pada gangguan

anxietas (Tabe 39.1). Selain itu apakah metode untuk

mengombinasikan informasi dari sumber berkontribusi terhadap

perbedaan studi antar negara ? Rate yang rendah dari persetujuan

sumber di banyak studi menunjukkan bahwa hal tersebut merupakan

suatu kemungkinan yang masuk akal. Berdasarkan umur, anak – anak

berkontribusi secara bervariasi terhadap level informasi, dan

prevalensi gangguan anxietas sangat bervariasi di beberapa studi

yang dilaporkan (Tabel 39.1).

Telah diketahui bersama bahwa jawaban atas pendekatan yang

optimal dalam mendiagnosis berasal dari studi yang meneliti

tentang ketepatan relative suatu metode diagnostik dalam

memprediksi perjalanan penyakit, termasuk faktor lain yaitu19

genetik dan biologis. Salah satu studi melaporkan bahwa gangguan

anxietas pada anak – anak tanpa adanya disabilitas prognosisnya

lebih baik dibandingkan dengan adanya disabilitas (Costello,

Angold, Keeler, 1999). Namun hasil ini tidak sesuai dengan hasil

studi lain (Pine, Cohen, dan Brook, 2001).

Kesimpulannya, estimasi yang sesuai dari prevalensi saat ini

untuk gangguan anxietas pada anak – anak yang diikuti adanya

disabilitas kira – kira 5 – 10%. Terlebih lagi, studi

epidemiologi merupakan hal yang penting untuk mengkonfirmasi

apakah gangguan anxietas pada anak – anak dan remaja berkaitan

dengan disablitas yang signifikan di beberapa aspek kehidupan.

Faktor Resiko

Hasil dari dampak penyerahan prasangka di sampel klinis, studi

epidemiologis memberikan identifikasi yang lebih akurat terhadap

factor resiko. Ulasan potensi resiko saat ini termasuk factor

demografi, pra diagnostic manifestasi, dan kondisi kesehatan.

Karena adanya penemuan yang tidak konsisten dan kasus gangguan

kecemasan yang sedikit jumlahnya di sampel epidemiological, kita

juga meninjau data berdasarkan studi klinis.

Jenis kelamin terlihat sebagai factor resiko yang paling

konsisten dalam kecemasan. Tingkat gangguan kecemasan ditemukan

di dalam wanita daripada laki-laki sejak usia 6 tahun (Lewinshon,

Gotlib, Lewinshon et al.,1998). Kecemasan dalam diri wanita juga

lebih besar dampaknya daripada di laki-laki (Costellom Angold,

20

&Keeler,1999;McGee, Feehan, Williams et al.,1992), tetapi

penemuan itu tidak solid (Pine, Cohen, Gurlet et al., 1998)

Kesepahaman yang telah disepakati muncul berdasarkan faktor

resiko yang disebabkan oleh socio-environmental. Kecemasan telah

dikaitkan dengan beberapa penyebab lain seperti faktor ekonomi,

kegagalan di sekolah, stress, permasalahan dalam keluarga, emosi

orang tua dan pendidikan yang rendah yang dimiliki oleh orang

tua, akan tetapi tidak ada contoh yang pasti untuk masalah ini.

Dengan menggunakan quasi-experimental design, Costello, Compton,

Keeler et al. (2003) tidak menemukan adanya perubahan dalam

kesejahteraan sosial yang bisa dikaitkan dengan tingkat kecemasan

seseorang. Penemuan yang kurang tepat dikarenakan oleh

terbatasnya studi epidemiologi. Walapupun mereka memiliki

keuntungan untuk meminimalisir prasangka yang tidak tepat, mereka

tidak banyak mempelajari hal yang mempengaruhi anak-anak, akan

tetapi lebih mendalami gangguan kecemasan yang lebih ringan

terhadap anak-anak. Seperti contoh, dari 1035 remaja (Essau,

Conradt, & Petermann, 1999), hanya 17 remaja yang meliki fobia

sosial.

Tidak konsistennya faktor resiko untuk sosio-environmental

juga muncul di klinis atau studi tentang keluarga. Sebagai

contoh, meta-analisis menemukan hubungan antara kegelisahan

pediatri dan kelakuan orang tua (Wood, McLeod, Sigman et

al.,2003). Namun, hal ini tidak berhubungan secara spesifik

dengan psikopatologi yang terjadi pada anak-anak. Ketertarikan

dalam hubungan gangguan kecemasan pediatric dan pengalaman yang21

merugikan korban muncul dari dua penemuan. Pertama, sebagai

ulasan dibawah ini, tikus dan primata menunjukkan perkembangan

penglihatan di tingkah laku dan respon terhadap ancaman (Gross&

Hen, 2004), seperti yang ditunjukkan oleh penemuan perubahan

terjadi pengalaman sosial menghasilkan efek dalam jangka panjang.

Data ini menghasilkan pertanyaan yang berkaitan dengan tingkat

kerugian yang dialami oleh penderita semasa kecil. Kedua, anak-

anak yang mengalami trauma ditandai denga adanya peningkatan di

berbagi gangguan kecemasan. (Pine & Cohen,2002; Steinberg &

Avenevoli,2000).

Asosiasi antara pengalaman hidup yang merugikan dan

kecemasan pediatric belum ditemukan secara konsisten (Eley &

Stevenson, 2000; Hankin & Abramson, 2001; Williamson, Birmaher,

Dahl et al.,2005). Karena kebanyakan studi adalah cross-sectional,

hal itu menambah tidak jelasnya apakah peristiwa kehidupan

menunjukkan adanya korelasi, sebagai lawan terhadap penyebab

kecemasan. Namun, dalam studi longitudinal, peristiwa kehidupan

yang merugikan di masa remaja diperkirakan akan mempengarui

kecemasan di masa depan dengan wanita lebih banyak beresiko

daripada pria dalam hal gangguan kecemasan (Pine, Cohen, Johnson

et al. 2002). Asosiasi serupa juga ditemukan pada orang dewasa.

Elevasi subklinis pada skala kecemasan dan kuestioner

tentang kepribadian seperti hal nya Children’s Anxiety Sensitivity Index

(CASI), telah diperhitungkan sebagai faktor resiko terhadap

gangguan kecemasan (Pine, Cohen, & Brook, 2001). Baik dalam hal

pengukuran kecemasan saat ini, sebagai bentuk perlawanan terhadap22

factor resiko dinilai masih kontroversi atau berlawanan

(Manuzza, Klein, moulton et al., 2002). Sejauh ini, tidak ada

dokumen antara peringkat skala dan kecemasan di masa depan.

Pada akhirnya, resiko yang digabungkan dengan kondisi

kesehatan telah dilaporkan. Di dalam masa perinatal, berbagai

kesulitan telah dikaitkan terhadap resiko kecemasan. Hal ini

termasuk cedera atau kerusakan neurologis, kejang – kejang,

kekurangan berat pada saat lahir, paparan racun, dan penemuan

neurologis secara minor (Breslai, 1995; Breslau & Chilcoat, 2000;

Breslau, Chilcoat, Johnson et al., 2000; Shaffer, Schonfeld,

O’Connoe et al., 1985; Vasa, Gerring, Grados et al., 1997).

Namun, faktor resiko yang lainnya, belum ditemukan secara

konsisten.

Pengobatan faktor resiko yang paling kuat muncul di dalam

disregulasi pernafasan. Keadaan yang menghasilkan dyspnea

memperkirakan resiko untuk gangguan kecemasan pediatric (Goodwin,

Pine, & Hoven, 2003; Slattery, Klein, Pine et al., 2002);

asosiasi yang kuat dengan asma akan menghasilkan resiko untuk

pemisahan gangguan kecemasan dan panik.

Kagan, Snidman, McManis et al. (2001) mencatat sebuah

hubungan antara apa yang telah dirancang sebagai tempramen yang

menghambat anak-anak dan gangguan kecemasan pada masa depan.

Anak-anak dengan gangguan temperamen dapat didefinisikan sebagai

reaktif yang tinggi selama masa bayi, perilaku yang terlambat dan

ketakutan bereaksi terhadap hal baru pada masa balita. Mereka

23

diartikan sebagai 15% teratas dalam hal lambat dalam berbicara

dan senyum dalam hidup baru.

Secara bersamaan, asosisasi antara halangan dan

psikopatologi telah diuji pada anak-anak dalam jumlah yang

banyak. Penemuan oleh Kagan (1994) menyarankan agar sebuah

asosiasi antara perilaku yang terlambat dan kecemasan yang timbul

di masa depan, dengan asosiasi yang berbeda pada masa

pertumbuhan. Pada masa sekolah, kenaikan resiko terjadi pada

beberapa gangguan kecemasan, termasuk pemisahan gangguan

kecemasan dan fobia. Lainnya menemukan bahwa hambatan pada umur 3

tahun diperkirakan resiko yang membuat depresi tetapi tidak sama

hal nya dengan kecemasan yang terjadi pada umur 21 ( Casp,

Moffittt, Newman et al., 1996)

Asosiasi dengan kecemasan yang kuat dan korelasi antara

perlambatan dan tngkat kecemasan cross sectional dari waktu ke

waktu adalah tidak lebih dari 0.20 – 0.40. Oleh karena itu,

perbesaran dari asosiasi adalah rata-rata. Namun, sejumlah bukti

menyarakna asosiasi yang khusus untuk mengukur kecemasan social

pada masa remaja (Hayward, Killen, Kraemer et al., 1998;

Schwartz, Snidman, & Kagan, 1999). Asosiasi sebanding juga muncul

pada sikap kemaluan pada masa anak-anak, dan diiringi oleh

kecemasan pada awal masa remaja, dengan keganjilan ratio in

tingkat yang moderat (Prior, Smart, Sanson et al., 2000), dan

juga untuk para guru atau orang tua mengukur perilaku kecemasan

pada masa anak-anak dan gangguan kecemasan pada masa dewasa

(Goodwin, Fergusson, & Horwood, 2004).24

Hasil Longitudinal

Konsekuensi jangka panjang dari gangguan kecemasan pada masa

anak-anak mengambil peran yang sangat penting yang dapat

mempenggaruhi proporsi pada anak tersebut. Studi kestabilan

diagnosis telah dipakai pada masalah komunitas, resiko tinggi

pada anak-anak dan pasien klinik, mempergunakan retrospektif dan

rancangan yang prospektif.

Tujuh penelitian telah menguji pelajaran pada gangguan

kecemasan yang khusus. Pertama, dari Dunedin (Anderson, Williams,

McGee et al., 1987), memberikan bukti secara tidak langsung pada

hasil dari gangguan kecemasan pada individu (Feehan, McGee, &

Williams, 1993; Kim-Cohen, Caspi, Moffitt et al., 2003; McGee,

Feehan, Williams et al., 1992; Poulton, Pine, & Harrington, in

press). Pada awal pendekatan, dari umur 11-15, sebuah index dari

berbagai suasana hati atau gangguan kecemasan diperikirakan akan

banyak terjadi pada perempuan, bukan pria (McGee, Feehan,

Williams et al., 1992). Perbedaan jenis kelamin ini didapat pada

dua studi lainna (Costello, Angold, & Keeler, 1999; Rueter,

Scaramella, Wallace et al., 1999).

Yang terakhir penemuan gejala emosional memperkirakan

tentang depresi mayoritas. Penindak lanjutan yang lebih jauh

tentang asosiasi hasil membujur dari gangguan kecemasan, dengan

hubungan antara anak kecil dan gangguan kecemasan pada orang

dewasa. Hasil dari dua komunitas berdasarkan studi memberikan

yang sama dari resiko yang tidak spesifik untuk gangguan25

kecemasan terhadap remaja (Bittner, Goodwin, Wittchen et al.,

2004; Lewinsohn, Zinbarg, Seeley et al., 1997)

Maka dari itu, lima studi menemukan gangguan kecemasan

selama masa kecil atau remaja diperkirakan menjadi resiko untuk

susunan suasana hati atau gangguan kecemasan terhadap masa

dewasa. Tidak ada dokumen yang menjelaskan hasilnya secara rinci.

Dua studi lainnya menunjukkan penemuan yang lebih spesisifik.

Sebuah sekolah menemukan hal yang lebih rinci di dalam hal phobia

sosial bukan pemisahan dari gangguan kecemasan terhadap masa

remaja (Hayward, Killen, Kraemer et al., 1998).

Mungkin, bukti yang paling kuat dari hasil longitudinal

datang dari studi di New York (Pine, Cohen, Gurley et al., 1998).

Dari masa anak-anak atau remaja ke masa dewasa, fobia yang khusus

diprediksi secara eksklusif dan rinci. Pemisahan gangguan

kecemasan diprediksi secara tidak spesifik dengan susunan

gangguan pada orang dewasa termasuk gangguan kecemasan, tetapi

tidak gangguan yang terlalu cemas dan juga depresi.

Diluar studi komunitas ini, bukti lebih detai juga muncul

dari pendejatan studi yang memiliki resiko lebih besar yang

diikuti oleh anak anak yang memiliki depresi atau gangguan panic.

Fobia dan gangguan yang terlalu cemas, tetapi tidak menyatu

dengan gangguan kecemasan, membawa dua sampai empat kali lipat

dari depresi pada masa pendekatan (Weissman, Warner,

Wickramaratne et al., 1997). Pelajaran tentang gangguan kecemasan

terhadap masa anak-anak juga dilaporkan untuk klinik sampel. Dua

studi mengungkapkan anak-anak dengan penolakan sekolah atau yang26

pernah mengalami masalah dengan sekolah nya dan memiliki gejala

terhadap system nosological diperkenalkan pada awal 1980

(Berg&Jackson, 1985; Flakersa-Praquin, Lindstoem, & Gillberg,

1997). Kemudian, tiga studi lainnya memastikan bahwa anak-anak

memiliki tingkat yang lebih rendah terhadap gangguan kecemasan.

Di dalam studi oleh Klein (1995), pemisahan gangguan kecemasan

yang dipasangkan dengan fobia di sekolah diperkirakan akan

menimbulkan gangguan panik yang akan diikuti oleh depresi,

walaupun gejala panik tidak sering terjadi ( 7% vs 0% di

perbandingan ketidaksadaran). Pendekatan jangka pendek lainnya

mengungkapkan adanya hasil yang tinggi terhadap gangguan panic

antara anak-anak klinik dengan pemisahan gangguan kecemasan utama

(Aschenbrand, Kendall, Webb et al., 2003).

Kesimpulannya, data dari berbagai studi melengkapi beberapa

observasi yang telah dilakukan. Walapun gangguan kecemasan pada

masa anak-anak menunjukkan hasil yang relative stabil, kebanyakan

anak-anak dengan gangguan kecemasan tidak memiliki gangguan

kecemasan atau depresi pada masa dewasa. Namun, banyak orang

dewasa dengan gangguan kecemasan atau suasana hati (mood) lebih

memiliki masa sejarah yang kurang baik pada masa anak-anak dimana

bisa mengakibatkan kecemasan atau trauma. Bukti dari resiko yang

lebih jelas untuk suasana hati orang dewasa dan gangguan

kecemasan tidaklah kuat.

Patofisiologi

Genetik27

Studi tentang keterkaitan genetik dilakukan dalam berbagai design

penelitian dan dirangkum seperti di bawah ini.

Studi Keluarga

Selama kurun waktu 25 tahun terakhir, lebih dari 20 studi

dilakukan mengenai hubungan antara variasi bentuk psikopatologi

orang tua dengan anxietas pada anak – anak (Beidel & Turner,

1997; McClure, Brennan, Hammen et al., 2001; Merikangas,

Avenevoli, Dierker et al., 1999; Middeldorp, Cath, Van Dyke et

al., 2005; Rende, Wickramaratne, Warner et al., 1995; Turner,

Beidel, & Costello, 1987; Warner, Mufson, & Weissman, 1995;

Weissman, Leckman, Merikangas et al., 1984). Studi tersebut

meliputi studi “top – down” yang mengevaluasi pula anak – anak

yang memiliki orang tua dengan gangguan anxietas atau depresi,

dan juga studi “bottom – up” yaitu studi tentang orang tua yang

memiliki anak dengan gangguan anxietas. Beberapa penelitian

melaporkan kejadian yang lebih tinggi pada gangguan anxietas pada

anak – anak dengan orang tua menderita gangguan anxietas pula,

dibandingkan dengan anak – anak dengan orang tua tanpa gangguan

anxietas seperti yang tercantum pada tabel 39.2. Eviden yang

tercantum dalam tabel 39.2 menunjukkan hubungan non spesifik

antara gangguan anxietas yang diturunkan dan anxietas dan depresi

pada orang tua. Beberapa studi memperlihatkan bukti spesifik

untuk gabungan gangguan anxietas antara anak – orang tua.

Hubungan antara gangguan panik pada orang tua dan ganggan

perpisahan pada anak – anak adalah penemuan yang paling sering28

ditemukan (Biederman, Faraone, Hirshfeld – Becker et al, 2001,

2004; Capps, Sigman, Sena et al, 1996). Penemuan tersebut

mengindikasikan bahwa gangguan panic dan gangguan anxietas

terpisah memiliki predisposisi yang sejenis (Klein, 1993).

Hubungan antara depresi pada orang tua dan gangguan anxietas

terpisah juga dilaporkan terjadi (Biederman, Monuteaux, Faraone

et al, 2004). Data lain menyebutkan bahwa depresi pada anak –

anak juga berhubungan erat dengan gangguan anxietas sosial,

phobia dan gangguan cemas menyeluruh, namun tidak berhubungan

dengan gangguan anxietas terpisah (Lieb, Isensee, Hofler et al.

2002; Merikangas, Avenevoli, Dierker et al., 1999). Gangguan

panik yang terjadi pada remaja biasanya bersifat diturunkan

daripada gangguan panic yang terjadi saat dewasa (Goldstein,

Wickram – aratne, Horwarth et al., 1997).

Tabel 39.2 Anxietas pada anak – anak dalam kaitan dengan

psikopatologi orang tua

29

Studi Genetik

30

Seiring dengan adanya transmisi antar generasi, transmisi

familial harus dimasukkan ke dalam faktor lingkungan dan genetik.

Baru sedikit studi yang dilakukan mengenai anxietas pada anak –

anak, dan belum ada yang menggunakan design adopsi karena

sebagian besar hanya berdasarkan skala gejala.

Di antara populasi usia dewasa, beberapa referensi

mengatakan bahwa faktor genetik mempengaruhi 40% resiko untuk

terjadinya kecemasan, dan sebagian besar terkait dengan faktor

lingkungan (Hettema, Neale, Kendler, 2001; Hettema, Prescott,

Myrers et al., 2005). Gangguan cemas menyeluruh dan gangguan

depresi berat dikatakan memiliki kesamaan faktor genetik, dan

juga banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan (Hettema, Neale,

Kendler, 2001). Studi yang dilakukan pada kalangan remaja juga

mendapatkan pola genetik yang sama dimana gangguan anxietas

biasanya terjadi sebelum pubertas sementara depresi didapatkan

banyak setelah masa pubertas (Silberg, Pickles, Rutter et al,

1999; Silberg, Rutter, Eaves, 2001). Gangguan anxietas lain

memiliki faktor genetik yang lebih spesifik. Seperti misalnya

faktor genetik dari gangguan panik sangat berbeda dengan faktor

genetik phobia, gangguan cemas menyeluruh dan depresi (Hettema,

Prescott, Myers et al., 2005).

Pengaruh genetik sebagai faktor komorbid gangguan anxietas

telah diteliti dalam beberapa studi berskala besar (Hettema,

Prescott, Myers, et al., 2005). Studi tersebut menemukan bahwa

faktor genetik memengaruhi dua jenis gangguan anxietas secara

bersamaan. Sebagai contoh yang banyak ditemukan adalah gangguan31

panik dan gangguan cemas menyeluruh. Dan yang lain adalah phobia

spesifik. Berdasarkan penemuan ini, komorbiditas antara gangguan

panic dan gangguan anxietas menyeluruh dapat diprediksi. Studi

lainnya mengatakan bahwa terdapat faktor lain juga yang

memengaruhi gangguan anxietas seperti misalnya faktor kepribadian

seperti neurotism (Hettema, Neale, Myers et al, 2006). Menyikapi

hasil ini , telah dilakukan studi yang lebih luas mengenai

komorbiditas gangguan anxietas, seperti kontribusi dari neurotism

dan variasi genetik terhadap terjadinya gangguan anxietas

(Hettema, Neale, Myers et al., 2006).

Pada anak – anak, perbedaan pengaruh genetik diteliti

menggunakan nilai skala (Bolton, elley, et al, 2006; Eley,

Bolton, et al, 2003; Ele, Stevenson, 1999; Eley, Stirling,

Ehlers, et al, 2004; Topolski, Hewitt, Eaves, et al, 1999). Data

penelitian pada anak – anak juga konsisten menyebutkan bahwa

genetik tidak memiliki dalam terjadinya gangguan anxietas pada

anak - anak, dimana persentasenya tidak lebih dari 40%.

Heritabilitas yang rendah ini menunjukkan bahwa gen memiliki

diathesis yang luas terhadap kejadian gangguan anxietas karena

setiap gangguan anxietas memiliki predileksi gen yang spesifik.

Seperti contohnya, heritabilitas untuk faktor temperamen seperti

inhibisi kepribadian menunjukkan angka kemungkinan yang lebih

tinggi pada gangguan anxietas tertentu dibandingkan yang lainnya

(Goldsmith, Lemery, 2000). Faktor lingkungan lebih memberikan

pengaruh untuk gejala gangguan anxietas di masa anak – anak.

Studi pada anak – anak menunjukkan kontribusi yang bervariasi32

antara faktor genetik dan lingkungan pada gangguan anxietas.

Variasi ini, diduga terkait adanya faktor umur, jenis kelamin dan

bentuk spesifik dari gangguan anxietas.

Telah dibahas sebelumnya dalam bab 23, identifikasi dari gen

akan membuat kita lebih mudah memahami faktor penyebab. Belum ada

studi genomic yang dilakukan mengenai gangguan anxietas pada anak

– anak. Pada orang dewasa, gangguan panik ditemukan bersifat

diturunkan, hal ini telah diteliti pada beberapa gen yang

berpengaruh dimana terjadi gagal replikasi. Namun beberapa ahli

mengatakan bahwa menentukan nasologi berdasarkan penemuan genetik

adalah hal yang sia – sia dalam bidang psikiatri (Kendler,

Greenspan, 2006). Tidak ada jaminan pasti bahwa penelitian

tentang gen yang berpangaruh dalam gangguan anxietas pada anak –

anak memiliki manfaat yang lebih baik daripada dewasa. Atas

pertimbangan tersebut maka pernyataan definitive mengenai

pengaruh genetik akan dibatasi, tetapi hal ini tidak akan merubah

keperluan informasi genetik untuk informasi klinis lain dan

strategi biologis untuk menentukan validitas nosologi dari

gangguan anxietas pada anak – anak.

Endofenotip

Penelitian belakangan ini berkembang untuk mengidentifikasi

kumpulan faktor familial pada gejala anxietas untuk mengetahui

mekanisme yang mendasari. Anxietas dipandang sebagai manifestasi

downstream akibat perubahan sistem fisik secara genetik pada

fungsi neural yang tidak secara langsung mengarah pada kategori33

diagnostik. Tetapi, anxietas akan menyebabkan abnormalitas dalam

mengolah informasi yang nantinya akan menimbulkan psikopatologi.

Istilah endofenotip telah digunakan secara luas untuk

mendeskripsikan abnormalitas yang diturunkan dalam fungsi neural

dan berhubungan dengan kapasitas mengolah informasi (Gottesman,

Gould, 2003). Endofenotip menggambarkan hubungan independen

dengan gangguan psikiatri dan faktor – faktor resikonya. Evident

yang kuat mengenai endofenotip yang potensial masih belum cukup,

abnormalitas dari ingatan pada penderita schizophrenia nampaknya

merupakan contoh yang paling baik.

Tiga buah data menyediakan data preliminary mengenai

endofenotip yang potensi dalam gangguan anxietas pada anak –

anak. Yang pertama, inhibisi kepribadian telah

dikonseptualisasikan sebagai endofenotip. Studi longitudinal

mencatat adanya hubungan antara gangguan anxietas dengan orang

tua dengan gangguan panic (Kagan, Snidman, McManis et al., 2001).

Data ini meneliti tentang temperamen dan anxietas sebagai

manifestasi alternatif dari perubahan sistem fisik dalam sirkuit

rasa takut otak. Namun, karena inhibisi kepribadian juga

berhubungan dengan depresi pada orang tua, hal tersebut tidak

dapat dijadikan diagnostik spesifik (Caspi, Moffitt, Newman et

al., 1996; Rosenbaum, Biederman, Hirshfeld – Becker et al.,

2000). Selain itu, beberapa mengatakan bahwa inhibisi kepribadian

merepresentasikan psikopatologis, sebagai akibat dari faktor

resiko atau endofenotip. Studi intervensi menemukan bahwa

terdapat efek pengobatan yang lebih baik pada gejala – gejala34

anxietas daripada inhibisi kepribadian (Rapee, Kennedy, Ingram et

al., 2005), yang mendukung pandangan endofenotip untuk inhibisi

kepribadian.

Yang kedua, beberapa pendapat mengindikasikan adanya

peningkatan reaktivitas autonomic adalah resiko untuk terjadinya

anxietas (Grillon, Dierker, Merikangas, 1997; Merikangas,

Avenevoli, Dierker, et al., 1999). Seperti halnya inhibisi

kepribadian, endofenotip berbasis reaktivitas merupakan hasil

dari perubahan sistem fisik dalam sirkuit rasa takut otak.

Beberapa ahli yang tertarik terhadap hal ini telah memfokuskan

penelitian pada pengukuran aktivitas hipotalamus – pituitary –

adrenal axis (HPA), walaupun penemuan pada gangguan anxietas anak

– anak dalam hal ini menunjukkan hasil yang tidak konsisten

(Terleph, Klein, Roberson – Nay et al., 2006). Yang ketiga adalah

pendekatan berbasis informasi menunjukkan bahwa regulasi

perhatian yang tidak normal saat terjadi kejadian yang mengancam

merepresentasikan suatu endofenotip (Pine, Klein, Roberson – Nay

et al., 2005b). Ketidaknormalan dalam mengolah atensi terhadap

keadaan mengancam juga merupakan hasil dari disfungsi sirkuit

rasa takut otak., yang ternyata berkaitan baik terhadap gangguan

anxietas pada anak – anak maupun gangguan panic pada orang tua.

Genetika Molekular

Studi tentang genetika molekular menghubungkan pandangan modern

yang lebih luas mengenai psikopatologi sebagai akibat dari

perubahan fungsi fisik berdasarkan sirkuit dalam pengolahan35

informasi. Bidang genetika psikiatri telah berkembang luas dalam

10 tahun terakhir terutama dalam psikopatologi yang umum terjadi

yaitu gangguan anxietas pada anak – anak yang juga dikenal

sebagai gangguan kompleks. Kondisi ini dapat disebabkan baik oleh

faktor genetik maupun non genetik yang berkontribusi terhadap

fenotipe.

Pada gangguan anxietas, penelitian yang paling kompleks

telah mempelajari tentang kaitan polimorfisme genetik tertentu

terhadap disfungsi neural dan kognitif. Subjek penelitian pada

gangguan anxietas adalah orang dewasa. Penemuan ini berimplikasi

pada polimorfisme dari gen pengangkut serotonin pada disfungsi

sirkuit rasa takut otak (Hariri, Mattay, Tessitore et al., 2002).

Penelitian lain yang subjeknya juga dewasa mengatakan bahwa

predisposisi perubahan sistem fisik menjadi sebuah psikopatologi

adalah interaksi faktor genetik dan lingkungan (Caspi, Sudgen,

Moffit et al., 2003). Walaupun banyak dari penelitian tersebut

juga mengkaitkan dengan episode depresi pada orang dewasa, hal

ini juga relevan pada gangguan anxietas pada anak – anak. Dua

buah studi telah melaporkan interaksi genetik – lingkungan dengan

adanya gangguan pengangkut serotonin pada depresi anak – anak

(Eley, Stirling, Ehlers et al., 2004; Kaufman, Douglas –

Palumberi, Houshsyar et al., 2004) dan studi lain menemukan

adanya pengaruh interaksi dengan inhibisi kepribadian pula (Fox,

Nichols, Henderson et al., 2005).Inhibisi kepribadian juga telah

dikaitkan dengan polimorfisme gen corticotrophin – releasing

factor (CRF), yaitu gen regulasi kunci dalam HPA (Smoller,36

Yamaki, Fagerness et al., 2005). Keterkaitan tersebut konsisten

dengan data tentang implikasi fungsi HPA axis dalam aktivitas

sirkuit rasa takut otak.

Psikobiologi

Sirkuit Neural pada Hewan

Perkembangan yang pesat pada ilmu dasar telah merubah pandangan

mengenai gangguan anxietas. Gangguan anxietas dipandang sebagai

perbedaan individu dalam fungsi neural dimana gangguan anxietas

pada anak dihipotesiskan sebagai hasil dari abnormalitas dalam

sistem psikologis dan hal ini juga terbukti pada model hewan

percobaan gangguan anxietas (Gross dan Hen, 2004). Pandangan ini

telah menuntun beberapa peneliti untuk mentarget beberapa sistem

psikologi untuk mendokumentasikan substansi psikobiologis dalam

gangguan anxietas.

Model hewan percobaan untuk gangguan anxietas lebih unggul

daripada spesies strong cross dalam hal sirkuit otak dan

farmakologi. Rasa takut diatur oleh sistem interrelasi otak yaitu

lobus prefrontal dan temporal medial. Fenomena yang paling

dimengerti adalah fenomena rasa takut, yang dipelajari dalam

eksperimen kondisional takut, dimana stimulus aversif seperti

syok dipadukan dengan stimulus neural yaitu cahaya. Dengan

perpaduan tersebut, organism mengalami ketakutan dengan stimulus

neural. Mempelajari rasa takut tidak dapat lepas dari sirkuit

neural yang meliputi amigdala, kumpulan nucleus bilateral yang

terletak pada lobus medial temporal otak (LeDoux, 2000).37

Ketakutan akan stimulus yang tidak berbahaya akan melibatkan

perubahan fungsi neural dalam nucleus basolateral di amigdala,

ekspresinya melibatkan nucleus sentral. Hal yang sejenis juga

terjadi apabila stimulus yang berbahaya sekalipun tidak

menimbulkan respons rasa takut disebabkan adanya komunikasi

antara amigdala dan korteks frontalis dan perubahan sikap fisik

tersebut dikarenakan adaya perubahan komunikasi antara region

tersebut (Quirck, Gehlert, 2003).

Bentuk lain rasa takut akan berkembang tanpa didahului

proses belajar dan diregulasi terkait dengan sirkuit neural.

Seperti contohnya, organism nocturnal seperti tikus akan takut

terhadap lingkungan yang bagus (Davis, 1998). Tidak seperti rasa

takut yang didahului proses belajar, rasa takut tanpa proses

belajar tidak dapat membedakan dan akan meningkat intensitasnya

dengan paparan berulang. Rasa takut yang tidak didahului proses

belajar melibatkan daerah basolateral nucleus bukan bagian

sentral nucleus dari amigdala; kedua sirkuit tersebut diregulasi

oleh berbagai sistem neurokimia. Seperti misalnya, pemberian CRF

akan meningkatkan rasa takut yang tidak didahului proses belajar,

bukan rasa takut yang dikondisikan.

Perkembangan Neural dan Rasa Takut

Kematangan dari sirkuit rasa takut merefleksikan pengaruh jangka

panjang dari lingkungan di awal kehidupan. Investigasi yang

paling baik pada tikus menunjukkan bahwa perubahan dari asuhan

maternal akan menghasilkan perubahan jangka panjang dari ambang38

batas lobus medial temporal dan pre frontal yang meregulasi

sirkuit rasa takut (Meaney, 2001). Efek ini merupakan hasil dari

pengaruh non genomic yang melibatkan metilasi DNA. Lebih

spesifik, aspek fungsional dari gen yang meregulasi korteks

temporal dan frontal juga telah berubah. Studi di primata

menunjukkan hubungan antara

39