perhitungan weton sebagai syarat perkawinan menurut adat ...
-
Upload
khangminh22 -
Category
Documents
-
view
9 -
download
0
Transcript of perhitungan weton sebagai syarat perkawinan menurut adat ...
PERHITUNGAN WETON SEBAGAI SYARAT PERKAWINAN
MENURUT ADAT JAWA DITINJAU DARI HUKUM ISLAM
(Studi Kasus di Desa Tegalglagah Kecamatan Bulakamba
Kabupaten Brebes)”
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk memenuhi salah satu
syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh :
Muhammad Fajrul Iman
11150440000029
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1443 H / 2022 M
i
PERHITUNGAN WETON SEBAGAI SYARAT PERKAWINAN
MENURUT ADAT JAWA DITINJAU DARI HUKUM ISLAM
(Studi Kasus di Desa Tegalglagah Kecamatan Bulakamba
Kabupaten Brebes)”
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk memenuhi salah satu
syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh :
Muhammad Fajrul Iman
11150440000029
Pembimbing:
1-2-2022
Dr. Hj. Maskufa,M.A.
NIP. 196807031994032002
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1443 H/2022 M
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar starta 1 di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumka sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudan hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merpakan hasil penjiplakan karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 21 Februari 2022
20 Rajab 1443 H
Muhammad Fajrul Iman
iv
ABSTRAK
Muhammad Fajrul Iman, NIM 1150440000029, Perhitungan Weton
sebagai Syarat Perkawinan Menurut Adat Jawa Ditinjau Dari Hukum Islam, Studi
Kasus di Desa Tegalglagah, Kecamatan Bulakamba, Kabupaten Brebes, Starta
Satu (S1), Jurusan Hukum Keluarga, Fkultas Syariah dan Hukum, Unuversitas
Islam Negeri, Syarif Hidayatullah Jakarta, 1443 H/2022 M. ix + 94 halaman 9
halaman lampiran.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui praktik perhitungan weton sebagai
syarat perkawinan menurut adat Jawa, mengetahui pandangan masyarakat Desa
Tegalglagah tentang perhitungan weton sebagai syarat perkawinan serta untuk
mengetahui hukum Islam tentang Perhitungan weton sebagai syarat perkawinan
masyarakat Desa Tegalglagah.
Adapun penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif empiris,
berdasarkan objeknya menggunakan peneltian antropologi hukum, jenis penelitian
adalah penelitian lapangan (field research). Kriteria data yang didapatkan berupa
data primer dan data sekunder. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah
wawancara, observasi, studi pustaka, jurnal dan karya tulis ilmiah kemudian data
tersebut dianalisis.
Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hampir seluruh
masyarakat Desa Tegalglagah melakukan perhitungan weton dalam perkawinan.
Kegiatan ini untuk dijadikan bahan penentuan hari baik perkawinan. Tradisi ini
masih sangat kuat dipegang oleh masyarakat hingga sekarang sebagai bentuk
warisan budaya dan pelestarian serta menghormati para leluhur. Dikarenakan
kurangnya pemahaman dari tradisi perhitungan weton ini, dan perhitungan weton
ini tidak bertentangan dengan ajaran Agama Islam, karena perhitungan ini hanya
bentuk dalam melakukan ikhtiar dan kehati-hatian agar mendapatkan kebaikan
selama mengarungi kehidupan berumah tangga. Penulis mencoba menelaah tradisi
perhitungan weton sebagai syarat perkawinan ini menggunakan aspek istibat
hukum Islam yaitu urf .
Kata Kunci : Perkawinan, Weton, Hukum Islam
Pembimbing : Dr. Hj. Maskufa, M.A.
Daftar Pustaka : 1957 s.d 2021
v
KATA PENGANTAR
بسم هللا الرحمن الرحيم
Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam, yang telah memberikan
limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada umat manusia di muka bumi ini,
khususnya kepada penulis. Shalawat beriringan salam disampaikan kepada Nabi
Muhammad SAW, keluarga, serta para sahabatnya yang merupakan suri tauladan
bagi seluruh umat manusia.
Dalam penulisan skripsi ini penulis menerima banyak bantuan dari
berbagai pihak, sehingga dapat terselesaikan atas izin-Nya. Oleh karena itu, dalam
kesempatan ini penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih kepada semua pihak
yang telah memberikan bantuan, baik moril maupun materil, khususnya kepada:
1. Kepada yang tercinta dan selalu penulis cintai dan sayangi sepanjang
hayat, ayahanda H. Murjaya dan ibunda Hj. Esih Sumarsih orang tua
penulis yang selalu mendoakan dan memberikan semangat kepada
buah hatimu untuk menyelesaikan skripsi ini, serta telah
mengorbankan seluruh hidupnya untuk membahagiakan dan
membesarkan penulis sampai saat ini. Kedua orang tua selalu menjadi
sumber inspirasi penulis dalam menjalankan dan menyelesaikan
skripsi ini. Semoga ini bisa menjadi hadiah kecil buat kedua orang
tuaku, terima kasih tak terhingga atas do’a, semangat, kasih sayang,
pengorbanan, nasihat dan ketulusan dalam mendampingi penulis
sehingga penulis dapat menyelesaikan Pendidikan di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, semoga kalian selalu diberi kesehatan dan
senantiasa dalam lindungan Allah SWT.
2. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc, M.A., selaku
Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag, S.H., M.A., selaku Dekan
Fakultas Syariah dan Hukum Unuversitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta beserta Wakil Dekan I, II, dan III Fakultas
Syariah dan Hukum.
4. Dr. Hj. Mesraini, S.H., M.Ag., selaku Ketua Program Studi Hukum
Keluarga beserta Achmad Chaerul Hadi, M.A., Sekretaris Program
Studi Hukum Keluarga, yang selalu mendukung dan memotivasi
penulis untuk segera menyelesaikan penyusunan skripsi ini.
5. Achmad Chaerul Hadi, M.A., selaku dosen pembimbing akademik
yang selalu bersedia meluangkan waktunya dalam memberikan
masukan dan dorongan sehingga terselesaikannya skripsi ini.
6. Dr. Hj. Maskufa, M.A. Dosen Fakultas Syariah dan Hukm sekaligus
sebagai Dosen Pembimbing skripsi penulis, yang telah sabar dan selalu
memberikan nasihat, motivasi serta perbaikan selama penyusunan
vi
skrisi ini, terima kasih banyak atas arahan, masukan dan koreksi yang
bersifat membangun, semoga Allah SWT senantiasa membalas semua
kebaikan Ibu.
7. Para dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah banyak memberikan ilmu yang bermanfaat kepada
penulis dan membimbing penulis dari awal masuk hingga bisa
menyelesaikan skripsi ini, semoga senantiasa diberikan kesehatan dan
dimudahkan segala urusannya.
8. Pimpinan serta staff perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum serta
Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta. Yang telah memberikan fasilitas dalam mencari referensi
untuk penulisan skripsi.
9. Kepada seluruh keluarga besar H. Djamhari bin H. Djahari dan
keluarga besar H. Miad bin H. Bule yang tiada hentinya mendoakan
dan memotivasiku.
10. Teruntuk kakakku Nur Alfi Lail, S.Pd. dan adikku Mutiara Alya
Kamala terima kasih telah membantu, melindungi dan mendoakanku.
11. Teman-teman Keluarga Besar Prodi Hukum Keluarga Angkatan 2015
yang menjadi teman seperjuangan. Khususnya kepada Mizhfaar
Alawiy, Rafid Mauludi, M. Noor, M. Furqon, A Syarif, Devy. S, Riki
Desman, Ahmad Tamami, Kurniawan, Miftah, Tua Nasar, Syaiful,
Ridwan, Rizky, Olip, Reza. Serta teman-teman yang tidak bisa saya
sebutkan satu persatu. Terima asih atas kebersamaannya, motivasinya
dan kenangan indah yang tidak akan terlupakan bersama kalian
semuanya.
12. Seluruh Keluarga Besar Mahasiswa Al-Amanah Al-Gontory (KBMA),
Ikatan Remaja Masjid Nurul Ikhwan (IRMANI), H.A. Generation dan
Seluruh anggota KKN SINERGI desa Gintung – Sukadiri.semoga
persaudaraan kita tetap terjaga selamanya.
13. Seluruh pihak yang terkait dengan penulisan skripsi, yang tidak dapat
penulis sebutkan satu persatu. Semoga senantiasa dalam lindungan
Allah SWT. Hanya untaian ata terima kasih serta do’a yang penulis
dapat berikan. Semoga semua pihak yang telah memberikan semangat,
motivasi, serta arahannya kepada penulis senantiasa diberi Kesehatan
dan dalam lindungan Allah SWT, diridhoi setiap langkah
kehidupannya serta mendapatkan balasan yang lebih baik diakhirat
kelak.
Tidak ada yang dapat penulis berikan atas balas jasa dan
dukungannyya, hanya do’a semoga amal baik mereka dibalas oleh
Allah SWT dengan balasan yang berlipat ganda. Penulis berharap agar
skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan bagi
pembaca pada umumnya.
viii
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................................................... i
PENGESAHAN PANITIA UJUAN SKRIPSI ................................................................ii
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................................... iii
ABSTRAK ....................................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ...................................................................................................... v
DAFTAR ISI .................................................................................................................viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ...................................................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan, dam Perumusan Masalah ............................... 4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .............................................................. 5
D. Metode Penelitian ................................................................................. 6
E. Sistematika Penulisan ............................................................................ 9
BAB II PERNIKAHAN MENURUT ISLAM, ADAT JAWA, DAN
PENGETAHUAN TENTANG WETON
A. Pernikahan Dalam Hukum Islam ......................................................... 10
B. Pernikahan Dalam Hukum Adat Jawa.................................................. 30
C. Weton ................................................................................................. 43
BAB III GAMBARAN UMUM MASYARAKAT DESA
TEGALGLAGAH KECAMATAN BULAKAMBA
KABUPATEN BREBES
A. Profil Masyarakat ............................................................................... 57
B. Letak Geografis ................................................................................... 57
C. Kondisi Demografis ............................................................................ 58
ix
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Praktik Masyarakat Desa Tegalglagah Dalam Menentukan
Calon Pasangan Menggunakan Perhitungan Weton ............................. 63
B. Latar Belakang Desa Tegalglagah Dalam Menentukan Calon
Pasangan ............................................................................................. 65
C. Pandangan Masyarakat Desa Tegalglagah Tentang Tradisi
Perkawinan Menggunakan Weton ....................................................... 66
D. Dampak Yang Terjadi Pada Masyarakat .............................................. 69
E. Pandangan Hukum Islam Terhadap Hitungan Weton........................... 71
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ......................................................................................... 75
B. Saran ................................................................................................... 76
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 78
LAMPIRAN ................................................................................................................... 84
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Allah menciptakan makhluk hidup itu berpasang-pasangan yaitu
jantan dan betina, laki-laki dan perempuan. Tetapi manusia tidak sama
dalam hal menyalurkan insting seksualnya dengan makluk lainnya, yang
bebas mengikuti nalurinya tanpa aturan. Untuk menjaga kehormatan dan
martabat manusia maka Allah memberian jalan terhormat berdasarkan
kerelaan dalam suatu ikatan yang disebut dengan pernikahan atau
perkawinan. Pernikahan atau inilah yang diridhai Allah dan diabadikan
dalam Islam untuk selamanya.1
Perkawinan merupakan suatu peristiwa penting dalam kehidupan
manusia, karena perkawinan tidak saja menyangkut pribadi kedua calon
suami istri, tetapi juga menyangkut urusan keluarga dan masyarakat. Pada
hakikatnya, perkawinan dianggap sebagai sesuatu yang suci dan karenanya
setiap agama selalu menghubungkan kaidah-kaidah perkawinan dengan
kaidah-kaidah agama.2
Perkawinan dalam Islam tidaklah semata-mata sebagai hubungan
atau kontrak keperdataan biasa, akan tetapi perkawinan merupakan sunnah
Rasulullah SAW dan media yang paling cocok antara panduan agama
Islam dengan naluriah atau kebutuhan biologis manusia, dan mengandung
makna dan nilai ibadah. Amat tepat kiranya, jika Kompilasi Hukum Islam
menegaskannya sebagai akad yang sangan kuat, perjanjian yang kokoh
untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.3
Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan menyatakan
1 Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fiqh Munakahat 1, (Bandung: Pustaka Setia, 1999),
h. 2. 2 Boedi Abdullah., M.Ag, Perkawinan dan Perceraian Keluarga Muslim, (Bandung:
Pustaka Setia, Cet. I, 2013), h. 20. 3 Prof. Dr. H. Ahmad Rofiq, M.A., Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: PT.
Rajagrafindo Persada, 2013), h. 53.
2
“Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang
wanit sebagai ikatan suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau
rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha
Esa”.
Sedangkan dalam Pasal 2 Kompilasi hukum Islam (KHI)
menyebutkan “Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu
akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizon untuk mentaati perintah
Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”.4
Sedangkan menurut Prof. Subekti, S.H., perkawinan adalah
pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk
waktu yang lama.5 Dalam bahasa lain, Prof. Ali Afandi, S.H., perkawinan
adalah suatu persetujuan kekeluargaan.6
Islam memandang ikatan perkawinan sebagai ikatan yang kuat atau
mitsaqan ghalizan, ikatan yang suci, suatu perjanjian yang mengandung
makna magis, suatu ikatan yang bukan saja hubungan atau kontrak
keperdataan biasa, tetapi juga hubungan menghalalkan terjadinya
hubungan badan antara suami dengan istri sebagai penyaluran libido
seksual manusia yang terhormat. Oleh karena itu, hubungan tersebut di
pandang sebagai ibadah.7
Oleh karena itu, pernikahan yang sah dalam Islam adalah
pernikahan yang terpenuhinya syarat dan rukun, serta tidak melanggar
larangan-larangan dalam pernikahan. Serta sesuai Undang-Undang
Perkawinan No.1 Tahun 1974 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019
Pasal 2 ayat (1) berbunyi “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan
menurut hukum Islam.
4 Ditjen Pembinaan Kelembagaan Islam Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia, (Jakarta: Direktorat Pembinaan Peradila Agama Islam, 2001). 5 Subekti dan Tjirosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta:Pradnya
Paramita, 1996), h. 23. 6 Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, (Jakarta: Rineka
Cipta, 1997), h. 94. 7 Yayan Sofyan, Islam Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum
Nasional, (Jakarta: RMBoot. ks, 2012), Cet. Ke-2 hlm. 127.
3
Secara umum, syarat-syarat yang diakomodir oleh pemerintah
Indonesia tertuang dalam Kompilasi Hukum Indonesia:
1. Calon mempelai pria:
a. Beragama Islam;
b. Laki-laki;
c. Jelas orangnya;
d. Dapat memeberikan persetujuan;
e. Tidak terdapat halangan perkawinan.
2. Calon mempelai wanita:
a. Beragama Islam;
b. Perempuan;
c. Jelas orangnya;
d. Dapat dimintai persetujuan;
e. Tidak terdapat halangan perkawinan8
Salah satu syarat bagi calon mempelai pria dan wanita dalam
hukum perkawinan Islam di Indonesia ialah persetujuan calon mempelai.
Hal ini dapat diartikan bahwa calon mempelai sudah setuju dengan pilihan
pasangan hidupnya, baik dari pihak pria ataupun wanita. Sehingga
nantinya mereka senang menjalani rumah tangga yang dibina.
Di dalam KHI atau pendapat para fuqaha tidak dijelaskan
mengenai persyaratan hitungan weton sebelum melangsungkan
perkawinan. Di desa Tegalglagah Kecamatan Bulakamba Kabupaten
Brebes masih berpatokan dengan hitungan tanggal lahir yang disebut
weton. Weton adalah perhitungan hari lahir kedua calon mempelai.9
Weton yang mempunyai arti hari-hari dalam seminggu (Senin, Selasa,
Rabu, Kamis, Jum’at, Sabtu, dan Minggu) kalau hari pasarannya ada 5
(Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon). Dari hari tersebut akan dijumlahkan
8 Prof. Dr. H. Ahmad Rofiq, M.A., Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: PT.
Rajagrafindo Persada, 2013), h. 55. 9 D.S, Warga Desa Tegalglagah, Wawancara Pribadi, di Desa Tegalglagah, 19 April
2020.
4
dengan tanggal lahirnya antara laki-laki dengan perempuan yang ingin
melangsungkan perjodohan, maka nanti akan ditemukan hasilnya. Apakah
akan bernasib baik atau bernasib kurang baik.
Pada masyarakat di Desa Tegalglagah Kecamatan Bulakamba
Kabupaten Brebes kegiatan, pada umumnya mereka masih menggunakan
perhitungan Jawa dalam berbagai kegiatan salah satunya adalah
perkawinan dalam menentukan perjodohan, biasanya keluarga laki-laki
dan keluarga perempuan menemui orang pinter atau sesepuh untuk
menanyakan baik atau tidak bila anaknya dijodohkan. Lalu sesepuh di
sana menghitung tanggal lahir antara laki-laki dan perempuan, bila tidak
cocok, maka gagal atau batal lah perjodohan tersebut. Karena kalau
dilanggar maka akan berbagai macam bencana yang terjadi seperti
mendapat kecelakaan, pernikahannya tidak langgeng, sulit mendapat
rezeki.10
Berangkat dari masalah di atas, maka penulis tertarik membuat
penelitian dalam bentuk skripsi dengan judul: “PERHITUNGAN
WETON SEBAGAI SYARAT PERKAWINAN MENURUT ADAT
JAWA DITINJAU DARI HUKUM ISLAM (Studi Kasus di Desa
Tegalglagah Kecamatan Bulakamba Kabupaten Brebes)”
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi
Dari latar belakang masalah di atas, maka dapat di identifikasi
permasalahan sebagai berikut:
a. Apa saja syarat pernikahan?
b. Bagaimana perhitungan weton pernikahan menurut hukum Islam?
2. Pembatasan
Untuk menghindari meluasnya permasalahan yang akan dibahas pada
penelitian ini, maka penulis membatasi masalah yang diteliti pada
10 A.S, Warga Desa Tegalglagah, Wawancara Pribadi, di Desa Tegalglagah, 20 April
2020.
5
masalah perhitungan weton sebagai syarat perkawinan menurut adat
jawa yang ditinjau dari hukum Islam khususnya pada Desa
Tegalglagah Kecamatan Bulakamba Kabupaten Brebes.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas maka perumusan masalahnya
adalah bagaimana perhitungan weton menurut adat Jawa di Desa
Tegalglagah Kecamatan Bulukamba Kabupaten Brebes dijadikan
sebagai syarat perkawinan bila ditinjau dari hukum Islam? Adapun
pertanyaan penelitiannya adalah sebagai berikut:
a. Bagaimana praktik masyarakat Desa Tegalglagah dalam
menentukan calon pasangan perkawinan menggunakan hitungan
weton?
b. Apa yang melatar belakangi masyarakat Desa Tegalglagah masih
melakukan tradisi perhitungan weton untuk menentukan calon
pasangan perkawinan?
c. Bagaimana perspektif hukum Islam terhadap perhitungan weton
perkawinan menurut adat Jawa?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas maka secara umum tujuan
dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan dan menganalisis
pandangan hukum Islam tentang perhitungan weton menurut adat Jawa
di Desa Tegalglagah kecamatan Bulukamba Kabupaten Brebes
dijadikan sebagai syarat perkawinan.
Adapun tujuan khususnya adalah:
a. Untuk menjelaskan praktik masyarakat Desa Tegalglagah dalam
menentukan calon pasangan perkawinan menggunakan hitungan
weton.
b. Untuk mendeskripsikan latar belakang masyarakat Desa
Tegalglagah yang masih melakukan tradisi perhitungan weton
untuk menentukan calon pasangan perkawinan.
6
c. Untuk menganalisa pandangan hukum Islam terhadap perhitungan
weton perkawinan menurut adat Jawa.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan bidang
kajian hukum keluarga Islam yang terjadi pada masyarakat dan
konteksnya dalam penelitian ini lebih bisa memahami seputar
tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Jawa yang terkait dengan
hukum keluarga Islam.
b. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi penulis
dalam menambah wawasan, pengalaman dan pengetahuan tentang
materi kajian yang akan dibahas pada permasalahan tersebut.
c. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan sebagai acuan
untuk penelitian selanjutnya.
D. Metode Penelitian
Penelitian merupakan sarana yang dipergunakan oleh manusia
untuk memperkuat, membina, serta mengembangkan ilmu pengetahuan.11
Oleh karena itu, diperlukan metode yang tepat dalam melakukan suatu
penelitian. Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan metode
penelitian sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam penelitian ini adalah normatif empiris. Menurut
Abdul Kadir Muhammad yang dimaksud sebagai penelitian yang
menggunakan studi kasus hukum normatif-empiris (terapan) bermula dari
ketentuan hukum positif tertulis yang diberlakukan pada peristiwa hukum
11 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 2015) Cet. III, h.
3.
7
in concreto dalam masyarakat, sehingga dalam penelitiannya selalu
terdapat gabungan dua tahap kajian yaitu:12
1) Tahap pertama adalah kajian mengenai hukum normatif yang berlaku;
2) Tahap kedua adalah penerapan pada peristiwa in concreto guna
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Penerapan tersebut dapat
diwujudkan melalui perbuatan nyata dan dokumen hukum. Hasil
penerapan penerapan akan menciptakan pemahaman realisasi
pelaksanaan ketentuan-ketentuan hukum normatif yang dikaji telah
dijalankan secara patut atau tidak. Penggunaan kedua tahapan tersebut
membutuhkan data sekunder dan data primer.
2. Pendekatan penelitian
Pendekatan penelitian ini menggunakan Antropologi Hukum, yang
mana Antropologi Hukum merupakan bagian dari antropologi yang
mempelajari perilaku hukum masyarakat, dan cara pandangnya
terhadap hukum dan produk-produk turunannya. Hukum-hukum itu
bukan hanya yang tertulis dan disepakati masyarakat setempat.
Antropologi itu sendiri didefinisikan sebagai suatu ilmu yang
mempelajari tentang manusia baik dari segi budaya, prilaku,
keanekaragaman, dan lain sebagainya.13
3. Sumber Data
Jenis data dalam penulisan skripsi ini sendiri mengunakan data primer
dan data sekunder, dengan teknik pengumpulan data dilakukan dengan
menggunakan metode dokumentasi dan interview.
a. Data Primer
Data Primer adalah data yang dikumpulkan oleh penelitian sendiri
selama penelitian berjalan.14 Data yang diperoleh langsung dari
sumber pertama yaitu, yang diperoleh melalui penelitian lapangan
dengan cara wawancara langsung terhadap pihak-pihak yang
12 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Cet-1, (Bandung: PT Citra
Aditya Bakti, 2004), h. 52.
14 Modul Perencanaan Undang-Undang, (Jakarta:Sekretaris Jendral DPR RI, 2008), h.7
8
berkaitan dengan penelitian perhitungan weton sebagai syarat
perkawinan khususnya di Desa Tegalglagah.
b. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data pendukung dari data utama atau
disebut juga data primer. Data sekunder diantaranya mencakup
dokumen-dokumen atau surat-surat resmi, arsip, buku-buku, hasil-
hasil penelitian yang berwujud laporan, buku harian, makalah
umum dan bacaan lain yang berkaitan dengan judul peneliti.15
4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam teknik pengumpulan data guna mengumpulkan data-data yang
diperlukan, maka digunakan metode sebagai berikut:
a. Wawancara (interview)
Wawancara adalah suatu metode pengumpulan data yang berupa
pertemuan dua orang atau lebih secara langsung untuk bertukar
informasi dan ide dengan tanya jawab secara lisan sehingga dapat
dibangun makna dalam suatu topik tertentu.16 Dalam hal ini penulis
melakukan wawancara kepada sesepuh yang meramal perhitungan
weton terhadap calon pasangan perkawinan dan kepada calon
pasangan yang masih melakukan adat tersebut.
b. Telaah Dokumentasi
Telaah dokumentasi adalah cara pengumpulan informasi yang
didapatkan dari dokumen, yakni peninggalan tertulis, arsip-arsip,
akta ijazah, rapor, peraturan perundang-undangan, buku harian,
surat-surat pribadi, catatan biografi dan lain-lain yang memiliki
keterkaitan dengan masalah yang diteliti.
15 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 1986), Cet. 2, h.
12. 16 Andi Prastowo, Metode Penelitian Kualitatif dalam Perspektif Rancangan Penelitian,
(Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2016) Cet. III, h. 212.
9
5. Teknik Penulisan
Teknis penulisan proposal skripsi ini mengacu kepada buku Pedoman
Penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta 2017.
E. Sistematika Penulisan
Di dalam melakukan penyusunan proposal skripsi ini penulis
memberi gambaran guna mempermudah pembaca dalam memahami
proposal ini, penulis menuyusunnya ke dalam lima bab. Isi dari proposal
singkat adalah sebagai berikut:
Bab pertama berisi latar belakang masalah, identifikasi,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
review studi terdahulu, metode penelitian serta rancangan sistematika
penulisan.
Bab kedua membahas tentang pernikahan dalam hukum Islam,
pernikahan dalam hukum adat dan weton.
Bab ketiga berisi gambaran umum masyarakat Desa Tegalgalagah
Kecamatan Bulakamba Kabupaten Brebes untuk menggambarkan tentang
profil masyarakat, letak geografis dan kondisi demografi.
Bab keempat penulis membahas mengenai praktik perhitungan
weton di Desa Tegalglagah, latar belakang masyarakat dalam menentukan
calon pasangan, pandangan masyarakat, dampak yang terjadi pada
masyarakat Tegalglagah yang sudah menikah dengan menggunakan
perhitungan weton dan pandangan hukum Islam tentang perhitungan
weton sebagai syarat perkawinan.
Bab kelima memuat kesimpulan dan saran-saran, sebagai akhir dari
penulisan ini sekaligus untuk menjadi bahan penulisan selanjutnya.
10
BAB II
PERNIKAHAN MENURUT ISLAM, ADAT JAWA, DAN
PENGETAHUAN TENTANG WETON
A. Pernikahan Dalam Hukum Islam
1. Pengertian
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, nikah berarti
perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri secara
resmi.17 Sedangkan kata kawin menurut bahasa artinya membentuk
keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin atau
persetubuhan.18
Kata nikah menurut arti bahasa adalah wath’i yang bermakna
bersetubuh atau kawin dan ikatan akad. Sedangkan menurut syara’,
ialah: akad yang meliputi rukun-rukun dan syarat-syarat dengan
tujuan, istima’ menjalin rasa kasih saying untuk mencapai kepuasan
lahir batin untuk menghindari pandangan mata yang haram serta
melestarikan keturunan yang shaleh.19
Secara arti kata nikah berarti “bergabung” (ضم), “hubungan
kelamin” ( وطء) dan juga berarti “akad” (عقد).20 Secara terminologi
perkawinan (nikah) yaitu akad yang membolehkan terjadinya istimta’
(persetubuhan) antara seorang pria dengan seorang wanita, selama
seorang wanita teersebut bukan seorang wanita yang diharamkan baik
dengan sebab keturunan atau seperti sebab susuan.21Istilah nikah
17 Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1994), cet. Ke-3, edisi ke-2, h. 614.
18 Departemen Pendidikan Dan Kebuudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 456.
19 Syamsudin Abu Abdilah, “Terjemah Fathul Qarib, Pengantar Fiqih Imam Syafi’i”,
(Surabaya: Mutiara Ilmu, 2010) h. 247.
20 Wahbah al Zuhayli, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Beirut: Daar al:Fikr, 1986), Jilid
1, h. 29. 21 Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, (Jakarta: Graha Ilmu,
2011), h. 4.
11
diambil dari Bahasa Arab, yaitu nakaha - yankihu – nikahan yang
mengandung arti nikah atau kawin.22
Nikah di dalam kitab I’anah Atthalibin, Muhammad Syata
ad-Dimyati menjelaskan bahwa nikah menurut Bahasa ialah:
النكاح لغة : الضم والجمع23
Artinya: “Nikah menurut bahasa ialah berhimpun atau berkumpul”.
Sementara itu, Abdurrahman al-Jaziri di dalam kitabnya, Al-
Fiqh ‘ala Mazhabil Arba’ah mengemukakan bahwa nikah secara
bahasa ialah:
النكاح لغة : الوطء والضم 24
Artinya : “Nikah menurut bahasa artinya wath’i (hubungan seksual)
dan berhimpun”.
Ibn Qasim al-Ghaza, dalam kitabnya al-Bajuri mengeukkan
bahwa makna nikah menurut bahasa adalah :
النكاح يطلق لغة : على الوطء والعقد25
Artinya : “Nikah menurut bahas ialah berhimpun, wath’i atau akad”.
Selain ketiga definisi yang dikemukakan di atas, masih
banyak lagi pengertian nikah secara bahasa yang dijelaskan para
ulama, namun kesemuanya itu bermuara dari satu makna yang sama
yaitu bersetubuh, berkumpul dan akad.
22 Mahmud Yunus, Kamus Bahasa Arab-Indonesia, (Jakarta: Hadikarya Agung, 1990), h.
467.
23 Muhammad Syata ad-Dimyati, I’anah atthalibin, Juz III (Bandung: al-Ma’arif, t.th.), h.
254.
24 Abdurrahman al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala Madzhabil Arba’ah, Jilid IV (Beirut: Dar al-Fikr,
t.th.), h. 1.
25 Ibn Qasim al-Ghaza, Hasyiah al-Bajri, Juz II (Semarang: Riyadh Putra), h. 90.
12
Sedangkan dalam istilah hukum Islam pernikahan yaitu akad
yang ditetapkan syara‟ untuk membolehkan bersenang-senang antara
laki-laki dengan perempuan.
Pernikahan menurut fikih:
جل 26 جل با لمراة وخل استمتاع المراة بالر وج شرعا هو عقد وضعه الشارع ليفيد ملك استمتاع الر الز
Artinya: “Perkawinan menurut syara’ yaitu akad yang
ditetapkan syara’ untuk membolehkan bersenang-senang antara laki-
laki dengan perempuan dan menghalalkan bersenang-senang
perempuan dengan laki-laki”.
Pernikahan merupakan salah satu perintah agama kepada
yang mampu untuk segera melaksanakannya, karena perkawinan
dapat mengurangi kemaksiatan, baik dalam bentuk penglihatan
maupun dalam bentuk perzinaan, orang yang berkeinginan untuk
melakukan pernikahan, tetapi belum mempunyai persiapan bekal
(fisik dan non fisik) dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW untuk
berpuasa.
Dalam Kompilasi Hukum Islam, pengertian perkawinan dan
tujuannya dinyatakan dalam pasal 2 dan 3 sebagai berikut:
Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 berbunyi :
“Perkawinan menurut hukum islam adalah pernikahan, itu merupakan
akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati
perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”
Dan Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam yaitu : “Perkawinan
bertujuan untuk mewujudkan kehidupan berumah tangga yang
Sakinah, mawaddah, dan rahmah.”27
Perkawinan menurut Undang;Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan Pasal 1 disebutkan “Perkawinan ialah ikatan lahir
batin antara sorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri
26 Wahbah Al Zuhayli, Al-Fiqh wa Adillatuhu, h. 29.
27 Zakiyah Daradjat, Ilmu Fikih, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), h. 37.
13
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Sedangkan
perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 2
disebutkan “Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan,
yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk menaati
perintah Allah SWT dan melaksanaannya merupakan ibadah”
2. Dasar Hukum
Pernikahan dalam Islam merupakan Sunnatullah yang sangat
dianjurkan karena perkawinan merupakan cara yang di pilih Allah
SWT untuk melestarikan kehidupan manusia dalam mencapai
kemaslahatan dan kebahagiaan hidup.28 Perkawinan diartikan dengan
suatu akad persetujuan antara seorang pria dan seorang wanita yang
mengakibatkan kehalalan pergaulan (hubungan) suami-istri, keduanya
saling membantu dan melengkapi satu sama lain dan masing-masing
dari keduanya memperoleh hak dan kewajiban.29
Pernikahan memiliki dasar hukum dalam pandangan Islam,
banyak merujuk pada Al-Qur’an, Al-Hadist, Ijma’ ulama fiqh, serta
ijtihad yang mengatakan bahwa perkawinan merupakan ibadah yang
disunahkan Allan dan Rasulullah. Sebagaimana firman Allah SWT
yaitu surat Adz-Dzariyat ayat 59 dan An-Nisa’ ayat 1. Adapun
perkawinan sebagai sunnah rasul dapat dilihat dari hadits berikut yang
artinya;
ج يامعشرالشباب فانه اغض للبصر واخصن للفرج ومن لم يستطع من استطاع منكم الباءة فليتزو
وم فانه له وجاء 30 فعليه بالص
28 As-Sayid Sabiq, Fiqih Al-Sunnah. (Beirut: daar al-Kitab al-‘Anabi, 1973), 11:6.
29 Abu Zahrah, al-Akhwal asy-Syahshiyah, (Kairo: Dar al-Fikri al-Arabi 1957), VIII:
6513.
30 Al Jami’ Ash Sholih min haditsi Rasulullahi Shallallahu ‘alaihi wasallama wa sunanihi
wa ayyamihi (Kairo: Maktabah Salafiyah, 1440 H), Juz III
14
“…. Siapa saja diantara kalian yang telah memiliki kemampuan untuk
menikah, hendaklah dia menikah; karena hal itu dapat menundukkan
pandangan serta lebih menjaga kemalua. Adapun bagi siapa saja yang
tidak (belum) mampu menikah, hendaklah ia berpuasa, karena itu
peredam (syahwat)nya”.
Sebagaimana yang terurai diatas ayat Al-Qur’an dan Hadits
dijadikan sebagai dasar menjalankan suatu pernikahan. Jumhur ulama
(mayoritas ulama) memiliki pendapat bahwa perkawinan pada
dasarnya hukumnya adalah sunnah. Ulama Malikiyah Muta’akhirin
memiliki pendapat bahwa perkawinan “hukumnya bisa bermacam-
macam hukumnya sebagian bisa wajib, sebagian lagi bisa jadi sunnah
dan mubah”. Adapun ulama Syafi’iyah menyampaikan bahwa hukum
asal suatu perkawinan ialah mubah, selain yang sunnah, wajib, haram
dan makruh.31
Para ulama mempunyai persetujuan Bersama yakni
perkawinan adalah hal yang disyari’atkan dalam syariah. Tetapi,
dasar hukumnya bisa berubah berdasarkan keadaan dan niat
seseorang. Hukum perkawinan berdasarkan kaidah fiqh yang
disampaikan diatas, dasar kaidah al-ahkam al-khamsa diantaranya
yaitu:32
a. Wajib
Perkawinan dihukumi wajib untuk pria dan Wanita yang telah
memiliki kemampuan melaksanakannya serta memliki rasa takut
jika terperosok dalam perbuatan zina.33 Perkawinan memiliki
tujuan untuk melindungi kehormatan Wanita dan pria tersebut.
Dalam hal ini pars ulama sependapat dan tidak ada perbedaan
31 Abd. Rahman Ghozaliy, Fiqh Munakahat,, (Jakarta : Prenada Media, 2003), h. 18.
32 Indah Purbasari, Hukum Islam Sebagai Hukum Positif Di Indonesia, (Malang : Setara
Press, 2017), h.79.
33 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah diterjemahkan oleh Abu Syauqina dan Abu Aulia Rahma,
(Jakarta : Tinta Abadi Gemilang, 2013), Jilid 3, h.206.
15
pendapat diantara mereka. Adapun hal sebaliknya dijelaskan
dalam Al-Qur’an surat An-Nur ayat 33.34
b. Sunnah (Dianjurkan)
Perkawinan menjadi sunnah apabila seseorang yang sudah
memiliki kemampuan materil maupun immaterial tapi belum
memiliki niat untuk menikah dan/atau dapat mengendalikan
nafsunya dengan kata lain ia tidak khawatir terjerumus dalam
perbuatan zina.35 Kecuali imam Syafi’i, Jumhur ulama
berpendapat jika ada orang yang demikian maka baiknya ia
diberikan pengertian untuk segera melakukan perkawinan, karena
perkawinan lebih baik dari pada ibadah sunnah lainnya. Karena
perkawinan adalah penyempurnaan setengah agama. Sesuai sabda
Nabi Muhammad SAW yaitu;
“apabila seseorang telah menikah, sungguh ia telah
menyempurnakan setengan dari agamanya. Hendaklah ia pun
selalu bertaqwa kepada Allah dalam menjaganya.”36
c. Mubah (Boleh)
Mubah merupakan kaidah hukum yang bersifat netral yang
mengatur suatu perbuatan boleh dilakukan. Mubah bukanlah suatu
yang diperintahkan, dianjurkan ataupun dilarang. Dengan kata
lain, perkara mubah memungkinkan sseorang memilih antara
melakukan dan meninggalkan. Mubah dalam Bahasa hukum
adalah sesuatu yang diizinkan. Kaidah ushul fiqh menuliskan
bahwa: Hukum asal sesuatu itu mubah hingga ada dalil yang
34 Syeikh Zainuddin ‘Abdul Aziz Al Malibary, Fathul Muin bi Syahril Qurrotil Aini
diterjemahkan oleh Aliy As’ad, (Kudus : Menara Kudus, 1980), Jilid 3, h. 2.
35 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah diterjemahkan oleh Abu Syauqina dan Abu Aulia Rahma,
h. 207.
36 H. R. Tha Thabrani. Haadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam ash
Shahihah Juz 2: 625.
16
mengharamkan.37 Oleh karena itu, hukum mubah pada dasarnya
berlaku atas segala hal yang tidak masuk klasifikasi/dalil perintah,
anjuran hal yang bersifat mubah QS. Al-Baqarah ayat 275 9
tambah ayatnya) yaitu;
ب يأكلون الذين كمايقوم واليقومون الر ن يتخبته الذي ال لك المس من الشيط قالوآ بانهم ذ
ب مثل انماالبيع م البيع للا واحل واالر وا وحر ب ن موعظة جآءه فمن الر ب ه م ى ر فله فانته
ب آلءك عادفاو ومن للا الى وامره ماسلف خلدون فيها هم النار اصح
“Orang-orang yang makan (mengambil riba) tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan
lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian
itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat),
sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang
yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya lalu terus
berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah
diambilnya dahulu (sebelum dating larangan) dan urusannya
(terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangu (mengambil
riba), maka orang itu adalah penghuni neraka, mereka kekal
didalamnya.38”
Untuk seseorang yang dapat melakukan perkawinan tapi ia tidak
melakukan perkawinan sebab ia tidak khawatir akan berbuat zina
dan jika ia melakukan perkawinan ia tidak menyiakan istri.
Perkawinan itu hanya ia lakukan atas dasar memenuhi nafsunya
saja bukan bertujuan menjaga kehormatan agama dan menciptakan
rumah tangga sejahtera.
d. Makruh
Makruh pada dasarnya adalah kebalikan dari sunnah. Jika sunnah
adalah suatu yang dianjurkan, makruh adalah suatu yang dibenci
37 Yusuf Qardhawi, Muammal hamidy (Penerjemah), Halal dan Haram dalam Islam,
(Jakarta : Bina Ilmu, 1983), h. 14.
38 Qur’an Surat Al-Baqarah, 2:275.
17
Allah sehingga perbuatan yang bersifat makruh patuh untuk
dihindari.39 Untuk orang yang bisa melakukan perkawinan dan
dapat menahan hawa nafsunya sehingga ia tidak dikhawatirkan
melakukan perbuatan zina meskipun ia tidak kawin. Tetapi ia tidak
memiliki keinginan yang kuat untuk memenuhi kewajiban seorang
suami istri yang baik.
e. Haram
Haram merupakan suatu bentuk larangan yang bersifat mutlak.
Jika orang yang beragama islam menaati aturan hukum Islam
makai ia akan memperoleh ganjaran berupa pahala, jika
melanggarnya makai ia berdosa. Perkara haram ini adalah
kebalikan halal (jaiz/mubah/boleh). Menyatakan sesuatu haram
adalah hak-Nya yang telah jelas terdapat pada al-qur’an dan
sunnah. Karenanya, seorang mujtahid wajib berhati-hati Ketika
menafsirkan dan menetapkan suatu yang haram terhadap hal yang
bersifat kontemporer.40 Hal yang haram pada dasarnya telah
ditetapkan al-Qur’an seperti; larangan riba (al-Baqarah:275),
larangan makan babi, bangkai, darah, sembelihan tanpa menyebut
nama Allah (QS al-Maidah ayat 5).
3. Rukun dan Syarat Sah Pernikahan
A. Pengertian rukun, syarat, dan sah
Rukun yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan
tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam
rangkaian pekerjaan itu, seperti membasuh muka untuk wudhu’
39 Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada), h. 18.
40 Yusuf Qardhawi, Muammal Hamidy (Penerjemah), Halal dan Haram dalam Islam,
(Surabaya: Bina Ilmu, 1980), h. 18.
18
dan takbiratul ihram untuk shalat. Atau adanya calon pengantin
laki-laki/perempuan dalam perkawinan.41
Syarat yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan
tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk
dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti menutup aurat untuk shalat.
Atau, menurut Islam, calon pengantin laki-laki/perempuan itu
harus beragama Islam.42 Sah yaitu sesuatu pekerjaan (ibadah) yang
memenuhi rukun dan syarat.43
B. Rukun Perkawinan
Jumhur ulama sepakat bahwa rukun perkawinan itu terdiri atas:44
1. Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan
perkawinan.
2. Adanya wali dari pihak dari calon pengantin Wanita.
Akad nikah akan dianggap sah apabila ada seorang wali atau
wakilnya yang akan menikahkannya, berdasarkan sabda Nabi
Saw.:
أيماامراة نكحت بغيراذن وليهافنكاحهاباطل |المصدر : صحيح أبي داودالرقم: 452083
“Perempuan mana saja yang menikah tanpa seizin walinya,
maka pernikahannya batal.”
Dalam Hadis lain Nabi Saw bersabda.:
ج المرأة نفسها )رواه ابن ماجه والدار قطني(46 ج المرأة و لتزو لتزو
41 Abdul Hamid Hakim, Mabadi Awwaliyyah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), cet ke-1,
juz I, h. 9.
42 Wahbah al-Zuhailly, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, h. 36.
43 Wahbah al-Zuhailly, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, h. 37.
44 Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fikih Munakahat 1, (Bandung: CV. Pustaka Setia,
1999), cet. Ke-1, h. 64-68.
45 As-Sajistani, Abu Dawud Sulaiman Bin Al-Asy, Sunan Abi Dawud, Cet.2,. Riyadh:
Maktabah Al-Ma’arif, 2007 46 Syaikh Abu Hasan Ali bin Umar bin Umar bin Ahmad Al Baghdadiy, Sunan
Daruquthni, (Beirut Daar Ibnu Hazm, Cet.1/2011)
19
“Janganlah seorang perempuan menikahkan perempuan
lainnya, dan janganlah seorang perempuan menikahkan
dirinya sendiri”
3. Adanya dua orang saksi
Pelaksanaan akad nikah akan sah apabila dua orang saksi yang
menyaksikan akad nikah tersebut, berdasarkan sabda Nabi
Saw.:
ل نكاح ال بولي وشاهدى عدل )رواه احمد( 47
4. Sighat akad nikah
Yaitu ijab kabul yang diucapkan oleh wali atau wakilnya dari
pihak wanita, dan dijawab oleh calon pengantin laki-laki.
Tentang jumlah rukun nikah ini, para ulama berbeda pendapat:
Imam Malik mengatakan bahwa rukun nikah itu ada lima
macam, yaitu:
a. Wali dari pihak perempuan
b. Mahar (maskawin)
c. Calon pengantin laki-laki
d. Calon pengantin perempuan
e. Sighat akad nikah
Imam Syafi’i berkata bahwa rukun nikah ada lima macam,
yaitu:
a. Calon pengantin laki-laki
b. Calon pengantin perempuan
c. Wali
d. Dua orang saksi
e. Sighat akad nikah.
47 Syaikh Abu Hasan Ali bin Umar bin Umar bin Ahmad Al Baghdadiy, Sunan
Daruquthni, (Beirut Daar Ibnu Hazm, Cet.1/2011)
20
Menurut ulama Hanafiyah, rukun nkah itu hanya ijab dan
qabul saja, (yaitu akad yang dilakukan oleh pihak wali
perempuan dan calon pengantin laki-laki). Adapun menurut
segolongan yang lain rukun nikah itu ada empat, yaitu:
a. Sighat (ijab dan qabul)
b. Calon pengantin peerempuan
c. Calon pengantin laki-laki
d. Wali dari pihak pengantin perempuan
Pendapat yang mengatakan bahwa rukun nikah itu ada empat,
karena calon pengantin laki-laki dan calon pengantin
perempuan digabung menjadi satu rukun, seperti terlihat
dibawah ini.
Rukun perkawinan:
a. Dua orang yang saling melakukan akad perkawinan, yakni
mempelai laki-laki dan mempelai perempuan.
b. Adanya wali.
c. Adanya dua orang saksi.
d. Dilakukan dengan sighat tertentu.48
5. Mahar untuk mempelai
C. Syarat Sahnya Perkawinan
Syarat-syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya
perkawinan. Apabila syarat-syaratnya terpenuhi, maka perkawinan
itu sah dan menimbulkan adanya segala hak dan kewajiban suami
istri. Pada garis besarnya syarat-syarat sahnya perkawinan itu ada
dua:49
1. Calon mempelai perempuannya halal dikawin oleh laki-laki
yang ingin menjadikan istri. Jadi perempuannya itu bukan
48 Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, h. 33-35.
49 Zakiyah Daradjat, Ilmu Fikih, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), h. 38.
21
merupakan orang yang haram dinikahi untuk sementara
maupun untuk selama-lamanya.
2. Akad nikahnya dihadiri para saksi
Secara rinci, masing-masing rukun diatas akan dijelaskan
syarat-syarat sebagai berikut:50
a. Syarat-syarat kedua mempelai
Syarat-syarat pengantin pria. Syarat Islam menentukan
beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh calon suami
bedasarkan ijtihad para ulama, yaitu:
1) Calon suami beragama islam
2) Terang (jelas) bahwa suami itu betul laki-laki
3) Orangnya diketahui dan tertentu
4) Calon mempelai laki-laki itu jelas halal kawin
dengan calon istri
5) Calon mempelai laki-laki tahu/kenal pada calon
istri serta tahu betul istrinya halal baginya
6) Calon suami rela (tidak dipaksa) untuk melakukan
perkawinan itu
7) Tidak sedang melakukan ihram
8) Tidak mempunyai istri yang haram di madu
dengan calon istri
9) Tidak sedang mempunyai istri empat
b. Syarat-syarat calon pengantin perempuan:
1. Beragama Islam atau ahli kitab
2. Terang bahwa ia wanita, bukan khuntsa (banci)
3. Wanita itu tentu orangnya
4. Halal bagi calon suami
5. Wanita itu tidak dalam ikatan perkawinan dan
tidak masih dalam ‘iddah
50 Muhammad bin Ismail Khahlani Shan’ani, Subulussalam, diterjemahkan Abu Bakar
Muhammad, (Surabaya: Al Ikhlas, 1995), h. 423.
22
6. Tidak dipaksa/iktiyar
7. Tidak dalam keadaan ihram haji atau umrah
c. Syarat-syarat ijab kabul
Pernikahan wajib dilakukan dengan ijab dan kabul
dengan lisan. Inilah yang dinamakan akad nikah (ikatan
atau perjanjian perkawinan). Bagi orang bisu sah
perkawinannya dengan syarat tangan atau kepala yang
bisa dipahami.
Ijab dilakukan oleh pihak wali mempelai perempuan atau
walinya, sedangkan Kabul dilakukan oleh mempelai laki
– laki atau wakilnya.
Menurut pendirian Hanafi, boleh juga ijab Kabul oleh
pihak perempuan itu telah baligh dan berakal, dan boleh
sebaliknya
Ijab dan Kabul dilakukan di dalam satu majelis, dan
tidak boleh ada jarak yang lama antara ijab dan kabul
yang dapat merusak kesatuan akad dan kelangsungan
akad, dan masing - masing ijab Kabul belah pihak dan
dua orang saksi.
Hanafi membolehkan ada jarak antara ijab dan Kabul
asal masih di dalam satu majelis dan tidak ada hal yang
menunjukan salah satu pihak berpaling dari maksud
akad itu.
Lafadz yang digunakan untuk akad nikah adalah lafadz
nikah atau tazwij, yang terjemahkannya adalah kawin
dan nikah , sebab kalimat – kalimat itu terdapat di dalam
kitabullah dan sunah,. Demikian menurut asy – Syafi`i
dan Hambali. Sedangkan Hanafi memperbolehkan
dengan kalimat lain yang tidak dari Al- Qur`an, misalnya
menggunakan kalimat hibah, sedekah, pemilikan dan
23
sebagainya, dengan alasan, kata – kata ini adalah majas
yangbisa yang artinya perkawinan.
Contoh kalimat akad nikah :
انكحتك ..... بنت .... بمحرالف روبية حا ل
Artinya : “Aku kawinkan engkau dengan …. Binti….
dengan mas kawin Rp.1.000 tunai.”
Jawab atau kalimat kabul yang digunakan wajiblah sesuai
dengan ijab.
Akad nikah itu wajib dihadiri oleh : dua orang saksi laki-
laki, muslim, baligh, berakal, melihat (tidak buta),
mendengar (tidak tuli), dan mengerti tentang maksud akad
nikah dan juga adil. Saksi merupakan syarat sah
perkawinan.
Menurut Hanafi dan Hambali, saksi itu boleh seorang laki-
laki dan dua orang buta atau dua orang fasik (tidak adil).
Perkawinan wajib dengan akad nikah dan dengan lafadz ata
dengan kalimat tertentu.
1. Syarat-syarat wali
Perkawinan dilangsungkan oleh wali pihak mempelai
perempuan atau wakilnya dengan calon suami atau
wakilnya. Wali hendaklah seorang laki-laki, muslim,
baligh, berakal dan adil (tidak fasik).
Perkawinan tanpa wali tidak sah, berdasarkan sabda Nabi
SAW:51
لنكاح البولى
Artinya : “Tidak sah pernikahan tanpa wali.”
51 Muhammad bin Ismail Khahlani Shan’ani, Subulussalam, diterjemahkan Abu Bakar
Muhammad, (Surabaya: Al Ikhlas, 1995), h. 423.
24
2. Syarat-syarat saksi
Saksi yang menghadiri akad nikah haruslah dua orang
laki-laki, muslim, baligh, berakal, melihat dan
mendengar serta mengerti (paham) akan maksud akad
nikah.
Tetapi menurut golongan Hanafi dan Hambali, boleh
juga saksi itu satu orang lelaki dan dua orang perempuan.
Dan menurut Hanafi, boleh dua orang buta atau dua
orang fasik (tidak adil). Orang tuli, orang tidur dan orang
mabuk tidak boleh menjadi saksi. Ada yang berpendapat
bahwa syarat-syarat itu adalah sebagai berikut:
a. Berakal, bukan orang gila
b. Baligh, bukan anak-anak
c. Merdeka, bukan budak
d. Islam
e. Kedua orang saksi itu mendengar.52
4. Tujuan dan Hikmah Perkawinan
Manusia diciptakan Allah SWT mempunyai naluri
manusiawi yang perlu mendapat pemenuhan. Mengenai naluri
manusia seperti tersebut pada ayat 14 surat Al- Imran:53
زين للناس حب الشهوات من النسآء و البنين والقناطير
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia keecintaan kepada apa-
apa yang diingini, yaitu: Wanita-wanita, anak-anak, harta yang
banyak”
Melihat uraian diatas dan memperhatikan uraian imam Al-Ghazali
dalam Ihyana tentang faedah melangsungkan perkawinan, maka
tujuan perkawinan itu dapat dikembangkan menjadi lima, yaitu:54
52 Slamet Abidin dan Aminuddin, Fikih Munakahat, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999),
h. 94.
53 Abdur Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 22-23.
54 Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, h. 24.
25
A. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan.
B. Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwatnya dan
menumpahkan kasih sayangnya.
C. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan
kerusakan.
D. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima
hak serta kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh
harta kekayaan yang halal.
E. Membangun rumah tangga untuk membentuk rumah tangga dan
untuk membentuk masyarakat yang tentram atas dasar cinta dan
kasih sayang.
Tujuan perkawinan menurut Undang-Undang perkawinan
sudah tercantum dengan jelas di dalam isi pada Pasal 1 Undang-
Undang Perkawinan, tujuan perkawinan adalah: “Membentuk
keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa”. 55
Selain memiliki tujuan, Pernikahan dalam islam juga
mempunyai hikmah dan manfaat yang sangat besar. Beberapa hikmah
dari pernikahan tersebut diantaranya:56
A. Pernikahan sejalan dengan fitrah manusia untuk berkembang biak,
dan keinginan untuk melampiaskan syahwat secara manusiawi dan
syar’i.
B. Upaya menghindarkan diri dari perbuatan maksiat.
C. Terwujudnya kehidupan yang tenang dan tentram.
D. Membuat ritme kehidupan seseorang menjadi lebih tertib, teratur,
dan mengembangkan sikap kemandirian serta tanggung jawab.
55 K. Wantjk Saleh, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1978),
h. 14.
56 Asrorun Ni’am, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, (Jakarta: Elasas.
2008), h. 42-44.
26
E. Pernikahan dan adanya keturunan akan mendatangkan rezeki yang
halal serta berkah.
F. Nikah mempunyai kontribusi di dalam membentuk pribadi untuk
berprilaku disiplin.
G. Memperkokoh tali persaudaraan antar masyarakat.
H. Dapat menghasilkan keturunan yang baik, jelas nasabnya dan
semakin mempererat hubungan antar sesama.
Menurut Ali Ahmad Al-Jurjawi, hikmah-hikmah Perkawinan itu
banyak antara lain:57
A. Dengan pernikahan maka banyaklah keturunan.
B. Keadaan hidup manusia tidak akan tentram kecuali jika keadaan
rumah tangganya teratur. Kehidupannya tidak akan tenang kecuali
dengan adanya ketertiban rumah tangga.
C. Laki-laki dan perempuan adalah dua sekutu yasng berfungsi
memakmurkan dunia masing-masing dengan ciri khasnya berbuat
dengan berbagai macam pekerjaan.
D. Adanya istri akan bisa menghasilkan kesedihan dan ketakutan.
E. Pernikahan akan menjaga pandangan yang penuh syahwat terhadap
apa yang tidak di hilangkan untuknya.
F. Perkawinan akan memelihara keturunan serta menjaganya.
G. Berbuat baik yang banyak lebih baik daripada berbuat baik sedikit.
H. Jika sudah menikah terdapat anak dan istri yang mendoakan.
Menurut Sayyid Sabiq menyebutkan pada hikmah-hikmah yang lain
sebagai berikut:58
A. Kawin merupakan jalan alami dan biologis alami dan biologis
yang paling baik dan sesuai untuk menyalurkan dan memuaskan
naluri seks.dengan kawin,badan jika segar, jiwa jadi tenang,mata
57 Abdur Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, h. 22-23.
58 Abdur Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, h. 69-72.
27
terpelihara,dari melihat yang haram perasaan tenang menikmati
barang yang halal.
B. Kawin jalan terbaik untuk menciptakan anak-anak menjadi mulia,
memperbanyak keturunan, melestarikan hidup manusia serta
memelihara nasab.
C. Naluri kedepaan dan keibuan akan tumbuh saling melengkapi
dalam suasana hidup dengan anak-anak dan akan tumbuh pula
perasaaan, ramah, cinta dan sayang yang menyempurnakan
kemanusiaan seseorang,
D. Menyadari tanggung jawab yang akan menimbulkan sikap rajin
dan sungguh-sungguh dalam memperkuat bakat dan pembawaan
seseorang.
E. Adanya pembagian tugas.
F. Dalam perkawinan, diantaranya dapat membuahkan tali
kekeluargaan, memperteguh kelenggangan rasa cinta antara
keluarga, dan memperkuat hubungan kemasyarakan yang oleh
islam restui, dipotong dan ditunjang.
5. Larangan Pernikahan Dalam Islam
Hukum perkawinan telah diatur sedemikian rupa oleh Syariah
sehingga ia dapat membentuk suatu umat yang ideal. Untuk mencapai
tujuan itu, Al-qur’an dan sunnah telah menjelaskan macam-macam
larangan dalam perkawinan.59 Secara garis besar, larangan kawin antara
seorang laki-laki dan seorang Wanita menurut syara’ dibagi menjadi dua
yaitu halangan abadi dan halangan sementara. Halangan abadi yang telah
disepakati, yaitu:60
59 Abdur Rahman, Perkawinan dalam Syariat Islam, Penerjemah: Basri Iba Asghari dan
Wadi Masturi, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1992), h. 17.
60 Abdur Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, h. 103.
28
A. Nasab (Keturunan)
B. Pembesanan (Pertalian Kerabat Semenda)
C. Sesusuan
Sedangkan yang diperselisihkan ada dua, yaitu:61
A. Zina
B. Li’an
Halangan-halangan sementara ada Sembilan, yaitu:62
A. Halangan bilangan
B. Halangan mengumpulkan
C. Halangan kehambaan
D. Halangan kafir
E. Halangan ihram
F. Halangan sakit
G. Halangan iddah
H. Halangan perceraian tiga kali bagi suami yang menceraikan
I. Halangan peristrian
Orang-orang yang terhalang untuk dinikahi karena ada hubungan dengan
nasab ada 7 macam, yaitu:
A. Ibu (dan urutan keatasnya)
B. Anak (dan urutan keatasnya)
C. Saudara Perempuan
61 Abdur Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, h. 103.
62 Abdur Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, h. 103.
29
D. Bibi (Saudara Perempuan Ayah)
E. Bibi (Saudara Perempuan Ibu)
F. Keponakan dari saudara perempuan
G. Keponakan dari saudara laki-laki.
Hal ini sesuai dengan firman Allah surat An-Nisa’ ayat 23:63
مت هاتكم عليكم حر اتكم واخواتكم وبناتكم ام الخت وبنات الخ وبنات وخالتكم وعم
”Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anakmu yang
perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara
perempuan, saudara-saudara ayahmu yang perempuan, saudara-
saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-
saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-
saudaramu yang perempuan”.
Tafsirnya: Menurut Ibnu Katsir, ayat teersebut merupakan ayat yang
mengharamkan Wanita yang disebut mahram karena pertalian nasab,
susuan dan persemendaan, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi
Hatim dari Ibnu Abbas, dia berkata: diharamkan kepadamu tujuh
golongan karena persemendaan.64
Wanita yang haram dinikahi karena faktor persusuan yaitu Ibu yang
menyusui dan Saudara perempuan sepersusuan.65 Dan yang terlarang
untuk dinikahi karena hubungan mushaharan (basanan) ada 4 macam
yaitu :
A. Ibu dari istri neneknya
B. Anak dan istri
63 Abdul Fatah Idris dan Abu Ahmadi, Fikih Islam Lengkap, (Jakarta: PT Rineka Cipta,
2004), h. 238-239.
64 Abdul Wahab Abd. Muhaimin, Ayat-Ayat Perkawinan dan Perceraian dalam Kajian
Ibnu Katsir, (Jakarta: Gaung Persasda Press), h. 38-39.
65 Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, h. 32.
30
C. Istri ayah (mertua)
D. Istri anak (menantu).
Di Indonesia juga memiliki peraturan yang menentukan
perkawinan mana yang diperbolehkan dan perkawinan mana yang
dilarang menurut hukum.66 Dalam Komplikasi Hukum Islam (KHI),
larangan kawin seperti yang telah diuraikan diatas, dijelaskan pula secara
rinci dalam pasal 39 sampai pasal 44.67 Dalam Undang-undang
Perkawinan menentukan beberapa larangan untuk melangsungkan
perkawinan yang dimuat dalam pasal 8, 9 dan 10.68 Ketentuan dalam
pasal 8 itu telah sangat mendekati ketentuan-ketentuan larangn
perkawinan dalam islam.69
Sesuai pasal 8 Undang-Undang Nomor. 1 Tahun 1974 menyatakan
“Melarang Perkawinan antara dua orang yang mempunyai hubungan
darah baik keatas, kebawah maupun garis menyamping mempunyai
hubungan semeda, hubungan susuan, hubungan saudara dengan istri dan
hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang
kawin”. Pasal 9 melarang seorang yang masih terkait tali perkawinan
dengan orang lain untuk kawin lagi, Kecuali ada izin dari pengadilan.
Dan pasal 10 melarang perkawinan Kembali antara suami-istri bercerai
untuk kedua kalinya.70
Larangan pernikahan selain orang yang akan menikah sebagai
objek pelarangan nikah, Islam juga mencantumkan beberapa jenis
pernikahan sebagai objek pelarangan untuk menikah, diantaranya yaitu:
66 R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bandung: Sumur
Bandung, 1991), h. 34.
67 Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, h. 114-227.
68 K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, h. 27.
69 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia: Berlaku bagi Umat Islam, h. 54.
70 Asmin, Status Perkawinan Antar Agama: Ditinjau dari Undang-Undang Perkawinan
1/1974, (Jakarta: PT Dian Rakyat, 1986), h. 25.
31
nikah mut’ah (kawin kontrak), nikah syighar (nikah yang didasarkan
kepada janji atau kesepakatan kepada janji atau kesepakatan penukaran),
nikah muhallil (nikah dengan tujuan menghalalkan perempuan yang
dinikahinya agar dinikahi oleh mantan suaminya yang mentalak tiga) dan
pernikahan silang (nikah beda agama).71
B. Pernikahan Dalam Hukum Adat Jawa
1. Pengertian
Pernikahan merupakan pristiwa yang sangat penting dalam
kehidupan masyarakat kita. Sebab pernikahan tidak hanya menyangkut
pria dan wanita bakal mempelai saja, tetapi juga orang tua kedua belah
pihak saudara-saudaranya, bahkan keluarga mereka masing-masing.
Dalam hukum adat pernikahan itu bukan hanya merupakan peristiwa
penting bagi mereka yang masih hidup saja, tetapi pernikahan juga
merupakan peristiwa yang sangat pening serta sepenuhnya juga
mendapat perhatian dan diikuti oleh arwah-arwah para leluhur kedua
belah pihak.
Dengan demikian pernikahan menurut adat merupakan
suatu hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan, bahkan antara
masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain. Pernikahan juga
dapat diartikan sebagai ikatan lahir batin antara laki-laki dan
perempuan dengan tujuan membentuk suatu keluarga bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.72
Pernikahan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang laki-
laki dengan perempuan sebagai pasangan suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga yang Bahagia dan kekal. Pernikahan dianggap
sebagai suatu yang sakral, agung, dan monumental bagi setiap
pasangan hidup seseorang. Dari kehidupan kedua belah pihak
diharapkan mampu bertahan sepanjang hidupnya. Proses pernikahan
71 Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, h. 34-37.
72 Laksanto Utomo, Hukum Adat (Depok: PT Raja Grafindo Persada, 2017) h. 90.
32
dianggap sebagai ritual dengan syarat dan simbol kehidupan,
khususnya bagi orang yang menggunakan adat tradisional.
Pernikahan merupakan suatu tradisi sosial yang sudah diakui
dalam setiap kebudayaan atau masyarakat. Dari makna pernikahan
berbeda-beda, tetapi dalam pernikahan dari hampir semua kebudayaan
yaitu cenderung sama pernikahan menunjukkan suatu peristiwa saat
sepasang calon suami istri di pertemukan secara formal dihadapan
ketua agama, saksi dan sejumlah beberapa wali untuk disahkan secara
resmi dengan upacara dan ritual tertentu.73
2. Pernikahan Dalam Adat Jawa
Pernikahan adat Jawa adalah bentuk sinkretisme pengaruh
adat Hindu dan Islam dalam adat Jawa, sajen, hitungan, pantangan,
dan mitos-mitos masih kuat mengakar.74 Pernikahan menurut
masyarakat Jawa adalah hubungan cinta kasih yang tulus antara
seorang pemuda dan pemudi yang pada dasarnya terjadi karena sering
bertemu antara kefua belah pihak, yaitu perempuan dan laki-laki.
Pepatah jawa mengatakan “tresno jalaran soko kulino” yang artinya
adalah cinta kasih itu tumbuh karena terbiasa.75
Pernikahan ideal menurut masyarakat adat Jawa ialah suatu
bentuk pernikahan yang terjadi dan dikehendaki oleh masyarakat.
Suatu bentuk pernikahan yang terjadi berdasarkan suatu pertimbangan
tertentu, tidak menyimpang dari ketentuan aturan-aturan atau norma-
norma yang berlaku di dalam masyarakat setempat.76 Seseorang yang
73 Kartono Kartini, Psikologi Wanita: Gadis Remaja Dan Wanita Dewasa, (Bandung:
Mandar Madu, 1992), h. 23.
74 Ibn Isma’il, Islam Tradisi, Studi Komparatif Budaya Jawa Dengan Tradisi Islam,
(Kediri: TETES Publishing, 2011), h. 92.
75 Ririn Mas’udah, “Fenomena Mitos Penghalang Perkawinan Dalam Masyarakat Adat
Trenggalek”. Jurnal Hukum dan Syariah, Vol. 1, No. 1. (2010), h. 01-120.
76 Ririn Mas’udah, “Fenomena Mitos Penghalang Perkawinan Dalam Masyarakat Adat
Trenggalek”. Jurnal Hukum dan Syariah, Vol. 1, No. 1. (2010), h. 01-120.
33
akan melangsungkan hajat pernikahan memiliki pertimbangan-
pertimbangan khusus dalam pemilihan jodoh, pertimbangan ini juga
diperhitungkan karena terkait dengan konsep bibit, bobot, bebet dalam
membina hubungan suami istri.77
Orang Jawa mengartikan pernikahan merupakan lambang
pertemuan antara pengantin wanita yang cantik serta pengantin pria
yang gagah dalam suatu susunan kerajaan Jawa, yang sudah
ditetapkan dari generasi ke generasi oleh masyarakat Jawa. Dalam
kebudayaan, merupakan suatu fenomena yang universal. Dimana
setiap masyarakatnya memiliki kebudayaan sendiri, meskipun dalam
bentuk dan coraknya yang berbeda-beda dari masyarakat lainnya.78
Bagi penduduk Jawa terutama yang masih memegang teguh
adat Jawa, peranan orang tua dalam aktifitas penikahan itu tidak dapat
ditinggalkan. Dalam menentukan jodoh untuk anak-anaknya yang
sudah remaja, segala sesuatunya mereka perhitungkan melalui
konsepsi-konsepsi adat yang berlaku di dalam masyarakatnya. Dasar
yang dipakai oleh orang tua untuk menentukan atau memilih jodoh
anak-anaknya pada umumnya merupakan pantangan-pantangan atau
larangan-larangan menikah.79 Pantangan atau larangan dalam
masyarakat Jawa ini seperti sudah menjadi hukum adat yang berlaku
di masyarakat, sehingga orang tua sangat mengupayakan untuk selalu
melakukan hukum adat tersebut. Jika tidak melakukan hal tersebut
maka akan mendapat sanksi sosial dalam kehidupan dalam
bermasyarakat, seperti di cemooh atau menjadi bahan gunjingan
masyarakat setempat.
77 Suwardi Endraswara, Falsafah Hidup Jawa, (Cakrawala: Tangerang 2003), h. 114.
78 Suseni, Makna Budaya Budaya Jawa Dalam Komunikasi Antar Budaya, (Jakarta:
2001), h.5.
79 Kusuk Kholik, “Mitos-Mitos Penghalang Perkawinan Pada Adat Jawa Dalam
Perspektif Hukum Islam”, Jurnal USRATUNA, Vol. 1, No. 2. (Juli 2018), h. 1-26.
34
3. Tradisi Kepercayaan Masyarakat Adat Jawa
Tradisi merupakan kebiasaan yang terus dilakukan dari
generasi ke generasi di dalam sebuah masyarakat. Tradisi merupakan
roh dari sebuah kebudayaan. Tanpa tradisi tidak mungkin suatu
kebudayaan akan hidup dan langgeng. Dengan tradisi hubungan antara
individu dengan masyarakatnya bisa harmonis. Dengan tradisi sistem
kebudayaan akan menjadi kokoh namun bila tradisi dihilangkan maka
ada harapan suatu kebudayaan akan berakhir disaat itu juga. Suatu
tradisi akan di pertahankan jika tradisi itu masih memiliki peran bagi
kehidupan masyarakat, akan tetapi jika sudah tidak memiliki peran
maka secara perlahan akan terkikis dan tergantikan oleh perubahan
zaman.80
Menurut khazanah Bahasa Indonesia, tradisi berarti segala
sesuatu seperti adat, kebiasaan, ajaran dan sebagainya, yang turun
temurun dari nenek moyang. Tradisi merupakan warisan masa lalu
yang dilestarikan terus hingga sekarang, dapat berupa nilai, norma
sosial, pola kelakuan dan adat kebiasaan lain yang merupakan wujud
dari berbagai aspek kehidupan.81
Kepercayaan merupakan sejumlah konsep abstrak yang di
konstruksikan oleh setiap individu yang memberi makna pada
lilngkungan social, natural dan keagamaan. Seluruh kehidupan
individu dikonstruksikan, diekspresikan, dan direkonstruksikan.
Kepercayaan tidak menghasilkan tingkan laku secara langsung tetapi
menetapkan seperangkat parameter yang digunakan individu untuk
80 Muhammad Syukri Albani Nasution Dkk, Ilmu Sosial Budaya Dasar Cet. 1, h. 82.
81 Ana Latifah, “Kepercayaan Masyarakat Terhadap Upacara Tradisi Satu Sura Di Desa
Traji Kecamatan Paarakan Kabupaten Temanggung”. (Skripsi Fakultas Ushuluddin Universitas
Islam Negeri Walisongo Semarang, 2014), h. 25.
35
merespons kekuatan-kekuatan di lingkungan tersebut dan tindakan-
tindakan orang lain.82
Kepercayaan keagamaan tidak hanya mengakui keberadaan
benda-benda dan makhluk-makhluk astral tetapi seringkali
memperkuat dan mengokohkan keyakinan terhadapnya.83
Kepercayaan, mitos, dogma, dan legenda-legenda Jawa jelas
merupakan representasi atau sistem resprentasi yang
mengekspreksikan hakikat hal-hal yang sakral, kebaikan dan
kekuatan-kekuatan yang dihubungkanpadanya, mitos-mitos Jawa pun
ada yang dipandang sakral, bertuah, dan mencerminkan berbagai
tindakan ritual. Dengan demikian, spiritual atau agama Jawa tidak
dapat di pisahkan dengan dunia magis.84
Dalam budaya Jawa pra Islam yang bersumberkan dari ajaran
agama Hindu terdapat kepercayaan tentang adanya para dewata seperti
dewa Brahma, Dewa Wisnu, dan Dewa Siwa serta masih banyak lagi
para dewa. Sepert halnya kepercayaan kitab-kitab suci, orang-orang
suci, roh-roh jahat, hukum karma dan hidup bahagia abadi. Para
agama primitf sebagai agama orang Jawa sebelum kedatangan agama
Hindu atau Buddha, inti kepercayaannya adalah percaya kepada daya-
daya kekuatan ghaib yang menempati pada benda (dinamisme), serta
percaya kepada roh-roh ataupun makhluk-makhlik halus yang
menempati suatu tempat atau benda, baik hidup ataupun benda mati
(animisme).85
Kepercayaan-kepercayaan dari agama Hindu, Buddha
ataupun animisme dan dinamisme berinterelasi dengan kepercayaan-
82 Mark R. Woodward, Islam Jawa, Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, (Yogyakarta:
IRCiSoD, 2017), h. 34.
83 Elizabeth K. Nottingham, Agama dan Masyarakat : Suatu Pengantar Sosiologi Agama,
(Jakarta: CV Rajawali, 1990), h. 13.
84 H. Suwardi Emdraswara, Agama Jawa, (Yogyakarta: Lembu Jawa, 2012), h. 33.
85 Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2000), h 122.
36
kepercayaan Islam telah menyatu dengan berbagai unsur keyakinan
Hindu-Buddha ataupun kepercayaan primitif.86 Hal tersebut
menjadikan timbul pemahaman baru di kalangan orang Jawa bahwa
setiap gerakan, kekuatan, dan kejadian di alam ini disebabkan oleh
makhluk-makhluk yang ada disekelilingnya. Keyakinan semacam itu
terus terpelihara dalam tradisi dan budaya Jawa, atau dalam
kepustakaan budaya disebut “Kejawen”, yaitu keyakinan atau ritual
campuran antara agama formal dengan keyakinan yang mengakar kuat
di kalangan masyarakat Jawa. Sebagai contoh, banyak orang yang
menganut agama Islam, tapi dalam praktik keagamaannya tidak
meninggalkan keyakinan warisan nenek moyang mereka. Hal itu bisa
juga memang berkat hasil pendalamannya terhadap keyakinan warisan
tersebut dan Islam secara integral.87
Para pengamat dan peneliti telah membuktikan bahwa orang
Jawa memiliki kepercayaan yang beragam. Praktik keagamaan orang
Islam banyak dipengaruhi oleh keyakinan lama yaitu animism, Hindu,
Buddha, maupun kepercayaan kepada alam yaitu dinamisme. Oleh
karena itu masih ditemukan orang-orang yang berpedoman pada
primbon sistem perhitungan atau ramalan dalam melakukan aktivitas
tertentu.88
Merujuk pada pendapat Clifford Geertz, bahwa Geertz
memilah masyarakat Jawa kedalam tiga golongan utama yaitu
golongan santri, yang merupakan kalangan muslim ortodoks.
Golongan priyayi yaitu kalangan bangsawan yang dipengaruhi oleh
tradisi-tradisi Hindu-Jawa. Sedangkan golongan abangan yaitu
86 Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2000), h 123.
87 Ahmad Khalil, Islam Jawa, Sufisme dalam Etika dan Tradisi Jawa, (Malang: UIN-
Malang Press, 2008), h. 45.
88 Ahmad Khalil, Islam Jawa, Sufisme dalam Etika dan Tradisi Jawa, (Malang: UIN-
Malang Press, 2008), h. 46.
37
masyarakat desa pemeluk animisme.89 Geertz menyebut bahwa
pandangan dunia Jawa adalah agama Jawa, baik sebagai agama
abangan, agama santri, maupun agama priayi, menurut lapisan-
lapisan masyarakat. Menurut Suseno, menjelaskan bahwa dalam
pandangan dunia Jawa ada empat lingkaran bermakna yaitu :
a. Lingkaran pertama, lingkaran yang bersifat ekstrovert. Sikap
terhadap dunia luar yang dialami sebagai kesatuan kepercayaan
ukhrowi antara alam, masyarakat, dan alam adikodrati yang
keramat, serta dilaksanakan dalam kegiatan ritual tanpa refleksi
eksplisit terhadap dimensi batin sendiri (secara kental dan kuat
dalam masyarakat desa). Geertz menyebutnya sebagai agama
abangan.
b. Lingkaran kedua, memuat penghayatan kekuasaan politik
sebagai ungkapan alam numinous (ukhrowi, adikodrati).
c. Lingkaran ketiga, berpusat pada pengalaman tentang keakuan
sebagai jalan kepersatuan dengan Maha Kodrati. Unsur-unsur
lingkaran pertama diterjemahkan kedalam dimensi pengalaman
kebatinan sendiri, dan sebaliknya, alam lahir di strukturisasikan
dengan bertolak dari dimensi batin. Geertz menyebutnya
sebagai agama priyayi. Puncak wujud ini adalah usaha
mencapai pengalaman mistik.
d. Lingkaran keempat adalah penentuan semua lingkaran
pengalaman oleh yang Ilahi, oleh takdir.90
4. Fungsi Dan Tujuan Dalam Hukum Adat Jawa
Rumusan hukum adat perkawinan menurut Djaren Saragih
ialah keseluruhan kaidah hukum yang menentukan prosedur yang
harus ditempuh oleh dua orang yang bertalian kelamin dalam
89 Mark r. Woodward, Islam Jawa, Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, (Yogyakarta:
IRCiSoD, 2017), h. 47.
90 Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2000), h 67.
38
menciptakan kehidupan bersama dalam suatu rumah tangga dengan
tujuan untuk meneruskan keturunan. Perkawinan ditinjau dari
kacamata hukum adat menurut Soekanto bukan hanya suatu peristiwa
yang mengenai mereka yang bersangkutan (perempuan dan laki-laki
yang menikah) saja, akan tetapi juga bagi orangtuanya, saudara-
saudaranya dan keluarga-keluarganya.91
Perkawinan tidak hanya dikategorikan sebagai peristiwa
penting bagi mereka yang masih hidup saja, namun pula perkawinan
dianggap sebagai salah satu peristiwa berarti bagi arwah para leluhur
dari kedua belah pihak.92 Berlainan dengan opini Soekanto, Van Dijk
menegaskan bahwa perkawinan menurut hukum adat berkaitan
dengan urusan familie, masyarakat, martabat dan pribadi.93 Seorang
ahli sosiologi Perancis, A. Van Gennep mengistilahkan keseluruhan
upacara-upacara perkawinan sebagai “rites de passage” (upacara-
upacara peralihan). Upacara-upacara peralihan yang melambangkan
perubahan status dari kedua mempelai yang semula hidup terpisah,
namun setelah melaksanakan upacara perkawinan menjadi hidup
bersatu dalam suatu kehidupan bersama sebagai suami isteri. Rites de
passage terdiri dari tiga tahapan, yaitu :94
a. Rites de separation yaitu upacara perpisahan dari status semula
b. Rites de marge yaitu upacara ke status yang baru
c. Rites d’aggregatation yaitu upacara penerimaan ke dalam status
yang baru
91 Soerjono Soekanto dan Soleman B. Taneko, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Rajawali
Pers, 2016), h. 100-101.
92 Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta: Toko
Gunung Agung, 1995), h. 121.
93 Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia, (Dalam Kajian Kepustakaan), Bandung:
Alfabeta, 2013, h. 222.
94 Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, (Jakarta: Toko
Gunung Agung, 1995), h. 123.
39
Tujuan dari suatu ikatan perkawinan menurut Profesor Hazairin untuk
menjamin ketenangan atau yang dikenal dengan istilah koalte,
kebahagiaan atau yang juga dikenal dengan istilah welvaar, dan
kesuburan atau vruchtbaarheid dalam terminologi Belanda.95
Tidak hanya diartikan sebagai ikatan di antara kedua pihak
yang melangsungkan perkawinan semata, hukum adat memandang
perkawinan sebagai ikatan kekeluargaan bahkan hubungan antar
masyarakat adat. Djojodiguno mengemukakan bahwa sebagai suatu
konsekuensi dari timbulnya suatu ikatan perkawinan, paguyuban
hidup atau yang lazim disebut dengan istilah somah dalam bahasa
Jawa merupakan pokok ajang hidup suami istri beserta anak-anaknya
kelak. Dapat dikatakan bahwa sejatinya, perkawinan tak melulu
mengenai suami istri, namun secara lebih luas merupakan cerminan
dari lahirnya suatu kaidah mengenai hukum keluarga. Hukum
keluarga merupakan keseluruhan ketentuan yang mengenai hubungan
hukum yang bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah dan
kekeluargaan karena perkawinan layaknya kekuasaan orang tua,
perwalian, pengampuan, keadaan tak hadir.96
Akibat Hukum dari hubungan orangtua dan anak menurut
hukum adat menurut Ter Haar ialah:97
1. Larangan perkawinan antara anak dengan orangtuanya;
2. Kewajiban orangtua untuk mengurus anaknya;
3. Pada perkawinan anak perempuan, maka sang ayah berperan
sebagai wali.
95 Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, (Jakarta: Toko
Gunung Agung, 1995), h. 122.
96 Ali Afandi, Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian, (Jakarta: Rineka
Cipta, 1997), h. 93.
97 Soerjono Soekanto, Intisari Hukum Keluarga, (Bandung: Alumni, 1980), h. 49.
40
Hukum adat memandang istilah perkawinan secara luas. Tujuan
perkawinan bagi masyarakat hukum adat yang bersifat
kekerabatan, adalah untuk mempertahankan keturunan menurut
garis kebapakan atau keibuan atau keibu-bapakan, kebahagiaan
rumah tangga keluarga/kerabat, memperoleh nilai-nilai adat
budaya dan kedamaian, dan mempertahankan kewarasan.98
Dalam lingkaran masyarakat adat yang masih kuat
menggenggam prinsip kekerabatan berdasarkan ikatan keturunan,
perkawinan berfungsi untuk :99
1. Suatu nilai hidup untuk dapat meneruskan keturunan,
mempertahankan silsilah dan kedudukan keluarga yang bersangkutan
2. Sarana untuk memperbaiki hubungan kekerabatan yang telah jauh
atau retak
3. Sarana pendekatan dan perdamaian antar kerabat
Bersinggungan dengan pernyataan tersebut, Soerjono Soekanto dalam
buku Intisari Hukum Keluarga memaparkan secara terperinci fungsi
perkawinan ialah sebagai berikut :100
1. Lembaga sosial yang mengatur perilaku manusia di bidang seks
2. Sarana hidup untuk memenuhi kebutuhan manusia akan kawan
hidup
3. Lembaga yang berisikan hak-hak serta kewajiban-kewajiban
mengenai hubungan suami, istri, dan anak
4. Sarana untuk mendapatkan kedudukan sosial tertentu
5. Sarana untuk memenuhi kebutuhan manusia akan harta kebendaan
98 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Menurut Perundangan, Hukum
Adat, Hukum Agama, (Bandung: Mandar Maju, 1990), h. 23.
99 Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia (Dalam Kajian Kepustakaan), (Bandung:
Alfabeta, 2013), h. 222.
100 Soerjono Soekanto, Intisari Hukum Keluarga, (Bandung: Alumni, 1980), h. 16.
41
6. Lembaga untuk memelihara hubungan baik dengan kelompok
kekerabatan di dalam masyarakat
7. Sarana untuk mengadakan asimilasi
8. Lembaga untuk membentuk keluarga batih yang berfungsi sebagai
tempat berlindung, kesatuan sosial-ekonomis, serta tempat
bersosialisasi
5. Larangan Pernikahan dalam Tradisi Jawa
a. Menikah di bulan Syuro/ Muharram
Bagi masyarakat Islam -Jawa, bulan Syuro sebagai bulan keramat
sehingga menimbulkan kepercayaan bahwa bentuk-bentuk kegitaan
tertentu seperti pernikahan,hajatan, dan sebagainya tidak berani
melakukan, bukan berarti tidak boleh. Akan tetapi masyarakat Islam-
Jawa memliki anggapan bahwa bulan Syuro/Muharram itu merupakan
bulan yang paling agung dan termulia, sebagai bulan (milik) Gusti
Allah. Karena terlalu memuliakan bulan Syuro ini maka dalam sistem
kepercayaan masyarakat, dipercayai hamba dan manusia “tidak kuat”
atau memandang “terlalu lemah” untuk menyelenggarakan hajatan pada
bulan Allah itu.101
Bagi masyarakat Jawa, hamba atau manusia yang “kuat” untuk
melaksanakan hajatan pada bulan itu hanyalah raja atau sultan.
Sehingga bulan Syuro ini dianggap sebagai bulan hajatan bagi keraton,
dimana rakyat biasa akan “kualat” jika ikut-ikutan melaksanakan
hajatan tertentu. Sementara bagi masyarakat Islam-Jawa, sultan
dipandang sebagai “wakil Allah” (khilafatullah) di muka bumi. Maka
gelar sutan ini dianggap sebagai symbol perilaku agung, sehingga
disebut ngarso dalem (yang di depan anda) atau sampeyan dalem (kaki
anda), dimana rakyat memiliki posisi di bawah sultan.102
101 K. H. Muhammad Sholikhin, Misteri Bulan Suro Perspektif Islam Jawa, (Yogyakarta:
NARASI, 2009), h. 84.
102 K. H. Muhammad Sholikhin, Misteri Bulan Suro Perspektif Islam Jawa, (Yogyakarta:
NARASI, 2009), h. 84.
42
b. Posisi Rumah Berhadapan
Posisi rumah yang berhadapan menjadi permasalahan bagi calon
pasangan yang akan menikah dalam adat Jawa. Masyarakat Jawa
menyakini jika pernikahan tetap dilaksanakan maka dalam
pernikahannya mengalami musibah/ kesialan seperti kekurangan rezeki,
atau salah satu keluarganya ada yang meninggal.
c. Pernikahan Anak Pertama dan Ketiga
Pernikahan anak pertama dan anak ketiga dalam adat Jawa
dipercayai bisa menimbulkan kesialan dalam perjalanan rumah tangga
nantinya seperti bercerai, selalu mempunyai masalah yang berlarut-larut
didalam rumah tangganya. Oleh karena itu pernikahan seperti ini
dilarang atau menjadi sebuah pantangan dalam masyarakat adat Jawa.
d. Pernikahan dari saudara-saudara Misan
Orang Jawa menyebutkan dengan istilah sedulur misan (tunggal
mbah buyut), yaitu Angkatan 4 ke bawah. Bila calon jodoh berasal dari
kelompok saudara ipar, orang jawa menyebutnya istilah krambil
sejenjang. Menurut anggapan, pantangan itu bila dilanggar akan
mengakibatkan salah satu diantara mereka meninggal.
e. Wetonan
Bila calon jodoh itu tidak sesuai dengan hari kelahiranya, orang
jawa menyebutnya dengan istilah neptune ora cocok (neptunya tidak
cocok). Adapun istilah neptu berasal dari kata-kata yang berarti sesusai
atau tidak sesuai. Maka perjodohan diantara mereka dapat digagalkan,
karena memungkinkan hidup suami istri itu tidak bahagia. Diantara
langkah-langkah yang dilakukan dalam menghitungnya adalah:
pertama, menghitung jumlah neptu (hari kelahiran) calon pengantin
wanita ditambah jumlah hari kelahiran calon pengantin laki-laki dibagi
5. Kedua, menggunakan perhitungan hari kelahiran laki-laki dan wanita
dan aksara Jawa. Pertimbangan lain adalah keturunan dan watak.
Pertimbangan ini juga diperhitungkan karena terkait dengan konsep
bobot, bebet, dan bibit dalam membina hubungan suami istri. Dan
43
apabila pertimbangan-pertimbangan tersebut ada ketidak cocokan maka
perjodohan mereka dapat digagalkan.103
f. Sedulur Pancer Walia atau Pancer Lanang
Bila calon itu (anak gadis) anka saudara laki-laki ayah, orang jawa
menyebutnya dengan istilah sedulur pancer.104
Tradisi larangan menikah ini sangatlah kental dalam masyarakat adat
Jawa, mereka tidak bersni melanggar larangan-larangan tersebut karena
banyak kalangan masyarakat yang memiliki kepercayaan bahwa tradisi
larangan itu akan mengakibatkan hal buruk atau musibah seperti
kesulitan ekonomi, tertimpa penyakit, perceraian, kematian dan
sebagainya. Sehingga penundaan bahkan pembatalan pernikahan
menjadi sebuah solusi untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.
Dalam hal ini, pihak calon pasangan suami istri sangat dikecewakan
akan adanya pembatalan tersebut sehingga tak jarang banyak yang
frustasi. Bukan karena ketidak cocokan lahir batin di antara mereka
tetapi karena adanya semacam “rambu-rambu” larangan menikah yang
sudah menjadi normal dalam masyarakat.105 Adanya ketetapan-
ketetapan yang dijadikan tradisi tersebut sangatlah bertentangan dalam
islam bahkan tidak ada ajaran islam yang mengatur tentang larangan
pernikahan berdasarkan tradisi adat, Adapun larangan nikah dalam
konteks islam adalah larangan menikah karena nasab, sepersusuan dan
karena ada hubungan pernikahan serta sebab syara’ lainnya.
C. Weton
1. Pengertian Weton
103 K. H. Muhammad Sholikhin, Misteri Bulan Suro Perspektif Islam Jawa, (Yogyakarta:
NARASI, 2009), h. 113
104 Ririn Mas’udah, “Fenomena Mitos Penghalang Perkawinan Dalam Masyarakat Adat
Trenggalek”, h. 01-120
105Miftahul Huda, “Membangun Model Bernegosiasi Dalam Tradisi Larangan-Larangan
Perkawinan Jawa”, Jurnal Epistme, Vol. 12 No. 2 (Desember 2017), h. 383-409.
44
Weton dalam bahasa Indonesia adalah hari lahir: senin,
selasa, rabu, dan seterusnya. Neptu adalah jumlah atau nilai masing
masing hari: senin 4, selasa 3, pon 7 dan seterusnya. Masing-masing
hari mempunyai nilai atau jumlah yang sering di pakai oleh
masyarakat Jawa.106
Weton dalam bahasa Jawa berasal dari kata “wetu” yang
berarti lahir atau keluar yang mendapat akhir “an” sehingga berubah
menjadi kata benda. Yang disebut Weton adalah gabungan antara hari
pasaran bayi dilahirkan ke dunia.107 Namun ada juga yang mengartikan
weton berarti hari lahir seseorang dengan pasarannya, misal: Senin
Wage, Selasa Pahing, Rabu Legi, Kamis Pon atau Jum’at Kliwon (ada
5 hari pasaran, yaitu Pahing, Pon, Wage, Kliwon dan Legi).108 Lima
hari hari tersebut dinamakan Pasaran, karena masing-masing nama itu
sejak zaman kuno digunakan untuk menentukan dibukanya pasar bagi
para pedagang, sehingga pada hari yang ditentukan, untuk suatu pasar
akan banyak kunjungan pedagang menjual dagangannya, dan banyak
dikunjungi orang yang berbelanja. Kalau mengungkap dari leluhur
zaman dahulu, nama 5 hari tersebut sebetulnya diambil atau berasal
dari nama: 5 ROH, nama-nama ROH tersebut adalah 1. Batara Legi, 2.
Batara Paing, 3. Batara Pon, 4. Batara Wage, 5. Kliwon. Bagian pokok
dari Jiwa Manusia yang sudah menjadi pengetahuan dan keyakinan
leluhur orang Jawa sejak jaman purba sampai sekarang.109
Berhubung : 5 hari pasaran itu pada hakikatnya mengambil dari
nama Jiwa manusia yang disebut : “Sedulur papat limo pancer”, dari
106 Purwadi dan Enis Niken, Upacara Pengantin Jawa, (Yogyakarta: Panji Pustaka,
2007), h. 184.
107 Romo RDS Ranoewidjojo, Primbon Masa Kini Warisan Nenek Moyang Untuk
Meraba Masa Depan, (Jakarta: Bukune, 2009), h. 17.
108 Lukmanul Hakim, Kamus Santri At Taufiq, Jawa Arab-Indonesia, (Jepara: Al Falah
Publisher)
109 Soenandar Hadikoesoema, Filsafat Ke-Jawaan Ungkapan Lambang Ilmu Gaib Dalam
Seni-Budaya Peninggalan Leluhur Jaman Purba, (Jakarta: YudhAgama Corporation, 1985), h. 57.
45
itu kalangan masyarakat Jawa sampai sekarang ini terdapat naluri
menggunakan nama : 5 Pasaran tersebut untuk dijadikan titikan bagi
perangan seseorang menurut hari Pasaran kelahirannya.110
2. Definisi Hitungan Jawa (Weton)
Kalender adalah penanggalan yang memuat nama-nama bulan, hari
tanggal dan hari-hari keagamaan seperti terdapat pada kalender
Masehi. Kalender Jawa memiliki arti dan fungsi tidak hanya sebagai
petunjuk hari libur ata hari keagamaan, tetapi menjadi dasar dan ada
hubungannya denga napa yang disebut Petangan Jawi, yaitu
perhitungan baik buruk yang dilukiskan dalam lambang dan watak
suatu hari, tanggal, bukan, tahun, pranata mangsa, wuku, neptu, dan
lain-lain.111
Hitungan Jawa sudah ada sejak jaman dahulu, merupakan catatan
dari leluhur berdasarkan pengalaman baik buruk yang dicatat dan
dihimpun dalam Primbon. Kata Primbon berasal dari kata rimbu
berarti simpan atau simpanan, maka primbon memuat bermacam-
macam catatan oleh suatu generasi diturunkan kepada generasi
penerusnya.112
Hitungan Jawa yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah
hitung-hitungan yang dipakai dalam acara prosesi pernikahan pada
masyarakat Jawa. yang dalam pelaksanaannya masyarakat Jawa
menggunakan cara-cara hitungan yang sudah dijalankan sejak zaman
nenek moyang. Dalam hitungan Jawa masyarakat Jawa menggunakan
kalender. Diantara pedoman perhitungan tersebut ialah : (1) Kalender
Saka (2) Petangan jawi (Pranata Mangsa) atau biasa disebut juga
110 Soenandar Hadikoesoema, Filsafat Ke-Jawaan Ungkapan Lambang Ilmu Gaib Dalam
Seni-Budaya Peninggalan Leluhur Jaman Purba, h. 59.
111 Purwadi dan Enis Niken, Upacara Pengantin Jawa, (Yogyakarta: Panji Pustaka,
2007), h 149.
112 Purwadi dan Enis Niken, Upacara Pengantin Jawa, h. 154.
46
kalender kaum tani. (3) Kalender Sultan Agungan, yaitu perubahan
kalender yang dilakukan oleh Sultan Agung yang Pada waktu itu
menjadi Raja Mataram yang terkenal patuh beragama Islam itu
merubah kalender di Jawa secara revolusioner. Perubahan kalender
Jawa itu terjadi dan mulai dengan tanggal 1 Sura tahun Alip 1555,
tepat pada tanggal 1 Muharram tahun 1043 Hijriyah, yang bertepatan
juga dengan 8 Juli 1633.
3. Tinjauan Hitungan Jawa (Weton)
Pada hakikatnya hitungan pada masyarakat Jawa pada acara
prosesi pernikahan adalah cara untuk mencapai keselamatan dan
kesejahteraan hidup lahir dan batin. Dengan pedoman catatan catatan
leluhur (Primbon) hendaknya tidaklah diremehkan meskipun diketehui
tidak mengandung kebenaran yang mutlak, catatan leluhur tersebut
sebagai pedoman penghati-hati mengingat pengalama leluhur.113
Karena pentingnya memilih jodoh, dalam budaya jawa ada
perhitungan weton, yaitu perhitungan hari lahir kedua calon mempelai,
Namun perhitungan ini bukanlah penentu diterima atau tidak. Hal ini
lebih sering di pahami sebagai ramalan nasib masa depan kedua
mempelai.114
4. Tata Cara dan Macam-Macam Hitungan Jawa (Weton)
Masyarakat dalam melestarikan tradisi kebudaayaan dengan
mengikuti ajaran nenek moyang guna mendapatkan keselamatan,
ketentraman kehidupan. Shingga sebagai masyarakat terdahulu dalam
menentukan hari baik pernikahan sangat berhati-hati yan mengandung
maksud terhadap arti dari sebuah kehidupan115
113 Purwadi dan Enis Niken, Upacara Pengantin Jawa, h. 158
114 M. Hariwijaya, Perkawinan adat Jawa, (Jogjakarta: Hanggar Kreator, 2005), h. 72.
115 Waryunah Irmawati, “Makna Simbolik Upacara Siraman Pengantin Adat Jawa”,
Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, Vol.21, No.2, (November,2013), h. 310.
47
Sebelum menikah sebuah pasangan harus melalui beberapa syarat
dan perhitungan yang dahulu sangat dipercaya oleh nenek moyang
kita,sampai saat ini masih ada beberapa kelompok masyarakat yang
mematuhi syarat-syarat tersebut, Pada zaman dahulu dalam memilih
pasangan hidup masyarakat Jawa selalu memakai istilah bibit, bebet
dan bobot yang maksudnya adalah asal usul juga silsilah keluarga
calon pasangan tersebut berpengaruh bagi sebuah jalinan.
Petangan Jawi memberikan pedoman atau petunjuk akan lambing
dan watak sebagai berikut :
1. Hari dan pasaran
a. Ahad, wataknya: samudana (pura;pura) artinya : suka kepada
lahir, yang kelihatan.
b. Senin, wataknya: samuwa (meriah), artinya: harus baik segala
pakaryan.
c. Selasa, wataknya: sujana (curiga), artinya: serba tidak percaya
d. Rabu, wataknya: sembada (serba sanggup, kuat), artinya:
mantab dari segala pakaryan
e. Kamis, wataknya: surasa (perasa), artinya: suka berfikir
(merasakan sesuatu) dalam-dalam
f. Jumat, wataknya: suci, artinya bersih tingkah lakunya
g. Sabtu, wataknya: kasumbung (tersohor), artinya suka pamer
2. Petungan Pasaran
a. Pahing, wataknya: melikan, artinya suka kepada barang yang
kelihatan
b. Pon, wataknya: pamer artinya suka memamerkan harta miliknya
c. Wage, wataknya: kedher kaku hati
d. Kliwon, wataknya: micara artinya dapat mengubah Bahasa
48
e. Legi, wataknya: komat artinya sanggup menerima segala
keadaan.116
3. Neptu Hari Pasaran
Perhitungan yang dimulai pada zaman Sutan Agung
Hanyakrakusuma 8 Juli 1633 M atau 1043 H itu memiliki arti
khusus bagi orang Jawa. Dengan system kalender yang mengacu
pada lunar system calendar atau perhitungan bulanan, sistem ini
berbeda dari Masehi yang mengacu pada putaran matahari (solar
system calendar). Memang, perhitungan Jawa, betapa pun
masyarakat terus berkembang maju, tetaplah penting. Perhitungan
itu merupakan hasil budaya leluhur. Fungsinya agar orang yang
telah tahu jadi berhati-hati.
1) Neptu Hari
a) Minggu (Ahad) hari ke-1
b) Senin hari ke-2
c) Selasa hari ke-3
d) Rabu hari ke-4
e) Kamis hari ke-5
f) Jum’at hari ke-6
g) Sabtu hari ke-7
2) Neptu Pasaran
a) Legi pasaran ke-1
b) Pahing pasaran ke-2
c) Pon pasaran ke-3
d) Wage pasaran ke-4
e) Kliwon pasaran ke-5
116 Purwadi dan Enis Niken, Upacara Pengantin Jawa, (Yogyakarta: Panji Pustaka,
2007), h. 155.
49
Weton dalam budaya Jawa sangat berpengaruh dalam kehidupan
sehari-hari. Diantaranya, sebagai hitungan dalam mencari hari baik saat
akan melangsungkan pernikahan terdapat hari dan pasaran mempunyai
pola bilangan masing-masing. Adapun nilai dari hari dan pasaran adalah
sebagai berikut :
Tabel 1.0 hari dan pasaran
Hitungan Weton, Neptu, Dan Pasaran117
No. Hari Nilai Pasaran Nilai
1. Minggu 5 Kliwon 8
2. Senin 4 Legi 5
3. Selasa 3 Pahing 9
4. Rabu 7 Pon 7
5. Kamis 8 Wage 4
6. Jum’at 6
7. Sabtu 9
Jumlah 42 Jumlah 33
Neptu hari pasaran kelahiran untuk perkawinan. Hari dan
pasaran dari kelahiran dua calon temanten yaitu anak perempuan dan
anak lelaki masing-masing dijumlahkan dahulu, kemudian masing-
masing dibuang (dikurangi) sesuai hitungan kelipatan. Dibawah ini
adalah contoh hitungan yang dipakai masyarakat untuk sebuah
pernikahan:
117 Rd. Mugihardja, Primbon Jawa Sangkan Paraning Manungsa, (Surabaya: 1969), h.
18.
50
Perhitungan kepribadian/individual berdasarkan penjumlahan
hari lahir dan pasaran dengan kelipatan 5
Sisa 1 (Sri) = Pengasih, dikasihi, disukai banyak orang
Sisa 2 (Rezeki) = Rezekinya ada terus
Sisa 3 (Gedong) = Dipercaya, amanah, pemimpin
Sisa 4 (Loro) = Sakit ragawi atau rohani
Sisa 5 (Pati) = Kematian, mati rasa, kehilangan salah satu, ga ada cinta,
bangkrut
Sisa 0 itu bisa dianggap sisa 5 (Pati)
Contoh :
Hari lahir anak itu Rabu Wage
Rabu (7) Wage (4) = 11
11 dibagi 5 = sisa 1 (Sri) = Pengasih, dikasihi, disukai banyak orang
Perhitungan calon mempelai laki-laki dan perempuan berdasarkan
penjumlahan hari lahir dan pasaran dengan kelipatan 5
Sisa 1 (Sandang) = Pakaian, kedua calon itu dipertemukan itu bagus /
indah
Sisa 2 (Pangan) = Makan, selalu dapat makanan terus atau rezeki
Sisa 3 (Gedong) = Dipercaya, amanah, pemimpin
Sisa 4 (Loro) = Sakit ragawi atau rohani
Sisa 5 (Pati) = Kematian, mati rasa, kehilangan salah satu, ga ada cinta,
bangkrut
Sisa 0 itu bisa dianggap sisa 5 (Pati)
Contoh :
51
Yuda Selasa (3) Legi (5) = 8
Nabila Kamis (8) Wage (4) =12
8 + 12 = 20 dibagi 5 sisa 0 itu bisa dianggap sisa 5 (Pati) = Kematian,
mati rasa, kehilangan salah satu, ga ada cinta, bangkrut.
Perhitungan calon mempelai laki-laki dan perempuan berdasarkan
penjumlahan hari lahir dan pasaran dengan kelipatan 4
Sisa 1 (Gonto) = Jarang / Sedikit Keturunannya / susah punya anak
Sisa 2 (Gembili) = Banyak Keturunannya
Sisa 3 (Sri) = Rezeki Berlimpah
Sisa 4 (Punggel) = Salah Satunya Akan Meninggal
Sisa 0 itu bisa dianggap sisa 4 (Punggel)
Contoh :
Agung lahir Selasa (3) Wage (4) = 7
Sinta lahir Senin (4) Wage (4) = 8
7 + 8 = 15 dibagi 4 sisa 3 (Sri) = Rezeki Berlimpah
Perhitungan calon mempelai laki-laki dan perempuan berdasarkan
penjumlahan hari lahir dan pasaran dengan kelipatan 7
Sisa 1 (Pesti) = Pasti
Sisa 2 = Jodoh
Sisa 3 (Padu) = Bertengkar
Sisa 4 (Pegat) = Pisah/Cerai
Sisa 5 (Pati) = Kematian, mati rasa, kehilangan salah satu, susah punya
anak, ga ada cinta
Sisa 6 (Gunem) = omongan, di gosipkan/di gibahi
52
Sisa 7 (Ratu) = Harmonis, anaknya pintar, rezeki lancar
Sisa 0 itu bisa dianggap sisa 7 (Ratu)
Contoh :
Raka lahir Senin (4) Pon (7) = 11
Sarah lahir Rabu (7) Legi (5) = 12
11 + 12 = 23 dibagi 7 sisa 2 = Jodoh
Melalui hari dan pasaran tersebut, dari pasangan pengantin dapat
menemukan wetonnya. Jika sudah ketemu hasilnya, lalu dengan
menjumlahkan dari masing-masing weton pasangan. Cara tersebut sudah
menjadi patokan untuk menemukan hari baik pernikahan.
Weton (hari lahir dan pasaran) calon pengantin laki laki dan
perempuan masing-masing di jumlahkan lalu masing masing dikurangi 9
dari sisanya bisa kita cocokkan dengan hitungan sebagai berikut:
Jumlah Angka Hitungan Sebelum Pernikahan:
1 dan 1 Baik, saling mencintai dan dikasihi
1 dan 2 Baik
1 dan 3 Kuat, tetapi jauh rizkinya
1 dan 4 Banyak bahayanya
1 dan 5 Cerai
1 dan 6 Jauh dari kemakmuran
1 dan 7 Banyak musuh
1 dan 8 Teromban ambing/sengsara
1 dan 9 Menjadi beban/tempat berlindung
2 dan 2 Selamat, banyak rizkinya
2 dan 3 Salah satu meninggal terlebih dahulu
2 dan 4 Banyak cobaan
2 dan 5 Banyak bahayanya
53
2 dan 6 Cepat menjadi kaya
2 dan 7 Anaknya banyak yang meninggal
2 dan 8 Murah rizkinya
2 dan 9 Banyak rizkinya
3 dan 3 Miskin
3 dan 4 Banyak bahayanya
3 dan 5 Cepat bercerai
3 dan 6 Mendapat anugrah
3 dan 7 Banyak kesialannya
3 dan 8 Cepat meninggal salah satu
3 dan 9 Banyak rizki
4 dan 4 Sering sakit
4 dan 5 Banyak mengalami godaan
4 dan 6 Banyak rezeki
4 dan 7 Miskin
4 dan 8 Banyak halangannya/rintangan
4 dan 9 Kalah salah satu
5 dan 5 Beruntung terus
5 dan 6 Tersedia rizkinya
5 dan 7 Tercukupnya, makmur
5 dan 8 Banyak kendala
5 dan 9 Makmur
6 dan 6 Besar halangannya
6 dan 7 Rukun/tentram
6 dan 8 Banyak musuh
6 dan 9 Terombang ambing
7 dan 7 Penghianatan oleh istrinya
7 dan 8 Mendapat bahaya dari diri sendiri
7 dan 9 Kekal pernikahan nya
8 dan 8 Disayangi orang
8 dan 9 Banyak kesialannya
54
9 dan 9 Susah rizkinya.
Contoh:
Calon pengantin laki-laki weton (hari lahir dan pasarannya) adalah
rabu kliwon neptu atau jumlahnya (7 + 8 =15 ) dikurangi 9 sisa 6. Calon
pengantin perempuan weton (hari lahir dan pasarannya) adalah minggu
pon neptu atau jumlahnya (5 + 7 = 12) dikurangi 9 sisa 3. 6 dan 3 adalah
mendapat anugrah jadi bagus untuk dilanjutkan.
Dalam sebuah kasus nyata di dalam masyarakaat singosaren tatkala
pernikahan terjadi kemudian di kemudian hari terdapat suatu kejanggalan
antara pernikahan si A dan si B yang menurut mereka dikarenakan
kesalahan dalam perhitungan pernikahan yang mengakibatkan perolehan
hasil panen yang menurun, kemudian dilakukanlah hitungan ulang dan
dengan hasil dilakukan ijab dan kabul untuk kedua kalinya.118
Hari kelahiran mempelai laki-laki dan mempelai wanita, apabila :
Ahad dan Ahad = sering sakit
Ahad dan Senin = banyak sakit
Ahad dan Selasa = miskin
Ahad dan Rebo = selamat
Ahad dan Kamis = cekcok
Ahad dan Jum’at = selamat
Ahad dan Sabtu = miskin
Senen dan Senen = tidak baik
Senen dan Selasa = selamat
Senin dan Rebo = anaknya perempuan
Senin dan Kamis = disayangi
Senin dan Jum’at = selamat
Senin dan Sabtu = direstui
118 Purwadi dan Enis Niken, Upacara Pengantin Jawa, (Yogyakarta: Panji Pustaka,
2007), h. 187.
55
Selasa dan Selasa = tidak baik
Selasa dan Rebo = kaya
Selasa dan Jum’at = bercerai
Selasa dan Sabtu = sering sakit
Rebo dan Kamis = selamat
Rebo dan Jum’at = selamat
Rebo dan Sabtu = baik
Rebo dan Rebo = tidak baik
Jum’at dan Sabtu = celaka
Sabtu dan Sabtu = tidak baik
Naga Dina (Nogo Dino)
Keberuntungan berdasarkan Naga Dina :
Hari :
Jum’at = ada di timur
Sabtu dan Minggu = ada di selatan
Senin, Selasa, Rabu, Kamis = ada di utara
Pasaran :
Legi = ada di timur
Pahing = ada di selatan
Pon = ada di barat
Wage = ada di utara
Kliwon = ada di tengah
Hari-hari yang di larang untuk dipergunakan:
Bulan Suro Rabu Pahing
Bulan Sapar Kamis Pon
Bulan Maulud Jum’at Pon
Bulan Bakdal Maulud Sabtu Kliwon
Bulan Jumadil Awal Senin Kliwon
56
Bulan Jumadil Akhir Selasa Legi
Bulan Rajab Kamis Pon
Bulan Ruwah Rabu Pahing
Bulan Ramaadhan Jum’at Wage
Bulan Sawal Sabtu Kliwon
Bulan Selo Senin Kliwon
Bulan Besar Selasa Legi
Hari larangan untuk keperluan apa saja :
a. Minggu Pahing
b. Rabu Legi
c. Sabtu Kliwon
d. Kamis Pon119
Selain perhitungan diatas banyak juga yang percaya bahwa tidak
semua bulan baik untuk melaksanakan hari pernikahan. Dibawah ini
adalah bulan baik dan tidak baik untuk melaksanakan pernikahan:
Suro : Sering bertengkar, berantakan (Jangan di langar)
Sapar : Kekurangan, banyak hutang (Bisa di langar)
Maulid : meninggal salah satu (Jangan di langar)
Robiul Akhir : Menjadi bahan gossip jelek (Bisa di langar)
Jumadil Awal : Sering kehilangan, ditipu, banyak musuh (bisa di
langar)
Jumadil Akhir : Kaya
Rajab : Banyak anak dan selamat
119 Purwadi dan Enis Niken, Upacara Pengantin Jawa, (Yogyakarta: Panji Pustaka,
2007), h. 181.
57
Ruwah : Lancar dalam semua kebaikan
Puasa : Celaka besar (Jangan di langar)
Syawal : Kekurangan, bsnysk hutang (Bisa di langar)
Zulhijah : Sakit keras, sering cekcok sama teman (Jangan di langar)
Besar : Kaya, menemukan kebahagiaan
58
BAB III
GAMBARAN UMUM MASYARAKAT DESA TEGALGLAGAH
KECAMATAN BULAKAMBA KABUPATEN BREBES
A. Profil Masyarakat
Tempat penelitian ini adalah di Desa Tegalglagah Kecamatan
Bulakamba Kabupaten Brebes. Alasan pemilihan lokasi ini adalah
pertama, mayoritas penduduk beragaa Islam dan dapat dikatakan sebagai
masyarakat muslim taat agama, hal ini dapat dilihat dari kegiatan
keagamaan yang diselenggarakan oleh masyarakat setempat.120
B. Letak Geografis
Masyarakat Jawa secara geografis meliputi wilayah Jawa Tengah,
Jawa Timur dan Daerah istimewa Yogyakarta. DIY dan Surakarta
merupakan sebagai pusat kebudayaan Jawa. Dalam masyarakat Jawa
mayoritas beragama Islam, yang berinteraksi adat Jawa dan Islam yang
masih sangat kental, sehingga antara upacara perkawinan di Jawa, lebih
didominasi oleh adat Jawa.
Desa Tegalglagah merupakan sebuah desa yang secara geografis
terletak di kabupaten Brebes bagian Barat Ibukota yaitu tepatnya
Kecamatan Bulakamba. Berdasarkan profil desa, jarak desa Tegalglagah
dari Kecamatan Bulakamba 16,1 km lewat Jl. Raya Pantura, sedangkan
jarak dari kabupaten Brebes sekitar 9,2 km lewat Jl. Ketanggungan –
Slawi/Jl. Margasari – Jatibarang, dapat dicapai juga 12 km dari selatan
pasar bawang Klampok. Luas wilayah desa Tegalglagah 670 Ha, dengan
jumlah penduduk desa Tegalglagah tahun 2020-2021 adalah 12139.121
Batas wilayah Desa Tegalglagah Kecamatan Bulakamba
dengan batas-batas sebagai berikut :
120 Handayani, Warga Desa Tegalglagah, Wawancara Pribadi, di Desa Tegalglagah, 4
Maret 2021. 121 BPS Kab. Brebes, Jumlah Penduduk Menurut Desa di kecamatan Bulakamba-2020.
https://brebeskab.bps.go.id/statictable/2021/08/12/1927/jumlah-penduduk-menurut-desa-di-
kecamatan-bulakamba-2020.html, Bulakamba: Sensus Penduduk 2020, 12 Agustus 2021
59
- Sebelah utara : Desa Petunjungan dan Kecamatan
Wanasari
- Sebelah Selatan : Desa Sitanggal Kecamatan
Larangan
- Sebelah Barat : Desa Jubang, Desa Cipelem,
Kecamatan Larangan dan Kersana
- Sebelah Timur : Desa Tegalgandu, Siwungkuk dan
Desa Dukuhwringin Kecamatan Wanasari.
Batas-batas tersebut dimaksudkan untuk mengetahui dan
mengadakan pemusatan hak kewenangan, terutama yang menyangkut
masalah administrasi otonomi daerah. Desa Tegalglagah sendiri
terdiri dari dua dusun,antara lain Dusun Dukuhmalang dan Dusun
Tegalglagah. Dari dua dusun tersebut, Tegalglagah sendiri terbagi
menjadi 61 RT dan 12 RW.
Alasan memilih lokasi penelitian di daerah tersebut,
dikarenakan masyarakat disana yang mayoritas muslim yang taat
beragama dan masih menerapkan budaya Jawa. Seperti halnya
menerapkan hari-hari besar Islam, sosial budaya, masyarakat masih
sangat berantusias. Hal ini didasari karena adanya ajaran nenek
moyang yang masih diterapkan sejak dulu di Dusun Dukuhmalang
dan Dusun Tegalglagah dengan budaya atau tradisi yang sudah ada.
C. Kondisi Demografis
Dalam menjalankan roda pemerintahan, Desa Tegalglagah
dipimpin oleh seorang kepala Desa atau kebanyakan masyarakat
menyebutnya dengan Lurah. Yang mana keberadaan lurah tersebut
dipilih oleh kepemerintahan Kota Tegal dengan ketentuan-ketentuan
yang berlaku bagi calon Lurah, dan dalam menjalankan tugasnya
Lurah dibantu oleh Staf-staf pemerintahan Kelurahan Tegalglagah.
60
Pada Masyarakat Desa Tegalglagah yaitu rata-rata adalah
bekerja sebagai buruh tani, petani dan pedagang, karyawan swasta.
rata-rata kebanyakan penduduk berprofesi sebagai seorang petani
bawang merah. Perekonomian mereka berada dalam kelas menengah
kebawah. Dikarenakan letak desa Tegalglagah sangat strategis yang
dekat dengan area persawahan, sehingga banyak masyarakat yang
pekerjaannya menjadi petani. Sumber pengairan yang digunakan pun,
sering kali masih jernih yang diambil secara irigasi bergilir dari
sumber air yang menglir. Jika musih penghujan tiba, cukup hanya
dengan mengandalkan air hujan. Tidak hanya menjadi petani saja,
ekonomi dari masyarakat juga dihasilkan dari menjadi peternak dan
para pekerja swasta. Serta ada juga masyarakat lebih memilih untuk
bekerja diluar daerah demi memenuhi kebutuhan di masa mendatang.
Perekonomian cukup stabil dan juga masih sedikit bergantung harga
hasil panen, jika harga sedang naik lebih banyak yang dihasilkan dan
juga jika hasil panen menurun itu sebaliknya.
Luas penggunaan Lahan Menurut Desa di Kecamatan Bulakamba
(Ha)
Lahan Sawah 587,89
Lahan Bukan Sawah 82,11
Jumlah 670,00
Luas Lahan Menurut Desa dan Jenis Pengairan di Kecamatan
Bulakamba (Ha)
Pengairan Teknis 200,00
Pengairan ½ teknis 350,00
Pengairan Sederhana –
Tadah Hujan 37,89
Jumlah 587,89
Luas Lahan Bukan Sawah Menurut Desa dan Jenis Penggunaan di
Kecamatan Bulakamba (Ha)
Pekarangan/Bangunan 77,11
61
Tegalan/kebun/Tan. Kayu –
Padang Gembala –
Tambak/Kolam –
Rawa-Rawa –
Hutan Negara –
Perkebunan Negara/Swasta –
Lain-Lain 5,00
Jumlah (Ha) 82,11
Jumlah Prasarana Pengairan Menurut Desa di Kecamatan Bulakamba
Waduk –
Dam –
Kincir Air –
Pompa Air Mesin –
Air Terjun –
Curah Hujan dan Hari Hujan di Kecamatan Bulakamba
No Bulan Curah Hujan (mm) Hari Hujan
1 Januari 343 18
2 Februari 199 14
3 Maret 225 15
4 April 205 13
5 Mei 92 3
6 Juni 4 1
7 Juli - -
8 Agustus - -
9 September - -
10 Oktober - -
11 November 25 4
12 Desember 360 15
62
Jumlah 1.453 84
Rata-rata 121 7
Sumber : Monografi Kecamatan Bulakamba 122
Untuk fasilitas juga sudah mewadahi.
Sarana dan Prasarana
• 4 buah Sekolah Dasar
• 2 Madrasah Ibtidaiyah
• 2 buah Madrasah Diniyah
• 1 buah SMP
• 3 buah Masjid
• 30 buah Musholla
• 1 buah Lapangan Sepak Bola
selain itu ada pasar, gedung olahraga badminton, layanan publik,
dari balai desa,unit ambulan desa, posyandu dan lain-lain.123
122 Sri Aji Puspitasari, Kecamatan Bulakamba Dalam Angka 2016, http://dpu.brebeskab.
go.id/upload/files/brebesangka/bulakamba2016.pdf, Bulakamba: t.p., September 2016. 123 http://tegalglagah.desabrebes.id/?page_id=38, t.th. Diakses 19 Juni 2021.
63
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Praktik Masyarakat Desa Tegalglagah Dalam Menentukan Calon
Pasangan Menggunakan Perhitungan Weton
Perkawinan atau pernikahan merupakan salah satu ibadah yang
berada dalam Agama Islam. Selain karena anjuran Allah juga sunnah
Rasulullah SAW. Pada tradisi Jawa, perkawinan merupakan hal yang
bersifat sangat sakral dan membutuhkan hal-hal yang harus diperhitungkan
dengan hati-hati sebab berhasil atau gagalnya seseorang dalam hidup dan
kehidupannya dangat ditentukan perhitungan wetonnya. Bila perhitungan
weton dan neptunya cocok maka boleh dilanjutkan dan apabila tidak cocok
harus dibatalkan. Dalam kehidupan masyarakat adat, perkawinan
merupakan salah satu perisitwa penting. Peristiwa ini bukan hanya
mengenai mereka (perempuan dan laki-laki), untuk mendapatkan
keturunan dan membangun kehidupan keluarga, akan tetapi hubungan
yang menyangkut para anggota keluarga dari pihak istri maupun suami
dan saudara-saudaranya.
Salah satu proses natural kesinambungan eksistensi umat manusia
adalah adanya keinginan untuk menikah.bagi laki-laki keinginan itu timbul
dari beberapa faktor, seperti timbulnya syahwat (sexual drive), keinginan
untuk berbagi hidup bersama pasangan (suami/istri), keinginan untuk
memiliki keturunan dan untuk mengikuti sunnag Rasul. Jadi, jelas,
dorongan syahwat hanyalah salah satu motivasi bagi seseorang untuk
sebuah pernikahan yang ideal. Oleh karena itu, seorang laki-laki yang
menikah hanya karena faktor dorongan syahwat semata, maka
perkawinannya tidak akan lama. Atau, setidaknya akan sulit merasakan
kedamaian dalam mengarungi dinamika rumah tangga sakinah mawaddah
wa rahmah.124
124 A. Fatih Syuhud, Keluarga Sakinah: Cara Membina Rumah Tangga Harmonis,
Bahagia dan Berkualitas, (Malang: Pustaka Al-Khoirot, 2003), h. 27.
64
Pada bab ini penulis akan menjelaskan cara masyarakat Desa
Tegalglagah dalam menentukan calon pasangan menggunakan perhitungan
Weton menurut adat istiadat Jawa.
Untuk memudahkan cara perhitungan neptu hari dan pasaran,
penulis akan menampilkan tabel yang dibawah ini :
Kliwon 8 Legi 5 Pahing 9 Pon 7 Wage 4
Minggu 5 13 10 14 12 9
Senin 4 12 9 13 11 8
Selasa 3 11 8 12 10 7
Rabu 7 15 12 16 14 11
Kamis 8 16 13 17 15 12
Jumat 6 14 11 15 13 10
Sabtu 9 17 14 18 16 13
Neptu hari pasaran kelahiran untuk perkawinan. Hari dan pasaran
dari kelahiran dua calon temanten yaitu anak perempuan dan anak lelaki
masing-masing dijumlahkan dahulu, kemudian masing-masing dibuang
(dikurangi) sesuai hitungan kelipatan.
Dibawah ini adalah hitungan antara calon mempelai perempuan dan
calon mempelai laki-laki yang ingin melangsungkan pernikahan
menggunakan perhitungan Weton:
Perhitungan kepribadian/individual berdasarkan penjumlahan hari
lahir dan pasaran dengan kelipatan 5
Hari lahir calon mempelai laki-laki yang bernama Reza Andika itu
Kamis Legi:
Kamis (8) Legi (5) = 13
13 dibagi 5 = sisa 3 (Gedong) = Dipercaya, amanah, pemimpin
65
Hari Lahir calon mempelai perempuan yang bernama Putri Kartini
Minggu Wage:
Minggu (5) Wage (4) = 9
9 dibagi 5 = sisa 4 (Loro) = Sakit ragawi atau rohani
Perhitungan calon mempelai laki-laki dan perempuan berdasarkan
penjumlahan hari lahir dan pasaran dengan kelipatan 5
Reza Andika lahir Kamis (8) Legi (5) = 13
Putri Kartini lahir Minggu (5) Wage (4) = 9
13 + 9 = 22 dibagi 5 sisa 2 (Pangan) = Makan, selalu dapat makanan
terus atau banyak rezeki
Perhitungan calon mempelai laki-laki dan perempuan berdasarkan
penjumlahan hari lahir dan pasaran dengan kelipatan 4
Reza Andika lahir Kamis (8) Legi (5) = 13
Putri Kartini lahir Minggu (5) Wage (4) = 9
Jumlah 13 + 9 = 22 dibagi 4 sisa 2 (Gembili) = Banyak Keturunannya
Perhitungan calon mempelai laki-laki dan perempuan berdasarkan
penjumlahan hari lahir dan pasaran dengan kelipatan 7
Reza Andika lahir Kamis (8) Legi (5) = 13
Putri Kartini lahir Minggu (5) Wage (4) = 9
13 + 9 = 22 dibagi 7 sisa 1 (Pesti) = Pasti
Weton (hari lahir dan pasaran) calon pengantin laki laki dan
perempuan masing-masing di jumlahkan lalu masing masing dikurangi 9
dari sisanya bisa kita cocokkan dengan hitungan dari kedua mempelai:
Reza Andika lahir Kamis (8) Legi (5) = 13
66
13 dikurangi 9 sisa 4
Putri Kartini lahir Minggu (5) Wage (4) = 9
9 dikurangi 9 sisa 0 maka bisa dianggap menjadi sisa 9
4 dan 9 adalah Kalah salah satu
Hari kelahiran calon mempelai laki-laki dan mempelai wanita, apabila :
Reza Andika lahir pada hari Kamis
Putri Kartini lahir pada hari Minggu
Kamis dan Minggu = Cekcok
Dengan mengotak-atik hitungan diatas maka akan ditemukan hasilnya
apakah anaknya apabila menikah dengan yang melamarnya akan bernasib
tidak baik, atau beruntung. Dari situ, orang tua akan membuat putusan
apakah akan melanjutkan pernikahan atau menolak pernikahan tersebut.
B. Latar Belakang Desa Tegalglagah Dalam Menentukan Calon
Pasangan
Mayoritas masyarakat di Dusun Tegalglagah adalah orang Jawa
yang masih bersifat konservatif dalam menghitung weton sebelum
pernikahan, pada umumnya dilakukan hampir setiap masyarakat. Hal
tersebut dilakukan karena untuk mencari hari baik yang akan digunakan
dalam pernikahan. Pernikahan dalam sekali seumur hidup, didalam
masyarakat Jawa dilakukan dengan sebaik mungkkin untuk menghindari
hal yang bersifat negatif. Juga agar setelah menikah nanti akan
mendapatkan kelanggengan hubungan sampai nanti tua.
Yang melatar belakangi masyarakat Desa Tegalglagah masih
menggunakan tradisi perhitungan weton untuk menentukan perkawinan
pada dasarnya mereka masih mempercayai dengan adanya Allah, akan
tetapi mereka masih memegang prinsip bahwasanya antisipasi lebih baik,
maka dari itu mereka masih menerapkan apa yang telah diajarkan oleh
67
nenek moyang secara turun-temurun dan juga demi melestarikan adat-
istiadat mereka.125
Kalaupun mereka melanggar aturan nenek moyang, maka harus
menerima konsekuensinya seperti misalnya tidak bertemu dengan orang
tuanya selama 1 tahun atau tidak boleh menerima apapun jenisnya seperti
makanan, bahan pokok atau uang dari orang tua. Dan juga massih sangat
tinggi tingkat ketergantungan masyarakat dalam menentukan segala
bentuk hajat, baik khitanan, membangun rumah, merenovasi pagar rumah,
khitanan, sampai arah rumah pun ada perhitungannya.126
C. Pandangan Masyarakat Tegalglagah Tentang Tradisi Perkawinan
Menggunakan Weton
Kebudayaan yang merupakan hasil budi daya manusia adalah suatu
adat kebiasaan yang sudah melekat pada suatu masyarakat, sehingga
masyarakat tidak dipengaruhi oleh adat kebiasaan lain. Dihubungkan
dengan fikih, budaya masyarakat saling terkait satu sama lainnya.
Masyarakat yang pluralis akan berbenturan dalam aspek hukumnya,
terutama dalam sisi hukum Islam (fikih).127
Meskipun Budaya global telah menembus tembok-tembok
peradaban Budaya, namun ritual perkawinan ini tidak sirna, masyarakat
tetap dan akan selalu berkaca pada Adat dan Budaya sendiri untuk
merayakan hari yang istimewa tersebut. Perkawinan bagi masyarakat luas
hanya dilakukan sekali seumur hidup, hanya sekali dan tidak main-main
karena itulah perta perkawinan justru terlihat semakin meriah dan dikemas
125 H.Y, Warga Desa Tegalglagah, Wawancara Pribadi, di Desa Tegalglagah, 15
Septemberl 2021. 126 Y.S, Warga Desa Tegalglagah, Wawancara Pribadi, di Desa Tegalglagah, 22
September 2021. 127 Ahmad Sudirman Abbas, Dasar-Dasar Masail Fiqhiyyah, (Jakarta: CV Banyu
Kencana, 2003), h. 27.
68
dengan segala Pernik hiasan dan kreasi yang menggambarkan keagungan
dan makna.128
Yang dilakukan oleh masyarakat terhadap perhitungan weton
merupakan hal yang wajar, sepanjang tidak percaya mutlak kepada
perhitungan weton 100%. Karena segala sesuatu sudah ditentukan oleh
Allah SWT dan masyarakat juga berpegang teguh kepada kaidah usul fiqh
yaitu : “Adat Kebiasaan itu dapat dijadikan sebagai hukum”.
Dalam hal ini, penulis berhasil mewawancarai beberapa
masyarakat yang mengetahui adat tentang tradisi perhitungan weton di
Desa Tegalglagah Kecamatan Bulakamba Kabupaten Brebes. Adat dalam
pernikahan memang telah ada dari zaman nenek moyang yang telah
mereka lakukan.
Hasil dari perhitungan weton yang dilakukan kedua belah pihak,
baik cocok atau tidaknya itu adalah hasil yang terbaik. Perhitungan weton
pun sudah menjadi tradisi masyarakat yang sudah turun temurun sejak
dahulu. Seperti ungkapan bu Y.S:
“Dulu pun pengalaman pribadi saya, ketika pacaran sudah
bertahun-tahun, waktu perhitungan saya dan calon pasangan saya dulu
tidak cocok, saya lebih memilih keluarga saya karena takut orang tua saya
meninggal, adik-adik saya juga masih kecil-kecil”129
“Akhirnya saya dijodohkan bapak saya, sama suami saya yang
sekarang dan ternyata cocok, alhamdulillah keluarga saya baik-baik
saja.”130
Hal ini masih masih dipercaya masyarakat akan mendatangkan
keburukan dalam kehidupan yang akan datang. Serta hasil perhitungan
128 Setyo Nur Kuncoro, “Tradisi Upacara Perkawinan Adat Kraton Surakarta (Studi
Pandangan Ulama dan Masyarakat Kauman, Pasar Kliwon, Surakarta),” (Skripsi S1 Fakultas
Syariah Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, 2014), h. 68. 129 Y.S, Warga Desa Tegalglagah, Wawancara Pribadi, di Desa Tegalglagah, 22
September 2021. 130 Y.S, Warga Desa Tegalglagah, Wawancara Pribadi, di Desa Tegalglagah, 22
September 2021.
69
weton dipercaya masyarakat sebagai penentu baik buruknya masa depan.
Seperti ucapan pak S.M dan pak N sebagai berikut:
”Iya, mayoritas masyarakat percaya. Ringkasnya tingkat baik dan
buruk tingkat ekonimi masa depan. Dari hasil hitung weton juga bisa
menentukan kapan ijabnya, hari, bulannya serta tahunnya itu ada”131
”90 persen masyarakat Jawa masih menggunakan perhitungan
weton”132
Dengan demikian, dalam menentukan hari pernikahan sangat
benar-benar mencari hari baik untuk melaksanakannya demi menjaga
keutuhan keluarga dari hal-hal buruk dan mendapatkan kesejahteraan
hidup. Serta tingkat kepercayaan masyarakat pun sangat besar yang
menggunakan hitungan tersebut.
Weton atau hari kelahiran harus diingat seumur hidup, karna weton
digunakan dalam hal apa saja, baik hajatan, sunatan, perkawinan,
membangun rumah, memasang pagar rumah dan lain-lain. Seperti
ungkapan pak S:
“Ibarat kita udah cocok ya sama calon pasangan, nanti pas akad
nikahnya juga ga sembarangan asal hajatan, ada perhitungannya ga
sembarangan bulan gitu mas. Dan juga misalkan kita mau renovasi rumah,
biasanya orang kampung pakai pager bambu nah pas mau bangun pager
itu harus ada syaratnya dulu gitu, misalnya biar kena angin-anginan gitu
beberapa minggu. Kalau kita melanggar itu pernah ada yang meninggal”133
Weton harus diingat selama-lamanya baik itu laki-laki ataupun
perempuan, karna sangat penting dan harus dimengerti untuk masyarakat
Jawa terkait hari dan pasarannya. Seseorang yang tahu mengenai tradisi
adat Jawa, dapat memberikan informasi yang baik sesuai dengan
pengetahuan mereka. Apapun hasilnya adalah cara terbaik untuk
131 S.M, Warga Desa Tegalglagah, Wawancara Pribadi, di Desa Tegalglagah, 15
September 2021. 132 N, Warga Desa Tegalglagah, Wawancara Pribadi, di Desa Tegalglagah, 15 September
2021. 133 S, Warga Desa Tegalglagah, Wawancara Pribadi, di Desa Tegalglagah, 3 November
2021.
70
mendapatkan yang terbaik untuk melaksanakan sebuah pernikahan. Sesuai
pernyataan bu H.Y yaitu:
“Percaya tidak percaya, semua diserahkan sama yang diatas. Kita
sebagai manusia tinggal menjalani, kita ambil positifnya dan buang
negatifnya. Semua ada hikmahnya.”134
Dalam pemilihan hari baik untuk pernikahan adalah sebuah
kebebasan manusia untuk memilih yang mana. Pak S yakin bahwa Islam
sangat menghormati budaya yang selama hal itu tidak bertentangan
dengan akidah.
“Ya itu kalau dipertentangkan bisa jadi pertentangan, tetapi kalau
mau diselaraskan pun bisa. Tergantung kita melihatnya dari sudut pandang
mana.”135
Meskipun masyarakat desa mayoritas beragama Islam,
kenyataannya dari beberapa pendapat tersebut menunjukkan bahwa
mereka tidak bisa lepas dengan adat Jawa. Mereka masih menjadikan
sebagai pedoman atau petunjuk untuk menjalani rumah tangga agar
terhindar dari marabahaya serta memilih untuk menjaga dan melestarikan
apa yang sudah diwariskan oleh nenek moyang, dan mereka juga harus
melihat dari sudut pandang yang baik-baik.
D. Dampak Yang Terjadi Pada Masyarakat
Adapun dampak dari pernikahan dengan tradisi Jawa di Desa
Tegalglagah, penulis bertujuan untuk menampilkan dampak apa saja yang
terjadi pada masyarakat Tegalglagah yang sudah menikah dengan
menggunakan tradisi perkawinan Jawa. Berikut beberapa dampak yang
sudah berhasil diwawancara, bu S memaparkan dampak yang terjadi
setelah menikah ketika tidak melanggar larangan-larangan nenek moyang
yang telah ada turun-temurun.
134 H.Y, Warga Desa Tegalglagah, Wawancara Pribadi, di Desa Tegalglagah, 15
September 2021. 135 S, Warga Desa Tegalglagah, Wawancara Pribadi, di Desa Tegalglagah, 3 November
2021.
71
“Dampaknya kalau kita tidak melanggar insya Allah panjang rezeki,
panjang jodoh, tentram hidupnya, kalua kita melanggar ya ada aja
cobaannya datang, kadang udah kelar ada lagi ada lagi seperti itu” 136
Dari pernyataan yang disampaikan bu S diatas sangat baik demi
menghindari hal yang tidak diinginkan. Ada juga pernyataan pak N
tentang kondisi masyarakat yang melanggar Ketika tidak cocok namun
masih tetap melanjutkan pernikahan, percaya tidak percaya dan ini kerap
kali terjadi berulang kali di lingkungan masyarakat apabila melanggar
weton.
“Sering terjadi disini, mas. Kalau kita melanggar entah orang tua kita
meninggal, rezekinya susah. Percaya tidak percaya ada yang 1 minggu
setelah pernikahan salah satu orang tuanya meninggal, entah dari
bapak/ibunya duluan yang meninggal atau mertua nya, paling lama 1
tahun itu bener kejadian mas.”137
Ada warga yang mengungkapkan dampak tentang perhitungan weton
bahwa semuanya itu tergantung orang yang melakukannya dan semua
yang ghaib adalah urusan Allah SWT. Seperti ungkapan pak S:
“Dampak dari perhitungan weton ini memang beda-beda, ada yang
menggunakan perhitungan ini sesuai yang diinginkan. Ada juga yang
mendapat masalah walaupun menggunakan hitungan ini juga. Semua
tergantung apa yang kita yakini, kita haya usaha namun untuk hasil
akhirnya tetep Allah yang menentukan.”138
S dan istri, warga yang menggunakan perhitungan weton ini
berpendapat dampak yang timbul pasca pernikahan mereka.
“Alhamdulillah, sampai saat ini baik-baik saja mas, ekonomi juga
alhamdulillah cukup untuk kebutuhan keluarga, walaupun kadang ada
beberapa goresan masalah yang buat cek-cok sama istri tapi bisa
136 S, Warga Desa Tegalglagah, Wawancara Pribadi, di Desa Tegalglagah 18 Oktober
2021. 137 N, Warga Desa Tegalglagah, Wawancara Pribadi, di Desa Tegalglagah 15 September
2021. 138 S.M, Warga Desa Tegalglagah, Wawancara Pribadi, di Desa Tegalglagah 15
September 2021.
72
dibicarakan baik-baik. Orang tua juga sering memberi nasihat untuk
keluarga saya.”139
Lanjut istrinya menambahkan tentang weton
“Iya mas alhamdulillah baik-baik saja, Saya juga tidak
mempermasalahkan dihitung, toh ya hasilnya untuk kebaikan kita juga
kedepannya.”140
Ada juga ungkapan lain yang nikah menggunakan perhitungan weton
karena orang tua yang menyarankan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan.
“Bapak saya dulu yang menyarankan agar dihitung wetonnya dan juga
weton istri saya si dulu ketika sebelum menikah, karena tidak ingin terjadi
hal-hal yang tidak diinginkan. Alhamdulillah keluarga saya sampai saat ini
baik-baik saja dan udah dikaruniai 2 anak.”141
E. Pandangan Hukum Islam Terhadap Hitungan Weton
Pada dasarnya agama Islam ini sudah sangat sempurna dan cukup
untuk pedoman hidup manusia. Sebab, Allah telah menerangkan kepada
umat manusia tentang kaidah dan kesempurnaannya yang meliputi segala
aspek kehidupan. Firman Allah dalam Q.S Al-Maidah (5) 3:
اليوم اكملت لكم دينكم وتممت عليكم نعمتى ورضيت لكم السالم دينا
“Pada hari ini telah kusempurnakan untuk agamamu dan telah Ku-
ciptakan kepada nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu.”
Ayat tersebut secara eksplisit menjelaskan bahwa agama Islam itu
telah sempurna dan tidak memerlukan tambahan secara pengurangan
sedikitpun juga. Apapun bentuk atau alasannya dari tambah-tambahan
tersebut meskipun disangka baik oleh sebagian manusia, atau dari siapa
139 S.U, Warga Desa Tegalglagah, Wawancara Pribadi, di Desa Tegalglagah, 29 Oktober
2021. 140 W.H, Warga Desa Tegalglagah, Wawancara Pribadi, di Desa Tegalglagah, 29
Oktober 2021. 141 S, Warga Desa Tegalglagah, Wawancara Pribadi, di Desa Tegalglagah, 3 November
2021.
73
saja datangnya meskipun dianggap besar oleh Sebagian manusia, adalah
suatu perkara yang sangat dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya, tetapi sangat
dicintai oleh iblis dan bala tentaranya. Dan pelakunya secara tidak
langsung telah membantah firman Allah diatas dan telah menuduh
Rasulullah berkhianat dalam meyampaikan risalah.142
Hukum perkawinan dalam agama Islam mempunyai kedudukan
yang sangat penting. Hukum Islam pada dasarnya tidak hanya mengatur
tentang pelaksanaannya saja, melainkan juga segala persoalan yang
berhubungan dengan perkawinan. Dalam hukum Islam, selain rukun dan
syarat sah pernikahan, pemeluk agama Islam juga memperhatikan empat
perkara untuk memilah dan memilih calon pasangan dalam
melangsungkan perkawinan seperti yang dijelaskan dalam hadits Nabi
Muhammad SAW dari Abu Hurairah yang berbunyi:
ين تربت يداك رواه البخاري 143 لربع لما لها ولحسبها ولجمالها ولدينها, فاظفربذات الد تنكح المرأة
Artinya: “Wanita yang dikawinkan karena empat hal, yaitu: hartanya,
kedudukannya, kecantikannya, dan agamanya. Maka carilah wanita
yang taat beragama, niscaya akan beruntung.” (HR. Bukhari)
Masyarakat Jawa memiliki kriteria tersendiri yang hampir sama
dengan tuntunan hadis diatas, yaitu bibit (keturunan), bebet (tingkah
laku), dan bobot (kualtas hidup). Perbedaannya dengan Hukum Islam,
masyarakat Jawa menggunakan tradisi hitungan weton.
الحكم يدورمع العلة وجوداوعدما
Artinya: “Hukum itu berputar bersama illatnya dalam
mewujudkan dan meniadakan hukum”
Misalnya:
142 M. Irfa Juliansah, “Tata Cara Khitbah dan Walimah pada Masyarakat Betawi
Kembangan Utara Jakarta Barat Menurut Hukum Islam”, (Skripsi S1 Fakultas Syari’ah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 1. 143 Muhammad bin Ismail Al Bukhari, Sahih Al Bukhari, (Beirut: Dar Thauq Al Najjah,
1422 H) Jilid 7, h.7.
74
Kebolehan menggunakan hitungan weton dalam perkawinan atau
khitanan, dasar illatnya jika sepanjang tidak menyekutukan Allah SWT
maka itu hukumnya diperbolehkan.
Sama halnya dengan keharaman khamar karena terdapat zat yang
memabukkan, tetapi kalua zat yang memabukkan itu sudah hilang
dengan sendirinya (sudah berubah menjadi cuka) maka dihalalkannya.
Adanya kemungkinan akulturasi timbal balik antara Islam dengan
budaya lokal dalam hukum Islam secara metodologis sebagai sesuatu
yang memungkinkan diakomodasi eksistensinya. Hal ini dapat kita lihat
dalam kaidah fikih yang menyatakan “al-‘adah muhakkamah” (adat itu
bisa menjadi hukum), atau kaidah “al-‘adah syariatun muhakkamah”
(adat adalah syariat yang dapat dijadikan hukum). Artinya suatu adat itu
bisa dijadikan patokan hukum.
Menurut kesepakatan jumhur ulama, suatu adat bisa diterima jika
memenuhi syarat-syarat berikut:
a. Tidak bertentangan dengan syariat
b. Tidak menyebabkan kemafasadatan dan menghilangkan kemaslahatan
c. Telah berlaku pada umumnya orang muslim
d. Tidak berlaku pada umumnya pada orang muslim
e. Tidak berlaku dalam ibadah madhah
f. Adat tersebut sudah memasyarakat ketika akan ditetapkan hukumnya
g. Tidak bertentangan dengan yang diungkapkan.144
Dari pembahasan ini dapat dijadikan dasar, bahwa perhitungan weton yang
berlaku pada masyarakat Desa Tegalglagah tidak melanggar syariat dapat terus
dijalankan selagi tidak melanggar kaidah-kaidah yang ada pada agama Islam.
Berkaitan dengan adat istiadat, perhitungan weton merupakan adat istiadat
yang diketahui oleh masyarakat dengan baik serta untuk menghormati tradisi ini
144 Rachmat Syafe’i, “Ilmu Usul Fiqih”, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), h. 291.
75
dengan melestarikan secara turun temurun ke generasi mendatang. Selain bentuk
penghormatan kepada leluhur, tradisi ini juga sebagai bentuk ikhtiar masyarakat
dalam mencari pasangan dan hari baik untuk perkawinan. Sebagai syarat
pernikahan ini dipandang dari segi fikih yaitu ‘urf yang memiliki arti secara
etimologi kenal. Karena perhitungan weton ini sudah banyak dikenal luas dan
dapat diterima kehadirannya oleh masyarakat khususnya di Jawa. Dalam ushul
fiqh ‘urf memiliki beberapa segi pandang, maka dari perhitungan weton akan
dibahas dari sudut pandang yang berbeda.
Bagi masyarakat Desa Tegalglagah hari lahir menjadi pertimbangan
khusus dalam melakukan sesuatu. Ada waktu-waktu tertentu yang dianggap baik,
baik itu membangu rumah, khitanan, pernikahan, usaha dan lain sebagainya. Dan
untuk penentuan waktu pernikahan tidaklah mempengaruhi terhadap sah atau
tidaknya suatu perkawinan, karena itu tidak menjadi sebuah syarat. Dalam adat
sendiri perhitungan weton pernikahan tersebut tidak sampai menjadi suatu yang
menyebabkan sah tidaknya perkawinan itu.
76
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian dari pembahasan yang ada di bab-bab sebelumnya ,
penulis dapat mengambil beberapa kesimpulan tentang perhitungan weton
sebagai syarat pernikahan di Desa Tegalglagah, Kecamatan Bulakamba,
Kabupaten Brebes, diantaranya sebagai berikut:
1. Perhitungan weton sebelum pernikahan di Desa Tegalglagah,
Kecamatan Bulakamba, Kabupaten Brebes dilakukan oleh seorang
sesepuh yang mengerti tentang perhitungan weton. Perhitungan ini
pun bukan hanya tentang pernikahan, namun juga untuk hal lain,
diantaranya seperti khitanan, hajatan, membangun rumah, membuat
pagar, memulai usaha dan lain-lain. Hitungan weton ini masih sangat
dipercaya dengan angka yang sangat tinggi, yaitu 90%, apabila
hitungan ini cocok dan tidak ada masalah, maka boleh dilanjutkan dan
juga sebaliknya jika tidak cocok maka harus dibatalkan. Perhitungan
weton pun masih sangat banyak digunakan dalam masyarakat Desa
Tegalglagah, selain banyak manfaat dan kegunaan, juga masih ada
sesepuh yang mengerti serta mempelajari perhitungan weton ini dan
masih dapat diterima kehadirannya oleh masyarakat.
2. Perhitungan weton juga merupakan peninggalan leluhur yang harus
tetap dihormati dan dilestarikan. Tradisi yang mereka lakukan sejak
dahulu zaman nenek moyang lakukan sebenarnya hanya sebagai
bagian ikhtiar mereka dalam menjalankan rumah tangga terhadap
kehati-hatian, keraguan dan memegang prinsip bahwasanya antisipasi
lebih baik. Sebelum menikah, calon pasangan harus melalui beberapa
syarat dan perhitungan yang dahulu sangat dipercaya oleh nenek
moyang mereka, sampai saat ini masih ada beberapa kelompok
masyarakat yang mematuhi syarat-syarat tersebut, Pada zaman dahulu
dalam memilih pasangan hidup masyarakat Jawa selalu memakai
77
istilah bibit, bebet dan bobot yang maksudnya adalah asal usul silsilah
keluarga calon pasangan tersebut berpengaruh bagi sebuah jalinan.
Karena bagi mereka pernikahan bukan hanya menyatukan hubungan
laki-laki dan perempuan saja, tetapi juga keluarga dan saudara-
saudaranya.
3. Masyarakat Desa Tegalglagah menggunakan kaidah fikih yang
menyatakan “al-‘adah muhakkamah” (adat itu bisa menjadi hukum),
atau kaidah “al-‘adah syariatun muhakkamah” (adat adalah syariat
yang dapat dijadikan hukum) atau perspektif ‘urf. Perhitungan hari
perkawinan ini sudah berlaku sejak lama di kalangan masyarakat
Jawa. Masyarakat Desa pun masih sangat mempercayai dengan
adanya Allah, keputusan baik buruknya pun diserahkan kembali ke
Allah SWT yang maha segalanya. Karena ini tidak memiliki
pertentangan dengan nash Al-Qur’an maupun sunnah Rasulullah,
maka adat istiadat ini boleh untuk diberlakukan sepanjang tidak
percaya mutlak kepada perhitungan weton 100% dan juga tidak
menghalalkan yang haram.
B. Saran
Setelah mempelajari pembahasan di bab-bab sebelumnya, penulis
ingin menambahkan saran-saran kepada kita semua agar menjadi
masyarakat dan umat yang lebih baik lagi. Saran penulis antara lain:
1. Untuk tokoh masyarakat secara keilmuan dan taggung jawab moril
kepada masyarakat, menuntut kita sebagai masyarakat untuk
memberikan pelajaran-pelajaran terhadap problem yang dihadapi umat
Islam di lingkungan sekitar kita dalam berusaha memberikan solusi
yang terbaik. Bahwa demi menjalankan tradisi budaya jangan sampai
kita lupa akan adanya Allah SWT yang maha segalanya.
2. Kepada masyarakat Desa Tegalglagah agar tetap menjaga kearifan
lokal dan melestarikan adat dan budaya yang telah diwariskan secara
turun-temurun hingga generasi yang akan datang.
78
3. Dan dalam menjalankan tradisi perhitungan weton ini, ada baiknya
masyarakat dapat berfikir lebih luas dan melihat dari berbagai sudut
pandang, baik itu dari adat, agama, maupun hukum positif. Penulis
berharap ini hanya sebagai bagian ikhtiar dalam mencari yang terbaik
agar tidak terpaku secara berlebihan dan dapat berubah karena semua
bisa berubah sesuai dengan kehendak Allah SWT.
79
Daftar Pustaka
Abidin, Slamet dan H. Aminuddin. Fiqh Munakahat 1. Bandung: Pustaka Setia,
1999.
Abdullah, Boedi. Perkawinan dan Perceraian Keluarga Muslim, Bandung:
Pustaka Setia, Cet. I, 2013.
Abu Abdilah, Syamsudin. “Terjemah Fathul Qarib, Pengantar Fiqih Imam
Syafi’i”, Surabaya: Mutiara Ilmu, 2010.
Afandi, Ali. Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, Jakarta:
Rineka Cipta, 1997.
Al-Jaziri, Abdurrahman. Al-Fiqh ‘ala Madzhabil Arba’ah, Jilid IV, Beirut: Dar al-
Fikr, t.th. Ali, Syaikh Abu Hasan bin Umar bin Umar bin Ahmad Al Baghdadiy, Sunan
Daruquthni, (Beirut Daar Ibnu Hazm, Cet.1/2011)
Amin, Darori. Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2000.
Al-Ghaza, ibn Qasim. Hasyiah al-Bajri, Juz II, Semarang: Riyadh Putra.
Ali, Muhammad Daud. Hukum Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada 2010.
Asmin, Status Perkawinan Antar Agama: Ditinjau dari Undang-Undang
Perkawinan 1/1974, Jakarta: PT Dian Rakyat, 1986.
Abbas, Ahmad Sudirman. Dasar-Dasar Masail Fiqhiyyah, Jakarta: CV Banyu
Kencana, 2003.
Al Jami’ Ash Sholih min haditsi Rasulullahi Shallallahu ‘alaihi wasallama wa sunanihi
wa ayyamihi (Kairo: Maktabah Salafiyah, 1440 H), Juz III
As-Sajistani, Abu Dawud Sulaiman Bin Al-Asy, Sunan Abi Dawud, Cet.2,. Riyadh:
Maktabah Al-Ma’arif, 2007
Bin Ismail Khahlani Shan’ani, Muhammad. Subulussalam, diterjemahkan Abu
Bakar Muhammad, Surabaya: Al Ikhlas, 1995.
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet.
Ke-3, edisi ke-2, Jakarta: Balai Pustaka, 1994.
Ditjen Pembinaan Kelembagaan Islam Departemen Agama. Kompilasi Hukum
Islam di Indonesia, Jakarta: Direktorat Pembinaan Peradila Agama Islam,
2001.
Daradjat, Dzakiyah. Ilmu Fikih, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995.
80
Endraswara, Suwardi. Falsafah Hidup Jawa, Cakrawala: Tangerang 2003.
Endraswara, Suwardi. Agama Jawa, Yogyakarta: Lembu Jawa, 2012.
Ghozali, Abdur Rahman. Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana, 2010.
Ghozailiy, Abd. Rahman. Fiqh Munakahat,, Jakarta : Prenada Media, 2003.
Hamid Hakim, Abdul. Mabadi Awwaliyyah, cet ke-1, juz 1, Jakarta: Bulan
Bintang, 1976.
Huda, Miftahul. “Membangun Model Bernegosiasi Dalam Tradisi Larangan-
Larangan Perkawinan Jawa”, Jurnal Epistme, Vol. 12 No. 2 Desember
2017.
Hadikusuma, Hilman. Hukum Perkawinan Indonesia, Menurut Perundangan,
Hukum Adat, Hukum Agama, Bandung: Mandar Maju, 1990
Hakim, Lukmanul. Kamus Santri At Taufiq, Jawa Arab-Indonesia, Jepara: Al
Falah Publisher.
H. R. Tha Thabrani. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam ash
Shahihah Juz 2
Hadikoesoema, Soenandar. Filsafat Ke-Jawaan Ungkapan Lambang Ilmu Gaib
Dalam Seni-Budaya Peninggalan Leluhur Jaman Purba, Jakarta:
YudhAgama Corporation, 1985.
Hariwijaya, M. Perkawinan adat Jawa, Jogjakarta: Hanggar Kreator, 2005.
Irmawati, Waryunah. “Makna Simbolik Upacara Siraman Pengantin Adat Jawa”,
Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, Vol.21, No.2, November, 2013.
Juliansyah, M. Irfan.“Tata Cara Khitbah dan Walimah pada Masyarakat Betawi
Kembangan Utara Jakarta Barat Menurut Hukum Islam”, (Skripsi S1
Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2011.
Idris, Abdul Fatah, dan Abu Ahmadi. Fikih Islam Lengkap, Jakarta: PT Rineka
Cipta, 2004.
Isma’il, Ibn. Islam Tradisi, Studi Komparatif Budaya Jawa Dengan Tradisi Islam,
Kediri: TETES Publishing, 2011.
Kartini, Kartono. Psikologi Wanita: Gadis Remaja Dan Wanita Dewasa,
Bandung: Mandar Madu, 1992.
Khalil, Ahmad. Islam Jawa, Sufisme dalam Etika dan Tradisi Jawa, Malang:
UIN- Malang Press, 2008.
81
Kholik, Kusuk. “Mitos-Mitos Penghalang Perkawinan Pada Adat Jawa Dalam
Perspektif Hukum Islam”, Jurnal USRATUNA, Vol. 1, No. 2. Juli 2018.
Latifah, Ana. “Kepercayaan Masyarakat Terhadap Upacara Tradisi Satu Sura Di
Desa Traji Kecamatan Paarakan Kabupaten Temanggung”. Skripsi
Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang,
2014.
Modul Perencanaan Undang-Undang, Jakarta: Sekretaris Jendral DPR RI, 2008.
Muhaimin, Abdul Wahab Abd. Ayat-Ayat Perkawinan dan Perceraian dalam
Kajian Ibnu Katsir, Jakarta: Gaung Persasda Press.
Mardani. Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, Jakarta: Graha Ilmu,
2011.
Muhammad bin Ismail Al Bukhari, Sahih Al Bukhari, Jilid 7, Beirut: Dar Thauq
Al-Najjah, 1422 H.
Mugihardja, Rd. Primbon Jawa Sangkan Paraning Manungsa, Surabaya: 1969.
Mas’udah, Ririn. “Fenomena Mitos Penghalang Perkawinan Dalam Masyarakat
Adat Trenggalek”. Jurnal Hukum dan Syariah, Vol. 1, No. 1. 2010.
Ni’am, Asrorun. Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, Jakarta:
Elasas. 2008.
Niken, Enis dan Purwadi. Upacara Pengantin Jawa, Yogyakarta: Panji Pustaka,
2007.
Nasution, Muhammad Syukri Albani Dkk, Ilmu Sosial Budaya Dasar Cet. 1,
Nottingham, Elizabeth K. Agama dan Masyarakat : Suatu Pengantar Sosiologi
Agama, Jakarta: CV Rajawali, 1990.
Nur Kuncoro, Setyo. “Tradisi Upacara Perkawinan Adat Kraton Surakarta (Studi
Pandangan Ulama dan Masyarakat Kauman, Pasar Kliwon, Surakarta),”
Skripsi S1 Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Maulana Malik
Ibrahim Malang, 2014.
Purbasari, Indah. Hukum Islam Sebagai Hukum Positif Di Indonesia, Malang:
Setara Press, 2017.
Prodjodikoro, R. Wirjono. Hukum Perkawinan di Indonesia, Bandung: Sumur
Bandung, 1991.
82
Prastowo, Andi. Metode Penelitian Kualitatif dalam Perspektif Rancangan
Penelitian, Cet. III, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2016.
Qardhawi, Yusuf. Muammal hamidy (Penerjemah), Halal dan Haram dalam
Islam, Jakarta : Bina Ilmu, 1983.
Rofiq, Ahmad. Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2013.
Ranoewidjojo, Romo RDS. Primbon Masa Kini Warisan Nenek Moyang Untuk
Meraba Masa Depan, Jakarta: Bukune, 2009.
Rahman, Abdur. Perkawinan dalam Syariat Islam, Penerjemah: Basri Iba Asghari
dan Wadi Masturi, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1992.
Sabiq, Sayid. Fikih Sunnah diterjemahkan oleh Abu Syauqina dan Abu Aulia
Rahma, Jilid 3, Jakarta: Tinta Abadi Gemilang, 2013.
Syata ad-Dimyati, Muhammad. I’anah Atthalibin, Juz III, Bandung: al-Ma’arif,
t.th.
Saleh, K. Wantjk. Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia,
1978.
Soekanto, Soerjono. Intisari Hukum Keluarga, Bandung: Alumni, 1980.
Solikhin, Muhammad. Misteri Bulan Suro Perspektif Islam Jawa, Yogyakarta:
NARASI, 2009.
Soekanto, Soerjono. dan Soleman B. Taneko, Hukum Adat Indonesia, Jakarta:
Rajawali Pers, 2016.
Sabiq, As-Sayid. Fiqih Al-Sunnah. Beirut: dar al-Kitab al-‘Anabi, 1973.
Sofyan, Yayan. Islam Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam
Hukum Nasional, Jakarta: RMBoot. ks, 2012.
Suseni. Makna Budaya Budaya Jawa Dalam Komunikasi Antar Budaya, Jakarta:
2001.
Syafe’i, Rachmat. “Ilmu Usul Fiqih”, Bandung: Pustaka Setia, 2007.
Subekti dan Tjirosudibio. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta:
Pradnya Paramita, 1996.
Soekanto, Soerjano. Pengantar Penelitian Hukum, Cet. III, Jakarta: UI-Press,
2015.
83
Setiady, Tolib. Intisari Hukum Adat Indonesia, (Dalam Kajian Kepustakaan),
Bandung: Alfabeta, 2013.
Syuhud, A. Fatih. Keluarga Sakinah: Cara Membina Rumah Tangga Harmonis,
Bahagia dan Berkualitas, Malang: Pustaka Al-Khoirot, 2003.
Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia: Berlaku bagi Umat Islam.
Utomo, Laksanto. Hukum Adat, Depok: PT Raja Grafindo Persada, 2017.
Woodwaard, Mark R. Islam Jawa, Kesalehan Normatif Versus Kebatinan,
Yogyakarta: IRCiSoD, 2017.
Wignjodipoero, Soerojo. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta: Toko
Gunung Agung, 1995.
Yunus, Mahmud. Kamus Bahasa Arab-Indonesia, Jakarta: Hadikarya Agung,
1990.
Zahrah, Abu. al-Akhwal asy-Syahshiyah, Kairo: Daar al-Fikri al-Arabi 1957.
Zainuddin ‘Abdul Aziz Al Malibary, Syeikh. Fathul Muin bi Syahril Qurrotil Aini
diterjemahkan oleh Aliy As’ad, Kudus : Menara Kudus, 1980.
Al Zuhayli, Wahbah. al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu, Beirut: Daar al:Fikr, Jilid
1, 1986.
Artikel dan Wawancara
Puspitasari, Sri Aji. Kecamatan Bulakamba Dalam Angka 2016,
http://dpu.brebeskab.go.id/upload/files/brebesangka/bulakamba2016.pdf,
Bulakamba, September 2016.
https://brebeskab.bps.go.id/statictable/2021/08/12/1927/jumlah-penduduk-
menurut-desa-di-kecamatan-bulakamba-2020.html, Bulakamba: Sensus Penduduk
2020, 12 Agustus 2021
http://tegalglagah.desabrebes.id/?page_id=38, t.th. 19 Juni 2021
A.S, Warga Desa Tegalglagah, Wawancara Pribadi, di Desa Tegalglagah, 20
April 2020.
84
D.S, Warga Desa Tegalglagah, Wawancara Pribadi, di Desa Tegalglagah, 19 April
2020.
H.Y, Warga Desa Tegalglagah, Wawancara Pribadi, di Desa Tegalglagah, 15
September 2021.
N, Warga Desa Tegalglagah, Wawancara Pribadi, di Desa Tegalglagah, 15
September 2021.
S, Warga Desa Tegalglagah, Wawancara Pribadi, di Desa Tegalglagah, 3
November 2021.
S, Warga Desa Tegalglagah, Wawancara Pribadi, di Desa Tegalglagah, 18
Oktober 2021.
S.M, Warga Desa Tegalglagah, Wawancara Pribadi, di Desa Tegalglagah, 15
September 2021.
S, Warga Desa Tegalglagah, Wawancara Pribadi, di Desa Tegalglagah, 29
Oktober 2021.
W.H, Warga Desa Tegalglagah, Wawancara Pribadi, di Desa Tegalglagah, 29
Oktober 2021.
Y.S, Warga Desa Tegalglagah, Wawancara Pribadi, di Desa Tegalglagah, 22
September 2021.
88
Hasil wawancara mengenai tradisi weton di Desa Tegalglagah:
1. Apa makna weton ?
Weton itu hari lahir kita, misal kita lahir senin pon nah itu hari wetonmu yg tidak
boleh dilupa selamanya.
2. Dalam hal apa saja weton digunakan?
Bisa digunakan dalam hajatan atau khitanan, membangun rumah, mencari hari baik
untuk menikah antara calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan.
3. Bagaimana cara menghitung weton?
Cara menghitungnya pertama-tama kita datangi tukang petung atau yang mengerti
tentang weton, lalu anak perempuan dan anak lelaki masing-masing dijumlahkan
dahulu, kemudian masing-masing dibuang (dikurangi) sesuai hitungan kelipatan,
jika cocok maka bisa dilanjutkan.
4. Apakah masih banyak masyarakat yang menggunakan hitungan weton?
Iya, masih banyak masyarakat sini yang menggunakan hitungan weton. Karna
weton itu penting untuk keberlangsungan hidup kedepannya.
Hasil wawancara mengenai tradisi weton di Desa Tegalglagah:
1. Apa makna weton ?
Weton itu untuk menuntun kita untuk kedepan agar kehidupan kita bisa hati-hati
dalam menentukan yang ingin kita pilih.
2. Dalam hal apa saja weton digunakan?
Biasanya untuk acara nikahan atau khitaanan gitu, dicari tanggal baiknya untuk
pelaksanaan acara tersebut.
3. Bagaimana cara menghitung weton?
Misalnya ibu si cewek itu lahir hari senin, kalo hari senin misalnya besan.
Perempuan ngitungnya sama laki besan sana jangan sampe sama senin lakinya
atau mertua lelaki. Kalo kata orang Jawa itu jeblok besan. Misalnya selain Senin
itu bebas
4. Apa yang melatar belakangi masyarakat desa masih menggunakan weton dalam
perkawinan ?
89
Pada dasarnya mereka masih percaya adanya Allah, akan tetapi mereka berprinsip
bahwa antisipasi itu lebih baik. Dan juga menerapkan apa yang telah diajarkan
nenek moyang demi melestarikan adat weton.
5. Apakah masih banyak masyarakat yang menggunakan hitungan weton?
Hampir 90 persen masyarakat menggunakan hitungan weton, apa lagi pada saat
ingin menikah penting bagi kedua mempelai menggunakan weton.
Hasil wawancara mengenai tradisi weton di Desa Tegalglagah:
1. Apakah masih banyak yang menggunakan weton ?
Banyak, semua menggunakan weton dan punya wetonnya masing-masing.
2. Apakah weton perlu dipakai ?
Perlu, terlebih lagi orang Jawa, bahkan kita untuk membangun rumah saja
menggunakan perhitungan arahnya kemana dan bagusnya gimana.
3. Bagaimana cara apabila terkendala dalam hitungan weton ?
Apabila terkendala mending dihindari, kalua ga dihindari harus ada syaratnya,
gitu.
4. Apakah semua yang didesa menggunakan hitungan weton ?
Ya semua pakai, apalagi misalnya calon pengantin laki laki dan calon pengantin
perempuan itu oeang Jawa, itu sudah pasti pakai hitungan Jawa. Paling yang
merantau karena dapat calon nya itu orang diluar Jawa jadi tidak pakai hitungan
weton.
Hasil wawancara mengenai tradisi weton di Desa Tegalglagah:
1. Pandangan tentang weton itu gimana ?
Weton atau hari kelahiran harus diingat seumur hidup, karna weton digunakan
dalam hal apa saja.
2. Apakah weton ini masih dipercayai ?
Iya, mayoritas masyarakat percaya. Ringkasnya tingkat baik dan buruk tingkat
ekonomi masa depan. Dari hasil hitung weton juga bisa menentukan kapan
ijabnya, hari, bulannya serta tahunnya itu ada.
3. Bagaimana jika melanggar weton ?
90
Jika melanggar maka harus menerima konsekuensinya, seperti misalnya tidak
bertemu dengan orang tuanya atau tidak boleh menerima apapun jenisnya seperti
makanan, bahan pokok atau uang dari orang tua.
Hasil wawancara mengenai tradisi weton di Desa Tegalglagah:
1. Bagaimana caranya hitungan weton ?
Hari lahir calon mempelai laki-laki yang bernama Reza Andika itu Kamis Legi:
Kamis (8) Legi (5) = 13
13 dibagi 5 = sisa 3 (Gedong) = Dipercaya, amanah, pemimpin
Begitu juga dengan perempuan dihitung berdasarkan hari lahirnya nanti disatukan
antara laki-laki dan perempuan.
2. Apa ada pengalaman tentang hitungan weton bagi ibu ?
Dulu pengalaman pribadi saya, ketika pacaran sudah bertahun-tahun, waktu
perhitungan saya dan calon pasangan saya dulu tidak cocok, saya lebih memilih
keluarga saya karena takut orang tua saya meninggal, adik-adik saya juga masih
kecil-kecil.
Akhirnya saya dijodohkan bapak saya, sama suami saya yang sekarang dan
ternyata cocok, alhamdulillah keluarga saya baik-baik saja.
3. Apakah masyarakat desa masih mempercayai itu ?
Masih dipercaya sampai sekarang dari jaman dulu, sepanjang tidak percaya
mutlak kepada perhitungan weton 100%. Karena segala sesuatu sudah ditentukan
oleh Allah SWT.
4. Apakah masyarakat berpegang teguh atas dasar fiqh?
Ya masyarakat merujuk kepada kaidah usul fiqh “Adat Kebiasaan itu dapat
dijadikan sebagai hukum”.
Hasil wawancara mengenai tradisi weton di Desa Tegalglagah:
1. Apakah bapak masih percaya dengan adanya itungan weton ?
91
Secara pribadi saya memakai hitungan weton tapi tidak sepenuhnya
mempercayainya.
2. Pandangan bapak tentang weton ?
Weton itu mubah-mubah saja demi menghormati orang tua, soal kebenaran itu
relatif. Yang penting punya landasan agama yang kuat.
3. Bagaimana cara menghitung weton ?
Bila perhitungan weton dan neptunya cocok maka boleh dilanjutkan dan apabila
tidak cocok harus dibatalkan. Hasil hitungan weton yang dilakukan kedua belah
pihak, baik cocok atau tidaknya itu adalah hasil yang terbaik, jika ingin benar-
benar melanjutkan maka harus terima syarat dan resikonya.
4. Apakah tidak bertentangan dengan yang lain ?
Ya itu kalau dipertentangkan bisa jadi pertentangan, tetapi kalau mau diselaraskan
pun bisa. Tergantung kita melihatnya dari sudut pandang mana.
5. Apa itu juga termasuk anjuran islam ?
Saya yakin bahwa Islam sangat menghormati budaya yang selama hal itu tidak
bertentangan dengan akidah.
Hasil wawancara mengenai tradisi weton di Desa Tegalglagah:
1. Apa yang ibu pahami arti weton ?
Menurut orang tua saya weton itu hari lahir kita
2. Bagaimana jika tidak cocok antara calon pengantin laki-laki dan perempuan ?
Jika tidak cocok maka nanti pasti ada syarat-syaratnya gitu, dicari lagi nanti hari
baiknya, misalkan pas nikah itu ga boleh pake janur kuning, ada lagi misalnya ga
cocok, nanti nikahannya gak boleh pae ketan, beras ketan gituu, nanti yang tau
(tukang petung) itu pasti ngasih tau begitu dan lain-lain syaratnya.
3. Dalam hal apa saja weton digunakan ?
Weton digunakan sat-saat ingin mengadakan pernikahan, mencari kerja,
membangun rumah dan lain-lain.
4. Apakah weton berpengaruh terhadap kehidupan ibu ?
Alhamdulillah keluarga saya sampe sekarang baik-baik saja, kalaupun ada cobaan
itu udah biasa dalam rumah tangga. Kita nikmatin aja percaya masih ada Allah.
92
Hasil wawancara mengenai tradisi weton di Desa Tegalglagah:
1. Apakah ibu percaya adanya hitungan ini ?
Percaya tidak percaya, semua diserahkan sama yang diatas. Kita sebagai manusia
tinggal menjalani, kita ambil positifnya dan buang negatifnya. Semua ada
hikmahnya.
2. Tujuan menggunakan hitungan weton ?
Tujuannya, ya biar kehidupan kedepan itu kitab isa lebih hati-hati dan juga
menghormati budaya yang selama ini telah diwariskan orang tua kita dulu.
3. Apa dampaknya jika kita melanggar atau tidak melanggar weton ?
Dampaknya alhamdulilah jika kita tidak melanggar weton itu rumah tangganya
baik baik saja. Kalo ada yang melanggar itu biasanya ada aja cobaan yang datang.
4. Tanggapan ibu tentang weton ?
Harus tetap dilestarikan budaya ini, apa lagi sudah ada dari jaman orang tua kita
dulu.
Hasil wawancara mengenai tradisi weton di Desa Tegalglagah:
1. Apa itu weton ?
Weton itu hari lahir kita.
2. Apakah ketika menikah dianjurkan atau keinginan sendiri ?
Iya bapak saya dulu yang menyarankan agar dihitung wetonnya dan juga weton
istri saya si dulu ketika sebelum menikah, karena tidak ingin terjadi hal-hal yang
tidak diinginkan.
3. Apa dampak jika kita melanggar hitungan weton ?
Dampak dari perhitungan weton ini memang beda-beda, ada yang menggunakan
perhitungan ini sesuai yang diinginkan. Ada juga yang mendapat masalah
walaupun menggunakan hitungan ini juga. Semua tergantung apa yang kita
yakini, kita haya usaha namun untuk hasil akhirnya tetep Allah yang menentukan.
4. Apakah baik untuk kedua calon pengantin ?
Baik apa lagi ini untuk tuntunan kita dalam membangun rumah tangga agar
terhindar dari hal yang tidak diinginkan.