Pengembangan Keterampilan Sosial

53
PENGEMBANGAN KETERAMPILAN SOSIAL Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Pengembangan Afeksi SD dengan dosen pengampu Yulia Aryzia, Ph D. Disusun oleh: Miftahul Istirahah (14712251034) Monika Handayani (14712251037) 1

Transcript of Pengembangan Keterampilan Sosial

PENGEMBANGAN KETERAMPILAN SOSIAL

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Pengembangan

Afeksi SD

dengan dosen pengampu Yulia Aryzia, Ph D.

Disusun oleh:

Miftahul Istirahah (14712251034)Monika Handayani (14712251037)

1

PROGRAM PASCASARJANA PENDIDIKAN DASAR

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

2014BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan anak usia sekolah dasar saat ini

menjadi fokus penting bagi para pengamat di bidang

pendidikan. Pendidikan mempunyai peranan yang sangat

menentukan bagi pengembangan dan perwujudan diri

individu dengan menyediakan lingkungan yang

memungkinkan peserta didik untuk mengembangkan potensi

dan bakatnya secara optimal. Pada tahap perkembangan

tertentu anak dituntut untuk mampu menguasai

keterampilan sosial yang berguna untuk pengembangan

dirinya. Manusia sebagai makhluk sosial dituntut untuk

mampu menguasai keterampilan sosial dari tingkat

perkembangan awal hingga dewasa. Pada saat ini, sistem

pendidikan di Indonesia sedang digerakkan untuk

mengembangkan keterampilan sosial pada siswa, sehingga

penilaian yang dilakukan di sekolah tidak hanya menilai

prestasi belajar yang merupakan kemampuan kognitif saja

tapi juga pada afeksi dan psikomotornya. Pentingnya

penguasaan dan pengembangan keterampilan sosial pada

2

anak menjadi kunci penting keberhasilan anak tersebut

di kehidupan yang akan datang.

Keterampilan sosial merupakan pra syarat untuk

dapat berkembang secara efektif pada penyesuaiannya di

lingkungan sosial. Dengan memiliki keterampilan sosial,

anak akan mampu berinteraksi dengan baik dengan teman

sebaya, keluarga dan lingkungan sosialnya. Keterampilan

sosial juga berhubungan perkembangan kognitif anak,

karena keluaran atau hasil dari kognitif anak kaitannya

dengan keterampilan sosial akan terlihat dari perilaku

yang dilakukan anak di lingkungan sosial. Pada makalah

ini akan disajikan pembahasan tentang keterampilan

sosial yang sangat bermanfaat bagi para praktisi

pendidikan. Pembahasan tentang keterampilan sosial

sendiri meliputi beberapa faktor, kriteria dalam

pemilihan keterampilan sosial dan pembelajaran atau

hasil keluaran dari keterampilan sosial yang dapat

diamati.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam makalah ini meliputi sebagai

berikut.

1.Apa definisi dari keterampilan sosial?

2.Apa saja faktor dalam pemilihan keterampilan

sosial?

3.Bagaimana inventori keterampilan sosial pada

siswa?

3

C. Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah yang diuraikan diatas

maka tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai

berikut.

1.Untuk mengetahui definisi keterampilan sosial

2.Untuk mengetahui faktor dalam pemilihan

keterampilan sosial

3.Untuk mengetahui inventori keterampilan sosial

pada siswa

4

BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Keterampilan Sosial

Keterampilan sosial adalah istilah dari para ahli

psikologi yang merujuk pada penguasaan keterampilan

berperilaku tertentu pada anak sesuai tingkat

perkembangannya. Keterampilan sosial berasal dari kata

terampil dan sosial. Kata keterampilan berasal dari

'terampil' digunakan di sini karena di dalamnya

terkandung suatu proses belajar, dari tidak terampil

menjadi terampil. Kata sosial digunakan karena

pelatihan ini bertujuan untuk mengajarkan satu

kemampuan berinteraksi dengan orang lain. Dengan

demikian pelatihan ketrampilan sosial maksudnya adalah

pelatihan yang bertujuan untuk mengajarkan kemampuan

berinteraksi dengan orang lain kepada individu-individu

yang tidak trampil menjadi trampil berinteraksi dengan

orang-orang di sekitarnya, baik dalam hubungan formal

maupun informal.

Sejumlah penelitian telah ditawarkan untuk

memberikan definisi secara umum tentang keterampilan

5

sosial. Seperti yang dikemukakan oleh Libert dan

Lewinsohn pada tahun 1977 yang menjelaskan keterampilan

sosial sebagai kemampuan kompleks baik yang digunakan

untuk menghasilkan dan memperkuat perilaku positif atau

untuk mengeluarkan dan mematikan perilaku negatif

dengan hukuman. Definisi lainnya dikemukakan oleh Combs

dan Slaby (1977) yang menjelaskan jika keterampilan

sosial adalah kemampuan untuk berinteraksi dengan

sesama dalam konteks sosial dalam suatu cara tertentu

yang saling menguntungkan satu sama lain. Hersen dan

Bellack (1977) menambahkan jika keterampilan sosial

adalah keefektifan perilaku dalam interaksi sosial yang

bergantung pada konteks dan parameter situasi.

Keterampilan perilaku adalah kemampuan individu untuk

mempresepsikan secara sadar pada serangkaian kondisi

perilaku tertentu yang akan berdampak positif.

Trower (1977) membagi keterampilan sosial ke dalam

perilaku dan dimensi kognitif (komponen keterampilan

dan keterampilan proses). Komponen keterampilan adalah

elemen tunggal, yang dapat terlihat seperti anggukan

atau urutan perilaku yang digunakan dalam interaksi

sosial seperti salam pembuka atau salam perpisahan.

Sementara untuk proses sosial dapat diartikan dengan

kemampuan individu untuk menggenerasikan keterampilan

perilakunya menurut peraturan dan tujuan dalam

memonitor feedback sosial. Eisler dan Frederiksen (1980)

juga menjelaskan jika keterampilan sosial mempunyai

6

aspek yang dapat diamati dan unsur kognitif yang tidak

dapat diamati. Unsur kognitif tersebut seperti dugaan,

pemikiran dan keputusan tentang apa yang seharusnya

dikatakan atau dilakukan selama atau setelah proses

interaksi berlangsung. Kemampuan lainnya seperti

mempresepsikan secara akurat tentang harapan, niat atau

wawasan orang lain dimana respon atau tanggapan

tersebut yang akan paling mungkin untuk mempengaruhi

pendapat dari temannya.

Morgan (1980) menunjukkan bahwa keterampilan

sosial tidak hanya melakukan sesuatu seperti kemampuan

untuk memulai dan mempertahankan interaksi positif

dengan orang lain, tetapi juga mampu mencapai kemampuan

tertentu dari hasil interaksinya dengan orang lain.

Tingkatan frekuensi interaksi dapat dijadikan pedoman

untuk menilai seberapa baik seseorang dalam

berinteraksi dengan orang lain. Gresham dan Elliot

(1984) memberikan definisi yang lebih valid tentang

keterampilan sosial, sebagai berikut:

Keterampilan sosial adalah perilaku yang mampumemprediksi hasil keluaran sosial yang pentingdalam situasi tertentu seperti (a) penerimaan temansebaya atau popularitas, (b) penilaian perilakupenting lainnya, atau (c) perilaku sosial lainnyayang dikenal untuk mengkolerasikan secara konsistendengan penerimaan teman sebaya atau penilaianperilaku penting lainnya.

Diskusi keterampilan sosial dari beberapa pendapat

ahli tersebut sebagian besar berfokus pada perilaku

7

sosial yang melibatkan interaksi antara anak dan

kelompoknya atau orang dewasa dimana tujuan utamanya

adalah pencapaian tujuan hubungan timbal balik antara

anak dan orang dewasa secara positif. Berdasarkan

beberapa pendapat ahli di atas maka dapat disimpulkan

bahwa keterampilan sosial adalah kemampuan kompleks

(meliputi berinteraksi, mempertahankan, atau

menghilangkan perilaku sosial) yang memiliki dimensi

kognitif dengan hasil keluaran sosial yang penting

dalam situasi tertentu. Keterampilan sosial juga sebuah

alat yang terdiri dari kemampuan berinteraksi,

berkomunikasi secara efektif baik secara verbal maupun

nonverbal, kemampuan untuk dapat menunjukkan perilaku

yang baik, serta kemampuan menjalin hubungan baik

dengan orang lain digunakan seseorang untuk dapat

berperilaku sesuai dengan apa yang diharapkan oleh

sosial.

Perbedaan keterampilan sosial dan kompetensi sosial

Keterampilan sosial seringkali dianggap sama dan

digunakan secara bergantian dengan kompetensi sosial,

namun sebenarnya keterampilan sosial memiliki perbedaan

yang signifikan dengan kompetensi sosial. Hops (1983)

membuat perbedaan antara dua konsep ini supaya menjadi

jelas, yaitu

Kompetensi adalah sebuah istilah kata untukmereflesikan penilaian sosial tentang kualitas umumdari penilaian seorang individu pada situasitertentu. Konsep keterampilan sosial dariperspektif perilaku didasarkan pada asumsi bahwa

8

identifikasi perilaku dilandasi dari kompetensiperilaku sosial.

Dari pendapat perbedaan konsep antara kompetensi

dan keterampilan sosial terletak pada penilaian dan

identifiakasi perilakunya. Cavell (1990) menawarkan

sebuah model yang menggambarkan kompetensi sosial

sebagai suatu konstruk multi level yang terdiri dari

penyesuaian sosial, kinerja sosial, dan keterampilan

sosial. Keterampilan dan kinerja sosial dari dalam diri

anak sendiri diperlukan tapi juga harus dilihat dari

kaitannya dengan penyesuaian diri anak tersebut. Hal

itu menjadi tujuan-tujuan pencapaian yang penting dalam

proses perkembangan.

Schloss, Schlos, Wood, and Kiehl (1986) memberikan

batasan dari definisi secara umum bahwa keterampilan

sosial beragam jenisnya menurut kronologis usia dan

perkembangan tingkatannya, dan beberapa macam definisi

yang berorientasi pada hasil yang luas termasuk respon

maladaptif atau antisosial serta perilaku yang

diinginkan. Keterampilan sosial bisa didefinisikan

sebagai perilaku spesifik yang dapat dijelaskan dalam

cara yang memungkinkan observasi yang handal dan

memperhatikan umur subjek dalam konteks sosial spesifik

untuk menjadi bahan pertimbangan.

Dari beberapa pendapat tersebut maka dapat

disimpulkan bahwa perbedaan antara keterampilan sosial

dan kompetensi sosial diantaranya terletak pada.

9

1. Penilaian dan identifikasi perilaku

Kompetensi sosial lebih menekankan pada penilaian

perilaku anak pada level perkembangan tertentu

sehingga anak harus mampu mencapai kompetensi sosial

pada level perkembangannya. Sementara untuk

keterampilan sosial lebih menekankan pada

identifikasi perilaku anak yang menyesuaikan pada

tahap perkembangannya. Misalnya pada tahap

perkembangan ke berapa anak sudah mampu melakukan

perilaku tertentu

2. Konstruk multi level dan perilaku yang spesifik

Kompetensi sosial merupakan konstruk multi level

yang terdiri dari penyesuaian sosial, kinerja

sosial, dan keterampilan sosial jadi keterampilan

sosial berada dalam kompetensi sosial. Sementara

keterampilan sosial adalah ciri-ciri perilaku

tertentu yang dapat dijelaskan dengan mengamati anak

menurut kronologis usia dan perkembangan

tingkatannya.

B. Faktor dalam Pemilihan Keterampilan Sosial

Dalam menentukan keterampilan sosial apa yang

harus diajarkan pada anak, sangat mungkin untuk

menerapkan sekumpulan norma-norma umum yang telah

ditetapkan oleh berbagai ahli seperti kompetensi

perilaku apa yang diperlukan sebagai seorang anak dalam

budaya kita, dan kriteria khusus yang dibutuhkan oleh

10

seorang anak dianggap telah berkompeten. Variabel-

variabel yang terlibat dalam pemilihan sasaran perilaku

yaitu

1. Karakteristik individu peserta didik meliputi kurang

keterampilan (skill deficit), jenis kelamin, umur

dan tingkat perkembangan siswa.

2. Faktor sosial meliputi sosial dan budaya lingkungan

dimana keterampilan digunakan, validitas sosial-

keabsahan, pandangan peserta didik, dari

kelompoknya, orang dewasa yang berperan, dalam

keterampilan yang diajarkan, tujuan dan hasil yang

diinginkan dari petunjuk dan perilaku penting yang

diajarkan untuk memperoleh hasil yang diinginkan.

Berikut ini penjelasan dari variabel-variabel yang

menjadi pemilihan sasaran perilaku keterampilan sosial.

1. Karakteristik Peserta Didik

Peserta didik memiliki kedudukan sebagai seorang

individu yang memiliki karakteristik yang membedakannya

dengan individu lainnya. Ciri-ciri, sifat-sifat atau

karakteristik seorang individu ini dapat berupa

karakteristik bawaan dari bayi dan dapat pula

karakteristik dari hasil yang diperolehnya

dilingkungan. Pembicaraan mengenai karakteristik

individu peserta didik tiga hal yang perlu

diperhatikan menurut Desmita (2012: 57), yaitu:

a. Karakteristik yang berkenaan dengan kemampuan awal

atau prerequisite skill, seperti kemampuan

11

intelektual, kemampuan berpikir, dan hal-hal yang

berkaitan dengan aspek psikomotor

b. Karakteristik yang berhubungan dengan latar belakang

dan status sosio-kultural

c. Karakteristik yang berkenaan dengan perbedaan-

perbedaan kepribadian seperti sikap, perasaan, minat

dan lain-lain.

Karakteristik peserta didik perlu diketahui untuk

mendukung penyesuaian diri peserta didik dengan

lingkungannya dalam rangka menunjang keterampilan

sosial. Menurut Baum (Desmita, 2012: 193) tingkah laku

penyesuaian diri diawali dengan stress, yaitu suatu

keadaan dimana lingkungan mengancam atau membahayakan

keberadaan atau kesejahteraan atau kenyamanan diri

seseorang. Ada banyak petunjuk keterampilan sosial

dalam pendidikan dan pengaturan klinis yang dimulai

sebagai sarana remediating masalah dalam penyesuaian diri

sosial. Sebuah kasus nantinya akan dibuat untuk

mengajarkan bagaimana mengatasi keterampilan

interpersonal untuk semua anak sebagai sarana untuk

mencegah masalah dalam penyesuaian diri (Durlack, 1985;

Ellias & Branden-Muller, & Sayette, 1991; Kendall,

Lerner, & Craighead, 1984). Terlepas dari petunjuk

keterampilan sosial dilakukan sebagai pencegahan

primer, atau pencegahan sekunder yang digunakan untuk

membantu anak mengatasi permasalahan yang ada. Tugas

pertama para praktisi adalah menilai karakteristik

12

peserta didik dan lingkungan mereka guna menyesuaikan

intruksi dengan kebutuhannya. Karakteristik peserta

didik ini meliputi tahap perkembangan siswa, gender,

dan defisit perilaku dan kognitif.

a. Tahap perkembangan

Tahap perkembangan adalah seperangkat

karakteristik peserta didik yang digunakan untuk

mengidentifikasi keterampilan sosial yang akan

diajarkan. Dua teori perkembangan menekankan pada

kontribusi faktor psikologis terhadap sosialisasi

seperti teori Erikson (1963) dan Freud (1961). Kedua

model ini menyajikan sistem perkembangan sosialisasi

yang sama dari bayi hingga dewasa, dengan serangkaian

tahap yang harus dikuasai pada setiap tahap

perkembangan, terutama melalui pengembangan hasil

interaksi dari perilaku sosial dengan sosok yang

signifikan dalam lingkungannya. Dalam kedua teori

tersebut, sosialisasi awal berpusat di sekitar ibu atau

pengasuh utama (keluarga) kemudian meluas secara

bertahap dengan orang lain yang berada di rumah atau di

lingkungan sekitarnya. Seperti yang dikutip dari Rita

(2008: 23) yang menyatakan peran pengasuhan dan

lingkungan menjadi hal yang sangat penting dalam

menentukan perkembangan psikososial individu. Peranan

ini dimulai dari aturan atau budaya masyarakat sampai

pola asuh orang tua. Perilaku sosial seperti kemampuan

anak untuk mengambil, memberi, dan mendapat kepedulian

13

orang lain terhadap kebutuhannya, telah diajarkan oleh

orang tua dan pengasuhnya melalui respon mereka dan

contoh dari tanggapan yang mereka berikan.

Respon sosial perkembangan anak dipelajari lebih

awal sehingga menjadi mudah diekspresikan dan

dimodifikasi melalui interaksi dengan saudara, teman

sebaya dan orang dewasa lainnya. Pengalaman-pengalaman

bersosialisasi ini membantu anak dalam mengembangkan

identitas personal dan penguasaan perasaannya terhadap

lingkungan dengan perasaan yang dihasilkan dari self-

esteem-nya sehingga pada ada akhirnya anak mampu menjadi

mandiri.

Perkembangan teori moral Piaget dan Kohlberg juga

relevan dengan keterampilan sosial. Piaget

menspesifikasikan tahap perkembangan motorik pertama

terutama pada permainan motorik dan sikap

individualistiknya, diikuti dengan tahap perkembangan

egosentrisnya (sekitar usia 2-5 tahun) dimana anak

menerapkan peraturan untuk setiap aktivitas hariannya

berdasarkan kontrol eksternal dari orang dewasa atau

anak yang usianya lebih tua darinya. Tahap berikutnya,

anak akan mulai bekerja sama dengan anak lainnya dimana

anak mulai menetapkan peraturan sesuai dengan keadaan

sosial tertentu, dengan memperhatikan kepentingan orang

lain. Tahap terakhir, pada usia sekitar 11-12 tahun,

meliputi tahap pengenalan terhadap prinsip moral,

pentingnya menyadari hak-hak orang lain, pentingnya

14

peraturan fungsional dalam tatanan sosial sebagai

mekanisme untuk melindungi hak-hak individu. Piaget

mempertimbangkan unsur-unsur yang ada dalam setiap

tahap perkembangan, perbedaannya hanya pada pola

perilaku tertentu yang ditemukan dalam masing-masing

tahap perkembangan.

Kohlberg (1969) berpendapat dari 6 tahap teori

perkembangan yang ditunjukkan, moralitas berkembang

pada awal tahap pertimbangan egoistik (tahap 1 dan 2),

minat dalam menjaga ketertiban/perintah dan stabilitas

(tahap 3 dan 4), pada level tertinggi individu (tahap

5-6) yakni mampu berpegang pada prinsip batin, yaitu

individu tersebut mampu menentukan perilakunya sesuai

dengan keyakinan dan hati nuraninya bukan sekadar oleh

ketetapan aturan atau hukum. Dengan model Kohlberg,

anak-anak nakal berada di tingkat egoistik rendah,

dimana penekanannya berada pada keuntungan pribadi dan

penghindaran hukuman. Berdasarkan hal itu kerangka

kerja untuk penggunaan model pembelajaran langsung

secara bertahap melalui tahap perkembangan sangat

direkomendasikan untuk meningkatkan perilaku sosial.

Implikasi dari penerimaan susunan tahap

perkembangan dari Piaget dan Kohlberg, yaitu pada

pemilihan keterampilan sosial, contohnya seperti

perilaku berbagi dan bermain secara kooperatif akan

lebih mudah diajarkan setelah anak berusia dua tahun

dan juga penerimaan otoritas kemampuan diri dalam

15

memahami konsekuensi serta mengikuti petunjuk dapat

diajarkan lebih awal sebelum tahap perilaku yang

melibatkan pengambilan keputusan secara mandiri. Selain

itu, implikasi dari tahap perkembangan tersebut pada

keterampilan sosial yang melibatkan pemahaman

pendapat/pandangan orang lain paling mudah diajarkan

pada tahap selanjutnya, dan pemahaman prinsip

berdasarkan prinsip batin paling baik dibangun setelah

anak telah mampu menerima pentingnya perintah dan

regulasi.

Ada kecenderungan peningkatan terhadap

keterampilan sosial dan kompetensi sosial dalam konteks

perkembangan. Waters dan Sroufe (1983) menganggap

kompetensi sosial sebagai sebuah “konstruksi

perkembangan”, bahwa tidak hanya pada kondisi

keterampilan khusus dan usia namun kompetensi tertentu

dalam satu periode perkembangan…. Yang seharusnya

berdampak pada perkembangan selanjutnya. “ (p.80).

Eisenberg and Harris (1984) menyatakan bahwa diantara

kemampuan penting untuk kompetensi sosial seorang anak

berubah seiring bertambahnya usia seperti kemampuan

anak untuk mempresepsikan perasaan orang lain,

konseptualisasi persahabatan, kemampuan problem solving

dan keterampilan berkomunikasi.

Pemikiran perkembangan memiliki relevansi tidak

hanya pada pemilihan keterampilan sosial, tetapi juga

untuk pendekatan dalam pengajaran yang akan digunakan.

16

Langkah awal yang dilakukan adalah merancang petunjuk

keterampilan sosial yang akan diterapkan pada anak,

dengan melihat kesesuaian anak dengan usia

perkembangannya dan mengidentifikasi perkembangan yang

diinginkan serta kinerja yang diperlukan. Untuk

merespon pelatihan keterampilan sosial, pertama kali

anak mungkin perlu belajar untuk memperhatikan dan

mengidentifikasi stimulus yang relevan. Setiap

rangkaian keterampilan sosial memiliki pra syarat,

Brooks-Gunn and Luciano (1985) memberikan contoh bahwa

sampai anak memperoleh konsep diri, maka hubungan

timbal balik tidak mungkin terjadi contohnya perilaku

emosi sosial yang kompleks seperti empati yang

mengharuskan anak terlebih dahulu memilki konsep diri

dan mampu mengambil peran lain atau terpengaruh jika

orang lain seperti saya. Penggunaan bahasa dibutuhkan

dalam keterampilan sosial sehingga akan lebih mudah

diajarkan pada anak-anak yang lebih tua yang lebih

sering meggunakan penjelasan verbal dalam interaksi

sosial dibandingkan dengan anak-anak usia muda (Selman,

Schorin, Stone, & Phelps, 1983)

Dalam tahap perkembangan, ada usia yang patut

mendapat perhatian. Pelatih keterampilan sosial perlu

menyadari perbedaan secara kualitatif antara norma

perilaku anak dan dewasa. Weist dan Ollendick (1991)

memberikan contoh seperti perbedaan dengan analisis

detail dari perilaku asertif yang ditunjukkan oleh anak

17

laki-laki telah diidentifikasi sebagai tanda

perkembangan interpersonal yang sukses. Mereka

menemukan bahwa secara tradisional kedewasaan perilaku

pada umumnya dikaitkan dengan sikap asertif seorang

anak (contohnya kontak mata, kemampuan untuk memuji,

lamanya berbicara, dan penolakan terhadap permintaan

yang tidak mungkin) meskipun hal tersebut tidak

dijadikan patokan secara signifikan terhadap perilaku

asertif pada usia muda. Senyuman dan pembicaraan yang

hidup juga dapat menjadi perilaku yang signifikan untuk

diidentifikasi melalui orientasi gerak tubuh, kesalahan

yang lebih rendah dalam berbicara, tingkat kemampuan

yang lebih tinggi untuk menerima akibat dari suatu

kondisi dalam konteks perilaku yang sesuai.

b. Gender

Selain usia dan perbedaan tingkat perkembangan,

ada perbedaan gender yang jelas membedakan bagaimana

anak-anak menangani hubungan interpersonal. Istilah

jenis kelamin dan gender sering dipertukarkan dan

dianggap sama padahal terdapat perbedaan yang cukup

signifikan antara jenis kelamin dan gender. Sugihartono

(2007: 35) menjelaskan perbedaan antara jenis kelamin

dan gender, yaitu jenis kelamin menunjuk pada perbedaan

biologis dari laki-laki dan perempuan sementara gender

merupakan aspek psikososial dari laki-laki dan

perempuan yang dibangun secara sosial budaya. Perbedaan

gender ini, termasuk dalam hal peran, tingkah laku,

18

kecenderungan, sifat, dan atribut lain yang menjelaskan

arti menjadi seorang laki-laki atau perempuan dalam

kebudayaan yang ada.

Temuan yang diperoleh oleh Shung dan Asher (1992)

yang menemukan bahwa pada kelas empat, lima dan enam,

anak laki-laki cenderung lebih banyak bermusuhan dan

menggunakan strategi pemaksaan dalam situasi konflik,

sementara anak perempuan menggunakan strategi prososial

dan pasif dalam keadaan yang sama. Hasil yang sama juga

ditunjukkan oleh Miller, Danaher, dan Forbes (1986)

dengan anak berusia lima dan tujuh tahun dan juga

penelitian oleh Fabes dan Eisenberg (1992) yang

menemukan bahwa anak laki-laki usia pra sekolah akan

mengekspresikan kemarahannya secara langsung atau

inflamasi, sedangkan anak perempuan cenderung

menggunakan cara yang akan mengurangi atau

menyelesaikan konflik. Penemuan ini, tentu saja

mengarahkan pada pemberian instruksi khususnya pada

anak laki-laki sebagai alternatif lain untuk mengurangi

kekerasan pada situasi konflik. Sementara dalam tingkat

perbedaan kemampuan perkembangan secara spesifik dapat

dilihat dari kecenderungan perempuan yang lebih baik

dalam kemampuan verbal (tapi bukan analogi),

perhitungan matematika, serta tugas-tugas yang

memerlukan koordinasi motorik halus dan persepsi

sedangkan laki-laki cenderung lebih baik dalam

19

kemampuan keruangan dan matematika abstrak dan

penalaran sains (Halpern dalam Papalia Ods, 2013: 387)

Penemuan lain dari Crombie (1980) menunjukkan

bahwa ada perbedaan ukuran atau jumlah kelompok pada

anak perempuan dan anak laki-laki pada tahap pra

sekolah dan masa pertengahan, anak perempuan cenderung

memilih kelompok-kelompok kecil dengan persahabatan

yang eksklusif. Sementara untuk anak laki-laki

penguasaan keterampilan mungkin lebih penting sebagai

kategori untuk masuk ke dalam kelompok. Seperti halnya

ketika anak laki-laki lebih sering bermain dalam tim

keolahragaan dengan kompetisi langsung yang lebih

kompetitif daripada yang cenderung dilakukan oleh anak

perempuan. Implikasi tertentu adalah kebutuhan tentang

“pembelajaran untuk menangani perilaku dominan”….yang

mampu membedakan antara perilaku agresif seperti

perkelahian karena cemoohan dengan perilaku agresif

dalam permainan kompetitif. Selain itu, belajar

mengontrol diri dan depersonalizing terhadap celaan

(p.119). Pada anak laki-laki pengaruh teman sebaya

lebih penting daripada pengaruh orang lain

disekitarnya, sedangkan pada anak perempuan cenderung

lebih penurut karena orientasinya lebih menjadi dewasa

dan guru di sekolah. Crombie menyatakan bahwa

keterampilan sosial adalah komponen yang lebih penting

dari peran gender feminim secara tradisional karena

wanita cenderung menempatkan lebih menekankan pada

20

hubungan interpersonal. Meskipun perbedaan gender telah

dijelaskan secara nyata, namun mungkin tidak bisa

diterima secara luas sebagai sesuatu yang sah.

Perbedaan gender dipengaruhi oleh faktor-faktor

seperti norma-norma budaya dan tingkat sosial ekonomi,

serta perubahan yang terus berkembang antara peran

laki-laki dan perempuan. Selain itu pengaruh dari

keluarga, teman sebaya dan budaya yang mendorong

penipean gender seorang anak berdasarkan sosialisasinya

sehingga para praktisi perlu menghindari generalisasi

yang berlebihan dalam membuat keputusan tentang

pemilihan keterampilan sosial berdasarkan pertimbangan

gender.

c. Defisit perilaku dan kognitif

Ketika program keterampilan sosial dilakukan

karena masalah yang terjadi dalam hubungan sosial,

aspek penting dari pemilihan sasaran perilaku adalah

mengidentifikasi defisit perilaku tertentu yang akan

direhabilitasi (Maag, 1989). Weist et al (1991) juga

berpendapat perlunya mengidentifikasi pemilihan sasaran

perilaku deficit untuk melakukan terapi pada anak.

Mereka menyarankan untuk menilai perilaku defisit

tersebut, seperti apakah perilaku defisit terjadi dalam

keterampilan kognitif anak yang melibatkan

ketidakmampuan anak untuk melakukan perilaku yang

diinginkan atau hasil dari suatu keadaan emosi seperti

kecemasan yang akan mengganggu kinerja anak. Banyak

21

literatur yang menjelaskan defisit keterampilan sosial

pada anak dengan berbagai macam disabilitas. Rubin dan

Krasnor (1986) menguji problem solving pada perilaku

sosial anak menurut status sosial pada teman sebaya dan

menemukan perbedaan sosial yang jelas antara anak-anak

yang menarik diri secara sosial atau terisolasi dari

lingkungan sosial dan anak-anak yang ditolak dalam

lingkungan sosial karena kemampuan mereka dalam

memecahkan masalah dalam lingkungan sosial. Anak-anak

yang ditolak secara sosial cenderung berperilaku lebih

agresif, impulsif, dan kurang fleksibel. anak-anak yang

menarik diri secara secara sosial atau terisolasi dari

lingkungan sosial tidak menunjukkan defisit dalam

sosial kognitifnya, tapi lebih kepada kurang percaya

diri dalam lingkungan sosial dan mempunyai kemampuan

cenderung lebih asertif (tegas). Pelatihan masalah

sosial disarankan dilakukan untuk anak yang ditolak

dari lingkungan sosial dan pengalaman dengan teman

sebaya untuk meningkatkan kepercayaan diri untuk anak

yang terisolasi. Akhtar dan Bradley (1991) menemukan

bahwa anak agresif cenderung kurang dalam penguasaan

sejumlah kemampuan yang diperlukan dalam interaksi

sosial yang positif. Diantara defisit ini salah satunya

adalah ketidakmampuan untuk mengkodekan isyarat

lingkungan yang relevan dan untuk menghasilkan solusi

dan tindakan pada situasi yang bermasalah. Sebagai

tambahan, anak agresif cenderung “menetapkan niat

22

bermusuhan dengan pola sosial” dan mengikuti tujuan

sosial yang tidak pantas. Dari permasalahan tersebut

dapat disimpulkan bahwa pendekatan perawatan (terapi)

untuk anak-anak agresif harus menyertakan pelatihan

pemrosesan informasi sebaik mungkin.

2. Kriteria Sosial dalam Pemilihan Keterampilan

Ada beberapa kriteria sosial dalam pemilihan

keterampilan meliputi konteks budaya, hubungan teman

sebaya, dan validitas sosial. Berikut ini

penjelasannya.

a. Konteks Budaya

Sasaran pemilihan keterampilan sosial pada anak

atau sekelompok anak tertentu, memiliki sejumlah

kriteria sosial yang perlu dipertimbangkan disamping

faktor-faktor yang diuraikan tersebut. Kriteria sosial

yang perlu mendapat perhatian adalah tentang budaya

Sebagai contoh sekarang ini anak diajarkan untuk

bertindak asertif, selain itu anak juga diharapkan

untuk mengetahui bagaimana merespon dalam hubungan

interpersonal yang baik dengan orang dewasa atau dengan

teman sebayanya. Perilaku sosial dalam konteks budaya

menjadi pertimbangan penting dalam pemilihan

keterampilan sosial yang akan diajarkan. Seperti yang

diungkapkan oleh Argyle (1986) bahwa

….keterampilan sosial secara optimal sangatbervariasi dengan latar belakang budaya. Sikapasertif mungkin bisa sukses diterapkan di Amerika,namun hal itu tidak berlaku di Jepang atauIndonesia. Keterampilan pengawasan demokratis

23

persuasive juga tidak bekerja di India dan Jepang.Perbedaan yang sama ditemukan antara kelas sosial,kelompok etnik, dan kelompok umur didalam satubudaya tertentu, hal ini adalah masalah utamauntuk para pelatih keterampilan sosial.

Ada beragam contoh lain akibat dari perbedaan

budaya. Seperti yang telah dijelaskan pada teori

psikososial Erikson jika budaya mempunyai pengaruh

terhadap pola perilaku anak. Yang pertama walaupun tiap

individu mampu melewati tahapan perkembangan sosial

yang sama, namun setiap budaya mempunyai cara sendiri

untuk menguatkan dan mengarahkan perilaku individu

(Rita, 2008: 24) Sebagai contoh ada budaya tertentu

menerapkan berdiri dalam perbedaan jarak tertentu

antara satu orang yang berbeda budayanya dengan orang

dari budaya lainnya, atau anak dalam beberapa keluarga

atau sub kultur diajarkan untuk memukul punggung

daripada terlibat dalam tindakan agresif. Yang kedua,

budaya dapat berubah seiring dengan waktu, adanya

kemajuan teknologi, pendidikan, urbanisasi, dan

perkembangan lain yang membuat budaya harus berubah dan

beradaptasi sesuai dengan lingkungan masyarakat dan

kebutuhannya (Rita, 2008:24). Contohnya dahulu anak

dalam beberapa kelompok budaya diajarkan untuk tidak

melihat secara langsung kepada orang yang lebih tua

atau disegani namun saat ini jika seorang anak

berbicara tanpa melihat lawan bicaranya anak tersebut

cenderung dikatakan pemalu atau bahkan tidak sopan.

24

Perbedaan dari sub kultur budaya tersebutlah yang dapat

dijadikan beberapa alternatif untuk mengatasi tindakan

agresif.

b. Situasi Khusus

Seiring dengan pertimbangan budaya, situasi khusus

adalah sebuah konsep yang relevan dalam

mengidentifikasi keterampilan untuk mengajar.

Keterampilan sosial dipertimbangkan sesuai dengan suatu

keadaan yang mungkin berbeda dengan yang lain. Kendall

et all (1984) menjelaskan kompetensi anak sebagai salah

satu keleluasan berperilaku, dan kemampuan untuk

mengevaluasi konteks kebutuhan dan perubahan perilaku

tertentu agar sesuai dengan kebutuhan lingkungan.

Penyediaan kesadaran pada situasi yang berbeda

membutuhkan perilaku yang berbeda pula hal itu mungkin

menjadi pra syarat yang diperlukan untuk mengajarkan

keterampilan tertentu. Achenbach, McClaskey, dan

Feldman (1985) menganjurkan bahwa “anak dengan

keterampilan sosial adalah yang paling cepat dalam

merespon situasi atau tugas”(p.351) dan juga

menyarankan penilaian seharusnya mengidentifikasi

konteks sosial tertentu, tugas, atau situasi dimana

masalah perilaku terjadi. Contohnya anak agresif

cenderung tergantung pada respon maladaptif saat mereka

diprovokasi oleh teman sebayanya (e.g. diejek, dipukul

atau menghina) atau ketika mereka membutuhkan respon

harapan sosial dari guru.

25

c. Hubungan Teman Sebaya

Hubungan dengan teman sebaya adalah salah satu

unsur yang paling penting dalam kehidupan seorang anak

dan berkontribusi dalam berbagai cara bagi pembelajaran

sosial anak. Seperti yang dijelaskan oleh Peterson

(2014: 254) dalam kelompok teman sebaya, anak-anak yang

berusia relatif sama dengan tidak adanya ikatan

kekerabatan terhadap mereka akan membuat anak

menentukan sendiri keinginan, ketidak sejutuan dan

ketidaksukaannya pada persetujuan sosial. Selain itu,

penolakan teman sebaya pada masa kanak-kanak telah

terbukti secara jelas menjadi faktor dalam masalah

penyesuaian diri anak dikemudian hari seperti putus

sekolah, kriminalitas, dan psikopatologi (Parker &

Asher, 1987). Dalam ulasan sebelumnya oleh Hartup

(1970) mengidentifikasi hubungan antara penerimaan

teman sebaya. Hal ini meliputi seperti keramahan,

kemampuan bersosialisasi, outgoingness, seringnya

berbagi, partisipasi sosial, kebaikan, suka menolong,

dan menjadi teman yang baik atau bersemangat dalam

kelompok.” Dygdon, Conger, Conger, Wallanda, dan Keane

(1980) menemukan bahwa karakteristik yang disukai anak

dijabarkan dengan menggunakan perhitungan sosio metrik,

yang mengukur partisipasi anak dalam kegiatan bermain

dan altruism (sikap mementingkan orang lain), daya anak

menghibur, kosa kata, kuantitas bicara, kecakapan

motorik dan efisiensi akademik.

26

Strain, et al (1984) menunjukkan pentingnya

hubungan teman sebaya terhadap sasaran pemilihan

perilaku untuk anak seharusnya melibatkan orang-orang

yang dekat dengannya saat berhubungan dengan teman

sebaya di luar lingkungan instruksional dan

menghasilkan hasil yang positif. Beberapa perilaku yang

disarankan seperti inisiasi sosial, imitasi, berbagi,

dan kasih sayang. Kohler dan Fowler (1985) menunjukkan

bahwa perilaku sosial seperti mengajak berbagi,

mempunyai fungsi penguatan alami dan dapat

mengakibatkan serangkaian pertukaran yang positif.

Selain itu, ketika anak membentuk dan mempertahankan

persahabatannya dengan teman sebaya, anak secara tidak

langsung diharuskan untuk menampilkan setidaknya dasar

tingkat pemahaman dan keterampilan sosial yang cukup

dalam menyelesaikan konflik dan mempertahankan

interaksi yang menyenangkan untuk membuat (Peterson,

2014: 256)

Pentingnya perilaku bermain anak yang berulangkali

muncul digunakan untuk membedakan kompetensi anak dari

yang berkompeten dan tidak berkompeten. Hal tersebut

diidentifikasi sebagai pra syarat kunci keterampilan

pada anak untuk melakukan interaksi lebih lanjut.

Dodge, Schlundt, Schocken, dan Delugach (1983)

menyajikan suatu model kompetensi sosial pada kelompok

teman sebaya yang melibatkan serangkaian taktik untuk

dapat masuk ke dalam keterampilan tersebut.

27

Keberhasilan taktik ini seperti menghindari kegiatan

yang dapat mengganggu kegiatan untuk memasuki kelompok

dengan memperhatikan dan memungkinkan anak untuk mampu

terintegrasi ke dalam kegiatan kelompok. Keberhasilan

taktik tertentu meliputi menunggu dan mengamati

kelompok teman sebaya, bergerak semakin dekat, meniru

aktivitas dalam kelompok sebaya, diikuti dengan membuat

pernyataan tentang kelompok teman sebaya. (See Putallaz

dan Wasseman, 1990, untuk review penelitian tentang

kemampuan awal anak-anak).

Ada data yang menunjukkan bahwa anak-anak dianggap

berkompeten secara sosial, memiliki strategi untuk

dapat menangani rasa marah dengan cara menghindari

bersikap agresif (Fabes & Eisenberg, 1992). Pada masa

pra sekolah terdapat dua tipe agresif yang dilakukan

anak, yaitu agresif instrumental dan agresif berseteru

(Berk, 2008:387). Yang paling umum adalah agresif

instrumental (instrumental aggression) dimana anak

menginginkan sebuah objek, privilege, atau ruang untuk

mendapatkannya, seperti mendorong, meneriaki, bahkan

menyerang orang lain yang menghalanginya. Sementara

untuk agresif berseteru (hostile aggression)

dimaksudkan melukai orang lain, tipe agresif ini

meliputi agresif secara fisik, agresif secara verbal,

dan agresif hubungan. Brochin dan Wasik (1992) juga

menemukan bahwa tanggapan terhadap masalah dalam

manajemen konflik secara signifikan dibedakan pada usia

28

kanak-kanak yang popular dan tidak popular. Dalam

penelitiannya terhadap anak pada usia pra sekolah,

dengan kategori perilaku penyebab tindakan agresif

Fabes dan Eisenberg mendeskripsikannya sebagai berikut.

1. Penyebab fisik-kemarahan yang dilampiaskan secara

fisik pada anak (contoh memukul, menendang,

mendorong, dll);

2. Verbal-kemarahan yang berimbas dengan mengatakan hal

yang tidak pantas kepada anak lain (seperti

mengejek, memanggil sebutan nama lain, dll),

3. penolakan-kemarahan yang diprovokasi karena

dihiraukan atau tidak diikut sertakan untuk bermain

dengan yang lain;

4. material-kemarahan yang terjadi karena seseorang

merusak atau menghancurkan properti atau kepemilikan

dan ruang gerak anak lain;

5. kepatuhan-kemarahan yang diprovokasi ditanya atau

dipaksa melakukan sesuatu (contoh permintaan guru)

(p.119)

Perilaku agresif juga cenderung tumbuh pada masa

kanak-kanak awal dikarenakan kombinasi atsmosfer rumah

yang membuat stress dan tidak menstuimulasi, disiplin

yang keras, kurangnya kehangatan ibu dan dukungan

sosial, eksposur terhadap orang dewasa yang agresif dan

kekerasan di lingkungan, teman sepermainan yang

berubah-ubah, sehingga tidak memungkinkannya membangun

hubungan yang stabil. (Papalia, 2013: 415). Anak

29

merespon dari berbagai tanggapan yang berbeda pada

sumber penyebab kemarahan yang berbeda pula, konflik

atas kepemilikan menjadi penyebab paling umum dari

kemarahan dan kekerasan fisik. Keterampilan memanajemen

konflik, mengontol kemarahan, dan tanggapan konstruktif

untuk memprovokasi semua perilaku yang tampak penting

bagi instruksi keterampilan sosial.

Meskipun, perilaku positif cenderung berhubungan

dengan penerimaan teman sebaya dan perilaku negatif

cenderung dikaitkan dengan penolakan, hubungan ini

sebenarnya tidak jelas. Foster, Delawyer, dan

Guevremont (1986), contohnya seperti ketika perilaku

negatif ditemukan melebihi perilaku positif. Dalam

penelitian tentang hubungan perilaku penerimaan teman

sebaya diantara usia sekolah dasar yang dilakukan oleh

Cartledge, Frew, dan Zaharias (1985) menemukan bahwa

meskipun perilaku positif yang dilakukan oleh anak LD

seperti menjadi baik dan berkata baik namun anak LD

cenderung jarang dipilih menjadi teman dekat dalam

interaksi sosial.

Banyak anak yang menunjukkan masalah keterampilan

secara nyata dapat diterima oleh teman sebayanya,

literatur penelitian secara konsisten mengasosiasi

penolakan teman sebaya dengan tindakan agresif dan

kelakuan menyimpang serta pengabaian teman sebaya

dengan internalisasi perilaku dan gangguan kecemasan.

(Asamow, 1988; Gresham & Little, 1993; Strauss. Lahey,

30

Frick, Frame, & Hynd, 1988). Milich dan Landau (1984)

menyarankan bahwa anak yang agresif dibagi menjadi

subgroup yaitu agresif dan agresif-penyendiri. Mereka

menemukan bahwa beberapa anak laki-laki yang agresif

cenderung ditolak oleh teman sebayanya, tapi banyak

pula yang melihat hal ini secara positif. Disisi lain,

anak agresif dan anak penyendiri, mempunyai tingkat

interaksi yang rendah dan tingkat penolakan secara

signifikan lebih tinggi sehingga dianggap beresiko

paling besar pada masalah kondisi penyesuaian. Hymel,

Wagner, dan Butler (1990) menunjukkan bahwa hubungan

teman sebaya dipengaruhi oleh beberapa variabel seperti

persepsi sosial, reputasi dan popularitas.

Para ahli psikologi telah lama mempelajari

pembentukan kelompok teman sebaya dan statusnya dalam

kelompok untuk mengetahui anak-anak yang cenderung

menjadi populer. Untuk mengidentifikasi status seorang

anak dalam kelompok teman sebayanya para ahli psikologi

telah menggunakan suatu teknik yang disebut sosiometri.

Dari hasil sosio metri tersebut peneliti dapat

mengelompok status anak dalam kelompok teman sebayanya.

Para ahli perkembangan telah membedakan 5 status dalam

hubungan teman sebaya (Wentzel & Asher dalam Santrock,

2014: 430) sebagai berikut.

Anak populer (popular children) adalah yang sering

dipilih sebagai dinominasi teman terbaik dan jarang

sekali dibenci oleh teman sebayanya

31

Anak biasa (average children) adalah anak yang mendapat

nominasi jumlah angka yang sama baik itu positif dan

negative dari teman sebayanya

Anak yang diabaikan (neglected children) adalah anak yang

tidak sering dipilih sebagai nominasi teman terbaik

tapi juga bukan anak yang dibenci oleh teman

sebayanya.

Anak yang ditolak (rejected children) adalah anak-anak

yang tidak sering dipilih sebagai nominasi teman

terbaik dan secara aktif dibenci oleh teman

sebayanya.

Anak kontroversial (controversial children) adalah anak-

anak sering dipilih sebagai nominasi teman terbaik

tapi juga secara aktif dibenci oleh teman sebayanya.

Perilaku yang bisa diterima secara sempurna oleh

teman sebaya diberlakukan oleh anak-anak popular entah

bagaimana kurang dapat diterima dan kurang berkesan

ketika diberlakukan pada anak-anak yang tidak popular.

Hal itu tampaknya seperti standar ganda dalam hubungan

pada teman sebaya yang meyakinkan bahwa anak popular

akan terus melihat standar perilaku tersebut sebagai

sesuatu yang positif dan begitu pula dengan anak yang

tidak popular akan melihatnya secara negartif

seterusnya, bagaimanapun juga hal itu disebut perilaku.

Beberapa anak yang mempunyai permasalahan perilaku

mungkin masih dapat diterima sebagai teman dan bahkan

dipertimbangkan menjadi popular. Ditambah lagi, anak

32

memiliki masalah perilaku juga popular dengan teman

sebayanya, sebenarnya membutuhkan pelatihan

keterampilan sosial yang khusus dalam usaha membantu

mereka untuk menggunakn pengaruh meraka dalam teman

sebaya dalam cara yang lebih konstruktif.

Dua teknik untuk mengidentifikasi orientasi sasaran

perilaku teman sebaya adalah “kelompok anak populer”,

caranya dilakukan dengan mengamati anak-anak yang

sukses untuk menentukan apa yang mereka lakukan ketika

apa yang diinginkan gagal untuk dimiliki sebagai

“contoh yang cocok” (Holer & Cone, 1980, 1987). Sebuah

pendekatan empiris direkomendasikan oleh Weist et al.

(1991) yang digunakan dalam pemilihan sasaran perilaku

untuk anak yang dinilai kurang terkait dengan

keterampilan sosial dalam teman sebaya. Proses

selanjutnya, perilaku dari anak yang berhasil diteliti

untuk menciptakan contoh perilaku yang diinginkan dalam

konteks tertentu. Deskripsi perilaku dapat diperoleh

baik dari informan atau dari observasi langsung. Sebuah

daftar perilaku dari anak yang sukses di bandingkan

dengan sasaran kesenjangan perilaku anak yang menjadi

sasaran untuk pelatihan keterampilan sosial. Prosedur

ini telah mempunyai keuntungan yang meliputi keadaan

dari perilaku yang diinginkan. Dalam waktu yang sama

Rathjen (1984) menunjukkan bahwa pendekatan ini tidak

meyakinkan karena perilaku penting telah diidentifikasi

dengan berhasil. Identifikasi perilaku yang sering

33

dilakukan pada penelitian adalah pada bidang yang

berhubungan dengan keterampilan sosial dan kompetensi

sosial.

d. Validitas sosial

Sebuah dasar untuk memilih keterampilan sosial

yang tersirat dalam diskusi Wolf (1978) tentang

validitas sosial sebagai kriteria untuk menentukan

masalah sosial apa yang signifikan dalam upaya

perubahan perilaku. Validitas sosial terbaik menurut

Wolf, dapat dibentuk oleh konsumen atau perwakilan dari

komunitas yang relevan sesuai dengan kriteria perilaku

seperti apa yang memiliki makna sosial dalam kaitannya

dengan tujuan yang diinginkan oleh masyarakat, prosedur

yang digunakan untuk membawa perubahan perilaku yang

dapat diterima, dan efek atau hasil dari perubahan

perilaku yang memuaskan kepada konsumen yang relevan.

Schwartz dan Baer (1991) mengidentifikasi konsumen

sebagai berikut.

1. langsung dalam kasus pelatihan keterampilan sosial

anak, anak-anak itu sendiri

2. tidak langsung-teman sebaya, dan orang dewasa yang

relevan, yang dapat mencakup anggota komunitas

langsung; dan

3. keanggotaan komunitas yang luas

Terdapat resiko yang ditunjukkan apabila melakukan

program perubahan perilaku tanpa persetujuan dari

konsumen yang terlibat mengenai perilaku sasaran dan

34

prosedur yang dipilih. Konsekuensi yang merugikan dapat

mencakup keengganan untuk berpartisipasi, merusak dan

sabotase, dan kegagalan dalam perawatan jangka panjang

keterampilan.

Untuk pemilihan keterampilan validitas sosial dalam

mengajar, pandangan target anak-anak itu sendiri

sebagai konsumen langsung dan orang-orang dari kelompok

sebaya sebagai konsumen tidak langsung tentang cara-

cara yang diinginkan dalam bertindak dan merespon dalam

pertimbangan situasi interpersonal yang penting.

Keyakinan tersebut akan mempengaruhi motivasi peserta

didik dalam memperoleh alternatif perilaku dan minat

untuk melanjutkan melakukan perilaku belajar. Schwartz

dan Baer (1991) menyatakan bahwa praktisi "tidak

biasanya dan tidak benar dalam urusan membentuk nilai-

nilai konsumen kami," (202), baik mereka dan Hawkins

(1991) membahas pentingnya pendidikan konsumen sebagai

bantuan untuk penerimaan tujuan pengobatan dan

prosedur.

Akhtar dan Bradley (1991) menunjukkan bahwa

pandangan anak-anak dapat menentukan dan juga

memungkinkan tanda-tanda untuk membutuhkan pelatihan

kembali. Prosedur pertama untuk mengajar anak-anak yang

dinilai agresif misalnya, pelatih perlu

mempertimbangkan konteks sosial budaya dan nilai

keyakinan anak-anak tentang alternatif pembelajaran.

Alasan yang mungkin juga perlu diberikan kepada orang

35

dewasa (konsumen-tidak langsung seperti orang tua) jika

alternatif yang dipraktekkan di masa depan dan dalam

pengaturan lainnya.

Guru merupakan kelompok lain yang termasuk dalam

konsumen tidak langsung, serta pelaksana pelatihan

keterampilan sosial. Ada banyak data yang

menghubungkan perilaku sosial yang penting untuk

ditunjukkan guru pada anak. Berbeda dengan nilai

perilaku anak yang telah disebutkan sebelumnya, guru

lebih menekankan perilaku sosial dengan memfasilitasi

tugas mengajar keterampilan akademik pada anak. Dalam

sebuah studi oleh Milburn (1974), sekelompok guru

diberi keterampilan yang bersangkutan seperti perilaku

kooperatif, penerimaan konsekuensi, mengikuti peraturan

dan petunjuk, penghindaran konflik, dan dasar perilaku

self-help yang lebih penting. Dari hasil penelitian

tersebut, guru dinilai kurang melibatkan keterampilan

penting seperti memulai kontak dengan lainnya, ucapan

dan percakapan, bersikap tegas dalam hubungan

interpersonal, dan melakukan untuk lainnya.

Dalam salah satu penelitian awal tentang

keterampilan sosial, Hops dan Cobb (1973)

mengidentifikasi siswa sekolah dasar pada serangkaian

kelas tertentu dengan "keterampilan hidup" dimana hal

itu berkorelasi tinggi dengan keberhasilan akademis.

Keterampilan ini meliputi kehadiran, kesukarelaan

pemberian jawaban, pemenuhan permintaan guru, mengikuti

36

petunjuk guru, dan sisanya pada pemenuhan tugas. Sebuah

sekolah dengan kurikulum keterampilan hidup bagi siswa

sekolah menengah (Schaeffer, Zigmond, Kerr, & Farra,

1990; Zigmond, Kerr, Schaeffer, Brown, & Farra, 1986)

menekankan keterampilan yang sama: seperti menghadiri

kelas secara teratur; tiba tepat waktu; membawa bahan

yang diperlukan (pensil, kertas, dan buku); mengerjakan

pekerjaan tepat waktu; menggunakan buku tugas; berada

di-tugas, mengikuti petunjuk; menjawab dan mengajukan

pertanyaan.

Fakta bahwa kaum remaja secara umum mungkin tidak

menghargai keterampilan sosial yang sama seperti yang

dilakukan guru tidak berarti pengajaran keterampilan

yang dianggap penting dan harus ditinggalkan. Meadows

et al. (1991) menyatakan bahwa "komponen utama dalam

pelatihan keterampilan sosial adalah harus mengajar

anak-anak.... untuk menghargai dan berinteraksi dengan

orang dewasa, "dan sejauhmana para remaja dan guru

setuju tentang ukuran sosialisasi terhadap nilai

kedewasaan. Pada saat yang sama mereka berpendapat

bahwa siswa lebih menyukai tujuan sosial yang diberikan

secara langsung kepada mereka dengan jangka waktu lebih

panjang, pengurangan hadiah secara langsung sehingga

sekolah perlu "menyusun kembali prioritas mereka dengan

memasukkan pelatihan keterampilan sosial fokusnya pada

teman sebaya" (p.207).

37

Kazdin (1985) menunjukkan bahwa pendekatan validatas

untuk memilih sasaran perilaku pada anak perlu melihat

hasil jangka panjang (validitas prediktif) dan

fungsinya pada kegiatan sehari-hari (validitas

konkuren). Dalam menerapkan konsep validitas sosial

pada keterampilan sosial anak, Gresham (1986)

menunjukkan bahwa hasil sosial yag penting dari

pelatihan keterampilan sosial bagi anak-anak meliputi:

"(a) penerimaan teman sebaya atau popularitas, (b)

penilaian orang lain yang signifikan 'keterampilan

sosial (misalnya, orang tua, guru), dan atau (c)

perilaku sosial lainnya yang diketahui secara konsisten

berkorelasi dengan rekan penerimaan/popularitas dan

penilaian orang lain yang signifikan "(hal.7), tampak

jelas bahwa dalam memilih sasaran keterampilan sosial,

hasil yang diinginkan akan menjadi faktor utama dalam

menentukan fokus instruksional. Penekanannya bisa

sangat berbeda dengan tujuan yang diinginkan misalnya,

meningkatnya penerimaan teman sebaya berkebalikan

dengan keberhasilan kelas atau memperbaiki hubungan

keluarga.

Potensi pelatih keterampilan sosial yang telah

ditunjukkan pada bagian ini, dengan serangkaian

variabel yang hampir tidak terbatas untuk

dipertimbangkan dalam pemilihan target keterampilan

sosial. Seperti usia dan tingkat perkembangan anak,

jenis kelamin, kognitif dan perilaku defisit, konteks

38

budaya dan keterampilan situasional yang akan

diajarkan, dilihat dari teman sebaya dan orang dewasa

yang relevan, generalisasi potensi, dalam pemeliharaan

keterampilan jangka panjang menjadi pertimbangan yang

juga penting. Penganjuran metode empiris dalam

pemilihan sasaran perilaku seperti yang dijelaskan oleh

Weist et al. (1991) jika keterbatasan tersebut

berkaitan dengan waktu dan biaya maka pendekatan

praktis dilakukan dengan meninjau literatur yang

relevan dan membuat penilaian informal untuk

mengidentifikasi perilaku anak yang berhasil berkaitan

dengan keberhasilan dan kegagalan dalam suatu

lingkungan tertentu. Hughes (1986) membagi perbedaan

antara penelitian dan praktek klinis dalam pemilihan

keterampilan sasaran, yaitu "praktisi mengevaluasi

bukti penelitian atas kebenaran sosial keterampilan

yang ditargetkan.... dengan menilai apakah klien/anak

tertentu kurang dalam keterampilannya....dan upaya yang

digunakan untuk menentukan apa karakteristik individu

berkontribusi pada defisit kinerja diamati "(p.245).

Dalam memilih keterampilan sosial yang akan

diajarkan, praktisi atau peneliti akan dipandu lebih

awal dengan tujuan yang mendasari instruksi baik untuk

pencegahan, untuk perbaikan defisit, atau untuk tujuan

penelitian tertentu. Instruktur kemudian akan menilai

lingkungan untuk menentukan keterampilan yang paling

menonjol dan berlaku secara sosial untuk kesuksesan

39

dalam pengaturan tersebut dan jika relevan maka

penilaian sasaran keterampilan anak akan kurang dalam

repertoar mereka yang perlu dikembangkan untuk

keberhasilan anak.

C. Inventori Keterampilan Sosial

Sejumlah konstelasi empiris berasal dari keterampilan

sosial telah diidentifikasi dan dikembangkan menjadi

inventori keterampilan sosial, dengan instrumen

kurikulum dan penilaian yang terkait. Mungkin sulit

untuk menemukan persediaan keterampilan sosial yang

memenuhi semua kebutuhan anak individu atau kelompok

tertentu pada satu waktu karena sejumlah variabel yang

terlibat banyak dalam menentukan pemilihan perilaku

sosial. Kemungkinkan diperlukan menambah lebih banyak

perilaku positif atau menghilangkan beberapa perilaku

yang tidak relevan dengan anak atau situasi sosial.

Inventori dan kurikulum yang diterbitkan dapat

memberikan tempat yang berguna untuk memulai.

“Program pertumbuhan sosial Raja dan Kirschenbaum”

(1992) adalah program intervensi awal yang ditujukan

untuk anak-anak kelas primer. Isinya meliputi: Siapa

aku? (Pengembangan pemahaman diri dan citra diri yang

positif); Siapakah kita: Apa keterampilan sosial? (Arti

dan pentingnya perilaku sosial yang positif);

Mendengarkan secara aktif; Pijat hangat; Mengajukan

pertanyaan; Berbagi perasaan; Berdiri saya; Kontrol

40

Diri; Pemecahan masalah sosial. Fiechtl, Innocenti, dan

Peraturan (1987) telah mengembangkan keterampilan untuk

Sukses Sekolah yaitu kurikulum untuk membantu anak-anak

prasekolah penyandang cacat dalam masa transisi ke TK.

Bidang kegiatan dibagi menjadi keterampilan komponen

atau tugas dengan kriteria kinerja berdasarkan

kecepatan dan akurasi yang biasanya berkembang anak

melakukan keterampilan (Peraturan, Fiechtl, &

Immocenti, 1990) Sembilan bidang kegiatan meliputi:

1. Rutinitas masuk (menggantung mantel, memilih

mainan, dan bermain sampai guru sinyal aktivitas

berikutnya);

2. Urutan tugas (individual menyelesaikan serangkaian

tugas mengumumkan hari);

3. Ikrar kesetiaan;

4. Kegiatan lingkaran kelompok (diskusi cuaca, dll);

5. Tugas Individu;

6. Kegiatan kelompok besar dengan menggunakan

kurikulum yang tersedia secara komersial;

7. Tugas Workbook;

8. Kegiatan waktu tenang (aktivitas-anak dipandu-anak

yang dipilih); dan

9. Kegiatan transisi (mendapatkan mantel dan bahan

untuk dibawa pulang, berbaris, dan berjalan di garis

melalui bangunan) (hlm. 81)

Model perkembangan pembelajaran bagi siswa penyandang

cacat sosial, emosional, atau perilaku (Wood, 1975,

41

1986) menyajikan beberapa tujuan perilaku tertentu dan

tujuan yang sesuai dengan lima tahap pengembangan, yang

diidentifikasi pada usia pra sekolah sampai usia 16;

tahap ini tidak melibatkan korespondensi kaku antara

usia dan tingkat perkembangan. Ada empat bidang

kurikulum untuk setiap tahap: perilaku, komunikasi,

sosialisasi, dan (pra) akademisi. Tabel 1-1 menguraikan

tujuan untuk setiap tahap.

Inventori keterampilan yang paling banyak diterbitkan

ditujukan untuk anak usia sekolah. Salah satu yang

paling awal adalah inventoris keterampilan sosial

Stephens dan kurikulum (1978,1992) yang merupakan

instrumen penilaian juga dikembangkan (Stephens, 1992:

Stephens & Arnold, 1991). Perilaku dikelompokkan

menjadi empat kategori utama (interpersonal, perilaku

diri terkait lingkungan, dan tugas yang berhubungan),

selanjutnya dianalisis dalam 30 subkategori dan 136

keterampilan khusus. Tabel 1-2 berisi judul

subkategori. Tanggapan khusus telah diidentifikasi

untuk setiap subkategori. Sebuah tindak kategori

sampel, daftar subkategori, dan keterampilan (1992,

halaman 187):

Kategori utama : PERILAKU INTERPERSONAL

Subkategori : Bermain Informal

Keterampilan : Untuk meminta siswa lain untuk bermain

di tempat bermain

Untuk meminta untuk dimasukkan dalam

42

kegiatan bermain berlangsung

Untuk berbagi mainan dan peralatan dalam

situasi bermain

Menyerah pada kelompok wajar keinginan

dalam situasi bermain

Untuk menunjukkan suatu kegiatan untuk

kelompok di tempat bermain

TABEL 1-1 Tujuan pada Bidang Kurikulum

TUJUAN TINGKAH

LAKU

KOMUNIKASI SOSIALISAS

I

(PRE)

AKADEMISIMenangg

api

lingkun

gan

dengan

kesenan

gan

Memperca

yai

keteramp

ilan

tubuh

Menggunaka

n kata-

kata untuk

mendapatka

n

kebutuhan

Mempercaya

i orang

dewasa

cukup

untuk

merespon

Menanggapi

lingkungan

dengan

proses

klasifikasi

,

diskriminas

i, bahasa

reseptif

dasar dan

koordinasi

tubuh.Menangg

api

lingkun

gan

dengan

Berhasil

berparti

sipasi

dalam

rutinita

Menggunaka

n kata

untuk

mempengaru

hi orang

Berpartisi

pasi dalam

kegiatan

dengan

lainnya

Berpartisip

asi dalam

kelompok

dengan

bahasa

43

sukses s lain

dengan

cara yang

konstrukti

f

ekspresif

dasar, dan

proses

pemesanan,

mengklasifi

kasikan,

dan

penomoran.Belajar

keteram

pilan

untuk

partisi

pasi

kelompo

k yang

sukses

Menerapk

an

keteramp

ilan

individu

berhasil

dalam

kelompok

proses-

proses

Menggunaka

n kata-

kata untuk

mengekspre

sikan diri

dalam

kelompok

Menemukan

kepuasan

dalam

kegiatan

kelompok

Berpartisip

asi dalam

kelompok

dengan

dasar

konsep

bahasa

ekspresif.

Investa

si

dalam

proses

kelompo

k

Upaya

kontribu

si

individu

untuk

sukses

kelompok

Menggunaka

n kata-

kata untuk

mengekspre

sikan

kesadaran

hubungan

antara

perasaan

Berpartisi

pasi

secara

spontan

dan

berhasil

sebagai

anggota

kelompok

Berhasil

menggunakan

tanda-tanda

dan simbol-

simbol

dalam

pekerjaan

sekolah

formal dan

44

dan

perilaku

dalam diri

dan orang

lain yang

berpartisi

pasi

secara

spontan

dan

berhasil

sebagai

anggota

kelompok

pengalaman

kelompok.

Menerap

kan

keteram

pilan

individ

u dan

kelompo

k

berhasi

l dalam

situasi

baru

Menangga

pi

pengalam

an hidup

kritis

dengan

adaptif,

perilaku

konstruk

tif

Menggunaka

n kata-

kata untuk

membangun

dan

memperkaya

hubungan

Memulai

dan

mempertaha

nkan

hubungan

peer group

yang

efektif

independen

Berhasil

menggunakan

tanda-tanda

dan simbol-

simbol

pengalaman

sekolah

formal dan

pengayaan

pribadi

45

TABEL 1-2 Perilaku Kategori dan Subkategori

Cukup terkait Perilaku Perilaku Lingkungankonsekuensi menerima

perilaku etis

mengekspresikan perasaan

Sikap positif terhadap

diri sendiri

Perilaku tugas yang

berhubungan

Bertanya dan menjawab

pertanyaan

perilaku hadir

diskusi kelas

menyelesaikan tugas-tugas

mengikuti arah

kegiatan kelompok

bekerja independen

Pada perilaku tugas

Pertunjukan sebelum orang

lain

Kualitas kerja

Perawatan lingkungan

Berurusan dengan keadaan

darurat

perilaku ruang makan

Gerakan sekitar

lingkungan

Perilaku Interpersonal

menerima otoritas

Mengatasi konflik

mendapatkan perhatian

salam lain

membantu orang lain

membuat percakapan

bermain terorganisir

Sikap positif terhadap

orang lain

bermain secara informal

Properti: sendiri dan

Untuk daftar lengkap keterampilan, pembaca disebut

Keterampilan Sosial Daftar di Lampiran C. Sebuah daftar

keterampilan sosial yang dikembangkan oleh Walker juga

membentuk dasar untuk kurikulum (Walker, McConnell,

Holmes, Todis, Walker, & Golden, 1983). Target populasi

terdiri dari anak-anak dengan ringan sampai sedang

46

cacat di kelas-kelas sekolah dasar. Daftar keterampilan

mereka dikembangkan melalui proses validasi sosial di

mana guru diberi nilai pentingnya perilaku sosial

tertentu untuk sukses kelas (Milburn, 1974: Walker et

al, 1983.). Berdasarkan analisis korelasi penerimaan

teman sebaya di sekolah dasar (Hartup, 1970), LaGreca

dan rekan (LaGreca & Mezibov, 1979; LaGreca &

Santogrossi, 1980) mengidentifikasi sembilan area untuk

instruksi keterampilan sosial yang berkontribusi

terhadap hubungan rekan positif. Mereka juga membagi

ini menjadi komponen keterampilan. Sembilan bidang

antara lain:

Smilling dan tertawa dengan rekan-rekan

Ucapan lain

Bergabung kegiatan yang sedang berlangsung

Undangan Memperluas

Keterampilan Percakapan

Berbagi dan kerjasama

Memuji Verbal

Keterampilan Putar

Penampilan fisik / perawatan

TABEL Keterampilan 1-3 dari Anak Cacat

Wilayah I:

Keterampilan Kelas

Mendengarkan guru (duduk

diam dan melihat...)

Ketika guru meminta Anda

untuk melakukan sesuatu

47

(Anda harus melakukannya)

Melakukan pekerjaan terbaik

(mengikuti petunjuk dan

menulis hampir)

Mengikuti peraturan kelasWilayah II:

Keterampilan

Interaksi Dasar

Kontak mata

Menggunakan suara yang tepat

Mulai (mencari seseorang

untuk diajak bicara)

Mendengarkan (lihat orang

dan memperhatikan)

Menjawab (mengatakan sesuatu

setelah seseorang berbicara

kepada Anda)

Membuat akal (berbicara

tentang hal yang sama)

Bergiliran berbicara

Mengajukan pertanyaan

Melanjutkan untuk berbicara

(menjaga berbicara akan)Wilayah III:

Mendapatkan Seiring

Keterampilan

Menggunakan kata-kata yang

sopan (mengatakan hal-hal

baik pada waktu yang tepat)

Berbagi

Aturan Mengikuti (semua

orang memainkan permainan

dengan cara yang sama)

48

Membantu orang lain

(melakukan hal-hal baik

untuk orang lain ketika

mereka perlu membantu

Menyentuh dengan cara yang

benarWilayah IV: Membuat

Teman

Baik perawatan (mencuci

tangan dan muka. Sikat gigi,

memakai pakaian bersih)

Tersenyum

Memuji

Pembuatan Persahabatan

(mulai, bergantian

berbicara, mengundang)Wilayah V:

Keterampilan

Mengatasi

Ketika seseorang mengatakan

tidak (menemukan cara lain

untuk bermain)

Ketika Anda mengekspresikan

kemarahan

Ketika seseorang menggoda

Ketika seseorang mencoba

untuk menyakiti Anda

Ketika seseorang meminta

Anda untuk melakukan sesuatu

yang tidak dapat Anda

lakukan

Ketika sesuatu tidak

49

berjalan tepat

Komponen keterampilan untuk "Bergabung Urutan (Joining

Sequence)" meliputi:

Senyum

Lihatlah orang

Gunakan nama mereka

Berdiri dekat-oleh

Greet hem

Meminta untuk bergabung baik (misalnya, "Dapatkah

saya duduk dengan Anda?")

Ajukan pertanyaan untuk memasuki pembicaraan

Kelompok keterampilan memiliki remaja agresif

sebagai target populasi, tetapi berlaku untuk anak-anak

muda sebagai dengan baik. Keterampilan ini merupakan

dasar untuk dasar untuk kurikulum Skillstreaming yang

Goldstein dan rekan-rekannya menjelaskan dan juga telah

diadaptasi untuk digunakan dengan anak-anak muda

(McGinnis & Goldstein, 1984). Setiap keterampilan

dianalisis dalam serangkaian langkah-langkah perilaku

yang dapat diterjemahkan ke dalam tujuan pengajaran

tertentu. Para AKSES kurikulum Walker, Todis, Holmes,

dan Horton (1983) adalah program lain yang mengajarkan

keterampilan yang dirancang untuk membantu remaja

dengan manajemen diri dan hubungan dengan teman sebaya

dan orang dewasa.

50

Ada kesamaan yang cukup besar antara banyak

persediaan ini dan kurikulum, bahkan mengambil populasi

dimaksudkan berbeda menjadi pertimbangan. Sebagian

besar multidimensional, termasuk perilaku diamati

spesifik dan proses kognitif dan afektif. Beberapa

perilaku tambahan yang terkait dengan dimensi kognitif

atau afektif keterampilan sosial dijelaskan berikutnya.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Keterampilan sosial dapat berperan menjadi sebuah

alat yang terdiri dari kemampuan berinteraksi,

berkomunikasi secara efektif baik secara verbal maupun

nonverbal, kemampuan untuk dapat menunjukkan perilaku

yang baik, serta kemampuan menjalin hubungan baik

dengan orang lain digunakan seseorang untuk dapat

berperilaku sesuai dengan apa yang diharapkan oleh

sosial. Keterampilan sosial dan kompetensi sosial

mempunyai perbedaan pada penilaian dan identifikasi

perilakunya serta konstruk multi level dan perilaku

yang spesifik. Faktor dalam pemilihan keterampilan

51

sosial meliputi karakteristik individu (seperti kurang

keterampilan (skill deficit), jenis kelamin, umur dan

tingkat perkembangan siswa) dan faktor sosial (seperti

keterampilan digunakan, validitas sosial- keabsahan,

pandangan peserta didik, dari kelompoknya, orang dewasa

yang berperan).

Dalam pengembangan keterampilan sosial dilakukan

dengan inventoris keterampilan sosial, program ini

dilakukan untuk memenuhi kebutuhan anak pada

keterampilan sosialnya. Salah satu programnya adalah

“Program pertumbuhan sosial Raja dan Kirschenbaum”

(1992) adalah program intervensi awal yang ditujukan

untuk anak-anak kelas primer. Program tersebut mencakup

pengembangan pemahaman diri dan citra diri yang

positif, arti dan pentingnya perilaku sosial yang

positif, Mengajukan pertanyaan; Berbagi perasaan;

Berdiri saya; Kontrol Diri; Pemecahan masalah sosial.

Selain itu pengembangan kurikulum untuk anak pra dan

usia sekolah dilakukan sebagai upaya invetoris

keterampilan sosial.

B. Saran

Dengan melihat kondisi pembelajaran di Indonesia

saat ini, maka sangat diperlukan adanya program dan

kurikulum yang dapat mengembangkan keterampilan sosial

anak sejak dini. Untuk itu perlunya guru supaya lebih

52

mempelajari tentang pengembangan keterampilan sosial

dan juga peran orang tua.

DAFTAR PUSTAKA

Literatur Utama:

Cartledge, G. & Milburn, J.F. (1995). Teaching social skill tochildren and youth. Boston: Allyn and Bacon.

Literatur Pendukung :

Berk, Laura E. (2008). Infants, Children, and Adolescents 6th

Edition. Boston: Pearson Education Inc.

Desmita. (2012). Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: PT Remaja Rosdakarya

Papalia D.E, Olds, dan Fieldman R.D. (2013). HumanDevelopment 10th Edition Perkembangan Manusia Edisi ke-10.Jakarta : Salemba Humanika

Peterson, Candida C. (2014). Looking Forward through TheLifespan Developmental Psychology 6th Edition. Australia :Pearson.

Rita, dkk. (2008). Perkembangan Peserta Didik. Yogyakarta :UNY Press.

Santrock, John W. (2011). Child Development. New York: McGraw- Hill International Edition.

Sugihartono. (2007). Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: UNYPress.

53