PENGAWASAN BIMBINGAN DAN KONSELING DISEKOLAH/MADRASAH
Oleh:
Abu Bakar M LuddinDosen Fakultas tarbiyah IAIN Sumatera Utara
Jl. Willem iskandar Psr V Medan Estate
AbstractControlling for the guidance and counseling aim to give a self development
facility, and a school counselor’s skill to increase a counselor’s competence and toincrease to be responsibility in counseling and make a program guidance service.Getting that the purpose a school controller for the guidance and counseling can usesome approximation there are to do assessment, to prevention, to motivate, and to givereinforcement for knowing an advantages from the program and implementation fromguidance and counseling in the school had achieved and knew a progress andweakness, and had preventative steps to avoided deviation because to prevented isbetter than repaired.Key words: Pengawasan, guidance and counseling in the school, counselor
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan suatu keharusan bagi manusia, terutama anak-anak yang
belum dewasa, baik sebagai makluk individual maupun sebagai makhluk sosial. Dalam
masyarakat yang kompleks keluarga menghadapi masalah, sehingga muncul kebutuhan
baru untuk memberikan pendidikan bagi anak secara khusus dalam rangka
mempersiapkan mereka memasuki masyarakat dalam arti dapat berdiri sendiri dan dapat
hidup layak bersama-sama orang lain. Respons yang timbul dalam memenuhi
kebutuhan itu biasanya berupa usaha menyelenggarakan sekolah dengan suatu
organisasi yang teratur, di luar lingkungan keluarga masing-masing. Kegiatan
pendidikan dilingkungan sekolah diatur bersama-sama sehingga merupakan kegiatan
yang sengaja, berencana dan sistematis serta terarah pada suatu tujuan yang disepakati
bersama (Atmodiwirio, 2000).
Keluarga dan sekolah/madrasah dalam menyelenggarakan kegiatan pendidikan,
pada dasarnya merupakan dua jalan yang terarah pada satu tujuan. Tujuan akhir
kegiatan pendidikan itu adalah kedewasaan anak, baik sebagai makhluk individual dan
makhluk sosial maupun sebagai makhluk yang bermoral. Wujud dari kedewasaan yang
hendak dicapai secara umum bersifat sama yakni berupa kemampuan berdiri sendiri
dalam menjalani dan menjalankan kehidupan bermasyarakat. Kemampuan berdiri
sendiri itu berarti mampu bertanggungjawab atas tingkah laku atau perbuatan sendiri,
baik terhadap diri sendiri dan masyarakat maupun terhadap Allah SWT, sehingga
mencapai kebahagiaan hidup lahir dan batin bagi diri sendiri beserta keluarganya di
masyarakat.
Usaha menyelenggarakan sekolah untuk memberikan bekal kepada anak-anak
agar dapat memasuki kehidupan bermasyarakat, perkembangannya seirama dengan
perkembangan masyarakat masing-masing. Salah satu kecenderungan hidup
bermasyarakat adalah munculnya usaha untuk mengatur dan menyusun organisasi
kehidupan bersama yang manifestasinya dalam bentuk terbesar disebut Negara dengan
suatu sistem pemerintahan. Pemerintahan suatu Negara berusaha menentukan kebijakan
terhadap semua aspek kehidupan masyarakatnya, termasuk dalam aspek pendidikan
warga negaranya. Dalam pendidikan ditetapkan bahwa pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidkan mempunyai
tanggungjawab untuk mengembangkan kepribadian dalam upaya meningkatkan sumber
daya manusia, maka pendidikan dilaksanakan melalui kegiatan pengajaran, bimbingan
dan latihan. Undang-undang sistem pendidikan nasional no 20 tahun 2003 menyatakan:
pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan
proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,
bangsa dan negara.
Untuk mewujudkan ketiga kegiatan di atas yaitu pengajaran, bimbingan dan
latihan pemerintah khususnya pendidikan nasional menyediakan kurikulum sekolah dan
untuk pelaksanaan bimbingan dan konseling tahun 1996 dikeluarkan petunjuk teknis
pengelolaan bimbingan dan konseling yang berisi pelayanan bimbingan dan konseling
serta cara pelaksanaannya dengan rincian materi secara luas dan lengkap yang mengacu
kepada BK pola 17 yaitu satu wawasan bimbingan yang meliputi (pengertian, tujuan,
fungsi, prinsip-prinsip, asas dan landasan bimbingan dan konseling), dengan empat
bidang yaitu bidang bimbingan pribadi, sosial, belajar dan karier, dengan sembiln jenis
layanan (orientasi, informasi, penempatan/penyaluran, pembelajaran, konseling
individu, bimbingan kelompok, konseling kelompok, konsultasi dan mediasi) ,serta
enam jenis kegitan pendukung yaitu (instrumentasi bimbingan dan konseling, himpunan
data, konferensi kasus, kunjungan rumah, tampilan pustaka dan alih tangan kasus
(Belkin, 1976).
Bimbingan dan konseling pola 17 plus ini dimaksudkan sebagai pedoman
konselor di sekolah. Undang-undang Sisdiknas No 20 tahun 2003, ayat 6 berbunyi
pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor,
pamong belajar, widyasuara, tutor, instruktur, fasilitator. Dengan keluarnya undang-
undang sisdiknas ini, ada perbedaan sebutan untuk konselor dan guru pembimbing,
perbedaannya adalah konselor sebagai petugas bimbingan dan konseling di sekolah
yang berlatar belakang pendidikan bimbingan dan konseling, sedangkan guru yang
ditugaskan oleh kepala sekolah sebagai guru pembimbing dan guru pembimbing
bersangkutan bukan konselor karena tidak berlatar belakang pendidikan bimbingan dan
konseling. Peraturan menteri pendidikan nasional nomor 27 tahun 2008 menyatakan
bahwa tugas konselor berada dalam kawasan pelayanan yang bertujuan
mengembangkan potensi dan memandirikan konseli dalam pengambilan keputusan dan
pilihan untuk mewujudkan kehidupan yang produktif, sejahtera dan peduli
kemaslahatan umum. Pelayanan yang dimaksud adalah pelayanan bimbingan dan
konseling. Konselor adalah pengampu pelayanan ahli bimbingan dan konseling
terutama dalam jalur pendidikan formal dan non formal (Boyd, 1978)
Bimbingan dan konseling pola 17 plus sebagai pedoman di sekolah diharapkan
konselor sekolah dapat merencanakan, melaksanakan, mengevaluasi serta
menindaklanjuti secara cermat dan tepat sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan
siswa serta tujuan bimbingan dan konseling di sekolah. Konselor sebagai pejabat
fungsional dituntut dapat melaksanakan tugas-tugas pokoknya secara profesional. Lebih
lanjut Permendiknas no 27 tahun 2008 menyatakan bahwa sosok utuh kompetensi
konselor mencakup kompetensi akademik merupakan landasan ilmiah dari kiat
pelaksanaan pelayanan profesional bimbingan dan konseling. Kompetensi akademik
merupakan landasan bagi pengembangan kompetensi profesional yang meliputi: (1)
memahami secara mendalam konseli yang dilayani, (2) menguasai landasan dan
kerangka teoritik bimbingan dan konseling, (3) menyelenggarakan pelayanan
bimbingan dan konseling yang memandirikan, (4) mengembangkan pribadi dan
profesionalitas konselor secara berkelanjutan. Untuk itu demi lancarnya pelaksanaan
dan tingginya tingkat keberhasilan kegiatan bimbingan dan konseling di sekolah, perlu
terus menerus mendapatkan pembinaan serta dikembangkan sejalan dengan
perkembangan ilmu dan teknologi yang mendasari pelayanan dalam bidang bimbingan
dan konseling. Oleh karena itu kegiatan pengawasan yang berintikan pembinaan
mempunyai peranan penting. Pengawasan dituntut mendorong dan mengangkat
konselor untuk setiap kali meningkatkan wawasan, pengetahuan, keterampilan, nilai dan
sikap serta keprofesionalannya. Untuk itu perlu adanya pegawasan kegiatan bimbingan
dan konseling di sekolah dan madrasah. (Prayitno, 1997)
Sebagai pedoman kerja pengawas sekolah melalui Keputusan menteri
pendayagunaan aparatur Negara nomor: 118/119 tentang jabatan fungsional pengawas
sekolah dan angka kreditnya dan surat keputusan bersama menteri pendidikan dan
kebudayaan dan kepala badan administrasi kepegawaian Negara nomor:0322/0/1996
dan nomor: 38 tahun 1996 tentang petunjuk pelaksanaan jabatan fungsional pengawas
sekolah dan angka kreditnya serta keputusan menteri pendidikan dan kebudayaan
Republik Indonesia nomor: 020/U/1998, tentang petunjuk teknis pelaksanaan jabatan
fungsional pengawas sekolah/madrasah dan angka kreditnya.
Khusus untuk pengawas sekolah bidang bimbingan dan konseling tugas
pokoknya antara lain: melaksanakan identifikasi hasil pengawasan sebelumnya,
mengolah dan menganalisis hasil pengawasan, merumuskan rancangan program,
menyempurnakan dan menetapkan program, menyusun program semesteran/tahunan,
menyusun kisi-kisi instrumen penilaian, menyusun instrumen penilaian, melaksanakan
uji coba instrumen penilaian, menyempurnakan instrumen penilaian, melaksanakan
penilaian data bimbingan siswa, mengolah data bimbingan siswa, melaksanakan analisis
faktor yang mempengaruhi bimbingan siswa, melaksanakan analisis hasil bimbingan
siswa dan kemampuan guru pembimbing, memberikan arahan kepada guru pembimbing
tentang pelaksanaan proses bimbingan siswa, memberikan contoh pelaksanaan tugas
guru pembimbing dalam melaksanakan bimbingan siswa, memberikan saran untuk
meningkatkan kemampuan profesional guru pembimbing, membina pelaksanaan dan
pemeliharaan lingkungan sekolah, melaksanakan evaluasi pengawasan, membina
pelaksanaan pengelolaan sekolah, memantau dan membimbing pelaksanaan siswa baru,
memantau dan membimbing pelaksanaan UAS/UN, memberikan saran penyelesaian
kasus, khusus di sekolah, memberikan bahan dalam akreditasi sekolah, melaksanakan
evaluasi hasil pengawasan seluruh sekolah, melaksanakan kegiatan karya tulis/karya
ilmiah dalam bidang bimbingan dan konseling, menciptakan karya seni yang berkaitan
dengan bidang bimbingan dan konseling, menemukan teknologi tepat guna dalam
bidang bimbingan dan konseling.
BIMBINGAN DAN KONSELING DI SEKOLAH
Dalam pasal 1 ayat 1 UU N0 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional
dinyatakan, pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui
kegiatan bimbingan, pengajaran dan/atau latihan bagi perannya di masa yang akan
datang. Dalam hal ini, kata “bimbingan” diwujudkan dalam bentuk pelayanan
bimbingan dan konseling di sekolah yang bertujuan untuk mengembangkan kepribadian
peserta didik dalam upaya menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas yang
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,. Bimbingan dan konseling merupakan salah
satu aspek dari pendidikan yang bertujuan untuk membantu siswa agar berkembang
secara optimal. PP NO :29/1990 tentang pendidikan menengah, Bab X: Bimbingan
pasal 27 ayat 1, Bimbingan merupakan bantuan yang diberikan kepada siswa dalam
rangka upaya menemukan pribadi, mengenal lingkungan dan merencanakan masa
depan.
Bantuan yang diberikan melalui bimbingan dan konseling diarahkan kepada
penguasaan sejumlah kompetensi yang diperlukan dalam mencapai tujuan pendidikan,
seperti kompetensi fisik, intelektual, sosial, pribadi dan spiritual. Kompetensi ini harus
terwujud dalam setiap diri individu, Prayitno dkk (1997), mengemukakan bahwa upaya
bimbingan dan konseling memungkinkan peserta didik untuk mandiri dengan ciri-ciri
mengenal dan menerima diri sendiri, mengenal dan menerima lingkungannya secara
positif dan dinamis, mengarahkan diri sendiri secara efektif dan produktif dalam
merencanakan kehidupan yang lebih baik di masa depan.
Pelaksanaan bimbingan dan konseling di sekolah yang berisi pelayanan
bimbingan dan konseling serta cara pelaksanaannya dengan rincian materi secara luas
dan lengkap yang mengacu kepadsa BK pola 17 plus, yaitu satu wawasan bimbingan
yang meliputi (pengertian, tujuan, fungsi, prinsip-prinsip, asas dan landasan bimbingan
dan konseling), dengan empat bidang yaitu bidang bimbingan pribadi, sosial, belajar
dan karier, dengan sembilan jenis layanan (orientasi, informasi, penempatan/penyaluran,
pembelajaran, konseling individu, bimbingan kelompok, konseling kelompok,
konsultasi dan mediasi) serta enam jenis kegitan pendukung yaitu (instrumentasi
bimbingan dan konseling, himpunan data, konferensi kasus, kunjungan rumah, alih
tangan kasus dan tampilan pustaka).
TUGAS KONSELOR DI SEKOLAH
Konselor sekolah mempunyai tugas, tamggungjawab, wewenang dan hak secara
penuh dalam kegiatan bimbingan dan konseling terhadap sejumlah peserta didik.
Pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah merupakan kegiatan untuk membantu
siswa dalam upaya menemukan dirinya penyesuaian terhadap lingkungan serta dapat
merencanakan masa depannya. Untuk selanjutnya pelayanan bimbingan dan konseling
di sekolah diharapkan siswa dapat mencapai sukses di bidang akademik, sukses dalam
persiapan karier dan sukses dalam hubungan kemasyarakatan.
Menurut Ericson dalam Mortensen dan Schmuller (1964) menjelaskan bahwa
kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah meliputi: individual inventory,
the counseling, the information servis, the placement services and the follow up
services. Pelayanan bimbingan dan konseling mencakup pengumpulan data individual,
konseling, layanan informasi, layanan penempatan dan layanan tindak lanjut. Demikian
pula prayitno (1987) menyatakan peranan dan fungsi konselor yang sangat luas itu,
secara keseluruhan dilakukan melalui kegiatan konseling individual, bimbingan dan
konseling kelompok, perencanaan pendidikan dan pengambilan mata pelajaran,
bimbingan dan konseling karier, pengukuran, penilaian dan testing, konsultasi,
koordinasi membuat hubungan antar lembaga dan alih tangan, hubungan masyarakat
dan pengembangan profesional. Selanjutnya Belkin (1976) menyatakan, the school
counselor to be effectif, must recognize his responsibilities to all students, including the
feeling student, the disruptive student, the potensial drop out, the student with and
emosional problem, the student with a learning difficulty, as well as the gifted student,
the average student, the withdrawn and sky student, and the student who does nothing
during the courses at his studies to atfract the attention at the counselor or other school
personnel.
Penjelasan Belkin tersebut mengandung maksud bahwa konselor sekolah harus
bertanggungjawab atas keberhasilan semua siswa, baik siswa yang mengemukakan
perasaan tidak puas, berpotensi untuk keluar dari sekolah, permasalahan emosional,
kesulitan belajar, siswa yang memiliki berbagai bakat, kemampuan rata-rata, menarik
dan patuh dan siswa yang tanpa permasalahan dalam belajar serta memperhatikan
personil sekolah lainnya. Manakala Prayitno (1990) memaparkan konselor sekolah
adalah generalis, dalam arti tugas konselor mengait pada keseluruhan wilayah kegiatan
sekolah dan oleh karena itu konselor perlu menguasai sejumlah pengetahuan dan
prosedur yang menyangkut program sekolah secara menyeluruh.
Gibson dan Mitchell (1987) mengemukakan tugas konselor sekolah yaitu:
accesment of the individual and other characteristics, counseling the individual, group
counseling and guidance activities, career guidance, including the providing of
accupational-educational information, placement, follow up and accountability-
evaluation and consultation with teacher and other school personnels, parents, pupils,
in group and apporiate community agencies. Maksudnya bahwa tugas konselor sekolah
adalah mengenali siswa dengan berbagai karakteristiknya, melakukan konseling
perorangan, melakukan bimbingan dan konseling kelompok, melaksanakan bimbingan
karier termasuk informasi pendidikan dan pekerjaan, penempatan, tindak lanjut dan
melaksanakan penilaian, konsultasi dengan guru dan personil sekolah lainnya, orangtua,
siswa, kelompok organisasi masyarakat.
Sebagai pelaksana utama tenaga inti dan ahli konselor bertugas: 1)
memasyarakatkan pelayanan bimbingan dan konseling, 2) merencanakan program
bimbingan dan konseling, terutama program-program satuan layanan dan satuan
kegiatan pendukung, untuk satuan-satuan waktu tertentu, program tersebut dikemas
dalam program mingguan, bulanan semester dan tahunan, 3) melaksanakan segenap
program satuan layanan bimbingan dan konseling, 4) melaksanakan segenap program
satuan kegiatan pendukung bimbingan dan konseling, 5) menilai proses dan hasil
pelaksanaan satuan layanan dan kegiatan pendukung bimbingan dan konseling, 6)
menganalisis hasil penilaian layanan dan kegiatan pendukung bimbingan dan konseling,
7) melaksanakan tindak lanjut berdasarkan hasil peneliaian layanan dan kegiatan
pendukung bimbingan dan konseling, 8) mengadministrasikan kegiatan satuan layanan
dan kegiatan pendukung bimbingan yang dilaksanakannya, 9)
mempertanggungjawabkan tugas dan kegiatannya dalam pelayanan bimbingan dan
konseling secara menyeluruh kepada koordinator bimbingan dan konseling serta kepada
kepala sekolah (Prayitno, 1997).
Untuk terlaksananya bimbingan dan konseling yang optimal di sekolah,
pemerintah melalui surat keputusan bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan
Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara nomor: 0433/P/1993, tentang
petunjuk pelaksanaan jabatan fungsional guru dan angka kreditnya serta keputusan
Menteri pendidikan dan kebudayaan Republik Indonesia nomor: 025/O/1995 tentang
petunjuk teknis ketentuan pelaksanaan fungsional guru dan angka kreditnya,
menetapkan tugas pokok konselor sekolah adalah: a) menyusun program bimbingan dan
konseling, b) melaksanakan bimbingan dan konseling, c) mengevaluasi hasil
pelaksanaan bimbingan dan konseling, d) menganalisis hasil evaluasi pelaksanaan
bimbingan dan konseling dan tindak lanjut pelaksanaan bimbingan dan konseling, e)
membimbing siswa dalam kegiatan ekstra kurikuler, f) membimbing guru dalam proses
bimbingan dan konseling, g) melaksanakan tertentu di sekolah, h) melaksanakan tugas
di wilayah terpencil, i) membuat karya tulis/karya ilmiah di bidang pendidikan, j)
menemukan teknologi tepat guna di bidang pendidikan, k) membuat alat bimbingan, l)
menciptakan karya seni, m) ikut serta dalam pengembangan kurikulum.
Menurut Surya (1995) profil yang harus dimiliki oleh konselor sekolah adalah
memiliki semangat juang yang tinggi, mampu mewujudkan dirinya yang didasari
keterkaitan dan padanan dengan tuntutan lingkungan dan perkembangan iptek, mampu
belajar dan bekerja sama antar profesi lain, memiliki etos kerja kuat, memiliki kejelasan
dan kepastian pengembangan jenjang karier, berjiwa profesionalisme tinggi, memiliki
kesejahteraan lahir dan batin, memiliki wawasan masa depan, mampu melaksanakan
fungsi dan peranannya secara terpadu.
PENGAWASAN BIDANG BIMBINGAN DAN KONSELING
Pengawasan merupakan salah satu kegiatan manajemen setelah perencanaan,
pengorganisasian, penyusunan personalia dan pengarahan. Pelaksanaan setiap fungsi
manajemen memerlukan pengawasan, sehingga pengawasan merupakan proses kegiatan
untuk mengetahui seberapa jauh perencanaan dapat dicapai atau dilaksanakan. Melalui
pengawasan seorang pengawas dapat melakukan penyempurnaan tugas-tugas, perbaikan
jenis kegiatan baik yang telah dilaksanakan seperti yang telah tercantum dalam
perencanaan, hal ini sesuai dengan pendapat Newman dalam Manullang (1983)
mengemukakan bahwa, control is assurance that the performance conform to plan,
pengawasan adalah suatu usaha untuk menjamin agar pelaksanaan sesuai dengan
rencana.
Menurut julistriarsa dan Suprihanto (1998) pengawasan adalah suatu tindakan
atau proses kegiatan untuk mengetahui hasil pelaksanaan, kesalahan dan mencegah
terulangnya kembali kesalahan kesalahan itu, begitu pula menjaga agar pelaksanan tidak
berbeda dengan rencana yang telah ditetapkan. Demikian pula Henry Fayol dalam
Manullang (1983) control consist in verivying wether everything accure in conformity
with the plan adopted, the instruction issued in principles established. It has for object
to point outweaknesses and errors in order to rectivy them and prevent recurrence.
Maksud dari pengertian di atas yaitu pengawasan terdiri dari pengujian apakah segala
sesuatu berlangsung sesuai dengan rencana yang telah ditentukan dengan instruksi yang
telah diberikan dan dengan prinsip yang telah digariskan. Pengawasan bertujuan untuk
menunjukan kelemahan-kelemahan dan kesalahan dengan maksud untuk
memperbaikinya dan mencegahnya kembali.
Lebih lanjut pengertian pengawasan menurut Konz, dkk (1986) the managerial
function of controlling is the measurement and correction of performance in order to
make sure that enterprise obyektives and the plans devised to attain them are
accomplished. Artinya fungsi pengawasan manajemen merupakan pengukuran dan
koreksi untuk memperoleh kepastian yang obyektif dari perencanaan perusahaan guna
memperoleh keberhasilan. Pengawasan manajemen merupakan suatu usaha sistematik
untuk menetapkan standar pelaksanaan dengan tujuan perencanaan, merancang sistem
informasi umpan balik, membandingkan kegiatan nyata dengan standar yang telah
ditetapkan sebelumnya, menentukan dan mengukur penyimpangan serta mengambil
tindakan koreksi yang diperlukan untuk menjamin bahwa semua sumber daya organisasi
dipergunakan dengan cara yang efektif dan efesien dalam pencapaian tujuan organisasi.
Perkataan pengawasan mempunyai beberapa konotasi yang bermakna
minsalnya, mencek atau memeriksa, mengatur, membandingkan dengan suatu standar,
mengarahkan atau memerintah, mengekang atau mengendalikan. Pengertian
pengawasan dalam kegiatan bimbingan dan konseling dijelaskan pada Keputusan
menteri pendidikan dan kebudayaan Republik Indonesia Nomor: 020/U/1998 tentang
petunjuk teknis pelaksanaan jabatan fungsional pengawas sekolah dan angka kreditnya.
Pengawas sekolah bimbingan dan konseling adalah pengawas yang mempunyai tugas,
tanggungjawab, wewenang dan hak secara penuh dalam menilai dan membina
penyelenggaraan pendidikan pada sejumlah sekolah tertentu baik negeri maupun swasta
di sekolah lanjutan tingkat pertama, sekolah menengah umum, sekolah menengah
kejuruan di lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan di madrasah
tsanawiyah, madrasah aliyah di lingkungan Departemen Agama, sekolah kedinasan di
lingkungan departemen tertentu dalam kegiatan bimbingan dan konseling. Menurut
Prayitno (2001) agar kegiatan bimbingan dan konseling di sekolah berkembang dan
terselenggara dengan sebaik-baiknya sesuai dengan tujuan dan ketentuan yang berlaku,
maka kegiatan tersebut perlu diawasi dan dibina, dalam pembinaannya melibatkan
interaksi yang dinamis antara konselor sekolah dan pengawas sekolah bidang bimbingan
dan konselling.
1. Tujuan pengawasan
Pengawasan dalam pendidikan mengandung kegiatan supervisi yang bertujuan
untuk mencapai hasil kegiatan yang optimal sesuai dengan perencanaan semula. Untuk
mencapai hasil kegiatan yang optimal sesuai dengan ketentuan pengawasan bimbingan
dan konseling sangat diperlukan. Di antara tujuan pengawasan itu adalah agar petugas
dalam bidang bimbingan dan konseling dapat menjalankan dengan baik tugas yang
dibebankan kepadanya sesuai dengan ketentuan yang ada. Sahertian (2000) menyatakan
bahwa tujuan pengawasan dalam pendidikan untuk memberikan layanan dan bantuan
untuk mengembangkan situasi belajar mengajar yang dilakukan guru di kelas.
Pengawasan untuk meningkatkan kualitas layanan konselor di sekolah/madrasah yang
pada gilirannya dapat meningkatkan kualitas pengembangan diri siswa, bahkan dengan
pengawasan yang efektif di harapkan dapat mengembangkan potensi kualitas konselor.
Pengawasan dalam bidang bimbingan dan konseling di sekolah, bertujuan
meningkatkan kualitas konselor dan dapat meningkatkan pelayanan yang optimal
terhadap siswa asuh di sekolah. Atmodiwirio (2000) menyatakan beberapa tujuan
pengawasan pendidikan sebagai berikut: membina dan menyelia pembinaan sekolah
baik yang bersifat educatif maupun administrative, membina dan menyelia kerja sama
sekolah/madrasah dan instansi yang terkait, membina pelaksanaan proses layanan,
menyelia tingkat keberhasilan sekolah/madrasah menurut paket pengawasan
kabupaten/kota dan propinsi, membina dan menyelia kepala sekolah/madrasah,
mendorong dan memberi motivasi kepada kepala sekolah/madrasah tentang pengawasan
kegiatan sekolah, membina dan menyelia sanggar sekolah.
Kegiatan pengawasan pendidikan termasuk bimbingan dan konseling tertuju
kepada kegiatan kepala sekolah/madrasah dan konselor sekolah. Kepala
sekolah/madrasah sebagai penenggungjawab kegiatan pendidikan secara menyeluruh di
sekolah/madrasah yang bersangkutan, tugas kepala sekolah/madrasah adalah:
Mengkoordinasikan segenap kegiatan yang diprogramkan di sekolah, sehingga kegiatan
pengajaran, pelatihan dan bimbingan merupakan suatu kesatuan yang terpadu, harmonis
dan dinamis. Menyediakan prasarana, tenaga, sarana dan berbagai kemudahan bagi
terlaksananya pelayanan bimbingan dan konseling yang aktif dan efesien. Melakukan
pengawasan dan pembinaan terhadap perencanaan dan pelaksanaan program, penilaian
dan upaya tindak lanjut pelaksanaan bimbingan dan konseling.
Mempertanggungjawabkan pelaksanaan pelayanan bimbingan dan konseling di sekolah
kepada yang menjadi atasannya.
Sebagai pelaksanan utama, tenaga inti dan ahli konselor sekolah di
sekolah/madrasah bertugas: Memasyarakatkan pelayanan bimbingan dan konseling,
Merencanakan program bimbingan dan konseling, Melaksanakan segenap layanan
bimbingan dan konseling, Melaksanakan kegiatan pendukung bimbingan dan konseling,
Menilai proses dan hasil pelayanan bimbingan dan kegiatan pendukungnya,
Melaksanakan tindak lanjut berdasarkan hasil penilaian, Mengadministrasikan layanan
dan kegiatan pendukung bimbingan dan konseling yang dilaksanakannya,
Mempertanggungjawabkan tugas dan kegiatannya dalam pelayanan bimbingan dan
konseling kepada koordinator bimbingan dan konseling.
Pengawasan bimbingan dan konseling ditujukan kepada kegiatan konselor
sekolah/madrasah dengan melalui berbagai layanan bimbingan dan konseling yang
dilaksanakan konselor agar peserta didik mampu mengembangkan potensi dan
pribadinya secara optimal. Pengawasan dibidang bimbingan dan konseling untuk
membina dan menyelia pelaksanaan layanan yang dilksanakan oleh konselor dan
musyawarah konselor bimbingan dan konseling. Menurut Boyd (1978) pengawasan
sekolah bidang bimbingan dan konseling yang langsung ditujukan kepada konselor, ada
tiga tujuan utamanya yang hendak dicapai untuk dimiliki oleh konselor yaitu:
fasilitation of the counselors personal and professional development, promotion is
counselor competencies, and promotion of accountable counseling and guidance
services and programs. Maksudnya bahwa pengawasan bimbingan dan konseling
bertujuan untuk memberi fasilitas untuk mengembangkan diri dan keahlian para
konselor, meningkatkan kompetensi konselor dan meningkatkan konseling yang
bertanggungjawab serta pembuatan program layanan bimbingan.
Untuk mencapai tujuan yang dimaksud pengawas sekolah/madrasah bidang
bimbingan dan konseling hendaknya dapat menggunakan beberapa pendekatan, antara
lain dengan melakukan penilaian, pencegahan, memotivasi dan penguatan. Penilaian
bertujuan untuk melihat seberapa jauh program serta pelaksanaan bimbingan dan
konseling di sekolah yang telah dicapai, dengan adanya penilaian dapat diketahui
kemajuan dan kelemahan yang didapati, bagi pengawas berguna untuk memperbaiki
fungsi pengawasan. Tindakan pencegahan merupakan tindakan pengawas bidang
bimbingan dan konseling sebelum terjadinya penyimpangan, mencegah lebih baik
daripada memperbaiki.
Pemberian motivasi merupakan bagian dari upaya peningkatan kerja konselor.
Sebaiknya cara yang dilakukan pengawas bimbingan dan konseling di sekolah untuk
meransang konselor dengan memberikan penghargaan atau hadiah dari prestasi yang
telah dicapainya dalam layanan bimbingan dan konseling di sekolah. Koontz dan
Donnell (1986) mengemukakan bahwa motivasi merupakan suatu reaksi yang dimulai
dari adanya kebutuhan yang menimbulkan keinginan, upaya untuk mencapai tujuan,
menimbulkan ketegangan, tindakan yang mengarah kepada kemajuan, adanya pemuasan
keinginan. Pemberian penguatan pada dasarnya merupakan rangsangan dari pengawas
sekolah bidang bimbingan dan konseling yang bertujuan agar konselor dapat merubah
perilakunya dan selanjutnya dapat meningkatkan prestasi kerjanya, serta
bertanggungjawab atas tugas dan kewajibannya.
2. Fungsi Pengawasan
Fungsi pengawasan mengandung maksud untuk memberikan pengarahan kepada
pengawas sekolah agar yang dilakukan menjadi lebih jelas. Handoko (1995)
menjelaskan bahwa fungsi pengawasan mencakup empat unsur yaitu, unsur penetapan
standar pelaksanaan, unsur penentuan ukuran pelaksanaan, unsur pengukuran
pelaksanaan nyata dan membandingkannya dengan standar yang telah ditetapkan, unsur
pengambilan tindakan koreksi yang diperlukan bila pelaksanaan menyimpang dari
standar. Fungsi pokok pengawasan dilakukan untuk mencegah terjadinya penyimpangan
atau kesalahan, memperbaiki berbagai penyimpangan atau kesalahan yang terjadi,
mendinamisir organisasi serta segenap manajemen lainnya dan untuk memperkuat rasa
tanggungjawab terhadap tugas yang dilakukan.
Demikian pula Fattah (2000) mengemukakan beberapa kondisi yang harus
diperhatikan agar pengawasan itu dapat berfungsi secara efektif diantaranya:
pengawasan harus dikaitkan dengan tujuan, standar yang masih dapat dicapai harus
ditentukan, pengawasan hendaknya harus disesuaikan dengan sifat dan kebutuhan
organisasi, banyaknya pengawasan harus dibatasi, sistem pengawasan harus dikemudi,
pengawasan hendaknya mengacu pada tindakan perbaikan, pengawasan hendaknya
mengacu pada prosedur pemecahan masalah. Apabila pengawasan di atas dikaitkan
langsung dengan kegiatan supervisi pendidikan, Swearingen dalam Sahertian (2000)
mengemukakan delapan fungsi supervisi, yaitu: mengkoordinasi semua usaha sekolah,
meperlengkapi personel sekolah, memperluas pengalaman konselor, menstimulasi
usaha-usaha yang kreatif, memberi fasilitas dan penilaian yang terus menerus,
menganalisis kegiatan layanan, memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada
setiap anggota staf, memberi wawasan yang lebih luas dan terintegrasi dalam
merumuskan tujuan-tujuan pendidikan dan meningkatkan kemampuan konselor sekolah.
Berbagai pendapat di atas dapat disarikan, bahwa fungsi pengawasan merupakan
usaha pengawas sekolah/madrasah untuk menentukan standar pelaksanaan kegiatan.
Mencegah terjadinya penyimpangan, usaha perbaikan apabila terjadi kesalahan dalam
pelaksanaan, usaha meningkatkan kemampuan staf, dan pemecahan masalah yang
terjadi dalam proses pendidikan. Apabila fungsi-fungsi tersebut dikaitkan dengan
kegiatan bimbingan dan konseling telah ter-integrasi sekaligus didalamnya, karena
layanan bimbingan dan konseling di sekolah merupakan bagian yang integral dalam
proses pendidikan. Hal ini dipertegas dengan keputusan bersama menteri pendidikan
dan kebudayaan dan kepala badan administrasi kepegawaian Negara nomor :
0322/O/1996, dan nomor :38 tahun 1996, tentang petunjuk pelaksanaan jabatan
fungsional pengawas sekolah dan angka kreditnya, ada beberapa ketentuan umum yang
berkaitan langsung dengan fungsi pengawasan bimbingan dan konseling antara lain:
Penilaian, dalam hal ini pengawas sekolah dapat menentukan derajat kualitas
berdasarkan kriteria (tolak ukur) yang telah ditetapkan terhadap penyelenggaraan
bimbingan dan konseling. Pembinaan, dengan pembinaan secara rutin kegiatan
bimbingan dan konseling disekolah diharapkan dapat melaksanakan sesuai dengan
program yang telah ditentukan. Pengarahan, dengan pengarahan diharapkan guru
pembimbing dan pesonel lain disekolah dapat melaksanakan tugasnya lebih terarah dan
mencapai tujuan yang telah dirumuskan. Bimbingan, diharapkan guru pembimbing dan
personel sekolah lainnya mengetahui secara lebih rinci kegiatan yang harus
dilaksanakan dan cara pelaksanaannya. Pemberian contoh, dengan harapan pelaksanaan
proses bimbingan untuk materi dan jenis layanan tertentu dapat dicontohkan diruang
bimbingan dan konseling dengan tujuan agar guru pembimbing dapat mempraktikkan
model bimbingan yang baik dan benar. Pemberian saran, hal ini diharapkan agar proses
bimbingan yang dilaksanakan di sekolah lebih baik daripada hasil yang dicapai
sebelumnya.
3. Kegiatan pengawasan Bimbingan dan konseling di sekolah
Pengawasa sekolah merupakan salah satu fungsi manajemen. Kantor dinas
pendidikan nasional dalam melaksanakan tugasnya dapat dikategorikan sebagai
pengawas staf, dan merupakan pengawasan teknik fungsional. Untuk tercapainya tujuan
pendidikan yang optimal Atmodiwiro (2000) mengemukakan beberapa tugas
pengawasan sebagai berikut : Menyusun rencana kegiatan tahunan pengawasan sekolah
yang menjadi tanggung jawabnya. Mengendalikan termasuk membimbing pelaksanaan
kurikulum yang meliputi isi, metode penyajian, penggunan alat bantu pengajaran, dan
evaluasi agar berlangsung sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Mengendalikan
termasuk membimbing tenaga kependidikan sekolah agar terpenuhi persyaratan formal
yang berlaku, dan dalam melaksanakan tugasnya dengan ketentuan yang ada.
Mengendalikan termasuk membimbing pengadaan, penggunaan dan pemiliharaan saran
sekolah sesuai dengan ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta
menjaga agar kualitas sarana sekolah memenuhi ketentuan dan persyaratan.
Mengedalikan termasuk membimbing tata usaha seekolah meliputi urusan kepegawaian,
ketatalaksanaan dan urusan keuangan, termasuk RAPBS agar berjalan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku. Mengendalikan termasuk membimbing hubungan kerja sama
sekolah dengan instansi pemerintah dan organisasi kemasyarakatan antara lain dengan
pemerintah daerah dan komite sekolah. Menilai hasil pelaksanaan kurikulum
berdasarkan ketentuan yang berlaku dan ketepatan waktu. Mengendalikan pelaksanaan
kegiatan seolah antara lain kelender pendidikan, proses pembelajaran, mutasi siswa,
UAS/UN, pembagian rapor dan kegiatan insidental lainnya. Menilai pendayagunaan
sekolah Menilai efisiensi dan efektivitas tata usaha sekolah Menilai hubungan sekolah
dengan instansi pemerintah dan organisasi masyarakat lainnya, pemerintah daerah,
dunia usaha. Mempersiapkan DP-3 (daftar penilaian pelaksanaan pekerjaan) kepala
sekolah Menyampaikan laporan hasil pelaksanaan tugasnya kepada kepala kantor
diknas.
Berdasarkan tugas-tugas tersebut pengawasan pendidikan ditujukan untuk
memberdayakan semua komponen baik personel sekolah, kurikulum dan kegiatan
belajar mengajar sarana dan prasarana sekolah keuangan bahkan personel diluar sekolah
atau lembaga lain yang terkait langsung dalam upaya peningkatan mutu pendiddikan.
Peningkatan mutu pendidikan terkandung pula didalamnya peningkatan layanan
bimbingan dan konseling di sekolah, karena layanan bimbingan dan konseling di
sekolah merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan pendidikan.
Berdasarkan keputusan menteri pendidikan dan kebudayaan republik Indonesia Nomor :
020/U/1998, tentang petunjuk teknis pelaksanaan jabatan fungsional pengawas sekolah
dan angka kreditnya, jenis pengawas sekolah, berdasarkan sifat, tugas, dan kegiatannya
terdapat empat jenis pengawas sekolah yaitu (1) pengawas sekolah taman kanak-kanak,
sekolah dasar, dan sekolah dasar luar biasa, (2) pengawas sekolah rumpun mata
pelajaran, (3) pengawasaan sekolah pendidikan luar biasa, (4) pengawas sekolah
bimbingan dan konseling. Khusus pengawas sekolah bimbingan dan konseling
mempunyai tugas pokok menilai dan membina penyelenggaraan bimbingan dan
konseling pada sejumlah sekolah tertentu baik negeri maupun swasta yang menjadi
tanggung jawabnya.
Pengintegrasian pengertian, tujuan, fungsi serta unsur-unsur pokok tersebut secara
umum. Menurut prayitno (2001) bahwa kegiatan pengawasan sekolah melalui diagram
sebagai berikut:
Kegiatan
pengawasan
Berdasarkan diagaram kepengawasan bimbingan dan konseling di atas, program
kepengawasan tahap awal diarahkan pada pengumpulan data tentang hasil bimbingan
dan kemampuan guru pembimbing, serta data sumber daya pendidikan, dan bimbingan
Ruang Lingkup KegiatanPengawasan
Menyusun ProgramKepengawasan Sekolah
Melaksanakan PenilaianHasil Bimbingan dan
Kemampuan Konselor
Melaksanakan penilaiandata Sumber daya
Menyusun Laporan danEvaluasi Pengawasan
Melaksanakan Pembinaankepada konselor dan Tenaga
Lainnya
Melaksanakan AnalisisHasil Bimbingan dan
Sumber Daya
konseling pada khususnya. Seluruh data tersebut dinilai dan dianalisis, hasil penilaian
serta analisisnya akan dijadikan dasar bagi perencanaan dan pembinaan guru
pembimbing, dengan melalui arahan, bimbingan, contoh dan saran-saran. Selanjutnya
terhadap perencanaan pelaksanaan dan hasil-hasil seluruh kegiatan pengawasan untuk
semua sekolah dievaluasi dan kemudian dilaporkan. Hasil evaluasi dan laporan akan
menjadi pertimbangan dan titik tolak bagi perencanaan program pengawasan pada
periode berikutnya. Agar pelaksanaan pengawasan dapat berjalan lancar sesuai dengan
perencanaan, dan pencapaian tujuan maka perlu langkah-langkah nyata yang sistematis
dan praktis. Hal ini digambarkan Pryitno (2001) dalam bentuk diagram, mengenai
langkah-langkah pelaksanaan pengawasan sebagai berikut :
Langkah-Langkah Kegiatan Pengawasan
Langkah 1 :
Langkah 2 :
Langkah 3 :
Langkah 4 :
Langkah 5 :
Menyusun ProgramPengawasan Sekolah
Menyimpulkan datadan Mengolah/Menilai
Menganalisis HasilPenilaian
MelaksanakanPembinaan
Menyusun Laporan danEvaluasi Hasil Pengawasan
Diagram di atas menjelaskan langkah-langkah kegiatan pengawasan, yaitu:
langkah pertama kegiatan pengawasan dimulai dengan penyusunan program
pengawasan, baik program tahunan maupun program semesteran, langkah kedua adalah
menilai hasil bimbingan dan menilai kemampuan konselor sekolah, kegiatan dalam
langkah ini telah menyentuh materi pokok pengawasan yaitu hasil kegiatan fungsional-
profesional-keahlian yang dilakukan oleh konselor, kemampuan konselor itu sendiri dan
sumber daya pendidikan. Langkah ketiga merupakan pendalaman, yaitu analisis atas
hasil penilaian yang telah dilakukan pada langkah kedua, langkah keempat adalah
pembinaan terhadap konselor sekolah berdasarkan hasil penilaian dan analisis hasil
penilaian yang dilakukan pada langkah sebelumnya. Langkah kelima merupakan
antiklimaks dari seluruh kegiatan pengawasan sekolah untuk satu periode dengan
melihat keseluruhan hasil pengawasan yang telah dilakukan. Selain lima langkah di atas
pengawas sekolah bidang bimbingan dan konseling juga dikehendaki mencurahkan
perhatian kepada pengembangan sekolah yang lebih luas, yaitu melaksanakan
pembinaan lainnya di sekolah selain proses pembelajaran atau bimbingan dan
konseling. Demikian pula pengawas bimbingan dan konseling melaksanakan tugas di
daerah terpencil diperhitungkan tersendiri dalam pemberian angka kreditnya.
KESIMPULAN
Pengawasan adalah suatu tindakan atau proses kegiatan untuk mengetahui hasil
pelaksanaan dan mencegah terulangnya kembali kesalahan kesalahan itu, begitu pula
menjaga agar pelaksanan tidak berbeda dengan rencana yang telah ditetapkan.
pengawas sekolah/madrasah dapat menentukan derajat kualitas berdasarkan kriteria
(tolak ukur) yang telah ditetapkan terhadap penyelenggaraan bimbingan dan konseling.
Dengan pembinaan secara rutin kegiatan bimbingan dan konseling di
sekolah/madarasah diharapkan dapat dilaksanakan sesuai dengan program yang telah
ditentukan, dengan pengarahan konselor dan pesonel lain di sekolah/madarasah dapat
melaksanakan tugasnya lebih terarah dan mencapai tujuan yang telah dirumuskan serta
mengetahui secara lebih rinci kegiatan yang harus dilaksanakan dan cara
pelaksanaannya. Sehingga konselor dapat melaksanakan proses bimbingan untuk materi
dan jenis layanan tertentu dengan tujuan agar konselor dapat mempraktikkan model
bimbingan yang baik dan benar.
DAFTAR PUSTAKA
Atmodiwirio, Soebagio. 2000. Manajemen pendidikan Indonesia. Jakarta. ArdadizyaJaya.
Belkin, G.S. 1976. Practical counseling in the school. Lowa WMC. Brown CompanyPublishers.
Boyd, John. 1978. Counselor supervision approaches preparation practice. BostonUniversity: Endersed By The Association or Counselor Education andSupervision.
Fattah, nanang. 2000. Landasan manajemen pendidikan. Bandung. Remaja Rosdakarya.Gibson, RL & Mtchell, MH. 1987. Introduction to guidance. New York Macmillon
Publishing.Julitriarsa, D. george & Suprihanto. 1983. Bagaimana memimpin dan mengawasi
pegawai anda. Jakarta: Aksara Baru.Koonz Harold, Donnell O’Cyriil, Weichrich Heinz. 1986. The system and process of
controlling. London: Mc. Graw-Hill.Manullang, M. 1983. Dasar-dasar manajemen. Jakarta: Ghalia Indonesia.Mortensen, DG & Schmuller, AM. 1964. Guidance in today’s school. New York: John
Wiley & Son Inc.Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2008.
Tentang standar kualifikasi akademik dan kompetensi konselor.Prayitno. 1987. Profesionalisasi konseling dan pendidikan konselor. Jakarta:
Depdikbud.Prayitno, dkk. 1997. Seri pemandu pelaksanaan bimbingan dan konseling di sekolah
(buku III). Jakarta: PT. rineka Cipta.Prayitno. 1990. Konselor masa depan dalam tantangan dan harapan. Pidato
pengukuhan guru besar tetap dalam bidang bimbingan dan konseling. FipIKIP. Padang.
Prayitno. 2001. Panduan kegiatan pengawasan bimbingan dan konseling di sekolah.Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Sahertian, A. Piet. 2000. Konsep dasar dan teknis supervise pendidikan. Jakarta :Rineka Cipta.
Surya, M. 1995. Identifikasi kebutuhan tantangan dan implikasinya bagipengembangan profil konselor. Surabaya. Kongres ke VIII dan konvensinasional X IPBI.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003. Tentang SistemPendidikan Nasional.
PENDIDIKAN AKHLAK DAN PEMBENTUKANKEPRIBADIAN MUSLIM
Oleh:
Saiful Akhyar LubisGuru Besar Fakultas Tarbiyah dan Program Pascasarjana IAIN-SU Medan, Visiting
Professor at Academy of Islamic Study University of Malaya Kuala Lumpur,Malaysia.
Abstract
Decreasing character today can to strengthen that very important tointroduce a character education in every education activity. Character is agrades or a norm that aim to improve good relation and harmony betweenGod and human, and also between one people and another people. The aim ofcharacter education is to make everyone has good character, good act,tohaving good custom to base on Islamic teaching.Keywords: Pendidikan, Pendidikan Akhlak, Pendidikan Islam
PENDAHULUAN
Kemorosotan akhlak yang dirasakan dewasa ini semakin mempertegas
pentingnya memberdayakan pendidikan akhlak dalam setiap kegiatan
pendidikan secara konsisten dan kontinu. Ia merupakan instrumen kunci bagi
upaya memproduk, membina dan mengembangkan masyarakat yang beradab,
berakhlak mulia sesuai dengan ajaran Islam.
Akhlak menempati posisi penting dalam ajaran Islam atas dasar misi
kerasulan Muhammad saw “untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”.
Hal ini menjadikan Islam sebagai sistem syari’ah yang menata hubungan
manusia dengan Allah swt, dengan sesama manusia, dan dengan alam
semesta. Justru itu, akhlak bukan hanya aturan normatif yang mengatur
perilaku manusia semata, tetapi mengatur tata hubungan manusia secara
vertikal, horizontal, dan diagonal (habl min al-Allah, habl min al-nas, habl
min al-‘alam). Ia juga merupakan intisari dari segala kebaikan dn keutamaan
yang memberi nilai tinggi seorang muslim di sisi Allah swt dan makhluk
lainnya. Keimanan dan keislaman seseorang dinilai kurang sempurna, jika
tidak dibingkai dengan akhlak yang mulia.
Dengan demikian, proses pendidikan akhlak dalam Pendidikan Islam
akan melalui upaya penguatan iman dan pensucian jiwa manusia dengan cara
menanamkan dan mendisiplinkan nilai, norma, kaedah tentang “baik-buruk,
terpuji-tercela” ke dalam keperibadian seorang Muslim agar mampu
menampilkan perilaku mahmudah dan menghindar dari perilaku mazmumah
yang bermuara pada tampilnya sosok insan adabi dan insan kamil.
DEFINISI AKHLAK
Mendefinisikan akhlak dapat dilakukan dengan dua pendekatan:
linguistik (kebahasaan) dan terminologik (peristilahan). Dari sisi
kebahasaan, akhlak berasal dari bahasa arab, yaitu dari asal kata khuluqun,
berarti: tabiat atau budi pekerti (Munawwir, 2007:364). Kata akhlaq adalah
bentuk plural dari kata khuluq, berarti budi pekerti, perangai, dan tingkah
laku. Kata ini seakar dengan kata Khaliq (bermakna Pencipta), makhluq
(bermakna yang diciptakan), khalq (bermakna penciptaan). Dengan demikian,
akhlak pada dasarnya merupakan nilai atau norma yang memungkinkan
eksisnya hubungan baik dan harmoni antara khalik dan makhluk dan antara
manusia dengan sesama makhluk. Selain itu, akhlak juga bermakna al-sajiah
(perangai), al-thabi’ah (kelakuan, tabiat, watak dasar), al-adat (kebiasaan,
kelaziman), al-muru’ah (peradaban yang baik). Sedangkan dalam Kamus
Dewan akhlak dinyatakan sebagai budi pekerti, kelakuan, watak, pengetahuan
berkaitan dengan kelakuan, tingkah laku manusia dan sebagainya, sama ada baik atau
jahat.
Secara peristilahan akhlak dinyatakan sebagai tingkah laku
perbuatan yang telah menjadi adat kebiasaan, apabila dilakukan tidak perlu lagi
berpikir panjang, setelah tingkah laku diamalkan sekian lama diterima masyarakat sebagai
sebahagian dari cara hidup. Para ilmuwan Muslim mendefisikan terminologi akhlak secara
variatif, diantaranya dapat dilihat apa yang dinyatakan al-Ghazali sebagai suatu sifat yang
tertanam dalam jiwa, daripada jiwa itu, timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah tanpa
melakukan pertimbangan pikiran.. Ibnu Maskawaih menyatakan sebagai suatu keadaan
bagi diri atau jiwa yang mendorong untuk melakukan perbuatan dengan senang tanpa
didahului oleh daya pemikiran karena sudah menjadi kebiasaan. Sedangkan Ahmad Amin
menyatakan sebagai kehendak (keinginan manusia ) yang dibiasakan (perbuatan yang
diulang-ulang, sehingga mudah melakukanya), selanjutnya mempunyai kekuatan ke arah
menimbulkan apa yang disebut sebagai akhlak.
Dalam pandangan Islam akhlak ditegaskan sebagai satu sifat atau sikap
kepribadian yang melahirkan tingkah laku perbuatan manusia dalam usaha
membentuk kehidupan yang sempurna berdasarkan kepada prinsip-prinsip yang
telah ditetapkan oleh Allah swt.
PENDIDIKAN AKHLAK DALAM PENDIDIKAN ISLAMSehubungan dengan pendidikan akhlak, pendidikan Islam lebih ditekankan pada
fungsi ta’dib, yaitu upaya dan proses pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-
angsur ditanamkan ke dalam diri manusia, tentang segala sesuatu di dalam tatanan
penciptaan, sehingga membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan terhadap Allah swt
secara tepat di dalam tatanan wujud dan kepribadian. Menurut al-Attas pengenalan dan
pengakuan tentang hakikat adalah pengetahuan dan wujud yang bersifat teratur secara
hierarkis sesuai dengan tingkatan derajat seseorang dan tempat mereka yang tepat dalam
hubungannya dengan hakikat itu serta dengan kepastian dan potensi jasmaniah,
intelektual, maupun rohaniahnya (dalam Wan Mohammad Noor Wan Daud, 2003:163).
Dapat dimengerti bahwa pengertian "pengenalan" adalah menemukan
tempat yang tepat sehubungan dengan apa yang dikenali, sedangkan
"pengakuan" merupakan tindakan yang bertalian dengan pengenalan tadi.
Pengenalan tanpa pengakuan adalah kecongkakan, dan pengakuan tanpa
pengenalan adalah kejahilan belaka. Dengan kata lain ilmu dengan amal haruslah
seiring. ilmu tanpa amal ataupun amal tanpa ilmu adalah kesia-siaan. Kemudian,
tempat yang tepat adalah kedudukan dan kondisi dalam kehidupan sehubungan
dengan dirinya, keluarga, kelompok, komunitas dan masyarakatnya, maksudnya
dalam mengaktualisasikan dirinya harus berdasarkan kriteria al-Quran tentang
ilmu, akal, dan kebaikan (ihsan) yang selanjutnya mesti bertindak sesuai
dengan ilmu pengetahuan secara positif serta terpuji.
Dalam pandangan pendidikan Islam pengetahuan tentang manusia harus
terlebih dahulu diberikan kepada manusia sebagi peserta didik, baru kemudian
disusul dengan pengetahuan-pengetahuan lainnya. Dengan demikian dia akan
tahu jati dirinya dengan benar, tahu "dari mana dia, sedang dimana dia, dan mau
kemana dia kelak". Jika ia tahu jati dirinya, maka ia akan selalu ingat dan sadar
serta mampu memposisikan dirinya, baik secara vertikal, horizontal, maupun
diagonal (habl bim al-Allah, habl min al-nas, habl min al-‘alam). Selanjutnya akan
terbentuk pengakuan yang benar dan tepat terhadap keberadaan Allah swt,
manusia, dan alam sebagai suatu realitas. Dalam hal inilah proses pengajaran
seseorang dalam tatanan kosmis dan sosial akan menghantarkannya
menemukan fungsinya sebagai khalifah fil ardh.
Dengan demikian, secara teoritis pendidikan akhlak dalam pendidikan Islam
dapat dikategorikan sebagai: usaha berterusan untuk menyampaikan ilmu, kemahiran dan
penghayatan Islam berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah bagi membentuk sikap,
kemahiran, keperibadian dan pandangan hidup sebagai hamba Allah yang mempunyai
tanggungjawab untuk membangunkan diri, masyarakat, alam sekitar dan negara ke arah
mencapai kebaikan dan kesejahteraan abadi di akhirat.
Lebih rinci dapat dilihat dalam pendapat para ilmuwan Muslim berikut
ini. Menurut al-Abrasyi (2007:66) adalah upaya mempersiapkan manusia supaya
hidup dengan sempurna dan bahagia, mencintai tanah air, sempurna budi
pekertinya, pola pikirnya teratur dengan rapi, perasaannya halus, profesional
dalam bekerja dan manis tutur sapanya. Sedangkan Ahmad D. Marimba
(2001:79) menyatakan sebagai bimbingan rohani berdasarkan hukum-hukum
Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran
Islam. Selanjutnya, al-Attas (dalam Wan Mohammad Noor Wan Daud, 2003: 156)
menilainya sebagai suatu proses penanaman pengenalan dan pengakuan tentang
hakikat (Allah, manusia, alam) ke dalam diri manusia mengacu kepada metode
dan sistem secara bertahap, dan kepada manusia penerima proses dan
kandungan pendidikan tersebut.
Dalam Pendidikan Islam lebih ditekankan pada fungsi al-ta’dib, yang bermaksud
memberi pendidikan budi pekerti kepada anak atau murid/pelajar berdasarkan ajaran
Islam. Dalam hal ini, mendidik dimaksudkan sebagai mengasuh, menjaga, membimbing,
memberi nasihat dan membelai dengan penuh kasih sayang supaya seseorang anak atau
murid/pelajar menjadi baik budi pekerti, perangai dan tingkah lakunya.
TUJUAN PENDIDIKAN AKHLAK
Tujuan pokok pendidikan akhlak ialah "agar setiap manusia berbudi pekerti ,
bertingkah laku, berperangai atau beradat istiadat yang baik, sesuai dengan ajaran Islam".
Islam menginginkan agar setiap manusia dapat bertingkah laku dan bersifat baik serta
terpuji. Akhlak yang mulia tercermin dari penampilan sikap pengabdianya kepada Allah
swt, dan kepada lingkungannya, baik kepada sesama manusia maupun terhadap alam
sekitarya. Dengan akhlak yang mulia manusia akan hidup dalam suasana yang damai,
dihiasi oleh ukhuwah dan kasih sayang, serta akan mendapatkan kebahagian dunia dan
akhirat.
Agar manusia berhasil mengemban tugas khilafah yang diembannya, Allah swt
menginginkan agar manusia berhias diri dengan sifat terpuji dalam setiap
perilakunya di seluruh aspek kehidupan, dalam beberapa FirmanNya jelas
diisyaratkan seperti itu, antara lain: pada surah al-Baqarah (2): 168, 177; Surah
al-Nisa` (4):8; surah al-Maidah (5);77, ditambah dengan sebuah hadis Rasul (riwayat
Ibn Majah) yang bermakna: “Muliakan anak-anakmu dengan memperbaiki sopan
santun ".
Secara teoritis ada dua sisi tujuan utama, yaitu : pertama, peningkatan
kualitas intelektual dan kekayaan/keseimbangan jiwa; kedua, mempersiapkan
manusia agar mampu meraih kebahagiaan yang optimal melalui pencapaian
kejayaan kehidupan bermasyarakat dan berekonomi. Dalam hal ini, manusia
diharapkan dapat menjadi baik dan senantiasa terbiasa serta cendrung kepada
yang baik. Dengan demikian, upaya untuk melahirkan tingkah laku sebagai
suatu tabiat yang timbul dari akhlak yang mulia dapat dirasakan sebagai suatu
kenikmatan bagi yang melakukannya. Justru itu, Said Agil (2005:15)
menekankan pada intisari tujuannya yaitu: membentuk manusia yang beriman,
bertakwa, berakhlak mulia, sehingga memiliki ketahanan rohaniah yang tinggi
serta mampu beradaptasi dengan dinamika perkembangan masyarakat.
Dalam beberapa penjelasannya, Sayid Sabiq selalu mengingatkan agar
tujuan itu tetap fokus pada pendidikan jiwa yang sempurna. Dengan itu,
seseorang dapat menunaikan kewajibannya karena Allah, senantiasa berusaha
untuk kepentingan keluarga dan masyarakatnya; dapat berkata jujur, berpihak
kepada yang benar, dan mau menyebarkan benih-benih kebaikan pada
manusia. Jika seseorang telah memiliki sifat seperti itu berarti ia telah mencapai
tingkat kesalehan sebagaimana diinginkan Allah swt, dan tergolong pada
orang-orang yang berpegang teguh pada agama (tafaqquh fi al-din).
Dapat pula ditegaskan bahwa muara tujuan tersebut adalah tercapainya
keseimbangan pertumbuhan pribadi manusia secara menyeluruh melalui
latihan-latihan kejiwaan, akal pikiran, kecerdasan, perasaan dan panca indera.
Upayanya harus mengembangkan seluruh aspek potensi manusia: spritual,
intelektual, imaginasi/fantasi, ilmiah, bahasa, baik secara individual maupun
secara kelompok, dan sekaligus mendorong aspek-aspek potensi tersebut ke
arah kebaikan dan pencapaian kesempurnaan hidup. Secara terperinci, tujuan-
tujuan utama itu bermuara kepada:
1. Membina dan mengembangkan sifat-sifat fadilah/mahmudah (terpuji).
2. Menghindari sifat-sifat mazmumah (tercela).
3. Mengelakkan diri daripada meniru gaya orang musyrik dan menghindarkan diri
daripada mengikut jejak syaitan.
4. Mendisiplinkan diri atas dasar syariat Islam, menjaga kehormatan dan kemuliaan
diri.
5. Mendidik agar sentiasa bermuhasabah dan membuat refleksi diri demi
menghindari
pelanggaran norma dan syariat Islam.
6. Meningkatkan keimanan dan ketakwaan, sehingga memiliki ketahanan rohani yang
tinggi serta dapat menyesuaikan diri secara baik dengan masyarakat.
7. Mencapai keseimbangan pribadi yang sempurna sebagai insan kamil.
METODE PENDIDIKAN AKHLAKMenurut Syaikh Abdul Rahman al Midani, akhlak manusia dapat dibina, dibentuk
dan dikembangkan dengan berbagai cara, antara lain melalui:
a. Menjadikan Rasul sebagai uswatun hasanah/qudwah al-hasanah, yang
akhlaknya adalah al-Quran.
Manusia juga dipengaruhi oleh idolanya. Idola tersebut kerap menjadi role
model dalam kehidupan mereka. Manusia yang berperan menjadi role model tersebut
antara lain ialah tokoh politik, artis, seniman, atlit, ibu bapa, guru dan sebagainya. Rasulullah
saw adalah teladan yang paling ideal bagi umat Islam sebagaimana Firman Allah surah al-
Ahzab (33):21). Justru itu, penghayatan nilai-nilai ajaran Rasulullah hendaklah dipaparkan
oleh golongan idola berkenaan. Mereka harus senantiasa berusaha menunjukkan contoh dan
teladan yang terpuji agar dapat ditiru.
b. Menjadikan masjid dan rumah tempat utama mengukuhkan habl min al-Allah,
habl min al-
nas, dan habl min al-’alam serta mendapatkan ketenangan jiwa.
Sebagai tempat ibadah masjid mempunyai peranan dan pengaruh yang
besar dalam meneruskan penghayatan nilai-nilai akhlak dalam masyarakat
Islam. Kelangsungan budaya, cara hidup dan syiar Islam banyak diletakkan
fondasinya di masjid. Yang dilakukan Rasul saw pertama kali ketika berhijrah ke
Madinah adalah membina Masjid Quba' dan Masjid Nabawi. Ilmu yang
dipelajari di masjid pada masa dahulu bersepadu dengan nilai tauhid, ruh Islam
dan akhlak. Ia mengimbaukan ketakwaan dan mengukuhkan ubudiah manusia
kepada Allah, dan ilmu itu membawa berkat serta meningkatkan ketakwaan
kepada Allah. Dari sana banyak lahir ulama dan ilmuan yang jujur, saleh dan
berdedikasi.
c. Latihan ibadah dan amalan menjernihkan batin (tazkiah al-nafs).
Pendidikan akhlak tidak hanya melalui penjelasan mengenai nilai-nilai akhlak
kepada manusia yang membolehkan mereka memilih dan menghargai nilai-nilai
tersebut, tetapi juga dibarengi dengan latihan, penghayatan, pengamalan yang
berkesinambungan. Meskipun pada awalnya ia dilaksanakan karena arahan atau tekanan
dari luar, tetapi lama kelamaan ia akan menjadi kebiasaan dan tabiat.
d. Beraktivitas, bergaul, berukhuwah dalam kumpulan/lingkungan orang yang saleh.
Lingkungan sosial dan budaya kerap mempengaruhi manusia. Ia merangkumi tradisi,
model tingkah-laku dan saran serta rangsangan yang bersifat akhlak. Manusia terpengaruh
dengan cara meniru figure yang disanjungnya. Keberadaan seseorang dalam lingkungan
masyarakat yang baik serta saleh akan menyebabkan ia beriltizam dengan amalan dan etika
yang dihayati oleh kumpulan tersebut. Ia akan berusaha melaksanakan sesuatu yang
disanjungi oleh masyarakatnya, dan menghindari perbuatan yang dianggap keji oleh
lingkungannya.
e. Membina tatanan sosial masyarakat Islam (masyarakat madani).
Manusia memiliki sense of belonging yang kuat terhadap masyarakatnya, dan
sedikit banyaknya menentuan tindak-tanduk seseorang. Masyarakat Islam yang madani
dengan kehidupan yang sakinah berperan penting menyuburkan semangat dan amalan
hidup berakhlak. Ia juga boleh membendung trend-trend kufur dan maksiat dalam
masyarakat melalui pelaksanaan amal mak'ruf dan nahi mungkar. Apabila masyarakat
kehilangan keprihatinannya terhadap kewajiban menegakkan yang makruf dan mencegah
yang mungkar, maka bermulalah proses pengikisan moral, akhlak dan martabat umat
berkenaan.
f. Kewibawaan kekuasaan pemerintahan yang amanah dan berkeadilan.
Tuntunan akhlak dan nilai-nilainya tidak akan bermakna tanpa didukung autoriti
pemerintahan yang berwibawa, amanah dan berkeadilan. Ia akan mewujudkan
mekanisme yang operasional untuk memastikan ketertiban serta penghayatan kaedah-
kaedah akhlak dalam kehidupan masyarakat. Jika negara tidak melaksanakan amanah ini
sudah pasti citra akhlak umat akan lebih parah lagi. Sikap dan perlakuan pemerintahan
yang tidak adil menjanjikan kemusnahan bukan hanya dalam bidang akhlak tetapi juga
dalam semua aspek kehidupan.
g. Peran media massa yang mendidik dan bertanggung jawab mencerdaskan
intelek, hati
dan spritual.
Media massa merupakan satu mekanisme yang berpengaruh besar dalam
pembentukan kepribadian manusia. Ia merupakan agen sosialisasi untuk menanam dan
menggalakkan amalan-amalan berakhlak di dalam masyarakat. Justru itu, ia harus bebas
dari cengkeraman faham sekular, budaya komersial yang berlebihan, faham kebendaan
dan dorongan untuk hidup secara mewah dan glamour. Ia dituntut memiliki asas falsafah
dan dasar-dasar komunikasi yang selaras dengan nilai-nilai akhlak Islam. Para
petugasnya hendaklah meningkatkan rasa tanggungjawab dan kewajiban mereka
untuk memihak dan menegakkan nilai-nilai luhur seperti kebenaran, kejujuran, keadilan
dan sebagainya.
i. Bagaimana dengan peranan sekolah/madrasah?
Setelah rumah tangga/keluarga, sekolah/madrasah merupakan institusi
pendidikan yang paling bertanggung jawab dan fungsional untuk membina, membentuk
dan mengembangkan akhlakul karimah para pelajar dan masyarakat, terutama dengan
cara:
1. Meningkatkan kewibawaan sebagai institusi pendidikan unggulan yang
mengintegrasikan dengan harmoni pembinaan iman dan takwa, kecerdasan intelek,
hati, spritual, serta kepribadian dengan mensepadukan sains, agama dan teknologi
dalam pembelajarannya yang terus bertambah produktivitasnya.
2. Menjunjung tinggi nilai-nilai agama, ilmu, dan akhlak dalam menjalankan peraturan
dan melaksanakan kewenangannya, serta membiasakan pelajar dan pihak-pihak
terkait untuk mentaati peraturan, berdisiplin, dan selanjutnya menghormati ulama.
3. Menciptakan suasana belajar yang menyenangkan dengan kondisi yang
menyejukkan dan damai dalam jalinan ukhuwah di semua pihak, konsisten menjaga
standar layanan pendidikan dan pembelajaran serta layanan Bimbingan dan
Konseling Islami.
4. Meningkatkan prestasi sekolah/madrasah dan para pelajar dari segi kualitas dan
kuantitas, membiasakan mereka bertanggung jawab dalam setiap tugas,
mengembangkan semangat kompetitif yang sehat, bangga dengan keberhasilan
jamaah, bersyukur atas pencapaian perestasi. Sekolah dituntut untuk menjalankan
reward and punishment (prinsip targhib wa tarhib) dengan jujur dan adil.
PROSES PENDIDIKAN AKHLAKMenanamkan nilai-nilai akhlakul karimah melalui proses pendidikan
dapat melalui berbagai hal, suasana, kondisi, keadaan. Yang terutama adalah
sebagai berikut:
1. Keteladanan (memerlukan role model, menciptakan idola, prinsip uswatun
hasanah).
2. Pembiasaan (latihan, amali, memperkasakan psikomotor).
3. Memberi nasihat (prinsip al-din al-nasihah, dijabarkan melalui layanan Bimbingan
dan Konseling Islami).
4. Motivasi (menanamkan rasa percaya diri, kegairahan beribadah, prinsip motivasi
berprestasi).
5. Persuasi (prinsip berpikir positif, objektif, rasional).
6. Ketegasan (membina disiplin, prinsip sami’na wa atha’na).
7. Ganjaran dan hukuman, reward and punishment, targhib wa tarhib (prinsip
kejujuran
dan keadilan).
HUBUNGANNYA DENGAN PEMBENTUKAN KEPRIBADIAN MUSLIM
Akhlak merupakan ruh Islam yang mana agama tanpa akhlak samalah seperti jasad
yang tidak bernyawa. Oleh karena itu, salah satu misi Rasulullah saw ialah membina
kembali akhlak manusia yang telah runtuh sejak zaman para nabi yang terdahulu sampai
pada zaman jahiliyyah. Akhlak juga merupakan ciri-ciri kelebihan manusia dan
perlambang kesempurnaan iman, kualitas takwa dan kesalehan seseorang yang berakal.
Kemerosotan akhlak (individu atau masyarakat) akan menyebabkan terjadinya
krisis kepribadian. Justru itu, akhlakul karimah akan memperkokoh citra diri Muslim
dalam setiap aspek kehidupannya. Kepribdian Muslim yang teguh akan dicerminkan
oleh nilai akhlakul karimah, keluhuran budi, kebersihan hati/jiwa, kebaikan perilaku,
terpujinya sifat/sikap yang dimiliki umat Islam.
Beberapa prinsip berikut ini kiranya layak untuk mendapat perhatian:
1. Perbedaan antara umat jahiliyah dan umat Islam adalah aplikasi dari akhlaq al-
jahiliyah dan akhlaq al-karimah, tugas rasul yang penting: menyempurnakan
kemuliaan akhlak ummatnya. Rasul bersabda: “orang yang sempurna imannya ialah
mereka yang paling baik akhlaknya”.
2. Akhlakul karimah adalah cerminan kepribadian muslim yang didasarkan pada
pengamalan nilai dan ajaran Islam. Ia melengkapkan prinsip menjadi iman-islam-
ihsan yang terpadu, (tampilannya menjadi: iman-takwa-amal saleh).
3. Akhlakul karimah sebagai asesoris kehidupan (indahnya malam karena bulan dan
bintang, indahnya taman karena bunga, kayanya laut karena ikan dan mutiara,
sakinahnya keluarga karena amal saleh, wibawanya negara/pemerintahan karena
amanah, jujur dan adil, luwesnya kepribadian karena akhlak yang mulia.
4. Islam terasa damai/menyejukkan bila kehidupan umatnya dihiasi oleh akhlak
(ketinggian darjah Islam terpancang pada keluhuran budi, keteguhan pribadi,
kebagusan akhlak).
5. Modal kemenangan perjuangan terutama adalah: disiplin, ketaatan, keteguhan iman,
kemuliaan akhlak. (kekalahan tentara Islam pada perang uhud karena
ketidakpatuhan kepada perintah Rasul dan tergoda kemilaunya harta rampasan
perang, kekalahan tentara Perancis melawan tentara Jerman disebabkan runtuhnya
moral, carut marutnya negara ini terutama akibat tidak amanah, sirnanya kejujuran,
pudarnya kemuliaan akhlak dari kepribadian).
KESIMPULAN
Pelaksanaan pendidikan akhlak (formal, informal, non formal) pada hakikatnya
adalah operasionalisasi misi Rasulullah saw. Setiap Muslim hendaknya senantiasa
berkaca pada praktik pendidikan Rasulullah saw, dan menyadari sepenuhnya bahwa
kualitas sumber daya manusia Muslim bukan semata-mata ditentukan oleh kecerdasan
intelektual dan ketrampilan teknikal, tetapi juga oleh kemuliaan akhlak dan keteguhan
kepribadian. Justru itu, mendidik manusia agar berakhlak mulia dan berkepribadian
Muslim adalah upaya konkrit misi Rasulullah saw yang berkesinambungan.
DAFTAR PUSTAKA
al-Abrasyi, Mohd. ‘Athiyah. 2001. Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam. Terj.Bustami A. Gani, Jakarta: Bulan Bintang,
Azmi, Kamarul. 2007. Kaedah Pendidikan Islam, Kaedah Pengajaran dan PembelajaranPendidikan Akhlak. Slandai – Johor: Universiti tekhnologi Malaysia.
al-Munawwar, Said Agil Husein. 2005. Aktulaisasi Nilai-nilai al-Quran dalam SistemPendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Press.
Badaruddin, Kemas. 2007. Filsafat Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.Tafsir, Ahmad. 2005. Ilmu Pendidikan dalam Persepektif Islam. Bandung: PTRemaja Rosdakarya.al-Syaibany, Omar Mohammad al-Toumy. 2000. Falsafah Pendidikan Islam. terj.
Hassan Langgulung, Jakarta: Bulan Bintang.Suhid, Asmawati. 2009. Pendidikan akhlak dan adab Islam: konsep dan amalan. Kuala
Lumpur: Utusan Publications & Distributors.Wan Daud, Wan Mohammad Noor, 2003. Filsafat Islam dan Puncak Praktik Pendidikan
Islam Syed M. Naquib al-Attas. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
SARANA DAN PRASARANA DALAMBIMBINGAN DAN KONSELING
Oleh:
Novi HendriDosen Fakultas tarbiyah IAIN Sumatera Utara
Jl. Willem iskandar Psr V Medan Estate
Abstract
Mechanism and system of supply management and equipments which requiredin service of guidence and counceling aim to the of executing service of guidence andcounceling efficient and effektif. To reach the result, requered by facilities and basicfacilities supporting service of guidence and counceling in school, start from room andsupply which requered coming up with levying, the conservancy and management sothat facilities and basic facilities guedance and counceling the can be applied accordingto the allotment by maximal.Keywords: Sarana, Prasarana, Bimbingan dan Konseling
PENDAHULUAN
Agar dapat terlaksana pelayanan bimbingan dan konseling dengan sebaik-
baiknya, maka di samping membentuk dan mengatur organisasinya secara baik, dan
penugasan tenaga personil sesuai dengan kemampuan masing-masing, perlu ada sarana
dan prasarana atau fasilitas yang menunjang terselenggaranya pelayananan bimbingan
dan konseling dengan baik dan efisien. Sarana dan prasarana BK merupakan hal yang
penting diperhatikan, karena pelayanan BK merupakan bagian dari pendidikan yang
dijalankan di suatu sekolah.
Sarana dan prasarana BK adalah bagian dari sarana dan prasarana pendidikan.
Mengenai sarana dan prasarana pendidikan diatur dalam Undang-undang RI No. 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yakni (dalam Undang-Undang no. 20,
2003) :
Pasal 45 ayat (1) Setiap satuan pendidikan formal dan nonformal menyediakan
sarana dan prasarana yang memenuhi keperluan pendidikan sesuai dengan pertumbuhan
dan perkembangan potensi fisik, kecerdasan intelektual, sosial, emosional, dan kejiwaan
peserta didik, ayat (2). Ketentuan mengenai penyediaan sarana dan prasarana
pendidikan pada semua satuan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
KONSEP SARANA DAN PRASARANA PENDIDIKAN
A. KONSEP SARANA PENDIDIKAN
Sarana pendidikan adalah semua perangkat peralatan, bahan, dan perabot yang
secara langsung digunakan dalam proses pendidikan di sekolah (Ibrahim, 2003).
Nawawi (1987) mengklasifikasikan sarana pendidikan yang ditinjau dari sudut : (1)
habis tidaknya dipakai ; (2) bergerak tidaknya pada saat digunakan; dan (3)
hubungannya dengan proses belajar mengajar.
1. Ditinjau dari Habis Tidaknya Dipakai
a. Sarana pendidikan yang habis dipakai
Yaitu segala bahan atau alat yang apabila digunakan bisa habis dalam waktu
yang relatif singkat. Sebagai contoh adalah kapur tulis atau spidol yang
digunakan dalam proses belajar mengajar.
b. Sarana pendidikan yang tahan lama
Yaitu keseluruhan bahan atau alat yang dapat digunakan secara terus menerus
dalam waktu relatif lama. Contohnya adalah bangku sekolah dan meja tulis.
2. Ditinjau dari Bergerak Tidaknya Saat Digunakan
a. Sarana pendidikan yang bergerak
Yaitu sarana pendidikan yang bisa digerakkan atau dipindahkan sesuai
dengan kebutuhan pemakaiannya. Bangku sekolah merupakan salah satu sarana
pendidikan yang bisa digerakkan atau dipindahkan .
b. Sarana pendidikan yang tidak bisa bergerak
Yaitu semua sarana pendidikan yang tidak bisa atau relatif sangat sulit untuk
dipindahkan. Misalnya suatu sekolah yang memiliki saluran dari Perusahaan
Daerah Air Minum (PDAM). Semua peralatan yang berkaitan dengan itu, seperti
pipanya, relatif tidak mudah untuk dipindahkan ke tempat tertentu.
3. Ditinjau dari Hubungannya dengan Proses Belajar Mengajar
a. Sarana pendidikan yang secara langsung digunakan proses belajar mengajar.
Sebagai contohnya adalah kapur tulis atau spidol yang secara langsung
digunakan guru dalam proses mengajar.
b. Sarana pendidikan yang secara tidak langsung berhubungan dengan proses
belajar mengajar, seperti lemari arsip di kantor.
Sarana pendidikan yang tersedia di tiap satuan pendidikan tentu akan berbeda.
Hal ini bisa disebabkan karena anggaran dana yang kurang maksimal untuk pengadaan
sarana pendidikan. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya sekolah di daerah
terpencil yang kekurangan sarana pendidikan,. Meskipun demikian, proses belajar
mengajar harus tetap terlaksana walaupun dengan sarana yang minimal.
B. KONSEP PRASARANA PENDIDIKAN
Ibrahim Bafadal mengemukakan bahwa prasarana pendidikan adalah semua
perangkat peralatan yang secara tidak langsung menunjang pelaksanaan proses
pendidikan di sekolah. Prasarana pendidikan bisa diklasifikasikan menjadi dua macam
yakni (Ibrahim, 2003) :
1. Prasarana pendidikan yang secara langsung digunakan dalam proses belajar
mengajar, seperti ruang teori, ruang praktik keterampilan , ruang
laboratorium.
2. Prasarana yang keberadaannya tidak digunakan untuk proses belajar
mengajar, tapi menunjang terjadinya proses belajar mengajar. Beberapa
contohnya adalah ruang kantor, kamar kecil, ruang guru, ruang kepala
sekolah, ruang usaha kesehatan sekolah.
Prasarana pendidikan yang ada di tiap satuan pendidikan tentu saja akan
berbeda. Hal ini bisa disebabkan oleh kebijakan yang dilakukan oleh kepala sekolah
sebagai top leader di sekolah yang disesuaikan dengan anggaran dana yang tersedia di
sekolah dan kebutuhan akan prasarana pendidikan yang lebih penting. Misalnya,
kebutuhan akan penambahan ruang teori yang akan lebih diprioritaskan daripada
pengadaan ruang usaha kesehatan sekolah (UKS). Ruang UKS ini sementara waktu bisa
memanfaatkan ruang perpustakaan dengan memberi pembatas ruangan.
1. Sarana BK
Sarana yang diperlukan sebagai penunjang pelayanan bimbingan dan konseling
adalah instrumen pengumpulan data, alat penyimpan data, perlengkapan teknis dan
perlengkapan admnistrasi bimbingan (Thantawy, 1995).
1. Instrumen pengumpulan data
Ialah alat-alat yang digunakan untuk pemahaman individu atau siswa seperti
: Pedoman wawancara, pedoman observasi, kuesioner, daftar isian untuk
keterangan pribadi siswa, instrumen sosiometri, laporan hasil konseling,
laporan studi kasus, skala sikap, daftar cek, beberapa alat inventori atau tes
untuk penelusuran bakat dan minat.
2. Alat penyimpan data
Ialah alat untuk mencatat seluruh informasi yang diperlukan berupa catatan
kumulatif dalam bentuk buku yang disebut buku pribadi siswa.
3. Perlengkapan teknis
Ialah alat-alat atau media yang digunakan untuk keperluan layanan
bimbingan seperti buku paket bimbingan (pribadi, sosial, belajar, karir),
rekaman tape recorder, video, slide dsb.
4. Beberapa alat perlengkapan administrasi bimbingan yang perlu disediakan di
ruang bimbingan ialah :
A. Blangko surat-surat seperti surat panggilan kepada siswa, surat undangan
/ panggilan orang tua, surat pemberitahuan kunjungan rumah, blangko
laporan bulanan, atau caturwulan, arsip surat-surat.
B. Kartu laporan konseling, yaitu kartu yang digunakan untuk mencatat
kegiatan pemberian layanan konseling perorangan atau konseling
kelompok.
C. Catatan konsferensi kasus, yaitu catatan untuk kegiatan konferensi kasus.
D. Keterangan pemberian jenis layanan atau kegiatan penunjang layanan
yang dapat digunakan sebagai bukti fisik untuk keperluan perolehan
angka kredit guru pembimbing.
E. Perlengkapan lain yang perlu disediakan di ruangan bimbingan ialah
buku tamu tempat mencatat jika ada tamu yang berkunjung ke sekolah
itu, buku agenda atau ekspedisi surat-surat.
F. Kotak masalah, ialah penyediaan kotak tempat untuk menampung
masalah-masalah yang datang dari siswa atau guru mata pelajaran, wali
kelas.
G. Papan pengumuman, yakni tempat penyampaian informasi yang perlu
diketahui oleh para siswa ataupun guru dalam hubungan dengan kegiatan
BK.
Menurut Panduan Pelayanan Bimbingan dan Konseling Berbasis kompetensi
yang juga menjadi sarana BK adalah perangkat elektronik seperti (Depdiknas, 2002) :
1. Komputer untuk mengolah data hasil aplikasi instrumentasi.
2. Program-program khusus pengolahan hasil instrumentasi melalui
komputer
3. Program-program khusus bimbingan dan konseling melalui komputer ,
seperti “bimbingan belajar melalui program komputer”.
Sarana BK yang telah dipaparkan merupakan suatu konsep ideal sarana yang
diperlukan dalam mencapai tujuan pelayanan BK di suatu sekolah. Tetapi, dalam
kenyataannya, hanya sekolah-sekolah dengan dana yang memadai yang dapat
memenuhi keseluruhan dari sarana BK, karena banyak sekolah yang masih
memprioritaskan sarana mata pelajaran dibandingkan sarana BK.
Sebagai skala prioritas jika sarana BK tersebut tidak dapat dapat dipenuhi
keseluruhannya, maka yang menjadi kebutuhan primer dalam sarana BK adalah
instrumen pengumpulan data dan alat pengumpul data siswa. Hal ini dikarenakan tanpa
adanya instrumen pengumpulan data, maka guru pembimbing tidak akan memahami
siswa dan tidak mengetahui kebutuhan siswa sehingga pelayanan BK tidak akan
berjalan. Begitu juga dengan alat pengumpul data siswa, menjadi hal yang penting
dalam pelayanan BK karena akan merangkum keseluruhan informasi tentang siswa.
Perlengkapan teknis, perlengkapan administrasi dan perangkat elektronik
menjadi kebutuhan sekunder dalam sarana BK. Hal ini dikarenakan tanpa ketiga
perlengkapan tersebut, pelayanan BK dapat tetap berjalan.
2. Prasarana BK
Prasarana berupa perlengkapan fisik yang diperlukan untuk pelaksanaan
pelayanan bimbingan dan konseling ialah adanya ruangan bimbingan dan konseling
yang dilengkapi dengan fasilitas yang memadai. Prasarana atau perlengkapan ruangan
bimbingan yang diperlukan ialah (Thantawy, 1995) :
1. Ruang kerja guru pembimbing
Ruang ini merupakan tempat para guru pembimbing bekerja, sebaiknya
ruangan ini berdekatan letaknya dengan ruang bimbingan lain.
2. Ruang konseling
Ruang ini merupakan tempat melakukan kegiatan konseling, terutama
konseling perorangan. Tempat ruang konseling sebaiknya aman dari
keramaian, keriuhan, dan terlindung untuk kerahasiaan pembicaraan proses
konseling.
3. Ruang tunggu atau ruang tamu
Merupakan tempat para siswa dan para tamu untuk menunggu baik
keperluan konseling, konsultasi atau pengumpulan data. Di ruang ini
sebaiknya disediakan bahan bacaan ringan untuk para tamu, brosur-brosur
atau leaflet yang berisi informasi atau pengumuman.
4. Ruang perlengkapan / dokumentasi
Merupakan ruang tempat menyimpan data atau informasi yang digunakan
dalam pemberian layanan bimbingan. Ruangan ini dapat juga befungsi
sebagai tempat menyimpan alat-alat atau instrumen bimbingan.
5. Ruang bimbingan kelompok
Ruangan ini dimaksudkan untuk kegiatan kelompok baik untuk bimbingan
kelompok maupun kegiatan konseling kelompok.
Menurut pemakalah, model ruangan bimbingan dan konseling di sekolah
yakni :
Ruang Kelompok
Ruang Data dan
Administrasi
Ruang
Konseling
GP-1
Ruang Media
BK
GP-2 Ruang Tamu
GP-3
GP-4
Keterangan: pintu, GP = Guru Pembimbing
Prasarana yang dikemukakan adalah konsep ideal tentang prasarana BK. Dalam
kenyataannya tidak semua sekolah memenuhi prasarana BK. Hal ini bisa disebabkan
kekurangan prasarana atau kurangnya perhatian kepala sekolah selaku top manager di
sekolah untuk memenuhi prasarana BK.
Sebagai kebutuhan primer dalam prasarana BK di sekolah adalah ruang
perlengkapan / dokumentasi yang berfungsi sebagai tempat menyimpan data atau
informasi yang digunakan dalam pemberian layanan BK. Ruangan ini juga dapat
berfungsi sebagai tempat menyimpan alat-alat atau instrumen bimbingan. Ruangan ini
harus dilengkapi dengan lemari yang dapat dikunci bisa berupa filling cabinet atau
lemari yang terbuat dari kayu, karena sifat dari data / informasi dan instrumen
bimbingan yang bersifat rahasia.
Ruang kerja guru pembimbing, ruang konseling, ruang tamu, ruang bimbingan
kelompok menjadi kebutuhan sekunder dalam pelayanan BK di sekolah karena tanpa
adanya ruangan tersebut, pelayanan BK dapat tetap berjalan. Ruang kerja guru
pembimbing dapat menggunakan ruang guru dan jika memungkinkan di sekat agar azas
kerahasiaan dapat terjamin. Untuk ruangan konseling, bimbingan kelompok dan
konseling kelompok dapat menggunakan ruang kelas atau musholla, jika memang tidak
ada ruangan khusus.
3. Pengadaan Sarana dan Prasarana BK
Pengadaan perlengkapan pendidikan pada dasarnya merupakan upaya
merealisasikan rencana pengadaan perlengkapan yang telah disusun sebelumnya.
Biasanya sekolah mendapat bantuan sarana dan prasarana pendidikan dari pemerintah,
yakni Departemen Pendidikan Nasional, Dinas Pendidikan Provinsi, Dinas Pendidikan
Kabupaten / Kota. Namun jumlah tersebut terbatas dan tidak selalu ada sehingga
sekolah dituntut untuk selalu berusaha melakukan pengadaaan perlengkapan dengan
cara lain.
Di sisi lain, dalam kerangka peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah
(PMPBS), atau dalam kerangka manajemen berbasis sekolah (MBS), pengadaan
perlengkapan sekolah harus dilakukan sendiri oleh sekolah, baik dengan menggunakan
dana bantuan pemerintah maupun dana sekolah sendiri. Artinya dalam kerangka
MPMBS atau MBS semua bentuk penyerahan perlengkapan pemerintah ke sekolah
harus diubah dari bentuk pemberian dana ke dalam bentuk block grand kepada
sekolah, kemudian kepala sekolah bersama para guru dan bila perlu pengurus komite
merencanakan dan melakukan pengadaan sendiri perlengkapan yang dibutuhkan secara
efektif dan efisien (Ibrahim, 2003).
Sejalan dengan hal di atas, pada setiap tahun ajaran koordionator BK perlu
membuat rencana anggaran belanja untuk pengadaan sarana dan prasarana bimbingan
dan konseling. Rancangan anggaran ini diajukan kepada kepala sekolah, baik untuk
anggaran tahunan, ataupun semesteran (Thantawy, 1995).
Sarana dan prasarana BK tidak dapat dipenuhi keseluruhannya jika kepala
sekolah selaku top manager kurang memahami tentang pentingnya pelayanan BK di
sekolah dan jika memang dana yang tersedia kurang memadai. Padahal dalam
kenyataannya, pelayanan BK akan membantu terselenggaranya pendidikan di sekolah
agar lebih efektif dan efisien.
4. Pengelolaan dan Pemeliharaan
a. Pengelolaan
Pengelolaan sarana dan prasarana BK dilakukan oleh koordinator BK yang
dibantu oleh guru pembimbing. Hal ini merupakan penjabaran dari salah satu tugas
koordinator BK yang mengusulkan kepada kepala sekolah dan mengusahakan bagi
terpenuhinya tenaga, sarana dan prasarana, alat dan perlengkapan pelayanan BK.
b. Pemeliharaan
Ada 2 macam pemeliharaan perlengkapan pendidikan di sekolah, yakni
(1) ditinjau dari sifatnya dan (2) ditinjau dari waktu perbaikannya (Ibrahim, 2003). Hal
tersebut dapat diterapkan dalam pemeliharaan sarana dan prasarana BK di sekolah.
I. Ditinjau dari sifatnya
a. Pemeliharaan yang bersifat pengecekan
Contoh: pengecekan tentang baik buruknya keadaan komputer yang
dilakukan oleh seseorang yang paham tentang komputer.
b. Pemeliharaan yang bersifat pencegahan
Contoh : komputer yang diberi anti virus.
c. Pemeliharaan yang bersifat perbaikan ringan
Contoh : Perbaikan jika komputer terkena virus.
d. Pemeliharaan yang bersifat perbaikan berat
Contoh : Komputer yang direparasi.
II. Ditinjau dari waktu perbaikannya
a. Pemeliharaan sehari-hari
Misalnya menyapu, mengepel lantai ruangan konseling yang dilakukan
oleh petugas yang ditunjuk.
b. Pemeliharaan berkala
Misalnya berupa pengontrolan genting dan pengapuran tembok pada
ruangan konseling yang dilakukan oleh petugas yang ditunjuk.
Menurut pemakalah, pemeliharaan sarana dan prasarana BK lainnya dapat
disesuaikan dengan kebutuhan yang berdasarkan pada konsep-konsep yang telah
dikemukakan tentang pemeliharaan.
5. Masalah dan Solusi
A. Masalah
1. Belum maksimalnya penggunaan instrumen pengumpulan data, sehingga
pelayanan BK belum sesuai kebutuhan siswa.
2. Belum maksimalnya penggunaan perangkat elektronik.
3. Belum lengkapnya perlengkapan admnistrasi bimbingan.
4. Pemeliharaan sarana BK belum maksimal, yakni masih digunakannya
sarana dan prasarana yang sudah sangat lama dan kurang terawat, misalnya
pedoman wawancara yang sudah kumal dan kotor termakan usia.
B. Solusi
1. Jika memang guru pembimbing tidak mempunyai hak dalam melakukan
pengetesan misalnya tes intelegensi, maka sebaiknya dilakukan oleh petugas
yang berwenang misalnya psikolog. Guru pembimbing dapat
mengkomunikasikan tentang pentingnya dilaksanakan pengetesan siswa
kepada koordinator BK dan dilanjutkan ke kepala sekolah. Hasil dari
pengetesan ini dapat membantu guru pembimbing dalam melakukan
pemahaman individu atau siswa.
2. Jika guru pembimbing belum memahami penggunaan perangkat elektronik,
dapat dilakukan kursus atau pelatihan singkat mengenai perangkat
elektronik seperti komputer, sehingga memudahkan guru pembimbing
dalam mengolah hasil aplikasi insrumentasi atau hal lain yang berhubungan
dengan pelayanan BK.
3. Guru pembimbing dan koordinator BK mengkomunikasikan kepada kepala
sekolah tentang kekurangan perlengkapan administrasi BK.
4. Pemeliharaan sarana BK harus benar-benar diperhatikan oleh guru
pembimbing dan koordinator BK, dan mengkomunikasikannya pada kepala
sekolah jika sarana BK sudah tidak layak digunakan.
KESIMPULAN
Sistem dan mekanisme pengelolaan peralatan dan perlengkapan yang
dibutuhkan dalam pelayanan BK bertujuan agar terlaksananya pelayanan BK yang
efektif dan efisien. Untuk mencapai hasil tersebut, dibutuhkan sarana dan prasarana
yang menunjang pelayanan BK di sekolah, mulai dari perlengkapan dan ruangan yang
dibutuhkan sampai pada pengadaan, pengelolaan dan pemeliharaannya agar sarana dan
prasarana BK yang ada dapat digunakan sesuai peruntukannya dengan maksimal.
DAFTAR PUSTAKA
Ibrahim Bafadal, 2003. Manajemen Perlengkapan Sekolah (Teori dan Aplikasinya).Jakarta : Bumi Aksara.
Panduan Pelayanan Bimbingan dan Konseling. 2002. Balitbang : Depdiknas.Thantawy, 1995. Manajemen Bimbingan dan Konseling. Jakarta : PamatorPressindo.Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
YOSEPH SCHACHT DAN PANDANGANNYATENTANG SANAD HADIS
Oleh :
Askolan LubisDosen Fakultas tarbiyah IAIN Sumatera Utara
Jl. Willem iskandar Psr V Medan Estate
Abstract
Sanad system as a specifict case for moslem. The previous people do notpossess it. Therefor their authentic holybook cannot be justified. The Sanad value iscrucial, so the expert of Hadits cited that Sanad system is a part of Islamic religion.
There is a disriction from the views above. The orientalist schacht has his ownperspective. He stated :” we shall not meet any legal tradition from the Propet, whichcan be considered authentic”. According to him, Sanad of Hadits did not appear yet inProphet period, the Sanad was counterfeit, it was created by the experts of classic Fiqh.Key words : Sanad Hadits, Orientalis
PENDAHULUAN
istem penyampaian berita dengan menyebutkan narasumbernya disebut Isnad.
Sementara narasumber berita ini disebut Rawiy (periwayat), karena ia meriwayatkan
berita itu dari orang lain kepada orang lain pula. Dan dari narasumber pertama - - dalam
hal ini adalah Nabi Muhammad SAW sendiri - - sampai narasumber terakhir akan
terbentuk silsilah atau jalur periwayatan yang kemudian lazim dikenal dengan istilah
Sanad.
Sistem sanad ini merupakan spesifik umat Islam. Umat-umat sebelumnya tidak
memiliki sistem ini. Karenanya, otentisitas kitab-kitab samawi mereka tidak dapat
dipertanggung jawabkan. Begitu pula ajaran-ajaran yang asli dari para Nabi mereka juga
tidak ditulis dalam kitab-kitab yang dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya.
Karenanya, seandainya umat Islam tidak memiliki sistem sanad, tentulah al-
Quran dan ajaran Nabi Muhammad SAW sudah mengalami nasib yang sama seperti
ajaran para Nabi sebelumnya. Maka disinilah letak nilai dan urgensi sanad dalam agama
Islam.
S
Karena demikian luhurnya nilai sanad, maka para ulama mengatakan bahwa
pemakaian sanad itu merupakan simbol umat Islam (al-Tahhan, 1979 : 158). Bahkan
Imam Abdullah bin al-Mubarak, berkata :”Sistem sanad ini merupakan bagian dari
agama Islam. Tanpa adanya sistem sanad, setiap orang dapat mengatakan apa yang
dikehendakinya” (Muslim, tt.: 9). Sementara Imam al-Tsauriy mengatakan, “Sistem
sanad ini merupakan senjata bagi orang-orang mukmin (Nur al-Din ‘Itr, 1979: 344).
Urgensi sanad ini akan lebih tampak apabila kita meneliti rawi-rawi hadis yang
membentuk sanad- sanad itu sendiri. Karena dengan meneliti sanad dapat diketahui
apakah silsilah rawi-rawi itu bersambung sampai kepada Nabi SAW atau tidak. Dan
dapat pula diketahui, apakah masing-masing rawi bisa dipertanggung jawabkan
pemberitaannya itu atau tidak. Dan akhirnya dapat diketahui apakah hadis yang
diriwayatkan itu bernilai sebagai hadis Sahih, Hasan, atau Da’if, bahkan Maudu’
Berbeda dengan pendapat kaum Muslimin seperti disebutkan di atas, para
orientalis tidak mempercayai bahwa sanad hadis sudah dipakai sejak masa Nabi
Muhammad SAW, dan salah seorang di antara orientalis yang berpendapat demikian
adalah Yoseph Schacht.
1. Sekilas Tentang Yoseph Schacht
Schacht, lahir di Silisie Jerman, 15 Maret 1902. Dia memulai karir akademiknya
dengan belajar pilologi klasik, teologi dan bahasa-bahasa Timur di Universitas
Berslauw dan Universitas Leipzig. Ia memperoleh gelar Doktor pada tahun 1923, yaitu
ketika dia baru berumur 21 tahun.
Pada tahun 1925, ia diangkat menjadi Dosen di Universitas Fribourg, dan pada
tahun 1929, ia dikukuhkan sebagai guru besar. Pada tahun 1932, ia pindah ke
Universitas Kingsbourg, dan dua tahun kemudian, ia meninggalkan negerinya, Jerman,
untuk mengajar Tata-bahasa Arab dan bahasa Suryani di Universitas Fuad Awal (kini
Universitas Cairo) di Mesir. Ia tinggal di Cairo, Mesir, sampai tahun 1939 sebagai Guru
Besar.
Ketika perang dunia ke-dua meletus, Yoseph Schacht meninggalkan Cairo dan
pindah ke Inggeris. Dan ketika perang usai, dia tetap tinggal di Inggeris, dan menikah
dengan seorang wanita Inggeris. Bahkan pada tahun 1947, dia menjadi Warga Negara
Inggeris.
Sebagai seorang ilmuan yang menyandang gelar Profesor-Doktor, di Inggeris,
dia justru belajar lagi di tingkat Pasca Sarjana Universitas Oxford, sampai ia meraih
gelar Magister (1048) dan Doktor (1952) dari Universitas tersebut.
Pada tahun 1954, ia meninggalkan Inggeris dan mengajar di Universitas Leiden,
Belanda sebagai Guru Besar sampai tahun 1959. Di negeri Belanda ini, ia ikut menjadi
Supervisor atas cetakan ke-dua buku Dairah al-Ma’arif al-Islamiyyah. Kemudian, pada
musim panas, tahun 1959, ia pindah ke Universitas Colombia, New York, dan mengajar
sebagai Guru Besar, sampai ia meninggal dunia, pada tahun 1969 (Ali Mustafa Yakub,
1995: 20).
Karya-karyanya
Sebagai seorang ilmuan, Schacht banyak meninggalkan karya, baik buku
maupun artikel. Di antara karya-karyanya tersebut, antara lain : The Legacy of Islam,
The Teologus Auto-Didactus of Ibn Nafis. Namun karya tulisnya yang paling
monumental dan melambungkan namanya adalah bukunya, The Origins of
Muhammadan Jurisprudence yang terbit pada tahun 1950, dan An Introduction To
Islamic Law , yang terbit pada tahun 1960. Dalam dua karyanya inilah, ia menyajikan
hasil penelitiannya tentang Hadis Nabi, dimana ia berkesimpulan bahwa sanad Hadis
adalah bagian dari tindakan sewenang-wenang dan kecerobohan (carelessly) dalam
hadis Nabi (Schacht, 1959, 163).
2. Pendapat Schacht Tentang Sanad
Dalam mengkaji hadis Nabi, Schacht lebih banyak menyoroti aspek sanad
daripada aspek Matn. Menurut dia, ketika Nabi Muhammad SAW di Madinah, beliau
menjadi seorang Nabi sekaligus pembuat hukum (propeth-Lawgiver). Padahal
kekuasaannya tidak mencakup segi-segi penetapan hukum. Bagi orang yang beriman,
kekuasaan Nabi hanya berhubungan dengan masalah agama saja, sedang bagi orang
munafik, kekuasaan Nabi hanya dalam masalah politik. Para Khulafa’ al-Rasyidin
(632 – 661) setelah wafatnya Rasul merupakan pemimpin politik masyarakat Islam,
namun mereka tidak mengambil hukum dari sumber yang lebih tinggi, yaitu Rasul.
Mereka hanya mengambilnya dari Khalifah sendiri secara luas sebagai pembuat
hukum masayarakat (Schacht, 1964: 11).
Menurut Schacht, para Khalifah awal tidak pernah mengangkat Qadhi/hakim.
Pengangkatan Qadhi, baru dilakukan pada masa Dinasti Bani Umayyah (Schacht,
1959: 16). Kira-kira pada akhir abad pertama Hijriyah (715 – 720 M), pengangkatan
Qadhi itu ditujukan kepada “orang-orang spesialis” yang berasal dari kalangan yang
taat beragama. Karena jumlah orang-orang ini bertambah banyak, maka akhirnya
mereka berkembang menjadi kelompok aliran Fiqh klasik (the ancient shool law).
Aliran Fiqih klasik ini mempunyai persamaan dalam teori hukum yang esensial.
Dan titik pusat ide dari teori tersebut adalah masalah yang sudah memasyarakat yang
dipraktekkan oleh wakil-wakil resmi yang merupakan teori hukum yang tetap, yang
disebut Schacht dengan istilah “The living tradition of the school”. Inilah yang pada
akhirnya melahirkan praktek ideal atau sunnah (Schacht, 1964: 16).
Ide kontinuitas yang diwariskan dari konsep Sunnah atau praktek ideal dan
perlunya diciptakan alasan-alasan teoritis sebagai pembenarannya, memerlukan
legitimasi dari orang-orang yang memiliki otoritas lebih tinggi. Karenanya, mereka
tidak menisbahkan keputusan-keputusan itu kepada dirinya sendiri, melainkan
menisbahkannya kepada tokoh-tokoh sebelumnya. Misalnya, orang Irak menisbahkan
pendapat-pendapat mereka kepada Ibrahim al-Nakha’i.
Perkembangan berikutnya, pendapat-pendapat para hakim (qadhi) itu tidak
hanya dinisbahkan kepada tokoh-tokoh terdahulu yang jaraknya masih dekat,
melainkan dinisbahkan kepada tokoh yang lebih terdahulu, misalnya Masruq. Langkah
selanjutnya, untuk memperoleh legitimasi yang lebih kuat, maka pendapat-pendapat
itu dinisbahkan lagi kepada tokoh yang memiliki otoritas yang lebih tinggi, misalnya
Sahabat Abdullah bin Mas’ud. Dan pada tahap terakhir, pendapat-pendapat itu
dinisbabahkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Dengan cara inilah rekonstruksi terbentuknya sanad hadis, yaitu dengan
memproyeksikan pendapat-pendapat itu kepada tokoh-tokoh dibelakang (Projecting
Back ). Menurut dia, gerakan ahli hadis muncul sebagai oposisi terhadap aliran Fiqh
klasik, dan mereka membuat-buat hadis-hadis yang mereka katakan sebagai laporan
yang berasal dari Nabi Muhammad SAW dan mereka juga membuat sanad yang
bersambung untuk hadis-hadis tersebut, sebagaimana penegasan Schacht berikut ini:
The movement of the traditionists ... in the second century of the hijrah, was thenatural outcome and continuation of a movement of religiously and ethically inspiredopposition to the ancient school of law ... The main thesis of the traditionists was theformal “Traditions” ... deriving from the prophet superseded the living tradition ofthe school ... the traditionists produced detailed statements or traditions whichclaimed to be the reports of ear or eye – witnesses on the words or acts of theprophet, handed down orally by uninterrupted chain (isnad) of trustworthy persons.Hardly any of these traditions, as far as matters of religious law are concerned, canbe considered authentic ...(Schacht, 1964 : 34 – 35).
Gerakan ahli-ahli hadis ... pada abad ke dua hijrah merupakan hasil alami dan
kesinambungan dari sebuah gerakan oposisi yang diilhami secara agamis terhadap
aliran Fiqh klasik ... Tesis pokok ahli-ahli hadis adalah bahwa hadis-hadis formal yang
berasal dari Nabi Muhammad SAW harus mengalahkan aturan-aturan aliran Fiqh ...
Oleh karenanya, ahli-ahli hadis membuat pernyataan-pernyataan terinci atau hadis-
hadis yang di klaim sebagai riwayat dari saksi yang melihat atau mendengar
perkataan-perkataan atau perbuatan-perbuatan Nabi, diterima secara lisan dengan
sanad Muttasil dari periwayat-periwayat yang terpercaya. Kerenanya, sulit sekali
untuk mengatakan bahwa hadis-hadis ini, sejauh berkenaan dengan masalah-masalah
hukum keagamaan, dapat dipertimbangkan sebagai hadis sahih ...
Demikianlah, Schacht memberi illustrasi tentang pertentangan antara ahli-ahli
hadis sebagai gerakan oposisi dengan aliran Fiqh klasik yang mempertahankan adanya
masalah yang sudah memasyarakat (Living traditions of the school). Pertentangan
inilah yang membuat satu kelompok ingin mengalahkan otoritas kelompok yang lain.
Dan untuk mencari legitimasi terhadap pemikiran dan gagasan, keduanya membuat
hadis-hadis yang mereka katakan berasal dari Nabi. Mereka juga merekayasa sanad-
sanadnya dan mengatakan bahwa hadis-hadis itu diterima secara lisan dari saksi-saksi
dan periwayat-periwayat yang adil dan dhabit. Situasi semacam inilah yang
melahirkan hadis-hadis Nabi, yang akhirnya, menurut Schacht, bahwa hadis-hadis
yang berkenaan dengan hukum sulit dipertimbangkan sebagai Hadis Sahih. Bahkan
dia mengatakan :”We shall not meet any legal tradition from the Prophet which can be
considered authentic” (Schaht, 1959: 149)
Menurut Schacht, sanad hadis belum tumbuh pada masa Nabi Muhammad
SAW. Bahkan sebenarnya sanad-sanad hadis itu adalah palsu, dan dibuat-buat oleh
ahli-ahli hadis untuk mengimbangi aturan-aturan aliran Fiqh klasik. Perkembangan
sanad, kata dia, dimulai dari bentuk sederhana yang kemudian diperbaiki sedemikian
rupa sehingga menjadi sanad yang Muttasil. Perkembangan sanad tersebut diiringi
dengan perkembangan matan-matannya. Sehingga semakin akhir periode, periwayatan
suatu hadis semakin sempurna pula sanad hadis yang diriwayatkannya, sebagaimana
yang dinyatakan Schacht berikut ini:
“ ... Sanad menunjukkan bagian yang sangat sewenang-wenang terhadap hadis
Nabi, ... adalah pengetahuan umum bahwa sanad berawal dari bagian sederhana
dan mencapai titik kesempurnaan dalam koleksi hadis-hadis klasik pada paruh ke
dua abad ke tiga hijrah, ... sanad seringkali diambil bersama-sama secara
sembarangan (1959: 163).
Demikianlah Schacht menjelaskan proses terjadinya sanad hadis. Secara tegas
dia mengatakan bahwa sanad tersebut pada awalnya tidak ada. Kemudian, setelah
timbul pertentangan antara ahli hadis sebagai golongan oposisi dengan aliran Fiqh
klasik, maka ahli-ahli hadis membuat hadis-hadis yang dianggap dari Nabi.
Menurut dia, bagian bawah dari sanad adalah otentik, tetapi bagian atas dari sanad
hanayalah buatan orang-orang belakangan dan tidak dapat dipertimbangkan sama
sekali sebagai sanad yang sahih. Namun para periwayat hadis pada masa belakangan
menganggap bahwa hal tersebut benar-benar berasal dari Nabi.
Untuk membuktikan teorinya ini, Schacht memberikan contoh hadis yang
terdapat dalam kitab Ikhtilaf al-Hadis karya Imam Syafi’i, yaitu tentang makanan
seorang Muhrim dari binatang buruan (1986 : 177). Berikut Skema sanadnya :
Nabi SAW Nabi SAW Nabi SAW
Jabir Jabir Jabir
Seorang dari suku Muttalib MuttalibBani Salamah
‘Amar bin Abu ‘Amar(Sahaya yang dimerdekakan oleh
Muttalib)
Abd Azis bin Ibrahim bin Muhammad Sulaiman binBilal
Muhammad
al-Syafi’i al-Syafi’i Seorang takdikenal
al-Syafi’i
Menurut Schacht, hadis yang diriwayatkan oleh Syafi’i tersebut menggambarkan
sebuah fenomena tentang seorang periwayat yang menjadi titik temu bersama untuk
semua sanad yang disebut oleh Schacht dengan istilah common transmitter atau
common link. Dalam skema sanad tersebut, yang menjadi common link adalah ‘Amar
bin Abu ‘Amar, sehingga hadis dimaksud bersambung kepada seorang sahabat yang
bernama Jabir atau kepada Nabi SAW. Bagian bawah dari sanad adalah bagian yang
otentik. Sedangkan bagian atas hanyalah sanad palsu yang dibuat seseorang ahli hadis
yang bernama ‘Amar bin Abu ‘Amar (Schacht: 172).
Contoh lain, Schacht merujuk kepada kitab al-Muwatta’ karya Imam Malik bin
Anas. Dalam kitab tersebut ada riwayat dari Malik dari Hisyam bin ‘Uwah dari
ayahnya, bahwa ‘Umar bin Khattab ketika berada di mimbar pada waktu khutbah
Jum’at, beliau membaca ayat sajdah (ayat dimana pembaca atau pendengarnya
disunnahkan sujud). Maka beliau lalu turun dari mimbar dan sujud, kemudian orang-
orang ikut sujud juga. Pada hari Jum’at yang lain, beliau juga membaca ayat seperti itu,
sehingga orang-orang pun bersiap-siap untuk sujud. Namun ketika melihat hal itu,
beliau berkata:”Tenanglah, karena Allah tidak mewajibkan bersujud dalam ayat Sajdah,
kecuali apabila kita mau”. Dan beliau pun mencegah mereka bersujud (M.Azami,1992:
435)
Mengomentari sanad hadis tersebut, Schacht berpendapat bahwa sanad hadis
tersebut terputus, sebab ‘Urwah lahir pada masa khalifah Usman. Namun, kata Schacht
lagi, dalam kitab sahih Bukhari, sanad hadis ini Muttasil atau bersambung. Dan dalam
kitab naskah kuno kitab al-Muwatto’ terdapat kata-kata “dan kami bersujud bersama
‘Umar”, yang tentunya bukan ucapan ‘Urwah, tetapi dianggap begitu saja sebagai
ucapannya. Dan kenyataannya, inilah teks asli kitab al-Muwatta’. Maka hal ini
merupakan bukti yang menunjukkan bahwa “pembuatan” teks hadis itu sudah ada lebih
dahulu, kemudian baru dibuatkan sanadnya bersama teks tersebut secara palsu.
Kemudian Sanad itu dikembangkan dan direvisi sedemikian rupa, sehingga hadis itu
disebut sebagai berasal dari masa silam (Schacht, 1959: 164).
Dua contoh yang kita kutip di atas, sudah cukup mewakili tentang tuduhannya
bahwa ia tidak mengakui sama sekali adanya hadis-hadis hukum yang sahih. Bahkan
lebih jauh lagi, Schacht menggeneralisasikan hasil penelitiannya dan menerapkannya
untuk seluruh hadis-hadis Nabi.
3. Analisa Terhadap Pendapat Schacht
Para orientalis sejak semula telah memberikan perhatian terhadap penelitian
hadis. Motivasi mereka dalam penelitian hadis ada beberapa faktor. Salah satu
diantaranya adalah usaha untuk memburuk-burukkan Islam melalui penelitian hadis
karena melalui penelitian hadis lebih mudah daripada melalui penelitian al-Quran (Abd.
Rahman Wahid,2002: 27).
Adanya keinginan untuk mendiskreditkan Islam, mengakibatkan banyak
kekeliruan mereka dalam penelitian hadis ini. Gambaran yang sangat negatif dan
prasangka yang berlebihan telah menyesatkan hampir semua kaum orientalis, kecuali
beberapa sarjana yang berpikiran jernih dan bersifat objektif dalam melakukan
penelitian mereka.
Tampaknya Schacht memiliki tujuan tersendiri, yaitu ingin melecehkan hadis
agar hadis tersebut tidak dapat dipakai sebagai rujukan umat Islam. Dia memiliki tesis
yang menyatakan bahwa hadis bukan sesuatu yang otentik dari Nabi, melainkan
sesuatu yang lahir dari rahim pemikiran para ulama pada abad pertama dan ke dua
hijrah.
Sebenarnya, sanad bukanlah rekayasa dan bukan timbul pada masa belakangan.
Nabi, dalam menyatakan sabda-sabdanya sering menyebut bahwa sumbernya dari
Malaikat Jibril. Bahkan, para sahabat dalam menyampaiakan hadis, selalu menyebut
nama sahabat lain yang menjadi sumber ia memperoleh hadis tersebut.
Dengan demikian, tidak terdapat perkembangan sanad dari bentuk yang
sederhana menjadi bentuk yang sempurna. Demikian pula, tidak ada yang sanadnya
mauquf menjadi marfu’ atau dari yang munqoti’ menjadi muttasil. Suatu sanad yang
terputus selamanya akan terputus dan tidak akan menjadi sanad yang bersambung.
Sementara, tentang hadis yang dikritisi oleh Schacht mengenai makanan seorang
Muhrim, karya al-Syafi’i seperti contoh di atas, A’zami mengatakan:
Schacht, nampaknya tidak memahami maksud al-Syafi’i terhadap hadis
tersebut. Sebenarnya, al-Syafi’i ingin membandingkan antara tiga orang murid ‘Amar
bin Abu ‘Amar yang meriwayatkan hadis tersebut. Setelah dibandingkan, ternyata
‘Abdl ‘Azis telah melakukan kekeliruan, karena ia menyebutkan “seseorang dari suku
Bani Salamah” adalah guru dari ‘Amar bin Abu ‘Amar, sebagai ganti dari al-Muttalib.
Karena Ibrahim lebih kuat periwayatannya dari ‘Abd ‘Azis, dan hal itu diperkuat pula
oleh Sulaiman, maka yang betul adalah al-Muttalib, bukan “seseorang dari bani
Salamah” (A’zami, 1968: 234).
Dengan demikian, hadis tersebut hanya memiliki satu sanad saja, yaitu jalur
sanad ‘Amar bin Abu ‘Amar dari al-Muttalib, dengan Skema:
Nabi SAW
Jabir
Al-Muttalib
‘Amar bin Abu ‘Amar
Abd. Al-‘Azis Ibrahim Sulaiman
Dengan demikian, pernyataan Schacht, terutama tentang adanya periwayat yang
menjadi titik temu bersama (common link) yaitu ‘Amar bin Abu ‘Amar, tidaklah benar.
Adapun tentang tuduhan Schacht terhadap kitab Muwatto’ karya Imam Malik
yang mengatakan sanad hadis tersebut terputus, dan kemudian baru dibuatkan sanadnya
bersama teks tersebut secara palsu, maka A’zami berkomentar: “Kita tidak dapat
memastikan bahwa Schacht pernah menemukan kitab al-Muwatta’ yang ditulis sendiri
oleh Imam Malik. Apakah mungkin ia memiliki naskah kuno tersebut, sedangkan
tokoh-tokoh pensyarah kitab tersebut, seperti Ibn ‘Abd al-Bar dan al-Zurqaniy tidak
pernah menyinggung sama sekali tentang adanya naskah kuno asli.
A’zami, lebih jauh menjelaskan bahwa ada kekeliruan dan kelalaian pada penulis
naskah, dimana ia tidak menulis huruf “Sin” dalam kalimat. , sehingga
kalimat itu akhirnya berbunyi : . Dan seandainya teks kuno yang asli itu
berbunyi : seperti tuduhan Schacht, maka berarti ‘Urwah telah merobah
susunan kalimat berikutnya, sehingga ia mengatakan:
Selanjutnya, apabila permasalahannya seperti yang dituduhkan Schacht, yaitu
adanya pemalsuan teks hadis lebih dahulu kemudian diiringi pemalsuan sanadnya, maka
seandainya tuduhan Schacht itu benar, siapakah yang mempunyai andil dalam
pemalsuan ini ?. Malik atau Hisyam bin ‘Urwah ? Sedangkan mereka itu menurut
penilaian umum adalah termasuk orang-orang yang cerdas. Dan rasanya tidak logis
mereka melakukan kesalahan besar seperti itu dalam menyusun sanad hadis. Oleh
karena itu, usaha untuk meragukan otentisitas sanad al-Bukhoriy dengan dalih adanya
kekeliruan dalam sejumlah naskah-naskah kitab al-Muwatto’ di mana hal itu mungkin
juga dilakukan oleh penulis naskah sesudah al-Bukhoriy, adalah tidak berdasarkan
ilmiyah sama sekali, jauh dari kebenaran dan tidak layak untuk diperhatikan.
PENUTUPSanad telah dipakai pada masa Nabi SAW masih hidup, dan para sahabat juga
memakainay dalam periwayatan hadis. Namun, dalam saat-saat tertentu, para sahabat
tidak memakai sanad, karena pada masa itu belum muncul kedustaan terhadap hadis
Nabi SAW.
Setelah terjadi fitnah kubro, yakni terbunuhnya khalifah Usman bin Affan dan
dilanjutkan pertentangan antara Ali dan Mu’awiyah, para ulama sangat selektif dalam
menerima hadis. Mereka tidak mengambilnya, kecuali dari orang-orang yang dikenal.
Suatu hadis tanpa sanad tidak dapat diterima oleh para ulama hadis. Akhirnya, untuk
menyeleksi sanad-sanad tersebut, ulama hadis menciptakan kaedah otentisitas sanad.
Otentisitas sanad diragukan oleh Schacht. Menurutnya, sanad baru tumbuh pada
paruh ke dua abad ke tiga hijrah. Sanad merupakan sewenang-wenang terhadap hadis
Nabi, karena merupakan buatan ahli-ahli hadis sebagai kelompok spesialis untuk
mengalahkan aturan-aturan aliran Fiqh klasik. Mereka bersekongkol membuat hadis-
hadis palsu dengan mengatakan bahwa hal itu mereka terima dari para periwayat yang
terpercaya dengan disertai sanad-sanad buatan mereka sendiri hingga bersambung
kepada Nabi Muhammad SAW.
Proyeksi ke belakang menuju otoritas orang-orang terdahulu, menurut Schacht,
dilakukan oleh pakar hadis, bermula dari kalangan Tabi’in, sahabat dan akhirnya kepada
Nabi SAW. Hal ini terbukti dengan adanya periwayat yang menjadi titik temu (commom
link) dalam hadis-hadis Fiqh. Bagian bawah sanad hadis, memang otentik, tetapi bagian
atasnya ternyata palsu. Dalam meneliti sanad, Schacht menggunakan sumber-sumber
kitab biografi dan kitab-kitab Fiqh, sedangkan menurut pakar hadis, kedua kitab
tersebut tidak dapat dijadikan sebagai objek penelitian sanad hadis. Adalah suatu
kesalahan mendasar apabila kita meneliti hadis yang terdapat dalam kitab-kitab Fiqh.
DAFTAR PUSTAKA
A’zami, Muhammad Mustafa, 1992. Dirosat fi al-Hadis al-Nabawy, Beirut: Maktab al-Islamy.
A’zami, Muhammad Mustafa. 1968. Studies in Early Hadith Literature, Beirut:Catholic Press.
Al-Bukhariy, Muhammad bin Isma’il, Al-Jami’ al-Sahih, Beirut: Dar al-Fikri, tt.Muslim, bin Hajjaj al-Qusyairiy, Sahih Muslim, Mesir: al-Babiy,tt.Nur al-Din ‘Itr. 1979. Manhhaj al-Naqd fi ‘Ulum al-Hadis, Beirut: Dar FikriSubhi al-Salih. 1988. ‘Ulum al-Hadis wa Mustalahuhu, Beirut: Dar al-Ilmi.Schacht, Yoseph. 1964. The Introduction to Islamic Law, Oxford: The Clarendon Press.Schacht, Yoseph. 1959. The Origins of Muhammadan Jurisprudence, Oxford: The
Clarendon Press.Al-Syafi’i, Muhammad bin Idris, 1986. Ikhtilaf al-Hadis, Beirut: Dar al-Kutub.Al-Tahhan, Mahmud. 1978. Al-Takhrij wa Dirosah al-Asanid, Madinah: Dar al-Kutub
al-Salafiyah.Wahid, Abd. Rahaman, et al. 2002. M.M. Azami Pembela Eksistensi Hadis, Jakarata:
Pustaka Firdaus.Yaqub, Ali Mustafa. 1995. Kritik Hadis, Jakarta, Pustaka Firdaus.
KEMASUKAN SETAN DALAM PERSPEKTIF AL-QUR`AN DAN
HADISOleh :
IRWAN SDosen Fakultas tarbiyah IAIN Sumatera Utara
Jl. Willem iskandar Psr V Medan Estate
AbstractThe phenomenon possessed a conversation that is always controversial in the midst of society.
Many growing opinion about this discussion is not uncommon to bring a person's religious ideologicalimplications in react. This paper discussed these problems by understanding the various Hadiths andverses of al-Qur `an is believed to be an authentic source that must be believed by a Muslim.Keywords: Kemasukan Setan, al-Qur`an dan Hadis
PENDAHULUAN
Istilah kemasukan atau kesurupan setan sepertinya akhir-akhir ini menjadi sesuatu yang
sangat akrab dalam setiap pembicaraan di tengah-tengah masyarakat. Disamping karena
memang dalam kenyataan sehari-hari dijumpai keadaan seseorang yang dengan tiba-tiba
berubah tempramen dirinya dari kebiasaan yang dimilikinya dengan melakukan sesuatu
yang secara akal tidak mungkin dapat dilakukannya yang kemudian dikenal dengan
istilah kemasukan atau kesurupan setan. Hal ini juga ditopang oleh semakin maraknya
acara-acara di televisi yang ditayangkan berkaitan dengan dunia alam gaib yang
dikemas dengan berbagai bentuk dan versi yang berusaha untuk menarik perhatian
pemirsanya. Bahkan ada yang diselingi dengan ikut ditampilkannya tokoh yang
dianggap sebagai ulama untuk memberikan komentar berkaitan dengan tayangan
tersebut, yang tak jarang ada yang memberikan komentarnya dengan tidak berdasarkan
pada dalil-dalil dan nash yang benar serta menimbulkan kontroversi ditengah-tengah
masyarakat.
Namun yang sangat memperihatinkan kemudian adalah bahwa hal tersebut tidak
jarang menimbulkan keyakinan yang salah yang dapat mendangkalkan atau bahkan
merusak aqidah seseorang (mukmin). Diantaranya adalah dalam hal ini banyak
dijumpai adanya suatu keyakinan di masyarakat bahwa setan yang memasuki orang
yang kemasukan tersebut adalah roh orang yang telah meninggal yang meminta sesuatu
yang harus dipenuhi. Benarkah demikian?
Uraian berikut ini akan mengkaji tentang kemasukan setan dalam perspektif al-
Qur`an dan Hadis. Apakah hal tersebut memang diakui eksistensinya menurut al-Qur`an
dan Hadis? Jika tidak, apa hakekat dari kenyataan yang sering terjadi di masyarakat
tersebut? Dan jika hal tersebut memang disinyalir ada menurut al-Qur`an dan Hadis,
bagaimana pula hakekat sebenarnya dari kenyataan tersebut? Hal ini penting, karena
sesuatu yang menyangkut aqidah harus didasari oleh nash-nash syar’i yang qath’i (jelas
dan tegas) sehingga terhindar dari keyakinan yang salah yang pada gilirannya dapat
menjerumuskan seseorang pada kesesatan.
PEMBAHASANDi antara Hadis yang menjadi dasar pembicaraan tentang masalah kemasukan
setan yang akan dibahas berikut adalah Hadis dari Shafiyah binti Huyay Radhiyallâhu
Anhâ, isteri Rasulullah Shallalâhu ‘Alaihi wa Sallam, bahwa ia pernah datang kepada
Rasulullah Shallalâhu ‘Alaihi wa Sallam untuk mengunjugi beliau dalam i’tikafnya di
dalam mesjid pada sepuluh terakhir dari bulan Ramadhan. Kemudian ia berbicara
sejenak disamping beliau. Setelah itu ia bangun dan pergi. Selanjutnya Nabi Shallallâhu
‘Alaihi wa Sallam bersamanya untuk mengantarnya. Dan ketika ia sampai dipintu
mesjid di pintu Ummu Salamah, tiba-tiba ada dua orang laki-laki dari kaum Anshar
yang berjalan seraya mengucapkan salam kepada Nabi Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam,
maka beliau pun bersabda:
.)(Artinya:
“Tunggu, tetap disitu. Sesungguhya ia adalah Shafiyah binti Huyay.” Makakeduanya berkata, “Subhanallah (Mahasuci Allah), ya Rasulullah.” Maka ucapanbeliau itu terasa berat bagi keduanya. Kemudian Nabi Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallambersabda,“ Sesungguhnya setan ada pada diri manusia seperti mengalirnya darah. Dansesungguhnya aku takut terdetik tuduhan di dalam hati kalian berdua.” (RiwayatBukhari)
Hadis tersebut di atas juga diriwayatkan oleh Muslim, Abu Dawud, Al-Darimi,
Ibnu Majah, dan Imam Ahmad (Jalaluddin, 1986)
Berdasarkan Hadis di atas, ada sementara ulama yang memahami bahwa
setan memiliki kekuatan untuk memasuki tubuh manusia, mengalir di darah
manusia yang dimasukinya seperti bunyi teks Hadis di atas. Hal ini didukung
oleh kenyataan tentang adanya seseorang yang menjadi demikian kuat,
berbicara dengan berbagai bahasa asing, padahal dalam keadaan normalnya,
lemah dan tidak mengerti kecuali bahasa ibunya. Atau bahkan tidak jarang
ada yang bertingkah aneh diluar kebiasaannya disaat normal. Apakah yang
menjadikan dia mampu berbuat demikian kalau bukan setan yang telah
merasuk ke dalam tubuhnya? Bahkan Al-Qur`an juga menginformasikan
tentang kemasukan setan sebagaimana firman Allah:
.) :275(
Artinya:
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang “kemasukan setan” lantaran (tekanan) penyakit gila.”
(QS. Al-Baqarah [2] : 275)
Masih berhubungan dengan hal tersebut di atas, Ibnu Abbas Radhiyallâhu Anhu
meriwayatkan bahwa seorang wanita datang membawa anaknya kepada Rasul
Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam seraya berkata:
.) (.)
(Artinya:
“Sesungguhnya putraku menderita gangguan (gila), yang menimpanya setiapkami makan siang atau malam.” Maka Rasul Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam mengusapdadanya, dan berdo’a untuk kesembuhannya. Ia kemudian muntah dan keluarlahsesuatu seperti anjing hitam. Dan sembuhlah ia.” (Riwayat Ahmad, al-Darimi, al-Thabrani, Abu Na’im, al-Daruquthni dan al-Baihaqi)
Pada kasus yang lain, Imam Ahmad, Abu Dawud dan al-Thabrani meriwayatkan
melalui Umm Abban putri al-Wazi’ ( Al-Jazairy , 1978) melalui ayahnya bahwa
kakeknya pernah membawa putranya atau putra saudara perempuannya yang gila
kepada Rasul Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam. Sang kakek memakaikan anak itu dua
helai pakaian indah. Ketika sampai dihadapan, Rasul bersabda:
“Dekatkan ia padaku dan hadapkan punggungnya padaku.”
Rasul Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam kemudian membuka semua bajunya
dari atas sampai ke bawah lalu mengayunkan tangan dan memukulnya
sampai-sampai (kata sang kakek): “Saya melihat keputihan kedua ketiak
beliau.” Rasul (menghardik sambil) berkata:
“Keluarlah wahai musuh Allah.”
Maka sang kakek berkata:
Berkaitan dengan hal tersebut, Imam Bukhari, Muslim dan Ahmad juga
meriwayatkan Hadis dari Abu Hurairah Radhiyallâhu Anhu, bahwa Nabi
Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
.) (
Artinya:
“Tidak seorang anak keturunan Adam pun yang lahir, kecuali disentuh oleh
setan, sehingga ia menangis karena sentuhannya, kecuali Maryam dan putranya (Isa
as.).” (Diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan Ahmad)
Hadis tersebut di atas semakin memperkuat pendapat bahwa setan memiliki
kekuatan untuk mempengaruhi manusia. Bahkan dalam Al-Qur`an dan Hadis Rasul
Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam banyak dijumpai anjuran untuk berdoa memohon
perlindungan kepada Allah dari segala godaan dan kejahatan setan.
Kalau demikian halnya, setan yang bagaimana yang dapat memasuki tubuh
manusia? Benarkah pandangan kebanyakan orang yang mengatakan bahwa setan yang
memasuki tubuh manusia itu adalah setan yang merupakan roh orang yang sudah mati?
Pandangan seperti ini ada karena memang terkadang orang yang dimasuki oleh setan
tersebut ketika diajak berdialog mengaku sebagai roh orang yang telah mati yang
dikenal oleh orang yang tubuhnya dimasuki tersebut.
Dalam masalah ini, menurut Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah (w. 751 H), roh orang
yang mati tidak bisa nyusup atau masuk kepada benda atau orang yang hidup (re-
inkarnasi). ( Al-Dzahabi, 1963).
Namun roh orang yang mati dapat bertemu dengan roh orang yang masih hidup
atau sebaliknya. Yang dimaksud dengan pertemuan antara roh di sini adalah mimpi
bertemu, berbicara dan berdialog tentang khabar masa lalu, sekarang dan apa yang akan
terjadi di masa yang akan datang. Mimpi inilah bukti dan dalil kenyataannya ( Al-
Dzahabi, 1963).
Dengan demikian tidaklah benar bila ada yang meyakini bahwa roh orang yang
sudah mati dapat masuk ke dalam tubuh orang yang hidup dan mempengaruhinya.
Sekalipun orang yang kemasukan tersebut menyatakan lewat lisannya bahwa yang
memasukinya adalah si Fulan yang sudah meninggal. Ini adalah kebohongan besar yang
dilakukan oleh setan untuk mengelabui manusia. Karena orang yang sudah mati
sesungguhnya telah berada di alam yang berbeda dengan alam orang yang masih hidup.
Ia berada di satu alam yang ada barzakh (dinding pembatas) yang menghalangi mereka
untuk dapat kembali ke alamnya dikala hidup sampai hari mereka dibangkitkan. Dalil
tentang hal ini adalah firman Allah:
. .) :99–100(
Artinya:
“(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematiankepada seseorang dari mereka, dia berkata: "Ya Tuhanku kembalikanlah aku (kedunia), agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan dihadapan mereka ada dinding sampai hari mereka dibangkitkan.” (QS. Al-Mu’minûn [23]: 99 – 100)
Berdasarkan itu, roh manusia tidak mungkin kembali untuk hidup dalam tubuh
seorang manusia untuk menyiksanya atau membuat kemelaratan dengan tidak ada
tujuan atau sesuatu maksud. Malahan tidak mungkin dari roh itu dari segi bahwa roh
dengan berpindah dari alam bumi menjadi di awang-awang yang dengannya mustahil
hidup dalam sebuah tubuh anak Adam yang berlainan pasti dimensinya dengan dimensi
roh manusia yang telah mati itu (Naufal, 1975). Lagi pula, seandainya roh orang mati
bisa masuk ke dalam tubuh orang hidup, bagaimana dengan roh orang hidup yang
tubuhnya dimasuki tersebut? Apakah mungkin ada dua roh dalam satu tubuh? Tentu hal
tersebut sangat mustahil.
Dalam pada itu, menurut keyakinan Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah sebagaimana
dinyatakan oleh Abu Hasan al-Asy’ari, setan yang memasuki tubuh manusia
sesungguhnya adalah iblis dari golongan jin ( al-Suyuthi , 1986). Masuknya setan ini
maksudnya adalah dengan mempengaruhi akal manusia sehingga hilang kesadarannya
dan menuntunnya untuk melakukan hal-hal yang diluar kemauan dan kemampuannya.
Bukan menempati tubuhnya, seperti layaknya roh yang berada pada tubuh manusia
tersebut. Atau dengan kata lain, mengambil alih kedudukan roh tersebut.
Secara etimologis kata al-jin berasal dari kata janna artinya bersembunyi.
Dinamai al-jin karena tersembunyi dari pandangan manusia. Kata lain yang berasal dari
kata janna adalah junnah, artinya perisai, dinamai demikian karena menyembunyikan
kepala prajurit yang memakainya; jannah artinya sorga atau taman, dinamai demikian
karena taman tersembunyi oleh pohon-pohon yang rindang; janin artinya jabang bayi,
dinamai demikian karena tersembunyi di dalam perut ibu ( Al-Jazairy , 1978). Kata iblis
menurut sebagian ahli bahasa berasal dari ablasa artinya putus asa. Dinamai iblis karena
ia putus asa dari Rahmat atau kasih sayang Allah Swt (Sabiq , 1986). Sedangkan kata
setan berasal dari kata syathana artinya menjauh. Dinamai syaithân karena jauhnya dia
dari kebenaran ( Al-Shabuniy, 1977).
Ringkasnya jin adalah makhluk gaib yang diciptakan oleh Allah dari api,
mukallaf seperti manusia, di antaranya mereka ada yang patuh dan ada yang durhaka.
Yang durhaka pertama kali adalah iblis, anak cucunya di sebut setan.
Mengenai setan yang memasuki tubuh manusia yang sering kali mengaku
sebagai roh orang yang sudah mati adalah setan dari golongan jin yang merupakan
qarîn atau pendamping dari setiap manusia. Sebagaimana Nabi Shallallâhu ‘Alaihi wa
Sallam menjelaskan bahwa:
. : :) .(
Artinya :
“Tidak seorang pun di antara kamu kecuali ditetapkan baginya teman yangmenemani dari (setan) jin.” Para sahabat Nabi bertanya: “Engkau juga wahai RasulAllah?” Beliau menjawab: “Aku juga, hanya saja Allah membantuku sehingga akuselamat, (atau) ia masuk Islam, sehingga ia tidak menyuruh aku kecuali yang baik.”(HR. Muslim)
Kalau begitu, setiap orang ada setan yang mendampinginya. Setan tersebut oleh
al-Qur`an dinamai dengan qarîn, yakni pendamping. Sebagaimana firman Allah:
لت (. )25: فص
Artinya :
“Dan Kami tetapkan bagi mereka teman-teman pendamping yang menjadikanmereka memandang bagus apa yang ada di hadapan dan di belakang mereka dantetaplah atas mereka keputusan azab pada umat-umat yang terdahulu sebelum merekadari jin dan manusia; sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang merugi.” (QS.Fushshilat [41] : 25)
Di antara manusia, ada yang qarînnya sekedar mendampingi dan tak mampu
mempengaruhi. Ini bila manusia tersebut ta’at kepada Allah dan banyak berdzikir.
Namun ada juga yang mempengaruhi manusia, bahkan secara terus menerus, sehingga
manusia tidak dapat melepaskan diri dari gangguan dan tipu dayanya. Hal ini
sebagaimana dijelaskan Allah melalui firman-Nya:
. .) :36-37(
Artinya:
“Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (al-Qur'an), Kami adakan baginya syaitan (yang menyesatkan) maka syaitan itulah yangmenjadi teman yang selalu menyertainya. Dan sesungguhnya syaitan-syaitan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan yang benar dan mereka menyangka bahwamereka mendapat petunjuk." (QS. al-Zukhruf [43] : 36-37)
Dan ketika orang yang didampingi tersebut meninggal dunia, maka qarînnya
tersebut tentu telah banyak mengetahui tentang diri orang yang didampinginya.
Sehingga ketika ia (setan) tersebut memasuki tubuh (mempengaruhi) manusia yang
hidup ia dapat berbicara atau meniru suara dan cara bicaranya dan juga setiap kebiasaan
atau ciri-ciri dari tingkah laku orang yang dulu didampinginya setiap saat. Dengan cara
itulah ia berusaha menyesatkan manusia untuk mempercayainya atau bahkan mengikuti
setiap perintah dan syarat-syarat yang diajukan untuk kesembuhan atau sesuatu hal yang
berhubungan dengan orang yang dimasukinya. Yang tidak jarang, permintaan dan
syarat-syarat yang diajukannya itu adalah dalam rangka syirik kepada Allah sebagai
dosa besar yang sangat dilaknat dan tidak diampuni oleh Allah Swt. Inilah yang
terkadang tidak disadari oleh kebanyakan manusia, apalagi oleh mereka yang iman dan
ilmunya masih dangkal tentang dinul Islam yang sebenarnya.
Jadi setan yang memasuki tubuh manusia adalah jin yang durhaka, anak cucu
iblis yang senantiasa berusaha untuk menyesatkan manusia dari segala arah dengan
segala cara dan strategi. Sebagaimana Firman Allah:
..) :16-17(
Artinya:
“Iblis menjawab: "Karena Engkau telah menghukum aku tersesat, aku benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus. Kemudian akuakan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kirimereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (ta`at).”(QS. Al- -17)
Dengan demikian, -berdasarkan dalil-dalil di atas- maka apa yang diklaim oleh
jin dan setan sebagai roh itu, tak lain hanyalah tipu muslihat yang mereka lancarkan
kepada orang-orang yang lemah iman. Celakalah mereka dan orang-orang yang
mengikutinya. Dan sungguh benar Allah dengan Firman-Nya yang berbunyi:
.) :128(
Artinya:
“Dan (ingatlah) hari di waktu Allah menghimpunkan mereka semuanya, (danAllah berfirman): "Hai golongan jin (syaitan), sesungguhnya kamu telah banyak(menyesatkan) manusia", lalu berkatalah kawan-kawan mereka dari golonganmanusia: "Ya Tuhan kami, sesungguhnya sebahagian daripada kami telah dapatkesenangan dari sebahagian (yang lain) dan kami telah sampai kepada waktu yangtelah Engkau tentukan bagi kami". Allah berfirman: "Neraka itulah tempat diam kamu,sedang kamu kekal di dalamnya, kecuali kalau Allah menghendaki (yang lain)".Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-128)
Namun disisi lain ada juga ulama yang tidak mengakui adanya kemampuan
setan untuk memasuki tubuh manusia selain menimbulkan was-was (keraguan). Di
antaranya adalah Syaikh Muhammad al-Ghazali dalam kitabnya Al-Sunnah al-
Nabawiyyah : Bayna Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadîts, beliau memaparkan alasan dan
pendapat para ulama yang sesuai dengan pendapatnya tersebut.
Menurut pendapat kedua ini, Hadis yang menyebutkan tentang setan yang
mengalir dalam diri manusia seperti mengalirnya darah adalah upaya Rasulullah
Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam untuk mencegah eksistensi was-was yang mungkin
ditimbulkan oleh setan sewaktu menyaksikan pemandangan itu. Yakni keadaan Nabi
Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam bersama seorang wanita ditempat itu (yang notabene
adalah isteri beliau Shafiyah binti Huyay). Oleh karena itu, sekalipun kedua orang
sahabat itu memustahilkan timbulnya persangkaan buruk di hati mereka terhadap Nabi
Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam, namun beliau tetap konsisten ingin menghilangkan
kemungkinan timbulnya hal tersebut ( Al-Ghazali, 1997).
Adapun tentang Firman Allah dalam QS. Al-Baqarah [2] : 275 sebagaimana
telah disebutkan di atas, maka kebanyakan ahli tafsir menyatakan bahwa keadaan
seperti itu (kemasukan yang dikacaubalaukan oleh setan) berlakunya kelak pada hari
kiamat. Hal ini mengingat bahwa di dunia ini tidak seorangpun melihat para pemakan
riba itu jatuh bergelimpangan di jalan-jalan disebabkan penyakit kemasukan setan,
sedemikian rupa sehingga mereka nyaris diinjak-injak oleh orang, pemakai jalanan ( Al-
Ghazali, 1997).
Para ahli kedokteran pada paradaban kontemporer kini menyebutkan bahwa
penyakit yang dikenal sebagai kemasukan setan pada esensinya termasuk di antara
penyakit-penyakit saraf yang bisa diatasi dengan obat-obatan tertentu ataupun dengan
cara-cara medis yang modern lainnya. Sekalipun adakalanya diobati pula dengan
semacam fantasi, dunia khayali, dan lain sebagainya ( Al-Ghazali, 1997). Namun
demikian, dalam kenyataannya hingga saat ini hal tersebut belum dapat diatasi secara
tuntas dan pasti secara ilmiyah menurut ilmu kedokteran.
Adapun Hadis tentang tusukan setan, sebagaimana yang disebutkan oleh para
perawi (Bukhari, Muslim dan Ahmad) di atas, Al-Baidhawi menafsirkan kata
“disentuh” -sebagaimana dikutip oleh Al-Ustadz Syaikh Muhammad Abduh dalam
Tafsîr Al-Manâr- dengan keinginan yang sangat dari setan untuk memanipulasinya.
Mengenai hal ini, menurut Al-Ustadz Syaikh Muhammad Abduh, jika Hadis ini sahih,
maka keterangan tersebut tergolong pengertian perumpamaan dan bukannya pengertian
hakiki. Syaikh Rasyid Ridha menambahkan, Hadis tersebut tergolong sahih sanadnya
tanpa kontradiktif. Hampir ada persamaan dengan Hadis yang menyebutkan tentang
pembedahan dada Nabi Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam yang kemudian dicuci bersih
setelah dikeluarkannya bagian setan darinya. Hal tersebut lebih jelas perumpamaannya.
Mungkin yang dimaksudkan itu ialah bahwa setan sudah kehabisan bagiannya dalam
hati Nabi Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam untuk mengganggu beliau, sekalipun hanya
dengan membangkitkan was-was ( Al-Ghazali, 1997).
Syaikh Rasyid Ridha melanjutkan, konsekwensinya, ialah bahwa setan tidak
memiliki kekuatan untuk mengganggu hamba-hamba Allah yang ikhlas dan terpilih.
Sedangkan yang paling afdhal di antara mereka adalah para Nabi dan Rasul. Adapun
yang tersebut dalam suatu hadis bahwa setan tidak dapat menyentuh Maryam dan
anaknya Isa, demikian pula dalam hadis tentang menyerahnya (atau masuk Islamnya)
setan yang menyertai Nabi Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam dan juga hadis tentang
dibuangnya bagian setan dari hati Nabi Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam, maka semua itu
adalah tergolong khabar-khabar yang bersifat dugaan (zhanni), melalui riwayat ahad
(yang diriwayatkan oleh satu orang). Sedangkan masalah aqidah termasuk tentang alam
ghaib, tidak dapat diterima berdasarkan riwayat yang hanya bersifat zhanni, yang bukan
mutawatir (yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang banyak, dimana secara akal
mustahil mereka sepakat untuk berdusta) ( Al-Ghazali, 1997).
Demikian menurut pendapat kedua yang tidak mengakui adanya kekuatan setan
yang dapat memasuki tubuh manusia dan mempengaruhinya. Kecuali setan hanya
mampu menimbulkan was-was (keraguan) dan manipulasi pada diri manusia. Jadi
menurut pendapat ini penyakit yang dikenal sebagai kemasukan setan oleh berbagai
kalangan masyarakat ini diduga hanya merupakan penyakit yang ditimbulkan oleh
problematika psikologis dan kelainan syaraf. Yang pengobatannya juga harus melalui
terapi psikologis dan menggunakan obat-obatan dan cara-cara medis yang ada dalam
dunia kedokteran. Walaupun dalam kenyataannya hingga saat ini hal itu masih terus
dalam penelitian yang belum tuntas untuk disimpulkan dan diterangkan secara pasti dan
jelas menurut kajian ilmiyah. Mereka berkeyakinan bahwa sebagaimana juga banyak
hal yang pada awalnya dianggap tidak masuk akal yang kemudian dipenuhi oleh
berbagai mitos yang kadang menyesatkan, namun dengan perkembangan ilmu dan
teknologi yang terus diupayakan oleh manusia hal tersebut akhirnya terkuak secara
ilmiyah yang kemudian dapat diterima akal.
Jadi dalam hal ini, sebenarnya pendapat kedua di atas bukan menolak
keberadaan Hadis-hadis dan nash-nash al-Qur`an yang dijadikan dalil oleh pihak
pertama yang meyakini bahwa setan dapat masuk ke tubuh manusia dan
mempengaruhinya sedemikian rupa seperti fenomena kesurupan yang terjadi dewasa
ini. Hanya saja para ulama pada pendapat kedua di atas menolak pemahaman tekstual
dalam memahami Hadis-hadis maupun nash-nash al-Qur`an yang berkaitan dengan
masalah tersebut. Mereka memahami nash-nash al-Qur`an dan Hadis-hadis itu dan yang
serupa sebagai ilustrasi untuk mempermudah pemahaman bukan dalam arti harfiahnya.
Walaupun kemudian ternyata pendapat kedua di atas kelihatannya juga tidak dapat
memberikan jawaban yang final dalam memberikan penjelasan tentang hakekat dari
fenomena kemasukan atau kesurupan setan sebagaimana telah diuraikan di atas.
PENUTUP
Dari dua pendapat di atas, pada hakekatnya tidak mengingkari adanya penyakit
yang menimpa manusia berupa prilaku aneh yang menjadikan orang tersebut berbuat
diluar kesadarannya, Yang oleh kalangan masyarakat dikenal sebagai kemasukan atau
kerasukan setan. Adalah hal yang sangat tidak wajar bila kenyataan yang disaksikan
atau dialami banyak orang tersebut diingkari eksisitensinya. Padahal hal tersebut telah
menjadi satu kenyataan yang memang terjadi dan dapat disaksikan secara empirik.
Yang menjadi penting kemudian dari hal ini adalah mencari kebenaran hakiki
dari esensi kenyataan tersebut. Adapun upaya dari para ulama untuk menjelaskan hal
tersebut berdasarkan dalil-dalil nash dalam rangka menjaga aqidah merupakan hal yang
perlu dihargai dan disikapi dengan serius, agar kita tidak terperosok ke dalam jurang
kesesatan yang akan membawa pada penyesalan yang tidak dapat diperbaiki. Disamping
itu upaya para ilmuwan melalui ilmu pengetahuan untuk menguak misteri tersebut juga
perlu dihargai dengan terus berusaha mengadakan penelitian yang lebih serius untuk
kepentingan ummat manusia di masa datang.
Namun apapun namanya, fenomena “kemasukan setan” adalah sesuatu yang
nyata dan ada dalam kehidupan manusia di era modern ini. Yang perlu diwaspadai
kemudian adalah jangan sampai hal tersebut menjadikan aqidah (keimanan) kita rusak
atau bahkan terjerumus dalam kesyirikan yang dimurkai Allah Swt., hanya oleh karena
sikap dan keyakinan yang salah dalam merespon dan menghadapinya.
Yang jelas fenomena kemasukan atau kesurupan setan pada hakekatnya adalah
salah satu cara atau strategi iblis untuk menjerumuskan manusia dalam kesesatan,
dengan pembohongan yang nyata mengelabui manusia untuk meyakini bahwa seakan-
akan roh orang yang sudah mati dapat memasuki tubuh orang hidup. Sehingga melalui
keadaan itulah, setan atau iblis tersebut menyeret manusia untuk memenuhi tuntutan dan
keinginan mereka yang dengan itu manusia secara tidak sadar telah tergiring dalam
kemusyrikan yang sangat dimurkai oleh Allah Swt. Wallâhu a’lam!
DAFTAR PUSTAKA
Al-‘Asqalani, Syihabuddin Ahmad ibn ‘Ali ibn Hajar, 1415 H/1995 M .Taqrîb al-Tahdzîb, Beirut: Dâr al-Fikr.
Al-Dzahabi, Syamsuddin Muhammad ibn Ahmad ibn Utsman, 1382 H/1963 M. Mîzânal-I’tidâl fî Naqd al-Rijâl, Ed. Ali Muhammad al-Bajawi, Mesir: Isa al-Babi al-Halabi.
Al-Ghazali, Syaikh Muhammad, 1417 H/1997 M. Al-Sunnah al-Nabawiyyah; BaynaAhl al-Fiqh wa Ahl al-Hadîts, Penerjemah: Muh. Munawir Az-Zahidi, AnalisisPolemik Hadis; Transformasi Modernisasi, Surabaya: Dunia Ilmu.
Al-Jauziyyah, Syamsuddin Abi Abdillah bin Qayyim, 1406 H/1986M. Al-Rûh, Beirut:Dâr al-Fikr.
Al-Shabuniy, Muhammad Ali, 1977. Tafsîr Âyât al-Ahkâm, Damaskus: Maktabah al-Ghazali.
al-Suyuthi, Jalaluddin, 1406 H/1986 M. Laqth al-Marjân fî Ahkâm al-Jân, Ed.Mushthafa Abdulqadir ‘Atha, Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmiyyah.
Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur`an Depag RI, 1994. Al-Qur`an danTerjemahnya, Semarang: PT. Kumudasmoro Grafindo, Ed. Revisi.
INTEGRASI PSIKOLOGI DENGAN ISLAM DI INDONESIA( Menuju Psikologi Islam )
0leh:
Nurussakinah DaulayDosen Fakultas tarbiyah IAIN Sumatera Utara
Jl. Willem iskandar Psr V Medan Estate
AbstractIslamic Psychology is a knowledge about human, especially about human
personality, to have a character philosophical, theory, methodology, and a problembased on Islamic source (Al-Quran and Hadiths). There are two reason to rise IslamicPsychology: First. Islam has fundamental foundation to human self and anythingcondition, different from fundamental foundation the conventional psychology (west),from philosophy aspect, methodology aspect and different from approximation. Second.There are self consciousness that a modern psychology to compete with various crisis,like the usefulness crisis, laboratory crisis, the philosophical crisis, the professionalcrisis, the ethical crisis, and the resolution crisis. The function Islamic Psychologydifferent from West Psychology. The function from West Psychology just forexplanation, prediction, and countrolling to human attitude, eventhough The IslamicPsychology for explanation,prediction, countrolling and to guide to get God’sallowance.Keywords: Islamic Psychology, West Psychology
PENDAHULUAN
Dalam beberapa tahun terakhir ini, kita menyaksikan terjadinya pergumulan
pemikiran tentang pembaharuan Islam di Indonesia. Ide-ide yang sempat bermunculan
terutama adalah bagaimana Islam tetap aktif memberi warna dalam pergulatan
kemoderenan. Sejauh ini kita telah berkenalan dengan upaya-upaya ahli ilmu agama dan
ahli ilmu sosial untuk mematangkan upaya di atas dengan fokus perhatian pada masalah
akidah dan Islam (Mujib, 2006).
Upaya-upaya yang mengarah pada bagaimana Islam merespon ilmu pengetahuan
modern masih relatif belum berkembang di Indonesia, khususnya yang mengaitkan ide
Islamisasi ilmu dengan disiplin-disiplin ilmu tertentu. Sebuah artikel yang pernah ditulis
Syed Vali Reza Nasr bahwa upaya-upaya melakukan Islamisasi ilmu memang giat
dilakukan di Barat dan Timur Tengah, namun sangat jarang yang memulainya dari
disiplin-disiplin ilmu (Bastaman, 2001). Tentu saja suatu pemikiran akan lebih matang
bila perumusnya adalah orang yang ahli dibidangnya. Salah satunya adalah psikolog
Hanna Djumhana Bastaman, termasuk salah seorang yang mencoba memberi warna
Islamisasi ilmu dengan memulainya dari disiplin ilmu, dalam hal ini Psikologi. Ia juga
termasuk salah seorang diantara sedikit orang yang sangat serius mengkaji keterkaitan
Psikologi dan Islam.
Psikologi Islam yang dimaksudkan di sini bukanlah satu cabang Psikologi yang
hanya berlabelkan Islam, melainkan satu cabang Psikologi yang memiliki kaedah-
kaedah keilmiahan berlandaskan ajaran-ajaran Islam. Untuk ini Psikologi Islam harus
melakukan rancang ulang terhadap berbagai teori Psikologi dalam berbagai aspeknya
yang antara lain meliputi: landasan teoritis, landasan kosmologis, landasan teologis,
paradigm, teori, konsep, dan metode sendiri yang sesuai dengan Islam untuk menutup
kelemahan Psikologi yang telah ada (Ancok, 1994).
Namun ini bukan berarti menafikan semua teori Psikologi yang ada dan
melupakan sama sekali kontribusinya, namun lebih menitik beratkan pada
pembangunan dan pengembangan Psikologi Islam berdasarkan ajaran-ajaran Islam
namun tetap berada pada jalur saintifiknya. Objeknya adalah manusia dan hubungannya
dengan sesama manusia, alam raya, alam spiritual. Sedangkan tujuannya adalah untuk
membentuk mental yang sehat dan ketaqwaan (Mujib, 2002).
Suatu pendekatan baru dalam khazanah ilmu pengetahuan, dapat dihasilkan
dengan langkah-langkah yang tepat, tetapi memulainya tidak dari nol melainkan harus
memulainya dari penemuan mutakhir. Dengan demikian, jikalau hendak membangun
aliran baru dalam khazanah psikologi modern, maka hendaknya menyambung temuan-
temuan yang selama ini dihasilkan ilmuwan-ilmuwan psikologi.
Menghadirkan Islam sebagai upaya memperbaiki konsep-konsep psikologi
ternyata dapat menumbuhkan kreativitas. Demikian pula halnya dengan yang
dikemukakan oleh psikolog Hanna Djumhana Bastaman. Beliau menjelaskan
bahwasanya jikalau hendak membangun Psikologi Islam, maka seharusnya
memanfaatkan hasil-hasil pemikiran ilmuwan psikologi. Ciri yang menonjol dari tulisan
Hanna Djumhana adalah di satu sisi ia mengakui kebenaran teori-teori psikologi dengan
catatan di sana sini masih ada kekurangan dan di sisi lain ia mencoba memperbaiki
kekurangan itu dengan konsep-konsep Islam.
Terdapat dua latar belakang bagi perlunya kehadiran Psikologi Islam yang telah
banyak disebutkan oleh para ahli psikologi (dalam Hartati, 2005) yakni: Pertama, Islam
mempunyai sudut pandang yang fundamental terhadap diri manusia dan segala
keadaannya, berbeda dengan sudut pandang psikologi konvensional (Barat) baik dari
aspek filosofi, metodologi, dan pendekatannya. Al Quran sebagai sumber pertama Islam
mempunyai pandangan-pandangan sendiri tentang manusia, melalui Al quran juga Allah
memberitahukan banyak tentang rahasia-rahasia manusia. Untuk mengetahui tentang
hakikat manusia secara filosofis, Alquran menjadi acuan utama bagi pengembangan
ilmu psikologi. Psikologi Barat yang berkembang saat ini mempunyai kelemahan-
kelemahan yang bersifat fundamentalis, baik secara filosofis maupun secara praktis.
Psikoanalisis Sigmund Freud, menganggap sinting (delusi) orang yang percaya Tuhan
dan aliran Behavioristik tidak peduli akan adanya Tuhan. Hal ini akan mendorong akan
penting adanya Psikologi yang berwawasan teosentris (berketuhanan) yakni Psikologi
Islam.
Alasan kedua adalah adanya kesadaran bahwa psikologi modern menghadapi
beragam kritis. Ahli-ahli psikologi modern baik dari kalangan muslim maupun non
muslim telah melontarkan sejumlah kritik terhadap psikologi modern. Malik B. Badri
seorang ilmuwan muslim dari Sudan telah melakukan koreksi teoritis dan praktis
terhadap psikologi modern. Bahkan Gordon Westland tahun 1978 (dalam Sapuri, 2009)
menjelaskan seorang ilmuwan psikologi Barat memandang bahwa krisis psikologi
modern telah berkembang sedemikian jauh hingga dapat dikategorikan menjadi
berbagai macam krisis. Diantaranya adalah krisis kegunaan (the usefullness crisis),
krisis laboratorium (laboratory crisis), krisis filsafat (the philosophical crisis), krisis
profesi (the professional crisis), krisis etika (the ethical crisis), dan krisis resolusi (the
resolution crisis).
Tugas Psikologi Islam berbeda dengan Psikologi Barat, Psikologi Barat hanya
menerangkan (explanation), memprediksi (prediction), mengontrol (countrolling)
terhadap perilaku manusia. Sedangkan Psikologi Islam menerangkan, memprediksi,
mengontrol dan mengarahkan untuk memperoleh ridho Allah. Jadi misi utama
Psikologi Islam adalah menyelamatkan manusia dan mengantarkan manusia untuk
memenuhi kecenderungan alaminya dan fitrahnya untuk kembali kepada Allah SWT.
Psikologi Islam dibangun dengan menggunakan Al Quran sebagai acuan utamanya dan
Al Quran diturunkan bukan semata-mata uumat Islam melainkan untuk kebaikan umat
manusia, karena itu Psikologi Islam dibangun dengan arah untuk kesejahteraan manusia.
Secara umum berkembangnya wacana Psikologi Islam sebagai salah satu “buah
Islamisasi sains” atau “kebangkitan Islam”, tidak hanya tuntutan dari ilmuwan muslim
tetapi juga merupakan hasil kajian beberapa ilmuwan non muslim. Salah satunya adalah
Erich Fromm (tokoh psikologi) yang mengungkapkan bahwa manusia modern
menghadapi suatu ironi dimana mereka Berjaya dalam menggapai capaian material
namun kehidupan mereka dipenuhi keresahan jiwa (rentan terhadap stress, depresi dan
merasa teralienasi). Erich Fromm memberi contoh makin meningkatnya angka bunuh
diri pada usia lansia di beberapa Negara Eropa dan Amerika. Begitu pula pendapat
filosof Bertrand Russell yang mengatakan bahwa kemajuan material yang dicapai pada
peradaban modern tidak dibarengi dengan kemajuan di bidang moral-spiritual (dalam
Rakhmad, 2005).
Melihat perkembangan paradigm psikologi barat yang telah dipaparkan di atas,
maka tidak menutup kemungkinan psikologi Islam menjadi paradigma selanjutnya
dalam perkembangan ilmu psikologi. Salah satu alasan yang dapat digunakan adalah
bahwa psikologi Islam menempatkan kembali kedudukan agama dalam kehidupan
manusia yang dalam sejarah perkembangan ilmu saling tarik ulur, menjadi
penyempurna konsep perilaku manusia dan menghadirkan kembali factor Tuhan
(spiritual) dalam kehidupan manusia serta diyakini mampu menjadi elemen moral dalam
aplikasi ilmu pengetahuan modern sehingga dapat membangun kembali peradaban
manusia.
PENGERTIAN PSIKOLOGI ISLAM
Sejak pertengahan abad XIX, yang didakwahkan sebagai abad kelahiran
Psikologi kontemporer di dunia Barat, terdapat banyak pengertian mengenai Psikologi
yang ditawarkan oleh para psikolog. Masing-masing pengertian memiliki keunikan,
seiring dengan kecenderungan, asumsi dan aliran yang dianut oleh penciptanya.
Meskipun demikian, perumusan pengertian Psikologi dapat disederhanakan dalam tiga
pengertian.
Pertama, Psikologi adalah studi tentang jiwa (psyche), seperti studi yang
dilakukan Plato (427-437 SM) dan Aristoteles (384-322 SM) tentang kesadaran dan
proses mental yang berkaitan dengan jiwa. Kedua, Psikologi adalah ilmu pengetahuan
tentang kehidupan mental, seperti pikiran, perhatian, persepsi, inteligensi, kemauan dan
ingatan. Definisi ini dipelopori oleh Wilhelm Wundt. Ketiga, Psikologi adalah ilmu
pengetahuan tentang perilaku organism, seperti perilaku kucing terhadap tikus, perilaku
manusia terhadap sesamanya, dan sebagainya. Defini yang terakhir ini dipelopori oleh
John Watson (Rahman shaleh, 2008).
Sedangkan Psikologi Islam menurut para psikolog muslim adalah ilmu yang
berbicara tentang manusia, terutama masalah kepribadian manusia, yang bersifat
filsafat, teori, metodologi, dan pendekatan problem dengan didasari sumber-sumber
formal Islam (Al-Quran dan hadits) dan akal, indra, dan intuisi. Psikologi Islam adalah
konsep psikologi modern yang telah mengalami proses filterisasi dan didalamnya
terdapat wawasan Islam. Psikologi Islam adalah perspektif Islam terhadap Psikologi
modern dengan membuang konsep-konsep yang tidak sesuai atau bertentangan dengan
Islam.
Menurut Hanna Djumhana Bastaman (2001), Psikologi Islam ialah corak
Psikologi berlandaskan citra manusia menurut ajaran Islam, yang mempelajari keunikan
dan pola perilaku manusia sebagai ungkapan pengalaman interaksi dengan diri sendiri,
lingkungan sekitar dan alam kerohanian, dengan tujuan meningkatkan kesehatan mental
dan kualitas keberagamaan.
Psikologi Islam sebenarnya merupakan pandangan Islam tentang “manusia”
yang tidak harus dikait-kaitkan dengan pandangan psikologi Barat. Dasar pendidikan
psikologi barat adalah spekulatif philoshopis tentang manusia, sedangkan Psikologi
Islam didasarkan atas sumber otentik yaitu Al-Quran dan As-Sunnah (Mujib, 2006).
Berbeda dengan psikologi kontemporer-sekuler yang dapat dikatakan
menggunakan semata-mata kemampuan intelektual untuk menemukan dan
mengungkapkan asas-asas kejiwaan. Psikologi Islam mendekatinya dengan
memfungsikan akal dan keimanan sekaligus, yakni menggunakan secara optimal daya
nalar yang objektif-ilmiah dengan metodologi yang tepat, disamping merujuk kepada
petunjuk-Nya mengenai manusia yang tertera dalam Al-Quran Maha Benar dan Hadits
yang abash serta pandangan para ulama yang teruji. Dengan demikian landasan
Psikologi Islam adalah ayat-ayat Qur’ani dan ayat-ayat nafsani yang dukung
mendukung, atau lebih luas; asas-asas keagamaan dan temuan-temuan iptek di bidang
kemanusiaan (Bastaman, 2001).
Sekalipun Psikologi Islam erat hubungan keilmuannya dengan Agama Islam,
dan tak terpisahkan dari padanya, tetapi perlu dikukuhkan di sini bahwa bagaimana pun
Psikologi Islam adalah Psikologi, dan ia adalah sains yang mempunyai persyaratan-
persyaratan ketat sebagai sains. Dalam Psikologi Islam sama sekali tidak ada
pencampurbauran antara psikologi dengan agama atau pereduksian fenomena
keagamaan menjadi semata-mata proses psikologi.
Sebagai kesimpulannya dapat dirumuskan bahwa Psikologi Islam adalah kajian
Islam yang berhubungan dengan aspek-aspek dan perilaku kejiwaan manusia, agar
secara sadar ia dapat membentuk kualitas diri yang lebih sempurna dan mendapatkan
kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
SEJARAH LAHIRNYA PSIKOLOGI ISLAM DI INDONESIA
Di tengah isu Islamisasi sains, Psikologi Islam menjadi bagian yang tak
terpisahkan. Sebagai disiplin ilmu yang relatif muda, Psikologi Islam diharapkan dapat
memberikan kontribusi positif bagi pembentukan pribadi manusia ideal (insan kamil).
Karena kita sadari, Psikologi Barat (modern) ternyata tidak bisa memberikan jawaban
secara lebih utuh terhadap problem-problem manusia yang begitu unik. Bagi Psikologi
Barat, manusia hanya diletakkan dalam tinjauan yang bersifat egosentris, sedangkan
manusia itu sendiri memiliki rangkaian kemanusiaannya yang lebih lengkap, yaitu jasad
(tubuh), ruh, nafs (jiwa) dan qalb (hati). Jika manusia hanya ditinjau dari satu sisi saja,
maka sosok manusia tidak akan pernah terpotret secara utuh.
Sejarah lahirnya psikologi Islam diawali pada tahun 1976 yang berasal dari
kesimpulan Prof. Kadir Yahya (dalam Bastaman, 2001) yang menyatakan bahwa
Psikologi itu suatu pedoman, tetapi tasawuf adalah ruhnya. Kemudian pada tahun 1979
Fuad Nashori mempresentasikan tentang “psikologi agamawi” yang mengintegrasikan
konsep manusia dan psikologi tasawuf islam. Kemudian pada tahun 1992 beliau
menulis di jurnal Ulumul Qur’an yang mengungkapkan tentang Islamisasi sains dan
Psikologi sebagai focus telaah. Pada tahun 1994 diadakan simposium nasional Psikologi
Islam di UMS dan telah menghasilkan rumusan tentang adanya ilmu Psikologi Islam.
Dr. Zakiah Darajat (dalam Suprayetno, 2009) juga mulai mengenalkan psikologi
dari tinjauan agama. Pada tahun 1994, melalui symposium nasional, para peminat
Psikologi Islam akhirnya dikumpulkan dan muncullah kesepakatan untuk menamakan
pengetahuan baru tersebut dengan nama Psikologi Islam. Setelah sebelumnya, banyak
nama yang diusulkan, diantaranya adalah Psikologi Qur’ani, Psikologi Tasawuf, dan
lain sebagainya.
INTEGRASI PSIKOLOGI DENGAN ISLAM
Penggunaan istilah integrasi dimaksudkan untuk mempertemukan ide-ide dasar
psikologi dengan Islam. Pertemuan ide itu diupayakan agar terjalin suatu tatanan baru
yang lebih tinggi. Dalam hal ini titik temu terutama terjadi pada masalah konsep
manusia dan upaya pengembangan diri manusia. Sesuatu disebut terintegrasi bila unsur-
unsur yang ada di dalamnya terpadu dan saling menopang sehingga membentuk sinergi
baru.
Upaya-upaya mengintegrasikan Psikologi dan Islam yang dilakukan Hanna
Djumhana pada dasarnya merupakan upaya untuk membangun sinergi baru. Manakala
mengintegrasikan dua kekuatan dilakukan, maka yang terjadi adalah kekuatan baru
yang lebih sekedar penjumlahan dari dua kekuatan itu. Kreativitas dan keberanian
Hanna Djumhana untuk melakukan integrasi semacam itu layak diberi penghargaan,
terlepas dari apakah kita setuju atau tidak dengan upayanya itu. Apa yang dilakukan
Hanna adalah langkah penting guna merangsang kita untuk menggali kajian Psikologi
Islam ini lebih dalam lagi.
Salah satu pandangan yang sangat menonjol adalah pengakuannya atas konsep
antroposentris yang banyak diperkenalkan oleh Psikologi Humanistik. Psikologi
Humanistik adalah aliran yang mencoba melihat keunggulan-keunggulan potensial
manusia dan berupaya mengaktualisasikannya. Karena pandangannya yang sangat
positif terhadap manusia, maka dianggapnya manusia adalah penentu kehidupannya
sendiri. Hanna Djumhana melihat bahwa pandangan ini dapat menyesatkan manusia,
karena manusia menganggap dirinya dapat berperan sebagai Tuhan (play-God) bagi diri
mereka sendiri. Bagaimanapun, menurut Hanna Djumhana (2001) Tuhan adalah pusat
kehidupan ini. Akhirnya Hanna Djumhana mengintroduksikan istilah baru, yaitu
Antropo-religiousus-sentris.
Hanna Djumhana (2001) juga membangun struktur kepribadian manusia versi
Psikologi Islam. Beliau mencoba mengakomodasikan dan membangun struktur
kepribadian manusia baru dengan memanfaatkan cara pandang Psikoanalisis (alam
sadar, alam prasadar, dan alam tak sadar). Psikoanalisa memandang manusia sebagai
sosok makhluk yang hidup atas bekerjanya dorongan-dorongan (id) sangat ditentukan
oleh masa lalunya. Konsep ini dipandang terlalu menyederhanakan kompleksitas
dorongan hidup yang ada dalam diri manusia, sehingga terkesan pesimistis dalam
pengembangan diri manusia.
Aliran Behavioristik (dimensi kognisi, dimensi afeksi, dimensi konasi, dan
dimensi psikomotor), memandang manusia sebagai sosok makhluk yang sangat
mekanistik karena kelahirannya tidak membawa apapun, sehingga kehidupannya sangat
ditentukan oleh lingkungan atau hasil pengkondisian lingkungan. Sedangkan Psikologi
Humanistik (dimensi somatik, dimensi psikis, dan dimensi noetik), memandang
manusia sebagai sosok yang mempunyai potensi baik dan tidak terbatas, sehingga
dipandang sebagai penentu tunggal yang mampu memainkan peran Tuhan.
Psikologi Islam hadir dengan menawarkan pembahasan tentang konsep manusia
yang lebih utuh (komprehensif). Manusia tidak hanya dikendalikan oleh masa lalu tetapi
juga mampu merancang masa depan. Manusia tidak hanya dikendalikan lingkungan
tetapi juga mampu mengendalikan lingkungan. Manusia memiliki potensi baik tetapi
juga potensi buruk (terbatas). Konsep manusia dalam Psikologi Islam adalah bio-sosio-
psikis-spiritual, artinya Islam mengakui keterbatasan aspek biologis (fisiologis),
mengakui peran serta lingkungan (sosiokultural), mengakui keunggulan potensi dan
juga memerankan aspek spiritual (Tuhan) dalam kehidupan manusia. Psikologi Islam
juga mengintegrasikan tiga pandangan aliran psikologi di atas ,dan mencoba
menempatkan ruh sebagai dimensi yang menaungi dimensi-dimensi di atas.
Menghadirkan wacana baru, yang kemudian diabadikan dalam nama Psikologi
Islam merupakan suatu keniscayaan. Paling tidak ada dua sisi yang dapat dilihat dalam
menelaah fenomena ini. Dari sisi pengembangan ilmu, upaya ini sebagai pembanding
atau bahkan counterdiscourse terhadap teori-teori Psikologi yang dibangun dari
paradigma sekuler. Masyarakat religious, khususnya masyarakat muslim Indonesia,
tidak mungkin menggunakan teori-teori psikologi sekuler. Selain bias budaya, teori-
teori tersebut bebas nilai yang menafikan unsur-unsur metafisik dan spiritual-
transedental.
Masyarakat muslim lebih tepat menggunakan teori Psikologi berbasis
keIslaman, karena teori itu dapat merangkul seluruh perilakunya dan menunjukkan self
image maupun self esteem sebagai seorang muslim yang sesungguhnya. Sedang dari sisi
praktisnya, pengembangan Psikologi Islam merupakan fase baru bagi praktisi Psikologi,
konseling dan psikoterapi dalam menjalankan tugas dan fungsinya, untuk menciptakan
suasana batin yang sejahtera dan bahagia hakiki.
Dalam usianya yang relatif belia, Psikologi Islam yang dikumandangkan oleh
komunitas terbatas baru menghadirkan sajian (Bastaman, 2001):
1. Kajian dalam bentuk diskusi, seminar dan temu ilmiah nasiopnal
2. Pembentukan organisasi yang pada tingkat nasional terwadahi dalam
Asosiasi Psikologi Islam (API) dan Ikatan Mahasiswa Muslim Psikologi
Indonesia (Imamupsi).
3. Penerbitan buku dan jurnal ilmiah yang bertemakan Psikologi Islam
4. Memasukkan Psikologi sebagai bagian dari mata kuliah wajib atau pilihan
di beberapa perguruan tinggi.
Terdapat beberapa alasan mengapa pengembangan Psikologi Islam masih
berputar pada kalangan terbatas. Pertama, sulit ditemukan sumber daya insani yang
memiliki pengetahuan integratif antara Psikologi dan Islam. Mereka saling menunggu
siapa yang duluan memulai, apakah sarjana Psikologi ataukah sarjana agama. Kedua,
sulit menggabungkan metodologi pengembangan ilmu, antara empiris versus meta-
empiris, induktif versus deduktif, apa adanya versus bagaimana seharusnya, bebas etik
versus sarat etik, kuantitatif versus kualitatif, positivistik empiris versus doktriner
normatif, dan antroposentris versus teosentris. Ketiga, Psikologi Islam sebagai bagian
dari studi Islam memiliki batasan-batasan yang tidak semuanya dapat dijangkau oleh
metodologi ilmu empiris, sebab tidak semua fenomena keagamaan dapat diukur melalui
tes-tes psikologi, seperti masalah kecerdasan spiritual, masalah keimanan dan
ketakwaan.
Menurut Bastaman (2001) menyatakan dalam pergumulan menghasilkan
pemikiran baru dalam diskursus Psikologi Islam, tampaknya ada beberapa hal yang
patut dicatat, yaitu:
1. Selalu dibutuhkan keberanian untuk melakukan terobosan-terobosan baru. Kita
telah mengenali keberanian Galileo untuk memperkenalkan kayakinannya
bahwa matahari adalah pusat peredaran; bahwa bumi lah yang mengitari
matahari dan bukan matahari mengitari bumi. Keberanian,, yang tentu saja harus
didukung oleh argumentasi dan keyakinan yang kuat, adalah modal bagi para
penerobos kemapanan.
2. Selalu dibutuhkan organisasi atau jamaah untuk mengintroduksi pendekatan-
pendekatan baru. Sebagaimana diungkapkan oleh Ali bin Abi Thalib, maka
keberhasilan mewujudkan cita-cita sangat ditentukan oleh keterpaduan gerak
dari orang-orang yang hendah mewujudkannya. Bahkan, shabat terdekat
Rasulullah SAW itu mengungkapkan bahwa kejahatan yang terorganisasi dapat
saja mengalahkan kebaikan yang penuh kesemrawutan. Upaya mengintroduksi,
mempermatang bahkan memenangkan Psikologi Islam haruslah ditopang oleh
organisasi yang kuat. Salah satunya adalah Yayasan Insan Kamil di Yogyakarta,
sebuah lembaga yang dimaksudkan sebagai organisasi untuk mendorong dan
menggodok pematangan Psikologi Islam.
3. Selalu dibutuhkan pemikiran yang matang dengan diimbangi keunggulan
penerapan di lapangan. Pikiran-pikiran baik yang ada di ’langit’ tanpa dapat
dimanfaatkan di bumi adalah pikiran yang tidak berguna. Begitu pula dengan
Psikologi Islam, kalau ia hanya menjadi arena pergulatan pemikiran tanpa bukti
akan ketangguhannya di dalam kehidupan nyata, maka tampaknya ia tak banyak
gunanya. Suatu pendekatan akan terbukti keampuhannya bia ia benar-benar
bermanfaat bagi kehidupan orang banyak. Dengan demikian, upaya pemikiran
harus diimbangi dengan upaya penerapan. Demikian pula halnya dengan
Psikologi Islam.
4. Selalu dibutuhkan keterbukaan bagi pengembangan pendekatan-pendekatan
baru. Salah satu sikap yang perlu dikembangkan oleh pemikir dan peminat
Psikologi Islam adalah sikap terbuka terhadap kritik dan pandangan-pandangan
baru. Suatu pendekatan akan terbukti keunggulannya, bila ia setidaknya
mempunyai keunggulan pada sisi tertentu.
Hanna Djumhana (2001) juga mengungkapkan bahwa tujuan dikembangkannya
Psikologi Islam adalah untuk mempertahankan kesehatan mental dan keimanan dalam
diri individu. Kajian ini menggunakan lebih menitik beratkan pada dimensi spiritual
dikarenakan dimensi ini merupakan sumber dari potensi, bakat, sifat dan kualitas diri
manusia. Bahkan, dimensi ini merupakan satu dimensi yang tidak pernah tergoncang
walaupun pemiliknya sedang sakit secara fisik maupun psikis.
Psikologi Islam memiliki kedudukan yang sama dengan disiplin ilmu keislaman
yang lain, seperti sosiologi Islam, ekonomi Islam, dan sebagainya. Penggunaan lata
“Islam” di sini memiliki arti corak, cara pandang, pola pikir, paradigm, atau aliran-
aliran tersendiri yang berbeda dengan psikologi kontemporer pada umumnya. Psikologi
Islam tidak hanya menekankan perilaku kejiwaan, melainkan juga hakikat jiwa
sesungguhnya. Psikologi Islam mengakui adanya kesadaran dan kebebasan manusia
untuk berkreasi, berpikir, berkehendak, dan bersikap secara sadar, walaupun kebebasan
itu tetap dalam koridor perintah Allah SWT. Psikologi Islam mempunyai tujuan yang
hakiki, yaitu merangsang kesadaran diri agar mampu membentuk kualitas diri yang
lebih sempurna untuk kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Jangkauan Psikologi Islam lebih luas, antara lain dalam fungsi dan tujuan serta
ruang lingkupnya. Jikalau fungsi psikologi umumnya sejauh ini hanya berkisar sekitar
pemahaman, pengendalian, dan peramalan, maka Psikologi Islam menambahnya dengan
fungsi pengembangan (ilmu) dan pendidikan. Selain itu tujuan psikologi untuk
mengembangkan mental yangs sehat pada diri pribadi dan masyarakat, dilengkapi
Psikologi Islam dengan inti kesehatan mental yaitu iman dan takwa kepada Tuhan.
Demikian pula pengalaman manusia sebagai sarana telaah psikologi kontemporer
diperluas dengan pengalaman keruhanian, sehingga ruang lingkup Psikologi Islam tidak
saja mencakup dimensi-dimensi psiko-biologi, psiko-eksistensial, psiko-sosial, tetapi
juga psiko-spiritual (Ancok, 1994).
Kemunculan Psikologi Islam banyak mengundang pro dan kontra. Bukan suatu
hal yang aneh dalam dunia ilmu, bahkan Islam memandang perbedaan di antara kaum
muslim itu sebagai rahmat, sejauh pro dan kontra itu tidak menimbulkan sengketa yang
meregangkan silaturrahmi. Hal yang terpenting adalah niat baik, artinya sekelompok
orang-orang yang berniat baik berkumpul untuk bermusyawarah bagaimana mengisi
Islamisasi Sains dan teknologi sebagai salah satu tema sentral Kebangkitan Islam pada
Kurun XV Hijrah dengan mengembangkan disiplin ilmu Psikologi Islam (Mujib, 2002).
DAFTAR PUSTAKA
1. Azizi, Qadry. 2003. Pengembangan Ilmu-ilmu Keislaman. Jakarta: Dipertais2. Ancok, Djamaluddin. 1994. Psikologi Islam & Solusi Islam atas Problem-
problem Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar3. Bastaman, Hanna. 2001. Integrasi Psikologi dengan Islam. Yogyakarta:
Yayasan Insan Kamil.4. Hartati, Neti, dkk. 2005. Islam dan Psikologi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.5. Jalaluddin. 1996. Psikologi Agama. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.6. Mujib, Abdul. 2006. Kepribadian dalam Psikologi Islam. Jakarta: PT Rajawali
Grafindo Persada.7. Mujib, Abdul, dkk. 2002. Nuansa-nuansa Psikologi Islam. Jakarta: Rja Grafindo
Persada.
8. Rahman shaleh, Abdul. 2008. Psikologi Suatu Pengantar dalam PerspektifIslam. Jakarta: Kencana.
9. Rakhmad, Jalaluddin. 2005. Psikologi Agama Suatu Pengantar. Bandung:Mizan.
10. Suprayetno. 2009. Psikologi Agama. Bandung: Citapustaka Media Perintis.11. Sapuri, Rafy. 2009. Psikologi Islam: Tuntutan Jiwa Manusia Modern. Jakarta:
Rajawali Pers.
GURU PEMBIMBING DAN KENAKALAN REMAJA
Oleh:
RAHMAT MULIADI
Ketua MG-BK SLTA Sekabupaten Deli Serdang
Abstract:Fight of the existing student has become fearful thing for all public circle.
Behavior of fight of student is not merely resulting loss of wounded good and chattel orvictim but has snatched hundreds of soul to float is useless during ten years last. Fightactivity done by student is mischief of adolescent which can lead to criminality suchscorpion there is victim. The Institute of education harp able to create educatededucative participant is felt incapable of overcoming mischief problems of thisadolescent. What which ought to done by education institute in standing(prevents/overcomes) this problem, or more precisely how and how far ought to the roleof tuition of counseling in standing this problems.Keywords: adolescent mischief, counsellor teacher
PENDAHULUAN
Tawuran pelajar saat ini sudah menjadi momok bagi seluruh kalangan
masyarakat. Perilaku tawuran pelajar bukan hanya mengakibatkan kerugian harta benda
atau korban cedera tapi sudah merenggut ratusan nyawa melayang sia-sia selama
sepuluh tahun terakhir. Beberapa tahun lalu puluhan siswa dari sebuah sekolah swasta
ditanggap polisi karena memabcok siswa SMK 5 Semarang, dan masih hangat di media
cetak dan media televis kita berita dari lembaga pendidikan di kota Jakarta, yang
tepatnya berada di SMA 6 dan SMA 70 Jakarta yang berita dan responnya masih terus
gencar dilakukan terhadap sikap tauran para pelajar yang telah memkan korban jiwa.
serta permasalahan ini juga berada di sekolah- sekolah lain yang ada di Negara tercinta
ini. Yang menjadi pertanyaan di dalam kajian ini adalah bagaimana dengan pendidikan
kita saat ini? Atau lebih tepatnya bagaimana dan sejauh mana seharusnya peran
bimbingan konseling dalam menyikapi permasalahan ini.
Dunia pendidikan merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam
kelangsungan hidup manusia. Karena dengan pendidikan manusia dapat mencapai
taraf hidup yang lebih baik, dalam segala tindakan, ucapan juga tingkah laku manusia
yang selalu tak lepas dipengaruhi oleh suatu proses pendidikan.
Proses pendidikan dapat dilakukan, dan terjadi di manapun kapanpun sejak usia
bayi sampai manusia mati. Namun di era globalisasi sekarang ini dunia pendidikan
dihadapkan dengan berbagai macam tantangan dan permasalahan. Di antara
permasalahannya adalah sebagaimana kita ketahui bahwa timbulnya berbagai macam
bentuk kenakalan remaja. Remaja yang pada usia sekolah yang seharusnya difokuskan
pada menuntut ilmu dan hal yang bermanfaat. Namun kenyataannya sebaliknya malah
melakukan berbagai tindakan yang tidak terpuji dan seharusnya tidak mereka lakukan.
Kenakalan remaja semakin lama semakin meningkat. Banyak peristiwa yang merugikan
bagi dirinya (remaja secara khusus) dan bagi orang tuanya, kalangan pendidikan, serta
masyarakat (secara umum). Kenakalan ini biasa terdapat pada anak-anak, namun yang
paling dominan terdapat pada usia remaja yang pada masa ini remaja mengalami proses
pertumbuhan dan perkembangan yang sangat cepat atau biasa disebut dengan masa
peralihan (Arif, 2008)
Remaja sering digambarkan sebagai usia di mana manusia dapat ditolerir untuk
melakukan banyak pelanggaran terhadap norma dalam masyarakat, yang pada akhirnya
tanpa pikir panjang mereka bebas mencoba hal-hal yang melanggar aturan dan
berdampak negatif tersebut. Apalagi, tersedianya fasilitas yang mendukung ke arah
sana. Dengan adanya kebebasan pers, media massa dengan bebasnya menayangkan
sesuatu yang dapat memberi rangsangan negatif bagi perilaku remaja saat ini. Media
seperti televisi, internet dan lainnya merupakan media yang memberikan akses besar
terhadap perilaku remaja sekarang.
Dipandang dari sudut pendidikan, penampilan dan perilaku remaja seperti di atas
sangat tidak diharapkan, karena tidak sesuai dengan sosok pribadi manusia Indonesia
yang dicita-citakan, seperti tercantum dalam tujuan pendidikan nasional (UU No. 20
Tahun 2003), yaitu: (1) beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, (2)
berakhlak mulia, (3) memiliki pengetahuan dan keterampilan, (4) memiliki kesehatan
jasmani dan rohani, (5) memiliki kepribadian yang mantap
Tujuan pendidikan tersebut di atas mempunyai implikasi imperatif (yang
mengharuskan) bagi semua tingkat satuan pendidikan untuk senantiasa memantapkan
proses pendidikannya secara bermutu ke arah pencapaian tujuan pendidikan tersebut
dan mencetak generasi yang unggul, sehat jasmani dan rohani. Namun
permasalahannya kenakalan remaja juga menimpa dan menjangkit di lembaga
pendidikan.
Hal yang tidak bias kita pungkiri ketika permasalahan kenakalan siswa terjadi
baik di dalam lingkungan sekolah maupun di luar lingkungan sekolah maka semua mata
akan tertuju kepada guru BK (Bimbingan dan Konsleing) dengaan segudang
pertanyaan: mengapa ini bias terjadi? Apa saja kerja guru BK? Kemama Guru BK? Dan
lain sebagainya.
Sesungguhnya dengan diadakannya bimbingan konseling di sekolah maupun
madrasah diharapkan perannya mampu mencegah, mengatasi dan membantu berbagai
masalah yang dialami siswa. Dikarenakan berdirinya bimbingan konseling juga tak
lepas karena adanya masalah-masalah yang dialami siswa, selain itu juga merupakan
suatu bentuk upaya yang dilakukan oleh lembaga pendidikan untuk memberikan wadah
dan saluran bagi siswa yang mengalami masalah untuk menyelesaikannya yang salah
satunya lewat bimbingan konseling (Sudrajat, 2008).
Maka dalam hal ini penulis merasa perlu untuk membahas kenakalan siswa ini
dengan mengkaji tugas guru BK ini berkaitan dengan permasalahan kenakalan siswa ini
dengan terlebih menguraikan tentang hakikat remaja dan kenakalan serta upaya
mengtasinya.
PEMBAHASAN
1. Pengertian Kenakalan.
Berdasarkan pendapatnya B. Simanjuntak (1999: 67) memberikan pengertian
suatu perbuatan itu disebut kenakalan apabila perbuatan tersebut bertentangan dengan
norma-norma yang ada dalam masyarakat tempat di mana dia tinggal, atau dapat
dikatakan kenakalan itu adalah suatu perbuatan yang a-sosial di mana di dalamnya
terkandung unsur-unsur normatif.
Sedangkan Safiyudin (1999: 26) mengemukakan bahwa kenakalan dapat
diklasifikasikan sebagai perbuatan atau kelakuan a-sosial dan a-normatif. Sedangkan
dari segi psikologis, Koesoemanto menjelaskan bahwa kenakalan merupakan tingkah
laku yang bertentangan dengan syarat-syarat dan pendapat umum yang dianggap
sebagai akseptabel dan baik oleh suatu lingkungan masyarakat atau hukum yang berlaku
disuatu masyarakat yang berkebudayaan tersebut.
Dari beberapa pendapat tersebut penulis menyimpulkan bahwa kenakalan
merupakan suatu bentuk perbuatan yang melanggar dan bertentangan dengan norma
yang berlaku di lingkungan tersebut.
2. Pengertian Remaja.
Masa remaja adalah masa yang menunjukkan sebuah periode peralihan dari
masa kanak-kanak menjadi dewasa yang dimulai dengan timbulnya tandatanda pubertas
yang pertama dan berakhir pada waktu remaja mencapai kematangan fisik dan mental
(Kartini, 1986: 149).
Berbeda lagi menurut pendapatnya Mappiare yang menyatakan bahwa batas
usia remaja berada dalam usia antara 12 sampai 21 bagi perempuan sedangkan bagi
laki-laki berusia antara 13 sampai 22 tahun. Sedangkan menurut pendapatnya B.
Simanjuntak remaja adalah umur yang menjembatani antara umur anak-anak dan umur
dewasa. Pada umur ini terjadi berbagai perubahan yang tidak mudah bagi seorang anak
untuk menghadapinya tanpa bantuan dan pengertian dari pihak orang tua dan orang
dewasa pada umumnya, pada umur ini terjadilah perubahan cepat-cepat pada jasmani,
emosi, sosial, moral dan kecerdasan.
Berbeda lagi menurut pendapatnya Zakiah Daradjat (1975: 11) mengatakan
bahwa remaja merupakan masa peralihan yang ditempuh oleh seseorang dari
kanakkanak menuju kedewasa atau perpanjangan masa kanak-kanak sebelum masa
dewasa.
Menurut Singgih D. Gunarsa (2007: 3) masa remaja adalah masa peralihan dari
masa anak ke masa dewasa, meliputi semua perkembangan yang dialami sebagai
persiapan memasuki masa dewasa.
Berdasarkan uraian di atas pada dasarnya dapat disimpulkan bahwa masa remaja
merupakan masa yang sulit untuk ditebak atau masa transisi, karena masa remaja tidak
lagi disebut anak-anak dan juga tidak disebut dewasa melainkan masa peralihan dari
anak-anak menuju dewasa yang berumur antara 12 sampai 22 tahun sehingga waktunya
sangat singkat sekali. Masa ini pun ditandai dengan adanya pertumbuhan dari dalam
maupun dari luar yang sangat cepat. Sehingga mempengaruhi sikap, perilaku serta
kepribadian pada diri remaja. Meskipun demikian masa remaja mengalami suatu
kematangan fisik dan kematangan sosial yang serempak.
3. Pengertian Kenakalan Remaja.
Istilah baku dalam konsep dan pandangan Psikologi, kenakalan remaja adalah
Juvenile Delequance yang secara etimologis dapat dijabarkan bahwa juvenile adalah
anak sedangkan delinquency adalah kejahatan. Menurut Drs. Bimo Walgito
merumuskan arti selengkapnya dari kenakalan remaja (Juvenile Delinquency) adalah
tiap perbuatan, jika perbuatan tersebut dilakukan oleh orang dewasa, maka perbuatan itu
merupakan kejahatan, jadi merupakan perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan
oleh anak, khususnya anak remaja.
Berbeda lagi dengan pendapatnya Sukoharjo yang mendefinisikan kenakalan
remaja sebagai kenakalan yang sangat berbahaya, kenakalan ini biasanya dilakukan oleh
remaja sekolah misalnya mabuk-mabukan, membolos, merokok di sekolah dan
sebagainya. Kenakalan remaja merupakan perilaku yang melanggar norma sosial,
norma susila, kesopanan, norma hukum dan norma agama. Sedangkan menurut
pendapatnya Dr. Fuad Hasan merumuskan definisi Juvenile delequency adalah
perbuatan anti sosial yang dilakukan oleh anak remaja yang bilamana dilakukan orang
dewasa dikualifikasikan sebagai tindak kejahatan (Sudarsono, 1990: 10-11).
Dari berbagai pendapat di atas dapat penulis simpulkan bahwa kenakalan remaja
(Juvenile Delinquency) adalah suatu perbuatan kejahatan maupun pelanggaran yang
dilakukan oleh remaja yang bersifat melawan hukum, anti sosial, anti susila, menyalahi
norma-norma dan aturan yang berlaku di lingkungan tersebut.
4. Ciri-ciri Kenakalan Remaja.
Menurut pendapatnya Singgih D. Gunarsah (2007: 19) ciri-ciri pokok dari
kenakalan remaja antara lain:
a. Dalam pengertian kenakalan, harus terlihat adanya perbuatan atau tingkah laku yang
bersifat pelanggaran terhadap noma hukum yang berlaku dan pelanggaran nilai-
nilai moral.
b. Kenakalan tersebut mempunyai tujuan yang anti sosial yakni dengan perbuatan atau
tingkah laku tersebut bertentangan dengan nilai atau moral sosial yang ada di
lingkungan hidupnya.
c. Kenakalan remaja merupakan kenakalan yang dilakukan oleh mereka yang berumur
antara 13-17 tahun. Mengingat di Indonesia pengertian dewasa selain ditentukan
oleh status perkawinan, maka dapat ditambah bahwa kenakalan remaja adalah
perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh mereka yang berumur antara 13-17
tahun dan belum menikah.
d. Kenakalan remaja dapat dilakukan oleh seorang remaja saja atau dapat juga
dilakukan secara bersama-sama dalam suatu kelompok remaja.
5. Bentuk Kenakalan Remaja
Masalah kenakalan remaja adalah masalah yang banyak menjadi perhatian
orang-orang di mana saja, baik masyarakat kota maupun desa, karena kenakalan
seseorang berdampak terganggunya ketentraman dan ketenangan orang lain maupun
orang di sekitarnya.
Adapun secara umum seperti kita ketahui kenakalan remaja di zaman sekarang baik
sifat maupun bentuknya terus mengalami perubahan dari masa kemasa. Dengan
didorong sifat remaja sangat besar untuk mencoba dan selalu ingin tahu, menyebabkan
remaja berusaha untuk mempraktekan dan meniru segala perilaku yang aneh yang
dianggap baru dan ganjil. Sehingga akhirnya munculah prilaku baru yang
dikembangkan dan dibanggakan para remaja yang kebanyakan tidak sesuai dengan
aturan maupun norma-norma yang berlaku. Maka dari itu salah satu masalah
pendidikan yang sangat sulit dipecahkan dan sedang dihadapi dewasa ini sebagaimana
telah dikemukakan di atas adalah masalah kenakalan remaja. Dikarenakan masalah
kenakalan remaja sangat erat kaitannya dengan kondisi rumah tangga dan lingkungan
masyarakat sekitarnya, bahkan keadaan sekolah yang tidak teratur dan kondusif dapat
pula menjadi sumber kenakalan itu. Bentuk kelainan tingkah laku atau kenakalan
remaja misalnya berkelahi, suka berkata kotor, mencuri, suka membolos, merokok di
sekolahan dan lain sebagainya.
Adapun secara garis besar menurut pendapatnya Kartini Kartono (2003: 107-
109), kenakalan remaja dapat diklasifikasikan dalam dua bagian berikut ini:
a. Kenakalan remaja yang bersifat biasa.
Kenakalan remaja biasa adalah kenakalan yang dilakukan remaja secara khusus
tidak terdapat dan diatur dalam undang-undang dan hukum, karena kenakalan yang
tidak diatur dalam undang-undang atau suatu hukum tidak dapat atau sulit
digolongkan sebagai pelanggaran hukum. Apabila remaja melakukan kenakalan
yang masuk kategori ini pada umunya tidak ada sangsi yang tegas dan biasanya
remaja hanya mendapat sangsi moral dari orang lain serta masyarakat. Sehingga
kenakalan remaja pada tingkat ini frukuensinya lebih sering terjadi dikarenakan
tidak adanya pihak yang secara langsung menanganinya, dan biasanya remaja tidak
jera untuk melakukan secara berulang ulang perilaku tersebut.
Adapun yang termasuk dalam kategoti kenakalan ini berupa berkelahi, membolos
sekolah, kabur dari rumah, berbohong, menyontek, keluyuran tanpa tujuan, kebut-
kebutan, membaca buku porno, merokok di sekolahan yang mana hal ini hanya
diatur dalam tata tertib sekolah bukan dalam hukum resmi atau undang-undang.
b. Kenakalan remaja yang bersifat khusus.
Kenakalan remaja yang bersifat khusus merupakan jenis kenakalan yang melanggar
norma-norma, hukum serta undang-undang yang berlaku. Kenakalan yang termasuk
dalam kategori ini pada umumnya telah menjerumus pada salah satu kenakalan yang
bersifat menetap, sebagai contoh misalnya remaja yang terjerat minum-minuman
keras, judi, narkotik, ganja, melakukan seks bebas, merampok, pencurian,
membunuh dan lain sebagainya yang mana dilarang dan diatur baik dalam aturan
sekolah maupun undang-undang dan hukum negara serta mendapat sangsi yang
tegas setiap pelakunya. Pada kenakalan remaja dalam tingkat ini termasuk
kenakalan remaja yang berat, sehingga memerlukan penanganan yang serius dan
hati-hati.
Sedangkan menurut pendapatnya Mulyono bahwa kenakalan remaja dapat
digolongkan menjadi dua yaitu kenakalan yang tidak digolongkan pelanggaran hukum
namun berdampak negatif seperti:
1) Membolos, merupakan suatu tindakan pergi meninggalkan sekolah atau kelas tanpa
sepengetahuan pihak sekolah.
2) Kabur meningggalkan rumah tanpa izin orang tua disertai menentang keinginan
orang tua dalam waktu relatif lama.
3) Kebiasaan membaca buku-buku cabul, menonton film porno, dan kebiasaan
mempergunakan bahasa yang tidak sopan.
4) Turut dalam pelacuran atau melacurkan diri baik untuk tujuan ekonomi ataupun
tujuan lainnya.
5) Merokok di lingkungan sekolah, berpakaian tidak pantas dan minum-minuman
keras.
Sedangkan untuk pelanggaran terhadap hukum atau kenakalan yang mengarah
pada tindakan kriminal seperti:
1) Berjudi sampai menggunakan uang dan taruhan benda lain.
2) Mencuri, menjambret, mencopet dan merampas barang orang lain dengan kekerasan
atau tanpa kekerasan.
3) Pelanggaran tata susila. Menjual gambar atau film porno serta pemerkosaan.
4) Pembunuhan, pengguran kandungan, penganiayaan.
Dari beberapa bentuk kenakalan remaja di atas maka dapat disimpulkan bentuk
kenakalan remaja sekarang sangatlah komplek. Maka dari itu, penulis mengambil garis
besar mengenai bentuk kenakalan remaja secara umum dibagi menjadi dua macam,
yaitu:
a. Kenakalan yang ringan (yang tidak termasuk dalam tindak kriminal tapi berdampak
negatif), seperti merokok, membolos sekolah, main kebut-kebutan, membawa
senjata tajam, berkelahi, membawa buku atau VCD porno, minumminuman keras,
bergabung dengan kelompok geng nakal dan lain sebagainya, juga termasuk dalam
hal ini larangan-larangan yang diatur dalam tata tertib di sekolah juga bisa dikatakan
kenakalan remaja bila pelakunya adalah pelajar.
b. Kenakalan yang berat (termasuk dalam tindak kriminal yang menyebabkan kerugian
bagi dirinya dan masyarakat dan diatur dalam Undang-undang), seperti berjudi,
memakai narkoba, ganja, melakukan seks bebas, merampok, memperkosa,
membunuh orang dan lain sebagainya.
6. Faktor Yang Mempengaruhi Kenakalan Remaja.
Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya kenakalan remaja menurut
pendapatnya Kartini Kartono lebih rinci dijelaskan sebagai berikut:
a. Faktor kontrol diri.
Kenakalan remaja juga digambarkan sebagai kegagalan untuk mengembangkan
kontrol diri yang cukup dalam hal tingkah laku. Beberapa anak yang gagal dalam
mengembangkan kontrol diri yang esensial yang sudah dimiliki orang lain selama
proses pertumbuhan biasanya akan mengalami pemberontakan dan bentuknya bisa
berupa tindakan kenakalan remaja.
b. Faktor usia.
Biasanya munculnya tingkah laku anti sosial ini umunya para pelaku kenakalan
dimulai pada masa remaja yang mana masa remaja cenderung untuk mencoba hal-
hal yang baru walaupun secara nyata berdampak negatif di masa remajanya, namun
demikian tidak semua anak yang bertingkah laku seperti ini nantinya akan menjadi
pelaku kenakalan secara terus menerus.
c. Faktor jenis kelamin.
Secara umum remaja lebih banyak melakukan tingkah laku anti sosial dan
kenakalan dan biasanya didominasi oleh remaja laki-laki dari pada remaja
perempuan walaupun tidak menutup kemungkinan remaja perempuan juga
melakukan tindakan yang sama.
d. Faktor harapan terhadap pendidikan dan nilai-nilai di sekolah.
Remaja yang menjadi pelaku kenakalan seringkali memiliki harapan yang rendah
terhadap pendidikan di sekolah. Mereka merasa dan memandang bahwa sekolah itu
tidak begitu bermanfaat untuk kehidupannya, selain itu juga biasanya nilai-nilai
mereka pada pelajaran di sekolah cenderung rendah. Mereka pada umunya tidak
termotivasi untuk sekolah.
e. Faktor keluarga.
Faktor keluarga sangat berpengaruh terhadap timbulnya kenakalan remaja. Kurang
adanya dukungan keluarga seperti kurangnya perhatian orang tua terhadap aktivitas
anak, kurangnya penerapan disiplin yang efektif dan kurangnya kasih sayang orang
tua terhadap anaknya dapat menjadi pemicu timbulnya kenakalan remaja.
f. Faktor teman sebaya.
Memiliki teman-teman sebaya yang melakukan kenakalan meningkatkan risiko
remaja untuk menjadi nakal juga.
g. Faktor kelas sosial ekonomi.
Ada kecenderungan bahwa pelaku kenakalan lebih banyak berasal dari kelas sosial
ekonomi yang lebih rendah dengan perbandingan jumlah remaja nakal di antara
daerah perkampungan. Hal ini disebabkan kurangnya kesempatan remaja dari kelas
sosial rendah untuk mengembangkan ketrampilan yang diterima oleh masyarakat.
h. Faktor lingkungan sekitar tempat tinggal.
Masyarakat dengan tingkat kriminalitas tinggi memungkinkan remaja mengamati
berbagai model yang melakukan aktivitas kriminal dan memperoleh hasil atau
penghargaan atas aktivitas kriminal mereka. Masyarakat seperti ini sering ditandai
dengan kemiskinan, pengangguran, dan perasaan tersisih dari kaum kelas menengah.
Kualitas sekolah, pendanaan pendidikan, dan aktivitas lingkungan yang terorganisir
adalah faktor-faktor lain dalam masyarakat yang juga berhubungan dengan
kenakalan remaja.
Berdasarkan pendapat di atas tersebut penulis menyimpulkan bahwa faktor yang
paling berperan menyebabkan timbulnya kecenderungan kenakalan remaja adalah faktor
keluarga dan faktor lingkungan terutama teman sebaya yang kurang baik, karena pada
masa ini remaja mulai bergerak meninggalkan rumah dan menuju teman sebaya,
sehingga minat, nilai, dan norma yang ditanamkan oleh kelompok pergaulannya lebih
menentukan perilaku remaja itu sendiri dibandingkan dengan norma, nilai yang ada
dalam keluarga dan masyarakat.
7. Tindakan Dalam Upaya Mengatasi Masalah Kenakalan Remaja.
Ada beberapa tindakan yang dapat dilakukan dalam upaya untuk mengatasi
kenakalan remaja terkait dengan fungsi dan tujuan bimbingan dan konseling antara lain
sebagai berikut:
a. Tindakan Preventif.
Tindakan preventif ini merupakan suatu tindakan yang akan dapat mencegah
timbulnya kenakalan remaja secara umum. Di dalam tindakan ini menurut Singgih
D. Gunarsa terbagi menjadi dua macam:
1) Bentuk usaha pencegahan timbulnya kenakalan remaja secara umum, adapun
dalam usaha pencegahan secara umum ini dibagi menjadi tiga antara lain: (a)
Usaha mengenal dan mengetahui secara ciri umum dan khas remaja, (b)
Mengetahui kesulitan-kesulitan yang secara umum dialami remaja karena setiap
remaja tidak selalu sempurna dan salah satu penyebab kenakalannya adalah
kekurangan atau kelemahan yang tidak diterima oleh remaja tersebut sebagai
individu. Dalam tindakan ini berusaha untuk mengetahui kesulitan serta
kelemahan yang menimbulkan kenakalan yang dilakukan remaja tersebut, dan
(c) Usaha pembinaan remaja, usaha pembinaan remaja ini bertujuan untuk
memperkuat sikap mental remaja agar mampu menyelesaikan masalah yang
dihadapinya. Tidak hanya itu saja tapi juga di dalam memberikan pendidikan
mental melalui pengajaran agama, budi pekerti, etika serta menciptakan sarana-
sarana yang menimbulkan atau menciptakan perkembangan pribadi secara wajar
dan optimal. Usaha pembinaan remaja ini juga berusaha untuk memperbaiki
faktor-faktor ekstern yang menimbulkan kenakalan remaja antara lain faktor
keluarga, lingkungan dan masyarakat.
Dengan demikian usaha pembinaan ini akan mengarahkan remaja untuk
melakukan tindakan yang sesuai, sopan, bertanggung jawab dan mampu
menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya.
2) Usaha pencegahan kenakalan remaja secara khusus, usaha yang dilakukan para
pendidik terhadap kelainan tingkah laku remaja. Usaha pencegahan yang khusus
ini bila di rumah sudah tentu dilakukan oleh orang tua sedangkan di sekolah
adalah para pendidik, guru pembimbing, guru ahli atau psikolog. Usaha para
pendidik harus diarahakan terhadap remaja dengan mengamati, memberikan
perhatian khusus dan mengawasi setiap penyimpangan tingkah laku remaja baik
di rumah dan di sekolah. Sebagai langkah selanjutnya” pemberian bimbingan
terhadap para remaja dengan tujuan menambah pengertian para remaja
mengenai: (a) Pengenalan diri sendiri meliputi menilai diri sendiri dan dalam
hubungan dengan orang lain. (b) Penyesuaian diri meliputi mengenal dan
menerima tuntutan dan menyesuaikan diri dengan tuntutan tersebut. (c) Orientasi
diri meliputi mengarahkan diri remaja kearah pembatasan antara diri pribadi dan
sikap sosial dengan penekanan pada penyadaran nilai-nilai sosial, moral dan
etik.
Bimbingan yang diberikan dan dilakukan dapat menggunakan dengan dua macam
pendekatan, yaitu:
1) Pendekatan langsung, yakni bimbingan yang diberikan secara pribadi pada
remaja itu sendiri. Melalui percakapan mengungkapkan kesulitan remaja
tersebut dan membantu mengatasinya.
2) Pendekatan melalui kelompok di mana ia sudah merupakan anggota kumpulan
atau kelompok kecil tersebut, meliputi: memperkuat motivasi atau dorongan
untuk bertingkah laku baik dan merangsang hubungan sosial yang baik,
mengadakan kelompok diskusi dengan memberikan kesempatan mengemukakan
padangan dan pendapat para remaja dan memberikan pengarahan yang positif,
dengan melakukan permainan bersama dan bekerja dalam kelompok dipupuk
solidaritas dan persekutuan dan pembimbing.
b. Tindakan Represif.
Usaha menindak pelanggaran norma-norma sosial dan moral dapat dilakukan
dengan mengadakan hukuman terhadap setiap perbuatan pelanggaran. Dalam
menindak terhadap remaja ini ada dua tempat:
1) Di rumah dan dalam lingkungan keluarga, remaja harus mentaati peraturan dan
tata cara yang berlaku. Di samping peraturan tentu perlu adanya semacam
hukuman yang dibuat oleh orang tua terhadap pelanggaran tata tertib dan tata
cara keluarga. Dalam hal ini perlu perhatikan bahwa pelaksanaan tata tertib dan
tata cara keluarga harus dilakukan dengan konsisten. Setiap pelanggaran yang
sama harus dikenakan sanksi yang sama. Sedangkan hak dan kewajiban anggota
keluarga mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan dan umur.
2) Di sekolah dan lingkungan sekolah, dalam hal ini maka Kepala Sekolahlah yang
berwenang dalam pelaksanaan hukuman terhadap pelanggaran tata tertib
sekolah. Dalam beberapa hal guru juga berhak untuk bertindak atau pelimpahan
ke pihak guru pembimbing. Pada umunya tindakan reprensif diberikan dalam
bentuk peringatan secara lisan maupun tertulis kepada pelajar dan orang tua,
melakukan pengawasan khusus oleh Kepala sekolah dan tim guru atau
pembimbing, dan melarang bersekolah untuk sementara atau seterusnya
tergantung pada macam pelanggaran tata tertib sekolah yang telah ditentukan.
c. Tindakan Kuratif dan Rehabilitasi.
Tindakan ini dilakukan setelah tindakan pencegahan lainnya dilaksanakan dan
dianggap perlu mengubah tingkah laku remaja melanggar tersebut itu dengan
memberikan pendidikan lagi. Pendidikan diulangi melalui pembinaan khusus,
biasanya hal ini ditanggulangi oleh lembaga khusus maupun perorangan yang ahli
dalam bidang ini.
KESIMPULAN
Kenakalan remaja pada mulanya ada dan dipengaruhi oleh berbagai faktor sehingga
remaja akhirnya bertindak di luar norma dan aturan yang berlaku. macam bentuk kenakalan
adalah (a) Kenakalan yang ringan (yang tidak termasuk dalam tindak kriminal tapi
berdampak negatif), seperti merokok, membolos sekolah, main kebut-kebutan,
membawa senjata tajam, berkelahi, membawa buku atau VCD porno, minumminuman
keras, bergabung dengan kelompok geng nakal dan lain sebagainya, juga termasuk
dalam hal ini larangan-larangan yang diatur dalam tata tertib di sekolah juga bisa
dikatakan kenakalan remaja bila pelakunya adalah pelajar. (b) Kenakalan yang berat
(termasuk dalam tindak kriminal yang menyebabkan kerugian bagi dirinya dan
masyarakat dan diatur dalam Undang-undang), seperti berjudi, memakai narkoba, ganja,
melakukan seks bebas, merampok, memperkosa, membunuh orang dan lain sebagainya
Beberapa upaya dan tahapan yang dilakukan bimbingan konseling dalam mengatasi
kenakalan remaja antara lain tertuang dalam beberapa tindakan berikut ini:
a. Tindakan Preventif.
Bimbingan yang diberikan dan dilakukan dapat menggunakan dengan dua macam
pendekatan, yaitu:
1) Pendekatan langsung, yakni bimbingan yang diberikan secara pribadi pada
remaja itu sendiri. Melalui percakapan mengungkapkan kesulitan remaja
tersebut dan membantu mengatasinya.
2) Pendekatan melalui kelompok di mana ia sudah merupakan anggota kumpulan
atau kelompok kecil tersebut, meliputi: memperkuat motivasi atau dorongan
untuk bertingkah laku baik dan merangsang hubungan sosial yang baik,
mengadakan kelompok diskusi dengan memberikan kesempatan mengemukakan
padangan dan pendapat para remaja dan memberikan pengarahan yang positif,
dengan melakukan permainan bersama dan bekerja dalam kelompok dipupuk
solidaritas dan persekutuan dan pembimbing.
b. Tindakan Represif.
Usaha menindak pelanggaran norma-norma sosial dan moral dapat dilakukan
dengan mengadakan hukuman terhadap setiap perbuatan pelanggaran. Dalam
menindak terhadap remaja ini
c. Tindakan Kuratif dan Rehabilitasi.
Tindakan ini dilakukan setelah tindakan pencegahan lainnya dilaksanakan dan
dianggap perlu mengubah tingkah laku remaja melanggar tersebut itu dengan
memberikan pendidikan lagi. Pendidikan diulangi melalui pembinaan khusus,
biasanya hal ini ditanggulangi oleh lembaga khusus maupun perorangan yang ahli
dalam bidang ini.
DAFTAR PUSTAKA
Arif Apriansyah, Dunia Remaja, (http://darsanaguru.blogspot.com/2008/04/ DuniaUndang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun. 2003 Sistem Pendidikan
Nasional, (Surabaya: Media Centre),B. Simanjutak, 1999, Psikologi Remaja, Bandung: Tarsito.Safiyudin Sastrawijaya, 1999, Beberapa Hal Tentang Masalah Kenakalan Remaja,
Bandung; PT. karya nusantaraKartini Kartono, 1986, Psikologi Remaja, Bandung: Offset AlumniZakiyah Darajat, 1975, Pembinaan Remaja, Jakarta: Bulan BintangSinggih D.Gunarsa, 2007, Psikologi Remaja, Jakarta: BPK Gunung MuliaSudarsono, 1990, Kenakalan Remaja, Jakarta: Rineka CiptaKartini Kartono, 2003, Kenakalan Remaja, Jakarta: PT. Rajagrafindo
DIMENSI PENGEMBANGAN DIRI BERNUANSA ISLAMI DALAMKTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah)
Oleh:
TarmiziDosen Fakultas tarbiyah IAIN Sumatera Utara
Jl. Willem iskandar Psr V Medan Estate
Abstract
Self development is an education activity outside from subject of study part ofschool curriculum.The aim of Self development that give chance to all student toincrease and to express their selves commensurate with their necessity, talent, interest.Self development activity was guided by counselor, teacher, or educator did inextracurricular activity. Self development activity was done through a counselingservice with self trouble and social live, learn, and increase student’s career. The unitof elementary school and high school was populared with named KTSP, curriculumstructure covers three components, there are : (1) subject of study (2) local capacity (3)self development.Key words: Pengembangan Diri, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
PENDAHULUANDalam rangka meningkatkan mutu pendidikan Indonesia, pemerintah terus
berupaya melakukan berbagai reformasi dalam bidang pendidikan, di antaranya adalah
dengan dikeluarkannya Permendiknas No. 22 tentang Standar Isi untuk Satuan
Pendidikan Dasar dan Menengah dan Permendiknas No. 23 tentang Standar Kompetensi
Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Selanjutnya, untuk mengatur
pelaksanaan peraturan tersebut dikeluarkan pula Permendiknas No 24 tahun 2006.
Dari ketiga peraturan tersebut memuat beberapa hal penting di antaranya bahwa
satuan pendidikan dasar dan menengah mengembangkan dan menetapkan Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, yang kemudian dipopulerkan dengan
istilah KTSP. Di dalam KTSP, struktur kurikulum yang dikembangkan mencakup tiga
komponen yaitu: (1) mata pelajaran; (2) muatan lokal dan (3) pengembangan
diri.Komponen pengembangan diri merupakan komponen yang relatif baru dan berlaku
untuk dikembangkan pada semua jenjang pendidikan.
LANDASAN
1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
Pasal 1 butir 6 yang mengemukakan bahwa konselor adalah pendidik, Pasal 3
bahwa pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi siswa, dan
Pasal 4 ayat (4) bahwa pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan,
membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas siswa dalam proses
pembelajaran, dan Pasal 12 Ayat (1b) yang menyatakan bahwa setiap siswa pada
setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai
dengan bakat, minat, dan kemampuannya.
2. PP. No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Pasal 5 - Pasal 18
tentang standar isi untuk satuan pendidikan dasar dan menengah.
3. Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan
Dasar dan Menengah, yang memuat pengembangan diri siswa dalam struktur
kurikulum setiap satuan pendidikan difasilitasi dan/atau dibimbing oleh konselor,
guru, atau tenaga kependidikan.
4. Dasar Standarisasi Profesi Konseling yang dikeluarkan Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi Tahun 2004 untuk memberi arah pengembangan profesi
konseling di sekolah dan di luar sekolah.
PENGERTIAN
Pengembangan diri merupakan kegiatan pendidikan di luar mata pelajaran
sebagai bagian integral dari kurikulum sekolah/madrasah. Kegiatan pengembangan diri
merupakan upaya pembentukan watak dan kepribadian siswa yang dilakukan melalui
kegiatan pelayanan konseling berkenaan dengan masalah pribadi dan kehidupan sosial,
kegiatan belajar, dan pengembangan karir, serta kegiatan ekstra kurikuler. Di samping
itu, untuk satuan pendidikan kejuruan, kegiatan pengembangan diri, khususnya
pelayanan konseling ditujukan guna pengembangan kreativitas dan karir. Untuk satuan
pendidikan khusus, pelayanan konseling menekankan peningkatan kecakapan hidup
sesuai dengan kebutuhan khusus siswa.
Hal ini sejalan dengan pesan-pesan agama sebagaimana yang termuat di dalam
surat al-Ashri bahwa Allah Swt memerintahkan kaum muslimin untuk saling berwasiat
dalam melakukan kebenaran dan kesabaran, meningkatkan iman dan amal saleh. Inilah
landasan dari pelayanan konseling Islami. Firman Allah Swt:
لعصر )وا لفي خسر ( ان )إن اإلنس حل ( الصا وا ذين آمنوا وعمل ال اصوا إال ـو ات وت لصرب ـواصوا با وت احلق ()ب
Artinya: Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati
supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. Di
dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa setiap para sahabat Rasulullah Saw saling
bertemu dan menyapa tidaklah mereka berpisah melainkan salah seorang mereka
membaca surat al-Ashr kemudian mengucapkan salah. Bahkan imam syafi`I
menjelaskan kalaulah manusia merenungkan surat ini maka cukuplah bagi mereka untuk
kebaikan dunia dan akhirat.(Ibnu Katsir, 550) Syaikh al-Ghazali menjelaskan
ringkasnya surat ini cukup menjelaskan segala akibat dari aktivitas manusia di dunia ini
sepanjang zaman. Orang yang senantiasa member bimbingan wasiat dan menerima
nasehat untuk pengembangan diri dalam segenap waktunya berupa melakukan segala
aktivitas yang baik dan bermanfaat serta saling menasehati untuk melakukan kebenaran
dan kesabaran dan keimanan mereka inilah yang tidak menyia-nyiakan umurnya.
Sementara itu orang yang terus mengabaikan waktunya tidak mau dibimbing dan tidak
mau memberi nasehat kepada orang lain untuk beriman, mengisi waktu dengan aktivitas
bermanfaat serta melakukan kebenaran dan kesabaran maka merekalah orang yang
merugi dunia dan akhirat menyia-nyiakan hidupnya di dunia.(Muhammad al-Ghazali,
539).
Semakna dengan ini di dalam hadis juga dijelaskan landasan dari konseling
Islami sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadis:
الدين " عن أيب متيم بن أوس الـداري رضي اهللا عنه أن النيب صلى اهللا عليه وسلم قال هللا ولرسوله ولألئمة املسلمني و عامتهم: النصيحة قلنا ملن ؟ قال
Artinya: Dari Abu Ruqayyah Tamiim bin Aus Ad Daari radhiallahu 'anh,
“Sesungguhnya Rasulullah telah bersabda : Agama itu adalah Nasehat , Kami bertanya
: Untuk Siapa ?, Beliau bersabda : Untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin
umat Islam, dan bagi seluruh kaum muslim” Tamim Ad Daari hanya meriwayatkan
hadits ini, kata nasihat merupakan sebuah kata singkat penuh isi, maksudnya ialah
segala hal yang baik. Dalam bahasa arab tidak ada kata lain yang pengertiannya setara
dengan kata nasihat, sebagaimana disebutkan oleh para ulama bahasa arab tentang kata
Al Fallaah yang tidak memiliki padanan setara, yang mencakup makna kebaikan dunia
dan akhirat.
Kalimat, “Agama adalah Nasihat” maksudnya adalah sebagai tiang dan
penopang agama, sebagaimana sabda Rasulullah, “Haji adalah arafah”, maksudnya
wukuf di arafah adalah tiang dan bagian terpenting haji.Tentang penafsiran kata nasihat
dan berbagai cabangnya, Khathabi dan ulama-ulama lain mengatakan : ( 1). Nasihat
untuk Allah maksudnya beriman semata-mata kepada-Nya, menjauhkan diri dari syirik
dan sikap ingkar terhadap sifat-sifat-Nya, memberikan kepada Allah sifat-sifat
sempurna dan segala keagungan, mensucikan-Nya dari segala sifat kekurangan,
menaati-Nya, menjauhkan diri dari perbuatan dosa, mencintai dan membenci sesuatu
semata karena-Nya, berjihad menghadapi orang-orang kafir, mengakui dan bersyukur
atas segala nikmat-Nya, berlaku ikhlas dalam segala urusan, mengajak melakukan
segala kebaikan, menganjurkan orang berbuat kebaikan, bersikap lemah lembut kepada
sesama manusia. Khathabi berkata : “Secara prinsip, sifat-sifat baik tersebut,
kebaikannya kembali kepada pelakunya sendiri, karena Allah tidak memerlukan
kebaikan dari siapapun”. (2). Nasihat untuk kitab-Nya maksudnya beriman kepada
firman-firman Allah dan diturunkan-Nya firman-firman itu kepada Rasul-Nya,
mengakui bahwa itu semua tidak sama dengan perkataan manusia dan tidak pula dapat
dibandingkan dengan perkataan siapapun, kemudian menghormati firman Allah,
membacanya dengan sungguh-sungguh, melafazhkan dengan baik dengan sikap rendah
hati dalam membacanya, menjaganya dari takwilan orang-orang yang menyimpang,
membenarkan segala isinya, mengikuti hukum-hukumnya, memahami berbagai macam
ilmunya dan kalimat-kalimat perumpamaannya, mengambilnya sebagai pelajaran,
merenungkan segala keajaibannya, mengamalkan dan menerima apa adanya tentang
ayat-ayat mutasyabih, mengkaji ayat-ayat yang bersifat umum, dan mengajak manusia
pada hal-hal sebagaimana tersebut diatas dan menimani Kitabullah. (3). Nasihat untuk
Rasul-Nya maksudnya membenarkan ajaran-ajarannya, mengimani semua yang
dibawanya, menaati perintah dan larangannya, membelanya semasa hidup maupun
setelah wafat, melawan para musuhnya, membela para pengikutnya, menghormati hak-
haknya, memuliakannya, menghidupkan sunnahnya, mengikuti seruannya,
menyebarluaskan tuntunannya, tidak menuduhnya melakukan hal yang tidak baik,
menyebarluaskan ilmunya dan memahami segala arti dari ilmu-ilmunya dan mengajak
manusia pada ajarannya, berlaku santun dalam mengajarkannya, mengagungkannya dan
berlaku baik ketika membaca sunnah-sunnahnya, tidak membicarakan sesuatu yang
tidak diketahui sunnahnya, memuliakan para pengikut sunnahnya, meniru akhlak dan
kesopanannya, mencintai keluarganya, para sahabatnya, meninggalkan orang yang
melakukan perkara bid’ah dan orang yang tidak mengakui salah satu sahabatnya dan
lain sebagainya. 4. Nasihat untuk para pemimpin umat islam maksudnya menolong
mereka dalam kebenaran, menaati perintah mereka dan memperingatkan kesalahan
mereka dengan lemah lembut, memberitahu mereka jika mereka lupa, memberitahu
mereka apa yang menjadi hak kaum muslim, tidak melawan mereka dengan senjata,
mempersatukan hati umat untuk taat kepada mereka (tidak untuk maksiat kepada Allah
dan Rasul-Nya), dan makmum shalat dibelakang mereka, berjihad bersama mereka dan
mendo’akan mereka agar mereka mendapatkan kebaikan. 5. Nasihat untuk seluruh
kaum muslim maksudnya memberikan bimbingan kepada mereka apa yang dapat
memberikan kebaikan bagi merela dalam urusan dunia dan akhirat, memberikan
bantuan kepada mereka, menutup aib dan cacat mereka, menghindarkan diri dari hal-hal
yang membahayakan dan mengusahakan kebaikan bagi mereka, menyuruh mereka
berbuat ma’ruf dan mencegah mereka berbuat kemungkaran dengan sikap santun, ikhlas
dan kasih sayang kepada mereka, memuliakan yang tua dan menyayangi yang muda,
memberikan nasihat yang baik kepada mereka, menjauhi kebencian dan kedengkian,
mencintai sesuatu yang menjadi hak mereka seperti mencintai sesuatu yang menjadi hak
miliknya sendiri, tidak menyukai sesuatu yang tidak mereka sukai sebagaimana dia
sendiri tidak menyukainya, melindungi harta dan kehormatan mereka dan sebagainya
baik dengan ucapan maupun perbuatan serta menganjurkan kepada mereka menerapkan
perilaku-perilaku tersebut diatas. Memberi nasihat merupakan fardu kifayah, jika telah
ada yang melaksanakannya, maka yang lain terlepas dari kewajiban ini. Hal ini
merupakan keharusan yang dikerjakan sesuai kemampuan. Nasihat dalam bahasa arab
artinya membersihkan atau memurnikan seperti pada kalimat nashahtul ‘asala artinya
saya membersihkan madu hingga tersisa yang murni, namun ada juga yang mengatakan
kata nasihat memiliki makna lain. (an-Nawawi, 67).
Kegiatan pengembangan diri berupa pelayanan konseling difasilitasi/
dilaksanakan oleh konselor, dan kegiatan ekstra kurikuler dapat dibina oleh konselor,
guru dan atau tenaga kependidikan lain sesuai dengan kemampuan dan kewenangnya.
Pengembangan diri yang dilakukan dalam bentuk kegiatan pelayanan konseling dan
kegiatan ekstra kurikuler dapat mengembangankan kompetensi dan kebiasaan dalam
kehidupan sehari-hari siswa.
Penggunaan istilah pengembangan diri dalam kebijakan kurikulum memang
relatif baru. Kehadirannya menarik untuk didiskusikan baik secara konseptual maupun
dalam praktiknya. Jika menelaah literatur tentang teori-teori pendidikan, khususnya
psikologi pendidikan, istilah pengembangan diri disini tampaknya dapat disepadankan
dengan istilah pengembangan kepribadian, yang sudah lazim digunakan dan banyak
dikenal. Meski sebetulnya istilah diri (self) tidak sepenuhnya identik dengan
kepribadian (personality). Istilah diri dalam bahasa psikologi disebut pula sebagai aku,
ego atau self yang merupakan salah satu aspek sekaligus inti dari kepribadian, yang di
dalamnya meliputi segala kepercayaan, sikap, perasaan, dan cita-cita, baik yang disadari
atau pun yang tidak disadari. Aku yang disadari oleh individu biasa disebut self picture
(gambaran diri), sedangkan aku yang tidak disadari disebut unconscious aspect of the
self (aku tak sadar) (Nana Syaodich Sukmadinata, 2005). Menurut Freud (Calvin S. Hall
& Gardner Lindzey, 1993) ego atau diri merupakan eksekutif kepribadian untuk
mengontrol tindakan (perilaku) dengan mengikuti prinsip kenyataan atau rasional, untuk
membedakan antara hal-hal terdapat dalam batin seseorang dengan hal-hal yang
terdapat dalam dunia luar.
Setiap orang memiliki kepercayaan, sikap, perasaan dan cita-cita akan dirinya,
ada yang realistis atau justru tidak realistis. Sejauh mana individu dapat memiliki
kepercayaan, sikap, perasaan dan cita-citanya akan berpengaruh terhadap perkembangan
kepribadiannya, terutama kesehatan mentalnya. Kepercayaan, sikap, perasaan dan cita-
cita akan seseorang akan dirinya secara tepat dan realistis memungkinkan untuk
memiliki kepribadian yang sehat. Namun, sebaliknya jika tidak tepat dan tidak realistis
boleh jadi akan menimbulkan pribadi yang bermasalah.
Kepercayaan akan dirinya yang berlebihan (over confidence) menyebabkan
seseorang dapat bertindak kurang memperhatikan lingkungannya dan cenderung
melabrak norma dan etika standar yang berlaku, serta memandang sepele orang lain.
Selain itu, orang yang memiliki over confidence sering memiliki sikap dan pemikiran
yang over estimate terhadap sesuatu.Sebaliknya kepercayaan diri yang kurang, dapat
menyebabkan seseorang cenderung bertindak ragu-ragu, rasa rendah diri dan tidak
memiliki keberanian. Kepercayaan diri yang berlebihan maupun kurang dapat
menimbulkan kerugian tidak hanya bagi dirinya namun juga bagi lingkungan sosialnya.
Begitu pula, setiap orang memiliki sikap dan perasaan tertentu terhadap
dirinya. Sikap akan diwujudkan dalam bentuk penerimaan atau penolakan akan dirinya,
sedangkan perasaan dinyatakan dalam bentuk rasa senang atau tidak senang akan
keadaan dirinya. Sikap terhadap dirinya berkaitan erat dengan pembentukan harga diri
(penilaian diri), yang menurut Maslow merupakan salah satu jenis kebutuhan manusia
yang amat penting.Sikap dan mencintai diri yang berlebihan merupakan gejala
ketidaksehatan mental, biasa disebut narcisisme. Sebaliknya, orang yang membenci
dirinya secara berlebihan dapat menimbulkan masochisme.
Di samping itu, setiap orang pun memiliki cita-cita akan dirinya. Cita-cita yang
tidak realistis dan berlebihan, serta sangat sulit untuk dicapai mungkin hanya akan
berakhir dengan kegagalan yang pada akhirnya dapat menimbulkan frustrasi, yang
diwujudkan dalam bentuk perilaku salah-suai (maladjusted). Sebaliknya, orang yang
kurang memiliki cita-cita tidak akan mendorong ke arah kemajuan.
Berkenaan dengan diri atau ego ini, John F. Pietrofesa (1971) mengemukakan
tiga komponen tentang diri, yaitu : (1) aku ideal (ego ideal); (2) aku yang dilihat dirinya
(self as seen by self); dan (3) aku yang dilihat orang lain (self as seen by others). Dalam
keadaan ideal ketiga aku ini persis sama dan menunjukkan kepribadian yang sehat,
sementara jika terjadi perbedaan-perbedaan yang signifikan di antara ketiga aku tersebut
merupakan gambaran dari ketidakutuhan dan ketidaksehatan kepribadian.
Dengan memperhatikan dasar teoritik tersebut di atas, kita bisa melihat arah
dan hasil yang diharapkan dari kegiatan pengembangan diri di sekolah yaitu
terbentuknya keyakinan, sikap, perasaan dan cita-cita para siswa yang realistis, sehingga
siswa dapat memiliki kepribadian yang sehat dan utuh.
TUJUAN
1. Tujuan Umum
Pengembangan diri bertujuan memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, potensi,
bakat, minat, kondisi dan perkembangan siswa, dengan memperhatikan kondisi
sekolah/madrasah.
2. Tujuan Khusus
Pengembangan diri bertujuan menunjang pendidikan siswa dalam
mengembangkan: (a) bakat, (b) minat, (c) kreativitas, (d) kompetensi dan
kebiasaan dalam kehidupan, (e) kemampuan kehidupan keagamaan, (f)
kemampuan sosial, (g) kemampuan belajar, (h) wawasan dan perencanaan karir,
(i) kemampuan pemecahan masalah, dan (j) kemandirian.
RUANG LINGKUP
Pengembangan diri meliputi kegiatan terprogram dan tidak terprogram. Kegiatan
terprogram direncanakan secara khusus dan diikuti oleh siswa sesuai dengan kebutuhan
dan kondisi pribadinya. Kegitan tidak terprogram dilaksanakan secara lansung oleh
pendidik dan tenaga kependidikan di sekolah/madrasah yang diikuti oleh semua siswa.
Kegiatan terprogram terdiri atas dua komponen:
1. Pelayanan konseling, meliputi pengembangan: (i) kehidupan pribadi (ii)
kemampuan sosial (iii) kemampuan belajar dan (iv) wawasan dan perencanaan
karir
2. Ekstra kurikuler, meliputi kegiatan: (i) kepramukaan (ii) latihan
kepemimpinan, ilmiah remaja, palang merah remaja dan (iii) seni,
olahraga, cinta alam, jurnalistik, teater, keagamaan
BENTUK-BENTUK PELAKSANAAN
Secara konseptual, dalam Permendiknas No. 22 Tahun 2006 dinyatakan
rumusan pengembangan diri: “Pengembangan diri bukan merupakan mata pelajaran
yang harus diasuh oleh guru. Pengembangan diri bertujuan memberikan kesempatan
kepada siswa untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan
kebutuhan, bakat, dan minat setiap siswa sesuai dengan kondisi sekolah. Kegiatan
pengembangan diri difasilitasi dan/dibimbing oleh konselor, guru, atau tenaga
kependidikan yang dapat dilakukan dalam bentuk kegiatan ekstrakurikuler. Kegiatan
pengembangan diri dilakukan melalui kegiatan pelayanan konseling yang berkenaan
dengan masalah diri pribadi dan kehidupan sosial, belajar, dan pengembangan karir
siswa.”
Jelas bahwa pengembangan diri bukan merupakan mata pelajaran yang harus
diasuh oleh guru. Dengan sendirinya, pelaksanaan kegiatan pengembangan diri jelas
berbeda dengan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar mata pelajaran. Seperti pada
umumnya, kegiatan belajar mengajar untuk setiap mata pelajaran dilaksanakan dengan
lebih mengutamakan pada kegiatan tatap muka di kelas, sesuai dengan alokasi waktu
yang telah ditentukan berdasarkan kurikulum (pembelajaran reguler), di bawah
tanggung jawab guru yang berkelayakan dan memiliki kompetensi di bidangnya.
Walaupun untuk hal ini dimungkinkan dan bahkan sangat disarankan untuk
mengembangkan kegiatan pembelajaran di luar kelas guna memperdalam materi dan
kompetensi yang sedang dikaji dari setiap mata pelajaran.
Sedangkan kegiatan pengembangan diri seyogyanya lebih banyak dilakukan di
luar jam reguler (jam efektif), melalui berbagai jenis kegiatan pengembangan diri. Salah
satunya dapat disalurkan melalui berbagai kegiatan ekstra kurikuler yang disediakan
sekolah, di bawah bimbingan pembina ekstra kurikuler terkait, baik pembina dari unsur
sekolah maupun luar sekolah. Namun perlu diingat bahwa kegiatan ekstra kurikuler
yang lazim diselenggarakan di sekolah, antara lain: pramuka, olah raga, kesenian, PMR,
kerohanian atau jenis-jenis ekstra kurikuler lainnya yang sudah terorganisir dan
melembaga bukanlah satu-satunya kegiatan untuk pengembangan diri.
Di bawah bimbingan guru maupun orang lain yang memiliki kompetensi di
bidangnya, kegiatan pengembangan diri dapat pula dilakukan melalui kegiatan-kegiatan
di luar jam efektif yang bersifat temporer, seperti mengadakan diskusi kelompok,
permainan kelompok, bimbingan kelompok, dan kegiatan-kegiatan lainnya yang bersifat
kelompok. Selain dilakukan melalui kegiatan yang bersifat kelompok, kegiatan
pengembangan diri dapat dilakukan pula melalui kegiatan mandiri, misalnya seorang
siswa diberi tugas untuk mengkaji buku, mengunjungi nara sumber atau mengunjungi
suatu tempat tertentu untuk kepentingan pembelajaran dan pengembangan diri siswa itu
sendiri.
Selain kegiatan di luar kelas, dalam hal-hal tertentu kegiatan pengembangan
diri bisa saja dilakukan secara klasikal dalam jam efektif, namun seyogyanya hal ini
tidak dijadikan andalan, karena bagaimana pun dalam pendekatan klasikal kesempatan
siswa untuk dapat mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan,
bakat, dan minatnya relatif terbatasi. Hal ini tentu saja akan menjadi kurang relevan
dengan tujuan dari pengembangan diri itu sendiri sebagaimana tersurat dalam rumusan
tentang pengembangan diri di atas.
Kegiatan pengembangan diri harus memperhatikan prinsip keragaman
individu. Secara psikologis, setiap siswa memiliki kebutuhan, bakat dan minat serta
karakateristik lainnya yang beragam. Oleh karena itu, bentuk kegiatan pengembangan
diri pun seyogyanya dapat menyediakan beragam pilihan. Hal yang fundamental dalam
dalam kegiatan pengembangan diri bahwa pelaksanaan pengembangan diri harus
terlebih dahulu diawali dengan upaya untuk mengidentifikasi kebutuhan, bakat dan
minat, yang dapat dilakukan melalui teknik tes (tes kecerdasan, tes bakat, tes minat dan
sebagainya) maupun non tes (skala sikap, inventori, observasi, studi dokumenter,
wawancara dan sebagainya).
Dalam hal ini, peranan bimbingan dan konseling menjadi amat penting, melalui
kegiatan aplikasi instrumentasi data dan himpunan data, bimbingan dan konseling
seyogyanya dapat menyediakan data yang memadai tentang kebutuhan, bakat, minat
serta karakteristik siswa lainnya. Data tersebut menjadi acuan dasar untuk
penyelenggaraan pengembangan diri di sekolah, baik melalui kegiatan yang bersifat
temporer, kegiatan ekstra kurikuler, maupun melalui layanan bimbingan dan konseling
itu sendiri. Namun harus diperhatikan pula bahwa kegiatan pengembangan diri tidak
identik dengan bimbingan dan konseling. Bimbingan dan Konseling tetap harus
ditempatkan sebagai bagian integral dari sistem pendidikan di sekolah dengan keunikan
karakteristik pelayanannya.
Terkait dengan penyelenggaraan bimbingan dan konseling di sekolah
kemungkinan besar akan menggunakan konsep baru menggantikan Pola 17 yang selama
ini diterapkan. Ia digantikan dengan Bimbingan dan Konseling Komprehensif dan
Pengembangan (Developmental and Comprehensive Guidance and Counseling), di
mana layanan Bimbingan dan Konseling lebih bersifat menyeluruh (guidance for all)
dan tidak lagi terfokus pada pendekatan klinis (clinical atau therapeutical approach)
akan tetapi lebih mengutamakan pendekatan pengembangan (developmental approach).
Dalam hal ini, Sofyan S. Willis (2005) mengemukakan perbedaan dari kedua
pendekatan tersebut adalah:
Pendekatan Pengembangan:
• Bersifat pedagogis
• Melihat potensi klien (siswa)
• Berorientasi pengembangan potensi positif klien (siswa)
• Menggembirakan klien (siswa)
• Dialog konselor menyentuh klien (siswa), klien (siswa) terbuka
• Bersifat humanistik- religius
• Klien (siswa) sebagai subyek memegang peranan, memutuskan tentang dirinya.
• Konselor hanya membantu dan memberi alternatif-alternatif
Pendekatan Klinis (Model Lama)
• Bersifat klinis
• Melihat kelemahan klien
• Berorientasi pemecahan masalah klien (siswa)
• Konselor serius
• Klien (siswa) sering tertutup
• Dialog menekan perasaan klien
• Klien sebagai obyek
Dengan demikian, layanan Bimbingan dan Konseling yang memiliki fungsi
pengembangan, seperti layanan Pembelajaran, Penempatan dan Bimbingan Kelompok
kiranya perlu lebih dikedepankan dan ditingkatkan lagi dari segi frekuensi maupun
intensitas pelayanannya.
Kriteria pelaksanaan pengembangan diri di sekolah, sebagai berikut:
1. Kegiatan pengembangan diri secara terprogram dilaksanakan dengan perencanaan
khusus dalam kurun waktu tertentu untuk memenuhi kebutuhan siswa secara
individual, kelompok, dan atau klasikal melalui penyelenggaraan:
a. layanan dan kegiatan pendukung konseling
b. kegiatan ekstra kurikuler.
2. Kegiatan pengembangan diri secara tidak terprogram dapat dilaksanakan sebagai
berikut:
a. Rutin, yaitu kegiatan yang dilakukan terjadwal, seperti: upacara bendera,
senam, ibadah khusus keagamaan bersama, keberaturan, pemeliharaan
kebersihan dan kesehatan diri.
b. Spontan, adalah kegiatan tidak terjadwal dalam kejadian khusus seperti:
pembentukan perilaku memberi salam, membuang sampah pada tempatnya,
antri, mengatasi silang pendapat (pertengkaran).
c. Keteladanan, adalah kegiatan dalam bentuk perilaku sehari-hari seperti:
berpakaian rapi, berbahasa yang baik, rajin membaca, memuji kebaikan dan
atau keberhasilan orang lain, datang tepat waktu.
Sedangkan pelaksanaan pengembangan diri di sekolah melalui pelayanan
konseling sebagai berikut:
1. Pengertian Konseling
Konseling adalah pelayanan bantuan untuk siswa, baik secara perorangan
maupun kelompok, agar mampu mandiri dan berkembang secara optimal, dalam
bidang pengembangan kehidupan pribadi, kehidupan sosial, kemampuan belajar,
dan perencanaan karir, melalui berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung,
berdasarkan norma-norma yang berlaku.
2. Paradigma, Visi, dan Misi
a. Paradigma
Paradigma konseling adalah pelayanan bantuan psiko-pendidikan dalam
bingkai budaya. Artinya, pelayanan konseling berdasarkan kaidah-kaidah
keilmuan dan teknologi pendidikan serta psikologi yang dikemas dalam kaji-
terapan pelayanan konseling yang diwarnai oleh budaya lingkungan siswa.
b.Visi
Visi pelayanan konseling adalah terwujudnya kehidupan kemanusiaan yang
membahagiakan melalui tersedianya pelayanan bantuan dalam pemberian
dukungan perkembangan dan pengentasan masalah agar siswa berkembang
secara optimal, mandiri dan bahagia.
c. Misi
1) Misi pendidikan, yaitu memfasilitasi pengembangan siswa melalui
pembentukan perilaku efektif-normatif dalam kehidupan keseharian dan
masa depan.
2) Misi pengembangan, yaitu memfasilitasi pengembangan potensi dan
kompetensi siswa di dalam lingkungan sekolah/madrasah, keluarga dan
masyarakat.
3) Misi pengentasan masalah, yaitu memfasilitasi pengentasan masalah
siswa mengacu pada kehidupan efektif sehari-hari.
3. Bidang Pelayanan Konseling
a) Pengembangan kehidupan pribadi, yaitu bidang pelayanan yang
membantu siswa dalam memahami, menilai, dan mengembangkan
potensi dan kecakapan, bakat dan minat, serta kondisi sesuai dengan
karakteristik kepribadian dan kebutuhan dirinya secara realistik.
b) Pengembangan kehidupan sosial, yaitu bidang pelayanan yang
membantu siswa dalam memahami dan menilai serta mengembangkan
kemampuan hubungan sosial yang sehat dan efektif dengan teman
sebaya, anggota keluarga, dan warga lingkungan sosial yang lebih luas.
c) Pengembangan kemampuan belajar, yaitu bidang pelayanan yang
membantu siswa mengembangkan kemampuan belajar dalam rangka
mengikuti pendidikan sekolah/madrasah dan belajar secara mandiri.
d) Pengembangan karir, yaitu bidang pelayanan yang membantu siswa
dalam memahami dan menilai informasi, serta memilih dan mengambil
keputusan karir.
4. Fungsi Konseling
a. Pemahaman, yaitu fungsi untuk membantu siswa memahami diri dan
lingkungannya.
b. Pencegahan, yaitu fungsi untuk membantu siswa mampu mencegah atau
menghindarkan diri dari berbagai permasalahan yang dapat menghambat
perkembangan dirinya.
c. Pengentasan, yaitu fungsi untuk membantu siswa mengatasi masalah yang
dialaminya.
d. Pemeliharaan dan pengembangan, yaitu fungsi untuk membantu siswa
memelihara dan menumbuh-kembangkan berbagai potensi dan kondisi positif
yang dimilikinya.
e. Advokasi, yaitu fungsi untuk membantu siswa memperoleh pembelaan atas hak
dan/kepentingannya yang kurang mendapat perhatian.
5. Prinsip dan Asas Konseling
a. Prinsip-prinsip konseling berkenaan dengan sasaran layanan, permasalahan
yang dialami siswa, program pelayanan, serta tujuan dan pelaksanaan
pelayanan.
b. Asas-asas konseling meliputi asas kerahasiaan, kesukarelaan, keterbukaan,
kegiatan, kemandirian, kekinian, kedinamisan, keterpaduan, kenormatifan,
keahlian, alih tangan kasus, dan tut wuri handayani.
6. Jenis Layanan Konseling
a. Orientasi, yaitu layanan yang membantu siswa memahami lingkungan baru,
terutama lingkungan sekolah/madrasah dan obyek-obyek yang dipelajari, untuk
menyesuaikan diri serta mempermudah dan memperlancar peran siswa di
lingkungan yang baru.
b. Informasi, yaitu layanan yang membantu siswa menerima dan memahami
berbagai informasi diri, sosial, belajar, karir/jabatan, dan pendidikan lanjutan.
c. Penempatan dan Penyaluran, yaitu layanan yang membantu siswa
memperoleh penempatan dan penyaluran yang tepat di dalam kelas, kelompok
belajar, jurusan/program studi, program latihan, magang, dan kegiatan ekstra
kurikuler.
d. Penguasaan Konten, yaitu layanan yang membantu siswa menguasai konten
tertentu, terumata kompetensi dan atau kebiasaan yang berguna dalam
kehidupan di sekolah, keluarga, dan masyarakat.
e. Konseling Perorangan, yaitu layanan yang membantu siswa dalam
mengentaskan masalah pribadinya.
f. Bimbingan Kelompok, yaitu layanan yang membantu siswa dalam
pengembangan pribadi, kemampuan hubungan sosial, kegiatan belajar,
karir/jabatan, dan pengambilan keputusan, serta melakukan kegiatan tertentu
melalui dinamika kelompok.
g. Konseling Kelompok, yaitu layanan yang membantu siswa dalam pembahasan
dan pengentasan masalah pribadi melalui dinamika kelompok.
h. Konsultasi, yaitu layanan yang membantu siswa dan atau pihak lain dalam
memperoleh wawasan, pemahaman, dan cara-cara yang perlu dilaksanakan
dalam menangani kondisi dan/masalah siswa.
i. Mediasi, yaitu layanan yang membantu siswa menyelesaikan permasalahan dan
memperbaiki hubungan antar mereka.
7. Kegiatan Pendukung
a. Aplikasi Instrumentasi: Kegiatan mengumpulkan data tentang diri siswa dan
lingkungannya, melalui aplikasi berbagai instrumen, baik tes maupun non-tes.
b. Himpunan Data: Kegiatan menghimpun data yang relevan dengan
pengembangan siswa, yang diselenggarakan secara berkelanjutan, sistematis,
komprehensif, terpadu, dan bersifat rahasia.
c. Konferensi Kasus: Kegiatan membahas permasalahan siswa dalam pertemuan
khusus yang dihadiri oleh pihak-pihak yang dapat memberikan data,
kemudahan dan komitmen bagi terentaskannya masalah siswa, yang bersifat
terbatas dan tertutup.
d. Kunjungan Rumah: Kegiatan memperoleh data, kemudahan dan komitmen
bagi terentaskannya masalah siswa melalui pertemuan dengan orang tua dan
atau keluarganya.
e. Tampilan Kepustakaan: Kegiatan menyediakan berbagai bahan pustaka yang
dapat digunakan siswa dalam pengembangan pribadi, kemampuan sosial,
kegiatan belajar, dan karir/jabatan.
f. Alih Tangan Kasus: Kegiatan untuk memindahkan penanganan masalah
siswake pihak lain sesuai keahlian dan kewenangannya.
8. Format Kegiatan
a. Individual: Format kegiatan konseling yang melayani siswa secara perorangan.
b. Kelompok: Format kegiatan konseling yang melayani sejumlah siswa melalui
suasana dinamika kelompok.
c. Klasikal: Format kegiatan konseling yang melayani sejumlah siswa dalam satu
kelas.
d. Lapangan: Format kegiatan konseling yang melayani seorang atau sejumlah
siswa melalui kegiatan di luar kelas atau lapangan.
e. Pendekatan Khusus: Format kegiatan konseling yang melayani kepentingan
siswa melalui pendekatan kepada pihak-pihak yang dapat memberikan
kemudahan.
9. Program Pelayanan
a. Jenis Program
1) Program Tahunan: Program pelayanan konseling meliputi seluruh
kegiatan selama satu tahun untuk masing-masing kelas di
sekolah/madrasah.
2) Program Semesteran: Program pelayanan konseling meliputi seluruh
kegiatan selama satu semester yang merupakan jabaran program tahunan.
3) Program Bulanan: Program pelayanan konseling meliputi seluruh
kegiatan selama satu bulan yang merupakan jabaran program semesteran.
4) Program Mingguan: Program pelayanan konseling meliputi seluruh
kegiatan selama satu minggu yang merupakan jabaran program bulanan.
5) Program Harian: Program pelayanan konseling yang dilaksanakan pada
hari-hari tertentu dalam satu minggu. Program harian merupakan jabaran
dari program mingguan dalam bentuk satuan layanan (SATLAN)
dan/satuan kegiatan pendukung (SATKUNG) konseling.
b. Penyusunan Program
1) Program pelayanan konseling disusun berdasarkan kebutuhan siswa
(need assessment) yang diperoleh melalui aplikasi instrumentasi.
2) Substansi program pelayanan konseling meliputi keempat bidang, jenis
layanan dan kegiatan pendukung, format kegiatan, sasaran pelayanan,
dan volume/beban tugas konselor.
10. Pelaksanaan Kegiatan
10.1. Bersama pendidik dan personil sekolah/madrasah lainnya, konselor
berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan pengembangan diri yang
bersifat rutin, insidental dan keteladanan.
10.2. Program pelayanan konseling yang direncanakan dalam bentuk SATLAN
dan SATKUNG dilaksanakan sesuai dengan sasaran, substansi, jenis
kegiatan, waktu, tempat, dan pihak-pihak yang terkait.
10.3. Pelaksanaan Kegiatan Pelayanan Konseling
Di dalam jam pembelajaran sekolah/madrasah:
1) Kegiatan tatap muka secara klasikal dengan siswa untuk menyelenggarakan
layanan informasi, penempatan dan penyaluran, penguasaan konten,
kegiatan instrumentasi, serta layanan/kegiatan lain yang dapat dilakukan di
dalam kelas.
2) Volume kegiatan tatap muka klasikal adalah 2 (dua) jam per kelas per
minggu dan dilaksanakan secara terjadwal
3) Kegiatan tidak tatap muka dengan siswa untuk menyelenggarakan layanan
konsultasi, kegiatan konferensi kasus, himpunan data, kunjungan rumah,
pemanfaatan kepustakaan, dan alih tangan kasus.
Di luar jam pembelajaran sekolah/madrasah:
1) Kegiatan tatap muka dengan siswa untuk menyelenggarakan layanan
orientasi, konseling perorangan, bimbingan kelompok, konseling kelompok,
dan mediasi, serta kegiatan lainnya yang dapat dilaksanakan di luar kelas.
2) Satu kali kegiatan layanan/pendukung konseling di luar kelas/di luar jam
pembelajaran ekuivalen dengan 2 (dua) jam pembelajaran tatap muka dalam
kelas.
3) Kegiatan pelayanan konseling di luar jam pembelajaran sekolah/madrasah
maksimum 50% dari seluruh kegiatan pelayanan konseling, diketahui dan
dilaporkan kepada pimpinan sekolah/madrasah.
4. Kegiatan pelayanan konseling dicatat dalam laporan pelaksanaan program
(LAPELPROG).
5. Volume dan waktu untuk pelaksanaan kegiatan pelayanan konseling di
dalam kelas dan di luar kelas setiap minggu diatur oleh konselor dengan
persetujuan pimpinan sekolah/madrasah
6. Program pelayanan konseling pada masing-masing satuan sekolah/madrasah
dikelola dengan memperhatikan keseimbangan dan kesinambungan program
antarkelas dan antar jenjang kelas, dan mensinkronisasikan program
pelayanan konseling dengan kegiatan pembelajaran mata pelajaran dan
kegiatan ekstra kurikuler, serta mengefektifkan dan mengefisienkan
penggunaan fasilitas sekolah/ madrasah.
11. Penilaian Kegiatan
a. Penilaian hasil kegiatan pelayanan konseling dilakukan melalui:
1) Penilaian segera (LAISEG), yaitu penilaian pada akhir setiap jenis
layanan dan kegiatan pendukung konseling untuk mengetahui perolehan
siswa yang dilayani.
2) Penilaian jangka pendek (LAIJAPEN), yaitu penilaian dalam waktu
tertentu (satu minggu sampai dengan satu bulan) setelah satu jenis
layanan dan atau kegiatan pendukung konseling diselenggarakan untuk
mengetahui dampak layanan/kegiatan terhadap siswa.
3) Penilaian jangka panjang (LAIJAPANG), yaitu penilaian dalam waktu
tertentu (satu bulan sampai dengan satu semester) setelah satu atau
beberapa layanan dan kegiatan pendukung konseling diselenggarakan
untuk mengetahui lebih jauh dampak layanan dan atau kegiatan
pendukung konseling terhadap siswa.
4) Penilaian proses kegiatan pelayanan konseling dilakukan melalui analisis
terhadap keterlibatan unsur-unsur sebagaimana tercantum di dalam
SATLAN dan SATKUNG, untuk mengetahui efektifitas dan efesiensi
pelaksanaan kegiatan.
5) Hasil penilaian kegiatan pelayanan konseling dicantumkan dalam
LAPELPROG.
6) Hasil kegiatan pelayanan konseling secara keseluruhan dalam satu
semester untuk setiap siswa dilaporkan secara kualitatif.
12. Pelaksana Kegiatan
a. Pelaksana kegiatan pelayanan konseling adalah konselor sekolah/ madrasah.
b. Konselor pelaksana kegiatan pelayanan konseling di sekolah/madrasah wajib:
1) Menguasai spektrum pelayanan pada umumnya, khususnya pelayanan
profesional konseling.
2) Merumuskan dan menjelaskan peran profesional konselor kepada pihak-
pihak terkait, terutama siswa, pimpinan sekolah/madrasah, sejawat
pendidik, dan orang tua.
3) Melaksanakan tugas pelayanan profesional konseling yang setiap kali
dipertanggung jawabkan kepada pemangku kepentingan, terutama
pimpinan sekolah/madrasah, orang tua, dan siswa.
4) Mewaspadai hal-hal negatif yang dapat mengurangi keefektifan kegiatan
pelayanan profesional konseling.
5) Mengembangkan kemampuan profesional konseling secara
berkelanjutan.
c. Beban tugas wajib konselor ekuivalen dengan beban tugas wajib pendidik
lainnya di sekolah/madrasah sesuai dengan peraturan perundangan yang
berlaku.
d. Pelaksana pelayanan konseling
1) Pelaksana pelayanan konseling di SD/MI/SDLB pada dasarnya adalah
guru kelas yang melaksanakan layanan orientasi, informasi, penempatan
dan penyaluran, dan penguasaan konten dengan menginfusikan materi
layanan tersebut ke dalam pembelajaran, serta untuk siswa kelas IV, V,
dan VI dapat diselenggarakan layanan konseling perorangan, bimbingan
kelompok, dan konseling kelompok.
2) Pada satu SD/MI/SDLB atau sejumlah SD/MI/SDLB dapat diangkat
seorang konselor untuk menyelenggarakan pelayanan konseling.
3) Pada satu SMP/MTs/SMPLB, SMA/MA/SMALB/SMK/MAK dapat
diangkat sejumlah konselor dengan rasio seorang konselor untuk 150
orang siswa.
13. Pengawasan Kegiatan
a. Kegiatan pelayanan konseling di sekolah/madrasah dipantau, dievaluasi, dan
dibina melalui kegiatan pengawasan.
b. Pengawasan kegiatan pelayanan konseling dilakukan secara:
1) Interen, oleh kepala sekolah/madrasah.
2) Eksteren, oleh pengawas sekolah/madrasah bidang konseling.
c. Fokus pengawasan adalah kemampuan profesional konselor dan
implementasi kegiatan pelayanan konseling yang menjadi kewajiban dan
tugas konselor di sekolah/madrasah.
d. Pengawasan kegiatan pelayanan konseling dilakukan secara berkala dan
berkelanjutan.
e. Hasil pengawasan didokumentasikan, dianalisis, dan ditindak lanjuti untuk
peningkatan mutu perencanaan dan pelaksanaan kegiatan pelayanan
konseling di sekolah/madrasah.
PENUTUP
Pengembangan diri di sekolah merupakan salah satu komponen penting dari
struktur KTSP yang diarahkan guna terbentuknya keyakinan, sikap, perasaan dan cita-
cita para siswa yang realistis, sehingga pada gilirannya dapat mengantarkan mereka
untuk memiliki kepribadian yang sehat dan utuh. Kegiatan pengembangan diri dapat
dilakukan secara klasikal pada jam efektif, namun seyogyanya lebih banyak dilakukan
di luar jam reguler (jam efektif), baik melalui kegiatan yang dilembagakan maupun
secara temporer, bersifat individual maupun kelompok.
Pengembangan diri harus memperhatikan kebutuhan, bakat, dan minat setiap
siswa dan bimbingan dan konseling di sekolah memiliki peranan penting untuk
mengidentikasi kebutuhan, bakat, dan minat setiap siswa melalui kegiatan aplikasi
instrumentasi dan himpunan data, untuk ditindaklanjuti dalam berbagai kegiatan
pengembangan diri.
Kegiatan pengembangan diri akan melibatkan banyak kegiatan sekaligus juga
banyak melibatkan orang, oleh karena itu diperlukan pengelolaan dan pengorganisasian
disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi nyata di sekolah. Sebagai penutup tulisan
ini, ada baiknya kita renungkan ungkapan dari R.F. Mackenzie yang banyak
mengilhami ribuan guru di Inggris tentang bagaimana seharusnya proses pendidikan
berlangsung, dikaitkan dengan kegiatan pengembangan diri di sekolah:
“ …Kami ingin memberikan kepada siswa-siswa kesempatan untuk menceburkanke dalam cara hidup yang berbeda, dan kenangan yang bertahan lebih lama. Disana tidak akan ada paksaan atau keharusan, ketekanan, ketergesaan, atau ujian.Apabila mereka ingin memanjat atau berski, kita akan membantu mereka untukmendapatkan keterampilan itu. Apabila mereka ingin mengidentifikasi tumbuhangunung tinggi atau burung, kita akan mengusahakan diperolehnya pengetahuanitu. Dan apabila mereka ingin tidak memiliki kedambaan akan adanya kegiatanatau kehausan akan pengetahuan, tetapi maunya hanya duduk diam seperti kaumpenghuni dataran tinggi yang dulunya di sini, atau ingin memandangi awanberarak melaju di atas Creag Dhubh, atau mendengarkan suara rintik hujan yangmenitik jatuh di antara cecabang pohon setelah hujan berhenti mengucur, itusemua juga merupakan bagian penting dari perkembangan. Pada saat inilah,ketakutan, ide, harapan, dan pertanyaan yang setengah tenggelam mulai munculkembali ke permukaan…” (dalam Roger Combie White, 1997).
DAFTAR PUSTAKA
An-Nawawi. 1997. Hadis al-Arba`un an-Nawawiyah.Cairo: Dar as-Salam.Calvin S. Hall & Gardner Lindzey. 1993. Teori-Teori Psikodinamik (Klinis); Psikologi
Kepribadian 1. (terj. A. Supratiknya). Yogyakarta: Kanisius.Depdiknas. 2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22 Tahun 2006 tentang
tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta:Depdiknas.
____. 2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 23 Tahun 2006 tentangStandar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan. Jakarta: Depdiknas.
____.2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 24 Tahun 2006 tentangPelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan PeraturanMenteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang Standar KompetensiLulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar Dan Menengah, Jakarta: Depdiknas.
Ibnu Katsir.1996. Tafsir Ibnu Katsir. Beirut :Dar al-Jail.
Muhammad al-Ghazali. 1996. Nahwu tafsir Maudhu`i.Cairo: Dar as-Syuruq.Nana Syaodih Sukmadinata. 2005. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung:
Remaja Rosdakarya.Pietrefosa, J.F. 1971. The Authentic Counselor. Chicago: Rand McNally College Pub.
Co.Prayitno, dkk. 2004. Pedoman Khusus Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Depdiknas.——, dkk. 2004. Panduan Kegiatan Pengawasan Bimbingan dan Konseling. Jakarta:Rineka Cipta.Roger Combie White. 1997. Curriculum Innovation; A Celebration of Classroom
Practice (Terj. Aprilia B. Hendrijani). Buckingham: Open University Press.Sofyan S. Willis. 2004. Konseling Individual: Teori dan Praktik. Bandung: Alfabeta.
Oleh:
YENTI ARSINI, S.Ag, M.Pd
Dosen Prodi Bimbingan Konseling Islam Fakultas TarbiyahInstitut Agama Islam Negeri Sumatera Utara
Abstract:This article is to connect counseling process with Islam teaching by diging
counseling base based on Al-Qur'an. Where intrinsically man is biological creature,person, social, and religion creature. Intrinsically also man divided to two factionsnamely faction of healthy person and faction of indisposed person. faction of Healthyperson is person capable to arrange x'self in its(the relationship with ownself, others,area, and God. faction of Indisposed person is person which unable to arrange x'self inits(the relationship with ownself, others, area, and God in the end having estuary atassorted of problems.Keywords: Counseling, Al-Qur’an
PENDAHULUAN
Proses konseling yang tidak dihubungkan dengan Sang Pencipta ataupun ajaran
agama, maka konseling dianggap sebagai hal yang semata-mata masalah dunia.
Sedangkan Islam menganjurkan aktifitas konseling itu merupakan suatau ibadah kepada
Allah Swt. suatu bantuan kepada orang lain, temasuk konseling dalam ajaran Islam
dihitung sebagai suatu sedekah.
Sesungguhnya ayat-ayat Al Qur’an banyak sekali yang mengandung nilai
konseling, namun permasalahannya hal itu belum terungkap dan tersaji secara
konseptual dan sistematis. Oleh karena itu kajian ini berusaha menungkan ayat-ayat
tersebut khususnya tentang hakikat manusia, pribadi sehat, dan pribadi tidak sehat, dan
menyajikannya secara konseptual dan sistematis.
Bimbingan Konseling “Barat” yang terus berkembang dengan pesat.
Perkembangan itu berawal dari berkembangnya aliran konseling psikodinamika,
behaviorisme, humanisme, dan multikultural. Perkembangan konseling spiritual sebagai
dimensi kelima selain keempat dimensi terdahulu (Singh, 2001: 204). Salah satu
berkembangnya konseling spiritual ini adalah berkembangnya konseling religius.
Perkembangan konseling religius ini dapat dilihat dari beberapa hasil laporan jurnal
penelitian sebagai berikut: Stanard, Singh, dan Piantar melaporkan bahwa telah muncul
suatu era baru tentang pemahaman yang memprihatinkan tentang bagaimana untuk
membuka misteri tentang penyembuhan melalui kepercayaan, keimanan, dan imajinasi
selain melalui penjelasan rasional tentang sebab-sebab fisik dan akibatnya sendiri
(Singh 2001: 204). Seiring dengan keterangan tersebut hasil penelitian Chalfant dan
Heller pada tahun 1990, menyatakan bahwa sekitar 40 persen orang yang mengalami
kegelisahan jiwa lebih suka pergi meminta bantuan kepada agamawan. Lovinger dan
Worthington menyatakan bahwa klien yang agamis memandang negatif terhadap
konselor yang bersikap sekuler, seringkali mereka menolak dan bahkan menghentikan
terapi secara dini (dalam Keating dan Fretz, 1990: 293)
Nilai-nilai agama yang dianut klien merupakan satu hal yang perlu
dipertimbangkan konselor dalam memberikan layanan konseling, sebab terutama klien
yang fanatik dengan ajaran agamanya mungkin sangat yakin dengan pemecahan
masalah pribadinya melalui nilai-nilai ajaran agamanya. Seperti dikemukakan oleh
Bishop bahwa nilai-nilai agama (religius values) penting untuk dipertimbangkan oleh
konselor dalam proses konseling, agar proses konseling terlaksana secara efektif
(Bishop 1992:179).
Berkembangnya kecenderungan sebagian masyarakat dalam mengatasi
permasalahan kejiwaan mereka untuk meminta bantuan kepada para agamawan itu telah
terjadi di dunia barat yang sekuler, namun hal serupa menurut pengamatan penulis
lebih-lebih juga terjadi di negara kita Indonesia yang masyarakatnya agamis. Hal ini
antara lain dapat kita amati di masyarakat, banyak sekali orang-orang yang datang
ketempat para kiai bukan untuk menanyakan masalah hukum agama, tetapi justru
mengadukan permasalahan kehidupan pribadinya untuk meminta bantuan jalan keluar
baik berupa nasehat, saran, meminta doa-doa dan didoakan untuk kesembuhan penyakit
maupun keselamatan dan ketenangan jiwa. Walaupun data ini belum ada dukungan oleh
penelitian yang akurat tentang berapa persen jumlah masyarakat yang melakukan hal
ini, namun ini merupakan realitas yang terjadi di masyarakat kita sekarang ini.
Gambaran data di atas menunjukkan pentingnya pengembangan landasan
konseling yang berwawasan agama, terutama dalam rangka menghadapi klien yang kuat
memegang nilai-nilai ajaran agamanya. Di dunia barat pada kalangan umat Kristiani hal
ini berkembang dengan apa yang disebut Konseling Pastoral (konseling berdasarkan
nilai-nilai Al Kitab).
PEMBAHASAN
A. Hakikat Manusia
Manusia pada hakikatnya adalah sebagai makhluk biologis, makhluk pribadi,
dan makhluk sosial. Al Qur’an menerangkan ketiga komponen tersebut. Di samping itu
Al Qur’an juga menerangkan bahwa manusia itu merupakan makhluk religius dan ini
meliputi ketiga komponen lainnya, artinya manusia sebagai makhluk biologis, pribadi,
dan sosial tidak terlepas dari nilai-nilai manusia sebagai makhluk religius. Menurut
konsep konseling, manusia sebagai makhluk biologis memiliki potensi dasar yang
menentukan kepribadian manusia berupa insting. Manusia hidup pada dasarnya
memenuhi tuntutan dan kebutuhan insting. Menurut keterangan ayat-ayat Al Qur’an
potensi manusia yang relevan dengan insting ini disebut nafsu.
Menurut kandungan ayat-ayat Al Qur’an manusia itu pada hakikatnya adalah
makhluk yang utuh dan sempurna, yaitu sebagai makhuk biologis, pribadi, sosial, dan
makhluk religius. Manusia sebagai makhluk religius meliputi ketiga komponen lainnya,
yaitu manusia sebagai makhluk biologis, pribadi dan sosial selalu terikat dengan nilai-
nilai religius.
a. Sebagai Makhluk Biologis
Manusia sebagai makhluk biologis memiliki potensi dasar yang menentukan
kepribadian manusia berupa insting. Manusia hidup pada dasarnya memenuhi tuntutan
dan kebutuhan insting. Menurut keterangan ayat-ayat Al Qur’an potensi manusia yang
relevan dengan insting ini disebut nafsu. Potensi nafsu ini berupa al hawa dan as-
syahwat. Syahwat adalah dorongan seksual, kepuasan-kepuasan yang bersifat materi
duniawi yang menuntut untuk selalu dipenuhi dengan cepat dan memaksakan diri serta
cenderung melampau batas (Ali-Imran: 14, Al-A’raf: 80, dan An-Naml:55.). Al Hawa
adalah dorongan-dorongan tidak rasional, sangat mengagungkan kemampuan dan
kepandaian diri sendiri, cenderung membenarkan segala cara, tidak adil yang
terpengaruh oleh kehendak sendiri, rasa marah atau kasihan, hiba atau sedih, dendam
atau benci yang berupa emosi atau sentimen. Dengan demikian orang yang selalu
mengikuti al-hawa ini menyebabkan dia tersesat dari jalan Allah (An-Nisa:135, Shad:
26 dan An-Nazi’at: 40-41).
Ada tiga jenis nafsu yang paling pokok, yaitu: (1) nafsu amarah , yaitu nafsu
yang selalu mendorong untuk melakukan kesesatan dan kejahatan (Yusuf:53), (2) nafsu
lawwaamah, yaitu nafsu yang menyesal . Ketika manusia telah mengikuti dorongan
nafsu amarah dengan perbuatan nyata, sesudahnya sangat memungkinkan manusia itu
menyadari kekeliruannya dan membuat nafsu itu menyesal (Al Qiyamah:1-2), dan (3)
nafsu muthmainnah, yaitu nafsu yang terkendali oleh akal dan kalbu sehingga dirahmati
oleh Allah swt.. Ia akan mendorong kepada ketakwaan dalam arti mendorong kepada
hal-hal yang positif (Al-Fajr: 27-30).
b. Sebagai Makhluk Pribadi
Manusia sebagai makhluk pribadi memiliki ciri-ciri kepribadian pokok sebagai
berikut: (1) memiliki potensi akal untuk berpikir rasional dan mampu menjadi hidup
sehat, kreatif, produktif dan efektif, tetapi juga ada kecendrungan dorongan berpikir
tidak rasional (2) memiliki kesadaran diri, (3) memiliki kebebasan untuk menentukan
pilihan dan bertanggung jawab, (4) merasakan kecemasan sebagai bagian dari kondisi
hidup, (5) memiliki kesadaran akan kematian dan ketiadaan, (6) selalu terlibat dalam
proses aktualisasi diri.
Berdasarkan keterangan Al Qur’an, manusia mempunyai potensi akal untuk
berpikir secara rasional dalam mengarahkan hidupnya ke arah maju dan berkembang
(Al-Baqarah: 164, Al-Hadid:17, dan Al-Baqarah: 242), memiliki kesadaran diri (as-
syu’ru) (Al-Baqarah:9 dan 12 ), memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan
(Fushilat: 40, Al-Kahfi: 29, dan Al-Baqarah: 256 ) serta tanggung jawab (Al-Muddatsir:
38, Al-Isra: 36, Al-Takatsur: 8 ). Sekalipun demikian, manusia juga memiliki kondisi
kecemasan dalam hidupnya sebagai ujian dari Allah yang disebut al khauf (Al-Baqarah:
155), memiliki kemampuan untuk mengaktualisasikan fitrahnya kepada pribadi takwa
(Ar-Ruum: 30, Al-A’raf: 172-174, Al-An’am:74-79, Ali-Imran: 185, An-Nahl: 61, dan
An-Nisa: 78).
c. Sebagai Makhluk Sosial
Menurut konsep konseling, seperti yang diungkapkan dalam Terapi Adler,
Terapi Behavioral, dan Terapi Transaksional, manusia sebagai memiliki sifat dan ciri-
ciri pokok sebagai berikut: (1) manusia merupakan agen positif yang tergantung pada
pengaruh lingkungan, tetapi juga sekaligus sebagai produser terhadap lingkungannya,
(2) prilaku sangat dipengaruhi oleh kehidupan masa kanak-kanak, yaitu pengaruh orang
tua (orang lain yang signifikan), (3) keputusan awal dapat dirubah atau ditinjau kembali,
(4) selalu terlibat menjalin hubungan dengan orang lain dengan cinta kasih dan
kekeluargaan.
Sebagai makhluk sosial, Al Qur’an menerangkan bahwa sekalipun manusia
memilikipotensi fitrah yang selalu menuntut kepada aktualisasi iman dan takwa, namun
manusia tidak terbebas dari pengaruh lingkungan atau merupakan agen positif yang
tergantung pada pengaruh lingkungan terutama pada usia anak-anak. Oleh karena
kehidupan masa anak-anak ini sangat mudah dipengaruhi, maka tanggung jawab orang
tua sangat ditekankan untuk membentuk kepribadian anak secara baik (At-Tahrim: 6)
Namun demikian, setelah manusia dewasa (mukallaf), yakni ketika akal dan kalbu
sudah mampu berfungsi secara penuh, maka manusia mampu mengubah berbagai
pengaruh masa anak yang menjadi kepribadiannya (keputusan awal) yang dipandang
tidak lagi cocok (Ar-Ra’du: 85 dan Al-Hasyr:18), bahkan manusia mampu
mempengaruhi lingkungannya (produser bagi lingkungannya) (Al-Ankabut: 7, Al-A’raf:
179, Ali-Imran: 104, Al-Ashr:3, dan At-Taubah:122). Sebagai makhluk sosial ini pula
manusia merupakan bagian dari masyarakat yang selalu membutuhkan keterlibatan
menjalin hubungan dengan sesamanya, hal ini disebut dengan silaturrahmi (Al-
Hujurat:13, Ar-Ra’du: 21, dan An Nisa: 1).
d. Sebagai Makhluk Religius
Konsep konseling tidak ada menerangkan manusia sebagai makhluk religius.
Sebagai makhluk religius manusia lahir sudah membawa fitrah, yaitu potensi nilai-nilai
keimanan dan nilai-nilai kebenaran hakiki. Fitrah ini berkedudukan di kalbu, sehingga
dengan fitrah ini manusia secara rohani akan selalu menuntut aktualisasi diri kepada
iman dan takwa dimanapun manusia berada (Ar-Ruum: 30 dan Al-A’raf:172-174).
Namun tidak ada yang bisa teraktualisasikan dengan baik dan ada pula yang tidak,
dalam hal ini faktor lingkungan pada usia anak sangat menentukan. Manusia sebagai
makhluk religius berkedudukan sebagai abidullah dan sebagai khalifatullah di muka
bumi.
Abidullah merupakan pribadi yang mengabdi dan beribadah kepada Allah sesuai
dengan tuntunan dan petunjuk Allah(Adz-Dzariyat: 56). Hal ini disebut ibadah
mahdhah. Khalifatullah merupakan tugas manusia untuk mengolah dan memakmurkan
alam ini sesuai dengan kemampuannya untuk kesejahteraan umat manusia, serta
menjadi rahmat bagi orang lain atau yang disebut rahmatan lil’alamin (Al-Baqarah: 30).
B. Pribadi Sehat
Berdasarkan konsep konseling bahwa pribadi sehat adalah pribadi yang mampu
mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan
sosial. Al Qur’an di samping menerangkan pribadi yang sehat adalah pribadi yang
mampu mengatur diri dalam hubungannya terhadap diri sendiri, orang lain, dan
lingkungan sosial, juga menerangkan pribadi yang mampu mengatur diri dalam
hubungannya dengan Allah Swt.
a. Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Diri Sendiri
Menurut konsep konseling, seperti dikemukakan dalam Psikoanalisis,
Eksistensial, Terapi Terpusat pada Pribadi dan Rasional Emotif Terapi.. Pribadi yang
mampu megngatur diri dalam hubungannya terhadap diri sendiri memiliki ciri-ciri
kepribadian pokok: (1) ego berfungsi penuh, serta serasinya fungsi id, ego dan superego
(2) bebas dari kecemasan, (3) keterbukaan terhadap pengalaman, (4) percaya diri, (5)
sumber evaluasi internal, (6) kongruensi, (7) menerima pengalaman dengan
bertanggung jawab, (8) kesadaran yang meningkat untuk tumbuh secara berlanjut, (9)
tidak terbelenggu oleh ide tidak rasional (tuntutan kemutlakan), dan (10) menerima diri
sendiri.
Berdasarkan keterangan ayat-ayat Al Qur’an, pribadi yang mampu mengatur diri
dalam hubungannya dengan diri sendiri yang relevan dengan kriteria pokok di atas
adalah pribadi yang akal dan kalbunya berfungsi secara penuh dalam mengendalikan
dorongan nafsu (Al-Qashas: 60, Yasin: 62). Mampu membebaskan diri dari khauf
(kecemasan) (Al Baqarah: 38, Al Baqarah: 62, 277, Al-An’am: 48 dan Ar-Ra’du: 28).
Apabila manusia dapat mengatasi atau terbebas dari kecemasan ini akan melahirkan
kepribadian yang sehat seperti pribadinya para aulia Allah (Yunus: 62). Keterbukaan
terhadap pengalaman (Az-Zumar:17-18, Ali-Imran:193). Percaya diri, sikap percaya diri
ini ada pada orang yang istiqamah (konsisten) dalam keimanan, mereka ini tidak ada
rasa cemas, rasa sedih (Fushilat: 30, Al-Ahqaf: 13, Ali-Imran: 139). Mampu menjadikan
hati nurani yang dilandasi iman sebagai kontrol diri dalam setiap gerak dan kerja
(sumber evaluasi internal), sikap ini tercermin dalam kepribadian ihsan yaitu pola hidup
yang disertai kesadaran yang mendalam bahwa Allah itu hadir bersamanya (Ali-Imran:
29, Ar-Ra’du:11, Qaaf:16-18).
Di samping itu, juga merupakan pribadi yang sehat adalah pribadi yang memiliki
kepribadian shidiq, yaitu sifat kongruensi serasi antara apa yang ada di dalam hati
dengan perbuatan, memegang teguh kepercayaan, serasi antara sikap dan perilaku (Al-
Ahzab: 23-24), mau menerima pengalaman dan bertanggung jawab, salah satu bentuk
penerimaan terhadap pengalaman dengan bertanggung jawab adalah berusaha
memperbaiki dan tidak mengulangi apabila melakukan kesalahan (An-Nisa: 110, Ali-
Imran:135), serta adanya kesediaan untuk tumbuh secara berlanjut, yaitu sealalu
berusaha mengubah diri sendiri ke arah yang lebih baik dan bersegera melakukannya
(Ar-Ra’du: 11, Al-Anfal: 53, Ali-Imran:114, dan Fathir: 32), memiliki sikap tawakkal
dan menyandarkan usaha dan harapan kepada Allah dengan kata insya Allah, dengan
kata lain tidak terbelenggu oleh ide tidak rasional (tuntutan kemutlakan) (Al-Imran: 140,
Al-Insyirah: 5-8, Al-Kahfi:23-24, Ali-Imran:159, dan Al-Anfal: 61,49), serta mampu
bersyukur atas apa yang ada dan terjadi pada diri sendiri atau menerima diri sendiri.
(An-Nahl: 78, Ibrahim:7, dan An-Naml: 40).
b. Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Orang Lain.
Menurut konsep konseling seperti dikemukakan dalam Terapi Adler, Behavioral,
Transaksional, dan Terapi Realita, bahwa pribadi yang mampu mengatur diri dalam
hubungannya terhadap orang lain memiliki ciri-ciri kepribadian pokok: (1) mau
berkarya dan menyumbang, serta mau memberi dan menerima, (2) memandang baik diri
sendiri dan orang lain (I ‘m Ok you are Ok ), (3) signifikan dan berharga bagi orang
lain, dan (4) memenuhi kebutuhan sendiri tanpa harus mengganggu atau mengorbankan
orang lain.
Berdasarkan keterangan ayat-ayat Al Qur’an, pribadi yang mampu mengatur diri
dalam hubungannya dengan orang lain yang relevan dengan kriteria pkk di atas adalah
pribadi yang mau melakukan amal saleh, yaitu perbuatan yang bermanfaat bagi dirinya
dan juga orang lain (An-Nisa: 124, Al-Ashr: 1-3, At-Tin:5-6). Disamping amal saleh,
adalah bersikap ta’awwun, yaitu saling memberi dan menerima atau tolong menolong
atau sikap mau memberi dan menerima (An-Nisa: 86), sikap ini atas dasar kebajikan
dan ketakwaan, bukan dalam hal kejahatan dan kemunkaran (Al-Ma’idah:2), berpikiran
positif (husnus zhan) baik terhadap diri sendiri dan orang lain (Al-Hujurat: 11, Al-
Baqarah: 237, Ali-Imran:134, dan At-Taghabun:14).
Di samping hal-hal di atas dia juga mau mengerjakan amar ma’ruf dan nahi
mungkar, selalu berbuat adil kepada siapapun dalam arti signifikan dan berharga bagi
orang lain (Ali-Imran:104, At-Tahrim:6, dan Al-Midah: 8), dan memenuhi kebutuhan
sendiri tanpa harus mengganggu atau mengorbankan orang lain, baik dalam
bermuamalah maupun beribadah secara langsung maupun tidak langsung (Al-Baqarah:
275, An-Nisa: 29). Hal ini banyak sekali dicontohkan dalam hadits Nabi, misalnya Nabi
melarang orang duduk-duduk dipinggir jalan yang membuat orang yang mau lewat
merasa terganggu, begitu juga menghormati lawan bicara dengan memperhatikan dia
bicara, juga menghormati hak-hak tetangga dari kemungkinan perbuatan kita yang
mengganggunya, dan Nabi memendekkan bacaan ayat Al Qur’an dalam shalat
berjemaah ketika mendengan salah satu anggota jemaahnya ada anaknya yang
menangis.
c. Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Lingkungan
Menurut konsep konseling seperti yang dikemukakan dalam teorinya Adler dan
Behavioral. Pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan lingkungan
adalah pribadi yang mampu berinteraksi dengan lingkungannya dan dapat menciptakan
atau mengolah lingkungannya secara baik.
Al Qur’an menerangkan, bahwa Allah menciptakan semua yang ada di bumi ini
adalah untuk kepentingan manusia (Al-Baqarah: 29). Berbagai kerusakan di alam ini
adalah akibat dari perbuatan manusia sendiri (Ar-Rum: 41). Untuk itu pribadi yang
sehat adalah pribadi yang peduli terhadap lingkungannya, ia berusaha mengambil
pelajaran dari apa yang terjadi di lingkungannya (Ali-Imran: 137).
d. Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Allah Swt.
Konsep konseling tidak ada menerangkan hal ini. Al Qur’an merangkan bahwa
pribadi yang mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan Allah Swt. antara lain
adalah pribadi yang selalu meningkatkan keimanannya yang dibuktikan dengan
melaksanakan ibadah dengan benar dan ikhlas, menjalankan muamalah dengan benar
dan dengan niat yang ikhlas (Az-Zumar: 2 dan 11 hal.151 dan Al-Bayyinah: 5, At-
Taubah: 105). Di samping itu juga pribadi yang mampu menjalankan secara seimbang
diri sebagai abidullah yang selalu beribadah sesuai tuntunan-Nya, juga menjalankan
fungsi dan kedudukannya sebagai khalifatullah dengan baik (hablun minallah dan
hablun minannas) sehingga dari segi kehidupan dunianya sejahtera, amal akhiratnya
berjalan dengan baik (Al-Qashash: 77, Al-Baqarah: 201).
C. Pribadi Tidak Sehat
Berdasarkan konsep konseling, pribadi tidak sehat adalah pribadi yang tidak
mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri, orang lain, maupun
lingkungan. Ayat-ayat Al Qur’an di samping menerangkan tentang pribadi yang tidak
mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri, orang lain, dan
lingkungan, juga menerangkan pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam
hubungannya dengan Allah Swt.
a. Tidak Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Diri Sendiri
Pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri
memiliki ciri kepribadian pokok: (1) ego tidak berfungsi penuh serta tidak serasinya
antara id, ego, dan superego, (2) dikuasai kecemasan, (3) tertutup (tidak terbuka
terhadap pengalaman), (4) rendah diri dan putus asa, (5) sumber evaluasi eksternal, (6)
inkongruen, (7) tidak mengakui pengalaman dengan tidak bertanggung jawab, (8)
kurangnya kesadaran diri, (9) terbelenggu ide tidak rasional, (10) menolak diri sendiri.
Al Qur’an menerangkan pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam
hubungannya dengan diri sendiri adalah pribadi yang akal dan kalbunya tidak berfungsi
dengan baik dalam mengendalikan nafsu, sehingga nafsu berbuat sekehendaknya, penuh
emosi, tidak terkendali dan tidak bermoral (Yunus: 100, Al-Anfal: 22, Al-Haj:46, Al-
A’raf: 179, Maryam: 59, An-Nisa: 27, dan Al-Jatsiah: 23). Di samping itu, pribadi yang
tidak mampu membebaskan diri dari kecemasan (al khauf), sedang kecemasan itu
sendiri terlahir dari kekufuran, kemusyrikan, atau perbuatan dosa baik terhadap Allah
maupun terhadap sesama manusia (Ali-Imran:151). Pribadi yang ta’ashub, yaitu tidak
terbuka terhadap pengalaman terutama sesuatu yang datang dari orang yang bukan
golongan dan alirannya, walaupun pengalaman baru itu merupakan kebenaran (Al-
Maidah: 104, Lukman: 21 dan 7, Yunus 78).
Di samping itu, juga pribadi yang tidak mengakui pengalaman dengan tidak
bertanggung jawab, yaitu suka melemparkan kesalahannya kepada orang lain, atau tidak
mengakuinya (Al-A’raf: 8, dan An-Nisa:112)., dan yang lebih parah lagi adalah
berkepribadian munafik (inkongruen), yaitu ketidakserasian antara apa yang di dalam
hati dengan yang dilahirkan, antara perkataan dan perbuatan, dan antara perbuatan di
satu tempat dengan tempat yang lain dengan maksud mencari keuntungan pribadi dalam
konseling disebut dengan inkongruensi (As-Shaf: 2-3, Al-Baqarah:44, 8, An-Nisa: 145).
Juga sifat riya yaitu pribadi yang mengevaluiasi dirinya berdasarkan evaluasi eksternal
(Al-Baqarah: 264, An-Nisa: 142, Al-Ma’un: 4-6, dan Al-Anfal: 47), kurangnya
kesadaran diri dan tidak konstruktif (Al-Baqarah: 9 dan 12, An-Naml:27), juga orang
yang tidak pandai bertawakkal (terbelenggu ide tidak rasional atau tuntutan kemutlakan)
(Fushilat: 49, Luqman: 34), rendah diri dan putus asa (ya’uus/qunuut) (Al-hujurat: 1,
Al-Isra: 83, Huud: 9, dan Al-Hijr: 56). Kemudian, pribadi yang tidak pandai bersyukur
terhadap nikmat Allah atau menolak terhadap diri sendiri (Shaad: 27 dan Ali-Imran:191,
Ar-Ruum: 44 hal. 177 dan Ibrahim: 7).
b. Tidak Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Orang Lain
Menurut konsep konseling seperti yang dikemukakan dalam Terapi Adler,
Terapi Behavioral, Transaksional, dan Terapi realita, bahwa pribadi yang tidak mampu
mengatur diri dalam hubungannya dengan orang lain memiliki ciri-ciri kepribadian
pokok: (1) egois dan tidak mau menyumbang dan lebih suka menerima, (2) memandang
diri sendiri benar sedang orang lain tidak (jelek), (3) tidak konstruktif, dan (4)
memenuhi kebutuhan sendiri dengan tidak peduli (merampas) hak orang lain.
Al Qur’an menerangkan, pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam
hubungannya dengan orang lain adalah pribadi yang bakhil dalam arti egois dan tidak
mau menyumbang atau membelanjakan hartanya di jalan kebajikan (Al-Lail: 8-10, Ali-
Imran:175, dan Muhammad: 38), tidak mau saling menolong (ta’awun) atau lebih suka
menerima daripada memberi (Al-Ma’arij:19-21), memiliki sifat marhun dan takabbur
yaitu sifat sombong dan merasa diri lebih besar dan berharga daripada orang lain (Al-
Isra: 37, Luqman:18 hal.180-181), orang yang memiliki sifat ini akan mudah melakukan
hal-hal yang negatif terhadap orang lain, seperti su’us zhan (berpikir negatif), tajassus
yaitu suka mencari-cari kesalahan orang lain, sedang kesalahan sendiri tidak
diperhatikan, ghibah yaitu menggunjing sesama dan sebagainya (lihat Q.S. Al-
Hujurat:12).
Di samping itu, juga pribadi yang senang melihat orang lain susah, enggan
melakukan amar ma’ruf nahi munkar, yaitu menyuruh berbuat baik dan mencegah
kejahatan dengan kata lain adalah pribadi yang tidak konstruktif (An-Nur:19, Al-
Baqarah: 11, dan As-Syu’ara: 152-152), pribadi yang dalam memenuhi kebutuhannya
sendiri dengan tidak menghargai atau mengorbankan hak orang lain, seperti berbisnis
dengan riba, memperoleh harta dengan jalan batil, yaitu curang, menipu, mengurangi
takaran dan timbangano dalan berjual beli, menunda-nunda pembayaran upah buruh,
dan sebagainya (Ali-Imran: 130, Al-Baqarah: 278, An-Nisa:161, Al-Baqarah: 188, dan
An-Nisa: 29).
c. Tidak Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Lingkungan
Menurut konsep konseling seperti dikemukakan dalam Terapi Adeler dan Terapi
Behavioral, bahwa pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan
lingkungan adalah pribadi yang tidak mampu berinteraksi dan mengelola lingkungannya
secara baik, sehingga bisa melakukan hal-hal yang membuat lingkungan menjadi rusak.
Al Qur’an menerangkan bahwa pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam
hubungannya dengan lingkungan adalah pribadi yang tidak mampu berinteraksi
denganlingkungannya secara baik, sehingga ia tidak peduli dengan kerusakan
lingkungan, atau ikut berbuat sesuatu yang bisa merusak lingkungannya, sekaligus tidak
mampu membuat lingkungannya menjadi kondusif bagi kehidupan Al Qur’an
mengungkapkan bahwa terjadinya kerusakan di bumi ini adalah karena perbuatan
manusia (Ar-Ruum: 41, Al-Baqarah: 204-205 dan Al-Qashash: 77).
d. Tidak Mampu Mengatur Diri dalam Hubungannya dengan Allah Swt.
Konsep konseling tidak ada menerangkan hal ini. Menurut Al Qur’an, pribadi
yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan Allah antara lain adalah
pribadi yang kufur dan syirik. Pribadi kufur adalah pribadi yang tidak beriman dan
enggan menjalankan syari’at Allah (hukum-hukum Allah), termasuk juga sebagai kufur
orang yang dengan sengaja tidak mau menjalankan ibadah kepada Allah Swt., dan tidak
menerima dengan syukur atas segala nikmat yang diberikan Allah (kufur nikmat).
Dalam melakukan muamalah orang yang memiliki kepribadian kufur cenderung berlaku
zhalim, mementingkan diri sendiri tanpa memperhatikan hak orang lain(Al Baqarah: 6,
Maryam: 59, At-Taubah: 35, An Nisa: 168). Di samping kekufuran, kesalahan yang
sangat fatal terhadap Allah Swt. adalah syirik, yaitu “menyekutukan Tuhan”. Orang
yang kena penyakit syirik ini meyakini bahwa Allah Swt adalah Tuhannya, namun amal
perbuatannya diorientasikan bukan untuk Allah, melainkan untuk sesuatu yang lain,
seperti kepada roh halus, atau semata-mata untuk manusia, baik dalam melakukan
ibadah maupun dalam bermuamalah (An Nisa: 48, 36, dan Al Kahfi: 110).
Kemudian, pribadi yang tidak mampu memungsikan diri secara seimbang antara
diri sebagai abidullah dan sebagai khalifah, baik hanya mengutamakan urusan
keduniaan dan ibadah tertinggalkan, atau lebih mengutamakan ibadah dan urusan
keduniaan tertinggalkan (Ali-Imran: 112).
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil kajian dan pembahasan yeng telah dikemukakan, dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut:
a. Konsep konseling tentang hakikat manusia, pribadi sehat, dan pribadi tidak sehat
berdasarkan ayat-ayat Al Qur’an, secara umum relevan dengan konsep konseling,
hanya istilah penamaan atau terminologi yang berbeda, namun maksudnya selaras.
b. Al Qur’an menerangkan bahwa manusia pada hakikatnya tidak hanya sebagai
makhuk biologis, pribadi, dan sosial, tetapi juga sebagai makhluk religius. Begitu
juga dengan pribadi sehat dan tidak sehat, tidak hanya mampu atau tidak mampu
mengatur diri dalam hubungannya dengan diri sendiri, orang lain, dan lingkungan,
tetapi juga terhadap Alah Swt.
c. Satu hal yang berbeda secara mendasar, yaitu sifat pembawaan dasar manusia.
Konsep konseling seperti yang dikemukakan oleh Freud menyatakan bahwa potensi
dasar manusia yang merupakan sumber penentu kepribadian adalah insting.
Sebaliknya, menurut kandungan ayat-ayat Al Qur’an bahwa potensi manusia yang
paling mendasar adalah fitrah, yaitu nilai-nilai keimanan untuk beragama kepada
agama Allah yang selalu menuntut untuk diaktualisasikan.
.
DAFTAR PUSTAKA
Bishop, D. Russel, 1992. Religious Values as Cross Culture Isues in Counsellin. JournalCounseling and Values, Vol. 36.
Departemen Agama RI, 2005. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: Diponegoro.Dradjat, Zakiah. 2003. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta: PT Bulan Bintang.Mujib, Abdul. & Jusuf Mudzakkir. 2001. Nuansa-nuansa Psikologi Islam. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada.Murat, Jeanette Jesmana. 2006. Dasar-dasar konseling. Jakarta: Universitas Indonesia.Singh, Sandhu Daya. 2001. Counseling in Elementary Education. Amerika: American
Counseling Association.
PERANAN TEKNOLOGI KOMUNIKASI INFORMASI PENGARUHNYA
TERHADAP DUNIA PENDIDIKAN
OlehSuhairi
Dosen Prodi Bimbingan Konseling Islam Fakultas TarbiyahInstitut Agama Islam Negeri Sumatera Utara
Abstract:The explosion of human thought has reached a peak; it is marked with the rapiddevelopment of saint and technology toward the high technology that can be denied.Then development proceeds to open the gates of a new civilization. Civilizationinformation communication technology is increasingly shot. The social structure ofsociety has also changed. Like the formation of a new civilization that society and itsstructure has been established by the results of the integration of informationcommunication technology. Inevitably the information and communications technologyis in need then is not inevitable role in the progress of the education institutions to opennew civilization.
Kata Kunci : ICT, Pendidikan, Sosial
A. Pendahuluan
Dinamisasi perkembangan pemikiran manusia telah sampai kepada tahap
post modernisme. Pergerakan pemikiran sebagai mobilisator pergerakan
kehidupan manusia hampir melaju kemudian berkembang kearah kompleksitas.
Tahapan – tahapan pergerakan pemikiran dari yang sangat sederhana sampai
kepada tahap perexecelent.
Alphin Toffler dan John Naisbitt membagi menjadi beberapa tahapan :
a. Masa agriculturedan
b. Industrialisasi
c. Agro agri culture “
Deskriptisasi gerak dinamis dari pemikiran manusia yang kini kian pesat
berkembang. Kemudian seiring dengan itu mempengaruhi struktur sosial yang
ada di ruang kehidupan manusia. Proses perkembangan pemikiran manusia
melalaui prosses agriculture yang sangat panjang. Di masa era agricultur
pemikiran manusia sangat sederhana, semua serba alam kemudian, diamana
manusia untuk mempertahankan habitatnya di ruang kehidupan sejalan dengan
kondisi yang ditawarkan alam dimana mereka bertempat tinggal.
Kemudian jika dianlitik dala perspektif sejarah era industrialisasi terlahir
di sebabkan oleh anti tesa, ketika adanya pemberontakan pemikiran manusia
terhadap ketergantungannya kepada alam. Dinamika ini di tandai dengan
ledakan – ledakan pemikiran manusia. Era ini ditandai dengan revolusi
pemikiran manusia di sebabkan besarnya ketergantungan dengan alam dengan
segala perubahan musim yang di tawarkannya. Era ini di tandai dengan
penemuan – penemuan alat industrialisasi, dengan berdirinya pubrik – pubrik
industri dikawasan Eropa. Pubrik – pubrik industri ini di gunakan sebagai alat
alat mempermudah pengolahan hasil – hasil pertanian. Dengan pertimbangan
aksesnya lebih efektif cara kerjanya kemudian tidak memerlukan waktu yang
lama, kemudian mempengaruhi struktur sosial yang tak dapat dihindari
sehingga struktur sosial bergerak ke arah dinamika yang sedang berlangsung
menuju era reneissence atau era indutrrialisasi.
Mobilisasi pemikiran manusia terus bergerak berdinamisasi dengan
kreatifitasnya dengan akses penemuannya di bidang alat – alat industri.
Pembentukan struktur sosial pun tak dapat di pungkiri terus berkembang seiring
dengan penelitian dan penemuan dari akses upaya pikir manusia.
B. Pembahasan
Latar belakang penerapan teknologi informasi komunikasi di institusi
dunia pendidikan.
Dinamisasi perubahan yang terjadi di ruang – ruang sosial yang begitu
cepat, baik sektor lingkungan sosial, ekonomi, politik, atau dunia
pendidikan sebagai institusi. Sudah selayaknya institusi dunia
pendidikan harus berfikir kembali bagaimana menyikapinya dengan
mendisain kemudian mendekorasi interaksinya terhadap arus deras
perubahan yang sedang berlangsung. Teknologi informasi komunikasi
adalah elemen yang urgen bagi keberlangsungan bagi interaksinya di
ruang sosial baik individual atau komunitas dalam berbangsa kemudian
bernegara sekalipun. Institusi pendidikan harus peka terhadap perubahan
– perubahan yang ada, kemudian membuka pintu ruang sebagai institusi
pendidikan. Walhasil perubahan sektor lingkungan sosial, ekonomi,
politik, mempengaruhi ruang institusi pendidikan. Yang diharapkan
proses perubahan itu membuka pintu gerbang proses peradaban
berhembus dari institusi pendidikan bukan dari sektor lainnya. Kemudian
banyak argumentasi lainnya kenapa penerapan teknologi komunikasi di
institusi informasi komunikasi di institusi dunia pendidikan harus di
terapkan ?
Menurut CORRY IRIANI ada beberapa alasan yang di
kemukakannya :
Teknologi informasi komunikasi telah berkembang pesat
Merubah cara hidup manusia
Merubah cara komunikasi manusia
Merubah cara bekerja manusia
Merubah cara kerja manusia
Penerapan teknologi Informasi dan Komunikasi Dalam Dunia Pendidikan
Geerakan generalisasi penemuan terhadap alat – alat industrilaisasi pun
semakin gencar kemudian bergerak kearah lebih innovatif. Hal ini
diakibatkan semakin tinggi tingkat pemikiran manusia yang meyebabkan
makin tinggi tingkat kebutuhannya semakin tinggi pula sarana yang akan di
butuhkannya untuk mendapatkan tujuan- tujuan tersebut. Tingkat kebutuhan
manusia terhadap alat-alat industrialisasi semakin tinggi yang tak dapat di
hindari. Ruang – ruang sosial kehidupan manusia penuh dengan ledakan
ledakan sosial hasil dari ledakan pemikiran manusia yang menghasilkan alat
– alat industri berteknologi tinggi. Mau tak mau kemudian tak dapat di
hindari teknologi tinggi (tik) akan memaksa indidual atau secara sosial,
maupun secara lembaga untuk berinteraksi kemudian berdinamisasi
bersama di ruang kehidupan manusia . Malah teknologi informasi
komunikasi manjadi manejer dalam perkembangan sosial di ranah
kehidupan manusia.
Peranan atau urgensi tik menjadi sesuatu kebutuhan yang dapat
dielakkan, tik menjadi alat atau sarana yang sangat di butuhkan di ruang
ruang sosial kehidupan yang ada. Teknologi ilmu komunikasi informasi
dengan daya penggunaan secara efektif kemudian efesien berdampak sangat
urgensi. Untuk meningkatkan sumberdaya manusia dalam menagatasi
persoalan kehidupannya. Telah di ketahui tik adalah teknologi komunikasi
yang berstruktur tinggi (Hihgt saint) pendaya gunaannya pun sangat rumit.
Kreatifitas swadaya manusia sangat di butuhkan dalam penegelolaannya.
Bukan di situ saja peranan teknologi informasi komunikasi mampu
membuka jaringan sosial baru yang makin kian terbuka lebar di ruang kehidupan
manusia. Tugas tugas peranan pengelolaan teknologi komunikasi informasi tak
pelak lagi seharusnya lebih diarahkan di dunia. Gerakan atau aksi – aksi terus di
stimul keranah observasi kemudian penelitian kemudian di arahkan ke
generalisasi ke arah penyempurnaan. Penerapan teknologi informasi kian mudah
di sumber daya gunakan kelapisan sosial yang paling bawah sekalipun.
Kemudian daya kemudahan kemudian tak membutuhkan waktu yang banyak
berdampak luas menuju prosses efektifitas atau efesiensi.
Walhasil teknologi komunikasi di kelola di dunia pendidikan formal,
maupun non formal, yang aksesnya berhasil membentuk jaringan – jaringan
sosial baru. Yang lebih di kenal dengan dunia cyberlink. Realitas
pendayagunaan teknologi komunikasi yang telah di generalisasi mampu
menembus tanpa tapal jarak tanpa adanya hambatan. Kemudian membuka
pergerakan arus global. Sehingga dalam aspek perniagaan sangat mudah
dilakukan,kemudian membuka pasar bebas. Teknologi informasi komunikasi
dengan segala aktifitasnya di harap dapat membuka lebar peluang – peluang
pasar. Aksi – aksi penerapan di ruang sosial kehidupan sangat berperan pro-
aktif dalam berinteraksi dengan perubahan yang terus berdinamika. Sepantasnya
tik mendapat tempat di dunia pendidikan di dalam prosses pembentukan
peradaban baru berstruktur lebih kompleks.
Manfaatnya terhadap dunia pendidikan
Struktur sosial terus berkembang berdinamisasi dengan pengembangan
informasi telekomunikasi. Perubahan – perubahan sosial kini banyak di
pengaruhinya, Jika dilihat di struktur sosial dampak yang luas antara lain :
Perubahan sosial sangat cepat.
Hubungan manusia sudah berubah dari komunal bergerak ke arah
individual
Lembaga Tradisional telah berubah menjadi lembaga rasional
Masyarakat homongen berubah menjadi heterongen
Stabilitas sosial berubah menjadi mobilitas sosial
Gagasan kemudian ide dalam rangka pendisainan kemudian pendekorasian
pengembangan teknologi informasi komunikasi di institusi dunia pendidikan ada
beberapa elemen menurut Muslim anatara lain :
Infra struktur.
Sumber daya manusia
Kebijakan
Finansial
Konten dan Aplikasi
Faktor infra struktur adalah elemen yang tak dapat di hindari untuk mencapai
orientasi target, dalam pengembangan teknologi informasi dengan pesat. Faktor
yang kedua di perlukan faktor skil manusia, dalam penggelolaan dalam
pengembangan teknologi informasi komunikasi. Faktor ketiga adanya kebijakan
yang bersifat mikro kemudian makro yang di orientasikan kepada
pengembangan teknologi komunikasi informasi. Keempat Finansial adanya
kesediaan dari lembaga – lembaga keungan atau pihak swasta dalam
pengembangan teknologi informasi komunikasi yang dimaksud. Faktor kelima
atau terakhir adalah konten beserta aplikasi menjadikan bank data bagi informasi
yang di sampaikan baik dalam bentuk pribadi atau pun institusi. Kemudian di
jadikan data – data yang akan di kembangkan atau perenovasiannya. Kelima
faktor tersebut sangat bermanfaat bagi pengembangan kemudian
keberlangsungan penyempurnaan teknologi komunikasi tersebut. Kemudian
banyak manfaat yang dapat di rasakan di institusi dunia pendidikan secara
makro antara lain :
Manajement sistem informasi.
Memanjerialisasikan data kemudian men-organisasiannya kedalam satu
kesatuan yang berupa data base. Sehingga efektifitas data dan ke akuratan
data ketika akan di perlukan tidak membutuhkan waktu yang lama.
E- Learning.
Proses belajar mengajar tidak lagi di batasi jarak ruang kemudian waktu.
Proses belajar dan mengajar dapat dilakukan di mana saja kemudian kapan
saja. Prosses ini menstimulasi peserta belajar mencari data melalui
eksplorasi ilmu pengetahuan. Kemudian prosses belajar mengajarnya
melalui internet. Mediator yang di pakai adalah :
E-book
E-library
Interaksi dengan pakar
Mailing
News group
World wide web
Kemudian citus yang di sediakan oleh e-learning antara lain :
Pendidikan net
Edukasi net
Ilmu komputer
Fisika net
Fisikumu net
Cascadeimei yang berkorelasi dengan matematik
Penerapan E-learning dapat di terapkan oleh lembaga manapun, apalagi
pihak pemerintah atau institusi dunia pendidikan sehingga proses belajar
mengajar dapat dilaksanakan dengan tanpa batasan jarak waktu dan
tempat (dengan membuat situs)
Media Pembelajaran :
Pemanfaatan teknologi informasi di lembaga institusi pada dunia pendidikan
dalam proses belajar mengajar dengan bermidiator internet dalam ruang
lingkup e-learning ataupun sejenisnya sebagai media inter –aktif. Menurut
penelitian para pakar Bobby Deporter & Mike Hernacki,1999 penggunaan
sarana internet melalui e-learning atau sejenisnya sebagai mediator akan
lebih efektif dengan beberapa alasan :
Pemanfaatan internet dalam e-learning sebagai solusi dari persoalan
komunikasi guru dengan peserta didik persoalan di bagi oleh Bobby
Deporter & Mike Hernacki.
o Fisiologis
o Psikologis
o Kultural
o Lingkungan”5
Adanya proses belajar mengajar bersifat unik kemudian dapat terasi.
Kebanyakan siswa lebih konten menerima informasi melalui audio visual
dari pada mendengar. Kemudian dari hasil penelitian Bobby Deporter &
Mike Hernacki kekuatan penyerapan manusia hanya 10 persen dari
keseluruhan informasi yang ia baca. Kemudian 20 persen dari apa yang di
dengar, 30 persen dari apa kita lihat kemudian 70 persen dari apa kita
katakan, dan 90 persen dari apa yang kita katakan kemudian kita lakukan.
Alternatif pilihan dari hasil penelitian Bobby Deporter & Mike Hernacki
penggunaan komputer sebagai mediator dalam prosses belajar mengajar.
Alasan- alasan yang mereka dengan pertimbangan adanya stimulasi yang
terdapat di dalam program komputer sebagai pengambilan data tersebut
antara lain :
Vidio.
Audio.
teks
Grafik
animasi
penggunaan keterampilan kinestik
Muhtadi berpendapat ada beberapa manfaat yang dapat dirasakan antara lain
mikro:
merancang dan membuat aplikasi database, yang menyimpan dan
mengolah data dan informasi akademik, baik sistem perkuliahan, sistem
penilaian, informasi kurikulum, manajemen pendidikan, maupun materi
pembelajaran.
merancang dan membuat aplikasi pembelajaran berbasis portal, web,
multimedia interaktif, yang terdiri atas aplikasi tutorial dan learning tool;
mengoptimalkan pemanfaatan TV edukasi sebagai materi pengayaan
dalam rangka menunjang peningkatan mutu pendidikan
mengimplementasikan sistem secara bertahap mulai dari lingkup yang
lebih kecil hingga meluas, sehingga memudahkan managemen
pemanfaatan TI dalam proses penyelenggaraan pendidikan
Kemmudian manfaat berikutnya secara makro adalah :
Berkembnangnya pendidikan terbuka dengan modus jarak jauh
Kemudahan untuk menyelenggarkan terbuka dan jarak jauh perlu di
masukkan sebagai strategi utama
Sharing resourcesesama antar lembaga pendidikan dan jarak jauh perlu
di masukkan sebagai strategi utama.
Perpustakaan dan instrumen pendidikan lainnya (guru labotatorium)
berubah fungsi jadi pusat informasi dari pada sekedar rak buku.
Penggunaan perangkat teknology informasi interaktif, seperti CD room
multi media,dalam pendidikan secara bertahap menggantikan TV dan
vidio.
Dampak pengaruhnya terhadap dunia pendidikan
Pengaruh interaksi teknologi komunikasi dengan lembaga institusi
pendidikan kini kian di harmonisasi. Dampak pengaruhnya terhadap
perkembangan dunia pendidikan sangatlah besar. Tanpa di sadari jika dilihat
lembaga institusi dunia pendidikan selalu berkecimbung dengan data – data
atau informasi. Jika diamati birokrasi di lembaga institusi pendidikan kerap
kali berkecimbung dengan data yang menggunung dengan adanya teknologi
telekomunikasi layaknya tak punya hambatan. Data – data yang ada diakses
kemudian di simpan kapan di perlukan tinggal di buka. Kemudian
memudahkan para pendidik memberi materi perkuliahan atau silabus yang
ada. Para pendidik tinggal mengakses citusnya di internet. Sehingga peserta
didik pun tiada kewalahan. Sementara bagi para peserta didik dapat
mengaakses persoalan – persoalan atau perkembangan spesialisasi bidang
yang di tekuninya sehari – hari
Kemudian dampak pengaruhnya yang lebih signifikan di institusi
pendidikan adalah menurut Muslim adalah :
Bergersernya pedndidikan atau sejenisnya dari sistem yang
berorientasi pada guru/dosen/lembaga ke sistem yang berorientasi
pada siswa/mahasiswa/para didik
Tumbuh dan makin berkembangnya proses belajar jarak jauh.
Semakin banyaknya pilihan sumber belajar yang tersedia
Di perlukannya standart global dalam rangka persaingan global
Semakin di perlukannya proses belajar sepanjang hayat (Long life)
C. Penutup
Kesimpulan
o Teknologi informasi komunikasi adalah sesuatu yang sangat urgern
bagi proses perkembangan menuju perubahan yang sedang
berlangsung.
o Interaksi kemudian ingterasi, internalisasi informasi komunikasi
sangat di butuhkan ke ranah institusi dunia pendidikan untuk
berdinamisasi di ruang sosial menuju peradaban baru
o Dampaknya di harapkan merambah kesemua lapisan sosial
o Mengatasi persoalan kehdupan invidu, sosial, atau lembaga maupun
global
Saran
o Institusi pendidikan sebagai pintu gerbang perubahan harus peka
terhadap perkembangan yang ada.
o Apalaga Arus deras datangnya dari teknologi informasi komunikasi
o Dengan pertimbangan pengadaan dalam pengelolaannya ada
beberapa elemen yang sangat urgensi yang harus di sikapi untuk
mencapai target yang maksimal dengan mempertimbangan dengan
beberapa faktor :
infra struktur, sumber daya manusia, kebijakan, finansial, konten dan
aplikasi
DAFTAR PUSTAKA
1. http://habibiarifin.blogspot.com/2010/05/perusahaan-yang-merugikan-masyarakat.html.
2. http://fadlibae.wordpress.com/2010/08/24/latar-belakang-pengembangan-teknologi-informasi-dan-komunikasi-untuk-pendidikan-2/
3. Drs. Muhaimin. MA. Paradigma pendidikan Islam Upaya MengefektifkanPendidikan Agama Islam di Sekolah (Jakarta: Remaja Rosda Karya2005)hlm.31
3. Muslim : Teknologi informasi dalam pendidikan4. Ali Muhtadi : Pemanfaatan teknologi informasi untuk meningkatkan kualitas
dan efektifitas pendidikan
Top Related