Pendekatan Filsafat dalam Pendidikan dan pandangan esensialisme

29
PENDEKATAN FILSAFAT DALAM PENDIDIKAN DAN PANDANGAN ESENSIALISME DALAM PENDIDIKAN MAKALAH Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah : “Filsafat Pendidikan” Dosen Pengampu AFIFUL IKHWAN, M.Pd.I Disusun Oleh: KELOMPOK 3 1. KHOTIBUL UMAM 2. IRNADA ALANATI 3. SITI FATIMATUS ZAHRO’ PAI MADIN SEMESTER IV

Transcript of Pendekatan Filsafat dalam Pendidikan dan pandangan esensialisme

PENDEKATAN FILSAFAT DALAM PENDIDIKAN DANPANDANGAN ESENSIALISME DALAM PENDIDIKAN

MAKALAHDiajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah :

“Filsafat Pendidikan”

Dosen Pengampu AFIFUL IKHWAN, M.Pd.I

Disusun Oleh:KELOMPOK 3

1.KHOTIBUL UMAM2.IRNADA ALANATI3.SITI FATIMATUS ZAHRO’

PAI MADIN SEMESTER IV

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)

MUHAMMADIYAH TULUNGAGUNG

2015KATA PENGANTAR

Bismillah Alhamdulillah Wassolatu wassalamu ‘ala

Rosulillah amma ba’dah. Walahaula wala quwwata illa

billahil ‘aliyyil ‘adzim.

Puji syukur saya panjatkan kepada ALLAH SWT, karena atas berkat dan

rahmat-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul

“Pendekatan Filsafat Dalam Pendidikan dan Pandangan Esensialisme

dalam Pendidikan”. Pembuatan makalah ini dilakukan dalam rangka

memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Pendidikan tahun ajaran

2014/2015. Oleh karena itu kami mengucapkan terimakasih

kepada:

1. Bapak Nurul Amin, M.Ag. Selaku ketua STAI

Muhammadiyah Tulungagung

2. Bapak Afiful Ikhwan, M.Pd.I selaku Dosen

pengamparanu mata kuliah Filsafat Pendidikan

3. Rekan-rekan mahasiswa STAI Muhammadiyah Tulungagung

4. Semua fihak yang telah memberi sumbangsih demi

terselesainya makalah ini.

Kami menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam

makalah ini. Oleh karenanya kritik dan saran yang membantu sangat

diharapkan dalam rangka penyempurnaan isi dari makalah ini. Semoga

makalah ini dapat membawa manfaat dan menambah cakrawala

pengetahuan kita semua. Amin.

    Tulungagung, April2015

Penyusun

DAFTAR ISI

Halaman Judul...................................... i

Kata Pengantar..................................... ii

Daftar Isi ........................................

iii

BAB I PENDAHULUAN............................... 1

A.    Latar Belakang Masalah.............. 1

B.    Rumusan Masalah..................... 2

BAB II

PEMBAHASAN

A.    Pendekatan Filsafat dalam Pendidikan 3

1. Pendidikan dalam Analisis Filsafat.. 3

2......................................Metode Studi dalam Filsafat Pendidikan

dan Pendekatannya.................... 5

B.    Pandangan Esensialisme dalam Pendidikan

..........................................8

1......................................Pengertian Esensialisme

.....................................8

2. Pandangan Esensialisme dalam

Pendidikan........................... 11

BAB III

PENUTUP...................................... 14

Kesimpulan................................ 14

DAFTAR PUSTAKA..................................... 16

BAB I 

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Filsafat pendidikan bukanlah filsafat umum atau

filsafat murni, tetapi filsafat terapan. Berbeda dengan

filsafat umum yang objeknya adalah kenyataan

keseluruhan segala sesuatu, filsafat khusus mempunyai

objek kenyataan salah satu aspek kehidupan manusia yang

penting misalnya hokum, sejarah seni, ilmu, pendidikan

dan sebagainya.1

Filsafat, sebagai daya upaya manusia dengan akal

budinya untuk memahami, mendalami, dan menyelami secara

radikal dan integral serta sisitematis mengenal

ketuhanan, alam semesta dan manusia sehingga dapat

menghasilkan  pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya

yang dapat dicapai oleh akal manusia dan bagaimana

sikap manusia seharusnya setelah mencapai pengetahuan

itu, hakikat filsafat selalu menggunakan ratio

(pikiran), dalam perjalanan hidupnya manusia di

hadapkan kepada pengalaman-pengalaman peristiwa

alamiyah yang ada di sekitarnya. Pengalaman-pengalaman

lahir ini merupakan sejarah hidupnya yang mengesankan

dan kemudian mendorong untuk melakukan perubahan-

perubahan bagi kepentingan hidup dan hidupnya

1 Redja Mudyaharjo, Filsafat Ilmu Pendidikan Suatu Pengantar, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya 2010, cetakan keenam, hlm. 3

Filsafat membahas sesuatu dari segala aspeknya

yang mendalam, maka dikatakan kebenaran filsafat adalah

kebenaran menyeluruh yang sering dipertentangkan dengan

kebenaran ilmu yang sifatnya relatif. Karena kebenaran

ilmu hanya ditinjau dari segi yang bisa diamati oleh

manusia saja. Sesungguhnya isi alam yang dapat diamati

hanya sebagian kecil saja, diibaratkan mengamati gunung

es, hanya mampu melihat yang di atas permukaan laut

saja. Semantara filsafat mencoba menyelami sampai

kedasar gunung es itu untuk meraba segala sesuatu yang

ada melalui pikiran dan renungan yang kritis.

Sedangkan pendidikan merupakan salah satu bidang

ilmu, sama halnya dengan ilmu-ilmu lain. Pendidikan

lahir dari induknya yaitu filsafat, sejalan dengan

proses perkembangan ilmu, ilmu pendidikan juga lepas

secara perlahan-lahan dari dari induknya. Pada awalnya

pendidikan berada bersama dengan filsafat, sebab

filsafat tidak pernah bisa membebaskan diri dengan

pembentukan manusia.

Fase awal dimulainya pengetahuan adalah pengenalan

indrawi yang mencatat semua perkara menurut urut-

urutannya datang pada indera dengan bentuknya,

warnanya, besarnya, letaknya dan sebagainya. Akan

tetapi kita segera kemudian mengetahui bahwa tiap-tiap

perkara mempunyai esensinya (mahiyyah) yang tetap,

meskipun sifat-sifat yang indrawi berubah-ubah dan

keadaannya pun berbeda-beda, sedang fungsi esensi

sesuatu ialah memegangi ciri-ciri khasnya yang pokok

ketika terjadi perobahan keadaan.2

Pembentukan dan penyempurnaan kualitas manusia

dalam dunia pendidikan selalu berkenaan dengan

persoalan proses kemanusiaan yang mengarah pada

perbaikan dan kemajuan sehingga dengan demikian dapat

dikatakan bahwa kemajuan peradaban tergantung pada pola

dan system yang ditempuh oleh lembaga pendidikan dalam

menggembleng subyek-subyeknya. Dalam upaya memperbaiki

system/pola dalam pendidikan melalui filsafat maka

lahirlah beberapa aliran filsafat pendidikan

diantaranya progresivisme, perenialisme, Esensialisme,

Rekronstrusionisme. Dan dalam makalah ini hanya akan

membahas tentang aliran Esensialisme.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Pendekatan Filsafat dalam pendidikan?

2. Bagaimana Pandangan esensialisme dalam

pendidikan?

2 Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang,1990, Cet. IV, hlm. 13-14.

BABII

PEMBAHASAN

A. Pendekatan Filsafat dalam Pendidikan

1. Pendidikan dalam Analisis Filsafat

   Masalah pendidikan adalah merupakan masalah

hidup dan kehidupan manusia. Pengertian yang luas

dari pendidikan sebagaimana dikemukakan oleh Lodge,

yaitu bahwa: “life is education, and education is life”, akan

berarti bahwa seluruh proses hidup dan kehidupan

manusia itu adalah proses pendidikan segala

pengalaman sepanjang hidupnya merupakan dan

memberikan pengaruh pendidikan baginya. Dalam

artinya yang sepit, pendidikan hanya mempunyai

fungsi yang terbatas, yaitu memberikan dasar-dasar

dan pandangan hidup kepada generasi yang sedang

tumbuh, yang dalam prakteknya identik dengan

pendidikan formal di sekolah dan dalam situasi dan

kondisi serta lingkungan belajar yang serba

terkontrol.3

Dengan pengertian pendidikan yang luas, berarti

bahwa masalah kependidikan juga mempunyai ruang

lingkup yang luas pula, yang menyangkut seluruh

aspek hidup dan kehidupan manusia. Memang diantara

permasalahan kependidikan tersebut terdapat masalah3 Jalaludin, dan Abdullah Idi.. Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat

dan Pendidikan.Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011, hlm. 6

pendidikan yang sederhana yang menyangkut praktek

dan pelaksanaan sehari-hari, tetapi banyak pula pula

diantaranya yang menyangkut masalah yang bersifat

mendasar dan mendalam, sehingga memerlukan bantuan

ilmu-ilmu lain dalam memecahkannya. Salah satunya

dengan filsafat. Berikut ini akan dikemukakan

beberapa masalah kependidikan yang memerlukan

analisa filsafat dalam memahami dan memecahkannya,

antara lain:

1. Masalah kependidikan pertama yang mendasar adalah

tentang apakah hakikat pendidikan itu. Mengapa

pendidikan itu harus ada pada manusia dan

merupakan hakikat hidup manusia itu. Dan

bagaimana hubungan antara pendidikan dengan hidup

dan kehidupan manusia. Apakah pendidikan itu

berguna untuk membawa kepribadian manusia, apakah

potensikereditas yang menentukan kepribadian

manusia itu, atau faktor-faktor yang berasal dari

luar/lingkungan dan pendidikan. Mengapa anak yang

mempunyai potensi hereditas yang tidak baik,

walaupun mendapatkan pendidikan dan lingkungan

yang baik, tetap tidak berkembang.

2. Apakah sebenarnya tujuan pendidikan itu. Apakah

pendidikan itu untuk individu, atau untuk

kepentingan masayarakat. Apakah pendidikan

dipusatkan untuk membina kepribadian manusia

ataukah untuk pembinaan masyarakat. Apakah

pembinaan manusia itu semata-mata unuk dan demi

kehidupan riel dan materil di dunia ini, ataukah

untuk kehidupan kelak di akhirat yang kekal

Masalah-masalah tersebut merupakan sebagian

dari contoh-contoh problematika pendidikan, yang

dalam pemecahannya memerlukan usaha-usaha pemikiran

yang mendalam dan sistematis, atau analisa filsafat.

Dalam memecahkan masalah-masalah tersebut,

Analisa filsafat menggunakan berbagai macam

pendekatan yang sesuai dengan permasalahannya.

Pendekatan (approach) yang digunakan antara lain:4

1.Pendekatan secara spekulatif, yang disebut juga

sebagai cara pendekatan reflektif, berarti

memikirkan, mempertimbangkan, juga membeyangkan

dan menggambarkan.

2.Pendekatan normatif, artinya nilai atau aturan dan

ketentuan yang berlaku dan dijunjung tinggi dalam

hidup dan kehidupan manusia.

3.Pendekatan analisa konsep, artinya pengertian atau

tangkapan seseorang terhadap sesuatu objek. Setiap

orang mempunyai pengertian atau tangkapan yang

berbeda-beda mengenai yang sama, tergantung pada

perhatian, keahlian dan kecendrungan masing-

masing. 

4 Redja Mudyaharjo, Filsafat Ilmu Pendidikan Suatu Pengantar, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya 2010, cetakan keenam, hlm. 150

4.Analisa ilmiah terhadap realitas kehidupan

sekarang yang actual (scientific analysis of

current life) penedekatan ii sasarannya adalah

masalah-masalah kependidikan yang actual, yang

menjadi problem masa kini, dengan menggunakan

metode ilmiah dapat di diskripsikan dan kemudian

di pahami permasalan-permasalahan yang hidup dan

berkembang dalam masayrakat dan dalam proses

pendidikan serta aktivitas-aktivitas yang

berhubungan dengan pendidikan.

2. Metode Studi dalam Filsafat Pendidikan dan

Pendekatannya.

 Manusia dalam mempelajari sesuatu tentulah

memerlukan metode agar dapat mencapai tujuan yang

diinginkan. Begitu pula Filsafat Pendidikan dalam

studinya menggunakan metode: a) metode

rasionalistik, b) metode empirik, c) metode intuisi,

d) metode reflektif, e) metode historis, dan f)

metode analisis sintetis serta hermeneutika.5

Rasionalistik

Rasionalistik, suatu paham yang mengedepankan

rasio.  Sehingga paham ini dalam menganalisis

fenomena (alam) berpegang pada kemampuan akal

pikiran belaka. Adapun langkah-langkah berpikir

5 Arifin, Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Ankara, 2000, hlm. 19-23

rasionalitik sbb: 1). Tidak menerima begitu saja

atas sesuatu yang belum diakui kebenarannya; 2).

Menganalisis dan mengklasifikasi secara teliti;

3). Diawali sasaran yang paling sederhana dan

mudah menuju yang kompleks; 4). Tiap masalah

dibuat uraian yang sempurna dan dilakukan

pengkajian kembali secara umum. Lankah-langkah

tersebut dapat dipahmi bahwa untuk mengambil suatu

kesimpulan memerlukan analisis secara teliti dan

seksama, dan pengkajian ulang sehingga kecil

kemungkinan terjadi bias.

Empirik

Metode ini dalam menganalisis fenomena-fenomena

yang ada berdasarkan pengalaman, observasi dan

penelitian/ eksperimen. Pengalaman menjadi sesuatu

yang utama, baik yang dihasilkan melalui

observasi, penelitian atau ekperimen. Rasio

menjadi pendukungnya dari pengalaman. Metode ini

dikedepankan dalam dunia ilmu pengetahuan yang

dapat diuji kembali kebenerannya di lain waktu

Intuisi

Intuisi memiliki kadar lebih tinggi dibanding

intelek. Namun intuisi ini sulit untuk dibuktikann

secara empirik, sulit pula diukur. Sehingga sering

disingkirkan sebagai metode berpikir khususnya di

dunia ilmu pengetahuan.

Reflektif

Reflektif: suatu cara berfikir yang dimulai dari

adanya problem-problem yang dihadapkan kepadanya

untuk dipecahkan. Problem-problem yang ada menjadi

titik berangkat pemikirannya, tanpa adanya

problem-problem aktifitas refleksi pun sulit

dilakukan. Berdasar problem-problem yang dihadapi

akan melahirkan hasil pemecahannya. Perjalanan

roda pendidikan selalu dihadapkan problem-problem

yang terus meneruak muncul karena pendidikan suatu

yang terus berkembang. Dan problem yang besar

tidak lain adalah kenyataan.

Historis

Metode ini pada problem-problem tertentu dapat

digunakan utuk mengatasi problem yang dihadapi

secara wajar. Biasanya metode ini diawali dari

suatu tesis kemudian anti tesis, selanjutnya

melahirkan sintesis.

Analitik-Sintetik

Suatu metode yang berdasarkan pendekatan rasional

dan logis terhadap sasaran, dan pemikirannya

secara induktif dan deduktif serta analisa ilmiah.

Pemikiran induktif: cara berpikir yang berdasar

fakta-fakta yang bersifat khusus terlebih dahulu

dipakai untuk penarikan yang bersifat umum. Sedang

deduktif: cara berpikir dengan menggunakan

premise-premis dari fakta yang bersifat umum

menuju ke arah yang bersifat khusus sebagai

kesimpulannya. Pemikiran induktif dan deduktif

dapat digunakan dengan silih berganti, tergantung

pada kesukaan dan kecenderungan pola pikir

penggunanya.

Contoh pemikiran Induktif,

Buku 1 besar dan tebal adalah mahal

Buku 2 besar dan tebal adalah mahal

Konklusi : semua buku besar dan tebal adalah mahal

Contoh pemikiran Deduktif,

Premis mayor: Semua buku besar dan tebal adalah

mahal

Premis minor : Buku 3 adalah besar dan tebal

Konklusi : buku 3 adalah mahal

Sementara Analitik-sintetik: Mengurai sasaran-

sasaran pemikiran filosofis sampai unsur sekecil-

kecilnya, kemudian memadukan kembali unsur-unsur

sebagai kesimpulan hasil studi. Pemikiran analitik

sintetik ini merupakan hasil paduan unsur-unsur

baik yang dilakukan secara analitik maupun

sintetik.

Analisis Bahasa dan Analisis Konsep

Analisis bahasa, usaha untuk mengetahui arti

sesungguhnya dari sesuatu atau usaha untuk

mengadakan interpretasi pendapat atau pendapat

mengenai makna yang dimiliknya. Analisis konsep,

Analisis kata-kata atau istilah-istilah yang

menjadi kunci pokok yang mewakili suatu gagasan

atau konsep. Analisis bahasa itu memberi

interpretasi dari sesuatu pendapat, sedang

analisis konsep mengurai kata kunci yang menjadi

sample konsep.

Hermeneutika

Selain metode tersebut di atas, hermeneutika

(takwil) dapat menjadi metode pemikiran dalam

studi filsafat pendidikan karena melalui

hermeneutika ini memungkinkan pengetahuan yang

mendasar dapat diperoleh. Pengikut hermeneutika

dalam mempelajari perilaku manusia mecari

perspektif yang memungkinkan diperolehnya

pengetahuan yang paling mendasar. Takwil bukan

sekedar teknik penelitian atau alat pengetahuan

atau jalan menuju kebenaran, melainkan takwil

adalah bidang pemahaman yang memungkinkan untuk

mengkaji wujud secara baru dan memungkinkan untuk

mendefinisikan kembali tentang sesuatu (Alwasilah,

2008:125,127). Hermeneutik suatu alat atau metode

pengkajian untuk mendapatkan pemahaman pengetahuan

atau kebenaran.

Metode-metode tersebut tidak selalu pas/relevan

dan dapat digunakan disetiap obyek kajian. Untuk

itu penggunaan metode harus mempertimbangkan

relevansi bahan yang menjadi obyek pengkajian,

penemuan atau pengembangan pendidikan, sehingga

akan menghasilkan kesimpulan yang benar dan tidak

bias.

B. Pandangan Esensialisme dalam Pendidikan

1. Pengertian Esensialisme

Esensialisme merupakan aliran filsafat yang

lebih merupakan perpaduan ide filsafat idealism-

objektif disatu sisi dan realism objektif disisi

lainnya. Oleh karean itu wajar jika ada yang

mengatakan Plato sebagai peletak asas-asas filosof

aliran ini, sedangkan Aristoteles dan Democritos

sebagai peletak dasar-dasarnya. Namun demikian

kemunculan aliran ini di dasari oleh filsafat

idealism Plato dan realisme Aristoteles, bukan

berarti aliran ini lebur kedalam paham esensialisme.

Sebagai aliran filsafat, Esensialisme telah lahir

sejak zaman Renaissance, bahkan sejak zaman Plato dan

Aristoteles.

Esensialisme secara formal memang tidak dapat

dihubungkan dengan berbagai tradisi filsafat,

tetapicompetible dengan berbagai pemikiran filsafat.

Tahap-tahap pertama dari perkembangan esensialisme

dapat dilihat dari zaman renaissance. Hal ini

mengingat aliran ini menempatkan cirinya pada alam

pemikiran manusia. Pada zaman ini telah muncul upaya-

upaya untuk menghidupkan kembali ilmu pengetahuan dan

seni serta kebudayaan purbakala, terutama zaman

Yunani dan Romawi.

Dalam konteks filsafat pendidikan, aliran ini

memiliki ciri utamanya yang menekankan bahwa

pendidikan mesti dibangun diatas nilai-nilai yang

kokoh, tetap dan stabil. Kemunculannya adalah reaksi

atas kecenderungan kehidupan manusia pada yang serba

duniawi, ilmiah, pluralistic dan materialistic akibat

dari prinsip pendidikan yang fleksibel, terbuka untuk

segala bentuk perubahan, toleran serta tidak

mempunyai pengangan yang kokoh dengandoktrin

tertentu. Kondisi dunia yang telah merusak tatanan

humanitas telah menjadi perhatian kelompok ini.

Aliran esensialisme, dengan bercokol dari

filsafat-filsafat sebelumnya, dapat memenuhi nilai-

nilai yang berasal dari kebudayaan dan falsafat yang

korelatif sejak empat abad ke belakang, sejak zaman

Renaisance sebagai pangkal timbulnya pandangan

esensialisme awal. Sedangkan puncak dari gagasan ini

adalah pada pertengahan abad ke-19, dengan munculnya

tokoh-tokoh utama yang berperan menyebarkan aliran

esensialisme.6

6 Ibid.

Tokoh utama esensialisme pada permulaan awal

munculnya adalah Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770–

1831). Georg Wilhelm Friedrich Hegel mengemukakan

adanya sintesa antara ilmu pengetahuan dan agama

menjadi suatu pemahaman yang menggunakan landasan

spiritual. Sebuah penerapan yang dapat dijadikan

contoh mengenai sintesa ini adalah pada teori

sejarah. Hegel mengatakan bahwa tiap tingkat

kelanjutan, yang dikuasai oleh hukum-hukum yang

sejenis. Hegel mengemukakan pula bahwa sejarah adalah

manifestasi dari berpikirnya Tuhan. Tuhan berpikir

dan mengadakan ekspresi mengenai pengaturan yang

dinamis mengenai dunia dan semuanya nyata dalam arti

spiritual. Oleh karena Tuhan adalah sumber dari

gerak, maka ekspresi berpikir juga merupakan gerak.

Pada perkembangan selanjutnya, banyak tokoh-

tokoh yang muncul dan menyebarluaskan esensialisme,

diantaranya adalah:7

a.       Desiderius Erasmus, humanis Belanda yang hidup

pada akhir abad 15 dan permulaan abad 16, yang

merupakan tokoh pertama yang menolak pandangan

hidup yang berpijak pada dunia lain. Erasmus

berusaha agar kurikulum sekolah bersifat

humanistis dan bersifat internasional, sehingga

7 Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan, PT. Refika Aditama, Bandung, cetakan kesatu, hlm. 167-168

bisa mencakup lapisan menengah dan kaum

aristokrat.

b.   Johan Amos Comenius (1592-1670), adalah

seorang yang memiliki pandangan realis dan

dogmatis. Comenius berpendapat bahwa pendidikan

mempunyai peranan membentuk anak sesuai dengan

kehendak Tuhan, karena pada hakikatnya dunia

adalah dinamis dan bertujuan.

c.  John Locke (1632-1704), sebagai pemikir dunia

berpendapat bahwa pendidikan hendaknya selalu

dekat dengan situasi dan kondisi. Locke mempunyai

sekolah kerja untuk anak-anak miskin.

d.    Johann Henrich Pestalozzi (1746-1827),

sebagai seorang tokoh yang berpandangan naturalis

Pestalozzi mempunyai kepercayaan bahwa sifat-sifat

alam itu tercermin pada manusia, sehingga pada

diri manusia terdapat kemampuan-kemampuan

wajarnya. Selain itu ia mempunyai keyakinan bahwa

manusia juga mempunyai transendental langsung

dengan Tuhan.

e.    Johann Friederich Frobel (1782-1852), sebagai

tokoh yang berpandangan kosmis-sintesis dengan

keyakinan bahwa manusia adalah makhluk ciptaan

Tuhan yang merupakan bagian dari alam ini,

sehingga manusia tunduk dan mengikuti ketentuan-

ketentuan hukum alam. Terhadap pendidikan, Frobel

memandang anak sebagai makhluk yang berprestasi

kreatif, yang dalam tingkah lakunya akan nampak

adanya kualitas metafisis. Karenanya tugas

pendidikan adalah memimpin anak didik ke arah

kesadaran diri sendiri yang murni, selaras dengan

fitrah kejadiannya.

f.     Johann Friederich Herbert (1776-1841),

sebagai salah seorang murid Immanuel Kant yang

berpandangan kritis, Herbert berpendapat bahwa

tujuan pendidikan adalah menyesuaikan jiwa

seseorang dengan kebajikan dari yang mutlak dalam

arti penyesuaian dengan hukum-hukum kesusilaan dan

inilah yang disebut proses pencapaian tujuan

pendidikan oleh Herbert sebagai pengajaran yang

mendidik.

g.    William T. Harris (1835-1909), tokoh dari

Amerika yang pandangannya dipengaruhi oleh Hegel

dengan berusaha menerapkan idealisme obyektif pada

pendidikan umum. Tugas pendidikan baginya adalah

mengizinkan terbukanya realita berdasarkan susunan

yang pasti, berdasarkan kesatuan yang memelihara

nilai-nilai yang telah turun temurun dan menjadi

penuntun penyesuaian diri kepada masyarakat.8

8 Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan, Yogyakarta: YayasanPenerbit FIP IKIP, 1982, hlm. 38-40. Lihat dalam Zuhairini, dkk.,Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2009, Cet. V, hlm. 25-26.

2. Pandangan Esensialisme dalam Bidang Pendidikan

Kelompok esensialis memandang bahwa pendidikan

yang didasari pada nilai-nilai yang fleksibel dapat

menjadikan pendidikan menjadi ambivalen dan tidak

memiliki arah dan orienttasi yang jelas. Oleh karena

itu agar pendidikan mempunyai arah yang jelas dan

kokoh diperlukan nilai-nilai yang kokoh yang akan

mendatangkan kestabilan. Untuk itu perlu dipilih

nilai-nilai yang mempunyai tata yang jelas dan telah

teruji oleh waktu.9

Pandangan esensialisme dan penerapannya di

bidang pendidikan antara lain:

a. Mengenai Belajar

Belajar adalah proses penyesuaian diri

indivividu dengan lingkungan dalam pola stimulus

dan respon. Dalam hal ini tugas guru adalah

sebagai agen untuk memperkuat pembentukan

kebiasaan dalam rangka penyesuaian dengan

lingkungan tersebut. Berdasarkan konsep ini para

esensialis sangat yakin bahwa belajar mesti

didasarkan pada disiplin dan kerja keras yang

ketat. Hal disebabkan proses belajar akan

9 Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan, PT. Refika Aditama, Bandung, cetakan kesatu, hlm. 169

berlangsung baik dengan adanya dedikasi yang

tinggi untuk meraih tujuan yang lebih jauh.10

b. Mengenai Kurikulum

Kurikulum dalam pandangan esensialisme adalah

kurikulum yang kaya, bertingkat, sistematis yang

didasarkan pada satu kesatuan pengetahuan yang

tidak terjabarkan lagi, pada sikap yang berlaku

pada suatu kebudayaan demokratis.

Kurikulum pada dasarnya harus disesuaikan

dengan kebutuhan dan kemampuan anak, yang utama

adalah kajian-kajian tentang segala hal yang

esensial yang meliputi metode ilmiah dunia,

lingkungan manusia, budaya dan alamiah serta

apresiasi terhadap seni.

Menurut Brakley yang dikutip oleh

Muhmidayeli, kurikulum terdiri dari serangkaian

bahan yang dimulai dari yang sederhana seperti

berhitung dan bahasa, sampai kepada yang lebih

komplit.

Beberapa tokoh idealisme memandang bahwa

kurikulum itu hendaklah berpangkal pada landasan

idiil dan organisasi yang kuat. Herman Harrel

Horne dalam bukunya mengatakan bahwa hendaknya

kurikulum itu bersendikan alas fundamen tunggal,

yaitu watak manusia yang ideal dan ciri-ciri

10 ibid, hlm. 170

masyarakat yang ideal. Kegiatan dalam pendidikan

perlu disesuaikan dan ditujukan kepada yang serba

baik. Atas ketentuan ini kegiatan atau keaktifan

anak didik tidak terkekang, asalkan sejalan dengan

fundamen-fundamen yang telah ditentukan.

Robert Ulich berpendapat bahwa meskipun pada

hakikatnya kurikulum disusun secara fleksibel

karena perlu mendasarkan atas pribadi anak,

fleksibilitas tidak tepat diterapkan pada

pemahaman mengenai agama dan alam semesta. Untuk

ini perlu diadakan perencanaan dengan keseksamaan

dan kepastian. Butler mengemukakan bahwa sejumlah

anak untuk tiap angkatan baru haruslah dididik

untuk mengetahui dan mengagumi Kitab Suci.

Sedangkan Demihkevich menghendaki agar kurikulum

berisikan moralitas yang tinggi.

Realisme mengumpamakan kurikulum sebagai

balok-balok yang disusun dengan teratur satu sama

lain yaitu disusun dari paling sederhana sampai

kepada yang paling kompleks. Susunan ini dapat

diutarakan ibarat sebagai susunan dari alam, yang

sederhana merupakan fundamen atau dasar dari

susunannya yang paling kompleks. Jadi bila

kurikulum disusun atas dasar pikiran yang demikian

akan bersifat harmonis.11

11 Ibid., hlm. 109-110.

c. Mengenai Peserta didik

Peserta didik adalah mahluk rasional dalam

penguasaan fakta dan keterampilan-keterampilan

pokok yang siap siaga melakukan latihan-latihan

intelektif.12 Peserta didik disini merupakan objek

dari pendidikan sifatnya menerima apa yang diajar

oleh pendidik, sebab peserta didik dianggap belum

mampu mengidentifikasikan dirinya.

d. Mengenai Pendidik

Peranan Pendidik kuat dalam mempengaruhi dan

mengewasi kegiatan-kegiatan peserta didik dalam

proses belajar . Pendidik berperan sebagai

mediator antara dunia masyarakat atau orang dewasa

dengan dunia anak. Maka pendidik harus disiapkan

agar  mampu melaksanakan perannya sebagai

pengarah proses belajar. Adapun secara moral guru

haruslah orang berakhlak baik yang dapat

dipercaya, sebab pendidik merupakan contoh dalam

pengawalan nilai-nilai. Dengan demikian inisiatif

dalam pendidikan ditekankan pada guru, bukan

pada peserta didik.13

12 Redja Mudyaharjo,  Pengantar Pendidikan: Sebuah Studi Awal TentangDasar-Dasar Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia. Jakarta: PTRaja Grafindo Persada, 2010, hlm. 164

13 Ibid

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Filsafat dan pendidikan itu saling berhubungan

karena filsafat merupakan ilmu yang mempelajari

dengan sungguh-sungguh tentang pemikiran yang

menggunakan akal sehat dengan adanya kebenaran dalam

memecahkan permasalahan/kesulitan. Sedangkan pendidikan

adalah salah satu dari suatu proses yang diharapkan

untuk mencapai tujuan, seperti kematangan, integritas

atau kesempurnaan pribadi dan terbentuknya

kepribadian muslim. Jadi filsafat dan pendidikan ini

saling berhubungan. Keduanya menjadi arah, dasar, dan

pedomam suatu kehidupan.

Masalah pendidikan adalah merupakan masalah hidup

dan kehidupan manusia. Proses pendidikan berada dan

berkembang bersama proses perkembangan hidup dan

kehidupan manusia, bahkan keduanya pada hakikatnya

adalah proses yang satu. Pendekatan filosofis adalah

cara pandang atau paradigma yang bertujuan untuk

menjelaskan inti, hakikat, atau hikmah mengenai sesuatu

yang berada di balik objek formanya Hubungan antara

filsafat dan teori pendidikan sangatlah penting sebab

ia menjadi dasar, arah dan pedoman suatu sistem

pendidikan

Esensialisme merupakan aliran filsafat yang lebih

merupakan perpaduan ide filsafat idealism-objektif

disatu sisi dan realism objektif disisi lainnya. Oleh

karean itu wajar jika ada yang mengatakan Plato

sebagai peletak asas-asas filosof aliran ini, sedangkan

Aristoteles dan Democritos sebagai peletak dasar-

dasarnya. Namun demikian kemunculan aliran ini di

dasari oleh filsafat idealism Plato dan realisme

Aristoteles, bukan berarti aliran ini lebur kedalam

paham esensialisme. Sebagai aliran filsafat,

Esensialisme telah lahir sejak zaman Renaissance,

bahkan sejak zaman Plato dan Aristoteles.

Pandangan esensialisme dan penerapannya di bidang

pendidikan antara lain:

a. Mengenai Belajar

Belajar adalah proses penyesuaian diri

indivividu dengan lingkungan dalam pola stimulus

dan respon.

b. Mengenai Kurikulum

Kurikulum dalam pandangan esensialisme adalah

kurikulum yang kaya, bertingkat, sistematis yang

didasarkan pada satu kesatuan pengetahuan yang

tidak terjabarkan lagi, pada sikap yang berlaku

pada suatu kebudayaan demokratis.

c. Mengenai Peserta didik

Peserta didik adalah mahluk rasional dalam

penguasaan fakta dan keterampilan-keterampilan

pokok yang siap siaga melakukan latihan-latihan

intelektif. Peserta didik disini merupakan objek

dari pendidikan sifatnya menerima apa yang diajar

oleh pendidik, sebab peserta didik dianggap belum

mampu mengidentifikasikan dirinya.

d. Mengenai Pendidik

Peranan Pendidik kuat dalam mempengaruhi dan

mengewasi kegiatan-kegiatan peserta didik dalam

proses belajar . Pendidik berperan sebagai

mediator antara dunia masyarakat atau orang dewasa

dengan dunia anak. Maka pendidik harus disiapkan

agar  mampu melaksanakan perannya sebagai

pengarah proses belajar. Adapun secara moral guru

haruslah orang berakhlak baik yang dapat

dipercaya, sebab pendidik merupakan contoh dalam

pengawalan nilai-nilai. Dengan demikian inisiatif

dalam pendidikan ditekankan pada guru, bukan

pada peserta didik.

DAFTAR PUSTAKA

Muhmidayeli. Filsafat Pendidikan, PT Refika Aditama, Bandung

2011

http://www.academia.edu/7724011/

Konsep_Pendidikan_Esensialisme_dalam_Pandangan_Fil

safat_Pendidikan_Islaml , diakses 2 April 2015

http://doeldhez.blogspot.com/2013/10/normal-0-false-

false-false-en-us-x-none.html, diakses 2 April

2015

Jalaludin, dan Abdullah Idi. 2011. Filsafat Pendidikan:

Manusia, Filsafat dan Pendidikan.Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada

Mudyaharjo, Redja. 2010. Pengantar Pendidikan: Sebuah Studi

Awal Tentang Dasar-Dasar Pendidikan pada Umumnya dan

Pendidikan di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada

Arifin, H.M. 2000. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi

Ankara

Barnadib, Imam. 1986. Filsafat Pendidikan, Sutu Tinjauan.

Yogyakarta: FIP IKIP Yogyakarta.