Pendekatan Filsafat dalam Pendidikan dan pandangan esensialisme
-
Upload
independent -
Category
Documents
-
view
0 -
download
0
Transcript of Pendekatan Filsafat dalam Pendidikan dan pandangan esensialisme
PENDEKATAN FILSAFAT DALAM PENDIDIKAN DANPANDANGAN ESENSIALISME DALAM PENDIDIKAN
MAKALAHDiajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah :
“Filsafat Pendidikan”
Dosen Pengampu AFIFUL IKHWAN, M.Pd.I
Disusun Oleh:KELOMPOK 3
1.KHOTIBUL UMAM2.IRNADA ALANATI3.SITI FATIMATUS ZAHRO’
PAI MADIN SEMESTER IV
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)
MUHAMMADIYAH TULUNGAGUNG
2015KATA PENGANTAR
Bismillah Alhamdulillah Wassolatu wassalamu ‘ala
Rosulillah amma ba’dah. Walahaula wala quwwata illa
billahil ‘aliyyil ‘adzim.
Puji syukur saya panjatkan kepada ALLAH SWT, karena atas berkat dan
rahmat-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul
“Pendekatan Filsafat Dalam Pendidikan dan Pandangan Esensialisme
dalam Pendidikan”. Pembuatan makalah ini dilakukan dalam rangka
memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Pendidikan tahun ajaran
2014/2015. Oleh karena itu kami mengucapkan terimakasih
kepada:
1. Bapak Nurul Amin, M.Ag. Selaku ketua STAI
Muhammadiyah Tulungagung
2. Bapak Afiful Ikhwan, M.Pd.I selaku Dosen
pengamparanu mata kuliah Filsafat Pendidikan
3. Rekan-rekan mahasiswa STAI Muhammadiyah Tulungagung
4. Semua fihak yang telah memberi sumbangsih demi
terselesainya makalah ini.
Kami menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam
makalah ini. Oleh karenanya kritik dan saran yang membantu sangat
diharapkan dalam rangka penyempurnaan isi dari makalah ini. Semoga
makalah ini dapat membawa manfaat dan menambah cakrawala
pengetahuan kita semua. Amin.
Tulungagung, April2015
Penyusun
DAFTAR ISI
Halaman Judul...................................... i
Kata Pengantar..................................... ii
Daftar Isi ........................................
iii
BAB I PENDAHULUAN............................... 1
A. Latar Belakang Masalah.............. 1
B. Rumusan Masalah..................... 2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendekatan Filsafat dalam Pendidikan 3
1. Pendidikan dalam Analisis Filsafat.. 3
2......................................Metode Studi dalam Filsafat Pendidikan
dan Pendekatannya.................... 5
B. Pandangan Esensialisme dalam Pendidikan
..........................................8
1......................................Pengertian Esensialisme
.....................................8
2. Pandangan Esensialisme dalam
Pendidikan........................... 11
BAB III
PENUTUP...................................... 14
Kesimpulan................................ 14
DAFTAR PUSTAKA..................................... 16
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Filsafat pendidikan bukanlah filsafat umum atau
filsafat murni, tetapi filsafat terapan. Berbeda dengan
filsafat umum yang objeknya adalah kenyataan
keseluruhan segala sesuatu, filsafat khusus mempunyai
objek kenyataan salah satu aspek kehidupan manusia yang
penting misalnya hokum, sejarah seni, ilmu, pendidikan
dan sebagainya.1
Filsafat, sebagai daya upaya manusia dengan akal
budinya untuk memahami, mendalami, dan menyelami secara
radikal dan integral serta sisitematis mengenal
ketuhanan, alam semesta dan manusia sehingga dapat
menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya
yang dapat dicapai oleh akal manusia dan bagaimana
sikap manusia seharusnya setelah mencapai pengetahuan
itu, hakikat filsafat selalu menggunakan ratio
(pikiran), dalam perjalanan hidupnya manusia di
hadapkan kepada pengalaman-pengalaman peristiwa
alamiyah yang ada di sekitarnya. Pengalaman-pengalaman
lahir ini merupakan sejarah hidupnya yang mengesankan
dan kemudian mendorong untuk melakukan perubahan-
perubahan bagi kepentingan hidup dan hidupnya
1 Redja Mudyaharjo, Filsafat Ilmu Pendidikan Suatu Pengantar, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya 2010, cetakan keenam, hlm. 3
Filsafat membahas sesuatu dari segala aspeknya
yang mendalam, maka dikatakan kebenaran filsafat adalah
kebenaran menyeluruh yang sering dipertentangkan dengan
kebenaran ilmu yang sifatnya relatif. Karena kebenaran
ilmu hanya ditinjau dari segi yang bisa diamati oleh
manusia saja. Sesungguhnya isi alam yang dapat diamati
hanya sebagian kecil saja, diibaratkan mengamati gunung
es, hanya mampu melihat yang di atas permukaan laut
saja. Semantara filsafat mencoba menyelami sampai
kedasar gunung es itu untuk meraba segala sesuatu yang
ada melalui pikiran dan renungan yang kritis.
Sedangkan pendidikan merupakan salah satu bidang
ilmu, sama halnya dengan ilmu-ilmu lain. Pendidikan
lahir dari induknya yaitu filsafat, sejalan dengan
proses perkembangan ilmu, ilmu pendidikan juga lepas
secara perlahan-lahan dari dari induknya. Pada awalnya
pendidikan berada bersama dengan filsafat, sebab
filsafat tidak pernah bisa membebaskan diri dengan
pembentukan manusia.
Fase awal dimulainya pengetahuan adalah pengenalan
indrawi yang mencatat semua perkara menurut urut-
urutannya datang pada indera dengan bentuknya,
warnanya, besarnya, letaknya dan sebagainya. Akan
tetapi kita segera kemudian mengetahui bahwa tiap-tiap
perkara mempunyai esensinya (mahiyyah) yang tetap,
meskipun sifat-sifat yang indrawi berubah-ubah dan
keadaannya pun berbeda-beda, sedang fungsi esensi
sesuatu ialah memegangi ciri-ciri khasnya yang pokok
ketika terjadi perobahan keadaan.2
Pembentukan dan penyempurnaan kualitas manusia
dalam dunia pendidikan selalu berkenaan dengan
persoalan proses kemanusiaan yang mengarah pada
perbaikan dan kemajuan sehingga dengan demikian dapat
dikatakan bahwa kemajuan peradaban tergantung pada pola
dan system yang ditempuh oleh lembaga pendidikan dalam
menggembleng subyek-subyeknya. Dalam upaya memperbaiki
system/pola dalam pendidikan melalui filsafat maka
lahirlah beberapa aliran filsafat pendidikan
diantaranya progresivisme, perenialisme, Esensialisme,
Rekronstrusionisme. Dan dalam makalah ini hanya akan
membahas tentang aliran Esensialisme.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pendekatan Filsafat dalam pendidikan?
2. Bagaimana Pandangan esensialisme dalam
pendidikan?
2 Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang,1990, Cet. IV, hlm. 13-14.
BABII
PEMBAHASAN
A. Pendekatan Filsafat dalam Pendidikan
1. Pendidikan dalam Analisis Filsafat
Masalah pendidikan adalah merupakan masalah
hidup dan kehidupan manusia. Pengertian yang luas
dari pendidikan sebagaimana dikemukakan oleh Lodge,
yaitu bahwa: “life is education, and education is life”, akan
berarti bahwa seluruh proses hidup dan kehidupan
manusia itu adalah proses pendidikan segala
pengalaman sepanjang hidupnya merupakan dan
memberikan pengaruh pendidikan baginya. Dalam
artinya yang sepit, pendidikan hanya mempunyai
fungsi yang terbatas, yaitu memberikan dasar-dasar
dan pandangan hidup kepada generasi yang sedang
tumbuh, yang dalam prakteknya identik dengan
pendidikan formal di sekolah dan dalam situasi dan
kondisi serta lingkungan belajar yang serba
terkontrol.3
Dengan pengertian pendidikan yang luas, berarti
bahwa masalah kependidikan juga mempunyai ruang
lingkup yang luas pula, yang menyangkut seluruh
aspek hidup dan kehidupan manusia. Memang diantara
permasalahan kependidikan tersebut terdapat masalah3 Jalaludin, dan Abdullah Idi.. Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat
dan Pendidikan.Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011, hlm. 6
pendidikan yang sederhana yang menyangkut praktek
dan pelaksanaan sehari-hari, tetapi banyak pula pula
diantaranya yang menyangkut masalah yang bersifat
mendasar dan mendalam, sehingga memerlukan bantuan
ilmu-ilmu lain dalam memecahkannya. Salah satunya
dengan filsafat. Berikut ini akan dikemukakan
beberapa masalah kependidikan yang memerlukan
analisa filsafat dalam memahami dan memecahkannya,
antara lain:
1. Masalah kependidikan pertama yang mendasar adalah
tentang apakah hakikat pendidikan itu. Mengapa
pendidikan itu harus ada pada manusia dan
merupakan hakikat hidup manusia itu. Dan
bagaimana hubungan antara pendidikan dengan hidup
dan kehidupan manusia. Apakah pendidikan itu
berguna untuk membawa kepribadian manusia, apakah
potensikereditas yang menentukan kepribadian
manusia itu, atau faktor-faktor yang berasal dari
luar/lingkungan dan pendidikan. Mengapa anak yang
mempunyai potensi hereditas yang tidak baik,
walaupun mendapatkan pendidikan dan lingkungan
yang baik, tetap tidak berkembang.
2. Apakah sebenarnya tujuan pendidikan itu. Apakah
pendidikan itu untuk individu, atau untuk
kepentingan masayarakat. Apakah pendidikan
dipusatkan untuk membina kepribadian manusia
ataukah untuk pembinaan masyarakat. Apakah
pembinaan manusia itu semata-mata unuk dan demi
kehidupan riel dan materil di dunia ini, ataukah
untuk kehidupan kelak di akhirat yang kekal
Masalah-masalah tersebut merupakan sebagian
dari contoh-contoh problematika pendidikan, yang
dalam pemecahannya memerlukan usaha-usaha pemikiran
yang mendalam dan sistematis, atau analisa filsafat.
Dalam memecahkan masalah-masalah tersebut,
Analisa filsafat menggunakan berbagai macam
pendekatan yang sesuai dengan permasalahannya.
Pendekatan (approach) yang digunakan antara lain:4
1.Pendekatan secara spekulatif, yang disebut juga
sebagai cara pendekatan reflektif, berarti
memikirkan, mempertimbangkan, juga membeyangkan
dan menggambarkan.
2.Pendekatan normatif, artinya nilai atau aturan dan
ketentuan yang berlaku dan dijunjung tinggi dalam
hidup dan kehidupan manusia.
3.Pendekatan analisa konsep, artinya pengertian atau
tangkapan seseorang terhadap sesuatu objek. Setiap
orang mempunyai pengertian atau tangkapan yang
berbeda-beda mengenai yang sama, tergantung pada
perhatian, keahlian dan kecendrungan masing-
masing.
4 Redja Mudyaharjo, Filsafat Ilmu Pendidikan Suatu Pengantar, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya 2010, cetakan keenam, hlm. 150
4.Analisa ilmiah terhadap realitas kehidupan
sekarang yang actual (scientific analysis of
current life) penedekatan ii sasarannya adalah
masalah-masalah kependidikan yang actual, yang
menjadi problem masa kini, dengan menggunakan
metode ilmiah dapat di diskripsikan dan kemudian
di pahami permasalan-permasalahan yang hidup dan
berkembang dalam masayrakat dan dalam proses
pendidikan serta aktivitas-aktivitas yang
berhubungan dengan pendidikan.
2. Metode Studi dalam Filsafat Pendidikan dan
Pendekatannya.
Manusia dalam mempelajari sesuatu tentulah
memerlukan metode agar dapat mencapai tujuan yang
diinginkan. Begitu pula Filsafat Pendidikan dalam
studinya menggunakan metode: a) metode
rasionalistik, b) metode empirik, c) metode intuisi,
d) metode reflektif, e) metode historis, dan f)
metode analisis sintetis serta hermeneutika.5
Rasionalistik
Rasionalistik, suatu paham yang mengedepankan
rasio. Sehingga paham ini dalam menganalisis
fenomena (alam) berpegang pada kemampuan akal
pikiran belaka. Adapun langkah-langkah berpikir
5 Arifin, Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Ankara, 2000, hlm. 19-23
rasionalitik sbb: 1). Tidak menerima begitu saja
atas sesuatu yang belum diakui kebenarannya; 2).
Menganalisis dan mengklasifikasi secara teliti;
3). Diawali sasaran yang paling sederhana dan
mudah menuju yang kompleks; 4). Tiap masalah
dibuat uraian yang sempurna dan dilakukan
pengkajian kembali secara umum. Lankah-langkah
tersebut dapat dipahmi bahwa untuk mengambil suatu
kesimpulan memerlukan analisis secara teliti dan
seksama, dan pengkajian ulang sehingga kecil
kemungkinan terjadi bias.
Empirik
Metode ini dalam menganalisis fenomena-fenomena
yang ada berdasarkan pengalaman, observasi dan
penelitian/ eksperimen. Pengalaman menjadi sesuatu
yang utama, baik yang dihasilkan melalui
observasi, penelitian atau ekperimen. Rasio
menjadi pendukungnya dari pengalaman. Metode ini
dikedepankan dalam dunia ilmu pengetahuan yang
dapat diuji kembali kebenerannya di lain waktu
Intuisi
Intuisi memiliki kadar lebih tinggi dibanding
intelek. Namun intuisi ini sulit untuk dibuktikann
secara empirik, sulit pula diukur. Sehingga sering
disingkirkan sebagai metode berpikir khususnya di
dunia ilmu pengetahuan.
Reflektif
Reflektif: suatu cara berfikir yang dimulai dari
adanya problem-problem yang dihadapkan kepadanya
untuk dipecahkan. Problem-problem yang ada menjadi
titik berangkat pemikirannya, tanpa adanya
problem-problem aktifitas refleksi pun sulit
dilakukan. Berdasar problem-problem yang dihadapi
akan melahirkan hasil pemecahannya. Perjalanan
roda pendidikan selalu dihadapkan problem-problem
yang terus meneruak muncul karena pendidikan suatu
yang terus berkembang. Dan problem yang besar
tidak lain adalah kenyataan.
Historis
Metode ini pada problem-problem tertentu dapat
digunakan utuk mengatasi problem yang dihadapi
secara wajar. Biasanya metode ini diawali dari
suatu tesis kemudian anti tesis, selanjutnya
melahirkan sintesis.
Analitik-Sintetik
Suatu metode yang berdasarkan pendekatan rasional
dan logis terhadap sasaran, dan pemikirannya
secara induktif dan deduktif serta analisa ilmiah.
Pemikiran induktif: cara berpikir yang berdasar
fakta-fakta yang bersifat khusus terlebih dahulu
dipakai untuk penarikan yang bersifat umum. Sedang
deduktif: cara berpikir dengan menggunakan
premise-premis dari fakta yang bersifat umum
menuju ke arah yang bersifat khusus sebagai
kesimpulannya. Pemikiran induktif dan deduktif
dapat digunakan dengan silih berganti, tergantung
pada kesukaan dan kecenderungan pola pikir
penggunanya.
Contoh pemikiran Induktif,
Buku 1 besar dan tebal adalah mahal
Buku 2 besar dan tebal adalah mahal
Konklusi : semua buku besar dan tebal adalah mahal
Contoh pemikiran Deduktif,
Premis mayor: Semua buku besar dan tebal adalah
mahal
Premis minor : Buku 3 adalah besar dan tebal
Konklusi : buku 3 adalah mahal
Sementara Analitik-sintetik: Mengurai sasaran-
sasaran pemikiran filosofis sampai unsur sekecil-
kecilnya, kemudian memadukan kembali unsur-unsur
sebagai kesimpulan hasil studi. Pemikiran analitik
sintetik ini merupakan hasil paduan unsur-unsur
baik yang dilakukan secara analitik maupun
sintetik.
Analisis Bahasa dan Analisis Konsep
Analisis bahasa, usaha untuk mengetahui arti
sesungguhnya dari sesuatu atau usaha untuk
mengadakan interpretasi pendapat atau pendapat
mengenai makna yang dimiliknya. Analisis konsep,
Analisis kata-kata atau istilah-istilah yang
menjadi kunci pokok yang mewakili suatu gagasan
atau konsep. Analisis bahasa itu memberi
interpretasi dari sesuatu pendapat, sedang
analisis konsep mengurai kata kunci yang menjadi
sample konsep.
Hermeneutika
Selain metode tersebut di atas, hermeneutika
(takwil) dapat menjadi metode pemikiran dalam
studi filsafat pendidikan karena melalui
hermeneutika ini memungkinkan pengetahuan yang
mendasar dapat diperoleh. Pengikut hermeneutika
dalam mempelajari perilaku manusia mecari
perspektif yang memungkinkan diperolehnya
pengetahuan yang paling mendasar. Takwil bukan
sekedar teknik penelitian atau alat pengetahuan
atau jalan menuju kebenaran, melainkan takwil
adalah bidang pemahaman yang memungkinkan untuk
mengkaji wujud secara baru dan memungkinkan untuk
mendefinisikan kembali tentang sesuatu (Alwasilah,
2008:125,127). Hermeneutik suatu alat atau metode
pengkajian untuk mendapatkan pemahaman pengetahuan
atau kebenaran.
Metode-metode tersebut tidak selalu pas/relevan
dan dapat digunakan disetiap obyek kajian. Untuk
itu penggunaan metode harus mempertimbangkan
relevansi bahan yang menjadi obyek pengkajian,
penemuan atau pengembangan pendidikan, sehingga
akan menghasilkan kesimpulan yang benar dan tidak
bias.
B. Pandangan Esensialisme dalam Pendidikan
1. Pengertian Esensialisme
Esensialisme merupakan aliran filsafat yang
lebih merupakan perpaduan ide filsafat idealism-
objektif disatu sisi dan realism objektif disisi
lainnya. Oleh karean itu wajar jika ada yang
mengatakan Plato sebagai peletak asas-asas filosof
aliran ini, sedangkan Aristoteles dan Democritos
sebagai peletak dasar-dasarnya. Namun demikian
kemunculan aliran ini di dasari oleh filsafat
idealism Plato dan realisme Aristoteles, bukan
berarti aliran ini lebur kedalam paham esensialisme.
Sebagai aliran filsafat, Esensialisme telah lahir
sejak zaman Renaissance, bahkan sejak zaman Plato dan
Aristoteles.
Esensialisme secara formal memang tidak dapat
dihubungkan dengan berbagai tradisi filsafat,
tetapicompetible dengan berbagai pemikiran filsafat.
Tahap-tahap pertama dari perkembangan esensialisme
dapat dilihat dari zaman renaissance. Hal ini
mengingat aliran ini menempatkan cirinya pada alam
pemikiran manusia. Pada zaman ini telah muncul upaya-
upaya untuk menghidupkan kembali ilmu pengetahuan dan
seni serta kebudayaan purbakala, terutama zaman
Yunani dan Romawi.
Dalam konteks filsafat pendidikan, aliran ini
memiliki ciri utamanya yang menekankan bahwa
pendidikan mesti dibangun diatas nilai-nilai yang
kokoh, tetap dan stabil. Kemunculannya adalah reaksi
atas kecenderungan kehidupan manusia pada yang serba
duniawi, ilmiah, pluralistic dan materialistic akibat
dari prinsip pendidikan yang fleksibel, terbuka untuk
segala bentuk perubahan, toleran serta tidak
mempunyai pengangan yang kokoh dengandoktrin
tertentu. Kondisi dunia yang telah merusak tatanan
humanitas telah menjadi perhatian kelompok ini.
Aliran esensialisme, dengan bercokol dari
filsafat-filsafat sebelumnya, dapat memenuhi nilai-
nilai yang berasal dari kebudayaan dan falsafat yang
korelatif sejak empat abad ke belakang, sejak zaman
Renaisance sebagai pangkal timbulnya pandangan
esensialisme awal. Sedangkan puncak dari gagasan ini
adalah pada pertengahan abad ke-19, dengan munculnya
tokoh-tokoh utama yang berperan menyebarkan aliran
esensialisme.6
6 Ibid.
Tokoh utama esensialisme pada permulaan awal
munculnya adalah Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770–
1831). Georg Wilhelm Friedrich Hegel mengemukakan
adanya sintesa antara ilmu pengetahuan dan agama
menjadi suatu pemahaman yang menggunakan landasan
spiritual. Sebuah penerapan yang dapat dijadikan
contoh mengenai sintesa ini adalah pada teori
sejarah. Hegel mengatakan bahwa tiap tingkat
kelanjutan, yang dikuasai oleh hukum-hukum yang
sejenis. Hegel mengemukakan pula bahwa sejarah adalah
manifestasi dari berpikirnya Tuhan. Tuhan berpikir
dan mengadakan ekspresi mengenai pengaturan yang
dinamis mengenai dunia dan semuanya nyata dalam arti
spiritual. Oleh karena Tuhan adalah sumber dari
gerak, maka ekspresi berpikir juga merupakan gerak.
Pada perkembangan selanjutnya, banyak tokoh-
tokoh yang muncul dan menyebarluaskan esensialisme,
diantaranya adalah:7
a. Desiderius Erasmus, humanis Belanda yang hidup
pada akhir abad 15 dan permulaan abad 16, yang
merupakan tokoh pertama yang menolak pandangan
hidup yang berpijak pada dunia lain. Erasmus
berusaha agar kurikulum sekolah bersifat
humanistis dan bersifat internasional, sehingga
7 Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan, PT. Refika Aditama, Bandung, cetakan kesatu, hlm. 167-168
bisa mencakup lapisan menengah dan kaum
aristokrat.
b. Johan Amos Comenius (1592-1670), adalah
seorang yang memiliki pandangan realis dan
dogmatis. Comenius berpendapat bahwa pendidikan
mempunyai peranan membentuk anak sesuai dengan
kehendak Tuhan, karena pada hakikatnya dunia
adalah dinamis dan bertujuan.
c. John Locke (1632-1704), sebagai pemikir dunia
berpendapat bahwa pendidikan hendaknya selalu
dekat dengan situasi dan kondisi. Locke mempunyai
sekolah kerja untuk anak-anak miskin.
d. Johann Henrich Pestalozzi (1746-1827),
sebagai seorang tokoh yang berpandangan naturalis
Pestalozzi mempunyai kepercayaan bahwa sifat-sifat
alam itu tercermin pada manusia, sehingga pada
diri manusia terdapat kemampuan-kemampuan
wajarnya. Selain itu ia mempunyai keyakinan bahwa
manusia juga mempunyai transendental langsung
dengan Tuhan.
e. Johann Friederich Frobel (1782-1852), sebagai
tokoh yang berpandangan kosmis-sintesis dengan
keyakinan bahwa manusia adalah makhluk ciptaan
Tuhan yang merupakan bagian dari alam ini,
sehingga manusia tunduk dan mengikuti ketentuan-
ketentuan hukum alam. Terhadap pendidikan, Frobel
memandang anak sebagai makhluk yang berprestasi
kreatif, yang dalam tingkah lakunya akan nampak
adanya kualitas metafisis. Karenanya tugas
pendidikan adalah memimpin anak didik ke arah
kesadaran diri sendiri yang murni, selaras dengan
fitrah kejadiannya.
f. Johann Friederich Herbert (1776-1841),
sebagai salah seorang murid Immanuel Kant yang
berpandangan kritis, Herbert berpendapat bahwa
tujuan pendidikan adalah menyesuaikan jiwa
seseorang dengan kebajikan dari yang mutlak dalam
arti penyesuaian dengan hukum-hukum kesusilaan dan
inilah yang disebut proses pencapaian tujuan
pendidikan oleh Herbert sebagai pengajaran yang
mendidik.
g. William T. Harris (1835-1909), tokoh dari
Amerika yang pandangannya dipengaruhi oleh Hegel
dengan berusaha menerapkan idealisme obyektif pada
pendidikan umum. Tugas pendidikan baginya adalah
mengizinkan terbukanya realita berdasarkan susunan
yang pasti, berdasarkan kesatuan yang memelihara
nilai-nilai yang telah turun temurun dan menjadi
penuntun penyesuaian diri kepada masyarakat.8
8 Imam Barnadib, Filsafat Pendidikan, Yogyakarta: YayasanPenerbit FIP IKIP, 1982, hlm. 38-40. Lihat dalam Zuhairini, dkk.,Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2009, Cet. V, hlm. 25-26.
2. Pandangan Esensialisme dalam Bidang Pendidikan
Kelompok esensialis memandang bahwa pendidikan
yang didasari pada nilai-nilai yang fleksibel dapat
menjadikan pendidikan menjadi ambivalen dan tidak
memiliki arah dan orienttasi yang jelas. Oleh karena
itu agar pendidikan mempunyai arah yang jelas dan
kokoh diperlukan nilai-nilai yang kokoh yang akan
mendatangkan kestabilan. Untuk itu perlu dipilih
nilai-nilai yang mempunyai tata yang jelas dan telah
teruji oleh waktu.9
Pandangan esensialisme dan penerapannya di
bidang pendidikan antara lain:
a. Mengenai Belajar
Belajar adalah proses penyesuaian diri
indivividu dengan lingkungan dalam pola stimulus
dan respon. Dalam hal ini tugas guru adalah
sebagai agen untuk memperkuat pembentukan
kebiasaan dalam rangka penyesuaian dengan
lingkungan tersebut. Berdasarkan konsep ini para
esensialis sangat yakin bahwa belajar mesti
didasarkan pada disiplin dan kerja keras yang
ketat. Hal disebabkan proses belajar akan
9 Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan, PT. Refika Aditama, Bandung, cetakan kesatu, hlm. 169
berlangsung baik dengan adanya dedikasi yang
tinggi untuk meraih tujuan yang lebih jauh.10
b. Mengenai Kurikulum
Kurikulum dalam pandangan esensialisme adalah
kurikulum yang kaya, bertingkat, sistematis yang
didasarkan pada satu kesatuan pengetahuan yang
tidak terjabarkan lagi, pada sikap yang berlaku
pada suatu kebudayaan demokratis.
Kurikulum pada dasarnya harus disesuaikan
dengan kebutuhan dan kemampuan anak, yang utama
adalah kajian-kajian tentang segala hal yang
esensial yang meliputi metode ilmiah dunia,
lingkungan manusia, budaya dan alamiah serta
apresiasi terhadap seni.
Menurut Brakley yang dikutip oleh
Muhmidayeli, kurikulum terdiri dari serangkaian
bahan yang dimulai dari yang sederhana seperti
berhitung dan bahasa, sampai kepada yang lebih
komplit.
Beberapa tokoh idealisme memandang bahwa
kurikulum itu hendaklah berpangkal pada landasan
idiil dan organisasi yang kuat. Herman Harrel
Horne dalam bukunya mengatakan bahwa hendaknya
kurikulum itu bersendikan alas fundamen tunggal,
yaitu watak manusia yang ideal dan ciri-ciri
10 ibid, hlm. 170
masyarakat yang ideal. Kegiatan dalam pendidikan
perlu disesuaikan dan ditujukan kepada yang serba
baik. Atas ketentuan ini kegiatan atau keaktifan
anak didik tidak terkekang, asalkan sejalan dengan
fundamen-fundamen yang telah ditentukan.
Robert Ulich berpendapat bahwa meskipun pada
hakikatnya kurikulum disusun secara fleksibel
karena perlu mendasarkan atas pribadi anak,
fleksibilitas tidak tepat diterapkan pada
pemahaman mengenai agama dan alam semesta. Untuk
ini perlu diadakan perencanaan dengan keseksamaan
dan kepastian. Butler mengemukakan bahwa sejumlah
anak untuk tiap angkatan baru haruslah dididik
untuk mengetahui dan mengagumi Kitab Suci.
Sedangkan Demihkevich menghendaki agar kurikulum
berisikan moralitas yang tinggi.
Realisme mengumpamakan kurikulum sebagai
balok-balok yang disusun dengan teratur satu sama
lain yaitu disusun dari paling sederhana sampai
kepada yang paling kompleks. Susunan ini dapat
diutarakan ibarat sebagai susunan dari alam, yang
sederhana merupakan fundamen atau dasar dari
susunannya yang paling kompleks. Jadi bila
kurikulum disusun atas dasar pikiran yang demikian
akan bersifat harmonis.11
11 Ibid., hlm. 109-110.
c. Mengenai Peserta didik
Peserta didik adalah mahluk rasional dalam
penguasaan fakta dan keterampilan-keterampilan
pokok yang siap siaga melakukan latihan-latihan
intelektif.12 Peserta didik disini merupakan objek
dari pendidikan sifatnya menerima apa yang diajar
oleh pendidik, sebab peserta didik dianggap belum
mampu mengidentifikasikan dirinya.
d. Mengenai Pendidik
Peranan Pendidik kuat dalam mempengaruhi dan
mengewasi kegiatan-kegiatan peserta didik dalam
proses belajar . Pendidik berperan sebagai
mediator antara dunia masyarakat atau orang dewasa
dengan dunia anak. Maka pendidik harus disiapkan
agar mampu melaksanakan perannya sebagai
pengarah proses belajar. Adapun secara moral guru
haruslah orang berakhlak baik yang dapat
dipercaya, sebab pendidik merupakan contoh dalam
pengawalan nilai-nilai. Dengan demikian inisiatif
dalam pendidikan ditekankan pada guru, bukan
pada peserta didik.13
12 Redja Mudyaharjo, Pengantar Pendidikan: Sebuah Studi Awal TentangDasar-Dasar Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia. Jakarta: PTRaja Grafindo Persada, 2010, hlm. 164
13 Ibid
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Filsafat dan pendidikan itu saling berhubungan
karena filsafat merupakan ilmu yang mempelajari
dengan sungguh-sungguh tentang pemikiran yang
menggunakan akal sehat dengan adanya kebenaran dalam
memecahkan permasalahan/kesulitan. Sedangkan pendidikan
adalah salah satu dari suatu proses yang diharapkan
untuk mencapai tujuan, seperti kematangan, integritas
atau kesempurnaan pribadi dan terbentuknya
kepribadian muslim. Jadi filsafat dan pendidikan ini
saling berhubungan. Keduanya menjadi arah, dasar, dan
pedomam suatu kehidupan.
Masalah pendidikan adalah merupakan masalah hidup
dan kehidupan manusia. Proses pendidikan berada dan
berkembang bersama proses perkembangan hidup dan
kehidupan manusia, bahkan keduanya pada hakikatnya
adalah proses yang satu. Pendekatan filosofis adalah
cara pandang atau paradigma yang bertujuan untuk
menjelaskan inti, hakikat, atau hikmah mengenai sesuatu
yang berada di balik objek formanya Hubungan antara
filsafat dan teori pendidikan sangatlah penting sebab
ia menjadi dasar, arah dan pedoman suatu sistem
pendidikan
Esensialisme merupakan aliran filsafat yang lebih
merupakan perpaduan ide filsafat idealism-objektif
disatu sisi dan realism objektif disisi lainnya. Oleh
karean itu wajar jika ada yang mengatakan Plato
sebagai peletak asas-asas filosof aliran ini, sedangkan
Aristoteles dan Democritos sebagai peletak dasar-
dasarnya. Namun demikian kemunculan aliran ini di
dasari oleh filsafat idealism Plato dan realisme
Aristoteles, bukan berarti aliran ini lebur kedalam
paham esensialisme. Sebagai aliran filsafat,
Esensialisme telah lahir sejak zaman Renaissance,
bahkan sejak zaman Plato dan Aristoteles.
Pandangan esensialisme dan penerapannya di bidang
pendidikan antara lain:
a. Mengenai Belajar
Belajar adalah proses penyesuaian diri
indivividu dengan lingkungan dalam pola stimulus
dan respon.
b. Mengenai Kurikulum
Kurikulum dalam pandangan esensialisme adalah
kurikulum yang kaya, bertingkat, sistematis yang
didasarkan pada satu kesatuan pengetahuan yang
tidak terjabarkan lagi, pada sikap yang berlaku
pada suatu kebudayaan demokratis.
c. Mengenai Peserta didik
Peserta didik adalah mahluk rasional dalam
penguasaan fakta dan keterampilan-keterampilan
pokok yang siap siaga melakukan latihan-latihan
intelektif. Peserta didik disini merupakan objek
dari pendidikan sifatnya menerima apa yang diajar
oleh pendidik, sebab peserta didik dianggap belum
mampu mengidentifikasikan dirinya.
d. Mengenai Pendidik
Peranan Pendidik kuat dalam mempengaruhi dan
mengewasi kegiatan-kegiatan peserta didik dalam
proses belajar . Pendidik berperan sebagai
mediator antara dunia masyarakat atau orang dewasa
dengan dunia anak. Maka pendidik harus disiapkan
agar mampu melaksanakan perannya sebagai
pengarah proses belajar. Adapun secara moral guru
haruslah orang berakhlak baik yang dapat
dipercaya, sebab pendidik merupakan contoh dalam
pengawalan nilai-nilai. Dengan demikian inisiatif
dalam pendidikan ditekankan pada guru, bukan
pada peserta didik.
DAFTAR PUSTAKA
Muhmidayeli. Filsafat Pendidikan, PT Refika Aditama, Bandung
2011
http://www.academia.edu/7724011/
Konsep_Pendidikan_Esensialisme_dalam_Pandangan_Fil
safat_Pendidikan_Islaml , diakses 2 April 2015
http://doeldhez.blogspot.com/2013/10/normal-0-false-
false-false-en-us-x-none.html, diakses 2 April
2015
Jalaludin, dan Abdullah Idi. 2011. Filsafat Pendidikan:
Manusia, Filsafat dan Pendidikan.Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada
Mudyaharjo, Redja. 2010. Pengantar Pendidikan: Sebuah Studi
Awal Tentang Dasar-Dasar Pendidikan pada Umumnya dan
Pendidikan di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada
Arifin, H.M. 2000. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi
Ankara
Barnadib, Imam. 1986. Filsafat Pendidikan, Sutu Tinjauan.
Yogyakarta: FIP IKIP Yogyakarta.