analisis empiris efektivitas mekanisme transmisi kebijakan ...
-
Upload
khangminh22 -
Category
Documents
-
view
0 -
download
0
Transcript of analisis empiris efektivitas mekanisme transmisi kebijakan ...
Volume 7(2), Juli 2018 http://[email protected]
Analisis Empiris Efektifitas Mekanisme Transmisi ……..…..( Ikhsan, Baheri, Nuddin) | 1
ANALISIS EMPIRIS EFEKTIVITAS MEKANISME TRANSMISI KEBIJAKAN
MONETER DI INDONESIA MELALUI JALUR
NILAI TUKAR PERIODE 1990:2–2007:1
M. Natsir1
Universitas Haluoleo, Kendari, Sulawesi Tenggara, 93231
Email: [email protected]
ABSTRACT
The aim of this research is to analyze the effectiveness of monetary policy transmission mechanism
in Indonesia through exchange rate channel on period 1990:2-2007:1. This research use time series
secondary data take from BI, BPS and IFS from many publications. Analysis technique that used
was properties of Vector Auto Regression (VAR) model: Impulse Response Function (IRF) and
Variance Decomposition (VD) The result of this research indicated that transmission mechanism of
monetary policy through exchange rate channel work effectively with time lag about 16 quarterly.
Exchange rates variable in this channel can be experience final target (inflations) about 19.69 %
and interest rates differential about 43.36%. The result of this research is useful for Government
and Bank of Indonesia to formulate and implementations the monetary policy effectively. This
study result also can be used as reference for the researchers that want to hold further research.
Key words:: effectiveness, transmission mechanism and monetary policy.
Kode Klasifikasi JEL: B17; E52; R15; G15
Latar Belakang
Informasi mengenai perubahan kebijakan moneter menjadi sangat penting
dan selalu menjadi perhatian bagi seluruh pelaku ekonomi. Misalnya, pernyataan
Gubernur BI pada tanggal 18 Mei 2004 bahwa jika tekanan inflasi terus-menerus
berlangsung, maka akan ada kenaikan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (rSBI).
Akibat dari pernyataan tersebut nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat
menjadi stabil dan harga saham meningkat yang sempat melemah setelah adanya
informasi perubahan kebijakan moneter oleh bank sentral Amerika Serikat
(Federal Reserve of the USA).
Setiap perubahan kebijakan bank sentral akan direspon baik oleh
perubahan perilaku perbankan maupun pelaku dunia usaha lainnya. Perubahan
Volume 7(2), Juli 2018 http://[email protected]
Analisis Empiris Efektifitas Mekanisme Transmisi ……..…..( Ikhsan, Baheri, Nuddin) | 2
perilaku tersebut akhirnya tercermin dalam perubahan jumlah uang beredar, suku
bunga, nilai tukar dan ekspektasi para pelaku ekonomi (Blinder,1998:6).
Perubahan-perubahan tersebut menggambarkan suatu mekanisme yang dalam
teori ekonomi moneter dinamakan mekanisme transmisi kebijakan moneter
(MTKM). Karena menyangkut perubahan perilaku dan ekspektasi masyarakat,
maka transmisi kebijakan moneter merupakan proses yang bersifat kompleks dan
sulit diprediksi. Untuk alasan itu, para ahli ekonomi moneter sering
menggambarkan proses transmisi moneter sebagai ”kotak hitam” yang penuh
dengan teka-teki.
Permasalahan mengenai MTKM masih merupakan topik yang menarik dan
menjadi perdebatan, baik di dunia akademis maupun para praktisi di bank sentral.
Menariknya MTKM selalu dikaitkan dengan dua pertanyaan Bernanke dan Blinder
(1992) dan Taylor (1995). (1) apakah kebijakan moneter dapat mempengaruhi
ekonomi riil di samping pengaruhnya terhadap harga. (2) jika jawabannya ya,
melalui mekanisme transmisi apa pengaruh kebijakan moneter terhadap ekonomi
riil tersebut terjadi.
Penelitian ini menganalisis efektivitas mekanisme transmisi kebijakan
moneter melalui jalur nilai tukar. Jalur nilai tukar menjadi sangat penting bagi
perekonomian Indonesia, karena merupakan perekonomian terbuka (open
economy). Efektivitas kebijakan moneter diukur dengan dua indikator yaitu 1.
Berapa besar kecepatan atau tenggat waktu (time lag) dan 2. berapa kekuatan
variabel-variabel pada masing-masing jalur merespons adanya perubahan (shock)
instrumen kebijakan moneter (rSBI) dan variabel lainnya hingga terwujudnya
sasaran akhir kebijakan moneter. Kedua indikator tersebut diperoleh dari hasil Uji
Impulse Response Function dan Uji Variance Decomposition.
Landasan Teori
Kebijakan Moneter (Monetary Policy)
Kebijakan moneter adalah semua upaya atau tindakan bank sentral untuk
mempengaruhi perkembangan moneter (uang beredar, suku bunga, kredit dan
nilai tukar) untuk mencapai tujuan ekonomi tertentu (Litteboy and Taylor, 2006:
198) dan Mishkin (2004: 457). Sebagai bagian dari kebijakan ekonomi makro,
maka tujuan kebijakan moneter adalah untuk membantu mencapai sasaran-
sasaran makroekonomi antara lain: pertumbuhan ekonomi, penyediaan lapangan
kerja, stabilitas harga dan keseimbangan neraca pembayaran. Keempat sasaran
tersebut merupakan tujuan/sasaran akhir kebijakan moneter (final target).
Idealnya, semua sasaran akhir kebijakan moneter harus dapat dicapai
secara bersamaan dan berkelanjutan. Namun, pengalaman di banyak negara
Volume 7(2), Juli 2018 http://[email protected]
Analisis Empiris Efektifitas Mekanisme Transmisi ……..…..( Ikhsan, Baheri, Nuddin) | 3
termasuk di Indonesia menunjukkan bahwa hal yang dimaksud sulit dicapai,
bahkan ada kecenderungan bersifat kontradiktif. Misalnya kebijakan moneter yang
kontraktif untuk menekan laju inflasi dapat berpengaruh negatif terhadap
pertumbuhan ekonomi dan penciptaan kesempatan kerja. Pengalaman di banyak
negara menunjukkan bahwa perekonomian suatu negara memburuk karena
kebijakan moneternya memiliki tujuan ganda (multiple objectives). Untuk alasan
ini, mayoritas bank sentral termasuk Bank Indonesia memfokuskan tujuan
kebijakan moneternya pada sasaran tunggal (single objective) yaitu mewujudkan
dan memelihara kestabilan moneter (Ismail, 2006).
Instrumen-Instrumen Moneter
Instrumen pengendalian moneter merupakan alat-alat atau media operasi
moneter yang dapat digunakan oleh bank sentral dalam mempengaruhi sasaran
operasional dan sasaran akhir yang telah ditetapkan (Warjiyo, 2005:14) dan
(Ascarya, 2002:51). Instrumen-instrumen kebijakan moneter terdiri dari: (1).
Operasi Pasar Terbuka (OPT): operasi bank sentral di pasar keuangan dilakukan
dengan cara menjual dan membeli (lelang) surat-surat berharga, misalnya Surat
Berharga Indonesia (SBI). (2). Tingkat Bunga Diskonto: fasilitas pinjaman jangka
pendek dari bank sentral kepada bank-bank komersial dalam pengendalian
likuiditasnya (3). Giro Wajib Minimum (Reserve requirement): giro wajib minimum
yang harus dipelihara bank-bank komersial di bank sentral. Ketiga instrumen
tersebut bersifat kuantitatif atau instrumen moneter kuantitatif (4). Himbauan
Moral (moral suation). Instrumen ini bersifat kualitatif karena hanya berupa
himbauan yang sifatnya mengarahkan atau memberikan informasi makro untuk
dijadikan masukan bagi bank-bank umum dalam manajemen aset dan
kewajibannya (Rose dan Marquis, 2006:384).
Sasaran Operasional (Operational Target)
Sasaran operasional atau sasaran segera yang dicapai dalam operasi
moneter. Variabel sasaran operasional digunakan untuk mengarahkan sasaran
antara. Penetapan sasaran operasional tergantung pada jalur mana yang diyakini
efektif dalam transmisi kebijakan moneter. Kriteria sasaran operasional antara lain:
1. Dipilih dari variabel moneter yang memiliki hubungan yang stabil dengan
sasaran antara, 2. Dapat dikendalikan oleh bank sentral, 3. Tersedia lebih segera
dibanding sasaran antara, akurat dan tidak sering direvisi (Ascarya, 2002: 15).
Mekanisme Transmisi Kebijakan Moneter (MTKM).
Taylor (1995) menyatakan bahwa mekanisme transmisi kebijakan moneter
adalah “the process through which monetary policy decision are transmitted into
Volume 7(2), Juli 2018 http://[email protected]
Analisis Empiris Efektifitas Mekanisme Transmisi ……..…..( Ikhsan, Baheri, Nuddin) | 4
changes in real GDP and inflation”. Artinya, mekanisme transmisi kebijakan
moneter merupakan jalur-jalur yang dilalui oleh kebijakan moneter dalam
mempengaruhi sasaran akhir kebijakan moneter yaitu inflasi.
Jika ingin menggambarkan bagaimana proses mekanisme transmisi
kebijakan moneter melalui jalur-jalur transmisi sejak dari perubahan kebijakan
moneter melalui shock instrumen kebijakan moneter hingga terwujudnya
tujuan/sasaran akhir kebijakan moneter,bahwa konsep standar mekanisme
transmisi kebijakan moneter dimulai dari ketika bank sentral mengubah
instrumen-instrumennya yang selanjutnya mempengaruhi sasaran operasional,
sasaran antara dan sasaran akhir. Misalnya bank sentral atau BI meningkatkan
suku bunga SBI. Peningkatan tersebut mendorong naiknya suku bunga PUAB,
suku bunga deposito, kredit perbankan, harga aset, nilai tukar dan ekspektasi
inflasi di masyarakat. Perkembangan ini mencerminkan bekerjanya jalur-jalur
transmisi moneter yang akan selanjutnya berpengaruh terhadap konsumsi dan
investasi, ekspor dan impor yang merupakan komponen permintaan eksternal dan
keseluruhan permintaan agregat.
Secara empiris, besarnya permintaan agregat tidak selalu sama dengan
penawaran agregat. Jika terjadi selisih antara permintaan dan penawaran atau
terjadi outpt gap maka akan memberi tekanan terhadap kenaikan harga-harga
(inflasi) dari sisi domestik. Proses ini yang disebut sebagai indirect exchange rate
pass-through. Sementara itu, tekanan inflasi dari sisi luar negeri terjadi melalui
pengaruh langsung perubahan nilai tukar terhadap perkembangan harga barang-
barang yang diimpor, proses ini yang disebut direct exchange rate pass-through.
Jalur Nilai Tukar (Exchange Rate Channel)
Pengaruh kebijakan moneter tidak saja terjadi pada perubahan nilai tukar,
tetapi juga pada aliran modal (capital flow) dalam neraca pembayaran. Dengan
tingginya suku bunga dalam negeri (dengan asumsi suku bunga luar negeri tidak
berubah), maka akan terjadi perbedaan suku bunga nominal domestik dan suku
bunga luar negeri atau paritas suku bunga domestik dengan suku bunga luar
negeri (interest rate diffierential). Artinya, paritas suku bunga domestik dan luar
negeri akan berpengaruh terhadap nilai tukar dan aliran modal dan selanjutnya
perubahan nilai tukar dan aliran dana akan berpengaruh terhadap inflasi di negara
yang bersangkutan., khususnya, negara yang perekonomiannya semakin terbuka
dan disertai dengan sistem devisa bebas.
Metode Penelitian
Volume 7(2), Juli 2018 http://[email protected]
Analisis Empiris Efektifitas Mekanisme Transmisi ……..…..( Ikhsan, Baheri, Nuddin) | 5
Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam studi ini adalah data runtun waktu (time
series) periode tahun 1990:2-2007:1. Sementara sumber data untuk studi ini
adalah sumber sekunder atau data yang telah dipublikasikan oleh lembaga yang
relevan dengan penelitian ini.
Alat Analisis
Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah model Vector Auto
Regression (VAR). Model ini mengasumsikan dan memperlakukan semua variabel
sebagai variabel endogen. Model ini mensayratkan adanya beberapa pengujian
antara lain: Uji Stasioneritas, Uji Kausalitas Granger, Uji Kointegrasi dan Penentuan
Lag Optimal.
Analisis Hasil Dan Pembahasan
Hasil Uji Stasioneritas
Uji stasioneritas dimaksudkan untuk menganalisis dan membuktikan
apakah masing-masing variabel mempunyai pola yang stabil/normal/stasioner
atau tidak. Data time series di bidang ekonomi umumnya merupakan data yang
tidak stasioner, sehingga ketika dipergunakan sebagai suatu variabel dalam
regresi akan menghasilkan estimasi yang palsu atau spurious regression, yaitu
regresi yang menggambarkan hubungan dua variabel atau lebih yang tampaknya
signifikan secara statistik padahal kenyataannya atau tidak sebesar sebagaimana
yang tampak dari regresi tersebut. Akibatnya, memberikan arahan yang keliru
(misleading) dalam kesimpulan dan implikasi kebijakan.
Pengujian stasioneritas menggunakan ADF test dilakukan dengan cara
membandingkan antara ADF statistic dengan critical values Mac Kinnon pada
derajat signifikansi 1%, 5% dan 10%. Hasil pengujian dengan ADF
mengindikasikan bahwa masing-masing level tidak stasioner. Kesimpulannya tidak
menolak Ho artinya keenam variabel (series data) mengandung akar unit, kecuali
untuk variabel PSB dan INF yang sudah stasioner pada level. Untuk alasan itu,
maka perlu dilakukan uji stasioner dengan menggunakan first difference untuk
masing-masing variabel.
Hasil uji stasioner dengan menggunakan first difference untuk masing-
masing variabel tersebut menunjukkan bahwa masing-masing variabel adalah
stasioner pada first difference atau masing-masing variabel tersebut berintegrasi
order 1(I(1)). Artinya, series data tersebut valid digunakan untuk pengujian
kointegrasi.
Volume 7(2), Juli 2018 http://[email protected]
Analisis Empiris Efektifitas Mekanisme Transmisi ……..…..( Ikhsan, Baheri, Nuddin) | 6
Hasil Pengujian Kausalitas Granger
Uji kausalitas antar variabel penelitian dimaksudkan untuk mengetahui dan
membuktikan arah hubungan jangka pendek antar variabel (Widarjono, 2007: 244)
dan (Hirawan, 2007). Hasil uji kausalitas antar variabel pada jalur suku nilai tukar
bahwa hubungan antara rSBI dengan PSB, rSBI dengan KURS, CAPIN dengan
KURS, CAPIN dengan INF dan PSB dengan CAPIN menunjukkan adanya hubungan
”Granger cause” atau ada hubungan saling mempengaruhi di antara variabel-
variabel tersebut. Sementara itu, rSBI dengan CAPIN, PSB dengan KURS, INF
dengan PSB dan KURS dengan INF merupakan hubungan yang satu arah.
Sedangkan hasil Uji Kausalitas untuk variabel OG dengan PSB, KURS dengan OG
dan INF dengan OG serta CAPIN dengan OG tidak ditemukan adanya hubungan
di antara variabel tersebut. Artinya, tidak terdapat saling ketergantungan (no
causality)
Hasil Uji Kointegrasi: Johansen
Pasangan variabel yang berkointegrasi menunjukkan bahwa variabel-
variabel tersebut mempunyai hubungan jangka panjang. Hal ini senada dengan
pendapat Granger dalam Baltagi (2004: 89) menyatakan bahwa jika variabel-
variabel yang diamati memiliki derajat integrasi yang sama, maka variabel-variabel
tersebut telah berkointegrasi atau memiliki hubungan jangka panjang. Tapi untuk
lebih meyakinkan mengenai hal tersebut, maka perlu dilakukan pengujian
Kointegrasi dengan menggunakan metode Johansen. Hasil pengujian Kointegasi
terhadap variabel-variabel pada jalur jalur nilai tukar ditampilkan pada Tabel 1
Tabel 1.
Hasil Uji Kointegrasi Variabel Jalur Nilai Tukar
Hypothesized Trace 5 Percent 1 Percent
No. of CE(s) Eigenvalue Statistic Critical
Value
Critical
Value
None ** 0.842883 275.4390 114.90 124.75
At most 1 ** 0.685528 162.5424 87.31 96.58
At most 2 ** 0.514878 91.97389 62.99 70.05
At most 3 * 0.345987 47.84922 42.44 48.45
At most 4 0.232853 21.94692 25.32 30.45
At most 5 0.090362 5.777233 12.25 16.26
*(**) denotes rejection of the hypothesis at the 5%(1%) level
Trace test indicates 4 cointegrating equation(s) at the 5% level
Volume 7(2), Juli 2018 http://[email protected]
Analisis Empiris Efektifitas Mekanisme Transmisi ……..…..( Ikhsan, Baheri, Nuddin) | 7
Trace test indicates 3 cointegrating equation(s) at the 1% level
Sumber: Hasil olahan dengan Eviews 4.1
Pada Tabel 1. terlihat bahwa semua persamaan dalam model VAR untuk
jalur nilai tukar berkointegrasi pada level 1%. Hal ini menunjukkan bahwa variabel-
variabel melalui jalur nilai tukar memiliki kestabilan jangka panjang.
Penentuan Lag Optimal
Lag optimal merupakan jumlah lag yang memberikan pengaruh atau
respon yang signifikan. Isu tentang penentuan panjang lag optimal semakin
penting seiring dengan anggapan bahwa pemilihan lag yang tepat akan
menghasilkan residual yang bersifat Gaussian, yaitu residual yang terbebas dari
permasalahan autokorelasi dan heterokedastisitas. Penentuan panjang lag optimal
dalam studi ini menggunakan beberapa krietria informasi antara lain: Likelihood
Ratio Test (LR), Final Prediction Error (FPE), Akaike Information Criterion (AIC) dan
Schwarz Criterion (SC) serta Hannan-Quinn (HQ).
Dalam penentuan lag optimal perlu pula diperhatikan adanya trade off
bahwa jika lag yang dipergunakan semakin panjang, maka semakin banyak pula
parameter yang harus diestimasi dan semakin sedikit derajat kebebasannya
(degrees of freedom). Peneliti akan menghadapi trade off antara mempunyai lag
yang memadai dan mempunyai derajat bebas yang cukup. Karena, jika jumlah lag
terlalu sedikit maka model akan mispesifikasi, sementara jika lag terlalu banyak
maka akan menyedot derajat bebas. Karena itu, dalam praktik seringkali peneliti
menggunakan persamaan model VAR dengan lag yang direkomendasikan oleh
satu kriteria atau lag yang kurang dari seharusnya (Pindick and Rubinfeld,
1991:355).
Hasil perhitungan lag optimal yang ditampilkan pada Tabel 1.4
menunjukkan bahwa lag optimal untuk jalur nilai tukar masing-masing kriteria
memiliki nilai referensi lag optimal yang berbeda. Tiga kriteria yaitu FPE dan AIC
serta HQ mereferensikan lag enam sebagai lag optimal. Sedangkan kriteria SC
mereferensikan lag tiga dan kriteria LR mereferensikan lag empat sebagai lag
yang optimal. Kriteria SC merekomendasikan lag dua sebagai lag optimal.
Berdasarkan kriteria dan pertimbangan yang dijelaskan sebelumnya, maka
digunakan lag 3 (tiga) sebagai lag optimal untuk jalur nilai tukar.
Volume 7(2), Juli 2018 http://[email protected]
Analisis Empiris Efektifitas Mekanisme Transmisi ……..…..( Ikhsan, Baheri, Nuddin) | 8
Tabel 1.4
HASIL PEMILIHAN LAG MODEL VAR JALUR NILAI TUKAR
Lag LogL LR FPE AIC SC HQ
0 -1338.560 NA 2.77E+11 43.37291 43.57876 43.45373
1 -975.0110 645.0065 7169484. 32.80681 34.24777 33.37256
2 -898.7469 120.5464 2019946. 31.50797 34.18404* 32.55866
3 -849.5834 68.19453 1437117. 31.08334 34.99452 32.61897
4 -796.1341 63.79437* 969392.0 30.52046 35.66675 32.54102
5 -747.8932 48.24086 882046.4 30.12559 36.50699 32.63109
6 -688.1040 48.21714 678137.1* 29.35819* 36.97471 32.34863*
* indicates lag order selected by the criterion
Sumber: Hasil olahan dengan Eviews 4.1
Estimasi Model VAR: Jalur Nilai Tukar.
Dari persamaan 1.1 terlihat bahwa mekanisme transmisi kebijakan moneter
melalui jalur nilai tukar, inflasi dipengaruhi oleh inflasi sendiri pada lag satu atau
satu triwulan sebelumnya (INF(-1)) dengan pengaruh positif signifikan dan pada
lag dua atau dua triwulan sebelumnya (INF(-2)) dengan pengaruh positif
signifikan. Sementara, pada lag tiga atau tiga triwulan sebelumnya (INF(-3))
pengaruh inflasi terhadap dirinya sendirinya negatif signifikan.
Inflasi dipengaruhi oleh rSBI pada lag satu atau satu riwulan sebelumnya
(rSBI(-1)) dengan pengaruh positif signifikan. Selanjutnya pada lag dua atau dua
triwulan sebelumnya (rSBI(-2)) dengan pengaruh negatif signifikan. Selanjutnya
untuk lag tiga atau tiga triwulan sebelumnya (rSBI(-3)) dengan pengaruh negatif
signifikan.
Inflasi dipengaruhi oleh PSB terjadi pada semua lag atau (PSB(-1) dan
(PSB(-2)) serta (PSB(-3)) dengan pengaruh positif signifikan. Inflasi dipengaruhi
oleh nilai tukar pada lag satu atau satu triwulan sebelumnya (nilai tukar(-1))
dengan pengaruh negatif signifikan dan pada lag dua atau dua triwulan
sebelumnya (nilai tukar(-2)) dengan pengaruh poistif signifikan. Inflasi dipengaruhi
oleh CAPIN pada lag dua atau dua triwulan sebelumnya dengan pengaruh positif
signifikan. Sementara, pada lag tiga atau tiga triwulan sebelumnya (CAPIN(-3))
dengan pengaruh negatif signifikan. Pengaruh variabel OG terhadap inflasi tidak
berpengaruh signifikan.
INF = -0.473493 + 0.899105rSBIt-1 -0.539739rSBIt-2 -0.952312rSBIt-3 +
0.062682PSBt-1
[-0.07361] [ 4.91586]* [-1.92735]* [-3.66281]*
[ 3.99796]*
+ 0.071182PSBt-2 + 0.059724PSBt-3 + 0.053784OGt-1 -0.069387OGt-2
[ 2.78552]* [ 2.15375]* [ 1.18003] [-
1.17808]
+ 0.032270OGt-3 -1.903043Kurst-1 + 1.535783Kurst-2 + 0.488210Kurst-
Volume 7(2), Juli 2018 http://[email protected]
Analisis Empiris Efektifitas Mekanisme Transmisi ……..…..( Ikhsan, Baheri, Nuddin) | 9
Sumber: Hasil olahan dengan Eviews 4.
Efektivitas Mekanisme Transmisi Moneter Melalui jalur Nilai Tukar.
Secara individu parameter hasil estimasi pada sistem persamaan model
VAR sulit untuk diinterpretasikan dan tidak memiliki makna khususnya untuk
tujuan analisis efektivitas kebijakan moneter. Untuk alasan itu, para ahli moneter
dan praktisi di bank sentral fokus pada impulse response function (IRF) dan
variance decomposition (VD) ( Solikin dkk, 1996) dan (Widarjono, 2007:380).
Tahap pertama: Panel (a).
Pada tahap ini diuraikan mengenai hubungan antara perubahan instrumen
kebijakan moneter (rSBI) dengan Paritas Suku Bunga (PSB). Gambar 1.1 panel (a)
menunjukkan bahwa respon PSB terhadap perubahan (shock) mengalami
penurunan sebesar satu standar deviasi rSBI yang mencapai titik terendah pada
triwulan kedua setelah terjadi shock. Setelah periode tersebut PSB berangsur-
angsur bergerak menuju posisi keseimbangan (konvergen) dan selanjutnya shock
rSBI direspon negatif oleh PSB. Panel (a) juga menunjukkan bahwa diperlukan time
lag satu triwulan bagi PSB untuk merespon shock rSBI dan respon PSB terhadap
shock rSBI relatif kuat.
Tahap kedua: panel (b).
Pada tahap ini diuraikan mengenai hubungan antara Paritas Suku Bunga
(PSB) dengan CAPIN. Gambar 1.1 panel (b) menunjukkan bahwa respon CAPIN
terhadap shock PSB mengalami peningkatan satu standar deviasi PSB yang
mencapai titik tertinggi pada periode ke lima setelah terjadi shock. Setelah periode
tersebut CAPIN berangsur-angsur bergerak menuju posisi keseimbangan
(konvergen) dan selanjutnya respon CAPIN terhadap shock PSB mengalami
penurun (negatif) hingga periode kesepuluh. Panel (b) juga menunjukkan bahwa
diperlukan time lag tiga triwulan bagi CAPIN untuk dapat merespon perubahan
PSB dan respon CAPIN terhadap shock PSB relatif lemah.
3
[ 0.74580] [-4.23627]* [ 3.55476]* [ 1.46448]
+ 0.391373INFt-1 + 0.319550INFt-2 -0.156585INFt-3 + 0.444356CAPINt-1
[ 3.05221]* [ 2.10072]* [-1.71619]* [ 0.70300]
+ 1.684947CAPINt-2 -1.634288CAPINt-3…………………………………………. (1.1)
[ 2.05749]* [-2.57223]*
Adj. R-squared = 0.967224 F-statistic = 105.9240
Keterangan: * menunjukkan signifikan
Volume 7(2), Juli 2018 http://[email protected]
Analisis Empiris Efektifitas Mekanisme Transmisi ……..…..( Ikhsan, Baheri, Nuddin) | 10
Tahap ketiga: (panel c).
Pada tahap ini diuraikan mengenai hubungan antara CAPIN dengan Kurs
yang diillustrasikan pada Gambar 1. panel (c). Pada gambar tersebut menunjukkan
bahwa respon nilai tukar terhadap shock CAPIN mengalami peningkatan sebesar
satu standar deviasi CAPIN yang mencapai titik tertinggi pada periode ke lima
setelah terjadi shock. Setelah periode tersebut, nilai tukar berangsur-angsur
menuju ke posisi keseimbangan (konvergen). Panel (c) juga menunjukkan bahwa
dibutuhkan time lag 3 triwulan bagi nilai tukar untuk dapat merespon shock
CAPIN dan respon nilai tukar terhadap shock CAPIN relatif lemah.
Tahap keempat: Panel (d).
Pada tahap ini diuraikan analisis hubungan antara nilai tukar dengan inflasi
(INF) sebagai sasaran akhir kebijakan moneter. Hubungan ini dikenal sebagai
direct pass-through effect yakni hubungan langsung antara nilai tukar dan inflasi.
Dari Gambar 1. panel (d) menunjukkan respons INF terhadap shock nilai tukar
mengalami peningkatan satu standar deviasi nilai tukar yang mencapai titik
tertinggi pada periode ke empat setelah terjadi shock.
Setelah triwulan ke empat, INF berangsur-angsur menunju ke posisi
keseimbangan dan selanjutnya mengalami penurunan yang mencapai titik
terendah pada periode keenam, kemudian berangsur-angsur kembali menuju
posisi keseimbangan (konvergen). Panel (d) juga menunjukkan bahwa diperlukan
time lag dua triwulan bagi inflasi untuk dapat merespon shock nilai tukar dan
respon inflasi terhadap shock nilai tukar relatif lemah.
Tahap kelima: Panel (e).
Pada tahap ini diuraikan mengenai hubungan antara Kurs dengan OG.
Gambar 1. panel (e) menunjukkan bahwa respon OG terhadap shock Kurs
mengalami peningkatan satu standar deviasi nilai tukar yang mencapai titik
terendah pada periode kelima hingga periode kesepuluh. Panel (e) juga
mengindikasikan bahwa diperlukan time lag tiga triwulan bagi OG untuk dapat
merespon shock nilai tukar dan respon OG terhadap shock nilai tukar relatif lemah.
Volume 7(2), Juli 2018 http://[email protected]
Analisis Empiris Efektifitas Mekanisme Transmisi ……..…..( Ikhsan, Baheri, Nuddin) | 11
(a) (b)
(c) (d)
(e) (f)
Gambar 1.
Hasil Uji Irf Jalur Nilai Tukar
Tahap Keenam: Panel (f).
Pada tahap ini diuraikan mengenai hubungan antara inflasi (INF) dengan
OG. Gambar 1. panel (f) menunjukkan bahwa respon inflasi sebagai tujuan akhir
kebijakan moneter terhadap perubahan (shock) OG mengalami penurunan satu
standar deviasi OG yang mencapai titik terendah periode kelima setelah terjadi
shock. Setelah periode tersebut INF berangsur-angsur menuju posisi
keseimbangan dan seterusnya menurun kembali hingga periode kesepuluh. Panel
(f) juga menunjukkan bahwa diperlukan time lag empat triwulan bagi inflasi untuk
merespon shock OG dan respon inflasi terhadap shock OG relatif lemah.
Hasil uji Impulse Rresponse Function (IRF) mekanisme transmisi kebijakan
moneter melalui jalur jalur nilai tukar yang terangkum pada Gambar 1.
menunjukkan bahwa mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui jalur nilai
tukar membutuhkan tenggat waktu (time lag) atau dengan kecepatan 16 triwulan
himgga tercapainya sasaran akhir kebijakan moneter (inflasi)
Flowchart Time Lag Transmisi Moneter Jalur Nilai Tukar
Selanjutnya, untuk menganalisis hasil VD dalam penelitian maka dapat
dilihat pada Tabel 1.5 menunjukkan bahwa pada periode pertama, variasi inflasi
Volume 7(2), Juli 2018 http://[email protected]
Analisis Empiris Efektifitas Mekanisme Transmisi ……..…..( Ikhsan, Baheri, Nuddin) | 12
yang dapat dijelaskan oleh inflasi sendiri adalah sebesar 70,07%. Sementara porsi
yang dapat dijelaskan oleh OG (23,68%) dan PSB (3,52%) serta nilai tukar (0,51%).
Selanjutnya pada periode kelima variasi inflasi yang dapat dijelaskan oleh inflasi
sendiri sebesar 4,67%. Sementara yang dijelaskan oleh OG menurun menjadi
sebesar 2,48% dan nilai tukar meningkat menjadi sebesar 17,32% serta PSB
meningkat menjadi sebesar 67,20%. Sampai sepuluh periode mendatang variasi
inflasi yang dapat dijelaskan oleh inflasi sendiri semakin menurun menjadi sebesar
8,79% sementara porsi yang dapat dijelaskan oleh PSB meningkat menjadi
43,37%, porsi Kurs meningkat menjadi sebesar 19,70% dan OG menurun menjadi
sebesar 1,77%. Hasil ini menyimpulkan bahwa variabel PSB memiliki predictive
power atau Granger causality yang kuat dalam menjelaskan variasi inflasi (43,37%).
Sementara predictive power untuk variabel nilai tukar hanya sebesar 19,70%.
Pembahasan
Pada bagian ini dilakukan pembahasan terhadap efektivitas mekanisme
transmisi kebijakan moneter melalui jalur nilai tukar. Sebagaimana penjelasan
sebelumnya bahwa jalur nilai tukar berpandangan bahwa perubahan nilai
tukar/kurs merupakan variabel yang berpengaruh terhadap tercapainya sasaran
akhir kebijakan moneter, khususnya perekonomian terbuka dengan sistem nilai
tukar mengambang bebas Apabila bank sentral menjalankan kebijakan moneter
yang kontraktif, maka suku bunga nominal domestik akan meningkat. Jika pada
saat yang sama suku bunga asing (SIBOR) tidak berubah, maka perbedaan antara
suku bunga domestik dengan asing (interest rate differential) meningkat, hal ini
akan medorong capital inflow. Akibatnya, nilai tukar mata uang domestik (rupiah)
akan terapresiasi yang selanjutnya menyebabkan kegiatan ekspor akan menurun
sebaliknya kegiatan impor meningkat. sehingga current account dalam neraca
pembayaran akan membaik. Akibatnya, permintaan agregat akan menurun dan
selanjutnya berpengaruh terhadap inflasi (Boediono, 1998).
Pembahasan efektivitas kebijakan moneter melalui jalur nilai tukar
didasarkan pada hasil Uji IRF yang diillustrasikan pada Gambar 1.1 dan hasil Uji VD
yang terangkum pada Tabel 1.4. Hasil analisis Uji IRF menunjukkan bahwa
variabel-variabel dalam jalur nilai tukar telah bekerja dalam mentransmisikan
perubahan kebijakan moneter melalui shock instrumen kebijakan (rSBI) hingga
tercapainya sasaran akhir kebijakan moneter dengan kecepatan atau time lag dan
kekuatan yang berbeda antara variabel yang satu dengan variabel lainnya.
Hasil Uji IRF pada Gambar 1.1 menunjukkan bahwa shock instrumen
kebijakan (rSBI) direspons dengan cepat oleh variabel PSB dengan time lag satu
triwulan. Cepatnya respon variabel PSB terhadap shock rSBI menunjukkan bahwa
Volume 7(2), Juli 2018 http://[email protected]
Analisis Empiris Efektifitas Mekanisme Transmisi ……..…..( Ikhsan, Baheri, Nuddin) | 13
stance kebijakan moneter melalui shock rSBI segera direspons oleh sektor
keuangan/perbankan. Hal ini disebabkan karena terdapat hubungan kausalitas
dua arah di antara kedua variabel, baik dari rSBI ke PSB maupun dari PSB ke rSBI
seperti yang disajikan pada Tabel 1.2Selanjutnya perubahan (shock) PSB direspons
secara cepat oleh CAPIN dengan tenggat waktu (time lag) tiga triwulan dan
mencapai titik tertinggi pada triwulan ke lima sesudah terjadinya shock, setelah
periode tersebut respons perubahan CAPIN berangsur-angsur menuju ke posisi
keseimbangan (konvergen) dan pada periode ke delapan perubahan PSB
direspons secara negatif oleh CAPIN. Respons negatif CAPIN terhadap shock PSB
menunjukkan bahwa tingginya paritas suku bunga (PSB) tidak mampu
mendorong arus modal masuk (capital inflow), namun sebaliknya terjadi gejala
pembalikan (Solikin dkk, 1996) dan (Nasution, 2004)
Hasil ini merupakan konfirmasi yang baik bahwa kondisi paritas suku bunga
(PSB) yang terjadi Indonesia tidak sesuai dengan yang disyaratkan dalam teori
interest rate parity. Hal ini disebabkan karena tingkat inflasi di Indonesia relatif
tinggi dibanding dengan negara lain, misalnya Singapura dan nilai tukar rupiah
mengalami tren depresiasi serta Indonesia masih tergolong sebagai risk country
kategori BB (Maski, 2005).
Hasil studi sejalan dengan penelitian BI menyimpulkan bahwa belum
membaiknya persepsi investor terhadap dunia usaha menyebabkan investor lebih
terpokus pada kegiatan-kegiatan finansial yang bersifat jangka pendek. Struktur
aliran modal masuk (capital inflow) lebih banyak terkait dengan investasi
portofolio di pasar finansial. Investasi di sektor riil masih dipandang terlalu
berisiko dibandingkan dengan return yang diekspektasikan dapat diraih dari
investasi di sektor finansial (keuangan). Jika kondisi terus berlangsung, maka
sangat mungkin terjadi merenggangnya (decoupling) hubungan antara sektor riil
dan sektor moneter yang selanjutnya akan memperlemah efektivitas kebijakan
moneter dalam mewujudkan tujuan akhirnya.
Perubahan CAPIN direspon oleh nilai tukar dengan time lag tiga triwulan
dan mencapai titik tertinggi pada periode ke lima setelah terjadi shock. Hasil ini
menunjukkan bahwa respons nilai tukar terhadap CAPIN membutuhkan time lag
relatif lambat yaitu sekitar tiga triwulan. Di samping itu, respons Kurs terhadap
CAPIN relatif lemah.
Hubungan antara Kurs dengan inflasi dapat terjadi, baik secara langsung (direct
passthrough) maupun tidak langsung (indirect pass-through). Hasil Uji IRF
menunjukkan respon inflasi terhadap shock Kurs dengan time lag dua triwulan
dan mencapai titik tertinggi pada periode keempat setelah terjadi shock. Setelah
Volume 7(2), Juli 2018 http://[email protected]
Analisis Empiris Efektifitas Mekanisme Transmisi ……..…..( Ikhsan, Baheri, Nuddin) | 14
periode tersebut inflasi berangsur-angsur menuju posisi keseimbangan
(konvergen). Granger causality antara nilai tukar dengan inflasi relatif kuat.
Sementara itu, hubungan indirect passthrough antar Kurs dengan inflasi
terjadi melalui perubahan OG. Hasil Uji IRF pada Gambar 1. menunjukkan bahwa
respons OG terhadap shock Kurs mengalami peningkatan sebesar satu standar
deviasi Kurs yang mencapai peningkatan pada periode ke empat setelah
terjadinya shock. Setelah periode tersebut berangsur-angsur menuju titik
keseimbangan (konvergen). OG membutuhkan time lag sekitar tiga triwulan untuk
dapat merespons perubahan Kurs.
Hasil Uji IRF juga menunjukkan bahwa lemahnya hubungan antara Kurs
dengan OG, lemahnya hubungan kedua variabel mengindikasikan adanya gejala
decoupling, yaitu gejala merenggangnya hubungan antara variabel di sektor
moneter (khususnya nilai tukar) dengan variabel di sektor riil (OG dan inflasi).
Gejala ini dapat dikonfirmasi dengan hasil uji VD yang menunjukkan bahwa
Granger causality antara kedua variabel sangat lemah.
Hasil studi ini relevan dengan penelitian BI yang menemukan bahwa
depresiasi rupiah berpengaruh terhadap menurunnya permintaan domestik. Hal
ini disebabkan karena struktur industri di Indonesia baik yang berbasis ekspor
maupun berbasis domestik memiliki kandungan impor yang tinggi pada
komponen produksinya. Selain itu, struktur kredit di Indonesia sebelum krisis
moneter memiliki kontribusi pinjaman luar negeri sekitar 20%. Akibatnya, biaya
modal (capital cost) di Indonesia sangat elastis terhadap perubahan nilai tukar.
Dengan adanya depresiasi rupiah menyebabkan biaya produksi pengusaha di
Indonesia meningkat yang selanjutnya menyebabkan pendapatan menurun yang
pada gilirannya menyebabkan permintaan agregat domestik menurun.
Hasil uji VD pada Tabel 4.menunjukkan bahwa variasi inflasi yang dapat
dijelaskan oleh nilai tukar adalah sebesar 19,67%. Kontribusi ini lebih kecil
dibandingkan dengan variasi inflasi yang dapat dijelaskan oleh PSB yaitu sebesar
43,37%. Hasil ini menunjukkan bahwa Granger causality dan predictive power yang
tidak kuat antara inflasi dan nilai tukar. Hasil uji VD tersebut berbeda dengan hasil
studi Ramlogan (2005) di empat negara kawasan Karibia yang menyimpulkan
bahwa jalur nilai tukar efektif dalam transmisi kebijakan moneter dari sektor
moneter ke sektor riil dan nilai tukar mampu menjelaskan variabilitas inflasi secara
signifikan.
Hasil studi ini berbeda dengan kondisi yang disyaratkan dalam teori
purchasing power parity (PPP) bahwa gejolak nilai tukar berpengaruh terhadap
variablitas harga barang-barang yang diperdagangkan (tradeable) yang
Volume 7(2), Juli 2018 http://[email protected]
Analisis Empiris Efektifitas Mekanisme Transmisi ……..…..( Ikhsan, Baheri, Nuddin) | 15
selanjutnya berpengaruh terhadap variabilitas inflasi tidak relevan dengan kondisi
perekonomian Indonesia dalam periode studi ini. Hal ini terjadi karena nilai tukar
Rupiah terhadap dolar AS selain dipengaruhi oleh faktor ekonomi juga
dipengaruhi oleh faktor non-ekonomi misalnya faktor sentimen pasar dan gejolak
politik. Di samping itu, teori PPP hanya berlaku dalam jangka panjang (Dornbusch
dkk, 2004: 127) dan (MacDonald, 1989: 74) serta (Mankiw, 2003: 206).
Hasil uji IRF dan uji VD relevan dengan hasil uji Kausalitas Granger pada
Tabel 1.4 menunjukkan bahwa tidak ditemukan hubungan atau arah kausalitas
antara perubahan variabel OG dan perubahan PSB dan perubahan OG dan nilai
tukar. Hasil ini menunjukkan mengenai rendahnya kemampuan sektor keuangan
untuk meneruskan shock instrumen kebijakan moneter dari sektor moneter ke
sektor riil. Artinya, arah atau signal kebijakan moneter yang dijalankan oleh BI
tidak diteruskan/tidak ditransmisikan dengan baik oleh sektor moneter ke sektor
riil.
Implikasi dari hasil tersebut adalah Bank Indonesia harus dapat mengelola
dengan baik volatilitas variabel nilai tukar agar inflasi dapat dikendalikan pada
tingkat yang rendah dan stabil. Karena UU No.3 Tahun 2004 tentang BI Pasal 7
Ayat (1) memberi mandat kepada BI untuk menjaga kestabilan nilai rupiah,
stabilitas nilai rupiah dalam kaitannya dengan harga barang-barang dalam negeri
(inflasi) maupun stabilitas nilai rupiah yang dikaitkan dengan mata uang negara
asing yaitu nilai tukar rupiah.
Kesimpulan Dan Saran
Kesimpulan
Mekanisme transmisi kebijakan moneter melalui jalur nilai tukar
membutuhkan time lag atau kecepatan sekitar 16 triwulan hingga terwujudnya
sasaran akhir kebijakan moneter (inflasi). Respons variabel-variabel pada jalur nilai
tukar terhadap perubahan instrumen moneter (Suku Bunga SBI) relatif lemah dan
variabel utama jalur ini yaitu nilai tukar/kurs hanya mampu menjelaskan variasi
inflasi sebesar 19,70% lebih kecil dibandingkan dengan porsi yang dapat
dijelaskan oleh Paritas Suku Bunga (PSB) yakni sebesar 43,27%. Hasil ini
menunjukkan Granger causality dan predictive power yang lemah antara Kurs dan
Inflasi.
Saran
Meskipun studi ini dan penelitian-penelitian terdahulu, misalnya Maski (2005)
tidak menemukan Granger causality kuat antara nilai tukar dan inflasi. Tapi, pada
kesempatan ini peneliti menyarankan kepada BI untuk tetap menjaga stabilitas
Volume 7(2), Juli 2018 http://[email protected]
Analisis Empiris Efektifitas Mekanisme Transmisi ……..…..( Ikhsan, Baheri, Nuddin) | 16
nilai tukar rupiah, karena pencapaian stabilitas harga (stabilitas moneter) hanya
dapat dicapai bila terdapat kestabilan nilai tukar/kurs mata uang suatu negara.
Secara teoritis dan empiris ditemukan bahwa di negara-negara maju dan negara
berkembang lainnya ternyata variabel nilai tukar dan inflasi memiliki Granger
causality yang signifikan atau hubungan yang kuat satu sama lain (one-to-one)
(Hartawan dkk, 2002) dan (Ramlogan, 2005).
Daftar Pustaka
Alamsyah, Halim, Agung, Juda, Budiman, A dan Affandi, Yoga., (2003). Perubahan
Struktural dan Kebijakan Moneter Pasca Krisis: Retrosfek dan Framework ke
Depan. Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter. Jakarta: Bank
Indonesia.
Allen, William A., (2000). Some Aspects of Inflation Targeting. Conference on “
Monetary Policy and Inflation Targeting in Emerging Countries”: Jakarta
Indonesia. Juli, 13-14, 2000.
Alexander, William E., Thomas J.T, and Charles, Enoch. (1995). The Adopting of
Indirect Instruments of Monetary Policy, IMF Occasional Paper No. 126,
Washington: International Monetary Fund, pp. 17-47
Arin, KP and Jolly, SP. (2005). Trans-Tasmanian Transmission of Monetary Shock:
Evidence From a VAR Approach. Atlantic Economic Journal. Vol.33.
No.10.pp: 267-283
Ascarya, (2002). Instrumen-Instrumen Pengendalian Moneter. Buku Seri
Kebanksentralan No.3. Pusat Pendidikan Dan Studi Kebanksentralan (PPSK)
Bank Indonesia
Bernanke, B.S and Blinder, A.S. (1992). The Federal Funds Rate and the Channel
Monetary Transmission, The American Economic Review, Vol. 2, No.12, pp.
90-121. September 1992
Ego, Michael A. (2000). Setting monetary policy instruments in Uganda. Dalam
Mahadeva, Lavan and Sterne, Gabriel (editor). 2000. Monetary Frameworks
in a Global Context. Centre for Central Banking Studies. Bank of England
Iljas, Achyar. (1992). Suatu Tinjauan Mengenai Penggunaan Nilai Tukar Sebagai
”Nominal Anchor” Dalam Pengendalian Inflasi Di Indonesia. Makalah yang
Disampaikan Pada Sekolah Staf dan Pimpinan Bank Indonesia (SESPIBI)
Angkatan ke XVII.
Ismail, M. 2006. Inflation Targeting dan Tantangan Implementasinya di Indonesia.
Jurnal Ekonomi & Bisnis Indonesia (Journal of Indonesian Economy &
Business). Volume 21, No. 2, April 2006. Hal. 105 – 121.
Volume 7(2), Juli 2018 http://[email protected]
Analisis Empiris Efektifitas Mekanisme Transmisi ……..…..( Ikhsan, Baheri, Nuddin) | 17
Junggun Oh, (1999). Inflation Targeting, Monetary Transmission Mechanism and
Policy Rules in Korea, Economic Paper, Vol.2, No.1, pp. 2- 34, March 1999
Mahadeva, Lavan and Sterne, Gabriel (editor). 2000. Monetary Frameworks in a
Global Context. Centre for Central Banking Studies. Bank of England.
Mahadeva and Smidkova. (2000). Modelling the transmission mechanism of
monetary policy in the Czech Republic. Dalam Mahadeva, Lavan and
Sterne, Gabriel (editor). 2000. Monetary Frameworks in a Global Context.
Centre for Central Banking Studies. Bank of England.
Majardi, Fajar., 2002. Dampak Pergerakan Nilai Tukar Rupiah Terhadap Laju Inflasi
Di Indonesia. Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank
Indonesia.
Misaico, ZQ. 2000. Monetary Policy in a dollarised economy The case of Peru.
Dalam Monetary Frameworks in Global Context. Edit by Mahadeva and
Sterne. Centre for Central Banking Studies Bank of England.
Ramlogan, Carlyn. (2005). The Transmission Mechanism of Monetary Policy:
Evidence From Caribbean. Journal of Economic Studies. Vol.17. No.31.pp:
435-447.
Siswanto, B., Kurniati, Y., Gunawan., Binhadi, S.H., (2000). Exchange Rate Channel of
Monetary Transmission in Indonesia. Dalam Perry Warjiyo dan Yuda
Agung (editor) Transmission Mechanism Of Monetary Policy In Indonesia.
Directorate of Economic Research and Monetary Policy Bank Indonesia.