Masyarakat adat to karunsi'e dongi

27
Konflik Agraria Komunitas Adat Karunsi’e dengan PT. Vale Indonesia Tbk Kabupaten Luwu Timur Propinsi Sulawesi Selatan “Wajah Perempuan Adat To Karunsi’e Dongi” Peneliti : Dewi Sartika Syahrul

Transcript of Masyarakat adat to karunsi'e dongi

Konflik Agraria Komunitas Adat Karunsi’e dengan PT. Vale

Indonesia Tbk

Kabupaten Luwu Timur Propinsi Sulawesi Selatan

“Wajah Perempuan Adat To Karunsi’e Dongi”

Peneliti :

Dewi Sartika Syahrul

Pendahuluan

“Bagaimanapun beratnya hidup disini, ini adalah rumah kami. Setiap

lekuk gunung, setiap helai rumput, setiap tetes air matano begitu dekat di hati

kami. Tak ada tempat lain bisa menggantikan tanah kami (YULIANA 65th).”

“ ini adalah tanah kami, kami lahir disini, kami akan mati disini

(WERIMA MANANTA MASI, 63th).

Kutipan- kutipan pernyataan diatas adalah pernyataan yang

keluar dari mulut perempuan –perempuan adat yang hidup di

perkampungan komunitas adat to karunsi’e dongi. pernyataan ini

seakan mewakili suara hati perempuan-perempuan adat di

komunitas tersebut. jeritan suara hati yang sangat menegaskan

betapa keras kehidupan yang dirasakan perempuan adat dongi

sebagai dampak konflik dengan perusahaan nikel terbesar di

indonesia yang terjadi di wilayah adat mereka.

Suku to karunsi’e adalah suku tertua yang mendiami

wilayah luwu timur sejak ratusan tahun lalu, Masyarakat Adat

karunsi’e Kampung dongi adalah salah satu dari sekian

komunitas adat yang berada di wilayah Tana Luwu yang hidup

dengan bayang-bayang konflik sejak masuknya mereka kembali

kedalam wilayah adat mereka karena terusir dari wilayah

adatnya akibat pergolakan D.I.T.I.I yang terjadi pada tahun

1953 Sampai mereka masuk kembali menduduki wilayah adat mereka

dimana wilayah adat mereka masuk dalam wilayah konsesi

perusahaan nikel terbesar di indonesia, PT INCO yang sekarang

berubah nama menjadi PT.VALE. dalam prosesnya, masyarakat adat

karunsi’e kampung dongi mendapat banyak perlakuan diskriminasi

dari berbagai aspek yang terjadi, mulai dari reclaim

pemerintah yang menyatakan mereka adalah penduduk liar/illegal

dengan mencoba mengusir mereka dari wilayah adat yang mereka

diami sekarang ini, pengrusakan situs-situs peninggalan

sejarah peninggalan nenek moyang dimana ini berdampak

terjadinya krisis identitas adat budaya mereka karena

aktifitas tambang di wilayah tersebut, sampai kepada rusaknya

ekosistem dan ekologi yang ada di wilayah adat mereka yang

berdampak pada jauhnya mereka dari kesejahteraan ekonomi,

dimana dampak terbesar dirasakan oleh “Perempuan Adat to Karunsi’e

Dongi”.

Perempuan adalah Ibu Manusia. Dari rahim perempuan –lah lahir manusia

laki-laki dan perempuan. betapa peran dan posisi perempuan dalam

perkembangan sebuah peradaban manusia di muka bumi ini begitu penting.

( Ikha Kanna )

Perempuan Adat To Karunsi’e Dongi.

5 juli 2013, kami menempuh perjalanan ke suatu tempat di

bagian timur Tana Luwu. Perjalanan kali itu dalam rangka

memenuhi agenda kegiatan kerja-kerja advokasi di suatu

kampung. Pada saat itu kami ingin mempersiapkan suatu

perencanaan kampung melalui suatu pertemuan bersama dengan

masyarakat di kampung tersebut. Dongi, adalah nama kampung

itu. Orang-orang mengenal kampung ini sebagai masyarakat adat

dari suku To Karonsi’e. Ini adalah perjalanan pertama saya

mengunjungi daerah yang paling timur dari kota Palopo. Dari

kota Palopo perjalanan ke kampung Dongi menghabiskan 4 jam

perjalanan dengan jarak tempuh kurang lebih 100km . Kampung

Dongi adalah suatu kampung tua.

Dalam perjalanan, sekilas terbersit di ingatan akan

cerita tante, bagaimana om yuli, suami dari adik ibuku,

berpenghasilan bersih sekitar 5 jt perbulan, upah yang

dibayarkan perusahaan PT INCO, tambang nikel terbesar di

indonesia kepada karyawan yang dikategorikan karyawan biasa

atau tenaga kontrak. Om yuli bercerita banyak tentang upah

yang dia rasa melebihi dari cukup untuk menunjang kehidupan

keluarganya. Dan bagaimana kondisi sosial masyarakat sorowako

yang penduduknya kebanyakan bukan penduduk asli yang ada

disana. mereka kebanyakan adalah pendatang yang mencari nafkah

dengan kerja di tambang. “ disana itu kita di gaji 5jt per bulan bersih,

itu tidak termasuk tunjangan nak, belum lagi bonus-bonus yang biasa kita

dapat kalau mau tahun baru, pokoknya alhamdulillah untuk kasi sekolah

adek-adek mu.“ tante enhi yang merupakan istri dari om yuli,

adik dari ibuku menimpali “ kalau untuk bisnis di sorowako bagus nak,

soalnya orang sorowako itu rata-rata banyak uangnya.” pernyataan ini

seolah menegaskan jika kesejahteraan ekonomi masyarakat

sorowako, kab. Luwu timur sangat baik. Dalam perjalanan

panjang kurang lebih 4 jam dari kota tempat tinggalku, seolah

pernyataan-pernyataan dari om yuli berbanding terbalik dengan

kondisi masyarakat adat karunsi’e kampung dongi. Menurut

cerita teman-teman di AMAN Tana Luwu yang merupakan salah satu

lembaga yang mendampingi masyarakat adat to karunsi’e dongi, “

disana itu rumahnya orang di bangun dari limbah kayu perusahaan, belum

lagi kalau kita mau mandi, pintu kamar mandinya pake terpal “. Dari

pernyataan ini saya sudah bisa membayangkan bagaimana

kehidupan yang sangat jauh dari yang namanya kehidupan yang

layak bagi masyarakat karunsi’e dongi. “disana itu mereka tidak

berani membangun kamar mandi atau WC, karena orang dongi bilang jangan

sampai kami buat, besok bisa-bisa dibongkar petugas “. kata teman lain

menimpali. Ini sangat intimidatif dimana penegak hukum yang

harusnya bisa melindungi dan mengayomi masyarakat siapapun

itu. Dalam hati saya berkata, jika ada kasus penggusuran di

wilayah tana luwu, maka menurut cermat saya ini adalah kasus

pertama sepanjang sejarah di tana luwu, saya tidak bisa

membayangkan bagaimana perlakuan-perlakuan seperti ini bisa

terjadi di wilayah yang bisa dibilang masih tidak padat

penduduk seperti gambaran-gambaran kota besar di indonesia

dimana lahan untuk bermukim sudah sangat sempit karena

bangunan-bangunan tinggi dibangun berdasar tuntutan laju

perkembangan kehidupan modern.

Sepanjang jalan memasuki kawasan luwu timur, saya

disuguhkan pemandangan dengan gunung tinggi bak menyentuh

langit dengan keindahan sungai karebbe’ yang menyejukkan mata.

Dipinggiran sungai tersebut saya melihat ujung jalan raya yang

seperti tenggelam. Menurut cerita masyarakat setempat, jalan

raya itu dulunya adalah jalan poros luwu timur, hanya saja

sungai karebbe sengaja dibendung untuk bangunan pembangkit

listrik tenaga air kebutuhan perusahaan hingga jalan tersebut

tenggelam. Kemudian berkata supir mobil angkutan umum yang

membawa kami “ daerah luwu timur ini dulunya dingin sekali, sekarang sudah

tidak dingin lagi, karena pohon-pohon ditebang di ganti dengan kelapa sawit ”.

Waktu menunjukkan pukul 17.30 petang, moment dimana untuk

pertama kalinya saya menginjakkan kaki di wilayah adat to

karunsi’e dongi. Wilayah adat menurut bayangan saya adalah

wilayah dimana pohon-pohon besar menjulang tinggi, pemukiman

mereka terisolasi dari dunia luar, rumah-rumah khas yang

mencerminkan karakter atau identitas masyarakat adat tersebut

dengan sejumlah aturan aturan atau ritual adat tertentu

sebelum memasuki wilayah adat sangat berbanding terbalik

dengan apa yang saya lihat waktu itu. Saya langsung di suguhi

lapangan golf, ada tempat perkemahan yang disebut BUMI

PERKEMAHAN, dan rumah-rumah penduduk yang jauh dari kata

sederhana

membuat saya

harus

membelalakkan

mata, rumah yang

seperti dibangun

dengan seadanya.

baru kemudian

rombongan kami

disambut di sebuah rumah yang jauh dari kata LAYAK HUNI, hanya

berjarak kurang lebih 100m dari lapangan golf yang dibangun

perusahaan.

Kata kak mery seorang perempuan adat dongi ”itu lapangan golf

dibangun untuk manjakan karyawan-karyawannya INCO. Sebentar kalau dorang

main golf, bolanya biasa kena atap rumahnya oma, karena rumahnya oma paling

dekat dari lapangan”. rumah ini jauh dari kehidupan yang layak.

Rumah sederhana ini adalah rumah seorang ibu bernama Werima

Masi Mananta. Beliau adalah ketua adat Masyarakat adat

tokarunsi’e dongi dengan gelar Sambung Karu.

Dalam sejarahnya, Adalah

almarhumah oma “Werima Masi

Mananta” Lahir di dongi, 25

Juli 1946. adalah sosok

perempuan yang menurut

masyarakat karunsi’e dongi

adalah seorang yang berjuang hingga tetes darah penghabisan,

dengan sisa hidupnya memperjuangkan kedaulatan hak atas tanah

bagi masyarakat adat karunsi’e dongi. Beliau adalah pemimpin

kampong dongi dengan julukan sambung karu’. Dipilih secara

demokrasi dengan prosesi musyawarah adat dengan menghadirkan

seluruh lapisan masyarakat adat karunsi’e dongi.

Berceriteralah beliau waktu itu, “Dalam perjalanan melawan

ketidakadilan yang kami rasakan selama ini masyarakat adat disini selalu berjuang

bersama, tidak ada pengecualian perempuan atau laki-laki dengan rasa senasib

sepenanggungan yang kami rasakan juga perempuan adat dengan sukarela tanpa

paksaan, walaupun sekali lagi ditegaskan bahwa perempuan adat dongi tidak

pernah melupakan keluarga” kata oma werima waktu itu, begitulah

sapaan akrab masyarakat dongi kepada beliau“ ini adalah tanah kami,

kami lahir disini, kami akan mati disini”. Pernyataan ini mewakili

bentuk perlawanan masyarakat adat tokarunsi’e dongi melawan

bentuk ketidakadilan yang mereka rasakan selama ini berkonflik

entah itu dengan perusahaan maupun pemerintah daerah setempat

yang berpihak pada perusahaan. Sayangnya oma werima

menghembuskan nafas terakhirnya tanggal 19 juli 2013. Luka

mendalam masyarakat adat to karunsi’e dongi mengiringi

kepergian beliau. oma dimakamkan di pekuburan tua dongi yang

berada tepat di tengah rumah karyawan perusahaan dekat dengan

kantor eksternal PT VALE.

Konon leluhur orang dongi adalah PEREMPUAN, jadi jangan

heran kalau perempuan disini berani, semua pejuang kata om

yunus ambeta yang akrab disapa Gulit. 1Menurut sejarah, suku to

karunsi’e sudah ada sejak ratusan tahun lalu, tersebutlah

1 Abdul Rahman Nur, Data AMAN Tana Luwu.

Masyarakat adat To Karunsi’e berasal dari Witamorini, Lembomobo,

Lahupada di sekitar pegunungan wela-wela sebelah Barat kampung

Dongi yang sekarang ini, disana hiduplah seorang putri bernama

We Salindra yang menurut legenda oleh masyarakat To Karunsie

bahwa Wesalindra hidup seorang diri, pada suatu pagi

Wesalindra terbangun dari tidurnya dia berjalan berkeliling di

sekitar kediamannya tanpa sengaja We salindra menemukan

tanaman yang sejenis biji-bijian yang kemudian di beri nama

Pae (Padi), keanehan pun terjadi pada tanaman Pae (padi)

tersebut setiap pagi We salindra melihat tanaman itu, tanaman

tersebut bertambah satu macam lagi, hal itu berlangsung selama

tujuh hari, maka muncullah tujuh macam jenis dari tanaman Pae

(padi) itu yang masing-masing we salindra memberi nama yang

antara lain ; Pae Mea, sebagai Inempae (induk padi), Pae

Nggaeloe (berbentuk panjang terjuntal kebawah), Pae Bengki,

Pae Undo, Pae Banawa, Pae Tabarako, Pae Sende. Dari situlah We

Salindra bertahan hidup, kemudian We salindra membuat Si’e

(Lumbung) yang terbuat dari batang – batang Pae (padi), dari

situlah awal mulanya Si’e atau lumbung berdiri di Wita Morini,

hingga kini menurut penuturan komunitas Karunsi’e terkadang

orang-orang ada yang menemukan si’e di Wita morini tapi pada

saat-saat tertentu saja. Inilah asal usul identitas kami to

karunsi’e, kata masyarakat sambil berusaha mengingat

identitas sejarah asal usul mereka sebagai masyarakat adat.

Tetapi, lanjut mereka (masyarakat yang bercerita waktu itu)

”sekarang kami bukan lumbung padi lagi, ini kami sekarang hampir mati di

lumbung padi kami sendiri. Ini karena kami seperti menumpang hidup dari tanah

kami sendiri. Tanah kami sudah jadi tanah nya perusahaan “.

Masyarakat adat karunsi’e dongi pernah meninggalkan

kampung halaman mereka karena pergolakan DITII, pergolakan

DITII meninggalkan trauma besar bagi masyarakat adat dongi.

Pergolakan ini menyebabkan masyarakat adat to karunsi’e dongi

harus mengungsi keluar dari wilayah adat. Masyarakat adat to

karunsi’e dongi mengungsi ke tengah hutan dan kebanyakan

masyarakat adat to karunsi’e dongi mengungsi ke sulawesi

tengah. “dulu yang paling rasa itu perempuan, perempuan dulu itu kalau ada

yang hamil di pukul 100 kali, katanya itu hukum menurut islam, ini saya biasa lihat

dengan mata kepala saya sendiri. Padahal biasanya yang menghamili juga itu

perbuatan mereka sendiri (DITII), mereka sendiri juga yang menghukum”. Kata om

yunus ambeta yang akrab disapa om gulit. “ kalau ada yang melawan

apa itu suami atau laki-laki. Langsung digerek (disembelih/potong leher) jadi

dorang tidak bisa macam-macam”. Lanjutnya lagi.

Tersebutlah kisah ibu nursiah atau yang akrab di panggil

tante Nur. Perempuan paruh baya ini mengalami kisah pilu waktu

pergolakan terjadi, beliau tidak pernah tahu bagaiaman roman

wajah ibu kandungnya. Sewaktu beliau dilahirkan, ibu kandung

beliau di kejar oleh tentara DITII sampai pada akhirnya beliau

melahirkan Nur kecil. Dengan bantuan dari beberapa kerabat

akhirnya tante Nur sempat diselamatkan dan di simpan dibawah

pohon DENGEN (sejenis buah yang hanya didapatkan di sekitar

kampung dongi), sampai pada akhirnya dipungut dan dipelihara

oleh seorang bapak yang kebetulan lewat di pohon dengen tempat

ibu Nur kecil berada lalu memelihara beliau.

Peristiwa-peristiwa kelam seperti ini yang menjadi trauma

besar bagi masyarakat adat to karunsi’e dongi, betapa trauma

masa lalu yang dialami oleh masyarakat adat karunsi’e dongi

khususnya perempuan adat begitu kelam hingga ini menjadi

alasan kuat masyarakat harus mengungsi meninggalkan kampung

tanah leluhur mereka.

KEDAULATAN ATAS TANAH LELUHUR

Sebuah fakta tentang adanya masyarakat adat di Indonesia

diakui dalam UUD 1945 pasal 18b ayat (2) “Negara Mengakui dan

menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak

tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan

masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik indonesia, yang diatur dalam

undang-undang”. Walaupun negara secara konstitusional telah

mengakui dan mau menghormati eksistensi masyarakat adat tapi

dalam kenyataannya sekali lagi negara mengabaikan masyarakat

yang mendeklarasikan dirinya sebagai dasar terbentuknya sebuah

Negara, khususnya PEREMPUAN.

Peran perempuan adat dalam perjuangan masyarakat adat

dongi sangat besar, mereka sadar betul kalau perjuangan ini

adalah perjuangan bersama demi mengembalikan HAK atas ruang

hidup mereka, mengembalikan budaya serta adat istiadat yang

hancur bersama struktur sosial mereka yang merupakan identitas

mereka sebagai masyarakat adat. Kesadaran mereka yang

termotivasi dari bentuk intimidasi, diskriminasi yang mereka

rasakan selama ini dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam perjuangannya, perempuan adat to karunsi’e dongi

terlibat secara aktif, mereka berkontribusi besar dalam setiap

langkah-langkah yang mereka upayakan dalam merebut kembali

kedaulatan atas ruang hidup mereka, bisa dilihat Misalnya

dalam kegiatan-kegiatan yang difasilitasi oleh lembaga-lembaga

ornop yang menaruh perhatian kepada masyarakat adat to

karunsi’e dongi, perempuan dan laki-laki secara bersama

menyiapkan logistic kemudian setelah itu mereka ikut kembali

berdiskusi. Situasi seperti ini adalah situasi dimana

demokrasi akan peran perempuan sudah menjadi bagian dari

kesadaran kolektif bagi masyarakat adat to karunsi’e kampong

dongi.

Mengutip tuturan sebagian dari perempuan adat to

karunsi’e dongi ,“ memang kami harus di depan kalau ada apa-apa, seperti

kalau kami aksi, kami di depan, karena kalau laki-laki yang di depan gampang kami

di bubarkan, kalau bapak-bapak yang di depan gampang di tendang pantatnya”.

Kata “ ditendang pantatnya “ seakan menegaskan bahwa kaum perempuan

sadar betul dalam perjuangannya, jika ada aksi dan kaum laki-

laki yang di depan rentan dengan kekerasan fisik nantinya. Ini

mereka lakukan dengan kesadaran sukarela tanpa paksaan.

Perubahan yang sangat dirasakan bagi perempuan adat

dongi adalah kebingungan yang luar biasa melihat tanah

leluhur serta lahan sumber kehidupan mereka sudah tidak ada

lagi, lahan yang tadinya mereka garap sebagai ladang bertani

sudah habis dieksploitasi oleh aktifitas tambang, bekas tempat

pemukiman mereka dahulu sekarang sudah berdiri sebuah kantor

dan sebuah lapangan golf.

Hingga ketika mereka nekat masuk kembali bermukim di

kampung halaman masyarakat adat to karunsi’e dianggap warga

liar atau ilegal. Ditanah leluhur mereka sendiri sudah berdiri

lapangan golf, bumi perkemahan serta bangunan lain milik

perusahaan. Lahan mereka tidak se sejuk dulu yang mereka

ingat, tidak se asri dan setenang dulu seperti yang mereka

ingat. Hingga pada akhirnya mereka menerima keadaan dimana

sawah dan perkebunan-perkebunan mereka dulunya telah habis

karena kegiatan eksplorasi tambang. mau atau tidak, suka

ataupun tidak mereka harus tinggal di wilayah adat mereka,

“mau kemana lagi kita selain pulang kesini, hanya ini satu-satunya tempat kami”

kata ibu Tini Lanapu dan beberapa perempuan lain.

Dalam sebuah diskusi kampung sempat difasilitasi oleh

AMAN Tana Luwu yang sampai saat ini menjadi pendamping

masyarakat adat to karunsi’e dongi. saya tertarik dengan sosok

perempuan yang keliatan sangat antusias mendengarkan diskusi.

Ibu ini tidak pernah absen menghadiri setiap rembuk kampung

yang di lakukan oleh masyarakat to karunsi’e dongi, walaupun

sesekali beliau terlihat pergi entah kemana untuk beberapa

saat, tetapi beliau akan kembali lagi mengikuti diskusi. Ibu

Tini Lanapu adalah perempuan adat to karunsi’e dongi, beliau

yang sering kali ada disamping dan mendampingi oma werima

mananta dalam memperjuangkan kedaulatan atas tanah leluhur

orang dongi. Ditemani secangkir kopi dan kue buatan beliau

yang begitu manis terasa menyentuh lidah. Mami begitu sapaan

akrab beliau mulai menceritakan sebuah cerita pilu selama ia

masih kecil. Cerita beliau tak semanis kue buatannya yang

sedari tadi saya nikmati. Sambil mengingat-ngingat masa

kecilnya dan sejarah mereka keluar dari kampung leluhurnya.

“ mami dulu lahir dalam keadaan islam “ kata beliau. Saya

terkejut, saya pikir ibu Tini Lanapu adalah seorang penganut

agama kristiani. Jadi Dalam kisahnya ibu Tini Lanapu lahir di

perkampungan dongi tua, perkampungan yang dulunya adalah

tempat bermukim masyarakat adat to karunsi’e dongi yang

sekarang menjelma menjadi perumahan karyawan perusahaan pada

tanggal 06 juni 1965. Keluarga besar beliau adalah korban

pergelokan DITII yang harus mengungsi ke poso karena gejolak

pergelokan pada waktu itu. Kakek, nenek beserta saudara

mereka yang lain telah lebih dulu mengungsi, sementara orang

tua beliau tetap tinggal di perkampungan dongi tua. Mencoba

mempertahankan tanah leluhur mereka. untuk bisa bertahan hidup

dengan diantara tentara DITII pada waktu itu orang tua ibu

Tini Lanapu harus menganut agama islam. mereka terpaksa

mengikuti aturan tersebut jika ingin selamat, karena aturannya

semua masyarakat adat to karunsi’e dongi harus masuk islam

jika tidak mereka akan dibunuh.

Singkat cerita mendengar kabar kakek beliau sakit parah

di poso, ibu Tini Lanapu bersama keluarga memutuskan untuk

hijrah mengikuti jejak keluarga besar beliau yang lebih dulu

mengungsi ke poso. Sampai disana kehidupan pun ternyata tidak

mudah, dalam pengungsian mereka pun harus tetap berjaga jaga

dan tinggal di tempat dimana mereka tidak mudah ditemukan

tentara. Dengan membuat gula dari pohon labuk serta

mengandalkan hasil tanaman sayur dari kebun mereka bertahan

hidup. “ kalau subuh mami di rengek (gendong) sama mama, bapak

yang pikul gula sama sayur itu yang mau dijual ke pasar,

karena tempat tinggal kami jauh di tengah hutan “ kata beliau.

Dengan mengisahkan kepada Tini Lanapu kecil, “ kalian

harus mengerti keadaan sebenarnya, kenapa kita harus pergi

dari kampung. supaya kalian tahu asal usul kita”, kata kakek

beliau. akhirnya inilah yang menjadi alasan terbesar

masyarakat adat to karunsi’e dongi untuk kembali ke kampung

tanah leluhur mereka, termasuk keluarga ibu Tini Lanapu.

Ketika kakek beliau meninggal, mereka memutuskan untuk kembali

ke tanah leluhur mereka. tahun 1970an keluarga ibu Tini Lanapu

bermukim di bekas kebun mereka di daerah wasuponda. disana pun

lagi-lagi kehidupan tidak mudah untuk keluarga beliau di tanah

sendiri. Tini Lanapu kecil harus ikut bekerja membantu kedua

orang tua dan ketiga adiknya, beliau bekerja sebagai pengasuh

anak-anak tetangga maupun karyawan-karyawan perusahaan. Hingga

profesi ini dijalani beliau hingga sekarang. Umur 13 tahun Ibu

Tini lanapu menikah dengan pak husein wololi dan memutuskan

untuk kembali bermukim di tanah dongi beserta dengan beberapa

keluarga yang nekat bermukim dimana wilayah tersebut masuk

dalam wialyah konsesi perusahaan PT VALE.

Rusaknya kelestarian lingkungan yang telah dijaga secara

turun temurun oleh masyarakat adat setempat diporak porandakan

oleh perusahaan. Ini mengakibatkan hilangnya sumber kehidupan

masyarakat adat to karunsi’e dongi.

Kata bu elsya, salah seorang warga dongi sekitar tahun

2001. “ saya dengan keluarga yang pertama tinggal turun kesini hanya tidur

berpayung terpal, yang di ambil dari pembuangan sampah perusahaan, itupun

juga masih di tahan security, dikira papa jem (suami) mo ambil apa. Disuruh buka

itu terpal, diperiksa, padahal ini dari tempat pembuangan sampah. Kalau mau

diingat sakit sekali. Habis itu kami pergi mengambil lagi sisa-sisa kayu palet. Habis

itu kita susun sebagai alas kami tidur”. Airmata seakan mengalir dengan

sendirinya mendengar pernyataan dari seorang ibu rumah tangga

paruh baya ini. “apalagi, kami hidup dengan pake terpal dan beralaskan sisa

kayu pembuangan itu kurang lebih satu tahun “. saya tidak bisa

membayangkan bagaimana mereka menjalani hari-harinya dengan

begitu kerasnya. Mengingat perusahaan Nikel terbesar di

indonesia, dengan dana comunity development (comdev) yang

pasti cukup untuk mensejahterakan masyarakat sekitar tambang.

”pernah ada hari-hari dimana kalau musim hujan, karena kami Cuma pake terpal,

kami tidur di kamar mandi di bumper ini. Untungnya kamar mandi itu jarang di

pakai dan agak luang, jadi kami bersihkan lalu kami pakai untuk tidur” kata ibu

elsya,di ikuti oleh ibu mery.

Sampai pada akhirnya masyarakat sedikit-demi sedikit

membuat pondok-pondok kecil, dengan bermodal limbah kayu

perusahaan berupa kayu-kayu palet, mereka membangun rumah

seadanya, hampir semua bahannya mereka ambil dari tempat

pembuangan sampah perusahaan “malah kami biasa ditegur security jika ambil

kayu-kayu sisa itu. Kami biasa bilang sama bapak security perusahaan kalau ini kan

sudah dibuang pak, jadi kami ambil. Kami tidak mencuri, kami ambil karena kami

pikir ini sudah dibuang, sudah tidak dipakai lagi” kata sebagian dari

mereka. karena untuk bahan baku rumah, mereka tidak berani

menebang kayu di hutan, mereka sadar akan resiko yang akan

mereka tanggung nantinya. Jangankan untuk mengambil kayu,

lahan yang mereka tempati bermukim sekarang saja, mereka harus

mengurut dada dengan ketakutan yang luar biasa karena

pemerintah sering kali memperingatkan kepada mereka kalau “ini

tanahnya INCO, ini wilayah konsesinya perusahaan”. Betapa ketimpangan dan

ketidakadilan mewajah dalam kehidupan masyarakat to karunsi’e

dongi.

Bukan mudah membangun rumah yang mereka sebut pondok itu,

mereka bersatu dengan sisa-sisa keberanian yang ada, menduduki

wilayah adat mereka yang HAK nya bukan di tangan mereka lagi.

Kekerasan abstrac yang dilakukan oleh oknum-oknum yang terkait

konflik ini terasa sangat hebat dan tidak bertanggung jawab.

Apalagi pemerintah yang seakan menutup mata, tutup telinga.

“pernah kami di data, suruh tanda tangan sebuah kertas oleh orang dari kantor

desa, katanya waktu itu kami mau dibagikan sembako, pergilah kami kesana.

Sampai disana kami di suruh duduk berjejer di kursi panjang. Setelah itu di tanya

satu-satu, kami disuruh sebut nama, sama asal. Dan ternyata kami di kasi tahu

kalau kami mau digusur.lantas kami bilang, bapak jangan suka bohong-bohong

saja, katanya kami mau dikasi sembako ternyata mau digusur. Dimana hatinya

bapak.” Kata ibu elsya dan ibu nini

“Sudah sering kami dipanggil mau digusur dari sini, katanya kami ini sudah

penyerobotan lahan, kami bilang disini, kami tidak pernah lihat perusahaan bawa

tanahnya kesini baru mereka tempel disini, ini tanah orang tua kami” kata ibu

Tini Lanapu. Ancaman demi ancaman mereka dapatkan dari

petugas penegak hukum yang sejatinya adalah tempat mereka

berlindung. Dulunya, tambahnya lagi, “waktu pertama kami bikin pondok

disini selalu dijaga dari petugas. Kadang mereka datang sampai 2 mobil kesini.

Mengancam kalau kami tidak pergi dari sini kami mau ditembak, waktu itu

perasaan saya sangat sakit lihat petugas bilang seperti itu. Saya langsung liat anak-

anak, kami mau kemana kalau kami pergi dari sini. yang paling bikin sakit hati

kami disini, sampahnya orang soroako dibuang disekitar daerah kami disini

sedangkan kami harus pergi dari sini, jadi lebih berharga itu sampah disimpan

disini daripada kami yang cari hidup disini”. Dengan duka yang mendalam

yang tiap hari mereka rasakan, mereka tetap bertahan untuk

tinggal disini. “saat ini, bekas kampung dongi sudah dikuasai oleh

perusahaan, namun kami masih tetap berpegang teguh, bahwa tanah ini adalah

tanah peninggalan leluhur”. Kata ibu yuliana (65 thn), 2“Bagaimanapun

beratnya hidup disini, ini adalah rumah kami. Setiap lekuk gunung, setiap helai

rumput, setiap tetes air matano begitu dekat di hati kami. Tak ada tempat lain bisa

menggantikan tanah kami.”lanjutnya.

Perempuan adat tokarunsi’e dongi betul-betul mendapatkan

perlakuan yang tidak pantas bagi warga negara yang memegang

kartu identitas pribadi sebagai warga negara indonesia.

Menurut pengakuan warga, “sebenarnya kami hanya mau tinggal dengan

tenang, tidak ada lagi kita mau digusur kasian, dikasi air bersih sama listrik, itu

saja. Kembalikan tanah leluhur kami, biarkan kami cari hidup dengan tenang

disini.”

Intimidasi serta perlakuan diskriminasi oleh pemerintah

beserta dengan selingkuhannya membuat Masyarakat adat

tokarunsi’e dongi jauh dari yang namanya kehidupan yang layak

dimana sejatinya SILA ke 5 PANCASILA sebagai asas negara

terbentuk memberikan jaminan untuk “KEADILAN BAGI SELURUH

RAKYAT INDONESIA”.

UBI REBUS PENYAMBUNG HIDUP

2 Pernyataan Ibu yuliana sewaktu aksi mogok makan di depan kantor PT VALE makassar, 2004

PEREMPUAN adat to karunsi’e dongi mempunyai posisi atau

peranan penting. Mereka adalah tonggak kesejahteraan hidup

baik dalam keluarga maupun masyarakatnya, dalam kehidupan

sehari-hari perempuan yang paling merasakan kerasnya dinamika

kehidupan di wilayah adat mereka, bentuk-bentuk diskriminasi

sangat dirasakan oleh mereka, misalnya untuk pemenuhan

kebutuhan air bersih “kami disini masing-masing sambung pipa dari kran air

yang ada di BUMPER depan ini, itu juga kalau kran nya tidak di kunci atau di tutup.

Kalau di kunci lagi, air tidak jalan. terpaksa kami harus ambil air di sungai kecil di

bawah itu.( sambil menunjukkan tempat sungai yang mereka maksud yang berjarak

kira-kira 600mtr dari tempat mereka). Berapa kali sudah kita di tegur, tapi mau

diapa, kita butuh air, pemerintah tidak mau tahu dengan keadaannya kami disini,

karena memang mereka sudah anggap kami disini bukan warganya, kecuali kalau

ada pemilihan caleg-caleg lagi baru dorang rame-rame lihat kami disini karena

butuh suara, seperti KTP nya kami disini hanya untuk pemungutan suara saja.”

Tutur mereka.

Dengan berbekal kemauan keras untuk sesuap nasi buat

keluarga. Mereka bekerja serabutan, kadang mereka memenuhi

panggilan karyawan-karyawan perusahaan atau penduduk sorowako

sebagai pembantu rumah tangga atau bagian bersih-bersih

halaman rumah. Pernah sekali ketika kami dari AMAN Tana Luwu,

bersama masyarakat lagi berkumpul di terisoa, terisoa adalah

balai pertemuan bagi masyarakat adat tokarunsi’e dongi,

seorang ibu paruh baya mendatangi kami, ibu itu langsung

mengeluarkan sebuah kertas lengkap dengan sebuah bollpoint dan

diserahkan ke masyarakat, seakan pun juga masyarakat sudah

tahu maksud dari ibu itu. Terbersit tanya, apa yang masyarakat

mau lakukan dengan ibu itu. Akhirnya ibu Nini yang

kesehariannya adalah pedagang kue bersama dengan yang lain

beritahu kami “ini dorang mo kerja sawahnya itu ibu, kami di gaji 60rb rupiah

per hari, lumayan”. Apakah sudah tidak ada lahan yang bisa mereka

kelola sendiri, apakah sudah tidak ada kebijakan untuk mereka

untuk bisa hidup di tanah mereka sendiri. “ini juga yang lucu, kami

jadi pekerja sawah di sawahnya orang, padahal dulu itu sawah kami” lanjut

mereka lagi.

Sungguh mereka yang paling merasakan dampak karena

kemerosotan ekonomi keluarga akibat aktifitas eksplorasi

pertambangan oleh perusahaan. Betapa pilu nasib mereka yang

harus berjuang untuk hidup. Memperjuangkan sebuah kedaulatan

atas ruang hidup yang lebih baik. Memperjuangkan kesejahteraan

hidup yang merupakan mimpi besar masyarakat adat karunsi’e

dongi. Kata ibu tini lanapu “ orang dongi dulu makan ubi rebus sampai

sekarang kita masih makan ubi rebus, jadi ada perusahaan disini tidak ada

gunanya, pemerintah juga tidak liat kita”.

Keberadaan perusahaan di tanah mereka merupakan bentuk

pengambilalihan secara sepihak sumber kehidupan masyarakat

adat to karunsi’e dongi dimana tanah leluhur mereka dikuasai

tanpa melibatkan masyarakat apalagi jika kita berbicara ganti

rugi atau kompensasi dalam bentuk apapun. Jangankan kompensasi

atau apapun sebutannya, semua program-program yang dicanangkan

oleh pemerintah entah itu pemberdayaan masyarakat sampai pada

bantuan-bantuan misalnya beras raskin, tidak pernah sampai ke

tangan masyarakat di karunsi’e dongi padahal menurut penuturan

masyarakat karunsi’e dongi mereka terdaftar sebagai bagian

dari Desa Magani. Mengenai program beras raskin yang tidak

pernah sampai ke masyarakat karunsi’e dongi, pernah sekali

waktu masyarakat sempat mempertanyakan hal tersebut. Kata ibu

tini lanapu “kami pernah tanya ke kantor desa waktu itu, apakah kami terdata

dapat beras raskin, sampai disana katanya tidak ada. Pernah lagi kami di data

ulang dapat jatah beras raskin, di janji katanya bulan 7 kemarin tahun 2013 kami

sudah bisa dapat ternyata waktu kami pergi cek lagi, katanya orang di kantor desa

itu, jatahnya kami lari ke wasuponda “. Ketika klarifiksi terjadi ada

pernyataan yang dikeluarkan oleh kepala desa magani yang

menjabat waktu itu di kutip oleh masyarakat, “ kita di desa magani

ini orang ada (orang berkecukupan), tidak ada yang miskin, kalau ada yang mau

terima raskin, tulis saja di pintu rumahnya besar-besar KAMI MAU TERIMA RASKIN”.

Hal-hal seperti ini sudah termasuk pelecehan bagi masyarakat

to Karunsi’e dongi bagi saya pribadi. Seakan menjelaskan kalau

strata sosial sengaja diberikan jurang pemisah, ketimpangan-

ketimpangan seperti ini dibiarkan terjadi, di kabupaten Luwu

timur yang dimana penghasilan asli daerahnya begitu besar.

Kondisi seperti ini mengakibatkan masyarakat adat to

karunsi’e sangat sulit mencari nafkah dalam memenuhi kebutuhan

sehari-hari. Mereka yang dulunya bisa memanfaatkan hasil dari

usaha berkebun, bersawah sudah tidak bisa lagi untuk menopang

kebutuhan hidup keluarga, “sawah sudah tertimbun semua, kita mau

berkebun tidak ada lahan yang bisa kita tanami, pokoknya semua ini menurut

pemerintah kalau ini tanah yang sudah di beli perusahaan” kata sebagian dari

mereka. Jawaban kami, kalau ini tanah sudah dibeli perusahaan, siapa yang jual,

siapa yang terima uangnya, mana hitam diatas putihnya, karena kami disini sampai

saat ini tidak pernah terima uangnya “. Hal inilah yang menyebabkan

masyarakat to karunsi’e dongi harus bekerja serabutan untuk

memenuhi kebutuhan keluarga. Rata mereka dapatkan dari bekerja

sebagai pemulung,

Untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka sehari-hari,

perempuan adat to karunsi’e dongi menanam Ubi dan Pisang, dan

segala macam sayur-sayuran seperti kangkung, labu, tomat dll di

halaman kecil mereka. tanaman ini sebagai penyambung nafas bagi

mereka.” Jika tidak ada beras, kami bisa makan ubi atau pisang, kami rebus baru

kami makan, untuk sayuran itu kami biasa petik lalu kami jual di pasar” . kondisi

ini kadang tidak berjalan sesuai harapan, HUJAN ASAM/ HUJAN

BUATAN perusahaan untuk kebutuhan aktifitas tambang, merusak

tanaman mereka. hujan ini membuat tanaman mati hingga ke akar.

Jika kondisinya sudah seperti ini, mereka harus berupaya

bekerja siang malam untuk mendapatkan beras hari itu.

Alternatif lain yang mereka bisa kerjakan adalah mengumpulkan

kaleng-kaleng atau besi bekas untuk dijual ke pengepul. Dengan

upah yang tidak seberapa, mereka bersuka cita hidup dalam

keadaan seperti ini. “ kami biasa mulung, kami kumpul itu kaleng-kaleng

bekas atau besi-besi seperti paku-paku bekas, mur atau baut-baut, biasa kami ambil

di pantai pinggir danau itu, atau di belakang tamannya INCO (yg sekarang berubah

nama menjadi PT VALE) banyak sisa palstik-plastik bekas, kami kumpul lalu kami

pergi jual. Biasa kaleng minuman itu kalau di jual satu kilo bisa dapat 3 ribu rupiah,

ditambah dengan besi-besi tua bisa sampe kami dapat paling tinggi itu 5 kilo satu

hari jadi kami bisa dapat 15rb satu hari, bisa juga tidak sampai segitu. Lumayan

penyambung nafas 2 hari.” Tutur mereka. kondisi inipun juga yang

mengakibatkan mereka selalu mendapat cibiran miring dari

masyarakat yang sebagian pendatang yang ada di soroako. Cibiran

tersebut misalnya seperti, kampung mereka disebut kampung

pemulung. Bisa dibayangkan untuk sesuap nasi saja mereka harus

membanting tulang sangat keras apalagi untuk kebutuhan-

kebutuhan lain seperti kesehatan atau pendidikan anak-anak

mereka.

oleh karena itupun juga pemenuhan kehilangan mata

pencaharian dan keadaan masyarakat Karonsie Dongi dimana anak-

anak tidak mudah untuk bersekolah dengan mudah karena

masyarakat tidak mampu membayar biaya sekolah yang tinggi. kata

ibu nini “kami disini dibilang warga liar, contohnya biasa kalau kita ada yang

sakit mau urus kita punya anak di rumah sakit atau anak-anak mau masuk sekolah,

urusnya bertele-tele karena kalau sudah diliat kita punya KTP lalu alamatnya

dibawah situ BUMPER, berkasnya kami biasa di buang di tempat sampah”.

SECUIL HARAPAN DARI PUTUSAN MK

Titik terang dalam perjuangan Masyarakat adat se nusantara

adalah titik balik dimana untuk pertama kalinya mereka mendapat

pengakuan walaupun secara tidak langsung dari Mahkamah

Konstitusi atas pengelolaan hutan. Atas gugatan tentang UU 41

kehutanan yang dilayangkan oleh lembaga Aliansi Masyarakat Adat

Nusantara (AMAN), bersama dengan kesatuan masyarakat hukum adat

kenegerian kuntu, serta Kesatuan Masyarakat hukum Adat

Kasepuhan Cisitu dimana point penting dari isi gugatan tersebut

dimana hutan adat yang tadinya adalah hutan negara. Kini

menjadi hutan adat masuk dalam wilayah hutan HAK yang artinya

hutan tersebut diberikan kewenangan bagi masyarakat adat yang

tinggal dalam wilayah adat dimana hutan adat berada. Hingga

pada akhirnya Putusan Mahkamah konstitusi No.35/PUU-X/2012

harusnya menjadi titik terang perjuangan masyrakat adat se

nusantara dalam memperjuangakan kedaulatan atas ruang hidup

mereka. inipun juga yang membuat masyarakat adat to karunsi’e

dongi bersuka cita mendengar putusan ini. Walaupun dalam

kenyataannya, pemerintah senantiasa mengabaikan putusan

tersebut, pemerintah dengan seringnya pun mengabaikan putusan

MK tersebut dengan menyatakan bahwa putusan tersebut harus

berupa turunan aturan yang nantinya dikeluarkan oleh pemerintah

daerah setempat baru bisa dilaksanakan. Hingga pada hari ini,

putusan tersebut seakan mati suri. Tidak berimplikasi apa-apa

dan tidak berlaku di wilayah masyarakat adat to karunsi’e dongi

sebagai wilayah yang asumsinya adalah kewenangan perusahaan

mengelola. Satu-satunya dampak yang bisa terlihat hingga saat

ini adalah timbul keyakinan dan semangat bagi mereka dalam

mempertahankan wilayah adat mereka saat ini. Mulailah beberapa

orang dari masyarakat berani membuka lahan untuk bertani dengan

lahan seadanya di daerah-daerah yang memenag dulunya

diperuntukkan untuk lahan bertani mereka, bersama menyusun

Masterplan atau perencanaan kampung hingga membangun kesadaran

kolektif hingga di tingkatan generasi-generasi muda mereka,

dimana pentingnya peningkatan sumber daya manusia yang

berkualitas, kurangnya harapan akan iming-iming menjadi

pekerja-pekerja kontrak menjadi karyawan di perusahaan dengan

keyakinan besar jika apa yang mereka bisa usahakan dengan

mengolah sumber daya alam yang ada di wilayah mereka akan

berdampak besar bagi kesejahteraan hidup mereka yang berbasis

kearifan-kearifan lokal. Sampai kepada kembalinya identitas

mereka yang sempat tercerabut oleh struktur sosial yang telah

sengaja dihancurkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung

jawab dan tidak berprikemanusiaan. Yang dimana mereka merasa

diabaikan sebagai penduduk pribumi tertua di kawasan timur,

MASYARAKAT ADAT TO KARUNSI’E DONGI.

PENUTUP

“ KEADILAN BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA” adalah semboyan

dari negara sebagai bentuk penjaminan pemenuhan HAK bagi setiap

warga negaranya tanpa terkecuali. Begitupun juga terkhusus

kepada Masyarakat Adat yang mempunyai hirarki kepemilikan ruang

hidup sebelum negara terbentuk.

Dalam prosesnya, negara seakan mengabaikan semua itu,

dimana yang paling merasakan dampak dari semua kekerasaan

abstrak yang sangat terstuktur dan sistematis bagi penghancuran

identitas masyarakat adat adalah ke perempuan adat.

Perlakuan-perlakuan diskriminasi, intimidasi dimana

pemerintah seakan mendiskreditkan masyrakat adat to karunsi’e

dongi dalam mempertahankan penghasilan daerah yang besar dari

kegiatan ekploitasi tambang menuai resisten dari masyarakat

adat tersebut dalam mempertahankan “ KEDAULATAN ATAS TANAH

LELUHUR “ mereka.

Salah satu cara terampuh menghancurkan suatu peradaban adalah

dengan menghancurkan Lumbung Pangannya. ( ik )

Wassalam...!!

Salam Adat, Salam Pembebasan dari Tana Luwu.