perhitungan weton sebagai syarat perkawinan menurut adat ...

104
PERHITUNGAN WETON SEBAGAI SYARAT PERKAWINAN MENURUT ADAT JAWA DITINJAU DARI HUKUM ISLAM (Studi Kasus di Desa Tegalglagah Kecamatan Bulakamba Kabupaten Brebes)” Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh : Muhammad Fajrul Iman 11150440000029 PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1443 H / 2022 M

Transcript of perhitungan weton sebagai syarat perkawinan menurut adat ...

PERHITUNGAN WETON SEBAGAI SYARAT PERKAWINAN

MENURUT ADAT JAWA DITINJAU DARI HUKUM ISLAM

(Studi Kasus di Desa Tegalglagah Kecamatan Bulakamba

Kabupaten Brebes)”

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk memenuhi salah satu

syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh :

Muhammad Fajrul Iman

11150440000029

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

1443 H / 2022 M

i

PERHITUNGAN WETON SEBAGAI SYARAT PERKAWINAN

MENURUT ADAT JAWA DITINJAU DARI HUKUM ISLAM

(Studi Kasus di Desa Tegalglagah Kecamatan Bulakamba

Kabupaten Brebes)”

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk memenuhi salah satu

syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh :

Muhammad Fajrul Iman

11150440000029

Pembimbing:

1-2-2022

Dr. Hj. Maskufa,M.A.

NIP. 196807031994032002

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

1443 H/2022 M

ii

iii

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar starta 1 di Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya

cantumka sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudan hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya

atau merpakan hasil penjiplakan karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 21 Februari 2022

20 Rajab 1443 H

Muhammad Fajrul Iman

iv

ABSTRAK

Muhammad Fajrul Iman, NIM 1150440000029, Perhitungan Weton

sebagai Syarat Perkawinan Menurut Adat Jawa Ditinjau Dari Hukum Islam, Studi

Kasus di Desa Tegalglagah, Kecamatan Bulakamba, Kabupaten Brebes, Starta

Satu (S1), Jurusan Hukum Keluarga, Fkultas Syariah dan Hukum, Unuversitas

Islam Negeri, Syarif Hidayatullah Jakarta, 1443 H/2022 M. ix + 94 halaman 9

halaman lampiran.

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui praktik perhitungan weton sebagai

syarat perkawinan menurut adat Jawa, mengetahui pandangan masyarakat Desa

Tegalglagah tentang perhitungan weton sebagai syarat perkawinan serta untuk

mengetahui hukum Islam tentang Perhitungan weton sebagai syarat perkawinan

masyarakat Desa Tegalglagah.

Adapun penelitian ini menggunakan metode penelitian normatif empiris,

berdasarkan objeknya menggunakan peneltian antropologi hukum, jenis penelitian

adalah penelitian lapangan (field research). Kriteria data yang didapatkan berupa

data primer dan data sekunder. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah

wawancara, observasi, studi pustaka, jurnal dan karya tulis ilmiah kemudian data

tersebut dianalisis.

Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hampir seluruh

masyarakat Desa Tegalglagah melakukan perhitungan weton dalam perkawinan.

Kegiatan ini untuk dijadikan bahan penentuan hari baik perkawinan. Tradisi ini

masih sangat kuat dipegang oleh masyarakat hingga sekarang sebagai bentuk

warisan budaya dan pelestarian serta menghormati para leluhur. Dikarenakan

kurangnya pemahaman dari tradisi perhitungan weton ini, dan perhitungan weton

ini tidak bertentangan dengan ajaran Agama Islam, karena perhitungan ini hanya

bentuk dalam melakukan ikhtiar dan kehati-hatian agar mendapatkan kebaikan

selama mengarungi kehidupan berumah tangga. Penulis mencoba menelaah tradisi

perhitungan weton sebagai syarat perkawinan ini menggunakan aspek istibat

hukum Islam yaitu urf .

Kata Kunci : Perkawinan, Weton, Hukum Islam

Pembimbing : Dr. Hj. Maskufa, M.A.

Daftar Pustaka : 1957 s.d 2021

v

KATA PENGANTAR

بسم هللا الرحمن الرحيم

Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam, yang telah memberikan

limpahan rahmat dan karunia-Nya kepada umat manusia di muka bumi ini,

khususnya kepada penulis. Shalawat beriringan salam disampaikan kepada Nabi

Muhammad SAW, keluarga, serta para sahabatnya yang merupakan suri tauladan

bagi seluruh umat manusia.

Dalam penulisan skripsi ini penulis menerima banyak bantuan dari

berbagai pihak, sehingga dapat terselesaikan atas izin-Nya. Oleh karena itu, dalam

kesempatan ini penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih kepada semua pihak

yang telah memberikan bantuan, baik moril maupun materil, khususnya kepada:

1. Kepada yang tercinta dan selalu penulis cintai dan sayangi sepanjang

hayat, ayahanda H. Murjaya dan ibunda Hj. Esih Sumarsih orang tua

penulis yang selalu mendoakan dan memberikan semangat kepada

buah hatimu untuk menyelesaikan skripsi ini, serta telah

mengorbankan seluruh hidupnya untuk membahagiakan dan

membesarkan penulis sampai saat ini. Kedua orang tua selalu menjadi

sumber inspirasi penulis dalam menjalankan dan menyelesaikan

skripsi ini. Semoga ini bisa menjadi hadiah kecil buat kedua orang

tuaku, terima kasih tak terhingga atas do’a, semangat, kasih sayang,

pengorbanan, nasihat dan ketulusan dalam mendampingi penulis

sehingga penulis dapat menyelesaikan Pendidikan di UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, semoga kalian selalu diberi kesehatan dan

senantiasa dalam lindungan Allah SWT.

2. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc, M.A., selaku

Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag, S.H., M.A., selaku Dekan

Fakultas Syariah dan Hukum Unuversitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta beserta Wakil Dekan I, II, dan III Fakultas

Syariah dan Hukum.

4. Dr. Hj. Mesraini, S.H., M.Ag., selaku Ketua Program Studi Hukum

Keluarga beserta Achmad Chaerul Hadi, M.A., Sekretaris Program

Studi Hukum Keluarga, yang selalu mendukung dan memotivasi

penulis untuk segera menyelesaikan penyusunan skripsi ini.

5. Achmad Chaerul Hadi, M.A., selaku dosen pembimbing akademik

yang selalu bersedia meluangkan waktunya dalam memberikan

masukan dan dorongan sehingga terselesaikannya skripsi ini.

6. Dr. Hj. Maskufa, M.A. Dosen Fakultas Syariah dan Hukm sekaligus

sebagai Dosen Pembimbing skripsi penulis, yang telah sabar dan selalu

memberikan nasihat, motivasi serta perbaikan selama penyusunan

vi

skrisi ini, terima kasih banyak atas arahan, masukan dan koreksi yang

bersifat membangun, semoga Allah SWT senantiasa membalas semua

kebaikan Ibu.

7. Para dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta yang telah banyak memberikan ilmu yang bermanfaat kepada

penulis dan membimbing penulis dari awal masuk hingga bisa

menyelesaikan skripsi ini, semoga senantiasa diberikan kesehatan dan

dimudahkan segala urusannya.

8. Pimpinan serta staff perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum serta

Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta. Yang telah memberikan fasilitas dalam mencari referensi

untuk penulisan skripsi.

9. Kepada seluruh keluarga besar H. Djamhari bin H. Djahari dan

keluarga besar H. Miad bin H. Bule yang tiada hentinya mendoakan

dan memotivasiku.

10. Teruntuk kakakku Nur Alfi Lail, S.Pd. dan adikku Mutiara Alya

Kamala terima kasih telah membantu, melindungi dan mendoakanku.

11. Teman-teman Keluarga Besar Prodi Hukum Keluarga Angkatan 2015

yang menjadi teman seperjuangan. Khususnya kepada Mizhfaar

Alawiy, Rafid Mauludi, M. Noor, M. Furqon, A Syarif, Devy. S, Riki

Desman, Ahmad Tamami, Kurniawan, Miftah, Tua Nasar, Syaiful,

Ridwan, Rizky, Olip, Reza. Serta teman-teman yang tidak bisa saya

sebutkan satu persatu. Terima asih atas kebersamaannya, motivasinya

dan kenangan indah yang tidak akan terlupakan bersama kalian

semuanya.

12. Seluruh Keluarga Besar Mahasiswa Al-Amanah Al-Gontory (KBMA),

Ikatan Remaja Masjid Nurul Ikhwan (IRMANI), H.A. Generation dan

Seluruh anggota KKN SINERGI desa Gintung – Sukadiri.semoga

persaudaraan kita tetap terjaga selamanya.

13. Seluruh pihak yang terkait dengan penulisan skripsi, yang tidak dapat

penulis sebutkan satu persatu. Semoga senantiasa dalam lindungan

Allah SWT. Hanya untaian ata terima kasih serta do’a yang penulis

dapat berikan. Semoga semua pihak yang telah memberikan semangat,

motivasi, serta arahannya kepada penulis senantiasa diberi Kesehatan

dan dalam lindungan Allah SWT, diridhoi setiap langkah

kehidupannya serta mendapatkan balasan yang lebih baik diakhirat

kelak.

Tidak ada yang dapat penulis berikan atas balas jasa dan

dukungannyya, hanya do’a semoga amal baik mereka dibalas oleh

Allah SWT dengan balasan yang berlipat ganda. Penulis berharap agar

skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan bagi

pembaca pada umumnya.

vii

Jakarta, 21 Februari 2022

20 Rajab 1443 H

Muhammad Fajrul Iman

viii

DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................................................... i

PENGESAHAN PANITIA UJUAN SKRIPSI ................................................................ii

LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................................... iii

ABSTRAK ....................................................................................................................... iv

KATA PENGANTAR ...................................................................................................... v

DAFTAR ISI .................................................................................................................viii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ...................................................................................... 1

B. Identifikasi, Pembatasan, dam Perumusan Masalah ............................... 4

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .............................................................. 5

D. Metode Penelitian ................................................................................. 6

E. Sistematika Penulisan ............................................................................ 9

BAB II PERNIKAHAN MENURUT ISLAM, ADAT JAWA, DAN

PENGETAHUAN TENTANG WETON

A. Pernikahan Dalam Hukum Islam ......................................................... 10

B. Pernikahan Dalam Hukum Adat Jawa.................................................. 30

C. Weton ................................................................................................. 43

BAB III GAMBARAN UMUM MASYARAKAT DESA

TEGALGLAGAH KECAMATAN BULAKAMBA

KABUPATEN BREBES

A. Profil Masyarakat ............................................................................... 57

B. Letak Geografis ................................................................................... 57

C. Kondisi Demografis ............................................................................ 58

ix

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Praktik Masyarakat Desa Tegalglagah Dalam Menentukan

Calon Pasangan Menggunakan Perhitungan Weton ............................. 63

B. Latar Belakang Desa Tegalglagah Dalam Menentukan Calon

Pasangan ............................................................................................. 65

C. Pandangan Masyarakat Desa Tegalglagah Tentang Tradisi

Perkawinan Menggunakan Weton ....................................................... 66

D. Dampak Yang Terjadi Pada Masyarakat .............................................. 69

E. Pandangan Hukum Islam Terhadap Hitungan Weton........................... 71

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ......................................................................................... 75

B. Saran ................................................................................................... 76

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................... 78

LAMPIRAN ................................................................................................................... 84

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Allah menciptakan makhluk hidup itu berpasang-pasangan yaitu

jantan dan betina, laki-laki dan perempuan. Tetapi manusia tidak sama

dalam hal menyalurkan insting seksualnya dengan makluk lainnya, yang

bebas mengikuti nalurinya tanpa aturan. Untuk menjaga kehormatan dan

martabat manusia maka Allah memberian jalan terhormat berdasarkan

kerelaan dalam suatu ikatan yang disebut dengan pernikahan atau

perkawinan. Pernikahan atau inilah yang diridhai Allah dan diabadikan

dalam Islam untuk selamanya.1

Perkawinan merupakan suatu peristiwa penting dalam kehidupan

manusia, karena perkawinan tidak saja menyangkut pribadi kedua calon

suami istri, tetapi juga menyangkut urusan keluarga dan masyarakat. Pada

hakikatnya, perkawinan dianggap sebagai sesuatu yang suci dan karenanya

setiap agama selalu menghubungkan kaidah-kaidah perkawinan dengan

kaidah-kaidah agama.2

Perkawinan dalam Islam tidaklah semata-mata sebagai hubungan

atau kontrak keperdataan biasa, akan tetapi perkawinan merupakan sunnah

Rasulullah SAW dan media yang paling cocok antara panduan agama

Islam dengan naluriah atau kebutuhan biologis manusia, dan mengandung

makna dan nilai ibadah. Amat tepat kiranya, jika Kompilasi Hukum Islam

menegaskannya sebagai akad yang sangan kuat, perjanjian yang kokoh

untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.3

Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo Undang-

Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perkawinan menyatakan

1 Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fiqh Munakahat 1, (Bandung: Pustaka Setia, 1999),

h. 2. 2 Boedi Abdullah., M.Ag, Perkawinan dan Perceraian Keluarga Muslim, (Bandung:

Pustaka Setia, Cet. I, 2013), h. 20. 3 Prof. Dr. H. Ahmad Rofiq, M.A., Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: PT.

Rajagrafindo Persada, 2013), h. 53.

2

“Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang

wanit sebagai ikatan suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau

rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha

Esa”.

Sedangkan dalam Pasal 2 Kompilasi hukum Islam (KHI)

menyebutkan “Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu

akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizon untuk mentaati perintah

Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”.4

Sedangkan menurut Prof. Subekti, S.H., perkawinan adalah

pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk

waktu yang lama.5 Dalam bahasa lain, Prof. Ali Afandi, S.H., perkawinan

adalah suatu persetujuan kekeluargaan.6

Islam memandang ikatan perkawinan sebagai ikatan yang kuat atau

mitsaqan ghalizan, ikatan yang suci, suatu perjanjian yang mengandung

makna magis, suatu ikatan yang bukan saja hubungan atau kontrak

keperdataan biasa, tetapi juga hubungan menghalalkan terjadinya

hubungan badan antara suami dengan istri sebagai penyaluran libido

seksual manusia yang terhormat. Oleh karena itu, hubungan tersebut di

pandang sebagai ibadah.7

Oleh karena itu, pernikahan yang sah dalam Islam adalah

pernikahan yang terpenuhinya syarat dan rukun, serta tidak melanggar

larangan-larangan dalam pernikahan. Serta sesuai Undang-Undang

Perkawinan No.1 Tahun 1974 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019

Pasal 2 ayat (1) berbunyi “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan

menurut hukum Islam.

4 Ditjen Pembinaan Kelembagaan Islam Departemen Agama, Kompilasi Hukum Islam di

Indonesia, (Jakarta: Direktorat Pembinaan Peradila Agama Islam, 2001). 5 Subekti dan Tjirosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta:Pradnya

Paramita, 1996), h. 23. 6 Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, (Jakarta: Rineka

Cipta, 1997), h. 94. 7 Yayan Sofyan, Islam Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum

Nasional, (Jakarta: RMBoot. ks, 2012), Cet. Ke-2 hlm. 127.

3

Secara umum, syarat-syarat yang diakomodir oleh pemerintah

Indonesia tertuang dalam Kompilasi Hukum Indonesia:

1. Calon mempelai pria:

a. Beragama Islam;

b. Laki-laki;

c. Jelas orangnya;

d. Dapat memeberikan persetujuan;

e. Tidak terdapat halangan perkawinan.

2. Calon mempelai wanita:

a. Beragama Islam;

b. Perempuan;

c. Jelas orangnya;

d. Dapat dimintai persetujuan;

e. Tidak terdapat halangan perkawinan8

Salah satu syarat bagi calon mempelai pria dan wanita dalam

hukum perkawinan Islam di Indonesia ialah persetujuan calon mempelai.

Hal ini dapat diartikan bahwa calon mempelai sudah setuju dengan pilihan

pasangan hidupnya, baik dari pihak pria ataupun wanita. Sehingga

nantinya mereka senang menjalani rumah tangga yang dibina.

Di dalam KHI atau pendapat para fuqaha tidak dijelaskan

mengenai persyaratan hitungan weton sebelum melangsungkan

perkawinan. Di desa Tegalglagah Kecamatan Bulakamba Kabupaten

Brebes masih berpatokan dengan hitungan tanggal lahir yang disebut

weton. Weton adalah perhitungan hari lahir kedua calon mempelai.9

Weton yang mempunyai arti hari-hari dalam seminggu (Senin, Selasa,

Rabu, Kamis, Jum’at, Sabtu, dan Minggu) kalau hari pasarannya ada 5

(Legi, Pahing, Pon, Wage, Kliwon). Dari hari tersebut akan dijumlahkan

8 Prof. Dr. H. Ahmad Rofiq, M.A., Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: PT.

Rajagrafindo Persada, 2013), h. 55. 9 D.S, Warga Desa Tegalglagah, Wawancara Pribadi, di Desa Tegalglagah, 19 April

2020.

4

dengan tanggal lahirnya antara laki-laki dengan perempuan yang ingin

melangsungkan perjodohan, maka nanti akan ditemukan hasilnya. Apakah

akan bernasib baik atau bernasib kurang baik.

Pada masyarakat di Desa Tegalglagah Kecamatan Bulakamba

Kabupaten Brebes kegiatan, pada umumnya mereka masih menggunakan

perhitungan Jawa dalam berbagai kegiatan salah satunya adalah

perkawinan dalam menentukan perjodohan, biasanya keluarga laki-laki

dan keluarga perempuan menemui orang pinter atau sesepuh untuk

menanyakan baik atau tidak bila anaknya dijodohkan. Lalu sesepuh di

sana menghitung tanggal lahir antara laki-laki dan perempuan, bila tidak

cocok, maka gagal atau batal lah perjodohan tersebut. Karena kalau

dilanggar maka akan berbagai macam bencana yang terjadi seperti

mendapat kecelakaan, pernikahannya tidak langgeng, sulit mendapat

rezeki.10

Berangkat dari masalah di atas, maka penulis tertarik membuat

penelitian dalam bentuk skripsi dengan judul: “PERHITUNGAN

WETON SEBAGAI SYARAT PERKAWINAN MENURUT ADAT

JAWA DITINJAU DARI HUKUM ISLAM (Studi Kasus di Desa

Tegalglagah Kecamatan Bulakamba Kabupaten Brebes)”

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah

1. Identifikasi

Dari latar belakang masalah di atas, maka dapat di identifikasi

permasalahan sebagai berikut:

a. Apa saja syarat pernikahan?

b. Bagaimana perhitungan weton pernikahan menurut hukum Islam?

2. Pembatasan

Untuk menghindari meluasnya permasalahan yang akan dibahas pada

penelitian ini, maka penulis membatasi masalah yang diteliti pada

10 A.S, Warga Desa Tegalglagah, Wawancara Pribadi, di Desa Tegalglagah, 20 April

2020.

5

masalah perhitungan weton sebagai syarat perkawinan menurut adat

jawa yang ditinjau dari hukum Islam khususnya pada Desa

Tegalglagah Kecamatan Bulakamba Kabupaten Brebes.

3. Perumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas maka perumusan masalahnya

adalah bagaimana perhitungan weton menurut adat Jawa di Desa

Tegalglagah Kecamatan Bulukamba Kabupaten Brebes dijadikan

sebagai syarat perkawinan bila ditinjau dari hukum Islam? Adapun

pertanyaan penelitiannya adalah sebagai berikut:

a. Bagaimana praktik masyarakat Desa Tegalglagah dalam

menentukan calon pasangan perkawinan menggunakan hitungan

weton?

b. Apa yang melatar belakangi masyarakat Desa Tegalglagah masih

melakukan tradisi perhitungan weton untuk menentukan calon

pasangan perkawinan?

c. Bagaimana perspektif hukum Islam terhadap perhitungan weton

perkawinan menurut adat Jawa?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas maka secara umum tujuan

dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan dan menganalisis

pandangan hukum Islam tentang perhitungan weton menurut adat Jawa

di Desa Tegalglagah kecamatan Bulukamba Kabupaten Brebes

dijadikan sebagai syarat perkawinan.

Adapun tujuan khususnya adalah:

a. Untuk menjelaskan praktik masyarakat Desa Tegalglagah dalam

menentukan calon pasangan perkawinan menggunakan hitungan

weton.

b. Untuk mendeskripsikan latar belakang masyarakat Desa

Tegalglagah yang masih melakukan tradisi perhitungan weton

untuk menentukan calon pasangan perkawinan.

6

c. Untuk menganalisa pandangan hukum Islam terhadap perhitungan

weton perkawinan menurut adat Jawa.

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut :

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan bidang

kajian hukum keluarga Islam yang terjadi pada masyarakat dan

konteksnya dalam penelitian ini lebih bisa memahami seputar

tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Jawa yang terkait dengan

hukum keluarga Islam.

b. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi penulis

dalam menambah wawasan, pengalaman dan pengetahuan tentang

materi kajian yang akan dibahas pada permasalahan tersebut.

c. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan sebagai acuan

untuk penelitian selanjutnya.

D. Metode Penelitian

Penelitian merupakan sarana yang dipergunakan oleh manusia

untuk memperkuat, membina, serta mengembangkan ilmu pengetahuan.11

Oleh karena itu, diperlukan metode yang tepat dalam melakukan suatu

penelitian. Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan metode

penelitian sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian dalam penelitian ini adalah normatif empiris. Menurut

Abdul Kadir Muhammad yang dimaksud sebagai penelitian yang

menggunakan studi kasus hukum normatif-empiris (terapan) bermula dari

ketentuan hukum positif tertulis yang diberlakukan pada peristiwa hukum

11 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 2015) Cet. III, h.

3.

7

in concreto dalam masyarakat, sehingga dalam penelitiannya selalu

terdapat gabungan dua tahap kajian yaitu:12

1) Tahap pertama adalah kajian mengenai hukum normatif yang berlaku;

2) Tahap kedua adalah penerapan pada peristiwa in concreto guna

mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Penerapan tersebut dapat

diwujudkan melalui perbuatan nyata dan dokumen hukum. Hasil

penerapan penerapan akan menciptakan pemahaman realisasi

pelaksanaan ketentuan-ketentuan hukum normatif yang dikaji telah

dijalankan secara patut atau tidak. Penggunaan kedua tahapan tersebut

membutuhkan data sekunder dan data primer.

2. Pendekatan penelitian

Pendekatan penelitian ini menggunakan Antropologi Hukum, yang

mana Antropologi Hukum merupakan bagian dari antropologi yang

mempelajari perilaku hukum masyarakat, dan cara pandangnya

terhadap hukum dan produk-produk turunannya. Hukum-hukum itu

bukan hanya yang tertulis dan disepakati masyarakat setempat.

Antropologi itu sendiri didefinisikan sebagai suatu ilmu yang

mempelajari tentang manusia baik dari segi budaya, prilaku,

keanekaragaman, dan lain sebagainya.13

3. Sumber Data

Jenis data dalam penulisan skripsi ini sendiri mengunakan data primer

dan data sekunder, dengan teknik pengumpulan data dilakukan dengan

menggunakan metode dokumentasi dan interview.

a. Data Primer

Data Primer adalah data yang dikumpulkan oleh penelitian sendiri

selama penelitian berjalan.14 Data yang diperoleh langsung dari

sumber pertama yaitu, yang diperoleh melalui penelitian lapangan

dengan cara wawancara langsung terhadap pihak-pihak yang

12 Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Cet-1, (Bandung: PT Citra

Aditya Bakti, 2004), h. 52.

14 Modul Perencanaan Undang-Undang, (Jakarta:Sekretaris Jendral DPR RI, 2008), h.7

8

berkaitan dengan penelitian perhitungan weton sebagai syarat

perkawinan khususnya di Desa Tegalglagah.

b. Data Sekunder

Data sekunder merupakan data pendukung dari data utama atau

disebut juga data primer. Data sekunder diantaranya mencakup

dokumen-dokumen atau surat-surat resmi, arsip, buku-buku, hasil-

hasil penelitian yang berwujud laporan, buku harian, makalah

umum dan bacaan lain yang berkaitan dengan judul peneliti.15

4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam teknik pengumpulan data guna mengumpulkan data-data yang

diperlukan, maka digunakan metode sebagai berikut:

a. Wawancara (interview)

Wawancara adalah suatu metode pengumpulan data yang berupa

pertemuan dua orang atau lebih secara langsung untuk bertukar

informasi dan ide dengan tanya jawab secara lisan sehingga dapat

dibangun makna dalam suatu topik tertentu.16 Dalam hal ini penulis

melakukan wawancara kepada sesepuh yang meramal perhitungan

weton terhadap calon pasangan perkawinan dan kepada calon

pasangan yang masih melakukan adat tersebut.

b. Telaah Dokumentasi

Telaah dokumentasi adalah cara pengumpulan informasi yang

didapatkan dari dokumen, yakni peninggalan tertulis, arsip-arsip,

akta ijazah, rapor, peraturan perundang-undangan, buku harian,

surat-surat pribadi, catatan biografi dan lain-lain yang memiliki

keterkaitan dengan masalah yang diteliti.

15 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 1986), Cet. 2, h.

12. 16 Andi Prastowo, Metode Penelitian Kualitatif dalam Perspektif Rancangan Penelitian,

(Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2016) Cet. III, h. 212.

9

5. Teknik Penulisan

Teknis penulisan proposal skripsi ini mengacu kepada buku Pedoman

Penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta 2017.

E. Sistematika Penulisan

Di dalam melakukan penyusunan proposal skripsi ini penulis

memberi gambaran guna mempermudah pembaca dalam memahami

proposal ini, penulis menuyusunnya ke dalam lima bab. Isi dari proposal

singkat adalah sebagai berikut:

Bab pertama berisi latar belakang masalah, identifikasi,

pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,

review studi terdahulu, metode penelitian serta rancangan sistematika

penulisan.

Bab kedua membahas tentang pernikahan dalam hukum Islam,

pernikahan dalam hukum adat dan weton.

Bab ketiga berisi gambaran umum masyarakat Desa Tegalgalagah

Kecamatan Bulakamba Kabupaten Brebes untuk menggambarkan tentang

profil masyarakat, letak geografis dan kondisi demografi.

Bab keempat penulis membahas mengenai praktik perhitungan

weton di Desa Tegalglagah, latar belakang masyarakat dalam menentukan

calon pasangan, pandangan masyarakat, dampak yang terjadi pada

masyarakat Tegalglagah yang sudah menikah dengan menggunakan

perhitungan weton dan pandangan hukum Islam tentang perhitungan

weton sebagai syarat perkawinan.

Bab kelima memuat kesimpulan dan saran-saran, sebagai akhir dari

penulisan ini sekaligus untuk menjadi bahan penulisan selanjutnya.

10

BAB II

PERNIKAHAN MENURUT ISLAM, ADAT JAWA, DAN

PENGETAHUAN TENTANG WETON

A. Pernikahan Dalam Hukum Islam

1. Pengertian

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, nikah berarti

perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri secara

resmi.17 Sedangkan kata kawin menurut bahasa artinya membentuk

keluarga dengan lawan jenis, melakukan hubungan kelamin atau

persetubuhan.18

Kata nikah menurut arti bahasa adalah wath’i yang bermakna

bersetubuh atau kawin dan ikatan akad. Sedangkan menurut syara’,

ialah: akad yang meliputi rukun-rukun dan syarat-syarat dengan

tujuan, istima’ menjalin rasa kasih saying untuk mencapai kepuasan

lahir batin untuk menghindari pandangan mata yang haram serta

melestarikan keturunan yang shaleh.19

Secara arti kata nikah berarti “bergabung” (ضم), “hubungan

kelamin” ( وطء) dan juga berarti “akad” (عقد).20 Secara terminologi

perkawinan (nikah) yaitu akad yang membolehkan terjadinya istimta’

(persetubuhan) antara seorang pria dengan seorang wanita, selama

seorang wanita teersebut bukan seorang wanita yang diharamkan baik

dengan sebab keturunan atau seperti sebab susuan.21Istilah nikah

17 Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:

Balai Pustaka, 1994), cet. Ke-3, edisi ke-2, h. 614.

18 Departemen Pendidikan Dan Kebuudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 456.

19 Syamsudin Abu Abdilah, “Terjemah Fathul Qarib, Pengantar Fiqih Imam Syafi’i”,

(Surabaya: Mutiara Ilmu, 2010) h. 247.

20 Wahbah al Zuhayli, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Beirut: Daar al:Fikr, 1986), Jilid

1, h. 29. 21 Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, (Jakarta: Graha Ilmu,

2011), h. 4.

11

diambil dari Bahasa Arab, yaitu nakaha - yankihu – nikahan yang

mengandung arti nikah atau kawin.22

Nikah di dalam kitab I’anah Atthalibin, Muhammad Syata

ad-Dimyati menjelaskan bahwa nikah menurut Bahasa ialah:

النكاح لغة : الضم والجمع23

Artinya: “Nikah menurut bahasa ialah berhimpun atau berkumpul”.

Sementara itu, Abdurrahman al-Jaziri di dalam kitabnya, Al-

Fiqh ‘ala Mazhabil Arba’ah mengemukakan bahwa nikah secara

bahasa ialah:

النكاح لغة : الوطء والضم 24

Artinya : “Nikah menurut bahasa artinya wath’i (hubungan seksual)

dan berhimpun”.

Ibn Qasim al-Ghaza, dalam kitabnya al-Bajuri mengeukkan

bahwa makna nikah menurut bahasa adalah :

النكاح يطلق لغة : على الوطء والعقد25

Artinya : “Nikah menurut bahas ialah berhimpun, wath’i atau akad”.

Selain ketiga definisi yang dikemukakan di atas, masih

banyak lagi pengertian nikah secara bahasa yang dijelaskan para

ulama, namun kesemuanya itu bermuara dari satu makna yang sama

yaitu bersetubuh, berkumpul dan akad.

22 Mahmud Yunus, Kamus Bahasa Arab-Indonesia, (Jakarta: Hadikarya Agung, 1990), h.

467.

23 Muhammad Syata ad-Dimyati, I’anah atthalibin, Juz III (Bandung: al-Ma’arif, t.th.), h.

254.

24 Abdurrahman al-Jaziri, Al-Fiqh ‘ala Madzhabil Arba’ah, Jilid IV (Beirut: Dar al-Fikr,

t.th.), h. 1.

25 Ibn Qasim al-Ghaza, Hasyiah al-Bajri, Juz II (Semarang: Riyadh Putra), h. 90.

12

Sedangkan dalam istilah hukum Islam pernikahan yaitu akad

yang ditetapkan syara‟ untuk membolehkan bersenang-senang antara

laki-laki dengan perempuan.

Pernikahan menurut fikih:

جل 26 جل با لمراة وخل استمتاع المراة بالر وج شرعا هو عقد وضعه الشارع ليفيد ملك استمتاع الر الز

Artinya: “Perkawinan menurut syara’ yaitu akad yang

ditetapkan syara’ untuk membolehkan bersenang-senang antara laki-

laki dengan perempuan dan menghalalkan bersenang-senang

perempuan dengan laki-laki”.

Pernikahan merupakan salah satu perintah agama kepada

yang mampu untuk segera melaksanakannya, karena perkawinan

dapat mengurangi kemaksiatan, baik dalam bentuk penglihatan

maupun dalam bentuk perzinaan, orang yang berkeinginan untuk

melakukan pernikahan, tetapi belum mempunyai persiapan bekal

(fisik dan non fisik) dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW untuk

berpuasa.

Dalam Kompilasi Hukum Islam, pengertian perkawinan dan

tujuannya dinyatakan dalam pasal 2 dan 3 sebagai berikut:

Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 berbunyi :

“Perkawinan menurut hukum islam adalah pernikahan, itu merupakan

akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk mentaati

perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”

Dan Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam yaitu : “Perkawinan

bertujuan untuk mewujudkan kehidupan berumah tangga yang

Sakinah, mawaddah, dan rahmah.”27

Perkawinan menurut Undang;Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan Pasal 1 disebutkan “Perkawinan ialah ikatan lahir

batin antara sorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri

26 Wahbah Al Zuhayli, Al-Fiqh wa Adillatuhu, h. 29.

27 Zakiyah Daradjat, Ilmu Fikih, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), h. 37.

13

dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan

kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” Sedangkan

perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 2

disebutkan “Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan,

yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk menaati

perintah Allah SWT dan melaksanaannya merupakan ibadah”

2. Dasar Hukum

Pernikahan dalam Islam merupakan Sunnatullah yang sangat

dianjurkan karena perkawinan merupakan cara yang di pilih Allah

SWT untuk melestarikan kehidupan manusia dalam mencapai

kemaslahatan dan kebahagiaan hidup.28 Perkawinan diartikan dengan

suatu akad persetujuan antara seorang pria dan seorang wanita yang

mengakibatkan kehalalan pergaulan (hubungan) suami-istri, keduanya

saling membantu dan melengkapi satu sama lain dan masing-masing

dari keduanya memperoleh hak dan kewajiban.29

Pernikahan memiliki dasar hukum dalam pandangan Islam,

banyak merujuk pada Al-Qur’an, Al-Hadist, Ijma’ ulama fiqh, serta

ijtihad yang mengatakan bahwa perkawinan merupakan ibadah yang

disunahkan Allan dan Rasulullah. Sebagaimana firman Allah SWT

yaitu surat Adz-Dzariyat ayat 59 dan An-Nisa’ ayat 1. Adapun

perkawinan sebagai sunnah rasul dapat dilihat dari hadits berikut yang

artinya;

ج يامعشرالشباب فانه اغض للبصر واخصن للفرج ومن لم يستطع من استطاع منكم الباءة فليتزو

وم فانه له وجاء 30 فعليه بالص

28 As-Sayid Sabiq, Fiqih Al-Sunnah. (Beirut: daar al-Kitab al-‘Anabi, 1973), 11:6.

29 Abu Zahrah, al-Akhwal asy-Syahshiyah, (Kairo: Dar al-Fikri al-Arabi 1957), VIII:

6513.

30 Al Jami’ Ash Sholih min haditsi Rasulullahi Shallallahu ‘alaihi wasallama wa sunanihi

wa ayyamihi (Kairo: Maktabah Salafiyah, 1440 H), Juz III

14

“…. Siapa saja diantara kalian yang telah memiliki kemampuan untuk

menikah, hendaklah dia menikah; karena hal itu dapat menundukkan

pandangan serta lebih menjaga kemalua. Adapun bagi siapa saja yang

tidak (belum) mampu menikah, hendaklah ia berpuasa, karena itu

peredam (syahwat)nya”.

Sebagaimana yang terurai diatas ayat Al-Qur’an dan Hadits

dijadikan sebagai dasar menjalankan suatu pernikahan. Jumhur ulama

(mayoritas ulama) memiliki pendapat bahwa perkawinan pada

dasarnya hukumnya adalah sunnah. Ulama Malikiyah Muta’akhirin

memiliki pendapat bahwa perkawinan “hukumnya bisa bermacam-

macam hukumnya sebagian bisa wajib, sebagian lagi bisa jadi sunnah

dan mubah”. Adapun ulama Syafi’iyah menyampaikan bahwa hukum

asal suatu perkawinan ialah mubah, selain yang sunnah, wajib, haram

dan makruh.31

Para ulama mempunyai persetujuan Bersama yakni

perkawinan adalah hal yang disyari’atkan dalam syariah. Tetapi,

dasar hukumnya bisa berubah berdasarkan keadaan dan niat

seseorang. Hukum perkawinan berdasarkan kaidah fiqh yang

disampaikan diatas, dasar kaidah al-ahkam al-khamsa diantaranya

yaitu:32

a. Wajib

Perkawinan dihukumi wajib untuk pria dan Wanita yang telah

memiliki kemampuan melaksanakannya serta memliki rasa takut

jika terperosok dalam perbuatan zina.33 Perkawinan memiliki

tujuan untuk melindungi kehormatan Wanita dan pria tersebut.

Dalam hal ini pars ulama sependapat dan tidak ada perbedaan

31 Abd. Rahman Ghozaliy, Fiqh Munakahat,, (Jakarta : Prenada Media, 2003), h. 18.

32 Indah Purbasari, Hukum Islam Sebagai Hukum Positif Di Indonesia, (Malang : Setara

Press, 2017), h.79.

33 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah diterjemahkan oleh Abu Syauqina dan Abu Aulia Rahma,

(Jakarta : Tinta Abadi Gemilang, 2013), Jilid 3, h.206.

15

pendapat diantara mereka. Adapun hal sebaliknya dijelaskan

dalam Al-Qur’an surat An-Nur ayat 33.34

b. Sunnah (Dianjurkan)

Perkawinan menjadi sunnah apabila seseorang yang sudah

memiliki kemampuan materil maupun immaterial tapi belum

memiliki niat untuk menikah dan/atau dapat mengendalikan

nafsunya dengan kata lain ia tidak khawatir terjerumus dalam

perbuatan zina.35 Kecuali imam Syafi’i, Jumhur ulama

berpendapat jika ada orang yang demikian maka baiknya ia

diberikan pengertian untuk segera melakukan perkawinan, karena

perkawinan lebih baik dari pada ibadah sunnah lainnya. Karena

perkawinan adalah penyempurnaan setengah agama. Sesuai sabda

Nabi Muhammad SAW yaitu;

“apabila seseorang telah menikah, sungguh ia telah

menyempurnakan setengan dari agamanya. Hendaklah ia pun

selalu bertaqwa kepada Allah dalam menjaganya.”36

c. Mubah (Boleh)

Mubah merupakan kaidah hukum yang bersifat netral yang

mengatur suatu perbuatan boleh dilakukan. Mubah bukanlah suatu

yang diperintahkan, dianjurkan ataupun dilarang. Dengan kata

lain, perkara mubah memungkinkan sseorang memilih antara

melakukan dan meninggalkan. Mubah dalam Bahasa hukum

adalah sesuatu yang diizinkan. Kaidah ushul fiqh menuliskan

bahwa: Hukum asal sesuatu itu mubah hingga ada dalil yang

34 Syeikh Zainuddin ‘Abdul Aziz Al Malibary, Fathul Muin bi Syahril Qurrotil Aini

diterjemahkan oleh Aliy As’ad, (Kudus : Menara Kudus, 1980), Jilid 3, h. 2.

35 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah diterjemahkan oleh Abu Syauqina dan Abu Aulia Rahma,

h. 207.

36 H. R. Tha Thabrani. Haadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam ash

Shahihah Juz 2: 625.

16

mengharamkan.37 Oleh karena itu, hukum mubah pada dasarnya

berlaku atas segala hal yang tidak masuk klasifikasi/dalil perintah,

anjuran hal yang bersifat mubah QS. Al-Baqarah ayat 275 9

tambah ayatnya) yaitu;

ب يأكلون الذين كمايقوم واليقومون الر ن يتخبته الذي ال لك المس من الشيط قالوآ بانهم ذ

ب مثل انماالبيع م البيع للا واحل واالر وا وحر ب ن موعظة جآءه فمن الر ب ه م ى ر فله فانته

ب آلءك عادفاو ومن للا الى وامره ماسلف خلدون فيها هم النار اصح

“Orang-orang yang makan (mengambil riba) tidak dapat berdiri

melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan

lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian

itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat),

sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah

menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang

yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya lalu terus

berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah

diambilnya dahulu (sebelum dating larangan) dan urusannya

(terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangu (mengambil

riba), maka orang itu adalah penghuni neraka, mereka kekal

didalamnya.38”

Untuk seseorang yang dapat melakukan perkawinan tapi ia tidak

melakukan perkawinan sebab ia tidak khawatir akan berbuat zina

dan jika ia melakukan perkawinan ia tidak menyiakan istri.

Perkawinan itu hanya ia lakukan atas dasar memenuhi nafsunya

saja bukan bertujuan menjaga kehormatan agama dan menciptakan

rumah tangga sejahtera.

d. Makruh

Makruh pada dasarnya adalah kebalikan dari sunnah. Jika sunnah

adalah suatu yang dianjurkan, makruh adalah suatu yang dibenci

37 Yusuf Qardhawi, Muammal hamidy (Penerjemah), Halal dan Haram dalam Islam,

(Jakarta : Bina Ilmu, 1983), h. 14.

38 Qur’an Surat Al-Baqarah, 2:275.

17

Allah sehingga perbuatan yang bersifat makruh patuh untuk

dihindari.39 Untuk orang yang bisa melakukan perkawinan dan

dapat menahan hawa nafsunya sehingga ia tidak dikhawatirkan

melakukan perbuatan zina meskipun ia tidak kawin. Tetapi ia tidak

memiliki keinginan yang kuat untuk memenuhi kewajiban seorang

suami istri yang baik.

e. Haram

Haram merupakan suatu bentuk larangan yang bersifat mutlak.

Jika orang yang beragama islam menaati aturan hukum Islam

makai ia akan memperoleh ganjaran berupa pahala, jika

melanggarnya makai ia berdosa. Perkara haram ini adalah

kebalikan halal (jaiz/mubah/boleh). Menyatakan sesuatu haram

adalah hak-Nya yang telah jelas terdapat pada al-qur’an dan

sunnah. Karenanya, seorang mujtahid wajib berhati-hati Ketika

menafsirkan dan menetapkan suatu yang haram terhadap hal yang

bersifat kontemporer.40 Hal yang haram pada dasarnya telah

ditetapkan al-Qur’an seperti; larangan riba (al-Baqarah:275),

larangan makan babi, bangkai, darah, sembelihan tanpa menyebut

nama Allah (QS al-Maidah ayat 5).

3. Rukun dan Syarat Sah Pernikahan

A. Pengertian rukun, syarat, dan sah

Rukun yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan

tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam

rangkaian pekerjaan itu, seperti membasuh muka untuk wudhu’

39 Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada), h. 18.

40 Yusuf Qardhawi, Muammal Hamidy (Penerjemah), Halal dan Haram dalam Islam,

(Surabaya: Bina Ilmu, 1980), h. 18.

18

dan takbiratul ihram untuk shalat. Atau adanya calon pengantin

laki-laki/perempuan dalam perkawinan.41

Syarat yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan

tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk

dalam rangkaian pekerjaan itu, seperti menutup aurat untuk shalat.

Atau, menurut Islam, calon pengantin laki-laki/perempuan itu

harus beragama Islam.42 Sah yaitu sesuatu pekerjaan (ibadah) yang

memenuhi rukun dan syarat.43

B. Rukun Perkawinan

Jumhur ulama sepakat bahwa rukun perkawinan itu terdiri atas:44

1. Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan

perkawinan.

2. Adanya wali dari pihak dari calon pengantin Wanita.

Akad nikah akan dianggap sah apabila ada seorang wali atau

wakilnya yang akan menikahkannya, berdasarkan sabda Nabi

Saw.:

أيماامراة نكحت بغيراذن وليهافنكاحهاباطل |المصدر : صحيح أبي داودالرقم: 452083

“Perempuan mana saja yang menikah tanpa seizin walinya,

maka pernikahannya batal.”

Dalam Hadis lain Nabi Saw bersabda.:

ج المرأة نفسها )رواه ابن ماجه والدار قطني(46 ج المرأة و لتزو لتزو

41 Abdul Hamid Hakim, Mabadi Awwaliyyah, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), cet ke-1,

juz I, h. 9.

42 Wahbah al-Zuhailly, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, h. 36.

43 Wahbah al-Zuhailly, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, h. 37.

44 Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fikih Munakahat 1, (Bandung: CV. Pustaka Setia,

1999), cet. Ke-1, h. 64-68.

45 As-Sajistani, Abu Dawud Sulaiman Bin Al-Asy, Sunan Abi Dawud, Cet.2,. Riyadh:

Maktabah Al-Ma’arif, 2007 46 Syaikh Abu Hasan Ali bin Umar bin Umar bin Ahmad Al Baghdadiy, Sunan

Daruquthni, (Beirut Daar Ibnu Hazm, Cet.1/2011)

19

“Janganlah seorang perempuan menikahkan perempuan

lainnya, dan janganlah seorang perempuan menikahkan

dirinya sendiri”

3. Adanya dua orang saksi

Pelaksanaan akad nikah akan sah apabila dua orang saksi yang

menyaksikan akad nikah tersebut, berdasarkan sabda Nabi

Saw.:

ل نكاح ال بولي وشاهدى عدل )رواه احمد( 47

4. Sighat akad nikah

Yaitu ijab kabul yang diucapkan oleh wali atau wakilnya dari

pihak wanita, dan dijawab oleh calon pengantin laki-laki.

Tentang jumlah rukun nikah ini, para ulama berbeda pendapat:

Imam Malik mengatakan bahwa rukun nikah itu ada lima

macam, yaitu:

a. Wali dari pihak perempuan

b. Mahar (maskawin)

c. Calon pengantin laki-laki

d. Calon pengantin perempuan

e. Sighat akad nikah

Imam Syafi’i berkata bahwa rukun nikah ada lima macam,

yaitu:

a. Calon pengantin laki-laki

b. Calon pengantin perempuan

c. Wali

d. Dua orang saksi

e. Sighat akad nikah.

47 Syaikh Abu Hasan Ali bin Umar bin Umar bin Ahmad Al Baghdadiy, Sunan

Daruquthni, (Beirut Daar Ibnu Hazm, Cet.1/2011)

20

Menurut ulama Hanafiyah, rukun nkah itu hanya ijab dan

qabul saja, (yaitu akad yang dilakukan oleh pihak wali

perempuan dan calon pengantin laki-laki). Adapun menurut

segolongan yang lain rukun nikah itu ada empat, yaitu:

a. Sighat (ijab dan qabul)

b. Calon pengantin peerempuan

c. Calon pengantin laki-laki

d. Wali dari pihak pengantin perempuan

Pendapat yang mengatakan bahwa rukun nikah itu ada empat,

karena calon pengantin laki-laki dan calon pengantin

perempuan digabung menjadi satu rukun, seperti terlihat

dibawah ini.

Rukun perkawinan:

a. Dua orang yang saling melakukan akad perkawinan, yakni

mempelai laki-laki dan mempelai perempuan.

b. Adanya wali.

c. Adanya dua orang saksi.

d. Dilakukan dengan sighat tertentu.48

5. Mahar untuk mempelai

C. Syarat Sahnya Perkawinan

Syarat-syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya

perkawinan. Apabila syarat-syaratnya terpenuhi, maka perkawinan

itu sah dan menimbulkan adanya segala hak dan kewajiban suami

istri. Pada garis besarnya syarat-syarat sahnya perkawinan itu ada

dua:49

1. Calon mempelai perempuannya halal dikawin oleh laki-laki

yang ingin menjadikan istri. Jadi perempuannya itu bukan

48 Abdul Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, h. 33-35.

49 Zakiyah Daradjat, Ilmu Fikih, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), h. 38.

21

merupakan orang yang haram dinikahi untuk sementara

maupun untuk selama-lamanya.

2. Akad nikahnya dihadiri para saksi

Secara rinci, masing-masing rukun diatas akan dijelaskan

syarat-syarat sebagai berikut:50

a. Syarat-syarat kedua mempelai

Syarat-syarat pengantin pria. Syarat Islam menentukan

beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh calon suami

bedasarkan ijtihad para ulama, yaitu:

1) Calon suami beragama islam

2) Terang (jelas) bahwa suami itu betul laki-laki

3) Orangnya diketahui dan tertentu

4) Calon mempelai laki-laki itu jelas halal kawin

dengan calon istri

5) Calon mempelai laki-laki tahu/kenal pada calon

istri serta tahu betul istrinya halal baginya

6) Calon suami rela (tidak dipaksa) untuk melakukan

perkawinan itu

7) Tidak sedang melakukan ihram

8) Tidak mempunyai istri yang haram di madu

dengan calon istri

9) Tidak sedang mempunyai istri empat

b. Syarat-syarat calon pengantin perempuan:

1. Beragama Islam atau ahli kitab

2. Terang bahwa ia wanita, bukan khuntsa (banci)

3. Wanita itu tentu orangnya

4. Halal bagi calon suami

5. Wanita itu tidak dalam ikatan perkawinan dan

tidak masih dalam ‘iddah

50 Muhammad bin Ismail Khahlani Shan’ani, Subulussalam, diterjemahkan Abu Bakar

Muhammad, (Surabaya: Al Ikhlas, 1995), h. 423.

22

6. Tidak dipaksa/iktiyar

7. Tidak dalam keadaan ihram haji atau umrah

c. Syarat-syarat ijab kabul

Pernikahan wajib dilakukan dengan ijab dan kabul

dengan lisan. Inilah yang dinamakan akad nikah (ikatan

atau perjanjian perkawinan). Bagi orang bisu sah

perkawinannya dengan syarat tangan atau kepala yang

bisa dipahami.

Ijab dilakukan oleh pihak wali mempelai perempuan atau

walinya, sedangkan Kabul dilakukan oleh mempelai laki

– laki atau wakilnya.

Menurut pendirian Hanafi, boleh juga ijab Kabul oleh

pihak perempuan itu telah baligh dan berakal, dan boleh

sebaliknya

Ijab dan Kabul dilakukan di dalam satu majelis, dan

tidak boleh ada jarak yang lama antara ijab dan kabul

yang dapat merusak kesatuan akad dan kelangsungan

akad, dan masing - masing ijab Kabul belah pihak dan

dua orang saksi.

Hanafi membolehkan ada jarak antara ijab dan Kabul

asal masih di dalam satu majelis dan tidak ada hal yang

menunjukan salah satu pihak berpaling dari maksud

akad itu.

Lafadz yang digunakan untuk akad nikah adalah lafadz

nikah atau tazwij, yang terjemahkannya adalah kawin

dan nikah , sebab kalimat – kalimat itu terdapat di dalam

kitabullah dan sunah,. Demikian menurut asy – Syafi`i

dan Hambali. Sedangkan Hanafi memperbolehkan

dengan kalimat lain yang tidak dari Al- Qur`an, misalnya

menggunakan kalimat hibah, sedekah, pemilikan dan

23

sebagainya, dengan alasan, kata – kata ini adalah majas

yangbisa yang artinya perkawinan.

Contoh kalimat akad nikah :

انكحتك ..... بنت .... بمحرالف روبية حا ل

Artinya : “Aku kawinkan engkau dengan …. Binti….

dengan mas kawin Rp.1.000 tunai.”

Jawab atau kalimat kabul yang digunakan wajiblah sesuai

dengan ijab.

Akad nikah itu wajib dihadiri oleh : dua orang saksi laki-

laki, muslim, baligh, berakal, melihat (tidak buta),

mendengar (tidak tuli), dan mengerti tentang maksud akad

nikah dan juga adil. Saksi merupakan syarat sah

perkawinan.

Menurut Hanafi dan Hambali, saksi itu boleh seorang laki-

laki dan dua orang buta atau dua orang fasik (tidak adil).

Perkawinan wajib dengan akad nikah dan dengan lafadz ata

dengan kalimat tertentu.

1. Syarat-syarat wali

Perkawinan dilangsungkan oleh wali pihak mempelai

perempuan atau wakilnya dengan calon suami atau

wakilnya. Wali hendaklah seorang laki-laki, muslim,

baligh, berakal dan adil (tidak fasik).

Perkawinan tanpa wali tidak sah, berdasarkan sabda Nabi

SAW:51

لنكاح البولى

Artinya : “Tidak sah pernikahan tanpa wali.”

51 Muhammad bin Ismail Khahlani Shan’ani, Subulussalam, diterjemahkan Abu Bakar

Muhammad, (Surabaya: Al Ikhlas, 1995), h. 423.

24

2. Syarat-syarat saksi

Saksi yang menghadiri akad nikah haruslah dua orang

laki-laki, muslim, baligh, berakal, melihat dan

mendengar serta mengerti (paham) akan maksud akad

nikah.

Tetapi menurut golongan Hanafi dan Hambali, boleh

juga saksi itu satu orang lelaki dan dua orang perempuan.

Dan menurut Hanafi, boleh dua orang buta atau dua

orang fasik (tidak adil). Orang tuli, orang tidur dan orang

mabuk tidak boleh menjadi saksi. Ada yang berpendapat

bahwa syarat-syarat itu adalah sebagai berikut:

a. Berakal, bukan orang gila

b. Baligh, bukan anak-anak

c. Merdeka, bukan budak

d. Islam

e. Kedua orang saksi itu mendengar.52

4. Tujuan dan Hikmah Perkawinan

Manusia diciptakan Allah SWT mempunyai naluri

manusiawi yang perlu mendapat pemenuhan. Mengenai naluri

manusia seperti tersebut pada ayat 14 surat Al- Imran:53

زين للناس حب الشهوات من النسآء و البنين والقناطير

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia keecintaan kepada apa-

apa yang diingini, yaitu: Wanita-wanita, anak-anak, harta yang

banyak”

Melihat uraian diatas dan memperhatikan uraian imam Al-Ghazali

dalam Ihyana tentang faedah melangsungkan perkawinan, maka

tujuan perkawinan itu dapat dikembangkan menjadi lima, yaitu:54

52 Slamet Abidin dan Aminuddin, Fikih Munakahat, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999),

h. 94.

53 Abdur Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2010), h. 22-23.

54 Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, h. 24.

25

A. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan.

B. Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwatnya dan

menumpahkan kasih sayangnya.

C. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan

kerusakan.

D. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima

hak serta kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh

harta kekayaan yang halal.

E. Membangun rumah tangga untuk membentuk rumah tangga dan

untuk membentuk masyarakat yang tentram atas dasar cinta dan

kasih sayang.

Tujuan perkawinan menurut Undang-Undang perkawinan

sudah tercantum dengan jelas di dalam isi pada Pasal 1 Undang-

Undang Perkawinan, tujuan perkawinan adalah: “Membentuk

keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

Esa”. 55

Selain memiliki tujuan, Pernikahan dalam islam juga

mempunyai hikmah dan manfaat yang sangat besar. Beberapa hikmah

dari pernikahan tersebut diantaranya:56

A. Pernikahan sejalan dengan fitrah manusia untuk berkembang biak,

dan keinginan untuk melampiaskan syahwat secara manusiawi dan

syar’i.

B. Upaya menghindarkan diri dari perbuatan maksiat.

C. Terwujudnya kehidupan yang tenang dan tentram.

D. Membuat ritme kehidupan seseorang menjadi lebih tertib, teratur,

dan mengembangkan sikap kemandirian serta tanggung jawab.

55 K. Wantjk Saleh, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1978),

h. 14.

56 Asrorun Ni’am, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, (Jakarta: Elasas.

2008), h. 42-44.

26

E. Pernikahan dan adanya keturunan akan mendatangkan rezeki yang

halal serta berkah.

F. Nikah mempunyai kontribusi di dalam membentuk pribadi untuk

berprilaku disiplin.

G. Memperkokoh tali persaudaraan antar masyarakat.

H. Dapat menghasilkan keturunan yang baik, jelas nasabnya dan

semakin mempererat hubungan antar sesama.

Menurut Ali Ahmad Al-Jurjawi, hikmah-hikmah Perkawinan itu

banyak antara lain:57

A. Dengan pernikahan maka banyaklah keturunan.

B. Keadaan hidup manusia tidak akan tentram kecuali jika keadaan

rumah tangganya teratur. Kehidupannya tidak akan tenang kecuali

dengan adanya ketertiban rumah tangga.

C. Laki-laki dan perempuan adalah dua sekutu yasng berfungsi

memakmurkan dunia masing-masing dengan ciri khasnya berbuat

dengan berbagai macam pekerjaan.

D. Adanya istri akan bisa menghasilkan kesedihan dan ketakutan.

E. Pernikahan akan menjaga pandangan yang penuh syahwat terhadap

apa yang tidak di hilangkan untuknya.

F. Perkawinan akan memelihara keturunan serta menjaganya.

G. Berbuat baik yang banyak lebih baik daripada berbuat baik sedikit.

H. Jika sudah menikah terdapat anak dan istri yang mendoakan.

Menurut Sayyid Sabiq menyebutkan pada hikmah-hikmah yang lain

sebagai berikut:58

A. Kawin merupakan jalan alami dan biologis alami dan biologis

yang paling baik dan sesuai untuk menyalurkan dan memuaskan

naluri seks.dengan kawin,badan jika segar, jiwa jadi tenang,mata

57 Abdur Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, h. 22-23.

58 Abdur Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, h. 69-72.

27

terpelihara,dari melihat yang haram perasaan tenang menikmati

barang yang halal.

B. Kawin jalan terbaik untuk menciptakan anak-anak menjadi mulia,

memperbanyak keturunan, melestarikan hidup manusia serta

memelihara nasab.

C. Naluri kedepaan dan keibuan akan tumbuh saling melengkapi

dalam suasana hidup dengan anak-anak dan akan tumbuh pula

perasaaan, ramah, cinta dan sayang yang menyempurnakan

kemanusiaan seseorang,

D. Menyadari tanggung jawab yang akan menimbulkan sikap rajin

dan sungguh-sungguh dalam memperkuat bakat dan pembawaan

seseorang.

E. Adanya pembagian tugas.

F. Dalam perkawinan, diantaranya dapat membuahkan tali

kekeluargaan, memperteguh kelenggangan rasa cinta antara

keluarga, dan memperkuat hubungan kemasyarakan yang oleh

islam restui, dipotong dan ditunjang.

5. Larangan Pernikahan Dalam Islam

Hukum perkawinan telah diatur sedemikian rupa oleh Syariah

sehingga ia dapat membentuk suatu umat yang ideal. Untuk mencapai

tujuan itu, Al-qur’an dan sunnah telah menjelaskan macam-macam

larangan dalam perkawinan.59 Secara garis besar, larangan kawin antara

seorang laki-laki dan seorang Wanita menurut syara’ dibagi menjadi dua

yaitu halangan abadi dan halangan sementara. Halangan abadi yang telah

disepakati, yaitu:60

59 Abdur Rahman, Perkawinan dalam Syariat Islam, Penerjemah: Basri Iba Asghari dan

Wadi Masturi, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1992), h. 17.

60 Abdur Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, h. 103.

28

A. Nasab (Keturunan)

B. Pembesanan (Pertalian Kerabat Semenda)

C. Sesusuan

Sedangkan yang diperselisihkan ada dua, yaitu:61

A. Zina

B. Li’an

Halangan-halangan sementara ada Sembilan, yaitu:62

A. Halangan bilangan

B. Halangan mengumpulkan

C. Halangan kehambaan

D. Halangan kafir

E. Halangan ihram

F. Halangan sakit

G. Halangan iddah

H. Halangan perceraian tiga kali bagi suami yang menceraikan

I. Halangan peristrian

Orang-orang yang terhalang untuk dinikahi karena ada hubungan dengan

nasab ada 7 macam, yaitu:

A. Ibu (dan urutan keatasnya)

B. Anak (dan urutan keatasnya)

C. Saudara Perempuan

61 Abdur Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, h. 103.

62 Abdur Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, h. 103.

29

D. Bibi (Saudara Perempuan Ayah)

E. Bibi (Saudara Perempuan Ibu)

F. Keponakan dari saudara perempuan

G. Keponakan dari saudara laki-laki.

Hal ini sesuai dengan firman Allah surat An-Nisa’ ayat 23:63

مت هاتكم عليكم حر اتكم واخواتكم وبناتكم ام الخت وبنات الخ وبنات وخالتكم وعم

”Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anakmu yang

perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara

perempuan, saudara-saudara ayahmu yang perempuan, saudara-

saudara ibumu yang perempuan, anak-anak perempuan dari saudara-

saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-

saudaramu yang perempuan”.

Tafsirnya: Menurut Ibnu Katsir, ayat teersebut merupakan ayat yang

mengharamkan Wanita yang disebut mahram karena pertalian nasab,

susuan dan persemendaan, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Abi

Hatim dari Ibnu Abbas, dia berkata: diharamkan kepadamu tujuh

golongan karena persemendaan.64

Wanita yang haram dinikahi karena faktor persusuan yaitu Ibu yang

menyusui dan Saudara perempuan sepersusuan.65 Dan yang terlarang

untuk dinikahi karena hubungan mushaharan (basanan) ada 4 macam

yaitu :

A. Ibu dari istri neneknya

B. Anak dan istri

63 Abdul Fatah Idris dan Abu Ahmadi, Fikih Islam Lengkap, (Jakarta: PT Rineka Cipta,

2004), h. 238-239.

64 Abdul Wahab Abd. Muhaimin, Ayat-Ayat Perkawinan dan Perceraian dalam Kajian

Ibnu Katsir, (Jakarta: Gaung Persasda Press), h. 38-39.

65 Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, h. 32.

30

C. Istri ayah (mertua)

D. Istri anak (menantu).

Di Indonesia juga memiliki peraturan yang menentukan

perkawinan mana yang diperbolehkan dan perkawinan mana yang

dilarang menurut hukum.66 Dalam Komplikasi Hukum Islam (KHI),

larangan kawin seperti yang telah diuraikan diatas, dijelaskan pula secara

rinci dalam pasal 39 sampai pasal 44.67 Dalam Undang-undang

Perkawinan menentukan beberapa larangan untuk melangsungkan

perkawinan yang dimuat dalam pasal 8, 9 dan 10.68 Ketentuan dalam

pasal 8 itu telah sangat mendekati ketentuan-ketentuan larangn

perkawinan dalam islam.69

Sesuai pasal 8 Undang-Undang Nomor. 1 Tahun 1974 menyatakan

“Melarang Perkawinan antara dua orang yang mempunyai hubungan

darah baik keatas, kebawah maupun garis menyamping mempunyai

hubungan semeda, hubungan susuan, hubungan saudara dengan istri dan

hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang

kawin”. Pasal 9 melarang seorang yang masih terkait tali perkawinan

dengan orang lain untuk kawin lagi, Kecuali ada izin dari pengadilan.

Dan pasal 10 melarang perkawinan Kembali antara suami-istri bercerai

untuk kedua kalinya.70

Larangan pernikahan selain orang yang akan menikah sebagai

objek pelarangan nikah, Islam juga mencantumkan beberapa jenis

pernikahan sebagai objek pelarangan untuk menikah, diantaranya yaitu:

66 R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bandung: Sumur

Bandung, 1991), h. 34.

67 Abdul Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, h. 114-227.

68 K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, h. 27.

69 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia: Berlaku bagi Umat Islam, h. 54.

70 Asmin, Status Perkawinan Antar Agama: Ditinjau dari Undang-Undang Perkawinan

1/1974, (Jakarta: PT Dian Rakyat, 1986), h. 25.

31

nikah mut’ah (kawin kontrak), nikah syighar (nikah yang didasarkan

kepada janji atau kesepakatan kepada janji atau kesepakatan penukaran),

nikah muhallil (nikah dengan tujuan menghalalkan perempuan yang

dinikahinya agar dinikahi oleh mantan suaminya yang mentalak tiga) dan

pernikahan silang (nikah beda agama).71

B. Pernikahan Dalam Hukum Adat Jawa

1. Pengertian

Pernikahan merupakan pristiwa yang sangat penting dalam

kehidupan masyarakat kita. Sebab pernikahan tidak hanya menyangkut

pria dan wanita bakal mempelai saja, tetapi juga orang tua kedua belah

pihak saudara-saudaranya, bahkan keluarga mereka masing-masing.

Dalam hukum adat pernikahan itu bukan hanya merupakan peristiwa

penting bagi mereka yang masih hidup saja, tetapi pernikahan juga

merupakan peristiwa yang sangat pening serta sepenuhnya juga

mendapat perhatian dan diikuti oleh arwah-arwah para leluhur kedua

belah pihak.

Dengan demikian pernikahan menurut adat merupakan

suatu hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan, bahkan antara

masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain. Pernikahan juga

dapat diartikan sebagai ikatan lahir batin antara laki-laki dan

perempuan dengan tujuan membentuk suatu keluarga bahagia dan

kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa.72

Pernikahan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang laki-

laki dengan perempuan sebagai pasangan suami istri dengan tujuan

membentuk keluarga yang Bahagia dan kekal. Pernikahan dianggap

sebagai suatu yang sakral, agung, dan monumental bagi setiap

pasangan hidup seseorang. Dari kehidupan kedua belah pihak

diharapkan mampu bertahan sepanjang hidupnya. Proses pernikahan

71 Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, h. 34-37.

72 Laksanto Utomo, Hukum Adat (Depok: PT Raja Grafindo Persada, 2017) h. 90.

32

dianggap sebagai ritual dengan syarat dan simbol kehidupan,

khususnya bagi orang yang menggunakan adat tradisional.

Pernikahan merupakan suatu tradisi sosial yang sudah diakui

dalam setiap kebudayaan atau masyarakat. Dari makna pernikahan

berbeda-beda, tetapi dalam pernikahan dari hampir semua kebudayaan

yaitu cenderung sama pernikahan menunjukkan suatu peristiwa saat

sepasang calon suami istri di pertemukan secara formal dihadapan

ketua agama, saksi dan sejumlah beberapa wali untuk disahkan secara

resmi dengan upacara dan ritual tertentu.73

2. Pernikahan Dalam Adat Jawa

Pernikahan adat Jawa adalah bentuk sinkretisme pengaruh

adat Hindu dan Islam dalam adat Jawa, sajen, hitungan, pantangan,

dan mitos-mitos masih kuat mengakar.74 Pernikahan menurut

masyarakat Jawa adalah hubungan cinta kasih yang tulus antara

seorang pemuda dan pemudi yang pada dasarnya terjadi karena sering

bertemu antara kefua belah pihak, yaitu perempuan dan laki-laki.

Pepatah jawa mengatakan “tresno jalaran soko kulino” yang artinya

adalah cinta kasih itu tumbuh karena terbiasa.75

Pernikahan ideal menurut masyarakat adat Jawa ialah suatu

bentuk pernikahan yang terjadi dan dikehendaki oleh masyarakat.

Suatu bentuk pernikahan yang terjadi berdasarkan suatu pertimbangan

tertentu, tidak menyimpang dari ketentuan aturan-aturan atau norma-

norma yang berlaku di dalam masyarakat setempat.76 Seseorang yang

73 Kartono Kartini, Psikologi Wanita: Gadis Remaja Dan Wanita Dewasa, (Bandung:

Mandar Madu, 1992), h. 23.

74 Ibn Isma’il, Islam Tradisi, Studi Komparatif Budaya Jawa Dengan Tradisi Islam,

(Kediri: TETES Publishing, 2011), h. 92.

75 Ririn Mas’udah, “Fenomena Mitos Penghalang Perkawinan Dalam Masyarakat Adat

Trenggalek”. Jurnal Hukum dan Syariah, Vol. 1, No. 1. (2010), h. 01-120.

76 Ririn Mas’udah, “Fenomena Mitos Penghalang Perkawinan Dalam Masyarakat Adat

Trenggalek”. Jurnal Hukum dan Syariah, Vol. 1, No. 1. (2010), h. 01-120.

33

akan melangsungkan hajat pernikahan memiliki pertimbangan-

pertimbangan khusus dalam pemilihan jodoh, pertimbangan ini juga

diperhitungkan karena terkait dengan konsep bibit, bobot, bebet dalam

membina hubungan suami istri.77

Orang Jawa mengartikan pernikahan merupakan lambang

pertemuan antara pengantin wanita yang cantik serta pengantin pria

yang gagah dalam suatu susunan kerajaan Jawa, yang sudah

ditetapkan dari generasi ke generasi oleh masyarakat Jawa. Dalam

kebudayaan, merupakan suatu fenomena yang universal. Dimana

setiap masyarakatnya memiliki kebudayaan sendiri, meskipun dalam

bentuk dan coraknya yang berbeda-beda dari masyarakat lainnya.78

Bagi penduduk Jawa terutama yang masih memegang teguh

adat Jawa, peranan orang tua dalam aktifitas penikahan itu tidak dapat

ditinggalkan. Dalam menentukan jodoh untuk anak-anaknya yang

sudah remaja, segala sesuatunya mereka perhitungkan melalui

konsepsi-konsepsi adat yang berlaku di dalam masyarakatnya. Dasar

yang dipakai oleh orang tua untuk menentukan atau memilih jodoh

anak-anaknya pada umumnya merupakan pantangan-pantangan atau

larangan-larangan menikah.79 Pantangan atau larangan dalam

masyarakat Jawa ini seperti sudah menjadi hukum adat yang berlaku

di masyarakat, sehingga orang tua sangat mengupayakan untuk selalu

melakukan hukum adat tersebut. Jika tidak melakukan hal tersebut

maka akan mendapat sanksi sosial dalam kehidupan dalam

bermasyarakat, seperti di cemooh atau menjadi bahan gunjingan

masyarakat setempat.

77 Suwardi Endraswara, Falsafah Hidup Jawa, (Cakrawala: Tangerang 2003), h. 114.

78 Suseni, Makna Budaya Budaya Jawa Dalam Komunikasi Antar Budaya, (Jakarta:

2001), h.5.

79 Kusuk Kholik, “Mitos-Mitos Penghalang Perkawinan Pada Adat Jawa Dalam

Perspektif Hukum Islam”, Jurnal USRATUNA, Vol. 1, No. 2. (Juli 2018), h. 1-26.

34

3. Tradisi Kepercayaan Masyarakat Adat Jawa

Tradisi merupakan kebiasaan yang terus dilakukan dari

generasi ke generasi di dalam sebuah masyarakat. Tradisi merupakan

roh dari sebuah kebudayaan. Tanpa tradisi tidak mungkin suatu

kebudayaan akan hidup dan langgeng. Dengan tradisi hubungan antara

individu dengan masyarakatnya bisa harmonis. Dengan tradisi sistem

kebudayaan akan menjadi kokoh namun bila tradisi dihilangkan maka

ada harapan suatu kebudayaan akan berakhir disaat itu juga. Suatu

tradisi akan di pertahankan jika tradisi itu masih memiliki peran bagi

kehidupan masyarakat, akan tetapi jika sudah tidak memiliki peran

maka secara perlahan akan terkikis dan tergantikan oleh perubahan

zaman.80

Menurut khazanah Bahasa Indonesia, tradisi berarti segala

sesuatu seperti adat, kebiasaan, ajaran dan sebagainya, yang turun

temurun dari nenek moyang. Tradisi merupakan warisan masa lalu

yang dilestarikan terus hingga sekarang, dapat berupa nilai, norma

sosial, pola kelakuan dan adat kebiasaan lain yang merupakan wujud

dari berbagai aspek kehidupan.81

Kepercayaan merupakan sejumlah konsep abstrak yang di

konstruksikan oleh setiap individu yang memberi makna pada

lilngkungan social, natural dan keagamaan. Seluruh kehidupan

individu dikonstruksikan, diekspresikan, dan direkonstruksikan.

Kepercayaan tidak menghasilkan tingkan laku secara langsung tetapi

menetapkan seperangkat parameter yang digunakan individu untuk

80 Muhammad Syukri Albani Nasution Dkk, Ilmu Sosial Budaya Dasar Cet. 1, h. 82.

81 Ana Latifah, “Kepercayaan Masyarakat Terhadap Upacara Tradisi Satu Sura Di Desa

Traji Kecamatan Paarakan Kabupaten Temanggung”. (Skripsi Fakultas Ushuluddin Universitas

Islam Negeri Walisongo Semarang, 2014), h. 25.

35

merespons kekuatan-kekuatan di lingkungan tersebut dan tindakan-

tindakan orang lain.82

Kepercayaan keagamaan tidak hanya mengakui keberadaan

benda-benda dan makhluk-makhluk astral tetapi seringkali

memperkuat dan mengokohkan keyakinan terhadapnya.83

Kepercayaan, mitos, dogma, dan legenda-legenda Jawa jelas

merupakan representasi atau sistem resprentasi yang

mengekspreksikan hakikat hal-hal yang sakral, kebaikan dan

kekuatan-kekuatan yang dihubungkanpadanya, mitos-mitos Jawa pun

ada yang dipandang sakral, bertuah, dan mencerminkan berbagai

tindakan ritual. Dengan demikian, spiritual atau agama Jawa tidak

dapat di pisahkan dengan dunia magis.84

Dalam budaya Jawa pra Islam yang bersumberkan dari ajaran

agama Hindu terdapat kepercayaan tentang adanya para dewata seperti

dewa Brahma, Dewa Wisnu, dan Dewa Siwa serta masih banyak lagi

para dewa. Sepert halnya kepercayaan kitab-kitab suci, orang-orang

suci, roh-roh jahat, hukum karma dan hidup bahagia abadi. Para

agama primitf sebagai agama orang Jawa sebelum kedatangan agama

Hindu atau Buddha, inti kepercayaannya adalah percaya kepada daya-

daya kekuatan ghaib yang menempati pada benda (dinamisme), serta

percaya kepada roh-roh ataupun makhluk-makhlik halus yang

menempati suatu tempat atau benda, baik hidup ataupun benda mati

(animisme).85

Kepercayaan-kepercayaan dari agama Hindu, Buddha

ataupun animisme dan dinamisme berinterelasi dengan kepercayaan-

82 Mark R. Woodward, Islam Jawa, Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, (Yogyakarta:

IRCiSoD, 2017), h. 34.

83 Elizabeth K. Nottingham, Agama dan Masyarakat : Suatu Pengantar Sosiologi Agama,

(Jakarta: CV Rajawali, 1990), h. 13.

84 H. Suwardi Emdraswara, Agama Jawa, (Yogyakarta: Lembu Jawa, 2012), h. 33.

85 Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2000), h 122.

36

kepercayaan Islam telah menyatu dengan berbagai unsur keyakinan

Hindu-Buddha ataupun kepercayaan primitif.86 Hal tersebut

menjadikan timbul pemahaman baru di kalangan orang Jawa bahwa

setiap gerakan, kekuatan, dan kejadian di alam ini disebabkan oleh

makhluk-makhluk yang ada disekelilingnya. Keyakinan semacam itu

terus terpelihara dalam tradisi dan budaya Jawa, atau dalam

kepustakaan budaya disebut “Kejawen”, yaitu keyakinan atau ritual

campuran antara agama formal dengan keyakinan yang mengakar kuat

di kalangan masyarakat Jawa. Sebagai contoh, banyak orang yang

menganut agama Islam, tapi dalam praktik keagamaannya tidak

meninggalkan keyakinan warisan nenek moyang mereka. Hal itu bisa

juga memang berkat hasil pendalamannya terhadap keyakinan warisan

tersebut dan Islam secara integral.87

Para pengamat dan peneliti telah membuktikan bahwa orang

Jawa memiliki kepercayaan yang beragam. Praktik keagamaan orang

Islam banyak dipengaruhi oleh keyakinan lama yaitu animism, Hindu,

Buddha, maupun kepercayaan kepada alam yaitu dinamisme. Oleh

karena itu masih ditemukan orang-orang yang berpedoman pada

primbon sistem perhitungan atau ramalan dalam melakukan aktivitas

tertentu.88

Merujuk pada pendapat Clifford Geertz, bahwa Geertz

memilah masyarakat Jawa kedalam tiga golongan utama yaitu

golongan santri, yang merupakan kalangan muslim ortodoks.

Golongan priyayi yaitu kalangan bangsawan yang dipengaruhi oleh

tradisi-tradisi Hindu-Jawa. Sedangkan golongan abangan yaitu

86 Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2000), h 123.

87 Ahmad Khalil, Islam Jawa, Sufisme dalam Etika dan Tradisi Jawa, (Malang: UIN-

Malang Press, 2008), h. 45.

88 Ahmad Khalil, Islam Jawa, Sufisme dalam Etika dan Tradisi Jawa, (Malang: UIN-

Malang Press, 2008), h. 46.

37

masyarakat desa pemeluk animisme.89 Geertz menyebut bahwa

pandangan dunia Jawa adalah agama Jawa, baik sebagai agama

abangan, agama santri, maupun agama priayi, menurut lapisan-

lapisan masyarakat. Menurut Suseno, menjelaskan bahwa dalam

pandangan dunia Jawa ada empat lingkaran bermakna yaitu :

a. Lingkaran pertama, lingkaran yang bersifat ekstrovert. Sikap

terhadap dunia luar yang dialami sebagai kesatuan kepercayaan

ukhrowi antara alam, masyarakat, dan alam adikodrati yang

keramat, serta dilaksanakan dalam kegiatan ritual tanpa refleksi

eksplisit terhadap dimensi batin sendiri (secara kental dan kuat

dalam masyarakat desa). Geertz menyebutnya sebagai agama

abangan.

b. Lingkaran kedua, memuat penghayatan kekuasaan politik

sebagai ungkapan alam numinous (ukhrowi, adikodrati).

c. Lingkaran ketiga, berpusat pada pengalaman tentang keakuan

sebagai jalan kepersatuan dengan Maha Kodrati. Unsur-unsur

lingkaran pertama diterjemahkan kedalam dimensi pengalaman

kebatinan sendiri, dan sebaliknya, alam lahir di strukturisasikan

dengan bertolak dari dimensi batin. Geertz menyebutnya

sebagai agama priyayi. Puncak wujud ini adalah usaha

mencapai pengalaman mistik.

d. Lingkaran keempat adalah penentuan semua lingkaran

pengalaman oleh yang Ilahi, oleh takdir.90

4. Fungsi Dan Tujuan Dalam Hukum Adat Jawa

Rumusan hukum adat perkawinan menurut Djaren Saragih

ialah keseluruhan kaidah hukum yang menentukan prosedur yang

harus ditempuh oleh dua orang yang bertalian kelamin dalam

89 Mark r. Woodward, Islam Jawa, Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, (Yogyakarta:

IRCiSoD, 2017), h. 47.

90 Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2000), h 67.

38

menciptakan kehidupan bersama dalam suatu rumah tangga dengan

tujuan untuk meneruskan keturunan. Perkawinan ditinjau dari

kacamata hukum adat menurut Soekanto bukan hanya suatu peristiwa

yang mengenai mereka yang bersangkutan (perempuan dan laki-laki

yang menikah) saja, akan tetapi juga bagi orangtuanya, saudara-

saudaranya dan keluarga-keluarganya.91

Perkawinan tidak hanya dikategorikan sebagai peristiwa

penting bagi mereka yang masih hidup saja, namun pula perkawinan

dianggap sebagai salah satu peristiwa berarti bagi arwah para leluhur

dari kedua belah pihak.92 Berlainan dengan opini Soekanto, Van Dijk

menegaskan bahwa perkawinan menurut hukum adat berkaitan

dengan urusan familie, masyarakat, martabat dan pribadi.93 Seorang

ahli sosiologi Perancis, A. Van Gennep mengistilahkan keseluruhan

upacara-upacara perkawinan sebagai “rites de passage” (upacara-

upacara peralihan). Upacara-upacara peralihan yang melambangkan

perubahan status dari kedua mempelai yang semula hidup terpisah,

namun setelah melaksanakan upacara perkawinan menjadi hidup

bersatu dalam suatu kehidupan bersama sebagai suami isteri. Rites de

passage terdiri dari tiga tahapan, yaitu :94

a. Rites de separation yaitu upacara perpisahan dari status semula

b. Rites de marge yaitu upacara ke status yang baru

c. Rites d’aggregatation yaitu upacara penerimaan ke dalam status

yang baru

91 Soerjono Soekanto dan Soleman B. Taneko, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: Rajawali

Pers, 2016), h. 100-101.

92 Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta: Toko

Gunung Agung, 1995), h. 121.

93 Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia, (Dalam Kajian Kepustakaan), Bandung:

Alfabeta, 2013, h. 222.

94 Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, (Jakarta: Toko

Gunung Agung, 1995), h. 123.

39

Tujuan dari suatu ikatan perkawinan menurut Profesor Hazairin untuk

menjamin ketenangan atau yang dikenal dengan istilah koalte,

kebahagiaan atau yang juga dikenal dengan istilah welvaar, dan

kesuburan atau vruchtbaarheid dalam terminologi Belanda.95

Tidak hanya diartikan sebagai ikatan di antara kedua pihak

yang melangsungkan perkawinan semata, hukum adat memandang

perkawinan sebagai ikatan kekeluargaan bahkan hubungan antar

masyarakat adat. Djojodiguno mengemukakan bahwa sebagai suatu

konsekuensi dari timbulnya suatu ikatan perkawinan, paguyuban

hidup atau yang lazim disebut dengan istilah somah dalam bahasa

Jawa merupakan pokok ajang hidup suami istri beserta anak-anaknya

kelak. Dapat dikatakan bahwa sejatinya, perkawinan tak melulu

mengenai suami istri, namun secara lebih luas merupakan cerminan

dari lahirnya suatu kaidah mengenai hukum keluarga. Hukum

keluarga merupakan keseluruhan ketentuan yang mengenai hubungan

hukum yang bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah dan

kekeluargaan karena perkawinan layaknya kekuasaan orang tua,

perwalian, pengampuan, keadaan tak hadir.96

Akibat Hukum dari hubungan orangtua dan anak menurut

hukum adat menurut Ter Haar ialah:97

1. Larangan perkawinan antara anak dengan orangtuanya;

2. Kewajiban orangtua untuk mengurus anaknya;

3. Pada perkawinan anak perempuan, maka sang ayah berperan

sebagai wali.

95 Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, (Jakarta: Toko

Gunung Agung, 1995), h. 122.

96 Ali Afandi, Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian, (Jakarta: Rineka

Cipta, 1997), h. 93.

97 Soerjono Soekanto, Intisari Hukum Keluarga, (Bandung: Alumni, 1980), h. 49.

40

Hukum adat memandang istilah perkawinan secara luas. Tujuan

perkawinan bagi masyarakat hukum adat yang bersifat

kekerabatan, adalah untuk mempertahankan keturunan menurut

garis kebapakan atau keibuan atau keibu-bapakan, kebahagiaan

rumah tangga keluarga/kerabat, memperoleh nilai-nilai adat

budaya dan kedamaian, dan mempertahankan kewarasan.98

Dalam lingkaran masyarakat adat yang masih kuat

menggenggam prinsip kekerabatan berdasarkan ikatan keturunan,

perkawinan berfungsi untuk :99

1. Suatu nilai hidup untuk dapat meneruskan keturunan,

mempertahankan silsilah dan kedudukan keluarga yang bersangkutan

2. Sarana untuk memperbaiki hubungan kekerabatan yang telah jauh

atau retak

3. Sarana pendekatan dan perdamaian antar kerabat

Bersinggungan dengan pernyataan tersebut, Soerjono Soekanto dalam

buku Intisari Hukum Keluarga memaparkan secara terperinci fungsi

perkawinan ialah sebagai berikut :100

1. Lembaga sosial yang mengatur perilaku manusia di bidang seks

2. Sarana hidup untuk memenuhi kebutuhan manusia akan kawan

hidup

3. Lembaga yang berisikan hak-hak serta kewajiban-kewajiban

mengenai hubungan suami, istri, dan anak

4. Sarana untuk mendapatkan kedudukan sosial tertentu

5. Sarana untuk memenuhi kebutuhan manusia akan harta kebendaan

98 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Menurut Perundangan, Hukum

Adat, Hukum Agama, (Bandung: Mandar Maju, 1990), h. 23.

99 Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia (Dalam Kajian Kepustakaan), (Bandung:

Alfabeta, 2013), h. 222.

100 Soerjono Soekanto, Intisari Hukum Keluarga, (Bandung: Alumni, 1980), h. 16.

41

6. Lembaga untuk memelihara hubungan baik dengan kelompok

kekerabatan di dalam masyarakat

7. Sarana untuk mengadakan asimilasi

8. Lembaga untuk membentuk keluarga batih yang berfungsi sebagai

tempat berlindung, kesatuan sosial-ekonomis, serta tempat

bersosialisasi

5. Larangan Pernikahan dalam Tradisi Jawa

a. Menikah di bulan Syuro/ Muharram

Bagi masyarakat Islam -Jawa, bulan Syuro sebagai bulan keramat

sehingga menimbulkan kepercayaan bahwa bentuk-bentuk kegitaan

tertentu seperti pernikahan,hajatan, dan sebagainya tidak berani

melakukan, bukan berarti tidak boleh. Akan tetapi masyarakat Islam-

Jawa memliki anggapan bahwa bulan Syuro/Muharram itu merupakan

bulan yang paling agung dan termulia, sebagai bulan (milik) Gusti

Allah. Karena terlalu memuliakan bulan Syuro ini maka dalam sistem

kepercayaan masyarakat, dipercayai hamba dan manusia “tidak kuat”

atau memandang “terlalu lemah” untuk menyelenggarakan hajatan pada

bulan Allah itu.101

Bagi masyarakat Jawa, hamba atau manusia yang “kuat” untuk

melaksanakan hajatan pada bulan itu hanyalah raja atau sultan.

Sehingga bulan Syuro ini dianggap sebagai bulan hajatan bagi keraton,

dimana rakyat biasa akan “kualat” jika ikut-ikutan melaksanakan

hajatan tertentu. Sementara bagi masyarakat Islam-Jawa, sultan

dipandang sebagai “wakil Allah” (khilafatullah) di muka bumi. Maka

gelar sutan ini dianggap sebagai symbol perilaku agung, sehingga

disebut ngarso dalem (yang di depan anda) atau sampeyan dalem (kaki

anda), dimana rakyat memiliki posisi di bawah sultan.102

101 K. H. Muhammad Sholikhin, Misteri Bulan Suro Perspektif Islam Jawa, (Yogyakarta:

NARASI, 2009), h. 84.

102 K. H. Muhammad Sholikhin, Misteri Bulan Suro Perspektif Islam Jawa, (Yogyakarta:

NARASI, 2009), h. 84.

42

b. Posisi Rumah Berhadapan

Posisi rumah yang berhadapan menjadi permasalahan bagi calon

pasangan yang akan menikah dalam adat Jawa. Masyarakat Jawa

menyakini jika pernikahan tetap dilaksanakan maka dalam

pernikahannya mengalami musibah/ kesialan seperti kekurangan rezeki,

atau salah satu keluarganya ada yang meninggal.

c. Pernikahan Anak Pertama dan Ketiga

Pernikahan anak pertama dan anak ketiga dalam adat Jawa

dipercayai bisa menimbulkan kesialan dalam perjalanan rumah tangga

nantinya seperti bercerai, selalu mempunyai masalah yang berlarut-larut

didalam rumah tangganya. Oleh karena itu pernikahan seperti ini

dilarang atau menjadi sebuah pantangan dalam masyarakat adat Jawa.

d. Pernikahan dari saudara-saudara Misan

Orang Jawa menyebutkan dengan istilah sedulur misan (tunggal

mbah buyut), yaitu Angkatan 4 ke bawah. Bila calon jodoh berasal dari

kelompok saudara ipar, orang jawa menyebutnya istilah krambil

sejenjang. Menurut anggapan, pantangan itu bila dilanggar akan

mengakibatkan salah satu diantara mereka meninggal.

e. Wetonan

Bila calon jodoh itu tidak sesuai dengan hari kelahiranya, orang

jawa menyebutnya dengan istilah neptune ora cocok (neptunya tidak

cocok). Adapun istilah neptu berasal dari kata-kata yang berarti sesusai

atau tidak sesuai. Maka perjodohan diantara mereka dapat digagalkan,

karena memungkinkan hidup suami istri itu tidak bahagia. Diantara

langkah-langkah yang dilakukan dalam menghitungnya adalah:

pertama, menghitung jumlah neptu (hari kelahiran) calon pengantin

wanita ditambah jumlah hari kelahiran calon pengantin laki-laki dibagi

5. Kedua, menggunakan perhitungan hari kelahiran laki-laki dan wanita

dan aksara Jawa. Pertimbangan lain adalah keturunan dan watak.

Pertimbangan ini juga diperhitungkan karena terkait dengan konsep

bobot, bebet, dan bibit dalam membina hubungan suami istri. Dan

43

apabila pertimbangan-pertimbangan tersebut ada ketidak cocokan maka

perjodohan mereka dapat digagalkan.103

f. Sedulur Pancer Walia atau Pancer Lanang

Bila calon itu (anak gadis) anka saudara laki-laki ayah, orang jawa

menyebutnya dengan istilah sedulur pancer.104

Tradisi larangan menikah ini sangatlah kental dalam masyarakat adat

Jawa, mereka tidak bersni melanggar larangan-larangan tersebut karena

banyak kalangan masyarakat yang memiliki kepercayaan bahwa tradisi

larangan itu akan mengakibatkan hal buruk atau musibah seperti

kesulitan ekonomi, tertimpa penyakit, perceraian, kematian dan

sebagainya. Sehingga penundaan bahkan pembatalan pernikahan

menjadi sebuah solusi untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.

Dalam hal ini, pihak calon pasangan suami istri sangat dikecewakan

akan adanya pembatalan tersebut sehingga tak jarang banyak yang

frustasi. Bukan karena ketidak cocokan lahir batin di antara mereka

tetapi karena adanya semacam “rambu-rambu” larangan menikah yang

sudah menjadi normal dalam masyarakat.105 Adanya ketetapan-

ketetapan yang dijadikan tradisi tersebut sangatlah bertentangan dalam

islam bahkan tidak ada ajaran islam yang mengatur tentang larangan

pernikahan berdasarkan tradisi adat, Adapun larangan nikah dalam

konteks islam adalah larangan menikah karena nasab, sepersusuan dan

karena ada hubungan pernikahan serta sebab syara’ lainnya.

C. Weton

1. Pengertian Weton

103 K. H. Muhammad Sholikhin, Misteri Bulan Suro Perspektif Islam Jawa, (Yogyakarta:

NARASI, 2009), h. 113

104 Ririn Mas’udah, “Fenomena Mitos Penghalang Perkawinan Dalam Masyarakat Adat

Trenggalek”, h. 01-120

105Miftahul Huda, “Membangun Model Bernegosiasi Dalam Tradisi Larangan-Larangan

Perkawinan Jawa”, Jurnal Epistme, Vol. 12 No. 2 (Desember 2017), h. 383-409.

44

Weton dalam bahasa Indonesia adalah hari lahir: senin,

selasa, rabu, dan seterusnya. Neptu adalah jumlah atau nilai masing

masing hari: senin 4, selasa 3, pon 7 dan seterusnya. Masing-masing

hari mempunyai nilai atau jumlah yang sering di pakai oleh

masyarakat Jawa.106

Weton dalam bahasa Jawa berasal dari kata “wetu” yang

berarti lahir atau keluar yang mendapat akhir “an” sehingga berubah

menjadi kata benda. Yang disebut Weton adalah gabungan antara hari

pasaran bayi dilahirkan ke dunia.107 Namun ada juga yang mengartikan

weton berarti hari lahir seseorang dengan pasarannya, misal: Senin

Wage, Selasa Pahing, Rabu Legi, Kamis Pon atau Jum’at Kliwon (ada

5 hari pasaran, yaitu Pahing, Pon, Wage, Kliwon dan Legi).108 Lima

hari hari tersebut dinamakan Pasaran, karena masing-masing nama itu

sejak zaman kuno digunakan untuk menentukan dibukanya pasar bagi

para pedagang, sehingga pada hari yang ditentukan, untuk suatu pasar

akan banyak kunjungan pedagang menjual dagangannya, dan banyak

dikunjungi orang yang berbelanja. Kalau mengungkap dari leluhur

zaman dahulu, nama 5 hari tersebut sebetulnya diambil atau berasal

dari nama: 5 ROH, nama-nama ROH tersebut adalah 1. Batara Legi, 2.

Batara Paing, 3. Batara Pon, 4. Batara Wage, 5. Kliwon. Bagian pokok

dari Jiwa Manusia yang sudah menjadi pengetahuan dan keyakinan

leluhur orang Jawa sejak jaman purba sampai sekarang.109

Berhubung : 5 hari pasaran itu pada hakikatnya mengambil dari

nama Jiwa manusia yang disebut : “Sedulur papat limo pancer”, dari

106 Purwadi dan Enis Niken, Upacara Pengantin Jawa, (Yogyakarta: Panji Pustaka,

2007), h. 184.

107 Romo RDS Ranoewidjojo, Primbon Masa Kini Warisan Nenek Moyang Untuk

Meraba Masa Depan, (Jakarta: Bukune, 2009), h. 17.

108 Lukmanul Hakim, Kamus Santri At Taufiq, Jawa Arab-Indonesia, (Jepara: Al Falah

Publisher)

109 Soenandar Hadikoesoema, Filsafat Ke-Jawaan Ungkapan Lambang Ilmu Gaib Dalam

Seni-Budaya Peninggalan Leluhur Jaman Purba, (Jakarta: YudhAgama Corporation, 1985), h. 57.

45

itu kalangan masyarakat Jawa sampai sekarang ini terdapat naluri

menggunakan nama : 5 Pasaran tersebut untuk dijadikan titikan bagi

perangan seseorang menurut hari Pasaran kelahirannya.110

2. Definisi Hitungan Jawa (Weton)

Kalender adalah penanggalan yang memuat nama-nama bulan, hari

tanggal dan hari-hari keagamaan seperti terdapat pada kalender

Masehi. Kalender Jawa memiliki arti dan fungsi tidak hanya sebagai

petunjuk hari libur ata hari keagamaan, tetapi menjadi dasar dan ada

hubungannya denga napa yang disebut Petangan Jawi, yaitu

perhitungan baik buruk yang dilukiskan dalam lambang dan watak

suatu hari, tanggal, bukan, tahun, pranata mangsa, wuku, neptu, dan

lain-lain.111

Hitungan Jawa sudah ada sejak jaman dahulu, merupakan catatan

dari leluhur berdasarkan pengalaman baik buruk yang dicatat dan

dihimpun dalam Primbon. Kata Primbon berasal dari kata rimbu

berarti simpan atau simpanan, maka primbon memuat bermacam-

macam catatan oleh suatu generasi diturunkan kepada generasi

penerusnya.112

Hitungan Jawa yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah

hitung-hitungan yang dipakai dalam acara prosesi pernikahan pada

masyarakat Jawa. yang dalam pelaksanaannya masyarakat Jawa

menggunakan cara-cara hitungan yang sudah dijalankan sejak zaman

nenek moyang. Dalam hitungan Jawa masyarakat Jawa menggunakan

kalender. Diantara pedoman perhitungan tersebut ialah : (1) Kalender

Saka (2) Petangan jawi (Pranata Mangsa) atau biasa disebut juga

110 Soenandar Hadikoesoema, Filsafat Ke-Jawaan Ungkapan Lambang Ilmu Gaib Dalam

Seni-Budaya Peninggalan Leluhur Jaman Purba, h. 59.

111 Purwadi dan Enis Niken, Upacara Pengantin Jawa, (Yogyakarta: Panji Pustaka,

2007), h 149.

112 Purwadi dan Enis Niken, Upacara Pengantin Jawa, h. 154.

46

kalender kaum tani. (3) Kalender Sultan Agungan, yaitu perubahan

kalender yang dilakukan oleh Sultan Agung yang Pada waktu itu

menjadi Raja Mataram yang terkenal patuh beragama Islam itu

merubah kalender di Jawa secara revolusioner. Perubahan kalender

Jawa itu terjadi dan mulai dengan tanggal 1 Sura tahun Alip 1555,

tepat pada tanggal 1 Muharram tahun 1043 Hijriyah, yang bertepatan

juga dengan 8 Juli 1633.

3. Tinjauan Hitungan Jawa (Weton)

Pada hakikatnya hitungan pada masyarakat Jawa pada acara

prosesi pernikahan adalah cara untuk mencapai keselamatan dan

kesejahteraan hidup lahir dan batin. Dengan pedoman catatan catatan

leluhur (Primbon) hendaknya tidaklah diremehkan meskipun diketehui

tidak mengandung kebenaran yang mutlak, catatan leluhur tersebut

sebagai pedoman penghati-hati mengingat pengalama leluhur.113

Karena pentingnya memilih jodoh, dalam budaya jawa ada

perhitungan weton, yaitu perhitungan hari lahir kedua calon mempelai,

Namun perhitungan ini bukanlah penentu diterima atau tidak. Hal ini

lebih sering di pahami sebagai ramalan nasib masa depan kedua

mempelai.114

4. Tata Cara dan Macam-Macam Hitungan Jawa (Weton)

Masyarakat dalam melestarikan tradisi kebudaayaan dengan

mengikuti ajaran nenek moyang guna mendapatkan keselamatan,

ketentraman kehidupan. Shingga sebagai masyarakat terdahulu dalam

menentukan hari baik pernikahan sangat berhati-hati yan mengandung

maksud terhadap arti dari sebuah kehidupan115

113 Purwadi dan Enis Niken, Upacara Pengantin Jawa, h. 158

114 M. Hariwijaya, Perkawinan adat Jawa, (Jogjakarta: Hanggar Kreator, 2005), h. 72.

115 Waryunah Irmawati, “Makna Simbolik Upacara Siraman Pengantin Adat Jawa”,

Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, Vol.21, No.2, (November,2013), h. 310.

47

Sebelum menikah sebuah pasangan harus melalui beberapa syarat

dan perhitungan yang dahulu sangat dipercaya oleh nenek moyang

kita,sampai saat ini masih ada beberapa kelompok masyarakat yang

mematuhi syarat-syarat tersebut, Pada zaman dahulu dalam memilih

pasangan hidup masyarakat Jawa selalu memakai istilah bibit, bebet

dan bobot yang maksudnya adalah asal usul juga silsilah keluarga

calon pasangan tersebut berpengaruh bagi sebuah jalinan.

Petangan Jawi memberikan pedoman atau petunjuk akan lambing

dan watak sebagai berikut :

1. Hari dan pasaran

a. Ahad, wataknya: samudana (pura;pura) artinya : suka kepada

lahir, yang kelihatan.

b. Senin, wataknya: samuwa (meriah), artinya: harus baik segala

pakaryan.

c. Selasa, wataknya: sujana (curiga), artinya: serba tidak percaya

d. Rabu, wataknya: sembada (serba sanggup, kuat), artinya:

mantab dari segala pakaryan

e. Kamis, wataknya: surasa (perasa), artinya: suka berfikir

(merasakan sesuatu) dalam-dalam

f. Jumat, wataknya: suci, artinya bersih tingkah lakunya

g. Sabtu, wataknya: kasumbung (tersohor), artinya suka pamer

2. Petungan Pasaran

a. Pahing, wataknya: melikan, artinya suka kepada barang yang

kelihatan

b. Pon, wataknya: pamer artinya suka memamerkan harta miliknya

c. Wage, wataknya: kedher kaku hati

d. Kliwon, wataknya: micara artinya dapat mengubah Bahasa

48

e. Legi, wataknya: komat artinya sanggup menerima segala

keadaan.116

3. Neptu Hari Pasaran

Perhitungan yang dimulai pada zaman Sutan Agung

Hanyakrakusuma 8 Juli 1633 M atau 1043 H itu memiliki arti

khusus bagi orang Jawa. Dengan system kalender yang mengacu

pada lunar system calendar atau perhitungan bulanan, sistem ini

berbeda dari Masehi yang mengacu pada putaran matahari (solar

system calendar). Memang, perhitungan Jawa, betapa pun

masyarakat terus berkembang maju, tetaplah penting. Perhitungan

itu merupakan hasil budaya leluhur. Fungsinya agar orang yang

telah tahu jadi berhati-hati.

1) Neptu Hari

a) Minggu (Ahad) hari ke-1

b) Senin hari ke-2

c) Selasa hari ke-3

d) Rabu hari ke-4

e) Kamis hari ke-5

f) Jum’at hari ke-6

g) Sabtu hari ke-7

2) Neptu Pasaran

a) Legi pasaran ke-1

b) Pahing pasaran ke-2

c) Pon pasaran ke-3

d) Wage pasaran ke-4

e) Kliwon pasaran ke-5

116 Purwadi dan Enis Niken, Upacara Pengantin Jawa, (Yogyakarta: Panji Pustaka,

2007), h. 155.

49

Weton dalam budaya Jawa sangat berpengaruh dalam kehidupan

sehari-hari. Diantaranya, sebagai hitungan dalam mencari hari baik saat

akan melangsungkan pernikahan terdapat hari dan pasaran mempunyai

pola bilangan masing-masing. Adapun nilai dari hari dan pasaran adalah

sebagai berikut :

Tabel 1.0 hari dan pasaran

Hitungan Weton, Neptu, Dan Pasaran117

No. Hari Nilai Pasaran Nilai

1. Minggu 5 Kliwon 8

2. Senin 4 Legi 5

3. Selasa 3 Pahing 9

4. Rabu 7 Pon 7

5. Kamis 8 Wage 4

6. Jum’at 6

7. Sabtu 9

Jumlah 42 Jumlah 33

Neptu hari pasaran kelahiran untuk perkawinan. Hari dan

pasaran dari kelahiran dua calon temanten yaitu anak perempuan dan

anak lelaki masing-masing dijumlahkan dahulu, kemudian masing-

masing dibuang (dikurangi) sesuai hitungan kelipatan. Dibawah ini

adalah contoh hitungan yang dipakai masyarakat untuk sebuah

pernikahan:

117 Rd. Mugihardja, Primbon Jawa Sangkan Paraning Manungsa, (Surabaya: 1969), h.

18.

50

Perhitungan kepribadian/individual berdasarkan penjumlahan

hari lahir dan pasaran dengan kelipatan 5

Sisa 1 (Sri) = Pengasih, dikasihi, disukai banyak orang

Sisa 2 (Rezeki) = Rezekinya ada terus

Sisa 3 (Gedong) = Dipercaya, amanah, pemimpin

Sisa 4 (Loro) = Sakit ragawi atau rohani

Sisa 5 (Pati) = Kematian, mati rasa, kehilangan salah satu, ga ada cinta,

bangkrut

Sisa 0 itu bisa dianggap sisa 5 (Pati)

Contoh :

Hari lahir anak itu Rabu Wage

Rabu (7) Wage (4) = 11

11 dibagi 5 = sisa 1 (Sri) = Pengasih, dikasihi, disukai banyak orang

Perhitungan calon mempelai laki-laki dan perempuan berdasarkan

penjumlahan hari lahir dan pasaran dengan kelipatan 5

Sisa 1 (Sandang) = Pakaian, kedua calon itu dipertemukan itu bagus /

indah

Sisa 2 (Pangan) = Makan, selalu dapat makanan terus atau rezeki

Sisa 3 (Gedong) = Dipercaya, amanah, pemimpin

Sisa 4 (Loro) = Sakit ragawi atau rohani

Sisa 5 (Pati) = Kematian, mati rasa, kehilangan salah satu, ga ada cinta,

bangkrut

Sisa 0 itu bisa dianggap sisa 5 (Pati)

Contoh :

51

Yuda Selasa (3) Legi (5) = 8

Nabila Kamis (8) Wage (4) =12

8 + 12 = 20 dibagi 5 sisa 0 itu bisa dianggap sisa 5 (Pati) = Kematian,

mati rasa, kehilangan salah satu, ga ada cinta, bangkrut.

Perhitungan calon mempelai laki-laki dan perempuan berdasarkan

penjumlahan hari lahir dan pasaran dengan kelipatan 4

Sisa 1 (Gonto) = Jarang / Sedikit Keturunannya / susah punya anak

Sisa 2 (Gembili) = Banyak Keturunannya

Sisa 3 (Sri) = Rezeki Berlimpah

Sisa 4 (Punggel) = Salah Satunya Akan Meninggal

Sisa 0 itu bisa dianggap sisa 4 (Punggel)

Contoh :

Agung lahir Selasa (3) Wage (4) = 7

Sinta lahir Senin (4) Wage (4) = 8

7 + 8 = 15 dibagi 4 sisa 3 (Sri) = Rezeki Berlimpah

Perhitungan calon mempelai laki-laki dan perempuan berdasarkan

penjumlahan hari lahir dan pasaran dengan kelipatan 7

Sisa 1 (Pesti) = Pasti

Sisa 2 = Jodoh

Sisa 3 (Padu) = Bertengkar

Sisa 4 (Pegat) = Pisah/Cerai

Sisa 5 (Pati) = Kematian, mati rasa, kehilangan salah satu, susah punya

anak, ga ada cinta

Sisa 6 (Gunem) = omongan, di gosipkan/di gibahi

52

Sisa 7 (Ratu) = Harmonis, anaknya pintar, rezeki lancar

Sisa 0 itu bisa dianggap sisa 7 (Ratu)

Contoh :

Raka lahir Senin (4) Pon (7) = 11

Sarah lahir Rabu (7) Legi (5) = 12

11 + 12 = 23 dibagi 7 sisa 2 = Jodoh

Melalui hari dan pasaran tersebut, dari pasangan pengantin dapat

menemukan wetonnya. Jika sudah ketemu hasilnya, lalu dengan

menjumlahkan dari masing-masing weton pasangan. Cara tersebut sudah

menjadi patokan untuk menemukan hari baik pernikahan.

Weton (hari lahir dan pasaran) calon pengantin laki laki dan

perempuan masing-masing di jumlahkan lalu masing masing dikurangi 9

dari sisanya bisa kita cocokkan dengan hitungan sebagai berikut:

Jumlah Angka Hitungan Sebelum Pernikahan:

1 dan 1 Baik, saling mencintai dan dikasihi

1 dan 2 Baik

1 dan 3 Kuat, tetapi jauh rizkinya

1 dan 4 Banyak bahayanya

1 dan 5 Cerai

1 dan 6 Jauh dari kemakmuran

1 dan 7 Banyak musuh

1 dan 8 Teromban ambing/sengsara

1 dan 9 Menjadi beban/tempat berlindung

2 dan 2 Selamat, banyak rizkinya

2 dan 3 Salah satu meninggal terlebih dahulu

2 dan 4 Banyak cobaan

2 dan 5 Banyak bahayanya

53

2 dan 6 Cepat menjadi kaya

2 dan 7 Anaknya banyak yang meninggal

2 dan 8 Murah rizkinya

2 dan 9 Banyak rizkinya

3 dan 3 Miskin

3 dan 4 Banyak bahayanya

3 dan 5 Cepat bercerai

3 dan 6 Mendapat anugrah

3 dan 7 Banyak kesialannya

3 dan 8 Cepat meninggal salah satu

3 dan 9 Banyak rizki

4 dan 4 Sering sakit

4 dan 5 Banyak mengalami godaan

4 dan 6 Banyak rezeki

4 dan 7 Miskin

4 dan 8 Banyak halangannya/rintangan

4 dan 9 Kalah salah satu

5 dan 5 Beruntung terus

5 dan 6 Tersedia rizkinya

5 dan 7 Tercukupnya, makmur

5 dan 8 Banyak kendala

5 dan 9 Makmur

6 dan 6 Besar halangannya

6 dan 7 Rukun/tentram

6 dan 8 Banyak musuh

6 dan 9 Terombang ambing

7 dan 7 Penghianatan oleh istrinya

7 dan 8 Mendapat bahaya dari diri sendiri

7 dan 9 Kekal pernikahan nya

8 dan 8 Disayangi orang

8 dan 9 Banyak kesialannya

54

9 dan 9 Susah rizkinya.

Contoh:

Calon pengantin laki-laki weton (hari lahir dan pasarannya) adalah

rabu kliwon neptu atau jumlahnya (7 + 8 =15 ) dikurangi 9 sisa 6. Calon

pengantin perempuan weton (hari lahir dan pasarannya) adalah minggu

pon neptu atau jumlahnya (5 + 7 = 12) dikurangi 9 sisa 3. 6 dan 3 adalah

mendapat anugrah jadi bagus untuk dilanjutkan.

Dalam sebuah kasus nyata di dalam masyarakaat singosaren tatkala

pernikahan terjadi kemudian di kemudian hari terdapat suatu kejanggalan

antara pernikahan si A dan si B yang menurut mereka dikarenakan

kesalahan dalam perhitungan pernikahan yang mengakibatkan perolehan

hasil panen yang menurun, kemudian dilakukanlah hitungan ulang dan

dengan hasil dilakukan ijab dan kabul untuk kedua kalinya.118

Hari kelahiran mempelai laki-laki dan mempelai wanita, apabila :

Ahad dan Ahad = sering sakit

Ahad dan Senin = banyak sakit

Ahad dan Selasa = miskin

Ahad dan Rebo = selamat

Ahad dan Kamis = cekcok

Ahad dan Jum’at = selamat

Ahad dan Sabtu = miskin

Senen dan Senen = tidak baik

Senen dan Selasa = selamat

Senin dan Rebo = anaknya perempuan

Senin dan Kamis = disayangi

Senin dan Jum’at = selamat

Senin dan Sabtu = direstui

118 Purwadi dan Enis Niken, Upacara Pengantin Jawa, (Yogyakarta: Panji Pustaka,

2007), h. 187.

55

Selasa dan Selasa = tidak baik

Selasa dan Rebo = kaya

Selasa dan Jum’at = bercerai

Selasa dan Sabtu = sering sakit

Rebo dan Kamis = selamat

Rebo dan Jum’at = selamat

Rebo dan Sabtu = baik

Rebo dan Rebo = tidak baik

Jum’at dan Sabtu = celaka

Sabtu dan Sabtu = tidak baik

Naga Dina (Nogo Dino)

Keberuntungan berdasarkan Naga Dina :

Hari :

Jum’at = ada di timur

Sabtu dan Minggu = ada di selatan

Senin, Selasa, Rabu, Kamis = ada di utara

Pasaran :

Legi = ada di timur

Pahing = ada di selatan

Pon = ada di barat

Wage = ada di utara

Kliwon = ada di tengah

Hari-hari yang di larang untuk dipergunakan:

Bulan Suro Rabu Pahing

Bulan Sapar Kamis Pon

Bulan Maulud Jum’at Pon

Bulan Bakdal Maulud Sabtu Kliwon

Bulan Jumadil Awal Senin Kliwon

56

Bulan Jumadil Akhir Selasa Legi

Bulan Rajab Kamis Pon

Bulan Ruwah Rabu Pahing

Bulan Ramaadhan Jum’at Wage

Bulan Sawal Sabtu Kliwon

Bulan Selo Senin Kliwon

Bulan Besar Selasa Legi

Hari larangan untuk keperluan apa saja :

a. Minggu Pahing

b. Rabu Legi

c. Sabtu Kliwon

d. Kamis Pon119

Selain perhitungan diatas banyak juga yang percaya bahwa tidak

semua bulan baik untuk melaksanakan hari pernikahan. Dibawah ini

adalah bulan baik dan tidak baik untuk melaksanakan pernikahan:

Suro : Sering bertengkar, berantakan (Jangan di langar)

Sapar : Kekurangan, banyak hutang (Bisa di langar)

Maulid : meninggal salah satu (Jangan di langar)

Robiul Akhir : Menjadi bahan gossip jelek (Bisa di langar)

Jumadil Awal : Sering kehilangan, ditipu, banyak musuh (bisa di

langar)

Jumadil Akhir : Kaya

Rajab : Banyak anak dan selamat

119 Purwadi dan Enis Niken, Upacara Pengantin Jawa, (Yogyakarta: Panji Pustaka,

2007), h. 181.

57

Ruwah : Lancar dalam semua kebaikan

Puasa : Celaka besar (Jangan di langar)

Syawal : Kekurangan, bsnysk hutang (Bisa di langar)

Zulhijah : Sakit keras, sering cekcok sama teman (Jangan di langar)

Besar : Kaya, menemukan kebahagiaan

58

BAB III

GAMBARAN UMUM MASYARAKAT DESA TEGALGLAGAH

KECAMATAN BULAKAMBA KABUPATEN BREBES

A. Profil Masyarakat

Tempat penelitian ini adalah di Desa Tegalglagah Kecamatan

Bulakamba Kabupaten Brebes. Alasan pemilihan lokasi ini adalah

pertama, mayoritas penduduk beragaa Islam dan dapat dikatakan sebagai

masyarakat muslim taat agama, hal ini dapat dilihat dari kegiatan

keagamaan yang diselenggarakan oleh masyarakat setempat.120

B. Letak Geografis

Masyarakat Jawa secara geografis meliputi wilayah Jawa Tengah,

Jawa Timur dan Daerah istimewa Yogyakarta. DIY dan Surakarta

merupakan sebagai pusat kebudayaan Jawa. Dalam masyarakat Jawa

mayoritas beragama Islam, yang berinteraksi adat Jawa dan Islam yang

masih sangat kental, sehingga antara upacara perkawinan di Jawa, lebih

didominasi oleh adat Jawa.

Desa Tegalglagah merupakan sebuah desa yang secara geografis

terletak di kabupaten Brebes bagian Barat Ibukota yaitu tepatnya

Kecamatan Bulakamba. Berdasarkan profil desa, jarak desa Tegalglagah

dari Kecamatan Bulakamba 16,1 km lewat Jl. Raya Pantura, sedangkan

jarak dari kabupaten Brebes sekitar 9,2 km lewat Jl. Ketanggungan –

Slawi/Jl. Margasari – Jatibarang, dapat dicapai juga 12 km dari selatan

pasar bawang Klampok. Luas wilayah desa Tegalglagah 670 Ha, dengan

jumlah penduduk desa Tegalglagah tahun 2020-2021 adalah 12139.121

Batas wilayah Desa Tegalglagah Kecamatan Bulakamba

dengan batas-batas sebagai berikut :

120 Handayani, Warga Desa Tegalglagah, Wawancara Pribadi, di Desa Tegalglagah, 4

Maret 2021. 121 BPS Kab. Brebes, Jumlah Penduduk Menurut Desa di kecamatan Bulakamba-2020.

https://brebeskab.bps.go.id/statictable/2021/08/12/1927/jumlah-penduduk-menurut-desa-di-

kecamatan-bulakamba-2020.html, Bulakamba: Sensus Penduduk 2020, 12 Agustus 2021

59

- Sebelah utara : Desa Petunjungan dan Kecamatan

Wanasari

- Sebelah Selatan : Desa Sitanggal Kecamatan

Larangan

- Sebelah Barat : Desa Jubang, Desa Cipelem,

Kecamatan Larangan dan Kersana

- Sebelah Timur : Desa Tegalgandu, Siwungkuk dan

Desa Dukuhwringin Kecamatan Wanasari.

Batas-batas tersebut dimaksudkan untuk mengetahui dan

mengadakan pemusatan hak kewenangan, terutama yang menyangkut

masalah administrasi otonomi daerah. Desa Tegalglagah sendiri

terdiri dari dua dusun,antara lain Dusun Dukuhmalang dan Dusun

Tegalglagah. Dari dua dusun tersebut, Tegalglagah sendiri terbagi

menjadi 61 RT dan 12 RW.

Alasan memilih lokasi penelitian di daerah tersebut,

dikarenakan masyarakat disana yang mayoritas muslim yang taat

beragama dan masih menerapkan budaya Jawa. Seperti halnya

menerapkan hari-hari besar Islam, sosial budaya, masyarakat masih

sangat berantusias. Hal ini didasari karena adanya ajaran nenek

moyang yang masih diterapkan sejak dulu di Dusun Dukuhmalang

dan Dusun Tegalglagah dengan budaya atau tradisi yang sudah ada.

C. Kondisi Demografis

Dalam menjalankan roda pemerintahan, Desa Tegalglagah

dipimpin oleh seorang kepala Desa atau kebanyakan masyarakat

menyebutnya dengan Lurah. Yang mana keberadaan lurah tersebut

dipilih oleh kepemerintahan Kota Tegal dengan ketentuan-ketentuan

yang berlaku bagi calon Lurah, dan dalam menjalankan tugasnya

Lurah dibantu oleh Staf-staf pemerintahan Kelurahan Tegalglagah.

60

Pada Masyarakat Desa Tegalglagah yaitu rata-rata adalah

bekerja sebagai buruh tani, petani dan pedagang, karyawan swasta.

rata-rata kebanyakan penduduk berprofesi sebagai seorang petani

bawang merah. Perekonomian mereka berada dalam kelas menengah

kebawah. Dikarenakan letak desa Tegalglagah sangat strategis yang

dekat dengan area persawahan, sehingga banyak masyarakat yang

pekerjaannya menjadi petani. Sumber pengairan yang digunakan pun,

sering kali masih jernih yang diambil secara irigasi bergilir dari

sumber air yang menglir. Jika musih penghujan tiba, cukup hanya

dengan mengandalkan air hujan. Tidak hanya menjadi petani saja,

ekonomi dari masyarakat juga dihasilkan dari menjadi peternak dan

para pekerja swasta. Serta ada juga masyarakat lebih memilih untuk

bekerja diluar daerah demi memenuhi kebutuhan di masa mendatang.

Perekonomian cukup stabil dan juga masih sedikit bergantung harga

hasil panen, jika harga sedang naik lebih banyak yang dihasilkan dan

juga jika hasil panen menurun itu sebaliknya.

Luas penggunaan Lahan Menurut Desa di Kecamatan Bulakamba

(Ha)

Lahan Sawah 587,89

Lahan Bukan Sawah 82,11

Jumlah 670,00

Luas Lahan Menurut Desa dan Jenis Pengairan di Kecamatan

Bulakamba (Ha)

Pengairan Teknis 200,00

Pengairan ½ teknis 350,00

Pengairan Sederhana –

Tadah Hujan 37,89

Jumlah 587,89

Luas Lahan Bukan Sawah Menurut Desa dan Jenis Penggunaan di

Kecamatan Bulakamba (Ha)

Pekarangan/Bangunan 77,11

61

Tegalan/kebun/Tan. Kayu –

Padang Gembala –

Tambak/Kolam –

Rawa-Rawa –

Hutan Negara –

Perkebunan Negara/Swasta –

Lain-Lain 5,00

Jumlah (Ha) 82,11

Jumlah Prasarana Pengairan Menurut Desa di Kecamatan Bulakamba

Waduk –

Dam –

Kincir Air –

Pompa Air Mesin –

Air Terjun –

Curah Hujan dan Hari Hujan di Kecamatan Bulakamba

No Bulan Curah Hujan (mm) Hari Hujan

1 Januari 343 18

2 Februari 199 14

3 Maret 225 15

4 April 205 13

5 Mei 92 3

6 Juni 4 1

7 Juli - -

8 Agustus - -

9 September - -

10 Oktober - -

11 November 25 4

12 Desember 360 15

62

Jumlah 1.453 84

Rata-rata 121 7

Sumber : Monografi Kecamatan Bulakamba 122

Untuk fasilitas juga sudah mewadahi.

Sarana dan Prasarana

• 4 buah Sekolah Dasar

• 2 Madrasah Ibtidaiyah

• 2 buah Madrasah Diniyah

• 1 buah SMP

• 3 buah Masjid

• 30 buah Musholla

• 1 buah Lapangan Sepak Bola

selain itu ada pasar, gedung olahraga badminton, layanan publik,

dari balai desa,unit ambulan desa, posyandu dan lain-lain.123

122 Sri Aji Puspitasari, Kecamatan Bulakamba Dalam Angka 2016, http://dpu.brebeskab.

go.id/upload/files/brebesangka/bulakamba2016.pdf, Bulakamba: t.p., September 2016. 123 http://tegalglagah.desabrebes.id/?page_id=38, t.th. Diakses 19 Juni 2021.

63

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Praktik Masyarakat Desa Tegalglagah Dalam Menentukan Calon

Pasangan Menggunakan Perhitungan Weton

Perkawinan atau pernikahan merupakan salah satu ibadah yang

berada dalam Agama Islam. Selain karena anjuran Allah juga sunnah

Rasulullah SAW. Pada tradisi Jawa, perkawinan merupakan hal yang

bersifat sangat sakral dan membutuhkan hal-hal yang harus diperhitungkan

dengan hati-hati sebab berhasil atau gagalnya seseorang dalam hidup dan

kehidupannya dangat ditentukan perhitungan wetonnya. Bila perhitungan

weton dan neptunya cocok maka boleh dilanjutkan dan apabila tidak cocok

harus dibatalkan. Dalam kehidupan masyarakat adat, perkawinan

merupakan salah satu perisitwa penting. Peristiwa ini bukan hanya

mengenai mereka (perempuan dan laki-laki), untuk mendapatkan

keturunan dan membangun kehidupan keluarga, akan tetapi hubungan

yang menyangkut para anggota keluarga dari pihak istri maupun suami

dan saudara-saudaranya.

Salah satu proses natural kesinambungan eksistensi umat manusia

adalah adanya keinginan untuk menikah.bagi laki-laki keinginan itu timbul

dari beberapa faktor, seperti timbulnya syahwat (sexual drive), keinginan

untuk berbagi hidup bersama pasangan (suami/istri), keinginan untuk

memiliki keturunan dan untuk mengikuti sunnag Rasul. Jadi, jelas,

dorongan syahwat hanyalah salah satu motivasi bagi seseorang untuk

sebuah pernikahan yang ideal. Oleh karena itu, seorang laki-laki yang

menikah hanya karena faktor dorongan syahwat semata, maka

perkawinannya tidak akan lama. Atau, setidaknya akan sulit merasakan

kedamaian dalam mengarungi dinamika rumah tangga sakinah mawaddah

wa rahmah.124

124 A. Fatih Syuhud, Keluarga Sakinah: Cara Membina Rumah Tangga Harmonis,

Bahagia dan Berkualitas, (Malang: Pustaka Al-Khoirot, 2003), h. 27.

64

Pada bab ini penulis akan menjelaskan cara masyarakat Desa

Tegalglagah dalam menentukan calon pasangan menggunakan perhitungan

Weton menurut adat istiadat Jawa.

Untuk memudahkan cara perhitungan neptu hari dan pasaran,

penulis akan menampilkan tabel yang dibawah ini :

Kliwon 8 Legi 5 Pahing 9 Pon 7 Wage 4

Minggu 5 13 10 14 12 9

Senin 4 12 9 13 11 8

Selasa 3 11 8 12 10 7

Rabu 7 15 12 16 14 11

Kamis 8 16 13 17 15 12

Jumat 6 14 11 15 13 10

Sabtu 9 17 14 18 16 13

Neptu hari pasaran kelahiran untuk perkawinan. Hari dan pasaran

dari kelahiran dua calon temanten yaitu anak perempuan dan anak lelaki

masing-masing dijumlahkan dahulu, kemudian masing-masing dibuang

(dikurangi) sesuai hitungan kelipatan.

Dibawah ini adalah hitungan antara calon mempelai perempuan dan

calon mempelai laki-laki yang ingin melangsungkan pernikahan

menggunakan perhitungan Weton:

Perhitungan kepribadian/individual berdasarkan penjumlahan hari

lahir dan pasaran dengan kelipatan 5

Hari lahir calon mempelai laki-laki yang bernama Reza Andika itu

Kamis Legi:

Kamis (8) Legi (5) = 13

13 dibagi 5 = sisa 3 (Gedong) = Dipercaya, amanah, pemimpin

65

Hari Lahir calon mempelai perempuan yang bernama Putri Kartini

Minggu Wage:

Minggu (5) Wage (4) = 9

9 dibagi 5 = sisa 4 (Loro) = Sakit ragawi atau rohani

Perhitungan calon mempelai laki-laki dan perempuan berdasarkan

penjumlahan hari lahir dan pasaran dengan kelipatan 5

Reza Andika lahir Kamis (8) Legi (5) = 13

Putri Kartini lahir Minggu (5) Wage (4) = 9

13 + 9 = 22 dibagi 5 sisa 2 (Pangan) = Makan, selalu dapat makanan

terus atau banyak rezeki

Perhitungan calon mempelai laki-laki dan perempuan berdasarkan

penjumlahan hari lahir dan pasaran dengan kelipatan 4

Reza Andika lahir Kamis (8) Legi (5) = 13

Putri Kartini lahir Minggu (5) Wage (4) = 9

Jumlah 13 + 9 = 22 dibagi 4 sisa 2 (Gembili) = Banyak Keturunannya

Perhitungan calon mempelai laki-laki dan perempuan berdasarkan

penjumlahan hari lahir dan pasaran dengan kelipatan 7

Reza Andika lahir Kamis (8) Legi (5) = 13

Putri Kartini lahir Minggu (5) Wage (4) = 9

13 + 9 = 22 dibagi 7 sisa 1 (Pesti) = Pasti

Weton (hari lahir dan pasaran) calon pengantin laki laki dan

perempuan masing-masing di jumlahkan lalu masing masing dikurangi 9

dari sisanya bisa kita cocokkan dengan hitungan dari kedua mempelai:

Reza Andika lahir Kamis (8) Legi (5) = 13

66

13 dikurangi 9 sisa 4

Putri Kartini lahir Minggu (5) Wage (4) = 9

9 dikurangi 9 sisa 0 maka bisa dianggap menjadi sisa 9

4 dan 9 adalah Kalah salah satu

Hari kelahiran calon mempelai laki-laki dan mempelai wanita, apabila :

Reza Andika lahir pada hari Kamis

Putri Kartini lahir pada hari Minggu

Kamis dan Minggu = Cekcok

Dengan mengotak-atik hitungan diatas maka akan ditemukan hasilnya

apakah anaknya apabila menikah dengan yang melamarnya akan bernasib

tidak baik, atau beruntung. Dari situ, orang tua akan membuat putusan

apakah akan melanjutkan pernikahan atau menolak pernikahan tersebut.

B. Latar Belakang Desa Tegalglagah Dalam Menentukan Calon

Pasangan

Mayoritas masyarakat di Dusun Tegalglagah adalah orang Jawa

yang masih bersifat konservatif dalam menghitung weton sebelum

pernikahan, pada umumnya dilakukan hampir setiap masyarakat. Hal

tersebut dilakukan karena untuk mencari hari baik yang akan digunakan

dalam pernikahan. Pernikahan dalam sekali seumur hidup, didalam

masyarakat Jawa dilakukan dengan sebaik mungkkin untuk menghindari

hal yang bersifat negatif. Juga agar setelah menikah nanti akan

mendapatkan kelanggengan hubungan sampai nanti tua.

Yang melatar belakangi masyarakat Desa Tegalglagah masih

menggunakan tradisi perhitungan weton untuk menentukan perkawinan

pada dasarnya mereka masih mempercayai dengan adanya Allah, akan

tetapi mereka masih memegang prinsip bahwasanya antisipasi lebih baik,

maka dari itu mereka masih menerapkan apa yang telah diajarkan oleh

67

nenek moyang secara turun-temurun dan juga demi melestarikan adat-

istiadat mereka.125

Kalaupun mereka melanggar aturan nenek moyang, maka harus

menerima konsekuensinya seperti misalnya tidak bertemu dengan orang

tuanya selama 1 tahun atau tidak boleh menerima apapun jenisnya seperti

makanan, bahan pokok atau uang dari orang tua. Dan juga massih sangat

tinggi tingkat ketergantungan masyarakat dalam menentukan segala

bentuk hajat, baik khitanan, membangun rumah, merenovasi pagar rumah,

khitanan, sampai arah rumah pun ada perhitungannya.126

C. Pandangan Masyarakat Tegalglagah Tentang Tradisi Perkawinan

Menggunakan Weton

Kebudayaan yang merupakan hasil budi daya manusia adalah suatu

adat kebiasaan yang sudah melekat pada suatu masyarakat, sehingga

masyarakat tidak dipengaruhi oleh adat kebiasaan lain. Dihubungkan

dengan fikih, budaya masyarakat saling terkait satu sama lainnya.

Masyarakat yang pluralis akan berbenturan dalam aspek hukumnya,

terutama dalam sisi hukum Islam (fikih).127

Meskipun Budaya global telah menembus tembok-tembok

peradaban Budaya, namun ritual perkawinan ini tidak sirna, masyarakat

tetap dan akan selalu berkaca pada Adat dan Budaya sendiri untuk

merayakan hari yang istimewa tersebut. Perkawinan bagi masyarakat luas

hanya dilakukan sekali seumur hidup, hanya sekali dan tidak main-main

karena itulah perta perkawinan justru terlihat semakin meriah dan dikemas

125 H.Y, Warga Desa Tegalglagah, Wawancara Pribadi, di Desa Tegalglagah, 15

Septemberl 2021. 126 Y.S, Warga Desa Tegalglagah, Wawancara Pribadi, di Desa Tegalglagah, 22

September 2021. 127 Ahmad Sudirman Abbas, Dasar-Dasar Masail Fiqhiyyah, (Jakarta: CV Banyu

Kencana, 2003), h. 27.

68

dengan segala Pernik hiasan dan kreasi yang menggambarkan keagungan

dan makna.128

Yang dilakukan oleh masyarakat terhadap perhitungan weton

merupakan hal yang wajar, sepanjang tidak percaya mutlak kepada

perhitungan weton 100%. Karena segala sesuatu sudah ditentukan oleh

Allah SWT dan masyarakat juga berpegang teguh kepada kaidah usul fiqh

yaitu : “Adat Kebiasaan itu dapat dijadikan sebagai hukum”.

Dalam hal ini, penulis berhasil mewawancarai beberapa

masyarakat yang mengetahui adat tentang tradisi perhitungan weton di

Desa Tegalglagah Kecamatan Bulakamba Kabupaten Brebes. Adat dalam

pernikahan memang telah ada dari zaman nenek moyang yang telah

mereka lakukan.

Hasil dari perhitungan weton yang dilakukan kedua belah pihak,

baik cocok atau tidaknya itu adalah hasil yang terbaik. Perhitungan weton

pun sudah menjadi tradisi masyarakat yang sudah turun temurun sejak

dahulu. Seperti ungkapan bu Y.S:

“Dulu pun pengalaman pribadi saya, ketika pacaran sudah

bertahun-tahun, waktu perhitungan saya dan calon pasangan saya dulu

tidak cocok, saya lebih memilih keluarga saya karena takut orang tua saya

meninggal, adik-adik saya juga masih kecil-kecil”129

“Akhirnya saya dijodohkan bapak saya, sama suami saya yang

sekarang dan ternyata cocok, alhamdulillah keluarga saya baik-baik

saja.”130

Hal ini masih masih dipercaya masyarakat akan mendatangkan

keburukan dalam kehidupan yang akan datang. Serta hasil perhitungan

128 Setyo Nur Kuncoro, “Tradisi Upacara Perkawinan Adat Kraton Surakarta (Studi

Pandangan Ulama dan Masyarakat Kauman, Pasar Kliwon, Surakarta),” (Skripsi S1 Fakultas

Syariah Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, 2014), h. 68. 129 Y.S, Warga Desa Tegalglagah, Wawancara Pribadi, di Desa Tegalglagah, 22

September 2021. 130 Y.S, Warga Desa Tegalglagah, Wawancara Pribadi, di Desa Tegalglagah, 22

September 2021.

69

weton dipercaya masyarakat sebagai penentu baik buruknya masa depan.

Seperti ucapan pak S.M dan pak N sebagai berikut:

”Iya, mayoritas masyarakat percaya. Ringkasnya tingkat baik dan

buruk tingkat ekonimi masa depan. Dari hasil hitung weton juga bisa

menentukan kapan ijabnya, hari, bulannya serta tahunnya itu ada”131

”90 persen masyarakat Jawa masih menggunakan perhitungan

weton”132

Dengan demikian, dalam menentukan hari pernikahan sangat

benar-benar mencari hari baik untuk melaksanakannya demi menjaga

keutuhan keluarga dari hal-hal buruk dan mendapatkan kesejahteraan

hidup. Serta tingkat kepercayaan masyarakat pun sangat besar yang

menggunakan hitungan tersebut.

Weton atau hari kelahiran harus diingat seumur hidup, karna weton

digunakan dalam hal apa saja, baik hajatan, sunatan, perkawinan,

membangun rumah, memasang pagar rumah dan lain-lain. Seperti

ungkapan pak S:

“Ibarat kita udah cocok ya sama calon pasangan, nanti pas akad

nikahnya juga ga sembarangan asal hajatan, ada perhitungannya ga

sembarangan bulan gitu mas. Dan juga misalkan kita mau renovasi rumah,

biasanya orang kampung pakai pager bambu nah pas mau bangun pager

itu harus ada syaratnya dulu gitu, misalnya biar kena angin-anginan gitu

beberapa minggu. Kalau kita melanggar itu pernah ada yang meninggal”133

Weton harus diingat selama-lamanya baik itu laki-laki ataupun

perempuan, karna sangat penting dan harus dimengerti untuk masyarakat

Jawa terkait hari dan pasarannya. Seseorang yang tahu mengenai tradisi

adat Jawa, dapat memberikan informasi yang baik sesuai dengan

pengetahuan mereka. Apapun hasilnya adalah cara terbaik untuk

131 S.M, Warga Desa Tegalglagah, Wawancara Pribadi, di Desa Tegalglagah, 15

September 2021. 132 N, Warga Desa Tegalglagah, Wawancara Pribadi, di Desa Tegalglagah, 15 September

2021. 133 S, Warga Desa Tegalglagah, Wawancara Pribadi, di Desa Tegalglagah, 3 November

2021.

70

mendapatkan yang terbaik untuk melaksanakan sebuah pernikahan. Sesuai

pernyataan bu H.Y yaitu:

“Percaya tidak percaya, semua diserahkan sama yang diatas. Kita

sebagai manusia tinggal menjalani, kita ambil positifnya dan buang

negatifnya. Semua ada hikmahnya.”134

Dalam pemilihan hari baik untuk pernikahan adalah sebuah

kebebasan manusia untuk memilih yang mana. Pak S yakin bahwa Islam

sangat menghormati budaya yang selama hal itu tidak bertentangan

dengan akidah.

“Ya itu kalau dipertentangkan bisa jadi pertentangan, tetapi kalau

mau diselaraskan pun bisa. Tergantung kita melihatnya dari sudut pandang

mana.”135

Meskipun masyarakat desa mayoritas beragama Islam,

kenyataannya dari beberapa pendapat tersebut menunjukkan bahwa

mereka tidak bisa lepas dengan adat Jawa. Mereka masih menjadikan

sebagai pedoman atau petunjuk untuk menjalani rumah tangga agar

terhindar dari marabahaya serta memilih untuk menjaga dan melestarikan

apa yang sudah diwariskan oleh nenek moyang, dan mereka juga harus

melihat dari sudut pandang yang baik-baik.

D. Dampak Yang Terjadi Pada Masyarakat

Adapun dampak dari pernikahan dengan tradisi Jawa di Desa

Tegalglagah, penulis bertujuan untuk menampilkan dampak apa saja yang

terjadi pada masyarakat Tegalglagah yang sudah menikah dengan

menggunakan tradisi perkawinan Jawa. Berikut beberapa dampak yang

sudah berhasil diwawancara, bu S memaparkan dampak yang terjadi

setelah menikah ketika tidak melanggar larangan-larangan nenek moyang

yang telah ada turun-temurun.

134 H.Y, Warga Desa Tegalglagah, Wawancara Pribadi, di Desa Tegalglagah, 15

September 2021. 135 S, Warga Desa Tegalglagah, Wawancara Pribadi, di Desa Tegalglagah, 3 November

2021.

71

“Dampaknya kalau kita tidak melanggar insya Allah panjang rezeki,

panjang jodoh, tentram hidupnya, kalua kita melanggar ya ada aja

cobaannya datang, kadang udah kelar ada lagi ada lagi seperti itu” 136

Dari pernyataan yang disampaikan bu S diatas sangat baik demi

menghindari hal yang tidak diinginkan. Ada juga pernyataan pak N

tentang kondisi masyarakat yang melanggar Ketika tidak cocok namun

masih tetap melanjutkan pernikahan, percaya tidak percaya dan ini kerap

kali terjadi berulang kali di lingkungan masyarakat apabila melanggar

weton.

“Sering terjadi disini, mas. Kalau kita melanggar entah orang tua kita

meninggal, rezekinya susah. Percaya tidak percaya ada yang 1 minggu

setelah pernikahan salah satu orang tuanya meninggal, entah dari

bapak/ibunya duluan yang meninggal atau mertua nya, paling lama 1

tahun itu bener kejadian mas.”137

Ada warga yang mengungkapkan dampak tentang perhitungan weton

bahwa semuanya itu tergantung orang yang melakukannya dan semua

yang ghaib adalah urusan Allah SWT. Seperti ungkapan pak S:

“Dampak dari perhitungan weton ini memang beda-beda, ada yang

menggunakan perhitungan ini sesuai yang diinginkan. Ada juga yang

mendapat masalah walaupun menggunakan hitungan ini juga. Semua

tergantung apa yang kita yakini, kita haya usaha namun untuk hasil

akhirnya tetep Allah yang menentukan.”138

S dan istri, warga yang menggunakan perhitungan weton ini

berpendapat dampak yang timbul pasca pernikahan mereka.

“Alhamdulillah, sampai saat ini baik-baik saja mas, ekonomi juga

alhamdulillah cukup untuk kebutuhan keluarga, walaupun kadang ada

beberapa goresan masalah yang buat cek-cok sama istri tapi bisa

136 S, Warga Desa Tegalglagah, Wawancara Pribadi, di Desa Tegalglagah 18 Oktober

2021. 137 N, Warga Desa Tegalglagah, Wawancara Pribadi, di Desa Tegalglagah 15 September

2021. 138 S.M, Warga Desa Tegalglagah, Wawancara Pribadi, di Desa Tegalglagah 15

September 2021.

72

dibicarakan baik-baik. Orang tua juga sering memberi nasihat untuk

keluarga saya.”139

Lanjut istrinya menambahkan tentang weton

“Iya mas alhamdulillah baik-baik saja, Saya juga tidak

mempermasalahkan dihitung, toh ya hasilnya untuk kebaikan kita juga

kedepannya.”140

Ada juga ungkapan lain yang nikah menggunakan perhitungan weton

karena orang tua yang menyarankan agar tidak terjadi hal-hal yang tidak

diinginkan.

“Bapak saya dulu yang menyarankan agar dihitung wetonnya dan juga

weton istri saya si dulu ketika sebelum menikah, karena tidak ingin terjadi

hal-hal yang tidak diinginkan. Alhamdulillah keluarga saya sampai saat ini

baik-baik saja dan udah dikaruniai 2 anak.”141

E. Pandangan Hukum Islam Terhadap Hitungan Weton

Pada dasarnya agama Islam ini sudah sangat sempurna dan cukup

untuk pedoman hidup manusia. Sebab, Allah telah menerangkan kepada

umat manusia tentang kaidah dan kesempurnaannya yang meliputi segala

aspek kehidupan. Firman Allah dalam Q.S Al-Maidah (5) 3:

اليوم اكملت لكم دينكم وتممت عليكم نعمتى ورضيت لكم السالم دينا

“Pada hari ini telah kusempurnakan untuk agamamu dan telah Ku-

ciptakan kepada nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu.”

Ayat tersebut secara eksplisit menjelaskan bahwa agama Islam itu

telah sempurna dan tidak memerlukan tambahan secara pengurangan

sedikitpun juga. Apapun bentuk atau alasannya dari tambah-tambahan

tersebut meskipun disangka baik oleh sebagian manusia, atau dari siapa

139 S.U, Warga Desa Tegalglagah, Wawancara Pribadi, di Desa Tegalglagah, 29 Oktober

2021. 140 W.H, Warga Desa Tegalglagah, Wawancara Pribadi, di Desa Tegalglagah, 29

Oktober 2021. 141 S, Warga Desa Tegalglagah, Wawancara Pribadi, di Desa Tegalglagah, 3 November

2021.

73

saja datangnya meskipun dianggap besar oleh Sebagian manusia, adalah

suatu perkara yang sangat dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya, tetapi sangat

dicintai oleh iblis dan bala tentaranya. Dan pelakunya secara tidak

langsung telah membantah firman Allah diatas dan telah menuduh

Rasulullah berkhianat dalam meyampaikan risalah.142

Hukum perkawinan dalam agama Islam mempunyai kedudukan

yang sangat penting. Hukum Islam pada dasarnya tidak hanya mengatur

tentang pelaksanaannya saja, melainkan juga segala persoalan yang

berhubungan dengan perkawinan. Dalam hukum Islam, selain rukun dan

syarat sah pernikahan, pemeluk agama Islam juga memperhatikan empat

perkara untuk memilah dan memilih calon pasangan dalam

melangsungkan perkawinan seperti yang dijelaskan dalam hadits Nabi

Muhammad SAW dari Abu Hurairah yang berbunyi:

ين تربت يداك رواه البخاري 143 لربع لما لها ولحسبها ولجمالها ولدينها, فاظفربذات الد تنكح المرأة

Artinya: “Wanita yang dikawinkan karena empat hal, yaitu: hartanya,

kedudukannya, kecantikannya, dan agamanya. Maka carilah wanita

yang taat beragama, niscaya akan beruntung.” (HR. Bukhari)

Masyarakat Jawa memiliki kriteria tersendiri yang hampir sama

dengan tuntunan hadis diatas, yaitu bibit (keturunan), bebet (tingkah

laku), dan bobot (kualtas hidup). Perbedaannya dengan Hukum Islam,

masyarakat Jawa menggunakan tradisi hitungan weton.

الحكم يدورمع العلة وجوداوعدما

Artinya: “Hukum itu berputar bersama illatnya dalam

mewujudkan dan meniadakan hukum”

Misalnya:

142 M. Irfa Juliansah, “Tata Cara Khitbah dan Walimah pada Masyarakat Betawi

Kembangan Utara Jakarta Barat Menurut Hukum Islam”, (Skripsi S1 Fakultas Syari’ah dan

Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 1. 143 Muhammad bin Ismail Al Bukhari, Sahih Al Bukhari, (Beirut: Dar Thauq Al Najjah,

1422 H) Jilid 7, h.7.

74

Kebolehan menggunakan hitungan weton dalam perkawinan atau

khitanan, dasar illatnya jika sepanjang tidak menyekutukan Allah SWT

maka itu hukumnya diperbolehkan.

Sama halnya dengan keharaman khamar karena terdapat zat yang

memabukkan, tetapi kalua zat yang memabukkan itu sudah hilang

dengan sendirinya (sudah berubah menjadi cuka) maka dihalalkannya.

Adanya kemungkinan akulturasi timbal balik antara Islam dengan

budaya lokal dalam hukum Islam secara metodologis sebagai sesuatu

yang memungkinkan diakomodasi eksistensinya. Hal ini dapat kita lihat

dalam kaidah fikih yang menyatakan “al-‘adah muhakkamah” (adat itu

bisa menjadi hukum), atau kaidah “al-‘adah syariatun muhakkamah”

(adat adalah syariat yang dapat dijadikan hukum). Artinya suatu adat itu

bisa dijadikan patokan hukum.

Menurut kesepakatan jumhur ulama, suatu adat bisa diterima jika

memenuhi syarat-syarat berikut:

a. Tidak bertentangan dengan syariat

b. Tidak menyebabkan kemafasadatan dan menghilangkan kemaslahatan

c. Telah berlaku pada umumnya orang muslim

d. Tidak berlaku pada umumnya pada orang muslim

e. Tidak berlaku dalam ibadah madhah

f. Adat tersebut sudah memasyarakat ketika akan ditetapkan hukumnya

g. Tidak bertentangan dengan yang diungkapkan.144

Dari pembahasan ini dapat dijadikan dasar, bahwa perhitungan weton yang

berlaku pada masyarakat Desa Tegalglagah tidak melanggar syariat dapat terus

dijalankan selagi tidak melanggar kaidah-kaidah yang ada pada agama Islam.

Berkaitan dengan adat istiadat, perhitungan weton merupakan adat istiadat

yang diketahui oleh masyarakat dengan baik serta untuk menghormati tradisi ini

144 Rachmat Syafe’i, “Ilmu Usul Fiqih”, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), h. 291.

75

dengan melestarikan secara turun temurun ke generasi mendatang. Selain bentuk

penghormatan kepada leluhur, tradisi ini juga sebagai bentuk ikhtiar masyarakat

dalam mencari pasangan dan hari baik untuk perkawinan. Sebagai syarat

pernikahan ini dipandang dari segi fikih yaitu ‘urf yang memiliki arti secara

etimologi kenal. Karena perhitungan weton ini sudah banyak dikenal luas dan

dapat diterima kehadirannya oleh masyarakat khususnya di Jawa. Dalam ushul

fiqh ‘urf memiliki beberapa segi pandang, maka dari perhitungan weton akan

dibahas dari sudut pandang yang berbeda.

Bagi masyarakat Desa Tegalglagah hari lahir menjadi pertimbangan

khusus dalam melakukan sesuatu. Ada waktu-waktu tertentu yang dianggap baik,

baik itu membangu rumah, khitanan, pernikahan, usaha dan lain sebagainya. Dan

untuk penentuan waktu pernikahan tidaklah mempengaruhi terhadap sah atau

tidaknya suatu perkawinan, karena itu tidak menjadi sebuah syarat. Dalam adat

sendiri perhitungan weton pernikahan tersebut tidak sampai menjadi suatu yang

menyebabkan sah tidaknya perkawinan itu.

76

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian dari pembahasan yang ada di bab-bab sebelumnya ,

penulis dapat mengambil beberapa kesimpulan tentang perhitungan weton

sebagai syarat pernikahan di Desa Tegalglagah, Kecamatan Bulakamba,

Kabupaten Brebes, diantaranya sebagai berikut:

1. Perhitungan weton sebelum pernikahan di Desa Tegalglagah,

Kecamatan Bulakamba, Kabupaten Brebes dilakukan oleh seorang

sesepuh yang mengerti tentang perhitungan weton. Perhitungan ini

pun bukan hanya tentang pernikahan, namun juga untuk hal lain,

diantaranya seperti khitanan, hajatan, membangun rumah, membuat

pagar, memulai usaha dan lain-lain. Hitungan weton ini masih sangat

dipercaya dengan angka yang sangat tinggi, yaitu 90%, apabila

hitungan ini cocok dan tidak ada masalah, maka boleh dilanjutkan dan

juga sebaliknya jika tidak cocok maka harus dibatalkan. Perhitungan

weton pun masih sangat banyak digunakan dalam masyarakat Desa

Tegalglagah, selain banyak manfaat dan kegunaan, juga masih ada

sesepuh yang mengerti serta mempelajari perhitungan weton ini dan

masih dapat diterima kehadirannya oleh masyarakat.

2. Perhitungan weton juga merupakan peninggalan leluhur yang harus

tetap dihormati dan dilestarikan. Tradisi yang mereka lakukan sejak

dahulu zaman nenek moyang lakukan sebenarnya hanya sebagai

bagian ikhtiar mereka dalam menjalankan rumah tangga terhadap

kehati-hatian, keraguan dan memegang prinsip bahwasanya antisipasi

lebih baik. Sebelum menikah, calon pasangan harus melalui beberapa

syarat dan perhitungan yang dahulu sangat dipercaya oleh nenek

moyang mereka, sampai saat ini masih ada beberapa kelompok

masyarakat yang mematuhi syarat-syarat tersebut, Pada zaman dahulu

dalam memilih pasangan hidup masyarakat Jawa selalu memakai

77

istilah bibit, bebet dan bobot yang maksudnya adalah asal usul silsilah

keluarga calon pasangan tersebut berpengaruh bagi sebuah jalinan.

Karena bagi mereka pernikahan bukan hanya menyatukan hubungan

laki-laki dan perempuan saja, tetapi juga keluarga dan saudara-

saudaranya.

3. Masyarakat Desa Tegalglagah menggunakan kaidah fikih yang

menyatakan “al-‘adah muhakkamah” (adat itu bisa menjadi hukum),

atau kaidah “al-‘adah syariatun muhakkamah” (adat adalah syariat

yang dapat dijadikan hukum) atau perspektif ‘urf. Perhitungan hari

perkawinan ini sudah berlaku sejak lama di kalangan masyarakat

Jawa. Masyarakat Desa pun masih sangat mempercayai dengan

adanya Allah, keputusan baik buruknya pun diserahkan kembali ke

Allah SWT yang maha segalanya. Karena ini tidak memiliki

pertentangan dengan nash Al-Qur’an maupun sunnah Rasulullah,

maka adat istiadat ini boleh untuk diberlakukan sepanjang tidak

percaya mutlak kepada perhitungan weton 100% dan juga tidak

menghalalkan yang haram.

B. Saran

Setelah mempelajari pembahasan di bab-bab sebelumnya, penulis

ingin menambahkan saran-saran kepada kita semua agar menjadi

masyarakat dan umat yang lebih baik lagi. Saran penulis antara lain:

1. Untuk tokoh masyarakat secara keilmuan dan taggung jawab moril

kepada masyarakat, menuntut kita sebagai masyarakat untuk

memberikan pelajaran-pelajaran terhadap problem yang dihadapi umat

Islam di lingkungan sekitar kita dalam berusaha memberikan solusi

yang terbaik. Bahwa demi menjalankan tradisi budaya jangan sampai

kita lupa akan adanya Allah SWT yang maha segalanya.

2. Kepada masyarakat Desa Tegalglagah agar tetap menjaga kearifan

lokal dan melestarikan adat dan budaya yang telah diwariskan secara

turun-temurun hingga generasi yang akan datang.

78

3. Dan dalam menjalankan tradisi perhitungan weton ini, ada baiknya

masyarakat dapat berfikir lebih luas dan melihat dari berbagai sudut

pandang, baik itu dari adat, agama, maupun hukum positif. Penulis

berharap ini hanya sebagai bagian ikhtiar dalam mencari yang terbaik

agar tidak terpaku secara berlebihan dan dapat berubah karena semua

bisa berubah sesuai dengan kehendak Allah SWT.

79

Daftar Pustaka

Abidin, Slamet dan H. Aminuddin. Fiqh Munakahat 1. Bandung: Pustaka Setia,

1999.

Abdullah, Boedi. Perkawinan dan Perceraian Keluarga Muslim, Bandung:

Pustaka Setia, Cet. I, 2013.

Abu Abdilah, Syamsudin. “Terjemah Fathul Qarib, Pengantar Fiqih Imam

Syafi’i”, Surabaya: Mutiara Ilmu, 2010.

Afandi, Ali. Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, Jakarta:

Rineka Cipta, 1997.

Al-Jaziri, Abdurrahman. Al-Fiqh ‘ala Madzhabil Arba’ah, Jilid IV, Beirut: Dar al-

Fikr, t.th. Ali, Syaikh Abu Hasan bin Umar bin Umar bin Ahmad Al Baghdadiy, Sunan

Daruquthni, (Beirut Daar Ibnu Hazm, Cet.1/2011)

Amin, Darori. Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2000.

Al-Ghaza, ibn Qasim. Hasyiah al-Bajri, Juz II, Semarang: Riyadh Putra.

Ali, Muhammad Daud. Hukum Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada 2010.

Asmin, Status Perkawinan Antar Agama: Ditinjau dari Undang-Undang

Perkawinan 1/1974, Jakarta: PT Dian Rakyat, 1986.

Abbas, Ahmad Sudirman. Dasar-Dasar Masail Fiqhiyyah, Jakarta: CV Banyu

Kencana, 2003.

Al Jami’ Ash Sholih min haditsi Rasulullahi Shallallahu ‘alaihi wasallama wa sunanihi

wa ayyamihi (Kairo: Maktabah Salafiyah, 1440 H), Juz III

As-Sajistani, Abu Dawud Sulaiman Bin Al-Asy, Sunan Abi Dawud, Cet.2,. Riyadh:

Maktabah Al-Ma’arif, 2007

Bin Ismail Khahlani Shan’ani, Muhammad. Subulussalam, diterjemahkan Abu

Bakar Muhammad, Surabaya: Al Ikhlas, 1995.

Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet.

Ke-3, edisi ke-2, Jakarta: Balai Pustaka, 1994.

Ditjen Pembinaan Kelembagaan Islam Departemen Agama. Kompilasi Hukum

Islam di Indonesia, Jakarta: Direktorat Pembinaan Peradila Agama Islam,

2001.

Daradjat, Dzakiyah. Ilmu Fikih, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995.

80

Endraswara, Suwardi. Falsafah Hidup Jawa, Cakrawala: Tangerang 2003.

Endraswara, Suwardi. Agama Jawa, Yogyakarta: Lembu Jawa, 2012.

Ghozali, Abdur Rahman. Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana, 2010.

Ghozailiy, Abd. Rahman. Fiqh Munakahat,, Jakarta : Prenada Media, 2003.

Hamid Hakim, Abdul. Mabadi Awwaliyyah, cet ke-1, juz 1, Jakarta: Bulan

Bintang, 1976.

Huda, Miftahul. “Membangun Model Bernegosiasi Dalam Tradisi Larangan-

Larangan Perkawinan Jawa”, Jurnal Epistme, Vol. 12 No. 2 Desember

2017.

Hadikusuma, Hilman. Hukum Perkawinan Indonesia, Menurut Perundangan,

Hukum Adat, Hukum Agama, Bandung: Mandar Maju, 1990

Hakim, Lukmanul. Kamus Santri At Taufiq, Jawa Arab-Indonesia, Jepara: Al

Falah Publisher.

H. R. Tha Thabrani. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam ash

Shahihah Juz 2

Hadikoesoema, Soenandar. Filsafat Ke-Jawaan Ungkapan Lambang Ilmu Gaib

Dalam Seni-Budaya Peninggalan Leluhur Jaman Purba, Jakarta:

YudhAgama Corporation, 1985.

Hariwijaya, M. Perkawinan adat Jawa, Jogjakarta: Hanggar Kreator, 2005.

Irmawati, Waryunah. “Makna Simbolik Upacara Siraman Pengantin Adat Jawa”,

Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, Vol.21, No.2, November, 2013.

Juliansyah, M. Irfan.“Tata Cara Khitbah dan Walimah pada Masyarakat Betawi

Kembangan Utara Jakarta Barat Menurut Hukum Islam”, (Skripsi S1

Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta, 2011.

Idris, Abdul Fatah, dan Abu Ahmadi. Fikih Islam Lengkap, Jakarta: PT Rineka

Cipta, 2004.

Isma’il, Ibn. Islam Tradisi, Studi Komparatif Budaya Jawa Dengan Tradisi Islam,

Kediri: TETES Publishing, 2011.

Kartini, Kartono. Psikologi Wanita: Gadis Remaja Dan Wanita Dewasa,

Bandung: Mandar Madu, 1992.

Khalil, Ahmad. Islam Jawa, Sufisme dalam Etika dan Tradisi Jawa, Malang:

UIN- Malang Press, 2008.

81

Kholik, Kusuk. “Mitos-Mitos Penghalang Perkawinan Pada Adat Jawa Dalam

Perspektif Hukum Islam”, Jurnal USRATUNA, Vol. 1, No. 2. Juli 2018.

Latifah, Ana. “Kepercayaan Masyarakat Terhadap Upacara Tradisi Satu Sura Di

Desa Traji Kecamatan Paarakan Kabupaten Temanggung”. Skripsi

Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang,

2014.

Modul Perencanaan Undang-Undang, Jakarta: Sekretaris Jendral DPR RI, 2008.

Muhaimin, Abdul Wahab Abd. Ayat-Ayat Perkawinan dan Perceraian dalam

Kajian Ibnu Katsir, Jakarta: Gaung Persasda Press.

Mardani. Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern, Jakarta: Graha Ilmu,

2011.

Muhammad bin Ismail Al Bukhari, Sahih Al Bukhari, Jilid 7, Beirut: Dar Thauq

Al-Najjah, 1422 H.

Mugihardja, Rd. Primbon Jawa Sangkan Paraning Manungsa, Surabaya: 1969.

Mas’udah, Ririn. “Fenomena Mitos Penghalang Perkawinan Dalam Masyarakat

Adat Trenggalek”. Jurnal Hukum dan Syariah, Vol. 1, No. 1. 2010.

Ni’am, Asrorun. Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, Jakarta:

Elasas. 2008.

Niken, Enis dan Purwadi. Upacara Pengantin Jawa, Yogyakarta: Panji Pustaka,

2007.

Nasution, Muhammad Syukri Albani Dkk, Ilmu Sosial Budaya Dasar Cet. 1,

Nottingham, Elizabeth K. Agama dan Masyarakat : Suatu Pengantar Sosiologi

Agama, Jakarta: CV Rajawali, 1990.

Nur Kuncoro, Setyo. “Tradisi Upacara Perkawinan Adat Kraton Surakarta (Studi

Pandangan Ulama dan Masyarakat Kauman, Pasar Kliwon, Surakarta),”

Skripsi S1 Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Maulana Malik

Ibrahim Malang, 2014.

Purbasari, Indah. Hukum Islam Sebagai Hukum Positif Di Indonesia, Malang:

Setara Press, 2017.

Prodjodikoro, R. Wirjono. Hukum Perkawinan di Indonesia, Bandung: Sumur

Bandung, 1991.

82

Prastowo, Andi. Metode Penelitian Kualitatif dalam Perspektif Rancangan

Penelitian, Cet. III, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2016.

Qardhawi, Yusuf. Muammal hamidy (Penerjemah), Halal dan Haram dalam

Islam, Jakarta : Bina Ilmu, 1983.

Rofiq, Ahmad. Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo

Persada, 2013.

Ranoewidjojo, Romo RDS. Primbon Masa Kini Warisan Nenek Moyang Untuk

Meraba Masa Depan, Jakarta: Bukune, 2009.

Rahman, Abdur. Perkawinan dalam Syariat Islam, Penerjemah: Basri Iba Asghari

dan Wadi Masturi, Jakarta: PT Rineka Cipta, 1992.

Sabiq, Sayid. Fikih Sunnah diterjemahkan oleh Abu Syauqina dan Abu Aulia

Rahma, Jilid 3, Jakarta: Tinta Abadi Gemilang, 2013.

Syata ad-Dimyati, Muhammad. I’anah Atthalibin, Juz III, Bandung: al-Ma’arif,

t.th.

Saleh, K. Wantjk. Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia,

1978.

Soekanto, Soerjono. Intisari Hukum Keluarga, Bandung: Alumni, 1980.

Solikhin, Muhammad. Misteri Bulan Suro Perspektif Islam Jawa, Yogyakarta:

NARASI, 2009.

Soekanto, Soerjono. dan Soleman B. Taneko, Hukum Adat Indonesia, Jakarta:

Rajawali Pers, 2016.

Sabiq, As-Sayid. Fiqih Al-Sunnah. Beirut: dar al-Kitab al-‘Anabi, 1973.

Sofyan, Yayan. Islam Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam

Hukum Nasional, Jakarta: RMBoot. ks, 2012.

Suseni. Makna Budaya Budaya Jawa Dalam Komunikasi Antar Budaya, Jakarta:

2001.

Syafe’i, Rachmat. “Ilmu Usul Fiqih”, Bandung: Pustaka Setia, 2007.

Subekti dan Tjirosudibio. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta:

Pradnya Paramita, 1996.

Soekanto, Soerjano. Pengantar Penelitian Hukum, Cet. III, Jakarta: UI-Press,

2015.

83

Setiady, Tolib. Intisari Hukum Adat Indonesia, (Dalam Kajian Kepustakaan),

Bandung: Alfabeta, 2013.

Syuhud, A. Fatih. Keluarga Sakinah: Cara Membina Rumah Tangga Harmonis,

Bahagia dan Berkualitas, Malang: Pustaka Al-Khoirot, 2003.

Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia: Berlaku bagi Umat Islam.

Utomo, Laksanto. Hukum Adat, Depok: PT Raja Grafindo Persada, 2017.

Woodwaard, Mark R. Islam Jawa, Kesalehan Normatif Versus Kebatinan,

Yogyakarta: IRCiSoD, 2017.

Wignjodipoero, Soerojo. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta: Toko

Gunung Agung, 1995.

Yunus, Mahmud. Kamus Bahasa Arab-Indonesia, Jakarta: Hadikarya Agung,

1990.

Zahrah, Abu. al-Akhwal asy-Syahshiyah, Kairo: Daar al-Fikri al-Arabi 1957.

Zainuddin ‘Abdul Aziz Al Malibary, Syeikh. Fathul Muin bi Syahril Qurrotil Aini

diterjemahkan oleh Aliy As’ad, Kudus : Menara Kudus, 1980.

Al Zuhayli, Wahbah. al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu, Beirut: Daar al:Fikr, Jilid

1, 1986.

Artikel dan Wawancara

Puspitasari, Sri Aji. Kecamatan Bulakamba Dalam Angka 2016,

http://dpu.brebeskab.go.id/upload/files/brebesangka/bulakamba2016.pdf,

Bulakamba, September 2016.

https://brebeskab.bps.go.id/statictable/2021/08/12/1927/jumlah-penduduk-

menurut-desa-di-kecamatan-bulakamba-2020.html, Bulakamba: Sensus Penduduk

2020, 12 Agustus 2021

http://tegalglagah.desabrebes.id/?page_id=38, t.th. 19 Juni 2021

A.S, Warga Desa Tegalglagah, Wawancara Pribadi, di Desa Tegalglagah, 20

April 2020.

84

D.S, Warga Desa Tegalglagah, Wawancara Pribadi, di Desa Tegalglagah, 19 April

2020.

H.Y, Warga Desa Tegalglagah, Wawancara Pribadi, di Desa Tegalglagah, 15

September 2021.

N, Warga Desa Tegalglagah, Wawancara Pribadi, di Desa Tegalglagah, 15

September 2021.

S, Warga Desa Tegalglagah, Wawancara Pribadi, di Desa Tegalglagah, 3

November 2021.

S, Warga Desa Tegalglagah, Wawancara Pribadi, di Desa Tegalglagah, 18

Oktober 2021.

S.M, Warga Desa Tegalglagah, Wawancara Pribadi, di Desa Tegalglagah, 15

September 2021.

S, Warga Desa Tegalglagah, Wawancara Pribadi, di Desa Tegalglagah, 29

Oktober 2021.

W.H, Warga Desa Tegalglagah, Wawancara Pribadi, di Desa Tegalglagah, 29

Oktober 2021.

Y.S, Warga Desa Tegalglagah, Wawancara Pribadi, di Desa Tegalglagah, 22

September 2021.

85

LAMPIRAN

86

87

88

Hasil wawancara mengenai tradisi weton di Desa Tegalglagah:

1. Apa makna weton ?

Weton itu hari lahir kita, misal kita lahir senin pon nah itu hari wetonmu yg tidak

boleh dilupa selamanya.

2. Dalam hal apa saja weton digunakan?

Bisa digunakan dalam hajatan atau khitanan, membangun rumah, mencari hari baik

untuk menikah antara calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan.

3. Bagaimana cara menghitung weton?

Cara menghitungnya pertama-tama kita datangi tukang petung atau yang mengerti

tentang weton, lalu anak perempuan dan anak lelaki masing-masing dijumlahkan

dahulu, kemudian masing-masing dibuang (dikurangi) sesuai hitungan kelipatan,

jika cocok maka bisa dilanjutkan.

4. Apakah masih banyak masyarakat yang menggunakan hitungan weton?

Iya, masih banyak masyarakat sini yang menggunakan hitungan weton. Karna

weton itu penting untuk keberlangsungan hidup kedepannya.

Hasil wawancara mengenai tradisi weton di Desa Tegalglagah:

1. Apa makna weton ?

Weton itu untuk menuntun kita untuk kedepan agar kehidupan kita bisa hati-hati

dalam menentukan yang ingin kita pilih.

2. Dalam hal apa saja weton digunakan?

Biasanya untuk acara nikahan atau khitaanan gitu, dicari tanggal baiknya untuk

pelaksanaan acara tersebut.

3. Bagaimana cara menghitung weton?

Misalnya ibu si cewek itu lahir hari senin, kalo hari senin misalnya besan.

Perempuan ngitungnya sama laki besan sana jangan sampe sama senin lakinya

atau mertua lelaki. Kalo kata orang Jawa itu jeblok besan. Misalnya selain Senin

itu bebas

4. Apa yang melatar belakangi masyarakat desa masih menggunakan weton dalam

perkawinan ?

89

Pada dasarnya mereka masih percaya adanya Allah, akan tetapi mereka berprinsip

bahwa antisipasi itu lebih baik. Dan juga menerapkan apa yang telah diajarkan

nenek moyang demi melestarikan adat weton.

5. Apakah masih banyak masyarakat yang menggunakan hitungan weton?

Hampir 90 persen masyarakat menggunakan hitungan weton, apa lagi pada saat

ingin menikah penting bagi kedua mempelai menggunakan weton.

Hasil wawancara mengenai tradisi weton di Desa Tegalglagah:

1. Apakah masih banyak yang menggunakan weton ?

Banyak, semua menggunakan weton dan punya wetonnya masing-masing.

2. Apakah weton perlu dipakai ?

Perlu, terlebih lagi orang Jawa, bahkan kita untuk membangun rumah saja

menggunakan perhitungan arahnya kemana dan bagusnya gimana.

3. Bagaimana cara apabila terkendala dalam hitungan weton ?

Apabila terkendala mending dihindari, kalua ga dihindari harus ada syaratnya,

gitu.

4. Apakah semua yang didesa menggunakan hitungan weton ?

Ya semua pakai, apalagi misalnya calon pengantin laki laki dan calon pengantin

perempuan itu oeang Jawa, itu sudah pasti pakai hitungan Jawa. Paling yang

merantau karena dapat calon nya itu orang diluar Jawa jadi tidak pakai hitungan

weton.

Hasil wawancara mengenai tradisi weton di Desa Tegalglagah:

1. Pandangan tentang weton itu gimana ?

Weton atau hari kelahiran harus diingat seumur hidup, karna weton digunakan

dalam hal apa saja.

2. Apakah weton ini masih dipercayai ?

Iya, mayoritas masyarakat percaya. Ringkasnya tingkat baik dan buruk tingkat

ekonomi masa depan. Dari hasil hitung weton juga bisa menentukan kapan

ijabnya, hari, bulannya serta tahunnya itu ada.

3. Bagaimana jika melanggar weton ?

90

Jika melanggar maka harus menerima konsekuensinya, seperti misalnya tidak

bertemu dengan orang tuanya atau tidak boleh menerima apapun jenisnya seperti

makanan, bahan pokok atau uang dari orang tua.

Hasil wawancara mengenai tradisi weton di Desa Tegalglagah:

1. Bagaimana caranya hitungan weton ?

Hari lahir calon mempelai laki-laki yang bernama Reza Andika itu Kamis Legi:

Kamis (8) Legi (5) = 13

13 dibagi 5 = sisa 3 (Gedong) = Dipercaya, amanah, pemimpin

Begitu juga dengan perempuan dihitung berdasarkan hari lahirnya nanti disatukan

antara laki-laki dan perempuan.

2. Apa ada pengalaman tentang hitungan weton bagi ibu ?

Dulu pengalaman pribadi saya, ketika pacaran sudah bertahun-tahun, waktu

perhitungan saya dan calon pasangan saya dulu tidak cocok, saya lebih memilih

keluarga saya karena takut orang tua saya meninggal, adik-adik saya juga masih

kecil-kecil.

Akhirnya saya dijodohkan bapak saya, sama suami saya yang sekarang dan

ternyata cocok, alhamdulillah keluarga saya baik-baik saja.

3. Apakah masyarakat desa masih mempercayai itu ?

Masih dipercaya sampai sekarang dari jaman dulu, sepanjang tidak percaya

mutlak kepada perhitungan weton 100%. Karena segala sesuatu sudah ditentukan

oleh Allah SWT.

4. Apakah masyarakat berpegang teguh atas dasar fiqh?

Ya masyarakat merujuk kepada kaidah usul fiqh “Adat Kebiasaan itu dapat

dijadikan sebagai hukum”.

Hasil wawancara mengenai tradisi weton di Desa Tegalglagah:

1. Apakah bapak masih percaya dengan adanya itungan weton ?

91

Secara pribadi saya memakai hitungan weton tapi tidak sepenuhnya

mempercayainya.

2. Pandangan bapak tentang weton ?

Weton itu mubah-mubah saja demi menghormati orang tua, soal kebenaran itu

relatif. Yang penting punya landasan agama yang kuat.

3. Bagaimana cara menghitung weton ?

Bila perhitungan weton dan neptunya cocok maka boleh dilanjutkan dan apabila

tidak cocok harus dibatalkan. Hasil hitungan weton yang dilakukan kedua belah

pihak, baik cocok atau tidaknya itu adalah hasil yang terbaik, jika ingin benar-

benar melanjutkan maka harus terima syarat dan resikonya.

4. Apakah tidak bertentangan dengan yang lain ?

Ya itu kalau dipertentangkan bisa jadi pertentangan, tetapi kalau mau diselaraskan

pun bisa. Tergantung kita melihatnya dari sudut pandang mana.

5. Apa itu juga termasuk anjuran islam ?

Saya yakin bahwa Islam sangat menghormati budaya yang selama hal itu tidak

bertentangan dengan akidah.

Hasil wawancara mengenai tradisi weton di Desa Tegalglagah:

1. Apa yang ibu pahami arti weton ?

Menurut orang tua saya weton itu hari lahir kita

2. Bagaimana jika tidak cocok antara calon pengantin laki-laki dan perempuan ?

Jika tidak cocok maka nanti pasti ada syarat-syaratnya gitu, dicari lagi nanti hari

baiknya, misalkan pas nikah itu ga boleh pake janur kuning, ada lagi misalnya ga

cocok, nanti nikahannya gak boleh pae ketan, beras ketan gituu, nanti yang tau

(tukang petung) itu pasti ngasih tau begitu dan lain-lain syaratnya.

3. Dalam hal apa saja weton digunakan ?

Weton digunakan sat-saat ingin mengadakan pernikahan, mencari kerja,

membangun rumah dan lain-lain.

4. Apakah weton berpengaruh terhadap kehidupan ibu ?

Alhamdulillah keluarga saya sampe sekarang baik-baik saja, kalaupun ada cobaan

itu udah biasa dalam rumah tangga. Kita nikmatin aja percaya masih ada Allah.

92

Hasil wawancara mengenai tradisi weton di Desa Tegalglagah:

1. Apakah ibu percaya adanya hitungan ini ?

Percaya tidak percaya, semua diserahkan sama yang diatas. Kita sebagai manusia

tinggal menjalani, kita ambil positifnya dan buang negatifnya. Semua ada

hikmahnya.

2. Tujuan menggunakan hitungan weton ?

Tujuannya, ya biar kehidupan kedepan itu kitab isa lebih hati-hati dan juga

menghormati budaya yang selama ini telah diwariskan orang tua kita dulu.

3. Apa dampaknya jika kita melanggar atau tidak melanggar weton ?

Dampaknya alhamdulilah jika kita tidak melanggar weton itu rumah tangganya

baik baik saja. Kalo ada yang melanggar itu biasanya ada aja cobaan yang datang.

4. Tanggapan ibu tentang weton ?

Harus tetap dilestarikan budaya ini, apa lagi sudah ada dari jaman orang tua kita

dulu.

Hasil wawancara mengenai tradisi weton di Desa Tegalglagah:

1. Apa itu weton ?

Weton itu hari lahir kita.

2. Apakah ketika menikah dianjurkan atau keinginan sendiri ?

Iya bapak saya dulu yang menyarankan agar dihitung wetonnya dan juga weton

istri saya si dulu ketika sebelum menikah, karena tidak ingin terjadi hal-hal yang

tidak diinginkan.

3. Apa dampak jika kita melanggar hitungan weton ?

Dampak dari perhitungan weton ini memang beda-beda, ada yang menggunakan

perhitungan ini sesuai yang diinginkan. Ada juga yang mendapat masalah

walaupun menggunakan hitungan ini juga. Semua tergantung apa yang kita

yakini, kita haya usaha namun untuk hasil akhirnya tetep Allah yang menentukan.

4. Apakah baik untuk kedua calon pengantin ?

Baik apa lagi ini untuk tuntunan kita dalam membangun rumah tangga agar

terhindar dari hal yang tidak diinginkan.

93

94