Masyarakat adat to karunsi'e dongi
-
Upload
independent -
Category
Documents
-
view
3 -
download
0
Transcript of Masyarakat adat to karunsi'e dongi
Konflik Agraria Komunitas Adat Karunsi’e dengan PT. Vale
Indonesia Tbk
Kabupaten Luwu Timur Propinsi Sulawesi Selatan
“Wajah Perempuan Adat To Karunsi’e Dongi”
Peneliti :
Dewi Sartika Syahrul
Pendahuluan
“Bagaimanapun beratnya hidup disini, ini adalah rumah kami. Setiap
lekuk gunung, setiap helai rumput, setiap tetes air matano begitu dekat di hati
kami. Tak ada tempat lain bisa menggantikan tanah kami (YULIANA 65th).”
“ ini adalah tanah kami, kami lahir disini, kami akan mati disini
(WERIMA MANANTA MASI, 63th).
Kutipan- kutipan pernyataan diatas adalah pernyataan yang
keluar dari mulut perempuan –perempuan adat yang hidup di
perkampungan komunitas adat to karunsi’e dongi. pernyataan ini
seakan mewakili suara hati perempuan-perempuan adat di
komunitas tersebut. jeritan suara hati yang sangat menegaskan
betapa keras kehidupan yang dirasakan perempuan adat dongi
sebagai dampak konflik dengan perusahaan nikel terbesar di
indonesia yang terjadi di wilayah adat mereka.
Suku to karunsi’e adalah suku tertua yang mendiami
wilayah luwu timur sejak ratusan tahun lalu, Masyarakat Adat
karunsi’e Kampung dongi adalah salah satu dari sekian
komunitas adat yang berada di wilayah Tana Luwu yang hidup
dengan bayang-bayang konflik sejak masuknya mereka kembali
kedalam wilayah adat mereka karena terusir dari wilayah
adatnya akibat pergolakan D.I.T.I.I yang terjadi pada tahun
1953 Sampai mereka masuk kembali menduduki wilayah adat mereka
dimana wilayah adat mereka masuk dalam wilayah konsesi
perusahaan nikel terbesar di indonesia, PT INCO yang sekarang
berubah nama menjadi PT.VALE. dalam prosesnya, masyarakat adat
karunsi’e kampung dongi mendapat banyak perlakuan diskriminasi
dari berbagai aspek yang terjadi, mulai dari reclaim
pemerintah yang menyatakan mereka adalah penduduk liar/illegal
dengan mencoba mengusir mereka dari wilayah adat yang mereka
diami sekarang ini, pengrusakan situs-situs peninggalan
sejarah peninggalan nenek moyang dimana ini berdampak
terjadinya krisis identitas adat budaya mereka karena
aktifitas tambang di wilayah tersebut, sampai kepada rusaknya
ekosistem dan ekologi yang ada di wilayah adat mereka yang
berdampak pada jauhnya mereka dari kesejahteraan ekonomi,
dimana dampak terbesar dirasakan oleh “Perempuan Adat to Karunsi’e
Dongi”.
Perempuan adalah Ibu Manusia. Dari rahim perempuan –lah lahir manusia
laki-laki dan perempuan. betapa peran dan posisi perempuan dalam
perkembangan sebuah peradaban manusia di muka bumi ini begitu penting.
( Ikha Kanna )
Perempuan Adat To Karunsi’e Dongi.
5 juli 2013, kami menempuh perjalanan ke suatu tempat di
bagian timur Tana Luwu. Perjalanan kali itu dalam rangka
memenuhi agenda kegiatan kerja-kerja advokasi di suatu
kampung. Pada saat itu kami ingin mempersiapkan suatu
perencanaan kampung melalui suatu pertemuan bersama dengan
masyarakat di kampung tersebut. Dongi, adalah nama kampung
itu. Orang-orang mengenal kampung ini sebagai masyarakat adat
dari suku To Karonsi’e. Ini adalah perjalanan pertama saya
mengunjungi daerah yang paling timur dari kota Palopo. Dari
kota Palopo perjalanan ke kampung Dongi menghabiskan 4 jam
perjalanan dengan jarak tempuh kurang lebih 100km . Kampung
Dongi adalah suatu kampung tua.
Dalam perjalanan, sekilas terbersit di ingatan akan
cerita tante, bagaimana om yuli, suami dari adik ibuku,
berpenghasilan bersih sekitar 5 jt perbulan, upah yang
dibayarkan perusahaan PT INCO, tambang nikel terbesar di
indonesia kepada karyawan yang dikategorikan karyawan biasa
atau tenaga kontrak. Om yuli bercerita banyak tentang upah
yang dia rasa melebihi dari cukup untuk menunjang kehidupan
keluarganya. Dan bagaimana kondisi sosial masyarakat sorowako
yang penduduknya kebanyakan bukan penduduk asli yang ada
disana. mereka kebanyakan adalah pendatang yang mencari nafkah
dengan kerja di tambang. “ disana itu kita di gaji 5jt per bulan bersih,
itu tidak termasuk tunjangan nak, belum lagi bonus-bonus yang biasa kita
dapat kalau mau tahun baru, pokoknya alhamdulillah untuk kasi sekolah
adek-adek mu.“ tante enhi yang merupakan istri dari om yuli,
adik dari ibuku menimpali “ kalau untuk bisnis di sorowako bagus nak,
soalnya orang sorowako itu rata-rata banyak uangnya.” pernyataan ini
seolah menegaskan jika kesejahteraan ekonomi masyarakat
sorowako, kab. Luwu timur sangat baik. Dalam perjalanan
panjang kurang lebih 4 jam dari kota tempat tinggalku, seolah
pernyataan-pernyataan dari om yuli berbanding terbalik dengan
kondisi masyarakat adat karunsi’e kampung dongi. Menurut
cerita teman-teman di AMAN Tana Luwu yang merupakan salah satu
lembaga yang mendampingi masyarakat adat to karunsi’e dongi, “
disana itu rumahnya orang di bangun dari limbah kayu perusahaan, belum
lagi kalau kita mau mandi, pintu kamar mandinya pake terpal “. Dari
pernyataan ini saya sudah bisa membayangkan bagaimana
kehidupan yang sangat jauh dari yang namanya kehidupan yang
layak bagi masyarakat karunsi’e dongi. “disana itu mereka tidak
berani membangun kamar mandi atau WC, karena orang dongi bilang jangan
sampai kami buat, besok bisa-bisa dibongkar petugas “. kata teman lain
menimpali. Ini sangat intimidatif dimana penegak hukum yang
harusnya bisa melindungi dan mengayomi masyarakat siapapun
itu. Dalam hati saya berkata, jika ada kasus penggusuran di
wilayah tana luwu, maka menurut cermat saya ini adalah kasus
pertama sepanjang sejarah di tana luwu, saya tidak bisa
membayangkan bagaimana perlakuan-perlakuan seperti ini bisa
terjadi di wilayah yang bisa dibilang masih tidak padat
penduduk seperti gambaran-gambaran kota besar di indonesia
dimana lahan untuk bermukim sudah sangat sempit karena
bangunan-bangunan tinggi dibangun berdasar tuntutan laju
perkembangan kehidupan modern.
Sepanjang jalan memasuki kawasan luwu timur, saya
disuguhkan pemandangan dengan gunung tinggi bak menyentuh
langit dengan keindahan sungai karebbe’ yang menyejukkan mata.
Dipinggiran sungai tersebut saya melihat ujung jalan raya yang
seperti tenggelam. Menurut cerita masyarakat setempat, jalan
raya itu dulunya adalah jalan poros luwu timur, hanya saja
sungai karebbe sengaja dibendung untuk bangunan pembangkit
listrik tenaga air kebutuhan perusahaan hingga jalan tersebut
tenggelam. Kemudian berkata supir mobil angkutan umum yang
membawa kami “ daerah luwu timur ini dulunya dingin sekali, sekarang sudah
tidak dingin lagi, karena pohon-pohon ditebang di ganti dengan kelapa sawit ”.
Waktu menunjukkan pukul 17.30 petang, moment dimana untuk
pertama kalinya saya menginjakkan kaki di wilayah adat to
karunsi’e dongi. Wilayah adat menurut bayangan saya adalah
wilayah dimana pohon-pohon besar menjulang tinggi, pemukiman
mereka terisolasi dari dunia luar, rumah-rumah khas yang
mencerminkan karakter atau identitas masyarakat adat tersebut
dengan sejumlah aturan aturan atau ritual adat tertentu
sebelum memasuki wilayah adat sangat berbanding terbalik
dengan apa yang saya lihat waktu itu. Saya langsung di suguhi
lapangan golf, ada tempat perkemahan yang disebut BUMI
PERKEMAHAN, dan rumah-rumah penduduk yang jauh dari kata
sederhana
membuat saya
harus
membelalakkan
mata, rumah yang
seperti dibangun
dengan seadanya.
baru kemudian
rombongan kami
disambut di sebuah rumah yang jauh dari kata LAYAK HUNI, hanya
berjarak kurang lebih 100m dari lapangan golf yang dibangun
perusahaan.
Kata kak mery seorang perempuan adat dongi ”itu lapangan golf
dibangun untuk manjakan karyawan-karyawannya INCO. Sebentar kalau dorang
main golf, bolanya biasa kena atap rumahnya oma, karena rumahnya oma paling
dekat dari lapangan”. rumah ini jauh dari kehidupan yang layak.
Rumah sederhana ini adalah rumah seorang ibu bernama Werima
Masi Mananta. Beliau adalah ketua adat Masyarakat adat
tokarunsi’e dongi dengan gelar Sambung Karu.
Dalam sejarahnya, Adalah
almarhumah oma “Werima Masi
Mananta” Lahir di dongi, 25
Juli 1946. adalah sosok
perempuan yang menurut
masyarakat karunsi’e dongi
adalah seorang yang berjuang hingga tetes darah penghabisan,
dengan sisa hidupnya memperjuangkan kedaulatan hak atas tanah
bagi masyarakat adat karunsi’e dongi. Beliau adalah pemimpin
kampong dongi dengan julukan sambung karu’. Dipilih secara
demokrasi dengan prosesi musyawarah adat dengan menghadirkan
seluruh lapisan masyarakat adat karunsi’e dongi.
Berceriteralah beliau waktu itu, “Dalam perjalanan melawan
ketidakadilan yang kami rasakan selama ini masyarakat adat disini selalu berjuang
bersama, tidak ada pengecualian perempuan atau laki-laki dengan rasa senasib
sepenanggungan yang kami rasakan juga perempuan adat dengan sukarela tanpa
paksaan, walaupun sekali lagi ditegaskan bahwa perempuan adat dongi tidak
pernah melupakan keluarga” kata oma werima waktu itu, begitulah
sapaan akrab masyarakat dongi kepada beliau“ ini adalah tanah kami,
kami lahir disini, kami akan mati disini”. Pernyataan ini mewakili
bentuk perlawanan masyarakat adat tokarunsi’e dongi melawan
bentuk ketidakadilan yang mereka rasakan selama ini berkonflik
entah itu dengan perusahaan maupun pemerintah daerah setempat
yang berpihak pada perusahaan. Sayangnya oma werima
menghembuskan nafas terakhirnya tanggal 19 juli 2013. Luka
mendalam masyarakat adat to karunsi’e dongi mengiringi
kepergian beliau. oma dimakamkan di pekuburan tua dongi yang
berada tepat di tengah rumah karyawan perusahaan dekat dengan
kantor eksternal PT VALE.
Konon leluhur orang dongi adalah PEREMPUAN, jadi jangan
heran kalau perempuan disini berani, semua pejuang kata om
yunus ambeta yang akrab disapa Gulit. 1Menurut sejarah, suku to
karunsi’e sudah ada sejak ratusan tahun lalu, tersebutlah
1 Abdul Rahman Nur, Data AMAN Tana Luwu.
Masyarakat adat To Karunsi’e berasal dari Witamorini, Lembomobo,
Lahupada di sekitar pegunungan wela-wela sebelah Barat kampung
Dongi yang sekarang ini, disana hiduplah seorang putri bernama
We Salindra yang menurut legenda oleh masyarakat To Karunsie
bahwa Wesalindra hidup seorang diri, pada suatu pagi
Wesalindra terbangun dari tidurnya dia berjalan berkeliling di
sekitar kediamannya tanpa sengaja We salindra menemukan
tanaman yang sejenis biji-bijian yang kemudian di beri nama
Pae (Padi), keanehan pun terjadi pada tanaman Pae (padi)
tersebut setiap pagi We salindra melihat tanaman itu, tanaman
tersebut bertambah satu macam lagi, hal itu berlangsung selama
tujuh hari, maka muncullah tujuh macam jenis dari tanaman Pae
(padi) itu yang masing-masing we salindra memberi nama yang
antara lain ; Pae Mea, sebagai Inempae (induk padi), Pae
Nggaeloe (berbentuk panjang terjuntal kebawah), Pae Bengki,
Pae Undo, Pae Banawa, Pae Tabarako, Pae Sende. Dari situlah We
Salindra bertahan hidup, kemudian We salindra membuat Si’e
(Lumbung) yang terbuat dari batang – batang Pae (padi), dari
situlah awal mulanya Si’e atau lumbung berdiri di Wita Morini,
hingga kini menurut penuturan komunitas Karunsi’e terkadang
orang-orang ada yang menemukan si’e di Wita morini tapi pada
saat-saat tertentu saja. Inilah asal usul identitas kami to
karunsi’e, kata masyarakat sambil berusaha mengingat
identitas sejarah asal usul mereka sebagai masyarakat adat.
Tetapi, lanjut mereka (masyarakat yang bercerita waktu itu)
”sekarang kami bukan lumbung padi lagi, ini kami sekarang hampir mati di
lumbung padi kami sendiri. Ini karena kami seperti menumpang hidup dari tanah
kami sendiri. Tanah kami sudah jadi tanah nya perusahaan “.
Masyarakat adat karunsi’e dongi pernah meninggalkan
kampung halaman mereka karena pergolakan DITII, pergolakan
DITII meninggalkan trauma besar bagi masyarakat adat dongi.
Pergolakan ini menyebabkan masyarakat adat to karunsi’e dongi
harus mengungsi keluar dari wilayah adat. Masyarakat adat to
karunsi’e dongi mengungsi ke tengah hutan dan kebanyakan
masyarakat adat to karunsi’e dongi mengungsi ke sulawesi
tengah. “dulu yang paling rasa itu perempuan, perempuan dulu itu kalau ada
yang hamil di pukul 100 kali, katanya itu hukum menurut islam, ini saya biasa lihat
dengan mata kepala saya sendiri. Padahal biasanya yang menghamili juga itu
perbuatan mereka sendiri (DITII), mereka sendiri juga yang menghukum”. Kata om
yunus ambeta yang akrab disapa om gulit. “ kalau ada yang melawan
apa itu suami atau laki-laki. Langsung digerek (disembelih/potong leher) jadi
dorang tidak bisa macam-macam”. Lanjutnya lagi.
Tersebutlah kisah ibu nursiah atau yang akrab di panggil
tante Nur. Perempuan paruh baya ini mengalami kisah pilu waktu
pergolakan terjadi, beliau tidak pernah tahu bagaiaman roman
wajah ibu kandungnya. Sewaktu beliau dilahirkan, ibu kandung
beliau di kejar oleh tentara DITII sampai pada akhirnya beliau
melahirkan Nur kecil. Dengan bantuan dari beberapa kerabat
akhirnya tante Nur sempat diselamatkan dan di simpan dibawah
pohon DENGEN (sejenis buah yang hanya didapatkan di sekitar
kampung dongi), sampai pada akhirnya dipungut dan dipelihara
oleh seorang bapak yang kebetulan lewat di pohon dengen tempat
ibu Nur kecil berada lalu memelihara beliau.
Peristiwa-peristiwa kelam seperti ini yang menjadi trauma
besar bagi masyarakat adat to karunsi’e dongi, betapa trauma
masa lalu yang dialami oleh masyarakat adat karunsi’e dongi
khususnya perempuan adat begitu kelam hingga ini menjadi
alasan kuat masyarakat harus mengungsi meninggalkan kampung
tanah leluhur mereka.
KEDAULATAN ATAS TANAH LELUHUR
Sebuah fakta tentang adanya masyarakat adat di Indonesia
diakui dalam UUD 1945 pasal 18b ayat (2) “Negara Mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik indonesia, yang diatur dalam
undang-undang”. Walaupun negara secara konstitusional telah
mengakui dan mau menghormati eksistensi masyarakat adat tapi
dalam kenyataannya sekali lagi negara mengabaikan masyarakat
yang mendeklarasikan dirinya sebagai dasar terbentuknya sebuah
Negara, khususnya PEREMPUAN.
Peran perempuan adat dalam perjuangan masyarakat adat
dongi sangat besar, mereka sadar betul kalau perjuangan ini
adalah perjuangan bersama demi mengembalikan HAK atas ruang
hidup mereka, mengembalikan budaya serta adat istiadat yang
hancur bersama struktur sosial mereka yang merupakan identitas
mereka sebagai masyarakat adat. Kesadaran mereka yang
termotivasi dari bentuk intimidasi, diskriminasi yang mereka
rasakan selama ini dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam perjuangannya, perempuan adat to karunsi’e dongi
terlibat secara aktif, mereka berkontribusi besar dalam setiap
langkah-langkah yang mereka upayakan dalam merebut kembali
kedaulatan atas ruang hidup mereka, bisa dilihat Misalnya
dalam kegiatan-kegiatan yang difasilitasi oleh lembaga-lembaga
ornop yang menaruh perhatian kepada masyarakat adat to
karunsi’e dongi, perempuan dan laki-laki secara bersama
menyiapkan logistic kemudian setelah itu mereka ikut kembali
berdiskusi. Situasi seperti ini adalah situasi dimana
demokrasi akan peran perempuan sudah menjadi bagian dari
kesadaran kolektif bagi masyarakat adat to karunsi’e kampong
dongi.
Mengutip tuturan sebagian dari perempuan adat to
karunsi’e dongi ,“ memang kami harus di depan kalau ada apa-apa, seperti
kalau kami aksi, kami di depan, karena kalau laki-laki yang di depan gampang kami
di bubarkan, kalau bapak-bapak yang di depan gampang di tendang pantatnya”.
Kata “ ditendang pantatnya “ seakan menegaskan bahwa kaum perempuan
sadar betul dalam perjuangannya, jika ada aksi dan kaum laki-
laki yang di depan rentan dengan kekerasan fisik nantinya. Ini
mereka lakukan dengan kesadaran sukarela tanpa paksaan.
Perubahan yang sangat dirasakan bagi perempuan adat
dongi adalah kebingungan yang luar biasa melihat tanah
leluhur serta lahan sumber kehidupan mereka sudah tidak ada
lagi, lahan yang tadinya mereka garap sebagai ladang bertani
sudah habis dieksploitasi oleh aktifitas tambang, bekas tempat
pemukiman mereka dahulu sekarang sudah berdiri sebuah kantor
dan sebuah lapangan golf.
Hingga ketika mereka nekat masuk kembali bermukim di
kampung halaman masyarakat adat to karunsi’e dianggap warga
liar atau ilegal. Ditanah leluhur mereka sendiri sudah berdiri
lapangan golf, bumi perkemahan serta bangunan lain milik
perusahaan. Lahan mereka tidak se sejuk dulu yang mereka
ingat, tidak se asri dan setenang dulu seperti yang mereka
ingat. Hingga pada akhirnya mereka menerima keadaan dimana
sawah dan perkebunan-perkebunan mereka dulunya telah habis
karena kegiatan eksplorasi tambang. mau atau tidak, suka
ataupun tidak mereka harus tinggal di wilayah adat mereka,
“mau kemana lagi kita selain pulang kesini, hanya ini satu-satunya tempat kami”
kata ibu Tini Lanapu dan beberapa perempuan lain.
Dalam sebuah diskusi kampung sempat difasilitasi oleh
AMAN Tana Luwu yang sampai saat ini menjadi pendamping
masyarakat adat to karunsi’e dongi. saya tertarik dengan sosok
perempuan yang keliatan sangat antusias mendengarkan diskusi.
Ibu ini tidak pernah absen menghadiri setiap rembuk kampung
yang di lakukan oleh masyarakat to karunsi’e dongi, walaupun
sesekali beliau terlihat pergi entah kemana untuk beberapa
saat, tetapi beliau akan kembali lagi mengikuti diskusi. Ibu
Tini Lanapu adalah perempuan adat to karunsi’e dongi, beliau
yang sering kali ada disamping dan mendampingi oma werima
mananta dalam memperjuangkan kedaulatan atas tanah leluhur
orang dongi. Ditemani secangkir kopi dan kue buatan beliau
yang begitu manis terasa menyentuh lidah. Mami begitu sapaan
akrab beliau mulai menceritakan sebuah cerita pilu selama ia
masih kecil. Cerita beliau tak semanis kue buatannya yang
sedari tadi saya nikmati. Sambil mengingat-ngingat masa
kecilnya dan sejarah mereka keluar dari kampung leluhurnya.
“ mami dulu lahir dalam keadaan islam “ kata beliau. Saya
terkejut, saya pikir ibu Tini Lanapu adalah seorang penganut
agama kristiani. Jadi Dalam kisahnya ibu Tini Lanapu lahir di
perkampungan dongi tua, perkampungan yang dulunya adalah
tempat bermukim masyarakat adat to karunsi’e dongi yang
sekarang menjelma menjadi perumahan karyawan perusahaan pada
tanggal 06 juni 1965. Keluarga besar beliau adalah korban
pergelokan DITII yang harus mengungsi ke poso karena gejolak
pergelokan pada waktu itu. Kakek, nenek beserta saudara
mereka yang lain telah lebih dulu mengungsi, sementara orang
tua beliau tetap tinggal di perkampungan dongi tua. Mencoba
mempertahankan tanah leluhur mereka. untuk bisa bertahan hidup
dengan diantara tentara DITII pada waktu itu orang tua ibu
Tini Lanapu harus menganut agama islam. mereka terpaksa
mengikuti aturan tersebut jika ingin selamat, karena aturannya
semua masyarakat adat to karunsi’e dongi harus masuk islam
jika tidak mereka akan dibunuh.
Singkat cerita mendengar kabar kakek beliau sakit parah
di poso, ibu Tini Lanapu bersama keluarga memutuskan untuk
hijrah mengikuti jejak keluarga besar beliau yang lebih dulu
mengungsi ke poso. Sampai disana kehidupan pun ternyata tidak
mudah, dalam pengungsian mereka pun harus tetap berjaga jaga
dan tinggal di tempat dimana mereka tidak mudah ditemukan
tentara. Dengan membuat gula dari pohon labuk serta
mengandalkan hasil tanaman sayur dari kebun mereka bertahan
hidup. “ kalau subuh mami di rengek (gendong) sama mama, bapak
yang pikul gula sama sayur itu yang mau dijual ke pasar,
karena tempat tinggal kami jauh di tengah hutan “ kata beliau.
Dengan mengisahkan kepada Tini Lanapu kecil, “ kalian
harus mengerti keadaan sebenarnya, kenapa kita harus pergi
dari kampung. supaya kalian tahu asal usul kita”, kata kakek
beliau. akhirnya inilah yang menjadi alasan terbesar
masyarakat adat to karunsi’e dongi untuk kembali ke kampung
tanah leluhur mereka, termasuk keluarga ibu Tini Lanapu.
Ketika kakek beliau meninggal, mereka memutuskan untuk kembali
ke tanah leluhur mereka. tahun 1970an keluarga ibu Tini Lanapu
bermukim di bekas kebun mereka di daerah wasuponda. disana pun
lagi-lagi kehidupan tidak mudah untuk keluarga beliau di tanah
sendiri. Tini Lanapu kecil harus ikut bekerja membantu kedua
orang tua dan ketiga adiknya, beliau bekerja sebagai pengasuh
anak-anak tetangga maupun karyawan-karyawan perusahaan. Hingga
profesi ini dijalani beliau hingga sekarang. Umur 13 tahun Ibu
Tini lanapu menikah dengan pak husein wololi dan memutuskan
untuk kembali bermukim di tanah dongi beserta dengan beberapa
keluarga yang nekat bermukim dimana wilayah tersebut masuk
dalam wialyah konsesi perusahaan PT VALE.
Rusaknya kelestarian lingkungan yang telah dijaga secara
turun temurun oleh masyarakat adat setempat diporak porandakan
oleh perusahaan. Ini mengakibatkan hilangnya sumber kehidupan
masyarakat adat to karunsi’e dongi.
Kata bu elsya, salah seorang warga dongi sekitar tahun
2001. “ saya dengan keluarga yang pertama tinggal turun kesini hanya tidur
berpayung terpal, yang di ambil dari pembuangan sampah perusahaan, itupun
juga masih di tahan security, dikira papa jem (suami) mo ambil apa. Disuruh buka
itu terpal, diperiksa, padahal ini dari tempat pembuangan sampah. Kalau mau
diingat sakit sekali. Habis itu kami pergi mengambil lagi sisa-sisa kayu palet. Habis
itu kita susun sebagai alas kami tidur”. Airmata seakan mengalir dengan
sendirinya mendengar pernyataan dari seorang ibu rumah tangga
paruh baya ini. “apalagi, kami hidup dengan pake terpal dan beralaskan sisa
kayu pembuangan itu kurang lebih satu tahun “. saya tidak bisa
membayangkan bagaimana mereka menjalani hari-harinya dengan
begitu kerasnya. Mengingat perusahaan Nikel terbesar di
indonesia, dengan dana comunity development (comdev) yang
pasti cukup untuk mensejahterakan masyarakat sekitar tambang.
”pernah ada hari-hari dimana kalau musim hujan, karena kami Cuma pake terpal,
kami tidur di kamar mandi di bumper ini. Untungnya kamar mandi itu jarang di
pakai dan agak luang, jadi kami bersihkan lalu kami pakai untuk tidur” kata ibu
elsya,di ikuti oleh ibu mery.
Sampai pada akhirnya masyarakat sedikit-demi sedikit
membuat pondok-pondok kecil, dengan bermodal limbah kayu
perusahaan berupa kayu-kayu palet, mereka membangun rumah
seadanya, hampir semua bahannya mereka ambil dari tempat
pembuangan sampah perusahaan “malah kami biasa ditegur security jika ambil
kayu-kayu sisa itu. Kami biasa bilang sama bapak security perusahaan kalau ini kan
sudah dibuang pak, jadi kami ambil. Kami tidak mencuri, kami ambil karena kami
pikir ini sudah dibuang, sudah tidak dipakai lagi” kata sebagian dari
mereka. karena untuk bahan baku rumah, mereka tidak berani
menebang kayu di hutan, mereka sadar akan resiko yang akan
mereka tanggung nantinya. Jangankan untuk mengambil kayu,
lahan yang mereka tempati bermukim sekarang saja, mereka harus
mengurut dada dengan ketakutan yang luar biasa karena
pemerintah sering kali memperingatkan kepada mereka kalau “ini
tanahnya INCO, ini wilayah konsesinya perusahaan”. Betapa ketimpangan dan
ketidakadilan mewajah dalam kehidupan masyarakat to karunsi’e
dongi.
Bukan mudah membangun rumah yang mereka sebut pondok itu,
mereka bersatu dengan sisa-sisa keberanian yang ada, menduduki
wilayah adat mereka yang HAK nya bukan di tangan mereka lagi.
Kekerasan abstrac yang dilakukan oleh oknum-oknum yang terkait
konflik ini terasa sangat hebat dan tidak bertanggung jawab.
Apalagi pemerintah yang seakan menutup mata, tutup telinga.
“pernah kami di data, suruh tanda tangan sebuah kertas oleh orang dari kantor
desa, katanya waktu itu kami mau dibagikan sembako, pergilah kami kesana.
Sampai disana kami di suruh duduk berjejer di kursi panjang. Setelah itu di tanya
satu-satu, kami disuruh sebut nama, sama asal. Dan ternyata kami di kasi tahu
kalau kami mau digusur.lantas kami bilang, bapak jangan suka bohong-bohong
saja, katanya kami mau dikasi sembako ternyata mau digusur. Dimana hatinya
bapak.” Kata ibu elsya dan ibu nini
“Sudah sering kami dipanggil mau digusur dari sini, katanya kami ini sudah
penyerobotan lahan, kami bilang disini, kami tidak pernah lihat perusahaan bawa
tanahnya kesini baru mereka tempel disini, ini tanah orang tua kami” kata ibu
Tini Lanapu. Ancaman demi ancaman mereka dapatkan dari
petugas penegak hukum yang sejatinya adalah tempat mereka
berlindung. Dulunya, tambahnya lagi, “waktu pertama kami bikin pondok
disini selalu dijaga dari petugas. Kadang mereka datang sampai 2 mobil kesini.
Mengancam kalau kami tidak pergi dari sini kami mau ditembak, waktu itu
perasaan saya sangat sakit lihat petugas bilang seperti itu. Saya langsung liat anak-
anak, kami mau kemana kalau kami pergi dari sini. yang paling bikin sakit hati
kami disini, sampahnya orang soroako dibuang disekitar daerah kami disini
sedangkan kami harus pergi dari sini, jadi lebih berharga itu sampah disimpan
disini daripada kami yang cari hidup disini”. Dengan duka yang mendalam
yang tiap hari mereka rasakan, mereka tetap bertahan untuk
tinggal disini. “saat ini, bekas kampung dongi sudah dikuasai oleh
perusahaan, namun kami masih tetap berpegang teguh, bahwa tanah ini adalah
tanah peninggalan leluhur”. Kata ibu yuliana (65 thn), 2“Bagaimanapun
beratnya hidup disini, ini adalah rumah kami. Setiap lekuk gunung, setiap helai
rumput, setiap tetes air matano begitu dekat di hati kami. Tak ada tempat lain bisa
menggantikan tanah kami.”lanjutnya.
Perempuan adat tokarunsi’e dongi betul-betul mendapatkan
perlakuan yang tidak pantas bagi warga negara yang memegang
kartu identitas pribadi sebagai warga negara indonesia.
Menurut pengakuan warga, “sebenarnya kami hanya mau tinggal dengan
tenang, tidak ada lagi kita mau digusur kasian, dikasi air bersih sama listrik, itu
saja. Kembalikan tanah leluhur kami, biarkan kami cari hidup dengan tenang
disini.”
Intimidasi serta perlakuan diskriminasi oleh pemerintah
beserta dengan selingkuhannya membuat Masyarakat adat
tokarunsi’e dongi jauh dari yang namanya kehidupan yang layak
dimana sejatinya SILA ke 5 PANCASILA sebagai asas negara
terbentuk memberikan jaminan untuk “KEADILAN BAGI SELURUH
RAKYAT INDONESIA”.
UBI REBUS PENYAMBUNG HIDUP
2 Pernyataan Ibu yuliana sewaktu aksi mogok makan di depan kantor PT VALE makassar, 2004
PEREMPUAN adat to karunsi’e dongi mempunyai posisi atau
peranan penting. Mereka adalah tonggak kesejahteraan hidup
baik dalam keluarga maupun masyarakatnya, dalam kehidupan
sehari-hari perempuan yang paling merasakan kerasnya dinamika
kehidupan di wilayah adat mereka, bentuk-bentuk diskriminasi
sangat dirasakan oleh mereka, misalnya untuk pemenuhan
kebutuhan air bersih “kami disini masing-masing sambung pipa dari kran air
yang ada di BUMPER depan ini, itu juga kalau kran nya tidak di kunci atau di tutup.
Kalau di kunci lagi, air tidak jalan. terpaksa kami harus ambil air di sungai kecil di
bawah itu.( sambil menunjukkan tempat sungai yang mereka maksud yang berjarak
kira-kira 600mtr dari tempat mereka). Berapa kali sudah kita di tegur, tapi mau
diapa, kita butuh air, pemerintah tidak mau tahu dengan keadaannya kami disini,
karena memang mereka sudah anggap kami disini bukan warganya, kecuali kalau
ada pemilihan caleg-caleg lagi baru dorang rame-rame lihat kami disini karena
butuh suara, seperti KTP nya kami disini hanya untuk pemungutan suara saja.”
Tutur mereka.
Dengan berbekal kemauan keras untuk sesuap nasi buat
keluarga. Mereka bekerja serabutan, kadang mereka memenuhi
panggilan karyawan-karyawan perusahaan atau penduduk sorowako
sebagai pembantu rumah tangga atau bagian bersih-bersih
halaman rumah. Pernah sekali ketika kami dari AMAN Tana Luwu,
bersama masyarakat lagi berkumpul di terisoa, terisoa adalah
balai pertemuan bagi masyarakat adat tokarunsi’e dongi,
seorang ibu paruh baya mendatangi kami, ibu itu langsung
mengeluarkan sebuah kertas lengkap dengan sebuah bollpoint dan
diserahkan ke masyarakat, seakan pun juga masyarakat sudah
tahu maksud dari ibu itu. Terbersit tanya, apa yang masyarakat
mau lakukan dengan ibu itu. Akhirnya ibu Nini yang
kesehariannya adalah pedagang kue bersama dengan yang lain
beritahu kami “ini dorang mo kerja sawahnya itu ibu, kami di gaji 60rb rupiah
per hari, lumayan”. Apakah sudah tidak ada lahan yang bisa mereka
kelola sendiri, apakah sudah tidak ada kebijakan untuk mereka
untuk bisa hidup di tanah mereka sendiri. “ini juga yang lucu, kami
jadi pekerja sawah di sawahnya orang, padahal dulu itu sawah kami” lanjut
mereka lagi.
Sungguh mereka yang paling merasakan dampak karena
kemerosotan ekonomi keluarga akibat aktifitas eksplorasi
pertambangan oleh perusahaan. Betapa pilu nasib mereka yang
harus berjuang untuk hidup. Memperjuangkan sebuah kedaulatan
atas ruang hidup yang lebih baik. Memperjuangkan kesejahteraan
hidup yang merupakan mimpi besar masyarakat adat karunsi’e
dongi. Kata ibu tini lanapu “ orang dongi dulu makan ubi rebus sampai
sekarang kita masih makan ubi rebus, jadi ada perusahaan disini tidak ada
gunanya, pemerintah juga tidak liat kita”.
Keberadaan perusahaan di tanah mereka merupakan bentuk
pengambilalihan secara sepihak sumber kehidupan masyarakat
adat to karunsi’e dongi dimana tanah leluhur mereka dikuasai
tanpa melibatkan masyarakat apalagi jika kita berbicara ganti
rugi atau kompensasi dalam bentuk apapun. Jangankan kompensasi
atau apapun sebutannya, semua program-program yang dicanangkan
oleh pemerintah entah itu pemberdayaan masyarakat sampai pada
bantuan-bantuan misalnya beras raskin, tidak pernah sampai ke
tangan masyarakat di karunsi’e dongi padahal menurut penuturan
masyarakat karunsi’e dongi mereka terdaftar sebagai bagian
dari Desa Magani. Mengenai program beras raskin yang tidak
pernah sampai ke masyarakat karunsi’e dongi, pernah sekali
waktu masyarakat sempat mempertanyakan hal tersebut. Kata ibu
tini lanapu “kami pernah tanya ke kantor desa waktu itu, apakah kami terdata
dapat beras raskin, sampai disana katanya tidak ada. Pernah lagi kami di data
ulang dapat jatah beras raskin, di janji katanya bulan 7 kemarin tahun 2013 kami
sudah bisa dapat ternyata waktu kami pergi cek lagi, katanya orang di kantor desa
itu, jatahnya kami lari ke wasuponda “. Ketika klarifiksi terjadi ada
pernyataan yang dikeluarkan oleh kepala desa magani yang
menjabat waktu itu di kutip oleh masyarakat, “ kita di desa magani
ini orang ada (orang berkecukupan), tidak ada yang miskin, kalau ada yang mau
terima raskin, tulis saja di pintu rumahnya besar-besar KAMI MAU TERIMA RASKIN”.
Hal-hal seperti ini sudah termasuk pelecehan bagi masyarakat
to Karunsi’e dongi bagi saya pribadi. Seakan menjelaskan kalau
strata sosial sengaja diberikan jurang pemisah, ketimpangan-
ketimpangan seperti ini dibiarkan terjadi, di kabupaten Luwu
timur yang dimana penghasilan asli daerahnya begitu besar.
Kondisi seperti ini mengakibatkan masyarakat adat to
karunsi’e sangat sulit mencari nafkah dalam memenuhi kebutuhan
sehari-hari. Mereka yang dulunya bisa memanfaatkan hasil dari
usaha berkebun, bersawah sudah tidak bisa lagi untuk menopang
kebutuhan hidup keluarga, “sawah sudah tertimbun semua, kita mau
berkebun tidak ada lahan yang bisa kita tanami, pokoknya semua ini menurut
pemerintah kalau ini tanah yang sudah di beli perusahaan” kata sebagian dari
mereka. Jawaban kami, kalau ini tanah sudah dibeli perusahaan, siapa yang jual,
siapa yang terima uangnya, mana hitam diatas putihnya, karena kami disini sampai
saat ini tidak pernah terima uangnya “. Hal inilah yang menyebabkan
masyarakat to karunsi’e dongi harus bekerja serabutan untuk
memenuhi kebutuhan keluarga. Rata mereka dapatkan dari bekerja
sebagai pemulung,
Untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka sehari-hari,
perempuan adat to karunsi’e dongi menanam Ubi dan Pisang, dan
segala macam sayur-sayuran seperti kangkung, labu, tomat dll di
halaman kecil mereka. tanaman ini sebagai penyambung nafas bagi
mereka.” Jika tidak ada beras, kami bisa makan ubi atau pisang, kami rebus baru
kami makan, untuk sayuran itu kami biasa petik lalu kami jual di pasar” . kondisi
ini kadang tidak berjalan sesuai harapan, HUJAN ASAM/ HUJAN
BUATAN perusahaan untuk kebutuhan aktifitas tambang, merusak
tanaman mereka. hujan ini membuat tanaman mati hingga ke akar.
Jika kondisinya sudah seperti ini, mereka harus berupaya
bekerja siang malam untuk mendapatkan beras hari itu.
Alternatif lain yang mereka bisa kerjakan adalah mengumpulkan
kaleng-kaleng atau besi bekas untuk dijual ke pengepul. Dengan
upah yang tidak seberapa, mereka bersuka cita hidup dalam
keadaan seperti ini. “ kami biasa mulung, kami kumpul itu kaleng-kaleng
bekas atau besi-besi seperti paku-paku bekas, mur atau baut-baut, biasa kami ambil
di pantai pinggir danau itu, atau di belakang tamannya INCO (yg sekarang berubah
nama menjadi PT VALE) banyak sisa palstik-plastik bekas, kami kumpul lalu kami
pergi jual. Biasa kaleng minuman itu kalau di jual satu kilo bisa dapat 3 ribu rupiah,
ditambah dengan besi-besi tua bisa sampe kami dapat paling tinggi itu 5 kilo satu
hari jadi kami bisa dapat 15rb satu hari, bisa juga tidak sampai segitu. Lumayan
penyambung nafas 2 hari.” Tutur mereka. kondisi inipun juga yang
mengakibatkan mereka selalu mendapat cibiran miring dari
masyarakat yang sebagian pendatang yang ada di soroako. Cibiran
tersebut misalnya seperti, kampung mereka disebut kampung
pemulung. Bisa dibayangkan untuk sesuap nasi saja mereka harus
membanting tulang sangat keras apalagi untuk kebutuhan-
kebutuhan lain seperti kesehatan atau pendidikan anak-anak
mereka.
oleh karena itupun juga pemenuhan kehilangan mata
pencaharian dan keadaan masyarakat Karonsie Dongi dimana anak-
anak tidak mudah untuk bersekolah dengan mudah karena
masyarakat tidak mampu membayar biaya sekolah yang tinggi. kata
ibu nini “kami disini dibilang warga liar, contohnya biasa kalau kita ada yang
sakit mau urus kita punya anak di rumah sakit atau anak-anak mau masuk sekolah,
urusnya bertele-tele karena kalau sudah diliat kita punya KTP lalu alamatnya
dibawah situ BUMPER, berkasnya kami biasa di buang di tempat sampah”.
SECUIL HARAPAN DARI PUTUSAN MK
Titik terang dalam perjuangan Masyarakat adat se nusantara
adalah titik balik dimana untuk pertama kalinya mereka mendapat
pengakuan walaupun secara tidak langsung dari Mahkamah
Konstitusi atas pengelolaan hutan. Atas gugatan tentang UU 41
kehutanan yang dilayangkan oleh lembaga Aliansi Masyarakat Adat
Nusantara (AMAN), bersama dengan kesatuan masyarakat hukum adat
kenegerian kuntu, serta Kesatuan Masyarakat hukum Adat
Kasepuhan Cisitu dimana point penting dari isi gugatan tersebut
dimana hutan adat yang tadinya adalah hutan negara. Kini
menjadi hutan adat masuk dalam wilayah hutan HAK yang artinya
hutan tersebut diberikan kewenangan bagi masyarakat adat yang
tinggal dalam wilayah adat dimana hutan adat berada. Hingga
pada akhirnya Putusan Mahkamah konstitusi No.35/PUU-X/2012
harusnya menjadi titik terang perjuangan masyrakat adat se
nusantara dalam memperjuangakan kedaulatan atas ruang hidup
mereka. inipun juga yang membuat masyarakat adat to karunsi’e
dongi bersuka cita mendengar putusan ini. Walaupun dalam
kenyataannya, pemerintah senantiasa mengabaikan putusan
tersebut, pemerintah dengan seringnya pun mengabaikan putusan
MK tersebut dengan menyatakan bahwa putusan tersebut harus
berupa turunan aturan yang nantinya dikeluarkan oleh pemerintah
daerah setempat baru bisa dilaksanakan. Hingga pada hari ini,
putusan tersebut seakan mati suri. Tidak berimplikasi apa-apa
dan tidak berlaku di wilayah masyarakat adat to karunsi’e dongi
sebagai wilayah yang asumsinya adalah kewenangan perusahaan
mengelola. Satu-satunya dampak yang bisa terlihat hingga saat
ini adalah timbul keyakinan dan semangat bagi mereka dalam
mempertahankan wilayah adat mereka saat ini. Mulailah beberapa
orang dari masyarakat berani membuka lahan untuk bertani dengan
lahan seadanya di daerah-daerah yang memenag dulunya
diperuntukkan untuk lahan bertani mereka, bersama menyusun
Masterplan atau perencanaan kampung hingga membangun kesadaran
kolektif hingga di tingkatan generasi-generasi muda mereka,
dimana pentingnya peningkatan sumber daya manusia yang
berkualitas, kurangnya harapan akan iming-iming menjadi
pekerja-pekerja kontrak menjadi karyawan di perusahaan dengan
keyakinan besar jika apa yang mereka bisa usahakan dengan
mengolah sumber daya alam yang ada di wilayah mereka akan
berdampak besar bagi kesejahteraan hidup mereka yang berbasis
kearifan-kearifan lokal. Sampai kepada kembalinya identitas
mereka yang sempat tercerabut oleh struktur sosial yang telah
sengaja dihancurkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung
jawab dan tidak berprikemanusiaan. Yang dimana mereka merasa
diabaikan sebagai penduduk pribumi tertua di kawasan timur,
MASYARAKAT ADAT TO KARUNSI’E DONGI.
PENUTUP
“ KEADILAN BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA” adalah semboyan
dari negara sebagai bentuk penjaminan pemenuhan HAK bagi setiap
warga negaranya tanpa terkecuali. Begitupun juga terkhusus
kepada Masyarakat Adat yang mempunyai hirarki kepemilikan ruang
hidup sebelum negara terbentuk.
Dalam prosesnya, negara seakan mengabaikan semua itu,
dimana yang paling merasakan dampak dari semua kekerasaan
abstrak yang sangat terstuktur dan sistematis bagi penghancuran
identitas masyarakat adat adalah ke perempuan adat.
Perlakuan-perlakuan diskriminasi, intimidasi dimana
pemerintah seakan mendiskreditkan masyrakat adat to karunsi’e
dongi dalam mempertahankan penghasilan daerah yang besar dari
kegiatan ekploitasi tambang menuai resisten dari masyarakat
adat tersebut dalam mempertahankan “ KEDAULATAN ATAS TANAH
LELUHUR “ mereka.
Salah satu cara terampuh menghancurkan suatu peradaban adalah
dengan menghancurkan Lumbung Pangannya. ( ik )