PENATALAKSANAAN ARDS - Universitas Udayana

38
Laporan Kasus PENATALAKSANAAN ARDS dr. Tjahya Aryasa E.M., SpAn PROGRAM STUDI ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA RSUP SANGLAH DENPASAR 2019

Transcript of PENATALAKSANAAN ARDS - Universitas Udayana

Laporan Kasus

PENATALAKSANAAN ARDS

dr. Tjahya Aryasa E.M., SpAn

PROGRAM STUDI ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA

RSUP SANGLAH DENPASAR

2019

1

BAB I

PENDAHULUAN

Acute Respiratory Distress Syndome ( ARDS) pertama kali digambarkan oleh

Ashbaugh dkk. Tahun 1967 sebagai sindrom acute lung injury yang ditandai dengan

onset akut, takipneu, hipoksemia serta hilang atau berkurangnya compliance paru yang

berhubungan dengan berbagai faktor diantaranya trauma, sepsis atau aspirasi. Petty

menyebut penemuan ini sebagai adult respiratory distress syndrome untuk membedakan

dari sindrom distress pernafasan yang terjadi pada neonatus. Kemudian nama ini diganti

menjadi acute respiratory distress syndrome untuk menyatakan bahwa sindrom ini dapat

terjadi pada semua usia2,3,5

ARDS merupakan suatu kondisi penyakit yang umum kita jumpai di Intensive

Care Unit (ICU). Penyakit ini selalu diasosiasikan dengan peningkatan angka mortalitas

dan morbiditas serta besarnya biaya perawatan. Penyakit pernafasan ini sering

berhubungan dengan kegagalan multiple organ. Angka kematian di rumah-rumah sakit

besar berkisar antara 20% – 50%. Dari beberapa studi menunjukkan angka kematian

berkisar 32 – 45 %1,2,6. Di Amerika Serikat insiden berkisar 150.000 kasus pertahun

dengan perkiraan insiden 75 kasus dari 100.000 populasi, dengan rata-rata angka yang

didapat dari penelitian prospektif berkisar 12,6 – 18 dari 100.000 orang dalam setahun.

Mengenai angka insiden ini masih kontroversial karena masih ada perbedaan kriteria

dalam menentukan suatu ARDS. 2,3,6

Penatalaksanaan ARDS ditujukan untuk memperbaiki ventilasi, perfusi jaringan,

keseimbangan cairan dan asam basa, serta mengatasi faktor pencetus.2,4,5 Komplikasi

yang dapat terjadi pada berbagai sistem organ seperti sistem respirasi, sistem

gastrointestinal, kardiovaskuler, sampai multiple organ failure.2 Prognosis kurang baik

karena mortalitas masih tinggi walaupun dengan terapi intensif.2,3

2

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Karena ARDS dapat terjadi dalam latar belakang klinis yang luas, dan merupakan

diagnosis klinis primer, hal ini menyebabkan penggunaan sejumlah definisi oleh klinisi

maupun peneliti. Namun sejak tahun 1994 The American European Consensus

Conference Committee merekomendasikan definisi baru ARDS dan ALI sebagai

syndrome inflamasi dan peningkatan permeabilitas yang berhubungan dengan

sekumpulan kelainan klinis, radiologis dan fisiologis yaitu adanya infiltrate paru dan

gangguan oksigenasi dengan latar belakang onset akut gagal nafas2,6,9.

Meskipun sindrom ini dikenal dengan banyak nama lainnya, sepert wet lung,

shock lung, Adult Hyalin Membrane Disease, Stiff Lung syndrome, Post Traumatic

Pulmonale Insufficiency, Ventilator Lung dan Pump Lung, aspiration pneumonia,

congestive atelectase namun istilah ARDS lebih banyak diterima.2,5

Tabel 1. Definisi ARDS dan Acute Lung Injury (ALI) menurut American-European Consensus

Conference.3,6,7

Acute Lung Injury (ALI)

• Kegagalan respirasi dengan onset yang akut

• Terdapat infiltrat pada dada bilateral yang terlihat pada rontgen dada

• Tidak terdapat peningkatan tekanan jantung kiri, tidak ada bukti terjadinya

gagal jantung ( Pulmonary Artery Occlusion Pressure/PAOP < 18 mmHg )

• PaO2/FIO2 < 300 mmHg

Acute Respiratory Distress Syndrome

• Kegagalan respirasi dengan onset yang akut

• Terdapat infiltrat pada dada bilateral yang terlihat pada rontgen dada

• Tidak terdapat peningkatan tekanan jantung kiri, tidak ada bukti terjadinya

gagal jantung ( Pulmonary Artery Occlusion Pressure/PAOP < 18 mmHg )

• PaO2/FIO2 < 200 mmHg

3

2.2 Etiologi

ARDS terjadi jika paru-paru terkena cedera baik secara langsung maupun tidak

langsung oleh berbagai proses. Etiologi ARDS pada bayi berbeda dengan dewasa dimana

penyebab pada bayi berhubungan erat dengan imaturitas sedang pada dewasa menyertai

penyakit yang berat misalnya trauma, emboli lemak, pneumonia karena aspirasi, atau

virus, sepsis, gagal ginjal akut, polusi atau intoksikasi gas yang berat, serta operasi

jantung terbuka. Dari sumber yang lain dikatakan bahwa ARDS ini merupakan suatu

kegawatan yang disebabkan oleh berbagai proses yang akut baik secara langsung maupun

tidak langsung mencederai paru, misalnya sepsis, infeksi primer virus atau bakteri,

aspirasi isi lambung, trauma dada secara langsung, syok yang berkepanjangan, luka

bakar, emboli lemak, near drowning, transfusi darah masif, cardiopulmonary bypass,

keracunan Oksigen, pankreatitis hemoragik akut, terhirup asap atau gas beracun dan

akibat over dosis beberapa macam obat seperti narkotik, obat-obat sedatif, atau aspirin

(jarang). Insiden ARDS diperkirakan > 30 % dengan sepsis. 4,8,9,10

Masih belum jelas diketahui mengapa ARDS yang mempunyai sebab bermacam-

macam dapat berkembang menjadi sindrom klinis dan patofisiologis yang sama.

Penyebab dari ARDS ini bisa disebabkan karena kelainan paru itu sendiri maupun

penyebab dari faktor ekstrapulmoner. Beberapa keadaan yang sering mengakibatkan

ARDS dimuat dalam tabel 2.5,9

Secara klinis faktor-faktor risiko yang bisa menyebabkan terjadinya ARDS dapat

diklasifikasikan ke dalam 2 kelompok, yaitu secara langsung (direct) dan tidak langsung

(indirect). Faktor risiko langsung antara lain pneumonia (46 %), Aspirasi isi lambung

(29%), kontusio pulmonum (34 %), emboli lemak, near drowning, trauma inhalasi,

reperfusion injury. Sedangkan faktor risiko tidak langsung antara lain sepsis non-

pulmonum (25%), trauma multiple (41 %), transfusi masif (34 %), pankreatitis (25 %),

cardiopulmonary bypass.4,9

Petunjuk umum penyebab edema alveolar yang khas agaknya berupa cedera

membran kapiler-alveolar yang menyebabkan terjadinya kebocoran kapiler. Penyelidikan

dengan mikroskop elektron menunjukkan pembatas udara-darah terdiri dari pneumosit

tipe I (sel-sel penyokong) dan pneumosit tipe II (sumber surfaktan) bersama-sama dengan

4

membran basalis dari sisi alveolar. Pembatas tersebut bersinggungan dengan membran

basalis kapiler dan sel-sel endotel. Selain itu, alveolus juga memiliki sel-sel jaringan

pengikat yang bekerja sebagai pembantu dan pengatur volume. Membran kapiler alveolar

dalam keadaan normal tidak mudah ditembus partikel-partikel. Tetapi dengan adanya

cedera maka terjadi perubahan pada permeabilitasnya, sehingga dapat dilalui oleh cairan,

sel darah merah, dan protein darah. Mula-mula cairan akan berkumpul di dalam alveolus,

sehingga mengakibatkan atelektasis kongestif. Tempat-tempat lemah tampaknya pada

interdigitasi (ruang-ruang kecil selebar kira-kira 60 A) antar endotel kapiler yang

melebar, sehingga partikel-partikel kecil dapat masuk, dan terjadi perubahan dalam

tekanan onkotik.2,6

Di samping itu, perubahan-perubahan dalam sistem surfaktan dapat dipastikan

memegang peranan penting dalam mikroatelektasis difus. Injuri yang terjadi tidak

homogeneus dan mempengaruhi keseluruhan zona paru yang dependent. Antara 2 – 3

hari, interstitial dan bronkoalveolar berkembang menjadi inflamasi, kemudian sel-sel

epitelial dan interstitial berproliferasi. Kemudian jaringan kolagen terbentuk dengan

cepat, menghasilkan fibrosis interstitial yang berat antara 2 – 3 minggu. Dengan

mikroskop cahaya dapat terlihat materi-materi protein yang membentuk membran hialin

yang melapisi alveolus. Gambaran patologi ini mirip dengan sindroma distres pernafasan

yang terjadi pada bayi. Perubahan-perubahan patologik ini akan mengakibatkan

penurunan compliance paru, penurunan fungsional Residual Capasity,

ketidakseimbangan rasio Ventilasi/Perfusi, peningkatan physiologic dead space,

hipoksemia berat dan hipertensi pulmoner. Akibat dari edema difus dan atelektasis ini

juga akan terjadi pirau intrapulmoner yang nyata, yang dapat mempengaruhi lebih dari

40% curah jantung.2,9

Tabel 2. Keadaan-keadaan yang Dapat Menyebabkan terjadinya ARDS 1

Syok

Semua tipe

Trauma

Trauma paru langsung

Trauma non torakal

Fraktur tulang iga

Inhalasi Zat yang Berbahaya

Aspirasi isi lambung

Near drowning (air tawar maupun air laut)

5

Gas iritan

Inhalasi asap

FiO2 tinggi (>50%-60%)

Infeksi

Pneumonia oleh karena virus maupun bakteri

Septikemia

Overdosis Obat

Heroin

Metadon

Asam asetilsalisilat (aspirin)

Barbiturat

Colchicine

Propoxyphene (Darvon)

Chlordiazepoxide (Librium)

Kelainan Hematologi

Transfusi darah yang masif

Disseminated Intravascular Coagulation

Prolonged Cardiopulmonary bypass

Thrombotic thromocytopenic purpura

Leukemia

Kelainan Metabolik

Ketoasidosis diabetik

Uremia

Pankreatitis

Lain-lain

Eklampsia

Emboli udara atau cairan amnion

Radiasi

Heat Stroke

2.3. Patofisiologi

Akibat injury pada endotel kapiler paru akan terjadi kebocoran cairan kapiler yang kaya

protein dan mengakibatkan gangguan pada surfactant mengakibatkan sembab interstisial dan

alveolar. Selanjutnya dinding alveoli menjadi lebih tebal karena dinding sel alveoli yang sudah

rusak yaitu sel-sel alveoli tipe I diganti oleh sel kuboid mikrovillius tipe II. Jaringan interstitial

terisi sel radang dan sel-sel yang lain sementara itu banyak alveoli yang terisi oleh debris-debris,

cairan protein dan darah. Keadaan yang sering dijumpai adalah adanya membrane hialin, focal

atelectasis dan mikroemboli pada kapiler sehingga tampak jaringan paru yang fibrosis dan

obliterasi, termasuk mikrovaskulernya. Perubahan ini mengakibatkan penurunan kapasitas

fungsional residu paru, kenaikan shunt dan penurunan compliance paru serta hipoksemia berat.

Sehingga pada ARDS yang telah lanjut, meski dengan pemberian oksigen 100% tidak akan

memperbaiki status hipoksemianya. Penurunan surfactant yang abnormal masih diperdebatkan

6

dan dari pemeriksaan cairan bilasan bronkoalveolar didapatkan banyak agregasi abnormal dan

surfaktan-surfaktan yang inaktif2,6.

Makroskopis tampak paru menjadi lebih berat dan bengkak, bila dipotong permukaan

paru terdapat cairan hemoragis. Mikroskopis tampak adanya focal atelectasis, emboli serta

penebalan dinding alveoli. Dan banyal alveoli yang berisi cairan menyerupai protein dan

hemoragis, emboli lemak juga sering ditemukan.7

Patogenesis kerusakan paru pada ARDS masih kontroversial, karena sangat kompleks

dan bersifat multifaktoral.Tapi setidaknya konsep kebocoran kapiler non kardiogenik dan respon

inflamasi tidak terkontrol masih banyak diterima oleh kalangan ahli.Respon hipoksia dan

tingginya AaDO2 terhadap terapi peningkatan FiO2 sebanding dengan tingkat shunting

arteri-vena paru. Beberapa studi binatang dan klinis manusia postmortem berhasil

menegakkan beberapa hipotesis tentang mekanisme atau factor-faktor umum sebagai

mediator kejadian kerusakan paru akut pada ARDS. Dalam hipotesis aktivasi komplemen

dan makrofag, diduga aktivasi inilah yang mengawali kejadian ARDS yang mana akan

menghasilkan komplemen dan mediator makrofag seperti Tumor Necroting Factor

(TNF), Interleukin dan Platelet Activating Factor (PAF) yang memacu lekosit-PMN dan

netrofil beragregasi dan menempel pada endotel kapiler melalui pembebasan radikal

bebas (superoksida).Agregat ini juga menghasilkan protease yang bersama dengan

aktivasi asam arakhidonat oleh tromboksan A2, prostasiklin dan leukotrin

menghancurkan struktur-struktur protein, misalnya kolagen, elastin, fibronektin yang

merupakan struktur dasar jaringan paru. Selain itu enzim lisosomal (yang sebagian

dihasilkan oleh agregat dari jaringan nekrotik/terinfeksi) juga berperan dalam kerusakan

struktur mitokondria dan pembengkakan endotel, sehingga endotel-endotel saling lepas

dan ruang intersel membesar progresif. Antiprotease Pulmoner yang normal (1

antitripsin) diinaktivasi oleh radikal superoksid yang menambah kerusakan paru. Pada

ARDS edema paru dapat terjadi bila ada perubahan-perubahan tiap aspek dari

hukum Starling.6,7,8

Hukum Starling : Q = K (Pc – Pt) - d ( c-t )

Q = kecepatan filtrasi melewati membran kapiler

K = koefisien filtrasi

d = Koefisien refleksi

Pc = tekanan hidrostatik kapiler

7

Pt = tekanan hidrostatik interstisial

c = tekanan onkotik kapiler

t = tekanan onkotik interstisial

Gambaran umum yang terjadi terdiri dari tiga fase : 2,6,9

2.1 fase eksudasi ( initial phase )

2.2. fase proliferasi ( sub-acute )

2.3 fase fibrosis ( chronic )

2.1. Fase eksudasi (initial phase).

Terjadi pada hari ke 3-5. Dikarenakan adanya kerusakan alveolar yang difus.

Trauma pada endotel → peningkatan permeabilitas → terjadi eksudasi cairan yang

banyak di alveolus. Terbentuk infiltrat di kedua lapangan paru. Terjadi proses inflamasi

yang melibatkan sel netrofil, juga perpindahan material semisolid dari darah ke jaringan

paru membentuk suatu membran hialin (pada bayi baru lahir menimbulkan suatu kelainan

yang disebut hyalin membrane disease). Kelainan yang tampak juga merupakan aktifitas

sitokin dan enzim lainnya. Dapat terjadi pemulihan atau berlanjut ke fase proliferasi (sub-

acute)

8

2.2. Fase proliferasi (sub-acute).

Terjadi setelah 5-7 hari. Pada fase ini terjadi proliferasi sel dengan regenerasi sel epitel,

reaksi fibroblastik dan remodeling. Terjadi peningkatan alveolar dead space dan

penurunan compliance paru yang menetap. Timbul penyumbatan dan penghancuran pada

mikrosirkulasi paru. Pada fase inipun masih mungkin untuk terjadi pemulihan. Jika tidak

berhasil, maka akan berlanjut ke fase fibrosis yang bersifat kronik.

2.3. Fase fibrosis (chronic).

Terjadi setelah 14 hari. Pada beberapa penderita yang berat atau lama tidak terjadi

perbaikan pada paru -paru , akan timbul jaringan parut akibat deposisi jaringan kolagen di

alveolus, pembuluh darah dan jaringan intersititial. Paru – paru menjadi tidak elastik

sehingga penderita menjadi lebih sulit bernafas. Dapat terjadi resolusi yang lengkap,

tetapi lebih sering menimbulkan sisa fibrosis.

9

Mekanisme cedera paru-paru akut tidak diketahui. Bone (1984) telah memeriksa

sejumlah mediator kimiawi yang berkaitan dengan patogenesis ARDS. Faktor-faktor

ini terdiri dari prostaglandin, histamin, serotonin, bradikinin, hasil-hasil pemecahan

fibrin, dan enzim-enzim trombosit serta leukosit, yang diamati terdapat dalam jumlah

abnormal dalam darah atau sekret, atau pada paru-paru hewan atau manusia setelah

mengalami sebab-sebab yang dapat menimbulkan ARDS. Hubungan antara mediator-

mediator yang dicurigai ini dengan gangguan pada permeabilitas kapiler masih belum

diketahui.5

Meskipun kerusakan paru pada ARDS masih kontroversial, namun dari hasil studi

beberapa binatang dan klinis manusia post mortem berhasil menegakkan beberapa

hipotesis yaitu diantaranya hipotesis “aktivasi komplemen dan makrofag” dan

hipotesis “fibrinolisis dan agregasi platelet”. Kedua hipotesis ini paling diterima dan

tampaknya memang merupakan mekanisme umum yang lebih mengacu pada dua

kejadian penyebab ARDS yang terbanyak yaitu sepsis dan trauma (dengan DIC).2,9

Gambar 1. Skema Patofisiologi ARDS 2

Kegagalan respirasi

Trauma

Gangguan Sel Tipe II

Endotel kapiler

Sel tipe I

Kebocoran kapiler pulmonal inaktivasi surfaktan

Edema alveolar dan interstisial Atelektasis Diferensiasi menjadi

Sel tpe I

Shunt, Complance menurun FRC menurun

Hipoksemia

Fibrosis pulmonar

Obliterasi mikrovaskular perbaikan membran kapilerr

Sepsis

Kegagalan multi organ

Kematian

10

2.4 Gambaran Klinis dan Diagnosis

Gejala klinik awal ARDS/ALI mungkin bervariasi. Tergantung proses penyakit dasar

penderita dan juga kondisi secara umum dari penderita. Penegakan diagnosis ARDS

tergantung juga dari amamnesis klinis yang tepat. Gambaran primer dari ARDS

meliputi pirau intra pulmoner yang nyata dengan hipoksemia, berkurangnya daya

kembang (compliance) paru-paru yang progresif, dan dispnea (napas dangkal) dan

takipnea yang berat akibat hipoksemia dan bertambahnya kerja pernapasan sekunder

terhadap penurunan daya kembang paru-paru. Kapasitas residu fungsional juga

berkurang. Gambaran-gambaran ini merupakan akibat edema alveolar dan interstisiel.

Akibatnya timbul paru-paru yang kaku dan sukar berventilasi. Pada penderita

mungkin tampak adanya retraksi intercostal dan suprasternal. Pada auskultasi dapat

terdengar krepitasi, ronkhi atau whezzing, atau bahkan bisa terdengar normal. Ciri

khas dari ARDS ini adalah penderita tampak sianotik dan hipoksemia yang tidak dapat

diatasi dengan pemberian oksigen selama bernafas spontan. Kesadaran penderita

mungkin berubah/gelisah, dan juga penderita biasanya takikardi serta mengalami

hipotensi/syok (hal ini akan diikuti kegagalan fungsi organ). Gambaran klinis

lengkap dapat bermanifestasi 24 – 48 jam setelah cedera. 3,5,10,12

Diagnosis dugaan telah terjadinya suatu ARDS dapat ditegakkan melalui

pemeriksaan analisa gas darah (AGD) dan foto thoraks. Hasil AGD awalnya

menunjukkan suatu alkalosis respiratorik yang akut : PaO2 yang sangat rendah,

PaCO2 normal atau menurun, dan peningkatan nilai pH darah. Aa-DO2 meningkat,

juga ratio PaO2/FiO2 = 150 atau kurang. Foto thoraks biasanya menunjukkan infiltrat

alveolar difus bilateral, yang gambarannya mirip dengan edema paru akut pada gagal

jantung, namun gambaran jantung biasanya masih dalam batas normal. Pada pasien

dengan penyakit dasar di paru-paru, perubahan fokal mungkin terlihat sejak awal

pada foto thoraks. Namun pada pasien yang tidak mempunyai penyakit dasar di paru-

paru, dari hasil foto thoraks awal mungkin tidak spesifik atau mirip dengan gambaran

congestive heart failure dengan efusi ringan. Perkembangan selanjutnya terjadi

edema pulmoner interstitiel dengan infiltrat yang difus (gambar 1). Bila perjalanan

penyakit berkembang secara progresif, akan terlihat gambaran opak alveolar dan

retikuler difus bilateral (gambar 2). 3,6,9,10

11

Perjalanan ARDS yang merupakan edema paru non kardiogenik, dapat dibagi

menjadi 4 tahap gambaran klinis yaitu 2,8 :

• Tahap 1 (Cedera dan Resusitasi). Pada tahap ini terjadi injuri yang berat ditandai

dengan gangguan metabolisme dan perfusi jaringan. Karakteristik ditandai

dengan adanya alkalosis respiratorik akibat hiperventilasi (PaCO2 30-40 mmHg).

PaO2 mungkin sedikit menurun atau normal dan A-aDO2 dengan udara kamar

meningkat sedikit atau sedang antara 20-40 mmHg. Tidak dijumpai kelainan pada

pemeriksaan radiologik, kadang-kadang hanya dijumpai kongesti atau atelektasis

yang minimal.

• Tahap 2 (Respiratory distress subklinik). Hiperventilasi terus berlangsung atau

sedikit lebih meningkat lagi, dengan PaCO2 25-35 mmHg. A-aDO2 udara kamar

meningkat 35-50 mmHg tetapi masih sedikit atau tidak ada masalah pernafasan.

Tahap ini disebut free interval dimana tekanan darah, perfusi jaringan dan fungsi

ginjal masih normal. Secara radiologis mungkin masih normal, atau ada infiltrat

difus yang minimal yang sesuai dengan daerah atelektasis kecil yang multipel dan

bendungan paru atau awal edema paru.

• Tahap 3 (Respiratory Distress yang jelas). Hiperventilasi bertambah dan

penderita tampak mengalami gangguan pernafasan secara klinik. Kesannya timbul

secara mendadak. PaCO2 turun sampai 20-35 mmHg, PaO2 mulai menurun 50-60

mmHg atau lebih rendah, A-aDO2 sering 40-60 mmHg atau lebih besar, shunting

paru 20-40% atau lebih. Pada foto thoraks tampak edema paru dan infiltrat difus

bertambah progresif. Kondisi pasien sangat gawat tetapi belum irreversible.

• Tahap 4 (Gagal nafas berat). Insufisiensi menjadi berat dengan meningkatnya

akumulasi CO2 dalam darah. Pada tahap ini jumlah kapiler paru yang berfungsi

menurun drastis. Dipakai parameter PaCO2, sebab pada keadaan normal CO2

dikeluarkan dengan mudah sesuai dengan ventilasi alveolar. Manifestasi

klinisnya adalah dispnoe, takipnoe dan penurunan PaO2 yang cepat sehingga

12

membutuhkan bantuan ventilasi dengan tekanan tinggi. Ini merupakan kondisi

yang fatal dan dapat meninggal dalam 48 jam bila tidak diterapi. Pada tahap ini

asidosis metabolik bertambah berat dan penderita sangat memerlukan peningkatan

konsentrasi Oksigen untuk mempertahankan PaO2 diatas 60 mmHg. Shunting

lebih besar dari 50-60 % dan paru benar-benar gambaran opak pada foto thoraks.

Pada stadium terminal sesak nafas bertambah berat dengan penurunan volume tidal

dan kenaikan PCO2, hipoksemia berat, asidosis metabolik karena adanya hipoksia

serta tekanan darah sulit dipertahankan dan timbul gangguan kesadaran. 2,6

Penyulit yang memperberat keadaan ini adalah syok, sepsis, gagal ginjal akut atau

nekrosis tubular akut, kegagalan hati, hipoalbuminemia, hiponatremia, serta kelainan

metabolik yaitu asidosis metabolik. 2,9

Kriteria untuk menegakkan diagnosis untuk ARDS ini dilihat dari gambaran

klinis, pemeriksaan fisik dan penunjang seperti terlihat pada tabel 3.

gambar 1. Fase awal pada ARDS menunjukkan infiltrat interstitiel dan patchy infiltrat 6

13

Gambar 2. Fase lanjut ARDS, terlihat gambaran opak alveolar dan retikuler yang difuse dan

bilateral 6

Tabel 3. Kriteria Diagnosis ARDS 2

A. Gambaran Klinis

1. Catastrophic event

a. Pulmoner

b. Non pulmoner (contoh: syok)

2. Eksklusi

a. Penyakit paru kronis

b. Abnormalitas jantung kiri

3. Respiratory Distress (dibuktikan secara klinis)

a. Takipnoe > 20 kali permenit

b. Sulit bernafas

B. Foto Thoraks : Infiltrat paru yang difus

1. Interstisial (pada fase awal)

2. Alveolar (fase lanjut)

C. Fisiologik

1. PaO2 <50 mmHg dengan FiO2 >0,6

2. Compliance keseluruhan <50 ml/cm, biasanya 20-30 ml/cm

3. Peningkatan fraksi shunt Qs/Qt dan ventilasi deadspace Vd/Vt

D. Patologik

1. Paru-paru berat, biasanya >1000 gram

2. Atelektasis kongestif

3. Membran hyalin

4. Fibrosis

14

Secara ringkas kriteria diagnosis ARDS adalah sebagai berikut (Rinaldo) :

- Adanya infiltrat difus pada foto toraks

- Rasio oksigen arterial dan alveolar <0,3

- Tekanan baji arteri pulmonal <18 mmHg

- Total komplemen statik torak <40 ml/cmH2O

Ada juga yang menggunakan skore Trauma Paru Akut (Acute Lung Injury), dimana

bila nilai > 2,5 berarti merupakan trauma paru berat (ARDS). Gagal organ multipel

sering menyertai dan bahkan lebih dari 75% penderita ARDS meninggal justru lebih

diakibatkan oleh gagal organ multipel ini dibandingkan dengan disfungsi parunya

sendiri.2,15

Scoring System for ARDS 15 :

Ω Chest Roentgenogram score

• No alveolar consolidation

• 1 quadran consolidation

• 2 quadran consolidation

• 3 quadran consolidation

• 4 quadran consolidation

Ω Hypoxemia score

• PaO2/FiO2 ≥ 300

• PaO2/FiO2 225 – 299

• PaO2/FiO2 175 – 224

• PaO2/FiO2 100 – 174

• PaO2/FiO2 ≤ 100

Ω Compliance (when ventilated) (ml/cmH2O)

• ≥ 80

• 60 – 79

• 40 – 59

• 20 – 39

• ≤ 19

Ω PEEP required ~when ventilated (cmH2O)

• ≤ 5

• 6 – 8

• 9 – 11

• 12 – 14

• ≥ 15

Score

0

1

2

3

4

0

1

2

3

4

0

1

2

3

4

0

1

2

3

4

15

Final value is obtained by dividing the aggregate sum by the number

of components used.

Score

- No injury

- Mild to moderate injury

- Severe injury

0

0,1 – 2,5

> 2,5

2.5 Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi antara lain: 2,15

- infeksi paru

- emboli dan infark paru

- barotrauma akibat PEEP

- pendarahan gastro intestinal, ileus, distensi maupun pneumoperitoneum

- kardiovaskuler: aritmia, hipotensi, penurunan curah jantung

- kegagalan multi organ

2.6 Prognosis

Prognosisnya kurang baik karena mortalitasnya masih tinggi walaupun dengan

terapi yang intensif. Penderita yang bisa bertahan hidup biasanya waktu rata-rata

2 minggu sejak terjadinya ARDS sampai terjadi pemulihan, dan ternyata setelah

dievaluasi fungsi paru mereka sudah terjadi kecacatan. Angka mortalitas

sekarang sekitar 32-45 %, dibandingkan dengan 53-68 % pada tahun 1980-an.

Penyebab kematian akibat MOF yang progresif lebih sering dibandingkan karena

masalah pada respirasinya sendiri. Populasi tertinggi kematian akibat ARDS

adalah pada mereka yang mempunyai kelompok umur tua, immunocompromise

persons, dan pasien dengan penyakit hati kronis. 6,12,15

2.7 Penatalaksanaan

Target utama pengelolaan penderita ARDS adalah mengembangkan alveoli secara

optimal untuk mempertahankankan gas arteri dan oksigenasi jaringan yang

adekuat, keseimbangan cairan dan asam basa serta sirkulasi yang memadai

sampai integritas membran kapiler utuh kembali. Selain itu juga ditujukan untuk

mengatasi faktor-faktor pencetus dan hal-hal lain serta memberikan terapi

penunjang. Ventilasi selalunya diberikan melalui oro trakeal intubasi atau dengan

16

trakeostomi apabila terdapat ventilasi untuk jangka masa yang panjang yaitu lebih

dari 2 minggu.2,9

Faktor-faktor penting dalam pengobatan ARDS setelah trauma, syok, atau

sepsis berat adalah sebagai berikut:8

1. Mengendalikan masalah primer

2. Dehidrasi progresif hati-hati sementara perfusi jaringan dipertahankan dengan

baik.

3. Distensi optimal alveoli untuk meningkatkan kapasitas residu fungsional dan

mengoreksi atelektasis progresif.

2.7.1 Ventilasi Mekanik pada ARDS

Pasien dengan kegagalan respiratorik dengan hipoksemia akut, dan peningkatan

usaha nafas, memerlukan ventilasi mekanik. Apabila dengan penggunaan oksigen

nasal/sungkup hasil pemeriksaan gas darah PaO2 <50 mmHg, maka sebaiknya

dilakukan intubasi dan pemasangan ventilator mekanik2,4. Jika oksigenasi tidak

dapat dipertahankan pada tingkat yang adekuat dengan FiO2 60%, maka

digunakan PEEP (positive end expiratory pressure), oleh karena PEEP dapat

membantu mempertahankan paru tetap terbuka pada daerah yang kolaps dan

sebagian meningkatkan/memperbaiki penurunan kapasitas residu fungsional, jadi

memperbaiki transpor oksigen melalui paru. Penggunaan PEEP pada stadium

awal mungkin dapat sebagai profilaksis dalam mencegah ARDS.2,4,11,12

Efek samping yang kurang menguntungkan pada penggunaan PEEP

adalah penurunan curah jantung karena berkurangnya venous return, peninggian

tekanan intrapleura, resistensi kapiler meningkat serta komplikasi barotrauma

seperti pneumotoraks, pneumomediastinum, dan emfisema subkutan.1,2,6,13

Secara konvensional, dulu pengelolaan ini menggunakan IPPV (Intermittent

Positive Pressure Ventilation) siklus volume dengan pengaturan volume tidal

yang besar (12 ml/kgBB) dengan tujuan untuk mendapatkan oksigenasi sebesar-

besarnya dalam rangka mengejar hipoksemia yang terjadi, mengatasi penurunan

compliance paru dan untuk mendorong cairan inter dan intra alveolar kembali ke

dalam kapiler. Namun menurut studi terakhir, ternyata untuk mendapatkan

17

volume tidal sebesar itu dibutuhkan aplikasi tekanan yang sangat tinggi dengan

konsekuensi akan terjadi ekspansi berlebihan dari sisa paru yang masih

mempunyai compliance dan mampu melakukan pertukaran gas. Sebab ternyata

injuri ARDS meskipun difus tetapi sifatnya tidak seragam. Hanya sebagian kecil

paru yang terisi udara, sehingga bila diberikan volume tidal yang besar, maka

sama saja dengan memberikan 4 kali volume tidal ini pada paru yang masih

mempunyai compliance tersebut. Saat ini penanganan ARDS dengan tidal volume

yang besar yang dikombinasi dengan peak airway pressure (P peak = tekanan

puncak inspirasi) yang tinggi seharusnya dihindari. Penggunaan tidal volume

yang dianjurkan sebesar 6 mL/kgbb dan mempertahankan plateau pressure atau p

peak < 30 cmH2O akan menurunkan angka mortalitas sebesar 9 % (dibandingkan

menggunakan tidal volume 12 mL/kgbb).1,6,12,13 Kepustakaan lain menyebutkan

bahwa penggunaan tidal volume yang kecil akan menurunkan angka kematian

dari 40 % menjadi 31 %. 4,10

Terdapat bukti-bukti peak airway pressure (P peak) yaitu tekanan puncak

inspirasi bila terlalu tinggi dapat merusak endotel dan menambah edema paru tipe

high permeability pada ARDS. Pertimbangan inilah yang menyebabkan perubahan

strategi ventilasi mekanik ke arah modus pressure control dengan inverse ratio

ventilation (PC-IRV). 2,4,6,9 Pada modus ini terdapat pembatasan P peak sehingga

volume tidal yang dicapai juga kecil/terbatas. Sehingga untuk mencapai 3 tujuan

dukungan ventilasi mekanik dibutuhkan PEEP dan pembalikan rasio inspirasi :

expirasi.6 PEEP dapat membantu pemulihan alveoli yang kolaps dan

mempertahankannya agar tetap terbuka dan mengembalikan sebagian FRC yang

menurun, sehingga akan memperbaiki transpor O2 dalam paru. Biasanya

digunakan PEEP dengan nilai rentang 5-10 cmH2O.4,9 Level PEEP yang lebih

tinggi kadang dianjurkan tetapi hasil yang lebih baik tidak selalu didapatkan.

Bahkan dapat menimbulkan komplikasi berupa barotrauma dan penurunan curah

jantung.2,4,10

Level minimal O2 untuk mencapai oksigenasi adekuat (FiO2 sekitar 60 %)

perlu diantisipasi, sebab O2 konsentrasi tinggi sangat toksik untuk paru yang akan

menambah kerusakan pada paru yang mengalami cedera. 2,9,12 PEEP dapat

18

menurunkan kebutuhan FiO2 yang sebisanya dipertahankan <60-70%. Namun,

pada hipoksemia berat PEEP dengan 100% O2 mungkin diperlukan. Pada modus

inverse ratio ini masa ekspirasi jadi pendek sehingga dada tetap terinflasi parsial

pada setiap inspirasi berikutnya dimulai. Hal ini mengakibatkan timbulnya

fenomena air trapping, sehingga tekanan akhir ekspirasi akan melebihi PEEP

yang disetting. Untuk selanjutnya tekanan ini disebut intrinsic PEEP (PEEP-i) dan

selisih tekanannya bila dikurangi PEEP set disebut auto PEEP. Tingkat auto

PEEP yang masih bisa ditolerir adalah berkisar antara 2-5 cmH2O.9,12 Dengan

PC-IRV, PEEP-i ini diatur untuk memperbaiki oksigenasi dengan pengaturan

masa ekspirasi melalui 4 variabel ventilasi, yaitu: rasio inspirasi-ekspirasi, laju

ventilator, setting PEEP dan Peak Airway Pressure (P peak). P peak disini

sebagai indikator untuk mencegah komplikasi barotrauma. P peak yang diduga

menimbulkan barotrauma bervariasi antara 35-45 cmH2O sehingga perlu menset

batas atas pada 35 cmH2O sebagai pressure control untuk mempertahankan P

peak kurang dari 35 cmH2O. Namun modus ini konsekuensinya akan

menawarkan tingkat ventilasi yang kecil, sehingga seringkali pula terjadi

perburukan pertukaran gas CO2.2,4,9

Dalam batas-batas tertentu penambahan laju ventilator dapat mengatasi

masalah ini tetapi bila P peak terus meningkat sampai hampir mencapai batas

atas tersebut, maka lebih dipilih membiarkan PaCO2 yang meningkat. Jadi

pendekatan terbaik adalah kombinasi PC-IRV dengan permissive hypercapnia

(PH). Konsep PH ini juga merupakan cara untuk menurunkan beban kerja

ventilasi yang cukup besar, sebab tenaga ventilasi dan juga tekanan transpulmoner

berbanding lurus dengan kuadrat volume semenitnya. PaCO2 dibiarkan meningkat

secara gradual, untuk memberikan kesempatan proses kompensasi pada ginjal

untuk meretensi bikarbonat atau dapat juga dengan infus buffer. Peningkatan

tersebut kadang sampai 70 mmHg, sebab asalkan PaCO2 <80 mmHg, atau

pH>7,15 efek patologik yang tak diinginkan umumnya masih reversibel. Bila

PaCO2 mencapai 120 mmHg atau lebih, maka asidosis yang terjadi biasanya tidak

terkoreksi lagi. Konsep ini dikontraindikasikan pemakaiannya pada penderita

dengan kelainan otak, dimana peningkatan tekanan intrakranial akan sangat

19

membahayakan misalnya pada pendarahan serebral, tumor otak, dan lain-lain dan

juga penderita gagal ginjal. 1,6,9

Jadi dapat disimpulkan strategi kita dalam aplikasi ventilasi mekanik pada

penderita ARDS menurut The American-European Consensus Conference on

ARDS adalah sebagai berikut 17 :

1. Tujuan manajemen ventilasi mekanik adalah tercapainya Oksigen Delivery

pada organ-organ vital dan penyesuaian pengeluaran Karbon dioksida untuk

mempertahankan suatu keadaan yang homeostasis.

2. Minimalkan terjadinya Oksigen toxicity. Gunakan fraksi oksigen serendah

mungkin (< 60 %) untuk mencapai tujuan ventilasi mekanik, dengan

memanipulasi/mengoptimalisasi faktor-faktor yang lain.

3. Alveoli dipertahankan tetap mengembang (terbuka). Untuk tujuan ini kita

dapat menggunakan positive end expiratory pressure (PEEP). Total PEEP 10

– 15 cmH2O.

4. Meminimalkan high airway pressure. Tehnik yang digunakan permissive

hypercapnia (PH), pressure-controlled ventilation, dan pressure limited,

volume-cycled ventilation. Tekanan di dalam transalveolar tidak boleh

melebihi 25-30 cmH2O dalam setiap siklus tidal. Tapi biasanya ada yang

memerlukan 30-40 cmH2O, tergantung compliance paru dan dinding dada.

5. Cegah terjadinya atelektasis. Untuk hal ini kita bisa menggunakan tidal

volume yang besar secara periodik. Tekanan saluran napas yang tinggi dengan

durasi inspirasi yang lebih panjang dapat mencegah terjadinya atelektasis

bila kita menggunakan tidal volume yang kecil atau PEEP yang rendah.

6. Gunakan sedasi dan obat pelumpuh otot jika diperlukan, untuk meminimalkan

oksigen demands, terutama pada penggunaan PC-IRV.

2.7.2 Farmakoterapi

Terapi obat-obatan pada ARDS sebagian masih bersifat kontroversial. Berikut ini

diuraikan berbagai macam terapi farmakologi yang sering diberikan pada penderita

ARDS, termasuk temuan-temuan baru yang kebanyakan masih kontroversi

penggunaannya.

20

• Anti-endotoxin immunotherapy

Meskipun ada bermacam-macam pendekatan potensial terhadap antagonis

endotoksin, hanya antibodi monoklonal yang telah diterima secara luas. Berbagai

uji klinik yang menggunakan monoklonal ini memperlihatkan sedikit atau tidak

ada keuntungan bagi pasien dengan sindroma sepsis. 13

• Kortikosteroid

Kortikosteroid tidak digunakan sepenuhnya dalam penatalaksanaan sepsis dan

ARDS karena kortikosteroid tidak terbukti dapat menurunkan angka mortalitas dan

insiden terjadinya ARDS. Kortikosteroid mungkin berguna pada varian ARDS

seperti sindrom emboli lemak dan pneumocystic carinii pneumonia dimana

kortikosteroid berguna sebagai profilaksis atau terapi. Jadi sebenarnya pemakaian

kortikosteroid masih kontroversial. Kortikosteroid dikatakan dapat mengurangi

kerusakan paru dan permeabilitas kapiler bila diberikan sejak awal. Namun

beberapa kepustakaan lain menyebutkan bahwa kortikosteroid tidak diindikasikan

pada fase awal, namun sebaiknya diberikan pada fase lanjut atau pada fase

fibroproliferatif, karena dari suatu hasil randomized study lebih banyak

memberikan keuntungan.6,12 Yang sering digunakan adalah metil prednisolon 1-2

gr/hari selama 24-48 jam atau 30 mg/BB iv tiap 6 jam. Sedangkan untuk septic

shock bisa diberikan kortikosteroid intra vena infus kontinyu dengan hidrocortison

200-300 mg / hari dibagi dalam 3 atau 4 kali pemberian, selama 7 hari.2,5,13

• Mediator lipid (Prostaglandin E1 dan E2)

ARDS berhubungan dengan perubahan hemodinamik pulmonar yang

mengakibatkan vasokonstriksi aktif dan kehilangan mikrovaskuler. Prostaglandin

E1 merupakan vasodilator mediator lipid yang dapat menurunkan tekanan arteri

pulmoner dan akumulasi cairan ekstravaskuler paru, meningkatkan pertukaran gas,

pelepasan leukotrien B4, radikal oksigen dan enzim sitotoksik dari aktivasi

granulosit. Sebuah uji prospektif pada pasien bedah menunjukkan angka survival

yang signifikan tetapi belum ada uji prospektif mengenai ARDS.6,9,13

• Antioksidan

Hidrogen peroksida (H2O2) dan radikal hidroksil (OH) dilepas dari aktivasi fagosit

inflamasi. Komponen-komponen tersebut secara normal dikeluarkan dari paru

21

melalui mekanisme pertahanan, melalui sistem enzim, juga vitamin E, betacaroten,

vitamin C, dan asam urat. Pada ARDS, mekanisme pertahanan ini gagal sehingga

paru dan jaringan lainnya terpapar oleh radikal bebas. Terapi untuk meningkatkan

pertahanan pulmoner terhadap oksidan dapat dilakukan dengan 3 cara antara lain

dengan meningkatkan simpanan enzim anti oksidan, peningkatan simpanan

glutathione (N-acetylcistein, glutathione), dan penambahan vitamin E.12

Terapi antioksidan terhadap metabolit O2 yang toksik dapat meningkatkan angka

penyembuhan, misalnya vitamin E 400 IU peroral, vitamin C 1 gr iv/8 jam, N-

asetil sistein 6 gr oral/6 jam dan Selenium 50 mcg iv/6 jam. 2

• Inhaled pulmonary vasodilators (nitric oxide)

Nitric oxide merupakan relaksan otot polos yang berasal dari endotelium. Nitric

oxide memiliki peranan penting dalam neurotransmisi, pertahanan tubuh host ,

agregasi pletelet, adhesi leukosit, dan bronkodilatasi. Dalam dosis 60 bagian per

miliar inhaled Nitric oxide (iNO) dapat meningkatkan oksigenasi. Tetapi pada

penanganan ARDS hanya diperlukan 1-40 bagian per juta. iNO dapat diberikan

terus menerus atau menggunakan injeksi inspirasi intermiten. Hanya 40-70%

pasien ARDS yang mengalami perbaikan oksigenasi dengan menggunakan iNO,

hal ini kemungkinan karena vasokonstriksi pulmoner aktif.4,6,13

• Surfactant replacement therapy

Apoprotein surfaktan penting untuk mencegah inaktivasi surfaktan pada paru-paru

yang meradang dan meningkatkan fungsi biofisikal. Studi saat ini difokuskan

untuk membuat surfaktan sintetis yang berisikan apoprotein atau analog

apoprotein. Terapi replacement ini potensial untuk digunakan pada neonatus

dengan respiratory distress syndrome. Telah dilakukan studi uji coba terhadap

hewan, namun penggunaan terapi replacement pada manusia memerlukan studi

lebih lanjut. 4,9,13

2.7.3 General Supportif Care

Cardiac, Circulation Support dan Transport Oksigen/Delivery Oxygen (DO2)

Resusitasi cairan yang adekuat adalah suatu aspek yang fundamental dalam

management hemodinamik pada pasien-pasien yang sakit kritis, dan sebaiknya

masalah keadekuatan cairan ini harus teratasi dulu sebelum kita menggunakan

22

vasopresor. Tetapi pada keadaan emergensi kadang-kadang digunakan vasopresor

lebih dini, misalnya pada keadaan syok yang berat. 13

Epinefrin potensial menyebabkan takikardia, dan kemungkinan efek yang

tidak menguntungkan buat sirkulasi splanik, sedangkan phenilefrin berefek

menurunkan stroke volume. 13 Preload yang opimal dicapai dengan pemberian

cairan yang cukup, dapat dilihat dari monitor CVP. Apabila terjadi suatu

kegagalan sirkulasi maka bisa diberikan obat-obat inotropik bahkan obat-obat

vasodilator bila terdapat peninggian dari afterload.2

Data-data non spesifik terdahulu memperlihatkan bahwa DO2 dapat

meningkatkan outcome penderita ARDS. Meski demikian, banyak ilmuan

mengatakan bahwa tidak ada target level dari DO2 global yang cukup. Hal ini

disebabkan karena hubungan yang kompleks antara aliran darah global, aliran

darah regional, oksigenasi jaringan dan kebutuhan metabolik lokal. Lebih jauh

lagi, akibat dari interaksi yang kompleks ini dan koeksistensi dari disfungsi sistem

organ yang berhubungan, tidak mungkin untuk mengetahui tekanan pengisian

ventrikel kiri yang optimal, hemoglobin dan hematokrit minimal atau optimal atau

pilihan cairan (kristaloid atau koloid) untuk replacement therapy. Meski

demikian, terdapat standarisasi terapi berdasarkan prinsip-prinsip patofisiologi

dan data klinik yang penting untuk memaksimalkan terapi. 4,13

Terapi Cairan

Untuk mempertahankan hemodinamik maka diperlukan terapi cairan yang cukup

dan sebaiknya dipasang CVC. Pemakaian koloid untuk memperbaiki tekanan

hidrostatik dan tekanan osmotik sering kali digunakan. Penggunaan garam

konsentrat rendah albumin dengan diuretik (furosemid) seringkali bermanfaat

untuk mengurangi resiko terjadinya kelebihan cairan.2,5,9 Pada keadaan dimana

dicurigai terjadi hipovolemia (tidak adekuatnya sirkulasi arterial) dapat diberikan

500 – 1000 mL kristaloid atau 300 – 500 mL koloid dalam waktu lebih dari 30

menit dan diulangi sampai ada respon (tekanan darah meningkat dan produksi

urine juga meningkat). 13 Penggunaan albumin atau jenis koloid yang lain selain

produk darah pada penderita ARDS sampai saat ini masih kontroversial. Jika

terapi cairan yang diberikan jenis albumin, pengukuran pulmonary artery

23

occlusion pressure (PAOP) dan pulmonary artery pressure (PAP) seharusnya

digunakan sebagai panduan dalam penatalaksanaan. Keduanya sangat penting

untuk mengetahui adanya transudasi cairan yang melewati membran kapiler

pulmoner.20

Kontrol terhadap Infeksi Nosokomial

Higiene rumah sakit yang baik dan penggunaan teknik aseptik standar merupakan

hal yang penting dan mendasar dalam mencegah infeksi nosokomial. Penggantian

kateter hendaknya dilakukan secara rutin untuk mencegah infeksi. Penggantian

endotracheal tube secara rutin tidak direkomendasikan. Posisi supine pada pasien

merupakan faktor risiko terjadinya superinfeksi pulmoner. Penggunaan antibiotika

profilaksis secara rutin pada pasien non immunocompromised tidak dibenarkan.

Pemberian antibiotika sebaiknya diberikan berdasarkan hasil kultur. Pengecetan

sekret dari bronkus dan kultur sebaiknya dilakukan 2-3 hari sekali.2,9,12

Terapi nutrisi

Nutrisi perlu diberikan untuk menjaga agar tidak terjadi kelemahan otot,

penurunan imunitas yang memudahkan infeksi, serta hipoalbumin yang

memperberat edema paru.2 Tiga komponen nutrisi yaitu karbohidrat, lipid, dan

protein harus diberikan. trace elements dan vitamin juga dimasukkan dalam terapi

nutrisi. Secara umum, pasien dengan penyakit yang akut mungkin tidak mampu

untuk menyesuaikan diri dengan kapabilitas metabolik dalam tubuhnya sehingga

dapat terjadi disfungsi hati, overload, dan hiperglikemia. Bila memungkinkan,

makanan sebaiknya diberikan secara enteral, karena dapat menurunkan insiden

kolonisasi gaster oleh basil gram negatif, stress ulcer, dan atrofi mukosal.

Pemberian nutrisi secara enteral dapat meningkatkan respon imun host. 6,11

Non Pulmonary Organ Support

Penggunaan secara rutin dari agen dopeminergik untuk memelihara aliran darah

ginjal merupakan terapi yang belum terbukti. Manuver-manuver yang dapat

meningkatkan tekanan intrakranial seperti PEEP, terapi respiratori, dan posisi-

posisi tubuh tertentu, dapat menyebabkan penurunan perfusi serebral. Sebagian

besar penyakit kritis, pasien dengan dependent ventilator memerlukan sedatif

dan/atau analgetik untuk meningkatkan kenyamanan pasien, memfasilitasi

24

ventilasi, dan menidurkan pasien. Perubahan posisi tubuh dapat melancarkan

pertukaran gas dan meminimalisir masalah kulit (dekubitus). Penggunaan rutin

antitrombotik juga direkomendasikan. Profilaksis terhadap stress ulcer secara

rutin mungkin berguna untuk pencegahan. 11,12

Fisioterapi

Fisioterapi yang adekuat penting untuk mengeluarkan sekret dari paru. Secara

berkala posisi pasien diubah-ubah untuk menurunkan risiko pneumonia

orthostatik dan atelektasis. Manuver-manuver sederhana, misalnya secara berkala

dan bergantian posisi penderita diposisikan prone dan supine, atau lateral (kinetic

therapy) sangat membantu memperbaiki pertukaran gas di paru-paru, namun

manuver ini perlu pengawasan yang sangat ketat. Kinetic therapy dapat

diaplikasikan dengan menggunakan tempat tidur pasien yang khusus. 2,4,6,9

25

BAB 3

LAPORAN KASUS

A. EVALUASI PRA-ANESTESIA

1. Identitas

Nama : Moh Pistibin

Umur : 50 tahun

Jenis Kelamin : Laki- laki

Agama : Islam

Bangsa : Inggris

Status : Sudah Menikah

Pekerjaan : Pegawai swasta

No. CM : 01.57.92.73

Diagnosis :ALI post thoracotomi shaft clip ec CF Costae 5,6,7

hemithorak S posterior + POST ORIF P-S ec CF Clavicula

S 1/3 Tengah

Tanggal Masuk RTI : Jumat 10 Agustus 2012

2. Anamnesis

Anamnesis Khusus

Pasien dikonsulkan dari ruang flamboyán dengan sesak nafas dan penurunan kesadaran

post thoracotomi shaft clip ec CF Costae 5,6,7 Hemithorak Sinistra posterior + Post ORIF

P-S ec CF Clavicula S 1/3 Tengah ( 7 Agustus 2012). Keluhan sesak nafas (+), takipneu

(+) RR 30x/mnt ,desaturasi SaO2 perifer 52-64%. Terpasang WSD namun tidak

berfungsi baik ( undulasi (-)). Perjalanan penyakit : Pasien MRS 4 Agustus 2012, datang

sadar dengan keluhan sesak nafas dan nyeri dada kiri setelah mengalami kecelakaan lalu

lintas 3 jam SMRS. Riwayat pingsan (-) muntah (-). MOI : os mengendarai sepeda motor,

ditabrak dari arah berlawanan oleh sepeda motor lain, kemudian os terjatuh dengan dada

kiri membentur trotoar.

26

Anamnesis Umum

Riwayat penyakit sistemik : tidak ada

Riwayat operasi/anestesi sebelumnya : Ada, dengan Anestesi Umum

Riwayat alergi obat : Tidak ada

Riwayat merokok/minum alkohol : ada

3. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan Fisik

BB 80 kg

Sistem saraf pusat : Gelisah E3V4M6 RP +/+, isokor, 3mm/3mm

Respirasi : Ves +/↓+, Wh-/-, Rh +/+, RR: 30x/menit SaO2 50%,

retraksi dinding dada (-)

Kardiovaskular : TD 116/68 mmHg, nadi : 120-130x/menit,

S1S2 tgl reg murmur (-)

Urogenital : Terpasang DK, residu (+)

Gastrointestinal : Distensi(-), BU(+) N

Muskuloskeletal : akral dingin

4. Perkembangan selama di RTI

Tgl S O A P

10 Agustus

2012 Pk 13.00

SSP : Gelisah

Resp : takipnea RR 30x/mnt Ves +/+↓ , Rh +/+, wh -/- ,

SpO2 50%, WSD + fungsi (-)

KV : S1S2 tgl reg murmur (-) TD 123/61 mmHg; HR 120-

131 x/mnt,CVP belum terpasang

GIT : Distensi (-), BU (+),

NGT blm terpasang

UG : DK (+) urin kuning

jernih

Produksi urine 1100 ml/jam dengan Furosemid 40 mg

(bolus)

MS : akral dingin

ALI + CF Costae 4,5,6,7,

Hemithoraks sinistra

posterior Post Thoracotomy

Shapp Clip + CF Clavicula

Sinistra 1/3 tengah Post

ORIF PS

DL di ruangan 10/8/12 :

WBC 9,86 103/UL ; RBC 2,97

103/UL; HB 9,7 gr/dL; HCT

27,5 %; PLT 235 103/UL

AGD (pukul 12.26 tgl 10/8/12

saat di ruang flamboyan) dengan O2 Sungkup 10 lpm :

PH 7,26/PCO2 47/ PO2 32/

HCO3 21,1/ BE -6,0/SO2 51/ Na 129/ K 3,2

Terapi :

F: Ringer fundin balance enteral : entramix 500 Kkal via NGT

A: Morphin 5 mcg/kgBB/jam

S: Midazolam 5 mg/ jam T: -

H: head up 30 U: -

G: BS 119 mg/dL

TERAPI LAIN:

• Furosemid 3 x 20 mg

• Levofloxasin 1 x 750 mg

• Methyl Prednisolon 62,5 mg/hari

• Pantozole 2 x 40 mg

• Dobutamin 5 mcg/KgBB/mnt

• NTG 5 mcg/mnt

10 Agustus

2012 Pk 16.00

SSP : DPO, Rp +/+ isokor 2

mm/2 mm Resp : On ventilatory support

Mode ventilasi: DUO PAP 25;

PEEP 5; RR 16, FiO2 100%

DL 10/8/12 Pk. 19.15 :

WBC 8,76 103/UL ; RBC 2,80 103/UL; HB 8,6 gr/dL;

HCT 25,6 %; PLT 159

103/UL

Terapi :

F: Ringer fundin balance enteral : entramix 500 Kkal via NGT

A: Morphin 10 mcg/KgBB/jam

S: Midazolam 10 mg/ jam

27

Ves +/+↓ , Rh +/+, wh -/- ,

SpO2 99 - 100%, WSD +

fungsi baik

KV : S1S2 tgl reg murmur (-) TD 118/63 mmHg; HR 110-

131 x/mnt, CVP 13 cmH2O

GIT : Distensi (-), BU (+), NGT warna kehijauan

UG : CM 2700 ml (koloid 500

ml), CK 4800 ml/24 jam (2,5

ml/KgBB/jam) dengan

furosemide, Balance cairan negative 2100

MS : akral hangat

Cl 97,68, Ca 7,56 (8,8-10,2)

AGD pukul 19.15 tgl

10/8/12) post intubasi PH 7,45/PCO2 51/ PO2 242/

HCO3 37/ BE 11,4/SO2

100/ Na 135/ K 3,3 (DUO PAP 25; PEEP 5;

RR 16, FiO2

100%) Instruksi : turunkan fraksi

60%, naikkan RR 18x/mnt,

ubah IE ratio 1;2,5

Thorak foto post intubasi :

Pneumothorak paru kiri + susp ateletaksis lobus

superior paru kanan + fr

costae multiple 4,5 posterior kiri + emfisema subkutis

inferior axilla

T: -

H: head up 30

U: -

G: BS 119 mg/dL TERAPI LAIN:

• Furosemid 3 x 20 mg

• Levofloxasin 1 x 750 mg

• Methyl Prednisolon 62,5 mg/hari

• Pantozole 2 x 40 mg

• Dobutamin 10 mcg/KgBB/mnt

• NTG 15 mcg/mnt

• Koreksi Ca dgn Ca gluconas

Sabtu 11 Agustus

2012

SSP : DPO, Rp +/+ isokor 2

mm/2 mm

Resp : On ventilatory

support

Mode ventilasi: DUO PAP

25; PEEP 5; RR 18, FiO2

60% , IE Ratio 1:2,5

Ves +/+↓ , Rh +/+, wh -/- ,

SpO2 99 - 100%, WSD +

fungsi baik

KV : S1S2 tgl reg murmur

(-)

TD 118/63 mmHg; HR 110-

131 x/mnt, CVP 13 cmH2O

GIT : Distensi (-), BU (+),

NGT warna kehijauan

UG : Produksi urine (1,56

ml/KgBB/jam) dengan

furosemide , Balance cairan

negative 1400

MS : akral hangat

AGD : PH 7,48, PCO2 50,0, PO2 154, HCO3 38,0, BE

14,5, SO2 99 Na 137,0 K 3,30

DL pk 21.51 : WBC 5,91/ Hb 9,8/ HCT 27,7/

PLT 250

Instruksi : turunkan fraksi 50%, PEEP naik 8

F: Ringer fundin balance - Clinimik-Clinoleik 1500 ml/hari

enteral : entramix 500 Kkal via NGT A: Morphin 20 mcg/KgBB/jam

S: Midazolam 10 mg/ jam

T: - H: head up 30

U: -

G: BS 110 mg/dL TERAPI LAIN:

• Furosemid 3 x 10 mg

• Llevofloxasin 1 x 750 mg

• Methyl Prednisolon 62,5 mg/hari

• Pantozole 2 x 40 mg

• Dobutamin 10 mcg/KgBB/mnt

• NTG 15 mcg/mnt

12 Agustus

2012

SSP : DPO, Rp +/+ isokor 2

mm/2 mm

Resp : On ventilatory

support

Mode ventilasi: DUO PAP

25; PEEP 8; RR 18, FiO2

50% , I E ratio 1:2,5

Ves +/+ , Rh -/-, wh -/- ,

SpO2 99 - 100%, WSD +

fungsi baik, produksi (-)

KV : S1S2 tgl reg murmur

(-)

TD 105-130/60-75 mmHg;

HR 87x/mnt, CVP 16

cmH2O

GIT : Distensi (-), BU (+),

NGT jenih

UG : prod urine 1,5 cc/kg/

jam dengan furosemide,

Balance cairan negative 650

MS : akral hangat

LAB : 12/8/12 :

AGD : PH 7,44, PCO2 56,

PO2 168, HCO3 38,0, BE 13,8, SO2 100, Na 139, K

2,90

DL Pk 12,15

WBC 8,46/ Hb 9,1/ HCT 27,5/ PLT 236

erapi :

F: Ringer fundin balance

Clinimik-Clinoleik 1500 ml/hari enteral : entramix 500 Kkal via NGT

A: Morphin 20 mcg/KgBB/jam

S: Midazolam 10 mg/ jam T: -

H: head up 30 U: -

G: BS 170 mg/dL

TERAPI LAIN:

• Furosemid 3 x 20 mg

• Llevofloxasin 1 x 750 mg

• Methyl Prednisolon 62,5 mg/hari

• Pantozole 2 x 40 mg

• Dobutamin Sesuai hemodinamik

• NTG 5 mikro/mnt • Koreksi kalium

13 Agustus

2012

SSP : DPO, Rp +/+ isokor 2

mm/2 mm

Resp : On ventilatory

support

AGD (Arteri) pk. 06.45 wita:

PH 7,48, PCO2 51, PO2 84, HCO3 38, BE 14,5, SO2 97,

Na 138, K 3,5 (DUO PAP 25;

Terapi :

F: Ringer fundin balance Clinimik-Clinoleik 1500 ml/hari

enteral : entramix 6 x 100 ml via NGT

28

Mode ventilasi: DUO PAP

25; PEEP 8; RR 18, FiO2

50% , IE Ratio 1: 2,5

Ves +/+, Rh -/-, wh -/- , SpO2

99 - 100%, WSD + fungsi

baik, produksi (-)

KV : S1S2 tgl reg murmur

(-)

TD 128/82 mmHg; HR

87x/mnt, CVP 10 cmH2O

GIT : Distensi (-), BU (+)

UG : prod urine 1,56

ml/KgBB/jam) dengan

furosemide, balance cairan -

450

MS : akral hangat

PEEP 8; RR 18, FiO2 50%)

AGD (Vena) :

PH 7,47, PCO2 52, PO2 51, HCO3 37,8 , BE 14,1 SO2 88,

Na 136, K 3,40, BUN 24,0,

SC 1,01

Thoraks foto :

Pneumothoraks kiri bawah (membaik dibandingkan foto

sebelumnya)

Fracture costae multipel Fracture os clavicula kiri 1/3

tengah

Emphysema subkutis (dibandingkan foto

sebelumnya tampak perbaikan)

AGD Pk.14.54 :

PH 7,47, PCO2 47, PO2 187,

HCO3 34,2 , BE 10,5 SO2 100, Na 137, K 3,60

Instruksi : turunkan fraksi

40%,turunkan PEEP 6

DL (pk.14.00) :

WBC 12,8, HB 9,7, HCT 28,1 , PLT 276

Fungsi Ginjal : Bun 24/ SC 1,01

A: Morphin 20 mcg/KgBB/jam

S: Midazolam 10 mg/ jam

T: -

H: head up 30 U: -

G: BS 170 mg/dL

TERAPI LAIN:

• Furosemid 3 x 20 mg

• Levofloxasin 1 x 750 mg

• Methyl Prednisolon 62,5 mg/hari

• Pantozole 2 x 40 mg

• Dobutamin Sesuai hemodinamik

• NTG 5 miko/mnt

14 Agustus 2012

SSP : DPO, Rp +/+ isokor

2/2 mm

Resp : On ventilatory

support, DUO PAP

25;PEEP 6;RR 18,FiO2 40%

Ves +/+, Rh -/-, wh -/- , SpO2

100%, WSD + fungsi baik,

produksi (-)

KV : S1S2 tgl reg murmur

(-)

TD 108/74 mmHg; HR

89x/mnt, CVP 16 cmH2O

GIT : Distensi (-), BU (+)

UG : prod urine (1,625

ml/KgBB/jam)

MS : akral hangat

AGD Pk.09.19 : PH 7,48, PCO2 46, PO2 175,

HCO3 34,3, BE 10,8, SO2c

100, Na 140, K 3,80 (DUO PAP 25; PEEP 6; RR 18, FiO2

40% )

BUN 29,0 SC 0,86 Hasil Rapat Tim 14-8-12

(Pkl.10.00 wita):

1. Tetap Knock down dengan sedasi dan

Analgetika

2. Stop dobutamin 3. Lanjutkan NTG

4. Thoraks foto tiap

hari 5. Besok weaning

6. Turunkan Fraksi

oksigen 40% 7. Doripenem 3x500

mg

Thoraks foto :

Cor dan Pulmo tidak

tampak kelainan /Sudah tak

tampak gambaran

pneumothoraks/

Empisema subkutis

hemithoraks S/

Fractur os complit os costae

5 kiri posterior/Tampak

terpasang miniplate fiksasi

pada os clavicula kiri, lateral

os costae 6 dan 7 kiri lateral

anterior

Terapi : F: Ringer fundin balance

Clinimik-Clinoleik 1500 ml/hari

enteral: entramix 6x100 ml via NGT A: Morphin 20 mcg/KgBB/jam

S: Midazolam 10 mg/ jam

T: - H: head up 30

U: -

G: BS 157 mg/dL TERAPI LAIN:

• Furosemid 3 x 20 mg

• Levofloxasin 1 x 750 mg

• Methyl Prednisolon 62,5 mg/hari

• Pantozole 2 x 40 mg

• Dobutamin Stop

• NTG 5 mikro/mnt

• Doripenem 3 x 500 mg dalam

NaCl 0,9% 100 ml habis dlm 1 jam

29

15 Agustus

2012

Status Present :

SSP : DPO, Rp +/+ isokor

2/2 mm

Resp : On ventilatory

support

Mode ventilasi: P-SIMV 12;

PS 12, PEEP 6; RR 12, FiO2

40%

Ves +/+, Rh -/-, wh -/- , SpO2

100%, WSD + fungsi baik,

produksi (-)

KV : S1S2 tgl reg murmur

(-)

TD 114/77 mmHg; HR 94

x/mnt,

GIT : Distensi (-), BU (+)

UG : Produksi urine 1,85

ml/KgBB/jam),

MS : akral hangat

Lab : 15-8-2012 :

AGD (08.51 wita) :

PH 7,35, PCO2 51,0, PO2

142,0, HCO3 28,2, BE 2,60, SO2c 99 (DUO PAP 25;

PEEP 6; RR 20, FiO2 40%)

Na 135, K 4,3 P-SIMV , PS 12, RR 12, PEEP 6, FiO2

40%

AGD (11.15 wita) : PH 7,38, PCO2 46,0, PO2

152,0, HCO3 27,2, BE 2,10,

SO2c 99 Na 134, K 4,4

Thoraks foto (15-8-2012) :

Tidak tampak gambaran

pneumothorak

Fracture os costae kiri 5,7

posterior

Internal fiksasi pada os

costae kiri 6,8 posterior, os

costae kiri 6,7 sisi lateral

Terapi :

F: Ringer fundin balance

Clinimik-Clinoleik 1500 ml/ 48 jam

enteral : entramix 6 x 300 ml via NGT A: Morphin 20 mcg/KgBB/jam

S: Midazolam 10 mg/ jam

T: - H: head up 30

U: -

G: BS 157 mg/dL TERAPI LAIN:

• Furosemid 3 x 20 mg

• Levofloxasin 1 x 750 mg

• Methyl Prednisolon 62,5 mg/hari

• Pantozole 2 x 40 mg

• Diamox 3x1 tab

• Dobutamin Stop

• NTG 5 mikro

• Doripenem 3 x 500 mg dalam

NaCl 0,9% 100 ml habis dlm 1 jam

16 Agustus

2012

Status Present :

SSP : Compos mentis, Rp

+/+ isokor 2 mm/2 mm

Resp : Spontan, SM 8 lpm

Ves +/+, Rh -/-, wh -/- , SpO2

100%, WSD + fungsi baik,

produksi (-)

KV : S1S2 tgl reg murmur

(-)

TD 118/75 mmHg; HR 98

x/mnt,

GIT : Distensi (-), BU (+)

UG : Produksi urine 1,29

ml/KgBB/jam),

MS : akral hangat

AGD

PH 7,44, PCO2 42, PO2 144,

HCO3 29,5, BE 4,3, SO2 99 %, (PS 6, PEEP 6, FiO2

40%)

Na 135, 0 K 3,60

Pk 10.00 EKSTUBASI

Pkl. 11.00

AGD Post Ekstubasi :

PH 7,45, PCO2 35,9, PO2 223, HCO3 24,9, BE 1,1 ,

SO2 100% (SM 8 lpm)

Na 136,0 K 3,90

Hasil Kultur Sputum :

Klebsiella Oxytoca terisolasi

merupakan kuman

lingkungan yang bisa

mengkolonisasi pasien.

Significan bakteri sebagai

penyebab infeksi tergantung

marker infeksi dan klinis

pasien.

Bila terindikasi perlu

antibiotika levofloxasin

dapat diteruskan

Terapi :

F: Ringer fundin balance

Clinimik-Clinoleik 1500 ml/ 48 jam enteral : entramix 6 x 300 ml via NGT

A: Morphin 20 mcg/KgBB/jam

S: Midazolam 10 mg/ jam Stop T: -

H: head up 30

U: - G: BS 157 mg/dL

TERAPI LAIN:

• Furosemid 3 x 20 mg Stop

• Levofloxasin 1 x 750 mg

• Methyl Prednisolon 62,5 mg/hari

• Pantozole 2 x 40 mg

• Diamox 3x1 tab Stop

• Dobutamin Stop

• NTG 5 mikro/mnt

• Doripenem 3 x 500 mg dalam NaCl 0,9% 100 ml habis dlm 1

jam

17 Agustus 2012

Status Present :

SSP : Compos mentis

Resp : Spontan, SM 8 lpm

Ves +/+, Rh -/-, wh -/- , SpO2

100%, WSD + fungsi baik,

produksi (-)

KV : S1S2 tgl reg murmur

(-)

TD 118/75 mmHg; HR 98

x/mnt,

GIT : Distensi (-), BU (+)

UG :Produksi urine 1,16

ml/KgBB/jam)

MS : akral hangat

Lab : 17-8-2012 : AGD (pk.09.47) Sungkup

muka 8 lpm :

PH 7,44, PCO2 38, PO2 201, HCO3 25,8 BE 1,6 , SO2

100%

Na 134, K 3,9

Pk 08.00 : Aff WSD

Thoraks Foto : 17-8 2012 Pk

11.00:

Tampak pneumothoraks minimaldibandingkan dengan

foto sebelumnya

Terapi : F: Ringer fundin balance

Clinimik-Clinoleik 1500 ml, Glutiven 1 fls /

48 jam enteral : bebas

A: Morphin 10 mcg/KgBB/jam stop ganti

paracetamol 3 x 1 g Tramadol 3 x 50 mg K/P

S:-

T: - H: head up 30

U: -

G: BS 115 mg/dL TERAPI LAIN:

• Levofloxasin 1 x 750 mg

• Methyl Prednisolon 62,5 mg/hari

30

• Pantozole 2 x 40 mg

• NTG stop

• Doripenem 3 x 500 mg dalam

NaCl 0,9% 100 ml habis dlm 1 jam

• Paracetamol 3 x 1 gr

18 Agustus 2012

Status Present :

SSP : Compos mentis,

Resp : Spontan, SM 8 lpm

Ves +/+, Rh -/-, wh -/- , SpO2

100%, WSD + fungsi baik,

produksi (-)

KV : S1S2 tgl reg murmur

(-)

TD 117/79 mmHg; HR 89

x/mnt,

GIT : Distensi (-), BU (+)

UG : prod urine 0,97

cc/kg/jam

MS : akral hangat

Terapi : F: Ringer fundin balance

enteral : bebas

A: Morphin 10 mcg/KgBB/jam stop ganti Tramal 3 x 50 mg K/P

S:-

T: - H: head up 30

U: -

G: BS 135 mg/dL TERAPI LAIN:

• Levofloxasin 1 x 750 mg

• Methyl Prednisolon 62,5 mg/hari

• Pantozole 2 x 40 mg (stop)

• Doripenem 3 x 500 mg dalam

NaCl 0,9% 100 ml habis dlm 1 jam

• Farmadol 3 x 1 gr

19 Agustus 2012

Status Present :

SSP : Compos mentis, Rp

+/+ isokor 2 mm/2 mm

Resp : Spontan, nasal canul

2 lpm

Ves +/+, Rh -/-, wh -/- , SpO2

100%,

KV : S1S2 tgl reg murmur

(-)

TD 110/75 mmHg; HR 84

x/mnt,

GIT : Distensi (-), BU (+)

UG : BAK Spontan

MS : akral hangat

Terapi : F: Ringer fundin balance

enteral : bebas

A: Tramal 3 x 50 mg K/P S:-

T: -

H: head up 30 U: -

G: BS 109 mg/dL

TERAPI LAIN:

• Levofloxasin 1 x 750 mg • Methyl Prednisolon 62,5 mg/hari

• Doripenem 3 x 500 mg dalam

NaCl 0,9% 100 ml habis dlm 1

jam

• Farmadol 3 x 1 gr

20 Agustus

2012

Status Present :

SSP : Compos mentis, Rp

+/+ isokor 2 mm/2 mm

Resp : Spontan, room air

Ves +/+, Rh -/-, wh -/- , SpO2

100%,

KV : S1S2 tgl reg murmur

(-)

TD 110/75 mmHg; HR 84

x/mnt,

GIT : Distensi (-), BU (+)

UG : BAK Spontan

MS : akral hangat

PINDAH RUANGAN Terapi :

F: Ringer fundin balance

enteral : bebas A: Tramal 3 x 50 mg K/P

S:- T: -

H: head up 30

U: - G: Glucose control

TERAPI LAIN:

• Levofloxasin 1 x 750 mg

• Methyl Prednisolon 62,5 mg/hari

• Doripenem 3 x 500 mg dalam

NaCl 0,9% 100 ml habis dlm 1 jam

• Farmadol 3 x 1 gr

31

BAB 4

PEMBAHASAN

Pada bab ini kami akan membahas satu persatu hal-hal yang sesuai maupun yang

tidak sesuai antara teori dengan kenyataannya pada pasien ini. Kami mulai dengan

penegakan diagnose ALI pada pasien ini, dimana menurut American-European

Consensus Conference.3,6,7 bahwa ALI harus memenuhi 4 kriteria yaitu kegagalan

respirasi dengan onset akut, terdapat infiltrate pada dada bilateral yang terlihat pada

rontgen dada, tidak terdapat peningkatan tekanan jantung kiri dan perbandingan

PaO2/FiO2 <300 mmHg. Pada pasien ini kriteria yang terpenuhi hanya 3,yaitu terjadi

kegagalan respirasi dengan onset akut, tidak terjadi peningkatan tekanan pada jantung kiri

dan rasio PaO2/FiO2 <300 (yaitu 242) tanpa adanya gambaran infiltrate bilateral pada

rontgen dada, yang tampak justru pneumothorak karena fungsi WSD yang tidak baik..

Tetapi memang pada pasien ini terdapar resiko yang sangat besar untuk terjadinya ALI

yaitu trauma langsung pada paru yang menyebabkan contusion pulmonum (resiko sekitar

34%)4,9.

Bila dikaji dari segi gambaran klinis ALI/ARDS, yang secara teori menunjukkan

pirau intra pulmoner yang nyata dengan hipoksemia, berkurangnya daya kembang

(compliance) paru-paru yang progresif, dan dispnea (napas dangkal) dan takipnea yang

berat akibat hipoksemia dan bertambahnya kerja pernapasan sekunder terhadap

penurunan daya kembang paru-paru serta pada auskultasi dapat terdengar krepitasi,

ronkhi atau wheezing, penderita tampak sianotik dan hipoksemia yang tidak dapat diatasi

dengan pemberian oksigen selama bernafas spontan. Kesadaran akan berubah/gelisah,

dan juga penderita biasanya takikardi serta mengalami hipotensi/syok3,5,10. Pada pasien

ini semua gejala klinis diatas memang ditemukan, terbukti dengan pada saat pasien

dikonsulkan dari ruang flamboyan memang terdapat tanda tanda desaturasi, takipnoe,

takikardi,pasien tampak gelisah dan hipotensi, pada pemeriksaan fisik ditemukan ronkhi

di kedua lapangan paru serta dari gambaran AGD pasien yang diambil sesaat sebelum

pasien dikirim ke RTI menunjukkan gambaran hipoksemia dengan PO2 32 dan SaO2

51%, hanya saja tidak sampai ditemukan retraksi dinding dada.

32

Pada penatalaksanaan ALI/ARDS dikatakan bahwa pasien dengan kegagalan

respiratorik dengan hipoksemia akut, dan peningkatan usaha nafas, memerlukan

ventilasi mekanik. Apabila dengan penggunaan oksigen nasal/sungkup hasil

pemeriksaan gas darah PaO2 <50 mmHg, maka sebaiknya dilakukan intubasi dan

pemasangan ventilator mekanik2,4.Pada pasien ini melihat kondisi di ruangan

dengan desaturasi, takipneu dan hipoksemia akut dengan O2 SM non rebreathing

15 lpm, masih ditemukan PaO2 32 sehingga diputuskan untuk dilakukan intubasi

segera setelah pasien tiba di RTI.

Dalam kepustakaan disebutkan bahwa saat ini penanganan ARDS dengan

tidal volume yang besar yang dikombinasi dengan peak airway pressure (P peak

= tekanan puncak inspirasi) yang tinggi seharusnya dihindari. Penggunaan tidal

volume yang dianjurkan sebesar 6 mL/kgbb dan mempertahankan plateau

pressure atau p peak < 30 cmH2O akan menurunkan angka mortalitas sebesar 9 %

(dibandingkan menggunakan tidal volume 12 mL/kgbb).1,6,12,13 Kepustakaan lain

menyebutkan bahwa penggunaan tidal volume yang kecil akan menurunkan

angka kematian dari 40 % menjadi 31 %. 4,10. Pada pasien ini teori tersebut telah

kita praktekkan dengan memberikan p peak < 30 cmH2O, (pola ventilasi Duopap

25) dan low volume tidal, volume tidal yang tercapai pada pasien ini 500 ml

(6x80kg=480 ml) dan terbukti memberikan respon yang sangat baik. Salah satu

strategi dalam aplikasi ventilasi mekanik pada ALI/ARDS menurut The

American-European Consensus Conference on ARDS adalah meminimalkan

terjadinya Oksigen toxicity. Gunakan fraksi oksigen serendah mungkin (< 60 %)

untuk mencapai tujuan ventilasi mekanik, dengan

memanipulasi/mengoptimalisasi faktor-faktor yang lain8,9. Pada pasien ini tidak

langsung menggunakan fraksi oksigen <60%, pasien diawal masuk RTI dengan

fraksi O2 100% kemudian diturunkan bertahap setiap hari hingga pada hari ke-4

dipertahankan 40% selama 3 hari. Dalam kepustakaan juga dijelaskan bahwa

penatalaksanaan dengan ventilasi mekanik juga bertujuan untuk mempertahankan

alveoli untuk tetap mengembang atau terbuka kita dapat menggunakan positive

end expiratory pressure (PEEP). Total PEEP 10 – 15 cmH2O8,9. Pada pasien ini,

kami tidak menggunakan metode high PEEP, dimana pada awalnya kami

33

menggunakan PEEP 5 kemuadian hari ke-3 PEEP dinaikkan menjadi 8 dan hari

ke-4 turun menjadi PEEP 6.Hal ini tidak sesuai dengan manajemen ARDS dengan

menggunakan metode PEEP 10-15 untuk mempertahankan pengembangan

alveoli.

Pada pasien ini sejak awal kita sudah menggunakan kortikosteroid dosis

rendah yaitu 62,5 mg/ 24 jam dalam syringe pump. Secara teori, penggunaan

kortikosteroid pada pasien ARDS masih kontroversi. karena kortikosteroid tidak

terbukti dapat menurunkan angka mortalitas dan insiden terjadinya ARDS.

Kortikosteroid mungkin berguna pada varian ARDS seperti sindrom emboli lemak

dan pneumocystic carinii pneumonia dimana kortikosteroid berguna sebagai

profilaksis atau terapi 4,12. Namun beberapa literature mengatakan kortikosteroid

dapat mengurangi kerusakan paru dan permeabilitas kapiler bila diberikan sejak

awal. Namun pada pasien ini kondisi paru paru mengalami perbaikan pesat yang

mungkin saja tidak hanya disebabkan oleh pemakaian kortikosteroid dosis kecil di

fase awal, tetapi juga mungkin karena factor-faktor lain yang segera dikoreksi

secepat mungkin.

Yang tidak kalah penting harus diperhatikan pada penatalaksanaan ALI/

ARDS adalah mempertahankan kestabilan hemodinamik dengan pemberian

terapi cairan yang cukup dan sebaiknya dipasang CVC. Pemakaian koloid untuk

memperbaiki tekanan hidrostatik dan tekanan osmotik sering kali digunakan.

Penggunaan g diuretik (furosemid) seringkali bermanfaat untuk mengurangi

resiko terjadinya kelebihan cairan.2,5,9. Pada pasien ini manajemen terapi

cairannya sudah sesuai dengan teori yang dijabarkan. Terbukti dengan telah

dipasangnya CVC di awal pasien masuk serta penggunaan furosemide bolus sejak

hari pertama pasien dirawat. Balance cairan selama dirawat dipertahankan tetap

negative dengan tetap menjaga keadekuatan perfusi ke jaringan.

Kontrol terhadap infeksi nosokomial merupakan salah satu farmakoterapi

pada penatalaksanaan ALI/ARDS. Pemberian antibiotika sebaiknya diberikan

berdasarkan hasil kultur. Pengecetan sekret dari bronkus dan kultur sebaiknya

dilakukan 2-3 hari sekali.2,9,12. Pada pasien ini diberika antibiotic spectrum luas

Levofloksasin 1x750 mg sejak awal sebelum dilakukan kultur kuman. Kemudian

34

pada hari ke-5 baru ditambahkan dengan Doripenem 3 x 500 mg. Pada hari ke7

baru diketahui hasil kultur sputum, dan ternyata Klebsiella Oxytoca terisolasi

merupakan kuman lingkungan yang bisa mengkolonisasi pasien. Bila terindikasi

antibiotika levofloxasin dapat diteruskan. Sehingga pada pasien ini kondisi infeksi

bisa tertangani dengan baik karena antibiotik yang dipilih sejak awal sesuai

dengan hasil kultur kuman.

35

BAB 5

PENUTUP

ARDS merupakan suatu kondisi penyakit yang umum kita jumpai di Intensive Care Unit

(ICU). Insiden penyakit ini cukup sering dengan angka kematian yang diketahui dari

beberapa studi berkisar antara 32 – 45 %. Sampai saat ini belum diketahui dengan jelas

mengapa ARDS mempunyai bermacam-macam sebab akan tetapi dapat berkembang

menjadi sindroma klinis dan patofisiologis yang sama.

Gagal organ multipel sering menyertai dan bahkan lebih dari 75 % penderita

ARDS justru meninggal lebih banyak diakibatkan oleh karena gagal organ multipel ini

dibandingkan dengan disfungsi parunya sendiri.

Populasi tertinggi kematian akibat ARDS adalah pada mereka yang mempunyai

kelompok umur tua, penderita immunocompromise dan pasien dengan penyakit hati

kronis. Angka kematian yang masih tinggi ini menyebabkan prognosisnya kurang baik

walaupun dengan terapi yang intensif. Walaupun ada yang berhasil bertahan hidup,

namun sebagian besar dari mereka setelah dievaluasi fungsi parunya sudah terjadi

kecacatan.

Target utama penatalaksanaan ARDS adalah mengembangkan alveoli secara

optimal untuk mempertahankan gas arteri dan oksigenasi jaringan yang adekuat,

keseimbangan cairan dan asam basa serta sirkulasi yang memadai sampai integritas

membran kapiler utuh kembali. Selain itu juga ditujukan untuk mengatasi faktor-faktor

pencetus dan hal-hal lain serta memberikan terapi penunjang.

36

DAFTAR PUSTAKA

1. Gloria O.D., William R. Acute Respiratory Failure. In: Hemodinamic

Monitoring. 2nd editon. Saunders. San Diego, California. 2004: 244-73

2. Marwoto. Management of Adult Respiratory Distress Syndrome (ARDS). In: The

Indonesian Journal of Anaesthesiology and Critical Care. Vol 23 no. 1 Jan 2005:

87-93

3. Papadacos P.J., Haitsma J.J. Acute Respiratory Distress Syndrome. In: Critical

Care-The Requisites in Anaesthesiology. Elsevier Mosby. Philadelphia. 2005:

176-80

4. Bersten A.D. Acute Respiratory Distress Syndrome. In: Oh’s Intensive Care

Manual. 5th edition. Elsevier. Western Australia. 2004: 329-39

5. Udobi K.F., Childs E. Acute Respiratory Distress Syndrome. In: The American

Academy of Family Physicians. Vol. 67/ no. 2

6. Muhardi, Masdjid A.S. Adult Respiratory Distress Syndrome. In: Penatalaksanaan

Pasien di Intensive Care Unit. Ed. Muhardi M. Sagung Seto, Jakarta, 2001: 59-

65

7. Adult Respiratory Distress Syndrome. Available at

http://shop.store.yahoo.com/mrashad/adredisy.htm 1. accesed on July 17th 2012

8. Adult Respiratory Distress Syndrome. Available at

http://www.healthatoz.com/healthatoz/Atoz/ency/adult respiratory distress

syndrome.jps. accesed on August 10th 2012

9. Learn About ARDS. Available at http://ards.org/learnaboutards. accesed on July

17th 2012

10. ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome). Available at http://health.allrefer

com/health/ ards-acute-respiratory-distress-syndrome-info.html. accesed on July

17th 2012

11. Dellinger R.P., Carlet J.M., Masur H. Et al. Surviving Sepsis Campaign

Guidelines for Management of Severe Sepsis and Septic Shock. In: Critical Care

Medicine 2004 vol. 32 no. 3

37

12. http://www.medscape.com/viewarticle/498155. accesed on 17th July 2012

13. Kim M.S., Stier G.R. Fluid and Electrolite Therapy. In: Adult Perioperative

Anaesthesia. Editor: Hines R.L. Elsevier Mosby. Philadelpia. 2004: 189-201

14. Roch A., Guervilly C., Papazian L. Fluid Management in acute Lung Injury and

ARDS available at http:/www.annalsofintensivecare.com/content/1/1/16 accesed

on May 30th 2011