Neurology in Elderly - Universitas Udayana

244

Transcript of Neurology in Elderly - Universitas Udayana

BANU 2016

Bali Neurology Update

Neurology in Elderly

Hope for Healthy and Successful Aging

Editor:

Dr. dr. A.A.A. Putri Laksmidewi, Sp.S(K)

dr. I Made Oka Adnyana, Sp.S(K)

dr. Ni Made Susilawathi, Sp.S

dr. Ni Putu Witari, Sp.S

dr. Desie Yuliani, Sp.S

dr. Yoanes Gondowardaja, M.Biomed, Sp.S

UDAYANA UNIVERSITY PRESS

ii | B A N U 4

Bali Neurology Update 2016

Neurology in Elderly: Hope for Healthy and Successful Aging

Editor:

Dr. dr. A.A.A. Putri Laksmidewi, Sp.S(K)

dr. I Made Oka Adnyana, Sp.S(K)

dr. Ni Made Susilawathi, Sp.S

dr. Ni Putu Witari, Sp.S

dr. Desie Yuliani, Sp.S

dr. Yoanes Gondowardaja, M.Biomed, Sp.S

Penerbit:

Udayana University Press

Kampus Universitas Udayana Denpasar

Email: [email protected]

Website: penerbit.unud.ac.id

2016, vii + 235 pages, 18.2 x 25.7 cm

iii | B A N U 4

SAMBUTAN KETUA PERDOSSI CABANG DENPASAR

Om Swastyastu,

Puji syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha

Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya sejawat semua dapat mengikuti

acara ilmiah tahunan Bali Neurology Update (BANU) yang keempat. Acara ini

terselenggara atas kerjasama PERDOSSI cabang Denpasar dengan

Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Neurologi Fakultas Kedokteran

Universitas Udayana.

Acara ilmiah ini menjadi sangat penting mengingat perkembangan ilmu

kedokteran, khususnya di bidang Neurologi, sehingga diperlukan pendidikan

kedokteran berkelanjutan sebagai usaha untuk meningkatkan keilmuan guna

penatalaksanaan pasien yang lebih baik.

Seiring dengan lebih baiknya tingkat pengetahuan masyarakat

Indonesia khususnya di bidang kesehatan, populasi usia lanjut di Indonesia

semakin meningkat. Populasi usia lanjut akan sering ditemui di semua tingkat

pelayanan kesehatan, sehingga dibutuhkan pengetahuan yang komprehensif

khususnya di bidang neurogeriatri. Oleh karena itu, topik yang diangkat dalam

acara ilmiah kali ini adalah Neurology in Elderly: Hope for Healthy and

Successful Aging.

Besar harapan BANU keempat yang kami adakan ini akan memberikan

tambahan wawasan keilmuan kepada sejawat sekalian. Atas nama

PERDOSSI cabang Denpasar, kami mengucapkan selamat mengikuti acara

ini dan juga mengucapkan terima kasih kepada segenap panitia yang telah

menyiapkan acara ini dengan baik.

Om, Santhi, Santhi, Santhi, Om.

Hormat kami,

Prof. Dr. dr. Anak Agung Raka Sudewi, Sp.S(K)

Ketua PERDOSSI cabang Denpasar

iv | B A N U 4

SAMBUTAN KETUA PANITIA BALI NEUROLOGY UPDATE 2016

Om Swastyastu,

Puji syukur kami panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa,

Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat yang diberikan sehingga kami dapat

menyelenggarakan 4th Bali Neurology Update (BANU) pada tanggal 22-24 Juli

2016 di Denpasar, Bali.

BANU adalah kegiatan kerjasama antara PERDOSSI cabang Denpasar

dan PPDS Neurologi Universitas Udayana. Kegiatan ini merupakan

pertemuan ilmiah tahunan di bidang Neurologi untuk meningkatkan

pengetahuan, keahlian dan kompetensi dalam upaya meningkakan kualitas

pelayanan di bidang Neurologi.

Tema yang diangkat pada BANU 2016 kali ini adalah Neurology in

Elderly: Hope for Healthy and Successful Aging. Tema ini diambil mengingat

keberhasilan pembangunan di bidang kesehatan akan meningkatkan

populasi usia lanjut sehingga kita dituntut untuk menguasai kasus-kasus pada

lanjut usia khususnya di bidang Neurologi agar dapat meningkatkan mutu

pelayanan kesehatan di bidang usia lanjut.

Buku ini merupakan kumpulan makalah simposium dalam kegiatan

BANU 2016. Kami mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang

setinggi- tingginya kepada para pembicara serta partisipasi seluruh peserta

pada kegiatan ini. Semoga buku ini dapat memberikan manfaat untuk

pembaca semua.

Om, Santhi, Santhi, Santhi, Om.

Hormat kami,

dr. Anak Agung Ayu Meidiary, Sp.S

Ketua Panitia

v | B A N U 4

RINGKASAN

Buku makalah 4th Bali Neurology Update, Neurology in Elderly: Hope for

Healthy and Successful Aging ini diterbitkan dalam rangka meningkatkan

pengetahuan dalam bidang yang terkait neurogeriatri. Buku ini mencoba

membahas mengenai neurogeriatri dan dipaparkan dalam topik-topik yang

menarik untuk disimak. Penyakit mengenai gangguan tidur, vaskular, infeksi,

nyeri, serta gangguan fungsional terkait penuaan yang menarik untuk disimak.

Cakupan mengenai penanganan kasus neurogeriatri dipaparkan secara

ringkas sehingga menarik untuk dibaca. Kami berharap buku ini dapat

memberikan manfaat besar dalam penanganan kasus neurogeriatri.

vi | B A N U 4

DAFTAR ISI

COVER .......................................................................................................... i

SAMBUTAN KETUA PERDOSSI CABANG DENPASAR ............................ iii

SAMBUTAN KETUA PANITIA 4TH BALI NEUROLOGY UPDATE 2016 ....... iv

RINGKASAN ................................................................................................ v

DAFTAR ISI ................................................................................................. vi

SIMPOSIUM I

Vascular Ageing ............................................................................................ 1

dr. Kumara Tini, Sp.S, FINS

Cognitive Changes Associated with Normal Aging ........................................ 6

Dr. dr. A.A.A. Putri Laksmidewi, Sp.S(K)

SIMPOSIUM II

Aspek Medikolegal pada Lansia ................................................................. 24

dr. I.B. Putu Alit, Sp.F, DFM

Penanganan End of Life Care bagi Usia Lanjut........................................... 30

Dr. dr. Anna M.G. Sinardja, Sp.S(K)

SIMPOSIUM III

Obstructive Sleep Apnea pada Lansia ........................................................ 40

dr. I.G.N. Budiarsa, Sp.S

Sleep in Elderly: What Should We Know? ................................................... 57

dr. Desak Ketut Indrasari Utami, Sp.S

Perubahan Kognitif pada Menopause: Peranan Estrogen ........................... 65

dr. Ketut Widyastuti, Sp.S

SIMPOSIUM IV

Seizure in Elderly ........................................................................................ 75

Dr. dr. D.P.G. Purwa Samatra, Sp.S(K)

Infeksi Sistem Saraf pada Pasien Lanjut Usia ............................................. 76

Prof. Dr. dr. A.A.A. Raka Sudewi, Sp.S(K)

Dizziness dan Vertigo pada Usia Lanjut ...................................................... 80

Dr. I Wayan Kondra, Sp.S(K)

vii | B A N U 4

SIMPOSIUM V

Headache in Elderly .................................................................................... 91

dr. I Made Oka Adnyana, Sp.S(K)

Back and Cervical Pain in Elderly ............................................................. 103

dr. I Putu Eka Widyadharma, M.Sc., Sp.S(K)

Management of Neuropathic Pain in Elderly: Focus on Pregabalin ........... 115

Dr. dr. Thomas Eko Purwata, Sp.S(K), FAAN

SIMPOSIUM VI

Manajemen Hipertensi pada Stroke Iskemik Akut Usia Tua ...................... 128

dr. A.A.B.N. Nuartha, Sp.S(K)

Penatalaksanaan Overactive Bladder pada Lanjut Usia ............................ 140

dr. I.B. Kusuma Putra, Sp.S

SIMPOSIUM VII

Myasthenia Gravis pada Lanjut Usia ......................................................... 145

dr. Ni Made Susilawathi, Sp.S

Swallowing Problem in Elderly .................................................................. 153

dr. Putu Budi Muliawan, Sp.S

Nutrition Support in Elderly ....................................................................... 174

dr. Ketut Sumada, Sp.S

SIMPOSIUM VIII

Neuropati Perifer pada Lanjut Usia ........................................................... 207

dr. Ni Putu Witari, Sp.S

Long-term Care Option for Aging .............................................................. 215

dr. A.A.A. Meidiary, Sp.S

Kejadian Jatuh pada Lanjut Usia .............................................................. 227

dr. Komang Arimbawa, Sp.S

1 | B A N U 4

VASCULAR AGEING

Kumara Tini Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Abtsrak

Umur adalah faktor risiko independen untuk terjadinya peristiwa penyakit

kardiovaskular melalui mekanisme vascular ageing. Perubahan terutama

terjadi pada pembuluh darah besar. Poses kekakuan arteri dan disfungsi

endotel berperan untuk terjadinya aterosklerosis, penurunan arterial

compliance yang berujung pada peningkatan tekanan sistolik, penurunan

tekanan diastolik dan aterosklerosis. Pencegahan vascular ageing baik

pencegahan primer ataupun sekunder dapat diupayakan melalui optimal

medicine therapy, kontrol faktor risiko ataupun perubahan pola hidup.

Kata kunci: vascular ageing, kekakuan arteri, disfungsi endotel, penyakit

vaskular

Abstract

Age is an independent risk factor for vascular event by which the occurrence

of vascular ageing. Subsequent changes in large artery such as arterial

stiffening and endothelial dysfunction play important role to create

atherosclerosis and reduce arterial compliance. These will end up with

increase of systolic pressure, low diastolic pressure and atherosclerosis.

Slowing vascular ageing process by primary or secondary prevention by

optimal medical therapy, risk factor control and life style changes are

beneficial.

Key words: vascular ageing, arterial stiffening, endothelial dysfunction,

vascular disease

“A man is as old as his arteries” adalah cuplikan dari Thomas Sydenham, yang

menyatakan fungsi arteri sangat bergantung pada usia kronologis seseorang

2 | B A N U 4

(vascular ageing). Karakteristik vascular ageing adalah perubahan pada

fungsi mekanik dan struktur dinding pembuluh darah, dimana fungsi dan

struktur intrinsik dinding pembuluh darah ini menjadi subyek dari perubahan

hormonal dan stres sepanjang hidup seseorang. Properti intrinsik yang dimiliki

oleh pembuluh darah ini akan juga berubah apabila terdapat faktor risiko yang

bisa dimodifikasi tambahan seperti hipertensi, obesitas, merokok, dan gaya

hidup dan faktor risiko yang tidak bisa dimodifikasi seperti usia, genetika, dan

riwayat keluarga.

Ageing adalah faktor risiko independen terhadap penyakit kardiovaskular.

Efek ageing sangat beraneka ragam dan mempengaruhi baik pada tingkat

molekuler, sel, jaringan, organ dan sistem yang semuanya mempengaruhi

perubahan fungsi vaskular.

Pengerasan dan Penebalan Dinding Arteri (Wall Thickening and Arterial

Stiffening)

Sistem arteri besar mengandung lebih banyak elastin dibanding

pembuluh darah perifer yang mengandung lebih banyak otot. Elastin

memegang peranan penting pada kekuatan dinding pembuluh darah pada

tekanan rendah sedangkan kolagen terutama bekerja pada tekanan tinggi.

Arteri besar dengan elastin seperti aorta meredam aliran yang berasal dari

ventrikel kiri dan dipertahankan sampai ke perifer. Hipertensi pada usia muda

ditentukan terutama oleh resistensi perifer dan pada usia tua ditentukan juga

oleh kekakuan pembuluh darah besar.

Perubahan struktur arteri pada ageing, arteri dengan struktur elastin

mengalami perubahan di mana terjadi peningkatan kolagen, kerusakan

elastin, kalsifikasi dan penurunan jumlah elastin seiring peningkatan usia.

Selain itu terjadi pula perubahan fungsi endotel, penebalan tunika media

dibandingkan rasio lumen dan pengerasan pembuluh darah akibat ageing.

Arterial stiffening pada pembuluh darah besar akan menyebabkan

peningkatan tekanan sistolik, menurunkan tekanan diastolik, dan pelebaran

pulse pressure. Peningkatan pada resristensi perifer akan menyebakan

peningkatan baik pada sistolik ataupun diastolik.

3 | B A N U 4

Endothelial Dysfunction

Endotel merubah struktur arteri dan fungsinya melalui pelepasan nitric

oxide (vasodilator poten) dan endothelin (vasokonstriktor poten dan

prokoagulan). Peningkatan usia menurunkan NO dan meningkatkan

endothelin sehingga terjadi pro-coagulant state dan peningkatan

pertumbuhan vascular smooth muscle. Carotid intimal thickness (IMT)

meningkat 3 kali lipat pada peningkatan usia. Intervensi farmakologi dengan

statin dan angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) serta perubahan

gaya hidup terbukti memperlambat proses penebalan medial intima.

Secara fungsional vascular ageing akan mempengaruhi arterial compliance.

Compliance arteri adalah perubahan unit volume akibat perubahan unit

tekanan. Compliance ini akan menurun pada arteri seiring usia dengan akibat

peningkatan yang tidak proporsional pada tekanan sistolik dan peningkatan

perfussion pressure.

Rotterdam study menunjukkan arterial stiffness akan meningkatkan

pembentukan aterosklerosis pada pembuluh darah. Aterosklerosis adalah

proses inflamasi yang berkaitan dengan disfungsi endotel dan disposisi

berlebihan dari lipid yang teroksidasi. Terjadi proses injuri dan healing yang

berakhir ke pembentukan ateroma. Proses ini berlangsung sepanjang hidup

manusia sehingga pada usia 50 tahun mulailah terjadi manifestasi yang

dipercepat oleh faktor risiko lain seperti hipertensi, merokok, diabetes,

dislipidemia. Perubahan ini akan merubah fungsi mekanik pembuluh darah.

Pembuluh darah dengan perfussion pressure dan pulsewave tinggi memiliki

kadar C-reactive protein (CRP) lebih tinggi, sehingga anti-inflamasi berpotensi

mengurangi proses inflamasi dan meningkatkan vascular compliance.

Banyak studi telah membuktikan bahwa diabetes, hipertensi, obesitas,

dislipidemia, merokok mengurangi risiko penyakit vaskular sampai dengan

20-30%. Tindakan farmakologi dan non-farmakologi memperbaiki tekanan

darah, HbA1c, kadar lipid dan meningkatkan compliance.

4 | B A N U 4

Modifikasi Vascular Ageing

Obat-obatan antihipertensi memperbaiki rerata tekanan darah, fungsi

endotel, tonus pembuluh darah dan remodelling. ACEI memperbaiki age

dependent IMT dan smooth muscle hypertrophy. Statin tidak diragukan lagi

mengurangi mortalitas penyakit kardiovaskular. Penggunaan statin sebagai

pencegahan sekunder sudah menjadi guideline, dan banyak studi telah

membuktikan penggunaan statin sebagai prevensi primer pada pada pasien

dengan risiko tinggi. Statin memperbaiki fungsi endotel, mengurangi inflamasi

pada plak aterosklerosis, menstabilisasi plak dan mengurangi progresifitas

dari IMT.

Olahraga seperti aerobik memperbaiki perfussion pressure, pulsatile wave,

fungsi baroreseptor, dan endotel pada usia lanjut. Namun olah raga seperti

angkat beban justru menurunkan vascular compliance. Penurunan berat

badan pada obesitas secara signifikan menurunkan rerata tekanan darah

yang berkaitan dengan large artery compliance.

Modifikasi diet dengan pemberian omega-3 fatty acid memperbaiki arterial

compliance. Demikian juga produk minyak ikan, kedelai yang mengandung

isoflavins (fitoesterogen) memberikan perbaikan pada aterosklerosis dan

kekakuan arteri wanita usia lanjut. Suatu studi epidemiologi, menunjukkan

konsumsi diet tinggi isoflavin (Shanghai women’s health study) membantu

mengurangi risiko penyakit kardiovaskular. Diet rendah garam dan vitamin C

juga dikaitkan memperbaiki arterial compliance dan penurunan tekanan

darah. Merokok memiliki efek jangka panjang pada dinding arteri melalui

peningkatan terjadinya aterosklerosis dan kekakuan arteri.

Umur adalah faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi yang sangat penting.

Meningkatkan arterial compliance akan menurunkan risiko terjadinya penyakit

vaskular baik sebagai pencegahan primer ataupun sekunder. Arterial

compliance dapat dimodifikasi dengan intervensi terapi untuk mencegah

vascular event di kemudian hari.

5 | B A N U 4

DAFTAR PUSTAKA

Jani, B., Rajkumar, C. 2006. Ageing and vascular ageing. Postgrad Med J. 82:357-362. Kovacic, J.C., Moreno, P., Nabel, E.G., Hachinski, V., Fuster, V. 2011. Cellular Senescence, Vascular Disease, and Aging. Circulation. 123:1900-1910. Webb, R.C., Inscho. 2004. Age-related Changes in Cardiovascular System. In: Prisant, L.M., editor. Clinical Hypertension and Vacscular Disease: Hypertension in Elderly. Totowa: Humana Press, NJ. p. 11-15. Stefppan, J., Barodks, V., Nyhan, D. 2011. Vacular Stiffness and Increased Pulse Pressure in the Aging Cardiovascular System. Cardiology Research and Practice. p. 1-8.

6 | B A N U 4

COGNITIVE CHANGES ASSOCIATED WITH NORMAL AGING

Anak Agung Ayu Putri Laksmidewi Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Pendahuluan

Usia tua seringkali disebut dengan senescence merupakan suatu

periode dari rentang waktu kehidupan yang ditandai dengan perubahan atau

penurunan fungsi tubuh, biasanya mulai pada usia yang berbeda untuk

individu yang berbeda.

Proses menua merupakan suatu peristiwa alamiah yang tidak dapat dihindari.

Pada awal kehidupan manusia terjadi perubahan dari satu tahap ke tahap lain

bersifat evolusional menuju tahap kesempurnaan baik emosional maupun

fungsional organ-organ tubuh. Perubahan semakin tambah usia yang

selanjutnya berupa kemunduran fisik dan kognitif tersebut dikenal dengan

istilah menua atau proses penuaan.

Kemampuan penuaan secara fisik merupakan sesuatu yang nyata tampak

pada semua orang berusia lanjut, tampak pada kulit yang keriput, mata yang

rabun, tulang yang keropos, tubuh yang mulai membungkuk, pikun dan beser.

Penurunan fungsi kognitif menurun secara perlahan berupa perubahan

gradual khususnya dalam hal kemampuan daya ingat dan daya pikir.

Kemampuan kognitif merupakan kemampuan daya pikir yang meliputi atensi,

orientasi, daya ingat, visuospasial, kemampuan berhitung, berbahasa dan

fungsi eksekutif. Perubahan fungsi kognitif seseorang dikarenakan adanya

perubahan biologis yang dialami dan umumnya dihubungkan dengan proses

menua (Ong et al., 2009). Faktor-faktor yang berhubungan dengan keluhan

gangguan kognitif pada lansia adalah faktor umur, kesulitan merawat diri

sendiri, tingkat keparahan perasaan sedih, rendah diri dan tertekan, kesulitan

melaksanakan aktivitas, sosial serta pendidikan.

Pengertian Penuaan

Penuaan adalah suatu proses yang mengubah seorang dewasa sehat

menjadi seorang yang frail dengan berkurangnya sebagian besar cadangan

7 | B A N U 4

sistem fisiologis dan meningkatnya kerentanan terhadap berbagai penyakit

dan kematian. Pada lanjut usia, individu mengalami banyak perubahan baik

secara fisik maupun mental, khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi

dan kemampuan yang pernah dimilikinya. Penurunan tersebut mengenai

berbagai sistem dalam tubuh seperti penurunan daya ingat, kelemahan otot,

pendengaran, penglihatan, perasaan dan tampilan fisik yang berubah serta

berbagai disfungsi biologis lainnya. (Robert et al., 2010)

Teori Proses Penuaan, Studi yang dilakukan Nies untuk mengidentifikasi pola

makan dan pola hidup yang mempengaruhi kehidupan yang sehat di usia tua,

melibatkan 1091 laki-laki dan 1109 perempuan usia 70-75 tahun. Hasilnya

menunjukkan, pola hidup tidak sehat seperti kebiasaan merokok, diet tidak

sehat, aktivitas fisik rendah meningkatkan risiko kematian. Modifikasi gaya

hidup seperti tidak merokok, meningkatkan aktivitas fisik, dan pola hidup

sehat merupakan salah satu strategi untuk memiliki kualitas hidup yang tetap

baik meski usia telah lanjut.

Terdapat empat teori utama yang menjelaskan terjadinya proses penuaan:

1. Teori Wear and Tear

Tubuh dan selnya menjadi rusak karena terlalu sering digunakan dan

disalahgunakan. Organ tubuh, seperti hati, lambung, ginjal, kulit, dan yang

lain, menurun karena toksin di dalam makanan dan lingkungan, konsumsi

berlebihan lemak, gula, kafein, alkohol, dan nikotin, karena sinar ultraviolet

dan karena stres fisik dan emosional. Tetapi kerusakan ini tidak terbatas pada

organ, melainkan juga terjadi di tingkat sel. Hal ini berarti walaupun seseorang

tidak pernah merokok, minum alkohol, dan hanya mengkonsumsi makanan

alami dengan menggunakan organ tubuh secara biasa saja, pada akhirnya

terjadi kerusakan. (Machnichk et al., 2008)

2. Teori Neuroendokrin

Teori ini menyangkut peranan berbagai hormon bagi fungsi organ tubuh. Pada

usia muda berbagai hormon bekerja dengan baik mengendalikan berbagai

fungsi organ tubuh. Karena itu pada masa muda fungsi berbagai organ tubuh

sangat optimal, seperti kemampuan bereaksi terhadap panas dan dingin,

kemampuan motorik, fungsi seksual dan fungsi memori. Hormon bersifat vital

8 | B A N U 4

untuk memperbaiki dan mengatur fungsi tubuh. Ketika manusia menjadi tua,

tubuh hanya mampu memproduksi hormon menurun. Akibatnya berbagai

fungsi tubuh terganggu. Growth hormone yang membantu pembentukan

massa otot, Human Growth Hormon (HGH), testosteron, dan hormon tiroid,

akan menurun tajam ketika menjadi tua.

3. Teori Kontrol Genetika

Faktor genetik memiliki peran besar untuk menentukan kapan menjadi tua

dan umur harapan hidup, dapat dianalogikan individu lahir seperti mesin yang

telah deprogram sebelumnya untuk merusak diri sendiri. Tiap individu

memiliki jam biologi yang telah diatur waktunya untuk dapat hidup dalam

rentang waktu tertentu. Ketika jam biologi tersebut berhenti, merupakan tanda

individu tersebut mengalami proses penuaan yang kemudian meninggal

dunia, waktu dalam jam biologi sangat bervariasi tergantung pada peristiwa

yang terjadi dalam kehidupan individu tersebut dan pola hidupnya. (Roberto

et al., 2010)

4. Teori Radikal Bebas

Radikal bebas merupakan suatu molekul yang mempunyai satu atau lebih

elektron yang tidak berpasangan pada orbit luarnya dan dapat bereaksi

dengan molekul lain, menimbulkan reaksi berantai yang sangat destruktif.

Radikal bebas bersifat sangat reaktif. Radikal bebas akan merusak

membransel, Deoxyribo Nucleic Acid (DNA) dan protein lainnya. Banyak studi

mendukung teori bahwa radikal bebas mempunyai kontribusi besar dalam

terjadinya penyakit yang berhubungan dengan proses penuaan seperti

kanker, penyakit jantung dan proses penuaan. (Machnichk et al., 2008)

Batasan Usia

Sebenarnya tidak ada batas yang tegas pada usia berapa penampilan

seseorang mulai menurun. Pada setiap orang, fungsi fisiologis alat tubuhnya

sangat berbeda, baik dalam hal pencapaian puncak maupun menurunnya.

Beberapa pendapat mengenai batasan usia sebagai berikut:

Batasan Usia menurut WHO, Lanjut Usia meliputi:

• Usia pertengahan (middle age), yaitu kelompok usia 45 sampai 59 tahun

9 | B A N U 4

• Lanjut usia (elderly), antara 60 sampai 74 tahun

• Lanjut usia tua (old), antara 75 sampai 90 tahun

• Usia sangat tua (very old), diatas 90 tahun

Kemenkes RI, UU No.4 tahun 1965 pasal 1: "Seorang dapat dinyatakan

sebagai seorang jompo atau lanjut usia setelah yang bersangkutan mencapai

umur 55 tahun, tidak berdaya mencari nafkah sendiri untuk keperluan

hidupnya sehari-hari dan menerima nafkah dari orang lain". (sekarang tidak

relevan lagi). Kemenkes RI, UU No.13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan

Lansia: "lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun keatas".

Menurut Dra. Ny. Jos Masdani (Psikolog UI), Lanjut usia merupakan

kelanjutan dari usia dewasa. Kedewasaan dapat dibagi menjadi empat bagian

yaitu:

1. Fase Juventus: antara 25 sampai 45 tahun

2. Fase Vertilitas: antara 40 sampai 50 tahun

3. Fase Prasenium: antara 55 sampai 65 tahun

4. Fase Senium: antara 65 tahun sampai dengan tutup usia

Menurut Prof. Dr. Koesmanto Setyonegoro (Psikiater UI), Pengelompokan

lanjut usia:

• Usia dewasa muda (elderly adulthood), yaitu usia 18 sampai 25 tahun

• Usia dewasa penuh (middle years) atau maturitas, yaitu usia 25-60 atau

65 tahun

• Lanjut usia (geriatric age), lebih dari 65 atau 75 tahun

yang dapat dibagi menjadi:

• Young Old: usia 70 sampai 75 tahun

• Old : usia 75 sampai 80 tahun

• Very Old : usia lebih dari 80 tahun

Birren and Jenner (1997) membedakan usia menjadi tiga yaitu:

• Usia Biologis: jangka waktu seseorang sejak lahir dalam keadaan hidup

dan mati.

• Usia Psikologis: menunjuk pada kemampuan seseorang untuk

mengadakan penyesuaian

10 | B A N U 4

• Usia Sosial: peran yang diharapkan masyarakat sehubungan dengan

usianya.

Pengertian Kognitif dan Fungsi Kognitif

Kognitif merupakan suatu proses berpikir sehingga menjadi waspada

akan objek pikiran atau persepsi, mencakup semua aspek pengamatan,

pemikiran dan ingatan (Darmojo, 2009)

Fungsi kognitif seseorang meliputi berbagai fungsi, seperti atensi, orientasi,

daya ingat (memori), berbahasa dan visuospasial.

• Orientasi dinilai dengan pengacuan pada orang, tempat dan waktu.

Orientasi terhadap orang (kemampuan menyebutkan nama ketika

ditanya).

• Bahasa. Fungsi bahasa merupakan kemampuan yang meliputi 4

parameter, yaitu kelancaran, pemahaman, pengulangan, dan naming.

• Atensi. Atensi merujuk pada kemampuan seseorang untuk merespon

stimulus spesifik dengan mengabaikan stimulus yang lain di luar

lingkungannya.

• Konsentrasi. Aspek ini merujuk pada sejauh mana kemampuan

seseorang untuk memusatkan perhatiannya pada satu hal.

• Memori. Memori verbal, yaitu kemampuan seseorang untuk mengingat

kembali informasi yang diperolehnya. Memori baru merupakan

kemampuan untuk mengingat kembali informasi yang diperolehnya pada

beberapa menit atau hari yang lalu. Memori lama, kemampuan untuk

mengngat informasi yang diperolehnya pada beberapa minggu atau

bertahun-tahun lalu, sedangkan memori visual adalah kemampuan untuk

mengingat kembali informasi berupa gambar.

• Fungsi kosntruksi/ visuospasial merupakan kemampuan membedakan

ruang 2 atau 3 dimensi.

• Kalkulasi.

11 | B A N U 4

Kelompok perantara dalam penuaan, "In Between Group"

Dalam praktik sehari-hari dijumpai pada evaluasi neurobehavior

terdapat gangguan beberapa domain kognitif, namun belum parah dan tidak

terdapat gangguan kemampuan sosial maupun okupasional. Keadaan inilah

yang disebut sebagai "in between group" (kelompok perantara), suatu

kelompok yang berada antara normal aging dan pathological aging

(Kusumoputro, 2002)

Kelompok perantara ini terdiri dari:

• Kelompok dengan gangguan kognitif yang murni berkaitan dengan usia

(Pre-Clinical Dementia):

• AAMI (Age-Associated Memory Impairment)

• ARCD (Age Related Cognitive Decline)

• AACD (Age-Associated Cognitive Decline)

• Kelompok dengan gangguan kognitif yang jelas, tanpa demensia (Pre-

Dementia):

• MCD (Mild Cognitive Disorders)

• MND (Mild Neurocognitive Disorder)

• CIND (Cognitive Impairment Not Demented)

• MCI (Mild Cognitive Impairment)

Perubahan Kognitif pada Lansia

Perubahan kognitif yang terjadi pada lansia, meliputi berkurangnya

kemampuan meningkatkan fungsi intelektual, berkurangnya efisiensi

transmisi saraf di otak (menyebabkan proses informasi melambat dan banyak

informasi hilang selama transmisi), berkurangnya kemampuan

mengakumulasi informasi baru dan mengambil informasi dari memori, serta

kemampuan mengingat kejadian masa lalu lebih baik dibandingkan

kemampuan mengingat kejadian yang baru saja terjadi. (Marquez et al., 2009)

Penurunan kemampuan kognitif menyeluruh dan terutama dalam proses

pengolahan informasi. Penurunan terkait penuaan ditunjukkan dalam

kecepatan, memori jangka pendek, memori kerja dan memori jangka panjang.

Perubahan ini juga dihubungkan dengan perubahan pada struktur dan fungsi

12 | B A N U 4

otak. Raz dan Rodrigue menyebutkan garis besar dari berbagai perubahan

post mortem pada otak lanjut usia, meliputi volume dan berat otak yang

berkurang, pembesaran ventrikel dan pelebaran sulkus, hilangnya sel-sel

saraf di neokorteks, hipokampus dan serebelum, morfologi otak yang

mengecil, menurunnya densitas sinaps, kerusakan mitokondria dan

penurunan kemampuan perbaikan DNA.Terjadinya hiperintensitas substansia

alba, yang bukan hanya di lobus frontalis, tapi juga dapat menyebar hingga

daerah posterior, akibat perfusi serebral yang berkurang. Buruknya lobus

frontalis seiring dengan penuaan telah memunculkan hipotesis lobus frontalis,

dengan asumsi penurunan fungsi kognitif lansia adalah sama dibandingkan

dengan pasien dengan lesi lobus frontalis. Kedua populasi tersebut

memperlihatkan gangguan pada memori kerja, atensi dan fungsi eksekutif.

(Roberto et al., 2010)

Beberapa penelitian mengenai penuaan yang sesuai usia, didapatkan bahwa

kemampuan intelektual mulai menurun pada usia 80 tahun. Pada penelitian

jangka panjang, IQ verbal menurun kurang lebih 5% pada usia 70 tahun dan

10 % pada usia 80 tahun. Tetapi ada yang mencapai usia 90 tahun fungsi

kognitifnya relatif stabil. Penampilan fungsi kognitif yang baik, harus didukung

pula oleh atensi atau konsentrasi yang baik. Atensi yang terganggu akan

mempunyai dampak terhadap fungsi kognitif lain seperti memori, bahasa dan

fungsi eksekutif. Pada penelitian terhadap proses menua yang normal,

penurunan fungsi atensi mulai usia 20 tahun. Sebaliknya, kemampuan

memori pada usia 75 tahun menurun 25% dibanding usia 20 tahun. Gangguan

utama fungsi memori pada proses menua berhubungan dengan pemindahan

informasi dari penyimpanan sementara pada tempat penyimpanan permanen

di otak yang berkaitan dengan memori baru (Wiener and Tilly, 2002; Pickholtz

and Malamut, 2008).

Masalah-masalah yang sering terjadi pada usia lanjut yaitu, forgetfulness

(mudah lupa), tidak merasa cerdas, sukar belajar, susah berkomunikasi dan

berhubungan. Mudah lupa merupakan fenomena yang paling sering

ditemukan dalam kehidupan sehari-hari pada usia lanjut. Menurut penelitian,

kemampuan kognitif umum seorang usia lanjut normal tidak menurun sampai

13 | B A N U 4

usia 90 tahun. Sedangkan forgetfulness terjadi mulai usia pertengahan.

Cummings dan Benson (1992) memperkirakan 39% orang berusia 50–59

tahun mengalami forgetfulness. Pada usia lebih dari 80 tahun forgetfulness

frekuensinya meningkat menjadi 85%. Hal ini terjadi berhubungan dengan

proses menua sel-sel otak yang bekerja untuk fungsi mengingat (memori).

Memori yang menurun adalah kemampuan menyebut nama benda (naming)

dan kecepatan mencari kembali informasi yang tersimpan maupun

mempelajari hal-hal baru. Kemampuan kognitif lainnya seperti daya pikir,

abstraksi, kemampuan berbahasa, kemampuan visuopasial tidak menurun

dengan penambahan usia. Lupa normal yang masih sesuai dengan

penambahan usia adalah jika terjadinya hanya sesekali, hanya sebagian

peristiwa saja yang terlupa (tidak seluruhnya), ada perlambatan dalam

mengingat namun masih sanggup mengingat jika diberikan catatan bantuan.

Dari segi fungsional biasanya individu masih mandiri dan aktif. (Tucker et al.,

2006)

Menurunnya kemampuan kognitif lansia diperlihatkan dengan penurunan

dalam kemampuan kognitif seperti abstraksi, kalkulasi, kelancaran bicara,

kemampuan verbal dan orientasi. Penurunan kemampuan kognitif

dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya motivasi, harapan, kepribadian,

pola belajar, kemampuan intelektual, tingkat pendidikan, latar belakang

sosiokultural dan status kesehatan. Penurunan kemampuan kognitif sering

kali dianggap sebagai masalah biasa dan merupakan hal yang wajar terjadi

pada mereka yang berusia lanjut. Padahal, menurunnya kemampuan kognitif

ditandai dengan banyak lupa merupakan salah satu gejala awal kepikunan.

(Wiener and Tilly, 2002)

Perubahan fungsi kognitif pada usia lanjut diakibatkan oleh proses penuaan

dibuktikan dengan adanya perbuahan signifikan pada korteks frontalis yang

ditunjukkan oleh imaging maupun analisis postmortem. Perbandingan

gambaran histologis maupun imajing otak antara dewasa muda dibandingkan

dengan lansia menunjukkan secara jelas bahwa terdapat perubahan struktur

otak manusia seiring dengan bertambahnya usia, walaupun tanpa adanya

penyakit neurodegeneratif. Gambaran otak pada lansia menunjukkan

14 | B A N U 4

terjadinya penurunan selektif regional baik pada substansia alba maupun

pada substansia grisea. Korteks frontal mengalami perubahan paling

dramatis dan perubahan tersebut berkaitan dengan defisit kognitif seseorang

(Xinqi et al., 2010)

Perubahan Neurokognitif Terkait Usia

Perubahan kognitif sebagai proses normal dari pertambahan usia

sudah banyak diteliti dan dilaporkan. Beberapa kemampuan kognitif seperti

kosa kata biasanya meningkat sesuai bertambahnya usia. Kemampuan

konseptual, memori dan kecepatan berpikir biasanya menurun sesuai

bertambahnya usia. (Harada, 2014)

Kecepatan berpikir merupakan salah satu kemampuan kognitif yang dapat

dilihat dari kecepatan respon motorik pasien. Kemampuan kognitif ini

biasanya menurun pada dekade ketiga kehidupan dan berlanjut sepanjang

sisa hidupnya. Penurunan kecepatan berpikir biasanya juga berdampak pada

gangguan berbagai domain kognitif lainnya.

Atensi merupakan kemampuan untuk berkonsentrasi dan fokus pada stimulus

yang spesifik. Digit span biasanya menunjukkan adanya penurunan sedikit

pada akhir kehidupan. Gangguan atensi biasanya jelas terlihat pada tugas

atensi yang kompleks seperti atensi selektif dan terbagi. Atensi selektif adalah

kemampuan untuk fokus pada informasi spesifik dan mengabaikan informasi

lain yang tidak berhubungan. Atensi terbagi adalah kemampuan untuk fokus

pada berbagai tugas secara bersamaan, seperti berbicara di telepon sambil

menyiapkan makanan.

Memori. Gangguan memori merupakan salah satu gangguan kognitif

terbanyak pada dewasa tua. Memori ada 2 jenis yaitu memori deklaratif dan

memori nondeklaratif. Memori deklaratif adalah kemampuan untuk mengingat

kembali fakta dan kejadian-kejadian tertentu. Memori deklaratif ada dua yaitu

memori semantik dan memori episodik. Memori episodik biasanya menurun

mengikuti usia, sedangkan memori semantik baru menurun pada akhir

kehidupan. Memori nondeklaratif atau implisit memori merupakan memori

yang tidak disadari. Contoh dari memori nondeklaratif adalah ketika

15 | B A N U 4

seseorang menyanyikan lagu ‘naik naik ke puncak gunung’, maka memori

nondeklaratif ini biasanya tidak dipengaruhi atau hanya sedikit menurun

dengan bertambahnya usia. (Pickholtz and Malamut, 2008; Harada, 2014).

Bahasa. Bahasa merupakan salah satu domain kognitif yang kompleks. Kosa

kata biasanya menetap dan cenderung meningkat seiring bertambahnya usia.

Kemampuan penamaan objek secara visual biasanya menetap sampai usia

70-an kemudian menurun setelahnya. Kelancaran berbicara juga biasanya

menurun seiring bertambahnya usia. (Harada, 2014)

Kemampuan visuospasial/ konstruksi, merupakan kemampuan membedakan

ruang 2 atau 3 dimensi. Kemampuan konstruksi visual biasanya menurun

setelah usia 60 tahun (Harada, 2014).

Fungsi eksekutif merujuk pada kapasitas yang membuat seseorang dapat

berperilaku secara mandiri, tepat, bertujuan dan dapat melayani diri sendiri

dengan baik. Mencakup kemampuan kognitif yang luas, seperti kemampuan

untuk mengawasi diri, mampu membuat rencana, berbuat sesuai aturan,

menggunakan nalar, fleksibel secara mental dan dapat memecahkan

masalah. Pembentukan konsep, abstraksi, dan fleksibilitas mental akan

menurun seiring bertambahnya usia, terutama setelah usia 70 tahun. Orang

dewasa yang lebih tua cenderung untuk berfikir lebih konkret dibandingkan

orang muda. Proses penuaan juga berefek secara negatif terhadap respon

inhibisi, suatu kemampuan untuk merespon secara otomatis untuk

menghasilkan respon baru. Kemampuan eksekutif memerlukan suatu

komponen motorik cepat yang biasanya akan terpengaruh dengan usia.

Penalaran dengan materi yang tidak familiar juga menurun dengan usia. Tipe

fungsi eksekutif lainnya, seperti kemampuan untuk mengetahui persamaan

dan perbedaan, menjelaskan makna pepatah, dan penalaran mengenai

benda tetap stabil seumur hidup. (Harada, 2014)

Perubahan Struktur dan Fungsi Otak Terkait Penuaan

Adanya perkembangan menjanjikan dalam penelitian di bidang

neuroscience dapat membantu menjelaskan perubahan kognitif terkait usia.

Beberapa penelitian yang telah dilaporkan.

16 | B A N U 4

Volume substansia grisea akan mulai berkurang setelah usia 20 tahun. Atrofi

paling banyak terjadi pada korteks prefrontal. Perubahan terkait usia pada

lobus temporal lebih ringan dan melibatkan berkurangnya volume

hipokampus. Korteks entorhinal yang bertindak sebagai pusat “relay” antara

hipokampus dan area asosiasi, dilaporkan mengalami penurunan awal pada

Alzheimer’s dementia (AD), tetapi tidak pada penuaan normal (Harada, 2014).

Penyebab dari berkurangnya volume substansia grisea pada proses penuaan

normal kemungkinan disebabkan karena adanya kematian neuron. Kematian

neuronal terutama akan mengganggu proses pembelahan sel dan

kesempatan untuk mutasi akan bertambah (Harada, 2014)

Beta-amyloid dan berperan pada berkurangnya volume substansia grisea

pada penuaan normal. Protein beta-amyloid ditemukan terakumulasi pada

otak pasien dengan Alzheimer’s dementia (AD). Ini akan meningkat pada

pasien dengan gangguan kognitif ringan dan memprediksi terjadinya AD.

Pada beberapa tahun terakhir, radio-tracer yang mengidentifikasi plak beta-

amyloid menggunakan Positron Emission Tomography (PET) menunjukkan

penelitian tentang keberadaan protein pada individu tua dengan kognitif yang

masih baik. Beta-amyloid ditemukan pada 20-30% korteks orang dewasa

normal. Telah dikemukakan bahwa adanya beta-amyloid pada individu

dengan kognitif normal mengindikasikan bahwa individu tersebut akan

berkembang menjadi AD. Selain itu, beta-amyloid dapat terakumulasi pada

otak dengan kognitif normal, tetapi merupakan suatu sinyal risiko tinggi untuk

berkembangnya gangguan kognitif seiring waktu. (Harada, 2014)

Penelitian menggunakan functional MRI (fMRI) mengkonfirmasi penelitian

sebelumnya yang menunjukkan bahwa orang dewasa yang lebih tua memiliki

kapasitas mental yang menurun. Selain itu, penurunan ini juga terkait dengan

penurunan pada respon BOLD, suatu tanda untuk aktivitas metabolik, pada

korteks prefrontal dorsomedial. Ini meningkatkan kemungkinan bahwa area

ini penting untuk mentalizing, dan menjadi kurang aktif seiring bertambahnya

usia. (Harada, 2014). Pada laki-laki, dibandingkan perempuan, tampak

penurunan yang lebih banyak pada semua area kortikal tampak berkurangnya

volume hipokampus terutama ditemukan pada awal dekade ketiga dan

17 | B A N U 4

tampak berkurangnya volume dari korteks frontal dan temporal (Pickholtz and

Malamut, 2008).

Ukuran neuronal dan Densitas Sinaps. Walaupun terdapat beberapa teori

yang menjelaskan mengenai hilangnya neuronal, penurunan volume

substansia grisea pada dewasa tua paling baik dijelaskan dengan penurunan

ukuran dan jumlah sinaps antara neuron. Penurunan densitas sinaptik

dilaporkan pada dewasa yang lebih tua, dan berdasarkan model yang

diciptakan oleh Terry dan Katzman, pada usia 130 tahun, seorang dewasa

dengan kognitif normal akan memiliki densitas sinaptik ekuivalen dengan

seseorang penderita AD. Neuron mengalami perubahan morfologi seiring

dengan penuaan, termasuk berkurangnya kompleksitas dendrit,

berkurangnya panjang dendrit, dan berkurangnya jumlah sinaps (terutama

sinaps eksitatorik) yang secara langsung berdampak pada penurunan

densitas sinaptik. (Harada, 2014)

Perubahan Substansia Alba. Volume substansia alba mengalami penurunan

lebih banyak dibandingkan subtansia grisea sesuai pertambahan usia. Pada

salah satu penelitian menggunakan metode morfometrik dari data otopsi

subjek yang normal secara neurologi, terdapat penurunan 16-20% volume

substansia alba pada subjek di atas 70 tahun dibandingkan dengan subjek

yang lebih muda. Penyusutan substansia alba ini ditemukan pada girus

presentralis dan korpus kalosum yang merupakan area-area dengan

penyusutan volume substansia grisea sebesar <6%. Penelitian ini dibatasi

oleh ukuran sampel yang kecil. Meskipun demikian, penemuan tersebut

didukung oleh yang lain, seperti Rogalski et al menjelaskan bahwa substansia

alba parahipokampal berkurang dan menyebabkan berkurangnya komunikasi

dengan struktur hipokampal dan mendukung suatu mekanisme mungkin

untuk terjadinya pernurunan memori terkait usia. Selain terjadinya perubahan

pada struktur substansia alba, penurunan fungsi dari substansia alba telah

diteliti menggunakan diffusion tensor imaging (DTI). DTI memperlihatkan

secara in vivo bahwa penurunan integritas substansia alba terkait

bertambahnya usia. O’Sullivan et al menunjukkan penurunan terkait usia pada

integritas traktus substansia alba paling terlihat pada substansia alba anterior

18 | B A N U 4

dan terkait dengan defisit pada fungsi eksekutif. Madden et al menunjukkan

hilangnya integritas dari bagian sentral korpus kalosum dapat menyebabkan

penurunan kognitif terkait usia. (Harada, 2014)

Penurunan Kognitif Terkait Usia

Secara definisi, perubahan kognitif normal terkait usia tidak

mengganggu kemampuan seseorang untuk melakukan aktivitas sehari-hari.

Jika seorang dewasa tua mengalami gangguan fungsional, bahkan dengan

tugas rumit seperti mengatur keuangan atau obat-obatan, perlu dilakukan

pemeriksaan demensia bila tidak ada penjelasan yang jelas dari kesulitan

tersebut, seperti adanya reaksi terhadap pengobatan, gangguan medis baru,

atau masalah penglihatan. Bagaimanapun juga, penelitian menunjukkan

bahwa kognitif terkait usia dapat menurun pada kemampuan fungsional

kompleks, seperti kemampuan mengemudi. (Harada, 2014)

Data menunjukkan bahwa dewasa yang lebih tua memiliki risiko lebih tinggi

mengalami kecelakaaan kendaraan bermotor dibandingkan dengan

pengemudi yang lebih muda. Pada beberapa kasus, hal ini disebabkan

karena gangguan kognitif (MCI atau demensia), penyakit neurologis atau

muskuloskeletal, penyakit medis lainnya, gangguan penglihatan, atau obat-

obatan. Sayangnya, orang-orang yang dapat mengelola hal tersebut tetap

tidak aman saat berkendara karena penuaan kognitif normal, yang dapat

menyebabkan sedikit penurunan pada domain kognitif multipel yang

diperlukan untuk mengemudi. Domain tersebut mencakup atensi/ proses

visual (kemampuan untuk memilih stimulus visual berdasar pada lokasi

spasial), persepsi visual (kemampuan untuk menerima dan

menginterpretasikan secara akurat apa yang terlihat), fungsi eksekutif, dan

memori. Kebalikan dari observasi tersebut, banyak dewasa tua dengan fungsi

kognitif normal tidak mengalami penurunan dari kemampuan mengemudi

atau mampu secara efektif mencegah situasi berisiko tinggi saat mengemudi.

Tantangan untuk para klinisi adalah menentukan siapa yang aman untuk

mengemudi, dimana beberapa pengemudi tua didapatkan tidak memiliki

kemampuan mengemudi yang akurat. Direkomendasikan untuk memprediksi

19 | B A N U 4

kecakapan mengemudi adalah melalui tes performance-based road. (Harada,

2014)

Menghindari Penurunan Kognitif: Penuaan Kognitif yang Sukses

Terdapat variabilitas signifikan dari perubahan kognitif terkait usia dari

satu individu ke individu lain. Beberapa variabilitas dapat terkait terhadap

perbedaan genetik, dan penelitian memperkirakan sekitar 60% kemampuan

kognitif general dapat dikaitkan dengan genetika. Penyakit medis, faktor

psikologis, dan gangguan sensori seperti gangguan penglihatan dan

pendengaran juga dapat mempercepat penurunan kognitif terkait usia.

Hipotesis Gaya hidup-Kognitif, menyatakan bahwa mempertahankan gaya

hidup aktif dan terlibat dalam kegiatan tertentu selama hidup seseorang dapat

membantu mencegah penurunan kognitif terkait usia dan demensia. Dapat

dilihat pada banyak orang dewasa tua dengan fungsi kognitif yang tinggi

tampaknya turut berpartisipasi dalam kegiatan tertentu dengan jumlah yang

lebih besar daripada orang dewasa tua dengan fungsi kognitif yang rendah.

Beberapa penelitian longitudinal, termasuk Seattle Longitudinal Study, the

Bronx Aging Study, dan Victoria Longitudinal Study telah berusaha untuk

menjawab pertanyaan apakah ada atau tidak aktivitas tertentu yang dapat

menunda atau mencegah penurunan kognitif. Penelitian ini banyak

menggunakan hasil tes kognitif sebagai hasil utama, tetapi kemudian peneliti

lainnya juga juga menggunakan struktur otak, contohnya volume hipokampal,

atrofi substansia grisea, dan lesi substansia alba sebagai hasil akhir.

Diperlukan penelitian longitudinal yang lebih baik dan jangka waktu yang lebih

lama. (Harada, 2014)

Salah satu teori bagaimana aktivitas tertentu dapat mencegah penurunan

kognitif terkait usia, bahwa beberapa individu memiliki kemampuan lebih

besar untuk menahan perubahan patologis pada otak, seperti adanya

akumulasi protein amiloid. Hipotesis ini menyatakan bahwa tingkat pendidikan

yang lebih tinggi, partisipasi dalam aktivitas tertentu, status sosial ekonomi

yang lebih tinggi, dan kecerdasan dasar melindungi dari penyakit otak.

(Harada, 2014)

20 | B A N U 4

Mengacu pada karakteristik yang ditentukan secara genetik seperti volume

otak dan jumlah neuron dan sinap. Cadangan aktif mengacu pada potensi

otak untuk plastisitas dan reorganisasi dalam pengolahan neural, yang

memungkinkan untuk mengkompensasi perubahan neuropatologis. Dalam

studi fMRI ini, penuaan berkorelasi dengan perekrutan daerah yang lebih

banyak dalam suatu jaringan dalam rangka untuk melakukan tugas-tugas,

terutama memori bekerja dan memori episodik, dibandingkan dengan kontrol

yang lebih muda. (Harada, 2014)

Kemampuan kognitif yang dapat ditingkatkan. Teori neuroplastisitas adalah

suatu kemampuan otak melakukan reorganisasi berupa interkoneksi saraf

melalui suatu pengalaman baru dengan mengulang-ulang stimulus.

dilakukan untuk menguatkan hubungan antar sel neuron presinaptik dan post

sinaptik dilakukan oleh Laksmidewi 2014, dalam penelitian animal model

demensia dengan pelatihan gerak. Ditemukan bahwa terdapat penipisan beta

Amyloid dan peningkatan BDNF (Brain Derived Neurothropic Factor)

selanjutnya ditemukan terdapat peningkatan peningkatan ekspresi BDNF

oleh sel astrosit pada pemeriksaan Imunohistokimia, temuan ini menunjukkan

bahwa astrosit memegang peranan penting dalam plastisitas otak.

(Laksmidewi, 2014)

Para peneliti memperlihatkan bahwa subjek dapat dilatih lebih baik dalam tes

kognitif dan perbaikan tersebut dapat dipertahankan dalam beberapa tahun.

Bahkan dalam uji coba ACTIVE, sebuah percobaan multicenter acak yang

melibatkan orang dewasa tua dengan kognitif normal, pelatihan kognitif

mengakibatkan berkurangnya penurunan kemampuan yang dilaporkan

sendiri dalam melakukan IADL (Instrumental Activities of Daily Living)

dibandingkan dengan kontrol setelah lima tahun. Pelatihan kognitif dalam

penelitian ini terdiri dari 10 sesi 1 jam pelajaran dengan strategi pengajaran

untuk meningkatkan memori, penalaran, dan kecepatan pemrosesan. Sebuah

meta-analisis mengenai kecepatan pemrosesan studi pelatihan mendukung

gagasan bahwa pelatihan kognitif dapat memiliki efek nyata pada

kemampuan subyek kognitif normal untuk melakukan aktivitas sehari-hari.

Temuan menjanjikan ini menunjukkan bahwa memungkinkan untuk

21 | B A N U 4

menggunakan pelatihan kognitif di masa depan untuk meminimalkan

penurunan fungsional seiring bertambahnya usia. Pelatihan kognitif melalui

rekaman video telah terbukti 74% efektif sebagai pelatihan berbasis

laboratorium, sehingga mungkin ada potensi besar untuk membuat intervensi

ini dapat diakses secara luas. (Harada, 2014)

Penutup

Penuaan adalah suatu proses yang mengubah seorang dewasa sehat

menjadi seorang yang frail dengan berkurangnya sebagian besar cadangan

sistem fisiologis dan meningkatnya kerentanan terhadap penyakit dan

kematian.

Pada penelitian terhadap proses menua yang normal, penurunan fungsi

atensi mulai usia 20 tahun. Disebutkan bahwa volume substansia grisea akan

mulai berkurang setelah usia 20 tahun. Atrofi paling banyak terjadi pada

korteks prefrontal, sedangkan lobus temporal lebih sedikit juga menurunnya

volume hipokampus. Sedangkan korteks entorhinal, pusat “relay” antara

hipokampus dan area asosiasi tidak ditemukan penurunan pada penuaan

normal. Gangguan utama fungsi memori pada proses menua berhubungan

dengan pemindahan informasi dari penyimpanan sementara pada tempat

penyimpanan permanen di otak yang berkaitan dengan memori baru menurun

pada usia 75 tahun (25%) dibanding usia 20 tahun. Kemampuan intelektual

mulai menurun pada usia 80 tahun. Penampilan fungsi kognitif yang baik,

harus didukung pula oleh atensi atau konsentrasi yang baik. Atensi yang

terganggu akan mempunyai dampak terhadap fungsi kognitif lain seperti

memori, bahasa dan fungsi eksekutif. Kemampuan konseptual, memori dan

kecepatan berpikir biasanya menurun sesuai bertambahnya usia.

Kemampuan kognitif ini biasanya menurun pada dekade ketiga kehidupan

dan berlanjut sepanjang sisa hidupnya.

Atensi menunjukkan adanya penurunan sedikit pada akhir kehidupan terlihat

jelas pada tugas yang kompleks. Gangguan memori merupakan salah satu

gangguan kognitif terbanyak pada dewasa tua. Kosa kata biasanya menetap

dan cenderung meningkat seiring bertambahnya usia, namun kelancaran

22 | B A N U 4

berbicara akan menurun seiring penuaan. Kemampuan penamaan objek

secara visual biasanya menetap sampai usia 70-an kemudian menurun.

Kemampuan visuospasial biasanya menurun setelah usia 60 tahun. Fungsi

eksekutif merujuk pada berperilaku secara mandiri, tepat, bertujuan dan dapat

melayani diri sendiri dengan baik juga kemampuan untuk mengawasi diri,

mampu membuat rencana, sesuai aturan, menggunakan nalar, fleksibel

secara mental dan dapat memecahkan masalah, menurun seiring

bertambahnya usia, terutama setelah usia 70 tahun.

Perubahan kognitif terkait usia dari satu individu ke individu lain sangat

bervariasi. Bahkan sekitar 60% kemampuan kognitif dikaitkan dengan

genetika. Penyakit medik dapat mempercepat penurunan kognitif terkait usia.

Mempertahankan gaya hidup aktif dan terlibat dalam kegiatan tertentu selama

hidup seseorang dapat membantu mencegah penurunan kognitif terkait usia.

Kemampuan kognitif dapat ditingkatkan, dengan mengacu pada teori

neuroplastisitas dengan menguatkan hubungan antar sel neuron presinaptik

dan post sinaptik berupa reorganisasi dan interkoneksi saraf melalui suatu

pengalaman baru dengan mengulang-ulang stimulus.

DAFTAR PUSTAKA

Darmojo, B. 2009. Teori Proses Menua Buku Ajar Boedhi-Darmojo Geriatri. Edisi 4. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. Halaman: 3-15. Goldman, R, Katz, R. The New Anti-Aging Revolution. 2004 Australian edition. Theories of Aging. Page 19-32. Harada Caroline. 2014. Normal Cognitive Aging. NIH Public Access Journal. P:737-752. Kusumoputro, S. 2002. Predemensia. Pertemuan Neurogeriatri I Perdossi. Jakarta. Laksmidewi, A. 2014. “Perbaikan plastisitas otak yang ditandai oleh penipisan Beta-Amyloid dan penurunan CRP serta peningkatan BDNF akibat latihan gerak pada tikus model demensia” (disertasi). Denpasar: Universitas Udayana.

23 | B A N U 4

Machnick, G., Allegri, R.F., Dillon, C., Serrano, C.M., Taragano, F.E. 2008. Cognitive, functional and behavioral factors associated with the burden of caring for geriatric patiens with cognitive impairment of depression evidence from a South American sample. Int J Geriatr Psychiatry. Marquez, D.X., Bustamante, E.E., Blissmer, B.J., Prohaska, T.R. 2009. Health Promotion for Successful Aging. American Journal of 60 Lifestyle Medicine. Vol.3: No.1,12-19. Nies, A.H., Groot, L.C.G.M., Staveren, W.A. 2003. Dietary Quality, Lifestyle Factors and Healthy Ageing in Europe: The Seneca Study. Age and Ageing. p:32: 427-434, British Geriatric Society. Ong, F.S., Lu, Y.Y., Abessi, M., Philips. 2009. The Correlates of Cognitive Ageing and Adoption of Defensive-Ageing Strategies among Older Adults. Asia Pacific Journal of Marketing and Logistics. Vol. 21 No. 2, pp. 294-305. Pickholtz, J.L., Malamut, B.L. 2008. Cognitive Changes Associated with Normal Aging. In: Sirven, Malamut., editors. Clinical Neurology of the Older Adult. 2nd ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. p: 64-76. Robert, S., Carlos, F., Mendes, D.L., Denis, A.E., Xinqi, D. 2010. Self neglect and cognitive function among community-dwelling older persons. Int J Geriatri Psychiatry. 25: 798-806. Tucker, J.S., Orlando, M., Elliott, M.N., Klein, D.J. 2006. Affective and behavioural responses to health-related social control. Health Psychology. p:715-722. Wiener, J.M., Tilly, J. 2002. Population aging in the United States of America: implications for public programmes. Int J Epidemiol. p:776-81. Xinqi, D., Melissa, S., Kumar, R., Denis, A.E. 2010. Association of cognitive function and risk for elder abuse in a community-dwelling population. P:210-215.

24 | B A N U 4

ASPEK MEDIKO LEGAL PADA LANSIA

Ida Bagus Putu Alit Bagian Ilmu Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Pendahuluan

Aspek mediko legal adalah aspek medis dari kasus-kasus yang

berhubungan dengan hukum dan bila dihubungkan dengan lansia maka

aspek ini merupakan pendekatan medis terhadap lansia dan masalah hukum

yang dialaminya.

Lansia sering menjadi korban tindak kekerasan (elderly abuse) baik

kekerasan fisik (physical abuse) dan penelantaran (neglected). Dampak yang

dialami lansia akibat kekerasan dapat dalam bentuk dampak jangka pendek

maupun jangka panjang. Dampak psikologis merupakan salah satu dampak

jangka panjang yang akan menurunkan kualitas hidup lansia. Trauma fisik

dan tekanan mental berulang sering dialami lansia korban abuse dalam

jangka pendek. Dampak kekerasan dapat bersifat fatal dan mengakibatkan

kematian, seperti kasus Shaken Elderly Syndrome dan Perricide.

Proses degeneratif pada lansia akan mempengaruhi pemahaman (rational

understanding) terhadap sesuatu hal, sehingga kecakapan hukum bagi lansia

menjadi materi mediko legal yang penting. Kecakapan hukum lansia dalam

hal pengambilan keputusan untuk dirinya atau untuk orang lain harus

dianalisa bila berhubungan dengan hukum. Kelayakan hukum terhadap lansia

seperti kelayakan untuk mempergunakan hak otonomi dalam terapi medis

(informed consent), kelayakan hukum terhadap kepemilikan, kelayakan

hukum sebagai saksi dan kelayakan hukum untuk ditahan, diinterogasi dan

diajukan ke pengadilan (fitness and competence to be detainee, interrogation

and to be stand trial).

Battered Elderly Syndrome

Kekerasan pada lansia (Battered Elderly Syndrome) merupakan

bagian dari kekerasan dalam rumah tangga (domestic violence). Seperti

kekerasan dalam rumah tangga lainnya, kekerasan terhadap lansia

25 | B A N U 4

merupakan kasus kekerasan yang sulit untuk diungkap. Keadaan ini dikenal

sebagai kasus kotak Pandora (Pandora Box). Kasus kekerasan terhadap

lansia sangat sulit untuk terungkap karena beberapa hal, diantaranya:

hubungan antara pelaku dengan korban lansia yang sangat dekat (intimate

partner violence) dan lokasi kekerasan di tempat yang sangat pribadi (Rumah

Tangga). Pelaku kekerasan terhadap lansia adalah anggota keluarga dekat

seperti anak atau kerabat, sehingga tidak ada pihak yang melaporkan. Di

samping itu rumah tangga adalah tempat yang sangat privasi sehingga sangat

sulit untuk diintervensi pihak luar.

Bentuk kekerasan terhadap lansia, dapat berupa kekerasan fisik (physical

violence) dan penelantaran (neglected). Kekerasan fisik terhadap lansia

terjadi berulang (repetitive) berupa luka-luka fisik dengan berbagai derajat

keparahan. Luka-luka yang dialami korban bersifat luka non kecelakaan (non-

accidental injuries) dan bukan oleh korban sendiri (non-self inflicted injuries)

dengan umur luka (wound timing) yang bervariasi.

Pada kasus penelantaran (neglected), korban lansia secara sengaja tidak

dipenuhi kebutuhan hidupnya oleh pelaku, sehingga korban lansia tidak

terawat dan mengalami status gizi buruk dengan segala akibatnya terhadap

kesehatan. Penelantaran lansia sering disertai kekerasan psikis

(psychological violence) yang berpengaruh secara langsung terhadap

kejiwaan korban.

Kekerasan fisik terhadap lansia bersifat berulang dan terjadi lingkaran

kekerasan (cycle of violence). Lingkaran kekerasan (cycle of violence) melalui

berbagai tahap (fase), yang secara umum dibagi menjadi 3 (tiga) fase yaitu:

Tension building phase, acute battered phase dan Honey Moon Phase. Pada

tahap Tension building terjadi ketegangan emosi pelaku, perasaan tidak

saling percaya (mistrust) dan agitasi secara verbal. Tindak kekerasan fisik

mulai terjadi pada Acute Battered Phase dan pelaku akan meminta maaf

dalam Honeymoon phase. Lingkaran kekerasan ini terus terjadi secara

berulang dan tidak terlaporkan.

Dampak kekerasan terhadap lansia dapat bersifat dampak jangka pendek

(short term impact) maupun dampak jangka panjang (long term impact).

26 | B A N U 4

Dampak jangka pendek dapat berupa luka-luka fisik dengan berbagai derajat

keparahan dari yang ringan sampai berat. Kadang-kadang luka yang terjadi

sampai melibatkan patah tulang atau kerusakan organ dalam. Di samping

luka-luka fisik, dampak jangka pendek berupa kelainan mental (Acute

Psychosis) yang berulang karena stresor kekerasan yang dialami.

Dampak jangka panjang, sebagian besar berupa kelainan mental yang

berkepanjangan (Post Traumatic Stress Disorder). Pengaruh proses

penyembuhan terutama pada Susunan Saraf Pusat seperti sikatrik otak dapat

menjadi dampak jangka panjang. Terjadinya Epilepsi post Trauma (Post

Trauma Epilepsy- PTE) terbukti sebagai dampak jangka panjang kekerasan

setelah terjadi proses penyembuhan pada otak. Jenis epilepsi yang sering

timbul setelah kekerasan adalah Epilepsi Lobus Temporal karena sklerosis

pada unkus. Disamping kekerasan pada kepala, asfiksia berulang pada

kekerasan di sekitar leher dan mulut dapat juga memicu terjadinya sklerosis

pada unkus. Kekerasan pada kepala yang lebih memudahkan terjadinya PTE

adalah kekerasan dengan kepala korban dibenturkan ke benda keras.

Biomekanisme kekerasan ini akan mengakibatkan trauma counter-coup pada

basis lobus temporal dan lobus frontalis, sehingga bila mengalami proses

penyembuhan akan terbentuk sikatrik (plaque of Juane) di bagian otak

tersebut. Ambang kejang (Seizure Threshold) pada otak bagian bawah lebih

rendah dibandingkan ambang kejang otak bagian atas, sehingga bagian otak

yang menyembuh akan mudah menjadi fokus epilepsi (Focus Epilepticus).

Kekerasan fisik dapat bersifat fatal, bahkan menimbulkan kematian korban

lansia. Salah satu bentuk kekerasan pada lansia yang sering bersifat fatal

adalah Shaken Elderly Syndrome. Shaken Elderly Syndrome (SES) adalah

kekerasan tidak langsung pada kepala dan otak pada saat korban lansia

digoyang antero-posterior dengan kekuatan akselerasi dan deselerasi yang

cukup kuat. Faktor anatomi dan fisiologis tengkorak dan struktur otak memberi

risiko fatalitas kekerasan ini. Secara klinis SES ditandai dengan gejala: defisit

neurologis dan perdarahan sub-dural dan atau sub-arakhnoid. Secara

anatomi, ruang sud-dural pada lansia lebih lebar karena duramater melekat

dengan tabula interna. Disamping itu terjadi atrofi otak besar karena proses

27 | B A N U 4

degeneratif. Kedua faktor ini menyebabkan ruang sub-dural lebih lebar dan

memudahkan terjadinya rupture bridging vein pada saat kepala digoyang dan

mengakibatkan perdarah sub-dural atau sekunder perdarahan sub-arakhnoid.

Kerapuhan pembuluh darah dan gangguan fisiologis pembekuan darah pada

lansia memberi kontribusi terhadap morbiditas dan mortalitas kasus ini.

Bentuk kekerasan lain pada lansia adalah Parricide. Parricide adalah

pembunuhan yang dilakukan oleh seorang anak terhadap salah satu orang

tuanya. Pembunuhan ini bisa dilakukan pelaku setelah orang tuanya lanjut

usia (lansia). Secara statistik, Parricide dilakukan terhadap salah satu orang

tua dan bila dilakukan terhadap kedua orang tua dikenal sebagai Double

Parricide. Pembunuhan ini merupakan kasus pembunuhan yang

dilatarbelakangi deviasi mental dan kekerasan pada saat anak-anak (Child

Abuse). Secara hukum, Parricide ditegakkan bila:

1. Terdapat riwayat kekerasan pada anak (child abuse) oleh orang tua yang

menjadi korban

2. Pembunuhan dilakukan sebagai refleksi dari pembelaan diri (over

protected)

3. Kelainan mental pada pelaku

4. Hubungan pelaku dan korban tidak saling percaya (mistrust)

Peran dokter dalam menangani kasus kekerasan pada lansia adalah

melakukan kewajiban hukum dalam memenuhi kebutuhan korban. Secara

hukum, korban mempunyai tiga kebutuhan yaitu: kebutuhan medis,

kebutuhan psikososial dan kebutuhan mediko legal. Dokter berkewajiban

memberikan penanganan medis yang diperlukan korban berupa pengobatan

dan atau perawatan. Kebutuhan psikososial berupa penanganan kejiwaan

terhadap korban. Kebutuhan mediko legal berupa penanganan kedokteran

Forensik dalam pengumpulan bukti-bukti medis dan penerbitan keterangan

ahli.

Kelayakan hukum (kompetensi)

Perubahan-perubahan neuro-degeneratif pada lansia akan

menurunkan berbagai kompetensi dalam kognisi, daya ingat atau fungsi

28 | B A N U 4

kortikal luhur lainnya. Penurunan fungsi ini menjadi materi yang perlu

dipertimbangkan bila berhubungan dengan masalah hukum (litigasi).

Terdapat dua hal yang menjadi pertimbangan hukum sehubungan dengan

status kesehatan seseorang sebagai subyek hukum yaitu: fitness dan

competencies. Fitness merupakan status kesehatan secara umum yang

meliputi fisik dan mental yang bersifat temporer atau menetap. Sedangkan

kompetensi lebih menekankan aspek pengertian dari seseorang. Kompetensi

adalah derajat pengertian rasional yang dapat diterima (reasonable degree of

rational understanding). Kompetensi dapat berupa kompetensi untuk

bertanggung jawab (mens-Rhea) atau kompetensi untuk mengambil

keputusan. Diantara kompetensi tersebut, kompetensi untuk mengambil

keputusan paling banyak yang melibatkan lansia.

Di dalam tindakan medis, beberapa hak hukum lansia dapat tidak terpenuhi

karena kompetensi pengambilan keputusan yang tidak adekuat. Hak untuk

bebas memilih dokter, konsultan, rumah sakit dan kelas perawatan (free

choice of physician, consultant and hospital) tidak terpenuhi. Demikian juga

hak untuk memperoleh penjelasan secukupnya (ordinate information) dan

pengambilan keputusan menerima atau menolak tindakan kedokteran

(Informed/ refuse of consent). Semua hak pasien diambil alih oleh anggota

keluarga yang kompeten sehingga persetujuan tindakan medis diberikan

secara tidak langsung oleh anggota keluarga lain (Proxy of Consent).

Dilihat dari sudut etika kedokteran, kaidah dasar moral autonomi dari lansia

sangat terbatas sehingga profesi dokter senantiasa harus

mempertimbangkan kaidah dasar moral yang lain dan memegang teguh etika

klinis (Clinical Ethics). Tindakan medis yang dilakukan harus berdasarkan

indikasi medis yang rasional (Medical Indication) yang menjadi pencerminan

kaidah beneficence dan non-maleficence. Kualitas hidup (quality of life) lansia

harus selalu dipertimbangkan dan tidak mengabaikan faktor-faktor lain secara

holistik (contextual features).

Penanganan medis terhadap lansia sering menimbulkan kondisi khusus yang

memerlukan pertimbangan etik dan mediko legal. Lansia yang mengalami

brain death dan Persistent Vegetative State (PVS) sering terjadi diakhir

29 | B A N U 4

perawatan. Demikian juga pengambilan keputusan Do Not Resuscitate (DNR)

dan keputusan saat pasien sadar (Advance directive). Di samping itu,

pengobatan dan perawatan akhir lansia sering memunculkan dilema tentang

kualitas hidup dan kehidupan secara utuh dari pasien (Personhood).

Pada keadaan tertentu, tenaga kesehatan tidak bisa mengambil keputusan

medis pada pelayanan terhadap lansia. Penentuan kompetensi lansia

terhadap kepemilikan atau menjalankan usaha keluarga bukan kompetensi

dokter, sehingga kalau dokter dimintakan surat keterangan medis maka harus

menunggu keputusan yang sah menurut hukum. Hal seperti itu diatur dalam

proxy decision-making standard dimana kalau tenaga medis tidak bisa

mengambil keputusan, harus diputuskan terlebih dahulu oleh pihak yang

berwenang.

30 | B A N U 4

PENANGANAN END OF LIFE CARE BAGI LANJUT USIA

Anna Marita Gelgel Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Pendahuluan

Lanjut usia (lansia) merupakan kelompok orang dengan usia >60

tahun.1 Di Indonesia, dengan semakin membaiknya pelayanan kesehatan dan

tingkat ekonomi maka kelompok lansia juga bertambah banyak. Hal ini

disertai dengan penyakit-penyakit kronis yang berujung pada kematian pasien

lansia. Berbagai kondisi kesehatan pada lansia ini memerlukan penanganan

yang khusus dan spesifik yang tidak lagi berupa pelayanan paliatif dan

hospice saja tetapi lebih daripada hal itu yakni pelayanan gabungan antara

paliatif dan gerontologi yang termasuk dalam penanganan end of life care

yang bisa dikerjakan di dalam rumah, rumah perawatan atau hospice care.2,3

Frekuensi lanjut usia

Seiring meningkatnya derajat kesehatan dan kesejahteraan

penduduk, maka akan mempengaruhi peningkatan Umur Harapan Hidup

(UHH) di Indonesia. Berdasarkan laporan World Health Organization (WHO)

pada tahun 1980, UHH sejumlah 55,7 tahun, angka ini meningkat pada tahun

1990 menjadi 59,5 tahun dan tahun 2020 diperkirakan akan menjadi 71,7

tahun.2,4

Tabel 1. Persentase lansia di dunia, Asia dan Indonesia Tahun 1950 – 2050.5

31 | B A N U 4

Undang-undang No. 13 Tahun 1998 menurut Departemen Sosial, tentang

kesejahteraan lansia menetapkan, bahwa batasan umur lansia di Indonesia

adalah 60 tahun ke atas.

Situasi global pada saat ini di antaranya adalah:

Setengah jumlah lansia di dunia (400 juta jiwa) berada di Asia.

Pertumbuhan lansia pada negara sedang berkembang lebih tinggi dari

negara yang sudah berkembang.

Masalah terbesar lansia adalah penyakit degeneratif.

Diperkirakan pada tahun 2050 sekitar 75% lansia penderita penyakit

degeneratif tidak dapat beraktivitas (tinggal di rumah).6

Pertumbuhan penduduk lanjut usia diprediksi akan meningkat cepat di masa

yang akan datang terutama di negara-negara berkembang. Indonesia

sebagai salah satu negara berkembang juga akan mengalami ledakan jumlah

penduduk lansia, kelompok umur 0-14 tahun dan 15-49 berdasarkan proyeksi

2010-2035 menurun. Sedangkan kelompok umur lansia (50-64 tahun dan

65+) berdasarkan proyeksi 2010-2035 terus meningkat. Peningkatan UHH ini

dapat mengakibatkan terjadinya transisi epidemiologi dalam bidang

kesehatan akibat meningkatnya jumlah angka kesakitan karena penyakit

degeneratif dan keganasan.

Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) terjadi peningkatan UHH. Pada tahun

2000 UHH di Indonesia adalah 64,5 tahun (dengan persentase populasi lansia

adalah 7,18%). Angka ini meningkat menjadi 69,43 tahun pada tahun 2010

(dengan persentase populasi lansia adalah 7,56%) dan pada tahun 2011

menjadi 69,65 tahun (dengan persentase populasi lansia adalah 7,58%).5

Tabel 2. Persentase jumlah penduduk lanjut usia berdasarkan jenis

kelamin.5

32 | B A N U 4

Tabel 3. Penduduk Lanjut Usia Menurut Provinsi

(Sumber: Susenas Tahun 2012, Badan Pusat Statistik RI.5)

Tabel 4. Proyeksi rata-rata UHH penduduk indonesia dan dunia thn 2000-

2100.5

Gambar 1. Komposisi penduduk lansia di Indonesia 2012.5

33 | B A N U 4

Definisi End of Life Care

Terminologi terhadap perawatan orang yang sedang sekarat dan

mendekati kematian secara potensial membingungkan dan telah

menunjukkan transisi terus menerus dari terminal care ke palliative care

sampai menjadi end of life care (Praill, 2000). End of life care semakin banyak

dipakai sebagai terminasi generik dalam preferensi terhadap palliative care

bila mempertimbangkan kebutuhan orang dengan kondisi selain kanker,

khususnya dalam community setting serta long-stay care setting.7

Lorenz et al. (2005) mendefinisikan end-of-life care sebagai bagian kehidupan

yang secara kronologi adalah ketika pasien dan keluarga mereka (caregivers)

berjuang dengan implikasi penyakit kronis lanjut (advanced). Hal ini

memperkirakan uncertain trajectory menyertai kematian, bahkan bila

diharapkan, dan termasuk serangkaian kondisi berbeda seperti penyakit

jantung, kanker, stroke, keadaan kronik serta multiple co-existing conditions.

Hal yang sama, Rose et al. (2000) memberikan definisi yang lebih panjang

untuk istilah end of life care yang membuat perawatan (care) bagi orang lanjut

usia yang hidup dengan atau sedang sakratul maut akibat keadaan kronis

atau progresif yang mengancam kehidupan (life-threatening). Hal ini

mencakup perawatan yang sensitif terhadap personal, kultural dan nilai

spiritualitas, kepercayaan dan prakteknya memerlukan dukungan bagi

keluarga dan teman-teman termasuk periode bereavement.8

Jelas sudah bahwa end of life care digunakan untuk orang dengan berbagai

kondisi dan meliputi periode waktu yang lebih panjang daripada hari atau

minggu segera sebelum meninggal. Menjadi jelas juga bahwa end of life care

tidak sama dengan palliative care. WHO mengajukan secara eksplisit

orientasi kesehatan masyarakat untuk promosi holistic palliative care yang

relevan dengan kesemua hal penyakit kronis dan keluarga mereka dalam

penataan perawatan yang berbeda dari stadium dini dari sebuah penyakit.

34 | B A N U 4

Tabel 5. Jenis karsinoma pada lansia wanita.2

Tabel 6. Jenis karsinoma pada lansia pria.2

35 | B A N U 4

Gambar 2. Burden of Chronic Noncommunicable Diseases: 2008 dan 2030.9

Gambar 3. Pertumbuhan Lansia dengan Demensia pada high-income

Countries, Low dan Middle-income Countries: 2010-2050.9

36 | B A N U 4

Kapan memulai end of life care?

Menurut National Institute for Clinical Excelence (2004) maka end of

life care ditujukan kepada orang dengan sakit keras menuju sakratul maut.

Negara Australia memberikan batasan waktu yang lebih singkat, biasanya

beberapa hari menjelang kematian. Sedangkan di Irlandia merupakan

kepanjangan dari perawatan paliatif pada pasien kanker dan penyakit-

penyakit yang memerlukan perawatan jangka panjang.

Proses kematian merupakan proses jangka panjang, kompleks dan tak pasti.

(Seymour et al.,2005). Di Irlandia pada 2006 didapatkan sekitar 30.000 orang

meninggal setiap tahun, dimana hanya ¾ nya yang berusa 65 tahun dan lebih

dan 2/3 kematian terjadi pada acute hospital setting, 20% meninggal di rumah

sementara 15% meninggal di private nursing home. Sisa 25% meninggal di

tempat lain, terutama fasilitas umum perawatan jangka panjang (public long-

stay care facilities).

Tujuan end of life care

Tujuan sebenarnya adalah untuk mendapatkan good quality of life,

good death, die in dignity and autonomy, mengontrol gejala-gejala yang ada

serta menghindari pemakaian berlebihan terhadap prosedur investigasi medis

dan pengobatan agresif. Tindakan yang dilakukan berpusat pada pasien dan

keluarganya, menciptakan model perawatan multidisipliner dan berbasis

komunitas.10

Permasalahan dalam end of life care pada lansia

Beberapa permasalahan dalam penanganan pasien-pasien lanjut usia

adalah:

Kematian lansia dengan sakit berat dianggap merupakan kelegaan bagi

keluarga

Dokter jarang memberikan anti nyeri pada lansia yang sakit berat dan

sekarat dengan penyakit-penyakit non malignansi.

Mengontrol gejala tidak menjadi prioritas bagi dokter yang merawat

pasien lansia dengan sakit berat dan sekarat.

37 | B A N U 4

Keluarga tidak mau membahas tentang kematian yang sedang

mengancam para orang tua yang lanjut usia dengan sakit berat dan

sedang sekarat.

Perbedaan kultur dalam menghadapi kematian sehingga berdampak

terhadap kualitas perawatan dan kualitas kehidupan.

Good end of life care

Suatu model baru, person centred approach telah dikenalkan untuk

masalah end of life care pada lansia yaitu integrasi antara palliative care dan

gerontology care yang menitik beratkan pada nilai-nilai medis, dimensi

kesehatan dan psikologis. Frogatt (2004) mengidentifikasi tiga hal berkenaan

dengan end of life care dalam long stay setting yaitu; pengalaman living and

losses dalam rumah perawatan, masa dalam sakratul maut dan kematian

serta saat masuk dalam perawatan dan masa duka cita (bereavement).10,11

Beberapa prinsip perawatan:

1. Pasien bisa menyatakan keinginan dirawat dimana untuk menghabiskan

sisa hidupnya

2. Pelayanan harus fleksibel dan terintegrasi

3. Tujuan utama pasien bisa mendapatkan akses kepada spesialis palliative

care

Karena banyak lansia pada end of life care memiliki beberapa keadaan mental

dan fisik yang berat, maka perlu dikenal domain apa saja yang diperlukan,

didapatkan dari hasil wawancara dengan lansia dan perawatnya yaitu:

1. Perasaan self-perception tentang kekuatan, penampilan, privasi

2. Otonomi pemeliharan lingkungan sekitar, pilihan-pilihan, ketidak-

tergantungan

3. Relasi, interaksi sosial, hubungan dengan penghuni lain dan keluarga

4. Aktivitas yang bermakna, terorganisir, religi

Beberapa faktor yang menjadi faktor penting untuk good quality of life:

1. Mendapatkan penanganan nyeri yang adekuat

2. Panganan yang baik atas gejala psikologis

3. Keputusan yang cepat

38 | B A N U 4

4. Kematian yang natural (tidak ditunda atau dipercepat)

5. Mendapatkan pelayanan spiritual sesuai kultur budaya

6. Mencapai keinginan akhir (meninggal di mana, didampingi siapa)

7. Tidak menjadi beban bagi yang dikasihi

8. Merasa diterima dalam kehidupan keluarga

9. Dalam keadaan mental yang baik

10. Ditangani sebagai “whole person”

Simpulan

Telah dibicarakan tentang penanganan end of life care pada lansia, di

mana penanganan ini lebih luas dari sekedar hanya perawatan paliatif karena

meliputi aspek gerontologi. Penanganan tidak berbatas waktu seperti pada

perawatan paliatif dengan meliputi berbagai domain fisik, psikis, sosiokultural

dan religi yang melibatkan para lansia dan keluarga/ perawatnya. Tujuan

adalah untuk mendapatkan good quality of life di akhir masa kehidupan dan

good death pada akhirnya.

Referensi

1. Depsos RI. 2004.

2. Kementrian Kesehatan RI. 2013. Gambaran kesehatan lanjut usia di

Indonesia.

3. UN. 2015. World population ageing. New York. 4. NHS. 2004. End of life care. UK. 5. Pusat data dan informasi Kemenkes.

6. UN. 2010. World Population Prospects Revision.

7. Sahyoun, N.R., Lentzner, H., Hoyert, D., Robinson, K.N. 2001. Trends in Causes of Death Among the Elderly. Aging Trends. No.1. Hyattsville, Maryland.

8. O’Shea, E., Murphy, K., Larkin, P., Payne, S., Froggatt, K., Case,y D.,

Léime, A.N., Keys, M. 2001. End-of-Life Care for Older People in Acute and Long-Stay Care Settings in Irelandattsville, Maryland, Galway.

39 | B A N U 4

9. NIH. 2011. Global health and aging.

10. GMC. 2006. End of life treatment and care: Good practice in decision-making. New York.

11. WHO. 2004. Davies, E., Higginson, I.J. Eds. Better Palliative Care for

Older People. Denmark.

40 | B A N U 4

OBSTRUCTIVE SLEEP APNEA PADA LANSIA

I Gusti Ngurah Budiarsa Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

PENDAHULUAN

Indonesia sebagai salah satu negara berkembang juga akan

mengalami ledakan jumlah penduduk lansia. Berdasarkan sensus penduduk

pada tahun 2010, jumlah lanjut usia di Indonesia yaitu 18,1 juta jiwa (7,6%

dari total penduduk). Pada tahun 2014, jumlah penduduk lanjut usia di

Indonesia menjadi 18,781 juta jiwa dan diperkirakan pada tahun 2025,

jumlahnya akan mencapai 36 juta jiwa (Kemenkes, 2015).

Berbagai kondisi gangguan tidur dapat terjadi pada lansia, seperti insomnia,

disomnia, dan gangguan tidur yang terkait pernapasan (Lumbantobing, 2001).

Tidur yang tidak adekuat dan kualitas tidur buruk dapat mengakibatkan

gangguan keseimbangan fisiologi dan psikologi. Dampak fisiologi meliputi

penurunan aktivitas sehari-hari, rasa capai, lemah, koordinasi neuromuskular

buruk, proses penyembuhan lambat, daya tahan tubuh menurun, dan

ketidakstabilan tanda vital, sedangkan dampak psikologi meliputi depresi,

cemas, tidak konsentrasi (Ringdhal et al., 2004). Gangguan tidur lebih sering

terjadi pada lansia dengan penyebab yang beragam. Sering kali terjadinya

gangguan tidur pada lansia, termasuk obstructive sleep apnea (OSA) tidak

terdeteksi. Evaluasi gangguan tidur pada lansia memerlukan perhatian

khusus dan mempertimbangkan penyebab lainnya (Neubauer, 1999).

DEFINISI

Obstructive sleep apnea (OSA) didefinisikan sebagai gangguan tidur

yang berkaitan dengan pernapasan berupa penyempitan (berkurang atau

komplit) saluran napas bagian atas pada keadaan tidur (American Academy

of Sleep Medicine). Pada OSA, seseorang akan berhenti bernapas pada saat

tidurnya akibat tertutupnya saluran napas atas yang disebabkan oleh tidak

adekuatnya tonus otot pada lidah dan atau otot dilator.

41 | B A N U 4

EPIDEMIOLOGI

OSA merupakan gangguan pernapasan saat tidur yang berimplikasi

pada terganggunya kualitas tidur. Kejadian OSA meningkat dengan adanya

faktor risiko seperti sakit jantung, kelainan neurologis dan riwayat tindakan

operatif (Jhon Park et al, 2011). Penyakit ini sering tidak terdiagnosis

sehingga memerlukan perhatian khusus untuk melihat adanya tanda dan

gejala yang konsisten. OSA juga merupakan tipe gangguan tidur yang paling

sering terjadi pada pasien stroke. Dilihat dari pengertian OSA sesuai dengan

apnea-hypopnea index (AHI), yaitu disebut sebagai sindrom OSA bila AHI ≥5

dengan adanya gejala terkait atau AHI ≥15 tanpa adanya gejala terkait (Jhon

Park et al, 2011). Di Amerika Serikat, prevalensi OSA (AHI ≥5) pada orang

dewasa kulit putih dengan usia 30–60 tahun sekitar 24% laki-laki dan 9%

perempuan, sedangkan AHI ≥15 sekitar 9% laki-laki dan 4% perempuan. Di

Eropa, usia 30-70 tahun dengan AHI ≥5 didapatkan 26% laki-laki dan 28%

perempuan, sedangkan AHI ≥15 sekitar 14% laki-laki dan 7% perempuan. Di

Hongkong, prevalensi usia 30-60 tahun dengan AHI ≥5 sebesar 9% dan 4%,

serta AHI ≥15 sebesar 5% dan 3% (Bradley et al., 2009).

Dilihat dari adanya penyakit primer, menurut data internasional of sleep

disorder, prevalensi penyebab-penyebab gangguan tidur adalah sebagai

berikut: penyakit asma (61-74%), gangguan pusat pernapasan (40-50%),

kram kaki malam hari (16%), psychophysiological (15%), sindroma kaki

gelisah (5-15%), ketergantungan alkohol (10%), sindroma terlambat tidur (5-

10%), depresi (65%), demensia (5%), gangguan perubahan jadwal kerja (2-

5%), gangguan obstruksi sesak saluran napas (1-2%), penyakit ulkus

peptikus (<1%), narcolepsy (mendadak tidur) (0,03%-0,16%) (Sacchetti et al.,

2004).

PATOFISIOLOGI

OSA merupakan hasil dari proses dinamik akibat penyempitan atau

kelumpuhan (collaps) saluran napas atas selama tidur. Pada manusia, jalur

udara di daerah orofaring dan hipofaring hampir tidak memiliki dukungan

tulang yang kaku sehingga jalur udara dipertahankan tetap ada dengan

42 | B A N U 4

adanya fungsi otot dilator faring. Otot-otot utama tersebut adalah otot

genioglosus dan tensor palatina (Purwowiyoto, 2011).

Pasien dengan OSA memiliki penyempitan jalur napas bagian atas. Ada tiga

faktor yang berperan pada patogenesis OSA antara lain:

1. Obstruksi saluran napas daerah faring akibat pendorongan lidah dan

palatum ke belakang yang dapat menyebabkan oklusi nasofaring dan

orofaring, yang menyebabkan terhentinya aliran udara, meskipun

pernapasan masih berlangsung pada saat tidur. Hal ini menyebabkan

apnea, asfiksia sampai periode arousal.

2. Ukuran lumen faring yang dibentuk oleh otot dilator faring (m. pterigoid

medial, m. tensorveli palatini, m. genioglosus, m. geniohiod, dan m.

sternohioid) yang berfungsi menjaga keseimbangan tekanan faring pada

saat terjadinya tekanan negatif intra torakal akibat kontraksi diafragma.

Kelainan fungsi kontrol neuromuskular pada otot dilator faring berperan

terhadap kolapsnya saluran napas. Defek kontrol ventilasi di otak

menyebabkan kegagalan atau terlambatnya refleks otot dilator faring,

saat pasien mengalami periode apnea-hipopnea.

3. Kelainan kraniofasial mulai dari hidung sampai hipofaring yang dapat

menyebabkan penyempitan pada saluran napas atas. Kelainan daerah

ini dapat menghasilkan tahanan yang tinggi. Tahanan ini juga merupakan

predisposisi kolapsnya saluran napas atas. Kolaps nasofaring ditemukan

pada 81% dari 64 pasien OSA dan 75% di antaranya memiliki lebih dari

satu penyempitan saluran napas atas.

Periode apnea adalah terjadinya henti napas selama 10 detik atau lebih.

Periode hipopnea adalah terjadinya keadaan reduksi aliran udara sebanyak

lebih-kurang 30% selama10 detik yang berhubungan dengan penurunan

saturasi oksigen darah sebesar 4%. Apnea terjadi karena kolapsnya saluran

napas atas secara total, sedangkan hipopnea kolapsnya sebagian, namun

jika terjadi secara terus menerus dapat menyebabkan apnea.

Efek Penuaan Terhadap Patofisiologi OSA

Penuaan diketahui merupakan faktor terbesar yang berkontribusi

terhadap risiko OSA, dengan peningkatan usia dihubungkan dengan

43 | B A N U 4

prevalensi apnea. Sleep Heart Health Study menemukan peningkatan

prevalensi Sleep-disordered breathing (SDB) pada usia lanjut (Edwards,

2010).

Mekanisme pasti dimana penuaan meningkatkan risiko OSA belum

sepenuhnya diketahui. Data terbanyak menunjukkan bahwa kemampuan

untuk menjaga jalan napas yang paten adalah keseimbangan antara jumlah

jaringan lunak yang berada pada kompartemen tulang yang dibentuk oleh

mandibula dan kolum spinal dan kemampuan atau kekuatan otot dilator faring

berkontraksi. Pasien OSA memiliki penurunan lumen saluran napas akibat

peningkatan jaringan lunak dan perubahan anatomi faring. Disamping dari

anatomi saluran napas atas, beberapa fenotipe yang penting anatomi jalan

napas faring yang kecil merupakan faktor utama dalam perkembangan

obstruksi saluran nafas atas dengan otot dilator faring kompensasi

kekurangan anatomi selama terjaga, tetapi tidak terjadi selama tidur yaitu:

kemampuan respon otot dilator faring terhadap stimuli kimia maupun mekanik

selama tidur, menyebabkan terbangun dari tidur akibat upaya pernapasan

yang terhalang, perubahan pada volume paru dan daya kembang dan efek

stabilitas kontrol ventilasi. Kemungkinan penuaan dapat dihubungkan dengan

perubahan penting pada satu atau kombinasi faktor-faktor yang dapat

berkontribusi terhadap OSA (Edwards, 2010).

FAKTOR RISIKO TERJADINYA OSA

Berbagai hal menjadi faktor risiko terjadinya OSA:

1. Faktor Risiko Primer (Obesitas)

Penumpukan lemak pada jalan nafas atas akan menyebabkan

penyempitan dan cenderung menutup otot-otot kendor, terutama pada

fase tidur REM

2. Umur

Hilangnya masa otot adalah akibat dari proses penuaan. Bila masa otot

menurun pada saluran napas akan digantikan oleh lemak dan

menyebabkan jalan napas menyempit

44 | B A N U 4

3. Jenis kelamin

Hormon pada laki-laki akan dapat menyebabkan perubahan struktur pada

jalan napas atas

4. Kelainan anatomi, seperti rahang bawah dan dagu yang kebelakang

5. Pembesaran tonsil dan adenoid

6. Riwayat keluarga OSA

7. Penggunaan alkohol dan obat sedatif yang menyebabkan mengendornya

otot-otot jalan napas atas

8. Merokok yang meyebabkan inflamasi, pembengkaan dan penyempitan

jalan nafas atas

9. Hypothyroidism, acromegaly, amyloidosis, vocal cord paralysis, post

polio syndrome, neuromuscular disorder, Marfan’s syndrome dan Down

Syndrome

10. Kongestif nasal

GEJALA KLINIS OSA

OSA sering tidak terdeteksi karena terjadi saat pasien tidur. Gejala

OSA dikelompokkan menjadi gejala malam dan gejala siang hari. Gejala

utama OSA adalah daytime hypersomnolence. Gejala ini tidak dapat dinilai

secara kuantitatif karena pasien sering sulit membedakan rasa mengantuk

dengan kelelahan (Edwards, 2010).

Epworth sleepiness scale (ESS) dan Standford sleepiness scale (SSS) adalah

kuisioner yang mudah dan cepat untuk menilai gejala rasa mengantuk. Skala

ini tidak berhubungan secara langsung dengan indeks apnea-hipopnea.

Penyebab daytime hypersomnolence adalah karena adanya tidur yang

terputus-putus, berhubungan dengan respons saraf pusat yang berulang

karena adanya gangguan pernapasan saat tidur.

Dilaporkan 50% penderita OSA mempunyai tekanan darah di atas normal,

meskipun tidak diketahui apakah hal tersebut merupakan penyebab atau

sebagai akibat apnea tidur. Risiko serangan jantung dan stroke juga

dilaporkan meningkat pada penderita OSA.

45 | B A N U 4

Gambar 1. Gejala klinis

KLASIFIKASI OSA

Derajat beratnya OSA dinilai berdasarkan nilai apnea-hypopnea index

(AHI) menggunakan polisomnografi. AHI (Apnea-Hypopnea Index) ialah

rerata kejadian apnea dan hypopnea selama satu jam tidur, hal ini menjadi

salah satu acuan tingkat keparahan OSA.

Berikut adalah pembagian OSA menurut American Academy of Sleep

Medicine:

PENEGAKAN DIAGNOSIS

Perangkat diagnostik yang sederhana adalah Kuesioner Berlin.

Kuesioner Berlin adalah instrumen yang sudah tervalidasi untuk menentukan

adanya faktor risiko OSA, yaitu kebiasaan mendengkur, apnea, rasa

mengantuk yang berlebihan sepanjang hari, kelelahan, obesitas dan

46 | B A N U 4

hipertensi. Kuesioner Berlin menilai frekuensi mendengkur dan kelelahan

siang hari.

Alat untuk mendiagnosis sleep apnea secara baku adalah polisomnografi.

Polisomnografi dilakukan di laboratorium tidur dengan memonitor tidur pasien

sepanjang malam. Total waktu tidur yang dicatat paling sedikit 4 jam.

Komponen polisomnogram adalah electroencephalogram (EEG),

electrooculogram (EOG), electromyogram (EMG) dan electrocardiogram

(ECG). Tahapan dan pola tidur ditentukan oleh gambaran EEG, EOG, dan

EMG. Kardiak disritmia yang berpotensi mematikan dapat dideteksi dengan

ECG. Penurunan 5% atau lebih saturasi oksigen arteri dari nilai normal adalah

signifikan selama episode apnea ataupun hipopnea. Usaha respirasi dan pola

pernafasan diukur dengan respiratory inductive plethysmography ataupun

dengan pengukuran perubahan tekanan intrathoraks dengan balon kateter

esofagus.

Gambar 2. Polisomnografi

Seseorang dikatakan menderita OSA jika terdapat:

1. Keadaan mengantuk berat sepanjang hari yang tidak dapat dijelaskan

karena sebab lain.

47 | B A N U 4

2. Dua atau lebih keadaan seperti tersedak sewaktu tidur, terbangun

beberapa kali ketika tidur, tidur yang tidak menyebabkan rasa segar,

perasaan lelah sepanjang hari dan gangguan konsentrasi.

3. Hasil PSG menunjukkan AHI ≥5 (jumlah total apnea ditambah terjadi

hipopnea perjam selama tidur).

4. Hasil PSG negatif untuk gangguan tidur lainnya.

KOMPLIKASI

OSA dapat menimbulkan dampak pada banyak sistem dari tubuh

manusia, di antaranya:

1. Neuropsikologis: kantuk berlebihan pada siang hari, kurang konsentrasi

dan daya ingat, sakit kepala, depresi, epilepsi nokturnal.

2. Vaskular: takikardi, hipertensi, aritmia, blokade jantung, angina, penyakit

jantung iskemik, gagal jantung kongestif, stroke

3. Respirasi: hipertensi pulmonum, cor pulmunale.

4. Metabolik: diabetes, obesitas.

5. Genito-urinari: nokturia, enuresis, impotensi.

6. Hematologis: polisitemia.

Dari penelitian epidemiologis diketahui adanya hubungan antara OSA dengan

hipertensi, stroke dan penyakit jantung iskemik. Timbulnya penyakit

gangguan vaskular pada penderita OSA diduga sebagai akibat stimulasi

simpatis yang berulang-ulang yang terjadi pada setiap akhir fase obstruktif.

Pada penderita OSA juga terjadi pelepasan faktor-faktor protrombin dan

proinflamasi yang berperan penting pada terjadinya aterosklerosis.

Terjadinya gangguan vaskular pada penderita OSA diperkirakan melalui dua

komponen:

1. Efek mekanis dari henti nafas terhadap tekanan intratorakal dan fungsi

jantung.

2. Hipoksemia yang terjadi berulang-ulang mengakibatkan perangsangan

simpatis yang berlebihan dan disfungsi sel-sel endotel.

48 | B A N U 4

Gambar 3. Patofisiologi OSA terhadap CVD

PNA: Parasympathetic Nervous System Activity. PO2: Partial Pressure of Oxygen. PCO2:

Partial Pressure of Carbon Dioxide. SNA: Sympathetic Nervous System Activity. HR: Heart

Rate. BP: Blood Pressure. LV: Left Ventricular.

OSA berperan penting dalam patogenesis hipertensi. Deteksi dan terapi OSA

perlu dilakukan dalam manajemen hipertensi untuk mencapai hasil yang

optimal. OSA diduga merupakan faktor risiko independen untuk terjadinya

penyakit aterosklerosis pada pembuluh darah arteri. Banyak peneliti

mengemukakan beberapa kemungkinan mekanisme efek aterosklerotik dari

OSA, di antaranya:

1. Peningkatan tekanan darah yang berulang akibat hiperaktivitas simpatis

dan stres oksidatif.

2. Disfungsi sel endotel yang mengakibatkan peningkatan kadar endotelin-

I dalam plasma, penurunan produksi nitrit-oksida, dan peningkatan

respons peradangan terbukti dengan meningkatnya kadar C-reactive

protein dan interleukin-6.

Peninggian kadar plasma dari molekul-molekul adhesi dan peningkatan

ekspresi molekul-molekul adhesi pada lekosit dan perlekatannya pada sel-sel

49 | B A N U 4

endotel diduga berperan pada terjadinya disfungsi sel endotel, pembentukan

aterosklerosis dan bekuan darah.

Insidensi OSA yang tinggi (45-90%) ditemukan pada penderita stroke.

Kemungkinan peran OSA dalam patogenesis stroke di antaranya melalui

proses aterosklerosis, hipertensi, berkurangnya perfusi serebral akibat

penebalan dinding arteri karotis, output jantung yang rendah, peninggian

tekanan intrakranial, peningkatan koagulopati dan peningkatan risiko

terbentuknya bekuan darah akibat aritmia. Karena tingginya insidensi OSA

dan potensi efeknya terhadap morbiditas dan mortalitas, pemeriksaan untuk

mendiagnosis dan terapi OSA dianjurkan dilakukan pada penderita stroke.

Aritmia dapat terjadi pada penderita OSA terutama berupa sinus bradikardi,

sinus arrest, dan blokade jantung komplit. Risiko untuk terjadinya aritmia

berhubungan dengan beratnya OSA. Mekanisme terjadinya aritmia pada

penderita OSA kemungkinan melalui peningkatan tonus vagus yang

dimediasi oleh kemoreseptor akibat apnea dan hipoksemia.

PENATALAKSANAAN OSA

Penatalaksanaan OSA pada lansia dikaitkan dengan penyebab yang

mendasari terjadinya OSA pada lansia. Perubahan anatomi dan fungsional

saluran pernapasan merupakan hal penting yang terjadi pada lansia (Ganga

et al., 2009). Manajemen OSA dapat dilakukan melalui terapi non bedah dan

bedah.

Terapi non bedah merupakan terapi yang lebih diutamakan dalam

penanganan OSA melihat efek samping yang lebih minimal. Menurut

penelitian Qaseem et al (2013) yang meneliti guideline penanganan OSA,

didapatkan beberapa rekomendasi dalam manajemen OSA non bedah, yaitu:

1. Rekomendasi 1: penurunan berat badan, terutama pada pasien yang

mengalami overweight dan obese. (Grade: strong recommendation; low-

quality evidence).

Dengan menurunkan berat badan, penderita OSA dengan obesitas dapat

meningkatkan volume dan fungsi saluran napas atas (Qaseem et al,

2013). Menghindari konsumsi minuman beralkohol, obat penenang,

50 | B A N U 4

nikotin dan kafein pada malam hari dapat memperbaiki tonus otot saluran

napas atas dan mekanisme pernapasan sentral. Menghindari posisi tidur

supinasi juga dapat membantu mengurangi obstruksi saluran napas saat

tidur (Hukins, 2006). Preparat efedrin, walaupun tidak memberikan efek

jangka panjang, dilaporkan membantu memperbaiki aliran udara pada

saluran napas atas.

Gambar 4. Assessment dan Management Obstruksi Sleep Apnea

2. Rekomendasi 2: penggunaan CPAP (continuous positive airway

pressure), terutama untuk terapi awal pada pasien yang ditemukan

dengan OSA. (Grade: strong recommendation; moderate-quality

evidence). Memberikan terapi CPAP selama satu bulan pada pasien OSA

dengan stroke, didapatkan penurunan aktivitas saraf simpatis, tekanan

darah dan denyut jantung. Terapi positive airway pressure (PAP) efektif

mengatasi obstruksi jalan napas, mencegah kolaps dan apnea. Dapat

diaplikasikan melalui masker naso-oral, nasal, maupun nasal pillow.

51 | B A N U 4

Gambar 5. Continous Positive Airway Pressure (CPAP)

Keuntungan terapi ini yaitu hilangnya keadaan hipoksemia nokturnal,

penurunan aktivitas simpatis, penurunan signifikan tekanan darah

selama tidur, mengurangi kejadian iskemik miokard nokturnal atau

angina, perbaikan fungsi sistolik ventrikel kiri, peningkatan fraksi ejeksi

ventrikel kiri dengan hasil akhir perbaikan status fungsional, serta

mengurangi risiko stroke dan kematian. Kelemahan CPAP adalah adanya

rasa tidak nyaman pada saat penggunaannya, adanya rasa

claustrophobia, sakit kepala, rinitis, iritasi wajah dan hidung serta

aerofagia.

3. Rekomendasi 3: mandibular advancement devices, direkomendasikan

pada pasien yang memiliki efek samping terhadap penggunaan CPAP

atau menolak menggunakan CPAP (Grade: weak recommendation; low-

quality evidence).

52 | B A N U 4

Gambar 6. Mandibular Advancement Devices (Hukins, 2006)

Terapi bedah pada OSA dilakukan apabila tidak terdapat perbaikan dengan

terapi non bedah. Tujuan terapi bedah pada OSA adalah untuk memperbaiki

volume dan bentuk saluran napas atas (Hukins, 2006). Indikasi harus jelas

dan dipersiapkan dengan baik. Indikasi pembedahan OSA adalah AHI 20x/

jam, saturasi O2 <90%, tekanan esofagus di bawah -10 cmH2O, adanya

gangguan kardiovaskular (seperti aritmia dan hipertensi), gejala

neuropsikiatri, gagal dengan terapi non-bedah dan adanya kelainan anatomi

yang menyebabkan obstruksi jalan napas. Tidak ada satu teknik yang benar-

benar baik untuk OSA (Walker, 2006).

Terapi bedah dapat dilakukan pada regio anatomi tertentu yang

menyebabkan obstruksi saluran nafas sesuai dengan hasil pemeriksaan

sleep endoscopy. Beberapa prosedur operasi dapat dilakukan:

1. Tonsilektomi dan adenoidektomi. Pada penderita OSA dengan tonsil

yang besar, tonsilektomi dapat menghilangkan gejala secara komplit dan

tidak memerlukan terapi CPAP.

53 | B A N U 4

2. Uvulopalatofaringoplasti (UPPP) dan uvulopalatoplasti. Hasilnya tidak

sebaik CPAP pada penderita OSA yang berat. Angka keberhasilan

dengan teknik ini mencapai 10-15% (Gibson, 2005).

3. Pembedahan pada daerah hidung seperti septoplasti, bedah sinus

endoskopik fungsional dan konkotomi bisa menjadi terapi yang efektif bila

sumbatan terjadi di hidung. Kelainan hidung harus dicari pada penderita

yang mengalami gejala hidung pada pengobatan dengan CPAP.

4. Tindakan bedah pada mandibula atau maksila (maxillomandibular

osteotomy dan advancement).

5. Lidah: lingual tonsillectomy, laser midline glossectomy, lingualplasti dan

ablasi masa lidah dengan teknik radiofrekuensi.

6. Teknik terbaru menggunakan alat somnoplasty dengan radiofrekuensi

Celon® atau Coblation®, dan pemasangan implan Pillar® pada palatum.

Teknik radiofrekuensi menghasilkan perubahan ionik pada jaringan,

menginduksi nekrosis jaringan sehingga menyebabkan reduksi volume

palatum tanpa kerusakan pada mukosa dan menghilangkan vibrasi

(kaku).

Gambar.7 a. Teknik Radiofrekuensi (Celon® atau Coblation®), b. Implan

Pillar®

a b

54 | B A N U 4

Implan Pillar® atau implan palatal merupakan teknik yang relatif baru,

merupakan modalitas dengan invasi minimal. Digunakan untuk penderita

dengan habitual snoring dan OSA ringan sampai sedang. Prosedur ini

bertujuan untuk memberi kekakuan pada palatum mole. Tiga buah

batang kecil dimasukkan ke palatum mole untuk membantu mengurangi

getaran yang menyebabkan snoring.

PENUTUP

Obstructive Sleep Apnea (OSA) adalah salah satu gangguan tidur

yang dapat terjadi pada lansia. OSA diakibatkan oleh penyempitan (berkurang

atau komplit) saluran napas bagian atas pada keadaan tidur. Seseorang akan

mengalami henti napas pada saat tidurnya akibat tertutupnya saluran napas

atas yang disebabkan oleh tidak adekuatnya tonus otot pada lidah dan atau

otot dilator. Faktor risiko terjadinya OSA, meliputi obesitas, ukuran lingkar

leher, umur, jenis kelamin, hormon, dan kelainan anatomi saluran napas.

Pada lansia, terjadi perubahan anatomi jalan napas faring yang mengecil dan

penurunan lumen saluran nafas akibat peningkatan jaringan lunak sehingga

terjadi obstruksi saluran napas atas. Berdasarkan apnea-hypopnea index

(AHI), disebut sebagai sindrom OSA bila AHI ≥5 dengan adanya gejala terkait

atau AHI ≥15 tanpa adanya gejala terkait. Alat untuk mendiagnosis sleep

apnea adalah polisomnografi. Polisomnografi merupakan alat diagnosa yang

penting untuk mendiagnosa sleep apnea, melihat keparahan sleep apnea dan

menentukan kesuksesan perawatan. Klasifikasi OSA dibedakan menjadi mild,

moderate dan severe. Manajemen OSA mencakup terapi non-bedah dan

terapi bedah. Terapi non bedah mencakup konservatif, penggunaan

continuous positive pressure (CPAP), dan Mandibular advancement devices.

Terapi bedah mencakup Uvulopalatopharyngoplasty (UPPP), teknik maksila-

mandibular osteotomi, Laser-assisted uvuloplasty (LAUP), dan

Radiofrequency ablation (RA) palatum.

55 | B A N U 4

DAFTAR PUSTAKA

American Academy of Sleep Medicine. Obstructive Sleep Apnea. Available from: URL: www.aasmnet.org/resources/.../sleepapnea.pdf. diunduh: 9 Mei 2016. Bradley, T.D., Floras, J.S. 2009. Obstructive Sleep Apnoea and its Cardiovascular Consequences. Lancet. 373.p.82–93. Edwards, B.A. 2010. Aging and Sleep: Physiology and Pathophysiology. Seminars in Respiratory and Critical Care Medicine.USA. pg.618-633. European Respiratory Task Force. 2002. Public health and medicolegal implications of sleep apnoea. Eur Respir J. 20:1594-609. Gibson GJ, 2005. Obstructive sleep apnoea syndrome: underestimated and undertreated. Brit Med Bulletin; 72: 49-64. Hukins-Craig, A. 2006. Obstructive sleep apnea–management update. Neuropsychiatric Disease and Treatment. 2(3):309–326. Japardi, I. 2002. Gangguan Tidur. Sumatera Utara: USU digital library. Jordan, A.S. 2003. Recent advances in understanding the pathogenesis of obstructive sleep apnea. Current opinion pulmonary medicine. p.1-3. Madani, M. 2007. Snoring and obstructive sleep Apnea. Arch of Iranian Med. 10. p.215-226. Meoli, A.L., Casey, K.R., Clark, R.W. 2001. Clinical Practice Review Committee et al. Hypopnoe in sleep-disordered breathing in adults. Sleep. 24:469-70. Neubauer, D.N. 1999. Sleep Problems in the Elderly. Johns Hopkins Sleep Disorders Center, Baltimore, Maryland. Am Fam Physician. May 1;59(9):2551-2558. Paul, W.F., Bruce, H.H., Valerie, J.L., John, K.N., Mark A.R., Thomas-Robbins, K., Regan-Thomas, J. 2001. Cummings Otolaryngology Head and Neck Surgery 5 th Edition. p.250-261. Purnomo, H., Islamiyah, W.R. 2014. Panduan Tatalaksana Gangguan Tidur. Edisi 1. Surabaya: Kelompok Studi Gangguan Tidur. Purwowiyoto, S.L. 2011. Obstructive Sleep Apnea dan Penyakit Kardiovaskular. CDK. 184/ Vol.38.

56 | B A N U 4

Qaseem, A., Jon-Erik, C., Douglas, K., Paul-Dallas, Melissa-Starkey, Paul-Shekelle. 2013. Management of Obstructive Sleep Apnea in Adults: A Clinical Practice Guideline from the American College of Physicians. Ann Intern Med. 159:471–483. Ringdahl, E., Susan, L., John, E. 2004. Treatment of Primary Insomnia. JABFP. Vol. 17 No. 3 May-June 2004. Walker, R.P. 2006. Snoring and obstructive sleep apnea. Head & neck surgery-otolaryngology. 4th ed. Philadelphia. p.645-664.

57 | B A N U 4

SLEEP IN ELDERLY PEOPLE: WHAT SHOULD WE KNOW?

Desak Ketut Indrasari Utami Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Pendahuluan

Tidur merupakan kondisi biologis dasar yang melingkupi banyak

aspek dalam kehidupan kita (Garcia, 2008). Kualitas tidur yang baik adalah

sangat esensial bagi kesehatan dan kesejahteraan yang baik (WHO, 2004).

Kurang tidur maupun adanya gangguan tidur merupakan masalah kesehatan

yang paling sering terabaikan dan banyak yang belum tertangani dengan baik.

Sangat jarang seorang dokter menanyakan mengenai kebiasaan tidur

ataupun keluhan tidur dari pasiennya sehingga menyebabkan tidak

terdiagnosisnya gangguan tidur (Colten et al., 2006).

Kegagalan untuk mengenali masalah tidur tidak hanya membuat tidak

terdiagnosis dan tertangani dengan baik, tetapi juga menghalangi

kemungkinan tindakan pencegahan terhadap konsekuensi kesehatan yang

diakibatkan oleh gangguan tidur tersebut. Konsekuensi kesehatan yang

dimaksud diantaranya adalah mortalitas, morbiditas, kecelakaan dan cedera,

kualitas hidup, kesejahteraan keluarga, penggunaan pelayanan kesehatan,

yang kesemuanya merupakan indikator kesehatan masyarakat (WHO, 2004)

(Colten et al., 2006).

World Health Organization (WHO) dalam acara “Technical Meeting on Sleep

and Health” di Jerman tahun 2004 telah memberikan peringatan bahwa

kurang tidur merupakan faktor risiko terjadinya serangan jantung. Tidur yang

buruk atau gangguan tidur berkaitan dengan risiko serangan jantung

sebanyak dua kali lipat dan risiko stroke sebanyak empat kali lipat. Dalam

acara tersebut juga dianjurkan agar di dalam guideline ditambahkan tidur

sebagai faktor risiko sebagai rekomendasi untuk mencegah penyakit

kardiovaskular (WHO, 2004).

Di Amerika, American Academy of Sleep Medicine (AASM) mencanangkan

“Seniors Sleep Campaign” oleh karena masih banyaknya kejadian

Obstructive Sleep Apnea (OSA) pada lanjut usia yaitu 12-18 juta orang dan

58 | B A N U 4

masih belum tertangani dengan baik. OSA yang tidak tertangani dengan baik

ini merupakan risiko untuk terjadinya hipertensi, penyakit jantung, diabetes

tipe dan juga stroke (AASM, 2016).

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia menetapkan tanggal 29 Mei

sebagai Hari Lanjut Usia, dimana lanjut usia adalah penduduk dengan usia

lebih dari 60 tahun. Indonesia merupakan negara lima besar dengan jumlah

penduduk lanjut usia terbanyak. Sensus penduduk 2010 didapatkan jumlah

lansia 18,1 juta (7,6% dari total penduduk) dan pada tahun 2025 nanti

diperkirakan akan mencapai 36 juta jiwa. Kemenkes RI juga menetapkan isu

“Ageing” sebagai prioritas masalah kesehatan nasional. UU no. 36 tahun 2009

tentang Kesehatan menyebutkan upaya pemeliharaan kesehatan bagi lanjut

usia harus ditujukan untuk menjaga agar tetap hidup sehat dan produktif

secara sosial maupun ekonomis serta mandiri (Kemenkes RI, 2015).

Fisiologi Tidur pada Lanjut Usia

Proses penuaan normal menimbulkan perubahan-perubahan dalam

seluruh sistem organ dan berdampak pada neurofisiologi tidur (Espiritu,

2008). Sistem hormonal juga mengalami perubahan pada saat seseorang

bertambah usia atau lanjut usia, seperti misalnya Growth Hormone (GH) yang

menurun pada lanjut usia dan hormon Cortisol yang meningkat pada malam

hari sangat mempengaruhi kondisi tidur pada lanjut usia (Copinschi, 2013).

Perubahan pola tidur dan juga arsitektur tidur merupakan bagian dari proses

penuaan normal tetapi gangguan tidur bukanlah bagian dari proses penuaan

(Zdanys, 2015) (Hirshkowitz et al. 2015). Ada beberapa perubahan fisiologis

yang terjadi pada lanjut usia yang terkait dengan tidur. Secara umum,

prediktor kualitas tidur yang baik pada lanjut usia termasuk: kesehatan fisik

dan psikologis, aktifitas sehari-hari, dan cahaya natural (3000+lux) (Espiritu,

2008).

Sebuah jurnal Sleep Medicine menyebutkan bahwa dari seluruh orang

dengan lanjut usia, hanya 12% diantaranya yang tanpa keluhan tidur (Ancoli-

israel, 2009). Berdasarkan National Sleep Foundation, durasi tidur pada

masing-masing rentang usia adalah berbeda-beda. Durasi tidur yang

59 | B A N U 4

direkomendasikan untuk para lanjut usia adalah sekitar 7 sampai 8 jam seperti

dalam tabel 1.

Tabel 1. Rekomendasi Durasi Tidur (Hirshkowitz et al. 2015)

Perubahan-perubahan terkait tidur diantaranya:

• Bertambahnya proporsi tidur stadium 1 dan 2 (N1 dan N2)

• Berkurangnya atau tidak adanya Slow Wave Sleep/ SWS (stadium 3 dan

4)

• Mudah terbangun di malam hari

• Latensi REM memendek

• Berkurangnya persentase dan durasi REM

• Latensi tidur memanjang secara keseluruhan

• Lebih banyak terbangun/ tejaga/ arousals = efisiensi tidur berkurang

• Berkurangnya “restorative sleep”

• Kurang tidur dalam 24 jam

• Berkurangnya latensi tidur pada siang hari menyebabkan lebih sulit untuk

tetap terjaga pada siang hari

• Siklus sirkadian bergeser lebih awal

• Menurunnya level melatonin pada malam hari

• Menurunnya modulasi dari irama sirkadian antara siang dan malam hari

• Lebih banyak tidur di siang hari (1 jam)

60 | B A N U 4

• Mungkin sedikit akan mempengaruhi tidur di waktu malam

• Mungkin akan meningktakan performa kognitif dan psikomotor karena

bertambahnya total waktu tidur (Espiritu, 2008) (Stepnowsky, 2009)

(Roepke & Ancoli-israel, 2010) (Dorffner et al. 2015) (Rodriguez et al.

2015).

Perubahan terkait usia berdasarkan gender juga dilaporkan, dimana

didapatkan bahwa wanita tidur lebih awal dan bangun lebih awal, pada lanjut

usia laki-laki didapatkan adanya penurunan proporsi tidur dalam (tidur

stadium 3 dan 4) yang lebih banyak (Zdanys, 2015).

Tidur dan Menopause

Gangguan tidur pada wanita menopause kurang lebih 25%-50%,

sedangkan pada populasi umum sekitar 15%. Sebuah bukti menemukan

bahwa adanya gangguan arsitektur tidur pada wanita menopause berkaitan

dengan gejala vasomotor seperti hot flashes. Hormon yang berperan

diantaranya adalah progesterone dan estrogen. Pemberian progesterone

injeksi akan menstimulasi GABA dan menyebabkan tidur. Perubahan kadar

progesterone naik dan turun yang terlalu cepat berkaitan dengan gangguan

tidur dan bertambahnya arousals. Peranan estrogen terhadap proses tidur

diantaranya: meningkatkan jumlah waktu tidur, menurunkan latensi tidur,

menurunkan jumlah terjaga di malam hari, serta menurunkan arousals.

Estrogen juga berperan dalam pengaturan suhu tubuh, sehingga penurunan

kadar estrogen pada wanita post menopause akan menimbulkan hot flashes

dan berakibat pada peningkatan arousals pada saat tidur. Estrogen juga

secara kompleks berkaitan dengan melatonin, sehingga menopause yang

terkait dengan perubahan melatonin akan mempengaruhi tidur juga. Sebuah

studi dari Okatani & colleagues mendapatkan bahwa kadar melatonin pada

wanita post menopause adalah lebih rendah. Pemberian Hormone

Replacement Therapy (HRT) pada wanita menopause harus

mempertimbangkan manfaat dan risikonya. Manfaat HRT diantaranya adalah

menurunkan gejala menopause, menurunkan risiko fraktur oleh karena

osteoporosis, memperpaiki gangguan tidur. Sedangkan risiko HRT adalah

61 | B A N U 4

meningkatnya insiden kanker dan meningkatnya kejadian tromboemboli

(Roepke, 2010).

Gangguan Tidur pada Lanjut Usia

Masalah tidur merupakan keluhan yang umum dihadapi oleh para

lanjut usia yang pergi ke dokter. Lebih dari 50% lanjut usia mempunyai

setidaknya satu keluhan tidur (Zdanys, 2015). Sayangnya, gangguan tidur

pada lanjut usia masih underdiagnosed. Menentukan penyebab gangguan

tidur sangatlah penting untuk mengedukasi pasien dan pendampingnya

tentang pilihan-pilihan terapi (Gentili et al. 2014)

Sebuah survei yang dilakukan pada 9000 orang lanjut usia (usia > 65 tahun)

didapatkan hal sebagai berikut:

• Lanjut usia tanpa keluhan tidur (12%)

• Kesulitan memulai/mempertahankan tidur (43%)

• Terbangun tengah malam (30%)

• Insomnia (29%)

• Gangguan tidur kronis (>50%)

• Melakukan tidur siang (25%)

• Sulit untuk jatuh tertidur (19%)

• Bangun terlalu pagi (19%)

• Bangun pagi hari tidak segar (13%)

• 50% usia lanjut (>65 tahun) menggunakan sedatif

• Dalam usia 70-100 tahun, 19% pasien meminum obat tidur (in one study)

• Mortalitas usia lanjut dengan gangguan tidur adalah 2x lebih tinggi

dibandingkan yang tidak

• Rasa mengantuk di siang hari memperngaruhi fungsi dan aktivitas sehari-

hari

• Gangguan tidur memberi dampak negatif terhadap kualitas hidup

• Gangguan tidur dapat menimbulkan depresi dan gangguan fungsi kognitif

(Ancoli-israel & Cooke ,2005) (Espiritu, 2008) (Stepnowsky, 2009)

Meskipun keluhan tidur itu dapat mengenai segala usia namun pada lanjut

usia akan mengalami peningkatan prevalensi dari beberapa gangguan tidur

62 | B A N U 4

primer seperti: Sleep Disordered Breathing, Periodic Limb Movement in

Sleep, Restless Leg syndrome, Rapid Eye Movement Sleep Behaviour

Disorders, Insomnia, dan gangguan irama sirkadian (Roepke, 2010).

Adapun penyebab terjadinya gangguan tidur pada lanjut usia adalah:

1. Perubahan ritme sirkadian

2. Gangguan tidur primer

3. Penyakit-penyakit medis

4. Penyakit-penyakit psikiatris

5. Multiple medication

6. Demensia

7. Sleep hygiene yang buruk (Stepnowsky C J 2009).

Penatalaksanaan gangguan tidur pada lanjut usia disesuaikan dengan

penyebab gangguan tidur. Pemberian edukasi kepada pasien maupun

keluarga atau pendamping (caregiver) sangatlah penting untuk memahami

terapi dan juga mencegah konsekuensi dari gangguan tidur terhadap

kesehatan di masa berikutnya seperti yang telah disampaikan pada awal

makalah ini (Gentili, 2014).

Sleep hygine pada lansia sangatlah penting disamping penatalaksanaan

medikamentosa. Berikut adalah sleep hygiene untuk lanjut usia:

1. Cek efek obat-obat yang diminum terhadap fungsi tidur-bangun

2. Tetap tidur pada jadwal yang teratur dan waktu yang sama

3. Hindari tidur siang, atau setidaknya dikurangi, tidak lebih dari 30 menit

4. Batasi tidur di pagi hari dan sore hari

5. Hindari kafein, alkohol, tembakau setelah makan siang

6. Perbanyak terpapar cahaya di siang hari (banyak aktifitas di luar ruangan)

7. Melakukan exercise secara teratur

8. Memakan makanan ringan sebelum tidur

9. Batasi minum air di malam hari

10. Jangan terlalu banyak waktu di tempat tidur

11. Segera tinggalkan tempat tidur bila tidak bisa tidur (Stepnowsky C J 2009)

(Roepke, 2010).

63 | B A N U 4

Daftar Pustaka

American Academy of Sleep Medicine. 2016. Seniors Sleep Campaign. Ancoli-israel, S. 2009. Sleep and Its Disorders in Aging Populations. Sleep Med. Sep:10(Suppl. 1): S7-11. Ancoli-israel, S., Cooke, J.R. 2005. Prevalence and Comorbidity of Insomnia and Effect on Functioning in Elderly Populations. J Am Geriatr Soc.Jul:53(Suppl. 7): S264–72. Colten, H.R., Altevogt, B.M. & Research, I. of M. (US) C. on S.M. 2006. Extent and Health Consequences of Chronic Sleep Loss and Sleep Disorders. Sleep Disorders and Sleep Deprivation: An Unmet Public Health Problem, (Dc). Available at: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK19961/. Copinschi, G., Caufriez, A. 2013. Sleep and Hormonal Changes in Aging. Endocrinol Metab Clin North Am. Jun:42(2): 371-89. Dorffner, G., Vitr, M., Anderer, P. 2015. The Effects of Aging on Sleep Architecture in Healthy Subjects. Adv Exp Med Biol. 821: 93-100. Espiritu, J.R. 2008. Aging-Related Sleep Changes. Clin Geriatr Med. Feb:24(1): 1-14. Garcia, A.D. 2008. The Effect of Chronic Disorders on Sleep in the Elderly. Clin Geriatr Med. Feb:24(1): 27-38. Gentili, A.A. et al., 2014. Geriatric Sleep Disorder, 62(12), pp.2005–2007. Hirshkowitz, M. et al. 2015. National sleep foundation’s sleep time duration recommendations: Methodology and results summary. Journal of The bational Sleep Foundation. Mar:1: 40-43. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2015. Pelayanan dan Peningkatan Kesehatan Usia Lanjut. Regional, W.H.O., 2004. WHO technical meeting on sleep and health European Centre for Environment and Health. (January), pp.22–24. Rodriguez, J.C., Alessi, C.A., Dzierzewski, J.M. 2015. Sleep Problems in the Elderly. Med Clin North Am. Mar:99(2): 431-9. Roepke, S.K., Ancoli-israel, S. 2010. Sleep disorders in the elderly. Indian J Med Res. Feb:131: 302-10.

64 | B A N U 4

Stepnowsky, C. J., Ancoli-israel, S. 2009. Sleep and Its Disorders in Seniors. Sleep Med Clin. 3(2): 281-93. Zdanys, K.F., Steffens, D.C. 2015. Sleep Disturbances in the Elderly. Psychiatr Clin North Am. Dec: 38(4): 723-41.

65 | B A N U 4

PERUBAHAN KOGNITIF PADA MENOPAUSE:

PERANAN ESTROGEN

Ketut Widyastuti Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

PENDAHULUAN

Menopause merupakan salah satu tahap kehidupan pada seorang

wanita saat terjadinya fase transisi dari masa reproduktif menjadi non

reproduktif. Menopause didefinisikan sebagai masa penghentian haid untuk

selamanya yang rata-rata terjadi pada usia 51 tahun. Diagnosis menopause

ditegakkan secara retrospektif setelah amenore selama 12 bulan diikuti

dengan penurunan hormon estrogen dalam sirkulasi secara drastis akibat

berhentinya fungsi ovarium (Bulun, 2012). Kecenderungan meningkatnya

usia harapan hidup wanita Indonesia pada usia lebih dari 70 tahun sedangkan

usia menopause relatif stabil pada usia 50-51 tahun maka wanita akan

menghabiskan lebih dari sepertiga hidupnya dalam masa menopause (Baziad

A, 2003).

Menopause terdiri dari beberapa tahapan, yaitu pre menopause, menopause,

dan post menopause (Baziad, 2003). Penurunan estrogen pada fase tersebut

menimbulkan berbagai keluhan dan permasalahan pada wanita yang

berdampak terhadap penurunan kualitas hidup dan ketidaknyamanan dalam

aktivitas harian (Thurston,2011). Beberapa keluhan yang sering dikeluhkan

oleh wanita pasca menopause seperti penurunan daya ingat (defisit memori),

gangguan konsentrasi, perubahan mood dan perilaku (Henderson VW, 2008).

Selain akibat kekurangan estrogen, perubahan fungsi memori dan kognitif

pada wanita menopause juga berhubungan dengan penurunan ekspresi

BDNF (Brain-Derived Neurotropic Factor) di hipokampus dan korteks serebri,

yang berkorelasi positif dengan efek estrogen di otak (Erickson KI et al, 2012).

FISIOLOGI MENOPAUSE

Siklus menstruasi dikontrol oleh 2 hormon yang diproduksi kelenjar

hipofisis di otak yaitu Follicle Stimulating Hormon (FSH) dan Luteinizing

66 | B A N U 4

Hormon (LH), serta 2 hormon yang diproduksi ovarium yaitu estrogen dan

progesteron. Saat dilahirkan wanita mempunyai kurang lebih 750.000 folikel

primordial. Jumlah folikel tersebut akan berkurang seiring dengan

meningkatnya usia. Jumlah folikel primordial menurun sampai 8.300 buah

pada usia 40-44 tahun disebabkan oleh adanya proses ovulasi pada setiap

siklus dan juga akibat proses apoptosis yaitu folikel primordial mati dan

terhenti pertumbuhannya (Baziad A, 2003).

Menopause terjadi ketika kadar estrogen dan progesteron yang diproduksi

oleh ovarium turun dengan dramatis diikuti kenaikan hormon gonadotropin

(LH dan FSH) yang diproduksi kelenjar hipofisis anterior. Kadar hormon

gonadotropin tetap tinggi sampai kira-kira 15 tahun setelah menopause.

Tingginya kadar hormon gonadotropin disebabkan oleh negative feedback

terhadap produksi gonadotropin akibat berkurangnya produksi estrogen.

Peningkatan kadar FSH dan LH merangsang pembentukan stroma dari

ovarium. Kadar estradiol menurun signifikan akibat penurunan produksi folikel

pada wanita menopause, tetapi estron yang diaromatisasi androstenedion

yang bersumber dari non folikel (seperti stroma ovarium, sekresi adrenal)

masih diproduksi dan merupakan sumber utama sirkulasi estrogen pada

wanita menopause. Aromatisasi androstenedion menjadi estrogen dapat

terjadi di jaringan adipose, otot, hati, sumsum tulang, fibroblas dan akar

rambut. Perubahan fisiologi, psikologi dan hormonal dialami wanita terkait

dengan menopause. Sekitar 70% wanita peri dan pasca menopause

mengalami keluhan vasomotor, psikis dan somatik. (Baziad A, 2003).

Produksi estrogen ovarium mulai menurun 1-2 tahun sebelum menopause

dan mencapai kadar nadir 2 tahun setelah menopause. Bila dibandingkan

dengan kadar estrogen pada wanita masa reproduktif, konsentrasi serum

estradiol dan estrone (estrogen primer yang ada disirkulasi) sangat rendah

pada masa setelah menopause. Otak merupakan target organ penting bagi

estrogen. Estrogen memiliki efek langsung dan efek tidak langsung pada otak

melalui efeknya pada sistem vaskular dan imun. Dua kelompok reseptor

estrogen intraselular yaitu α dan β, diekspresikan pada area spesifik di otak

manusia. Sedangkan reseptor lain yang terletak di dalam membran plasma

67 | B A N U 4

membantu meregulasi kaskade sinyal intraselular dan memberikan efek cepat

tanpa melibatkan aktivasi genomik (Henderson VW, 2008).

ESTROGEN DAN OTAK

Sintesis estrogen pada wanita usia reproduktif lebih dari 95%

diperoleh dari ovarium untuk menjaga homeostasis pertumbuhan dan

perkembangan organ, termasuk perkembangan sel neuron di otak. Akan

tetapi setelah masa menopause keseimbangan tersebut akan terganggu

akibat berhentinya fungsi ovarium. Estrogen berperan penting dalam menjaga

kesehatan fungsi otak karena bersifat neuroprotektif dan neurotropik. Peran

neuroproteksi dari estrogen melalui perbaikan memori spatial di hipokampus

dengan melibatkan Insulin-like Growth Factor-I (IGF-I). Estradiol di otak

berinteraksi dengan growth factor, sama seperti pada jaringan lainnya.

Estradiol dan IGF-I pada susunan saraf pusat bekerja sama untuk meregulasi

perkembangan neuron, plastisitas sinap, fungsi neuroendokrin dan respon

terhadap kerusakan jaringan neuron. Interaksi tersebut terjadi pada tingkat

selular dimana terdapat banyak neuron yang mengekspresikan kedua

reseptor tersebut. Pada susunan saraf pusat diduga terdapat ko-ekspresi dari

reseptor estrogen (ERs) dan reseptor IGF-I (IGF-IRs) pada sel yang sama,

yang selanjutnya diikuti dengan regulasi silang (Cardona-Gómez, 2003).

Aksi estrogen di dalam otak terjadi melalui mekanisme genomik dan non-

genomik. Mekanisme genomik melibatkan transkripsi gen yang diperantarai

oleh aktivitas estrogen reseptor alpha dan beta (ERα dan ERβ). Jalur genomik

ada yang bersifat direct dan indirect. Pada mekanisme direct genomic,

aktivasi reseptor estrogen (ER) menginduksi perubahan bentuk reseptor

menjadi homo/heterodimer dan terjadi translokasi ke dalam nukleus.

Selanjutnya dimer reseptor berinteraksi dengan urutan DNA spesifik pada

EREs (Estrogen Response Elements) didalam promotor gen target, dan

selanjutnya menstimulasi terjadinya transkripsi gen. Pada mekanisme indirect

genomic, aktivasi ER melibatkan sistem second messenger seperti cAMP

/protein kinase A (PKA), AC/ protein kinase C (PKC), dan Mitogen-Activated

Protein Kinase (MAPK)/ Extracellular Signal-Regulated Kinase (ERK). Jalur

68 | B A N U 4

indirect selanjutnya akan berinteraksi dengan jalur direct genomic untuk

translokasi ke dalam nukleus. Sedangkan pada jalur non-genomik,

melibatkan efek antioksidan tanpa diperantarai oleh reseptor estrogen

intraselular, dan biasanya membutuhkan konsentrasi yang tinggi. Namun hal

yang menarik adalah tanpa estrogen, faktor pertumbuhan seperti IGF-1 juga

mampu menginduksi transkripsi gen yang diperantarai oleh ERα melalui

mekanisme independen ligan (Witty CF et al, 2013).

Efek menguntungkan dari estrogen pada otak dapat dimediasi oleh BDNF

(Brain-Derived Neurotropic Factor). Estrogen meregulasi ekspresi gen BDNF

untuk meningkatkan kemampuan neurotropik. Protein BDNF merupakan

suatu neurotropin yang berperan dalam menginduksi neurogenesis,

plastisitas sinaps dan memodulasi organisasi struktur sinaps, sehingga

berperan penting dalam proses belajar, berpikir, regulasi mood dan afek.

Neurotropin dapat meningkatkan aksi estrogen dengan cara meningkatkan

ketersediaan reseptor/ ligan estrogen, begitu juga dengan estrogen yang

mampu meningkatkan aksi neurotropin maupun ekspresi reseptornya.

Penurunan kadar estrogen dan neurotropin pascamenopause menyebabkan

gangguan struktur sinaps dan fungsi sel neuron, yang berakhir dengan

kematian sel neuron didaerah hipokampus, korteks serebri dan talamus.

Rendahnya kadar BDNF serum pada usia lanjut berkaitan erat dengan

penyusutan volume hipokampus dan penurunan fungsi memori. Kadar BDNF

dalam sirkulasi juga dipengaruhi status hormonal, yang menunjukkan bahwa

pada wanita yang memasuki usia menopause akan terjadi penurunan

ekspresi BDNF di hipokampus (Erickson et al, 2012).

Stimulasi BDNF dapat meningkatkan pertumbuhan dan proliferasi sel-sel

dalam hipokampus yang berperan penting untuk pembentukan memori dan

Long-term Potentiation (LTP). Aksi BDNF diperantarai oleh reseptor TrkB

(Tropomyosin receptor kinase B), yang diekspresikan dalam sel neuron pada

sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer. Estrogen menginduksi ekspresi

BDNF melalui estrogen reseptor element (ERE) pada gen BDNF. Estrogen

menginduksi ekspresi gen BDNF melalui mekanisme non genomik.

Kemampuan BDNF untuk menginduksi pembentukan neuropeptide Y (NPY)

69 | B A N U 4

dimana NPY sebagai modulator interaksi estrogen-BDNF melalui kaskade

molekular Estrogen-BDNF-NPY untuk memfasilitasi terjadinya neurogenesis

(Scharfman et al, 2006).

FUNGSI KOGNITIF DAN MENOPAUSE: PERAN ESTROGEN

Estrogen mampu meningkatkan plastisitas sinaptik, pertumbuhan

neurit, neurogenesis hipokampus, dan long-term potentiation. Long-term

potentiation merupakan suatu proses fisiologis yang penting dalam

pembentukan memori episodik. Estrogen melindungi neuron dari apoptosis

dan cedera neural, termasuk terjadinya toksisitas yang diinduksi oleh

neurotransmiter eksitatorik, β-amyloid, stres oksidatif dan iskemia. Estrogen

mempengaruhi beberapa sistem neurotransmiter, termasuk asetilkolin,

serotonin, noradrenalin dan glutamat. Asetilkolin penting di dalam proses

memori. Neuron kolinergik pada basal forebrain mengekspresikan reseptor

estrogen dan estrogen meningkatkan fungsi kolinergik setelah ovariektomi

(Henderson VW, 2008).

Efek cepat dari estradiol pada konsolidasi memori melalui interaksi membran

dan aktivasi dari jalur sinyal interseluler. Adanya pembentukan estradiol intra-

neuronal dan kemungkinan cara kerjanya sebagai suatu neurosteroid dapat

meningkatkan kemampuan memori. Efek kognitif estradiol tergantung dari

lokasi atau sistem neuron pada kortek serebri, basal forebrain, hipokampus

dan striatum yang meregulasi fungsi neuron lebih tinggi. Area otak yang paling

berperan untuk memori dan secara khusus dipengaruhi oleh hormonal adalah

kortek prefrontal medial dan hipokampus. Estradiol mempengaruhi beberapa

aspek fungsi kognitif, namun efektivitas intervensi terapi menggunakan

hormon tersebut belum dapat dijelaskan (Luine VN, 2014).

Gangguan kognitif berupa gangguan memori dan atensi merupakan keluhan

yang sering dilaporkan oleh wanita yang mengalami masa transisi

menopause. Sekitar 60% wanita menopause melaporkan gangguan memori.

Penurunan kecepatan memproses informasi dan memori verbal episodik

hanya bersifat sementara dan kembali normal pada periode pasca

menopause, sementara memori kerja tidak dipengaruhi oleh masa transisi

70 | B A N U 4

menopause. Beberapa studi menyatakan bahwa pemberian estrogen dalam

bentuk terapi estrogen/ hormonal meningkatkan kemampuan domain fungsi

eksekutif dan atensi. Namun beberapa studi randomized controled trial

menyatakan bahwa terapi hormonal tidak signifikan mempengaruhi domain

tersebut (Shanmugan S,2014).

Kadar estrogen rendah setelah menopause mempercepat proses penurunan

fungsi kognitif yang dapat dinilai dari kemampuan memori, pemusatan atensi,

dan kecepatan dalam memproses informasi. Proses penuaan normal akan

diikuti dengan perubahan pada struktur, fungsi dan metabolisme otak.

Terdapat perbedaan signifikan hilangnya jaringan otak di hipokampus dan

lobus parietal lebih banyak terjadi pada wanita dibandingkan laki-laki. Sebuah

penelitian yang mengukur metabolisme glukosa menggunakan Positron

Emission Tomography (PET) dan 18F-2-fluoro-2-deoxy-D-glucose (FDG),

menunjukkan adanya penurunan metabolisme glukosa pada hipokampus

wanita. Perbedaan gender ini berimplikasi pada gangguan neuropsikiatri

seperti Alzheimer’s Disease (AD) dimana prevalensi dan keparahan penyakit

dari AD pada wanita lebih besar dibandingkan pria. Kemungkinan hal ini ada

keterkaitannya dengan estrogen (Markou A, et al, 2005)

Penurunan dan fluktuasi estrogen selama menopause merupakan

mekanisme yang mendasari gangguan fungsi eksekutif, atensi dan memori.

Daerah otak yang kaya reseptor estrogen berperan pada proses kognitif

antara lain hipokampus bertanggung jawab terhadap konsolidasi memori

jangka pendek, dan kortek prefrontal berperan pada fungsi eksekutif seperti

perencanaan, memori kerja, dan koordinasi tugas. Estrogen mempengaruhi

kemampuan verbal fluency dan artikulasi, disamping kecepatan perseptual.

Wanita seringkali menunjukkan tes verbal fluency lebih baik pada saat ada

siklus menstruasi yang berarti konsentrasi estrogennya cukup tinggi.

Pemeriksaan imaging menunjukkan perubahan aktivitas kortek prefrontal

seiring dengan siklus menstruasi. Hal ini berarti bahwa perubahan kadar

estrogen dalam sirkulasi berdampak pada fungsi eksekutif dan memori verbal

(Shanmugan S, 2014).

71 | B A N U 4

Sebuah penelitian cross-sectional pada 63 wanita pre, peri dan post

menopause untuk mengevaluasi efek kadar estrogen pada fungsi kognitif,

terutama pada atensi dan memori kerja yang umumnya menurun pada usia

pertengahan. Peneliti menggunakan tes konvensional untuk menilai fungsi

kognitif antara lain: digit span, digit symbol, block design, penamaan objek,

dan recall menggunakan pengukuran Cogni Speed software. Hasilnya

menunjukkan bahwa memori verbal dan visual, atensi dan kecepatan kognitif

tetap terjaga pada wanita post menopause yang sehat. Fungsi atensi cukup

resisten terhadap defisiensi estrogen pada wanita usia pertengahan.

Konsentrasi estrogen yang tinggi belum tentu terkait dengan kinerja kognitif

yang lebih baik (Markou A, et al, 2005)

Penelitian yang dilakukan oleh The Study of Women’s Health Across the

Nation (SWAN) menunjukan bahwa tahapan reproduksi, bukan umur, yang

mempengaruhi skor kognitif. Secara spesifik didapatkan wanita peri

menopause menunjukan kecepatan perbaikan memori episodik dan memori

verbal kurang dari 4 tahun dibandingkan dengan wanita pada masa pre

menopasue atau post menopasue (Greendale et al., 2009). Penelitian lain

pada wanita post menopause awal menunjukan bahwa kemampuan atensi

dan memori kerja lebih buruk dibandingkan dengan wanita dalam masa

transisi menopause lanjut (Weber, 2013).

EFEK HORMONE REPLACEMENT THERAPY (HRT) PADA FUNGSI

KOGNITIF

Masalah kesehatan yang timbul pada wanita menopause/ pasca-

menopause disebabkan karena kekurangan hormon estrogen, maka

pengobatannya pun adalah dengan pemberian hormon pengganti estrogen,

yang dikenal dengan istilah Hormone Replacement Therapy (HRT) atau

Terapi Pengganti Hormon (TPH). Menopause merupakan peristiwa alamiah

yang pasti dialami setiap wanita dan pemberian terapi pengganti hormon

untuk mencegah dampak fisik dan psikologik akibat menopause baik keluhan

jangka pendek maupun jangka panjang khususnya memberikan perlindungan

terhadap gangguan osteoporosis dan penyakit jantung koroner. Hormon yang

72 | B A N U 4

diberikan adalah hormon estrogen, namun pemberiannya selalu harus

dikombinasikan dengan progesteron, yang dimulai dengan pemberian secara

per oral dan dosis rendah untuk mengurangi kemungkinan timbulnya efek

samping.

Estrogen telah terbukti mempengaruhi sistem saraf dalam berbagai cara

antara lain melalui penempelan pada reseptor estrogen. Hasil penelitian

observasional menunjukkan efek menguntungkan penggunaan terapi

estrogen pada fungsi kognitif wanita pasca menopause. Namun, hasil dari the

Women's Health Initiative Study (WHIMS) tidak mendukung hal ini terutama

pada wanita di atas usia 65 tahun. Alzheimer's disease (AD) terjadi dua

hingga tiga kali lebih sering pada wanita dibandingkan pada pria. Berdasarkan

data yang tersedia, penggunaan terapi rutin estrogen pada wanita dengan AD

tidak dibenarkan namun mungkin memiliki peranan pada profilaksis AD. Bukti

yang ada mendukung penggunaan HRT hanya pada wanita dengan gejala

menopause selama beberapa tahun setelah menopause (Markou A, et al,

2005).

Efek spesifik terapi hormon pada wanita menopause tidak konsisten

mempengaruhi gejala kognitif di antara penelitian yang satu dengan yang lain.

The Seattle Midlife Women’s Health Study menemukan bahwa wanita peri

menopause dan post menopause yang tidak menggunakan terapi hormonal

memiliki recall angka dan kata yang lebih buruk serta mudah lupa. Tidak ada

bukti kuat yang menjelasakan antara disfungsi kognitif dan terapi hormon.

(Shanmugan, 2012).

Rendahnya kadar estrogen pada masa menopause dan pemberian terapi

hormonal diduga sebagai penyebab terjadinya perbedaan variasi prevalensi

atropi kortikal dan subkortikal serta penurunan fungsi kognitif pada usia lanjut.

Suatu studi neuroimaging yang menilai hubungan antara estrogen dan

morfologi hipokampus pada wanita post menopause menyatakan bahwa

wanita yang mendapat terapi hormonal memiliki volume hipokampus lebih

besar dibandingkan kontrol yang tidak mendapat terapi hormonal. Ada bukti

bahwa terapi hormonal mempunyai efek protektif dan proliferatif terhadap

volume hipokampus. Namun studi lainnya menyatakan bahwa wanita yang

73 | B A N U 4

mendapat terapi hormon memiliki volume hipokampus lebih kecil

dibandingkan wanita yang tidak mendapat terapi hormon. Perbedaan hasil

penelitian ini dipengaruhi oleh banyak faktor sehingga sulit untuk

menyimpulkan efek terapi hormonal pada wanita post menopause (Wnuka et

al, 2012). Penjelasan atas inkonsistensi ini adalah perbedaan pada terapi

hormon yang digunakan seperti dosis, sediaan, dan usia saat memulai terapi

(Shanmugan, 2012).

DAFTAR PUSTAKA Baziad, Ali. 2003. Menopause dan Andropause. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo. Bulun, S.E., Adashi, E.Y. 2012. The physiology and pathology of the female reproductive axis. In: Larsen, P.R., Kronenberg, H.M., Melmed, S., Polonsky, K.S., editors. Williams Textbook of Endocrinology. 12th edition. Philadephia: Saunders. p.587-620. Cardona-Gómez, G.P., Mendez, P., Don-Carlos, L.L., Azcoitia, I., Garcia-Segura, L.M. 2003. Interactions of Estrogen and Insulin-like Growth Factor-I in the Brain: Molecular Mechanisms and Functional Implications. Journal of Steroid Biochemistry & Molecular Biology. 8:211–217. Erickson, K.I., Miller, D.L., Roecklein, K.A. 2012. The Aging Hippocampus: Interactions between Exercise, Depression, and BDNF. Neuroscientist. February:18(1):82–97. Henderson, V.W. Cognitive Changes After Menopause: Influence of Estrogen. 2008. Clin Obset Gynecol. 51(3):618–26. Luine, V.N. 2014. Estradiol and Cognitive Function: Past, Present and Future. Hormones and behavior. 66:602-618. Scharfman, H.E., MacLusky, N.J. 2006. Estrogen and Brain-Ferived Neurotrophic Factor (BDNF) in Hippocampus: Complexity of Steroid Hormone-Growth Factor Interactions in the Adult CNS. Front Neuroendocrinol. December: 27(4):415–435. Shanmugan, S., Epperson, C.N. 2014. Estrogen and the Prefrontal Cortex: Towards A New Understanding of Estrogen’s Effects on Executive Functions in the Menopause Transition. Hum Brain Mapp. March: 35(3):847–865.

74 | B A N U 4

Thurston, R.C., Joffe, H. 2011. Vasomotor Symptoms and Menopause: Findings from the Study of Women’s Health Across the Nation. Obstet Gynecol Clin North Am. 38(3):489–501. Weber, M.T., Rubin, L.H, Maki PM. 2013. Cognition in Perimenopause: The Effect of Transition Stage. Menopause. May:20(5). Witty, C.F., Gardella, L.P., Perez, M.C., Daniel, J.M. 2013. Short-term Estradiol Admistration in Aging Ovariectomized Rats Provides Lasting Benefits for Memory and the Hippocampus: A Role for Insulin-like Growth Ffactor-1. Endocrinology. 154(2):842-52. Wnuka, A., Korol, D.L., Ericksona, K.I. 2012. Estrogens, Hormone Therapy, and Hippocampal Volume in Postmenopausal Women. Maturitas. November: 73(3):186–190.

75 | B A N U 4

SEIZURE IN ELDERLY

Dewa Putu Gede Purwa Samatra Neurology Department Faculty of Medicine Udayana University

Abstract

Seizure in elderly population is very common. Seizure or epilepsy is the third

most common neurological disorders in elderly. The first common is dementia

and the second is stroke.

Epilepsy in elderly as a significant issue and should be regarded, because this

issue is important as a clinical issue. Stroke or cerebrovascular disease is the

most common frequently reported as a risk factor of epilepsy (68-75%). In

elderly people with epilepsy, clinically unsuspected cerebral infarcts are often

demonstrable on brain scanning. The most frequent seizure type in elderly

people is focal seizure, but in any elderly people, generalized seizure do

occasionally first manifest themselves. Thus EEG recording in this age group

may be required to classify the seizure type.

Diferrential diagnosis of seizure in elderly are hypoglycemia and syncope. The

most frequent causes of seizures in elderly people is stroke, primary tumor

are less frequent causes; the most are metastatic brain tumor. Diagnostic

difficulties may also arise with neuropsychiatric manifestations. The presence

of Todd’s paralysis is the most common sign of epilepsy in elderly. Diagnostic

tool in elderly seizure are EEG and Imaging (CT-Scan, MRI).

Management in elderly with seizure including reassurance and education for

both patient and family. There is lack of data about rational therapeutic policies

for the treatment of seizure in elderly. First line drugs are carbamazepine and

valproic acid, that are have good tolerance in elderly. Lamotrigine is the first

drug of choice if the first line drugs are failed. Acute symptomatic seizure in

elderly most can be managed by treating the underlying disease, e.g.

metabolic disorders, infections, vascular event, etc.

Prognosis seizure in elderly studied by The National General Practice Study

of Epilepsy reported 80% risk of seizure recurrence at 52 weeks.

76 | B A N U 4

INFEKSI SISTEM SARAF PADA PASIEN LANJUT USIA

Anak Agung Raka Sudewi Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Abstrak

Proses penuaan yang diakibatkan oleh pertambahan usia diikuti oleh

penurunan fungsi fisiologis secara alamiah berbagai organ, juga terjadi

penurunan fungsi sistem kekebalan tubuh sehingga rentan terkena infeksi

termasuk infeksi pada sistem saraf. Berbagai mikroorganisme seperti virus,

bakteri, parasit dan jamur dapat menginfeksi sistem saraf, baik sistem saraf

pusat maupun sistem saraf perifer.

Tulisan ini khusus membahas infeksi sistem saraf pusat pada lanjut usia

(lansia), dengan tujuan untuk membuka dan memberikan wawasan tentang

beberapa penyakit infeksi sistem saraf pada lanjut usia terutama yang terkait

dengan bakteri dan virus mengingat terjadinya peningkatan jumlah manusia

lanjut usia yang signifikan di Indonesia pada tahun 2020.

Pendahuluan

Indonesia salah satu negara berkembang yang mengalami

peningkatan penduduk untuk lanjut usia 60 tahun ke atas makin meningkat.

Lansia dituntut mandiri dan sehat, data BPS menunjukkan tingginya

penduduk berusia 60 tahun ke atas yang diperkirakan dari 19,32 juta (8,37

persen) pada 2009, menjadi 28,7 juta (11,34 persen) pada tahun 2020 (BPS,

2012). Pertambahan usia akan diikuti oleh proses degenerasi dan penurunan

fungsi fisiologis berbagai organ tubuh termasuk penurunan sistem kekebalan

terhadap infeksi yang diperankan oleh sel T limfosit. Fenomena biologis pada

lanjut usia disertai dengan penurunan fungsi sistem imun (innate/ acquired)

yang berdampak pada penurunan kemampuan dalam merespons patogen

sehingga meningkatkan risiko terkena infeksi (Dunston C.R, 2010). Berbagai

mikroorganisme seperti virus, bakteri, parasit dan jamur dapat menginfeksi

sistem saraf, baik sistem saraf pusat maupun sistem saraf perifer. Penelitian

terkait infeksi sistem saraf pada pasien lanjut usia masih sangat terbatas.

77 | B A N U 4

Beberapa data (Saverio G.P, 2016) tentang infeksi virus pada penderita lanjut

usia >65 tahun dengan meningitis dan ensefalitis terutama disebabkan oleh

herpes simplek virus (HSV) pada umumnya mempunyai luaran yang buruk.

Studi surveillance (Chaster C, 2001) tentang meningitis bakteri pada lanjut

usia >60 tahun dilaporkan Streptococcus pneumoniae sebagai penyebab

tersering.

Gejala Klinis

Penyakit infeksi pada sistem saraf pusat (SSP) yang sering dijumpai

adalah meningitis, ensefalitis atau gabungan dari meningoensefalitis dan

abses otak. Secara umum gejala klinis pada infeksi SSP ditandai oleh adanya

panas, sakit kepala, kesadaran menurun dan gejala spesifik berupa tanda

tanda perangsangan selaput otak (kaku kuduk, Kernig sign, Brudzinski neck

sign) pada meningitis, kejang pada ensefalitis dan adanya defisit neurologi

fokal (hemiparese atau monoparese, gangguan sensorik atau defisit neurologi

fokal lainnya), tanda tekanan intrakranial meningkat pada abses otak.

Gejala panas pada lansia dengan meningitis bakteri frekuensinya sekitar (59-

100)%, sakit kepala (21-81)%, kesadaran menurun (57-100)% dan kaku

kuduk (57-92)%. Pada pasien dengan meningitis atau ensefalitis virus

biasanya dengan gambaran klinis yang sesuai dengan gejala aseptik

meningitis/ ensefalitis pasien tampak uncomfortable tanpa gejala kaku kuduk

atau tanda perangsangan meningen (Cecilia B, 2009). Defisit neurologi fokal

pada abses otak gejalanya sangat bervariasi tergantung lokasi dan jumlah lesi

abses, dan sering disertai adanya tanda tanda tekanan intrakranial yang

meningkat (Hernando AM, 2013).

Diagnosis

Pemeriksaan penunjang sangat diperlukan untuk menegakkan

diagnosis yang definitif seperti pemeriksaan cairan serebrospinalis (CSF) dan

neuroimaging dengan CT scan atau MRI, serta pemeriksaan penunjang

lainnya. Pada meningitis bakteri akut CSF menunjukkan gambaran jumlah

sel yang meningkat sampai ribuan terutama polimorfonuklear disertai protein

78 | B A N U 4

yang meningkat dan glukosa menurun. Pewarnaan gram dan kultur ditujukan

untuk menemukan kuman penyebabnya. Hasil pemeriksaan CSF pada infeksi

virus menunjukkan adanya peningkatan jumlah sel terutama mononuklear

disertai peningkatan kadar protein. Pemeriksaan PCR (Polymerase Chain

Reaction) dilakukan untuk mendeteksi asam nukleat mikroorganisme kuman

penyebabnya. CT scan/ MRI kepala diperlukan untuk konfirmasi diagnosis

dan sewaktu–waktu dapat memberikan petunjuk jika ditemukan gambaran

khusus yang spesifik terkait etiologi. Gambaran CT scan kepala pada abses

otak bervariasi tergantung stadium, pada serebritis tampak adanya lesi

densitas rendah batas tidak tegas sedangkan pada stadium terbentuknya

kapsul tampak adanya ring enhancement pada penambahan kontras. MRI

lebih sensitif untuk membedakan stadium abses. Pemeriksaan EEG

(Electroencephalography) diperlukan pada penderita dengan bangkitan

kejang.

Terapi

Pada meningitis bakteri terapi antibiotik secara empiris dengan

ceftriaxone 2 gram setiap 12 jam atau cefotaxime 8-12 gram dosis total

perhari dapat diberikan sambil menunggu hasil pemeriksaan CSF. Antibiotk

dapat disesuaikan dengan hasil kultur dan sensitivitasnya (Chester C, 2001).

Pada infeksi virus terapi disesuaikan dengan etiologinya, pada infeksi HSV

terapi pilihannya adalah aciclovir intravena 10 mg/kg setiap 8 jam (Cecilia B,

2009). Pendekatan pada abses otak meliputi pemberian antibiotik ceftriaxone/

cefotaxime kombinasi dengan metronidazole (4 X 500mg) perhari untuk

bakteri anaerob, vancomisin (2 X 1gr) perhari untuk MRSA, gram (+),

septikemi. Tindakan bedah untuk eksisi abses dan drainase dapat dilakukan

jika diameter lesi > 2,5cm (Hernando AM, 2013). Terapi lain yang bersifat

simptomatis diberikan sesuai gejala yang menyertai. Deksametason diberikan

jika ada tanda edema serebri. Infeksi SSP pada lansia perawatannya

biasanya lebih berat dibandingkan dengan usia muda karena adanya proses

degenerasi dan adanya penyakit lain yang menyertainya.

79 | B A N U 4

Kesimpulan

Penuaan pada lanjut usia adalah fenomena biologis, disertai

perubahan dan disfungsi sistem imun (innate/ acquired) dan berimplikasi

terhadap penurunan kemampuan tubuh dalam merespons patogen dan

peningkatan risiko terkena infeksi termasuk infeksi pada SSP. Perilaku hidup

sehat diperlukan, agar para lansia dapat terhindar dari berbagai penyakit.

Daftar Pustaka

Badan Pusat Statistik. 2012. Penduduk Lanjut Usia. Cecilia Big, MD, Lora, A., Reineck, MD, David, M., Aronoff, MD. 2009. Viral Infections of the Central Nervous System: A Case-Based Review. Clinical Medicine & Research. Volume 7, Number 4:142-146. Chester Choi. 2001. Bacterial Meningitis in Aging Adults. Clinical Infectious Diseases. 33:1380-5. Dunston, C.R., and H.R. Griffiths. 2010. The Effect of Ageing on Macrophage Toll-like Receptor-Mediated Responses in the Fight Against Pathogens. Clin Exp Immunol. Sep:161(3):407–416. Hernando Alvis Miranda, Sandra Milena Castellar-Leones, Mohammed Awad Elzain, Luis Rafael Moscote-Salazar. 2013. Brain abscess: Current Management. J Neurosci Rural Pract. Aug: 4(Suppl 1):S67–S81. Saverio G. Parisi, Monica Basso, Claudia Del Vecchio, Samantha Andreis, Elisa Franchin, Federico Dal Bello, Silvana Pagni, Maria Angela Biasolo, Riccardo Manganelli, Luisa Barzon, Giorgio Palu. 2016. Short Communication, Viral Infections of the Central Nervous System in Elderly Patients: A Retrospective Study. International Journal of Infectious Diseases. 44:8–10.

80 | B A N U 4

DIZZINESS DAN VERTIGO PADA USIA LANJUT

I Wayan Kondra Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Warmadewa

Abstrak

Vertigo dan gangguan keseimbangan merupakan kelainan yang sering

dijumpai pada usia lanjut. Kelainan tersebut seringkali menyebabkan jatuh

dan mengakibatkan berbagai morbiditas seperti fraktur tulang panggul,

cedera otak, bahkan bisa fatal.

Hal ini bisa dimengerti oleh karena pada usia lanjut terjadi berbagai

perubahan struktural berupa degenerasi dan atrofi pada sistem vestibular,

sistem visual dan sistem somatosensori (proprioseptif) yang mengendalikan

keseimbangan tubuh kita dengan akibat adanya gangguan fungsional pada

ketiga sistem tersebut. Gangguan fungsi refleks vestibulospinal akan

menimbulkan gangguan postural dan gangguan keseimbangan.

Gangguan refleks vestibulookular menimbulkan gejala nistagmus dan

gangguan persepsi di korteks serebri menimbulkan gejala vertigo.

Rangsangan terhadap saraf otonom menimbulkan gejala pucat, rasa dingin

di kulit, keringat dingin, mual, muntah, dan rangsangan terhadap korteks

limbik menimbulkan gejala ansietas dan atau depresi. Penyebab vertigo dan

gangguan keseimbangan pada usia lanjut meliputi berbagai macam kelainan

otologik, neurologik, kardiovaskular, hematologik, metabolik, dan obat-

obatan.

Vertigo dan gangguan keseimbangan yang sering dijumpai pada usia tua

adalah Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV), insufisiensi vertebra-

basilar, vertigo servikal dan vertigo akibat gangguan kardiovaskular.

Penatalaksanaannya meliputi upaya untuk mencegah agar usia lanjut tidak

jatuh, terapi kausal, terapi simptomatik, dan latihan vestibular.

PENDAHULUAN

Vertigo dan dizziness (gangguan keseimbangan) merupakan kelainan

yang sering dijumpai pada usia lanjut. Kelainan tersebut seringkali

81 | B A N U 4

menyebabkan jatuh dan mengakibatkan berbagai morbiditas seperti fraktur

tulang panggul, cedera otak bahkan bisa fatal. Kecelakaan adalah penyebab

kematian keenam pada seorang berusia lebih dari 75 tahun akibat jatuh. Hal

ini bisa dimengerti oleh karena pada usia lanjut terjadi berbagai perubahan

struktural berupa degenerasi dan atrofi pada sistem vestibular, visual dan

proprioseptif dengan akibat gangguan fungsional pada ketiga sistem tersebut.

Usia lanjut dengan gangguan keseimbangan memiliki risiko jatuh 2-3 kali

dibanding usia lanjut tanpa gangguan keseimbangan. Tiap tahun berkisar

antara 20-30% orang yang berusia lebih dari 65 tahun sering lebih banyak

berada di rumah saja karena masalah mudah jatuh. Untuk bisa menangani

dan mengevaluasi pasien berusia diatas 60 tahun dengan gangguan

keseimbangan, klinisi harus mengerti tentang fisiologi keseimbangan dan

perubahan-perubahan fisiologis yang terjadi pada proses penuaan.

Usaha untuk mencegah agar usia lanjut tidak jatuh merupakan bagian

pertama perawatan pasien usia lanjut.

FISIOLOGI KESEIMBANGAN DAN PATOFISIOLOGI VERTIGO DAN

GANGGUAN KESEIMBANGAN

Keseimbangan dikendalikan oleh alat keseimbangan tubuh yang

terdiri dari:

1. Sistem vestibular dengan reseptor di vestibulum

2. Sistem visual/ optokinetic dengan reseptor di retina

3. Sistem somatosensori/ proprioseptif dengan reseptor proprioseptif di

otot, tendon dan sendi.

Gangguan pada alat keseimbangan tubuh baik pada sistem vestibular, sistem

visual maupun sistem somatosensori akan menimbulkan gejala:

1. Vertigo

2. Disequilibrium (gangguan keseimbangan).

82 | B A N U 4

83 | B A N U 4

Bila kita melakukan suatu gerakan maka rangsangan gerakan tersebut akan

ditangkap oleh ketiga reseptor alat keseimbangan tubuh yaitu reseptor sistem

vestibular di vestibulum, reseptor sistem visual di retina dan reseptor

proprioseptif di otot, tendon dan sendi dan mengubah rangsangan gerakan itu

menjadi impuls saraf. Impuls saraf tersebut kemudian diteruskan oleh sistem

vestibular, sistem visual, dan sistem somatosensori ke nukleus vestibularis

(ada yang langsung ke nukleus vestibularis, ada yang melalui serebelum).

Setelah diolah (dimodulasi) di nukleus vestibularis, impuls dari nukleus

vestibularis ada yang diteruskan ke otot-otot penggerak bola mata untuk

mempertahankan gaze (gerakan kedua bola mata ke suatu jurusan) selama

pergerakan, melalui refleks vestibulo-okular dengan mekanisme untuk

menghasilkan gerakan melawan gerakan kepala, memungkinkan gaze tetap

84 | B A N U 4

terfiksasi pada titik tertentu. Gangguan pada refleks vestibulo-okular akan

menimbulkan gejala nistagmus.

Impuls dari nukleus vestibularis juga diteruskan ke otot-otot penggerak/

penyangga tubuh untuk mempertahankan keseimbangan selama pergerakan

dan mempertahankan postur melalui refleks vestibulo-spinal. Gangguan

fungsi pada refleks vestibulo-spinal akibat adanya kelainan pada sistem

vestibular, sistem visual atau sistem somatosensori akan menimbulkan gejala

gangguan keseimbangan (disequilibrium) berupa rasa goyah, tidak stabil

sehingga terasa akan jatuh.

Gangguan keseimbangan pada usia lanjut dapat timbul akibat adanya:

1. Perubahan struktural dan fungsional sistem vestibular. Pada sistem

vestibular perubahan tersebut bisa terjadi pada aparatus vestibular

yaitu otokonia pada utrikulus dan sakulus, epitel vestibular, nervus

vestibularis, ganglion scarpa dan serebelum. Demineralisasi dan

fragmentasi progresif dari statokonia utrikulus dan sakulus

menyebabkan respon terhadap akselerasi gravitasi dan liniar

berkurang, sehingga keseimbangan mudah terganggu. Disamping itu

terlepasnya otokonia ke dalam kanalis semisirkularis posterior akan

menimbulkan gangguan keseimbangan posisional seperti pada

benign paroxysmal positional vertigo (BPPV). Pada epitel vestibular

terjadi akumulasi inclusion bodies dan lipofusin serta terbentuknya

vakuola, sel-sel menjadi atrofi dan sel-sel rambut diganti oleh sikatrik.

Perubahan pada inti vestibularis kurang banyak diketahui. Bisa

diketemukan akumulasi lipofusin seperti pada sel rambut. Di

serebelum sel-sel Purkinye jumlahnya berkurang dan di sini pun terjadi

pemumpukan lipofusin berbentuk batang dan inclusion body lain.

Perubahan struktural tersebut di atas bisa menimbulkan gangguan

fungsi berupa gangguan keseimbangan dan gangguan postural,

apalagi bila disertai penurunan visus dan kelainan proprioseptif yang

sering terjadi pada usia lanjut.

85 | B A N U 4

2. Gangguan sistem visual pada usia lanjut dapat disebabkan oleh

adanya katarak, glaukoma, degenerasi makular yang menyebabkan

penurunan visus.

3. Gangguan sistem proprioseptif dapat disebabkan oleh adanya

neuropati diabetika yang menyebabkan penurunan perasaan

sensibilitas, sensasi getar dan proprioseptif lainnya. Penyakit artritis,

kelainan otot dan tulang juga dapat menyebabkan gangguan

keseimbangan pada usia lanjut.

Dari nukleus vestibularis ada impuls yang diteruskan ke korteks serebri.

Gangguan persepsi di korteks serebri akibat adanya kelainan pada sistem

vestibular, sistem visual atau sistem somatosensori akan menimbulkan gejala

vertigo yang patofisiologinya dapat diterangkan melalui teori komplek

sensoris, teori neural mismatch dan teori sinaps.

Nukleus vestibularis juga berhubungan dengan saraf otonom. Rangsangan

pada saraf otonom akan menimbulkan gejala pucat, rasa dingin di kulit,

keringat dingin, mual dan muntah.

Nukleus vestibularis juga berhubungan dengan korteks limbik. Rangsangan

terhadap korteks limbik/ hipokampus menimbulkan gejala ansietas dan atau

depresi.

ETIOLOGI

Penyebab vertigo dan gangguan keseimbangan pada usia lanjut

meliputi berbagai macam kelainan otologik, neurologik, kardiovaskular,

hematologik, metabolik, dan obat-obatan.

1. Kelainan otologik seperti BPPV, kolesteatoma, labirintitis, otosklerosis,

penyakit Meniere, neuronitis vestibularis, obat ototoksik.

2. Kelainan neurologik misalnya tumor sudut serebelopontin, insufisiensi

vertebrobasilar, penyakit parkinson.

3. Kelainan kardiovaskular misalnya stenosis aorta, disritmia, hipotensi

postural.

4. Kelainan hematologik misalnya anemia, hiperviskositas.

86 | B A N U 4

5. Gangguan metabolik misalnya neuropatia diabetika, hiperventilasi,

hipoglikemia.

6. Lain-lain seperti obat-obantan (sedatif, tranquilizer), cedera kepala,

vertigo servikal.

Vertigo dan gangguan keseimbangan yang sering dijumpai pada usia lanjut

adalah

1. Benign Paroxysmal positional vertigo (BPPV)

2. Insufisiensi Vertebrobasilar

3. Vertigo Servikal

4. Gangguan kardiovaskular

Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV)

Pada usia muda BPPV sering diakibatkan oleh trauma, sedangkan

pada usia lanjut penyebabnya kebanyakan degenerasi. Penyebab lain adalah

penyakit-penyakit pada telinga dalam seperti labirintitis, ototoksisitas dan

mastoiditis. Akan tetapi, pada kebanyakan kasus penyebabnya tidak

diketahui.

Manifestasi klinisnya berupa vertigo yang timbul pada perubahan posisi

kepala ke satu sisi pada waktu berbaring, atau pada waktu merebahkan

badan, bangkit dari tidur, ekstensi kepala pada waktu menegadah.

Keluhannya berupa rasa berputar, bisa disertai mual, muntah dan cemas.

Dengan tes Dix Hallpike vertigo dan nistagmus posisional bisa ditimbulkan

dan dengan pengulangan manuver tersebut keluhan vertigo dapat makin

berkurang bahkan bisa menghilang. Gejala vertigo diatas timbul akibat

adanya debris yang berisi kalsium karbonat berasal dari fragmen otokonia

yang terlepas dari makula utrikulus yang berdegenerasi dan masuk ke dalam

kanalis semisirkularis posterior yang patofisiologinya dapat diterangkan

dengan hipotesis kupulolitiasis dan hipotesis kanalitiasis.

Terapinya adalah dengan latihan vestibular misalnya dengan metode Brandt

Darrof atau metode Epley. Obat anti vertigo seperti betahistine, flunarizine

hanya diberikan jangka pendek pada waktu akut, untuk mengurangi keluhan

dan pasien tidak takut melakukan latihan vestibular. BPPV bersifat jinak dan

87 | B A N U 4

cenderung membaik dalam beberapa minggu atau lebih, walaupun kadang-

kadang bisa kambuh kembali. Pada sebagian kasus vertigonya berlangsung

lama, bahkan bisa menetap. Pada kasus demikian ini ada indikasi untuk

dilakukan operasi yaitu singular vestibular neurectomy atau oklusi dari kanalis

semisirkularis posterior.

INSUFISIENSI VERTEBROBASILAR

Insufisiensi vertebrobasilar merupakan salah satu penyebab utama

vertigo dan gangguan keseimbangan pada usia lanjut. Sistem pembuluh

darah ini memperdarahi bagian perifer maupun bagian sentral dari sistem

vetibuler. Penyebabnya kebanyakan adalah aterosklerosis, penyebab lain

adalah osteofit yang menekan arteri vertebralis. Gejala klinisnya berupa

vertigo yang disertai tanda-tanda defisit batang otak seperti diplopia, disartria,

disfagia, ataksia, hemianopsia homonim. Terapinya seperti pada stroke

iskemik dan untuk vertigonya disamping diberikan obat anti vertigo seperti

betahistine, flunarizine, juga dilakukan latihan vestibular.

VERTIGO SERVIKALIS

Vertigo servikalis adalah vertigo yang timbul pada pergerakan leher.

Penyebabnya belum jelas, tetapi beberapa keadaan dikaitkan dengan

terjadinya vertigo seperti perubahan input spinovestibular, terkenanya arteri

vertebralis oleh osteofit dan iritasi pleksus simpatis oleh spondilosis servikalis.

VERTIGO AKIBAT GANGGUAN KARDIOVASKULAR

Kelainan kardiovaskular seperti hipertensi, hipotensi postural, serta

kelainan jantung seperti aritmia, ischemic heart disease, merupakan

penyebab vertigo yang sering dijumpai pada usia lanjut. Gejala klinisnya

berupa TIA atau stroke batang otak dan terapinya sama seperti stroke.

PENATALAKSANAAN

1. Upaya untuk mencegah agar usia lanjut tidak jatuh.

Lingkungan tempat tinggal orang usia lanjut dalam keadaan baik:

88 | B A N U 4

• Pencahayaan yang baik, nyalakan lampu pada malam hari

• Lantai kamar mandi tidak licin dan terdapat handle untuk

berpegangan

• penggunaan tongkat harus dipertimbangkan

Tingkatkan keseimbangan dengan:

• Fitness, usia lanjut sebaiknya memiliki jadwal rutin berjalan

harian.

• Latihan khusus seperti berdiri dengan satu kaki, mencoba

mengangkat lutut setinggi-tingginya sampai panggul dengan

berpegangan pada suatu objek yang diam seperti bangku.

Program latihan 6 minggu yang terdiri dari berjalan 30 menit, tiga kali

seminggu pada seorang yang berusia 72 tahun menunjukkan

perbaikan yang dramatis dalam hal performa keseimbangan dibanding

kelompok dengan usia yang sama yang tidak melakukan latihan.

2. Terapi kausal tergantung etiologinya

3. Terapi SImptomatis

Penggunaan obat supresan vestibular seperti benzodiazepin, harus

secara bijaksana. Vasodilator aliran darah ke labirin dapat diberikan

betahistine dengan dosis yang disesuaikan.

4. Latihan vestibular misalnya dengan metode Brandt Daroff

Caranya (lihat gambar):

89 | B A N U 4

Pasien duduk tegak ditepi tempat tidur dengan kedua tungkai

tergantung. Lalu dengan kedua mata tertutup baringkan tubuh dengan

cepat ke salah satu sisi, pertahankan selama 30 detik, setelah itu

duduk tegak kembali. Setelah 30 detik baringkan dengan cepat ke sisi

lain, pertahankan selama 30 detik, lalu duduk tegak kembali. Lakukan

latihan ini 3 kali pada pagi hari sebelum bangun tidur, dan 3 kali pada

malam hari sebelum tidur, sampai 2 hari berturut-turut tidak timbul

vertigo lagi.

RINGKASAN

Vertigo dan gangguan keseimbangan merupakan kelainan yang

sering dijumpai pada usia lanjut. Kelainan tersebut sering kali menyebabkan

jatuh dan mengakibatkan berbagai morbiditas seperti fraktur tulang panggul,

cedera otak, bahkan bisa fatal. Hal ini bisa dimengerti oleh karena pada usia

lanjut terjadi berbagai perubahan struktural berupa degenerasi dan atrofi pada

sistem vestibular, sistem visual dan sistem somatosensori (proprioseptif)

dengan akibat adanya gangguan fungsi pada ketiga sistem tersebut.

Gangguan fungsi pada refleks vestibulospinal akan menimbulkan gejala

gangguan keseimbangan. Gangguan persepsi di korteks serebri

menimbulkan gejala vertigo. Penyebab vertigo dan ganguan keseimbangan

pada usia lanjut meliputi berbagai macam kelainan otologik, neurologik,

kardiovaskular, hematologik, metabolik, dan obat-obatan.

Vertigo dan gangguan kesimbangan yang sering dijumpai pada usia lanjut

adalah Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV), vertigo akibat

insufisiensi vertebrobasilar, vertigo servikal dan vertigo akibat gangguan

kardovaskular.

Penatalaksanaannya meliputi upaya untuk mencegah agar usia lanjut tidak

jatuh, terapi kausal, terapi simptomatik dan latihan vestibular.

90 | B A N U 4

DAFTAR PUSTAKA

Brandt Thomas, Marianne Dieterich, Michael Strupp. 2005. Vertigo and Dizziness: Multisensory Syndromes. In: Vertigo and Dizziness: Common Complaints. London: Springer. p.1-5. Galini, R. 2011. Vertigo and Dizziness in the Elderly: Elevation and Assessment. Gerontology. 59:244-256. Gibson, L.M., C. 1995, 1996, 2000. Ohio State University Extension, Franklin Country. American Senior Fitness Association. Available from: URL: http://ohioline.ag.ohio-state.edu. Diunduh 12 Maret 2012. Kim, H.H., Wilson, D.F., Wiet, R.J. 2008. Aging and Balance. In: WeberP, P.C., editor. Vertigo and Disequilibrium: A Practical Guide to Diagnosis and Management. New York: Thieme Medical Publisher. p.113-116. Moarsing, O.R., Dres, J., Schederis, G. 2010. Dizziness Reported by Elderly Patients in Family Practice: Prevalence, Incidence, and Clinical Characteristic. BMC Family Practice. 11:2. Physical Therapists as Practioners of Choice to Rehabilitate Persons with Vestibular Related Balance Disorders (House of Delegates 05-07-18-18). http://www.apta.org/AM/Template.cfm? Accessed July 17, 2010 Shupert, C. 2006. Balance and Aging, Vestibular Disorder Association. Available from: URL: www.vestibular.org. Diunduh 12 Maret 2012.

91 | B A N U 4

HEADACHE IN ELDERLY

I Made Oka Adnyana Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Pendahuluan

Nyeri kepala salah satu keluhan yang sering dijumpai di klinik

neurologi. Prevalensi nyeri kepala primer menurun seiring dengan

bertambahnya usia, tetapi nyeri kepala sekunder lebih sering dijumpai pada

usia lanjut (orang tua). Sebanyak 15% pasien tua (> 65 tahun) mengalami

nyeri kepala yang serius disebabkan oleh perdarahan subarakhnoid, arteritis

temporalis, neuralgia rigemini, dan perdarahan serebri, dan hanya 1,6% usia

< 65 tahun mengalami kondisi yang sama (Prencipe and Casini, 2001).

Nyeri kepala pada umur tua terdiri dari nyeri kepala primer dan sekunder.

Nyeri kepala primer yang paling banyak adalah tension type headache (TTH),

migren, migraine accompaniments, cluster headache dan hypnic headache.

Nyeri kepala sekunder cenderung meningkat pada orang tua, seperti giant cell

arteritis, neuralgia trigemini, sleep apnea, neuralgia pasca herpes, spondilosis

servikalis, perdarahan subarakhnoid, perdarahan intra serebral, neoplasma

intra kranial dan post concusive syndrome (Liptonet al., 2001). Nyeri kepala

sekunder sering didapat dan gejalanya mirip dengan nyeri kepala primer

terutama TTH dan migren, sehingga pada orang tua harus lebih teliti dalam

menegakkan diagnosis dan jika perlu dilakukan pemeriksan penunjang untuk

memastikan diagnosis.

Pengobatan migren dengan ergotamin atau triptan, yang digunakan pada

orang muda, bisa digunakan pada orang tua dengan memperhatikan

komorbid seperti penyakit arteri koroner. Pada kasus migren dengan kondisi

gawat darurat pada orang tua digunakan magnesium intravena, asam

valproat dan metoklopramid. Terapi TTH akut pada orang tua adalah dengan

NSAIDs dan bila serangannya berat dan sering serta TTH kronis perlu

diberikan terapi profilaksis. Penggunaan prednison efektif pada kasus giant

cell arteritis. Terapi non farmakologi seperti blokade saraf, diberikan pada

92 | B A N U 4

kasus khusus seperti cluster headache, nyeri kepala servikogenik (Friedman

et al., 2005).

Nyeri Kepala pada Orang Tua

1. Migren

Migren umumnya dijumpai pada orang muda, tetapi pada orang tua

kejadiannya menurun. Gejala kliniknya hampir sama yaitu nyeri kepala

berdenyut, vomitus, foto dan fonofobia. Migren denga aura sering terjadi pada

orang tua, tetapi aura juga bisa tanpa disertai nyeri kepala. Gejala aura tanpa

nyeri kepala pada orang tua sering dijumpai dan disebut late-life migraine

accompaniments, yang ditandai dengan serangan berulang dan stereotipik

defisit neurologi oleh karena efek sekunder cortical spreading depression

(CSD), yaitu gangguan hemisensorik, disfungsi berbahasa, abnormal visual.

Gejala ini sering sukar dibedakan dengan TIA (Dee et al., 2013).

Perbedaan late-life migraine accompaniments dan TIA

Migren dengan aura TIA

Fenomena visual positif (scintiling,

scotoma)

Simptom negatif (hilang

penglihatan)

Gejala perlahan Gejala mendadak

Serangan berulang dan gejala sama Gejala bervariasi

Durasi serangan 20-30 menit Durasi < 15 menit

Nyeri kepala mengikuti serangan

aura (50%)

Nyeri kepala jarang pada TIA

Aura yang progresif dari satu

modalitas ke lainnya (visual,

sensorik dan berbicara)

Gejala timbul bersamaan

Sumber: Dodickand Capobianco, 2002.

Terapi migren

Terapi migren pada orang tua sangat sulit dan harus memperhatikan ko-

morbid. Diagnosis yang akurat, sangat pasti dan pengetahuan yang memadai

mengenai obat dan farmakologi masing-masing obat sangat diperlukan. Hal

yang harus diperhatikan pada pengobatan migren pada orang tua adalah: 1)

93 | B A N U 4

dosis yang tepat dan pasti, 2) naikkan dosis secara perlahan sampai efek

terapi dicapai dan gunakan jenis obat yang sederhana, 3) jika memungkinkan

gunakan terapi non farmakologi. Terapi migren pada orang tua umumnya

sama seperti orang muda seperti ergotamin dan sumatriptan bisa digunakan

kecuali pada orang dengan kardiovaskuler. Obat golongan triptan bisa

digunakan bila tidak ada atau hanya satu faktor risikio kardiovaskuler. Pasien

yang sudah jelas menderita penyakit jantung koroner tidak boleh diberikan

triptan, dan pasien dengan ≥ 2 faktor risiko penyalit jantung koroner harus

dilakukan evaluasi kardiovaskuler sebelum diterapi dengan triptan. Penyekat

beta dan kalsium bisa memperberat gagal jantung kongestif dan depresi.

Antidepresan trisiklik digunakan dengan memperhatikan adanya gejala

pembesaran prostat, glaukoma dan gagal jantung (Hersey and Bednarczyk,

2013).

Obat yang dapat digunakan untuk migren akut pada orang tua adalah:

a. Magnesium sulfat

Magnesium sulfat IV dengan dosis 2 gram dilarutkan dalam 100 ml

NaCl habis dalam > 10 menit. Hasilnya sebanding dengan

metoklorpramid IV 10 mg.

Kontra indikasi: alergi MgSO4, perubahan status mental, penyakit

jantung/ ginjal (Friedman et al., 2005, Dee et al., 2013).

b. Ketorolak

Ketorolak 30 mg IV dilarutkan dalam 30 ml NaCl atau dekstrose 5%

habis dalam > 30 menit.

Kontra indikasi: pasien sedang memakai antikonvulsan, antidepresan

atau tranquilizer. Riwayat alergi NSAIDs, kehamilan dan penggunaan

alkohol (Klepper and Staton, 1991, Dee et al., 2013).

c. Asam Valproat

Asam valproate 500-1.000 mg dalam 100 ml NaCl habis > 30 menit.

Kontra indikasi: alergi asam valproate, kehamilan dan penyakit hati.

Efek samping: nausea, sedasi, dan diare (Leninger et al., 2005).

94 | B A N U 4

Profilaksis:

a. Topiramat 25-200 mg (mulai dari 25 mg dalam minggu pertama

kemudian 2 x 25 mg dalam bulan pertama)

Kontra indikasi: batu ginjal

Efek samping: parestesi, nausea, anoreksia (Gupta et al., 2007).

b. Metoprolol 200 mg lebih efektif dibandingkan dengan aspirin.

Kontra indikasi: penyakit paru kronis, asma, dan gagal jantung

kongestif

Efek samping: dizziness dan fatigue (Diener et al., 2001).

c. Propanolol 40-80 mg lebih efektif dibandingkan dengan plasebo.

Kontra indikasi: penyakit paru kronis, asma, dan gagal jantung

kongestif.

Efek samping: dizziness, fatigue, wheezing (Rao et al., 2008, Dee et

al., 2013).

d. Tancetum pathenium (feverfew), magnesium dan riboflavin. Ketiga

obat ini bisa dipakai untuk prevensi, tetapi masih perlu penelitian lebih

lanjut. Penelitian double blind, placebo, controlled trial dengan

menggunakan 25 mg riboflavin dibandingkan dengan riboflavin 400

mg, magnesium 300 mg, dan feverfew 100 mg, ternyata tidak ada

perbedaan bermakna pada luaran primer. Magnesium, riboflavin, dan

feverfew tidak direkomendasikan untuk pencegahan migren, tetapi

bisa dicoba bila ada kontra indikasi terapi profilaksis yang biasa

(Boehnke et al., 2004, Mauskop, 2004).

e. Co-enzyme Q. Dosis 3 x 100 mg per hari co-enzyme Q lebih baik

menurunkan frekuensi, hari nyeri, dan hari dengan nausea pada bulan

ketiga terapi. Obat ini terutama diberikan pada orang tua karena bisa

memperbaiki disfungsi mitokondria (Sandor et al., 2005).

f. Toksin Botulinum A. Penelitian open label membuktikan obat ini

secara bermakna sebagai profilaksis untuk menurunkan frekuensi,

beratnya nyeri kepala dan disabilitas yang berhubungan dengan

migren. Obat ini sebagai alternatif bila obat profilaksis lainnya tidak

95 | B A N U 4

memberi respon, terutama pada migren kronis dan refrakter (Maathew

and Kaup, 2002).

2. Tension Type Headache (TTH)

TTH merupakan nyeri kepala yang paling sering dijumpai tanpa kecuali pada

orang tua. Prevalensi yang tinggi berhubungan dengan komorbiditas psikiatri.

Prevalensi nyeri kepala sekunder dengan gejala yang mirip dengan TTH juga

meningkat pada orang tua, sehingga pada orang tua dengan TTH mesti

dievaluasi dengan teliti (Godberg, et al., 2014).

Tiga bentuk TTH adalah: (ICHD 3 beta versi, Cephalagia. 2013).

1. Infrequent episodic: paling tidak 10 episode terjadi < 1 hari per bulan

2. Frequent episodic: paling tidak 1 episode serangan terjadi dalam ≥ 1

hari tetapi < 15 hari per bulan yang terjadi selama ≥ 3 bulan

3. Kronis: nyeri kepala terjadi dalam ≥ 15 hari per bulan selama lebih dari

3 bulan

Menurut International Classification of Headache Disorder (ICHD-3 beta)

definisi TTH adalah paling tidak 10 episode nyeri kepala berlangsung dari 30

menit sampai 7 hari, dan paling tidak ada 2 gejala klinik yang menyertai yaitu:

lokasi bilateral, tipe nyeri menekan atau mengikat (tidak berdenyut), intensitas

ringan-sedang dan tidak dipengaruhi aktifitas fisik rutin. Pemeriksaan fisik

neurologi normal.

Terapi TTH

Terapi nyeri kepala pada orang tua adalah multipel meliputi terapi akut,

profilaksis dan transisional (terapi alternatif). Sebelum memulai terapi adalah

sangat baik untuk mengetahui frekuensi, beratnya nyeri kepala dan jenis obat

yang pernah diminum. Penggunaan analgetik berlebihan akan memperberat

TTH dan menyebabkan TTH sangat sulit diobati. Identifikasi terhadap ko-

morbid seperti sleep apnea, minum kopi belebihan, depresi dan ansietas akan

sangat membantu dalam mengontrol memberatnya nyeri kepala.

Farmakokinetik obat, dan efek samping seperti sedatif, antikolinergik dan

aritmia merupakan problem yang mesti diwaspadai pada orang tua

(Kristefferson dan Lundqvist C., 2014).

Terapi akut TTH

96 | B A N U 4

Terapi akut TTH adalah dengan analgetik sederhana seperti aspirin dan

parasetamol. Penelitian double blind randomized trial membuktikan aspirin

500-1000 mg dan parasetamol 1000 mg secara statistik lebih superior

dibandingkan plasebo (Steiner et al., 2003).

Di Amerika serikat NSAIDs adalah obat yang paling banyak digunakan. Untuk

nyeri kronis pada orang tua, NSAIDs lebih efektif dibandingkan dengan

parasetamol, terutama untuk osteoarthritis dan reumatoid arthritis (Terri et al.,

2014). Di antara NSAID tidak ada yang lebih superior, tetapi yang paling

sering digunakan adalah ibuprofen merupakan pilihan pertama karena efek

samping yang lebih jarang, hal ini sessuai dengan penelitian oleh Lange dkk

(1995) membandingkan ketoprofen dosis 12,5 dan 25 mg dibandingkan

dengan ibuprofen 200 mg dan naproxen 275 mg, ternyata tidak ada

perbedaan bermakna secara statistik diantara ketiga obat tersebut.

Penggunaan NSAIDs dihindari pada penderita dengan gangguan fungsi

ginjal, penyakit kardiovaskuler, kelainan hematologi dan ulkus peptikum.

Terapi profilaksis TTH

Pemilihan obat untuk profilaksis harus sesuai dengan target yang akan

dicapai serta tolerabilitas dari pasien. Terapi profilaksis diberikan pada pasien

dengan serangan nyeri paling tidak 2-3 hari per minggu. Progresifitas,

frekuensi dan beratnya nyeri, timbulnya efek samping dengan terapi akut juga

menjadi pertimbangan pemberian terapi profilaksis (Holroyd et al., 2001).

Obat yang digunakan untuk profilaksis adalah:

A. Antidepresan trisiklik

a. Amitriptilin efektif untuk terapi TTH kronis. Efeknya dengan cara

memblok pengambilan kembali serotonin dan norepinefrin.

Pemakaian pada orang tua harus hati-hati karena efek

antikolinergiknya menyebabkan kebingungan, hipotensi ortostatik,

meningkatnya resiko jatuh, retensi urin, takikardi, perubahan EKG

yaitu pemanjangan interval QT. Dosis yang dipakai adalah 10-100

mg/ hari (Darwski et al. 2009).

b. Nortriptilin merupakan metabolit amitriptilin lebih selektif untuk

menghambat ambilan kembali noradrenergik dan lebih ditoleransi

97 | B A N U 4

dibandingkan dengan amitriptilin. Efek samping adalah mulut kering.

Dosisnya 10-75 mg hari (Liu et al., 2014).

B. Antidepresan lain

a. Mirtazapin secara umum lebih ditoleransi dibandingkan dengan anti

depresan trisiklik dan lebih efektif untuk TTH kronis. Dosis 15-30 mg/

hari. Venlafaxin dengan osis 37,5-150 mg/ hari efektif untuk TTH

kronis dengan efek samping yang lebih ringan (Bendsent et al., 2004,

Ozyalcin et al., 2005).

C. Terapi alternatif

a. Tizanidine, suatu pelemas otot, efektif untuk TTH kronis. Penelitian

oleh Betucci et al., 2006 membuktikan tizanidine digabung dengan

amitriptilin lebih baik dibandingkan dengan amitriptilin saja. Dosis

tizanidine yang lazim adalah 2-12 mg/ hari (Bettuci eet al., 2007).

b. Topiramat, penelitian oleh Lampl et al., 2006 untuk mengetahui

efektivitas dan keamanan topiramat pada TTH kronis. Sebanyak 46

pasien ikut dalam penelitian ini. Hasil yang didapat adalah sebanyak

73% pasien mengalami penurunan 50% nyeri kepala pada minggu

13-24 juga terjadi perbaikan terhadap mood, kualitas tidur, dan

beratnya nyeri kepala. Dosis yang lazim dipakai adalah 15-100 mg/

hari.

3. Nyeri Kepala Cluster

Nyeri kepala cluster pada orang tua merupakan kelanjutan dari orang muda.

Gejalanya sama dengan nyeri kepala cluster orang muda. Gejala nyeri kepala

cluster adalah nyeri hebat, unilateral di orbita, supraorbita, temporal, atau

kombinasi tempat tersebut, berlangsung 15-180 menit, dengan frekuensi

sekali tiap 2 hari sampai 8 kali perhari. Serangan disertai lebih dari satu gejala

berikut yang semuanya ipsilateral seperti: injeksi konjungtival, lakrimasi,

kongesti nasal, rhinorrhea, berkeringat di kening dan wajah, miosis, ptosis,

edema palpebra. Selama serangan pasien gelisah dan agitasi. Terapi yang

diberikan adalah sumatriptan subkutan, tetapi hati-hati pada pasien dengan

penyakit kardiovaskuler. Oksigen dosis tinggi aman dan efektif. Verapamil

dengan dosis 240-320 mg/ hari dan prednison dengan dosis 60-100mg/ hari

98 | B A N U 4

diturunkan 10 mg tiap 5 hari juga efektif. Injeksi glukokrtikoid untuk memblok

nyeri yang refrakter juga direkomendasikan (Gantenbein et al., 2012,

Konsensus Nyeri Kepala Perdossi, 2013).

4. Hypnic Headache

Hypnic headache merupakan nyeri kepala primer yang terjadi saat tidur

terutama pada orang tua. Timbul pertama kali pada umur setelah usia 50

tahun. Serangan terjadi antara jam 1-3 dini hari, sehingga sering disebut

alarm clock headache. Nyeri kepala bilateral dengan intensitas sedang

sampai berat. Nyeri berlangsung 15-180 menit. Gambaran seperti migren

yaitu nausea, vomiting, foto dan fonofobia jarang dijumpai. Pengobatan

dengan asam salisilat memberikan hasil yang moderat. Litium karbonat efektif

untuk pencegahan. Obat lain indometasin, flunarizin, atenolol, verapamil,

prednison dan gabapentin (Konsensus Nasional Pokdi Nyeri Kepala Perdossi,

2013).

5. Giant Cell Arteritis (GCA)

GCA adalah suatau arteritis granulamatosa sistemik. Paling sering terjadi

pada umur pertengahan. Umur rata-rata kejadiannya adalah 70 tahun dan

jarang pada umur di bawah 50 tahun. Gejala klinik berupa nyeri kepala difus

atau terlokalisir di daerah oksiput disertai gejala visual seperti amourosis,

diplopia, penurunan visus. Gejala lainnya yaitu penurunan berat badan, jaw

claudication, polimialgia reumatik, panas yang tidak bisa dijelaskan

penyebabnya. Pemeriksaan penunjang laju endap darah meningkat. Biopsi

arteri temporalis merupakan standard emas. Hasil histopatologi

memperlihatkan inflamasi granulomatus disertai infiltrasi limfosit, makrofag

dan multinucleated giant cell. Diagnsosis giant cell arteritis menurut American

College of Rheumatology criteria for classification of giant cell aretritis adalah

sebagai berikut (Bhat et al., 2010).

Gejala-gejala muncul setelah umur 50 tahun

Gejala awal nyeri kepala

Pada palpasi arteri temporalis terjadi penebalan dan penurunan

pulsasi

Laju endap darah 50 mm/ jam

99 | B A N U 4

Biopsi arteri menunjukkan adanya tanda-tanda vaskulitis dengan

infiltrasi sel mononuklear atau inflamasi granulomatous, disertai

dengan multinucleated giant cells.

Terapi giant cell arteritis

Steroid adalah obat pilihan untuk giant cell artertis. Efektif untuk manifestasi

klinik maupun untuk komplikasi iskemik. Tujuan terapi dengan steroid adalah

mengurangi gangguan visus lebih berat, menekan terjadi penyakit sistemik.

Prednison merupakan obat pilihan dengan dosis 40-60 mg. Pasien dengan

resiko tinggi terjadi komplikasi iskemik dosis prednison 1mg/kg berat badan/

hari, kemudian diturunkan perlahan sesuai dengan perbaikan gejala klinik.

(Bath et al., 2010).

6. Nyeri kepala servikogenik

Gejala klinik yang khas adalah nyeri di oksipital dan tengkuk, terbatasnya

gerakan leher, spasme otot servikal. Nyeri menjalar sepanjang radik saraf

servikal. Diagnosisnya sering berlebihan karena pada foto servikal sering

dijumpai spondilosis servikalis pada orang tua.

Gejala klinis. (Konsensus Nyeri kepala Perdossi, 2013).

1. Nyeri kepala atau wajah unilateral (selalu di tempat yang sama), atau

bilateral

2. Lokasi nyeri bersumber di leher, menjalar/ dirasakan pada region kepala

daerah oksipital/ suboksipital, frontal, temporal, atau orbita

3. Intensitas nyeri sedang, terasa dalam, tidak berdenyut, serta dapat

dicetuskan oleh gerakan leher atau posisi tertentu atau dengan

menekan jari tangan pada kuduk daerah suboksipital, radik C1, C2, C3,

dan C4 atau dapat juga dicetuskan oleh batuk dan bersin serta dalam

kondisi tegang

4. Leher tampak kaku atau berkurangnya gerakan leher baik secara aktif/

pasif

5. Tanda dan gejala ikutan seperti migren dapat dijumpai seperti mual,

muntah, foto/ fonofobia, penglihatan kabur, dizziness, edema dan

kemerahan pada konjungtiva.

100 | B A N U 4

Simpulan

Nyeri kepala pada orang tua perlu lebih diwaspadai karena kejadian nyeri

kepala sekunder sering muncul bersamaan dengan nyeri kepala primer.

Gejala nyeri kepala primer pada orang tua hampir sama dengan nyeri kepala

primer pada anak muda kecuali pada kasus migren. Pengobatan pada nyeri

kepala pada orang tua harus memperhatikan ko-morbid, efek samping obat

serta kontra indikasi.

Daftar Pustaka

Bendsent, L., Jensen, R. Mistazapin is effective in the prophylactic teratment of chronic tension-type headache. Neurology. 62: 1706-1711. Bettucci, D., Testa, L., Calzoni, S., Mantegazza, P., Monaco, P. 2007. Combination tizanidene and amitriptyline in the prophylaxis of chronic tension-type headache: evaluation of efficacy and impact quality of life. J Headache Pain. 7(1): 34-36. Boehnke, C., Reuter, U., Flach, U. 2004. High dose riboflavin is efficatius in migren prophylaxis: an open study. in tertiary care centre. Eur J Neurol. 11 (7): 475-477. Darowski, A., Chambers, S., A., Chambers, D.J. 2009. Antidepresant and fall in the elderly. Drug Aging. 26 (95): 381-394. Dee, B., Jakcson, R., C., Hersey, L.A. 2013. Managing migraine and other headache syndrome in this over 50. Maturitas. 76: 241-246. Diener, H., Hartung, E., Chrusbasik, J.A. 2001. Comparative study oral acetylsalisilc acid and mateprolol for the prophylactic treatment of migraine: a randomized, controlled, double blind, parallel-group phase-III study. Cephalalgia. 21:120-128. Dodick, D.W., Capobianco, D.J. 2002. Headache. In: Sirven, J.L., Malamut, B.L., eds. Clinical Neurology of the Older Adults. Philadelphia: Lippicott Williams & Wilkins. Page 180. Friedman, B., Corbo, J., Lipton, R. 2005. A trial of metoclopramide vs sumatriptan for emergency of departement treatment of migraines. Neurology. 45; 42-46.

101 | B A N U 4

Gantenbein, A.R., Lutz, N.J., Riederer, F., Sandor, P.S. 2012. Efficacy and safety of 121 injection of the greater occipital nerve in episodic and chronic cluster headache. Cephalagia. 32(8): 630-634. Godberg, S.W., Silberstein, S., Grosberg, B.M. 2014. Consideration in the Treatment of tension type headache in Elderly. Drugs Aging. 31: 797-804. Gupta, P., Singh, S., Shukla, G., Behar, M. 2007. Low dose topiramate versus lamotrigine in migraine prophylaxis. Headache. 402-412. Hersey, L.A., Bednarczyk, E.M. 2013. Treatment headache in the elderly. Current Treatment Opinion in Neurology. 15: 56-62. Holroyd, K., Donnel, F., Stensland, M. 2001. Management of chronic tension-type headache with tricyclic antidepresant medication, stress management therapy, and their combination: a randomized controll trial. JAMA. 285: 2208-2215. Klapper, J., Staton, J. 1991. Ketorolac versus DHE and metoclopramid in the treatment of migraine headache. 31: 523-524. Konsensus Nasional IV Diagnsotik dan Penatalaksanaan Nyeri Kepala. Perdossi. 2013. Kristefferson, E.S., Lundqvist, C. 2014. Medication-overuse headache: epidemiology, diagnosis and treatment. Ther Adv Drug Saf. 5(2): 87-99. Lampl, C., Marecek, S., May, A., Bendtsen, L. 2006. A prospective, open label, long-term study of the efficacy and tolerability of topiramate in the prophylaxis of chronic tension-type headache. Cephalalgia. 26(10): 1203-1208. Leninger, T., Pageler, L., Stude, P., Diener, H., Limmroth, V. 2005. Comparison of intravenous valproate with intravenous lysine-acetylsalicilic acid in acute migraine attacks. Headache. 45: 42-46. Lipton, R., Stewart, W., Diamond, S. 2001. Prevalence and burden of migraine in the Unites States: data from the American Migraine study II. Headache. 41: 646-657. Liu, W.Q., Kanungo, A., Toth, C. 2014. Equivalency of tricyciclic antidepressant in open-label neuropathic pain study. Acta Neurol Scand. 129(2): 132-141. Mathew, N.T., Kaup, A.O. 2002. The use of botulinom toxin type A in headachen teratment. Curr Treat Options Neurol. 4(5):365-373. Mauskop, A. 2004. Alternative therapies in headache: miss the role? Med Clin North Am. 11: 1077-1084.

102 | B A N U 4

Ozyalcin, S.N., Talu, G.K., Kiziltan, E., Yucel, B., Ertas, M., Disci, R. 2005. The efficacy and safety of venlafaxine in the prophylaxis of migraine. Headache. 45: 144-152. Prencipe, M., Casini, A.R. 2001. Prevalence of headache in elderly population: attack frequentcy disability and use medication. J Neurol Neurosurg Psychiatri. 170: 377-381. Rao, B., Das, D., Taraknath, V., Sarma, Y. 2008. A double-blind controlled study of propranolol and cyproheptadine in migraine prophylaxis. Neurol India. 223-226. Sandor, P.S., Di-Clemente, L., Coppola, G. 2005. Efficacy of Co-enzym Q in migraine prophilaxis; a randomized control trial. Neurology. 64(4): 713-715. Steiner, T.J., Lang, R., Voleker, M. 2003. Aspirin in episodic tension-type headache: placebo controlled dose-ranging comparison with paracetamol. Cephalalgia. 23: 59-66 Terri, F.O., Catherine, D., Jonathan, P., Barbara, J. 2014. Use nonsteroid antiinflamatory drugs inthe older adult. J Am Assoc Nurse Pract. 26(8): 414-423.

103 | B A N U 4

BACK AND CERVICAL PAIN IN ELDERLY

I Putu Eka Widyadharma, Thomas Eko Purwata, Ida Ayu Sri Wijayanti Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Abstrak

Nyeri merupakan salah satu keluhan yang banyak dijumpai pada usia lanjut

dan menyebabkan harapan hidup penderitanya menjadi rendah. Sampai saat

ini nyeri pada usia lanjut masih undertreated dengan konsekuensi kesehatan

yang serius seperti depresi, ansietas, penurunan mobilitas, isolasi secara

sosial, kualitas tidur yang buruk dan risiko penyakit lainnya. Nyeri kronis yang

banyak dijumpai pada usia lanjut adalah nyeri punggung dan leher. Kondisi

yang perlu diperhatikan pada usia lanjut adalah terjadinya penurunan fungsi

beberapa sistem organ yang akan mempengaruhi farmakokinetik dan

farmakodinamik obat-obat unuk manajemen nyeri. Modalitas pengobatan

nyeri pada usia lanjut terdiri dari farmakoterapi, dukungan psikologi,

rehabilitasi fisik dan prosedur intervensi. Dokter dapat memberikan analgesia

yang tepat pada pasien geriatri melalui penilaian yang tepat, pendekatan

multidisiplin, dan penggunaan modalitas pengobatan yang tepat.

Kata kunci: Nyeri punggung, nyeri leher, usia lanjut, multidisiplin

Pendahuluan

Pesatnya perkembangan ilmu dan teknologi di bidang kesehatan

memberi dampak positif salah satunya berupa peningkatan usia harapan

hidup manusia baik di seluruh dunia maupun Indonesia khususnya. Di lain

pihak juga memberi dampak negatif berupa angka kesakitan oleh berbagai

sebab juga semakin meningkat. Nyeri kronis merupakan salah satu keluhan

yang banyak dijumpai pada usia lanjut dan menyebabkan harapan hidup

penderitanya menjadi rendah. Nyeri mempengaruhi berbagai aspek baik fisik,

psikis, sosial dan ekonomi. Dana yang sangat besar telah dihabiskan untuk

mengatasi nyeri kronis pada usia lanjut. Populasi di Amerika menujukkan 75-

85% usia tua yang datang ke fasilitas kesehatan disebabkan oleh nyeri kronis.

104 | B A N U 4

Sampai saat ini nyeri pada usia lanjut masih undertreated dengan

konsekuensi kesehatan yang serius seperti depresi, ansietas, penurunan

mobilitas, isolasi secara sosial, kualitas tidur yang buruk dan risiko penyakit

lainnya. Usia lanjut juga memiliki masalah lain seperti peningkatan masa

lemak, penurunan masa otot dan penurunan cairan tubuh yang kesemuanya

berakibat terhadap distribusi obat. Sebuah pendekatan multidisiplin

direkomendasikan untuk menginvestigasi semua kemungkinan pilihan terapi

optimal termasuk farmakoterapi, prosedur intervensi, rehabilitasi fisik dan

psikologis. Nyeri kronis yang banyak dijumpai pada usia lanjut adalah nyeri

punggung dan leher.

Nyeri Punggung Bawah (NPB)

Nyeri punggung bawah merupakan urutan kelima terbanyak yang

membawa pasien berobat ke dokter di Amerika serikat. Sebagian besar

penyebab NPB adalah non-spesifik oleh karena faktor mekanik. Kira-kira 90%

NPB akut sembuh dalam waktu 4 minggu, sedangkan sisanya menjadi NPB

kronik. Berdasarkan mekanismenya NPB kronik merupakan nyeri campuran

antara nyeri nosiseptif dan nyeri neuropatik. Penelitian akhir-akhir ini

mendapatkan bahwa sekitar 4% dari populasi dewasa menderita NPB

neuropatik. Studi epidemiologi yang besar menunjukkan bahwa 20-35%

pasien NPB mendeita nyeri neuropatik dan nyeri radikuler lumbalis

merupakan penyebab terbanyak.1 Patofisologi NPB neuropatik sangat

kompleks, melibatkan interaksi antara faktor kompresi, inflamasi dan respon

imun.

Mekanisme NPB sangat kompleks dan belum sepenuhnya diketahui.

Kerusakan pada diskus dan endplate vertebra dapat menekan akar saraf

dengan segala manifestasinya. Jaringan pembungkus saraf tepi yang

diinervasi oleh nervi nervorum juga mengalami lesi, kompresi dan inflamasi

yang menyebabkan nyeri. Hipotesis yang banyak dianut oleh para ahli adalah

interaksi antara faktor kompresi, inflamasi dan respon imun.2

Beberapa faktor risiko NPB termasuk diantaranya: 1) faktor demografi seperti

usia tua, jenis kelamin, status sosial ekonomi dan tingkat pendidikan; 2)

105 | B A N U 4

Faktor pekerjaan seperti aktivitas membungkuk, mengangkat dan memutar,

pekerjaan yang monoton dan ketidakpuasan terhadap pekerjaan; 3) faktor

kesehatan seperti obesitas, merokok, dan status kesehatan umum; 4) faktor

psikologis seperti depresi dan 5) faktor anatomi spinal seperti variasi anatomis

dan abnormalitas pada imajing.3

Nyeri Leher

Nyeri leher juga keluhan yang sering dijumpai pada usia lanjut.

Prevalensinya meningkat dengan bertambahnya umur. Di Amerika serikat

nyeri leher merupakan diagnosis urutan ke-20 yang paling sering dijumpai

pada penderita yang berobat ke dokter keluarga. Nyeri leher didefinisikan

adalah nyeri yang dirasakan pada daerah dimana bagian lateral dibatasi oleh

tepi leher, bagian superior oleh garis leher superior dan inferior oleh garis

transfersal imajiner melalui prosesus spinosus Th1.5

Bermacam-macam faktor bisa menyebabkan nyeri dan kekakuan.

Ketegangan otot yang berkepanjangan sebagai akibat dari stres, ansietas dan

kelelahan akan menimbulkan nyeri. Posisi yang tidak benar bisa

menyebabkan rudapaksa pada jaringan lunak dan spasme. Iritasi pada akar

saraf dapat disebabkan karena gangguan postural, proses degeneratif dan

spasme, terutama harus diperkirakan bila didapatkan nyeri yang unilateral

atau akut. Proses degenerasi pada diskus intervertebralis disertai perubahan-

perubahan pada sendi, rudapaksa pada facet join atau jaringan lunak yang

peka nyeri, iritasi akar saraf, umumnya didapatkan pada penderita usia lanjut

yang mengalami nyeri atau kekauan yang kronis. Pergeseran jaringan pada

bahu juga dapat menyebakan nyeri leher.5

Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis tentang kualitas, jenis dan

derajat nyeri, lokasi dan penjalaran nyeri, lama serta frekuensi nyeri, faktor

pencetus, keadaan-keadaan yag dapat mengurangi ataupun menghilangkan

keluhan nyeri, adanya trauma atau pembebanan, infeksi, tumor, penyakit

metabolik dan penyakit sistemik lainnya. Pemeriksaan fisik meliputi inspeksi

daerah leher, adanya pembesaran kelenjar limfe, palpasi daerah nyeri pada

tulang belakang, dicari adanya trigger point, dilakukan pemeriksaan range of

106 | B A N U 4

movement. Tes khusus seperti tes Spurling, distraksi, Valsava dan Lhermitte.

Pemeriksaan radiologis juga dapat dipertimbangkan seperti foto polos, CT

scan, CT myelo maupun MRI cervical.5

Pemahaman penting nyeri pada usia lanjut

Nyeri kronik pada geriatri didefinisikan sebagai pengalaman sensori

dan emosional yang tidak menyenangkan yang berkaitan dengan sedang

atau potensi kerusakan jaringan, atau suatu keadaan yang menunjukkan

adanya kerusakan jaringan pada usia 65 tahun atau lebih dan berlangsung

selama lebih dari 3 bulan.6 Konsekuensi nyeri meliputi penurunan activities

of daily living (ADLs), depresi, dan beban ekonomi.7 Nyeri juga berkaitan

dengan abnormalitas gaya jalan, kecelakaan, polifarmasi dan penurunan

fungsi kognitif.

Kondisi lain yang juga perlu diperhatikan pada usia lanjut adalah terjadinya

penurunan fungsi beberapa sistem organ yang akan mempengaruhi

farmakokinetik dan farmakodinamik obat-obat unuk manajemen nyeri.

Organ-organ penting yang perlu diperhatikan adalah: 1) Sistem saraf pusat.

Banyak usia lanjut mengalami penyakit dan disfungsi pada sistem saraf

seperti stroke maupun TIA, demensia, atau gangguan gerak. Dokter

sebaiknya menyadari bahwa masalah ini akan mempengaruhi keakuratan

asesmen nyeri dan juga efikasi pengobatan. 2) Hepar. Pada usia tua,

kemampuan membersihkan obat menjadi lebih panjang akibat penurunan

ekstraksi dari darah, penyerapan gastrointestinal atau penurunan aliran darah

arteri portal. 3) Ginjal. Penurunan fungsi ginjal akan mempengaruhi pula

efektivitas obat dan juga meningkatkan efek samping pengobatan.

Modalitas manajemen nyeri punggung dan leher pada usia lanjut8

Modalitas pengobatan nyeri pada usia lanjut dikategorikan menjadi: 1)

farmakoterapi; 2) dukungan psikologi; 3) rehabilitasi fisik dan 4) prosedur

intervensi.

107 | B A N U 4

Farmakoterapi

Terapi obat secara umum merupakan pilihan utama dan secara luas

dipergunakan sebagai modalitas terapi untuk mengontrol nyeri pada usia

lanjut yang terdiri dari: NSAID, muscle relaxants, opioids, and terapi ajuvan.

Peresepan obat-obat ini bukanlah tanpa risiko. Fungsi kognitif pasien,

psikologis dan status fungsional dapat terpengaruh. The American Geriatric

Society and the World Health Organization (WHO) telah membuat suatu

konsensus pendekatan terbaik pada populasi usia lanjut.4

Rekomendasi American Geriatric Society tahun 20099

Nonopioids

1. Acetaminophen harus dianggap sebagai farmakoterapi awal dan

berkelanjutan dalam pengobatan nyeri persisten, terutama nyeri

muskuloskeletal, karena menunjukkan efektivitas dan profil keamanan

yang baik (bukti kualitas tinggi, rekomendasi kuat).

A. Kontraindikasi absolut: gagal hati (bukti kualitas tinggi,

rekomendasi kuat).

B. Kontraindikasi relatif dan peringatan: insufisiensi hati,

penyalahgunaan kronis alkohol atau ketergantungan (kualitas

moderat bukti, rekomendasi kuat).

C. Maksimum harian yang direkomendasikan dosis 4 g per 24 jam

tidak boleh lebih (bukti kualitas moderat, rekomendasi kuat).

2. NSAID nonselektif dan selektif siklooksigenase 2 (COX-2) inhibitor

dapat dipertimbangkan dengan sangat hati-hati, pada individu yang

sangat dipilih (bukti kualitas tinggi, rekomendasi kuat) A. Seleksi

pasien: terapi lain yang aman telah gagal, tujuan terapi tidak terpenuhi,

penilaian berkelanjutan terhadap risiko dan komplikasi sebanding

dengan manfaat terapeutik (bukti kualitas rendah, rekomendasi kuat)

B. Kontraindikasi absolut: ulkus peptikum aktif (bukti kualitas rendah,

rekomendasi kuat); Penyakit ginjal kronis (bukti tingkat moderat,

rekomendasi kuat); gagal jantung (bukti tingkat moderat, rekomendasi

lemah) C. Kontraindikasi relatif dan memperingatkan: hipertensi,

108 | B A N U 4

Helicobacter pylori, riwayat penyakit ulkus peptikum, penggunaan

bersama kortikosteroid atau selective serotonin reuptake inhibitor

(bukti kualitas moderat, rekomendasi kuat).

3. Pada orang tua yang menggunakan NSAID nonselektif harus

menggunakan penghambat pompa proton atau misoprostol untuk

perlindungan gastrointestinal (bukti kualitas tinggi, rekomendasi kuat).

4. Pasien yang memperoleh penghambat selektif COX-2 dengan aspirin

harus menggunakan penghambat pompa proton atau misoprostol

untuk perlindungan gastrointestinal (bukti kualitas tinggi, rekomendasi

kuat).

5. Pasien tidak menggunakan lebih dari satu NSAID nonselektif atau

selektif COX-2 inhibitor untuk mengontrol rasa sakit (bukti kualitas

rendah, rekomendasi kuat).

6. Pasien yang memperoleh aspirin untuk cardioprofilaksis sebaiknya

tidak menggunakan ibuprofen (bukti kualitas moderat, rekomendasi

lemah).

7. Pasien yang memperoleh NSAID nonselektif dan selektif penghambat

COX-2 harus diperiksa secara rutin toksisitas pencernaan dan ginjal,

hipertensi, gagal jantung, dan interaksi penyakit-obat lainnya (bukti

kualitas lemah, rekomendasi kuat).

Opioid

1. Pasien dengan nyeri sedang sampai berat, gangguan fungsional

terkait nyeri, atau kualitas berkurang hidup karena nyeri harus

dipertimbangkan untuk terapi opioid (bukti kualitas rendah,

rekomendasi kuat).

2. Pasien dengan nyeri yang sering atau terus-menerus setiap hari dapat

diobati dengan around-the-clock time-contingent yang bertujuan untuk

mencapai kadar opioid yang stabil (bukti kualitas rendah, rekomendasi

lemah).

3. Dokter harus mengantisipasi, menilai, dan mengidentifikasi potensi

efek samping opioid (bukti kualitas moderat, rekomendasi kuat).

109 | B A N U 4

4. Dosis maksimal yang aman dari acetaminophen atau NSAID tidak

harus melebihi saat menggunakan fixed-doseopioid combination

sebagai bagian dari rejimen analgesik (bukti kualitas moderat,

rekomendasi kuat).

5. Ketika opioid long-acting yang diresepkan, breakthrough pain harus

diantisipasi, dinilai, dan dicegah atau diobati menggunakan short-

acting immediate-release opioid medications (bukti kualitas moderat,

rekomendasi kuat).

6. Dokter yang berpengalaman dalam penggunaan dan risiko metadon

harus memulainya dan dititrasi dengan hati-hati (bukti kualitas

moderat, rekomendasi kuat).

7. Pasien yang memakai analgesik opioid harus ditinjau kembali untuk

pencapaian berkelanjutan tujuan terapi, efek samping, keamanan dan

bertanggung jawab terhadap penggunaan obat-obatan (bukti kualitas

moderat, rekomendasi kuat).

Obat Analgesik adjuvant

1. Semua pasien dengan nyeri neuropatik adalah kandidat untuk

analgesik adjuvan (bukti kualitas kuat, rekomendasi kuat).

2. Pasien dengan fibromyalgia adalah kandidat untuk percobaan

analgesik adjuvan (bukti kualitas moderat, rekomendasi kuat).

3. Pasien dengan nyeri persisten refrakter tipe lain dapat menjadi

kandidat untuk analgesik adjuvan tertentu (misalnya, sakit punggung,

sakit kepala, nyeri tulang difus, gangguan temporomandibular) (bukti

kualitas rendah, rekomendasi lemah).

4. Antidepresan trisiklik tersier (amitriptyline, imipramine, doxepin) harus

dihindari karena risiko efek samping yang lebih tinggi seperti efek

antikolinergik dan gangguan kognitif (bukti kualitas moderat,

rekomendasi kuat).

5. Agen dapat digunakan secara tunggal, tetapi efek sering ditingkatkan

bila digunakan dalam kombinasi dengan analgesik nyeri lainnya dan

strategi tanpa obat (bukti kualitas moderat, rekomendasi kuat).

110 | B A N U 4

6. Terapi harus dimulai dengan dosis serendah mungkin dan

meningkatkan perlahan berdasarkan respon dan efek samping,

dengan peringatan bahwa beberapa agen memiliki onset aksi yang

tertunda dan manfaat terapeutik lambat untuk berkembang. Misalnya,

gabapentin mungkin memerlukan 2 sampai 3 minggu untuk timbulnya

khasiat (bukti moderat kualitas, rekomendasi kuat).

7. Sebuah percobaan terapi yang memadai harus dilakukan sebelum

penghentian pengobatan yang tampaknya tidak efektif (bukti kualitas

lemah, rekomendasi kuat).

Obat lainnya

1. Kortikosteroid sistemik jangka panjang harus disediakan untuk pasien

dengan gangguan nyeri terkait inflamasi atau nyeri tulang metastatik.

Osteoarthritis tidak boleh dianggap sebagai gangguan inflamasi (bukti

kualitas moderat, rekomendasi kuat).

2. Pasien dengan nyeri neuropatik lokal adalah kandidat untuk lidokain

topikal (bukti kualitas moderat, rekomendasi kuat).

3. Pasien dengan nyeri nonneuropatik terlokalisir dapat menjadi kandidat

untuk lidokain topikal (bukti kualitas rendah, rekomendasi lemah).

4. Pasien dengan nyeri persisten nonneuropatik lain terlokalisir dapat

menjadi kandidat untuk NSAID topikal (bukti kualitas moderat,

rekomendasi lemah).

5. Agen topikal lainnya, termasuk capsaicin atau mentol, dapat

dipertimbangkan untuk sindrom nyeri regional (bukti kualitas moderat,

rekomendasi lemah).

6. Banyak agen lain untuk sindrom nyeri tertentu mungkin memerlukan

kehati-hatian pada orang yang lebih tua dan membutuhkan penelitian

lebih lanjut (misalnya, glukosamin, kondroitin, cannabinoids,

botulinum toxin, alpha-2 adrenergik agonis, kalsitonin, vitamin D,

bifosfonat, ketamin) (bukti kualitas rendah, rekomendasi lemah).

111 | B A N U 4

Tinjauan tentang Rekomendasi WHO:

Analgesic Ladder tumpang tindih yang signifikan terjadi antara nyeri

geriatri kronis dan nyeri kanker. Untuk alasan ini, mengikuti rekomendasi

WHO untuk manajemen nyeri yang tepat. Dalam rangka mempertahankan

bebas dari rasa sakit, WHO merekomendasikan (1) pemberian obat ‘‘by the

clock’’ (misalnya, setiap 3-6 jam), (2) obat oral bersifat individual untuk pasien,

(3) mengikuti " Analgesic Ladder "(yang dimodifikasi):

1. Untuk nyeri ringan, pilihan pertama yang paling tepat untuk analgesia

yang relatif aman adalah acetaminophen.

2. Untuk nyeri ringan sampai sedang atau nyeri yang tidak terkontrol

dengan acetaminophen, penggunaan NSAID adalah tepat.

3. Untuk nyeri refrakter terhadap NSAID, atau nyeri dinilai sebagai

moderat pada awalnya, opioid lemah (misalnya, codeine) adalah

pilihan pertama yang tepat. Opioid lemah lain yang dapat digunakan

meliputi hydrocodone, propoxyphene, dan oxycodone dalam

kombinasi dengan acetaminophen.

4. Untuk nyeri refrakter atau nyeri dinilai sebagai yang parah, opioid

agonis (misalnya, morfin) dipilih. opioid murni lainnya untuk

dipertimbangkan termasuk hidromorfon, fentanil, antalgin, dan

oxycodone.

5. Obat ajuvan dapat digunakan untuk meredakan ketakutan dan

kecemasan pada pasien serta untuk sinergisme dengan obat

sebelumnya.

Ajuvan

Terapi obat ajuvan harus dipertimbangkan setiap saat untuk

meningkatkan efek analgesik dari obat lain. Hal ini sering diperlukan untuk

mencoba obat yang berbeda untuk menentukan regimen terbaik untuk pasien

tertentu. Beberapa obat adjuvant digunakan untuk mengobati nyeri:

antidepresan, antikonvulsan, Alpha-2 agonis adrenergik, anestesi lokal,

kortikosteroid, baclofen, N-methyl-d-aspartat agonis reseptor, relaksan otot,

krim topikal dan gel, neuroleptik, antihistamin, psikostimulan, kalsitonin

112 | B A N U 4

Dukungan psikologis

Karena rasa sakit adalah pengalaman sensorik dan emosional yang

kompleks, modalitas psikologis harus digunakan dalam model manajemen

nyeri. Cabang psikologis nyeri juga menjelaskan mengapa beberapa pasien

dengan penyakit minimal mungkin memiliki rasa sakit luar biasa, sedangkan

yang lain dengan penyakit yang parah mungkin memiliki keluhan minimal.

Strategi koping termasuk relaksasi, doa, dan teknik pengalihan perhatian.

Depresi dan kecemasan pada pasien geriatri harus diatasi dengan

psikoterapi, meditasi, dan obat-obatan. Selanjutnya, variabel

socioenvironmental setiap pasien harus disesuaikan untuk membantu pasien

mengatasi rasa sakit. Sebuah sistem pendukung yang solid termasuk

keluarga dan pengasuh harus ditetapkan.

Rehabilitasi fisik

Aspek rehabilitatif manajemen nyeri dapat membantu pasien hidup

lebih mandiri dan fungsional. Rehabilitasi mungkin melibatkan beradaptasi

dengan hilangnya keterampilan fisik, psikologis, dan sosial. Penilaian ADL

dapat membantu menilai tingkat fungsi dan pengobatan langsung. Tujuan

rehabilitasi termasuk menstabilkan gangguan primer, mencegah cedera

sekunder, penurunan persepsi nyeri melalui pendekatan multidisiplin,

mengobati defisit fungsional, dan mempromosikan adaptasi ke disabilities.

Modalitas intervensi

Modalitas intervensi nyeri dapat membantu untuk menentukan

penyebab rasa sakit dan membantu untuk menegakkan diagnosis yang tepat.

Ini sering mengurangi kebutuhan untuk penggunaan obat berat, sehingga

pasien menjadi lebih hemat dan terhindar dari efek samping yang tidak

diinginkan terkait dengan dosis yang lebih besar dari obat. Blok saraf adalah

beberapa prosedur intervensi yang paling umum digunakan oleh dokter

dimana tindakan ini membantu tidak hanya untuk diagnosis tetapi juga

prognosis, analgesia preemptif, dan kadang-kadang sebagai terapi definitif.

Intervensi lain yang dapat digunakan meliputi neurolisis kimia, radiofrequency

113 | B A N U 4

lesioning, cryoneurolysis, neuroaugmentation, dan pemberian obat

neuraksial.

RINGKASAN

Nyeri persisten bukan merupakan bagian tak terhindarkan dari

penuaan tetapi cukup umum di kalangan orang tua. Pengobatan nyeri

mungkin rumit oleh beberapa masalah yang jauh lebih mungkin terjadi pada

orang dewasa muda. Hambatan untuk manajemen yang efektif termasuk

tantangan untuk penilaian nyeri yang tepat, underreporting sakit oleh pasien,

manifestasi atipikal nyeri pada orang tua, dan kebutuhan untuk meningkatkan

apresiasi farmakokinetik dan farmakodinamik perubahan penuaan. Dokter

dapat memberikan analgesia yang tepat pada pasien geriatri melalui penilaian

yang tepat, pendekatan multidisiplin, dan penggunaan yang tepat modalitas

pengobatan.

Daftar Pustaka

1. Freynhagen, R., Baron, R. 2009. The evaluation of neuropathic

components in low back pain. Current pain and headache reports 2009;13(3), 185-190.

2. Purwata, T.E. 2013. Patofisiologi nyeri neuropatik pada nyeri punggung bawah. Dalam: Nyeri punggung bawah. Editor: Trianggoro, B. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

3. Rubin, D.I. 2007. Epidemiology and risk factor for spain pain. NeurolClin.

25:353-71. 4. Chamberloin, K., Cottle, M., Neville, R., Tan, J. 2004. Oral oxymorphone

for pain management. Ann Pharmacother. 1((7)):1144–1152. 5. Partoatmodjo, L. 2006. Nyeri leher. Dalam: Kumpulan Makalah

Pertemuan Ilmiah Nasional II. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI). Surabaya: Airlangga University Press.

6. Lynch, D. 2000. Geriatric pain. In: Raj P. P., editor. Practical Management

of Pain. 3rd ed. St. Louis, MO: Mosby. pp. 270–271.

114 | B A N U 4

7. Manchikanti, L., Singh, V., Datta, S., Cohen, S. P., & Hirsch, J. A. 2008. Comprehensive review of epidemiology, scope, and impact of spinal pain. Pain physician. 12(4), E35-70.

8. Kaye, Alan, D. Baluch, Amir, Scoot, Jared, T. 2010. Pain management in the elderly population: a review. The Ochsner Journal. 10.3: 179-187.

9. American Geriatrics Society Panel on Pharmacological Management of

Persistent Pain in Older Persons. Pharmacological management of persistent pain in older persons. J Am Geriatr Soc. 2009;57(8):1331-1346.

115 | B A N U 4

MANAGEMENT OF NEUROPATHIC PAIN:

FOCUS ON PREGABALIN

Thomas Eko Purwata, Putu Eka Widyadharma, Ida Ayu Sri Wijayanti Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Abstrak

Nyeri Neuropatik (NN) merupakan salah satu bentuk nyeri kronik yang sangat

sulit ditangani, obat-obatan golongan analgesik dan anti inflamasi non steroid

kurang ampuh untuk mengobati NN. Nyeri neuropatik sering membuat frustasi

baik pasien maupun dokternya, tidak jarang terjadi gangguan tidur,

kecemasan dan depresi, sebagai akibatnya kualitas hidup pasien menurun.

Survei epidemiologi menunjukkan bahwa banyak pasien NN belum

mendapatkan penatalaksanaan yang memadai. Hal ini antara lain disebabkan

karena kurangnya pengetahuan tentang diagnosis yang tepat, pemilihan

terapi dan efikasi dari obat-obatan untuk NN.

Insiden nyeri meningkat dengan bertambahnya umur. Nyeri neuropatik sering

dijumpai pada lansia (lanjut usia) dan masih merupakan tantangan, baik

dalam hal diagnosis maupun manajemennya. Penyebab tersering nyeri

neuropatik pada lansia antara lain adalah radikulopati akibat stenosis foramen

atau spinal, neuropati diabetik dan neuropati pasca herpes.

Manajemen nyeri pada lansia agak berbeda dengan pasien yang lebih muda,

baik dalam hal penyebab, penyakit penyerta dan respon terhadap nyeri

maupun terapinya. Manajemen nyeri neuropatik pada lansia meliputi terapi

farmakologi dan non farmakologi. Terapi farmakologi antara lain dengan

pemberian obat-obatan analgesik non opiat, adjuvan, dan opiat. Polifarmasi,

interaksi antara obat dengan obat dan obat dengan penyakitnya, perubahan

metabolisme akibat usia, dan seringnya terjadi efek samping obat perlu

dipertimbangkan dengan seksama pada penggunaan obat-obatan pada

lansia.

Pendekatan terapi nyeri neuropatik yang rasional adalah berdasarkan

mekanisme terjadinya NN. Manajemen NN kronik idealnya dilakukan secara

multidisiplin dan berdasarkan guideline (GL) dengan memperhatikan untung

116 | B A N U 4

dan ruginya. Semua organisasi Internasional merekomendasikan pregabalin

sebagai obat lini pertama untuk terapi farmakologi hampir semua NN, kecuali

untuk neuralgia trigeminal obat lini pertama adalah karbamasepin dan

okskarbasepin.

Kata kunci: lansia, manajemen nyeri, nyeri neuropatik, pregabalin.

PENDAHULUAN

Insiden nyeri meningkat dengan bertambahnya umur.1-2 Nyeri diderita

oleh seperempat dari lansia (lanjut usia).2 Pada komunitas sebanyak 25-50%

lansia menderita nyeri kronik, sedangkan pada nursing home prevalensinya

45-85%.3 Mengingat prevalensi nyeri kronik yang tinggi dan menurunnya

kualitas hidup lansia, maka dipandang perlu untuk memberikan prioritas

manajemen nyeri pada lansia dengan membuat guideline asesmen dan

manajemen nyeri pada lansia.4 Berdasarkan guideline tersebut setiap lansia

yang periksa ke dokter harus dilakukan asesmen nyeri.

Diagnosis dan manajemen nyeri neuropatik masih merupakan tantangan bagi

ahli saraf.5,6 Pengobatan nyeri neuropatik memerlukan pendekatan yang

berbeda dengan nyeri inflamasi, dimana pada nyeri neuropatik obat-obatan

golongan analgesik dan Non Steroid Anti Inflammatory Drug (NSAID) kurang

efektif. Penyebab tersering nyeri neuropatik pada lansia antara lain adalah:

radikulopati daerah servikal, dan lumbal, neuropati diabetik, dan neuralgia

pasca herpes.7

Nyeri neuropatik pada lansia sering kali tidak terdiagnosis dan pengobatannya

di bawah standar. Nyeri pada lansia sering disertai depresi, kecemasan,

gangguan tidur, nafsu makan menurun, dan gangguan kognitif sehingga pada

akhirnya kualitas hidup penderita menurun.8

Manajemen nyeri pada lansia berbeda dengan pasien muda. Penyebab,

komorbiditas, efek samping pengobatan, dan respon terhadap nyeri dan

pengobatannya berbeda dengan pasien yang muda. Terapi farmakologi pada

lansia sering menimbulkan efek samping terutama analgesik, NSAID, dan

opiat. Manajemen nyeri yang efektif pada lansia meliputi pendekatan

117 | B A N U 4

farmakologi dan non farmakologi. Meskipun memiliki risiko yang tinggi

terjadinya efek samping, intervensi farmakologi masih merupakan modalitas

utama dalam pengobatan nyeri neuropatik pada lansia. Pendekatan

farmakologi meliputi pemberian obat analgesik non opiat, analgesik opiat, dan

analgesik adjuvan. Dalam manajemen nyeri pada lansia dokter harus

mempertimbangkan perubahan metabolisme obat karena umur, efek samping

obat, interaksi antara obat dan penyakit, serta interaksi obat dengan obat.

Disarankan untuk memberikan dosis titrasi dan pendekatan start low and go

slow. Pada lansia sensitivitas terhadap analgesik meningkat sehingga

diperlukan dosis yang lebih sedikit dibandingkan orang muda. Perlu dilakukan

pemantauan yang hati-hati terhadap lansia yang menggunakan berbagai

macam obat, bukan hanya memperhatikan efektivitas obatnya saja tetapi juga

kemungkinan terjadinya efek samping obat.8 Manajemen NN masih

merupakan tantangan, hanya sekitar 50% pasien yang diobati berkurang rasa

nyerinya, itupun nyerinya tidak hilang total dan seringkali efek samping obat

tidak dapat ditoleransi oleh pasien.4 Pendekatan terapi nyeri neuropatik yang

rasional adalah berdasarkan mekanisme terjadinya NN. Manajemen NN

kronik idealnya dilakukan secara multidisiplin dan berdasarkan guideline (GL)

dengan memperhatikan untung dan ruginya. Semua organisasi Internasional

merekomendasikan pregabalin sebagai obat lini pertama untuk terapi

farmakologik hampir semua NN, kecuali untuk neuralgia trigeminal obat lini

pertama adalah karbamasepin dan okskarbasepin.9-12

Definisi Nyeri Neuropatik

Definisi baru dari NN adalah nyeri yang berasal dari lesi atau penyakit

yang mengenai sistem saraf somatosensoris.13 Prevalensi NN berkisar antara

7-10% pada populasi umum di negara maju.14 Penyakit yang termasuk NN

antara lain: radikulopati servikal dan lumbal, neuropati diabetik, cancer related

neuropathy, neuralgia pasca herpes, HIV-related painful polyneuropathy,

cedera medula spinalis, central post stroke pain, neuralgia trigeminal,

complex regional pain syndrome tipe 2, nyeri phantom dan lain-lainnya.15

118 | B A N U 4

PERUBAHAN PERSEPSI NYERI YANG BERHUBUNGAN DENGAN USIA

Pada penelitian eksperimental terjadi perubahan yang signifikan

fungsi deteksi nyeri dan ambang nyeri pada lansia. Terjadi pula perubahan

pada serat saraf A-delta yang berfungsi untuk menghantarkan transmisi

epikritik, nyeri yang terlokalisir dan berlangsung cepat, sedangkan serat saraf

C yang berfungsi untuk transmisi protopatik, nyeri yang sulit dilokalisir dan

berlangsung lambat relatif tidak begitu terganggu. Respon otak terhadap

stimulus nyeri juga melambat.16 Perubahan-perubahan ini dapat

menerangkan terjadinya kesulitan pada orang tua untuk mendeskripsikan dan

melokalisir nyeri. Berkurangnya kemampuan untuk memodulasi nyeri dan

inhibisi desenden menyebabkan tingginya prevalensi dan beratnya nyeri pada

lansia.17

PERUBAHAN FARMAKOKINETIK PADA LANSIA

Terjadi penurunan sekresi lambung kira-kira 25% pada orang yang

berumur lebih dari 50 tahun sehingga pH lambung menjadi lebih tinggi.

Motilitas gastrointestinal, aliran darah splanich, area absorpsi, dan transpor

aktif protein menurun. Perubahan farmakokinetik pada lansia dapat dilihat

pada Tabel 1.17

Tabel 1. Perubahan Farmakokinetik yang berhubungan dengan umur17

119 | B A N U 4

PERUBAHAN FARMAKODINAMIK PADA LANSIA

Perubahan farmakodinamik yang berhubungan dengan usia sering

menyebabkan meningkatnya sensitivitas pasien lansia terhadap obat-obatan,

sehingga mengakibatkan banyak terjadi efek samping obat. Yang lebih

spesifik adalah peningkatan sensitivitas reseptor kolinergik, di mana

pemakaian obat-obat anti kolinergik seperti trisiklik anti depresan mudah

menimbulkan efek samping. Penurunan fungsi homeostasis pada lansia

dapat menerangkan terjadinya perlambatan pemulihan ke arah kondisi basal

setelah gangguan fungsi organ seperti terjadinya gagal ginjal akut dan

perdarahan saluran cerna akibat pemakaian NSAID atau sedasi karena

opiat.17

Menurut The American Geriatrics Society (AGS) semua lansia yang

mengalami gangguan fungsi atau penurunan kualitas hidup akibat nyeri kronik

adalah kandidat untuk terapi farmakologi.4 Pengetahuan tentang farmakologi

dari masing-masing obat sangat penting untuk manajemen nyeri yang aman

dan efektif (Tabel 2).17

PREGABALIN

Pregabalin (PGB) adalah substansi yang secara struktural analog

gamma aminobutyric acid (GABA) yang bersifat lipofilik namun secara

fungsional tidak berhubungan dengan neurotransmiter GABA.18 Berdasarkan

bukti klinis PGB bermanfaat untuk mengobati epilepsi, gangguan psikiatri,

fibromyalgia, dan NN.

MEKANISME KERJA PREGABALIN

Pregabalin adalah anti-konvulsan yang memiliki afinitas tinggi terhadap α2-δ

subunit dari voltage gated calcium channel dan bertindak sebagai ligand α2-

δ subunit. Terdapat 4 subtipe protein α2-δ, PGB hanya terikat dengan afinitas

yang kuat pada subtipe 1 dan 2. Mekanisme kerja utamanya adalah

menurunkan influx kalsium dan mengurangi pelepasan neurotransmiter

eksitatorik presinap seperti glutamat, substansi P, dan calcitonin gene-related

peptide sehingga dapat mengurangi nyeri.18,19

120 | B A N U 4

Tabel 2. Rekomendasi dosis analgesik pada lansia17

FARMAKOKINETIK

Penelitian menunjukkan bahwa PGB memiliki farmakokinetik linear

yang dapat diramalkan dengan variasi antar subjek yang rendah.18 Pregabalin

121 | B A N U 4

diabsorpsi secara cepat setelah pemberian oral pada keadaan puasa.

Konsentrasi maksimal dalam plasma dicapai kurang lebih 1 jam setelah

pemberian dosis tunggal atau ganda dan keadaan steady state dicapai dalam

waktu 24-48 jam setelah pemberian dosis ulangan.18

Bioavailabilitas PGB secara oral tinggi >90% dan tidak tergantung dosis.

Rerata waktu paruh PGB adalah 6,3 jam dan tidak tergantung dosis dan

pemberian obat ulangan sehingga menjamin tingkat kepercayaan dosis-

respon dalam praktek klinik. Efek klinik PGB tidak dipengaruhi oleh makanan

sehingga dosis obat tidak dipengaruhi oleh makanan.18,20

EFIKASI PREGABALIN

Pregabalin terbukti efektif untuk mengurangi skala nyeri, memperbaiki

gangguan tidur dan memperbaiki kualitas hidup penderita NN. Studi klinik

PGB telah dilakukan secara luas pada berbagai macam penyakit antara lain:

radikulopati servikal dan lumbal, neuropati diabetik, cancer related

neuropathy, neuralgia pasca herpes, HIV-related painful polyneuropathy,

cedera medula spinalis, central post stroke pain, neuralgia trigeminal,

complex regional pain syndrome tipe 2, nyeri phantom dan lain-lainnya.10 Dari

25 placebo-controlled randomized trials didapatkan 18 studi PGB dengan

dosis 150-600 mg/hari terbukti efektif dalam menurunkan skala nyeri dan

terdapat response gradient dosis (dosis 600 mg/hari responnya lebih tinggi

daripada 300 mg/hari). Dua trial pada HIV-related painful polyneuropathy

dengan respon plasebo yang tinggi hasilnya negatif. Gabungan number

needed to treat (NNT) adalah 7.7 (95% CI 6,5-9,4) seperti terlihat pada

gambar 1.12

Efikasi PGB dalam mengurangi nyeri pada pasien Painful Diabetic

Neuropathy (PDN) dan PHN telah terbukti.11,21 Penurunan skala nyeri sudah

dapat terlihat setelah 1 minggu terapi. Perbaikan fungsional dan kualitas hidup

sebagai respon terhadap PGB berhubungan dengan semakin berkurangnya

keluhan nyeri. Studi terbaru juga menunjukkan bahwa PGB memberikan efek

pengobatan yang lebih baik dibandingkan dengan amitriptilin pada pasien

122 | B A N U 4

dengan PHN.22 Kombinasi antara PGB dan Imipramin mempunyai efikasi

yang lebih baik daripada obat tunggal.23

Gambar 1. Forest Plot Data dari Pregabalin.12

NNT: number needed to treat. CPSP: central post-stroke pain. SCI: spinal cord injury pain.

PPN: painful polyneuropathy. FDA: US Food and Drug Administration. PHN: post herpetic

neuralgia. PNI: peripheral nerve injury. PhRMA= Pharmaceutical Research and Manufacturers

of America.

Pada HIV-related painful polyneuropathy tidak ada perbedaan yang

bermakna antara PGB dan plasebo dalam menurunkan skala nyeri.24

KEAMANAN PREGABALIN

Pada umumnya PGB dapat ditoleransi dengan baik oleh pasien, efek

samping yang paling sering dilaporkan adalah dizziness, ngantuk, edema

perifer, mulut kering, dan penambahan berat badan, efek samping meningkat

dengan peningkatan dosis.21,25 Disarankan untuk memulai dosis awal kecil,

2-3 kali 50 mg sehari kemudian dititrasi sesuai dengan efikasi dan respon

123 | B A N U 4

pasien.10,20 Dosis maksimum yang dianjurkan pada pasien dengan klirens

kreatinin >60 ml/menit adalah 300 mg/hari pada pasien neuropati diabetik,

sedangkan untuk neuralgia pasca herpes maksimal 600 mg/hari.26 Number

needed to harm (NNH) PGB adalah 13.9 (11,6-17.4).12

Pregabalin mempunyai kemampuan untuk menembus sawar darah otak

secara cepat, sehingga mampu mempengaruhi aktivitas susunan saraf pusat.

Metabolisme PGB dalam tubuh manusia hanya sedikit (< 2%) dan diekskresi

dalam bentuk tidak berubah oleh ginjal. Pregabalin tidak berikatan dengan

protein plasma, tidak mengalami metabolisme di hati, tidak menginduksi atau

menghambat enzim-enzim hati seperti sitokrom P450 sehingga PGB tidak

menimbulkan interaksi farmakokinetik antar obat. Ekskresi PGB melalui ginjal

sehingga perlu penyesuaian dosis pada pasien yang mengalami penurunan

fungsi ginjal, pada pasien dengan klirens kreatinin <60 ml/menit.13,15 Pada

pasien dengan klirens kreatinin 30-60 ml/menit, dosis harian dikurangi 50%.

Penurunan dosis harian sampai 50% dianjurkan setiap penurunan klirens

kreatinin 50%. Tambahan dosis PGB dianjurkan pada pasien yang menjalani

hemodialisa kronis. Dosis harian harus segera ditambahkan setelah setiap 4

jam sesi hemodialisis untuk menjaga konsentrasi plasma PGB stabil dalam

rentang yang diinginkan.15

MANAJEMEN NYERI NEUROPATIK PADA LANSIA

Manajemen NN pada lansia yang direkomendasikan adalah

pendekatan secara multidisiplin untuk mencari opsi yang optimal, dengan

mempertimbangkan tipe nyerinya, apakah nyeri neuropatik, nosiseptif atau

campuran, akut atau kronik, kanker atau non kanker. Manajemen nyeri yang

efektif meliputi terapi farmakologi dan non farmakologi.

TERAPI FARMAKOLOGI

Terapi farmakologi merupakan lini pertama pada manajemen nyeri pada

lansia. Menurut AGS semua pasien lansia yang mengalami gangguan

fungsional atau kualitas hidupnya menurun sebagai akibat dari nyeri persisten

yang dideritanya merupakan kandidat untuk terapi farmakologi. Untuk terapi

farmakologi, obat-obatan yang paling banyak dipakai adalah golongan

124 | B A N U 4

analgesik non opioid, opioid dan adjuvan. Pada makalah ini hanya dibahas

terapi untuk NN yaitu analgesik adjuvan dengan fokus pada Pregabalin.

Ringkasan dari rekomendasi AGS (2009) 27 untuk terapi nyeri neuropatik

adalah sebagai berikut:

1. Semua pasien NN adalah kandidat untuk terapi analgesik adjuvan (strong

quality of evidence, strong recommendation).

2. Pasien fibromyalgia adalah kandidat untuk trial analgesik adjuvan

(moderate quality of evidence, strong recommendation).

3. Pasien dengan nyeri refrakter tipe nyeri yang lain mungkin adalah

kandidat analgesik adjuvan tertentu (misalnya: nyeri punggung, nyeri

temporomandibular, nyeri kepala difus (low quality of evidence, weak

recommendation).

4. Antidepresan trisiklik (amitriptilin, imipramin, doksepin) pemakaiannya

harus sangat hati-hati karena tingginya risiko adverse effect seperti efek

kolinergik dan gangguan kognitif (moderate quality of evidence, strong

recommendation).

5. Obat bisa diberikan tunggal atau sering dikombinasi dengan obat lain dan

terapi non farmakologi untuk meningkatkan efektivitasnya (moderate

quality of evidence, strong recommendation).

6. Disarankan terapi dengan dosis serendah mungkin dan dinaikkan secara

perlahan-lahan sesuai dengan respon penderita dan ada atau tidaknya

efek samping (moderate quality of evidence, strong recommendation).

TERAPI NON FARMAKOLOGI

Berhubung dengan seringnya terjadi efek samping obat pada lansia maka

terapi farmakologi pada lansia sering dikombinasi dengan terapi non-

farmakologi sehingga dapat dihasilkan penurunan skala nyeri yang memadai

dengan dosis obat yang lebih kecil. Terapi non-farmakologi antara lain

program latihan, cognitive behavior therapy dan edukasi.

125 | B A N U 4

RINGKASAN

Nyeri neuropatik pada lansia sering unrecognized dan undertreated.

Terapi farmakologi pada lansia sering menimbulkan efek samping sehingga

harus diberikan dengan hati-hati dengan prinsip start low go slow.

Pendekatan yang disarankan adalah multidisiplin dengan mengacu pada

guideline yang direkomendasikan oleh organisasi internasional.

Hampir semua guideline merekomendasikan pregabalin sebagai obat lini

pertama untuk nyeri neuropatik kecuali untuk neuralgia trigeminal adalah

karbamasepin dan okskarbasepin.

DAFTAR PUSTAKA

1. Crook, J., Rideout, E., Browne, G. 1984. The prevalence of pain

complaints among a general population. Pain.18: 299–314. 2. Nolan, L., O’Malley, K. 1988. Prescribing for the elderly: Prescribing

patterns differences due to age. Journal of the American Geriatric Society. 36: 245–254.

3. Ling, S.M., Bathon, J.M. 1998. Osteoarthritis in older adults. Journal of

the American Geriatric Society. 46:216–25. 4. Anonym. 2002. AGS Panel on Persistent Pain in Older Persons. The

Management of persistent pain in older persons. J Am Geriatr Soc. 50: S205-24.

5. Brattberg, G., Parker, M.G., Thorslund, M. 1996. The prevalence of pain among the oldest old in Sweden. Pain. 67:29-34.

6. Da-Costa, J. 2006. Pain Management and Geriatric. Dalam: Boswell,

M.V., Cole, B., penyunting. Weiner’s Pain Management. A Practical Guide for Clinician. New York: CRC Press. h.319-23.

7. Sternbach, R.A. 1986. Survey of pain in the United States: The Nuprin

Pain Report. Clinical Journal of Pain. 2:49–53. 8. Cavalieri, T.A. 2005. Management of Pain in Older Adults. JAOA.105(3):

S12-17. 9. Attal, N., Cruccu, G., Baron, R., Haanpaa, M., et al. 2010. EFNS

Guidelines on The Pharmacological Treatment of Neuropathic Pain. European J of Neurol. 17:1113-1123.

126 | B A N U 4

10. Attal, N., Finnerup, N.B. 2010. Pharmacologic Management of Neuropathic Pain. Pain Clinical Updates. 28(9).

11. Finnerup, N.B., Sindrup, S.H., Jensen, T.S. 2010. The evidence for

pharmacological treatment of neuropathic pain. PAIN. 150: 573–581. 12. Finnerup, N.B., Attal, N., Haroutounian, S., McNicol, E., Baron, R.,

Dworkin, R.H., et al. 2015. Pharmacotherapy for neuropathic pain in adults: a systematic review and meta-analysis. Lancet Neurol. 162–7.

13. Treede, R.D., Jensen, T.S., Campbell, J.N., Gruccu, G., Dostrovsky, J.O., et al. 2008. Neuropathic pain redefinition and a grading system for clinical and research purposes. Neurology. 70:1630-5.

14. Van-Hecke, O., Austin, S.K., Khan, R.A., Smith, B.H., Torrance, N. 2014.

Neuropathic pain in the general population: a systematic review of epidemiological studies. Pain. 155;654-62.

15. Gilron, I., Watson, C.P., Cahill, C.M., Moulin, D.E. 2006. Neuropathic

pain: a practical guide for the clinician. CMAJ. 175:265-75. 16. Gibson, S.J., Gorman, M.M., Helme, R.O. 1991. The assessment of pain

in the elderly using cerebral event related potentials. Dalam: Bond, M.R., Charltons, J.E., Wolf, C.J., penyunting. Proceeding of the 5th World Conggres on Pain. Amsterdam: Elsevier. h.527-35.

17. Lussier, D., Pickering, G. 2010. Pharmacological Consideration in Older

Patients. Dalam: Beaulien, P., Lussier, D., Porreca, F., Dickenson, A.H., penyunting. Pharmacology of Pain. Seattle: IASP Press. h.547-62.

18. Ben-Menachen, E. 2004. Pregabalin Pharmacology and Its Relevance to Clinical Practice. Epilepsia. 45;(Suppl.6):13-18.

19. Chen, S.R., Xu, Z., Pan, H.L. 2001. Stereospecific Effect of Pregabalin on Ectopic Afferent Discharged and Neuropathic Pain Induced by Sciatic Nerve Ligation in Rats. Anesthesiology. 95:1473-9.

20. Cada, D.J., Levien, T., Baker, D.E. 2006. Pregabalin, Hospital Pharmacy. 41(2):157-72.

21. Freeman, R., Durso-Decruz, E., Emir, B. 2008. Efficacy, safety, and

tolerability of pregabalin treatment for painful diabetic peripheral neuropathy: findings from seven randomized, controlled trials across a range of doses. Diabetes Care. 31:1448–54.

22. Achar, A. Chakraborty, P., Bisai, S. 2011. Comparative Study of Clinical Efficacy of Amytriptiline and Pregabalin in Postherpetic Neuralgia. Acta Dermatovenerol Croat. 20(2): 89-94.

127 | B A N U 4

23. Jakob, V.H., Flemming, W.B., Finnerup, N., Brøsen, K., Jensen, T.S.,

Sindrup, S.H. 2015. Imipramine and pregabalin combination for painful polyneuropathy: a randomized controlled trial. Pain. 156: 958–966.

24. Simpson, D.M., Rice, A.S.C., Emir, B., Landen, J., Semel, D., Chew, M.L.,

Sporn, J. 2014. A randomized, double-blind, placebo-controlled trial and open-label extension study to evaluate the efficacy and safety of pregabalin in the treatment of neuropathic pain associated with human immunodeficiency virus neuropathy. Pain.155:1943–1954.

25. Kim, J.S., Bashford, G., Murphy, T.K., Martin, A., Dror, V., Cheung R.

2011. Safety and efficacy of pregabalin in patients with central post-stroke pain. Pain. 152: 1018–1023.

26. Chong, M.S. 2004. Pregabalin in Painful Diabetic Peripheral Neuropathy.

Drug. 64(24):2821. 27. Anonym. 2009. American Geriatrics Society Panel on Pharmacological

Management of Persistent Pain in Older Persons. Pharmacological management of persistent pain in older persons. J Am Geriatr Soc. 57(8):1331–1346.

128 | B A N U 4

MANAJEMEN HIPERTENSI PADA STROKE ISKEMIK AKUT

USIA TUA

Anak Agung Bagus Ngurah Nuartha Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Error in judgement must occur in the practice of an art which consists largely

in balancing probabilities

(Sir William Osler)

Pendahuluan

Gangguan serebrovaskular atau stroke saat ini merupakan masalah

kesehatan di seluruh dunia. Gangguan serebrovaskular seperti stroke

merupakan penyebab utama kematian, dan juga sebagai penyebab utama

cacat menahun. Diperkirakan dari 100 penderita stroke yang hidup, 10

penderita dapat bekerja kembali tanpa kecacatan, 40 penderita dengan

kecacatan ringan, 40 penderita dengan kecacatan sedang-berat, dan 10

penderita memerlukan perawatan khusus. Di Indonesia terlihat

kecenderungan meningkatnya jumlah kasus stroke ini.

Insidensi stroke meningkat dengan bertambahnya usia, sehingga dapat

diramalkan jumlah kasus stroke yang bertambah besar dengan meningkatnya

usia harapan hidup. Sekitar 72% serangan pertama dari stroke terjadi pada

usia diatas 65 tahun. Hal ini dapat dimengerti dengan mengingat faktor-faktor

risiko (terutama hipertensi sebagai faktor risiko utama) yang lebih sering

ditemukan pada usia lanjut. Bertambah banyak faktor risiko yang ditemukan,

bertambah tinggi kemungkinan mendapat stroke. Sekitar 77% pasien stroke

datang dengan tekanan darah sistolik >139 mmHg, dan 15% dengan tekanan

darah sistolik >184 mmHg. Hubungan kausal antara hipertensi dan gangguan

peredaran darah otak terbukti dari beberapa penyelidikan klinis eksprimental,

dimana pengobatan hipertensi dapat menurunkan insidensi stroke hemoragik

maupun non-hemoragik atau infark serebri. Pengertian tentang hubungan

hipertensi dengan gangguan serebrovaskular atau stroke diharapkan akan

129 | B A N U 4

dapat meningkatkan usaha pencegahan dan pengobatan secara lebih

rasional.

Fisiologi peredaran darah otak

Untuk dapat memahami pengaruh hipertensi pada peredaran darah

otak, kita perlu mengenal terlebih dahulu mengenai peredaran darah otak dan

faktor yang mempengaruhinya termasuk hipertensi. Otak mendapat darah

melalui arteri-arteri besar yang masuk kedalam tengkorak dan membuat

anastomosis di dasar otak serta di permukaan otak. Adanya anastomosis

yang baik akan melindungi otak terhadap kerusakan, meskipun anastomosis

pada permukaan otak tidaklah sebaik anastomosis di dasar otak (sirkulus

arteriosus Willisi). Pada permukaan otak selalu akan didapatkan daerah-

daerah perbatasan (watershed area atau boundary zone) yang dapat

merupakan daerah kritis bila terjadi gangguan peredaran darah otak.

Untuk berfungsi dengan baik, otak memerlukan aliran darah yang dapat

menyediakan kebutuhan oksigen dan glukosa secara berkesinambungan.

Otak masik dapat berfungsi dengan baik bila penyediaan oksigen terganggu

selama 8-10 detik, namun akan terjadi kerusakan yang ireversibel bila

penyediaan oksigen total terganggu lebih dari 3 menit (6-8 menit). Juga otak

masih dapat berfungsi dengan baik bila terjadi kekurangan glukosa tidak lebih

dari 30-60 menit. Jika peredaran darah yang menuju suatu daerah otak

tersumbat secara parsial, misalnya pada iskemia; neuron-neuron yang

meskipun tidak menunjukkan kegiatan akan masih bertahan sampai 6-8 jam,

bahkan kadang-kadang sampai 48 jam. Banyak perubahan-perubahan

biomolekular-selular yang perlu diperhatikan akibat terjadinya iskemia sampai

infark serebri.

Peranan hipertensi pada stroke

Tekanan darah yang digolongkan hipertensi sulit ditentukan dengan

tepat karena ambang batas yang bersifat individual, dimana disebut hipertensi

bila dengan pemberian anti hipertensi lebih menguntungkan daripada tidak

diberi anti hipertensi. Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah >140

130 | B A N U 4

mmHg dan atau tekanan darah diastolik >90 mmHg yang didapatkan dari rata-

rata 2 kali atau lebih pengukuran tekanan darah selang waktu 5 menit dalam

keadaan saat istirahat/tenang. Pada pengukuran tekanan darah brakial kanan

dan kiri, yang dipakai tekanan darah yang lebih tinggi.

Hipertensi baik sistolik, diastolik maupun sistolik-diastolik merupakan faktor

risiko stroke terpenting pada semua usia. Data epidemiologik menunjukkan

bahwa stroke terjadi empat hingga enam kali lebih sering pada penderita

hipertensi daripada mereka dengan tekanan darah normal. Otak merupakan

salah satu ‘target organ’ pada hipertensi, disamping jantung dan ginjal.

Penelitian mengenai aliran darah otak atau cerebral blood flow (CBF) pada

penderita hipertensi menahun menunjukkan terjadinya perubahan pada

autoregulasi serebrovaskular atau arteri serebral. Autoregulasi arteri serebral

ialah kemampuan pembuluh darah otak untuk menyesuaikan lumennya

sehingga CBF tetap konstan meskipun tekanan perfusi berubah-ubah. Terjadi

vasodilatasi bila tekanan intraluminal menurun, dan terjadi vasokonstriksi bila

tekanan intraluminal meningkat. Pada orang sehat (normotensi), penurunan

tekanan arteri rerata atau mean arterial blood pressure (MABP) sampai 60-70

mmHg dan peningkatan sampai 150-160 mmHg masih dapat diatasi dengan

autoregulasi. MABP yang lebih rendah dari batas bawah akan menyebabkan

penurunan CBF, dan yang lebih tinggi dari batas atas akan menyebabakan

peningkatan CBF. Pada penderita hipertensi menahun, batas bawah dan

batas atas akan bergeser ke kanan pada MABP yang lebih tinggi, atau

dengan kata lain penderita hipertensi lebih tahan terhadap tekanan darah

yang relatif tinggi dan kurang tahan terhadap tekanan darah rendah.

Hipertensi lama atau menahun dapat menimbulkan perubahan patologi yang

berbeda pada pembuluh darah besar/sedang dan pembuluh darah kecil

intrakranial. Pada pembuluh darah besar, seperti arteri karotis, arteri

vertebrobasilaris atau arteri di basis serebri, perubahan patologiknya berupa

arteroksklerosis, dan manifestasi kliniknya adalah TIA, RIND, Stroke

trombotik, atau stroke trombo-embolik. Disini peranan hipertensi hanyalah

sebagai salah satu faktor risiko disamping faktor-faktor risiko lain seperti

misalnya diabetes mellitus, dislipidemia, dll. Pada pembuluh darah kecil

131 | B A N U 4

dalam yaitu cabang-cabang penetrans yang menembus ke dalam jaringan

otak dapat mengalami perubahan-perubahan degeneratif seperti degenerasi

lipohialin/lipohialinosis atau disorganisasi fibrinoid dimana dapat mengalami

penyumbatan sebagai cerebral small vessels disease dengan sindrom klinik

stroke lakunar, atau pecah terjadi stroke hemoragik (perdarahan

intraserebral).

Penatalaksanaan hipertensi pada stroke

Kemampuan pengobatan dan perawatan seorang manusia yang

menderita secara sempurna merupakan idam-idaman setiap tenaga

kesehatan. Kemampuan ini akan terlaksana jika usaha yang ditempuh

berdasarkan atas pengetahuan mengenai penyakit dan pengetahuan

mengenai si sakit. Pada penatalaksanaan pengobatan penderita dengan

stroke, sangat penting untuk menentukan jenis dari gangguan pada pembuluh

darah tersebut. Penanggulangan harus dilakukan dengan cepat dan tepat,

serta sangat tergantung dari penyebab penyakit dan faal sakit. Pengobatan

stroke dalam therapeutic window akan memberikan hasil yang lebih baik.

Pada orang sehat (normotensi), penurunan tekanan darah arteri rerata

(MABP) sampai 60-70 mmHg dan peningkatan sampai 150-160 mmHg masih

dapat diatasi dengan autoregulasi.

Pada penderita usia tua atau lanjut dengan hipertensi menahun, batas atas

dan bawah MABP ini akan bergeser ke kanan, atau dengan kata lain

penderita lebih tahan terhadap tekanan darah yang relatif tinggi dan kurang

tahan terhadap tekanan darah yang rendah khususnya bila terjadi penurunan

secara cepat. Penurunan tekanan darah pada penderita usia tua sebaiknya

secara gradual, karena pengelolaan hipertensi yang efektif akan sekaligus

menghindari terjadinya gangguan serebrovaskular seperti misalnya stroke

atau stroke berulang yang merupakan penyumbang potensial untuk timbulnya

demensia vaskular. Untuk mempertahankan CBF karena terjadi peninggian

tekanan intrakranial pada penderita stroke akut, terutama perdarahan

intraserebral sering timbul hipertensi akut yang terjadi sekitar 90 menit –

beberapa jam setelah serangan stroke dan dapat berlangsung sampai 7-10

132 | B A N U 4

hari tanpa mempunyai riwayat hipertensi sebelumnya. Tekanan intrakranial

meninggi terdapat pada sekitar 80% penderita stroke hemoragik maupun non-

hemoragik yang dirawat, sekitar 30% mempunyai riwayat hipertensi

sebelumnya yang akan menurun spontan dalam beberapa hari sampai 10 hari

setelah stroke dan hanya sepertiga yang tetap hipertensi. Peningkatan

tekanan darah pada stroke iskemik akut selain karena riwayat hipertensi

sebelumnya, respon fisiologis terhadap hipoksia atau tekanan intrakranial

meninggi misalnya edema serebri, dapat juga disebabkan oleh karena stres

akibat menderita stroke, kandung kencing penuh, atau nyeri yang akan

menurun spontan bila nyeri diatasi, kandung kencing dikosongkan dan

dipindah ke ruang rawat yang tenang dan dapat istirahat.

133 | B A N U 4

STROKE ISKEMIK/NON-HEMORAGIK

STROKE AKUT

Acute stroke must be treated as a medical emergency Pemeriksaan klinis, NIHSS, Lab, EKG, penunjang lain ABC – 5B Mempertahankan patensi jalan nafas & sirkulasi adekuat Tinggikan posisi kepala 20-30o O

2 sesuai kebutuhan (1-2 L/menit)

Euvolemic fluid status: berikan IVFD NaCL 0,9%, ringer laktat/ asetat, hindari dekstrosa dan cairan hipotonik, pantau urine output, tekanan vena sentral 5-12mg

Pantau tanda vital & status neurologis selama 24-72 jam Pantau fungsi jantung, saluran cerna, saluran kencing, &

keseimbangan cairan-elektrolit, gula darah, gas darah Pencegahan & penanganan hipertermia, kejang atau

edema otak (TIK <20 mmHg, CPP >70 mmHg) Status gizi dengan asupan nutrisi adekuat Neuroproteksi Neurorestorasi-rehabilitasi Pencegahan & penanganan komplikasi sedini mungkin Pencegahan & penanganan faktor risiko, penyakit

penyerta, atau kausa.

CT SCAN

kepala tanpa kontras

STROKE ISKEMIK

STROKE HEMORAGIK

(P I S)

YA TIDAK

EVALUASI

Kandidat Trombolisis

Antihipertensi bila diperlukan Hipertensi:

SBP >220 mmHg atau DBP >120 mmHg, diturunkan 10-15%

Labetalol Nikardipin

Diltiazem

DBP >140 mmHg, diturunkan 10-15%

Nitroprusside Managemen hipotensi bila ada Anti koagulan pada kasus selektif dengan

persyaratan & pemantauan ketat. Anti platelet agent: Asetosal oral, dosis awal 160-325 mg,

selanjutnya 75-325 mg/hari Managemen ICP meningkat, bila ada Managemen pengendalian suhu badan

TIDAK

MANAGEMEN TEKANAN

DARAH:

Anti hipertensi bila diperlukan

SBP >185 mmHg atau DBP >110 mmHg: Labetalol Nikardipin Diltiazem

DBP >140: Nitroprusside

Jika tekanan darah tidak menurun, jangan berikan tPA/alteplase.

YA

Trombolisis: tPA/alteplase i.v, i.a, kombinasi i.v, i.a atau trombektomi mekanik

Anti platelet atau anti koagulan

CT scan tidak ada perdarahan dalam 24 jam setelah pemberian tPA.

Asetosal oral dosis awal 160-325 mg, selanjutnya 75-325 mg/hari

PREVENSI

SEKUNDER

134 | B A N U 4

Pada penderita usia tua atau lanjut dengan stroke non-hemoragik atau

iskemik, pengaturan autoregulasi arteri serebral yang terganggu akan

menyebabkan perfusi daerah iskemik penumbra mengikuti aliran darah

sistemik secara pasif. Meningkatnya tekanan darah pada awal stroke iskemik

sebagai reaksi penyesuaian untuk mempertahankan CBF yang cukup ke

daerah sirkulasi iskemik kritis penumbra. Atas dasar ini tekanan darah tidak

boleh atau dengan sangat hati-hati bila memang sudah diketahui riwayat

hipertensi atau tekanan darah sebelum stroke diturunkan pada fase awal

stroke akut karena akan mengganggu aliran darah kolateral dan

mempermudah timbulnya infark serebri dan memperluas ukuran infark

serebri, atau stroke berulang. Tekanan darah sebagian besar akan meningkat

pada stroke akut, di mana tekanan darah yang meningkat ini akan turun

sendiri secara spontan dalam 24 jam setelah beberapa hari dan setelah 10

hari tekanan darah akan kembali seperti sebelum stroke atau normal.

Sehingga penurunan tekanan darah pada stroke iskemik bila diperlukan

bertujuan untuk mengurangi risiko terjadinya infark hemoragik, injuri iskemik

reperfusi, dan edema serebri. Sedangkan penurunan tekanan darah pada

stroke hemoragik bila diperlukan bertujuan untuk mencegah perluasan

hematom, mencegah perdarahan ulang, menurunkan tekanan intrakranial

dan mencegah edema otak, serta mencegah kerusakan organ akhir.

Sehingga secara umum dapatlah dimengerti bahwasanya penatalaksanaan

hipertensi pada gangguan serebrovaskular atau stroke secara bijaksana

merupakan aspek terpenting untuk mencegah terjadinya hipoperfusi otak

akibat terganggunya autoregulasi arteri serebral akut. Penurunan tekanan

darah pada penderita hipertensi pasca stroke harus secara perlahan-lahan

bertahap (beberapa bulan) yang mulai dengan dosis rendah dan pelan-pelan

dosis ditingkatkan. Pendapat lama tentang dosis ‘start low and go slow’ masih

tetap relevan sampai saat ini khususnya untuk prevensi stroke, kecuali terjadi

kegagalan target organ akut misalnya sindrom koroner akut/infark miokardial

akut, gagal jantung akut, gagal ginjal akut, edema paru akut, ensefalopati

hipertensif, atau diseksi aorta.

135 | B A N U 4

Penurunan tekanan darah pada stroke iskemik atau non-hemoragik secara

umum berbeda dengan stroke iskemik yang kandidat untuk trombolisis,

perdarahan intraserebral, perdarahan subaraknoid, atau ensefalopati

hipertensif.

Pada penderita dengan stroke yang diketahui riwayat hipertensi sebelumnya,

secara umum tekanan darah diturunkan sedikit di bawah tekanan darah

sebelum stroke pada stroke hemoragik atau MAP <120-130 mmHg

(diturunkan 10-25%) dan bila mungkin dengan CPP >60 mmHg (CPP: MAP-

ICP); atau diturunkan sampai sedikit di atas tekanan darah sebelum stroke

pada stroke non-hemoragik atau MAP <130-140 mmHg (diturunkan 10-20%).

Pada perdarahan intraserebral, tekanan darah sistolik >180 mmHg atau MAP

>130 mmHg, tekanan darah dapat diturunkan dan pantau tiap 5 menit

sehingga mencapai MAP <130 mmHg. Bila tekanan intrakranial tidak

meningkat, dapat diturunkan mencapai MAP 110 mmHg atau 160/90 mmHg.

Penurunan tekanan darah umumnya jangan melebihi 15% (10-15%) dalam

24 jam pertama setelah awitan stroke iskemik dan dapat disesuaikan kembali

jika terjadi gejala neurologik yang lebih buruk dari sebelumnya. Pada stroke

iskemik yang kandidat untuk trombolisis, tekanan darah sistolik diturunkan

<185 mmHg dan diastolik <110 mmHg dipantau selama 24 jam pertama

setelah trombolisis dan dipertahankan <180/105 mmHg, pemantauan tiap 15

menit untuk 2 jam pertama, tiap 30 menit untuk 6 jam, kemudian tiap 1 jam

untuk 16 jam.

Pada perdarahan subaraknoid, tekanan darah diturunkan sehingga mencapai

tekanan darah sistolik sekitar 160 mmHg 140-160 mmHg untuk mencegah

perdarahan ulang, dan 160-180 mmHg untuk mencegah vasospasmus). Pada

ensefalopati hipertensif, penurunan tekanan darah 15-25% pada 1-2 jam

pertama dan jangan melebihi 20-40% dalam 6-12 jam untuk mencapai 160/90

mmHg dan dapat diturunkan lagi sampai normal, dapat disesuaikan kembali

jika terjadi gejala neurologik yang lebih buruk dari sebelumnya. Pada kasus

kegagalan target organ lain, penurunan tekanan darah 15-25% pada jam

pertama, dan diharapkan tercapai tekanan darah 160/90 dalam 6 jam

pertama.

136 | B A N U 4

Bila terjadi hipotensi pada kasus stroke akut dengan tekanan darah sistolik

<90 mmHg tanpa dehidrasi cairan, harus diberikan obat vasopresor

(Dopamine, Dobutamine, phenylephrine, atau Norepinephrine) untuk

meningkatkan tekanan darah dan dipertahankan sekitar tekanan darah

sistolik 140 mmHg.

Pada stroke iskemik akut dengan hipertensi, lebih dianjurkan pemberian anti

hipertensi dalam bentuk parenteral, misalnya Labetalol, Nicardipine,

Diltiazem, Na-nitroprusside.

Labetalol dapat diberikan dengan dosis 10 mg (5-20 mg) i.v. bolus selama

lebih 1-2 menit dan dapat diulangi atau digandakan dosisnya setiap 10

menit (5-20 menit) sampai penurunan tekanan darah yang diharapkan,

selanjutnya diulangi setiap 6-8 jam, dan dosis maksimal 300 mg/24 jam,

ATAU awalnya i.v. bolus dan selanjutnya 1 mg (0,5-2 mg)/menit i.v. infusi

drip dan dapat ditingkatkan dengan titrasi, sampai 2-8 mg/menit.

Nicardipine dengan dosis awal 5 mg (3-5 mg)/jam i.v. infusi drip atau 0,5-

6 mcg/kg/menit i.v. infusi drip dengan titrasi dapat ditingkatkan 2,5 mg

(1,5-3 mg)/jam setiap 5 menit (5-15 menit) sampai penurunan tekanan

STROKE AKUT

Sistolik > 220 mmHg

Diastolik >120 mmHg

Sistolik 180-220 mmHg

Diastolik 105-120 mmHg

Ukur ulang 15

tidak

Perdarahan intra serebral

atau gangguan end organ

ya

Sistolik > 220 mmHg

Diastolik >120 mmHg

Sistolik <180 mmHg

Diastolik <105 mmHg

Observasi.

Obat anti hipertensi oral diberikan

Setelah hari ke 7-10

Obat anti hipertensi

parenteral

ALUR PENATALAKSANAAN HIPERTENSI PADA STROKE AKUT

Sistolik > 230 mmHg

Diastolik > 140 mmHg

137 | B A N U 4

darah yang diharapkan serta dapat dipertahankan 24-48 jam, dan obat

oral diberikan 1 jam sebelum i.v. infusi drip dihentikan, ATAU awalnya i.v.

bolus 10-30 mcg/kg, dan selanjutnya infusi drip.

Diltiazem dengan dosis awal 0,2 mcg/kg atau 10 mg (dilarutkan dalam 10

ml salin) i.v. bolus selama lebih 3-5 menit (10 menit), dan dapat diulangi

sekali lagi bila tidak ada respon dan setelah 10 menit dilanjutkan dengan

50 mg/jam i.v. infusi drip atau 5-15 mcg/kg/menit i.v infusi drip, observasi

tiap 20-60 menit sampai stabil dan dosis dapat diturunkan atau ganti oral.

Nimodipine dengan dosis awal 0,5-1 mg (2,5-5 ml)/jam i.v. infusi drip atau

7,5-15 mcg/kg/jam i.v infusi drip dengan titrasi dapat ditingkatkan 0,5 mg

(2,5 ml) setiap 15 menit sampai tercapai 2 mg (10 ml) atau 30 mcg/kg/jam

dalam 2 jam, dan tercapai penurunan tekanan darah yang diharapkan,

dosis maksimal 5 mg (25 ml)/jam.

Na Nitroprusside dengan dosis awal 0,5 mcg (0,25-10 mcg)/kg/menit i.v.

infusi drip dengan titrasi dapat ditingkatkan 0,5-1 mcg/kg/menit setiap 5

menit sampai 5-10 mcg/kg/menit dengan dosis maksimal 10

mcg/kg/menit, dan tercapai penurunan tekanan darah yang diharapkan.

Labetalol merupakan anti hipertensi pilihan pertama dalam penatalaksanaan

hipertensi pada stroke, karena cukup efektif dan aman untuk kedaruratan

hipertensi, namun hati-hati pada gagal jantung akut atau gagal jantung

kongestif, AV block, bradikardia berat, bronkhospasm, asthma bronkhiale

atau COPD.

Nicardipine juga aman dan efektif dan tidak rebound atau tidak meninggi lagi

melampaui batas (little overshoot), namun hati-hati pada gagal jantung akut,

infark miokardial akut, gagal ginjal akut, sindrom koroner iskemik, atau

takikardia.

Diltiazem juga aman dan efektif, namun hati-hati pada AV block, sick sinus

syndrome, infark miokardial akut, atau gagal jantung kongestif.

Nimodipine umumnya dipergunakan untuk pencegahan dan terapi

vasospamus serebral pada perdarahan subaraknoid. Namun Nimodipine juga

efektif dan aman sebagai antihipertensi ringan dengan i.v. infusi drip dan juga

138 | B A N U 4

mempunyai efek neuroproteksi, dan hati-hati pada gangguan fungsi hati dan

ginjal.

Na-nitroprusside merupakan pilihan pada hipertensi krisis seperti pilihan pada

hipertensi dengan tekanan darah sistolik >230 mmHg atau diastolik >140

mmHg atau >230/140 mmHg, namun harus diberikan secara hati-hati karena

dapat terjadi peninggian tekanan intrakranial dan terjadi edem serebri,

vascular steal, dan sebaiknya jangan diberikan bila ada kecurigaan tekanan

intrakranial meninggi. Juga sering menyebabkan hipotensi (overshoot

hypotension) karena efek vasodilatasi yang cepat dan kuat sehingga

sebaiknya diberikan di ruang rawat intensif karena memerlukan pengawasan

titrasi. Juga hati-hati atau kontraindikasi pada sindrom koroner akut, infark

miokardial akut, gagal ginjal, thiocyanate and cyanide toxicity khususnya pada

gagal ginjal.

Ringkasan dan kesimpulan

Gangguan serebrovaskular atau stroke pada dewasa ini merupakan

masalah kesehatan di seluruh dunia, di negara maju maupun di negara yang

sedang berkembang.

Hipertensi memegang peranan penting pada penatalaksanaan stroke akut

dan merupakan faktor risiko stroke terpenting pada semua usia khususnya

usia tua, sehingga penanganan hipertensi yang baik dan efektif merupakan

sasaran utama dalam usaha penatalaksanaan stroke akut maupun

pencegahan stroke.

Kepustakaan

1. James, P.A., Oparil, S., Carter, B.L., Cushman, W.C., Dennison-Himmelfarb,

C., Handler, J. 2014. Evidence-Based Guideline for the Management of High Blood Pressure in Adults: Report from the Panel Members Appointed to the JNC 8. Jama. Doi.10.1001, December 18, 2013. Available from: http://jama-jamanetwork.com.

2. Jauch, E.C., Saver, J.L., Adams, H.P., Bruno, A., Connors, J.J.B., Demaerschalk, B.M., et al. 2013. Guidelines for the early management of patients with acute ischemic stroke: A Guideline for healthcare profesionals

139 | B A N U 4

from the American Heart Association/American stroke Association. Stroke. 44: 870-947.

3. Greer, D.M. 2004. acute stroke and other neurologic emergencies. In: Layon, A.J., Gabrielli, A., Friedman, W.A., Eds. Textbook of Neurointensive care. Philadelphia: Saunders. 397-436.

4. Hacke, W., Kaste, M., Olsen, T.S., Bogousslavsky, J., Orgogozo, J.M. 2000. Acute treatment of ischemic stroke. Cerebrovasc Dis. 10 (supp3): 22-33.

5. Hennerici, M.G., Shinobara, Y. 2013. Comparison of stroke guidelines: Similarities and differences between Japanese and European recommendations for the management and prevention of acute ischemic and hemorrhagic stroke. Cerebrovasc dis. 35: 399-401.

6. Kim, M.A., Wagner, J., Segil, C., Leviner, Sung, G.Y. 2010. Ischemic stroke. In Torbey MT, Eds. Neurocritical Care. Tokyo: Cambridge University Press. 133-142.

7. Topcuoglu, M.A., Ay, H. 2014. Management of stroke: General principles. In: Norrvings, B., Ed. Oxford Textbook of Stroke and Cerebrovascular Disease. New York: Oxford University Press. 106-123.

8. Venkatachalam, T., McFadden, C.B. 2012. Management of systemic blood pressure in the Neuro ICU. In: Lee, K., ed. The NeuroICU book. Toronto: McGraw Hill. 796-806.

9. Willey, J.Z. 2012. Acute ischemic stroke in: Lee, K., Ed. The NeuroICU book. Toronto: Mcgraw Hill. 91-122.

10. Zaidi, G., Chichra, A., Weitzen, M., Narasimhan, M. 2013. Blood pressure control in neurological ICU patients: What is to high and what is the low? The Open Critical Care Medicine Journal. 6 (supp 1: M3) 46-55.

140 | B A N U 4

PENATALAKSANAAN OVERACTIVE BLADDER

PADA LANJUT USIA

Ida Bagus Kusuma Putra Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Abstrak

Overactive bladder (OAB) adalah suatu kondisi yang ditandai dengan adanya

gejala urgensi dengan atau tanpa inkontinensia. Angka kejadian secara

umum dari OAB sekitar 20-40% dari seluruh inkontinensia urin dengan

kecenderungan meningkat sesuai dengan pertambahan usia. Anamnesis dan

pemeriksaan fisik dilakukan secara menyeluruh, terutama status urologis dan

ginekologis. Pemeriksaan penunjang dasar yang dianjurkan yaitu urinalisis,

pemeriksaan gula darah, dan uji urodinamik sederhana. Baku emas dalam

mendiagnosis OAB adalah kartu catatan berkemih (bladder diary). Setelah

diagnosis OAB ditegakkan, pasien diberi terapi kombinasi antara behavioral

therapy dan obat anti muskarinik.

Definisi

Overactive bladder (OAB) adalah suatu kondisi yang ditandai dengan

adanya gejala urgensi dengan atau tanpa inkontinensia (Tanago EA,

2008;,Seputra KP, 2011; Widjanarko S, 2011). Gejala lain yang berkaitan

adalah frekuensi dan nokturia, tanpa kelainan patologis maupun metabolik.

Urgensi didefinisikan sebagai rasa ingin berkemih mendadak yang sulit

ditahan, sedangkan frekuensi didefinisikan sebagai berkemih lebih dari 8 kali

per 24 jam. Nokturia didefinisikan sebagai bangun tidur lebih dari 1 kali saat

malam untuk berkemih (Seputra KP, 2011).

Epidemiologi

Angka kejadiannya diperkirakan melebihi dari yang selama ini tercatat,

karena banyak yang tidak dilaporkan dan diobati. Angka kejadian secara

umum dari OAB sekitar 20% hingga 40% dari seluruh inkontinensia urin

dengan kecenderungan meningkat sesuai dengan pertambahan usia.

141 | B A N U 4

Prevalensi OAB di Eropa dari 16.776 responden yang berusia diatas 40 tahun

adalah sebesar 16% pada pria dan 17% pada wanita. Prevalensinya adalah

3% pada pria yang berusia 40-44 tahun, 9% pada wanita yang berusia 40-44

tahun, 42% pada pria berusia 75 tahun atau lebih dan 31% pada wanita

berusia 75 tahun atau lebih. Data yang sama juga dilaporkan di Amerika

Serikat. Angka insidensi OAB diestimasikan 10- 15% pada pria dan wanita

yang berusia 10-50 tahun, meningkat 35% pada yang berusia lebih dari 75

tahun.3 Survei yang dilakukan di Poliklinik Usia Lanjut RSCM Jakarta pada

tahun 2002 didapatkan prevalensi OAB sebesar 21,2% (45,5% wanita dan

54,4% pria). Selain usia, yang menjadi faktor risiko terjadinya OAB adalah

paritas, cara persalinan, menopause, obesitas, dan adanya riwayat operasi

histerektomi atau operasi ginekologi sebelumnya (Vaughan CP, 2011).

Diagnosis

Anamnesis teliti terutama untuk mengetahui ada tidaknya urgensi,

frekuensi dan nokturia serta menyingkirkan penyebab lain yang memiliki

gejala yang mirip, misalnya infeksi saluran kemih, batu dan tumor kandung

kemih. Poliuri juga didapatkan pada pasien diabetes melitus atau pasien

dalam pengobatan diuretik. Keluarnya urin yang tidak disadari pada saat

aktivitas yang meningkatkan tekanan intra-abdomen, seperti batuk, bersin

dan tertawa, didapatkan pada stress urinary incontinence (Tanagho EA, 2008;

Djatisoesanto W, 2011). Pemeriksaan fisik dilakukan secara menyeluruh,

terutama status urologis dan ginekologis. Rectal touche dilakukan untuk

menilai tonus sfingter ani dan refleks bulbokavernosus (BCR), mencari

kemungkinan adanya masa di rektum dan menilai keadaan prostat (Purnomo

BB, 2000). Kelainan urologis seperti BPH bisa menyebabkan over flow urinary

incontinence, yaitu keluarnya urin yang tidak disadari akibat dari over distensi

buli-buli karena obstruksi traktus urinarius bagian bawah. Stress urinary

incontinence lebih sering terjadi pada wanita yang pernah melahirkan.

142 | B A N U 4

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dianjurkan yaitu urinalisis dan

pemeriksaan gula darah. Urinalisis untuk menyingkirkan hematuria, piuria,

bakteriuria, glukosuria dan proteinuria, sedangkan pemeriksaan gula darah

untuk mendeteksi adanya diabetes melitus. Uji urodinamik sederhana dapat

dilakukan. Sisa urin pasca berkemih (post-void residual urine volume) perlu

diperkirakan pada pemeriksaan fisis. Pengukuran spesifik dapat dilakukan

dengan kateterisasi urin. Normalnya, sisa urin kurang dari 50 mL. Bila lebih

dari 200 mL, menandakan adanya overflow bladder (Tanagho EA, 2008).

Stress test dikerjakan dengan melihat ada tidaknya rembesan urin pada saat

dilakukan penekanan abdomen. Tes tersebut juga dikerjakan ketika kandung

kemih penuh dan ada desakan keinginan untuk berkemih, dimana pasien

diminta untuk batuk ketika sedang diperiksa dalam posisi litotomi atau berdiri.

Merembesnya urin seringkali dapat dilihat pada stress urinary incontinence.

Gold standard dalam mendiagnosis OAB adalah kartu catatan berkemih

(bladder diary) (Widjanarko S, 2001). Dicatat misalnya waktu berkemih dan

jumlah urin yang keluar, baik secara normal, maupun karena tak-tertahan,

setidaknya dalam tiga hari terakhir. Urgensi diklasifikasikan dalam 5 kategori,

mulai kategori 1 (berkemih masih bisa ditahan) hingga 5 (tak tertahan).

Penatalaksanaan

Setelah diagnosis OAB ditegakkan, pasien diberi terapi kombinasi antara

behavioral therapy dan obat anti muskarinik (Wyman JF, 2010; Thuroff J,

2006). Terapi kombinasi dipilih karena lebih efektif bila dibandingkan dengan

satu macam terapi saja. Behavioral therapy meliputi edukasi, berpantang

makanan dan minuman yang bisa meningkatkan frekuensi berkemih, tidak

terlalu banyak minum saat malam hari, latihan menahan kemih (bladder

training) dan fisioterapi. Latihan menahan kemih (memperpanjang interval

waktu berkemih) dilakukan dengan teknik relaksasi dan distraksi sehingga

frekuensi berkemih 6-7x/hari. Pasien diharapkan dapat menahan keinginan

berkemih bila belum waktunya. Dianjurkan berkemih pada interval waktu

tertentu, mula-mula setiap jam, selanjutnya diperpanjang secara bertahap

143 | B A N U 4

sampai ingin berkemih setiap 2-3 jam. Obat yang dipilih berasal dari golongan

antimuskarinik, karena bisa meningkatkan kapasitas kandung kemih dan

mengurangi frekuensi kontraksi involunter dari kandung kemih. Efek samping

obat ini karena afinitasnya terhadap reseptor muskarinik M3 organ lain yang

menyebabkan mulut kering, konstipasi dan pandangan kabur. Obat anti

muskarinik antara lain oxybutinin, tolterodine, solifenacin, trospium,

darifenacin, dan flavoxate. Masing-masing obat memiliki afinitas berbeda

terhadap reseptor muskarinik M3, yang selanjutnya berpengaruh terhadap

efek samping. Tolterodine dikatakan bladder selective, dengan efek samping

mulut kering minimal (Lai HH, 2002; Clemett D, 2001). Pasien OAB yang tidak

menunjukkan perbaikan gejala, setelah terapi selama 2-3 bulan sebaiknya

dirujuk ke ahli urologi.

Daftar Pustaka

Clemett, D., Jarvis, B. 2001. Tolterodine: A Review of Its Use in the Treatment of Overactive Bladder. Drugs Aging. 18(4):277-304. Djatisoesanto, W. 2011. Inkontinensia Urine. Naskah Lengkap Pendidikan Urologi Berkelanjutan IV – Lower Urinary Tract Dysfunction. Malang. p.68-70. Lai, H.H., Boone, T.B., Appell, R.A. 2002. Selecting a Medical Therapy for Overactive Bladder. Rev Urol. 4 (Suppl. 4):S28–S37. Purnomo, B.B. 2000. Dasar-Dasar Urologi. Jakarta: Sagung Seto. p.22. Seputra, K.P. 2011. Overactive Bladder. Naskah Lengkap Pendidikan Urologi Berkelanjutan IV – Lower Urinary Tract Dysfunction. Malang. p.72. Tanagho, E.A., Bella, A.J., Lue, T.F. 2008. Urinary Incontinence. In: Tanagho, E.A., McAninch, editors. Smith's General Urology. 17th ed. USA: McGraw Hill. p.473-89. Thuroff, J. 2006. Guidelines on Urinary Incontinence. European Association of Urology. 5-12. Vaughan, C.P. 2011. The Prevalence of Clinically Meaningful Overactive Bladder: Bother and Quality of Life Results from the Population-Based FINNO Study. Eur Urol. Apr: 59(4):629-36.

144 | B A N U 4

Widjanarko, S. 2011. Management on Overactive Bladder. Naskah LEngkap Pendidikan Urologi Berkelanjutan IV – Lower Urinary Tract Dysfunction. Malang. p.33-54. Wyman, J.F. 2010. Effects of Combined Behavioral Intervention and Tolterodine on Patient-Reported Outcomes. Can J Urol. Aug:17(4):5283-90.

145 | B A N U 4

MYASTHENIA GRAVIS PADA USIA LANJUT

Ni Made Susilawathi Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Pendahuluan

Myasthenia gravis (MG) adalah penyakit autoimun yang ditandai

dengan kelemahan otot yang bersifat fluktuatif, memberat setelah beraktivitas

dan membaik dengan istirahat.1 MG merupakan gabungan kelainan

neuromuscular junction (NMJ) dengan penyakit autoimun.2 MG sering

terdiagnosis pada usia muda terutama pada wanita yang berhubungan

dengan kelainan pada kelenjar timus, tetapi pada beberapa tahun terakhir ini

terjadi peningkatan kasus MG pada usia tua.3

Epidemiologi

Kejadian MG di Amerika Serikat sekitar 20 per 100.000 penduduk

dengan distribusi usia dan jenis kelamin sebagai berikut: di bawah 40 tahun

wanita: pria 3:1, antara 40-50 tahun perbandingan wanita sama dengan pria,

sedangkan diatas 50 tahun MG sering terjadi pada pria.1

MG merupakan penyakit neuromuskular yang sering ditemukan dengan

angka kejadiannya semakin meningkat terutama pada usia tua, diatas 50

tahun.2,4,5,6 Peningkatan kasus MG yang terjadi akibat kemampuan

penegakan diagnosis dan fasilitas perawatan intensif yang lebih baik, serta

harapan hidup yang meningkat.2 Kelemahan otot pernapasan yang

menimbulkan krisis miastenik terjadi sekitar 15%.5

Klasifikasi

Klasifikasi MG berdasarkan subtipe terdiri dari:1

1. early-onset MG: usia <50 tahun. thymus hiperplasia, sering pada wanita

2. late-onset MG: usia >50 tahun. thymus atropi, sering pada pria

3. thymoma-associated MG (10%–15%)

4. MG with anti-MUSK antibodies

5. ocular MG (oMG): gejala hanya terbatas pada otot ekstraokular

146 | B A N U 4

6. MG with no detectable AChR and muscle-specific tyrosine kinase (MuSK)

antibodies.

Pada late-onset MG (LOMG) juga dapat dibagi menjadi non-elderly LOMG

(50-64 tahun) dan elderly LOMG (> 65 tahun).4

Berdasarkan Myasthenia Gravis Foundation of America Clinical Clasification

(MGFA), distribusi dan derajat MG dibedakan menjadi:1,7

Klas I MG okular

Klas II

IIa

IIb

MG umum ringan

Predominan otot tungkai/ rangka

Predominan otot orofaringeal/ pernapasan

Klas III

IIIa

IIIb

MG umum sedang

Predominan otot tungkai/ rangka

Predominan otot orofaringeal/ pernapasan

Klas IV

Iva

IVb

MG umum berat

Predominan otot tungkai/ rangka

Predominan otot orofaringeal/ pernapasan

Klas V MG dengan intubasi

Patogenesis

Pada kondisi normal NMJ terdiri dari tiga komponen yaitu: 1) daerah

presinap yang terdiri dari saraf motor terminal dimana acetylcholine (ACh)

disintesa, disimpan dan dikeluarkan; 2) daerah celah sinaptik dan 3) daerah

postsinap yang terdiri dari reseptor acetylcholine (AChR). Transmisi

neuromuskular dimulai adanya aksi potensial pada saraf terminal, memicu

pengeluaran ACh ke celah sinaptik yang akan berinteraksi dengan AChR

pada postsinap dan menimbulkan depolarisasi (end plate potential) yang

berakibat adanya kontraksi otot. Aktifitas ACh pada membran postsinap akan

di akhiri oleh enzim acethylcholineesterase.7

Pada pasien MG ditemukan antibodi terhadap AChR (anti-AChR antibodies)

di postsinap yang menimbulkan kegagalan transmisi neuromuskular sehingga

terjadi kelelahan dan kelemahan otot.1,7,8 Penurunan jumlah AChR akibat

aktivitas kompetitif antibodi AChR menyebabkan produksi end plate potential

147 | B A N U 4

berkurang sehingga menurunkan kontraksi otot.8 Ada tiga mekanisme

gangguan transmisi neuromuskular pada MG yaitu: 1) antibodi AChR

menghambat ikatan ACh pada AChR; 2) Serum IgG pasien myasthenia dapat

meningkatkan kecepatan degradasi AChR akibat terjadinya ikatan silang IgG

pada AChR; 3) antibodi AChR menyebabkan aktifnya ikatan komplemen yang

menimbulkan kerusakan membran postsinap.7,8

Gambar 1.

a. NMJ normal; b. Mekanisme AChR antibodies pada pasien MG.7

Sebagian besar pasien MG memiliki kelenjar timus yang abnormal, lebih dari

50% pasien MG dengan anti-AChR antibodi positif dengan thymus

hyperplasia dan 10-15% dengan tumor timus.7

Adanya Timoma sering berhubungan dengan kasus autoimun. Sel epithelial

neoplasma dapat mengekspresikan berbagai antigen mirip dengan dirinya

sendiri (self-like antigens) seperti AChR-like, titin-like dan ryanodine-receptor-

like (RyR) epitope. Kemudian antibodi beraksi terhadap epitope pada reseptor

ACh, protein otot titin dan reseptor ryanodine yang sering ditemukan pada MG

dengan timoma.1,9

Pada subgrup late onset MG (LOMG) termasuk di dalamnya kelompok

antibodi AChR positif, non-thymoma, MG umum dengan onset lebih dari 50

tahun. Pada LOMG sering ditemukan atropi timus dengan kadar antibodi

AChR lebih rendah dibandingkan usia muda. Separuh dari pasien LOMG

mempunyai antibodi titin dan RyR.9

148 | B A N U 4

Gejala klinis

MG merupakan penyakit neuromuskular autoimun kronik dengan

gejala utama kelemahan yang berfluktuatif, yang memberat dengan aktivitas

yang berulang dan membaik dengan istirahat. Kelemahan mengenai otot

skeletal tertentu seperti: otot okular, ekstremitas bagian proksimal, leher dan

pernapasan yang sering diperberat oleh panas, infeksi dan stres.1,8

Kelemahan otot okular menimbulkan ptosis dan diplopia. Ptosis bisa terjadi

unilateral atau bilateral, dapat dibangkitkan dengan melihat ke atas selama

beberapa detik. Otot ekstraokular yang paling sering terkena adalah muskulus

rektus medialis dengan refleks pupil normal.1,8

Kelumpuhan otot bulbar sering terjadi selama perjalanan penyakit MG pada

60% pasien dengan keluhan kesulitan mengunyah terutama makanan padat

dengan kemampuan menutup rahang lebih lemah dibandingkan membuka

rahang.1

Kelemahan otot ekstremitas dapat terjadi terutama di daerah proksimal yang

mirip dengan myopati, lengan atas lebih sering terlibat dibandingkan tungkai

bawah. Otot leher bagian ekstensor dan fleksor juga sering terkena

menimbulkan “drop head syndrome”.1

Keterlibatan otot-otot pernapasan menimbulkan krisis myastenik yang

merupakan kegawat-daruratan neurologi dan memerlukan ventilasi mekanik

di ruangan intensif. Faktor pencetus terjadinya krisis myastenik antara lain

infeksi dan obat-obatan (aminoglikosida, fluokuinolon, neuromuskular blok,

magnesium sulfat, beta bloker).1,7,8

MG pada lansia secara klinis sulit terdiagnosis,4,6 bahkan sering terdiagnosis

sebagai Transient ischemic attack (TIA) atau stroke karena gejala yang

dikeluhkan hampir sama berupa kelemahan otot, kelelahan, dan gangguan

berbicara dan menelan.2,4 Diagnosis MG perlu dipertimbangkan pada lansia

bila menemukan gejala bulbar yang tidak diketahui penyebabnya.4 Ptosis sulit

di diagnosis pada lansia karena ada penurunaan kelopak mata sejalan

dengan meningkatnya usia. Diplopia sering tidak dikeluhkan karena

penurunan tajam penglihatan akibat degenerasi makula dan katarak.6

149 | B A N U 4

Keterlambatan mendiagnosis MG pada lansia sering menimbulkan krisis

myastenik.4

Penegakan Ddiagnosis

Diagnosis MG berdasarkan anamnesis dan gejala klinis yang khas MG

berupa kelemahan otot yang bersifat fluktuatif. Penegakan diagnosis ini

didukung oleh pemeriksaan penunjang antara lain: elektrofisiologi,

pemeriksaan antibodi spesifik MG (anti AChR) dan tes farmakologi.1,8,9

a. Tes Tensilon (Edrophonium Chloride)

Edrophonium Chloride merupakan acetylcholinesterase inhibitor kerja

cepat yang dapat meningkatkan lamanya aktivitas ACh di NMJ.

Pemberian secara intravena, kemudian pasien di observasi perbaikan

kekuatan otot terutama pada ptosis dan pergerakan otot ekstraokular.

Perlu dimonitor kondisi jantung dan tekanan darah karena dapat

menimbulkan aritmia dan hipotensi. Atropin harus tersedia saat

melakukan tes tensilon. Sensitivitas tes tensilon untuk diagnosis MG

mencapai 71.5-95 %.1,8

b. Tes Ice Pack

Pemeriksaan ice pack adalah tes non farmakologi pada MG dengan

ptosis bila uji tensilon kontraindikasi. Pengerjaannya dengan meletakkan

kantong es pada mata yang ptosis selama 2-5 menit dan mengevaluasi

perbaikan ptosis.1

c. Tes Elektrofisiologi

Pemeriksaan elektrofisiologi dengan mengerjakan repetitive nerve

stimulation (RNS) dan single fiber electromyography (SFEMG). RNS

dikerjakan dengan menstimulasi saraf supramaksimal pada 2-3 Hz. Pada

MG akan terjadi penurunan 10% evoked muscle action potensial antara

pertama dan kelima. Tes ini abnormal pada 75% MG umum dan 50% MG

okular. SFEMG merupakan pemeriksaan yang paling sensitif untuk

diagnosis MG. Pemeriksaan ini menggunakan jarum yang khusus untuk

mengindentifikasi potensial aksi serabut otot. Pada pasien MG ditemukan

abnormal jitter pada 95-99%, bila dilakukan pada otot yang tepat.

150 | B A N U 4

Sensitivitas tes ini sekitar 85% pada MG umum dan 50% pada MG

okular.1,8,9

d. Pemeriksaan reseptor antibodi

Diagnosis MG dapat didukung dengan pemeriksaan antibodi AChR pada

serum. Tes ini positif sekitar 85% pasien MG. Bila pada pasien MG tidak

ditemukan antibodi AChR, perlu diperiksa antibodi yang lain sebagai

penyebab MG misalnya antibodi MuSK.1,9 Pada pasien MG dengan

timoma dan LOMG juga ditemukan adanya antibodi terhadap protein

sitoplasmik otot antara lain: titin, myosin dan reseptor ryanodine.8,9

e. CT scan thorax atau MRI.

Pemeriksaan radiologi ini dikerjakan pada pasien MG untuk

menyingkirkan adanya timoma.1,8

f. Pemeriksaan fungsi tiroid.

Pasien MG dapat disertai dengan penyakit tiroid, sehingga perlu

dilakukan pemeriksaan fungsi tiroid pada awal penegakan diagnosis

MG.1,8

Saat mendiagnosis pasien MG perlu ditegakkan derajat keparahan MG untuk

menentukan penatalaksanaan lebih lanjut.9

Penatalaksanaan

Pengobatan MG berdasarkan patofisiologi penyakit dengan

meningkatkan jumlah asetilkolin dengan pemberian asetilkolinesterase

inhibitor dan menurunkan ikatan antibodi pada reseptor asetilkolin dengan

terapi imunosupresan. Prinsip terapi pada pengobatan MG dapat dibagi

menjadi:1

1. Terapi simptomatik dengan asetilkolinesterase inhibitor

2. Terapi immunomodulator jangka pendek dengan plasmaparesis dan

immunoglobulin intravena

3. Terapi immunomodulator jangka panjang dengan glukokortikoid dan

imunosupresan

4. Pembedahan

151 | B A N U 4

Pemberian steroid masih merupakan terapi pilihan immunosupresan jangka

panjang pada MG dan sering dikombinasi dengan immunosupresan lainnya

(misalnya azathioprine) untuk mengurangi efek samping. Pengobatan MG

pada lansia merupakan tantangan karena adanya penyakit penyerta serta

efek samping pengobatan dari asetilkolinesterase inhibitor dan steroid yang

lebih tinggi dari usia muda.2,5

Timektomi merupakan standar terapi pada pasien MG usia muda (<45 tahun)

dengan atau tanpa timoma, sedangkan MG pada lansia, timektomi hanya

disarankan pada pasien dengan bukti kuat adanya timoma dan

mempertimbangkan komorbiditas pasien serta komplikasi yang akan

terjadi.4,5

Prognosis

MG pada usia lanjut yang dikenal dengan LOMG semakin sering

dijumpai seiring dengan meningkatnya harapan hidup. Prognosis pada LOMG

umumnya baik, walaupun remisi total jarang ditemukan.10,11 Pada LOMG

ditemukan kadar AChR yang rendah, sehingga memiliki respon yang sangat

baik dengan terapi MG.10 Derajat keparahan, efek samping pengobatan dan

adanya timoma mempengaruhi mortalitas pada pasien LOMG.11 Pada pasien

MG usia lanjut memiliki komorbiditas dengan penyakit lain lebih tinggi

dibandingkan usia muda sehingga penatalaksanaan kasus LOMG lebih

komprehensif.3,5

Daftar Pustaka

1. Trouth, A.J., Dabi, A., Solieman, N., Kurukumbi, M., Kalyaman, J. 2012.

Myasthenia Gravis: A Review. Hindawi Publishing Corporation. Autoimune Diseases. Article ID 874680, 10 pages. doi:10.1155/2012/874680.

2. Binks, S., Vincent, A., Palace, J. 2016. Myasthenia gravis: a clinical-

immunological update. J Neurol. 263:826-834. 3. Nishikawa, N., Nagai, M., Tsujii, T., Kyaw, W., Tanabe, N., Iwaki, H., et

al. 2015. Treatment of Myasthenia Gravis in Patients with Elderly Onset

152 | B A N U 4

at Advanced Age. Japanese Clinical Medicine. 6:9-13. doi:10.4137/JCM.s29601.

4. Ardhalapudi, S., Adiotomre, J. 2010. Myasthenia gravis in the elderly.

Midlife and Beyond. GM. p 241-5. www.gerimed.co.uk. 5. Sakai, W., Matsui, N., Ishida, M., Furukawa, T., Miyazaki, Y., Fujita, K., et

al. 2016. Late-onset myasthenia gravis is predisposed to become generalized in the elderly. eNeurologicalSci. 2:17–20.

6. Aarli, J.A. 2008. Myasthenia gravis in the elderly: Is it different. Ann N Y

Acad Sci. 1132:238-43. 7. Meriggioli, M.N. 2009. Myasthenia Gravis with Anti-acethylcholine

reseptor antibodies. In: Pourmand, R., editor. Immune-Mediated Neuromuscular Diseases. Front Neurol Neurosci. Basel, Karger. Vol. 26. pp 94–108.

8. Adams and Victors. 2005. Myasthenia Gravis and Related Disorders of

the neuromuscular junction. In: Adams and Victors. Principle of Neurology. 8th ed. p 1262-1398.

9. Romi, F., Gilhus, N.E., Aarli, J.A. 2005. Myasthenia gravis: clinical,

immunological, and therapeutic advances. Acta Neurol Scand. 111: 134-141.

10. Hellman, M.A., Mosberg-Galili, R., Steiner, I. 2013. Myasthenia gravis in

the elderly. Journal of The Neurological Sciences. 325(1-2): 1-5. 11. Evoli, A., Batocchi, A.P., Minisci, C., DI-Schino, C., Tonali, P. 2000.

Clinical characteristics and prognosis of myasthenia gravis in older people. J Am Geriatr Soc. 48(11):1442-8.

153 | B A N U 4

GANGGUAN MENELAN PADA USIA LANJUT

(SWALLOWING PROBLEMS IN ELDERLY)

Putu Budi Muliawan Bagian/ SMF Neurologi RSUD Klungkung

ABSTRAK

Disfagia (kesulitan menelan) semakin menjadi perhatian penting pada

populasi usia lanjut. Menurunnya fisiologi menelan yang berhubungan

dengan usia, begitu juga kemunculan penyakit yang berhubungan dengan

usia lanjut merupakan faktor predisposisi terjadinya disfagia pada usia lanjut.

Pada umumnya proses menelan dapat dibagi menjadi fase oral, fase

oropharyngeal dan fase esophageal. Tahap volunter terjadi pada fase oral

yang mencetuskan proses menelan. Tahap involunter terjadi pada fase

oropharyngeal dan fase esophageal.

Ada 2 jenis disfagia yaitu oropharyngeal dysphagia kesulitan pada saat

memulai proses menelan dan esophageal dysphagia dimana terdapat

sensasi terganjalnya makanan dan atau cairan dalam perjalanan dari mulut

menuju lambung.

Ada bermacam-macam penyebab dari disfagia, antara lain penyakit-penyakit

neurologi, progressive disease serta pada keadaan lainnya sepeti tumor,

radiasi ataupun kemoterapi. Untuk memastikan adanya disfagia dapat melalui

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang lainnya. Komplikasi yang

sering terjadi pada disfagia adalah malnutrisi dan pneumonia. Terdapat

berbagai penatalaksanaan yang bervariasi pada penderita dengan disfagia,

sesuai dengan situasi kondisi dari masing-masing penderita.

Kata kunci: Usia lanjut, Menelan, Disfagia, Malnutrisi, Pneumonia

Pendahuluan

Angka harapan hidup merupakan salah satu tolok ukur kemajuan

suatu bangsa. Populasi orang lanjut usia akan bertambah seiring dengan

154 | B A N U 4

kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi serta kemajuan di bidang sosial

ekonomi masing masing negara.

Pada populasi usia lanjut dikatakan akan mengalami atau terdapat perubahan

struktural dan perubahan seluler organ organ tubuh. Gangguan fungsi

biasanya terjadi apabila terdapat proses patologis pada organ tertentu atau

bila terjadi stres lain yang memperberat beban dari organ yang sudah mulai

terjadi penurunan fungsi dan penurunan anatomis.

Disfagia (kesulitan menelan) semakin menjadi perhatian penting pada

populasi usia tua. Menurunnya fisiologi menelan yang berhubungan dengan

usia, begitu juga kemunculan penyakit yang berhubungan dengan usia tua

merupakan faktor predisposisi terjadinya disfagia pada usia tua. Di Amerika

Serikat, disfagia mengenai 300.000–600.000 orang setiap tahunnya.

Meskipun prevalensi yang pasti dari disfagia pada kondisi klinis yang berbeda

belum dapat ditentukan, namun estimasi umum menunjukkan 15% populasi

usia tua mengalami disfagia. Disamping itu, berdasarkan hasil sebuah

penelitian, frekuensi rujukan kasus disfagia yang mengenai usia tua pada

sebuah rumah sakit tersier pendidikan dari tahun 2002 – 2007 meningkat

sebanyak 20%, dimana kasus rujukan diatas usia 60 tahun dijumpai sebanyak

70%. Dari hasil sensus penduduk Amerika Serikat menunjukkan pada tahun

2010 jumlah populasi berusia diatas 65 tahun adalah sebanyak 40 juta jiwa.

Angka statistik tersebut menunjukkan sekitar 6 juta jiwa penduduk usia tua

berada dalam risiko mengalami disfagia.

Setiap gangguan proses menelan dapat dimasukkan sebagai disfagia.

Individu dengan defisit anatomis ataupun fisiologis yang melibatkan rongga

mulut, faring, laring, dan esofagus dapat memperlihatkan tanda dan gejala

disfagia. Disamping itu, disfagia mengakibatkan beragam status kesehatan

negatif; terutama, peningkatan risiko malnutrisi dan pneumonia.

Fisiologi Menelan

Menelan adalah mekanisme yang kompleks, terutama karena faring

membantu fungsi pernapasan dan menelan, hal yang terutama terpenting

adalah bahwa respirasi tidak terganggu oleh proses menelan.

155 | B A N U 4

Pada umumnya menelan dapat dibagi menjadi: (1) tahap volunter yang

mencetuskan proses menelan, (2) tahap pharyngeal yang bersifat involunter

dan membantu jalannya makanan melalui faring ke dalam esofagus, dan (3)

tahap esophageal yaitu fase involunter lain yang mengangkut makanan dari

faring ke lambung.

Tabel 1. Tahapan Menelan Berdasarkan Fase

Makanan memasuki rongga mulut Fase oral

Mastikasi (mengunyah) dan bolus formation

Elevasi lidah dan mendorong bolus ke dalam faring

Fase

orofaringeal

Elevasi palatum mole untuk menutup nasofaring

Laring dan tulang hyoid bergerak ke depan dan ke atas

Epiglotis bergerak ke belakang dan ke bawah untuk

menutup

Respirasi berhenti

Faring memendek

Relaksasi upper esophageal sphincter

Fase esofageal

Bolus bergerak menuju esophagus

Esofagus berkontraksi (gerakan peristaltik)

Relaksasi lower esophageal sphincter

Bolus mencapai lambung

Selama proses menelan, otot-otot berkontraksi secara berurutan dan secara

teratur dipicu dengan dorongan kortikal atau input sensoris perifer. Begitu

proses menelan dimulai, jalur aktivasi otot berurutan dan konstan tidak dapat

dihentikan.

Deglutition adalah tindakan menelan, dimana bolus makanan atau cairan

dialirkan dari mulut menuju faring dan esofagus ke dalam lambung.

Deglutition normal adalah suatu proses halus terkoordinasi yang melibatkan

suatu rangkaian rumit kontraksi neuromuskuler volunter dan involunter dan

dan dibagi menjadi bagian yang berbeda yaitu oral, faringeal, dan

esophageal. Masing-masing fase memiliki fungsi yang spesifik, dan jika

156 | B A N U 4

tahapan ini terganggu oleh kondisi patologis, gejala spesifik dapat terjadi.

Pada tahapan menelan dapat terjadi hal-hal berikut:

a. Fase Oral

Fase persiapan oral merujuk kepada pemrosesan bolus sehingga

dimungkinkan untuk ditelan, dan fase propulsif oral berarti pendorongan

makanan dari rongga mulut ke dalam orofaring. Prosesnya dimulai dengan

kontraksi lidah dan otot-otot rangka mastikasi. Otot bekerja dengan cara yang

berkoordinasi untuk mencampur bolus makanan dengan saliva dan dan

mendorong bolus makanan dari rongga mulut di bagian anterior ke dalam

orofaring, dimana reflek menelan involunter dimulai. Serebelum

mengendalikan output untuk nuklei motoris nervus kranialis V (trigeminal), VII

(fasialis), dan XII (hipoglossal). Dengan menelan suatu cairan, keseluruhan

urutannya akan selesai dalam 1 detik. Untuk menelan makanan padat, suatu

penundaaan selama 5-10 detik mungkin terjadi ketika bolus berkumpul di

orofaring.

b. Fase Faringeal

Fase faringeal ini sangat penting karena tanpa mekanisme perlindungan

faringeal yang utuh, aspirasi paling sering terjadi pada fase ini. Fase ini

melibatkan rentetan yang cepat dari beberapa kejadian yang saling tumpang

tindih. Palatum mole terangkat, tulang hyoid dan laring bergerak ke atas dan

ke depan. Pita suara bergerak ke tengah dan epiglottis melipat ke belakang

untuk menutupi jalan napas. Lidah mendorong ke belakang dan ke bawah

menuju faring untuk meluncurkan bolus ke bawah. Lidah dibantu oleh dinding

faringeal yang melakukan gerakan untuk mendorong makanan ke bawah.

Sfingter esofagus atas relaksasi selama fase faringeal untuk menelan dan

membuka oleh karena pergerakan os hyoid dan laring ke depan. Sfingter akan

menutup setelah makanan lewat dan struktur faringeal akan kembali ke posisi

awal. Fase faringeal pada proses menelan adalah involunter dan semua

proses ini adalah reflek jadi tidak ada aktivitas faringeal yang terjadi sampai

reflek menelan terpicu. Reflek ini melibatkan traktus sensoris dan motoris dari

nervus kranialis IX (glossofaringeal) dan X(vagus).

157 | B A N U 4

c. Fase Esophageal

Pada fase esophageal bolus didorong ke bawah oleh gerakan peristaltik.

Sfingter esofagus bawah relaksasi pada saat mulai menelan, relaksasi ini

terjadi sampai bolus makanan mecapai lambung. Tidak seperti sfingter

esofagus bagian atas, sfingter bagian bawah membuka bukan karena

pengaruh otot-otot ekstrinsik. Medulla mengendalikan reflek menelan

involunter ini meskipun menelan volunter dimulai oleh korteks serebri. Suatu

interval selama 8-20 detik diperlukan untuk kontraksi dalam mendorong bolus

ke dalam lambung.

Gambar 1. Anatomi dan Fisiologi Menelan

Sumber: Heart & Stroke Foundation, 2006. Management of Dysphagia in Acute Stroke: An Educational Manual for the Dysphagia Screening Professional, p.8.

Definisi Disfagia

Oropharyngeal dysphagia adalah kesulitan memulai proses menelan.

Esophageal dysphagia adalah sensasi terganjalnya makanan dan atau cairan

dalam perjalanannya dari mulut menuju lambung.

Yang penting ditanyakan dalam anamnesis adalah lokasi, tipe makanan dan

atau cairan, kejadian disfagia yang progresif atau intermiten, dan lama

keluhan/ gejala.

158 | B A N U 4

Patofisiologi Gangguan Menelan

Gangguan pada proses menelan dapat digolongkan sesuai dengan

tahapan atau fase daripada proses menelan itu sendiri.

a. Fase Oral

Gangguan pada fase oral mempengaruhi persiapan dalam mulut dan fase

pendorongan oral biasanya disebabkan oleh gangguan pengendalian lidah.

Pasien mungkin memiliki kesulitan dalam mengunyah makanan padat dan

permulaan menelan. Ketika meminum cairan, pasien kesulitan dalam

menampung cairan dalam rongga mulut sebelum menelan. Sebagai

akibatnya cairan tumpah terlalu cepat ke dalam faring yang belum siap

sehingga seringkali menyebabkan aspirasi.

Logemann's Manual for the Videofluorographic Study of Swallowing

mencantumkan tanda dan gejala gangguan menelan fase oral sebagai

berikut:

• Tidak mampu menampung makanan di bagian depan mulut karena tidak

rapatnya pengatupan bibir

• Tidak dapat mengumpulkan bolus atau residu di bagian dasar mulut karena

berkurangnya pergerakan atau koordinasi lidah

• Tidak dapat menampung bolus karena berkurangnya pembentukan oleh

lidah dan koordinasinya

• Tidak mampu mengatupkan gigi untuk mengurangi pergerakan mandibula

• Bahan makanan jatuh ke sulkus anterior atau terkumpul pada sulkus anterior

karena berkurangnya tonus otot bibir

• Posisi penampungan abnormal atau material jatuh ke dasar mulut karena

dorongan lidah atau pengurangan pengendalian lidah

• Penundaan onset oral untuk menelan oleh karena apraxia menelan atau

berkurangnya sensibilitas mulut

• Pencarian gerakan atau ketidakmampuan untuk mengatur gerakan lidah

karena apraksia untuk menelan

• Lidah bergerak kedepan untuk mulai menelan karena lidah kaku

• Sisa-sisa makanan pada lidah karena berkurangnya gerakan dan kekuatan

lidah

159 | B A N U 4

• Gangguan kontraksi (peristalsis) lidah karena diskoordinasi lidah

• Kontak lidah-palatum yang tidak sempurna karena berkurangnya

pengangkatan lidah

• Tidak mampu meremas material karena berkurangnya pergerakan lidah ke

atas

• Melekatnya makanan pada palatum durum karena berkurangnya elevasi

dan kekuatan lidah

• Bergulirnya lidah berulang pada Parkinson disease

• Bolus tidak terkendali atau mengalirnya cairan secara prematur atau

melekat pada faring karena berkurangnya kontrol lidah atau penutupan

linguavelar

• Piecemeal deglutition

• Waktu transit oral tertunda

b. Fase Faringeal

Jika pembersihan faringeal terganggu cukup parah pasien tidak akan mampu

menelan makanan dan minuman yang cukup untuk mempertahankan hidup.

Pada orang tanpa disfagia sejumlah kecil makanan tertahan pada valleculae

atau sinus pyriform setelah menelan. Dalam kasus kelemahan atau

kurangnya koordinasi dari otot-otot faringeal atau pembukaan yang buruk dari

sfingter esofagus atas, pasien menahan sejumlah besar makanan pada faring

dan mengalami aspirasi aliran berlebih setelah menelan.

Logemann's Manual for the Videofluorographic Study of Swallowing

mencantumkan tanda dan gejala gangguan menelan fase faringeal sebagai

berikut:

• Penundaan menelan faringeal

• Penetrasi nasal pada saat menelan karena berkurangnya penutupan

velofaringeal

• Pseudoepiglotis (setelah total laringektomi)–lipatan mukosa pada dasar

lidah

• Osteofit servikal

• Perlengketan pada dinding faringeal setelah menelan karena pengurangan

kontraksi bilateral faringeal

160 | B A N U 4

• Sisa makanan pada vallecular karena berkurangnya pergerakan posterior

dari dasar lidah

• Perlengketan pada depresi di dinding faring karena jaringan parut atau

lipatan faringeal

• Sisa makanan pada puncak jalan napas karena berkurangnya elevasi laring

• Penetrasi dan aspirasi laringeal karena berkurangnya penutupan jalan

napas

• Aspirasi pada saat menelan karena berkurangnya penutupan laring

• Stasis atau residu pada sinus piriformis karena berkurangnya tekanan

laringeal anterior

c. Fase Esophageal

Gangguan fungsi esophageal dapat menyebabkan retensi makanan dan

minuman di dalam esofagus setelah menelan. Retensi ini dapat disebabkan

oleh obstruksi mekanis, gangguan motilitas, atau gangguan pembukaan

sfingter esofagus bawah. Logemann's Manual for the Videofluorographic

Study of Swallowing mencantumkan tanda dan gejala gangguan menelan

pada fase esophageal sebagai berikut:

• Aliran balik esophageal ke faringeal karena kelainan esofagus

• Tracheoesophageal fistula

• Zenker diverticulum

• Refluks

Aspirasi

Aspirasi adalah kejadian masuknya makanan atau cairan melalui pita

suara. Seseorang yang mengalami aspirasi berisiko tinggi terkena

pneumonia. Beberapa faktor yang mempengaruhi efek dari aspirasi adalah

banyaknya, kedalaman, keadaan fisik benda yang teraspirasi, dan

mekanisme pembersihan paru. Mekanisme pembersihan paru antara lain

kerja silia dan reflek batuk. Aspirasi normalnya memicu refleks batuk yang

kuat. Jika ada gangguan sensoris, aspirasi dapat terjadi tanpa gejala.

161 | B A N U 4

Etiologi

Anamnesis yang lengkap membantu dokter dalam menentukan

bermacam-macam penyebab dari disfagia. Penyebab yang sering dari

disfagia adalah sebagai berikut:

• Stroke atau cedera otak traumatik (TBI)

• Motor neuron disease (Amyotrophic Lateral Sclerosis/ ALS)

• Parkinson disease dan penyakit degeneratif lainnya (apraksia)

• Poliomyelitis

• Multiple sclerosis

• Myasthenia gravis

• Myopati (dermatomyositis, myotonic dystrophy)

• Laringektomi

• Faringektomi, esofagektomi rekonstruksi dengan penarikan gastrik

• Pembedahan kepala dan leher

• Collar servical, spondilosis servical

• Ventilator-dependent patient

• Pasien tua

• Cerebral palsy

• Esophageal-faringeal backflow, tracheoesophageal (TE) fistula, Zenker

diverticulum, refluks

Efek Penuaan terhadap Fungsi Menelan

Fisiologi menelan mengalami penurunan seiring pertambahan usia.

Penurunan masa otot dan elastisitas jaringan penyangga mengakibatkan

penurunan kekuatan otot dan rentang pergerakan. Perubahan yang

berhubungan dengan penambahan usia ini dapat menimbulkan pengaruh

negatif terhadap efektifitas dan efisiensi dari material yang tertelan melewati

upper aerodigestive tract. Secara umum, pada usia tua dijumpai perlambatan

proses menelan. Oleh karena melambatnya mekanisme menelan, tahapan

oral preparation dari makanan membutuhkan waktu dan period of material

transits yang lebih lama. Dengan berjalannya waktu, penurunan ringan namun

kumulatif ini akan meningkatkan frekuensi dari material yang tertelan untuk

162 | B A N U 4

memasuki saluran nafas atas serta semakin meningkatnya jumlah residu

paska menelan selama makan. Di luar dari penurunan kemampuan motorik

ringan tersebut penambahan usia yang juga menurunkan kelembaban rongga

mulut, kemampuan pengecapan, dan kemampuan penghidu yang secara

keseluruhan akan menurunkan kemampuan menelan pada usia tua.

Meskipun adanya penurunan sensorimotorik pada individu usia tua yang

sehat dapat menimbulkan gangguan volunteer terhadap asupan diet namun

adanya penyakit usia tua merupakan faktor utama terjadinya disfagia yang

signifikan secara klinis pada usia tua.

Disfagia dan Sekuele yang Ditimbulkan

Risiko penyakit meningkat seiring pertambahan usia. Oleh karena

menelan merupakan proses yang kompleks, banyak permasalahan kondisi

kesehatan dapat mempengaruhi fungsi menelan. Penyakit neurologis,

keganasan kepala/ leher dan esofagus, serta gangguan metabolik merupakan

kategori penyakit yang dapat menimbulkan disfagia. Tabel 2 menyajikan

beragam kategori penyakit dan status kesehatan yang dapat berakibat negatif

terhadap kemampuan fungsional menelan.

Tabel 2. Kondisi yang dapat Menimbulkan Disfagia

Penyakit

neurologis

Stroke

Demensia

Traumatic Brain Injury

Myasthenia Gravis

Cerebral Palsy

Guillain-Barre syndrome

Poliomielitis

Myopati

Penyakit

progresif

Parkinson’s Disease

Huntington Disease

Penurunan fungsional yang berhubungan dengan usia

163 | B A N U 4

Rheumatoid

disease

Polidermatomiositis

Progressive Systemic Sclerosis

Sjogren Disease

Lain-lain

Tumor yang mengenai aerodigestive tract

Iatrogenik

Radioterapi

Kemoterapi

Trakeostomi

Berhubungan dengan efek obat

Gangguan respiratorik berat

Sumber: Groher ME, Crary MA. Dysphagia: Clinical Management in Adults and Children. Maryland Heights, MO: Mosby Elsevier; 2010.

Disfagia mengenai 68% usia tua yang menjalani rawat, 30% penderita usia

tua yang menjalani rawat inap di rumah sakit, 64% penderita setelah

mengalami serangan stroke, dan 13 - 38% penderita usia tua yang menjalani

hidup mandiri. Disamping itu, disfagia juga berhubungan dengan peningkatan

morbiditas dan mortalitas. Dua penyakit yang paling sering dijumpai pada usia

tua adalah stroke dan demensia. Pada tahun 2005, di Amerika Serikat,

sebanyak 2,6% usia dewasa yang tidak memeriksakan diri ke layanan

kesehatan (lebih dari 5 juta jiwa) melaporkan diri pernah mengalami

sebelumnya. Prevalensi stroke juga meningkat dengan bertambahnya usia,

dimana 8,1% orang dengan usia lebih dari 65 tahun dilaporkan mengalami

stroke.

Hal serupa, usia lebih dari 65 tahun menunjukkan peningkatan prevalensi

mengalami demensia, dengan estimasi antara 6% - 14%. Prevalensi

demensia semakin meningkat mencapai lebih dari 30% pada usia diatas 85

tahun, dan 16% sampai lebih dari 37% pada usia diatas 90 tahun. Komplikasi

umum dari disfagia baik pada stroke dan demensia adalah malnutrisi dan

pneumonia.

164 | B A N U 4

Disfagia dan Nutrisi pada Stroke

Disfagia sangat sering dijumpai pada penderita yang telah mengalami

stroke dengan estimasi antara 30%–65%. Di Amerika Serikat, Agency for

Healthcare Research and Quality memperkirakan sebanyak 300.000–

600.000 orang mengalami disfagia sebagai akibat dari stroke atau defisit

neurologis lainnya. Meskipun banyak penderita menunjukkan perbaikan

menelan fungsional secara spontan dalam kurun 1 bulan pertama setelah

serangan stroke, namun sebagian penderita lainnya tetap mengalami

kesulitan menelan setelah melewati periode 6 bulan. Komplikasi yang telah

diketahui berhubungan dengan disfagia paska stroke adalah pneumonia,

malnutrisi, dehidrasi, long-term outcome yang lebih buruk, meningkatnya

length of hospital stay, meningkatnya waktu menjalani rehabilitasi dan

kebutuhan bantuan perawatan jangka panjang, meningkatnya mortalitas, dan

meningkatnya biaya perawatan. Kesemua komplikasi tersebut berdampak

pada kenyamanan fisik dan sosia penderita, kualitas hidup baik penderita dan

pendamping, serta penggunaan sumber daya kesehatan.

Pada fase akut dari stroke sebanyak 40%–60% penderita dilaporkan

mengalami gangguan menelan. Gangguan ini akan menimbulkan malnutrisi

sebagai akibat dari terbatasnya asupan makanan dan cairan. Penurunan

asupan makanan dan cairan dapat menurunkan derajat kesadaran,

menimbulkan kelemahan fisik, atau terjadinya inkoordinasi pada mekanisme

menelan. Meskipun risiko terjadinya malnutrisi meningkat pada stroke yang

disertai disfagia, namun faktor risiko pre-stroke perlu dipikirkan pada waktu

melakukan penilaian status nutrisional dan memperkirakan stroke outcome.

Sebagai contoh, pada saat mulai menjalani rawat inap, sekitar 16% penderita

stroke menunjukkan kurang gizi. Selama menjalani perawatan akut di rumah

sakit adanya nutritional deficits dapat memperburuk status gizi dimana

prevalensinya menjadi meningkat mencapai 22%-26% setelah keluar dari

perawatan akut. Meskipun nutritional deficits dan disfagia seringkali

ditemukan bersamaan, namun pada fase akut dari stroke, malnutrisi

tampaknya tidak memiliki hubungan dengan disfagia. Dimana, malnutrisi

dijumpai lebih sering selama menjalani post acute rehabilitation phase dengan

165 | B A N U 4

laporan prevalansi mencapai 45%. Menurunnya asupan makanan/ cairan

yang diakibatkan oleh disfagia selama menjalani perawatan akut dapat

menjadi faktor penyumbang dari tingginya angka kejadian malnutrisi selama

menjalani perawatan rehabilitatif lanjutan.

Disfagia dan Pneumonia pada Stroke

Pneumonia post-stroke merupakan infeksi umum yang dijumpai pada

sepertiga penderita stroke akut. Pneumonia juga merupakan penyebab utama

mortalitas setelah serangan stroke dengan menyumbang hampir 35%

kematian paska stroke. Sebagian besar pneumonia yang dijumpai pada

stroke diakibatkan disfagia yang menimbulkan aspirasi oleh oropharyngeal

material. Aspirasi adalah masuknya bahan makanan atau cairan kedalam

jalan nafas di bawah ketinggian true vocal cords, dan pneumonia aspirasi

adalah masuknya material yang ditelan ke dalam jalan nafas yang

mengakibatkan infeksi paru. Sebuah systematic review melaporkan bahwa

penderita stroke yang disertai disfagia menunjukkan 3 kali lipat atau bahkan

lebih peningkatan risiko pneumonia dimana peningkatan risiko penumonia

menjadi 11 kali lipat pada penderita yang telah terbukti mengalami aspirasi.

Peningkatan risiko ini menunjukkan tingginya dampak buruk dari pneumonia

aspirasi. Karakteristik dari penderita stroke dengan pneumonia aspirasi

adalah meningkatnya biaya perawatan akibat dari memanjangnya masa

rawat inap, tingginya angka disabilitas pada masa 3 dan 6 bulan, dan

buruknya status nutrisi selama masa perawatan.

Disfagia dan Demensia

Disfagia merupakan gejala umum dari demensia. Diperkirakan 45%

penderita demensia yang menjalani perawatan menunjukkan sejumlah tingkat

keparahan kesulitan menelan. Demensia dengan gejala klinis yang berbeda

dapat menunjukkan gangguan menelan yang berbeda. Penderita demensia

umumnya menunjukkan perlambatan mekanisme menelan. Melambatnya

proses menelan akan memperpanjang waktu yang diperlukan untuk

menyelesaikan aktifitas makan sehingga akan meningkatkan risiko

166 | B A N U 4

mengalami status nutrisi yang buruk. Disamping itu, penderita dengan

demensia memiliki kesulitan dalam aktifitas makan tanpa bantuan orang lain.

Kesulitan seperti ini berhubungan dengan adanya gangguan kognitif, defisit

motorik seperti kelumpuhan atau apraksia, hilangnya selera makan, dan

menolak makanan. Akibatnya, penderita dengan demensia mengalami

penurunan berat badan sehingga meningkatkan ketergantungan pada

aktifitas makan. Selanjutnya, meningkatnya ketergantungan pada aktifitas

makan akan mengakibatkan munculnya dysphagia-related health problems

lainnya, termasuk pneumonia. Penurunan berat badan menunjukkan adanya

penurunan status nutrisi yang pada gilirannya akan meningkatkan risiko

penderita untuk mengalami infeksi oportunistik, seperti pneumonia.

Pneumonia merupakan penyebab tersering mortalitas pada penderita dengan

demensia. Dengan demikian, demensia, disfagia, dan gangguan aktifitas

makan yang mengikutinya dapat menimbulkan kurang gizi yang pada

gilirannya akan menyumbang terjadinya pneumonia dan mortalitas. Khusus

penderita usia tua, adanya demensia mengakibatkan lebih tingginya frekuensi

perawatan rumah sakit yang secara keseluruhan akan meningkatkan

mortalitas. Disamping itu, penderita usia tua yang masuk rumah sakit dengan

demensia memiliki prevalensi yang lebih tinggi untuk mengalami baik

pneumonia maupun stroke, dimana menunjukkan bahwa penuaan secara

signifikan meningkatkan risiko terjadinya kedua permasalahan kesehatan

tersebut.

Disfagia dan Nutrisi pada Usia Tua yang Tinggal di dalam Komunitas

Disfagia dapat menurunkan atau mengganggu asupan oral dari

makanan/ cairan yang pada akhirnya akan menurunkan status nutrisi. Salah

satu kelompok di dalam masyarakat yang memerlukan perhatian oleh karena

memiliki potensi hubungan antara disfagia dan status nutrisi adalah individu

berusia tua yang tinggal di dalam masyarakat. Disfagia akan menimbulkan

malnutrisi dan malnutrisi akan mengakibatkan penurunan kapasitas

fungsional, sehingga disfagia akan memicu atau menimbulkan kemunduran

dikalangan usia tua.

167 | B A N U 4

Dalam sebuah kelompok komunitas berusia 65–94 tahun dilaporkan adanya

disfagia sebanyak 37,6%. Sebanyak 5,2% diantaranya dilaporkan pernah

melakukan aktifitas makan menggunakan sedotan semasa hidupnya dan

sebanyak 12,9% dilaporkan menambahkan suplemen makanan untuk

memperoleh asupan kalori harian yang adekuat. Dalam sebuah penelitian

kohort lain terhadap individu usia tua yang hidup mandiri dilaporkan

prevalensi dari kasus malnutrisi atau berisiko malnutrisi diperkirakan sebesar

18,6% pada usia tua dengan disfagia dan 12,3% pada usia tua tanpa disfagia,

dimana pada subkelompok ini ditemukan perbedaan status nutrisi yang

signifikan setelah dilakukan follow-up selama 1 tahun. Hasil penelitian ini

menunjukkan tingginya prevalensi dan pentingnya masalah malnutrisi dan

disfagia di antara individu berusia tua. Di samping itu, penelitian tersebut

menunjukkan usia tua yang hidup dalam kondisi disfagia di dalam komunitas

memiliki potensi peningkatan risiko untuk mengalami malnutrisi.

Disfagia dan Pneumonia pada Usia Tua yang Tinggal di dalam

Komunitas

Prevalensi dari community-acquired pneumonia pada usia tua

meningkat dengan risiko yang lebih tinggi dialami oleh individu yang berusia

lebih tua dari 75 tahun. Di samping itu, kematian oleh karena pneumonitis

akibat aspirasi oleh bahan makanan padat atau cair (pneumonia aspirasi) juga

meningkat dan saat ini menduduki peringkat ke-15 pada daftar CDC sebagai

penyebab umum mortalitas. Frekuensi pneumonia berikut mortalitas yang

mengiringinya dijumpai meningkat dengan bertambahnya usia. Lebih khusus

lagi, prevalensi dari pneumonia pada usia tua yang hidup di dalam komunitas

mengalami peningkatan dalam bentuk hubungan langsung dengan

pertambahan usia dan adanya penyakit penyerta. Disamping itu,

meningkatnya prevalensi disfagia pada usia tua akan meningkatkan risiko

pneumonia.

Tampaknya di dalam populasi usia tua, baik frekuensi disfagia maupun

pneumonia menunjukkan peningkatan. Namun demikian, hubungan antara

disfagia dan pneumonia pada usia tua yang hidup didalam komunitas belum

168 | B A N U 4

diketahui dengan baik. Cabre, et al melaporkan sebanyak 55% dari 134 orang

usia 70 tahun atau lebih yang hidup di dalam komunitas di diagnosis

mengalami pneumonia pada saat masuk rumah rumah sakit yang datang

dengan tanda klinis disfagia orofaringeal. Dalam penelitian kohort ini, kasus

yang menunjukkan tanda disfagia berusia lebih tua datang dengan tingkat

keparahan pneumonia yang lebih tinggi memperlihatkan penurunan status

fungsional yang lebih besar serta memperlihatkan prevalensi malnutrisi yang

lebih tinggi. Subkelompok penderita tersebut juga menunjukkan peningkatan

mortalitas pada pada follow-up 30 hari dan 1 tahun. Sebuah penelitian terbaru

yang mengevaluasi hubungan antara oropharyngeal dysphagia dan risiko

malnutrisi serta lower respiratory tract infections-community–acquired

pneumonia (LRTI-CAP) dalam suatu kohort terhadap individu usia tua yang

hidup mandiri menunjukkan hasil sebanyak 40% kasus LRTI-CAP

memperlihatkan disfagia, dibandingkan 21,8% pada individu usia tua yang

tidak memperlihatkan disfagia. Hasil penelitian tersebut membuktikan adanya

potensi hubungan antara disfagia, status nutrisi, dan pneumonia pada individu

usia tua yang hidup didalam komunitas.

Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik, pemeriksaan nervus V dan VII-XII penting

dalam menentukan bukti fisik dari disfagia orofaringeal. Pemeriksaan tersebut

meliputi:

• Pemeriksaan mekanisme motorik oral dan laring.

• Pengamatan langsung penutupan bibir, rahang, kemampuan mengunyah,

pergerakan dan kekuatan lidah, elevasi palatal dan laring, salivasi, dan

sensitifitas oral.

• Kesadaran dan status kognitif pasien dapat mempengaruhi keamanan

menelan dan kemampuan kompensasinya.

• Disfonia dan disartria adalah tanda disfungsi motorik struktur-struktur yang

terlibat pada proses menelan.

• Mukosa mulut dan gigi geligi.

• Reflek muntah.

169 | B A N U 4

• Fungsi pernapasan

• Pengamatan langsung aktivitas menelan. Setelah menelan, amati adanya

batuk pada pasien selama 1 menit atau lebih.

Metode instrumental untuk mendeteksi adanya disfagia dan aspirasi

• VMBS (Videofluoroscopic Modified Barium Swallow) merupakan standar

baku dalam upaya konfirmasi diagnosis disfagia

• FEES (Flexible Endoscopic Evaluation of Swallowing) adalah teknik yang

tidak terlalu invasive dan lebih murah. Teknik yang lebih mudah juga disebut

Fiberoptic Endosccopic Evaluation of Swallowing.

Penatalaksanaan

Adanya hubungan yang kuat antara kemampuan menelan, status

nutrisi dan dampak status kesehatan pada usia tua menunjukkan pentingnya

peran manajemen disfagia. Keberhasilan upaya dalam rangka manajemen

disfagia tidak hanya menunjukkan manfaat bagi individu yang membutuhkan

asupan oral padat atau cair saja, namun juga memberikan manfaat lebih pada

status nutrisi dan pencegahan terhadap morbiditas yang terkait seperti

pneumonia. Sejumlah perangkat dalam manajemen disfagia telah tersedia

sesuai karakteristik dari gangguan menelan serta karakteristik individual.

Tujuan utama dari manajemen disfagia adalah sedapat mungkin memperkuat

fisiologi fungsi menelan dan memfasilitasi kelangsungan pemberian asupan

oral secara aman. Secara garis besar terdapat 3 upaya dalam manajemen

disfagia yaitu pengaturan posisi, latihan menelan, dan modifikasi diet.

Terdapat pengobatan yang berbeda untuk berbagai jenis disfagia. Pertama,

dokter dan speech-language pathologist yang menguji dan menangani

gangguan menelan menggunakan berbagai pengujian yang memungkinkan

untuk melihat berbagai gangguan fungsi menelan. salah satu pengujian

disebut dengan laringoskopi serat optik yang memungkinkan dokter untuk

melihat ke dalam tenggorokan. Pemeriksaan lain termasuk video fluoroscopy

yang mengambil video rekaman pasien pada saat menelan dan ultrasound

yang menghasikan gambaran organ dalam tubuh dapat secara bebas-nyeri

memperlihatkan tahapan-tahapan dalam menelan.

170 | B A N U 4

Setelah penyebab disfagia ditemukan, pembedahan atau obat-obatan dapat

diberikan. Jika dengan mengobati penyebab disfagia tidak membantu, dokter

akan mengirim pasien kepada ahli speech language pathologist yang terlatih

dalam mengatasi dan mengobati masalah gangguan menelan. Pengobatan

dapat melibatkan latihan otot untuk memperkuat otot-otot wajah atau untuk

meningkatkan koordinasi. Pengobatan dapat melibatkan pelatihan menelan

dengan cara khusus, misalnya beberapa orang harus makan dengan posisi

kepala menengok ke salah satu sisi atau melihat lurus ke depan. Menyiapkan

makanan sedemikian rupa atau menghindari makanan tertentu dapat

menolong penderita lain, misalnya mereka yang tidak dapat menelan

minuman mungkin memerlukan pengental khusus untuk minumannya, orang

lain mungkin harus menghindari makanan atau minuman yang panas ataupun

dingin. Untuk beberapa orang yang tidak lagi memungkinkan untuk makan

dan minum melalui mulut harus menggunakan metode lain untuk memenuhi

kebutuhan nutrisi dengan menggunakan nasogastric tube (NGT).

Berbagai pengobatan telah diajukan unutk pengobatan disfagia orofaringeal

pada dewasa. Pendekatan langsung dan tidak langsung disfagia telah

digambarkan. Pendekatan langsung biasanya melibatkan makanan,

pendekatan tidak langsung biasanya tanpa bolus makanan.

Modifikasi diet merupakan komponen kunci dalam program pengobatan

umum disfagia. Suatu diet makanan berupa bubur direkomendasikan pada

pasien dengan kesulitan pada fase oral atau bagi mereka yang memiliki

retensi faringeal untuk mengunyah makanan padat. Jika fungsi menelan

sudah membaik, diet dapat diubah menjadi makanan lunak atau semi-padat

sampai konsistensi normal.

Efek disfagia pada status gizi pasien sangat buruk, disfagia dapat

menyebabkan malnutrisi. Banyak produk komersial yang tersedia untuk

memberikan bantuan nutrisi, misalnya bahan pengental, minuman yang

ditambah dengan suplemen, bubur instan, suplemen cair oral. Jika asupan

nutrisi oral tidak adekuat, dapat dipikirkan pemberian nutrisi parenteral.

Disfagia dapat menyebabkan dehidrasi, pemeriksaan berkala keadaan hidrasi

171 | B A N U 4

pasien sangat penting dan cairan intravena dapat diberikan jika terdapat

dehidrasi.

Pembedahan

Ada beberapa teknik pembedahan yang dapat dilakukan untuk mengatasi

kegagalan nutrisi pada pasien dengan disfagia.

1. Gastrotomi

Pemasangan selang gastrostomi memerlukan tindakan laparotomy dengan

anestesi umum ataupun lokal.

2. Cricofaringeal myotomy (CPM)

Cricofaringeal myotomy (CPM) adalah prosedur yang dilakukan untuk

mengurangi tekanan pada sfingter faringoesophageal (PES) dengan

menginsisi komponen otot utama dari PES. Injeksi botulinum toxin ke dalam

PES telah diperkenalkan sebagai ganti dari CPM.

RINGKASAN

Populasi orang usia lanjut akan bertambah seiring dengan kemajuan ilmu

pengetahuan, teknologi serta kemajuan di bidang sosial ekonomi. Disfagia

semakin menjadi perhatian penting pada populasi usia tua. Menurunnya

fisiologi menelan yang berhubungan dengan usia, begitu juga kemunculan

beberapa penyakit yang berhubungan dengan usia tua merupakan faktor

predisposisi terjadinya disfagia pada usia tua.

Disfagia meliputi 2 hal, pertama kesulitan memulai proses menelan

(oropharyngeal dysphagia) dan yang kedua adalah adanya sensasi

terganjalnya makanan dan atau cairan dalam perjalanan dari mulut menuju

lambung.

Yang perlu ditelusuri dalam anamnesis adalah lokasi, tipe makanan dan

cairan, progresif atau intermiten, lama keluhan atau gejala. Ada banyak

penyebab atau etiologi yang menyebabkan disfagia. Ada beberapa jenis

pemeriksaan untuk memastikan adanya disfagia.

172 | B A N U 4

Terdapat penanganan yang berbeda untuk berbagai jenis disfagia sesuai

dengan penyebabnya. Ada pendekatan langsung yang melibatkan makanan

dan pendekatan tidak langsung tanpa bolus makanan.

DAFTAR PUSTAKA

Burke, M.M., Larami, J.A. 2000. Primary Care of the Older Adult, A Multidisciplinary Approach. First edition, St Louis: Mosby Inc. p.254-268. Darmojo, R.B. 2000. Buku ajar Geriatri. Edisi ke 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. p.3-13. Ganong, W.F. 2001. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 20. Jakarta: ECG. Garbin, S.G. 2013. Swallowing Disorders: A Guide to Managing Dysphagia in Elderly. 2nd edition. Hall, J.E., Guyton, A.C. 2011. Guyton and Hall, Textbook of Medical Physiology. 12th edition. Philadelphia: Saunders Elsevier. Harris, B.M., Jones, B. 2008. The Video Fluoroscophic Swallowing Study, Physical Medicine and Rehabilitation Clinics of North America. Philadelphia: Saunders Elsevier. p.769-785. Kane, R.L., Ouslander, J.G., Abrass, I.B. 1994. Essential of Clinical Geriatrics. 3rd edition. New York: Mc Graw Hill Inc. p.3-18. Malagelada, J.R., Bazzoli, F., Boeckxstaens, G., De-Looze, D., Fried, M., Kahrilas, P., Lindberg, G., Malfertheiner, P., Salis, G., Sifrim, D., vakil, N., Le-Mair, A. 2014. World Gastroenterology Organisation Global Guidelines: Dysphagia-Global Guidelines and Cascades update September 2014. J Clin Gastroenterol. May-Jun: 49(5):370-8. Napitupulu, E.Y. 2010. Prognosis Disfagia. Semarang: Universitas Diponegoro. Paik, N.J. 2014. Dysphagia. Available from: URL: http/www.emedicine.com/pmr/topic.194.htm. Rofes, L., Arreola, V., Almirral, J. 2011. Diagnosis and Management of Oropharyngeal Dysphagia and Its Nutritional and Respiratory Complications in Elderly. Gastroenterology Research and Practice. Volume 11:1-13.

173 | B A N U 4

Sura, L., Maddhavan, A., Carnaby, G., Crary, M.A. 2012. Dysphagia in Elderly, Management and Nutritional Considerations. Clinical Interventions in Aging. 287 – 298. Teasell, R., Foley, N., Rosemary. 2013. Dysphagia and Aspiration Following Stroke. Evidence Based Review of Stroke Rehabilitation. Vol.10:29-58.

174 | B A N U 4

NUTRITION SUPPORT IN ELDERLY

Ketut Sumada Bagian/ SMF Neurologi RSUD Wangaya

Pendahuluan

Lanjut usia (lansia) merupakan tahap akhir dalam kehidupan manusia

yang ditandai dengan menurunnya kemampuan kerja tubuh akibat perubahan

atau penurunan fungsi organ-organ tubuh (Arisman, 2004).

Berdasarkan WHO (Setianto, 2007), lansia dibagi menjadi tiga golongan:

a. Umur lanjut (elderly): usia 60-75 tahun

b. Umur tua (old): usia 76-90 tahun

c. Umur sangat tua (very old): usia > 90 tahun

Proses menua adalah proses yang mengubah seorang dewasa yang sehat

menjadi seseorang frail dengan berkurangnya sebagian besar cadangan

sistem fisiologis dan meningkatnya kerentanan terhadap berbagai penyakit

dan kematian.

Seiring dengan bertambahnya usia, terjadi perubahan fisiologis yang tidak

hanya berpengaruh terhadap tampilan fisik, namun juga fungsi dan

tanggapannya pada kehidupan sehari-hari.

Namun harus dicermati bahwa setiap individu mengalami perubahan-

perubahan tersebut secara berbeda. Pada beberapa individu, laju

penurunannya mungkin cepat dan dramatis, sementara pada individu lainnya,

perubahannya lebih tidak bermakna.

Terdapat beberapa istilah yang digunakan oleh gerontologist ketika

membicarakan proses menua:

• Aging: menunjukkan efek waktu, suatu proses perubahan, biasanya

bertahap dan spontan

• Senescene: hilangnya kemampuan sel untuk membelah dan

berkembang (dan seiring waktu akan menyebabkan kematian)

• Homeostenosis: penyempitan/ berkurangnya cadangan homeostasis

yang terjadi selama penuaan pada setiap sistem organ

175 | B A N U 4

Istilah aging yang hanya menunjukkan efek waktu, dianggap tidak mewakili

apa yang terjadi pada proses menua. Sebab berbagai proses yang terjadi

seiring waktu, seperti perkembangan (development), dapat disebut sebagai

aging. Aging merupakan proses yang terus berlangsung (continuum), yang

dimulai dengan perkembangan (development) yaitu proses generatif seiring

waktu yang dibutuhkan untuk kehidupan, dan dilanjutkan dengan senescence

yaitu proses degeneratif yang inkompatibel dengan kehidupan.

Istilah senescence digunakan untuk menggambarkan turunnya fungsi efisien

suatu organisme sejalan dengan penuaan dan meningkatnya kemungkinan

kematian. Membedakan antara aging dan senescence dianggap perlu,

karena banyak perubahan selama aging mungkin tidak merusak dan mungkin

suatu perubahan yang diharapkan. Sebagai contoh, kebijakan (wisdom) yang

meningkat seiring usia tidak dianggap sebagai senescence melainkan suatu

aging, walaupun hal itu merupakan bagian dari proses menua. Sebaliknya,

gangguan memori yang terjadi selama aging merupakan manifestasi

senescence. Berbagai teori mengenai proses penuaan telah diajukan, namun

hingga 20 tahun yang lalu teori-teori tersebut kelihatannya sama dengan teori-

teori penuaan yang pernah diajukan 200 tahun bahkan 2000 tahun yang lalu,

walaupun umumnya negara di dunia setuju usia >60 sebagai lanjut usia, tetapi

kebanyakan negara berkembang menyatakan usia 65 tahun sebagai usia

lanjut. Dari 197 manula yang diteliti WHO dengan menggunakan kriteria BMI

29,7 % manula kurang makan, dan 43,8 % eutrophic.

Diperkirakan jumlah penduduk lansia di dunia akan mencapai puncaknya di

tahun 2040 dengan angka 1,3 miliar. Jumlah ini melejit 23,3% dibanding

pertengahan 2008 yang mencapai 506 juta jiwa. Pada tahun 2000, jumlah

penduduk Lansia sebanyak 14,4 juta (7,18%), pada tahun 2020 diperkirakan

menjadi dua kali lipat berjumlah 28,8 juta (11,34). Sesuai data BPS 2007

penduduk Lansia Indonesia berjumlah 18,96 juta (8,42%).

Orang tua makan lebih sedikit dan kurang sering dibanding dengan orang

muda, terutama pada saat sakit keras dimana saat itu diperlukan banyak

energi, sehingga menyebabkan kurang energi dan terjadi malnutrisi general,

176 | B A N U 4

lebih daripada itu akan terjadi defisit masa otot seperti sarcopenia yg

memperberat keadaan.

Faktor yang dapat menyebabkan nafsu makan menurun atau asupan pada

manula berkurang saat perawatan di RS antara lain:

• Gangguan mental seperti depresi

• Gangguan neurologi seperti demensia, Parkinson Disease, dan stroke

• Penyakit kronis: Multipel Sclerosis, Motor neuron disease, Osteoporosis,

arthritis

• Keganasan dan pengobatannya

• Gigi yang rusak

• Disfungsi Saluran Cerna: GERD, mual, muntah, diare, konstipas

• Efek obat

Saluran cerna karena bertambahnya usia akan mengurangi respon sensoris

dan motilitas mengurangi kekuatan otot dan enzim pencernaan, yang pada

akhirnya menurunkan absorpsi makronutrien dan mikronutrion, maka akan

terjadi sensory loss, dimana sensory loss lebih cepat terjadi setelah usia 70

tahun, tetapi bisa juga terjadi saat usia 60 tahun (Schiffman & Graham, 2000).

Berkurangnya penglihatan, penciuman, dan pengecapan yg mendorong

terjadinya defisit energi sehingga terjadi kekurangan protein mikronutrien,

maka akan terjadi gangguan fungsi dan imunitas.

Kemoreseptor berkurang seiring usia dengan adanya penyakit, pengobatan,

operasi, malnutrisi, dan pengaruh lingkungan. Nutrisi suplemen oral

dianjurkan pada pasien manula yg punya risiko kekurangan nutrisi, pada

kasus multimorbiditas dan kelemahan yang dilakukan operasi tulang.

Tube feeding jelas diperlukan pada pasien dengan disfagia, tetapi sebaliknya

Tube feeding tidak dianjurkan pada pasien fase terminal. Penggunaan nutrisi

parenteral dianjurkan bila terjadi starvation >3 hari atau jika oral atau enteral

tidak bagus >7-10 hari.

Elderly dimasukkan ke dalam kelompok rentan gizi, meskipun tidak ada

hubungannya dengan pertumbuhan badan, bahkan sebaliknya sudah terjadi

involusi dan degenerasi jaringan dan sel-selnya. Timbulnya kerentanan

terhadap kondisi gizi disebabkan kondisi fisik, baik anatomis maupun

177 | B A N U 4

fungsionalnya. Gigi-geligi pada elderly sudah banyak yang rusak bahkan

copot, sehingga memberikan kesulitan dalam mengunyah makanan,

makanan harus diolah sehingga makanan tidak perlu digigit atau dikunyah

keras-keras. Makanan yang dipotong kecil-kecil, lunak dan mudah ditelan

akan sangat membantu para elderly dalam mengkonsumsi makanannya.

Fungsi alat pencernaan dan kelenjar-kelenjarnya juga sudah menurun,

sehingga makanan harus yang mudah dicerna dan tidak memberatkan fungsi

kelenjar pencernaan. Makanan yang tidak banyak mengandung lemak, pada

umumnya lebih mudah dicerna, tetapi harus cukup mengandung protein dan

karbohidrat. Kadar serat yang tidak dicerna jangan terlalu banyak, tetapi harus

cukup tersedia untuk melancarkan peristalsis dan dengan demikian

melancarkan pula defekasi, dan menghindarkan obstipasi.

Setiap mahluk hidup membutuhkan makanan untuk mempertahankan

kehidupannya, karena di dalam makanan terdapat zat-zat gizi yang

dibutuhkan tubuh untuk melakukan kegiatan metabolismenya. Bagi lansia

pemenuhan kebutuhan gizi yang diberikan dengan baik dapat membantu

dalam proses adaptasi atau menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan

yang dialaminya, selain itu dapat menjaga kelangsungan pergantian sel-sel

tubuh, sehingga dapat memperpanjang usia.

Kebutuhan kalori pada lansia berkurang karena berkurangnya kalori dasar

dari kebutuhan fisik. Kalori dasar adalah kalori yang dibutuhkan untuk

malakukan kegiatan tubuh dalam keadaan istirahat, misalnya untuk jantung,

usus, pernafasan dan ginjal.

Berdasarkan kegunaannya bagi tubuh, zat gizi dibagi ke dalam 3 kelompok

besar, yaitu:

1. Kelompok zat energi, termasuk ke dalam kelompok ini adalah:

Bahan makanan yang mengandung karbohidrat seperti beras, jagung,

gandum, ubi, roti, singkong dll, selain itu dalam bentuk gula seperti gula,

sirup, madu dll.

Bahan makanan yang mengandung lemak seperti minyak, santan,

mentega, margarin, susu dan hasil olahannya.

178 | B A N U 4

2. Kelompok zat pembangun. Kelompok ini meliputi makanan yang banyak

mengandung protein, baik protein hewani maupun nabati, seperti daging,

ikan, susu, telur, kacang kacangan dan olahannya.

3. Kelompok zat pengatur. Kelompok ini meliputi bahan-bahan yang banyak

mengandung vitamin dan mineral, seperti buah-buahan dan sayuran.

Patut diingat bahwa keperluan energi lansia sudah menurun, jadi sebaiknya

tidak menghidangkan makanan seperti masih belum berusia lanjut. Ada

baiknya bila lansia dijaga jangan sampai menjadi kegemukan karena akan

lebih mudah menderita berbagai kelainan atau penyakit gizi yang

berhubungan dengan kondisi obesitas. Frekuensi penyakit Diabetes Mellitus

dan kardiovaskular meningkat pada kelompok lansia. Umumnya yang sangat

ditakuti ialah kemungkinan meningkat untuk mendapat penyakit kanker.

Lansia berisiko tinggi mengalami masalah nutrisi, hal ini cukup beralasan

sehingga prevalensi yang tinggi mengenai masalah nutrisi pada lansia ini

telah menjadi sorotan dalam sejumlah survei, karena terdapat fakta bahwa

sebagian besar lansia di komunitas mengalami masalah nutrisi juga dapat

dialami oleh lansia yang dirawat di rumah sakit.

Lansia yang mengalami masalah nutrisi disebabkan oleh sejumlah faktor,

antara lain fisik, patologis, dan psikososial. Jika semuanya bergabung maka

akan mengakibatkan perburukan status nutrisi yang akhirnya dapat

membahayakan status kesehatan lansia.

Suatu teori mengenai penuaan dapat dikatakan valid bila ia dapat memenuhi

tiga kriteria umum berikut:

1. Teori yang dikemukakan tersebut harus terjadi secara umum di seluruh

anggota spesies yang dimaksud

2. Proses yang dimaksud pada teori itu harus terjadi secara progresif seiring

waktu

3. Proses yang terjadi harus menghasilkan perubahan yang menyebabkan

disfungsi organ dan menyebabkan kegagalan suatu organ atau sistem

tubuh tertentu.

Beberapa teori tentang menua yang dapat diterima saat ini, antara lain:

1. Teori Radikal Bebas

179 | B A N U 4

Teori radikal bebas menyebutkan bahwa produk hasil metabolisme yang

sangat reaktif (radikal bebas) dapat bereaksi dengan berbagai komponen

penting selular, termasuk protein, DNA, lipid, dan menjadi molekul-

molekul yang tidak berfungsi namun bertahan lama serta dapat

mengganggu fungsi sel lainnya. Teori radikal bebas diperkenalkan

pertama kali oleh Denham Harman pada tahun 1956 yang menyatakan

bahwa proses menua normal merupakan akibat kerusakan jaringan oleh

radikal bebas. Radikal bebas adalah senyawa kimia yang berisi electron

tidak berpasangan.

Radikal bebas tersebut terbentuk sebagai hasil sampingan berbagai

proses selular atau metabolisme normal yang melibatkan oksigen.

Karena elektronnya tidak berpasangan, secara kimiawi radikal bebas

akan mencari pasangan elektron lain dengan bereaksi dengan substansi

lain terutama protein dan lemak tidak jenuh. Melalui proses oksidasi,

radikal bebas yang dihasilkan selama proses fosforilasi oksidatif dapat

menghasilkan berbagai hasil modifikasi makromolekul. Radikal bebas

juga dapat merusak fungsi sel dengan merusak membran sel atau

kromosom sel.

2. Teori glikosilasilasi

Teori ini menyatakan bahwa proses glikosilasi non-enzimatik yang

menghasilkan pertautan glukosa-protein yang disebut sebagai advanced

glycation end products (AGEs) dapat menyebabkan penumpukan protein

dan makromolekul lain yang termodifikasi sehingga terjadi disfungsi pada

hewan atau manusia yang menua. Protein glikasi menunjukkan

perubahan fungsional, meliputi turunnya aktivitas enzim dan menurunnya

degradasi protein abnormal.

Saat manusia menua, AGEs berakumulasi di berbagai jaringan, termasuk

kolagen, hemoglobin dan lensa mata. Karena muatan kolagennya tinggi,

jaringan ikat menjadi kurang elastis dan kaku. Kondisi tersebut juga dapat

mempengaruhi elastisitas dinding pembuluh darah. AGEs juga diduga

berinteraksi dengan DNA dan karenanya mungkin mengganggu

kemampuan sel untuk memperbaiki perubahan pada DNA.

180 | B A N U 4

3. Teori DNA Repair

Teori DNA repair dikemukakan oleh Hart dan Setlow. Mereka

menunjukkan bahwa adanya perbedaan pola laju perbaikan (repair)

kerusakan DNA yang diinduksi sinar ultraviolet (UV) pada berbagai

fibrobla yang di kultur. FIbroblas pada spesies yang mempunyai umur

maksimum terpanjang menunjukkan laju DNA repair terbesar, dan

korelasi ini dapat ditunjukkan pada berbagai mamalia dan primata.

Perubahan Anatomi dan Fisiologi Sistem Gastrointestinal pada Geriatri

Dengan bertambahnya umur, kemampuan kita dalam mengecap,

mencerna, menyerap dan metabolisme makanan akan berubah, oleh karena

terjadi penurunan indra pengecap dan pencium, banyak lansia yang tidak

dapat lagi menikmati aroma dan rasa makanan. Bertambahnya usia

berkorelasi negatif dengan jumlah taste buds pada lidah lansia. Nilai ambang

terhadap aroma, rasa manis, pahit dan asin meningkat dan kehilangannya

menjadi nyata pada usia sekitar 70 tahun. Defisiensi seng atau pengaruh obat

tertentu dapat memperberat dan mempercepat penurunan fungsi indra-indra

tersebut. Keadaan ini dapat menyebabkan lansia secara tidak sadar senang

pada makanan yang asin, kurang menikmati makanan serta penurunan nafsu

makan dan asupan makanan. Penurunan produksi saliva akan menyebabkan

mulut relatif kering (xerostomia), yang akan makin mengganggu indra

pengecap atau perasa.

Usia tua menyebabkan kerusakan gusi dan gigi, yang pada waktunya

menyebabkan gigi berlubang dan terpaksa dicabut, hal ini menyebabkan rasa

kurang nyaman atau sakit saat mengunyah. Gigi tiruan pada umumnya

kurang efektif dalam proses mengunyah bila dibandingkan dengan gigi alami.

Oleh sebab itu, orang lanjut usia sebaiknya memilih makanan yang lebih lunak

untuk dimakan. Gigi merupakan unsur penting untuk pencapaian derajat

kesehatan dan gizi yang baik. Penelitian di dalam maupun luar negeri

menunjukkan banyak lansia yang telah kehilangan sebagian besar gigi

mereka tidak mengganti dengan gigi palsu dan sebagian yang memakai gigi

181 | B A N U 4

palsu keadaannya tidak nyaman hingga mengganggu saat makan dan

mengunyah.

Reseptor pada esofagus kurang sensitif dengan adanya makanan, hal ini

menyebabkan kemampuan peristaltik esofagus mendorong makanan ke

lambung menurun sehingga pengosongan esofagus terlambat. Refluks

gastroesofagal dapat juga terjadi karena fungsi sfingter melemah.

Lambung memiliki berbagai fungsi, yakni mencerna makanan yang telah

dikunyah, mencampur makanan dengan enzim dan cairan pencerna serta

melepaskan makanan ke arah saluran cerna berikutnya. Pada lansia, motilitas

lambung menurun hingga pengosongan lambung menjadi lebih lambat.

Selain itu, atrofi gaster menimpa 1 dari 4 lansia pada usia sekitar 60 tahun.

Kehilangan/ berkurangnya epitel lambung akan menyebabkan peningkatan

pH lambung dan penurunan sekresi faktor intrinsik. Penurunan pH akan

menurunkan kemampuan absorpsi besi, kalsium, vitamin B6, B12 dan asam

folat, serta dapat menyebabkan pertumbuhan bakteri pada usus halus. Tidak

banyak diketahui perubahan pada usus kecil lansia, namun pada beberapa

penelitian menemukan adanya kolonisasi bakteri di usus kecil pada lansia

dengan atrofi gaster. Kolonisasi bakteri ini dapat menghambat penyerapan

vitamin B.

Motilitas intestinal pada lansia dilaporkan mengalami perubahan. Pada kolon,

terdapat atrofi mukosa dan perubahan sel penghasil mukus. Otot polos pada

dinding kolon melemah dan digantikan dengan jaringan ikat. Hal ini dapat

menyebabkan seorang lansia menderita diverticulosis dan konstipasi.

Konstipasi merupakan keluhan umum lansia oleh karena peristaltik yang

melemah. Imobilitas, kekurangan cairan karena kurang minum dan makanan

rendah serat memperberat masalah konstipasi. Dilaporkan bahwa aktivitas

fisik yang cukup dapat mempertahankan motilitas kolon. Orangtua sering

mengalami susah buang air besar dikarenakan berkurangnya gerakan usus,

kurangnya makanan yang tinggi serat, obat-obatan (terutama analgetik), atau

infeksi saluran cerna. Bila sisa makanan lama berada di dalam saluran cerna,

maka feses akan mengeras sehingga mempersukar buang air besar.

182 | B A N U 4

Kesukaran buang air besar dapat juga disebabkan faktor-faktor psikologis

seperti rasa sedih, takut, dan khawatir.

Penyakit kantong empedu juga meningkat pada proses penuaan. Meskipun

terdapat penurunan ukuran prankeas pada lansia umur 70 tahun atau lebih,

namun tidak dilaporkan adanya penurunan fungsional dari pankreas dengan

bertambahnya usia. Terdapat penurunan kemampuan fungsional liver, seperti

fungsi enzim sitokrom 450 dan sintesis albumin pada lansia. Fungsi liver yang

menurun akan menyebabkan metabolism kolesterol dan vitamin kurang

efisien.

Pada gigi sampai anus terjadi perubahan morfologik degeneratif, antara lain

perubahan atrofi pada rahang, sehingga gigi lebih mudah tanggal. Perubahan

atrofi juga terjadi pada mukosa, kelenjar dan otot-otot pencernaan. Berbagai

perubahan morfologik ini akan menyebabkan perubahan fungsional sampai

perubahan patologik, diantaranya gangguan mengunyah dan menelan,

perubahan nafsu makan sampai pada berbagai penyakit, diantaranya adalah:

• Disfagia

• Kausa neurologi:

• Saraf pusat: stroke, bulbar palsy, presbiesofagus

• Saraf otonom

• Kausa diluar dinding esophagus:

• Aneurisma aorta, karsinoma mediastinum

• Dinding esophagus:

• Karsinoma

• Refluks esofagus

• Akalasia kardia

• Moniliasis

• Hiatus Hernia

Sering merupakan keadaan yang menyertai proses penuaan. Terdapat

laporan mengatakan pada usia diatas 70 tahun didapatkan 70%

penderita hiatus hernia. Jenis hiatus hernia:

• Sliding: sering terdapat pada usia lanjut dihubungkan dengan

esofagitis refluks.

183 | B A N U 4

• Paraesofageal rolling: hernia yang prevalensinya pada usia lanjut

sama dengan pada usia muda.

• Perubahan Sekresi Lambung

Semakin lanjut usia seseorang, akan sering terjadi kegagalan sekresi

asam lambung, karena terjadi atrofi sel mukosa lambung.

• Ulkus Peptikum

Terdapat perbedaan kejadian ulkus petikum pada usia lanjut

dibandingkan dengan usia muda, dimana pada usia lanjut terjadinya

ulkus gaster besar sering asimtomatik, meskipun asimtomatik bukan

berarti hal ini tidak penting sebagai penyebab kematian. Sepertiga

kematian akibat ulkus peptikum terjadi pada usia lanjut. Gejala yang yang

dapat ditemui diantaranya anemia, berat badan turun dan rasa tidak enak

di perut bagian atas.

• Divertikulosis

Divertikulosis sering berhubungan dengan proses penuaan. Lokasi yang

tersering adalah di esophagus, duodenum dan jejunum. Kelainan ini

penting oleh karena sering menyebabkan defisiensi vitamin B12,

terutama pada divertikulosis multipel.

• Pankreatitis

Walaupun prevalensinya jarang, akan tetapi insidensinya meningkat

dengan bertambahnya usia. Hal ini diduga akibat penyakit iskemia

vaskular. Keadaan ini juga sering terjadi pada accidental hypothermia.

• Sindrom Malabsorpsi

Sindrom malabsorpsi sering menyebabkan defisiensi berbagai zat (asam

folat, vitamin B12, zat besi, kalsium, vitamin D, dll). Keadaan ini

dihubungkan dengan terjadinya perubahan vili mukosa usus halus pada

proses penuaan yang menjadi lebih pendek dan lebih lebar. Adanya

sindrom ini dapat diperiksa dengan berbagai tes, misalnya tes xylose, tes

koleksi feses 3 hari dan tes biopsi usus halus.

• Usus Besar

Dari aspek fisiologi dan patologi usus besar, yang perlu diperhatikan

adalah kebiasaan buang air besar dan keluhan konstipasi. Sedangkan

184 | B A N U 4

berbagai keadaan patologi usus besar lainnya adalah penyakit

megakolon, karsinoma kolon dan rectum, kolitis iskemik dan kolitis

ulserativa.

Absorpsi zat gizi pada lansia juga terjadi perubahan seiring bertambahnya

usia. Absorpsi zat gizi tergantung pada berbagai macam faktor seperti

pencernaan yang baik, mukosa intestinal yang utuh, adanya zat penghambat

atau pendorong absorpsi dan aliran darah di permukaan absorpsi. Pada

lansia yang sehat, proses pencernaan relatif baik, dimana zat gizi diubah

menjadi bentuk molekular atau zat ionik untuk diabsorpsi. Penelitian yang ada

saat ini menunjukkan pada lansia yang sehat, tidak terdapat gangguan

absorpsi karbohidrat, protein dan lemak.

Malabsorpsi pada lansia umumnya terjadi karena beberapa kelainan seperti

insufisiensi pankreas, pertumbuhan bakteri yang berlebihan, penggunaan

obat-obatan yang berlebihan atau penyakit kronis. Keadaan ini diperberat

dengan perubahan struktur dan fungsi pada saluran cerna. Sebagai contoh,

gigi geligi yang tidak lengkap menyebabkan pemecahan makronutrien tidak

sempurna dan paparan enzim mulut menjadi berkurang. Hal ini menyebabkan

ukuran molekul masih besar dan absorpsi kurang baik pada saat makanan

sampai di intestinal, apalagi dengan seringnya pemakaian laksansia yang

menyebabkan makanan cepat dikeluarkan sebelum dapat diabsorpsi dengan

baik.

Perubahan komposisi tubuh juga terjadi pada lansia. Komposisi tubuh dapat

memberikan indikasi status gizi dan tingkat kebugaran jasmani seseorang.

Para peniliti terdahulu telah mengetahui hubungan antara komposisi tubuh

dengan kesehatan dan penyakit, mereka melakukan studi pada cadaver untuk

menentukan ukuran dan isi dari berbagai tubuh. Pada abad ke-19, ditemukan

berbagai senyawa kimiawi yang ternyata ada pula pada jaringan dan cairan

tubuh. Penurunan massa otot akan mengakibatkan penurunan kebutuhan

energi yang terlihat pada lansia.

Keseimbangan energi pada lansia lebih lanjut dipengaruhi oleh aktivitas fisik

yang menurun. Pemahaman akan hubungan berbagai keadaan tersebut

penting dalam membantu lansia mengelola berat badan mereka. Untuk

185 | B A N U 4

mengevaluasi komposisi tubuh, tubuh dibagi dalam berbagai kompartemen

berdasarkan karakteristik kimiawi, anatomi dan cairan. Menurut model

kimiawi, tubuh terdiri dari 4 kompartemen yakni air, mineral, protein dan

lemak. Menurut model jaringan, tubuh terdiri dari 4 kompartemen yakni otot

skeletal, jaringan lemak, tulang, darah dan lain-lain (termasuk organ tubuh

dan limfe). Selanjutnya menurut model cairan dikenal berbagai istilah yakni:

fat-free mass (jaringan-bebas lemak), body cell mass (massa sel tubuh), total

body water (air tubuh) dan body fat (lemak tubuh).

Secara umum, sepanjang masa kehidupan terjadi perubahan komposisi

tubuh yang tercermin pada perubahan berbagai kompartemen atau bagian

tubuh. Karakteristik umum yang dapat diobservasi dengan perubahan usia

adalah berkurangnya jaringan-bebas lemak dan meningkatnya lemak tubuh.

Lemak tubuh meningkat secara konsisten dari usia 25 tahun sampai 65 tahun

atau lebih yaitu 17% menjadi 29% pada laki-laki dan 29% menjadi 38% pada

perempuan. Jaringan-bebas lemak tidak berubah sampai usia paruh tengah,

dan menurun setelah usia 45 tahun, yakni 65 kg menjadi 55 kg pada pria dan

48 kg menjadi 39 kg pada perempuan. Bartlett menemukan bahwa kehilangan

jaringan-bebas lemak pada perempuan lebih tinggi daripada laki-laki.

Meskipun jaringan lemak meningkat, namun lemak di bawah kulit yang diukur

pada lengan atas, dan dada justru menurun. Dengan demikian, terjadi

penumpukan lemak internal. Perubahan pada komposisi tubuh terjadi karena

perubahan hormonal dan pola hidup. Pola sekresi hormon steroid, estrogen

testosteron dan hormon pertumbuhan berubah pada usia tua.

Lansia yang secara fisik tetap aktif, sampai batas waktu tertentu akan

terhindar dari akumulasi lemak tubuh dan penurunan jaringan-bebas

lemaknya. Berkurangnya jaringan-bebas lemak dikenal dengan nama

sarcopenia. Penurunan kekuatan otot pada lansia disebabkan oleh

penurunan massa otot bukan karena hilangnya kemampuan fungsional dari

otot-otot yang tersisa. Satu faktor yang turut bertanggung jawab terhadap

penurunan jaringan otot adalah kehidupan santai fisik (sedentary) yang akan

menyebabkan atrofi otot.

186 | B A N U 4

Kebutuhan Makronutrien

Untuk mengurangi kenaikan berat badan yang tak diinginkan, asupan

energi harus diturunkan mengingat berkurangnya massa otot dan aktifitas

fisik. Pada waktu yang sama, asupan protein, vitamin dan mineral tetap

dibutuhkan dalam jumlah sama, bahkan ada yang meningkat seperti

kebutuhan vitamin B6 dan kalsium.

Kebutuhan energi lansia harus tetap memasukkan komponen efek termal

makanan, resting energy expenditure dan aktifitas fisik. Kebutuhan energi

(kilokalori/ kalori) menurun pada proses penuaan. Hal ini disebabkan oleh

karena terjadinya perubahan komposisi tubuh, yaitu menurunnya jumlah sel-

sel otot dan meningkatnya sel-sel lemak, yang menyebabkan menurunnya

kebutuhan energi untuk menjalankan fungsi tubuh. Disamping itu, aktivitas

fisik lansia biasanya menurun.

Setelah usia 50 tahun, kebutuhan energi berkurang sebesar 5% setiap 10

tahun. Studi di Indonesia maupun luar negeri menunjukkan banyaknya lansia

yang asupan energinya di bawah AKG (Angka Kecukupan Gizi). Asupan yang

jauh di bawah atau di atas AKG akan memberikan dampak yang sama yakni

dampak buruk atau kurang baik. Asupan energi sebesar 20% di bawah AKG

187 | B A N U 4

secara epidemiologi justru memberikan pengaruh yang positif. Mereka yang

usianya panjang bahkan mencapai diatas seratus tahun ternyata

mengkonsumsi energi 20% di bawah AKG. Ada 8 variabel modifier kuat yang

berperan dalam pencapaian usia panjang, di mana 3 variabelnya masuk ke

dalam kategori gizi, yaitu pengendalian berat badan, makan secara teratur

termasuk makan pagi dan konsumsi alkohol yang moderat atau tidak sama

sekali.

Menurunnya kemampuan fisik tidak berarti bahwa lansia tidak perlu

melakukan aktivitas fisik. Aktivitas fisik atau olahraga dalam batas-batas

tertentu secara teratur sangat dianjurkan. Latihan beban dapat menambah

kekuatan otot-otot, olahraga aerobik dapat meningkatkan kemampuan sistem

pernapasan, jantung dan peredaran darah, jalan kaki selama 10 menit per

hari cukup memberikan manfaat daripada tidak bergerak sama sekali.

Energi terutama diperoleh tubuh dari hasil pembakaran karbohidrat dan

lemak. Oleh sebab itu, untuk menurunkan konsumsi energi makanan, maka

konsumsi karbohidrat dan lemak perlu dikurangi. Ini berarti mengurangi

makan nasi, makanan yang terbuat dari tepung-tepungan, umbi-umbian, gula,

lemak dan minyak. Khusus bagi mereka penderita diabetes mellitus, gula

sama sekali tidak boleh dimakan. Bila kolesterol darah tinggi, kurangi

makanan lemak dan minyak serta makanan yang banyak mengandung

kolesterol. Hindari lemak dan minyak yang tergolong lemak jenuh (saturated

fats) yaitu lemak hewan, kecuali lemak ikan serta minyak kelapa dan kelapa

sawit. Gunakan minyak yang tergolong lemak tidak jenuh ganda

(polyunsaturated fats), yaitu minyak kacang tanah, kacang kedelai, jagung

atau biji bunga matahari. Lemak minyak ikan ternyata tinggi dalam asam

lemak tidak jenuh ganda, yaitu jenis omega-3 yang dapat menurunkan

kolesterol darah dan mencegah arthritis, sehingga baik dimakan pada usia

lanjut.

Kolesterol yang merupakan jenis lemak, hanya terdapat di dalam makanan

hewani, terutama otak, hati dan jeroan, daging berlemak, keju, mentega,

kuning telur, udang dan kerang. Ikan dan daging ayam yang dikeluarkan

lapisan lemaknya lebih sedikit mengandung kolesterol. Oleh karena itu, pada

188 | B A N U 4

usia lanjut sebaiknya lebih banyak makan ikan dan ayam sebagai lauk

daripada daging sapi.

Protein sebagai sumber energi tidak perlu dikurangi pada usia lanjut, karena

pada usia lanjut, protein terutama berfungsi sebagai zat pembangun dan pada

proses penuaan, protein diperlukan untuk mengganti sel-sel yang rusak.

Namun, protein tidak boleh dimakan dalam jumlah berlebihan, karena dapat

memperberat fungsi ginjal. Protein dibedakan dalam protein hewani dan

protein nabati. Protein hewani yang dianjurkan adalah ikan, daging dan ayam

tanpa lemak, susu tanpa lemak/ susu skim dan telur. Bila ada kecenderungan

kolesterol tinggi, batasi makan telur sebanyak 3-5 butir sehari. Protein nabati

terdapat dalam kacang-kacangan seperti kacang hijau, kacang tanah, kacang

merah dan kacang kedelai, termasuk produk kedelai seperti susu kedelai,

tempe dan tahu. Protein kacang-kacangan hampir sama mutunya dengan

protein hewani. Kebutuhan protein untuk lansia di USA ditentukan sebesar

0,8gr/kgBB/hari. Namun Campbell, dkk melaporkan bahwa kebutuhan protein

lansia lebih tinggi yakni sekitar 1-1,25gr/kgBB/hari. Pada lansia yang sakit,

kebutuhan dapat meningkat menjadi 1,5gr/kgBB/hari untuk dapat

mempertahankan keseimbangan nitrogen. Keadaan ini diterangkan dengan

adanya peningkatan kebutuhan protein karena terjadinya katabolisme

jaringan (penurunan massa otot) serta adanya penyakit baik yang akut

maupun yang kronik. Untuk Indonesia, berdasar Widya Karya Nasional

Pangan dan Gizi tahun 2004, maka kecukupan yang dianjurkan adalah

60gr/hari untuk laki-laki dan 50gr/hari untuk perempuan usia 60 tahun keatas

dengan berat badan standar 60 kg dan 50 kg. Dalam praktek sehari-hari pada

lansia yang dirawat, pemberian protein harus disesuaikan dengan fungsi

ginjal penderita serta jenis penyakit yang diderita lansia yang bersangkutan.

Pada dasarnya, pemberian protein harus mencukupi kebutuhan tanpa

membebani fungsi ginjal serta mempertimbangkan temuan laboratorium yang

lain.

Lipid serum merupakan prediktor kuat bagi kejadian penyakit jantung

vaskular. Oleh karena itu asupan lemak sehari-hari pada lansia diupayakan

untuk tidak meningkatkan berbagai fraksi lipid yang tidak diinginkan. Di

189 | B A N U 4

negara barat, asupan makanan sehari-hari dapat mencapai diatas 40% dari

keseluruhan energi yang masuk. Para ahli sepakat, berdasar dari berbagai

studi epidemiologi pada kelompok dewasa, bahwa asupan lemak

menyumbangkan 20% asupan energi dalam sehari dapat menurunkan risiko

terjadinya penyakit jantung koroner, oleh karena itu pada lansia asupan lemak

yang dianjurkan adalah menyumbang 20-25% energi yang dibutuhkan dalam

sehari. Lemak tetap dibutuhkan karena fungsinya sebagai pelarut vitamin A,

D, E dan K serta sumber asam lemak essensial. Selain itu, memasak dengan

minyak akan meningkatkan cita rasa dan aroma makanan, yang sangat

penting agar lansia menjadi bergairah untuk makan. Jenis lemak juga sangat

menentukan bagi kepentingan selain sebagai sumber energi. Sangat

dianjurkan bahwa sumber lemak omega-3, omega-6 ada dalam makanan

sehari-hari. Sumbernya adalah antara lain minyak nabati, kacang-kacangan,

ikan laut (lemuru, salmon, mekerel).

Mengkonsumsi kelompok kacang-kacangan lebih dari 5 kali per minggu (1

porsi = 1 ons kacang-kacangan) dapat menurunkan risiko penyakit jantung

koroner 25-39%.

Lemak jenuh, terutama yang dihidrogenisasi (lemak trans) dapat

meningkatkan kolesterol total dan kolesterol LDL serta menekan kolesterol

HDL. Harper dan Jacobson menganjurkan untuk semua umur, untuk tidak

mengkonsumsi lemak diatas 30% dari keseluruhan energi yang masuk dalam

sehari.

Kebutuhan hidrat arang biasanya dihitung by differencea dalam arti bahwa

sumbangan energi dari hidrat arang diperhitungkan sebagai sisa kebutuhan

energi sesudah memperhitungkan sumbangan energi yang berasal dari

lemak dan protein. Selain itu harus diperhatikan bahwa untuk mencegah

ketosis, minimal harus masuk 50-100 gram hidrat arang setiap harinya. Pada

lansia sumber hidrat arang yang dianjurkan adalah yang mempunyai nilai

indeks glikemik yang rendah serta cukup kadar seratnya. Konsumsi refined

carbohydrates seperti gula dan tepung-tepungan yang telah dihilangkan

kandungan seratnya sebaiknya dibatasi.

190 | B A N U 4

Kebutuhan akan air atau cairan sering dilupakan, padahal pada lansia risiko

terjadinya dehidrasi yang tidak disadari cukup tinggi oleh karena

meningkatnya persepsi haus. Lebih-lebih pada lansia yang hidup di daerah

tropik. Selain gangguan persepsi haus, penyakit kronik dan imobilitas dapat

pula menurunkan asupan air. Asupan air yang kurang dapat meningkatkan

osmolalitas serum yang kemudian dapat mengganggu keseimbangan asam

basa darah. Asupan air yang dianjurkan adalah 30ml/kgBB/hari.

Kebutuhan Mikronutrien

Kebutuhan akan sebagian besar vitamin B, C, dan E pada lansia tidak

jauh berbeda dengan kebutuhan pada usia dewasa. Namun demikian terjadi

perubahan kebutuhan akan vitamin A, B6, dan D. Kebutuhan akan vitamin B6

meningkat oleh karena penurunan atau kurang efisiennya absorpsi vitamin

tersebut terutama pada wanita. Pada usia tua, kemampuan ginjal untuk

mensintesis 1,25-(OH)2 vitamin D sebagai respon terhadap sinyal hormon

paratiroid menurun. Usus lansia juga kurang responsif terhadap sinyal 1,25-

(OH)2 vitamin D untuk meningkatkan absorpsi kalsium. Selain itu, kulit tua

juga menurun kemampuannya untuk mensintesis prokolekalsiferol yang

diubah menjadi vitamin D dengan bantuan sinar ultraviolet. Banyak studi

melaporkan penurunan vitamin D dan metabolit-metabolit aktifnya pada

lansia. Dengan demikian, lansia yang dalam dietnya rendah kandungan

vitamin dan kalsium, akan memperoleh manfaat dari suplementasi vitamin D.

Studi di Eropa melaporkan bahwa 90% lansia ternyata mengkonsumsi vitamin

di bawah AKG namun tanpa gejala defisiensi. Oleh karena itu, para ahli tidak

merekomendasikan pemberian suplemen, walaupun asupan sedikit di bawah

AKG. Suplemen vitamin A harus diberikan dengan hati-hati, karena pada

lansia metabolisme di hepar berlangsung kurang efisien. Dengan demikian,

suplemen vitamin A akan cepat meningkatkan kadar vitamin A dalam darah.

Pemberian vitamin A dua sampai tiga kali AKG dapat menimbulkan kerusakan

hepar pada lansia seperti yang dilaporkan oleh Krasinski, dkk pada tahun

1991 dan 1989.

191 | B A N U 4

Dibandingkan dengan usia dewasa dan muda, absorpsi seng dan magnesium

menurun pada lansia. Perubahan absorpsi ini dapat disebabkan penurunan

fungsi intestinum atau karena adanya penurunan kebutuhan. Defisiensi seng

yang marginal dapat berpengaruh terhadap indra pengecap dan

melambatnya penyembuhan luka.

Absorpsi kalsium menurun dengan bertambahnya umur. Pada usia muda, bila

asupan kalsium rendah akan terjadi efisiensi atau peningkatan dalam

absorpsi yang tidak terjadi pada lansia. Hal ini mungkin berhubungan dengan

penurunan respon intestinum terhadap vitamin D. Amerika Serikat

meningkatkan AKG kalsium bagi lansia hingga 1500mg/hari untuk

menurunkan risiko terjadinya osteoporosis, mengingat usia harapan hidup

yang tinggi. Studi WHO di Hongkong juga menyimpulkan perlunya suplemen

1000 mg kalsium (dari 2 gelas susu tinggi kalsium) pada wanita Asia dimana

diet sehari-harinya rendah sumber kalsium dari susu maupun olahan susu.

Studi longitudinal ini menghasilkan penurunan risiko fraktur tulang karena

osteoporosis disamping didapatkan kepadatan tulang yang lebih baik pada

mereka yang menerima suplemen dibanding yang tidak menerima suplemen.

Untuk Indonesia, AKG kalsium pada tahun 2004 masih berada pada tingkat

800mg/hari bagi lansia.

Faktor yang Mempengaruhi Kebutuhan Gizi pada Lansia

• Berkurangnya kemampuan mencerna makanan akibat kerusakan gigi

atau ompong.

• Berkurangnya indera pengecapan mengakibatkan penurunan terhadap

cita rasa manis, asin, asam, dan pahit.

• Esophagus/kerongkongan mengalami pelebaran.

• Rasa lapar menurun, asam lambung menurun.

• Gerakan usus atau gerak peristaltik lemah dan biasanya menimbulkan

konstipasi.

• Penyerapan makanan di usus menurun.

192 | B A N U 4

Makanan Sehat Lansia

Makanan sehat bagi lansia antara lain mencakupi empat sehat lima

sempurna dengan porsi yang kurang dari orang dewasa kecuali asupan

protein dan vitamin serta mineral, dimana kalsium dan zat besi juga

memerankan peranan yang penting untuk metabolisme tubuh.

Berikut ini disajikan beberapa contoh makanan sehat untuk manula yang telah

dikelompokkan:

• Sumber Karbohidrat

nasi, jagung, ketan, bihun, biskuit, kentang, mie instan, mie kering, roti

tawar, singkong, talas, ubi jalar, pisang nangka, macaroni

• Sumber Protein Hewani

daging ayam, daging sapi, hati (ayam atau sapi), telur unggas, ikan mas,

ikan kembung, ikan sarden, bandeng, bakso daging

• Sumber Protein Nabati

kacang tanah, kedelai, kacang hijau, kacang merah, kacang tolo, tahu,

tempe, oncom

• Buah-buahan

pepaya, belimbing, alpukat, apel, jambu biji, jeruk, mangga, nangka,

pisang ambon, sawo, semangka, sirsak, tomat

• Sayuran

bayam, buncis, beluntas, daun pepaya, daun singkong, katuk, kapri,

kacang panjang, kecipir, sawi, wortel, selada

• Kue

bika ambon, dadar gulung, getuk lindri, apem, kroket, kue pia, kue putu,

risoles

• Susu

Susu sapi, susu kambing, susu kerbau, susu kedelai, skim

Menu Harian untuk Lansia

Para ahli gizi menganjurkan bahwa untuk lansia yang sehat, menu

sehari-hari hendaknya:

193 | B A N U 4

• Tidak berlebihan, tetapi cukup mengandung zat gizi sesuai dengan

persyaratan kebutuhan lansia

• Bervariasi jenis makanan dan cara olahnya

• Membatasi konsumsi lemak yang tidak kelihatan (menempel pada bahan

pangan, terutama pangan hewani)

• Membatasi konsumsi gula dan minuman yang banyak mengandung gula

• Menghindari konsumsi garam yang terlalu banyak, merokok dan

minuman beralkohol

• Cukup banyak mengkonsumsi makanan berserat (buah-buahan, sayuran

dan sereal) untuk menghindari sembelit atau konstipasi

• Minuman yang cukup

Menu makanan manula dalam sehari dapat disusun berdasarkan konsep “4

sehat 5 sempuna” atau “Konsep Gizi Seimbang”.

194 | B A N U 4

Berbagai kelainan akibat kurang gizi dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik,

antara lain kehilangan lemak subkutan, ulkus dekubitus karena kekurangan

protein dan energi, edema akibat kekurangan protein, penyembuhan luka

yang lambat karena defisiensi seng dan vitamin C dan parestesia akibat

defisiensi vitamin B6.

Manifestasi klinis yang sering dijumpai pada lansia adalah gangguan

keseimbangan cairan, khususnya dehidrasi. Dehidrasi pada lansia dapat

berupa peningkatan suhu tubuh, penurunan volume kencing, penurunan

tekanan darah, mual, muntah, mental confusion dan gagal ginjal akut.

Pemantauan Status Gizi Lansia

Penapisan gizi dilakukan untuk mengetahui apakah seorang lansia

mempunyai resiko mengalami malnutrisi akibat penyakit yang diderita dana

tau perawatan di rumah sakit. Penapisan gizi dapat dilakukan dengan

Subjective Global Assessment (SGA) atau Mini Nutritional Assessment

(MNA).

SGA merupakan metode yang banyak dipakai karena sangat sederhana dan

mudah dalam pelaksanaannya. SGA meliputi wawancara dan pengamatan

mengenai berat badan dan perubahan berat badan selama 6 bulan dan 2

minggu terakhir, ada tidaknya gangguan gastrointestinal, ada tidaknya

gangguan fungsional, status metabolik dari penyakit, ada tidaknya muscle

wasting dan edema.

Kesimpulan pemeriksaan SGA adalah menggolongkan pasien dalam

keadaan status gizi baik, beresiko malnutrisi atau malnutrisi berat.

MNA mempunyai 2 bagian besar yaitu screening dan assessment, di mana

penjumlahan semua skor akan menentukan lansia pada status gizi baik,

beresiko malnutrisi atau beresiko underweight. Penelitian pada 1.145 lansia

di rumah sakit di Swiss menunjukkan skor MNA rendah berhubungan dengan

peningkatan mortalitas pasien lansia di rumah sakit.

195 | B A N U 4

Pemeriksaan Klinis

1. Pemeriksaan Fisik

Berbagai kelainan akibat kurang gizi dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik,

antara lain kehilangan lemak subkutan, ulkus decubitus karena kekurangan

protein dan energi, edema akibat kekurangan protein, penyembuhan luka

yang lambat karena defisiensi seng dan vitamin C, dan paresthesia akibat

defisiensi vitamin B6.

Manifestasi klinis yang sering dijumpai pada lansia adalah gangguan

keseimbangan cairan, khususnya dehidrasi. Dehidrasi pada lansia dapat

berupa peningkatan suhu tubuh, penurunan volume kencing, penurunan

tekanan darah, mual, muntah, mental confussion, dan gagal ginjal akut.

Pemantauan status nutrisi dalam hal ini juga dapat dilakukan dengan:

Penimbangan Berat Badan (BB)

Penimbangan berat badan dilakukan secara teratur minimal 1 minggu sekali,

waspadai bila terjadi peningkatan berat badan atau penurunan berat badan

lebih dari 0.5 kg/minggu. Peningkatan berat badan lebih dari 0.5 kg dalam 1

minggu berisiko terhadap kelebihan berat badan, penurunan berat badan

lebih dari 0.5 kg/minggu menunjukkan kekurangan berat badan.

Menghitung berat badan ideal dengan menggunakan rumus:

Berat Badan Ideal (BBI) = 0.9 x (TB (dalam cm) – 100)

Catatan:

Untuk wanita dengan TB < 150cm dan pria dengan TB < 160cm, digunakan

rumus:

Berat Badan Ideal (BBI) = TB (dalam cm) – 100

Jika BB lebih dari ideal artinya gizi berlebih dan jika BB kurang dari ideal

artinya gizi kurang.

Kekurangan gizi yang sering dijumpai pada lansia adalah:

a. Kekurangan kalori protein

Waspadai lansia dengan riwayat pendapatan yang kurang, kurang

bersosialisasi, hidup sendirian, kehilangan pasangan hidup atau

teman, kesulitan mengunyah, pemasangan gigi palsu yang kurang

tepat, sulit untuk menyiapkan makanan, sering mengkonsumsi obat-

196 | B A N U 4

obatan yang mengganggu nafsu makan, nafsu makan berkurang,

makanan yang ditawarkan tidak mengundang selera. Karena hal ini

dapat menurunkan asupan protein bagi lansia, akibatnya lansia

menjadi lebih mudah sakit dan tidak bersemangat.

b. Kekurangan vitamin D

Biasanya terjadi pada lansia yang kurang mendapatkan paparan

sinar matahari, jarang atau tidak pernah minum susu, dan kurang

mengkonsumsi vitamin D yang banyak didapatkan pada ikan, hati,

susu dan produk olahannya.

2. Keterbatasan fisik

Status gizi dapat dipengaruhi oleh fungsi tubuh yang berhubungan

dengan pola makan. Misalnya, berkurangnya fungsi indra penglihatan

dan pendengaran seringkali menyebabkan seorang lansia merasa

terisolasi dan berakibat pada penurunan selera dan asupan makan. Gigi

geligi yang tanggal atau terdapat karies, penyakit pada gusi dan

penurunan produksi saliva yang berakibat mulut kering (xerostomia) akan

mempengaruhi pemilihan makanan dan dapat menurunkan asupan zat

gizi. Perubahan indera perasa dan penciuman akibat infeksi saluran

nafas berulang dan penggunaan obat-obatan jangka panjang juga dapat

mempengaruhi asupan makanan pada lansia. Gangguan fungsi menelan

(disfagia) pada lansia umumnya merupakan proses patologis pada

susunan saraf dan memerlukan pengelolaan gizi yang tepat.

Masalah gastrointestinal yang sering ditemui adalah intoleransi makanan

termasuk didalamnya intoleransi laktosa dan alergi makanan. Meskipun

banyak dijumpai pada dewasa muda, gluten sensitivity enteropathy

(celiac disease) dapat juga ditemui pada individu usia 70 tahun atau lebih

dengan gejala yang tidak khas seperti lemah dan anemia ringan. Semua

produk makanan yang mengandung gluten harus dihilangkan dari

makanan penderita. Dispepsia pada lansia ditandai dengan nyeri ulu hati,

rasa penuh/ sebah, penyebabnya antara lain konsumsi obat seperti

aspirin, anti-inflamasi, konsumsi minuman beralkohol yang berlebihan

dan stres psikologis. Kelainan-kelainan pada saluran cerna ini juga akan

197 | B A N U 4

menurunkan asupan makanan dan status gizi lansia. Berbagai penyakit

kronis yang diderita lansia dan pengobatan yang diberikan juga

mengganggu asupan makan lansia. Sehingga berbagai obat yang

dikonsumsi oleh lansia baik dari resep dokter, obat bebas dan jamu harus

dinilai pengaruhnya terhadap asupan makanan seorang lansia.

3. Pemeriksaan Fungsional

Gangguan fungsi pada kemampuan untuk berbelanja, menyiapkan

makanan dan makan secara mandiri dapat mengganggu asupan makan

seorang lansia. Seorang lansia yang dapat bergerak bebas di dalam

rumah akan dapat menyiapkan makanan sesuai yang diinginkan,

sedangkan lansia yang menderita stroke misalnya, tidak dapat bergerak

bebas untuk menyiapkan makanan sesuai seleranya, sehingga hanya

bergantung kepada orang lain untuk makan.

Fungsi kognitif dan psikologis juga menentukan status gizi lansia.

Sebagian besar kehilangan berat badan pada lansia disebabkan oleh

depresi. Anoreksia, mual dan muntah dapat disebabkan karena

polifarmasi. Berkurangnya fungsi ingatan juga dapat mengurangi asupan

seorang lansia.

4. Pengukuran Antropometri

Indeks Massa Tubuh (IMT) merupakan salah satu pengukuran

antropometri yang banyak dilakukan untuk mengevaluasi status gizi

lansia. IMT yang rendah berhubungan dengan penurunan kemampuan

fungsional dan peningkatan mortilitas pada lansia. Berbagai pengukuran

lain seperti tebal lemak bawah kulit (pengukuran skinfold) juga dapat

dipakai untuk penentuan status gizi lansia.

5. Pemeriksaan Laboratorium

Protein

Pengukuran simpanan protein tubuh seperti serum albumin, transferin

dan total iron binding capacity (TIBC) sering dipakai untuk mengukur

status gizi lansia. Hipoalbumin merupakan prediktor yang baik untuk

defisiensi protein pada lansia. Namun, albumin banyak terpengaruh pada

status hidrasi, fungsi hati dan adanya penyakit ginjal atau saluran cerna

198 | B A N U 4

pada lansia yang menyebabkan kehilangan protein, sehingga penentuan

status gizi pada lansia dengan menggunakan serum albumin harus

dilakukan setelah faktor-faktor lain disingkirkan. Waktu paruh albumin

yang panjang (14-20 hari) menjelaskan mengapa serum albumin

bereaksi lambat terhadap terapi.

Kolesterol

Serum kolesterol yang rendah pada lansia juga merupakan indikator

status gizi yang kurang pada lansia.

6. Assessmen Diet

Metoda pengukuran asupan gizi pada lansia yang tepat sangat sulit

karena keterbatasan fisik dan psikologis dari lansia. Beberapa perangkat

yang sering di gunakan adalah Mini Nutritional Assessment (MNA) dan

Subjective Global Assessment (SGA). Food Frequency Questionnaire

(FFQ) yang sederhana dapat digunakan untuk menilai asupan gizi lansia.

Pada lansia yang mampu menulis dapat digunakan 3-day record, dimana

dengan metode ini seorang lansia diminta menuliskan apa saja yang

dikonsumsi dalam 3 hari (2 hari biasa dan 1 hari libur). Recall 24 jam juga

sering dipakai untuk menilai status gizi lansia. Namun, karena

keterbatasan fungsi ingatan pada lansia, metode ini dianggap kurang

sahih. Dari pemeriksaan diatas, maka disusun diagnosis gizi pada lansia.

Berdasarkan diagnosis gizi tersebut, diberikan intervensi gizi yang

sesuai.

Mini Nutritional Assesment (MNA)

Mini Nutritional Assesment (MNA) merupakan bentuk penapisan gizi

yang dilakukan untuk mengetahui apakah seorang lansia mempunyai

risiko mengalami malnutrisi akibat penyakit yang diderita dan atau

perawatan di rumah sakit. MNA ini merupakan metode yang banyak

dipakai karena sangat sederhana dan mudah dalam pelaksanaannya.

Penelitian yang dilakukan pada 200 pasien pre-operasi gastrointestinal

menunjukkan bahwa MNA dapat dilakukan oleh para klinisi terlatih,

mempunyai reprodusibilitas tinggi dapat menapis pasien yang

mempunyai risiko menderita malnutrisi.

199 | B A N U 4

Kesimpulan pemeriksaan MNA adalah menggolongkan pasien dalam

keadaan status gizi baik, berisiko malnutrisi, dan malnutrisi berat. MNA

mempunyai 2 bagian besar yaitu screening dan assessment, dimana

penjumlahan semua skor akan menentukan seorang lansia pada status gizi

baik, berisiko malnutrisi atau berisiko underweight.

200 | B A N U 4

201 | B A N U 4

Subjective Global Assessment (SGA)

Kualitas data dalam hal ini sangat di pengaruhi oleh kemampuan klinisi

mengkomunikasikan secara efektif pada pasien. Ketajaman

mengobservasi indikator-indikator fisik yang relevan dan berkaitan

dengan status nutrisi. Dua komponen dasar yang di perhatikan dalam

penilaian SGA adalah anamnesis dan pemeriksaan fisik.

Penentuan malnutrisi dengan SGA dengan melihat indikator di bawah ini:

1. Penurunan BB > 10% dalam 6 bulan terakhir, terutama dalam

beberapa minggu terakhir

2. Asupan makanan berkurang drastic

3. Kehilangan masa otot dan lemak (asites dan edema)

4. Gejala traktus gastrointestinal yang persisten dalam 2 minggu terakhir

(mual, muntah, anoreksia, diare)

5. Kapastitas fisik berkurang jauh

6. Stres metabolik karena trauma, inflamasi, dan infeksi

Untuk penilaian dilihat perubahan yang menyertai setiap kombinasi dari

3 kondisi di atas, terutama 3 kondisi pertama menunjukan malnutrisi

berat.

Masalah Gizi pada Lansia

1. Kehilangan Berat Badan

Kehilangan berat badan pada lansia dapat dikelompokkan menjadi tiga

bagian besar yaitu:

Wasting, kehilangan berat badan yang tidak disadari, pada umumnya

karena asupan yang tidak adekuat. Asupan yang tidak adekuat

disebabkan oleh penyakit maupun faktor psikososial.

Cachexia, kehilangan masa tubuh bebas-lemak yang tidak disadari

yang disebabkan oleh proses katabolisme, ditandai oleh peningkatan

metabolic rate dan peningkatan pemecahan protein.

Sarcopenia, kehilangan masa otot yang tidak disadari sebagai

bagian dari proses penuaan. Kadang-kadang tidak ada penyakit

yang mendasari.

202 | B A N U 4

Faktor risiko terjadinya malnutrisi pada lansia antara lain beberapa faktor

medis seperti selera makan rendah, gangguan gigi geligi, disfagia,

gangguan fungsi pada indera penciuman dan pengecap, pernafasan,

saluran cerna, neurologi, infeksi, cacat fisik dan penyakit lain seperti

kanker. Kurangnya pengetahuan mengenai asupan makanan yang baik

bagi lansia, kesepian karena terpisah dari sanak keluarga dan

kemiskinan juga menentukan status gizi lansia. Adanya faktor psikologis

seperti depresi, kecemasan dan demensia mempunyai kontribusi yang

besar dalam menentukan asupan makanan dan zat gizi seorang lansia.

Pada lansia yang dirawat di rumah sakit, beberapa keadaan seperti

makanan rumah sakit dengan pilihan dan rasa makanan yang kurang

203 | B A N U 4

disukai, waktu makan terbatas, tidak mampu makan mandiri,

pemandangan, suara dan bau di sekitar yang tidak menyenangkan,

kebutuhan meningkat karena penyakitnya, puasa untuk prosedur

pemeriksaan dapat menjadi faktor risiko terjadinya malnutrisi.

2. Kehilangan Massa Otot

Pada proses penuaan, seseorang akan kehilangan massa otot, hal ini

lebih nyata terlihat pada perempuan. Penurunan massa otot dan massa

sel tubuh disertai dengan penurunan kekuatan otot serta gangguan fungsi

kekebalan tubuh dan fungsi paru-paru. Penurunan kekuatan otot ini

merupakan penyebab sebagian besar ketidakmampuan orang lanjut usia

dalam berbagai hal, di antaranya kemampuan berjalan. Penyebab

kehilangan massa otot ini hingga sekarang belum diketahui dengan pasti.

Faktor-faktor yang berpengaruh adalah kurangnya aktivitas fisik dan

hormon pertumbuhan yang disertai kekurangan gizi (terutama

kekurangan energi dan protein) serta penyakit dan proses penuaan itu

sendiri.

204 | B A N U 4

3. Obesitas

Masalah yang sering timbul pada orang usia lanjut adalah kelebihan berat

badan dan obesitas. Perubahan komposisi tubuh yang terjadi pada lansia

memberikan kontribusi terjadinya obesitas terutama obesitas sentral.

Proporsi lemak intra-abdominal meningkat secara progresif seiring

dengan meningkatnya usia. Penurunan asupan energi dan Total Energy

Expenditure (TEE) juga menurun karena penurunan aktivitas fisik

terutama pada lansia yang sakit dan penurunan Basal Metabolic Rate

(BMR). Pada lansia yang mengalami obesitas, penurunan berat badan

dapat menurunkan kesakitan karena arthritis, diabetes, dan menurunkan

risiko penyakit kardiovaskular dan meningkatkan kualitas hidup.

Peningkatan aktivitas fisik pada lansia dapat memperbaiki kekuatan otot

dan kesehatan lansia secara keseluruhan. Kegemukan pada lanjut usia

dapat dicegah melalui olahraga secara teratur dan membatasi makanan

yang padat energi. Pemeliharaan berat badan dalam batas-batas normal

pada orang lanjut usia diperlukan untuk menjaga kekuatan fisik, daya

tahan terhadap infeksi, serta pencegahan penurunan mutu kulit dan mutu

kehidupan.

4. Osteoporosis

Setelah usia 30 tahun, seorang individu mulai kehilangan masa

tulangnya. Pada wanita, kehilangan masa tulang akan semakin

meningkat setelah terjadinya menopause, sehingga lansia wanita

mempunyai risiko tinggi untuk patah tulang (osteoporosis tipe I). Pada

lansia laki-laki, juga mempunyai risiko untuk menderita patah tulang pada

usia sangat lanjut, yaitu setelah 70 tahun (osteoporosis tipe II).

Osteoporosis dapat dicegah dengan asupan kalsium dan vitamin D yang

cukup, olahraga, menghindari rokok, dan minum-minuman beralkohol.

Bila sudah terjadi osteoporosis, penatalaksanaan yang dapat dilakukan

antara lain menurunkan resorpsi tulang dengan terapi sulih hormon dan

biphosponat atau menstimuli pembentukan tulang dengan pemberian

fluorida, calcitonin, dan calcitriol.

205 | B A N U 4

5. Anemia Gizi

Anemia gizi dapat terjadi pada lansia karena asupan makanan yang

menurun atau efek samping obat-obatan. Pada umumnya lansia yang

mempunyai berat badan rendah juga menderita anemia. Anemia gizi

yang terjadi pada lansia umumnya adalah anemia defisiensi besi,

meskipun anemia vitamin B12 (anemia perniciosa) juga sering ditemui.

Suplementasi besi dan vitamin B12 dapat diberikan pada lansia,

diberikan mulai dosis rendah dan dapat dinaikkan secara bertahap untuk

menghindari efek samping obat. Pemberian makanan sumber zat besi

dan vitamin B12 dengan asupan kalori dan protein yang cukup membantu

mengatasi anemia defisiensi besi dan vitamin B12.

Kesimpulan

Penuaan dapat terlihat secara fisik karena terjadi perubahan pada tubuh dan

berbagai organ serta penurunan fungsi tubuh serta organ tersebut.

Meningkatnya umur, kemampuan kita dalam mengecap, mencerna,

menyerap dan metabolisme makanan akan berubah. Status nutrisi seseorang

akan berpengaruh terhadap setiap sistem tubuh. Kebutuhan asupan kalori

sehari-hari yang disarankan (Recommended Daily Allowance [RDA]) pada

lansia yang berusia 65 sampai 75 tahun 2300 kkal. RDA untuk lansia di atas

usia 75 tahun diturunkan menjadi 2050 kkal, konsumsi kalori dari karbohidrat

kompleks yang diharuskan sebanyak 55-65% dan kurang dari 30% lemak,

serta porsi sisanya adalah protein. Angka kecukupan gizi rata-rata orang tua

di Indonesia disesuaikan menurut Widya Karya Pangan dan Gizi tahun 2004.

Makanan sehat bagi lansia antara lain mencakupi empat sehat lima sempurna

dengan porsi yang kurang dari orang dewasa kecuali asupan protein dan

vitamin serta mineral. Tidak hanya cukup sampai pemenuhan kebutuhan

nutrisi pada lansia, pemantauan juga perlu dilakukan secara cermat untuk

memantau perkembangan yang ada. Penapisan gizi dilakukan untuk

mengetahui apakah seorang lansia mempunyai risiko mengalami malnutrisi

akibat penyakit yang diderita dan atau perawatan di rumah sakit. Penapisan

206 | B A N U 4

gizi dapat dilakukan dengan Mini Nutritional Assessment (MNA) atau

Subjective Global Assesment (SGA).

Daftar Pustaka

Almatsier, Sunita. 2011. Gizi Seimbang dalam Daur Kehidupan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Bauer, J.M., Kaiser, M.J., Anthony, P., Guigoz, Y., Sieber, C.C. 2008. The Mini Nutritional Assessment-Its History, Today Practice, and Future Perspective. Nutr Clin Pract. Aug-Sep:23(4):388-96. Bustamy, M. 2016. Route, Monitoring, and Complication of Enteral and Parenteral Feeding. Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah Nasional. Banten. Kebutuhan Nutrisi dan Cairan pada Lansia. Available from: URL: http://www.scribd.com/doc/31812812/Kebutuhan-Gizi-Pada-Lanjut-Usia Martono, H., Hadi, Kris Panarka. 2009. Buku Ajar Boedhi-Darmojo GERIATRI (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Sobaryati. 2016. Nutrition Screening & Assesment in Stroke Patient. Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah Nasional. Banten. Soekirman. 2006. Hidup Sehat: Gizi Seimbang dalam Siklus Kehidupan Manusia. Jakarta: PT Primamedia Pustaka. Sudoyo, W. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Nutrisi pada Geriatric. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI. Suomenen, M. 2007. Nutrition and Nutritional care of Elderly People In Finnish Nurshing Home and Hospital. Helsinki. Vellas, B., Villars, H., Abellan, G., Soto, M.E., Rolland, Y., Guigoz, Y., Morley, J.E., Garry, P. 2006. Overview of the MNA-Its Histroy and Challenges. J Nutr Health Aging. Nov-Dec:10(6):456-63.

207 | B A N U 4

NEUROPATI PERIFER PADA LANJUT USIA

Ni Putu Witari Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Jumlah penduduk lanjut usia (lansia) di negara maju dan berkembang,

termasuk Indonesia terus meningkat. Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi

Nasional (Susenas) tahun 2010, jumlah lansia di Indonesia yaitu 18.1 juta jiwa

(7.6% total penduduk) dan meningkat menjadi 8.03% tahun 2014 (Mustari

dkk, 2015). Neuropati perifer merupakan kondisi penting yang berpengaruh

pada disabilitas lansia. Kejadian neuropati perifer mencapai 8%, proporsinya

meningkat dengan bertambahnya usia. Neuropati perifer dapat mengganggu

aktifitas sehari-hari, meningkatkan risiko jatuh, terjadinya trauma dan

menurunnya kualitas hidup pada lansia (Strait dan Medcalf, 2012).

Ada banyak penyebab neuropati pada lansia meliputi neuropati yang didapat

(GBS, CIDP), terkait penyakit sistemik (seperti necrotizing vasculitis, DM,

sarcoidosis), terkait keganasan, disglobulinemia, defisiensi vitamin B12 dan

thiamine, infeksi (HIV, Lyme disease, Lepra) dan neuropati herediter dengan

onset lambat. Di negara maju, penyebab spesifik teridentifikasi pada 72%

kasus, adanya komorbiditas menyulitkan diagnosis (Suzuki, 2013).

Neuropati perifer dapat diklasifikasikan berdasarkan pola keterlibatan saraf,

waktu perjalanan penyakit dan patologi yang mendasarinya. Berdasarkan

pola keterlibatan saraf dikenal mononeuropati, mononeuropati multipleks,

polineuropati simetris, poliradikulopati, ataupun aksonopati, sedangkan

berdasarkan waktu perjalanan penyakitnya: akut bila mencapai defisit

maksimal kurang dari 4 minggu (misal GBS), subakut bila mencapai defisit

maksimal dalam 4-8 minggu dan kronik bila lebih dari 8 minggu. Patologi

dasar dapat berupa aksonal neuropati, demyelinisasi maupun campuran

(Strait dan Medcalf, 2012).

Mengingat manifestasi klinis neuropati sangat bervariasi dengan etiologi

beragam, diperlukan evaluasi sistematis dan menyeluruh meliputi klinis,

laboratorium penunjang dan tes elektrodiagnostik, agar dapat direncanakan

terapi dengan baik. Dalam anamnesa perlu data akurat mengenai onset,

208 | B A N U 4

durasi, distribusi, episode keluhan sebelumnya, keluhan-keluhan ringan yang

mendahului, progresifitas, gangguan keseimbangan dan berjalan serta

gangguan fungsional lainnya. Perlu juga diketahui riwayat keluarga, riwayat

sosial (pekerjaan, paparan toksik, penggunaan obat-obatan, kebiasaan

makan, fungsi seksual), gejala-gejala penyerta seperti gejala konstitusional,

serta adanya penyakit sistemik atau keganasan (Herskovitz dkk, 2010;

Suzuki, 2013).

Pemeriksaan fisik umum meliputi inspeksi ektremitas, apakah ada perubahan

trofik, warna kulit, temperatur, adanya deformitas (pes cavus, pes planus,

hummer toes, dll) atau tremor. Pemeriksaan kekuatan otot, refleks fisiologis

serta pemeriksaan sensorik raba, nyeri, proprioseptif dan vibrasi hendaknya

dikerjakan dengan cermat (Herskovitz dkk, 2010).

Pemeriksaan elektrodiagnostik, mencakup pemeriksaan hantar saraf

dan elektromiografi jarum, membantu dalam konfirmasi distribusi neuropati

dan menentukan tipe kerusakan. Klasifikasi subtipe mononeuropati,

mononeuropati multipleks atau polineuropati sangat penting untuk diagnosis

spesifik (England dan Asbury, 2004).

209 | B A N U 4

Biopsi n. cutaneus mungkin diperlukan untuk mengkonfirmasi amiloidosis,

sarkoidosis atau neuropati vaskulitis. Biopsi saraf hanya dipertimbangkan

setelah analisa menyeluruh, mencakup klinis, labaratorium, pemeriksaan

LCS, elektrodiagnostik serta tes DNA pada kasus yang dicurigai (Suzuki,

2013).

Neuropati Demyelinisasi Akut – Guillain-Barre Syndrome (GBS)

GBS merupakan penyebab tersering paralisis flasid yang akut. Dikenal

empat subtipe yaitu: Acute Inflammatory Demyelinating

210 | B A N U 4

Poliradiculoneuropathy (AIDP), Acute Motor Axonal Neuropathy (AMAN),

Acute Motor and Sensory Neuropathy (AMSAN) dan Fisher syndrome

(Suzuki, 2013). AIDP adalah subtipe yang paling sering dijumpai di Eropa dan

Amerika Utara, pada sekitar 90% kasus. Sedangkan GBS dengan kerusakan

aksonal lebih sering dijumpai di Asia, Amerika Tengah dan Selatan, pada

sekitar 30-47% kasus. AMAN sering dihubungkan dengan antibodi terhadap

gangliosida GM1, GM1b, GD1a, dan GalNAc-GD1a dan adanya enteritis oleh

Campylobacter jejuni sebelumnya. Beberapa kejadian GBS juga didapatkan

setelah vaksinasi (Herskovitz dkk, 2010).

Insiden GBS mencapai 1.2-1.9 kasus per 100.000 di Eropa, 0.6-4 kasus per

100.000 penduduk di dunia. Laki-laki 1.5 kali lebih rentan dibandingkan

wanita. Insiden meningkat pada usia tua, dijumpai 1 kasus per 100.000 pada

usia kurang 30 tahun, menjadi sekitar 4 kasus per 100.000 pada mereka di

atas 75 tahun (Suzuki, 2013).

Kejadiannya bersifat akut, dengan kelemahan yang simetris dan progresif,

dapat melibatkan nervi kranialis. Keluhan sensoris dijumpai bervariasi. Pasien

dengan kelumpuhan berat kadang hingga memerlukan ventilator di ruang

rawat intensif. Plasmapharesis dan IVIg direkomendasikan untuk terapi GBS

(Strait dan Medcalf, 2012).

Chronic Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy (CIDP)

CIDP adalah neuropati perifer yang diduga akibat autoimun, bersifat

progresif lambat atau relaps remisi, dengan manifestasi klinis bervariasi. CIDP

dapat terjadi pada semua umur, namun paling sering mengenai laki-laki usia

lanjut. Penyakit ini cenderung bersifat progresif lambat pada usia lanjut dan

relaps remisi bila mengenai usia lebih muda.

Prevalensi CIDP mencapai 1.24 kasus per 100.000 di Inggris, 1.61 kasus per

100.000 di Jepang, 3.58 kasus per 100 000 di Piemonte, Italia, dan 7.7 kasus

per 100.000 di Vest-Agder, Norwegia. Prevalensi spesifik umur mencapai 6.7

per 100.000 pada usia 7-79 tahun. Dalam sebuah penelitian retrospektif,

neuropati dengan disabilitas pada usia lanjut didapatkan 32% kasus akibat

CIDP (Suzuki, 2013).

211 | B A N U 4

CIDP merupakan polineuropati demyelinisasi yang non length dependent

yang berkembang secara kronis dalam beberapa bulan. Dapat bersifat

progresif maupun relaps remisi. Pemeriksaan elektrodiagnostik terlihat bahwa

CIDP bersifat asymmetrical demyelinating process. Analisis LCS

menunjukkan peningkatan kadar protein (England dan Asbury, 2004).

Imunomodulasi dengan IVIg, steroid, imunosupresif dan plasma exchange

digunakan dalam terapi CIDP, yang mendukung mekanisme autoimun yang

mendasari penyakit ini (Suzuki, 2013).

Neuropati Diabetes

Merupakan penyebab neuropati paling sering di negara berkembang

(England dan Asbury, 2004). Kejadian neuropati diabetes meningkat dengan

durasi menderita DM dan buruknya kontrol gula darah. Kejadian neuropati DM

dapat mencapai 26.4% dari seluruh penderita DM tipe 2, menimbulkan

gangguan aktifitas harian seperti mengerjakan tugas rumah tangga, berjalan

yang lambat, gangguan keseimbangan dan jatuh (Herskovitz, 2010).

Pola yang paling sering dijumpai adalah distal symmetrical sensory

polyneuropathy dengan gangguan otonom, sering bersifat progresif atau

kadang stabil dalam periode waktu yang lama. Beberapa pola neuropati

perifer lainnya meliputi symmetrical sensory-motor polyneuropathy, truncal

radiculopathy, plexopathy dan proximal motor neuropathy. Kelumpuhan

okulomotor, tersering N. III dan N. VI dilaporkan pada 1% pasien DM,

biasanya pada pasien dengan durasi sakit yang lama dan usia tua.

Penyembuhan yang komplit dan spontan terjadi dalam beberapa minggu

(Suzuki, 2013; Herskovitz, 2010).

Dalam jumlah kecil, pasien DM usia > 50 tahun dapat mengalami proximal

neuropathy extremitas bawah yang ditandai nyeri dan gangguan sensoris

dengan kelemahan dan atrofi unilateral atau bilateral otot-otot proksimal.

Penurunan berat badan seing terjadi pada kondisi ini. Neuropati jenis ini

dihubungkan dengan vaskulopati inflamasi pada biopsi saraf. Disfungsi

otonom dapat terjadi pada pasien DM dan mengenai sistem kardiovaskular,

212 | B A N U 4

gastrointestinal, urogenital dan fungsi sudomotor (Herskovitz, 2010; Strait dan

Medcalf, 2012).

Neuropati Vaskulitis Primer dan Sekunder

Vaskulitis adalah proses inflamasi pembuluh darah baik primer

maupun sekender akibat berbagai kondisi yang menimbulkan neuropati

perifer. Vaskulitis primer terjadi pada necrotizing vasculitis, di mana gejala

neuropati terjadi bersamaan dengan gangguan pada multi sistem. Vaskulitis

sekunder terjadi akibat infeksi ataupun keganasan, di mana ia menginduksi

kerusakan saraf akibat iskemik, selain lesi saraf yang diinduksi oleh penyakit

dasar itu sendiri. Infeksi hepatitis C, HIV dan cytomegalovirus dapat

menyebabkan vaskulitis neuropati. Inflamasi saraf dan vaskulitis juga terjadi

pada DM dengan proximal diabetic neuropathy (Suzuki, 2013).

Neuropati vaskulitis bersifat akut atau subakut dengan pola mononeuritis

multipleks, dapat progresif lambat pada orang tua. Pemeriksaan

elektrofisiologi menunjukkan neuropati aksonal, asymmetrical atau non length

dependent. Karena perlu pengobatan imunosupresan jangka panjang,

diagnostis neuropati vaskulitis perlu konfirmasi biopsi saraf (Suzuki, 2013).

Neuropati pada Chronic Kidney Disease (CKD)

Uremik polineuropati merupakan manifestasi gangguan neurologi

tersering pada CKD, 60-100% pasien CKD dengan dialisis, bersifat length

dependent dengan keluhan awal parestesia akibat terkenanya serat sensoris

tebal bermielin. Pemeriksaan elektrofisiologis menunjukkan degenerasi

aksonal dan demielinisasi segmental sekender (Suzuki, 2013).

Carpal Tunnel Syndrome juga sering terjadi pada pasien CKD, mencapai 26%

pasien dengan dialisis > 4 tahun. Restless leg syndrome terjadi pada 15-20%

(Herskovitz, 2010).

Neuropati akibat Defisiensi Vitamin B12

Sekitar 15% lanjut usia di atas 60 tahun mengalami defisiensi vitamin

B12 (cobalamin), terbanyak dikaitkan dengan gangguan absopsi akibat

213 | B A N U 4

gastritis atropik. Penderita mengeluhkan polineuropati sensoris yang ringan

yang responnya baik dengan pemberian vitamin B12 oral atau parenteral

(Herskovitz, 2010).

Neuropati dan Paraproteinemia

Kondisi paraproteinemia dengan atau tanpa diskrasia plasma sel

dapat menyebabkan neuropati kronik pada lansia. Monoclonal gammopathy

of undetermined significance (MGUS) lebih sering terjadi pada lansia.

Monoclonal gammopathy dijumpai 1% pada usia >50 tahun, 3% pada usia

>70 tahun. Ternyata 10% pasien neuropati perifer idiopatik dijumpai

monoclonal gammopathy, sehingga semua pasien dengan distal symmetrical

neuropathy demyelinisasi progresif lambat harus diperiksa elektroforesis

protein serum dan imunoelektroforesis (Suzuki, 2013).

Neuropati Perifer dan Malignansi

Multiple myeloma merupakan keganasan hematologi, 1% dari seluruh

keganasan, 10% dari seluruh keganasan hematologi. Keganasan ini terutama

mengenai lanjut usia, keluhan neuropati perifer dapat terjadi akibat deposit

amiloid maupun neurotoksisitas agen terapi (Strait dan Medcalf, 2012).

Neuropati perifer dapat menjadi bentuk sindrom paraneoplastik. Brachial

plexopathy sering terjadi pada pasien dengan kanker payudara dan paru.

Lumbosacral plexopathy sering pada keganasan kolorektal, ginekologi dan

limpoma. Paresis nervi kranialis juga dapat merupakan metastase proses

karsinoma atau limpoma (England dan Asbury, 2014).

Neuropati Perifer Drug-Induced

Bahan toksik yang mungkin berperan dapat berasal dari bahan kimia

industri, lingkungan maupun obat-obatan. Obat anti neoplasma paling sering

menjadi penyebab drug induced neuropathy pada lansia, seperti vincristine,

cisplatin dan suramin (Suzuki, 2013).

214 | B A N U 4

Ringkasan

Neuropati perifer sering terjadi pada lanjut usia, dapat karena kerusakan

akson, myelin atau keduanya. Risiko jatuh dan disabilitas akibat nyeri dan

terbatasnya aktifitas fisik sering dialami lansia denga neuropati perifer yang

dapat menurunkan kualitas hidup mereka. Diperlukan tatalaksana

multidisiplin dalam tatalaksana neropati perifer pada lansia.

DAFTAR PUSTAKA

England, J.D., Asbury, A.K. 2004. Peripheral neuropathy. Lancet. 363:2151–61. Herskovitz, S., Scelsa, S., Schaumburg, H. 2010. Peripheral Neuropathies in Clinical Practice. London Oxford University Press. p.24-31. Mustari, A.S. 2015. Statistik Penduduk Lanjut Usia. Jakarta: Badan Pusat Statistik. p.21. Strait, S., Medcalf, P. 2012. Peripheral Neuropathy in Older People. Midlife and Beyond gmjournal. London: p 47-52. Suzuki, M. 2013. Handbook of Clinical Neurology. Vol. 115 (3rd series). Elsevier B.V. p.803-813.

215 | B A N U 4

LONG-TERM CARE OPTION FOR THE AGING

Anak Agung Ayu Meidiary Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Abstrak

Keberhasilan pembangunan di bidang kesehatan ditandai dengan

meningkatnya umur harapan hidup disertai peningkatan populasi lansia

beserta dampaknya. Berdasarkan hasil survei sosial ekonomi (Susenas)

2014, jumlah lansia Indonesia 8,03%. Proses penuaan dipengaruhi oleh faktor

endogen dan eksogen. Faktor endogen meliputi anatomi fisiologi organ tubuh

dan faktor eksogen meliputi gaya hidup, merokok, nutrisi, inaktivitas. Kedua

faktor akan mempengaruhi pola kesehatan pada populasi lansia. Makalah ini

membahas pilihan pelayanan kesehatan lansia, meliputi stimulasi kognisi,

gaya hidup sehat, nutrisi dan olah raga yang dikemas dalam usaha-usaha

promotif, preventif dan kuratif yang bisa dilakukan di semua tempat pelayanan

kesehatan lansia sesuai kondisi.

Kata kunci: lansia, penyakit degeneratif, long-term care option for the aging

Pendahuluan

Keberhasilan pembangunan di bidang kesehatan satunya ditandai

dengan peningkatan umur harapan hidup. Peningkatan umur harapan hidup

ini akan mengakibatkan peningkatan populasi lanjut usia, namun dapat juga

menimbulkan perubahan epidemiologi penyakit berupa peningkatan angka

kesakitan karena penyakit degeneratif.

Di Indonesia, umur harapan hidup (UHH) tahun 2000–2005 mencapai umur

66,4 tahun dengan persentase lansia tahun 2000 adalah 7,74%. Angka ini

meningkat tahun 2045–2050 mencapai umur harapan hidup 77,6 tahun di

mana persentase lansia tahun 2045 adalah 28,68%. Menurut laporan badan

pusat statistik (BPS) tahun 2000 UHH di Indonesia 64,5 tahun (dengan

persentase lansia 7,18%), kemudian UHH meningkat menjadi 69,43 tahun

(dengan persentase lansia 7,56%) dan pada tahun 2011 UHH menjadi 69,65

216 | B A N U 4

tahun (dengan persentase populasi lansia adalah 7,58%) (Kemenkes RI,

2013).

Meningkatnya populasi lansia yang disertai perubahan epidemiologi

kesehatan berupa peningkatan angka kesakitan karena penyakit degeneratif

membuat pemerintah dan masyarakat terkait khususnya tenaga kesehatan

bertanggung jawab merencanakan dan melaksanakan program dengan

tujuan mendapatkan sumber daya manusia dari kelompok umur lansia yang

sehat dan dapat berperan dalam pembangunan dan tidak menjadi beban bagi

masyarakat dan keluarga. Penulisan ini membahas kondisi dan perubahan

pada lansia di bidang kesehatan dan program yang sudah dan mungkin bisa

ditambahkan dalam upaya meningkatkan kesehatan lansia.

Data Demografi Usia lanjut

Keberhasilan program pembangunan di bidang kesehatan mampu

menjadikan penduduk Indonesia dapat bertahan hidup lebih lama. Program

tersebut diantaranya adalah program imunisasi, program pembangunan

infrastruktur kesehatan, dan program jaminan kesehatan (Statistik penduduk

lanjut usia, 2014).

Berdasarkan hasil survei sosial ekonomi nasional (Susenas) 2014 jumlah

rumah tangga (RT) lansia adalah 16,8 juta rumah tangga atau 24,50%. Yang

dimaksud dengan RT lansia adalah RT yang memiliki paling sedikit satu

anggota keluarga berusia 60 tahun ke atas. Sedangkan jumlah lansia di

Indonesia adalah 20,24 juta jiwa atau 8,03% dari penduduk Indonesia (Badan

Pusat Statistik Jakarta Indonesia, 2015).

Berdasarkan hasil Susenas tahun 1994 dan 2014 terjadi peningkatan

penduduk usia lanjut seperti ditunjukkan pada gambar 1. Dari kedua piramida

tersebut terlihat ujung piramida yang dimulai dari kelompok usia 60 tahun ke

atas, tahun 2014 lebih lebar dari tahun 1994 (Statistik penduduk lanjut usia,

2014).

Piramida tersebut menunjukkan struktur penduduk Indonesia bertransisi

menjadi struktur penduduk tua karena mempunyai populasi lansia di atas 7%

(Soeweno, 2009) yaitu 8,03% (Statistik penduduk lanjut usia, 2014). Struktur

217 | B A N U 4

penduduk tua mempunyai karakteristik tersendiri dalam hal kesehatan yang

akan mempengaruhi potensi lansia sebagai sumber daya manusia di

masyarakat.

Gambar 1. Piramida penduduk Indonesia 1994 dan 2014

Karakteristik Lanjut Usia dan Permasalahannya

Secara normal, seseorang yang berada pada kondisi usia lanjut akan

mengalami perubahan dari segi anatomi maupun fungsional. Perubahan atau

penuaan dapat terjadi secara fisiologis maupun patologis. Bila seseorang

mengalami penuaan fisiologis maka mereka menjadi tua dalam keadaan

sehat (healthy aging).

Gambar 2 menunjukkan healthy aging akan dipengaruhi oleh faktor endogen

(penuaan dimulai tingkat sel, jaringan, anatomi dan organ tubuh) dan faktor

eksogen (lingkungan, sosiobudaya, serta gaya hidup) (Boedhi Darmojo,

1994).

Faktor endogenic dan eksogenik (lebih dikenal dengan faktor risiko).

Hubungan faktor risiko dengan penyakit degeneratif pada usia lanjut dapat

dilihat pada gambar 3 (Boedhi Darmojo, 1994).

218 | B A N U 4

Faktor endogen disebut juga faktor internal menyebabkan penurunan anatomi

dan fisiologi sistem saraf, sistem kardiovaskular, sistem pernapasan, sistem

metabolisme, sistem ekskresi dan muskuloskletal.

Gambar 2. Model healthy Aging dengan Faktor-faktornya

Gambar 3. Spider Model: The Relationship between Risk Factors and

Degenrative Diseases

Sumber: Boedhi Darmojo, 2001

Penurunan anatomi dan fisiologi dapat meliputi:

a. Sistem Saraf

Pada proses menua, di otak terjadi perubahan berupa penurunan jumlah

sel neuron yang terjadi tidak sama pada beberapa bagian otak. Girus

temporal superior mengalami penurunan jumlah sel paling banyak disusul

otak depan (girus presentralis) yang berfungsi untuk fungsi eksekutif.

Area striata paling sedikit mengalami penurunan. Bagian otak yang

memantau perasaan tubuh di daerah girus postcentralis tidak mengalami

perubahan. Hipokampus pusat pantauan memori juga mengalami

penurunan jumlah sel neuron. Jumlah sel neuron berkurang 100.000 sel

219 | B A N U 4

setiap hari. Otak pada usia 70 tahun berkurang 150–200 gram

dibandingkan usia 20 tahun. Menurut konsep lama otak berkembang

mencapai puncak pada usia 18–24 tahun selanjutnya terjadi

kemerosotan secara tetap dan menyebabkan penurunan fungsi kognitif.

Setelah tahun 1960 berkembang teori baru mengenai perkembangan

otak. Sel neuron atau sel otak benbentuk seperti cumi-cumi yaitu badan

sel dengan tangan berbentuk tetankel disebut dendrit atau neurit. Dendrit

atau cabang sel saling berhubungan dengan badan sel lain membentuk

jaringan (network) antar banyak sel. Meskipun pada proses penuaan sel

tidak tumbuh dan bertambah lagi namun jaringan antar sel (nerve cell

connection) terus tumbuh sampai usia lanjut. Keadaan ini membantu sel-

sel otak tetap bisa dipertahankan berfungsi dengan baik. Sehingga dapat

disimpulkan bahwa kualitas otak tidak hanya bergantung pada faktor

genetik, tetapi juga pada stimulasi lingkungan dan nutrisi (Sidiarto LD,

2003). Pada pembuluh darah otak terjadi penebalan intima akibat proses

aterosklerosis dan tunika media yang menyebabkan gangguan

vaskularisasi otak dan dapat terjadi stroke serta demensia vaskular

(Lumbantobing, 2001).

b. Sistem Kardiovaskular

Pada usia lanjut terjadi perubahan anatomik pada jantung berupa

penurunan elastisitas aorta, hipertofi jantung (ventrikel kiri) dan katup

jantung menjadi kaku. Kakunya katup jantung karena penumpukan lipid,

degenerasi kolagen dan kalsifikasi fibrosa katup. Jantung menunjukkan

penurunan kekuatan kontraksi, penurunan kemampuan meningkatkan

kekuatan curah jantung (Hadi Martono, 2009).

c. Sistem Pernapasan

Setelah mencapai kematangan pertumbuhan pada usia 20–25 tahun,

sistem respirasi mengalami penurunan fungsi, elastisitas dan kekuatan

otot dada menurun, menurunnya rasio ventilasi-perfusi di bagian paru

yang tak bebas dan pelebaran gradien alveolar arteri untuk oksigen.

Disamping itu ada penurunan gerak silia di dinding sistem pernapasan,

220 | B A N U 4

penurunan refleks batuk yang dapat memicu infeksi akut pada saluran

pernapasan (Hadi Martono, 2009).

d. Sistem Metabolisme

Sekitar 50% usia lanjut menunjukkan intoleransi glukosa, frekuensi

hipertiroid tinggi pada usia lanjut (25%).

e. Sistem Ekskresi

Pada usia lanjut ginjal mengalami perubahan berupa penebalan kapsula

bowman, gangguan permeabilitas terhadap zat yang akan difiltrasi,

nefron mengalami penurunan dan mulai atrofi, aliran darah di ginjal pada

usia 75 tahun tinggal sekitar 50%, tetapi fungsi ginjal dalam keadaan

istirahat tidak terlihat menurun (Hadi Martono, 2009).

f. Sistem Muskuloskletal

Menurut Harlo Tilarso, 1988 jumlah sel lurik turun 50% pada usia 80

tahun, berat otot lurik pada usia 21 tahun 45% dari berat badan dan pada

usia 70 tahun menjadi 27% dari berat badan.

Kecepatan kehilangan masa tulang pada pria 3% dan pada wanita 8%,

rata-rata kehilangan tinggi pada umur 65–74 adalah 1,5 inchi (3,7cm),

umur 85–94 adalah 3 inchi (7,5 cm). Proses perusakan dan pembentukan

tulang melambat karena kurang aktivitas, menurunnya hormon estrogen

pada wanita, vitamin D, trabekula tulang lebih berongga berakibat sering

mudah patah (Hadi Martono, 2009).

Faktor eksogen disebut juga faktor eksternal yang berpengaruh mempercepat

proses menua antara lain gaya hidup/ life style seperti inaktivitas, perokok,

kurang tidur, nutrisi tidak sehat.

Data Kesehatan Pada Lanjut Usia Indonesia

Peningkatan populasi usia lanjut akan memberikan gambaran

perubahan angka kesakitan dimana angka kesakitan karena penyakit

degeneratif akan meningkat. Dengan bertambahnya umur, fungsi fisiologis

mengalami penurunan sehingga pola penyakit tidak menular (degeneratif)

banyak muncul pada usia lanjut. Penyakit tidak menular pada lansia di

antaranya hipertensi, stroke, diabetes melitus dan radang sendi atau rematik.

221 | B A N U 4

Selain itu, masalah degeneratif menurunkan daya tahan tubuh sehingga

rentan terkena infeksi menular. Penyakit menular yang sering diderita adalah

tuberkulosis, diare, pneumonia, dan hepatitis (Buletin Lansia, 2013).

Angka kesakitan merupakan salah satu indikator mengukur derajat kesehatan

penduduk. Angka kesakitan pada lansia menunjukkan penurunan dari

29,86% tahun 2005 menjadi 26,3% tahun 2012 yang menunjukkan

meningkatnya derajat kesehatan lansia (Buletin Lansia, 2013).

Obesitas sentral merupakan faktor risiko terjadinya beberapa penyakit

degeneratif. Untuk laki-laki lingkar perut (LP) lebih dari 90 cm dan wanita di

atas 80 cm merupakan obesitas sentral. Prevalensi obesitas sentral tingkat

nasional adalah 18.8%. Pada kelompok umur 55– 64 tahun, prevalensi 23,1%

sedangkan kelompok umur 55–64 tahun prevalensi 23,1% (Buletin Lansia,

2013).

Tabel 1 memperlihatkan 10 penyakit tersering yang diderita kelompok lansia

tahun 2013. Nampak jenis penyakit yang mendominasi adalah golongan

penyakit tidak menular, penyakit kronik, dan degeneratif, terutama golongan

penyakit kardiovaskular (Pusat Data dan Informasi Kemenkes RI, 2014).

Tabel 1. 10 Penyakit Terbanyak pada Lansia di Indonesia Tahun 2013

No. Jenis Penyakit Prevalensi Menurut Kelompok Umur (%)

55-64 tahun 65-74 tahun 75+ tahun

1 Hipertensi 45.9 57.8 63.8

2 Artritis 45.0 51.9 54.8

3 Strok 33.0 46.1 67.0

4 Penyakit paru obstruksi kronik 5.6 8.6 9.4

5 DM 5.5 4.8 3.5

6 Kanker 3.2 3.9 5.0

7 Penyakit jantung coroner 2.8 3.6 3.2

8 Batu ginjal 1.3 1.2 1.1

9 Gagal jantung 0.7 0.9 1.1

10 Gagal ginjal 0.5 0.5 0.6

Sumber: Kementrian Kesehatan RI, Riskesdas, 2013

Tabel 2 menyajikan data dari hasil laporan Badan Litbangkes penyebab

kematian di 15 kabupaten/ kota tahun 2011, proporsi penyebab kematian

kelompok lansia (umur 55–64 tahun dan > 65 tahun) yang paling tinggi adalah

stroke dan ischaemic heart disease (Buletin Lansia, 2013).

Sensus penduduk tahun 2010, dari 18.028.271 lansia yang ditanyakan

mengenai kesulitan fungsionalnya, dijumpai gambaran seperti gambar 4. Dari

222 | B A N U 4

gambar tersebut tampak jenis kesulitan yang dialami lansia paling tinggi

adalah dalam melihat (17,57%) dan mendengar (12,77%) (Buletin Lansia,

2013).

Tabel 2. Penyebab Kematian pada Lansia dari 15 Kabupaten di Indonesia

Tahun 2011

Gambar 4. Persentase Disabilitas pada Lansia Tahun 2010

Sumber: Badan Pusat Statistik RI, 2015

Fungsi Kognisi pada Lansia

Fungsi kognisi pada lansia bervariasi mulai dari forgetfulness, Mild

Cognitive Impairment (MCI), dan demensia. Demensia merupakan gangguan

kognisi dengan derajat yang paling berat. Demensia/ penyakit Alzheimer

dapat dibagi atas 3 stadium (Lumbantobing SM, 2001):

Stadium 1:

Stadium ini berlangsung 2–4 tahun. Gangguan memori jangka pendek

merupakan defisit yang paling umum pada stadium satu. Bila dihadapkan

223 | B A N U 4

pada situasi baru sering terjadi kesalahan, spontanitas berkurang,

pemahaman, menyatakan pendapat yang kompleks, dan berpikir abstrak

berkurang. Memori jangka panjang masih dipertahankan.

Stadium 2:

Stadium bingung. Berlangsung 2–10 tahun. Fungsi kognisi mengalami

kemunduran pogresif melibatkan banyak aspek fungsi luhur. Afasia, agnosia,

apraksia, disorientasi waktu, tempat, orang menjadi lebih jelas. Kadang

memperlihatkan episode psikotik, agresif dan ingin mengembara.

Stadium 3:

Stadium akhir. Setelah 6–12 tahun sakit. Fungsi intelektual dan memori turun

terus, hampir vegetatif, akinetik, membisu, tergantung hal-hal dasar dengan

orang lain, inkontinen urine dan alvi.

Forgetfulness, mild cognitive impairment dan demensia secara klinis

dibedakan sebagai berikut:

Tabel 3. Perbedaan Forgetfulness, MCI dan Demensia

Murni keluhan subyektif

(Forgetfulness)

MCI Demensia

Keluhan memori oleh:

- Penderita

- Keluarga

+

-

+/-

+

-

+

ADL abnormal:

- Dasar

- Komplek

-

-

-

-

+

+

Perilaku abnormal - +/- +

Penampilan memori abnormal:

- Tes screening

- Tes neuropsikologi

-

-

+/-

+

+

-

Sumber: Troeboes Poerwadi, 2002

Penanganan gangguan kognisi pada lansia berdasarkan data fungsi kognisi

lansia tersebut dengan prinsip mempertahankan, memperbaiki domain

kognisi yang ada, dan mencegah menurunnya fungsi kognisi, meningkatkan

kemampuannya untuk hidup normal, mempertahankan harga diri, baik secara

non-farmakologi maupun farmakologi. Bila tidak mungkin mencegah

224 | B A N U 4

penurunan fungsi intelektualnya, diusahakan untuk memperlambat proses ke

arah demensia.

Prinsip penanganan pada lanjut usia yang mengalami kemunduran ringan,

sedang sampai lanjut berupa (Sidiarto LD, 2002):

1. Penanganan farmakologis dengan obat-obatan

2. Penanganan non-farmakologis mencakup: terapi suportif (pendidikan

dan latihan), terapi reminiscent, terapi reality orientation, psikoterapi,

terapi kognitif, terapi fisik ditambah menjaga kesehatan dengan gizi

seimbang dan olahraga teratut.

3. Penanganan psikososial

Penanganan yang dilakukan merupakan pendekatan holistik/ global

melibatkan dokter umum/ keluarga, perawat, pekerja sosial, pemberi asuhan

(care giver). Jenis terapi disesuaikan dengan berat ringannya gangguan

kognisi dan yang memberikan terapi disesuaikan dengan kompetensi.

Penanganan dalam hal pencegahan bisa dimulai pada kelompok pra-lansia

mencakup edukasi mengenai stimulasi kognisi, gaya hidup yang sehat dan

nutrisi yang sehat dan olah raga (Sidiarto LD, 2002).

Long-Term Care merujuk pada semua rumah dan pelayanan kesehatan untuk

individu dengan penyakit kronis atau disabilitas (Frazer DW, 2002).

Long-Term Care Options the Aging merupakan pilihan-pilihan pelayanan dan

perawatan kesehatan untuk usia lanjut. Di Indonesia, kesejahteraan lanjut

usia diatur dalam Undang-Undang No. 13 tahun 1998 di mana dinyatakan

upaya peningkatan kesejahteraan sosial lansia bertujuan memperpanjang

usia harapan hidup dan masa produktif, terwujudnya kemandirian dan

kesejahteraan, terpeliharanya sistem nilai budaya dan kekerabatan bangsa,

serta lebih mendekatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa (Badan Pusat

Statistik Jakarta, 2015).

Program-Program pelayanan dan pemberdayaan lansia di Indonesia dapat

dikelompokkan menjadi tiga yaitu: (1) program pelayanan sosial dalam panti,

(2) program pemberdayaan dan pelayanan sosial di luar Panti, (3)

kelembagaan sosial dan aksestabilitas lansia lainnya (Badan Pusat Statistik

Jakarta, 2015).

225 | B A N U 4

Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) sebagai pusat pelayanan primer

juga memberikan pelayanan kepada pra lansia dan lansia yang meliputi aspek

promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif (Badan Pusat Statistik Jakarta,

2015), beserta mekanisme perujukan (Kemenkes RI, 2010).

Dimanapun pelayanan kesehatan lansia dilakukan, baik di rumah sendiri

maupun perawatan di institusi, hendaknya dilakukan secara holistik,

memberikan stimulasi kognisi, gaya hidup yang sehat, nutrisi dan olahraga.

Ringkasan

• Populasi lansia di Indonesia mencapai 8,03%

• Perubahan pada lansia dipengaruhi oleh faktor eksterna dan interna

• Penyakit degeneratif merupakan penyakit yang menonjol pada usia lanjut

• Penatalaksanaan gangguan kognisi pada lansia meliputi terapi

farmakologi dan non-farmakologi

• Long- Term Care Options for The aging merupakan pelayanan kesehatan

lansia secara holistik meliputi stimulasi kognisi, gaya hidup yang sehat,

nutrisi dan olahraga dan dikemas dalam usaha-usaha promotif, preventif,

kuratif di semua tempat pelayanan kesehatan lansia di Indonesia sesuai

kondisi.

References

Anonim. 2013. Gambaran Kesehatan Lanjut Usia di Indonesia. Buletin Lansia, Kemenkes RI. Badan Pusat Statistik. 2015. Statistik pada Lansia 2014. Jakarta. Boedhi-Darmojo, R. 2000. Teori Proses Menua. Dalam: Buku Ajar Geriatri. Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran UI. hal.3-13. Boedhi-Darmojo, R. “Beberapa Masalah dan Konsep Strategik dalam Pengembangan Geriatrik.” (Pidato Purna Tugas/ Pensiun). Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Frazer, D.W. 2008. Long Term Care Options for The Aging, In Clinical Neurology of the Older Adult. Philadelpia: LWWW. p.574-583.

226 | B A N U 4

Lumbantobing, S.M. 2001. Penyakit Alzheimer. Dalam: Neurogeriatri. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran UI. hal.74-92. Martono, H. 2009. Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran UI. Poerwadi, T. 2002. Manajemen Penderita Mild Cognitive Impairment (MCI). Naskah Lengkap Pertemuan Nasional Neurogeriatri Pertama. Jakarta. Sidiarto, L.D. 2003. Memori Anda Setelah Usia 50. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran UI.

227 | B A N U 4

KEJADIAN JATUH PADA LANJUT USIA

I Komang Arimbawa Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Abstrak

Jatuh merupakan suatu kejadian yang menyebabkan subyek yang sadar

menjadi berada di permukaan tanah tanpa disengaja, tidak termasuk jatuh

akibat pukulan keras, kehilangan kesadaran, atau kejang. Jatuh sering terjadi

dan dialami oleh lanjut usia. Banyak faktor berperan di dalamnya, baik faktor

intrinsik atau faktor ekstrinsik. Penatalaksanaan bersifat individual, artinya

berbeda untuk tiap kasus. Bila penyebab merupakan penyakit akut

penanganannya menjadi lebih mudah, dengan langsung menghilangkan

penyebab jatuh. Pada kondisi kronis, diperlukan penatalaksanaan

multifaktorial. Tindakan pencegahan penting dilakukan untuk mencegah

terjadinya jatuh berulang.

Kata kunci: jatuh, lanjut usia, penatalaksanaan

Pendahuluan

Menua (aging) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-

lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki dan mempertahankan struktur

dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk

infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang terjadi (Kannus et al., 2005). Sifat

penyakit pada geriatri tidaklah sama dengan penyakit dan kesehatan pada

golongan populasi usia lainnya. Penyakit pada geriatri cenderung bersifat

multipel, merupakan gabungan antara penurunan fisiologik/ alamiah dan

berbagai proses patologik/ penyakit. Penyakit biasanya berjalan kronis,

menimbulkan kecacatan dan secara lambat laun akan menyebabkan

kematian. Geriatri juga sangat rentan terhadap berbagai penyakit akut, yang

diperberat dengan kondisi daya tahan yang menurun. Kesehatan geriatri juga

sangat dipengaruhi oleh faktor psikis, sosial dan ekonomi. Pada geriatri

seringkali terjadi penyakit iatrogenik, akibat banyak obat-obatan yang

228 | B A N U 4

dikonsumsi (polifarmasi). Sehingga kumpulan dari semua masalah ini

menciptakan suatu kondisi yang disebut sindrom geriatri (Pranarka, 2011).

Konseptualisasi sindrom geriatri telah berkembang dari waktu ke waktu.

Menurut Kane RL, 2008, sindrom geriatri memiliki beberapa karakteristik,

yaitu: usia > 60 tahun, multipatologi, tampilan klinis tidak khas, polifarmasi,

fungsi organ menurun, gangguan status fungsional, dan gangguan nutrisi. Hal

ini sesuai dengan karakteristik pasien dengan usia 80 tahun, memiliki

gangguan hepar dan ginjal, status fungsional di keluarga yang sudah

menurun dan ditemukan adanya gangguan nutrisi pada pasien karena

menurunnya fungsi menelan.

Dalam bidang geriatri dikenal beberapa masalah kesehatan yang sering

dijumpai baik mengenai fisik atau psikis pasien usia lanjut. Menurut Solomon

dkk, The “13 i” yang terdiri dari Immobility (imobilisasi), Instability (instabilitas

dan jatuh), Intelectual impairement (gangguan intelektual seperti demensia

dan delirium), Incontinence (inkontinensia urin dan alvi), Isolation (depresi),

Impotence (impotensi), Immuno-deficiency (penurunan imunitas), Infection

(infeksi), Inanition (malnutrisi), Impaction (konstipasi), Insomnia (gangguan

tidur), Iatrogenic disorder (gangguan iatrogenik) dan Impairment of hearing,

vision and smell (gangguan pendengaran, penglihatan dan penciuman)

(Setiati dkk., 2006).

Terdapat banyak faktor yang berperan untuk terjadinya instabilitas dan jatuh

pada orang usia lanjut. Berbagai faktor tersebut dapat diklasifikasikan sebagai

faktor intrinsik (faktor risiko yang ada pada pasien) dan faktor risiko ekstrinsik

(faktor yang terdapat di lingkungan). Prinsip dasar tatalaksana usia lanjut

dengan masalah instabilitas dan riwayat jatuh adalah mengobati berbagai

kondisi yang mendasari instabilitas dan jatuh, memberikan terapi fisik dan

penyuluhan berupa latihan cara berjalan, penguatan otot, alat bantu, sepatu

atau sandal yang sesuai, serta mengubah lingkungan agar lebih aman seperti

pencahayaan yang cukup, pegangan, lantai yang tidak licin (Kane et al., 2008;

Cigolle et al., 2007).

229 | B A N U 4

Definisi

Jatuh merupakan suatu kejadian yang dilaporkan penderita atau saksi

mata, yang melihat kejadian mengakibatkan seseorang mendadak terbaring/

terduduk di lantai/ tempat yang lebih rendah dengan atau tanpa kehilangan

kesadaran atau luka (Darmojo, 2009). Jatuh merupakan suatu kejadian yang

menyebabkan subyek yang sadar menjadi berada di permukaan tanah tanpa

di sengaja, tidak termasuk jatuh akibat pukulan keras, kehilangan kesadaran,

atau kejang. Kejadian jatuh tersebut adalah dari penyebab yang spesifik yang

jenis dan konsekuensinya berbeda dari mereka yang dalam keadaan sadar

mengalami jatuh (Tinetti, 2003).

Jatuh sering terjadi dan dialami oleh usia lanjut. Banyak faktor berperan di

dalamnya, baik faktor intrinsik dalam diri lanjut usia tersebut seperti gangguan

gaya berjalan, kelemahan otot ekstremitas bawah, kekakuan sendi, sinkop

dan dizziness, serta faktor ekstrinstik seperti lantai yang licin dan kurang rata,

terantuk benda-benda yang menghalangi, penglihatan kurang karena cahaya

kurang terang dan sebagainya.

Faktor Risiko

Untuk dapat memahami faktor risiko jatuh, maka harus dimengerti

bahwa stabilitas badan ditentukan atau dibentuk oleh:

a. Sistem Sensorik

Yang berperan di dalamnya adalah visus, pendengaran, fungsi vestibuler,

dan proprioseptif. Vertigo tipe perifer sering terjadi pada lanjut usia,

diduga karena perubahan fungsi vestibuler akibat proses menua.

Neuropati perifer dan penyakit degeneratif leher dapat menganggu fungsi

proprioseptif.

b. Sistem Saraf Pusat (SSP)

SSP akan memberikan respon motorik untuk mengantisipasi input

sensorik. Penyakit SSP seperti stroke, parkinson, hidrosefalus dengan

tekanan normal, yang diderita oleh lanjut usia akan menyebabkan

gangguan fungsi SSP sehingga berespon tidak baik terhadap input

sensorik.

230 | B A N U 4

c. Kognitif

Pada beberapa penelitian, demensia diasosiasikan dengan

meningkatnya risiko jatuh.

d. Muskuloskeletal

Faktor ini disebutkan oleh beberapa peneliti merupakan faktor yang

spesifik milik lanjut usia, dan berperan besar terhadap terjadinya jatuh.

Gangguan muskuloskeletal menyebabkan gangguan gaya berjalan (gait)

dan ini berhubungan dengan proses menua yang fisiologis. Gangguan

gait yang terjadi akibat proses menua tersebut antara lain di sebabkan

oleh:

• Kekakuan jaringan penghubung

• Berkurangnya massa otot

• Perlambatan konduksi saraf

• Penurunan visus/lapang padang

• Kerusakan proprioseptif

yang semuanya menyebabkan:

• Penurunan range of motion (ROM) sendi

• Penurunan kekuatan otot, terutama kelemahan ekstremitas bawah

• Perpanjangan waktu reaksi otot/r efleks

• Kerusakan persepsi dalam

• Peningkatan postural sway (goyangan badan)

Semua perubahan tersebut mengakibatkan kelambanan gerak, langkah yang

pendek, penurunan irama dan pelebaran langkah kaki, sehingga tidak dapat

menapak dengan kuat dan lebih gampang goyah. Perlambatan reaksi

mengakibatkan seseorang susah/ terlambat mengantisipasi bila terjadi

gangguan seperti terpeleset, tersandung atau kejadian mendadak, sehingga

memudahkan jatuh.

Secara singkat faktor risiko jatuh pada lanjut usia dibagi dalam dua golongan

besar:

a. Faktor instrinsik

Faktor instrinsik adalah variabel-variabel yang menentukan mengapa

seseorang dapat jatuh pada waktu tertentu dan orang lain dalam kondisi

231 | B A N U 4

yang sama mungkin tidak jatuh (Gardner, 2000). Faktor intrinsik tersebut

antara lain adalah gangguan muskuloskeletal misalnya menyebabkan

gangguan gaya berjalan, kelemahan ekstremitas bawah, kekakuan

sendi, sinkope yaitu kehilangan kesadaran secara tiba-tiba yang

disebabkan oleh berkurangnya aliran darah ke otak dengan gejala lemah,

penglihatan gelap, keringat dingin, pucat dan pusing.

b. Faktor ekstrinsik

Faktor ekstrinsik merupakan faktor dari luar (lingkungan sekitar pasien)

diantaranya cahaya ruangan yang kurang terang, lantai yang licin,

tersandung benda-benda. Faktor-faktor ekstrinsik tersebut antara lain

lingkungan yang tidak mendukung meliputi cahaya ruangan yang kurang

terang, lantai yang licin, tempat berpegangan yang tidak kuat, tidak stabil,

atau tergeletak di bawah, tempat tidur atau WC yang rendah atau

jongkok, obat-obatan yang diminum dan alat-alat bantu berjalan

(Darmojo, 2009).

Etiologi Jatuh

Faktor-faktor lingkungan yang menyebabkan jatuh adalah penerangan

yang tidak baik (kurang atau menyilaukan), lantai yang licin dan basah, tempat

berpegangan yang tidak kuat/ tidak mudah dipegang dan alat-alat atau

perlengkapan rumah tangga yang tidak stabil dan tergeletak di bawah.

232 | B A N U 4

(Darmojo, 2009). Menurut Friedman, 1998 adalah kondisi interior rumah

meliputi bagaimana ruangan-ruangan tersebut dilengkapi oleh perabot,

kelayakan perabot, penerangan yang tidak memadai dan eksterior rumah

meliputi lantai, tangga, jeruji dalam keadaan buruk, tempat obat-obatan tidak

terjangkau dan pintu masuk dan pintu keluar ke rumah tidak terdapat

penerangan dan ruang gerak yang cukup untuk keluar dari rumah, kabel listrik

terurai di lantai, kolam renang yang tidak dipagari secara memadai.

Komplikasi Jatuh

Jatuh dapat mengakibatkan berbagai jenis cedera, kerusakan fisik dan

psikologis. Kerusakan fisik yang paling ditakuti dari kejadian jatuh adalah

patah tulang panggul. Jenis fraktur lain yang sering terjadi akibat jatuh adalah

fraktur pergelangan tangan, lengan atas dan pelvis serta kerusakan jaringan

lunak. Dampak psikologis adalah walaupun cedera fisik tidak terjadi, syok

setelah jatuh dan rasa takut akan jatuh lagi dapat memiliki banyak

konsekuensi termasuk ansietas, hilangnya rasa percaya diri, penbatasan

dalam aktivitas sehari-hari, falafobia atau fobia jatuh (Gardner, 2000).

Menurut Kane, 1996, yang dikutip oleh Darmojo, 2009, komplikasi-komplikasi

jatuh adalah:

a. Cedera

Cedera mengakibatkan rusaknya jaringan lunak yang terasa sangat sakit

berupa robek atau tertariknya jaringan otot, robeknya arteri/ vena, patah

tulang atau fraktur misalnya fraktur pelvis, femur, humerus, lengan bawah,

tungkai atas.

b. Disabilitas

Disabilitas mengakibatkan penurunan mobilitas yang berhubungan dengan

perlukaan fisik dan penurunan mobilitas akibat jatuh yaitu kehilangan

kepercayaan diri dan pembatasan gerak.

c. Kematian

233 | B A N U 4

Pencegahan

Menurut Tinetti, 1992, yang dikutip dari Darmojo, 2009, ada 3 usaha pokok

untuk pencegahan jatuh yaitu:

a. Identifikasi Faktor Risiko

Pada setiap lanjut usia perlu dilakukan pemeriksaan untuk mencari adanya

faktor instrinsik risiko jatuh, perlu dilakukan penilaian keadaan sensorik,

neurologis, muskuloskeletal dan penyakit sistemik yang sering menyebabkan

jatuh. Keadaan lingkungan rumah yang berbahaya dan dapat menyebabkan

jatuh harus dihilangkan. Penerangan rumah harus cukup tetapi tidak

menyilaukan. Lantai rumah datar, tidak licin, bersih dari benda-benda kecil

yang susah dilihat, peralatan rumah tangga yang sudah tidak aman (lapuk,

dapat bergerser sendiri) sebaiknya diganti, peralatan rumah ini sebaiknya

diletakkan sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu jalan/ tempat

aktivitas lanjut usia. Kamar mandi dibuat tidak licin sebaiknya diberi pegangan

pada dindingnya, pintu yang mudah dibuka. WC sebaiknya dengan kloset

duduk dan diberi pegangan di dinding.

b. Penilaian Keseimbangan dan Gaya Berjalan (Gait)

Setiap lanjut usia harus dievaluasi bagaimana keseimbangan badannya

dalam melakukan gerakan pindah tempat, pindah posisi. Bila goyangan

badan pada saat berjalan sangat berisiko jatuh, maka diperlukan bantuan

latihan oleh rehabilitasi medis. Penilaian gaya berjalan juga harus dilakukan

dengan cermat, apakah kakinya menapak dengan baik, tidak mudah goyah,

apakah penderita mengangkat kaki dengan benar pada saat berjalan, apakah

kekuatan otot ekstremitas bawah penderita cukup untuk berjalan tanpa

bantuan. Semua hal tersebut harus dikoreksi bila terdapat kelainan/

penurunan.

c. Mengatur/ Mengatasi Faktor Situasional

Faktor situasional yang bersifat serangan akut yang diderita lanjut usia dapat

dicegah dengan pemeriksaan rutin kesehatan lanjut usia secara periodik.

Faktor situasional bahaya lingkungan dapat dicegah dengan mengusahakan

perbaikan lingkungan, faktor situasional yang berupa aktifitas fisik dapat

dibatasi sesuai dengan kondisi kesehatan lanjut usia. Aktifitas tersebut tidak

234 | B A N U 4

boleh melampaui batasan yang diperbolehgkan baginya sesuai hasil

pemeriksaan kondisi fisik. Maka di anjurkan lanjut usia tidak melakukan

aktifitas fisik yang sangat melelahkan atau berisiko tinggi untuk terjadinya

jatuh.

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan bersifat individual, artinya berbeda untuk tiap kasus

karena perbedaan faktor-faktor yang bekerjasama mengakibatkan jatuh. Bila

penyebab merupakan penyakit akut penanganannya menjadi lebih mudah,

lebih sederhana, dan langsung bisa menghilangkan penyebab jatuh secara

efektif. Tetapi lebih banyak pasien jatuh karena kondisi kronik, multifaktorial

sehingga diperlukan terapi gabungan antara obat, rehabilitasi, perbaikan

lingkungan, dan perbaikan kebiasaan lanjut usia itu. Pada kasus lain

intervensi diperlukan untuk mencegah terjadinya jatuh ulangan, misalnya

pembatasan bepergian/ aktivitas fisik, penggunaan alat bantu gerak.

Untuk penderita dengan kelemahan otot ekstremitas bawah dan penurunan

fungsional terapi difokuskan untuk meningkatkan kekuatan dan ketahanan

otot sehingga memperbaiki fungsionalnya. Sering terjadi kesalahan, terapi

rehabilitasi hanya diberikan sesaat sewaktu penderita mengalami jatuh.

Padahal terapi ini diperlukan secara terus-menerus sampai terjadi

peningkatan kekuatan otot dan status fungsional. Terapi untuk penderita

dengan penurunan gait dan keseimbangan difokuskan untuk mengatasi

penyebab/ faktor yang mendasarinya. Penderita dimasukkan dalam program

gait training dan pemberian alat bantu berjalan. Biasanya progam rehabilitasi

ini dipimpin oleh fisioterapis.

Penderita dengan dizziness syndrome, terapi ditujukan pada penyakit

kardiovaskular yang mendasari, menghentikan obat-obat yang menyebabkan

hipotensi postural seperti beta blocker, diuretik dan antidepresan. Terapi yang

tidak boleh dilupakan adalah memperbaiki lingkungan rumah/ tempat

kegiatan lanjut usia seperti tersebut di pencegahan jatuh (Darmojo, 2009).

235 | B A N U 4

Daftar Pustaka

Cigolle, C.T., Langa, K.M., Kabeto, M.U., Tian, Z., Blaum, C.S. 2007. Geriatric Conditions and Disability: The Health and Retirement Study. American College of Physicians. 147(3):156-164. Darmojo, R.B., Martono, H. 2009. Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Edisi 4. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Gardner, M.M., Robertson, M.C., Campbell, A.J. 2000. Exercise in Preventing Falls and Falls Related Injuries in Older People: A Review of Randomised Controlled Trials. Br J Sport Med. 34:7-17. Kane, R.L., Ouslander, J.G., Abrass, I.B., Resnick, B. 2008. Essentials of Clinical Geriatris. 6th ed. New York, NY: McGraw-Hill. Kannus, P., Sievänen, H., Palvanen, M., Järvinen, T., Parkkari, J. 2005. Prevention of Falls and Consequent Injuries in Elderly People. Lancet. 366:1885-1893. Pranarka, Kris. 2011. Simposium Geriatric Syndromes: Revisited. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Setiati, S., Harimurti, K., Roosheroe, A.G. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Indonesia. hlm.1335-1340. Tinetti, M.E. 2003. Preventing Falls in Elderly Persons. N Engl J Med. 348:1:42-49.