MIFI - Universitas Udayana

46
M I F I EFEKTIVITAS PEMBERIAN PROGRESSIVE MUSCLE RELAXATION DIBANDINGKAN AROMATHERAPY MASSAGE UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS TIDUR PADA PEKERJA PEREMPUAN DI RUMAH SAKIT BALI ROYAL DENPASAR Ni Made Nuari Diahputri, Anak Ayu Nyoman Trisna Narta Dewi, Luh Made Indah Sri Handari Adiputra PERBEDAAN EFEKTIVITAS PELATIHAN BURPEE EXERCISE DENGAN PELATIHAN HEXAGON DRILL DALAM MENINGKATKAN KELINCAHAN PADA ATLET SEPAKBOLA ANAK USIA 9 – 11 TAHUN DI SEKOLAH SEPAKBOLA GUNTUR, DENPASAR Ida Ayu Eka Pradnya Paramita Dewi, Anak Ayu Nyoman Trisna Narta Dewi, I Gusti Ayu Artini KOMBINASI INFRARED DAN CONTRACT RELAX STRETCHING SAMA BAIK DENGAN KOMBINASI INFRARED DAN DEEP TRANSVERSE FRICTION TERHADAP PENURUNAN DISABILITAS LEHER KONDISI TENSION-TYPE HEADACHE PADA APARATUR SIPIL NEGARA DI KANTOR GUBERNUR BALI Komang Sri Mirawati, Anak Ayu Nyoman Trisna Narta Dewi, I Wayan Gede Sutadarma PERBANDINGAN INTERVENSI MUSCLE ENERGY TECHNIQUE DAN INFRARED DENGAN CONTRACT RELAX STRETCHING DAN INFRARED DALAM PENINGKATAN LINGKUP GERAK SENDI LEHER PADA PEMAIN GAME ONLINE DENGAN MYOFASCIAL PAIN SYNDROME OTOT UPPER TRAPEZIUS DI DENPASAR Made Aditya Prawira Arthawan, Nila Wahyuni, I Gusti Ayu Artini PERBEDAAN METODE INTEGRATED NEUROMUSCULAR INHIBITION TECHNIQUE DENGAN DEEP TISSUE MASSAGE DAN CONTRACT-RELAX STRETCHING DALAM MENINGKATAN LINGKUP GERAK SENDI SERVIKAL PADA MYOFASCIAL PAIN SYNDROME OTOT UPPER TRAPEZIUS DI SMA NEGERI 1 SEMARAPURA I Gede Donny Hendrawan, Nila Wahyuni, I Made Muliarta PENGARUH THERAPEUTIC WALKING EXERCISE TERHADAP PENURUNAN TEKANAN DARAH PADA ANAK OBESITAS USIA 9- 10 TAHUN DENGAN HIPERTENSI DI SEKOLAH DASAR SARASWATI TABANAN Made Satria Ambarsika, Nila Wahyuni, I Gusti Ayu Artini EFEKTIVITAS MULLIGAN MOBILIZATION DAN INFRARED DENGAN MYOFASCIAL RELEASE TECHNIQUE DAN INFRARED TERHADAP PENINGKATAN LINGKUP GERAK SENDI NYERI LEHER NON SPESIFIK PADA PENJAHIT DI KECAMATAN KUTA Ni Wayan Wahyuningsih, Nila Wahyuni, Luh Made Indah Sri Handari Adiputra PERBEDAAN KUALITAS TIDUR PADA ORANG DEWASA YANG MENGIKUTI BELA DIRI AIKIDO DENGAN ORANG DEWASA YANG TIDAK MENGIKUTI BELA DIRI AIKIDO DI BALI Fitrotul Imaniyah, I Made Niko Winaya, I Wayan Sugiritama PERBEDAAN EFEKTIVITAS PEMBERIAN INTERVENSI CONTRACT RELAX STRETCHING DIRECT DENGAN MUSCLE ENERGY TECHNIQUE TERHADAP PENINGKATAN FLEKSIBILITAS HAMSTRING PADA SISWA DAN SISWI DI SMA NEGERI 1 GIANYAR Putu Bayu Herlangga, Ni Luh Nopi Andayani, Nila Wahyuni PEMBERIAN MASSAGE FRICTION DAN ISCHEMIC COMPRES- SION TECHNIQUE LEBIH EFEKTIF DIBANDINGKAN PEMBERIAN MYOFASCIAL RELEASE TECHNIQUE UNTUK MENURUNKAN NYERI TENSION HEADACHE PADA STAFF PENGAJAR DI SMKN 5 DENPASAR I Gede Wisnu Pramadita, Ari Wibawa, I Dewa Ayu Inten Dwi P, Susy Purnawati MAJALAH ILMIAH FISIOTERAPI INDONESIA, Volume 5, Nomor 2 Mei 2017 Program Studi Fisioterapi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana ISSN : 2303-1921

Transcript of MIFI - Universitas Udayana

M I F I

EFEKTIVITAS PEMBERIAN PROGRESSIVE MUSCLE RELAXATION DIBANDINGKAN AROMATHERAPY MASSAGE UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS TIDUR PADA PEKERJA PEREMPUAN DI RUMAH SAKIT BALI ROYAL DENPASAR Ni Made Nuari Diahputri, Anak Ayu Nyoman Trisna Narta Dewi, Luh Made Indah Sri Handari Adiputra PERBEDAAN EFEKTIVITAS PELATIHAN BURPEE EXERCISE DENGAN PELATIHAN HEXAGON DRILL DALAM MENINGKATKAN KELINCAHAN PADA ATLET SEPAKBOLA ANAK USIA 9 – 11 TAHUN DI SEKOLAH SEPAKBOLA GUNTUR, DENPASAR Ida Ayu Eka Pradnya Paramita Dewi, Anak Ayu Nyoman Trisna Narta Dewi, I Gusti Ayu Artini KOMBINASI INFRARED DAN CONTRACT RELAX STRETCHING SAMA BAIK DENGAN KOMBINASI INFRARED DAN DEEP TRANSVERSE FRICTION TERHADAP PENURUNAN DISABILITAS LEHER KONDISI TENSION-TYPE HEADACHE PADA APARATUR SIPIL NEGARA DI KANTOR GUBERNUR BALI Komang Sri Mirawati, Anak Ayu Nyoman Trisna Narta Dewi, I Wayan Gede Sutadarma PERBANDINGAN INTERVENSI MUSCLE ENERGY TECHNIQUE DAN INFRARED DENGAN CONTRACT RELAX STRETCHING DAN INFRARED DALAM PENINGKATAN LINGKUP GERAK SENDI LEHER PADA PEMAIN GAME ONLINE DENGAN MYOFASCIAL PAIN SYNDROME OTOT UPPER TRAPEZIUS DI DENPASAR Made Aditya Prawira Arthawan, Nila Wahyuni, I Gusti Ayu Artini PERBEDAAN METODE INTEGRATED NEUROMUSCULAR INHIBITION TECHNIQUE DENGAN DEEP TISSUE MASSAGE DAN CONTRACT-RELAX STRETCHING DALAM MENINGKATAN LINGKUP GERAK SENDI SERVIKAL PADA MYOFASCIAL PAIN SYNDROME OTOT UPPER TRAPEZIUS DI SMA NEGERI 1 SEMARAPURA I Gede Donny Hendrawan, Nila Wahyuni, I Made Muliarta

PENGARUH THERAPEUTIC WALKING EXERCISE TERHADAP PENURUNAN TEKANAN DARAH PADA ANAK OBESITAS USIA 9-10 TAHUN DENGAN HIPERTENSI DI SEKOLAH DASAR SARASWATI TABANAN Made Satria Ambarsika, Nila Wahyuni, I Gusti Ayu Artini EFEKTIVITAS MULLIGAN MOBILIZATION DAN INFRARED DENGAN MYOFASCIAL RELEASE TECHNIQUE DAN INFRARED TERHADAP PENINGKATAN LINGKUP GERAK SENDI NYERI LEHER NON SPESIFIK PADA PENJAHIT DI KECAMATAN KUTA Ni Wayan Wahyuningsih, Nila Wahyuni, Luh Made Indah Sri Handari Adiputra PERBEDAAN KUALITAS TIDUR PADA ORANG DEWASA YANG MENGIKUTI BELA DIRI AIKIDO DENGAN ORANG DEWASA YANG TIDAK MENGIKUTI BELA DIRI AIKIDO DI BALI Fitrotul Imaniyah, I Made Niko Winaya, I Wayan Sugiritama PERBEDAAN EFEKTIVITAS PEMBERIAN INTERVENSI CONTRACT RELAX STRETCHING DIRECT DENGAN MUSCLE ENERGY TECHNIQUE TERHADAP PENINGKATAN FLEKSIBILITAS HAMSTRING PADA SISWA DAN SISWI DI SMA NEGERI 1 GIANYAR Putu Bayu Herlangga, Ni Luh Nopi Andayani, Nila Wahyuni PEMBERIAN MASSAGE FRICTION DAN ISCHEMIC COMPRES-SION TECHNIQUE LEBIH EFEKTIF DIBANDINGKAN PEMBERIAN MYOFASCIAL RELEASE TECHNIQUE UNTUK MENURUNKAN NYERI TENSION HEADACHE PADA STAFF PENGAJAR DI SMKN 5 DENPASAR I Gede Wisnu Pramadita, Ari Wibawa, I Dewa Ayu Inten Dwi P, Susy Purnawati

MAJALAH ILMIAH FISIOTERAPI INDONESIA, Volume 5, Nomor 2 Mei 2017

Program Studi Fisioterapi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

ISSN : 2303-1921

M I F I Majalah Ilmiah Fisioterapi Indonesia

Volume 5, Nomor 2, Mei 2017

Daftar Isi EFEKTIVITAS PEMBERIAN PROGRESSIVE MUSCLE RELAXATION DIBANDINGKAN AROMATHERAPY MASSAGE UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS TIDUR PADA PEKERJA PEREMPUAN DI RUMAH SAKIT BALI ROYAL DENPASAR Ni Made Nuari Diahputri, Anak Ayu Nyoman Trisna Narta Dewi, Luh Made Indah Sri Handari Adiputra 1 PERBEDAAN EFEKTIVITAS PELATIHAN BURPEE EXERCISE DENGAN PELATIHAN HEXAGON DRILL DALAM MENINGKATKAN KELINCAHAN PADA ATLET SEPAKBOLA ANAK USIA 9 – 11 TAHUN DI SEKOLAH SEPAKBOLA GUNTUR, DENPASAR Ida Ayu Eka Pradnya Paramita Dewi, Anak Ayu Nyoman Trisna Narta Dewi, I Gusti Ayu Artini 6 KOMBINASI INFRARED DAN CONTRACT RELAX STRETCHING SAMA BAIK DENGAN KOMBINASI INFRARED DAN DEEP TRANSVERSE FRICTION TERHADAP PENURUNAN DISABILITAS LEHER KONDISI TENSION-TYPE HEADACHE PADA APARATUR SIPIL NEGARA DI KANTOR GUBERNUR BALI Komang Sri Mirawati, Anak Ayu Nyoman Trisna Narta Dewi, I Wayan Gede Sutadarma 10 PERBANDINGAN INTERVENSI MUSCLE ENERGY TECHNIQUE DAN INFRARED DENGAN CONTRACT RELAX STRETCHING DAN INFRARED DALAM PENINGKATAN LINGKUP GERAK SENDI LEHER PADA PEMAIN GAME ONLINE DENGAN MYOFASCIAL PAIN SYNDROME OTOT UPPER TRAPEZIUS DI DENPASAR Made Aditya Prawira Arthawan, Nila Wahyuni, I Gusti Ayu Artini 14 PERBEDAAN METODE INTEGRATED NEUROMUSCULAR INHIBITION TECHNIQUE DENGAN DEEP TISSUE MASSAGE DAN CONTRACT-RELAX STRETCHING DALAM MENINGKATAN LINGKUP GERAK SENDI SERVIKAL PADA MYOFASCIAL PAIN SYNDROME OTOT UPPER TRAPEZIUS DI SMA NEGERI 1 SEMARAPURA I Gede Donny Hendrawan, Nila Wahyuni, I Made Muliarta 18 PENGARUH THERAPEUTIC WALKING EXERCISE TERHADAP PENURUNAN TEKANAN DARAH PADA ANAK OBESITAS USIA 9-10 TAHUN DENGAN HIPERTENSI DI SEKOLAH DASAR SARASWATI TABANAN Made Satria Ambarsika, Nila Wahyuni, I Gusti Ayu Artini 22 EFEKTIVITAS MULLIGAN MOBILIZATION DAN INFRARED DENGAN MYOFASCIAL RELEASE TECHNIQUE DAN INFRARED TERHADAP PENINGKATAN LINGKUP GERAK SENDI NYERI LEHER NON SPESIFIK PADA PENJAHIT DI KECAMATAN KUTA Ni Wayan Wahyuningsih, Nila Wahyuni, Luh Made Indah Sri Handari Adiputra 27 PERBEDAAN KUALITAS TIDUR PADA ORANG DEWASA YANG MENGIKUTI BELA DIRI AI-KIDO DENGAN ORANG DEWASA YANG TIDAK MENGIKUTI BELA DIRI AIKIDO DI BALI Fitrotul Imaniyah, I Made Niko Winaya, I Wayan Sugiritama 32 PERBEDAAN EFEKTIVITAS PEMBERIAN INTERVENSI CONTRACT RELAX STRETCHING DIRECT DENGAN MUSCLE ENERGY TECHNIQUE TERHADAP PENINGKATAN FLEKSIBILITAS HAMSTRING PADA SISWA DAN SISWI DI SMA NEGERI 1 GIANYAR Putu Bayu Herlangga, Ni Luh Nopi Andayani, Nila Wahyuni 35 PEMBERIAN MASSAGE FRICTION DAN ISCHEMIC COMPRESSION TECHNIQUE LEBIH EFEK-TIF DIBANDINGKAN PEMBERIAN MYOFASCIAL RELEASE TECHNIQUE UNTUK MENURUNK-AN NYERI TENSION HEADACHE PADA STAFF PENGAJAR DI SMKN 5 DENPASAR I Gede Wisnu Pramadita, Ari Wibawa, I Dewa Ayu Inten Dwi P, Susy Purnawati 39

Majalah Ilmiah Fisioterapi Indonesia, Volume 5, Nomor 1 ● 1

EFEKTIVITAS PEMBERIAN PROGRESSIVE MUSCLE RELAXATION DIBANDINGKAN AROMATHERAPY MAS-SAGE UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS TIDUR PADA PEKERJA PEREMPUAN DI RUMAH SAKIT BALI

ROYAL DENPASAR

1) Ni Made Nuari Diahputri, 2Anak Ayu Nyoman Trisna Narta Dewi, 3Luh Made Indah Sri Handari Adiputra,

1,2 Program Studi Fisioterapi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana 3Bagian Faal, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana

[email protected]

ABSTRAK

Kualitas tidur merupakan kepuasan seseorang terhadap tidur yang dirasakannya, suatu keadaan istirahat badan dan pikiran yang ditandai dengan badan terasa segar ketika bangun tidur sehingga tidak adanya perasaan lelah. Terapi relaksasi yang dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas tidur adalah Progressive Muscle Relaxation (PMR) dan Aromatherapy Massage. Hasil uji Wilcoxon Sign Rank Test pada kelompok Progressive Muscle Relaxtion (PMR) didapatkan perbedaan yang signifikan dengan nilai p=0,007 (p<0,05) dan nilai p=0,006 (p<0,05) pada kelompok Aro-matherapy Massage, yang artinya terdapat perbedaan signifikan pada peningkatan kualitas tidur sebelum dan setelah intervensi. Hasil uji Mann-Whitney U-test menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan rerata selisih pening-katan kualitas tidur pada kelompok Progressive Muscle Relaxation (PMR) dan Aromatherapy Massage, didapatkan hasil p=0,738 (p>0,05). Jadi dapat disimpulkan Progressive Muscle Relaxation (PMR) sama baik dengan Aromather-apy Massage dalam meningkatkan kualitas tidur pada pekerja perempuan di Rumah Sakit Bali Royal Denpasar. Kata kunci: Kualitas Tidur, Progressive Muscle Relaxation, Aromatherapy Massage, Kuesioner Pittsburgh Sleep Quality Index.

THE EFFECTIVITY OF GIVING PROGRESSIVE MUSCLE RELAXATION COMPARED TO AROMATHERAPY

MASSAGE TO IMPROVE SLEEPING QUALITY OF WOMEN EMPLOYEES IN BALI ROYAL HOSPITAL DENPASAR

ABSTRACT

Sleeping quality is someone’s satisfaction about his or her sleeping to rest their body and mind in order to re-duce fatigue. The Progressive Muscle Relaxation (PMR) and Aromatherapy Massage are some of the therapy relaxa-tion used to improve the sleeping quality. The Wilcoxon Sign Rank Test showed significant results with p value=0,007 (p<0,05) in Progressive Muscle Relaxation (PMR) group and p value=0,006 (p<0,05) in Aromatherapy Massage group, that means there was significance difference of the increase of sleeping quality before and after intervention. The result of Mann-Whitney U-test revealed there was no difference on mean of sleeping quality score improvement between Progressive Muscle Relaxation (PMR) and Aromatherapy Massage group, with p value=0.738 (p>0.05). It can be concluded that Progressive Muscle Relaxation (PMR) is as good as Aromatherapy Massage in improving sleeping quality of women employees in Bali Royal Hospital Denpasar. Keyword: Sleeping quality, Progressive Muscle Relaxation, Aromatherapy Massage, Pittsburgh Sleep Quality Index Questioner.

PENDAHULUAN Seiring dengan perkembangan zaman dan

teknologi, peranan perempuan semakin dirasakan pada dunia kerja. Di era globalisasi terlihat adanya kecender-ungan perempuan yang berperan sebagai tulang punggung keluarga untuk memenuhi kebutuhan hidup-nya. Dewasa ini banyak perempuan yang berkarir dan menduduki dunia kerja, karena banyaknya peluang bagi perempuan untuk maju dan tingkat pendidikan perempu-an yang semakin baik. Padatnya waktu perempuan di dunia kerja tidak jarang memberikan dampak buruk bagi kesehatan. Salah satu dampak buruk bagi kesehatan yang paling sering dirasakan oleh pekerja adalah stres. Labour Force Survey pada tahun 1990 menyatakan 182.700 kasus stres akibat kerja di Inggris. Stres dapat mempengaruhi keadaan fisik dan mental seseorang se-hingga dapat menyebabkan terjadinya penurunan kualitas

tidur. penelitian telah membuktikan bahwa terdapat hub-ungan antara stres dengan gangguan tidur1.

Gangguan tidur adalah kondisi ketika seseorang mengalami gangguan tidur dan waktu tidur yang berubah yang akan menyebabkan terjadinya perasaan tidak nyaman dan mengganggu aktivitas sehari-hari, suatu kondisi bilamana tidak diobati, pada umumnya akan menyebabkan tidur terganggu2. Terjadinya gangguan tidur ini dapat menyebabkan seseorang menjadi tidak rileks. Adanya gangguan pola tidur buruk ini dapat mempengaruhi kualitas tidur seseorang.

Kualitas tidur adalah kondisi tidur yang dapat dinilai dengan lama waktu tidur dan keluhan-keluhan yang dialami saat tidur maupun saat bangun tidur seperti merasakan lelah, sakit kepala, badan terasa pegal dan lemas atau adanya rasa kantuk yang berlebihan di siang hari3. Tidur merupakan bagian dari proses

Majalah Ilmiah Fisioterapi Indonesia, Volume 5, Nomor 1 ● 2

mempertahankan fungsi fisiologis normal, karena saat tidur tubuh akan memperbaiki dan menyiapkan energi yang akan dipergunakan setelah periode istirahat. Kualitas tidur sangatlah penting karena gangguan tidur yang berlangsung dalam jangka waktu yang panjang bisa menurunkan kesehatan umum dan fungsional sehingga mempengaruhi kualitas hidup4.

Gangguan tidur yang terjadi pada perempuan dapat diperbaiki dengan berbagai terapi relaksasi. Terapi relaksasi tidak memiliki efek samping sehingga dapat mengurangi penggunaan terapi farmakologis. Terapi relaksasi yang dapat diberikan untuk meningkatkan kuali-tas tidur adalah Progressive Muscle Relaxation (PMR) dan Aromatherapy Massage.

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti akan mencoba meneliti efektivitas pemberian Progressive Mus-cle Relaxation dibandingkan Aromatherapy Massage un-tuk meningkatkan kualitas tidur pada pekerja perempuan di Rumah Sakit Bali Royal Denpasar.

BAHAN DAN METODE

Rancangan penelitian ini adalah eksperimental pre post test two group design dan consecutive sampling adalah metode pengambilan sampel yang digunakan. Jumlah sampel yang diperoleh sebanyak 20 orang diten-tukan berdasarkan rumus Pocock. Sampel dalam penelitian dibagi menjadi dua kelompok, dimana Ke-lompok I diberikan Progressive Muscle Relaxation (PMR) dan Kelompok II diberikan Aromatherapy Massage. Penelitian ini dilaksanakan satu bulan di Rumah Sakit Bali Royal Denpasar yakni pada awal bulan Maret sampai akhir bulan Maret 2017.

Masing-masing kelompok melakukan pengukuran kualitas tidur dengan menggunakan alat ukur berupa kuesioner. Kuesioner yang digunakan dalam pengukuran kualitas tidur ini adalah Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) yang diukur di awal dan di akhir penelitian. Ke-lompok I diberikan intervensi sebanyak 7 kali dengan jeda satu hari pada setiap intervensinya, dimana intervensi PMR pada Kelompok I diberikan selama 20 menit. Ke-lompok II diberikan Aromatherapy Massage sebanyak 7 kali dengan waktu 20 menit, dimana terdapat jeda satu hari pada setiap pemberian intervensi.

Semua hasil data yang telah terkumpul diolah dengan software SPSS 17.0. Usia dan IMT dianalisis dengan statistik deskriptif. Saphiro Wilk Test digunakan untuk menguji normalitas data, dan untuk menguji ho-mogenitas menggunakan Levene’s Test. Komparasi data kelompok Progressive Muscle Relaxation (PMR) dan Aro-matherapy Massage di uji memakai Wilcoxon Sign Rank Test. Perbandingan selisih nilai sebelum dan setelah in-tervensi kedua kelompok di uji dengan Mann- Whitney U-Tets. HASIL

Sampel di penelitian ini adalah pekerja perempu-an di Rumah Sakit Bali Royal Denpasar dengan jumlah sampel 20 orang. Saat penelitian berlangsung pada mas-ing-masing kelompok terdapat sampel yang drop out sebanyak 1 orang karena hanya mengikuti penelitian sebanyak 1 kali dan sampel pindah tempat bekerja. Jumlah keseluruhan sampel pada akhir penelitian yaitu 18 orang, dimana pada kelompok I dan Kelompok II ber-

jumlah 9 orang. Berikut ini adalah deskripsi karakteristik sampel

penelitian pada kelompok Progressive Muscle Relaxtion (PMR) dan kelompok Aromatherapy Massage berdasar-kan usia dan Indeks Massa Tubuh (IMT).

Tabel 1. Distribusi Data Sampel berdasarkan Usia, IMT

Tabel 1. memperlihatkan bahwa sampel penelitian pada kelompok Progressive Muscle Relaxation (PMR) memiliki rerata usia 27,67 (SB 2,69) tahun dan rerata IMT 22,07 (SB 1,53) kg/m2 sedangkan sampel pada Kelompok Aro-matherapy Massage memiliki rerata usia 31,22 (SB 4,79) tahun dan rerata IMT 21,73 (SB 2,15) kg/m2. Tabel 2. Hasil Uji Normalitas dan Homogenitas (Skor Kualitas Tidur)

Pada Tabel 2 hasil uji normalitas data menggunakan Saphiro-Wilk Test. Kelompok Progressive Muscle Relaxation (PMR) didapatkan nilai p=0,001

(p<0,05) sebelum diberikan intervensi, dengan nilai p=0,081 (p<0,05) setelah intervensi, dan selisihnya didapatkan nilai p=0,039 (p<0,05). Kelompok Aromathera-py Massage, didapatkan nilai p=0,012 (p<0,05) sebelum diberikan intervensi, dan setelah intervensi didapatkan nilai p=0,000 (p<0,05) dengan selisih nilai sebesar p=0,001 (p<0,05). Berdasarkan hasil tersebut menunjuk-kan baik pada kelompok Progressive Muscle Relaxation (PMR) dan Aromatherapy Massage memiliki distribusi data yang tidak normal.

Hasil uji Levene’s Test dimana sebelum interven-si didapatkan nilai p=0,641 (p>0,05), setelah intervensi didapatkan nilai p=0,858 (p>0,05) dengan selisih nilai p=0,654 (p>0,05). Hasil diatas menunjukkan kelompok Progressive Muscle Relaxation (PMR) dan Aromatherapy Massage memiliki data yang sama sama homogen. Dilihat melalui hasil uji normalitas dan uji homogenitas, maka uji statistik non parametrik digunakan untuk men-guji hipotesis dalam penelitian ini.

Karakteristik Sampel

Kelompok I (n=9) Kelompok II (n=9)

Rerata±SB Rerata±SB

Usia (tahun) 27,67±2,69 31,22±4,79

IMT (kg/m2) 22,07±1,53 21,73±2,15

Skor Kuali-tas Tidur

Kelompok I Kelompok II Leven

e’s Tets

Rera-ta±SB

p Rera-ta±SB

P

Sebelum 8,89±1,26

9 0,001

9,11±0,601

0,012 0,641

Setelah 5,00±1,00 0,081 4,89±1

,537 0 0,858

Selisih 3,89±1,05

4 0,039

4,22±1,922

0,001 0,654

Majalah Ilmiah Fisioterapi Indonesia, Volume 5, Nomor 1 ● 3

Tabel 3. Uji Beda Kualitas Tidur (Wilcoxon Sign Rank Test)

Tabel 3. memperlihatkan hasil beda rerata pen-ingkatan kualitas tidur sebelum dan setelah intervensi pada kelompok Progressive Muscle Relaxation (PMR), diperoleh nilai p=0,007 (p<0,05) dan rerata peningkatan kualitas tidur sebelum dan setelah intervensi pada ke-lompok Aromatherapy Massage didapatkan nilai p=0,006 (p<0,05) yang berarti pada kelompok Progressive Muscle Relaxation (PMR) dan kelompok Aromatherapy Massage ada perbedaan yang signifikan terhadap peningkatan kualitas tidur sebelum serta setelah intervensi.

Tabel 4. Uji Beda sebelum, setelah dan selisih Kualitas Tidur (Mann-Whitney U-Test)

Tabel 4. Memperlihatkan hasil rerata selisih pen-

ingkatan skor kualitas tidur sebelum dan setelah diberikan intervensi dengan nilai p=0,738 (p>0,05). Hasil tersebut menyatakan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara Progressive Muscle Relaxation (PMR) dan Aroma-therapy Massage terhadap peningkatan kualitas tidur pa-da pekerja perempuan di rumah sakit Bali Royal Denpasar. DISKUSI Karakteristik sampel

Sampel penelitian berjumlah 20 orang. Pada saat penelitian berlangsung terdapat 2 orang sampel yang drop out, karena hanya mengikuti penelitian satu kali dan sampel pindah tempat bekerja. Jumlah sampel sampai akhir penelitian sebanyak 18 orang. Rerata usia sampel pada kelompok Progressive Muscle Relaxation (PMR) 27,67 (SB 2,69) tahun. Rerata usia sampel pada kelompok Aromatherapy Massage 31,22 (SB 4,79) tahun. Hasil itu memperlihatkan bahwa pada usia tersebut ke-banyakan perempuan masih aktif dalam lingkungan so-sial, bekerja dalam jangka waktu yang lama serta mengerjakan tugas sebagai ibu rumah tangga sehingga

menyebabkan waktu istirahat berkurang dan terjadinya penurunan kualitas tidur akibat aktivitas yang berlebihan.

Karakteristik Indeks Massa Tubuh (IMT) sampel pada penelitian ini memiliki rerata IMT 18,5-22,9 kg/m2

yaitu IMT dalam batas normal5. Dimana berdasarkan penelitian menyebutkan tidak adanya hubungan yang bermakna antara kualitas tidur dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) pada mahasiswa FK UR angkatan 20146.

Progressive Muscle Relaxation (PMR) Dapat Meningkatkan Kualitas Tidur

Berdasarkan hasil uji Wilcoxon Sign Rank Test pada kelompok Progressive Muscle Relaxation (PMR), dengan nilai p= 0,007 (p>0,05) yang menunjukkan ada perbedaan signifikan pada kualitas tidur sebelum dan setelah intervensi Progressive Muscle Relaxation (PMR) pada pekerja perempuan.

Pemberian intervensi Progressive Muscle Relaxation (PMR) terhadap peningkatan kualitas tidur ini mempengaruhi keseimbangan emosi dan ketenangan pikiran, karena Progressive Muscle Relaxation (PMR), merupakan jenis latihan relaksasi yang dilakukan dengan prinsip menejemen stres pada tubuh seseorang. Progressive Muscle Relaxation (PMR) akan memberikan pemijatan halus pada kelenjar tubuh, dapat menyebabkan terjadinya penurunan produksi hormon kortisol di dalam darah, serta dapat menyeimbangkan hormon yang dikeluarkan, sehingga hormon kortisol dapat diproduksi secukupnya7.

Progressive Muscle Relaxation (PMR) terdapat teknik menegangkan dan relaksasi, dimana saat terjadi ketegangan pada otot, tentunya akan memunculkan stres fisik pada tubuh, ketika terjadi stres fisik pada tubuh, maka akan merangsang bagian otak, yaitu hipotalamus untuk memproduksi pelepasan Corticotropic Releasing Factor (CRF) yang merupakan faktor pelepas kortikotropin. Begitupula pada saat kembali merileksasikan otot-otot yang sebelumnya telah ditegangkan. Perasaan rileks yang dirasakan kemudian akan diteruskan juga ke hipotalamus untuk menstimulasi kelenjar pituitari agar terjadi peningkatan hormon endorfin, enkefalin, dan serotonin, peningkatan hormon tersebut terjadi karena pengaruh dari CRF yang dilepaskan oleh hipotalamus yang akan menstimulasi kelenjar pituitari. Terjadinya peningkatan produksi hormon endorfin, enkefalin, dan serotonin maka akan menimbulkan perasaan tenang dan rileks8. Adanya peningkatan hormon serotonin akan membantu lebih mudah untuk tertidur, karena hormon serotonin merupakan hormon yang paling berperan dalam proses tidur. Hormon serotonin juga dapat mengikat glukokortikoid yang dapat menurunkan kadar kortisol di dalam darah, dimana ketika hormon kortisol diproduksi dalam jumlah yang sedikit maka seseorang akan merasakan rileks, nyaman serta tenang, yang akan memudahkan seseorang untuk tertidur9.

Terpenuhinya kebutuhan tidur disebabkan karena terjadinya penurunan aktivitas Reticular Activating System (RAS), yang dapat mengontrol gelombang alfa di dalam otak, sehingga memudahkan untuk tertidur. Terjadinya penurunan fungsi oksigen, denyut nadi, frekuensi napas, ketegangan otot, tekanan darah juga akan membantu seseorang mudah untuk tertidur8.

Kelompok Skor Sebelum Skor Setelah p

Rerata±SB Rerata±SB

I 8,89±1,269 5,00±1,00 0,007

II 9,11±0,601 4,89±1,537 0,006

Kelompok n Rera-ta±SB

p

Sebelum

I 9 8,89±1,

269 0,185

II 9 9,11±0,

601

Setelah

I 9 5,00±1,

00 0,847

II 9 4,89±1,

537

Selisih

I 9 3,89±1,

054 0,738

II 9 4,22±1,

922

Majalah Ilmiah Fisioterapi Indonesia, Volume 5, Nomor 1 ● 4

Progressive Muscle Relaxation (PMR) yang dikombinasikan dengan teknik pernapasan akan dapat memberikan pemijatan halus pada jantung, karena diafragma akan bergerak naik turun, sehingga dapat membuka sumbatan dan dapat melancarkan aliran darah ke seluruh tubuh serta ke jantung. Meningkatnya aliran darah maka akan mempengaruhi kadar nutrien dan oksigen di dalam otak. Oksigen yang meningkat di dalam otak tentunya akan merangsang produksi hormon serotonin, sekresi hormon serotonin yang meningkat akan membuat tubuh menjadi tenang dan lebih memudahkan untuk tertidur10.

Hasil penelitian ini telah membuktikan bahwa Progressive Muscle Relaxation (PMR) efektif dalam meningkatkan kualitas tidur pada pekerja perempuan. Aromatherapy Massage dapat Meningkatkan Kualitas Tidur pada Pekerja Perempuan

Didapatkan hasil uji Wilcoxon Sign Rank Test kelompok Aromatherapy Massage dengan nilai p=0,006 (p<0,05) yang menyatakan bahwa ada perbedaan signifikan pada kualitas tidur sebelum diberikan intervensi Aromatherapy Massage dan setelah diberikan intervensi Aromatherapy Massage.

Aromatherapy Massage adalah terapi relaksasi yang dapat memperlancar metabolisme di dalam tubuh. Massage yang diberikan akan merangsang terjadinya kontraksi dinding kapiler yang dapat menyebabkan terjadinya vasodilatasi pembuluh getah bening serta pembuluh darah kapiler, yang menyebabkan terjadinya peningkatan oksigen di dalam darah, sisa-sisa metabolisme semakin lancar sehingga dapat menstimulasi peningkatan produksi hormon endorfin yang berfungsi memberikan perasaan nyaman11.

Pemberian Aromatherapy Massage mampu memberikan penekanan secara langsung, sentuhan dan penekanan yang diberikan nantinya akan mempengaruhi fungsi kerja saraf otonom yaitu parasimpatis. Saraf parasimpatis adalah saraf yang paling berperan dalam proses tidur yaitu nuclei rafe dan nucleus tractus solitarius yang memasuki saraf Cranialis yaitu saraf vagus dan Glosopharyngeus. Diproduksinya hormon serotonin terjadi karena adanya rangsangan pada saraf vagus yang selanjutnya merangsang sel enterochromaffin dalam gastrointestinal. Hormon serotonin merupakan neutrotransmiter utama yang berkaitan dengan timbulnya keadaan tidur9.

Dalam penelitian ini pemberian Aromatherapy Massage dengan menggunakan aromatherapy lavender dapat meningkatkan kualitas tidur, karena aromatherapy lavender dapat memberikan perasaan tenang, memberikan efek sedatif dan membantu dalam meregulasi sistem saraf pusat12. Aromatherapy yang dihirup memasuki hidung, kemudian diubah oleh silia di dalam hidung menjadi impuls listrik yang akan mempengaruhi limbik sistem di dalam hipotalamus. Molekul bau di dalam sistem limbik kemudian akan meningkatkan gelombang alfa di dalam otak yang menyebabkan tubuh merasakan rileks. Perasaan rileks akan mengurangi stimulus ke Sistem Aktivasi Retikularis (SAR), dimana SAR memiliki fungsi untuk mempertahankan kewaspadaan dan keadaan terjaga. Ketika stimulus SAR menurun maka selanjutnya stimulus

kerja SAR akan diambil alih oleh Bulbar Synchronizing (BSR) sehingga dapat meningkatkan kualitas tidur3.

Hasil penelitian ini telah membuktikan bahwa Aromatherapy Massage efektif dalam meningkatkan kualitas tidur pada pekerja perempuan. Progressive Muscle Relaxation (PMR) Sama Baik dengan Aromatherapy Massage Dalam Meningkatkan Kualitas Tidur pada Pekerja Perempuan

Berdasarkan hasil uji Mann- Whitney U-Test dengan nilai p=0,738 (p>0,05) yang menyatakan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan diantara Progressive Muscle Relaxation (PMR) dengan Aromatherapy Massage dalam meningkatkan kualitas tidur pada pekerja perempuan

Intervensi yang diberikan dengan frekuensi serta intensitas yang sama, maka akan menghasilkan respon fisiologis yang tidak jauh berbeda. Intervensi diberikan sebanyak tujuh kali dengan jeda waktu satu hari setiap pemberian intervensi selama dua minggu, dengan durasi 20 menit setiap kali terapi. Hal itu didasarkan oleh penelitian yang dilakukan Jacobson, dimana Progressive Muscle Relaxation (PMR) yang dilakukan selama 20 sampai 30 menit, sekali dalam sehari dengan teratur dalam waktu satu minggu efektif terhadap penurunan insomnia13. Pemberian massage yang diberikan sebanyak tujuh kali juga berpengaruh terhadap tingkat insomnia lansia di Unit Rehabilitasi Sosial Pucang Gading semarang9.

Sampel mengalami kualitas tidur yang buruk karena adanya aktivitas, beban pekerjaan dan pikiran yang berlebihan. Kondisi tersebut menyebabkan menurunnya fungsi gerak otot akibat terjadinya kontraksi yang terus menerus pada otot, karena kurangnya waktu istirahat sehingga dapat mempengaruhi kondisi fisik dan kualitas tidur. Mekanisme kerja Progressive Muscle Relaxation (PMR) dalam meningkatkan kualitas tidur yaitu dengan merangsang sistem saraf pusat dan sistem saraf otonom. Pada Progressive Muscle Relaxation (PMR) mampu memberikan peningkatan rangsangan sistem saraf parasimpatis dan menurunkan rangsangan pada saraf simpatis. Ketika rangsangan pada saraf simpatis menurun dan terjadi peningkatan rangsangan pada saraf parasimpatis maka dapat menekan rasa tegang dan cemas dan memberikan perasaan rileks14.

Aromatherapy massage adalah teknik relaksasi yang mampu melancarkan aliran darah, membuat keadaan rileks, mengurangi stres, dan dapat mengurangi rasa lelah. Saat jaringan otot berkontraksi ketika diberikan massage akan membuat sistem saraf disekitar area massage juga ikut tertekan dan jaringan otot rileks maka saraf juga akan teregang. Sehingga meningkatkan aktivitas parasimpatis untuk mengeluarkan neurotransmiter seperti hormon endorfin, hormon serotonin, dan hormon asetilkolin. Menghirup aromatherapy juga dapat meningkatkan frekuensi gelombang alfa dan keadaan ini dihubungkan dengan bersantai atau berelaksasi12.

Kedua terapi relaksasi ini memiliki mekanisme peningkatan kualitas tidur yang sama. Dimana pada Progressive Muscle Relaxation (PMR) dan Aromatherapy Massage sama-sama mempengaruhi sistem kerja saraf

Majalah Ilmiah Fisioterapi Indonesia, Volume 5, Nomor 1 ● 5

simpatis dan parasimpatis, merangsang hipotalamus untuk melepaskan Corticotropic Releasing Factor (CRF) yang selanjutnya merangsang sekresi Adrenocorticotropic Hormone (ACTH) untuk mensekresikan hormon endorfin dan enkefalin15.

Progressive Muscle Relaxation (PMR) dan Aromatherapy Massage sama baik dalam meningkatkan kualitas tidur juga dipengaruhi oleh beberapa faktor pada saat penelitian. Pertama, dipengaruhi oleh aktivitas masing-masing sampel yang berbeda-beda yang tidak dapat dikontrol. Kedua, sampel pada intervensi Progressive Muscle Relaxation (PMR) melakukan latihan di ruangan yang kurang kondusif. Ketiga, latihan Progressive Muscle Relaxation (PMR) menurut Jacobson (1920, dalam Davis, 1995), yang diberikan tujuh kali selama seminggu dengan waktu 20-30 menit setiap latihannya efektif dalam meningkatkan kualitas tidur, namun pada saat penelitian Progressive Muscle Relaxation (PMR) diberikan tujuh kali selama dua minggu dengan jeda waktu satu hari. Hal tersebut dilandasi untuk mengimbangi pemberian Aromatherapy Massage yang tidak disarankan diberikan setiap hari, karena dapat menimbulkan iritasi pada kulit. Keempat, sampel yang mendapatkan intervensi Progressive Muscle Relaxation (PMR) dari jumlah sampel 9 orang, 5 orang diantaranya mendapatkkan intervensi sebanyak 6 kali dan 4 orang yang mendapatkan intervensi penuh sebanyak 7 kali. Kelima, sampel Aromatherapy Massage sebagian besar mendapatkan intervensi 7 kali, hanya 2 orang saja yang mendapatkan intervensi sebanyak 6 kali. Beberapa dari faktor tersebutlah yang menyebabkan Progressive Muscle Relaxation (PMR) efeknya sama dengan Aromatherapy Massage. Karena berdasarkan gerakan dan pelaksanaannya Progressive Muscle Relaxation (PMR) dapat memberikan pengaruh yang lebih baik dibandingkan Aromatherapy Massage, hal tersebut karena Progressive Muscle Relaxation (PMR) dapat melatih semua kelompok otot diseluruh tubuh secara aktif, sedangkan Aromatherapy Massage hanya diberikan di tangan dan di punggung. Progressive Muscle Relaxation (PMR) juga dikombinasikan dengan adanya latihan pernapasan, sehingga dapat memberikan efek relaksasi yang lebih menyeluruh dibandingkan Aromatherapy Massage, karena latihan napas dapat memberikan pijatan pada jantung, dapat meningkatkan oksigen di dalam otak yang dapat merangsang peningkatan serotonin10. Adanya keterbatasan dalam penelitian inilah yang menjadi salah satu penyebab bahwa Progressive Muscle Relaxation (PMR) menjadi sama baik dengan Aromatherapy Massage dalam meningkatkan kualitas tidur pada pekerja perempuan.

Berdasarkan hasil kajian teori dan penelitian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa Progressive Muscle Relaxation (PMR) dan Aromatherapy Massage sama baik dalam meningkatkan kualitas tidur pada pekerja perempuan di rumah sakit Bali Royal Denpasar. SIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan diatas, maka simpulan dari penelitian ini yaitu Progressive Muscle Relaxation (PMR) sama baik dengan Aromatherapy Massage dalam meningkatkan kualitas tidur pada pekerja perempuan di rumah sakit Bali Royal

Denpasar DAFTAR PUSTAKA 1. Smith, A. 2000. The Scale of Perceived Occupational

Stres. Occup Med J, 50,294-8. 2. Pooter, PA & Perry, AG. 2010 Fundamental

Keperawatan buku 3. Edisi 7, Jakarta : Salemba Medika.

3. Pooter, PA & Perry, AG. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, Praktik. Edisi 4. (Asih, Yasmin; Penerjemah). Jakarta: EGC (sumber asli diterbitkan 1997).

4. Pooter, PA & Perry, AG. 2007. Basic Nursing Essentials for Practice. St. Louis, Missoure: Mosby Elsevier.

5. Centre for Obesity Research and Education. 2007. Body Mass Index: BMI Calculator. [Artikel]. Tanggal akses 7 April 2017. Diakses dari http:www.core.monash.org/bmi.html.

6. Sinaga, YY. 2015. Hubungan Kualitas Tidur dengan Obesitas Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Riau Angkatan 2014. Skripsi Universitas Riau. Diakses tanggal 9 April 2017.

7. Erlina. 2008. Perbedaan Tingkat Insomnia Lansia Sebelum dan Sesudah Latihan Relaksasi Otot Progresif (Progressive Muscle Relaxation) di BPSTW Ciparay Bandung. Tanggal akses 20 Oktober 2016. Diakses dari http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/-uploads/2009/07/perbedaantingkatinsomnialansia.pdf.

8. Fitrisyia, R. 2012. Relaksasi Otot Progresif Dengan Pemenuhan Kebutuhan Tidur Lansia. Jurnal Ilmiah Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara . 31-36.

9. Aziz, MT. 2013. Pengaruh Terapi Pijat (massage) Terhadap Tingkat Insomnia pada Lansia di Unit Rehabilitasi Pucang Gading Semarang. Jurnal Imliah Stikes Ngudi Waluyo Ungaran. Tanggal akses 21 April 2017.

10. Safruddin. 2016. Pengaruh Latihan Relaksasi Otot Progresif Terhadap Kualitas Tidur Klien Gagal Ginjal yang Menjalani Terapi Hemodialisis. Jurnal Ilmiah Kesehatan Diagnosis. 9 (2), 217-221.

11. Trisnowiyanto, B. 2012. Keterampilan Dasar Massage. Yogyakarta: Nuha Medika, 4-25.

12. Wheatley, D. 2005. Medical Plants For Insomnia: a Riview of Their Pharmacology, Efficiency and Tolerability. Journal of Psychopharmacology, 19 (4), 414-421.

13. Davis, M., Eshelman, ER., Matthew., Mackay. 1995. Panduan Relaksasi dan Reduksi Stres Edisi II. Alih Bahasa: Budi Ana dan Achir Yani. Kedokteran. EGC: Jakarta. Tanggal akses 20 November 2016. Diakses dari http://www.emedicine.medsacpe.com.

14. Nuryanti, L. 2014. Pengaruh Relaksasi Otot Progresif Terhadap Insomnia Pada Lansia Di PSTW Budhi Dharma Bekasi. Jurnal. 6-7.

15. Guyton & Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta: EGC.

Majalah Ilmiah Fisioterapi Indonesia, Volume 5, Nomor 1 ● 6

PERBEDAAN EFEKTIVITAS PELATIHAN BURPEE EXERCISE DENGAN PELATIHAN HEXAGON DRILL DALAM MENINGKATKAN KELINCAHAN PADA ATLET SEPAKBOLA ANAK USIA 9 – 11 TAHUN DI SEKOLAH

SEPAKBOLA GUNTUR, DENPASAR

1) Ida Ayu Eka Pradnya Paramita Dewi, 2Anak Ayu Nyoman Trisna Narta Dewi, 3I Gusti Ayu Artini,

1.2Program Studi Fisioterapi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana Bagian Farmakologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana

[email protected]

ABSTRAK Kelincahan merupakan kemampuan individu untuk merubah posisi dan arah gerak dengan cepat, efisien dan tepat tanpa kehilangan keseimbangan. Kelincahan sangat penting dalam sepakbola. Berdasarkan teori menyatakan bahwa burpee’s exercise dan hexagon drill dapat meningkatkan kelincahan. Penelitian ini dilakukan untuk membandingkan burpee’s exercise dan hexagon drill dalam meningkatkan kelincahan pada atlet sepakbola anak usia 9-11 tahun di Sekolah Sepakbola Guntur Denpasar. Uji Hipotesis dengan Paired Sample T-test dan Independent T-test. Hasil uji Paired Sample T-test pada kelompok Burpee’s Exercise nilai p=0,001 (p<0,05) dan pada kelompok Hexagon Drill nilai p=0,000 (p<0,05)yang berarti terdapat perbedaan yang bermakna pada peningkatan kelincahan sebelum dan setelah intervensi. Hasil Independent T-test menunjukkan ada perbedaan bermakna antara Burpee’s Exercise dan Hexagon Drill, dimana p=0,046 (p<0,05). Disimpulkan bahwa ada perbedaan, dimana Burpee’s Exercise lebih baik dalam meningkatkan kelincahan daripada Hexagon Drill pada atlet sepakbola anak usia 9-11 tahun di Sekolah Sepakbola Guntur Denpasar. Kata kunci: Kelincahan, Burpee’s Exercise,Hexagon Drill.

THE DIFFERENCES IN THE EFFECTIVENESS OF BURPEE'S EXERCISE TRAINING WITH HEXAGON DRILL

TRAINING IN IMPROVING AGILITY IN FOOTBALL ATHLETES OF 9-11 YEAR OLDS AT FOOTBALL SCHOOL GUNTUR DENPASAR

ABSTRACT

Agility is one's ability to change position and direction of motion quickly, efficiently and precisely without losing balance. Agility is very important in football. Based on the theory that burpee's exercise and hexagon drill can improve agility. This study was conducted to compare burpee's exercise and hexagon drill in improving agility in soccer athletes of children aged 9-11 years in Football School Guntur Denpasar. Hypothesis Test with Paired Sample T-test and Independent Sample T-test. The result of Paired Sample T-test in Burpee’s Exercise group is p=0.001 (p<0.05) and Hexagon Drill group is p=0.000 (p<0.05) showed the significant differences in the agility improvement before and after intervention. The result of Independent T-test showed there was significant differences between Burpee’s Exer-cise and Hexagon Drill, where p=0.046 (p<0.05). This it can be concluded that Burpee’s Exercise is better for improv-ing agility than Hexagon Drill of soccer athletes of children aged 9-11 years at the Football School Guntur Denpasar. Keywords: Agility, Burpee's exercise, Hexagon drill

PENDAHULUAN Olahraga merupakan suatu aktivitas yang teratur

dan terencana untuk memelihara gerak dan meningkatkan kemampuan gerak. Kegiatan olahraga dapat dilakukan secara individu maupun dalam suatu ke-lompok (grup). Olahraga bertujuan untuk melatih kebugar-an jasmani serta bisa mengurangi resiko terjangkit penya-kit. Faktor-faktor yang mempengaruhi kebugaran jasmani yaitu: kekuatan (strenght), kecepatan (speed), kelincahan (agility), kelenturan (flexibility), dan daya ledak (power). Kebugaran jasmani dilihat dari penguasaan seseorang dalam melakukan faktor-faktor yang mempengaruhi ke-bugaran jasmani tersebut1.

Sepak bola merupakan permainan yang menggunakan bola yang dimainkan oleh 2 tim dengan beranggotakan 11 pemain dan ditambah pemain cadangan. Sepak bola merupakan salah satu cabang olahraga yang sangat diminati lebih dari 250 orang di 200 negara di dunia2. Tujuan dari olahraga sepakbola ini yaitu untuk mencetak gol ke gawang lawan sebanyak-banyaknya, untuk itu seorang atlet harus memiliki faktor

kebugaran jasmani yang baik. Kelincahan merupakan salah satu unsure ke-

bugaran jasmani yang penting dalam olahraga sepak bo-la. Kelincahan adalah kemampuan seseorang untuk merubah posisi dan arah gerakan serta menghentikkan gerakan dengan cepat, efisien dan tepat tanpa kehilangan keseimbangan3. Atlet harus memiliki kelincahan yang baik karena kelincahan berperan penting dalam mengatur gerak tubuh khususnya pada saat menggiring bola. Saat menggiring bola atlet harus melakukannya dengan gerakan yang cepat serta tepat secara tiba-tiba tanpa kehilangan keseimbangan.

Apabila terjadi penurunan kelincahan, akan berdampak terhadap kemampuan atlet dalam menggiring bola sehingga tidak dapat mengecoh lawan, gerak kaki yang cepat dan membuat atlet kurang efektif di lapangan sehingga tidak dapat mencetak gol. Untuk itu diperlukan latihan yang mampu menjaga dan meningkatkan kelinca-han atlet sepakbola. Salah satu latihan yang dapat digunakan untuk meningkatkan kelincahan adalah Pelati-han Burpee’s dan Pelatihan Hexagon Drill. Kedua latihan

Majalah Ilmiah Fisioterapi Indonesia, Volume 5, Nomor 1 ● 7

ini akan mendapatkan hasil yang maksimal apabila dil-akukan pada rentang usia 9 sampai 11 Tahun.

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti akan mencoba meneliti perbedaan efektivitas Pelatihan Burpee’s dengan Pelatihan Hexagon Drill dalam mening-katkan kelincahan pada atlet sepakbola anak usia 9-11 tahun di Sekolah Sepakbola Guntur Denpasar.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini bersifat eksperimental pre post test two group design, dalam pengambilan sampel menggunakan metode simple random sampling. Besar sampel dalam penelitian ini sejumlah 16 orang. Sampel penelitian dibagi menjadi dua kelompok, dimana Ke-lompok I diberikan Burpee’s Exercise dan Kelompok II diberikan Hexagon Drill. Penelitian ini dilaksanakan satu bulan di Lapangan Niti Mandala Renon Denpasar yakni pada bulan Februari 2017.

Sampel pemain sepakbola usia 9-11 tahun yang telah didapat akan melakukan pengukuran Indeks Massa Tubuh (IMT). Hasil yang digunakan yaitu IMT normal (18,5 – 22,9 kg/m2). Pelatihan pada kedua kelompok ini dilakukan selama 12 kali. Tes yang digunakan yaitu T-test yang dilakukan saat sebelum dan sesuadah pemberian latihan dan dihitung waktunya. Alat ukur dalam penelitian ini yaitu stopwatch digunakan untuk mengukur waktu yang ditempuh sampel pada saat pengukuran kelincahan menggunakan T-test. Selain itu pada penelitian ini juga menggunakan cones yang bertujuan sebagai alat bantu untuk membuat lintasan hexagon dan T-test dalam melakukan latihan. Semua hasil data yang diperoleh dio-lah menggunakan software SPSS 23.0. HASIL

Sampel pada penelitian ini adalah atlet sepakbola anak usia 9 – 11 tahun di Sekolah Sepakbola Guntur Denpasar. Penelittian ini telah dilaksanakan di Lapangan Niti Mandala Renon Denpasar sebanyak 12 kali. Pada saat penelitian berlangsung tidak ada sampel yang drop out pada masing-masing kelompok.

Berikut ini adalah adalah deskripsi karakteristik sampel penelitian pada kelompok Burpee’s Exercise dan kelompok Hexagon Drill berdasarkan usia dan Indeks Massa Tubuh (IMT).

Tabel 1. Karakteristik Sampel berdasarkan Usia, IMT

Tabel 1. menunjukkan kelompok burpee’s exer-

cise memiliki rerata usia 10,37 (SB 0,517) tahun dan rera-ta IMT 19,53 (SB 2,338) kg/m2 sedangkan sampel pada Kelompok hexagon drill memiliki rerata usia 10,50(SB 0,534) tahun dan rerata IMT 20,15 (SB 1,288) kg/m2.

Tabel 2. Hasil Uji Normalitas dan Homogenitas (Peningkatan Kelincahan)

Tabel 2 menunjukkan hasil uji normalitas data

dengan Saphiro-Wilk Test. Kelompok burpee’s exercise data nilai sebelum perlakuan dengan nilai p=0,802 (p>0,05), setelah perlakuan dengan nilai p=0,158 (p>0,05) dan selisih didapatkan nilai p=0,490 (p>0,05). Pada kelompok hexagon drill, data nilai sebelum perla-kuan dengan nilai p=0,121 (p>0,05), setelah perlakuan dengan nilai p=0,145 (p>0,05) dan selisih dengan nilai p=0,736 (p>0,05). Hasil tersebut menunjukkan bahwa kelompok Burpee’s Exercise dan Hexagon Drill memiliki data yang berdistribusi normal.

Hasil uji Levene’s Test dimana sebelum perla-kuan dengan nilai p=0,022 (p<0,05), setelah perlakuan dengan nilai p=0,003 (p<0,05), hal ini menunjukkan bah-wa data sebelum dan setelah perlakuan tidak homogen sedangakan selisih dengan nilai p=0,801 (p>0,05). Hasil tersebut menunjukkan bahwa selisih dari kedua kelompok perlakuan memiliki data yang homogen.

Tabel 3. Hasil Uji Paired Sample T-Test

Tabel 3. menunjukkan hasil beda rerata pening-katan kelincahan sebelum dan setelah perlakuan pada kelompok Burpee’s Exercise, dengan nilai p=0,001 (p<0,05) sedangkan pada kelompok Hexagon Drill dengan nilai p=0,000 (p<0,05) yang berarti kedua ke-lompok memiliki perbedaan yang bermakna terhadap peningkatan kelincahan sebelum dan setelah perlakuan.

Tabel 4. Independent T-Test

Karakteristik Sampel Kelompok I (n=8) Kelompok II (n=8)

Rerata±SB Rerata±SB

Usia (tahun 10,37±0,517 10,50±0,534

IMT (kg/m2) 19,53±2,338 20,15±1,288

Kelompok Data

Kelompok I Kelompok II Levene’s Tets Rera- P Rera- p

Sebelum 11,86±0,19

0,802 12,76±0,45

0,121 0,022

Setelah 10,45±0,12

0,158 11,19±0,30

0,145 0,003

Selisih 1,408±0,25

0,49 1,567±0,20

0,736 0,801

Kelompok n Rerata±SB p

Sebelum

I 8 11,86±0,1

94 0,098

II 8 12,76±0,4

48

Setelah

I 8 10,45±0,1

08 0,046

II 8 11,19±0,2

97

Selisih

I 8 1,408±0,2

48 0,629

II 8 1,567±0,2

03

Kelompok Sebelum Rerata Setelah Rerata

p ± SB (detik) ± SB (detik)

I 11,86±0,194 10,45±0,108 0,001

II 12,11±0,601 11,19±0,297 0,000

Majalah Ilmiah Fisioterapi Indonesia, Volume 5, Nomor 1 ● 8

Tabel 4. Menunjukkan hasil rerata selisih pening-katan kelincahan sebelum dan setelah perlakuan dengan nilai p=0,046 (p<0,05) pada data setelah perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan antara Burpee’s Exercise dan Hexagon Drill terhadap peningkatkan ke-lincahan atlet sepakbola anak usia 9 – 11 tahun di Sekolah Sepakbola Guntur Denpasar. DISKUSI

Rerata usia sampel pada kelompok Burpee’s Exer-cise yaitu 10,37 (SB 0,517) tahun. Rerata usia sampel pada kelompok Hexagon Drill 10,50 (SB 0,534) tahun.

Kriteria Indeks Massa Tubuh (IMT) sampel pada penelitian ini memilki rerata IMT 18,5-22,9 kg/m2 yang menunjukkan IMT normal4. Pada kelompok Burpee’s Ex-ercise memiliki rerata Indeks Massa Tubuh (IMT) yaitu 19,53 (SB 2,338) kg/m2 sedangkan pada kelompok Hexa-gon Drill rerata Indeks Massa Tubuh (IMT) yaitu 20,15 (SB 1,288). Indeks Massa Tubuh berpengaruh terhadap kelincahan seseorang, semakin besar derajat kegemukan atlet maka tidak ada keseimbangan antara asupan makan dan jumlah energi yang dikeluarkan oleh tubuh yang akan berdampak terhadap perfoma atlet5.

Pemberian Burpee’s Exercise Dapat Meningkatkan Kelincahan

Pemberian pelatihan burpee’s akan meningkatkan unsur kebugaran jasmani seperti kekuatan otot tungkai, fleksibilitas, koordinasi serta keseimbangan dinamis sehingga berdampak terhadap peningkatan kelincahan kaki6. Latihan ini menyebabkan peningkatan aktivitas otot-otot baik anggota gerak atas maupun ang-gota gerak bawah, dengan kombinasi dari gerakan stand-ing, squat down dan plank saat latihan berlangsung akan meningkatkan kontraksi otot 789.

Pada posisi squat down akan terjadi kontraksi otot tungkai yang menyebabkan meningkatnya massa otot sehingga kekuatan otot akan meningkat. Posisi plank menuju posisi squat down keseimbangan dinamis akan terlatih akibat adanya koordinasi antar otak dan otot. Otot-otot yang berkontraksi searah akan berkontraksi lebih cepat, dan akan meningkatkan inhibisi dari otot-otot yang berkontraksi namun menghasilkan gerak yang berla-wanan. Pada posisi squat down juga dapat meningkatkan fleksibilitas sendi, sehingga sendi menjadi lebih lentur dan lingkup gerak sendi menjadi lebih baik10.

Bentuk latihan ini menggunakan teknik isotonik yang dilakukan dengan prinsip resisten atau beban kon-stan dan ada perubahan panjang otot. Karena latihan ini merupakan latihan yang bersifat dinamik, maka latihan ini dapat meningkatkan tekanan intramuskuler dan me-nyebabkan peningkatan aliran darah, sehingga bentuk latihan ini tidak mudah menimbulkan kelelahan11. Pemberian Hexagon Drill Dapat Meningkatkan Ke-lincahan

Hexagon Drill merupakan bentuk pelatihan yang menyebabkan perubahan pada system saraf yang me-nyebabkan individu akan lebih baik dalam mengontrol koordinasi kelompok ototnya, dengan demikian kelinca-han dan daya ledak ototnya menjadi lebih tinggi. Pelati-han ini meningkatkan unsur kebugaran jasmani seperti kekuatan otot, keseimbangan dinamis dan fleksibilitas.

Pada saat pemberian latihan Hexagon Drill ini akan terjadi hypertrophy otot. Hal ini terjadi akibat adanya per-tambahan jumlah myofibril pada setiap serabut otot, yang akan mengakibatkan peningkatan pada serabut otot, dengan adanya hypertrophy otot maka kekuatan otot terutama otot tungkai akan meningkat. Latihan ini juga meningkatkan fleksibilitas, dimana persendian menjadi lebih lentur dan lingkup gerak sendi akan semakin baik serta otot menjadi lebih elastik. Keseimbangan dinamis diperoleh dari adanya kontraksi otot- otot sinergis yang tepat6. Burpee’s Exercise Lebih Baik daripada Hexagon Drill Dalam Meningkatkan Kelincahan

Hasil uji Independent T-test menunjukkan nilai p=0,046 (p<0,05) yang berarti bahwa antara Burpee’s Exercise dengan Hexagon Drill terdapat perbedaan da-lam meningkatkan kelincahan pada atlet sepakbola anak usia 9-11 tahun di Sekolah Sepakbola Guntur Denpasar, dimana burpee’s exercise lebih baik dalam meningkatkan kelincahan daripada hexagon drill.

Adanya perbedaan dikarenakan kedua pelati-han ini memiliki erbedaan dalam meningkatkan unsur dari kebugaran jasmani. Pada kelompok Burpee’s Exercise unsur kebugaran jasmani yang ditingkatkan yaitu kekuatan otot , fleksibilitas, koordinasi, kecepatan serta keseimbangan dinamis6. Sedangkan pada kelompok Hex-agon Drill unsur kebugaran jasmani yang ditingkatkan yaitu kekuatan otot, fleksibilitas, dan keseimbangan dina-mis6. Faktor lain yang menyebabkan kedua pelatihan ini memiliki perbedaan bisa dilihat dari bentuk latihannya. Burpee’s Exercise termasuk kedalam bentuk latihan full body exercise dimana anggota gerak atas dan anggota gerak bawah ikut andil dalam melakukan gerakan-gerakan pada pelatihan ini9. Latihan ini menggunakan teknik isotonik yang dilakukan dengan prinsip resisten atau beban konstan dan ada perubahan panjang otot11. Sedangkan hexagon drill termasuk bentuk latihan plyom-etrik yang merupakan jenis pelatihan yang disesuaikan untuk menghasilkan suatu gerakan yang kuat dan cepat serta dapat meningkatkan fungsi dari sistem saraf6. Meningkatna fungsi sistem saraf akan mendorong sel saraf untuk saling berhubungan dengan sebuah kekuatan yang besar yang terpusat. Akibatnya, otot akan ber-kontraksi lebih cepat dan kuat.

Selain itu, Burpee’s Exercise memiliki keunggu-lan dibandingan Hexagon Drill dikarenakan Burpee’s Ex-ercise berdampak secara fisiologis bagi banyak otot khu-susnya otot tungkai dan otot core12. Dengan mening-katnya unsur kebugaran jasmani seperti kekuatan otot tungkai yang didapatkan dari adanya pelatihan yang dil-akukan secara berulang-ulang akan menyebabkan kekuatan otot menjadi meningkat, sedangkan kecepatan akan meningkat oleh karena adanya penyesuaian otot terhadap pelatihan, fleksibilitas juga akan meningkat teru-tama pada sendi lutut dan pinggul karena burpee’s exer-cise terjadi gerakan yang berubah-ubah, selain itu unsure lain yang ditingkatkan dari pelatihan ini yaitu elastisitas otot dan keseimbangan dinamis karena saat elatihan ini berlangsung otot akan melakukan penyesuaian untuk mempertahankan keseimbangan12.

Kedua pelatihan ini diberikan sebanyak dua belas kali dalam satu bulan selama 4 minggu. Pelatihan

Majalah Ilmiah Fisioterapi Indonesia, Volume 5, Nomor 1 ● 9

yang diberikan dengan dosis waktu 4 – 8 minggu akan memperlihatkan hasil yang konstan dimana tubuh telah beradaptasi dengan pelatihan tersebut13. SIMPULAN

Simpulan dari penelitian ini yaitu Burpee’s Exer-cise lebih baik dalam meningkatkan kelincahan daripada Hexagon Drill pada atlet sepakbola anak usia 9-11 tahun di Sekolah Sepakbola Guntur Denpasar, simpulan terse-but berdasarkan dari hasil analisis data dan pembahasan yang sudah dipaparkan diatas. DAFTAR PUSTAKA 1. Giriwijoyo, S. 2007. Pendidikan Jasmani, Olahraga,

dan Kesehatan Untuk SMA Kelas XI. Jakarta : Gane-sha Exact.

2. Putra, A. H. 2012. Pengaruh Sirkuit Training Ter-hadap Kecakapan Menggiring Bola pada Siswa Sekolah Sepakbola Cakar Mas Brebah Sleman Ke-lompok Usia 15-16 Tahun. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta. pp. 8-41..

3. Ismaryati. 2008. Peningkatan Kelincahan Atlet melalui Penggunaan Metode Kombinasi Latihan Sirkuit plio-metrik dan Berat Badan. Jurnal Paedagogia. 1 : Vol. 11. pp. 74-89.

4. Centre for Obesity Research and Education. 2007. Body Mass Index: BMI Calculator. diakses: November 27, 2016. available at: http://www.core.monash.org/bmi.html.

5. Arga, K. 2008. Pengaruh Plyometric Exercise Ter-hadap Peningkatan Daya Ledak Otot Lower Extremi-ty. Jakarta : UPN Veteran.

6. Lestari, K.A.S. 2015. Perbedaan Efektivitas Latihan Hexagon Drill dan Zig-Zag Run Terhadap Pening-katan Kelincahan Pada Pemain sepak Bola Sekolah Sepak Bola Guntur Denpasar. Program Studi Fisioter-api Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

7. Burgomaster, K.A., Cermak, N.M., Phillips, S.M., Benton, C.R., Bonen, A., and Gibala, M.J. 2007. Divergent response of metabolite transport proteins in human skeletal muscle after sprint interval training and detraining. Am. Journal Physiol. Regul. Integr. Comp. Physiol.

8. Burgomaster, K.A., Hughes, S.C., Heigenhauser, G.J.F., Bradwell, S.N., and Gibala, M.J.. 2005. Six sessions of sprint interval training increases muscle oxidative potential and cycle endurance capacity. Journal Application Physiol.

9. Tamakrin, S. 2014. A Brief History Of The Burpee. (diakses tanggal:30 November 2016). http://www.huffingtonpost.com/2014/05/02/burpee-history_n_5248575.html.

10. Govind, B. T. J., Tapadia, V. M., Bhutkar. 2014. An Assessment of Strenght, Power and Agility in Volley-ball Players. Medical Science. Vol. 3(8). pp. 490-492.

11. Lesmana, S. I. 2007. Perbedaan Pengaruh Metode Latihan Beban Terhadap Kekuatan Dan Daya Tahan Otot Biceps Brachialis Ditinjau Dari Perbedaan Gen-der (Studi Komparasi Pemberian Latihan Beban Metode Delorme dan Metode Oxford Pada maha-siswa Fakultas Ilmu Kesehatan dan Fisioterapi). Fisi-oterapi Universitas Esa Unggul.

12. Waghmare, R. A, Bondade, K. A., Surdi, D. A. 2012.

Study of Flexibility, Agility and Reaction Time in Handball Players. Indian Medical Gazette. pp. 23 - 31.

13. Nala, I. 2002. Prinsip Pelatihan Fisik Olahraga . Denpasar: Komite Olahraga Nasional Indonesia Daerah Bali.

Majalah Ilmiah Fisioterapi Indonesia, Volume 5, Nomor 1 ● 10

KOMBINASI INFRARED DAN CONTRACT RELAX STRETCHING SAMA BAIK DENGAN KOMBINASI INFRARED DAN DEEP TRANSVERSE FRICTION TERHADAP PENURUNAN DISABILITAS LEHER KONDISI TENSION-

TYPE HEADACHE PADA APARATUR SIPIL NEGARA DI KANTOR GUBERNUR BALI

1Komang Sri Mirawati 2Anak Ayu Nyoman Trisna Narta Dewi 3I Wayan Gede Sutadarma

1,2 Program Studi Fisioterapi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar Bali 3Bagian Biokimia Fakultas Kedokteran Udayana, Denpasar Bali

[email protected]

ABSTRAK Kontraksi otot leher yang terus-menerus mengakibatkan disabilitas leher sehingga terjadi tension-type headache. Tujuan penelitian untuk mengetahui perbedaan kombinasi infrared dan contract relax stretching dengan kombinasi infrared dan deep transverse friction untuk menurunkan disabilitas leher pada aparatur sipil negara di kantor gubernur bali. Metode penelitian ini menggunakan studi eksperimental dengan perancangan pre-test dan post-test two group design. Ttotal sampel 28 orang terbagi atas dua kelompok. Kelompok 1 mendapatkan kombinasi infrared dan con-tract relax stretching, kelompok 2 mendapatkan kombinasi infrared dan deep transverse friction, dimana penurunan disabilitas leher diukur dengan Neck Disability Index (NDI). Uji hipotesis pada setiap kelompok menggunakan Paired sample t-test didapatkan hasil p=0,000 pada kelompok 1 dan untuk kelompok 2 nilai p=0,000. Hasil tersebut menun-jukkan terdapat penurunan disabilitas leher yang bermakna pada setiap kelompok. Uji beda sesudah perlakuan anta-ra kelompok 1 dengan kelompok 2 menggunakan Independent sample t-test hasilnya p = 0,741 (p>0,05). Disimpul-kan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna antara kombinasi infrared dan contract relax stretching dengan kom-binasi infrared dan deep transverse friction untuk menurunkan disabilitas leher kondisi tension-type headache pada Aparatur Sipil Negara Di Kantor Gubernur Bali. Intervensi deep transverse friction dapat digunakan apabila pasien menginginkan rasa yang lebih nyaman pada saat diberikan intervensi dan direkomendasikan pada pasien yang ku-rang mengerti instruksi. Kata kunci: infrared, contract relax strtching, deep transverse friction, neck disability index (NDI), tension type-headache.

COMBINATION OF INFRARED AND CONTRACT RELAX STRETCHING SHOWED NO SIGNIFICANT DIFFER-ENCE AS COMBINATION OF INFRARED AND DEEP TRANSVERSE FRICTION TO REDUCE OF NECK DISA-BILITY TENSION-TYPE HEADACHE CONDITION AMONG CIVIL STATE APPARATUS AT GOVERNOR’S OF-

FICE IN BALI

ABSTRACT Persistent contraction of the muscles of the neck will causes neck disability so it can be tension-type headache.The purpose of this study was to compare the combination of infrared and contract relax stretching with the combination of infrared and deep transverse friction to the decrease of neck disability in tension-type headache condition. This re-search is experimental with pre-test and post-test group design. The sample of research are 28 people divided into two groups. Group 1 was given combination of infrared and contract relax stretching while group 2 was given combi-nation of infrared and deep transverse friction. Measurement of neck disability is using Neck Disability Index( NDI) . Hypotension tested in each group using Paired sample t-test was obtained p = 0.000 for group 1 and p = 0.000 for group 2. The result showed that at each groups had a significant decrease in neck disability. To compare the results of the decrease of neck disability after intervention using Independent sample t-test in both groups obtained p = 0.741 (p> 0.05). The conclusion is the combination of infrared and contract relax stretching showed no significant difference as combination of infrared and deep transverse friction to the reduce of neck disability with tension-type headache conditions. A deep transverse friction can be used if the patient wants a more comfortable when given intervention and very recommended for client that loss of understanding. Keywords: infrared, contract relax strtching, deep transverse friction, neck disability index (NDI), tension type-

headache.

PENDAHULUAN Tension-type headaches (TTH) adalah nyeri

kepala yang disebabkan akibat kontraksi dari otot belakang leher yang terus-menerus. Nyeri yang dirasakan dari leher hingga telinga. Nyeri yang muncul dalam jangka waktu yang lama akan mengakibatkan disabilitas leher. TTH ini terbagi atas 4 jenis dimana terdapat perbe-daan waktu pada tiap jenisnya 12,15. Otot subocipital meru-

pakan otot tipe 1 (slow twich) berfungsi untuk memper-tahankan sikap leher yang berperan dalam kasus TTH1. Faktor-faktor yang berpotensi mengakibatkan terjadinya TTH adalah psikologis, jenis kelamin, usia, sikap dan ling-kungan kerja11. Pemeriksaan TTH pada penelitian ini In-tervensi fisioterapi dengan infrared dan contract relax stretching dapat menurunkan spasme dan meman-jangkan otot yang memendek.

Majalah Ilmiah Fisioterapi Indonesia, Volume 5, Nomor 1 ● 11

Keluhan nyeri akibat adanya myofascial tersebut dapat diatasi dengan memberikan infrared. Infrared menghasilkan efek thermal sehingga akan berefek relax-asi pada kondisi otot yang menegang. Modalitas ini san-gat flexible dan mudah dibawa kemana-mana10..

Selain itu, teknik manual terapi yang dapat diberi-kan yaitu contract relax stretching. Teknik ini diaplikasikan pada otot di bagian tubuh yang berfungsi untuk mening-katkan fleksibilitas otot. Dengan adanya penguluran otot akan meningkatkan lingkup gerak sendi dan menghilangkan spasme otot10. Teknik pasif yang dapat diberikan untuk menurunkan disabilitas leher yaitu deep transverse friction. Teknik ini mengurangi jaringan myo-fascial dengan merusak perlengketan dari scar tissue dengan memberikan tekanan pada nodul di otot yang spasme sehingga dapat memperlancar aliran darah dan nyeri pada otot yang spasme berkurang serta digunakan untuk meningkatkan penyembuhan jaringan dengan teknik cross atau menyilang4

Berdasarkan pemaparan singkat terkait intervensi tersebut, maka dilakukan penelitian mengenai perbedaan kombinasi infrared dan contract relax stretching dengan kombinasi infrared dan deep transverse friction terhadap penurunan disabilitas leher kondisi tension type-headache pada aparatur sipil negara di Kantor Gubernur Bali.

METODE PENELITIAN

Penelitian bersifat eksperimental dan rancangan yang digunakan pre-test and post-test two group design yang bertempat di Poliklinik Kantor Gubernur Bali terhi-tung dari bulan Februari hingga Maret 2017. Pengambilan sampel dilakukan dengan menentukan kriteria inklusi, eksklusi dan dropout sampai didapatkan jumlah sampel 14 orang setiap kelompok dengan teknik consecutive sampling. Untuk mengukur tingkat disabilitas leher digunakan Neck Disability Index (NDI) pada sebelum dan sesudah perlakuan. Kelompok 1 mendapatkan kombinasi infrared dan contract relax stretching selama 2 minggu dengan intensitas 3 kali seminggu. Kelompok 2 mendapatkan kombinasi infrared dan deep transverse friction selama 2 minggu dengan intensitas 3 kali sem-inggu.

HASIL PENELITIAN Tabel 1. Distribusi Data Sampel

Hasil dari Tabel 1. menyatakan bahwa jenis ke-lamin pada kelompok 1 dan 2 memiliki porsi yang sama. Untuk rerata usia baik pada kelompok 1 dan kelompok 2 memiliki rerata usia yang tidak berbeda.

Tabel 2. Uji Normalitas dan Homogenitas Data

Hasil dari tabel 2. menyatakan nilai probabilitas untuk pre-test kelompok 1 nilai p=0,272 (p>0,05), ke-lompok 2 p=0,219 (p>0,05) dan post-test kelompok 1 nilai p=0,052 (p>0,05), kelompok 2 nilai p= 0,308 (p>0,05). Selisih untuk kelompok 1 nilai p=0,262 (p>0,05) dan ke-lompok 2 nilai p=0,132 (p>0,05) menunjukkan bahwa data sebelum maupun setelah intervensi dan selisih dari sebe-lum maupun setelah intervensi memiliki data yang berdis-tribusi normall. Uji Homogenitas dengan Levene’s Test didapatkan nilai p=0,190(p>0,05) untuk kelompok sebe-lum intervensi dan untuk kelompok setelah intervensi nilai p=0,676 (p>0,05) sedangkan pada selisih untuk sebelum maupun setelah intervensi dengan nilai p=0,647 (p<0,05) yang berarti data sebelum, setelah intervensi dan selisih bersifat homogen.

Tabel 3. Uji Beda Rerata Penurunan Disabilitas Leher Sebelum Dan Setelah Intervensi

Berdasarkan Tabel 3 didapatkan hasil beda rerata penurunan disabilitas leher dengan paired sample t-test pada kelompok 1 dengan nilai p=0,000 (p<0,05) yang berarti ada perbedaan yang bermakna dari penurunan disabilitas leher sebelum dan setelah intervensi infrared dan contract relax stretching pada kondisi tension-type headache. Pengujian hipotesis sebelum dan setelah inter-vensi pada kelompok 2 didapatkan nilai p=0,000(p<0,05) yang berarti bahwa ada perbedaan yang bermakna dari penurunan disabilitas leher sebelum dan setelah interven-si infrared dan deep transverse friction pada kondisi ten-sion-type headache.

Tabel 4. Hasil Penurunan Disabilitas Leher Pada Kon-disi Tension-Type Headache Setelah Intervensi dan Selisih Pada Kedua Kelompok

Hasil dari Tabel 4. Menyatakan perhitungan beda

rerata penurunan disabilitas leher setelah perlakuan di-peroleh nilai p=0,741 (p>0,05). Hal ini menunjukan berarti tidak ada perbedaan yang bermakna pada intervensi kombinasi infrared dan contract relax stretching dengan kombinasi infrared dan deep transverse friction terhadap

Klp 1 Klp 2

Frek Persen Frek Persen

Perempuan 9 64,3 9 64,3

Laki-laki 5 34,7 5 34,7

Rerata±SB Rerata±SB

Usia 45,29±3,07 45,86±3,95

Uji Normalitas Uji

Homogeniitas Klp 1 Klp 2

p p

Pre 0,272 0,219 0,19

Post 0,052 0,308 0,676

Selisih 0,262 0,132 0,647

Pre Post p

Kelompok 1 11,14±2,87 2,79±1,05 0

Kelompok 2 12,86±3,73 2,93±1,20 0

Kelompok 1 Kelompok 2 p

Post 2,79±1,05 2,93±1,20 0,741

Selisih 8,79±2,96 9,93±3,40 0,353

Majalah Ilmiah Fisioterapi Indonesia, Volume 5, Nomor 1 ● 12

penurunan disabilitas leher pada kondisi tension-type headache. Sedangkan selisih penurunan disabilitas leher pada kelompok 1 dan kelompok 2, diperoleh nilai p=0,353 (p>0,05), maka tidak ada perbedaan selisih penurunan disabilitas leher yang bermakna pada intervensi kombina-si infrared dan contract relax stretching dengan kombinasi infrared dan deep transverse friction pada kondisi tension-type headache.

DISKUSI Karakteristik Sampel

Berdasarkan hasil diatas, karakteristik jenis ke-lamin sampel pada kelompok 1 dan kelompok 2 memiliki porsi yang sama karena dikontrol, dimana laki-laki sebanyak 5 orang (35,7%) dan perempuan sebanyak 9 orang (64,3%). Untuk usia sampel, kelompok perlakuan 1 memiliki rerata usia 45.29±3.07 dan kelompok 2 memiliki rerata usia 45.86 ± 3.95. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan pada penelitian sebelumnya yang menya-takan pada usia 40-49 tahun risiko terjadi TTH lebih ting-gi5.

Berdasarkan data diatas, sesuai dengan penelitian sebelumnya dimana kejadian TTH lebih besar perempuan 14 sampel dibandingkan laki-laki 8 sampel. Sedangkan pada tahun 2013 di Surabaya di mana kejadi-an TTH lebih besar pada perempuan dibandingkan laki dengan perbandingan 68,3% : 31,77,9.

Kombinasi Infrared Dan Contract Relax Stretching Dapat Menurunkan Disabilitas Leher Pada Kondisi Tension-Type Headache

Hasil analisis dengan paired sample t-test yang dilakukan pada kelompok 1 dimana didapatkan nilai p = 0,000 (p < 0,05) yang berarti bahwa ada perbedaan yang bermakna nyeri sebelum dan setelah diberikan intervensi kombinasi infrared dan contract relax stretching.

Sinar infrared memberi efek hangat pada jaringan sehingga memperlancar aliran darah sehingga vaskular-isasi otot terpenuhi dengan baik14.. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian tahun 2016 pada kasus TTH menyatakan bahwa efek dari contract relax stretching akan mengaktifkan motor unit karena kontraksi isometrik yang disertai inspirasi2. Selain itu, manual terapi berupa contract relax stretching terbukti menurunkan nyeri myo-fascial trigger points10. selain itu, penelitian lainnya menyatakan bahwa contract relax stretching terbukti menurunkan nyeri otot upper trapezius yang diakibatkan myofascial trigger points6. Kombinasi Infrared Dan Deep Transverse Friction Dapat Menurunkan Disabilitas Leher Pada Kondisi Tension-Type Headache

Dengan uji paired sample t-test pada kelompok 2 didapatkan nilai p=0,000( p<0,05) yang berarti bahwa ada perbedaan yang signifikan antara sebelum dan setelah kombinasi infrared dan deep transverse friction. Hal di-perkuat bahwa teknik deep transverse friction menun-jukan adanya peningkatan ROM cervical, touch sensation akan mengurangi nyeri menggunakan prinsip gate control theory pada pasien akan memudahkan pasien untuk menggerakan daerah yang mengalami keterbatasan1. Penggunaan teknik deep transverse friction memberikan pengurangan nyeri akibat sindroma nyeri myofascial otot

levator scapula karena jaringan penyebab nyeri dapat dihancurkan13.

Kombinasi Infrared Dan Contract Relax Stretching Sama Baik Dengan Infrared Dan Deep Transverse Friction Terhadap Penurunan Disabilitas Leher Pada Kondisi Tension-Type Headache

Hasil uji independent t-test yang dilakukan pada kelompok 1 didapatkan nilai p=0,741(p>0,05), yang berar-ti tidak ada perbedaan yang bermakna pada kombinasi infrared dan contract relax stretching dengan kombinasi infrared dan deep transverse friction terhadap penurunan disabilitas leher pada kondisi tension-type headache. Hal ini disebabkan karena secara teori kedua intervensi terse-but mengasilkan efek yang sama dalam mengurangi nyeri pada jaringan myofascial trigger point dan menghasilkan sirkulasi yang baik pada tot subocipital sehingga terjadi penurunan disabilitas leher.

Kontraksi isomterik yang diikuti ekspirasi mengaktivasi golgi tendon organ sehigga terjadi relaksasi otot. Selain itu, teknik stretching akan mengembalikan panjang otot seperti semula sehingga vaskularisasi dari otot akan berlangsung dengan baik sehingga nyeri dapat berkurang. Penurunan nyeri akan secara simultan ber-pengaruh pada disabilitas leher3.

Teknik deep transverse friction yang diaplikasikan menggunakan jari secara langsung menyasar jaringan myofascial trigger point untuk dihancurkan. Ketika taut band berkurang maka sirkulasi darah akan lebih lancar. Sirkulasi darah yang lancar akan memperbaiki jaringan myofascial triger point8. Selain itu, penelitian lain juga menyatakan bahwa deep transverse friction dapat meningkatkan ROM cervical akibat myofascial pain syn-drome upper trapezius1.

SIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis data dan dilakukan pembahasan, disimpulkan bahwa kombinasi infrared dan contract relax stretching dengan kombinasi infrared dan deep transverse friction untuk menurunkan disabilitas le-her kondisi tension-type headache pada aparatur sipil negara di Kantor Gubernur Bali. Intervensi deep trans-verse friction dapat digunakan apabila pasien menginginkan rasa yang lebih nyaman pada saat diberi-kan intervensi dan direkomendasikan pada pasien yang kurang mengerti instruksi.

DAFTAR PUSTAKA 1. Aprilia, P., 2016. Pemberian Deep Transverse Fric-

tion Lebih Baik Daripada Massage Effleurage Dalam Meningkatkan Lingkup Gerak Sendi Cervical Akibat Myofascial Pain Syndrome Otot Upper Trapezius Pa-da Pegawai Laundry Di Denpasar Timur. Skripsi Fisi-oterapi Universitas Udayana, P. 44.

2. Asri, M., 2016. Contract Relax Stretching Dan Ultrasound Therapy Lebih Efektif Menurunkan Nyeri Dibandingkan Ischemic Compression Tehnique Dan Ultrasound Therapy Pada Pasien Tension Headache. Journal Of Sport And Fitness , 4(2), Pp. 37-47.

3. Azizah dan Hardjono, 2006. Pengaruh Penambahan Contract Relax Stretching Pada Intervensi Interferen-cial Current Dan Ultrasound Terhadap Pengurangan Nyeri Pada Sindroma Miofascial Otot Supraspinatus.

Majalah Ilmiah Fisioterapi Indonesia, Volume 5, Nomor 1 ● 13

Skripsi Fisioterapi Universitas Esa Unggul . 4. Brosseau, L., Casimiro, L., Milne, S., Welch, V.,

Shea, B., Tugwell, P., Wells, G A., 2009. Deep Trans-verse Friction Massage For Treating Tendinitis. In: J. Wiley, Ed. Canada: S.N.

5. Demir, 2014. Prevalence Of Tension-Type Headache In Individuals Aged Between 18-65 Years In The Eastern Parts Of Turkey. The Eurasian Journal Of Medicine , Volume 46, Pp. 78-83.

6. Faizah, Z., 2011. Penambahan Contract Relax Stretching Pada Intervensi Ifc Dan Ultrasonik Dapat Mengurangi Nyeri Lebih Baik Pada Sindroma Miofasi-al Otot Supraspinatus. Skripsi Fisioterapi Universitas Udayana.

7. Fardhika, 2015. Hubungan Kecemasan Dengan Ten-sion-Type Headache Di Poliklinik Saraf Rsud Dr. Moewardi Surakarta.

8. Khan, A., Farooqui, S., Sumble, S., Khan, M., 2015. Efficacy Of Deep Friction Massage And Ultrasound In The Treatment Of Upper Trapezius Spasm- A Ran-domized Control Trail. Journal Of Medical And Dental Science Research , 2(12), Pp. 30-34.

9. Machfoed, 2013. Difference Of Pain Intensity In Ten-sion-Type Headache Patients Focusing On The Per-sonality. Volume 49, P. 260.

10. Prianthara, D., 2014. Kombinasi Strain Counterstrain Dan Infrared Sama Baik Dengan Kombinasi Contract Relax Stretching Dan Infrared Terhadap Penurunan Nyeri Myofascial Pain Syndrome Otot Upper Trapezi-us Pada Mahasiswa Fisioterapi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Skripsi Fisioterapi Universitas Udayana.

11. Rahmawati, D., 2000. Beberapa Faktor Risiko Pada Nyeri Kepala Tipe Tegang Episodik Dan Kronik Di Poliklinik Saraf Di Rsup Dr. Kariadi Semarang.

12. Society, I. H., 2013. The International Classification Of Headache Disorders. Iii(9), P. 629–808.

13. Sugijanto dan Bunadi, 2006. Perbedaan Pengaruh Pemberian Short Wave Diathermy (Swd) Dan Contract Relax And Stretching Dengan Short Wave Diathermy Dan Transverse Friction Terhadap Pengurangan Nyeri Pada Sindroma Nyeri Miofasial Otot Levator Skapula. Jurnal Fisioterapi Indonusa, 6(1).

14. Wahyu P.Y., 2013. Efektifitas Infra Merah Terhadap Ambang Nyeri. Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta

15. Waldie, K., Buckley, J., Bull, P., Poulton, R., 2015. Tension-Type Headache: A Life-Course Review. Jour-nal Of Headache And Pain Management, 1(1:2).

Majalah Ilmiah Fisioterapi Indonesia, Volume 5, Nomor 1 ● 14

PERBANDINGAN INTERVENSI MUSCLE ENERGY TECHNIQUE DAN INFRARED DENGAN CONTRACT RELAX STRETCHING DAN INFRARED DALAM PENINGKATAN LINGKUP GERAK SENDI LEHER PADA PEMAIN GAME

ONLINE DENGAN MYOFASCIAL PAIN SYNDROME OTOT UPPER TRAPEZIUS DI DENPASAR

1Made Aditya Prawira Arthawan 2Nila Wahyuni 3I Gusti Ayu Artini

1,2. Program Studi Fisioterapi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar Bali 3. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar Bali

[email protected]

ABSTRAK Nyeri paling sering disebabkan oleh myofascial pain syndrome, nyeri myofascial pain syndrome ini dapat mempengaruhi fleksibilitas sendi yang akan menyebabkan penurunan lingkup gerak sendi leher. Penelitian ini ber-tujuan untuk mengetahui perbandingan antara muscle energy technique dan infrared dengan contract relax stretching dan infrared dalam peningkatan lingkup gerak sendi leher pada pemain game online dengan myofascial pain syn-drome otot upper trapezius di Denpasar. Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan rancangan pre dan post test control group design. Sampel merupakan pemain game online berjumlah 22 orang dibagi ke dalam dua ke-lompok. Kelompok 1 diberikan intervensi muscle energy technique dan infrared, sedangkan kelompok 2 diberikan in-tervensi contract relax stretching dan infrared. Hasil dari uji hipotesis dengan paired t-test, kelompok 1 didapatkan beda rerata 6,36±0,62 (p=0,000) sedangkan kelompok 2 didapatkan beda rerata 5,00±0,357 (p=0,000). Uji beda pen-ingkatan sesudah perlakuan kelompok 1 dan kelompok 2 menggunakan independent sample t-test didapatkan pen-ingkatan kelompok 1 lebih tinggi dari kelompok 2 dan hasil ini berbeda secara signifikan p=0,019 (p<0,05). Kata Kunci: Lingkup gerak sendi leher, myofascial pain syndrome, muscle energy technique, contract relax

stretching, infrared COMPARISON OF MUSCLE ENERGY TECHNIQUE AND INFRARED INTERVENTION WITH CONTRACT-RELAX STRETCHING AND INFRARED IN IMPROVING RANGE OF MOTION NECK JOINT ON ONLINE GAME PLAYERS

WITH MYOFASCIAL PAIN SINDROME UPPER TRAPEZIUS MUSCLE IN DENPASAR

ABSTRACT Pain is most commonly caused by myofascial pain syndrome, myofascial pain syndrome pain can affect the flexibility of the joints that will cause a decrease range of motion neck joint. The purpose of this study was to determine the comparison between muscle energy technique and infrared with contract relax stretching and infrared in increasing the range of motion neck joint on online game players with myofascial pain syndrome upper trapezius muscle in Denpasar. This research is an experimental research with pre and post test design group control design. The sample is an online game player of 22 people divided into two groups. Group 1 was given intervention of muscle energy tech-nique and infrared, while group 2 was given contract relax stretching and infrared intervention. Result of hypothesis test with paired t-test, group 1 got difference average 6,36 ± 0,62 (p = 0,000) while group 2 got difference mean 5,00 ± 0,357 (p = 0,000). Differential test of improvement after group 1 and group 2 treatment using independent sample t-test showed that group 1 increase was higher than group 2 and this result was significantly different p = 0,019 (p <0,05) Keywords: Range of motion neck joint, myofascial pain syndrome, contract relax stretching, infrared

PENDAHULUAN Aktifitas bermain game di depan komputer meru-

pakan hal yang menyenangkan bagi sebagian orang, mereka bisa menghabiskan waktu berjam-jam hanya un-tuk menatap layar komputer. Apabila hal ini terus mene-rus dilakukan dalam jangka waktu yang lama akan mengakibatkan timbulnya tanda-tanda patologis otot, sa-lah satunya adalah nyeri leher yang berakibat pada menurunnya lingkup gerak sendi.

Myofascial pain syndrome merupakan nyeri otot yang paling sering dialami masyarakat umum1. Nyeri ini ditandai dengan adanya taut band dan trigger point2. Trig-ger point aktif dan menimbulkan nyeri banyak di jumpai pada otot upper trapezius3. Menurut penelitian, myofas-cial pain syndrome dengan trigger point aktif menjadi

penyebab utama nyeri pada 85% pasien di Amerika, selain itu dikatakan juga dari 13 sampel pemeriksaan hanya 1 sampel yang tidak memiliki trigger point aktif 4.

Myofascial pain syndrome ini banyak terjadi pa-da orang yang sering berada di depan komputer dalam jangka waktu yang lama. Ditambah dengan static position dan ergonomi yang buruk seperti forward head postur akan memperparah nyeri ini5. Otot yang paling sering mengalami myofascial pain syndrome adalah otot upper trapezius. Hal ini karena otot upper trapezius mempunyai fungsi yang berat untuk menopang kepala agar tetap te-gak saat bekerja, oleh sebab itu otot ini sering mengalami ketegangan6.

Lingkup gerak sendi merupakan ruang gerak sen-di dari suatu kontraksi otot dalam melakukan gerakan,

Majalah Ilmiah Fisioterapi Indonesia, Volume 5, Nomor 1 ● 15

apakah otot dapat memendek atau memanjang secara penuh atau tidak7. Lingkup gerak sendi berhubungan dengan fleksibilitas. Jika fleksibilitas ini terganggu akan otomatis menyebabkan penurunan lingkup gerak sendi. Penurunan lingkup gerak sendi ini dapat disebabkan be-berapa faktor salah satunya karena myofascial pain syn-drome.

Beberapa intervensi dapat diberikan untuk meningkatkan lingkup gerak sendi akibat myofascial pain syndrom, salah satunya adalah muscle energy technique. Muscle energy technique merupakan teknik relaksasi otot yang bertujuan sebagai proprioceptive neuromuscular facilitation8. Muscle energy technique efektif dalam meningkatkan lingkup gerak sendi karena mempunyai prinsip memanipulasi gerakan dengan cara halus yang melibatkan kekuatan gerakan dari pasien. Tahanan yang di berikan merupakan tahanan minimal yaitu 20%, dengan besar tahanan ini akan memberikan efek kon-traksi tanpa menyebabkan keursakan jaringan lebih lanjut9.

Contract relax stretching adalah teknik relaksasi otot dengan pemberian tahanan isometrik pada otot yang spasme sebelum di berikan stretching10. Teknik ini meru-pakan gabungan dari kontraksi isometrik dengan tipe stretching pasif. Tahanan yang diberikan merupakan tahanan maksimal, dengan tahanan maksimal ini akan mempermudah mekanisme pumping action sehingga membuat proses metabolisme dan sirkulasi menjadi lancar10.

Kedua intervensi tersebut akan di kombinasikan dengan infrared. Infrared merupakan pancaran sinar me-rah yang dapat menghasilkan panas lokal dan bersifat superfisial11. Penelitian tentang infrared menyatakan bah-wa spasme otot sebagai gejala dari trauma otot, sendi dan neorologis dapat dihilangkan dengan pemberian tera-pi panas yaitu dengan infrared12. Penelitian lain me-nyebutkan infrared baik diberikan sebelum pemberian manual terapi karena efek panas yang dipancarkan akan menimbulkan efek vasodilatasi pada pembuluh darah yang membuat sirkulasi darah menjadi lancar sehingga menimbulkan efek relaksasi11.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini menggunakan pre dan post test group design, yang dilakukan pada bulan April - Mei 2017 dilakukan di gedung Fisioterapi FK Unud. Pemilihan sam-pel menggunakan teknik purposive sampling yang di pilih berdasarkan kriteria inklusi dan ekslusi. Sampel ber-jumlah 22 dibagi menjadi 2 kelompok yang masing-masing kelompok berjumlah 11 orang. Kelompok 1 dengan intervensi muscle energy technique dan infrared, sedangkan kelompok 2 dengan intervensi contract relax stretching dan infrared. Sebelum diberikan intervensi, masing-masing kelompok dilakukan pengukuran lingkup gerak sendi menggunakan goniometer. Analisis data menggunakan beberapa uji statistik : Uji normalitas (shapiro wilk test) uji homogenitas (levene’s test) uji hipotesis menggunakan uji parametrik yaitu paired sample t-test dan independent sample t-test

HASIL Tabel 1. Distribusi Data Kelompok

Rata-rata umur pada kelompok satu (18,36±2,46) sedangkan pada kelompok 2 (19,27±2,10) Tabel 2. Hasil Uji Normalitas dan Homogenitas data

Pada Tabel 2 didapatkan hasil data berdistribusi

normal dan homogen. Selanjutnya akan dilakukan pen-gujian hipotesis dengan menggunakan uji parametrik. Tabel 3. Rerata Peningkatan Sebelum dan Sesudah Intervensi

Berdasarkan tabel 3 yang dilakukan pengujian hipotesis dengan paired sample t-test didapatkan hasil p=0,000 (p<0,05) untuk hasil beda rerata kelompok 1 dan kelompok 2. Hal ini menunjukan ada peningkatan yang bermakna dari kedua intervensi untuk meningkatkan ling-kup gerak sendi leher. Tabel 4. Uji Beda Peningkatan Sebelum dan Sesudah Intervensi

Hasil uji beda setelah intervensi dengan menggunakan independent sample t-tes didapatkan nilai p=0,019 (p<0,05). Hasil ini menunjukkan intervensi mus-cle energy technique dan infrared lebih efektif daripada contract relax stretching dan infrared dalam meningkatan lingkup gerak sendi leher. DISKUSI

Karakteristik umur pada penelitan ini didapat pa-da kelompok 1 rerata umurnya 18,36±2,46 sedangkan pada kelompok 2 adalah 19,27±2,10.

Nilai Rerata±SB

Karakteristik Kel. 1 Kel. 2

Umur (th) 18,36±2,46 19,27±2,10

Kelompok 1 Kelompok 2

p Rerata±SB Rerata±SB

Pre test 32,36±3,58 28,18±4,68 0,097

Post test 38,72±3,79 34,18±4,55 0,019

Nilai

Shapiro Wilk Test Levene’s

test Kel.1 Kel.2

p p

Pre Inter-vensi

0,274 0,213 0,388

Post Inter-vensi

0,197 0,504 0,336

Selisih 0,222 0,5 0,093

Rerata ± sebe-lum pelatihan

Rerata ± setelah pelatihan

p

Kel. 1 32,36±3,58 38,72±3,79 0,000

Kel. 2 28,18±4,68 34,18±4,55 0,000

Majalah Ilmiah Fisioterapi Indonesia, Volume 5, Nomor 1 ● 16

Muscle energy technique dan infrared meningkatkan lingkup gerak sendi leher pada myofascial pain syn-drome otot upper trapezius Pada kelompok 1 yang diuji menggunakan paired sample t-test didapat p=0,000 (p<0,05) yang berarti ter-dapat peningkatan signifikan lingkup gerak sendi leher sebelum dan sesudah dilakukan intervensi muscle energy technique dan infrared. Teori yang dikemukakan oleh Chaitow dimana muscle energy technique dapat menurunkan nyeri dan mening-katkan lingkup gerak sendi dengan 2 konsep yaitu post isometric relaxation (PIR) dan reciprocal inhibition (RI). Mekanisme PIR melibatkan golgi tendon organ yang me-rangsang impuls saraf afferent kemudian masuk ke akar dorsal tulang belakang dan bertemu dengan inhibitory motor neuron. Hal ini akan mencegah kontraksi otot yang terus menerus untuk merelaksasikan otot agonis. Se-dangkan mekanisme RI mengakibatkan rangsangan re-ceptor stretch terhadap muscle spindle. Muscle spindle akan memberikan feedback terhadap perubahan kon-traksi9. Efek muscle energy technique terhadap pening-katan lingkup gerak sendi adalah memberikan efek kon-traksi dan peregangan untuk menghasilkan perubahan viscoelastic13. Menurut penelitian tentang infrared yang disampaikan oleh Prentice bahwa infrared yang digunakan sebelum pemberian manual terapi memiliki efek yang baik karena menyebabkan terjadinya vasodilatasi pembuluh darah dan meiningkatkan sirkulasi pada jaringan serta me-nyebabkan metabolisme meningkat sehingga nyeri berku-rang dan meningkatkan lingkup gerak sendi14. Kombinasi muscle energy technique dan infrared dapat menghasilkan efek yang maksimal dalam meningkatkan lingkup gerak sendi15. Contract relax stretching dan infrared meningkatkan lingkup gerak sendi leher pada myofascial pain syn-drome otot upper trapezius

Uji pada kelompok 2 dengan menggunakan paired sample t-test didapat p=0,000 (p<0,05) yang be-rarti ada peningkatan signifikan terhadap lingkup gerak sendi leher sebelum dan sessudah dilakukan intervensi Contract-relax Stretching dan Infrared

Pengaplikasian contract relax stretching akan memberikan efek relaxasi dan pengembalian panjang pada otot10. Kontraksi otot berlebih menimbulkan pump-ing action yang menyebabkan proses metabolisme dan sirkulasi lokal berlangsung dengan baik karena adanya efek vasodilatasi dan relaksasi selama kontraksi maksi-mal dari otot10. Selain itu kontraksi yang berlebih dapat melepaskan perlengketan myofascial yang akan mening-katkan fleksibilitas otot16. Penelitian Tulaar tentang infrared mengatakan infrared dapat mengurangi spasme karena efek dari panas yang dihasilkan dan meningkatkan laju letupan golgi tendon organ sebagai penghambat motorneuron sehingga nyeri dapat berkurang dan meningkatkan lingkup gerak sendi12. Kombinasi contract relax stretching dan infrared dapat menghasilkan efek maksimal dalam meningkatkan ling-kup gerak sendi leher17. Terdapat perbedaan bermakna antara intervensi mus-cle energy technique dan infrared dengan intervensi

contract relax stretching dan infrared dalam mening-katkan lingkup gerak sendi leher pada myofascial pain syndrome otot upper trapezius Berdasarkan hasil uji independent t-test diperoleh nilai p=0,019 (p<0,05) yang berarti terdapat perbedaan yang bermakna antara intervensi muscle energy technique dan infrared dengan intervensi contract relax stretching dan infrared dalam meningkatkan lingkup gerak sendi leher. Pengaplikasian muscle energy technique menerapkan 2 konsep yaitu PIR yang melibatkan golgi tendon dan RI yang melibatkan muscle spindle9. Sedangkan pada pen-gaplikasian contract relax stretching menggunakan kon-sep reverse innervation dimana pada saat kontraksi isometrik akan menstimulus golgi tendon yang mengaki-batkan terjadinya relaksasi pada otot. Pada muscle ener-gy technique kontraksi dilakukan selama 10 detik dan dilanjutkan dengan stretching selama 30 detik dengan tahanan minimal 20% dan pengulangan selama 5 kali. Sedangkan pada contract relax stretching kontraksi dil-akukan selama 7 detik dilanjutkan stretching selama 9 detik dengan tahanan maksimal dan pengulangan selama 12 kali. Menurut penelitian tentang efektifitas muscle energy technique dalam peningkatan lingkup gerak sendi leher menyatakan bahwa metode tersebut efektif dalam meningkatkan lingkup gerak sendi, mengurangi nyeri, dan menghilangkan trigger point pada kasus myofascial pain syndrome. Muscle energy technique memanipulasi secara halus dengan tahanan minimal 20% dari kekuatan otot sehingga tidak menimbulkan iritasi karena efeknya yang merelaksasi tanpa merusak jaringan9.

SIMPULAN Simpulan yang didapat dari hasil penelitian yang telah dilakukan adalah kedua intervensi baik digunakan untuk meningkatkan lingkup gerak sendi leher, dimana pada kelompok 1 didapatkan peningkatan setelah intervensi sebesar 14,13%, sedangkan pada kelompok 2 didapat-kan peningkatan setelah intervensi sebesar 11,11%. Ter-dapat perbedaan antara muscle energy technique dan infrared dengan contract relax stretching dan infrared da-lam peningkatan lingkup gerak sendi leher pada pemain game online dengan myofascial pain syndrome otot upper trapezius di Denpasar. SARAN Kombinasi muscle energy technique dan infrared dengan contract relax stretching dan infrared dapat dijadi-kan salah satu intervensi untuk menangani kasus kasus myofascial syndrome terutama untuk peningkatan lingkup gerak sendi leher. DAFTAR PUSTAKA 1. Mediasyifa. 2014. Pengaruh Penggunaan Gadget

Pada Remaja Terhadap Interaksi Sosial Remaja [Skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

2. Simons, D., Simons, L. 1999. Myofasial Pain and Dysfunction : The Trigger Point Manual. 2nd ed. USA: Lippincott Williams & Williams.

3. Bennet, R. 2007. Myofascial Pain Syndromes and Their Evaluation. Best Practice and Research in Clini-cal Rheumatology, 21(3):427-445.

4. Simons, D. 2003. Enigmatic Trigger Points Often

Majalah Ilmiah Fisioterapi Indonesia, Volume 5, Nomor 1 ● 17

Caused Enigmatic Musculoskleletal Pain. Atlanta: STAR Symposium, Columbus.

5. Anggraeni, N. C. 2013. Penerapan Myofascial Re-lease Technique Sama Baik dengan Ischemic Com-pression Technique dalam Menurunkan Nyeri pada Sindroma Miofasial Otot Upper Trapezius [Skripsi]. Denpasar: Universitas Udayana.

6. Cael, C. J. 2010. Functional Anatomy: Musculoskele-tal Anatomy, Kinesiology, and Palpation for Manual Therapists. Philadelphia: Lippincott William & Wilkins

7. Deuster, P. A., O’Connor, F. G., Henry, K. A., Martin-dale, V. E., Talbot, L., Jonas, W., Frield, K. 2007. Hu-man Performance Optimization: An Evolving Charge to the Department of Defense. US National Library of Medicine National Institutes of Health: Mill Med, 172(11): 1133-1137.

8. Nambi, G. S., Sharma, R., Inbasekaran, D., Vageshi-ya, A., Bhatt, U. 2013. Difference in Effect Between Ischemic Compression and Muscle Energy Technique on Upper Trapezius Myofascial Trigger Points : Com-parative Study. International Journal of Health and Allied Sciences, 2(1): 17-22.

9. Chaitow, L. 2006. Muscle Energy Technique. 3rd Ed. Churchill Livingstone: Edinburgh

10. Hardjono, J., Ervina, A. 2012. Pengaruh Penambahan Contract Relax Stretching pada Intervensi Interferen-sial Current dan Ultrasound Terhadap Pengurangan Nyeri pada Sindroma Miofasial Otot Supraspinatus [Skripsi]. Jakarta: Universitas Esa Unggul.

11.Prentice, W. 2002. Therapeutic Modalities For Physi-cal Therapist. 2nd ed. New York: McGraw Hill.

12.Tulaar,. 2002. Pentalaksaan Nyeri dan Spasme Otot. Jakarta: Perdosri.

13.Mahajan, R., Kataria, C., Bansal, K. 2012. Compara-tive effectiveness of muscle energy technique and static stretching for treatment of subacute mechani-cal neck pain. International journal of health and re-habilitation sciences, 1(1): 16-24.

14.Prentice, W. 2002. Therapeutic Modalities For Physi-cal Therapist. 2nd ed. New York: McGraw Hill.

15.Kharismawan, P. M. 2015. Perbedaan Intervensi Muscle Energy Technique dan Infrared Dengan Posi-tional Release Technique dan Infrared Terhadap Penurunan Nyeri Myofascial Pain Syndrome Otot upper Trapezius [Skripsi]. Denpasar: Universitas Udayana.

16.Kisner, C., Colby, L. A. 2007. Therapeutic Exercise Foundations and Technique. 5th ed. USA: F.A.Davis Company, hal: 65-110.

17.Nugraha, N. H. 2016. Kombinasi Intervensi Infrared dan Contract Relax Stretching Lebih Efektif Daripada Infrared dan Slow Reversal Dalam Meningkatkan Lingkup Gerak Sendi Leher Pada Pemain Game Online di BMT Net Bajera Tabanan [Skripsi]. Denpasar: Universitas Udayana.

Majalah Ilmiah Fisioterapi Indonesia, Volume 5, Nomor 1 ● 18

PERBEDAAN METODE INTEGRATED NEUROMUSCULAR INHIBITION TECHNIQUE DENGAN DEEP TISSUE MASSAGE DAN CONTRACT-RELAX STRETCHING

DALAM MENINGKATAN LINGKUP GERAK SENDI SERVIKAL PADA MYOFASCIAL PAIN SYNDROME OTOT UPPER TRAPEZIUS DI SMA NEGERI 1 SEMARAPURA

1 I Gede Donny Hendrawan, 2 Nila Wahyuni, 3 I Made Muliarta

1,2Program Studi Fisioterapi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar Bali

3 Bagian Ilmu Faal Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana, Denpasar Bali [email protected]

ABSTRAK

Sindrom nyeri myofascial merupakan kumpulan gejala sensorik, motor, dan otonom yang menyebabkan nyeri lokal dan menjalar, keterbatasan lingkup gerak sendi dan kelemahan pada otot-otot yang terkena. Keterbatasan lingkup gerak sendi akan mengganggu daripada aktifitas sehari-hari. Intervensi yang dapat diberikan untuk meningkatkan lingkup gerak sendi servikal yakni Integrated Neuromuscular Inhibition Technique, Deep Tissue Massage dan Con-tract-Relax Stretching. Hasil Uji Hipotesis pada kelompok Integrated Neuromuscular Inhibition Technique dengan Wil-coxan Sign Rank Test didapatkan beda rerata 13,7 dengan nilai p=0,000, sedangkan hasil uji Hipotesis Kelompok Deep Tissue Massage dan Contract-Relax Stretching dengan Paired Sample T-test diperoleh hasil beda rata-rata 12,1 dengan nilai p=0,000. Uji selisih menggunakan Mann Whitney U-test memperlihatkan hasil tidak ada perbedaan yang bermakna antara kedua kelompok yaitu dengan menghasilkan p=0,420. Hasil tersebut menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan dalam peningkatan lingkup gerak sendi servikal pada kedua kelompok. Kata Kunci: Lingkup gerak sendi servikal , Otot Upper Trapezius, Myofascial Pain Syndrome, Integrated Neuro-

muscular Inhibition Technique, Deep Tissue Massage, Contract-Relax Stretching, Goniometer

DIFFERENCE INTEGRATED NEUROMUSCULAR INHIBITION TECHNIQUE WITH DEEP TISSUE MASSAGE AND CONTRACT-RELAX STRETCHING TO IMPROVE RANGE OF MOTION CERVICAL JOINT IN MYOFAS-

CIAL PAIN SYNDROME UPPER TRAPEZIUS MUSCLE AT SMA NEGERI 1 SEMARAPURA

ABSTRACT Myofascial pain syndrome is a collection of sensory, motor, and autonomic symptoms that cause local and reffered pain, limited range of motion and weakness of the affected muscles. The limitations range of motion will be annoying than the daily activities. Interventions that can improve range of motion of cervikal are Integrated Neuromuscular In-hibition Technique, Deep Tissue Massage and Contract-Relax Stretching. The results show Group Neuromuscular Inhibition Technique with Wilcoxan Sign Rank Test obtained a mean difference of 13.7 with p = 0.000, while the test results Hypothesis Group Contract-Relax Stretching with Paired Sample T-test showed a mean difference of 12.1 with p = 0.000. Test the difference between Mann Whitney U-test showed no significant difference between the other group are obtained p = 0.420. These results indicate that there is no difference in increasing range of motion in both groups. Keywords: Range of motion of cervical, Upper Trapezius Muscle,Myofascial Pain Syndrome, Integrated Neu-

romuscular Inhibition Technique, Deep Tissue Massage, Contract-relax Stretching, Goniometer.

PENDAHULUAN Dewasa ini banyak remaja menghabiskan wak-

tunya di depan laptop ataupun gadget1. Selama melakukan aktivitas di depan komputer dan gadget 10% individu akan melakukan forward head posture dibanding-kan dengan ketika mereka dalam posisi duduk2. Apabila terus menerus melakukan aktivitas tersebut dalam waktu lama, tanda-tanda patologis dari otot-otot postural akan sering terlihat salah satunya yakni sakit leher. Gejala sakit leher ini cukup umum dialami oleh remaja sehingga men-jadi salah satu masalah kesehatan3.

Pada penelitian longitudinal disebutkan bahwa orang yang mengalami sakit leher pada masa remaja memiliki faktor resiko lebih besar mengalami sakit leher pada saat dewasa4.

Sakit leher disebabkan oleh multifaktor namun sakit leher yang paling umum ditemukan pada masyara-

kat umum yakni sakit leher karena myofascial pain syn-drome5.

Penyebab sindrom nyeri miofascial adalah berak-tivitas dengan postur yang buruk, microtrauma secara repetitif dalam jangka waktu yang lama, dan stress emo-sional yang berlebihan.6

Salah satu penelitian yang dilakukan di Korea melaporkan bahwa hampir 36,5 % siswa SMP dan SMA mengalami sindrom miofascial7. Selain itu nyeri myofas-cial sendiri secara signifikan mempengaruhi kesehatan sekitar 85 % dari populasi secara umum dengan pre-velensi keseluruhan adalah 46%8.

Kasus sindrom nyeri miofascial ini dapat di-tangani dengan pemberian integrated neuromuscular inhi-bition technique9. Selain dengan metode integrated neu-romuscular inhibition technique metode lain yang dapat diberikan adalah Deep Tissue Masssage dan Contract

Majalah Ilmiah Fisioterapi Indonesia, Volume 5, Nomor 1 ● 19

Relax Sterching10 Integrated Neuromuscular Inhibition Technique

merupakan gabungan dari tiga metode yakni ischemic compresion, strain counterstrain, dan MET. Metode ini efektif dalam menghilangkan trigger point9.Selain efektif menghilangkan tigger point metode ini juga efektif menurunkan nyeri, memperluas lingkup gerak sendi, dan menurunkan disabilitas11.

Deep Tissue Massage adalah teknik massage yang menyerupai teknik Swedish Massage dengan penekanan yang lebih dalam. Deep Tissue Massage memiliki efek yakni menonaktifkan trigger point daripada myofascial pain syndrome. Deep tissue massage mem-isahkan masing-masing serat pada area trigger point yang memberikan efek mekanis, hiperemia lokal, analge-sia, dan pengurangan jaringan parut terhadap struktur ligamen, tendon, dan otot. Akibatnya terjadi pemisahan serat pada area trigger points sehingga taut band yang disebabkan oleh trigger points akan berkurang12.

Selain kedua metode diatas intervensi fisioterapi yang dapat diberikan yakni Contract relax stretching ada-lah teknik peregangan yang menggunakan kontraksi otot secara isometrik pada otot yang mengalami pemendekan lalu di relaksasi kemudian diulur13. Pada umumnya metode contract relax stretching efektif dalam menambah lingkup gerak sendi.

BAHAN DAN METODE Rancangan Penelitian

Metode Penelitian ini berjenis eksperimental dengan Pre dan Post Test Group Design. Sampel ber-jumlah yakni 20 sampel terdiri dari kelompok 1 intervensi Integrated Neuromuscular Inhibition Technique dan ke-lompok 2 intervensi Deep Tissue Massage dan Contract Relax Stretching. Penelitian dilakukan di SMA Negeri 1 Semarapura pada bulan Maret 2017.

Populasi dan Sampel

Populasi target yakni siswa SMA di Semarapura. Populasi terjangkaunya adalah siswa SMA Negeri 1 Se-marapura. Sampel pada penelitian ini berumur 15-19 ta-hun. Perhitungan jumlah sampel menggunakan rumus Pocock14. Jumlah sampel pada penelitian ini 7,86 dit-ambah 20 persen menghasilkan 10 sampel pada setiap kelompok, total jumlah sampel pada penelitian ini sebanyak 20 siswa.

Sampel berasal dari populasi yang memenuhi kriteria inklusi pada penelitian ini diantaranya : (a) Sampel berumur 15-19 tahun. (b) Nyeri otot upper trapezius ska-la VAS 3-5. (c) Adanya keterbatasan ROM servikal ku-rang dari sudut 45º. (d) Subject dengan vital sign baik dan normal. (e) Bersedia megikuti penelitian secara su-karela serta koperatif.

Instrumen Penelitian

Penelitian ini menggunakan alat ukur berupa Go-niometer dan VAS.

HASIL Tabel 1. Data Hasil Umur dan Nilai VAS

Keterangan: KL: Kelompok KL 1: Integrated Neuromuscular Inhibition Technique KL 2: Deep Tissue Massage dan Contract Relax Stretch-ing

Tabel 1 memperlihatkan rata-rata umur 15,2±0,42 tahun pada kelompok Integrated Neuromuscular Inhibition Technique dan rata-rata umur 15,1±0,32 tahun pada ke-lompok Deep Tissue Massage dan Contract Relax Stretching . Berdasarkan nilai VAS didapatkan pada ke-lompok 1 rerata nilai VAS 4,4±0,699 dan kelompok 2 didapatkan rerata 4,1±0,876 Tabel 2. Hasil Uji Normalitas Data

Pada Tabel 2 menunjukan hasil uji normalitas untuk Integrated Neuromuscular Inhibition Technique pada pre intervensi dihasilkan nilai p=0,038 (p<0,05) dan post p=0,011 (p<0,05). Kelompok Deep Tissue Massage dan Contract Relax Stretching dengan nilai pre p=0,167 (p>0,05) dan nilai post p=0,152 (p>0,05). Nilai normalitas selisih Kelompok Integrated Neuromuscular Inhibition Technique dihasilkan p=0,041 (p<0,05) sedangkan ke-lompok Deep Tissue Massage dan Contract Relax Stretching adalah p=0,132 (p>0,05). Tabel 3. Hasil Uji Beda Peningkatan Lingkup Gerak Sendi Servikal Sebelum dan Sesudah Intervensi

Tabel 3 memperlihatkan hasil uji beda Pening-

katan Lingkup Gerak Sendi Cervical dengan uji Wilcoxan Sign Rank Test pada kelompok 1 dan menggunakan uji paird sample t-test pada kelompok 2. Kelompok 1 Inte-grated Neuromuscular Inhibition Technique dihasilkan nilai p=0,005 (p<0,05) yang berarti adanya perbedaan

Nilai Rerata±SB

Karakteristik KL 1 KL 2

Umur (th) 15,2±0,42 15,1±0,32

VAS 4,4±0,699 4,1±0,876

Nilai

Shapiro Wilk Test

(KL 1) (KL 2)

p P

Pre Intervensi 0,038 0,167

Post Intervensi 0,011 0,152

Selisih 0,041 0,132

Rerata ± SB Pre Test (º)

Rerata ± SB Post Test (º)

Beda Rerata

p

KL1 28,8±3,93 42,5±3,27 13,7 0,005

KL2 27,3±4,32 39,4±5,54 12,1 0,000

Majalah Ilmiah Fisioterapi Indonesia, Volume 5, Nomor 1 ● 20

signifikan peningkatan lingkup gerak sendi servikal pre dan post Intervensi pada siswa SMA Negeri 1 Semarapu-ra.

Pengujian hipotesis Kelompok 2 Deep Tissue Massage dan Contract Relax Stretching pre dan post in-tervensi dihasilkan nilai p=0,000 (p<0,05) yang berarti adanya perbedaan peningkatan sigifikan lingkup gerak sendi servikal pre dan post Intervensi siswa SMA Negeri 1 Semarapura. Tabel 4. Uji Beda Selisih Peningkatan Lingkup Gerak Sendi Servikal Pre dan Post Intervensi

Tabel 4 memperlihatkan hasil perbedaan pening-

katan Rerata lingkup gerak sendi servical kelompok 1 dan kelompok 2. Menggunakan uji Mann Whitney U-Test di-peroleh nilai p=0,420 (p>0,05). Hasil yang didapatkan bahwa tidak ada perbedaan metode Intervensi Integrated Neuromuscular Inhibition Technique dengan Deep Tis-sue Massage dan Contract-relax Stretching dalam meningkatkan lingkup gerak sendi servikal. DISKUSI

Karakteristik umur pada penelitan ini didapat pada kelompok 1 rerata umurnya 15,2±0,42 sedangkan pada kelompok 2 adalah 15,1±0,32. Hal ini senada dengan penelitian yang dilakukan di Korea dimana penelitian tersebut menyebutkan bahwa siswa rata-rata menggunakan komputer 5 jam sehari. Selain itu penelitian tersubut menyebutkan hampir 36,5% mengalami nyeri miofascial7. Pada kelompok 1 yang diuji menggunakan Wilcoxan Sign Rank Tast didapat p=0,005(p<0,05) yang bermakna terdapat peningkatan signifikan lingkup gerak sendi servikal sebelum dan sesudah dilakukan intervensi Inte-grated Neuromuscular Inhibition Technique.

. Hal tersebut sesuai bahwa Ischemic compression memiliki mekanisme penurunan nyeri akibat dari stimu-lasinya mechanoreseptor pada otot dan selanjutnya sinyal dari stimulasi mechanoreseptor tersebut akan mengham-bat daripada penjalaran implus nyeri. Selain itu penekanan pada area trigger point akan memanjangkan daripada sarkomer otot target sehingga otot yang diberi-kan tekanan akan mengalami penurunan nyeri sekaligus peningkatan lingkup gerak sendinya15.

Pemberian strain counterstrain bekerja melalui spin-del otot yang mampu memanjangkan jaringan. Pada saat posisi tubuh dalam posisi nyaman, maka jaringan akan mencapai posisi dimana rasa sakit akan menghilang dari titik yang teraba16,17..

Pemberian MET pada myofascial pain syndrome akan meningkatkan ekstensibilitas daripada myofascia sehingga akan meningkatkan daripada lingkup gerak sendinya18.

Uji pada kelompok Deep Tissue Massage dan Con-tract Relax Stretching dengan uji paired sample t-test didapat p=0,005(p<0,05) yang memiliki makna ada pen-

ingkatan lingkup gerak sendi servikal yang berarti sebe-lum dan sessudah dilakukan intervensi Deep Tissue Mas-sage dan Contract-relax Stretching. Deep Tissue Massage memiliki efek yakni men-onaktifkan trigger point daripada myofascial pain syn-drome otot upper trapezius12. Selain itu massage sendiri memiliki manfaat menurunkan nyeri, menghasilkan relaksasi, meningkatkan sirkulasi, dan mengangkut sisa-sisa metabolisme10. Contract Relax Stretching memiliki mekanisme kon-traksi otot yang akan mengangkut sisa-sisa metebolisme dan asetabolik akibat dari proses inflamasi sehingga nyeri akan berkurang13.

Pada intervensi contract relax melalui mekanisme stretch relax dan autogenic inhibition akan merangsang daripada golgi tendon organ sehingga timbul relaksasi pada otot19. Selain itu Contract Relax Stretching memiliki manfaat dalam meningkatkan fleksibilatas pada otot20.

Pada uji beda selisih dengan Mann Whitney U-Test menghasilkan p=0,420 (p>0,05) artinya tidak ter-dapat perbedaan bermakna Integrated Neuromuscular Inhibition Technique dengan Deep Tissue Massage dan Contract Relax Stretching dalam meningkatkan lingkup gerak sendi servikal pada sindrom miofascial.

Integrated Neuromuscular Inhibition Technique dan Deep Tissue Massage serta Contract Relax Stretch-ing dapat langsung diterapkan di sisi yang ingin diinter-vensi terutama pada kasus sindroma myofascial. Hasil dari kedua intervensi yakni sama-sama baik dalam meningkatkan lingkup gerak sendi servikal. Sehingga penerapan Integrated Neuromuscular Inhibition Tech-nique dengan Deep Tissue Massage dan Contract Relax Stretching sama baik dalam meningkatkan lingkup gerak sendi servikal pada myofascial pain syndrome.

SIMPULAN Dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan metode integrated neuromuscular inhibition technique dengan deep tissue massage dan contract-relax stretch-ing dalam meningkatan lingkup gerak sendi servikal pada myofascial pain syndrome otot upper trapezius di SMA Negeri 1 Semarapura SARAN Metode Integrated Neuromuscular Inhibition Tech-nique dan Deep Tissue Massage serta Contract Relax Stretching dapat dijadikan salah satu intervensi dalam menangani kasus-kasus sindrome myofascial khususnya untuk meningkatkan lingkup gerak sendi. DAFTAR PUSTAKA 1. Maharani, D. 2011. Pengaruh Kebiasaan Anak Dalam

Menggunakan Handphone Terhadap Kesehatan Ma-ta. KTL : SMA Negeri 1 Jember.

2. Szeto G.P., Straker, Raine. 2002. A Field Comparison Of Neck And Shoulder Postures In Symptomatic And Asymptomatic Office Workers, Applied Ergonomics: 33

3. Hakala P, Rimpelä A, Salminen JJ, Virtanen SM, Rimpelä M. 2002. Back, Neck, And Shoulder Pain In Finnish Adolescents: National Cross Sectional Sur-veys. BMJ; 325: 743.

4. Siivola SM., Levoska S., Latvala K., Hoskio E.,

KL 1 Rerata ±

SB KL 2 Rerata ±

SB p

Selisih 13,7±3,92 12,1±3,03 0,42

Majalah Ilmiah Fisioterapi Indonesia, Volume 5, Nomor 1 ● 21

Vanharanta H, Keinänen-Kiukaanniemi S. 2004. Pre-dictive Factors For Neck And Shoulder Pain: A Longi-tudinal Study In Young Adults. Spine (Phila Pa 1976); 29: 1662-9

5. Mediasyifa. 2014. Pengaruh Penggunaan Gadget Pada Remaja Terhadap Interaksi Sosial Remaja. Bo-gor : Institut Pertanian Bogor.

6. Tammy Lee. Myofascial Pain Syndrome. Lippincott Williams and Wilkins, 2009.

7. Lee, 2001, Impect Of Computer Use On Musculoskle-tal Symptom In Middle And High School Students, J Korean Acad Fam Med; 23(6):760-768.

8. Simons, D. G.1996. Clinical And Etiological Update Of Myofascial Pain From Trigger Points. Journal of Musculoskeletal Pain: 4(1-2);93–121

9. Chaitow, L. 1996. Modern Neuromuscular Tech-niques. Edinburgh : Churchill Livingstone

10. Sharman M., Melaine J., Andrew G. 2006. Propiocep-tive Neuromuscular Fascilitation Stretching: Mecha-nism And Clinical Implication. Sport Med. Vol:36(11):929-939

11. Jyothirmai, B., Senthil, K., Raghavkrishna, S. 2015. Effectivness Of INIT With Spesific Stregth Training Exercise In Subjects With Upper Trapezius Trigger Point. Int J Physiother.

12. Simons D, Travell J, Simons L. 1999. Myofascial Pain and Dysfunction: The Trigger Point Manual. Vol 1. 2nd ed. Baltimore: Williams & Wilkins.

13. Azizah dan Hardjono. 2006. Pengaruh Penambahan Contract Relax Stretching Pada Intervensi Interferen-cial Current dan Ultrasound Terhadap Pengurangan Nyeri Pada Sindroma Miofascial Otot Supraspinatus. Jakarta: Fisioterapi Universitas Esa Unggul.

14. Pocok, S.J. (2008). Clinical Trials A Practical Ap-proach. England: John Wiley and Sons.

15. Simons, D.G. 2003. Enigmatic Trigger Points Often Caused Enigmatic Musculoskeletal Pain, STAR Sym-posium, Colombus.

16. Nayak, Prajna P. 2013. A study to find out the effica-cy of INIT (Integrated Neuromuscular Inhibitation Technique) with therapeutic ultrasound Vs INIT with placebo ultrasound in the treatment of acute myofas-cial trigger point upper trapezius. The Oxford College of Physiotherapy. Banglore.

17. Dhita, 2015, Kombinasi Strain Counterstrain Dan Infrared Sama Baik Dengan Kombinasi Contract Re-lax Stretching Dan Infrared Terhadap Penurunan Nyeri Myofascial Pain Syndrome Otot Upper Trapezi-us Pada Mahasiswa Fisioterapi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana[Skripsi]. Denpasar : Universitas Udayana

18. Taylor, Courtney and Robins. 1998. The Journal Of Myofascial Therapy:1(4) : 12

19. Risal. 2010. Beda Pengaruh Contract Relex Stretch-ing dengan Strain-Counterstarin Techneque Ter-hadap Penurunan Nyeri Pada Penderita Piriformis Syndrome di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Da-lam Jurnal Fisioterapi Makasar. Makasar : Universi-tas Hassaudin.

20. Wiguna. 2016. Intervensi Contract Relax Stretching Direct Lebih Baik Dalam Meningkatkan Fleksibilitas Otot Hamstring Dibandingkan dengan Intervensi Con-tract Relax Stretching Indirect Pada Mahasiswa Pro-

gram Studi Fisioterapi Fakultas Kedokteran Universi-tas Udayana[Skripsi]. Denpasar : Universitas Udaya-na

Majalah Ilmiah Fisioterapi Indonesia, Volume 5, Nomor 1 ● 22

PENGARUH THERAPEUTIC WALKING EXERCISE TERHADAP PENURUNAN TEKANAN DARAH PADA ANAK OBESITAS USIA 9-10 TAHUN DENGAN HIPERTENSI DI SEKOLAH DASAR SARASWATI TABANAN

1Made Satria Ambarsika, 2Nila Wahyuni,3 I Gusti Ayu Artini

1. Program Studi Fisioterapi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar, Bali 2. Program Studi Fisioterapi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar, Bali

3. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar, Bali [email protected]

ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh therapeutic walking exercise terhadap penurunan tekanan darah pada anak obesitas usia 9-10 tahun dengan hipertensi di Sekolah Dasar Saraswati Tabanan. Jenis penelitian ini adalah eksperimental dengan menggunakan rancangan Pre and Post Test Two Group Design. Sampel penelitian berjumlah 16 orang yang dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok perlakuan diberikan therapeutic walking exercise dan kelompok kontrol tidak diberikan perlakuan. Uji normalitas dan homogenitas data menggunakan Saphiro-Wilk Test dan Levene’s Test. Hasil analisis dengan uji Paired Sample T-Test untuk tekanan darah pada kelompok perlakuan didapatkan nilai p=0,000 (p < 0,05) untuk tekanan darah sistolik dan nilai p=0,010 (p<0,05) untuk tekanan darah diastolik. Pada kelompok kontrol, tekanan darah sistolik didapatkan nilai p = 0,598 (p > 0,05) dan tekanan darah diastolik didapatkan nilai p = 0,170 (p > 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa pada kelompok perlakuan terjadi penurunan tekanan darah secara bermakna, sedangkan pada kelompok kontrol tidak ada penurunan tekanan darah secara bermakna. Rerata selisih penurunan tekanan darah pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol diperoleh hasil p=0,000 (p<0,05) untuk data tekanan darah sistolik dan p=0,009 (p<0,05) untuk data tekanan darah diastolik. Kata Kunci: Therapeutic walking exercise, obesitas, hipertensi THE EFFECT OF THERAPEUTIC WALKING EXERCISE FOR DECREASING BLOOD PREASSURE IN CHILDREN

WITH OBESITY 9 – 10 YEARS OLD WITH HYPERTENSION AT SARASWATI TABANAN ELEMENTARY SCHOOL

ABSTRACT

The purpose of this study was to know the effect of therapeutic walking exercise to decrease blood preassure in obesity children with hypertension 9-10 years old at Saraswati Tabanan Elementary School. This is the experimental study with Pre and Post Test Two Group Design. The amount of sample were 16 person that divided into 2 groups, one group was experimental group and the other group was control group. Normality and homogeneity test using Saphiro-Wilk Test and Levene's Test. The result of Paired Sample T-Test for blood pressure in the experimental group was obtained p = 0,000 (p <0,05) for systolic blood pressure and p = 0,010 (p <0,05) for diastolic blood pres-sure. In the control group, systolic blood pressure was obtained p = 0,598 (p> 0,05) and diastolic blood pressure got p value = 0,170 (p> 0,05). This shows that in the experimental group there was a significant decrease in blood pres-sure, whereas in the control group there was no significant decrease in blood pressure. The mean difference of de-crease of blood pressure in experimental group and control group was obtained p = 0,000 (p <0,05) for systolic blood pressure data and p = 0,009 (p <0,05) for diastolic blood pressure data. Key words: Therapeutic walking exercise, obesity, hypertension

PENDAHULUAN Seiring dengan perkembangan zaman terjadi

berbagai perubahan gaya hidup pada penduduk dengan usia muda maupun tua. Pola hidup anak-anak saat ini cenderung pada pola hidup dengan aktivitas fisik yang rendah dan asupan makanan yang tinggi kalori. Hal ini tentunya akan menyebabkan peningkatan indeks massa tubuh pada anak-anak dan berkembang menjadi obesitas.

Prevalensi anak dengan obesitas meningkat setiap tahunnya di seluruh dunia. Berdasarkan Riskesdas Provinsi Bali (2013) didapatkan prevalensi obesitas pada anak kelompok umur 5-12 tahun tertinggi di Kabupaten Badung sebesar 15,2% kemudian di Kota Denpasar sebesar 11,3%, dan di Kabupaten Tabanan sebesar

10,7%1. Prevalensi obesitas yang semakin meningkat ini didapatkan pada sekolah negeri maupun swasta, dengan prevalensi lebih tinggi pada sekolah swasta dibandingkan di sekolah negeri2.

Obesitas meupakan salah satu faktor risiko yang menyebabkan penyakit kardiovaskular seperti hipertensi. Data National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) didapatkan hubungan linier antara kenaikan indeks massa tubuh (IMT) dengan tekanan darah sistolik dan diastolik serta tekanan nadi di Amerika Serikat3. Hipertensi pada anak dibagi dua kategori yaitu hipertensi primer atau essensial bila penyebab hipertensi tidak dapat dijelaskan atau tidak diketahui penyakit dasarnya, biasanya berhubungan dengan faktor keturunan, masukan garam, stres, dan kegemukan (overweight),

Majalah Ilmiah Fisioterapi Indonesia, Volume 5, Nomor 1 ● 23

sedangkan hipertensi sekunder terjadi akibat adanya penyakit lain yang mendasarinya4.

Obesitas telah diketahui sebagai penyebab dari meningkatnya tekanan darah pada anak.Oleh karena itu upaya menurunkan prevalensi kegemukan dan obesitas akan menurunkan prevalensi hipertensi pada anak secara tidak langsung. Bryant Stamford dalam penelitiannya mengungkapkan bahwa olahraga endurance, dapat menurunkan tekanan sistolik maupun diastolik pada orang yang mempunyai tekanan darah tinggi tingkat ringan. Olahraga aerobik menimbulkan efek seperti beta blocker yang dapat menenangkan sistem saraf simpatikus dan melambatkan denyut jantung.

Therapeutic walking exercise merupakan salah satu intervensi non farmakologis yang dapat diterapkan untuk menurunkan tekanan darah karena salah satu olahraga aerobik low impact. Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan mengenai efektivitas therapeutic walking exercise terhadap penurunan tekanan darah pada orang dewasa. Namun belum ada penelitian yang membahas efektivitas therapeutic walking exercise terhadap penurunan tekanan darah pada anak, maka peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian mengenai pengaruh therapeutic walking exercise terhadap penurunan tekanan darah pada anak obesitas yang menderita hipertensi di Sekolah Dasar Saraswati Tabanan.

BAHAN DAN METODE Rancangan penelitian yang digunakan adalah pre dan post test two group design. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh therapeutic walking exercise terhadap penurunan tekanan darah pada anak hipertensi dengan obesitas. Pengukuran tekanan darah dilakukan dengan alat sphygmamomanometer. Pengukuran dilakukan sebelum perlakuan dan setelah perlakuan. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 16 orang, dibagi menjadi kelompok perlakuan yang mendapatkan therapeutic walking exercise dan kelompok kontrol yang tidak mendapatkan perlakuan apapun. Metode pemilihan sampel adalah purposive sampling yaitu, sampel dipilih berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi.

Analisis data menggunakan perangkat lunak komputer. Uji normalitas dan homogenitas data menggunakan Saphiro Wilk Test dan Levene’s Test. Pada uji hipotesis menggunakan uji parametrik yaitu Independent Sample T-Test dan Paired Sample T-Test.

HASIL PENELITIAN Tabel di bawah ini adalah uji statistik deskriptif untuk mendapatkan data karakteristik sampel yang berdasarkan usia, IMT, dan tekanan darah sebelum.

Tabel 1. Karekteristik Sampel Berdasarkan Umur, IMT, dan Tekanan Darah Sebelum

Berdasarkan tabel 1 diketahui bahwa pada

kelompom perlakuan sampel terbanyak pada usia 10 tahun dan pada kelompok kontrol sampel terbanyak pada usia 9 tahun. Rerata IMT pada kelompok perlakuan adalah 28,663 dan kelompok kontrol adalah 24,600. Pengukuran tekanan darah sebelum pada kelompok perlakuan didapatkan rerata 127,25 untuk tekanan darah sistolik dan 86,75 untuk tekanan darah diastolik. Sedangkan pada kelompok kontrol rerata tekanan darah sebelum adalah 125,75 untuk tekanan darah sistolik dan 85,00 untuk tekanan darah diastolik. Tabel 2. Hasil Uji Normalitas dan Homogenitas Tekanan Darah

Pada tabel 2 menunjukkan untuk tekanan darah

sistolik (TDS) dan tekanan darah diastolik (TDD) diperoleh nilai p>0,05 yang artinya data berdistribusi normal, sehingga selanjutnya dilakukan uji analisis parametrik. Tabel 3. Uji Rerata Penurunan Tekanan Darah Sebelum

Karakteristik Usia (%)

Kelompok Perlakuan

Kelompok Kontrol

(n = 8) (n = 8)

9 tahun 37,5 62,5

10 tahun 62,5 37,5

IMT 28,663±3,2293 24,600±2,1981

Tekanan Darah

Sistolik 127,25 ± 4.268 125,75 ± 4,062

Diastolik 86,75 ± 3.536 85,00 ± 4,140

Kelompok Perlakuan

Kelompok Kontrol

Sistolik Diastolik Sistolik Diastolik

Rerata Sebelum

127,25 86,75 125,75 85

Rerata Sesudah

120,75 82 125,5 84,5

p 0 0,01 0,598 0,17

Uji Normalitas Saphiro-Wilk Test Uji Homogenit

as Levene’s

Test

Kelompok Perlakuan

Kelompok Kontrol

TDS (p) TDD (p) TDS (p) TDD TDS TDD

Rerata Sebelum

0,197 0,178 0,152 0,274 0,906 0,436

Rerata Sesudah

0,83 0,413 0,64 0,13 0,957 0,268

Majalah Ilmiah Fisioterapi Indonesia, Volume 5, Nomor 1 ● 24

dan Sesudah pada Kelompok Kontrol dan Kelompok Perlakuan

Tabel 3 menunjukkan hasil uji rerata penurunan

tekanan darah sistolik dan diastolik pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Uji hipotesis yang digunakan adalah uji Paired Sample T-Test karena data berdistribusi normal. Penurunan tekanan darah sistolik dan diastolik yang bermakna didapatkan pada kelompok perlakuan dengan nilai p<0,05. Pada kelompok kontrol didapatkan penurunan tekanan darah sistolik dan diastolik dengan nilai p>0,05 sehingga penurunan tekanan darah pada kelompok kontrol tidak bermakna. Tabel 4. Uji Beda Hasil Setelah Intervensi dan Selisih Penurunan Tekanan Darah Anak dengan Obesitas Usia 9-10 Tahun pada Kedua Kelompok

Uji statistik yang digunakan adalah Independent Sample T-Test. Didapatkan post-test sistolik dengan nilai p = 0,025 dan post-test diastolik dengan nilai p = 0,044 sehingga p<0,05 yang berarti terdapat perbedaan penurunan tekanan darah sistolik dan diastolik pada kedua kelompok. Pada selisih tekanan darah sistolik diperoleh nilai p = 0,000 dan pada tekanan darah diastolik diperoleh nilai p = 0,009 (p<0,05), data tersebut menunjukan bahwa terdapat perbedaan penurunan tekanan darah sistolik dan diastolik yang bermakna antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol.

PEMBAHASAN Karakteristik Sampel

Karakteristik sampel pada penelitian ini (kelompok perlakuan dan kelompok kontrol) seluruhnya berjenis ke-lamin laki-laki dengan IMT kategori obesitas. Buch dkk dalam penelitian mereka pada anak-anak umur 6-18 ta-hun, pada total 1.249 anak, 727 anak laki-laki dan 511 perempuan, ditemukan sebanyak 49 anak lali-laki dengan hipertensi, sedangkan pada anak perempuan sebanyak 32 dengan hipertensi. Pemilihan sampel anak laki-laki dilakukan karena prevalensi obesitas dengan hipertensi pada anak laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan, sehingga kontrol terhadap jenis kelamin dilakukan untuk mengurangi kemungkinan bias pada hasil penelitian.

Obesitas sering berhubungan dengan hiperinsulinemia, khususnya tipe android. Laki-laki obesitas cenderung mempunyai deposit lemak di daerah atas tubuh khususnya pada tengkuk, leher, bahu, dan perut yang disebut obesitas tipe android. Pada obesitas tipe android (obesitas sentral), lemak berakumulasi sebagai lemak viseral/intra-abdominal atau lemak subkutan abdomen. Obesitas tipe android berisiko mengalami sindrom metabolik dan penyakit kardiovaskular, khususnya jika terdapat lemak viseral yang berlebihan. Kadar adiponektin yang rendah, adanya resistensi leptin, serta berbagai sitokin yang terlepas dari sel adiposa dan sel inflamasi yang menginfiltrasi jaringan lemak (misalnya makrofag) menurunkan ambilan asam lemak bebas oleh mitokondria pada beberapa jaringan, menurunkan oksidasi asam lemak bebas, dan menyebabkan akumulasi asam lemak bebas intrasel. Kelebihan asam lemak bebas intraselular dan metabolik (fatty acyl CoA, diacyglgycerol,dan ceramide) dapat memicu terjadi resistensi insulin (bahkan hiperinsulinemia dan hiperglikemia)5.

Hubungan antara resisten insulin dan tekanan darah pada anak obesitas telah diteliti oleh Umboh dkk (2007) Sebagian besar anak obesitas menderita pre-hipertensi dan terdapat korelasi linier yang lemah antara kadar insulin dan tekanan darah, serta resistensi insulin mempengaruhi peningkatan tekanan darah sistolik pada anak obesitas6.

Penurunan Tekanan Darah pada Kelompok Perlakuan (KP) Setelah Pemberian Perlakuan Therapeutic Walking Exercise

Berdasarkan hasil uji statistik paired sample t-test untuk data tekanan darah sistolik dan diastolik pada ke-lompok perlakuan yang diberikan therapeutic walking ex-ercise, didapatkan nilai p = 0,000 (p < 0,05) untuk tekanan darah sistolik dan nilai p = 0,01 (p < 0,05) untuk tekanan darah diastolik. Hal tersebut menunjukkan ter-dapat penurunan tekanan darah sistolik dan diastolik yang bermakna antara sebelum dan sesudah diberikan perlakuan therapeutic walking exercise selama 12 kali perlakuan selama 4 minggu. Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa obesitas merupakan salah satu faktor risiko hipertensi pada anak. Dalam penelitian Lumoindong (2013) yang dilakukan pada 111 anak obesi-tas didapatkan hasil terdapat hubungan yang bermakna dengan uji Chi Square (p=0,007). Dari hasil penelitian ini, diketahui bahwa pada anak obesitas dengan melakukan therapeutic walking exercise secara teratur selama 3 kali dalam seminggu dalam waktu 4 minggu dan berdurasi 30 menit setiap latihan akan terjadi penurunan darah sistolik dan diastolik8. Penelitian yang dilakukan oleh Trisusilowa-ti (2016) mendapatkan hasil olahraga berjalan kaki (casual walking) memiliki efek yang signifikan terhadap penurunan tekanan darah sistolik (p = 0,002) dengan rata-rata penurunan nilai tekanan darah sistolik sebesar 11,8 mmHg, tetapi tidak memiliki efek yang signifikan terhadap

Kelompok N Rerata±S P

Post-test Sistolik

Perlakuan 8 120.755.120

0,025

Kontrol 8 125.504.751

Post-test Diastolik

Perlakuan 8 82.003.207

0,044

Kontrol 8 84.504.106

Selisih Sistolik

Perlakuan 8 6,50±2,330,000

Kontrol 8 0,50±0,92

Selisih Diastolik

Perlakuan 8 4,75±3,840,009

Kontrol 8 0,50±0,92

Majalah Ilmiah Fisioterapi Indonesia, Volume 5, Nomor 1 ● 25

penurunan tekanan darah diastolik (p = 0,089) dengan rata-rata penurunan nilai tekanan darah diastolik sebesar 4,1 mmHg9.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Rahidayanti (2013) mengenai kebiasaan olahraga jalan kaki terhadap kontrol tekanan darah pada pasien hipertensi didapatkan hasil adanya hubungan antara kebiasaan olahraga jalan kaki terhadap kontrol tekanan darah pada pasien hipertensi dengan nilai p=0,00110.

Saat melakukan aktivitas fisik yang bersifat aerobik seperti berjalan kaki, tekanan darah akan naik cukup ban-yak. Seperti pada saat melakukan olahraga aerobik yang bersifat keras, tekanan darah sistolik akan naik mejadi 150-200 mmH dari tekanan darah sistolik ketika istirahat sebesar 110-120 mmHg.

Penurunan tekanan darah pada hipertensi ini terjadi lantaran adanya penurunan tekanan darah karena pembuluh darah mengalami pelebaran dan terjadi relaksasi pembuluh darah. Sehingga terjadi penurunan tekanan darah seperti halnya melebarnya pipa air yang akan menurunkan tekanan pada aliran air. Dalam hal ini olahraga aerobik yang bersifat kontinyu dapat mengurangi tahanan perifer pembuluh darah. Mekanisme penurunan tekanan darah juga diakibatkan oleh aktivitas memompa jantung yang berkurang11. Otot jantung individu yang berolahraga secara rutin lebih kuat dibandingkan dengan individu yang jarang berolahraga. Pada individu yang rutin berolahraga jantungnya berkontraksi lebih sedikit untuk memompakan darah dengan volume yang sama. Karena olahraga dapat menyebabkan penurunan denyut jantung, maka olahraga secara kontinyu akan menurunkan cardiac output, yang pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya penurunan tekanan darah pada penderita hipertensi. Peningkatan efisiensi kerja jantung dicerminkan dengan penurunan tekanan darah sistolik, sedangkan penurunan tahanan perifer dicerminkan dengan penurunan tekanan diastolik12.

Pemberian therapeutic walking exercise secara teratur juga menunjukkan adaptasi yang positif pada sistem kardiovaskular. Park et al mengevaluasi efek dari latihan aerobik dan program latihan resisten terhadap fungsi pembuluh endotel pada 29 orang sampel anak obesitas menunjukkan adanya peningkatan kapasitas vasodilatasi endotel terhadap aliran darah ke seluruh tubuh dan penurunan kekuatan ejeksi ventrikel dan penurunan cardiac overload. Saat melakukan aktivitas aerobik, tekanan darah akan naik cukup banyak. Misalnya, selama melakukan latihan-latihan aerobik yang keras, tekanan darah sistolik dapat naik menjadi 150 - 200 mmHg dari tekanan sistolik ketika istirahat sebesar 110 - 120 mmHg. Sebaliknya, segera setelah latihan aerobik selesai, tekanan darah akan turun sampai di bawah normal dan berlangsung selama 30 - 120 menit. Jika olahraga aerobik dilakukan berulang-ulang, maka penurunan tekanan darah tadi berlangsung lebih lama. Itulah sebabnya latihan olahraga secara teratur akan dapat menurunkan tekanan darah. Jenis olahraga yang efektif menurunkan tekanan darah adalah olahraga aerobik dengan intensitas sedang. Frekuensi latihannya 3 - 5 kali seminggu, dengan lama latihan 20 - 60 menit sekali latihan13.

Tekanan Darah pada Kelompok Kontrol (KK) Berdasarkan hasil pengukuran tekanan darah pada

awal (pre-test) dan akhir (post-test) penelitian pada ke-lompok kontrol (KK) yang merupakan kelompok kontrol negatif, dimana sampel pada kelompok ini tidak diberikan perlakuan therapeutic walking exercise. Pertama-tama dilakukan pengukuran tekanan darah awal (pre-test), yang diikuti oleh pengukuran tekanan darah akhir (post-test) dua puluh menit kemudian. Berdasarkan hasil uji statistik Paired Sample T-test untuk data tekanan darah sistolik dan tekanan darah diastolik, diperoleh nilai p = 0,598 untuk tekanan darah sistolik dan nilai p = 0,170 un-tuk tekanan darah diastolik, yang berarti tidak ada penurunan tekanan darah yang bermakna pada kelompok kontrol.

Salah satu faktor penting yang berperan pada obe-sitas adalah aktivitas fisik. Obesitas bukan hanya terkait masalah banyaknya mengonsumsi makanan tapi juga kurangnya aktivitas fisik. Seiring dengan perkembangan zaman terjadi berbagai perubahan gaya hidup, terutama pada aktivitas fisik. Olahraga, jalan kaki, permainan fisik atau aktivitas fisik yang lainnya semakin jarang dilakukan. Kebanyakan sekolah memberikan jadwal olahraga hanya satu kali dalam seminggu dan sisanya diisi dengan bela-jar dalam ruangan. Ditambah lagi remaja sekarang ini lebih banyak menghabiskan waktu mereka dengan duduk sambil bermain gadjet, nongkrong sambil makan dengan teman-teman sebayanya, nonton TV, les atau bimbel yang membuat mereka untuk duduk lebih lama dan juga kebanyakan dari mereka sekarang ini untuk berangkat maupun pulang sekolah diantar dan dijemput orang tua memakai kendaraan pribadi atau menggunakan ken-daraan umum14.

Penurunan tekanan darah pada kelompok kontrol dapat disebabkan oleh aktivitas fisik yang dilakukan di sekolah seperti olahraga, dimana olahraga merupakan salah satu mata pelajaran wajib di sekolah. Namun kare-na keterbatasan waktu untuk melakukan olahraga, maka pelajaran olahraga hanya dilakukan sekali dalam sem-inggu. Sehingga penurunan tekanan darah pada anak obesitas tidak mendapatkan hasil yang bermakna. Ber-dasarkan penelitian yang dilakukan oleh Syatria (2006) mengenai pengaruh olahraga terprogram terhadap penurunan tekanan darah dimana kelompok perlakuan menerima latihan basket terprogram, yaitu latihan 3 kali seminggu selama 60 menit setiap latihan. Untuk ke-lompok kontrol tidak ada latihan terprogram13. Tekanan darah sistolik (TDS) dan tekanan darah diastolik (TDD) diukur pada awal (minggu ke-0) dan akhir penelitian (minggu ke-12) mendapatkan hasil tidak ada perubahan yang bermakna TDS pada kelompok kontrol (p = 0,705) dan pada kelompok perlakuan ada perubahan yang ber-makna terhadap TDS (p = 0,000). Didapatkan pula perbe-daan yang bermakna pada TSD minggu ke-12 antara ke-lompok kontrol dan kelompok perlakuan (p=0,022), akan tetapi tidak dijumpai perbedaan yang bermakna pada TDD minggu ke-12 antara kelompok kontrol dan ke-lompok perlakuan (p=0,614).

Penurunan tekanan darah ini antara lain terjadi karena pembuluh darah mengalami pelebaran dan relaksasi. Lama-kelamaan, latihan olahraga dapat melemaskan pembuluh-pembuluh darah, sehingga tekanan darah menurun, sama halnya dengan

Majalah Ilmiah Fisioterapi Indonesia, Volume 5, Nomor 1 ● 26

melebarnya pipa air akan menurunkan tekanan air. Dalam hal ini, olahraga dapat mengurangi tahanan perifer. Penurunan tekanan darah juga dapat terjadi akibat aktivitas memompa jantung berkurang. Otot jantung pada orang yang rutin berolahraga sangat kuat, maka otot jantung pada individu tersebut berkontraksi lebih sedikit daripada otot jantung individu yang jarang berolahraga, untuk memompakan volume darah yang sama13. Olahraga akan menurunkan cardiac output, yang pada akhirnya menyebabkan penurunan tekanan darah. Peningkatan efisiensi kerja jantung dicerminkan dengan penurunan tekanan sistolik, sedangkan penurunan tahanan perifer dicerminkan dengan penurunan tekanan diastolik13. Dari hasil penelitian yang telah saya lakukan, menunjukkan bahwa tekanan darah pada kelompok kontrol tidak mengalami perubahan secara bermakna. Sedangkan pada kelompok perlakuan, tekanan sistolik dan diastolik mengalami penurunan secara bermakna. Hal ini mencerminkan adanya peningkatan efisiensi kerja jantung yang menyebabkan penurunan tekanan darah. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan

Berdasarkan rumusan masalah dan hipotesis pada penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa:

Therapeutic walking exercise dapat menurunkan tekanan darah pada anak obesitas dengan hipertensi. Saran

Beberapa saran yang dapat diajukan berdasarkan temuan dan kajian dalam penelitian ini adalah: Therapeutic walking exercise dapat dijadikan sebagai

salah satu pilihan tindakan fisioterapi dalam menurunkan tekanan darah pada anak obesitas dengan hipertensi secara non-farmakologis.

Diharapkan kepada rekan-rekan fisioterapis maupun mahasiswa fisioterapi dapat mengembangkan penelitian lebih lanjut mengenai latihan therapeutic walking exercise dengan intensitas waktu yang berbeda dalam penatalaksanaan hipertensi untuk menurunkan tekanan darah.

DAFTAR PUSTAKA 1. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Kementerian Kesehatan RI. 2010. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010. Jakarta.

2. Purnami, N.M.D. 2015. Prevalensi Obesitas dan Hubungan Antara Obesitas dengan Kejadian Hipertensi dan Proteinuria pada Anak Usia 12-14 Tahun di Sekolah Menengah Pertama Swasta di Kota Denpasar. Tesis. Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Biomedik. Universitas Udayana. Denpasar

3. Aneja, A., El-Atat, F., McFarlane, S.I., and Sowers J.R. 2004. Hypertension and obesity. Recent Progress in Hormone Research, 59:169-205.

4. Battegay, E.J., Gregory L.I.P., Bakris, L.H. George S. 2005. Hypertension Principles And Practice: Definition And Classification Hypertension . United States of America: Taylor and Francis Group, page 17.

5. Yogiantoro. 2006. M. Hypertension and insulin resistance. Dalam: Makalah lengkap The 6th Jakarta nephrology &hypertension course and symposium on

hypertension.103-115. 6. Umboh A, Kasie J, Edwin J. 2007. Hubungan antara

resistensi insulin dan tekanan darah pada anak obese. Sari Pediatri; 8:289-93.

7. Wagesetiawan, C. 2007. Hubungan Hipertensi Dengan Kejadian Mikroalbuminuria Pada Anak Usia 12-14 Tahun. Tesis. Program Pascasarjana Magister Ilmu Biomedik dan PPDS1. Universitas Diponegoro. Semarang.

8. Lumoindong, A., Umboh, A., Masloman, N. 2013. Hubungan Obesitas dengan Profil Tekanan Darah pada Anak Usia 10 – 12 Tahun di Kota Manado. Jurnal e-Biomedik (eBM), 1:147-153

9. Trisusilowati, E. 2016. Pengaruh Olahraga Berjalan Kaki (Casual Walking) Terhadap Perubahan Tekanan Darah Lansia dengan Hipertensi di Panti tresna Werdha Hargodedali Surabaya. Tesis. Fakultas Keperawatan. Universitas Airlangga. Suarabaya.

10. Rahadiyanti, L.S. 2013. Hubungan Kebiasaan Olahraga Jalan Kaki dengan Kontrol Tekanan Darah pada Pasien Hipertensi. Skripsi. Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayattulah. Jakarta

11. Wallace, J.P. 2003. Exercise in Hypertension, Clinical Exercise Physiology and Laboratory. USA: Sports Medicine.

12. Scott, K.P. 2004. Exercise physiology theory and application to fitness and performance. University of florida.

13. Syatria, . 2006. Pengaruh Olahraga Terprogram terhadap Tekanan Darah pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro yang Mengikuti Ekstrakurikuler Basket. Karya Tulis Ilmiah. Semarang: Fakultas Kedokteran. Universitas Diponegoro

14. Mujur, A. 2015. Hubungan antara Pola Makan dan Aktivitas Fisik dengan Kejadian Berat Badan Lebih pada Remaja.

Majalah Ilmiah Fisioterapi Indonesia, Volume 5, Nomor 1 ● 27

EFEKTIVITAS MULLIGAN MOBILIZATION DAN INFRARED DENGAN MYOFASCIAL RELEASE TECHNIQUE DAN INFRARED TERHADAP PENINGKATAN LINGKUP GERAK SENDI NYERI LEHER NON SPESIFIK PADA

PENJAHIT DI KECAMATAN KUTA

1 Ni Wayan Wahyuningsih, 2 Nila Wahyuni, 3 Luh Made Indah Sri Handari Adiputra

1,2Program Studi Fisioterapi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar Bali 3 Bagian Ilmu Faal Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana, Denpasar Bali

[email protected]

ABSTRAK Nyeri leher non spesifik menjadi salah satu keluhan yang sering dirasakan oleh populasi umum, salah satunya pen-jahit di Kecamatan Kuta, oleh karena itu perlu adanya suatu penanganan yang dapat diberikan seperti myofascial release technique, mulligan mobilization, dan infrared. Penelitian merupaka penelitian eksperimental dengan pre-test dan post-test group design. Sampel dipilih menggunakan teknik purposive sampling. Sampel dibagi menjadi 2 ke-lompok dengan 15 orang tiap kelompok, yaitu kelompok 1 diberikan myofascial release technique dan infrared, se-dangkan kelompok 2 diberikan mulligan mobilization dan infrared. Pengukuran lingkup gerak sendi diukur dengan goniometer. Hasil penelitian menunjukkan persentase beda selisih sebesar 56,8% pada kelompok 1 dan 60,8% pada kelompok 2. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan antara myofascial release technique dan infrared dengan mulligan mobilization dan infrared dalam meningkatkan lingkup gerak sendi pada nyeri leher non spesifik. Kata kunci: nyeri leher non spesifik, myofascial release technique, mulligan mobilization, infrared.

THE EFFECTIVNESS OF MULLIGAN MOBILIZATION AND INFRARED WITH MYOFASCIAL RELEASE TECH-NIQUE AND INFRARED TO IMPROVE RANGE OF MOTION OF NON-SPESIFIC NECK PAIN ON TAILOR IN THE

SUBDISTRIC KUTA

ABSTRACT Non-spesific neck pain is one of disorder among general population including tailors in Subdistric Kuta. Therefore the need for a therapy that can be given as myofascial release technique, mulligan mobilization, dan infrared. The design of this study was experimental with pre-test and post-test group design. The technique sampling was purposive sam-pling technique. The samples were divided into 2 groups. Group 1 was given Myofascial Release Technique and In-frared, while Group 2 was given Mulligan Mobilization and Infrared. The range of motion is measured by goniometer. The result showed no significant difference between Group 1 and Group 2 in which p value = 0.250 (p>0.05) with 56.8% in the Group 1 and 60.8% in the Group 2. Based on the result, it can be concluded that Myofascial Release Technique and Infrared show no significant difference with Mulligan Mobilization and Infrared to increase range of motion of the neck on the non-spesific neck pain. Keywords : non-spesific neck pain, myofascial release technique, mulligan mobilization, infrared.

PENDAHULUAN Nyeri leher non spesifik disebut juga nyeri leher

mekanikal merupakan nyeri leher yang disebabkan oleh kebiasaan postur yang buruk dalam jangka waktu yang lama. Kebiasaan postur yang buruk tersebut dapat men-imbulkan tekanan abnormal dan strain pada otot-otot yang seharusnya menstabilkan dan mengontrol kepala.1 Kalangan wanita pekerja terutama operator mesin jahit dan sekelompok wanita pekerja lain yang melakukan pekerjaan berulang-ulang dalam posisi duduk dengan punggung membungkuk dan kepala menunduk merupa-kan kelompok yang paling sering mengalami keluhan muskuloskeletal terutama pada leher dan bahu.2

Posisi duduk saat bekerja dalam jangka waktu yang lama akan menyebabkan beban statis pada otot leher secara terus-menerus sehingga mengakibatkan strain biomekanik seperti peningkatan tonus otot leher dan menimbulkan keluhan nyeri leher. Permasalahan pa-da leher dapat menimbulkan nyeri, kekakuan, dan

keterbatasan gerak pada leher sehingga menyebabkan penurunan aktivitas kerja hingga mengakibatkan ketidakhadiran saat bekerja.3

Keterbatasan lingkup gerak sendi cervical oleh karena nyeri leher mekanikal disertai dengan minor posi-tional fault pada facet dan muscle guarding/splinting pada otot-otot paravertebralis cervical, levator scapula, dan upper trapezius. Gangguan tersebut akan mengakibatkan penurunan lingkup gerak sendi ke segala gerakan teruta-ma pada gerakan ekstensi, lateral fleksi, dan rotasi cervi-cal.4

Salah satu intervensi fisioterapi yang dapat diap-likasikan pada kasus nyeri leher non spesifik adalah Myo-fascial release technique. Teknik ini memberikan efek terapi pada fascia dan otot dengan prinsip peregangan dan penekanan dalam dengan tujuan untuk memperbaiki lubrikasi pada jaringan fascia, mobilisasi jaringan fascia dan otot, dan fungsi sendi normal.5 Penelitian oleh Ah-med6 membuktikan bahwa pemberian myofascial release

Majalah Ilmiah Fisioterapi Indonesia, Volume 5, Nomor 1 ● 28

technique lebih signifikan meningkatkan lingkup gerak sendi dibandingkan dengan penanganan konvensional fisioterapi lainnya.

Disamping itu, ada metode lain yang dapat diap-likasikan pada kasus nyeri leher non spesifik, yaitu Mulli-gan mobilization yang merupakan teknik mobilisasi spine dalam posisi weigth bearing dengan arah mobilisasi par-alel terhadap bidang gerak facet joint. Salah satu teknik mulligan yang dapat diterapkan pada cervical spine ada-lah Sustained Natural Apophyseal Glides (SNAGs).7 Penelitian Gautam dkk8 yang membandingkan antara mulligan mobilization dan maitland mobilization, membuk-tikan bahwa mulligan mobilization lebih baik untuk menurunkan nyeri, meningkatkan lingkup gerak sendi, dan meningkatkan disabilitas pada kasus nyeri leher.

Infrared adalah salah satu modalitas fisioterapi yang biasa digunakan pada kasus musculoskeletal. Pem-berian infrared dapat menghasilkan efek panas pada sua-tu jaringan. Pada penelitian Porter9 menyebutkan bahwa efek panas dari infrared akan meningkatkan metabolisme jaringan dan menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah, sehingga dapat memperlancar nutrisi yang masuk ke da-lam jaringan dan membantu pengeluaran zat-zat sisa me-tabolisme yang menumpuk di jaringan.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis ingin membandingkan efektivitas antara myofascial release technique dan infrared dengan mulligan mobilization dan infrared terhadap peningkatan lingkup gerak sendi nyeri leher non spesifik. BAHAN DAN METODE Rancangan Penelitian

Penelitian merupakan penelitian eksperimental dengan rancangan pre-test dan post-test group design. Sampel dipilih dengan teknik purposive sampling kemudi-an dibagi menjadi dua kelompok. Penelitian dilakukan di Kecamatan Kuta selama 1 bulan dari bulan April hingga Mei 2017. Populasi dan Sampel Populasi terjangkau pada penelitian ini adalah penjahit di Kecamatan Kuta yang memiliki keterbatasan lingkup gerak sendi cervical akibat nyeri leher non spesifik ber-dasarkan pemeriksaan fisioterapi.

Subjek penelitian telah memenuhi kriteria inklusi penelitian. Sampel penelitian berjumlah 30 orang dibagi menjadi Kelompok Perlakuan 1 (P1) diberikan Myofascial Release Technique dan Infrared, sedangkan Kelompok Perlakuan 2 (P2) diberikan Mulligan Mobilization dan In-frared.

Sampel penelitian telah memenuhi kriteria inklusi, antara lain: (a)Menandatangani surat persetujuan kesedi-aan sebagai sampel penelitian, (b) Memiliki riwayat nyeri leher sejak 3 bulan yang lalu, (c)Subjek berprofesi se-bagai penjahit lebih dari 1 tahun, (d)Sampel memiliki ska-la nyeri dengan nilai VAS 3-5 pada otot upper trapezius, (e)Sampel mengalami keterbatasan lingkup gerak sendi rotasi leher dibawah 85o berdasarkan pengukuran dengan menggunakan goniometer, (f)Subjek berusia antara 20-40 tahun, (g)Memiliki IMT normal.

Instrumen Penelitian

Metode pengukuran penelitian ini menggunakan

goniometer dan VAS. HASIL Tabel 1. Distribusi Data Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin

Tabel 1 memperlihatkan bahwa pada kelompok 1 subjek yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 14 orang (93,3%) dan laki-laki sebanyak 1 orang (6,7%), se-dangkan pada kelompok 2 subjek yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 14 orang (93,3%) dan laki-laki sebanyak 1 orang (6,7%) Tabel 2. Distribusi Data Sampel Berdasarkan Usia, IMT, Masa Kerja, dan Nilai VAS

Tabel 2 menunjukkan bahwa subjek penelitian kelompok 1 memiliki rerata usia 35,93±5,837tahun dan kelompok 2 memiliki rerata usia 33,13±8,026tahun. In-deks Massa Tubuh (IMT) pada kelompok 1 diperoleh re-rata 21,81±1,24 dan kelompok 2 dengan rerata 21,63±1,167. Masa kerja kelompok 1 memiliki rerata 13,93±7,842tahun dan kelompok 2 memiliki rerata masa kerja 9,67±6,253tahun. Nilai VAS kelompok 1 didapatkan rerata 3,33±0,488 dan kelompok 2 didapatkan rerata 3,27±0, 458. Tabel 3. Uji Normalitas dan Homogenitas Data

Tabel 3 memperlihatkan hasil uji normalitas pada

kelompok 1 sebelum terapi nilai p=0,156 (p>0,05) dan sesudah terapi nilai p=0,458 (p>0,05) dengan selisih nilai

Frekuensi Persentase (%)

P1 P2 P1 P2

14 14 93,3 93,3

1 1 6,7 6,7

15 15 100 100

Karakteristik P1 P2

Rerata±SB Rerata±SB

Usia (tahun) 35,93±5,837 33,13±8,026

IMT (Kg/m2) 21,81±1,236 21,63±1,167

Masa Kerja (tahun)

13,93±7,842 9,67±6,253

Nilai VAS 3,33±0,488 3,27±0, 458

Kelompok Data

Uji Normalitas (Saphiro Wilk Test)

Uji Ho-mogenitas (Levene’s

Test)

p p

Pretest 0,156 0,421 0,065

Postest 0,458 0,48 0,34

Selisih 0,389 0,348 0,791

Majalah Ilmiah Fisioterapi Indonesia, Volume 5, Nomor 1 ● 29

p=0,389 (p>0,05), sedangkan pada kelompok 2 sebelum terapi nilai p=0,421 (p>0,05) dan sesudah terapi nilai p=0,340 (p>0,05) dengan selisih nilai p=0,348 (p>0,05).

Uji homogenitas dengan Levene’s Test didapat-kan pada kelompok sebelum terapi nilai p=0,065 (p>0,05), pada kelompok sesudah terapi nilai p=0,340 (p>0,05), sedangkan pada selisih nilai p=0,791 (p>0,05). Tabel 4. Beda Peningkatan Lingkup Gerak Sendi Cer-vical Sesudah Intervensi Kelompok 1 dan Kelompok 2

Tabel 4 memperlihatkan hasil beda rerata pen-ingkatan lingkup gerak sendi cervical dengan Paired Sampel T-test sebelum dan sesudah intervensi pada ke-lompok 1 dengan nilai p=0,000 (p<0,005) yang membuk-tikan bahwa terdapat perbedaan bermakna pada pening-katan lingkup gerak sendi sebelum dan sesudah interven-si Myofascial Release Technique dan Infrared.

Uji hipotesis sebelum dan sesudah intervensi pada kelompok 2 dengan Paired Sampel T-test didapat-kan nilai p=0,000 (p<0,05) yang membuktikan bahwa ter-dapat perbedaan bermakna pada peningkatan lingkup gerak sendi sebelum dan sesudah pemberian intervensi Mulligan Mobilization dan Infrared. Tabel 5. Selisih Peningkatan Lingkup Gerak Sendi Cervical Sebelum Dan Sesudah Intervensi Pada Kedua Kelompok

Tabel 5 yang menunjukkan hasil perhitungan selisih peningkatan lingkup gerak sendi diperoleh nilai p=0,250 (p>0,05) pada selisih sebelum dan sesudah intervensi. Hal ini membuktikan tidak ada perbedaan selisih pening-katan pada Kelompok 1 dan Kelompok 2 yang bermakna pada intervensi Myofascial Release Technique dan Infra-red dengan Mulligan Mobilization dan Infrared terhadap peningkatan lingkup gerak sendi cervical. Tabel 6. Persentase Peningkatan Lingkup Gerak Sen-di Cervical Sesudah Intervensi

Table 6 memperlihatkan persentase rerata pen-ingkatan lingkup gerak sendi pada kelompok 1 dan ke-lompok 2 tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Hal itu membuktikan bahwa tidak ada perbedaan antara inter-

vensi Myofascial Release Technique dan infrared dengan pemberian intervensi Mulligan Mobilization dan infrared. DISKUSI

Karakteristik usia sampel penelitian ini, Kelompok 1 memiliki rerata usia 35,93±5,837tahun dan Kelompok 2 memiliki rerata usia 33,13±8,026tahun. Menurut penelitian McLean dkk10 menyebutkan bahwa usia yang paling umum mengalami nyeri leher non spesifik adalah usia produktif antara 20-50 tahun dan umum terjadi pada orang yang menghabiskan sebagian besar waktu kerjan-ya di meja dengan posisi kepala menunduk ke depan. Peningkatan Lingkup Gerak Sendi Cervical Pada Myo-fascial Release Technique dan Infrared

Hasil uji Paired Sample T-test Kelompok 1 di-peroleh rerata sebelum terapi sebesar 48,80 dan rerata setelah terapi sebesar 76,53 sedangkan nilai p = 0,000 (p < 0,05) yang berarti bahwa ada perbedaan bermakna lingkup gerak sendi sebelum dan sesudah pemberian myofascial release technique dan infrared. Hal tersebut membuktikan bahwa intervensi myofascial release tech-nique dan infrared dapat meningkatkan lingkup gerak sendi cervical pada nyeri leher non spesifik.

Penelitian oleh Werenski11 menyatakan bahwa myofascial release technique dapat digunakan untuk mengurangi nyeri akibat keluhan dari musculosceletal. Myofascial Release Technique mampu memberikan efek elongasi serabut otot dan juga mengaktivasi golgi tendon organ (GTO) pada musculotendinogen junction.

Adanya peregangan pada serabut otot akan mengaktivasi GTO. Golgi tendon organ menerima implus yang diteruskan oleh saraf afferent ke bagian dorsal spi-nal cord yang bertemu dengan inhibitor motor neuron dan dapat menghentikan impuls motor neuron afferent sehing-ga mencegah kontraksi lebih lanjut dan terjadilah relaksasi otot. Otot yang terelaksasi dapat meningkatkan sirkulasi pada otot sehingga penyebab spasme bisa berkurang dan memungkinkan terjadinya peningkatan lingkup gerak sendi.12

Efek panas dari infrared akan menstimulasi nerve cutaneous receptor yang impulsnya akan diteruskan ke hipotalamus anterior sehingga menyebabkan terjadinya vasodilatasi pada pembuluh darah. Selain itu, panas lokal yang terjadi memberikan efek relaksasi pada otot. Hal ini disebabkan oleh efek panas yang mampu mengurangi rangsangan threshold dari spindle otot dan mengurangi kecepatan gamma efferent sehingga tonus otot menurun.13 Peningkatan Lingkup Gerak Sendi Cervical Pada Mul-ligan Mobilization dan Infrared

Hasil uji paired sample-t test yang dilakukan pada Kelompok 2 didapatkan rerata sebelum intervensi sebe-sar 48,93 dan rerata setelah intervensi sebesar 78,66 sedangkan nilai p = 0,000 (p < 0,05) yang berarti bahwa ada perbedaan bermakna lingkup gerak sendi sebelum dan sesudah pemberian mulligan mobilization dan infra-red. Hal tersebut menunjukkan bahwa intervensi mulligan mobilization dan infrared dapat meningkatkan lingkup gerak sendi cervical pada nyeri leher non spesifik.

Penelitian yang dilakukan oleh Gautam dkk8 mengenai perbandingan Mulligan Mobilization dan Mait-land Mobilization menunjukkan bahwa teknik mulligan

Rerata±SB

LGS Sebelum

Intervensi (o)

Rerata±SB

LGS Sesudah

Intervensi (o)

p

P1 48,80±6,625 76,53±4,206 0,000

P2 48,93±4,166 78,66±3,921 0,000

Rerata±SB

P1 Rerata±SB P2 p

Selisih 27,73±1,185 29,73±1,225 0,25

Kelompok

Hasil Analisi

Pretest Posttest Selisih Persen-

tase (%)

P1 48,8 76,53 27,73 56,8

P2 48,93 78,66 29,73 60,8

Majalah Ilmiah Fisioterapi Indonesia, Volume 5, Nomor 1 ● 30

lebih efektif dalam mengurangi nyeri dan meningkatkan lingkup gerak sendi pada nyeri leher. Penerapan teknik mulligan mobilization, yaitu SNAGs dapat meningkatkan lingkup gerak sendi pada nyeri leher non spesifik karena teknik tersebut dapat mengoreksi adanya fault minor posi-tional dari facet joint. Teknik SNAGs yang diaplikasikan secara berulang dan kontinyu dapat mengoreksi adanya minor subluksasi sendi facet sehingga sendi leluasan un-tuk melakukan gerakan asesoris yang akhirnya mening-katkan lingkup gerak sendi leher. Mobilisasi SNAGs mempengaruhi accessory gliding pada facet joint verte-bra dan menstimulasi mechanoreseptor pada articular yang merangsang gamma motorneuron, meningkatkan sensitivitas muscle spindle sehingga memperbaiki kesadaran proprioseptif.15

Penelitian yang dilakukan Porter9 menyatakan bah-wa dalam 10 menit infrared menghasilkan efek panas yang dapat meningkatkan metabolisme jaringan dan me-nyebabkan vasodilatasi pembuluh darah sehingga mem-perlancar nutrisi masuk ke dalam jaringan otot. Selain itu, infrared merelaksasi otot dengan menstimulasi ambang rangsang dari spindle otot dan mengurangi kecepatan gamma efferent dalam memberikan impuls sehingga to-nus otot akan menurun. Tidak Ada Perbedaan Peningkatan Antara Mulligan Mobilization dan dengan Myofascial Release Tech-nique dan Infrared Terhadap Peningkatan Lingkup Gerak Sendi Cervical

Hasil uji Independent T-test diperoleh nilai selisih peningkatan lingkup gerak sendi pada Kelompok 1 sebe-sar 27,73 dan Kelompok 2 sebesar 29,73. Selain itu, di-peroleh nilai p=0,250 (p>0,05) yang menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna antara Kelompok 1 dan Kelompok 2. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perbe-daan pada intervensi myofascial release technique dan infrared dengan mulligan mobilization dan infrared jika diaplikasikan pada nyeri leher non spesifik.

Hal ini diakibatkan oleh karena dalam penelitian ini faktor aktivitas fisik sampel tidak dapat dikontrol oleh peneliti. Menurut Korhonen dkk16, dalam studi kohort me-nyebutkan bahwa para pekerja yang jarang melakukan latihan aktivitas fisik memiliki risiko lebih besar untuk mengalami nyeri leher. Penelitian tersebut juga diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Hildebrant dkk17 yang menyebutkan aktivitas fisik yang dilakukan pada waktu senggang merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi gangguan musculoskeletal pada populasi pekerja, terutama pada pekerja yang duduk terus-menerus.

Posisi ergonomi kerja yang dilakukan oleh sampel selama penelitian juga tidak dikontrol. Menurut penelitian Ariens dkk3, bekerja dalam posisi duduk dan leher menunduk dalam jangka waktu lama dan berulang akan menyebabkan pembebanan statis pada otot-otot leher secara terus-menerus sehingga dapat mengakibatkan timbulnya nyeri leher. Kerja dengan posisi duduk selama 95% dari waktu kerja per hari juga merupakan salah satu faktor risiko terjadinya nyeri leher. Hal ini diperkuat oleh penyataan Ortiz-Hernandez dkk17 yang menyatakan bah-wa bekerja dengan posisi duduk dalam jangka waktu la-ma biasanya disetai dengan adanya perubahan pada cur-vature spine, peningkatan tekanan pada vertebral disc,

ligaman, dan otot. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian diatas, dapat disimpulkan bahwa intervensi Mulligan Mobilization dan Infrared sama baik dengan Myofascial Release Technique dan Infrared dalam meningkatkan lingkup gerak sendi rotasi cervical pada nyeri leher non spesifik. SARAN Saran yang bisa diberikan pada penelitian ini yaitu Intervensi myofascial release technique, mulligan mobili-zation, dan infrared dapat menjadi pilihan untuk keterbatasan lingkup gerak sendi nyeri leher non spesifik dan dilakukan sesuai dengan kondisi pasien. Diharapkan pada penelitian selanjutnya lebih memerhatikan faktor yang mempengaruhi penelitian, seperti aktivitas fisik dan posisi kerja yang ergonomi. DAFTAR PUSTAKA 1. Dreyer, SJ and Boden, SD. 1998. Non-operative

Treatment Of Neck And Arm Pain. Spine, 23: 2746 – 2754.

2. Kaergaard, A. and Andersen J.H. 2000. Occupational Environment Medicine: Musculoskeletal Disorders Of The Neck And Shoulder In Female Sewing Machine Operator. Prevalence, Incidence, And Prognosis Vol.57.

3. Ariens, GAM., Bongers, PM., Douwes, M., Miedema, MC., Hoogendoorn, WE., Van der Wal, G. 2001.Are Neck Flexion, Neck Rotation, And Sitting At Work Risk Factors For Neck Pain? Results of a prospective cohort study. Occup Environ Med, 58: 200-7.

4. Sudaryanto, Sutjana, D.P., Irfan, M. 2013. Pemberian Teknik Mulligan dan Soft Tissue Mobilization Lebih Baik Daripada Hanya Soft Tissue Mobilization Dalam Meningkatkan Lingkup Gerak Sendi Ekstensi, Rotasi, Lateral Fleksi Cervical Pada Mechanical Neck Pain. Sport and Fitness Journal. Vol 1, No. 2 : 54-69.

5. Grant, K.E and Riggs, A. 2009. Myofascial Release. Wiley Interscience, New York.

6. Ahmed, T. 2012. Efficacy On Myofascial Release Technique Among The Neck Pain Patient. Disserta-tion. Bangladesh Health Professions Institute (BHPI), Bangladesh.

7. Exelby, L. 2002. The Mulligan Concept : Its Applica-tion In The Management of Spinal Condition. Manual Therapy; Vol. 7 : 64-70.

8. Gautam, R., Dhamija, J.K., Puri, A. 2014. Comparison of Maitland and Mulligan Mobilization Improving Neck Pain, ROM, and Disability. International Journal of Physiotherapy and Research, Int J Physiother, Vol.2(3) : 482-87.

9. Porter, S. 2003. Tidy’s Physiotherapy (13th Edition). USA : Elsevier.

10. McLean, S.M., Taylor, J., Ballassoubramanen, T., Kulkarni, M., Patekar, P., Darne, R., Jain, V. 2010. Measuring Upper Limb Disability In Non-Specific Neck Pain: A Clinical Performance Measure. Interna-tional Journal of Physiotherapy And Rehabilitation; 1(1): 44-52.

11. Werenski, J. 2011. The Effectiveness of Myofascial Release Technique In The Treatment of Myofascial

Majalah Ilmiah Fisioterapi Indonesia, Volume 5, Nomor 1 ● 31

Pain: A Literature Review. Journal of Musculoskeletal Pain. Vol 23:27-35.

12. Kisner, C and Colby, L.A. 2012. Therapeutic Exercise Foundation and Techniques 6th Edition. Philadelphia: F.A. David Company.

13. Prentice, W.E. 2002. Therapeutic Modalities fof Phys-ical Therapist (2nd ed). USA : The McGraw-Hill Com-panies.

14. Sterling, M., Jull, G., Wright, A. 2001. Cervical Mobili-zation: Concurrent Effect On Pain, Sympathetic Nerv-ous System Activity And Motor Activity. Manual Ther-apy: 6;72-81.

15. Korhonen, T., Ketola, R., Toivonen, R., Luukkonen, R., Ha¨kka¨nen, M., Viikari-Juntura, E. 2003. Work-Related and Individual Predictors for Incident Neck Pain Among Office Employees Working With Video Display Units. Occup Environ Med 60:475–482.

16. Hildebrandt, VH., Bongers, PM., Dul, J., van Dijk, FJ., Kemper, HC. 2000. The Relationship Between Lei-sure Time, Physical Activities And Musculoskeletal Symptoms And Disability In Worker Populations. Int Arch Occup Environ Health 73(8):507–518.

17. Ortiz-Hernandez, L., Gonzalez, S., Martinez-Alcantara, S., Mendez-Ramirez, I. 2003. Computer Use Increases The Risk Of Musculoskeletal Disorders Among Newspaper Office Worker. Arch Med Res 34:331–342.

Majalah Ilmiah Fisioterapi Indonesia, Volume 5, Nomor 1 ● 32

PERBEDAAN KUALITAS TIDUR PADA ORANG DEWASA YANG MENGIKUTI BELA DIRI AIKIDO DENGAN ORANG DEWASA YANG TIDAK MENGIKUTI BELA DIRI AIKIDO DI BALI

1)Fitrotul Imaniyah, 2)I Made Niko Winaya, 3)I Wayan Sugiritama

1,2 Program Studi Fisioterapi, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana 3 Bagian Histologi, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

[email protected]

ABSTRAK Penambahan usia dan variasi aktivitas fisik setiap individu akan meningkatkan stres yang mempengaruhi kualitas tidur sehingga dilakukan penelitian untuk mengetahui kualitas tidur pada orang dewasa yang mengikuti bela diri aikido dengan orang dewasa yang tidak mengikuti bela diri aikido sebagai aktivitas fisik yang dapat menurunkan tingkat stres. Penelitian cross sectional analitik dengan sampel adalah orang dewasa yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sejumlah 86 orang disetiap kelompok. Sampel mengisi kuesioner Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) dan hasilnya diuji dengan fisher exact test. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna antara kualitas tidur pada dua kelompok (p<0,05). Dengan prosentase hasilnya yaitu kelompok A mempunyai kualitas tidur baik 82 orang (95,3%) dan buruk 4 orang (4,7%), kelompok B mempunyai kualitas tidur baik 59 orang (68,6%) dan buruk 27 orang (31,4%). Jadi kesimpulannya adalah kelompok orang dewasa yang mengikuti bela diri aikido mempunyai kualitas tidur lebih baik dari pada orang dewasa yang tidak mengikuti bela diri aikido. Kata Kunci: Orang Dewasa, Stres, Kualitas Tidur, Bela Diri Aikido. SLEEP QUALITY DIFFERENCES IN ADULTS WHO PARTICIPATE THE AIKIDO MARTIAL ARTS WITH ADULTS

WHO NO PARTICIPATE THE AIKIDO MARTIAL ARTS IN BALI

ABSTRACT The addition of age and the variation of physical activity of each individual will increase the stress affecting the quality of sleep so that research done to determine the quality of sleep in adults who participate aikido martial arts with adults who no participate aikido martial arts as physical activity that can reduce stress level. The cross sectional analytic study with the sample was adults who fulfilled the inclusion and exclusion criteria of 86 people in each group. Samples filling out the Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) questionnaire and the results were tested with a fisher exact test. The results showed a significant difference between sleep quality in two groups (p <0.05). With the percentage of result that is group A has good sleep quality 82 people (95,3%) and bad 4 people (4,7%), group B have good sleep quality 59 people (68,6%) and bad 27 people (31, 4%). So the conclusion is that groups of adults who participate aikido martial arts have better sleep quality than adults who no participate aikido martial arts. Keywords: Adult, Stess, Sleep Quality, Aikido Martial Arts.

PENDAHULUAN Semakin bertambahnya usia akan menyebabkan

semakin bertambah beban dan tanggung jawab yang ditanggung. Peningkatan beban dan tanggung jawab akan selaras dengan peningkatan stres. Salah satu faktor kesulitan tidur adalah stres. Stres memiliki peranan penting terhadap kualitas tidur karena akan memicu penurunan produksi hormon melatonin yang berperan sebagai pusat rileks, dan peningkatan hormon kortisol yang berperan sebagai pusat emosional, akibatnya terjadi ketidakseimbangan kedua hormon dan menyebabkan kesulitan untuk tidur1.

Kualitas tidur merupakan kemampuan seseorang untuk mempertahankan tidurnya dan mendapatkan jumlah tidur yang cukup untuk tidur REM dan tidur NREM. Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas tidur adalah usia, penyakit fisik, obat-obatan, gaya hidup, pola atau kebiasaan tidur, latihan fisik, asupan makanan, stres, dan lingkungan2,3. Kualitas tidur sangat penting untuk menjaga produktifitas dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Jika kebutuhan tidur tidak terpenuhi maka tidak akan memenuhi kebutuhan dasar ditingkat selanjutnya, seperti keamanan dan kenyamanan, cinta dan rasa memiliki,

harga diri, bahkan sampai yang paling tinggi yaitu aktualisasi diri3. Kualitas tidur dapat ditingkatkan dengan cara meningkatkan aktifitas fisik yang dapat menurunkan tingkat sres yaitu bela diri Aikido. Bela diri Aikido merupakan salah satu cabang bela diri yang berasal dari Jepang yang mempunyai mekanisme mirip seperti yoga 4,5. Aikido dan yoga merupakan aktifitas fisik yang mempunyai tahapan meditasi untuk mencapai relaksasi setelah seseorang melakukan latihan5. Mekanisme Aikido dapat meningkatkan kualitas tidur seseorang yaitu karena bela diri aikido dapat membantu menormalkan kembali cara kerja sistem saraf simpatis dan kerja saraf parasimpatis.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini adalah cross sectional analitik dengan sampel orang dewasa yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sejumlah 172 orang dibagi 2 kelompok (kelmpok A dan kelompok B). Orang dewasa yang berusia antara 18-40 tahun; tidak mengikuti yoga, senam aerobic, dan progressive muscle relaxation (PMR); tidak menderita penyakit penyerta (Diabetes Mellitus, Penyakit Paru Obstruksi Kronis); tidak mengkonsumsi

Majalah Ilmiah Fisioterapi Indonesia, Volume 5, Nomor 1 ● 33

obat-obatan dan zat tertentu (hipnotik, diuretik, penghambat beta-adrenergik, narkotik, benzodiazepam, antihistamin, dan dekongestan); terbiasa meminum kopi dimalam hari; mengalami moderately depressiondan severely depression (hasil Zung Self-rating Depression Scale>60); mengalami moderate anxiety dan severely anxiety (hasil Zung Self-rating Anxiety Scale>60).

Penelitian dilaksanakan sejak 1 April - 7 Mei 2017 di Dojo Dirgahayu, Dojo Kami Denpasar, Dojo Kami Jimbaran, dan Dojo Terakoya. Sampel dipilih sesuai kriteria inklusi dan ekskusi lalu diminta mengisi kuesioner PSQI, Zung Self-rating Depression Scale, Zung Self-rating Anxiety Scale.

Menurut Buysse et.al.,6 kuesioner PSQI dapat mengukur dan membedakan kualitas tidur yang baik (jika total skor <5) dan buruk (jika total skor ≥5). Kuesioner Zung Self-Rating Depression Scale dan Zung-Self-rating Anxiety Scale mengkaji hal-hal yang mempengaruhi kualitas tidur seperti depresi dan kecemasan7.

Analisa data diuji dengan fisher’s exact test (p<0,05) signifikan, dengan memakai software statistika di komputer. HASIL

Karakteristik sampel meliputi jenis kelamin dan usia, dapat dilihat pada tabel 1, tabel 2, dan uji hipotesis pada tabel 3. Dari 2 kelompok penelitian, kelompok A terdiri dari 43 laki-laki (50%) dan 43 perempuan (50%), kelompok B terdiri dari 42 laki-laki (48,8%) dan 44 perempuan (51,2%). Rerata usia kelompok A 26,03 tahun, rerata usia kelompok B 22,40 tahun. Tabel 1. Karakteristik Jenis Kelamin

Tabel 2. Karakteristik Usia

Uji fisher’s exact test menghasilkan nilai p sebesar 0,000 (p < 0,05), maka H0 ditolak yaitu terdapat perbedaan kualitas tidur pada orang dewasa yang mengikuti bela diri aikido dengan orang dewasa yang tidak mengikuti bela diri aikido. Tabel 3. Uji Hipotesis Penelitian

DISKUSI Penelitian ini terdiri dari dua kelompok yaitu

kelompok A (orang dewasa yang mengikuti bela diri Aikido) dan kelompok B (orang dewasa yang tidak mengikuti bela diri Aikido). Perbedaan kelompok A dan kelompok B terletak pada aktivitas fisiknya yaitu kelompok A rutin melakukan bela diri aikido dan kelompok B tidak melakukan bela diri aikido. orang yang rutin melakukan aktifitas fisik akan mendapat kelelahan kelelahan tingkat menengah biasanya mendapatkan tidur yang nyenyak, khususnya bila kelelahan tersebut didapatkan melalui aktivitas fisik yang digemari3. Pendapat ini diperkuat oleh sebuah laporan bahwa aktivitas fisik dapat membuat tidur lebih nyenyak, meningkatkan jumlah waktu tidur, dan mengurangi terbangun selama tidur.

Karakteristik sampel jenis kelamin kelompok A terdiri dari laki-laki (50%) dan perempuan (50%), kelompok B laki-laki (48,8%) dan perempuan (51,2%). Diuji menggunakan Tes Lavene untuk melihat perbedaan varian anatadua kelompok menghasilkan nila p = 0,830 (p>α), tidak ada perbedaan varian jenis kelamin antara kedua kelompok. Menurut penilitian Nashori (2005)8 gangguan kualitas tidur pada perempuan lebih tinggi dari pada laki-laki, namun sebaran varian yang menunjukkan tidak ada perbedaan varian antardua kelompok maka sebaran tersebut tidak mempengaruhi hasil penelitian.

Karakteristik sampel usia kelompok A rerata sebesar 26,03 tahun, kelompok B 22,40 tahun, rerata tertinggi terdapat pada kelompok A. Uji Tes Lavene menghasilkan nilai p = 0,000 (p<α), ada perbedaan varian usia antara kedua kelompok. Menurut Potter & Perry2,3, usia menjadi salah satu faktor mempengaruhi kualitas tidur. Dipengaruhi oleh faktor beban dan tanggung jawab yang ditanggung setiap individu 9.

Melihat rerata pada kedua kelompok penelitian, rerata tertinggi terdapat pada kelompok A atau kelompok orang dewasa yang mengikuti bela diri aikido yaitu 26,03 tahun, dan kelompok A terdapat sampel dengan kualitas tidur baik sebanyak 82 orang. Rerata usia kelompok B lebih rendah dari kelompok A yaitu 22,40 tahun memiliki kualitas tidur baik hanya 59 orang, hal ini membuktikan bahwa bela diri aikido dapat memperbaiki kualitas tidur seseorang.

Kekurangan dari penelitian ini adalah proses penelitian secara cross sectional sehingga tidak memantau perkembangan sampel penelitian sejak awal (sebelum sampel melakukan latihan bela diri aikido) sehingga tidak dapat melihat seberapa signifikan bela diri aikido dapat memperbaiki kualitas tidur. Sampel penelitian juga tinggal ditempat yang berbeda sehinga tidak dapat mengkondisikan sampel ditempat yang sama untuk mengontrol faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas tidur termasuk asupan makan dan kondisi lingkungan.

SIMPULAN

Kelompok orang dewasa yang mengikuti bela diri aikido mempunyai kualitas tidur lebih baik dari kelompok orang dewasa yang tidak mengikuti bela diri aikido. Dengan rician hasilnya yaitu kelompok A mempunyai kualitas tidur baik 82 orang (95,3%) dan buruk 4 orang (4,7%), kelompok B mempunyai kualitas tidur baik 59 orang (68,6%) dan buruk 27 orang (31,4%).

Jenis Kelamin

Kelompok A Kelompok B Total

F % F % F

Laki-laki 43 50 42 48.8 85

Perempuan

43 50 44 51.2 87

Total 86 100 86 100 172

Kelompok A Kelompok B

Rerata Simpang

Baku Rerata

Simpang Baku

Usia 26,03 6,755 22,4 2,863

Kualitas Tidur

Kelompok A Kelompok B Total

F % F % F

Baik 82 95,3 59 68,6 141

Buruk 4 4,7 27 31,4 31

Total 86 100 86 100 172

P 0,000

Majalah Ilmiah Fisioterapi Indonesia, Volume 5, Nomor 1 ● 34

DAFTAR PUSTAKA 1. Masfuati A. 2015. Hubungan Tingkat Stres dengan

Kualitas Tidur Lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Unit Budi Luhur Yogyakarta. Yogyakarta: Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

2. Potter, P.A., and Perry A.G. 2006. Buku Ajar Funda-mental Keperawatan: Konsep Proses, dan Praktik. Jakarta: EGC.

3. . 2011. Basic Nursing. Canada: Mosby 4. Hasan, Aliah B. P. 2007. Ki dan Teknik Titik Tekan

Saraf Aikido. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 5. Faggianelli, Patrick., and David Lukoff. 2006. Aikido

and Psycotherapy: A Study of Psychotherapist who are AikidoPractitioners. The Journal of Transpersonal Psycology: Transpersonal Institute.

6. Buysse, D.J. et al. 1989 The Pittsburgh Sleep Quality Index: A New Instrument for Psychiatric Practice and Research. Journal of Psychiatric Research.

7. Biggs T., Wylie V., Ziegler E. 1978. Validity of the Zung Self-Rating Depression Scale. The British Journal of Psychiatry.

8. Nashori, Fuad., dan R Rachmy Diana. 2005. Perbedaan Kualitas Tidur dan Kualitas Mimpi antara Mahasiswa Laki-laki dan Mahasiswa Perempuan. Humanitas Indonesian Psychological Journal Vol 2 No 2.

9. Indrawati, Nova B. 2012. Perbandingan Kualitas Tidur Mahasiswa yang Mengikuti UKM dan Tidak Mengikuti UKM pada Mahasiswa Reguler FIK UI Skripsi). Depok: Universitas Indonesia.

Majalah Ilmiah Fisioterapi Indonesia, Volume 5, Nomor 1 ● 35

PERBEDAAN EFEKTIVITAS PEMBERIAN INTERVENSI CONTRACT RELAX STRETCHING DIRECT DENGAN MUSCLE ENERGY TECHNIQUE TERHADAP PENINGKATAN FLEKSIBILITAS HAMSTRING PADA SISWA DAN

SISWI DI SMA NEGERI 1 GIANYAR

1 Putu Bayu Herlangga, 2 Ni Luh Nopi Andayani, 3 Nila Wahyuni

1,2,3Program Studi Fisioterapi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Denpasar Bali [email protected]

ABSTRAK

Otot Hamstring adalah group otot postural yang berperan penting dalam gerakan tubuh saat beraktivitas seperti berdiri, berjalan, berlari dan melompat. Otot Hamstring yang mengalami gangguan akan mengganggu keseimbangan kinerja otot lainnya, gangguan otot yang umum terjadi adalah pemendekan otot. Pemendekan otot ini menyebabkan seseorang lebih mudah terkena cedera. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas pemberian inter-vensi contract relax stretching direct dengan muscle energy technique dalam meningkatkan fleksibilitas Hamstring, Sit and Reach Test digunakan sebagai alat ukur. Penelitian ini menggunakan design eksperimental pretest-postest two group. Sampel berjumlah 22 orang terbagi dalam dua kelompok. Kelompok 1 mendapatkan contract relax stretching direct, kelompok 2 muscle energy technique. Uji normalitas dengan Shapiro wilk test. Paired sample t-test digunakan dalam uji hipotesis. Kelompok 1 p = 0,000 rerata 12,6±2,907 sedangkan kelompok 2 p = 0,000 rerata 11,2±3,452. Angka tersebut berarti ada peningkatan fleksibilitas Hamstring yang bermakna pada kedua kelompok. Uji beda kedua kelompok dengan independent sample t-test didapatkan hasil p = 0,313. Data tersebut berarti, tidak adanya perbedaan yang bermakna antara kedua intervensi pada peningkatan fleksibilitas hamstring. Kata Kunci : fleksibilitas otot Hamstring, contract relax stretching Direct, muscle energy technique, sit and reach test THE DIFFERENCE OF FLEXIBILITY BETWEEN CONTRACT RELAX STRETCHING DIRECT AND MUSCLE EN-ERGY TECHNIQUE FOR ANY STUDENT AT SMA NEGERI 1 GIANYAR

ABSTRACT Hamstring muscle is an important postural muscle group in body movement during activities such as standing, walk-ing running and jumping. Hamstring that interferes will disrupt the balance of other muscle performance, a common muscle disorder is muscle shortening. Shortening of this muscle causes a person more susceptible to injury. The pur-pose of this study was to determine the effectiveness of contract relaxation stretching direct intervention with muscle energy technique in improving the flexibility of Hamstring, Sit and Reach Test is used as a measuring tool. This study used a pretest-postest two group experimental design. The sample of 22 people is divided into two groups. Group 1 received contract relax stretching direct, group 2 muscle energy technique. Test normality with Shapiro wilk test. Paired sample t-test is used in hypothesis testing. Group 1 p = 0,000 average 12,6 ± 2,907 while group 2 p = 0,000 average 11,2 ± 3,452. This data means a significant increase in Hamstring's flexibility in both groups. Different test of both groups with independent sample t-test got result p = 0,313. The data means that there is no significant difference between the two interventions on increased hamstring flexibility. Keywords : The flexibility of Hamstring muscle, contract relax stretching Direct, muscle energy technique, sit and reach test

PENDAHULUAN Masa remaja adalah tahapan yang harus dilalui

sebelum seseorang menjadi dewasa11. Pada masa ini terjadi perubahan biologis, sosial, dan kognitif yang menunjukan berlangsungnya perubahan menuju masa dewasanya. Remaja menempati seperlima dari penduduk dunia dimana di kelompok umur 10-19 tahun sekitar 22% dari total populasi di indonesia14.

Banyak yang berpikir bahwa remaja mempunyai fleksibilitas yang tinggi sehingga mempunyai sedikit ma-salah kesehatan. Sedangkan yang terjadi, banyak remaja lebih sering melakukan aktivitas yang memakan banyak waktu dengan duduk, seperti halnya dalam mengikuti pelajaran di sekolah yang memakan waktu berjam-jam dan ditambah dengan penambahan jam pelajaran. Bila diperhatikan hal ini tentu saja akan menimbulkan dampat yang kurang baik bagi tubuh.

Mobilitas yang kurang dalam waktu lama akan berdampak pada pemendekan otot yang akhirnya ber-pengaruh pada fleksibilitas. Kondisi pemendekan otot akan mempengaruhi keseimbangan kinerja yang berdam-pak terhadap gangguan pada aktivitas seseorang13. faktor yang mempengaruhi fleksibilitas adalah kondisi kekuatan dan elastisitas otot, ligamentum, capsula sendi dan faktor usia dimana fleksibilitas maksimum tercapai pada umur 15-16 tahun8.

Fleksibilitas tubuh adalah kemampuan tubuh dalam melakukan penguluran seluas-luasnya terutama otot-otot dan ligamen di sekitar persendian5. Fleksibilitas sangat penting bagi manusia tak terkecuali bagi seorang remaja dimana peningkatan fleksibilitas terjadi pada puncaknya8. Otot Hamstring merupakan contoh kelompok otot yang memiliki kecenderungan untuk memendek16.

Pemendekan otot hamstring akan mempengaruhi

Majalah Ilmiah Fisioterapi Indonesia, Volume 5, Nomor 1 ● 36

keseimbangan kerja otot sehingga menyebabkan gangguan-gangguan tubuh, seperti perubahan sikap pos-tur tubuh, penurunan kekuatan dan keseimbangan otot sehingga kontraksi menjadi tidak sinergis15. Penurunan fleksibilitas otot Hamstring di masyarakat terjadi tanpa disadari yang menyebabkan rasa nyeri samar pada paha dan hip2.

Melihat dari akibat yang ditimbulkan pemen-dekan otot Hamstring, diperlukan intervensi yang sesuai agar pemanjangan otot Hamstring dapat tercapai dengan baik dan mampu secara bertahap mengembalikann fleksibilitas. stretching adalah latihan yang bersifat Men-gulur dan meregangkan jaringan yang mengalami tight-ness9.

Metode stretching memiliki banyak jenis latihan dengan yang tujuannya sama namun pengaplikasiannya berbeda-beda, beberapa diantaranya adalah Contract Relax Stretching Direct dan Muscle Energy Technique (MET). Dua metode merupakan metode latihan yang pen-gaplikasiannya dibutuhkan tenaga ahli dalam menemani proses latihan.

Muscle Energy Technique (MET) baik dalam meningkatkan fleksibilitas otot. Golgi tendon organ (GTO) yang terinhibisi akan memberikan efek pemanjangan otot yang baru4. Intervensi ini merelaksasikan otot dengan tekanan ringan dan teregang kuat serta merelaksasikan otot tanpa adanya rasa nyeri dan jaringan yang dirusak3.

Contract Relax Stretching Direct memfokuskan kontraksi pada otot yang memiliki keterbatasan. Bagian otot agonis diberikan penegangan secara isotonic yaitu pemberian tahanan yang kemudian diikuti terjadinya pen-ingkatan lingkup gerak sendi dan relaksasi. Contract Re-lax Stretching Direct dalam pengaplikasiannya berprinsip bahwa ketika otot berkontraksi maksimal akan mengalami relaksasi maksimal yang difasilitasi oleh reverse innerva-tion13. Keunggulan dari intervensi ini adalah dalam menghasilkan pemanjangan otot yang maksimal karena adanya dan isometrik pada otot Hamstring10.

Melihat latar belakang tersebut, maka pentingnya untuk menjaga fleksibilitas otot tetap baik pada masa remaja. Selain itu belum banyak penelitian yang mem-bandingkan kedua metode yang sama-sama unggul da-lam meningkatkan fleksibilitas otot Hamstring. Bedasar-kan hal tersebut dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk dapat membuktikan bahwa terdapat perbedaan efektivitas dari kedua latihan tersebut. BAHAN DAN METODE Rancangan Penelitian

Metode pada penelitian ini berjenis Eksperi-mental pretest-postest two group dengan tujuan untuk membandingkan efektivitas intervensi contract relax stretching direct dengan muscle energy technique yang diukur dengan Sit and Reach Test. Sampel berjumlah 22 orang yang terdiri dari kelompok 1 dengan intervensi Con-tract Relax Stretching Direct dan kelompok 2 dengan in-tervensi Muscle Energy Technique. Tempat dan waktu penelitian adalah di SMA Negeri 1 Gianyar pada perten-gahan April 2017. Populasi dan Sampel

Populasi target adalah seluruh pelajar Sekolah Menengah Atas di Gianyar. Populasi terjangkaunya ada-

lah pelajar di SMA Negeri 1 Gianyar.Rentang umur sam-pel pada penelitian adalah 15 hingga 16 tahun. Rumus Pocock digunakan sebagai rumus dalam perhitungan jumlah sampel pada penelitian ini12. Jumlah sampel penelitian adalah 11 orang pada masing-masing ke-lompok sehingga totalnya berjumlah 22 orang. Sampel adalah setiap populasi yang memiliki kriteria inklusi yaitu: (a) Sampel yang mengalami penurunan fleksibilitas Ham-string (b) Usia dalam rentang 15-17 tahun (c) Bersedia mengkuti penelitian secara koperatif dan sukarela. Instrumen Penelitian

Penelitian ini meggunakan alat ukur Sit and Reach Box yang berbentuk kubus dengan tinggi seukuran kaki orang dewasa dan memiliki penggaris diatasnya.

Data pada penelitian ini akan dianalisis dengan beberapa pengujian seperti, uji normalitas dan homogeni-tas data dengan Saphiro Wilk Test dan Levene’s Test, selanjutnya uji hipotesis dan komparasi dengan Paired Sampel t-Test dan Independent Sampel t-Test. HASIL Tabel 1. Data berdasarkan Jenis Kelamin

Keterangan : Kel : Kelompok Kel. 1 : Contract Relax Stretching Direct Kel. 2 : Muscle Energy Technique

Tabel 1 memperlihatkan frekwensi sampel laki-laki dan perempuan pada kelompok masing-masing ke-lompok adalah sama yaitu laki-laki berjumlah 5 orang (45,5%) dan perempuan berjumlah 6 orang (54,5%). Beri-kutnya pemaparan berdasarkan rerata usia sampel penelitian. Tabel 2. Data berdasarkan Usia Keterangan : SB : Simpang Baku

Tabel 2 memperlihatkan pada kelompok Contract

Relax Strething Direct memiliki rerata usia 15,9±0,3 ta-hun, sedangan pada Muscle Energy Technique memiliki rerata usia 15,6±0,5 tahun, selanjutnya dilakukan Uji Nor-malitas dan Homogenitas dari data sampel. Tabel 3. Hasil Uji Normalitas Data

Jenis Kelamin Frekwensi Presentase

Kel. 1 Kel. 2 Kel. 1 Kel. 2

Lelaki 5 5 45,5 45,5

Perempuan 6 6 54,5 54,5

Total 11 11 100 100

Karakteristik Kel.1 Kel.2

Rerata SB Rerata SB

Usia 15,9 0,3 15,6 0,5

Kelompok

Data

Shapiro Wilk Test

Uji Homogenitas Ke. 1 Kel. 2

p p

Pre 0,475 0,446 0,357

Post 0,517 0,485 0,539

Selisih 0,256 0,704 0,473

Majalah Ilmiah Fisioterapi Indonesia, Volume 5, Nomor 1 ● 37

Tabel 3 memperlihatkan hasil dari uji normalitas dan homogenitas pada masing-masing kelompok dimana didapatkan hasil p lebih besar dari 0,05 yang menyimpul-kan data normal dan homogen, selanjutnya uji hipotesis dan komparasi menggunakan uji statistik parametrik. Tabel 4. Hasil Uji Beda Peningkatan Fleksibilitas Ham-string Sebelum dan Sesudah Intervensi

Tabel 4 memperlihatkan Beda Rerata dari masing-masing kelompok dimana didapatkan nilai p = 0,000 (p lebih kecil dari 0,05) yang berarti terjadi peningkatan fleksibilitas yang bermakna pada perlakuan Contract Re-lax Stretching Direct dengan perlakuan Muscle Energy Technique. Tabel 5. Hasil Uji Beda Selisih Peningkatan Fleksibili-tas Hamstring Sebelum dan Sesudah Intervensi

Tabel 5 menunjukan selisih dari peningkatan fleksibilitas Hamstring pada kedua kelompok dimana didapatkan hasil nilai p = 0,313 (p lebih besar dari 0,05). Hasil ini menunjukan bahwa tidak terdapat perbedaan peningkatkan fleksibilitas Hamstring yang bermakna anta-ra kelompok Contract Relax Stretching Direct dan Muscle Energy Technique. Selanjutnya hasil peningkatan fleksi-bilitas Hamstring pada masing masing kelompok dalam bentuk persentase.

Tabel 6. Persentase Peningkatan Fleksibilitas Setelah perlakuan

Pada Tabel 6 menunjukan bahwa presentase dari rerata peningkatan fleksibilitas antara kedua kelompok memiliki selisih yang kecil yaitu sebesar 4,4% dimana presentase peningkatan kelompok 1 sebesar 56,25% dan kelompok 2 sebesar 51,85.

Gambar 1. Grafik Line Peningkatan Fleksibilitas Pre dan Post

Pada Gambar 1 menunjukan peningkatan fleksi-

bilitas antara kedua kelompok sama baik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa intervensi Contract Relax Stretching Direct sama baik dengan intervensi Muscle Energy Tech-nique dalam meningkatkan fleksibilitas otot Hamstring.

DISKUSI DAN PEMBAHASAN

Karakterisik berdasarkan jenis kelamin pada penelitian ini diperoleh hasil jumlah laki-laki dan perempu-an pada kedua kelompok adalah 5 laki-laki dan perempu-an 6 perempuan. Untuk karakteristik berdasarkan usia diperoleh hasil pada kelompok 1 memiliki rerata usia 15,9 tahun dan pada kelompok 2 memiliki rerata usia 15,6 ta-hun. Hal ini menunjukan karakteristik berdasarkan jenis kelamin dan rerata usia antara kedua kelompok relatif sama, sehingga karekteristik tersebut tidak memiliki ke-cendrungan tertentu yang dapat mempengaruhi aspek penilaian penelitian. Pada kelompok 1 yang diuji dengan Paired Sample t-Test diperoleh hasil p sebesar 0,000 (p<0,005) yang be-rarti terdapat peningkatan fleksibilitas yang signifikan sebelum dan sesudah diberikan intervensi Contract Relax Stretching Direct.

Hal ini sesuai dengan mekanisme yang dihasilkan oleh intervensi ini, dimana golgi tendon organ yang terin-hibisi akan mengakibatkan tibulnya reaksi relaksasi se-luruh bagian otot secara tiba-tiba yang disebut dengan inverse myotatic reflex atau autogenic inhibitition. Reflek ini bertujuan sebagai bentuk proteksi tubuh dalam mencegah terjadinya kerobekan pada otot atau lepasnya suatu tedon dari perlengketannya6. Proses relaksasi dii-kuti pula dengan ekspirasi maksimal yang akan memu-dahkan mencapai pelemasan otot dan pelepasan adhesi yang maksimal pada jaringan ikat9.

Uji pada kelompok kelompok 2 dengan Paired Sample t-Test diperoleh hasil p sebesar 0,000 (p<0,005) yang menunjukan terdapat peningkatan fleksibilitas yang signifikan antara sebelum dan sesudah diberikan inter-vensi Muscle Energy Technique.

Efek dari latihan Muscle Energy Technique ada-lah merileksasikan otot sehingga meningkatkan metabo-lisme yang akan memanjangkan dan mengurangi ketegangan otot. Efek rileksasi ini diperoleh dengan pros-es reduksi kontraksi jaringan kontrakril otot sehingga ketegangan otot akan berkurang, meningkatkan kekuatan dan menyeimbangkan kontraksi antara otot agonis dan

Beda Rerata±SB p

Kelompok 1 12,6±2,907 0,000

Kelompok 2 11,2±3,452 0,000

Kel. n Rerata±SB p

Selisih

Kel. 1 11 12,6±2,907

0,313

Kel. 2 11 11,2±3,452

Kel Analisis data

Pre Post Selisih Persen

Kel. 1 22,4 35,1 12,6 56,25%

Kel. 2 21,6 32,8 11,2 51,85%

Selisih 4,40%

Majalah Ilmiah Fisioterapi Indonesia, Volume 5, Nomor 1 ● 38

antagonis yang mengalami ketidak seimbangan dimana satu sisi lemah dan sisi lainnya memendek7.

Pada uji beda selisih dengan Independent Sam-ple t-Test didapatkan hasil p=0,313 yang berarti tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara kedua ke-lompok dalam meningkatkan fleksibilitas Hamstring.

Contract Relax Stretching Direct dan Muscle En-ergy Technique secara teori menghasilkan efek yang baik dalam meningkatkan fleksibilitas otot, kedua latihan ini sama-sama menginhibisi golgi tendon organ dan men-imbulkan reaksi reverse innvervation, reaksi ini berdam-pak dalam memberikan pemanjangan otot yang baru4. Pada pada intervensi Contract Relax Stretching Direct diawali dengan gerakan isometrik dan diakhiri dengan pemberian pasif stretching, kelebihan intervensi ini yaitu meningkatkan luas gerak sendi akibat dari pasif stretch-ing1.Sedangkan pada Muscle Energy Technique diawali dengan gerakan isometric dan diakhiri kontraksi dengan pemberian tahanan sebesar 30%, kelebihan dari latihan ini secara tidak langsung juga menstretch otot antago-nisnya sesuai mekanisme Reciprocal Inhibition7. SIMPULAN

Dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat perbe-daan dalam intervensi contract relax stretching direct dengan muscle energy technique dalam mengingkatkan fleksibilitas otot Hamstring pada siswa dan siswi di SMA Negeri 1 Gianyar. SARAN

Metode Contract Relax Stretching Direct dan Muscle Energy Technique dapat dijadikan pilihan inter-vensi yang baik dalam menangani kasus-kasus kelema-han dan penurunan fleksibilitas dari otot Hamstring.

DAFTAR PUSTAKA 1. Adler, S. S., Beckers, D., Buck, M. 2008. PNF In

Practice. Germany: Springer Medizin Verlag Heldel-berg.

2. Bing, Y., Queen, R. M., Abbey, A. N., Liu, Y., Moor-man, C. T., Garrett, W. E. 2008. Hamstring Muscle Kinematics and Activation During Overground Sprint-ing. Journal Biomechanics. Vol: 41 (15).

3. Chaitow L, Liebenson C. 2001. Muscle Energy Tech-niques. Edisi ke-2. Donald R Murphy. London.

4. Chaitow, Leon. 2006. Muscle Energy Techniques Ad-vance Soft Tissue Techniques. Edisi ke - 3. Philadel-phia: Churchill Livingstone.

5. Faridah, E., Sajoto. 2012; Perbedaan Pengaruh Se-nam Dan Fleksibilitas Terhadap Penurunan Kadar Lemak Di Pinggang; Gladi Jurnal Ilmu Keolahragaan, vol. 6, no. 1, hal. 509-510.

6. Ganong. William. 1995. Review of Medical Physiolo-gy. Seventeenth edition. San Fransisco, US : Prentice-Hall International Inc.

7. Grubb, 2010. Journal of Osteopathic Medicine - The effect of muscle energy technique on Hamstring ex-tensibility: the mechanism of altered flexibility. Sci-enceDirect.com.

8. Halim, N.I. 2004. Tes Dan Pengukuran Kesegaran Jasmani. Makassar: Penerbit Universitas Negeri Ma-kassar.

9. Irfan, M. dan Natalia. 2008. Beda Pengaruh Auto

Stretching Dengan Contract Relax And Stretching Terhadap Penambahan Panjang Otot Hamstring. [skripsi] Jakarta: Universitas Esa Unggul.

10. Juliantine, T. 2004. Pengaruh Metode Latihan Pere-gangan Dinamis, Statis, Pasif dan Kontraksi Relaksasi (PNF) Terhadap Fleksibilias Batang Tubuh dan Panggul Pada Siswa Sekolah Dasar [Skripsi].

11. Lukman, Abdul Jabbar. 2004. Remaja Hari Ini Adalah Pemimpin Masa Depan. Jakarta: BKKBN

12.Pocock, S.J. (2008). Clinical Trials A Practical Ap-proach. England: John Wiley and Sons.

13.Risal. 2010. Beda Pengaruh Contract Relax Stretching dengan Strain-Counterstrain Technique Terhadap Penurunan Nyeri pada Penderita Piriformis Syn-drome di RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo. Jurnal Fisioterapi Makassar. Makassar : Universitas Ha-sanudin.

14.Soetjiningsih. 2007. Tumbuh 1. kembang remaja dan permasalahannya. Jakarta: CV Sagung Seto.

15.Stephens, J., Davidson, J., Derosa, J., Kriz, M., Saltz-man, N. 2006. Lengthening the Hamstring Muscles Without Stretching Using “Awareness Through Move-ment”. PHYS THER. Vol: 86 ; 1641-1650.

16.Turner D, Gossman R.M., Nicholson C.G and Lemons J (1988). Comparison of cyclic and sustained pas-sive stretching using a mechanical device to increase resting length of Hamstring muscles. Phys Ther 69(3): 314-320.

Majalah Ilmiah Fisioterapi Indonesia, Volume 5, Nomor 1 ● 39

PEMBERIAN MASSAGE FRICTIONDAN ISCHEMIC COMPRESSION TECHNIQUE LEBIH EFEKTIF DIBANDING-KAN PEMBERIAN MYOFASCIAL RELEASE TECHNIQUE UNTUK MENURUNKAN NYERI TENSION HEADACHE

PADA STAFF PENGAJAR DI SMKN 5 DENPASAR

1)I Gede Wisnu Pramadita, 2)Ari Wibawa, 3)I Dewa Ayu Inten Dwi P, 4)Susy Purnawati

1,2Program Studi Fisioterapi, Fakultas Kedoteran Universitas Udayana 3,4Bagian Ilmu Faal, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

[email protected]

ABSTRAK Kombinasi Massage Friction dengan Ischemic Compression Technique dan Myofascial Release Technique adalah Intervensi yang digunakan dan dibandingkan untuk mengurangi nyeri Tension Headache pada staff pengajar di SMKN 5 Denpasar. Penelitian ini adalah penelitian Experimental dengan rancangan Randomized Purposive Sam-pling. Sampel berjumlah 18orang yang dibagi menjadi Kelompok Perlakuan 1 diberikan Intervensi Massage Friction dan Ischemic Compression Technique dan Kelompok Perlakukan 2 diberikan Intervensi Myofascial Release Tech-nique. Rerata selisih penurunan nyeri kepala Tension Headachepada kelompok perlakuan 1 sebesar 1,00 dan pada kelompok perlakuan 2 sebesar 0,46 dengan (p<0,05). Disimpulkan bahwa Intervensi Massage Friction dan Ischemic Compression Technique lebih efektif daripada Myofascial Release Technique dalam menurunkan nyeri kepala Ten-sion Headache pada staff Pengajar di SMKN 5 Denpasar. Kata Kunci : Tension Headache, Massage Friction, Ischemic Compression Technique, Myofascial Release Tech-

nique

GIVING OF MASSAGE FRICTION AND ISCHEMIC COMPRESSIONTECHNIQUE ARE MORE EFFECTIVE THANMYOFASCIAL RELEASE TECHNIQUE FOR REDUCE TENSION HEADACE PAIN OF TEACHER STAFF

IN SMK NEGERI 5 DENPASAR

ABSTRACT The combination of Massage Friction with Ischemic Compression Technique and Myofascial Release Technique is the intervention used and compared to reduce the pain of Tension Headache on the teaching staff at SMKN 5 Denpasar.This research is experimental research with Randomized Purposive Sampling design. The sample consists of 18 people divided into 2 groups. Treatment Group 1 was given Intervention Massage Friction and Ischemic Com-pression Technique and Treatment Group 2 was given Myofascial Release Technique Intervention. The mean differ-ence of Tension Headache headache decrease in treatment group 1 was 1.00 and in treatment group 2 was 0.46 with (p <0,05). It was concluded that the Massage Friction and Ischemic Compression Technique Intervention was more effective than Myofascial Release Technique in reducing Tension Headache headache on the teaching staff at SMKN 5 Denpasar. Keywords : Tension Headache, Massage Friction, Ischemic Compression Technique, Myofascial Release Technique

PENDAHULUAN Perkembangan zaman menyebabkan kebutuhan

hidup semakin meningkat, tuntutan pekerjaan serta beban kerja pun meningkat, sehingga dapat menyebabkan gangguan kesehatan salah satunya adalah nyeri kepala.Tentu nyeri kepala yang dialami jika tidak segera ditangani maka hal ini dapat mengganggu aktivitas sehari-hari.serta dalam melakukan tugas pekerjaan.

Ada beberapa jenis nyeri kepala, migraine, nyeri kepala klaster, nyerikepala karena adanya gangguan pen-yakit lain seperti sinusitis, serta nyeri kepala karena ketegangan/Tension Headache (Waldie, 2015), Tension Headache merupakan nyeri kepala yang umum dirasa-kan. Tension Headache adalah nyari kepala yang dirasa-kan pada kedua sisi terasa menekan akibat ketegangan otot-otot di sekitar kepala.

Untuk mengatasi nyeri kepala Tension Headache, maka diberikan intervensi kombinasi Massage Friction dengan Ischemic Compression Technique dan intervensi Myofascial Release Technique. Ada berbagai metode dalam mengatasi nyeri kepala Tension Headache, namun

kali ini peneliti memfokuskan menggunakan intervensi kombinasi Massage Friction dengan Ischemic Compres-sion Technique dan intervensi Myofascial Release Tech-nique sebagai intervensi yang diharapkan dapat mengu-rangi nyeri kepala Tension Headache pada staff pengajar di SMKN 5 Denpasar.

BAHAN DAN METODE

Metode penelitian adalah Penelitian Eksperi-mental, Rancangan Penelitian menggunakan Random-ized Pre Test and Post Test Group Design. Tahap per-tama penelitian adalah Penentuan populasi target kemudian populasi terjangkau. Sedangkan Random Alo-kasi untuk membagi sampel menjadi 2 kelompok Perla-kuan menggunakan Teknik Purposive Sampling. Din-lanjutkan dengan pengukuran tingkat Nyeri sebelum inter-vensi dan pengukuran Tingkat Nyeri sesudah intervensi selama 2 minggu. Nyeri kepala Tension Headache akan diukur menggunakan Skala VAS dengan nilai skala 1-10.

Majalah Ilmiah Fisioterapi Indonesia, Volume 5, Nomor 1 ● 40

Tabel 1. Karakteristik Sampel Penelitian pada Kelompok Perlakuan 1 dan Kelompok Perlakuan 2

Pada Kelompok Perlakukan 1 diberikan intervensi kombinasi Massage Friciton dan Ischemic Compression Technique, dimana Intervensi Ischemic Compression Technique dilakukan dengan cara mempalpasi atau mem-berikan penekanan pada area trigger point pada otot, di-mana penekanan dilakukan selama 30 detik, kemudian dilanjutkan dengan Intervensi Massage Friction dengan memberikan sentuhan dan gerusan pada area trigger point pada otot selama 1-3 menit, namun pasien diberikan baby oil terlebih dulu pada area otot sebelum intervensi dilakukan.

Pada kelompok perlakuan 2 diberikan intervensi myofascial release technique dengan memberikan penekanan pada area trigger point pada otot dan pada otot upper trapesiuz seperti teknik peregangan selama 1-3 menit, namun dalam intervensi myofascial release tech-nique tidak menggunakan baby oli.

Data dianalisis dengan Uji Statistik Deskriptif. Uji normalitas data dengan menggunakan Saphiro-Wilk test. Uji Homogenitas data dengan Levene’s Test.

HASIL Karakteristik sampel penelitian yang meliputi usia dan jenis kelamin pada staff pengajar di SMKN 5 Denpasar dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Menunjukkan dari 18 responden, pada masing-masing kelompok didapat rentang umur 30-35 tahun sebanyak 4 responden (44,4%), dan rentang umur 36-40 sebanyak 5 responden (55,6%).

Tabel 2. Karakteristik Sampel Penelitian pada Kelompok

Perlakuan 1 dan Kelompok Perlakuan 2 Tabel 2. Menunjukan dari 18 responden, pada masing-masing kelompok didapat persentase berjenis kelamin laki-laki adalah (33,3%), dan persentase berjenis kelamin perempuan adalah (66,7%).

Saphiro-Wilk Test digunakan untuk uji normalitas dan Levene’s Test digunakan untuk uji homogenitas pada 2 kelompok pada Tabel 3.

Tabel 3. Uji Normalitas dan Homogenitas

Tabel 3. Berdasarkan hasil uji homogenitas, pada kelompok perlakuan 1 sebelum intervensi didapatkan nilai p=0,136 dan sesudah intervensi didapatkan nilai p=0,477, sedangkan pada kelompok perlakuan 2 sebelum interven-si didapatkan nilai p=0,505 dan sesudah perlakuan nilai p=0,09.

Hasil tersebut menunjukan bahwa data berdistri-busi normal. Berdasarkan uji homogenitas didapatkan didapatkan nilai p = 0,344 untuk skor sebelum intervensi dan untuk skor sesudah intervensi nilai p = 0,068 menun-jukan bahwa data tersebut homogen. Untuk mengetahui apakah terjadi penurunan tingkat nyeri Tension Headache sebelu, dan sesudah Intervensi pada kedua kelompok perlakuan, maka dilakukan Uji hipotesis menggunakan Paired Sample T-Test pada Tabel 4.

Tabel 4.Penurunan Nyeri Kepala Tension Headache

pada Kelompok Perlakuan 1 dan Kelompok Perlakuan 2

Tabel 4.menunjukkan bahwa pada kedua ke-lompok mengalami penurunan nilai rata-rata tingkat nyeri. berdasarkan nilai p value juga menunjukkan nilai < 0,05, hal ini berarti massage therapy friction dan Ischemic Compression Technique (ICT) terbukti dapat mengurangi nyeri kepala tension headache pada wanita di SMK Negeri 5 Denpasar. Untuk menguji perbandingan selisih pengurangan nyeri kepala Tension Headache pada 2 ke-lompok perlakuan, dilakukan uji Independent T-Test pada Tabel 5. Tabel 5. Perbandingan Penurunan Nyeri Kepala Tension Headache pada Kelompok Perlakuan 1 dan Kelompok Perlakuan 2

Tabel 5.menunjukkan bahwa Persentase

Penurunan Nyeri pada Kelompok I sebesar 77,11% dan Persentase Penurunan Nyeri pada Kelompok II sebesar

Umur

Kelompok Perlakuan 1

Kelompok Perlakuan 2

F % f %

30-35 4 44,4 4 44,4

36-40 5 55,6 5 55,6

Total 9 100 9 100

Jenis Ke-lamin

Kelompok Perlakuan 1

Kelompok Perlakuan 2

F % f %

Laki-laki 3 33,3 3 33,3

Perempaun 6 66,7 6 66,7

Total 9 100 9 100

Uji Normalitas dengan shapiro Wilk Test Uji Ho-

mogenitas Kelompok Perlakuan 1 Kelompok Perlakuan 2

Kelompok Rerata

Rerata Simpang

baku p Rerata

Simpang baku

p (Uji

Levene)

Pre 4,47 1,25 0,136 4,378 0,91 0,505 0,344

Post 4,5 0,92 0,477 3,22 1,26 0,09 0,068

Kelompok Rerata

Sebelum Simpang

Baku Rerata

Sesudah Simpang

Baku t p

Perlakuan 1

4,37 0,017 3,37 1,51 4,523 0,002

Perlakuan 2

4,47 1,25 4,011 1,11 6,261 0,000

Rerata

Kelompok I

Rerata Kelompok

II t p

Pre 4,37 4,47 4,523 0,002

Post 3,37 4,01 6,621 0

Majalah Ilmiah Fisioterapi Indonesia, Volume 5, Nomor 1 ● 41

89,7%. Sedangkan, nilai p < 0,05 yang berarti bahwa hipotesis diterima atau massage therapy friction dan is-chemic compression technique lebih efektif daripada myo-facial release therapy.

DISKUSI Karakteristik Sampel Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian ini subjek penelitian berjumlah 18 orang yang merupakan staff pengajar di SMKN 5 Denpasar. Usia Staff Pengajar dalam penelitian ini memiliki rentan usia antara 30-40 tahun dan Laki-laki berjumlah 9 orang dan Perempuan berjumlah 6 orang. Dimana pada rentan usia 30-40 adalah usia yang aktif dalam berakitivitas sehingga di usia tsb rentan mengalami kelelahan yang berakibat spasme pada otot yang salah satunya dampaknya menyebabkan nyeri Tension Head-ache. Kemudian Jenis Kelamin, lebih banyak perempuan yang mengalami Tension Headache karena berkaitan dengan aktivitas hormonal pada Perempuan (Nikita, 2010) Massage Friction dan Ischemic Compression Tech-nique dapat Menurunkan Nyeri Tension Headache

Hasil Uji Paired Sample T-Test Kelompok Perla-kuan 1 menunjukkan rerata penurunan nyeri Tension Headache sebelum intervensi adalah 4,37 dan rerata sesudah intervensi pada kelompok perlakuan 1 adalah 3,37, serta diperoleh juga nilai p=0,02 menunjukan perbedaan bermakna terhadap rerata penurunan nyeri kepala Tension Headache sebelum dan sesudah inter-vensi.

Massage Friction adalahintervensi berupa tekanan dan gerusan pada area trigger point pada otot sehingga dapat memberikan efek relaksasi pada otot, sehingga dapat mengurangi nyeri, sedangkan ICT adalah Teknik Penekanan pada area trigger Point pada otot, se-hingga dengan penekanan tersebut menyebabkan zat-zat sisa metabolisme yang menumpuk pada trigger point menjadi membias dan direabsorbsi kembali dalam pem-buluh darah.

Intervensi Myofascial Release Technique dapat Menurunkan Nyeri Tension Headache

Hasil Uji Paired Sample T-Test, menunjukkan rerata sebelum intervensi pada kelompok perlakuan 2 adalah 4,47 dan rerata sesudah intervensi pada kelompok perlakuan 2 adalah 4,011. Sedangkan nilai p=0,000 yang menunjukan ada perbedaan bermakna pada nilai rerata sebelum dan sesudah intervensi Myofascial Release Technique.

Myofascial Release Technique adalah kombinasi stretching dengan tekanan manual pada bagian otot yang ditentukan.Terapi ini lebih difokuskan pada disfungsi jarin-gan ikat.Myofascial Release Technique memiliki efek langsung pada kolagen, elastin dan sistem siskemik se-hingga metode ini dapat digunakan untuk menurunkan nyeri sindroma Myofascial Otot.(Warenski, 2011). Massage Friction dan Ischemic Compression Tech-nique lebih efektif dalam Menurunkan Nyeri Tension Headache dibandingkan dengan Myofascial Release Technique

Berdasarkan hasil Uji Independent T-Test, pada

kelompok perlakuan 1 didapatkan rerata selisih penurunan nyeri Tension Headache sebelum perlakuan sebesar 4,37 dan sesudah perlakuan sebesar 3,37 dengan nilai p=0,002, sedangkan pada kelompok Perla-kuan 2 didapatkan rerata selisih penurunan nyeri Tension Headache sebelum perlakuan sebesar 4,47 dan sesudah perlakuan sebesar 4,01 dengan nilai p=0,000 yang menunjukan perbedaan bermakna terhadap rerata selisih penurunan nyeri Tension Headache pada 2 kelompok perlakuan.

SIMPULAN Berdasarkan kajian diatas, disimpulkan bahwa Massage Friction dan Ischemic Compression Technique lebih efektif dibandingkan Myofascial Release Technique dalam menurunkan Nyeri Tension Headache pada Staff Pengajar di SMKN 5 DENPASAR

DAFTAR PUSTAKA 1. Anggraeni, N.C. 2013. Penerapan Myofasial Release

Technique sama baik dengan Ischemic Compression Technique dalam menurunkan nyeri pada Sindroma Miofasial otot Upper Trapezius [Skripsi]. Universitas Udayana.

2. Anurogo, Dito. 2014. Tension Type Headache. Surya University, Vol. 41, No. 3.

3. Akbar, Muhammad. 2010. Nyeri Kepala. Universitas Hassanudin. Makasar.

4. Baehr, M., Frotscher M. 2010. Diagnosis Topik Neu-rologi DUUS, Anatomi, Fisiologi, Tanda, Gejala. Ed. 4. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

5. Cameron, M. 2010. Physical Agents in Rehabilitation. W.B. Saunders Company. Philadephia, London, To-ronto, Montreal, Sydney, Tokyo.

6. Courcy, P. 2011. Essential Medical Massage and Wellness.Medical Sport Pediatric Wellness.

7. Flor, H., Dennis, C., Turk, D. 2011. Chronic Pain: An Integrated Biobehavioral Approach. (cited 2016 Jun. 20)

8. Fernandes, D.P.C and Miangolarra, J.C. 2005.Musculoskeletal disorders in mechanical neck pain: myofascial trigger point versus cervical joint dys-function: A clinical study. Journal of Musculoskeletal Pain, 13(1),pp.27-35.

9. Flor, H., Dennis, C., Turk, D.2011. Chronic pain: An Integrated Biobehavioral Approach. (cites 2011 Oct. 20).

10. Graha, dan Priyonoadi.(2012). Terapi Masase Frirage.Yogyakarta : Fakultas Ilmu Keolahragaan Uni-versitas Negeri Yogyakarta.

11. Ghanbari.A, dan Jaberi. 2012. Tension TypeHead-ache Treated by Positional Release Therapy. Manual Therapy 17(2012) 456-468.

12. Gerwin, R.D. 2010.Muscle Pain: Diagnosis and Treat-ment Berlin, Heidelberg: Springer Berlin Heidelberg. [Accessed March 31, 2014].

13. Guyton, A.C. and Hall, J.E. 2006.Textbook of Medical Physiology. 11thed, pp. 73-83. Philadephia: Elsiver Inc.

14. G. Sarifin. 2010. Kontraksi Otot dan Kelelahan. Jurnal ILARA, Vol. 1, No. 2.

15. Gemmell, H. Miller, P. and Nordstrom, H.2008. Imme-diate effect of ischemic compression and trigger point

Majalah Ilmiah Fisioterapi Indonesia, Volume 5, Nomor 1 ● 42

pressure release on neck pain and upper trapezius trigger points: A randomized controlled trial, Clinical Chiropractic, 11, pp.30-36.

16. Kuntono, H. P. 2011. Nyeri Secara Umum dan Osteo Arthritis Lutut Dari Aspek Fisioterapi.Muhammadiyah University Press. Surakarta.

17. Lemburg, Christian. 2010. Massage Trigger Therapy. Pressure Pointer. USA. Loder. Elizabeth. 2011. Manual Therapy Versus Usu-al GP Care for Chronic Tension-type Headache. Inter-national Headache Society, 31(2) 131-132.

18. Moore, K., Agur, A. 2002. Anatomi Klinis Dasar. (Laksman, H. Pentj). Penerbit Hipokrates. Jakarta.

19. Maruli, W.O.2013. Perbandingan Myofasial Release Technique dengan Contract Relax Stretching ter-hadap penurunan nyeri pada sindroma Myofasial otot Upper Trapezius. Universitas Udayana.

20. Nikita, A. V. 2010 (a).Physical Asses-ment.Professional Health System Inc. Canada.

21. Nikita, A. V. 2010 (b).Physical Medicine.Professional Health System Inc. Canada.

22. Nambi S, Gopal. 2016. Difference in effect between ischemic compression and muscle energy technique on upper trepezius myofascial trigger points: Compar-ative study.Department of Physiotherapy, C.U. Shah Physiotherapy College,Vol. 2.

23. Pragewi, D. 2011. Efek penambahan Cryotherapy pada Intervensi Ischemic Compression Technique dan Transverse Friction terhadap pengurangan nyeri pada kasus Sindroma Nyeri Miofasial otot Upper Tra-pezius. Universitas Esa Unggul.

24. Waldie, E Karen. 2015. Tension-Type Headache:A Life Course Review. Journal of Headache and Paint Management, Vol. 1, No. 12.

25. Warenski, J.2011. The Effectiveness of Myofasial Re-lease Technique in The Treatment of Myofasial Pain : A Literature Review. Journal of Musculoskeletal Pain, 23, pp. 27-35.

26. Yu.S, and Han. Xu. 2014. Update of Chronic Tension-Type Headache. Curr Pain Headache. Reo 19 : 469

SEKRETARIAT

Gedung

Program Studi Fisioterapi

Lantai 1

Fakultas Kedokteran

Universitas Udayana

Jl. P.B. Sudirman, 80232, Denpasar

Telp. (0361) 222510 ext. 425

Fax. (0361) 246656

Email : [email protected]

[email protected]

M I F I

Jurnal Ilmiah Fisioterapi Indonesia

Volume 5, Number 2, Mei 2017

SUSUNAN ORGANISASI PENGELOLA

Ketua Dewan Redaksi

Ari Wibawa, SSt.Ft, M.Fis

Wakil Ketua Redaksi

Made Niko Winaya, SSt.Ft, SKM, M.Fis

Penyunting Pelaksana

Dr. Ni Wayan Tianing, S.Si, M.Kes

Prof. Dr. dr. I Putu Gede Adiatmika, M.Kes, Sp.Erg

Dr. I Putu Adiarta Griadhi, M.Fis

Dr. dr. I Made Muliarta, S.Ked, M.Kes

Dr. Agung Wiwiek Inrayani, M.Kes

Luh Made Indah H.A., S.Psi

Mitra Bestari

Prof. Dr. dr. I Nyoman Adiputra, MOH, PFK, Sp.Erg (Universitas Udayana)

Prof. Dr. dr. Sri Muliawan, Sp.BS (K) (Universitas Udayana)

Syahmirza Indra Lesmana, SSt.Ft, M.OR (Universitas Esa Unggul)

Nurbasuki, SSt.Ft, M.Physio (Poltekes Solo)

Sudaryanto, SSt.Ft, M.Kes (Poltekes Makassar)

Harijun Kapabella Siregar, SSt.Ft, M.Fis (Poltekes Medan)

Petugas Administrasi

I.B. Ketut Gede Dharma Putra, ST

Ni Made Suarpensih Surata, SE

Ni Kadek Mariani, SE

Denpasar, Bali

ISSN : 2303-1921

designed by :

Angga Puspa Negara