Pelayanan Pertanahan di Bidang Pertanahan
Transcript of Pelayanan Pertanahan di Bidang Pertanahan
1
REFORMASI BIROKRASI DI BPN RI :
PELAYANAN PUBLIK BIDANG PERTANAHAN DI KOTA SALATIGA
Penyusun :
Sri Kusrini Maruti
Hendra Wijayanto
Muhamma Lohmi
Lewi Pong Tombang
Andy Arya Maulana Wijaya
Magister Administrasi Publik (MAP)
Program Pascasarjana
Universitas Sebelas Maret
2013
2
BAGIAN I
PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Pelayanan publik, saat ini masih menjadi permasalah tersendiri dalam mekanisme
pemerintahan bangsa ini. adanya indikasi pelaksanaan birokrasi yang rumit, terlalu
birokratis, tidak efektif dan efisien, tidak akuntabel, terlibat KKN, hingga sejumlah
persoalan mengenai kinerja aparatur pemerintahan yang cenderung dianggap sebagai
masalah. Disamping itu juga, struktur birokrasi yang cenderung gemuk struktur ikut
memberikan sumbangsih terhadap persoalan pelayanan publik di negeri ini.
Sejak tahun 2008 telah dicanangkan adanya reformasi birokrasi dengan
pembentukan grand desain reformasi birokrasi, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 81
tahun 2008 telah dijelaskan kemudian arah reformasi birokrasi melalui rumusan grand
desain reformasi birokrasi tersebut. Namun sistem ini belum dapat berjalan dengan baik,
paling tidak ada lima masalah yang menghambat reformasi birokrasi di Indonesia.
Menurut Azwar Abubakar selaku Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi, ada lima masalah yang menghambat reformasi birokrasi yakni,
organisasi dan kewenangan yang belum tepat fungsi dan sasaran, pelayanan publik belum
memenuhi kebutuhan dan kepuasan masyarakat, pola pikir dan budaya kerja belum
mendukung birokrasi yang efisien, efektif, produktif, profesional dan melayani, peraturan
perundang-undangan yang tumpang tindih, dan SDM aparatur (Kompasiana.com diakses
28 Mei 2013).
Dari realitas tersebut, tentunya secara umum permasalah tersebut masih ditemui
secara umum disetiap instansi birokrasi pemerintahan yang ada. Tidak terlepas dengan
kondisi yang terjadi dalam pelayanan pertanahan, hal ini menyengkut konflik agraria yang
masih cenderung besar didaerah-daerah terutama indikasi adanya KKN dalam pelayanan.
Melalui Badan Pertanahan Republik Indonesia sebagai salah satu instansi yang
menjalankan fungsi pelayanan, maka tentunya diperhadapkan pada tuntutan realitas
pelayanan dengan mekanisme yang sedang dicanangkan saat ini melalui reformasi
birokrasi.
Permasalah pertanahan di berbagai daerah saat ini diyakini cukup kompleks, dan
persoalan birokrasi pelayanan di tingkat daerah masih belum optimal dalam melaksanakan
3
pelayanan yang efektif dan efisien. Hingga tahun 2012 BPN RI merampungkan sebanyak
4.291 kasus pertanahan dari total 7.196 kasus pertanahan (okezone.com, diakses tanggal
28 mei 2013). Disamping itu masih banyak terjadinya konflik agraria didaerah yang belum
terselesaikan, apalagi ditambah dengan pemekaran daerah yang sudah barang tentu terkait
juga dengan pembagian tanah wilayah daerah yang dimekarkan.
Selain itu ekskalasi konflik pertanahan di beberapa daerah terus melonjak. Hal ini
menunjukkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) serta pemerintah daerah (Pemda), tidak
memiliki solusi yang efektif dalam mencegahnya. Hal ini menurut Komisi II DPR RI yang
dinyatakan oleh Zainun Ahmadi, meyebutkan tahun 2010 terjadi 106 konflik setahun
berikutnya berjumlah 163 konflik dan pada tahun 2012 mencapai 198 konflik, ini
menunjukkan BPN sebagai stake holder tidak memiliki kemampuan untuk menyelesaikan
berbagai masalah pertanahan (Antara.com diakses tanggal 28 mei 2013).
Permasalah diatas kemudian menunjukkan kinerja pelayanan pertanahan yang
masih berhadapan dengan sejumlah masalah yang kompleks. Tentunya dalam hal
pelayanan akan berkaitan dengan kondisi aparatur birokrasi dalam melakukan pelayanan
pertanahan. Untuk itu memang reformasi birokrasi di tubuh BPN mendesak untuk
dilakukan, untuk menciptakan kinerja yang optimal. Terutama konteksnya didaerah,
karena persoalan sengketa pertanahan banyak terjadi didaerah-daerah.
Kantor pertanahan kota salatiga dalam pelaksanaan pelayanannya, kemudian
dituntut juga untuk dapat mereformasi kinerja pelayannanya. Dengan mengacu pada
layanan yang efektif dan efisien, pelayanan pertanahan di kantor pertanahan kota salatiga
kemudian mampu menjadi optimal. Dari beberapa temuan, kondisi patologi birokrasi di
kantor pertanahan kota salatiga masih ditemukan, misalnya data layanan fisik tahun 2012
rasio terhadap target layanan dan realisasi pada tahun itu hanya mencapai 77 persen.
Hal ini tentunya mendesak untuk dirumuskan kerangka reformasi birokrasi, yang
kemudian sejalan dengan kekompleksan permasalah pelayanan pertanahan di kota salatiga.
Disamping itu, dalam pelayanan pertanahana yang dilakukan akan merespon tantangan
menjalankan pemerintahan yang baik (good governance) saat ini, sehingga pelayanan
pertanahan yang dilakukan selain efektif dan efisien namun mampu menciptakan
pelayanan yang akuntabel.
b. Batasan Masalah
4
Dengan merujuk pada kondisi permasalahan dalam tubuh birokrasi yang kemudian
berimplikasi terhadap bentuk pelayanan publik saat ini, yang mana dalam hal ini
dimaksudkan pada bentuk layanan pertanahan yang dilakukan oleh Badan Pertanahan
Republik Indonesia (BPN RI). Maka sesuai dengan rencana adanya reformasi birokrasi di
tubuh BPN RI dalam upayanya memperbaiki layanan pertanahan. Tidak terlepas juga
bahwa, kondisi ini berlaku didaerah karena instansi tingkat daerah secara langsung
bersentuhan dengan masyarakat.
Memfokuskan pada konteks daerah, dalam bahasan makalah ini kemudian akan
merujuk pada bentuk pelayanan di Kantor Pertanahan Kota Salatiga. Sehingga akan
dikemukakan bentuk reformasi birokrasi yang akan ditawarkan dalam pelayanan
pertanahan didaerah, sesuai dengan tuntutan dan persoalan yang timbul di Kota Salatiga
tersebut. Kekompleksan tuntutan masyarakat dalam hal layanan didaerah tentu tidak bisa
dihindari, sehingga pemecahan secara holistik dan menyeluruh harus menjadi perhatian,
tentunya hal ini perlu juga dikaitkan dengan pelaksanaan tata kepemerintahan yang baik
(good governance), sehingga orientasi yang diharapkan akan optimal.
c. Kerangka Pikir
Peraturan Presiden
nomor 81 tahun 2008
dan KemenPAN dan RB
nomor 20 Tahun 2010
Pelayanan Pertanahan di
Kota Salatiga
Tuntutan Eksternal ;
Kemajuan IPTEK,
Tuntutan Masyarakat,
kondisi sosial politik,
otonomi daerah.
Tuntutan Internal ;
Aparat Birokrasi,
Struktur,Sarana dan
Prasarana, KKN, Calo,
Administrasi.
Arah Reformasi
Birokrasi dalam
Pelayanan Pertanahan
di Kota Salatiga
5
BAGIAN II
DISKUSI LITERATUR
a. Kenapa Reformasi Birokrasi ?
Sentralisasi dalam penyelenggaraan pembangunan ternyata tidak sepenuhnya
mampu mewujudkan pemerataan dan keadilan bagi mayoritas warga masyarakat untuk
mendapat akses yang sama terhadap pertumbuhan ekonomi yang dicapai. Kesenjangan
yang terjadi memunculkan ketidakpuasan pada berbagai kalangan, terutama kelompok-
kelompok masyarakat yang termarginalkan akibat kebijakan pembangunan yang serba
terpusat (Mariana, dkk. 2010).
Beralihnya sistem pemerintahan yang semula sentralistik ke pemerintahan yang
lebih didesentralisasikan kedaerah, kemudian juga merubah orientasi pelayanan publik di
Indonesia. namun harapan masyarakat dari perubahan tersebut masih amat jauh dari
realitas, kehidupan birokrasi masih saja menunjukkan adanya indikasi pelanggaran. Praktik
KKN dalam pemerintahan dan pelayanan publik masih terus berlangsung, bahkan dengan
skala dan pelaku yang semakin luas. Keinginan masyarakat untuk menikmati pelayanan
publik yang efisien, responsif, dan akuntabel masih amat jauh dari realitas (Dwiyanto,
2006).
Disamping itu, instansi/lembaga pemerintahan masih ditemui masalah adanya
belum tepat fungsi dan tepat ukuran (rightsizing). Adanya tumpang tindih peran dan
fungsi, selain itu juga mengenai peraturan terkait pelayanan birokrasi yang kemudian
menjadikan pelaksanaan pelayanan publik yang inefisien dan inefektif. Hal ini kemudian
melahirkan banyaknya protes publik terhadap pelayanan yang dilakukan, dan tututan
lingkungan masyarakat terhadap produk layanan.
Disisi lain, tingkat produktivitas dari aparatur masih menjadi masalah krusial
dalam birokrasi saat ini. sistem penggajian pegawai negeri yang masih bermasalah dari sisi
bobot pekerjaan, beban tugas dan tanggung jawab, kinerja dan kesejahteraan. Namun yang
menjadi masalah besar saat ini, adalah masih adanya praktek penyimpangan dan
penyalahgunaan wewenang dalam proses penyelenggaran pemerintahan dan tentunya ini
6
berimplikasi pada akuntabilitas pemerintahan yang masih cenderung lemah. Pola pikir
(mind set) dan budaya kerja (cultute set) birokrat belum sepenuhnya mendukung birokrasi
yang efisien, efektif, produktif dan profesional. Aparat birokrat belum benar-benar
memiliki pola pikir melayani masyarakat. selain itu, praktek KKN di tubuh birokrasi saat
ini dipandang biasa saja, bukannya sebagai masalah yang perli dicarikan solusinya
(Perpres No. 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025, hal. 9-
10).
Kesulitan dalam memberantas KKN dalam pemerintahan dan birokrasi terjadi
karena rendahnya komitmen pemerintah untuk membenahi sistem birokrasi publik.
reformasi politik yang kemudian diikuti dengan pencanangan adanya reformasi birokrasi
di Indonesia memang telah dilaksanakan, namun belum menunjukkan kinerja yang
optimal. Karena disadari bahwa persoalan yang dihadapi birokrasi kita dan pelayanan
publik yang berlangsung, membutuhkan pemecahan masalah yang holistik.
Untuk itu melalui upaya reformasi birokrasi yang dilakukan, kemudian diharapkan
dapat memperbaiki kinerja birokrasi pelayanan publik. dengan begitu akan memperbaiki
kembali image pemerintah di mata masyarakat karena dengan kualitas pelayanan publik
yang semakin baik, kepuasan dan kepercayaan masyarakat bisa dibangun kembali. Kalau
ini bisa dilakukan, pemerintah akan bisa memperoleh kembali legitimasi di mata publik
(Dwiyanto, 2006).
Saat ini, untuk memperbaiki kinerja birokrasi yang cenderung kurang efektif dan
efisien. Pemerintah Indonesia sejak tahun 2010 menyusun grand desain reformasi birokrasi
di Indonesia dalam Peraturan Presiden nomor 81 tahun 2008 tentang grand desain
reformasi birokrasi 2010-2025. Grand desain reformasi birokrasi (GDRB) 2010-2025
menjadi pedoman dalam penyusunan road map reformasi birokrasi (RMRB) 2010-2014.
Selajutnya, GDRB 2010-2025 dan RMRB 2010-2014, RMRB 2015-2019, RMRB 2020-
2024, menjadi pedoman bagi kementrian, lembaga dan pemerintah daerah dalam
menyusun road map masing-masing dalam pelaksanaan reformasi birokrasi.
Tujuan dicanangkannya reformasi birokrasi ini kemudian akan melakukan
penataan dan penguatan organisasi, tata lakasana, manajemen sumber daya manusia
aparatur, pengawasan, akuntabilitas, kualitas pelayanan publik, perubahan mindset dan
culture set, serta mengembangkan kontrol yang efektif dan mengelola sengketa
administratif secara efektif dan efisien.
7
Kemudian dala aturan teknisnya, kemudian grand desai reformasi birokrasi tersebut
di jabarkan kembali dalam Peraturan Menteri Negara Pendayahgunaan Aparatur Negara
dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN dan RB) nomor 20 Tahun 2010 tentang Road Map
reformasi birokrasi 2010-2014. Dengan tujuan road map reformasi birokrasi (RMRB)
untuk memberikan araha pelaksanaan reformasi birokrasi di kementrian, lembaga dan
pemerintah daerah agar berjalan secara efektif, efisien, terukur, konsisten, terintegrasi,
melembaga, dan berkelanjutan.
b. Tentang BPN RI
Badan Pertanahan Nasional (BPN) merupakan instansi vertikal, yang dipimpin oleh
seorang kepala badan yang langsung bertanggung jawab kepada presiden. Pada dasarnya,
dalam era otonomi daerah pelayanan pertanahan menjadi domain dari urusan pemerintah
daerah, hal ini tertuang dalam UU No 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah. namun
pada pelaksanaan kebijkannya, pelayanan pertanahan dilakukan oleh BPN RI yang dalam
konteks daerah Kabupaten Kota dilaksanakan oleh Kantor Pertanahan.
Hal inilah yang kemudian menjadi persoalan, bahwa kewenangan pertanahan
dalam otonomi daerah yang belum didesentralisasikan. Ketentuan mengenai Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPN RI) diatur dalam Peraturan Presiden
Nomor 10 tahun 2006. Dimana, pada pasal 2 disebutkan bahwa BPN RI mempunyai tugas
melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional dan
sektoral. Disamping itu, pada pasal 3 disebutkan bahwa dalam melaksanakan tugas, Badan
Pertanahan Nasional menyelenggarakan fungsi :
a. perumusan kebijakan nasional di bidang pertanahan;
b. perumusan kebijakan teknis di bidang pertanahan;
c. koordinasi kebijakan, perencanaan dan program di bidang pertanahan;
d. pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang pertanahan;
e. penyelenggaraan dan pelaksanaan survei, pengukuran dan pemetaan di bidang
pertanahan;
f. pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian hukum;
g. pengaturan dan penetapan hak-hak atas tanah;
h. pelaksanaan penatagunaan tanah, reformasi agraria dan penataan wilayah-wilayah
khusus;
8
i. penyiapan administrasi atas tanah yang dikuasai dan/atau milik negara/daerah
bekerja sama dengan Departemen Keuangan;
j. pengawasan dan pengendalian penguasaan pemilikan tanah;
k. kerja sama dengan lembaga-lembaga lain;
l. penyelenggaraan dan pelaksanaan kebijakan, perencanaan dan program di bidang
pertanahan;
m. pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan;
n. pengkajian dan penanganan masalah, sengketa, perkara dan konflik di bidang
pertanahan;
o. pengkajian dan pengembangan hukum pertanahan;
p. penelitian dan pengembangan di bidang pertanahan
q. pendidikan, latihan dan pengembangan sumber daya manusia di bidang pertanahan;
r. pengelolaan data dan informasi di bidang pertanahan;
s. pembinaan fungsional lembaga-lembaga yang berkaitan dengan bidang pertanahan;
t. pembatalan dan penghentian hubungan hukum antara orang, dan/atau badan hukum
dengan tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
u. fungsi lain di bidang pertanahan sesuai peraturan perundangundangan yang berlaku.
Sedangkan dalam pelayanannya di daerah, BPN RI berbentuk Kantor Pelayanan
yang bertugas melaksanakan sebagian tugas dan fungsi BPN RI di Kabupaten dan Kota.
Merupakan instansi vertikal BPN di Kabupaten dan Kota yang berada dibawah dan
pertanggung jawab kepada Kepala BPN RI melalui Kakanwil BPN Adapun tugas dan
fungsi Kantor Pertanahan Kabupaten dan Kota adalah sebagai berikut :
1. Pelayanan, perijinan, dan rekomendasi di bidang pertanahan
2. Pelaksanaan Survey, Pengukuran dan Pemetaan
3. Pelaksanaan penetapan hak atas tanah, pendaftaran HAT, pemeliharaan data
pertanahan
4. Pelaksanaan penatagunaan tanah, landreform,
5. Penanganan sengketa. Konflik dan permasalahan pertanahan, dll.
c. Reformasi Birokrasi di Indonesia
Menanggapi persoalan birokrasi secara umum tersebut kemudian, reformasi
birokrasi di Indonesia dirumuskan dalam Peraturan Presiden nomor 81 tahun 2008 tentang
9
grand desain reformasi birokrasi 2010-2025. Dengan mengacu pada visi pembangunan
Nasional yakni Indonesia yang mandiri, maju dan adil. Dimana kemudian hal ini,
diterjemahkan dalam rencana lima tahunan dalam, Peraturan Menteri Negara
Pendayahgunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN dan RB) nomor
20 Tahun 2010 tentang Road Map reformasi birokrasi 2010-2014.
Reformasi birokrasi seperti yang tercantum dalam PermenPan dan RB tersebut,
disebutkan bahwa reformasi birokrasi bertujuab memberikan arah pelaksanaan reformasi
birokrasi di kementrian/lembaga dan pemerintah daerah (Pemda) agar berjalan secara
efektif, efisien, terukur, konsisten, terintegrasi, melembaga, dan berkelanjutan. Dengan
berorientasi pada 9 program pokok reformasi birokrasi, yaitu :
1. Program Manajemen Perubahan
2. Program Penataan Peraturan Perundang-undangan
3. Program Penataan dan Penguatan Organisasi
4. Program Penataan Tatalaksana
5. Program Penataan Sistem Manajemen SDM Aparatur
6. Program Penguatan Pengawasan
7. Program Penguatan Akuntabilitas Kinerja
8. Program Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik
9. Program Monitoring danEvaluasi
Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPN RI), dalam pelayanannya
terkait masalah pertanahan memang masih menemui persoalan tersebut diatas. Maka untuk
itu, sebagai respon dari adanya grand desain reformasi birokrasi di Indonesia. Reformasi
birokrasi dilakukan untuk mengubah pola pikir dan budaya kerja aparatur BPN sehiangga
memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat.
Kemudian merujuk pada Perpres nomor 81 tahun 2010 dan PermenPAN dan RB
nomor 20 tahun 2012, kantor BPN merespon dengan turut melakukan reformasi birokrasi
melalui Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor
421/KEP-3.43/X/2012 tertanggal 9 oktober 2012, yang kemudian dilakukan perubahan
melalui Keputusan Kepala Badan Pertananhan Nasional Republik Indonesia Nomor
507/KEP-3.43/XI/2012 tentang Tim Pengarah Reformasi Birokrasi Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia.
Terdapat tiga langkah utama dalam reformasi birokrasi yang dilakukan oleh BPN
RI menurut kepala BPN RI Hendarman Supandji, yakni pertama mengubah organisasi
10
yang gemuk menjadi ramping, sehingga reformasi birokrasi akan menghasilkan BPN yang
kaya fungsi dan miskin struktur. Kedua menetapkan standar operasional prosedur (SOP) di
setiap lini kerja BPN mulai dari kedeputian satu sampai kedeputian lima, sekretariat utama
dan inspektorat utama dan memiliki jangka waktu. Ketiga konsistensi dalam menerapkan
reward and punishment, hal ini dilakukan dengan turut mengeluarkan Peraturan Kepala
Badan Nomor 1 tahun 2013 tentang pola jenjang karir yang didasarkan pada merit sistem
yaitu jenjang karir berdasarkan prestasi dan keahlian (Hindarto, 2012 dalam okezone.com,
diakses pada 28 mei 2013).
Disamping itu, dalam Pelaksanaan Reformasi Birokrasi, Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia (BPN RI) sebagai instansi pelayanan publik sudah
merencanakan langkah-langkah kongkrit, yaitu adanya :
a. Sapta Tertib BPN RI
1. Tertib Administrasi
2. Tertib Anggaran
3. Tertib Perlengkapan
4. Tertib Perkantoran
5. Tertib Kepegawaian
6. Tertib Disiplin Kerja
7. Tertib Moral
b. Sapta Pembaharuan Reformasi Brokrasi BPN RI
1. Model Rekrutmen
2. Sistem Pendidikan dan Pelatihan
3. Kode Perilaku
4. Standar Minimum Profesi
5. Pola Jenjang Karier
6. Sistem Pengawasan
7. Majelis Kehormatan Kode Perilaku dan Profesi
c. Visi dan Misi BPN RI 2010 - 2014
11
Adapun Visi BPN RI adalah Menjadi lembaga yang mampu mewujudkan tanah
dan pertanahan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, serta keadilan dan keberlanjutan
system kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan Republik Indonesia. Kemudian, Misi
menyangkut mengembangkan dan menyelenggarakan politik kebijakan pertanahan untuk :
1. Peningkatan kesejahteraan rakyat, penciptaan sumber-Sumber baru kemakmuran
rakyat, pengurangan kemiskinan dan kesenjangan pendapatan, serta pemantapan
ketahanan pangan.
2. Peningkatan tatanan kehidupan bersama yang lebih berkeadilan dan bermartabat
dalam kaitannya dengan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan
tanah (P4T).
3. Perwujudan tatanan kehidupan bersama yang harmonis dengan mengatasi
berbagai sengketa, konflik dan perkara pertanahan diseluruh tanah air dan
penataan perangkat hukum dan system pengelolaan pertanahan sehingga tidak
melahirkan sengketa, konflik dan perkara dikemudian hari.
4. Keberlanjutan system kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan Indonesia
dengan memberikan akses seluas luasnya pada generasi yang akan dating
terhadap tanah sebagai sumber kesejahteraan masyarakat.
5. Menguatkan lembaga pertanahan sesuai dengan jiwa, semangat, prinsip dana
turan yang tertuang dalam UUPA dana spirasi rakyat secara luas.
d. Reformasi Birokrasi dan Good Governance
United Nations Ddevelopment Programme (UNDP) merumuskan istilah
governance sebagai suatu exercise dari kewenangan politik, ekonomi, dan administrasi
untuk menata. Mengatur dan mengelola masalah-masalah sosialnya (UNDP, 1997 dalam
Thoha, 2000). Istilah “governance” menunjukkan suatu proses dimana rakyat bisa
mengatur ekonominya. Institusi dan sumber-sumber sosial dan politiknya tidak hanya
dipergunakan untuk pembangungan. Tetapi juga untuk menciptakan kohesi, integrasi, dan
untuk kesejahteraan rakyatnya. Dengan demikian jelas sekali. Bahwa kemampuan suatu
negara mencapai tujuan-tujuan pembangunan itu sangat tergantung pada kualitas tata
kepemerintahannya dimana pemerintah melakukan interaksi dengan organisasi-organisasi
komersial dan civil society.
Kaitannya dengan pelayanan publik, Governance didefinisikan oleh World Bank
(1992) menyatakan dengan penerapan Good Governance akan menciptakan pelayanan
12
publik yang efektif & efisien, sistem peradilan yang dapat diandalkan serta pemerintahan
yang bertanggung jawab pada publiknya. Dimana hal ini juga mencakup kehidupan yang
luas (sosial, ekonomi, politik), melibatkan semua pihak yang berkepentingan
(stakeholders) dalam pemanfaatan sumberdaya alam, keuangan dan manusia.
Agenda good governance di dalam reformasi birokrasi sangat dibutuhkan, selain
untuk memberikan kepastian pada adanya pelayanan yang efektif dan efisien. Dengan
adanya penerapan prinsip good governance, namun pada adanya keterbukaan pada
partisipasi masyarakat didalam proses pelayanan publik. disisi lain bahwa, tuntutan
lingkungan eksternal yang kemudian menjadikan penerapan prinsip good governance
dimasukkan dalam reformasi birokrasi. Dimana saat ini dikenal dalam dokumen grand
desai reformasi birokrasi di Indonesia. Namun, agenda good governance tidak akan
berjalan dengan baik tanpa sekaligus melibatkan pembangunan masyarakat sipil (civil
society). Dengan kata lain, good governance mempunyai kaitan erat dengan pembangunan
masyarakat sipil.
BAGIAN III
PEMBAHASAN
a. Pelayanan Pertanahan Kota Salatiga
Badan Pertanahan Nasional (BPN) merupakan instansi vertikal, sebagai unit
vertikal yang menyelenggarakan pelayanan pertanahan. Unit layanan vertikal adalah unit
layanan yang berada di bawah kementerian / lembaga pusat tetapi memiliki layanan
sampai di tingkat daerah. BPN adalah Instansi Pelayanan Publik di bidang pertanahan.
Pelayanan yang diberikan antara lain pelayanan pembuatan sertipikat hak atas tanah dan
pelayanan kadastral (survey tanah, pengukuran tanah dan pemetaan tanah).
Dalam konteksnya, didaerah berbentuk kantor pertanahan sebagai wujud pelayanan
BPN RI di daerah. walaupun memang dalam urusan wajib daerah pada UU No 32 Tahun
2004 menyebutkan salah satu kewajiban daerah adalam pelayanan pertanahan. Namun
dalam pelaksanaanya kebijakan pelayanan pertanahan dilakukan melalui kantor pertanahan
daerah, yang dibawahi langung oleh kantor BPN RI. Sudah tentu, hal ini disebabkan
karena BPN RI merupakan instansi vertikal. Sehingga dalam pelaksanaan pelayanan
13
pertanahan, saat ini masih banyak dijumpai problematika seputar konflik pertanahan
didaerah.
Kantor Pertanahan kota Salatiga merupakan salah satu bentuk pelayanan BPN RI
tingkat daerah. dimana saat ini, masih ditemukan pelaksanaan pelayanan yang belum
optimal dalam mewujudkan reformasi birokrasi dalam tubuh Badan Pertanahan Nasional.
Selain itu juga, persoalan pelayanan lainnya masih sering dijumpai dalam proses layanan
di kantor pertanahan kota salatiga tersebut.
Secara umum pelayanan pertanahan di Kota Salatiga, masih sering dijumpai
adanya patologi birokrasi seperti, pelayanan yang berbelit-belit atau njelimet. Masih
kurangnya integeritas aparat pelayanan. Kurangnya integeritas ditandai dengan masih
banyaknya aparat yang menerima gratifikasi yaitu tambahan biaya di luar ketentuan/biaya
resmi. Aparat BPN masih banyak yang melakukan korupsi dan cara pandang mereka
terhadap korupsi sangat bervariasi. Misalnya dengan menerima biaya tambahan /
gratifikasi sebagai tanda rasa terima-kasih dari pengguna jasa dianggap sesuatu yang
wajar, bukan tergolong korupsi.
Keberadaan calo layanan sertipikat tanah masih marak dilingkungan Instansi BPN,
juga banyak ditemui makelar-makelar kasus (markus). Keberadaan calo dan markus ini
membuat layanan pertanahan menjadi lebih mahal dan kadang menambah alur prosedur.
Kondisi fasilitas (sarana dan prasarana) di lingkungan layanan loket BPN masih ada
sebagian yang kurang memadai terutama di daerah kabupatan, terlebih lagi di luar Pulau
Jawa. Belum adanya system antrian, belum menyediaan ruang tunggu yang nyaman bagi
pengguna layanan. Tidak adanya kotak aduan yang disediakan untuk menampung segala
keluhan pengguna layanan. Namun kondisi loket-loket pelayanan di Instansi BPN di
daerah perkotaan lainya sudah banyak yang memadai dengan menggunakan system antrian
elektonik, juga adanya TV Plasma yang menayangkan sampai dimana layanan sertpikasi
tanah diproses , juga adanya ruang tunggu yang nyaman bagi pengguna layanan.
Sistem administrasi di Instansi BPN masih belum menerapkan standart minimal.
Prosedur masih dirasa berbelit-belit, persyaratan masih terlalu rumit, lamanya waktu
penyelesaian layanan masih melebihi ketentuan dalam SOP. Biaya layanan masih adanya
penerikan yang tidak sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku.
Masyarakat belum bisa mengakses sepenuhnya informasi layanan. Keterbukaan
informasi dan kejelasan informasi masih sulit didapat. Belum semua Instansi BPN yang
menggunakan Sistem Teknologi Informasi. Disisi lain, belum semua aparat di Instansi
14
BPN melek teknologi informasi, belum familiar menggunakan web internet untuk
pelayanan informasi pertanahan.
Perilaku individu aparat pelayanan pertanahan di BPN masih banyak yang arogan
dalam artian empati dan simpati terhadap pengguna layanan. Masih banyak ditemukan
petugas loket (front office) yang tidak ramah dan bersikap kurang simpatik terhadap
pengguna layanan. Masih ada pembedaan perlakuan petugas dalam member layanan,
misalnya apabila melayani teman dan saudara sendiri akan lebih ramah dari pada melayani
pengguna jasa yang belum dikenalnya.
Disamping itu realisasi fisik dalam pelayanan pertanahan di Kota Salatiga pada
tahun 2012 lalu belum menunjukkan hasil yang optimal. Yakni dalam Pelayanan
Pengukuran Batas Bidang Tanah hanya mencapai realisasi 72,37 persen dari target,
Pelayanan Informasi Data mencapai 99,34 persen, Pelayanan Pemeriksaan Tanah Panitia
A mencapai 84,00 persen, Pelayanan Pertimbangan Teknis mencapai 41,20 persen,
Pelayanan Pendaftaran Tanah Pertama Kali mencapai 110,23 persen dan Pelayanan
Pemeliharaan Data hanya mencapai 58,23 persen. Yang mana jika dirata-ratakan realisasi
program pelayanan yang dilakukan di hanya mencapai 77, 37 persen. Selain itu juga dalam
beberapa pelayanan menunjukkan realisasi yang rendah, maka hal ini mengindikasikan
adanya ketidaktepatan dalam pelaksanaan pelayanan pertanahan.
b. Arah Reformasi Birokrasi dalam Pelayanan Pertanahan di Kota Salatiga
Melakukan pembaruan dalam organisasi pemerintahan, tidak semudah seperti
melakukan perubahan dalam organisasi bisnis. Menurut David Osborne dan Peter Plastrik
(1992) ada perbedaan realiatas antara organisasi bisnis dan pemerintahan. Organsasi
bisnis hidup didalam ekonomi pasar, dimana sistem yang ada pada umunya telah
berfungsi dengan baik seperti memiliki tujuan yang jelas yaitu laba, menghadapi
persaingan, mudah didalam melakukan pengukuran kinerja, mengerti konsekwensi dari
kinerja yang buruk dan bertanggung jawab kepada pelanggan. Sebaliknya organisasi
pemerintah berada didalam sistem yang tidak berfungsi dengan baik,seperti memiliki
tujuan yang tidak jelas(ganda), tidak menghadapi persaingan langsung, sedikit yang
langsung terkena dampak atas kinerja yang buruk, sulit mengukur kinerja dan tidak peduli
pada pelangannya.
Terkait dengan hal tersebut kemudian, posisi reformasi birokrasi yang saat ini
sedang dicanangkan melalui grand desain reformasi birokrasi, diperhadapkan dengan
15
berbagai macam kekompleksan tutntutan layanan dari masyarakat. dalam pelayanan
pertanahan di daerah pun realitas yang sama seringkali terjadi. Reformasi birokrasi yang
digulirkan oleh pemerintah tersebut ternyata belum mampu memperbaiki budaya birokrasi,
terutama menekan perilaku birokrasi yang cenderung korup.
Sumber penyakit birokrasi pada dasarnya dapat diidentifikasi dari dua lokus, yaitu
internal dan eksternal (Irawati, 2012). Sumber internal berasal dari kelemahan dan
kegagalan sistem yang ada di birokrasi itu sendiri. Secara internal, pengaruh aparatur
birokrasi yang belum tepat guna dan tepat sasaran masih menjadi pameo tersendiri dalam
pelayanan pertanahan di Kota Salatiga, disamping itu juga struktur yang cenderung miskin
fungsi, dan sejumlah aspek internal lainnya turut menjadi perhatian serius dalam
mencanangkan reformasi birokrasi.
Disisi lain secara eksternal, penyakit birokrasi bisa disebabkan oleh relasi antar
berbagai sistem yang terkait, misalnya kooptasi dan intervensi politik. Dalam banyak kasus
tekanan politik menjadi salah satu sumber penyebab. Hal ini bermula dari proses pengisian
jabatan yang sangat tertutup dan berbasis hubungan afiliasi. Faktor eksternal lain adalah
budaya masyarakat yang sangat permisif dan menjadikan suap /gratifikasi dalam proses
pemerintahan dan pelayanan publik sebagai hal yang biasa. Artinya, terjadi penawaran dan
permintaan antara birokrasi dan masyarakat untuk sebuah pelayanan. Kesadaran
masyarakat untuk mengawasi perilaku birokrasi juga cenderung apatis, meskipun secara
kasat mata masyarakat menyadari ada penyimpangan pelayanan.
Untuk itu diperlukan adanya desain reformasi birokrasi dalam pelayanan
pertanahan, khususnya yang terjadi di Kantor Pertanahan Kota Salatiga. Secara umum
dipahami bahwa reformasi birokrasi minimal harus mencakup lima sasaran utama (Rasyid,
2012) yaitu:
1. Perampingan organisasi dengan tujuan efisiensi pembiayaan, efisiensi penggunaan
tenaga, dan efisiensi pengunaan waktu dalam menapaki tahapan pengambilan
keputusan.
2. Penerapan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam pengambilan keputusan.
3. Penegakan disiplin dan pembangunan kultur birokrasi yang berbasis etika.
4. Penerapan asas profesionalisme yang berbasis kompetensi dan integritas dalam
rekrutmen dan promosi.
5. Pemberian imbalan yang sesuai kinerja dan kontribusi masing-masing organisasi
dan personil yang bekerja dilingkungan pemerintahan.
16
Dengan penerapan reformasi birokrasi seperti itu akan mengantarkan kepada
praktik pemerintahan yang bersih (clean government) dan tata kelola pemerintahan yang
baik (good governance). Untuk itu struktur birokasi daerah hendaknya tetap bisa menjamin
tidak terjadinya distorsi aspirasi yang datang dari masyarakat serta menghindari terjadinya
penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).
Karena bahasan mengenai arah reformasi birokrasi terhadap pelayanan pertanahan
di kantor Pertanahan Salatiga, maka rencana desain penerapan reformasi birokrasi di Kota
Salatiga disesuaikan dengan framework reformasi birokrasi BPN RI. Oleh karena itu, akan
dikaitkan rekomendasi penerapan reformasi birokrasi tersebut kedalam beberapa temuan
penting dalam mengusahakan reformasi birokrasi dalam pelayanan pertanahan yang
dimaksud. Adapun arah reformasi birokrasi dalam pada Kantor Pelayanan Pertanahan Kota
Salatiga, dalam makalah ini menawarkan pandangan pada beberapa aspek yaitu ;
a. Pembenahan Struktural
Pada ranah struktural, dengan mengacu pada apa yang dirisalahkan dalam grand
desain reformasi birokrasi yakni adanya Peta tugas dan fungsi unit kerja pada Kantor
Pertanahan Kota Salatiga yang tepat fungsi dan tepat ukuran (rightsizing) pada struktural
birokrasi. Hal ini dilakukan untuk menjawab pelayanan yang berbelit-belit, tidak efektif
dan tidak efisien, dan lain-lain. Disamping itu, dengan pembenahan struktural dapat
sebagai bentuk manajemen perubahan dalam penguatan unit kerja dalam menangani fungsi
organisasi, Tata Laksana, Pelayanan Publik, Kepegawaian, dan kebutuhan diklat.
Dengan adanya pembenahan struktural di Kantor Pertanahan Kota Salatiga,
diharapkan adanya struktur organisasi yang berbasis tepat fungsi tepat ukuran (rightsizing).
Hal ini diramalkan akan berdampak pada adanya pelayanan yang efektif dan efisien,
mekanisme kerja yang jelas, pelayanan yang optimal, dan sejumlah patologi birokrasi
lainnya yang kini massih ditemuai dalam pelayanan pertanahan di Kota Salatiga.
b. Pola Pikir dan Budaya Kerja
Selanjutnya adalah berkenaan dengan pola pikir dan budaya kerja aparatur dalam
pelayanan pertanahan. Dimana pola pikir dan budaya kerja diorientasikan pada adanya
perubahan mind set aparat dalam melakukan pelayanan yang baik, sebagai bagian dari
pasion seorang aparat birokrasi dalam menjalankan tugasnya. Selain itu transparansi dalam
pelayanan diperlukan juga dalam membangunan budaya kerja aparatur, agar pelayanan
17
yang dilakukan dapat lebih menjamin dalam sisi akuntabilitas karena setiap pengguna
layanan pertanahan dapat mengetahui jalannya pelayanan.
Akuntabilitas dalam pelayanan akan lebih memberikan kepercayaan masyarakat
terhadap layanan, hal ini dilakukan dengan kinerja yang berorientasi pada panduan Kinerja
Instansi Pemerintah (AKIP) serta mengembangkan Indikator Kinerja Utama (IKU) dalam
pelayanan, sehingga kondisi layanan dapat memiliki arah dan nilai pasti dalam capaian
kinerja pelayanan yang dilakukan.
Dengan sistem akuntabilitas kinerja maupun aparat, pelayanan pertanahan di Kota
Salatiga kemudian diharapkan mampu memberikan akses yang transparan bagi pengguna
layanan pertanahan. Disisi lain, pembangunan budaya kerja yang berorientasi pada
pengguna layanan akan lebih memaksimalkan pada adanya sisi empati aparat kepada
masyarakat, disamping itu juga dapat membangun hubungan interpersonal antara aparat
dan aparat maupun aparat dan masyarakat (pengguna layanan).
c. Orientasi pada Kualitas pelayanan publik
Dengan adanya penerapan standar pelayanan pada setiap unit kerja, disamping itu
penguatan juga dilakukan pada adanya standar pelayanan minimal (SPM), disamping itu
penyusunan dan pelaksanaan Standar Operasional Pelayanan (SOP) pada layanan
pertanahan akan membantu dalam persoalan kualitas pelayanan nantinya. hal ini
dimaksudkan untuk menciptakan pelayanan publik yang lebih cepat, murah, aman dan
mudah dijangkau. Pengukuran pelayanan melalui adanya standar pelayanan tersebut, akan
lebih mengarahkan sebuah pelayanan yang lebih terukur pada adanya penciptaan layanan
yang responsif terhadap kondisi masyarakatnya.
d. Manajemen SDM Aparatur
Selanjutnya yang tidak kalah penting adalah manajemen sumber daya aparatur
(SDM), hal ini dilakukan sejak rekrutimen pegawai yang sesuai dengan posisi jabatan yang
diperlukan, adanya perbaikan dalam penataan sistem rekrutmen pegawai yang dijalankan
berdasarkan adalanya analisis jabatan, evaluasi jabatan, dan penyusunan standar
kompetensi jabatan, sehingga apa yang diharapakan dalam adanya aparat yang tepat guna
dan tepat sasaran dapat terwujud di kantor pertanahan kota salatiga.
Pada gilirannya kemudian, melalui hal ini juga dilakukan penerapan penilaian
kinerja individu, profil kinerja individu, sebagai acuan dalam memberikan reward dan
18
punishment serta kedepannya adalah adanya pengembangan pendidikan dan pelatihan
pegawai berbasis kompetensi. Diyakini bahwa dengan adanya reward and punishment
dapat meningkatkan semangat kerja aparat dalam melaksanakan pekerjaannya. Disamping
itu pelu diterapkan pula standar promosi jabatan berdasarkan pola merit system, yang mana
adanya promosi jabatan disesuaikan dengan kinerja yang bersangkutan bukan karena
tinjauan politis atau nepotisme jabatan, dan tentunya mekanisme pengawasan dari berbagai
pihak untuk mengawal ini menjadi penting.
e. Partisipasi Masyarakat
Partisipasi masyarakat disini dimaksudkan selain untuk memberikan masukan
dalam pelaksanaan pelayanan pertanahan, namun juga berkontribusi dalam pengawasan
terhadap jalannnya pemerintahan. Disamping itu juga perlu inisiasi adanya kontrak kinerja
yang dilakukan antara penyedia layanan dan pengguna layanan di Kantor Petanahan Kota
Salatiga. Hal ini dapat dilakukan dengan meluncurkan program Citizen Charter yang
mendorong kinerja kantor pertanahan Kota Salatiga, untuk siap bersaing dan bertanggung
jawab kepada pelanggan mereka.
Intinya bahwa Kantor Pertanahan akan menyusun standar pelayanan pelanggan,
yang dibuat dengan masukan dari pelanggan dan berjanji untuk memenuhinya jika terjadi
pelanggaran, maka kantor pertanahan harus memberikan ganti rugi jika mereka gagal
memenuhi standar mereka. Hal sebagai konsekuensi dari proses pelayanan yang dilayani
di Kantor Pertanahan Kota Salatiga. Komponen ini juga menunjukkan keterbukaan
terhadap penggunaan prinsip-prinsip good governance dengan melibatkan partisipasi
masyarakat.
f. Pengawasan
Aspek pengawasan disini menjadi penting sebagai bentuk monitoring dan evaluasi,
pada posisi ini juga diperlukan keterlibatan masyarakat untuk melakukan pengawasan
terutama yang berkaitan dengan penggunaan anggaran layanan. Hal ini dilakukan dengan
penerapan sistem pengendalian intern pemerintah (SPIP) pada Kantor Pertanahan Kota
Salatuga, pengawasan yang dilakukan dengan standar Quality Insurance dan Consulting.
Tujuan adanya pengawasan yang melibatkan berbagai pihak ini akan menciptakan
organisasi yang efektif, efisien serta taat pada peraturan.
Dapat ditarik benang merah keterkaitan beberapa aspek tambahan terhadap
penguatan reformasi birokrasi di kantor pertanahan Kota Salatiga, terhadap penciptaan tata
19
kepemerintahan yang baik (good governance) tercermin dalam prinsip-prinsip yang ada
didalamnya. Reformasi birokrasi sebagai upaya transformasi atau perubahan yang
direncanakan merupakan proses yang berkelanjutan. Karena itu, setiap upaya yang telah
dilakukan dalam setiap tahapan reformasi perlu dilakukan evaluasi sehingga setiap kendala
yang muncul dapat segera ditangani.
Disisi lain faktor kemauan setiap pihak pelaksana reformasi birokrasi menjadi
penting disini, karena keberhasilan reformasi birokrasi ditentukan juga oleh kreativitas dan
inovasi dari organisasi yang bersangkutan. Jika tanpa itu, sekalipuan usaha yang dilakukan
telah mencapai titik maksimal maka program reformasi birokrasi hanya akan menjadi
slogan semata. Keterlibatan pihak swasta dalam menyukseskan reformasi birokrasi,
dimaksudkan pada adanya kontribusi positif dan kerjasama yang sinergis antara Kantor
Pertanahan Kota Salatiga dengan Pihak Swasta (mis. PPATK, Notaris, dll). Hal ini juga
menjadi cermin penciptaan adanya penerapan good governance dalam pelayanan
pertanahan didaerah.
Terakhir bahwa, reformasi birokrasi harus mendorong praktik pemerintahan yang
semakin terbuka (transparan) yang melibatkan aktor diluar birokrasi pemerintah sebagai
stakeholders pemerintah. Dengan kata lain, reformasi birokrasi menjadi sarana perwujudan
paradigma baru pemerintahan dari paradigma government ke paradigma governance.
Disamping itu juga, perlu menjadi pertimbangan terhadap perkembangan teknologi
informasi, untuk itu keterkaitan (linkage) reformasi birokrasi yang dilakukan juga
mengoptimalkan pelayanan elektronik (e-service) sebagai bentuk penerapan e-government.
Disadari bahwa masalah pelayanan yang terjadi saat ini di Kantor Pertanahan Kota
Salatiga memerlukan kerangka kerja yang komprehensive, sehingga dalam penyusunan
kerangka penguatan komponen reformasi birokrasi dalam pelayanan akan kompleks dan
integratif, artinya saling mendukung antara satu komponen penguatan dan komponen
penguatan lainnya. Adapun kerangka yang bisa digambarkan dalam desain reformasi
birokrasi lingkup Kantor Pertanahan Kota Salatiga, adalah sebagai berikut ;
20
Dokumen Usulan
dan Roadmap
Reformasi Birokrasi
BPN RI
Sapta Tertib BPN RI
Sapta Pembaharuan
Reformasi Birokrasi
Pembenahan Struktural
(Rightsizing)
Pola Pikir dan Budaya
Kerja
Kualitas Pelayanan Publik
Manajemen Aparatur
(reward, punishment and
merit sistem)
Partisipasi Masyarakat
(Citizen Charter)
Pengawasan
Good Governance
Komponen
Penguatan RB
Pelaksanaan
Reformasi Birokrasi
Kemauan Aparat,
Inovasi dan Keterlibatan
Swasta.
Masalah Pelayanan
Pertanahan Kota Salatiga
Pelayanan Berbelit-Belit
Kurang Integritas
Kurang Sarana Prasarana
Tidak Transparan
Kurang Empati
Keberadaan Calo
Belum ada SOP
Kurangnya Akses Layanan
Gambar 3.1
Kerangka Penguatan Reformasi
Birokrasi di Kantor Pertanahan
Kota Salatiga
21
Peraturan Presiden nomor 81 tahun 2008 tentang Grand Desain Reformasi Birokrasi dan
KemenPAN dan RB nomor 20 Tahun 2010 Grand Desai Reformasi Birokrasi 2010-2015
22
BAGIAN IV
KESIMPULAN
Reformasi birokrasi bukan proses yang berlangsung di dalam ruang hampa,
keberhasilan implementasi bergantung kepada reformasi dalam sektor-sektor terkait
lainnya, terutam sektor politik, hukum, ekonomi, dan administrasi publik. dalam kontek
birokrasi pelayanan tentunya hal ini juga menyangkut apa yang menjadi tututan intern dan
ekstern sebuah birokrasi. Upaya reformasi birokrasi yang mulai dijalankan oleh Badan
Pertanahan Nasional (BPN), menjadi renspon positif terhadap bentuk layanan pertanahan
di daerah untuk meningkatkan kualitas layanannya.
Kantor pertanahan Kota Salatiga sebagai salah satu bentuk kebijakan dalam
pelayanan pertanahan di daerah, juga dituntut oleh kompleksitas pelaksanaan pelayanan
didaerah. Misalnya saja struktur yang cenderung gemuk, sehingga masih banyak fungsi
yang tumpang tindih, masih adanya korupsi aparat yang berbentuk gratifikasi, masih
maraknya calo layanan, terus juga pola pikir dan budaya kerja yang belum optimal. Yang
tentunya hal ini akan mempengaruhi jalannya bentuk pelayanan pertanahan yang sesuai
dengan semangat reformasi birokrasi.
Untuk itu, dalam makalah ini diberikan beberapa aspek pembenahan di tubuh
birokrasi Kantor Pertanahan Kota Salatiga dan hal ini juga menjadi tinjauan dalam
pembentukan kerangka desain reformasi birokrasi di Kantor Pertanahan Kota Salatiga.
Adapun pengembangan aspek tersebut adalah :
a. Pembenahan Struktural
b. Pola Pikir dan Budaya Kerja
c. Orientasi pada Kualitas pelayanan publik
d. Manajemen SDM Aparatur
e. Partisipasi Masyarakat
f. Pengawasan
Disamping itu juga, dari desain yang ada tentunya diperlukan juga adanya kemauan
dari aparat birokrasi untuk menjalankan program reformasi birokrasi. Disisi lain peranan
pihak swasta misalnya PPATK, Notaris dan sebagainya diperlukan dalam kontribusi
positif dan kerjasama yang baik dengan Kantor Pertanahan. Hal ini sebagai upaya dalam
menciptakan tata pemerintahan yang baik (good governance) di daerah, terutama dalam
melaksanakan pelayanan pertanahan di Kantor Pertanahan Kota Salatiga.
23
DAFTAR PUSTAKA
.
Burhani, Ruslan., 25 Maret 2013. BPN gencarkan reformasi birokrasi, dalam Antara.com
diakses tanggal 28 mei 2013.
Dwiyanto, Agus, dkk., 2006. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia, Gajah Mada
University Press: Yogyakarta.
Dwiyanto, Agus (editor), Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik,Gajah
Mada University Press, Yogyakarta, Cetakan Ketiga, Mei 2008
Hindarto, Stefanus Yugo., 25 Maret 2013. Reformasi Birokrasi, BPN Siapkan "Tiga
Jurus” dalam Okezone.com, diakses tanggal 28 mei 2013.
Mariana, Dede.,Caroline Paskarina dan Heru Nurasa, 2010. Reformasi Birokrasi dan
Paradigma Baru Administrasi Publik di Indonesia. dalam Falih Suaedi dan Bintoro
Wardiyatmo (ed), 2010. Revitalisasi Administrasi Negara; Reformasi Birokrasi
dan e-Governance, Graha Ilmu: Yogyakarta. (Hal.3-20)
Osborne, David, and Ted Gaebler., 1992. Reinventing Government: How the
enterpreneurial is Transforming the Public Sector. New York: Addison-Wesley
Publishing Company.
Pramuka, Gatot.,2010. E-Government dan Reformasi Layanan Publik, dalam Falih Suaedi
dan Bintoro Wardiyatmo (ed), 2010. Revitalisasi Administrasi Negara; Reformasi
Birokrasi dan e-Governance, Graha Ilmu: Yogyakarta. (Hal. 65-82).
Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 Tentang Grand Design Reformasi Birokrasi
2010-2015.
Peraturan Menteri Pemberdayaa Aparatur Negara & Reformasi Birokrasi Nomor 20 tahun
2010 Tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2010-2014.
Tim Reformasi Birokrasi BPN RI, 2010, Buku Saku Reformasi Birokrasi, Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia.