Jurnal Ilmiah - Universitas Udayana

94
WIDYA Jurnal Ilmiah SOSIOPOLITIKA Vol. 7. No. 1, April 2016 ISSN : 2087-1767 DITERBITKAN OLEH: FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS UDAYANA Jurnal Ilmiah Widya Sosiopolitika Volume 7 Nomor 1 April 2016 ISSN 2087-1767 Implementasi Kebijakan Pengarusutamaan Gender (Pug) Dalam Penempatan Perempuan Pada Jabatan Birokrasi Pemerintah Provinsi Bali Oleh : Tedi Erviantono Potensi Peran Media Massa Dalam Kampanye Pemilu Nasional Indonesia dan Efeknya Terhadap Pilihan Oleh: Putu Nomy Yashinta Partisipasi Petani Dalam Pengelolaan Warisan Budaya Dunia Catur Angga Batukaru Oleh: D.A. Wiwik Dharmiasih, Sukma Sushanti, Putu Titah Kawitri Resen Sistem Informasi Manajemen dan Interaksi Organisasi Dalam Network Society Oleh: Ade Devia Pradipta Insiden Airasia Qz8501 dan Praktik Digital Public Relations Oleh : Dewi Yuri Cahyani Faktor Sosial yang Mendorong Upaya Bunuh Diri di Kabupaten Bangli Oleh: Gede Kamajaya, GPB Suka Arjawa, Ni Luh Nyoman Kebayantini Pengembangan Sumber Daya Manusia Perpustakaan (Studi Kasus di Perpustakaan Universitas Udayana) Oleh: Made Kastawa

Transcript of Jurnal Ilmiah - Universitas Udayana

WIDYAJurnal Ilmiah

SOSIOPOLITIKAVol. 7. No. 1, April 2016 ISSN : 2087-1767

DITERBITKAN OLEH: FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS UDAYANA

Jurnal IlmiahWidya Sosiopolitika

Volume 7 Nomor 1 April 2016ISSN

2087-1767

Implementasi Kebijakan Pengarusutamaan Gender (Pug) Dalam Penempatan Perempuan Pada Jabatan Birokrasi Pemerintah Provinsi BaliOleh : Tedi Erviantono

Potensi Peran Media Massa Dalam Kampanye Pemilu Nasional Indonesia dan Efeknya Terhadap Pilihan Oleh: Putu Nomy Yashinta

Partisipasi Petani Dalam Pengelolaan Warisan Budaya Dunia Catur Angga BatukaruOleh: D.A. Wiwik Dharmiasih, Sukma Sushanti, Putu Titah Kawitri Resen

Sistem Informasi Manajemen dan Interaksi Organisasi Dalam Network SocietyOleh: Ade Devia Pradipta

Insiden Airasia Qz8501 dan Praktik Digital Public Relations Oleh : Dewi Yuri Cahyani

Faktor Sosial yang Mendorong Upaya Bunuh Diri di Kabupaten BangliOleh: Gede Kamajaya, GPB Suka Arjawa, Ni Luh Nyoman Kebayantini

Pengembangan Sumber Daya Manusia Perpustakaan (Studi Kasus di Perpustakaan Universitas Udayana)Oleh: Made Kastawa

DAFTAR ISIJURNAL ILMIAH FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

Daftar isi .......................................................................................................................... iPengantar ........................................................................................................................iii

• Implementasi Kebijakan Pengarusutamaan Gender (Pug) Dalam Penempatan Perempuan Pada Jabatan Birokrasi Pemerintah Provinsi Bali

Oleh : Tedi Erviantono ............................................................................................1

• Potensi Peran Media Massa Dalam Kampanye Pemilu Nasional Indonesia dan Efeknya Terhadap Pilihan

Oleh: Putu Nomy Yashinta.......................................................................................9

• Partisipasi Petani Dalam Pengelolaan Warisan Budaya Dunia Catur Angga Batukaru Oleh: D.A. Wiwik Dharmiasih, Sukma Sushanti, Putu Titah Kawitri Resen.................21

• Sistem Informasi Manajemen dan Interaksi Organisasi Dalam Network Society Oleh: Ade Devia Pradipta........................................................................................33

• Insiden Airasia Qz8501 Dan Praktik Digital Public Relations Oleh : Dewi Yuri Cahyani .......................................................................................42

• Faktor Sosial yang Mendorong Upaya Bunuh Diri di Kabupaten Bangli Oleh: Gede Kamajaya, GPB Suka Arjawa, Ni Luh Nyoman Kebayantini.............64

• Pengembangan Sumber Daya Manusia Perpustakaan (Studi Kasus di Perpustakaan Universitas Udayana)

Oleh: Made Kastawa.............................................................................................72

Vol. 7 No. 1 Tahun 2016 ISSN: 2087 - 1767

i

ii

WIDYA SOSIOPOLITIKAJurnal Ilmiah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana

Volume 7 Nomor 1 Tahun 2016

PENANGGUNG JAWABDr. Drs. IGPB. Suka Arjawa, M.Si

REDAKTURPutu Titah Kawitri Resen, S.IP.,M.A

EDITORAde Devia Pradipta, SE.,M.A

SEKRETARIATKadek Wiwin Dwi Wismayanti, SE.,M.A

PENYUNTING AHLITedi Erviantono, S.IP.,M.Si

Ni Nyoman Dewi Pascarani, S.S.,M.SiDr. Piers Andreas Noak, S.H.,M.Si

PENERBIT Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Udayana

ALAMATGedung Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Jalan Panglima Besar Sudirman, DenpasarTelp : (0361) 255378

iii

PENGANTAR REDAKSI Salam hangat dari redaksi ! Jurnal Widya Sosiopolitika Volume 7 Nomor 1 Tahun 2016 sarat dengan tulisan – tulisan yang mengangkat isu-isu sosial dan politik yang menjadi bagian dalam keseharian masyarakat. Dengan analisa yang tajam dan pembahasan yang menarik, ketujuh artikel yang dimuat dalam jurnal kali ini akan menyuguhkan informasi dan pengetahuan yang akan menambah wawasan kita semua.

Tulisan oleh Tedi Erviantono akan menjadi artikel pembuka dalam Jurnal Widya Sosiopolitika kali ini. Tedi Erviantono mengulas tentang kebijakan pengaru-sutamaan gender dalam pemerintahan Provinsi Bali. Dengan mencermati faktor – faktor yang menyebabkan aspek gender menjadi kurang diperhatikan dalam kebijakan public, tulisan ini memberikan kontribusi yaitu menghasilkan rekayasa kebijakan berupa desain rekomendasi pengambilan keputusan Pemerintah Provinsi Bali dalam mempertimbangkan keadilan gender dalam penempatan posisi pegawai publik perempuan. Tulisan kedua berjudul Potensi Peran Media Massa dalam Kampanye Pemilu Nasional Indonesia dan Efeknya terhadap Pilihan Pemilih. Putu Nomy Yashinta men-guraikan bahwa dalam pemilu 2009, para pemilih masih merasa nyaman untuk memilih para kandidat yang memiliki kesetaraan sosial dengan diri mereka sendiri , baik secara tempat tinggal atau agama. Namun terdapat kemungkinan bahwa beberapa orang mulai membuat pilihan berdasarkan pemikiran rasional seperti lebih melihat visi dan misi para kandidat dan juga melihat latar belakang sosial mereka. Media dipandang turut andil dalam mengubah preferensi masyarakat terhadap calon pilihannya. Berbagai iklan politik yang ditayangkan oleh media massa dapat menjadi referensi bagi masyarakat untuk membuat pilihan mereka. Meskipun jumlah tayangan iklan oleh calon tertentu tidak secara langsung mempengaruhi jumlah suara yang mereka akan dapatkan, tetapi media massa memiliki potensi untuk mempengaruhi preferensi masyarakat dalam menentukan pilihan politiknya. Artikel ketiga akan menyuguhkan Anda dengan sebuah tulisan yang meninjau secara lebih mendalam mengenai Partisipasi Petani dalam Pengelolaan Warisan Budaya Dunia Catur Angga Batukaru. UNESCO mengakui keunikan budaya pertanian Bali den-gan mencantumkan Lanskap Budaya Bali ke dalam Daftar Situs Warisan Budaya Dunia di tahun 2012. Namun, dua tahun setelah diakuinya Lanskap Budaya Bali oleh UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia, tidak terlihat pengelolaan yang menyeluruh di kawasan tersebut. Gencarnya alih fungsi lahan di Kawasan Catur Angga Batukaru, terutama di wilayah Subak Jatiluwih, menimbulkan kekhawatiran terhadap keberlangsungan subak di kawasan tersebut. Tulisan ini menyoroti partisipasi petani untuk turut mengelola Kawasan Catur Angga Batukaru sebagai salah satu situs Warisan Budaya Dunia.

Ade Devia Pradipta sebagai penulis keempat, mengulas mengenai Sistem Infomasi

iv

Manajemen. Tulisan ini member Anda informasi tentang Sistem Informasi manajemen yang mampu menyediakan mekanisme untuk memperoleh dan bertukar informasi dari dari berbagai macam jaringan yang berkepentingan dengan organisasi maupun perusahaan. Interaksi dengan berbagai macam jaringan ini penting untuk dilakukan karena organisasi berada dalam sebuah network society yang menuntut organisasi untuk selalu terbuka dengan berinteraksi dengan sistem lainnya. SIM yang berbasis komputer dan internet memudahkan organisasi untuk melakukan interaksi dengan sistem lainnya tanpa memandang hambatan ruang dan waktu.

Artikel kelima ditulis oleh Dewi Yuri Cahyani Tulisan ini mengkaji strategi ko-munikasi krisis yang dilakukan oleh Maskapai Penerbangan AirAsia dalam menghadapi insiden jatuhnya pesawat QZ8501 di Perairan Selat Karimata pada akhir Desember 2014. Ide dasar tulisan ini adalah untuk meninjau peran media sosial di era digital yang dapat mnejadi saluran utama untuk dapat menjangkau public yang luas.

Tulisan yang disuguhkan oleh Gede Kamajaya dkk mencermati faktor – faktor penyebab bunuh diri di Kabupaten Bangli. Tulisan ini secara menarik menyebutkan bahwa pencetus bunuh diri antara lain disebabkan oleh masalah yang tidak terlalu penting, kemi-skinan, dan sakit yang tidak kunjung sembuh. Sebagai penutup tulisan oleh Made Kastawa Penelitian yang berjudul Pengembangan Sumber Daya Manusia Perpustakaan mencermati kondisi sumber daya manusia, sistem, dan strategi atau jalur lajur pengembangan SDM perpustakaan. Tulisan ini lebih khusus melihat upaya pengembangan SDM perpustakaan di Universitas Udayana.

Semoga kajian dalam ketujuh artikel yang terhimpun dalam jurnal Widya Sosiopolitika ini dapat menambah wawasan pembaca sekalian.

Salam, Redaksi

1

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGARUSUTAMAAN GENDER (PUG) DALAM PENEMPATAN PEREMPUAN PADA JABATAN BIROKRASI

PEMERINTAH PROVINSI BALI

Tedi ErviantonoProgram Studi Ilmu Politik

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu PolitikUniversitas Udayana

Email : [email protected]

Abstract

This research is aimed at understanding the implementation of gender mainstreaming in allocating women for bureaucratic position at Bali Provincial Government. Gender aspects tend to be neglected by heads of local government in various aspects especially the position of women based on their education background and work performance. Indonesia Governance Index (IGI) research shows that the gender development index equity for Bali Provincial Government ranks at the bottom among the achievements of other provincial governments in Indonesia with the acquisition of scores range from 1.94 to 5.76 from the period 2010 to 2015. One of the indicators of the index is the percentage of female officials in the strategic echelon spreading bureaucracy is still relatively small. Echelon positioned in this context refers to SKPD whis is related to decision-making areas, such as Bappeda, Sekretaris Daerah, and Dinas Pendapatan. This study discusses the Bali Provincial Government commitment regarding the implementation of policies for the allocation of women employees in the strategic echelon stipulated in the Peraturan Menteri Dalam Negeri No 15 Tahun 2008 through gender mainstreaming program. Through this descriptive qualitative study shows that policy implementation PUG seen through consideration of educational background and job performance of public employees of the women in the Bali Provincial Government. The results showed that the culture becomes one of the factors causing the low motivation of women to actualize their roles in the strategic echelons in the bureaucracy. Keywords : policy implementation, gender mainstreaming, bureaucracy, Bali Provincial

Government Pendahuluan

Perhatian pemerintah lokal dalam mewujudkan kesetaraan HAM berkeadilan dalam pembangunan masih bias dan kurang optimal. Salah satu aspek kesetaraan HAM pada konteks ini termasuk kesetaraan gender. Kesenjangan tersebut seringkali terimplementasi pada ragam kebijakan publik berprespektif gender yang mana cara pandang pemerintah saat melakukan

pengalokasian sumber daya perempuan dalam sektor pekerjaan publik masih jauh dari aspek berkeadilan gender. Proses penempatan dan promosi kebutuhan pegawai, masih disandarkan pada sistem pengalokasian yang mengakomodasi kebutuhan parsial bahkan politis (Mundayat, 2006 : 3).

Pada kerangka kendali otonomi daerah, Pemerintah Pusat menetapkan standar regulasi untuk menekan pola

2

implementasi kebijakan pengalokasian pegawai di sektor publik yang bias gender. Pemerintah Pusat merealisasikan program Pengarustamaan Gender (PUG) yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2008. Regulasi nasional ini mengatur penerapan pengalokasian pegawai di sektor publik yang responsif gender. Pada regulasi tersebut terjabar program dan kegiatan di beberapa kementerian yang ditargetkan melaksanaan komitmen responsif gender, termasuk pelaksanaan tugas dekonsentrasi pada level pemerintah daerah.

Praktek yang dijalankan pemerintah daerah h ingga kurun tahun 2015 menunjukkan trend yang tidak beranjak maju dalam mengakomodasi kepentingan penempatan pegawai publik berkeadilan gender meski sudah terdapat regulasinya. Studi Partnership menghasilkan temuan Provinsi Bali menempati posisi terendah kedua dari 33 Provinsi di Indonesia dalam indeks pembangunan gender dengan perolehan skor 1,94 (Laporan Partnership, 2010 dan 2012). Faktor terukur pada indeks ini antara lain aspek keadilan bebasis gender (Pratama, 2011). Mutlak kiranya bahwa aspek keterwadahan perempuan dalam birokrasi publik menjadi perhatian negara dan pemerintah daerah, sebab pada akhirnya kondisi ini berpengaruh pada pola penganggaran publik yang minim berpihak pada kesetaraan gender (Erviantono, 2013). Apalagi ketercapaian MDG’s yang salah satu aspeknya adalah keseteraan gender di semua aspek pembangunan menjadi

prioritas yang harus segera diaktualisasikan. Berdasarkan la ta r be lakang

permasalahan diatas terdapat pertanyaan yang mendapat perhatian dalam penelitian ini, yaitu bagaimana implementasi kebijakan pengarusutamaan gender dalam penempatan perempuan pada jabatan birokrasi ditinjau dari Aspek Pendidikan dan Prestasi Kerja dalam Promosi Jabatan Eselon Strategis bagi Pegawai Publik Perempuan di Pemerintah Provinsi Bali? Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasikan permodelan implementasi kebijakan pengarusutamaan gender yang teraplikasi pada penempatan pegawai perempuan di sektor publik pada Pemerintah Provinsi Bali.

Tinjauan PustakaGender merupakan hasil kontruksi

sosial yang menegaskan perbedaan fungsi, peran, hak dan behavioral differences (perbedaan perilaku), antara laki-laki dan perempuan, yang terwujud pada relasi gender, seperti, pembagian fungsi, peran dan status di dalam masyarakat (Umar, 2005 : 28). Tercatat beberapa publikasi penelitian terkait penyusunan kebijakan responsif gender. Penelitian dari lembaga Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO), Jakarta mencatatkan dua nama penelitinya, yaitu Rostanty (2005) dalam judul Peran Perempuan di Sektor Publik (Studi Kasus di Kota Surakarta) serta Ardhyanti (2007) dalam judul Penempatan Kepegawaian yang Responsif Gender. Keduanya menempatkan konsep responsif gender sebagai proses

3

yang harus diperhatikan dalam promosi dan penempatan kepegawaian di birokrasi publik.

Penempatan kepegawaian publik yang responsif gender digunakan sebagai analisis yang mendorong terwujudnya kondisi yang berpihak kepada masyarakat baik terhadap perempuan maupun laki-laki (Ardhyanti, 2007 : 2). Konsepsi sebagian besar aktor pengambil kebijakan masih menganggap gender menunjuk pada kepentingan perempuan secara parsial, padahal gender tidak terbatas pada target pengalokasian kepentingan yang hanya mempromosikan perempuan melainkan meliputi keseluruhan komponen dalam pembentukan kepentingan kesetaraan hak asasi manusia yang setara baik di level nasional maupun lokal (baca : daerah).

Tipologi pendekatan yang dilakukan pemerintah di level nasional maupun lokal dalam pengarustamaan gender lebih disandarkan pada beberapa hal, antara lain (Rostanti, 2005 ; 23) :1. Welfare Approach (pendekatan kesejahteraan) dengan menempatkan posisioning perempuan dalam aspek kepentingan yang dilakukan secara dekonsentrasi (top-down system);2. Equity Approach (Pendekatan Kesetaraan) mengarahkan pada pengakuan atas hak perempuan dan anak seperti perlindungan terhadap kekerasan kepada perempuan, dan hak yuridis perempuan;3. Poverty Approach (Pendekatan Kemiskinan) sepert i program anti kemiskinan yang diarahkan pada peningkatan

pendapatan (income generating) untuk perempuan seperti pemberian bantuan modal.

Tujuan dari pengarustamaan gender antara lain (Rostanti, 2005 : 25) :

1. Partisipasi dan transparansi, karena laki-laki dan perempuan mempunyai kesempatan setara dalam perencanaan, implementasi maupun monitoring anggaran yang menjamin adanya transparansi.2. Penjamin berlangsungnya good governance, mengingat anggaran responsif gender merupakan strategi mencapai kesetaraan kewarganegaraan sekaligus pendistribusian sumber daya yang adil dalam menghilangkan ketimpangan dan mereduksi kemiskinan.

Pada penelitian Ardyanti (2007 : 5) ditegaskan bahwa penempatan pegawai publik yang responsif gender terdapat upaya penyeimbangan antara keinginan politik di level perumusan hingga penetapan kebijakan dengan kepentingan birokrasi, baik mencakup ketersediaan sumber daya manusia.

Pada aspek kepentingan birokrasi inilah, secara spesifik Nurhaeni dan Hastuti (2011) dalam penelitian Kepegawaian yang Responsif Gender (Studi di Kota Surakarta Tahun 2008-2010) menekankan definisi keseimbangan kesempatan dalam penempatan kepegawaian publik yang responsif gender dimana menurut Budlender (dalam Hastuti, 2011), sebagai penentuan dampak kebijakan yang memandang kesetaraan perempuan dan laki-laki. Inisiatif kebijakan responsif gender beranekaragam

4

tergantung negara dan daerah, dimana konteks politik, sosial, dan kondisi institusi yang mengaplikasikannya. Metode Penelitian

Artikel dalam peneli t ian ini merupakan hasil dari riset dengan metode kualitatif deskriptif. Terdapat dua bahan data pada penelitian ini. Pertama, bahan data primer diperoleh dari wawancara dengan pihak-pihak yang terkait dengan Implementasi Kebijakan Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Penempatan Perempuan pada Jabatan Birokrasi di Provinsi Bali. Kedua, bahan data sekunder, antara lain: dokumen yang diperoleh pada pejabat berwenang, organisasi masyarakat sipil yang beregark di bidang gender termasuk Badan Pemberadayaan Perempuan dan Anak Provinsi Bali antara lain terkait dokumen advokasi, dokumen Bali dalam Angka, pemberitaan media terkait topik penelitian serta data lain yang relevan dengan tema penelitian. Pilihan lokasi penelitian di Provinsi Bali.

Hanya saja pilihan lokasi untuk pengumpulan data adalah di Pemerintah Provinsi Bali. Hal ini didasarkan pada capaian indeks keadilan pembangunan gender Pemerintah Provinsi Bali menduduki peringkat paling bawah diantara capaian pemerintah provinsi lainnya di Indonesia dengan perolehan rentang skor 1,94-5,76 dari 2010 hingga 2015. Latar belakang pertimbangan inilah yang diharapkan akan memunculkan fakta menarik untuk menganalisis faktor pengaruh aspek pendidikan dan prestasi kerja dalam promosi

jabatan eselon strategis bagi Pegawai Publik Perempuan di Pemerintah Provinsi Bali.Pembahasan

Secara kultural sudut pandang patrilinial (laki-laki dilihat lebih superior) menjadi acuan utama dalam melihat dan menempatkan perempuan, menyebabkan peranan perempuan dikonotasikan pada pelengkap kaum laki-laki. Bukan mitra sejajar sehingga berhak mendapatkan peluang yang sama diberbagai bidang sendi kehidupan.

Konstruksi gender dalam pelayanan publik di Indonesia terkadang cenderung melemahkan posisi perempuan (Suasta, 2001). Suasta berpendapat, hal itu terjadi karena Indonesia telah terjebak kedalam masa transisi budaya feodalisme dan kapitalisme yang keduanya telah direproduksi secara terus menerus yang menggambarkan tatanan patriarkis berciri hierarkis, yang selalu memandang laki-laki lebih mempunyai kedudukan secara primer, dan wanita sebatas sekundernya.

Pandangan ini diperkuat dengan kese ragaman pe r i l aku ada t yang memposisikan wanita sebagai kelas nomor dua. Menurut Cattleya (2006: 45) tantangan terbesar pengarusutamaan gender selain sistem budaya adalah sistem akuntabilitas publik. Kemudian akses politik bagi kaum perempuan dan aturan formal baginya yang diprakarsai oleh sistem kognitif para pemimpin publik. Sehingga karya perempuan di lapangan dapat diukur sebagai prestasi. Hal ini merupakan kerangka dasar promosi jabatan eselon strategis bagi

5

perempuan yang akuntabel dan berkeadilan.Menurut Undang Undang Dasar

negara Republik Indonesia, setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Pencapaian Millenium Development Goals (MDGs) tahun 2015 mencanangkan lenyapnya kesenjangan gender peserta didik dalam pendidikan primer dan sekunder (dasar dan menengah). Artinya jumlah perempuan yang menyelesaikan program pendidikan tersier (pendidikan tinggi) meningkat. Setelah menyelesaikan pendidikan tinggi, perempuan berhak mendapatkan promosi dalam bidang pekerjaan publik. Adhanta (2006) menghimbau pemerintah mengambil langkah kerja strategis dalam dua belas arena MDGs terutama tiadanya penghormatan, serta kurangnya promosi dan perlindungan untuk hak-hak asasi perempuan.

Untuk menghormati prestasi kerja perempuan, maka diperlukan mekanisme yang memadai pada seluruh tingkatan, untuk mempromosikan pemajuan perempuan oleh atasannya. Oleh sebab itu pengarusutamaan gender merupakan mekanisme sistem yang saling memengaruhi kebijakan publik. Jelaslah pendidikan bagi perempuan sangat berperan penting dalam prestasi kerja. Kedua faktor ini sangat berpengaruh dalam promosi maupun kenaikan jenjang dalam pekerjaan, termasuk pada sektor publik.

Kontribusi yang akan dihasilkan dalam penelitian ini adalah menghasilkan rekayasa kebijakan berupa desain rekomendasi pengambilan keputusan Pemer in t ah P rov ins i Ba l i da l am mempertimbangkan keadilan gender

dalam penempatan posisi pegawai publik perempuan.

Cakupan pengangkatan perempuan dalam jabatan publik khususnya eselon strategis di Provinsi Bali masih relatif kecil. Hal ini pula yang akhirnya berakibat pula pada penganggaran publik. Sebaran komitmen jabatan bai perempuan dan anggaran yang pro gender hanya terdapat pada beberapa SKPD saja, antara lain : Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Pemberdayaan Masyarakat Desa.

Komitmen pengarusutamaan gender belum tersirat pada program yang ada di level perencanaan SKPD lainnya.Apabila melihat makna dari sebaran jabatan publik dan struktur anggaran secara keseluruhan di Provinsi Bali, maka program pengarusutamaan gender banyak diarahkan pada program pendekatan ekonomi dan kesejahteraan, bukan optimal pada aspek pemberdayaan yang mengedepankan aspek penghargaan hak asasi perempuan. Kondisi ini dikemukan oleh narasumber penelitian ini dari Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Bali. Sebagian besar birokrat dan pimpinan daerah kita belum punya pemahaman gender planning secara baik, baik dalam perencanaan kepegawaian maupun penganggaran.

K e n y a t a a n n y a p e r s o a l a n penganggaran yang berkomitmen pada kesetaraan gender harus berbenturan dengan pemahaman aturan sistem yang serba maskulin dan tidak pro gender, termasuk

6

sistem penganggarannya akibat tiadanya daya dukung regulasi penganggaran daerah yang pro gender pula. Implementasi kebijakan pengarusutamaan gender (PUG) kondisi ketidakoptimalannya juga diakui oleh beberapa lembaga masyarakat sipil yang menunjuk bahwa prioritas penentuan jabatan publik masih berdimensi politis daripada didasarkan pada sistem merit, baik saat proses perencanaan maupun implementasinya.

Menar iknya pu la hambatan domestik menjadi hal dominan yang membuat perempuan enggan studi lanjut demi perbaikan karier mereka. Hambatan domestik bisa dimaknakan karena alasan-alasan kodrati perempuan sampai kewajiban perempuan di komunitas adat, seperti mengayah dan mebanten. Kondisi ini juga secara langsung berakibat pada pencapaian prestasi perempuan. Pada proses penentuan jabatan publik bagi perempuan tidak hanya terkendala sistem saja, melainkan personal-personal di dinas / badan pemerintahan sendiri. Misalnya saja di Badan Kepegawaian Daerah maupun BAPPEDA. Niatan baik dari gubernur maupun komisi di DPRD hanya berujung pada ketidakoptimalan dalam akomodasi kepentingan perempuan yang sesuai dengan amanat kebijakan pengarusutamaan gender.

Kondisi kehadiran PNS perempuan pada eselon strategis birokrasi masih sebatas presence (fisik). Secara umum, birokrat memandang urusan menyangkut perempuan adalah persoalan yang bisa di-nomor duakan, termasuk dengan sandaran

alasan Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak merupakan SOTK (Satuan Organisasi Tata Kerja) yang masih relatif baru dibentuk yaitu melalui Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah Provinsi Bali tertanggal 8 Juli 2008, sehingga tidak perlu anggaran yang besar.

P r o g r a m / k e g i a t a n y a n g dilaksanakan terkait bidang keperempuanan merupakan kelanjutan atas pergeseran Biro Kesejahteraan dan Pemberdayaan Perempuan (BKPP) di Sekretariat Daerah Provinsi Bali, urusan-urusan terkait persoalan perempuan volumenya cukup tinggi, yang seharusnya membutuhkan dukungan kepegawaian dan penganggaran yang mencukupi, secara realitas masih rendah.

Pada t ingkatan perencanaan maupun implementasi, karena proses pengusulan kepegawaian maupun penganggaran t idak mendapatkan pengawalan baik di tingkat institusional maupun perencanaan (musrenbang, jaring asmara, dll). Pengalokasian pegawai perempuan maupun penganggaran yang teralokasi untuk persoalan perempuan masih minim. Di Bali, “masih minim” regulasi (perda/pergub/perbup/perwali) mengenai pemberdayaan atau penuntasan persoalan yang mengarah pada pengarusutamaan gender, meski aturan holistik mengenai kesetaraan gender terdapat pada Peraturan Presiden Nomor 5 tahun 2010 tentang RPJMN 2010-2014 yang menetapkan isu gender sebagai salah satu isu lintas bidang

7

yang terintegrasi dalam semua bidang pembangunan.

Kondisi pengambilan keputusan baik terkait penempatan pegawai perempuan di eselon strategis maupun penganggaran publik kurang berkomitmen pro-gender namun lebih pada bentuk kepatuhan pengambilan keputusan pada atasan (yang notabene mengarah pada pejabat berjenis kelamin laki-laki) merupakan gambaran betapa PNS perempuan telah termodifikasi pada keputusan-keputusan yang serba maskulin. Seperti dikemukakan Hester dan Einstein (2000) bahwa mekanisme yang memihak laki-laki telah menyatu dalam birokrasi, seperti pada proses rekruitmen pegawai, definisi pekerjaan dan prosedur lengkap yang mengarah pada penyusunan anggaran publik, semuanya di institusionalkan dengan akses yang identik dengan kekuasaan laki-laki.

Lebih lanjut, Robbins (1990) menyatakan bahwa birokrasi memang memiliki kecenderungan dalam beberapa hal, seperti pengambilan keputusan terkosentrasi pada beberapa orang saja. Akibatnya, keputusan yang diambil bisa saja bukan mencerminkan kepentingan semua pegawai, apalagi kalangan perempuan hanya sebagai minoritas. Penutup

Perempuan tentunya memiliki ruang untuk berpendapat khususnya yang terkait dengan kebijakan yang bisa mengakomodasi kepentingannya di sektor publik. Diharapkan melalui pengakomodasian ini, perempuan mendapatkan porsi dalam partisipasi

penganggaran publik. Masih sedikitnya perempuan pada

eselon strategis termasuk para pengambil keputusan di lingkaran top manajemen pada akhirnya pemikirannya cenderung sektoral terutama dalam penanganan persoalan kesetaraan gender maupun pemberdayaan perempuan. Padahal pengelolaan atas persoalan ini sifatnya harus holistik dimana gender merupakan isu lintas bidang yang terintegrasi dalam semua bidang pembangunan.

Penulis pada kesempatan ini berterimakasih kepada Universitas Udayana melalui Rektor Universitas Udayana, Ketua LPPM Universitas Udayana, Dekan FISIP Universitas Udayana, serta Ketua Program Studi Ilmu Politik FISIP Universitas Udayana yang telah bantuan hibah Hibah Unggulan Program Studi (HUPS) FISIP Universitas Udayana Tahun Anggaran 2016 yang hasilnya dituangkan pada artikel ilmiah ini.

Daftar Pustaka

Ardhyanti, Ermi Sri. 2007. Anggaran Responsif Gender. Magelang : Pattiro ;Fadillah Putra. 2003. Paradigma Kritis dalam Studi Kebijakan Publik: Perubahan dan Inovasi Kebijakan Publik dan Ruang Partisipasi Masyarakat dalam Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar;Kemitraan (Partnership), 2010 dan 2012. Indeks Governance Indonesia, Jakarta : Kemitraan Partnership;

8

Mundayat, Aris, dkk. 2006. Studi Dampak Advokasi Anggaran Berkeadilan Gender. Jakarta: Women Research Institute;Rostanty, Maya, dkk. 2005. Membedah Ketimpangan Anggaran (Studi Kasus APBD Kota Tanggerang, Kota Semarang dan Kota Surakarta). Jakarta: Pusat Telaah dan Informasi Regional (PATTIRO);Suasta, P. (2001). Kembara Budaya, (Cultural Adventure). Denpasar: Bali Mangsi Foundation;Sumbullah, Umi. 2008. Gender dan Demokrasi. Malang: Averoes Press Bekerjasama Dengan Program Sekolah Demokrasi PlaCID’s; Umar, Narasuddin. 2002. Tantangan Keadilan Gender. Yogyakarta: Gama Ma-dia.

9

POTENSI PERAN MEDIA MASSA DALAM KAMPANYE PEMILU NASIONAL INDONESIA DAN EFEKNYA TERHADAP PILIHAN

Putu Nomy YashintaProgram Studi Administrasi Negara

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu PolitikUniversitas Udayana

Email :[email protected]

AbstractThis study regards on examine the potential role of mass media in the Indonesia

national election campaign on 2009 and to find if there is any effect on the voter’s choice of candidate. This study used literature based method. Some data for analysis is in public domain and available online. The result of the study showed media has a potential role in campaign by providing information regarding the parties and candidates who competed in the 2009 national election for the voter preferences. Even-though the intensity of the campaigns in the mass media did not directly affect the number of votes they have got. The result of the study also showed the sociological approach used by most of Indonesian voter to determine their choice of candidate. Key words: The Mass Media, Campaign, Voter’s Choice of Candidate

Latar BelakangPerilaku pemilih dalam pemilu

adalah salah satu hal yang selalu menjadi perhatian para aktor politik. Perilaku seperti dalam memilih partai mereka, akan memilih di mana dan siapa calon yang akan terpilih menjadi wakil rakyat dan pemimpin politik dalam sistem politik. Ini benar-benar penting bagi aktor politik untuk berhasil mencapai tujuan politik mereka sehingga banyak calon pemimpin politik melakukan berbagai upaya untuk mempengaruhi perilaku konstituen.

Salah satu upaya yang dilakukan oleh para pemimpin politik Partai calon untuk mempengaruhi perilaku pemilih adalah melalui kampanye. Dengan menggunakan

strategi tertentu kampanye kandidat partai politik dan para pemimpin politik dapat memberikan berbagai informasi dan pesan politik untuk tujuan membentuk dan mempengaruhi pendapat, sikap dan perilaku masyarakat sehingga mereka ingin mendukung dan memberikan suara mereka untuk perwakilan partai politik tertentu.

Iklan politik melalui media massa adalah salah satu metode yang sering dipilih oleh partai politik dan para pemimpin politik. Meskipun harus mengeluarkan dana yang besar, partai dan kandidat sering menggunakan iklan di media massa sebagai salah satu alat untuk memfasilitasi upaya mencapai tujuan politik mereka. Pertimbangan mereka untuk menggunakan media massa adalah karena mereka melihat

10

keuntungan dari media massa dalam menjangkau khalayak yang lebih luas dan kemungkinan penyampaian pesan politik dengan berbagai pilihan strategi komunikasi.

Sejak awal perkembangannya, efek dari kampanye melalui media massa mendapat perhatian dari para ahli dan peneliti dari berbagai bidang studi . Dalam studi komunikasi misalnya, para ahli dan peneliti telah memberikan perhatian mereka terhadap efek dari media massa pada perilaku pemilih sejak tahun 1950, dimulai dengan studi Paul Lazarsfeld di Erie County, Ohio ( 1954) sebelum adanya TV, yang menunjukkan hubungan antara perilaku pemilih dengan menggunakan media massa.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang hanya memperhatikan beberapa ide di media massa yang sebelumnya sesuai dengan keyakinan mereka. Studi ini menunjukkan bahwa media massa hanya memiliki pengaruh terbatas. Dengan kata lain, dampak media massa pada perilaku pemilih ternyata hanya memperkuat keyakinan yang mereka sudah punya sebelumnya.

McCombs dan Shaw ( 1972) dalam Barchl, M dan Brettschneider, F ( 2011) mengatakan bahwa media massa terutama televisi merupakan sumber utama informasi selama proses pemilu. Penelitian tahun 2009 menunjukkan bahwa 69 persen pemilih memperoleh informasi mengenai pemilu melalui televisi. Ini menunjukkan bagaimana media massa memegang peranan penting dalam penyebaran informasi kepada

publik. Ini juga merupakan alasan partai politik menggunakan media massa sebagai alat yang efektif untuk mendapatkan penilaian dari masyarakat.

Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi. Sejak pemerintah di Indonesia mengubah sistem pemilu, masyarakat kini diperbolehkan untuk memilih presiden mereka secara langsung. Kampanye pemilu di Indonesia melibatkan media massa. Partai politik dan calon presiden menggunakan media massa sebagai alat untuk mempromosikan tujuan dan visi mereka. Pemilu tahun 2009 adalah pemilu yang berlangsung terakhir sebelum pemilu selanjutnya pada tahun 2014. Pada tahun 2009 pemilu terdiri dua tahap ; langkah pertama adalah memilih calon anggota DPR , DPD dan DPRD provinsi . Tahap kedua dari pemilu ini adalah tahap di mana masyarakat memilih presiden dan wakil presiden. Setiap tahap memiliki sesi kampanye tersendiri. Kampanye DPR, DPD dan kampanye DPRD berlangsung pada 16 Maret 2009 hingga 5 April 2009, sedangkan tahap kedua untuk presiden dan wakil presiden berlangsung dari tanggal 13 Juni 2009 hingga 4 Juli 2009.Perkembangan Pers dan Media Massa di Indonesia

Pers pertama di Indonesia dirilis pada zaman kolonial Belanda, yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Jan Pleterszoon Coon pada 1615. Pers ini berisi berita dan informasi tentang perdagangan resmi maskapai dari Belanda, VOC. Koran pertama, Bataviasche Nouvelles

11

raisonnementen en politique, diterbitkan pada pertengahan Agustus 1744 di Jakarta. Koran mingguan ini dijalankan oleh pemerintah kolonial Belanda dan ditulis dalam bahasa Belanda ( Kakiailatu , 2007).

Setelah Indonesia mendapat kebebasan dari pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1945, Indonesia memilih Soekarno sebagai presiden pertama Indonesia. Selama zaman pemerintahan Soekarno pers masih dipegang pemerintah, karena pada waktu itu satu-satunya saluran televisi yang tersedia adalah TVRI.

Jatuhnya Presiden Soekarno pada 1 Oktober 1965 membawa Soeharto berhasil menempati posisi “orang nomor satu” di Indonesia. Pemerintahannya disebut “orde baru” atau rezim orde baru. Pada hari-hari awal pemerintahan rezim orde baru, stabilitas politik menjadi kata kunci bagi pemerintah. Hubungan antar komponen pemerintahan dibuat secara harmoni untuk menghindari konflik karena rezim baru membutuhkan dukungan dari semua pihak termasuk media.

Selama pemerintahan rezim orde baru, pemerintah mengeluarkan undang-undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang kebebasan pers, namun dalam prakteknya tidak benar . Pada pasal 4 undang-undang Nomor 11 tahun 1966 , disebutkan “ pers nasional tidak dikenakan sensor dan pembredelan” . Namun dalam pasal 20 ayat 1 mengatakan sebaliknya bahwa “pers memerlukaan ijin lisensi”. Kontrol pemerintah terhadap pers semakin kuat dengan ditetapkannya persyaratan bagi pers

untuk mendapatkan lisensi. Bagi mereka yang tidak memiliki izin tersebut tidak diperbolehkan untuk menerbitkan berita.

Pada saat itu pemberitaan dalam media selalu memihak pemerintah. Namun, pada awal 1970-an permasalahan mulai muncul. Perlahan-lahan masyarakat yang menentang presiden berani mengangkat suara mereka kepada Presiden Soeharto. Peristiwa ini tidak lepas dari liputan pers. Perubahan sistem pemerintahan setelah jatuhnya Presiden Soeharto dalam kerusuhan Mei 1998 memberikan kebebasan baru untuk pers. Presiden B.J Habibie menggantikan Soeharto pada 21 Mei 1998. Selama rezim Soeharto ada banyak pembatasan seperti larangan, ancaman dan bahkan pembunuhan jurnalis yang dinilai pemerintah mengganggu kepentingan penguasa.

Dengan jatuhnya rezim orde baru kemudian mulailah restrukturisasi sistem negara menuju konsolidasi demokrasi di Indonesia. Rezim baru tersebut bernama rezim reformasi. Silih bergantinya sistem pemerintahan, kebijakan peraturan bagi pers digantikan pada UU No.11 tahun 1996 sehubungan dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1967 jo Nomor 21 Tahun 1982 yang memberikan kewenangan pemerintah untuk mengontrol sistem pers (Kaid, 2006). Peraturan baru mengatakan bahwa “kebebasan pers dalam upaya untuk mengembangkan dan meningkatkan kualitas pers nasional maka dibentuk dewan pers yang independen”. Dalam pasal 17 UU yang sama dikatakan bahwa masyarakat

12

memiliki kebebasan dalam melakukan kegiatan promosi dan pers menjamin hak untuk memperoleh informasi yang diperlukan, dalam bentuk kegiatan untuk memantau dan melaporkan pelanggaran analisis hukum, etika dan teknis kesalahan yang dilakukan oleh pers laporan, dan mengajukan proposal dan saran kepada dewan pers dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan kualitas pers nasional. Dalam konstitusi 1945, hukum sebagai dasar dari seluruh pemerintah Indonesia, dikatakan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan kualitas pribadi dan juga untuk mengembangkan kualitas masyarakat, dan berhak untuk mencari, memperoleh , memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Berbagai perbaikan muncul pada periode reformasi; penghapusan dan penciptaan nilai-nilai baru yang relevan dengan nilai-nilai demokrasi negara . Sejak era reformasi tahun 1998, pers nasional kembali menikmati kebebasan. Hal ini sejalan dengan sifat reformasi, keterbukaan dan demokrasi yang diperjuangkan. Akibatnya , ada banyak koran , majalah , atau tabloid bermunculan. Di era reformasi, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang pers.

Marshal McLuhan (1964) pernah mengatakan bahwa media memainkan peran

utama dalam proses komunikasi. Istilah “medium adalah pesan” (McLuhan, 1964, hal. 7) mengenai radio, koran dan televisi yang bergeser peran dalam menyampaikan pesan. TV menarik perhatian dan menyihir sebagian besar penonton dengan gambar bergerak dan suara, meskipun masih dalam bentuk hitam dan putih. Televisi sekarang menjadi lebih canggih, bahkan tiga-dimensi hingga pada akhirnya kemunculan internet. Media massa berkembang sangat pesat di Indonesia tidak hanya media cetak tetapi juga media elektronik. Hal ini ditandai dengan munculnya banyak majalah dan televisi swasta.

Kepemilikan televisi di Indonesia menjadi semakin strategis. Menurut Lim (2012), 10 stasiun TV swasta “dikendalikan” oleh enam kelompok usaha. MNC Group memiliki tiga stasiun, yaitu RCTI, Global TV dan MNC TV, dan memiliki bagian terbesar dari 36,7%. EMTEK kelompok pendatang baru berada di peringkat berikutnya yang dimiliki SCTV dan Indosiar dengan besaran 31,5%. Selanjutnya, kelompok Transcorp yang memiliki Trans dan Trans7 menguasai pangsa 18,5%. Grup Bakrie yang memiliki TVOne dan Anteve memiliki sekitar 8,7% saham. Metro terakhir dari Media Group memiliki Metro TV yang mengambil pangsa pasar terkecil sebesar 1,9%. Sementara itu, stasiun televisi milik negara, TVRI menguasai sekitar 1,4% saja. Di sisi lain, media cetak nasional didominasi oleh empat pemain utama, yaitu Kompas (sirkulasi 600 ribu), Jawa Pos (450 ribu), Suara Pembaruan (350 ribu), Republika (325 ribu), Media

13

Indonesia (250 ribu), dan Koran Tempo (240 ribu). Pemain baru yang tidak bisa dianggap enteng adalah MNC Group yang meluncurkan Seputar Indonesia (Sindo) dan Lippo Group yang juga menerbitkan Jakarta Globe.Potensi peran media massa dalam Kampanye Politik dan Efeknya pada Preferensi Pemilih

Dalam perjalanan kampanye, kandidat berusaha untuk memberikan citra positif dari bagi diri mereka. Proses pencitraan adalah hal yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan kampanye. Seiring dengan perubahan sistem politik, terutama dalam Pemilu 2009, dengan masa kampanye lebih lama dan sistem suara terbanyak, membuat komunikasi dan politik pencitraan yang dilakukan oleh politisi; baik institusi dan individu, lebih beragam dan menarik, melalui berbagai strategi yang kadang-kadang mengabaikan etika politik. Pertama, menggunakan metode yang disebut “publisitas murni” dengan mempopulerkan diri melalui aktivitas masyarakat. Misalnya, menghadiri perayaan Hari Kemerdekaan atau menghadiri pesta besar dari agama tertentu. Secara umum, partai atau kandidat mengambil kesempatan untuk memerankan diri mereka (Nimmo, 1993). Kedua, strategi publisitas berjalan di mana calon atau kandidat politik menggunakan akses atau menggunakan kandidat lain untuk mempopulerkan dirinya misalnya muncul sebagai pembicara di forum, berpartisipasi dalam acara olahraga, mensponsori kegiatan sosial, dl.l Ketiga, tie-in publisitas mana

calon politik menggunakan berita yang luar biasa atau kejadian luar biasa untuk mempublikasikan diri mereka sendiri. Seperti tsunami, gempa bumi atau banjir misalnya. Dengan ini kandidat politik dapat menggambarkan dirinya sebagai orang atau pihak yang memiliki kepedulian sosial yang tinggi. Sebuah acara yang luar biasa selalu mendapatkan liputan media, sehingga partisipasi dalam kegiatan atau acara tersebut sangat menguntungkan. Keempat, publisitas berbayar dengan cara mempopulerkan diri melalui pembelian rubrik atau program di media massa. Misalnya, pemasangan iklan di program waktu billboard, iklan, blok, dll

Salah satu strategi kampanye yang paling sering dan pasti dilakukan oleh masing-masing kandidat adalah publisitas berbayar melalui iklan di media massa. Media massa adalah salah satu aktor politik dalam sistem demokrasi. Media berfungsi untuk mengirim pesan kepada publik. Di sisi lain media juga memiliki pesan politik sendiri , yang dikemas melalui pertanyaan komentar, editorial , dan wawancara. Inilah yang membuat media memiliki pengaruh pada lingkungan politik . Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh McNair (1995 ) bahwa media massa memiliki fungsi sebagai pemancar , pengiriman pesan aktor politik dan partai dan menyampaikannya kepada publik , tetapi juga sebagai pembuat pesan politik yang dibuat oleh wartawan.

Seiring berjalannya pemilu, media menjadi alat strategis bagi partai politik untuk menyampaikan pesan-pesan politik

14

baik melalui iklan atau berita. Iklan dan berita melalui media massa sangat signifikan dalam mempengaruhi opini publik, popularitas calon dan preferensi pemilih. Seperti yang diusulkan oleh Curtis ( 2012) bahwa calon dan partai menghabiskan uang dalam jumlah besar untuk melakukan eksposur media melalui penciptaan iklan politik untuk mempengaruhi opini publik tentang diri mereka sendiri sehingga pada hari pemiliha , mereka bisa mendapatkan suara terbanyak.

Selama proses pemilu berbagai pembahasan politik dapat dipantau melalui radio dan TV. Setiap 30 menit atau 1 jam berita muncul di TV dan Radio sedangkan media cetak memberikan ulasan ekstensif sebelum atau pada hari berikutnya. Setiap hari media cetak yang menyediakan bagian khusus mengenai politik , penjelasan yang lebih rinci dan mendalam tentang perkembangan politik yang sedang berlangsung. Hampir semua surat kabar nasional dan surat kabar regional memberikan suplemen khusus selama pemilu berisi berita politik , jadwal dan kegiatan mulai dari kampanye , program partai politik , dan wawancara dengan para ahli , sampai hasil jajak pendapat tentang berbagai hal tentang pemilu dan partai dan tokoh politik.

Seperti yang diusulkan oleh McQuail (1994 ) melalui berita dan opini yang diterbitkan secara teratur, media memiliki peran untuk membimbing masyarakat dalam menghubungkan berbagai realitas menjadi satu seri yang dapat dipahami dengan mudah. Media memiliki kekuatan

dalam melakukan framing teks dan fakta bahwa media memandu masyarakat untuk memahami konteks politik ekonomi, sosial dan budaya pada waktu tertentu. Iklim politik transisional yang melanda Indonesia menjadikan media sering menjadi acuan bagi masyarakat untuk memahami beberapa fenomena sosial.

Di samping liputan media , publik mendapatkan informasi tentang partai politik dan pemilu 2009 melalui iklan politik baik dalam bentuk iklan layanan masyarakat (ILM) atau iklan dari partai politik, apakah itu akan dipublikasikan melalui media cetak atau disiarkan di media elektronik. Banyak partai dan kandidat dalam pemilihan nasional Indonesia tahun 2009 kampanye percaya bahwa dengan menempatkan iklan di media massa dapat membantu mereka untuk mendapatkan lebih banyak orang . Sebagaimana dinyatakan oleh Joe McGinnins ( 1969) dalam Valentino (2004 ) bahwa iklan memiliki kekuatan untuk membentuk citra partai atau calon tertentu tanpa memberikan terlalu banyak informasi substantif. Mengetahui iklan yang sangat menguntungkan, banyak partai dan kandidat bersedia untuk menghabiskan uang dalam jumlah besar untuk kampanye melalui iklan di media massa .

Beberapa partai politik yang memiliki dana seperti seperti Golkar , Demokrat , PKS , PDI - P dan Partai Gerindra memuat iklan mereka di sejumlah media, baik yang diterbitkan di ibukota dan daerah. Khusus untuk iklan pengeluaran partai politik , partai Golkar berada di posisi

15

pertama dalam belanja iklan, ini mencapai Rp.185.153 miliar . Kemudian disusul oleh Partai Demokrat di posisi kedua dengan belanja iklan mencapai Rp 123.056.000.000 , sedangkan di posisi ketiga ditempati oleh Partai Gerindra dengan Rp 66716000000 . Jika berdasarkan jumlah kali iklan politik

muncul di media selama kuartal pertama 2009, di semua jenis media, Partai Golkar masih merupakan partai yang memiliki paling banyak dilakukan sebanyak 15,285 kali. Demokrat diikuti oleh 11.055 kali , PDI - P 7284 kali , PAN 5.564 kali , PKS

4.221 kali , Hanura 3.880 kali , Gerindra 3.864 kali dan lain-lain. Pertanyaan yang muncul : Apakah jumlah uang yang dihabiskan untuk iklan dan kuantitas iklan akan mempengaruhi jumlah suara partai dalam pemilu ?

Tabel 1Ringkasan Suara Hasil Pemilu Legislatif Nasional tahun 2009

( Top 10 )No Party Poll Percentage1 Democrat 21.703.137 20,85%2 Golkar 15.037.757 14,45%3 PDI-P 14.600.091 14,03%4 PKS 8.206.955 7,88%5 PAN 6.254.580 6,01%6 PPP 5.533.214 5,32%7 PKB 5.146.122 4,94%

8 Gerindra 4.646.406 4,46%9 Hanura 3.922.870 3,77%10 PBB 1.864.752 1,79%

Sumber: KPU 2009Hal ini dapat di l ihat bahwa

partai Golkar yang menghabiskan iklan terbesar dan paling banyak ditempatkan di media massa hanya menempati posisi kedua dalam hasil voting di bawah partai demokrat. Demikian pula Gerindra yang menghabiskan sejumlah besar uang dan di posisi ketiga dibandingkan dengan pihak lain hanya berhasil menduduki peringkat kedelapan dalam hasil voting, bisa bebecause partai Gerindra partai baru dalam pemilu 2009. Demikian pula, partai Hanura yang diiklankan lebih dari

Gerindra, akhirnya menempati posisi di bawah Gerindra.

Jadi , ketika partai-partai politik membangun citra - positif , netral , atau negatif - di media untuk membentuk opini publik, tampaknya seperti dalam pemilihan Indonesia nasional tahun 2009, belanja iklan dan jumlah suara yang didapatkan dalam pemilu tampaknya tidak sangat berkorelasi, sehingga mengapa beberapa pihak masih perlu untuk membangun hubungan dengan media untuk membentuk opini publik? Pada pemilu 2009 , partai PPP adalah salah satu partai yang tidak banyak dalam berita; namun memperoleh sebagian besar suara mungkin karena mesin politik yang mereka miliki bekerja cukup efektif. Jika demikian ,

16

apakah partai harus peduli dengan wartawan ? Dan bagaimana perilaku pemilih dalam pemilu 2009?

Meskipun ada inkonsistensi antara dana pihak dikeluarkan untuk iklan , jumlah iklan yang ditayangkan di media serta hasil voting , media memiliki potensi sebagai mediasi antara partai politik atau kandidat dengan publik . Sama seperti apa yang McNair (1995 ) mengatakan bahwa media saat ini semakin memiliki peran penting dalam demokrasi sebagai alat untuk publik untuk mendapatkan informasi mereka . Di era mediasi , fungsi media massa dalam komunikasi politik dapat menjadi pemancar yang mengirim pesan politik dari pihak atau aktor politik (di luar media), serta pengirim pesan politik yang dibuat oleh wartawan (dalam media). Fungsi media dalam menyampaikan gambar yang diciptakan oleh partai dan kandidat kepada publik .

Bagaimana dengan pemilu presiden dan wakil presiden pada tahun 2009, apakah kampanye di media dapat meningkatkan jumlah suara yang diperoleh oleh calon presiden dan wakil presiden tertentu? Sebelum pemilihan Presiden tahun 2009 yang berlangsung pada 8 Juli 2009, kampanye politik dari tiga calon presiden dan wakil presiden telah berlangsung di seluruh Indonesia. Banyak cara berbeda yang mereka lakukan untuk menarik simpati dan dukungan dari masyarakat. Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan iklan melalui media massa. Iklan yang paling sering digunakan adalah dengan penayangan iklan di televisi. Hal ini dapat

dilihat dari banyak stasiun televisi yang menyajikan iklan politik dari tiga kandidat calon presiden dan wakil presiden.

Sejak tahun 2007 telah muncul beberapa nama di media nasional yang akan maju dalam pemilihan presiden pada 2009. Nama-nama yang sering terdengar pada akhir 2008 dan awal 2009 seperti misalnya: Susilo Bambang Yudhoyono ( SBY ), Jusuf Kalla ( JK ), Megawati Soekarnoputri, Abdurrahman Wahid, Wiranto, Sutiyoso, Sri Sultan, Akbar Tandjung, Yusril Mahendra, Prabowo Subianto, Din Syamsuddin, Sutrisno Bachir, Suryadharma Ali, dan beberapa nama lainnya. Selain track record dan visi misi dari calon tersebut hitungan angka-angka quick count juga menjadi perhatian publik. Tapi masalahnya adalah seberapa besar kemungkinan calon pasangan presiden dan wakil presiden tersebut cenderung menjadi Presiden dan Wakil Presiden tahun 2009? Hal ini masih menjadi tanda tanya besar.

Beberapa lembaga survei kemudian menangkap sinyal ini dengan baik. Untuk tujuan ini mereka melakukan penelitian dan menemukan beberapa data untuk jawaban sementara. Di antara lembaga yang melakukan survei adalah: Lingkaran Survei Indonesia ( LSI ) yang menerbitkan hasil penelitiannya pada bulan Oktober 2007 ; Lembaga Riset Informasi( LRI ) adalah pada Mei 2008; Lembaga Survei Nasional ( LSN ) juga mempublikasikan hasil penelitian pada bulan yang sama ( Mei 2008 ); Juni 2008 Indonesia Barometer menyajikan hasil penelitian mereka; Lembaga Survei

17

Indonesia (LSI) melakukan konferensi pers mengenai temuannya dalam penelitian pada pemilu 2009 termasuk pemilihan presiden Yudhoyono. Namun pada akhirnya dalam pemilu 2009 menuntunnya sebagai presiden Indonesia 2009-2014. Hasil perhitungan Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengenai pemilihan presiden tahun 2009 dapat dilihat dari tabel di bawah ini:

Tabel 2Hasil Perhitungan Suara Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2009

No Candidates Number of Voter Percentage1 Megawati – Prabowo 31.548.105 26.79%

pada bulan Februari 2009.Meskipun naik turunnya jumlah

suara yang diperoleh oleh Susilo Bambang

2 SBY – Boediono 73.874.562 60.80%3 JK – Wiranto 15.081.814 12.41%

Sumber: KPU, 2009Dari hasil voting tersebut dapat

dianalisis beberapa karakter umum dari pemilih di Indonesia. Pertama, perilaku pemi l ih yang t ingga l be rdeka tan dengan kandidat yang bersaing akan mendukung kandidat. Misalnya, TPS (tempat pemungutan suara) nomor 6 di daerah yang bernama “Pasar Minggu”, di mana Megawati salah calon presiden bermukim. Di TPS tersebut Megawati dan Prabowo mendapat 110 suara, Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono mendapat 89 suara dan 21 suara untuk Jusuf Kalla-Wiranto. Serta tempat pemungutan suara di mana Prabowo melakukan penconblosan, Megawati-Prabowo memperoleh 265 suara, 97 suara untuk Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono dan Jusuf Kalla-Wiranto hanya mendapat 3 suara (Setiawan, 2008). Menurut Andersen dan Heath (2000) pendekatan sosiologis dalam sikap dan perilaku pemilih dipengaruhi oleh identitas kelompok kepentingan. Dalam kasus seperti presiden pemilu 2009, orang-orang yang

tinggal di daerah yang sama dengan salah satu kandidat akan cenderung memilih kandidat itu karena mereka merasa memiliki identitas kelompok yang sama.

Potret lain tentang perilaku pemilih yang menarik untuk diungkapkan adalah pengaruh ‘pondok pesantren’ dalam masyarakat Indonesia yang dominan beragama Islam. Sebagai contoh, pada Mei 2009 beberapa pengasuh Pondok Pesantren dan pemimpin Nahdlatul Ulama mengadakan pertemuan di Surabaya. Dari hasil pertemuan mereka setuju untuk mendukung Jusuf Kalla-Wiranto sebagai presiden dan wakil presiden. Keputusan ini ditandatangani oleh KH. Anwar Mansour (Lirboyo, Kediri), KH. Abdullah Faqih (Langitan, Tuban), KH. Zainudin Jazuh (Ploso, Kediri), KH. Muchid Muzadi (Jember), KH. Miftahul Akhyar (Surabaya), dan KH Achmad Subadar (Besuk, Pasuruan). Setelah keputusan ini ditandatangani, hasil pertemuan ini disampaikan kepada siswa dan warga setempat. Hal ini mengakibatkan Jusuf Kalla-Wiranto menang hampir disemua pondok pesantren (Tempo, 2009). Dalam

18

hal ini kita bisa melihat bagaimana pemilih membuat pilihan mereka berdasarkan kesamaan identitas dalam suatu kelompok, dalam hal ini adalah agama. Seperti yang dikatakan oleh Lazarfeld (Lipset, 1960) pendekatan sosiologis menjelaskan bahwa karakteristik sosial dan kelompok sosial dianggap menentukan dalam membentuk perilaku pemilih. Untuk pemahaman kelompok sosial, baik secara formal (seperti keanggotaan seseorang dalam organisasi keagamaan, organisasi profesi, dll) dan informal (seperti keluarga, teman atau kelompok-kelompok kecil lainnya) merupakan faktor yang sangat penting dalam memahami perilaku pemilih, karena kelompok ini memiliki peran utama dalam membentuk sikap, persepsi dan orientasi seseorang.

Misalnya di TPS 10 di luar pondok pesantren Lirboyo, Megawati-Prabowo menerima 895 suara, SBY-Boediono 987 suara, dan Jusuf Kalla-Wiranto hanya memperoleh 39 suara. Demikian pula, warga sekitar pondok pesantren NU, Salafi Syafi’iyah, Situbondo, di TPS 01 yang berjarak sekitar 500 meter dari pondok pesantren, Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono mendapat 119 suara, yang berselisih sedikit denganJusuf Kalla-Wiranto yang memperoleh 107 suara. Sementara itu, pasangan Megawati-Prabowo hanya mendapat 3 suara (Tempo,2009). Meskipun tidak ada keraguan sama sekali di lingkungan pondok pesantren, JK-Wiranto memperoleh suara terbanyak. Hal ini menunjukkan hanya orang-orang

yang tinggal di daerah pondok pesantren memberikan suara untuk Jusuf Kalla-Wiranto, sementara orang-orang yang tinggal di luar daerah pondok pesantren memiliki preferensi mereka sendiri.

Mengacu pada reali tas yang dijelaskan di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku pemilih Indonesia telah berubah, terutama masyarakat di sekitar pondok pesantren. Dahulu masyarakat yang bermukim di sekitar Pondok Pesantren memilih berdasarkan fatwa kiai. Namun kini mereka sudah mulai memilih berdasarkan rasionalitas bukan emosionalitas yang sering kali terjadi dalam masyarakat tradisional dan feodal (Gaffar,1992) . Jika perilaku voting masyarakat tradisional telah berubah begitu drastis , bisa kemungkinan pemilih di daerah perkotaan juga berubah ke arah yang lebih rasional. Pertanyaannya adalah di mana orang mendapatkan pendidikan politik yang berhasil mengubah perilaku memilih mereka? Salah satu jawaban adalah Media.

Media memainkan peran penting dalam kampanye. Kampanye yang disampaikan melalui media membuat masyarakat menjadi lebih akrab dengan calon kandidat. Masyarakat menerima informasi dan akhirnya membuat pilihan mereka berdasarkan informasi yang mereka temui di media. Meskipun intensitas iklan kampanye tidak langsung mempengaruhi jumlah suara yang diperoleh oleh calon kandidat, namun media memiliki potensi untuk membantu masyarakat membuat pilihan mereka dalam pemilu. Selain itu,

19

media juga membantu para kandidat untuk membangun citra mereka di depan publik. Melalui gambaran yang mereka dapatkan di media masyarakat bisa mendapatkan informasi yang mereka butuhkan yang akan menjadi pertimbangan mereka dalam mengambil keputusan.Kesimpulan

Data yang ada menunjukkan terdapat kecenderungan kenaikan dan penurunan jumlah suara yang didapat oleh masing-masing calon kandidat. Hal ini dipengaruhi oleh perubahan preferensi pemilih. Berbagai isu politik yang terjadi selama proses kampanye mempengaruhi preferensi seseorang untuk memilih partai tertentu dan juga memilih calon kandidat tertentu.

Masyarakat Indonesia dalam pemilu 2009 masih merasa nyaman untuk memilih para kandidat yang memiliki kesetaraan sosial dengan diri mereka sendiri , baik secara tempat tinggal atau agama. Namun terdapat kemungkinan bahwa beberapa orang mulai membuat pilihan berdasarkan pemikiran rasional seperti lebih melihat visi dan misi para kandidat dan juga melihat latar belakang sosial mereka.

Perubahan preferensi yang dialami oleh masyarakat cenderung dipengaruhi oleh perubahan informasi yang mereka terima melalui media. Berbagai iklan politik yang ditayangkan oleh media massa dapat menjadi referensi bagi masyarakat untuk membuat pilihan mereka. Meskipun jumlah tayangan iklan oleh calon tertentu tidak secara langsung mempengaruhi

jumlah suara yang mereka akan dapatkan, tetapi media massa memiliki potensi untuk mempengaruhi preferensi masyarakat dalam menentukan pilihan politiknya.

Sebagian besar pemilih Indonesia masih menggunakan pendekatan sosiologis untuk menentukan preferensi politiknya seperti kesamaan daerah tempat tinggal, agama, dan status. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa beberapa pemilih di Indonesia lebih menggunakan pendekatan rasional mereka dalam menentukan preferensi politik mereka.ReferensiAnderson, Robert & HeathAnthony.

(2000) Social Cleavage, Attitude and Voting Patterns: A Comparison of Canada and Great Britain. Available at: http://www.crest.ox.ac.uk/papers/p81.pdf (Accessed: 1 April 2016)

Bachl, M. and Brettschneider, F. (2011) ` The German National Election Campaign and the Mass Media`, The German Election of 2009, 20 (1) [Online]. Available at: http://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/09644008.2011.554100 (Accessed: 24 April 2016)

Curtis, Anthony R. (2012) Mass Media Influence on Society. Available at: http://www.uncp.edu/home/acurtis/Courses/ResourcesForCourses/PDFs/Mass_Media_Influence_on_Society.pdf (Accessed: 24 April 2016)

20

Gaffar, Afan. (1992) Javanese Voters: A Case Study of Election Under a Hegemonic Party System, Yogyakarta: Gajah Mada University Press

KPU. (2013) Pemilu di Indonesia. Available at: http:/HYPERLINK “http://www.kpu.go.id/dmdocuments/modul_1c.pdf”/www.kpu.go.id/dmdocuments/modul_1c.pdf (Accessed: 24 April 2016)

KPU. (2009) Pemilu 2009 Dalam Angka. Available at: http://www.kpu.go.id/index.php?option=com_contentHYPERLINK “http://www.kpu.go.id/index.php?option=com_

21

PARTISIPASI PETANI DALAM PENGELOLAAN WARISAN BUDAYA DUNIA CATUR ANGGA BATUKARU

D.A. Wiwik Dharmiasih Sukma Sushanti Putu Titah Kawitri Resen

Program Studi Hubungan InternasionalFakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas UdayanaEmail: [email protected]

AbstractThe Cultural Landscape of Bali Province was inscribed to UNESCO World Heritage List in 2012. This site describes the philosophy of Tri Hita Karana in subak, the traditional irrigation system in Bali. The inscription of the Cultural Landscape into the World Heritage List required the Government of Indonesia to apply UNESCO community-based guidelines in the management of the site. This research was aimed to see the participation of farmers in the management of Catur Angga Batukaru, one of the site within Bali’s Cultural Landscape. Participatory research method was used in this research by involving pekaseh, kelian tempek, and farmers. It shows that the vision of the management of Catur Angga Batukaru was to protect and conserve the traditional irrigation system based on the Tri Hita Karana philosophy. It also shows that farmers are the main manager of the site, beside the priests and the royal family, supported by the government agencies. Hence, the management of the World Heritage Site in Bali will be more effective if it is involving farmers as the main manager and Tri Hita Karana philosophy as the base of its management and conservation programs. Keywords: World Heritage Site, Tri Hita Karana, participatory research, community-based management, cultural landscape, farmers

PENDAHULUAN Bali merupakan salah satu daerah tujuan wisata dunia yang terkenal akan keindahan alam dan keunikan budaya masyarakatnya. Bentang alam Bali banyak dihiasi oleh pemandangan sistem sawah berundak yang merupakan hasil dari budaya pengairan tradisional Bali yang dikenal dengan nama subak. Badan Dunia yang menangani pendidikan dan kebudayaan, United Nations Educational Scientific and Cultural Organization (UNESCO), bahkan

mengakui keunikan budaya pertanian Bali dengan mencantumkan Lanskap Budaya Bali ke dalam Daftar Situs Warisan Budaya Dunia di tahun 2012. The Cultural Landscape of Bali Province: The Subak System as a Manifestation of the Tri Hita Karana Philosophy merupakan nama dari Situs Warisan Budaya Dunia di Bali yang terdiri dari empat kawasan, yaitu: Pura Ulun Danu Batur dan Danau Batur, Pura Taman Ayun, Daerah Aliran Sungai (DAS) Pakerisan, dan Catur Angga Batukaru. Keempat kawasan tersebut dianggap mampu

22

merefleksikan filosofi Tri Hita Karana yang merupakan landasan dalam sistem pengairan tradisional yang diberlakukan dalam bidang pertanian di Bali. Akan tetapi, sistem pengairan tradisional yang sudah berlangsung selama berabad-abad di Bali tersebut terancam keberadaannya oleh derasnya arus pembangunan dan pariwisata di Bali. Masuknya sistem pengairan subak yang direpresentasikan oleh empat kawasan diatas ke dalam Daftar Situs Warisan Budaya Dunia UNESCO merupakan salah satu upaya untuk melindungi dan melestarikan budaya pertanian yang ada di Bali. Salah satu kawasan yang termasuk ke dalam Situs Warisan Budaya Dunia Lanskap Budaya Bali adalah Kawasan Catur Angga Batukaru. Kawasan yang terletak di Kabupaten Tabanan tersebut memiliki cakupan wilayah subak yang sangat luas dibandingkan dengan kawasan lainnya dalam Lanskap Budaya Bali. Catur Angga Batukaru meliputi 20 subak dengan total luas wilayah kurang lebih 17.376,1 ha dengan luasan wilayah penyangga 974,4 ha (Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata dan Pemerintah Provinsi Bali, 2011). Luasnya cakupan wilayah Catur Angga Batukaru memberikan tantangan pengelolaan kawasan secara menyeluruh. Keterlibatan masyarakat lokal, terutama petani dalam perlindungan dan pelestarian kawasan menjadi sangat penting untuk mencapai pembangunan berkelanjutan di wilayah tersebut. Akan tetapi, dua tahun setelah

diakuinya Lanskap Budaya Bali oleh UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia, tidak terlihat pengelolaan yang menyeluruh di kawasan tersebut. Gencarnya alih fungsi lahan di Kawasan Catur Angga Batukaru, terutama di wilayah Subak Jatiluwih, menimbulkan kekhawatiran terhadap keberlangsungan subak di kawasan tersebut. Ini tentu juga mengancam status Warisan Budaya Dunia yang baru disandang. Awal tahun 2015, Pemerintah Indonesia mengundang ahli-ahli dari UNESCO untuk melihat dan memberi masukan kepada sistem pengelolaan kawasan dalam Lanskap Budaya Bali sebagaimana yang disarankan oleh UNESCO (2014). U N E S C O ( 2 0 1 2 ) d a l a m keputusannya saat memasukkan Lanskap Budaya Bali ke dalam Situs Warisan Budaya Dunia telah menyatakan kekhawatirannya terhadap kelestarian dan keberlangsungan sistem subak di Bali.Adapun tantangan yang dihadapi ialah serangkaian perubahan sosial dan ekonomi seperti perubahan praktek pertanian masyarakat dan tekanan pembangunan terutama dari sektor pariwisata. UNESCO kemudian menyarankan diberlakukannya sebuah sistem pengelolaan yang mampu mendukung pelaksanaan sistem pertanian tradisional dan meningkatkan kesejahteraan petani agar terus dapat tinggal dan bekerja sebagai petani di kawasan tersebut. Penelitian ini menjadi penting untuk melihat pandangan dan partisipasi masyarakat terutama petani dalam memaknai status Warisan Budaya Dunia pada wilayah mereka, sehingga

23

mampu berpartisipasi secara aktif dalam pengelolaan kawasan.

WARISAN BUDAYA DUNIA Budaya sebagaimana dijelaskan oleh UNESCO (2010) adalah “…serangkaian bagian-bagian spiritual, intelektual, dan ikatan emosional masyarakat atau kelompok sosial yang meliputi selain seni dan sastra, yakni gaya hidup, cara hidup, sistem nilai, tradisi, dan keyakinan yang dianut”. Budaya memberikan solusi bagi kepentingan-kepentingan masyarakat lokal dalam mengawasi pembangunan di suatu wilayah sehingga dapat memberikan hasil maksimal sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat tersebut. Pembangunan dewasa ini telah menerapkan pendekatan pembangunan berkelanjutan dalam pelaksanaannya. Dasar pemikiran dari pendekatan pembangunan berkelanjutan adalah bagaimana menggunakan sumber daya-sumber daya yang ada secara bijak. Budaya membentuk hubungan antara manusia dalam kelompok sosialnya dan hubungannya dengan lingkungan diseki tarnya yang kemudian akan mempengaruhi perilaku manusia itu sendiri (UNESCO, 2010). Oleh karenanya, budaya harus berperan sebagai pusat dalam strategi pembangunan berkelanjutan. Salah satu upaya yang dilakukan UNESCO dalam memperkenalkan pentingnya budaya dalam pembangunan berkelanjutan adalah dengan memberikan status Warisan Budaya Dunia. Status ini diberikan kepada kawasan-kawasan

maupun bentuk-bentuk kebudayaan yang dianggap memiliki Nilai Luar Biasa dan Universal (Outstanding Universal Value) dan terancam hilang atau punah sehingga perlu untuk dilindungi dan dilestarikan. Situs Warisan Budaya Dunia UNESCO (2010:5) mampu memberikan penghasilan tambahan dari kunjungan wisatawan, penjualan kerajinan tangan, musik, dan produk-produk budaya lokal, termasuk juga memberikan lapangan pekerjaan baru kepada masyarakat setempat. Di Kolumbia misalnya, 650.000 wisatawan memberikan penghasilan ekonomi sebesar USD 800 juta. Sebesar USD 400 juta dari pendapatan Kolumbia tersebut berasal dari penjualan kerajinan tangan (UNESCO, 2010:8). Di Australia, 15 kawasan yang masuk ke dalam Situs Warisan Budaya Dunia mampu memberikan pendapatan sebesar lebih dari USD 12 trilyun dengan lebih dari 40.000 lapangan pekerjaan (UNESCO, 2010:8). Stepping Stones for Heritage (SSH) merupakan sebuah pendekatan berbasis partisipasi masyarakat lokal dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan. Pendekatan SSH dilakukan oleh Stepwise Heritage and Tourism di Pulau Lihir di tahun 2007. Pulau Lihir yang terletak di New Ireland, Kepulauan Bismarch, Papua Nugini, merupakan sebuah wilayah yang kaya akan emas. Tahun 1995, Pulau Lihir berubah menjadi pusat pertambangan emas dengan pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat setelah ditandatanganinya perjanjian antara masyarakat Lihir, pemerintah, dan Lihir Management Company (LMC) (Bainton,

24

et al, 2011:88). Akan tetapi, perjanjian yang ditandatangani di tahun 1995 tersebut tidak secara jelas memberikan pembagian hasil pertambangan untuk masyarakat Lihir, serta bagaimana bentuk tanggung jawab dari perusahaan pengelolaan tambang LMC dan Pemerintah Papua Nugini (Filler, 1997). Perjanjian tersebut juga tidak memberikan bentuk pengelolaan pelestarian kawasan dan warisan masyarakat Lihir yang akan dilakukan (Bainton, et al, 2010: 89). Tahun 2007, Stepwise Heritage and Tourism dikontrak oleh Lihir Gold Limited (LGL), yang menggantikan LMC di tahun 2005, untuk memfasilitasi workshop pengelolaan pelestarian kawasan dan budaya dengan masyarakat Lihir dan mendokumentasikan hasil yang diperoleh. Stepwise Heritage and Tourism menggunakan pendekatan SSH dan mendapatkan bahwa ada lima hal yang dipercaya oleh masyarakat setempat menjadi dasar dalam pengelolaan pelestarian warisan budaya lokal. Kelima hal tersebut terdiri dari: men’s house institutions, custom law, language, matrilineal clan system, dan leadership.Semuanya dirangkum dalam sebuah Perencanaan Warisan Budaya Lihir yang dijadikan acuan dasar dalam pembuatan kebijakan pengelolaan pelestarian kawasan dan budaya di Pulau Lihir (Bantin, et al, 2011). Catur Angga Batukaru merupakan kawasan Situs Warisan Budaya Dunia UNESCO yang mencakup areal persawahan yang sangat luas. Sebagai kawasan yang meliputi 20 subak, dibutuhkan sebuah bentuk perencanaan pengelolaan yang

terintegrasi dan menyeluruh antara masyarakat , kelompok subak, dan pemerintah. Masuknya Kawasan Catur Angga Batukaru sebagai Situs Warisan Budaya Dunia menarik minat wisatawan baik domestik maupun internasional untuk datang berkunjung. Sebuah perencanaan pengelolaan yang melibatkan gagasan dan partisipasi petani secara langsung dapat menentukan pola pembangunan bagi Kawasan Catur Angga Batukaru yang lebih berkelanjutan.

STEPPING STONES FOR HERITAGE Partisipasi aktif masyarakat lokal sangatlah penting dalam menentukan kebijakan-kebijakan, strategi, dan aksi yang tepat dan menyeluruh dalam pengelolaan kawasan Warisan Budaya Dunia. Penelitian ini dalam pelaksanaannya dibagi ke dalam tiga tahapan, yaitu: sosialisasi penelitian dengan menjelaskan tujuan dari penelitian yang dilakukan, mengajak petani berpartisipasi secara langsung melalui perencanaan partisipatif (participatory planning), dan terakhir dengan menganalisa berbagai data dan informasi yang diperoleh untuk kemudian dirumuskan menjadi sebuah perencanaan pengelolaan dan pelestarian kawasan Warisan Budaya Dunia yang efektif. Participatory Planning merupakan langkah-langkah dalam pelestarian kawasan Warisan Budaya Dunia dengan menggunakan pendekatan Stepping Stones for Heritage (SSH) (Bainton, et al, 2011:93). Ada sepuluh langkah dalam SSH, yaitu: (1).

25

Vision for the future, (2). Who is involved, (3).What we know, (4). What is important, (5).What the issues are, (6). Strengths and weaknesses, (7). What the ideas are, (8). What the objectives are, (9). Action Plan, (10). Making it happen. Penelitian ini memfokuskan pada langkah pertama dan kedua, yaitu vision for the future dan who is involved.

PENGELOLAAN LANSKAP BUDAYA CATUR ANGGA BATUKARU Catur Angga Batukaru merupakan salah satu kawasan Warisan Budaya Dunia yang masuk ke dalam Lanskap Budaya Bali. UNESCO menetapkan kawasan tersebut ke dalam Daftar Situs Warisan Budaya Dunia di tahun 2012 di Saint Petersburg, Rusia. Lanskap Budaya Bali terdiri dari kawasan Pura Luhur Ulun Danu Batur dan Danau Batur, Pura Taman Ayun, Daerah Aliran Sungai (DAS) Pakerisan, dan Lanskap Subak Catur Angga Batukaru. Keempat kawasan tersebut menggambarkan sistem pengairan tradisional Bali yang dikenal dengan nama subak. Subak dianggap mampu merefleksikan nilai filosofi Tri Hita Karana, tiga penyebab kesejahteraan dan kebahagiaan menurut kepercayaan masyarakat Bali. Tri Hita Karana terdiri dari hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan (parhyangan), manusia dengan manusia (pawongan), dan manusia dengan lingkungannya (palemahan). Pembangunan yang berlangsung pesat terutama di sektor pariwisata mengancam keberlangsungan sistem subak di Bali. Pemerintah daerah didukung oleh

pemerintah pusat kemudian mengajukan Lanskap Budaya Bali ke dalam Daftar Situs Warisan Budaya Dunia UNESCO sebagai salah satu upaya untuk melindungi dan melestarikan sistem subak di Bali. Pengakuan Lanskap Budaya Bali sebagai Warisan Budaya Dunia menyebabkan Pemerintah Indonesia, terutama Pemerintah Daerah Bali, untuk mengikuti Petunjuk Pelaksana Pengelolaan Situs Warisan Budaya Dunia. Petunjuk Pelaksana Pengelolaan UNESCO mengharuskan agar pemilik dan pengelola asli kawasan dilibatkan dalam upaya perlindungan dan pengelolaan kawasan Warisan Budaya Dunia. Penelitian ini melihat partisipasi petani sebagai pemilik dan pengelola asli kawasan dalam pengelolaan Warisan Budaya Dunia Catur Angga Batukaru. Catur Angga Batukaru dipilih karena merupakan kawasan yang paling luas dibandingkan dengan kawasan lainnya di dalam Lanskap Budaya Bali dan memiliki tingkat kompleksitas ekologi subak yang paling lengkap. Kawasan Catur Angga Batukaru terdiri dari hutan, danau, pura-pura yang terkait dalam sistem subak, desa, dan 20 subak yang termasuk didalamnya. Keterlibatan petani dalam perlindungan dan pengelolaan Warisan Budaya Dunia Catur Angga Batukaru oleh karenanya menjadi sangat penting. Subak berkembang dan bertahan selama ribuan tahun karena keterlibatan petani didalamnya. Penelitian ini terbagi kedalam dua bagian yaitu vision for the future dan

26

who is involved. Dua pertanyaan tersebut merupakan bagian dari Stepping Stones for Heritage yang diperkenalkan oleh Stepwise Heritage and Tourism Vision. Vision for the future digunakan untuk melihat pemahaman petani dalam memaknai Kawasan Catur Angga Batukaru sebagai Situs Warisan Budaya Dunia UNESCO. Pemahaman petani tersebut penting untuk menentukan visi dari pelestarian dan pengelolaan Kawasan Catur Angga Batukaru. Who is involved digunakan untuk dapat mengidentifikasi para pemangku kepentingan selain petani dalam pelestarian dan pengelolaan Kawasan Warisan Budaya Dunia di Bali. Identifikasi para pemangku kepentingan sangat penting dilakukan agar peran dan pembagian tanggung jawab pengelolaan dapat dilakukan.

Vision for the Future Proses untuk menjadikan Kawasan Catur Angga Batukaru sebagai Situs Warisan Budaya Dunia UNESCO yang dimulai sejak tahun 2003 menyebabkan semua petani tahu akan status Warisan Budaya Dunia yang disandang subak mereka sejak tahun 2012. Selain karena mengikuti proses dari awal, para petani mendengar mengenai status Warisan Budaya Dunia dari sosialisasi yang dilakukan oleh Dinas Kebudayaan Provinsi Bali dan melalui media eletronik. Akan tetapi, pengetahuan sebagai bagian dari Daftar Situs Warisan Budaya Dunia tidak serta merta memberikan sistem pengelolaan yang efektif dalam kawasan. Para pe tan i mel iha t bahwa

pelestarian dan perlindungan terhadap kawasan sangatlah penting untuk mengacu pada filosofi Tri Hita Karana. Berbagai ritual dalam sistem subak harus dilestarikan dan pengolahan lahan harus menggunakan pendekatan pertanian organik dan berkelanjutan. Para petani harus tetap bekerja sama dalam pengolahan lahan pertanian melalui keorganisasian subak. Adapun koordinasi dalam sistem subak yang harus dipertahankan diantaranya: pengolahan tanah, sistem bagi air seperti tembuku dan lainnya, pemilihan bibit lokal, penggunaan pupuk organik, dan pelestarian budaya bertani tradisional melalui berbagai ritual dan upacara. Beberapa tantangan yang ada dalam mempertahankan sistem subak di Bali saat ini, diantaranya: (1) Meningkatnya harga kebutuhan ritual dan upacara dalam pengolahan pertanian, (2) Persepsi anggota subak yang semakin berubah karena derasnya arus modernisasi, (3) Kondisi air dan lingkungan yang semakin tidak mendukung sistem pertanian tradisional karena alih fungsi lahan yang cukup tinggi di Bali, (4)Tingkat pendapatan sebagai petani yang masih sangat rendah sehingga pekerjaan menjadi petani mulai ditinggalkan, (5) Meningkatnya hama tanaman padi seperti tikus dan wereng, (6) Tidak semua lahan diketahui pemiliknya karena banyak lahan pertanian yang digarap oleh orang lain atau pekerja musiman, (7) Penggunaan pupuk kimia yang berlebihan dan polusi di saluran irigasi terutama dari sampah plastic dan kotoran dari

27

peternakan-peternakan besar seperti ayam dan babi, (8) Kurangnya infrastruktur pertanian seperti perbaikan pura-pura yang berkaitan dengan subak, balai subak, jalan usaha tani, dan koperasi untuk petani, (9) Bantuan pemerintah yang kadang tidak sesuai, seperti misalnya bantuan traktor yang terlalu besar sehingga tidak sesuai dan tidak bisa digunakan. Petani memiliki keinginan untuk menjual dan membeli yang lebih kecil tapi tidak diperbolehkan sehingga akhirnya traktor tersebut dibiarkan saja. (10) Rendahnya tingkat kepedulian generasi muda kepada kehidupan bertani di Bali karena dianggap pekerjaan kotor dan tidak menguntungkan. Beberapa tantangan yang dihadapi oleh petani sebagaimana disebutkan sebelumnya, alih fungsi lahan merupakan ancaman yang paling utama dalam melestarikan sistem subak di Bali. Tanpa lahan persawahan, maka subak dengan sendirinya akan hilang. Oleh karenanya, diperlukan upaya bersama dalam mengurangi dan mencegah alih fungsi lahan yang berlangsung sangat cepat di Bali. Pelestarian hutan sebagai daerah tangkapan air dan sumber mata air yang mengairi sawah-sawah dalam sistem subak sangatlah penting untuk dilakukan. Seringkali terjadi penyalahgunaan air oleh pihak-pihak lain selain petani, seperti untuk kebutuhan rumah tangga, pariwisata, dan perusahaan swasta seperti air kemasan, sehingga kebutuhan air pertanian menjadi sangat berkurang. Masyarakat yang tinggal dalam Kawasan Warisan Budaya Dunia

merasa terbebani dengan tanggung jawab untuk menjaga hutan. Selain itu, petani tidak berdaya menghadapi perilaku pihak luar kawasan seperti hotel, perusahaan air minum, dan lainnya yang tidak berkontribusi terhadap pelestarian daerah tangkapan air seperti hutan. Berbagai flora dan fauna yang ada dalam sistem subak juga patut dilestarikan untuk menjaga rantai makanan. Ini penting dilakukan untuk mengendalikan hama karena beberapa diantara jenis flora dan fauna tersebut merupakan predator hama yang menguntungkan petani dalam melakukan pengelolaan pertanian. Kerja sama dari berbagai pihak atau pemangku kepentingan, dari petani, pemerintah daerah dan pemerintah pusat, hingga pelaku industri lain yang memiliki pengaruh secara langsung maupun tidak kepada sektor pertanian perlu dilakukan. Petani saja tidak bisa dibebankan untuk melestarikan dan mempertahankan sistem subak di Bali. Pemerintah seharusnya memberikan dukungan kepada subak dalam melakukan rangkaian upacara pertanian karena harga upacara yang semakin mahal, mengakui dan membantu sosialisasi dan penerapan awig-awig, memberikan asuransi untuk petani sehingga pada saat panen raya harga tidak akan turun secara drastis dan jika terjadi gagal panen maka petani memiliki dana talangan dari asuransi tersebut, memberikan subsidi gabah dan bukan pupuk karena petani berharap agar dapat kembali kepada sistem pertanian organik seperti dulu, melakukan reboisasi karena terjadinya penurunan debit air

28

dan ini harus dilakukan secara sekala dan niskala melalui matur piuning, melakukan pembasmian hama dengan cara-cara tradisional dan bukan dengan bahan kimia seperti pestisida, membantu pengajuan proposal-proposal ke dinas-dinas terkait untuk mendukung kebutuhan pengolahan pertanian, membantu koordinasi antara subak dan desa, mendukung pengembangan teknologi pertanian dan memberikan inovasi pengolahan limbah, memberikan sanksi berupa teguran ataupun pidana dan perdata kalau terjadi pelanggaran, dan memberikan hak swa-kelola sistem subak dengan bantuan dana dari pemerintah. Subak sebagai sebuah ekosistem merupakan warisan dari leluhur untuk generasi sekarang dan mendatang. Sistem pengelolaan yang efektif dibutuhkan agar keberlangsungan subak terjamin. Upaya pelestarian dan pengelolaan yang dilakukan selama ini dirasa masih lemah karena hanya melibatkan petani dan pemerintah kurang terlibat didalamnya. Pedoman pengelolaan yang dipakai sejauh ini hanya pedoman Warisan Budaya Dunia yang diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Beberapa upaya yang dapat dilakukan di dalam pengelolaan yaitu: (1) Perlindungan terhadap hutan, flora dan fauna. Masyarakat sebaiknya dihimbau agar tidak semena-mena menebang hutan. Keberhasilan pelestarian hutan akan menjamin penyimpanan air yang dibutuhkan dalam pertanian. Hutan merupakan daerah tangkapan air yang dapat menjaga tingkat debit air. Perlindungan dan pelestarian hutan

juga penting untuk mencegah terjadinya bencana seperti kekeringan, longsor, dan banjir. (2) Pengenalan sistem pertanian organik. Petani berpendapat bahwa pengurangan penggunaan pupuk kimia dan peningkatan penggunaan pupuk organik dapat memperbaiki struktur kesuburan tanah dan meningkatkan kualitas hasil produksi padi. (3) Pelaksanaan berbagai ritual dan upacara dalam subak yang harus dilestarikan. Pemerintah memiliki peran disini untuk mendukung petani dalam menjalankan berbagai tradisi ritual yang diperlukan dalam pengolahan lahan pertanian. Tingkat kebutuhan yang tinggi dan pendapatan masyarakat tani yang masih rendah membutuhkan campur tangan pemerintah terutama dalam perlindungan harga hasil produksi. Jika pendapatan petani meningkat, maka berbagai ritual yang dibutuhkan dalam pengolahan pertanian dapat terus dilakukan. Ini dikarenakan biaya yang dibutuhkan dalam melakukan berbagai ritual semakin meningkat. (4) Pencegahan alih fungsi lahan. Pemerintah sebaiknya menghimbau masyarakat agar tidak menjual lahan atau mengalih-fungsikan lahan pertanian. Walaupun subak memiliki awig-awig yang mengatur alih fungsi lahan, seringkali pemerintah juga yang mengeluarkan ijin untuk jual-beli lahan maupun alih fungsi lahan. Petani menganggap pemerintah daerah, terutama pemerintah lokal, belum memiliki keseriusan dalam pencegahan alih fungsi lahan baik melalui penetapan peraturan daerah maupun pengimplementasian

29

peraturan tersebut. P e n g e l o l a a n y a n g e f e k t i f membutuhkan pengawasan didalamnya. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi pelanggaran dalam pelestarian dan pengelolaan Kawasan Warisan Budaya Dunia Catur Angga Batukaru adalah dengan mengusulkan agar ada sanksi tegas dari pemerintah baik secara pidana maupun perdata. Walaupun masing-masing subak memiliki awig-awig, peraturan tradisional, seluruh responden sepakat bahwa sulit melawan ijin yang dikeluarkan oleh pemerintah yang bertentangan dengan upaya pelestarian dan pengelolaan kawasan. Pekaseh merupakan kunci dalam pengelolaan dan pengawasan sistem pertanian dalam subak. Pekaseh sebagai ketua subak harus mampu mengkoordinasi krama (anggota) subaknya dan menjembatani komunikasi antar subak, desa, pemerintah, dan pemangku kepentingan lainnya. Berbagai tantangan yang ada dalam pelestarian dan pengelolaan subak bisa diatasi kalau melibatkan pemerintah daerah, desa (kepala desa), desa adat (bendesa adat), pekaseh, krama subak, pura (pemangku), puri, dan pihak lain yang harus dilibatkan.

Who is Involved Upaya pelestarian dan pengelolaan Kawasan Warisan Budaya Dunia Catur Angga Batukaru dapat dilakukan apabila pihak-pihak atau pemangku kepentingan yang terlibat didalamnya dapat diidentifikasi. Identifikasi pemangku kepentingan dalam sistem subak oleh karenanya menjadi

signifikan. Penelitian ini menemukan bahwa para pemangku kepentingan tersebut diantaranya: petani dan pekaseh, Dinas Pendapatan Daerah, Dinas Kebudayaan, Pemerintah Daerah, akademisi, puri, pemangku, Dinas Pekerjaan Umum, Desa Dinas, Desa Adat, Kecamatan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Dinas Pertanian Kabupaten, Dinas Pajak. Koordinasi dari berbagai kepentingan tersebut dapat membantu keberlanjutan sistem subak melalui perbaikan saluran irigasi dan peningkatan hasil tani. Dinas Pertanian Kabupaten Tabanan, Dinas Pekerjaan Umum dan Dinas Pajak Kabupaten Tabanan dan dinas lainnya telah berkontribusi dalam memberikan keringanan pembayaran pajak sebesar 50 persen kepada petani-petani yang masuk dalam Kawasan Catur Angga Batukaru. Para petani di Kawasan Catur Angga Batukaru melihat bahwa semua pemangku kepentingan yang disebutkan diatas telah terlibat dalam pengambilan keputusan, akan tetapi peran Pemerintah Kabupaten dirasa masih sangat kurang. Pemerintah Daerah dilihat masih sering memberikan ijin dan berlaku lunak kepada pelaku pelanggaran alih fungsi lahan di Kawasan Catur Angga Batukaru. Pengurusan ijin penjualan tanah seharusnya melalui pekaseh dan desa. Akan tetapi, peraturan baru dari Dinas Agraria yang memperbolehkan penjualan atau perijinan hanya melalui desa tanpa melalui kesepakatan pekaseh membuat banyaknya terjadi alih fungsi lahan sawah. Hal ini sering menimbulkan masalah ketika

30

tanah yang telah dijual pemilik yang baru meminta SPTT ke pekaseh. Petani juga melihat perlunya untuk melibatkan Dinas Pariwisata karena terjadinya peningkatan kunjungan wisatawan baik domestik maupun internasional ke dalam Kawasan Catur Angga Batukaru. Hal ini telah menimbulkan konflik kepentingan antara petani sebagai pemilik dan pengelola lokal dengan pelaku industri pariwisata yang banyak berasal dari luar kawasan. Peran pekaseh, kelian tempek, dan petani dalam pengelolaan subak adalah untuk pengaturan pembagian air, aci atau upakara serta pola tanam. Berdasarkan pada peran tersebut, hubungan pekaseh, kelian tempek, dan petani adalah merupakan satu kesatuan. Peran mereka dalam pengelolaan subak hanyalah sebatas koordinasi dan ini dilakukan dengan cara melakukan pertemuan rutin yang diadakan tiap kali musim tanam dan bila terjadi masalah yang perlu untuk didiskusikan bersama. Berikut adalah beberapa peran yang dilakukan oleh pemangku kepentingan dalam pengelolaan subak:

1. Pekaseh berperan dalam memimpin subak , menjadi jembatan untuk menghubungkan kepentingan krama subaknya dengan pemerintah, menunjang segala kegiatan yang ada di subak seperti pembagian air dan upacara. Peran ini bertambah menjadi pelaksana ketentuan-ketentuan pengelolaan Warisan Budaya Dunia semenjak Kawasan Catur Angga Batukaru diakui oleh UNESCO.

2. Petani bertugas untuk mengatur keberlangsungan sawah dan melaksanakan kegiatan sesuai dengan arahan pekaseh

atau kelian tempek dan aci atau upakara.

3. Kelian tempek mengerahkan tenaga untuk kegiatan gotong royong di subak, saling berkordinasi, mendukung dengan kelian tempek lain, pekaseh, dan krama subaknya secara terintegrasi.

4. Pura atau pemangku sebagai wadah untuk memohon keselamatan, pemimpin ritual keagamaan untuk subak.

5. Puri sebagai pelindung di semua wilayah Tabanan dan juga ketika ada masalah hama di sawah, krama subak akan tangkil atau menghadap ke puri sebagai panutan termasuk dalam penentuan upakara.

6. Desa adat dan desa dinas dianggap memiliki peran otonom sehingga tugasnya hanya untuk koordinasi atau penyampaian informasi saja. Secara khusus, desa adat ikut terlibat dalam kegiatan prastiti sedangkan desa dinas mengawal dana bantuan untuk subak, yaitu untuk menyatukan dan melestarikan subak.

7. Pemerintah Kabupaten berperan dalam mendukung program pertanian dan sebagai penghubung masyarakat bawah. Peran ini dirasa belum optimal dilakukan. Lembaga-lembaga yang ditugaskan untuk mensejahterakan pelaku usaha pertanian seperti Badan Penyuluh Lapangan (BPL) masih belum memberikan manfaat. Slogan “Indah Serasi” hanya menjadi slogan dan tidak ada penerapannya.

8. Pemerintah Provinsi berperan dalam memonitoring dan sudah terlaksana secara intensif dan pemberian sumbangan pertanian yang juga sudah dilakukan. Pemerintah Provinsi juga sudah lebih tanggap apabila terjadi pelanggaran.

31

9. Pemerintah Nasional berperan dalam pengambil kebijakan untuk pelestarian kawasan. Namun terkadang peran ini dirasa tidak sesuai dengan kebutuhan di lapangan, seperti subsidi pupuk dan bantuan irigasi yang terkadang kurang tepat sasaran.

10. Akademisi seperti Pusat Penelitian Subak Universitas Udayana memiliki peran dalam pengakuan Warisan Budaya Dunia dan hingga sekarang masih sering melakukan sosialisasi. Para akademisi telah memberikan dukungan terhadap terbentuknya Forum Pekaseh dalam pelestarian dan pengelolaan Kawasan Warisan Budaya Dunia Catur Angga Batukaru melalui berbagai penelitian dan fasilitasi.

11. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) belum memiliki peran yang jelas, walaupun beberapa LSM terlibat dalam program pemetaan di dalam Kawasan Warisan Budaya Dunia Catur Angga Batukaru dan pelaksanaan musyawarah subak.

12. Pelaku pariwisata masih belum terlibat dalam pelestarian dan pengelolaan Kawasan Warisan Budaya Dunia Catur Angga Batukaru dan justru seringkali merusak sehingga menjadi ancaman bagi pelestarian kawasan.

13. Lembaga asing yaitu UNESCO berperan dalam pemberian sertifikat Warisan Budaya Dunia dan pengawasan terhadap upaya pengelolaan situs. Akan tetapi petani berharap kedepannya UNESCO dapat memberikan bantuan sebagai penyalur aspirasi petani.

KESIMPULAN Hasil penelitian menunjukkan

bahwa petani merupakan pemangku kepentingan yang memiliki peran utama sehingga harus dilibatkan dalam segala proses pembuatan kebijakan terkait pengelolaan Kawasan Warisan Budaya Dunia Catur Angga Batukaru. Selain itu, pemerintah daerah harus meningkatkan perannya untuk mendukung petani sebagai pengelola kawasan.Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa visi pengelolaan Warisan Budaya Dunia yang utama adalah untuk melestarikan budaya subak sesuai dengan nilai-nilai Tri Hita Karana serta penguatan peran pekaseh dalam mengawasi pengelolaan Warisan Budaya Dunia Catur Angga Batukaru.Pengelolaan yang sesuai dengan nilai-nilai Tri Hita Karana penting dilakukan karena ketiganya saling terkait. Pengelolaan seharusnya melihat petani dan pekaseh sebagai ujung tombak dalam pelestarian sistem subak di Bali.Petani dan pekaseh membuat perarem atau awig-awig atau aturan baru kemudian diusulkan kepada pemerintah menyesuaikan kebijakan pemerintah.Kalau pemerintah yang membuat kebijakan maka petani hanya bisa melakukan demo bila terjadi pelanggaran. Pemerintah harus mempertimbangkan awig-awig atau perarem dalam pengeluaran ijin. Kalau pemerintah mengeluarkan kebijakan sesuai dengan peraremmaka kecil kemungkinan terjadinya pelanggaran. Sanksi harus diberlakukan melalui peraturan daerah. Bentuk sanksi disesuaikan dengan pelanggaran yang dilakukan, misalnya dengan memberi teguran di tempat, teguran tertulis, penindakan hukum atau

32

penangkapan. Penegak hukum tersebut bisa pekaseh melalui Forum Pekaseh, pemerintah daerah maupun pemerintah pusat, dan penegak hukum yaitu polisi.

33

SISTEM INFORMASI MANAJEMEN DAN INTERAKSI ORGANISASI DALAM NETWORK SOCIETY

Ade Devia PradiptaProgram Studi Ilmu Komunikasi

Fakusltas Ilmu Sosial dan Ilmu PolitikUniversitas Udayana

Email: [email protected]

Bussines competition demands the corporates adapting with the environment, such as adapt with the information and communication technology and new media. The advanced technology impacts the growth of the network society. These network society make the corporate apply new media on their organization. New media application supports the corporate in staying connected with the members of the organization involving in corporate management (stakeholders). Management Information System is one of new media which can help the corporate to interact with the stakeholder. Moreover, Management Information Systems is one of the corporate efforts to adapt with the environment as an open system. Keywords: organization, corporate,new media, stakeholder, interaction, system.

PendahuluanEra globalisasi yang didukung

dengan adanya kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi menyebabkan persaingan bisnis yang semakin ketat. Perusahaan-perusahaan berskala besar atau multinasional semakin berusaha menancapkan kukunya dalam semua segmen pasar. Tumbuhnya perekonomian dunia menyebabkan perusahaan berlomba-lomba untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Namun, saat ini tujuan perusahaan bukan hanya memperoleh keuntungan saja, tetapi bagaimana berhasil bertahan di era globalisasi dan di era masyarakat yang semuanya serba terhubung (network society). Dalam rangka mempertahankan eksistensinya, perusahaan haruslah mampu berkomunikasi dengan semua komunitas yang terlibat dalam pengelolaan perusahaan, seperti pemasok, karyawan, pelanggan, bahkan pesaing. Perusahaan merupakan suatu sistem dalam sistem ekonomi yang harus berinteraksi dengan sistem lainnya. Sistem fisik sebuah perusahaan adalah suatu sistem terbuka yang berinteraksi dengan lingkungannya melalui aliran sumber daya fisik (McLeod, Jr. dan

Schell, 2006). Buckley dalam Ritzer dan Goodman (2003) menyatakan bahwa sistem yang lebih terbuka lebih mampu merespon secara selektif terhadap lingkungannya yang lebih luas dan bervariasi. Oleh karena itu, sangatlah penting bagi perusahaan untuk berinteraksi dengan Komunitas yang terlibat dalam proses operasi perusahaan.

Dalam suatu komunitas, biasanya terdapat sekumpulan individu yang memiliki ketertarikan pada hal yang sama, di mana di dalam komunitas tersebut mereka bisa saling berinteraksi. Dengan kata lain, dalam masyarakat akan terbentuk suatu network society dari beberapa komunitas-komunitas yang ada dalam masyarakat tersebut. Konsep network society menekankan bentuk dan organisasi proses pengolahan dan pertukaran informasi. Pengolahan dan pertukaran informasi ini penting dilakukan untuk mengurangi ketidakpastian yang ditimbulkan dari lingkungan. Ketidakpastian ini dapat mempengaruhi kinerja organisasi dan kemampuannya untuk merespon lingkungan. Organisasi baik laba maupun nirlaba harus mampu berinteraksi dengan masyarakat jaringan guna mendapatkan informasi yang akurat dan relevan bagi organisasi. Oleh karena

34

itu, masyarakat jaringan (network society) dapat didefinisikan sebagai formasi sosial dimana infrastruktur jaringan media dan sosial menentukan bentuk-bentuk utamanya dalam setiap level. pada masyarakat Timur, network society terdiri dari keluarga, komunitas, dan kelompok kerja yang terhubung dengan jaringan (Van Dijk, 2006: 20).

Network society diawali dengan adanya konsep masyarakat informasi (information society) yang akrab dengan teknologi informasi yang ada. Network society merupakan suatu bentuk sosial masyarakat yang memiliki pengaruh dalam bidang teknologi, ekonomi, politik dan kekuasaan, budaya, hukum, sosial, dan psikologi. Terbentuknya network society dalam masyarakat sendiri sangat dipengaruhi oleh adanya kemajuan teknologi media atau new media. Salah satu contohnya adalah perkembangan Internet dan telepon genggam. Cardoso (2006), menyatakan bahwa adanya internet menimbulkan perubahan media tradisional yang awalnnya menggunakan teknologi analog menjadi teknologi digital. Internet merupakan media atau jembatan penghubung antara media tradisional dengan new media. Selain itu, internet menyebabkan meningkatnya interkoneksi antara semua bentuk media, baik yang menggunakan teknologi digital maupun analog. Network Society dalam Pertumbuhan Ekonomi

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa network society berperan penting dalam pertumbuhan ekonomi masyarakat. Jaringan (networks) diyakini akan menjadi suatu bentuk organisasi ekonomi pada pasar tradisional dan hierarki dalam pemerintahan dan organisasi. Dalam jaringan ini, terdapat aktor-aktor yang berkaitan dengan penawaran dan permintaan dalam organisasi (Van Dijk, 2006: 61-62). Misalnya saja dalam korporasi, terdapat jaringan produsen (producer networks) dan juga jaringan

konsumen (consumer networks). Pada korporasi, jaringan produsen dimulai dari infrastruktur manufaktur sampai dengan penyedia jasa, sedangkan jaringan konsumen dimulai dari korporasi sampai pengguna akhir.

Bentuk network society dalam pertumbuhan ekonomi adalah adanya desentralisasi produksi dan sentralisasi pengawasan dan kapital. Desentralisasi produksi pada korporasi dapat dilihat ketika perusahaan melakukan ekspansi pasar melalui investasi di berbagai negara. Organisasi ekonomi, dalam hal ini korporasi, yang terdesentralisasi merupakan suatu reaksi atas permasalahan organisasional dan keuangan perusahaan. Bagaimanapun, hal ini akan meningkatkan peningkatan kebutuhan akan komunikasi dan kemudian masalah kapasitas pada infrastruktur yang telah ada (Palvia et al., 1992 dalam Van Dijk, 2006: 66). Van Dijk (2006) menyatakan bahwa kurangnya kapasitas dan fleksibilitas pada jaringan publik merupakan alasan utama bagi korporasi untuk membangun jaringan internasionalnya sendiri dan menempatkan cabang-cabang perusahaan dengan harapan mampu berinvestasi lebih besar.

Perusahaan yang melakukan desentralisasi produksi secara tidak langsung akan memperoleh keuntungan bagi dirinya. Keuntungan yang diperoleh adalah perluasan pasar dan juga eksplorasi sumber daya di mana cabang perusahaan berada. Selain itu, adanya desentralisasi produksi akan berakibat pada efisiensi biaya produksi. Sebelum melakukan desentralisasi produksi, perusahaan haruslah memilih lokasi yang tepat sehingga memudahkan mereka dalam melakukan produksi dan pengelolaan perusahaan. Perusahaan sebelum melakukan desentralisasi produksi haruslah mempertimbangkan sumber daya, baik alam maupun manusia yang akan digunakan.New Media dan Consumer Networks

35

Layaknya korporasi lainnya, korporasi dengan desentralisasi produksi tentu saja memiliki jaringan produsen dan juga jaringan konsumen. Jaringan konsumen dalam suatu perusahaan dapat dipengaruhi oleh timbulnya new media dalam masyarakat. Sebaliknya, perusahaan dapat menggunakan new media sebagai salah satu penghubungan antar anggota dalam jaringan konsumennya. New media dapat pula digunakan sebagai penghubung antara perusahaan dengan pengguna akhir, dan perusahaan dengan bagian-bagian di dalam perusahaan.

Pada masa sebelumnya, komunikasi antar anggota dalam jaringan konsumen menggunakan media tradisional dengan teknologi analog. Namun, saat ini komunikasi tersebut telah menggunakan new media yang dikombinasikan dengan media tradisional. Di awal perkenalannya, new media sukses menembus pasar karena kemampuannya dalam hal diferensiasi, individual isas i , dan personal isas i permintaan para penggunanya (Van Dijk, 2006). Diferensiasi, individualisasi, dan pesonalisasi permintaan tergantung pada kebutuhan informasi pengguna.

Silverstone dan Hadden (1996 dalam Van Dijk, 2006) menyatakan bahwa pada saat ini terjadi penurunan penawaran new media dalam pasar karena ada desain oleh produsen dan domestikasi oleh konsumen. Domestikasi adalah penerimaan teknologi baru oleh konsumen pada level rumah tangga,tempat kerja, dan tempat-tempat pribadi lainnya sehingga teknologi tersebut menjadi familiar dalam kehidupan seharii-hari mereka. Domestikasi merupakan pendahulu desain, sedangakan desain akang dilengkapi dalam domestikasi. Jadi, terlihat bahwa desain dan domestikasi menjadi bagian yang terpisah ketika terjadi proses adopsi new media oleh rumah tangga dan konsumen individual. Namun, hal ini merupakan ketidakcocokan antara desain oleh produsen dengan permintaan

oleh konsumen. Terdapat tiga alasan yang mendasari ketidakcocokan ini (Van Dijk, 2006), yaitu:

1) Supply-side view . Dalam hal ini, produsen cenderung lebih mendominasi pasar melalui desain, produksi, dan pemasaran new media dalam masyarakat. produsenlah merupakan aktor penentu dalam hal fitur-fitur ang ad dalam new media, seperti kecepatan, kenyamanan penggunaan , dan kapas i t a s komunikasi lainnya.

2) Technical desain. Ketidakcocokan antara desain dan domestikasi dapat disebabkan adanya dominasi desain teknik dari jaringan produsen dalam hal pengembangan perangkat keras dan lunak. Produsen cenderung m e n c u r a h k a n p e r h a t i a n n y a pada bagaimana kapabi l i tas teknologi yang menuru mereka enak digunakan, tanpa melihat bagaimana kenyataan pasar dan apakah teknologi tersebut mudah digunakan oleh konsumen.

3) Device perspective or service perspec t i ve . Kedua ha l in i dapat dilihat pada konvergensi komputer dan televisi, dimana menurut produsen kedua pernagkat ini bisa saling bertukar peran. Namun, produsen terkadang tak mempertimbangkan kenyamanan dari para pengguna perangkat t e r s e b u t . Va n D i j k ( 2 0 0 6 ) berpendapat bahwa teknologi sederhana yang menyebabkan televise dan komputer dapat berfungsi ganda tidak berarti kedua perangkat tersebut dapat diterima dengan baik pada hubungan sosial di setiap rumah tangga.

Pada kenyataannya, saat ini banyak masyarakat yang telah menggunakan new media dalam kehidupan shari-hari mereka. Namun, penyebab utama masyarakat

36

banyak menggunakan new media adalah nilai tambah yang diperoleh ketika mereka menggunakan kombinasi media tradisional dan new media untuk berinteraksi dengan orang lain di seluruh dunia. Sebagian besar orang mungkin saja masih nyaman dengan hanya menggunakan media tradisional untuk berkomunikasi. Namun, sebagian lagi merasa hidup mereka akan lebih mudah jika mengkombinasikan kedua jenis media tersebut. Jaringan Komunikasi dan Informasi dalam Organisasi

Jaringan komunikasi merupakan po la -po la koneks i an ta r e lemen-elemen komunikasi yang dibentuk dari memancarkan dan bertukar pesan melalui ruang dan waktu. Pada beberapa organisasi, terutama perusahaan, jaringan ini dapat dilihat menjadi berbagai macam bentuk meliputi jaringan koneksi pribadi, arus informasi di dalam dan di luar kelompok, aliansi strategis antar perusahaan, dan jaringan perusahan global (Jablin & Putnam, 2005). Dalam komunikasi organisasi, jaringan ini berkaitan dengan “menyediakan informasi untuk siapa”, “memperoleh informasi dari siapa”, dan “dengan siapa kita berkomunikasi”. Arus informasi akan berputar dari dan ke dalam organisasi, mulai dari publik internal sampai ke publik eksternal. Informasi ini akan diolah sedemikian rupa sehingga membentuk suatu siklus tertentu yang akan bermanfaat bagi organisasi dalam pengambilan keputusan.

McQuail (2010) menyatakan bahwa jaringan komunikasi mengacu pada kumpulan titik-titik (tempat maupun individu) yang saling berhubungan yang memungkinkan pengiriman dan pertukaran informasi antar titik tersebut. Pada organisasi , s is tem informasi berbasis teknologi memungkinkan saling keterhubungan ini terjadi. Sistem ini dapat dikatakan sebagai sebuah media baru yang mampu memberikan informasi bagi seluruh anggota organisasi. Teknologi media baru

biasanya menyediakan hubungan interaktif pada berbagai ranah. Teknologi ini akan membantu organisasi untuk tetap saling terhubung dengan sistem-sistem lain yang berada pada lingkungan organisasi.

Organisasi sebagai sebuah sistem berada dalam lingkungan informasi yang multi-tafsir. Karl Weick mengasumsikan bahwa informasi yang diterima oleh organisasi berbeda dalam hal tingkat kepastiannya dan organisasi berusaha untuk mengurangi ketidakpastian informasi tersebut (Morissan, 2009). Informasi yang mengelilingi organisasi dapat berasal dari luar maupun dari dalam organisasi. Kemampuan setiap organisasi untuk memproses dan mengelola informasi tersebut berbeda-beda, tergantung pada karakteristik organisasi tersebut.

Weick mengasumsikan bahwa organisasi berada dalam suatu lingkungan informasi yang mengakibatkan organisasi bergantung pada informasi untuk dapat berfungsi secara efektif demi mencapai tujuan organisasi. Lingkungan informasi merupakan ketersediaan seluruh stimuli dalam organisasi. Organisasi dapat setiap saat dapat menerima informasi baik dari dalam maupun luar organisasi. Namun, tidak semua informasi yang masuk dan keluar dari dan ke organisasi dapat diproses menjadi informasi yang bermanfaat bagi organisasi. Setiap elemen dalam organisasi harus mampu melakukan seleksi terhadap informasi yang masuk dan keluar organisasi. Organisasi harus mampu untuk menfasirkan informasi eksternal yang ada dalam lingkungan informasi. Lebih lanjut, informasi yang telah ditafsirkan tersebut harus dikoordinasikan agar bermakna dan berguna bagi internal organisasi.

P r o s e s p e n a f s i r a n a t a u penginterpretasian informasi ini menuntut organisasi untuk mengurangi ketidakpastian agar informasi menjadi bermakna bagi internal organisasi. Weick menyatakan bahwa lingkungan informasi diciptakan

37

oleh anggota organisasi. Anggota organisasi ini menentukan tujuan-tujuan organisasi yang pada akhirnya menuntut mereka untuk menggali informasi dari lingkungan eksternal dan internal organisasi.

Semua organisasi baik laba maupun nirlaba membutuhkan pengelolaan informasi yang baik dalam organisasinya. Keberadaannya dalam lingkungan informasi menuntut organisasi untuk selalu terbuka dengan sistem lain dalam lingkungannya. Interaksi antar sistem dalam lingkungan membuat organisasi mampu mengurangi ket idakpast ian dalam pemrosesan informasi. Pengurangan ketidakpastian sangat penting dilakukan agar organisasi mampu bertahan dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Organisasi laba seperti perusahaan memerlukan informasi untuk proses pengambilan keputusan dan memetakan persaingan. Interpretasi terhadap informasi dari dalam dan luar organisasi sangat penting dilakukan untuk mengurangi ketidakpastian lingkungan di sekitar organisasi. Harapannya, informasi ini dapat menjadi acuan bagi organisasi untuk bertindak dan mengambil tindakan yang tepat. Organisasi membutuhkan informasi yang aktual dan akurat untuk pengambilan keputusan keputusan jangka panjang seperti persaingan, investasi, ekspansi.

Sistem informasi dan jaringan yang selalu terbuka dan berinteraksi dengan sistem-sistem lainnya sangat penting bagi organisasi seperti perusahaan. Setiap anggota organisasi bisa menarik data dari sistem informasi manajemen untuk membantu mereka menyelesaikan tugas dan membuat keputusan. Sistem ini akan sangat bermanfaat bagi organisasi jika informasi yang ada bergerak dari high equivocality menuju lower equivocality . Weick menyatakan bahwa untuk mengurangu ketidakpastian informasi, organisasi harus melewati tiga tahap evolusi, yaitu: enactment, selection, dan retention.

Enactment merupakan proses penerimaan informasi oleh organisasi dari luar organisasi. Pada tahap ini, anggota organisasi mencatat dan mendaftarkan adanya informasi yang tidak pasti dan kemudian memberikan pemaknaan terhadap informasi tersebut. Pada tahap ini, anggota organisasi akan mengikuti aturan dan mekanisme yang dimiliki oleh organisasi untuk mengambil tindakan terhadap informasi tersebut. Informasi yang berasal dari luar organisasi ini tidak dipungkiri dapat mempengaruhi internal organisasi. Informasi ini bisa berasal dari komunitas di luar organisasi, namun secara langsung berpengaruh terhadap kinerja organisasi. Tahap ini menyadarkan internal organisasi akan adanya suatu masalah yang timbul dari ketidakpastian tersebut.

Tahap kedua adalah selection, merupakan proses organisasi memilih informasi yang dianggap relevan. Seleksi ini bermanfaat untuk mnegerucutkan ketidakpastiaan dan menolak alternatif-alternatif yang tidak menyeselesaikan permasalahan. Tahap berikutnya yaitu retention, merupakan tahapan organisasi menyimpan informasi yang relevan dan berguna untuk jangka panjang. Informasi ini kan disimpan sehingga bisa ditarik sewaktu-waktu ketika organisasi membutuhkan data dalam menghadapi ketidakpastian lainnya. Ketiga tahapan ini perlu dilengkapi dengan aturan bersama untuk memberikan mekanisme standar mengenai prosedur pengurangan ketidakpastian. New Media, Network, dan Korporasi

Dengan semakin canggihnya teknologi informasi dan komunikasi dan juga bergesernya zaman ke era globalisasi, masyarakat dituntut untuk bisa terhubung dengan seluruh dunia, baik individu maupun organisasi. New media merupakan salah satu alternatif agar anggota-anggota masyarakat bisa terhubung satu sama lainnya meskipun terpisah oleh jarak dan waktu. New media juga membantu setiap sistem dalam

38

masyarakat untuk memperoleh informasi yang relevan dengan tujuannya. Begitu pula di dalam korporasi dan organisasi-organisasi lainnya. Dalam suatu korporasi, terdapat suatu jaringan internal yang dituntut untuk selalu berinteraksi dan berkomunikasi dalam upayanya mengelola dan mencapai tujuan perusahaan. Tak hanya dalam satu perusahaan saja, perusahaan yang terdesentralisasi baik dalam segi produksi, kebijakan, maupun distribusi juga dituntut untuk memiliki jaringan agar dapat terhubung dengan anggota-anggota dalam jaringan produsen maupun jaringan konsumen. Contoh jaringan yang dapat digunakan oleh perusahaan adalah Sistem Informasi Akuntansi (SIA) dan Sistem Informasi Manajemen (SIM).

SIA dan SIM merupakan salah satu bentuk aplikasi new media dalam perusahaan. Pada umumnya, kedua jenis sistem ini digunakan untuk menghubungkan antar bagian dalam organisasi. SIA dan SIM dapat digunakan untuk bertukar informasi antar bagian dan bisa juga digunakan sebagai alat perdagangan secara elektronik. SIA dan SIM merupakan salah satu jenis aplikasi yang menggunakan komputer dan telah terkoneksi dengan internet. SIA merupakan awal dari munculnya SIM, dimana SIA merupakan aplikasi bisnis pertama yang melibatkan pengolahan transaksi-transaksi akuntansi. Sistem ini merupakan sistem virtual yang mengolah dan menyimpan data yang mencerminkan sistem fisik perusahaan (McLeod dan Schell, 2008: 3). SIM merupakan sistem pertama yang berorientasi pada informasi dan sasarannya adalah memberikan dukungan secara luas kepada seluruh manajer dari sebuah unit organisasi. Sistem Informasi Manajemen merupakan suatu sistem berbasis komputer yang membuat informasi tersedia bagi para pengguna yang memiliki kebutuhan serupa.

Sistem Informasi Manajemen bermanfaat bagi manajer tak lepas dari karakteristiknya sebagai new media.

Sistem ini mampu menjalin hubungan (interconnectedness) antar anggota dalam jaringan komunikasi yang ada dalam organisasi. Sistem ini juga menjamin aksesibilitas pengguna individual baik sebagai pengirim maupun pengirim pesan. Komunikasi yang terjalin dalam SIM bersifat interaktif sehingga memudahkan para anggota organisasi untuk memperoleh informasi yang mereka butuhkan. Informasi yang ada dalam SIM juga sangat beragam, tidak terbatas, dan adaptif terhadap perubahan. Keunggulan lainnya adalah sistem ini dapat diakses dari mana saja karena telah terkoneksi dengan internet. Pengguna dari sistem informasi manajemen ini tidak hanya anggota internal organisasi, tetapi juga eksternal organisasi, seperti pemasok, pemerintah, dan juga pelanggan. Oleh karena itu, SIM merupakan salah satu bentuk new media yang dapat mengintegrasikan jaringan-jaringan dalam organisasi, baik produsen maupun konsumen.

Pada perusahaan-perusahaan besar dengan skala internasional, SIM merupakan salah satu teknologi yang berperan penting dalam pengelolaan informasi antar wilayah atau negara. Pemrosesan informasi dan koordinasi merupakan kebutuhan pokok dan merupakan hal yang penting bagi perusahaan multinasional. Koordinasi dalam semua fungsi perusahaan merupakan salah satu cara untuk mencapai keunggulan kompetitif dalam era globalisasi. Pada masyarakat yang telah terhubung dengan jaringan baik internet dan sebagainya, SIM dapat membantu perusahaan untuk menganalisis kebutuhan pasar dan sumber daya yang diperlukan ketika akan beroperasi di wilayah atau negara baru. Adanya SIM pada perusahaan multi nasional dapat membantu perusahaan untuk mengawasi dan mengendal ikan kompleks i tas organisasi, produksi, distribusi, konsumsi, dan komunikasi yang terjadi. Jaringan SIM yang terbentuk antar wilayah dapat membantu fleksiblitas, efisiensi, dan

39

produktivitas organisasi. Jaringan ini juga dapat meningkatkan proses logistik yang menggantikan transportasi barang dan manusia dengan melalui pertukaran informasi. Selain itu, jaringan SIM dapat juga membantu perusahaan untuk menjangkau beberapa segmen pasar yang baru (Van Dijk, 2006).

SIM yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan multinasional dapat digunakan sebagai salah satu alat untuk berdagang secara elektronik atau virtual. Melalui jaringan yang selalu terhubungan dengan internet, para anggota dari jaringan produsen dan konsumen dapat memantau aktivitas organisasi yang berkaitan dengan produksi, distribusi, dan pemasaran produk. Dalam SIM juga terdapat organisasi virtual dimana akan tampak gambaran bahwa semua anggota jaringan terhubung ke dalam satu pusat pengendalian informasi pada perusahaan induk. Namun, SIM saja tidaklah cukup untuk mengakomodir seluruh kebutuhan informasi perusahaan multi nasional dan seluruh anggota jaringan produsen-konsumen. Perusahaan-perusahaan yang melintasi batas negara memerlukan suatu jaringan yang lebih luas agar dapat mencakup seluruh komunitas yang terlibat di dalam operasi perusahaan. Jaringan ini dikenal dengan nama Sistem Informasi Global yang merupakan gabungan dari beberapa jaringan yang melintasi batas negara (McLeod, Jr. dan Schell, 2008: 40).

Sistem Informasi Global ini akan mampu membantu perusahaan yang terdesentralisasi produksi untuk berkoordinasi dengan seluruh jaringannya di seluruh dunia. Baik SIM maupun Sistem Informasi Global terlibat dengan lingkungan yang ada di sekitarnya, karena seluruh informasi dan data bersumber dari lingkungan. Sistem ini juga harus berinteraksi dengan organisasi-organisasi lain yang ada dalam jaringan produsen dan juga jaringan konsumen. Interaksi antar anggota jaringan ini akan membentuk suatu

sistem baru yang disebut dengan sistem informasi antar-organisasi. Semua jaringan yang terhubung dalam sistem ini akan saling bertukar informasi sehingga akan terbentuk suatu jaringan virtual yang memperlihatkan hierarki dari setiap anggota jaringan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Sistem Informasi Manajemen merupakan bentuk new media yang dapat menjembatani hubungan antar anggota jaringan dalam sebuah korporasi

Sistem Informasi Manajemen dan Komunikasi Organisasi

SIM yang berbasis komputer dan Internet memperlancar kinerja organisasi karena kemampuannya untuk mengatasi hambatan-hambatan karena batasan ruang dan waktu. Adanya pusat data dan informasi yang sistematis berdampak pada bahwa individu dapat berproduksi kapanpun dan di manapun tanpa mensyaratkan kehadiran fisik. Arus informasi dapat menerobos hierarki tradisional dan batas-batas organisasi (Pace & Faules, 2009). Implikasi penggunaan SIM sebagai pusat koordinasi data dalam organisasi juga terlihat pada struktur organisasi. Hal ini disebabkan karena pola komunikasi yang berubah akibat terbentuknya jaringan komunikasi yang baru. Dengan kata lain, organisasi mengalami transformasi akibat terbentuknya jaringan komunikasi tersebut.

Fulk & Steinfeild (1990) menyatakan bahwa komunikasi yang efektif adalah komunikasi yang tujuan utamanya memacu penerapan teknologi informasi dalam organisasi. Teknologi informasi dapat dilihat sebagai sarana tambahan yang akan meningkatkan kemmapuan organisasi untuk “berkomunikasi secara efektif” (Pace & Faules, 2010). SIM yang berbasis teknologi informasi dan komunikasi menyediakan berbagai macam alternatif saluran komunikasi yang melengkapi proses komunikasi tradisional. Sistem ini memungkinkan individu memperoleh dan

40

menyimpan informasi serta berhubungan dengan individu lain yang ada di dalam maupun di luar organisasi. Sproull dan Kiesler (1991) menyatakan bahwa teknologi komunikasi menuntun manusia untuk memperhatikan hal-hal yang berbeda, berhubungan dengan manusia lainnya, dan bergantung satu kepada lainnya secara berbeda.

Pada aplikasinya, SIM membantu organisasi untuk berinteraksi dengan para pemangku kepentingan baik internal maupun eksternal organisasi . SIM memungkinkan manajer dan para pihak yang berkepentingan untuk memperoleh dan bertukar informasi guna memenuhi tujuan yang telah dibuat. Para manajer dapat memperoleh informasi guna menanggulangi kondisi ketidakpastian yang dihadapi oleh organisasi. Misalnya saja kondisi persaingan, perubahan iklim ekonomi dan politik, perubahan selera konsumen, tuntutan masyarakat, dan sebagainya. Selain itu, organisasi juga dapat dengan cepat memperoleh informasi mengenai keluhan dan tuntutan internal organisasi. Para manajer dari berbagai jenjang juga dapat dengan mudah memantau kinerja karyawan dari berbagai divisi. Hubungan dengan pemasok, pemerintah, distrubutor, dan bahkan pelanggan dapat terjalin dengan baik dan interaktif karena akses informasi yang terbuka dan tidak terbatas ruang dan waktu.

Salah satu bentuk aplikasi SIM yang sangat teknis adalah sistem teknologi informasi. Sistem teknologi informasi merupakan pengembangan dari sistem informasi manajemen. Sistem ini biasanya diterapkan pada organisasi-organisasi bisnis, baik pada lingkup internal maupun eksternal. Pada cakupan eksternal, sistem ini akan mampu menjangkau publik eksternal seperti pemasok, distributor, dan pelanggan. Pada lingkup internal, sistem ini bermanfaat untuk menjalin koneksi dan interaksi antar fungsi dalam organisasi. Jogiyanto

(2013) menyatakan bahwa sistem ini akan berinteraksi dengan elemen organisasi lainnya seperti sumber daya manusia, struktur organisasi, budaya, dan tugas-tugas dalam organisasi. Setiap organisasi memiliki karakteristik sistem teknologi informasi yang berbeda-beda, tergantung pada fungsi masing-masing elemen dan kultur dari organisasi tersebut. Penutup

Sistem Infomasi Manajemen ini merupakan suatu bentuk adaptasi perusahaan terhadap lingkungan sekitarnya. Adaptasi ini penting dilakukan untuk menanggulangi kondisi ketidakpastian yang dihadapi oleh organisasi. Sistem Informasi manajemen menyediakan mekanisme untuk memperoleh dan bertukar informasi dari dari berbagai macam jaringan yang berkepentingan dengan organisasi maupun perusahaan. Interaksi dengan berbagai macam jaringan ini penting untuk dilakukan karena organisasi berada dalam sebuah network society yang menuntut organisasi untuk selalu terbuka dengan berinteraksi dengan sistem lainnya. SIM yang berbasis komputer dan internet memudahkan organisasi untuk melakukan interaksi dengan sistem lainnya tanpa memandang hambatan ruang dan waktu.

DAFTAR PUSTAKACardoso, Gustavo. 2006. The Media in

Network Society: Browsing, News, Filters, and Citizenship. Lisboa: CIES.

Fulk, J and C.W Steinfield. 1990. O r g a n i z a t i o n a l a n d Communication Technology. New Burry Park: SAGE Publications.

Griffin, E.M. 2011. A First Look at Communication Theory. Eighth Edition. New York: McGraw-Hill.

Hartono, Jogiyanto. 2013. Sistem Teknologi Informasi Bisnis: Pendekatan Strategis. Jakarta: Salemba Empat.

41

McLeod, Jr., Raymond and George P. Schell. 2008. Sistem Informasi Manajemen. Edisi 10. Jakarta: Salemba Empat.

McQuail, Dennis. 2010. McQuail’s Mass Communication Theory. Sixth Edition. London. SAGE Publications.

Morissan. 2009. Teori Komunikasi Organisasi . Bogor: Ghal ia Indonesia.

Jablin, Frederic M. and Linda L. Putnam. 2005. The New Handbook of Organizational Communication: Advances in Theory, Research, and Methods. London: SAGE Publications.

Lievrouw, Leah A. and Sonia Livingstone. 2006. Handbook of New Media: Student Edition. London: SAGE Publications.

Pace, R. Wayne dan Don F. Faules. 2010. Komunikasi Organisasi: Strategi Meningkatkan Kinerja P e r u s a h a a n . B a n d u n g : Rosdakarya.

Ritzer, George dan Douglas J. Goodman. 2003. Teori Sosiologi Modern. Edisi Keenam. Jakarta: Kencana.

Rogers, Everett M. 1986. Communication Technology: The new media in society. New York: The Free Press.

Van Dijk, Jan. 2006. The Network Society. Second Edition. London: SAGE Publications.

42

INSIDEN AirAsia QZ8501 DAN PRAKTIK DIGITAL PUBLIC RELATIONS

Dewi Yuri CahyaniProgram Studi Ilmu Komunikasi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu PolitikUniversitas Udayana

Email : [email protected]

Abstract

This study examined the crisis communication strategies by Air Asia Airlines in the face of airplane crashed QZ8501 in Java Sea on December 2014. Organization needed to respond fast to gained public reliance toward organization. Thus, crisis communication management should optimized all of the communication channels to form efective communication to the stakeholders. In digital era, social media emerged as the main communication channel to reached broader public. This study used case study approach with four stages, 1) Air Asia Group text analysis (28th December 2014-28th February 2015; 2) Information investigated through the Air Asia Press Release, official documents from Air Asia, and Air Asia statements in media; 3) Literature studies to apprehended the crisis communication practices by Air Asia. The result of this study referred that Air Asia faced the crisis responsively, by way of prioritized the victims and the family, fair to the public and the media, used social media as the main channel to make the organization be closer to the public, and put the CEO of Air Asia as the official main spokesperson.

Penelitian ini mengkaji strategi komunikasi krisis yang dilakukan oleh Maskapai Penerbangan AirAsia dalam menghadapi insiden jatuhnya pesawat QZ8501 di Perairan Selat Karimata pada akhir Desember 2014. Dalam situasi krisis, kecepatan respon akan sangat berpengaruh terhadap kepercayaan publik terhadap organisasi. Karenanya, tim komunikasi krisis harus mampu mengoptimalkan setiap saluran komunikasi yang tersedia untuk membangun komunikasi yang efektif dengan para pemangku kepentingan. Dalam era digital, media sosial seringkali muncul menjadi saluran utama yang murah dan cepat untuk menjangkau publik yang luas.Penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus, dengan tahapan: 1) Menganalisis teks media sosial milik AirAsiaGrouppada periode 28 Desember 2014-28 Februari 2015; 2) Penelusuran informasi dari pihak AirAsia Indonesia, di antaranya dengan menganalisis presss releaseAirAsia terkait insiden jatuhnya QZ8501 dan dokumen resmi lainnya, serta pernyataan-pernyataan resmi AirAsia yang muncul di berbagai media; 3) Studi literatur untuk memahami praktik komunikasi krisis yang dilakukan oleh AirAsia. Hasil riset menunjukkan bahwa AirAsia cukup responsif dalam menghadapi krisis dengan menempatkan prioritas utama kepada korban dan keluarganya, terbuka terhadap publik dan media, menjadikan media sosial sebagai media utama untuk membangun komunikasi dengan publik, dan menempatkan CEO AirAsia Group sebagai “juru bicara” resmi perusahaan.

Keywords: Crisis communication, Digital PR, socia media.

Kata Kunci: Komunikasi Krisis, Digital PR, Media Sosial.

Keywords: crisis communication, Digital PR, social media

Keywords: crisis communication, digital PR, social media

43

Latar BelakangSetiap organisasi rentan terhadap

krisis, termasuk bagi korporasi atau institusi bisnis.Krisis merupakan suatu peristiwa yang kehadirannya dapat membahayakan atau mengancam citra, reputasi, stabilitas keuangan suatu organisasi, bahkan mengancam keberlangsungan hidup organisasi (Nova, 2014). Meski krisis juga bisa menjadi sebuah peluang bagi organisasi untuk memperbaiki dan mentransformasi diri, namun pada umumnya kegagalan mengelola krisis akan berakibat pada hal-hal negatif yang disebutkan oleh Novatersebut.

Krisis seringkali muncul tak terduga, seperti yang dialami oleh maskapai AirAsia di penghujung tahun 2014.Pada 28 Desember, Air Traffic Control(ATC) Bandara Juanda kehilangan kontak dengan pesawat AirAsia QZ8501 satu jam setelah pesawat meninggalkan Surabaya menuju Singapura. Belakangan, diketahui bahwa mesin pesawat matisetelah naik dengan kecepatan abnormaldan kemudian jatuh di perairan Selat Karimata.Bagi banyak maskapai, insiden yang menimpa penerbangan adalah salah satu krisis besar yang mengancam reputasi dan keberlangsungan hidup perusahaan.Banyak maskapai yang hancur reputasinya akibat insiden yang menimpa penerbangan mereka, hingga lambat laun ditinggalkan oleh konsumennya.Maskapai Adam Air di Indonesia adalah salah satu contoh bagaimana manajemen perusahaan gagal mengembalikan citra perusahaan setelah kecelakaan yang menimpa penerbangan

mereka dan pada akhirnya harus gulung tikar.Tidak berapa lama sebelum kecelakaan pesawat AirAsia QZ8501 terjadi, maskapai Malaysian Airlines (MAS) juga mengalami insiden di mana pesawat MH370 milik maskapai merekadinyatakan hilang.Selama periode pencarian (search and rescue), pihak MAS dianggap tidak memberikan informasi yang cukup dan cenderung tertutupkepada keluarga korban dan publik.Pendekatan komunikasi MAS dalam merespon insiden tersebut mendapatkan kritik dari banyak pihak hingga menyebabkan Chief Executive Officer (CEO) MAS, Ahmad Jauhari Yahya, mengundurkan diri dari jabatannya (Creative Paramedics, 2015).

Seni berkomunikasi memang bukan hal yang mudah, dan berkomunikasi pada saat krisis jauh lebih sulit daripada berkomunikasi dalam interaksi sehari-hari. Hal ini disebabkan karena banyak faktor yang akan turut mempengaruhi.Resiko munculnya rumor dan kesalahpahaman juga sangat besar dalam situasi ini.Dalam situasi krisis, kecepatan respon menjadi hal yang sangat krusial. Tanggapan yang t e r tunda akan menc ip takan kesenjangan kredibilitas bagi perusahaan.Pihak ManajemenAirAsiatampaknya memahami hal tersebut.Segera setelah insiden, mereka bergerak cepat dengan mengoptimalkansaluran media baru, seperti menggunakan seluruh platformmedia sos ia l yang mereka mi l ik i un tuk berkomunikasi dengan publik.Yang tak kalah penting,timPublicRrelationsAirAsia segera menjadikan CEO AirAsia, Tony

44

Fernandes, sebagai ikon penting di dalam mengelola krisis.Pergerakan cepat CEO AirAsia ini terpantau mulai dari keberangkatan ke Surabaya. Hal ini seolah ingin menunjukkan rasa empati, rasa menanggung kesedihan bersama keluarga korban yang sedang cemas ketika itu.Di saat yang bersamaan, rasa empati tersebut juga mereka tunjukkan melalui Twitter, Facebook, dan pernyataan-pernyataan resmi yang dikeluarkan pada saat konferensi pers. AirAsia mengambil langkah-langkah komunikasi yang sangat humanis pada saat krisis terjadi.

Strategi komunikasi yang dipilih oleh AirAsiatersebut sangat berbeda dengan strategi yang dipilih oleh Malaysia Airlines pada saat menghadapi musibah hilangnya pesawat MH370. Pendekatan MAS dianggap sangat tertutup dan membiarkan orang-orang berada dalam ketidakpastian informasi atasapa yang terjadi dengan pesawat mereka. Sementara AirAsiabegitu sigap memberikan fasilitas pada media dan hadir dengan reguler untuk memberi kabar terbaru bagi keluarga penumpang dan publik (creative paramedics, 2015).Pendekatan lain adalah munculnya CEO AirAsia sebagai frontman dalam strategi komunikasi krisis mereka. Segera setelah insiden, Tony Fernandes menyediakan waktunya untuk bertemu dengan media, berbicara dengan pejabat pemerintah yang berwenang, dan menginformasikan setiap perkembangan terkini melalui akun Twitter pribadinya.Dia bersiap dengan fakta-fakta dan kesediaan berbagi apapun kebenaran

yang berhasil diungkap.Dia tampak begitu tulus dan bersungguh-sungguh dalam setiap gesturnya.

Dari berbagai langkah komunikasi yang diambil oleh AirAsiadalam menyikapi insiden QZ8501, AirAsia muncul menjadi sebuah role model bagi komunikasi krisis. Sebuah pendekatan dan kemampuan yang semestinya juga dimiliki oleh setiap organisasi, baik profit maupun non-profit, baik privat maupun publik, agar bisa bertahan dan memperbaiki diri setelah sebuah periode krisis menghantam organisasi. Oleh karena itu, penelitian ini mencoba untukmemahami lebih jauh mengenai strategi komunikasi krisis yang dikembangkan oleh AirAsia, khususnyadalam menghadapi insiden jatuhnya pesawat QZ8501. Pemahaman mengenai strategi tersebut akan berguna bagi setiap organisasi,karena secara alamiah, setiap organisasi sangat rentan terhadap krisis.Apalagi Indonesia adalah negara yang sangat rentan dengan berbagai bencana, baik alam maupun sosial, sehingga pembelajaran mengenai komunikasi krisis yang efektif adalah pengetahuan dasar yang semestinya dimiliki oleh setiap organisasi, baik privat maupun publik.

Metode Penelitian

Penel i t ian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus.Studi kasus merupakan tipe pendekatan dalam penelitiaan yang penelahaannya kepada satu kasus dilakukan secara intensif, mendalam, mendetail, dan komprehensif.Pada tipe penelitian ini, seseorang atau suatu kelompok yang

45

diteliti, permasalahannya ditelaah secara komprehensif, mendetail, dan mendalam; berbagai variabel ditelaah dan ditelusuri, termasuk juga kemungkinan hubungan antar variabel yang ada (Faisal, 2010).Unit analisis yang dikaji dalam penelitian ini adalah MaskapaiAirAsia. Untuk memahami bagaimana strategi komunikasi yang digunakan oleh AirAsia dalam menghadapi insiden jatuhnya pesawat QZ8501, peneliti melakukan:

1. Analisis terhadap teks akun media sosial resmi (Twitter) milikAirAsia dan CEO AirAsia Group, pada periode 28 Desember 2014 –28 Februari 2015.

2. P e n e l u s u r a n i n f o r m a s i d a r i pihakAirAsia ,menganalisis pers releaseAirAsia terkait insiden jatuhnya pesawat QZ8501 dan dokumen resmi lainnya, serta pernyataan-pernyataan resmi dari pihak AirAsia yang muncul di berbagai media.

3. Studi literatur untuk memahami praktik komunikasi krisis yang dilakukan oleh AirAsia.

Untuk analisis teks, akun Twitter resmi milik AirAsia dan Tony Fernandes dianalisis dengan menggunakan metode framing dari Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki. Framing didefinisikan sebagai proses membuat suatu pesan lebih menonjol, menempatkan informasi lebih daripada yang lain sehingga khalayak lebih tertuju pada pesan tersebut. Pan dan Kosicki membagi perangkat framing ke dalam empat struktur besar (Eriyanto, 2002), yaitu:

1. Struktur Sintaksis.

Dalam pengertian umum, sintaksis adalah susunan kata atau frase dalam

kalimat.Hampir semua teks mempunyai skema. Skema di sini adalah aturan baku bagaimana suatu teks disusun dari awal sampai akhir. Teks umumnya disusun dalam suatu bentuk di mana hal yang penting ditempatkan pada informasi pertama dan detail informasi disajikan sesudahnya.

2. Struktur Skrip.

Skrip berhubungan dengan bagaimana sebuah peristiwa diceritakan. Bentuk umum dari struktur skrip ini adalah pola 5 W + 1 H – who, what, when, where, why, dan how. Unsur kelengkapan ini dapat menjadi penanda framing yang penting.Skrip memberikan tekanan mana yang didahulukan, dan bagian mana yang bisa kemudian sebagai strategi untuk menyembunyikan informasi penting.

3. Struktur Tematik.

Struktur tematik berhubungan dengan bagaimana fakta itu ditulis.Perangkat tematik ini dapat diamati melalui koherensi, yaitu pertalian atau jalinan antar kata, proposisi, atau kalimat. Ada beberapa macam koherensi, yaitu: koherensi sebab-akibat (proposisi atau kalimat satu dipandang akibat atau sebab dari proposisi lain), koherensi penjelas (proposisi atau kalimat satu dilihat sebagai penjelas proposisi atau kalimat lain, koherensi pembeda (proposisi atau kalimat satu dipandang kebalikan atau lawan dari proposisi atau kalimat lain).

4. Struktur Retoris.

Struktur retoris menggambarkan pilihan gaya atau kata yang dipilih untuk menekankan arti yang ingin

46

ditonjolkan oleh teks. Perangkat retoris digunakan untuk membuat citra, meningkatkan kemenonjolan pada sisi tertentu dan meningkatkan gambaran yang diinginkan dari suatu teks.Elemen yang penting dari struktur retoris adalah leksikon, pemilihan, dan pemakaian kata-kata tertentu untuk menandai atau menggambarkan peristiwa.

Profil AirAsia

AirAsia lahir pada 2001 dengan cikal bakal 2 pesawat tua yang dibeli dari DRB-Hicom dari Malaysia,dengan harga 1 Ringgit Malaysia (0,25 sen USD) dan hutang 40 juta Ringgit Malaysia(11 juta USD). Dengan kekuatan inovasi, semangat, kerja tim yang hebat, dan ide-ide yang terlaksana dengan baik, dalam waktu singkat AirAsiatelah menjadi maskapai penerbangan bertarif rendah terkemuka dan terbesar di Asia.AirAsia telah menerbangkan lebih dari 230 juta penumpang dan mengoperasikan armada yang terdiri dari 160 pesawat Airbus A320.Dalam survey yang dilakukan oleh Skytrax, selama enam tahun berturut-turut (2009-2014) AirAsiamemperoleh predikat sebagai “Maskapai Penerbangan Bertarif Rendah Terbaik Sedunia” (http://www.airasia.com/id/id/about-us/corporate-profile.page).

Tan Sri Tony Fernandes menjadi CEO AirAsia Group sejak Desember 2001. Sebelum bekerja di AirAsia , Fernandes adalah seorang Pengontrol Keuangan di Virgin Communication London sebelum bergabung dengan Warner Music

International London pada tahun 1989. Ia dipromosikan menjadi Direktur Pelaksana di Warner Music Malaysia di tahun 1992 dan menjadi Direktur Pelaksana Regional Warner Music South East Asia pada tahun 1996. Pada tahun 1999, Fernandes diangkat menjadi Wakil Presiden Warner Music South East Asia.Bersama dengan mitranya, ia mendirikan Tune Air Sdn Bhd di tahun 2001, dengan visi untuk mendemokratisasi perjalanan udara dan membebaskannya dari cengkeraman kaum elit dengan menawarkan layanan berkualitas tinggi dan bertarif rendah. Mereka membeli AirAsia yang sedang bangkrut saat itu dengan harga RM1 dan setuju untuk menanggung hutang maskapai sebesar RM40 juta.Digerakkan oleh Fernandes dan dengan bantuan dari mitra-mitranya, AirAsia melunasi hutang tersebut kurang dari dua tahun; terlepas dari kenyataan bahwa maskapai tersebut beroperasi di masa yang sangat berbahaya setelah 11 September 2001.AirAsia dimulai dengan dua pesawat berjenis Boeing 737-300, satu tujuan (Pulau Langkawi), dan 250 staf. Namun kini, layanan AirAsia Group telah menjangkau jaringan paling luas di seluruh Asia dan Australia yang tersusun dari afiliasi maskapai penerbangan berikut:

1. AirAsia Berhad (Malaysia) - Kode penerbangan: AK. Didirikan tahun 2001 dan terdaftar dalam Pasar Utama Bursa Malaysia Securities Berhad di bulan November 2004, dengan cabang di Kuala Lumpur, Kota Kinabalu, Penang, Johor Bahru, dan Kuching.

2. AirAsia Indonesia - Kode penerbangan: QZ. Didirikan pada tanggal 8

47

Desember 2004, melalui kerjasama ventura antara AirAsia International Ltd. dengan PT. Awair Internasional, dengan cabang di Jakarta, Bandung, Bali, Surabaya, dan Medan.

3. Thai AirAsia – Kode penerbangan: FD.Didirikan pada tahun 2003 sebagai bentuk kerjasama ventura antara Asia Aviation dengan AirAsia Investment , dan terdaftar pada Pertukaran Saham Thailand di bulan Mei 2012. Thai AirAsia memulai penerbangan komersial perdananya tanggal 4 Februari 2004 dari Bangkok ke Hat Yai, dan sekarang beroperasi dari cabang di Bangkok, Phuket, dan Chiang Mai.

4. Phi l i pp ines ’ A i rAs ia - Kode penerbangan: PQ. Didirikan pada tahun 2010 sebagai AirAsia Inc. dengan 60% saham dimiliki dalam kemitraan setara oleh para pengusaha di Filipina dan 40% dimiliki oleh AirAsia Berhad melalui anak perusahaan yang dimiliki sepenuhnya oleh AirAsia International Inc, yang beroperasi dari cabang di Manila.

5. AirAsia India - Kode penerbangan: I5. Didirikan pada tahun 2013 sebagai bentuk kerjasama ventura antara Tata Sons Limited, Telestra Tradeplace Pvt Ltd&AirAsia. Maskapai tersebut mengoperasikan penerbangannya dari kantor pusatnya saat ini di Bangalore ke Chennai, Kochi dan Goa, Jaipur dan Chandigarh.

6. AirAsia Zest- Kode penerbangan: Z2. Maskapai Penerbangan Tarif Rendah ZestAir telah diganti namanya menjadi AirAsia Zest pada tahun 2013 untuk mencerminkan kemitraannya dengan AirAsia. Saat ini, maskapai tersebut melayani sembilan rute

domestik dan empat rute internasional dari Manila.

7. AirAsia X - Kode penerbangan: D7. Didirikan pada tahun 2007, yang merupakan maskapai penerbangan jarak jauh bertarif rendah dari AirAsia Group dan saat ini melayani penerbangan ke tujuan-tujuan di wilayah Asia Pasifik. Beroperasi dari cabang di Kuala Lumpur.

8. Thai AirAsia X - Kode penerbangan: XJ.Didirikan pada tahun 2014, yang merupakan perluasan dari maskapai penerbangan tarif rendah terdepan di Asia, AirAsia, dan berusaha memberikan tarif rendah setiap hari kepada pelancong yang ingin melakukan perjalanan ke tujuan yang memakan waktu lebih dari empat jam dari cabang Bandara Internasional Don Mueang Bangkok.

9. Indones ia AirAs ia X - Kode penerbangan: XTIndonesia. AirAsia X adalah penerbangan jarak jauh dan murah pertama di Indonesia, dan merupakan afiliasi dari AirAsia Group di Indonesia. Maskapai saat ini menawarkan penerbangan langsung dari Denpasar, Bali ke Taipei dan Melbourne, Australia. Indonesia AirAsia X beroperasi dengan Airbus A330-300, dengan pengaturan kursi yang terdiri dari 12 kursi Kelas Bisnis dan 365 kursi ekonomi.

Komitmen AirAsia terhadap tarif rendah tampak dalam semboyan mereka;Now Everyone Can Fly.Namun meski memberlakukan tarif rendah, AirAsia mengklaim bahwa “mengutamakan keselamatan” adalah bagian dari filosofi

48

mereka, di mana optimalisasi biaya tidak berlaku pada pengeluaran untuk keselamatan. Armada pesawat Airbus AirAsia sepenuhnya mematuhi ketentuan Keselamatan Penerbangan Internasional, dan diatur oleh Departemen Penerbangan Sipil Malaysia yang dikenal secara internasional. Mereka juga memiliki mitra internasional yang ternama untuk perawatan pesawat dan mesin, dan membuat investasi signifikan untuk memastikan keselamatan pesawat-pesawatnya.AirAsia mengadopsi toleransi nol terhadap praktik-praktik tidak aman dan memperjuangkan nol kecelakaan melalui pelatihan tepat, praktik-praktik kerja, manajemen risiko, dan kepatuhan terhadap peraturan keselamatan setiap saat.

Analisis Teks

A. Twitter AirAsia Indonesia

Hasil analisis framing terhadap teks yang diperoleh dari akun Twitterresmi AirAsia Indonesia (@AirAsiaId) adalah sebagai berikut:

1. Struktur Sintaksis.

Sepanjang periode 28 Desember 2 0 1 4 - F e b r u a r i 2 0 1 5 , @AirAsiaId menggunakan sebuah template“Informasi terbaru/informasi terkini/perkembangan terbaru dari penerbangan QZ 8501”untuk menyajikan informasi berkala mengenai perkembangan pencarian dan penyelidikan atas jatuhnya pesawat QZ8501. Dari struktur sintaksis yang digunakan, terlihat bahwa prioritas pesan @AirAsiaId pada tahap ini adalah informasi yang dibutuhkan oleh keluarga para korban, khususnya

update mengenai pencarian dan evakuasi (search and rescue).

2. Struktur Skrip.

Dalam template yang digunakan oleh @AirAsiaId, struktur skrip yang paling dominan adalah terkait dengan “What” (perkembangan yang terjadi dalam proses pencarian dan evakuasi korban dan puing pesawat) serta “When” (kapan terjadinya).

3. Struktur Tematik.

Struktur tematik tidak terlalu tampak, karena ruang untuk @AirAsiaId menyampaikan pesan dibatasi hanya dalam 140 karakter (sesuai dengan ketentuan dari pengelola Twitter), sehingga peristiwa/fakta/informasi di-bahasa-kan dengan singkat dan padat.

4. Struktur Retoris.

Selain sebuah template yang digunakan untuk mengabarkan setiap informasi terkini yang tersedia, @AirAsiaId juga kerap menambahkan tagar (tanda pagar, hashtag, #) “together we stand” pada akhir kicauannya.

Dari berbagai perangkat framing di atas, terlihat bahwa akun Twitter resmi milikAirAsia Indonesia (@AirAsiaId) dikelola dengan sangat formal, bahkan ketika terjadi suatu musibah tak terduga seperti jatuhnya pesawat QZ8501. Hal ini terlihat dari penggunaan bahasa yang sangat teknis dan dikemas dalam template (contoh, model) yang sama yang digunakan berulang-ulang selama periode 28 Desember 2014 hingga 28 Februari 2015. Template yang digunakan adalah “Informasi terbaru/

49

informasi terkini/perkembangan terbaru dari penerbangan QZ 8501”.Template ini digunakan untuk mengabarkan informasi yang diperbarui setiap hari, seperti proses pencarian dan evakuasi korban dan puing pesawat, proses penyelidikan, dan informasi lain terkait jatuhnya pesawat AirAsia QZ8501 yang mungkin dibutuhkan oleh keluarga korban.

Selain template yang digunakan untuk menyampaikan informasi terbaru, beberapa kali pihak AirAsia Indonesia (@AirAsiaId) juga mengunggah pesan yang lebih personal yang menyiratkan perasaan duka mereka atas musibah yang terjadi. Di antaranya:

1. Kami sangat berduka atas kabar terkini dari QZ8501. Teriring doa untuk para awak kabin & penumpang. #togetherwestand(ow.ly/i/86ptw, 30 Desember 2014)

2. K a m i t e t a p b e r k o m i t m e n u n t u k s e l a l u m e n d a m p i n g i . #togetherwestand(Facebook.com/video.php?v=10…,10 Februari 2015)

3. One purpose, one spirit, one love, humanity above all #togetherwestand (11 Februari 2015 dan 13 Februari 2015)

4. Cerita salah satu volunteerCrisis C e n t e r Q Z 8 5 0 1 , S h y K a r i m ( v i a @ s a t r i a r a m a d h a n ) # t o g e t h e r w e s t a n d ( c h i r p s t o r y.c o m / 2 5 2 3 0 3 , 1 6 F e b r u a r i 2015);danCerita salah satu volunteer kami yang bertugas di Crisis Center QZ8501 kemar in (v i a@ghf_ ) #togetherwestand(chiprstory.com/li/252847, 19 Februari 2015)

5. Terima kasih atas dukungan yang Anda berikan. Kini, kami siap melanjutkan

mimpi Anda. #togetherwestand (20 Februari 2015)

Melalui kicauan-kicauan di atas, pihak AirAsia Indonesia mencoba untuk membangun pesan yang lebih empatik. Selain menunjukkan rasa duka atas musibah yang terjadi, @AirAsiaId mencoba untuk menunjukkan bahwa korban dan keluarganya adalah prioritas mereka pada periode ini, kesediaan orang untuk bekerja secara sukarela menolong orang lain adalah sebuah kekuatan, dan bahwa AirAsiaIndonesia mulai bersiap untuk beranjak dari situasi sulit untuk mencapai tujuan-tujuan mereka berikutnya, terutama dalam memberikan layanan terbaik bagi pelanggan. Meski frekuensinya sedikit dan ruangnya terbatas (maksimum 140 karakter), kicauan semacam ini bisa memberikan selingan yang menampakkan sisi manusiawi dari perusahaan, terutama pada saat terjadinya sebuah musibah.

B. Twitter AirAsia Group

Hasil analisis framing terhadap teks yang diperoleh dari akun Twitter resmiAirAsia(@AirAsia) adalah sebagai berikut:

1. Struktur Sintaksis.

Sama halnya dengan akun @AirAsiaId, sepanjang periode 28 Desember 2014 – Februari 2015, akun @AirAsia menggunakan sebuah template, yaitu “[Updated statement] QZ8501 as of…” dan “AirAsia Indonesia flight QZ8501 update (as of)”. Template ini digunakan untuk menyajikan informasi berkala

50

mengenai perkembangan pencarian dan penyelidikan atas jatuhnya pesawat QZ8501.Dari struktur sintaksis yang digunakan, tampak bahwa prioritas pesan AirAsia adalah informasi yang mungkin dibutuhkan oleh keluarga korban, khususnya update mengenai pencarian dan evakuasi korban.

2. Struktur Skrip.

Begitu juga dengan struktur skrip yang digunakan oleh @AirAsiaId, struktur skrip yang dominan digunakan oleh @AirAsia juga terkait dengan unsur “What” (perkembangan apa yang terjadi dalam proses pencarian dan evakuasi korban dan puing pesawat) dan “When” (kapan terjadinya).

3. Struktur Tematik.

Struktur tematik tidak tampak, karena @AirAsia hanya mengunggah tweet yang dikemas dalam satu template yang singkat.

4. Struktur Retoris.

Berbeda halnya dengan @AirAsiaId yang kerap menambahkan tagar (tanda pagar, hashtag, #) “together we stand” pada akhir kicauannya, selama periode dua bulan sejak pesawat QZ8501 dinyatakan jatuh, akun @AirAsia hanya sekali menggunakan tagar “together we stand” yang menjadi tagline kampanye public relations mereka.

Senada dengan akun twitter AirAsia Indonesia (@AirAsiaId), akun twitter AirAsia (@AirAsia) juga dikelola secara formal dengan bahasa yang sangat teknis, nyaris tidak ada sentuhan ‘personal’ dan ‘emosional’ dalam kicauan-kicauan yang diunggah dalam kurun waktu

dua bulan. Selama kurun waktu tersebut, AirAsia hanya mengunggah kicauan dengan menggunakan 2 template kalimat yang digunakan setiap hari:

1. [Updated statement] QZ8501 as of …2. AirAsia Indonesia flight QZ8501

UPDATE (as of …)

Dalam periode 28 Desember 2014 – 28 Februari 2015 tersebut, hanya tercatat dua kali AirAsia mengunggah kicauan dengan format di luar kedua template di atas, yaitu:1. Pada tanggal 28 Desember 2014:

AirAsia Indonesia regrets to confirm that QZ8501 from Surabaya to Singapore has lost contact at 07:24hrs this morning.

2. Pada tanggal 30 Desember 2014: We are deeply saddened by the news of QZ8501. Heartfelt condolences to loved ones of those affected #togetherwestand.

C. Twitter Tony Fernandes

Hasil analisis framing terhadap teks yang diperoleh dari akun Twitter resmi Tony Fernandes (@tonyfernandes) adalah sebagai berikut:

1. Struktur Sintaksis.

Karena dibatas i o leh karakter maksimum yang bisa digunakan (140 karakter), Tony Fernandes menyampaian kicauan dalam bentuk yang singkat dan padat, dengan skema: “informasi yang ingin disampaikan” dan “apa yang ia rasakan”. Tak ada template khusus yang digunakan Tony dalam menyampaikan pesan. Dari struktur sintaksis yang digunakan,

51

tampak bahwa prioritas pesan Tony Fernandes adalah simpati dan prioritas bagi korban dan keluarganya, informasi terkini terkait penerbangan QZ8501, dan dukungan bagi orang-orang yang bekerja (basarnas, relawan, dll) dan tim AirAsia dalam menghadapi musibah ini.

2. Struktur Skrip.

Struktur skrip yang dominan digunakan oleh Tony Fernandes adalah unsur “What” (update informasi, apa yang dirasakan, apa yang ingin disampaikan) dan “Who” (korban, keluarga korban, tim AirAsia, Basarnas, dll).

3. Struktur Tematik.

Melalui kicauan-kicauannya, Tony Fernandes mencoba membangun 2 struktur tematik utama, yaitu (1) bahwa korban dan keluarganya adalah prioritas utama dalam proses penanganan krisis, dan (2) situasi krisis ini akan bisa dilalui jika semua pihak bekerja bersama-sama.

4. Struktur Retoris.

Meski “together we stand” menjadi tagline kampanye PR AirAsia segera setelah terjadinya musibah yang menimpa pesawat QZ8501, Tony Fernandes tidak pernah menggunakan tagar tersebut dalam kicauan-kicauannya. Ia memilih menggunakan pilihan-pilihan kata dan kalimat yang mewakili dirinya sendiri sehingga mengesankan kicauannya sebagai genuine, spontan, dan personal.

Berbeda dengan akun resmi AirAsia dan AirAsia Indonesia, akun Twitter Tony

Fernandes lebih personal dan dikemas dengan bahasa yang non-formal.Tony juga tidak menggunakan sebuah template.Hal ini mengisyaratkan bahwa kicauannya bersifat spontan dan mencerminkan kesungguhan hatinya dalam menyampaikan pesan-pesan tersebut. Karena empatik, kicauan-kicauan Tony Fernandes beberapa kali di re-tweet (dikicaukan ulang) baik oleh akun @AirAsia maupun @AirAsiaId. Tony Fernandes juga cukup aktif mengunggah tweet setiap harinya. Bahkan pada 28 Desember 2014 ketika pesawat QZ8501 dinyatakan hilang dan pada 30 Desember 2014 ketika mulai ditemukan petunjuk awal mengenai keberadaan pesawat, Tony Fernandes mengunggah hingga 8 kicauan dalam sehari.

Dalam kicauan-kicauannya, Tony Fernandes menampilkan dua identitas diri; yaitu:

1. Sebagai CEO AirAsia; ditunjukkan dengan penggunaan kata ganti jamak (AirAsia, we, us, our) dalam kicauannya. Misalnya:

a. We will be putting out another statement soon. Thank you for all your thoughts and prays. We must stay strong. (28 Desember 2014)

b. Our priority is looking after all the next of Kin for my staff and passengers. We will do whatever we can. We continue to pass information as it comes. (28 Desember 2014)

c. Been one of my toughest days. Spent a large part of day meeting families of passengers. Doing whatever we can. (30 Desember 2014)

2. Sebagai pribadi; ditunjukkan dengan

52

penggunaan kata ganti orang pertama tunggal (I, my) dalam kicauannya. Misalnya:

a. On my way to Surabaya where most of the passengers are from as with my Indonesian management. Providing information as we get it. (28 Desember 2014)

b. My only thought are with the passengers and my crew. We put our hope in the SAR operation and thank the Indonesia, Singapore and Malaysian governments. (28 Desember 2014)

c. I am touched by the massive show of support especially from my fellow airlines. This is my worse nightmare. But there is no stopping. (28 Desember 2014)

Kicauan Tony Fernandes juga lebih beragam. Selain memberikan informasi mengenai perkembangan pencarian dan evakuasi korban, kicauannya menampilkan:

1. Rasa duka dan simpati bagi korban dan keluarganya; misalnya:a. Reality of seeing the evacuees

and some of my aircraft parts are soul destroying. But we stay strong for the families, Allstars and our guests. (31 Desember 2014)

b. I’m arriving in Surabaya to take Nisa home to Palembang. I cannot describe how I feel. There are no words. (2 Januari 2015)

2. Tentang prioritas pada keluarga

korban; misalnya:a. We need to find all parts soon

we can find all out guests to ease the pain of our families. That still is our priority. (7 Januari 2015)

b. It is so sad though seeing our aircraft. I’m gutted and devastated. But hopefully we can find the rest of plane and put closure for families. (14 Januari 2015)

3. Ucapan terima kasih kepada berbagai pihak; misalnya:

a. Let’s hope today is a major breakthrough day and we can find main fuselage. Its important to us to find all our guests. Thanks to Basarnas and all navys. (11 Januari 2015)

b. Have been busily working on improving everything we can even be for even before investigation is out. We owe it to everyone. (20 Februari 2015)

4. Tentang pentingnya informasi dan transparansi bagi semua pihak; misalnya:

a. Many sensational headlines on Airasia. We have kept quiet as our focus is on families. One by one facts will come out and clear us. (5 Januari 2015)

b. The pictures are correct. Fuselage found. Needs some work for divers to go in. Thank you all rescue teams. We hope

53

all our guests are there. (14 Januari 2015)

5. Peran pemimpin dalam melalui masa krisis; misalnya:a. Human spirit is amazing. Stay

strong Airasia all stars. Don’t let newspaper headlines deflect the amazing job you do. Airasia changed flying. (5 Januari 2015)

b. Words cannot describe. The test of a true man or woman is when you see them in crisis. (9 Februari 2015)

Kemampuan AirAsiaMengidentifikasi Krisis

Krisis ditafsirkan dengan banyak pengertian.Webster (dalam Nova, 2014) mendefinisikan krisis sebagai “A sudden turn for better or worse; a desicive moment; an unstable state of affairs in which a desicive change is impending; situation that has reached a critical phase”.Sebuah krisis dapat mengganggu aktivitas sebuah organisasi, bahkan terkadang mengancam kelangsungan hidup atau keberadaannya.Karenanya, krisis harus ditangani secara cepat agar organisasi dapat berjalan normal setelah itu.Dari langkah-langkah yang diambil oleh AirAsia segera setelah pesawat QZ8501 dinyatakan hilang, terlihat bahwa manajemen AirAsia memiliki kemampuan untuk mengidentifikasikan situasi krisis yang terjadi yang harus segera mereka kelola.Alih-alih menghindari publik, manajemen AirAsia memilih untuk menghadapi krisis ini bersama-sama dengan mereka, khususnya bersama dengan keluarga penumpang dan kru penerbangan yang menjadi korban. Hal ini nampak dari tindakan pertama yang dilakukan oleh Tony

Fernandes, selaku CEO AirAsia Group, yaitu terbang ke Surabaya untuk menemui keluarga korban. Ini terungkap melalui ‘kicauan’-nya pada 28 Desember 2014: “On my way to Surabaya where most of the passengers are from as with my Indonesian management. Providing information as we get it.”

Keputusan untuk datang menemui keluarga korban segera setelah peristiwa terjadi merupakan tindakan yang sangat berani mengingat tidak banyak informasi yang bisa ia sampaikan pada saat itu,serta kemungkinan ia akan berhadapan dengan keluarga korban yang marah dan tidak sabar karena sedang dalam situasi trauma kehilangan orang-orang yang mereka cintai. Namun dengan hadir secara fisik, Tony Fernandes tampaknya ingin menunjukkan bahwa secara personal ia bersungguh-sungguh dalam menghadapi musibah ini. Fernandes juga memiliki kesigapan yang baik dalam mengidentifikasi dan merespon krisis yang terjadi.Sejak hari Minggu (28 Desember 2014) saat pesawat pertama kali dinyatakan hilang, Fernandes telah mampu menempatkan dirinya dengan baik. Melalui akun Twitter pribadinya, ia meminta maaf atas jatuhnya korban jiwa dalam kecelakaan tersebut, mengungkapkan kesedihan serta rasa berkabung pada seluruh keluarga yang ditinggalkan, dan menyatakan akan memikul seluruh tanggungjawab atas musibah tersebut. Karena sikapnya, dukungan yang besar mengalir bagi Fernandes, termasuk dukungan dari keluarga korban. Di saat yang sama, maskapai dan anak usahanya di Indonesia terus memperbarui informasi pada pihak keluarga dan masyarakat luas (Deil, 2015).

Robert P. Powell (dalam Nova, 2014) menyatakan bahwa krisis adalah kejadian yang tidak diharapkan, berdampak

54

dramatis, kadang belum pernah terjadi sebelumnya yang mendorong organisasi kepada suatu kekacauan, dan dapat menghancurkan organisasi tersebut tanpa adanya tindakan nyata. Krisis tidak memiliki batas (no boundaries) dan dapat terjadi kapan saja dan di mana saja terhadap setiap organisasi, baik profit, non-profit, publik, maupun privat. Sementara Bernstein (2013) mendefinisikan krisis sebagai “Any situation that is threatening or could threaten to harm people or property, seriously interrupt business, significantly damage reputation and/or negatively impact the bottom line”. Saat pesawat QZ8501 yang terbang dari Surabaya menuju Singapura dinyatakan hilang, AirAsia menghadapi paling tidak dua persoalan yang disebutkan oleh Powell dan Bernstein di atas: (1) Kemungkinan jatuhnya korban jiwa, serta kerugian materiil dan non-materiil yang menyertainya, serta (2) Ancaman terhadap reputasi AirAsia sebagai maskapai penerbangan murah (low fare flight). Padahal selama ini, meski memberlakukan tarif rendah, AirAsia mengklaim bahwa “mengutamakan keselamatan” adalah bagian dari filosofi mereka, di mana optimalisasi biaya tidak berlaku pada pengeluaran untuk keselamatan.

Sebagaimana tertulis di situs web mereka, AirAsia mengadopsi toleransi nol terhadap praktik-praktik tidak aman dan memperjuangkan nol kecelakaan melalui pelatihan tepat, praktik-praktik kerja, manajemen risiko, dan kepatuhan terhadap peraturan keselamatan setiap saat.

Musibah ini sendiri merupakan kecelakaan maut pertama yang dialami olehAirAsia setelah 13 tahun berkarir.Kecelakaan fatal biasanya juga melambangkan kehancuran bisnis masakapai yang mengalaminya.Namun profesionalisme dan keterbukaan AirAsia dalam merespon kecelakaan tersebut sangat krusial bagi pemulihan reputasinya.Di tengah krisis kepercayaan publik dan kemungkinan jatuhnya reputasi maskapai akibat kecelakaan tersebut, Fernandes muncul sebagai aktor utama yang dengan tenang menghadapi serta mengikuti seluruh perkembangan yang muncul.Ia terlihat autentik dan kredibel, serta selalu mendahulukan prioritas bagi keluarga korban. Ia menunjukkan empati yang besar, melalui tindakan dan kicauan-kicauannya di media sosial, dan menggunakan seluruh koneksi untuk melewati insiden ini bersama-sama. Hilangnya pesawat QZ8501 cukup menjadi alarm bagi manajemen AirAsia bahwa krisis sedang di depan mata dan harus segera ditangani, karena krisis pada umumnya berjalan dengan cepat, melibatkan banyak aktor, dan membutuhkan pengambilan keputusan di bawah situasi tekanan dan ketidakpastian.

Dalam situasi krisis, media massa juga memainkan peran yang sangat penting karena media membentuk dan menyebarkan gambaran mengenai krisis (the picture of a crisis). Dengan alasan tersebut, manajemen AirAsia, yang dimotori oleh Tony Fernandes, selalu menyediakan diri mereka terakses oleh media. Untuk kepentingan tersebut, AirAsia menyiapkan sebuah call center

55

yang dapat diakses oleh awak media. Bahkan melalui Communication AirAsia Indonesia, Malinda Yasmin, AirAsia berjanji akan terus memberikan informasi lebih lanjut mengenai situasi terkini yang antara lain bisa diakses melalui situs webAirAsia (www.airasia.com). Setiap organisasi memang memiliki kerentanan terhadap krisis.Jika organisasi tidak bersiap, maka kerusakan yang ditimbulkan akibat krisis tersebut akan lebih besar. Bagi perusahaan penerbangan, kecelakaan penerbangan biasanya merupakan salah satu krisis paling besar yang mengancam operasionalisasi perusahaan.Banyak perusahaan penerbangan yang menjadi bulan-bulanan media karena respon yang mereka berikan tidak bisa menjawab harapan publik. Di Indonesia, Lion Air dan Adam Air pernah mengalami hal tersebut. Sementara di Malaysia, CEO Malaysian Airlines (MAS) bahkan terpaksa mundur setelah insiden hilangnya pesawat MH370. MAS dikritik karena sangat tertutup dalam memberikan informasi kepada keluarga korban dan publik.

Selain ancaman, kris is juga menciptakan peluang.Salah satunya untuk menciptakan perubahan-perubahan strategis yang diperlukan agar organisasi dapat mendapatkan kembali kepercayaan publik.Tak berapa lama setelah insiden jatuhnya pesawat QZ8501 yang mengancam reputasi AirAsia sebagai penerbangan bertarif rendah (low fare flight), AirAsia melakukan re-branding untuk menegaskan bahwa faktor keselamatan dan kenyamanan adalah

prioritas utama bagi mereka. Selain itu, AirAsia juga berusaha untuk menunjukkan empati dengan mengubah logo AirAsia yang tercantum di seluruh platform media sosial mereka, dari karakter brand yang ceria (merah menyala) menjadi abu-abu yang diasosiasikan dengan situasi berkabung. Melalui perubahan ini, AirAsia tampaknya ingin merefleksikan tragedi yang sedang mereka alami.Gestur yang sederhana, namun menunjukkan kesungguhan mereka dalam merespon krisis. Gestur kecil yang juga sarat makna ditunjukkan oleh Tony Fernandes, yang tampil di hadapan publik tanpa topi merah yang biasanya ia kenakan (signature red cap) untuk menunjukkan bahwa ia sedang dalam masa berkabung.

Strategi Komunikasi Krisis AirAsia

Bernstein (2013) mengatakan bahwa kegagalan utama yang sering terjadi adalah ketidakmampuan organisasi untuk mengidentifikasi berbagai isu komunikasi yang terkait dengan respon terhadap krisis atau bencana.Organisasi seringkali tidak menyadari bahwa mereka bisa menjangkau setiap kelompok kepentingan jika mereka menggunakan strategi komunikasi internal dan ekternal, serta menggunakan saluran komunikasi yang paling baik yang tersedia.Langkah-langkah dasar untuk melakukan komunikasi krisis yang efektif tidak sulit, namun membutuhkan pengalaman dan jam terbang untuk bisa meminimalisir kerusakan yang ditimbulkan. Semakin lambat respon

56

terhadap krisis, maka semakin besar kerusakan yang akantimbul.

Menurut Firman Nova (2014), ketika krisis terjadi, media firestorm (badai media) dapat dengan cepat menyerang organisasi. Oleh karena itu, perusahaan harus secara efektif merespon tuntutan mitigasi krisis.Untuk merespon krisis secara efektif, perlu lebih dari sekedar ketrampilan public relations.Pengalaman lapangan, seperti melakukan investigasi, pemahaman terhadap publik dan situasi politik, dan lainnya juga sangat diperlukan.Strategi ekstra juga dibutuhkan. Misalnya: (a) Proaktif dengan media,(b) Merekrut pihak ketiga, seperti jurnalis senior, tokoh masyarakat, atau opinion leader yang dapat memberikan masukan positif bagi perusahaan, dan (c) Responsif terhadap isu yang ada tanpa menunggu menjadi bulan-bulanan media dan masyarakat.

Segera setelah informasi mengenai hilangnya pesawat QZ8501 diterima, CEO Group, Tony Fernandes mengambil langkah cepat dalam memanfaatkan Twitter untuk memberikan update mengenai nasib dan keberadaan pesawat tersebut. Pesan-pesan positif yang disampaikan oleh Tony Fernandes di media sosial mendapatkan respon yang segera dan luas. Selain itu, update yang konstan atau terus-menerus dari CEO seorang perusahaan akan meminimalisir berkembangnya rumor yang tak diinginkan. ‘Kicauan’ yang terus-menerus, di tengah-tengah pernyataan resmi AirAsia untuk media

yang juga terus mengalir, menunjukkan dukungan dan empati bagi siapa saja yang menyaksikan krisis berlangsung.Di saat yang bersamaan, manajemen AirAsia juga selalu mereproduksi siaran pers untuk kemudian pesannya yang baru (fresh content) diunggah ke Facebook.Saat menghadapi krisis, saluran media sosial AirAsia selalu terbuka dan tak pernah terputus.

Langkah-langkah komunikasi krisis yang dilakukan oleh AirAsia, menggambarkan strategi komunikasi krisis yang efektif (Nova, 2014) yang mempertimbangkan berbagai tujuan berikut:

1. Memelihara Hubungan

Apa yang ditunjukkan oleh manajemen AirAsia adalah sebuah upaya untuk memelihara hubungan dengan publik, terutama pelanggan yang menjadi korban dalam musibah jatuhnya pesawat QZ8501. Kecelakaan pesawat dapat menghilangkan kepercayaan publik kepada AirAsia, apalagi jika manajemen tidak mampu menunjukkan respon yang baik dalam menghadapi musibah yang terjadi. Keterlibatan CEO AirAsia Group secara personal di lapangan, hadir di tengah-tengah keluarga korban yang menunggu kabar tentang proses pencarian dan evakuasi korban, kicauan-kicauan yang ‘menyentuh hati’ dan terus menerus, serta informasi yang terus-menerus dari pihak manajemen, meskipun dalam situasi hanya sedikit yang bisa disampaikan – menunjukkan perhatian dan kepedulian yang sangat personal. Perhatian dan kepedulian manajemen terhadap detil juga terlihat

57

dari perubahan logo AirAsia yang tadinya berwarna merah menyala menjadi abu-abu untuk menunjukkan bahwa seperti halnya keluarga korban, seluruh keluarga besar AirAsia juga sedang dalam masa berkabung. Mantan CEO AirAsia Indonesia, Dharmadi, seperti dikutip dari Tribunnews (2015) mengungkapkan, “Kami berupaya menangani krisis ini sebaik mungkin. Korban dan keluarganya memiliki keterikatan yang kuat, menjadi bagian dari AirAsiaIndonesia.Bahkan, kami mengerahkan 55 orang staf untuk melayani komunikasi kepada pihak keluarga korban yang berjumlah 55 keluarga. Ini komitmen kami untuk tetap dekat dengan keluarga korban,”

2. Mudah Diakses oleh Media Berita (News Media)

AirAsia Indonesia cukup sigap memberi fasilitas pada media dan hadir dengan reguler untuk memberi kabar terbaru bagi keluarga penumpang dan publik. Meski demikian, manajemen AirAsia juga tidak terlepas dari kritik ketika pada awal Januari 2015, Kementerian Perhubungan mengatakan bahwa pesawat bernomor penerbangan QZ8501 rute Surabaya-Singapura tidak memiliki izin saat terbang.Kritik ini muncul karena manajemen AirAsia sempat ‘bungkam’ berjam-jam setelah berita tersebut terkuak.Hal ini kontras dengan situasipada saat CEO Tony Fernandes mengambil peran terdepan di televisi maupun Twitter beberapa hari sebelumnya.Ia kerap menyampaikan belasungkawa dan menegaskan akan bertanggung jawab atas kecelakaan QZ8501. Menanggapi hal tersebut, Sunu Widyatmoko, CEO AirAsia Indonesia,

akhirnya merilis sebuah pernyataan pendek: “Seperti yang Anda ketahui pemerintah telah memberhentikan sementara rute QZ8501 dari Surabaya ke Singapura [dan] sebaliknya. Untuk itu, pemerintah melakukan proses evaluasi untuk investigasi. Manajemen AirAsiaakan bekerja sama penuh dengan pemerintah dalam proses evaluasi tersebut. Dalam hal itu kami, manajemen AirAsia, tidak akan berkomentar dalam periode proses evaluasi sampai hasil evaluasi diumumkan.” Situasi tersebut menunjukkan bahwa ketika media tidak bisa mendapatkan cukup informasi dari sumber utama yang kredibel, media akan mencari informasi dari sumber-sumber lain yang mungkin tidak bisa diandalkan dan menggiring opini yang mungkin justru akan mengancam reputasi perusahaan. Menanggapi pernyataan AirAsia yang mengatakan “Tidak akan berkomentar sampai hasil evaluasi diumumkan”, Tom Evrard, seorang ahli komunikasi krisis di FTI Strategic Communication di Singapura, mengatakan AirAsia bertindak benar dengan tidak berkata apa-apa sampai semua fakta terkumpul (The Wall Street Journal, 2015). Meski demikian, dalam situasi krisis di mana setiap orang berkepentingan untuk mengetahui perkembangan yang berlangsung, maskapai harus mengumpulkan fakta secepat mungkin dan dalam proses tersebut jangan menghindar dari media.

3. Menunjukkan Empati terhadap Orang yang TerlibatMelalui ‘kicauan’ yang diunggah di media sosial, khususnya Twitter, baik AirAsia maupun CEO AirAsia berungkali menyampaikan rasa duka yang mendalam bagi korban dan keluarganya

58

serta ungkapan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu upaya pencarian dan evakuasi korban. Selain melalui bahasa verbal, berbagai gestur manajemen juga menunjukkan empati, seperti Tony Fernandes yang menanggalkan topi merah yang selama ini menjadi signature-nya, logo AirAsia yang berubah warna menjadi abu-abu, dan lain-lain. Hal-hal tersebut merupakan sebuah gestur yang sederhana namun menunjukkan keseriusan AirAsia dalam menghadapi krisis.

4. Membuka Akses Distribusi Informasi

Sejak awal, AirAsia paham bahwa dalam situasi krisis, informasi adalah hal yang sangat dibutuhkan terutama oleh keluarga korban.Karenanya, AirAsia menegaskan komitmen mereka untuk membuka setiap informasi dan temuan kepada publik. Selain membuka berbagai saluran komunikasi untuk publik, pesan-pesan komunikasi krisis AirAsia juga tampak terkoordinasi dengan baik, dengan CEO AirAsia Group, Tony Fernandes mengambil peran dalam memimpin tim komunikasi krisis AirAsia. AirAsia menunjukkan kepekaan mereka dengan menunjukkan komunikasi top-down dari seorang figur besar korporat yang dalam situasi krisis biasanya ‘hilang’ atau menghindar dari publik.

5. Perampingan Proses KomunikasiAlih-alih menunjuk juru bicara untuk mewakili perusahaan, CEO AirAsia turun langsung sebagai frontman dalam membangun komunikasi dengan publik.Selain menyediakan sumber terpercaya, turun tanggannya CEO secara langsung menunjukkan kesungguhan AirAsia dalam menghadapi krisis.Tony Fernandes selaku CEO selalu hadir di hampir setiap

konferensi pers yang digelar.Selain itu, Fernandes juga membuka dialog dan merespon setiap pertanyaan, baik dari wartawan maupun keluarga korban.

6. A k t i f d a l a m B e r k o m u n i k a s i d a n M e m b e r i k a n i n f o r m a s i denganMenggunakan Beragam Saluran KomunikasiDalam menghadapi krisis, manajemen AirAs ia b e rupaya un tuk t e ru s membangun komunikasi yang mutual dengan berbagai pihak, terutama dengan keluarga korban dan media. Untuk itu, AirAsia menyediakan hotline service bagi kedua pemangku kepentingan tersebut. Selain direct line, AirAsia juga memanfaatkan media sosial terutama Facebook dan Twitter untuk membangun komunikasi yang interaktif.Tony Fernandes juga tergolong aktif dalam memberikan informasi kepada publik.Ia seringkali tidak perlu menunggu sampai semua fakta terkumpul dan kemudian memolesnya menjadi pernyataan resmi sebelum mengunggah serangkaian kicauan (tweets) yang bisa diakses oleh publik. Justru karena apa adanya, Fernandes tampak jujur dan bersungguh-sungguh dengan segala yang ia ucapkan. Dalam situasi krisis, jujur atas ketidaktahuan kita akan situasi yang sebenarnya seringkali jauh lebih baik daripada menahan informasi – hingga semua fakta terkumpul, karena ketiadaan informasi dalam jangka waktu yang lama akan membuat publik menjadi frustasi.

Selain strategi komunikasi krisis yang dikemukakan oleh Nova di atas, beberapa pendekatan komunikasi krisis lainnya yang juga dilakukan oleh AirAsia di antaranya:1. CorporateApologia . Strategi ini

59

menekankan pada upaya organisasi untuk menyampaikan permintaan maaf kepada para pemangku kepentingan, orang-orang yang terlibat, atau publik atas situasi krisis yang terjadi, atas ketidaktepatan atau keterlambatan respon, atau atas kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan. Dalam banyak kesempatan berbicara di hadapan media maupun di linimasa Twitter-nya, Fernandes berungkali mengungkapkan permintaan maaf atas musibah yang terjadi dan kesediaannya untuk memikul tanggungjawab.The Wall Street Journal (2015) mengutip salah satu pernyataan Fernandes sebagai berikut, “I apologize profusely for what they are going through. I am the leader of this company. I take responsibility.”

2. Image Repair. Strategi ini menekankan pada upaya organisasi untuk memulihkan citra atau reputasi yang rusak akibat krisis. Insiden jatuhnya QZ8501 adalah kecelakan fatal pertama yang dialami oleh AirAsia selama 13 tahun perjalanannya sebagai maskapai yang dikenal karena jajaran armadanya yang baru (Airbus) dan mematuhi standar keamanan. Karenanya, tak berapa lama setelah insiden jatuhnya pesawat QZ8501 yang mengancam reputasi AirAsia sebagai penerbangan bertarif rendah (low fare flight), AirAsia melakukan re-branding untuk menegaskan bahwa faktor keselamatan dan kenyamanan adalah prioritas utama bagi mereka. Re-branding merupakan strategi pemasaran suatu perusahaan dengan menggunakan nama baru, slogan, simbol, desain, atau kombinasi dari semua itu dari sebuah merek dagang yang sebelumnya sudah mapan. Hal tersebut umumnya dilakukan untuk memberikan orientasi identitas

yang berbeda di benak pelanggan, investor, sampai kompetitor. Re-branding juga bisa dilakukan untuk menjauhkan perusahaan dari konotasi negatif merek yang digunakan sebelumnya.

3. Organizational Renewal. Strategi ini menekankan pada upaya organisasi untuk memanfaatkan krisis sebagai peluang untuk belajar dan berkembang. Upaya ini membutuhkan kepemimpinan dan kemampuan komunikasi organisasi yang kuat, berorientasi pada nilai-nilai positif, berpandangan optimis, dan proses belajar untuk melampaui krisis. Pemimpin harus bisa memotivasi para pemangku kepentingan untuk melalui situasi krisis bersama-sama dengan organisasi, serta membangun kembali organisasi agar menjadi lebih baik dari sebelumnya. Kepemimpinan Tony Fernandes jelas menjadi kunci bagi AirAsia dalam melampaui periode krisis ini. Berkali-kali kicauannya di Twitter menunjukkan kapasitasnya sebagai seorang pemimpin yang terus memberikan pesan-pesan positif, tidak hanya bagi kru AirAsia, namun pada akhirnya juga menginspirasi semua orang yang menerima pesannya, seperti: “Human spirit is amazing. Stay strong Airasia all stars. Don’t let newspaper headlines deflect the amazing job you do. Airasia changed flying”, serta “Words cannot describe. The test of a true man or woman is when you see them in crisis”.Komitmen AirAsia untuk menjadikan musibah ini sebagai momentum untuk berbenah menjadi lebih baik lagi juga dikemukakan oleh anggota Dewan Komisaris AirAsia Indonesia, Dharmadi. “Kalau keluar dari krisis ini, kami pasti yakin bisa melakukannya. Tentunya, kami akan kembali melakukan re-brand,

60

karena peristiwa kecelakaan ini jelas membuat brand kami terpuruk… Tetapi, kejadian ini mungkin menjadi fase yang harus kami alami dan hadapi, dan juga menjadi pelajaran bagi kami untuk lebih meningkatkan aspek keselamatan penerbangan, selain kuantitas dan kualitas pelayanan kepada pelanggan”. (Tribunnews, 2015)

Praktik Digital Public Relations

Praktik-praktik kehumasan kini telah berkembang begitu pesat, tidak sekedar membangun hubungan dengan media dan mengeluarkan siaran pers seperti yang terjadi pada beberapa dekade yang lalu, namun saat ini adalah era berkembangnya digital public relations (Digital PR). Carrie Morgan (2013) mendefinisikan Digital PR sebagai “All about combining traditional PR with content marketing, social media and search: transforming static news into conversations and bypassing media to speak directly to your target audience online”.

Praktik-praktik komunikasi yang dilakukan oleh AirAsia dalam merespon jatuhnya pesawat QZ8501 adalah esensi dari digital PR di mana manajemen memilih untuk membangun komunikasi dengan publik secara langsung melalui akun media sosial resmi milik mereka.Media sosial dipilih secara sadar karena jangkauannya yang luas, segera, dan mampu membangun komunikasi yang interaktif.Meski demikian, manajemen AirAsia juga tidak mengindahkan upaya untuk membangun komunikasi yang intensif

dengan media (pers).Hal ini ditunjukkan melalui siaran pers dan pertemuan dengan media yang intens.Selain medium yang dipilih untuk membangun komunikasi dengan publik, manajemen AirAsia juga tampak bersungguh-sungguh menyiapkan pesan komunikasinya. Manajemen menyiapkan template dan membuat pesan-pesan pemasaran seperti “together we stand”. Keseluruhan praktik komunikasi krisis yang dilakukan oleh AirAsia tersebut menunjukkan sebuah kampanye digital public relations yang serius dan responsif.Dengan memanfaatkan media sosial, pesan-pesan komunikasi dapat tersebar dengan lebih luas, cepat, dan langsung menuju ke khalayak sasaran. Keunggulan lainnya adalah kemampuan media sosial sebagai ruang untuk terciptanya dialog di antara partisipan-partisipan komunikasinya. Dalam situasi krisis di mana dibutuhkan kecepatan respon, media sosial kini menjadi pilihan utama bagi organisasi untuk membangun komunikasi krisis yang efektif.Selain cepat menjangkau publik, media sosial juga memungkinkan terjadinya komunikasi dua arah yang dialogis yang diperlukan untuk membangun mutual understanding di antara pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi.

Dalam era digital, dengan begitu banyaknya platform media komunikasi yang tersedia, strategi komunikasi krisis harus memperhitungkan keanekaragaman platform media tersebut, khususnya media sosial yang kini dapat diakses selama 24 jam oleh setiap orang. Andreas Kaplan

61

dan Michael Henlein (dalam Nova, 2014) mendefinisikan media sosial sebagai sebuah kelompok aplikasi berbasis internet yang dibangun di atas dasar ideologi dan teknologi Web 2.0 dan yang memungkinkan penciptaan dan pertukaran user-generated content. Manajemen AirAsia dan Tony Fernandes paham betul bahwa media sosial dapat menyelamatkan reputasi maskapai di tengah krisis yang terjadi. Dalam situasi krisis, kebanyakan eksekutif perusahaan akan melimpahkan tanggung jawab komunikasi pada staf media sosial atau mempekerjakan seorang profesional. Namun AirAsia memilih pendekatan yang berbeda.Mereka justru menjadikan Tony Fernandes sebagai ‘wajah’ dari komunikasi krisis mereka.Melalui akun Twitter-nya, sikap dan pernyataan Fernandes bisa tersebar dengan luas secara viral.Selain mengandalkan akun pribadi Fernandes, AirAsia juga meluncurkan kampanye media sosial dengan tagar #togetherwestand. Mereka juga mengumumkan bahwa setiap perkembangan mengenai QZ8501 akan dikomunikasikan melalui halaman Facebook mereka. Akun AirAsia juga mengubah logo yang tadinya berwarna merah menyala menjadi abu-abu sebagai tanda simpati dan duka, baik di Twitter maupun Facebook.Sebuah gestur yang sederhana namun menunjukkan keseriusan mereka dalam menghadapi krisis.Tampaknya, media sosial menjadi strategi komunikasi utama AirAsia dalam menghadapi krisis tersebut.AirAsia juga melakukan praktik membawa kembali compassion ke dalam komunikasi krisis.

Mengenai hal tersebut, Rony Tanubun, seorang keluarga korban menyampaikan, “AirAsia selalu memberikan yang terbaik bagi kami dari hari pertama. Tragedi ini, apa yang kami bisa lakukan? Ini takdir dan bisa terjadi pada maskapai manapun.Saya tak takut terbang dengan AirAsia” (diakses dari http://bisnis.liputan6.com/read/2156996/aksi-heroik-tony-fernandes-kuatkan-keluarga-korban-airasia).

Kicauan-kicauan yang diunggah oleh CEO AirAsia, Tony Fernandes, juga memenuhi rumus marketing berikut ini:

Re-purpose + Value = Content Marketing

Artinya, Tony Fernandes mengambil peran layaknya seorang humas profesional yang memanfaatkan pesan-pesan yang sudah ada (siaran pers maupun pernyataan-pernyataan resmi AirAsia yang dimuat di media) menjadi pesan yang baru (fresh content). Pesan-pesan tersebut dikemas ulang melalui kicauan-kicauan di media sosial, dengan menambahkan ‘value’ yang terkait dengan aspek psikologis seperti simpati dan empati. Rumus ini membuat pesan-pesan yang diunggah oleh Tony Fernandes dinilai sebagai pesan yang genuine dan tulus, dan pada akhirnya menuai simpati publik. Hal yang sama juga dilakukan oleh manajemen AirAsia yang selalu mereproduksi siaran pers mereka, untuk kemudian pesannya yang baru (fresh content) diunggah ke Facebook.

62

Penutup

Kekuatan dari strategi komunikasi krisis AirAsia terletak pada penggunaan gestur yang sederhana dan karenanya, selalu tampak genuine (tulus, bersunggung-sungguh). Paling tidak, ada tiga hal yang bisa dirangkum dari berbagai temuan penelitian ini, yaitu:

1. Empati yang ditunjukkan oleh AirAsia terhadap musibah yang dialami oleh korban dan keluarganya, diwujudkan melalui respon yang cepat untuk m e n u n j u k k a n b a h w a A i r A s i a telah melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk mengatasi musibah tersebut. Untuk itu, AirAsia menyediakan diri mereka sebagai sumber informasi utama khususnya bagi keluarga korban. Hal lain yang menarik dari AirAsia adalah keputusan Tony Fernandes hadir langsung di tengah-tengah keluarga korban. Jarang-jarang pemimpin hadir langsung menangani masalah terkait pelanggan. Biasanya, kehadiran mereka cukup diwakili oleh bagian PR atau salah satu direksi. Langkah Fernandes ini patut diacungi jempol. Satu hal lain yang patut diapresiasi, AirAsia tidak lupa menyampaikan permintaan maaf. Permintaan maaf menjadi penanda bahwa sebuah merek/brand bisa salah, karenanya mereka harus memperbaiki diri.

2. Saat terjadinya krisis, para pengambil kebijakan dan pemangku kepentingan akan bertindak sesuai dengan gambaran mereka masing-masing mengenai krisis yang sedang dihadapi. Hal ini yang seringkali menyebabkan komunikasi krisis tidak berjalan dengan benar. SEMA

(2008) menegaskan bahwa komunikasi krisis harus dibangun dengan dasar untuk menjawab keingintahuan publik, bukan untuk mengemukakan hal-hal yang ingin disampaikan oleh pihak yang berwenang: pimpinan perusahaan, para pengambil kebijakan, dan lainnya. Kebutuhan informasi pada saat krisis sangat besar dan publik seringkali lari ke media massa untuk menjawab kebutuhan atas informasi tersebut. Oleh karena itu, gambaran publik mengenai krisis sangat dipengaruhi oleh media. Ini mengapa komunikasi dengan media juga harus tetap dilakukan sejak awal, dan informasi yang diberikan harus seakurat dan selengkap mungkin. Untuk kepentingan ini, manajemen AirAsia menyediakan informasi yang konstan untuk wartawan berupa siaran pers maupun pertemuan-pertemuan resmi dengan awak media, serta sebuah hotline yang bisa diakses oleh mereka.

3. Memanfaatkan media sosial sebagai ujung tombak komunikasi dengan publik. Segera setelah informasi hilangnya pesawat QZ8501 diterima, AirAsia mengandalkan seluruh platform media sosial yang mereka miliki untuk membangun komunikasi yang interaktif dengan publik, khususnya dengan keluarga korban dan wartawan. Kampanye media sosial dengan tagar #togetherwestand juga diluncurkan untuk membangun kembali kepercayaan publik terhadap maskapai mereka. Kampanye media sosial ini-lah yang pada akhirnya memenangkan simpati dan dukungan publik kepada AirAsia dalam menjalani periode krisis tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

63

1. Bernstein, Jonathan (2013). The Ten Steps of Crisis Communication. Bernstein Crisis Management.

2. Eriyanto (2007). Analisis Framing. Yogyakarta: LKiS.

3. Faisal, Sanapiah(2010). Format-format Penelitian Sosial. Jakarta: Rajawali Press.

4. Nova, Firsan (2014). PR War. Jakarta: Grasindo.

5. S w e d i s h E m e r g e n c y Management Agency (2008). Crisis Communication Handbook. Huskvarna: SEMA.

RujukanOnline

1. http://mix.co.id/public-relations/lima-strategi-komunikasi-airasia-hadapi-insiden-pesawat-qz8501/, diakses pada Rabu, 11 Februari 2015 pukul 14.00 WITA.

2. http://www.uk.sagepub.com/upm-data/37705_1.pdf, diakses pada Senin, 9 Februari 2015 pukul 11.00 WITA.

3. h t t p : / / b i s n i s . l i p u t a n 6 . c o m /read/2156996/aksi-heroik-tony-fernandes-kuatkan-keluarga-korban-airasia, diakses pada 15 Februari 2015, pukul 19.30 WITA.

4. ht tp: / /www.creat iveparamedics.com/air-asia-getting-it-right-when-something-goes-wrong/, diakses pada

25 Mei 2015, pukul 20.50 WITA.

5. http://www.socialmediatoday.com/content/what-digital-pr, diakses pada 7 Agustus 2015, pukul 22.15 WITA.

6. http://www.hkstrategies.com/blogs/crisis/airasia-ceo-puts-compassion-back-crisis-communications, diakses pada 7 Agustus 2015, pukul 22.25 WITA.

7. http://indo.wsj.com/posts/2015/01/05/airasia-tidak-lagi-terbuka/, diakses pada 21 September 2015, pukul 14.00 WITA.

8. h t t p : / / w w w. t r i b u n n e w s . c o m /bisnis/2015/01/07/indonesia-airasia-yakin-bangkit-dari-krisis, diakses pada 21 September 2015, pukul 14.10 WITA.

9. http://marketeers.com/article/lima-pelajaran-pr-dari-kasus-airasia.html, diakses pada 22 September 2015, pukul 19.30 WITA.

64

FAKTOR SOSIAL YANG MENDORONG UPAYA BUNUH DIRI DI KABUPATEN BANGLI

1.Gede Kamajaya2. GPB Suka Arjawa

3. Ni Luh Nyoman KebayantiniProgram Studi Sosiologi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu PolitikUniversitas Udayana

Email : [email protected]

Abstract

The number of suicide in Bangli Regency is startling enough. Between 2012 until 2015 it could be seen that there were 57 suicide attempts that were done by many people in Bangli Regency. This case showed that there is something goes wrong around society and the solution for this problem is urgently needed. This study also using theory of suicide theory of E. Durkheim, and also by taking some phsycological theories as analysist. The result of this study showed that suicide attempt in Bangli Regency caused by economic factor, illness that does not heal, passion of love, failure in looking for job, and also weaknesses of social solidarity. The most important solution for this problem is creating resilience dimention, so that people can rise up and out from problem they faced.

Key words : suicide, social factor, resilience

Masa depan adalah milik mereka yang percaya indahnya mimpi mimpi mereka (Eleanor Roosevelt)

PendahaluanBunuh diri sebagaimana

dikemukakan Lesmana (dalam Sudhita, 2009), adalah sebuah prilaku yang berkait erat dengan “(1) kegawatdaruratan dalam bidang psikiatri, (2) tindakan pengakhiran hidup yang dilakukan secara sengaja dan sadar, (3) bukanlah merupakan tindakan yang acak maupun tidak bertujuan, dan (4) erat kaitannya dengan keinginan yang dihalangi ataupun tidak terpenuhi, rasa tidak berdaya dan tidak berguna, adanya

konflik ambivalensi, dihadapkan pada pilihan yang semakin sempit, dan adanya keinginan untuk lari dari masalah.

Fenomena bunuh diri semakin marak terjadi di tengah masyarakat, tidak terkecuali pada masyarakat Bali. Sudhita (2009), pernah mencatat bahwa antara pertengahan tahun 2006 sampai dengan 2009 telah terjadi 227 kasus bunuh diri di Bali. Media massa, terutama media massa lokal, semakin sering memberitakan adanya peristiwa tersebut. Berdasarkan hasil analisis deskriptif yang telah dilakukan, diperoleh beberapa kesimpulan diantaranya: pelajar SMP

65

dan SMA, termasuk SMK, mendominasi banyaknya angka bunuh diri antara rentang tahun tersebut. Selain itu, terdapat beberapa motif yang melatarbelakangi perilaku bunuh diri dikalangan pelajar, mulai dari tertekan dengan perilaku orang tua, dilarang berpacaran, faktor kemiskinan, serta terlambat membayar uang sekolah. Tetapi dalam penelitian itu juga disebutkan bahwa temuan paling besar berupa tidak diketahui penyebabnya.

Peristiwa semacam ini bisa jadi contoh yang tidak baik bagi masyarakat. Pemuatan berita tentang bunuh diri di media massa, bisa jadi memberi dorongan kepada anggota masyarakat lainnya untuk melakukan tindakan yang sama manakala menemui persoalan (mengakhiri masalah dengan cara bunuh diri menjadi tren). WHO (dalam Nugroho, 2013: 37) menyebutkan fenomena semacam ini biasa disebut dengan copycat yang merupakan suatu prilaku entitas individu yang gemar menirukan perilaku individu lain baik dalam hal-hal yang bersifat faktual maupun fiksional atau disebut juga dengan Werther effect. Werthereffect merupakan fenomena bunuh diri yang diakibatkan oleh pengaruh media.

Salah satu contoh yang bisa diambil adalah peristiwa di Kabupaten Bangli. Menurut catatan kepolisian Bangli (Polres Bangli), angka bunuh diri di kabupaten tersebut mencapai 14 orang pada tahun 2013. Akan tetapi yang paling mengejutkan, adalah catatan rekam medis Rumah Sakit Umum Bangli tahun 2014 tentang upaya-upaya bunuh diri yang terjadi pada rentang tahun 2012 dan 2015. Menurut catatan Rumah Sakit Umum Bangli, pada rentang

dua tahun tersebut, terjadi 57 upaya bunuh diri. Meskipun beberapa dari korban bisa diselamatkan, namun angka 57 orang yang mencoba melakukan tindakan bunuh diri tersebut, merupakan jumlah yang mengkhawatirkan. Hal ini mengindikasikan ada ketidakberesan di masyarakat, yang kemungkinan disebabkan oleh faktor-faktor yang berkaitan dengan perubahan sosial atau faktor lainnya yang harus segera terpecahkan.

Berikut ini adalah data statistik jumlah korban berdasarkan umur 0 – 13 tahun = 2 orang, 16 – 29 Tahun = 38 orang, 30 - 60 Tahun = 16 orang, 61 – 80 Tahun = 1 orang. Data ini menunjukkan bahwa pelaku bunuh diri yang paling banyak ada pada rentang umur yang terkategori produktif, yaitu umur 16-29 tahun tercatat sebanyak 38 orang. Hal ini tentu sangat mengkawatirkan, mengingat di umur yang terkategori muda mereka memiliki kesempatan lebih banyak untuk merencanakan kehidupannya, mengenyam pendidikan guna mewujudkan slogan pemuda sebagai penerus pembangunan bangsa.

Tulisan ini mencoba mencari penyebab tingginya angka upaya bunuh diri tersebut dan mencoba menawarkan solusi terhadap masalah tersebut. Masalah sosial tersebut di atas tidak hanya akan dikupas dengan menggunakan teori perubahan sosial, namun juga dengan beberapa teori sosial lainnya.

Pencetus Upaya Bunuh Diri di Kabupaten Bangli

1. Masalah yang tidak terlalu penting

66

Kejadian ini terjadi pada bulan Juni 2015 seorang remaja berumur 20 tahun asal Desa Bunutin. Berdasarkan hasil wawancara dengan orang tua korban, ditemukan bahwa faktor utama yang mendorong pelaku melakukan bunuh diri adalah kegagalan mencari pekerjaan yang dicita-citakan sejak kecil. Sikap korban yang suka menyendiri dan tertutup turut andil dalam kejadian tersebut. Semenjak kegagalan tersebut, korban sering mengurung diri di kamar dan linglung. Dalam kondisi seperti ini korban merasa demikian pesimis pada hidupnya. Dalam ranah psikologi sosial sikap semacam ini dapat disebut dengan kecemasan sosial. Kecemasan sosial adalah perasaan tidak nyaman dengan kehadiran orang lain, yang disertai oleh perasaan malu dan kecenderungan untuk menghindari interaksi sosial (Dayakisni & Hudaniyah, 2009: 125).

Dari aspek individu, perilaku bunuh diri dapat kita lihat dengan pendekatan atribusi sosial. Atribusi sosial adalah proses yang kita lakukan untuk mencari penyebab dari prilaku orang lain (Rahman, 2013: 102). Perilaku-perilaku yang didasari oleh faktor emosi bisa diatribusikan sebagai perilaku yang tidak terencana, karena pelaku tidak memiliki kontrol atas tindakannya. Jika saja pelaku bunuh diri memiliki kontrol atas tindakannya (memaknai hidup dan menjadikan setiap masalah sebagai sumbu ledak vitalitas), tentu perilaku bunuh diri sebagai cara keluar dari masalah tidak akan dipilih.

Sosiolog pertama yang berbicara banyak tentang bunuh diri adalah Durckheim (Ritzer & Smart, 2012: 160). Durckheim mengkategorikan bunuh diri kedalam berbagai tipe. Menurutnya, perilaku seseorang yang melakukan bunuh diri bisa dilihat sejauh mana integrasi yang terjadi ditengah masyarakat, terutama integrasi yang dialami oleh pelaku. Berdasarkan kondisi dan sikap pelaku bunuh diri, kasus di atas dapat dikategorikan kedalam tipe bunuh diri egoistik. Bunuh diri egoistik adalah tipe bunuh diri yang terjadi karena integrasi masyarakat dengan individu sangat lemah (Ritzer & Smart 2012: 160). Lemahnya integrasi menyebabkan perasaan individu bukan bagian dari unit sosial yang lebih besar (masyarakat). Lebih lanjut dijelaskan Durckheim bahwa, jika integrasi individu dan masyarakat kuat, maka akan timbul dukungan moral amat kuat yang memampukan seseorang menghadapi kekecewaan-kekecewaan, frustrasi, dan tekanan-tekanan hidup.

Integrasi yang tidak kuat bisa dilihat dari sikap pelaku yang suka menyendiri, tertutup dan memisahkan diri dari komunitasnya (jauh dari unit sosial yang lebih luas/masyarakat). Ketika korban mengalami tekanan-tekanan hidup sebagaimana penjelasan diatas, maka tidak ada dukungan moral dari unit sosial yang lebih luas yang mampu mendorong pelaku keluar dari tekanan tersebut. ketiadaan dukungan moral ini mendorong individu akhirnya memilih jalan bunuh diri untuk mengatasi masalah yang sedang

67

dihadapi dan seolah tak memiliki kuasa atas hidupnya. Tidak dapat disangkal bahwa sedikit tidaknya dukungan sosial dari lingkungan sekitar pelaku merupakan dimensi penting, paling tidak sebagai pelepas kekalutan dengan berbagi cerita dan mendapatkan solusi atas masalah yang dihadapi.

Hal tersebut berbeda dengan dengan korban kedua yang berhasil di peroleh datanya adalah seorang remaja umur 19 tahun, laki-laki, dan meninggal dengan cara menenggak pestisida pada tahun 2013 silam. Kuat dugaan bahwa korban meninggal karena putus cinta sebagaimana dijelaskan kerabat korban. Hal ini terungkap karena malam sebelum kejadian korban sempat berkeluh kesah dengan teman sebayanya tentang peraasaanya. Remaja yang berada pada fase tanggung antara anak-anak dan dewasa menjadikan mereka sangat rapuh dan kebingungan akan identitas diri. Disatu sisi merasa sudah dewasa dan layak mengambil keputusan, namun disisi lain belum bisa memikul tanggung jawab yang terlalu besar. Kondisi ini menjadikan remaja mudah putus asa dan bingung ketika menghadapi masalah. Seringkali hal semacam ini memaksa remaja memilih tindakan nekat untuk mengatasi masalah, salah satunya adalah dengan sengaja mengakhiri hidup untuk lari dari masalah.

Ahli kajian psikologi perkembangan remaja, Blos (1962) menjelaskan remaja pada tahapan madya sering berada dalam kondisi kebingungan karena sering kali

tidak tahu harus memilih peka atau tidak peduli, ramai-ramai atau sendiri, optimis atau pesimis (Sarwono, 2013: 30). Kondisi-kondisi semacam inilah yang menjadikan remaja tidak bisa keluar dari tekanan ketika sedang dalam himpitan masalah, sebagaimana yang dialami korban di atas, yang pada akhirnya memilih jalan pintas dengan mengakhiri hidupnya.

2. KemiskinanKemiskinan sebagai sebuah

fenomena ekonomi yang menjadikan rendahnya tingkat pendapatan dan mata pencaharian sebagai tolok ukur utamanya. Secara sederhana, kemiskinan menyangkut probabilitas orang atau keluarga miskin untuk melangsungkan dan mengembangkan usaha serta taraf kehidupannya (Suyanto, 2013: 2). Dalam kasus bunuh diri di Kabupaten Bangli, motif semacam ini banyak dijumpai pada pelaku yang berusia tua. Hal ini diakibatkan oleh kebutuhan orang tua kian hari kian beragam dan kompleks.

Friedman menjadikan basis kekuasaan sosial sebagai tolok ukur dalam definisi kemiskinan. Kemiskinan adalah ketidaksamaan untuk mengakumulasi basis sosial. Lebih jauh dijelaskan oleh Friedman, basis sosial melingkupi beberapa aspek, yaitu: modal produktif atas aset, sumber keuangan, organisasi sosial dan politik untuk mencapai kepentingan bersama semisal koperasi, jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, informasi yang berguna untuk kehidupan. (Suyanto,

68

2013: 4-5). Ada beberapa ciri mendasar dalam kemiskinan menurut Suyanto, mulai dari tidak memiliki faktor produksi sendiri, tidak adanya kemungkinan untuk mendapatkan faktor produksi karena pendapatan yang tidak memadai, tingkat pendidikan yang rendah, bekerja musiman, dan tidak memiliki keterampilan (2013:6).

Beberapa korban bunuh diri karena faktor kemiskinan biasanya berusia lanjut atau sudah berkeluarga. Korban bunuh diri dengan motif semacam ini banyak ditemui di Kecamatan Kintamani. Secara lebih spesifik, banyak terdapat di desa-desa terpencil dengan topografi yang sulit dijangkau dan pemukiman yang berjarak cukup jauh antara satu rumah dengan rumah lainnya. Pada umumnya, korban sehari-hari bekerja sebagai buruh tani dengan penghasialan yang tidak menentu, sehingga terlilit kemiskinan absolut. Kemiskinan absolut merupakan sebuah keadaan dimana tingkat pendapatan absolut dari seseorang tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pokoknya (Suyanto, 2013: 3). Mereka yang terkategori miskin bisa dilihat dari ciri yang paling mudah diantaranya tidak memiliki faktor produksi (tanah), modal, dan keterampilan

Himpitan ekonomi sebagai akibat dari lonjakan harga kebutuhan pokok dan tuntutan hidup yang kian hari kian meningkat mengakibatkan seseorang mengalami tekanan. Terlebih lagi korban hanya bekerja sebagai buruh tani dengan penghasilan tidak tetap. Kondisi ini dalam istilah Kartono disebut dengan

gangguan mental. Gangguan mental ini sebagai efek samping dari modernisasi (2005:271). Pesatnya pembangunan dan industri menyebabkan banyaknya terjadi gangguan-gangguan pada masyarakat. Akibatnya, semakin banyak masyarakat tidak mampu melakukan penyesuaian diri terhadap perubahan-perubahan besar tersebut sebagai akibat dari kebutuhan yang kian variatif. Mereka banyak mengalami frustrasi, konflik eksternal-internal, ketegangan batin, dan menderita gangguan mental. Tidak semua masyarakat mampu menerima perubahan. Sebagaimana yang menimpa korban diatas, korban mengalami tekanan mental sangat berat akibat himpitan ekonomi, menghidupi anak yang masih kecil tanpa istri, dan pekerjaan yang tetap dengan biaya hidup yang terus meningkat.

Kondisi ekonomi yang melilit korban mengakibatkan korban putus asa mejalani hidup dan memilih mengakhiri hidupnya. Jika dalam sebuah rumah tangga secara terus menerus tidak mampu mencukupi kebutuhan pokok hidup tersebut maka rumah tangga tersebut dapat di anggap miskin (Suyanto, 2013:4). Dengan kondisi yang serba pas-pasan rumahtangga korban tidak mampu mencukupi kebutuhan pokok tersebut bahkan tidak jarang mereka hanya makan nasi dan sayur dari hasil kebunnya tanpa daging. Kemiskinan yang dialami korban bisa dikategorikan kedalam kemiskinan kultural, sebagaimana dijelaskan Agusta bahwa kemiskinan yang diakibatkan karena tidak memiliki barang-

69

barang dasar (2014:58).

3. Sakit yang tidak kunjung sembuhUndang- Undang No 36 Tahun

2009 tentang kesehatan menjelaskan bahwa kondisi sehat adalah kondisi dimana keadaan sehat secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan seseorang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Aspek ekonomi terwujud apabila seseorang dikatakan mampu secara produktif _mempunyai kegiatan yang menghasilakn sesuatu yang dapat menopang kehidupan sendiri atau keluarga secara finansial. Sejalan dengan penjelasan di atas, WHO memberikan batasan kesehatan dalam tiga aspek yaitu fisik, mental dan sosial (Edelman & Mandle, 1994 dalam Sunaryo: 2014: 242).

Berkebalikan dengan itu kondisi sakit menurut UU No.23 Tahun 2009 menjelaskan bahwa seseorang dikatakan sakit apabila ia menderita penyakit menahun (kronis) atau gangguan kesehatan lain yang menyebabkan aktivitas kerja atau kegiatannya terganggu. Pelaku bunuh diri karena sakit yang tak kunjung sembuh berariatif mulai dari usia remaja hingga tua. Sakit yang diderita korban kebanyakan adalah sakit kronis yang sulit disembuhkan semisal keterbelakangan mental, hingga struk.

Beberapa korban yang yang berhasil diproleh datanya baik korban selamat maupun korban meninggal yang diproleh datanya dari keluarga yang ditinggalkan dapat dijelaskan bahwa sebagaimana orang yang mengalami gangguan mental korban

sering melakukan hal-hal di luar kebiasaan orang normal, suka menangis sendiri, teriak sendiri tanpa sebab yang jelas dan mengalami keterlambatan dalam merespons stimulus karena mengalami gangguan pada perkembangan fungsi otaknya.

Dengan ketidakmampuan fisiknya sebagai akibat dari sakit yang di derita, korban mengalami depresi dan mengakhiri hidupnya dengan menenggak pestisida. Berdasarkan batasan sakit dari WHO yang memberikan batasan kesehatan dalam tiga aspek yaitu fisik, mental dan sosial (Edelman & Mandle, 1994 dalam Sunaryo: 2014: 242), maka korban tidak terbantahkan mengalami sakit fisik dan mental. Sakit mental sebagai akibat dari depresi pada kondisi diri yang tidak berdaya beraktivitas paling mendasar.

2. Solusi Atas Tingginya angka bunuh diri di Kabupaten Bangli

Dari berbagai faktor yang menjadi penyebab tingginya angka bunuh diri di Bangli hal utama yang harus dibangun adalah menumbuhkan dimensi resiliensi dalam diri setiap individu. Secara sederhana resiliensi dapat diartikan sebagai kemampuan individu untuk beradaptasi dengan penderitaan yang dialami, untuk kemudian bangkit dan melawan mengatasinya (Nugroho, 2012: 33). Jika seseorang ada dalam tekanan hidup yang demikian besar dan kemudian mampu memberikan makna atasnya, maka tidak menutup kemungkinan masalah yang dihadapi justru menjadi sumber vitalitas

70

dalam menjalani hidup. Usaha-usaha semacam inilah yang bisa melahirkan individu-individu resilien. Pemaknaan atas hidup dan segala tantangannya menjadi penting manakala remaja dihadapakan pada situasi sulit seperti di atas.

Sebagaimana ungkap Dr. Maddi (dalam Scott, 2009: 2), hal pertama yang dapat dilakukan guna meningkatkan dimensi resiliensi pada diri adalah dengan mempelajarinya. Refleksi diri atau yang secara sederhana dapat diterjemahkan sebagai “pemahaman mendalam atas diri”, merupakan proses belajar yang berlangsung secara terus-menerus dalam upaya pembentukan dimensi resiliensi pada diri individu. Terkait hal tersebut, Michael Polanyi dalam The Study of Man (2001: 18) mengatakan bahwa sering kali manusia jauh tak mengenal dirinya ketimbang lingkungannya. Perihal mengalami kekecewaan, kegagalan, terkucilkan dan malu sesungguhnya adalah ajang individu melakukan refleksi atas diri. Dalam kacamata resiliensi, refleksi diri berfungsi sebagai sarana pengatur emosi, pengendali impuls, “pemeka” analisis sebab-akibat, serta pendobrak pemaknaan individu (Nugroho, 2012) Solusi atas kasus bunuh diri bermotifkan kemiskinan haruslah dicari akar penyebab kemiskinan terlebih dahulu sehingga dengan demikian solusi yang ditawarkan akan lebih tepat guna. Secara teoritik, penyebab kemiskinan dapat di pilah menjadi dua: Pertama: kemiskinan alamiah yakni kemiskinan yang timbul sebagai akibat dari sumber daya yang langka

jumlahnya dan atau tingkat perkembangan teknologi yang rendah, sehingga dengan demikian dibutuhkan prananta-pranata tradisional seperti hubungan patron-clien. Kedua: kemiskinan buatan yakni kemiskinan yang terjadi karena strruktur sosial yang ada membuat anggota atau kelompok masyarakat tidak menguasai sarana ekonomi dan fasilitas secara merata. Pendeknya kemiskinan buatan bersumber dari struktur sosial. Struktur sosial yang berlaku telah mengurung mereka ke dalam suasana kemiskinan secara turun temurun. Terdapat perbedaan yang tajam antara yang kaya dan miskin (Suyanto, 2013: 10). Struktur sosial yang berlaku melahirkan rintangan bagi seseorang untuk mengalami mobilitas sosial vertikal. Misalnya lemahnya kondisi ekonomi seseorang tidak memungkinakan mereka untuk memperleh pendidikan yang ayak dan berimbas pada sektor pekerjaan yang akan dipilihnya nanti Dengan demikian solusi atas tingginya angka bunuh diri di Kabupaten Bangli karena faktor ekonomi bisa dipecahkan dengan cara mengurangi jurang pemisah yang terlalu jauh antara yang kaya dan miskin. Konsep lain yang tidak kalah penting harus direalisasikan adalah pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat merupakan sebuah upaya untuk memberikan daya atau penguatan kepada masyarakat (Mardikanto, Soebiato, 2013: 26). Sejalan dengan itu, pemberdayaan dapat diartikan sebagai upaya peningkatan kemampuan masyarakat miskin atau

71

marjinal untuk menyampaikan pendapat dan atau kebutuhannya untuk mempengaruhi mengelola kelembagaan masyarakat demi perbaikan kehidupannya. Pemerintah atau dinas terkait bisa memberikan teknologi tepat guna atau pelatihan-pelatihan kewirausahaan sebagai usaha tambahan untuk pendapatan rumah tangga miskin. Dengan demikian masyarakat mendapatkan cara agar rakyat, komunitas dan organisasi diarahkan agar mampu menguasai dan berkuasa atas kehidupannya.

Daftar Pustaka

Abdul, Rahman Agus. 2014. Psikologi Sosial. Jakarta: Raja Grafindo Persada

Agusta, Ivanovich. 2014. Diskursus, Kekuasaan, dan Praktik Kemiskinan di Pedesaan. Jakarta: Pustaka Obor Indonesia

Dayakisni, Tri, Hudiniah. 2009. Psikologi Sosial. Malang: UMM Pres Kartono, Kartini. 2005. Patologi Sosial. Jakarta: Raja Grafindo Persada _____________.2011. Patologi Sosial 3: Gangguan-Gangguan Kejiwaan. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Mardikanto, Totok, Soebiato, Poerwoko.

2013. Pemberdayaan Masyarakat dalam Perspektif Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta

Nugroho, Wahyu Budi. 2012. Pemuda, Bunuh Diri dan Resiliensi: Penguatan Resiliensi sebagai Pereduksi Angka Bunuh Diri di Kalangan Pemuda Indonesia.

Jurnal Studi Pemuda. Volume 1 Ritzer & Smart. 2012. Handbook Teori Sosial. Jakata: Nusa Media Romi Sudhita, I Wayan, t.t, Perilaku

Bunuh Diri di Kalangan Pelajar: Analisis Deskriptif Pemberitaan Balipost Tahun 2006-2009

Rahman, Agus Abdul. 2013. Psikologi

Sosial Integrasi Pengetahuan Wahyu dan Pengetahuan Emperik. Jakarta: Raja Grafindo Persada

Scott,Diane E, 2009. Exploring Individual Resilience. Center for American Nurses, November, pp.1-2

Sarwono, Solita. 2007. Sosiologi

Kesehatan: Beberapa Konsep Beserta Aplikasinya. Yogyakarta, Gadjah Mada University Press.

_____________.2013. Psikologi Remaja. Jakarta: Raja Grafindo Persada

Sunaryo. 2014. Sosiologi untuk Keperawatan. Jakarta: Bumi Medika Sherraden, Michael, Abbas, Sirojudin

(terj.). 2006. Aset untuk Orang Miskin: Perspektif Baru Usaha Pengentasan Kemiskinan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Suyanto, bagong. 2013. Anatomi

Kemiskinan dan Strategi Penangannya. Malang: Intrans Publising

Zan Pieter, Herri, Lumongga Lubis,

Namora. 2010. Pengantar Psikologi dalam Keperawatan. Jakarta: Prenada Media Group.

72

PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA PERPUSTAKAAN (STUDI KASUS DI PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS UDAYANA)

1Made Kastawa

Program Studi D3 Perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Udayana Bali

Email: [email protected]

ABSTRACTThe research entitled The Human Resource Development (Case Study Library

Udayana University) aims to know the condition of library human resource, system and strategy to develop library human resource which is conducted at Library of Udayaa University.

By using the approach of qualitative descriptive method with the form category used in the study is a case study. The technique in data collection consisted of direct communication techniques or interview, observation, documentation and libraiy literature studies. The overall process of collecting data and analyzing data of this research are guided to the steps of data analysis on qualitative research namely is data reduction, data collection and data presentation.

Finally, this study concluded that the library of Udayan University is supported by mostly professional staff or expert librarian, namely one S1 of librarionship and two S2 degree non librarionship, thirteen S1 degree non librarionship with additional education and training as an expert library from National Library, six librarian with diploma degree in librarianship, and five from senior high school. The library housekeeping is also supported by five administration staff which consist of three S1 degree and two senior high school. The Library human resource development such as formal education, education and training, scientific meeting, study comparation, participative management always conducted in increasing the quality of human resource, so automatically the quality of library services is increased as well at library of Udayana University. The system of human resource development based on priority scale for developing the quality and librarian career development at library of Udayana University

Keyword : Human resource development, librarian

Pendahuluan

Perpustakaan Perguruan Tinggi merupakan salah satu unit pelaksana

teknis yang berfungsi sebagai sarana utama untuk mendukung program pendidikan, belajar mengajar, penelitian dan pengabdian masyarakat. Yang tugas

73

utamanya adalah mengembangkan pelayanan jasa informasi yang tanggap terhadap kepentingan kelompok atau perorangan dilingkungan kampus, dengan meyakinkan sumber-sumber informasi yang tersedia dan dapat mendukung pengembangan kurikulum.

Secara umum, sumber daya yang harus dimiliki perpustakaan terdiri atas sumber daya manusia dan sumber daya nonmanusia. Sumber daya manusia dapat dilihat dari perspektif politik, ekonomi, kultural, dan administrasi. Sumber daya manusia merupakan faktor yang paling dominan jika dibandingkan dengan sumber-sumber daya yang lain dalam suatu perpustakaan. Sumber daya manusia merupakan unsur utama dalam mencapai keberhasilan perpustakaan. Apabila keinginan dan kebutuhannya dapat terpenuhi secara wajar, mereka akan memberikan konstribusi tertentu demi keberhasilan tujuan perpustakaan.

Oleh karena itu, sumber daya manusia ini perlu dikembangkan dan ditingkatkan secara terus menerus, misalnya dengan pendidikan, pelatihan, magang, kursus, dan lainnya Pengembangan ini bertujuan untuk meningkatkan kepuasan karyawan (pustakawan, tenaga fungsional lain, dan tenaga administrasi), meningkatkan kinerja, mengatasi kekurangan, dan meningkatkan kualitas kerja (Bryson, 1990:99).

Pengembangan sumber daya manusia perlu diprioritaskan karena sumber daya ini merupakan sumber bergerak, sedangkan sumber daya lain merupakan benda mati. Oleh karena itu, sumber daya manusia ini dapat

d ikembangkan dan di t ingkatkan kemampuannya, yang hasilnya diharapkan mampu meningkatkan produktivitas dan kinerja perpustakaan. Seluruh SDM/personalia yang dimiliki perpustakaan perlu diatur sedemikian rupa, dalam hal ini disebut “Manajemen Sumber Daya Manusia” (Human Resources Management).

Agar orang-orang yang bekerja di suatu perpustakaan dapat melaksanakan tugas dengan baik, maka perlu diperhatikan lingkungan tempat kerja, peralatan, mesin, upah, keamanan, dan kesehatan. Untuk itu, diperlukan kemampuan mengatur sumber daya manusia agar dalam melaksanakan pekerjaan dapat berjalan dengan lancar dan mencapai produktivitas yang tinggi. Oleh karena itu, untuk memberdayakan sumber daya manusia secara optimal di perpustakaan perguruan tinggi negeri diperlukan pengembangan sumber daya manusia dengan sistem dan langkah-langkah perencanaan. Perencanaan sumber daya manusia atau perencanaan tenaga kerja merupakan upaya rekrutmen untuk mendapatkan sumber daya manusia yang cakap, memiliki motivasi tinggi, dan mampu bekerja dengan cermat untuk mengintegrasikan berbagai sistem tenaga kerja yang menyeluruh dari suatu organisasi. Sumber daya manusia perpustakaan dapat terdiri atas pejabat fungsional pustakawan, pejabat fungsional lain (dosen, arsiparis, pranata komputer), dan tenaga administrasi. Mereka merupakan pilar utama dalam kegiatan perpustakaan. Maju-mundurnya suatu perpustakaan tergantung pada kualitas sumber daya manusia yang

74

terlibat.

Sumber daya manusia merupakan aset utama perpustakaan yang tidak boleh diperlakukan sebagai alat produksi seperti mesin semata. Mereka adalah insan yang memiliki berbagai keinginan yang harus diperlakukan sesuai martabat kemanusiaannya. Mereka adalah insan ekonomi, insan politik, insan religi, insan sosial, dan sebagai individu yang memiliki jati diri. Oleh karena itu, perlu adanya usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan yang tidak saja berupa pemenuhan kebutuhan materi semata melainkan mereka juga harus dipuaskan dalam kepentingan-kepentingan psikologis, sosial, status, serta keinginan untuk tumbuh berkembang dan berkarir. Pemuasan berbagai kebutuhan dan kepentingan inilah yang akan membawa aspek-aspek yang sangat rumit dan beraneka ragam (Siagian, 1998:131).

Kebutuhan akan sumber daya manusia untuk perpustakaan perlu direncanakan dengan mempertimbangkan faktor-faktor jenis kegiatan, kualitas dan kuantitas tenaga, spesialisasi, pemanfaatan teknologi informasi, dana, dan tingkat pendidikan. Oleh karena itu, kebutuhan sumber daya manusia antara satu perpustakaan dengan perpustakaan yang lain tidak sama. Tinggi rendahnya kualitas sumber daya manusia perpustakaan dapat meningkatkan dan atau menurunkan citra perpustakaan di mata masyarakat. Oleh karena itu, dalam rencana pengadaan sumber daya manusia pengelola perpustakaan perlu memperhatikan kualitas dan kuantitasnya.

Apabila perpustakaan dikelola oleh sumber daya manusia yang kurang termotivasi, lama-kelamaan akan ditinggalkan oleh pemakainya. Dalam hal ini tidak bisa lepas dari karakter dan latar belakang pendidikan pustakawan itu sendiri (Astanto, 2002:10), dalam Lasa. H S. Kualitas pelayanan perpustakaan bergantung penuh kepada kualitas pengetahuan, ketrampilan dan bakat staf perpustakaan sebagai sumber daya manusia. Pekerjaan di perpustakaan sifatnya kompleks dimana perpustak sebagai pusat informasi bagi para pemakai informasi di lingkungan perguruan tinggi, dituntut untuk dapat memberikan pelayanan informasi secara cepat dan tepat.

Kajian Pustaka1. Sumberdaya Manusia Atau Tenaga

Perpustakaan

Tenaga atau Sumber Daya Manusia (SDM) yang bekerja di perpustakaan dapat dikelompokkan sebagai berikut :

1. Tenaga manajerial atau tenaga struktural yaug menduduki jabatan pimpinan di dalam unit/struktur organisasi perpustakaan.

2. Tenaga yang memiliki keahlian atau tenaga profesional dan para profesional. Kelompok tenaga ini disebut juga sebagai tenaga/pejabat fungsional.

3. Tenaga administradf/klerikal, seperti Sekretaris, Tata Usaha, Pengetik, Pembantu pimpinan,

75

Caraka, Pengemudi, dan lain-lain.

Dengan telah dilaksanakannya peraruran mengenai J a b a t a n Fungsional Pustakawan (JFP), maka tenaga/pejabat fungsional Pustakawan terdiri dari : 1) Pustakawan Tingkat Ahli, 2) Pustakawan Tingkat Terampil; dan 3) Pustakawan Muda.

Pustakawan Tingkat Ahli adalah tenaga profesional di bidang perpustakaan. Pustakawan Terampil adalah tenaga para profesional di bidang perpustakaan. Perpustakaan sebagai salah satu ujung tombak untuk mencerdaskan masyarakat perlu dipimpin dan dikelola tenaga-tenaga yang utamanya berpendidikan di bidang perpustakaan, atau mereka yang telah selesai mengikuti pelatihan di bidang perpustakaan sesuai dengan syarat atau peraturan yang berlaku. Tenaga-tenaga profesional dan para profesional inilah yang mengetahui berbagai aspek perpustakaan dan kepustakawanan melalui pendidikan formal dan pelatihan serta pengalaman kerja di lapangan.

2. Pengertian Pustakawan

Menurut Kode Etik Pustakawan Indonesia, pustakawan adalah seseorang yang melaksanakan kegiatan perpustakaan dengan jalan memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai tugas lembaga induknya berdasarkan ilmu perpustakaan, dokumentasi, dan informasi yang dimilikinya melalui pendidikan (Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga IPI). Pustakawan menurut SK MENPAN

No. 132/ 2002 adalah pegawai negeri sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan kegiatan kepustakawanan pada unit-unit perpustakaan, dokumentasi, dan informasi pemerintah dan atau unit tertentu lainnya. Dalam pengertian ini, pustakawan terbatas pada mereka yang berstatus sebagai pegawai negeri sipil. Hal ini disebabkan oleh pustakawan diakui sebagai pejabat yang menduduki jabatan fitngsional, seperti dosen, peneliti, guru, pranata komputer, dan lainnya yang mengemban kewajiban, wewenang, tanggung jawab, dan hak seperti jabatan fungsional lainnya. Di samping itu, dalam aturan itu juga dijelaskan bahwa pustakawan terdiri atas pustakawan trampil dan pustakawan ahli.

Dalam rumusan Lokakarya Profesi Pustakawan yang diselenggarakan oleh Ikatan Pustakawan Indonesia DIY 5 Juli 1989 disebutkan bahwa pustakawan ialah seseorang yang memiliki keahlian dan ketrampilan di bidang ilmu perpustakaan, dokumentasi, dan informasi yang diperoleh melalui pendidikan formal maupun nonformal dan memiliki sikap pengembangan diri, mau menerima dan melaksanakan hal-hal baru dengan jalan memberikan pelayanan profesional kepada masyarakat dalam rangka melaksanakan UUD 45, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia (Lasa H S., 1988:74).

3. Kategori Staf

Staf perpustakaan dibagi ke dalam

76

dan majalah ke rak, penyusunan buku dan majalah supaya siap dijilid, dan stock opname.

Teknisi penunjang merupakan tenaga perpustakaan yang berpendidikan SLTA ke bawah dengan pendidikan kepustakawanan 1 tahun atau kurang. Tugas mereka membantu pelaksanaan para profesional. Sedapat mungkin diusahakan peningkatan kemampuan mereka melalui kursus, latihan, pendidikan berkesinambungan, maupun pendidikan formal. Dengan demikian perpustakaan akan terisi oleh tenaga profesional sehingga lebih baik dalam menjalankan tugasnya.

Sifat tugas tenaga penunjang (administrasi) tidak berbeda dengan tugas tenaga sejenis di kantor lain. Tugas tenaga penunjang (administrasi) antara lain ialah tenaga sekretariat pada pustakawan; bertanggung jawab atas berkas personalia (pengangkatan, berkas pribadi, dokumen rahasia, pensiun); urusan keuangan dan bahan (gaji karyawan, lembur, honorarium, pemesanan barang habis pakai, rekening listrik air, listrik); pengetikan (kecuali kartu katalog, bibliografi, senarai dokumentasi); serta tugas pemeliharaan rumah tangga perpustakaan (housekeeping) dan tugas lainnya.

4. Tujuan Pengembangan SDM di Perpustakaan

Adapun tujuan pengembangan SDM di Perpustakaan agar Pustakawan/ Non Pustakawan mempunyai kemampuan yang secara konseptual dapat dijenjangkan

kelompok (Basuki.,1991: 203-204 ): (a) profesional, (b) para profesional, (c) teknisi penunjang, dan (d) penunjang (adrninistratif). Staf profesional terdiri dari orang yang ditugaskan dalam tugas profesional seorang pustakawan , dan memiliki gelar kesarjanaan dalam ilmu perpustakaan serta ilmu berkaitan. Bagi mereka yang memiliki gelar dalam ilmu perpustakaan ditambah dengan gelar dari bidang lain dianggap sebagai tenaga profesional. Ada yang menyebut golongan ini sebagai spesialis subjek, spesialis informasi, pakar informasi, serta berbagai sebutan lainnya. Tugas yang lazim dilakukan oleh tenaga profesional mencakup : pemilihan buku, pemesanan buku, klasifikasi, pengkatalogan, pengindeksan, pembuatan abstrak (sari karangan), jasa referens/jasa informasi, dan perencanaan.

Tenaga para profesional memegang peranan penting dalam tugas perpustakaan. Tenaga para profesional harus memiliki sertifikat setingkat program Diploma 2 atau lebih. Tugas yang dilakukan oleh tenaga paraprofesional mencakup : penyusunan slip pemilihan buku setelah pilihan dilakukan oleh pustakawan ataupun pakar subjek, pemesanan buku, pencatatan majalah, pengetikan dan penggandaan kartu katalog, pengawasan atas pekerjaan penomoran buku seperti pembuatan jaket buku, kartu buku, label tanggal pinjam dan kembali, nomor punggung buku, peminjaman dan pengembalian buku, pengawasan atas rekaman peminjaman, pengetikan bibliografi, senarai dokumentasi dan sejenisnya, pengawasan atas pengembalian buku

77

sebagai berikut: 1) Mampu melaksanakan tugas yang tetap mengutamakan kepentingan pemakai perpustakaan; 2) Mampu berkomunikasi baik secara vertikal maupun horisontal sehingga dapat menunjang tujuan perpustakaan; 3) Dapat secara aktif berbahasa asing, untuk menunjang kerjasama antar perpustakaan di dalam maupun di luar negeri; 4) Berpendidikan minimal D2 Perpustakaan, dokumentasi atau informasi; 5) Menguasai semua pekerjaan perpustakaan; 6) Mampu memasyarakatkan jasa perpustakaan; 6) Mampu mengembangkan profesi dalam bidang perpustakaan; 7) Dapat beradaptasi terhadap perkembangan teknik di bidang perpustakaan; 8) Dapat memanfaatkan masuknya teknologi di bidang perpustakaan sehingga kegiatan perpustakaan lebih efektif dan efisien; 9) Dapat mengikuti perkembangan teknologi di bidang perpustakaan dan informasi; 10) Mampu mengadakan penelitian secara mandiri di bidang perpustakaan, informasi dan dokumentasi; dan 11) Mampu mengadakan analisis atau penelitian ilmiah yang akan menghasilkan teori, konsep di bidang perpustakaan, dokumentasi dan informasi.

5. Pendekatan Pengembangan SDM Perpustakaan

Pendekatan dalam pengembangan sumber daya perpustakaan dapat dilakukan secara kualitatif maupun kuantitatif. Pengembangan secara kualitatif berkaitan dengan peningkatan kualitas pustakawan. Peningkatan kualitas ini dapat dilakukan denga memberikan bimbingan dan arahan,

memberikan kesempatan pelatihan, dan memahami motivasi dan memahami kebutuhan tenaga kerja. Di sisi lain, peningkatan kuantitas pustakawan juga penting untuk dilakukan agar mampu memberikan pelayanan yang maksimal kepada pengguna. Kuantitas pustakawan dapat dilakukan melalui kerja sama dengan lembaga-lembaga terkait.

a. Strategi Pengembangan SDM Perpustakaan

strategi pengembangan Sumber Daya Manus ia d i Perpus takaan Perguruan Tinggi dapat dilakukan melalui pendidikan, pelatihan, seminar, pogram magang, pertukaran staf dan studi banding, serta manajemen partisipasi. Pelatihan sebagai wadah pengembangan SDM di Perpustakaan dapat dilaksanakan di luar maupun di dalam Perpustakaan. Pelatihan di luar Perpustakaan (Off the Job Training). Dapat dilaksanakan dengan mengirim pustakawan/non pustakawan ke PTN atau Lembaga yang membuka program Ilmu Perpustakaan. Pelatihan semacam ini sangat membutuhkan tunjangan dana Lembaga Induk dimana perpustakaan itu bernaung. Karena terbatasnya dana maka Kepala/Direktur Perpustakaan mempunyai kecenderungan unruk mengadakan pe la t ihan d i Perpustakaannya (Job Training) masing-masing baik melalui Pelatihan Pengenalan Perpustakaan (Induction Training) atau bimbingan langsung kepada pustakawan mengenai uraian tugasnya. Penerapan Manajemen Partisipasi di perpustakaan secara langsung dapat mengembangkan SDM di Perpustakaan, karena manajemen

78

ini berorientasi kepada Pustakawan/Non Pustakawan yang dilibatkan dalam pengambilan keputusan di Perpustakaan dan kegiatan dalam bentuk tim atau proyek yang ada kaitannya dengan kegiatan perpustakaan.

Creth (1978) mengatakan bahwa kemahiran staf memberikan pelayanan kepada pemakai merupakan tumpuan harapan, dan bukan bergantung kepada mesin, karena mesin bagaimanapun hanya merupakan tumpuan harapan, dan bukan bergantung kepada mesin, karena mesin bagaimanapun hanya merupakan alat untuk membantu staf melaksanakan tugas mengolah dan melayani permintaan informasi. Oleh karena itu staf harus mahir menggunakan berbagai alat automasi pengolahan bahan, pelayanan dan penelusuran informasi di perpustakaan. Agar terciptanya staf perpustakaan yang mahir menggunakan alat-alat canggih, maka perlu direncanakan pengembangan staf secara berkelanjutan. Pengembangan berupa pengetahuan, keterampilan menggunakan alat, pengembangan sikap dan prilaku, yang baik sehingga terwujudnya staf yang kompeten dalam profesinya masing-masing.

Metode Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan deskriptif kualitatif dengan kategori bentuk yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus. Penelitian ini akan dilakukan pada perpustakaan Universitas Udayana Kampus Bukit Jimbaran Bali. Pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

kualitatif. Bodgan dan Taylor (1975 : 5 dalam Moleong 2005 : 5) mendefinisikan metodelogi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan kualitatif lebih menekankan pada “kealamiahan” sumber data, sehingga pendekatan ini lebih diarahkan pada latar dan individu tersebut secara. holistik (utuh). Metode yang digunakan adalah metode deskriptif yaitu memaparkan situasi atau peristiwa secara natural. Metode ini dipilih karena dengan metode deskriptif peneliti dapat menggambarkan secara nyata kejadian dengan terjun langsung ke tempat penelitian.

Sesuai dengan fokus penelitian, maka. yang dijadikan subjek penelitian dan informan penelitian, yaitu: kepala perpustakaan, Para Pustakawan, staff perpustakaan, staf administrasi dan Kepala Sub Tata Usaha di perpustakaan Universitas Udayana. Penelitian ini akan dilakukan dengan cara mengumpulkan data yang dilakukan oleh seorang peneliti melalui kontak langsung secara lisan atau tatap muka dengan sumber data yaitu sumber daya manusia perpustakaan, dalam hal ini pengumpulan data akan dilakukan dengan cara mewawancarai sumber data. Sifat wawancara yang digunakan adalah interview bebas (tak terpimpin) yang berlangsung tanpa pedoman yang dipersiapkan oleh pewawancara. Satu-satunya pedoman yang sebenarnya adalah rincian sub masalah atau pembatasan masalah. Teknik observasi langsung juga dilakukan yang bertujuan untuk

79

mengamati berbagai hal yang berhubungan dengan kondisi sumber daya manusia di perpustakaan Universitas Udayana sistem dan strategi pengembangan sumber daya manusianya di perpustakaan Universitas Udayana. Teknik ini juga dibantu dengan dokumentasi dan studi literatur. Terakhir, data dilakukan analisis data dengan berpedoman pada langkah-langkah analisis data penelitian kualitatif, yaitu preduksian data, penyajian data, dan pengumpulan data

PEMBAHASAN

Sumber Daya Manusia Di Perpustakaan Universitas Udayana

Perpustakaan Universitas Udayana dikelola oleh 5 orang karyawan tenaga administrasi yang sudah termasuk Kasubag Tata Usaha dan 26 orang Pustakawan Keadaan staf Perpustakaan Universitas Udayana sampai bulan April 2015 terlihat pada tabel 1 berikut.

Tabel 1Keadaan Staf Perpustakaan Universitas Udayana

No JenjangPendidikan Status

JumlahPerpustakaan Umum Perpustakaan Administrasi

1 S2 - 1 1 - 12 S1 1 16 14 3 173 Diploma 6 - 6 - 64 SLTA 7 - 5 2 7

Jumlah 31

Dari tabel 1 di atas terlihat bahwa jumlah staf Perpustakaan Universitas Udayana yang berpendidikan S-2 (pascasarjana) bidang perpustakaan pada saat ini belum ada, yang ada hanya S2 bidang umum yaitu bidang umum yaitu Master Computer Science dan bertugas di Fakultas Teknik . S1 bidang perpustakaan adalah 1 orang, S1 bidang umum adalah 16 orang, dari 17 orang hanya 14 orang yang menjadi pustakawan ,sedangkan 3 orang staf administrasi termasuk 1 orang Kasubag. TU. Dari 14 orang pustakawan berlatar belakang pendidikan S1 ada di Perpustakaan Universitas Udayana, juga menyebar 2 orang bertugas di Fakultas Sastra, dan 1 orang di Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik.

Demikian pula pustakawan yang berpendidikan Diploma Perpustakaan yang berjumlah 6 orang , 4 orang di perpustakaan Bukit Jimbaran , 1 orang di Fakultas Teknik dan orang di Fakultas Kedokteran. Peran tenaga perpustakaan yang berpendidikan SLTA masih sangat dibutuhkan dari 7 orang yang berpendidikan SLTA 2 orang menjadi staf administrasi , sedangkan 5 orang menjadi pustakawan, yang ditempatkan di Fakultas Hukum 3 orang dan 2 orang di Perpustakaan Pusat Bukit Jimbaran.

Keberadaan pejabat fungsional pustakawan pada saat masih melekat dengan dengan istilah pustakawan impasing, karena yang melahirkan istilah pustakawan adalah Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 18 /MENPAN/1988

80

tanggal 29 Februari 1988 tentang Angka Kredit Bagi Jabatan Pustakawan.Sehingga hampir semua Pegawai perpustakaan menjadi pustakawan karena telah memenuhi syarat minimal Pegawai Negeri Sipil yang diangkat untuk pertama kali dalam jabatan pustakawan.

Dengan mengetahui tugas pokok dan kegiatan pustakawan untuk memenuhi kualifikasi pustakawan berdasarkan syarat syarat menjadi pustakawan yaitu Memiliki pendidikan dan atau pelatihan dalam bidang perpustakaan, dokumentasi dan informasi serendah-rendahnya setingkat dengan sarjana muda, pada saat itu hanya 3 orang mempunyai latar belakang pendidikan pustakawan, dari ketiga orang tersebut pernah menjabat Kepala Perpustakaan dan sekarang sudah pensiun sekian tahun yang lalu.

M a k a p e m e r i n t a h m u l a i mengembangkan sumber daya manusia di perpustakaan mulai tahun1999, yang bisa dibiayai hanya sebagian kecil dari SDM perpustakaan dari masing-masing perpustakaan perguruan tinggi negeri di seluruh Indonesia, dan sisanya yang tidak mendapat kesempatan kebanyakan melanjutkan ke FISIP Wira Bakti Denpasar dengan mengambil Jurusan Administrasi Negara.

Jalur-Jalur Pengembangan Sumber Daya Manusia Perpustakaan Di Perpustakaaan Universitas Udayana

P a d a h a k e k a t n y a s e o r a n g pustakawan harus mengikuti program

pengembangan SDM perpustakaan, karena untuk meningkatkan pengetahuan, kemampuan , ketrampilan serta keahlian dalam melaksanakan tugas-tugas sebagai pejabat fungsional Pustakawan, untuk masa sekarang maupun masa yang akan datang. Disamping untuk bekal kalau ada alih tugas seperti alih tugas menjadi pejabat strukturan dan untuk memenuhi persyaratan kenaikan jabatan/pangkat. Sehingga menempuh jalur pengembangan SDM perpustakaan sebagai berikut:

a. Pendidikan formal maupun perguruan tinggi

1) Pustakawan dapat mengikuti pendidikan formal pada jurusan ilmu perpusakaan dan informasi di perguruan tinggi untuk memperoleh gelar dan untuk peningkatan kompetensi dan profesionalisme. Dengan melihat pendidikan terendah dari pustakawan adalah SLTA pada tahun 1999 maka pemerintah juga mulai memperhatikan dengan memberikan bea siswa yang dikenal dengan karya siswa (D2, S1 (Plus untuk yang sudah punya S1 non Ilmu Perpustakaan) dan S2 didalam atau diluar negeri ) yang dikelola oleh DIKTI,DEPDIBUD Proyek Pengembangan Staf dan Sarana Perguruan Tinggi yang unitnya disebut Unit Koordinasi Kegiatan Perpustakaan. Pada saat itu perpustakaan Unud mendapat jatah 5 orang untuk mengikuti D2 Ilmu Perpustakaan yaitu 1 orang di Universitas Airlangga Surabaya dan 4 orang ke Universitas Hasanudin Ujung Pandang. Sedangkan untuk S1 plus hanya 1 orang di Universitas Pajajaran Bandung, Alumni tersebut

81

sudah purna bakti. Dari 2 orang tamatan D2 melanjutkan ke S1 non kepustakawanan di PTS di denpasar, sedangkan yang SLTA dan tamatan D2 tetap tidak melanjutkan sudah cukup dengan predikat pustakawan terampil dan mendapat KEPPRES perpanjangan batas usia pensiun. Dilain pihak ada juga pustakawan yang melanjutkan ke D2 dengan biaya sendiri.

2) Pustakawan dapat mengikuti pendidikan non kepustakawanan di perguruan tinggi, sepanjang bidang pengetahuan dan keterampilannya bermanfaat bagi pelaksanaan tugasnya sebagai pejabat fungsional pustakawan dan dihargai sebagai unsur penunjang. Ada beberapa pustakawan yang masuk sebagai PNS sudah S1 seperti S1 Ekonomi, Bahasa Bali dan Bahasa Indonesia. Sedangkan tamatan D2 dan SLTA kebanyakan langsung melanjutkan ke STIPOL Wira Bakti untuk mengambil jurusan Administrasi Negara dan Universitas Warmadewa Jurusan Sastra Inggris,UNHI jurusan Agama dan biaya untuk menempuh pendidikan ke jenjang lebih tinggi dengan biaya sendiri.

b. Pendidikan dan Pelatihan

1) Pendidikan dan pelatihan fungsional pustakawan adalah pendidikan dan pelatihan yang bertujuan memberikan pengetahuan, keterampilan/keahl ian dasar fungsional pustakawan sebagai bekal bagi Pegawai Negeri Sipil dalam melaksanakan tugas sebagai pustakawan.

2) Pendidikan dan pelatihan teknis kepustakawanan bertujuan memberikan keterampilan dan

atau pengasaan pengetahuan teknis yang berhubungan secara lansgung dengan pelaksanaan tugas pokok pustakawan.

Semua sarjana dari berbagai disiplin ilmu non kepustakawan yang telah disebutkan diatas telah berusaha untuk mengilangkan kesan pustakawan impasing atau yang sudah pustakawan terampil karena sudah Sarjana ingin menjadi pustakawan Ahli dengan mengikuti 2 (dua ) model pendidikan dan pelatihan tersebut diatas dibiayai oleh Perpustakaan Nasional RI yang pelaksanaannya di Jakarta atau di Denpasar sudah selesai 4 ( empat) kali angkatan mulai tahun 2000, 2005,2009 dan 2014. Program ini disebut dengan Diklat Calon Pustakawan Tingkat Ahli yang menghasilkan pustakawan di Perpustakaan Universitas Udayana meraih predikat Pustakawan Ahli dan bahkan sudah ada Pustakawan Ahli Utama ( Gol/IV/D ) dengan hak usia pensiun umur 65 tahun.

c. Mengikuti pertemuan ilmiah

P e r t e m u a n i l m i a h d i b i d a n g perpusdokinfo yang dapat diikuti pustakawan baik di dalam maupun diluar negeri meliputi :

a) Konferensi

b) Seminar

c) Lokakarya

d) Symposium

e) Diskusi panel dan sebagainya

82

Pertemuan ilmiah tersebut diatas kebanyakan diikuti oleh Pejabat Pustakawan Ahli, sedangkan Pejabat Pustakawan Terampil lebih sering mengikuti seminar dan lokakarya di Bali baik UNUD atau Badan Perpustakaan Dan Arsip Daerah Provinsi Bali.

d. Studi banding dan peninjauan

Studi banding, peninjauan dan studi wisata dapat diikuti oleh pustakawan. Pustakawan yang melakukan studi banding dan peninjauan harus mempunyai surat tugas dari pimpinan yang berwenang. Program ini sudah diadakan pemerataan untuk mengir im pustakawan ahli dan terampil untuk memperbarui pengetahuan dan ketrampilannya, sehingga tidah hambatan didalam mengerjakan tugas-tugas fungsuional pustakawan. Universitas yang menjadi tujuan adalah Universitas Indonesia, ITB, IPB, UGM dan Universitas Brawijaya. Adapun waktu yang disediakan sampai seminggu sehingga program ini lebih tepat disebut Program Magang.

Sedangkan pustakawan yang bisa mengisi formasi PNS di perpustakaan Unud dengan S1 perpustakaan hanya 1 orang dan tidak perlu lagi mengikuti DIKLAT,karena ilmu pengetahuannya belum ketinggalan jauh dengan tujuan pend id ikan seca ra umum ada l ah menyiapkan dan menghasilkan sarjana yang mempunyai kemampuan akademik dalam menerapkan, mengembangkan

dan/atau memperkaya khasanah ilmu dan perpustakaan serta menyebarkan dan mengupayakan pemanfaatannya untuk kepentingan pembangunan dan dunia usaha, serta meningkatkan taraf hidup masyarakat. Sedangkan tujuan secara khusus adalah :

a. M e n y e l e n g g a r a k a n p r o s e s pengajaran yang produktif dan inovatif sesuai kebutuhan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta kepentingan dunia usaha.b. Mengembangkan proses belajar dengan iklim akademik yang dinamis yang mendukung tumbuhnya pemikiran-pemikiran yang kritis dan analitik.c. Mengembangkan gagasan dan minat untuk menekuni bidang-bidang kajian ilmu informasi dan perpustakaan untuk memperkaya sumbangan keilmuan yang senantiasa inovatif dan sesuai dinamika perkembangan masyarakat.d. M e n g e m b a n g k a n p r o s e s pembelajaran yang mampu menghasilkan rancangan sistem dibidang informasi dan perpustakaan.e. Mengembangkan kajian-kajian serta penelitian ilmiah yang inovatif untuk menunjang pengembangan ilmu informasi dan perpustakaan serta pengabdian pada masyarakat.f. M e n g e m b a n g k a n p r o s e s pembelajaran yang mendukung kompetensi lulusan yang mampu mengelola informasi secara professional.

Sasaran program sarjana ilmu perpustakaan adalah pengembangan kajian perpustakaan dan informasi sebagai

83

sumbangan untuk :1. Meningkatkan jasa perpustakaan dan dokumentasi di Indonesia 2. Memenuhi kebutuhan semua jenis perpustakaan dan pusat informasi akan tenaga ahli perpustakaan

Tu j u a n p e n d i d i k a n a d a l a h menghasilkan tenaga ahli perpustakaan yang diharapkan :

1. Memahami teori serta memiliki keterampilan yang berkaitan dengan pengadaan, pengaturan, pemeliharaan dan pendayagunaan semua jenis bahan pustaka.2. M a m p u m e r e n c a n a k a n , mengusahakan, dan mengelola sumber daya manusia serta alat sebagai dasar dalam pendayagunaan koleksi dan jasa-jasa yang tersedia.3. Memahami peran perpustakaan dan dokumentasi serta kaitannya dengan lingkungan sosial, eonomi dan politik.4. Mampu memanfaatkan computer dan teknologi informasi mutakhir lainnya untuk pengolahan ata informasi.5. Mampu berkomunikasi dengan memakai dan memberi penyuluhan mengenai penggunaan perpustakaan dan kepustakaan.6. M e n u n j u k k a n p e n g e r t i a n dan pentingnya untuk berperan serta dalam organisasi profesi dan pendidikan menerus yang berguna bagi pengembangan diri dan peningkatan profesi.7. Memahami prinsip-prinsip dasar yang diperlukan untuk dapat melakukan,

menafsirkan dan menilai penelitian dalam bidang kajian perpustakaan dan informasi.

Dar i ura ian yang berkai tan dengan s tandar kua l i tas S1 I lmu Perpustakaan maka DIKLAT yang diikuti oleh S1 non kepustakawanan yang bekerja di Perpustakaan Universitas Udayana sudah mempunyai kualitas yang sama yang berhubungan dengan kemampuan,pengetahuan dan ketrampilan , karena DIKLAT tersebut lebih dikenal dengan Diklat Penyetaraan Calon Pustakawan Tingkat Ahli.

e. Manajemen PartisipasiDengan diterapkannya Manajemen

Partisipasi di perpustakaan secara langsung dapat mengembangkan SDM di Perpustakaan, karena manajemen ini berorientasi kepada Pustakawan/Non Pustakawan yang dilibatkan dalam pengambilan keputusan di Perpustakaan dan kegiatan dalam bentuk tim atau proyek yang ada kaitannya dengan kegiatan perpustakaan. Di Perpustakaan Universitas Udayana, Kepala atau Pimpinannya tetap menjalankan manajemen partisipasi, karena manajamen tersebut dapat meningkatkan staf moral dan suasana akademik yang kondusif.

B e n t u k - b e n t u k m a n a j e m e n partisipasi yang ada di Perpustakaan Pusat Universitas Udayana adalah sebagai berikut:

1. Tim Penilai Jabatan Fungsional Pustakawan2. Tim Pengadaan Bahan Pustaka/koleksi

84

3. Ti m P e n d i d i k a n P e m a k a i Perpustakaan4. Panitia Seminar/Lokakarya yang diadakan oleh perpustakaan5. Panitia Penerimaan Mahasiswa Baru6. Mengirim Pustakawan untuk berpartisipasi dalam seleksi pustakawan berprestasi /teladan setiap tahun ke Badan Perpustakaan Dan Arsip Provinsi Bali.

4.3 Sistem Pengembangan Sumber Daya Manusia Perpustakaan Di Perpustakaanb Universitas Udayana Wa l a u p u n s u d a h j e l a s j a l u r

pengembangan SDM di perpustakaan tetapi masih banyak kendala yang menghambat dalam proses pengembangannya antara lain perhatian universitas belum sama terhadap status pustakawan dibandingkan dengan tenaga pengajar walaupun keduanya sebagai tenaga fungsional. Masih banyak universitas yang belum mempunyai kebijaksanaan tertulis mengenai pengembangan SDM di perpustakaan sehingga akibatnya masih menganut sistem tunjuk (Adhoc Regular Basic).Sedangkan pendidikan dan pelatihan di bidang perpustakaan sangat erat hubungan dengan kondite SDM dan jenjang promosi / career berikutnya setelah menyelesaikan program pendidikan dan pelatihan.

Dengan terbatasnya dana untuk kegiatan pengembangan SDM maka Kepala Perpustakaan membuat skala prioritas berdasarkan kebutuhan. Seperti halnya

kesempatan untuk Diklat Kepustakawanan adalah mengutamakan staf perpustakaan yang berijasah S1 dan sanggup menjadi Pejabat Pustakawan, sehingga jumlah pustakawan pada tabel diatas, termasuk terjadi penambahan 1 orang pustakawan di Fakultas Teknik dan 3 orang di Perpustakaan Pusat Bukit Jimbaran 3 orang akibat tahun lalu ada Diklat Calon Pustakawan Tingkat Ahli yang diselenggarakan oleh Perpustakaan Nasional RI dengan memilih tempat di Denpasar Bali.

Pengembangan SDM perpustakaan tidak harus ditunjuk atau dibiayai oleh Lembaga, tetapi yang terpenting adalah surat penugasan karena dengan tunjangan jabatan yang cukup sesuai mengakibatkan pustakawan secara sadar ingin meningkatkan kemampuan melalui pertemuan ilmiah atau yang sejenis dengan biaya sendiri khusus untuk kegiatan yang diadakan di Denpasar Bali.

PENUTUPDari uraian hasil penelitian dan

pembahasan yang telah dibahas sebelumnya, maka dapat ditarik kesunpulan sebagai berikut : Perpustakaan Universitas Udayana mempunyai 15 orang Pustakawan Ahli, yang berpendidikan S1 Perpustakaan 1 orang, S2 Non Perpustakaan 1 orang, dan sisanya berpendidikan S 1 Non Perpustakaan, yang merubah status menjadi Pustakawan Ahli adalah Diklat Calon Pustakawan Tingkat Ahli (Pendidikan dan Pelatihan Penyetaraan untuk menajdi Pustakawan Ahli ) yang dibiayai oleh Perpustalcaan Nasional

85

Republik Indonesia.Sedangkan Pustakawan yang

berpendidikan Diploma Perpustakaan sebanyak 6 orang, SLTA (dengan SK Impasing menjadi Pustakawan) sebanyak 5 orang berdasarkan Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No. 18/MENPAN/1988 diangkat menjadi Pustakawan terampil. Untuk tenaga administrasi Perpustakaan didukung oleh 3 orang Pendidikan S1 dan SLTA 2 orang.

Keberadaan Pustakawan balk terampil dan ahli serta tenaga administrasi tidak lepas dari Pengembangan Sumber Daya Manusia dengan menempuh jalur Pendidikan Formal, Diklat, mengikuti pertemuan ilmiah, Studi Banding, dan Manajemen par t is ipasi . Walaupun pengembangan Sumber Daya Manusia di Perpustakaan Universitas Udayana belum berdasarkan kebijakan tertulis, tetapi sistemnya menggunakan sistem tunjuk, dengan menentukan calon Pustakawan atau Non Pustakawan untuk mengikuti jalur pengembangan tadi, khususnya kegiatan yang dibiayai oleh Lembaga. Dengan adanya tunjangan Pustakawan yang cukup, maka untuk jalur pertemuan ilmiah dibidang Perpusdokinfo yang diadakan di Denpasar biasanya Pustakawan rela dengan biaya sendiri.

Keberadaan Pustakawan baik yang terampil maupun ahli yang pada awalnya diangkat dengan SK Impasing, yang berlatar belakang SLTA, DIPLOMA, dan Sarjana, mulai 3 (tiga) tahun ke depan sampai 5 (lima) tahun akan memasuki

masa usia pensiun kurang lebih 9 orang. Sehingga Pimpinan Lembaga Induk dari UPT. Perpustakaan yaitu Universitas Udayana sudah mulai merencanakan dari tahun 2016 untuk merekrut calon Pustakawan Terampil maupun Ahli.

Dengan me l iha t kompos i s i Pendidikan Pustakawan atau Tenaga Administrasi, sangat diharapkan untuk mengikuti jenjang pendidikan yang lebih tinggi yaitu S1 dan S2 di bidang Informasi yang direncanakan oleh Kepala UPT. Perpustakaan sehingga bisa mendapat bantuan Beasiswa untuk Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) Perpustakaan. Yang pada akhirnya akan lulus Sertifikasi Profesi dan mendapat Sertifikat.

Walaupun UPT. Perpustakaan Universitas Udayana telah menerapkan manajemen partisipasi, harus tetap dipertahankan untuk pemerataan dan meningkatkan staff moral Pustakawan atau Non Pustakawan untuk terlibat di Tim / Kepanitiaan yang berhubungan dengan Penilai Jabatan Fungsional Pustakawan, pengadaan bahan pustaka, pendidikan pemakai perpustakaa.n, penerimaan mahasiswa baru dan mengirim Pustakawan untuk berpartisipasi dalam seleksi Pustakawan berprestasi / teladan setiap tahun ke Badan Perpustakaan dan Arsip Provinsi Bali.

DAFTAR PUSTAKA

Basuki, Sulistyo. 1991. Pengantar

86

Ilmu Perpustakaan, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Bogdan, Robert dan Steven J. Taylor. 1993. Kualitatif : Dasar-dasar Penelitian [Penerjemah: Khozin Affandi]. Surabaya: Penerbit Usaha Nasional.

Creth, Sheila D. 1978. Continuing Education. Collage and Researce Libraries News 39 No. 3.

Departemen Agama RI. 2003. Pedoman Penyelenggaraan Perpustakaan Di Pondok Pesantren. Jakarta: Direktur Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren.

Dikti. 2004. Buku Pedoman Perpustakaan Perguruan Tinggi Edisi Ketzga. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional RI Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi.

Hemandono. 1999. Keputusan Kepala Perpustakaan Nasional Republik Indonesia nomor 72 tahun 1999. Jakarta: Perpustakaan Nasional RI.

Kastawa, Made. 2001, Teknik Studi dan Pemanfaatan Perpustakaan. Makalah dalam Bimbingan Mahasiswa RISTI DO. Mataram : Unram.

Lasa, HS. 2005.Manajemen Perpustakaan. Yogyakarta: Gema Media.

Luh Putu Sri Aryani, SS. 2010. Persepsi M a h a s i s w a P a s c a s a r j a n a Undiksa tentang Pegembangan Perpustakaan Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha. Singaraja: UPT. Perpustakaan Universitas Pendidikan Ganesha.

Marsela. 2011. Jurnal Ikatan Pustakawan Indonesia ilol 3 No. 1 dan 2.

Mestika, Zed. 2008. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Moleong, Lexy J. 1990. Metodologi Penelitian Kualitatij: Bandung: Remaja Rosdakarya.

Moleong, Lexy J. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya,

Mukhtar. 2013. Metode Praktis Penelitian Deskriptif Kualitatif. Jakarta: Referensi

Noragh Jones and Peter Jordan. 1988. Case Studies in Library Management. London, Clive Bringley Limited.

Perpustakaan Nasional R I. 2010. Peraturan Kepala Perpustakaan Nasional Republik Indonesia Nomer 2 Tahun 2008 tentang petunjuk teknis jabatan fungsional pustakawan dan angka kreditnya. Jakarta: Perpusnas RI

Perpustakaan Nasional R I. 2010. Peraturan Kepala Perpustakaan Nasional Republik Indonesia Nomer 2 Tahun 2008 tentang petunjuk teknis jabatan fungsional pustakawan drrn angka kreditnya. Jakarta: Perpusnas RI

Siagian, Sondang P. 1994. Manajemen Sumberdaya Manusia. Jakarta : Bumi Aksara.

S o e a t m i n a h , 1 9 9 2 . P e r p u s t a k a a n Kepustakawanan dan Pustakawan. Yogyakarta: Kanisius.

S r i , P u r n o m o w a t i . 2 0 0 6 . K a s u s Kepustakawanan Kita: Beberapa Hasil Penelitian. Jakarta: Pusat Dokumentasi dan Informasi LIPI.

87

Sumardji, P. 1992. Pelayanan Referensi di Perpustakaan. Yogyakarta: Kanisius. (GP Press Group).

S u t a r n o , N S . 2 0 0 6 . M a n a j e m e n Perpustakaan : Suatu Pendekrrtan Praktik. Jakarta: Sagung Seto.

Tjitropronoto, Prabowo. 1994. Kriteria S u m b e r d a y a M a n u s i a d i Perpustakaan. Makalah untuk Seminar Pembinaan SDM di Perpustakaan. Yogyakarta : UGM.

White, Herbert S. 1995. Library Personnel Management. New York: Knowledge Industry Publications, Inc.

88

Pedoman PenulisanJurnal Widya Sosiopolitika

Artikel-artikel yang akan dimuat dalam Jurnal Widya Sosiopolitika harus mengikuti tata cara penulisan sebagai berikut :

1. Judul artikel tidak melebihi 12 kata ( dalam bahasa Indonesia ) atau 10 kata ( dalam bahasa Inggris).

2. Abstrak terdiri dari satu paragraph ( 150-200 kata ), dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Sertakan pula kata kunci.

3. Artikel yang ditulis untuk jurnal Widya Sosiopolitika meliputi hasil pemikiran dan hasil penelitian dalam lingkup studsi Ilmu Politik, Hubungan Internasional, Ilmu Komunikasi, Sosiologi, Administrasi Negara, dan Perpustakaan. Redaksi tidak akan mempublikasikan artikel yang sudah pernah diterbitkan di media atau penerbitan lain ( termasuk media online seperti blog ).

4. Naskah diketik dengan huruf Times New Roman, ukuran 12 pts, spasi 1,5, dengan panjang artikel 4000-5000 kata ( 15-20 halaman, tidak termasuk abstrak dan daftar pustaka).

5. Berkas ( file ) dibuat dengan microsoft word. Penulis artikel harus mengirimkan curriculum vitae ( CV ) untuk kepentingan korespondensi dan pembuatan short bio yang akan dimuat di halaman Profil Penulis. Berkas dikirimkan ke redaksi sebagai lampiran ( attachment) email ke alamat :[email protected] dan di cc : [email protected]; [email protected]

6. Nama penulis artikel dicantumkan tanpa gelar akademik dan ditempatkan dibawah judul artikel. Jika penulis terdiri dari 4 orang atau lebih , yang dicantumkan di bawah judul artikel adalah nama penulis utama; nama-nama penulis lainnya dicantumkan pada catatan kaki halaman pertama naskah. Bagi naskah yang ditulis oleh sebuah tim, penyunting hanya berhubungan dengan penulis utama atau penulis yang namanya tercantum pada urutan pertama.

7. Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris dengan format esai, disertai judul pada masing-masing bagian artikel sehingga tidak ada format numerik atau pengabjadan.

8. Sistematika artikel hasil penelitian adalah : Judul, Nama penulis ( tanpa gelar akademik), Abstrak yang berisi : tujuan, metode dan hasil penelitian, kata kunci, pendahuluan yang berisi latar belakang, sedikit tinjauan pustaka dan tujuan penelitian, metode penelitian, pembahasan, kesimpulan , daftar pustaka ( hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk)

9. Sumber rujukan sedapat mungkin merupakan pustaka-pustaka terbitan 10 tahun terakhir yang dapat berupa laporan penelitian ( termasuk skripsi, tesis, disertasi ) atau artikel-artikel penelitian dalam jurnal dan /atau majalah ilmiah

10. Menggunakan catatan perut untuk kutipan dan catatan kaki untuk informasi

89

pelengkap. Format catatan perut adalah sebagai berikut :

( Nama belakang), ( tahun ) : ( halaman jika ada ). Contoh : ( Huntington, 1968 : 59)

11. Penyusunan daftar pustaka disesuaikan dengan tata cara EYD

Buku

Wibawa Samodra. 2009. Administrasi Negara Isu-isu Kontemporer. Yogyakarta : Graha Ilmu.

Dokumen Resmi

Komisi Pemberantasan Korupsi. 2008. Laporan Investigasi Kasus Korupsi Bank Indonesia, Jakarta

Surat Kabar

Rachman, M. Fadjroel. “ Bush dan Kepentingan Kita”. Dalam Kompas, 21 November 2006. Jakarta

Jurnal

Sugiarto,Eko.2001. “Agama sebagai Tertuduh”. Suara Muhammadiyah LXXXVIII ( 23) : 12. Yogyakarta