Guru dan Budaya Pendidikan Berbasis Bimbingan dan Konseling

31
1 GURU DAN BUDAYA PENDIDIKAN BERBASIS BIMBINGAN DAN KONSELING Oleh: Daris Tamin, S.Pd., M.Pd. 1 ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menemukan sosok guru yang menampilkan budaya pendidikan berbasis bimbingan dan konseling dalam proses pembelajaran. Penelitian ini menggunakan metode penelitian survey dengan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data pokok lalu ditindaklanjuti dan didalami secara eksplanatori melalui teknik wawancara mendalam dan observasi. Untuk menemukan sosok guru yang menampilkan budaya pendidikan berbasis bimbingan dan konseling, dilakukan penelusuran berdasarkan persepsi 404 siswa di empat sekolah di empat kota di Jawa Barat dengan basis ideologi dan kultur pendidikan yang berbeda melalui angket tertutup.Berdasarkan pilihan siswa ditemukan empat orang guru yang dinilai sudah menampilkan budaya pendidikan berbasis bimbingan dan konseling dalam proses pembelajaran. Keempat guru tersebut mewakili empat sekolah masing- masing.Berdasarkan pendalaman secara naturalistik ditemukan bahwa keempat guru tersebut memiliki lima komponen perilaku dan sikap yang sama, yaitu; (1) filosofi hidup untuk mengabdi kepada Tuhan (Allah); (2) kebahagiaan hidup adalah ketika bisa taat pada Tuhan dan bisa berbuat baik pada orang lain; (3) hakikat mendidik adalah mengenalkan Tuhan kepada anak didik dan membimbing mereka untuk bermanfaat bagi diri, keluarga, dan masyarakatnya; (4) pendekatan dalam proses pembelajaran dilakukan dengan penuh kesabaran, tidak mudah marah, menunjukkan keteladan, jujur, ramah, merenungi realitas, dan mengingatkan tentang kematian; (5) sikap terhadap isu pendidikan dan profesi: anti ketidakjujuran; ujian nasional adalah bagian kecil dari ujian hidup; lebih baik tidak lulus di hadapan manusia daripada tidak lulus dihadapan Tuhan; ikut sertifikasi seperti air mengalir saja; guru jangan takut miskin; dan budaya pendidikan harus dimulai dengan kepemimpinan dari diri sendiri. Kata Kunci: Budaya Pendidikan, Bimbingan dan Konseling 1 Disampaikan dalam acara JOIN SEMINARantara Prodi BK SPs UPI Bandung dengan Program Kaunseling USM,Bandung 25 Mei 2013.

Transcript of Guru dan Budaya Pendidikan Berbasis Bimbingan dan Konseling

1

GURU DAN BUDAYA PENDIDIKAN BERBASIS BIMBINGAN DAN KONSELING

Oleh: Daris Tamin, S.Pd., M.Pd.1

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menemukan sosok guru yang menampilkan budaya pendidikan berbasis bimbingan dan konseling dalam proses pembelajaran. Penelitian ini menggunakan metode penelitian survey dengan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data pokok lalu ditindaklanjuti dan didalami secara eksplanatori melalui teknik wawancara mendalam dan observasi. Untuk menemukan sosok guru yang menampilkan budaya pendidikan berbasis bimbingan dan konseling, dilakukan penelusuran berdasarkan persepsi 404 siswa di empat sekolah di empat kota di Jawa Barat dengan basis ideologi dan kultur pendidikan yang berbeda melalui angket tertutup.Berdasarkan pilihan siswa ditemukan empat orang guru yang dinilai sudah menampilkan budaya pendidikan berbasis bimbingan dan konseling dalam proses pembelajaran. Keempat guru tersebut mewakili empat sekolah masing-masing.Berdasarkan pendalaman secara naturalistik ditemukan bahwa keempat guru tersebut memiliki lima komponen perilaku dan sikap yang sama, yaitu; (1) filosofi hidup untuk mengabdi kepada Tuhan (Allah); (2) kebahagiaan hidup adalah ketika bisa taat pada Tuhan dan bisa berbuat baik pada orang lain; (3) hakikat mendidik adalah mengenalkan Tuhan kepada anak didik dan membimbing mereka untuk bermanfaat bagi diri, keluarga, dan masyarakatnya; (4) pendekatan dalam proses pembelajaran dilakukan dengan penuh kesabaran, tidak mudah marah, menunjukkan keteladan, jujur, ramah, merenungi realitas, dan mengingatkan tentang kematian; (5) sikap terhadap isu pendidikan dan profesi: anti ketidakjujuran; ujian nasional adalah bagian kecil dari ujian hidup; lebih baik tidak lulus di hadapan manusia daripada tidak lulus dihadapan Tuhan; ikut sertifikasi seperti air mengalir saja; guru jangan takut miskin; dan budaya pendidikan harus dimulai dengan kepemimpinan dari diri sendiri. Kata Kunci: Budaya Pendidikan, Bimbingan dan Konseling

1 Disampaikan dalam acara “JOIN SEMINAR” antara Prodi BK SPs UPI Bandung dengan Program Kaunseling

USM,Bandung 25 Mei 2013.

2

TEACHER AND CULTURAL EDUCATION BASED GUIDANCE AND COUNSELING

by:

Daris Tamin, S.Pd., M.Pd.

ABSTRACT

This study intended to find a teacher who displays cultural education based guidance and counseling in the learning process. This study uses survey research with questionnaires as the main data collection tool and then followed up and explored the explanatory through in-depth interviews and observation. To find a teacher who displays cultural education based guidance and counseling, search conducted on perceptions of 404 students in four schools in four cities in West Java with a base ideology and educational different cultures through questionnaires tertutup. Based on option from four students found teachers are considered as show cultural education based guidance and counseling in the learning process. The four teachers representing each school. Based on naturalistically deepening found that the four teachers had the same five behaviour and attitude components, namely: (1) philosophy of life to serve God (Allah), (2) happiness in life is when to obey God and can do good to others, (3) the nature of education is to introduce God to the students and guide them to benefit themselves, their families, and society; (4) approaches in the learning process is done with patience, not easily angered, modeling, honest, friendly, contemplating the reality, and reminded about death, (5) attitudes toward education and professional issues: antidishonesty; UN is a small part of the test of life; better not pass in front of mankind than it does pass before God; participate certifications such as running water only; teachers do not fear poverty; education and culture must begin with leadership from ourselves. Keywords: Cultural Education, Guidance and Counseling

3

A. Pendahuluan Masih terjadinya berbagai kasus yang terkait perilaku antagonis terhadap

hakikat pendidikan, seperti kasus korupsi pejabat yang notabene berpendidikan tinggi, plagiasi karya ilmiah oleh akademisi, menyontek massal yang dilakukan siswa dengan arahan guru dan kepala sekolah, perjokian oleh mahasiswa senior, jual beli ijazah tanpa kuliah oleh oknum pengelola PTS, dan tindakan tidak terpuji lainnya memunculkan pertanyaan besar tentang budaya apa yang sebenarnya mendominasi pendidikan nasional selama ini?

Dikatakan “budaya” dan “selama ini” merujuk pada rentang waktu yang relatif tetapi mencakup kurun waktu yang dapat dikatakan panjang. Maksudnya, ketika seorang pejabat melakukan korupsi atau seorang akademisi melakukan plagiasi, maka hakikat tindakannya tersebut tidak dapat dipisahkan dengan pengetahuan, kebiasaan dan suasana pendidikan yang telah dialaminya, baik dalam keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Meminjam istilah Jerome Bruner (1996) suasana seperti ini disebut dengan “folk psychology” atau “folk pedagogy”, yaitu kondisi psikologis masyarakat yang berimplikasi terbentuknya kultur pendidikan dalam masyarakat tersebut.

Ketidakmampuan seseorang untuk mengendalikan diri dan tahan (sustain) atas segala bentuk godaan untuk melakukan korupsi, plagiasi, perjokian, jual-beli ijazah, dan perilaku-perilaku antagonis terhadap hakikat dan tujuan pendidikan tidak bisa dilepaskan dari pengaruh kultur pendidikan yang pernah dilaluinya. Sebagian kalangan ada yang berdalih bahwa kasus korupsi pejabat atau plagiasi akademisi merupakan kasus yang bersifat individual dan bukan produk kultur pendidikan. Sebagai manusia, siapapun bisa saja terjerembab dalam kekhilafan dan kesalahan. Alasan tersebut logis dan dapat diterima akal sehat, tetapi kasus “nyontek massal” dalam Ujian Nasional (UN) yang berulang kali terjadi dan secara massive melibatkan guru, kepala sekolah serta pejabat Dinas Pendidikan merupakan fakta bahwa kultur antagonisme terhadap hakikat pendidikan memang benar-benar telah dan sedang terjadi.

Program nasional sertifikasi guru dan dosen menjadi fenomena yang semakin menguatkan dugaan berlangsungnya budaya yang dalam istilah Sunaryo Kartadinata (2012) disebut kultur pendidikan yang sedang tidak sehat atau perilaku “sakit” yang tidak menguntungkan kehidupan bangsa. Istilah perilaku “sakit” sungguh tepat untuk menggambarkan perilaku oknum guru yang lebih memilih mengikuti berbagai seminar demi mendapatkan sertifikat ketimbang melaksanakan amanah mengajar di kelas. Bahkan, jika tidak sempat mengikuti seminarnya, sertifikat bisa didapatkan dengan cara membeli dari panitia seminar yang lazimnya melebihkan jumlah cetakan sertifikat untuk melayani permintaan dari partisipan-partisipan “gaib” tersebut.

Fenomena perilaku antagonisme pendidikan dalam program sertifikasi guru juga bisa dilihat dari ditemukannya sejumlah dokumen portofolio berupa ijazah, surat-surat keputusan dan sertifikat janggal adalah beberapa contohnya. Intinya, sertifikasi yang dirancang untuk merangsang peningkatan kinerja guru justru yang terjadi adalah sebaliknya. Pasca lulus sertifikasi, kinerja guru malah menurun.

4

Selanjutnya, kasus perjokian. Berita tentang tertangkapnya joki dalam ujian masuk perguruan tinggi terkemuka selalu muncul setiap tahunnya. Perjokian SNMPTN biasanya dilakukan oleh mahasiswa yang tentunya memiliki kemampuan unggul dan bukan mahasiswa “biasa-biasa”. Kadang-kadang perjokian dilakukan oleh nonmahasiswa, tetapi joki tersebut biasanya telah mengantongi jawaban soal yang dibocorkan oleh oknum panitia. Fenomena ini kian menguatkan terjadinya budaya pendidikan yang antagonis dengan hakikat pendidikan itu sendiri.

Gambaran mengenai perilaku tidak sehat dalam pendidikan tidak hanya muncul melalui indikator korupsi, plagiasi, perjokian, jual beli ijazah, dan menyontek massal saja. Tetapi, konsep CIBI (Ke-Cerdasan Istimewa dan Ke-Berbakatan Istimewa) dan RSBI yang tengah dikembangkan Kementerian Pendidikan dianggap akan menimbulkan ketidakseimbangan dan tidak memiliki dampak pembimbingan dan pengasuhan. Sunaryo Kartadinata (2012: 8) secara kritis menjelaskan bahwa program pendidikan akselerasi dalam kelas-kelas ekslusi telah semakin menjauhkan praktek pendidikan dari esensi ilmu dan hakikat pendidikan, tak terkecuali landasan-landasan normatif dalam UU No. 20/2003, dan bahkan mengingkari hakikat manusia itu sendiri.

Kaitannya dengan CIBI, Sunaryo Kartadinata (2012: 10) menjelaskan bahwa harus dihindari, terutama dalam usia muda, terjadinya gejala “Cartesian Split” yang menimbulkan ketidakseimbangan antara perkembangan fisik dengan intelektual. Sedangkan kaitannya dengan RSBI, Sunaryo Kartadinata (2012: 12) menjelaskan bahwa secara filosofis mengingkari hakikat pendidikan dan manusia karena internasionalisasi pendidikan menjadi bersifat diskriminatif dan ekslusif.

Selain kasus-kasus di atas, sebenarnya ada beberapa fenomena lain yang layak dipertimbangankan sebagai perilaku antagonisme terhadap hakikat pendidikan. Fenomena pertama adalah acara istighotsah menjelang UN. Seluruh stakeholder sekolah dan siswa biasanya dilibatkan dalam acara ini. Memanjatkan doa untuk keselamatan dan kesuksesan adalah perbuatan yang dibolehkan bahkan memang semestinya demikian. Tetapi, jika istilah dan acaranya menjadi istighotsah, maka antagonisme mulai dirasakan. Aromanya bisa tercium dari makna istighotsah itu sendiri. Istilah ini merujuk pada suatu kondisi yang sangat luar biasa (extraordinary) akibat musibah sehingga seluruh anggota komunitas menjadi tidak berdaya sehingga perlu memohon pertolongan yang luar biasa kepada Yang Mahakuasa.

Pertanyaannya kemudian, apakah UN sudah menjadi kondisi darurat dan dianggap musibah yang harus disikapi dengan istighotsah? Sungguh sebuah ironi ketika UN yang bertujuan mulia untuk mendapatkan feedback dari proses pendidikan demi kondisi yang lebih baik dianggap sebagai musibah atau wabah yang membahayakan. Barangkali karena dipersepsi sebagai sesuatu yang membahayakan maka cara-cara curang dalam UN menjadi boleh dilakukan.

Fenomena kedua adalah program-program pendidikan yang disponsori oleh perusahaan rokok, seperti program beasiswa pendidikan, seminar, dan lain-lain. Jika dianalisa dari sudut pandang bantuannya semua akan sepakat atas kemanfaatannya. Tetapi jika direnungi secara mendalam, sebenarnya di dalamnya terdapat ironisme karena yang digunakan dari komoditi bisnis rokok sama sekali tidak memberi manfaat

5

bahkan bahayanya sangat besar bagi segala aspek kehidupan terutama masa depan generasi masa depan bangsa.

Sumbangan rokok bagi pendapatan negara melalui cukainya diakui sangat yang tinggi. Setiap tahunnya, Kementerian Kesehatan mendapat dana bagi hasil cukai tembakau (DBH-CHT) sebesar 2% dari total penerimaan cukai tembakau. Faktanya, setiap tahun dana bagi hasil tersebut tidak sebanding dengan dampak negatif dari merokok. Pada tahun 2011, Kementerian Kesehatan mendapatkan bagi hasil sebesar 1,2 Triliyun Rupiah. Sebuah angka yang sangat besar. Tetapi, pada tahun yang sama, Kementerian Kesehatan harus mengeluarkan dana medis sebesar 18,5 Triliyun Rupiah untuk penyakit yang diakibatkan oleh rokok (www.indonesia.kontan.co.id, [Kamis, 28 Juli 2011]). Jadi, sebenarnya Pemerintah dan rakyat tidak mendapatkan keuntungan dari rokok tersebut.

Selain kerugian dari bagi hasil cukai rokok tersebut, Pemerintah dan rakyat dihadapkan pada kerugiaan yang lebih besar lagi, baik secara fisik maupun psikologis. Kerugian yang dimaksud adalah bahwa melalui rokok ternyata menjadi gerbang masuk untuk datangnya bahaya-bahaya yang lebih besar dan dahsyat. Hasil penelitian membuktikan bahwa merokok adalah langkah pertama untuk langkah-langkah penggunaan Napza berikutnya. Setelah rokok, biasanya diikuti dengan minum alkohol, lalu meningkat lagi dengan shabu, seks bebas dan pada akhirnya narkoba suntik (www.fkm.ui.ac.id, [12 November 2009]). Jika sudah bersentuhan dengan penyakit akibat penyalahgunaan narkotika dan HIV AIDS, maka biaya yang akan dikeluarkan Pemerintah akan sangat besar lagi, baik untuk pengobatan maupun untuk pencegahan.

Pemanfaatan dana dari Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan rokok untuk program-program pendidikan seperti seminar, beasiswa pendidikan, dan olahraga dan kesenian sebenarnya hanya kamuplase belaka. Pemanfaatan dana dari perusahaan rokok dapat dianggap sebagai perilaku mengambil manfaat yang sedikit tetapi mengabaikan bahaya besar yang sedang mengancam di depan mata. Mengingat bahaya yang mengancam akibat konsumsi rokok, dunia pendidikan seharusnya memberikan edukasi kepada masyarakat untuk menjauhi rokok dan mendorong Pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan untuk menekan produksi rokok pada tingkat yang serendah-rendahnya.

Kultur yang sedang “sakit” dan tidak menguntungkan kehidupan bangsa karena antagonismenya terhadap hakikat pendidikan terbentuk dalam jangka waktu yang relatif panjang. Arusnya yang mengalir panjang telah membangun budaya yang di dalamnya melibatkan aspek-aspek utama dalam peradaban manusia, baik keyakinan, pola pikir, sikap dan kepribadian, dan tingkah lakunya.

Sunaryo Kartadinata (2012: 17) menjelaskan bahwa untuk menyehatkan kondisi kultur yang sedang sakit ini harus dimulai dari pemulihan kembali mind set dan worldview yang utuh tentang pendidikan serta pemahaman yang mendalam tentang praktik penyelenggaraan pembelajaran yang mendidik, sehingga mampu membina kinerja guru dan sekolah secara utuh. Pemulihan kondisi yang kultur yang sakit tidak dapat dilakukan dengan hanya memberikan pembinaan secara birokratik-administratif semata, tetapi perlu terapi dan pemulihan mind set bahwa pembinaan

6

kerja guru dan sekolah bukanlah pemenuhan prosedur dan standar bukti fisik belaka, melainkan aktualisasi pembelajaran yang mendidik yang terwujud dalam transaksi guru dalam keragaman peserta didik.

Inilah titik awal penyehatan kondisi kultur pendidikan yang sedang tidak sehat tersebut. Upaya tersebut tidak dapat dilakukan secara parsial tetapi harus melibatkan semua unsur pendidikan mulai dari hulu sampai hilir. Intinya, menurut Sunaryo Kartadinata (2012: 13-14) upaya pendidikan harus mampu mewujudkan masyarakat yang waras (sane society) sebagai masyarakat yang bertaqwa, berdaya saing, dan berdaya tahan hidup. Kecerdasan, karakter, dan keimanan adalah kekuatan utuh yang harus dibangun melalui pendidikan untuk membawa bangsa memiliki masa depan dalam kemandirian, berdaya saing, dan berdaya tahan hidup. Dalam prosesnya kekuatan utuh tersebut dapat dikembangkan untuk mengubah pola-pola perilaku yang sudah mengakar dan dianggap tidak baik dan tidak menguntungkan melalui terapi kultural dalam upaya-upaya pendidikan.

Ruang-ruang yang dapat dimasuki sebagai upaya terapi kultural, atau dalam istilah Sunaryo Kartadinata (2012: 19) disebut dengan “rongga resureksi” atau rongga kebangkitan pendidikan mencakup semua aspek mulai dari penegasan ilmu pendidikan sebagai disiplin ilmu, riset dan pengembangan, diagnosa kebijakan dan regulasi pendidikan, pengakajian system manajemen, pengembangan jejaring pendidikan sampai peningkatan kapasitas LPTK.

Berpijak pada semangat dan ide-ide cemerlang untuk memulihkan kultur pendidikan yang sedang sakit demi menuju kebangkitan pendidikan di Indonesia sebagaimana dikemukakan oleh Sunaryo Kartadinata (2012) maka perlu kiranya diterjemahkan dan ditindaklanjuti dengan riset-riset dan tindakan-tindakan nyata. Salah satu riset dan pengembangan yang dapat dilakukan adalah pengembangan kultur pendidikan berbasis bimbingan dan konseling untuk mengembangkan manusia berkarakter dan beradab.

Pemaduan konsep kultur pendidikan dengan bimbingan dan konseling menuju peradaban manusia yang berkarakter dalam suatu riset dan pengembangan dianggap tepat karena di dalamnya terdapat inti (essence/central/most important) dari idealisme pendidikan dan peradaban manusia. Integrasi semua terminologi tersebut akan dimulai dari hakikat manusia. Sedangkan secara fenomenologis, sebagaimana dijelaskan Sunaryo Kartadinata (2011: 47), pendidikan merupakan proses interaksi yang selalu berhadapan dengan kepribadian manusia yang sedang berada dalam proses menjadi untuk menemukan keberadaan dirinya.

Sebagai makhluk yang diciptakan sebagai entitas yang penuh potensi sekaligus juga memiliki kelemahan dan keterbatasan, secara alamiah manusia memerlukan bantuan untuk menavigasi hidupnya menuju perkembangan optimum dan mencapai kemandirian dalam hidupnya. Bentuk bantuan dan navigasi tersebut dilakukan dalam upaya pedagogis yang dilakukan oleh pengampu layanan pendidikan yang memiliki pemahaman yang komprehensif tentang hakikat manusia, baik dari aspek organo-biologis, sosio-kultural, psiko-edukatif, maupun spiritual. Selain itu, pengampu layanan pendidikan tersebut memiliki kecakapan atau keterampilan dalam berkomunikasi secara interpersonal dengan manusia lainnya. Maka layanan

7

pendidikan yang dimaksud adalah bimbingan dan konseling. Di sinilah letak esensi bimbingan dan konseling dalam membangun kultur pendidikan yang sehat menuju manusia yang berkarakter dan beradab sebagai tujuan akhir.

Penelitian ini dirancang untuk mengembangkan budaya pendidikan melalui proses pembelajaran, di mana guru atau pendidik menggunakan pendekatan, model, strategi, dan teknik komunikasi interpersonal yang berbasis pada prinsip-prinsip bimbingan dan konseling. Sebagai elemen yang paling berpengaruh secara signifikan terhadap perkembangan peserta didik, guru berpotensi membangun kultur pendidikan yang sehat kemudian menularkannya kepada siswa, baik yang secara langsung (instructional) menyentuh perilaku personal dan sosial siswa maupun yang hanya memberikan dampak pengiring (nurturant effects) saja.

B. KERANGKA KONSEPTUAL 1. Pengertian Budaya Pendidikan

Pendidikan pada hakikatnya adalah proses kebudayaan. Young Pai (1990: 37) menyatakan bahwa setiap kebudayaan selalu berusaha untuk mengabadikan dirinya sampai menyebarkan pemikiran (deliberate transmission) tentang apa saja yang dianggap bermanfaat, seperti pengetahuan (knowledge), keyakinan/ kepercayaan (belief), kecakapan/keterampilan (skills), perilaku (behaviors), dan sikap (attitudes).

Pernyataan yang sama juga disampaikan sejak lama oleh Edward B. Tylor (1929) dalam karyanya “Primitive Culture” bahwa kebudayaan mempunyai tiga komponen strategis, yaitu sebagai tata kehidupan (order), suatu proses (process), dan visi tertentu (goals), maka pendidikan merupakan proses pembudayaan. Tidak ada proses pendidikan tanpa kebudayaan dan tanpa adanya masyarakat; sebaliknya tidak ada kebudayaan dalam pengertian proses tanpa adanya pendidikan. Theodore Brameld (1957) menyatakan bahwa keterkaitan antara pendidikan dengan kebudayaan berkenaan dengan satu urusan yang sama, yaitu pengembangan nilai. (Ki Supriyoko, 2003: 1).

Keterkaitan yang erat antara kultur dengan pendidikan sebenarnya dapat lebih tergambar jika analisa dilakukan pada proses pembelajaran di sekolah. Sebab, persekolahan pada hakikatnya adalah wahana bagi setiap individu untuk belajar dengan kekhasan kultur masing-masing, baik dalam merespon dan mengekspresikan perasaan kepada teman dan guru serta dalam membangkitkan semangat atau membesarkan hati ketika mendapatkan kondisi yang tidak menyenangkan (unhappy). Proses inilah yang disebut dengan enculturative dalam proses pendidikan (Young Pai, 1990: 39).

Namun, ketika proses enculturative itu terjadi, pada saat yang sama juga terjadi proses acculturative yang disebabkan karena proses interaksi di sekolah telah mendorong terjadinya kontak antar individu. Young Pai (1990: 39) menjelaskan bahwa dalam proses acculturative di sekolah akan mendorong suatu kultur untuk memodifikasi kulturnya ketika kontak dengan kultur yang dominan. Sebagai contoh, ketika perilaku antagonisme menjadi sangat dominan dalam interaksi di sekolah maka kultur minoritas akan terkikis (deficits) sehingga

8

munculnya suasana yang tidak menyenangkan dan kecenderungan adanya tindak kejahatan akan lebih cepat terjadi. Selanjutnya Young Pai (1990: 39) menjelaskan bahwa fakta pada persekolahan di Amerika membuktikan bahwa para siswa cenderung lebih mudah menerima dan belajar pada kultur yang dominan daripada pada kultur yang tidak dominan atau alien culture.

Jerome Bruner, 1996 (http://www.scottlondon.com/reviews/bruner.html [29 Februari 2012]) menjelaskan bahwa kultur pendidikan berkembang bersama tema-tema yang berkaitan dengan psikologi budaya yang berimplikasi langsung pada pendidikan. Psikologi budaya berhubungan dengan: (1) bagaimana individu menggunakan perasaan dan kesadaran terhadap dunia (lingkungan) di sekitarnya; dan (2) bagaimana individu mengikatkan diri dengan peran makna-makna (meaning) dalam sistem yang sudah berlaku tetap (establishment), dengan keyakinan-keyakinan (beliefs), nilai-nilai (values), dan simbol-simbol (symbols) budaya pada umumnya.

Keterkaitan antara psikologi, kultur, dan pendidikan memang sangat erat karena subjek kajian ketiga terminologi tersebut sama, yaitu manusia. Menurut Matsumoto & Juang (2008: 3), esensi dari psikologi memiliki dua tujuan, yaitu membangun tubuh pengetahuan (body of knowledge) melalui pemahaman perilaku manusia dan membangun tubuh pengetahuan dan cara menerapkan pengetahuan tersebut serta tentang bagaimana cara mengintervensi manusia dalam kehidupannya. Sedangkan kultur, Matsumoto & Juang (2008: 13) menjelaskan bahwa kultur adalah makna-makna dan informasi yang muncul dalam hubungan manusia dengan jaringan sosialnya. Jadi, berdasarkan pandangan Matsumoto & Juang (2008) tersebut, ilmu psikologi tidak mungkin ada jika manusia tidak berbudaya.

Adapun kaitannya dengan pendidikan, Jerome Bruner, 1996 (http://www.scottlondon.com/reviews/bruner.html [29 Februari 2012]) memandang bahwa segala upaya guru dalam pembelajaran selalu direfleksikan kepada asumsi-asumsi umum tentang perilaku manusia berdasarkan teori-teori tentang belajar dan berpikir. Merujuk pada pendangan Bruner tersebut, bahwa proses pendidikan akan berlangsung melalui pemanfaatan teori-teori tentang manusia dan perilakunya.

Pandangan guru tentang anak didiknya akan berimplikasi pada proses pembelajaran dan tujuan yang akan dicapai dari proses tersebut. Bruner (1996 ((http://www.scottlondon.com/reviews/bruner.html [29 Februari 2012]) menjelaskan bahwa jika siswa dipandang sebagai pembelajar imitasi (peniru) maka kelulusan dan kecakapan akan difokuskan pada pemberian contoh dan cara demonstartif. Jika siswa dipandang sebagai pembelajar ekspose didaktis maka siswa akan dibelajarkan untuk memperesentasikan fakta-fakta, prinsip-prinsip, mengingat, dan menerapkan.

Kemudian jika anak didik dipandang sebagai pembelajar pemikir, maka proses pembelajaran akan difokuskan pada pengembangan pertukaran pemahaman secara intersubjektif. Adapun jika anak didik dipandang sebagai orang yang memiliki pengetahuan banyak maka penekanan proses pembelajarn akan diarahkan

9

pada pengelolaan suatu objek berdasarkan pengetahuannya. Berangkat dari pandangan Bruner (1996) bahwa sudut pandang tentang anak didik saja ternyata akan sangat berpengaruh pada proses dan hasil dari proses tersebut maka bagaimana pula dengan kultur yang jauh lebih luas dari paradigma, tentu pengaruhnya akan lebih besar lagi. 2. Pembelajaran Berbasis Bimbingan dan Konseling

Selain memandu proses pembelajaran di kelas, guru juga berfungsi fungsi dan berperan sebagai pembimbing. Guru bukan hanya sebagai transformer ilmu dan pengetahuan saja tetapi lebih dari sekadar itu bahwa guru adalah transformer bagi segala tindak-tanduknya sendiri kepada siswa. Apa yang diyakininya akan diyakini juga oleh siswanya. Segala pernyataannya akan dikutip oleh siswa. Intinya, siswa akan menyerap apa saja yang ada dan ditampailkan oleh gurunya.

Dalam proses pembelajaran, guru akan bertemu dengan keunikan perilaku siswa dan segala kebutuhannya, baik fisik maupun psikologis. Siswa tidak hanya menuntut ilmu dan pengetahuan dari gurunya tetapi lebih dari sekadar itu bahwa siswa butuh perhatian dan perlakuan sebagai manusia. Pembelajaran yang berbasis bimbingan dan konseling adalah proses pendidikan yang diselenggarakan atas dasar pemahaman tentang hakikat manusia yang memiliki keunikan dan membutuhkan perhatian dan perlakuan sebagaimana seharusnya manusia diperlakukan.

Cara pandang pembelajaran yang berbasis bimbingan dan konseling akan berimplikasi pada penegasan guru sebagai elemen penting dalam proses pendidikan. Muro & Kottman (1995: 53) menegaskan bahwa guru merupakan elemen penting dalam implementasi program bimbingan secara komprehensif. Posisi guru di kelas sangat signifikan untuk: (1) mendorong siswa agar belajar dan mengembangkan diri secara positif; (2) membuka kebutuhan siswa terhadap pencapaian nilai individu yang lebih tinggi (3) melihat pentingnya self-image siswa secara positif, mengembangkan sikap respek, dan memahami perbedaan; (4) mengidentifikasi siswa berkebutuhan khusus; (5) menjadi penasihat kunci untuk membangkitkan harapan siswa; (6) memonitor prestasi akademik secara terbuka dengan orang tua; (7) melakukan referal kepada konselor jika masalah siswa berada di luar jangkauannya; dan (7) menemukan jalan bersama konselor untuk membantu siswa tanpa harus mengeluarkannya dari kelas.

Rochman Natawidjaja (Ahman, 1998: 24) mengidentifikasi peran guru sebagai pembimbing dalam interaksi pembelajaran di sekolah, antara lain: (1) perlakuan terhadap siswa sebagai individu yang memiliki potensi untuk berkembang dan maju serta mampu mengarahkan dirinya sendiri untuk mandiri, (2) Sikap yang positif dan wajar terhadap siswa, (3) Perlakuan terhadap siswa secara hangat, ramah, rendah hati, dan menyenangkan, (4) Pemahaman siswa secara empirik, (5) Penghargaan terhadap siswa sebagai individu, (6) Penampilan diri secara asli (genuine) di depan siswa, (7) Kekongkritan dalam menyatakan diri, (8) Penerimaan siswa secara apa adanya, (9) Perlakuan terhadap siswa secara terbuka, (10) Kepekaan terhadap perasaan yang dinyatakan siswa untuk menyadari

10

perasaannya itu, (11) Kesadaran bahwa tujuan mengajar bukan terbatas pada penguasaan siswa terhadap bahan pengajaran saja, melainkan menyangkut pengembangan siswa menjadi individu yang lebih dewasa, (12) Penyesuaian diri terhadap keadaan yang khusus.

Sebagai elemen yang paling berpengaruh secara signifikan terhadap perkembangan siswa, baik guru mata pelajaran maupun guru kelas hendaknya memiliki kompetensi dalam mengimplementasikan model-model pembelajaran, baik yang secara langsung (instructional) menyentuh perilaku personal dan sosial siswa maupun yang hanya memberikan dampak pengiring (nurturant effects) saja. Joyce & Weil (1980: 9-20) mengelompokkan model-model tersebut ke dalam empat kategori, antara lain: a. Model-model Pemrosesan Informasi (Information Processing Models) yang

berkaitan dengan upaya mengembangkan cara berpikir kognitif, mengembangkan konsep dan menajamkan memori.

b. Model-model Personal (Personal Models) yang bersentuhan dengan upaya membangun kesadaran, pemahaman, otonomi, konsep diri, kreativitas, pemecahan masalah, dan tanggung jawab.

c. Model-model Interaksi Sosial (Social Interaction Models) yang berhubungan dengan upaya mengembangkan kemampuan partisipasi sosial, pemecahan masalah sosial, keterampilan interpersonal dan kelompok, menemukan nilai-nilai pribadi dalam nilai-nilai sosial, dan keterampilan membuat keputusan dalam interaksi sosial.

d. Model-model Perilaku (Behavioral Models) yang menyangkut upaya mengembangkan keterampilan: mengelola fakta dan konsep; kontrol diri; relaksasi personal; reduksi stress dalam situasi sosial; bersikap asertif, desentisasi, dan mempola perilaku.

e. Melalui penguasaan terhadap model-model pembelajaran tersebut, guru dan wali kelas diharapkan dapat mengembangkan suasana pembelajaran yang membantu, mengarahkan, dan memandu siswa sekolah dasar dalam mencapai optimalisasi tugas-tugas perkembangannya. Guru dan wali kelas jangan hanya menunggu siswa bermasalah untuk mendapatkan layanan bimbingan dan konseling. Tetapi, guru atau wali kelas harus secara proaktif mengidentifikasi kemampuan (achievement) siswanya dan memberikan pelayanan pembelajaran yang bernuansa bimbingan melalui model-model pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan perkembangannya. Myrick (Muro & Kottman, 1995: 53) menegaskan bahwa tindakan demikian lebih menguntungkan bagi siswa.

C. ISU-ISU BUDAYA PENDIDIKAN

Kultur yang sedang “sakit” dan tidak menguntungkan kehidupan bangsa karena antagonismenya terhadap hakikat pendidikan terbentuk dalam jangka waktu yang relatif panjang. Arusnya yang mengalir panjang telah membangun budaya yang di dalamnya melibatkan aspek-aspek utama dalam peradaban manusia, baik keyakinan, pola pikir, sikap dan kepribadian, dan tingkah lakunya.

11

Sunaryo Kartadinata (2012: 17) menjelaskan bahwa untuk menyehatkan kondisi kultur yang sedang sakit ini harus dimulai dari pemulihan kembali mind set dan worldview yang utuh tentang pendidikan serta pemahaman yang mendalam tentang praktik penyelenggaraan pembelajaran yang mendidik, sehingga mampu membina kinerja guru dan sekolah secara utuh. Pemulihan kondisi yang kultur yang sakit tidak dapat dilakukan dengan hanya memberikan pembinaan secara birokratik-administratif semata, tetapi perlu terapi dan pemulihan mind set bahwa pembinaan kerja guru dan sekolah bukanlah pemenuhan prosedur dan standar bukti fisik belaka, melainkan aktualisasi pembelajaran yang mendidik yang terwujud dalam transaksi guru dalam keragaman peserta didik.

Inilah titik awal penyehatan kondisi kultur pendidikan yang sedang tidak sehat tersebut. Upaya tersebut tidak dapat dilakukan secara parsial tetapi harus melibatkan semua unsur pendidikan mulai dari hulu sampai hilir. Intinya, menurut Sunaryo Kartadinata (2012: 13-14) upaya pendidikan harus mampu mewujudkan masyarakat yang waras (sane society) sebagai masyarakat yang bertaqwa, berdaya saing, dan berdaya tahan hidup. Kecerdasan, karakter, dan keimanan adalah kekuatan utuh yang harus dibangun melalui pendidikan untuk membawa bangsa memiliki masa depan dalam kemandirian, berdaya saing, dan berdaya tahan hidup. Dalam prosesnya kekuatan utuh tersebut dapat dikembangkan untuk mengubah pola-pola perilaku yang sudah mengakar dan dianggap tidak baik dan tidak menguntungkan melalui terapi kultural dalam upaya-upaya pendidikan.

Ruang-ruang yang dapat dimasuki sebagai upaya terapi kultural, atau dalam istilah Sunaryo Kartadinata (2012: 19) disebut dengan “rongga resureksi” atau rongga kebangkitan pendidikan mencakup semua aspek mulai dari penegasan ilmu pendidikan sebagai disiplin ilmu, riset dan pengembangan, diagnosa kebijakan dan regulasi pendidikan, pengakajian system manajemen, pengembangan jejaring pendidikan sampai peningkatan kapasitas LPTK.

Berpijak pada semangat dan ide-ide cemerlang untuk memulihkan kultur pendidikan yang sedang sakit demi menuju kebangkitan pendidikan di Indonesia sebagaimana dikemukakan oleh Sunaryo Kartadinata (2012) maka perlu kiranya diterjemahkan dan ditindaklanjuti dengan riset-riset dan tindakan-tindakan nyata. Salah satu riset dan pengembangan yang dapat dilakukan adalah pengembangan kultur pendidikan berbasis bimbingan dan konseling untuk mengembangkan manusia berkarakter dan beradab.

Pemaduan konsep kultur pendidikan dengan bimbingan dan konseling menuju peradaban manusia yang berkarakter dalam suatu riset dan pengembangan dianggap tepat karena di dalamnya terdapat inti (essence/central/most important) dari idealisme pendidikan dan peradaban manusia. Integrasi semua terminologi tersebut akan dimulai dari hakikat manusia. Sedangkan secara fenomenologis, sebagaimana dijelaskan Sunaryo Kartadinata (2011: 47), pendidikan merupakan proses interaksi yang selalu berhadapan dengan kepribadian manusia yang sedang berada dalam proses menjadi untuk menemukan keberadaan dirinya.

Sebagai makhluk yang diciptakan sebagai entitas yang penuh potensi sekaligus juga memiliki kelemahan dan keterbatasan, secara alamiah manusia

12

memerlukan bantuan untuk menavigasi hidupnya menuju perkembangan optimum dan mencapai kemandirian dalam hidupnya. Bentuk bantuan dan navigasi tersebut dilakukan dalam upaya pedagogis yang dilakukan oleh pengampu layanan pendidikan yang memiliki pemahaman yang komprehensif tentang hakikat manusia, baik dari aspek organo-biologis, sosio-kultural, psiko-edukatif, maupun spiritual. Selain itu, pengampu layanan pendidikan tersebut memiliki kecakapan atau keterampilan dalam berkomunikasi secara interpersonal dengan manusia lainnya. Maka layanan pendidikan yang dimaksud adalah bimbingan dan konseling. Di sinilah letak esensi bimbingan dan konseling dalam membangun kultur pendidikan yang sehat menuju manusia yang berkarakter dan beradab sebagai tujuan akhir. D. METODE PENELITIAN 1. Pendekatan Penelitian Penelitian ini berusaha menemukan sosok guru yang mampu menampilkan budaya pendidikan yang berbasis bimbingan dan konseling. Untuk kepentingan tersebut, penelitian dilakukan secara induktif dengan menggunakan pendekatan kualitatif namun menyisipkan sedikit pendekatan kuantitatif. Melalui pendekatan ini, penelitian ini secara sengaja membentuk tahapan-tahapan yang membentuk piramida terbalik, mulai dari: (1) memilih situasi sosial, (2) melaksanakan observasi partisipan, (3) mencatat hasil observasi dan wawancara, (4) melakukan observasi deskriptif, (5) melalukan analisis domain, (6) melakukan analisis terfokus, (7) melaksanakan analisis taksonomi, (8) melakukan observasi terseleksi, (9) melakukan analisis komponensial, (10) melalukan analisis tema (11) temuan budaya, dan (12) menulis laporan penelitian kualitatif. Berdasarkan dua belas tahap tersebut, empat di antaranya merupakan tahap kegiatan analisis data, yaitu analisis domain, analisis taksonomi, analisis komponensial, dan analisis tema. Penyisipan pendekatan kuantitatif dilakukan pada tahap memilih situasi sosial dan observasi partisipan. Tujuannya selain untuk menemukan situasi sosial yang tepat, penyisipan ini juga bertujuan untuk yang dapat menggambarkan perbandingan budaya pendidikan yang terjadi dalam situasi sosial tersebut. Cara ini dilandasi oleh pertanyan penelitian, apakah terdapat perbedaan budaya pendidikan antara sekolah yang menjadi target pencarian guru yang mampu menampilkan budaya pendidikan yang berbasis bimbingan dan konseling? 2. Subjek Penelitian Dalam penelitian ini, subjek penelitian didapatkan dari situasi sosial yang dipilih. Subjek penelitian adalah sosok guru mata pelajaran yang mampu menampilkan budaya pendidikan yang berbasis bimbingan dan konseling. Sosok guru yang dimaksud adalah guru yang dianggap memberikan pengaruh besar terhadap tumbuh kembangnya budaya pendidikan berdasarkan hasil pilihan siswa. Subjek penelitian ditemukan berdasarkan apresiasi dan pilihan siswa pada empat Sekolah Menengah Atas di empat kota di Jawa Barat, yaitu satu SMA Negeri di Kabupaten Bandung Barat, satu SMA Swasta di Kabupaten Garut, satu SMA Swasta di Kota Bandung, dan satu Madrasah Aliyah Swasta di Kabupeten Sukabumi.

13

Sebenarnya, dalam rencana awal, penelitian ini juga memasukkan beberapa sekolah yang berbasis kultur lokal tetapi memiliki keeratan kuat dengan budaya “nonlokal”. Sekolah-sekolah yang ditargetkan tersebut, antara sekolah yang didirikan oleh etnis China dan India. Tetapi karena keterbatasan dalam beberapa hal, akhirnya sekolah-sekolah tersebut tidak dapat diteliti. 3. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dalam beberapa tahapan, antara lain: (1) mengumpulkan data tentang apreasi siswa terhadap indikator-indikator perilaku guru yang berbasis bimbingan dan konseling melalui angket yang terdiri dari 20 butir pernyataan yang mewakili indikator berdasarkan teori Muro & Kottman dan Rochman Natawidjaja; (2) mengumpulkan data tentang gradasi cita-cita siswa sejak SD, SMP, dan SMA; (3) mengumpulkan data tentang makna hidup dan kabahagian hidup; (4) mengumpulkan data tentang orang yang paling berpengaruh dalam pencapai cita-cita dan pemakanaan hidup dan kebahagian; (5) mengumpulkan data tentang guru yang dianggap mendekati ciri-ciri yang sebagaimana tergambar dalam setiap pernyataan dalam angket; dan (6) mengumpulkan data kepada guru yang dipilih siswa berdasarkan tradisi penelitian kualitatif, baik wawancara, observasi, telaah dokumen, dan triangulasi. 4. Teknik Analisis Data Teknik analisis data untuk kuantitatif dilakukan secara deskriptif dengan menganalisa pemusatan data, penyebaran data, serta kecenderungan gugus data. Lebih lanjut, untuk menganalisa adanya interaksi bersama dari semua indikator yang mencerminkan kecenderungan budaya pendidikan dalam perilaku guru dilakukan penghitungan melalui analisis faktorial melalui bantuan SPSS 16. Adapun teknik analisis data kualitatif disesuaikan dengan tradisi penelitian kualitatif berdasarkan teori Miles dan Huberman (1984), antara lain: data reduction, data display, dan conclusion drawing/verification. Dalam praktiknya, analisis data dalam penelitian ini tidak hanya dilakukan melalui pendekatan Miles dan Huberman, namun dikombinasikan dengan pendekatan atau model Spradley selain memilih situasi sosial dan observasi partisipan, yaitu (1) mencatat hasil observasi dan wawancara, (2) melakukan observasi deskriptif, (3) melalukan analisis domain, (4) melakukan analisis terfokus, (5) melaksanakan analisis taksonomi, (6) melakukan observasi terseleksi, (7) melakukan analisis komponensial, (8) melakukan analisis tema (9) temuan budaya, dan (10) menulis laporan penelitian kualitatif. Berdasarkan dua belas tahap tersebut, empat di antaranya merupakan tahap kegiatan analisis data utama, yaitu analisis domain, analisis taksonomi, analisis komponensial, dan analisis tema.

14

E. HASIL ANALISIS DATA 1. Analisis Data Kualitatif dalam Tahap Memilih Situasi Sosial dan Observasi

Responden Memilih situasi sosial dalam penelitian kualitatif ibarat mencari sampel dalam penelitian kuantitatif. Fenomena mengumpulkan ikan dalam satu kolam untuk dipilih ikan-ikan yang sesuai dengan yang dicari adalah analogi dari proses memilih situasi sosial tersebut. Dalam penelitian ini, pemilihan situasi sosial dilakukan berdasarkan hasil analisis profil sekolah melalui observasi, telaah dokumen (hardcopy maupun electronic document di internet), timbangan pakar, dan intuisi peneliti. Berdasarkan penelusuran dengan analisa-analisa tersebut, diperoleh situasi sosial di empat sekolah, antara lain: di SMA Negeri 1 Lembang Kabupaten Bandung Barat; di SMA Muhammadiyah Kabupaten Garut; di SMA Plus Muthahhari Kota Bandung; dan di Madrasah Aliyah Al-Matuq Kabupeten Sukabumi. Dipilihnya SMA Negeri 1 Lembang Kabupaten Bandung Barat adalah untuk mewakili sekolah milik pemerintah yang berada di pusat kota Kecamatan Lembang yang dapat diakses, baik oleh siswa dari Kota Bandung maupun Kabupaten Bandung Barat. Status kota kecamatan tersebut adalah sebagai kota kecamatan berbasis pertanian, peternakan, wisata dan pusat pelatihan sipil dan militer. Dengan status tersebut memungkinkan Kecamatan ini dihuni oleh penduduk dari beragam macam latar belakang, baik ekonomi maupun sosial. Selain itu, sebagai sekolah milik pemerintah, tentunya sekolah ini pasti diampu oleh guru-guru yang mayoritas berstatus PNS yang sudah mapan. Kondisi ini memungkinkan terjadi budaya pendidikan yang khas. Kemudian, dipilihnya SMA Muhammadiyah Kabupaten Garut adalah untuk mewakili sekolah swasta yang dikembangkan sejak puluhan tahun oleh organisasi masyarakat (ormas) Islam Muhammadiyah yang dikenal memiliki idealisme dalam pendidikan dan dakwah Islam sejak zaman penjajahan. Sebagai salah satu ormas Islam tertua dengan jumlah anggota sudah mencapai angka jutaan di Indonesia, tentunya ormas tersebut telah mengembangkan pendekatan-pendekatan kultural dalam program-program pendidikannya sehingga berpotensi untuk memiliki budaya pendidikan yang khas. Di Kabupaten Garut sendiri, komunitas ormas Muhammadiyah telah dianggap sebagai basis yang paling kuat dibandingkan kota/kabupaten lainnya di Jawa Barat. Selanjutnya, dipilihnya SMA Plus Muthahhari Kota Bandung adalah untuk mewakili sekolah swasta yang berbasis agama dan memiliki afiliasi budaya antara Timur dan Barat. Maksudnya, walaupun sekolah ini berbasis lokal tetapi memiliki hubungan dengan kultur Timur yang diwakili oleh Iran dan kultur Barat yang diwakili Jerman. Selain diarahkan ke PT lokal, para lulusan SMA ini juga diarahkan untuk melanjutkan ke beberapa PT di Iran dan Jerman. Oleh sebab itu, pelajaran bahasa Inggris plus bahasa Jerman dan bahasa Persi diberikan secara ekstra di sekolah ini. Orientasi ini tentu memunculkan kekhasan budaya pendidikan apalagi para siswa yang sekolah di SMA ini berasal dari daerah yang berbeda dan hampir dapat dikatakan mewakili seluruh suku yang ada di Nusantara ini.

15

Adapun, pemilihan salah satu Madrasah Aliyah Al-Matuq Kabupaten Sukabumi adalah untuk mewakili sekolah swasta lokal berbasis pesantren yang memiliki afiliasi budaya dengan Timur Tengah, yaitu Arab Saudi dan Kuwait. Hal ini dapat dianalisa dari penampilan fisik mayoritas guru dan karyawan laki-laki yang berjanggut serta berjubah dan mayoritas guru perempuan yang mengenakan jilbab lebar, panjang, dan bercadar. Afiliasi kultural ke Timur Tengah tersebut dapat diidentifikasi dari penguatan bahasa keseharian, yaitu bahasa Arab yang digunakan secara aktif. Lebih dari itu, beberapa bukti peresmian beberapa bangunan/gedung yang menyebut nama dari lembaga/yayasan yang memberikan bantuan dana atas pembangunan bangunan/gedung tersebut. Afiliasi budaya tersebut, tentunya akan memunculnya warna yang khas dalam kultur pendidikan yang dikembangkan di Madrasah Aliyah ini. Untuk mengukur kuatnya atau tidaknya budaya pendidikan berbasis bimbingan dan konseling yang dalam situasi sosial yang telah ditentukan, peneliti meminta siswa untuk menuliskan gradasi cita-cita sejak SD, SMP, dan SMA serta menuliskan siapa yang berpengaruh dalam mewujudkan cita-citanya pada saat sekarang ini. Cara ini dilakukan untuk menakar sejauhmana para siswa mengapresiasi pengaruh guru dalam pencapaian cita-citanya. Berdasarkan hasil analisis data, diperoleh hasil berdasarkan prosentasi 75% dari jenis cita-cita yang paling banyak disebutkan dan 75% dari orang yang berpengaruh sehingga disebut sebagai mayoritas. Analisis data tersebut adalah sebagai berikut:

Tabel. 1 Analisa Cita-cita dan Orang yang Berpengaruh

SEKOLAH GRADASI CITA-CITA ORANG

BERPENGARUH SD SMP SMA SMAN 1 Lembang Kab. Bandung Barat

Mayoritas siswa bercita-cita untuk menjadi orang seperti yang dikenal dalam aktivitas orang yang menghasilkan banyak uang dan terkenal, seperti: pilot, presiden, dokter, dll

Sebagian berubah, sebagian tidak berubah. Perubahan bukan pada makna cita-cita tetapi berubah jenis.

Mayoritas berubah ke arah pekerjaan sesuai jurusan yang diambil namun dalam makna bekerja mendapatkan uang dan kedudukan di masyarakat

1. Orang Tua 2. Teman (bisa

teman dekat/pacar)

3. Guru SMA Muhammadiyah Kab. Garut

SMA Plus Muthahhari Kota Bandung

MA Al-Matuq Kab. Sukabumi

Cita-cita setengah dari mayoritas berubah ke arah yang berbau transendental

Mayoritas siswa menegaskan cita-cita untuk jadi guru atau dai

1. Guru 2. Orang Tua

16

Berdasarkan Tabel.1 di atas, dapat dipahami bahwa cita-cita siswa dalam perkembangannya mengalami gradasi, terutama dari SMP ke SMA. Berdasarkan analisis cita-cita saat ini di bangku SMA, terlihat tidak ada perbedaan mencolok antara siswa di tiga sekolah, yaitu SMAN 1 Lembang KBB, SMA Muhammadiyah Kabupaten Garut, dan SMA Plus Muthahhari Kota Bandung, baik dalam gradasi cita-cita maupun orang yang berpengaruh dalam cita-cita, yaitu menempatkan orang tua sebagai orang yang paling berpengaruh, selanjutnya teman (bisa berarti teman biasa atau bisa juga teman special alias pacar), dan pada peringkat ketiga adalah guru. Fenomena ini berbeda secara kontras dengan di MA Al-Matuq Kabupaten Sukabumi. Para siswa di sekolah ini, mayoritas ingin menjadi guru atau dai, dan menempatkan guru sebagai orang yang paling berpengaruh dalam gradasi cita-cita. Selain menganalisis gradasi cita-cita dengan orang yang paling berpengaruh dalam gradasi cita-cita, dalam tahap penguatan pemilihan situasi sosial dan observasi partisipan, peneliti juga menganalisa pandangan/persepsi siswa tentang makna hidup dan kebahagiaan dengan orang yang berpengaruh dalam makna hidup dan kebahagiaan. Berdasarkan hasil analisis data tersebut, diperoleh hasil sebagai berikut:

Tabel. 2 Analisis Makna Hidup dan Kebahagiaan dan Orang yang Berpengaruh

SEKOLAH MAKNA HIDUP MAKNA KEBAHAGIAAN ORANG YANG

BERPENGARUH

SMAN 1 Lembang Kab. Bandung Barat

1. Hidup anugerah 2. Hidup perjuangan 3. Hidup pilihan 4. Hidup sandiwara 5. Hidup mengejar

keinginan 6. Hidup Ibadah

(pengabidan pada Tuhan)

1. Bahagia bisa membuat orang lain bahagia, terutama orang tua

2. Keinginan tercapai dengan sukses

3. Ketika bersama orang yang disayangi

4. Ketika bebas 5. Dapat menjalankan

perintah Tuhan

1. Orang tua 2. Teman 3. Guru 4. Publik Figur

(Artis, Ketua Geng, Atlet)

SMA Muhammadiyah Kab. Garut

1. Hidup anugerah 2. Hidup perjuangan 3. Hidup pilihan 4. Hidup sandiwara 5. Hidup mengejar

keinginan 6. Hidup Ibadah

(pengabidan pada Tuhan)

1. Bahagia bisa membuat orang lain bahagia, terutama orang tua

2. Ketika bersama orang yang disayangi

3. Dapat menjalankan perintah Tuhan

1. Orang tua 2. Teman 3. Guru 4. Publik Figur

(Artis)

17

SMA Plus Muthahhari Kota Bandung

1. Hidup anugerah 2. Hidup perjuangan 3. Hidup pilihan 4. Hidup sandiwara 5. Hidup mengejar

keinginan 6. Hidup Ibadah

(pengabidan pada Tuhan)

1. Bahagia bisa membuat orang lain bahagia, terutama orang tua

2. Dapat menjalankan perintah Tuhan

1. Orang tua 2. Teman 3. Guru 4. Publik Figur

(Ilmuwan, Filsuf)

MA Al-Matuq Kab. Sukabumi

1. Hidup Ibadah (pengabidan pada Tuhan)Hidup anugerah

2. Hidup perjuangan

1. Dapat menjalankan perintah (Tuhan) Allah dan Rasul-Nya

2. Membuat orang lain bahagia

1. Guru 2. Orang tua

Berdasarkan Tabel.2 di atas, makna hidup dan kebahagiaan dalam pandangan siswa menunjukkan keberagaman. Penyebutan makna seperti tercantum dalam Tabel. 2 di atas adalah hasil kategorisasi, walaupun sebenarnya tidak sesederhana yang ditampilkan dalam Tabel.2 tersebut. Namun demikian, terdapat hal penting yang dapat diambil sebagai bagian tak terpisahkan dari tumbuhnya budaya pendidikan dan peran guru dalam pengembangannya, yaitu urutan makna hidup dan kebahagiaan. Para siswa di SMAN 1 Lembang KBB, SMA Muhammadiyah Kab. Garut, SMA Plus Muthahhari Kota Bandung memandang makna hidup dan kebahagiaan lebih beragam, mulai yang bersifat humanistik sampai transcendental-spiritual-religius. Hal ini berbeda dengan MA di Kabupaten Sukabumi. Makna hidup dan kebahagiaan tidak beragam dan cenderung homogen dalam satu makna, yaitu kebahagiaan sebagai bentuk pengabdian pada Tuhan dan hidup adalah perjuangan. Perbedaan yang mencolok pada pemaknaan hidup dan kebahagiaan adalah pada gradasi maknanya. Jika para siswa di SMAN 1 Lembang, SMA Muhammadiyah Garut, dan SMA Plus Muthahhari menempatkan pengabdian pada Tuhan para peringkat terakhir maka di MA Al-Matuq, pengabdian itu ditempatkan pada urutan pertama. Fenomena ini memang perlu ditindaklanjuti dengan penelaahan mendalam karena boleh jadi siswa tidak menyebutkan keterlibatkan Tuhan bukan berarti tidak ada tetapi bisa jadi tersembunyi. Hal menarik yang lain dari Tabel ini adalah bahwa di SMAN 1 Lembang, SMA Muhammadiyah 1 Garut, dan SMA Plus Muthahhari Bandung, para siswa berpandangan bahwa orang yang paling berpengaruh dalam pemaknaan hidup dan kebahagiaan adalah orang tua, lalu teman, guru, dan publik figur. Untuk di SMAN 1 Lembang, publik figur yang dimaksud adalah artis, ketua geng, dan atlet. Sedangkan di SMA Muhammadiyah 1 Garut, publik figur yang dimaksud adalah artis. Adapun di SMA Plus Muthahhari, public figure yang dimaksud adalah ilmuwan atau filsuf. Fenomena yang lebih menarik terjadi di MA Al-Matuq. Di sekolah ini, para siswa berpandangan bahwa ustadz atau guru adalah orang yang paling berpengaruh

18

dalam pemaknaan hidup dan kebahagaiaan. Sedangkan orang tua ditempatkan pada urutan kedua. Hal ini menimbulkan pertanyaan baru, apakah karena para siswa ini lebih banyak berinteraksi dengan gurunya di pesantren dan setengah dari mereka adalah anak-anak yatim sehingga lebih menganggap guru sebagai orang yang berpengaruh? Apapun jawaban dari pertanyaan ini, yang jelas semua fenomena ini mencerminkan budaya pendidikan yang berkembang di sekolah selama para belajar di sekolah tersebut. 2. Sisipan Data Kuantitatif dalam Tahap Memilih Situasi Sosial dan Observasi

Responden Analisis data kuantitatif yang dimaksud dalam penelitian ini adalah sisipan dalam tahap pemilihan situasi sosial. Tujuannya hanya ingin mendapatkan penguatan tentang perbandingan budaya berdasarkan analisa data kualitatif. Dalam sisipan pendekatan kuantitatiif ini, peneliti memberikan angket yang berisi 20 item pernyataan yang merupakan indikator guru (bukan konselor) yang memiliki basis bimbingan dan konseling. Indikator-indikator yang berjumlah 20 pernyataan tersebut diadaptasi dari teori Muro & Kottman (1995: 53) dan Rochman Natawidjaja (Ahman, 1998: 24). Berdasarkan hasil analisis data, diperoleh hasil sebagai berikut:

Tabel. 3

Apresiasi Siswa Terhadap Indikator Guru Berbasis Bimbingan dan Konseling

SEKOLAH KUMULATIF % DALAM TOTAL

VARIANSI

EKSTRAKSI KOMPONEN

SMAN 1 Lembang Program IPA 57,84 4 dari 20 SMAN 1 Lembang Program IPS 58,03 4 dari 20 SMA Muhammadiyah 1 Garut 73,26 6 dari 20 SMA Plus Muthahhari Bandung 63,80 4 dari 80 MA Al-Matuq Sukabumi 77,49 7 dari 20

Berdasarkan data kuantitatif pada Tabel,3 dapat dijelaskan bahwa apresiasi siswa terhadap guru yang berbasis bimbingan dan konseling di sekolahnya berbeda pada setiap situasi sosial pada sekolah masing-masing. Pada SMAN 1 Lembang, para siswa Program IPA memberikan apresiasi sebesar 57,84 % dan Program IPS sebesar 58,03% terhadap guru yang telah menampilkan diri dan berbasis pendekatan bimbingan dan konseling dalam proses pembelajaran di sekolah. Selanjutnya berdasarkan analisa faktorial, dari 20 indikator guru yang berbasis bimbingan dan konseling, ternyata hanya 4 indikator yang sebenarnya diapreasiasi oleh siswa dalam satu tema yang harus dianalisa lebih lanjut.

19

Jika dikaitkan dengan analisa terhadap skor-skor tertinggi dari setiap pernyataan, maka dapat dianggap bahwa budaya pendidikan di SMAN 1 Lembang lebih dikembangkan pada peran guru sebagai pendorong siswa, bahwa siswa punya potensi dan dapat mengembangkan potensinya secara positif. Jadi dapat dikatakan bahwa guru di SMAN 1 lembang cenderung mengembangkan budaya sebagai pendorong bagi pengembangan potensi siswa. Selanjutnya, di SMA Muhammdiyah 1 Garut, para siswa memberikan apresiasi sebesar 73,26 % guru yang telah menampilkan diri dan berbasis pendekatan bimbingan dan konseling dalam proses pembelajaran di sekolah. Selanjutnya berdasarkan analisa faktorial, dari 20 indikator guru yang berbasis bimbingan dan konseling, ternyata hanya 6 indikator yang sebenarnya diapreasiasi oleh siswa dalam satu tema yang harus dianalisa lebih lanjut. Jika dikaitkan dengan analisa terhadap skor-skor tertinggi dari setiap pernyataan, maka dapat dianggap bahwa budaya pendidikan di SMA Muhammadiyah 1 Lembang tidak jauh berbeda dengan SMAN 1 Lembang, yaitu lebih dikembangkan pada peran guru sebagai pendorong siswa, bahwa siswa punya potensi dan dapat mengembangkan potensinya secara positif. Jadi dapat dikatakan bahwa guru di SMA Muhammadiyah 1 Garut cenderung mengembangkan budaya sebagai pendorong bagi pengembangan potensi siswa. Selanjutnya, di SMA Plus Muthahhari Bandung, para siswa memberikan apresiasi sebesar 63,80 % terhadap guru yang telah menampilkan diri dan berbasis pendekatan bimbingan dan konseling dalam proses pembelajaran di sekolah. Selanjutnya berdasarkan analisa faktorial, dari 20 indikator guru yang berbasis bimbingan dan konseling, ternyata hanya 4 indikator yang sebenarnya diapreasiasi oleh siswa dalam satu tema yang harus dianalisa lebih lanjut. Jika dikaitkan dengan analisa terhadap skor-skor tertinggi dari setiap pernyataan, maka dapat dianggap bahwa budaya pendidikan di SMA Plus Muthahhari Bandung Lembang tidak jauh berbeda dengan dua sekolah sebelumnya, yaitu lebih dikembangkan pada peran guru sebagai pendorong siswa, bahwa siswa punya potensi dan dapat mengembangkan potensinya secara positif. Jadi dapat dikatakan bahwa guru di SMA Plus Muthahhari Bandung cenderung mengembangkan budaya sebagai pendorong bagi pengembangan potensi siswa. Adapun di MA Al-Matuq Sukabumi, para siswa memberikan apresiasi sebesar 77,49 % terhadap guru yang telah menampilkan diri dan berbasis pendekatan bimbingan dan konseling dalam proses pembelajaran di sekolah. Skor yang lebih tinggi dibandingkan dengan tiga sekolah lainnya. Selanjutnya berdasarkan analisa faktorial, dari 20 indikator guru yang berbasis bimbingan dan konseling, ternyata hanya 7 indikator yang sebenarnya diapreasiasi oleh siswa dalam satu tema yang harus dianalisa lebih lanjut. Jika dikaitkan dengan analisa terhadap skor-skor tertinggi dari setiap pernyataan, maka dapat dianggap bahwa budaya pendidikan di MA Al-Matuq tidak jauh berbeda dengan dua sekolah sebelumnya, yaitu lebih dikembangkan pada peran guru sebagai pendorong siswa, bahwa siswa punya potensi dan dapat mengembangkan potensinya secara positif. Jadi dapat dikatakan bahwa guru di MA

20

Al-Matuq Sukabumi cenderung mengembangkan budaya sebagai pendorong bagi pengembangan potensi siswa. 3. Analisis Data Kualitatif Terhadap Subjek Penelitian Berdasarkan apresiasi dan pilihan siswa sebagai responden yang berjumlah total 404 orang diperoleh lima orang guru mata pelajaran yang dijadikan subjek penelitian. Secara terperinci subjek penelitian tersebut diperoleh berdasarkan pilihan siswa seperti tergambar pada matriks berikut ini:

Tabel. 1 Subjek Penelitian Terpilih

SEKOLAH RESPONDEN SUBJEK MATA

PELAJARAN SMAN 1 Lembang 134 Siswa Kelas XI IPS 1 Guru Laki-laki Geografi SMAN 1 Lembang 146 Siswa Kelas XI IPA 1 Guru Perempuan Biologi SMA Muhammadiyah 1 Garut

34 Siswa Kelas XI IPA & IPS

1 Guru Perempuan Matematika

SMA Plus Muthahhari Bandung

63 Siswa Kelas XI IPA & IPS

1 Guru Laki-laki Bahasa Indonesia

MA Al-Matuq Sukabumi

27 Siswa Kelas XI dan XII Keagamaan

1 Guru Laki-laki Akhlaq

Keputusan untuk menentukan subjek penelitian, yaitu guru yang dianggap

telah menampilkan diri dalam basis prinsip-prinsip bimbingan dan konseling tidak begitu saja diambil. Tetapi, setalah mendapatkan data guru terpilih, peneliti melakukan triangulasi kepada beberapa pihak, antara lain: kepala sekolah atau wakil kepala sekolah, guru-guru, karyawan sekolah, dan tentunya siswa. Tujuan triangulasi adalah untuk memperoleh kebenaran data secara mendalam kepada sumber data dan atau informan. Tujuannya sama, yaitu untuk memperolah kebenaran data secara mendalam. Melalui penggunaan triangulasi, peneliti mendapatkan data sekaligus menguji kredibilitas data tersebut. Berdasarkan hasil triangulasi tersebut, diperoleh kekukuhan untuk menetapkan subjek penelitian yang berjumlah 5 orang guru tersebut.

Setelah memutusakan mengambil subjek penelitian, langkah berikutnya adalah melakukan penelitian terhadap subjek penelitian melalui tradisi penelitian kualitatif. Keterbatasan waktu yang ada serta subjek penelitian yang berjumlah 5 orang tentu membutuhkan waktu yang tidak sedikit terlebih jika kebenaran ingin diperoleh sampai redundant (mentok) sehingga tidak ada keraguan lagi di dalamnya. Penjelasan selanjutnya merupakan hasil analisis data dari wawancara, observasi, analisis data, dan triangulasi terhadap 5 subjek penelitian yang tentang pandangan subjek penelitian tentang: filosofi hidup dan kebahagiaan; filosofi dan

21

hakikat mendidik dan anak didik; pendekatan dalam proses pembelajaran; serta sikap dan pengalaman dalam yang berkaitan dengan isu-isu budaya pendidikan.

a. Hasil Analisis Data Kualitatif Terhadap Guru “AH” AH dilahirkan di Sukabumi 40 tahun yang lalu. Beliau berasal dari keluarga

ulama yang mendirikan pergerakan PUI di Sukabumi. Selepas belajar dari pesantren As-Salam Sukabumi, AH mendapatkan kesempatan belajar di Jurusan Syariah Universitas Madinah Saudi Arabia. Setamatnya dari Universitas Madinah dengan mengantongi gelas Lc, AH aktif di Yayasan (Laznah) Khairiyyah Al-Musytarokah dan diamanahi untuk memimpin Pesantren Al-Matuq. Di sela-sela, aktivitasnya mengajar akhlaq, AH juga ditunjuk sebagai Mudir ‘Am (pimpinan umum/tertinggi) di pesantren yang membawahi Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah. Tentunya AH sangat sibuk. Walaupun demikian, AH juga aktif berdakwah kepada masyarakat umum dengan memberikan ceramah, khutbah Jumat, dan kajian-kajian ilmu lainnya.

Untuk meningkatkan kapasitas ilmu dan kualifikasi pendidikan, AH melanjutkan pendidikan dengan mengambil program Magister Pendidikan Islam di Universitas Ibnu Khaldun Bogor. Tidak lama berselang, AH melanjutkan lagi pendidikannya ke jenjang S3 di Universitas yang sama pada program yang sama pula, yaitu program Doktor Pendidikan Islam.

Filosofi Hidup dan Kebahagiaan Bagi AH, hidup adalah ibadah. Hidup adalah pengabdian kepada Allah. Semua yang dilakukan harus bernilai ibadah. Kebahagian dalam hidup adalah ketika mampu menjalankan perintah Allah dan mengikuti sunnah Rasulullah lalu mengamalkan dan mengajarkannya kepada yang lain, keluarga dan masyarakat. Filosofi dan Hakikat Mendidik dan Anak Didik Mendidik bukan sekadar bekarja untuk mencari dunia. Mendidik adalah mengenalkan anak didik kepada Tuhannya, yaitu Allah. Apapun pelajarannya, proses mendidik adalah proses menuntun anak didik untuk semakin yakin kepada Allah, Tuhannya lalu istiqmah dalam menjalan segala perintahnya dan menjauhi segala larangannya dengan mengikuti jejak sunnah Rasul-Nya dan jejak para salafush-shalih. Karena hakikat pendidikan demikian, maka hakikat anak didik adalah mad’u (subjek dakwah). Oleh karena tujuan pendidikan adalah dakwah maka para pendidik tidak perlu takut miskin. Allah akan mencukupkan rezeki bagi para pendidik. Merasa takut miskin biasanya akan membuat pendidik mengabaikan prinsip-prinsip penting dalam pengabdian kepada Allah. Pendekatan dalam Proses Pembelajaran AH berpandangan bahwa pendekatan yang paling utama dalam proses pembelajaran adalah keteladanan dalam amal shalih. Seorang guru harus menjadi

22

orang yang lebih dahulu melakukan amal shalih. Keteladanan adalah factor harus didahulukan oleh guru ketimbang faktor-faktor lainnya. Jika seorang guru tidak menjadi teladan bagi siswanya maka apa yang diajarkannya tidak akan membawa manfaat bagi siswanya. Sebagai seorang guru, AH selalu berusaha untuk menjadi orang pertama dalam melakukan kebaikan. Dalam proses pembelajarn AH, selalu berusaha untuk menghidupkan kelas dengan berbagai pendekatan yang sesuai dengan tujuan pembelajaran. AH banyak memperkaya wawasan anak didiknya dengan mengaitkan materi pembelajaran dengan kasus-kasus aktual. Menurut pengakuan beberapa orang anak didiknya, kalau belajar dengan AH, tidak pernah mangantuk dan rasanya waktu begitu cepat berlalu. Untuk mendekatkan diri pada dunia intrapersonal anak didiknya, AH seringkali membawa kejutan-kejutan yang tidak diduga oleh anak didiknya. Tak jarang AH, membawa makanan ke kelas dan menikmatinya bersama siswa, baik pada saat proses pembelajaran maupun sebelum atau sesudah proses pembelajaran. Dalam hal kedisipilinan, AH menjadikan salat berjamaah sebagai tolak ukurnya. Sebagai pimpinan, AH seringkali memimpin salat berjamaah. Ada perilaku yang unik sebelum salat berjamaah didirikan. AH selalu memeriksa lurus dan rapatnya shaf dari ujung depan sampai akhir shaf. Dengan penuh kesabaran, AH selalu memberikan arahan langsung kepada anak didiknya untuk melurusakan shaf tak terkecuali jika pada saat itu ada orang tua siswa atau tamu dari luar. Sikap dan Pengalaman Terkait Isu-isu Budaya Pendidikan Beberapa sikap dan pengalaman AH terkait dengan isu-isu budaya pendidikan, antara lain: (1) menolak menyebarkan jawaban soal UN yang diberikan oleh oknum atas kesepakatan kepala madrasah, padahal hal tersebut memungkinkan dilakukan karena AH sebagai pimpinan di sekolah, (2) menolak dana bantuan untuk kesejahteraan guru dari kantor kementarian agama dengan alasan khawatir mengikat sehingga jadi sungkan menolak hal-hal yang bertentangan dengan idealism, (3) lebih baik tidak lulus UN daripada nyontek dan tidak lulus ujian dari Allah, (4) sekali saja guru memberikan bantuan jawaban soal UN, maka apa yang ditanamkan selama 3 tahun tentang kejujuran akan dihancurkan dalam sekejap selama tiga hari UN, (5) budaya pendidikan yang sehat akan tumbuh berkembang ketika setiap orang memiliki mental kepemimpinan yang bertanggung jawab kepada Allah, dalam arti takut hanya kepada Allah bukan takut kepada atasan lagi, (6) amanah dalam menjalankan tugas dan mengelola keuangan sesuai dengan peruntukannya adalah modal besar untuk dihargai oleh orang lain sehingga apa yang ditanamkan kepada anak didik menjadi berpengaruh sepanjang hayatnya, (7) guru tidak boleh takut miskin, (8) anak-anak harus dikontrol, jangan pernah membiarkan kesalahan sekecil apapun termasuk dalam UN, guru dapat mengontrol untuk mencegah siswa berbuat curang.

23

b. Hasil Analisis Data Kualitatif Terhadap Guru “BD” Pria ini sehari-hari mengajar bahasa Indonesia dan seni teater di SMA Plus Muthahhari Bandung. DB baru empat tahun mengajar di sekolah tersebut. Sebelumnya, hampir lebih dari 10 tahun, DB mengajar di sebuah sekolah swasta lain di Ujung Berung Bandung. BD lahir di Garut tetapi besar di Bengkulu. BD menyelsaikan S1 di Universitas Bengkulu dan S2 di salah satu Universitas di Inggris. BD sangat menyukai dunia teater sehingga masa mudanya dihabsikan untuk manggung dari satu tempat ke satu tempat yang lain. Demi mengajar di Muthahhari, BD meninggalkan semua aktivitas mengajarnya di tempat lain dengan alasan bahwa di Muthahhari ia mendapatkan sesuatu yang boleh jadi orang lain tidak memikirkannya. BD mengakui bahwa pemikiran Ustadz Jalal (Jalaluddin Rakhmat) sangat mengubah jalan hidupnya untuk lebih memaknai hidup bukan sekadar urusan dunia. Filosofi Hidup dan Kebahagiaan Bagi BD, hidup adalah bukan sekadar dunia tetapi harus tembus menuju Tuhan. Semua hal yang tidak menembus Tuhan tidak berarti apa-apa jika hanya sekedar berhenti di dunia saja. Kebahagian bagai BD adalah kita mampu membuat orang lain bahagia, siapapun terutama anak didik. Filosofi dan Hakikat Mendidik dan Anak Didik Mendidik hakikatnya adalah membuka ruang berpikir kepada anak didik untuk dapat hidup saling menghargai di atas perbedaan dan mampu menembus Tuhan dalam segala ruang. Mendidik adalah menjadi guru kehidupan bagi anak didik. Anak didik adalah anak sendiri sekaligus teman diskusi dan teman bermain serta guru kehidupan. Pendekatan dalam Proses Pembelajaran Dalam pembelajaran, BD tidak mau terikat dengan apa yang sudah digariskan oleh dinas karena jika hanya mengacu kepada apa yang digariskan dinas semuanya akan kering tidak ada apa-apanya. DB selalu membawakan materi dan mengaitkannya dengan kehendak Tuhan. Terkadang untuk menembus Tuhan, anak-anak dibawa dalam suasana seolah-olah Tuhan diabaikan. Dalam setiap proses pembelajaran, BD sangat menekankan arti penting keteladanan tetapi tidak dalam arti keberagamaan karena ia merasa belum layak diteladani dalam hal tersebut. Ia lebih senang disebut teladan dalam kebebasan berpikir, kerja keras, dan toleransi. Sikap dan Pengalaman Terkait Isu-isu Budaya Pendidikan Berkaitan dengan isu-isu penyehatan budaya pendidikan BD memeiliki beberapa sikap dan pengalaman, antara lain: (1) merasa sudah cukup menerima honor dari sekolah saja tidak perlu pontang-panting mengejar sertifikasi sehingga menjadi pengganggu konsentrasi mengajar. Walaupun ada kesempatan tetapi ia tidak ingin tergesa-gesa. Mengalir saja seperti air dalam masalah seperti ini, (2) budaya pendidikan akan tumbuh berkembang secara sehat melalui kepemimpinan

24

yang memiliki spiritualitas yang mampu menembus Tuhan, (3) sekolah swasta memiliki potensi untuk mengembangkan budaya pendidikan yang sehat karena tidak secara langsung diarahkan oleh pemerintah, jika sudah diarahkan maka kebebasan untuk berkreasi menjadi lebih sempit. c. Hasil Analisis Data Kualitatif Terhadap Guru “MM”

MM terlahir dari keluarga guru di Subang. MM mengajar Matematika di SMA Muhammadiyah 1 Garut. Awalnya MM bukan guru Matematika karena ia lulusan D3 Pendidikan Keterampilan dari IKIP (UPI) Bandung. Sejak diangkat jadi PNS, lalu di sekolah tempat bekerja pertama kali kekurangan guru Matematika, maka ia diberi tambahan ngajar Matematika. Sejak itu MM menggeluti Matematika hingga melanjutkan S1 pada Program Pendidikan Matematika. Sejak menikah dengan suaminya yang orang Garut dan dibawa pindah ke Garut, MM di-DPK-kan ke SMA Muhammadiyah 1 Garut. Sebagai anggota Aisiyah (Otonom Kewanitaan Muhammadiyah), MM merasa aktivitasnya adalah bagian dari ibadah. Filosofi Hidup dan Kebahagiaan Bagi MM, hidup adalah sebuah ibadah. Makna kebahagiaan adalah ketika mampu membimbinga anak didik dari asalnya tidak bisa menjadi bisa. Filosofi dan Hakikat Mendidik dan Anak Didik Anak didik harus diperlakukan seperti anak sendiri. Mendidik adalah membimbing anak didik dari tidak bisa menjadi bisa. Pendekatan dalam Proses Pembelajaran

MM melakukan pendekatan kepada anak didik dalam peran sebagai ibu. Ia sering memotivasi bahwa tidak ada soal yang sulit jika kita mau mengerjakan dengan sungguh-sungguh dan yakin bahwa itu bisa diselesaikan. Dengan penuh kesabaran dan memegang prinsip untuk tidak marah sedikit pun, MM menjadi bagian terpenting dalam kehidupan anak didiknya untuk menjadi bisa dari asalnya tidak bisa.

Sikap dan Pengalaman Terkait Isu-isu Budaya Pendidikan Terkait isu-isu budaya pendidikan, MM memiliki beberapa pandangan, antara lain: (1) tidak setuju kalau kepala sekolah dan guru membantu UN tetapi tidak bisa mencegah, (2) tugasnya sebagai guru adalah mengajar dan mendidik di sekolah, yang terpenting bisa membantu anak untuk bisa. d. Hasil Analisis Data Kualitatif Terhadap Guru “MS” Pria ini sehari-hari mengajar Geografi di SMAN 1 Lembang. MS sudah bekerja hampir 10 tahun di SMA tersebut. Sebelumnya MS mengajar di salah satu SMP di Kota Pandeglang Banten. Usianya saat ini kurang lebih 45 tahun. MS lahir di Lembang tetapi kedua orang tuanya bukan dari suku Sunda tetapi dari suku Jawa, persisnya Jawa Tengah. Selepas SMA, MS melakutkan sekolah ke IKIP (UPI) Bandung

25

pada Jurusan Geografi. Selain bekerja sebagai fungsional guru, secara struktural, saat ini MS dipercaya sebagai Wakasek Bidang Kurikulum. Dalam keseharain di rumah, MS mengaku tidak terlalu terlibat dalam aktivitas masyarakat. Katanya, MS ingin menjadi orang biasa saja. Untuk meningkatkan kemampuan dan kualifikasi akademik, MS menempuh pendidikan S2 pada Program Pendidikan IPS di SPs UPI Bandung dan menyelesaikannya pada 2009 yang lalu. Filosofi Hidup dan Kebahagiaan Bagi MS, hidup adalah sebuah kenyataan yang harus dihadapi dan dijalani sebagai bagian dari kehendak-Nya. MS meyakini bahwa kenyataan hidup yang sedang dijalani bersifat sementara karena hakikat kehidupan yang sebenarnya adalah di akhirat. Jadi hidup di dunia adalah untuk hidup di akhirat. Sedangkan hakikat kebahagian adalah saat bisa bermanfaat bagi orang lain dan bisa memberdayakan orang lain, terutama anak didik. Filosofi dan Hakikat Mendidik dan Anak Didik Anak didik harus diperlakukan seperti anak sendiri. Mereka adalah manusia yang memiliki potensi untuk menjadi manusia yang lebih baik. Sebagai guru IPS, MS sering berhadapan dengan kenyataan siswa yang merasa rendah diri sebagai orang sosial jika dibandingkan dengan orang eksak (IPA). MS selalu memberikan dorongan bahwa orang IPA dan IPS memiliki fungsi yang sama-sama penting untuk kehidupan. Orang IPA adalah peneliti dan penemu solusi untuk masalah kehidupan, tetapi tanpa orang sosial, solusi tersebut tidak mungkin berpengaruh kepada msayarakat banyak jika tidak dikuatkan oleh kebijakan yang biasanya diambil oleh orang-orang sosial. Pendekatan dalam Proses Pembelajaran Dalam proses pembelajaran, MS lebih banyak membawa anak didik untuk memotret realitas kehidupan. Dalam wahana itulah anak didik akan belajar tidak hanya materi pelajaran tetapi juga makna hidup. Sebagai guru Geografi, MS merasa memiliki kesempatan untuk membelajarkan anak didik pada realita kehidupan dan menanamkan keberadaan Tuhan kepada anak didik melalui alam dan sekitarnya. Menurutnya realita kehidupan akan menjadi wahana untuk menanamkan kejujuran kepada anak didik. MS selalu menanamkan sikap hidup untuk mengejar makna lebih dari sekadar nilai. Jika nilai yang dikejar maka segala cara untuk mendapatkannya akan ditempuh termasuk bertindak tidak jujur. Oleh sebab itu, MS selalu menanamkan kepada anak didiknya agar tidak mengejar nilai, tetapi berbuatlah yang terbaik maka nilai itu akan dating dengan sendirinya.

26

Sikap dan Pengalaman Terkait Isu-isu Budaya Pendidikan Terkait dengan isu-isu budaya pendidikan, MS memiliki beberapa pandangan, antara lain: (1) sebagai PNS, peran kita hanya pada apa yang bisa dilakukan di sekolah, sulit untuk mengintervensi kebijakan pimpinan atau pejabat pendidikan walaupun itu bertentangan dengan hati nurani, (2) yang terpenting adalah apa yang bisa dilakukan untuk anak didik di sekolah dalam rangka mencapai makna hidup bukan sekadar mengejar nilai. e. Hasil Analisis Data Kualitatif Terhadap Guru “NN”

Guru wanita kelahiran Sumatera Barat ini sehari-hari mengajar mata pelajaran Biologi di SMAN 1 Lembang. MM sebenarnya bukan lulusan pendidikan Biologi tetapi guru pendidikan keterampilan. Pada saat diangkat PNS di Aceh, MM diberi beban mengajar Biologi bukan pendidikan keterampilan. Bidang barunya itu terus ia jalani sehingga telah menjadi bagian dari pekerjaannya. MM menamatkan S1 di UNJ.

Sebagai guru, MM merasa harus terus mengasah wawasan keagaaman karena hal tersebut sangat penting untuk mengontrol diri dari perbuatan yang keliru. Setiap pecan, MM rajin mengikuti pengajian di MPI (Majelis Percikan Iman) yang dipimpin oleh Ustadz Aam Amirudin.

Filosofi Hidup dan Kebahagiaan Bagi NN, hidup adalah ibadah. Kebahagiaan adalah ketika mampu membantu anak didik lepas dari masalahnya. NN mengaku sering didatangi, di-SMS, dan ditelpon oleh anak didiknya walaupun sudah tidak lagi sekolah di SMAN 1 Lembang untuk sekadar curhat atau minta pendapat. Layaknya guru BK, ia sering diminta pandangan untuk membantu menyelesaikan masalah pribadi anak didiknya. Jadi, kebahagiaan adalah ketika bisa membantu menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh anak-anak didik tersebut. Filosofi dan Hakikat Mendidik dan Anak Didik Mendidik adalah bukan sekadar bekerja dan menyampaikan materi pelajaran. Mendidik adalah membimbing anak didik untuk menjadi manusia yang berguna bagi dirinya sendiri, keluarga dan juga masyarakatnya. Anak didik adalah anak sendiri yang harus diperlakukan dengan penuh kasih sayang. Layaknya seorang ibu kepada anaknya sendiri, tanggung jawab guru tidak hanya di sekolah saja tetapi juga di luar sekolah. Pendekatan dalam Proses Pembelajaran Proses pembelajaran adalah wahana untuk lebih dekat dan berbagi dengan anak didik. MM selalu mengawali pembelajaran dengan slogan “info sayang anak”. Maksudnya, karena sayang kepada anak didik, MM mengajak anak didiknya untuk mematikan HP atau men-silent-kannya pada saat belajar, mengajak anak didik untuk tetap fokus selalu berbuat baik karena kematian tidak ada yang tahu. MM selalu mengingatkan anak didik tentang kematian akan menjemput kapan saja dan

27

di mana saja. Oleh sebab itu, sebagai orang yang akan mati, kita tidak boleh lengah untuk berbuat kebaikan. Hal tersebut dilakukannya hanya untuk menanamkan kepada anak didik agar mereka mampu mengontrol diri ketika hendak berbuat hal-hal yang melanggar aturan agama, etika dan moral masyarakat. Awalnya anak didik merasa tidak nyaman ketika diingatkan tentang kematian, tetapi lama kelamaan mereka mengerti maksud dari pernyataan MM tersebut. Sebagai guru yang bukan di bidangnya, MM sering mengatakan bahwa mari kita sama-sama belajar. Ibu boleh jadi tidak lebih tahu dari kalian. Kata-kata tersebut biasanya menjadi bagian dalam proses pembelajaran di kelas maupun di luar kelas. Sikap dan Pengalaman Terkait Isu-isu Budaya Pendidikan Beberapa sikap dan pengalaman yang terkait dengan isu-isu budaya pendidikan, antara lain: (1) sebagai guru biasa, kita hanya bisa berbuat yang terbaik untuk anak didik di sekolah dan di luar sekolah, (2) tidak setuju dengan upaya-upaya untuk berbuat curang dalam ujian, jika didorong untuk berbuat demikian maka guru wajib untuk menolaknya, (3) selama pengalaman mengajar, MM mengaku tidak pernah mau diajak untuk membantu anak didik dalam ujian. F. IMPLIKASI Hasil analisa data kuantitaif dan terutama data kualitatif sebenarnya belum mencapai titik jenuh sehingga belum mencapai keyakinan yang dapat ditetapkan sebagai kebenaran. Hasil satu kali wawancara dan satu kali observasi sangat tidak cukup untuk dijadikan acuan untuk mengambil kesimpulan akhir. Tetapi untuk kepentingan laporan sementara, hasil analisis data tersebut dapat dianggap mengarah pada kebenaran yang dicari. Oleh sebab itu, berdasarkan analsis data yang telah didapatkan, maka terdapat beberapa implikasi yang dapat dirumuskan, antara lain: 1. Implikasi dalam Pengembangan Kerangka Konseptual tentang Budaya

Pendidikan Berbasis Bimbingan dan Konseling Ada satu hal utama yang menarik berdasarkan temuan penelitian ini bahwa kualitas guru merupakan faktor yang paling sangat berpengaruh terhadap kualitas pendidikan. Subjek-subjek penelitian yang dipilih oleh siswanya sendiri adalah guru-guru yang memiliki prinsip-prinsip dan pandangan filosofis tentang hidup, kebahagiaan hidup, hakikat mendidik, dan hakikat anak didik yang sangat kuat dan mengakar pada spiritualitas keagamaan dan moral kemanusiaan. Jika dikatakan bahwa titik awal penyehatan kultur pendidikan harus dimulai dari pemulihan mind set dan pemaknaan pendidikan (Sunaryo Kartadinata, 2012: 13), maka adalah benar adannya. Guru-guru yang dianggap oleh siswa memiliki kemampuan komunikasi interpersonal dan mampu mengembangkan proses interaksi berbasis bimbingan dan konseling adalah guru-guru yang memiliki paradigma atau worldview yang berpijak pada hakikat manusia dan pendidikan di atas landasan keimanan, karakter, dan kecerdasan sebagai kekuatan utuh.

28

Berdasarkan hasil temuan, pemulihan atau terapi mind set, paradigm, atau worldview yang utuh tentang hakikat hidup, hakikat kebahagiaan, dan hakikat pendidikan yang efektif memerlukan intervensi kekuatan kepemimpinan. Transformasi menuju budaya pendidikan yang sehat dan menguntungkan kehidupan bangsa, memerlukan pemimpin yang memiliki kekuatan untuk berubah ke arah yang lebih baik. Meminjam istilah Tony Wagner, et.al (2006), trasformasi sekolah (pen – pendidikan dalam arti luas) membutuhkan kepemimpinan untuk suatu perubahan (change leadership). Tanpa itu, niscaya transformasi yang diharapkan tidak akan memiliki kekuatan yang massive dan hanya aka nada dalam bentuk parsial, terpecah, dan lemah. Kekuatan change leadership setidaknya dapat dimulai dari setiap pribadi guru. Sebab, pada hakikatnya setiap orang adalah pemimpin dan dia bertanggug jawab atas yang dipimpinnnya. Nabi Shallallaahu ‘alaihi wasallam mengatakan, “Kullukum raa’in wa kullukum mas-uulun ‘an ra’iyyatihi [setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan diminta pertanggung jawaban atas yang dipimpinnnya].” Pertanggung jawaban yang dimaksud tidak sekadar tanggung jawab di dunia saja, tetapi tanggung jawab terbesar adalah nanti pada kehidupan abadi, yaitu di akhirat. Guru adalah pemimpin bagi murid-muridnya. Ia bertanggung jawab atas murid-murid yang dipimpinnya. Dan, tanggung jawab itu tidak hanya di dunia saja tetapi juga di akhirat. Persoalan paling berat dalam menyehatkan budaya pendidikan ternyata berakar pada persoalan akidah (keimanan dan keyakinan) kepada kehendak dan hukum-hukum Tuhan, Allah Yang Mahakuasa. Lemahnya keyakinan terhadap kehendak dan hukum-hukum Tuhan untuk kehidupan manusia menjadi sentra kelemahan untuk merasa bahwa tanggung jawab itu tidak hanya di dunia tetapi juga di akhirat. Oleh sebab itu, demi transformasi menuju budaya pendidikan yang sehat perlu dikampanyekan dan mulai dengan tindakan nyata dalam bentuk-bentuk tindakan guru yang bertanggung jawab kepada siswanya, amanah, berani membela kebenaran, berani berkorban, dan tidak takut miskin. Sebab, ketakutan menjadi miskin akan mendorong seorang manusia, termasuk guru untuk mengabaikan idealisme yang dianutnya dalam kehidupan termasuk dalam mendidik. 2. Implikasi dalam Pengembangan Kompetensi Konselor Pendidik Temuan hasil penelitian berimplikasi pada pentingnya pengembangan kompetensi konselor secara khusus dan kaitannya dengan penyehatan budaya pendidikan. Sebagai pengampu salah satu inti pendidikan, yaitu bimbingan dan konseling, konselor jangan sekadar merasa cukup memenuhi standar kompetensi dalam angka-angka atau konsep-konsep. Tetapi, harus mulai menjadi model bagi guru-guru mata pelajaran dan tenaga kependidikan sebagai pengusung utama penyehatan budaya pendidikan. Hasil temuan membuktikan bahwa guru-guru yang diapresiasi memiliki kemampuan komunikasi interpersonal dan berbasis bimbingan dan konseling dalam proses pembalajaran adalah guru-guru yang memiliki cara pandang yang

29

utuh tentang hakikat hidup, hakikat kebahagiaan, hakikat mendidik di atas landasan kekuatan spiritual keagamaan. Oleh sebab itu, konselor yang hakikatnya berada pada basis bimbingan dan konseling yang sebanarnya, seharusnya menjadi pihak yang pertama berada barisan terdepan dalam penyehatan budaya pendidikan. 3. Implikasi dalam Pendekatan dan Teknik Konseling Temuan hasil penelitian sebenarnya menguatkan sesuatu melebihi berbagai pendekatan dan teknik konseling, yaitu perilaku konselor. ASCA (2003: 27) menegaskan bahwa pernyataan terpenting (an important point) bahwa, “What we believe about students, families, teachers and the educational process is crucial, in supporting success for every student. Our beliefs are derived from our own background and experiences, and our beliefs drive our behavior.” Jadi, hal terpenting dalam masalah pendidikan adalah keyakinan yang muncul dari pengalaman dan perilaku konselor. Oleh sebab itu, kontrol perilaku dalam arti keteladanan dalam proses pendidikan menjadi bagian yang harus selalu ada dan menjadi ruh setiap dari pendekatan dan teknik konseling. Perilaku konselor akan selalu dikaitkan dengan interaksi sosial di lingkungannya. Setiap perilaku berpotensi untuk ditransformasi menjadi budaya jika hal itu berlaku secara massive. Dalam kaitannya dengan budaya pendidikan, keteladanan konselor menjadi sangat penting sebagai ruh dari pendekatan dan teknik konseling.

30

DAFTAR PUSTAKA Ahman (1998). Bimbingan Perkembangan: Model Bimbingan dan Konseling di

Sekolah (Studi Ke Arah Penemuan Model Bimbingan pada Beberapa Sekolah Dasar di Jawa Barat), Disertasi, Universitas Pendidikan Indonesia.

Beckermen & Kopelowitz – Ed. (2008). Cultural Education – Cultural Sustainability: Minority, Diaspora, Indigenous and Ethno-Religious Group in Multicultural Societies, New York: Routledge.

Constantine & Sue (2005). Strategies for Building Multicultural Competence in Mental Health and Educational Seettings.

Daud, Wan Mohd Nor (1998). The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib Al-Attas: An Exposition of The Original Concept of Islamization, Kuala Lumpur: ISTAC.

Dunn & Griggs (1995). Multiculturalism and Learning Style: Teaching and Counseling Adolescents, London: Greenwood Publishing Group.

El Hariri, Ridwan Dampak Sertifikasi Terhadap Kinerja Guru Di Jawa Barat, Tersedia: http://penelitian.lppm.upi.edu/detil/1229/dampak-sertifikasi-terhadap kinerja-guru-di-jawa-barat, [1 April 2012].

Faizal, Elly Burhaini, (2011), Gelar Akademik Palsu, Tersedia: http://kliping.kemenag.go.id/downloads/b3c748ea8497b76100296295b439c6d8.pdf, [1 April 2012].

Husaini, Adian (2010). Pendidikan: Membentuk Manusia Berkarakter dan Beradab, Makalah pada Seminar Pendidikan Karakter di UPI, 28 Juli 2010.

Kartadinata, S (2012). Penyehatan Kultur Pendidikan, Bandung: UPI Press. Kartadinata, S. (2011). Menguak Tabir Bimbingan dan Konseling sebagai Upaya

Pedagogis: Kiat Mendidik sebagai Landasan Profesional Tindakan Konselor, Bandung: UPI Press.

London, Scott (2012). Review of Bruner Book. Tersedia: http://www.scottlondon.com/reviews/bruner.html [29 Februari 2012).

Matsumoto & Juang (2008). Culture and Psychology, Belmont CA: Thomson Wadsworth.

Natawidjaja, Rochman (1984). Tingkat Penerapan Bimbingan dalam Proses Belajar-Mengajar Dihubungkan dengan Kepedulian Guru dan Sikap Siswa terhadap Bimbingan, Disertasi: Universitas Pendidikan Indonesia.

Noor, Mauliana (2011), Polisi Usut Jual Beli IJazah, Tersedia: http://medan.tribunnews.com/2011/11/04/polisi-usut-jual-beli-ijazah-s1, [1 April 2012].

Rotenberg, K.J (2010). Interpersonal Trust During Childhood and Adolescence, Cambridge: Cambridge Press

Solikin, Ikin (2010). Pengaruh Sertifikasi Guru Terhadap Kinerja Guru Dan Implikasinya Terhadap Prestasi Belajar Siswa Pada Smk Negeri Di Kota Bandung Dan Kabupaten Bandung. Tersedia:

31

Http://Penelitian.Lppm.Upi.Edu/Detil/1229/Dampak-Sertifikasi-Terhadap-Kinerja-Guru-di-jawa-barat, [1 April 2012].

Spradley, J.P (1980). Partisipant Observation, Chicago: Reinhart and Winston. Supriyoko, Ki (2003). Sistem Pendidikan Nasional dan Peran Budaya dalam

Pembangunan Berkelanjutan, Makalah pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII di Denpasar Bali, 14-18 Juli 2003.

Sue & Sue (2003). Counseling the Culturally Diverse, New York: John Wiley & Sons. Zajda, et.al – Ed. (2008). Education and Social Inequality in the Global Culture,

Tersedia: www.springer.com. Wagner, Tony. Et.al (2006). Change Leadership: A Practical Guide to Transforming

Our Schools, San Fransisco: Jossey-Bass Berita Tanpa Nama Penulis: Jawa Pos (2011), SBY Kritik Guru Lulus Sertifikasi, Tersedia: http://www.jpnn.com/read/2011/12/01/109706/SBY-Kritik-Guru-Lulus-Sertifikasi- (1 Desember 2011) SCTV (2011), Joki SNMPTN Aceh Diringkus , Tersedia: http://berita.liputan6.com/read/337245/joki-snmptn-aceh-diringkus, [1 April 2012]. Okezone (2011), Joki SNMPTN Ketangkap Basah Pengawas Unhas, Tersedia: http://kampus.okezone.com/read/2011/06/01/373/463520/joki-snmptn-ketangkap-basah-pengawas-unhas, [1 April 2012]. Suara Merdeka (2011). Terungkap Dua Terduga Joki SNMPTN UNS, Tersedia: http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2011/05/01/84439, [1 April 2012]. Nasional Kontan (2011). Cukai Tembakau Tidak Sebanding dengan Kerugian Akibat Rokok. Tersedia: http://nasional.kontan.co.id/news/cukai-tembakau-tidak-sebanding-dengan-kerugian-akibat-rokok