SURAT PENCATATAN - Universitas Udayana
-
Upload
khangminh22 -
Category
Documents
-
view
11 -
download
0
Transcript of SURAT PENCATATAN - Universitas Udayana
REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
SURAT PENCATATANCIPTAAN
Dalam rangka pelindungan ciptaan di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, dengan ini menerangkan:
Nomor dan tanggal permohonan : EC00201853046, 7 November 2018
Pencipta
Nama : I Ketut Ngurah Sulibra, I Nyoman Duana Sutika,
Alamat : Jalan Ken Arok Gg. III/ No 12 Denpasar Utara, Denpasar, Bali, 80115
Kewarganegaraan : Indonesia
Pemegang Hak Cipta
Nama : I Ketut Ngurah Sulibra, I Nyoman Duana Sutika ,
Alamat : Jalan Ken Arok Gg. III/ No 12 Denpasar Utara, Denpasar, Bali, 80115
Kewarganegaraan : Indonesia
Jenis Ciptaan : Laporan Penelitian
Judul Ciptaan : Struktur Tematik Satua-Satua Bali Analisis Fungsi Dan Nilai
Tanggal dan tempat diumumkan untuk pertama kali di wilayah Indonesia atau di luar wilayah Indonesia
: 31 Oktober 2018, di Denpasar
Jangka waktu pelindungan : Berlaku selama hidup Pencipta dan terus berlangsung selama 70 (tujuh puluh) tahun setelah Pencipta meninggal dunia, terhitung mulai tanggal 1 Januari tahun berikutnya.
Nomor pencatatan : 000123715
adalah benar berdasarkan keterangan yang diberikan oleh Pemohon. Surat Pencatatan Hak Cipta atau produk Hak terkait ini sesuai dengan Pasal 72 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
a.n. MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA DIREKTUR JENDERAL KEKAYAAN INTELEKTUAL
Dr. Freddy Harris, S.H., LL.M., ACCS.NIP. 196611181994031001
LAMPIRAN PENCIPTA
No Nama Alamat
1 I Ketut Ngurah Sulibra Jalan Ken Arok Gg. III/ No 12 Denpasar Utara
2 I Nyoman Duana Sutika Perum Umasari Permai VI No 2 Kuta Utara.
LAMPIRAN PEMEGANG
No Nama Alamat
1 I Ketut Ngurah Sulibra Jalan Ken Arok Gg. III/ No 12 Denpasar Utara
2 I Nyoman Duana Sutika Perum Umasari Permai VI No 2 Kuta Utara.
Powered by TCPDF (www.tcpdf.org)
1
LAPORAN AKHIR
PENELITIAN UNGGULAN PROGRAM STUDI
STRUKTUR TEMATIK SATUA-SATUA BALI:
ANALISIS FUNGSI DAN NILAI
Oleh:
Drs. I Ketut Ngurah Sulibra, M. Hum.
Drs. I Nyoman Duana Sutika, M.Si.
PROGRAM STUDI SASTRA BALI
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS UDAYANA
OKTOBER 2018
2
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL............................................................................
DAFTAR ISI……………………………………………………………… 2
RINGKASAN…………………………………………………………….. 3
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………… 4
1.1 Latar Belakang………………………………………………………… 4
1.2 Masalah………………………………………………………………… 5
1.3 Tujuan Khusus Penelitian……………………………………………… 5
1.4 Urgensi Penelitian……………………………………………………… 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA………………………………………… 7
2.1 Kajian Pustaka…………………………………………………………. 7
2.2 Konsep………………………………………………………………… 8
2.3 Teori…………………………………………………………………… 9
BAB III METODE PENELITIAN……………………………………… 11
3.1 Metode dan Teknik Penyediaan Data…………………………………. 11
3.2 Metode dan Teknik Analisis Data………………………………………11
3.3 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis…………………………. 11
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN……………………………….. 12
4.1 Hasil…………………………….………………………………. 12
4.2 Pembahasan……………………………………………..……… 13
4.2.1 Struktur Tema ………………………………………………… 13
4.2.2 Nilai dan Fungsi ………………………………………………. 38
BAB V SIMPULAN DAN SARAN………………………………….. 41
5.1 Simpulan ………………………………………………………… 41
5.2 Saran …………………………………………………………….. 41
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………… 42
LAMPIRAN-LAMPIRAN……………………………………………. 42
Lampiran 1 Foto-Foto Kegiatan………………………………………. 43
2 Informan…………………………………………………… 46
3
RINGKASAN
Satua merupakan salah satu jenis sastra lisan Bali. Karena sifatnya lisan, maka satua
diturunkan dari mulut ke mulut dari satu generasi ke generasi berikutnya. Aktivitas menuturkan
satua beberapa puluh tahun yang lalu digunakan untuk menidurkan anak sekaligus sebagai media
pendidikan anak di usia dini. Satua dalam berbagai jenis dan judulnya diyakini memiliki nilai-
nilai luhur sebagai budaya asli masyarakat Bali. Berbagai macam hal dapat ditanamkan dalam
satua seperti pendidikan moral ataupun etika. Seiring perkembangan teknologi informasi yang
semakin canggih serta pola kehidupan sosial mayarakat yang cenderung berubah mengarah ke
pola kehidupan pragmatis dan ekonomis, aktivitas masatua / mendongeng mulai ditinggalkan.
Saat ini anak-anak lebih mengenal dan asyik bermain video game dibandingkan dengan
mengenal tokoh-tokoh dalam satua. Keadaan seperti ini tentu mengabaikan esistensi satua
sebagai media pengenalan budi pekerti sebagai khazanah kebudayaan kebudayaan Nusantara
yang adiluhung yang perlu ditanamkan sejak awal. Bahkah belakangan ini dunia pendidikan
dihebohkan dengan kekerasan murid kepada gurunya.
Tujuan penelitian ini dimaksudkan untuk merestorasi salah satu kearifan lokal Bali yang
perlu diketahui dan diperkuat sebagai usaha membentengi Bali dari anasir-anasir luar yang dapat
merugikan kita semua. Pendidikan karakter hendaknya ditanamkan sejak usia dini sehingga
nantinya menjadi generasi penerus yang tangguh, kokoh, berkepribadian, serta memiliki
idealisme tinggi pada loyalitas kebudayaan Bali. Untuk itu, secara metodologis akan digunakan
teori struktural dan teori antropologi sastra. Dalam metode pengumpulan data digunakan metode
simak dengan teknik catat, klasifikasi dan terjemahan. Analisis data dilakukan dengan metode
hermeneutik interpretatif dibantu dengan teknik deskriptif analitis. Penyajian hasil analisis
dilakukan dengan metode formal-informal dengan teknik deduktif-induktif atau sebaliknya.
Adapun urgensi penelitian ini adalah merestorasi kearifan lokal dan disebarkan melalui forum
seminar dan publikasi jurnal nasional sehingga lebih mudah untuk mengaksesnya.
Kata Kunci: lisan, nilai, fungsi, pendidikan
4
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Satua merupakan salah satu cerita prosa lisan masyarakat Bali. Menurut Bagus (1979: 13)
mengatakan bahwa satua dikategorikan sebagai sastra gantian. Sastra gantian atau pagantian
adalah istilah untuk menyebutkan ragam sastra lisan bali. Kata ganti atau pagantian
menunjukkan bahwa sastra lisan ini selalu berubah-ubah (maganti-ganti) sesuai keinginan
pencerita. Hal ini disebabkan satua sifatnya yang lisan. Oleh karena lisan, maka penuturan satua
dilakukan melalui proses penceritaan (masatua) dari mulut ke mulut, dari generasi ke generasi
berikutnya. Umumnya satua Bali bersifat anonim dan telah berkembang sejak dahulu sebelum
adanya tulisan.
Gaya penceritaan satua menurut Bagus adalah pertama, pencerita memastikan bahwa
yang mendengarkan siap untuk mendengarkan. Adapun kata-kata permulaan yang lazim
digunakan adalah: ‘ada kone tutur-tuturan satua atau ada kone orah-orahan satua’. Selanjutnya
diucapkan judul satuanya, misal I Siap Badeng. Setelah itu, biasanya setiap kalimat akan dijawab
oleh si anak dengan kata ‘maan’ yang artinya ‘selanjutnya’, demikian seterusnya sampai cerita
selesai. Biasanya penutup satua menggunakan ungkapan “guak maling kuud, satua bawak suba
suud” ayau dengan ungkapan lain “guak maling taluh, satua bawak buin aluh”. Biasanya
pencerita tahu si anak sudah tidur sebelum waktunya (cerita selesai), yakni ketika si anak tidak
lagi mengatakan “maan” di sela-sela cerita itu.
Selanjutnya Bagus (1990: 4) mengklasifikasi satua Bali ke dalam dongeng-dongeng
jenaka (satua banyol), dongeng panji (satua panji) dan dongeng biasa (kisah hidup seseorang),
dan lainnya. Selain itu, ada juga satua Tantri yang sangat populer di masyarakat Bali. Cerita
Tantri merupakan cerita berbingkai yang menampilkan binatang sebagai tokoh utama dan cerita
ini sambung-menyambung dari satu cerita ke cerita berikutnya.
Tradisi masatua merupakan salah satu usaha dalam pendidikan budi pekerti, agama,
etika, kesetiaan, kemanusiaan, dan lain-lain. Dahulu masatua dilakukan oleh orang tua, nenek,
kakek untuk menidurkan anakpada waktu malam. Selain untuk mengisi waktu luang, satua juga
memberikan hiburan di tengah kehidupan yang masih tradisional. Lewat tokoh dan dialog-
dialognya, diselipkan berbagai hal kehidupan dan ini sangat penting bagi anak sebagai langkah
awal pendidikan karakter (Suastika, 2011: 1). Belakangan ini tradisi lisan masatua
5
dikembangkan melalui radio, televisi, lomba-lomba antarsekolah, tingkat kabupaten/kota atau
pun provinsi. Ada beberapa judul satua yang populer dimasyarakat, di antaranya I Tuwung
Kuning, I Bawang teken I Kesuna, I Nyoman Jater, Dempu Awang, Pan Balang Tamak, I Ubuh, I
Belog, dan lain-lainnya.
1.2 Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka masalah yang akan diteliti adalah sebagai
berikut.
1) Tema apa sajakah yang terdapat dalam teks satua Bali?
2) Fungsi-fungsi apa sajakah yang dapat terkandung dalam teks satua-satua Bali dan nilai-
nilai apa sajakah yang terkandung dalam teks satua-satua Bali?
1.3 Tujuan
Berdasarkan masalah-masalah tersebut di atas, maka dapat dirumuskan tujuan khusus
dari penelitian ini.
1) Untuk mendeskripsikan struktur tematik teks satua-satua Bali sehingga dapat dibedakan
tipe ceritanya.
2) Untuk mendeskripsikan fungsi-fungsi yang terkandung dalam teks satua-satua Bali.
3) Untuk mendeskripsikan nilai-nilai yang terkandung dalam satua-satua Bali yang
sehingga dapat dijadikan acuan keteladanan.
Selain itu, tujuan umum dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1) Untuk meningkatkan hasil-hasil penelitian di tingkat prodi
2) Meningkatkan jumlah publikasi
3) Meningkatkan mutu dan kompetensi dosen di lingkungan prodi.
1.4 Urgensi Penelitian
Bali sebagai destinasi utama internasional di satu memiliki tantangan tersendiri. Bali sangat
mengutamakan pendapatan melalui industri pariwisata yang berlandaskan budaya dan agama.
Keeksotisan dan keunikan budaya Bali serta kehidupan sosial masyarakatnya yang komunal
menjadikan Bali pantas dijuluki sebagai last paradise. Di sisi lain, (masyarakat) Bali mau tidak
6
mau, suka tidak suka, berada di arus globalisasi yang semakin kuat. Di tengah himpitan kedua
sisi ini membuat (masyarakat) Bali sedikit demi sedikit mengalami perubahan sikap hidup. Tidak
hanya di kota-kota bahkan sampai ke pelosok desa, perubahan gaya hidup mulai tampak yang
cenderung mengarah pragmatisme dan hedonisme. Cara hidup ala Barat (Eropa) yang
individualistik mulai ditiru, konsep “manyama braya” mulai menipis, lebih-lebih bagi yang
ekonominya mapan segala diukur dengan uang, time is money. Jika keadaan ini dibiarkan terus
berlanjut, maka dapat dipastikan Bali dulu, kini, dan yang akan datang tidak akan sama lagi.
Budaya Bali akan hilang untuk selama-lamanya, kearifan-kearifan lokal akan sirna dan hanya
dapat ditemukan di literatur. Dalam konteks ini diperlukan usaha-usaha pelestarian, pembinaan,
dan pengembangan budaya Bali yang berkelanjutan. Bali harus bisa membentengi dirinya
sendiri. Untuk itu, pemahaman-pemahaman tentang kearifan lokal Bali perlu ditanamkan sejak
usia dini, anak-anak, maupun remaja. Salah satu usaha yang dapat dilakukan adalah dengan
memahami nilai-nilai yang ada dalam satua-satua Bali sebagaimana yang diamanatkan dalam
road map penelitian Fakultas Ilmu Budaya Unud. Sebagaimana telah diungkapkan di atas bahwa
satua-satua Bali adalah cermin masyarakat Bali itu sendiri.
7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kajian Pustaka
Beberapa tulisan yang relevan berkaitan dengan aksara akan dideskripsikan sebagai
berikut ini.
(1) Sulibra dan Erawati (2014) dalam “Satu Masalah, Tiga Dimensi: Kisah Persaudaraan
Ikan Gabus dalam Satua Ni Diah Tantri”. Dalam tulisan itu digunakan teori fungsional
sastra yang lebih menitikberatkan pada fungsi sosial sastra dalam kaitannya dengan aspek
kehidupan sosial budaya masyarakat. Hasil analisisnya menunjukkan bahwa dalam satua
tersebut ditemukan tokoh-tokoh yang berbeda pandangan dalam memahami satu
persoalan atau kesulitan dan keputusan harus tetap diambil. Adapun fungsi yang
ditonjolkan adalah fungsi etis, yakni menghargai perbedaan tanpa memandang usia.
(2) Septiyarti, (2015) dalam “Kearifan Lokal Sastra Lisan Papua: Relevansinya terhadap
Pendidikan Karakter”. Teori yang digunakan dalam tulisan itu teori Antroplogi Budaya
dan teori kearifan Lokal. Hasil analisisnya menunjukkan bahwa sastra lisan Papua
ditemukan nilai-nilai kearifan lokal seperti mematuhi larangan, menjaga lingkungan alam
sekitar, tidak melanggar larangan, gotong-royong atau kerja sama, sabar dan hati-hati.
Sastra lisan Papua dalam rangka pembentukan karakter meliputi literer estetis, etis dan
moral, humanitis, religius profetis.
(3) Sudiana dan Sudirgayasa (2015) dalam “Integrasi Kearifan Lokal Bali dalam Buku Ajar
Sekolah Dasar”. Hasil analisisnya menunjukkan bahwa pengintegrasian kearifan lokal
Bali perlu dilakukan dalam penyusunan buku ajar khususnya IPA dengan mengambil
contoh-contoh secara langsung.
(4) Sulibra, dkk. (2017) dalam “Revitalization of Local Wisdom in Balinese Short Story: an
Anthropological Study”. Hasil analisisnya menunjukkan bahwa kearifan lokal dalam
cerpen-cerpen berbahasa Bali seperti pengetahuan (widya) merupakan hal penting dalam
kehidupan untuk kebahagiaan dan kesejahteraan serta dapat meningkatkan kualitas hidup
manusia, narkoba dan sejenisnya sangat berbahaya bahkan dapat menghilangkan nyawa;
untuk itu diperlukan pengendalian diri yang dilandasi oleh kecerdasan akal, kesetiaan
terhadap janji wajib dipertahankan sebagai wujud pertanggungjawan integritas atas
mahligai pernikahan, tidak mengutamakan hawa nafsu.
8
2.2 Konsep
(1) Struktur
Anton L. Becker (dalam Sukada, 1987: 45) mengatakan bahwa makna sebuah teks adalah
hubungannya dengan konteksnya. Strukturalisme merupakan langkah awal untuk analisis
berikutnya. Hanya sesudah strukturalismelah kita bisa melangkah keluar dari dunia teks ke dunia
alamiah atau dunia sosial budaya yang merupakan konteks yang lebih luas. Pengertian struktur
bagi Saleh Saad (dalam Atmaja, 2016) adalah pelaksanaan tema dan amanat. Oleh karena itu,
menurut Atmaja seorang strukturalis akan mempertimbangkan cerita sebagai sistem; sebuah
narasi terdiri dari atas bagian-bagian yang berhubungan secara logis dan ini merupakan persoalan
pengaturan karakter fungsional yang saling berhubungan satu sala lain dalam pengaturan tema.
Menurut Kuntowijoyo (2000: 16) bahwa lahirnya sebuah cerita berasal dari tiga sumber, yaitu
(1) strukturalisasi pengalaman, baik pribadi, orang lain, maupun kolektif; (2) strukturalisasi
imajinasi; (3) strukturalisasi nilai.
(2) Fungsi
Fungsi sastra dalam konteks ini dikaitkan dengan studi estetika karena satua adalah seni
sastra lisan. Oleh karena itu, dialektika Horace, yakni dulce et utile bahwa fungsi sastra
haruslah indah dan berguna (Wellek dan Warren, 1990: 25). Sastra selain memberikan
kenikmatan rohani, sastra juga harus mengajarkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat.
Kesenangan yang diperoleh dari sastra bukanlah kesenangan fisik, melainkan kesenangan
yang lebih tinggi, yakni kontemplasi yang tidak mencari keuntungan. Teeuw (1984: 73)
sepakat dengan Jakobson yang sangat menekankan fungsi puitika bahasa, yakni pesan yang
akan disampaikan. Oleh sebab itu, fungsi puitik menjadi dominan dalam sastra dan
menunjukkan adanya relevansi dari segi kemasyarakatan.
(3) Nilai
Wellek dan Warren (1990: 317) menegaskan bahwa nilai hendaknya dipandang sebagai
sesuatu yang sudah melekat pada hakikat dan fungsi karya sastra sehingga penilaiannya
tidak didasarkan pada kriteria luar. Koentjaraningrat (1978: 32) menyatakan bahwa nilai
adalah suatu hal yang berisikan ide-ide, yang mengkonsepsikan hal-hal yang penting,
berguna dalam kehidupan masyarakat. Selanjut, Yudibrata (dalam Atmaja, 1988: 18)
9
nilai adalah aspek tingkat kebajikan atau kebaikan dan kegunaan yang dimiliki sesuatu
dan dalam hal karya sastra nilai-nilai itu dianggap saling berhubungan secara harmonis.
Oleh sebab itu, sebuah karya sastra haruslah dipandang dari sudut kebermafaatannya bagi
masyarakat.
2.3 Teori
Dalam penelitian ini digunakan teori struktural dan teori sastra antropologis. Prinsip dasar
analisis struktural adalah whollenes, keseluruhan karena karya sastra hanya dapat diungkap
melalui bagian-bagian dari keseluruhan. Atau dapat dikatakan bahwa urutan cerita atau sekuen
memiliki hubungan satu dengan yang lainnya atau hubungan antarsistem yang saling terkait dan
tidak dapat dipisahkan. Setiap bagian harus diberi titik perhatian yang sama sesuai konteks cerita
dan ditempatkan secara keseluruhan dalam sistem kode dan konvensi sastra budaya masyarakat
bersangkutan. Damono (1979: 39) memandang bahwa pendekatan strukturalisme mencakup
segala bidang yang menyangkut fenomena sosial kemanusiaan yang berkaitan dengan ilmu sosial
murni (antropologi, politik, ekonomi, psikologi) serta dengan ilmu-ilmu humaniora (sastra,
sejarah, linguistik).
Teori sastra antropologis merupakan kajian relatif baru dalam karya sastra. Pada awl
kemunculannya dipelopori oleh oleh Claude Levi-Strauss tahun 1963. Walaupun demikian, teori
ini sangat mungkin diterapkan dalam berbagai ranah karya sastra (Sudewa, 2012: 65).Teori ini
berasumsi bahwa karya sastra bukan sekadar refleksi semata, bukan semata-mata memantulkan
kenyataan, melainkan merefraksikan, membelokannya sehingga berhasil mengevokasi
keberagaman budaya secara lebih bermakna. Dalam hubungan ini akan terjadi proses timbal
balik, keseimbangan yang dinamis antara kekuatan aspek sastra dengan antroplogi. Bahkan,
dalam analisis yang baik seolah-olah tidak bisa dikenali lagi apakah yang dibicarakan termasuk
sastra atau antropologi. Oleh karena itu, ada lima hal yangperlu diperhatikan sebagaiberikut. (1)
Antropologi sastra berfungsi untuk melengkapi analisis ekstrinsik; (2) antropologi sastra
berfungsi untuk mengantisipasi, mewadahi kecenderungan-kecendurungan baru hasil-hasil karya
sastra, di dalamnya banyak dikemukakan kearifan-kearifan lokal; (3) antropologi sastra sangat
dibutuhkan dengan keberadaan bangsa Indonesia yang beraneka ragam adat kebiasaan yang
sebagian besar dikemukakan secaraestetis dalam bentuk karya sastra; (4) antropologi sastra
10
sangat tepat bagi tradisi dan sastra lisan; (5) antropologi sastra dengan sendirinya megantisipasi
kecenderungan kontemporer, yaitu perkembangan multidisiplin
11
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Metode Pengumpulan Data
Filosofi penelitian ini didasari oleh fenomenologis, yakni observasi fenomena-fenomena
sosial masyarakat yang tercermin dalam karya sastra. Oleh karena itu, akan digunakan
pendekatan kualitatif yang diartikan sebagai bukan penghitungan “angka” (Moleong, 1986: 2).
Secara metodologis, ada tiga tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini. Tahapan pertama
pengumpulan data dilakukan dengan observasi lapangan dengan mencari naskah-naskah satua
Bali di berbagai pusat toko buku, perpustakaan, atau pun milik pribadi. Selain itu juga
digunakan metode simak karena berkaitan dengan penggunaan bahasa teks. Penyadapan
penggunaan bahasa terjadi karena teks satua berbahasa Bali yang bersifat naratif (Mahsun, 2005:
90-93). Metode ini juga dilengkapi dengan teknik klasifikasi, catat, dan terjemahan. Setelah
diklasifikasi, sampel akan diukur dari kualitas cerita berdasarkan seperti seringnya dibicarakan
dalam seminar/pertemuan ilmiah/penelitian atau sebagai objek penelitian.
3.2 Metode Analisis Data
Metode analisis data dilakukan dengan metode hermeneutik dan kualitatif. Metode
hermeneutik dilakukan untuk menafsirkan atau menginterpretasikan teks satua yang telah
disimak. Metode ini digunakan untuk mengidentifikasi kearifan-kearifan lokal teks satua
sedangkan metode kualitatif digunakan karena bukan angka-angka atau perhitungan matematis.
Metode-metode ini dibantu dengan tekni deskriptif analitik, yakni mendeskripsikan data-data
yang diperoleh secara rinci dan jelas (Ratna, 2011: 49).
3.3 Metode Penyajian Hasil Analisis
Hasil analisis data dilakukan dengan metode formal dan informal. Metode formal dengan
menggunakan lambang-lambang tertentu sedangkan metode informal dengan menggunakan
rangkaian kata-kata biasa. Metode ini dibantu dengan teknik berpikir deduktif dan induktif atau
sebaliknya (Mahsun, 2005: 116).
12
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Satua (dongeng) Bali merupakan cerita pendek kolektif masyarakat Bali yang bersifat
lisan. Peristiwa yang ada dalam cerita dianggap tidak benar-benar terjadi. Dananjaya (1994: 83)
yang mengutip pendapat Stith Thompson membagi dongeng ke dalam empat klasifikasi mayor,
yakni (1) dongeng binatang, (2) dongeng biasa, (3) lelucon dan anekdot, dan (4) dongeng
berumus. Dongeng juga merupakan salah satu jenis folklor. Tiga jenis dongeng yang pertama
(kecuali yang nomor empat) umum ada di Bali. Namun demikian, yang paling populer dan
paling sering didongengkan adalah yang isinya dibungkus lelucon sebagai sarana hiburan,
walaupun banyak juga yang berisikan atau melukiskan kebenaran, ajaran moral, atau bahkan
sindiran.
Berdasarakan hasil observasi di lapangan menunjukkan bahwa satua-satua Bali
jumlahnya tidak dapat ditentukan dengan pasti. Tidak hanya variannya yang sangat banyak,
jenis atau judulnya pun yang sangat banyak. Salah satu contoh dapat dibandingkan antara satua
Pan Bangsing teken I Belog. Dalam naskah no IVb/4071 dimulai dengan kalimat “Ada orah-
orahan satua. Madan Pan Bangsing ajak I Belog. Anak mula ia makekantenan makekasihan
Bapa Bangsing ajak I Belog. Nah sakewala I Belog anak tiwas matektekan. Ah ngandon ngelah
apa-apa. Pan Bangsing ia anak sugih pesan, liu ngelah…..dst”. Berikut disajikan kutipan teks
dari naskah no 1946 (naskah yang juga dikutip oleh Bagus, 1968). “Ada tuturan satua anak
makekasihan ajaka dadua, madan Nang Bangsing teken I Belog. Kacrita I Belog anak ia sajaan
buka adanne belog pesan tur tutut. Sedek dina anu lantas ajakina I Belog masang bubu teken
Nang Bangsing. Nyak kone I Belog. Glising satua matakon I Belog teken Nang Bangsing. “Beli,
beli, apa anggon baren bubu?.....dst.
Dari perbandingan kutipan teks satua masing-masing enam kalimat di atas dapat
dikatakan bahwa terdapat perbedaan teks, yakni dalam teks 4071 sudah digambarkan adanya
perbedaan sosial ekonomi bahwa I Belog sosok miskin sedangkan Pan Bangsing orang kaya.
Tidak demikian halnya dalam naskah 1946 tidak ada deskripsi sosial ekonomi miskin-kaya di
antara keduanya (Pan Bangsing dengan I Belog). Walaupun demikian, setelah ditelusuri lebih
jauh, isi teks kedua naskah itu tidak tidak jauh berbeda. I Belog dalam kedua naskah akhirnya
yang berhasil mendapatkan kebahagiaan.
13
Demikian juga halnya dengan satua I Bawang teken I Kesuna. Dalam naskah yang
diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pemkab Buleleng (2011) berbeda dengan
yang diterbitkan oleh Bagus (1968). Dalam naskah Pemkab Buleleng (2011) sebagai berikut.
“Ada tuuturan satua anak makurenan, ngelah kone pianak luh-luh duang diri. Pianakne ane
kelihan madan Ni Bawang, ane cerikan madan Ni Kesuna. Akuren ngoyong kone di desa. Sawai-
wai geginane tuah maburuh ka uma….dst”. Dalam naskah Bagus (1968) sebagai berikut. “Ada
tuturan satua, Men Bawang ngelah kone pianak tetelu pada luh-luh. Ane paling keliha madan I
Bawang, ne Nengahan madan I Kesuna, ne paling cerika madan I Cekuh….dst”. Kalau
diperhatikan jelas sekali perbedaannya, di dalam teks Pemkab Buleleng (2011) I Bawang dan I
Kesuna adalah dua bersaudara perempuan sedangkan dalam teks Bagus (1968) I Bawang dan
Kesuna adalah tiga bersaudara perempuan. Walaupun demikian, kedua naskah/teks itu pada
akhir cerita menunjukkan isi yang mirip.
Berdasarkan perbandingan dua judul satua di atas menunjukkan bahwa teks satua
(lisan) tidaklah sama persis, di sana-sini menunjukkan perbedaan sebagai varian satua. Namun
demikian esensinya tetap sama, ending atau akhir cerita tidaklah berbeda. Hal yang demikian ini
tidaklah aneh dalam tradisi lisan justru hal seperti inilah yang sesungguhnya menunjukkan salah
satu ciri lisan, yakni adanya pola-pola stereotipe. Teks lisan selalu berubah-ubah antara yang satu
dengan lainnya. Hal sejenis juga terjadi dalam satua-satua fabel Bali yang tokoh-tokohnya
binatang. Beberapa judul satua fabel dapat disebutkan seperti Satua I Kancil,I Lutung teken I
Kekua, Katuturan I Empas, dan lain sebagainya. Kolaborasi tokoh manusia dengan binatang
juga terdapat dalam satua-satua Bali seperti satua I Ketimun Mas, Men Tiwas teken Men Sugih,
dan lain-lain.
4.2 Pembahasan
4.2.1 Struktur Tema
Salah satu satua Bali yang paling menonjol di masyarakat adalah tipe satua I Belog (Si
Pandir) . Bagus (1971) membagi satua I Belog ke dalam dua tipologis, yakni (1) satua I Belog
yang memang betul-betul karena bodoh, dan (2) satua I Belog karena cerdik (pura-pura bodoh)
dengan tipu muslihatnya. Berikut disajikan contoh teks (1) satua I Belog (Si Pandir) dan (2).
14
I BELOG (1)
“Ada tuturan satua madan I Blog. I Belog ngalih anak luh, majinjin tekén méménné.
“Mémé, kénkén abet ngalih anak luh? Masaut méménné: “Kema anggurin abaang base buah!”
keto méménné. Ba kénto ngalih I Blog puhun basé, puhun buah abaña ñadang anaké luh. Ba
kénto tepukiña anake luh di kayehan, pantegnga aji puhu base puhun buah kanti mati. Disubane
abaña mulih kumahñené janga di dulun pedemané, dampingiña jantra tekén mincid ditu.
Gradag-grudug bikule nempuh jantra ngalih mincid. Ba kénto morahan ia tekén méméñené, “
Mémé, somahkuné bisa ñait ba”. Delokiña tekén méméñené somahñené, tekejut mémén I belogé
ngajinang somah I beloge ba mati. “Blog, somah cai mati ba né, brak ba, kema ba kutang na!
Ambul asing brek ya mati. Ba kénto, kutanga somahñené tekén I Belog. Kadénña asing brek
mati, binjepanenñené méménñené ngentut masih brek pesan. “Jani meme brek, meme jani
mati”. Kutanga méménñene tekén I Blog. Bin jepanenñené ia lautné ngentut masih brek kahing,
kutanga ibaña I Blog di batan pohe, medem ia ditu. Ulungan pohe makecit ka bungutñené. “E,
poh, yen aku idup amah ku ko!” kénto I Blog ngomong. Teka reraman I Bloge. “ Cai nguda
medem dini Blog? “Aku mati man”. “Ngawag-ngawag cai mati kéngkén sih, kema mulih!”.
Mulih lautné I Blog. Ba kénto, ba men satuané. (Sumber: Alih aksara Satua I Blog, Tigawasa 1
Koleksi Gedong Kirtya, naskah asli IIIb/4071).
Terjemahan (Bahasa Indonesia)
I BELOG (SI PANDIR) (1)
‘Ada sebuah cerita namanya I Belog (Si Pandir). I Belog akan mencari seorang istri, bertanya
kepada ibunya: “Bu, bagaimana caranya mencari istri?” Lalu ibunya menjawab: “Ke sana dekati,
bawakan sirih dan pinang!, demikian ibunya menjawannya. Setelah itu, berangkatlah I Belog
mencari pohon pinang dan pohon sirih, pohon pinang itu dibawanya untuk mencegat perempuan
yang dimaksud. Setelah itu dia melihat seorang perempuan di pemandian, lalu dipukullah
perempuan itu dengan pohon pinang dan sirih itu sampai mati. Setelah perempuan itu
meninggal, mayatnya lalu segera dibawa pulang. Setelah sampai di rumah, mayat perempuan itu
lalu ditaruh di hulu tempat tidurnya, di sampingya diisi jantra (semacam alat yang bisa berputar)
dan beras. (Oleh karena itu) segera dicari oleh tikus sehingga suaranya bising tikus itu
mengelilingi jantra tersebut. Selanjutnya I Belog berkata kepada ibunya: “Bu, istriku sudah bisa
menjarit”. Lalu dilihatlah istrinya oleh ibunya I Belog, terkejut ibunya setelah melihat istrinya I
Belog sudah meninggal. “Hai, Belog, istrimu sudah mati, sudah membusuk, sana buang (kubur)
segera, ya!. Segala sesuatu yang sudah busuk pasti sudah mati”. Setelah itu lalu istrinya dikubur
oleh I Belog. Menurut pikirannya, segala sesuatu yang busuk pastilah mati, tidak lama kemudian
15
ibunya kentut dan baunya sangat busuk. “Bu, sekarang ibu baunya busuk, sekarang ibu mati”.
Segera ibunya dikubur oleh I Belog. Tidak lama setelah itu, I Belog kentut baunya juga sangat
busuk, segera dia membuang dirinya di bawah pohon mangga, tidurlah dia di sana. Ketika buah
mangga itu jatuh menimpa mulutnya dia berkata: “Hai kamu mangga, kalau aku mati sudah pasti
aku akan makan kamu”, demikian dia berkata. Setelah itu, datanglah ayahnya dan berkata:
“Belog, kenapa kamu tidur di sini? Lalu jawabnya: “Ayah, saya sudah mati” “Sembarangan
kamu bicara, mati bagaimana (maksudmu), sana pulang! Lalu pulanglah I Belog. Demikianlah
cerita ini berakhir.
Satua I Belog (l) di atas jika disimak dengan baik adalah tipe satua I Belog yang memang
benar-benar bodoh. Karena kebodohanya itu menyebabkan sesuatu dapat terjadi secara fatal. Apa
yang diucapkan orang ditelan mentah-mentah tanpa melalui proses berpikir. Hanya karena
perkataan ibunya bahwa bila menghirup bau busuk adalah mati maka semua yang berbau busuk
dianggap sudah mati. Demikianlah peristiwanya, ketika ibunya kentut yang sangat bau maka
dengan segera ibunya dibuang atau mati. Demikian pula dengan peristiwa dirinya ketika
kentutnya bau segera menganggap dirinya telah mati. Dalam satua ini tokoh utama I Belog
tidaklah sampai mati, sedikit berbeda dengan satua I Belog (2) berikut ini.
I BELOG (2)
“Ada tuturan satua madan I Belog, éménña bapaña lacur pesan-pesané, tara payu ñakan
ya. Gagaéñané nanggap upah nebuk. Bapaña nanggap upah nampad. Kénto dangan baña ngalih
amah, I belog malali dang ya.
Jani sedek dina anu, I Belog omongina kénang bapané, kéné ubaca nuturin, :”Belog,
kénkén si ko tara pesan inget kénang gaé, apa bakal amah cai, bapa kéné lacur pesan, cai melah
dangan. Da anaké kéto, awak lacur bikas lacur agén, da beña malali dang!”. Kénto bapané
ngurahin I Belog. I Belog mendep dang ya.
Nah kacrita jani I Belog, uba tuturiña kénang bapané, keneh-kenah ya. Papineh anak
belog tara amul apa. Uba ya makeneh, kéné urahanga keneh I Belogé. “Jani bakal ngalih gaé
ba,bakal ngalih udang apa ka lebahé. Uba kénto, was lahuca I Belog ngalih udang tara ngaba
apa, ngaba ibaña dang.
Kacrita teked ya di lebahé, ngalih udang aji ngogoin dang ya. Kacrita maan ya udang,
ngomong udangé ané bakatanga totoña, kéné omongané: “Belog, da ja ko ngamatiang aku, yén
ko tara ngamatiang aku,pidanan aku ingetanga olasmuné!”. Kénto orahanga udangé ngomong
kénang I Belog. Uba kénto lébanga udangé kénang I Belog. Mulih man ya. Teked ya dumah
murahan ya kénang bapané. “Bapa, nira was ngalih udang ba tuni, liu ba nira maan udang,
16
kuwala bin ba lébin nira”. Kénto omong I Belogé murahan kénang bapané. Uba ya murahan
kénto kénang bapanné, galak urahanga bapa, : To kénkén té cai Belog, tara nawang apa, ba ko,
ko was ngalih udang, uba maan udang lébangmu, aduh,uba mara yak o belog pesan, melah mati
dang ko”. Kéntoanga I Belog kénang bapané. Mendep dang I Belog.
Kacrita bin maniné, bin I Belog was ngalih udang. Neked ya di lebahé, ngalih-ngalihin
man udang. Maan lantas bé julit gedé pesané, uba bakatanga bé julité kénang I Belog, ngomong
lahuta bé julite kénang I Belog, : “Belog, da ja ko ngamatiang aku. Yén ko ñak ngalébang aku,
pidanan aku ingetanga olasmuné”. Kénto omong bé julité kén I Belog. Uba kénto lébiña bé
julité kénang I Belog. Uba I Belog ngalébang bé julite, mulih man ya. Neked ya dumah, bin ya
murahan kénang bapané, ngorahang ibaña maan bé julit, kuwala bin lébiña.Uba kénto bin ba I
Belog galakiña kénang bapaña, ngendepang dang ba I Belog galakiña kénang bapaña.
Kacrita bin maniné, bin man ya was ngalih udang. Kacrita neked ya di lebahé ngenot-
ngenotang ya udang di tibuané. Ada nipi ditu di sampan tibuané gedé pesané, kadéna bé julit
nipiné to kénang I Belog. Maan udang lébanga, maan bé julit lébanga masih, ada nipi gedé
jemaka, sampe mati ya ngemasin belogné.
Jani kacrita bapan I Belogé, uba sanja tara teka I belog, aliha I Belog ka tukadé ara
tepukinña, bin aliha ngatebaang tepukina ada laad dangan, getih ada tepukinña, berurusan
pada tepukiña totoña, tutuga berurusané, tepukiña ada nipi gedé pesané, bin gedé pesan
basangné. Dadi keneh-keneh ba bapan I Beloge. Nipiné ténéña musti ngamah panakkuné. Kénto
keneh bapan I Belogé. Uba kénto, ngalih man ya bangsing agéña negul nipiné totoña, uba
mategul lipiné totoña, sanja gati ba mulih man ya.
Kacrita bin mani semenganné, ngalih man ya timpal ajakina ngamatiang lipiné totoña.
Maku man bapan I Belogé ajaka patpat, ngaba tumbak ya maku. Uba neked ya ditu,tumbakiña
lantas nipiné totoña, mati lahuca lipiné totoña. Uba mati lipiné, tudaga basang nipiné,
bakatanga I Belog di basang nipiné, ba mati ba bakatanga, tekaning maan ya soca di basang
nipiné totoña. Uba kénto, abaña man mulih bangkén I Belogé. Uba neked dumah,liu peda
pisaga-pisagaña nelokin maku. Uba kénto, kutanga man I Belog. Uba makutang I Belog, keneh-
keneh bapan I Belogé, mapan ya man soca di basang nipiné, melah agén apa socané totoña tara
ba tawanga, balih-balihina socané totoña. Tedun lantas mémén I Belogé. Dadi katedunané
totoña, tara baanga meme bapané sedih, socané totoña silurné, dadi éméña bapaña ara baanga
sedih, socane totoña tundéna ngidepang ya. Socané totoña manik totoña, melah agén nulungin
anak ngalih anak luh. Kénto orahanga kénang priyatan I Belogé.
Yén ada anak ngalih totoña suha ñepuh maniké. Yén né to suha nginem kenéng anaké
ngalih mesuh nulung anak sakit, yéhé to suha maang. Yén anak ngalih mesuh nulungin makarep,
suha ngemem aji lengis totoña, suha maang anaké. Kénto urahina kinang periyatan I Belogé,
urahanga bapané bakal payu ba jani. Uba kénto man ya tedun.
Kacrita jani uba urahiña kénto kinang periyatan I Belogé, ada jenenga solas dina
nakeloné, ulih ento tara pegat-pegatan anak ngalih ubad maku, ada ngalih ubad anak sakit, ada
mesuh nulungin ngalih karepan. Apa ulih totoña ngancan payu ba bapan I Belogé. Ba kénto,
makelo-kelo sugih lahuca mémé bapan I Belogé.
17
Jani bin kacrita I Belog, uba makelo ya mati inget bapaña, mampan ya ba sugih ulihan I
Belog ngranayang, makiré man ya kal ngabénang I Belog. Abéña lahuca I Belog, ngupah gong,
ngupah angklung ya, upahanga periyatan I Beloge. Nah uba ngabén, ñugih-ñugihang dang
bapan I Belogé. Uba kénto, ba man satuan I Belogé.(Sumber: koleksi Gedong Kirtya IIIb/3958)
Terjemahan dalam bahasa Indonesia
SI PANDIR (2)
“Ada cerita I Belog (Si Pandir) namanya, ayah ibunya sangat miskin, sama sekali tidak
mempunyai makanan. Pekerjaannya hanyalah buruh menumbuk padi. Ayahnya buruh kebun
mencabut rumput. Demikianlah mereka mencari pekerjaan sedangkan I Belog kerjaannya hanya
bermain-main”
Suatu hari, I Belog disuruh oleh orang ayahnya, begini katanya: “Hai Belog, bagaimana
sih kamu sama sekali tidak hirau dengan pekerjaan, nanti apa yang kamu makan? Ayah sangat
miskin, kamu tenang-tenang saja. Janganlah begitu, orang miskin berperilakulah sebagaimana
mestinya, kamu jangan hanya bermain-main saja!”
Diceritakan sekarang I Belog, setelah dinasihati oleh ayahnya, berpikirlah dia. Pikiran
orang bodoh tidaklah seberapa. Setelah dia berpikir, begini pikirnya: “Sekarang waktunya untuk
bekerja, akan mencari udang ke sungai”. Setelah itu berangkatlah I Belog mencari udang tanpa
membawa peralatan, hanya tangan kosong.
Diceritakan setelah sampai di sungai, mencari udang hanya dengan tangan kosong.
Diceritakan dia dapat seekor udang, berkatalah udang yang dia dapatkan itu, begini katannya:
“Hai Belog, janganlah aku dibunuh, jika kamu tidak membunuh aku, suatu hari kelak aku akan
membalas kebaikan hatimu! Demikian perkataan si udang kepada I Belog. Selanjutnya
dilepaskanlah kembali udang itu, kemudian pulang. Sampai di rumah dia melapor kepada
ayahnya, “Ayah, aku tadi mencari udang, banyak sekali aku dapat udang, tetapi aku lepaskan
kembali”. Demikian kata I Belog kepada ayahnya, marahlah ayahnya, :”Aduh, bagaimanakah sih
kamu Belog, tidak tahu apa-apa, kamu mencari udang dan sudah dapat kok kamu lepaskan
kembali, dasar kamu bodoh sekali, lebih baik kamu mati saja”. Demikian I Belog dikata-katai
oleh ayahnya. I Belog hanya terdiam.
Diceritakan keesokan harinya, I Belog kembali ke sungai mencari udang, setelah sampai
di sungai, lalu mencari-cari udang. Dia dapat seekor ikan sidat yang besar, setelah ikan sidat itu
ditangkap oleh I Belog, berkatalah ikan sidat itu kepada I Belog, “Hai Belog, jangan kamu
membunuh aku. Jika kamu mau melepaskan aku kembali, kelak aku akan membalas kebaikan
hatimu!. Demikian kata ikan sidat kepada I Belog. Setelah itu dilepaslah kembali ikan sidat itu.
Setelah meleaskan ikan sidat itu, I Belog lalu pulang. Sesampainya di rumah, I Belog kembali
melapor kepada ayahnya mengatakan bahwa dirinya mendapat seekor ikan sidat tetapi kembali
dilepaskan. Oleh sebab itu I Belog kembali dimarahi oleh ayahnya, I Belog tidak menyahut
dimarahi oleh ayahnya.
Diceritakan keesokan harinya kembali I Belog pergi ke sungai mencari udang. Setelah
sampai di sungai, dia mencari-cari udang di sebuah lubuk. Ada seekor ular besar di lubuk itu,
18
dikiranya ular itu ikan sidat oleh I Belog. Mendapat udang dilepas, dapat ikan sidat dilepas
kembali, ada seekor ular besar ditangkapnya, menyabung nyawa sampai mati karena
kebodohannya.
Sekarang diceritakan ayahnya I Belog, sampai sore belum juga kembali, dicarilah I Belog
sampai ke sungai tetapi tidak ketemu, lalu dicari sampai ke hilir hanya ada jejak, ada darah
dilihatnya, dilihatnya ada jejak dan itu diikutinya terus jejak itu, dilihatlah seekor ular besar dan
perutnya sangat besar. Jadi berpikir-pikirlah ayah I Belog. “Pastilah ular ini yang memangsa
anakku”. Demikian pikiran ayahnya I Belog. Setelah itu, dia mencari akar kayu untuk mengikat
ular itu, setelah ular itu diikat lalu dia pulang, sore baru sampai di rumah.
Diceritakan besok paginya, lalu dia mencari teman untuk bersama-sama membunuh ular
itu. Dapatlah empat orang ayahnya I Belog sambil membawa tombak. Setelah sampai di tujuan,
ular itu ditombaknya sampai mati. Setelah ular itu mati, perut ular itu segera dirobek dan
ditemukanlah I Belog di dalam perut ular itu dalam keadaan sudah mati dan ditemukan juga
sebuah permata. Setelah itu mayat I Belog dibawa pulang dan warga pada berdatangan.
Selanjutnya I Belog dikubur itu kemudian ayahnya I Belog berpikir-pikir tentang permata yang
didapatkan di dalam perut ular itu, diperhatikannya secara saksama. Kemudian kesurupanlah
ibunya I Belog dan diisyaratkan ibu bapaknya tidak boleh bersedih, permata itulah sebagai
gantinya. Permata itu berkhasiat untuk menolong orang terutama untuk mencarri istri. Demikian
yang dikatakan oleh leluhurnya.
Jika ada orang yang membutuhkan cucilah permata itu kemudian suruh meminumnya.
Demikian juga bisa digunakan untuk menolong orang sakit, air cucian itu disuruh minum. Jika
untuk menolong orang jatuh, suruh rendam dengan minyak. Demikian isyarat yang diberikan
oleh roh leluhurnya I Belog, dikataannya akan segera kaya mendadak. Demikianlah
isyarat/wangsit itu.
Sekarang diceritakan sudah sebelas hari setelah kedatangan roh leluhurnya I Belog, orang
tiada henti-hentinya minta berobat, ada yang minta obat untuk orang sakit dan lain-lain. Berkat
pengobatan itulah ayahnya I Belog semakin lama semakin kaya.
Sekarang kembali diceritakan, sudah sekian lama dengan kematian I Belog barulah
ayahnya sadar, oleh karena sekarang sudah menjadi orang kaya dan itu atas berkah anaknya (I
Belog), ayahnya berkeinginan untuk membuat upacara pengabenan. Lalu dibuatkanlah I Belog
upacara pengabenan, menyewa pertunjukan gong, angklung untuk persembahan arwahnya I
Belog. Setelah upacara ngaben, konon ayahnya I Belog semakin kaya. Demikianlag cerita I
Belog.
Dongeng I Belog (2) di atas sedikit berbeda dengan (l). Dalam satua I Belog (2) juga
karena kebodohannya akhirnya menemui kegagalan. I Belog sangat percaya dengan omongan
orang lain yang akhirnya merugikan dirinya sendiri, bahkan pada akhir cerita menemui ajalnya
karena dimangsa ular besar. Bagi orang tuanya, sebodoh apa pun anaknya dia tetaplah anaknya
19
yang harus disayangi. Oleh karena itu, kehilangannya I Belog terus ditelusuri sampai akhirnya
ditemukan dalam perut ular. Kematian I Belog dan kecintaan ayahnya pada anaknya itu
tidaklah sia-sia, bahkan sebaliknya yakni membawa kebahagiaan. Kematian I Belog diupacarai
secara baik, diberikan penghormatan terkahir sebagaimana layaknya. Beberapa judul satua tipe
ini seringkali dengan judul I Belog, namun ada juga yang tidak memakai I Belog seperti satua
Nang Bangsing teken I Belog, satua Pan Belog, Nyoman Jater, Men Muntig.
I CELEMPUNG(3)
Wénten tuturan satua, mawasta ICelempung. Jadma kalintang lacur punika, maroban
ipun sareng kakalih, kurenan ipuné. Sapunika mangkin, kacrita mangkin i kliang banjar nuduk
patus, ipun jagi ngabén. Réh asapunika, dados karauhan arahan punika I Celempung. Arah-
arahan punika “nah beli Celempung, beli apanga tedun dinané buin mani di banjar, réh banjaré
ngantiang nuduk patus”.
Dinané bénjangné raris tedun banjaré sami rauhing I Celempung. Deriki raris matakén i
kliang banjar. “nah cai Celempung, réh beli jani makiré ngabén, cai apanga pesu patus duang
tali pis bolong, apanga cai ngaba buin telun pipisé ento. Yen tuara cai ngaba pipis dinané ento,
cai bakal matundung uli désane dini, tur kasuudang mabanjar”. Inggih sasampuné asapunika
baosané, éling I Celempung ring déwekné lacur. Kobet raris ipun, raris mamana-manah. Antuk
kalacurané I Celempung, dados mabaos-baosan mangkin sareng kurenané. “nah Men
Bongkéngé, kénkén abéte jani makenehan, wiréh banjaré nuduk patus néné buin telun. Yén
banya mabudi nyilih, tusing kagugu. Budi mamaling tuara bani.”. méweh sampun manahne,
nénten ja wénten sané nyidayang ngamedalang jinah, medal raris ipun akal “béh ngudiang ja
kéto”. Sapunika mabaos ring kurenanné. “ngelah sé kuluk aukud, ento bakal gadéang tekén i
kliang banjar”. Raris rauh sampun dinané jagi ipun naur djinah ring banjar. Pinah tengai
durung ipun rauh, pinah sué ipun sampun i kliang banjar ngantos.
Kacrita I Celempung polih mangkuhan wantah satus bidang jinah bolong. Punika raris
kaakalang jinahé sané satus, kakemkem dados ring bungutné, tur nganté asu raris, kadandan ka
bakta ka banjar. Sarauhe ring banjar, raris katakénin antuk i kliang banjar “nah cai
Celempung, to kénkén dadi cai mara tedun, pinah suba makelo nyama-nyamané nganti, cai
dogén paling sidori teka”. Raris masaut I Celempung “béh, napi beli, tiang maangkuhan
20
mawinan sué, santukan bas lacur tiangé. Nyelang jinah ten ja polih”. Wawu asapunika masaut
raris i kliang “o, to cai jani dadi kosing ngaba pipis tedun caine”. “inggih, nénten tiang makta
pipis”. Sapunika I Celempung. “cendetne beli malu ngugunin awak tiangé”. “ento beli tundén
cai mesuang pipis, apa gegaén caoné?”. Sapunika i kliang. “niki té kuluk tiangé anak midep
ngamedalang pipis. Sangkal bani tiang maang beli ngisi kuluk tiangé, wiréh beli anak sugih,
mabe-bean sai-sai, dadi begeh pesu pipisé uli di bungutné, yéning beli sai-sai ngmaang ja nasi
misi bé”. Masaur raris i kliang “nah tegarang cai nundén ia apanga mesuanag pipis uli
bungutné”. “kéné beli”. Sapunika I Celempung, “reh kuluk tiangé uli bau tedun sing ja nyadég,
mangkin abedik ipun midep ngamedalang jinah. Ten ja lebihan tekén satus bolong pesu”. “nah,
api kéto, yén suba macihna dogén, beli nyak ngugonin cai duang tali pipis”. Asapunika i kliang
banjar. Sampun asapunika, mangkin raris ikliang banjar ngaukin, ping kalih ngaturin gusti-
gustiné apanga nampekin I Celempung. Sasampuné sami paek, raris sedota jit asuné antuk I
Celempung, bek raris bungutné I Celempung madaging jinah, raris kautahang antuk I
Celempung. Sasampuné kapanggih antuk i kliang banjar, raris kendel ipun, tur nyak ipun ngugu
punika aji kalih tali jinah. Sampun sapunika kabecik-becikang asuné I Celempung ngubuhin,
sarahina wéhin nasi madaging ulam makéh-makéh.
Kacrita mangkin sampun malih kalih rahina jagi ngabén i kliang banjar, raris mapajar
ipun ring I Celempung “nah Celempung, buin mani inetang cai ngaba timpas ka banjar réh
lakar ngébat”. Bénjang semengan semengan wusan maolah-olahan raris kategakang sami.
Bénjangné malih tedun jagi nyuryakang wadah.
Kacrita gelising puput sampun karyané i kliang banjar ngabén. Réh ipun madué utang
makéh, mamanah ipun jagi naur utang. Éling ipun ring kulukné I Celempung sane ngamedalag
jinah. “ngudiang ja kéweh, jakanang malu kuluké, apang liunan mesuang pipis.”. asapunika
manah ipune. Raris kajakanang tur kawéhin daar asuné punika. Mangkin tedunanga
panyamaané sami, réh ipun polih ngadé kuluk midep ngamedalang jinah, mangda sami uning.
“nah cai nyama braya makejang, jani pabalih apang cai nawang kuluk ané mautama, ané
nyidaang mesuang pipis”. Dados akéh rauh panyamaané jagi nonton punika. Sasampuné sami
tragia jagi mabalih, raris sahasa punika i kliang banjar nyanggem jit kulukné I Celempung, tur
kakerasang raris nyedot jit kulukné, jantos lengkék basang kuluké kuing-kuing, malih
kabangetang antuk i kliang banjar nyedot, raris bek bungut ipuné madaging bacin asuné. Raris
kasuak antuk antuk timpal ipuné, irika raris jengah, réh kasuak antuk timpal ipuné, sahasa raris
21
antuk renget manah ipuné, kapantigang raris asuné punika jantos mati. Sasampuné padem asu
punika, mangkin ka jumahné I Celempung raris ipun i kliang banjar malungguhang. “nah, cai
Celempung, ulihang pipis beliné, réh cai nguluk-nguluk, ngorahang kuluk cainé pesu pipis.
Mara sedot beli bek bungut beliné misi tai”. Reh I Celempung uning ring asuné padem, raris
ipun masaur “nah yén asapunika, nunas mangkin kuluk tiangé, tiang jagi nyedot mangda medal
jinah, tiang ngulihang jinah beliné”. “Bah kadung suba matiang beli kuluk cainé”. Sapunika
kelihané. “reh beli ngamatiang kuluk tiangé, pipis beliné ten ulihang tiang, sira mangkin tagihin
tiang pipis, raris matiang beli”. “nah, réh cai tusing nyak ngulihang pipis beliné, anggon pang
melah-melah”. Sapunika i kliang. “nah, api beli apang melah-melah masih ngamatiang kuluk
tiangé”. (sumber: Satua-Satua sane Banjol ring Kasusastran Bali, l97l).
Terjemahan dalam bahasa Indonesia
I CELEMPUNG(3)
Ada sebuah cerita, namanya I Celempung. Orangnya sangat miskin, dalam keluarga yang
hanya dua orang bersama dengan istrinya. Demikian keadaannya, sekarang diceritakan tetua
banjar untuk memungut iuran untuk upacara ngaben. Oleh sebab itu, sampailah berita itu kepada
I Celempung. Adapun pengumuman itu begini: “Kakanda Celempung, kakanda besok harus
pergi ke balai banjar, oleh karena setiap anggota banjar membayar iuran!”.
Keesokan harinya lalu warga banjar pada berdatangan termasuk I Celempung. Kemudian
tetua banjar itu berkata: “Hai Celempung, olah karena sekarang saya akan melaksanakan
upcara ngaben,kamu harus membayar iuran uang kepeng sebanyak dua ribu. Jika kamu tidak
membawa uang, kamu akan diusir dari desa inidan diberhentikan dari anggota banjar!” Setelah
mendengar pengumuman itu, menyadari dirinya I Celempung akan kemiskinannya. Pikirannya
menjadi kalut lalu berpikir-pikir.
Menyadari kemiskinannya, I Celempung berdiskuai dengan istrinya. “Hai Men
Bongkeng, sekarang bagaimana caranya. Oleh karena tiga hari lagi semua anggota banjar
sekarang membayar iuran. Kalau kita minjam, kita tidak dipercaya. Kalau mencuri juga tidak
berani”. Kacaulah pikirannya I Celempung, tidak akan mampu membayar uang, lalu keluar
akanya: “Wah kok begitu”. Demikian dia berkata kepada istrinya. ”Kita hanya punya seekor
anjing, itu yang akan digaikan kepada tetua banjar”. Selanjutnya tibalah saatnya untuk
membayar iuran itu. Sampai tengah hari dia (I Celempung) belum juga datang, sudah lama tetua
22
banjar itu menunggu. Diceritakan usaha I Celempung hanya dapat seratus uang kepeng. Lalu
uang seratus kepeng itu diakalinya, ditaruh di dalam mulutnya, sedangkan anjingnya diikat
dibawa ke balai banjar. Sesampainya dibalai banjar, lalu ditanyai oleh tetua banjar. “Hai
Celempung, mengapa baru datang, sudah lama sekali kita menunggumu, hanya kamu saja yang
datang paling akhir?” Lalu I Celempung menjawab, “ Wah kakanda, saya berusaha minjam
sana-sini sehingga telat oleh karena kemiskinan saya. Tidak dapat mijam uang” Mendengar
jawaban itu lalu tetua banjar berkata, “O, sekarang kamu ke sini tidak membawa uang”. “Ya
betul saya tidak membawa uang. Pendek kata, kakanda harus percaya kepada saya”. Demikian
kata I Celempung. “Kakanda suruh kamu membayarinya, apa saja kerjaannmu?”. Demikian
kata tetua banjar. “Anjing saya ini dapat mengeluarkan uang. Itulah sebabnya saya berani
menjaminkan anjing saya ini, karena kakanda orang kaya, setiap hari makan daging,sehingga
bisa banyak mengeluarkan uang jika setiap hari kakanda memberi dia makan dengan daging”.
Tetua banjar lalu menjawab: “Ya, sekarang kamu coba suruh dia mengeluarkan uang dari
mulutnya”. “Begini caranya kakanda”. Demikian kata I Celempung, “Oleh karena anjing saya
dari tiga hari lalu belum makan, pastilah sedikit dia bisa mengeluarkan uang”. “Tidak akan
lebih dari seratus kepeng”. “Ya, walaupun demikian, jika sudah ada buktinya, kakanda percaya
dan berani membayar dua ribu kepeng”. Demikian kata tetua banjar. Setelah itu, tetua banjar
memanggil semua anggota banjar supaya mendekat pada I Celempung. Sesudah semuanya
mendekat, lalu disedotlah pantat anjingnya itu oleh I Celempung, mulut I Celempung penuh
dengan uang kemudian dimuntahkan. Setelah dilihat oleh tetua banjar, senanglah hatinya dan
mau member jaminan sebanyak dua ribu kepeng. Setelah itu, anjing I Celempung dipelihara
dengan baik, setiap hari diberi nasi berisi daging yang banyak.
Diceritakan dua hari kemudian saatnya upacara pengabenan tetua banjar, lalu berkata
kepada I Celempung, “Hai Celempung, ingatlah besok kamu harus membawa pisau ke balai
banjar karena akan ada pesta”. Esok harinya pagi-pagi setelah selesai masak semuanya makan-
makan. Besok juga harus datang untuk menggotong usungan.
Singkat cerita sudah selesai upacara pengabenan tetua banjar. Oleh karena mempunyai
banyak utang, dia hendak membayar semua utang-utangnya. Lalu ingatlah dia dengan anjingnya
I Celempung yang bisa mengeluarkan uang. “Kok susah-susah amat, masak dulu untuk makanan
anjing, agar banyak mengeluarkan uang”. Lalu dibuatkan makanan dan diberikan makan anjing
23
itu. Sekarang semua keluarganya diberitahu bahwa dia mempunyai anjing yang dapat
mengeluarkan uang, agar semuanya tahu. “Hai sanak saudaraku semuanya,sekarang lihat agar
diketahui seekor anjing yang luar biasa, yang dapat mengeluarkan uang”. Sehingga banyaklah
sanak saudaranya berdatangan untuk melihat anjing itu. Setelah semuanya siap, segera tetua
banjar itu menempelkan mulutnya di pantat anjingnya I Celempung, disedotnya dengan kuat
pantat anjing itu, sampai mengkerut perut anjing itu dan berbunyi, sekali lagi disedotnya lebih
kuat sehingga mulut tetua banjar itu penuh dengan kotoran anjing. Lalu diteriaki oleh hadirin
semuanya, sangat malu oleh karena diteriaki oleh saudara semuanya, oleh karena marahnya
sampai ke ubun-ubun, anjing itu lalu dibanting sampai mati. Setelah anjing itu mati, sekarang
tetua adat itu pergi ke rumah I Celempung lalu tetua adat itu berkata: “Hai Celempung,
kembalikan uangku, karena kamu menipu, mengatakan anjingmu dapat mengeluarkan uang”.
Ketika saya sedot pantat anjing itu mulutku penuh dengan kotoran”. Oleh karena I Celempung
tahu anjingnya telah mati, lalu dia manawab: “Baiklah jika demikian, kembalikan anjing saya,
akan saya sedot pantatnya untuk mengeluarkan uangnya, akan saya kembalikan uangmu!”.
Demikian kata I Celempung kepada tetua banjar itu.
“Oleh karena kakak telah membunuh anjing saya, uangmu tidak saya kembalikan, sekarang
siapa yang akan mintai uang, (anjingnya) terlanjur kakak bunuh”. “Baiklah, karena kamu tidak
mau mengembalikan uangku, gunakan uang itu dengan baik”. Demikian kata tetua banjar itu.
“Baiklah, walaupun demikian, kakak juga harus baik-baik telah membunuh anjing saya”.
Satua I Celempung (3) di atas juga bertemakan belog atau bodoh/pandir. Namun, tidak
demikian bodohnya dengan satua (l) dan (2). Dalam Belog (3) karakter bodoh I Celempung
bukanlah bodoh sebanarnya. I Celempung sebanarnya adalah tokoh cerdik namun pura-pura
bodoh, atau membodohi orang lain. Beberapa contoh satua mirip ini seperti Pan Balang Tamak, I
Belog Mantu, Pan Angklung Gadang, Balu Kawanan dan Balu Kanginan. Model kecerdikan
seperti satua (3) ini dilakukan dengan tipu muslihat bahkan menjurus licik demi keuntungan diri-
sendiri. Alasan yang diajukan bermacam-macam, mulai dari ketidakmampuan ekonomi,
kekurangan fisik, atau yang lainnya. Khusus untuk satua (3) di atas alasannya karena
kekurangmampuan ekonomi.
24
NANG PENDOR (4)
Ada tururan satua madan Nang Pendor. Nang Pendor anak mula lengit pesan. Nang
Pendor tuara taen nyak ngudiang-ngudiang. Geginane tuah nagih madaar dogen. Nang Pendor
sai-sai ngulgul Men Pendor magarapan. Nang Pendor morahan teken Men Pendor. “Memene
enggalang ja ngalesung apang enggal lebeng nasine”. Masaut lantas men pendor. “Suba”
Tuturang jani, mara Men Pendor mulang lu telung kelesungan, Nang Pendor buin
matakon. “Suba lebeng nasine memene?” “Dong mara icang ngalesung masi nakonang nasi
lebeng. Yen suba ngendihang api di paon mara mada anak nyakan”. “Beh, ne anak mulang lu
kaden anak nyakan” “magedi ja malu ...magedi ...., ngentuk-ngentukin dogen di lesunge”
Gelisang satua, ceritayang jani nuju rahinan. Rahinan galungan. Nang Pendor matakon
teken Men Pendor.”Memene, suba ngae jaja? “Beh, sing kodag ban perahne Nang Pendor.
Suba nasi buin jaja”. “Beneh, icang anak dot pesan teken jaja”. “Pragat ngorahang dewek
enduk-enduk. Enduk-enduk sakewala kuat pesan madaar”. “Kaling ke tuara dadi madaar, meh
icang gelem” “Yen kene solah caine, sing kodag baan icang ngayahin cai’. “Yen sing kodag,
kema ja nyai magedi uli dini”
“Nah jani suba icang lakar magedi”
“Da nyai liunan munyi, kema nyai magedi.... magedi”
Dadi gedeg pesan basangne Men Pendor. Baan Nang Pendor tuara nyak ngudiang-
ngudiang. Pragat ngitungang madaar. Sabilang nuju rahinan, Men Pendor buung-buungan
mabanten. Mara nguskus apem saget apeme telahanga. Ngae jaja malu-malu suba telah daar.
Apa buin yen ngae tape.
“Sing kodag baan icang ngayahin cai. Jani lakar magedi”
“Nah, kema magedi.... magedi”
Men Pendor lantas mempen prabot-prabotne. Apa ja, dadaaran ane nu masisa, tape,
apem, jaja, makejang pempena wadahina bodag. Nang Pendor pules malingkuh sambilanga
makeneh-keneh. Ditu lantas Nang Pendor ngeka daya sambilanga ngamikmik.
“Peh, ne nguda makejang abana. Jaja, tumpeng, ketipat... paling melah jani pempen dogen suba
awake di bodage, masi awak bawak”
Ditu lantas Nang Pendor malingkuh di tengah bodage, tur ia tekepina. Makire magedi
Men Pendor mageluran, ngaukin Nang Pendor
25
“suba pules cai Nang Pendor? Nang Pendor tuara masaut-masaut. “Rasain iban caine jani
Nang Pendor. Amone baatne lakar angsohang ngaba pang magedi dogen uli dini” . Keto
munyinne Men Pendor. Nang Pendor suba malingkuh di tengah bodage ane suuna teken Men
Pendor ento.
Awanan bes liu baana naar tape, neked di jalan di tengah alase, Nang Pendor lantas
ngenceh di tengah bodage.
“Bah, ne madun tapene jenenga kaantos masem” keto kenehne Men Pendor. Bodage ento nu
masi suuna sambilanga ngamikmik
“Mi... ne nguda pait-pait pakeh madun tapene?. Masaut lantas Nang Pendor uli di tengah
bodage ento.
“Icang ngenceh”
“Wih cicing cai” lantas entunganga bodage ane suuna teken Men Pendor ento.
“Aduh.... adi entungang nyai icang”
“Ih, beler cai, dadi ditu cai mamelud?”
Gelisang satua, saget makesiab ajaka dadua baan ningehang munyin endeh. Ditu lantas
ada raksasa teka. Men Pendor masambatan saha kisi-kisi teken Nang Pendor.
‘Wih Nang Pendor, apa ento? Di tengah alase ene. Yen orahang jelema, to nguda munyine buka
keto? Nang Pendor mai enggalang menek ka punyan kayune”. Makadadua lantas menek ka
punyan kayune
“Mendep, endepang deweke. Apang tusing iraga amaha” keto munyine Men Pendor.
“Raksasane ento lantas ngrujak di batan punyan kayune ento. Ngrujak manas. Abian manas
raksasane ento linggah pesan.
“Aeng dote teken rujak. Paling melah bareng ja jani kema ngrujak”. Keto munyine Nang
Pendor. Paling bedik ada seket bungkul raksasane ento ngempug manas. Bon basan rujak
raksasane ento malipukan, jaen pesan.
“Men Pendor, idihang ja bedik” keto munyine Nang Pendor
“Mendep ja ...mendep. apa idih. Orahang mendep, dong ja endepangan dewekne”
“Aduh...., idihang ja abedik dogen”
“Pih, cicinge nenenan, sing dadi orahin mendep”
Nang Pendor lantas tuludanga teken Men Pendor. Rujak raksasane ento lantas tepena
teken Nang Pendor. Rujak raksasane ento sambrag, mauyag. Baan tengkejutne, raksasane ento
26
niwang tur lantasan mati. Nang Pendor bangun negtegang bayu sambilanga ngusap-ngusapin
matane ane kena basan rujak.
“Aduh ngaap matane. Tundun lih” disubane ilang ngaap matane, nang pendor lantas ngaukin
Men Pendor
“Men Pendor dong mai tuuang deweke. Mai ja ajaka ngrujak”
“Apa rujak? Rujak ane sambeh ento? Amah ento padidi” kanggoang pilih-pilihin ane nu misi
basa”
“Ento raksasane nguda nyelepeteg?”
“Bahsaja. Mati jenenga”
“Tuara takut jenenga cicinge nenenan?
“Ah... to nguda anak mati takutin?
Suba keto Men Pendor tuun uli punyan kayune. Cunguh teken matan raksasane ento
culik-culika. Raksasane ento sajaan mati.
“Beh, Nang Pendor.... Nang Pendor”
“Apa?”
“Lan ja alihin-alihin kasugihan raksasane ento”
“Dija lakar alihin?”
“Di goane ento celepin”
“Sing nu panakne nyen? Nyen kene aengne?”
“Sing. Ia anak padidiana”
“Men pendor lantas macelep di goan raksasane ento. Dong dewa ratu abaatan suun kone ia
maan emas-emasan.
“Jani.... Nang Pendor jalan ja mulih. Sakereng-kereng suba jani ngamah. Sua ada jani anggon.
To ne emas-emasan sesocan, kamben-kambenan sepala liunne”
“Kenkenang jani ngaba?”
“Bodage wadahin”
“Lad tai. Lad enceh pejunina teken Nang Pendor”
“Nah umbah...umbah.”
Nah critayang jani Men Pendor teken Nang Pendor mulih uli di alase. Sasubane neked
jumah, pisagane makejang pada angob, mapan anak lad tiwas dadi sugih. Ditu lantas pisagane
pada matakon.
27
“Ne nguda Nang Pendor seh-seh sumeleh? Masaut lantas Nang Pendor
“Icang ngajak Men Pendor maan ngamatiang raksasa”
“Pi.. bani ngamatiang raksasa?
“Sajaan, aji ngelubang awak icang maan ngamatiang raksasa di tengah alase”
“Bah, yan keto baang ja icang ngidih kamben abesik”
“Ah, tusing baang. Nang kema tegarang memene idihin”
Nah gelisin carita, critaang Nang Pendor teken Men Pendor suba sugih jani tur suba
ngelah pianak aukud madan I Pendor.
Nah amonto malu, satua Nang Pendor ane bawak suba pragat.
(Sumber: Cerita Rakyat Daerah Bali Desa Bulian dan Desa Selat, Dinas Kebudayaan Provinsi
Ddati I Bali tahun l988, l55-59)
Terjemahan dalam bahasa Indonesia
NANG PENDOR (4)
Ada sebuah cerita Nang Pendor namanya. Nang Pendor orangnya pemalas, tidak mau
bekerja. Kerjaannya setiap hari hanya makan saja. Nang Pendor setiap hari hanya mengganggu
istrinya yang sedang bekerja. Nang Pendor berkata kepada istrinya, Men Pendor. “Istriku,
segeralah menumbuk (padi) biar cepat bisa ditanak!”. Istrinya menjawab: “Sudah”.
Sekarang diceritakan Men Pendor, istrinya, kali pukulan alu baru tiga kali, Nang Pendor
kembali berkata, “Sudah matang nasinya, istriku?” “Wah, baru saja menumbuk sudah bertanya
apakah nasi sudah matang. Kalau sudah menyalakan api barulah namanya menanak” “Wah, ini
suara menumbuk dikira sudah masak” “Pergi sana … pergi…mengganggu saja orang bekerja!”
Singkat cerita, dikisahkan sekarang hari raya, Galungan. Nang Pendor bertanya kepada istrinya.
“Istriku, sudah buat jajan?” “Wah, keterlaluan perilakumu suamiku. Nasi sudah, sekarang
jajan”. “Betul, aku ingin sekali makan jajan”. “Katamu selalu bilang tidak kuat, mandor kawat
kerja kendor makan kuat”. “Kalau tidak makan pasti saya sakit” “ Jika begini perangaimu,
saya tidak kuat melayanimu”. “Kalau tidak suka, sana kamu pergi dari sini”
“ya, baiklah saya akan pergi dari sini”
“Jangan banyak omong, sana kamu pergi…pergi…”
28
Jadi, marahlah Men Pendor, istrinya. Oleh karena Nang Pendor, suaminya, tidak mau
bekerja. Kerjanya hanya makan. Setiap hari raya, Men Pendor sampai harus tidak menghaturkan
sesajen. Mengukus apem baru matang sudah habis dimakannya. Membuat jajan duluan sudah
dihabiskannya. Apalagi kalau membuat tape.
“Aku tidak tahan melayani kamu. Sekarang aku akan pergi”
“Ya, sana pergi…pergi….”
Men Pendor lalu memasukkan perabotan yang akan dibawanya. Apa sajalah, makanan
yang masih tersisa, tape, apem, jajan, semuanya dimasukkan ke dalam bakul besar. Nang Pendor
tidur membungkuk sambil berpikir-pikir. Kemudian muncul muslihatnya sambil berkata dalam
hati. “Aduh, kok semua dibawanya. Jajan, tumpeng, ketupat….sekarang lebih baik aku masuk
saja ke dalam bakul ini, toh juga aku pendek”.
Di sana lalu Nang Pendor tidur membungkuk di dalam bakul, dan ditutupi. Menjelang
pergi, Men Pendor berkata memanggil Nang Pendor.
“Nang Pendor, kamu sudah tidur? Nang Pendor tidak menjawab. “Rasakan kamu sekarang.
Walaupun berat, akan aku usahakan membawanya biar bisa pergi dari sini”. Demikian kata
Men Pendor. Nang Pendor sudah tidur di dalam bakul besar yang dijunjung oleh Men Pendor.
Karena terlalu banyak makan tape setelah sampai di tengah hutan Nang Pendor kemudian
kencing di dalam bakul itu.
“Wah, rupanya ini gula tape yang keluar sampai ada asamnya” Demikian pikirnya Men Pendor.
Bakul besar itu masih dijunjungnya sambil bergumam.
“Lo, kok rasanya pahit campur asam tapenya? Lalu Nang Pendor berkata dari dalam bakul itu.
“Saya kencing”
“wah, dasar anjing kamu” lalu bakul itu dilemparkannya oleh Men Pendor
“Aduh, kok aku kamu lemparkan?
“Wah, kamu bangsat, kenapa kamu tidur di situ?
Singkat cerita, kedua kaget mendengar suara bising. Dilihatnya ada dua raksasa
mendekatinya. Men Pendor berkata-kata sambil berbisik-bisik kepada Nang Pendor.
“Aduh, Nang Pendor apa itu? Di dalam hutan seperti ini. Jika dibilang orang bukan, kenapa
suaranya besar begitu? Nang Pendor, ayo segera naik ke pohon”. Keduanya lalu naik ke atas
pohon.
“Diamlah, diam. Agar kita tidak dimakannya” Demikian kata Men Pendor
29
Raksasa itu lalu makan rujak di bawah pohon itu, makan rujak nenas. Kebun nenas milik raksasa
itu luas sekali.
“Aduh, aku ingin sekali makan rujak. Lebih baik aku ke sana ikut makan rujak”. Demikian kata
Nang Pendor. Sedikitnya ada lima puluh biji raksasa itu makan nenas. Bau bumbu rujak raksasa
itu enak sekali menggoda hati.
“Istriku Men Pendor, tolong minta rujak sedikit saja!”
“Diamlah..diam, apa yang mau diminta. Disuruh diam, diamlah!”
“Aduh, mintakan sedikit saja!”
“Aduh, dasar anjing, disuruh diam tidak mau!”.
Nang Pendor lalu didorong oleh istrinya, Men Pendor. Nang Pendor jatuh menimpa rujak
raksasa itu membuat rujak raksasa itu berantakan. Oleh karena terkejut, raksasa itu pingsan
kemudian mati. Nang Pendor kemudian berdiri sambil mengumpulkan tenaganya seraya
mengusap-ngusap matanya yang terkena bumbu rujak.
“Aduh, mataku perih, punggungku juga keseleo”. Setelah perih matanya hilang lalu memanggil
Men Pendor.
“Istriku, Men Pendor, turun ke sini. Sini makan rujak!”
“Apa? Rujak yang berantakan itu? Makan sendiri” “Boleh dipilih yang bagus-bagus”
“Para raksasa itu kenapa pingsan?”
“Wah benar, sepertinya sudah mati”
“Rupanya tidak orang ini (Nang Pendor)”
“Ah, mengapa orang mati ditakukan?”
Setelah itu Men Pendor turun dari atas pohon. Hidung dan mata raksasa itu diperiksanya.
Para raksasa itu sudah mati.
“Wah, suamiku Nang Pendor”
“Apa?”
“Ayo kita cari kekayaan para raksasa itu!”
“Dicari dimana?”
“Cari di dalam gua itu”
“Siapa tahu masih ada anaknya? Begini menakutkan wajahnya”
“Tidak. Ia hanya sendirian”
30
Men Pendor lalu masuk ke dalam gua raksasa itu. Tak terhitung jumlah berbagai perhiasan
emasnya”.
“Nang Pendor…. ayo pulang sekarang. Kita makan sepuasnya. Kita sudah kaya, ada permata,
emas, kain banyak sekali”
“Bagaimana caranya kita membawanya?”
“Taruh di bakul besar itu”
“Bekas kencing dan kotoranmu Nang Pendor”
“Tidak apa-apa, cuci!
Sekarang diceritakan Men Pendor dan Nang Pendor kembali dari hutan. Sesampainya di
rumah, tetangganya pada heran karena dasarnya miskin kaya mendadak. Kemudia tetangganya
itu bertanya.
“Kenapa sekarang Nang Pendor berganti-ganti dengan pakaian bagus? Nang Pendor berkata
“Saya bersama istri Men Pendor telah membunuh raksasa”
“Wah, berani membunuh raksasa?
“Benar, saya berani menyerang raksasa dan membunuhnya di tengah hutan”
“Jika demikian, tolong beri saya selembar kain!”
“Tidak mau, coba minta pada istriku!
Singkat cerita, dikisahkan Nang Pendor dan Men Pendor sudah menjadi orang kaya dan
mempunyai seorang putra, namanya I Pendor.
Satua Nang Pendor (4) di atas juga menunjukkan kecerdikan seorang Nang Pendor.
Dengan berbagai alasan nang pendor melakukan tipu muslihatnya terhadap istrinya, mulai dari
alasan kekurangan fisiknya yang kecil, sakit-sakitan, dan seterusnya. Sesungguh alasan
utamanya adalah karena nang pendor malas, segala sesuatu harus dilayani dan disediakan
sehingga istrinya (Men Pendor) kesal dan pergi meninggalkan rumah. Nah, dalam perjalanannya
irulah akhirnya di tengah hutan mengalami suatu peristiwa yang mengubah nasibnya, menjadi
kaya dan bahagia. Satua nang pendor ini juga mengandung suatu lelucon yang terkadang tidak
masuk akal. Misalnya, ketika bertemu dengan raksasa di tengah hutan kemudian raksasa itu mati
karena kaget melihat Nang Pendor.
31
I RARE ANGON (5)
Ada tuturan ané malu, ada orahanga dagang pindang ajak somaha, ané luh beling gedé
pesan. Kacerita luwas orahanga ngadep pindang, teked di désan anaké ya ngadep pindang,
enda payu pindangné ńang besik, kacerita suba sańja, sakit lantas basang ané luh to, ngomong
men ya kén somahné, tuh basang wangé sakit, méh kal ngelah panak wangé jani, kénkén ben
wangé jani, masaut lantas somahné, kénkén men ben jani awaknu di désan anaké lantas taenang
malu wangé kal negarang ñilih dunungan, enda pesan iya maan ñilih dunungan, uba peteng
gatiné ba masi ngando maan dunungan, apa kéweh to ya, somahné ngancan sanget sakit
basangné, apa bawak kenehné ya, ditu lantas di puran anaké lakuna ngoyong, kacerita ada
tengah lemengé, ngelah panak lantas iya ditu di purané. Uba ngelemaang mapineh iya ajaka
dadua, ngomong lantas iya kén somahné, bék yén awaké nu dini tawanga kén desané dini, pedas
awaké suka meresihin pura né dini, apa agén men awaké enda ngelah apa, keto muñin ane
muani to, mesaut lantas ané luh to, kené bén tuh was awaké uli dini, panak awaké was kalahin
teka dini, masaut lantas ané muani, nah was ko kalahin jani, apang endaénggalan lemah, kéto ja
was ba waku jani, uba kéto was lantas iya ajaka dadua, panakné kutanga ditu, kacarita diluwas
anaké to, ngeling panakné ditu ané kutanga di purané, dingeha lantas kén Mén Bekung, anaké
kicak ngeling di purané, aliha lantas kapurané kén Mén Bekung, bakatanga ditu di purané
anaké cerik to kén Mén Bekung, abana lantas kumahné, apa kendel keneh Mén Bekungé, maan
nuduk anak cenik, melahanga lantas ngubuin kén Mén Bekung anaké cerik to. Gelising satua
uba kelih anaké cerik to, adanina lantas I Raré Angon tekéning Mén Bekung, suka ngangon
sampi I Raré Angoné to, uba jani ba bajang bajangan, nu masi ya ngangon sampi, gangu lantas
iya ngambar, kadong ajaka timpal-timpalné sambilanga ngangon. Kacarita suba pragat
gambarné to, adanina lantas I Lobang kori, melah pesan gambarné to, cerita jani timpal-
timpalné to, ané nawang ya ngambar to, ada té celig nguningang kén anak Agung, uninganga
kén Anak Agung, I Raré Angon orahanga ngambar I Lobang Kori, jegég gatiné gambar I
Lobang Koriné to, kéto atur anaké to kén Anak Agung, apa kedauhan lantas I Raré Angon,
nikaanga kepuri kén Anak Agung, tangkil lantas I Raré Angon, teked di purin Anak Agung,
tundéna lantas I Raré Angon ngalih I Lobang Kori, kineng Anak Agung, déning ya bisa ngambar
I Lobang Kori, I RaréAngon kal matianga kén Anak Agung, apa ngeling lantas I Raré Angon,
32
mulih men I Raré Angon moraan kén Mén Bekung, ngoraang ibana tundéne ngalih, ngalih I
Lobang Kori kén Anak Agung, uba keto was lantas I Raré Angon, ngalih I Lobang Kori, ngaja
kangineng pejalané, kacerita uba teked kaja kangin, nepukin lantas umah I Dukuh, kaki kaki
dukuh japa umah I Lobang Kori, cang tundéna ngalih I Lobang Kori, kén Ida Anak Agung, yén
nda cang ñidaang ngalih I Lobang Kori, cang kal matianga kén Anak Agung, kéto omong I Rare
Angoné kineng I Dukuh, uba kéto orahina lantas I Raré Angon kén I Dukuh tongos I Lobang
Koriné to, kéné muńin I Dukuhé, tuh kéné ben jani, jani kaki ngorahin cai tongos I Lobang
Koriné, kaja kangin laku dini, japen teked kaja kangin, tepuk kal umah I Lobang Koriné, kéwala
ada naga I Lobang Kori ditu, cai ja ńidaang kemo anak cai ngelah pepacongi to, yen lénan kén
cai nda ñidahang kemo, jani kemo duwang té ba cai, kaja kangin laku dini, uba kéto was lantas I
Raré Angon, ngaja kanginang pejalané, enda cerita pejalan I Raré Angoné, teked kaja kangin
tepukina umah I Lobang Koriné, jelanan umah I Lobang Koriné solas tangkeb liyuné,
padiwangan umah eni to, majaga aji macan raksasa, tekéning lipi bin lén-lénan pada ada,
carita teked I Raré Angon ditu, enda kénkénanga tekén pejagané, apa menék empok empokanga
jelanané, tekén I Raré Angon, sedeka nunun dapetanga I Lobang Kori, kéneng I Raré Angon,
capotina lantas kén I Lobang Kori, demara tekén I Raré Angoné, tuh komara teka, ko kéto I
Raré Angon, ko nguda mai tuh, ńidaang ko mai, kéto liyun pejagané diwanga, kéto omong I
Lobang Koriné kén I Raré Angon, mesaut lantas I Raré Angon, kéné kék kerana wangé teka
mai, wangé kesakitan kéneng Anak Agung, tundéna ngalih ko apanga kepuri jani, yén wangé
ńidaang ngalih ko, wangé kal matianga kén Anak Agung, kéto munin I Raré Angoné kén I
Lobang Kori, apa bin lantas I Lobang Kori ngomong, kéné omongné, tuk to kéngkén dadi
tawange wangé, tekéning Anak Agung, mesaut I Raré Angon, kéné kék kerana tawanga kén
Anak Agung, wangé ngoyong dumah Mén Bekungé, wangé tundéna ngangon sampi, sedek
wangé ngangon ajak wangé liyu, sambilang wangé ngangon, uba pragat wangé ngambar
adanin wangé I Lobang Kori, timpal wangé to lada ngorahang kén Anak Agung, to kerana
wangé mai ngalih ko, wangé kal matianga, kéneng Anaké Agung, men kéngkén ko jani, ńako tih,
mesaut lantas I Lobang Kori, nak to kéngkén wangé dadi nda ńak, ko ngalih wangé japo ko ńak
ajakmu, uba kéto makiré lantas I Lobang Kori, uba makiré pesu lantas iya ajak I Raré Angon,
mara I Lobang Kori pesu, sakancan pejagané makejang kalah to, macan, raksasa, lipi, bin ané
33
lénlénan, makejang sekancan pejagané to, baanga manik tekén I Lobang kori, uba kéto ńidaang
men I Lobang Kori ngeliwat, kuwala I Lobang Kori nto ngaba tapel, kacerita mejalan lantas I
Lobang Kori ajak I Raré Angon, tan cerita pejalan I Lobang Koriné ajak I Raré Angon, uba
paek pejalané kén umah Anak Agung, ńaluk tapel lantas I Lobang Kori, uba kéto kemo lantas
iya kumah Anak Agung, uba teked dumah Anak Agung, aturanga lantas I Lobang Kori kén I
Raré Angon, uba katur ring Ida Anak Agung, déning iya napel, déning enda kanggo, tundéna I
Rare Angon ngajak I Lobang Kori mulih, kéneng Ida Anaké Agung, uba keto ajaka lantas kumah
Mén Bekungé, I Lobang Kori kén I Raré Angon, iya lantas ńuang I Lobang Kori, uba makelo ya
ditu, kacerita Anak Agung né jani mebongbong diwangan umah Mén Bekungé, ngeléb lantas
siyap Anaké Agung, mulian kumah Mén Bekungé siyapé to, aliha lantas mulihan, ajinanga
lantas I Lobang Kori, kéneng Anak Agung, I Lobang Kori sedeka nunun, jegég gatiné ajinanga
ya, apan ya enda be napel, uba kéto mulih lantas Anak Agung, teked Anaké Agung, bin lantas
kedauhan I Raré Angon, apang tangkil kapuri, uba kéto tangkil lantas I Raré Angon kepurin
Anaké Agung, teked I Raré Angon di puri, tundéna lantas I Rare Angon ngalih macan, tekénang
Ida Anaké Agung, yén nda I Raré Angon ñidaang, kal matianga I Raré Angon kén Anak Agung,
uba keto mulih lantas I Raré Angon, teked jumah moraan lantas iya, tekéneng I Lobang Kori,
orahang ibana tundéna ngalih macan, tekéning Anaké Agung, baanga lantas pecut kineng adem,
kéneng I Lobang Kori, tundena I Raré Angon ngalih batu ané gedé, japaji I Raré Angon nepukin
batu gedé, to tundéna nimpug aji adem, uba nimpug aji adem tundéna men mecut, dadi macan
be to, tundéna men negakin kepuri, tekén I Lobang Kori, uba orahina keto was men I Raré
Angon, ngaba adem kén ngaba pecut, uba teked iya dialasé, nepukin lantas batu gedé gatiné, to
lantas timpuga aji adem, uba timpuga aji adem, pecuta men, uba pecuta dadi macan men batuné
to, tegakina lantas macané to kapurin Anak Agung, aturanga lantas macané to, mara abanga
macan Anak Agung kén I Rare Angon, enda bani Anak Agung, tundéna I Raré Angon ngaba was
macané to, abana was macané to, kén I Raré Angon, uba abana luwas macané ken I Raré
Angon, bin bedauhan I Raré Angon, bin tangkil I Raré Angon, uba teked di purin Ida Anaké
Agung, tundéna I Raré Angon ngalih naga kén Anak Agung, yén nda ńidaang masih kal
matianga I Raré Angon, uba kéto bin mulih I Raré Angon, morahan ken I Lobang Kori, teked I
Raré Angon jumah, orahanga ibané tundéna bin ngalih naga, orahina men kén I Lobang Kori,
34
tundéna I Rare Angon ngalih bantang kayuné gedé, to pang timpuga aji adem, apang pecuta
pada, uba orahina I Raré Angon kéto, kéneng I Lobang Kori, was men I Raré Angon, cerita
teked I Raré Angon di alasé, nepukin men ya bantang gedé, to lantas timpuga aji adem kineng
pecuta, dadi naga lantas bantangé to, uba keto tagihina lantas nagané to ken I Raré Angon,
abana lantas kumah Anak Agung, tekéd I Rare Angon dumah Anak Agung, aturanga men kén
Anak Agung, mara ajinanga kén Anak Agung nagané to, takut Anak Agung kén nagané to,
tundéna lantas I Raré Angon ngaba luwas nagané to, aba né men was nagané to kén I Raré
Angon, uba abana was nagané to, bin lantas I Raré Angon tundéna ngalih slipan, tekén Anak
Agung, bin was I Raré Angon, papah jakané aliha kén I Raré Angon, to timpuga aji adem
kéneng pecute, tekéneng I Raré Angon, dadi slipan men papah jakané gedé gatiné, to lantas
aturanga sig Anak Agung, mara teked dumah Anak Agung, bin masih takut Anak Agung, tundéna
I Raré Angon ngidiang lipané to, gedianga lantas lipané to, tekéneng I Raré Angon, uba jani
kéto, enda bani Anak Agung kén I Raré Angon, apan sakti gatiné I Raré Angon, takona kén Anak
Agung, déning kéto sayanga men I Raré Angon, kén Ida Anaké Agung, uba kéto bareng lantas
ajaka ńeneng Agung, ken Ida Anaké Agung, uba kéto nteg suka men I Raré Angon, uba kéto
suud men satuané. (Sumber:Koleksi Gedong Kirtya IIIb/4l88)
Terjemahan dalam bahasa Indonesia
I RARE ANGON (5)
Dulu ada sebuah cerita, seorang penjual ikan bersama dengan istrinya yang sedang hamil
besar. Suatu hari pergi ke desa tetangga berjualan ikan, tidak seekorpun yang laku, diceritakan
sudah sore, perut istrinya sakit, lalu berkata kepada suaminya: “Aduh, perutku sakit, mungkin
akan melahirkan aku sekarang, bagaimana caranya kita sekarang?” suaminya lalu menjawab:
“Bagaimana caranya ya, lagian kita berada di desa lain coba tahan dulu saya berusaha untuk
mencari rumah menginap”, sama sekali tidak ada tempat menginap, sampai larut malam juga
tidak ada tempat menginap, susahlah keadaannya, istrinya semakin keras sakitnya, pikirannya
buntu lalu pergi ke sebuah pura, diceritakan tengah malam, lahirlah anak itu di dalam pura.
Menjelang dini hari mereka berdua berpikir-pikir, lalu berkata kepada istrinya, “aduh kalau
sampai ketahuan oleh warga desa kita di sini, sudah pasti kita disuruh mengupacarai pura ini,
35
apa yang akan kita pakai kita tidak punya apa-apa”, demikian kata suaminya, “Nah sekarang
kita harus pergi agar jangan sampai pagi, demikianlah kita berdua pergi sekarang anaknya
ditinggalkan di sana”, diceritakan ketika kedua orang tuanya pergi, bayi kecil itu menangis di
dalam pura, lalu didengar oleh Men Bekung, bayi kecil itu menangis, lalu dicarinya ke dalam
pura oleh Men Bekung, dilihatnya bayi kecil itu oleh Men Bekung lalu dibawa pulang ke
rumahnya, sungguh luar biasa gembira hatinya, dapat memungut seorang bayi, lalu dipelihara
dengan baik bayi itu oleh Men Bekung. Singkat cerita anak itu sekarang sudah besar, lalu diberi
nama I Rare Angon oleh Men Bekung, I Rare Angon senang sekali menggembala sapi,
diceritakan sekarang sudah remaja, masih juga kerjaannya menggembala kerbau, iseng dia
menggambar bersama teman-temannya sambil mengembala. Diceritakan gambar itu sudah
selesai, gambar itu dinamai I Lobang Kori, gambarnya bagus sekali, diceritakan sekarang teman-
temannya itu, yang tahu gambar itu, ada seorang yang memberitahukannya kepada raja dikatakan
I Rare Angon yang melukisnya I Lobang Kori, cantik sekali lukisan I Lobang Kori itu, demikian
laporan orang itu kepada raja, lalu I RareAngon dipaggil supaya menghadap ke istana,
menghadaplah I Rare Angon, setelah sampai di istana I Rare Angon disuruh mencari I Lobang
Kori, oleh raja, oleh karena pandai melukis I Lobang Kori jika tidak berhasil maka I Rare Angon
akan dibunuh oleh raja, I Rare Angon lalu menangis, pulang menemui ibunya, Men Bekung,
mengatakan disuruh oleh raja mencari I Lobang Kori, setelah itu I Rare Angon lalu pergi
mencari I Lobang Kori, perjalanannya menuju arah timur laut, setelah sampai di timur laut,
sampailah dia di rumah seorang pertapa, “Hai kakek pertapa, di manakah rumah I Lobang Kori?
saya disuruh mencari I Lobang Kori oleh sang raja jika saya tidak berhasil menemukan I
Lobang Kori, saya akan dibunuh oleh raja”, demikian kata I Rare Angon kepada I Dukuh,
setelah itu I Rare Angon disuruh oleh I Dukuh tempatnya I Lobang Kori, “dari sini arahnya
timur laut, jika telah sampai di rumahnya Lobang Kori, di sana I Lobang Kori dijaga oleh
seekor naga, kamu pasti bisa masuk ke sana karena dia memang jodohmu, selain kamu tidak
akan bisa, sekarang pergilah ke sana, ke timur laut arahnya”, setelah itu berangkatlah I Rare
Angon, menuju timur laut, tidak diceritakan perjalanannya, setelah sampai dilihatlah rumah I
Lobang Kori, pintu Lobang Kori banyaknya sebelas tingkat, di halaman luar rumahnya itu,
dijaga oleh harimau dan raksasa, juga dijaga oleh ular, setelah Rare Angon tiba di sana, tidak
diapa-apakan oleh para penjaga itu, dibawa ke atas dengan membuka jendelanya oleh I Rare
Angon, I Lobang Kori dilihatnya sedang menenun, lalu disapa oleh I Lobang Kori, dijawab oleh
36
Rare Angon, “saya baru datang”, demikian “Rare Angon kamu mengapa ke sini, bisa juga
kamu ke sini dengan begitu banyak penjaganya?”, demikian kata I Lobang Kori kepada I Rare
Angon, “begini sebabnya mengapa aku ke sini, aku disuruh oleh raja, disuruh menemuimu untuk
dipersembahkan ke istana sekarang juga, jika aku tidak berhasil membawamu aku akan dibunuh
oleh raja”, demikian kata I Rare Angon kepada I Lobang Kori, lalu dijawab oleh I Lobang Kori,
begini katanya, “lho kok raja tahu tentang diriku”, I Rare Angon menjawab, “begini ceritanya
sehingga diketahui oleh raja, saya tinggal di rumah Men Bekung, saya disuruh mengembala
sapi, ketika aku asik mengembala sapi bersama teman-teman saya, sambil mengembala saya
melukis, setelah selesai lukisan itu saya beri nama Lobang Kori, rupanya salah seorang dari
mereka melaporkannya kepada raja, itu sebabnya saya mencari kamu sekarang ke sini, aku akan
dibunuh oleh raja, lalu bagaimana kamu sekarang? mau ikut?”, I Lobang Kori menjawab,
”bagaimana kamu ini mau saja disuruh orang, kamu mencari saya dan mau ikut kamu”, setelah
itu bersiap-siap I Lobang Kori, setelah siap keluat bersama I Rare Angon, baru saja I Lobang
Kori keluar, semua penjaga itu terkalahkan, harimau, raksasa, ular dan yang lainnya, semua
penjaga itu diberi permata oleh I Lobang Kori, sehingga I Lobang Kori bisa lewat, tetapi I
Lobang Kori membawa topeng, diceritakan mereka berdua I Lobang Kori dan I Rare Angon
berjalan, perjalanannya tidak diceritakan, sudah dekat dengan istana, I Lobang Kori lalu
memakai topengnya, setelah sampai di halaman istana diserahkanlah I Lobang Kori oleh I Rare
Angon, sudah diserahkan kepada raja, oleh karena dia memakai topeng, sehingga tidak diterima
oleh raja, lalu I Rare Angon disuruh membawa kembali I Lobang Kori oleh raja, selanjutnya I
Lobang Kori dibawa ke rumah Men Bekung oleh I Rare Angon, dia lalu menikahi I Lobang
Kori, sudah sekian lama pernikahannya, diceritakan raja sedang mengadu ayam di depan rumah
Men Bekung, lepaslah ayam sang raja, masuk ke rumah Men Bekung, lalu dicari ke dalam
rumah, lalu dilihatnya I Lobang Kori oleh raja sedang menenun, dilihatnya sangat cantik, oleh
karena tidak memakai topeng, setelah itu sang raja lalu pulang ke istana, setelah sampai di istana
I Rare Angon kembali disuruh menghadap raja, setelah menghadap raja di istana, I Rare Angon
disuruh mencari harimau oleh raja, jika tidak berhasil I Rare Angon akan dibunuh oleh raja,
setelah itu I Rare Angon pulang ke rumah, sesampainya di rumah berkatalah dia, kepada I
Lobang Kori, mengatakan bahwa dirinya disuruh mencari harimau oleh raja, lalu diberikanlah
cambuk dan adem oleh I Lobang Kori, I Rare Angon disuruh mencari batu besar, dimana pun I
Rare Angon melihat batu besar disuruh melempari dengan adem tadi, setelah dilempari dengan
37
adem lalu disuruh memukulkan cambuknya, maka berubah jadi harimau, lalu disuruh
menaikinya ke istana, demikian disuruh oleh Lobang Kori, setelah diberi tahu seperti itu, lalu
berangkatlah I RareAngon dengan membawa cambuk dan adem, setelah sampai di tengah hutan,
dia lalu melihat batu besar, lalu dilempari dengan adem, setelah itu dipukul dengan cambuk,
setelah dicambuknya maka berubahlah batu itu menjadi harimau, harimau itu lalu dinaikinya
menuju istana raja, dihaturkanlah harimau itu, setelah dihaturkan harimau oleh I rare Angon,
disuruhlah I Rare Angon membawa kembali harimau itu, harimau itu lalu dibawa keluar oleh I
Rare Angon, setelah dibawa keluar oleh Rare Angon, I Rare Angon kembali mendapat panggilan
untuk menghadap sang raja, setelah sampai di istana, I Rare Angon disuruh mencari seekor naga
oleh raja, jika tidak berhasil akan dibunuh, setalah itu I Rare Angon kembali pulang, berkata
kepada I Lobang Kori, sesampainya I Rare Angon tiba di rumah, mengatakan dirinya kembali
disuruh oleh raja mencari seekor naga, lalu diberi tahu oleh I Lobang Kori, I Rare Angon disuruh
mencari sebuah batang kayu yang besar, agar batang kayu itu dilempari dengan adem, agar
dicambuk pula, setelah I Rare Angon diberi tahu seperti itu oleh I Lobang Kori, setelah itu I Rare
Angon berangkat, diceritakan setelah tiba di hutan, lalu menemukan sebatang kayu besar, lalu
dilempari dengan adem dan dicambukinya terus dinaikinya naga itu oleh I Rare Angon, dibawa
ke istana, setelah samapai di istana lalu dihaturkan kepada raja, setelah naga itu dilihat oleh raja,
maka takutlah raja itu, lalu I Rare Angon disuruh membawa keluar naga itu, lalu dibawa
keluarlah naga itu oleh I Rare Angon, I Rare Angon kembali disuruh mencari kelabang, maka
diambillah pelepah aren, lalu dilempari adem dan dicambuknya, maka berubahlah pelepah itu
menjadi kelabang besar sebesar pelepah enau, itulah yang dihaturkan kepada raja, setelah sampai
di istana melihat kelabang yang besar itu membuat raja ketakutan, lalu disingkirkanlah kelabang
itu oleh I Rare Angon, setelah itu raja tidak berani dengan kepada I Rare Angon, karena I Rare
Angon dikira sangat sakti, setelah itu I Rare Angon sangat disayang oleh raja, bersama-sama
diajak memerintah, akhirnya I Rare Angon menemukan kebahagiaan, cerita selesai.
(Catatan: adem adalah tembakau yang sudah diisap)
Satua IRare Angon di atas merupakan salah satua yang bertemakan panji. Beberapa ciri
panji seperti latar atau settingnya terjadi atau berhubungan dengan istana atau raja, terjadinya
peristiwa-perisitiwa yang tidak masuk akal seperti batu menjadi harimau atau batang pohon
menjadi ular, tokohnya yang semula hina-dina, menyayat hati kemudian akhir cerita menjadi
sangat terhormat seperti manjadi bangsawan, kaya-raya, hidup bahagia. Terkadang dalam
38
sebuah cerita panji juga ditunjukkan dengan peristiwa yang tidak logis misalnya orang yang
sudah mati bisa hidup kembali. Seorang bayi yang kemudian dinamai rare angon yang semula
dilahirkan dan dibuang oleh orang tuanya karena ketidakberdayaannya. Lalu dipungut oleh
seorang janda dan dibesarkan dengan baik. Pekerjaan rare angon setiap hari menggembal sapi,
dan bersama teman-teman sebayanya. Suatu saat dalam pengembalaanya itu, dia menggambar
seorang gadis yang sangat cantik yang dinamai Lobang Kori, kemudian seseorang memberi tahu
sang raja. Oleh sebab itu, karena sang raja tertarik dengan kecantikan yang dilukis oleh rare
angon, maka disuruhlah mencari gadis itu. Kemudian dia pergi mengembara sampai di dalam
hutan. Atas nasihat seorang pertapa dia pergi menuju arah timur laut. Tentu berbagai hambatan
dilaluinya, dan akhirnya menemukan Lobang Kori. Lobang kori mau pergi bersama rare angon
dan hanya mau menikah dengannya. Agar tidak dikenali oleh raja, lalu Lobang Kori memakai
topeng. Suatu saat ketika sang raja menyabung ayam dan ayam sang raja lari ke rumah Lobang
Kori akhirnya ketahuan oleh sang raja. Dengan berbagai usaha rare angon disuruh mencari
harimau, naga, dan sebagainya untuk dihaturkan kepada raja. Semua tantangan itu bisa dilalui
oleh Rare Angon akhirnya membuat sang raja menyerah. Akhir cerita, Rare Angon juga diangkat
menjadi penguasa oleh sang raja. Mereka hidupbahagia.
4.2.2. Nilai dan Fungsi
Sebagaimana telah diuraikan di depan bahwa sastra haruslah mengandung sesuatu yang
bernilai dan berguna untuk masyarakat sehingga hasil sastra dapat dijadikan panutan atau
pegangan dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan karakter anak perlu dan penting ditanamkan
sejak usia dini guna mengantisipasi perubahan global yang arusnya semakin kuat. Memahami
nilai dan fungsi satua bisa melalui masatua ataupun dengan membaca teks satua. Nilai dan
fungsi harus dipandang sebagai satu kesatuan seperti mata dua sisi mata uang. Beberapa nilai dan
fungsi satua sebagaimana yang telah disajikan di atas akan dibahas sebagai berikut ini.
Dalam satua i belog baik i belog (l) dan (2) di atas menunjukkan keluguan dari
kesederhaan potret masyarakat. Di dalam masyarakat kondisi sosial masyarakatnya tentulah
tidak sama. Berbagai karakter ada di dalamnya, termasuk sebagian dari mereka ada yang
memiliki intelektualitas kurang. Terhadap orang yang seperti ini, memperlakukannya jangan pula
semena-mena karena mereka juga manusia ciptaan Tuhan, dan mereka lahir atas kehendak-Nya.
Oleh karena itu, hendaknya diperlakukan sebagaimana seharusnya, bagaimana cara
39
mengajarinya supaya tidak terjadi hal-hal yang merugikan bahkan fatal. Memperlakukan orang
seperti itu tentu dengan cara khusus, misalnya dengan memberi pengertian yang benar atau
dengan menjelaskan akibat dari sebuah perkataan, tidak asal mempercainya. Tersirat juga dalam
teks itu bahwa orang seperti i belog itu juga membawa berkah walaupun dia harus kehilangan
nyawanya seperti dalam teks i belog (2) di atas. Kecintaan dan ketulusan hati orang tuanya i
belog terlihat ketika harus mencari anaknya yang hilang atau mati dimangsa ular kemudian
dibuatkan upacara selayaknya sesuai kemampuannya. Berkat ketulusannya itulah akhirnya
mereka mendapatkan kebahagiaan.
Dalam teks satua i celempung (3) di atas juga termasuk belog (bodoh) yang cenderung
memelog ‘berpura-pura bodoh’. Jadi, teks itu menunjukkan bahwa tokoh utamanya tidaklah
bodoh, melainkan pura-pura bodoh untuk membodohi orang lain dengan tujuan tertentu. I
celempung bukanlah orang bodoh, akan tetapi karena ketidakberdayaanya karena orang miskin
membuatnya melakukan hal yang tidak semestinya. Hal semacam ini tentu tidak dapat
dibenarkan apapun alasannya karena selain tidak konsekuen terhadap kewajibannya tetapi juga
merugikan orang lain. Di pihak lain, i kliang banjar juga tokoh serakah, yang ingin selalu
menimbun kekayaan walaupun terhadap orang miskin. Begitu ada peluang sedikit saja segera
dimanfaatkan oleh i celempung. Akhirnya dengan seekor anjing i celempung membayar semua
kewajibannya terhadap i kliang banjar (tetua banjar).
Kemalasan dan kemanjaan yang dijadikan alasan oleh nang pendor juga tidak pantas
ditiru (teks 4). Nang pendor selalu memanfaatkan istrinya yang setia untuk melayani segala
keperluannya. Kekuranagan fisiknya dijadikan alasan untuk memperdaya istrinya. Oleh karena
itu, yang namanya manusia memiliki keterbatasan akhirnya men pendor pergi dari rumah dengan
maksud memberi pelajaran kepada nang pendor. Namun apa daya, justru dengan kelicikannya
berhasil memperdaya men pendor, istrinya. Barangkali karena sudah takdir, mereka bertemu
dengan seorang raksasa yang akhirnya berhasil membunuh raksasa dan mengambil harta
bendanya. Suami istri itupun akhirnya hidup bahagia dengan seorang anaknya.
Sedikit berbeda dengan cerita (5) Rare Angon. Cerita sedih menyayat hati membuat
pembaca harus menahan air mata. Tokoh cerita yang bertemakan panji ini harus mengalami
berbagai cobaan hidup sejak dilahirkan. Sejak kelahirannya yang dibuang oleh kedua orang
tuanya karena ketidakberdayaannya akhirnya menjadi anak pungut. Yang memungut pun (Men
Bekung) sangat senang karena Men Bekung tidak mempunyai anak yang sejak lama
40
diinginkannya.Memang sudah takdir Rare Angon remaja memiliki talenta seni yang dituangkan
dalam goresan di tanah yang membuatnya harus berhadapan dengan raja. Raja pun dengan segala
kekuasaannya memaksa Rare Angon melakukan hal-hal di luar kebiasaan manusia pada
umumnya. Namus, sekali lagi takdirlah yang berbicara, justru dengan tantangan yang diberikan
oleh raja membuat dia dapat mempersunting gadis cantik Lobang Kori, yang dilukisnya di atas
tanah. Rare Angon dan Lobang Kori akhirnya menikah dan hidup bahagia.
Refleksi satua-satua di atas telah mengajarkan nilai-nilai kehidupan kepada kita bahwa
takdirlah akhirnya yang mentukan kisah hidup seseorang. Dari seseorang yang sangat bodoh
terhadap kita juga harus memperlakukan mereka sama baiknya dengan sesamanya, memberi
tahu dengan sebaik-baiknya, sejelas-jelasnya agar tidak salah paham. Demikian juga dalam satua
belog (2) atau I Celempung bahwa kecerdikan hendaknya jangan digunakan untuk hal-hal yang
dapat merugikan orang lain demi kepentingan diri sendiri. Cerita seperti I Celempung memang
sering kali dijumpai di kehidupan sekitar kita. Demikian juga halnya dengan masyarakat yang
secara ekonomi kurang mampu. Segala sesuatu harus dipikirkan bersama agar tidak ada anggota
masyarakat yang tertindas, lebih-lebih dilakukan atas nama kekuasaan dan kekayaan. Kemalasan
dan kekurangan fisik hendaknya juga tidak dijadikan alasan untuk mengeksploitasi orang lain
(dalam Nang Pendor) lebih-lebih kepada istri sendiri. Istri hendaknya diperhatikan dan
dilindungi bukan sebaliknya seperti perlakuan Nang Pendor. Sekali lagi, takdir yang menentukan
kisah hidup seseorang. Takdir juga sering kali mempermainkan hidup seseorang seperti yan
tercemin dalam I Rare Angon. Ujian yang diterima Rare Angon sungguh luar biasa
41
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Berdasarkan analisis di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut ini.
1) Struktur tema dalam satua I Belog ada dua macam, yakni belog yang memang benar-
benar bodoh dan belog yang pura-pura bodoh.
2) Selain itu, ditemukan juga satua Bali yang bertemakan lelucon bercampur dengan
kekonyolan serta satua yang bertemakan panji.
3) Nilai dan fungsi satua Bali beberapa di antaranya adalah kepercayaan terhadap takdir
Tuhan yang tidak bisa dielakkan. Fungsi yang terdapat dalam satua Bali antara lain
fungsi pendidikan, yakni menanamkan karakter jujur, tidak semena-mena terhadap orang
yang lemah.
5.2 Saran
Penelitian terhadap sastra tradisional Bali khususnya satua-satua Bali perlu dilanjutkan
dengan penelitian yang lebih komprehensif terutama untuk mendapatkan data-data dokumentasi
seperti di daerah Nusa Penida ataupun di daerah-daerah lainnya. Selain untuk penyelamatan,
penelitian atau pendokumentasi satua dilakukan dengan maksud menggali kembali kearifan
lokal Bali lebih-lebih satua merupakan media pendidikan anak yang disajikan dengan menarik.
Sebagai salah satu kekayaan khazanah sastra tradisional Bali, kiranya penelitian ini perlu
dikembangkan lagi sehingga pemahaman kearifan lokal Bali melalui media satua menjadi
lomprehensif.
42
DAFTAR PUSTAKA
Atmaja, Made Jiwa. 1988. Masyarakat sastra Indonesia. Denpasar: Yayasan Himsa Denpasar.
Atmaja, Made Jiwa. 2016. “Asas-Asas Estetika Novel: Rekonstruksi Teoretik” dalam Pustaka:
Jurnal Ilmu-Ilmu Budaya Vol XVI No 2 (halaman 155-166).
Bagus, I Gusti Ngurah. 1979. Penerjemahan karya sastra tradisional ke Dalam Bahasa
Indonesia (dalam Bahasa dan sastra No 5 Tahun V). Jakarta: Pusat pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, depdikbud.\
Bagus, I Gusti Ngurah. 1990. Pengantar kesusastraan Bali. (Makalah tidak terbit, Denpasar,
Fakultas Sastra Unud).
Damono, Sapardi Djoko. 1978. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdikbud.
Koentjaraningrat. 1978. Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Angkasa Baru.
Kuntowijoyo. 2000. “Sakit Itu Menyembuhkan Kuntowijoyo” dalam Republika, Sabtu 12
Februari, hal 16.
Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada.
Moleong, Lexy Y. 1989. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Karya.
Ratna, I Nyoman Kutha. 2011. Antropologi Sastra: Peranan Unsur-Unsur Kebudayaan dalam
Proses Kreatif.
Septiyarti, Yemi. (2015) dalam “Kearifan Lokal Sastra Lisan Papua: Relevansinya terhadap
Pendidikan Karakter” dalam Ragam Wacana: Bahasa, Sastra, dan Budaya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sibarani, Robert. 2012. Kearifan lokal, Hakikat, Peran dan Metode Tradisi Lisan. Jakarta
Selatan: Asosiasi Tradisi Lisan.
Suastika, I Made. 2011. Tradisi Sastra Lisan (Satua) di Bali. Denpasar: Pustaka Larasan.
Sudiana, I Made dan I Gede Sudirgayasa (2015) dalam “Intergrasi Kearifan Lokal Bali dalam
Buku Ajar Sekolah Dasar” dalam Jurnal Kajian Bali Vol 05, Nomor 01, April 2015
(hal 181-200).
Sukada, Made. 1987. Beberapa Aspek tentang Sastra. Denpasar: Kayumas-Yayasan Ilmu dan
Seni Lesiba.
Sulibra, I Ketut Ngurah dan Ni Ketut Ratna Erawati. 2014. “Satu Masalah, Tiga Dimensi: Kisah
Persaudaraan Tiga Ekor Ikan Gabus dalam Satua Ni Diah Tantri” dalamCahaya
Bahasa. Denpasar: Swasta Nulus.
Sulibra, I Ketut Ngurah, I Wayan Suteja, I Nyoman Duana Sutika. 2017. Revitalization of Local
Wisdom in Balinese Short Story: an Anthropological Study dalamUdayana Journal of
Social Science and Humanities Vol 2 No 1 (hal 15-19).
Teeuw, A. 1988.Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
46
Informan:
Nama : I Nengah Arnawa
Tempat dan Tanggal Lahir : Buleleng, 1964
Pekerjaan : PNS/ Pemerhati Sastra Bali
Alamat : Desa Jinengdalem Singaraja
Nama : Made Reland Udayana Tangkas
Tempat dan Tanggal Lahir : Denpasar, 25-3-1990
Pekerjaan : Pegawai Kontrak/ Pemerhati Sastra Bali
Alamat : Br. Dauh Pangkung Desa, Seraya Barat Karangasem