Pengawasan Fungsional
Transcript of Pengawasan Fungsional
Pengawasan Fungsional Sebagai Upaya Menuju Good Governance
Pendahuluan
Sudah cukup banyak pendapat para pakar tentang Good
Governance baik pengertian maupun ruang lingkup dan berbagai
aspek atau unsur di dalamnya. Secara umum unsur-unsur utama
yang terkandung dalam suatu pemerintahan yang bercirikan
good governance adalah akuntabilitas, transparansi,
keterbukaan, dan penegakan hukum. Ada juga yang menambahkan
dengan dua unsur lain yaitu kompetensi manajemen
(profesionalitas) dan hak asasi manusia.1
Oleh karena itu, penerapan prinsip good governance
telah menjadi ciri yang harus ada dalam sistem administrasi
publik, maka penyelenggaraan good governance dapat dilakukan
melalui sinergi manajemen dan sektor publik, sector swasta,
dan masyarakat yang saling berinteraksi dan berkoordinasi
agar dapat menjalankan peran dan fungsinya masing-masing
secara baik. Sektor publik sebagai salah satu unsur good
1 Waluyo, Manajemen Publik (Konsep, Aplikasi dan Implementasinya Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah), (Bandung: Mandar Maju, 2007), hlm. 177.
governance terkait erat dengan tugas dan pokok dari fungsi
lembaga penyelenggaraan kekuasaan negara khususnya
eksekutif (pemerintah).2
Akuntabilitas kinerja tidak akan dapat
terealisasikan dengan baik tanpa adanya suatu sistem
pengendalian manajemen yang dapat berperan untuk
mengarahkan kegiatan organisasi dalam mencapai tujuannya.
Dengan sistem pengendalian dapat diperoleh peringatan dini
yang bersifat preventif. Sistem pengendalian juga sangat
membantu dalam proses pengukuran akuntabilitas kinerja.
Oleh karena itu, setiap instansi pemerintah dalam
mengembangkan dan menerapkan sistem akuntabilitas harus
juga bertanggungjawab dalam membuat dan memelihara suatu
sistem pengendalian yang efektif. Dengan demikian misi,
sasaran, dan tujuan organisasi dapat dicapai melalui
pengamanan sumber daya, kesesuaian dengan peraturan
perundanngan yang berlaku handal, untuk menjamin
keabsahan, akurasi, obyektivitas, dan ketepatan waktu
penyampaian informasi.3
2 Ibid.3 Ibid, hlm. 184.
Negara merupakan sebuah entitas organisasi yang
berskala besar. Seperti halnya organisasi yang bersifat
umum mereka memerlukan menagerial dan strukturisasi yang
matang. Dari situ kemudian pengawasan menjadi kata kunci
utama untuk menuju pada Good Governance. Di Indonesia
sendiri, kegiatan pengawasan menjadi hal yang wajib untuk
mengendalikan dan mengontrol aktivitas pemerintahan agar
sesuai dengan Post Pactum atau tugas fungsi pokok yang ada.
Sifat kesewenang-wenangan para pejabat kenegaraan
setidaknya dapat lebih awal secara preventif dapat
dijauhkan.
Secara umum pada hakekatnya pengawasan dapat
diartikan sebagai suatu tindakan menilai (menguji) apakah
sesuatu telah berjalan sesuai dengan rencana yang telah
ditentukan. Dengan pengawasan tersebut akan dapat
ditemukan kesalahan-kesalahan yang akhirnya kesalahan-
kesalahan tersebut akan dapat diperbaiki dan yang
terpenting jangan sampai kesalahan tersebut terulangi
kembali.4
4 Muchsan, Sistem Pengawasan terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah Dan Peradilan Tatta Usaha Negara Di Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 2000),hlm.
Pengawasan terhadap perbuatan aparat pemerintah
dapat dilakukan oleh sesama aparat pemerintah atau aparat
lain di luar tubuh eksekutif secara fungsional, dan dapat
pula dilakukan oleh kekuasaan kehakiman. Secara skematis,
pengawasan ini dapat dibedakan dalam dua jenis, yakni (1)
pengawasan administrative, yang berbentuk pengawasan
melekat dan pengawasan fungsional dan (2) pengawasan oleh
kekuasaan kehakiman, baik secara keperdataan maupun secara
administrative.5
Dari penjelasan singkat tentang konsep good governance
melalui sistem pengawasan di atas, kemudian kiranya menarik
untuk dikaji terkait pelaksanaan pengawasan fungsional
dalam upaya optimalisasi kinerja pemerintah untuk menuju
pada Good Governannce.
II. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah sistem Pengawasan Fungsional yang
dilakukan dalam upaya optimalisasi kinerja
pemerintah menuju good governance?
37.5 Ibid, hlm. 39.
III. Pembahasan
Pengawasan fungsional diatur dalam Inpres No. 15 Tahun
1983. Hal ini tertuang dalam pasal 2 ayat (1) yang
menyatakan bahwa pengawasan terdiri dari:6
1. Pengawasan yang dilakukan oleh pimpinan/ atasan
langsung, baik di tingkat pusat maupun di tingkat
daerah;
2. Pengawasan yang dilakukan secara fungsional oleh
aparat pengawas.
Akan tetapi pengertian pengawasan fungsional ini pun tidak
dijelaskan secara tuntas oleh Inpres tersebut. Peraturan
ini hanya menetapkan aparat atau lembaga yang berwenang
melakukan pengawasan fungsional.
Dalam Inpres Nomor 15 Tahun 1983, dijelaskan yang
menjadi subyek pengawasan fungsional tertera pada Pasal 4
ayat (4) yaitu :
a. Badan pengawasan keuangan dan pembangunan (BPKP)b. Inspektorat jendral departemen, aparat pengawasan
lembaga pemerintah non departemen/instansi pemerintah lainnya,
c. Inspektorat wilayah propinsid. Inspektorat wilayah kabupaten/kota
6Ibid , hlm. 43.
Dari penentuan tersebut memang tidak secara
redaksional ditentukan definisinya namun sesuai dengan
bunyi pasal tersebut dapatlah kita tarik kesimpulan bahwa
yang dimaksud dengan pengawasan fungsional adalah
pengawasan yang dilakukan oleh aparat yang diadakan khusus
untuk membantu pimpinan (manajer) dalam menjalankan fungsi
pengawasan dilingkungan organisasi yang menjadi tanggung
jawabnya.
Dalam Inpres No.15 Tahun 1983 di atas, dikatakan bahwa
subjek pengawasan salah satunya adalah Badan Pengawas
Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Badan ini diadakan untuk
membantu Presiden dalam menjalankan pengawasan umum atau
penguasaan dan pengurusan keuangan serta pengawasan
pembangunan yang menjadi tanggungjawab presiden. Dalam
Peraturan Presiden Nomor 192 Tahun 2014 Pasal 1 dijelaskan
bahwa BPKP adalah Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan
yang merupakan aparat pengawasan intern pemerintah yang
bertanggungjawab kepada Presiden. Fungsi BPKP berdasarkan
Pasal 3 Perpres ini yaitu:
a. perumusan kebijakan nasional pengawasan intern terhadap akuntabilitas keuangan negara/daerah dan
pembangunan nasional meliputi kegiatan yang bersifat lintas sektoral, kegiatan kebendaharaan umum negara
berdasarkan penetapan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara, dan kegiatan lain berdasarkan penugasan dari Presiden;
b. pelaksanaan audit, reviu, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan pengawasan lainnya terhadap perencanaan,
pelaksanaan dan pertanggungjawaban akuntabilitas penerimaan negara/daerah dan akuntabilitas
pengeluaran keuangan negara/daerah serta pembangunan nasional dan/atau kegiatan lain yang seluruh atau sebagian keuangannya dibiayai oleh anggaran
negara/daerah dan/atau subsidi termasuk badan usaha dan badan lainnya yang didalamnya terdapat
kepentingan keuangan atau kepentingan lain dari Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah serta
akuntabilitas pembiayaan keuangan negara/ daerah;c. pengawasan intern terhadap perencanaan dan
pelaksanaan pemanfaatan aset negara/daerah;d. pemberian konsultansi terkait dengan manajemen
risiko, pengendalian intern, dan tata kelola terhadap instansi/badan usaha/badan lainnya dan program/
kebijakan pemerintah yang strategis;e. pengawasan terhadap perencanaan dan pelaksanaan
program dan/atau kegiatan yang dapat menghambat kelancaran pembangunan, audit atas penyesuaian harga,
audit klaim, audit isvestigatif terhadap kasuskasus penyimpangan yang berindikasi merugikan keuangan
negara/daerah, audit penghitungan kerugian keuangan negara/daerah, pemberian keterangan ahli, dan upaya
pencegahan korupsi;f. pengoordinasian dan sinergi penyelenggaraan
pengawasan intern terhadap akuntabilitas keuangan negara/daerah dan pembangunan nasional bersamasama
dengan aparat pengawasan intern pemerintah lainnya;g. pelaksanaan reviu atas laporan keuangan dan laporan
kinerja pemerintah pusat;
h. pelaksanaan sosialisasi, pembimbingan, dan konsultansi penyelenggaraan sistem pengendalian
intern kepada instansi pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan badan-badan yang di dalamnya terdapat
kepentingan keuangan atau kepentingan lain dari Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah;
i. pelaksanaan kegiatan pengawasan berdasarkan penugasan Pemerintah sesuai peraturan perundang-
undangan;j. pembinaan kapabilitas pengawasan intern pemerintah
dan sertifikasi jabatan fungsional auditor;k. pelaksanaan pendidikan, pelatihan, penelitian, dan
pengembangan di bidang pengawasan dan sistem pengendalian intern pemerintah;
l. pembangunan dan pengembangan, serta pengolahan data dan informasi hasil pengawasan atas penyelenggaraan
akuntabilitas keuangan negara Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah;
m. pelaksanaan pengawasan intern terhadap pelaksanaan tugas dan fungsi di BPKP; dan
n. pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang perencanaan umum, ketatausahaan, organisasi dan
tatalaksana, kepegawaian, keuangan, kearsipan, hukum, kehumasan, persandian, perlengkapan dan rumah
tangga
Kegiatan BPKP dikelompokkan ke dalam empat kelompok,yaitu:7
1. Audit;2. Konsultasi, asistensi dan evaluasi;3. Pemberantasan KKN, dan4. Pendidikan dan Pelatihan Pengawasan.
Nyatalah bahwa BPKP merupakan lembaga yang membantu
sebagian fungsi Presiden, yakni melaksanakan fungsi
7 www.bpkp.go.id/konten/11/kegiatan.bpkp , diakses pada 27 Maret 2015, PKL. 0204 WIB.
pembangunan dan penggunaan uang negara. Sedangkan fungsi
presiden yang lain akan dibantu oleh lembaga yang lain pula.
Menurut peraturan pemerintah nomor 20 tahun 2001
tentang Pembinaan dan Pengawasan atas Penyelenggaraan
Pemerintah Daerah, pengawasan fungsional dapat diartikan
sebagai suatu kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh
lembaga/badan/unit yang mempunyai tugas melakukan
pengawasan melalui pemeriksaan, pengujian, pengusutan,
dan penilaian atau bisa juga kita simpulkan bahwa
pengawasan fungsional itu merupakan pengawasan yang
dilakukan oleh lembaga/aparat pengawasan yang dibentuk
atau ditunjuk khusus untuk melaksanakan fungsi pengawasan
secara independen terhadap obyek yang diawasi. Pengawasan
fungsional tersebut dilakukan oleh lembaga/badan/unit
yang mempunyai tugas dan fungsi melakukan pengawasan
fungsional melalui audit, investigasi, dan penilaian untuk
menjamin agar penyelenggaraan pemerintahan sesuai dengan
rencana dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku,
sehingga di dalam hal ini pengawasan fungsional dilakukan
baik oleh pengawas ekstern pemerintah maupun pengawas
intern pemerintah.
Pengertian dari peraturan pemerintah ini sedikit
berbeda dengan intruksi presiden terdahulu, yang mana
intruksi presiden sudah menentukan secara saklek subyek
pengawsan mana yang diartikan dengan aparat pengawas
fungsional.semisal BPKP yang dibentuk untuk membantu
presiden dalam menjalankan pengawasan umum atas penguasaan
dan kepengurusan keuangan dan pengawasan pembangunan yang
menjadi tanggung jawab presiden. Pada tingkat departemen
diadakan pula inspektoral jendral untuk membantu menteri
yang bersangkutan dalam menyelenggarakan pengawasan umum
atas segala aspek pelaksanaan tugas yang menjadi tanggung
jawab menteri. Meskipun posisi inspektorat jendral
terhadap menteri itu pada hakekatnya sejajar dengan posisi
BPKP terhahadap presiden, tetapi dalam hal inspektorat
lebih jelas bahwa ia bukan hanya membantu menteri dalam
menyelenggarakan pengawasan atas keuangan dan pembangunan
saja tetapi meliputi seluruh aspek penyelenggaraan tugas
yang menjadi tangggung jawab menteri yang bersangkutan.
Jadi kedudukan inspektorat jenderal terhadap menteri sudah
tepat dan jelas. inspektorat jenderal membantu menteri yang
bersangkutan dalam menyelenggarakan pengawasan umum atas
segala aspek pelaksanaan tugas pokok menteri.
Apabila di tingkat pemerintah ada BPKP, maka di
tingkat Departemen diadakan inspektorat Jenderal (Itjen)
untuk membantu Menteri dalam menyelebnggarakan pengawasan
umum atas segala aspek pelaksanaan tugas yang menjadi
tanggungjawab menteri. Berlainan dengan BPKP yang hanya
membantu tugas presiden, maka Itjen merupakan pembantu
Menteri dalam segala aspek pengawasan yang menjadi
tanggungjawab menteri yang bersangkutan. Dengan perkataan
lain, Itjen akan berfungsi membantu Menteri yang
bersangkutan dalam menyelenggarakan pengawasan umum atas
segala aspek pelaksanaan tugas pokok Menteri.8
Kedudukan, tugas pokok dan fungsi Itjen diatur dengan
jelas dalam Keppres No. 44 Tahun 1947 tentang Pokok-pokok
Organisasi Departemen, secara konkret hal tersebut diatur
dalam Pasal 17, yang terdiri dari dua ayat sebagai berikut:9
8 Muchsan, Op. Cit., hlm. 44.9 Ibid.
1) Inspektorat Jenderal Departemen yang selanjutnya
disebut Inspektorat Jenderal, adalah unsurr
pengawasan di bawah Menteri;
2) Inspektorat Jenderal dipimpin oleh Inspektur
Jenderal.
Sedangkan tugas pokok Itjen diatur dalam Pasal 18,
yang secara lengkap berbunyi sebagai berikut:10
�tugas pokok Inspektorat Jenderal ialah melakukan pengawasan dalam lingkungan Departemen terhadap pelaksanaan tugas semua unsur Departemen agar supaya
dapat berjalan sesuai dengan rencana dan peraturan yang berlaku, baik tugas yang bersifat rutin maupun tugas pembangunan.�
Tugas pokok ini dijabarkan lebih lanjut dalam
ketentuan pasal 19, yang menyatakan sebagai berikut:11
Inspektorat Jenderal menyelenggarakan fungsi:a. Pemeriksaan terhadap setiap unsur/ instansi
dilingkungan departemen yang dipandang perlu yang meliputi bidang administrasi umum, administrasi
keuangan, hasil-hasil fisik dari pelaksanaan proyek-proyek pembangunan, dan lain-lain;
b. Pengujian serta penilaian atas hasil laporan berkala atau sewaktu-waktu dari setiap unsur/
instansi di lingkungan departemen atas petunjukMenteri;
c. Pengusutan mengenai kebenaran laporan atau pengaduan tentang hambatan, penyimpangan atau
10 Ibid, hlm. 45.11 Ibid.
penyalahgunaan wewenang di bidang administrasi atau keuangan yang dilakukan oleh unsur/instansi di
lingkungan Departemen.
Inspektorat jenderal provinsi bukan aparat daerah
otonom tetapi bukan pula merupakan sub organisasi atau
verlengstuk inspektorat jenderal dalam negeri. Kedudukan
aparat pengawasan fungsional tersebut dapat dikatakan
sebagai aparat yang membantu gubernur kepada daerah tingkat
satu dalam kedudukannya selaku kepala wilayah atau wakil
pemerintah pusat di daerah. Ia merupakan aparat pemerintah
profinsi , yang melaksanakan tugasnya menurut azas
dekonsentrasi. Dalam keputusan mendagri no. 219 tahun 1979,
kedudukan itwilprop dinyatakan dengan jelas dalam pasal 1
ayat 1 yang selengkapnya adalah sebagai berikut:
inspektorat wilayah profinsi adalah perangkat pengawasan umum yang langsung berada di bawah dan bertangggung jawab kepada
gubernur kepala daerah tingkat 1 dalam kedudukannya selaku kepala wilayah provinsi.
Jadi inspektorat wilayah profinsi bukan merupakan
instansi vertikalnya dengan departemen dalam negeri.
Antara itjen departemen dalam negeri dengan inspektorat
wilayah profinsi tidak ada hubungan organisatoris seperti
misalnya antara BPKP dengan perwakilan BPKP di Provinsi.
Aparat wasnal yang paling rendah tingkatannya adalah
inspektorat wilayah kabupaten/kotamadya. Pada dasarnya
kedudukannya wasnal ini dengan bupati atau walikotamadya
adalah sama dengan kedudukan itwilprop terhadap gubernur.
Hanya saja mengingat berbagai pertimbangan kedudukan
aparat wasnal terendah ini ketika melihat pada pasal 1 ayat
1 keputusan dalam negeri nomor 220 tahun 1979 tentang
organisasi dan tatakerja inspektorat wilayah
kabupaten/kotamadya. Adapun bunyi pasalnya yaitu:
inspektorat wilayah kaupaten/kotamadya adalah
perangkat pengawasan umum yang diperbantukan kepada
bupati/walikotamadya keada daerah tingkat II dalam
kedudukannya sebagai kepala wilayah kabupaten/kotamadya,
dengan taktis operasional berada di bawah dan bertangggung
jawab kepada bupati/walikotamadya kepala daerah tingkat II
dan teknis administratif bertangggug jawab kepada kepala
inspektorat wilayah profinsi.
Dari rumusan pasal yang sedemikian itu kemudian dapat
di tarik kesimpulan meskipun pada hakekatnya baik itwilprop
maupun itwilkab/ko adalah sama-sama merupakan aparat
wasnal yang membantu kepala wilayah, akan tetapi saluran
tanggung jawab masing-masing agak sedikit berbeda.
Itwilprop sepenuhnya bertanggung jawab kepada gubernur
kepala wilayah profinsi, sedangkan itwilkab/ko taktis
operasional bertangggungjawab kepada
bupati/walikotamadyanya selaku kepala wilayah
kabupaten/kotamadya dan teknis administratif
bertanggungjawab kepada kepala inspektorat wilayah
profinsi.
Mengnai aparat-aparat wasnal yang ada pada lembaga
pemerintah non departemen dengan nama yang pada umumnya
bukan inspektorat ataupun inspektorat jendral. Kedudukan
aparat wasnal ini dalam lembaga non departemen yang
bersangkutan adalah sama dengan kedudukan inspektorat
jenderal departemen lingkungan organisasi departemen
masing-masing.
Apabila diperhatikan, aparat-aparat pengawasan
fungsional seperti yang telah diuraikan di atas, secara
kelembagaan masih ada dalam satu tubuh dengan pihak yang
diawasi baik pengawasannya maupun yang diawasi kesemuanya
ada dalam tubuh eksekutif (pemerintah dalam arti sempit).
Oleh karenanya pengawasan fungsional yang demikian ini
disebut pengawasan fungsional yang bersifat intern. Dalam
mekanisme pemerintahan di Indonesia dikenal pula
pengawasan fungsional yang bersifat ekkstern. Hal ini
terjadi apabila pemerintah diawasi oleh lembaga negara yang
berada di luar lembaga eksekutif. Pengawasan demikian
disebut pengawasan fungsional yang bersifat ekstern.12
Untuk dapat mengoptimalkan kinerja pemerintah menuju
good governance, tentunya perlu diadakan Pengawasan
fungsional yang bersifat ekstern. Pengawasan ekstern ini
dapat kita lihat misalnya pengawasan yang dilakukan oleh
BPK yang merupakan lembaga negara yang dibentuk untuk
mengawasi kegiatan pemerintah terkait penggunaan anggaran
negara dan pengawasan atas Pelayanan Publik yang dilakukan
oleh Ombudsman Republik Indonesia.
Sesuai fungsinya sebagai lembaga pemeriksa keuangan,
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada pokoknya lebih dekat
fungsi parlemen. Karena itu, hubungan kerja BPK dan
12 Ibid, hlm. 46-47.
parlemen makin dipererat. Bahkan dapat dikatakan bahwa BPK
itu adalah mitra kerja yang erat bagi DPR dalam mengawasi
kinerja Pemerintahan, khususnya yang berkenaan dengan
soal-soal keuangan dan kekayaan negara.13
ketentuan mengenai BPK diatur dalam UUD 1945 Bab VIIIA
pasal 23E-23f. dalam pasal 23E ayat (1) dijelaskan secara
tegas bahwa BPK merupakan badan yang diadakan untuk
memeriksa pengelolaan dan tanggungjawab tentang keuangan
negara. Ruang lingkup pemeriksaan BPK kemudian diatur dalam
Pasal 6 ayat (3) UU No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa
Keuangan yang menetapkan, pemeriksaan BPK mencakup�
pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan
pemeriksaan dengan tujuan tertentu.�
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, bahwa BPK
menemukan indikasi tindak pidana, lalu meneruskan
temuannya itu untuk ditindak lanjuti oleh Kepolisian,
Kejaksaan, atau oleh KPK, maka tentunya hal itu sesuai
dengan maksud Pasal 23E UUD 1945 ayat (3) yang menentukan:
13 Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara Dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, (Yogyakarta: FH UII Press, 2004), hlm. 23.
hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh lembaga�
perwakilan dan/atau badan sesuai dengan undang-undang �
Namun, tujuan utama pemeriksaan oleh BPK bukanlah untuk
menemukan tindak pidana, melainkan untuk penataan dan
perbaikan kinerja pemerintahan negara dengan menggunakan
keuangan negara secara tepat menurut peraturan-perundang-
undangan yang berlaku.14
Disamping itu, mitra kerja BPK yang semula hanya DPR
ditingkat pusat dikembangkan juga ke daerah-daerah.
Sehingga, laporan hasil pemeriksaan BPK itu tidak saja
harus disampaikan kepada DPR, tetapi juga kepada DPRD baik
ditingkat Provinsi maupun Kabupaten/ Kota karena objek
pemeriksaan BPK tidak hanya terbatas pada pelaksanaan atau
realisasi APBN, tetapi juga APBD.15
Selanjutnya, salah satu fungsi utama pemerintah
adalah melayani masyarakat, karena itu perlu dilakukan
terus menerus upaya meningkatkan kualitas pelayanan kepada
14 Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, (Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer, 2007), hlm. 815.
15 Jimly Asshiddiqqie, Op. Cit., hlm. 23-24.
masyarakat.16 Kristiadi menyebutkan bahwa, tugas
pemerintahan yang paling dominan adalah menyediakan
barang-barang publik (public utility) dan memberikan pelayanan
publik (public service) misalnya dalam bidang-bidang
pendidikan, kesejahteraan sosial, kesehatan, perkembangan
perlindungan tenaga kerja, pertanian, keamanan dan
sebagainya.17 Untuk meningkatkan kinerja pemerintah dalam
hal pelayanan publik tersebut tentunya dapat ditunjang oleh
lembaga pengawas eksternal yang dalam hal ini Ombudsma
Republik Indonesia sebagai Pengawas fungsional yang
bersifat eksternal.
Ombudsman merupakan lembaga yang melaksanakan
pengawasan bersifat eksternal terhadap penyelenggaraan
pelayanan publik. Meskipun mengenai Ombudsman telah diatur
dalam UU No. 37 Tahun 2008, namun dalam undang-undang ini
peranan Ombudsman sebagai lembaga yang berfungsi
menyelesaikan pengaduan masyarakat ditegaskan kembali.18
16 Marbun, Hukum Administrasi Negara II, (Yogyakarta: FH UII Press, 2013), hlm. 23.17 Waluyo, Op. Cit., hlm. 119.18 Ibid, hlm. 31
Ombudsman berfungsi mengawasi penyelenggaraan
pelayanan publik yang diselenggarakan oleh Penyelenggara
Negara dan pemerintah baik di tingkat Pusat maupun di daerah
termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik
Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik
Negara serta badan swasta atau perseorangan yang diberi
tugas menyelenggarakan pelayanan public tertentu.19
Dalam upaya optimalisasi kinerja pemerintah
khususnya dibidang pelayanan publik, Ombudsman dalam hal
ini mengawasi tindakan pemerintah atau penyelenggara
negara agar tidak melakukan tindakan sewenang-wenang atau
maladministrasi. Bentuk-bentuk maladministrasi tersebut
antara lain dapat dikelompokkan menjadi enam kelompok
berdasarkan kriteria antara lain:20
1. Bentuk-bentuk maladministrasi yang terkait dengan
ketepatan waktu dalam proses pemberian pelayanan
umum, teerdiri dari penundaan berlarut, tidak
menangani dan melalaikan kewajiban;
19 Ibid, hlm. 79.20 Budhi Masthuri, Mengenal Ombudsman Indonesia, (Jakarta: PT
Pradnya Paramita, 2005), hlm. 46-49.
2. Maladministrasi yang mencerminkan keberpihakan
sehingga menimbulkan rasa ketidakadilan dan
diskriminasi. Tterdiri dari persekongkolan, kolusi,
nepotisme, bertindak tidak adil, dan nyata-nyata
berpihak;
3. Maladministrasi yang lebih mencerminkan sebagai
bentuk pelanggaran terhadap hukum dan peraturan
perundangan. Terdiri dari pemalsuan, pelanggaran
undang-undang, dan perbuatan melawan hukum;
4. Maladministrasi yang terkait dengan kewenangan/
kompetensi atau ketentuan yang berdampak pada
kualitas pelayanan umum pejabat public kepada
masyarakat. Terdiri dari tindakan di luar kompetensi,
pejabat yang tidak kompeten menjalankan tugas,
intervensi yang mempengaruhi proses pemberian
pelayanan umum dan tindakan yang menyimpangi prosedur
tetap.
5. Maladministrasi yang mencerminkan sikap arogansi
seorang pejabat public dalam proses pemberian
pelayanan umum kepada masyarakat. Terdiri dari
tindakan sewenang-wenang, penyalahgunaan wewenang,
dan tindakan yang tidak layak/ patut.
6. Maladministrasi yang mencerminkan tindakan korupsi
secara aktif. Kelompok ini terdiri dari tindakan
pemerasan atau permintaan uang imbalan (korupsi),
tindakan penguasaan barang orang lain tanpa hak, dan
penggelapan barang bukti.
Pengawasan terhadap pelayanan publik yang dilakukan
oleh Ombudsman tentunya dapat meningkatkan optimalisasi
kinerja pemerintah. Dalam hal ini, pemerintah akan lebih
melaksanakan fungsi dan tugasnya sebagaimana mestinya dan
tidak menyimpang dari aturan main yang ada. Selain itu,
masyarakat juga akan dapat lebih menaruh kepercayaan
terhadap kinerja pemerintah karena adanya sistem
pengawasan yang dilakukan dalam berbagai bidang
pemerintahan.
Sebagai organisasi, pemerintahan memiliki tujuan yang
hendak dicapai, yang tidak berbeda dengan organisasi pada
umumnya terutama dalam hal kegiatan yang akan
diimplementasikan dalam rangka mencapai tujuan, yakni
dituangkan dalam bentuk rencana-rencana. Bahkan dapat
dikatakan bahwa menjalankan (pemerintahan) adalah
merencanakan (kegiatan pemerintahan), besturen is plannen,
besturen is vanouds plannen maken, vooruitzien, gewest, (sejak
dahulu, menjalankan (pemerintahan) adalah membuat
rencana-rencana, dengan pandangan jauh ke depan).21
Seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan
masyarakat serta seiring dengan konsepsi welfare state, yang
memberikan kewajiban kepada administrasi negara untuk
merealisir tujuan-tujuan negara. Tujuan kehidupan
bernegara meliputi berbagai dimensi. Terhadap berbagai
dimensi ini, pemerintah membuat rencana-rencana. Rencana
merupakan alat bagi implementasi, dan implementasi
hendaknya berdasar pada suatu rencana. Rencana
didefinisikan sebagai keseluruhan proses pemikiran dan
penentuan secara matang daripada hal-hal yang akan
dikerjakan dimasa mendatang dalam rangka pencapaian tujuan
yang telah ditentukan. Perencanaan merupakan fungsi
organik dari administrasi dan manajemen. Alasannya ialah21 Ridwan, HR, Hukum Administrasi Negara, (Yogyakarta: UII Press, 2003), hlm. 142
bahwa tanpa adanya rencana, maka tidak ada dasar untuk
melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu dalam rangka
usaha pencapaian tujuan. Berdasarkan hukum administrasi
negara, rencana merupakan bagian dari tindakan
pemerintahan (bestuurshandeling), suatu tindakan yang
dimaksudkan untuk menimbulka akibat-akibat hukum.22
Bila kita pahami bahwa good governance adalah
penyelenggaraan kepemerintahan yang didasarkan pada
peraturan perundangan, kebijakan publik yang transparan,
serta adanya partisipasi dan akuntabilitas publik. Ukuran
keberhasilan pencapaian kinerja instansi pemerintah
ditekankan pada keberhasilan mewujudkan visi dan misi
organisasi, bukan pada ukuran-ukuran standard baku yang
kaku. Oleh karena itu, pengawasan fungsional sangat
diperlukan dalam pencapaian optimalisasi kinerja
pemerintah yang sesuai dengan visi dan misi serta tidak
menyimpang dari rencana-rencana yang telah ditetapkan
sebelumnya. Baik pengawasan fungsional yang bersifat
internal maupun eksternal kiranya patut untuk
22 Ibid, hlm. 143.
KESIMPULAN
1. Pengawasan fungsional dalam upaya optimalisasi
kinerja pemerintah menuju good governance dilakukan
baik secara internal instansi seperti pengawasan yang
dilakukan oleh BPKP, dan Inspektorat Jenderal maupun
pengawasan yang bersifat eksternal atau di luar dari
instansi pemerintah yang diawasi seperti yang
dilakukan oleh BPK dan Ombudsman.
2. Dalam upaya menuju good governance, pengawasan sangat
diperlukan untuk tetap meluruskan dan memantapkan
kinerja pemerintah yang berdasarkan pada visi dan misi
serta rencana-rencana penyelenggaraan pemerintahan
yang telah digariskan.
DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie, Jimly, 2004, Format Kelembagaan Negara Dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, FH UII Press,
Yogyakarta.
______________, 2007, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, PT Bhuana Ilmu Populer, Jakarta.
Marbun, 20013, Hukum Administrasi Negara II, FH UII Press,Yogyakarta.
Masthuri, Budhi, 2005, Mengenal Ombudsman Indonesia, PT Pradnya Paramita, Jakarta.
Muchsan, 2000, Sistem Pengawasan terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah Dan Peradilan Tatta Usaha Negara Di Indonesia,
Liberty, Yogyakarta.
Ridwan, HR, 2003, Hukum Administrasi Negara, UII Press,Yogyakarta.
Waluyo, 2007, Manajemen Publik (Konsep, Aplikasi dan Implementasinya Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah),Mandar
Maju, Bandung.
Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 Tentang Badan
Pemeriksa Keuangan. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
Pembinaan dan Pengawasan atas Penyelenggaraan Pemerintah Daerah.
Peraturan Presiden Nomor 192 Tahun 2014 Tentang Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan.
Sumber Lainwww.bpkp.go.id/konten/11/kegiatan.bpkp , diakses pada 27
Maret 2015, PKL. 0204 WIB.
PENGAWASAN FUNGSIONAL DALAM UPAYA OPTIMALISASI KINERJA
PEMERINTAH MENUJU GOOD GOVERNANCE
Ditujukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sistem
Pengendalian Nasional
Dosen Pengampu: Dwi Haryati, S.H., M.Hum.
Disusun Oleh:
Abdul Rauf Alauddin Said
14/371881/PHK/08233
Akbar Sayudi 14/371911/PHK/8245
Alfan Alfian 14/370730/PHK/08162
Aris Nur Qadar Ar Razak 14/371887/PHK/8238
Rahmat Robuwan 14/371621/PHK/8217
Rizki Ramadani
14/372024/PHK/8273
PROGRAM PASCA SARJANA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2015