Neurology in Elderly - Universitas Udayana
-
Upload
khangminh22 -
Category
Documents
-
view
0 -
download
0
Transcript of Neurology in Elderly - Universitas Udayana
BANU 2016
Bali Neurology Update
Neurology in Elderly
Hope for Healthy and Successful Aging
Editor:
Dr. dr. A.A.A. Putri Laksmidewi, Sp.S(K)
dr. I Made Oka Adnyana, Sp.S(K)
dr. Ni Made Susilawathi, Sp.S
dr. Ni Putu Witari, Sp.S
dr. Desie Yuliani, Sp.S
dr. Yoanes Gondowardaja, M.Biomed, Sp.S
UDAYANA UNIVERSITY PRESS
ii | B A N U 4
Bali Neurology Update 2016
Neurology in Elderly: Hope for Healthy and Successful Aging
Editor:
Dr. dr. A.A.A. Putri Laksmidewi, Sp.S(K)
dr. I Made Oka Adnyana, Sp.S(K)
dr. Ni Made Susilawathi, Sp.S
dr. Ni Putu Witari, Sp.S
dr. Desie Yuliani, Sp.S
dr. Yoanes Gondowardaja, M.Biomed, Sp.S
Penerbit:
Udayana University Press
Kampus Universitas Udayana Denpasar
Email: [email protected]
Website: penerbit.unud.ac.id
2016, vii + 235 pages, 18.2 x 25.7 cm
iii | B A N U 4
SAMBUTAN KETUA PERDOSSI CABANG DENPASAR
Om Swastyastu,
Puji syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha
Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya sejawat semua dapat mengikuti
acara ilmiah tahunan Bali Neurology Update (BANU) yang keempat. Acara ini
terselenggara atas kerjasama PERDOSSI cabang Denpasar dengan
Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Neurologi Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana.
Acara ilmiah ini menjadi sangat penting mengingat perkembangan ilmu
kedokteran, khususnya di bidang Neurologi, sehingga diperlukan pendidikan
kedokteran berkelanjutan sebagai usaha untuk meningkatkan keilmuan guna
penatalaksanaan pasien yang lebih baik.
Seiring dengan lebih baiknya tingkat pengetahuan masyarakat
Indonesia khususnya di bidang kesehatan, populasi usia lanjut di Indonesia
semakin meningkat. Populasi usia lanjut akan sering ditemui di semua tingkat
pelayanan kesehatan, sehingga dibutuhkan pengetahuan yang komprehensif
khususnya di bidang neurogeriatri. Oleh karena itu, topik yang diangkat dalam
acara ilmiah kali ini adalah Neurology in Elderly: Hope for Healthy and
Successful Aging.
Besar harapan BANU keempat yang kami adakan ini akan memberikan
tambahan wawasan keilmuan kepada sejawat sekalian. Atas nama
PERDOSSI cabang Denpasar, kami mengucapkan selamat mengikuti acara
ini dan juga mengucapkan terima kasih kepada segenap panitia yang telah
menyiapkan acara ini dengan baik.
Om, Santhi, Santhi, Santhi, Om.
Hormat kami,
Prof. Dr. dr. Anak Agung Raka Sudewi, Sp.S(K)
Ketua PERDOSSI cabang Denpasar
iv | B A N U 4
SAMBUTAN KETUA PANITIA BALI NEUROLOGY UPDATE 2016
Om Swastyastu,
Puji syukur kami panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa,
Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat yang diberikan sehingga kami dapat
menyelenggarakan 4th Bali Neurology Update (BANU) pada tanggal 22-24 Juli
2016 di Denpasar, Bali.
BANU adalah kegiatan kerjasama antara PERDOSSI cabang Denpasar
dan PPDS Neurologi Universitas Udayana. Kegiatan ini merupakan
pertemuan ilmiah tahunan di bidang Neurologi untuk meningkatkan
pengetahuan, keahlian dan kompetensi dalam upaya meningkakan kualitas
pelayanan di bidang Neurologi.
Tema yang diangkat pada BANU 2016 kali ini adalah Neurology in
Elderly: Hope for Healthy and Successful Aging. Tema ini diambil mengingat
keberhasilan pembangunan di bidang kesehatan akan meningkatkan
populasi usia lanjut sehingga kita dituntut untuk menguasai kasus-kasus pada
lanjut usia khususnya di bidang Neurologi agar dapat meningkatkan mutu
pelayanan kesehatan di bidang usia lanjut.
Buku ini merupakan kumpulan makalah simposium dalam kegiatan
BANU 2016. Kami mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang
setinggi- tingginya kepada para pembicara serta partisipasi seluruh peserta
pada kegiatan ini. Semoga buku ini dapat memberikan manfaat untuk
pembaca semua.
Om, Santhi, Santhi, Santhi, Om.
Hormat kami,
dr. Anak Agung Ayu Meidiary, Sp.S
Ketua Panitia
v | B A N U 4
RINGKASAN
Buku makalah 4th Bali Neurology Update, Neurology in Elderly: Hope for
Healthy and Successful Aging ini diterbitkan dalam rangka meningkatkan
pengetahuan dalam bidang yang terkait neurogeriatri. Buku ini mencoba
membahas mengenai neurogeriatri dan dipaparkan dalam topik-topik yang
menarik untuk disimak. Penyakit mengenai gangguan tidur, vaskular, infeksi,
nyeri, serta gangguan fungsional terkait penuaan yang menarik untuk disimak.
Cakupan mengenai penanganan kasus neurogeriatri dipaparkan secara
ringkas sehingga menarik untuk dibaca. Kami berharap buku ini dapat
memberikan manfaat besar dalam penanganan kasus neurogeriatri.
vi | B A N U 4
DAFTAR ISI
COVER .......................................................................................................... i
SAMBUTAN KETUA PERDOSSI CABANG DENPASAR ............................ iii
SAMBUTAN KETUA PANITIA 4TH BALI NEUROLOGY UPDATE 2016 ....... iv
RINGKASAN ................................................................................................ v
DAFTAR ISI ................................................................................................. vi
SIMPOSIUM I
Vascular Ageing ............................................................................................ 1
dr. Kumara Tini, Sp.S, FINS
Cognitive Changes Associated with Normal Aging ........................................ 6
Dr. dr. A.A.A. Putri Laksmidewi, Sp.S(K)
SIMPOSIUM II
Aspek Medikolegal pada Lansia ................................................................. 24
dr. I.B. Putu Alit, Sp.F, DFM
Penanganan End of Life Care bagi Usia Lanjut........................................... 30
Dr. dr. Anna M.G. Sinardja, Sp.S(K)
SIMPOSIUM III
Obstructive Sleep Apnea pada Lansia ........................................................ 40
dr. I.G.N. Budiarsa, Sp.S
Sleep in Elderly: What Should We Know? ................................................... 57
dr. Desak Ketut Indrasari Utami, Sp.S
Perubahan Kognitif pada Menopause: Peranan Estrogen ........................... 65
dr. Ketut Widyastuti, Sp.S
SIMPOSIUM IV
Seizure in Elderly ........................................................................................ 75
Dr. dr. D.P.G. Purwa Samatra, Sp.S(K)
Infeksi Sistem Saraf pada Pasien Lanjut Usia ............................................. 76
Prof. Dr. dr. A.A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K)
Dizziness dan Vertigo pada Usia Lanjut ...................................................... 80
Dr. I Wayan Kondra, Sp.S(K)
vii | B A N U 4
SIMPOSIUM V
Headache in Elderly .................................................................................... 91
dr. I Made Oka Adnyana, Sp.S(K)
Back and Cervical Pain in Elderly ............................................................. 103
dr. I Putu Eka Widyadharma, M.Sc., Sp.S(K)
Management of Neuropathic Pain in Elderly: Focus on Pregabalin ........... 115
Dr. dr. Thomas Eko Purwata, Sp.S(K), FAAN
SIMPOSIUM VI
Manajemen Hipertensi pada Stroke Iskemik Akut Usia Tua ...................... 128
dr. A.A.B.N. Nuartha, Sp.S(K)
Penatalaksanaan Overactive Bladder pada Lanjut Usia ............................ 140
dr. I.B. Kusuma Putra, Sp.S
SIMPOSIUM VII
Myasthenia Gravis pada Lanjut Usia ......................................................... 145
dr. Ni Made Susilawathi, Sp.S
Swallowing Problem in Elderly .................................................................. 153
dr. Putu Budi Muliawan, Sp.S
Nutrition Support in Elderly ....................................................................... 174
dr. Ketut Sumada, Sp.S
SIMPOSIUM VIII
Neuropati Perifer pada Lanjut Usia ........................................................... 207
dr. Ni Putu Witari, Sp.S
Long-term Care Option for Aging .............................................................. 215
dr. A.A.A. Meidiary, Sp.S
Kejadian Jatuh pada Lanjut Usia .............................................................. 227
dr. Komang Arimbawa, Sp.S
1 | B A N U 4
VASCULAR AGEING
Kumara Tini Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
Abtsrak
Umur adalah faktor risiko independen untuk terjadinya peristiwa penyakit
kardiovaskular melalui mekanisme vascular ageing. Perubahan terutama
terjadi pada pembuluh darah besar. Poses kekakuan arteri dan disfungsi
endotel berperan untuk terjadinya aterosklerosis, penurunan arterial
compliance yang berujung pada peningkatan tekanan sistolik, penurunan
tekanan diastolik dan aterosklerosis. Pencegahan vascular ageing baik
pencegahan primer ataupun sekunder dapat diupayakan melalui optimal
medicine therapy, kontrol faktor risiko ataupun perubahan pola hidup.
Kata kunci: vascular ageing, kekakuan arteri, disfungsi endotel, penyakit
vaskular
Abstract
Age is an independent risk factor for vascular event by which the occurrence
of vascular ageing. Subsequent changes in large artery such as arterial
stiffening and endothelial dysfunction play important role to create
atherosclerosis and reduce arterial compliance. These will end up with
increase of systolic pressure, low diastolic pressure and atherosclerosis.
Slowing vascular ageing process by primary or secondary prevention by
optimal medical therapy, risk factor control and life style changes are
beneficial.
Key words: vascular ageing, arterial stiffening, endothelial dysfunction,
vascular disease
“A man is as old as his arteries” adalah cuplikan dari Thomas Sydenham, yang
menyatakan fungsi arteri sangat bergantung pada usia kronologis seseorang
2 | B A N U 4
(vascular ageing). Karakteristik vascular ageing adalah perubahan pada
fungsi mekanik dan struktur dinding pembuluh darah, dimana fungsi dan
struktur intrinsik dinding pembuluh darah ini menjadi subyek dari perubahan
hormonal dan stres sepanjang hidup seseorang. Properti intrinsik yang dimiliki
oleh pembuluh darah ini akan juga berubah apabila terdapat faktor risiko yang
bisa dimodifikasi tambahan seperti hipertensi, obesitas, merokok, dan gaya
hidup dan faktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi seperti usia, genetika, dan
riwayat keluarga.
Ageing adalah faktor risiko independen terhadap penyakit kardiovaskular.
Efek ageing sangat beraneka ragam dan mempengaruhi baik pada tingkat
molekuler, sel, jaringan, organ dan sistem yang semuanya mempengaruhi
perubahan fungsi vaskular.
Pengerasan dan Penebalan Dinding Arteri (Wall Thickening and Arterial
Stiffening)
Sistem arteri besar mengandung lebih banyak elastin dibanding
pembuluh darah perifer yang mengandung lebih banyak otot. Elastin
memegang peranan penting pada kekuatan dinding pembuluh darah pada
tekanan rendah sedangkan kolagen terutama bekerja pada tekanan tinggi.
Arteri besar dengan elastin seperti aorta meredam aliran yang berasal dari
ventrikel kiri dan dipertahankan sampai ke perifer. Hipertensi pada usia muda
ditentukan terutama oleh resistensi perifer dan pada usia tua ditentukan juga
oleh kekakuan pembuluh darah besar.
Perubahan struktur arteri pada ageing, arteri dengan struktur elastin
mengalami perubahan di mana terjadi peningkatan kolagen, kerusakan
elastin, kalsifikasi dan penurunan jumlah elastin seiring peningkatan usia.
Selain itu terjadi pula perubahan fungsi endotel, penebalan tunika media
dibandingkan rasio lumen dan pengerasan pembuluh darah akibat ageing.
Arterial stiffening pada pembuluh darah besar akan menyebabkan
peningkatan tekanan sistolik, menurunkan tekanan diastolik, dan pelebaran
pulse pressure. Peningkatan pada resristensi perifer akan menyebakan
peningkatan baik pada sistolik ataupun diastolik.
3 | B A N U 4
Endothelial Dysfunction
Endotel merubah struktur arteri dan fungsinya melalui pelepasan nitric
oxide (vasodilator poten) dan endothelin (vasokonstriktor poten dan
prokoagulan). Peningkatan usia menurunkan NO dan meningkatkan
endothelin sehingga terjadi pro-coagulant state dan peningkatan
pertumbuhan vascular smooth muscle. Carotid intimal thickness (IMT)
meningkat 3 kali lipat pada peningkatan usia. Intervensi farmakologi dengan
statin dan angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) serta perubahan
gaya hidup terbukti memperlambat proses penebalan medial intima.
Secara fungsional vascular ageing akan mempengaruhi arterial compliance.
Compliance arteri adalah perubahan unit volume akibat perubahan unit
tekanan. Compliance ini akan menurun pada arteri seiring usia dengan akibat
peningkatan yang tidak proporsional pada tekanan sistolik dan peningkatan
perfussion pressure.
Rotterdam study menunjukkan arterial stiffness akan meningkatkan
pembentukan aterosklerosis pada pembuluh darah. Aterosklerosis adalah
proses inflamasi yang berkaitan dengan disfungsi endotel dan disposisi
berlebihan dari lipid yang teroksidasi. Terjadi proses injuri dan healing yang
berakhir ke pembentukan ateroma. Proses ini berlangsung sepanjang hidup
manusia sehingga pada usia 50 tahun mulailah terjadi manifestasi yang
dipercepat oleh faktor risiko lain seperti hipertensi, merokok, diabetes,
dislipidemia. Perubahan ini akan merubah fungsi mekanik pembuluh darah.
Pembuluh darah dengan perfussion pressure dan pulsewave tinggi memiliki
kadar C-reactive protein (CRP) lebih tinggi, sehingga anti-inflamasi berpotensi
mengurangi proses inflamasi dan meningkatkan vascular compliance.
Banyak studi telah membuktikan bahwa diabetes, hipertensi, obesitas,
dislipidemia, merokok mengurangi risiko penyakit vaskular sampai dengan
20-30%. Tindakan farmakologi dan non-farmakologi memperbaiki tekanan
darah, HbA1c, kadar lipid dan meningkatkan compliance.
4 | B A N U 4
Modifikasi Vascular Ageing
Obat-obatan antihipertensi memperbaiki rerata tekanan darah, fungsi
endotel, tonus pembuluh darah dan remodelling. ACEI memperbaiki age
dependent IMT dan smooth muscle hypertrophy. Statin tidak diragukan lagi
mengurangi mortalitas penyakit kardiovaskular. Penggunaan statin sebagai
pencegahan sekunder sudah menjadi guideline, dan banyak studi telah
membuktikan penggunaan statin sebagai prevensi primer pada pada pasien
dengan risiko tinggi. Statin memperbaiki fungsi endotel, mengurangi inflamasi
pada plak aterosklerosis, menstabilisasi plak dan mengurangi progresifitas
dari IMT.
Olahraga seperti aerobik memperbaiki perfussion pressure, pulsatile wave,
fungsi baroreseptor, dan endotel pada usia lanjut. Namun olah raga seperti
angkat beban justru menurunkan vascular compliance. Penurunan berat
badan pada obesitas secara signifikan menurunkan rerata tekanan darah
yang berkaitan dengan large artery compliance.
Modifikasi diet dengan pemberian omega-3 fatty acid memperbaiki arterial
compliance. Demikian juga produk minyak ikan, kedelai yang mengandung
isoflavins (fitoesterogen) memberikan perbaikan pada aterosklerosis dan
kekakuan arteri wanita usia lanjut. Suatu studi epidemiologi, menunjukkan
konsumsi diet tinggi isoflavin (Shanghai women’s health study) membantu
mengurangi risiko penyakit kardiovaskular. Diet rendah garam dan vitamin C
juga dikaitkan memperbaiki arterial compliance dan penurunan tekanan
darah. Merokok memiliki efek jangka panjang pada dinding arteri melalui
peningkatan terjadinya aterosklerosis dan kekakuan arteri.
Umur adalah faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi yang sangat penting.
Meningkatkan arterial compliance akan menurunkan risiko terjadinya penyakit
vaskular baik sebagai pencegahan primer ataupun sekunder. Arterial
compliance dapat dimodifikasi dengan intervensi terapi untuk mencegah
vascular event di kemudian hari.
5 | B A N U 4
DAFTAR PUSTAKA
Jani, B., Rajkumar, C. 2006. Ageing and vascular ageing. Postgrad Med J. 82:357-362. Kovacic, J.C., Moreno, P., Nabel, E.G., Hachinski, V., Fuster, V. 2011. Cellular Senescence, Vascular Disease, and Aging. Circulation. 123:1900-1910. Webb, R.C., Inscho. 2004. Age-related Changes in Cardiovascular System. In: Prisant, L.M., editor. Clinical Hypertension and Vacscular Disease: Hypertension in Elderly. Totowa: Humana Press, NJ. p. 11-15. Stefppan, J., Barodks, V., Nyhan, D. 2011. Vacular Stiffness and Increased Pulse Pressure in the Aging Cardiovascular System. Cardiology Research and Practice. p. 1-8.
6 | B A N U 4
COGNITIVE CHANGES ASSOCIATED WITH NORMAL AGING
Anak Agung Ayu Putri Laksmidewi Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
Pendahuluan
Usia tua seringkali disebut dengan senescence merupakan suatu
periode dari rentang waktu kehidupan yang ditandai dengan perubahan atau
penurunan fungsi tubuh, biasanya mulai pada usia yang berbeda untuk
individu yang berbeda.
Proses menua merupakan suatu peristiwa alamiah yang tidak dapat dihindari.
Pada awal kehidupan manusia terjadi perubahan dari satu tahap ke tahap lain
bersifat evolusional menuju tahap kesempurnaan baik emosional maupun
fungsional organ-organ tubuh. Perubahan semakin tambah usia yang
selanjutnya berupa kemunduran fisik dan kognitif tersebut dikenal dengan
istilah menua atau proses penuaan.
Kemampuan penuaan secara fisik merupakan sesuatu yang nyata tampak
pada semua orang berusia lanjut, tampak pada kulit yang keriput, mata yang
rabun, tulang yang keropos, tubuh yang mulai membungkuk, pikun dan beser.
Penurunan fungsi kognitif menurun secara perlahan berupa perubahan
gradual khususnya dalam hal kemampuan daya ingat dan daya pikir.
Kemampuan kognitif merupakan kemampuan daya pikir yang meliputi atensi,
orientasi, daya ingat, visuospasial, kemampuan berhitung, berbahasa dan
fungsi eksekutif. Perubahan fungsi kognitif seseorang dikarenakan adanya
perubahan biologis yang dialami dan umumnya dihubungkan dengan proses
menua (Ong et al., 2009). Faktor-faktor yang berhubungan dengan keluhan
gangguan kognitif pada lansia adalah faktor umur, kesulitan merawat diri
sendiri, tingkat keparahan perasaan sedih, rendah diri dan tertekan, kesulitan
melaksanakan aktivitas, sosial serta pendidikan.
Pengertian Penuaan
Penuaan adalah suatu proses yang mengubah seorang dewasa sehat
menjadi seorang yang frail dengan berkurangnya sebagian besar cadangan
7 | B A N U 4
sistem fisiologis dan meningkatnya kerentanan terhadap berbagai penyakit
dan kematian. Pada lanjut usia, individu mengalami banyak perubahan baik
secara fisik maupun mental, khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi
dan kemampuan yang pernah dimilikinya. Penurunan tersebut mengenai
berbagai sistem dalam tubuh seperti penurunan daya ingat, kelemahan otot,
pendengaran, penglihatan, perasaan dan tampilan fisik yang berubah serta
berbagai disfungsi biologis lainnya. (Robert et al., 2010)
Teori Proses Penuaan, Studi yang dilakukan Nies untuk mengidentifikasi pola
makan dan pola hidup yang mempengaruhi kehidupan yang sehat di usia tua,
melibatkan 1091 laki-laki dan 1109 perempuan usia 70-75 tahun. Hasilnya
menunjukkan, pola hidup tidak sehat seperti kebiasaan merokok, diet tidak
sehat, aktivitas fisik rendah meningkatkan risiko kematian. Modifikasi gaya
hidup seperti tidak merokok, meningkatkan aktivitas fisik, dan pola hidup
sehat merupakan salah satu strategi untuk memiliki kualitas hidup yang tetap
baik meski usia telah lanjut.
Terdapat empat teori utama yang menjelaskan terjadinya proses penuaan:
1. Teori Wear and Tear
Tubuh dan selnya menjadi rusak karena terlalu sering digunakan dan
disalahgunakan. Organ tubuh, seperti hati, lambung, ginjal, kulit, dan yang
lain, menurun karena toksin di dalam makanan dan lingkungan, konsumsi
berlebihan lemak, gula, kafein, alkohol, dan nikotin, karena sinar ultraviolet
dan karena stres fisik dan emosional. Tetapi kerusakan ini tidak terbatas pada
organ, melainkan juga terjadi di tingkat sel. Hal ini berarti walaupun seseorang
tidak pernah merokok, minum alkohol, dan hanya mengkonsumsi makanan
alami dengan menggunakan organ tubuh secara biasa saja, pada akhirnya
terjadi kerusakan. (Machnichk et al., 2008)
2. Teori Neuroendokrin
Teori ini menyangkut peranan berbagai hormon bagi fungsi organ tubuh. Pada
usia muda berbagai hormon bekerja dengan baik mengendalikan berbagai
fungsi organ tubuh. Karena itu pada masa muda fungsi berbagai organ tubuh
sangat optimal, seperti kemampuan bereaksi terhadap panas dan dingin,
kemampuan motorik, fungsi seksual dan fungsi memori. Hormon bersifat vital
8 | B A N U 4
untuk memperbaiki dan mengatur fungsi tubuh. Ketika manusia menjadi tua,
tubuh hanya mampu memproduksi hormon menurun. Akibatnya berbagai
fungsi tubuh terganggu. Growth hormone yang membantu pembentukan
massa otot, Human Growth Hormon (HGH), testosteron, dan hormon tiroid,
akan menurun tajam ketika menjadi tua.
3. Teori Kontrol Genetika
Faktor genetik memiliki peran besar untuk menentukan kapan menjadi tua
dan umur harapan hidup, dapat dianalogikan individu lahir seperti mesin yang
telah deprogram sebelumnya untuk merusak diri sendiri. Tiap individu
memiliki jam biologi yang telah diatur waktunya untuk dapat hidup dalam
rentang waktu tertentu. Ketika jam biologi tersebut berhenti, merupakan tanda
individu tersebut mengalami proses penuaan yang kemudian meninggal
dunia, waktu dalam jam biologi sangat bervariasi tergantung pada peristiwa
yang terjadi dalam kehidupan individu tersebut dan pola hidupnya. (Roberto
et al., 2010)
4. Teori Radikal Bebas
Radikal bebas merupakan suatu molekul yang mempunyai satu atau lebih
elektron yang tidak berpasangan pada orbit luarnya dan dapat bereaksi
dengan molekul lain, menimbulkan reaksi berantai yang sangat destruktif.
Radikal bebas bersifat sangat reaktif. Radikal bebas akan merusak
membransel, Deoxyribo Nucleic Acid (DNA) dan protein lainnya. Banyak studi
mendukung teori bahwa radikal bebas mempunyai kontribusi besar dalam
terjadinya penyakit yang berhubungan dengan proses penuaan seperti
kanker, penyakit jantung dan proses penuaan. (Machnichk et al., 2008)
Batasan Usia
Sebenarnya tidak ada batas yang tegas pada usia berapa penampilan
seseorang mulai menurun. Pada setiap orang, fungsi fisiologis alat tubuhnya
sangat berbeda, baik dalam hal pencapaian puncak maupun menurunnya.
Beberapa pendapat mengenai batasan usia sebagai berikut:
Batasan Usia menurut WHO, Lanjut Usia meliputi:
• Usia pertengahan (middle age), yaitu kelompok usia 45 sampai 59 tahun
9 | B A N U 4
• Lanjut usia (elderly), antara 60 sampai 74 tahun
• Lanjut usia tua (old), antara 75 sampai 90 tahun
• Usia sangat tua (very old), diatas 90 tahun
Kemenkes RI, UU No.4 tahun 1965 pasal 1: "Seorang dapat dinyatakan
sebagai seorang jompo atau lanjut usia setelah yang bersangkutan mencapai
umur 55 tahun, tidak berdaya mencari nafkah sendiri untuk keperluan
hidupnya sehari-hari dan menerima nafkah dari orang lain". (sekarang tidak
relevan lagi). Kemenkes RI, UU No.13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan
Lansia: "lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun keatas".
Menurut Dra. Ny. Jos Masdani (Psikolog UI), Lanjut usia merupakan
kelanjutan dari usia dewasa. Kedewasaan dapat dibagi menjadi empat bagian
yaitu:
1. Fase Juventus: antara 25 sampai 45 tahun
2. Fase Vertilitas: antara 40 sampai 50 tahun
3. Fase Prasenium: antara 55 sampai 65 tahun
4. Fase Senium: antara 65 tahun sampai dengan tutup usia
Menurut Prof. Dr. Koesmanto Setyonegoro (Psikiater UI), Pengelompokan
lanjut usia:
• Usia dewasa muda (elderly adulthood), yaitu usia 18 sampai 25 tahun
• Usia dewasa penuh (middle years) atau maturitas, yaitu usia 25-60 atau
65 tahun
• Lanjut usia (geriatric age), lebih dari 65 atau 75 tahun
yang dapat dibagi menjadi:
• Young Old: usia 70 sampai 75 tahun
• Old : usia 75 sampai 80 tahun
• Very Old : usia lebih dari 80 tahun
Birren and Jenner (1997) membedakan usia menjadi tiga yaitu:
• Usia Biologis: jangka waktu seseorang sejak lahir dalam keadaan hidup
dan mati.
• Usia Psikologis: menunjuk pada kemampuan seseorang untuk
mengadakan penyesuaian
10 | B A N U 4
• Usia Sosial: peran yang diharapkan masyarakat sehubungan dengan
usianya.
Pengertian Kognitif dan Fungsi Kognitif
Kognitif merupakan suatu proses berpikir sehingga menjadi waspada
akan objek pikiran atau persepsi, mencakup semua aspek pengamatan,
pemikiran dan ingatan (Darmojo, 2009)
Fungsi kognitif seseorang meliputi berbagai fungsi, seperti atensi, orientasi,
daya ingat (memori), berbahasa dan visuospasial.
• Orientasi dinilai dengan pengacuan pada orang, tempat dan waktu.
Orientasi terhadap orang (kemampuan menyebutkan nama ketika
ditanya).
• Bahasa. Fungsi bahasa merupakan kemampuan yang meliputi 4
parameter, yaitu kelancaran, pemahaman, pengulangan, dan naming.
• Atensi. Atensi merujuk pada kemampuan seseorang untuk merespon
stimulus spesifik dengan mengabaikan stimulus yang lain di luar
lingkungannya.
• Konsentrasi. Aspek ini merujuk pada sejauh mana kemampuan
seseorang untuk memusatkan perhatiannya pada satu hal.
• Memori. Memori verbal, yaitu kemampuan seseorang untuk mengingat
kembali informasi yang diperolehnya. Memori baru merupakan
kemampuan untuk mengingat kembali informasi yang diperolehnya pada
beberapa menit atau hari yang lalu. Memori lama, kemampuan untuk
mengngat informasi yang diperolehnya pada beberapa minggu atau
bertahun-tahun lalu, sedangkan memori visual adalah kemampuan untuk
mengingat kembali informasi berupa gambar.
• Fungsi kosntruksi/ visuospasial merupakan kemampuan membedakan
ruang 2 atau 3 dimensi.
• Kalkulasi.
11 | B A N U 4
Kelompok perantara dalam penuaan, "In Between Group"
Dalam praktik sehari-hari dijumpai pada evaluasi neurobehavior
terdapat gangguan beberapa domain kognitif, namun belum parah dan tidak
terdapat gangguan kemampuan sosial maupun okupasional. Keadaan inilah
yang disebut sebagai "in between group" (kelompok perantara), suatu
kelompok yang berada antara normal aging dan pathological aging
(Kusumoputro, 2002)
Kelompok perantara ini terdiri dari:
• Kelompok dengan gangguan kognitif yang murni berkaitan dengan usia
(Pre-Clinical Dementia):
• AAMI (Age-Associated Memory Impairment)
• ARCD (Age Related Cognitive Decline)
• AACD (Age-Associated Cognitive Decline)
• Kelompok dengan gangguan kognitif yang jelas, tanpa demensia (Pre-
Dementia):
• MCD (Mild Cognitive Disorders)
• MND (Mild Neurocognitive Disorder)
• CIND (Cognitive Impairment Not Demented)
• MCI (Mild Cognitive Impairment)
Perubahan Kognitif pada Lansia
Perubahan kognitif yang terjadi pada lansia, meliputi berkurangnya
kemampuan meningkatkan fungsi intelektual, berkurangnya efisiensi
transmisi saraf di otak (menyebabkan proses informasi melambat dan banyak
informasi hilang selama transmisi), berkurangnya kemampuan
mengakumulasi informasi baru dan mengambil informasi dari memori, serta
kemampuan mengingat kejadian masa lalu lebih baik dibandingkan
kemampuan mengingat kejadian yang baru saja terjadi. (Marquez et al., 2009)
Penurunan kemampuan kognitif menyeluruh dan terutama dalam proses
pengolahan informasi. Penurunan terkait penuaan ditunjukkan dalam
kecepatan, memori jangka pendek, memori kerja dan memori jangka panjang.
Perubahan ini juga dihubungkan dengan perubahan pada struktur dan fungsi
12 | B A N U 4
otak. Raz dan Rodrigue menyebutkan garis besar dari berbagai perubahan
post mortem pada otak lanjut usia, meliputi volume dan berat otak yang
berkurang, pembesaran ventrikel dan pelebaran sulkus, hilangnya sel-sel
saraf di neokorteks, hipokampus dan serebelum, morfologi otak yang
mengecil, menurunnya densitas sinaps, kerusakan mitokondria dan
penurunan kemampuan perbaikan DNA.Terjadinya hiperintensitas substansia
alba, yang bukan hanya di lobus frontalis, tapi juga dapat menyebar hingga
daerah posterior, akibat perfusi serebral yang berkurang. Buruknya lobus
frontalis seiring dengan penuaan telah memunculkan hipotesis lobus frontalis,
dengan asumsi penurunan fungsi kognitif lansia adalah sama dibandingkan
dengan pasien dengan lesi lobus frontalis. Kedua populasi tersebut
memperlihatkan gangguan pada memori kerja, atensi dan fungsi eksekutif.
(Roberto et al., 2010)
Beberapa penelitian mengenai penuaan yang sesuai usia, didapatkan bahwa
kemampuan intelektual mulai menurun pada usia 80 tahun. Pada penelitian
jangka panjang, IQ verbal menurun kurang lebih 5% pada usia 70 tahun dan
10 % pada usia 80 tahun. Tetapi ada yang mencapai usia 90 tahun fungsi
kognitifnya relatif stabil. Penampilan fungsi kognitif yang baik, harus didukung
pula oleh atensi atau konsentrasi yang baik. Atensi yang terganggu akan
mempunyai dampak terhadap fungsi kognitif lain seperti memori, bahasa dan
fungsi eksekutif. Pada penelitian terhadap proses menua yang normal,
penurunan fungsi atensi mulai usia 20 tahun. Sebaliknya, kemampuan
memori pada usia 75 tahun menurun 25% dibanding usia 20 tahun. Gangguan
utama fungsi memori pada proses menua berhubungan dengan pemindahan
informasi dari penyimpanan sementara pada tempat penyimpanan permanen
di otak yang berkaitan dengan memori baru (Wiener and Tilly, 2002; Pickholtz
and Malamut, 2008).
Masalah-masalah yang sering terjadi pada usia lanjut yaitu, forgetfulness
(mudah lupa), tidak merasa cerdas, sukar belajar, susah berkomunikasi dan
berhubungan. Mudah lupa merupakan fenomena yang paling sering
ditemukan dalam kehidupan sehari-hari pada usia lanjut. Menurut penelitian,
kemampuan kognitif umum seorang usia lanjut normal tidak menurun sampai
13 | B A N U 4
usia 90 tahun. Sedangkan forgetfulness terjadi mulai usia pertengahan.
Cummings dan Benson (1992) memperkirakan 39% orang berusia 50–59
tahun mengalami forgetfulness. Pada usia lebih dari 80 tahun forgetfulness
frekuensinya meningkat menjadi 85%. Hal ini terjadi berhubungan dengan
proses menua sel-sel otak yang bekerja untuk fungsi mengingat (memori).
Memori yang menurun adalah kemampuan menyebut nama benda (naming)
dan kecepatan mencari kembali informasi yang tersimpan maupun
mempelajari hal-hal baru. Kemampuan kognitif lainnya seperti daya pikir,
abstraksi, kemampuan berbahasa, kemampuan visuopasial tidak menurun
dengan penambahan usia. Lupa normal yang masih sesuai dengan
penambahan usia adalah jika terjadinya hanya sesekali, hanya sebagian
peristiwa saja yang terlupa (tidak seluruhnya), ada perlambatan dalam
mengingat namun masih sanggup mengingat jika diberikan catatan bantuan.
Dari segi fungsional biasanya individu masih mandiri dan aktif. (Tucker et al.,
2006)
Menurunnya kemampuan kognitif lansia diperlihatkan dengan penurunan
dalam kemampuan kognitif seperti abstraksi, kalkulasi, kelancaran bicara,
kemampuan verbal dan orientasi. Penurunan kemampuan kognitif
dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya motivasi, harapan, kepribadian,
pola belajar, kemampuan intelektual, tingkat pendidikan, latar belakang
sosiokultural dan status kesehatan. Penurunan kemampuan kognitif sering
kali dianggap sebagai masalah biasa dan merupakan hal yang wajar terjadi
pada mereka yang berusia lanjut. Padahal, menurunnya kemampuan kognitif
ditandai dengan banyak lupa merupakan salah satu gejala awal kepikunan.
(Wiener and Tilly, 2002)
Perubahan fungsi kognitif pada usia lanjut diakibatkan oleh proses penuaan
dibuktikan dengan adanya perbuahan signifikan pada korteks frontalis yang
ditunjukkan oleh imaging maupun analisis postmortem. Perbandingan
gambaran histologis maupun imajing otak antara dewasa muda dibandingkan
dengan lansia menunjukkan secara jelas bahwa terdapat perubahan struktur
otak manusia seiring dengan bertambahnya usia, walaupun tanpa adanya
penyakit neurodegeneratif. Gambaran otak pada lansia menunjukkan
14 | B A N U 4
terjadinya penurunan selektif regional baik pada substansia alba maupun
pada substansia grisea. Korteks frontal mengalami perubahan paling
dramatis dan perubahan tersebut berkaitan dengan defisit kognitif seseorang
(Xinqi et al., 2010)
Perubahan Neurokognitif Terkait Usia
Perubahan kognitif sebagai proses normal dari pertambahan usia
sudah banyak diteliti dan dilaporkan. Beberapa kemampuan kognitif seperti
kosa kata biasanya meningkat sesuai bertambahnya usia. Kemampuan
konseptual, memori dan kecepatan berpikir biasanya menurun sesuai
bertambahnya usia. (Harada, 2014)
Kecepatan berpikir merupakan salah satu kemampuan kognitif yang dapat
dilihat dari kecepatan respon motorik pasien. Kemampuan kognitif ini
biasanya menurun pada dekade ketiga kehidupan dan berlanjut sepanjang
sisa hidupnya. Penurunan kecepatan berpikir biasanya juga berdampak pada
gangguan berbagai domain kognitif lainnya.
Atensi merupakan kemampuan untuk berkonsentrasi dan fokus pada stimulus
yang spesifik. Digit span biasanya menunjukkan adanya penurunan sedikit
pada akhir kehidupan. Gangguan atensi biasanya jelas terlihat pada tugas
atensi yang kompleks seperti atensi selektif dan terbagi. Atensi selektif adalah
kemampuan untuk fokus pada informasi spesifik dan mengabaikan informasi
lain yang tidak berhubungan. Atensi terbagi adalah kemampuan untuk fokus
pada berbagai tugas secara bersamaan, seperti berbicara di telepon sambil
menyiapkan makanan.
Memori. Gangguan memori merupakan salah satu gangguan kognitif
terbanyak pada dewasa tua. Memori ada 2 jenis yaitu memori deklaratif dan
memori nondeklaratif. Memori deklaratif adalah kemampuan untuk mengingat
kembali fakta dan kejadian-kejadian tertentu. Memori deklaratif ada dua yaitu
memori semantik dan memori episodik. Memori episodik biasanya menurun
mengikuti usia, sedangkan memori semantik baru menurun pada akhir
kehidupan. Memori nondeklaratif atau implisit memori merupakan memori
yang tidak disadari. Contoh dari memori nondeklaratif adalah ketika
15 | B A N U 4
seseorang menyanyikan lagu ‘naik naik ke puncak gunung’, maka memori
nondeklaratif ini biasanya tidak dipengaruhi atau hanya sedikit menurun
dengan bertambahnya usia. (Pickholtz and Malamut, 2008; Harada, 2014).
Bahasa. Bahasa merupakan salah satu domain kognitif yang kompleks. Kosa
kata biasanya menetap dan cenderung meningkat seiring bertambahnya usia.
Kemampuan penamaan objek secara visual biasanya menetap sampai usia
70-an kemudian menurun setelahnya. Kelancaran berbicara juga biasanya
menurun seiring bertambahnya usia. (Harada, 2014)
Kemampuan visuospasial/ konstruksi, merupakan kemampuan membedakan
ruang 2 atau 3 dimensi. Kemampuan konstruksi visual biasanya menurun
setelah usia 60 tahun (Harada, 2014).
Fungsi eksekutif merujuk pada kapasitas yang membuat seseorang dapat
berperilaku secara mandiri, tepat, bertujuan dan dapat melayani diri sendiri
dengan baik. Mencakup kemampuan kognitif yang luas, seperti kemampuan
untuk mengawasi diri, mampu membuat rencana, berbuat sesuai aturan,
menggunakan nalar, fleksibel secara mental dan dapat memecahkan
masalah. Pembentukan konsep, abstraksi, dan fleksibilitas mental akan
menurun seiring bertambahnya usia, terutama setelah usia 70 tahun. Orang
dewasa yang lebih tua cenderung untuk berfikir lebih konkret dibandingkan
orang muda. Proses penuaan juga berefek secara negatif terhadap respon
inhibisi, suatu kemampuan untuk merespon secara otomatis untuk
menghasilkan respon baru. Kemampuan eksekutif memerlukan suatu
komponen motorik cepat yang biasanya akan terpengaruh dengan usia.
Penalaran dengan materi yang tidak familiar juga menurun dengan usia. Tipe
fungsi eksekutif lainnya, seperti kemampuan untuk mengetahui persamaan
dan perbedaan, menjelaskan makna pepatah, dan penalaran mengenai
benda tetap stabil seumur hidup. (Harada, 2014)
Perubahan Struktur dan Fungsi Otak Terkait Penuaan
Adanya perkembangan menjanjikan dalam penelitian di bidang
neuroscience dapat membantu menjelaskan perubahan kognitif terkait usia.
Beberapa penelitian yang telah dilaporkan.
16 | B A N U 4
Volume substansia grisea akan mulai berkurang setelah usia 20 tahun. Atrofi
paling banyak terjadi pada korteks prefrontal. Perubahan terkait usia pada
lobus temporal lebih ringan dan melibatkan berkurangnya volume
hipokampus. Korteks entorhinal yang bertindak sebagai pusat “relay” antara
hipokampus dan area asosiasi, dilaporkan mengalami penurunan awal pada
Alzheimer’s dementia (AD), tetapi tidak pada penuaan normal (Harada, 2014).
Penyebab dari berkurangnya volume substansia grisea pada proses penuaan
normal kemungkinan disebabkan karena adanya kematian neuron. Kematian
neuronal terutama akan mengganggu proses pembelahan sel dan
kesempatan untuk mutasi akan bertambah (Harada, 2014)
Beta-amyloid dan berperan pada berkurangnya volume substansia grisea
pada penuaan normal. Protein beta-amyloid ditemukan terakumulasi pada
otak pasien dengan Alzheimer’s dementia (AD). Ini akan meningkat pada
pasien dengan gangguan kognitif ringan dan memprediksi terjadinya AD.
Pada beberapa tahun terakhir, radio-tracer yang mengidentifikasi plak beta-
amyloid menggunakan Positron Emission Tomography (PET) menunjukkan
penelitian tentang keberadaan protein pada individu tua dengan kognitif yang
masih baik. Beta-amyloid ditemukan pada 20-30% korteks orang dewasa
normal. Telah dikemukakan bahwa adanya beta-amyloid pada individu
dengan kognitif normal mengindikasikan bahwa individu tersebut akan
berkembang menjadi AD. Selain itu, beta-amyloid dapat terakumulasi pada
otak dengan kognitif normal, tetapi merupakan suatu sinyal risiko tinggi untuk
berkembangnya gangguan kognitif seiring waktu. (Harada, 2014)
Penelitian menggunakan functional MRI (fMRI) mengkonfirmasi penelitian
sebelumnya yang menunjukkan bahwa orang dewasa yang lebih tua memiliki
kapasitas mental yang menurun. Selain itu, penurunan ini juga terkait dengan
penurunan pada respon BOLD, suatu tanda untuk aktivitas metabolik, pada
korteks prefrontal dorsomedial. Ini meningkatkan kemungkinan bahwa area
ini penting untuk mentalizing, dan menjadi kurang aktif seiring bertambahnya
usia. (Harada, 2014). Pada laki-laki, dibandingkan perempuan, tampak
penurunan yang lebih banyak pada semua area kortikal tampak berkurangnya
volume hipokampus terutama ditemukan pada awal dekade ketiga dan
17 | B A N U 4
tampak berkurangnya volume dari korteks frontal dan temporal (Pickholtz and
Malamut, 2008).
Ukuran neuronal dan Densitas Sinaps. Walaupun terdapat beberapa teori
yang menjelaskan mengenai hilangnya neuronal, penurunan volume
substansia grisea pada dewasa tua paling baik dijelaskan dengan penurunan
ukuran dan jumlah sinaps antara neuron. Penurunan densitas sinaptik
dilaporkan pada dewasa yang lebih tua, dan berdasarkan model yang
diciptakan oleh Terry dan Katzman, pada usia 130 tahun, seorang dewasa
dengan kognitif normal akan memiliki densitas sinaptik ekuivalen dengan
seseorang penderita AD. Neuron mengalami perubahan morfologi seiring
dengan penuaan, termasuk berkurangnya kompleksitas dendrit,
berkurangnya panjang dendrit, dan berkurangnya jumlah sinaps (terutama
sinaps eksitatorik) yang secara langsung berdampak pada penurunan
densitas sinaptik. (Harada, 2014)
Perubahan Substansia Alba. Volume substansia alba mengalami penurunan
lebih banyak dibandingkan subtansia grisea sesuai pertambahan usia. Pada
salah satu penelitian menggunakan metode morfometrik dari data otopsi
subjek yang normal secara neurologi, terdapat penurunan 16-20% volume
substansia alba pada subjek di atas 70 tahun dibandingkan dengan subjek
yang lebih muda. Penyusutan substansia alba ini ditemukan pada girus
presentralis dan korpus kalosum yang merupakan area-area dengan
penyusutan volume substansia grisea sebesar <6%. Penelitian ini dibatasi
oleh ukuran sampel yang kecil. Meskipun demikian, penemuan tersebut
didukung oleh yang lain, seperti Rogalski et al menjelaskan bahwa substansia
alba parahipokampal berkurang dan menyebabkan berkurangnya komunikasi
dengan struktur hipokampal dan mendukung suatu mekanisme mungkin
untuk terjadinya pernurunan memori terkait usia. Selain terjadinya perubahan
pada struktur substansia alba, penurunan fungsi dari substansia alba telah
diteliti menggunakan diffusion tensor imaging (DTI). DTI memperlihatkan
secara in vivo bahwa penurunan integritas substansia alba terkait
bertambahnya usia. O’Sullivan et al menunjukkan penurunan terkait usia pada
integritas traktus substansia alba paling terlihat pada substansia alba anterior
18 | B A N U 4
dan terkait dengan defisit pada fungsi eksekutif. Madden et al menunjukkan
hilangnya integritas dari bagian sentral korpus kalosum dapat menyebabkan
penurunan kognitif terkait usia. (Harada, 2014)
Penurunan Kognitif Terkait Usia
Secara definisi, perubahan kognitif normal terkait usia tidak
mengganggu kemampuan seseorang untuk melakukan aktivitas sehari-hari.
Jika seorang dewasa tua mengalami gangguan fungsional, bahkan dengan
tugas rumit seperti mengatur keuangan atau obat-obatan, perlu dilakukan
pemeriksaan demensia bila tidak ada penjelasan yang jelas dari kesulitan
tersebut, seperti adanya reaksi terhadap pengobatan, gangguan medis baru,
atau masalah penglihatan. Bagaimanapun juga, penelitian menunjukkan
bahwa kognitif terkait usia dapat menurun pada kemampuan fungsional
kompleks, seperti kemampuan mengemudi. (Harada, 2014)
Data menunjukkan bahwa dewasa yang lebih tua memiliki risiko lebih tinggi
mengalami kecelakaaan kendaraan bermotor dibandingkan dengan
pengemudi yang lebih muda. Pada beberapa kasus, hal ini disebabkan
karena gangguan kognitif (MCI atau demensia), penyakit neurologis atau
muskuloskeletal, penyakit medis lainnya, gangguan penglihatan, atau obat-
obatan. Sayangnya, orang-orang yang dapat mengelola hal tersebut tetap
tidak aman saat berkendara karena penuaan kognitif normal, yang dapat
menyebabkan sedikit penurunan pada domain kognitif multipel yang
diperlukan untuk mengemudi. Domain tersebut mencakup atensi/ proses
visual (kemampuan untuk memilih stimulus visual berdasar pada lokasi
spasial), persepsi visual (kemampuan untuk menerima dan
menginterpretasikan secara akurat apa yang terlihat), fungsi eksekutif, dan
memori. Kebalikan dari observasi tersebut, banyak dewasa tua dengan fungsi
kognitif normal tidak mengalami penurunan dari kemampuan mengemudi
atau mampu secara efektif mencegah situasi berisiko tinggi saat mengemudi.
Tantangan untuk para klinisi adalah menentukan siapa yang aman untuk
mengemudi, dimana beberapa pengemudi tua didapatkan tidak memiliki
kemampuan mengemudi yang akurat. Direkomendasikan untuk memprediksi
19 | B A N U 4
kecakapan mengemudi adalah melalui tes performance-based road. (Harada,
2014)
Menghindari Penurunan Kognitif: Penuaan Kognitif yang Sukses
Terdapat variabilitas signifikan dari perubahan kognitif terkait usia dari
satu individu ke individu lain. Beberapa variabilitas dapat terkait terhadap
perbedaan genetik, dan penelitian memperkirakan sekitar 60% kemampuan
kognitif general dapat dikaitkan dengan genetika. Penyakit medis, faktor
psikologis, dan gangguan sensori seperti gangguan penglihatan dan
pendengaran juga dapat mempercepat penurunan kognitif terkait usia.
Hipotesis Gaya hidup-Kognitif, menyatakan bahwa mempertahankan gaya
hidup aktif dan terlibat dalam kegiatan tertentu selama hidup seseorang dapat
membantu mencegah penurunan kognitif terkait usia dan demensia. Dapat
dilihat pada banyak orang dewasa tua dengan fungsi kognitif yang tinggi
tampaknya turut berpartisipasi dalam kegiatan tertentu dengan jumlah yang
lebih besar daripada orang dewasa tua dengan fungsi kognitif yang rendah.
Beberapa penelitian longitudinal, termasuk Seattle Longitudinal Study, the
Bronx Aging Study, dan Victoria Longitudinal Study telah berusaha untuk
menjawab pertanyaan apakah ada atau tidak aktivitas tertentu yang dapat
menunda atau mencegah penurunan kognitif. Penelitian ini banyak
menggunakan hasil tes kognitif sebagai hasil utama, tetapi kemudian peneliti
lainnya juga juga menggunakan struktur otak, contohnya volume hipokampal,
atrofi substansia grisea, dan lesi substansia alba sebagai hasil akhir.
Diperlukan penelitian longitudinal yang lebih baik dan jangka waktu yang lebih
lama. (Harada, 2014)
Salah satu teori bagaimana aktivitas tertentu dapat mencegah penurunan
kognitif terkait usia, bahwa beberapa individu memiliki kemampuan lebih
besar untuk menahan perubahan patologis pada otak, seperti adanya
akumulasi protein amiloid. Hipotesis ini menyatakan bahwa tingkat pendidikan
yang lebih tinggi, partisipasi dalam aktivitas tertentu, status sosial ekonomi
yang lebih tinggi, dan kecerdasan dasar melindungi dari penyakit otak.
(Harada, 2014)
20 | B A N U 4
Mengacu pada karakteristik yang ditentukan secara genetik seperti volume
otak dan jumlah neuron dan sinap. Cadangan aktif mengacu pada potensi
otak untuk plastisitas dan reorganisasi dalam pengolahan neural, yang
memungkinkan untuk mengkompensasi perubahan neuropatologis. Dalam
studi fMRI ini, penuaan berkorelasi dengan perekrutan daerah yang lebih
banyak dalam suatu jaringan dalam rangka untuk melakukan tugas-tugas,
terutama memori bekerja dan memori episodik, dibandingkan dengan kontrol
yang lebih muda. (Harada, 2014)
Kemampuan kognitif yang dapat ditingkatkan. Teori neuroplastisitas adalah
suatu kemampuan otak melakukan reorganisasi berupa interkoneksi saraf
melalui suatu pengalaman baru dengan mengulang-ulang stimulus.
dilakukan untuk menguatkan hubungan antar sel neuron presinaptik dan post
sinaptik dilakukan oleh Laksmidewi 2014, dalam penelitian animal model
demensia dengan pelatihan gerak. Ditemukan bahwa terdapat penipisan beta
Amyloid dan peningkatan BDNF (Brain Derived Neurothropic Factor)
selanjutnya ditemukan terdapat peningkatan peningkatan ekspresi BDNF
oleh sel astrosit pada pemeriksaan Imunohistokimia, temuan ini menunjukkan
bahwa astrosit memegang peranan penting dalam plastisitas otak.
(Laksmidewi, 2014)
Para peneliti memperlihatkan bahwa subjek dapat dilatih lebih baik dalam tes
kognitif dan perbaikan tersebut dapat dipertahankan dalam beberapa tahun.
Bahkan dalam uji coba ACTIVE, sebuah percobaan multicenter acak yang
melibatkan orang dewasa tua dengan kognitif normal, pelatihan kognitif
mengakibatkan berkurangnya penurunan kemampuan yang dilaporkan
sendiri dalam melakukan IADL (Instrumental Activities of Daily Living)
dibandingkan dengan kontrol setelah lima tahun. Pelatihan kognitif dalam
penelitian ini terdiri dari 10 sesi 1 jam pelajaran dengan strategi pengajaran
untuk meningkatkan memori, penalaran, dan kecepatan pemrosesan. Sebuah
meta-analisis mengenai kecepatan pemrosesan studi pelatihan mendukung
gagasan bahwa pelatihan kognitif dapat memiliki efek nyata pada
kemampuan subyek kognitif normal untuk melakukan aktivitas sehari-hari.
Temuan menjanjikan ini menunjukkan bahwa memungkinkan untuk
21 | B A N U 4
menggunakan pelatihan kognitif di masa depan untuk meminimalkan
penurunan fungsional seiring bertambahnya usia. Pelatihan kognitif melalui
rekaman video telah terbukti 74% efektif sebagai pelatihan berbasis
laboratorium, sehingga mungkin ada potensi besar untuk membuat intervensi
ini dapat diakses secara luas. (Harada, 2014)
Penutup
Penuaan adalah suatu proses yang mengubah seorang dewasa sehat
menjadi seorang yang frail dengan berkurangnya sebagian besar cadangan
sistem fisiologis dan meningkatnya kerentanan terhadap penyakit dan
kematian.
Pada penelitian terhadap proses menua yang normal, penurunan fungsi
atensi mulai usia 20 tahun. Disebutkan bahwa volume substansia grisea akan
mulai berkurang setelah usia 20 tahun. Atrofi paling banyak terjadi pada
korteks prefrontal, sedangkan lobus temporal lebih sedikit juga menurunnya
volume hipokampus. Sedangkan korteks entorhinal, pusat “relay” antara
hipokampus dan area asosiasi tidak ditemukan penurunan pada penuaan
normal. Gangguan utama fungsi memori pada proses menua berhubungan
dengan pemindahan informasi dari penyimpanan sementara pada tempat
penyimpanan permanen di otak yang berkaitan dengan memori baru menurun
pada usia 75 tahun (25%) dibanding usia 20 tahun. Kemampuan intelektual
mulai menurun pada usia 80 tahun. Penampilan fungsi kognitif yang baik,
harus didukung pula oleh atensi atau konsentrasi yang baik. Atensi yang
terganggu akan mempunyai dampak terhadap fungsi kognitif lain seperti
memori, bahasa dan fungsi eksekutif. Kemampuan konseptual, memori dan
kecepatan berpikir biasanya menurun sesuai bertambahnya usia.
Kemampuan kognitif ini biasanya menurun pada dekade ketiga kehidupan
dan berlanjut sepanjang sisa hidupnya.
Atensi menunjukkan adanya penurunan sedikit pada akhir kehidupan terlihat
jelas pada tugas yang kompleks. Gangguan memori merupakan salah satu
gangguan kognitif terbanyak pada dewasa tua. Kosa kata biasanya menetap
dan cenderung meningkat seiring bertambahnya usia, namun kelancaran
22 | B A N U 4
berbicara akan menurun seiring penuaan. Kemampuan penamaan objek
secara visual biasanya menetap sampai usia 70-an kemudian menurun.
Kemampuan visuospasial biasanya menurun setelah usia 60 tahun. Fungsi
eksekutif merujuk pada berperilaku secara mandiri, tepat, bertujuan dan dapat
melayani diri sendiri dengan baik juga kemampuan untuk mengawasi diri,
mampu membuat rencana, sesuai aturan, menggunakan nalar, fleksibel
secara mental dan dapat memecahkan masalah, menurun seiring
bertambahnya usia, terutama setelah usia 70 tahun.
Perubahan kognitif terkait usia dari satu individu ke individu lain sangat
bervariasi. Bahkan sekitar 60% kemampuan kognitif dikaitkan dengan
genetika. Penyakit medik dapat mempercepat penurunan kognitif terkait usia.
Mempertahankan gaya hidup aktif dan terlibat dalam kegiatan tertentu selama
hidup seseorang dapat membantu mencegah penurunan kognitif terkait usia.
Kemampuan kognitif dapat ditingkatkan, dengan mengacu pada teori
neuroplastisitas dengan menguatkan hubungan antar sel neuron presinaptik
dan post sinaptik berupa reorganisasi dan interkoneksi saraf melalui suatu
pengalaman baru dengan mengulang-ulang stimulus.
DAFTAR PUSTAKA
Darmojo, B. 2009. Teori Proses Menua Buku Ajar Boedhi-Darmojo Geriatri. Edisi 4. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. Halaman: 3-15. Goldman, R, Katz, R. The New Anti-Aging Revolution. 2004 Australian edition. Theories of Aging. Page 19-32. Harada Caroline. 2014. Normal Cognitive Aging. NIH Public Access Journal. P:737-752. Kusumoputro, S. 2002. Predemensia. Pertemuan Neurogeriatri I Perdossi. Jakarta. Laksmidewi, A. 2014. “Perbaikan plastisitas otak yang ditandai oleh penipisan Beta-Amyloid dan penurunan CRP serta peningkatan BDNF akibat latihan gerak pada tikus model demensia” (disertasi). Denpasar: Universitas Udayana.
23 | B A N U 4
Machnick, G., Allegri, R.F., Dillon, C., Serrano, C.M., Taragano, F.E. 2008. Cognitive, functional and behavioral factors associated with the burden of caring for geriatric patiens with cognitive impairment of depression evidence from a South American sample. Int J Geriatr Psychiatry. Marquez, D.X., Bustamante, E.E., Blissmer, B.J., Prohaska, T.R. 2009. Health Promotion for Successful Aging. American Journal of 60 Lifestyle Medicine. Vol.3: No.1,12-19. Nies, A.H., Groot, L.C.G.M., Staveren, W.A. 2003. Dietary Quality, Lifestyle Factors and Healthy Ageing in Europe: The Seneca Study. Age and Ageing. p:32: 427-434, British Geriatric Society. Ong, F.S., Lu, Y.Y., Abessi, M., Philips. 2009. The Correlates of Cognitive Ageing and Adoption of Defensive-Ageing Strategies among Older Adults. Asia Pacific Journal of Marketing and Logistics. Vol. 21 No. 2, pp. 294-305. Pickholtz, J.L., Malamut, B.L. 2008. Cognitive Changes Associated with Normal Aging. In: Sirven, Malamut., editors. Clinical Neurology of the Older Adult. 2nd ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. p: 64-76. Robert, S., Carlos, F., Mendes, D.L., Denis, A.E., Xinqi, D. 2010. Self neglect and cognitive function among community-dwelling older persons. Int J Geriatri Psychiatry. 25: 798-806. Tucker, J.S., Orlando, M., Elliott, M.N., Klein, D.J. 2006. Affective and behavioural responses to health-related social control. Health Psychology. p:715-722. Wiener, J.M., Tilly, J. 2002. Population aging in the United States of America: implications for public programmes. Int J Epidemiol. p:776-81. Xinqi, D., Melissa, S., Kumar, R., Denis, A.E. 2010. Association of cognitive function and risk for elder abuse in a community-dwelling population. P:210-215.
24 | B A N U 4
ASPEK MEDIKO LEGAL PADA LANSIA
Ida Bagus Putu Alit Bagian Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
Pendahuluan
Aspek mediko legal adalah aspek medis dari kasus-kasus yang
berhubungan dengan hukum dan bila dihubungkan dengan lansia maka
aspek ini merupakan pendekatan medis terhadap lansia dan masalah hukum
yang dialaminya.
Lansia sering menjadi korban tindak kekerasan (elderly abuse) baik
kekerasan fisik (physical abuse) dan penelantaran (neglected). Dampak yang
dialami lansia akibat kekerasan dapat dalam bentuk dampak jangka pendek
maupun jangka panjang. Dampak psikologis merupakan salah satu dampak
jangka panjang yang akan menurunkan kualitas hidup lansia. Trauma fisik
dan tekanan mental berulang sering dialami lansia korban abuse dalam
jangka pendek. Dampak kekerasan dapat bersifat fatal dan mengakibatkan
kematian, seperti kasus Shaken Elderly Syndrome dan Perricide.
Proses degeneratif pada lansia akan mempengaruhi pemahaman (rational
understanding) terhadap sesuatu hal, sehingga kecakapan hukum bagi lansia
menjadi materi mediko legal yang penting. Kecakapan hukum lansia dalam
hal pengambilan keputusan untuk dirinya atau untuk orang lain harus
dianalisa bila berhubungan dengan hukum. Kelayakan hukum terhadap lansia
seperti kelayakan untuk mempergunakan hak otonomi dalam terapi medis
(informed consent), kelayakan hukum terhadap kepemilikan, kelayakan
hukum sebagai saksi dan kelayakan hukum untuk ditahan, diinterogasi dan
diajukan ke pengadilan (fitness and competence to be detainee, interrogation
and to be stand trial).
Battered Elderly Syndrome
Kekerasan pada lansia (Battered Elderly Syndrome) merupakan
bagian dari kekerasan dalam rumah tangga (domestic violence). Seperti
kekerasan dalam rumah tangga lainnya, kekerasan terhadap lansia
25 | B A N U 4
merupakan kasus kekerasan yang sulit untuk diungkap. Keadaan ini dikenal
sebagai kasus kotak Pandora (Pandora Box). Kasus kekerasan terhadap
lansia sangat sulit untuk terungkap karena beberapa hal, diantaranya:
hubungan antara pelaku dengan korban lansia yang sangat dekat (intimate
partner violence) dan lokasi kekerasan di tempat yang sangat pribadi (Rumah
Tangga). Pelaku kekerasan terhadap lansia adalah anggota keluarga dekat
seperti anak atau kerabat, sehingga tidak ada pihak yang melaporkan. Di
samping itu rumah tangga adalah tempat yang sangat privasi sehingga sangat
sulit untuk diintervensi pihak luar.
Bentuk kekerasan terhadap lansia, dapat berupa kekerasan fisik (physical
violence) dan penelantaran (neglected). Kekerasan fisik terhadap lansia
terjadi berulang (repetitive) berupa luka-luka fisik dengan berbagai derajat
keparahan. Luka-luka yang dialami korban bersifat luka non kecelakaan (non-
accidental injuries) dan bukan oleh korban sendiri (non-self inflicted injuries)
dengan umur luka (wound timing) yang bervariasi.
Pada kasus penelantaran (neglected), korban lansia secara sengaja tidak
dipenuhi kebutuhan hidupnya oleh pelaku, sehingga korban lansia tidak
terawat dan mengalami status gizi buruk dengan segala akibatnya terhadap
kesehatan. Penelantaran lansia sering disertai kekerasan psikis
(psychological violence) yang berpengaruh secara langsung terhadap
kejiwaan korban.
Kekerasan fisik terhadap lansia bersifat berulang dan terjadi lingkaran
kekerasan (cycle of violence). Lingkaran kekerasan (cycle of violence) melalui
berbagai tahap (fase), yang secara umum dibagi menjadi 3 (tiga) fase yaitu:
Tension building phase, acute battered phase dan Honey Moon Phase. Pada
tahap Tension building terjadi ketegangan emosi pelaku, perasaan tidak
saling percaya (mistrust) dan agitasi secara verbal. Tindak kekerasan fisik
mulai terjadi pada Acute Battered Phase dan pelaku akan meminta maaf
dalam Honeymoon phase. Lingkaran kekerasan ini terus terjadi secara
berulang dan tidak terlaporkan.
Dampak kekerasan terhadap lansia dapat bersifat dampak jangka pendek
(short term impact) maupun dampak jangka panjang (long term impact).
26 | B A N U 4
Dampak jangka pendek dapat berupa luka-luka fisik dengan berbagai derajat
keparahan dari yang ringan sampai berat. Kadang-kadang luka yang terjadi
sampai melibatkan patah tulang atau kerusakan organ dalam. Di samping
luka-luka fisik, dampak jangka pendek berupa kelainan mental (Acute
Psychosis) yang berulang karena stresor kekerasan yang dialami.
Dampak jangka panjang, sebagian besar berupa kelainan mental yang
berkepanjangan (Post Traumatic Stress Disorder). Pengaruh proses
penyembuhan terutama pada Susunan Saraf Pusat seperti sikatrik otak dapat
menjadi dampak jangka panjang. Terjadinya Epilepsi post Trauma (Post
Trauma Epilepsy- PTE) terbukti sebagai dampak jangka panjang kekerasan
setelah terjadi proses penyembuhan pada otak. Jenis epilepsi yang sering
timbul setelah kekerasan adalah Epilepsi Lobus Temporal karena sklerosis
pada unkus. Disamping kekerasan pada kepala, asfiksia berulang pada
kekerasan di sekitar leher dan mulut dapat juga memicu terjadinya sklerosis
pada unkus. Kekerasan pada kepala yang lebih memudahkan terjadinya PTE
adalah kekerasan dengan kepala korban dibenturkan ke benda keras.
Biomekanisme kekerasan ini akan mengakibatkan trauma counter-coup pada
basis lobus temporal dan lobus frontalis, sehingga bila mengalami proses
penyembuhan akan terbentuk sikatrik (plaque of Juane) di bagian otak
tersebut. Ambang kejang (Seizure Threshold) pada otak bagian bawah lebih
rendah dibandingkan ambang kejang otak bagian atas, sehingga bagian otak
yang menyembuh akan mudah menjadi fokus epilepsi (Focus Epilepticus).
Kekerasan fisik dapat bersifat fatal, bahkan menimbulkan kematian korban
lansia. Salah satu bentuk kekerasan pada lansia yang sering bersifat fatal
adalah Shaken Elderly Syndrome. Shaken Elderly Syndrome (SES) adalah
kekerasan tidak langsung pada kepala dan otak pada saat korban lansia
digoyang antero-posterior dengan kekuatan akselerasi dan deselerasi yang
cukup kuat. Faktor anatomi dan fisiologis tengkorak dan struktur otak memberi
risiko fatalitas kekerasan ini. Secara klinis SES ditandai dengan gejala: defisit
neurologis dan perdarahan sub-dural dan atau sub-arakhnoid. Secara
anatomi, ruang sud-dural pada lansia lebih lebar karena duramater melekat
dengan tabula interna. Disamping itu terjadi atrofi otak besar karena proses
27 | B A N U 4
degeneratif. Kedua faktor ini menyebabkan ruang sub-dural lebih lebar dan
memudahkan terjadinya rupture bridging vein pada saat kepala digoyang dan
mengakibatkan perdarah sub-dural atau sekunder perdarahan sub-arakhnoid.
Kerapuhan pembuluh darah dan gangguan fisiologis pembekuan darah pada
lansia memberi kontribusi terhadap morbiditas dan mortalitas kasus ini.
Bentuk kekerasan lain pada lansia adalah Parricide. Parricide adalah
pembunuhan yang dilakukan oleh seorang anak terhadap salah satu orang
tuanya. Pembunuhan ini bisa dilakukan pelaku setelah orang tuanya lanjut
usia (lansia). Secara statistik, Parricide dilakukan terhadap salah satu orang
tua dan bila dilakukan terhadap kedua orang tua dikenal sebagai Double
Parricide. Pembunuhan ini merupakan kasus pembunuhan yang
dilatarbelakangi deviasi mental dan kekerasan pada saat anak-anak (Child
Abuse). Secara hukum, Parricide ditegakkan bila:
1. Terdapat riwayat kekerasan pada anak (child abuse) oleh orang tua yang
menjadi korban
2. Pembunuhan dilakukan sebagai refleksi dari pembelaan diri (over
protected)
3. Kelainan mental pada pelaku
4. Hubungan pelaku dan korban tidak saling percaya (mistrust)
Peran dokter dalam menangani kasus kekerasan pada lansia adalah
melakukan kewajiban hukum dalam memenuhi kebutuhan korban. Secara
hukum, korban mempunyai tiga kebutuhan yaitu: kebutuhan medis,
kebutuhan psikososial dan kebutuhan mediko legal. Dokter berkewajiban
memberikan penanganan medis yang diperlukan korban berupa pengobatan
dan atau perawatan. Kebutuhan psikososial berupa penanganan kejiwaan
terhadap korban. Kebutuhan mediko legal berupa penanganan kedokteran
Forensik dalam pengumpulan bukti-bukti medis dan penerbitan keterangan
ahli.
Kelayakan hukum (kompetensi)
Perubahan-perubahan neuro-degeneratif pada lansia akan
menurunkan berbagai kompetensi dalam kognisi, daya ingat atau fungsi
28 | B A N U 4
kortikal luhur lainnya. Penurunan fungsi ini menjadi materi yang perlu
dipertimbangkan bila berhubungan dengan masalah hukum (litigasi).
Terdapat dua hal yang menjadi pertimbangan hukum sehubungan dengan
status kesehatan seseorang sebagai subyek hukum yaitu: fitness dan
competencies. Fitness merupakan status kesehatan secara umum yang
meliputi fisik dan mental yang bersifat temporer atau menetap. Sedangkan
kompetensi lebih menekankan aspek pengertian dari seseorang. Kompetensi
adalah derajat pengertian rasional yang dapat diterima (reasonable degree of
rational understanding). Kompetensi dapat berupa kompetensi untuk
bertanggung jawab (mens-Rhea) atau kompetensi untuk mengambil
keputusan. Diantara kompetensi tersebut, kompetensi untuk mengambil
keputusan paling banyak yang melibatkan lansia.
Di dalam tindakan medis, beberapa hak hukum lansia dapat tidak terpenuhi
karena kompetensi pengambilan keputusan yang tidak adekuat. Hak untuk
bebas memilih dokter, konsultan, rumah sakit dan kelas perawatan (free
choice of physician, consultant and hospital) tidak terpenuhi. Demikian juga
hak untuk memperoleh penjelasan secukupnya (ordinate information) dan
pengambilan keputusan menerima atau menolak tindakan kedokteran
(Informed/ refuse of consent). Semua hak pasien diambil alih oleh anggota
keluarga yang kompeten sehingga persetujuan tindakan medis diberikan
secara tidak langsung oleh anggota keluarga lain (Proxy of Consent).
Dilihat dari sudut etika kedokteran, kaidah dasar moral autonomi dari lansia
sangat terbatas sehingga profesi dokter senantiasa harus
mempertimbangkan kaidah dasar moral yang lain dan memegang teguh etika
klinis (Clinical Ethics). Tindakan medis yang dilakukan harus berdasarkan
indikasi medis yang rasional (Medical Indication) yang menjadi pencerminan
kaidah beneficence dan non-maleficence. Kualitas hidup (quality of life) lansia
harus selalu dipertimbangkan dan tidak mengabaikan faktor-faktor lain secara
holistik (contextual features).
Penanganan medis terhadap lansia sering menimbulkan kondisi khusus yang
memerlukan pertimbangan etik dan mediko legal. Lansia yang mengalami
brain death dan Persistent Vegetative State (PVS) sering terjadi diakhir
29 | B A N U 4
perawatan. Demikian juga pengambilan keputusan Do Not Resuscitate (DNR)
dan keputusan saat pasien sadar (Advance directive). Di samping itu,
pengobatan dan perawatan akhir lansia sering memunculkan dilema tentang
kualitas hidup dan kehidupan secara utuh dari pasien (Personhood).
Pada keadaan tertentu, tenaga kesehatan tidak bisa mengambil keputusan
medis pada pelayanan terhadap lansia. Penentuan kompetensi lansia
terhadap kepemilikan atau menjalankan usaha keluarga bukan kompetensi
dokter, sehingga kalau dokter dimintakan surat keterangan medis maka harus
menunggu keputusan yang sah menurut hukum. Hal seperti itu diatur dalam
proxy decision-making standard dimana kalau tenaga medis tidak bisa
mengambil keputusan, harus diputuskan terlebih dahulu oleh pihak yang
berwenang.
30 | B A N U 4
PENANGANAN END OF LIFE CARE BAGI LANJUT USIA
Anna Marita Gelgel Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
Pendahuluan
Lanjut usia (lansia) merupakan kelompok orang dengan usia >60
tahun.1 Di Indonesia, dengan semakin membaiknya pelayanan kesehatan dan
tingkat ekonomi maka kelompok lansia juga bertambah banyak. Hal ini
disertai dengan penyakit-penyakit kronis yang berujung pada kematian pasien
lansia. Berbagai kondisi kesehatan pada lansia ini memerlukan penanganan
yang khusus dan spesifik yang tidak lagi berupa pelayanan paliatif dan
hospice saja tetapi lebih daripada hal itu yakni pelayanan gabungan antara
paliatif dan gerontologi yang termasuk dalam penanganan end of life care
yang bisa dikerjakan di dalam rumah, rumah perawatan atau hospice care.2,3
Frekuensi lanjut usia
Seiring meningkatnya derajat kesehatan dan kesejahteraan
penduduk, maka akan mempengaruhi peningkatan Umur Harapan Hidup
(UHH) di Indonesia. Berdasarkan laporan World Health Organization (WHO)
pada tahun 1980, UHH sejumlah 55,7 tahun, angka ini meningkat pada tahun
1990 menjadi 59,5 tahun dan tahun 2020 diperkirakan akan menjadi 71,7
tahun.2,4
Tabel 1. Persentase lansia di dunia, Asia dan Indonesia Tahun 1950 – 2050.5
31 | B A N U 4
Undang-undang No. 13 Tahun 1998 menurut Departemen Sosial, tentang
kesejahteraan lansia menetapkan, bahwa batasan umur lansia di Indonesia
adalah 60 tahun ke atas.
Situasi global pada saat ini di antaranya adalah:
Setengah jumlah lansia di dunia (400 juta jiwa) berada di Asia.
Pertumbuhan lansia pada negara sedang berkembang lebih tinggi dari
negara yang sudah berkembang.
Masalah terbesar lansia adalah penyakit degeneratif.
Diperkirakan pada tahun 2050 sekitar 75% lansia penderita penyakit
degeneratif tidak dapat beraktivitas (tinggal di rumah).6
Pertumbuhan penduduk lanjut usia diprediksi akan meningkat cepat di masa
yang akan datang terutama di negara-negara berkembang. Indonesia
sebagai salah satu negara berkembang juga akan mengalami ledakan jumlah
penduduk lansia, kelompok umur 0-14 tahun dan 15-49 berdasarkan proyeksi
2010-2035 menurun. Sedangkan kelompok umur lansia (50-64 tahun dan
65+) berdasarkan proyeksi 2010-2035 terus meningkat. Peningkatan UHH ini
dapat mengakibatkan terjadinya transisi epidemiologi dalam bidang
kesehatan akibat meningkatnya jumlah angka kesakitan karena penyakit
degeneratif dan keganasan.
Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) terjadi peningkatan UHH. Pada tahun
2000 UHH di Indonesia adalah 64,5 tahun (dengan persentase populasi lansia
adalah 7,18%). Angka ini meningkat menjadi 69,43 tahun pada tahun 2010
(dengan persentase populasi lansia adalah 7,56%) dan pada tahun 2011
menjadi 69,65 tahun (dengan persentase populasi lansia adalah 7,58%).5
Tabel 2. Persentase jumlah penduduk lanjut usia berdasarkan jenis
kelamin.5
32 | B A N U 4
Tabel 3. Penduduk Lanjut Usia Menurut Provinsi
(Sumber: Susenas Tahun 2012, Badan Pusat Statistik RI.5)
Tabel 4. Proyeksi rata-rata UHH penduduk indonesia dan dunia thn 2000-
2100.5
Gambar 1. Komposisi penduduk lansia di Indonesia 2012.5
33 | B A N U 4
Definisi End of Life Care
Terminologi terhadap perawatan orang yang sedang sekarat dan
mendekati kematian secara potensial membingungkan dan telah
menunjukkan transisi terus menerus dari terminal care ke palliative care
sampai menjadi end of life care (Praill, 2000). End of life care semakin banyak
dipakai sebagai terminasi generik dalam preferensi terhadap palliative care
bila mempertimbangkan kebutuhan orang dengan kondisi selain kanker,
khususnya dalam community setting serta long-stay care setting.7
Lorenz et al. (2005) mendefinisikan end-of-life care sebagai bagian kehidupan
yang secara kronologi adalah ketika pasien dan keluarga mereka (caregivers)
berjuang dengan implikasi penyakit kronis lanjut (advanced). Hal ini
memperkirakan uncertain trajectory menyertai kematian, bahkan bila
diharapkan, dan termasuk serangkaian kondisi berbeda seperti penyakit
jantung, kanker, stroke, keadaan kronik serta multiple co-existing conditions.
Hal yang sama, Rose et al. (2000) memberikan definisi yang lebih panjang
untuk istilah end of life care yang membuat perawatan (care) bagi orang lanjut
usia yang hidup dengan atau sedang sakratul maut akibat keadaan kronis
atau progresif yang mengancam kehidupan (life-threatening). Hal ini
mencakup perawatan yang sensitif terhadap personal, kultural dan nilai
spiritualitas, kepercayaan dan prakteknya memerlukan dukungan bagi
keluarga dan teman-teman termasuk periode bereavement.8
Jelas sudah bahwa end of life care digunakan untuk orang dengan berbagai
kondisi dan meliputi periode waktu yang lebih panjang daripada hari atau
minggu segera sebelum meninggal. Menjadi jelas juga bahwa end of life care
tidak sama dengan palliative care. WHO mengajukan secara eksplisit
orientasi kesehatan masyarakat untuk promosi holistic palliative care yang
relevan dengan kesemua hal penyakit kronis dan keluarga mereka dalam
penataan perawatan yang berbeda dari stadium dini dari sebuah penyakit.
34 | B A N U 4
Tabel 5. Jenis karsinoma pada lansia wanita.2
Tabel 6. Jenis karsinoma pada lansia pria.2
35 | B A N U 4
Gambar 2. Burden of Chronic Noncommunicable Diseases: 2008 dan 2030.9
Gambar 3. Pertumbuhan Lansia dengan Demensia pada high-income
Countries, Low dan Middle-income Countries: 2010-2050.9
36 | B A N U 4
Kapan memulai end of life care?
Menurut National Institute for Clinical Excelence (2004) maka end of
life care ditujukan kepada orang dengan sakit keras menuju sakratul maut.
Negara Australia memberikan batasan waktu yang lebih singkat, biasanya
beberapa hari menjelang kematian. Sedangkan di Irlandia merupakan
kepanjangan dari perawatan paliatif pada pasien kanker dan penyakit-
penyakit yang memerlukan perawatan jangka panjang.
Proses kematian merupakan proses jangka panjang, kompleks dan tak pasti.
(Seymour et al.,2005). Di Irlandia pada 2006 didapatkan sekitar 30.000 orang
meninggal setiap tahun, dimana hanya ¾ nya yang berusa 65 tahun dan lebih
dan 2/3 kematian terjadi pada acute hospital setting, 20% meninggal di rumah
sementara 15% meninggal di private nursing home. Sisa 25% meninggal di
tempat lain, terutama fasilitas umum perawatan jangka panjang (public long-
stay care facilities).
Tujuan end of life care
Tujuan sebenarnya adalah untuk mendapatkan good quality of life,
good death, die in dignity and autonomy, mengontrol gejala-gejala yang ada
serta menghindari pemakaian berlebihan terhadap prosedur investigasi medis
dan pengobatan agresif. Tindakan yang dilakukan berpusat pada pasien dan
keluarganya, menciptakan model perawatan multidisipliner dan berbasis
komunitas.10
Permasalahan dalam end of life care pada lansia
Beberapa permasalahan dalam penanganan pasien-pasien lanjut usia
adalah:
Kematian lansia dengan sakit berat dianggap merupakan kelegaan bagi
keluarga
Dokter jarang memberikan anti nyeri pada lansia yang sakit berat dan
sekarat dengan penyakit-penyakit non malignansi.
Mengontrol gejala tidak menjadi prioritas bagi dokter yang merawat
pasien lansia dengan sakit berat dan sekarat.
37 | B A N U 4
Keluarga tidak mau membahas tentang kematian yang sedang
mengancam para orang tua yang lanjut usia dengan sakit berat dan
sedang sekarat.
Perbedaan kultur dalam menghadapi kematian sehingga berdampak
terhadap kualitas perawatan dan kualitas kehidupan.
Good end of life care
Suatu model baru, person centred approach telah dikenalkan untuk
masalah end of life care pada lansia yaitu integrasi antara palliative care dan
gerontology care yang menitik beratkan pada nilai-nilai medis, dimensi
kesehatan dan psikologis. Frogatt (2004) mengidentifikasi tiga hal berkenaan
dengan end of life care dalam long stay setting yaitu; pengalaman living and
losses dalam rumah perawatan, masa dalam sakratul maut dan kematian
serta saat masuk dalam perawatan dan masa duka cita (bereavement).10,11
Beberapa prinsip perawatan:
1. Pasien bisa menyatakan keinginan dirawat dimana untuk menghabiskan
sisa hidupnya
2. Pelayanan harus fleksibel dan terintegrasi
3. Tujuan utama pasien bisa mendapatkan akses kepada spesialis palliative
care
Karena banyak lansia pada end of life care memiliki beberapa keadaan mental
dan fisik yang berat, maka perlu dikenal domain apa saja yang diperlukan,
didapatkan dari hasil wawancara dengan lansia dan perawatnya yaitu:
1. Perasaan self-perception tentang kekuatan, penampilan, privasi
2. Otonomi pemeliharan lingkungan sekitar, pilihan-pilihan, ketidak-
tergantungan
3. Relasi, interaksi sosial, hubungan dengan penghuni lain dan keluarga
4. Aktivitas yang bermakna, terorganisir, religi
Beberapa faktor yang menjadi faktor penting untuk good quality of life:
1. Mendapatkan penanganan nyeri yang adekuat
2. Panganan yang baik atas gejala psikologis
3. Keputusan yang cepat
38 | B A N U 4
4. Kematian yang natural (tidak ditunda atau dipercepat)
5. Mendapatkan pelayanan spiritual sesuai kultur budaya
6. Mencapai keinginan akhir (meninggal di mana, didampingi siapa)
7. Tidak menjadi beban bagi yang dikasihi
8. Merasa diterima dalam kehidupan keluarga
9. Dalam keadaan mental yang baik
10. Ditangani sebagai “whole person”
Simpulan
Telah dibicarakan tentang penanganan end of life care pada lansia, di
mana penanganan ini lebih luas dari sekedar hanya perawatan paliatif karena
meliputi aspek gerontologi. Penanganan tidak berbatas waktu seperti pada
perawatan paliatif dengan meliputi berbagai domain fisik, psikis, sosiokultural
dan religi yang melibatkan para lansia dan keluarga/ perawatnya. Tujuan
adalah untuk mendapatkan good quality of life di akhir masa kehidupan dan
good death pada akhirnya.
Referensi
1. Depsos RI. 2004.
2. Kementrian Kesehatan RI. 2013. Gambaran kesehatan lanjut usia di
Indonesia.
3. UN. 2015. World population ageing. New York. 4. NHS. 2004. End of life care. UK. 5. Pusat data dan informasi Kemenkes.
6. UN. 2010. World Population Prospects Revision.
7. Sahyoun, N.R., Lentzner, H., Hoyert, D., Robinson, K.N. 2001. Trends in Causes of Death Among the Elderly. Aging Trends. No.1. Hyattsville, Maryland.
8. O’Shea, E., Murphy, K., Larkin, P., Payne, S., Froggatt, K., Case,y D.,
Léime, A.N., Keys, M. 2001. End-of-Life Care for Older People in Acute and Long-Stay Care Settings in Irelandattsville, Maryland, Galway.
39 | B A N U 4
9. NIH. 2011. Global health and aging.
10. GMC. 2006. End of life treatment and care: Good practice in decision-making. New York.
11. WHO. 2004. Davies, E., Higginson, I.J. Eds. Better Palliative Care for
Older People. Denmark.
40 | B A N U 4
OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA PADA LANSIA
I Gusti Ngurah Budiarsa Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
PENDAHULUAN
Indonesia sebagai salah satu negara berkembang juga akan
mengalami ledakan jumlah penduduk lansia. Berdasarkan sensus penduduk
pada tahun 2010, jumlah lanjut usia di Indonesia yaitu 18,1 juta jiwa (7,6%
dari total penduduk). Pada tahun 2014, jumlah penduduk lanjut usia di
Indonesia menjadi 18,781 juta jiwa dan diperkirakan pada tahun 2025,
jumlahnya akan mencapai 36 juta jiwa (Kemenkes, 2015).
Berbagai kondisi gangguan tidur dapat terjadi pada lansia, seperti insomnia,
disomnia, dan gangguan tidur yang terkait pernapasan (Lumbantobing, 2001).
Tidur yang tidak adekuat dan kualitas tidur buruk dapat mengakibatkan
gangguan keseimbangan fisiologi dan psikologi. Dampak fisiologi meliputi
penurunan aktivitas sehari-hari, rasa capai, lemah, koordinasi neuromuskular
buruk, proses penyembuhan lambat, daya tahan tubuh menurun, dan
ketidakstabilan tanda vital, sedangkan dampak psikologi meliputi depresi,
cemas, tidak konsentrasi (Ringdhal et al., 2004). Gangguan tidur lebih sering
terjadi pada lansia dengan penyebab yang beragam. Sering kali terjadinya
gangguan tidur pada lansia, termasuk obstructive sleep apnea (OSA) tidak
terdeteksi. Evaluasi gangguan tidur pada lansia memerlukan perhatian
khusus dan mempertimbangkan penyebab lainnya (Neubauer, 1999).
DEFINISI
Obstructive sleep apnea (OSA) didefinisikan sebagai gangguan tidur
yang berkaitan dengan pernapasan berupa penyempitan (berkurang atau
komplit) saluran napas bagian atas pada keadaan tidur (American Academy
of Sleep Medicine). Pada OSA, seseorang akan berhenti bernapas pada saat
tidurnya akibat tertutupnya saluran napas atas yang disebabkan oleh tidak
adekuatnya tonus otot pada lidah dan atau otot dilator.
41 | B A N U 4
EPIDEMIOLOGI
OSA merupakan gangguan pernapasan saat tidur yang berimplikasi
pada terganggunya kualitas tidur. Kejadian OSA meningkat dengan adanya
faktor risiko seperti sakit jantung, kelainan neurologis dan riwayat tindakan
operatif (Jhon Park et al, 2011). Penyakit ini sering tidak terdiagnosis
sehingga memerlukan perhatian khusus untuk melihat adanya tanda dan
gejala yang konsisten. OSA juga merupakan tipe gangguan tidur yang paling
sering terjadi pada pasien stroke. Dilihat dari pengertian OSA sesuai dengan
apnea-hypopnea index (AHI), yaitu disebut sebagai sindrom OSA bila AHI ≥5
dengan adanya gejala terkait atau AHI ≥15 tanpa adanya gejala terkait (Jhon
Park et al, 2011). Di Amerika Serikat, prevalensi OSA (AHI ≥5) pada orang
dewasa kulit putih dengan usia 30–60 tahun sekitar 24% laki-laki dan 9%
perempuan, sedangkan AHI ≥15 sekitar 9% laki-laki dan 4% perempuan. Di
Eropa, usia 30-70 tahun dengan AHI ≥5 didapatkan 26% laki-laki dan 28%
perempuan, sedangkan AHI ≥15 sekitar 14% laki-laki dan 7% perempuan. Di
Hongkong, prevalensi usia 30-60 tahun dengan AHI ≥5 sebesar 9% dan 4%,
serta AHI ≥15 sebesar 5% dan 3% (Bradley et al., 2009).
Dilihat dari adanya penyakit primer, menurut data internasional of sleep
disorder, prevalensi penyebab-penyebab gangguan tidur adalah sebagai
berikut: penyakit asma (61-74%), gangguan pusat pernapasan (40-50%),
kram kaki malam hari (16%), psychophysiological (15%), sindroma kaki
gelisah (5-15%), ketergantungan alkohol (10%), sindroma terlambat tidur (5-
10%), depresi (65%), demensia (5%), gangguan perubahan jadwal kerja (2-
5%), gangguan obstruksi sesak saluran napas (1-2%), penyakit ulkus
peptikus (<1%), narcolepsy (mendadak tidur) (0,03%-0,16%) (Sacchetti et al.,
2004).
PATOFISIOLOGI
OSA merupakan hasil dari proses dinamik akibat penyempitan atau
kelumpuhan (collaps) saluran napas atas selama tidur. Pada manusia, jalur
udara di daerah orofaring dan hipofaring hampir tidak memiliki dukungan
tulang yang kaku sehingga jalur udara dipertahankan tetap ada dengan
42 | B A N U 4
adanya fungsi otot dilator faring. Otot-otot utama tersebut adalah otot
genioglosus dan tensor palatina (Purwowiyoto, 2011).
Pasien dengan OSA memiliki penyempitan jalur napas bagian atas. Ada tiga
faktor yang berperan pada patogenesis OSA antara lain:
1. Obstruksi saluran napas daerah faring akibat pendorongan lidah dan
palatum ke belakang yang dapat menyebabkan oklusi nasofaring dan
orofaring, yang menyebabkan terhentinya aliran udara, meskipun
pernapasan masih berlangsung pada saat tidur. Hal ini menyebabkan
apnea, asfiksia sampai periode arousal.
2. Ukuran lumen faring yang dibentuk oleh otot dilator faring (m. pterigoid
medial, m. tensorveli palatini, m. genioglosus, m. geniohiod, dan m.
sternohioid) yang berfungsi menjaga keseimbangan tekanan faring pada
saat terjadinya tekanan negatif intra torakal akibat kontraksi diafragma.
Kelainan fungsi kontrol neuromuskular pada otot dilator faring berperan
terhadap kolapsnya saluran napas. Defek kontrol ventilasi di otak
menyebabkan kegagalan atau terlambatnya refleks otot dilator faring,
saat pasien mengalami periode apnea-hipopnea.
3. Kelainan kraniofasial mulai dari hidung sampai hipofaring yang dapat
menyebabkan penyempitan pada saluran napas atas. Kelainan daerah
ini dapat menghasilkan tahanan yang tinggi. Tahanan ini juga merupakan
predisposisi kolapsnya saluran napas atas. Kolaps nasofaring ditemukan
pada 81% dari 64 pasien OSA dan 75% di antaranya memiliki lebih dari
satu penyempitan saluran napas atas.
Periode apnea adalah terjadinya henti napas selama 10 detik atau lebih.
Periode hipopnea adalah terjadinya keadaan reduksi aliran udara sebanyak
lebih-kurang 30% selama10 detik yang berhubungan dengan penurunan
saturasi oksigen darah sebesar 4%. Apnea terjadi karena kolapsnya saluran
napas atas secara total, sedangkan hipopnea kolapsnya sebagian, namun
jika terjadi secara terus menerus dapat menyebabkan apnea.
Efek Penuaan Terhadap Patofisiologi OSA
Penuaan diketahui merupakan faktor terbesar yang berkontribusi
terhadap risiko OSA, dengan peningkatan usia dihubungkan dengan
43 | B A N U 4
prevalensi apnea. Sleep Heart Health Study menemukan peningkatan
prevalensi Sleep-disordered breathing (SDB) pada usia lanjut (Edwards,
2010).
Mekanisme pasti dimana penuaan meningkatkan risiko OSA belum
sepenuhnya diketahui. Data terbanyak menunjukkan bahwa kemampuan
untuk menjaga jalan napas yang paten adalah keseimbangan antara jumlah
jaringan lunak yang berada pada kompartemen tulang yang dibentuk oleh
mandibula dan kolum spinal dan kemampuan atau kekuatan otot dilator faring
berkontraksi. Pasien OSA memiliki penurunan lumen saluran napas akibat
peningkatan jaringan lunak dan perubahan anatomi faring. Disamping dari
anatomi saluran napas atas, beberapa fenotipe yang penting anatomi jalan
napas faring yang kecil merupakan faktor utama dalam perkembangan
obstruksi saluran nafas atas dengan otot dilator faring kompensasi
kekurangan anatomi selama terjaga, tetapi tidak terjadi selama tidur yaitu:
kemampuan respon otot dilator faring terhadap stimuli kimia maupun mekanik
selama tidur, menyebabkan terbangun dari tidur akibat upaya pernapasan
yang terhalang, perubahan pada volume paru dan daya kembang dan efek
stabilitas kontrol ventilasi. Kemungkinan penuaan dapat dihubungkan dengan
perubahan penting pada satu atau kombinasi faktor-faktor yang dapat
berkontribusi terhadap OSA (Edwards, 2010).
FAKTOR RISIKO TERJADINYA OSA
Berbagai hal menjadi faktor risiko terjadinya OSA:
1. Faktor Risiko Primer (Obesitas)
Penumpukan lemak pada jalan nafas atas akan menyebabkan
penyempitan dan cenderung menutup otot-otot kendor, terutama pada
fase tidur REM
2. Umur
Hilangnya masa otot adalah akibat dari proses penuaan. Bila masa otot
menurun pada saluran napas akan digantikan oleh lemak dan
menyebabkan jalan napas menyempit
44 | B A N U 4
3. Jenis kelamin
Hormon pada laki-laki akan dapat menyebabkan perubahan struktur pada
jalan napas atas
4. Kelainan anatomi, seperti rahang bawah dan dagu yang kebelakang
5. Pembesaran tonsil dan adenoid
6. Riwayat keluarga OSA
7. Penggunaan alkohol dan obat sedatif yang menyebabkan mengendornya
otot-otot jalan napas atas
8. Merokok yang meyebabkan inflamasi, pembengkaan dan penyempitan
jalan nafas atas
9. Hypothyroidism, acromegaly, amyloidosis, vocal cord paralysis, post
polio syndrome, neuromuscular disorder, Marfan’s syndrome dan Down
Syndrome
10. Kongestif nasal
GEJALA KLINIS OSA
OSA sering tidak terdeteksi karena terjadi saat pasien tidur. Gejala
OSA dikelompokkan menjadi gejala malam dan gejala siang hari. Gejala
utama OSA adalah daytime hypersomnolence. Gejala ini tidak dapat dinilai
secara kuantitatif karena pasien sering sulit membedakan rasa mengantuk
dengan kelelahan (Edwards, 2010).
Epworth sleepiness scale (ESS) dan Standford sleepiness scale (SSS) adalah
kuisioner yang mudah dan cepat untuk menilai gejala rasa mengantuk. Skala
ini tidak berhubungan secara langsung dengan indeks apnea-hipopnea.
Penyebab daytime hypersomnolence adalah karena adanya tidur yang
terputus-putus, berhubungan dengan respons saraf pusat yang berulang
karena adanya gangguan pernapasan saat tidur.
Dilaporkan 50% penderita OSA mempunyai tekanan darah di atas normal,
meskipun tidak diketahui apakah hal tersebut merupakan penyebab atau
sebagai akibat apnea tidur. Risiko serangan jantung dan stroke juga
dilaporkan meningkat pada penderita OSA.
45 | B A N U 4
Gambar 1. Gejala klinis
KLASIFIKASI OSA
Derajat beratnya OSA dinilai berdasarkan nilai apnea-hypopnea index
(AHI) menggunakan polisomnografi. AHI (Apnea-Hypopnea Index) ialah
rerata kejadian apnea dan hypopnea selama satu jam tidur, hal ini menjadi
salah satu acuan tingkat keparahan OSA.
Berikut adalah pembagian OSA menurut American Academy of Sleep
Medicine:
PENEGAKAN DIAGNOSIS
Perangkat diagnostik yang sederhana adalah Kuesioner Berlin.
Kuesioner Berlin adalah instrumen yang sudah tervalidasi untuk menentukan
adanya faktor risiko OSA, yaitu kebiasaan mendengkur, apnea, rasa
mengantuk yang berlebihan sepanjang hari, kelelahan, obesitas dan
46 | B A N U 4
hipertensi. Kuesioner Berlin menilai frekuensi mendengkur dan kelelahan
siang hari.
Alat untuk mendiagnosis sleep apnea secara baku adalah polisomnografi.
Polisomnografi dilakukan di laboratorium tidur dengan memonitor tidur pasien
sepanjang malam. Total waktu tidur yang dicatat paling sedikit 4 jam.
Komponen polisomnogram adalah electroencephalogram (EEG),
electrooculogram (EOG), electromyogram (EMG) dan electrocardiogram
(ECG). Tahapan dan pola tidur ditentukan oleh gambaran EEG, EOG, dan
EMG. Kardiak disritmia yang berpotensi mematikan dapat dideteksi dengan
ECG. Penurunan 5% atau lebih saturasi oksigen arteri dari nilai normal adalah
signifikan selama episode apnea ataupun hipopnea. Usaha respirasi dan pola
pernafasan diukur dengan respiratory inductive plethysmography ataupun
dengan pengukuran perubahan tekanan intrathoraks dengan balon kateter
esofagus.
Gambar 2. Polisomnografi
Seseorang dikatakan menderita OSA jika terdapat:
1. Keadaan mengantuk berat sepanjang hari yang tidak dapat dijelaskan
karena sebab lain.
47 | B A N U 4
2. Dua atau lebih keadaan seperti tersedak sewaktu tidur, terbangun
beberapa kali ketika tidur, tidur yang tidak menyebabkan rasa segar,
perasaan lelah sepanjang hari dan gangguan konsentrasi.
3. Hasil PSG menunjukkan AHI ≥5 (jumlah total apnea ditambah terjadi
hipopnea perjam selama tidur).
4. Hasil PSG negatif untuk gangguan tidur lainnya.
KOMPLIKASI
OSA dapat menimbulkan dampak pada banyak sistem dari tubuh
manusia, di antaranya:
1. Neuropsikologis: kantuk berlebihan pada siang hari, kurang konsentrasi
dan daya ingat, sakit kepala, depresi, epilepsi nokturnal.
2. Vaskular: takikardi, hipertensi, aritmia, blokade jantung, angina, penyakit
jantung iskemik, gagal jantung kongestif, stroke
3. Respirasi: hipertensi pulmonum, cor pulmunale.
4. Metabolik: diabetes, obesitas.
5. Genito-urinari: nokturia, enuresis, impotensi.
6. Hematologis: polisitemia.
Dari penelitian epidemiologis diketahui adanya hubungan antara OSA dengan
hipertensi, stroke dan penyakit jantung iskemik. Timbulnya penyakit
gangguan vaskular pada penderita OSA diduga sebagai akibat stimulasi
simpatis yang berulang-ulang yang terjadi pada setiap akhir fase obstruktif.
Pada penderita OSA juga terjadi pelepasan faktor-faktor protrombin dan
proinflamasi yang berperan penting pada terjadinya aterosklerosis.
Terjadinya gangguan vaskular pada penderita OSA diperkirakan melalui dua
komponen:
1. Efek mekanis dari henti nafas terhadap tekanan intratorakal dan fungsi
jantung.
2. Hipoksemia yang terjadi berulang-ulang mengakibatkan perangsangan
simpatis yang berlebihan dan disfungsi sel-sel endotel.
48 | B A N U 4
Gambar 3. Patofisiologi OSA terhadap CVD
PNA: Parasympathetic Nervous System Activity. PO2: Partial Pressure of Oxygen. PCO2:
Partial Pressure of Carbon Dioxide. SNA: Sympathetic Nervous System Activity. HR: Heart
Rate. BP: Blood Pressure. LV: Left Ventricular.
OSA berperan penting dalam patogenesis hipertensi. Deteksi dan terapi OSA
perlu dilakukan dalam manajemen hipertensi untuk mencapai hasil yang
optimal. OSA diduga merupakan faktor risiko independen untuk terjadinya
penyakit aterosklerosis pada pembuluh darah arteri. Banyak peneliti
mengemukakan beberapa kemungkinan mekanisme efek aterosklerotik dari
OSA, di antaranya:
1. Peningkatan tekanan darah yang berulang akibat hiperaktivitas simpatis
dan stres oksidatif.
2. Disfungsi sel endotel yang mengakibatkan peningkatan kadar endotelin-
I dalam plasma, penurunan produksi nitrit-oksida, dan peningkatan
respons peradangan terbukti dengan meningkatnya kadar C-reactive
protein dan interleukin-6.
Peninggian kadar plasma dari molekul-molekul adhesi dan peningkatan
ekspresi molekul-molekul adhesi pada lekosit dan perlekatannya pada sel-sel
49 | B A N U 4
endotel diduga berperan pada terjadinya disfungsi sel endotel, pembentukan
aterosklerosis dan bekuan darah.
Insidensi OSA yang tinggi (45-90%) ditemukan pada penderita stroke.
Kemungkinan peran OSA dalam patogenesis stroke di antaranya melalui
proses aterosklerosis, hipertensi, berkurangnya perfusi serebral akibat
penebalan dinding arteri karotis, output jantung yang rendah, peninggian
tekanan intrakranial, peningkatan koagulopati dan peningkatan risiko
terbentuknya bekuan darah akibat aritmia. Karena tingginya insidensi OSA
dan potensi efeknya terhadap morbiditas dan mortalitas, pemeriksaan untuk
mendiagnosis dan terapi OSA dianjurkan dilakukan pada penderita stroke.
Aritmia dapat terjadi pada penderita OSA terutama berupa sinus bradikardi,
sinus arrest, dan blokade jantung komplit. Risiko untuk terjadinya aritmia
berhubungan dengan beratnya OSA. Mekanisme terjadinya aritmia pada
penderita OSA kemungkinan melalui peningkatan tonus vagus yang
dimediasi oleh kemoreseptor akibat apnea dan hipoksemia.
PENATALAKSANAAN OSA
Penatalaksanaan OSA pada lansia dikaitkan dengan penyebab yang
mendasari terjadinya OSA pada lansia. Perubahan anatomi dan fungsional
saluran pernapasan merupakan hal penting yang terjadi pada lansia (Ganga
et al., 2009). Manajemen OSA dapat dilakukan melalui terapi non bedah dan
bedah.
Terapi non bedah merupakan terapi yang lebih diutamakan dalam
penanganan OSA melihat efek samping yang lebih minimal. Menurut
penelitian Qaseem et al (2013) yang meneliti guideline penanganan OSA,
didapatkan beberapa rekomendasi dalam manajemen OSA non bedah, yaitu:
1. Rekomendasi 1: penurunan berat badan, terutama pada pasien yang
mengalami overweight dan obese. (Grade: strong recommendation; low-
quality evidence).
Dengan menurunkan berat badan, penderita OSA dengan obesitas dapat
meningkatkan volume dan fungsi saluran napas atas (Qaseem et al,
2013). Menghindari konsumsi minuman beralkohol, obat penenang,
50 | B A N U 4
nikotin dan kafein pada malam hari dapat memperbaiki tonus otot saluran
napas atas dan mekanisme pernapasan sentral. Menghindari posisi tidur
supinasi juga dapat membantu mengurangi obstruksi saluran napas saat
tidur (Hukins, 2006). Preparat efedrin, walaupun tidak memberikan efek
jangka panjang, dilaporkan membantu memperbaiki aliran udara pada
saluran napas atas.
Gambar 4. Assessment dan Management Obstruksi Sleep Apnea
2. Rekomendasi 2: penggunaan CPAP (continuous positive airway
pressure), terutama untuk terapi awal pada pasien yang ditemukan
dengan OSA. (Grade: strong recommendation; moderate-quality
evidence). Memberikan terapi CPAP selama satu bulan pada pasien OSA
dengan stroke, didapatkan penurunan aktivitas saraf simpatis, tekanan
darah dan denyut jantung. Terapi positive airway pressure (PAP) efektif
mengatasi obstruksi jalan napas, mencegah kolaps dan apnea. Dapat
diaplikasikan melalui masker naso-oral, nasal, maupun nasal pillow.
51 | B A N U 4
Gambar 5. Continous Positive Airway Pressure (CPAP)
Keuntungan terapi ini yaitu hilangnya keadaan hipoksemia nokturnal,
penurunan aktivitas simpatis, penurunan signifikan tekanan darah
selama tidur, mengurangi kejadian iskemik miokard nokturnal atau
angina, perbaikan fungsi sistolik ventrikel kiri, peningkatan fraksi ejeksi
ventrikel kiri dengan hasil akhir perbaikan status fungsional, serta
mengurangi risiko stroke dan kematian. Kelemahan CPAP adalah adanya
rasa tidak nyaman pada saat penggunaannya, adanya rasa
claustrophobia, sakit kepala, rinitis, iritasi wajah dan hidung serta
aerofagia.
3. Rekomendasi 3: mandibular advancement devices, direkomendasikan
pada pasien yang memiliki efek samping terhadap penggunaan CPAP
atau menolak menggunakan CPAP (Grade: weak recommendation; low-
quality evidence).
52 | B A N U 4
Gambar 6. Mandibular Advancement Devices (Hukins, 2006)
Terapi bedah pada OSA dilakukan apabila tidak terdapat perbaikan dengan
terapi non bedah. Tujuan terapi bedah pada OSA adalah untuk memperbaiki
volume dan bentuk saluran napas atas (Hukins, 2006). Indikasi harus jelas
dan dipersiapkan dengan baik. Indikasi pembedahan OSA adalah AHI 20x/
jam, saturasi O2 <90%, tekanan esofagus di bawah -10 cmH2O, adanya
gangguan kardiovaskular (seperti aritmia dan hipertensi), gejala
neuropsikiatri, gagal dengan terapi non-bedah dan adanya kelainan anatomi
yang menyebabkan obstruksi jalan napas. Tidak ada satu teknik yang benar-
benar baik untuk OSA (Walker, 2006).
Terapi bedah dapat dilakukan pada regio anatomi tertentu yang
menyebabkan obstruksi saluran nafas sesuai dengan hasil pemeriksaan
sleep endoscopy. Beberapa prosedur operasi dapat dilakukan:
1. Tonsilektomi dan adenoidektomi. Pada penderita OSA dengan tonsil
yang besar, tonsilektomi dapat menghilangkan gejala secara komplit dan
tidak memerlukan terapi CPAP.
53 | B A N U 4
2. Uvulopalatofaringoplasti (UPPP) dan uvulopalatoplasti. Hasilnya tidak
sebaik CPAP pada penderita OSA yang berat. Angka keberhasilan
dengan teknik ini mencapai 10-15% (Gibson, 2005).
3. Pembedahan pada daerah hidung seperti septoplasti, bedah sinus
endoskopik fungsional dan konkotomi bisa menjadi terapi yang efektif bila
sumbatan terjadi di hidung. Kelainan hidung harus dicari pada penderita
yang mengalami gejala hidung pada pengobatan dengan CPAP.
4. Tindakan bedah pada mandibula atau maksila (maxillomandibular
osteotomy dan advancement).
5. Lidah: lingual tonsillectomy, laser midline glossectomy, lingualplasti dan
ablasi masa lidah dengan teknik radiofrekuensi.
6. Teknik terbaru menggunakan alat somnoplasty dengan radiofrekuensi
Celon® atau Coblation®, dan pemasangan implan Pillar® pada palatum.
Teknik radiofrekuensi menghasilkan perubahan ionik pada jaringan,
menginduksi nekrosis jaringan sehingga menyebabkan reduksi volume
palatum tanpa kerusakan pada mukosa dan menghilangkan vibrasi
(kaku).
Gambar.7 a. Teknik Radiofrekuensi (Celon® atau Coblation®), b. Implan
Pillar®
a b
54 | B A N U 4
Implan Pillar® atau implan palatal merupakan teknik yang relatif baru,
merupakan modalitas dengan invasi minimal. Digunakan untuk penderita
dengan habitual snoring dan OSA ringan sampai sedang. Prosedur ini
bertujuan untuk memberi kekakuan pada palatum mole. Tiga buah
batang kecil dimasukkan ke palatum mole untuk membantu mengurangi
getaran yang menyebabkan snoring.
PENUTUP
Obstructive Sleep Apnea (OSA) adalah salah satu gangguan tidur
yang dapat terjadi pada lansia. OSA diakibatkan oleh penyempitan (berkurang
atau komplit) saluran napas bagian atas pada keadaan tidur. Seseorang akan
mengalami henti napas pada saat tidurnya akibat tertutupnya saluran napas
atas yang disebabkan oleh tidak adekuatnya tonus otot pada lidah dan atau
otot dilator. Faktor risiko terjadinya OSA, meliputi obesitas, ukuran lingkar
leher, umur, jenis kelamin, hormon, dan kelainan anatomi saluran napas.
Pada lansia, terjadi perubahan anatomi jalan napas faring yang mengecil dan
penurunan lumen saluran nafas akibat peningkatan jaringan lunak sehingga
terjadi obstruksi saluran napas atas. Berdasarkan apnea-hypopnea index
(AHI), disebut sebagai sindrom OSA bila AHI ≥5 dengan adanya gejala terkait
atau AHI ≥15 tanpa adanya gejala terkait. Alat untuk mendiagnosis sleep
apnea adalah polisomnografi. Polisomnografi merupakan alat diagnosa yang
penting untuk mendiagnosa sleep apnea, melihat keparahan sleep apnea dan
menentukan kesuksesan perawatan. Klasifikasi OSA dibedakan menjadi mild,
moderate dan severe. Manajemen OSA mencakup terapi non-bedah dan
terapi bedah. Terapi non bedah mencakup konservatif, penggunaan
continuous positive pressure (CPAP), dan Mandibular advancement devices.
Terapi bedah mencakup Uvulopalatopharyngoplasty (UPPP), teknik maksila-
mandibular osteotomi, Laser-assisted uvuloplasty (LAUP), dan
Radiofrequency ablation (RA) palatum.
55 | B A N U 4
DAFTAR PUSTAKA
American Academy of Sleep Medicine. Obstructive Sleep Apnea. Available from: URL: www.aasmnet.org/resources/.../sleepapnea.pdf. diunduh: 9 Mei 2016. Bradley, T.D., Floras, J.S. 2009. Obstructive Sleep Apnoea and its Cardiovascular Consequences. Lancet. 373.p.82–93. Edwards, B.A. 2010. Aging and Sleep: Physiology and Pathophysiology. Seminars in Respiratory and Critical Care Medicine.USA. pg.618-633. European Respiratory Task Force. 2002. Public health and medicolegal implications of sleep apnoea. Eur Respir J. 20:1594-609. Gibson GJ, 2005. Obstructive sleep apnoea syndrome: underestimated and undertreated. Brit Med Bulletin; 72: 49-64. Hukins-Craig, A. 2006. Obstructive sleep apnea–management update. Neuropsychiatric Disease and Treatment. 2(3):309–326. Japardi, I. 2002. Gangguan Tidur. Sumatera Utara: USU digital library. Jordan, A.S. 2003. Recent advances in understanding the pathogenesis of obstructive sleep apnea. Current opinion pulmonary medicine. p.1-3. Madani, M. 2007. Snoring and obstructive sleep Apnea. Arch of Iranian Med. 10. p.215-226. Meoli, A.L., Casey, K.R., Clark, R.W. 2001. Clinical Practice Review Committee et al. Hypopnoe in sleep-disordered breathing in adults. Sleep. 24:469-70. Neubauer, D.N. 1999. Sleep Problems in the Elderly. Johns Hopkins Sleep Disorders Center, Baltimore, Maryland. Am Fam Physician. May 1;59(9):2551-2558. Paul, W.F., Bruce, H.H., Valerie, J.L., John, K.N., Mark A.R., Thomas-Robbins, K., Regan-Thomas, J. 2001. Cummings Otolaryngology Head and Neck Surgery 5 th Edition. p.250-261. Purnomo, H., Islamiyah, W.R. 2014. Panduan Tatalaksana Gangguan Tidur. Edisi 1. Surabaya: Kelompok Studi Gangguan Tidur. Purwowiyoto, S.L. 2011. Obstructive Sleep Apnea dan Penyakit Kardiovaskular. CDK. 184/ Vol.38.
56 | B A N U 4
Qaseem, A., Jon-Erik, C., Douglas, K., Paul-Dallas, Melissa-Starkey, Paul-Shekelle. 2013. Management of Obstructive Sleep Apnea in Adults: A Clinical Practice Guideline from the American College of Physicians. Ann Intern Med. 159:471–483. Ringdahl, E., Susan, L., John, E. 2004. Treatment of Primary Insomnia. JABFP. Vol. 17 No. 3 May-June 2004. Walker, R.P. 2006. Snoring and obstructive sleep apnea. Head & neck surgery-otolaryngology. 4th ed. Philadelphia. p.645-664.
57 | B A N U 4
SLEEP IN ELDERLY PEOPLE: WHAT SHOULD WE KNOW?
Desak Ketut Indrasari Utami Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
Pendahuluan
Tidur merupakan kondisi biologis dasar yang melingkupi banyak
aspek dalam kehidupan kita (Garcia, 2008). Kualitas tidur yang baik adalah
sangat esensial bagi kesehatan dan kesejahteraan yang baik (WHO, 2004).
Kurang tidur maupun adanya gangguan tidur merupakan masalah kesehatan
yang paling sering terabaikan dan banyak yang belum tertangani dengan baik.
Sangat jarang seorang dokter menanyakan mengenai kebiasaan tidur
ataupun keluhan tidur dari pasiennya sehingga menyebabkan tidak
terdiagnosisnya gangguan tidur (Colten et al., 2006).
Kegagalan untuk mengenali masalah tidur tidak hanya membuat tidak
terdiagnosis dan tertangani dengan baik, tetapi juga menghalangi
kemungkinan tindakan pencegahan terhadap konsekuensi kesehatan yang
diakibatkan oleh gangguan tidur tersebut. Konsekuensi kesehatan yang
dimaksud diantaranya adalah mortalitas, morbiditas, kecelakaan dan cedera,
kualitas hidup, kesejahteraan keluarga, penggunaan pelayanan kesehatan,
yang kesemuanya merupakan indikator kesehatan masyarakat (WHO, 2004)
(Colten et al., 2006).
World Health Organization (WHO) dalam acara “Technical Meeting on Sleep
and Health” di Jerman tahun 2004 telah memberikan peringatan bahwa
kurang tidur merupakan faktor risiko terjadinya serangan jantung. Tidur yang
buruk atau gangguan tidur berkaitan dengan risiko serangan jantung
sebanyak dua kali lipat dan risiko stroke sebanyak empat kali lipat. Dalam
acara tersebut juga dianjurkan agar di dalam guideline ditambahkan tidur
sebagai faktor risiko sebagai rekomendasi untuk mencegah penyakit
kardiovaskular (WHO, 2004).
Di Amerika, American Academy of Sleep Medicine (AASM) mencanangkan
“Seniors Sleep Campaign” oleh karena masih banyaknya kejadian
Obstructive Sleep Apnea (OSA) pada lanjut usia yaitu 12-18 juta orang dan
58 | B A N U 4
masih belum tertangani dengan baik. OSA yang tidak tertangani dengan baik
ini merupakan risiko untuk terjadinya hipertensi, penyakit jantung, diabetes
tipe dan juga stroke (AASM, 2016).
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia menetapkan tanggal 29 Mei
sebagai Hari Lanjut Usia, dimana lanjut usia adalah penduduk dengan usia
lebih dari 60 tahun. Indonesia merupakan negara lima besar dengan jumlah
penduduk lanjut usia terbanyak. Sensus penduduk 2010 didapatkan jumlah
lansia 18,1 juta (7,6% dari total penduduk) dan pada tahun 2025 nanti
diperkirakan akan mencapai 36 juta jiwa. Kemenkes RI juga menetapkan isu
“Ageing” sebagai prioritas masalah kesehatan nasional. UU no. 36 tahun 2009
tentang Kesehatan menyebutkan upaya pemeliharaan kesehatan bagi lanjut
usia harus ditujukan untuk menjaga agar tetap hidup sehat dan produktif
secara sosial maupun ekonomis serta mandiri (Kemenkes RI, 2015).
Fisiologi Tidur pada Lanjut Usia
Proses penuaan normal menimbulkan perubahan-perubahan dalam
seluruh sistem organ dan berdampak pada neurofisiologi tidur (Espiritu,
2008). Sistem hormonal juga mengalami perubahan pada saat seseorang
bertambah usia atau lanjut usia, seperti misalnya Growth Hormone (GH) yang
menurun pada lanjut usia dan hormon Cortisol yang meningkat pada malam
hari sangat mempengaruhi kondisi tidur pada lanjut usia (Copinschi, 2013).
Perubahan pola tidur dan juga arsitektur tidur merupakan bagian dari proses
penuaan normal tetapi gangguan tidur bukanlah bagian dari proses penuaan
(Zdanys, 2015) (Hirshkowitz et al. 2015). Ada beberapa perubahan fisiologis
yang terjadi pada lanjut usia yang terkait dengan tidur. Secara umum,
prediktor kualitas tidur yang baik pada lanjut usia termasuk: kesehatan fisik
dan psikologis, aktifitas sehari-hari, dan cahaya natural (3000+lux) (Espiritu,
2008).
Sebuah jurnal Sleep Medicine menyebutkan bahwa dari seluruh orang
dengan lanjut usia, hanya 12% diantaranya yang tanpa keluhan tidur (Ancoli-
israel, 2009). Berdasarkan National Sleep Foundation, durasi tidur pada
masing-masing rentang usia adalah berbeda-beda. Durasi tidur yang
59 | B A N U 4
direkomendasikan untuk para lanjut usia adalah sekitar 7 sampai 8 jam seperti
dalam tabel 1.
Tabel 1. Rekomendasi Durasi Tidur (Hirshkowitz et al. 2015)
Perubahan-perubahan terkait tidur diantaranya:
• Bertambahnya proporsi tidur stadium 1 dan 2 (N1 dan N2)
• Berkurangnya atau tidak adanya Slow Wave Sleep/ SWS (stadium 3 dan
4)
• Mudah terbangun di malam hari
• Latensi REM memendek
• Berkurangnya persentase dan durasi REM
• Latensi tidur memanjang secara keseluruhan
• Lebih banyak terbangun/ tejaga/ arousals = efisiensi tidur berkurang
• Berkurangnya “restorative sleep”
• Kurang tidur dalam 24 jam
• Berkurangnya latensi tidur pada siang hari menyebabkan lebih sulit untuk
tetap terjaga pada siang hari
• Siklus sirkadian bergeser lebih awal
• Menurunnya level melatonin pada malam hari
• Menurunnya modulasi dari irama sirkadian antara siang dan malam hari
• Lebih banyak tidur di siang hari (1 jam)
60 | B A N U 4
• Mungkin sedikit akan mempengaruhi tidur di waktu malam
• Mungkin akan meningktakan performa kognitif dan psikomotor karena
bertambahnya total waktu tidur (Espiritu, 2008) (Stepnowsky, 2009)
(Roepke & Ancoli-israel, 2010) (Dorffner et al. 2015) (Rodriguez et al.
2015).
Perubahan terkait usia berdasarkan gender juga dilaporkan, dimana
didapatkan bahwa wanita tidur lebih awal dan bangun lebih awal, pada lanjut
usia laki-laki didapatkan adanya penurunan proporsi tidur dalam (tidur
stadium 3 dan 4) yang lebih banyak (Zdanys, 2015).
Tidur dan Menopause
Gangguan tidur pada wanita menopause kurang lebih 25%-50%,
sedangkan pada populasi umum sekitar 15%. Sebuah bukti menemukan
bahwa adanya gangguan arsitektur tidur pada wanita menopause berkaitan
dengan gejala vasomotor seperti hot flashes. Hormon yang berperan
diantaranya adalah progesterone dan estrogen. Pemberian progesterone
injeksi akan menstimulasi GABA dan menyebabkan tidur. Perubahan kadar
progesterone naik dan turun yang terlalu cepat berkaitan dengan gangguan
tidur dan bertambahnya arousals. Peranan estrogen terhadap proses tidur
diantaranya: meningkatkan jumlah waktu tidur, menurunkan latensi tidur,
menurunkan jumlah terjaga di malam hari, serta menurunkan arousals.
Estrogen juga berperan dalam pengaturan suhu tubuh, sehingga penurunan
kadar estrogen pada wanita post menopause akan menimbulkan hot flashes
dan berakibat pada peningkatan arousals pada saat tidur. Estrogen juga
secara kompleks berkaitan dengan melatonin, sehingga menopause yang
terkait dengan perubahan melatonin akan mempengaruhi tidur juga. Sebuah
studi dari Okatani & colleagues mendapatkan bahwa kadar melatonin pada
wanita post menopause adalah lebih rendah. Pemberian Hormone
Replacement Therapy (HRT) pada wanita menopause harus
mempertimbangkan manfaat dan risikonya. Manfaat HRT diantaranya adalah
menurunkan gejala menopause, menurunkan risiko fraktur oleh karena
osteoporosis, memperpaiki gangguan tidur. Sedangkan risiko HRT adalah
61 | B A N U 4
meningkatnya insiden kanker dan meningkatnya kejadian tromboemboli
(Roepke, 2010).
Gangguan Tidur pada Lanjut Usia
Masalah tidur merupakan keluhan yang umum dihadapi oleh para
lanjut usia yang pergi ke dokter. Lebih dari 50% lanjut usia mempunyai
setidaknya satu keluhan tidur (Zdanys, 2015). Sayangnya, gangguan tidur
pada lanjut usia masih underdiagnosed. Menentukan penyebab gangguan
tidur sangatlah penting untuk mengedukasi pasien dan pendampingnya
tentang pilihan-pilihan terapi (Gentili et al. 2014)
Sebuah survei yang dilakukan pada 9000 orang lanjut usia (usia > 65 tahun)
didapatkan hal sebagai berikut:
• Lanjut usia tanpa keluhan tidur (12%)
• Kesulitan memulai/mempertahankan tidur (43%)
• Terbangun tengah malam (30%)
• Insomnia (29%)
• Gangguan tidur kronis (>50%)
• Melakukan tidur siang (25%)
• Sulit untuk jatuh tertidur (19%)
• Bangun terlalu pagi (19%)
• Bangun pagi hari tidak segar (13%)
• 50% usia lanjut (>65 tahun) menggunakan sedatif
• Dalam usia 70-100 tahun, 19% pasien meminum obat tidur (in one study)
• Mortalitas usia lanjut dengan gangguan tidur adalah 2x lebih tinggi
dibandingkan yang tidak
• Rasa mengantuk di siang hari memperngaruhi fungsi dan aktivitas sehari-
hari
• Gangguan tidur memberi dampak negatif terhadap kualitas hidup
• Gangguan tidur dapat menimbulkan depresi dan gangguan fungsi kognitif
(Ancoli-israel & Cooke ,2005) (Espiritu, 2008) (Stepnowsky, 2009)
Meskipun keluhan tidur itu dapat mengenai segala usia namun pada lanjut
usia akan mengalami peningkatan prevalensi dari beberapa gangguan tidur
62 | B A N U 4
primer seperti: Sleep Disordered Breathing, Periodic Limb Movement in
Sleep, Restless Leg syndrome, Rapid Eye Movement Sleep Behaviour
Disorders, Insomnia, dan gangguan irama sirkadian (Roepke, 2010).
Adapun penyebab terjadinya gangguan tidur pada lanjut usia adalah:
1. Perubahan ritme sirkadian
2. Gangguan tidur primer
3. Penyakit-penyakit medis
4. Penyakit-penyakit psikiatris
5. Multiple medication
6. Demensia
7. Sleep hygiene yang buruk (Stepnowsky C J 2009).
Penatalaksanaan gangguan tidur pada lanjut usia disesuaikan dengan
penyebab gangguan tidur. Pemberian edukasi kepada pasien maupun
keluarga atau pendamping (caregiver) sangatlah penting untuk memahami
terapi dan juga mencegah konsekuensi dari gangguan tidur terhadap
kesehatan di masa berikutnya seperti yang telah disampaikan pada awal
makalah ini (Gentili, 2014).
Sleep hygine pada lansia sangatlah penting disamping penatalaksanaan
medikamentosa. Berikut adalah sleep hygiene untuk lanjut usia:
1. Cek efek obat-obat yang diminum terhadap fungsi tidur-bangun
2. Tetap tidur pada jadwal yang teratur dan waktu yang sama
3. Hindari tidur siang, atau setidaknya dikurangi, tidak lebih dari 30 menit
4. Batasi tidur di pagi hari dan sore hari
5. Hindari kafein, alkohol, tembakau setelah makan siang
6. Perbanyak terpapar cahaya di siang hari (banyak aktifitas di luar ruangan)
7. Melakukan exercise secara teratur
8. Memakan makanan ringan sebelum tidur
9. Batasi minum air di malam hari
10. Jangan terlalu banyak waktu di tempat tidur
11. Segera tinggalkan tempat tidur bila tidak bisa tidur (Stepnowsky C J 2009)
(Roepke, 2010).
63 | B A N U 4
Daftar Pustaka
American Academy of Sleep Medicine. 2016. Seniors Sleep Campaign. Ancoli-israel, S. 2009. Sleep and Its Disorders in Aging Populations. Sleep Med. Sep:10(Suppl. 1): S7-11. Ancoli-israel, S., Cooke, J.R. 2005. Prevalence and Comorbidity of Insomnia and Effect on Functioning in Elderly Populations. J Am Geriatr Soc.Jul:53(Suppl. 7): S264–72. Colten, H.R., Altevogt, B.M. & Research, I. of M. (US) C. on S.M. 2006. Extent and Health Consequences of Chronic Sleep Loss and Sleep Disorders. Sleep Disorders and Sleep Deprivation: An Unmet Public Health Problem, (Dc). Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK19961/. Copinschi, G., Caufriez, A. 2013. Sleep and Hormonal Changes in Aging. Endocrinol Metab Clin North Am. Jun:42(2): 371-89. Dorffner, G., Vitr, M., Anderer, P. 2015. The Effects of Aging on Sleep Architecture in Healthy Subjects. Adv Exp Med Biol. 821: 93-100. Espiritu, J.R. 2008. Aging-Related Sleep Changes. Clin Geriatr Med. Feb:24(1): 1-14. Garcia, A.D. 2008. The Effect of Chronic Disorders on Sleep in the Elderly. Clin Geriatr Med. Feb:24(1): 27-38. Gentili, A.A. et al., 2014. Geriatric Sleep Disorder, 62(12), pp.2005–2007. Hirshkowitz, M. et al. 2015. National sleep foundation’s sleep time duration recommendations: Methodology and results summary. Journal of The bational Sleep Foundation. Mar:1: 40-43. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2015. Pelayanan dan Peningkatan Kesehatan Usia Lanjut. Regional, W.H.O., 2004. WHO technical meeting on sleep and health European Centre for Environment and Health. (January), pp.22–24. Rodriguez, J.C., Alessi, C.A., Dzierzewski, J.M. 2015. Sleep Problems in the Elderly. Med Clin North Am. Mar:99(2): 431-9. Roepke, S.K., Ancoli-israel, S. 2010. Sleep disorders in the elderly. Indian J Med Res. Feb:131: 302-10.
64 | B A N U 4
Stepnowsky, C. J., Ancoli-israel, S. 2009. Sleep and Its Disorders in Seniors. Sleep Med Clin. 3(2): 281-93. Zdanys, K.F., Steffens, D.C. 2015. Sleep Disturbances in the Elderly. Psychiatr Clin North Am. Dec: 38(4): 723-41.
65 | B A N U 4
PERUBAHAN KOGNITIF PADA MENOPAUSE:
PERANAN ESTROGEN
Ketut Widyastuti Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
PENDAHULUAN
Menopause merupakan salah satu tahap kehidupan pada seorang
wanita saat terjadinya fase transisi dari masa reproduktif menjadi non
reproduktif. Menopause didefinisikan sebagai masa penghentian haid untuk
selamanya yang rata-rata terjadi pada usia 51 tahun. Diagnosis menopause
ditegakkan secara retrospektif setelah amenore selama 12 bulan diikuti
dengan penurunan hormon estrogen dalam sirkulasi secara drastis akibat
berhentinya fungsi ovarium (Bulun, 2012). Kecenderungan meningkatnya
usia harapan hidup wanita Indonesia pada usia lebih dari 70 tahun sedangkan
usia menopause relatif stabil pada usia 50-51 tahun maka wanita akan
menghabiskan lebih dari sepertiga hidupnya dalam masa menopause (Baziad
A, 2003).
Menopause terdiri dari beberapa tahapan, yaitu pre menopause, menopause,
dan post menopause (Baziad, 2003). Penurunan estrogen pada fase tersebut
menimbulkan berbagai keluhan dan permasalahan pada wanita yang
berdampak terhadap penurunan kualitas hidup dan ketidaknyamanan dalam
aktivitas harian (Thurston,2011). Beberapa keluhan yang sering dikeluhkan
oleh wanita pasca menopause seperti penurunan daya ingat (defisit memori),
gangguan konsentrasi, perubahan mood dan perilaku (Henderson VW, 2008).
Selain akibat kekurangan estrogen, perubahan fungsi memori dan kognitif
pada wanita menopause juga berhubungan dengan penurunan ekspresi
BDNF (Brain-Derived Neurotropic Factor) di hipokampus dan korteks serebri,
yang berkorelasi positif dengan efek estrogen di otak (Erickson KI et al, 2012).
FISIOLOGI MENOPAUSE
Siklus menstruasi dikontrol oleh 2 hormon yang diproduksi kelenjar
hipofisis di otak yaitu Follicle Stimulating Hormon (FSH) dan Luteinizing
66 | B A N U 4
Hormon (LH), serta 2 hormon yang diproduksi ovarium yaitu estrogen dan
progesteron. Saat dilahirkan wanita mempunyai kurang lebih 750.000 folikel
primordial. Jumlah folikel tersebut akan berkurang seiring dengan
meningkatnya usia. Jumlah folikel primordial menurun sampai 8.300 buah
pada usia 40-44 tahun disebabkan oleh adanya proses ovulasi pada setiap
siklus dan juga akibat proses apoptosis yaitu folikel primordial mati dan
terhenti pertumbuhannya (Baziad A, 2003).
Menopause terjadi ketika kadar estrogen dan progesteron yang diproduksi
oleh ovarium turun dengan dramatis diikuti kenaikan hormon gonadotropin
(LH dan FSH) yang diproduksi kelenjar hipofisis anterior. Kadar hormon
gonadotropin tetap tinggi sampai kira-kira 15 tahun setelah menopause.
Tingginya kadar hormon gonadotropin disebabkan oleh negative feedback
terhadap produksi gonadotropin akibat berkurangnya produksi estrogen.
Peningkatan kadar FSH dan LH merangsang pembentukan stroma dari
ovarium. Kadar estradiol menurun signifikan akibat penurunan produksi folikel
pada wanita menopause, tetapi estron yang diaromatisasi androstenedion
yang bersumber dari non folikel (seperti stroma ovarium, sekresi adrenal)
masih diproduksi dan merupakan sumber utama sirkulasi estrogen pada
wanita menopause. Aromatisasi androstenedion menjadi estrogen dapat
terjadi di jaringan adipose, otot, hati, sumsum tulang, fibroblas dan akar
rambut. Perubahan fisiologi, psikologi dan hormonal dialami wanita terkait
dengan menopause. Sekitar 70% wanita peri dan pasca menopause
mengalami keluhan vasomotor, psikis dan somatik. (Baziad A, 2003).
Produksi estrogen ovarium mulai menurun 1-2 tahun sebelum menopause
dan mencapai kadar nadir 2 tahun setelah menopause. Bila dibandingkan
dengan kadar estrogen pada wanita masa reproduktif, konsentrasi serum
estradiol dan estrone (estrogen primer yang ada disirkulasi) sangat rendah
pada masa setelah menopause. Otak merupakan target organ penting bagi
estrogen. Estrogen memiliki efek langsung dan efek tidak langsung pada otak
melalui efeknya pada sistem vaskular dan imun. Dua kelompok reseptor
estrogen intraselular yaitu α dan β, diekspresikan pada area spesifik di otak
manusia. Sedangkan reseptor lain yang terletak di dalam membran plasma
67 | B A N U 4
membantu meregulasi kaskade sinyal intraselular dan memberikan efek cepat
tanpa melibatkan aktivasi genomik (Henderson VW, 2008).
ESTROGEN DAN OTAK
Sintesis estrogen pada wanita usia reproduktif lebih dari 95%
diperoleh dari ovarium untuk menjaga homeostasis pertumbuhan dan
perkembangan organ, termasuk perkembangan sel neuron di otak. Akan
tetapi setelah masa menopause keseimbangan tersebut akan terganggu
akibat berhentinya fungsi ovarium. Estrogen berperan penting dalam menjaga
kesehatan fungsi otak karena bersifat neuroprotektif dan neurotropik. Peran
neuroproteksi dari estrogen melalui perbaikan memori spatial di hipokampus
dengan melibatkan Insulin-like Growth Factor-I (IGF-I). Estradiol di otak
berinteraksi dengan growth factor, sama seperti pada jaringan lainnya.
Estradiol dan IGF-I pada susunan saraf pusat bekerja sama untuk meregulasi
perkembangan neuron, plastisitas sinap, fungsi neuroendokrin dan respon
terhadap kerusakan jaringan neuron. Interaksi tersebut terjadi pada tingkat
selular dimana terdapat banyak neuron yang mengekspresikan kedua
reseptor tersebut. Pada susunan saraf pusat diduga terdapat ko-ekspresi dari
reseptor estrogen (ERs) dan reseptor IGF-I (IGF-IRs) pada sel yang sama,
yang selanjutnya diikuti dengan regulasi silang (Cardona-Gómez, 2003).
Aksi estrogen di dalam otak terjadi melalui mekanisme genomik dan non-
genomik. Mekanisme genomik melibatkan transkripsi gen yang diperantarai
oleh aktivitas estrogen reseptor alpha dan beta (ERα dan ERβ). Jalur genomik
ada yang bersifat direct dan indirect. Pada mekanisme direct genomic,
aktivasi reseptor estrogen (ER) menginduksi perubahan bentuk reseptor
menjadi homo/heterodimer dan terjadi translokasi ke dalam nukleus.
Selanjutnya dimer reseptor berinteraksi dengan urutan DNA spesifik pada
EREs (Estrogen Response Elements) didalam promotor gen target, dan
selanjutnya menstimulasi terjadinya transkripsi gen. Pada mekanisme indirect
genomic, aktivasi ER melibatkan sistem second messenger seperti cAMP
/protein kinase A (PKA), AC/ protein kinase C (PKC), dan Mitogen-Activated
Protein Kinase (MAPK)/ Extracellular Signal-Regulated Kinase (ERK). Jalur
68 | B A N U 4
indirect selanjutnya akan berinteraksi dengan jalur direct genomic untuk
translokasi ke dalam nukleus. Sedangkan pada jalur non-genomik,
melibatkan efek antioksidan tanpa diperantarai oleh reseptor estrogen
intraselular, dan biasanya membutuhkan konsentrasi yang tinggi. Namun hal
yang menarik adalah tanpa estrogen, faktor pertumbuhan seperti IGF-1 juga
mampu menginduksi transkripsi gen yang diperantarai oleh ERα melalui
mekanisme independen ligan (Witty CF et al, 2013).
Efek menguntungkan dari estrogen pada otak dapat dimediasi oleh BDNF
(Brain-Derived Neurotropic Factor). Estrogen meregulasi ekspresi gen BDNF
untuk meningkatkan kemampuan neurotropik. Protein BDNF merupakan
suatu neurotropin yang berperan dalam menginduksi neurogenesis,
plastisitas sinaps dan memodulasi organisasi struktur sinaps, sehingga
berperan penting dalam proses belajar, berpikir, regulasi mood dan afek.
Neurotropin dapat meningkatkan aksi estrogen dengan cara meningkatkan
ketersediaan reseptor/ ligan estrogen, begitu juga dengan estrogen yang
mampu meningkatkan aksi neurotropin maupun ekspresi reseptornya.
Penurunan kadar estrogen dan neurotropin pascamenopause menyebabkan
gangguan struktur sinaps dan fungsi sel neuron, yang berakhir dengan
kematian sel neuron didaerah hipokampus, korteks serebri dan talamus.
Rendahnya kadar BDNF serum pada usia lanjut berkaitan erat dengan
penyusutan volume hipokampus dan penurunan fungsi memori. Kadar BDNF
dalam sirkulasi juga dipengaruhi status hormonal, yang menunjukkan bahwa
pada wanita yang memasuki usia menopause akan terjadi penurunan
ekspresi BDNF di hipokampus (Erickson et al, 2012).
Stimulasi BDNF dapat meningkatkan pertumbuhan dan proliferasi sel-sel
dalam hipokampus yang berperan penting untuk pembentukan memori dan
Long-term Potentiation (LTP). Aksi BDNF diperantarai oleh reseptor TrkB
(Tropomyosin receptor kinase B), yang diekspresikan dalam sel neuron pada
sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer. Estrogen menginduksi ekspresi
BDNF melalui estrogen reseptor element (ERE) pada gen BDNF. Estrogen
menginduksi ekspresi gen BDNF melalui mekanisme non genomik.
Kemampuan BDNF untuk menginduksi pembentukan neuropeptide Y (NPY)
69 | B A N U 4
dimana NPY sebagai modulator interaksi estrogen-BDNF melalui kaskade
molekular Estrogen-BDNF-NPY untuk memfasilitasi terjadinya neurogenesis
(Scharfman et al, 2006).
FUNGSI KOGNITIF DAN MENOPAUSE: PERAN ESTROGEN
Estrogen mampu meningkatkan plastisitas sinaptik, pertumbuhan
neurit, neurogenesis hipokampus, dan long-term potentiation. Long-term
potentiation merupakan suatu proses fisiologis yang penting dalam
pembentukan memori episodik. Estrogen melindungi neuron dari apoptosis
dan cedera neural, termasuk terjadinya toksisitas yang diinduksi oleh
neurotransmiter eksitatorik, β-amyloid, stres oksidatif dan iskemia. Estrogen
mempengaruhi beberapa sistem neurotransmiter, termasuk asetilkolin,
serotonin, noradrenalin dan glutamat. Asetilkolin penting di dalam proses
memori. Neuron kolinergik pada basal forebrain mengekspresikan reseptor
estrogen dan estrogen meningkatkan fungsi kolinergik setelah ovariektomi
(Henderson VW, 2008).
Efek cepat dari estradiol pada konsolidasi memori melalui interaksi membran
dan aktivasi dari jalur sinyal interseluler. Adanya pembentukan estradiol intra-
neuronal dan kemungkinan cara kerjanya sebagai suatu neurosteroid dapat
meningkatkan kemampuan memori. Efek kognitif estradiol tergantung dari
lokasi atau sistem neuron pada kortek serebri, basal forebrain, hipokampus
dan striatum yang meregulasi fungsi neuron lebih tinggi. Area otak yang paling
berperan untuk memori dan secara khusus dipengaruhi oleh hormonal adalah
kortek prefrontal medial dan hipokampus. Estradiol mempengaruhi beberapa
aspek fungsi kognitif, namun efektivitas intervensi terapi menggunakan
hormon tersebut belum dapat dijelaskan (Luine VN, 2014).
Gangguan kognitif berupa gangguan memori dan atensi merupakan keluhan
yang sering dilaporkan oleh wanita yang mengalami masa transisi
menopause. Sekitar 60% wanita menopause melaporkan gangguan memori.
Penurunan kecepatan memproses informasi dan memori verbal episodik
hanya bersifat sementara dan kembali normal pada periode pasca
menopause, sementara memori kerja tidak dipengaruhi oleh masa transisi
70 | B A N U 4
menopause. Beberapa studi menyatakan bahwa pemberian estrogen dalam
bentuk terapi estrogen/ hormonal meningkatkan kemampuan domain fungsi
eksekutif dan atensi. Namun beberapa studi randomized controled trial
menyatakan bahwa terapi hormonal tidak signifikan mempengaruhi domain
tersebut (Shanmugan S,2014).
Kadar estrogen rendah setelah menopause mempercepat proses penurunan
fungsi kognitif yang dapat dinilai dari kemampuan memori, pemusatan atensi,
dan kecepatan dalam memproses informasi. Proses penuaan normal akan
diikuti dengan perubahan pada struktur, fungsi dan metabolisme otak.
Terdapat perbedaan signifikan hilangnya jaringan otak di hipokampus dan
lobus parietal lebih banyak terjadi pada wanita dibandingkan laki-laki. Sebuah
penelitian yang mengukur metabolisme glukosa menggunakan Positron
Emission Tomography (PET) dan 18F-2-fluoro-2-deoxy-D-glucose (FDG),
menunjukkan adanya penurunan metabolisme glukosa pada hipokampus
wanita. Perbedaan gender ini berimplikasi pada gangguan neuropsikiatri
seperti Alzheimer’s Disease (AD) dimana prevalensi dan keparahan penyakit
dari AD pada wanita lebih besar dibandingkan pria. Kemungkinan hal ini ada
keterkaitannya dengan estrogen (Markou A, et al, 2005)
Penurunan dan fluktuasi estrogen selama menopause merupakan
mekanisme yang mendasari gangguan fungsi eksekutif, atensi dan memori.
Daerah otak yang kaya reseptor estrogen berperan pada proses kognitif
antara lain hipokampus bertanggung jawab terhadap konsolidasi memori
jangka pendek, dan kortek prefrontal berperan pada fungsi eksekutif seperti
perencanaan, memori kerja, dan koordinasi tugas. Estrogen mempengaruhi
kemampuan verbal fluency dan artikulasi, disamping kecepatan perseptual.
Wanita seringkali menunjukkan tes verbal fluency lebih baik pada saat ada
siklus menstruasi yang berarti konsentrasi estrogennya cukup tinggi.
Pemeriksaan imaging menunjukkan perubahan aktivitas kortek prefrontal
seiring dengan siklus menstruasi. Hal ini berarti bahwa perubahan kadar
estrogen dalam sirkulasi berdampak pada fungsi eksekutif dan memori verbal
(Shanmugan S, 2014).
71 | B A N U 4
Sebuah penelitian cross-sectional pada 63 wanita pre, peri dan post
menopause untuk mengevaluasi efek kadar estrogen pada fungsi kognitif,
terutama pada atensi dan memori kerja yang umumnya menurun pada usia
pertengahan. Peneliti menggunakan tes konvensional untuk menilai fungsi
kognitif antara lain: digit span, digit symbol, block design, penamaan objek,
dan recall menggunakan pengukuran Cogni Speed software. Hasilnya
menunjukkan bahwa memori verbal dan visual, atensi dan kecepatan kognitif
tetap terjaga pada wanita post menopause yang sehat. Fungsi atensi cukup
resisten terhadap defisiensi estrogen pada wanita usia pertengahan.
Konsentrasi estrogen yang tinggi belum tentu terkait dengan kinerja kognitif
yang lebih baik (Markou A, et al, 2005)
Penelitian yang dilakukan oleh The Study of Women’s Health Across the
Nation (SWAN) menunjukan bahwa tahapan reproduksi, bukan umur, yang
mempengaruhi skor kognitif. Secara spesifik didapatkan wanita peri
menopause menunjukan kecepatan perbaikan memori episodik dan memori
verbal kurang dari 4 tahun dibandingkan dengan wanita pada masa pre
menopasue atau post menopasue (Greendale et al., 2009). Penelitian lain
pada wanita post menopause awal menunjukan bahwa kemampuan atensi
dan memori kerja lebih buruk dibandingkan dengan wanita dalam masa
transisi menopause lanjut (Weber, 2013).
EFEK HORMONE REPLACEMENT THERAPY (HRT) PADA FUNGSI
KOGNITIF
Masalah kesehatan yang timbul pada wanita menopause/ pasca-
menopause disebabkan karena kekurangan hormon estrogen, maka
pengobatannya pun adalah dengan pemberian hormon pengganti estrogen,
yang dikenal dengan istilah Hormone Replacement Therapy (HRT) atau
Terapi Pengganti Hormon (TPH). Menopause merupakan peristiwa alamiah
yang pasti dialami setiap wanita dan pemberian terapi pengganti hormon
untuk mencegah dampak fisik dan psikologik akibat menopause baik keluhan
jangka pendek maupun jangka panjang khususnya memberikan perlindungan
terhadap gangguan osteoporosis dan penyakit jantung koroner. Hormon yang
72 | B A N U 4
diberikan adalah hormon estrogen, namun pemberiannya selalu harus
dikombinasikan dengan progesteron, yang dimulai dengan pemberian secara
per oral dan dosis rendah untuk mengurangi kemungkinan timbulnya efek
samping.
Estrogen telah terbukti mempengaruhi sistem saraf dalam berbagai cara
antara lain melalui penempelan pada reseptor estrogen. Hasil penelitian
observasional menunjukkan efek menguntungkan penggunaan terapi
estrogen pada fungsi kognitif wanita pasca menopause. Namun, hasil dari the
Women's Health Initiative Study (WHIMS) tidak mendukung hal ini terutama
pada wanita di atas usia 65 tahun. Alzheimer's disease (AD) terjadi dua
hingga tiga kali lebih sering pada wanita dibandingkan pada pria. Berdasarkan
data yang tersedia, penggunaan terapi rutin estrogen pada wanita dengan AD
tidak dibenarkan namun mungkin memiliki peranan pada profilaksis AD. Bukti
yang ada mendukung penggunaan HRT hanya pada wanita dengan gejala
menopause selama beberapa tahun setelah menopause (Markou A, et al,
2005).
Efek spesifik terapi hormon pada wanita menopause tidak konsisten
mempengaruhi gejala kognitif di antara penelitian yang satu dengan yang lain.
The Seattle Midlife Women’s Health Study menemukan bahwa wanita peri
menopause dan post menopause yang tidak menggunakan terapi hormonal
memiliki recall angka dan kata yang lebih buruk serta mudah lupa. Tidak ada
bukti kuat yang menjelasakan antara disfungsi kognitif dan terapi hormon.
(Shanmugan, 2012).
Rendahnya kadar estrogen pada masa menopause dan pemberian terapi
hormonal diduga sebagai penyebab terjadinya perbedaan variasi prevalensi
atropi kortikal dan subkortikal serta penurunan fungsi kognitif pada usia lanjut.
Suatu studi neuroimaging yang menilai hubungan antara estrogen dan
morfologi hipokampus pada wanita post menopause menyatakan bahwa
wanita yang mendapat terapi hormonal memiliki volume hipokampus lebih
besar dibandingkan kontrol yang tidak mendapat terapi hormonal. Ada bukti
bahwa terapi hormonal mempunyai efek protektif dan proliferatif terhadap
volume hipokampus. Namun studi lainnya menyatakan bahwa wanita yang
73 | B A N U 4
mendapat terapi hormon memiliki volume hipokampus lebih kecil
dibandingkan wanita yang tidak mendapat terapi hormon. Perbedaan hasil
penelitian ini dipengaruhi oleh banyak faktor sehingga sulit untuk
menyimpulkan efek terapi hormonal pada wanita post menopause (Wnuka et
al, 2012). Penjelasan atas inkonsistensi ini adalah perbedaan pada terapi
hormon yang digunakan seperti dosis, sediaan, dan usia saat memulai terapi
(Shanmugan, 2012).
DAFTAR PUSTAKA Baziad, Ali. 2003. Menopause dan Andropause. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo. Bulun, S.E., Adashi, E.Y. 2012. The physiology and pathology of the female reproductive axis. In: Larsen, P.R., Kronenberg, H.M., Melmed, S., Polonsky, K.S., editors. Williams Textbook of Endocrinology. 12th edition. Philadephia: Saunders. p.587-620. Cardona-Gómez, G.P., Mendez, P., Don-Carlos, L.L., Azcoitia, I., Garcia-Segura, L.M. 2003. Interactions of Estrogen and Insulin-like Growth Factor-I in the Brain: Molecular Mechanisms and Functional Implications. Journal of Steroid Biochemistry & Molecular Biology. 8:211–217. Erickson, K.I., Miller, D.L., Roecklein, K.A. 2012. The Aging Hippocampus: Interactions between Exercise, Depression, and BDNF. Neuroscientist. February:18(1):82–97. Henderson, V.W. Cognitive Changes After Menopause: Influence of Estrogen. 2008. Clin Obset Gynecol. 51(3):618–26. Luine, V.N. 2014. Estradiol and Cognitive Function: Past, Present and Future. Hormones and behavior. 66:602-618. Scharfman, H.E., MacLusky, N.J. 2006. Estrogen and Brain-Ferived Neurotrophic Factor (BDNF) in Hippocampus: Complexity of Steroid Hormone-Growth Factor Interactions in the Adult CNS. Front Neuroendocrinol. December: 27(4):415–435. Shanmugan, S., Epperson, C.N. 2014. Estrogen and the Prefrontal Cortex: Towards A New Understanding of Estrogen’s Effects on Executive Functions in the Menopause Transition. Hum Brain Mapp. March: 35(3):847–865.
74 | B A N U 4
Thurston, R.C., Joffe, H. 2011. Vasomotor Symptoms and Menopause: Findings from the Study of Women’s Health Across the Nation. Obstet Gynecol Clin North Am. 38(3):489–501. Weber, M.T., Rubin, L.H, Maki PM. 2013. Cognition in Perimenopause: The Effect of Transition Stage. Menopause. May:20(5). Witty, C.F., Gardella, L.P., Perez, M.C., Daniel, J.M. 2013. Short-term Estradiol Admistration in Aging Ovariectomized Rats Provides Lasting Benefits for Memory and the Hippocampus: A Role for Insulin-like Growth Ffactor-1. Endocrinology. 154(2):842-52. Wnuka, A., Korol, D.L., Ericksona, K.I. 2012. Estrogens, Hormone Therapy, and Hippocampal Volume in Postmenopausal Women. Maturitas. November: 73(3):186–190.
75 | B A N U 4
SEIZURE IN ELDERLY
Dewa Putu Gede Purwa Samatra Neurology Department Faculty of Medicine Udayana University
Abstract
Seizure in elderly population is very common. Seizure or epilepsy is the third
most common neurological disorders in elderly. The first common is dementia
and the second is stroke.
Epilepsy in elderly as a significant issue and should be regarded, because this
issue is important as a clinical issue. Stroke or cerebrovascular disease is the
most common frequently reported as a risk factor of epilepsy (68-75%). In
elderly people with epilepsy, clinically unsuspected cerebral infarcts are often
demonstrable on brain scanning. The most frequent seizure type in elderly
people is focal seizure, but in any elderly people, generalized seizure do
occasionally first manifest themselves. Thus EEG recording in this age group
may be required to classify the seizure type.
Diferrential diagnosis of seizure in elderly are hypoglycemia and syncope. The
most frequent causes of seizures in elderly people is stroke, primary tumor
are less frequent causes; the most are metastatic brain tumor. Diagnostic
difficulties may also arise with neuropsychiatric manifestations. The presence
of Todd’s paralysis is the most common sign of epilepsy in elderly. Diagnostic
tool in elderly seizure are EEG and Imaging (CT-Scan, MRI).
Management in elderly with seizure including reassurance and education for
both patient and family. There is lack of data about rational therapeutic policies
for the treatment of seizure in elderly. First line drugs are carbamazepine and
valproic acid, that are have good tolerance in elderly. Lamotrigine is the first
drug of choice if the first line drugs are failed. Acute symptomatic seizure in
elderly most can be managed by treating the underlying disease, e.g.
metabolic disorders, infections, vascular event, etc.
Prognosis seizure in elderly studied by The National General Practice Study
of Epilepsy reported 80% risk of seizure recurrence at 52 weeks.
76 | B A N U 4
INFEKSI SISTEM SARAF PADA PASIEN LANJUT USIA
Anak Agung Raka Sudewi Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
Abstrak
Proses penuaan yang diakibatkan oleh pertambahan usia diikuti oleh
penurunan fungsi fisiologis secara alamiah berbagai organ, juga terjadi
penurunan fungsi sistem kekebalan tubuh sehingga rentan terkena infeksi
termasuk infeksi pada sistem saraf. Berbagai mikroorganisme seperti virus,
bakteri, parasit dan jamur dapat menginfeksi sistem saraf, baik sistem saraf
pusat maupun sistem saraf perifer.
Tulisan ini khusus membahas infeksi sistem saraf pusat pada lanjut usia
(lansia), dengan tujuan untuk membuka dan memberikan wawasan tentang
beberapa penyakit infeksi sistem saraf pada lanjut usia terutama yang terkait
dengan bakteri dan virus mengingat terjadinya peningkatan jumlah manusia
lanjut usia yang signifikan di Indonesia pada tahun 2020.
Pendahuluan
Indonesia salah satu negara berkembang yang mengalami
peningkatan penduduk untuk lanjut usia 60 tahun ke atas makin meningkat.
Lansia dituntut mandiri dan sehat, data BPS menunjukkan tingginya
penduduk berusia 60 tahun ke atas yang diperkirakan dari 19,32 juta (8,37
persen) pada 2009, menjadi 28,7 juta (11,34 persen) pada tahun 2020 (BPS,
2012). Pertambahan usia akan diikuti oleh proses degenerasi dan penurunan
fungsi fisiologis berbagai organ tubuh termasuk penurunan sistem kekebalan
terhadap infeksi yang diperankan oleh sel T limfosit. Fenomena biologis pada
lanjut usia disertai dengan penurunan fungsi sistem imun (innate/ acquired)
yang berdampak pada penurunan kemampuan dalam merespons patogen
sehingga meningkatkan risiko terkena infeksi (Dunston C.R, 2010). Berbagai
mikroorganisme seperti virus, bakteri, parasit dan jamur dapat menginfeksi
sistem saraf, baik sistem saraf pusat maupun sistem saraf perifer. Penelitian
terkait infeksi sistem saraf pada pasien lanjut usia masih sangat terbatas.
77 | B A N U 4
Beberapa data (Saverio G.P, 2016) tentang infeksi virus pada penderita lanjut
usia >65 tahun dengan meningitis dan ensefalitis terutama disebabkan oleh
herpes simplek virus (HSV) pada umumnya mempunyai luaran yang buruk.
Studi surveillance (Chaster C, 2001) tentang meningitis bakteri pada lanjut
usia >60 tahun dilaporkan Streptococcus pneumoniae sebagai penyebab
tersering.
Gejala Klinis
Penyakit infeksi pada sistem saraf pusat (SSP) yang sering dijumpai
adalah meningitis, ensefalitis atau gabungan dari meningoensefalitis dan
abses otak. Secara umum gejala klinis pada infeksi SSP ditandai oleh adanya
panas, sakit kepala, kesadaran menurun dan gejala spesifik berupa tanda
tanda perangsangan selaput otak (kaku kuduk, Kernig sign, Brudzinski neck
sign) pada meningitis, kejang pada ensefalitis dan adanya defisit neurologi
fokal (hemiparese atau monoparese, gangguan sensorik atau defisit neurologi
fokal lainnya), tanda tekanan intrakranial meningkat pada abses otak.
Gejala panas pada lansia dengan meningitis bakteri frekuensinya sekitar (59-
100)%, sakit kepala (21-81)%, kesadaran menurun (57-100)% dan kaku
kuduk (57-92)%. Pada pasien dengan meningitis atau ensefalitis virus
biasanya dengan gambaran klinis yang sesuai dengan gejala aseptik
meningitis/ ensefalitis pasien tampak uncomfortable tanpa gejala kaku kuduk
atau tanda perangsangan meningen (Cecilia B, 2009). Defisit neurologi fokal
pada abses otak gejalanya sangat bervariasi tergantung lokasi dan jumlah lesi
abses, dan sering disertai adanya tanda tanda tekanan intrakranial yang
meningkat (Hernando AM, 2013).
Diagnosis
Pemeriksaan penunjang sangat diperlukan untuk menegakkan
diagnosis yang definitif seperti pemeriksaan cairan serebrospinalis (CSF) dan
neuroimaging dengan CT scan atau MRI, serta pemeriksaan penunjang
lainnya. Pada meningitis bakteri akut CSF menunjukkan gambaran jumlah
sel yang meningkat sampai ribuan terutama polimorfonuklear disertai protein
78 | B A N U 4
yang meningkat dan glukosa menurun. Pewarnaan gram dan kultur ditujukan
untuk menemukan kuman penyebabnya. Hasil pemeriksaan CSF pada infeksi
virus menunjukkan adanya peningkatan jumlah sel terutama mononuklear
disertai peningkatan kadar protein. Pemeriksaan PCR (Polymerase Chain
Reaction) dilakukan untuk mendeteksi asam nukleat mikroorganisme kuman
penyebabnya. CT scan/ MRI kepala diperlukan untuk konfirmasi diagnosis
dan sewaktu–waktu dapat memberikan petunjuk jika ditemukan gambaran
khusus yang spesifik terkait etiologi. Gambaran CT scan kepala pada abses
otak bervariasi tergantung stadium, pada serebritis tampak adanya lesi
densitas rendah batas tidak tegas sedangkan pada stadium terbentuknya
kapsul tampak adanya ring enhancement pada penambahan kontras. MRI
lebih sensitif untuk membedakan stadium abses. Pemeriksaan EEG
(Electroencephalography) diperlukan pada penderita dengan bangkitan
kejang.
Terapi
Pada meningitis bakteri terapi antibiotik secara empiris dengan
ceftriaxone 2 gram setiap 12 jam atau cefotaxime 8-12 gram dosis total
perhari dapat diberikan sambil menunggu hasil pemeriksaan CSF. Antibiotk
dapat disesuaikan dengan hasil kultur dan sensitivitasnya (Chester C, 2001).
Pada infeksi virus terapi disesuaikan dengan etiologinya, pada infeksi HSV
terapi pilihannya adalah aciclovir intravena 10 mg/kg setiap 8 jam (Cecilia B,
2009). Pendekatan pada abses otak meliputi pemberian antibiotik ceftriaxone/
cefotaxime kombinasi dengan metronidazole (4 X 500mg) perhari untuk
bakteri anaerob, vancomisin (2 X 1gr) perhari untuk MRSA, gram (+),
septikemi. Tindakan bedah untuk eksisi abses dan drainase dapat dilakukan
jika diameter lesi > 2,5cm (Hernando AM, 2013). Terapi lain yang bersifat
simptomatis diberikan sesuai gejala yang menyertai. Deksametason diberikan
jika ada tanda edema serebri. Infeksi SSP pada lansia perawatannya
biasanya lebih berat dibandingkan dengan usia muda karena adanya proses
degenerasi dan adanya penyakit lain yang menyertainya.
79 | B A N U 4
Kesimpulan
Penuaan pada lanjut usia adalah fenomena biologis, disertai
perubahan dan disfungsi sistem imun (innate/ acquired) dan berimplikasi
terhadap penurunan kemampuan tubuh dalam merespons patogen dan
peningkatan risiko terkena infeksi termasuk infeksi pada SSP. Perilaku hidup
sehat diperlukan, agar para lansia dapat terhindar dari berbagai penyakit.
Daftar Pustaka
Badan Pusat Statistik. 2012. Penduduk Lanjut Usia. Cecilia Big, MD, Lora, A., Reineck, MD, David, M., Aronoff, MD. 2009. Viral Infections of the Central Nervous System: A Case-Based Review. Clinical Medicine & Research. Volume 7, Number 4:142-146. Chester Choi. 2001. Bacterial Meningitis in Aging Adults. Clinical Infectious Diseases. 33:1380-5. Dunston, C.R., and H.R. Griffiths. 2010. The Effect of Ageing on Macrophage Toll-like Receptor-Mediated Responses in the Fight Against Pathogens. Clin Exp Immunol. Sep:161(3):407–416. Hernando Alvis Miranda, Sandra Milena Castellar-Leones, Mohammed Awad Elzain, Luis Rafael Moscote-Salazar. 2013. Brain abscess: Current Management. J Neurosci Rural Pract. Aug: 4(Suppl 1):S67–S81. Saverio G. Parisi, Monica Basso, Claudia Del Vecchio, Samantha Andreis, Elisa Franchin, Federico Dal Bello, Silvana Pagni, Maria Angela Biasolo, Riccardo Manganelli, Luisa Barzon, Giorgio Palu. 2016. Short Communication, Viral Infections of the Central Nervous System in Elderly Patients: A Retrospective Study. International Journal of Infectious Diseases. 44:8–10.
80 | B A N U 4
DIZZINESS DAN VERTIGO PADA USIA LANJUT
I Wayan Kondra Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Warmadewa
Abstrak
Vertigo dan gangguan keseimbangan merupakan kelainan yang sering
dijumpai pada usia lanjut. Kelainan tersebut seringkali menyebabkan jatuh
dan mengakibatkan berbagai morbiditas seperti fraktur tulang panggul,
cedera otak, bahkan bisa fatal.
Hal ini bisa dimengerti oleh karena pada usia lanjut terjadi berbagai
perubahan struktural berupa degenerasi dan atrofi pada sistem vestibular,
sistem visual dan sistem somatosensori (proprioseptif) yang mengendalikan
keseimbangan tubuh kita dengan akibat adanya gangguan fungsional pada
ketiga sistem tersebut. Gangguan fungsi refleks vestibulospinal akan
menimbulkan gangguan postural dan gangguan keseimbangan.
Gangguan refleks vestibulookular menimbulkan gejala nistagmus dan
gangguan persepsi di korteks serebri menimbulkan gejala vertigo.
Rangsangan terhadap saraf otonom menimbulkan gejala pucat, rasa dingin
di kulit, keringat dingin, mual, muntah, dan rangsangan terhadap korteks
limbik menimbulkan gejala ansietas dan atau depresi. Penyebab vertigo dan
gangguan keseimbangan pada usia lanjut meliputi berbagai macam kelainan
otologik, neurologik, kardiovaskular, hematologik, metabolik, dan obat-
obatan.
Vertigo dan gangguan keseimbangan yang sering dijumpai pada usia tua
adalah Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV), insufisiensi vertebra-
basilar, vertigo servikal dan vertigo akibat gangguan kardiovaskular.
Penatalaksanaannya meliputi upaya untuk mencegah agar usia lanjut tidak
jatuh, terapi kausal, terapi simptomatik, dan latihan vestibular.
PENDAHULUAN
Vertigo dan dizziness (gangguan keseimbangan) merupakan kelainan
yang sering dijumpai pada usia lanjut. Kelainan tersebut seringkali
81 | B A N U 4
menyebabkan jatuh dan mengakibatkan berbagai morbiditas seperti fraktur
tulang panggul, cedera otak bahkan bisa fatal. Kecelakaan adalah penyebab
kematian keenam pada seorang berusia lebih dari 75 tahun akibat jatuh. Hal
ini bisa dimengerti oleh karena pada usia lanjut terjadi berbagai perubahan
struktural berupa degenerasi dan atrofi pada sistem vestibular, visual dan
proprioseptif dengan akibat gangguan fungsional pada ketiga sistem tersebut.
Usia lanjut dengan gangguan keseimbangan memiliki risiko jatuh 2-3 kali
dibanding usia lanjut tanpa gangguan keseimbangan. Tiap tahun berkisar
antara 20-30% orang yang berusia lebih dari 65 tahun sering lebih banyak
berada di rumah saja karena masalah mudah jatuh. Untuk bisa menangani
dan mengevaluasi pasien berusia diatas 60 tahun dengan gangguan
keseimbangan, klinisi harus mengerti tentang fisiologi keseimbangan dan
perubahan-perubahan fisiologis yang terjadi pada proses penuaan.
Usaha untuk mencegah agar usia lanjut tidak jatuh merupakan bagian
pertama perawatan pasien usia lanjut.
FISIOLOGI KESEIMBANGAN DAN PATOFISIOLOGI VERTIGO DAN
GANGGUAN KESEIMBANGAN
Keseimbangan dikendalikan oleh alat keseimbangan tubuh yang
terdiri dari:
1. Sistem vestibular dengan reseptor di vestibulum
2. Sistem visual/ optokinetic dengan reseptor di retina
3. Sistem somatosensori/ proprioseptif dengan reseptor proprioseptif di
otot, tendon dan sendi.
Gangguan pada alat keseimbangan tubuh baik pada sistem vestibular, sistem
visual maupun sistem somatosensori akan menimbulkan gejala:
1. Vertigo
2. Disequilibrium (gangguan keseimbangan).
83 | B A N U 4
Bila kita melakukan suatu gerakan maka rangsangan gerakan tersebut akan
ditangkap oleh ketiga reseptor alat keseimbangan tubuh yaitu reseptor sistem
vestibular di vestibulum, reseptor sistem visual di retina dan reseptor
proprioseptif di otot, tendon dan sendi dan mengubah rangsangan gerakan itu
menjadi impuls saraf. Impuls saraf tersebut kemudian diteruskan oleh sistem
vestibular, sistem visual, dan sistem somatosensori ke nukleus vestibularis
(ada yang langsung ke nukleus vestibularis, ada yang melalui serebelum).
Setelah diolah (dimodulasi) di nukleus vestibularis, impuls dari nukleus
vestibularis ada yang diteruskan ke otot-otot penggerak bola mata untuk
mempertahankan gaze (gerakan kedua bola mata ke suatu jurusan) selama
pergerakan, melalui refleks vestibulo-okular dengan mekanisme untuk
menghasilkan gerakan melawan gerakan kepala, memungkinkan gaze tetap
84 | B A N U 4
terfiksasi pada titik tertentu. Gangguan pada refleks vestibulo-okular akan
menimbulkan gejala nistagmus.
Impuls dari nukleus vestibularis juga diteruskan ke otot-otot penggerak/
penyangga tubuh untuk mempertahankan keseimbangan selama pergerakan
dan mempertahankan postur melalui refleks vestibulo-spinal. Gangguan
fungsi pada refleks vestibulo-spinal akibat adanya kelainan pada sistem
vestibular, sistem visual atau sistem somatosensori akan menimbulkan gejala
gangguan keseimbangan (disequilibrium) berupa rasa goyah, tidak stabil
sehingga terasa akan jatuh.
Gangguan keseimbangan pada usia lanjut dapat timbul akibat adanya:
1. Perubahan struktural dan fungsional sistem vestibular. Pada sistem
vestibular perubahan tersebut bisa terjadi pada aparatus vestibular
yaitu otokonia pada utrikulus dan sakulus, epitel vestibular, nervus
vestibularis, ganglion scarpa dan serebelum. Demineralisasi dan
fragmentasi progresif dari statokonia utrikulus dan sakulus
menyebabkan respon terhadap akselerasi gravitasi dan liniar
berkurang, sehingga keseimbangan mudah terganggu. Disamping itu
terlepasnya otokonia ke dalam kanalis semisirkularis posterior akan
menimbulkan gangguan keseimbangan posisional seperti pada
benign paroxysmal positional vertigo (BPPV). Pada epitel vestibular
terjadi akumulasi inclusion bodies dan lipofusin serta terbentuknya
vakuola, sel-sel menjadi atrofi dan sel-sel rambut diganti oleh sikatrik.
Perubahan pada inti vestibularis kurang banyak diketahui. Bisa
diketemukan akumulasi lipofusin seperti pada sel rambut. Di
serebelum sel-sel Purkinye jumlahnya berkurang dan di sini pun terjadi
pemumpukan lipofusin berbentuk batang dan inclusion body lain.
Perubahan struktural tersebut di atas bisa menimbulkan gangguan
fungsi berupa gangguan keseimbangan dan gangguan postural,
apalagi bila disertai penurunan visus dan kelainan proprioseptif yang
sering terjadi pada usia lanjut.
85 | B A N U 4
2. Gangguan sistem visual pada usia lanjut dapat disebabkan oleh
adanya katarak, glaukoma, degenerasi makular yang menyebabkan
penurunan visus.
3. Gangguan sistem proprioseptif dapat disebabkan oleh adanya
neuropati diabetika yang menyebabkan penurunan perasaan
sensibilitas, sensasi getar dan proprioseptif lainnya. Penyakit artritis,
kelainan otot dan tulang juga dapat menyebabkan gangguan
keseimbangan pada usia lanjut.
Dari nukleus vestibularis ada impuls yang diteruskan ke korteks serebri.
Gangguan persepsi di korteks serebri akibat adanya kelainan pada sistem
vestibular, sistem visual atau sistem somatosensori akan menimbulkan gejala
vertigo yang patofisiologinya dapat diterangkan melalui teori komplek
sensoris, teori neural mismatch dan teori sinaps.
Nukleus vestibularis juga berhubungan dengan saraf otonom. Rangsangan
pada saraf otonom akan menimbulkan gejala pucat, rasa dingin di kulit,
keringat dingin, mual dan muntah.
Nukleus vestibularis juga berhubungan dengan korteks limbik. Rangsangan
terhadap korteks limbik/ hipokampus menimbulkan gejala ansietas dan atau
depresi.
ETIOLOGI
Penyebab vertigo dan gangguan keseimbangan pada usia lanjut
meliputi berbagai macam kelainan otologik, neurologik, kardiovaskular,
hematologik, metabolik, dan obat-obatan.
1. Kelainan otologik seperti BPPV, kolesteatoma, labirintitis, otosklerosis,
penyakit Meniere, neuronitis vestibularis, obat ototoksik.
2. Kelainan neurologik misalnya tumor sudut serebelopontin, insufisiensi
vertebrobasilar, penyakit parkinson.
3. Kelainan kardiovaskular misalnya stenosis aorta, disritmia, hipotensi
postural.
4. Kelainan hematologik misalnya anemia, hiperviskositas.
86 | B A N U 4
5. Gangguan metabolik misalnya neuropatia diabetika, hiperventilasi,
hipoglikemia.
6. Lain-lain seperti obat-obantan (sedatif, tranquilizer), cedera kepala,
vertigo servikal.
Vertigo dan gangguan keseimbangan yang sering dijumpai pada usia lanjut
adalah
1. Benign Paroxysmal positional vertigo (BPPV)
2. Insufisiensi Vertebrobasilar
3. Vertigo Servikal
4. Gangguan kardiovaskular
Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV)
Pada usia muda BPPV sering diakibatkan oleh trauma, sedangkan
pada usia lanjut penyebabnya kebanyakan degenerasi. Penyebab lain adalah
penyakit-penyakit pada telinga dalam seperti labirintitis, ototoksisitas dan
mastoiditis. Akan tetapi, pada kebanyakan kasus penyebabnya tidak
diketahui.
Manifestasi klinisnya berupa vertigo yang timbul pada perubahan posisi
kepala ke satu sisi pada waktu berbaring, atau pada waktu merebahkan
badan, bangkit dari tidur, ekstensi kepala pada waktu menegadah.
Keluhannya berupa rasa berputar, bisa disertai mual, muntah dan cemas.
Dengan tes Dix Hallpike vertigo dan nistagmus posisional bisa ditimbulkan
dan dengan pengulangan manuver tersebut keluhan vertigo dapat makin
berkurang bahkan bisa menghilang. Gejala vertigo diatas timbul akibat
adanya debris yang berisi kalsium karbonat berasal dari fragmen otokonia
yang terlepas dari makula utrikulus yang berdegenerasi dan masuk ke dalam
kanalis semisirkularis posterior yang patofisiologinya dapat diterangkan
dengan hipotesis kupulolitiasis dan hipotesis kanalitiasis.
Terapinya adalah dengan latihan vestibular misalnya dengan metode Brandt
Darrof atau metode Epley. Obat anti vertigo seperti betahistine, flunarizine
hanya diberikan jangka pendek pada waktu akut, untuk mengurangi keluhan
dan pasien tidak takut melakukan latihan vestibular. BPPV bersifat jinak dan
87 | B A N U 4
cenderung membaik dalam beberapa minggu atau lebih, walaupun kadang-
kadang bisa kambuh kembali. Pada sebagian kasus vertigonya berlangsung
lama, bahkan bisa menetap. Pada kasus demikian ini ada indikasi untuk
dilakukan operasi yaitu singular vestibular neurectomy atau oklusi dari kanalis
semisirkularis posterior.
INSUFISIENSI VERTEBROBASILAR
Insufisiensi vertebrobasilar merupakan salah satu penyebab utama
vertigo dan gangguan keseimbangan pada usia lanjut. Sistem pembuluh
darah ini memperdarahi bagian perifer maupun bagian sentral dari sistem
vetibuler. Penyebabnya kebanyakan adalah aterosklerosis, penyebab lain
adalah osteofit yang menekan arteri vertebralis. Gejala klinisnya berupa
vertigo yang disertai tanda-tanda defisit batang otak seperti diplopia, disartria,
disfagia, ataksia, hemianopsia homonim. Terapinya seperti pada stroke
iskemik dan untuk vertigonya disamping diberikan obat anti vertigo seperti
betahistine, flunarizine, juga dilakukan latihan vestibular.
VERTIGO SERVIKALIS
Vertigo servikalis adalah vertigo yang timbul pada pergerakan leher.
Penyebabnya belum jelas, tetapi beberapa keadaan dikaitkan dengan
terjadinya vertigo seperti perubahan input spinovestibular, terkenanya arteri
vertebralis oleh osteofit dan iritasi pleksus simpatis oleh spondilosis servikalis.
VERTIGO AKIBAT GANGGUAN KARDIOVASKULAR
Kelainan kardiovaskular seperti hipertensi, hipotensi postural, serta
kelainan jantung seperti aritmia, ischemic heart disease, merupakan
penyebab vertigo yang sering dijumpai pada usia lanjut. Gejala klinisnya
berupa TIA atau stroke batang otak dan terapinya sama seperti stroke.
PENATALAKSANAAN
1. Upaya untuk mencegah agar usia lanjut tidak jatuh.
Lingkungan tempat tinggal orang usia lanjut dalam keadaan baik:
88 | B A N U 4
• Pencahayaan yang baik, nyalakan lampu pada malam hari
• Lantai kamar mandi tidak licin dan terdapat handle untuk
berpegangan
• penggunaan tongkat harus dipertimbangkan
Tingkatkan keseimbangan dengan:
• Fitness, usia lanjut sebaiknya memiliki jadwal rutin berjalan
harian.
• Latihan khusus seperti berdiri dengan satu kaki, mencoba
mengangkat lutut setinggi-tingginya sampai panggul dengan
berpegangan pada suatu objek yang diam seperti bangku.
Program latihan 6 minggu yang terdiri dari berjalan 30 menit, tiga kali
seminggu pada seorang yang berusia 72 tahun menunjukkan
perbaikan yang dramatis dalam hal performa keseimbangan dibanding
kelompok dengan usia yang sama yang tidak melakukan latihan.
2. Terapi kausal tergantung etiologinya
3. Terapi SImptomatis
Penggunaan obat supresan vestibular seperti benzodiazepin, harus
secara bijaksana. Vasodilator aliran darah ke labirin dapat diberikan
betahistine dengan dosis yang disesuaikan.
4. Latihan vestibular misalnya dengan metode Brandt Daroff
Caranya (lihat gambar):
89 | B A N U 4
Pasien duduk tegak ditepi tempat tidur dengan kedua tungkai
tergantung. Lalu dengan kedua mata tertutup baringkan tubuh dengan
cepat ke salah satu sisi, pertahankan selama 30 detik, setelah itu
duduk tegak kembali. Setelah 30 detik baringkan dengan cepat ke sisi
lain, pertahankan selama 30 detik, lalu duduk tegak kembali. Lakukan
latihan ini 3 kali pada pagi hari sebelum bangun tidur, dan 3 kali pada
malam hari sebelum tidur, sampai 2 hari berturut-turut tidak timbul
vertigo lagi.
RINGKASAN
Vertigo dan gangguan keseimbangan merupakan kelainan yang
sering dijumpai pada usia lanjut. Kelainan tersebut sering kali menyebabkan
jatuh dan mengakibatkan berbagai morbiditas seperti fraktur tulang panggul,
cedera otak, bahkan bisa fatal. Hal ini bisa dimengerti oleh karena pada usia
lanjut terjadi berbagai perubahan struktural berupa degenerasi dan atrofi pada
sistem vestibular, sistem visual dan sistem somatosensori (proprioseptif)
dengan akibat adanya gangguan fungsi pada ketiga sistem tersebut.
Gangguan fungsi pada refleks vestibulospinal akan menimbulkan gejala
gangguan keseimbangan. Gangguan persepsi di korteks serebri
menimbulkan gejala vertigo. Penyebab vertigo dan ganguan keseimbangan
pada usia lanjut meliputi berbagai macam kelainan otologik, neurologik,
kardiovaskular, hematologik, metabolik, dan obat-obatan.
Vertigo dan gangguan kesimbangan yang sering dijumpai pada usia lanjut
adalah Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV), vertigo akibat
insufisiensi vertebrobasilar, vertigo servikal dan vertigo akibat gangguan
kardovaskular.
Penatalaksanaannya meliputi upaya untuk mencegah agar usia lanjut tidak
jatuh, terapi kausal, terapi simptomatik dan latihan vestibular.
90 | B A N U 4
DAFTAR PUSTAKA
Brandt Thomas, Marianne Dieterich, Michael Strupp. 2005. Vertigo and Dizziness: Multisensory Syndromes. In: Vertigo and Dizziness: Common Complaints. London: Springer. p.1-5. Galini, R. 2011. Vertigo and Dizziness in the Elderly: Elevation and Assessment. Gerontology. 59:244-256. Gibson, L.M., C. 1995, 1996, 2000. Ohio State University Extension, Franklin Country. American Senior Fitness Association. Available from: URL: http://ohioline.ag.ohio-state.edu. Diunduh 12 Maret 2012. Kim, H.H., Wilson, D.F., Wiet, R.J. 2008. Aging and Balance. In: WeberP, P.C., editor. Vertigo and Disequilibrium: A Practical Guide to Diagnosis and Management. New York: Thieme Medical Publisher. p.113-116. Moarsing, O.R., Dres, J., Schederis, G. 2010. Dizziness Reported by Elderly Patients in Family Practice: Prevalence, Incidence, and Clinical Characteristic. BMC Family Practice. 11:2. Physical Therapists as Practioners of Choice to Rehabilitate Persons with Vestibular Related Balance Disorders (House of Delegates 05-07-18-18). http://www.apta.org/AM/Template.cfm? Accessed July 17, 2010 Shupert, C. 2006. Balance and Aging, Vestibular Disorder Association. Available from: URL: www.vestibular.org. Diunduh 12 Maret 2012.
91 | B A N U 4
HEADACHE IN ELDERLY
I Made Oka Adnyana Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
Pendahuluan
Nyeri kepala salah satu keluhan yang sering dijumpai di klinik
neurologi. Prevalensi nyeri kepala primer menurun seiring dengan
bertambahnya usia, tetapi nyeri kepala sekunder lebih sering dijumpai pada
usia lanjut (orang tua). Sebanyak 15% pasien tua (> 65 tahun) mengalami
nyeri kepala yang serius disebabkan oleh perdarahan subarakhnoid, arteritis
temporalis, neuralgia rigemini, dan perdarahan serebri, dan hanya 1,6% usia
< 65 tahun mengalami kondisi yang sama (Prencipe and Casini, 2001).
Nyeri kepala pada umur tua terdiri dari nyeri kepala primer dan sekunder.
Nyeri kepala primer yang paling banyak adalah tension type headache (TTH),
migren, migraine accompaniments, cluster headache dan hypnic headache.
Nyeri kepala sekunder cenderung meningkat pada orang tua, seperti giant cell
arteritis, neuralgia trigemini, sleep apnea, neuralgia pasca herpes, spondilosis
servikalis, perdarahan subarakhnoid, perdarahan intra serebral, neoplasma
intra kranial dan post concusive syndrome (Liptonet al., 2001). Nyeri kepala
sekunder sering didapat dan gejalanya mirip dengan nyeri kepala primer
terutama TTH dan migren, sehingga pada orang tua harus lebih teliti dalam
menegakkan diagnosis dan jika perlu dilakukan pemeriksan penunjang untuk
memastikan diagnosis.
Pengobatan migren dengan ergotamin atau triptan, yang digunakan pada
orang muda, bisa digunakan pada orang tua dengan memperhatikan
komorbid seperti penyakit arteri koroner. Pada kasus migren dengan kondisi
gawat darurat pada orang tua digunakan magnesium intravena, asam
valproat dan metoklopramid. Terapi TTH akut pada orang tua adalah dengan
NSAIDs dan bila serangannya berat dan sering serta TTH kronis perlu
diberikan terapi profilaksis. Penggunaan prednison efektif pada kasus giant
cell arteritis. Terapi non farmakologi seperti blokade saraf, diberikan pada
92 | B A N U 4
kasus khusus seperti cluster headache, nyeri kepala servikogenik (Friedman
et al., 2005).
Nyeri Kepala pada Orang Tua
1. Migren
Migren umumnya dijumpai pada orang muda, tetapi pada orang tua
kejadiannya menurun. Gejala kliniknya hampir sama yaitu nyeri kepala
berdenyut, vomitus, foto dan fonofobia. Migren denga aura sering terjadi pada
orang tua, tetapi aura juga bisa tanpa disertai nyeri kepala. Gejala aura tanpa
nyeri kepala pada orang tua sering dijumpai dan disebut late-life migraine
accompaniments, yang ditandai dengan serangan berulang dan stereotipik
defisit neurologi oleh karena efek sekunder cortical spreading depression
(CSD), yaitu gangguan hemisensorik, disfungsi berbahasa, abnormal visual.
Gejala ini sering sukar dibedakan dengan TIA (Dee et al., 2013).
Perbedaan late-life migraine accompaniments dan TIA
Migren dengan aura TIA
Fenomena visual positif (scintiling,
scotoma)
Simptom negatif (hilang
penglihatan)
Gejala perlahan Gejala mendadak
Serangan berulang dan gejala sama Gejala bervariasi
Durasi serangan 20-30 menit Durasi < 15 menit
Nyeri kepala mengikuti serangan
aura (50%)
Nyeri kepala jarang pada TIA
Aura yang progresif dari satu
modalitas ke lainnya (visual,
sensorik dan berbicara)
Gejala timbul bersamaan
Sumber: Dodickand Capobianco, 2002.
Terapi migren
Terapi migren pada orang tua sangat sulit dan harus memperhatikan ko-
morbid. Diagnosis yang akurat, sangat pasti dan pengetahuan yang memadai
mengenai obat dan farmakologi masing-masing obat sangat diperlukan. Hal
yang harus diperhatikan pada pengobatan migren pada orang tua adalah: 1)
93 | B A N U 4
dosis yang tepat dan pasti, 2) naikkan dosis secara perlahan sampai efek
terapi dicapai dan gunakan jenis obat yang sederhana, 3) jika memungkinkan
gunakan terapi non farmakologi. Terapi migren pada orang tua umumnya
sama seperti orang muda seperti ergotamin dan sumatriptan bisa digunakan
kecuali pada orang dengan kardiovaskuler. Obat golongan triptan bisa
digunakan bila tidak ada atau hanya satu faktor risikio kardiovaskuler. Pasien
yang sudah jelas menderita penyakit jantung koroner tidak boleh diberikan
triptan, dan pasien dengan ≥ 2 faktor risiko penyalit jantung koroner harus
dilakukan evaluasi kardiovaskuler sebelum diterapi dengan triptan. Penyekat
beta dan kalsium bisa memperberat gagal jantung kongestif dan depresi.
Antidepresan trisiklik digunakan dengan memperhatikan adanya gejala
pembesaran prostat, glaukoma dan gagal jantung (Hersey and Bednarczyk,
2013).
Obat yang dapat digunakan untuk migren akut pada orang tua adalah:
a. Magnesium sulfat
Magnesium sulfat IV dengan dosis 2 gram dilarutkan dalam 100 ml
NaCl habis dalam > 10 menit. Hasilnya sebanding dengan
metoklorpramid IV 10 mg.
Kontra indikasi: alergi MgSO4, perubahan status mental, penyakit
jantung/ ginjal (Friedman et al., 2005, Dee et al., 2013).
b. Ketorolak
Ketorolak 30 mg IV dilarutkan dalam 30 ml NaCl atau dekstrose 5%
habis dalam > 30 menit.
Kontra indikasi: pasien sedang memakai antikonvulsan, antidepresan
atau tranquilizer. Riwayat alergi NSAIDs, kehamilan dan penggunaan
alkohol (Klepper and Staton, 1991, Dee et al., 2013).
c. Asam Valproat
Asam valproate 500-1.000 mg dalam 100 ml NaCl habis > 30 menit.
Kontra indikasi: alergi asam valproate, kehamilan dan penyakit hati.
Efek samping: nausea, sedasi, dan diare (Leninger et al., 2005).
94 | B A N U 4
Profilaksis:
a. Topiramat 25-200 mg (mulai dari 25 mg dalam minggu pertama
kemudian 2 x 25 mg dalam bulan pertama)
Kontra indikasi: batu ginjal
Efek samping: parestesi, nausea, anoreksia (Gupta et al., 2007).
b. Metoprolol 200 mg lebih efektif dibandingkan dengan aspirin.
Kontra indikasi: penyakit paru kronis, asma, dan gagal jantung
kongestif
Efek samping: dizziness dan fatigue (Diener et al., 2001).
c. Propanolol 40-80 mg lebih efektif dibandingkan dengan plasebo.
Kontra indikasi: penyakit paru kronis, asma, dan gagal jantung
kongestif.
Efek samping: dizziness, fatigue, wheezing (Rao et al., 2008, Dee et
al., 2013).
d. Tancetum pathenium (feverfew), magnesium dan riboflavin. Ketiga
obat ini bisa dipakai untuk prevensi, tetapi masih perlu penelitian lebih
lanjut. Penelitian double blind, placebo, controlled trial dengan
menggunakan 25 mg riboflavin dibandingkan dengan riboflavin 400
mg, magnesium 300 mg, dan feverfew 100 mg, ternyata tidak ada
perbedaan bermakna pada luaran primer. Magnesium, riboflavin, dan
feverfew tidak direkomendasikan untuk pencegahan migren, tetapi
bisa dicoba bila ada kontra indikasi terapi profilaksis yang biasa
(Boehnke et al., 2004, Mauskop, 2004).
e. Co-enzyme Q. Dosis 3 x 100 mg per hari co-enzyme Q lebih baik
menurunkan frekuensi, hari nyeri, dan hari dengan nausea pada bulan
ketiga terapi. Obat ini terutama diberikan pada orang tua karena bisa
memperbaiki disfungsi mitokondria (Sandor et al., 2005).
f. Toksin Botulinum A. Penelitian open label membuktikan obat ini
secara bermakna sebagai profilaksis untuk menurunkan frekuensi,
beratnya nyeri kepala dan disabilitas yang berhubungan dengan
migren. Obat ini sebagai alternatif bila obat profilaksis lainnya tidak
95 | B A N U 4
memberi respon, terutama pada migren kronis dan refrakter (Maathew
and Kaup, 2002).
2. Tension Type Headache (TTH)
TTH merupakan nyeri kepala yang paling sering dijumpai tanpa kecuali pada
orang tua. Prevalensi yang tinggi berhubungan dengan komorbiditas psikiatri.
Prevalensi nyeri kepala sekunder dengan gejala yang mirip dengan TTH juga
meningkat pada orang tua, sehingga pada orang tua dengan TTH mesti
dievaluasi dengan teliti (Godberg, et al., 2014).
Tiga bentuk TTH adalah: (ICHD 3 beta versi, Cephalagia. 2013).
1. Infrequent episodic: paling tidak 10 episode terjadi < 1 hari per bulan
2. Frequent episodic: paling tidak 1 episode serangan terjadi dalam ≥ 1
hari tetapi < 15 hari per bulan yang terjadi selama ≥ 3 bulan
3. Kronis: nyeri kepala terjadi dalam ≥ 15 hari per bulan selama lebih dari
3 bulan
Menurut International Classification of Headache Disorder (ICHD-3 beta)
definisi TTH adalah paling tidak 10 episode nyeri kepala berlangsung dari 30
menit sampai 7 hari, dan paling tidak ada 2 gejala klinik yang menyertai yaitu:
lokasi bilateral, tipe nyeri menekan atau mengikat (tidak berdenyut), intensitas
ringan-sedang dan tidak dipengaruhi aktifitas fisik rutin. Pemeriksaan fisik
neurologi normal.
Terapi TTH
Terapi nyeri kepala pada orang tua adalah multipel meliputi terapi akut,
profilaksis dan transisional (terapi alternatif). Sebelum memulai terapi adalah
sangat baik untuk mengetahui frekuensi, beratnya nyeri kepala dan jenis obat
yang pernah diminum. Penggunaan analgetik berlebihan akan memperberat
TTH dan menyebabkan TTH sangat sulit diobati. Identifikasi terhadap ko-
morbid seperti sleep apnea, minum kopi belebihan, depresi dan ansietas akan
sangat membantu dalam mengontrol memberatnya nyeri kepala.
Farmakokinetik obat, dan efek samping seperti sedatif, antikolinergik dan
aritmia merupakan problem yang mesti diwaspadai pada orang tua
(Kristefferson dan Lundqvist C., 2014).
Terapi akut TTH
96 | B A N U 4
Terapi akut TTH adalah dengan analgetik sederhana seperti aspirin dan
parasetamol. Penelitian double blind randomized trial membuktikan aspirin
500-1000 mg dan parasetamol 1000 mg secara statistik lebih superior
dibandingkan plasebo (Steiner et al., 2003).
Di Amerika serikat NSAIDs adalah obat yang paling banyak digunakan. Untuk
nyeri kronis pada orang tua, NSAIDs lebih efektif dibandingkan dengan
parasetamol, terutama untuk osteoarthritis dan reumatoid arthritis (Terri et al.,
2014). Di antara NSAID tidak ada yang lebih superior, tetapi yang paling
sering digunakan adalah ibuprofen merupakan pilihan pertama karena efek
samping yang lebih jarang, hal ini sessuai dengan penelitian oleh Lange dkk
(1995) membandingkan ketoprofen dosis 12,5 dan 25 mg dibandingkan
dengan ibuprofen 200 mg dan naproxen 275 mg, ternyata tidak ada
perbedaan bermakna secara statistik diantara ketiga obat tersebut.
Penggunaan NSAIDs dihindari pada penderita dengan gangguan fungsi
ginjal, penyakit kardiovaskuler, kelainan hematologi dan ulkus peptikum.
Terapi profilaksis TTH
Pemilihan obat untuk profilaksis harus sesuai dengan target yang akan
dicapai serta tolerabilitas dari pasien. Terapi profilaksis diberikan pada pasien
dengan serangan nyeri paling tidak 2-3 hari per minggu. Progresifitas,
frekuensi dan beratnya nyeri, timbulnya efek samping dengan terapi akut juga
menjadi pertimbangan pemberian terapi profilaksis (Holroyd et al., 2001).
Obat yang digunakan untuk profilaksis adalah:
A. Antidepresan trisiklik
a. Amitriptilin efektif untuk terapi TTH kronis. Efeknya dengan cara
memblok pengambilan kembali serotonin dan norepinefrin.
Pemakaian pada orang tua harus hati-hati karena efek
antikolinergiknya menyebabkan kebingungan, hipotensi ortostatik,
meningkatnya resiko jatuh, retensi urin, takikardi, perubahan EKG
yaitu pemanjangan interval QT. Dosis yang dipakai adalah 10-100
mg/ hari (Darwski et al. 2009).
b. Nortriptilin merupakan metabolit amitriptilin lebih selektif untuk
menghambat ambilan kembali noradrenergik dan lebih ditoleransi
97 | B A N U 4
dibandingkan dengan amitriptilin. Efek samping adalah mulut kering.
Dosisnya 10-75 mg hari (Liu et al., 2014).
B. Antidepresan lain
a. Mirtazapin secara umum lebih ditoleransi dibandingkan dengan anti
depresan trisiklik dan lebih efektif untuk TTH kronis. Dosis 15-30 mg/
hari. Venlafaxin dengan osis 37,5-150 mg/ hari efektif untuk TTH
kronis dengan efek samping yang lebih ringan (Bendsent et al., 2004,
Ozyalcin et al., 2005).
C. Terapi alternatif
a. Tizanidine, suatu pelemas otot, efektif untuk TTH kronis. Penelitian
oleh Betucci et al., 2006 membuktikan tizanidine digabung dengan
amitriptilin lebih baik dibandingkan dengan amitriptilin saja. Dosis
tizanidine yang lazim adalah 2-12 mg/ hari (Bettuci eet al., 2007).
b. Topiramat, penelitian oleh Lampl et al., 2006 untuk mengetahui
efektivitas dan keamanan topiramat pada TTH kronis. Sebanyak 46
pasien ikut dalam penelitian ini. Hasil yang didapat adalah sebanyak
73% pasien mengalami penurunan 50% nyeri kepala pada minggu
13-24 juga terjadi perbaikan terhadap mood, kualitas tidur, dan
beratnya nyeri kepala. Dosis yang lazim dipakai adalah 15-100 mg/
hari.
3. Nyeri Kepala Cluster
Nyeri kepala cluster pada orang tua merupakan kelanjutan dari orang muda.
Gejalanya sama dengan nyeri kepala cluster orang muda. Gejala nyeri kepala
cluster adalah nyeri hebat, unilateral di orbita, supraorbita, temporal, atau
kombinasi tempat tersebut, berlangsung 15-180 menit, dengan frekuensi
sekali tiap 2 hari sampai 8 kali perhari. Serangan disertai lebih dari satu gejala
berikut yang semuanya ipsilateral seperti: injeksi konjungtival, lakrimasi,
kongesti nasal, rhinorrhea, berkeringat di kening dan wajah, miosis, ptosis,
edema palpebra. Selama serangan pasien gelisah dan agitasi. Terapi yang
diberikan adalah sumatriptan subkutan, tetapi hati-hati pada pasien dengan
penyakit kardiovaskuler. Oksigen dosis tinggi aman dan efektif. Verapamil
dengan dosis 240-320 mg/ hari dan prednison dengan dosis 60-100mg/ hari
98 | B A N U 4
diturunkan 10 mg tiap 5 hari juga efektif. Injeksi glukokrtikoid untuk memblok
nyeri yang refrakter juga direkomendasikan (Gantenbein et al., 2012,
Konsensus Nyeri Kepala Perdossi, 2013).
4. Hypnic Headache
Hypnic headache merupakan nyeri kepala primer yang terjadi saat tidur
terutama pada orang tua. Timbul pertama kali pada umur setelah usia 50
tahun. Serangan terjadi antara jam 1-3 dini hari, sehingga sering disebut
alarm clock headache. Nyeri kepala bilateral dengan intensitas sedang
sampai berat. Nyeri berlangsung 15-180 menit. Gambaran seperti migren
yaitu nausea, vomiting, foto dan fonofobia jarang dijumpai. Pengobatan
dengan asam salisilat memberikan hasil yang moderat. Litium karbonat efektif
untuk pencegahan. Obat lain indometasin, flunarizin, atenolol, verapamil,
prednison dan gabapentin (Konsensus Nasional Pokdi Nyeri Kepala Perdossi,
2013).
5. Giant Cell Arteritis (GCA)
GCA adalah suatau arteritis granulamatosa sistemik. Paling sering terjadi
pada umur pertengahan. Umur rata-rata kejadiannya adalah 70 tahun dan
jarang pada umur di bawah 50 tahun. Gejala klinik berupa nyeri kepala difus
atau terlokalisir di daerah oksiput disertai gejala visual seperti amourosis,
diplopia, penurunan visus. Gejala lainnya yaitu penurunan berat badan, jaw
claudication, polimialgia reumatik, panas yang tidak bisa dijelaskan
penyebabnya. Pemeriksaan penunjang laju endap darah meningkat. Biopsi
arteri temporalis merupakan standard emas. Hasil histopatologi
memperlihatkan inflamasi granulomatus disertai infiltrasi limfosit, makrofag
dan multinucleated giant cell. Diagnsosis giant cell arteritis menurut American
College of Rheumatology criteria for classification of giant cell aretritis adalah
sebagai berikut (Bhat et al., 2010).
Gejala-gejala muncul setelah umur 50 tahun
Gejala awal nyeri kepala
Pada palpasi arteri temporalis terjadi penebalan dan penurunan
pulsasi
Laju endap darah 50 mm/ jam
99 | B A N U 4
Biopsi arteri menunjukkan adanya tanda-tanda vaskulitis dengan
infiltrasi sel mononuklear atau inflamasi granulomatous, disertai
dengan multinucleated giant cells.
Terapi giant cell arteritis
Steroid adalah obat pilihan untuk giant cell artertis. Efektif untuk manifestasi
klinik maupun untuk komplikasi iskemik. Tujuan terapi dengan steroid adalah
mengurangi gangguan visus lebih berat, menekan terjadi penyakit sistemik.
Prednison merupakan obat pilihan dengan dosis 40-60 mg. Pasien dengan
resiko tinggi terjadi komplikasi iskemik dosis prednison 1mg/kg berat badan/
hari, kemudian diturunkan perlahan sesuai dengan perbaikan gejala klinik.
(Bath et al., 2010).
6. Nyeri kepala servikogenik
Gejala klinik yang khas adalah nyeri di oksipital dan tengkuk, terbatasnya
gerakan leher, spasme otot servikal. Nyeri menjalar sepanjang radik saraf
servikal. Diagnosisnya sering berlebihan karena pada foto servikal sering
dijumpai spondilosis servikalis pada orang tua.
Gejala klinis. (Konsensus Nyeri kepala Perdossi, 2013).
1. Nyeri kepala atau wajah unilateral (selalu di tempat yang sama), atau
bilateral
2. Lokasi nyeri bersumber di leher, menjalar/ dirasakan pada region kepala
daerah oksipital/ suboksipital, frontal, temporal, atau orbita
3. Intensitas nyeri sedang, terasa dalam, tidak berdenyut, serta dapat
dicetuskan oleh gerakan leher atau posisi tertentu atau dengan
menekan jari tangan pada kuduk daerah suboksipital, radik C1, C2, C3,
dan C4 atau dapat juga dicetuskan oleh batuk dan bersin serta dalam
kondisi tegang
4. Leher tampak kaku atau berkurangnya gerakan leher baik secara aktif/
pasif
5. Tanda dan gejala ikutan seperti migren dapat dijumpai seperti mual,
muntah, foto/ fonofobia, penglihatan kabur, dizziness, edema dan
kemerahan pada konjungtiva.
100 | B A N U 4
Simpulan
Nyeri kepala pada orang tua perlu lebih diwaspadai karena kejadian nyeri
kepala sekunder sering muncul bersamaan dengan nyeri kepala primer.
Gejala nyeri kepala primer pada orang tua hampir sama dengan nyeri kepala
primer pada anak muda kecuali pada kasus migren. Pengobatan pada nyeri
kepala pada orang tua harus memperhatikan ko-morbid, efek samping obat
serta kontra indikasi.
Daftar Pustaka
Bendsent, L., Jensen, R. Mistazapin is effective in the prophylactic teratment of chronic tension-type headache. Neurology. 62: 1706-1711. Bettucci, D., Testa, L., Calzoni, S., Mantegazza, P., Monaco, P. 2007. Combination tizanidene and amitriptyline in the prophylaxis of chronic tension-type headache: evaluation of efficacy and impact quality of life. J Headache Pain. 7(1): 34-36. Boehnke, C., Reuter, U., Flach, U. 2004. High dose riboflavin is efficatius in migren prophylaxis: an open study. in tertiary care centre. Eur J Neurol. 11 (7): 475-477. Darowski, A., Chambers, S., A., Chambers, D.J. 2009. Antidepresant and fall in the elderly. Drug Aging. 26 (95): 381-394. Dee, B., Jakcson, R., C., Hersey, L.A. 2013. Managing migraine and other headache syndrome in this over 50. Maturitas. 76: 241-246. Diener, H., Hartung, E., Chrusbasik, J.A. 2001. Comparative study oral acetylsalisilc acid and mateprolol for the prophylactic treatment of migraine: a randomized, controlled, double blind, parallel-group phase-III study. Cephalalgia. 21:120-128. Dodick, D.W., Capobianco, D.J. 2002. Headache. In: Sirven, J.L., Malamut, B.L., eds. Clinical Neurology of the Older Adults. Philadelphia: Lippicott Williams & Wilkins. Page 180. Friedman, B., Corbo, J., Lipton, R. 2005. A trial of metoclopramide vs sumatriptan for emergency of departement treatment of migraines. Neurology. 45; 42-46.
101 | B A N U 4
Gantenbein, A.R., Lutz, N.J., Riederer, F., Sandor, P.S. 2012. Efficacy and safety of 121 injection of the greater occipital nerve in episodic and chronic cluster headache. Cephalagia. 32(8): 630-634. Godberg, S.W., Silberstein, S., Grosberg, B.M. 2014. Consideration in the Treatment of tension type headache in Elderly. Drugs Aging. 31: 797-804. Gupta, P., Singh, S., Shukla, G., Behar, M. 2007. Low dose topiramate versus lamotrigine in migraine prophylaxis. Headache. 402-412. Hersey, L.A., Bednarczyk, E.M. 2013. Treatment headache in the elderly. Current Treatment Opinion in Neurology. 15: 56-62. Holroyd, K., Donnel, F., Stensland, M. 2001. Management of chronic tension-type headache with tricyclic antidepresant medication, stress management therapy, and their combination: a randomized controll trial. JAMA. 285: 2208-2215. Klapper, J., Staton, J. 1991. Ketorolac versus DHE and metoclopramid in the treatment of migraine headache. 31: 523-524. Konsensus Nasional IV Diagnsotik dan Penatalaksanaan Nyeri Kepala. Perdossi. 2013. Kristefferson, E.S., Lundqvist, C. 2014. Medication-overuse headache: epidemiology, diagnosis and treatment. Ther Adv Drug Saf. 5(2): 87-99. Lampl, C., Marecek, S., May, A., Bendtsen, L. 2006. A prospective, open label, long-term study of the efficacy and tolerability of topiramate in the prophylaxis of chronic tension-type headache. Cephalalgia. 26(10): 1203-1208. Leninger, T., Pageler, L., Stude, P., Diener, H., Limmroth, V. 2005. Comparison of intravenous valproate with intravenous lysine-acetylsalicilic acid in acute migraine attacks. Headache. 45: 42-46. Lipton, R., Stewart, W., Diamond, S. 2001. Prevalence and burden of migraine in the Unites States: data from the American Migraine study II. Headache. 41: 646-657. Liu, W.Q., Kanungo, A., Toth, C. 2014. Equivalency of tricyciclic antidepressant in open-label neuropathic pain study. Acta Neurol Scand. 129(2): 132-141. Mathew, N.T., Kaup, A.O. 2002. The use of botulinom toxin type A in headachen teratment. Curr Treat Options Neurol. 4(5):365-373. Mauskop, A. 2004. Alternative therapies in headache: miss the role? Med Clin North Am. 11: 1077-1084.
102 | B A N U 4
Ozyalcin, S.N., Talu, G.K., Kiziltan, E., Yucel, B., Ertas, M., Disci, R. 2005. The efficacy and safety of venlafaxine in the prophylaxis of migraine. Headache. 45: 144-152. Prencipe, M., Casini, A.R. 2001. Prevalence of headache in elderly population: attack frequentcy disability and use medication. J Neurol Neurosurg Psychiatri. 170: 377-381. Rao, B., Das, D., Taraknath, V., Sarma, Y. 2008. A double-blind controlled study of propranolol and cyproheptadine in migraine prophylaxis. Neurol India. 223-226. Sandor, P.S., Di-Clemente, L., Coppola, G. 2005. Efficacy of Co-enzym Q in migraine prophilaxis; a randomized control trial. Neurology. 64(4): 713-715. Steiner, T.J., Lang, R., Voleker, M. 2003. Aspirin in episodic tension-type headache: placebo controlled dose-ranging comparison with paracetamol. Cephalalgia. 23: 59-66 Terri, F.O., Catherine, D., Jonathan, P., Barbara, J. 2014. Use nonsteroid antiinflamatory drugs inthe older adult. J Am Assoc Nurse Pract. 26(8): 414-423.
103 | B A N U 4
BACK AND CERVICAL PAIN IN ELDERLY
I Putu Eka Widyadharma, Thomas Eko Purwata, Ida Ayu Sri Wijayanti Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
Abstrak
Nyeri merupakan salah satu keluhan yang banyak dijumpai pada usia lanjut
dan menyebabkan harapan hidup penderitanya menjadi rendah. Sampai saat
ini nyeri pada usia lanjut masih undertreated dengan konsekuensi kesehatan
yang serius seperti depresi, ansietas, penurunan mobilitas, isolasi secara
sosial, kualitas tidur yang buruk dan risiko penyakit lainnya. Nyeri kronis yang
banyak dijumpai pada usia lanjut adalah nyeri punggung dan leher. Kondisi
yang perlu diperhatikan pada usia lanjut adalah terjadinya penurunan fungsi
beberapa sistem organ yang akan mempengaruhi farmakokinetik dan
farmakodinamik obat-obat unuk manajemen nyeri. Modalitas pengobatan
nyeri pada usia lanjut terdiri dari farmakoterapi, dukungan psikologi,
rehabilitasi fisik dan prosedur intervensi. Dokter dapat memberikan analgesia
yang tepat pada pasien geriatri melalui penilaian yang tepat, pendekatan
multidisiplin, dan penggunaan modalitas pengobatan yang tepat.
Kata kunci: Nyeri punggung, nyeri leher, usia lanjut, multidisiplin
Pendahuluan
Pesatnya perkembangan ilmu dan teknologi di bidang kesehatan
memberi dampak positif salah satunya berupa peningkatan usia harapan
hidup manusia baik di seluruh dunia maupun Indonesia khususnya. Di lain
pihak juga memberi dampak negatif berupa angka kesakitan oleh berbagai
sebab juga semakin meningkat. Nyeri kronis merupakan salah satu keluhan
yang banyak dijumpai pada usia lanjut dan menyebabkan harapan hidup
penderitanya menjadi rendah. Nyeri mempengaruhi berbagai aspek baik fisik,
psikis, sosial dan ekonomi. Dana yang sangat besar telah dihabiskan untuk
mengatasi nyeri kronis pada usia lanjut. Populasi di Amerika menujukkan 75-
85% usia tua yang datang ke fasilitas kesehatan disebabkan oleh nyeri kronis.
104 | B A N U 4
Sampai saat ini nyeri pada usia lanjut masih undertreated dengan
konsekuensi kesehatan yang serius seperti depresi, ansietas, penurunan
mobilitas, isolasi secara sosial, kualitas tidur yang buruk dan risiko penyakit
lainnya. Usia lanjut juga memiliki masalah lain seperti peningkatan masa
lemak, penurunan masa otot dan penurunan cairan tubuh yang kesemuanya
berakibat terhadap distribusi obat. Sebuah pendekatan multidisiplin
direkomendasikan untuk menginvestigasi semua kemungkinan pilihan terapi
optimal termasuk farmakoterapi, prosedur intervensi, rehabilitasi fisik dan
psikologis. Nyeri kronis yang banyak dijumpai pada usia lanjut adalah nyeri
punggung dan leher.
Nyeri Punggung Bawah (NPB)
Nyeri punggung bawah merupakan urutan kelima terbanyak yang
membawa pasien berobat ke dokter di Amerika serikat. Sebagian besar
penyebab NPB adalah non-spesifik oleh karena faktor mekanik. Kira-kira 90%
NPB akut sembuh dalam waktu 4 minggu, sedangkan sisanya menjadi NPB
kronik. Berdasarkan mekanismenya NPB kronik merupakan nyeri campuran
antara nyeri nosiseptif dan nyeri neuropatik. Penelitian akhir-akhir ini
mendapatkan bahwa sekitar 4% dari populasi dewasa menderita NPB
neuropatik. Studi epidemiologi yang besar menunjukkan bahwa 20-35%
pasien NPB mendeita nyeri neuropatik dan nyeri radikuler lumbalis
merupakan penyebab terbanyak.1 Patofisologi NPB neuropatik sangat
kompleks, melibatkan interaksi antara faktor kompresi, inflamasi dan respon
imun.
Mekanisme NPB sangat kompleks dan belum sepenuhnya diketahui.
Kerusakan pada diskus dan endplate vertebra dapat menekan akar saraf
dengan segala manifestasinya. Jaringan pembungkus saraf tepi yang
diinervasi oleh nervi nervorum juga mengalami lesi, kompresi dan inflamasi
yang menyebabkan nyeri. Hipotesis yang banyak dianut oleh para ahli adalah
interaksi antara faktor kompresi, inflamasi dan respon imun.2
Beberapa faktor risiko NPB termasuk diantaranya: 1) faktor demografi seperti
usia tua, jenis kelamin, status sosial ekonomi dan tingkat pendidikan; 2)
105 | B A N U 4
Faktor pekerjaan seperti aktivitas membungkuk, mengangkat dan memutar,
pekerjaan yang monoton dan ketidakpuasan terhadap pekerjaan; 3) faktor
kesehatan seperti obesitas, merokok, dan status kesehatan umum; 4) faktor
psikologis seperti depresi dan 5) faktor anatomi spinal seperti variasi anatomis
dan abnormalitas pada imajing.3
Nyeri Leher
Nyeri leher juga keluhan yang sering dijumpai pada usia lanjut.
Prevalensinya meningkat dengan bertambahnya umur. Di Amerika serikat
nyeri leher merupakan diagnosis urutan ke-20 yang paling sering dijumpai
pada penderita yang berobat ke dokter keluarga. Nyeri leher didefinisikan
adalah nyeri yang dirasakan pada daerah dimana bagian lateral dibatasi oleh
tepi leher, bagian superior oleh garis leher superior dan inferior oleh garis
transfersal imajiner melalui prosesus spinosus Th1.5
Bermacam-macam faktor bisa menyebabkan nyeri dan kekakuan.
Ketegangan otot yang berkepanjangan sebagai akibat dari stres, ansietas dan
kelelahan akan menimbulkan nyeri. Posisi yang tidak benar bisa
menyebabkan rudapaksa pada jaringan lunak dan spasme. Iritasi pada akar
saraf dapat disebabkan karena gangguan postural, proses degeneratif dan
spasme, terutama harus diperkirakan bila didapatkan nyeri yang unilateral
atau akut. Proses degenerasi pada diskus intervertebralis disertai perubahan-
perubahan pada sendi, rudapaksa pada facet join atau jaringan lunak yang
peka nyeri, iritasi akar saraf, umumnya didapatkan pada penderita usia lanjut
yang mengalami nyeri atau kekauan yang kronis. Pergeseran jaringan pada
bahu juga dapat menyebakan nyeri leher.5
Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis tentang kualitas, jenis dan
derajat nyeri, lokasi dan penjalaran nyeri, lama serta frekuensi nyeri, faktor
pencetus, keadaan-keadaan yag dapat mengurangi ataupun menghilangkan
keluhan nyeri, adanya trauma atau pembebanan, infeksi, tumor, penyakit
metabolik dan penyakit sistemik lainnya. Pemeriksaan fisik meliputi inspeksi
daerah leher, adanya pembesaran kelenjar limfe, palpasi daerah nyeri pada
tulang belakang, dicari adanya trigger point, dilakukan pemeriksaan range of
106 | B A N U 4
movement. Tes khusus seperti tes Spurling, distraksi, Valsava dan Lhermitte.
Pemeriksaan radiologis juga dapat dipertimbangkan seperti foto polos, CT
scan, CT myelo maupun MRI cervical.5
Pemahaman penting nyeri pada usia lanjut
Nyeri kronik pada geriatri didefinisikan sebagai pengalaman sensori
dan emosional yang tidak menyenangkan yang berkaitan dengan sedang
atau potensi kerusakan jaringan, atau suatu keadaan yang menunjukkan
adanya kerusakan jaringan pada usia 65 tahun atau lebih dan berlangsung
selama lebih dari 3 bulan.6 Konsekuensi nyeri meliputi penurunan activities
of daily living (ADLs), depresi, dan beban ekonomi.7 Nyeri juga berkaitan
dengan abnormalitas gaya jalan, kecelakaan, polifarmasi dan penurunan
fungsi kognitif.
Kondisi lain yang juga perlu diperhatikan pada usia lanjut adalah terjadinya
penurunan fungsi beberapa sistem organ yang akan mempengaruhi
farmakokinetik dan farmakodinamik obat-obat unuk manajemen nyeri.
Organ-organ penting yang perlu diperhatikan adalah: 1) Sistem saraf pusat.
Banyak usia lanjut mengalami penyakit dan disfungsi pada sistem saraf
seperti stroke maupun TIA, demensia, atau gangguan gerak. Dokter
sebaiknya menyadari bahwa masalah ini akan mempengaruhi keakuratan
asesmen nyeri dan juga efikasi pengobatan. 2) Hepar. Pada usia tua,
kemampuan membersihkan obat menjadi lebih panjang akibat penurunan
ekstraksi dari darah, penyerapan gastrointestinal atau penurunan aliran darah
arteri portal. 3) Ginjal. Penurunan fungsi ginjal akan mempengaruhi pula
efektivitas obat dan juga meningkatkan efek samping pengobatan.
Modalitas manajemen nyeri punggung dan leher pada usia lanjut8
Modalitas pengobatan nyeri pada usia lanjut dikategorikan menjadi: 1)
farmakoterapi; 2) dukungan psikologi; 3) rehabilitasi fisik dan 4) prosedur
intervensi.
107 | B A N U 4
Farmakoterapi
Terapi obat secara umum merupakan pilihan utama dan secara luas
dipergunakan sebagai modalitas terapi untuk mengontrol nyeri pada usia
lanjut yang terdiri dari: NSAID, muscle relaxants, opioids, and terapi ajuvan.
Peresepan obat-obat ini bukanlah tanpa risiko. Fungsi kognitif pasien,
psikologis dan status fungsional dapat terpengaruh. The American Geriatric
Society and the World Health Organization (WHO) telah membuat suatu
konsensus pendekatan terbaik pada populasi usia lanjut.4
Rekomendasi American Geriatric Society tahun 20099
Nonopioids
1. Acetaminophen harus dianggap sebagai farmakoterapi awal dan
berkelanjutan dalam pengobatan nyeri persisten, terutama nyeri
muskuloskeletal, karena menunjukkan efektivitas dan profil keamanan
yang baik (bukti kualitas tinggi, rekomendasi kuat).
A. Kontraindikasi absolut: gagal hati (bukti kualitas tinggi,
rekomendasi kuat).
B. Kontraindikasi relatif dan peringatan: insufisiensi hati,
penyalahgunaan kronis alkohol atau ketergantungan (kualitas
moderat bukti, rekomendasi kuat).
C. Maksimum harian yang direkomendasikan dosis 4 g per 24 jam
tidak boleh lebih (bukti kualitas moderat, rekomendasi kuat).
2. NSAID nonselektif dan selektif siklooksigenase 2 (COX-2) inhibitor
dapat dipertimbangkan dengan sangat hati-hati, pada individu yang
sangat dipilih (bukti kualitas tinggi, rekomendasi kuat) A. Seleksi
pasien: terapi lain yang aman telah gagal, tujuan terapi tidak terpenuhi,
penilaian berkelanjutan terhadap risiko dan komplikasi sebanding
dengan manfaat terapeutik (bukti kualitas rendah, rekomendasi kuat)
B. Kontraindikasi absolut: ulkus peptikum aktif (bukti kualitas rendah,
rekomendasi kuat); Penyakit ginjal kronis (bukti tingkat moderat,
rekomendasi kuat); gagal jantung (bukti tingkat moderat, rekomendasi
lemah) C. Kontraindikasi relatif dan memperingatkan: hipertensi,
108 | B A N U 4
Helicobacter pylori, riwayat penyakit ulkus peptikum, penggunaan
bersama kortikosteroid atau selective serotonin reuptake inhibitor
(bukti kualitas moderat, rekomendasi kuat).
3. Pada orang tua yang menggunakan NSAID nonselektif harus
menggunakan penghambat pompa proton atau misoprostol untuk
perlindungan gastrointestinal (bukti kualitas tinggi, rekomendasi kuat).
4. Pasien yang memperoleh penghambat selektif COX-2 dengan aspirin
harus menggunakan penghambat pompa proton atau misoprostol
untuk perlindungan gastrointestinal (bukti kualitas tinggi, rekomendasi
kuat).
5. Pasien tidak menggunakan lebih dari satu NSAID nonselektif atau
selektif COX-2 inhibitor untuk mengontrol rasa sakit (bukti kualitas
rendah, rekomendasi kuat).
6. Pasien yang memperoleh aspirin untuk cardioprofilaksis sebaiknya
tidak menggunakan ibuprofen (bukti kualitas moderat, rekomendasi
lemah).
7. Pasien yang memperoleh NSAID nonselektif dan selektif penghambat
COX-2 harus diperiksa secara rutin toksisitas pencernaan dan ginjal,
hipertensi, gagal jantung, dan interaksi penyakit-obat lainnya (bukti
kualitas lemah, rekomendasi kuat).
Opioid
1. Pasien dengan nyeri sedang sampai berat, gangguan fungsional
terkait nyeri, atau kualitas berkurang hidup karena nyeri harus
dipertimbangkan untuk terapi opioid (bukti kualitas rendah,
rekomendasi kuat).
2. Pasien dengan nyeri yang sering atau terus-menerus setiap hari dapat
diobati dengan around-the-clock time-contingent yang bertujuan untuk
mencapai kadar opioid yang stabil (bukti kualitas rendah, rekomendasi
lemah).
3. Dokter harus mengantisipasi, menilai, dan mengidentifikasi potensi
efek samping opioid (bukti kualitas moderat, rekomendasi kuat).
109 | B A N U 4
4. Dosis maksimal yang aman dari acetaminophen atau NSAID tidak
harus melebihi saat menggunakan fixed-doseopioid combination
sebagai bagian dari rejimen analgesik (bukti kualitas moderat,
rekomendasi kuat).
5. Ketika opioid long-acting yang diresepkan, breakthrough pain harus
diantisipasi, dinilai, dan dicegah atau diobati menggunakan short-
acting immediate-release opioid medications (bukti kualitas moderat,
rekomendasi kuat).
6. Dokter yang berpengalaman dalam penggunaan dan risiko metadon
harus memulainya dan dititrasi dengan hati-hati (bukti kualitas
moderat, rekomendasi kuat).
7. Pasien yang memakai analgesik opioid harus ditinjau kembali untuk
pencapaian berkelanjutan tujuan terapi, efek samping, keamanan dan
bertanggung jawab terhadap penggunaan obat-obatan (bukti kualitas
moderat, rekomendasi kuat).
Obat Analgesik adjuvant
1. Semua pasien dengan nyeri neuropatik adalah kandidat untuk
analgesik adjuvan (bukti kualitas kuat, rekomendasi kuat).
2. Pasien dengan fibromyalgia adalah kandidat untuk percobaan
analgesik adjuvan (bukti kualitas moderat, rekomendasi kuat).
3. Pasien dengan nyeri persisten refrakter tipe lain dapat menjadi
kandidat untuk analgesik adjuvan tertentu (misalnya, sakit punggung,
sakit kepala, nyeri tulang difus, gangguan temporomandibular) (bukti
kualitas rendah, rekomendasi lemah).
4. Antidepresan trisiklik tersier (amitriptyline, imipramine, doxepin) harus
dihindari karena risiko efek samping yang lebih tinggi seperti efek
antikolinergik dan gangguan kognitif (bukti kualitas moderat,
rekomendasi kuat).
5. Agen dapat digunakan secara tunggal, tetapi efek sering ditingkatkan
bila digunakan dalam kombinasi dengan analgesik nyeri lainnya dan
strategi tanpa obat (bukti kualitas moderat, rekomendasi kuat).
110 | B A N U 4
6. Terapi harus dimulai dengan dosis serendah mungkin dan
meningkatkan perlahan berdasarkan respon dan efek samping,
dengan peringatan bahwa beberapa agen memiliki onset aksi yang
tertunda dan manfaat terapeutik lambat untuk berkembang. Misalnya,
gabapentin mungkin memerlukan 2 sampai 3 minggu untuk timbulnya
khasiat (bukti moderat kualitas, rekomendasi kuat).
7. Sebuah percobaan terapi yang memadai harus dilakukan sebelum
penghentian pengobatan yang tampaknya tidak efektif (bukti kualitas
lemah, rekomendasi kuat).
Obat lainnya
1. Kortikosteroid sistemik jangka panjang harus disediakan untuk pasien
dengan gangguan nyeri terkait inflamasi atau nyeri tulang metastatik.
Osteoarthritis tidak boleh dianggap sebagai gangguan inflamasi (bukti
kualitas moderat, rekomendasi kuat).
2. Pasien dengan nyeri neuropatik lokal adalah kandidat untuk lidokain
topikal (bukti kualitas moderat, rekomendasi kuat).
3. Pasien dengan nyeri nonneuropatik terlokalisir dapat menjadi kandidat
untuk lidokain topikal (bukti kualitas rendah, rekomendasi lemah).
4. Pasien dengan nyeri persisten nonneuropatik lain terlokalisir dapat
menjadi kandidat untuk NSAID topikal (bukti kualitas moderat,
rekomendasi lemah).
5. Agen topikal lainnya, termasuk capsaicin atau mentol, dapat
dipertimbangkan untuk sindrom nyeri regional (bukti kualitas moderat,
rekomendasi lemah).
6. Banyak agen lain untuk sindrom nyeri tertentu mungkin memerlukan
kehati-hatian pada orang yang lebih tua dan membutuhkan penelitian
lebih lanjut (misalnya, glukosamin, kondroitin, cannabinoids,
botulinum toxin, alpha-2 adrenergik agonis, kalsitonin, vitamin D,
bifosfonat, ketamin) (bukti kualitas rendah, rekomendasi lemah).
111 | B A N U 4
Tinjauan tentang Rekomendasi WHO:
Analgesic Ladder tumpang tindih yang signifikan terjadi antara nyeri
geriatri kronis dan nyeri kanker. Untuk alasan ini, mengikuti rekomendasi
WHO untuk manajemen nyeri yang tepat. Dalam rangka mempertahankan
bebas dari rasa sakit, WHO merekomendasikan (1) pemberian obat ‘‘by the
clock’’ (misalnya, setiap 3-6 jam), (2) obat oral bersifat individual untuk pasien,
(3) mengikuti " Analgesic Ladder "(yang dimodifikasi):
1. Untuk nyeri ringan, pilihan pertama yang paling tepat untuk analgesia
yang relatif aman adalah acetaminophen.
2. Untuk nyeri ringan sampai sedang atau nyeri yang tidak terkontrol
dengan acetaminophen, penggunaan NSAID adalah tepat.
3. Untuk nyeri refrakter terhadap NSAID, atau nyeri dinilai sebagai
moderat pada awalnya, opioid lemah (misalnya, codeine) adalah
pilihan pertama yang tepat. Opioid lemah lain yang dapat digunakan
meliputi hydrocodone, propoxyphene, dan oxycodone dalam
kombinasi dengan acetaminophen.
4. Untuk nyeri refrakter atau nyeri dinilai sebagai yang parah, opioid
agonis (misalnya, morfin) dipilih. opioid murni lainnya untuk
dipertimbangkan termasuk hidromorfon, fentanil, antalgin, dan
oxycodone.
5. Obat ajuvan dapat digunakan untuk meredakan ketakutan dan
kecemasan pada pasien serta untuk sinergisme dengan obat
sebelumnya.
Ajuvan
Terapi obat ajuvan harus dipertimbangkan setiap saat untuk
meningkatkan efek analgesik dari obat lain. Hal ini sering diperlukan untuk
mencoba obat yang berbeda untuk menentukan regimen terbaik untuk pasien
tertentu. Beberapa obat adjuvant digunakan untuk mengobati nyeri:
antidepresan, antikonvulsan, Alpha-2 agonis adrenergik, anestesi lokal,
kortikosteroid, baclofen, N-methyl-d-aspartat agonis reseptor, relaksan otot,
krim topikal dan gel, neuroleptik, antihistamin, psikostimulan, kalsitonin
112 | B A N U 4
Dukungan psikologis
Karena rasa sakit adalah pengalaman sensorik dan emosional yang
kompleks, modalitas psikologis harus digunakan dalam model manajemen
nyeri. Cabang psikologis nyeri juga menjelaskan mengapa beberapa pasien
dengan penyakit minimal mungkin memiliki rasa sakit luar biasa, sedangkan
yang lain dengan penyakit yang parah mungkin memiliki keluhan minimal.
Strategi koping termasuk relaksasi, doa, dan teknik pengalihan perhatian.
Depresi dan kecemasan pada pasien geriatri harus diatasi dengan
psikoterapi, meditasi, dan obat-obatan. Selanjutnya, variabel
socioenvironmental setiap pasien harus disesuaikan untuk membantu pasien
mengatasi rasa sakit. Sebuah sistem pendukung yang solid termasuk
keluarga dan pengasuh harus ditetapkan.
Rehabilitasi fisik
Aspek rehabilitatif manajemen nyeri dapat membantu pasien hidup
lebih mandiri dan fungsional. Rehabilitasi mungkin melibatkan beradaptasi
dengan hilangnya keterampilan fisik, psikologis, dan sosial. Penilaian ADL
dapat membantu menilai tingkat fungsi dan pengobatan langsung. Tujuan
rehabilitasi termasuk menstabilkan gangguan primer, mencegah cedera
sekunder, penurunan persepsi nyeri melalui pendekatan multidisiplin,
mengobati defisit fungsional, dan mempromosikan adaptasi ke disabilities.
Modalitas intervensi
Modalitas intervensi nyeri dapat membantu untuk menentukan
penyebab rasa sakit dan membantu untuk menegakkan diagnosis yang tepat.
Ini sering mengurangi kebutuhan untuk penggunaan obat berat, sehingga
pasien menjadi lebih hemat dan terhindar dari efek samping yang tidak
diinginkan terkait dengan dosis yang lebih besar dari obat. Blok saraf adalah
beberapa prosedur intervensi yang paling umum digunakan oleh dokter
dimana tindakan ini membantu tidak hanya untuk diagnosis tetapi juga
prognosis, analgesia preemptif, dan kadang-kadang sebagai terapi definitif.
Intervensi lain yang dapat digunakan meliputi neurolisis kimia, radiofrequency
113 | B A N U 4
lesioning, cryoneurolysis, neuroaugmentation, dan pemberian obat
neuraksial.
RINGKASAN
Nyeri persisten bukan merupakan bagian tak terhindarkan dari
penuaan tetapi cukup umum di kalangan orang tua. Pengobatan nyeri
mungkin rumit oleh beberapa masalah yang jauh lebih mungkin terjadi pada
orang dewasa muda. Hambatan untuk manajemen yang efektif termasuk
tantangan untuk penilaian nyeri yang tepat, underreporting sakit oleh pasien,
manifestasi atipikal nyeri pada orang tua, dan kebutuhan untuk meningkatkan
apresiasi farmakokinetik dan farmakodinamik perubahan penuaan. Dokter
dapat memberikan analgesia yang tepat pada pasien geriatri melalui penilaian
yang tepat, pendekatan multidisiplin, dan penggunaan yang tepat modalitas
pengobatan.
Daftar Pustaka
1. Freynhagen, R., Baron, R. 2009. The evaluation of neuropathic
components in low back pain. Current pain and headache reports 2009;13(3), 185-190.
2. Purwata, T.E. 2013. Patofisiologi nyeri neuropatik pada nyeri punggung bawah. Dalam: Nyeri punggung bawah. Editor: Trianggoro, B. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
3. Rubin, D.I. 2007. Epidemiology and risk factor for spain pain. NeurolClin.
25:353-71. 4. Chamberloin, K., Cottle, M., Neville, R., Tan, J. 2004. Oral oxymorphone
for pain management. Ann Pharmacother. 1((7)):1144–1152. 5. Partoatmodjo, L. 2006. Nyeri leher. Dalam: Kumpulan Makalah
Pertemuan Ilmiah Nasional II. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). Surabaya: Airlangga University Press.
6. Lynch, D. 2000. Geriatric pain. In: Raj P. P., editor. Practical Management
of Pain. 3rd ed. St. Louis, MO: Mosby. pp. 270–271.
114 | B A N U 4
7. Manchikanti, L., Singh, V., Datta, S., Cohen, S. P., & Hirsch, J. A. 2008. Comprehensive review of epidemiology, scope, and impact of spinal pain. Pain physician. 12(4), E35-70.
8. Kaye, Alan, D. Baluch, Amir, Scoot, Jared, T. 2010. Pain management in the elderly population: a review. The Ochsner Journal. 10.3: 179-187.
9. American Geriatrics Society Panel on Pharmacological Management of
Persistent Pain in Older Persons. Pharmacological management of persistent pain in older persons. J Am Geriatr Soc. 2009;57(8):1331-1346.
115 | B A N U 4
MANAGEMENT OF NEUROPATHIC PAIN:
FOCUS ON PREGABALIN
Thomas Eko Purwata, Putu Eka Widyadharma, Ida Ayu Sri Wijayanti Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
Abstrak
Nyeri Neuropatik (NN) merupakan salah satu bentuk nyeri kronik yang sangat
sulit ditangani, obat-obatan golongan analgesik dan anti inflamasi non steroid
kurang ampuh untuk mengobati NN. Nyeri neuropatik sering membuat frustasi
baik pasien maupun dokternya, tidak jarang terjadi gangguan tidur,
kecemasan dan depresi, sebagai akibatnya kualitas hidup pasien menurun.
Survei epidemiologi menunjukkan bahwa banyak pasien NN belum
mendapatkan penatalaksanaan yang memadai. Hal ini antara lain disebabkan
karena kurangnya pengetahuan tentang diagnosis yang tepat, pemilihan
terapi dan efikasi dari obat-obatan untuk NN.
Insiden nyeri meningkat dengan bertambahnya umur. Nyeri neuropatik sering
dijumpai pada lansia (lanjut usia) dan masih merupakan tantangan, baik
dalam hal diagnosis maupun manajemennya. Penyebab tersering nyeri
neuropatik pada lansia antara lain adalah radikulopati akibat stenosis foramen
atau spinal, neuropati diabetik dan neuropati pasca herpes.
Manajemen nyeri pada lansia agak berbeda dengan pasien yang lebih muda,
baik dalam hal penyebab, penyakit penyerta dan respon terhadap nyeri
maupun terapinya. Manajemen nyeri neuropatik pada lansia meliputi terapi
farmakologi dan non farmakologi. Terapi farmakologi antara lain dengan
pemberian obat-obatan analgesik non opiat, adjuvan, dan opiat. Polifarmasi,
interaksi antara obat dengan obat dan obat dengan penyakitnya, perubahan
metabolisme akibat usia, dan seringnya terjadi efek samping obat perlu
dipertimbangkan dengan seksama pada penggunaan obat-obatan pada
lansia.
Pendekatan terapi nyeri neuropatik yang rasional adalah berdasarkan
mekanisme terjadinya NN. Manajemen NN kronik idealnya dilakukan secara
multidisiplin dan berdasarkan guideline (GL) dengan memperhatikan untung
116 | B A N U 4
dan ruginya. Semua organisasi Internasional merekomendasikan pregabalin
sebagai obat lini pertama untuk terapi farmakologi hampir semua NN, kecuali
untuk neuralgia trigeminal obat lini pertama adalah karbamasepin dan
okskarbasepin.
Kata kunci: lansia, manajemen nyeri, nyeri neuropatik, pregabalin.
PENDAHULUAN
Insiden nyeri meningkat dengan bertambahnya umur.1-2 Nyeri diderita
oleh seperempat dari lansia (lanjut usia).2 Pada komunitas sebanyak 25-50%
lansia menderita nyeri kronik, sedangkan pada nursing home prevalensinya
45-85%.3 Mengingat prevalensi nyeri kronik yang tinggi dan menurunnya
kualitas hidup lansia, maka dipandang perlu untuk memberikan prioritas
manajemen nyeri pada lansia dengan membuat guideline asesmen dan
manajemen nyeri pada lansia.4 Berdasarkan guideline tersebut setiap lansia
yang periksa ke dokter harus dilakukan asesmen nyeri.
Diagnosis dan manajemen nyeri neuropatik masih merupakan tantangan bagi
ahli saraf.5,6 Pengobatan nyeri neuropatik memerlukan pendekatan yang
berbeda dengan nyeri inflamasi, dimana pada nyeri neuropatik obat-obatan
golongan analgesik dan Non Steroid Anti Inflammatory Drug (NSAID) kurang
efektif. Penyebab tersering nyeri neuropatik pada lansia antara lain adalah:
radikulopati daerah servikal, dan lumbal, neuropati diabetik, dan neuralgia
pasca herpes.7
Nyeri neuropatik pada lansia sering kali tidak terdiagnosis dan pengobatannya
di bawah standar. Nyeri pada lansia sering disertai depresi, kecemasan,
gangguan tidur, nafsu makan menurun, dan gangguan kognitif sehingga pada
akhirnya kualitas hidup penderita menurun.8
Manajemen nyeri pada lansia berbeda dengan pasien muda. Penyebab,
komorbiditas, efek samping pengobatan, dan respon terhadap nyeri dan
pengobatannya berbeda dengan pasien yang muda. Terapi farmakologi pada
lansia sering menimbulkan efek samping terutama analgesik, NSAID, dan
opiat. Manajemen nyeri yang efektif pada lansia meliputi pendekatan
117 | B A N U 4
farmakologi dan non farmakologi. Meskipun memiliki risiko yang tinggi
terjadinya efek samping, intervensi farmakologi masih merupakan modalitas
utama dalam pengobatan nyeri neuropatik pada lansia. Pendekatan
farmakologi meliputi pemberian obat analgesik non opiat, analgesik opiat, dan
analgesik adjuvan. Dalam manajemen nyeri pada lansia dokter harus
mempertimbangkan perubahan metabolisme obat karena umur, efek samping
obat, interaksi antara obat dan penyakit, serta interaksi obat dengan obat.
Disarankan untuk memberikan dosis titrasi dan pendekatan start low and go
slow. Pada lansia sensitivitas terhadap analgesik meningkat sehingga
diperlukan dosis yang lebih sedikit dibandingkan orang muda. Perlu dilakukan
pemantauan yang hati-hati terhadap lansia yang menggunakan berbagai
macam obat, bukan hanya memperhatikan efektivitas obatnya saja tetapi juga
kemungkinan terjadinya efek samping obat.8 Manajemen NN masih
merupakan tantangan, hanya sekitar 50% pasien yang diobati berkurang rasa
nyerinya, itupun nyerinya tidak hilang total dan seringkali efek samping obat
tidak dapat ditoleransi oleh pasien.4 Pendekatan terapi nyeri neuropatik yang
rasional adalah berdasarkan mekanisme terjadinya NN. Manajemen NN
kronik idealnya dilakukan secara multidisiplin dan berdasarkan guideline (GL)
dengan memperhatikan untung dan ruginya. Semua organisasi Internasional
merekomendasikan pregabalin sebagai obat lini pertama untuk terapi
farmakologik hampir semua NN, kecuali untuk neuralgia trigeminal obat lini
pertama adalah karbamasepin dan okskarbasepin.9-12
Definisi Nyeri Neuropatik
Definisi baru dari NN adalah nyeri yang berasal dari lesi atau penyakit
yang mengenai sistem saraf somatosensoris.13 Prevalensi NN berkisar antara
7-10% pada populasi umum di negara maju.14 Penyakit yang termasuk NN
antara lain: radikulopati servikal dan lumbal, neuropati diabetik, cancer related
neuropathy, neuralgia pasca herpes, HIV-related painful polyneuropathy,
cedera medula spinalis, central post stroke pain, neuralgia trigeminal,
complex regional pain syndrome tipe 2, nyeri phantom dan lain-lainnya.15
118 | B A N U 4
PERUBAHAN PERSEPSI NYERI YANG BERHUBUNGAN DENGAN USIA
Pada penelitian eksperimental terjadi perubahan yang signifikan
fungsi deteksi nyeri dan ambang nyeri pada lansia. Terjadi pula perubahan
pada serat saraf A-delta yang berfungsi untuk menghantarkan transmisi
epikritik, nyeri yang terlokalisir dan berlangsung cepat, sedangkan serat saraf
C yang berfungsi untuk transmisi protopatik, nyeri yang sulit dilokalisir dan
berlangsung lambat relatif tidak begitu terganggu. Respon otak terhadap
stimulus nyeri juga melambat.16 Perubahan-perubahan ini dapat
menerangkan terjadinya kesulitan pada orang tua untuk mendeskripsikan dan
melokalisir nyeri. Berkurangnya kemampuan untuk memodulasi nyeri dan
inhibisi desenden menyebabkan tingginya prevalensi dan beratnya nyeri pada
lansia.17
PERUBAHAN FARMAKOKINETIK PADA LANSIA
Terjadi penurunan sekresi lambung kira-kira 25% pada orang yang
berumur lebih dari 50 tahun sehingga pH lambung menjadi lebih tinggi.
Motilitas gastrointestinal, aliran darah splanich, area absorpsi, dan transpor
aktif protein menurun. Perubahan farmakokinetik pada lansia dapat dilihat
pada Tabel 1.17
Tabel 1. Perubahan Farmakokinetik yang berhubungan dengan umur17
119 | B A N U 4
PERUBAHAN FARMAKODINAMIK PADA LANSIA
Perubahan farmakodinamik yang berhubungan dengan usia sering
menyebabkan meningkatnya sensitivitas pasien lansia terhadap obat-obatan,
sehingga mengakibatkan banyak terjadi efek samping obat. Yang lebih
spesifik adalah peningkatan sensitivitas reseptor kolinergik, di mana
pemakaian obat-obat anti kolinergik seperti trisiklik anti depresan mudah
menimbulkan efek samping. Penurunan fungsi homeostasis pada lansia
dapat menerangkan terjadinya perlambatan pemulihan ke arah kondisi basal
setelah gangguan fungsi organ seperti terjadinya gagal ginjal akut dan
perdarahan saluran cerna akibat pemakaian NSAID atau sedasi karena
opiat.17
Menurut The American Geriatrics Society (AGS) semua lansia yang
mengalami gangguan fungsi atau penurunan kualitas hidup akibat nyeri kronik
adalah kandidat untuk terapi farmakologi.4 Pengetahuan tentang farmakologi
dari masing-masing obat sangat penting untuk manajemen nyeri yang aman
dan efektif (Tabel 2).17
PREGABALIN
Pregabalin (PGB) adalah substansi yang secara struktural analog
gamma aminobutyric acid (GABA) yang bersifat lipofilik namun secara
fungsional tidak berhubungan dengan neurotransmiter GABA.18 Berdasarkan
bukti klinis PGB bermanfaat untuk mengobati epilepsi, gangguan psikiatri,
fibromyalgia, dan NN.
MEKANISME KERJA PREGABALIN
Pregabalin adalah anti-konvulsan yang memiliki afinitas tinggi terhadap α2-δ
subunit dari voltage gated calcium channel dan bertindak sebagai ligand α2-
δ subunit. Terdapat 4 subtipe protein α2-δ, PGB hanya terikat dengan afinitas
yang kuat pada subtipe 1 dan 2. Mekanisme kerja utamanya adalah
menurunkan influx kalsium dan mengurangi pelepasan neurotransmiter
eksitatorik presinap seperti glutamat, substansi P, dan calcitonin gene-related
peptide sehingga dapat mengurangi nyeri.18,19
120 | B A N U 4
Tabel 2. Rekomendasi dosis analgesik pada lansia17
FARMAKOKINETIK
Penelitian menunjukkan bahwa PGB memiliki farmakokinetik linear
yang dapat diramalkan dengan variasi antar subjek yang rendah.18 Pregabalin
121 | B A N U 4
diabsorpsi secara cepat setelah pemberian oral pada keadaan puasa.
Konsentrasi maksimal dalam plasma dicapai kurang lebih 1 jam setelah
pemberian dosis tunggal atau ganda dan keadaan steady state dicapai dalam
waktu 24-48 jam setelah pemberian dosis ulangan.18
Bioavailabilitas PGB secara oral tinggi >90% dan tidak tergantung dosis.
Rerata waktu paruh PGB adalah 6,3 jam dan tidak tergantung dosis dan
pemberian obat ulangan sehingga menjamin tingkat kepercayaan dosis-
respon dalam praktek klinik. Efek klinik PGB tidak dipengaruhi oleh makanan
sehingga dosis obat tidak dipengaruhi oleh makanan.18,20
EFIKASI PREGABALIN
Pregabalin terbukti efektif untuk mengurangi skala nyeri, memperbaiki
gangguan tidur dan memperbaiki kualitas hidup penderita NN. Studi klinik
PGB telah dilakukan secara luas pada berbagai macam penyakit antara lain:
radikulopati servikal dan lumbal, neuropati diabetik, cancer related
neuropathy, neuralgia pasca herpes, HIV-related painful polyneuropathy,
cedera medula spinalis, central post stroke pain, neuralgia trigeminal,
complex regional pain syndrome tipe 2, nyeri phantom dan lain-lainnya.10 Dari
25 placebo-controlled randomized trials didapatkan 18 studi PGB dengan
dosis 150-600 mg/hari terbukti efektif dalam menurunkan skala nyeri dan
terdapat response gradient dosis (dosis 600 mg/hari responnya lebih tinggi
daripada 300 mg/hari). Dua trial pada HIV-related painful polyneuropathy
dengan respon plasebo yang tinggi hasilnya negatif. Gabungan number
needed to treat (NNT) adalah 7.7 (95% CI 6,5-9,4) seperti terlihat pada
gambar 1.12
Efikasi PGB dalam mengurangi nyeri pada pasien Painful Diabetic
Neuropathy (PDN) dan PHN telah terbukti.11,21 Penurunan skala nyeri sudah
dapat terlihat setelah 1 minggu terapi. Perbaikan fungsional dan kualitas hidup
sebagai respon terhadap PGB berhubungan dengan semakin berkurangnya
keluhan nyeri. Studi terbaru juga menunjukkan bahwa PGB memberikan efek
pengobatan yang lebih baik dibandingkan dengan amitriptilin pada pasien
122 | B A N U 4
dengan PHN.22 Kombinasi antara PGB dan Imipramin mempunyai efikasi
yang lebih baik daripada obat tunggal.23
Gambar 1. Forest Plot Data dari Pregabalin.12
NNT: number needed to treat. CPSP: central post-stroke pain. SCI: spinal cord injury pain.
PPN: painful polyneuropathy. FDA: US Food and Drug Administration. PHN: post herpetic
neuralgia. PNI: peripheral nerve injury. PhRMA= Pharmaceutical Research and Manufacturers
of America.
Pada HIV-related painful polyneuropathy tidak ada perbedaan yang
bermakna antara PGB dan plasebo dalam menurunkan skala nyeri.24
KEAMANAN PREGABALIN
Pada umumnya PGB dapat ditoleransi dengan baik oleh pasien, efek
samping yang paling sering dilaporkan adalah dizziness, ngantuk, edema
perifer, mulut kering, dan penambahan berat badan, efek samping meningkat
dengan peningkatan dosis.21,25 Disarankan untuk memulai dosis awal kecil,
2-3 kali 50 mg sehari kemudian dititrasi sesuai dengan efikasi dan respon
123 | B A N U 4
pasien.10,20 Dosis maksimum yang dianjurkan pada pasien dengan klirens
kreatinin >60 ml/menit adalah 300 mg/hari pada pasien neuropati diabetik,
sedangkan untuk neuralgia pasca herpes maksimal 600 mg/hari.26 Number
needed to harm (NNH) PGB adalah 13.9 (11,6-17.4).12
Pregabalin mempunyai kemampuan untuk menembus sawar darah otak
secara cepat, sehingga mampu mempengaruhi aktivitas susunan saraf pusat.
Metabolisme PGB dalam tubuh manusia hanya sedikit (< 2%) dan diekskresi
dalam bentuk tidak berubah oleh ginjal. Pregabalin tidak berikatan dengan
protein plasma, tidak mengalami metabolisme di hati, tidak menginduksi atau
menghambat enzim-enzim hati seperti sitokrom P450 sehingga PGB tidak
menimbulkan interaksi farmakokinetik antar obat. Ekskresi PGB melalui ginjal
sehingga perlu penyesuaian dosis pada pasien yang mengalami penurunan
fungsi ginjal, pada pasien dengan klirens kreatinin <60 ml/menit.13,15 Pada
pasien dengan klirens kreatinin 30-60 ml/menit, dosis harian dikurangi 50%.
Penurunan dosis harian sampai 50% dianjurkan setiap penurunan klirens
kreatinin 50%. Tambahan dosis PGB dianjurkan pada pasien yang menjalani
hemodialisa kronis. Dosis harian harus segera ditambahkan setelah setiap 4
jam sesi hemodialisis untuk menjaga konsentrasi plasma PGB stabil dalam
rentang yang diinginkan.15
MANAJEMEN NYERI NEUROPATIK PADA LANSIA
Manajemen NN pada lansia yang direkomendasikan adalah
pendekatan secara multidisiplin untuk mencari opsi yang optimal, dengan
mempertimbangkan tipe nyerinya, apakah nyeri neuropatik, nosiseptif atau
campuran, akut atau kronik, kanker atau non kanker. Manajemen nyeri yang
efektif meliputi terapi farmakologi dan non farmakologi.
TERAPI FARMAKOLOGI
Terapi farmakologi merupakan lini pertama pada manajemen nyeri pada
lansia. Menurut AGS semua pasien lansia yang mengalami gangguan
fungsional atau kualitas hidupnya menurun sebagai akibat dari nyeri persisten
yang dideritanya merupakan kandidat untuk terapi farmakologi. Untuk terapi
farmakologi, obat-obatan yang paling banyak dipakai adalah golongan
124 | B A N U 4
analgesik non opioid, opioid dan adjuvan. Pada makalah ini hanya dibahas
terapi untuk NN yaitu analgesik adjuvan dengan fokus pada Pregabalin.
Ringkasan dari rekomendasi AGS (2009) 27 untuk terapi nyeri neuropatik
adalah sebagai berikut:
1. Semua pasien NN adalah kandidat untuk terapi analgesik adjuvan (strong
quality of evidence, strong recommendation).
2. Pasien fibromyalgia adalah kandidat untuk trial analgesik adjuvan
(moderate quality of evidence, strong recommendation).
3. Pasien dengan nyeri refrakter tipe nyeri yang lain mungkin adalah
kandidat analgesik adjuvan tertentu (misalnya: nyeri punggung, nyeri
temporomandibular, nyeri kepala difus (low quality of evidence, weak
recommendation).
4. Antidepresan trisiklik (amitriptilin, imipramin, doksepin) pemakaiannya
harus sangat hati-hati karena tingginya risiko adverse effect seperti efek
kolinergik dan gangguan kognitif (moderate quality of evidence, strong
recommendation).
5. Obat bisa diberikan tunggal atau sering dikombinasi dengan obat lain dan
terapi non farmakologi untuk meningkatkan efektivitasnya (moderate
quality of evidence, strong recommendation).
6. Disarankan terapi dengan dosis serendah mungkin dan dinaikkan secara
perlahan-lahan sesuai dengan respon penderita dan ada atau tidaknya
efek samping (moderate quality of evidence, strong recommendation).
TERAPI NON FARMAKOLOGI
Berhubung dengan seringnya terjadi efek samping obat pada lansia maka
terapi farmakologi pada lansia sering dikombinasi dengan terapi non-
farmakologi sehingga dapat dihasilkan penurunan skala nyeri yang memadai
dengan dosis obat yang lebih kecil. Terapi non-farmakologi antara lain
program latihan, cognitive behavior therapy dan edukasi.
125 | B A N U 4
RINGKASAN
Nyeri neuropatik pada lansia sering unrecognized dan undertreated.
Terapi farmakologi pada lansia sering menimbulkan efek samping sehingga
harus diberikan dengan hati-hati dengan prinsip start low go slow.
Pendekatan yang disarankan adalah multidisiplin dengan mengacu pada
guideline yang direkomendasikan oleh organisasi internasional.
Hampir semua guideline merekomendasikan pregabalin sebagai obat lini
pertama untuk nyeri neuropatik kecuali untuk neuralgia trigeminal adalah
karbamasepin dan okskarbasepin.
DAFTAR PUSTAKA
1. Crook, J., Rideout, E., Browne, G. 1984. The prevalence of pain
complaints among a general population. Pain.18: 299–314. 2. Nolan, L., O’Malley, K. 1988. Prescribing for the elderly: Prescribing
patterns differences due to age. Journal of the American Geriatric Society. 36: 245–254.
3. Ling, S.M., Bathon, J.M. 1998. Osteoarthritis in older adults. Journal of
the American Geriatric Society. 46:216–25. 4. Anonym. 2002. AGS Panel on Persistent Pain in Older Persons. The
Management of persistent pain in older persons. J Am Geriatr Soc. 50: S205-24.
5. Brattberg, G., Parker, M.G., Thorslund, M. 1996. The prevalence of pain among the oldest old in Sweden. Pain. 67:29-34.
6. Da-Costa, J. 2006. Pain Management and Geriatric. Dalam: Boswell,
M.V., Cole, B., penyunting. Weiner’s Pain Management. A Practical Guide for Clinician. New York: CRC Press. h.319-23.
7. Sternbach, R.A. 1986. Survey of pain in the United States: The Nuprin
Pain Report. Clinical Journal of Pain. 2:49–53. 8. Cavalieri, T.A. 2005. Management of Pain in Older Adults. JAOA.105(3):
S12-17. 9. Attal, N., Cruccu, G., Baron, R., Haanpaa, M., et al. 2010. EFNS
Guidelines on The Pharmacological Treatment of Neuropathic Pain. European J of Neurol. 17:1113-1123.
126 | B A N U 4
10. Attal, N., Finnerup, N.B. 2010. Pharmacologic Management of Neuropathic Pain. Pain Clinical Updates. 28(9).
11. Finnerup, N.B., Sindrup, S.H., Jensen, T.S. 2010. The evidence for
pharmacological treatment of neuropathic pain. PAIN. 150: 573–581. 12. Finnerup, N.B., Attal, N., Haroutounian, S., McNicol, E., Baron, R.,
Dworkin, R.H., et al. 2015. Pharmacotherapy for neuropathic pain in adults: a systematic review and meta-analysis. Lancet Neurol. 162–7.
13. Treede, R.D., Jensen, T.S., Campbell, J.N., Gruccu, G., Dostrovsky, J.O., et al. 2008. Neuropathic pain redefinition and a grading system for clinical and research purposes. Neurology. 70:1630-5.
14. Van-Hecke, O., Austin, S.K., Khan, R.A., Smith, B.H., Torrance, N. 2014.
Neuropathic pain in the general population: a systematic review of epidemiological studies. Pain. 155;654-62.
15. Gilron, I., Watson, C.P., Cahill, C.M., Moulin, D.E. 2006. Neuropathic
pain: a practical guide for the clinician. CMAJ. 175:265-75. 16. Gibson, S.J., Gorman, M.M., Helme, R.O. 1991. The assessment of pain
in the elderly using cerebral event related potentials. Dalam: Bond, M.R., Charltons, J.E., Wolf, C.J., penyunting. Proceeding of the 5th World Conggres on Pain. Amsterdam: Elsevier. h.527-35.
17. Lussier, D., Pickering, G. 2010. Pharmacological Consideration in Older
Patients. Dalam: Beaulien, P., Lussier, D., Porreca, F., Dickenson, A.H., penyunting. Pharmacology of Pain. Seattle: IASP Press. h.547-62.
18. Ben-Menachen, E. 2004. Pregabalin Pharmacology and Its Relevance to Clinical Practice. Epilepsia. 45;(Suppl.6):13-18.
19. Chen, S.R., Xu, Z., Pan, H.L. 2001. Stereospecific Effect of Pregabalin on Ectopic Afferent Discharged and Neuropathic Pain Induced by Sciatic Nerve Ligation in Rats. Anesthesiology. 95:1473-9.
20. Cada, D.J., Levien, T., Baker, D.E. 2006. Pregabalin, Hospital Pharmacy. 41(2):157-72.
21. Freeman, R., Durso-Decruz, E., Emir, B. 2008. Efficacy, safety, and
tolerability of pregabalin treatment for painful diabetic peripheral neuropathy: findings from seven randomized, controlled trials across a range of doses. Diabetes Care. 31:1448–54.
22. Achar, A. Chakraborty, P., Bisai, S. 2011. Comparative Study of Clinical Efficacy of Amytriptiline and Pregabalin in Postherpetic Neuralgia. Acta Dermatovenerol Croat. 20(2): 89-94.
127 | B A N U 4
23. Jakob, V.H., Flemming, W.B., Finnerup, N., Brøsen, K., Jensen, T.S.,
Sindrup, S.H. 2015. Imipramine and pregabalin combination for painful polyneuropathy: a randomized controlled trial. Pain. 156: 958–966.
24. Simpson, D.M., Rice, A.S.C., Emir, B., Landen, J., Semel, D., Chew, M.L.,
Sporn, J. 2014. A randomized, double-blind, placebo-controlled trial and open-label extension study to evaluate the efficacy and safety of pregabalin in the treatment of neuropathic pain associated with human immunodeficiency virus neuropathy. Pain.155:1943–1954.
25. Kim, J.S., Bashford, G., Murphy, T.K., Martin, A., Dror, V., Cheung R.
2011. Safety and efficacy of pregabalin in patients with central post-stroke pain. Pain. 152: 1018–1023.
26. Chong, M.S. 2004. Pregabalin in Painful Diabetic Peripheral Neuropathy.
Drug. 64(24):2821. 27. Anonym. 2009. American Geriatrics Society Panel on Pharmacological
Management of Persistent Pain in Older Persons. Pharmacological management of persistent pain in older persons. J Am Geriatr Soc. 57(8):1331–1346.
128 | B A N U 4
MANAJEMEN HIPERTENSI PADA STROKE ISKEMIK AKUT
USIA TUA
Anak Agung Bagus Ngurah Nuartha Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
Error in judgement must occur in the practice of an art which consists largely
in balancing probabilities
(Sir William Osler)
Pendahuluan
Gangguan serebrovaskular atau stroke saat ini merupakan masalah
kesehatan di seluruh dunia. Gangguan serebrovaskular seperti stroke
merupakan penyebab utama kematian, dan juga sebagai penyebab utama
cacat menahun. Diperkirakan dari 100 penderita stroke yang hidup, 10
penderita dapat bekerja kembali tanpa kecacatan, 40 penderita dengan
kecacatan ringan, 40 penderita dengan kecacatan sedang-berat, dan 10
penderita memerlukan perawatan khusus. Di Indonesia terlihat
kecenderungan meningkatnya jumlah kasus stroke ini.
Insidensi stroke meningkat dengan bertambahnya usia, sehingga dapat
diramalkan jumlah kasus stroke yang bertambah besar dengan meningkatnya
usia harapan hidup. Sekitar 72% serangan pertama dari stroke terjadi pada
usia diatas 65 tahun. Hal ini dapat dimengerti dengan mengingat faktor-faktor
risiko (terutama hipertensi sebagai faktor risiko utama) yang lebih sering
ditemukan pada usia lanjut. Bertambah banyak faktor risiko yang ditemukan,
bertambah tinggi kemungkinan mendapat stroke. Sekitar 77% pasien stroke
datang dengan tekanan darah sistolik >139 mmHg, dan 15% dengan tekanan
darah sistolik >184 mmHg. Hubungan kausal antara hipertensi dan gangguan
peredaran darah otak terbukti dari beberapa penyelidikan klinis eksprimental,
dimana pengobatan hipertensi dapat menurunkan insidensi stroke hemoragik
maupun non-hemoragik atau infark serebri. Pengertian tentang hubungan
hipertensi dengan gangguan serebrovaskular atau stroke diharapkan akan
129 | B A N U 4
dapat meningkatkan usaha pencegahan dan pengobatan secara lebih
rasional.
Fisiologi peredaran darah otak
Untuk dapat memahami pengaruh hipertensi pada peredaran darah
otak, kita perlu mengenal terlebih dahulu mengenai peredaran darah otak dan
faktor yang mempengaruhinya termasuk hipertensi. Otak mendapat darah
melalui arteri-arteri besar yang masuk kedalam tengkorak dan membuat
anastomosis di dasar otak serta di permukaan otak. Adanya anastomosis
yang baik akan melindungi otak terhadap kerusakan, meskipun anastomosis
pada permukaan otak tidaklah sebaik anastomosis di dasar otak (sirkulus
arteriosus Willisi). Pada permukaan otak selalu akan didapatkan daerah-
daerah perbatasan (watershed area atau boundary zone) yang dapat
merupakan daerah kritis bila terjadi gangguan peredaran darah otak.
Untuk berfungsi dengan baik, otak memerlukan aliran darah yang dapat
menyediakan kebutuhan oksigen dan glukosa secara berkesinambungan.
Otak masik dapat berfungsi dengan baik bila penyediaan oksigen terganggu
selama 8-10 detik, namun akan terjadi kerusakan yang ireversibel bila
penyediaan oksigen total terganggu lebih dari 3 menit (6-8 menit). Juga otak
masih dapat berfungsi dengan baik bila terjadi kekurangan glukosa tidak lebih
dari 30-60 menit. Jika peredaran darah yang menuju suatu daerah otak
tersumbat secara parsial, misalnya pada iskemia; neuron-neuron yang
meskipun tidak menunjukkan kegiatan akan masih bertahan sampai 6-8 jam,
bahkan kadang-kadang sampai 48 jam. Banyak perubahan-perubahan
biomolekular-selular yang perlu diperhatikan akibat terjadinya iskemia sampai
infark serebri.
Peranan hipertensi pada stroke
Tekanan darah yang digolongkan hipertensi sulit ditentukan dengan
tepat karena ambang batas yang bersifat individual, dimana disebut hipertensi
bila dengan pemberian anti hipertensi lebih menguntungkan daripada tidak
diberi anti hipertensi. Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah >140
130 | B A N U 4
mmHg dan atau tekanan darah diastolik >90 mmHg yang didapatkan dari rata-
rata 2 kali atau lebih pengukuran tekanan darah selang waktu 5 menit dalam
keadaan saat istirahat/tenang. Pada pengukuran tekanan darah brakial kanan
dan kiri, yang dipakai tekanan darah yang lebih tinggi.
Hipertensi baik sistolik, diastolik maupun sistolik-diastolik merupakan faktor
risiko stroke terpenting pada semua usia. Data epidemiologik menunjukkan
bahwa stroke terjadi empat hingga enam kali lebih sering pada penderita
hipertensi daripada mereka dengan tekanan darah normal. Otak merupakan
salah satu ‘target organ’ pada hipertensi, disamping jantung dan ginjal.
Penelitian mengenai aliran darah otak atau cerebral blood flow (CBF) pada
penderita hipertensi menahun menunjukkan terjadinya perubahan pada
autoregulasi serebrovaskular atau arteri serebral. Autoregulasi arteri serebral
ialah kemampuan pembuluh darah otak untuk menyesuaikan lumennya
sehingga CBF tetap konstan meskipun tekanan perfusi berubah-ubah. Terjadi
vasodilatasi bila tekanan intraluminal menurun, dan terjadi vasokonstriksi bila
tekanan intraluminal meningkat. Pada orang sehat (normotensi), penurunan
tekanan arteri rerata atau mean arterial blood pressure (MABP) sampai 60-70
mmHg dan peningkatan sampai 150-160 mmHg masih dapat diatasi dengan
autoregulasi. MABP yang lebih rendah dari batas bawah akan menyebabkan
penurunan CBF, dan yang lebih tinggi dari batas atas akan menyebabakan
peningkatan CBF. Pada penderita hipertensi menahun, batas bawah dan
batas atas akan bergeser ke kanan pada MABP yang lebih tinggi, atau
dengan kata lain penderita hipertensi lebih tahan terhadap tekanan darah
yang relatif tinggi dan kurang tahan terhadap tekanan darah rendah.
Hipertensi lama atau menahun dapat menimbulkan perubahan patologi yang
berbeda pada pembuluh darah besar/sedang dan pembuluh darah kecil
intrakranial. Pada pembuluh darah besar, seperti arteri karotis, arteri
vertebrobasilaris atau arteri di basis serebri, perubahan patologiknya berupa
arteroksklerosis, dan manifestasi kliniknya adalah TIA, RIND, Stroke
trombotik, atau stroke trombo-embolik. Disini peranan hipertensi hanyalah
sebagai salah satu faktor risiko disamping faktor-faktor risiko lain seperti
misalnya diabetes mellitus, dislipidemia, dll. Pada pembuluh darah kecil
131 | B A N U 4
dalam yaitu cabang-cabang penetrans yang menembus ke dalam jaringan
otak dapat mengalami perubahan-perubahan degeneratif seperti degenerasi
lipohialin/lipohialinosis atau disorganisasi fibrinoid dimana dapat mengalami
penyumbatan sebagai cerebral small vessels disease dengan sindrom klinik
stroke lakunar, atau pecah terjadi stroke hemoragik (perdarahan
intraserebral).
Penatalaksanaan hipertensi pada stroke
Kemampuan pengobatan dan perawatan seorang manusia yang
menderita secara sempurna merupakan idam-idaman setiap tenaga
kesehatan. Kemampuan ini akan terlaksana jika usaha yang ditempuh
berdasarkan atas pengetahuan mengenai penyakit dan pengetahuan
mengenai si sakit. Pada penatalaksanaan pengobatan penderita dengan
stroke, sangat penting untuk menentukan jenis dari gangguan pada pembuluh
darah tersebut. Penanggulangan harus dilakukan dengan cepat dan tepat,
serta sangat tergantung dari penyebab penyakit dan faal sakit. Pengobatan
stroke dalam therapeutic window akan memberikan hasil yang lebih baik.
Pada orang sehat (normotensi), penurunan tekanan darah arteri rerata
(MABP) sampai 60-70 mmHg dan peningkatan sampai 150-160 mmHg masih
dapat diatasi dengan autoregulasi.
Pada penderita usia tua atau lanjut dengan hipertensi menahun, batas atas
dan bawah MABP ini akan bergeser ke kanan, atau dengan kata lain
penderita lebih tahan terhadap tekanan darah yang relatif tinggi dan kurang
tahan terhadap tekanan darah yang rendah khususnya bila terjadi penurunan
secara cepat. Penurunan tekanan darah pada penderita usia tua sebaiknya
secara gradual, karena pengelolaan hipertensi yang efektif akan sekaligus
menghindari terjadinya gangguan serebrovaskular seperti misalnya stroke
atau stroke berulang yang merupakan penyumbang potensial untuk timbulnya
demensia vaskular. Untuk mempertahankan CBF karena terjadi peninggian
tekanan intrakranial pada penderita stroke akut, terutama perdarahan
intraserebral sering timbul hipertensi akut yang terjadi sekitar 90 menit –
beberapa jam setelah serangan stroke dan dapat berlangsung sampai 7-10
132 | B A N U 4
hari tanpa mempunyai riwayat hipertensi sebelumnya. Tekanan intrakranial
meninggi terdapat pada sekitar 80% penderita stroke hemoragik maupun non-
hemoragik yang dirawat, sekitar 30% mempunyai riwayat hipertensi
sebelumnya yang akan menurun spontan dalam beberapa hari sampai 10 hari
setelah stroke dan hanya sepertiga yang tetap hipertensi. Peningkatan
tekanan darah pada stroke iskemik akut selain karena riwayat hipertensi
sebelumnya, respon fisiologis terhadap hipoksia atau tekanan intrakranial
meninggi misalnya edema serebri, dapat juga disebabkan oleh karena stres
akibat menderita stroke, kandung kencing penuh, atau nyeri yang akan
menurun spontan bila nyeri diatasi, kandung kencing dikosongkan dan
dipindah ke ruang rawat yang tenang dan dapat istirahat.
133 | B A N U 4
STROKE ISKEMIK/NON-HEMORAGIK
STROKE AKUT
Acute stroke must be treated as a medical emergency Pemeriksaan klinis, NIHSS, Lab, EKG, penunjang lain ABC – 5B Mempertahankan patensi jalan nafas & sirkulasi adekuat Tinggikan posisi kepala 20-30o O
2 sesuai kebutuhan (1-2 L/menit)
Euvolemic fluid status: berikan IVFD NaCL 0,9%, ringer laktat/ asetat, hindari dekstrosa dan cairan hipotonik, pantau urine output, tekanan vena sentral 5-12mg
Pantau tanda vital & status neurologis selama 24-72 jam Pantau fungsi jantung, saluran cerna, saluran kencing, &
keseimbangan cairan-elektrolit, gula darah, gas darah Pencegahan & penanganan hipertermia, kejang atau
edema otak (TIK <20 mmHg, CPP >70 mmHg) Status gizi dengan asupan nutrisi adekuat Neuroproteksi Neurorestorasi-rehabilitasi Pencegahan & penanganan komplikasi sedini mungkin Pencegahan & penanganan faktor risiko, penyakit
penyerta, atau kausa.
CT SCAN
kepala tanpa kontras
STROKE ISKEMIK
STROKE HEMORAGIK
(P I S)
YA TIDAK
EVALUASI
Kandidat Trombolisis
Antihipertensi bila diperlukan Hipertensi:
SBP >220 mmHg atau DBP >120 mmHg, diturunkan 10-15%
Labetalol Nikardipin
Diltiazem
DBP >140 mmHg, diturunkan 10-15%
Nitroprusside Managemen hipotensi bila ada Anti koagulan pada kasus selektif dengan
persyaratan & pemantauan ketat. Anti platelet agent: Asetosal oral, dosis awal 160-325 mg,
selanjutnya 75-325 mg/hari Managemen ICP meningkat, bila ada Managemen pengendalian suhu badan
TIDAK
MANAGEMEN TEKANAN
DARAH:
Anti hipertensi bila diperlukan
SBP >185 mmHg atau DBP >110 mmHg: Labetalol Nikardipin Diltiazem
DBP >140: Nitroprusside
Jika tekanan darah tidak menurun, jangan berikan tPA/alteplase.
YA
Trombolisis: tPA/alteplase i.v, i.a, kombinasi i.v, i.a atau trombektomi mekanik
Anti platelet atau anti koagulan
CT scan tidak ada perdarahan dalam 24 jam setelah pemberian tPA.
Asetosal oral dosis awal 160-325 mg, selanjutnya 75-325 mg/hari
PREVENSI
SEKUNDER
134 | B A N U 4
Pada penderita usia tua atau lanjut dengan stroke non-hemoragik atau
iskemik, pengaturan autoregulasi arteri serebral yang terganggu akan
menyebabkan perfusi daerah iskemik penumbra mengikuti aliran darah
sistemik secara pasif. Meningkatnya tekanan darah pada awal stroke iskemik
sebagai reaksi penyesuaian untuk mempertahankan CBF yang cukup ke
daerah sirkulasi iskemik kritis penumbra. Atas dasar ini tekanan darah tidak
boleh atau dengan sangat hati-hati bila memang sudah diketahui riwayat
hipertensi atau tekanan darah sebelum stroke diturunkan pada fase awal
stroke akut karena akan mengganggu aliran darah kolateral dan
mempermudah timbulnya infark serebri dan memperluas ukuran infark
serebri, atau stroke berulang. Tekanan darah sebagian besar akan meningkat
pada stroke akut, di mana tekanan darah yang meningkat ini akan turun
sendiri secara spontan dalam 24 jam setelah beberapa hari dan setelah 10
hari tekanan darah akan kembali seperti sebelum stroke atau normal.
Sehingga penurunan tekanan darah pada stroke iskemik bila diperlukan
bertujuan untuk mengurangi risiko terjadinya infark hemoragik, injuri iskemik
reperfusi, dan edema serebri. Sedangkan penurunan tekanan darah pada
stroke hemoragik bila diperlukan bertujuan untuk mencegah perluasan
hematom, mencegah perdarahan ulang, menurunkan tekanan intrakranial
dan mencegah edema otak, serta mencegah kerusakan organ akhir.
Sehingga secara umum dapatlah dimengerti bahwasanya penatalaksanaan
hipertensi pada gangguan serebrovaskular atau stroke secara bijaksana
merupakan aspek terpenting untuk mencegah terjadinya hipoperfusi otak
akibat terganggunya autoregulasi arteri serebral akut. Penurunan tekanan
darah pada penderita hipertensi pasca stroke harus secara perlahan-lahan
bertahap (beberapa bulan) yang mulai dengan dosis rendah dan pelan-pelan
dosis ditingkatkan. Pendapat lama tentang dosis ‘start low and go slow’ masih
tetap relevan sampai saat ini khususnya untuk prevensi stroke, kecuali terjadi
kegagalan target organ akut misalnya sindrom koroner akut/infark miokardial
akut, gagal jantung akut, gagal ginjal akut, edema paru akut, ensefalopati
hipertensif, atau diseksi aorta.
135 | B A N U 4
Penurunan tekanan darah pada stroke iskemik atau non-hemoragik secara
umum berbeda dengan stroke iskemik yang kandidat untuk trombolisis,
perdarahan intraserebral, perdarahan subaraknoid, atau ensefalopati
hipertensif.
Pada penderita dengan stroke yang diketahui riwayat hipertensi sebelumnya,
secara umum tekanan darah diturunkan sedikit di bawah tekanan darah
sebelum stroke pada stroke hemoragik atau MAP <120-130 mmHg
(diturunkan 10-25%) dan bila mungkin dengan CPP >60 mmHg (CPP: MAP-
ICP); atau diturunkan sampai sedikit di atas tekanan darah sebelum stroke
pada stroke non-hemoragik atau MAP <130-140 mmHg (diturunkan 10-20%).
Pada perdarahan intraserebral, tekanan darah sistolik >180 mmHg atau MAP
>130 mmHg, tekanan darah dapat diturunkan dan pantau tiap 5 menit
sehingga mencapai MAP <130 mmHg. Bila tekanan intrakranial tidak
meningkat, dapat diturunkan mencapai MAP 110 mmHg atau 160/90 mmHg.
Penurunan tekanan darah umumnya jangan melebihi 15% (10-15%) dalam
24 jam pertama setelah awitan stroke iskemik dan dapat disesuaikan kembali
jika terjadi gejala neurologik yang lebih buruk dari sebelumnya. Pada stroke
iskemik yang kandidat untuk trombolisis, tekanan darah sistolik diturunkan
<185 mmHg dan diastolik <110 mmHg dipantau selama 24 jam pertama
setelah trombolisis dan dipertahankan <180/105 mmHg, pemantauan tiap 15
menit untuk 2 jam pertama, tiap 30 menit untuk 6 jam, kemudian tiap 1 jam
untuk 16 jam.
Pada perdarahan subaraknoid, tekanan darah diturunkan sehingga mencapai
tekanan darah sistolik sekitar 160 mmHg 140-160 mmHg untuk mencegah
perdarahan ulang, dan 160-180 mmHg untuk mencegah vasospasmus). Pada
ensefalopati hipertensif, penurunan tekanan darah 15-25% pada 1-2 jam
pertama dan jangan melebihi 20-40% dalam 6-12 jam untuk mencapai 160/90
mmHg dan dapat diturunkan lagi sampai normal, dapat disesuaikan kembali
jika terjadi gejala neurologik yang lebih buruk dari sebelumnya. Pada kasus
kegagalan target organ lain, penurunan tekanan darah 15-25% pada jam
pertama, dan diharapkan tercapai tekanan darah 160/90 dalam 6 jam
pertama.
136 | B A N U 4
Bila terjadi hipotensi pada kasus stroke akut dengan tekanan darah sistolik
<90 mmHg tanpa dehidrasi cairan, harus diberikan obat vasopresor
(Dopamine, Dobutamine, phenylephrine, atau Norepinephrine) untuk
meningkatkan tekanan darah dan dipertahankan sekitar tekanan darah
sistolik 140 mmHg.
Pada stroke iskemik akut dengan hipertensi, lebih dianjurkan pemberian anti
hipertensi dalam bentuk parenteral, misalnya Labetalol, Nicardipine,
Diltiazem, Na-nitroprusside.
Labetalol dapat diberikan dengan dosis 10 mg (5-20 mg) i.v. bolus selama
lebih 1-2 menit dan dapat diulangi atau digandakan dosisnya setiap 10
menit (5-20 menit) sampai penurunan tekanan darah yang diharapkan,
selanjutnya diulangi setiap 6-8 jam, dan dosis maksimal 300 mg/24 jam,
ATAU awalnya i.v. bolus dan selanjutnya 1 mg (0,5-2 mg)/menit i.v. infusi
drip dan dapat ditingkatkan dengan titrasi, sampai 2-8 mg/menit.
Nicardipine dengan dosis awal 5 mg (3-5 mg)/jam i.v. infusi drip atau 0,5-
6 mcg/kg/menit i.v. infusi drip dengan titrasi dapat ditingkatkan 2,5 mg
(1,5-3 mg)/jam setiap 5 menit (5-15 menit) sampai penurunan tekanan
STROKE AKUT
Sistolik > 220 mmHg
Diastolik >120 mmHg
Sistolik 180-220 mmHg
Diastolik 105-120 mmHg
Ukur ulang 15
tidak
Perdarahan intra serebral
atau gangguan end organ
ya
Sistolik > 220 mmHg
Diastolik >120 mmHg
Sistolik <180 mmHg
Diastolik <105 mmHg
Observasi.
Obat anti hipertensi oral diberikan
Setelah hari ke 7-10
Obat anti hipertensi
parenteral
ALUR PENATALAKSANAAN HIPERTENSI PADA STROKE AKUT
Sistolik > 230 mmHg
Diastolik > 140 mmHg
137 | B A N U 4
darah yang diharapkan serta dapat dipertahankan 24-48 jam, dan obat
oral diberikan 1 jam sebelum i.v. infusi drip dihentikan, ATAU awalnya i.v.
bolus 10-30 mcg/kg, dan selanjutnya infusi drip.
Diltiazem dengan dosis awal 0,2 mcg/kg atau 10 mg (dilarutkan dalam 10
ml salin) i.v. bolus selama lebih 3-5 menit (10 menit), dan dapat diulangi
sekali lagi bila tidak ada respon dan setelah 10 menit dilanjutkan dengan
50 mg/jam i.v. infusi drip atau 5-15 mcg/kg/menit i.v infusi drip, observasi
tiap 20-60 menit sampai stabil dan dosis dapat diturunkan atau ganti oral.
Nimodipine dengan dosis awal 0,5-1 mg (2,5-5 ml)/jam i.v. infusi drip atau
7,5-15 mcg/kg/jam i.v infusi drip dengan titrasi dapat ditingkatkan 0,5 mg
(2,5 ml) setiap 15 menit sampai tercapai 2 mg (10 ml) atau 30 mcg/kg/jam
dalam 2 jam, dan tercapai penurunan tekanan darah yang diharapkan,
dosis maksimal 5 mg (25 ml)/jam.
Na Nitroprusside dengan dosis awal 0,5 mcg (0,25-10 mcg)/kg/menit i.v.
infusi drip dengan titrasi dapat ditingkatkan 0,5-1 mcg/kg/menit setiap 5
menit sampai 5-10 mcg/kg/menit dengan dosis maksimal 10
mcg/kg/menit, dan tercapai penurunan tekanan darah yang diharapkan.
Labetalol merupakan anti hipertensi pilihan pertama dalam penatalaksanaan
hipertensi pada stroke, karena cukup efektif dan aman untuk kedaruratan
hipertensi, namun hati-hati pada gagal jantung akut atau gagal jantung
kongestif, AV block, bradikardia berat, bronkhospasm, asthma bronkhiale
atau COPD.
Nicardipine juga aman dan efektif dan tidak rebound atau tidak meninggi lagi
melampaui batas (little overshoot), namun hati-hati pada gagal jantung akut,
infark miokardial akut, gagal ginjal akut, sindrom koroner iskemik, atau
takikardia.
Diltiazem juga aman dan efektif, namun hati-hati pada AV block, sick sinus
syndrome, infark miokardial akut, atau gagal jantung kongestif.
Nimodipine umumnya dipergunakan untuk pencegahan dan terapi
vasospamus serebral pada perdarahan subaraknoid. Namun Nimodipine juga
efektif dan aman sebagai antihipertensi ringan dengan i.v. infusi drip dan juga
138 | B A N U 4
mempunyai efek neuroproteksi, dan hati-hati pada gangguan fungsi hati dan
ginjal.
Na-nitroprusside merupakan pilihan pada hipertensi krisis seperti pilihan pada
hipertensi dengan tekanan darah sistolik >230 mmHg atau diastolik >140
mmHg atau >230/140 mmHg, namun harus diberikan secara hati-hati karena
dapat terjadi peninggian tekanan intrakranial dan terjadi edem serebri,
vascular steal, dan sebaiknya jangan diberikan bila ada kecurigaan tekanan
intrakranial meninggi. Juga sering menyebabkan hipotensi (overshoot
hypotension) karena efek vasodilatasi yang cepat dan kuat sehingga
sebaiknya diberikan di ruang rawat intensif karena memerlukan pengawasan
titrasi. Juga hati-hati atau kontraindikasi pada sindrom koroner akut, infark
miokardial akut, gagal ginjal, thiocyanate and cyanide toxicity khususnya pada
gagal ginjal.
Ringkasan dan kesimpulan
Gangguan serebrovaskular atau stroke pada dewasa ini merupakan
masalah kesehatan di seluruh dunia, di negara maju maupun di negara yang
sedang berkembang.
Hipertensi memegang peranan penting pada penatalaksanaan stroke akut
dan merupakan faktor risiko stroke terpenting pada semua usia khususnya
usia tua, sehingga penanganan hipertensi yang baik dan efektif merupakan
sasaran utama dalam usaha penatalaksanaan stroke akut maupun
pencegahan stroke.
Kepustakaan
1. James, P.A., Oparil, S., Carter, B.L., Cushman, W.C., Dennison-Himmelfarb,
C., Handler, J. 2014. Evidence-Based Guideline for the Management of High Blood Pressure in Adults: Report from the Panel Members Appointed to the JNC 8. Jama. Doi.10.1001, December 18, 2013. Available from: http://jama-jamanetwork.com.
2. Jauch, E.C., Saver, J.L., Adams, H.P., Bruno, A., Connors, J.J.B., Demaerschalk, B.M., et al. 2013. Guidelines for the early management of patients with acute ischemic stroke: A Guideline for healthcare profesionals
139 | B A N U 4
from the American Heart Association/American stroke Association. Stroke. 44: 870-947.
3. Greer, D.M. 2004. acute stroke and other neurologic emergencies. In: Layon, A.J., Gabrielli, A., Friedman, W.A., Eds. Textbook of Neurointensive care. Philadelphia: Saunders. 397-436.
4. Hacke, W., Kaste, M., Olsen, T.S., Bogousslavsky, J., Orgogozo, J.M. 2000. Acute treatment of ischemic stroke. Cerebrovasc Dis. 10 (supp3): 22-33.
5. Hennerici, M.G., Shinobara, Y. 2013. Comparison of stroke guidelines: Similarities and differences between Japanese and European recommendations for the management and prevention of acute ischemic and hemorrhagic stroke. Cerebrovasc dis. 35: 399-401.
6. Kim, M.A., Wagner, J., Segil, C., Leviner, Sung, G.Y. 2010. Ischemic stroke. In Torbey MT, Eds. Neurocritical Care. Tokyo: Cambridge University Press. 133-142.
7. Topcuoglu, M.A., Ay, H. 2014. Management of stroke: General principles. In: Norrvings, B., Ed. Oxford Textbook of Stroke and Cerebrovascular Disease. New York: Oxford University Press. 106-123.
8. Venkatachalam, T., McFadden, C.B. 2012. Management of systemic blood pressure in the Neuro ICU. In: Lee, K., ed. The NeuroICU book. Toronto: McGraw Hill. 796-806.
9. Willey, J.Z. 2012. Acute ischemic stroke in: Lee, K., Ed. The NeuroICU book. Toronto: Mcgraw Hill. 91-122.
10. Zaidi, G., Chichra, A., Weitzen, M., Narasimhan, M. 2013. Blood pressure control in neurological ICU patients: What is to high and what is the low? The Open Critical Care Medicine Journal. 6 (supp 1: M3) 46-55.
140 | B A N U 4
PENATALAKSANAAN OVERACTIVE BLADDER
PADA LANJUT USIA
Ida Bagus Kusuma Putra Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
Abstrak
Overactive bladder (OAB) adalah suatu kondisi yang ditandai dengan adanya
gejala urgensi dengan atau tanpa inkontinensia. Angka kejadian secara
umum dari OAB sekitar 20-40% dari seluruh inkontinensia urin dengan
kecenderungan meningkat sesuai dengan pertambahan usia. Anamnesis dan
pemeriksaan fisik dilakukan secara menyeluruh, terutama status urologis dan
ginekologis. Pemeriksaan penunjang dasar yang dianjurkan yaitu urinalisis,
pemeriksaan gula darah, dan uji urodinamik sederhana. Baku emas dalam
mendiagnosis OAB adalah kartu catatan berkemih (bladder diary). Setelah
diagnosis OAB ditegakkan, pasien diberi terapi kombinasi antara behavioral
therapy dan obat anti muskarinik.
Definisi
Overactive bladder (OAB) adalah suatu kondisi yang ditandai dengan
adanya gejala urgensi dengan atau tanpa inkontinensia (Tanago EA,
2008;,Seputra KP, 2011; Widjanarko S, 2011). Gejala lain yang berkaitan
adalah frekuensi dan nokturia, tanpa kelainan patologis maupun metabolik.
Urgensi didefinisikan sebagai rasa ingin berkemih mendadak yang sulit
ditahan, sedangkan frekuensi didefinisikan sebagai berkemih lebih dari 8 kali
per 24 jam. Nokturia didefinisikan sebagai bangun tidur lebih dari 1 kali saat
malam untuk berkemih (Seputra KP, 2011).
Epidemiologi
Angka kejadiannya diperkirakan melebihi dari yang selama ini tercatat,
karena banyak yang tidak dilaporkan dan diobati. Angka kejadian secara
umum dari OAB sekitar 20% hingga 40% dari seluruh inkontinensia urin
dengan kecenderungan meningkat sesuai dengan pertambahan usia.
141 | B A N U 4
Prevalensi OAB di Eropa dari 16.776 responden yang berusia diatas 40 tahun
adalah sebesar 16% pada pria dan 17% pada wanita. Prevalensinya adalah
3% pada pria yang berusia 40-44 tahun, 9% pada wanita yang berusia 40-44
tahun, 42% pada pria berusia 75 tahun atau lebih dan 31% pada wanita
berusia 75 tahun atau lebih. Data yang sama juga dilaporkan di Amerika
Serikat. Angka insidensi OAB diestimasikan 10- 15% pada pria dan wanita
yang berusia 10-50 tahun, meningkat 35% pada yang berusia lebih dari 75
tahun.3 Survei yang dilakukan di Poliklinik Usia Lanjut RSCM Jakarta pada
tahun 2002 didapatkan prevalensi OAB sebesar 21,2% (45,5% wanita dan
54,4% pria). Selain usia, yang menjadi faktor risiko terjadinya OAB adalah
paritas, cara persalinan, menopause, obesitas, dan adanya riwayat operasi
histerektomi atau operasi ginekologi sebelumnya (Vaughan CP, 2011).
Diagnosis
Anamnesis teliti terutama untuk mengetahui ada tidaknya urgensi,
frekuensi dan nokturia serta menyingkirkan penyebab lain yang memiliki
gejala yang mirip, misalnya infeksi saluran kemih, batu dan tumor kandung
kemih. Poliuri juga didapatkan pada pasien diabetes melitus atau pasien
dalam pengobatan diuretik. Keluarnya urin yang tidak disadari pada saat
aktivitas yang meningkatkan tekanan intra-abdomen, seperti batuk, bersin
dan tertawa, didapatkan pada stress urinary incontinence (Tanagho EA, 2008;
Djatisoesanto W, 2011). Pemeriksaan fisik dilakukan secara menyeluruh,
terutama status urologis dan ginekologis. Rectal touche dilakukan untuk
menilai tonus sfingter ani dan refleks bulbokavernosus (BCR), mencari
kemungkinan adanya masa di rektum dan menilai keadaan prostat (Purnomo
BB, 2000). Kelainan urologis seperti BPH bisa menyebabkan over flow urinary
incontinence, yaitu keluarnya urin yang tidak disadari akibat dari over distensi
buli-buli karena obstruksi traktus urinarius bagian bawah. Stress urinary
incontinence lebih sering terjadi pada wanita yang pernah melahirkan.
142 | B A N U 4
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dianjurkan yaitu urinalisis dan
pemeriksaan gula darah. Urinalisis untuk menyingkirkan hematuria, piuria,
bakteriuria, glukosuria dan proteinuria, sedangkan pemeriksaan gula darah
untuk mendeteksi adanya diabetes melitus. Uji urodinamik sederhana dapat
dilakukan. Sisa urin pasca berkemih (post-void residual urine volume) perlu
diperkirakan pada pemeriksaan fisis. Pengukuran spesifik dapat dilakukan
dengan kateterisasi urin. Normalnya, sisa urin kurang dari 50 mL. Bila lebih
dari 200 mL, menandakan adanya overflow bladder (Tanagho EA, 2008).
Stress test dikerjakan dengan melihat ada tidaknya rembesan urin pada saat
dilakukan penekanan abdomen. Tes tersebut juga dikerjakan ketika kandung
kemih penuh dan ada desakan keinginan untuk berkemih, dimana pasien
diminta untuk batuk ketika sedang diperiksa dalam posisi litotomi atau berdiri.
Merembesnya urin seringkali dapat dilihat pada stress urinary incontinence.
Gold standard dalam mendiagnosis OAB adalah kartu catatan berkemih
(bladder diary) (Widjanarko S, 2001). Dicatat misalnya waktu berkemih dan
jumlah urin yang keluar, baik secara normal, maupun karena tak-tertahan,
setidaknya dalam tiga hari terakhir. Urgensi diklasifikasikan dalam 5 kategori,
mulai kategori 1 (berkemih masih bisa ditahan) hingga 5 (tak tertahan).
Penatalaksanaan
Setelah diagnosis OAB ditegakkan, pasien diberi terapi kombinasi antara
behavioral therapy dan obat anti muskarinik (Wyman JF, 2010; Thuroff J,
2006). Terapi kombinasi dipilih karena lebih efektif bila dibandingkan dengan
satu macam terapi saja. Behavioral therapy meliputi edukasi, berpantang
makanan dan minuman yang bisa meningkatkan frekuensi berkemih, tidak
terlalu banyak minum saat malam hari, latihan menahan kemih (bladder
training) dan fisioterapi. Latihan menahan kemih (memperpanjang interval
waktu berkemih) dilakukan dengan teknik relaksasi dan distraksi sehingga
frekuensi berkemih 6-7x/hari. Pasien diharapkan dapat menahan keinginan
berkemih bila belum waktunya. Dianjurkan berkemih pada interval waktu
tertentu, mula-mula setiap jam, selanjutnya diperpanjang secara bertahap
143 | B A N U 4
sampai ingin berkemih setiap 2-3 jam. Obat yang dipilih berasal dari golongan
antimuskarinik, karena bisa meningkatkan kapasitas kandung kemih dan
mengurangi frekuensi kontraksi involunter dari kandung kemih. Efek samping
obat ini karena afinitasnya terhadap reseptor muskarinik M3 organ lain yang
menyebabkan mulut kering, konstipasi dan pandangan kabur. Obat anti
muskarinik antara lain oxybutinin, tolterodine, solifenacin, trospium,
darifenacin, dan flavoxate. Masing-masing obat memiliki afinitas berbeda
terhadap reseptor muskarinik M3, yang selanjutnya berpengaruh terhadap
efek samping. Tolterodine dikatakan bladder selective, dengan efek samping
mulut kering minimal (Lai HH, 2002; Clemett D, 2001). Pasien OAB yang tidak
menunjukkan perbaikan gejala, setelah terapi selama 2-3 bulan sebaiknya
dirujuk ke ahli urologi.
Daftar Pustaka
Clemett, D., Jarvis, B. 2001. Tolterodine: A Review of Its Use in the Treatment of Overactive Bladder. Drugs Aging. 18(4):277-304. Djatisoesanto, W. 2011. Inkontinensia Urine. Naskah Lengkap Pendidikan Urologi Berkelanjutan IV – Lower Urinary Tract Dysfunction. Malang. p.68-70. Lai, H.H., Boone, T.B., Appell, R.A. 2002. Selecting a Medical Therapy for Overactive Bladder. Rev Urol. 4 (Suppl. 4):S28–S37. Purnomo, B.B. 2000. Dasar-Dasar Urologi. Jakarta: Sagung Seto. p.22. Seputra, K.P. 2011. Overactive Bladder. Naskah Lengkap Pendidikan Urologi Berkelanjutan IV – Lower Urinary Tract Dysfunction. Malang. p.72. Tanagho, E.A., Bella, A.J., Lue, T.F. 2008. Urinary Incontinence. In: Tanagho, E.A., McAninch, editors. Smith's General Urology. 17th ed. USA: McGraw Hill. p.473-89. Thuroff, J. 2006. Guidelines on Urinary Incontinence. European Association of Urology. 5-12. Vaughan, C.P. 2011. The Prevalence of Clinically Meaningful Overactive Bladder: Bother and Quality of Life Results from the Population-Based FINNO Study. Eur Urol. Apr: 59(4):629-36.
144 | B A N U 4
Widjanarko, S. 2011. Management on Overactive Bladder. Naskah LEngkap Pendidikan Urologi Berkelanjutan IV – Lower Urinary Tract Dysfunction. Malang. p.33-54. Wyman, J.F. 2010. Effects of Combined Behavioral Intervention and Tolterodine on Patient-Reported Outcomes. Can J Urol. Aug:17(4):5283-90.
145 | B A N U 4
MYASTHENIA GRAVIS PADA USIA LANJUT
Ni Made Susilawathi Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
Pendahuluan
Myasthenia gravis (MG) adalah penyakit autoimun yang ditandai
dengan kelemahan otot yang bersifat fluktuatif, memberat setelah beraktivitas
dan membaik dengan istirahat.1 MG merupakan gabungan kelainan
neuromuscular junction (NMJ) dengan penyakit autoimun.2 MG sering
terdiagnosis pada usia muda terutama pada wanita yang berhubungan
dengan kelainan pada kelenjar timus, tetapi pada beberapa tahun terakhir ini
terjadi peningkatan kasus MG pada usia tua.3
Epidemiologi
Kejadian MG di Amerika Serikat sekitar 20 per 100.000 penduduk
dengan distribusi usia dan jenis kelamin sebagai berikut: di bawah 40 tahun
wanita: pria 3:1, antara 40-50 tahun perbandingan wanita sama dengan pria,
sedangkan diatas 50 tahun MG sering terjadi pada pria.1
MG merupakan penyakit neuromuskular yang sering ditemukan dengan
angka kejadiannya semakin meningkat terutama pada usia tua, diatas 50
tahun.2,4,5,6 Peningkatan kasus MG yang terjadi akibat kemampuan
penegakan diagnosis dan fasilitas perawatan intensif yang lebih baik, serta
harapan hidup yang meningkat.2 Kelemahan otot pernapasan yang
menimbulkan krisis miastenik terjadi sekitar 15%.5
Klasifikasi
Klasifikasi MG berdasarkan subtipe terdiri dari:1
1. early-onset MG: usia <50 tahun. thymus hiperplasia, sering pada wanita
2. late-onset MG: usia >50 tahun. thymus atropi, sering pada pria
3. thymoma-associated MG (10%–15%)
4. MG with anti-MUSK antibodies
5. ocular MG (oMG): gejala hanya terbatas pada otot ekstraokular
146 | B A N U 4
6. MG with no detectable AChR and muscle-specific tyrosine kinase (MuSK)
antibodies.
Pada late-onset MG (LOMG) juga dapat dibagi menjadi non-elderly LOMG
(50-64 tahun) dan elderly LOMG (> 65 tahun).4
Berdasarkan Myasthenia Gravis Foundation of America Clinical Clasification
(MGFA), distribusi dan derajat MG dibedakan menjadi:1,7
Klas I MG okular
Klas II
IIa
IIb
MG umum ringan
Predominan otot tungkai/ rangka
Predominan otot orofaringeal/ pernapasan
Klas III
IIIa
IIIb
MG umum sedang
Predominan otot tungkai/ rangka
Predominan otot orofaringeal/ pernapasan
Klas IV
Iva
IVb
MG umum berat
Predominan otot tungkai/ rangka
Predominan otot orofaringeal/ pernapasan
Klas V MG dengan intubasi
Patogenesis
Pada kondisi normal NMJ terdiri dari tiga komponen yaitu: 1) daerah
presinap yang terdiri dari saraf motor terminal dimana acetylcholine (ACh)
disintesa, disimpan dan dikeluarkan; 2) daerah celah sinaptik dan 3) daerah
postsinap yang terdiri dari reseptor acetylcholine (AChR). Transmisi
neuromuskular dimulai adanya aksi potensial pada saraf terminal, memicu
pengeluaran ACh ke celah sinaptik yang akan berinteraksi dengan AChR
pada postsinap dan menimbulkan depolarisasi (end plate potential) yang
berakibat adanya kontraksi otot. Aktifitas ACh pada membran postsinap akan
di akhiri oleh enzim acethylcholineesterase.7
Pada pasien MG ditemukan antibodi terhadap AChR (anti-AChR antibodies)
di postsinap yang menimbulkan kegagalan transmisi neuromuskular sehingga
terjadi kelelahan dan kelemahan otot.1,7,8 Penurunan jumlah AChR akibat
aktivitas kompetitif antibodi AChR menyebabkan produksi end plate potential
147 | B A N U 4
berkurang sehingga menurunkan kontraksi otot.8 Ada tiga mekanisme
gangguan transmisi neuromuskular pada MG yaitu: 1) antibodi AChR
menghambat ikatan ACh pada AChR; 2) Serum IgG pasien myasthenia dapat
meningkatkan kecepatan degradasi AChR akibat terjadinya ikatan silang IgG
pada AChR; 3) antibodi AChR menyebabkan aktifnya ikatan komplemen yang
menimbulkan kerusakan membran postsinap.7,8
Gambar 1.
a. NMJ normal; b. Mekanisme AChR antibodies pada pasien MG.7
Sebagian besar pasien MG memiliki kelenjar timus yang abnormal, lebih dari
50% pasien MG dengan anti-AChR antibodi positif dengan thymus
hyperplasia dan 10-15% dengan tumor timus.7
Adanya Timoma sering berhubungan dengan kasus autoimun. Sel epithelial
neoplasma dapat mengekspresikan berbagai antigen mirip dengan dirinya
sendiri (self-like antigens) seperti AChR-like, titin-like dan ryanodine-receptor-
like (RyR) epitope. Kemudian antibodi beraksi terhadap epitope pada reseptor
ACh, protein otot titin dan reseptor ryanodine yang sering ditemukan pada MG
dengan timoma.1,9
Pada subgrup late onset MG (LOMG) termasuk di dalamnya kelompok
antibodi AChR positif, non-thymoma, MG umum dengan onset lebih dari 50
tahun. Pada LOMG sering ditemukan atropi timus dengan kadar antibodi
AChR lebih rendah dibandingkan usia muda. Separuh dari pasien LOMG
mempunyai antibodi titin dan RyR.9
148 | B A N U 4
Gejala klinis
MG merupakan penyakit neuromuskular autoimun kronik dengan
gejala utama kelemahan yang berfluktuatif, yang memberat dengan aktivitas
yang berulang dan membaik dengan istirahat. Kelemahan mengenai otot
skeletal tertentu seperti: otot okular, ekstremitas bagian proksimal, leher dan
pernapasan yang sering diperberat oleh panas, infeksi dan stres.1,8
Kelemahan otot okular menimbulkan ptosis dan diplopia. Ptosis bisa terjadi
unilateral atau bilateral, dapat dibangkitkan dengan melihat ke atas selama
beberapa detik. Otot ekstraokular yang paling sering terkena adalah muskulus
rektus medialis dengan refleks pupil normal.1,8
Kelumpuhan otot bulbar sering terjadi selama perjalanan penyakit MG pada
60% pasien dengan keluhan kesulitan mengunyah terutama makanan padat
dengan kemampuan menutup rahang lebih lemah dibandingkan membuka
rahang.1
Kelemahan otot ekstremitas dapat terjadi terutama di daerah proksimal yang
mirip dengan myopati, lengan atas lebih sering terlibat dibandingkan tungkai
bawah. Otot leher bagian ekstensor dan fleksor juga sering terkena
menimbulkan “drop head syndrome”.1
Keterlibatan otot-otot pernapasan menimbulkan krisis myastenik yang
merupakan kegawat-daruratan neurologi dan memerlukan ventilasi mekanik
di ruangan intensif. Faktor pencetus terjadinya krisis myastenik antara lain
infeksi dan obat-obatan (aminoglikosida, fluokuinolon, neuromuskular blok,
magnesium sulfat, beta bloker).1,7,8
MG pada lansia secara klinis sulit terdiagnosis,4,6 bahkan sering terdiagnosis
sebagai Transient ischemic attack (TIA) atau stroke karena gejala yang
dikeluhkan hampir sama berupa kelemahan otot, kelelahan, dan gangguan
berbicara dan menelan.2,4 Diagnosis MG perlu dipertimbangkan pada lansia
bila menemukan gejala bulbar yang tidak diketahui penyebabnya.4 Ptosis sulit
di diagnosis pada lansia karena ada penurunaan kelopak mata sejalan
dengan meningkatnya usia. Diplopia sering tidak dikeluhkan karena
penurunan tajam penglihatan akibat degenerasi makula dan katarak.6
149 | B A N U 4
Keterlambatan mendiagnosis MG pada lansia sering menimbulkan krisis
myastenik.4
Penegakan Ddiagnosis
Diagnosis MG berdasarkan anamnesis dan gejala klinis yang khas MG
berupa kelemahan otot yang bersifat fluktuatif. Penegakan diagnosis ini
didukung oleh pemeriksaan penunjang antara lain: elektrofisiologi,
pemeriksaan antibodi spesifik MG (anti AChR) dan tes farmakologi.1,8,9
a. Tes Tensilon (Edrophonium Chloride)
Edrophonium Chloride merupakan acetylcholinesterase inhibitor kerja
cepat yang dapat meningkatkan lamanya aktivitas ACh di NMJ.
Pemberian secara intravena, kemudian pasien di observasi perbaikan
kekuatan otot terutama pada ptosis dan pergerakan otot ekstraokular.
Perlu dimonitor kondisi jantung dan tekanan darah karena dapat
menimbulkan aritmia dan hipotensi. Atropin harus tersedia saat
melakukan tes tensilon. Sensitivitas tes tensilon untuk diagnosis MG
mencapai 71.5-95 %.1,8
b. Tes Ice Pack
Pemeriksaan ice pack adalah tes non farmakologi pada MG dengan
ptosis bila uji tensilon kontraindikasi. Pengerjaannya dengan meletakkan
kantong es pada mata yang ptosis selama 2-5 menit dan mengevaluasi
perbaikan ptosis.1
c. Tes Elektrofisiologi
Pemeriksaan elektrofisiologi dengan mengerjakan repetitive nerve
stimulation (RNS) dan single fiber electromyography (SFEMG). RNS
dikerjakan dengan menstimulasi saraf supramaksimal pada 2-3 Hz. Pada
MG akan terjadi penurunan 10% evoked muscle action potensial antara
pertama dan kelima. Tes ini abnormal pada 75% MG umum dan 50% MG
okular. SFEMG merupakan pemeriksaan yang paling sensitif untuk
diagnosis MG. Pemeriksaan ini menggunakan jarum yang khusus untuk
mengindentifikasi potensial aksi serabut otot. Pada pasien MG ditemukan
abnormal jitter pada 95-99%, bila dilakukan pada otot yang tepat.
150 | B A N U 4
Sensitivitas tes ini sekitar 85% pada MG umum dan 50% pada MG
okular.1,8,9
d. Pemeriksaan reseptor antibodi
Diagnosis MG dapat didukung dengan pemeriksaan antibodi AChR pada
serum. Tes ini positif sekitar 85% pasien MG. Bila pada pasien MG tidak
ditemukan antibodi AChR, perlu diperiksa antibodi yang lain sebagai
penyebab MG misalnya antibodi MuSK.1,9 Pada pasien MG dengan
timoma dan LOMG juga ditemukan adanya antibodi terhadap protein
sitoplasmik otot antara lain: titin, myosin dan reseptor ryanodine.8,9
e. CT scan thorax atau MRI.
Pemeriksaan radiologi ini dikerjakan pada pasien MG untuk
menyingkirkan adanya timoma.1,8
f. Pemeriksaan fungsi tiroid.
Pasien MG dapat disertai dengan penyakit tiroid, sehingga perlu
dilakukan pemeriksaan fungsi tiroid pada awal penegakan diagnosis
MG.1,8
Saat mendiagnosis pasien MG perlu ditegakkan derajat keparahan MG untuk
menentukan penatalaksanaan lebih lanjut.9
Penatalaksanaan
Pengobatan MG berdasarkan patofisiologi penyakit dengan
meningkatkan jumlah asetilkolin dengan pemberian asetilkolinesterase
inhibitor dan menurunkan ikatan antibodi pada reseptor asetilkolin dengan
terapi imunosupresan. Prinsip terapi pada pengobatan MG dapat dibagi
menjadi:1
1. Terapi simptomatik dengan asetilkolinesterase inhibitor
2. Terapi immunomodulator jangka pendek dengan plasmaparesis dan
immunoglobulin intravena
3. Terapi immunomodulator jangka panjang dengan glukokortikoid dan
imunosupresan
4. Pembedahan
151 | B A N U 4
Pemberian steroid masih merupakan terapi pilihan immunosupresan jangka
panjang pada MG dan sering dikombinasi dengan immunosupresan lainnya
(misalnya azathioprine) untuk mengurangi efek samping. Pengobatan MG
pada lansia merupakan tantangan karena adanya penyakit penyerta serta
efek samping pengobatan dari asetilkolinesterase inhibitor dan steroid yang
lebih tinggi dari usia muda.2,5
Timektomi merupakan standar terapi pada pasien MG usia muda (<45 tahun)
dengan atau tanpa timoma, sedangkan MG pada lansia, timektomi hanya
disarankan pada pasien dengan bukti kuat adanya timoma dan
mempertimbangkan komorbiditas pasien serta komplikasi yang akan
terjadi.4,5
Prognosis
MG pada usia lanjut yang dikenal dengan LOMG semakin sering
dijumpai seiring dengan meningkatnya harapan hidup. Prognosis pada LOMG
umumnya baik, walaupun remisi total jarang ditemukan.10,11 Pada LOMG
ditemukan kadar AChR yang rendah, sehingga memiliki respon yang sangat
baik dengan terapi MG.10 Derajat keparahan, efek samping pengobatan dan
adanya timoma mempengaruhi mortalitas pada pasien LOMG.11 Pada pasien
MG usia lanjut memiliki komorbiditas dengan penyakit lain lebih tinggi
dibandingkan usia muda sehingga penatalaksanaan kasus LOMG lebih
komprehensif.3,5
Daftar Pustaka
1. Trouth, A.J., Dabi, A., Solieman, N., Kurukumbi, M., Kalyaman, J. 2012.
Myasthenia Gravis: A Review. Hindawi Publishing Corporation. Autoimune Diseases. Article ID 874680, 10 pages. doi:10.1155/2012/874680.
2. Binks, S., Vincent, A., Palace, J. 2016. Myasthenia gravis: a clinical-
immunological update. J Neurol. 263:826-834. 3. Nishikawa, N., Nagai, M., Tsujii, T., Kyaw, W., Tanabe, N., Iwaki, H., et
al. 2015. Treatment of Myasthenia Gravis in Patients with Elderly Onset
152 | B A N U 4
at Advanced Age. Japanese Clinical Medicine. 6:9-13. doi:10.4137/JCM.s29601.
4. Ardhalapudi, S., Adiotomre, J. 2010. Myasthenia gravis in the elderly.
Midlife and Beyond. GM. p 241-5. www.gerimed.co.uk. 5. Sakai, W., Matsui, N., Ishida, M., Furukawa, T., Miyazaki, Y., Fujita, K., et
al. 2016. Late-onset myasthenia gravis is predisposed to become generalized in the elderly. eNeurologicalSci. 2:17–20.
6. Aarli, J.A. 2008. Myasthenia gravis in the elderly: Is it different. Ann N Y
Acad Sci. 1132:238-43. 7. Meriggioli, M.N. 2009. Myasthenia Gravis with Anti-acethylcholine
reseptor antibodies. In: Pourmand, R., editor. Immune-Mediated Neuromuscular Diseases. Front Neurol Neurosci. Basel, Karger. Vol. 26. pp 94–108.
8. Adams and Victors. 2005. Myasthenia Gravis and Related Disorders of
the neuromuscular junction. In: Adams and Victors. Principle of Neurology. 8th ed. p 1262-1398.
9. Romi, F., Gilhus, N.E., Aarli, J.A. 2005. Myasthenia gravis: clinical,
immunological, and therapeutic advances. Acta Neurol Scand. 111: 134-141.
10. Hellman, M.A., Mosberg-Galili, R., Steiner, I. 2013. Myasthenia gravis in
the elderly. Journal of The Neurological Sciences. 325(1-2): 1-5. 11. Evoli, A., Batocchi, A.P., Minisci, C., DI-Schino, C., Tonali, P. 2000.
Clinical characteristics and prognosis of myasthenia gravis in older people. J Am Geriatr Soc. 48(11):1442-8.
153 | B A N U 4
GANGGUAN MENELAN PADA USIA LANJUT
(SWALLOWING PROBLEMS IN ELDERLY)
Putu Budi Muliawan Bagian/ SMF Neurologi RSUD Klungkung
ABSTRAK
Disfagia (kesulitan menelan) semakin menjadi perhatian penting pada
populasi usia lanjut. Menurunnya fisiologi menelan yang berhubungan
dengan usia, begitu juga kemunculan penyakit yang berhubungan dengan
usia lanjut merupakan faktor predisposisi terjadinya disfagia pada usia lanjut.
Pada umumnya proses menelan dapat dibagi menjadi fase oral, fase
oropharyngeal dan fase esophageal. Tahap volunter terjadi pada fase oral
yang mencetuskan proses menelan. Tahap involunter terjadi pada fase
oropharyngeal dan fase esophageal.
Ada 2 jenis disfagia yaitu oropharyngeal dysphagia kesulitan pada saat
memulai proses menelan dan esophageal dysphagia dimana terdapat
sensasi terganjalnya makanan dan atau cairan dalam perjalanan dari mulut
menuju lambung.
Ada bermacam-macam penyebab dari disfagia, antara lain penyakit-penyakit
neurologi, progressive disease serta pada keadaan lainnya sepeti tumor,
radiasi ataupun kemoterapi. Untuk memastikan adanya disfagia dapat melalui
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang lainnya. Komplikasi yang
sering terjadi pada disfagia adalah malnutrisi dan pneumonia. Terdapat
berbagai penatalaksanaan yang bervariasi pada penderita dengan disfagia,
sesuai dengan situasi kondisi dari masing-masing penderita.
Kata kunci: Usia lanjut, Menelan, Disfagia, Malnutrisi, Pneumonia
Pendahuluan
Angka harapan hidup merupakan salah satu tolok ukur kemajuan
suatu bangsa. Populasi orang lanjut usia akan bertambah seiring dengan
154 | B A N U 4
kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi serta kemajuan di bidang sosial
ekonomi masing masing negara.
Pada populasi usia lanjut dikatakan akan mengalami atau terdapat perubahan
struktural dan perubahan seluler organ organ tubuh. Gangguan fungsi
biasanya terjadi apabila terdapat proses patologis pada organ tertentu atau
bila terjadi stres lain yang memperberat beban dari organ yang sudah mulai
terjadi penurunan fungsi dan penurunan anatomis.
Disfagia (kesulitan menelan) semakin menjadi perhatian penting pada
populasi usia tua. Menurunnya fisiologi menelan yang berhubungan dengan
usia, begitu juga kemunculan penyakit yang berhubungan dengan usia tua
merupakan faktor predisposisi terjadinya disfagia pada usia tua. Di Amerika
Serikat, disfagia mengenai 300.000–600.000 orang setiap tahunnya.
Meskipun prevalensi yang pasti dari disfagia pada kondisi klinis yang berbeda
belum dapat ditentukan, namun estimasi umum menunjukkan 15% populasi
usia tua mengalami disfagia. Disamping itu, berdasarkan hasil sebuah
penelitian, frekuensi rujukan kasus disfagia yang mengenai usia tua pada
sebuah rumah sakit tersier pendidikan dari tahun 2002 – 2007 meningkat
sebanyak 20%, dimana kasus rujukan diatas usia 60 tahun dijumpai sebanyak
70%. Dari hasil sensus penduduk Amerika Serikat menunjukkan pada tahun
2010 jumlah populasi berusia diatas 65 tahun adalah sebanyak 40 juta jiwa.
Angka statistik tersebut menunjukkan sekitar 6 juta jiwa penduduk usia tua
berada dalam risiko mengalami disfagia.
Setiap gangguan proses menelan dapat dimasukkan sebagai disfagia.
Individu dengan defisit anatomis ataupun fisiologis yang melibatkan rongga
mulut, faring, laring, dan esofagus dapat memperlihatkan tanda dan gejala
disfagia. Disamping itu, disfagia mengakibatkan beragam status kesehatan
negatif; terutama, peningkatan risiko malnutrisi dan pneumonia.
Fisiologi Menelan
Menelan adalah mekanisme yang kompleks, terutama karena faring
membantu fungsi pernapasan dan menelan, hal yang terutama terpenting
adalah bahwa respirasi tidak terganggu oleh proses menelan.
155 | B A N U 4
Pada umumnya menelan dapat dibagi menjadi: (1) tahap volunter yang
mencetuskan proses menelan, (2) tahap pharyngeal yang bersifat involunter
dan membantu jalannya makanan melalui faring ke dalam esofagus, dan (3)
tahap esophageal yaitu fase involunter lain yang mengangkut makanan dari
faring ke lambung.
Tabel 1. Tahapan Menelan Berdasarkan Fase
Makanan memasuki rongga mulut Fase oral
Mastikasi (mengunyah) dan bolus formation
Elevasi lidah dan mendorong bolus ke dalam faring
Fase
orofaringeal
Elevasi palatum mole untuk menutup nasofaring
Laring dan tulang hyoid bergerak ke depan dan ke atas
Epiglotis bergerak ke belakang dan ke bawah untuk
menutup
Respirasi berhenti
Faring memendek
Relaksasi upper esophageal sphincter
Fase esofageal
Bolus bergerak menuju esophagus
Esofagus berkontraksi (gerakan peristaltik)
Relaksasi lower esophageal sphincter
Bolus mencapai lambung
Selama proses menelan, otot-otot berkontraksi secara berurutan dan secara
teratur dipicu dengan dorongan kortikal atau input sensoris perifer. Begitu
proses menelan dimulai, jalur aktivasi otot berurutan dan konstan tidak dapat
dihentikan.
Deglutition adalah tindakan menelan, dimana bolus makanan atau cairan
dialirkan dari mulut menuju faring dan esofagus ke dalam lambung.
Deglutition normal adalah suatu proses halus terkoordinasi yang melibatkan
suatu rangkaian rumit kontraksi neuromuskuler volunter dan involunter dan
dan dibagi menjadi bagian yang berbeda yaitu oral, faringeal, dan
esophageal. Masing-masing fase memiliki fungsi yang spesifik, dan jika
156 | B A N U 4
tahapan ini terganggu oleh kondisi patologis, gejala spesifik dapat terjadi.
Pada tahapan menelan dapat terjadi hal-hal berikut:
a. Fase Oral
Fase persiapan oral merujuk kepada pemrosesan bolus sehingga
dimungkinkan untuk ditelan, dan fase propulsif oral berarti pendorongan
makanan dari rongga mulut ke dalam orofaring. Prosesnya dimulai dengan
kontraksi lidah dan otot-otot rangka mastikasi. Otot bekerja dengan cara yang
berkoordinasi untuk mencampur bolus makanan dengan saliva dan dan
mendorong bolus makanan dari rongga mulut di bagian anterior ke dalam
orofaring, dimana reflek menelan involunter dimulai. Serebelum
mengendalikan output untuk nuklei motoris nervus kranialis V (trigeminal), VII
(fasialis), dan XII (hipoglossal). Dengan menelan suatu cairan, keseluruhan
urutannya akan selesai dalam 1 detik. Untuk menelan makanan padat, suatu
penundaaan selama 5-10 detik mungkin terjadi ketika bolus berkumpul di
orofaring.
b. Fase Faringeal
Fase faringeal ini sangat penting karena tanpa mekanisme perlindungan
faringeal yang utuh, aspirasi paling sering terjadi pada fase ini. Fase ini
melibatkan rentetan yang cepat dari beberapa kejadian yang saling tumpang
tindih. Palatum mole terangkat, tulang hyoid dan laring bergerak ke atas dan
ke depan. Pita suara bergerak ke tengah dan epiglottis melipat ke belakang
untuk menutupi jalan napas. Lidah mendorong ke belakang dan ke bawah
menuju faring untuk meluncurkan bolus ke bawah. Lidah dibantu oleh dinding
faringeal yang melakukan gerakan untuk mendorong makanan ke bawah.
Sfingter esofagus atas relaksasi selama fase faringeal untuk menelan dan
membuka oleh karena pergerakan os hyoid dan laring ke depan. Sfingter akan
menutup setelah makanan lewat dan struktur faringeal akan kembali ke posisi
awal. Fase faringeal pada proses menelan adalah involunter dan semua
proses ini adalah reflek jadi tidak ada aktivitas faringeal yang terjadi sampai
reflek menelan terpicu. Reflek ini melibatkan traktus sensoris dan motoris dari
nervus kranialis IX (glossofaringeal) dan X(vagus).
157 | B A N U 4
c. Fase Esophageal
Pada fase esophageal bolus didorong ke bawah oleh gerakan peristaltik.
Sfingter esofagus bawah relaksasi pada saat mulai menelan, relaksasi ini
terjadi sampai bolus makanan mecapai lambung. Tidak seperti sfingter
esofagus bagian atas, sfingter bagian bawah membuka bukan karena
pengaruh otot-otot ekstrinsik. Medulla mengendalikan reflek menelan
involunter ini meskipun menelan volunter dimulai oleh korteks serebri. Suatu
interval selama 8-20 detik diperlukan untuk kontraksi dalam mendorong bolus
ke dalam lambung.
Gambar 1. Anatomi dan Fisiologi Menelan
Sumber: Heart & Stroke Foundation, 2006. Management of Dysphagia in Acute Stroke: An Educational Manual for the Dysphagia Screening Professional, p.8.
Definisi Disfagia
Oropharyngeal dysphagia adalah kesulitan memulai proses menelan.
Esophageal dysphagia adalah sensasi terganjalnya makanan dan atau cairan
dalam perjalanannya dari mulut menuju lambung.
Yang penting ditanyakan dalam anamnesis adalah lokasi, tipe makanan dan
atau cairan, kejadian disfagia yang progresif atau intermiten, dan lama
keluhan/ gejala.
158 | B A N U 4
Patofisiologi Gangguan Menelan
Gangguan pada proses menelan dapat digolongkan sesuai dengan
tahapan atau fase daripada proses menelan itu sendiri.
a. Fase Oral
Gangguan pada fase oral mempengaruhi persiapan dalam mulut dan fase
pendorongan oral biasanya disebabkan oleh gangguan pengendalian lidah.
Pasien mungkin memiliki kesulitan dalam mengunyah makanan padat dan
permulaan menelan. Ketika meminum cairan, pasien kesulitan dalam
menampung cairan dalam rongga mulut sebelum menelan. Sebagai
akibatnya cairan tumpah terlalu cepat ke dalam faring yang belum siap
sehingga seringkali menyebabkan aspirasi.
Logemann's Manual for the Videofluorographic Study of Swallowing
mencantumkan tanda dan gejala gangguan menelan fase oral sebagai
berikut:
• Tidak mampu menampung makanan di bagian depan mulut karena tidak
rapatnya pengatupan bibir
• Tidak dapat mengumpulkan bolus atau residu di bagian dasar mulut karena
berkurangnya pergerakan atau koordinasi lidah
• Tidak dapat menampung bolus karena berkurangnya pembentukan oleh
lidah dan koordinasinya
• Tidak mampu mengatupkan gigi untuk mengurangi pergerakan mandibula
• Bahan makanan jatuh ke sulkus anterior atau terkumpul pada sulkus anterior
karena berkurangnya tonus otot bibir
• Posisi penampungan abnormal atau material jatuh ke dasar mulut karena
dorongan lidah atau pengurangan pengendalian lidah
• Penundaan onset oral untuk menelan oleh karena apraxia menelan atau
berkurangnya sensibilitas mulut
• Pencarian gerakan atau ketidakmampuan untuk mengatur gerakan lidah
karena apraksia untuk menelan
• Lidah bergerak kedepan untuk mulai menelan karena lidah kaku
• Sisa-sisa makanan pada lidah karena berkurangnya gerakan dan kekuatan
lidah
159 | B A N U 4
• Gangguan kontraksi (peristalsis) lidah karena diskoordinasi lidah
• Kontak lidah-palatum yang tidak sempurna karena berkurangnya
pengangkatan lidah
• Tidak mampu meremas material karena berkurangnya pergerakan lidah ke
atas
• Melekatnya makanan pada palatum durum karena berkurangnya elevasi
dan kekuatan lidah
• Bergulirnya lidah berulang pada Parkinson disease
• Bolus tidak terkendali atau mengalirnya cairan secara prematur atau
melekat pada faring karena berkurangnya kontrol lidah atau penutupan
linguavelar
• Piecemeal deglutition
• Waktu transit oral tertunda
b. Fase Faringeal
Jika pembersihan faringeal terganggu cukup parah pasien tidak akan mampu
menelan makanan dan minuman yang cukup untuk mempertahankan hidup.
Pada orang tanpa disfagia sejumlah kecil makanan tertahan pada valleculae
atau sinus pyriform setelah menelan. Dalam kasus kelemahan atau
kurangnya koordinasi dari otot-otot faringeal atau pembukaan yang buruk dari
sfingter esofagus atas, pasien menahan sejumlah besar makanan pada faring
dan mengalami aspirasi aliran berlebih setelah menelan.
Logemann's Manual for the Videofluorographic Study of Swallowing
mencantumkan tanda dan gejala gangguan menelan fase faringeal sebagai
berikut:
• Penundaan menelan faringeal
• Penetrasi nasal pada saat menelan karena berkurangnya penutupan
velofaringeal
• Pseudoepiglotis (setelah total laringektomi)–lipatan mukosa pada dasar
lidah
• Osteofit servikal
• Perlengketan pada dinding faringeal setelah menelan karena pengurangan
kontraksi bilateral faringeal
160 | B A N U 4
• Sisa makanan pada vallecular karena berkurangnya pergerakan posterior
dari dasar lidah
• Perlengketan pada depresi di dinding faring karena jaringan parut atau
lipatan faringeal
• Sisa makanan pada puncak jalan napas karena berkurangnya elevasi laring
• Penetrasi dan aspirasi laringeal karena berkurangnya penutupan jalan
napas
• Aspirasi pada saat menelan karena berkurangnya penutupan laring
• Stasis atau residu pada sinus piriformis karena berkurangnya tekanan
laringeal anterior
c. Fase Esophageal
Gangguan fungsi esophageal dapat menyebabkan retensi makanan dan
minuman di dalam esofagus setelah menelan. Retensi ini dapat disebabkan
oleh obstruksi mekanis, gangguan motilitas, atau gangguan pembukaan
sfingter esofagus bawah. Logemann's Manual for the Videofluorographic
Study of Swallowing mencantumkan tanda dan gejala gangguan menelan
pada fase esophageal sebagai berikut:
• Aliran balik esophageal ke faringeal karena kelainan esofagus
• Tracheoesophageal fistula
• Zenker diverticulum
• Refluks
Aspirasi
Aspirasi adalah kejadian masuknya makanan atau cairan melalui pita
suara. Seseorang yang mengalami aspirasi berisiko tinggi terkena
pneumonia. Beberapa faktor yang mempengaruhi efek dari aspirasi adalah
banyaknya, kedalaman, keadaan fisik benda yang teraspirasi, dan
mekanisme pembersihan paru. Mekanisme pembersihan paru antara lain
kerja silia dan reflek batuk. Aspirasi normalnya memicu refleks batuk yang
kuat. Jika ada gangguan sensoris, aspirasi dapat terjadi tanpa gejala.
161 | B A N U 4
Etiologi
Anamnesis yang lengkap membantu dokter dalam menentukan
bermacam-macam penyebab dari disfagia. Penyebab yang sering dari
disfagia adalah sebagai berikut:
• Stroke atau cedera otak traumatik (TBI)
• Motor neuron disease (Amyotrophic Lateral Sclerosis/ ALS)
• Parkinson disease dan penyakit degeneratif lainnya (apraksia)
• Poliomyelitis
• Multiple sclerosis
• Myasthenia gravis
• Myopati (dermatomyositis, myotonic dystrophy)
• Laringektomi
• Faringektomi, esofagektomi rekonstruksi dengan penarikan gastrik
• Pembedahan kepala dan leher
• Collar servical, spondilosis servical
• Ventilator-dependent patient
• Pasien tua
• Cerebral palsy
• Esophageal-faringeal backflow, tracheoesophageal (TE) fistula, Zenker
diverticulum, refluks
Efek Penuaan terhadap Fungsi Menelan
Fisiologi menelan mengalami penurunan seiring pertambahan usia.
Penurunan masa otot dan elastisitas jaringan penyangga mengakibatkan
penurunan kekuatan otot dan rentang pergerakan. Perubahan yang
berhubungan dengan penambahan usia ini dapat menimbulkan pengaruh
negatif terhadap efektifitas dan efisiensi dari material yang tertelan melewati
upper aerodigestive tract. Secara umum, pada usia tua dijumpai perlambatan
proses menelan. Oleh karena melambatnya mekanisme menelan, tahapan
oral preparation dari makanan membutuhkan waktu dan period of material
transits yang lebih lama. Dengan berjalannya waktu, penurunan ringan namun
kumulatif ini akan meningkatkan frekuensi dari material yang tertelan untuk
162 | B A N U 4
memasuki saluran nafas atas serta semakin meningkatnya jumlah residu
paska menelan selama makan. Di luar dari penurunan kemampuan motorik
ringan tersebut penambahan usia yang juga menurunkan kelembaban rongga
mulut, kemampuan pengecapan, dan kemampuan penghidu yang secara
keseluruhan akan menurunkan kemampuan menelan pada usia tua.
Meskipun adanya penurunan sensorimotorik pada individu usia tua yang
sehat dapat menimbulkan gangguan volunteer terhadap asupan diet namun
adanya penyakit usia tua merupakan faktor utama terjadinya disfagia yang
signifikan secara klinis pada usia tua.
Disfagia dan Sekuele yang Ditimbulkan
Risiko penyakit meningkat seiring pertambahan usia. Oleh karena
menelan merupakan proses yang kompleks, banyak permasalahan kondisi
kesehatan dapat mempengaruhi fungsi menelan. Penyakit neurologis,
keganasan kepala/ leher dan esofagus, serta gangguan metabolik merupakan
kategori penyakit yang dapat menimbulkan disfagia. Tabel 2 menyajikan
beragam kategori penyakit dan status kesehatan yang dapat berakibat negatif
terhadap kemampuan fungsional menelan.
Tabel 2. Kondisi yang dapat Menimbulkan Disfagia
Penyakit
neurologis
Stroke
Demensia
Traumatic Brain Injury
Myasthenia Gravis
Cerebral Palsy
Guillain-Barre syndrome
Poliomielitis
Myopati
Penyakit
progresif
Parkinson’s Disease
Huntington Disease
Penurunan fungsional yang berhubungan dengan usia
163 | B A N U 4
Rheumatoid
disease
Polidermatomiositis
Progressive Systemic Sclerosis
Sjogren Disease
Lain-lain
Tumor yang mengenai aerodigestive tract
Iatrogenik
Radioterapi
Kemoterapi
Trakeostomi
Berhubungan dengan efek obat
Gangguan respiratorik berat
Sumber: Groher ME, Crary MA. Dysphagia: Clinical Management in Adults and Children. Maryland Heights, MO: Mosby Elsevier; 2010.
Disfagia mengenai 68% usia tua yang menjalani rawat, 30% penderita usia
tua yang menjalani rawat inap di rumah sakit, 64% penderita setelah
mengalami serangan stroke, dan 13 - 38% penderita usia tua yang menjalani
hidup mandiri. Disamping itu, disfagia juga berhubungan dengan peningkatan
morbiditas dan mortalitas. Dua penyakit yang paling sering dijumpai pada usia
tua adalah stroke dan demensia. Pada tahun 2005, di Amerika Serikat,
sebanyak 2,6% usia dewasa yang tidak memeriksakan diri ke layanan
kesehatan (lebih dari 5 juta jiwa) melaporkan diri pernah mengalami
sebelumnya. Prevalensi stroke juga meningkat dengan bertambahnya usia,
dimana 8,1% orang dengan usia lebih dari 65 tahun dilaporkan mengalami
stroke.
Hal serupa, usia lebih dari 65 tahun menunjukkan peningkatan prevalensi
mengalami demensia, dengan estimasi antara 6% - 14%. Prevalensi
demensia semakin meningkat mencapai lebih dari 30% pada usia diatas 85
tahun, dan 16% sampai lebih dari 37% pada usia diatas 90 tahun. Komplikasi
umum dari disfagia baik pada stroke dan demensia adalah malnutrisi dan
pneumonia.
164 | B A N U 4
Disfagia dan Nutrisi pada Stroke
Disfagia sangat sering dijumpai pada penderita yang telah mengalami
stroke dengan estimasi antara 30%–65%. Di Amerika Serikat, Agency for
Healthcare Research and Quality memperkirakan sebanyak 300.000–
600.000 orang mengalami disfagia sebagai akibat dari stroke atau defisit
neurologis lainnya. Meskipun banyak penderita menunjukkan perbaikan
menelan fungsional secara spontan dalam kurun 1 bulan pertama setelah
serangan stroke, namun sebagian penderita lainnya tetap mengalami
kesulitan menelan setelah melewati periode 6 bulan. Komplikasi yang telah
diketahui berhubungan dengan disfagia paska stroke adalah pneumonia,
malnutrisi, dehidrasi, long-term outcome yang lebih buruk, meningkatnya
length of hospital stay, meningkatnya waktu menjalani rehabilitasi dan
kebutuhan bantuan perawatan jangka panjang, meningkatnya mortalitas, dan
meningkatnya biaya perawatan. Kesemua komplikasi tersebut berdampak
pada kenyamanan fisik dan sosia penderita, kualitas hidup baik penderita dan
pendamping, serta penggunaan sumber daya kesehatan.
Pada fase akut dari stroke sebanyak 40%–60% penderita dilaporkan
mengalami gangguan menelan. Gangguan ini akan menimbulkan malnutrisi
sebagai akibat dari terbatasnya asupan makanan dan cairan. Penurunan
asupan makanan dan cairan dapat menurunkan derajat kesadaran,
menimbulkan kelemahan fisik, atau terjadinya inkoordinasi pada mekanisme
menelan. Meskipun risiko terjadinya malnutrisi meningkat pada stroke yang
disertai disfagia, namun faktor risiko pre-stroke perlu dipikirkan pada waktu
melakukan penilaian status nutrisional dan memperkirakan stroke outcome.
Sebagai contoh, pada saat mulai menjalani rawat inap, sekitar 16% penderita
stroke menunjukkan kurang gizi. Selama menjalani perawatan akut di rumah
sakit adanya nutritional deficits dapat memperburuk status gizi dimana
prevalensinya menjadi meningkat mencapai 22%-26% setelah keluar dari
perawatan akut. Meskipun nutritional deficits dan disfagia seringkali
ditemukan bersamaan, namun pada fase akut dari stroke, malnutrisi
tampaknya tidak memiliki hubungan dengan disfagia. Dimana, malnutrisi
dijumpai lebih sering selama menjalani post acute rehabilitation phase dengan
165 | B A N U 4
laporan prevalansi mencapai 45%. Menurunnya asupan makanan/ cairan
yang diakibatkan oleh disfagia selama menjalani perawatan akut dapat
menjadi faktor penyumbang dari tingginya angka kejadian malnutrisi selama
menjalani perawatan rehabilitatif lanjutan.
Disfagia dan Pneumonia pada Stroke
Pneumonia post-stroke merupakan infeksi umum yang dijumpai pada
sepertiga penderita stroke akut. Pneumonia juga merupakan penyebab utama
mortalitas setelah serangan stroke dengan menyumbang hampir 35%
kematian paska stroke. Sebagian besar pneumonia yang dijumpai pada
stroke diakibatkan disfagia yang menimbulkan aspirasi oleh oropharyngeal
material. Aspirasi adalah masuknya bahan makanan atau cairan kedalam
jalan nafas di bawah ketinggian true vocal cords, dan pneumonia aspirasi
adalah masuknya material yang ditelan ke dalam jalan nafas yang
mengakibatkan infeksi paru. Sebuah systematic review melaporkan bahwa
penderita stroke yang disertai disfagia menunjukkan 3 kali lipat atau bahkan
lebih peningkatan risiko pneumonia dimana peningkatan risiko penumonia
menjadi 11 kali lipat pada penderita yang telah terbukti mengalami aspirasi.
Peningkatan risiko ini menunjukkan tingginya dampak buruk dari pneumonia
aspirasi. Karakteristik dari penderita stroke dengan pneumonia aspirasi
adalah meningkatnya biaya perawatan akibat dari memanjangnya masa
rawat inap, tingginya angka disabilitas pada masa 3 dan 6 bulan, dan
buruknya status nutrisi selama masa perawatan.
Disfagia dan Demensia
Disfagia merupakan gejala umum dari demensia. Diperkirakan 45%
penderita demensia yang menjalani perawatan menunjukkan sejumlah tingkat
keparahan kesulitan menelan. Demensia dengan gejala klinis yang berbeda
dapat menunjukkan gangguan menelan yang berbeda. Penderita demensia
umumnya menunjukkan perlambatan mekanisme menelan. Melambatnya
proses menelan akan memperpanjang waktu yang diperlukan untuk
menyelesaikan aktifitas makan sehingga akan meningkatkan risiko
166 | B A N U 4
mengalami status nutrisi yang buruk. Disamping itu, penderita dengan
demensia memiliki kesulitan dalam aktifitas makan tanpa bantuan orang lain.
Kesulitan seperti ini berhubungan dengan adanya gangguan kognitif, defisit
motorik seperti kelumpuhan atau apraksia, hilangnya selera makan, dan
menolak makanan. Akibatnya, penderita dengan demensia mengalami
penurunan berat badan sehingga meningkatkan ketergantungan pada
aktifitas makan. Selanjutnya, meningkatnya ketergantungan pada aktifitas
makan akan mengakibatkan munculnya dysphagia-related health problems
lainnya, termasuk pneumonia. Penurunan berat badan menunjukkan adanya
penurunan status nutrisi yang pada gilirannya akan meningkatkan risiko
penderita untuk mengalami infeksi oportunistik, seperti pneumonia.
Pneumonia merupakan penyebab tersering mortalitas pada penderita dengan
demensia. Dengan demikian, demensia, disfagia, dan gangguan aktifitas
makan yang mengikutinya dapat menimbulkan kurang gizi yang pada
gilirannya akan menyumbang terjadinya pneumonia dan mortalitas. Khusus
penderita usia tua, adanya demensia mengakibatkan lebih tingginya frekuensi
perawatan rumah sakit yang secara keseluruhan akan meningkatkan
mortalitas. Disamping itu, penderita usia tua yang masuk rumah sakit dengan
demensia memiliki prevalensi yang lebih tinggi untuk mengalami baik
pneumonia maupun stroke, dimana menunjukkan bahwa penuaan secara
signifikan meningkatkan risiko terjadinya kedua permasalahan kesehatan
tersebut.
Disfagia dan Nutrisi pada Usia Tua yang Tinggal di dalam Komunitas
Disfagia dapat menurunkan atau mengganggu asupan oral dari
makanan/ cairan yang pada akhirnya akan menurunkan status nutrisi. Salah
satu kelompok di dalam masyarakat yang memerlukan perhatian oleh karena
memiliki potensi hubungan antara disfagia dan status nutrisi adalah individu
berusia tua yang tinggal di dalam masyarakat. Disfagia akan menimbulkan
malnutrisi dan malnutrisi akan mengakibatkan penurunan kapasitas
fungsional, sehingga disfagia akan memicu atau menimbulkan kemunduran
dikalangan usia tua.
167 | B A N U 4
Dalam sebuah kelompok komunitas berusia 65–94 tahun dilaporkan adanya
disfagia sebanyak 37,6%. Sebanyak 5,2% diantaranya dilaporkan pernah
melakukan aktifitas makan menggunakan sedotan semasa hidupnya dan
sebanyak 12,9% dilaporkan menambahkan suplemen makanan untuk
memperoleh asupan kalori harian yang adekuat. Dalam sebuah penelitian
kohort lain terhadap individu usia tua yang hidup mandiri dilaporkan
prevalensi dari kasus malnutrisi atau berisiko malnutrisi diperkirakan sebesar
18,6% pada usia tua dengan disfagia dan 12,3% pada usia tua tanpa disfagia,
dimana pada subkelompok ini ditemukan perbedaan status nutrisi yang
signifikan setelah dilakukan follow-up selama 1 tahun. Hasil penelitian ini
menunjukkan tingginya prevalensi dan pentingnya masalah malnutrisi dan
disfagia di antara individu berusia tua. Di samping itu, penelitian tersebut
menunjukkan usia tua yang hidup dalam kondisi disfagia di dalam komunitas
memiliki potensi peningkatan risiko untuk mengalami malnutrisi.
Disfagia dan Pneumonia pada Usia Tua yang Tinggal di dalam
Komunitas
Prevalensi dari community-acquired pneumonia pada usia tua
meningkat dengan risiko yang lebih tinggi dialami oleh individu yang berusia
lebih tua dari 75 tahun. Di samping itu, kematian oleh karena pneumonitis
akibat aspirasi oleh bahan makanan padat atau cair (pneumonia aspirasi) juga
meningkat dan saat ini menduduki peringkat ke-15 pada daftar CDC sebagai
penyebab umum mortalitas. Frekuensi pneumonia berikut mortalitas yang
mengiringinya dijumpai meningkat dengan bertambahnya usia. Lebih khusus
lagi, prevalensi dari pneumonia pada usia tua yang hidup di dalam komunitas
mengalami peningkatan dalam bentuk hubungan langsung dengan
pertambahan usia dan adanya penyakit penyerta. Disamping itu,
meningkatnya prevalensi disfagia pada usia tua akan meningkatkan risiko
pneumonia.
Tampaknya di dalam populasi usia tua, baik frekuensi disfagia maupun
pneumonia menunjukkan peningkatan. Namun demikian, hubungan antara
disfagia dan pneumonia pada usia tua yang hidup didalam komunitas belum
168 | B A N U 4
diketahui dengan baik. Cabre, et al melaporkan sebanyak 55% dari 134 orang
usia 70 tahun atau lebih yang hidup di dalam komunitas di diagnosis
mengalami pneumonia pada saat masuk rumah rumah sakit yang datang
dengan tanda klinis disfagia orofaringeal. Dalam penelitian kohort ini, kasus
yang menunjukkan tanda disfagia berusia lebih tua datang dengan tingkat
keparahan pneumonia yang lebih tinggi memperlihatkan penurunan status
fungsional yang lebih besar serta memperlihatkan prevalensi malnutrisi yang
lebih tinggi. Subkelompok penderita tersebut juga menunjukkan peningkatan
mortalitas pada pada follow-up 30 hari dan 1 tahun. Sebuah penelitian terbaru
yang mengevaluasi hubungan antara oropharyngeal dysphagia dan risiko
malnutrisi serta lower respiratory tract infections-community–acquired
pneumonia (LRTI-CAP) dalam suatu kohort terhadap individu usia tua yang
hidup mandiri menunjukkan hasil sebanyak 40% kasus LRTI-CAP
memperlihatkan disfagia, dibandingkan 21,8% pada individu usia tua yang
tidak memperlihatkan disfagia. Hasil penelitian tersebut membuktikan adanya
potensi hubungan antara disfagia, status nutrisi, dan pneumonia pada individu
usia tua yang hidup didalam komunitas.
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, pemeriksaan nervus V dan VII-XII penting
dalam menentukan bukti fisik dari disfagia orofaringeal. Pemeriksaan tersebut
meliputi:
• Pemeriksaan mekanisme motorik oral dan laring.
• Pengamatan langsung penutupan bibir, rahang, kemampuan mengunyah,
pergerakan dan kekuatan lidah, elevasi palatal dan laring, salivasi, dan
sensitifitas oral.
• Kesadaran dan status kognitif pasien dapat mempengaruhi keamanan
menelan dan kemampuan kompensasinya.
• Disfonia dan disartria adalah tanda disfungsi motorik struktur-struktur yang
terlibat pada proses menelan.
• Mukosa mulut dan gigi geligi.
• Reflek muntah.
169 | B A N U 4
• Fungsi pernapasan
• Pengamatan langsung aktivitas menelan. Setelah menelan, amati adanya
batuk pada pasien selama 1 menit atau lebih.
Metode instrumental untuk mendeteksi adanya disfagia dan aspirasi
• VMBS (Videofluoroscopic Modified Barium Swallow) merupakan standar
baku dalam upaya konfirmasi diagnosis disfagia
• FEES (Flexible Endoscopic Evaluation of Swallowing) adalah teknik yang
tidak terlalu invasive dan lebih murah. Teknik yang lebih mudah juga disebut
Fiberoptic Endosccopic Evaluation of Swallowing.
Penatalaksanaan
Adanya hubungan yang kuat antara kemampuan menelan, status
nutrisi dan dampak status kesehatan pada usia tua menunjukkan pentingnya
peran manajemen disfagia. Keberhasilan upaya dalam rangka manajemen
disfagia tidak hanya menunjukkan manfaat bagi individu yang membutuhkan
asupan oral padat atau cair saja, namun juga memberikan manfaat lebih pada
status nutrisi dan pencegahan terhadap morbiditas yang terkait seperti
pneumonia. Sejumlah perangkat dalam manajemen disfagia telah tersedia
sesuai karakteristik dari gangguan menelan serta karakteristik individual.
Tujuan utama dari manajemen disfagia adalah sedapat mungkin memperkuat
fisiologi fungsi menelan dan memfasilitasi kelangsungan pemberian asupan
oral secara aman. Secara garis besar terdapat 3 upaya dalam manajemen
disfagia yaitu pengaturan posisi, latihan menelan, dan modifikasi diet.
Terdapat pengobatan yang berbeda untuk berbagai jenis disfagia. Pertama,
dokter dan speech-language pathologist yang menguji dan menangani
gangguan menelan menggunakan berbagai pengujian yang memungkinkan
untuk melihat berbagai gangguan fungsi menelan. salah satu pengujian
disebut dengan laringoskopi serat optik yang memungkinkan dokter untuk
melihat ke dalam tenggorokan. Pemeriksaan lain termasuk video fluoroscopy
yang mengambil video rekaman pasien pada saat menelan dan ultrasound
yang menghasikan gambaran organ dalam tubuh dapat secara bebas-nyeri
memperlihatkan tahapan-tahapan dalam menelan.
170 | B A N U 4
Setelah penyebab disfagia ditemukan, pembedahan atau obat-obatan dapat
diberikan. Jika dengan mengobati penyebab disfagia tidak membantu, dokter
akan mengirim pasien kepada ahli speech language pathologist yang terlatih
dalam mengatasi dan mengobati masalah gangguan menelan. Pengobatan
dapat melibatkan latihan otot untuk memperkuat otot-otot wajah atau untuk
meningkatkan koordinasi. Pengobatan dapat melibatkan pelatihan menelan
dengan cara khusus, misalnya beberapa orang harus makan dengan posisi
kepala menengok ke salah satu sisi atau melihat lurus ke depan. Menyiapkan
makanan sedemikian rupa atau menghindari makanan tertentu dapat
menolong penderita lain, misalnya mereka yang tidak dapat menelan
minuman mungkin memerlukan pengental khusus untuk minumannya, orang
lain mungkin harus menghindari makanan atau minuman yang panas ataupun
dingin. Untuk beberapa orang yang tidak lagi memungkinkan untuk makan
dan minum melalui mulut harus menggunakan metode lain untuk memenuhi
kebutuhan nutrisi dengan menggunakan nasogastric tube (NGT).
Berbagai pengobatan telah diajukan unutk pengobatan disfagia orofaringeal
pada dewasa. Pendekatan langsung dan tidak langsung disfagia telah
digambarkan. Pendekatan langsung biasanya melibatkan makanan,
pendekatan tidak langsung biasanya tanpa bolus makanan.
Modifikasi diet merupakan komponen kunci dalam program pengobatan
umum disfagia. Suatu diet makanan berupa bubur direkomendasikan pada
pasien dengan kesulitan pada fase oral atau bagi mereka yang memiliki
retensi faringeal untuk mengunyah makanan padat. Jika fungsi menelan
sudah membaik, diet dapat diubah menjadi makanan lunak atau semi-padat
sampai konsistensi normal.
Efek disfagia pada status gizi pasien sangat buruk, disfagia dapat
menyebabkan malnutrisi. Banyak produk komersial yang tersedia untuk
memberikan bantuan nutrisi, misalnya bahan pengental, minuman yang
ditambah dengan suplemen, bubur instan, suplemen cair oral. Jika asupan
nutrisi oral tidak adekuat, dapat dipikirkan pemberian nutrisi parenteral.
Disfagia dapat menyebabkan dehidrasi, pemeriksaan berkala keadaan hidrasi
171 | B A N U 4
pasien sangat penting dan cairan intravena dapat diberikan jika terdapat
dehidrasi.
Pembedahan
Ada beberapa teknik pembedahan yang dapat dilakukan untuk mengatasi
kegagalan nutrisi pada pasien dengan disfagia.
1. Gastrotomi
Pemasangan selang gastrostomi memerlukan tindakan laparotomy dengan
anestesi umum ataupun lokal.
2. Cricofaringeal myotomy (CPM)
Cricofaringeal myotomy (CPM) adalah prosedur yang dilakukan untuk
mengurangi tekanan pada sfingter faringoesophageal (PES) dengan
menginsisi komponen otot utama dari PES. Injeksi botulinum toxin ke dalam
PES telah diperkenalkan sebagai ganti dari CPM.
RINGKASAN
Populasi orang usia lanjut akan bertambah seiring dengan kemajuan ilmu
pengetahuan, teknologi serta kemajuan di bidang sosial ekonomi. Disfagia
semakin menjadi perhatian penting pada populasi usia tua. Menurunnya
fisiologi menelan yang berhubungan dengan usia, begitu juga kemunculan
beberapa penyakit yang berhubungan dengan usia tua merupakan faktor
predisposisi terjadinya disfagia pada usia tua.
Disfagia meliputi 2 hal, pertama kesulitan memulai proses menelan
(oropharyngeal dysphagia) dan yang kedua adalah adanya sensasi
terganjalnya makanan dan atau cairan dalam perjalanan dari mulut menuju
lambung.
Yang perlu ditelusuri dalam anamnesis adalah lokasi, tipe makanan dan
cairan, progresif atau intermiten, lama keluhan atau gejala. Ada banyak
penyebab atau etiologi yang menyebabkan disfagia. Ada beberapa jenis
pemeriksaan untuk memastikan adanya disfagia.
172 | B A N U 4
Terdapat penanganan yang berbeda untuk berbagai jenis disfagia sesuai
dengan penyebabnya. Ada pendekatan langsung yang melibatkan makanan
dan pendekatan tidak langsung tanpa bolus makanan.
DAFTAR PUSTAKA
Burke, M.M., Larami, J.A. 2000. Primary Care of the Older Adult, A Multidisciplinary Approach. First edition, St Louis: Mosby Inc. p.254-268. Darmojo, R.B. 2000. Buku ajar Geriatri. Edisi ke 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. p.3-13. Ganong, W.F. 2001. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 20. Jakarta: ECG. Garbin, S.G. 2013. Swallowing Disorders: A Guide to Managing Dysphagia in Elderly. 2nd edition. Hall, J.E., Guyton, A.C. 2011. Guyton and Hall, Textbook of Medical Physiology. 12th edition. Philadelphia: Saunders Elsevier. Harris, B.M., Jones, B. 2008. The Video Fluoroscophic Swallowing Study, Physical Medicine and Rehabilitation Clinics of North America. Philadelphia: Saunders Elsevier. p.769-785. Kane, R.L., Ouslander, J.G., Abrass, I.B. 1994. Essential of Clinical Geriatrics. 3rd edition. New York: Mc Graw Hill Inc. p.3-18. Malagelada, J.R., Bazzoli, F., Boeckxstaens, G., De-Looze, D., Fried, M., Kahrilas, P., Lindberg, G., Malfertheiner, P., Salis, G., Sifrim, D., vakil, N., Le-Mair, A. 2014. World Gastroenterology Organisation Global Guidelines: Dysphagia-Global Guidelines and Cascades update September 2014. J Clin Gastroenterol. May-Jun: 49(5):370-8. Napitupulu, E.Y. 2010. Prognosis Disfagia. Semarang: Universitas Diponegoro. Paik, N.J. 2014. Dysphagia. Available from: URL: http/www.emedicine.com/pmr/topic.194.htm. Rofes, L., Arreola, V., Almirral, J. 2011. Diagnosis and Management of Oropharyngeal Dysphagia and Its Nutritional and Respiratory Complications in Elderly. Gastroenterology Research and Practice. Volume 11:1-13.
173 | B A N U 4
Sura, L., Maddhavan, A., Carnaby, G., Crary, M.A. 2012. Dysphagia in Elderly, Management and Nutritional Considerations. Clinical Interventions in Aging. 287 – 298. Teasell, R., Foley, N., Rosemary. 2013. Dysphagia and Aspiration Following Stroke. Evidence Based Review of Stroke Rehabilitation. Vol.10:29-58.
174 | B A N U 4
NUTRITION SUPPORT IN ELDERLY
Ketut Sumada Bagian/ SMF Neurologi RSUD Wangaya
Pendahuluan
Lanjut usia (lansia) merupakan tahap akhir dalam kehidupan manusia
yang ditandai dengan menurunnya kemampuan kerja tubuh akibat perubahan
atau penurunan fungsi organ-organ tubuh (Arisman, 2004).
Berdasarkan WHO (Setianto, 2007), lansia dibagi menjadi tiga golongan:
a. Umur lanjut (elderly): usia 60-75 tahun
b. Umur tua (old): usia 76-90 tahun
c. Umur sangat tua (very old): usia > 90 tahun
Proses menua adalah proses yang mengubah seorang dewasa yang sehat
menjadi seseorang frail dengan berkurangnya sebagian besar cadangan
sistem fisiologis dan meningkatnya kerentanan terhadap berbagai penyakit
dan kematian.
Seiring dengan bertambahnya usia, terjadi perubahan fisiologis yang tidak
hanya berpengaruh terhadap tampilan fisik, namun juga fungsi dan
tanggapannya pada kehidupan sehari-hari.
Namun harus dicermati bahwa setiap individu mengalami perubahan-
perubahan tersebut secara berbeda. Pada beberapa individu, laju
penurunannya mungkin cepat dan dramatis, sementara pada individu lainnya,
perubahannya lebih tidak bermakna.
Terdapat beberapa istilah yang digunakan oleh gerontologist ketika
membicarakan proses menua:
• Aging: menunjukkan efek waktu, suatu proses perubahan, biasanya
bertahap dan spontan
• Senescene: hilangnya kemampuan sel untuk membelah dan
berkembang (dan seiring waktu akan menyebabkan kematian)
• Homeostenosis: penyempitan/ berkurangnya cadangan homeostasis
yang terjadi selama penuaan pada setiap sistem organ
175 | B A N U 4
Istilah aging yang hanya menunjukkan efek waktu, dianggap tidak mewakili
apa yang terjadi pada proses menua. Sebab berbagai proses yang terjadi
seiring waktu, seperti perkembangan (development), dapat disebut sebagai
aging. Aging merupakan proses yang terus berlangsung (continuum), yang
dimulai dengan perkembangan (development) yaitu proses generatif seiring
waktu yang dibutuhkan untuk kehidupan, dan dilanjutkan dengan senescence
yaitu proses degeneratif yang inkompatibel dengan kehidupan.
Istilah senescence digunakan untuk menggambarkan turunnya fungsi efisien
suatu organisme sejalan dengan penuaan dan meningkatnya kemungkinan
kematian. Membedakan antara aging dan senescence dianggap perlu,
karena banyak perubahan selama aging mungkin tidak merusak dan mungkin
suatu perubahan yang diharapkan. Sebagai contoh, kebijakan (wisdom) yang
meningkat seiring usia tidak dianggap sebagai senescence melainkan suatu
aging, walaupun hal itu merupakan bagian dari proses menua. Sebaliknya,
gangguan memori yang terjadi selama aging merupakan manifestasi
senescence. Berbagai teori mengenai proses penuaan telah diajukan, namun
hingga 20 tahun yang lalu teori-teori tersebut kelihatannya sama dengan teori-
teori penuaan yang pernah diajukan 200 tahun bahkan 2000 tahun yang lalu,
walaupun umumnya negara di dunia setuju usia >60 sebagai lanjut usia, tetapi
kebanyakan negara berkembang menyatakan usia 65 tahun sebagai usia
lanjut. Dari 197 manula yang diteliti WHO dengan menggunakan kriteria BMI
29,7 % manula kurang makan, dan 43,8 % eutrophic.
Diperkirakan jumlah penduduk lansia di dunia akan mencapai puncaknya di
tahun 2040 dengan angka 1,3 miliar. Jumlah ini melejit 23,3% dibanding
pertengahan 2008 yang mencapai 506 juta jiwa. Pada tahun 2000, jumlah
penduduk Lansia sebanyak 14,4 juta (7,18%), pada tahun 2020 diperkirakan
menjadi dua kali lipat berjumlah 28,8 juta (11,34). Sesuai data BPS 2007
penduduk Lansia Indonesia berjumlah 18,96 juta (8,42%).
Orang tua makan lebih sedikit dan kurang sering dibanding dengan orang
muda, terutama pada saat sakit keras dimana saat itu diperlukan banyak
energi, sehingga menyebabkan kurang energi dan terjadi malnutrisi general,
176 | B A N U 4
lebih daripada itu akan terjadi defisit masa otot seperti sarcopenia yg
memperberat keadaan.
Faktor yang dapat menyebabkan nafsu makan menurun atau asupan pada
manula berkurang saat perawatan di RS antara lain:
• Gangguan mental seperti depresi
• Gangguan neurologi seperti demensia, Parkinson Disease, dan stroke
• Penyakit kronis: Multipel Sclerosis, Motor neuron disease, Osteoporosis,
arthritis
• Keganasan dan pengobatannya
• Gigi yang rusak
• Disfungsi Saluran Cerna: GERD, mual, muntah, diare, konstipas
• Efek obat
Saluran cerna karena bertambahnya usia akan mengurangi respon sensoris
dan motilitas mengurangi kekuatan otot dan enzim pencernaan, yang pada
akhirnya menurunkan absorpsi makronutrien dan mikronutrion, maka akan
terjadi sensory loss, dimana sensory loss lebih cepat terjadi setelah usia 70
tahun, tetapi bisa juga terjadi saat usia 60 tahun (Schiffman & Graham, 2000).
Berkurangnya penglihatan, penciuman, dan pengecapan yg mendorong
terjadinya defisit energi sehingga terjadi kekurangan protein mikronutrien,
maka akan terjadi gangguan fungsi dan imunitas.
Kemoreseptor berkurang seiring usia dengan adanya penyakit, pengobatan,
operasi, malnutrisi, dan pengaruh lingkungan. Nutrisi suplemen oral
dianjurkan pada pasien manula yg punya risiko kekurangan nutrisi, pada
kasus multimorbiditas dan kelemahan yang dilakukan operasi tulang.
Tube feeding jelas diperlukan pada pasien dengan disfagia, tetapi sebaliknya
Tube feeding tidak dianjurkan pada pasien fase terminal. Penggunaan nutrisi
parenteral dianjurkan bila terjadi starvation >3 hari atau jika oral atau enteral
tidak bagus >7-10 hari.
Elderly dimasukkan ke dalam kelompok rentan gizi, meskipun tidak ada
hubungannya dengan pertumbuhan badan, bahkan sebaliknya sudah terjadi
involusi dan degenerasi jaringan dan sel-selnya. Timbulnya kerentanan
terhadap kondisi gizi disebabkan kondisi fisik, baik anatomis maupun
177 | B A N U 4
fungsionalnya. Gigi-geligi pada elderly sudah banyak yang rusak bahkan
copot, sehingga memberikan kesulitan dalam mengunyah makanan,
makanan harus diolah sehingga makanan tidak perlu digigit atau dikunyah
keras-keras. Makanan yang dipotong kecil-kecil, lunak dan mudah ditelan
akan sangat membantu para elderly dalam mengkonsumsi makanannya.
Fungsi alat pencernaan dan kelenjar-kelenjarnya juga sudah menurun,
sehingga makanan harus yang mudah dicerna dan tidak memberatkan fungsi
kelenjar pencernaan. Makanan yang tidak banyak mengandung lemak, pada
umumnya lebih mudah dicerna, tetapi harus cukup mengandung protein dan
karbohidrat. Kadar serat yang tidak dicerna jangan terlalu banyak, tetapi harus
cukup tersedia untuk melancarkan peristalsis dan dengan demikian
melancarkan pula defekasi, dan menghindarkan obstipasi.
Setiap mahluk hidup membutuhkan makanan untuk mempertahankan
kehidupannya, karena di dalam makanan terdapat zat-zat gizi yang
dibutuhkan tubuh untuk melakukan kegiatan metabolismenya. Bagi lansia
pemenuhan kebutuhan gizi yang diberikan dengan baik dapat membantu
dalam proses adaptasi atau menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan
yang dialaminya, selain itu dapat menjaga kelangsungan pergantian sel-sel
tubuh, sehingga dapat memperpanjang usia.
Kebutuhan kalori pada lansia berkurang karena berkurangnya kalori dasar
dari kebutuhan fisik. Kalori dasar adalah kalori yang dibutuhkan untuk
malakukan kegiatan tubuh dalam keadaan istirahat, misalnya untuk jantung,
usus, pernafasan dan ginjal.
Berdasarkan kegunaannya bagi tubuh, zat gizi dibagi ke dalam 3 kelompok
besar, yaitu:
1. Kelompok zat energi, termasuk ke dalam kelompok ini adalah:
Bahan makanan yang mengandung karbohidrat seperti beras, jagung,
gandum, ubi, roti, singkong dll, selain itu dalam bentuk gula seperti gula,
sirup, madu dll.
Bahan makanan yang mengandung lemak seperti minyak, santan,
mentega, margarin, susu dan hasil olahannya.
178 | B A N U 4
2. Kelompok zat pembangun. Kelompok ini meliputi makanan yang banyak
mengandung protein, baik protein hewani maupun nabati, seperti daging,
ikan, susu, telur, kacang kacangan dan olahannya.
3. Kelompok zat pengatur. Kelompok ini meliputi bahan-bahan yang banyak
mengandung vitamin dan mineral, seperti buah-buahan dan sayuran.
Patut diingat bahwa keperluan energi lansia sudah menurun, jadi sebaiknya
tidak menghidangkan makanan seperti masih belum berusia lanjut. Ada
baiknya bila lansia dijaga jangan sampai menjadi kegemukan karena akan
lebih mudah menderita berbagai kelainan atau penyakit gizi yang
berhubungan dengan kondisi obesitas. Frekuensi penyakit Diabetes Mellitus
dan kardiovaskular meningkat pada kelompok lansia. Umumnya yang sangat
ditakuti ialah kemungkinan meningkat untuk mendapat penyakit kanker.
Lansia berisiko tinggi mengalami masalah nutrisi, hal ini cukup beralasan
sehingga prevalensi yang tinggi mengenai masalah nutrisi pada lansia ini
telah menjadi sorotan dalam sejumlah survei, karena terdapat fakta bahwa
sebagian besar lansia di komunitas mengalami masalah nutrisi juga dapat
dialami oleh lansia yang dirawat di rumah sakit.
Lansia yang mengalami masalah nutrisi disebabkan oleh sejumlah faktor,
antara lain fisik, patologis, dan psikososial. Jika semuanya bergabung maka
akan mengakibatkan perburukan status nutrisi yang akhirnya dapat
membahayakan status kesehatan lansia.
Suatu teori mengenai penuaan dapat dikatakan valid bila ia dapat memenuhi
tiga kriteria umum berikut:
1. Teori yang dikemukakan tersebut harus terjadi secara umum di seluruh
anggota spesies yang dimaksud
2. Proses yang dimaksud pada teori itu harus terjadi secara progresif seiring
waktu
3. Proses yang terjadi harus menghasilkan perubahan yang menyebabkan
disfungsi organ dan menyebabkan kegagalan suatu organ atau sistem
tubuh tertentu.
Beberapa teori tentang menua yang dapat diterima saat ini, antara lain:
1. Teori Radikal Bebas
179 | B A N U 4
Teori radikal bebas menyebutkan bahwa produk hasil metabolisme yang
sangat reaktif (radikal bebas) dapat bereaksi dengan berbagai komponen
penting selular, termasuk protein, DNA, lipid, dan menjadi molekul-
molekul yang tidak berfungsi namun bertahan lama serta dapat
mengganggu fungsi sel lainnya. Teori radikal bebas diperkenalkan
pertama kali oleh Denham Harman pada tahun 1956 yang menyatakan
bahwa proses menua normal merupakan akibat kerusakan jaringan oleh
radikal bebas. Radikal bebas adalah senyawa kimia yang berisi electron
tidak berpasangan.
Radikal bebas tersebut terbentuk sebagai hasil sampingan berbagai
proses selular atau metabolisme normal yang melibatkan oksigen.
Karena elektronnya tidak berpasangan, secara kimiawi radikal bebas
akan mencari pasangan elektron lain dengan bereaksi dengan substansi
lain terutama protein dan lemak tidak jenuh. Melalui proses oksidasi,
radikal bebas yang dihasilkan selama proses fosforilasi oksidatif dapat
menghasilkan berbagai hasil modifikasi makromolekul. Radikal bebas
juga dapat merusak fungsi sel dengan merusak membran sel atau
kromosom sel.
2. Teori glikosilasilasi
Teori ini menyatakan bahwa proses glikosilasi non-enzimatik yang
menghasilkan pertautan glukosa-protein yang disebut sebagai advanced
glycation end products (AGEs) dapat menyebabkan penumpukan protein
dan makromolekul lain yang termodifikasi sehingga terjadi disfungsi pada
hewan atau manusia yang menua. Protein glikasi menunjukkan
perubahan fungsional, meliputi turunnya aktivitas enzim dan menurunnya
degradasi protein abnormal.
Saat manusia menua, AGEs berakumulasi di berbagai jaringan, termasuk
kolagen, hemoglobin dan lensa mata. Karena muatan kolagennya tinggi,
jaringan ikat menjadi kurang elastis dan kaku. Kondisi tersebut juga dapat
mempengaruhi elastisitas dinding pembuluh darah. AGEs juga diduga
berinteraksi dengan DNA dan karenanya mungkin mengganggu
kemampuan sel untuk memperbaiki perubahan pada DNA.
180 | B A N U 4
3. Teori DNA Repair
Teori DNA repair dikemukakan oleh Hart dan Setlow. Mereka
menunjukkan bahwa adanya perbedaan pola laju perbaikan (repair)
kerusakan DNA yang diinduksi sinar ultraviolet (UV) pada berbagai
fibrobla yang di kultur. FIbroblas pada spesies yang mempunyai umur
maksimum terpanjang menunjukkan laju DNA repair terbesar, dan
korelasi ini dapat ditunjukkan pada berbagai mamalia dan primata.
Perubahan Anatomi dan Fisiologi Sistem Gastrointestinal pada Geriatri
Dengan bertambahnya umur, kemampuan kita dalam mengecap,
mencerna, menyerap dan metabolisme makanan akan berubah, oleh karena
terjadi penurunan indra pengecap dan pencium, banyak lansia yang tidak
dapat lagi menikmati aroma dan rasa makanan. Bertambahnya usia
berkorelasi negatif dengan jumlah taste buds pada lidah lansia. Nilai ambang
terhadap aroma, rasa manis, pahit dan asin meningkat dan kehilangannya
menjadi nyata pada usia sekitar 70 tahun. Defisiensi seng atau pengaruh obat
tertentu dapat memperberat dan mempercepat penurunan fungsi indra-indra
tersebut. Keadaan ini dapat menyebabkan lansia secara tidak sadar senang
pada makanan yang asin, kurang menikmati makanan serta penurunan nafsu
makan dan asupan makanan. Penurunan produksi saliva akan menyebabkan
mulut relatif kering (xerostomia), yang akan makin mengganggu indra
pengecap atau perasa.
Usia tua menyebabkan kerusakan gusi dan gigi, yang pada waktunya
menyebabkan gigi berlubang dan terpaksa dicabut, hal ini menyebabkan rasa
kurang nyaman atau sakit saat mengunyah. Gigi tiruan pada umumnya
kurang efektif dalam proses mengunyah bila dibandingkan dengan gigi alami.
Oleh sebab itu, orang lanjut usia sebaiknya memilih makanan yang lebih lunak
untuk dimakan. Gigi merupakan unsur penting untuk pencapaian derajat
kesehatan dan gizi yang baik. Penelitian di dalam maupun luar negeri
menunjukkan banyak lansia yang telah kehilangan sebagian besar gigi
mereka tidak mengganti dengan gigi palsu dan sebagian yang memakai gigi
181 | B A N U 4
palsu keadaannya tidak nyaman hingga mengganggu saat makan dan
mengunyah.
Reseptor pada esofagus kurang sensitif dengan adanya makanan, hal ini
menyebabkan kemampuan peristaltik esofagus mendorong makanan ke
lambung menurun sehingga pengosongan esofagus terlambat. Refluks
gastroesofagal dapat juga terjadi karena fungsi sfingter melemah.
Lambung memiliki berbagai fungsi, yakni mencerna makanan yang telah
dikunyah, mencampur makanan dengan enzim dan cairan pencerna serta
melepaskan makanan ke arah saluran cerna berikutnya. Pada lansia, motilitas
lambung menurun hingga pengosongan lambung menjadi lebih lambat.
Selain itu, atrofi gaster menimpa 1 dari 4 lansia pada usia sekitar 60 tahun.
Kehilangan/ berkurangnya epitel lambung akan menyebabkan peningkatan
pH lambung dan penurunan sekresi faktor intrinsik. Penurunan pH akan
menurunkan kemampuan absorpsi besi, kalsium, vitamin B6, B12 dan asam
folat, serta dapat menyebabkan pertumbuhan bakteri pada usus halus. Tidak
banyak diketahui perubahan pada usus kecil lansia, namun pada beberapa
penelitian menemukan adanya kolonisasi bakteri di usus kecil pada lansia
dengan atrofi gaster. Kolonisasi bakteri ini dapat menghambat penyerapan
vitamin B.
Motilitas intestinal pada lansia dilaporkan mengalami perubahan. Pada kolon,
terdapat atrofi mukosa dan perubahan sel penghasil mukus. Otot polos pada
dinding kolon melemah dan digantikan dengan jaringan ikat. Hal ini dapat
menyebabkan seorang lansia menderita diverticulosis dan konstipasi.
Konstipasi merupakan keluhan umum lansia oleh karena peristaltik yang
melemah. Imobilitas, kekurangan cairan karena kurang minum dan makanan
rendah serat memperberat masalah konstipasi. Dilaporkan bahwa aktivitas
fisik yang cukup dapat mempertahankan motilitas kolon. Orangtua sering
mengalami susah buang air besar dikarenakan berkurangnya gerakan usus,
kurangnya makanan yang tinggi serat, obat-obatan (terutama analgetik), atau
infeksi saluran cerna. Bila sisa makanan lama berada di dalam saluran cerna,
maka feses akan mengeras sehingga mempersukar buang air besar.
182 | B A N U 4
Kesukaran buang air besar dapat juga disebabkan faktor-faktor psikologis
seperti rasa sedih, takut, dan khawatir.
Penyakit kantong empedu juga meningkat pada proses penuaan. Meskipun
terdapat penurunan ukuran prankeas pada lansia umur 70 tahun atau lebih,
namun tidak dilaporkan adanya penurunan fungsional dari pankreas dengan
bertambahnya usia. Terdapat penurunan kemampuan fungsional liver, seperti
fungsi enzim sitokrom 450 dan sintesis albumin pada lansia. Fungsi liver yang
menurun akan menyebabkan metabolism kolesterol dan vitamin kurang
efisien.
Pada gigi sampai anus terjadi perubahan morfologik degeneratif, antara lain
perubahan atrofi pada rahang, sehingga gigi lebih mudah tanggal. Perubahan
atrofi juga terjadi pada mukosa, kelenjar dan otot-otot pencernaan. Berbagai
perubahan morfologik ini akan menyebabkan perubahan fungsional sampai
perubahan patologik, diantaranya gangguan mengunyah dan menelan,
perubahan nafsu makan sampai pada berbagai penyakit, diantaranya adalah:
• Disfagia
• Kausa neurologi:
• Saraf pusat: stroke, bulbar palsy, presbiesofagus
• Saraf otonom
• Kausa diluar dinding esophagus:
• Aneurisma aorta, karsinoma mediastinum
• Dinding esophagus:
• Karsinoma
• Refluks esofagus
• Akalasia kardia
• Moniliasis
• Hiatus Hernia
Sering merupakan keadaan yang menyertai proses penuaan. Terdapat
laporan mengatakan pada usia diatas 70 tahun didapatkan 70%
penderita hiatus hernia. Jenis hiatus hernia:
• Sliding: sering terdapat pada usia lanjut dihubungkan dengan
esofagitis refluks.
183 | B A N U 4
• Paraesofageal rolling: hernia yang prevalensinya pada usia lanjut
sama dengan pada usia muda.
• Perubahan Sekresi Lambung
Semakin lanjut usia seseorang, akan sering terjadi kegagalan sekresi
asam lambung, karena terjadi atrofi sel mukosa lambung.
• Ulkus Peptikum
Terdapat perbedaan kejadian ulkus petikum pada usia lanjut
dibandingkan dengan usia muda, dimana pada usia lanjut terjadinya
ulkus gaster besar sering asimtomatik, meskipun asimtomatik bukan
berarti hal ini tidak penting sebagai penyebab kematian. Sepertiga
kematian akibat ulkus peptikum terjadi pada usia lanjut. Gejala yang yang
dapat ditemui diantaranya anemia, berat badan turun dan rasa tidak enak
di perut bagian atas.
• Divertikulosis
Divertikulosis sering berhubungan dengan proses penuaan. Lokasi yang
tersering adalah di esophagus, duodenum dan jejunum. Kelainan ini
penting oleh karena sering menyebabkan defisiensi vitamin B12,
terutama pada divertikulosis multipel.
• Pankreatitis
Walaupun prevalensinya jarang, akan tetapi insidensinya meningkat
dengan bertambahnya usia. Hal ini diduga akibat penyakit iskemia
vaskular. Keadaan ini juga sering terjadi pada accidental hypothermia.
• Sindrom Malabsorpsi
Sindrom malabsorpsi sering menyebabkan defisiensi berbagai zat (asam
folat, vitamin B12, zat besi, kalsium, vitamin D, dll). Keadaan ini
dihubungkan dengan terjadinya perubahan vili mukosa usus halus pada
proses penuaan yang menjadi lebih pendek dan lebih lebar. Adanya
sindrom ini dapat diperiksa dengan berbagai tes, misalnya tes xylose, tes
koleksi feses 3 hari dan tes biopsi usus halus.
• Usus Besar
Dari aspek fisiologi dan patologi usus besar, yang perlu diperhatikan
adalah kebiasaan buang air besar dan keluhan konstipasi. Sedangkan
184 | B A N U 4
berbagai keadaan patologi usus besar lainnya adalah penyakit
megakolon, karsinoma kolon dan rectum, kolitis iskemik dan kolitis
ulserativa.
Absorpsi zat gizi pada lansia juga terjadi perubahan seiring bertambahnya
usia. Absorpsi zat gizi tergantung pada berbagai macam faktor seperti
pencernaan yang baik, mukosa intestinal yang utuh, adanya zat penghambat
atau pendorong absorpsi dan aliran darah di permukaan absorpsi. Pada
lansia yang sehat, proses pencernaan relatif baik, dimana zat gizi diubah
menjadi bentuk molekular atau zat ionik untuk diabsorpsi. Penelitian yang ada
saat ini menunjukkan pada lansia yang sehat, tidak terdapat gangguan
absorpsi karbohidrat, protein dan lemak.
Malabsorpsi pada lansia umumnya terjadi karena beberapa kelainan seperti
insufisiensi pankreas, pertumbuhan bakteri yang berlebihan, penggunaan
obat-obatan yang berlebihan atau penyakit kronis. Keadaan ini diperberat
dengan perubahan struktur dan fungsi pada saluran cerna. Sebagai contoh,
gigi geligi yang tidak lengkap menyebabkan pemecahan makronutrien tidak
sempurna dan paparan enzim mulut menjadi berkurang. Hal ini menyebabkan
ukuran molekul masih besar dan absorpsi kurang baik pada saat makanan
sampai di intestinal, apalagi dengan seringnya pemakaian laksansia yang
menyebabkan makanan cepat dikeluarkan sebelum dapat diabsorpsi dengan
baik.
Perubahan komposisi tubuh juga terjadi pada lansia. Komposisi tubuh dapat
memberikan indikasi status gizi dan tingkat kebugaran jasmani seseorang.
Para peniliti terdahulu telah mengetahui hubungan antara komposisi tubuh
dengan kesehatan dan penyakit, mereka melakukan studi pada cadaver untuk
menentukan ukuran dan isi dari berbagai tubuh. Pada abad ke-19, ditemukan
berbagai senyawa kimiawi yang ternyata ada pula pada jaringan dan cairan
tubuh. Penurunan massa otot akan mengakibatkan penurunan kebutuhan
energi yang terlihat pada lansia.
Keseimbangan energi pada lansia lebih lanjut dipengaruhi oleh aktivitas fisik
yang menurun. Pemahaman akan hubungan berbagai keadaan tersebut
penting dalam membantu lansia mengelola berat badan mereka. Untuk
185 | B A N U 4
mengevaluasi komposisi tubuh, tubuh dibagi dalam berbagai kompartemen
berdasarkan karakteristik kimiawi, anatomi dan cairan. Menurut model
kimiawi, tubuh terdiri dari 4 kompartemen yakni air, mineral, protein dan
lemak. Menurut model jaringan, tubuh terdiri dari 4 kompartemen yakni otot
skeletal, jaringan lemak, tulang, darah dan lain-lain (termasuk organ tubuh
dan limfe). Selanjutnya menurut model cairan dikenal berbagai istilah yakni:
fat-free mass (jaringan-bebas lemak), body cell mass (massa sel tubuh), total
body water (air tubuh) dan body fat (lemak tubuh).
Secara umum, sepanjang masa kehidupan terjadi perubahan komposisi
tubuh yang tercermin pada perubahan berbagai kompartemen atau bagian
tubuh. Karakteristik umum yang dapat diobservasi dengan perubahan usia
adalah berkurangnya jaringan-bebas lemak dan meningkatnya lemak tubuh.
Lemak tubuh meningkat secara konsisten dari usia 25 tahun sampai 65 tahun
atau lebih yaitu 17% menjadi 29% pada laki-laki dan 29% menjadi 38% pada
perempuan. Jaringan-bebas lemak tidak berubah sampai usia paruh tengah,
dan menurun setelah usia 45 tahun, yakni 65 kg menjadi 55 kg pada pria dan
48 kg menjadi 39 kg pada perempuan. Bartlett menemukan bahwa kehilangan
jaringan-bebas lemak pada perempuan lebih tinggi daripada laki-laki.
Meskipun jaringan lemak meningkat, namun lemak di bawah kulit yang diukur
pada lengan atas, dan dada justru menurun. Dengan demikian, terjadi
penumpukan lemak internal. Perubahan pada komposisi tubuh terjadi karena
perubahan hormonal dan pola hidup. Pola sekresi hormon steroid, estrogen
testosteron dan hormon pertumbuhan berubah pada usia tua.
Lansia yang secara fisik tetap aktif, sampai batas waktu tertentu akan
terhindar dari akumulasi lemak tubuh dan penurunan jaringan-bebas
lemaknya. Berkurangnya jaringan-bebas lemak dikenal dengan nama
sarcopenia. Penurunan kekuatan otot pada lansia disebabkan oleh
penurunan massa otot bukan karena hilangnya kemampuan fungsional dari
otot-otot yang tersisa. Satu faktor yang turut bertanggung jawab terhadap
penurunan jaringan otot adalah kehidupan santai fisik (sedentary) yang akan
menyebabkan atrofi otot.
186 | B A N U 4
Kebutuhan Makronutrien
Untuk mengurangi kenaikan berat badan yang tak diinginkan, asupan
energi harus diturunkan mengingat berkurangnya massa otot dan aktifitas
fisik. Pada waktu yang sama, asupan protein, vitamin dan mineral tetap
dibutuhkan dalam jumlah sama, bahkan ada yang meningkat seperti
kebutuhan vitamin B6 dan kalsium.
Kebutuhan energi lansia harus tetap memasukkan komponen efek termal
makanan, resting energy expenditure dan aktifitas fisik. Kebutuhan energi
(kilokalori/ kalori) menurun pada proses penuaan. Hal ini disebabkan oleh
karena terjadinya perubahan komposisi tubuh, yaitu menurunnya jumlah sel-
sel otot dan meningkatnya sel-sel lemak, yang menyebabkan menurunnya
kebutuhan energi untuk menjalankan fungsi tubuh. Disamping itu, aktivitas
fisik lansia biasanya menurun.
Setelah usia 50 tahun, kebutuhan energi berkurang sebesar 5% setiap 10
tahun. Studi di Indonesia maupun luar negeri menunjukkan banyaknya lansia
yang asupan energinya di bawah AKG (Angka Kecukupan Gizi). Asupan yang
jauh di bawah atau di atas AKG akan memberikan dampak yang sama yakni
dampak buruk atau kurang baik. Asupan energi sebesar 20% di bawah AKG
187 | B A N U 4
secara epidemiologi justru memberikan pengaruh yang positif. Mereka yang
usianya panjang bahkan mencapai diatas seratus tahun ternyata
mengkonsumsi energi 20% di bawah AKG. Ada 8 variabel modifier kuat yang
berperan dalam pencapaian usia panjang, di mana 3 variabelnya masuk ke
dalam kategori gizi, yaitu pengendalian berat badan, makan secara teratur
termasuk makan pagi dan konsumsi alkohol yang moderat atau tidak sama
sekali.
Menurunnya kemampuan fisik tidak berarti bahwa lansia tidak perlu
melakukan aktivitas fisik. Aktivitas fisik atau olahraga dalam batas-batas
tertentu secara teratur sangat dianjurkan. Latihan beban dapat menambah
kekuatan otot-otot, olahraga aerobik dapat meningkatkan kemampuan sistem
pernapasan, jantung dan peredaran darah, jalan kaki selama 10 menit per
hari cukup memberikan manfaat daripada tidak bergerak sama sekali.
Energi terutama diperoleh tubuh dari hasil pembakaran karbohidrat dan
lemak. Oleh sebab itu, untuk menurunkan konsumsi energi makanan, maka
konsumsi karbohidrat dan lemak perlu dikurangi. Ini berarti mengurangi
makan nasi, makanan yang terbuat dari tepung-tepungan, umbi-umbian, gula,
lemak dan minyak. Khusus bagi mereka penderita diabetes mellitus, gula
sama sekali tidak boleh dimakan. Bila kolesterol darah tinggi, kurangi
makanan lemak dan minyak serta makanan yang banyak mengandung
kolesterol. Hindari lemak dan minyak yang tergolong lemak jenuh (saturated
fats) yaitu lemak hewan, kecuali lemak ikan serta minyak kelapa dan kelapa
sawit. Gunakan minyak yang tergolong lemak tidak jenuh ganda
(polyunsaturated fats), yaitu minyak kacang tanah, kacang kedelai, jagung
atau biji bunga matahari. Lemak minyak ikan ternyata tinggi dalam asam
lemak tidak jenuh ganda, yaitu jenis omega-3 yang dapat menurunkan
kolesterol darah dan mencegah arthritis, sehingga baik dimakan pada usia
lanjut.
Kolesterol yang merupakan jenis lemak, hanya terdapat di dalam makanan
hewani, terutama otak, hati dan jeroan, daging berlemak, keju, mentega,
kuning telur, udang dan kerang. Ikan dan daging ayam yang dikeluarkan
lapisan lemaknya lebih sedikit mengandung kolesterol. Oleh karena itu, pada
188 | B A N U 4
usia lanjut sebaiknya lebih banyak makan ikan dan ayam sebagai lauk
daripada daging sapi.
Protein sebagai sumber energi tidak perlu dikurangi pada usia lanjut, karena
pada usia lanjut, protein terutama berfungsi sebagai zat pembangun dan pada
proses penuaan, protein diperlukan untuk mengganti sel-sel yang rusak.
Namun, protein tidak boleh dimakan dalam jumlah berlebihan, karena dapat
memperberat fungsi ginjal. Protein dibedakan dalam protein hewani dan
protein nabati. Protein hewani yang dianjurkan adalah ikan, daging dan ayam
tanpa lemak, susu tanpa lemak/ susu skim dan telur. Bila ada kecenderungan
kolesterol tinggi, batasi makan telur sebanyak 3-5 butir sehari. Protein nabati
terdapat dalam kacang-kacangan seperti kacang hijau, kacang tanah, kacang
merah dan kacang kedelai, termasuk produk kedelai seperti susu kedelai,
tempe dan tahu. Protein kacang-kacangan hampir sama mutunya dengan
protein hewani. Kebutuhan protein untuk lansia di USA ditentukan sebesar
0,8gr/kgBB/hari. Namun Campbell, dkk melaporkan bahwa kebutuhan protein
lansia lebih tinggi yakni sekitar 1-1,25gr/kgBB/hari. Pada lansia yang sakit,
kebutuhan dapat meningkat menjadi 1,5gr/kgBB/hari untuk dapat
mempertahankan keseimbangan nitrogen. Keadaan ini diterangkan dengan
adanya peningkatan kebutuhan protein karena terjadinya katabolisme
jaringan (penurunan massa otot) serta adanya penyakit baik yang akut
maupun yang kronik. Untuk Indonesia, berdasar Widya Karya Nasional
Pangan dan Gizi tahun 2004, maka kecukupan yang dianjurkan adalah
60gr/hari untuk laki-laki dan 50gr/hari untuk perempuan usia 60 tahun keatas
dengan berat badan standar 60 kg dan 50 kg. Dalam praktek sehari-hari pada
lansia yang dirawat, pemberian protein harus disesuaikan dengan fungsi
ginjal penderita serta jenis penyakit yang diderita lansia yang bersangkutan.
Pada dasarnya, pemberian protein harus mencukupi kebutuhan tanpa
membebani fungsi ginjal serta mempertimbangkan temuan laboratorium yang
lain.
Lipid serum merupakan prediktor kuat bagi kejadian penyakit jantung
vaskular. Oleh karena itu asupan lemak sehari-hari pada lansia diupayakan
untuk tidak meningkatkan berbagai fraksi lipid yang tidak diinginkan. Di
189 | B A N U 4
negara barat, asupan makanan sehari-hari dapat mencapai diatas 40% dari
keseluruhan energi yang masuk. Para ahli sepakat, berdasar dari berbagai
studi epidemiologi pada kelompok dewasa, bahwa asupan lemak
menyumbangkan 20% asupan energi dalam sehari dapat menurunkan risiko
terjadinya penyakit jantung koroner, oleh karena itu pada lansia asupan lemak
yang dianjurkan adalah menyumbang 20-25% energi yang dibutuhkan dalam
sehari. Lemak tetap dibutuhkan karena fungsinya sebagai pelarut vitamin A,
D, E dan K serta sumber asam lemak essensial. Selain itu, memasak dengan
minyak akan meningkatkan cita rasa dan aroma makanan, yang sangat
penting agar lansia menjadi bergairah untuk makan. Jenis lemak juga sangat
menentukan bagi kepentingan selain sebagai sumber energi. Sangat
dianjurkan bahwa sumber lemak omega-3, omega-6 ada dalam makanan
sehari-hari. Sumbernya adalah antara lain minyak nabati, kacang-kacangan,
ikan laut (lemuru, salmon, mekerel).
Mengkonsumsi kelompok kacang-kacangan lebih dari 5 kali per minggu (1
porsi = 1 ons kacang-kacangan) dapat menurunkan risiko penyakit jantung
koroner 25-39%.
Lemak jenuh, terutama yang dihidrogenisasi (lemak trans) dapat
meningkatkan kolesterol total dan kolesterol LDL serta menekan kolesterol
HDL. Harper dan Jacobson menganjurkan untuk semua umur, untuk tidak
mengkonsumsi lemak diatas 30% dari keseluruhan energi yang masuk dalam
sehari.
Kebutuhan hidrat arang biasanya dihitung by differencea dalam arti bahwa
sumbangan energi dari hidrat arang diperhitungkan sebagai sisa kebutuhan
energi sesudah memperhitungkan sumbangan energi yang berasal dari
lemak dan protein. Selain itu harus diperhatikan bahwa untuk mencegah
ketosis, minimal harus masuk 50-100 gram hidrat arang setiap harinya. Pada
lansia sumber hidrat arang yang dianjurkan adalah yang mempunyai nilai
indeks glikemik yang rendah serta cukup kadar seratnya. Konsumsi refined
carbohydrates seperti gula dan tepung-tepungan yang telah dihilangkan
kandungan seratnya sebaiknya dibatasi.
190 | B A N U 4
Kebutuhan akan air atau cairan sering dilupakan, padahal pada lansia risiko
terjadinya dehidrasi yang tidak disadari cukup tinggi oleh karena
meningkatnya persepsi haus. Lebih-lebih pada lansia yang hidup di daerah
tropik. Selain gangguan persepsi haus, penyakit kronik dan imobilitas dapat
pula menurunkan asupan air. Asupan air yang kurang dapat meningkatkan
osmolalitas serum yang kemudian dapat mengganggu keseimbangan asam
basa darah. Asupan air yang dianjurkan adalah 30ml/kgBB/hari.
Kebutuhan Mikronutrien
Kebutuhan akan sebagian besar vitamin B, C, dan E pada lansia tidak
jauh berbeda dengan kebutuhan pada usia dewasa. Namun demikian terjadi
perubahan kebutuhan akan vitamin A, B6, dan D. Kebutuhan akan vitamin B6
meningkat oleh karena penurunan atau kurang efisiennya absorpsi vitamin
tersebut terutama pada wanita. Pada usia tua, kemampuan ginjal untuk
mensintesis 1,25-(OH)2 vitamin D sebagai respon terhadap sinyal hormon
paratiroid menurun. Usus lansia juga kurang responsif terhadap sinyal 1,25-
(OH)2 vitamin D untuk meningkatkan absorpsi kalsium. Selain itu, kulit tua
juga menurun kemampuannya untuk mensintesis prokolekalsiferol yang
diubah menjadi vitamin D dengan bantuan sinar ultraviolet. Banyak studi
melaporkan penurunan vitamin D dan metabolit-metabolit aktifnya pada
lansia. Dengan demikian, lansia yang dalam dietnya rendah kandungan
vitamin dan kalsium, akan memperoleh manfaat dari suplementasi vitamin D.
Studi di Eropa melaporkan bahwa 90% lansia ternyata mengkonsumsi vitamin
di bawah AKG namun tanpa gejala defisiensi. Oleh karena itu, para ahli tidak
merekomendasikan pemberian suplemen, walaupun asupan sedikit di bawah
AKG. Suplemen vitamin A harus diberikan dengan hati-hati, karena pada
lansia metabolisme di hepar berlangsung kurang efisien. Dengan demikian,
suplemen vitamin A akan cepat meningkatkan kadar vitamin A dalam darah.
Pemberian vitamin A dua sampai tiga kali AKG dapat menimbulkan kerusakan
hepar pada lansia seperti yang dilaporkan oleh Krasinski, dkk pada tahun
1991 dan 1989.
191 | B A N U 4
Dibandingkan dengan usia dewasa dan muda, absorpsi seng dan magnesium
menurun pada lansia. Perubahan absorpsi ini dapat disebabkan penurunan
fungsi intestinum atau karena adanya penurunan kebutuhan. Defisiensi seng
yang marginal dapat berpengaruh terhadap indra pengecap dan
melambatnya penyembuhan luka.
Absorpsi kalsium menurun dengan bertambahnya umur. Pada usia muda, bila
asupan kalsium rendah akan terjadi efisiensi atau peningkatan dalam
absorpsi yang tidak terjadi pada lansia. Hal ini mungkin berhubungan dengan
penurunan respon intestinum terhadap vitamin D. Amerika Serikat
meningkatkan AKG kalsium bagi lansia hingga 1500mg/hari untuk
menurunkan risiko terjadinya osteoporosis, mengingat usia harapan hidup
yang tinggi. Studi WHO di Hongkong juga menyimpulkan perlunya suplemen
1000 mg kalsium (dari 2 gelas susu tinggi kalsium) pada wanita Asia dimana
diet sehari-harinya rendah sumber kalsium dari susu maupun olahan susu.
Studi longitudinal ini menghasilkan penurunan risiko fraktur tulang karena
osteoporosis disamping didapatkan kepadatan tulang yang lebih baik pada
mereka yang menerima suplemen dibanding yang tidak menerima suplemen.
Untuk Indonesia, AKG kalsium pada tahun 2004 masih berada pada tingkat
800mg/hari bagi lansia.
Faktor yang Mempengaruhi Kebutuhan Gizi pada Lansia
• Berkurangnya kemampuan mencerna makanan akibat kerusakan gigi
atau ompong.
• Berkurangnya indera pengecapan mengakibatkan penurunan terhadap
cita rasa manis, asin, asam, dan pahit.
• Esophagus/kerongkongan mengalami pelebaran.
• Rasa lapar menurun, asam lambung menurun.
• Gerakan usus atau gerak peristaltik lemah dan biasanya menimbulkan
konstipasi.
• Penyerapan makanan di usus menurun.
192 | B A N U 4
Makanan Sehat Lansia
Makanan sehat bagi lansia antara lain mencakupi empat sehat lima
sempurna dengan porsi yang kurang dari orang dewasa kecuali asupan
protein dan vitamin serta mineral, dimana kalsium dan zat besi juga
memerankan peranan yang penting untuk metabolisme tubuh.
Berikut ini disajikan beberapa contoh makanan sehat untuk manula yang telah
dikelompokkan:
• Sumber Karbohidrat
nasi, jagung, ketan, bihun, biskuit, kentang, mie instan, mie kering, roti
tawar, singkong, talas, ubi jalar, pisang nangka, macaroni
• Sumber Protein Hewani
daging ayam, daging sapi, hati (ayam atau sapi), telur unggas, ikan mas,
ikan kembung, ikan sarden, bandeng, bakso daging
• Sumber Protein Nabati
kacang tanah, kedelai, kacang hijau, kacang merah, kacang tolo, tahu,
tempe, oncom
• Buah-buahan
pepaya, belimbing, alpukat, apel, jambu biji, jeruk, mangga, nangka,
pisang ambon, sawo, semangka, sirsak, tomat
• Sayuran
bayam, buncis, beluntas, daun pepaya, daun singkong, katuk, kapri,
kacang panjang, kecipir, sawi, wortel, selada
• Kue
bika ambon, dadar gulung, getuk lindri, apem, kroket, kue pia, kue putu,
risoles
• Susu
Susu sapi, susu kambing, susu kerbau, susu kedelai, skim
Menu Harian untuk Lansia
Para ahli gizi menganjurkan bahwa untuk lansia yang sehat, menu
sehari-hari hendaknya:
193 | B A N U 4
• Tidak berlebihan, tetapi cukup mengandung zat gizi sesuai dengan
persyaratan kebutuhan lansia
• Bervariasi jenis makanan dan cara olahnya
• Membatasi konsumsi lemak yang tidak kelihatan (menempel pada bahan
pangan, terutama pangan hewani)
• Membatasi konsumsi gula dan minuman yang banyak mengandung gula
• Menghindari konsumsi garam yang terlalu banyak, merokok dan
minuman beralkohol
• Cukup banyak mengkonsumsi makanan berserat (buah-buahan, sayuran
dan sereal) untuk menghindari sembelit atau konstipasi
• Minuman yang cukup
Menu makanan manula dalam sehari dapat disusun berdasarkan konsep “4
sehat 5 sempuna” atau “Konsep Gizi Seimbang”.
194 | B A N U 4
Berbagai kelainan akibat kurang gizi dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik,
antara lain kehilangan lemak subkutan, ulkus dekubitus karena kekurangan
protein dan energi, edema akibat kekurangan protein, penyembuhan luka
yang lambat karena defisiensi seng dan vitamin C dan parestesia akibat
defisiensi vitamin B6.
Manifestasi klinis yang sering dijumpai pada lansia adalah gangguan
keseimbangan cairan, khususnya dehidrasi. Dehidrasi pada lansia dapat
berupa peningkatan suhu tubuh, penurunan volume kencing, penurunan
tekanan darah, mual, muntah, mental confusion dan gagal ginjal akut.
Pemantauan Status Gizi Lansia
Penapisan gizi dilakukan untuk mengetahui apakah seorang lansia
mempunyai resiko mengalami malnutrisi akibat penyakit yang diderita dana
tau perawatan di rumah sakit. Penapisan gizi dapat dilakukan dengan
Subjective Global Assessment (SGA) atau Mini Nutritional Assessment
(MNA).
SGA merupakan metode yang banyak dipakai karena sangat sederhana dan
mudah dalam pelaksanaannya. SGA meliputi wawancara dan pengamatan
mengenai berat badan dan perubahan berat badan selama 6 bulan dan 2
minggu terakhir, ada tidaknya gangguan gastrointestinal, ada tidaknya
gangguan fungsional, status metabolik dari penyakit, ada tidaknya muscle
wasting dan edema.
Kesimpulan pemeriksaan SGA adalah menggolongkan pasien dalam
keadaan status gizi baik, beresiko malnutrisi atau malnutrisi berat.
MNA mempunyai 2 bagian besar yaitu screening dan assessment, di mana
penjumlahan semua skor akan menentukan lansia pada status gizi baik,
beresiko malnutrisi atau beresiko underweight. Penelitian pada 1.145 lansia
di rumah sakit di Swiss menunjukkan skor MNA rendah berhubungan dengan
peningkatan mortalitas pasien lansia di rumah sakit.
195 | B A N U 4
Pemeriksaan Klinis
1. Pemeriksaan Fisik
Berbagai kelainan akibat kurang gizi dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik,
antara lain kehilangan lemak subkutan, ulkus decubitus karena kekurangan
protein dan energi, edema akibat kekurangan protein, penyembuhan luka
yang lambat karena defisiensi seng dan vitamin C, dan paresthesia akibat
defisiensi vitamin B6.
Manifestasi klinis yang sering dijumpai pada lansia adalah gangguan
keseimbangan cairan, khususnya dehidrasi. Dehidrasi pada lansia dapat
berupa peningkatan suhu tubuh, penurunan volume kencing, penurunan
tekanan darah, mual, muntah, mental confussion, dan gagal ginjal akut.
Pemantauan status nutrisi dalam hal ini juga dapat dilakukan dengan:
Penimbangan Berat Badan (BB)
Penimbangan berat badan dilakukan secara teratur minimal 1 minggu sekali,
waspadai bila terjadi peningkatan berat badan atau penurunan berat badan
lebih dari 0.5 kg/minggu. Peningkatan berat badan lebih dari 0.5 kg dalam 1
minggu berisiko terhadap kelebihan berat badan, penurunan berat badan
lebih dari 0.5 kg/minggu menunjukkan kekurangan berat badan.
Menghitung berat badan ideal dengan menggunakan rumus:
Berat Badan Ideal (BBI) = 0.9 x (TB (dalam cm) – 100)
Catatan:
Untuk wanita dengan TB < 150cm dan pria dengan TB < 160cm, digunakan
rumus:
Berat Badan Ideal (BBI) = TB (dalam cm) – 100
Jika BB lebih dari ideal artinya gizi berlebih dan jika BB kurang dari ideal
artinya gizi kurang.
Kekurangan gizi yang sering dijumpai pada lansia adalah:
a. Kekurangan kalori protein
Waspadai lansia dengan riwayat pendapatan yang kurang, kurang
bersosialisasi, hidup sendirian, kehilangan pasangan hidup atau
teman, kesulitan mengunyah, pemasangan gigi palsu yang kurang
tepat, sulit untuk menyiapkan makanan, sering mengkonsumsi obat-
196 | B A N U 4
obatan yang mengganggu nafsu makan, nafsu makan berkurang,
makanan yang ditawarkan tidak mengundang selera. Karena hal ini
dapat menurunkan asupan protein bagi lansia, akibatnya lansia
menjadi lebih mudah sakit dan tidak bersemangat.
b. Kekurangan vitamin D
Biasanya terjadi pada lansia yang kurang mendapatkan paparan
sinar matahari, jarang atau tidak pernah minum susu, dan kurang
mengkonsumsi vitamin D yang banyak didapatkan pada ikan, hati,
susu dan produk olahannya.
2. Keterbatasan fisik
Status gizi dapat dipengaruhi oleh fungsi tubuh yang berhubungan
dengan pola makan. Misalnya, berkurangnya fungsi indra penglihatan
dan pendengaran seringkali menyebabkan seorang lansia merasa
terisolasi dan berakibat pada penurunan selera dan asupan makan. Gigi
geligi yang tanggal atau terdapat karies, penyakit pada gusi dan
penurunan produksi saliva yang berakibat mulut kering (xerostomia) akan
mempengaruhi pemilihan makanan dan dapat menurunkan asupan zat
gizi. Perubahan indera perasa dan penciuman akibat infeksi saluran
nafas berulang dan penggunaan obat-obatan jangka panjang juga dapat
mempengaruhi asupan makanan pada lansia. Gangguan fungsi menelan
(disfagia) pada lansia umumnya merupakan proses patologis pada
susunan saraf dan memerlukan pengelolaan gizi yang tepat.
Masalah gastrointestinal yang sering ditemui adalah intoleransi makanan
termasuk didalamnya intoleransi laktosa dan alergi makanan. Meskipun
banyak dijumpai pada dewasa muda, gluten sensitivity enteropathy
(celiac disease) dapat juga ditemui pada individu usia 70 tahun atau lebih
dengan gejala yang tidak khas seperti lemah dan anemia ringan. Semua
produk makanan yang mengandung gluten harus dihilangkan dari
makanan penderita. Dispepsia pada lansia ditandai dengan nyeri ulu hati,
rasa penuh/ sebah, penyebabnya antara lain konsumsi obat seperti
aspirin, anti-inflamasi, konsumsi minuman beralkohol yang berlebihan
dan stres psikologis. Kelainan-kelainan pada saluran cerna ini juga akan
197 | B A N U 4
menurunkan asupan makanan dan status gizi lansia. Berbagai penyakit
kronis yang diderita lansia dan pengobatan yang diberikan juga
mengganggu asupan makan lansia. Sehingga berbagai obat yang
dikonsumsi oleh lansia baik dari resep dokter, obat bebas dan jamu harus
dinilai pengaruhnya terhadap asupan makanan seorang lansia.
3. Pemeriksaan Fungsional
Gangguan fungsi pada kemampuan untuk berbelanja, menyiapkan
makanan dan makan secara mandiri dapat mengganggu asupan makan
seorang lansia. Seorang lansia yang dapat bergerak bebas di dalam
rumah akan dapat menyiapkan makanan sesuai yang diinginkan,
sedangkan lansia yang menderita stroke misalnya, tidak dapat bergerak
bebas untuk menyiapkan makanan sesuai seleranya, sehingga hanya
bergantung kepada orang lain untuk makan.
Fungsi kognitif dan psikologis juga menentukan status gizi lansia.
Sebagian besar kehilangan berat badan pada lansia disebabkan oleh
depresi. Anoreksia, mual dan muntah dapat disebabkan karena
polifarmasi. Berkurangnya fungsi ingatan juga dapat mengurangi asupan
seorang lansia.
4. Pengukuran Antropometri
Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan salah satu pengukuran
antropometri yang banyak dilakukan untuk mengevaluasi status gizi
lansia. IMT yang rendah berhubungan dengan penurunan kemampuan
fungsional dan peningkatan mortilitas pada lansia. Berbagai pengukuran
lain seperti tebal lemak bawah kulit (pengukuran skinfold) juga dapat
dipakai untuk penentuan status gizi lansia.
5. Pemeriksaan Laboratorium
Protein
Pengukuran simpanan protein tubuh seperti serum albumin, transferin
dan total iron binding capacity (TIBC) sering dipakai untuk mengukur
status gizi lansia. Hipoalbumin merupakan prediktor yang baik untuk
defisiensi protein pada lansia. Namun, albumin banyak terpengaruh pada
status hidrasi, fungsi hati dan adanya penyakit ginjal atau saluran cerna
198 | B A N U 4
pada lansia yang menyebabkan kehilangan protein, sehingga penentuan
status gizi pada lansia dengan menggunakan serum albumin harus
dilakukan setelah faktor-faktor lain disingkirkan. Waktu paruh albumin
yang panjang (14-20 hari) menjelaskan mengapa serum albumin
bereaksi lambat terhadap terapi.
Kolesterol
Serum kolesterol yang rendah pada lansia juga merupakan indikator
status gizi yang kurang pada lansia.
6. Assessmen Diet
Metoda pengukuran asupan gizi pada lansia yang tepat sangat sulit
karena keterbatasan fisik dan psikologis dari lansia. Beberapa perangkat
yang sering di gunakan adalah Mini Nutritional Assessment (MNA) dan
Subjective Global Assessment (SGA). Food Frequency Questionnaire
(FFQ) yang sederhana dapat digunakan untuk menilai asupan gizi lansia.
Pada lansia yang mampu menulis dapat digunakan 3-day record, dimana
dengan metode ini seorang lansia diminta menuliskan apa saja yang
dikonsumsi dalam 3 hari (2 hari biasa dan 1 hari libur). Recall 24 jam juga
sering dipakai untuk menilai status gizi lansia. Namun, karena
keterbatasan fungsi ingatan pada lansia, metode ini dianggap kurang
sahih. Dari pemeriksaan diatas, maka disusun diagnosis gizi pada lansia.
Berdasarkan diagnosis gizi tersebut, diberikan intervensi gizi yang
sesuai.
Mini Nutritional Assesment (MNA)
Mini Nutritional Assesment (MNA) merupakan bentuk penapisan gizi
yang dilakukan untuk mengetahui apakah seorang lansia mempunyai
risiko mengalami malnutrisi akibat penyakit yang diderita dan atau
perawatan di rumah sakit. MNA ini merupakan metode yang banyak
dipakai karena sangat sederhana dan mudah dalam pelaksanaannya.
Penelitian yang dilakukan pada 200 pasien pre-operasi gastrointestinal
menunjukkan bahwa MNA dapat dilakukan oleh para klinisi terlatih,
mempunyai reprodusibilitas tinggi dapat menapis pasien yang
mempunyai risiko menderita malnutrisi.
199 | B A N U 4
Kesimpulan pemeriksaan MNA adalah menggolongkan pasien dalam
keadaan status gizi baik, berisiko malnutrisi, dan malnutrisi berat. MNA
mempunyai 2 bagian besar yaitu screening dan assessment, dimana
penjumlahan semua skor akan menentukan seorang lansia pada status gizi
baik, berisiko malnutrisi atau berisiko underweight.
201 | B A N U 4
Subjective Global Assessment (SGA)
Kualitas data dalam hal ini sangat di pengaruhi oleh kemampuan klinisi
mengkomunikasikan secara efektif pada pasien. Ketajaman
mengobservasi indikator-indikator fisik yang relevan dan berkaitan
dengan status nutrisi. Dua komponen dasar yang di perhatikan dalam
penilaian SGA adalah anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Penentuan malnutrisi dengan SGA dengan melihat indikator di bawah ini:
1. Penurunan BB > 10% dalam 6 bulan terakhir, terutama dalam
beberapa minggu terakhir
2. Asupan makanan berkurang drastic
3. Kehilangan masa otot dan lemak (asites dan edema)
4. Gejala traktus gastrointestinal yang persisten dalam 2 minggu terakhir
(mual, muntah, anoreksia, diare)
5. Kapastitas fisik berkurang jauh
6. Stres metabolik karena trauma, inflamasi, dan infeksi
Untuk penilaian dilihat perubahan yang menyertai setiap kombinasi dari
3 kondisi di atas, terutama 3 kondisi pertama menunjukan malnutrisi
berat.
Masalah Gizi pada Lansia
1. Kehilangan Berat Badan
Kehilangan berat badan pada lansia dapat dikelompokkan menjadi tiga
bagian besar yaitu:
Wasting, kehilangan berat badan yang tidak disadari, pada umumnya
karena asupan yang tidak adekuat. Asupan yang tidak adekuat
disebabkan oleh penyakit maupun faktor psikososial.
Cachexia, kehilangan masa tubuh bebas-lemak yang tidak disadari
yang disebabkan oleh proses katabolisme, ditandai oleh peningkatan
metabolic rate dan peningkatan pemecahan protein.
Sarcopenia, kehilangan masa otot yang tidak disadari sebagai
bagian dari proses penuaan. Kadang-kadang tidak ada penyakit
yang mendasari.
202 | B A N U 4
Faktor risiko terjadinya malnutrisi pada lansia antara lain beberapa faktor
medis seperti selera makan rendah, gangguan gigi geligi, disfagia,
gangguan fungsi pada indera penciuman dan pengecap, pernafasan,
saluran cerna, neurologi, infeksi, cacat fisik dan penyakit lain seperti
kanker. Kurangnya pengetahuan mengenai asupan makanan yang baik
bagi lansia, kesepian karena terpisah dari sanak keluarga dan
kemiskinan juga menentukan status gizi lansia. Adanya faktor psikologis
seperti depresi, kecemasan dan demensia mempunyai kontribusi yang
besar dalam menentukan asupan makanan dan zat gizi seorang lansia.
Pada lansia yang dirawat di rumah sakit, beberapa keadaan seperti
makanan rumah sakit dengan pilihan dan rasa makanan yang kurang
203 | B A N U 4
disukai, waktu makan terbatas, tidak mampu makan mandiri,
pemandangan, suara dan bau di sekitar yang tidak menyenangkan,
kebutuhan meningkat karena penyakitnya, puasa untuk prosedur
pemeriksaan dapat menjadi faktor risiko terjadinya malnutrisi.
2. Kehilangan Massa Otot
Pada proses penuaan, seseorang akan kehilangan massa otot, hal ini
lebih nyata terlihat pada perempuan. Penurunan massa otot dan massa
sel tubuh disertai dengan penurunan kekuatan otot serta gangguan fungsi
kekebalan tubuh dan fungsi paru-paru. Penurunan kekuatan otot ini
merupakan penyebab sebagian besar ketidakmampuan orang lanjut usia
dalam berbagai hal, di antaranya kemampuan berjalan. Penyebab
kehilangan massa otot ini hingga sekarang belum diketahui dengan pasti.
Faktor-faktor yang berpengaruh adalah kurangnya aktivitas fisik dan
hormon pertumbuhan yang disertai kekurangan gizi (terutama
kekurangan energi dan protein) serta penyakit dan proses penuaan itu
sendiri.
204 | B A N U 4
3. Obesitas
Masalah yang sering timbul pada orang usia lanjut adalah kelebihan berat
badan dan obesitas. Perubahan komposisi tubuh yang terjadi pada lansia
memberikan kontribusi terjadinya obesitas terutama obesitas sentral.
Proporsi lemak intra-abdominal meningkat secara progresif seiring
dengan meningkatnya usia. Penurunan asupan energi dan Total Energy
Expenditure (TEE) juga menurun karena penurunan aktivitas fisik
terutama pada lansia yang sakit dan penurunan Basal Metabolic Rate
(BMR). Pada lansia yang mengalami obesitas, penurunan berat badan
dapat menurunkan kesakitan karena arthritis, diabetes, dan menurunkan
risiko penyakit kardiovaskular dan meningkatkan kualitas hidup.
Peningkatan aktivitas fisik pada lansia dapat memperbaiki kekuatan otot
dan kesehatan lansia secara keseluruhan. Kegemukan pada lanjut usia
dapat dicegah melalui olahraga secara teratur dan membatasi makanan
yang padat energi. Pemeliharaan berat badan dalam batas-batas normal
pada orang lanjut usia diperlukan untuk menjaga kekuatan fisik, daya
tahan terhadap infeksi, serta pencegahan penurunan mutu kulit dan mutu
kehidupan.
4. Osteoporosis
Setelah usia 30 tahun, seorang individu mulai kehilangan masa
tulangnya. Pada wanita, kehilangan masa tulang akan semakin
meningkat setelah terjadinya menopause, sehingga lansia wanita
mempunyai risiko tinggi untuk patah tulang (osteoporosis tipe I). Pada
lansia laki-laki, juga mempunyai risiko untuk menderita patah tulang pada
usia sangat lanjut, yaitu setelah 70 tahun (osteoporosis tipe II).
Osteoporosis dapat dicegah dengan asupan kalsium dan vitamin D yang
cukup, olahraga, menghindari rokok, dan minum-minuman beralkohol.
Bila sudah terjadi osteoporosis, penatalaksanaan yang dapat dilakukan
antara lain menurunkan resorpsi tulang dengan terapi sulih hormon dan
biphosponat atau menstimuli pembentukan tulang dengan pemberian
fluorida, calcitonin, dan calcitriol.
205 | B A N U 4
5. Anemia Gizi
Anemia gizi dapat terjadi pada lansia karena asupan makanan yang
menurun atau efek samping obat-obatan. Pada umumnya lansia yang
mempunyai berat badan rendah juga menderita anemia. Anemia gizi
yang terjadi pada lansia umumnya adalah anemia defisiensi besi,
meskipun anemia vitamin B12 (anemia perniciosa) juga sering ditemui.
Suplementasi besi dan vitamin B12 dapat diberikan pada lansia,
diberikan mulai dosis rendah dan dapat dinaikkan secara bertahap untuk
menghindari efek samping obat. Pemberian makanan sumber zat besi
dan vitamin B12 dengan asupan kalori dan protein yang cukup membantu
mengatasi anemia defisiensi besi dan vitamin B12.
Kesimpulan
Penuaan dapat terlihat secara fisik karena terjadi perubahan pada tubuh dan
berbagai organ serta penurunan fungsi tubuh serta organ tersebut.
Meningkatnya umur, kemampuan kita dalam mengecap, mencerna,
menyerap dan metabolisme makanan akan berubah. Status nutrisi seseorang
akan berpengaruh terhadap setiap sistem tubuh. Kebutuhan asupan kalori
sehari-hari yang disarankan (Recommended Daily Allowance [RDA]) pada
lansia yang berusia 65 sampai 75 tahun 2300 kkal. RDA untuk lansia di atas
usia 75 tahun diturunkan menjadi 2050 kkal, konsumsi kalori dari karbohidrat
kompleks yang diharuskan sebanyak 55-65% dan kurang dari 30% lemak,
serta porsi sisanya adalah protein. Angka kecukupan gizi rata-rata orang tua
di Indonesia disesuaikan menurut Widya Karya Pangan dan Gizi tahun 2004.
Makanan sehat bagi lansia antara lain mencakupi empat sehat lima sempurna
dengan porsi yang kurang dari orang dewasa kecuali asupan protein dan
vitamin serta mineral. Tidak hanya cukup sampai pemenuhan kebutuhan
nutrisi pada lansia, pemantauan juga perlu dilakukan secara cermat untuk
memantau perkembangan yang ada. Penapisan gizi dilakukan untuk
mengetahui apakah seorang lansia mempunyai risiko mengalami malnutrisi
akibat penyakit yang diderita dan atau perawatan di rumah sakit. Penapisan
206 | B A N U 4
gizi dapat dilakukan dengan Mini Nutritional Assessment (MNA) atau
Subjective Global Assesment (SGA).
Daftar Pustaka
Almatsier, Sunita. 2011. Gizi Seimbang dalam Daur Kehidupan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Bauer, J.M., Kaiser, M.J., Anthony, P., Guigoz, Y., Sieber, C.C. 2008. The Mini Nutritional Assessment-Its History, Today Practice, and Future Perspective. Nutr Clin Pract. Aug-Sep:23(4):388-96. Bustamy, M. 2016. Route, Monitoring, and Complication of Enteral and Parenteral Feeding. Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah Nasional. Banten. Kebutuhan Nutrisi dan Cairan pada Lansia. Available from: URL: http://www.scribd.com/doc/31812812/Kebutuhan-Gizi-Pada-Lanjut-Usia Martono, H., Hadi, Kris Panarka. 2009. Buku Ajar Boedhi-Darmojo GERIATRI (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Sobaryati. 2016. Nutrition Screening & Assesment in Stroke Patient. Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah Nasional. Banten. Soekirman. 2006. Hidup Sehat: Gizi Seimbang dalam Siklus Kehidupan Manusia. Jakarta: PT Primamedia Pustaka. Sudoyo, W. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Nutrisi pada Geriatric. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI. Suomenen, M. 2007. Nutrition and Nutritional care of Elderly People In Finnish Nurshing Home and Hospital. Helsinki. Vellas, B., Villars, H., Abellan, G., Soto, M.E., Rolland, Y., Guigoz, Y., Morley, J.E., Garry, P. 2006. Overview of the MNA-Its Histroy and Challenges. J Nutr Health Aging. Nov-Dec:10(6):456-63.
207 | B A N U 4
NEUROPATI PERIFER PADA LANJUT USIA
Ni Putu Witari Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
Jumlah penduduk lanjut usia (lansia) di negara maju dan berkembang,
termasuk Indonesia terus meningkat. Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi
Nasional (Susenas) tahun 2010, jumlah lansia di Indonesia yaitu 18.1 juta jiwa
(7.6% total penduduk) dan meningkat menjadi 8.03% tahun 2014 (Mustari
dkk, 2015). Neuropati perifer merupakan kondisi penting yang berpengaruh
pada disabilitas lansia. Kejadian neuropati perifer mencapai 8%, proporsinya
meningkat dengan bertambahnya usia. Neuropati perifer dapat mengganggu
aktifitas sehari-hari, meningkatkan risiko jatuh, terjadinya trauma dan
menurunnya kualitas hidup pada lansia (Strait dan Medcalf, 2012).
Ada banyak penyebab neuropati pada lansia meliputi neuropati yang didapat
(GBS, CIDP), terkait penyakit sistemik (seperti necrotizing vasculitis, DM,
sarcoidosis), terkait keganasan, disglobulinemia, defisiensi vitamin B12 dan
thiamine, infeksi (HIV, Lyme disease, Lepra) dan neuropati herediter dengan
onset lambat. Di negara maju, penyebab spesifik teridentifikasi pada 72%
kasus, adanya komorbiditas menyulitkan diagnosis (Suzuki, 2013).
Neuropati perifer dapat diklasifikasikan berdasarkan pola keterlibatan saraf,
waktu perjalanan penyakit dan patologi yang mendasarinya. Berdasarkan
pola keterlibatan saraf dikenal mononeuropati, mononeuropati multipleks,
polineuropati simetris, poliradikulopati, ataupun aksonopati, sedangkan
berdasarkan waktu perjalanan penyakitnya: akut bila mencapai defisit
maksimal kurang dari 4 minggu (misal GBS), subakut bila mencapai defisit
maksimal dalam 4-8 minggu dan kronik bila lebih dari 8 minggu. Patologi
dasar dapat berupa aksonal neuropati, demyelinisasi maupun campuran
(Strait dan Medcalf, 2012).
Mengingat manifestasi klinis neuropati sangat bervariasi dengan etiologi
beragam, diperlukan evaluasi sistematis dan menyeluruh meliputi klinis,
laboratorium penunjang dan tes elektrodiagnostik, agar dapat direncanakan
terapi dengan baik. Dalam anamnesa perlu data akurat mengenai onset,
208 | B A N U 4
durasi, distribusi, episode keluhan sebelumnya, keluhan-keluhan ringan yang
mendahului, progresifitas, gangguan keseimbangan dan berjalan serta
gangguan fungsional lainnya. Perlu juga diketahui riwayat keluarga, riwayat
sosial (pekerjaan, paparan toksik, penggunaan obat-obatan, kebiasaan
makan, fungsi seksual), gejala-gejala penyerta seperti gejala konstitusional,
serta adanya penyakit sistemik atau keganasan (Herskovitz dkk, 2010;
Suzuki, 2013).
Pemeriksaan fisik umum meliputi inspeksi ektremitas, apakah ada perubahan
trofik, warna kulit, temperatur, adanya deformitas (pes cavus, pes planus,
hummer toes, dll) atau tremor. Pemeriksaan kekuatan otot, refleks fisiologis
serta pemeriksaan sensorik raba, nyeri, proprioseptif dan vibrasi hendaknya
dikerjakan dengan cermat (Herskovitz dkk, 2010).
Pemeriksaan elektrodiagnostik, mencakup pemeriksaan hantar saraf
dan elektromiografi jarum, membantu dalam konfirmasi distribusi neuropati
dan menentukan tipe kerusakan. Klasifikasi subtipe mononeuropati,
mononeuropati multipleks atau polineuropati sangat penting untuk diagnosis
spesifik (England dan Asbury, 2004).
209 | B A N U 4
Biopsi n. cutaneus mungkin diperlukan untuk mengkonfirmasi amiloidosis,
sarkoidosis atau neuropati vaskulitis. Biopsi saraf hanya dipertimbangkan
setelah analisa menyeluruh, mencakup klinis, labaratorium, pemeriksaan
LCS, elektrodiagnostik serta tes DNA pada kasus yang dicurigai (Suzuki,
2013).
Neuropati Demyelinisasi Akut – Guillain-Barre Syndrome (GBS)
GBS merupakan penyebab tersering paralisis flasid yang akut. Dikenal
empat subtipe yaitu: Acute Inflammatory Demyelinating
210 | B A N U 4
Poliradiculoneuropathy (AIDP), Acute Motor Axonal Neuropathy (AMAN),
Acute Motor and Sensory Neuropathy (AMSAN) dan Fisher syndrome
(Suzuki, 2013). AIDP adalah subtipe yang paling sering dijumpai di Eropa dan
Amerika Utara, pada sekitar 90% kasus. Sedangkan GBS dengan kerusakan
aksonal lebih sering dijumpai di Asia, Amerika Tengah dan Selatan, pada
sekitar 30-47% kasus. AMAN sering dihubungkan dengan antibodi terhadap
gangliosida GM1, GM1b, GD1a, dan GalNAc-GD1a dan adanya enteritis oleh
Campylobacter jejuni sebelumnya. Beberapa kejadian GBS juga didapatkan
setelah vaksinasi (Herskovitz dkk, 2010).
Insiden GBS mencapai 1.2-1.9 kasus per 100.000 di Eropa, 0.6-4 kasus per
100.000 penduduk di dunia. Laki-laki 1.5 kali lebih rentan dibandingkan
wanita. Insiden meningkat pada usia tua, dijumpai 1 kasus per 100.000 pada
usia kurang 30 tahun, menjadi sekitar 4 kasus per 100.000 pada mereka di
atas 75 tahun (Suzuki, 2013).
Kejadiannya bersifat akut, dengan kelemahan yang simetris dan progresif,
dapat melibatkan nervi kranialis. Keluhan sensoris dijumpai bervariasi. Pasien
dengan kelumpuhan berat kadang hingga memerlukan ventilator di ruang
rawat intensif. Plasmapharesis dan IVIg direkomendasikan untuk terapi GBS
(Strait dan Medcalf, 2012).
Chronic Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy (CIDP)
CIDP adalah neuropati perifer yang diduga akibat autoimun, bersifat
progresif lambat atau relaps remisi, dengan manifestasi klinis bervariasi. CIDP
dapat terjadi pada semua umur, namun paling sering mengenai laki-laki usia
lanjut. Penyakit ini cenderung bersifat progresif lambat pada usia lanjut dan
relaps remisi bila mengenai usia lebih muda.
Prevalensi CIDP mencapai 1.24 kasus per 100.000 di Inggris, 1.61 kasus per
100.000 di Jepang, 3.58 kasus per 100 000 di Piemonte, Italia, dan 7.7 kasus
per 100.000 di Vest-Agder, Norwegia. Prevalensi spesifik umur mencapai 6.7
per 100.000 pada usia 7-79 tahun. Dalam sebuah penelitian retrospektif,
neuropati dengan disabilitas pada usia lanjut didapatkan 32% kasus akibat
CIDP (Suzuki, 2013).
211 | B A N U 4
CIDP merupakan polineuropati demyelinisasi yang non length dependent
yang berkembang secara kronis dalam beberapa bulan. Dapat bersifat
progresif maupun relaps remisi. Pemeriksaan elektrodiagnostik terlihat bahwa
CIDP bersifat asymmetrical demyelinating process. Analisis LCS
menunjukkan peningkatan kadar protein (England dan Asbury, 2004).
Imunomodulasi dengan IVIg, steroid, imunosupresif dan plasma exchange
digunakan dalam terapi CIDP, yang mendukung mekanisme autoimun yang
mendasari penyakit ini (Suzuki, 2013).
Neuropati Diabetes
Merupakan penyebab neuropati paling sering di negara berkembang
(England dan Asbury, 2004). Kejadian neuropati diabetes meningkat dengan
durasi menderita DM dan buruknya kontrol gula darah. Kejadian neuropati DM
dapat mencapai 26.4% dari seluruh penderita DM tipe 2, menimbulkan
gangguan aktifitas harian seperti mengerjakan tugas rumah tangga, berjalan
yang lambat, gangguan keseimbangan dan jatuh (Herskovitz, 2010).
Pola yang paling sering dijumpai adalah distal symmetrical sensory
polyneuropathy dengan gangguan otonom, sering bersifat progresif atau
kadang stabil dalam periode waktu yang lama. Beberapa pola neuropati
perifer lainnya meliputi symmetrical sensory-motor polyneuropathy, truncal
radiculopathy, plexopathy dan proximal motor neuropathy. Kelumpuhan
okulomotor, tersering N. III dan N. VI dilaporkan pada 1% pasien DM,
biasanya pada pasien dengan durasi sakit yang lama dan usia tua.
Penyembuhan yang komplit dan spontan terjadi dalam beberapa minggu
(Suzuki, 2013; Herskovitz, 2010).
Dalam jumlah kecil, pasien DM usia > 50 tahun dapat mengalami proximal
neuropathy extremitas bawah yang ditandai nyeri dan gangguan sensoris
dengan kelemahan dan atrofi unilateral atau bilateral otot-otot proksimal.
Penurunan berat badan seing terjadi pada kondisi ini. Neuropati jenis ini
dihubungkan dengan vaskulopati inflamasi pada biopsi saraf. Disfungsi
otonom dapat terjadi pada pasien DM dan mengenai sistem kardiovaskular,
212 | B A N U 4
gastrointestinal, urogenital dan fungsi sudomotor (Herskovitz, 2010; Strait dan
Medcalf, 2012).
Neuropati Vaskulitis Primer dan Sekunder
Vaskulitis adalah proses inflamasi pembuluh darah baik primer
maupun sekender akibat berbagai kondisi yang menimbulkan neuropati
perifer. Vaskulitis primer terjadi pada necrotizing vasculitis, di mana gejala
neuropati terjadi bersamaan dengan gangguan pada multi sistem. Vaskulitis
sekunder terjadi akibat infeksi ataupun keganasan, di mana ia menginduksi
kerusakan saraf akibat iskemik, selain lesi saraf yang diinduksi oleh penyakit
dasar itu sendiri. Infeksi hepatitis C, HIV dan cytomegalovirus dapat
menyebabkan vaskulitis neuropati. Inflamasi saraf dan vaskulitis juga terjadi
pada DM dengan proximal diabetic neuropathy (Suzuki, 2013).
Neuropati vaskulitis bersifat akut atau subakut dengan pola mononeuritis
multipleks, dapat progresif lambat pada orang tua. Pemeriksaan
elektrofisiologi menunjukkan neuropati aksonal, asymmetrical atau non length
dependent. Karena perlu pengobatan imunosupresan jangka panjang,
diagnostis neuropati vaskulitis perlu konfirmasi biopsi saraf (Suzuki, 2013).
Neuropati pada Chronic Kidney Disease (CKD)
Uremik polineuropati merupakan manifestasi gangguan neurologi
tersering pada CKD, 60-100% pasien CKD dengan dialisis, bersifat length
dependent dengan keluhan awal parestesia akibat terkenanya serat sensoris
tebal bermielin. Pemeriksaan elektrofisiologis menunjukkan degenerasi
aksonal dan demielinisasi segmental sekender (Suzuki, 2013).
Carpal Tunnel Syndrome juga sering terjadi pada pasien CKD, mencapai 26%
pasien dengan dialisis > 4 tahun. Restless leg syndrome terjadi pada 15-20%
(Herskovitz, 2010).
Neuropati akibat Defisiensi Vitamin B12
Sekitar 15% lanjut usia di atas 60 tahun mengalami defisiensi vitamin
B12 (cobalamin), terbanyak dikaitkan dengan gangguan absopsi akibat
213 | B A N U 4
gastritis atropik. Penderita mengeluhkan polineuropati sensoris yang ringan
yang responnya baik dengan pemberian vitamin B12 oral atau parenteral
(Herskovitz, 2010).
Neuropati dan Paraproteinemia
Kondisi paraproteinemia dengan atau tanpa diskrasia plasma sel
dapat menyebabkan neuropati kronik pada lansia. Monoclonal gammopathy
of undetermined significance (MGUS) lebih sering terjadi pada lansia.
Monoclonal gammopathy dijumpai 1% pada usia >50 tahun, 3% pada usia
>70 tahun. Ternyata 10% pasien neuropati perifer idiopatik dijumpai
monoclonal gammopathy, sehingga semua pasien dengan distal symmetrical
neuropathy demyelinisasi progresif lambat harus diperiksa elektroforesis
protein serum dan imunoelektroforesis (Suzuki, 2013).
Neuropati Perifer dan Malignansi
Multiple myeloma merupakan keganasan hematologi, 1% dari seluruh
keganasan, 10% dari seluruh keganasan hematologi. Keganasan ini terutama
mengenai lanjut usia, keluhan neuropati perifer dapat terjadi akibat deposit
amiloid maupun neurotoksisitas agen terapi (Strait dan Medcalf, 2012).
Neuropati perifer dapat menjadi bentuk sindrom paraneoplastik. Brachial
plexopathy sering terjadi pada pasien dengan kanker payudara dan paru.
Lumbosacral plexopathy sering pada keganasan kolorektal, ginekologi dan
limpoma. Paresis nervi kranialis juga dapat merupakan metastase proses
karsinoma atau limpoma (England dan Asbury, 2014).
Neuropati Perifer Drug-Induced
Bahan toksik yang mungkin berperan dapat berasal dari bahan kimia
industri, lingkungan maupun obat-obatan. Obat anti neoplasma paling sering
menjadi penyebab drug induced neuropathy pada lansia, seperti vincristine,
cisplatin dan suramin (Suzuki, 2013).
214 | B A N U 4
Ringkasan
Neuropati perifer sering terjadi pada lanjut usia, dapat karena kerusakan
akson, myelin atau keduanya. Risiko jatuh dan disabilitas akibat nyeri dan
terbatasnya aktifitas fisik sering dialami lansia denga neuropati perifer yang
dapat menurunkan kualitas hidup mereka. Diperlukan tatalaksana
multidisiplin dalam tatalaksana neropati perifer pada lansia.
DAFTAR PUSTAKA
England, J.D., Asbury, A.K. 2004. Peripheral neuropathy. Lancet. 363:2151–61. Herskovitz, S., Scelsa, S., Schaumburg, H. 2010. Peripheral Neuropathies in Clinical Practice. London Oxford University Press. p.24-31. Mustari, A.S. 2015. Statistik Penduduk Lanjut Usia. Jakarta: Badan Pusat Statistik. p.21. Strait, S., Medcalf, P. 2012. Peripheral Neuropathy in Older People. Midlife and Beyond gmjournal. London: p 47-52. Suzuki, M. 2013. Handbook of Clinical Neurology. Vol. 115 (3rd series). Elsevier B.V. p.803-813.
215 | B A N U 4
LONG-TERM CARE OPTION FOR THE AGING
Anak Agung Ayu Meidiary Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
Abstrak
Keberhasilan pembangunan di bidang kesehatan ditandai dengan
meningkatnya umur harapan hidup disertai peningkatan populasi lansia
beserta dampaknya. Berdasarkan hasil survei sosial ekonomi (Susenas)
2014, jumlah lansia Indonesia 8,03%. Proses penuaan dipengaruhi oleh faktor
endogen dan eksogen. Faktor endogen meliputi anatomi fisiologi organ tubuh
dan faktor eksogen meliputi gaya hidup, merokok, nutrisi, inaktivitas. Kedua
faktor akan mempengaruhi pola kesehatan pada populasi lansia. Makalah ini
membahas pilihan pelayanan kesehatan lansia, meliputi stimulasi kognisi,
gaya hidup sehat, nutrisi dan olah raga yang dikemas dalam usaha-usaha
promotif, preventif dan kuratif yang bisa dilakukan di semua tempat pelayanan
kesehatan lansia sesuai kondisi.
Kata kunci: lansia, penyakit degeneratif, long-term care option for the aging
Pendahuluan
Keberhasilan pembangunan di bidang kesehatan satunya ditandai
dengan peningkatan umur harapan hidup. Peningkatan umur harapan hidup
ini akan mengakibatkan peningkatan populasi lanjut usia, namun dapat juga
menimbulkan perubahan epidemiologi penyakit berupa peningkatan angka
kesakitan karena penyakit degeneratif.
Di Indonesia, umur harapan hidup (UHH) tahun 2000–2005 mencapai umur
66,4 tahun dengan persentase lansia tahun 2000 adalah 7,74%. Angka ini
meningkat tahun 2045–2050 mencapai umur harapan hidup 77,6 tahun di
mana persentase lansia tahun 2045 adalah 28,68%. Menurut laporan badan
pusat statistik (BPS) tahun 2000 UHH di Indonesia 64,5 tahun (dengan
persentase lansia 7,18%), kemudian UHH meningkat menjadi 69,43 tahun
(dengan persentase lansia 7,56%) dan pada tahun 2011 UHH menjadi 69,65
216 | B A N U 4
tahun (dengan persentase populasi lansia adalah 7,58%) (Kemenkes RI,
2013).
Meningkatnya populasi lansia yang disertai perubahan epidemiologi
kesehatan berupa peningkatan angka kesakitan karena penyakit degeneratif
membuat pemerintah dan masyarakat terkait khususnya tenaga kesehatan
bertanggung jawab merencanakan dan melaksanakan program dengan
tujuan mendapatkan sumber daya manusia dari kelompok umur lansia yang
sehat dan dapat berperan dalam pembangunan dan tidak menjadi beban bagi
masyarakat dan keluarga. Penulisan ini membahas kondisi dan perubahan
pada lansia di bidang kesehatan dan program yang sudah dan mungkin bisa
ditambahkan dalam upaya meningkatkan kesehatan lansia.
Data Demografi Usia lanjut
Keberhasilan program pembangunan di bidang kesehatan mampu
menjadikan penduduk Indonesia dapat bertahan hidup lebih lama. Program
tersebut diantaranya adalah program imunisasi, program pembangunan
infrastruktur kesehatan, dan program jaminan kesehatan (Statistik penduduk
lanjut usia, 2014).
Berdasarkan hasil survei sosial ekonomi nasional (Susenas) 2014 jumlah
rumah tangga (RT) lansia adalah 16,8 juta rumah tangga atau 24,50%. Yang
dimaksud dengan RT lansia adalah RT yang memiliki paling sedikit satu
anggota keluarga berusia 60 tahun ke atas. Sedangkan jumlah lansia di
Indonesia adalah 20,24 juta jiwa atau 8,03% dari penduduk Indonesia (Badan
Pusat Statistik Jakarta Indonesia, 2015).
Berdasarkan hasil Susenas tahun 1994 dan 2014 terjadi peningkatan
penduduk usia lanjut seperti ditunjukkan pada gambar 1. Dari kedua piramida
tersebut terlihat ujung piramida yang dimulai dari kelompok usia 60 tahun ke
atas, tahun 2014 lebih lebar dari tahun 1994 (Statistik penduduk lanjut usia,
2014).
Piramida tersebut menunjukkan struktur penduduk Indonesia bertransisi
menjadi struktur penduduk tua karena mempunyai populasi lansia di atas 7%
(Soeweno, 2009) yaitu 8,03% (Statistik penduduk lanjut usia, 2014). Struktur
217 | B A N U 4
penduduk tua mempunyai karakteristik tersendiri dalam hal kesehatan yang
akan mempengaruhi potensi lansia sebagai sumber daya manusia di
masyarakat.
Gambar 1. Piramida penduduk Indonesia 1994 dan 2014
Karakteristik Lanjut Usia dan Permasalahannya
Secara normal, seseorang yang berada pada kondisi usia lanjut akan
mengalami perubahan dari segi anatomi maupun fungsional. Perubahan atau
penuaan dapat terjadi secara fisiologis maupun patologis. Bila seseorang
mengalami penuaan fisiologis maka mereka menjadi tua dalam keadaan
sehat (healthy aging).
Gambar 2 menunjukkan healthy aging akan dipengaruhi oleh faktor endogen
(penuaan dimulai tingkat sel, jaringan, anatomi dan organ tubuh) dan faktor
eksogen (lingkungan, sosiobudaya, serta gaya hidup) (Boedhi Darmojo,
1994).
Faktor endogenic dan eksogenik (lebih dikenal dengan faktor risiko).
Hubungan faktor risiko dengan penyakit degeneratif pada usia lanjut dapat
dilihat pada gambar 3 (Boedhi Darmojo, 1994).
218 | B A N U 4
Faktor endogen disebut juga faktor internal menyebabkan penurunan anatomi
dan fisiologi sistem saraf, sistem kardiovaskular, sistem pernapasan, sistem
metabolisme, sistem ekskresi dan muskuloskletal.
Gambar 2. Model healthy Aging dengan Faktor-faktornya
Gambar 3. Spider Model: The Relationship between Risk Factors and
Degenrative Diseases
Sumber: Boedhi Darmojo, 2001
Penurunan anatomi dan fisiologi dapat meliputi:
a. Sistem Saraf
Pada proses menua, di otak terjadi perubahan berupa penurunan jumlah
sel neuron yang terjadi tidak sama pada beberapa bagian otak. Girus
temporal superior mengalami penurunan jumlah sel paling banyak disusul
otak depan (girus presentralis) yang berfungsi untuk fungsi eksekutif.
Area striata paling sedikit mengalami penurunan. Bagian otak yang
memantau perasaan tubuh di daerah girus postcentralis tidak mengalami
perubahan. Hipokampus pusat pantauan memori juga mengalami
penurunan jumlah sel neuron. Jumlah sel neuron berkurang 100.000 sel
219 | B A N U 4
setiap hari. Otak pada usia 70 tahun berkurang 150–200 gram
dibandingkan usia 20 tahun. Menurut konsep lama otak berkembang
mencapai puncak pada usia 18–24 tahun selanjutnya terjadi
kemerosotan secara tetap dan menyebabkan penurunan fungsi kognitif.
Setelah tahun 1960 berkembang teori baru mengenai perkembangan
otak. Sel neuron atau sel otak benbentuk seperti cumi-cumi yaitu badan
sel dengan tangan berbentuk tetankel disebut dendrit atau neurit. Dendrit
atau cabang sel saling berhubungan dengan badan sel lain membentuk
jaringan (network) antar banyak sel. Meskipun pada proses penuaan sel
tidak tumbuh dan bertambah lagi namun jaringan antar sel (nerve cell
connection) terus tumbuh sampai usia lanjut. Keadaan ini membantu sel-
sel otak tetap bisa dipertahankan berfungsi dengan baik. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa kualitas otak tidak hanya bergantung pada faktor
genetik, tetapi juga pada stimulasi lingkungan dan nutrisi (Sidiarto LD,
2003). Pada pembuluh darah otak terjadi penebalan intima akibat proses
aterosklerosis dan tunika media yang menyebabkan gangguan
vaskularisasi otak dan dapat terjadi stroke serta demensia vaskular
(Lumbantobing, 2001).
b. Sistem Kardiovaskular
Pada usia lanjut terjadi perubahan anatomik pada jantung berupa
penurunan elastisitas aorta, hipertofi jantung (ventrikel kiri) dan katup
jantung menjadi kaku. Kakunya katup jantung karena penumpukan lipid,
degenerasi kolagen dan kalsifikasi fibrosa katup. Jantung menunjukkan
penurunan kekuatan kontraksi, penurunan kemampuan meningkatkan
kekuatan curah jantung (Hadi Martono, 2009).
c. Sistem Pernapasan
Setelah mencapai kematangan pertumbuhan pada usia 20–25 tahun,
sistem respirasi mengalami penurunan fungsi, elastisitas dan kekuatan
otot dada menurun, menurunnya rasio ventilasi-perfusi di bagian paru
yang tak bebas dan pelebaran gradien alveolar arteri untuk oksigen.
Disamping itu ada penurunan gerak silia di dinding sistem pernapasan,
220 | B A N U 4
penurunan refleks batuk yang dapat memicu infeksi akut pada saluran
pernapasan (Hadi Martono, 2009).
d. Sistem Metabolisme
Sekitar 50% usia lanjut menunjukkan intoleransi glukosa, frekuensi
hipertiroid tinggi pada usia lanjut (25%).
e. Sistem Ekskresi
Pada usia lanjut ginjal mengalami perubahan berupa penebalan kapsula
bowman, gangguan permeabilitas terhadap zat yang akan difiltrasi,
nefron mengalami penurunan dan mulai atrofi, aliran darah di ginjal pada
usia 75 tahun tinggal sekitar 50%, tetapi fungsi ginjal dalam keadaan
istirahat tidak terlihat menurun (Hadi Martono, 2009).
f. Sistem Muskuloskletal
Menurut Harlo Tilarso, 1988 jumlah sel lurik turun 50% pada usia 80
tahun, berat otot lurik pada usia 21 tahun 45% dari berat badan dan pada
usia 70 tahun menjadi 27% dari berat badan.
Kecepatan kehilangan masa tulang pada pria 3% dan pada wanita 8%,
rata-rata kehilangan tinggi pada umur 65–74 adalah 1,5 inchi (3,7cm),
umur 85–94 adalah 3 inchi (7,5 cm). Proses perusakan dan pembentukan
tulang melambat karena kurang aktivitas, menurunnya hormon estrogen
pada wanita, vitamin D, trabekula tulang lebih berongga berakibat sering
mudah patah (Hadi Martono, 2009).
Faktor eksogen disebut juga faktor eksternal yang berpengaruh mempercepat
proses menua antara lain gaya hidup/ life style seperti inaktivitas, perokok,
kurang tidur, nutrisi tidak sehat.
Data Kesehatan Pada Lanjut Usia Indonesia
Peningkatan populasi usia lanjut akan memberikan gambaran
perubahan angka kesakitan dimana angka kesakitan karena penyakit
degeneratif akan meningkat. Dengan bertambahnya umur, fungsi fisiologis
mengalami penurunan sehingga pola penyakit tidak menular (degeneratif)
banyak muncul pada usia lanjut. Penyakit tidak menular pada lansia di
antaranya hipertensi, stroke, diabetes melitus dan radang sendi atau rematik.
221 | B A N U 4
Selain itu, masalah degeneratif menurunkan daya tahan tubuh sehingga
rentan terkena infeksi menular. Penyakit menular yang sering diderita adalah
tuberkulosis, diare, pneumonia, dan hepatitis (Buletin Lansia, 2013).
Angka kesakitan merupakan salah satu indikator mengukur derajat kesehatan
penduduk. Angka kesakitan pada lansia menunjukkan penurunan dari
29,86% tahun 2005 menjadi 26,3% tahun 2012 yang menunjukkan
meningkatnya derajat kesehatan lansia (Buletin Lansia, 2013).
Obesitas sentral merupakan faktor risiko terjadinya beberapa penyakit
degeneratif. Untuk laki-laki lingkar perut (LP) lebih dari 90 cm dan wanita di
atas 80 cm merupakan obesitas sentral. Prevalensi obesitas sentral tingkat
nasional adalah 18.8%. Pada kelompok umur 55– 64 tahun, prevalensi 23,1%
sedangkan kelompok umur 55–64 tahun prevalensi 23,1% (Buletin Lansia,
2013).
Tabel 1 memperlihatkan 10 penyakit tersering yang diderita kelompok lansia
tahun 2013. Nampak jenis penyakit yang mendominasi adalah golongan
penyakit tidak menular, penyakit kronik, dan degeneratif, terutama golongan
penyakit kardiovaskular (Pusat Data dan Informasi Kemenkes RI, 2014).
Tabel 1. 10 Penyakit Terbanyak pada Lansia di Indonesia Tahun 2013
No. Jenis Penyakit Prevalensi Menurut Kelompok Umur (%)
55-64 tahun 65-74 tahun 75+ tahun
1 Hipertensi 45.9 57.8 63.8
2 Artritis 45.0 51.9 54.8
3 Strok 33.0 46.1 67.0
4 Penyakit paru obstruksi kronik 5.6 8.6 9.4
5 DM 5.5 4.8 3.5
6 Kanker 3.2 3.9 5.0
7 Penyakit jantung coroner 2.8 3.6 3.2
8 Batu ginjal 1.3 1.2 1.1
9 Gagal jantung 0.7 0.9 1.1
10 Gagal ginjal 0.5 0.5 0.6
Sumber: Kementrian Kesehatan RI, Riskesdas, 2013
Tabel 2 menyajikan data dari hasil laporan Badan Litbangkes penyebab
kematian di 15 kabupaten/ kota tahun 2011, proporsi penyebab kematian
kelompok lansia (umur 55–64 tahun dan > 65 tahun) yang paling tinggi adalah
stroke dan ischaemic heart disease (Buletin Lansia, 2013).
Sensus penduduk tahun 2010, dari 18.028.271 lansia yang ditanyakan
mengenai kesulitan fungsionalnya, dijumpai gambaran seperti gambar 4. Dari
222 | B A N U 4
gambar tersebut tampak jenis kesulitan yang dialami lansia paling tinggi
adalah dalam melihat (17,57%) dan mendengar (12,77%) (Buletin Lansia,
2013).
Tabel 2. Penyebab Kematian pada Lansia dari 15 Kabupaten di Indonesia
Tahun 2011
Gambar 4. Persentase Disabilitas pada Lansia Tahun 2010
Sumber: Badan Pusat Statistik RI, 2015
Fungsi Kognisi pada Lansia
Fungsi kognisi pada lansia bervariasi mulai dari forgetfulness, Mild
Cognitive Impairment (MCI), dan demensia. Demensia merupakan gangguan
kognisi dengan derajat yang paling berat. Demensia/ penyakit Alzheimer
dapat dibagi atas 3 stadium (Lumbantobing SM, 2001):
Stadium 1:
Stadium ini berlangsung 2–4 tahun. Gangguan memori jangka pendek
merupakan defisit yang paling umum pada stadium satu. Bila dihadapkan
223 | B A N U 4
pada situasi baru sering terjadi kesalahan, spontanitas berkurang,
pemahaman, menyatakan pendapat yang kompleks, dan berpikir abstrak
berkurang. Memori jangka panjang masih dipertahankan.
Stadium 2:
Stadium bingung. Berlangsung 2–10 tahun. Fungsi kognisi mengalami
kemunduran pogresif melibatkan banyak aspek fungsi luhur. Afasia, agnosia,
apraksia, disorientasi waktu, tempat, orang menjadi lebih jelas. Kadang
memperlihatkan episode psikotik, agresif dan ingin mengembara.
Stadium 3:
Stadium akhir. Setelah 6–12 tahun sakit. Fungsi intelektual dan memori turun
terus, hampir vegetatif, akinetik, membisu, tergantung hal-hal dasar dengan
orang lain, inkontinen urine dan alvi.
Forgetfulness, mild cognitive impairment dan demensia secara klinis
dibedakan sebagai berikut:
Tabel 3. Perbedaan Forgetfulness, MCI dan Demensia
Murni keluhan subyektif
(Forgetfulness)
MCI Demensia
Keluhan memori oleh:
- Penderita
- Keluarga
+
-
+/-
+
-
+
ADL abnormal:
- Dasar
- Komplek
-
-
-
-
+
+
Perilaku abnormal - +/- +
Penampilan memori abnormal:
- Tes screening
- Tes neuropsikologi
-
-
+/-
+
+
-
Sumber: Troeboes Poerwadi, 2002
Penanganan gangguan kognisi pada lansia berdasarkan data fungsi kognisi
lansia tersebut dengan prinsip mempertahankan, memperbaiki domain
kognisi yang ada, dan mencegah menurunnya fungsi kognisi, meningkatkan
kemampuannya untuk hidup normal, mempertahankan harga diri, baik secara
non-farmakologi maupun farmakologi. Bila tidak mungkin mencegah
224 | B A N U 4
penurunan fungsi intelektualnya, diusahakan untuk memperlambat proses ke
arah demensia.
Prinsip penanganan pada lanjut usia yang mengalami kemunduran ringan,
sedang sampai lanjut berupa (Sidiarto LD, 2002):
1. Penanganan farmakologis dengan obat-obatan
2. Penanganan non-farmakologis mencakup: terapi suportif (pendidikan
dan latihan), terapi reminiscent, terapi reality orientation, psikoterapi,
terapi kognitif, terapi fisik ditambah menjaga kesehatan dengan gizi
seimbang dan olahraga teratut.
3. Penanganan psikososial
Penanganan yang dilakukan merupakan pendekatan holistik/ global
melibatkan dokter umum/ keluarga, perawat, pekerja sosial, pemberi asuhan
(care giver). Jenis terapi disesuaikan dengan berat ringannya gangguan
kognisi dan yang memberikan terapi disesuaikan dengan kompetensi.
Penanganan dalam hal pencegahan bisa dimulai pada kelompok pra-lansia
mencakup edukasi mengenai stimulasi kognisi, gaya hidup yang sehat dan
nutrisi yang sehat dan olah raga (Sidiarto LD, 2002).
Long-Term Care merujuk pada semua rumah dan pelayanan kesehatan untuk
individu dengan penyakit kronis atau disabilitas (Frazer DW, 2002).
Long-Term Care Options the Aging merupakan pilihan-pilihan pelayanan dan
perawatan kesehatan untuk usia lanjut. Di Indonesia, kesejahteraan lanjut
usia diatur dalam Undang-Undang No. 13 tahun 1998 di mana dinyatakan
upaya peningkatan kesejahteraan sosial lansia bertujuan memperpanjang
usia harapan hidup dan masa produktif, terwujudnya kemandirian dan
kesejahteraan, terpeliharanya sistem nilai budaya dan kekerabatan bangsa,
serta lebih mendekatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa (Badan Pusat
Statistik Jakarta, 2015).
Program-Program pelayanan dan pemberdayaan lansia di Indonesia dapat
dikelompokkan menjadi tiga yaitu: (1) program pelayanan sosial dalam panti,
(2) program pemberdayaan dan pelayanan sosial di luar Panti, (3)
kelembagaan sosial dan aksestabilitas lansia lainnya (Badan Pusat Statistik
Jakarta, 2015).
225 | B A N U 4
Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) sebagai pusat pelayanan primer
juga memberikan pelayanan kepada pra lansia dan lansia yang meliputi aspek
promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif (Badan Pusat Statistik Jakarta,
2015), beserta mekanisme perujukan (Kemenkes RI, 2010).
Dimanapun pelayanan kesehatan lansia dilakukan, baik di rumah sendiri
maupun perawatan di institusi, hendaknya dilakukan secara holistik,
memberikan stimulasi kognisi, gaya hidup yang sehat, nutrisi dan olahraga.
Ringkasan
• Populasi lansia di Indonesia mencapai 8,03%
• Perubahan pada lansia dipengaruhi oleh faktor eksterna dan interna
• Penyakit degeneratif merupakan penyakit yang menonjol pada usia lanjut
• Penatalaksanaan gangguan kognisi pada lansia meliputi terapi
farmakologi dan non-farmakologi
• Long- Term Care Options for The aging merupakan pelayanan kesehatan
lansia secara holistik meliputi stimulasi kognisi, gaya hidup yang sehat,
nutrisi dan olahraga dan dikemas dalam usaha-usaha promotif, preventif,
kuratif di semua tempat pelayanan kesehatan lansia di Indonesia sesuai
kondisi.
References
Anonim. 2013. Gambaran Kesehatan Lanjut Usia di Indonesia. Buletin Lansia, Kemenkes RI. Badan Pusat Statistik. 2015. Statistik pada Lansia 2014. Jakarta. Boedhi-Darmojo, R. 2000. Teori Proses Menua. Dalam: Buku Ajar Geriatri. Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran UI. hal.3-13. Boedhi-Darmojo, R. “Beberapa Masalah dan Konsep Strategik dalam Pengembangan Geriatrik.” (Pidato Purna Tugas/ Pensiun). Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Frazer, D.W. 2008. Long Term Care Options for The Aging, In Clinical Neurology of the Older Adult. Philadelpia: LWWW. p.574-583.
226 | B A N U 4
Lumbantobing, S.M. 2001. Penyakit Alzheimer. Dalam: Neurogeriatri. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran UI. hal.74-92. Martono, H. 2009. Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran UI. Poerwadi, T. 2002. Manajemen Penderita Mild Cognitive Impairment (MCI). Naskah Lengkap Pertemuan Nasional Neurogeriatri Pertama. Jakarta. Sidiarto, L.D. 2003. Memori Anda Setelah Usia 50. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran UI.
227 | B A N U 4
KEJADIAN JATUH PADA LANJUT USIA
I Komang Arimbawa Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
Abstrak
Jatuh merupakan suatu kejadian yang menyebabkan subyek yang sadar
menjadi berada di permukaan tanah tanpa disengaja, tidak termasuk jatuh
akibat pukulan keras, kehilangan kesadaran, atau kejang. Jatuh sering terjadi
dan dialami oleh lanjut usia. Banyak faktor berperan di dalamnya, baik faktor
intrinsik atau faktor ekstrinsik. Penatalaksanaan bersifat individual, artinya
berbeda untuk tiap kasus. Bila penyebab merupakan penyakit akut
penanganannya menjadi lebih mudah, dengan langsung menghilangkan
penyebab jatuh. Pada kondisi kronis, diperlukan penatalaksanaan
multifaktorial. Tindakan pencegahan penting dilakukan untuk mencegah
terjadinya jatuh berulang.
Kata kunci: jatuh, lanjut usia, penatalaksanaan
Pendahuluan
Menua (aging) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-
lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki dan mempertahankan struktur
dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk
infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang terjadi (Kannus et al., 2005). Sifat
penyakit pada geriatri tidaklah sama dengan penyakit dan kesehatan pada
golongan populasi usia lainnya. Penyakit pada geriatri cenderung bersifat
multipel, merupakan gabungan antara penurunan fisiologik/ alamiah dan
berbagai proses patologik/ penyakit. Penyakit biasanya berjalan kronis,
menimbulkan kecacatan dan secara lambat laun akan menyebabkan
kematian. Geriatri juga sangat rentan terhadap berbagai penyakit akut, yang
diperberat dengan kondisi daya tahan yang menurun. Kesehatan geriatri juga
sangat dipengaruhi oleh faktor psikis, sosial dan ekonomi. Pada geriatri
seringkali terjadi penyakit iatrogenik, akibat banyak obat-obatan yang
228 | B A N U 4
dikonsumsi (polifarmasi). Sehingga kumpulan dari semua masalah ini
menciptakan suatu kondisi yang disebut sindrom geriatri (Pranarka, 2011).
Konseptualisasi sindrom geriatri telah berkembang dari waktu ke waktu.
Menurut Kane RL, 2008, sindrom geriatri memiliki beberapa karakteristik,
yaitu: usia > 60 tahun, multipatologi, tampilan klinis tidak khas, polifarmasi,
fungsi organ menurun, gangguan status fungsional, dan gangguan nutrisi. Hal
ini sesuai dengan karakteristik pasien dengan usia 80 tahun, memiliki
gangguan hepar dan ginjal, status fungsional di keluarga yang sudah
menurun dan ditemukan adanya gangguan nutrisi pada pasien karena
menurunnya fungsi menelan.
Dalam bidang geriatri dikenal beberapa masalah kesehatan yang sering
dijumpai baik mengenai fisik atau psikis pasien usia lanjut. Menurut Solomon
dkk, The “13 i” yang terdiri dari Immobility (imobilisasi), Instability (instabilitas
dan jatuh), Intelectual impairement (gangguan intelektual seperti demensia
dan delirium), Incontinence (inkontinensia urin dan alvi), Isolation (depresi),
Impotence (impotensi), Immuno-deficiency (penurunan imunitas), Infection
(infeksi), Inanition (malnutrisi), Impaction (konstipasi), Insomnia (gangguan
tidur), Iatrogenic disorder (gangguan iatrogenik) dan Impairment of hearing,
vision and smell (gangguan pendengaran, penglihatan dan penciuman)
(Setiati dkk., 2006).
Terdapat banyak faktor yang berperan untuk terjadinya instabilitas dan jatuh
pada orang usia lanjut. Berbagai faktor tersebut dapat diklasifikasikan sebagai
faktor intrinsik (faktor risiko yang ada pada pasien) dan faktor risiko ekstrinsik
(faktor yang terdapat di lingkungan). Prinsip dasar tatalaksana usia lanjut
dengan masalah instabilitas dan riwayat jatuh adalah mengobati berbagai
kondisi yang mendasari instabilitas dan jatuh, memberikan terapi fisik dan
penyuluhan berupa latihan cara berjalan, penguatan otot, alat bantu, sepatu
atau sandal yang sesuai, serta mengubah lingkungan agar lebih aman seperti
pencahayaan yang cukup, pegangan, lantai yang tidak licin (Kane et al., 2008;
Cigolle et al., 2007).
229 | B A N U 4
Definisi
Jatuh merupakan suatu kejadian yang dilaporkan penderita atau saksi
mata, yang melihat kejadian mengakibatkan seseorang mendadak terbaring/
terduduk di lantai/ tempat yang lebih rendah dengan atau tanpa kehilangan
kesadaran atau luka (Darmojo, 2009). Jatuh merupakan suatu kejadian yang
menyebabkan subyek yang sadar menjadi berada di permukaan tanah tanpa
di sengaja, tidak termasuk jatuh akibat pukulan keras, kehilangan kesadaran,
atau kejang. Kejadian jatuh tersebut adalah dari penyebab yang spesifik yang
jenis dan konsekuensinya berbeda dari mereka yang dalam keadaan sadar
mengalami jatuh (Tinetti, 2003).
Jatuh sering terjadi dan dialami oleh usia lanjut. Banyak faktor berperan di
dalamnya, baik faktor intrinsik dalam diri lanjut usia tersebut seperti gangguan
gaya berjalan, kelemahan otot ekstremitas bawah, kekakuan sendi, sinkop
dan dizziness, serta faktor ekstrinstik seperti lantai yang licin dan kurang rata,
terantuk benda-benda yang menghalangi, penglihatan kurang karena cahaya
kurang terang dan sebagainya.
Faktor Risiko
Untuk dapat memahami faktor risiko jatuh, maka harus dimengerti
bahwa stabilitas badan ditentukan atau dibentuk oleh:
a. Sistem Sensorik
Yang berperan di dalamnya adalah visus, pendengaran, fungsi vestibuler,
dan proprioseptif. Vertigo tipe perifer sering terjadi pada lanjut usia,
diduga karena perubahan fungsi vestibuler akibat proses menua.
Neuropati perifer dan penyakit degeneratif leher dapat menganggu fungsi
proprioseptif.
b. Sistem Saraf Pusat (SSP)
SSP akan memberikan respon motorik untuk mengantisipasi input
sensorik. Penyakit SSP seperti stroke, parkinson, hidrosefalus dengan
tekanan normal, yang diderita oleh lanjut usia akan menyebabkan
gangguan fungsi SSP sehingga berespon tidak baik terhadap input
sensorik.
230 | B A N U 4
c. Kognitif
Pada beberapa penelitian, demensia diasosiasikan dengan
meningkatnya risiko jatuh.
d. Muskuloskeletal
Faktor ini disebutkan oleh beberapa peneliti merupakan faktor yang
spesifik milik lanjut usia, dan berperan besar terhadap terjadinya jatuh.
Gangguan muskuloskeletal menyebabkan gangguan gaya berjalan (gait)
dan ini berhubungan dengan proses menua yang fisiologis. Gangguan
gait yang terjadi akibat proses menua tersebut antara lain di sebabkan
oleh:
• Kekakuan jaringan penghubung
• Berkurangnya massa otot
• Perlambatan konduksi saraf
• Penurunan visus/lapang padang
• Kerusakan proprioseptif
yang semuanya menyebabkan:
• Penurunan range of motion (ROM) sendi
• Penurunan kekuatan otot, terutama kelemahan ekstremitas bawah
• Perpanjangan waktu reaksi otot/r efleks
• Kerusakan persepsi dalam
• Peningkatan postural sway (goyangan badan)
Semua perubahan tersebut mengakibatkan kelambanan gerak, langkah yang
pendek, penurunan irama dan pelebaran langkah kaki, sehingga tidak dapat
menapak dengan kuat dan lebih gampang goyah. Perlambatan reaksi
mengakibatkan seseorang susah/ terlambat mengantisipasi bila terjadi
gangguan seperti terpeleset, tersandung atau kejadian mendadak, sehingga
memudahkan jatuh.
Secara singkat faktor risiko jatuh pada lanjut usia dibagi dalam dua golongan
besar:
a. Faktor instrinsik
Faktor instrinsik adalah variabel-variabel yang menentukan mengapa
seseorang dapat jatuh pada waktu tertentu dan orang lain dalam kondisi
231 | B A N U 4
yang sama mungkin tidak jatuh (Gardner, 2000). Faktor intrinsik tersebut
antara lain adalah gangguan muskuloskeletal misalnya menyebabkan
gangguan gaya berjalan, kelemahan ekstremitas bawah, kekakuan
sendi, sinkope yaitu kehilangan kesadaran secara tiba-tiba yang
disebabkan oleh berkurangnya aliran darah ke otak dengan gejala lemah,
penglihatan gelap, keringat dingin, pucat dan pusing.
b. Faktor ekstrinsik
Faktor ekstrinsik merupakan faktor dari luar (lingkungan sekitar pasien)
diantaranya cahaya ruangan yang kurang terang, lantai yang licin,
tersandung benda-benda. Faktor-faktor ekstrinsik tersebut antara lain
lingkungan yang tidak mendukung meliputi cahaya ruangan yang kurang
terang, lantai yang licin, tempat berpegangan yang tidak kuat, tidak stabil,
atau tergeletak di bawah, tempat tidur atau WC yang rendah atau
jongkok, obat-obatan yang diminum dan alat-alat bantu berjalan
(Darmojo, 2009).
Etiologi Jatuh
Faktor-faktor lingkungan yang menyebabkan jatuh adalah penerangan
yang tidak baik (kurang atau menyilaukan), lantai yang licin dan basah, tempat
berpegangan yang tidak kuat/ tidak mudah dipegang dan alat-alat atau
perlengkapan rumah tangga yang tidak stabil dan tergeletak di bawah.
232 | B A N U 4
(Darmojo, 2009). Menurut Friedman, 1998 adalah kondisi interior rumah
meliputi bagaimana ruangan-ruangan tersebut dilengkapi oleh perabot,
kelayakan perabot, penerangan yang tidak memadai dan eksterior rumah
meliputi lantai, tangga, jeruji dalam keadaan buruk, tempat obat-obatan tidak
terjangkau dan pintu masuk dan pintu keluar ke rumah tidak terdapat
penerangan dan ruang gerak yang cukup untuk keluar dari rumah, kabel listrik
terurai di lantai, kolam renang yang tidak dipagari secara memadai.
Komplikasi Jatuh
Jatuh dapat mengakibatkan berbagai jenis cedera, kerusakan fisik dan
psikologis. Kerusakan fisik yang paling ditakuti dari kejadian jatuh adalah
patah tulang panggul. Jenis fraktur lain yang sering terjadi akibat jatuh adalah
fraktur pergelangan tangan, lengan atas dan pelvis serta kerusakan jaringan
lunak. Dampak psikologis adalah walaupun cedera fisik tidak terjadi, syok
setelah jatuh dan rasa takut akan jatuh lagi dapat memiliki banyak
konsekuensi termasuk ansietas, hilangnya rasa percaya diri, penbatasan
dalam aktivitas sehari-hari, falafobia atau fobia jatuh (Gardner, 2000).
Menurut Kane, 1996, yang dikutip oleh Darmojo, 2009, komplikasi-komplikasi
jatuh adalah:
a. Cedera
Cedera mengakibatkan rusaknya jaringan lunak yang terasa sangat sakit
berupa robek atau tertariknya jaringan otot, robeknya arteri/ vena, patah
tulang atau fraktur misalnya fraktur pelvis, femur, humerus, lengan bawah,
tungkai atas.
b. Disabilitas
Disabilitas mengakibatkan penurunan mobilitas yang berhubungan dengan
perlukaan fisik dan penurunan mobilitas akibat jatuh yaitu kehilangan
kepercayaan diri dan pembatasan gerak.
c. Kematian
233 | B A N U 4
Pencegahan
Menurut Tinetti, 1992, yang dikutip dari Darmojo, 2009, ada 3 usaha pokok
untuk pencegahan jatuh yaitu:
a. Identifikasi Faktor Risiko
Pada setiap lanjut usia perlu dilakukan pemeriksaan untuk mencari adanya
faktor instrinsik risiko jatuh, perlu dilakukan penilaian keadaan sensorik,
neurologis, muskuloskeletal dan penyakit sistemik yang sering menyebabkan
jatuh. Keadaan lingkungan rumah yang berbahaya dan dapat menyebabkan
jatuh harus dihilangkan. Penerangan rumah harus cukup tetapi tidak
menyilaukan. Lantai rumah datar, tidak licin, bersih dari benda-benda kecil
yang susah dilihat, peralatan rumah tangga yang sudah tidak aman (lapuk,
dapat bergerser sendiri) sebaiknya diganti, peralatan rumah ini sebaiknya
diletakkan sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu jalan/ tempat
aktivitas lanjut usia. Kamar mandi dibuat tidak licin sebaiknya diberi pegangan
pada dindingnya, pintu yang mudah dibuka. WC sebaiknya dengan kloset
duduk dan diberi pegangan di dinding.
b. Penilaian Keseimbangan dan Gaya Berjalan (Gait)
Setiap lanjut usia harus dievaluasi bagaimana keseimbangan badannya
dalam melakukan gerakan pindah tempat, pindah posisi. Bila goyangan
badan pada saat berjalan sangat berisiko jatuh, maka diperlukan bantuan
latihan oleh rehabilitasi medis. Penilaian gaya berjalan juga harus dilakukan
dengan cermat, apakah kakinya menapak dengan baik, tidak mudah goyah,
apakah penderita mengangkat kaki dengan benar pada saat berjalan, apakah
kekuatan otot ekstremitas bawah penderita cukup untuk berjalan tanpa
bantuan. Semua hal tersebut harus dikoreksi bila terdapat kelainan/
penurunan.
c. Mengatur/ Mengatasi Faktor Situasional
Faktor situasional yang bersifat serangan akut yang diderita lanjut usia dapat
dicegah dengan pemeriksaan rutin kesehatan lanjut usia secara periodik.
Faktor situasional bahaya lingkungan dapat dicegah dengan mengusahakan
perbaikan lingkungan, faktor situasional yang berupa aktifitas fisik dapat
dibatasi sesuai dengan kondisi kesehatan lanjut usia. Aktifitas tersebut tidak
234 | B A N U 4
boleh melampaui batasan yang diperbolehgkan baginya sesuai hasil
pemeriksaan kondisi fisik. Maka di anjurkan lanjut usia tidak melakukan
aktifitas fisik yang sangat melelahkan atau berisiko tinggi untuk terjadinya
jatuh.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan bersifat individual, artinya berbeda untuk tiap kasus
karena perbedaan faktor-faktor yang bekerjasama mengakibatkan jatuh. Bila
penyebab merupakan penyakit akut penanganannya menjadi lebih mudah,
lebih sederhana, dan langsung bisa menghilangkan penyebab jatuh secara
efektif. Tetapi lebih banyak pasien jatuh karena kondisi kronik, multifaktorial
sehingga diperlukan terapi gabungan antara obat, rehabilitasi, perbaikan
lingkungan, dan perbaikan kebiasaan lanjut usia itu. Pada kasus lain
intervensi diperlukan untuk mencegah terjadinya jatuh ulangan, misalnya
pembatasan bepergian/ aktivitas fisik, penggunaan alat bantu gerak.
Untuk penderita dengan kelemahan otot ekstremitas bawah dan penurunan
fungsional terapi difokuskan untuk meningkatkan kekuatan dan ketahanan
otot sehingga memperbaiki fungsionalnya. Sering terjadi kesalahan, terapi
rehabilitasi hanya diberikan sesaat sewaktu penderita mengalami jatuh.
Padahal terapi ini diperlukan secara terus-menerus sampai terjadi
peningkatan kekuatan otot dan status fungsional. Terapi untuk penderita
dengan penurunan gait dan keseimbangan difokuskan untuk mengatasi
penyebab/ faktor yang mendasarinya. Penderita dimasukkan dalam program
gait training dan pemberian alat bantu berjalan. Biasanya progam rehabilitasi
ini dipimpin oleh fisioterapis.
Penderita dengan dizziness syndrome, terapi ditujukan pada penyakit
kardiovaskular yang mendasari, menghentikan obat-obat yang menyebabkan
hipotensi postural seperti beta blocker, diuretik dan antidepresan. Terapi yang
tidak boleh dilupakan adalah memperbaiki lingkungan rumah/ tempat
kegiatan lanjut usia seperti tersebut di pencegahan jatuh (Darmojo, 2009).
235 | B A N U 4
Daftar Pustaka
Cigolle, C.T., Langa, K.M., Kabeto, M.U., Tian, Z., Blaum, C.S. 2007. Geriatric Conditions and Disability: The Health and Retirement Study. American College of Physicians. 147(3):156-164. Darmojo, R.B., Martono, H. 2009. Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Edisi 4. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Gardner, M.M., Robertson, M.C., Campbell, A.J. 2000. Exercise in Preventing Falls and Falls Related Injuries in Older People: A Review of Randomised Controlled Trials. Br J Sport Med. 34:7-17. Kane, R.L., Ouslander, J.G., Abrass, I.B., Resnick, B. 2008. Essentials of Clinical Geriatris. 6th ed. New York, NY: McGraw-Hill. Kannus, P., Sievänen, H., Palvanen, M., Järvinen, T., Parkkari, J. 2005. Prevention of Falls and Consequent Injuries in Elderly People. Lancet. 366:1885-1893. Pranarka, Kris. 2011. Simposium Geriatric Syndromes: Revisited. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Setiati, S., Harimurti, K., Roosheroe, A.G. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Indonesia. hlm.1335-1340. Tinetti, M.E. 2003. Preventing Falls in Elderly Persons. N Engl J Med. 348:1:42-49.