PENGAWASAN BIMBINGAN DAN KONSELING DI SEKOLAH/MADRASAH

144
PENGAWASAN BIMBINGAN DAN KONSELING DI SEKOLAH/MADRASAH Oleh: Abu Bakar M Luddin Dosen Fakultas tarbiyah IAIN Sumatera Utara Jl. Willem iskandar Psr V Medan Estate Abstract Controlling for the guidance and counseling aim to give a self development facility, and a school counselor’s skill to increase a counselor’s competence and to increase to be responsibility in counseling and make a program guidance service. Getting that the purpose a school controller for the guidance and counseling can use some approximation there are to do assessment, to prevention, to motivate, and to give reinforcement for knowing an advantages from the program and implementation from guidance and counseling in the school had achieved and knew a progress and weakness, and had preventative steps to avoided deviation because to prevented is better than repaired. Key words: Pengawasan, guidance and counseling in the school, counselor PENDAHULUAN Pendidikan merupakan suatu keharusan bagi manusia, terutama anak-anak yang belum dewasa, baik sebagai makluk individual maupun sebagai makhluk sosial. Dalam masyarakat yang kompleks keluarga menghadapi masalah, sehingga muncul kebutuhan baru untuk memberikan pendidikan bagi anak secara khusus dalam rangka mempersiapkan mereka memasuki masyarakat dalam arti dapat berdiri sendiri dan dapat hidup layak bersama-sama orang lain. Respons yang timbul dalam memenuhi kebutuhan itu biasanya berupa usaha menyelenggarakan sekolah dengan suatu organisasi yang teratur, di luar lingkungan keluarga masing-masing. Kegiatan pendidikan dilingkungan sekolah diatur bersama-sama sehingga merupakan kegiatan yang sengaja, berencana dan sistematis serta terarah pada suatu tujuan yang disepakati bersama (Atmodiwirio, 2000).

Transcript of PENGAWASAN BIMBINGAN DAN KONSELING DI SEKOLAH/MADRASAH

PENGAWASAN BIMBINGAN DAN KONSELING DISEKOLAH/MADRASAH

Oleh:

Abu Bakar M LuddinDosen Fakultas tarbiyah IAIN Sumatera Utara

Jl. Willem iskandar Psr V Medan Estate

AbstractControlling for the guidance and counseling aim to give a self development

facility, and a school counselor’s skill to increase a counselor’s competence and toincrease to be responsibility in counseling and make a program guidance service.Getting that the purpose a school controller for the guidance and counseling can usesome approximation there are to do assessment, to prevention, to motivate, and to givereinforcement for knowing an advantages from the program and implementation fromguidance and counseling in the school had achieved and knew a progress andweakness, and had preventative steps to avoided deviation because to prevented isbetter than repaired.Key words: Pengawasan, guidance and counseling in the school, counselor

PENDAHULUAN

Pendidikan merupakan suatu keharusan bagi manusia, terutama anak-anak yang

belum dewasa, baik sebagai makluk individual maupun sebagai makhluk sosial. Dalam

masyarakat yang kompleks keluarga menghadapi masalah, sehingga muncul kebutuhan

baru untuk memberikan pendidikan bagi anak secara khusus dalam rangka

mempersiapkan mereka memasuki masyarakat dalam arti dapat berdiri sendiri dan dapat

hidup layak bersama-sama orang lain. Respons yang timbul dalam memenuhi

kebutuhan itu biasanya berupa usaha menyelenggarakan sekolah dengan suatu

organisasi yang teratur, di luar lingkungan keluarga masing-masing. Kegiatan

pendidikan dilingkungan sekolah diatur bersama-sama sehingga merupakan kegiatan

yang sengaja, berencana dan sistematis serta terarah pada suatu tujuan yang disepakati

bersama (Atmodiwirio, 2000).

Keluarga dan sekolah/madrasah dalam menyelenggarakan kegiatan pendidikan,

pada dasarnya merupakan dua jalan yang terarah pada satu tujuan. Tujuan akhir

kegiatan pendidikan itu adalah kedewasaan anak, baik sebagai makhluk individual dan

makhluk sosial maupun sebagai makhluk yang bermoral. Wujud dari kedewasaan yang

hendak dicapai secara umum bersifat sama yakni berupa kemampuan berdiri sendiri

dalam menjalani dan menjalankan kehidupan bermasyarakat. Kemampuan berdiri

sendiri itu berarti mampu bertanggungjawab atas tingkah laku atau perbuatan sendiri,

baik terhadap diri sendiri dan masyarakat maupun terhadap Allah SWT, sehingga

mencapai kebahagiaan hidup lahir dan batin bagi diri sendiri beserta keluarganya di

masyarakat.

Usaha menyelenggarakan sekolah untuk memberikan bekal kepada anak-anak

agar dapat memasuki kehidupan bermasyarakat, perkembangannya seirama dengan

perkembangan masyarakat masing-masing. Salah satu kecenderungan hidup

bermasyarakat adalah munculnya usaha untuk mengatur dan menyusun organisasi

kehidupan bersama yang manifestasinya dalam bentuk terbesar disebut Negara dengan

suatu sistem pemerintahan. Pemerintahan suatu Negara berusaha menentukan kebijakan

terhadap semua aspek kehidupan masyarakatnya, termasuk dalam aspek pendidikan

warga negaranya. Dalam pendidikan ditetapkan bahwa pendidikan nasional berfungsi

mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang

bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidkan mempunyai

tanggungjawab untuk mengembangkan kepribadian dalam upaya meningkatkan sumber

daya manusia, maka pendidikan dilaksanakan melalui kegiatan pengajaran, bimbingan

dan latihan. Undang-undang sistem pendidikan nasional no 20 tahun 2003 menyatakan:

pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya

untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,

kecerdasan akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,

bangsa dan negara.

Untuk mewujudkan ketiga kegiatan di atas yaitu pengajaran, bimbingan dan

latihan pemerintah khususnya pendidikan nasional menyediakan kurikulum sekolah dan

untuk pelaksanaan bimbingan dan konseling tahun 1996 dikeluarkan petunjuk teknis

pengelolaan bimbingan dan konseling yang berisi pelayanan bimbingan dan konseling

serta cara pelaksanaannya dengan rincian materi secara luas dan lengkap yang mengacu

kepada BK pola 17 yaitu satu wawasan bimbingan yang meliputi (pengertian, tujuan,

fungsi, prinsip-prinsip, asas dan landasan bimbingan dan konseling), dengan empat

bidang yaitu bidang bimbingan pribadi, sosial, belajar dan karier, dengan sembiln jenis

layanan (orientasi, informasi, penempatan/penyaluran, pembelajaran, konseling

individu, bimbingan kelompok, konseling kelompok, konsultasi dan mediasi) ,serta

enam jenis kegitan pendukung yaitu (instrumentasi bimbingan dan konseling, himpunan

data, konferensi kasus, kunjungan rumah, tampilan pustaka dan alih tangan kasus

(Belkin, 1976).

Bimbingan dan konseling pola 17 plus ini dimaksudkan sebagai pedoman

konselor di sekolah. Undang-undang Sisdiknas No 20 tahun 2003, ayat 6 berbunyi

pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor,

pamong belajar, widyasuara, tutor, instruktur, fasilitator. Dengan keluarnya undang-

undang sisdiknas ini, ada perbedaan sebutan untuk konselor dan guru pembimbing,

perbedaannya adalah konselor sebagai petugas bimbingan dan konseling di sekolah

yang berlatar belakang pendidikan bimbingan dan konseling, sedangkan guru yang

ditugaskan oleh kepala sekolah sebagai guru pembimbing dan guru pembimbing

bersangkutan bukan konselor karena tidak berlatar belakang pendidikan bimbingan dan

konseling. Peraturan menteri pendidikan nasional nomor 27 tahun 2008 menyatakan

bahwa tugas konselor berada dalam kawasan pelayanan yang bertujuan

mengembangkan potensi dan memandirikan konseli dalam pengambilan keputusan dan

pilihan untuk mewujudkan kehidupan yang produktif, sejahtera dan peduli

kemaslahatan umum. Pelayanan yang dimaksud adalah pelayanan bimbingan dan

konseling. Konselor adalah pengampu pelayanan ahli bimbingan dan konseling

terutama dalam jalur pendidikan formal dan non formal (Boyd, 1978)

Bimbingan dan konseling pola 17 plus sebagai pedoman di sekolah diharapkan

konselor sekolah dapat merencanakan, melaksanakan, mengevaluasi serta

menindaklanjuti secara cermat dan tepat sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan

siswa serta tujuan bimbingan dan konseling di sekolah. Konselor sebagai pejabat

fungsional dituntut dapat melaksanakan tugas-tugas pokoknya secara profesional. Lebih

lanjut Permendiknas no 27 tahun 2008 menyatakan bahwa sosok utuh kompetensi

konselor mencakup kompetensi akademik merupakan landasan ilmiah dari kiat

pelaksanaan pelayanan profesional bimbingan dan konseling. Kompetensi akademik

merupakan landasan bagi pengembangan kompetensi profesional yang meliputi: (1)

memahami secara mendalam konseli yang dilayani, (2) menguasai landasan dan

kerangka teoritik bimbingan dan konseling, (3) menyelenggarakan pelayanan

bimbingan dan konseling yang memandirikan, (4) mengembangkan pribadi dan

profesionalitas konselor secara berkelanjutan. Untuk itu demi lancarnya pelaksanaan

dan tingginya tingkat keberhasilan kegiatan bimbingan dan konseling di sekolah, perlu

terus menerus mendapatkan pembinaan serta dikembangkan sejalan dengan

perkembangan ilmu dan teknologi yang mendasari pelayanan dalam bidang bimbingan

dan konseling. Oleh karena itu kegiatan pengawasan yang berintikan pembinaan

mempunyai peranan penting. Pengawasan dituntut mendorong dan mengangkat

konselor untuk setiap kali meningkatkan wawasan, pengetahuan, keterampilan, nilai dan

sikap serta keprofesionalannya. Untuk itu perlu adanya pegawasan kegiatan bimbingan

dan konseling di sekolah dan madrasah. (Prayitno, 1997)

Sebagai pedoman kerja pengawas sekolah melalui Keputusan menteri

pendayagunaan aparatur Negara nomor: 118/119 tentang jabatan fungsional pengawas

sekolah dan angka kreditnya dan surat keputusan bersama menteri pendidikan dan

kebudayaan dan kepala badan administrasi kepegawaian Negara nomor:0322/0/1996

dan nomor: 38 tahun 1996 tentang petunjuk pelaksanaan jabatan fungsional pengawas

sekolah dan angka kreditnya serta keputusan menteri pendidikan dan kebudayaan

Republik Indonesia nomor: 020/U/1998, tentang petunjuk teknis pelaksanaan jabatan

fungsional pengawas sekolah/madrasah dan angka kreditnya.

Khusus untuk pengawas sekolah bidang bimbingan dan konseling tugas

pokoknya antara lain: melaksanakan identifikasi hasil pengawasan sebelumnya,

mengolah dan menganalisis hasil pengawasan, merumuskan rancangan program,

menyempurnakan dan menetapkan program, menyusun program semesteran/tahunan,

menyusun kisi-kisi instrumen penilaian, menyusun instrumen penilaian, melaksanakan

uji coba instrumen penilaian, menyempurnakan instrumen penilaian, melaksanakan

penilaian data bimbingan siswa, mengolah data bimbingan siswa, melaksanakan analisis

faktor yang mempengaruhi bimbingan siswa, melaksanakan analisis hasil bimbingan

siswa dan kemampuan guru pembimbing, memberikan arahan kepada guru pembimbing

tentang pelaksanaan proses bimbingan siswa, memberikan contoh pelaksanaan tugas

guru pembimbing dalam melaksanakan bimbingan siswa, memberikan saran untuk

meningkatkan kemampuan profesional guru pembimbing, membina pelaksanaan dan

pemeliharaan lingkungan sekolah, melaksanakan evaluasi pengawasan, membina

pelaksanaan pengelolaan sekolah, memantau dan membimbing pelaksanaan siswa baru,

memantau dan membimbing pelaksanaan UAS/UN, memberikan saran penyelesaian

kasus, khusus di sekolah, memberikan bahan dalam akreditasi sekolah, melaksanakan

evaluasi hasil pengawasan seluruh sekolah, melaksanakan kegiatan karya tulis/karya

ilmiah dalam bidang bimbingan dan konseling, menciptakan karya seni yang berkaitan

dengan bidang bimbingan dan konseling, menemukan teknologi tepat guna dalam

bidang bimbingan dan konseling.

BIMBINGAN DAN KONSELING DI SEKOLAH

Dalam pasal 1 ayat 1 UU N0 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional

dinyatakan, pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui

kegiatan bimbingan, pengajaran dan/atau latihan bagi perannya di masa yang akan

datang. Dalam hal ini, kata “bimbingan” diwujudkan dalam bentuk pelayanan

bimbingan dan konseling di sekolah yang bertujuan untuk mengembangkan kepribadian

peserta didik dalam upaya menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas yang

bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,. Bimbingan dan konseling merupakan salah

satu aspek dari pendidikan yang bertujuan untuk membantu siswa agar berkembang

secara optimal. PP NO :29/1990 tentang pendidikan menengah, Bab X: Bimbingan

pasal 27 ayat 1, Bimbingan merupakan bantuan yang diberikan kepada siswa dalam

rangka upaya menemukan pribadi, mengenal lingkungan dan merencanakan masa

depan.

Bantuan yang diberikan melalui bimbingan dan konseling diarahkan kepada

penguasaan sejumlah kompetensi yang diperlukan dalam mencapai tujuan pendidikan,

seperti kompetensi fisik, intelektual, sosial, pribadi dan spiritual. Kompetensi ini harus

terwujud dalam setiap diri individu, Prayitno dkk (1997), mengemukakan bahwa upaya

bimbingan dan konseling memungkinkan peserta didik untuk mandiri dengan ciri-ciri

mengenal dan menerima diri sendiri, mengenal dan menerima lingkungannya secara

positif dan dinamis, mengarahkan diri sendiri secara efektif dan produktif dalam

merencanakan kehidupan yang lebih baik di masa depan.

Pelaksanaan bimbingan dan konseling di sekolah yang berisi pelayanan

bimbingan dan konseling serta cara pelaksanaannya dengan rincian materi secara luas

dan lengkap yang mengacu kepadsa BK pola 17 plus, yaitu satu wawasan bimbingan

yang meliputi (pengertian, tujuan, fungsi, prinsip-prinsip, asas dan landasan bimbingan

dan konseling), dengan empat bidang yaitu bidang bimbingan pribadi, sosial, belajar

dan karier, dengan sembilan jenis layanan (orientasi, informasi, penempatan/penyaluran,

pembelajaran, konseling individu, bimbingan kelompok, konseling kelompok,

konsultasi dan mediasi) serta enam jenis kegitan pendukung yaitu (instrumentasi

bimbingan dan konseling, himpunan data, konferensi kasus, kunjungan rumah, alih

tangan kasus dan tampilan pustaka).

TUGAS KONSELOR DI SEKOLAH

Konselor sekolah mempunyai tugas, tamggungjawab, wewenang dan hak secara

penuh dalam kegiatan bimbingan dan konseling terhadap sejumlah peserta didik.

Pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah merupakan kegiatan untuk membantu

siswa dalam upaya menemukan dirinya penyesuaian terhadap lingkungan serta dapat

merencanakan masa depannya. Untuk selanjutnya pelayanan bimbingan dan konseling

di sekolah diharapkan siswa dapat mencapai sukses di bidang akademik, sukses dalam

persiapan karier dan sukses dalam hubungan kemasyarakatan.

Menurut Ericson dalam Mortensen dan Schmuller (1964) menjelaskan bahwa

kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah meliputi: individual inventory,

the counseling, the information servis, the placement services and the follow up

services. Pelayanan bimbingan dan konseling mencakup pengumpulan data individual,

konseling, layanan informasi, layanan penempatan dan layanan tindak lanjut. Demikian

pula prayitno (1987) menyatakan peranan dan fungsi konselor yang sangat luas itu,

secara keseluruhan dilakukan melalui kegiatan konseling individual, bimbingan dan

konseling kelompok, perencanaan pendidikan dan pengambilan mata pelajaran,

bimbingan dan konseling karier, pengukuran, penilaian dan testing, konsultasi,

koordinasi membuat hubungan antar lembaga dan alih tangan, hubungan masyarakat

dan pengembangan profesional. Selanjutnya Belkin (1976) menyatakan, the school

counselor to be effectif, must recognize his responsibilities to all students, including the

feeling student, the disruptive student, the potensial drop out, the student with and

emosional problem, the student with a learning difficulty, as well as the gifted student,

the average student, the withdrawn and sky student, and the student who does nothing

during the courses at his studies to atfract the attention at the counselor or other school

personnel.

Penjelasan Belkin tersebut mengandung maksud bahwa konselor sekolah harus

bertanggungjawab atas keberhasilan semua siswa, baik siswa yang mengemukakan

perasaan tidak puas, berpotensi untuk keluar dari sekolah, permasalahan emosional,

kesulitan belajar, siswa yang memiliki berbagai bakat, kemampuan rata-rata, menarik

dan patuh dan siswa yang tanpa permasalahan dalam belajar serta memperhatikan

personil sekolah lainnya. Manakala Prayitno (1990) memaparkan konselor sekolah

adalah generalis, dalam arti tugas konselor mengait pada keseluruhan wilayah kegiatan

sekolah dan oleh karena itu konselor perlu menguasai sejumlah pengetahuan dan

prosedur yang menyangkut program sekolah secara menyeluruh.

Gibson dan Mitchell (1987) mengemukakan tugas konselor sekolah yaitu:

accesment of the individual and other characteristics, counseling the individual, group

counseling and guidance activities, career guidance, including the providing of

accupational-educational information, placement, follow up and accountability-

evaluation and consultation with teacher and other school personnels, parents, pupils,

in group and apporiate community agencies. Maksudnya bahwa tugas konselor sekolah

adalah mengenali siswa dengan berbagai karakteristiknya, melakukan konseling

perorangan, melakukan bimbingan dan konseling kelompok, melaksanakan bimbingan

karier termasuk informasi pendidikan dan pekerjaan, penempatan, tindak lanjut dan

melaksanakan penilaian, konsultasi dengan guru dan personil sekolah lainnya, orangtua,

siswa, kelompok organisasi masyarakat.

Sebagai pelaksana utama tenaga inti dan ahli konselor bertugas: 1)

memasyarakatkan pelayanan bimbingan dan konseling, 2) merencanakan program

bimbingan dan konseling, terutama program-program satuan layanan dan satuan

kegiatan pendukung, untuk satuan-satuan waktu tertentu, program tersebut dikemas

dalam program mingguan, bulanan semester dan tahunan, 3) melaksanakan segenap

program satuan layanan bimbingan dan konseling, 4) melaksanakan segenap program

satuan kegiatan pendukung bimbingan dan konseling, 5) menilai proses dan hasil

pelaksanaan satuan layanan dan kegiatan pendukung bimbingan dan konseling, 6)

menganalisis hasil penilaian layanan dan kegiatan pendukung bimbingan dan konseling,

7) melaksanakan tindak lanjut berdasarkan hasil peneliaian layanan dan kegiatan

pendukung bimbingan dan konseling, 8) mengadministrasikan kegiatan satuan layanan

dan kegiatan pendukung bimbingan yang dilaksanakannya, 9)

mempertanggungjawabkan tugas dan kegiatannya dalam pelayanan bimbingan dan

konseling secara menyeluruh kepada koordinator bimbingan dan konseling serta kepada

kepala sekolah (Prayitno, 1997).

Untuk terlaksananya bimbingan dan konseling yang optimal di sekolah,

pemerintah melalui surat keputusan bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan

Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara nomor: 0433/P/1993, tentang

petunjuk pelaksanaan jabatan fungsional guru dan angka kreditnya serta keputusan

Menteri pendidikan dan kebudayaan Republik Indonesia nomor: 025/O/1995 tentang

petunjuk teknis ketentuan pelaksanaan fungsional guru dan angka kreditnya,

menetapkan tugas pokok konselor sekolah adalah: a) menyusun program bimbingan dan

konseling, b) melaksanakan bimbingan dan konseling, c) mengevaluasi hasil

pelaksanaan bimbingan dan konseling, d) menganalisis hasil evaluasi pelaksanaan

bimbingan dan konseling dan tindak lanjut pelaksanaan bimbingan dan konseling, e)

membimbing siswa dalam kegiatan ekstra kurikuler, f) membimbing guru dalam proses

bimbingan dan konseling, g) melaksanakan tertentu di sekolah, h) melaksanakan tugas

di wilayah terpencil, i) membuat karya tulis/karya ilmiah di bidang pendidikan, j)

menemukan teknologi tepat guna di bidang pendidikan, k) membuat alat bimbingan, l)

menciptakan karya seni, m) ikut serta dalam pengembangan kurikulum.

Menurut Surya (1995) profil yang harus dimiliki oleh konselor sekolah adalah

memiliki semangat juang yang tinggi, mampu mewujudkan dirinya yang didasari

keterkaitan dan padanan dengan tuntutan lingkungan dan perkembangan iptek, mampu

belajar dan bekerja sama antar profesi lain, memiliki etos kerja kuat, memiliki kejelasan

dan kepastian pengembangan jenjang karier, berjiwa profesionalisme tinggi, memiliki

kesejahteraan lahir dan batin, memiliki wawasan masa depan, mampu melaksanakan

fungsi dan peranannya secara terpadu.

PENGAWASAN BIDANG BIMBINGAN DAN KONSELING

Pengawasan merupakan salah satu kegiatan manajemen setelah perencanaan,

pengorganisasian, penyusunan personalia dan pengarahan. Pelaksanaan setiap fungsi

manajemen memerlukan pengawasan, sehingga pengawasan merupakan proses kegiatan

untuk mengetahui seberapa jauh perencanaan dapat dicapai atau dilaksanakan. Melalui

pengawasan seorang pengawas dapat melakukan penyempurnaan tugas-tugas, perbaikan

jenis kegiatan baik yang telah dilaksanakan seperti yang telah tercantum dalam

perencanaan, hal ini sesuai dengan pendapat Newman dalam Manullang (1983)

mengemukakan bahwa, control is assurance that the performance conform to plan,

pengawasan adalah suatu usaha untuk menjamin agar pelaksanaan sesuai dengan

rencana.

Menurut julistriarsa dan Suprihanto (1998) pengawasan adalah suatu tindakan

atau proses kegiatan untuk mengetahui hasil pelaksanaan, kesalahan dan mencegah

terulangnya kembali kesalahan kesalahan itu, begitu pula menjaga agar pelaksanan tidak

berbeda dengan rencana yang telah ditetapkan. Demikian pula Henry Fayol dalam

Manullang (1983) control consist in verivying wether everything accure in conformity

with the plan adopted, the instruction issued in principles established. It has for object

to point outweaknesses and errors in order to rectivy them and prevent recurrence.

Maksud dari pengertian di atas yaitu pengawasan terdiri dari pengujian apakah segala

sesuatu berlangsung sesuai dengan rencana yang telah ditentukan dengan instruksi yang

telah diberikan dan dengan prinsip yang telah digariskan. Pengawasan bertujuan untuk

menunjukan kelemahan-kelemahan dan kesalahan dengan maksud untuk

memperbaikinya dan mencegahnya kembali.

Lebih lanjut pengertian pengawasan menurut Konz, dkk (1986) the managerial

function of controlling is the measurement and correction of performance in order to

make sure that enterprise obyektives and the plans devised to attain them are

accomplished. Artinya fungsi pengawasan manajemen merupakan pengukuran dan

koreksi untuk memperoleh kepastian yang obyektif dari perencanaan perusahaan guna

memperoleh keberhasilan. Pengawasan manajemen merupakan suatu usaha sistematik

untuk menetapkan standar pelaksanaan dengan tujuan perencanaan, merancang sistem

informasi umpan balik, membandingkan kegiatan nyata dengan standar yang telah

ditetapkan sebelumnya, menentukan dan mengukur penyimpangan serta mengambil

tindakan koreksi yang diperlukan untuk menjamin bahwa semua sumber daya organisasi

dipergunakan dengan cara yang efektif dan efesien dalam pencapaian tujuan organisasi.

Perkataan pengawasan mempunyai beberapa konotasi yang bermakna

minsalnya, mencek atau memeriksa, mengatur, membandingkan dengan suatu standar,

mengarahkan atau memerintah, mengekang atau mengendalikan. Pengertian

pengawasan dalam kegiatan bimbingan dan konseling dijelaskan pada Keputusan

menteri pendidikan dan kebudayaan Republik Indonesia Nomor: 020/U/1998 tentang

petunjuk teknis pelaksanaan jabatan fungsional pengawas sekolah dan angka kreditnya.

Pengawas sekolah bimbingan dan konseling adalah pengawas yang mempunyai tugas,

tanggungjawab, wewenang dan hak secara penuh dalam menilai dan membina

penyelenggaraan pendidikan pada sejumlah sekolah tertentu baik negeri maupun swasta

di sekolah lanjutan tingkat pertama, sekolah menengah umum, sekolah menengah

kejuruan di lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan di madrasah

tsanawiyah, madrasah aliyah di lingkungan Departemen Agama, sekolah kedinasan di

lingkungan departemen tertentu dalam kegiatan bimbingan dan konseling. Menurut

Prayitno (2001) agar kegiatan bimbingan dan konseling di sekolah berkembang dan

terselenggara dengan sebaik-baiknya sesuai dengan tujuan dan ketentuan yang berlaku,

maka kegiatan tersebut perlu diawasi dan dibina, dalam pembinaannya melibatkan

interaksi yang dinamis antara konselor sekolah dan pengawas sekolah bidang bimbingan

dan konselling.

1. Tujuan pengawasan

Pengawasan dalam pendidikan mengandung kegiatan supervisi yang bertujuan

untuk mencapai hasil kegiatan yang optimal sesuai dengan perencanaan semula. Untuk

mencapai hasil kegiatan yang optimal sesuai dengan ketentuan pengawasan bimbingan

dan konseling sangat diperlukan. Di antara tujuan pengawasan itu adalah agar petugas

dalam bidang bimbingan dan konseling dapat menjalankan dengan baik tugas yang

dibebankan kepadanya sesuai dengan ketentuan yang ada. Sahertian (2000) menyatakan

bahwa tujuan pengawasan dalam pendidikan untuk memberikan layanan dan bantuan

untuk mengembangkan situasi belajar mengajar yang dilakukan guru di kelas.

Pengawasan untuk meningkatkan kualitas layanan konselor di sekolah/madrasah yang

pada gilirannya dapat meningkatkan kualitas pengembangan diri siswa, bahkan dengan

pengawasan yang efektif di harapkan dapat mengembangkan potensi kualitas konselor.

Pengawasan dalam bidang bimbingan dan konseling di sekolah, bertujuan

meningkatkan kualitas konselor dan dapat meningkatkan pelayanan yang optimal

terhadap siswa asuh di sekolah. Atmodiwirio (2000) menyatakan beberapa tujuan

pengawasan pendidikan sebagai berikut: membina dan menyelia pembinaan sekolah

baik yang bersifat educatif maupun administrative, membina dan menyelia kerja sama

sekolah/madrasah dan instansi yang terkait, membina pelaksanaan proses layanan,

menyelia tingkat keberhasilan sekolah/madrasah menurut paket pengawasan

kabupaten/kota dan propinsi, membina dan menyelia kepala sekolah/madrasah,

mendorong dan memberi motivasi kepada kepala sekolah/madrasah tentang pengawasan

kegiatan sekolah, membina dan menyelia sanggar sekolah.

Kegiatan pengawasan pendidikan termasuk bimbingan dan konseling tertuju

kepada kegiatan kepala sekolah/madrasah dan konselor sekolah. Kepala

sekolah/madrasah sebagai penenggungjawab kegiatan pendidikan secara menyeluruh di

sekolah/madrasah yang bersangkutan, tugas kepala sekolah/madrasah adalah:

Mengkoordinasikan segenap kegiatan yang diprogramkan di sekolah, sehingga kegiatan

pengajaran, pelatihan dan bimbingan merupakan suatu kesatuan yang terpadu, harmonis

dan dinamis. Menyediakan prasarana, tenaga, sarana dan berbagai kemudahan bagi

terlaksananya pelayanan bimbingan dan konseling yang aktif dan efesien. Melakukan

pengawasan dan pembinaan terhadap perencanaan dan pelaksanaan program, penilaian

dan upaya tindak lanjut pelaksanaan bimbingan dan konseling.

Mempertanggungjawabkan pelaksanaan pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah

kepada yang menjadi atasannya.

Sebagai pelaksanan utama, tenaga inti dan ahli konselor sekolah di

sekolah/madrasah bertugas: Memasyarakatkan pelayanan bimbingan dan konseling,

Merencanakan program bimbingan dan konseling, Melaksanakan segenap layanan

bimbingan dan konseling, Melaksanakan kegiatan pendukung bimbingan dan konseling,

Menilai proses dan hasil pelayanan bimbingan dan kegiatan pendukungnya,

Melaksanakan tindak lanjut berdasarkan hasil penilaian, Mengadministrasikan layanan

dan kegiatan pendukung bimbingan dan konseling yang dilaksanakannya,

Mempertanggungjawabkan tugas dan kegiatannya dalam pelayanan bimbingan dan

konseling kepada koordinator bimbingan dan konseling.

Pengawasan bimbingan dan konseling ditujukan kepada kegiatan konselor

sekolah/madrasah dengan melalui berbagai layanan bimbingan dan konseling yang

dilaksanakan konselor agar peserta didik mampu mengembangkan potensi dan

pribadinya secara optimal. Pengawasan dibidang bimbingan dan konseling untuk

membina dan menyelia pelaksanaan layanan yang dilksanakan oleh konselor dan

musyawarah konselor bimbingan dan konseling. Menurut Boyd (1978) pengawasan

sekolah bidang bimbingan dan konseling yang langsung ditujukan kepada konselor, ada

tiga tujuan utamanya yang hendak dicapai untuk dimiliki oleh konselor yaitu:

fasilitation of the counselors personal and professional development, promotion is

counselor competencies, and promotion of accountable counseling and guidance

services and programs. Maksudnya bahwa pengawasan bimbingan dan konseling

bertujuan untuk memberi fasilitas untuk mengembangkan diri dan keahlian para

konselor, meningkatkan kompetensi konselor dan meningkatkan konseling yang

bertanggungjawab serta pembuatan program layanan bimbingan.

Untuk mencapai tujuan yang dimaksud pengawas sekolah/madrasah bidang

bimbingan dan konseling hendaknya dapat menggunakan beberapa pendekatan, antara

lain dengan melakukan penilaian, pencegahan, memotivasi dan penguatan. Penilaian

bertujuan untuk melihat seberapa jauh program serta pelaksanaan bimbingan dan

konseling di sekolah yang telah dicapai, dengan adanya penilaian dapat diketahui

kemajuan dan kelemahan yang didapati, bagi pengawas berguna untuk memperbaiki

fungsi pengawasan. Tindakan pencegahan merupakan tindakan pengawas bidang

bimbingan dan konseling sebelum terjadinya penyimpangan, mencegah lebih baik

daripada memperbaiki.

Pemberian motivasi merupakan bagian dari upaya peningkatan kerja konselor.

Sebaiknya cara yang dilakukan pengawas bimbingan dan konseling di sekolah untuk

meransang konselor dengan memberikan penghargaan atau hadiah dari prestasi yang

telah dicapainya dalam layanan bimbingan dan konseling di sekolah. Koontz dan

Donnell (1986) mengemukakan bahwa motivasi merupakan suatu reaksi yang dimulai

dari adanya kebutuhan yang menimbulkan keinginan, upaya untuk mencapai tujuan,

menimbulkan ketegangan, tindakan yang mengarah kepada kemajuan, adanya pemuasan

keinginan. Pemberian penguatan pada dasarnya merupakan rangsangan dari pengawas

sekolah bidang bimbingan dan konseling yang bertujuan agar konselor dapat merubah

perilakunya dan selanjutnya dapat meningkatkan prestasi kerjanya, serta

bertanggungjawab atas tugas dan kewajibannya.

2. Fungsi Pengawasan

Fungsi pengawasan mengandung maksud untuk memberikan pengarahan kepada

pengawas sekolah agar yang dilakukan menjadi lebih jelas. Handoko (1995)

menjelaskan bahwa fungsi pengawasan mencakup empat unsur yaitu, unsur penetapan

standar pelaksanaan, unsur penentuan ukuran pelaksanaan, unsur pengukuran

pelaksanaan nyata dan membandingkannya dengan standar yang telah ditetapkan, unsur

pengambilan tindakan koreksi yang diperlukan bila pelaksanaan menyimpang dari

standar. Fungsi pokok pengawasan dilakukan untuk mencegah terjadinya penyimpangan

atau kesalahan, memperbaiki berbagai penyimpangan atau kesalahan yang terjadi,

mendinamisir organisasi serta segenap manajemen lainnya dan untuk memperkuat rasa

tanggungjawab terhadap tugas yang dilakukan.

Demikian pula Fattah (2000) mengemukakan beberapa kondisi yang harus

diperhatikan agar pengawasan itu dapat berfungsi secara efektif diantaranya:

pengawasan harus dikaitkan dengan tujuan, standar yang masih dapat dicapai harus

ditentukan, pengawasan hendaknya harus disesuaikan dengan sifat dan kebutuhan

organisasi, banyaknya pengawasan harus dibatasi, sistem pengawasan harus dikemudi,

pengawasan hendaknya mengacu pada tindakan perbaikan, pengawasan hendaknya

mengacu pada prosedur pemecahan masalah. Apabila pengawasan di atas dikaitkan

langsung dengan kegiatan supervisi pendidikan, Swearingen dalam Sahertian (2000)

mengemukakan delapan fungsi supervisi, yaitu: mengkoordinasi semua usaha sekolah,

meperlengkapi personel sekolah, memperluas pengalaman konselor, menstimulasi

usaha-usaha yang kreatif, memberi fasilitas dan penilaian yang terus menerus,

menganalisis kegiatan layanan, memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada

setiap anggota staf, memberi wawasan yang lebih luas dan terintegrasi dalam

merumuskan tujuan-tujuan pendidikan dan meningkatkan kemampuan konselor sekolah.

Berbagai pendapat di atas dapat disarikan, bahwa fungsi pengawasan merupakan

usaha pengawas sekolah/madrasah untuk menentukan standar pelaksanaan kegiatan.

Mencegah terjadinya penyimpangan, usaha perbaikan apabila terjadi kesalahan dalam

pelaksanaan, usaha meningkatkan kemampuan staf, dan pemecahan masalah yang

terjadi dalam proses pendidikan. Apabila fungsi-fungsi tersebut dikaitkan dengan

kegiatan bimbingan dan konseling telah ter-integrasi sekaligus didalamnya, karena

layanan bimbingan dan konseling di sekolah merupakan bagian yang integral dalam

proses pendidikan. Hal ini dipertegas dengan keputusan bersama menteri pendidikan

dan kebudayaan dan kepala badan administrasi kepegawaian Negara nomor :

0322/O/1996, dan nomor :38 tahun 1996, tentang petunjuk pelaksanaan jabatan

fungsional pengawas sekolah dan angka kreditnya, ada beberapa ketentuan umum yang

berkaitan langsung dengan fungsi pengawasan bimbingan dan konseling antara lain:

Penilaian, dalam hal ini pengawas sekolah dapat menentukan derajat kualitas

berdasarkan kriteria (tolak ukur) yang telah ditetapkan terhadap penyelenggaraan

bimbingan dan konseling. Pembinaan, dengan pembinaan secara rutin kegiatan

bimbingan dan konseling disekolah diharapkan dapat melaksanakan sesuai dengan

program yang telah ditentukan. Pengarahan, dengan pengarahan diharapkan guru

pembimbing dan pesonel lain disekolah dapat melaksanakan tugasnya lebih terarah dan

mencapai tujuan yang telah dirumuskan. Bimbingan, diharapkan guru pembimbing dan

personel sekolah lainnya mengetahui secara lebih rinci kegiatan yang harus

dilaksanakan dan cara pelaksanaannya. Pemberian contoh, dengan harapan pelaksanaan

proses bimbingan untuk materi dan jenis layanan tertentu dapat dicontohkan diruang

bimbingan dan konseling dengan tujuan agar guru pembimbing dapat mempraktikkan

model bimbingan yang baik dan benar. Pemberian saran, hal ini diharapkan agar proses

bimbingan yang dilaksanakan di sekolah lebih baik daripada hasil yang dicapai

sebelumnya.

3. Kegiatan pengawasan Bimbingan dan konseling di sekolah

Pengawasa sekolah merupakan salah satu fungsi manajemen. Kantor dinas

pendidikan nasional dalam melaksanakan tugasnya dapat dikategorikan sebagai

pengawas staf, dan merupakan pengawasan teknik fungsional. Untuk tercapainya tujuan

pendidikan yang optimal Atmodiwiro (2000) mengemukakan beberapa tugas

pengawasan sebagai berikut : Menyusun rencana kegiatan tahunan pengawasan sekolah

yang menjadi tanggung jawabnya. Mengendalikan termasuk membimbing pelaksanaan

kurikulum yang meliputi isi, metode penyajian, penggunan alat bantu pengajaran, dan

evaluasi agar berlangsung sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Mengendalikan

termasuk membimbing tenaga kependidikan sekolah agar terpenuhi persyaratan formal

yang berlaku, dan dalam melaksanakan tugasnya dengan ketentuan yang ada.

Mengendalikan termasuk membimbing pengadaan, penggunaan dan pemiliharaan saran

sekolah sesuai dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta

menjaga agar kualitas sarana sekolah memenuhi ketentuan dan persyaratan.

Mengedalikan termasuk membimbing tata usaha seekolah meliputi urusan kepegawaian,

ketatalaksanaan dan urusan keuangan, termasuk RAPBS agar berjalan sesuai dengan

ketentuan yang berlaku. Mengendalikan termasuk membimbing hubungan kerja sama

sekolah dengan instansi pemerintah dan organisasi kemasyarakatan antara lain dengan

pemerintah daerah dan komite sekolah. Menilai hasil pelaksanaan kurikulum

berdasarkan ketentuan yang berlaku dan ketepatan waktu. Mengendalikan pelaksanaan

kegiatan seolah antara lain kelender pendidikan, proses pembelajaran, mutasi siswa,

UAS/UN, pembagian rapor dan kegiatan insidental lainnya. Menilai pendayagunaan

sekolah Menilai efisiensi dan efektivitas tata usaha sekolah Menilai hubungan sekolah

dengan instansi pemerintah dan organisasi masyarakat lainnya, pemerintah daerah,

dunia usaha. Mempersiapkan DP-3 (daftar penilaian pelaksanaan pekerjaan) kepala

sekolah Menyampaikan laporan hasil pelaksanaan tugasnya kepada kepala kantor

diknas.

Berdasarkan tugas-tugas tersebut pengawasan pendidikan ditujukan untuk

memberdayakan semua komponen baik personel sekolah, kurikulum dan kegiatan

belajar mengajar sarana dan prasarana sekolah keuangan bahkan personel diluar sekolah

atau lembaga lain yang terkait langsung dalam upaya peningkatan mutu pendiddikan.

Peningkatan mutu pendidikan terkandung pula didalamnya peningkatan layanan

bimbingan dan konseling di sekolah, karena layanan bimbingan dan konseling di

sekolah merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan pendidikan.

Berdasarkan keputusan menteri pendidikan dan kebudayaan republik Indonesia Nomor :

020/U/1998, tentang petunjuk teknis pelaksanaan jabatan fungsional pengawas sekolah

dan angka kreditnya, jenis pengawas sekolah, berdasarkan sifat, tugas, dan kegiatannya

terdapat empat jenis pengawas sekolah yaitu (1) pengawas sekolah taman kanak-kanak,

sekolah dasar, dan sekolah dasar luar biasa, (2) pengawas sekolah rumpun mata

pelajaran, (3) pengawasaan sekolah pendidikan luar biasa, (4) pengawas sekolah

bimbingan dan konseling. Khusus pengawas sekolah bimbingan dan konseling

mempunyai tugas pokok menilai dan membina penyelenggaraan bimbingan dan

konseling pada sejumlah sekolah tertentu baik negeri maupun swasta yang menjadi

tanggung jawabnya.

Pengintegrasian pengertian, tujuan, fungsi serta unsur-unsur pokok tersebut secara

umum. Menurut prayitno (2001) bahwa kegiatan pengawasan sekolah melalui diagram

sebagai berikut:

Kegiatan

pengawasan

Berdasarkan diagaram kepengawasan bimbingan dan konseling di atas, program

kepengawasan tahap awal diarahkan pada pengumpulan data tentang hasil bimbingan

dan kemampuan guru pembimbing, serta data sumber daya pendidikan, dan bimbingan

Ruang Lingkup KegiatanPengawasan

Menyusun ProgramKepengawasan Sekolah

Melaksanakan PenilaianHasil Bimbingan dan

Kemampuan Konselor

Melaksanakan penilaiandata Sumber daya

Menyusun Laporan danEvaluasi Pengawasan

Melaksanakan Pembinaankepada konselor dan Tenaga

Lainnya

Melaksanakan AnalisisHasil Bimbingan dan

Sumber Daya

konseling pada khususnya. Seluruh data tersebut dinilai dan dianalisis, hasil penilaian

serta analisisnya akan dijadikan dasar bagi perencanaan dan pembinaan guru

pembimbing, dengan melalui arahan, bimbingan, contoh dan saran-saran. Selanjutnya

terhadap perencanaan pelaksanaan dan hasil-hasil seluruh kegiatan pengawasan untuk

semua sekolah dievaluasi dan kemudian dilaporkan. Hasil evaluasi dan laporan akan

menjadi pertimbangan dan titik tolak bagi perencanaan program pengawasan pada

periode berikutnya. Agar pelaksanaan pengawasan dapat berjalan lancar sesuai dengan

perencanaan, dan pencapaian tujuan maka perlu langkah-langkah nyata yang sistematis

dan praktis. Hal ini digambarkan Pryitno (2001) dalam bentuk diagram, mengenai

langkah-langkah pelaksanaan pengawasan sebagai berikut :

Langkah-Langkah Kegiatan Pengawasan

Langkah 1 :

Langkah 2 :

Langkah 3 :

Langkah 4 :

Langkah 5 :

Menyusun ProgramPengawasan Sekolah

Menyimpulkan datadan Mengolah/Menilai

Menganalisis HasilPenilaian

MelaksanakanPembinaan

Menyusun Laporan danEvaluasi Hasil Pengawasan

Diagram di atas menjelaskan langkah-langkah kegiatan pengawasan, yaitu:

langkah pertama kegiatan pengawasan dimulai dengan penyusunan program

pengawasan, baik program tahunan maupun program semesteran, langkah kedua adalah

menilai hasil bimbingan dan menilai kemampuan konselor sekolah, kegiatan dalam

langkah ini telah menyentuh materi pokok pengawasan yaitu hasil kegiatan fungsional-

profesional-keahlian yang dilakukan oleh konselor, kemampuan konselor itu sendiri dan

sumber daya pendidikan. Langkah ketiga merupakan pendalaman, yaitu analisis atas

hasil penilaian yang telah dilakukan pada langkah kedua, langkah keempat adalah

pembinaan terhadap konselor sekolah berdasarkan hasil penilaian dan analisis hasil

penilaian yang dilakukan pada langkah sebelumnya. Langkah kelima merupakan

antiklimaks dari seluruh kegiatan pengawasan sekolah untuk satu periode dengan

melihat keseluruhan hasil pengawasan yang telah dilakukan. Selain lima langkah di atas

pengawas sekolah bidang bimbingan dan konseling juga dikehendaki mencurahkan

perhatian kepada pengembangan sekolah yang lebih luas, yaitu melaksanakan

pembinaan lainnya di sekolah selain proses pembelajaran atau bimbingan dan

konseling. Demikian pula pengawas bimbingan dan konseling melaksanakan tugas di

daerah terpencil diperhitungkan tersendiri dalam pemberian angka kreditnya.

KESIMPULAN

Pengawasan adalah suatu tindakan atau proses kegiatan untuk mengetahui hasil

pelaksanaan dan mencegah terulangnya kembali kesalahan kesalahan itu, begitu pula

menjaga agar pelaksanan tidak berbeda dengan rencana yang telah ditetapkan.

pengawas sekolah/madrasah dapat menentukan derajat kualitas berdasarkan kriteria

(tolak ukur) yang telah ditetapkan terhadap penyelenggaraan bimbingan dan konseling.

Dengan pembinaan secara rutin kegiatan bimbingan dan konseling di

sekolah/madarasah diharapkan dapat dilaksanakan sesuai dengan program yang telah

ditentukan, dengan pengarahan konselor dan pesonel lain di sekolah/madarasah dapat

melaksanakan tugasnya lebih terarah dan mencapai tujuan yang telah dirumuskan serta

mengetahui secara lebih rinci kegiatan yang harus dilaksanakan dan cara

pelaksanaannya. Sehingga konselor dapat melaksanakan proses bimbingan untuk materi

dan jenis layanan tertentu dengan tujuan agar konselor dapat mempraktikkan model

bimbingan yang baik dan benar.

DAFTAR PUSTAKA

Atmodiwirio, Soebagio. 2000. Manajemen pendidikan Indonesia. Jakarta. ArdadizyaJaya.

Belkin, G.S. 1976. Practical counseling in the school. Lowa WMC. Brown CompanyPublishers.

Boyd, John. 1978. Counselor supervision approaches preparation practice. BostonUniversity: Endersed By The Association or Counselor Education andSupervision.

Fattah, nanang. 2000. Landasan manajemen pendidikan. Bandung. Remaja Rosdakarya.Gibson, RL & Mtchell, MH. 1987. Introduction to guidance. New York Macmillon

Publishing.Julitriarsa, D. george & Suprihanto. 1983. Bagaimana memimpin dan mengawasi

pegawai anda. Jakarta: Aksara Baru.Koonz Harold, Donnell O’Cyriil, Weichrich Heinz. 1986. The system and process of

controlling. London: Mc. Graw-Hill.Manullang, M. 1983. Dasar-dasar manajemen. Jakarta: Ghalia Indonesia.Mortensen, DG & Schmuller, AM. 1964. Guidance in today’s school. New York: John

Wiley & Son Inc.Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2008.

Tentang standar kualifikasi akademik dan kompetensi konselor.Prayitno. 1987. Profesionalisasi konseling dan pendidikan konselor. Jakarta:

Depdikbud.Prayitno, dkk. 1997. Seri pemandu pelaksanaan bimbingan dan konseling di sekolah

(buku III). Jakarta: PT. rineka Cipta.Prayitno. 1990. Konselor masa depan dalam tantangan dan harapan. Pidato

pengukuhan guru besar tetap dalam bidang bimbingan dan konseling. FipIKIP. Padang.

Prayitno. 2001. Panduan kegiatan pengawasan bimbingan dan konseling di sekolah.Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Sahertian, A. Piet. 2000. Konsep dasar dan teknis supervise pendidikan. Jakarta :Rineka Cipta.

Surya, M. 1995. Identifikasi kebutuhan tantangan dan implikasinya bagipengembangan profil konselor. Surabaya. Kongres ke VIII dan konvensinasional X IPBI.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003. Tentang SistemPendidikan Nasional.

PENDIDIKAN AKHLAK DAN PEMBENTUKANKEPRIBADIAN MUSLIM

Oleh:

Saiful Akhyar LubisGuru Besar Fakultas Tarbiyah dan Program Pascasarjana IAIN-SU Medan, Visiting

Professor at Academy of Islamic Study University of Malaya Kuala Lumpur,Malaysia.

Abstract

Decreasing character today can to strengthen that very important tointroduce a character education in every education activity. Character is agrades or a norm that aim to improve good relation and harmony betweenGod and human, and also between one people and another people. The aim ofcharacter education is to make everyone has good character, good act,tohaving good custom to base on Islamic teaching.Keywords: Pendidikan, Pendidikan Akhlak, Pendidikan Islam

PENDAHULUAN

Kemorosotan akhlak yang dirasakan dewasa ini semakin mempertegas

pentingnya memberdayakan pendidikan akhlak dalam setiap kegiatan

pendidikan secara konsisten dan kontinu. Ia merupakan instrumen kunci bagi

upaya memproduk, membina dan mengembangkan masyarakat yang beradab,

berakhlak mulia sesuai dengan ajaran Islam.

Akhlak menempati posisi penting dalam ajaran Islam atas dasar misi

kerasulan Muhammad saw “untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”.

Hal ini menjadikan Islam sebagai sistem syari’ah yang menata hubungan

manusia dengan Allah swt, dengan sesama manusia, dan dengan alam

semesta. Justru itu, akhlak bukan hanya aturan normatif yang mengatur

perilaku manusia semata, tetapi mengatur tata hubungan manusia secara

vertikal, horizontal, dan diagonal (habl min al-Allah, habl min al-nas, habl

min al-‘alam). Ia juga merupakan intisari dari segala kebaikan dn keutamaan

yang memberi nilai tinggi seorang muslim di sisi Allah swt dan makhluk

lainnya. Keimanan dan keislaman seseorang dinilai kurang sempurna, jika

tidak dibingkai dengan akhlak yang mulia.

Dengan demikian, proses pendidikan akhlak dalam Pendidikan Islam

akan melalui upaya penguatan iman dan pensucian jiwa manusia dengan cara

menanamkan dan mendisiplinkan nilai, norma, kaedah tentang “baik-buruk,

terpuji-tercela” ke dalam keperibadian seorang Muslim agar mampu

menampilkan perilaku mahmudah dan menghindar dari perilaku mazmumah

yang bermuara pada tampilnya sosok insan adabi dan insan kamil.

DEFINISI AKHLAK

Mendefinisikan akhlak dapat dilakukan dengan dua pendekatan:

linguistik (kebahasaan) dan terminologik (peristilahan). Dari sisi

kebahasaan, akhlak berasal dari bahasa arab, yaitu dari asal kata khuluqun,

berarti: tabiat atau budi pekerti (Munawwir, 2007:364). Kata akhlaq adalah

bentuk plural dari kata khuluq, berarti budi pekerti, perangai, dan tingkah

laku. Kata ini seakar dengan kata Khaliq (bermakna Pencipta), makhluq

(bermakna yang diciptakan), khalq (bermakna penciptaan). Dengan demikian,

akhlak pada dasarnya merupakan nilai atau norma yang memungkinkan

eksisnya hubungan baik dan harmoni antara khalik dan makhluk dan antara

manusia dengan sesama makhluk. Selain itu, akhlak juga bermakna al-sajiah

(perangai), al-thabi’ah (kelakuan, tabiat, watak dasar), al-adat (kebiasaan,

kelaziman), al-muru’ah (peradaban yang baik). Sedangkan dalam Kamus

Dewan akhlak dinyatakan sebagai budi pekerti, kelakuan, watak, pengetahuan

berkaitan dengan kelakuan, tingkah laku manusia dan sebagainya, sama ada baik atau

jahat.

Secara peristilahan akhlak dinyatakan sebagai tingkah laku

perbuatan yang telah menjadi adat kebiasaan, apabila dilakukan tidak perlu lagi

berpikir panjang, setelah tingkah laku diamalkan sekian lama diterima masyarakat sebagai

sebahagian dari cara hidup. Para ilmuwan Muslim mendefisikan terminologi akhlak secara

variatif, diantaranya dapat dilihat apa yang dinyatakan al-Ghazali sebagai suatu sifat yang

tertanam dalam jiwa, daripada jiwa itu, timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa

melakukan pertimbangan pikiran.. Ibnu Maskawaih menyatakan sebagai suatu keadaan

bagi diri atau jiwa yang mendorong untuk melakukan perbuatan dengan senang tanpa

didahului oleh daya pemikiran karena sudah menjadi kebiasaan. Sedangkan Ahmad Amin

menyatakan sebagai kehendak (keinginan manusia ) yang dibiasakan (perbuatan yang

diulang-ulang, sehingga mudah melakukanya), selanjutnya mempunyai kekuatan ke arah

menimbulkan apa yang disebut sebagai akhlak.

Dalam pandangan Islam akhlak ditegaskan sebagai satu sifat atau sikap

kepribadian yang melahirkan tingkah laku perbuatan manusia dalam usaha

membentuk kehidupan yang sempurna berdasarkan kepada prinsip-prinsip yang

telah ditetapkan oleh Allah swt.

PENDIDIKAN AKHLAK DALAM PENDIDIKAN ISLAMSehubungan dengan pendidikan akhlak, pendidikan Islam lebih ditekankan pada

fungsi ta’dib, yaitu upaya dan proses pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-

angsur ditanamkan ke dalam diri manusia, tentang segala sesuatu di dalam tatanan

penciptaan, sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan terhadap Allah swt

secara tepat di dalam tatanan wujud dan kepribadian. Menurut al-Attas pengenalan dan

pengakuan tentang hakikat adalah pengetahuan dan wujud yang bersifat teratur secara

hierarkis sesuai dengan tingkatan derajat seseorang dan tempat mereka yang tepat dalam

hubungannya dengan hakikat itu serta dengan kepastian dan potensi jasmaniah,

intelektual, maupun rohaniahnya (dalam Wan Mohammad Noor Wan Daud, 2003:163).

Dapat dimengerti bahwa pengertian "pengenalan" adalah menemukan

tempat yang tepat sehubungan dengan apa yang dikenali, sedangkan

"pengakuan" merupakan tindakan yang bertalian dengan pengenalan tadi.

Pengenalan tanpa pengakuan adalah kecongkakan, dan pengakuan tanpa

pengenalan adalah kejahilan belaka. Dengan kata lain ilmu dengan amal haruslah

seiring. ilmu tanpa amal ataupun amal tanpa ilmu adalah kesia-siaan. Kemudian,

tempat yang tepat adalah kedudukan dan kondisi dalam kehidupan sehubungan

dengan dirinya, keluarga, kelompok, komunitas dan masyarakatnya, maksudnya

dalam mengaktualisasikan dirinya harus berdasarkan kriteria al-Quran tentang

ilmu, akal, dan kebaikan (ihsan) yang selanjutnya mesti bertindak sesuai

dengan ilmu pengetahuan secara positif serta terpuji.

Dalam pandangan pendidikan Islam pengetahuan tentang manusia harus

terlebih dahulu diberikan kepada manusia sebagi peserta didik, baru kemudian

disusul dengan pengetahuan-pengetahuan lainnya. Dengan demikian dia akan

tahu jati dirinya dengan benar, tahu "dari mana dia, sedang dimana dia, dan mau

kemana dia kelak". Jika ia tahu jati dirinya, maka ia akan selalu ingat dan sadar

serta mampu memposisikan dirinya, baik secara vertikal, horizontal, maupun

diagonal (habl bim al-Allah, habl min al-nas, habl min al-‘alam). Selanjutnya akan

terbentuk pengakuan yang benar dan tepat terhadap keberadaan Allah swt,

manusia, dan alam sebagai suatu realitas. Dalam hal inilah proses pengajaran

seseorang dalam tatanan kosmis dan sosial akan menghantarkannya

menemukan fungsinya sebagai khalifah fil ardh.

Dengan demikian, secara teoritis pendidikan akhlak dalam pendidikan Islam

dapat dikategorikan sebagai: usaha berterusan untuk menyampaikan ilmu, kemahiran dan

penghayatan Islam berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah bagi membentuk sikap,

kemahiran, keperibadian dan pandangan hidup sebagai hamba Allah yang mempunyai

tanggungjawab untuk membangunkan diri, masyarakat, alam sekitar dan negara ke arah

mencapai kebaikan dan kesejahteraan abadi di akhirat.

Lebih rinci dapat dilihat dalam pendapat para ilmuwan Muslim berikut

ini. Menurut al-Abrasyi (2007:66) adalah upaya mempersiapkan manusia supaya

hidup dengan sempurna dan bahagia, mencintai tanah air, sempurna budi

pekertinya, pola pikirnya teratur dengan rapi, perasaannya halus, profesional

dalam bekerja dan manis tutur sapanya. Sedangkan Ahmad D. Marimba

(2001:79) menyatakan sebagai bimbingan rohani berdasarkan hukum-hukum

Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran

Islam. Selanjutnya, al-Attas (dalam Wan Mohammad Noor Wan Daud, 2003: 156)

menilainya sebagai suatu proses penanaman pengenalan dan pengakuan tentang

hakikat (Allah, manusia, alam) ke dalam diri manusia mengacu kepada metode

dan sistem secara bertahap, dan kepada manusia penerima proses dan

kandungan pendidikan tersebut.

Dalam Pendidikan Islam lebih ditekankan pada fungsi al-ta’dib, yang bermaksud

memberi pendidikan budi pekerti kepada anak atau murid/pelajar berdasarkan ajaran

Islam. Dalam hal ini, mendidik dimaksudkan sebagai mengasuh, menjaga, membimbing,

memberi nasihat dan membelai dengan penuh kasih sayang supaya seseorang anak atau

murid/pelajar menjadi baik budi pekerti, perangai dan tingkah lakunya.

TUJUAN PENDIDIKAN AKHLAK

Tujuan pokok pendidikan akhlak ialah "agar setiap manusia berbudi pekerti ,

bertingkah laku, berperangai atau beradat istiadat yang baik, sesuai dengan ajaran Islam".

Islam menginginkan agar setiap manusia dapat bertingkah laku dan bersifat baik serta

terpuji. Akhlak yang mulia tercermin dari penampilan sikap pengabdianya kepada Allah

swt, dan kepada lingkungannya, baik kepada sesama manusia maupun terhadap alam

sekitarya. Dengan akhlak yang mulia manusia akan hidup dalam suasana yang damai,

dihiasi oleh ukhuwah dan kasih sayang, serta akan mendapatkan kebahagian dunia dan

akhirat.

Agar manusia berhasil mengemban tugas khilafah yang diembannya, Allah swt

menginginkan agar manusia berhias diri dengan sifat terpuji dalam setiap

perilakunya di seluruh aspek kehidupan, dalam beberapa FirmanNya jelas

diisyaratkan seperti itu, antara lain: pada surah al-Baqarah (2): 168, 177; Surah

al-Nisa` (4):8; surah al-Maidah (5);77, ditambah dengan sebuah hadis Rasul (riwayat

Ibn Majah) yang bermakna: “Muliakan anak-anakmu dengan memperbaiki sopan

santun ".

Secara teoritis ada dua sisi tujuan utama, yaitu : pertama, peningkatan

kualitas intelektual dan kekayaan/keseimbangan jiwa; kedua, mempersiapkan

manusia agar mampu meraih kebahagiaan yang optimal melalui pencapaian

kejayaan kehidupan bermasyarakat dan berekonomi. Dalam hal ini, manusia

diharapkan dapat menjadi baik dan senantiasa terbiasa serta cendrung kepada

yang baik. Dengan demikian, upaya untuk melahirkan tingkah laku sebagai

suatu tabiat yang timbul dari akhlak yang mulia dapat dirasakan sebagai suatu

kenikmatan bagi yang melakukannya. Justru itu, Said Agil (2005:15)

menekankan pada intisari tujuannya yaitu: membentuk manusia yang beriman,

bertakwa, berakhlak mulia, sehingga memiliki ketahanan rohaniah yang tinggi

serta mampu beradaptasi dengan dinamika perkembangan masyarakat.

Dalam beberapa penjelasannya, Sayid Sabiq selalu mengingatkan agar

tujuan itu tetap fokus pada pendidikan jiwa yang sempurna. Dengan itu,

seseorang dapat menunaikan kewajibannya karena Allah, senantiasa berusaha

untuk kepentingan keluarga dan masyarakatnya; dapat berkata jujur, berpihak

kepada yang benar, dan mau menyebarkan benih-benih kebaikan pada

manusia. Jika seseorang telah memiliki sifat seperti itu berarti ia telah mencapai

tingkat kesalehan sebagaimana diinginkan Allah swt, dan tergolong pada

orang-orang yang berpegang teguh pada agama (tafaqquh fi al-din).

Dapat pula ditegaskan bahwa muara tujuan tersebut adalah tercapainya

keseimbangan pertumbuhan pribadi manusia secara menyeluruh melalui

latihan-latihan kejiwaan, akal pikiran, kecerdasan, perasaan dan panca indera.

Upayanya harus mengembangkan seluruh aspek potensi manusia: spritual,

intelektual, imaginasi/fantasi, ilmiah, bahasa, baik secara individual maupun

secara kelompok, dan sekaligus mendorong aspek-aspek potensi tersebut ke

arah kebaikan dan pencapaian kesempurnaan hidup. Secara terperinci, tujuan-

tujuan utama itu bermuara kepada:

1. Membina dan mengembangkan sifat-sifat fadilah/mahmudah (terpuji).

2. Menghindari sifat-sifat mazmumah (tercela).

3. Mengelakkan diri daripada meniru gaya orang musyrik dan menghindarkan diri

daripada mengikut jejak syaitan.

4. Mendisiplinkan diri atas dasar syariat Islam, menjaga kehormatan dan kemuliaan

diri.

5. Mendidik agar sentiasa bermuhasabah dan membuat refleksi diri demi

menghindari

pelanggaran norma dan syariat Islam.

6. Meningkatkan keimanan dan ketakwaan, sehingga memiliki ketahanan rohani yang

tinggi serta dapat menyesuaikan diri secara baik dengan masyarakat.

7. Mencapai keseimbangan pribadi yang sempurna sebagai insan kamil.

METODE PENDIDIKAN AKHLAKMenurut Syaikh Abdul Rahman al Midani, akhlak manusia dapat dibina, dibentuk

dan dikembangkan dengan berbagai cara, antara lain melalui:

a. Menjadikan Rasul sebagai uswatun hasanah/qudwah al-hasanah, yang

akhlaknya adalah al-Quran.

Manusia juga dipengaruhi oleh idolanya. Idola tersebut kerap menjadi role

model dalam kehidupan mereka. Manusia yang berperan menjadi role model tersebut

antara lain ialah tokoh politik, artis, seniman, atlit, ibu bapa, guru dan sebagainya. Rasulullah

saw adalah teladan yang paling ideal bagi umat Islam sebagaimana Firman Allah surah al-

Ahzab (33):21). Justru itu, penghayatan nilai-nilai ajaran Rasulullah hendaklah dipaparkan

oleh golongan idola berkenaan. Mereka harus senantiasa berusaha menunjukkan contoh dan

teladan yang terpuji agar dapat ditiru.

b. Menjadikan masjid dan rumah tempat utama mengukuhkan habl min al-Allah,

habl min al-

nas, dan habl min al-’alam serta mendapatkan ketenangan jiwa.

Sebagai tempat ibadah masjid mempunyai peranan dan pengaruh yang

besar dalam meneruskan penghayatan nilai-nilai akhlak dalam masyarakat

Islam. Kelangsungan budaya, cara hidup dan syiar Islam banyak diletakkan

fondasinya di masjid. Yang dilakukan Rasul saw pertama kali ketika berhijrah ke

Madinah adalah membina Masjid Quba' dan Masjid Nabawi. Ilmu yang

dipelajari di masjid pada masa dahulu bersepadu dengan nilai tauhid, ruh Islam

dan akhlak. Ia mengimbaukan ketakwaan dan mengukuhkan ubudiah manusia

kepada Allah, dan ilmu itu membawa berkat serta meningkatkan ketakwaan

kepada Allah. Dari sana banyak lahir ulama dan ilmuan yang jujur, saleh dan

berdedikasi.

c. Latihan ibadah dan amalan menjernihkan batin (tazkiah al-nafs).

Pendidikan akhlak tidak hanya melalui penjelasan mengenai nilai-nilai akhlak

kepada manusia yang membolehkan mereka memilih dan menghargai nilai-nilai

tersebut, tetapi juga dibarengi dengan latihan, penghayatan, pengamalan yang

berkesinambungan. Meskipun pada awalnya ia dilaksanakan karena arahan atau tekanan

dari luar, tetapi lama kelamaan ia akan menjadi kebiasaan dan tabiat.

d. Beraktivitas, bergaul, berukhuwah dalam kumpulan/lingkungan orang yang saleh.

Lingkungan sosial dan budaya kerap mempengaruhi manusia. Ia merangkumi tradisi,

model tingkah-laku dan saran serta rangsangan yang bersifat akhlak. Manusia terpengaruh

dengan cara meniru figure yang disanjungnya. Keberadaan seseorang dalam lingkungan

masyarakat yang baik serta saleh akan menyebabkan ia beriltizam dengan amalan dan etika

yang dihayati oleh kumpulan tersebut. Ia akan berusaha melaksanakan sesuatu yang

disanjungi oleh masyarakatnya, dan menghindari perbuatan yang dianggap keji oleh

lingkungannya.

e. Membina tatanan sosial masyarakat Islam (masyarakat madani).

Manusia memiliki sense of belonging yang kuat terhadap masyarakatnya, dan

sedikit banyaknya menentuan tindak-tanduk seseorang. Masyarakat Islam yang madani

dengan kehidupan yang sakinah berperan penting menyuburkan semangat dan amalan

hidup berakhlak. Ia juga boleh membendung trend-trend kufur dan maksiat dalam

masyarakat melalui pelaksanaan amal mak'ruf dan nahi mungkar. Apabila masyarakat

kehilangan keprihatinannya terhadap kewajiban menegakkan yang makruf dan mencegah

yang mungkar, maka bermulalah proses pengikisan moral, akhlak dan martabat umat

berkenaan.

f. Kewibawaan kekuasaan pemerintahan yang amanah dan berkeadilan.

Tuntunan akhlak dan nilai-nilainya tidak akan bermakna tanpa didukung autoriti

pemerintahan yang berwibawa, amanah dan berkeadilan. Ia akan mewujudkan

mekanisme yang operasional untuk memastikan ketertiban serta penghayatan kaedah-

kaedah akhlak dalam kehidupan masyarakat. Jika negara tidak melaksanakan amanah ini

sudah pasti citra akhlak umat akan lebih parah lagi. Sikap dan perlakuan pemerintahan

yang tidak adil menjanjikan kemusnahan bukan hanya dalam bidang akhlak tetapi juga

dalam semua aspek kehidupan.

g. Peran media massa yang mendidik dan bertanggung jawab mencerdaskan

intelek, hati

dan spritual.

Media massa merupakan satu mekanisme yang berpengaruh besar dalam

pembentukan kepribadian manusia. Ia merupakan agen sosialisasi untuk menanam dan

menggalakkan amalan-amalan berakhlak di dalam masyarakat. Justru itu, ia harus bebas

dari cengkeraman faham sekular, budaya komersial yang berlebihan, faham kebendaan

dan dorongan untuk hidup secara mewah dan glamour. Ia dituntut memiliki asas falsafah

dan dasar-dasar komunikasi yang selaras dengan nilai-nilai akhlak Islam. Para

petugasnya hendaklah meningkatkan rasa tanggungjawab dan kewajiban mereka

untuk memihak dan menegakkan nilai-nilai luhur seperti kebenaran, kejujuran, keadilan

dan sebagainya.

i. Bagaimana dengan peranan sekolah/madrasah?

Setelah rumah tangga/keluarga, sekolah/madrasah merupakan institusi

pendidikan yang paling bertanggung jawab dan fungsional untuk membina, membentuk

dan mengembangkan akhlakul karimah para pelajar dan masyarakat, terutama dengan

cara:

1. Meningkatkan kewibawaan sebagai institusi pendidikan unggulan yang

mengintegrasikan dengan harmoni pembinaan iman dan takwa, kecerdasan intelek,

hati, spritual, serta kepribadian dengan mensepadukan sains, agama dan teknologi

dalam pembelajarannya yang terus bertambah produktivitasnya.

2. Menjunjung tinggi nilai-nilai agama, ilmu, dan akhlak dalam menjalankan peraturan

dan melaksanakan kewenangannya, serta membiasakan pelajar dan pihak-pihak

terkait untuk mentaati peraturan, berdisiplin, dan selanjutnya menghormati ulama.

3. Menciptakan suasana belajar yang menyenangkan dengan kondisi yang

menyejukkan dan damai dalam jalinan ukhuwah di semua pihak, konsisten menjaga

standar layanan pendidikan dan pembelajaran serta layanan Bimbingan dan

Konseling Islami.

4. Meningkatkan prestasi sekolah/madrasah dan para pelajar dari segi kualitas dan

kuantitas, membiasakan mereka bertanggung jawab dalam setiap tugas,

mengembangkan semangat kompetitif yang sehat, bangga dengan keberhasilan

jamaah, bersyukur atas pencapaian perestasi. Sekolah dituntut untuk menjalankan

reward and punishment (prinsip targhib wa tarhib) dengan jujur dan adil.

PROSES PENDIDIKAN AKHLAKMenanamkan nilai-nilai akhlakul karimah melalui proses pendidikan

dapat melalui berbagai hal, suasana, kondisi, keadaan. Yang terutama adalah

sebagai berikut:

1. Keteladanan (memerlukan role model, menciptakan idola, prinsip uswatun

hasanah).

2. Pembiasaan (latihan, amali, memperkasakan psikomotor).

3. Memberi nasihat (prinsip al-din al-nasihah, dijabarkan melalui layanan Bimbingan

dan Konseling Islami).

4. Motivasi (menanamkan rasa percaya diri, kegairahan beribadah, prinsip motivasi

berprestasi).

5. Persuasi (prinsip berpikir positif, objektif, rasional).

6. Ketegasan (membina disiplin, prinsip sami’na wa atha’na).

7. Ganjaran dan hukuman, reward and punishment, targhib wa tarhib (prinsip

kejujuran

dan keadilan).

HUBUNGANNYA DENGAN PEMBENTUKAN KEPRIBADIAN MUSLIM

Akhlak merupakan ruh Islam yang mana agama tanpa akhlak samalah seperti jasad

yang tidak bernyawa. Oleh karena itu, salah satu misi Rasulullah saw ialah membina

kembali akhlak manusia yang telah runtuh sejak zaman para nabi yang terdahulu sampai

pada zaman jahiliyyah. Akhlak juga merupakan ciri-ciri kelebihan manusia dan

perlambang kesempurnaan iman, kualitas takwa dan kesalehan seseorang yang berakal.

Kemerosotan akhlak (individu atau masyarakat) akan menyebabkan terjadinya

krisis kepribadian. Justru itu, akhlakul karimah akan memperkokoh citra diri Muslim

dalam setiap aspek kehidupannya. Kepribdian Muslim yang teguh akan dicerminkan

oleh nilai akhlakul karimah, keluhuran budi, kebersihan hati/jiwa, kebaikan perilaku,

terpujinya sifat/sikap yang dimiliki umat Islam.

Beberapa prinsip berikut ini kiranya layak untuk mendapat perhatian:

1. Perbedaan antara umat jahiliyah dan umat Islam adalah aplikasi dari akhlaq al-

jahiliyah dan akhlaq al-karimah, tugas rasul yang penting: menyempurnakan

kemuliaan akhlak ummatnya. Rasul bersabda: “orang yang sempurna imannya ialah

mereka yang paling baik akhlaknya”.

2. Akhlakul karimah adalah cerminan kepribadian muslim yang didasarkan pada

pengamalan nilai dan ajaran Islam. Ia melengkapkan prinsip menjadi iman-islam-

ihsan yang terpadu, (tampilannya menjadi: iman-takwa-amal saleh).

3. Akhlakul karimah sebagai asesoris kehidupan (indahnya malam karena bulan dan

bintang, indahnya taman karena bunga, kayanya laut karena ikan dan mutiara,

sakinahnya keluarga karena amal saleh, wibawanya negara/pemerintahan karena

amanah, jujur dan adil, luwesnya kepribadian karena akhlak yang mulia.

4. Islam terasa damai/menyejukkan bila kehidupan umatnya dihiasi oleh akhlak

(ketinggian darjah Islam terpancang pada keluhuran budi, keteguhan pribadi,

kebagusan akhlak).

5. Modal kemenangan perjuangan terutama adalah: disiplin, ketaatan, keteguhan iman,

kemuliaan akhlak. (kekalahan tentara Islam pada perang uhud karena

ketidakpatuhan kepada perintah Rasul dan tergoda kemilaunya harta rampasan

perang, kekalahan tentara Perancis melawan tentara Jerman disebabkan runtuhnya

moral, carut marutnya negara ini terutama akibat tidak amanah, sirnanya kejujuran,

pudarnya kemuliaan akhlak dari kepribadian).

KESIMPULAN

Pelaksanaan pendidikan akhlak (formal, informal, non formal) pada hakikatnya

adalah operasionalisasi misi Rasulullah saw. Setiap Muslim hendaknya senantiasa

berkaca pada praktik pendidikan Rasulullah saw, dan menyadari sepenuhnya bahwa

kualitas sumber daya manusia Muslim bukan semata-mata ditentukan oleh kecerdasan

intelektual dan ketrampilan teknikal, tetapi juga oleh kemuliaan akhlak dan keteguhan

kepribadian. Justru itu, mendidik manusia agar berakhlak mulia dan berkepribadian

Muslim adalah upaya konkrit misi Rasulullah saw yang berkesinambungan.

DAFTAR PUSTAKA

al-Abrasyi, Mohd. ‘Athiyah. 2001. Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam. Terj.Bustami A. Gani, Jakarta: Bulan Bintang,

Azmi, Kamarul. 2007. Kaedah Pendidikan Islam, Kaedah Pengajaran dan PembelajaranPendidikan Akhlak. Slandai – Johor: Universiti tekhnologi Malaysia.

al-Munawwar, Said Agil Husein. 2005. Aktulaisasi Nilai-nilai al-Quran dalam SistemPendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Press.

Badaruddin, Kemas. 2007. Filsafat Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.Tafsir, Ahmad. 2005. Ilmu Pendidikan dalam Persepektif Islam. Bandung: PTRemaja Rosdakarya.al-Syaibany, Omar Mohammad al-Toumy. 2000. Falsafah Pendidikan Islam. terj.

Hassan Langgulung, Jakarta: Bulan Bintang.Suhid, Asmawati. 2009. Pendidikan akhlak dan adab Islam: konsep dan amalan. Kuala

Lumpur: Utusan Publications & Distributors.Wan Daud, Wan Mohammad Noor, 2003. Filsafat Islam dan Puncak Praktik Pendidikan

Islam Syed M. Naquib al-Attas. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

SARANA DAN PRASARANA DALAMBIMBINGAN DAN KONSELING

Oleh:

Novi HendriDosen Fakultas tarbiyah IAIN Sumatera Utara

Jl. Willem iskandar Psr V Medan Estate

Abstract

Mechanism and system of supply management and equipments which requiredin service of guidence and counceling aim to the of executing service of guidence andcounceling efficient and effektif. To reach the result, requered by facilities and basicfacilities supporting service of guidence and counceling in school, start from room andsupply which requered coming up with levying, the conservancy and management sothat facilities and basic facilities guedance and counceling the can be applied accordingto the allotment by maximal.Keywords: Sarana, Prasarana, Bimbingan dan Konseling

PENDAHULUAN

Agar dapat terlaksana pelayanan bimbingan dan konseling dengan sebaik-

baiknya, maka di samping membentuk dan mengatur organisasinya secara baik, dan

penugasan tenaga personil sesuai dengan kemampuan masing-masing, perlu ada sarana

dan prasarana atau fasilitas yang menunjang terselenggaranya pelayananan bimbingan

dan konseling dengan baik dan efisien. Sarana dan prasarana BK merupakan hal yang

penting diperhatikan, karena pelayanan BK merupakan bagian dari pendidikan yang

dijalankan di suatu sekolah.

Sarana dan prasarana BK adalah bagian dari sarana dan prasarana pendidikan.

Mengenai sarana dan prasarana pendidikan diatur dalam Undang-undang RI No. 20

Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yakni (dalam Undang-Undang no. 20,

2003) :

Pasal 45 ayat (1) Setiap satuan pendidikan formal dan nonformal menyediakan

sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan

dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan

peserta didik, ayat (2). Ketentuan mengenai penyediaan sarana dan prasarana

pendidikan pada semua satuan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur

lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

KONSEP SARANA DAN PRASARANA PENDIDIKAN

A. KONSEP SARANA PENDIDIKAN

Sarana pendidikan adalah semua perangkat peralatan, bahan, dan perabot yang

secara langsung digunakan dalam proses pendidikan di sekolah (Ibrahim, 2003).

Nawawi (1987) mengklasifikasikan sarana pendidikan yang ditinjau dari sudut : (1)

habis tidaknya dipakai ; (2) bergerak tidaknya pada saat digunakan; dan (3)

hubungannya dengan proses belajar mengajar.

1. Ditinjau dari Habis Tidaknya Dipakai

a. Sarana pendidikan yang habis dipakai

Yaitu segala bahan atau alat yang apabila digunakan bisa habis dalam waktu

yang relatif singkat. Sebagai contoh adalah kapur tulis atau spidol yang

digunakan dalam proses belajar mengajar.

b. Sarana pendidikan yang tahan lama

Yaitu keseluruhan bahan atau alat yang dapat digunakan secara terus menerus

dalam waktu relatif lama. Contohnya adalah bangku sekolah dan meja tulis.

2. Ditinjau dari Bergerak Tidaknya Saat Digunakan

a. Sarana pendidikan yang bergerak

Yaitu sarana pendidikan yang bisa digerakkan atau dipindahkan sesuai

dengan kebutuhan pemakaiannya. Bangku sekolah merupakan salah satu sarana

pendidikan yang bisa digerakkan atau dipindahkan .

b. Sarana pendidikan yang tidak bisa bergerak

Yaitu semua sarana pendidikan yang tidak bisa atau relatif sangat sulit untuk

dipindahkan. Misalnya suatu sekolah yang memiliki saluran dari Perusahaan

Daerah Air Minum (PDAM). Semua peralatan yang berkaitan dengan itu, seperti

pipanya, relatif tidak mudah untuk dipindahkan ke tempat tertentu.

3. Ditinjau dari Hubungannya dengan Proses Belajar Mengajar

a. Sarana pendidikan yang secara langsung digunakan proses belajar mengajar.

Sebagai contohnya adalah kapur tulis atau spidol yang secara langsung

digunakan guru dalam proses mengajar.

b. Sarana pendidikan yang secara tidak langsung berhubungan dengan proses

belajar mengajar, seperti lemari arsip di kantor.

Sarana pendidikan yang tersedia di tiap satuan pendidikan tentu akan berbeda.

Hal ini bisa disebabkan karena anggaran dana yang kurang maksimal untuk pengadaan

sarana pendidikan. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya sekolah di daerah

terpencil yang kekurangan sarana pendidikan,. Meskipun demikian, proses belajar

mengajar harus tetap terlaksana walaupun dengan sarana yang minimal.

B. KONSEP PRASARANA PENDIDIKAN

Ibrahim Bafadal mengemukakan bahwa prasarana pendidikan adalah semua

perangkat peralatan yang secara tidak langsung menunjang pelaksanaan proses

pendidikan di sekolah. Prasarana pendidikan bisa diklasifikasikan menjadi dua macam

yakni (Ibrahim, 2003) :

1. Prasarana pendidikan yang secara langsung digunakan dalam proses belajar

mengajar, seperti ruang teori, ruang praktik keterampilan , ruang

laboratorium.

2. Prasarana yang keberadaannya tidak digunakan untuk proses belajar

mengajar, tapi menunjang terjadinya proses belajar mengajar. Beberapa

contohnya adalah ruang kantor, kamar kecil, ruang guru, ruang kepala

sekolah, ruang usaha kesehatan sekolah.

Prasarana pendidikan yang ada di tiap satuan pendidikan tentu saja akan

berbeda. Hal ini bisa disebabkan oleh kebijakan yang dilakukan oleh kepala sekolah

sebagai top leader di sekolah yang disesuaikan dengan anggaran dana yang tersedia di

sekolah dan kebutuhan akan prasarana pendidikan yang lebih penting. Misalnya,

kebutuhan akan penambahan ruang teori yang akan lebih diprioritaskan daripada

pengadaan ruang usaha kesehatan sekolah (UKS). Ruang UKS ini sementara waktu bisa

memanfaatkan ruang perpustakaan dengan memberi pembatas ruangan.

1. Sarana BK

Sarana yang diperlukan sebagai penunjang pelayanan bimbingan dan konseling

adalah instrumen pengumpulan data, alat penyimpan data, perlengkapan teknis dan

perlengkapan admnistrasi bimbingan (Thantawy, 1995).

1. Instrumen pengumpulan data

Ialah alat-alat yang digunakan untuk pemahaman individu atau siswa seperti

: Pedoman wawancara, pedoman observasi, kuesioner, daftar isian untuk

keterangan pribadi siswa, instrumen sosiometri, laporan hasil konseling,

laporan studi kasus, skala sikap, daftar cek, beberapa alat inventori atau tes

untuk penelusuran bakat dan minat.

2. Alat penyimpan data

Ialah alat untuk mencatat seluruh informasi yang diperlukan berupa catatan

kumulatif dalam bentuk buku yang disebut buku pribadi siswa.

3. Perlengkapan teknis

Ialah alat-alat atau media yang digunakan untuk keperluan layanan

bimbingan seperti buku paket bimbingan (pribadi, sosial, belajar, karir),

rekaman tape recorder, video, slide dsb.

4. Beberapa alat perlengkapan administrasi bimbingan yang perlu disediakan di

ruang bimbingan ialah :

A. Blangko surat-surat seperti surat panggilan kepada siswa, surat undangan

/ panggilan orang tua, surat pemberitahuan kunjungan rumah, blangko

laporan bulanan, atau caturwulan, arsip surat-surat.

B. Kartu laporan konseling, yaitu kartu yang digunakan untuk mencatat

kegiatan pemberian layanan konseling perorangan atau konseling

kelompok.

C. Catatan konsferensi kasus, yaitu catatan untuk kegiatan konferensi kasus.

D. Keterangan pemberian jenis layanan atau kegiatan penunjang layanan

yang dapat digunakan sebagai bukti fisik untuk keperluan perolehan

angka kredit guru pembimbing.

E. Perlengkapan lain yang perlu disediakan di ruangan bimbingan ialah

buku tamu tempat mencatat jika ada tamu yang berkunjung ke sekolah

itu, buku agenda atau ekspedisi surat-surat.

F. Kotak masalah, ialah penyediaan kotak tempat untuk menampung

masalah-masalah yang datang dari siswa atau guru mata pelajaran, wali

kelas.

G. Papan pengumuman, yakni tempat penyampaian informasi yang perlu

diketahui oleh para siswa ataupun guru dalam hubungan dengan kegiatan

BK.

Menurut Panduan Pelayanan Bimbingan dan Konseling Berbasis kompetensi

yang juga menjadi sarana BK adalah perangkat elektronik seperti (Depdiknas, 2002) :

1. Komputer untuk mengolah data hasil aplikasi instrumentasi.

2. Program-program khusus pengolahan hasil instrumentasi melalui

komputer

3. Program-program khusus bimbingan dan konseling melalui komputer ,

seperti “bimbingan belajar melalui program komputer”.

Sarana BK yang telah dipaparkan merupakan suatu konsep ideal sarana yang

diperlukan dalam mencapai tujuan pelayanan BK di suatu sekolah. Tetapi, dalam

kenyataannya, hanya sekolah-sekolah dengan dana yang memadai yang dapat

memenuhi keseluruhan dari sarana BK, karena banyak sekolah yang masih

memprioritaskan sarana mata pelajaran dibandingkan sarana BK.

Sebagai skala prioritas jika sarana BK tersebut tidak dapat dapat dipenuhi

keseluruhannya, maka yang menjadi kebutuhan primer dalam sarana BK adalah

instrumen pengumpulan data dan alat pengumpul data siswa. Hal ini dikarenakan tanpa

adanya instrumen pengumpulan data, maka guru pembimbing tidak akan memahami

siswa dan tidak mengetahui kebutuhan siswa sehingga pelayanan BK tidak akan

berjalan. Begitu juga dengan alat pengumpul data siswa, menjadi hal yang penting

dalam pelayanan BK karena akan merangkum keseluruhan informasi tentang siswa.

Perlengkapan teknis, perlengkapan administrasi dan perangkat elektronik

menjadi kebutuhan sekunder dalam sarana BK. Hal ini dikarenakan tanpa ketiga

perlengkapan tersebut, pelayanan BK dapat tetap berjalan.

2. Prasarana BK

Prasarana berupa perlengkapan fisik yang diperlukan untuk pelaksanaan

pelayanan bimbingan dan konseling ialah adanya ruangan bimbingan dan konseling

yang dilengkapi dengan fasilitas yang memadai. Prasarana atau perlengkapan ruangan

bimbingan yang diperlukan ialah (Thantawy, 1995) :

1. Ruang kerja guru pembimbing

Ruang ini merupakan tempat para guru pembimbing bekerja, sebaiknya

ruangan ini berdekatan letaknya dengan ruang bimbingan lain.

2. Ruang konseling

Ruang ini merupakan tempat melakukan kegiatan konseling, terutama

konseling perorangan. Tempat ruang konseling sebaiknya aman dari

keramaian, keriuhan, dan terlindung untuk kerahasiaan pembicaraan proses

konseling.

3. Ruang tunggu atau ruang tamu

Merupakan tempat para siswa dan para tamu untuk menunggu baik

keperluan konseling, konsultasi atau pengumpulan data. Di ruang ini

sebaiknya disediakan bahan bacaan ringan untuk para tamu, brosur-brosur

atau leaflet yang berisi informasi atau pengumuman.

4. Ruang perlengkapan / dokumentasi

Merupakan ruang tempat menyimpan data atau informasi yang digunakan

dalam pemberian layanan bimbingan. Ruangan ini dapat juga befungsi

sebagai tempat menyimpan alat-alat atau instrumen bimbingan.

5. Ruang bimbingan kelompok

Ruangan ini dimaksudkan untuk kegiatan kelompok baik untuk bimbingan

kelompok maupun kegiatan konseling kelompok.

Menurut pemakalah, model ruangan bimbingan dan konseling di sekolah

yakni :

Ruang Kelompok

Ruang Data dan

Administrasi

Ruang

Konseling

GP-1

Ruang Media

BK

GP-2 Ruang Tamu

GP-3

GP-4

Keterangan: pintu, GP = Guru Pembimbing

Prasarana yang dikemukakan adalah konsep ideal tentang prasarana BK. Dalam

kenyataannya tidak semua sekolah memenuhi prasarana BK. Hal ini bisa disebabkan

kekurangan prasarana atau kurangnya perhatian kepala sekolah selaku top manager di

sekolah untuk memenuhi prasarana BK.

Sebagai kebutuhan primer dalam prasarana BK di sekolah adalah ruang

perlengkapan / dokumentasi yang berfungsi sebagai tempat menyimpan data atau

informasi yang digunakan dalam pemberian layanan BK. Ruangan ini juga dapat

berfungsi sebagai tempat menyimpan alat-alat atau instrumen bimbingan. Ruangan ini

harus dilengkapi dengan lemari yang dapat dikunci bisa berupa filling cabinet atau

lemari yang terbuat dari kayu, karena sifat dari data / informasi dan instrumen

bimbingan yang bersifat rahasia.

Ruang kerja guru pembimbing, ruang konseling, ruang tamu, ruang bimbingan

kelompok menjadi kebutuhan sekunder dalam pelayanan BK di sekolah karena tanpa

adanya ruangan tersebut, pelayanan BK dapat tetap berjalan. Ruang kerja guru

pembimbing dapat menggunakan ruang guru dan jika memungkinkan di sekat agar azas

kerahasiaan dapat terjamin. Untuk ruangan konseling, bimbingan kelompok dan

konseling kelompok dapat menggunakan ruang kelas atau musholla, jika memang tidak

ada ruangan khusus.

3. Pengadaan Sarana dan Prasarana BK

Pengadaan perlengkapan pendidikan pada dasarnya merupakan upaya

merealisasikan rencana pengadaan perlengkapan yang telah disusun sebelumnya.

Biasanya sekolah mendapat bantuan sarana dan prasarana pendidikan dari pemerintah,

yakni Departemen Pendidikan Nasional, Dinas Pendidikan Provinsi, Dinas Pendidikan

Kabupaten / Kota. Namun jumlah tersebut terbatas dan tidak selalu ada sehingga

sekolah dituntut untuk selalu berusaha melakukan pengadaaan perlengkapan dengan

cara lain.

Di sisi lain, dalam kerangka peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah

(PMPBS), atau dalam kerangka manajemen berbasis sekolah (MBS), pengadaan

perlengkapan sekolah harus dilakukan sendiri oleh sekolah, baik dengan menggunakan

dana bantuan pemerintah maupun dana sekolah sendiri. Artinya dalam kerangka

MPMBS atau MBS semua bentuk penyerahan perlengkapan pemerintah ke sekolah

harus diubah dari bentuk pemberian dana ke dalam bentuk block grand kepada

sekolah, kemudian kepala sekolah bersama para guru dan bila perlu pengurus komite

merencanakan dan melakukan pengadaan sendiri perlengkapan yang dibutuhkan secara

efektif dan efisien (Ibrahim, 2003).

Sejalan dengan hal di atas, pada setiap tahun ajaran koordionator BK perlu

membuat rencana anggaran belanja untuk pengadaan sarana dan prasarana bimbingan

dan konseling. Rancangan anggaran ini diajukan kepada kepala sekolah, baik untuk

anggaran tahunan, ataupun semesteran (Thantawy, 1995).

Sarana dan prasarana BK tidak dapat dipenuhi keseluruhannya jika kepala

sekolah selaku top manager kurang memahami tentang pentingnya pelayanan BK di

sekolah dan jika memang dana yang tersedia kurang memadai. Padahal dalam

kenyataannya, pelayanan BK akan membantu terselenggaranya pendidikan di sekolah

agar lebih efektif dan efisien.

4. Pengelolaan dan Pemeliharaan

a. Pengelolaan

Pengelolaan sarana dan prasarana BK dilakukan oleh koordinator BK yang

dibantu oleh guru pembimbing. Hal ini merupakan penjabaran dari salah satu tugas

koordinator BK yang mengusulkan kepada kepala sekolah dan mengusahakan bagi

terpenuhinya tenaga, sarana dan prasarana, alat dan perlengkapan pelayanan BK.

b. Pemeliharaan

Ada 2 macam pemeliharaan perlengkapan pendidikan di sekolah, yakni

(1) ditinjau dari sifatnya dan (2) ditinjau dari waktu perbaikannya (Ibrahim, 2003). Hal

tersebut dapat diterapkan dalam pemeliharaan sarana dan prasarana BK di sekolah.

I. Ditinjau dari sifatnya

a. Pemeliharaan yang bersifat pengecekan

Contoh: pengecekan tentang baik buruknya keadaan komputer yang

dilakukan oleh seseorang yang paham tentang komputer.

b. Pemeliharaan yang bersifat pencegahan

Contoh : komputer yang diberi anti virus.

c. Pemeliharaan yang bersifat perbaikan ringan

Contoh : Perbaikan jika komputer terkena virus.

d. Pemeliharaan yang bersifat perbaikan berat

Contoh : Komputer yang direparasi.

II. Ditinjau dari waktu perbaikannya

a. Pemeliharaan sehari-hari

Misalnya menyapu, mengepel lantai ruangan konseling yang dilakukan

oleh petugas yang ditunjuk.

b. Pemeliharaan berkala

Misalnya berupa pengontrolan genting dan pengapuran tembok pada

ruangan konseling yang dilakukan oleh petugas yang ditunjuk.

Menurut pemakalah, pemeliharaan sarana dan prasarana BK lainnya dapat

disesuaikan dengan kebutuhan yang berdasarkan pada konsep-konsep yang telah

dikemukakan tentang pemeliharaan.

5. Masalah dan Solusi

A. Masalah

1. Belum maksimalnya penggunaan instrumen pengumpulan data, sehingga

pelayanan BK belum sesuai kebutuhan siswa.

2. Belum maksimalnya penggunaan perangkat elektronik.

3. Belum lengkapnya perlengkapan admnistrasi bimbingan.

4. Pemeliharaan sarana BK belum maksimal, yakni masih digunakannya

sarana dan prasarana yang sudah sangat lama dan kurang terawat, misalnya

pedoman wawancara yang sudah kumal dan kotor termakan usia.

B. Solusi

1. Jika memang guru pembimbing tidak mempunyai hak dalam melakukan

pengetesan misalnya tes intelegensi, maka sebaiknya dilakukan oleh petugas

yang berwenang misalnya psikolog. Guru pembimbing dapat

mengkomunikasikan tentang pentingnya dilaksanakan pengetesan siswa

kepada koordinator BK dan dilanjutkan ke kepala sekolah. Hasil dari

pengetesan ini dapat membantu guru pembimbing dalam melakukan

pemahaman individu atau siswa.

2. Jika guru pembimbing belum memahami penggunaan perangkat elektronik,

dapat dilakukan kursus atau pelatihan singkat mengenai perangkat

elektronik seperti komputer, sehingga memudahkan guru pembimbing

dalam mengolah hasil aplikasi insrumentasi atau hal lain yang berhubungan

dengan pelayanan BK.

3. Guru pembimbing dan koordinator BK mengkomunikasikan kepada kepala

sekolah tentang kekurangan perlengkapan administrasi BK.

4. Pemeliharaan sarana BK harus benar-benar diperhatikan oleh guru

pembimbing dan koordinator BK, dan mengkomunikasikannya pada kepala

sekolah jika sarana BK sudah tidak layak digunakan.

KESIMPULAN

Sistem dan mekanisme pengelolaan peralatan dan perlengkapan yang

dibutuhkan dalam pelayanan BK bertujuan agar terlaksananya pelayanan BK yang

efektif dan efisien. Untuk mencapai hasil tersebut, dibutuhkan sarana dan prasarana

yang menunjang pelayanan BK di sekolah, mulai dari perlengkapan dan ruangan yang

dibutuhkan sampai pada pengadaan, pengelolaan dan pemeliharaannya agar sarana dan

prasarana BK yang ada dapat digunakan sesuai peruntukannya dengan maksimal.

DAFTAR PUSTAKA

Ibrahim Bafadal, 2003. Manajemen Perlengkapan Sekolah (Teori dan Aplikasinya).Jakarta : Bumi Aksara.

Panduan Pelayanan Bimbingan dan Konseling. 2002. Balitbang : Depdiknas.Thantawy, 1995. Manajemen Bimbingan dan Konseling. Jakarta : PamatorPressindo.Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

YOSEPH SCHACHT DAN PANDANGANNYATENTANG SANAD HADIS

Oleh :

Askolan LubisDosen Fakultas tarbiyah IAIN Sumatera Utara

Jl. Willem iskandar Psr V Medan Estate

Abstract

Sanad system as a specifict case for moslem. The previous people do notpossess it. Therefor their authentic holybook cannot be justified. The Sanad value iscrucial, so the expert of Hadits cited that Sanad system is a part of Islamic religion.

There is a disriction from the views above. The orientalist schacht has his ownperspective. He stated :” we shall not meet any legal tradition from the Propet, whichcan be considered authentic”. According to him, Sanad of Hadits did not appear yet inProphet period, the Sanad was counterfeit, it was created by the experts of classic Fiqh.Key words : Sanad Hadits, Orientalis

PENDAHULUAN

istem penyampaian berita dengan menyebutkan narasumbernya disebut Isnad.

Sementara narasumber berita ini disebut Rawiy (periwayat), karena ia meriwayatkan

berita itu dari orang lain kepada orang lain pula. Dan dari narasumber pertama - - dalam

hal ini adalah Nabi Muhammad SAW sendiri - - sampai narasumber terakhir akan

terbentuk silsilah atau jalur periwayatan yang kemudian lazim dikenal dengan istilah

Sanad.

Sistem sanad ini merupakan spesifik umat Islam. Umat-umat sebelumnya tidak

memiliki sistem ini. Karenanya, otentisitas kitab-kitab samawi mereka tidak dapat

dipertanggung jawabkan. Begitu pula ajaran-ajaran yang asli dari para Nabi mereka juga

tidak ditulis dalam kitab-kitab yang dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya.

Karenanya, seandainya umat Islam tidak memiliki sistem sanad, tentulah al-

Quran dan ajaran Nabi Muhammad SAW sudah mengalami nasib yang sama seperti

ajaran para Nabi sebelumnya. Maka disinilah letak nilai dan urgensi sanad dalam agama

Islam.

S

Karena demikian luhurnya nilai sanad, maka para ulama mengatakan bahwa

pemakaian sanad itu merupakan simbol umat Islam (al-Tahhan, 1979 : 158). Bahkan

Imam Abdullah bin al-Mubarak, berkata :”Sistem sanad ini merupakan bagian dari

agama Islam. Tanpa adanya sistem sanad, setiap orang dapat mengatakan apa yang

dikehendakinya” (Muslim, tt.: 9). Sementara Imam al-Tsauriy mengatakan, “Sistem

sanad ini merupakan senjata bagi orang-orang mukmin (Nur al-Din ‘Itr, 1979: 344).

Urgensi sanad ini akan lebih tampak apabila kita meneliti rawi-rawi hadis yang

membentuk sanad- sanad itu sendiri. Karena dengan meneliti sanad dapat diketahui

apakah silsilah rawi-rawi itu bersambung sampai kepada Nabi SAW atau tidak. Dan

dapat pula diketahui, apakah masing-masing rawi bisa dipertanggung jawabkan

pemberitaannya itu atau tidak. Dan akhirnya dapat diketahui apakah hadis yang

diriwayatkan itu bernilai sebagai hadis Sahih, Hasan, atau Da’if, bahkan Maudu’

Berbeda dengan pendapat kaum Muslimin seperti disebutkan di atas, para

orientalis tidak mempercayai bahwa sanad hadis sudah dipakai sejak masa Nabi

Muhammad SAW, dan salah seorang di antara orientalis yang berpendapat demikian

adalah Yoseph Schacht.

1. Sekilas Tentang Yoseph Schacht

Schacht, lahir di Silisie Jerman, 15 Maret 1902. Dia memulai karir akademiknya

dengan belajar pilologi klasik, teologi dan bahasa-bahasa Timur di Universitas

Berslauw dan Universitas Leipzig. Ia memperoleh gelar Doktor pada tahun 1923, yaitu

ketika dia baru berumur 21 tahun.

Pada tahun 1925, ia diangkat menjadi Dosen di Universitas Fribourg, dan pada

tahun 1929, ia dikukuhkan sebagai guru besar. Pada tahun 1932, ia pindah ke

Universitas Kingsbourg, dan dua tahun kemudian, ia meninggalkan negerinya, Jerman,

untuk mengajar Tata-bahasa Arab dan bahasa Suryani di Universitas Fuad Awal (kini

Universitas Cairo) di Mesir. Ia tinggal di Cairo, Mesir, sampai tahun 1939 sebagai Guru

Besar.

Ketika perang dunia ke-dua meletus, Yoseph Schacht meninggalkan Cairo dan

pindah ke Inggeris. Dan ketika perang usai, dia tetap tinggal di Inggeris, dan menikah

dengan seorang wanita Inggeris. Bahkan pada tahun 1947, dia menjadi Warga Negara

Inggeris.

Sebagai seorang ilmuan yang menyandang gelar Profesor-Doktor, di Inggeris,

dia justru belajar lagi di tingkat Pasca Sarjana Universitas Oxford, sampai ia meraih

gelar Magister (1048) dan Doktor (1952) dari Universitas tersebut.

Pada tahun 1954, ia meninggalkan Inggeris dan mengajar di Universitas Leiden,

Belanda sebagai Guru Besar sampai tahun 1959. Di negeri Belanda ini, ia ikut menjadi

Supervisor atas cetakan ke-dua buku Dairah al-Ma’arif al-Islamiyyah. Kemudian, pada

musim panas, tahun 1959, ia pindah ke Universitas Colombia, New York, dan mengajar

sebagai Guru Besar, sampai ia meninggal dunia, pada tahun 1969 (Ali Mustafa Yakub,

1995: 20).

Karya-karyanya

Sebagai seorang ilmuan, Schacht banyak meninggalkan karya, baik buku

maupun artikel. Di antara karya-karyanya tersebut, antara lain : The Legacy of Islam,

The Teologus Auto-Didactus of Ibn Nafis. Namun karya tulisnya yang paling

monumental dan melambungkan namanya adalah bukunya, The Origins of

Muhammadan Jurisprudence yang terbit pada tahun 1950, dan An Introduction To

Islamic Law , yang terbit pada tahun 1960. Dalam dua karyanya inilah, ia menyajikan

hasil penelitiannya tentang Hadis Nabi, dimana ia berkesimpulan bahwa sanad Hadis

adalah bagian dari tindakan sewenang-wenang dan kecerobohan (carelessly) dalam

hadis Nabi (Schacht, 1959, 163).

2. Pendapat Schacht Tentang Sanad

Dalam mengkaji hadis Nabi, Schacht lebih banyak menyoroti aspek sanad

daripada aspek Matn. Menurut dia, ketika Nabi Muhammad SAW di Madinah, beliau

menjadi seorang Nabi sekaligus pembuat hukum (propeth-Lawgiver). Padahal

kekuasaannya tidak mencakup segi-segi penetapan hukum. Bagi orang yang beriman,

kekuasaan Nabi hanya berhubungan dengan masalah agama saja, sedang bagi orang

munafik, kekuasaan Nabi hanya dalam masalah politik. Para Khulafa’ al-Rasyidin

(632 – 661) setelah wafatnya Rasul merupakan pemimpin politik masyarakat Islam,

namun mereka tidak mengambil hukum dari sumber yang lebih tinggi, yaitu Rasul.

Mereka hanya mengambilnya dari Khalifah sendiri secara luas sebagai pembuat

hukum masayarakat (Schacht, 1964: 11).

Menurut Schacht, para Khalifah awal tidak pernah mengangkat Qadhi/hakim.

Pengangkatan Qadhi, baru dilakukan pada masa Dinasti Bani Umayyah (Schacht,

1959: 16). Kira-kira pada akhir abad pertama Hijriyah (715 – 720 M), pengangkatan

Qadhi itu ditujukan kepada “orang-orang spesialis” yang berasal dari kalangan yang

taat beragama. Karena jumlah orang-orang ini bertambah banyak, maka akhirnya

mereka berkembang menjadi kelompok aliran Fiqh klasik (the ancient shool law).

Aliran Fiqih klasik ini mempunyai persamaan dalam teori hukum yang esensial.

Dan titik pusat ide dari teori tersebut adalah masalah yang sudah memasyarakat yang

dipraktekkan oleh wakil-wakil resmi yang merupakan teori hukum yang tetap, yang

disebut Schacht dengan istilah “The living tradition of the school”. Inilah yang pada

akhirnya melahirkan praktek ideal atau sunnah (Schacht, 1964: 16).

Ide kontinuitas yang diwariskan dari konsep Sunnah atau praktek ideal dan

perlunya diciptakan alasan-alasan teoritis sebagai pembenarannya, memerlukan

legitimasi dari orang-orang yang memiliki otoritas lebih tinggi. Karenanya, mereka

tidak menisbahkan keputusan-keputusan itu kepada dirinya sendiri, melainkan

menisbahkannya kepada tokoh-tokoh sebelumnya. Misalnya, orang Irak menisbahkan

pendapat-pendapat mereka kepada Ibrahim al-Nakha’i.

Perkembangan berikutnya, pendapat-pendapat para hakim (qadhi) itu tidak

hanya dinisbahkan kepada tokoh-tokoh terdahulu yang jaraknya masih dekat,

melainkan dinisbahkan kepada tokoh yang lebih terdahulu, misalnya Masruq. Langkah

selanjutnya, untuk memperoleh legitimasi yang lebih kuat, maka pendapat-pendapat

itu dinisbahkan lagi kepada tokoh yang memiliki otoritas yang lebih tinggi, misalnya

Sahabat Abdullah bin Mas’ud. Dan pada tahap terakhir, pendapat-pendapat itu

dinisbabahkan kepada Nabi Muhammad SAW.

Dengan cara inilah rekonstruksi terbentuknya sanad hadis, yaitu dengan

memproyeksikan pendapat-pendapat itu kepada tokoh-tokoh dibelakang (Projecting

Back ). Menurut dia, gerakan ahli hadis muncul sebagai oposisi terhadap aliran Fiqh

klasik, dan mereka membuat-buat hadis-hadis yang mereka katakan sebagai laporan

yang berasal dari Nabi Muhammad SAW dan mereka juga membuat sanad yang

bersambung untuk hadis-hadis tersebut, sebagaimana penegasan Schacht berikut ini:

The movement of the traditionists ... in the second century of the hijrah, was thenatural outcome and continuation of a movement of religiously and ethically inspiredopposition to the ancient school of law ... The main thesis of the traditionists was theformal “Traditions” ... deriving from the prophet superseded the living tradition ofthe school ... the traditionists produced detailed statements or traditions whichclaimed to be the reports of ear or eye – witnesses on the words or acts of theprophet, handed down orally by uninterrupted chain (isnad) of trustworthy persons.Hardly any of these traditions, as far as matters of religious law are concerned, canbe considered authentic ...(Schacht, 1964 : 34 – 35).

Gerakan ahli-ahli hadis ... pada abad ke dua hijrah merupakan hasil alami dan

kesinambungan dari sebuah gerakan oposisi yang diilhami secara agamis terhadap

aliran Fiqh klasik ... Tesis pokok ahli-ahli hadis adalah bahwa hadis-hadis formal yang

berasal dari Nabi Muhammad SAW harus mengalahkan aturan-aturan aliran Fiqh ...

Oleh karenanya, ahli-ahli hadis membuat pernyataan-pernyataan terinci atau hadis-

hadis yang di klaim sebagai riwayat dari saksi yang melihat atau mendengar

perkataan-perkataan atau perbuatan-perbuatan Nabi, diterima secara lisan dengan

sanad Muttasil dari periwayat-periwayat yang terpercaya. Kerenanya, sulit sekali

untuk mengatakan bahwa hadis-hadis ini, sejauh berkenaan dengan masalah-masalah

hukum keagamaan, dapat dipertimbangkan sebagai hadis sahih ...

Demikianlah, Schacht memberi illustrasi tentang pertentangan antara ahli-ahli

hadis sebagai gerakan oposisi dengan aliran Fiqh klasik yang mempertahankan adanya

masalah yang sudah memasyarakat (Living traditions of the school). Pertentangan

inilah yang membuat satu kelompok ingin mengalahkan otoritas kelompok yang lain.

Dan untuk mencari legitimasi terhadap pemikiran dan gagasan, keduanya membuat

hadis-hadis yang mereka katakan berasal dari Nabi. Mereka juga merekayasa sanad-

sanadnya dan mengatakan bahwa hadis-hadis itu diterima secara lisan dari saksi-saksi

dan periwayat-periwayat yang adil dan dhabit. Situasi semacam inilah yang

melahirkan hadis-hadis Nabi, yang akhirnya, menurut Schacht, bahwa hadis-hadis

yang berkenaan dengan hukum sulit dipertimbangkan sebagai Hadis Sahih. Bahkan

dia mengatakan :”We shall not meet any legal tradition from the Prophet which can be

considered authentic” (Schaht, 1959: 149)

Menurut Schacht, sanad hadis belum tumbuh pada masa Nabi Muhammad

SAW. Bahkan sebenarnya sanad-sanad hadis itu adalah palsu, dan dibuat-buat oleh

ahli-ahli hadis untuk mengimbangi aturan-aturan aliran Fiqh klasik. Perkembangan

sanad, kata dia, dimulai dari bentuk sederhana yang kemudian diperbaiki sedemikian

rupa sehingga menjadi sanad yang Muttasil. Perkembangan sanad tersebut diiringi

dengan perkembangan matan-matannya. Sehingga semakin akhir periode, periwayatan

suatu hadis semakin sempurna pula sanad hadis yang diriwayatkannya, sebagaimana

yang dinyatakan Schacht berikut ini:

“ ... Sanad menunjukkan bagian yang sangat sewenang-wenang terhadap hadis

Nabi, ... adalah pengetahuan umum bahwa sanad berawal dari bagian sederhana

dan mencapai titik kesempurnaan dalam koleksi hadis-hadis klasik pada paruh ke

dua abad ke tiga hijrah, ... sanad seringkali diambil bersama-sama secara

sembarangan (1959: 163).

Demikianlah Schacht menjelaskan proses terjadinya sanad hadis. Secara tegas

dia mengatakan bahwa sanad tersebut pada awalnya tidak ada. Kemudian, setelah

timbul pertentangan antara ahli hadis sebagai golongan oposisi dengan aliran Fiqh

klasik, maka ahli-ahli hadis membuat hadis-hadis yang dianggap dari Nabi.

Menurut dia, bagian bawah dari sanad adalah otentik, tetapi bagian atas dari sanad

hanayalah buatan orang-orang belakangan dan tidak dapat dipertimbangkan sama

sekali sebagai sanad yang sahih. Namun para periwayat hadis pada masa belakangan

menganggap bahwa hal tersebut benar-benar berasal dari Nabi.

Untuk membuktikan teorinya ini, Schacht memberikan contoh hadis yang

terdapat dalam kitab Ikhtilaf al-Hadis karya Imam Syafi’i, yaitu tentang makanan

seorang Muhrim dari binatang buruan (1986 : 177). Berikut Skema sanadnya :

Nabi SAW Nabi SAW Nabi SAW

Jabir Jabir Jabir

Seorang dari suku Muttalib MuttalibBani Salamah

‘Amar bin Abu ‘Amar(Sahaya yang dimerdekakan oleh

Muttalib)

Abd Azis bin Ibrahim bin Muhammad Sulaiman binBilal

Muhammad

al-Syafi’i al-Syafi’i Seorang takdikenal

al-Syafi’i

Menurut Schacht, hadis yang diriwayatkan oleh Syafi’i tersebut menggambarkan

sebuah fenomena tentang seorang periwayat yang menjadi titik temu bersama untuk

semua sanad yang disebut oleh Schacht dengan istilah common transmitter atau

common link. Dalam skema sanad tersebut, yang menjadi common link adalah ‘Amar

bin Abu ‘Amar, sehingga hadis dimaksud bersambung kepada seorang sahabat yang

bernama Jabir atau kepada Nabi SAW. Bagian bawah dari sanad adalah bagian yang

otentik. Sedangkan bagian atas hanyalah sanad palsu yang dibuat seseorang ahli hadis

yang bernama ‘Amar bin Abu ‘Amar (Schacht: 172).

Contoh lain, Schacht merujuk kepada kitab al-Muwatta’ karya Imam Malik bin

Anas. Dalam kitab tersebut ada riwayat dari Malik dari Hisyam bin ‘Uwah dari

ayahnya, bahwa ‘Umar bin Khattab ketika berada di mimbar pada waktu khutbah

Jum’at, beliau membaca ayat sajdah (ayat dimana pembaca atau pendengarnya

disunnahkan sujud). Maka beliau lalu turun dari mimbar dan sujud, kemudian orang-

orang ikut sujud juga. Pada hari Jum’at yang lain, beliau juga membaca ayat seperti itu,

sehingga orang-orang pun bersiap-siap untuk sujud. Namun ketika melihat hal itu,

beliau berkata:”Tenanglah, karena Allah tidak mewajibkan bersujud dalam ayat Sajdah,

kecuali apabila kita mau”. Dan beliau pun mencegah mereka bersujud (M.Azami,1992:

435)

Mengomentari sanad hadis tersebut, Schacht berpendapat bahwa sanad hadis

tersebut terputus, sebab ‘Urwah lahir pada masa khalifah Usman. Namun, kata Schacht

lagi, dalam kitab sahih Bukhari, sanad hadis ini Muttasil atau bersambung. Dan dalam

kitab naskah kuno kitab al-Muwatto’ terdapat kata-kata “dan kami bersujud bersama

‘Umar”, yang tentunya bukan ucapan ‘Urwah, tetapi dianggap begitu saja sebagai

ucapannya. Dan kenyataannya, inilah teks asli kitab al-Muwatta’. Maka hal ini

merupakan bukti yang menunjukkan bahwa “pembuatan” teks hadis itu sudah ada lebih

dahulu, kemudian baru dibuatkan sanadnya bersama teks tersebut secara palsu.

Kemudian Sanad itu dikembangkan dan direvisi sedemikian rupa, sehingga hadis itu

disebut sebagai berasal dari masa silam (Schacht, 1959: 164).

Dua contoh yang kita kutip di atas, sudah cukup mewakili tentang tuduhannya

bahwa ia tidak mengakui sama sekali adanya hadis-hadis hukum yang sahih. Bahkan

lebih jauh lagi, Schacht menggeneralisasikan hasil penelitiannya dan menerapkannya

untuk seluruh hadis-hadis Nabi.

3. Analisa Terhadap Pendapat Schacht

Para orientalis sejak semula telah memberikan perhatian terhadap penelitian

hadis. Motivasi mereka dalam penelitian hadis ada beberapa faktor. Salah satu

diantaranya adalah usaha untuk memburuk-burukkan Islam melalui penelitian hadis

karena melalui penelitian hadis lebih mudah daripada melalui penelitian al-Quran (Abd.

Rahman Wahid,2002: 27).

Adanya keinginan untuk mendiskreditkan Islam, mengakibatkan banyak

kekeliruan mereka dalam penelitian hadis ini. Gambaran yang sangat negatif dan

prasangka yang berlebihan telah menyesatkan hampir semua kaum orientalis, kecuali

beberapa sarjana yang berpikiran jernih dan bersifat objektif dalam melakukan

penelitian mereka.

Tampaknya Schacht memiliki tujuan tersendiri, yaitu ingin melecehkan hadis

agar hadis tersebut tidak dapat dipakai sebagai rujukan umat Islam. Dia memiliki tesis

yang menyatakan bahwa hadis bukan sesuatu yang otentik dari Nabi, melainkan

sesuatu yang lahir dari rahim pemikiran para ulama pada abad pertama dan ke dua

hijrah.

Sebenarnya, sanad bukanlah rekayasa dan bukan timbul pada masa belakangan.

Nabi, dalam menyatakan sabda-sabdanya sering menyebut bahwa sumbernya dari

Malaikat Jibril. Bahkan, para sahabat dalam menyampaiakan hadis, selalu menyebut

nama sahabat lain yang menjadi sumber ia memperoleh hadis tersebut.

Dengan demikian, tidak terdapat perkembangan sanad dari bentuk yang

sederhana menjadi bentuk yang sempurna. Demikian pula, tidak ada yang sanadnya

mauquf menjadi marfu’ atau dari yang munqoti’ menjadi muttasil. Suatu sanad yang

terputus selamanya akan terputus dan tidak akan menjadi sanad yang bersambung.

Sementara, tentang hadis yang dikritisi oleh Schacht mengenai makanan seorang

Muhrim, karya al-Syafi’i seperti contoh di atas, A’zami mengatakan:

Schacht, nampaknya tidak memahami maksud al-Syafi’i terhadap hadis

tersebut. Sebenarnya, al-Syafi’i ingin membandingkan antara tiga orang murid ‘Amar

bin Abu ‘Amar yang meriwayatkan hadis tersebut. Setelah dibandingkan, ternyata

‘Abdl ‘Azis telah melakukan kekeliruan, karena ia menyebutkan “seseorang dari suku

Bani Salamah” adalah guru dari ‘Amar bin Abu ‘Amar, sebagai ganti dari al-Muttalib.

Karena Ibrahim lebih kuat periwayatannya dari ‘Abd ‘Azis, dan hal itu diperkuat pula

oleh Sulaiman, maka yang betul adalah al-Muttalib, bukan “seseorang dari bani

Salamah” (A’zami, 1968: 234).

Dengan demikian, hadis tersebut hanya memiliki satu sanad saja, yaitu jalur

sanad ‘Amar bin Abu ‘Amar dari al-Muttalib, dengan Skema:

Nabi SAW

Jabir

Al-Muttalib

‘Amar bin Abu ‘Amar

Abd. Al-‘Azis Ibrahim Sulaiman

Dengan demikian, pernyataan Schacht, terutama tentang adanya periwayat yang

menjadi titik temu bersama (common link) yaitu ‘Amar bin Abu ‘Amar, tidaklah benar.

Adapun tentang tuduhan Schacht terhadap kitab Muwatto’ karya Imam Malik

yang mengatakan sanad hadis tersebut terputus, dan kemudian baru dibuatkan sanadnya

bersama teks tersebut secara palsu, maka A’zami berkomentar: “Kita tidak dapat

memastikan bahwa Schacht pernah menemukan kitab al-Muwatta’ yang ditulis sendiri

oleh Imam Malik. Apakah mungkin ia memiliki naskah kuno tersebut, sedangkan

tokoh-tokoh pensyarah kitab tersebut, seperti Ibn ‘Abd al-Bar dan al-Zurqaniy tidak

pernah menyinggung sama sekali tentang adanya naskah kuno asli.

A’zami, lebih jauh menjelaskan bahwa ada kekeliruan dan kelalaian pada penulis

naskah, dimana ia tidak menulis huruf “Sin” dalam kalimat. , sehingga

kalimat itu akhirnya berbunyi : . Dan seandainya teks kuno yang asli itu

berbunyi : seperti tuduhan Schacht, maka berarti ‘Urwah telah merobah

susunan kalimat berikutnya, sehingga ia mengatakan:

Selanjutnya, apabila permasalahannya seperti yang dituduhkan Schacht, yaitu

adanya pemalsuan teks hadis lebih dahulu kemudian diiringi pemalsuan sanadnya, maka

seandainya tuduhan Schacht itu benar, siapakah yang mempunyai andil dalam

pemalsuan ini ?. Malik atau Hisyam bin ‘Urwah ? Sedangkan mereka itu menurut

penilaian umum adalah termasuk orang-orang yang cerdas. Dan rasanya tidak logis

mereka melakukan kesalahan besar seperti itu dalam menyusun sanad hadis. Oleh

karena itu, usaha untuk meragukan otentisitas sanad al-Bukhoriy dengan dalih adanya

kekeliruan dalam sejumlah naskah-naskah kitab al-Muwatto’ di mana hal itu mungkin

juga dilakukan oleh penulis naskah sesudah al-Bukhoriy, adalah tidak berdasarkan

ilmiyah sama sekali, jauh dari kebenaran dan tidak layak untuk diperhatikan.

PENUTUPSanad telah dipakai pada masa Nabi SAW masih hidup, dan para sahabat juga

memakainay dalam periwayatan hadis. Namun, dalam saat-saat tertentu, para sahabat

tidak memakai sanad, karena pada masa itu belum muncul kedustaan terhadap hadis

Nabi SAW.

Setelah terjadi fitnah kubro, yakni terbunuhnya khalifah Usman bin Affan dan

dilanjutkan pertentangan antara Ali dan Mu’awiyah, para ulama sangat selektif dalam

menerima hadis. Mereka tidak mengambilnya, kecuali dari orang-orang yang dikenal.

Suatu hadis tanpa sanad tidak dapat diterima oleh para ulama hadis. Akhirnya, untuk

menyeleksi sanad-sanad tersebut, ulama hadis menciptakan kaedah otentisitas sanad.

Otentisitas sanad diragukan oleh Schacht. Menurutnya, sanad baru tumbuh pada

paruh ke dua abad ke tiga hijrah. Sanad merupakan sewenang-wenang terhadap hadis

Nabi, karena merupakan buatan ahli-ahli hadis sebagai kelompok spesialis untuk

mengalahkan aturan-aturan aliran Fiqh klasik. Mereka bersekongkol membuat hadis-

hadis palsu dengan mengatakan bahwa hal itu mereka terima dari para periwayat yang

terpercaya dengan disertai sanad-sanad buatan mereka sendiri hingga bersambung

kepada Nabi Muhammad SAW.

Proyeksi ke belakang menuju otoritas orang-orang terdahulu, menurut Schacht,

dilakukan oleh pakar hadis, bermula dari kalangan Tabi’in, sahabat dan akhirnya kepada

Nabi SAW. Hal ini terbukti dengan adanya periwayat yang menjadi titik temu (commom

link) dalam hadis-hadis Fiqh. Bagian bawah sanad hadis, memang otentik, tetapi bagian

atasnya ternyata palsu. Dalam meneliti sanad, Schacht menggunakan sumber-sumber

kitab biografi dan kitab-kitab Fiqh, sedangkan menurut pakar hadis, kedua kitab

tersebut tidak dapat dijadikan sebagai objek penelitian sanad hadis. Adalah suatu

kesalahan mendasar apabila kita meneliti hadis yang terdapat dalam kitab-kitab Fiqh.

DAFTAR PUSTAKA

A’zami, Muhammad Mustafa, 1992. Dirosat fi al-Hadis al-Nabawy, Beirut: Maktab al-Islamy.

A’zami, Muhammad Mustafa. 1968. Studies in Early Hadith Literature, Beirut:Catholic Press.

Al-Bukhariy, Muhammad bin Isma’il, Al-Jami’ al-Sahih, Beirut: Dar al-Fikri, tt.Muslim, bin Hajjaj al-Qusyairiy, Sahih Muslim, Mesir: al-Babiy,tt.Nur al-Din ‘Itr. 1979. Manhhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis, Beirut: Dar FikriSubhi al-Salih. 1988. ‘Ulum al-Hadis wa Mustalahuhu, Beirut: Dar al-Ilmi.Schacht, Yoseph. 1964. The Introduction to Islamic Law, Oxford: The Clarendon Press.Schacht, Yoseph. 1959. The Origins of Muhammadan Jurisprudence, Oxford: The

Clarendon Press.Al-Syafi’i, Muhammad bin Idris, 1986. Ikhtilaf al-Hadis, Beirut: Dar al-Kutub.Al-Tahhan, Mahmud. 1978. Al-Takhrij wa Dirosah al-Asanid, Madinah: Dar al-Kutub

al-Salafiyah.Wahid, Abd. Rahaman, et al. 2002. M.M. Azami Pembela Eksistensi Hadis, Jakarata:

Pustaka Firdaus.Yaqub, Ali Mustafa. 1995. Kritik Hadis, Jakarta, Pustaka Firdaus.

KEMASUKAN SETAN DALAM PERSPEKTIF AL-QUR`AN DAN

HADISOleh :

IRWAN SDosen Fakultas tarbiyah IAIN Sumatera Utara

Jl. Willem iskandar Psr V Medan Estate

AbstractThe phenomenon possessed a conversation that is always controversial in the midst of society.

Many growing opinion about this discussion is not uncommon to bring a person's religious ideologicalimplications in react. This paper discussed these problems by understanding the various Hadiths andverses of al-Qur `an is believed to be an authentic source that must be believed by a Muslim.Keywords: Kemasukan Setan, al-Qur`an dan Hadis

PENDAHULUAN

Istilah kemasukan atau kesurupan setan sepertinya akhir-akhir ini menjadi sesuatu yang

sangat akrab dalam setiap pembicaraan di tengah-tengah masyarakat. Disamping karena

memang dalam kenyataan sehari-hari dijumpai keadaan seseorang yang dengan tiba-tiba

berubah tempramen dirinya dari kebiasaan yang dimilikinya dengan melakukan sesuatu

yang secara akal tidak mungkin dapat dilakukannya yang kemudian dikenal dengan

istilah kemasukan atau kesurupan setan. Hal ini juga ditopang oleh semakin maraknya

acara-acara di televisi yang ditayangkan berkaitan dengan dunia alam gaib yang

dikemas dengan berbagai bentuk dan versi yang berusaha untuk menarik perhatian

pemirsanya. Bahkan ada yang diselingi dengan ikut ditampilkannya tokoh yang

dianggap sebagai ulama untuk memberikan komentar berkaitan dengan tayangan

tersebut, yang tak jarang ada yang memberikan komentarnya dengan tidak berdasarkan

pada dalil-dalil dan nash yang benar serta menimbulkan kontroversi ditengah-tengah

masyarakat.

Namun yang sangat memperihatinkan kemudian adalah bahwa hal tersebut tidak

jarang menimbulkan keyakinan yang salah yang dapat mendangkalkan atau bahkan

merusak aqidah seseorang (mukmin). Diantaranya adalah dalam hal ini banyak

dijumpai adanya suatu keyakinan di masyarakat bahwa setan yang memasuki orang

yang kemasukan tersebut adalah roh orang yang telah meninggal yang meminta sesuatu

yang harus dipenuhi. Benarkah demikian?

Uraian berikut ini akan mengkaji tentang kemasukan setan dalam perspektif al-

Qur`an dan Hadis. Apakah hal tersebut memang diakui eksistensinya menurut al-Qur`an

dan Hadis? Jika tidak, apa hakekat dari kenyataan yang sering terjadi di masyarakat

tersebut? Dan jika hal tersebut memang disinyalir ada menurut al-Qur`an dan Hadis,

bagaimana pula hakekat sebenarnya dari kenyataan tersebut? Hal ini penting, karena

sesuatu yang menyangkut aqidah harus didasari oleh nash-nash syar’i yang qath’i (jelas

dan tegas) sehingga terhindar dari keyakinan yang salah yang pada gilirannya dapat

menjerumuskan seseorang pada kesesatan.

PEMBAHASANDi antara Hadis yang menjadi dasar pembicaraan tentang masalah kemasukan

setan yang akan dibahas berikut adalah Hadis dari Shafiyah binti Huyay Radhiyallâhu

Anhâ, isteri Rasulullah Shallalâhu ‘Alaihi wa Sallam, bahwa ia pernah datang kepada

Rasulullah Shallalâhu ‘Alaihi wa Sallam untuk mengunjugi beliau dalam i’tikafnya di

dalam mesjid pada sepuluh terakhir dari bulan Ramadhan. Kemudian ia berbicara

sejenak disamping beliau. Setelah itu ia bangun dan pergi. Selanjutnya Nabi Shallallâhu

‘Alaihi wa Sallam bersamanya untuk mengantarnya. Dan ketika ia sampai dipintu

mesjid di pintu Ummu Salamah, tiba-tiba ada dua orang laki-laki dari kaum Anshar

yang berjalan seraya mengucapkan salam kepada Nabi Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam,

maka beliau pun bersabda:

.)(Artinya:

“Tunggu, tetap disitu. Sesungguhya ia adalah Shafiyah binti Huyay.” Makakeduanya berkata, “Subhanallah (Mahasuci Allah), ya Rasulullah.” Maka ucapanbeliau itu terasa berat bagi keduanya. Kemudian Nabi Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallambersabda,“ Sesungguhnya setan ada pada diri manusia seperti mengalirnya darah. Dansesungguhnya aku takut terdetik tuduhan di dalam hati kalian berdua.” (RiwayatBukhari)

Hadis tersebut di atas juga diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, Al-Darimi,

Ibnu Majah, dan Imam Ahmad (Jalaluddin, 1986)

Berdasarkan Hadis di atas, ada sementara ulama yang memahami bahwa

setan memiliki kekuatan untuk memasuki tubuh manusia, mengalir di darah

manusia yang dimasukinya seperti bunyi teks Hadis di atas. Hal ini didukung

oleh kenyataan tentang adanya seseorang yang menjadi demikian kuat,

berbicara dengan berbagai bahasa asing, padahal dalam keadaan normalnya,

lemah dan tidak mengerti kecuali bahasa ibunya. Atau bahkan tidak jarang

ada yang bertingkah aneh diluar kebiasaannya disaat normal. Apakah yang

menjadikan dia mampu berbuat demikian kalau bukan setan yang telah

merasuk ke dalam tubuhnya? Bahkan Al-Qur`an juga menginformasikan

tentang kemasukan setan sebagaimana firman Allah:

.) :275(

Artinya:

“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan

seperti berdirinya orang yang “kemasukan setan” lantaran (tekanan) penyakit gila.”

(QS. Al-Baqarah [2] : 275)

Masih berhubungan dengan hal tersebut di atas, Ibnu Abbas Radhiyallâhu Anhu

meriwayatkan bahwa seorang wanita datang membawa anaknya kepada Rasul

Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam seraya berkata:

.) (.)

(Artinya:

“Sesungguhnya putraku menderita gangguan (gila), yang menimpanya setiapkami makan siang atau malam.” Maka Rasul Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam mengusapdadanya, dan berdo’a untuk kesembuhannya. Ia kemudian muntah dan keluarlahsesuatu seperti anjing hitam. Dan sembuhlah ia.” (Riwayat Ahmad, al-Darimi, al-Thabrani, Abu Na’im, al-Daruquthni dan al-Baihaqi)

Pada kasus yang lain, Imam Ahmad, Abu Dawud dan al-Thabrani meriwayatkan

melalui Umm Abban putri al-Wazi’ ( Al-Jazairy , 1978) melalui ayahnya bahwa

kakeknya pernah membawa putranya atau putra saudara perempuannya yang gila

kepada Rasul Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam. Sang kakek memakaikan anak itu dua

helai pakaian indah. Ketika sampai dihadapan, Rasul bersabda:

“Dekatkan ia padaku dan hadapkan punggungnya padaku.”

Rasul Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam kemudian membuka semua bajunya

dari atas sampai ke bawah lalu mengayunkan tangan dan memukulnya

sampai-sampai (kata sang kakek): “Saya melihat keputihan kedua ketiak

beliau.” Rasul (menghardik sambil) berkata:

“Keluarlah wahai musuh Allah.”

Maka sang kakek berkata:

Berkaitan dengan hal tersebut, Imam Bukhari, Muslim dan Ahmad juga

meriwayatkan Hadis dari Abu Hurairah Radhiyallâhu Anhu, bahwa Nabi

Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

.) (

Artinya:

“Tidak seorang anak keturunan Adam pun yang lahir, kecuali disentuh oleh

setan, sehingga ia menangis karena sentuhannya, kecuali Maryam dan putranya (Isa

as.).” (Diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan Ahmad)

Hadis tersebut di atas semakin memperkuat pendapat bahwa setan memiliki

kekuatan untuk mempengaruhi manusia. Bahkan dalam Al-Qur`an dan Hadis Rasul

Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam banyak dijumpai anjuran untuk berdoa memohon

perlindungan kepada Allah dari segala godaan dan kejahatan setan.

Kalau demikian halnya, setan yang bagaimana yang dapat memasuki tubuh

manusia? Benarkah pandangan kebanyakan orang yang mengatakan bahwa setan yang

memasuki tubuh manusia itu adalah setan yang merupakan roh orang yang sudah mati?

Pandangan seperti ini ada karena memang terkadang orang yang dimasuki oleh setan

tersebut ketika diajak berdialog mengaku sebagai roh orang yang telah mati yang

dikenal oleh orang yang tubuhnya dimasuki tersebut.

Dalam masalah ini, menurut Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah (w. 751 H), roh orang

yang mati tidak bisa nyusup atau masuk kepada benda atau orang yang hidup (re-

inkarnasi). ( Al-Dzahabi, 1963).

Namun roh orang yang mati dapat bertemu dengan roh orang yang masih hidup

atau sebaliknya. Yang dimaksud dengan pertemuan antara roh di sini adalah mimpi

bertemu, berbicara dan berdialog tentang khabar masa lalu, sekarang dan apa yang akan

terjadi di masa yang akan datang. Mimpi inilah bukti dan dalil kenyataannya ( Al-

Dzahabi, 1963).

Dengan demikian tidaklah benar bila ada yang meyakini bahwa roh orang yang

sudah mati dapat masuk ke dalam tubuh orang yang hidup dan mempengaruhinya.

Sekalipun orang yang kemasukan tersebut menyatakan lewat lisannya bahwa yang

memasukinya adalah si Fulan yang sudah meninggal. Ini adalah kebohongan besar yang

dilakukan oleh setan untuk mengelabui manusia. Karena orang yang sudah mati

sesungguhnya telah berada di alam yang berbeda dengan alam orang yang masih hidup.

Ia berada di satu alam yang ada barzakh (dinding pembatas) yang menghalangi mereka

untuk dapat kembali ke alamnya dikala hidup sampai hari mereka dibangkitkan. Dalil

tentang hal ini adalah firman Allah:

. .) :99–100(

Artinya:

“(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematiankepada seseorang dari mereka, dia berkata: "Ya Tuhanku kembalikanlah aku (kedunia), agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan dihadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitkan.” (QS. Al-Mu’minûn [23]: 99 – 100)

Berdasarkan itu, roh manusia tidak mungkin kembali untuk hidup dalam tubuh

seorang manusia untuk menyiksanya atau membuat kemelaratan dengan tidak ada

tujuan atau sesuatu maksud. Malahan tidak mungkin dari roh itu dari segi bahwa roh

dengan berpindah dari alam bumi menjadi di awang-awang yang dengannya mustahil

hidup dalam sebuah tubuh anak Adam yang berlainan pasti dimensinya dengan dimensi

roh manusia yang telah mati itu (Naufal, 1975). Lagi pula, seandainya roh orang mati

bisa masuk ke dalam tubuh orang hidup, bagaimana dengan roh orang hidup yang

tubuhnya dimasuki tersebut? Apakah mungkin ada dua roh dalam satu tubuh? Tentu hal

tersebut sangat mustahil.

Dalam pada itu, menurut keyakinan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah sebagaimana

dinyatakan oleh Abu Hasan al-Asy’ari, setan yang memasuki tubuh manusia

sesungguhnya adalah iblis dari golongan jin ( al-Suyuthi , 1986). Masuknya setan ini

maksudnya adalah dengan mempengaruhi akal manusia sehingga hilang kesadarannya

dan menuntunnya untuk melakukan hal-hal yang diluar kemauan dan kemampuannya.

Bukan menempati tubuhnya, seperti layaknya roh yang berada pada tubuh manusia

tersebut. Atau dengan kata lain, mengambil alih kedudukan roh tersebut.

Secara etimologis kata al-jin berasal dari kata janna artinya bersembunyi.

Dinamai al-jin karena tersembunyi dari pandangan manusia. Kata lain yang berasal dari

kata janna adalah junnah, artinya perisai, dinamai demikian karena menyembunyikan

kepala prajurit yang memakainya; jannah artinya sorga atau taman, dinamai demikian

karena taman tersembunyi oleh pohon-pohon yang rindang; janin artinya jabang bayi,

dinamai demikian karena tersembunyi di dalam perut ibu ( Al-Jazairy , 1978). Kata iblis

menurut sebagian ahli bahasa berasal dari ablasa artinya putus asa. Dinamai iblis karena

ia putus asa dari Rahmat atau kasih sayang Allah Swt (Sabiq , 1986). Sedangkan kata

setan berasal dari kata syathana artinya menjauh. Dinamai syaithân karena jauhnya dia

dari kebenaran ( Al-Shabuniy, 1977).

Ringkasnya jin adalah makhluk gaib yang diciptakan oleh Allah dari api,

mukallaf seperti manusia, di antaranya mereka ada yang patuh dan ada yang durhaka.

Yang durhaka pertama kali adalah iblis, anak cucunya di sebut setan.

Mengenai setan yang memasuki tubuh manusia yang sering kali mengaku

sebagai roh orang yang sudah mati adalah setan dari golongan jin yang merupakan

qarîn atau pendamping dari setiap manusia. Sebagaimana Nabi Shallallâhu ‘Alaihi wa

Sallam menjelaskan bahwa:

. : :) .(

Artinya :

“Tidak seorang pun di antara kamu kecuali ditetapkan baginya teman yangmenemani dari (setan) jin.” Para sahabat Nabi bertanya: “Engkau juga wahai RasulAllah?” Beliau menjawab: “Aku juga, hanya saja Allah membantuku sehingga akuselamat, (atau) ia masuk Islam, sehingga ia tidak menyuruh aku kecuali yang baik.”(HR. Muslim)

Kalau begitu, setiap orang ada setan yang mendampinginya. Setan tersebut oleh

al-Qur`an dinamai dengan qarîn, yakni pendamping. Sebagaimana firman Allah:

لت (. )25: فص

Artinya :

“Dan Kami tetapkan bagi mereka teman-teman pendamping yang menjadikanmereka memandang bagus apa yang ada di hadapan dan di belakang mereka dantetaplah atas mereka keputusan azab pada umat-umat yang terdahulu sebelum merekadari jin dan manusia; sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang merugi.” (QS.Fushshilat [41] : 25)

Di antara manusia, ada yang qarînnya sekedar mendampingi dan tak mampu

mempengaruhi. Ini bila manusia tersebut ta’at kepada Allah dan banyak berdzikir.

Namun ada juga yang mempengaruhi manusia, bahkan secara terus menerus, sehingga

manusia tidak dapat melepaskan diri dari gangguan dan tipu dayanya. Hal ini

sebagaimana dijelaskan Allah melalui firman-Nya:

. .) :36-37(

Artinya:

“Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (al-Qur'an), Kami adakan baginya syaitan (yang menyesatkan) maka syaitan itulah yangmenjadi teman yang selalu menyertainya. Dan sesungguhnya syaitan-syaitan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan yang benar dan mereka menyangka bahwamereka mendapat petunjuk." (QS. al-Zukhruf [43] : 36-37)

Dan ketika orang yang didampingi tersebut meninggal dunia, maka qarînnya

tersebut tentu telah banyak mengetahui tentang diri orang yang didampinginya.

Sehingga ketika ia (setan) tersebut memasuki tubuh (mempengaruhi) manusia yang

hidup ia dapat berbicara atau meniru suara dan cara bicaranya dan juga setiap kebiasaan

atau ciri-ciri dari tingkah laku orang yang dulu didampinginya setiap saat. Dengan cara

itulah ia berusaha menyesatkan manusia untuk mempercayainya atau bahkan mengikuti

setiap perintah dan syarat-syarat yang diajukan untuk kesembuhan atau sesuatu hal yang

berhubungan dengan orang yang dimasukinya. Yang tidak jarang, permintaan dan

syarat-syarat yang diajukannya itu adalah dalam rangka syirik kepada Allah sebagai

dosa besar yang sangat dilaknat dan tidak diampuni oleh Allah Swt. Inilah yang

terkadang tidak disadari oleh kebanyakan manusia, apalagi oleh mereka yang iman dan

ilmunya masih dangkal tentang dinul Islam yang sebenarnya.

Jadi setan yang memasuki tubuh manusia adalah jin yang durhaka, anak cucu

iblis yang senantiasa berusaha untuk menyesatkan manusia dari segala arah dengan

segala cara dan strategi. Sebagaimana Firman Allah:

..) :16-17(

Artinya:

“Iblis menjawab: "Karena Engkau telah menghukum aku tersesat, aku benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus. Kemudian akuakan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kirimereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (ta`at).”(QS. Al- -17)

Dengan demikian, -berdasarkan dalil-dalil di atas- maka apa yang diklaim oleh

jin dan setan sebagai roh itu, tak lain hanyalah tipu muslihat yang mereka lancarkan

kepada orang-orang yang lemah iman. Celakalah mereka dan orang-orang yang

mengikutinya. Dan sungguh benar Allah dengan Firman-Nya yang berbunyi:

.) :128(

Artinya:

“Dan (ingatlah) hari di waktu Allah menghimpunkan mereka semuanya, (danAllah berfirman): "Hai golongan jin (syaitan), sesungguhnya kamu telah banyak(menyesatkan) manusia", lalu berkatalah kawan-kawan mereka dari golonganmanusia: "Ya Tuhan kami, sesungguhnya sebahagian daripada kami telah dapatkesenangan dari sebahagian (yang lain) dan kami telah sampai kepada waktu yangtelah Engkau tentukan bagi kami". Allah berfirman: "Neraka itulah tempat diam kamu,sedang kamu kekal di dalamnya, kecuali kalau Allah menghendaki (yang lain)".Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-128)

Namun disisi lain ada juga ulama yang tidak mengakui adanya kemampuan

setan untuk memasuki tubuh manusia selain menimbulkan was-was (keraguan). Di

antaranya adalah Syaikh Muhammad al-Ghazali dalam kitabnya Al-Sunnah al-

Nabawiyyah : Bayna Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadîts, beliau memaparkan alasan dan

pendapat para ulama yang sesuai dengan pendapatnya tersebut.

Menurut pendapat kedua ini, Hadis yang menyebutkan tentang setan yang

mengalir dalam diri manusia seperti mengalirnya darah adalah upaya Rasulullah

Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam untuk mencegah eksistensi was-was yang mungkin

ditimbulkan oleh setan sewaktu menyaksikan pemandangan itu. Yakni keadaan Nabi

Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam bersama seorang wanita ditempat itu (yang notabene

adalah isteri beliau Shafiyah binti Huyay). Oleh karena itu, sekalipun kedua orang

sahabat itu memustahilkan timbulnya persangkaan buruk di hati mereka terhadap Nabi

Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam, namun beliau tetap konsisten ingin menghilangkan

kemungkinan timbulnya hal tersebut ( Al-Ghazali, 1997).

Adapun tentang Firman Allah dalam QS. Al-Baqarah [2] : 275 sebagaimana

telah disebutkan di atas, maka kebanyakan ahli tafsir menyatakan bahwa keadaan

seperti itu (kemasukan yang dikacaubalaukan oleh setan) berlakunya kelak pada hari

kiamat. Hal ini mengingat bahwa di dunia ini tidak seorangpun melihat para pemakan

riba itu jatuh bergelimpangan di jalan-jalan disebabkan penyakit kemasukan setan,

sedemikian rupa sehingga mereka nyaris diinjak-injak oleh orang, pemakai jalanan ( Al-

Ghazali, 1997).

Para ahli kedokteran pada paradaban kontemporer kini menyebutkan bahwa

penyakit yang dikenal sebagai kemasukan setan pada esensinya termasuk di antara

penyakit-penyakit saraf yang bisa diatasi dengan obat-obatan tertentu ataupun dengan

cara-cara medis yang modern lainnya. Sekalipun adakalanya diobati pula dengan

semacam fantasi, dunia khayali, dan lain sebagainya ( Al-Ghazali, 1997). Namun

demikian, dalam kenyataannya hingga saat ini hal tersebut belum dapat diatasi secara

tuntas dan pasti secara ilmiyah menurut ilmu kedokteran.

Adapun Hadis tentang tusukan setan, sebagaimana yang disebutkan oleh para

perawi (Bukhari, Muslim dan Ahmad) di atas, Al-Baidhawi menafsirkan kata

“disentuh” -sebagaimana dikutip oleh Al-Ustadz Syaikh Muhammad Abduh dalam

Tafsîr Al-Manâr- dengan keinginan yang sangat dari setan untuk memanipulasinya.

Mengenai hal ini, menurut Al-Ustadz Syaikh Muhammad Abduh, jika Hadis ini sahih,

maka keterangan tersebut tergolong pengertian perumpamaan dan bukannya pengertian

hakiki. Syaikh Rasyid Ridha menambahkan, Hadis tersebut tergolong sahih sanadnya

tanpa kontradiktif. Hampir ada persamaan dengan Hadis yang menyebutkan tentang

pembedahan dada Nabi Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam yang kemudian dicuci bersih

setelah dikeluarkannya bagian setan darinya. Hal tersebut lebih jelas perumpamaannya.

Mungkin yang dimaksudkan itu ialah bahwa setan sudah kehabisan bagiannya dalam

hati Nabi Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam untuk mengganggu beliau, sekalipun hanya

dengan membangkitkan was-was ( Al-Ghazali, 1997).

Syaikh Rasyid Ridha melanjutkan, konsekwensinya, ialah bahwa setan tidak

memiliki kekuatan untuk mengganggu hamba-hamba Allah yang ikhlas dan terpilih.

Sedangkan yang paling afdhal di antara mereka adalah para Nabi dan Rasul. Adapun

yang tersebut dalam suatu hadis bahwa setan tidak dapat menyentuh Maryam dan

anaknya Isa, demikian pula dalam hadis tentang menyerahnya (atau masuk Islamnya)

setan yang menyertai Nabi Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam dan juga hadis tentang

dibuangnya bagian setan dari hati Nabi Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam, maka semua itu

adalah tergolong khabar-khabar yang bersifat dugaan (zhanni), melalui riwayat ahad

(yang diriwayatkan oleh satu orang). Sedangkan masalah aqidah termasuk tentang alam

ghaib, tidak dapat diterima berdasarkan riwayat yang hanya bersifat zhanni, yang bukan

mutawatir (yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang banyak, dimana secara akal

mustahil mereka sepakat untuk berdusta) ( Al-Ghazali, 1997).

Demikian menurut pendapat kedua yang tidak mengakui adanya kekuatan setan

yang dapat memasuki tubuh manusia dan mempengaruhinya. Kecuali setan hanya

mampu menimbulkan was-was (keraguan) dan manipulasi pada diri manusia. Jadi

menurut pendapat ini penyakit yang dikenal sebagai kemasukan setan oleh berbagai

kalangan masyarakat ini diduga hanya merupakan penyakit yang ditimbulkan oleh

problematika psikologis dan kelainan syaraf. Yang pengobatannya juga harus melalui

terapi psikologis dan menggunakan obat-obatan dan cara-cara medis yang ada dalam

dunia kedokteran. Walaupun dalam kenyataannya hingga saat ini hal itu masih terus

dalam penelitian yang belum tuntas untuk disimpulkan dan diterangkan secara pasti dan

jelas menurut kajian ilmiyah. Mereka berkeyakinan bahwa sebagaimana juga banyak

hal yang pada awalnya dianggap tidak masuk akal yang kemudian dipenuhi oleh

berbagai mitos yang kadang menyesatkan, namun dengan perkembangan ilmu dan

teknologi yang terus diupayakan oleh manusia hal tersebut akhirnya terkuak secara

ilmiyah yang kemudian dapat diterima akal.

Jadi dalam hal ini, sebenarnya pendapat kedua di atas bukan menolak

keberadaan Hadis-hadis dan nash-nash al-Qur`an yang dijadikan dalil oleh pihak

pertama yang meyakini bahwa setan dapat masuk ke tubuh manusia dan

mempengaruhinya sedemikian rupa seperti fenomena kesurupan yang terjadi dewasa

ini. Hanya saja para ulama pada pendapat kedua di atas menolak pemahaman tekstual

dalam memahami Hadis-hadis maupun nash-nash al-Qur`an yang berkaitan dengan

masalah tersebut. Mereka memahami nash-nash al-Qur`an dan Hadis-hadis itu dan yang

serupa sebagai ilustrasi untuk mempermudah pemahaman bukan dalam arti harfiahnya.

Walaupun kemudian ternyata pendapat kedua di atas kelihatannya juga tidak dapat

memberikan jawaban yang final dalam memberikan penjelasan tentang hakekat dari

fenomena kemasukan atau kesurupan setan sebagaimana telah diuraikan di atas.

PENUTUP

Dari dua pendapat di atas, pada hakekatnya tidak mengingkari adanya penyakit

yang menimpa manusia berupa prilaku aneh yang menjadikan orang tersebut berbuat

diluar kesadarannya, Yang oleh kalangan masyarakat dikenal sebagai kemasukan atau

kerasukan setan. Adalah hal yang sangat tidak wajar bila kenyataan yang disaksikan

atau dialami banyak orang tersebut diingkari eksisitensinya. Padahal hal tersebut telah

menjadi satu kenyataan yang memang terjadi dan dapat disaksikan secara empirik.

Yang menjadi penting kemudian dari hal ini adalah mencari kebenaran hakiki

dari esensi kenyataan tersebut. Adapun upaya dari para ulama untuk menjelaskan hal

tersebut berdasarkan dalil-dalil nash dalam rangka menjaga aqidah merupakan hal yang

perlu dihargai dan disikapi dengan serius, agar kita tidak terperosok ke dalam jurang

kesesatan yang akan membawa pada penyesalan yang tidak dapat diperbaiki. Disamping

itu upaya para ilmuwan melalui ilmu pengetahuan untuk menguak misteri tersebut juga

perlu dihargai dengan terus berusaha mengadakan penelitian yang lebih serius untuk

kepentingan ummat manusia di masa datang.

Namun apapun namanya, fenomena “kemasukan setan” adalah sesuatu yang

nyata dan ada dalam kehidupan manusia di era modern ini. Yang perlu diwaspadai

kemudian adalah jangan sampai hal tersebut menjadikan aqidah (keimanan) kita rusak

atau bahkan terjerumus dalam kesyirikan yang dimurkai Allah Swt., hanya oleh karena

sikap dan keyakinan yang salah dalam merespon dan menghadapinya.

Yang jelas fenomena kemasukan atau kesurupan setan pada hakekatnya adalah

salah satu cara atau strategi iblis untuk menjerumuskan manusia dalam kesesatan,

dengan pembohongan yang nyata mengelabui manusia untuk meyakini bahwa seakan-

akan roh orang yang sudah mati dapat memasuki tubuh orang hidup. Sehingga melalui

keadaan itulah, setan atau iblis tersebut menyeret manusia untuk memenuhi tuntutan dan

keinginan mereka yang dengan itu manusia secara tidak sadar telah tergiring dalam

kemusyrikan yang sangat dimurkai oleh Allah Swt. Wallâhu a’lam!

DAFTAR PUSTAKA

Al-‘Asqalani, Syihabuddin Ahmad ibn ‘Ali ibn Hajar, 1415 H/1995 M .Taqrîb al-Tahdzîb, Beirut: Dâr al-Fikr.

Al-Dzahabi, Syamsuddin Muhammad ibn Ahmad ibn Utsman, 1382 H/1963 M. Mîzânal-I’tidâl fî Naqd al-Rijâl, Ed. Ali Muhammad al-Bajawi, Mesir: Isa al-Babi al-Halabi.

Al-Ghazali, Syaikh Muhammad, 1417 H/1997 M. Al-Sunnah al-Nabawiyyah; BaynaAhl al-Fiqh wa Ahl al-Hadîts, Penerjemah: Muh. Munawir Az-Zahidi, AnalisisPolemik Hadis; Transformasi Modernisasi, Surabaya: Dunia Ilmu.

Al-Jauziyyah, Syamsuddin Abi Abdillah bin Qayyim, 1406 H/1986M. Al-Rûh, Beirut:Dâr al-Fikr.

Al-Shabuniy, Muhammad Ali, 1977. Tafsîr Âyât al-Ahkâm, Damaskus: Maktabah al-Ghazali.

al-Suyuthi, Jalaluddin, 1406 H/1986 M. Laqth al-Marjân fî Ahkâm al-Jân, Ed.Mushthafa Abdulqadir ‘Atha, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah.

Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur`an Depag RI, 1994. Al-Qur`an danTerjemahnya, Semarang: PT. Kumudasmoro Grafindo, Ed. Revisi.

INTEGRASI PSIKOLOGI DENGAN ISLAM DI INDONESIA( Menuju Psikologi Islam )

0leh:

Nurussakinah DaulayDosen Fakultas tarbiyah IAIN Sumatera Utara

Jl. Willem iskandar Psr V Medan Estate

AbstractIslamic Psychology is a knowledge about human, especially about human

personality, to have a character philosophical, theory, methodology, and a problembased on Islamic source (Al-Quran and Hadiths). There are two reason to rise IslamicPsychology: First. Islam has fundamental foundation to human self and anythingcondition, different from fundamental foundation the conventional psychology (west),from philosophy aspect, methodology aspect and different from approximation. Second.There are self consciousness that a modern psychology to compete with various crisis,like the usefulness crisis, laboratory crisis, the philosophical crisis, the professionalcrisis, the ethical crisis, and the resolution crisis. The function Islamic Psychologydifferent from West Psychology. The function from West Psychology just forexplanation, prediction, and countrolling to human attitude, eventhough The IslamicPsychology for explanation,prediction, countrolling and to guide to get God’sallowance.Keywords: Islamic Psychology, West Psychology

PENDAHULUAN

Dalam beberapa tahun terakhir ini, kita menyaksikan terjadinya pergumulan

pemikiran tentang pembaharuan Islam di Indonesia. Ide-ide yang sempat bermunculan

terutama adalah bagaimana Islam tetap aktif memberi warna dalam pergulatan

kemoderenan. Sejauh ini kita telah berkenalan dengan upaya-upaya ahli ilmu agama dan

ahli ilmu sosial untuk mematangkan upaya di atas dengan fokus perhatian pada masalah

akidah dan Islam (Mujib, 2006).

Upaya-upaya yang mengarah pada bagaimana Islam merespon ilmu pengetahuan

modern masih relatif belum berkembang di Indonesia, khususnya yang mengaitkan ide

Islamisasi ilmu dengan disiplin-disiplin ilmu tertentu. Sebuah artikel yang pernah ditulis

Syed Vali Reza Nasr bahwa upaya-upaya melakukan Islamisasi ilmu memang giat

dilakukan di Barat dan Timur Tengah, namun sangat jarang yang memulainya dari

disiplin-disiplin ilmu (Bastaman, 2001). Tentu saja suatu pemikiran akan lebih matang

bila perumusnya adalah orang yang ahli dibidangnya. Salah satunya adalah psikolog

Hanna Djumhana Bastaman, termasuk salah seorang yang mencoba memberi warna

Islamisasi ilmu dengan memulainya dari disiplin ilmu, dalam hal ini Psikologi. Ia juga

termasuk salah seorang diantara sedikit orang yang sangat serius mengkaji keterkaitan

Psikologi dan Islam.

Psikologi Islam yang dimaksudkan di sini bukanlah satu cabang Psikologi yang

hanya berlabelkan Islam, melainkan satu cabang Psikologi yang memiliki kaedah-

kaedah keilmiahan berlandaskan ajaran-ajaran Islam. Untuk ini Psikologi Islam harus

melakukan rancang ulang terhadap berbagai teori Psikologi dalam berbagai aspeknya

yang antara lain meliputi: landasan teoritis, landasan kosmologis, landasan teologis,

paradigm, teori, konsep, dan metode sendiri yang sesuai dengan Islam untuk menutup

kelemahan Psikologi yang telah ada (Ancok, 1994).

Namun ini bukan berarti menafikan semua teori Psikologi yang ada dan

melupakan sama sekali kontribusinya, namun lebih menitik beratkan pada

pembangunan dan pengembangan Psikologi Islam berdasarkan ajaran-ajaran Islam

namun tetap berada pada jalur saintifiknya. Objeknya adalah manusia dan hubungannya

dengan sesama manusia, alam raya, alam spiritual. Sedangkan tujuannya adalah untuk

membentuk mental yang sehat dan ketaqwaan (Mujib, 2002).

Suatu pendekatan baru dalam khazanah ilmu pengetahuan, dapat dihasilkan

dengan langkah-langkah yang tepat, tetapi memulainya tidak dari nol melainkan harus

memulainya dari penemuan mutakhir. Dengan demikian, jikalau hendak membangun

aliran baru dalam khazanah psikologi modern, maka hendaknya menyambung temuan-

temuan yang selama ini dihasilkan ilmuwan-ilmuwan psikologi.

Menghadirkan Islam sebagai upaya memperbaiki konsep-konsep psikologi

ternyata dapat menumbuhkan kreativitas. Demikian pula halnya dengan yang

dikemukakan oleh psikolog Hanna Djumhana Bastaman. Beliau menjelaskan

bahwasanya jikalau hendak membangun Psikologi Islam, maka seharusnya

memanfaatkan hasil-hasil pemikiran ilmuwan psikologi. Ciri yang menonjol dari tulisan

Hanna Djumhana adalah di satu sisi ia mengakui kebenaran teori-teori psikologi dengan

catatan di sana sini masih ada kekurangan dan di sisi lain ia mencoba memperbaiki

kekurangan itu dengan konsep-konsep Islam.

Terdapat dua latar belakang bagi perlunya kehadiran Psikologi Islam yang telah

banyak disebutkan oleh para ahli psikologi (dalam Hartati, 2005) yakni: Pertama, Islam

mempunyai sudut pandang yang fundamental terhadap diri manusia dan segala

keadaannya, berbeda dengan sudut pandang psikologi konvensional (Barat) baik dari

aspek filosofi, metodologi, dan pendekatannya. Al Quran sebagai sumber pertama Islam

mempunyai pandangan-pandangan sendiri tentang manusia, melalui Al quran juga Allah

memberitahukan banyak tentang rahasia-rahasia manusia. Untuk mengetahui tentang

hakikat manusia secara filosofis, Alquran menjadi acuan utama bagi pengembangan

ilmu psikologi. Psikologi Barat yang berkembang saat ini mempunyai kelemahan-

kelemahan yang bersifat fundamentalis, baik secara filosofis maupun secara praktis.

Psikoanalisis Sigmund Freud, menganggap sinting (delusi) orang yang percaya Tuhan

dan aliran Behavioristik tidak peduli akan adanya Tuhan. Hal ini akan mendorong akan

penting adanya Psikologi yang berwawasan teosentris (berketuhanan) yakni Psikologi

Islam.

Alasan kedua adalah adanya kesadaran bahwa psikologi modern menghadapi

beragam kritis. Ahli-ahli psikologi modern baik dari kalangan muslim maupun non

muslim telah melontarkan sejumlah kritik terhadap psikologi modern. Malik B. Badri

seorang ilmuwan muslim dari Sudan telah melakukan koreksi teoritis dan praktis

terhadap psikologi modern. Bahkan Gordon Westland tahun 1978 (dalam Sapuri, 2009)

menjelaskan seorang ilmuwan psikologi Barat memandang bahwa krisis psikologi

modern telah berkembang sedemikian jauh hingga dapat dikategorikan menjadi

berbagai macam krisis. Diantaranya adalah krisis kegunaan (the usefullness crisis),

krisis laboratorium (laboratory crisis), krisis filsafat (the philosophical crisis), krisis

profesi (the professional crisis), krisis etika (the ethical crisis), dan krisis resolusi (the

resolution crisis).

Tugas Psikologi Islam berbeda dengan Psikologi Barat, Psikologi Barat hanya

menerangkan (explanation), memprediksi (prediction), mengontrol (countrolling)

terhadap perilaku manusia. Sedangkan Psikologi Islam menerangkan, memprediksi,

mengontrol dan mengarahkan untuk memperoleh ridho Allah. Jadi misi utama

Psikologi Islam adalah menyelamatkan manusia dan mengantarkan manusia untuk

memenuhi kecenderungan alaminya dan fitrahnya untuk kembali kepada Allah SWT.

Psikologi Islam dibangun dengan menggunakan Al Quran sebagai acuan utamanya dan

Al Quran diturunkan bukan semata-mata uumat Islam melainkan untuk kebaikan umat

manusia, karena itu Psikologi Islam dibangun dengan arah untuk kesejahteraan manusia.

Secara umum berkembangnya wacana Psikologi Islam sebagai salah satu “buah

Islamisasi sains” atau “kebangkitan Islam”, tidak hanya tuntutan dari ilmuwan muslim

tetapi juga merupakan hasil kajian beberapa ilmuwan non muslim. Salah satunya adalah

Erich Fromm (tokoh psikologi) yang mengungkapkan bahwa manusia modern

menghadapi suatu ironi dimana mereka Berjaya dalam menggapai capaian material

namun kehidupan mereka dipenuhi keresahan jiwa (rentan terhadap stress, depresi dan

merasa teralienasi). Erich Fromm memberi contoh makin meningkatnya angka bunuh

diri pada usia lansia di beberapa Negara Eropa dan Amerika. Begitu pula pendapat

filosof Bertrand Russell yang mengatakan bahwa kemajuan material yang dicapai pada

peradaban modern tidak dibarengi dengan kemajuan di bidang moral-spiritual (dalam

Rakhmad, 2005).

Melihat perkembangan paradigm psikologi barat yang telah dipaparkan di atas,

maka tidak menutup kemungkinan psikologi Islam menjadi paradigma selanjutnya

dalam perkembangan ilmu psikologi. Salah satu alasan yang dapat digunakan adalah

bahwa psikologi Islam menempatkan kembali kedudukan agama dalam kehidupan

manusia yang dalam sejarah perkembangan ilmu saling tarik ulur, menjadi

penyempurna konsep perilaku manusia dan menghadirkan kembali factor Tuhan

(spiritual) dalam kehidupan manusia serta diyakini mampu menjadi elemen moral dalam

aplikasi ilmu pengetahuan modern sehingga dapat membangun kembali peradaban

manusia.

PENGERTIAN PSIKOLOGI ISLAM

Sejak pertengahan abad XIX, yang didakwahkan sebagai abad kelahiran

Psikologi kontemporer di dunia Barat, terdapat banyak pengertian mengenai Psikologi

yang ditawarkan oleh para psikolog. Masing-masing pengertian memiliki keunikan,

seiring dengan kecenderungan, asumsi dan aliran yang dianut oleh penciptanya.

Meskipun demikian, perumusan pengertian Psikologi dapat disederhanakan dalam tiga

pengertian.

Pertama, Psikologi adalah studi tentang jiwa (psyche), seperti studi yang

dilakukan Plato (427-437 SM) dan Aristoteles (384-322 SM) tentang kesadaran dan

proses mental yang berkaitan dengan jiwa. Kedua, Psikologi adalah ilmu pengetahuan

tentang kehidupan mental, seperti pikiran, perhatian, persepsi, inteligensi, kemauan dan

ingatan. Definisi ini dipelopori oleh Wilhelm Wundt. Ketiga, Psikologi adalah ilmu

pengetahuan tentang perilaku organism, seperti perilaku kucing terhadap tikus, perilaku

manusia terhadap sesamanya, dan sebagainya. Defini yang terakhir ini dipelopori oleh

John Watson (Rahman shaleh, 2008).

Sedangkan Psikologi Islam menurut para psikolog muslim adalah ilmu yang

berbicara tentang manusia, terutama masalah kepribadian manusia, yang bersifat

filsafat, teori, metodologi, dan pendekatan problem dengan didasari sumber-sumber

formal Islam (Al-Quran dan hadits) dan akal, indra, dan intuisi. Psikologi Islam adalah

konsep psikologi modern yang telah mengalami proses filterisasi dan didalamnya

terdapat wawasan Islam. Psikologi Islam adalah perspektif Islam terhadap Psikologi

modern dengan membuang konsep-konsep yang tidak sesuai atau bertentangan dengan

Islam.

Menurut Hanna Djumhana Bastaman (2001), Psikologi Islam ialah corak

Psikologi berlandaskan citra manusia menurut ajaran Islam, yang mempelajari keunikan

dan pola perilaku manusia sebagai ungkapan pengalaman interaksi dengan diri sendiri,

lingkungan sekitar dan alam kerohanian, dengan tujuan meningkatkan kesehatan mental

dan kualitas keberagamaan.

Psikologi Islam sebenarnya merupakan pandangan Islam tentang “manusia”

yang tidak harus dikait-kaitkan dengan pandangan psikologi Barat. Dasar pendidikan

psikologi barat adalah spekulatif philoshopis tentang manusia, sedangkan Psikologi

Islam didasarkan atas sumber otentik yaitu Al-Quran dan As-Sunnah (Mujib, 2006).

Berbeda dengan psikologi kontemporer-sekuler yang dapat dikatakan

menggunakan semata-mata kemampuan intelektual untuk menemukan dan

mengungkapkan asas-asas kejiwaan. Psikologi Islam mendekatinya dengan

memfungsikan akal dan keimanan sekaligus, yakni menggunakan secara optimal daya

nalar yang objektif-ilmiah dengan metodologi yang tepat, disamping merujuk kepada

petunjuk-Nya mengenai manusia yang tertera dalam Al-Quran Maha Benar dan Hadits

yang abash serta pandangan para ulama yang teruji. Dengan demikian landasan

Psikologi Islam adalah ayat-ayat Qur’ani dan ayat-ayat nafsani yang dukung

mendukung, atau lebih luas; asas-asas keagamaan dan temuan-temuan iptek di bidang

kemanusiaan (Bastaman, 2001).

Sekalipun Psikologi Islam erat hubungan keilmuannya dengan Agama Islam,

dan tak terpisahkan dari padanya, tetapi perlu dikukuhkan di sini bahwa bagaimana pun

Psikologi Islam adalah Psikologi, dan ia adalah sains yang mempunyai persyaratan-

persyaratan ketat sebagai sains. Dalam Psikologi Islam sama sekali tidak ada

pencampurbauran antara psikologi dengan agama atau pereduksian fenomena

keagamaan menjadi semata-mata proses psikologi.

Sebagai kesimpulannya dapat dirumuskan bahwa Psikologi Islam adalah kajian

Islam yang berhubungan dengan aspek-aspek dan perilaku kejiwaan manusia, agar

secara sadar ia dapat membentuk kualitas diri yang lebih sempurna dan mendapatkan

kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.

SEJARAH LAHIRNYA PSIKOLOGI ISLAM DI INDONESIA

Di tengah isu Islamisasi sains, Psikologi Islam menjadi bagian yang tak

terpisahkan. Sebagai disiplin ilmu yang relatif muda, Psikologi Islam diharapkan dapat

memberikan kontribusi positif bagi pembentukan pribadi manusia ideal (insan kamil).

Karena kita sadari, Psikologi Barat (modern) ternyata tidak bisa memberikan jawaban

secara lebih utuh terhadap problem-problem manusia yang begitu unik. Bagi Psikologi

Barat, manusia hanya diletakkan dalam tinjauan yang bersifat egosentris, sedangkan

manusia itu sendiri memiliki rangkaian kemanusiaannya yang lebih lengkap, yaitu jasad

(tubuh), ruh, nafs (jiwa) dan qalb (hati). Jika manusia hanya ditinjau dari satu sisi saja,

maka sosok manusia tidak akan pernah terpotret secara utuh.

Sejarah lahirnya psikologi Islam diawali pada tahun 1976 yang berasal dari

kesimpulan Prof. Kadir Yahya (dalam Bastaman, 2001) yang menyatakan bahwa

Psikologi itu suatu pedoman, tetapi tasawuf adalah ruhnya. Kemudian pada tahun 1979

Fuad Nashori mempresentasikan tentang “psikologi agamawi” yang mengintegrasikan

konsep manusia dan psikologi tasawuf islam. Kemudian pada tahun 1992 beliau

menulis di jurnal Ulumul Qur’an yang mengungkapkan tentang Islamisasi sains dan

Psikologi sebagai focus telaah. Pada tahun 1994 diadakan simposium nasional Psikologi

Islam di UMS dan telah menghasilkan rumusan tentang adanya ilmu Psikologi Islam.

Dr. Zakiah Darajat (dalam Suprayetno, 2009) juga mulai mengenalkan psikologi

dari tinjauan agama. Pada tahun 1994, melalui symposium nasional, para peminat

Psikologi Islam akhirnya dikumpulkan dan muncullah kesepakatan untuk menamakan

pengetahuan baru tersebut dengan nama Psikologi Islam. Setelah sebelumnya, banyak

nama yang diusulkan, diantaranya adalah Psikologi Qur’ani, Psikologi Tasawuf, dan

lain sebagainya.

INTEGRASI PSIKOLOGI DENGAN ISLAM

Penggunaan istilah integrasi dimaksudkan untuk mempertemukan ide-ide dasar

psikologi dengan Islam. Pertemuan ide itu diupayakan agar terjalin suatu tatanan baru

yang lebih tinggi. Dalam hal ini titik temu terutama terjadi pada masalah konsep

manusia dan upaya pengembangan diri manusia. Sesuatu disebut terintegrasi bila unsur-

unsur yang ada di dalamnya terpadu dan saling menopang sehingga membentuk sinergi

baru.

Upaya-upaya mengintegrasikan Psikologi dan Islam yang dilakukan Hanna

Djumhana pada dasarnya merupakan upaya untuk membangun sinergi baru. Manakala

mengintegrasikan dua kekuatan dilakukan, maka yang terjadi adalah kekuatan baru

yang lebih sekedar penjumlahan dari dua kekuatan itu. Kreativitas dan keberanian

Hanna Djumhana untuk melakukan integrasi semacam itu layak diberi penghargaan,

terlepas dari apakah kita setuju atau tidak dengan upayanya itu. Apa yang dilakukan

Hanna adalah langkah penting guna merangsang kita untuk menggali kajian Psikologi

Islam ini lebih dalam lagi.

Salah satu pandangan yang sangat menonjol adalah pengakuannya atas konsep

antroposentris yang banyak diperkenalkan oleh Psikologi Humanistik. Psikologi

Humanistik adalah aliran yang mencoba melihat keunggulan-keunggulan potensial

manusia dan berupaya mengaktualisasikannya. Karena pandangannya yang sangat

positif terhadap manusia, maka dianggapnya manusia adalah penentu kehidupannya

sendiri. Hanna Djumhana melihat bahwa pandangan ini dapat menyesatkan manusia,

karena manusia menganggap dirinya dapat berperan sebagai Tuhan (play-God) bagi diri

mereka sendiri. Bagaimanapun, menurut Hanna Djumhana (2001) Tuhan adalah pusat

kehidupan ini. Akhirnya Hanna Djumhana mengintroduksikan istilah baru, yaitu

Antropo-religiousus-sentris.

Hanna Djumhana (2001) juga membangun struktur kepribadian manusia versi

Psikologi Islam. Beliau mencoba mengakomodasikan dan membangun struktur

kepribadian manusia baru dengan memanfaatkan cara pandang Psikoanalisis (alam

sadar, alam prasadar, dan alam tak sadar). Psikoanalisa memandang manusia sebagai

sosok makhluk yang hidup atas bekerjanya dorongan-dorongan (id) sangat ditentukan

oleh masa lalunya. Konsep ini dipandang terlalu menyederhanakan kompleksitas

dorongan hidup yang ada dalam diri manusia, sehingga terkesan pesimistis dalam

pengembangan diri manusia.

Aliran Behavioristik (dimensi kognisi, dimensi afeksi, dimensi konasi, dan

dimensi psikomotor), memandang manusia sebagai sosok makhluk yang sangat

mekanistik karena kelahirannya tidak membawa apapun, sehingga kehidupannya sangat

ditentukan oleh lingkungan atau hasil pengkondisian lingkungan. Sedangkan Psikologi

Humanistik (dimensi somatik, dimensi psikis, dan dimensi noetik), memandang

manusia sebagai sosok yang mempunyai potensi baik dan tidak terbatas, sehingga

dipandang sebagai penentu tunggal yang mampu memainkan peran Tuhan.

Psikologi Islam hadir dengan menawarkan pembahasan tentang konsep manusia

yang lebih utuh (komprehensif). Manusia tidak hanya dikendalikan oleh masa lalu tetapi

juga mampu merancang masa depan. Manusia tidak hanya dikendalikan lingkungan

tetapi juga mampu mengendalikan lingkungan. Manusia memiliki potensi baik tetapi

juga potensi buruk (terbatas). Konsep manusia dalam Psikologi Islam adalah bio-sosio-

psikis-spiritual, artinya Islam mengakui keterbatasan aspek biologis (fisiologis),

mengakui peran serta lingkungan (sosiokultural), mengakui keunggulan potensi dan

juga memerankan aspek spiritual (Tuhan) dalam kehidupan manusia. Psikologi Islam

juga mengintegrasikan tiga pandangan aliran psikologi di atas ,dan mencoba

menempatkan ruh sebagai dimensi yang menaungi dimensi-dimensi di atas.

Menghadirkan wacana baru, yang kemudian diabadikan dalam nama Psikologi

Islam merupakan suatu keniscayaan. Paling tidak ada dua sisi yang dapat dilihat dalam

menelaah fenomena ini. Dari sisi pengembangan ilmu, upaya ini sebagai pembanding

atau bahkan counterdiscourse terhadap teori-teori Psikologi yang dibangun dari

paradigma sekuler. Masyarakat religious, khususnya masyarakat muslim Indonesia,

tidak mungkin menggunakan teori-teori psikologi sekuler. Selain bias budaya, teori-

teori tersebut bebas nilai yang menafikan unsur-unsur metafisik dan spiritual-

transedental.

Masyarakat muslim lebih tepat menggunakan teori Psikologi berbasis

keIslaman, karena teori itu dapat merangkul seluruh perilakunya dan menunjukkan self

image maupun self esteem sebagai seorang muslim yang sesungguhnya. Sedang dari sisi

praktisnya, pengembangan Psikologi Islam merupakan fase baru bagi praktisi Psikologi,

konseling dan psikoterapi dalam menjalankan tugas dan fungsinya, untuk menciptakan

suasana batin yang sejahtera dan bahagia hakiki.

Dalam usianya yang relatif belia, Psikologi Islam yang dikumandangkan oleh

komunitas terbatas baru menghadirkan sajian (Bastaman, 2001):

1. Kajian dalam bentuk diskusi, seminar dan temu ilmiah nasiopnal

2. Pembentukan organisasi yang pada tingkat nasional terwadahi dalam

Asosiasi Psikologi Islam (API) dan Ikatan Mahasiswa Muslim Psikologi

Indonesia (Imamupsi).

3. Penerbitan buku dan jurnal ilmiah yang bertemakan Psikologi Islam

4. Memasukkan Psikologi sebagai bagian dari mata kuliah wajib atau pilihan

di beberapa perguruan tinggi.

Terdapat beberapa alasan mengapa pengembangan Psikologi Islam masih

berputar pada kalangan terbatas. Pertama, sulit ditemukan sumber daya insani yang

memiliki pengetahuan integratif antara Psikologi dan Islam. Mereka saling menunggu

siapa yang duluan memulai, apakah sarjana Psikologi ataukah sarjana agama. Kedua,

sulit menggabungkan metodologi pengembangan ilmu, antara empiris versus meta-

empiris, induktif versus deduktif, apa adanya versus bagaimana seharusnya, bebas etik

versus sarat etik, kuantitatif versus kualitatif, positivistik empiris versus doktriner

normatif, dan antroposentris versus teosentris. Ketiga, Psikologi Islam sebagai bagian

dari studi Islam memiliki batasan-batasan yang tidak semuanya dapat dijangkau oleh

metodologi ilmu empiris, sebab tidak semua fenomena keagamaan dapat diukur melalui

tes-tes psikologi, seperti masalah kecerdasan spiritual, masalah keimanan dan

ketakwaan.

Menurut Bastaman (2001) menyatakan dalam pergumulan menghasilkan

pemikiran baru dalam diskursus Psikologi Islam, tampaknya ada beberapa hal yang

patut dicatat, yaitu:

1. Selalu dibutuhkan keberanian untuk melakukan terobosan-terobosan baru. Kita

telah mengenali keberanian Galileo untuk memperkenalkan kayakinannya

bahwa matahari adalah pusat peredaran; bahwa bumi lah yang mengitari

matahari dan bukan matahari mengitari bumi. Keberanian,, yang tentu saja harus

didukung oleh argumentasi dan keyakinan yang kuat, adalah modal bagi para

penerobos kemapanan.

2. Selalu dibutuhkan organisasi atau jamaah untuk mengintroduksi pendekatan-

pendekatan baru. Sebagaimana diungkapkan oleh Ali bin Abi Thalib, maka

keberhasilan mewujudkan cita-cita sangat ditentukan oleh keterpaduan gerak

dari orang-orang yang hendah mewujudkannya. Bahkan, shabat terdekat

Rasulullah SAW itu mengungkapkan bahwa kejahatan yang terorganisasi dapat

saja mengalahkan kebaikan yang penuh kesemrawutan. Upaya mengintroduksi,

mempermatang bahkan memenangkan Psikologi Islam haruslah ditopang oleh

organisasi yang kuat. Salah satunya adalah Yayasan Insan Kamil di Yogyakarta,

sebuah lembaga yang dimaksudkan sebagai organisasi untuk mendorong dan

menggodok pematangan Psikologi Islam.

3. Selalu dibutuhkan pemikiran yang matang dengan diimbangi keunggulan

penerapan di lapangan. Pikiran-pikiran baik yang ada di ’langit’ tanpa dapat

dimanfaatkan di bumi adalah pikiran yang tidak berguna. Begitu pula dengan

Psikologi Islam, kalau ia hanya menjadi arena pergulatan pemikiran tanpa bukti

akan ketangguhannya di dalam kehidupan nyata, maka tampaknya ia tak banyak

gunanya. Suatu pendekatan akan terbukti keampuhannya bia ia benar-benar

bermanfaat bagi kehidupan orang banyak. Dengan demikian, upaya pemikiran

harus diimbangi dengan upaya penerapan. Demikian pula halnya dengan

Psikologi Islam.

4. Selalu dibutuhkan keterbukaan bagi pengembangan pendekatan-pendekatan

baru. Salah satu sikap yang perlu dikembangkan oleh pemikir dan peminat

Psikologi Islam adalah sikap terbuka terhadap kritik dan pandangan-pandangan

baru. Suatu pendekatan akan terbukti keunggulannya, bila ia setidaknya

mempunyai keunggulan pada sisi tertentu.

Hanna Djumhana (2001) juga mengungkapkan bahwa tujuan dikembangkannya

Psikologi Islam adalah untuk mempertahankan kesehatan mental dan keimanan dalam

diri individu. Kajian ini menggunakan lebih menitik beratkan pada dimensi spiritual

dikarenakan dimensi ini merupakan sumber dari potensi, bakat, sifat dan kualitas diri

manusia. Bahkan, dimensi ini merupakan satu dimensi yang tidak pernah tergoncang

walaupun pemiliknya sedang sakit secara fisik maupun psikis.

Psikologi Islam memiliki kedudukan yang sama dengan disiplin ilmu keislaman

yang lain, seperti sosiologi Islam, ekonomi Islam, dan sebagainya. Penggunaan lata

“Islam” di sini memiliki arti corak, cara pandang, pola pikir, paradigm, atau aliran-

aliran tersendiri yang berbeda dengan psikologi kontemporer pada umumnya. Psikologi

Islam tidak hanya menekankan perilaku kejiwaan, melainkan juga hakikat jiwa

sesungguhnya. Psikologi Islam mengakui adanya kesadaran dan kebebasan manusia

untuk berkreasi, berpikir, berkehendak, dan bersikap secara sadar, walaupun kebebasan

itu tetap dalam koridor perintah Allah SWT. Psikologi Islam mempunyai tujuan yang

hakiki, yaitu merangsang kesadaran diri agar mampu membentuk kualitas diri yang

lebih sempurna untuk kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Jangkauan Psikologi Islam lebih luas, antara lain dalam fungsi dan tujuan serta

ruang lingkupnya. Jikalau fungsi psikologi umumnya sejauh ini hanya berkisar sekitar

pemahaman, pengendalian, dan peramalan, maka Psikologi Islam menambahnya dengan

fungsi pengembangan (ilmu) dan pendidikan. Selain itu tujuan psikologi untuk

mengembangkan mental yangs sehat pada diri pribadi dan masyarakat, dilengkapi

Psikologi Islam dengan inti kesehatan mental yaitu iman dan takwa kepada Tuhan.

Demikian pula pengalaman manusia sebagai sarana telaah psikologi kontemporer

diperluas dengan pengalaman keruhanian, sehingga ruang lingkup Psikologi Islam tidak

saja mencakup dimensi-dimensi psiko-biologi, psiko-eksistensial, psiko-sosial, tetapi

juga psiko-spiritual (Ancok, 1994).

Kemunculan Psikologi Islam banyak mengundang pro dan kontra. Bukan suatu

hal yang aneh dalam dunia ilmu, bahkan Islam memandang perbedaan di antara kaum

muslim itu sebagai rahmat, sejauh pro dan kontra itu tidak menimbulkan sengketa yang

meregangkan silaturrahmi. Hal yang terpenting adalah niat baik, artinya sekelompok

orang-orang yang berniat baik berkumpul untuk bermusyawarah bagaimana mengisi

Islamisasi Sains dan teknologi sebagai salah satu tema sentral Kebangkitan Islam pada

Kurun XV Hijrah dengan mengembangkan disiplin ilmu Psikologi Islam (Mujib, 2002).

DAFTAR PUSTAKA

1. Azizi, Qadry. 2003. Pengembangan Ilmu-ilmu Keislaman. Jakarta: Dipertais2. Ancok, Djamaluddin. 1994. Psikologi Islam & Solusi Islam atas Problem-

problem Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar3. Bastaman, Hanna. 2001. Integrasi Psikologi dengan Islam. Yogyakarta:

Yayasan Insan Kamil.4. Hartati, Neti, dkk. 2005. Islam dan Psikologi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.5. Jalaluddin. 1996. Psikologi Agama. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.6. Mujib, Abdul. 2006. Kepribadian dalam Psikologi Islam. Jakarta: PT Rajawali

Grafindo Persada.7. Mujib, Abdul, dkk. 2002. Nuansa-nuansa Psikologi Islam. Jakarta: Rja Grafindo

Persada.

8. Rahman shaleh, Abdul. 2008. Psikologi Suatu Pengantar dalam PerspektifIslam. Jakarta: Kencana.

9. Rakhmad, Jalaluddin. 2005. Psikologi Agama Suatu Pengantar. Bandung:Mizan.

10. Suprayetno. 2009. Psikologi Agama. Bandung: Citapustaka Media Perintis.11. Sapuri, Rafy. 2009. Psikologi Islam: Tuntutan Jiwa Manusia Modern. Jakarta:

Rajawali Pers.

GURU PEMBIMBING DAN KENAKALAN REMAJA

Oleh:

RAHMAT MULIADI

Ketua MG-BK SLTA Sekabupaten Deli Serdang

Abstract:Fight of the existing student has become fearful thing for all public circle.

Behavior of fight of student is not merely resulting loss of wounded good and chattel orvictim but has snatched hundreds of soul to float is useless during ten years last. Fightactivity done by student is mischief of adolescent which can lead to criminality suchscorpion there is victim. The Institute of education harp able to create educatededucative participant is felt incapable of overcoming mischief problems of thisadolescent. What which ought to done by education institute in standing(prevents/overcomes) this problem, or more precisely how and how far ought to the roleof tuition of counseling in standing this problems.Keywords: adolescent mischief, counsellor teacher

PENDAHULUAN

Tawuran pelajar saat ini sudah menjadi momok bagi seluruh kalangan

masyarakat. Perilaku tawuran pelajar bukan hanya mengakibatkan kerugian harta benda

atau korban cedera tapi sudah merenggut ratusan nyawa melayang sia-sia selama

sepuluh tahun terakhir. Beberapa tahun lalu puluhan siswa dari sebuah sekolah swasta

ditanggap polisi karena memabcok siswa SMK 5 Semarang, dan masih hangat di media

cetak dan media televis kita berita dari lembaga pendidikan di kota Jakarta, yang

tepatnya berada di SMA 6 dan SMA 70 Jakarta yang berita dan responnya masih terus

gencar dilakukan terhadap sikap tauran para pelajar yang telah memkan korban jiwa.

serta permasalahan ini juga berada di sekolah- sekolah lain yang ada di Negara tercinta

ini. Yang menjadi pertanyaan di dalam kajian ini adalah bagaimana dengan pendidikan

kita saat ini? Atau lebih tepatnya bagaimana dan sejauh mana seharusnya peran

bimbingan konseling dalam menyikapi permasalahan ini.

Dunia pendidikan merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam

kelangsungan hidup manusia. Karena dengan pendidikan manusia dapat mencapai

taraf hidup yang lebih baik, dalam segala tindakan, ucapan juga tingkah laku manusia

yang selalu tak lepas dipengaruhi oleh suatu proses pendidikan.

Proses pendidikan dapat dilakukan, dan terjadi di manapun kapanpun sejak usia

bayi sampai manusia mati. Namun di era globalisasi sekarang ini dunia pendidikan

dihadapkan dengan berbagai macam tantangan dan permasalahan. Di antara

permasalahannya adalah sebagaimana kita ketahui bahwa timbulnya berbagai macam

bentuk kenakalan remaja. Remaja yang pada usia sekolah yang seharusnya difokuskan

pada menuntut ilmu dan hal yang bermanfaat. Namun kenyataannya sebaliknya malah

melakukan berbagai tindakan yang tidak terpuji dan seharusnya tidak mereka lakukan.

Kenakalan remaja semakin lama semakin meningkat. Banyak peristiwa yang merugikan

bagi dirinya (remaja secara khusus) dan bagi orang tuanya, kalangan pendidikan, serta

masyarakat (secara umum). Kenakalan ini biasa terdapat pada anak-anak, namun yang

paling dominan terdapat pada usia remaja yang pada masa ini remaja mengalami proses

pertumbuhan dan perkembangan yang sangat cepat atau biasa disebut dengan masa

peralihan (Arif, 2008)

Remaja sering digambarkan sebagai usia di mana manusia dapat ditolerir untuk

melakukan banyak pelanggaran terhadap norma dalam masyarakat, yang pada akhirnya

tanpa pikir panjang mereka bebas mencoba hal-hal yang melanggar aturan dan

berdampak negatif tersebut. Apalagi, tersedianya fasilitas yang mendukung ke arah

sana. Dengan adanya kebebasan pers, media massa dengan bebasnya menayangkan

sesuatu yang dapat memberi rangsangan negatif bagi perilaku remaja saat ini. Media

seperti televisi, internet dan lainnya merupakan media yang memberikan akses besar

terhadap perilaku remaja sekarang.

Dipandang dari sudut pendidikan, penampilan dan perilaku remaja seperti di atas

sangat tidak diharapkan, karena tidak sesuai dengan sosok pribadi manusia Indonesia

yang dicita-citakan, seperti tercantum dalam tujuan pendidikan nasional (UU No. 20

Tahun 2003), yaitu: (1) beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, (2)

berakhlak mulia, (3) memiliki pengetahuan dan keterampilan, (4) memiliki kesehatan

jasmani dan rohani, (5) memiliki kepribadian yang mantap

Tujuan pendidikan tersebut di atas mempunyai implikasi imperatif (yang

mengharuskan) bagi semua tingkat satuan pendidikan untuk senantiasa memantapkan

proses pendidikannya secara bermutu ke arah pencapaian tujuan pendidikan tersebut

dan mencetak generasi yang unggul, sehat jasmani dan rohani. Namun

permasalahannya kenakalan remaja juga menimpa dan menjangkit di lembaga

pendidikan.

Hal yang tidak bias kita pungkiri ketika permasalahan kenakalan siswa terjadi

baik di dalam lingkungan sekolah maupun di luar lingkungan sekolah maka semua mata

akan tertuju kepada guru BK (Bimbingan dan Konsleing) dengaan segudang

pertanyaan: mengapa ini bias terjadi? Apa saja kerja guru BK? Kemama Guru BK? Dan

lain sebagainya.

Sesungguhnya dengan diadakannya bimbingan konseling di sekolah maupun

madrasah diharapkan perannya mampu mencegah, mengatasi dan membantu berbagai

masalah yang dialami siswa. Dikarenakan berdirinya bimbingan konseling juga tak

lepas karena adanya masalah-masalah yang dialami siswa, selain itu juga merupakan

suatu bentuk upaya yang dilakukan oleh lembaga pendidikan untuk memberikan wadah

dan saluran bagi siswa yang mengalami masalah untuk menyelesaikannya yang salah

satunya lewat bimbingan konseling (Sudrajat, 2008).

Maka dalam hal ini penulis merasa perlu untuk membahas kenakalan siswa ini

dengan mengkaji tugas guru BK ini berkaitan dengan permasalahan kenakalan siswa ini

dengan terlebih menguraikan tentang hakikat remaja dan kenakalan serta upaya

mengtasinya.

PEMBAHASAN

1. Pengertian Kenakalan.

Berdasarkan pendapatnya B. Simanjuntak (1999: 67) memberikan pengertian

suatu perbuatan itu disebut kenakalan apabila perbuatan tersebut bertentangan dengan

norma-norma yang ada dalam masyarakat tempat di mana dia tinggal, atau dapat

dikatakan kenakalan itu adalah suatu perbuatan yang a-sosial di mana di dalamnya

terkandung unsur-unsur normatif.

Sedangkan Safiyudin (1999: 26) mengemukakan bahwa kenakalan dapat

diklasifikasikan sebagai perbuatan atau kelakuan a-sosial dan a-normatif. Sedangkan

dari segi psikologis, Koesoemanto menjelaskan bahwa kenakalan merupakan tingkah

laku yang bertentangan dengan syarat-syarat dan pendapat umum yang dianggap

sebagai akseptabel dan baik oleh suatu lingkungan masyarakat atau hukum yang berlaku

disuatu masyarakat yang berkebudayaan tersebut.

Dari beberapa pendapat tersebut penulis menyimpulkan bahwa kenakalan

merupakan suatu bentuk perbuatan yang melanggar dan bertentangan dengan norma

yang berlaku di lingkungan tersebut.

2. Pengertian Remaja.

Masa remaja adalah masa yang menunjukkan sebuah periode peralihan dari

masa kanak-kanak menjadi dewasa yang dimulai dengan timbulnya tandatanda pubertas

yang pertama dan berakhir pada waktu remaja mencapai kematangan fisik dan mental

(Kartini, 1986: 149).

Berbeda lagi menurut pendapatnya Mappiare yang menyatakan bahwa batas

usia remaja berada dalam usia antara 12 sampai 21 bagi perempuan sedangkan bagi

laki-laki berusia antara 13 sampai 22 tahun. Sedangkan menurut pendapatnya B.

Simanjuntak remaja adalah umur yang menjembatani antara umur anak-anak dan umur

dewasa. Pada umur ini terjadi berbagai perubahan yang tidak mudah bagi seorang anak

untuk menghadapinya tanpa bantuan dan pengertian dari pihak orang tua dan orang

dewasa pada umumnya, pada umur ini terjadilah perubahan cepat-cepat pada jasmani,

emosi, sosial, moral dan kecerdasan.

Berbeda lagi menurut pendapatnya Zakiah Daradjat (1975: 11) mengatakan

bahwa remaja merupakan masa peralihan yang ditempuh oleh seseorang dari

kanakkanak menuju kedewasa atau perpanjangan masa kanak-kanak sebelum masa

dewasa.

Menurut Singgih D. Gunarsa (2007: 3) masa remaja adalah masa peralihan dari

masa anak ke masa dewasa, meliputi semua perkembangan yang dialami sebagai

persiapan memasuki masa dewasa.

Berdasarkan uraian di atas pada dasarnya dapat disimpulkan bahwa masa remaja

merupakan masa yang sulit untuk ditebak atau masa transisi, karena masa remaja tidak

lagi disebut anak-anak dan juga tidak disebut dewasa melainkan masa peralihan dari

anak-anak menuju dewasa yang berumur antara 12 sampai 22 tahun sehingga waktunya

sangat singkat sekali. Masa ini pun ditandai dengan adanya pertumbuhan dari dalam

maupun dari luar yang sangat cepat. Sehingga mempengaruhi sikap, perilaku serta

kepribadian pada diri remaja. Meskipun demikian masa remaja mengalami suatu

kematangan fisik dan kematangan sosial yang serempak.

3. Pengertian Kenakalan Remaja.

Istilah baku dalam konsep dan pandangan Psikologi, kenakalan remaja adalah

Juvenile Delequance yang secara etimologis dapat dijabarkan bahwa juvenile adalah

anak sedangkan delinquency adalah kejahatan. Menurut Drs. Bimo Walgito

merumuskan arti selengkapnya dari kenakalan remaja (Juvenile Delinquency) adalah

tiap perbuatan, jika perbuatan tersebut dilakukan oleh orang dewasa, maka perbuatan itu

merupakan kejahatan, jadi merupakan perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan

oleh anak, khususnya anak remaja.

Berbeda lagi dengan pendapatnya Sukoharjo yang mendefinisikan kenakalan

remaja sebagai kenakalan yang sangat berbahaya, kenakalan ini biasanya dilakukan oleh

remaja sekolah misalnya mabuk-mabukan, membolos, merokok di sekolah dan

sebagainya. Kenakalan remaja merupakan perilaku yang melanggar norma sosial,

norma susila, kesopanan, norma hukum dan norma agama. Sedangkan menurut

pendapatnya Dr. Fuad Hasan merumuskan definisi Juvenile delequency adalah

perbuatan anti sosial yang dilakukan oleh anak remaja yang bilamana dilakukan orang

dewasa dikualifikasikan sebagai tindak kejahatan (Sudarsono, 1990: 10-11).

Dari berbagai pendapat di atas dapat penulis simpulkan bahwa kenakalan remaja

(Juvenile Delinquency) adalah suatu perbuatan kejahatan maupun pelanggaran yang

dilakukan oleh remaja yang bersifat melawan hukum, anti sosial, anti susila, menyalahi

norma-norma dan aturan yang berlaku di lingkungan tersebut.

4. Ciri-ciri Kenakalan Remaja.

Menurut pendapatnya Singgih D. Gunarsah (2007: 19) ciri-ciri pokok dari

kenakalan remaja antara lain:

a. Dalam pengertian kenakalan, harus terlihat adanya perbuatan atau tingkah laku yang

bersifat pelanggaran terhadap noma hukum yang berlaku dan pelanggaran nilai-

nilai moral.

b. Kenakalan tersebut mempunyai tujuan yang anti sosial yakni dengan perbuatan atau

tingkah laku tersebut bertentangan dengan nilai atau moral sosial yang ada di

lingkungan hidupnya.

c. Kenakalan remaja merupakan kenakalan yang dilakukan oleh mereka yang berumur

antara 13-17 tahun. Mengingat di Indonesia pengertian dewasa selain ditentukan

oleh status perkawinan, maka dapat ditambah bahwa kenakalan remaja adalah

perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh mereka yang berumur antara 13-17

tahun dan belum menikah.

d. Kenakalan remaja dapat dilakukan oleh seorang remaja saja atau dapat juga

dilakukan secara bersama-sama dalam suatu kelompok remaja.

5. Bentuk Kenakalan Remaja

Masalah kenakalan remaja adalah masalah yang banyak menjadi perhatian

orang-orang di mana saja, baik masyarakat kota maupun desa, karena kenakalan

seseorang berdampak terganggunya ketentraman dan ketenangan orang lain maupun

orang di sekitarnya.

Adapun secara umum seperti kita ketahui kenakalan remaja di zaman sekarang baik

sifat maupun bentuknya terus mengalami perubahan dari masa kemasa. Dengan

didorong sifat remaja sangat besar untuk mencoba dan selalu ingin tahu, menyebabkan

remaja berusaha untuk mempraktekan dan meniru segala perilaku yang aneh yang

dianggap baru dan ganjil. Sehingga akhirnya munculah prilaku baru yang

dikembangkan dan dibanggakan para remaja yang kebanyakan tidak sesuai dengan

aturan maupun norma-norma yang berlaku. Maka dari itu salah satu masalah

pendidikan yang sangat sulit dipecahkan dan sedang dihadapi dewasa ini sebagaimana

telah dikemukakan di atas adalah masalah kenakalan remaja. Dikarenakan masalah

kenakalan remaja sangat erat kaitannya dengan kondisi rumah tangga dan lingkungan

masyarakat sekitarnya, bahkan keadaan sekolah yang tidak teratur dan kondusif dapat

pula menjadi sumber kenakalan itu. Bentuk kelainan tingkah laku atau kenakalan

remaja misalnya berkelahi, suka berkata kotor, mencuri, suka membolos, merokok di

sekolahan dan lain sebagainya.

Adapun secara garis besar menurut pendapatnya Kartini Kartono (2003: 107-

109), kenakalan remaja dapat diklasifikasikan dalam dua bagian berikut ini:

a. Kenakalan remaja yang bersifat biasa.

Kenakalan remaja biasa adalah kenakalan yang dilakukan remaja secara khusus

tidak terdapat dan diatur dalam undang-undang dan hukum, karena kenakalan yang

tidak diatur dalam undang-undang atau suatu hukum tidak dapat atau sulit

digolongkan sebagai pelanggaran hukum. Apabila remaja melakukan kenakalan

yang masuk kategori ini pada umunya tidak ada sangsi yang tegas dan biasanya

remaja hanya mendapat sangsi moral dari orang lain serta masyarakat. Sehingga

kenakalan remaja pada tingkat ini frukuensinya lebih sering terjadi dikarenakan

tidak adanya pihak yang secara langsung menanganinya, dan biasanya remaja tidak

jera untuk melakukan secara berulang ulang perilaku tersebut.

Adapun yang termasuk dalam kategoti kenakalan ini berupa berkelahi, membolos

sekolah, kabur dari rumah, berbohong, menyontek, keluyuran tanpa tujuan, kebut-

kebutan, membaca buku porno, merokok di sekolahan yang mana hal ini hanya

diatur dalam tata tertib sekolah bukan dalam hukum resmi atau undang-undang.

b. Kenakalan remaja yang bersifat khusus.

Kenakalan remaja yang bersifat khusus merupakan jenis kenakalan yang melanggar

norma-norma, hukum serta undang-undang yang berlaku. Kenakalan yang termasuk

dalam kategori ini pada umumnya telah menjerumus pada salah satu kenakalan yang

bersifat menetap, sebagai contoh misalnya remaja yang terjerat minum-minuman

keras, judi, narkotik, ganja, melakukan seks bebas, merampok, pencurian,

membunuh dan lain sebagainya yang mana dilarang dan diatur baik dalam aturan

sekolah maupun undang-undang dan hukum negara serta mendapat sangsi yang

tegas setiap pelakunya. Pada kenakalan remaja dalam tingkat ini termasuk

kenakalan remaja yang berat, sehingga memerlukan penanganan yang serius dan

hati-hati.

Sedangkan menurut pendapatnya Mulyono bahwa kenakalan remaja dapat

digolongkan menjadi dua yaitu kenakalan yang tidak digolongkan pelanggaran hukum

namun berdampak negatif seperti:

1) Membolos, merupakan suatu tindakan pergi meninggalkan sekolah atau kelas tanpa

sepengetahuan pihak sekolah.

2) Kabur meningggalkan rumah tanpa izin orang tua disertai menentang keinginan

orang tua dalam waktu relatif lama.

3) Kebiasaan membaca buku-buku cabul, menonton film porno, dan kebiasaan

mempergunakan bahasa yang tidak sopan.

4) Turut dalam pelacuran atau melacurkan diri baik untuk tujuan ekonomi ataupun

tujuan lainnya.

5) Merokok di lingkungan sekolah, berpakaian tidak pantas dan minum-minuman

keras.

Sedangkan untuk pelanggaran terhadap hukum atau kenakalan yang mengarah

pada tindakan kriminal seperti:

1) Berjudi sampai menggunakan uang dan taruhan benda lain.

2) Mencuri, menjambret, mencopet dan merampas barang orang lain dengan kekerasan

atau tanpa kekerasan.

3) Pelanggaran tata susila. Menjual gambar atau film porno serta pemerkosaan.

4) Pembunuhan, pengguran kandungan, penganiayaan.

Dari beberapa bentuk kenakalan remaja di atas maka dapat disimpulkan bentuk

kenakalan remaja sekarang sangatlah komplek. Maka dari itu, penulis mengambil garis

besar mengenai bentuk kenakalan remaja secara umum dibagi menjadi dua macam,

yaitu:

a. Kenakalan yang ringan (yang tidak termasuk dalam tindak kriminal tapi berdampak

negatif), seperti merokok, membolos sekolah, main kebut-kebutan, membawa

senjata tajam, berkelahi, membawa buku atau VCD porno, minumminuman keras,

bergabung dengan kelompok geng nakal dan lain sebagainya, juga termasuk dalam

hal ini larangan-larangan yang diatur dalam tata tertib di sekolah juga bisa dikatakan

kenakalan remaja bila pelakunya adalah pelajar.

b. Kenakalan yang berat (termasuk dalam tindak kriminal yang menyebabkan kerugian

bagi dirinya dan masyarakat dan diatur dalam Undang-undang), seperti berjudi,

memakai narkoba, ganja, melakukan seks bebas, merampok, memperkosa,

membunuh orang dan lain sebagainya.

6. Faktor Yang Mempengaruhi Kenakalan Remaja.

Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya kenakalan remaja menurut

pendapatnya Kartini Kartono lebih rinci dijelaskan sebagai berikut:

a. Faktor kontrol diri.

Kenakalan remaja juga digambarkan sebagai kegagalan untuk mengembangkan

kontrol diri yang cukup dalam hal tingkah laku. Beberapa anak yang gagal dalam

mengembangkan kontrol diri yang esensial yang sudah dimiliki orang lain selama

proses pertumbuhan biasanya akan mengalami pemberontakan dan bentuknya bisa

berupa tindakan kenakalan remaja.

b. Faktor usia.

Biasanya munculnya tingkah laku anti sosial ini umunya para pelaku kenakalan

dimulai pada masa remaja yang mana masa remaja cenderung untuk mencoba hal-

hal yang baru walaupun secara nyata berdampak negatif di masa remajanya, namun

demikian tidak semua anak yang bertingkah laku seperti ini nantinya akan menjadi

pelaku kenakalan secara terus menerus.

c. Faktor jenis kelamin.

Secara umum remaja lebih banyak melakukan tingkah laku anti sosial dan

kenakalan dan biasanya didominasi oleh remaja laki-laki dari pada remaja

perempuan walaupun tidak menutup kemungkinan remaja perempuan juga

melakukan tindakan yang sama.

d. Faktor harapan terhadap pendidikan dan nilai-nilai di sekolah.

Remaja yang menjadi pelaku kenakalan seringkali memiliki harapan yang rendah

terhadap pendidikan di sekolah. Mereka merasa dan memandang bahwa sekolah itu

tidak begitu bermanfaat untuk kehidupannya, selain itu juga biasanya nilai-nilai

mereka pada pelajaran di sekolah cenderung rendah. Mereka pada umunya tidak

termotivasi untuk sekolah.

e. Faktor keluarga.

Faktor keluarga sangat berpengaruh terhadap timbulnya kenakalan remaja. Kurang

adanya dukungan keluarga seperti kurangnya perhatian orang tua terhadap aktivitas

anak, kurangnya penerapan disiplin yang efektif dan kurangnya kasih sayang orang

tua terhadap anaknya dapat menjadi pemicu timbulnya kenakalan remaja.

f. Faktor teman sebaya.

Memiliki teman-teman sebaya yang melakukan kenakalan meningkatkan risiko

remaja untuk menjadi nakal juga.

g. Faktor kelas sosial ekonomi.

Ada kecenderungan bahwa pelaku kenakalan lebih banyak berasal dari kelas sosial

ekonomi yang lebih rendah dengan perbandingan jumlah remaja nakal di antara

daerah perkampungan. Hal ini disebabkan kurangnya kesempatan remaja dari kelas

sosial rendah untuk mengembangkan ketrampilan yang diterima oleh masyarakat.

h. Faktor lingkungan sekitar tempat tinggal.

Masyarakat dengan tingkat kriminalitas tinggi memungkinkan remaja mengamati

berbagai model yang melakukan aktivitas kriminal dan memperoleh hasil atau

penghargaan atas aktivitas kriminal mereka. Masyarakat seperti ini sering ditandai

dengan kemiskinan, pengangguran, dan perasaan tersisih dari kaum kelas menengah.

Kualitas sekolah, pendanaan pendidikan, dan aktivitas lingkungan yang terorganisir

adalah faktor-faktor lain dalam masyarakat yang juga berhubungan dengan

kenakalan remaja.

Berdasarkan pendapat di atas tersebut penulis menyimpulkan bahwa faktor yang

paling berperan menyebabkan timbulnya kecenderungan kenakalan remaja adalah faktor

keluarga dan faktor lingkungan terutama teman sebaya yang kurang baik, karena pada

masa ini remaja mulai bergerak meninggalkan rumah dan menuju teman sebaya,

sehingga minat, nilai, dan norma yang ditanamkan oleh kelompok pergaulannya lebih

menentukan perilaku remaja itu sendiri dibandingkan dengan norma, nilai yang ada

dalam keluarga dan masyarakat.

7. Tindakan Dalam Upaya Mengatasi Masalah Kenakalan Remaja.

Ada beberapa tindakan yang dapat dilakukan dalam upaya untuk mengatasi

kenakalan remaja terkait dengan fungsi dan tujuan bimbingan dan konseling antara lain

sebagai berikut:

a. Tindakan Preventif.

Tindakan preventif ini merupakan suatu tindakan yang akan dapat mencegah

timbulnya kenakalan remaja secara umum. Di dalam tindakan ini menurut Singgih

D. Gunarsa terbagi menjadi dua macam:

1) Bentuk usaha pencegahan timbulnya kenakalan remaja secara umum, adapun

dalam usaha pencegahan secara umum ini dibagi menjadi tiga antara lain: (a)

Usaha mengenal dan mengetahui secara ciri umum dan khas remaja, (b)

Mengetahui kesulitan-kesulitan yang secara umum dialami remaja karena setiap

remaja tidak selalu sempurna dan salah satu penyebab kenakalannya adalah

kekurangan atau kelemahan yang tidak diterima oleh remaja tersebut sebagai

individu. Dalam tindakan ini berusaha untuk mengetahui kesulitan serta

kelemahan yang menimbulkan kenakalan yang dilakukan remaja tersebut, dan

(c) Usaha pembinaan remaja, usaha pembinaan remaja ini bertujuan untuk

memperkuat sikap mental remaja agar mampu menyelesaikan masalah yang

dihadapinya. Tidak hanya itu saja tapi juga di dalam memberikan pendidikan

mental melalui pengajaran agama, budi pekerti, etika serta menciptakan sarana-

sarana yang menimbulkan atau menciptakan perkembangan pribadi secara wajar

dan optimal. Usaha pembinaan remaja ini juga berusaha untuk memperbaiki

faktor-faktor ekstern yang menimbulkan kenakalan remaja antara lain faktor

keluarga, lingkungan dan masyarakat.

Dengan demikian usaha pembinaan ini akan mengarahkan remaja untuk

melakukan tindakan yang sesuai, sopan, bertanggung jawab dan mampu

menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya.

2) Usaha pencegahan kenakalan remaja secara khusus, usaha yang dilakukan para

pendidik terhadap kelainan tingkah laku remaja. Usaha pencegahan yang khusus

ini bila di rumah sudah tentu dilakukan oleh orang tua sedangkan di sekolah

adalah para pendidik, guru pembimbing, guru ahli atau psikolog. Usaha para

pendidik harus diarahakan terhadap remaja dengan mengamati, memberikan

perhatian khusus dan mengawasi setiap penyimpangan tingkah laku remaja baik

di rumah dan di sekolah. Sebagai langkah selanjutnya” pemberian bimbingan

terhadap para remaja dengan tujuan menambah pengertian para remaja

mengenai: (a) Pengenalan diri sendiri meliputi menilai diri sendiri dan dalam

hubungan dengan orang lain. (b) Penyesuaian diri meliputi mengenal dan

menerima tuntutan dan menyesuaikan diri dengan tuntutan tersebut. (c) Orientasi

diri meliputi mengarahkan diri remaja kearah pembatasan antara diri pribadi dan

sikap sosial dengan penekanan pada penyadaran nilai-nilai sosial, moral dan

etik.

Bimbingan yang diberikan dan dilakukan dapat menggunakan dengan dua macam

pendekatan, yaitu:

1) Pendekatan langsung, yakni bimbingan yang diberikan secara pribadi pada

remaja itu sendiri. Melalui percakapan mengungkapkan kesulitan remaja

tersebut dan membantu mengatasinya.

2) Pendekatan melalui kelompok di mana ia sudah merupakan anggota kumpulan

atau kelompok kecil tersebut, meliputi: memperkuat motivasi atau dorongan

untuk bertingkah laku baik dan merangsang hubungan sosial yang baik,

mengadakan kelompok diskusi dengan memberikan kesempatan mengemukakan

padangan dan pendapat para remaja dan memberikan pengarahan yang positif,

dengan melakukan permainan bersama dan bekerja dalam kelompok dipupuk

solidaritas dan persekutuan dan pembimbing.

b. Tindakan Represif.

Usaha menindak pelanggaran norma-norma sosial dan moral dapat dilakukan

dengan mengadakan hukuman terhadap setiap perbuatan pelanggaran. Dalam

menindak terhadap remaja ini ada dua tempat:

1) Di rumah dan dalam lingkungan keluarga, remaja harus mentaati peraturan dan

tata cara yang berlaku. Di samping peraturan tentu perlu adanya semacam

hukuman yang dibuat oleh orang tua terhadap pelanggaran tata tertib dan tata

cara keluarga. Dalam hal ini perlu perhatikan bahwa pelaksanaan tata tertib dan

tata cara keluarga harus dilakukan dengan konsisten. Setiap pelanggaran yang

sama harus dikenakan sanksi yang sama. Sedangkan hak dan kewajiban anggota

keluarga mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan dan umur.

2) Di sekolah dan lingkungan sekolah, dalam hal ini maka Kepala Sekolahlah yang

berwenang dalam pelaksanaan hukuman terhadap pelanggaran tata tertib

sekolah. Dalam beberapa hal guru juga berhak untuk bertindak atau pelimpahan

ke pihak guru pembimbing. Pada umunya tindakan reprensif diberikan dalam

bentuk peringatan secara lisan maupun tertulis kepada pelajar dan orang tua,

melakukan pengawasan khusus oleh Kepala sekolah dan tim guru atau

pembimbing, dan melarang bersekolah untuk sementara atau seterusnya

tergantung pada macam pelanggaran tata tertib sekolah yang telah ditentukan.

c. Tindakan Kuratif dan Rehabilitasi.

Tindakan ini dilakukan setelah tindakan pencegahan lainnya dilaksanakan dan

dianggap perlu mengubah tingkah laku remaja melanggar tersebut itu dengan

memberikan pendidikan lagi. Pendidikan diulangi melalui pembinaan khusus,

biasanya hal ini ditanggulangi oleh lembaga khusus maupun perorangan yang ahli

dalam bidang ini.

KESIMPULAN

Kenakalan remaja pada mulanya ada dan dipengaruhi oleh berbagai faktor sehingga

remaja akhirnya bertindak di luar norma dan aturan yang berlaku. macam bentuk kenakalan

adalah (a) Kenakalan yang ringan (yang tidak termasuk dalam tindak kriminal tapi

berdampak negatif), seperti merokok, membolos sekolah, main kebut-kebutan,

membawa senjata tajam, berkelahi, membawa buku atau VCD porno, minumminuman

keras, bergabung dengan kelompok geng nakal dan lain sebagainya, juga termasuk

dalam hal ini larangan-larangan yang diatur dalam tata tertib di sekolah juga bisa

dikatakan kenakalan remaja bila pelakunya adalah pelajar. (b) Kenakalan yang berat

(termasuk dalam tindak kriminal yang menyebabkan kerugian bagi dirinya dan

masyarakat dan diatur dalam Undang-undang), seperti berjudi, memakai narkoba, ganja,

melakukan seks bebas, merampok, memperkosa, membunuh orang dan lain sebagainya

Beberapa upaya dan tahapan yang dilakukan bimbingan konseling dalam mengatasi

kenakalan remaja antara lain tertuang dalam beberapa tindakan berikut ini:

a. Tindakan Preventif.

Bimbingan yang diberikan dan dilakukan dapat menggunakan dengan dua macam

pendekatan, yaitu:

1) Pendekatan langsung, yakni bimbingan yang diberikan secara pribadi pada

remaja itu sendiri. Melalui percakapan mengungkapkan kesulitan remaja

tersebut dan membantu mengatasinya.

2) Pendekatan melalui kelompok di mana ia sudah merupakan anggota kumpulan

atau kelompok kecil tersebut, meliputi: memperkuat motivasi atau dorongan

untuk bertingkah laku baik dan merangsang hubungan sosial yang baik,

mengadakan kelompok diskusi dengan memberikan kesempatan mengemukakan

padangan dan pendapat para remaja dan memberikan pengarahan yang positif,

dengan melakukan permainan bersama dan bekerja dalam kelompok dipupuk

solidaritas dan persekutuan dan pembimbing.

b. Tindakan Represif.

Usaha menindak pelanggaran norma-norma sosial dan moral dapat dilakukan

dengan mengadakan hukuman terhadap setiap perbuatan pelanggaran. Dalam

menindak terhadap remaja ini

c. Tindakan Kuratif dan Rehabilitasi.

Tindakan ini dilakukan setelah tindakan pencegahan lainnya dilaksanakan dan

dianggap perlu mengubah tingkah laku remaja melanggar tersebut itu dengan

memberikan pendidikan lagi. Pendidikan diulangi melalui pembinaan khusus,

biasanya hal ini ditanggulangi oleh lembaga khusus maupun perorangan yang ahli

dalam bidang ini.

DAFTAR PUSTAKA

Arif Apriansyah, Dunia Remaja, (http://darsanaguru.blogspot.com/2008/04/ DuniaUndang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun. 2003 Sistem Pendidikan

Nasional, (Surabaya: Media Centre),B. Simanjutak, 1999, Psikologi Remaja, Bandung: Tarsito.Safiyudin Sastrawijaya, 1999, Beberapa Hal Tentang Masalah Kenakalan Remaja,

Bandung; PT. karya nusantaraKartini Kartono, 1986, Psikologi Remaja, Bandung: Offset AlumniZakiyah Darajat, 1975, Pembinaan Remaja, Jakarta: Bulan BintangSinggih D.Gunarsa, 2007, Psikologi Remaja, Jakarta: BPK Gunung MuliaSudarsono, 1990, Kenakalan Remaja, Jakarta: Rineka CiptaKartini Kartono, 2003, Kenakalan Remaja, Jakarta: PT. Rajagrafindo

DIMENSI PENGEMBANGAN DIRI BERNUANSA ISLAMI DALAMKTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah)

Oleh:

TarmiziDosen Fakultas tarbiyah IAIN Sumatera Utara

Jl. Willem iskandar Psr V Medan Estate

Abstract

Self development is an education activity outside from subject of study part ofschool curriculum.The aim of Self development that give chance to all student toincrease and to express their selves commensurate with their necessity, talent, interest.Self development activity was guided by counselor, teacher, or educator did inextracurricular activity. Self development activity was done through a counselingservice with self trouble and social live, learn, and increase student’s career. The unitof elementary school and high school was populared with named KTSP, curriculumstructure covers three components, there are : (1) subject of study (2) local capacity (3)self development.Key words: Pengembangan Diri, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan

PENDAHULUANDalam rangka meningkatkan mutu pendidikan Indonesia, pemerintah terus

berupaya melakukan berbagai reformasi dalam bidang pendidikan, di antaranya adalah

dengan dikeluarkannya Permendiknas No. 22 tentang Standar Isi untuk Satuan

Pendidikan Dasar dan Menengah dan Permendiknas No. 23 tentang Standar Kompetensi

Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Selanjutnya, untuk mengatur

pelaksanaan peraturan tersebut dikeluarkan pula Permendiknas No 24 tahun 2006.

Dari ketiga peraturan tersebut memuat beberapa hal penting di antaranya bahwa

satuan pendidikan dasar dan menengah mengembangkan dan menetapkan Kurikulum

Tingkat Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, yang kemudian dipopulerkan dengan

istilah KTSP. Di dalam KTSP, struktur kurikulum yang dikembangkan mencakup tiga

komponen yaitu: (1) mata pelajaran; (2) muatan lokal dan (3) pengembangan

diri.Komponen pengembangan diri merupakan komponen yang relatif baru dan berlaku

untuk dikembangkan pada semua jenjang pendidikan.

LANDASAN

1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,

Pasal 1 butir 6 yang mengemukakan bahwa konselor adalah pendidik, Pasal 3

bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi siswa, dan

Pasal 4 ayat (4) bahwa pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan,

membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas siswa dalam proses

pembelajaran, dan Pasal 12 Ayat (1b) yang menyatakan bahwa setiap siswa pada

setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai

dengan bakat, minat, dan kemampuannya.

2. PP. No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Pasal 5 - Pasal 18

tentang standar isi untuk satuan pendidikan dasar dan menengah.

3. Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan

Dasar dan Menengah, yang memuat pengembangan diri siswa dalam struktur

kurikulum setiap satuan pendidikan difasilitasi dan/atau dibimbing oleh konselor,

guru, atau tenaga kependidikan.

4. Dasar Standarisasi Profesi Konseling yang dikeluarkan Direktorat Jenderal

Pendidikan Tinggi Tahun 2004 untuk memberi arah pengembangan profesi

konseling di sekolah dan di luar sekolah.

PENGERTIAN

Pengembangan diri merupakan kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran

sebagai bagian integral dari kurikulum sekolah/madrasah. Kegiatan pengembangan diri

merupakan upaya pembentukan watak dan kepribadian siswa yang dilakukan melalui

kegiatan pelayanan konseling berkenaan dengan masalah pribadi dan kehidupan sosial,

kegiatan belajar, dan pengembangan karir, serta kegiatan ekstra kurikuler. Di samping

itu, untuk satuan pendidikan kejuruan, kegiatan pengembangan diri, khususnya

pelayanan konseling ditujukan guna pengembangan kreativitas dan karir. Untuk satuan

pendidikan khusus, pelayanan konseling menekankan peningkatan kecakapan hidup

sesuai dengan kebutuhan khusus siswa.

Hal ini sejalan dengan pesan-pesan agama sebagaimana yang termuat di dalam

surat al-Ashri bahwa Allah Swt memerintahkan kaum muslimin untuk saling berwasiat

dalam melakukan kebenaran dan kesabaran, meningkatkan iman dan amal saleh. Inilah

landasan dari pelayanan konseling Islami. Firman Allah Swt:

لعصر )وا لفي خسر ( ان )إن اإلنس حل ( الصا وا ذين آمنوا وعمل ال اصوا إال ـو ات وت لصرب ـواصوا با وت احلق ()ب

Artinya: Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali

orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati

supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. Di

dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa setiap para sahabat Rasulullah Saw saling

bertemu dan menyapa tidaklah mereka berpisah melainkan salah seorang mereka

membaca surat al-Ashr kemudian mengucapkan salah. Bahkan imam syafi`I

menjelaskan kalaulah manusia merenungkan surat ini maka cukuplah bagi mereka untuk

kebaikan dunia dan akhirat.(Ibnu Katsir, 550) Syaikh al-Ghazali menjelaskan

ringkasnya surat ini cukup menjelaskan segala akibat dari aktivitas manusia di dunia ini

sepanjang zaman. Orang yang senantiasa member bimbingan wasiat dan menerima

nasehat untuk pengembangan diri dalam segenap waktunya berupa melakukan segala

aktivitas yang baik dan bermanfaat serta saling menasehati untuk melakukan kebenaran

dan kesabaran dan keimanan mereka inilah yang tidak menyia-nyiakan umurnya.

Sementara itu orang yang terus mengabaikan waktunya tidak mau dibimbing dan tidak

mau memberi nasehat kepada orang lain untuk beriman, mengisi waktu dengan aktivitas

bermanfaat serta melakukan kebenaran dan kesabaran maka merekalah orang yang

merugi dunia dan akhirat menyia-nyiakan hidupnya di dunia.(Muhammad al-Ghazali,

539).

Semakna dengan ini di dalam hadis juga dijelaskan landasan dari konseling

Islami sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadis:

الدين " عن أيب متيم بن أوس الـداري رضي اهللا عنه أن النيب صلى اهللا عليه وسلم قال هللا ولرسوله ولألئمة املسلمني و عامتهم: النصيحة قلنا ملن ؟ قال

Artinya: Dari Abu Ruqayyah Tamiim bin Aus Ad Daari radhiallahu 'anh,

“Sesungguhnya Rasulullah telah bersabda : Agama itu adalah Nasehat , Kami bertanya

: Untuk Siapa ?, Beliau bersabda : Untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin

umat Islam, dan bagi seluruh kaum muslim” Tamim Ad Daari hanya meriwayatkan

hadits ini, kata nasihat merupakan sebuah kata singkat penuh isi, maksudnya ialah

segala hal yang baik. Dalam bahasa arab tidak ada kata lain yang pengertiannya setara

dengan kata nasihat, sebagaimana disebutkan oleh para ulama bahasa arab tentang kata

Al Fallaah yang tidak memiliki padanan setara, yang mencakup makna kebaikan dunia

dan akhirat.

Kalimat, “Agama adalah Nasihat” maksudnya adalah sebagai tiang dan

penopang agama, sebagaimana sabda Rasulullah, “Haji adalah arafah”, maksudnya

wukuf di arafah adalah tiang dan bagian terpenting haji.Tentang penafsiran kata nasihat

dan berbagai cabangnya, Khathabi dan ulama-ulama lain mengatakan : ( 1). Nasihat

untuk Allah maksudnya beriman semata-mata kepada-Nya, menjauhkan diri dari syirik

dan sikap ingkar terhadap sifat-sifat-Nya, memberikan kepada Allah sifat-sifat

sempurna dan segala keagungan, mensucikan-Nya dari segala sifat kekurangan,

menaati-Nya, menjauhkan diri dari perbuatan dosa, mencintai dan membenci sesuatu

semata karena-Nya, berjihad menghadapi orang-orang kafir, mengakui dan bersyukur

atas segala nikmat-Nya, berlaku ikhlas dalam segala urusan, mengajak melakukan

segala kebaikan, menganjurkan orang berbuat kebaikan, bersikap lemah lembut kepada

sesama manusia. Khathabi berkata : “Secara prinsip, sifat-sifat baik tersebut,

kebaikannya kembali kepada pelakunya sendiri, karena Allah tidak memerlukan

kebaikan dari siapapun”. (2). Nasihat untuk kitab-Nya maksudnya beriman kepada

firman-firman Allah dan diturunkan-Nya firman-firman itu kepada Rasul-Nya,

mengakui bahwa itu semua tidak sama dengan perkataan manusia dan tidak pula dapat

dibandingkan dengan perkataan siapapun, kemudian menghormati firman Allah,

membacanya dengan sungguh-sungguh, melafazhkan dengan baik dengan sikap rendah

hati dalam membacanya, menjaganya dari takwilan orang-orang yang menyimpang,

membenarkan segala isinya, mengikuti hukum-hukumnya, memahami berbagai macam

ilmunya dan kalimat-kalimat perumpamaannya, mengambilnya sebagai pelajaran,

merenungkan segala keajaibannya, mengamalkan dan menerima apa adanya tentang

ayat-ayat mutasyabih, mengkaji ayat-ayat yang bersifat umum, dan mengajak manusia

pada hal-hal sebagaimana tersebut diatas dan menimani Kitabullah. (3). Nasihat untuk

Rasul-Nya maksudnya membenarkan ajaran-ajarannya, mengimani semua yang

dibawanya, menaati perintah dan larangannya, membelanya semasa hidup maupun

setelah wafat, melawan para musuhnya, membela para pengikutnya, menghormati hak-

haknya, memuliakannya, menghidupkan sunnahnya, mengikuti seruannya,

menyebarluaskan tuntunannya, tidak menuduhnya melakukan hal yang tidak baik,

menyebarluaskan ilmunya dan memahami segala arti dari ilmu-ilmunya dan mengajak

manusia pada ajarannya, berlaku santun dalam mengajarkannya, mengagungkannya dan

berlaku baik ketika membaca sunnah-sunnahnya, tidak membicarakan sesuatu yang

tidak diketahui sunnahnya, memuliakan para pengikut sunnahnya, meniru akhlak dan

kesopanannya, mencintai keluarganya, para sahabatnya, meninggalkan orang yang

melakukan perkara bid’ah dan orang yang tidak mengakui salah satu sahabatnya dan

lain sebagainya. 4. Nasihat untuk para pemimpin umat islam maksudnya menolong

mereka dalam kebenaran, menaati perintah mereka dan memperingatkan kesalahan

mereka dengan lemah lembut, memberitahu mereka jika mereka lupa, memberitahu

mereka apa yang menjadi hak kaum muslim, tidak melawan mereka dengan senjata,

mempersatukan hati umat untuk taat kepada mereka (tidak untuk maksiat kepada Allah

dan Rasul-Nya), dan makmum shalat dibelakang mereka, berjihad bersama mereka dan

mendo’akan mereka agar mereka mendapatkan kebaikan. 5. Nasihat untuk seluruh

kaum muslim maksudnya memberikan bimbingan kepada mereka apa yang dapat

memberikan kebaikan bagi merela dalam urusan dunia dan akhirat, memberikan

bantuan kepada mereka, menutup aib dan cacat mereka, menghindarkan diri dari hal-hal

yang membahayakan dan mengusahakan kebaikan bagi mereka, menyuruh mereka

berbuat ma’ruf dan mencegah mereka berbuat kemungkaran dengan sikap santun, ikhlas

dan kasih sayang kepada mereka, memuliakan yang tua dan menyayangi yang muda,

memberikan nasihat yang baik kepada mereka, menjauhi kebencian dan kedengkian,

mencintai sesuatu yang menjadi hak mereka seperti mencintai sesuatu yang menjadi hak

miliknya sendiri, tidak menyukai sesuatu yang tidak mereka sukai sebagaimana dia

sendiri tidak menyukainya, melindungi harta dan kehormatan mereka dan sebagainya

baik dengan ucapan maupun perbuatan serta menganjurkan kepada mereka menerapkan

perilaku-perilaku tersebut diatas. Memberi nasihat merupakan fardu kifayah, jika telah

ada yang melaksanakannya, maka yang lain terlepas dari kewajiban ini. Hal ini

merupakan keharusan yang dikerjakan sesuai kemampuan. Nasihat dalam bahasa arab

artinya membersihkan atau memurnikan seperti pada kalimat nashahtul ‘asala artinya

saya membersihkan madu hingga tersisa yang murni, namun ada juga yang mengatakan

kata nasihat memiliki makna lain. (an-Nawawi, 67).

Kegiatan pengembangan diri berupa pelayanan konseling difasilitasi/

dilaksanakan oleh konselor, dan kegiatan ekstra kurikuler dapat dibina oleh konselor,

guru dan atau tenaga kependidikan lain sesuai dengan kemampuan dan kewenangnya.

Pengembangan diri yang dilakukan dalam bentuk kegiatan pelayanan konseling dan

kegiatan ekstra kurikuler dapat mengembangankan kompetensi dan kebiasaan dalam

kehidupan sehari-hari siswa.

Penggunaan istilah pengembangan diri dalam kebijakan kurikulum memang

relatif baru. Kehadirannya menarik untuk didiskusikan baik secara konseptual maupun

dalam praktiknya. Jika menelaah literatur tentang teori-teori pendidikan, khususnya

psikologi pendidikan, istilah pengembangan diri disini tampaknya dapat disepadankan

dengan istilah pengembangan kepribadian, yang sudah lazim digunakan dan banyak

dikenal. Meski sebetulnya istilah diri (self) tidak sepenuhnya identik dengan

kepribadian (personality). Istilah diri dalam bahasa psikologi disebut pula sebagai aku,

ego atau self yang merupakan salah satu aspek sekaligus inti dari kepribadian, yang di

dalamnya meliputi segala kepercayaan, sikap, perasaan, dan cita-cita, baik yang disadari

atau pun yang tidak disadari. Aku yang disadari oleh individu biasa disebut self picture

(gambaran diri), sedangkan aku yang tidak disadari disebut unconscious aspect of the

self (aku tak sadar) (Nana Syaodich Sukmadinata, 2005). Menurut Freud (Calvin S. Hall

& Gardner Lindzey, 1993) ego atau diri merupakan eksekutif kepribadian untuk

mengontrol tindakan (perilaku) dengan mengikuti prinsip kenyataan atau rasional, untuk

membedakan antara hal-hal terdapat dalam batin seseorang dengan hal-hal yang

terdapat dalam dunia luar.

Setiap orang memiliki kepercayaan, sikap, perasaan dan cita-cita akan dirinya,

ada yang realistis atau justru tidak realistis. Sejauh mana individu dapat memiliki

kepercayaan, sikap, perasaan dan cita-citanya akan berpengaruh terhadap perkembangan

kepribadiannya, terutama kesehatan mentalnya. Kepercayaan, sikap, perasaan dan cita-

cita akan seseorang akan dirinya secara tepat dan realistis memungkinkan untuk

memiliki kepribadian yang sehat. Namun, sebaliknya jika tidak tepat dan tidak realistis

boleh jadi akan menimbulkan pribadi yang bermasalah.

Kepercayaan akan dirinya yang berlebihan (over confidence) menyebabkan

seseorang dapat bertindak kurang memperhatikan lingkungannya dan cenderung

melabrak norma dan etika standar yang berlaku, serta memandang sepele orang lain.

Selain itu, orang yang memiliki over confidence sering memiliki sikap dan pemikiran

yang over estimate terhadap sesuatu.Sebaliknya kepercayaan diri yang kurang, dapat

menyebabkan seseorang cenderung bertindak ragu-ragu, rasa rendah diri dan tidak

memiliki keberanian. Kepercayaan diri yang berlebihan maupun kurang dapat

menimbulkan kerugian tidak hanya bagi dirinya namun juga bagi lingkungan sosialnya.

Begitu pula, setiap orang memiliki sikap dan perasaan tertentu terhadap

dirinya. Sikap akan diwujudkan dalam bentuk penerimaan atau penolakan akan dirinya,

sedangkan perasaan dinyatakan dalam bentuk rasa senang atau tidak senang akan

keadaan dirinya. Sikap terhadap dirinya berkaitan erat dengan pembentukan harga diri

(penilaian diri), yang menurut Maslow merupakan salah satu jenis kebutuhan manusia

yang amat penting.Sikap dan mencintai diri yang berlebihan merupakan gejala

ketidaksehatan mental, biasa disebut narcisisme. Sebaliknya, orang yang membenci

dirinya secara berlebihan dapat menimbulkan masochisme.

Di samping itu, setiap orang pun memiliki cita-cita akan dirinya. Cita-cita yang

tidak realistis dan berlebihan, serta sangat sulit untuk dicapai mungkin hanya akan

berakhir dengan kegagalan yang pada akhirnya dapat menimbulkan frustrasi, yang

diwujudkan dalam bentuk perilaku salah-suai (maladjusted). Sebaliknya, orang yang

kurang memiliki cita-cita tidak akan mendorong ke arah kemajuan.

Berkenaan dengan diri atau ego ini, John F. Pietrofesa (1971) mengemukakan

tiga komponen tentang diri, yaitu : (1) aku ideal (ego ideal); (2) aku yang dilihat dirinya

(self as seen by self); dan (3) aku yang dilihat orang lain (self as seen by others). Dalam

keadaan ideal ketiga aku ini persis sama dan menunjukkan kepribadian yang sehat,

sementara jika terjadi perbedaan-perbedaan yang signifikan di antara ketiga aku tersebut

merupakan gambaran dari ketidakutuhan dan ketidaksehatan kepribadian.

Dengan memperhatikan dasar teoritik tersebut di atas, kita bisa melihat arah

dan hasil yang diharapkan dari kegiatan pengembangan diri di sekolah yaitu

terbentuknya keyakinan, sikap, perasaan dan cita-cita para siswa yang realistis, sehingga

siswa dapat memiliki kepribadian yang sehat dan utuh.

TUJUAN

1. Tujuan Umum

Pengembangan diri bertujuan memberikan kesempatan kepada siswa untuk

mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, potensi,

bakat, minat, kondisi dan perkembangan siswa, dengan memperhatikan kondisi

sekolah/madrasah.

2. Tujuan Khusus

Pengembangan diri bertujuan menunjang pendidikan siswa dalam

mengembangkan: (a) bakat, (b) minat, (c) kreativitas, (d) kompetensi dan

kebiasaan dalam kehidupan, (e) kemampuan kehidupan keagamaan, (f)

kemampuan sosial, (g) kemampuan belajar, (h) wawasan dan perencanaan karir,

(i) kemampuan pemecahan masalah, dan (j) kemandirian.

RUANG LINGKUP

Pengembangan diri meliputi kegiatan terprogram dan tidak terprogram. Kegiatan

terprogram direncanakan secara khusus dan diikuti oleh siswa sesuai dengan kebutuhan

dan kondisi pribadinya. Kegitan tidak terprogram dilaksanakan secara lansung oleh

pendidik dan tenaga kependidikan di sekolah/madrasah yang diikuti oleh semua siswa.

Kegiatan terprogram terdiri atas dua komponen:

1. Pelayanan konseling, meliputi pengembangan: (i) kehidupan pribadi (ii)

kemampuan sosial (iii) kemampuan belajar dan (iv) wawasan dan perencanaan

karir

2. Ekstra kurikuler, meliputi kegiatan: (i) kepramukaan (ii) latihan

kepemimpinan, ilmiah remaja, palang merah remaja dan (iii) seni,

olahraga, cinta alam, jurnalistik, teater, keagamaan

BENTUK-BENTUK PELAKSANAAN

Secara konseptual, dalam Permendiknas No. 22 Tahun 2006 dinyatakan

rumusan pengembangan diri: “Pengembangan diri bukan merupakan mata pelajaran

yang harus diasuh oleh guru. Pengembangan diri bertujuan memberikan kesempatan

kepada siswa untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan

kebutuhan, bakat, dan minat setiap siswa sesuai dengan kondisi sekolah. Kegiatan

pengembangan diri difasilitasi dan/dibimbing oleh konselor, guru, atau tenaga

kependidikan yang dapat dilakukan dalam bentuk kegiatan ekstrakurikuler. Kegiatan

pengembangan diri dilakukan melalui kegiatan pelayanan konseling yang berkenaan

dengan masalah diri pribadi dan kehidupan sosial, belajar, dan pengembangan karir

siswa.”

Jelas bahwa pengembangan diri bukan merupakan mata pelajaran yang harus

diasuh oleh guru. Dengan sendirinya, pelaksanaan kegiatan pengembangan diri jelas

berbeda dengan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar mata pelajaran. Seperti pada

umumnya, kegiatan belajar mengajar untuk setiap mata pelajaran dilaksanakan dengan

lebih mengutamakan pada kegiatan tatap muka di kelas, sesuai dengan alokasi waktu

yang telah ditentukan berdasarkan kurikulum (pembelajaran reguler), di bawah

tanggung jawab guru yang berkelayakan dan memiliki kompetensi di bidangnya.

Walaupun untuk hal ini dimungkinkan dan bahkan sangat disarankan untuk

mengembangkan kegiatan pembelajaran di luar kelas guna memperdalam materi dan

kompetensi yang sedang dikaji dari setiap mata pelajaran.

Sedangkan kegiatan pengembangan diri seyogyanya lebih banyak dilakukan di

luar jam reguler (jam efektif), melalui berbagai jenis kegiatan pengembangan diri. Salah

satunya dapat disalurkan melalui berbagai kegiatan ekstra kurikuler yang disediakan

sekolah, di bawah bimbingan pembina ekstra kurikuler terkait, baik pembina dari unsur

sekolah maupun luar sekolah. Namun perlu diingat bahwa kegiatan ekstra kurikuler

yang lazim diselenggarakan di sekolah, antara lain: pramuka, olah raga, kesenian, PMR,

kerohanian atau jenis-jenis ekstra kurikuler lainnya yang sudah terorganisir dan

melembaga bukanlah satu-satunya kegiatan untuk pengembangan diri.

Di bawah bimbingan guru maupun orang lain yang memiliki kompetensi di

bidangnya, kegiatan pengembangan diri dapat pula dilakukan melalui kegiatan-kegiatan

di luar jam efektif yang bersifat temporer, seperti mengadakan diskusi kelompok,

permainan kelompok, bimbingan kelompok, dan kegiatan-kegiatan lainnya yang bersifat

kelompok. Selain dilakukan melalui kegiatan yang bersifat kelompok, kegiatan

pengembangan diri dapat dilakukan pula melalui kegiatan mandiri, misalnya seorang

siswa diberi tugas untuk mengkaji buku, mengunjungi nara sumber atau mengunjungi

suatu tempat tertentu untuk kepentingan pembelajaran dan pengembangan diri siswa itu

sendiri.

Selain kegiatan di luar kelas, dalam hal-hal tertentu kegiatan pengembangan

diri bisa saja dilakukan secara klasikal dalam jam efektif, namun seyogyanya hal ini

tidak dijadikan andalan, karena bagaimana pun dalam pendekatan klasikal kesempatan

siswa untuk dapat mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan,

bakat, dan minatnya relatif terbatasi. Hal ini tentu saja akan menjadi kurang relevan

dengan tujuan dari pengembangan diri itu sendiri sebagaimana tersurat dalam rumusan

tentang pengembangan diri di atas.

Kegiatan pengembangan diri harus memperhatikan prinsip keragaman

individu. Secara psikologis, setiap siswa memiliki kebutuhan, bakat dan minat serta

karakateristik lainnya yang beragam. Oleh karena itu, bentuk kegiatan pengembangan

diri pun seyogyanya dapat menyediakan beragam pilihan. Hal yang fundamental dalam

dalam kegiatan pengembangan diri bahwa pelaksanaan pengembangan diri harus

terlebih dahulu diawali dengan upaya untuk mengidentifikasi kebutuhan, bakat dan

minat, yang dapat dilakukan melalui teknik tes (tes kecerdasan, tes bakat, tes minat dan

sebagainya) maupun non tes (skala sikap, inventori, observasi, studi dokumenter,

wawancara dan sebagainya).

Dalam hal ini, peranan bimbingan dan konseling menjadi amat penting, melalui

kegiatan aplikasi instrumentasi data dan himpunan data, bimbingan dan konseling

seyogyanya dapat menyediakan data yang memadai tentang kebutuhan, bakat, minat

serta karakteristik siswa lainnya. Data tersebut menjadi acuan dasar untuk

penyelenggaraan pengembangan diri di sekolah, baik melalui kegiatan yang bersifat

temporer, kegiatan ekstra kurikuler, maupun melalui layanan bimbingan dan konseling

itu sendiri. Namun harus diperhatikan pula bahwa kegiatan pengembangan diri tidak

identik dengan bimbingan dan konseling. Bimbingan dan Konseling tetap harus

ditempatkan sebagai bagian integral dari sistem pendidikan di sekolah dengan keunikan

karakteristik pelayanannya.

Terkait dengan penyelenggaraan bimbingan dan konseling di sekolah

kemungkinan besar akan menggunakan konsep baru menggantikan Pola 17 yang selama

ini diterapkan. Ia digantikan dengan Bimbingan dan Konseling Komprehensif dan

Pengembangan (Developmental and Comprehensive Guidance and Counseling), di

mana layanan Bimbingan dan Konseling lebih bersifat menyeluruh (guidance for all)

dan tidak lagi terfokus pada pendekatan klinis (clinical atau therapeutical approach)

akan tetapi lebih mengutamakan pendekatan pengembangan (developmental approach).

Dalam hal ini, Sofyan S. Willis (2005) mengemukakan perbedaan dari kedua

pendekatan tersebut adalah:

Pendekatan Pengembangan:

• Bersifat pedagogis

• Melihat potensi klien (siswa)

• Berorientasi pengembangan potensi positif klien (siswa)

• Menggembirakan klien (siswa)

• Dialog konselor menyentuh klien (siswa), klien (siswa) terbuka

• Bersifat humanistik- religius

• Klien (siswa) sebagai subyek memegang peranan, memutuskan tentang dirinya.

• Konselor hanya membantu dan memberi alternatif-alternatif

Pendekatan Klinis (Model Lama)

• Bersifat klinis

• Melihat kelemahan klien

• Berorientasi pemecahan masalah klien (siswa)

• Konselor serius

• Klien (siswa) sering tertutup

• Dialog menekan perasaan klien

• Klien sebagai obyek

Dengan demikian, layanan Bimbingan dan Konseling yang memiliki fungsi

pengembangan, seperti layanan Pembelajaran, Penempatan dan Bimbingan Kelompok

kiranya perlu lebih dikedepankan dan ditingkatkan lagi dari segi frekuensi maupun

intensitas pelayanannya.

Kriteria pelaksanaan pengembangan diri di sekolah, sebagai berikut:

1. Kegiatan pengembangan diri secara terprogram dilaksanakan dengan perencanaan

khusus dalam kurun waktu tertentu untuk memenuhi kebutuhan siswa secara

individual, kelompok, dan atau klasikal melalui penyelenggaraan:

a. layanan dan kegiatan pendukung konseling

b. kegiatan ekstra kurikuler.

2. Kegiatan pengembangan diri secara tidak terprogram dapat dilaksanakan sebagai

berikut:

a. Rutin, yaitu kegiatan yang dilakukan terjadwal, seperti: upacara bendera,

senam, ibadah khusus keagamaan bersama, keberaturan, pemeliharaan

kebersihan dan kesehatan diri.

b. Spontan, adalah kegiatan tidak terjadwal dalam kejadian khusus seperti:

pembentukan perilaku memberi salam, membuang sampah pada tempatnya,

antri, mengatasi silang pendapat (pertengkaran).

c. Keteladanan, adalah kegiatan dalam bentuk perilaku sehari-hari seperti:

berpakaian rapi, berbahasa yang baik, rajin membaca, memuji kebaikan dan

atau keberhasilan orang lain, datang tepat waktu.

Sedangkan pelaksanaan pengembangan diri di sekolah melalui pelayanan

konseling sebagai berikut:

1. Pengertian Konseling

Konseling adalah pelayanan bantuan untuk siswa, baik secara perorangan

maupun kelompok, agar mampu mandiri dan berkembang secara optimal, dalam

bidang pengembangan kehidupan pribadi, kehidupan sosial, kemampuan belajar,

dan perencanaan karir, melalui berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung,

berdasarkan norma-norma yang berlaku.

2. Paradigma, Visi, dan Misi

a. Paradigma

Paradigma konseling adalah pelayanan bantuan psiko-pendidikan dalam

bingkai budaya. Artinya, pelayanan konseling berdasarkan kaidah-kaidah

keilmuan dan teknologi pendidikan serta psikologi yang dikemas dalam kaji-

terapan pelayanan konseling yang diwarnai oleh budaya lingkungan siswa.

b.Visi

Visi pelayanan konseling adalah terwujudnya kehidupan kemanusiaan yang

membahagiakan melalui tersedianya pelayanan bantuan dalam pemberian

dukungan perkembangan dan pengentasan masalah agar siswa berkembang

secara optimal, mandiri dan bahagia.

c. Misi

1) Misi pendidikan, yaitu memfasilitasi pengembangan siswa melalui

pembentukan perilaku efektif-normatif dalam kehidupan keseharian dan

masa depan.

2) Misi pengembangan, yaitu memfasilitasi pengembangan potensi dan

kompetensi siswa di dalam lingkungan sekolah/madrasah, keluarga dan

masyarakat.

3) Misi pengentasan masalah, yaitu memfasilitasi pengentasan masalah

siswa mengacu pada kehidupan efektif sehari-hari.

3. Bidang Pelayanan Konseling

a) Pengembangan kehidupan pribadi, yaitu bidang pelayanan yang

membantu siswa dalam memahami, menilai, dan mengembangkan

potensi dan kecakapan, bakat dan minat, serta kondisi sesuai dengan

karakteristik kepribadian dan kebutuhan dirinya secara realistik.

b) Pengembangan kehidupan sosial, yaitu bidang pelayanan yang

membantu siswa dalam memahami dan menilai serta mengembangkan

kemampuan hubungan sosial yang sehat dan efektif dengan teman

sebaya, anggota keluarga, dan warga lingkungan sosial yang lebih luas.

c) Pengembangan kemampuan belajar, yaitu bidang pelayanan yang

membantu siswa mengembangkan kemampuan belajar dalam rangka

mengikuti pendidikan sekolah/madrasah dan belajar secara mandiri.

d) Pengembangan karir, yaitu bidang pelayanan yang membantu siswa

dalam memahami dan menilai informasi, serta memilih dan mengambil

keputusan karir.

4. Fungsi Konseling

a. Pemahaman, yaitu fungsi untuk membantu siswa memahami diri dan

lingkungannya.

b. Pencegahan, yaitu fungsi untuk membantu siswa mampu mencegah atau

menghindarkan diri dari berbagai permasalahan yang dapat menghambat

perkembangan dirinya.

c. Pengentasan, yaitu fungsi untuk membantu siswa mengatasi masalah yang

dialaminya.

d. Pemeliharaan dan pengembangan, yaitu fungsi untuk membantu siswa

memelihara dan menumbuh-kembangkan berbagai potensi dan kondisi positif

yang dimilikinya.

e. Advokasi, yaitu fungsi untuk membantu siswa memperoleh pembelaan atas hak

dan/kepentingannya yang kurang mendapat perhatian.

5. Prinsip dan Asas Konseling

a. Prinsip-prinsip konseling berkenaan dengan sasaran layanan, permasalahan

yang dialami siswa, program pelayanan, serta tujuan dan pelaksanaan

pelayanan.

b. Asas-asas konseling meliputi asas kerahasiaan, kesukarelaan, keterbukaan,

kegiatan, kemandirian, kekinian, kedinamisan, keterpaduan, kenormatifan,

keahlian, alih tangan kasus, dan tut wuri handayani.

6. Jenis Layanan Konseling

a. Orientasi, yaitu layanan yang membantu siswa memahami lingkungan baru,

terutama lingkungan sekolah/madrasah dan obyek-obyek yang dipelajari, untuk

menyesuaikan diri serta mempermudah dan memperlancar peran siswa di

lingkungan yang baru.

b. Informasi, yaitu layanan yang membantu siswa menerima dan memahami

berbagai informasi diri, sosial, belajar, karir/jabatan, dan pendidikan lanjutan.

c. Penempatan dan Penyaluran, yaitu layanan yang membantu siswa

memperoleh penempatan dan penyaluran yang tepat di dalam kelas, kelompok

belajar, jurusan/program studi, program latihan, magang, dan kegiatan ekstra

kurikuler.

d. Penguasaan Konten, yaitu layanan yang membantu siswa menguasai konten

tertentu, terumata kompetensi dan atau kebiasaan yang berguna dalam

kehidupan di sekolah, keluarga, dan masyarakat.

e. Konseling Perorangan, yaitu layanan yang membantu siswa dalam

mengentaskan masalah pribadinya.

f. Bimbingan Kelompok, yaitu layanan yang membantu siswa dalam

pengembangan pribadi, kemampuan hubungan sosial, kegiatan belajar,

karir/jabatan, dan pengambilan keputusan, serta melakukan kegiatan tertentu

melalui dinamika kelompok.

g. Konseling Kelompok, yaitu layanan yang membantu siswa dalam pembahasan

dan pengentasan masalah pribadi melalui dinamika kelompok.

h. Konsultasi, yaitu layanan yang membantu siswa dan atau pihak lain dalam

memperoleh wawasan, pemahaman, dan cara-cara yang perlu dilaksanakan

dalam menangani kondisi dan/masalah siswa.

i. Mediasi, yaitu layanan yang membantu siswa menyelesaikan permasalahan dan

memperbaiki hubungan antar mereka.

7. Kegiatan Pendukung

a. Aplikasi Instrumentasi: Kegiatan mengumpulkan data tentang diri siswa dan

lingkungannya, melalui aplikasi berbagai instrumen, baik tes maupun non-tes.

b. Himpunan Data: Kegiatan menghimpun data yang relevan dengan

pengembangan siswa, yang diselenggarakan secara berkelanjutan, sistematis,

komprehensif, terpadu, dan bersifat rahasia.

c. Konferensi Kasus: Kegiatan membahas permasalahan siswa dalam pertemuan

khusus yang dihadiri oleh pihak-pihak yang dapat memberikan data,

kemudahan dan komitmen bagi terentaskannya masalah siswa, yang bersifat

terbatas dan tertutup.

d. Kunjungan Rumah: Kegiatan memperoleh data, kemudahan dan komitmen

bagi terentaskannya masalah siswa melalui pertemuan dengan orang tua dan

atau keluarganya.

e. Tampilan Kepustakaan: Kegiatan menyediakan berbagai bahan pustaka yang

dapat digunakan siswa dalam pengembangan pribadi, kemampuan sosial,

kegiatan belajar, dan karir/jabatan.

f. Alih Tangan Kasus: Kegiatan untuk memindahkan penanganan masalah

siswake pihak lain sesuai keahlian dan kewenangannya.

8. Format Kegiatan

a. Individual: Format kegiatan konseling yang melayani siswa secara perorangan.

b. Kelompok: Format kegiatan konseling yang melayani sejumlah siswa melalui

suasana dinamika kelompok.

c. Klasikal: Format kegiatan konseling yang melayani sejumlah siswa dalam satu

kelas.

d. Lapangan: Format kegiatan konseling yang melayani seorang atau sejumlah

siswa melalui kegiatan di luar kelas atau lapangan.

e. Pendekatan Khusus: Format kegiatan konseling yang melayani kepentingan

siswa melalui pendekatan kepada pihak-pihak yang dapat memberikan

kemudahan.

9. Program Pelayanan

a. Jenis Program

1) Program Tahunan: Program pelayanan konseling meliputi seluruh

kegiatan selama satu tahun untuk masing-masing kelas di

sekolah/madrasah.

2) Program Semesteran: Program pelayanan konseling meliputi seluruh

kegiatan selama satu semester yang merupakan jabaran program tahunan.

3) Program Bulanan: Program pelayanan konseling meliputi seluruh

kegiatan selama satu bulan yang merupakan jabaran program semesteran.

4) Program Mingguan: Program pelayanan konseling meliputi seluruh

kegiatan selama satu minggu yang merupakan jabaran program bulanan.

5) Program Harian: Program pelayanan konseling yang dilaksanakan pada

hari-hari tertentu dalam satu minggu. Program harian merupakan jabaran

dari program mingguan dalam bentuk satuan layanan (SATLAN)

dan/satuan kegiatan pendukung (SATKUNG) konseling.

b. Penyusunan Program

1) Program pelayanan konseling disusun berdasarkan kebutuhan siswa

(need assessment) yang diperoleh melalui aplikasi instrumentasi.

2) Substansi program pelayanan konseling meliputi keempat bidang, jenis

layanan dan kegiatan pendukung, format kegiatan, sasaran pelayanan,

dan volume/beban tugas konselor.

10. Pelaksanaan Kegiatan

10.1. Bersama pendidik dan personil sekolah/madrasah lainnya, konselor

berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan pengembangan diri yang

bersifat rutin, insidental dan keteladanan.

10.2. Program pelayanan konseling yang direncanakan dalam bentuk SATLAN

dan SATKUNG dilaksanakan sesuai dengan sasaran, substansi, jenis

kegiatan, waktu, tempat, dan pihak-pihak yang terkait.

10.3. Pelaksanaan Kegiatan Pelayanan Konseling

Di dalam jam pembelajaran sekolah/madrasah:

1) Kegiatan tatap muka secara klasikal dengan siswa untuk menyelenggarakan

layanan informasi, penempatan dan penyaluran, penguasaan konten,

kegiatan instrumentasi, serta layanan/kegiatan lain yang dapat dilakukan di

dalam kelas.

2) Volume kegiatan tatap muka klasikal adalah 2 (dua) jam per kelas per

minggu dan dilaksanakan secara terjadwal

3) Kegiatan tidak tatap muka dengan siswa untuk menyelenggarakan layanan

konsultasi, kegiatan konferensi kasus, himpunan data, kunjungan rumah,

pemanfaatan kepustakaan, dan alih tangan kasus.

Di luar jam pembelajaran sekolah/madrasah:

1) Kegiatan tatap muka dengan siswa untuk menyelenggarakan layanan

orientasi, konseling perorangan, bimbingan kelompok, konseling kelompok,

dan mediasi, serta kegiatan lainnya yang dapat dilaksanakan di luar kelas.

2) Satu kali kegiatan layanan/pendukung konseling di luar kelas/di luar jam

pembelajaran ekuivalen dengan 2 (dua) jam pembelajaran tatap muka dalam

kelas.

3) Kegiatan pelayanan konseling di luar jam pembelajaran sekolah/madrasah

maksimum 50% dari seluruh kegiatan pelayanan konseling, diketahui dan

dilaporkan kepada pimpinan sekolah/madrasah.

4. Kegiatan pelayanan konseling dicatat dalam laporan pelaksanaan program

(LAPELPROG).

5. Volume dan waktu untuk pelaksanaan kegiatan pelayanan konseling di

dalam kelas dan di luar kelas setiap minggu diatur oleh konselor dengan

persetujuan pimpinan sekolah/madrasah

6. Program pelayanan konseling pada masing-masing satuan sekolah/madrasah

dikelola dengan memperhatikan keseimbangan dan kesinambungan program

antarkelas dan antar jenjang kelas, dan mensinkronisasikan program

pelayanan konseling dengan kegiatan pembelajaran mata pelajaran dan

kegiatan ekstra kurikuler, serta mengefektifkan dan mengefisienkan

penggunaan fasilitas sekolah/ madrasah.

11. Penilaian Kegiatan

a. Penilaian hasil kegiatan pelayanan konseling dilakukan melalui:

1) Penilaian segera (LAISEG), yaitu penilaian pada akhir setiap jenis

layanan dan kegiatan pendukung konseling untuk mengetahui perolehan

siswa yang dilayani.

2) Penilaian jangka pendek (LAIJAPEN), yaitu penilaian dalam waktu

tertentu (satu minggu sampai dengan satu bulan) setelah satu jenis

layanan dan atau kegiatan pendukung konseling diselenggarakan untuk

mengetahui dampak layanan/kegiatan terhadap siswa.

3) Penilaian jangka panjang (LAIJAPANG), yaitu penilaian dalam waktu

tertentu (satu bulan sampai dengan satu semester) setelah satu atau

beberapa layanan dan kegiatan pendukung konseling diselenggarakan

untuk mengetahui lebih jauh dampak layanan dan atau kegiatan

pendukung konseling terhadap siswa.

4) Penilaian proses kegiatan pelayanan konseling dilakukan melalui analisis

terhadap keterlibatan unsur-unsur sebagaimana tercantum di dalam

SATLAN dan SATKUNG, untuk mengetahui efektifitas dan efesiensi

pelaksanaan kegiatan.

5) Hasil penilaian kegiatan pelayanan konseling dicantumkan dalam

LAPELPROG.

6) Hasil kegiatan pelayanan konseling secara keseluruhan dalam satu

semester untuk setiap siswa dilaporkan secara kualitatif.

12. Pelaksana Kegiatan

a. Pelaksana kegiatan pelayanan konseling adalah konselor sekolah/ madrasah.

b. Konselor pelaksana kegiatan pelayanan konseling di sekolah/madrasah wajib:

1) Menguasai spektrum pelayanan pada umumnya, khususnya pelayanan

profesional konseling.

2) Merumuskan dan menjelaskan peran profesional konselor kepada pihak-

pihak terkait, terutama siswa, pimpinan sekolah/madrasah, sejawat

pendidik, dan orang tua.

3) Melaksanakan tugas pelayanan profesional konseling yang setiap kali

dipertanggung jawabkan kepada pemangku kepentingan, terutama

pimpinan sekolah/madrasah, orang tua, dan siswa.

4) Mewaspadai hal-hal negatif yang dapat mengurangi keefektifan kegiatan

pelayanan profesional konseling.

5) Mengembangkan kemampuan profesional konseling secara

berkelanjutan.

c. Beban tugas wajib konselor ekuivalen dengan beban tugas wajib pendidik

lainnya di sekolah/madrasah sesuai dengan peraturan perundangan yang

berlaku.

d. Pelaksana pelayanan konseling

1) Pelaksana pelayanan konseling di SD/MI/SDLB pada dasarnya adalah

guru kelas yang melaksanakan layanan orientasi, informasi, penempatan

dan penyaluran, dan penguasaan konten dengan menginfusikan materi

layanan tersebut ke dalam pembelajaran, serta untuk siswa kelas IV, V,

dan VI dapat diselenggarakan layanan konseling perorangan, bimbingan

kelompok, dan konseling kelompok.

2) Pada satu SD/MI/SDLB atau sejumlah SD/MI/SDLB dapat diangkat

seorang konselor untuk menyelenggarakan pelayanan konseling.

3) Pada satu SMP/MTs/SMPLB, SMA/MA/SMALB/SMK/MAK dapat

diangkat sejumlah konselor dengan rasio seorang konselor untuk 150

orang siswa.

13. Pengawasan Kegiatan

a. Kegiatan pelayanan konseling di sekolah/madrasah dipantau, dievaluasi, dan

dibina melalui kegiatan pengawasan.

b. Pengawasan kegiatan pelayanan konseling dilakukan secara:

1) Interen, oleh kepala sekolah/madrasah.

2) Eksteren, oleh pengawas sekolah/madrasah bidang konseling.

c. Fokus pengawasan adalah kemampuan profesional konselor dan

implementasi kegiatan pelayanan konseling yang menjadi kewajiban dan

tugas konselor di sekolah/madrasah.

d. Pengawasan kegiatan pelayanan konseling dilakukan secara berkala dan

berkelanjutan.

e. Hasil pengawasan didokumentasikan, dianalisis, dan ditindak lanjuti untuk

peningkatan mutu perencanaan dan pelaksanaan kegiatan pelayanan

konseling di sekolah/madrasah.

PENUTUP

Pengembangan diri di sekolah merupakan salah satu komponen penting dari

struktur KTSP yang diarahkan guna terbentuknya keyakinan, sikap, perasaan dan cita-

cita para siswa yang realistis, sehingga pada gilirannya dapat mengantarkan mereka

untuk memiliki kepribadian yang sehat dan utuh. Kegiatan pengembangan diri dapat

dilakukan secara klasikal pada jam efektif, namun seyogyanya lebih banyak dilakukan

di luar jam reguler (jam efektif), baik melalui kegiatan yang dilembagakan maupun

secara temporer, bersifat individual maupun kelompok.

Pengembangan diri harus memperhatikan kebutuhan, bakat, dan minat setiap

siswa dan bimbingan dan konseling di sekolah memiliki peranan penting untuk

mengidentikasi kebutuhan, bakat, dan minat setiap siswa melalui kegiatan aplikasi

instrumentasi dan himpunan data, untuk ditindaklanjuti dalam berbagai kegiatan

pengembangan diri.

Kegiatan pengembangan diri akan melibatkan banyak kegiatan sekaligus juga

banyak melibatkan orang, oleh karena itu diperlukan pengelolaan dan pengorganisasian

disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi nyata di sekolah. Sebagai penutup tulisan

ini, ada baiknya kita renungkan ungkapan dari R.F. Mackenzie yang banyak

mengilhami ribuan guru di Inggris tentang bagaimana seharusnya proses pendidikan

berlangsung, dikaitkan dengan kegiatan pengembangan diri di sekolah:

“ …Kami ingin memberikan kepada siswa-siswa kesempatan untuk menceburkanke dalam cara hidup yang berbeda, dan kenangan yang bertahan lebih lama. Disana tidak akan ada paksaan atau keharusan, ketekanan, ketergesaan, atau ujian.Apabila mereka ingin memanjat atau berski, kita akan membantu mereka untukmendapatkan keterampilan itu. Apabila mereka ingin mengidentifikasi tumbuhangunung tinggi atau burung, kita akan mengusahakan diperolehnya pengetahuanitu. Dan apabila mereka ingin tidak memiliki kedambaan akan adanya kegiatanatau kehausan akan pengetahuan, tetapi maunya hanya duduk diam seperti kaumpenghuni dataran tinggi yang dulunya di sini, atau ingin memandangi awanberarak melaju di atas Creag Dhubh, atau mendengarkan suara rintik hujan yangmenitik jatuh di antara cecabang pohon setelah hujan berhenti mengucur, itusemua juga merupakan bagian penting dari perkembangan. Pada saat inilah,ketakutan, ide, harapan, dan pertanyaan yang setengah tenggelam mulai munculkembali ke permukaan…” (dalam Roger Combie White, 1997).

DAFTAR PUSTAKA

An-Nawawi. 1997. Hadis al-Arba`un an-Nawawiyah.Cairo: Dar as-Salam.Calvin S. Hall & Gardner Lindzey. 1993. Teori-Teori Psikodinamik (Klinis); Psikologi

Kepribadian 1. (terj. A. Supratiknya). Yogyakarta: Kanisius.Depdiknas. 2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22 Tahun 2006 tentang

tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta:Depdiknas.

____. 2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 23 Tahun 2006 tentangStandar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan. Jakarta: Depdiknas.

____.2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 24 Tahun 2006 tentangPelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan PeraturanMenteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar KompetensiLulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar Dan Menengah, Jakarta: Depdiknas.

Ibnu Katsir.1996. Tafsir Ibnu Katsir. Beirut :Dar al-Jail.

Muhammad al-Ghazali. 1996. Nahwu tafsir Maudhu`i.Cairo: Dar as-Syuruq.Nana Syaodih Sukmadinata. 2005. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung:

Remaja Rosdakarya.Pietrefosa, J.F. 1971. The Authentic Counselor. Chicago: Rand McNally College Pub.

Co.Prayitno, dkk. 2004. Pedoman Khusus Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Depdiknas.——, dkk. 2004. Panduan Kegiatan Pengawasan Bimbingan dan Konseling. Jakarta:Rineka Cipta.Roger Combie White. 1997. Curriculum Innovation; A Celebration of Classroom

Practice (Terj. Aprilia B. Hendrijani). Buckingham: Open University Press.Sofyan S. Willis. 2004. Konseling Individual: Teori dan Praktik. Bandung: Alfabeta.

Oleh:

YENTI ARSINI, S.Ag, M.Pd

Dosen Prodi Bimbingan Konseling Islam Fakultas TarbiyahInstitut Agama Islam Negeri Sumatera Utara

Abstract:This article is to connect counseling process with Islam teaching by diging

counseling base based on Al-Qur'an. Where intrinsically man is biological creature,person, social, and religion creature. Intrinsically also man divided to two factionsnamely faction of healthy person and faction of indisposed person. faction of Healthyperson is person capable to arrange x'self in its(the relationship with ownself, others,area, and God. faction of Indisposed person is person which unable to arrange x'self inits(the relationship with ownself, others, area, and God in the end having estuary atassorted of problems.Keywords: Counseling, Al-Qur’an

PENDAHULUAN

Proses konseling yang tidak dihubungkan dengan Sang Pencipta ataupun ajaran

agama, maka konseling dianggap sebagai hal yang semata-mata masalah dunia.

Sedangkan Islam menganjurkan aktifitas konseling itu merupakan suatau ibadah kepada

Allah Swt. suatu bantuan kepada orang lain, temasuk konseling dalam ajaran Islam

dihitung sebagai suatu sedekah.

Sesungguhnya ayat-ayat Al Qur’an banyak sekali yang mengandung nilai

konseling, namun permasalahannya hal itu belum terungkap dan tersaji secara

konseptual dan sistematis. Oleh karena itu kajian ini berusaha menungkan ayat-ayat

tersebut khususnya tentang hakikat manusia, pribadi sehat, dan pribadi tidak sehat, dan

menyajikannya secara konseptual dan sistematis.

Bimbingan Konseling “Barat” yang terus berkembang dengan pesat.

Perkembangan itu berawal dari berkembangnya aliran konseling psikodinamika,

behaviorisme, humanisme, dan multikultural. Perkembangan konseling spiritual sebagai

dimensi kelima selain keempat dimensi terdahulu (Singh, 2001: 204). Salah satu

berkembangnya konseling spiritual ini adalah berkembangnya konseling religius.

Perkembangan konseling religius ini dapat dilihat dari beberapa hasil laporan jurnal

penelitian sebagai berikut: Stanard, Singh, dan Piantar melaporkan bahwa telah muncul

suatu era baru tentang pemahaman yang memprihatinkan tentang bagaimana untuk

membuka misteri tentang penyembuhan melalui kepercayaan, keimanan, dan imajinasi

selain melalui penjelasan rasional tentang sebab-sebab fisik dan akibatnya sendiri

(Singh 2001: 204). Seiring dengan keterangan tersebut hasil penelitian Chalfant dan

Heller pada tahun 1990, menyatakan bahwa sekitar 40 persen orang yang mengalami

kegelisahan jiwa lebih suka pergi meminta bantuan kepada agamawan. Lovinger dan

Worthington menyatakan bahwa klien yang agamis memandang negatif terhadap

konselor yang bersikap sekuler, seringkali mereka menolak dan bahkan menghentikan

terapi secara dini (dalam Keating dan Fretz, 1990: 293)

Nilai-nilai agama yang dianut klien merupakan satu hal yang perlu

dipertimbangkan konselor dalam memberikan layanan konseling, sebab terutama klien

yang fanatik dengan ajaran agamanya mungkin sangat yakin dengan pemecahan

masalah pribadinya melalui nilai-nilai ajaran agamanya. Seperti dikemukakan oleh

Bishop bahwa nilai-nilai agama (religius values) penting untuk dipertimbangkan oleh

konselor dalam proses konseling, agar proses konseling terlaksana secara efektif

(Bishop 1992:179).

Berkembangnya kecenderungan sebagian masyarakat dalam mengatasi

permasalahan kejiwaan mereka untuk meminta bantuan kepada para agamawan itu telah

terjadi di dunia barat yang sekuler, namun hal serupa menurut pengamatan penulis

lebih-lebih juga terjadi di negara kita Indonesia yang masyarakatnya agamis. Hal ini

antara lain dapat kita amati di masyarakat, banyak sekali orang-orang yang datang

ketempat para kiai bukan untuk menanyakan masalah hukum agama, tetapi justru

mengadukan permasalahan kehidupan pribadinya untuk meminta bantuan jalan keluar

baik berupa nasehat, saran, meminta doa-doa dan didoakan untuk kesembuhan penyakit

maupun keselamatan dan ketenangan jiwa. Walaupun data ini belum ada dukungan oleh

penelitian yang akurat tentang berapa persen jumlah masyarakat yang melakukan hal

ini, namun ini merupakan realitas yang terjadi di masyarakat kita sekarang ini.

Gambaran data di atas menunjukkan pentingnya pengembangan landasan

konseling yang berwawasan agama, terutama dalam rangka menghadapi klien yang kuat

memegang nilai-nilai ajaran agamanya. Di dunia barat pada kalangan umat Kristiani hal

ini berkembang dengan apa yang disebut Konseling Pastoral (konseling berdasarkan

nilai-nilai Al Kitab).

PEMBAHASAN

A. Hakikat Manusia

Manusia pada hakikatnya adalah sebagai makhluk biologis, makhluk pribadi,

dan makhluk sosial. Al Qur’an menerangkan ketiga komponen tersebut. Di samping itu

Al Qur’an juga menerangkan bahwa manusia itu merupakan makhluk religius dan ini

meliputi ketiga komponen lainnya, artinya manusia sebagai makhluk biologis, pribadi,

dan sosial tidak terlepas dari nilai-nilai manusia sebagai makhluk religius. Menurut

konsep konseling, manusia sebagai makhluk biologis memiliki potensi dasar yang

menentukan kepribadian manusia berupa insting. Manusia hidup pada dasarnya

memenuhi tuntutan dan kebutuhan insting. Menurut keterangan ayat-ayat Al Qur’an

potensi manusia yang relevan dengan insting ini disebut nafsu.

Menurut kandungan ayat-ayat Al Qur’an manusia itu pada hakikatnya adalah

makhluk yang utuh dan sempurna, yaitu sebagai makhuk biologis, pribadi, sosial, dan

makhluk religius. Manusia sebagai makhluk religius meliputi ketiga komponen lainnya,

yaitu manusia sebagai makhluk biologis, pribadi dan sosial selalu terikat dengan nilai-

nilai religius.

a. Sebagai Makhluk Biologis

Manusia sebagai makhluk biologis memiliki potensi dasar yang menentukan

kepribadian manusia berupa insting. Manusia hidup pada dasarnya memenuhi tuntutan

dan kebutuhan insting. Menurut keterangan ayat-ayat Al Qur’an potensi manusia yang

relevan dengan insting ini disebut nafsu. Potensi nafsu ini berupa al hawa dan as-

syahwat. Syahwat adalah dorongan seksual, kepuasan-kepuasan yang bersifat materi

duniawi yang menuntut untuk selalu dipenuhi dengan cepat dan memaksakan diri serta

cenderung melampau batas (Ali-Imran: 14, Al-A’raf: 80, dan An-Naml:55.). Al Hawa

adalah dorongan-dorongan tidak rasional, sangat mengagungkan kemampuan dan

kepandaian diri sendiri, cenderung membenarkan segala cara, tidak adil yang

terpengaruh oleh kehendak sendiri, rasa marah atau kasihan, hiba atau sedih, dendam

atau benci yang berupa emosi atau sentimen. Dengan demikian orang yang selalu

mengikuti al-hawa ini menyebabkan dia tersesat dari jalan Allah (An-Nisa:135, Shad:

26 dan An-Nazi’at: 40-41).

Ada tiga jenis nafsu yang paling pokok, yaitu: (1) nafsu amarah , yaitu nafsu

yang selalu mendorong untuk melakukan kesesatan dan kejahatan (Yusuf:53), (2) nafsu

lawwaamah, yaitu nafsu yang menyesal . Ketika manusia telah mengikuti dorongan

nafsu amarah dengan perbuatan nyata, sesudahnya sangat memungkinkan manusia itu

menyadari kekeliruannya dan membuat nafsu itu menyesal (Al Qiyamah:1-2), dan (3)

nafsu muthmainnah, yaitu nafsu yang terkendali oleh akal dan kalbu sehingga dirahmati

oleh Allah swt.. Ia akan mendorong kepada ketakwaan dalam arti mendorong kepada

hal-hal yang positif (Al-Fajr: 27-30).

b. Sebagai Makhluk Pribadi

Manusia sebagai makhluk pribadi memiliki ciri-ciri kepribadian pokok sebagai

berikut: (1) memiliki potensi akal untuk berpikir rasional dan mampu menjadi hidup

sehat, kreatif, produktif dan efektif, tetapi juga ada kecendrungan dorongan berpikir

tidak rasional (2) memiliki kesadaran diri, (3) memiliki kebebasan untuk menentukan

pilihan dan bertanggung jawab, (4) merasakan kecemasan sebagai bagian dari kondisi

hidup, (5) memiliki kesadaran akan kematian dan ketiadaan, (6) selalu terlibat dalam

proses aktualisasi diri.

Berdasarkan keterangan Al Qur’an, manusia mempunyai potensi akal untuk

berpikir secara rasional dalam mengarahkan hidupnya ke arah maju dan berkembang

(Al-Baqarah: 164, Al-Hadid:17, dan Al-Baqarah: 242), memiliki kesadaran diri (as-

syu’ru) (Al-Baqarah:9 dan 12 ), memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan

(Fushilat: 40, Al-Kahfi: 29, dan Al-Baqarah: 256 ) serta tanggung jawab (Al-Muddatsir:

38, Al-Isra: 36, Al-Takatsur: 8 ). Sekalipun demikian, manusia juga memiliki kondisi

kecemasan dalam hidupnya sebagai ujian dari Allah yang disebut al khauf (Al-Baqarah:

155), memiliki kemampuan untuk mengaktualisasikan fitrahnya kepada pribadi takwa

(Ar-Ruum: 30, Al-A’raf: 172-174, Al-An’am:74-79, Ali-Imran: 185, An-Nahl: 61, dan

An-Nisa: 78).

c. Sebagai Makhluk Sosial

Menurut konsep konseling, seperti yang diungkapkan dalam Terapi Adler,

Terapi Behavioral, dan Terapi Transaksional, manusia sebagai memiliki sifat dan ciri-

ciri pokok sebagai berikut: (1) manusia merupakan agen positif yang tergantung pada

pengaruh lingkungan, tetapi juga sekaligus sebagai produser terhadap lingkungannya,

(2) prilaku sangat dipengaruhi oleh kehidupan masa kanak-kanak, yaitu pengaruh orang

tua (orang lain yang signifikan), (3) keputusan awal dapat dirubah atau ditinjau kembali,

(4) selalu terlibat menjalin hubungan dengan orang lain dengan cinta kasih dan

kekeluargaan.

Sebagai makhluk sosial, Al Qur’an menerangkan bahwa sekalipun manusia

memilikipotensi fitrah yang selalu menuntut kepada aktualisasi iman dan takwa, namun

manusia tidak terbebas dari pengaruh lingkungan atau merupakan agen positif yang

tergantung pada pengaruh lingkungan terutama pada usia anak-anak. Oleh karena

kehidupan masa anak-anak ini sangat mudah dipengaruhi, maka tanggung jawab orang

tua sangat ditekankan untuk membentuk kepribadian anak secara baik (At-Tahrim: 6)

Namun demikian, setelah manusia dewasa (mukallaf), yakni ketika akal dan kalbu

sudah mampu berfungsi secara penuh, maka manusia mampu mengubah berbagai

pengaruh masa anak yang menjadi kepribadiannya (keputusan awal) yang dipandang

tidak lagi cocok (Ar-Ra’du: 85 dan Al-Hasyr:18), bahkan manusia mampu

mempengaruhi lingkungannya (produser bagi lingkungannya) (Al-Ankabut: 7, Al-A’raf:

179, Ali-Imran: 104, Al-Ashr:3, dan At-Taubah:122). Sebagai makhluk sosial ini pula

manusia merupakan bagian dari masyarakat yang selalu membutuhkan keterlibatan

menjalin hubungan dengan sesamanya, hal ini disebut dengan silaturrahmi (Al-

Hujurat:13, Ar-Ra’du: 21, dan An Nisa: 1).

d. Sebagai Makhluk Religius

Konsep konseling tidak ada menerangkan manusia sebagai makhluk religius.

Sebagai makhluk religius manusia lahir sudah membawa fitrah, yaitu potensi nilai-nilai

keimanan dan nilai-nilai kebenaran hakiki. Fitrah ini berkedudukan di kalbu, sehingga

dengan fitrah ini manusia secara rohani akan selalu menuntut aktualisasi diri kepada

iman dan takwa dimanapun manusia berada (Ar-Ruum: 30 dan Al-A’raf:172-174).

Namun tidak ada yang bisa teraktualisasikan dengan baik dan ada pula yang tidak,

dalam hal ini faktor lingkungan pada usia anak sangat menentukan. Manusia sebagai

makhluk religius berkedudukan sebagai abidullah dan sebagai khalifatullah di muka

bumi.

Abidullah merupakan pribadi yang mengabdi dan beribadah kepada Allah sesuai

dengan tuntunan dan petunjuk Allah(Adz-Dzariyat: 56). Hal ini disebut ibadah

mahdhah. Khalifatullah merupakan tugas manusia untuk mengolah dan memakmurkan

alam ini sesuai dengan kemampuannya untuk kesejahteraan umat manusia, serta

menjadi rahmat bagi orang lain atau yang disebut rahmatan lil’alamin (Al-Baqarah: 30).

B. Pribadi Sehat

Berdasarkan konsep konseling bahwa pribadi sehat adalah pribadi yang mampu

mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan

sosial. Al Qur’an di samping menerangkan pribadi yang sehat adalah pribadi yang

mampu mengatur diri dalam hubungannya terhadap diri sendiri, orang lain, dan

lingkungan sosial, juga menerangkan pribadi yang mampu mengatur diri dalam

hubungannya dengan Allah Swt.

a. Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Diri Sendiri

Menurut konsep konseling, seperti dikemukakan dalam Psikoanalisis,

Eksistensial, Terapi Terpusat pada Pribadi dan Rasional Emotif Terapi.. Pribadi yang

mampu megngatur diri dalam hubungannya terhadap diri sendiri memiliki ciri-ciri

kepribadian pokok: (1) ego berfungsi penuh, serta serasinya fungsi id, ego dan superego

(2) bebas dari kecemasan, (3) keterbukaan terhadap pengalaman, (4) percaya diri, (5)

sumber evaluasi internal, (6) kongruensi, (7) menerima pengalaman dengan

bertanggung jawab, (8) kesadaran yang meningkat untuk tumbuh secara berlanjut, (9)

tidak terbelenggu oleh ide tidak rasional (tuntutan kemutlakan), dan (10) menerima diri

sendiri.

Berdasarkan keterangan ayat-ayat Al Qur’an, pribadi yang mampu mengatur diri

dalam hubungannya dengan diri sendiri yang relevan dengan kriteria pokok di atas

adalah pribadi yang akal dan kalbunya berfungsi secara penuh dalam mengendalikan

dorongan nafsu (Al-Qashas: 60, Yasin: 62). Mampu membebaskan diri dari khauf

(kecemasan) (Al Baqarah: 38, Al Baqarah: 62, 277, Al-An’am: 48 dan Ar-Ra’du: 28).

Apabila manusia dapat mengatasi atau terbebas dari kecemasan ini akan melahirkan

kepribadian yang sehat seperti pribadinya para aulia Allah (Yunus: 62). Keterbukaan

terhadap pengalaman (Az-Zumar:17-18, Ali-Imran:193). Percaya diri, sikap percaya diri

ini ada pada orang yang istiqamah (konsisten) dalam keimanan, mereka ini tidak ada

rasa cemas, rasa sedih (Fushilat: 30, Al-Ahqaf: 13, Ali-Imran: 139). Mampu menjadikan

hati nurani yang dilandasi iman sebagai kontrol diri dalam setiap gerak dan kerja

(sumber evaluasi internal), sikap ini tercermin dalam kepribadian ihsan yaitu pola hidup

yang disertai kesadaran yang mendalam bahwa Allah itu hadir bersamanya (Ali-Imran:

29, Ar-Ra’du:11, Qaaf:16-18).

Di samping itu, juga merupakan pribadi yang sehat adalah pribadi yang memiliki

kepribadian shidiq, yaitu sifat kongruensi serasi antara apa yang ada di dalam hati

dengan perbuatan, memegang teguh kepercayaan, serasi antara sikap dan perilaku (Al-

Ahzab: 23-24), mau menerima pengalaman dan bertanggung jawab, salah satu bentuk

penerimaan terhadap pengalaman dengan bertanggung jawab adalah berusaha

memperbaiki dan tidak mengulangi apabila melakukan kesalahan (An-Nisa: 110, Ali-

Imran:135), serta adanya kesediaan untuk tumbuh secara berlanjut, yaitu sealalu

berusaha mengubah diri sendiri ke arah yang lebih baik dan bersegera melakukannya

(Ar-Ra’du: 11, Al-Anfal: 53, Ali-Imran:114, dan Fathir: 32), memiliki sikap tawakkal

dan menyandarkan usaha dan harapan kepada Allah dengan kata insya Allah, dengan

kata lain tidak terbelenggu oleh ide tidak rasional (tuntutan kemutlakan) (Al-Imran: 140,

Al-Insyirah: 5-8, Al-Kahfi:23-24, Ali-Imran:159, dan Al-Anfal: 61,49), serta mampu

bersyukur atas apa yang ada dan terjadi pada diri sendiri atau menerima diri sendiri.

(An-Nahl: 78, Ibrahim:7, dan An-Naml: 40).

b. Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Orang Lain.

Menurut konsep konseling seperti dikemukakan dalam Terapi Adler, Behavioral,

Transaksional, dan Terapi Realita, bahwa pribadi yang mampu mengatur diri dalam

hubungannya terhadap orang lain memiliki ciri-ciri kepribadian pokok: (1) mau

berkarya dan menyumbang, serta mau memberi dan menerima, (2) memandang baik diri

sendiri dan orang lain (I ‘m Ok you are Ok ), (3) signifikan dan berharga bagi orang

lain, dan (4) memenuhi kebutuhan sendiri tanpa harus mengganggu atau mengorbankan

orang lain.

Berdasarkan keterangan ayat-ayat Al Qur’an, pribadi yang mampu mengatur diri

dalam hubungannya dengan orang lain yang relevan dengan kriteria pkk di atas adalah

pribadi yang mau melakukan amal saleh, yaitu perbuatan yang bermanfaat bagi dirinya

dan juga orang lain (An-Nisa: 124, Al-Ashr: 1-3, At-Tin:5-6). Disamping amal saleh,

adalah bersikap ta’awwun, yaitu saling memberi dan menerima atau tolong menolong

atau sikap mau memberi dan menerima (An-Nisa: 86), sikap ini atas dasar kebajikan

dan ketakwaan, bukan dalam hal kejahatan dan kemunkaran (Al-Ma’idah:2), berpikiran

positif (husnus zhan) baik terhadap diri sendiri dan orang lain (Al-Hujurat: 11, Al-

Baqarah: 237, Ali-Imran:134, dan At-Taghabun:14).

Di samping hal-hal di atas dia juga mau mengerjakan amar ma’ruf dan nahi

mungkar, selalu berbuat adil kepada siapapun dalam arti signifikan dan berharga bagi

orang lain (Ali-Imran:104, At-Tahrim:6, dan Al-Midah: 8), dan memenuhi kebutuhan

sendiri tanpa harus mengganggu atau mengorbankan orang lain, baik dalam

bermuamalah maupun beribadah secara langsung maupun tidak langsung (Al-Baqarah:

275, An-Nisa: 29). Hal ini banyak sekali dicontohkan dalam hadits Nabi, misalnya Nabi

melarang orang duduk-duduk dipinggir jalan yang membuat orang yang mau lewat

merasa terganggu, begitu juga menghormati lawan bicara dengan memperhatikan dia

bicara, juga menghormati hak-hak tetangga dari kemungkinan perbuatan kita yang

mengganggunya, dan Nabi memendekkan bacaan ayat Al Qur’an dalam shalat

berjemaah ketika mendengan salah satu anggota jemaahnya ada anaknya yang

menangis.

c. Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Lingkungan

Menurut konsep konseling seperti yang dikemukakan dalam teorinya Adler dan

Behavioral. Pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan lingkungan

adalah pribadi yang mampu berinteraksi dengan lingkungannya dan dapat menciptakan

atau mengolah lingkungannya secara baik.

Al Qur’an menerangkan, bahwa Allah menciptakan semua yang ada di bumi ini

adalah untuk kepentingan manusia (Al-Baqarah: 29). Berbagai kerusakan di alam ini

adalah akibat dari perbuatan manusia sendiri (Ar-Rum: 41). Untuk itu pribadi yang

sehat adalah pribadi yang peduli terhadap lingkungannya, ia berusaha mengambil

pelajaran dari apa yang terjadi di lingkungannya (Ali-Imran: 137).

d. Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Allah Swt.

Konsep konseling tidak ada menerangkan hal ini. Al Qur’an merangkan bahwa

pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan Allah Swt. antara lain

adalah pribadi yang selalu meningkatkan keimanannya yang dibuktikan dengan

melaksanakan ibadah dengan benar dan ikhlas, menjalankan muamalah dengan benar

dan dengan niat yang ikhlas (Az-Zumar: 2 dan 11 hal.151 dan Al-Bayyinah: 5, At-

Taubah: 105). Di samping itu juga pribadi yang mampu menjalankan secara seimbang

diri sebagai abidullah yang selalu beribadah sesuai tuntunan-Nya, juga menjalankan

fungsi dan kedudukannya sebagai khalifatullah dengan baik (hablun minallah dan

hablun minannas) sehingga dari segi kehidupan dunianya sejahtera, amal akhiratnya

berjalan dengan baik (Al-Qashash: 77, Al-Baqarah: 201).

C. Pribadi Tidak Sehat

Berdasarkan konsep konseling, pribadi tidak sehat adalah pribadi yang tidak

mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri, orang lain, maupun

lingkungan. Ayat-ayat Al Qur’an di samping menerangkan tentang pribadi yang tidak

mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri, orang lain, dan

lingkungan, juga menerangkan pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam

hubungannya dengan Allah Swt.

a. Tidak Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Diri Sendiri

Pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri

memiliki ciri kepribadian pokok: (1) ego tidak berfungsi penuh serta tidak serasinya

antara id, ego, dan superego, (2) dikuasai kecemasan, (3) tertutup (tidak terbuka

terhadap pengalaman), (4) rendah diri dan putus asa, (5) sumber evaluasi eksternal, (6)

inkongruen, (7) tidak mengakui pengalaman dengan tidak bertanggung jawab, (8)

kurangnya kesadaran diri, (9) terbelenggu ide tidak rasional, (10) menolak diri sendiri.

Al Qur’an menerangkan pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam

hubungannya dengan diri sendiri adalah pribadi yang akal dan kalbunya tidak berfungsi

dengan baik dalam mengendalikan nafsu, sehingga nafsu berbuat sekehendaknya, penuh

emosi, tidak terkendali dan tidak bermoral (Yunus: 100, Al-Anfal: 22, Al-Haj:46, Al-

A’raf: 179, Maryam: 59, An-Nisa: 27, dan Al-Jatsiah: 23). Di samping itu, pribadi yang

tidak mampu membebaskan diri dari kecemasan (al khauf), sedang kecemasan itu

sendiri terlahir dari kekufuran, kemusyrikan, atau perbuatan dosa baik terhadap Allah

maupun terhadap sesama manusia (Ali-Imran:151). Pribadi yang ta’ashub, yaitu tidak

terbuka terhadap pengalaman terutama sesuatu yang datang dari orang yang bukan

golongan dan alirannya, walaupun pengalaman baru itu merupakan kebenaran (Al-

Maidah: 104, Lukman: 21 dan 7, Yunus 78).

Di samping itu, juga pribadi yang tidak mengakui pengalaman dengan tidak

bertanggung jawab, yaitu suka melemparkan kesalahannya kepada orang lain, atau tidak

mengakuinya (Al-A’raf: 8, dan An-Nisa:112)., dan yang lebih parah lagi adalah

berkepribadian munafik (inkongruen), yaitu ketidakserasian antara apa yang di dalam

hati dengan yang dilahirkan, antara perkataan dan perbuatan, dan antara perbuatan di

satu tempat dengan tempat yang lain dengan maksud mencari keuntungan pribadi dalam

konseling disebut dengan inkongruensi (As-Shaf: 2-3, Al-Baqarah:44, 8, An-Nisa: 145).

Juga sifat riya yaitu pribadi yang mengevaluiasi dirinya berdasarkan evaluasi eksternal

(Al-Baqarah: 264, An-Nisa: 142, Al-Ma’un: 4-6, dan Al-Anfal: 47), kurangnya

kesadaran diri dan tidak konstruktif (Al-Baqarah: 9 dan 12, An-Naml:27), juga orang

yang tidak pandai bertawakkal (terbelenggu ide tidak rasional atau tuntutan kemutlakan)

(Fushilat: 49, Luqman: 34), rendah diri dan putus asa (ya’uus/qunuut) (Al-hujurat: 1,

Al-Isra: 83, Huud: 9, dan Al-Hijr: 56). Kemudian, pribadi yang tidak pandai bersyukur

terhadap nikmat Allah atau menolak terhadap diri sendiri (Shaad: 27 dan Ali-Imran:191,

Ar-Ruum: 44 hal. 177 dan Ibrahim: 7).

b. Tidak Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Orang Lain

Menurut konsep konseling seperti yang dikemukakan dalam Terapi Adler,

Terapi Behavioral, Transaksional, dan Terapi realita, bahwa pribadi yang tidak mampu

mengatur diri dalam hubungannya dengan orang lain memiliki ciri-ciri kepribadian

pokok: (1) egois dan tidak mau menyumbang dan lebih suka menerima, (2) memandang

diri sendiri benar sedang orang lain tidak (jelek), (3) tidak konstruktif, dan (4)

memenuhi kebutuhan sendiri dengan tidak peduli (merampas) hak orang lain.

Al Qur’an menerangkan, pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam

hubungannya dengan orang lain adalah pribadi yang bakhil dalam arti egois dan tidak

mau menyumbang atau membelanjakan hartanya di jalan kebajikan (Al-Lail: 8-10, Ali-

Imran:175, dan Muhammad: 38), tidak mau saling menolong (ta’awun) atau lebih suka

menerima daripada memberi (Al-Ma’arij:19-21), memiliki sifat marhun dan takabbur

yaitu sifat sombong dan merasa diri lebih besar dan berharga daripada orang lain (Al-

Isra: 37, Luqman:18 hal.180-181), orang yang memiliki sifat ini akan mudah melakukan

hal-hal yang negatif terhadap orang lain, seperti su’us zhan (berpikir negatif), tajassus

yaitu suka mencari-cari kesalahan orang lain, sedang kesalahan sendiri tidak

diperhatikan, ghibah yaitu menggunjing sesama dan sebagainya (lihat Q.S. Al-

Hujurat:12).

Di samping itu, juga pribadi yang senang melihat orang lain susah, enggan

melakukan amar ma’ruf nahi munkar, yaitu menyuruh berbuat baik dan mencegah

kejahatan dengan kata lain adalah pribadi yang tidak konstruktif (An-Nur:19, Al-

Baqarah: 11, dan As-Syu’ara: 152-152), pribadi yang dalam memenuhi kebutuhannya

sendiri dengan tidak menghargai atau mengorbankan hak orang lain, seperti berbisnis

dengan riba, memperoleh harta dengan jalan batil, yaitu curang, menipu, mengurangi

takaran dan timbangano dalan berjual beli, menunda-nunda pembayaran upah buruh,

dan sebagainya (Ali-Imran: 130, Al-Baqarah: 278, An-Nisa:161, Al-Baqarah: 188, dan

An-Nisa: 29).

c. Tidak Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Lingkungan

Menurut konsep konseling seperti dikemukakan dalam Terapi Adeler dan Terapi

Behavioral, bahwa pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan

lingkungan adalah pribadi yang tidak mampu berinteraksi dan mengelola lingkungannya

secara baik, sehingga bisa melakukan hal-hal yang membuat lingkungan menjadi rusak.

Al Qur’an menerangkan bahwa pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam

hubungannya dengan lingkungan adalah pribadi yang tidak mampu berinteraksi

denganlingkungannya secara baik, sehingga ia tidak peduli dengan kerusakan

lingkungan, atau ikut berbuat sesuatu yang bisa merusak lingkungannya, sekaligus tidak

mampu membuat lingkungannya menjadi kondusif bagi kehidupan Al Qur’an

mengungkapkan bahwa terjadinya kerusakan di bumi ini adalah karena perbuatan

manusia (Ar-Ruum: 41, Al-Baqarah: 204-205 dan Al-Qashash: 77).

d. Tidak Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Allah Swt.

Konsep konseling tidak ada menerangkan hal ini. Menurut Al Qur’an, pribadi

yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan Allah antara lain adalah

pribadi yang kufur dan syirik. Pribadi kufur adalah pribadi yang tidak beriman dan

enggan menjalankan syari’at Allah (hukum-hukum Allah), termasuk juga sebagai kufur

orang yang dengan sengaja tidak mau menjalankan ibadah kepada Allah Swt., dan tidak

menerima dengan syukur atas segala nikmat yang diberikan Allah (kufur nikmat).

Dalam melakukan muamalah orang yang memiliki kepribadian kufur cenderung berlaku

zhalim, mementingkan diri sendiri tanpa memperhatikan hak orang lain(Al Baqarah: 6,

Maryam: 59, At-Taubah: 35, An Nisa: 168). Di samping kekufuran, kesalahan yang

sangat fatal terhadap Allah Swt. adalah syirik, yaitu “menyekutukan Tuhan”. Orang

yang kena penyakit syirik ini meyakini bahwa Allah Swt adalah Tuhannya, namun amal

perbuatannya diorientasikan bukan untuk Allah, melainkan untuk sesuatu yang lain,

seperti kepada roh halus, atau semata-mata untuk manusia, baik dalam melakukan

ibadah maupun dalam bermuamalah (An Nisa: 48, 36, dan Al Kahfi: 110).

Kemudian, pribadi yang tidak mampu memungsikan diri secara seimbang antara

diri sebagai abidullah dan sebagai khalifah, baik hanya mengutamakan urusan

keduniaan dan ibadah tertinggalkan, atau lebih mengutamakan ibadah dan urusan

keduniaan tertinggalkan (Ali-Imran: 112).

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil kajian dan pembahasan yeng telah dikemukakan, dapat

diambil kesimpulan sebagai berikut:

a. Konsep konseling tentang hakikat manusia, pribadi sehat, dan pribadi tidak sehat

berdasarkan ayat-ayat Al Qur’an, secara umum relevan dengan konsep konseling,

hanya istilah penamaan atau terminologi yang berbeda, namun maksudnya selaras.

b. Al Qur’an menerangkan bahwa manusia pada hakikatnya tidak hanya sebagai

makhuk biologis, pribadi, dan sosial, tetapi juga sebagai makhluk religius. Begitu

juga dengan pribadi sehat dan tidak sehat, tidak hanya mampu atau tidak mampu

mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan,

tetapi juga terhadap Alah Swt.

c. Satu hal yang berbeda secara mendasar, yaitu sifat pembawaan dasar manusia.

Konsep konseling seperti yang dikemukakan oleh Freud menyatakan bahwa potensi

dasar manusia yang merupakan sumber penentu kepribadian adalah insting.

Sebaliknya, menurut kandungan ayat-ayat Al Qur’an bahwa potensi manusia yang

paling mendasar adalah fitrah, yaitu nilai-nilai keimanan untuk beragama kepada

agama Allah yang selalu menuntut untuk diaktualisasikan.

.

DAFTAR PUSTAKA

Bishop, D. Russel, 1992. Religious Values as Cross Culture Isues in Counsellin. JournalCounseling and Values, Vol. 36.

Departemen Agama RI, 2005. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: Diponegoro.Dradjat, Zakiah. 2003. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: PT Bulan Bintang.Mujib, Abdul. & Jusuf Mudzakkir. 2001. Nuansa-nuansa Psikologi Islam. Jakarta: PT

Raja Grafindo Persada.Murat, Jeanette Jesmana. 2006. Dasar-dasar konseling. Jakarta: Universitas Indonesia.Singh, Sandhu Daya. 2001. Counseling in Elementary Education. Amerika: American

Counseling Association.

PERANAN TEKNOLOGI KOMUNIKASI INFORMASI PENGARUHNYA

TERHADAP DUNIA PENDIDIKAN

OlehSuhairi

Dosen Prodi Bimbingan Konseling Islam Fakultas TarbiyahInstitut Agama Islam Negeri Sumatera Utara

Abstract:The explosion of human thought has reached a peak; it is marked with the rapiddevelopment of saint and technology toward the high technology that can be denied.Then development proceeds to open the gates of a new civilization. Civilizationinformation communication technology is increasingly shot. The social structure ofsociety has also changed. Like the formation of a new civilization that society and itsstructure has been established by the results of the integration of informationcommunication technology. Inevitably the information and communications technologyis in need then is not inevitable role in the progress of the education institutions to opennew civilization.

Kata Kunci : ICT, Pendidikan, Sosial

A. Pendahuluan

Dinamisasi perkembangan pemikiran manusia telah sampai kepada tahap

post modernisme. Pergerakan pemikiran sebagai mobilisator pergerakan

kehidupan manusia hampir melaju kemudian berkembang kearah kompleksitas.

Tahapan – tahapan pergerakan pemikiran dari yang sangat sederhana sampai

kepada tahap perexecelent.

Alphin Toffler dan John Naisbitt membagi menjadi beberapa tahapan :

a. Masa agriculturedan

b. Industrialisasi

c. Agro agri culture “

Deskriptisasi gerak dinamis dari pemikiran manusia yang kini kian pesat

berkembang. Kemudian seiring dengan itu mempengaruhi struktur sosial yang

ada di ruang kehidupan manusia. Proses perkembangan pemikiran manusia

melalaui prosses agriculture yang sangat panjang. Di masa era agricultur

pemikiran manusia sangat sederhana, semua serba alam kemudian, diamana

manusia untuk mempertahankan habitatnya di ruang kehidupan sejalan dengan

kondisi yang ditawarkan alam dimana mereka bertempat tinggal.

Kemudian jika dianlitik dala perspektif sejarah era industrialisasi terlahir

di sebabkan oleh anti tesa, ketika adanya pemberontakan pemikiran manusia

terhadap ketergantungannya kepada alam. Dinamika ini di tandai dengan

ledakan – ledakan pemikiran manusia. Era ini ditandai dengan revolusi

pemikiran manusia di sebabkan besarnya ketergantungan dengan alam dengan

segala perubahan musim yang di tawarkannya. Era ini di tandai dengan

penemuan – penemuan alat industrialisasi, dengan berdirinya pubrik – pubrik

industri dikawasan Eropa. Pubrik – pubrik industri ini di gunakan sebagai alat

alat mempermudah pengolahan hasil – hasil pertanian. Dengan pertimbangan

aksesnya lebih efektif cara kerjanya kemudian tidak memerlukan waktu yang

lama, kemudian mempengaruhi struktur sosial yang tak dapat dihindari

sehingga struktur sosial bergerak ke arah dinamika yang sedang berlangsung

menuju era reneissence atau era indutrrialisasi.

Mobilisasi pemikiran manusia terus bergerak berdinamisasi dengan

kreatifitasnya dengan akses penemuannya di bidang alat – alat industri.

Pembentukan struktur sosial pun tak dapat di pungkiri terus berkembang seiring

dengan penelitian dan penemuan dari akses upaya pikir manusia.

B. Pembahasan

Latar belakang penerapan teknologi informasi komunikasi di institusi

dunia pendidikan.

Dinamisasi perubahan yang terjadi di ruang – ruang sosial yang begitu

cepat, baik sektor lingkungan sosial, ekonomi, politik, atau dunia

pendidikan sebagai institusi. Sudah selayaknya institusi dunia

pendidikan harus berfikir kembali bagaimana menyikapinya dengan

mendisain kemudian mendekorasi interaksinya terhadap arus deras

perubahan yang sedang berlangsung. Teknologi informasi komunikasi

adalah elemen yang urgen bagi keberlangsungan bagi interaksinya di

ruang sosial baik individual atau komunitas dalam berbangsa kemudian

bernegara sekalipun. Institusi pendidikan harus peka terhadap perubahan

– perubahan yang ada, kemudian membuka pintu ruang sebagai institusi

pendidikan. Walhasil perubahan sektor lingkungan sosial, ekonomi,

politik, mempengaruhi ruang institusi pendidikan. Yang diharapkan

proses perubahan itu membuka pintu gerbang proses peradaban

berhembus dari institusi pendidikan bukan dari sektor lainnya. Kemudian

banyak argumentasi lainnya kenapa penerapan teknologi komunikasi di

institusi informasi komunikasi di institusi dunia pendidikan harus di

terapkan ?

Menurut CORRY IRIANI ada beberapa alasan yang di

kemukakannya :

Teknologi informasi komunikasi telah berkembang pesat

Merubah cara hidup manusia

Merubah cara komunikasi manusia

Merubah cara bekerja manusia

Merubah cara kerja manusia

Penerapan teknologi Informasi dan Komunikasi Dalam Dunia Pendidikan

Geerakan generalisasi penemuan terhadap alat – alat industrilaisasi pun

semakin gencar kemudian bergerak kearah lebih innovatif. Hal ini

diakibatkan semakin tinggi tingkat pemikiran manusia yang meyebabkan

makin tinggi tingkat kebutuhannya semakin tinggi pula sarana yang akan di

butuhkannya untuk mendapatkan tujuan- tujuan tersebut. Tingkat kebutuhan

manusia terhadap alat-alat industrialisasi semakin tinggi yang tak dapat di

hindari. Ruang – ruang sosial kehidupan manusia penuh dengan ledakan

ledakan sosial hasil dari ledakan pemikiran manusia yang menghasilkan alat

– alat industri berteknologi tinggi. Mau tak mau kemudian tak dapat di

hindari teknologi tinggi (tik) akan memaksa indidual atau secara sosial,

maupun secara lembaga untuk berinteraksi kemudian berdinamisasi

bersama di ruang kehidupan manusia . Malah teknologi informasi

komunikasi manjadi manejer dalam perkembangan sosial di ranah

kehidupan manusia.

Peranan atau urgensi tik menjadi sesuatu kebutuhan yang dapat

dielakkan, tik menjadi alat atau sarana yang sangat di butuhkan di ruang

ruang sosial kehidupan yang ada. Teknologi ilmu komunikasi informasi

dengan daya penggunaan secara efektif kemudian efesien berdampak sangat

urgensi. Untuk meningkatkan sumberdaya manusia dalam menagatasi

persoalan kehidupannya. Telah di ketahui tik adalah teknologi komunikasi

yang berstruktur tinggi (Hihgt saint) pendaya gunaannya pun sangat rumit.

Kreatifitas swadaya manusia sangat di butuhkan dalam penegelolaannya.

Bukan di situ saja peranan teknologi informasi komunikasi mampu

membuka jaringan sosial baru yang makin kian terbuka lebar di ruang kehidupan

manusia. Tugas tugas peranan pengelolaan teknologi komunikasi informasi tak

pelak lagi seharusnya lebih diarahkan di dunia. Gerakan atau aksi – aksi terus di

stimul keranah observasi kemudian penelitian kemudian di arahkan ke

generalisasi ke arah penyempurnaan. Penerapan teknologi informasi kian mudah

di sumber daya gunakan kelapisan sosial yang paling bawah sekalipun.

Kemudian daya kemudahan kemudian tak membutuhkan waktu yang banyak

berdampak luas menuju prosses efektifitas atau efesiensi.

Walhasil teknologi komunikasi di kelola di dunia pendidikan formal,

maupun non formal, yang aksesnya berhasil membentuk jaringan – jaringan

sosial baru. Yang lebih di kenal dengan dunia cyberlink. Realitas

pendayagunaan teknologi komunikasi yang telah di generalisasi mampu

menembus tanpa tapal jarak tanpa adanya hambatan. Kemudian membuka

pergerakan arus global. Sehingga dalam aspek perniagaan sangat mudah

dilakukan,kemudian membuka pasar bebas. Teknologi informasi komunikasi

dengan segala aktifitasnya di harap dapat membuka lebar peluang – peluang

pasar. Aksi – aksi penerapan di ruang sosial kehidupan sangat berperan pro-

aktif dalam berinteraksi dengan perubahan yang terus berdinamika. Sepantasnya

tik mendapat tempat di dunia pendidikan di dalam prosses pembentukan

peradaban baru berstruktur lebih kompleks.

Manfaatnya terhadap dunia pendidikan

Struktur sosial terus berkembang berdinamisasi dengan pengembangan

informasi telekomunikasi. Perubahan – perubahan sosial kini banyak di

pengaruhinya, Jika dilihat di struktur sosial dampak yang luas antara lain :

Perubahan sosial sangat cepat.

Hubungan manusia sudah berubah dari komunal bergerak ke arah

individual

Lembaga Tradisional telah berubah menjadi lembaga rasional

Masyarakat homongen berubah menjadi heterongen

Stabilitas sosial berubah menjadi mobilitas sosial

Gagasan kemudian ide dalam rangka pendisainan kemudian pendekorasian

pengembangan teknologi informasi komunikasi di institusi dunia pendidikan ada

beberapa elemen menurut Muslim anatara lain :

Infra struktur.

Sumber daya manusia

Kebijakan

Finansial

Konten dan Aplikasi

Faktor infra struktur adalah elemen yang tak dapat di hindari untuk mencapai

orientasi target, dalam pengembangan teknologi informasi dengan pesat. Faktor

yang kedua di perlukan faktor skil manusia, dalam penggelolaan dalam

pengembangan teknologi informasi komunikasi. Faktor ketiga adanya kebijakan

yang bersifat mikro kemudian makro yang di orientasikan kepada

pengembangan teknologi komunikasi informasi. Keempat Finansial adanya

kesediaan dari lembaga – lembaga keungan atau pihak swasta dalam

pengembangan teknologi informasi komunikasi yang dimaksud. Faktor kelima

atau terakhir adalah konten beserta aplikasi menjadikan bank data bagi informasi

yang di sampaikan baik dalam bentuk pribadi atau pun institusi. Kemudian di

jadikan data – data yang akan di kembangkan atau perenovasiannya. Kelima

faktor tersebut sangat bermanfaat bagi pengembangan kemudian

keberlangsungan penyempurnaan teknologi komunikasi tersebut. Kemudian

banyak manfaat yang dapat di rasakan di institusi dunia pendidikan secara

makro antara lain :

Manajement sistem informasi.

Memanjerialisasikan data kemudian men-organisasiannya kedalam satu

kesatuan yang berupa data base. Sehingga efektifitas data dan ke akuratan

data ketika akan di perlukan tidak membutuhkan waktu yang lama.

E- Learning.

Proses belajar mengajar tidak lagi di batasi jarak ruang kemudian waktu.

Proses belajar dan mengajar dapat dilakukan di mana saja kemudian kapan

saja. Prosses ini menstimulasi peserta belajar mencari data melalui

eksplorasi ilmu pengetahuan. Kemudian prosses belajar mengajarnya

melalui internet. Mediator yang di pakai adalah :

E-book

E-library

Interaksi dengan pakar

Email

Mailing

News group

World wide web

Kemudian citus yang di sediakan oleh e-learning antara lain :

Pendidikan net

Edukasi net

Ilmu komputer

Fisika net

Fisikumu net

Cascadeimei yang berkorelasi dengan matematik

Penerapan E-learning dapat di terapkan oleh lembaga manapun, apalagi

pihak pemerintah atau institusi dunia pendidikan sehingga proses belajar

mengajar dapat dilaksanakan dengan tanpa batasan jarak waktu dan

tempat (dengan membuat situs)

Media Pembelajaran :

Pemanfaatan teknologi informasi di lembaga institusi pada dunia pendidikan

dalam proses belajar mengajar dengan bermidiator internet dalam ruang

lingkup e-learning ataupun sejenisnya sebagai media inter –aktif. Menurut

penelitian para pakar Bobby Deporter & Mike Hernacki,1999 penggunaan

sarana internet melalui e-learning atau sejenisnya sebagai mediator akan

lebih efektif dengan beberapa alasan :

Pemanfaatan internet dalam e-learning sebagai solusi dari persoalan

komunikasi guru dengan peserta didik persoalan di bagi oleh Bobby

Deporter & Mike Hernacki.

o Fisiologis

o Psikologis

o Kultural

o Lingkungan”5

Adanya proses belajar mengajar bersifat unik kemudian dapat terasi.

Kebanyakan siswa lebih konten menerima informasi melalui audio visual

dari pada mendengar. Kemudian dari hasil penelitian Bobby Deporter &

Mike Hernacki kekuatan penyerapan manusia hanya 10 persen dari

keseluruhan informasi yang ia baca. Kemudian 20 persen dari apa yang di

dengar, 30 persen dari apa kita lihat kemudian 70 persen dari apa kita

katakan, dan 90 persen dari apa yang kita katakan kemudian kita lakukan.

Alternatif pilihan dari hasil penelitian Bobby Deporter & Mike Hernacki

penggunaan komputer sebagai mediator dalam prosses belajar mengajar.

Alasan- alasan yang mereka dengan pertimbangan adanya stimulasi yang

terdapat di dalam program komputer sebagai pengambilan data tersebut

antara lain :

Vidio.

Audio.

teks

Grafik

animasi

penggunaan keterampilan kinestik

Muhtadi berpendapat ada beberapa manfaat yang dapat dirasakan antara lain

mikro:

merancang dan membuat aplikasi database, yang menyimpan dan

mengolah data dan informasi akademik, baik sistem perkuliahan, sistem

penilaian, informasi kurikulum, manajemen pendidikan, maupun materi

pembelajaran.

merancang dan membuat aplikasi pembelajaran berbasis portal, web,

multimedia interaktif, yang terdiri atas aplikasi tutorial dan learning tool;

mengoptimalkan pemanfaatan TV edukasi sebagai materi pengayaan

dalam rangka menunjang peningkatan mutu pendidikan

mengimplementasikan sistem secara bertahap mulai dari lingkup yang

lebih kecil hingga meluas, sehingga memudahkan managemen

pemanfaatan TI dalam proses penyelenggaraan pendidikan

Kemmudian manfaat berikutnya secara makro adalah :

Berkembnangnya pendidikan terbuka dengan modus jarak jauh

Kemudahan untuk menyelenggarkan terbuka dan jarak jauh perlu di

masukkan sebagai strategi utama

Sharing resourcesesama antar lembaga pendidikan dan jarak jauh perlu

di masukkan sebagai strategi utama.

Perpustakaan dan instrumen pendidikan lainnya (guru labotatorium)

berubah fungsi jadi pusat informasi dari pada sekedar rak buku.

Penggunaan perangkat teknology informasi interaktif, seperti CD room

multi media,dalam pendidikan secara bertahap menggantikan TV dan

vidio.

Dampak pengaruhnya terhadap dunia pendidikan

Pengaruh interaksi teknologi komunikasi dengan lembaga institusi

pendidikan kini kian di harmonisasi. Dampak pengaruhnya terhadap

perkembangan dunia pendidikan sangatlah besar. Tanpa di sadari jika dilihat

lembaga institusi dunia pendidikan selalu berkecimbung dengan data – data

atau informasi. Jika diamati birokrasi di lembaga institusi pendidikan kerap

kali berkecimbung dengan data yang menggunung dengan adanya teknologi

telekomunikasi layaknya tak punya hambatan. Data – data yang ada diakses

kemudian di simpan kapan di perlukan tinggal di buka. Kemudian

memudahkan para pendidik memberi materi perkuliahan atau silabus yang

ada. Para pendidik tinggal mengakses citusnya di internet. Sehingga peserta

didik pun tiada kewalahan. Sementara bagi para peserta didik dapat

mengaakses persoalan – persoalan atau perkembangan spesialisasi bidang

yang di tekuninya sehari – hari

Kemudian dampak pengaruhnya yang lebih signifikan di institusi

pendidikan adalah menurut Muslim adalah :

Bergersernya pedndidikan atau sejenisnya dari sistem yang

berorientasi pada guru/dosen/lembaga ke sistem yang berorientasi

pada siswa/mahasiswa/para didik

Tumbuh dan makin berkembangnya proses belajar jarak jauh.

Semakin banyaknya pilihan sumber belajar yang tersedia

Di perlukannya standart global dalam rangka persaingan global

Semakin di perlukannya proses belajar sepanjang hayat (Long life)

C. Penutup

Kesimpulan

o Teknologi informasi komunikasi adalah sesuatu yang sangat urgern

bagi proses perkembangan menuju perubahan yang sedang

berlangsung.

o Interaksi kemudian ingterasi, internalisasi informasi komunikasi

sangat di butuhkan ke ranah institusi dunia pendidikan untuk

berdinamisasi di ruang sosial menuju peradaban baru

o Dampaknya di harapkan merambah kesemua lapisan sosial

o Mengatasi persoalan kehdupan invidu, sosial, atau lembaga maupun

global

Saran

o Institusi pendidikan sebagai pintu gerbang perubahan harus peka

terhadap perkembangan yang ada.

o Apalaga Arus deras datangnya dari teknologi informasi komunikasi

o Dengan pertimbangan pengadaan dalam pengelolaannya ada

beberapa elemen yang sangat urgensi yang harus di sikapi untuk

mencapai target yang maksimal dengan mempertimbangan dengan

beberapa faktor :

infra struktur, sumber daya manusia, kebijakan, finansial, konten dan

aplikasi

DAFTAR PUSTAKA

1. http://habibiarifin.blogspot.com/2010/05/perusahaan-yang-merugikan-masyarakat.html.

2. http://fadlibae.wordpress.com/2010/08/24/latar-belakang-pengembangan-teknologi-informasi-dan-komunikasi-untuk-pendidikan-2/

3. Drs. Muhaimin. MA. Paradigma pendidikan Islam Upaya MengefektifkanPendidikan Agama Islam di Sekolah (Jakarta: Remaja Rosda Karya2005)hlm.31

3. Muslim : Teknologi informasi dalam pendidikan4. Ali Muhtadi : Pemanfaatan teknologi informasi untuk meningkatkan kualitas

dan efektifitas pendidikan