PEBEDAAN ILMU ALAM DAN ILMU SOSIAL DILIHAT DARI DASAR ONTOLOGIS DAN EMPIRIS

32
Tugas Makalah Kelompok PERBEDAAN ILMU-ILMU ALAM DAN ILMU-ILMU SOSIAL DITINJAU DARI DASAR ONTOLOGI DAN EPISTEMOLOGI Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah FILSAFAT ILMU Doses Pengampu: Prof. SAMSI, M.Pd Disusun Oleh: 1. SUCIYATI (NIM 12155140016) 2. MUJIYATI (NIM 12155140026) 3. ZUKY IRIANI (NIM 12155140037) 4. DISEN WANIMBO (NIM 12155140038)

Transcript of PEBEDAAN ILMU ALAM DAN ILMU SOSIAL DILIHAT DARI DASAR ONTOLOGIS DAN EMPIRIS

Tugas Makalah Kelompok

PERBEDAAN ILMU-ILMU ALAM DAN ILMU-ILMU

SOSIAL DITINJAU DARI DASAR

ONTOLOGI DAN EPISTEMOLOGI

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

FILSAFAT ILMU

Doses Pengampu: Prof. SAMSI, M.Pd

Disusun Oleh:

1. SUCIYATI (NIM 12155140016)

2. MUJIYATI (NIM 12155140026)

3. ZUKY IRIANI (NIM 12155140037)

4. DISEN WANIMBO (NIM 12155140038)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS PGRI YOGYAKARTA

2012

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Era modernisasi ditandai dengan perkembangan

ilmu yang sedemikian cepat. Awalnya secara garis

besar terdapat dua bidang pembagian ilmu

pengetahuan, yakni ilmu alam dan ilmu sosial.

Dinamika perkembangan masyarakat telah memunculkan

bidang ilmu yang lain, seperti ilmu humaniora.

Perkembangan ilmu alam, ilmu sosial, dan ilmu

humaniora juga mengalami percepatan dan kemajuan.

Hal ini tidak lepas dari perdebatan antara para

ilmuwan mengenai bidang ilmu mana yang lebih cepat

mengalami kemajuan. Para ilmuwan sepakat bahwa

dibanding ilmu-ilmu alam, seperti fisika, kimia,

biologi, astronomi, geologi, dan sejenisnya, ilmu-

ulmu sosial seperti sosiologi, psikologi, ekonomi,

politik, sejarah, antropologi, dan seterusnya, dan

juga ilmu-ilmu humaniora seperti bahasa, sastra, dan

seni dianggap jauh tertinggal. Bahkan ada yang

berpendapat lebih ekstrim, bahwa ilmu-ilmu sosial

dan ilmu-ilmu humaniora tidak akan mampu mengejar

kemajuan ilmu-ilmu alam. Sebab, ketika ilmu-ilmu

sosial mencoba mengejarnya, ilmu-ilmu alam sudah

melompat sedemikian jauh.

Ada pula yang berpendapat bahwa lambat laun

ilmu-ilmu sosial akan mampu mengejar

ketertinggalannya dengan ilmu-ilmu alam. Ini karena

gejala sosial yang menjadi kajian utama dalam ilmu-

ilmu sosial berkembang sangat pesat. Dilain sisi

gejala alam yang menjadi kajian utama ilmu-ilmu alam

relatif tetap. Kalaupun berubah, perubahan tersebut

tidak secepat gejala sosial. Bisa saja anggapan

tersebut benar, tetapi bisa juga salah.

Mengkontraskan ilmu-ilmu alam dengan ilmu-ilmu

sosial, bukan berarti menempatkan yang satu lebih

tinggi atau lebih rendah dari yang lain, atau yang

satu lebih bermanfaat dari yang lain.

Dalam kajian ilmu pengetahuan ada fakta sosial

dan ada definisi sosial. Ilmu alam bertugas mengkaji

fakta sosial yang empirik, sedangkan ilmu sosial dan

ilmu humaniora bertugas mengkaji definisi sosial

yang abstrak dan simbolik. Perbedaan objek material

antara ilmu-ilmu alam dengan ilmu-ilmu sosial juga

berbada, sehingga berbeda pula dalam metode dan cara

memperoleh ilmunya. Dalam filsafat ilmu bisa

dikatakan bahwa, jika ontologinya berbeda, maka

epistemologinya pasti berbeda.

Terlepas dari perdebatan mengenai bidang ilmu

mana yang lebih cepat berkembang dan lebih maju,

baik ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial tetap

dibutuhkan manusia dalam kehidupan ini. Dilihat dari

landasan berpikir, objek material, kajian, dan

fungsinya yang berbeda, seharusnya baik ilmu alam

maupun ilmu sosial mampu saling mendukung.

Penjelasan mengenai perbedaan keduanya dimaksudkan

untuk menunjukkan batas keduanya dan menunjukkan

adanya hubungan yang saling mempengaruhi dalam suatu

hubungan timbal balik yang sepadan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka

dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Apa yang dimaksud dengan ilmu alam dan ilmu

sosial?

2. Bagaimana perbedaan ilmu-ilmu alam dengan ilmu-

ilmu sosial dilihat dari dasar ontologi?

3. Bagaimana perbedaan ilmu-ilmu alam dengan ilmu-

ilmu sosial dilihat dari dasar epistemologi?

C. Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka

tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk:

1. Mengetahui pengertian tentang ilmu alam dan ilmu

sosial.

2. Mengetahui perbedaan ilmu-ilmu alam dengan ilmu-

ilmu sosial dilihat dari dasar ontologi.

3. Mengetahui perbedaan ilmu-ilmu alam dengan ilmu-

ilmu sosial dilihat dari dasar epistemologi.

D. Manfaat

Penulisan makalah ini diharapkan mampu

memberikan manfaat baik secara teoritis maupun

praktis. Manfaat teoritis dari penulisan makalah ini

adalah, agar dapat menjadi masukan bagi penulisan

makalah dengan topik yang sama. Sedangkan manfaat

praktisnya, atara lain:

1. Sebagai pengkaji pemula, agar kelompok penulis

mengerti tentang konsep dasar ontologi dan

epistemologi kaitannya dengan perbedaan ilmu alam

dan ilmu sosial.

2. Diharapkan agar mahasiswa lebih memahami mengenai

perbedaan ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial

dilihat dari dasar ontologi dan epistemologi.

3. Membekali mahasiswa dengan kemampuan berpikir

metodologis yang tepat dalam mengkaji ilmu

pengetahuan, baik untuk mengkaji gejala alam,

sosial, dan kemanusiaan dalam upaya menjelaskan

dan mengekplorasi setiap peristiwa.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ilmu Alam dan Ilmu Sosial.

Sebelum membahas mengenai perbedaan ilmu-ilmu

alam dan imu-ilmu sosial dilihat dari dasar ontologi

dan epistemologi, terlebih dahulu akan dibahas

mengenai pengertian ilmu alam dan ilmu sosial.

1.Ilmu Alam.

Ilmu alam, yang dalam bahasa Inggris disebut

dengan istilah natural science, atau ilmu pengetahuan

alam adalah istilah yang digunakan yang merujuk

pada rumpun ilmu dimana obyeknya adalah benda-

benda alam dengan hukum-hukum yang pasti dan umum,

berlaku kapan pun dimana pun. Ilmu alam

mempelajari aspek-aspek fisik dan nonmanusia

tentang Bumi dan alam sekitarnya. Ilmu-ilmu alam

membentuk landasan bagi ilmu terapan, yang

keduanya dibedakan dari ilmu sosial, humaniora,

teologi, dan seni.

Matematika tidak dianggap sebagai ilmu alam,

akan tetapi digunakan sebagai penyedia

alat/perangkat dan kerangka kerja yang digunakan

dalam ilmu-ilmu alam. Istilah ilmu alam juga

digunakan untuk mengenali “ilmu” sebagai disiplin

yang mengikuti metode ilmiah, berbeda dengan

filsafat alam. Di sekolah, ilmu alam dipelajari

secara umum di mata pelajaran Ilmu Pengetahuan

Alam(biasa disingkat IPA).

Tingkat kepastian ilmu alam relatif tinggi

mengingat obyeknya yang kongkrit, karena hal ini

ilmu alam lazim juga disebut ilmu pasti. Di

samping penggunaan secara tradisional di atas,

saat ini istilah “ilmu alam” kadang digunakan

mendekati arti yang lebih cocok dalam pengertian

sehari-hari. Dari sudut ini, “ilmu alam” dapat

menjadi arti alternatif bagi biologi, terlibat

dalam proses-proses biologis, dan dibedakan dari

ilmu fisik (terkait dengan hukum-hukum fisika dan

kimia yang mendasari alam semesta). Cabang-cabang

utama dari ilmu alam, antara laing: Astronomi,

Biologi, Ekologi, Fisika, Geologi, Geografi fisik

berbasis ilmu, Ilmu bumi, dan Kimia.

2.Ilmu Sosial.

Ilmu sosial (Inggris: social science) atau ilmu

pengetahuan sosial adalah sekelompok disiplin

akademis yang mempelajari aspek-aspek yang

berhubungan dengan manusia dan lingkungan

sosialnya. Ilmu ini berbeda dengan seni dan

humaniora karena menekankan penggunaan metode

ilmiah dalam mempelajari manusia, termasuk metoda

kuantitatif dan kualitatif.

Ilmu sosial, dalam mempelajari aspek-aspek

masyarakat secara subjektif, inter-subjektif, dan

objektif atau struktural, sebelumnya dianggap

kurang ilmiah bila dibanding dengan ilmu alam.

Namun sekarang, beberapa bagian dari ilmu sosial

telah banyak menggunakan metoda kuantitatif.

Demikian pula, pendekatan interdisiplin dan

lintas-disiplin dalam penelitian sosial terhadap

perilaku manusia serta faktor sosial dan

1ingkungan yang mempengaruhinya telah membuat

banyak peneliti ilmu alam tertarik pada beberapa

aspek dalam metodologi ilmu sosial. Penggunaan

metoda kuantitatif dan kualitatif telah makin

banyak diintegrasikan dalam studi tentang tindakan

manusia serta implikasi dan konsekuensinya.

Ilmu-ilmu sosial selama bertahun-tahun telah

menjadi arena sejumlah kritik. Ilmu sosial secara

garis besar dianggap sebagai ‘ilmu yang tidak

mungkin’. Argumentasi yang ada melihat bahwa

gejala sosial adalah terlalu rumit untuk

diselidiki. Ilmu sosial, yang membahas mengenai

seluruh seluk beluk kehidupan manusia, dianggap

tak mampu menangkap ke-kompleksitas-annya. Manusia

memiliki gejala dan perilaku yang selalu berubah-

ubah, inilah yang mendasari munculnya argumentasi

tersebut. Namun, pandangan ini muncul disebabkan

oleh kesalahan pada pemahaman tentang hakekat

ilmu.

B. Perbedaan Ilmu-ilmu Alam dengan Ilmu-ilmu Sosial

Dilihat dari Dasar Ontologi.

Persoalan-persoalan metafisis dibedakan

menjadi tiga persoalan, yaitu:  persoalan ontologi,

persoalan kosmologi dan persoalan antropologi. Ahli

metafisika berupaya memperjelas pemikiran-pemikiran

manusia mengenai dunia, termasuk keberadaan,

kebendaan, sifat, ruang, waktu, hubungan sebab

akibat, dan kemungkinan. Namun di lapangan,

penggunaan istilah “metafisika” telah berkembang

untuk merujuk pada “hal-hal yang di luar dunia

fisika”. “Toko buku metafisika”, sebagai contoh,

bukanlah menjual buku mengenai ontologi, melainkan

lebih kepada buku-buku mengenai ilmu gaib,

pengobatan alternatif, dan hal-hal sejenisnya.

Dengan demikian maka metafisika keilmuan yang

berdasarkan kenyataan yang sebagaimana adanya (das

Sein) menyebabkan ilmu menolak premis moral yang

bersifat seharusnya (das Sollen). Ilmu justru

merupakan pengetahuan yang biasa dijadikan alat

untuk mewujudkan tujuan-tujuan yang mencerminkan das

Sollen dengan jalan mempelajari das Sein agar dapat

menjelaskan, meramalkan, serta mengontrol gejala

alam. Kecenderungan untuk memaksakan-meramalkan

nilai moral secara dogmatik ke dalam argumentasi

ilmiah akan mendorong ilmu surut ke belakang ke

jaman pra-Copernicus dan mengundang kemungkinan

berlangsungnya Inquisisi ala Galileo pada jaman

modern. Namun hal ini jangan ditafsirkan bahwa dalam

menelaah das Sein ilmu terlepas sama sekali dari das

Sollen. Kaidah moral ini menyebutkan bahwa dalam

menetapkan objek telaah, kegiatan keilmuwan tidak boleh

melakukan upaya yang bersifat mengubah kodrat

manusia, merendahkan martabat manusia, dan

mencampuri permasalahan kehidupan.

Di samping itu, metafisika juga, merupakan

suatu kajian tentang hakikat keberadaan zat, hakikat

pikiran, dan hakikat kaitan zat dengan pikiran.

Objek metafisika menurut Aristoteles, ada dua

yakni :

1. Ada sebagai yang ada; pengetahuan  yang mengkaji 

yang ada itu dalam bentuk semurni-murninya, bahwa

suatu benda itu sungguh-sungguh ada dalam arti

kata tidak terkena perubahan, yang bisa ditangkap

panca indera.

2. Ada sebagai yang illahi; keberadaan yang mutlak,

yang tidak bergantung pada yang lain, yakni Tuhan

(illahi berarti yang tidak dapat ditangkap oleh

panca indera).

Sebelum membahas mengenai perbedaan ilmu-ilmu

alam dan ilmu-ilmu sosial dilihat dari dasar

ontologi, perlu dideskripsikan terlebih dahulu

mengenai ontologi itu sendiri. Cabang utama

metafisika adalah ontologi. Ontologi merupakan studi

mengenai kategorisasi benda-benda di alam dan

hubungan antara satu dan lainnya. Istilah “ontologi”

berasal dari kata Yunani ‘onta’ yang berarti “yang

ada secara nyata”, atau “kenyataan yang

sesungguhnya”. Sedangkan istilah “logi” beasal dari

kata Yunani ‘logos’ yang berarti “studi tentang” atau

“uraian tentang”.

Ontologi merupakan salah satu kajian

kefilsafatan yang paling kuno dan berasal dari

Yunani. Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu

yang bersifat konkret. Tokoh Yunani yang memiliki

pandangan yang bersifat ontologis dikenal seperti

Thales, Plato, dan Aristoteles. Pada masanya,

kebanyakan orang belum membedakan antara penampakan

dengan kenyataan.

Ontologi adalah cabang filsafat yang

membicarakan tentang yang ada. Dalam kaitan dengan

ilmu, landasan ontologi mempertanyakan tentang objek

yang ditelaah oleh ilmu, bagaimana wujud hakikinya,

serta bagaimana hubungannya dengan daya tangkap

manusia yang berupa berpikir, merasa, dan meng-

indera yang membuahkan pengetahuan. Objek telaah

Ontologi tersebut adalah yang tidak terlihat pada

satu perwujudan tertentu, yang membahas tentang yang

ada secara universal, yaitu berusaha mencari inti

yang dimuat setiap kenyataan yang meliputi segala

realitas dalam semua bentuknya.

Adanya segala sesuatu merupakan suatu segi

dari kenyataan yang mengatasi semua perbedaan antara

benda-benda dan makhluk hidup, antara jenis-jenis

dan individu-individu. Dari pembahasannya

memunculkan beberapa pandangan yang dikelompokkan

dalam beberapa aliran berpikir, yaitu:

1. Materialisme;

Aliran yang mengatakan bahwa hakikat dari segala

sesuatu yang ada itu adalah materi. Sesuatu yang

ada (yaitu materi) hanya mungkin lahir dari yang

ada.

2. Idealisme (Spiritualisme);

Aliran ini menjawab kelemahan dari materialisme,

yang mengatakan bahwa hakikat pengada itu justru

rohani (spiritual). Rohani adalah dunia ide yang

lebih hakiki dibanding materi.

3. Dualisme;

Aliran ini ingin mempersatukan antara materi dan

ide, yang berpendapat bahwa hakikat pengada

(kenyataan) dalam alam semesta ini terdiri dari

dua sumber tersebut, yaitu materi dan rohani.

4. Agnotisisme;

Aliran ini merupakan pendapat para filsuf yang

mengambil sikap skeptis, yaitu ragu atas setiap

jawaban yang mungkin benar dan mungkin pula

tidak.

Bebarapa pertanyaan sekitar persoalan-

persoalan ontologis di antaranya adalah :

1. Apa yang dimaksud dengan ada, keberadaan atau

eksistensi itu ?

2. Bagaimanakah penggolongan dari ada, keberadaan,

atau eksistensi ?

3. Apa sifat dasar (nature) kenyataan atau

keberadaan ?

Selanjutnya bagaimana dengan ontologi ilmu

atau pengetahuan ilmiah? Ontologi Ilmu adalah

mengkaji apa hakikat ilmu atau pengetahuan ilmiah 

yang seringkali secara populer banyak orang

menyebutnya dengan ilmu pengetahuan, apa hakikat

kebenaran rasional atau  kebenaran deduktif dan

kenyataan  empiris  yang tidak terlepas dari

persepsi  ilmu  tentang apa dan bagaimana (yang)

“Ada” itu (being Sein, het zijn) (diunduh dari

http://id.wikipedia.org/w/index.php?

title=Ontologi&action, diakses pada Kamis, 27

September 2012).

Ontologi ilmu membatasi diri pada ruang

kajian  keilmuan yang bisa dipikirkan manusia secara

rasional dan yang bisa diamati melalui panca indera

manusia.  Wilayah ontologi ilmu terbatas pada

jangkauan pengetahuan ilmiah manusia. Sementara

kajian objek penelaah yang berada dalam batas

prapengalaman (seperti penciptaan manusia) dan pasca

pengalaman (seperti surga dan neraka)  menjadi

ontologi dari pengetahuan lainnya di luar ilmu. Ilmu

adalah bagian kecil dari serangkaian  pengetahuan

yang dapat ditemukan dan dipelajari serta dibutuhkan

dalam mengatasi berbagai dilema dunia  dan isinya.

Dengan kata lain ilmu  yang banyak orang mengatakan

dengan sebutan pengetahuan ilmiah, hanya merupakan

salah satu pengetahuan dari sekian banyak

pengetahuan yang mencoba menelaah kehidupan, dengan

melakukan berbagai penafsiran tentang hakikat

realitas dari objek ontologi (diunduh dari

http://id.wikipedia.org/w/index.php?

title=Ontologi&action, diakses pada Kamis, 27

September 2012).

Hakekat kenyataan atau realitas memang bisa

didekati ontologi dengan dua macam sudut pandang,

yakni:

1. Kuantitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah

kenyataan itu tunggal atau jamak.

2. Kualitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah

kenyataan (realitas) tersebut memiliki kualitas

tertentu, seperti misalnya daun yang memiliki

warna kehijauan, bunga mawar yang berbau harum.

Secara sederhana ontologi bisa dirumuskan

sebagai ilmu yang mempelajari realitas atau

kenyataan konkret secara kritis. Dalam mengkaji ilmu

dapat berpangkal dari beberapa aliran dalam bidang

ontologi, yakni realisme, naturalisme, empirisme.

Ilmu merupakan pengetahuan yang mencoba menafsirkan

alam ini sebagaimana adanya.

Menganalisis tentang masalah perbedaan ilmu-

ilmu alam dengan ilmu-ilmu sosial ditinjau dari segi

ontologi, perlu diwacanakan tentang kriteria ilmu

sebagai latar dari kajian. Ilmu merupakan

pengetahuan yang diatur secara sistematis dan

langkah-langkah pencapaiannya dipertanggungjawabkan

secara teoritis. Ilmu pengetahuan juag memiliki

ciri-ciri yang umum yaitu memiliki objek, metode,

sistematis, dan kriteria kebenaran. Kajian ontologi

dalam filsafat ilmu berhubungan dengan telaah

terhadap ilmu yang menyelidiki landasan suatu ilmu

yang menanyakan apa asumsi ilmu terhadap objek

material dan objek formal, baik bersifat fisik atau

kejiwaan.

Ilmu berkembang pesat seiring dengan

penambahan jumlah cabang-cabangnya. Hasrat untuk

menspesialisasikan diri pada satu bidang telaah yang

memungkinkan analisis yang makin cermat dan seksama,

menyebabkan objek formal dari disiplin keilmuan

menjadi kian terbatas. Pada dasarnya cabang-cabang

ilmu tersebutberkembangd ari dua cabang utama, yakni

filsafat alam yang kemudian menjadi rumpun ilmu-ilmu

alam (the natural sciences) dan filsafat moral yang

kemudian berkembang kedalam cabang ilmu-ilmu sosial

atau the sosial sciences (Jujun S. Suriasumantri, 2005:

93).

Ilmu-ilmu alam membagi diri dalam dua kelompok

lagi, yakni ilmu alam (the physical sciences) dan ilmu

hayat (the biological sciences). Ilmu alam bertujuan

mempelajari zat yang membentuk alam semesta,

sedangkan ilmu alam kemudian bercabang lagi menjadi

fisika (mempelajari massa dan energi); kimia

(mempelajari substansi zat); astronomi (mempelajari

benda-benda langit); ilmu bumi yang mempelajari bumi

(Jujun S. Suriasumantri, 2005: 93). Tiap-tiap cabang

kemudian membuat ranting-ranting baru, seperti

fisika berkembang menjadi mekanika, hidrodinamika,

kelistrikan, fisika nuklir, dan kimia fisik.

Jujun S. Suria sumantri menyatakan (2005: 94),

ilmu murni merupakan kumpulan teori-teori ilmiah

yang bersifat dasar dan teoritis, yang belum

dikaitkan dnegan masalah-masalah kehidupan yang

bersifat praktis. Ilmu terapan merupakan aplikasi

ilmu murni kepada masalah-masalah kehidupan yang

mempunyai manfaat praktis.

Ilmu-ilmu sosial berkembang agak lambat

dibanding dnegan ilmu-ilmu alam. Pada pokoknya

terdapat cabang utama ilmu-ilmu sosial, antara lain:

a. Antropologi, yang mempelajari tentang budaya

masyarakat suatu etnis tertentu.

b. Ekonomi, yang mempelajari produksi dan pembagian

kekayaan dalam masyarakat.

c. Geografi, yang mempelajari lokasi dan variasi

keruangan atas fenomena fisik dan manusia di atas

permukaan bumi.

d. Hukum, yang mempelajari sistem aturan yang telah

dilembagakan.

e. Linguistik, yang mempelajari aspek kognitif dan

sosial dari bahasa.

f. Pendidikan, yang mempelajari masalah yang

berkaitan dengan belajar, pembelajaran, serta

pembentukan karakter dan moral.

g. Politik, yang mempelajari pemerintahan sekelompok

manusia (termasuk negara).

h. Psikologi, yang mempelajari tingkah laku dan

proses mental.

i. Sejarah, yang mempelajari masa lalu yang

berhubungan dengan umat manusia.

j. Sosiologi, yang mempelajari masyarakat dan

hubungan antar manusia didalamnya.

Cabang utama ilmu-ilmu sosial ini kemudian

mempunyai cabang-cabang lain, sebagai contoh

antropologi, terpecah menjadi lima, yakni:

arkeologi, antropologi fisik, linguistik, etnologi,

dan antropologi sosial/kultural.

C. Perbedaan Ilmu-ilmu Alam dengan Ilmu-ilmu Sosial

Dilihat dari Dasar Epistemologi.

Objek telaah epistemologi adalah

mempertanyakan bagaimana sesuatu itu datang dan

bagaimana mengetahuinya, bagaimana membedakan dengan

yang lain. Jadi berkenaan dengan situasi dan kondisi

ruang serta waktu tentang sesuatu hal. Landasan

epistemologi adalah proses apa yang memungkinkan

mendapatkan pengetahuan logika, etika, estetika,

bagaimana cara dan prosedur memperoleh kebenaran

ilmiah, kebaikan moral dan keindahan seni, serta apa

definisinya. Epistemologi moral menelaah evaluasi

epistemik tentang keputusan moral dan teori-teori

moral. Dalam epistemologi muncul beberapa aliran

berpikir, yaitu:

1. Empirisme;

Yang berarti pengalaman (empeiria), dimana

pengetahuan manusia diperoleh dari pengalaman

inderawi.

2. Rasionalisme;

Tanpa menolak besarnya manfaat pengalaman indera

dalam kehidupan manusia, namun persepsi inderawi

hanya digunakan untuk merangsang kerja akal. Jadi

akal berada diatas pengalaman inderawi dan

menekankan pada metode deduktif.

3. Positivisme;

Merupakan sistesis dari empirisme dan

rasionalisme. Dengan mengambil titik tolak dari

empirisme, namun harus dipertajam dengan

eksperimen, yang mampu secara objektif menentukan

validitas dan reliabilitas pengetahuan.

4. Intuisionisme;

Intuisi tidak sama dengan perasaan, namun

merupakan hasil evolusi pemahaman yang tinggi

yang hanya dimiliki manusia. Kemampuan ini yang

dapat memahami kebenaran yang utuh, yang tetap

dan unik.

Epistemologi atau teori pengetahuanmembahas

secara mendalam segenap proses yang terlibat dalam

usaha untuk memperoleh pengetahuan. Ilmu merupakan

pengetahuan yang didapat melalui proses tertentu

yang dinamakan metode keilmuan. Metode inilah yang

membedakan ilmu dnegan buah pemikiran yang lainnya

(Jujun S. Suriasumantri, 2006: 9).

Munculnya persoalan epistemologi bukan

mengenai suatu prosedur penyelidikan ilmiah, tetapi

dengan mempertanyakan “mengapa prosedur ini, bukan

yang lain”. Dalam konteks ilmu sosial, filsafat

mempertanyakan metode dan prosedur yang dipergunakan

peneliti sosial, dari disiplin ilmu sosial. Ilmu

alam memang terkait secara pokok dalam positivistik,

mempelajari sesuatu yang obyektif, tidak hidup , dan

dunia fisik. Kajian masyarakat, hasil akal manusia,

adalh subjektif, emotif bersifat subjektif. Tingkah

laku masyarakat adalah selalu mengandung nilai, dan

pengetahuan reliabel tentang kebudayaan, hanya dapat

digapai dengan cara mengisolasi ide-ide umum, opini

atau tujuan khusus masyarakat. Hal tersebut membuat

tindakan sosial adalah penuh makna subjektif.

Alat untuk memperoleh pengetahuan sangat

tergantung dari asumsi terhadap objek. Demikian juga

telaah dalam filsafat ilmu, sarana dan lat untuk

memproses ilmu harus konsisten dengan karakter objek

material ilmu. Berdasarkan kondisi tersebut terdapat

perbedaan paradigma yang disebabkan oleh karakter

objek yang berbeda. Misalnya antara ilmu alam dan

ilmu sosialyang terdapat perbedaan metode dan sarana

yang dipakai. Objek material adalah bahan yang

dijadikan sasaran penyelidikan (misalnya: ilmu

kedokteran, ilmu sastra, psikologi), sedangkan objek

formal adalah sudut pandang tertentu terhadap objek

materialnya, misalnya ilmu kedokteran, objek

formalnya keadaan fisik manusia.

Keabsahan yang merupakan bukti bahwa suatu

ilmu adalah benar secara epistemologis bukanlah

sesuatu yang didatangkan dari luar, melainkan hasil

penyelidikan. Oleh karena itu masalah keabsahan

apakah ukurannya cocok, tergantung pada metode dan

karakter objek, sehingga jenis ilmu yang satu dan

lainnya tidak sama. Dengan kata lain, seseorang

tidak bisa menguji metode dan hasil ilmu yang satu

dengan menggunakan ilmu yang lainnya.

Kajian tersebut dapat menjadi dasar perbedaan

ilmu-ilmu alam dan sosial berdasarkan perspektif

epistemologi, yaitu:

1. Ilmu-Ilmu Alam.

Ilmu alam merupakan ilmu yang mempelajari

objek-objek empiris di alam semesta ini. Ilmu

alam mempelajari berbagai gejala dan peristiwa

yang mempunyai manfaat bagi kehidupan manusia.

Berdasarkan objek telaahnya, maka ilmu dapat

disebut sebagai pengetahuan empiris. Objek-objek

yang berada di luar jangkauan pengalaman manusia

tidak termasuk bidang penalaahan ilmu (Yuyun S,

1981: 6).

Ilmu alam mempunyai asumsi mengenai objek,

antara lain:

a. Menganggap objek-objek tertentu mempunyai

keserupaan satu sama lain, yaitu dalam hal

bentuk struktur dan sifat, sehingga ilmu tidak

berbicara mengenai kasus individual, melainkan

suatu kelas tertentu.

b. Menganggap bahwa suatu benda tidak mungkin

mengalami perubahan dalam jangka waktu

tertentu. Kelestarianrelatif dalam jangka

waktu tertentu ini memungkinkan dilakukan

pendekatan keilmuan terhadap objek yang sedang

diselidiki.

c. Menganggap tiap gejala bukan merupakan suatu

kejadian yang bersifat kebetulan, tiap gejala

mempunyai pola tertentu yang bersifat tetap

dan urut-urtan kejadian yang sama (Yuyun S,

1981: 7).

Dalam pandangan empirisme ilmu tidak

menuntut adanya hubungan kausalitas yang mutlak,

sehingga suatu kejadian tertentu harus diikuti

oleh kejadian yang lain. Ilmu tentang objek

empiris pada dasarnya merupakan abstraksi yang

disederhanakan. Hal ini perlu karena kejadian

alam sangat kompleks. Kegiatan yang dilakukan

dalam ilmu alam tidak merupakan objek penelitian

ilmu alam, sebab praktik ilmu alam merupakan

suatu aktivitas manusia yang khas. Manusia memang

dapat terlibat sebagai subjek dan sebagai objek.

Ini artinya, manusia memprakteki dan diprakteki.

2. Ilmu-Ilmu Sosial.

Ilmu sosial adalah ilmu yang mempelajari

manusia dalam segala aspek hidupnya, ciri

khasnya, tingkah lakunya, baik perseorangan

maupun bersama, dalm lingkup kecil maupun basar.

Objek ilmu sosial lain sama sekali dengan objek

material ilmu alam. Onjek material dalam ilmu

sosial adalah berupa tingkah laku dalam tindakan

yang khas manusia, bebas, dan tidak

deterministik.

Kajian yang berbeda-beda terhadap ilmu,

merupakan konsekuensi dari perbedaan objek

formal. Objek ilmu sosial yaitu manusia sebagai

keseluruhan. Penelitian dalam ilmu sosial juga

meimbulkan perbedaan pendekatan. Dalam ilmu

sosial, praktek ilmiah sebagai aktivitas

manusiawi merupakan juga objek penelitian

manusia, misalnya psikologi, sosiologi, dan

sejarah. Klaim terhadap ilmu-ilmu sosial kadang

dinilai gagal dalam menangkap kekomplekan gejala,

didasarkan pada kegagalan dalam membedakan antara

pernyataan beserta sistematika yang dipakai,

dengan gejala sosial yang dinyatakan oleh

pernyataan tersebut. Tidak senua argumentasi

tentang kerumitan gejala sosial, yang menyebabkan

ketidakmungkinan ilmu-ilmu sosial. Rangkaian

argumentasi yang lain, didasarkan pada tuduhan

bahwa metode keilmuan tidak mampu untuk menangkap

“keunikan” gejala sosial dan manusiawi.

Penelaahna ssosial tertarik pada keunikantiap-

tiap kejadian sosial, padahal metode keilmuan

hanya mampu mensitematikakan berdasarkan

genaralisasi, maka keadaan ini menyebabkan harus

ditetapkannya metode yang lain dalam ilmu-ilmu

sosial (Jujun S. Suriasumantri, 2006: 143).

Objek penelaahan ilmu sosial mempunyai

karakter (Jujun S. Suriasumantri, 2006: 134),

sebagai berikut:

a. Objek penelaahan yang kompleks.

Gejala sosial lebih kompleks

dibandingkan dnegan gejala alam. Ahli ilmu

alam berhubungan dengan satu jenis gejala,

yakni gejala yang bersifat fisik. Gejala

sosial juga mempelajari karakter fisik, namun

diperlukan penjelasan yang lebih dalam untuk

mampu menerangkan gejala tersebut. Guna

menjelaskan hal ini berdasarkan hukum-hukum

seperti yang terdapat dalam ilmu alam,

tidaklah cukup.

Ahli ilmu alam berhubungan dengan gejala

fisik yang bersifat umum. Penelaahannya

meliputi beberapa variabel dalam jumlah yang

relatif kecil, yang dapat diukur secara tepat.

Ilmu-ilmu sosial mempelajari manusia selaku

perseorangan maupun selaku anggota dari suatu

kelompok sosial yang menyebabkan situasi yang

bertambah rumit. Variabel dalam penelaahan

sosial adalah relatif banyak, terkadang

membimbingkan peneliti.

Apabila seorang ahli kimia mencampurkan

dua buah zat kimia dan meledak, hal itu dapat

dijelaskan dnegan tepat dalam ilmu alam. Namun

apabila terjadi kejahatan, maka kajiannya

terdapat faktoryang banyak sekali untuk

dijelaskan. Tingkat-timgkat kejadian suatu

peristiwa sosial selalu menyulitkan ahli ilmu

sosial untuk menetapkan aspek-aspek apa saja

yang terlibat, pola pendekatan mana yang

paling tepat, dan variabel-variabel apa saja

yang termasuk didalamnya.

b. Kesukaran dalam pengamatan.

Pengamatan langsung gejala sosial lebih

sulit dibandingkan dengan gejal ilmu-ilmu

alam. Ahli ilmu sosial tidak mungkin melihat,

mendengar, meraba, mencium, atau mengecap

gejala yang sudah terjadi di masa lalu.

Seorang ahli pendidikan yang sedang

mempelajari sistem persekolahan di jaman

penjajahan, tidak dapat melihat sendiri

kejadian-kejadian pada masa tersebut. Keadaan

ini berbeda dengan seoramng ahli kimia yang

bisa mengulang kejadian yang sama setiap waktu

dan mengamati suatu kejadian tertentu secara

langsung.

c. Objek penelaahan yang tidak terulang.

Gejala fisik pada umumnya bersifat

seragam, dan gejala tersebut dapat diamati

sekarang. Gejala sosial banyak yang bersifat

unik dan sukar untu terulang kembali.

Abstraksi secara tepat dapat dilakukan

terhadap gejal fisik melalui perumusan

kuantitatif dan hukum yang berlaku umum.

Masalah sosial sering kali bersifat spesifik

dan konteks historis tertentu. Kejadian

tersebut bersifat mandiri. Bervariasinya

kejadian-kejadian sosial, ditambah dnegan

sulitnya pengamatan secara langsung waktu

penelaahan dilaksanakan menyebabkan sukarnya

mengembangkan dan menguji hukum-hukum sosial.

d. Hubungan antara ahli dan objek penelaahan

sosial.

Gejala fisik seperti unsur kimia bukanlah

suatu individu, melainkan barang mati. Ahli

imu alam tidak perlu memperhitungkan tujuan

atau motif dari planet. Ahli sosial

mempelajari manusia yang merupakan makhluk

yang penuh tujuan dalam tingkah laku. Manusia

bertindak sesuai dengan keinginannya dan

mempunyai kemampuan untuk melakukan pilihan

atas tindakan yang akan diambilnya. Hal ini

menyebabkan manusia dapat melakukan perubahan

dalam tindakannya. Kondisi ini menyebabkan

objek penelaahan ilmu sosial sangat

dipengaruhi oleh keinginan dan pilihan

manusia, maka gejala sosial berubah secara

tetap sesuai dengan tindakan manusia yang

didasari keinginan dan pilihan tersebut.

Ahli ilmu alam menyelidiki proses alami

dan menyusun hukum yang bersifat umum mengenai

proses. Ahli alam tidak bermaksud untuk

mengubah alam atau harus setuju dengan proses

tersebut. Ahli ilmu alam hanya berharap bahwa

pengetahuan mengenai gejala fisik dan alam

akan memungkinkan manusia untuk memanfaatkan

proses alam. Ahli ilmu soaisl tidaklah

bersikap sebagai penonton yang menyaksikan

suatu proses kejadian sosial.

Ahli ilmu alam mempelajari fakta dan

memusatkan perhatiaanya pada keadaan yang

terjadi pada alam. Ahli ilmu sosial juga

mempelajari fakta, umpamanya mengenai kondisi-

kondisi yang terdapat dalam suatu masyarakat.

Namun demikian, terkadang peneliti

mengembangakan materi berdasarkan penemuannya

tersebut, untuk dapat diaplikasikan kepada

masyarakat.

Perbedaan-perbedaan secara epistemologi

tersebut dapat dijadikan asumsi bahwa pada

pengkajian ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial

tidak dapat disamakan. Metode dalam pengkajian

ilmu-ilmu alam berbeda objeknya, sehingga akan

menyebabkan perbedaan cara pengkajian.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Ditinjau dari perspektif ontologi, perbedaan

ilmu- ilmu alam dan sosial yakni, ilmu-ilmu alam

merupakan cabang dari filsafat alam (the natural

sciences), sedangkan ilmu-ilmu sosial merupakan

cabang dari filasafat moral (the social sciences).

Ilmu-ilmu alam kemudia terbagi menjadi ilmu alam

dan ilmu hayat. Ilmu alam terbagi lagi menjadi

fisika, kimia, astronomi, dan ilmu bumi. Ilmu-ilmu

sosial terbagi menjadi antropologi, psikologi,

ekonomi, sosiologi, dan ilmu politik.

Ditinjau dari perspektif epistemologi,

perbedaan ilmu-ilmu alam dan sosial terletak pada

penggunaan prosedur ilmiah. Ilmu alam terkait

secara pokok dengan positivistik, mempelajari yang

objektif, tidak hidup, dan dunia fisik. Objek ilmu

alam dianggap serupa, tidak mengalami perubahan

dalam jangka tertentu, dan setiap gejala terpola.

Ilmu-ilmu sosial merupakan hasil akal manusia,

subjektif, dan emotif. Objek material ilmu sosial

ialah tingkah laku khas manusia dan tidak

deterninistik.

B. Implikasi

Pengetahuan tentang perbedaan ilmu-ilmu alam

dan ilmu-ilmu sosial ditinjau dari aspek

ontologis, memberi pemahaman bahwa ilmu alam dan

ilmu soisal tersegmentasi dalam karakter yang

sama. Perbedaan secara ontologis menjadikan

kejelasan batasan mengenai karakter ilmu yang

lebih bersifat ilmu alam atau ilmu sosial.

Tinjauan epistemologi tentang perbedaan

ilmu-ilmu alam dan sosial, memberikan wacana

tentang metode yang digunakan dalam mengkaji

masalah ilmu alam dan ilmu sosial. Metode yang

digunakan harus disesuaikan dengan karakter

objeknya, baik ilmu alam maupun ilmu sosial.

Ketepatan metode menjadikan ilmu dapat dikaji

secara benar.

C. Saran

Pemahaman secara ontologis antara ilmu-ilmu

alam dan ilmu-ilmu sosial penting dilakukanoleh

berbagai pihak, karena dengan kajian tersebut

dapat memberi penjelasan batasan-batasan antara

keduanya. Di lain sisi, pengetahuan tantang

batasan epistemologi juga perlu dipahami, oleh

berbagai pihak agar tidak salah dalam menganalisis

ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial dengan

penggunaan metode yang tidak tepat.

DAFTAR PUSTAKA

Sumber Buku:

Jujun S. Suriasuamantri. 2005. Filsafat Ilmu Sebuah

Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar

Harapan.

___________________. 2006. Ilmu Dalam Perspektif Sebuah

Kumpulan dan Karangan tentang Hakekat Ilmu.

Yogyakarta: Liberty.

Yuyun S. 1981. Ilmu dalam perspektif. Yogyakarta:

Gramedia.

Sumber Internet:

Supri Hartanto. Pembedaan IPA dan IPS dalam Perspektif

Ontologi dan Epistemologi. 2010. Diunduh dari

http://mkalahmu.wordpress.com/2010/11/03/perbed

aan-ipa-dan-ips-epistemologi.html, diakses pada

Senin, 29 Oktober 2012.

Nadiroh. Modul Filsafat Ilmu. 2011. Diunduh dari

http://profnadiroh.wordpress.com/2011/04/11/ont

ologi-epistemologi-dan-aksiologi/, diakses pada

Senin, 29 Oktober 2012.

Wikipedia. Epistemologi dan Ontologi. 2012. Diunduh

dari http://id.wikipedia.org/w/index.php?

title=Epistemologi&action, diakses pada

Senin, 29 Oktober 2012.

Wibowo. Pengertian Ilmu, Alsiologi, Nilai, dan Etika.

2009. Diunduh dari

http://mswibowo.blogspot.com/2009/01/aksiologi-

nilai-dan-etika.htm, diakses pada Senin, 29

Oktober 2012.

Anonim. Pengantar Filsafat Ilmu. 2010. Diunduh dari

http://id.shvoong.com/social-sciences/sociology

/1871556-pengantar-filsafat/, diakses pada

Selasa, 30 Oktober 2012.

Dewi Firmayanti. Filsafat Ilmu. 2011. Diunduh dari

http://dewifirmayanti.blogdetik.com/2011/12/20/

filsafat-ilmu/, diakses pada Selasa, 30 Oktober

2012.