Ali Mutakin - Ijtihad Nahdlatul Ulama Tentang Perkawinan ...

29
Ali Mutakin, MA.Hk IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA TENTANG TENTANG TENTANG TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA PERKAWINAN BEDA AGAMA PERKAWINAN BEDA AGAMA PERKAWINAN BEDA AGAMA Suatu Kajian Tentang Penerapan Teori Maqa>s}id al-Shari>‘ah Penerbit TRANSWACANA TRANSWACANA TRANSWACANA TRANSWACANA Tangsel

Transcript of Ali Mutakin - Ijtihad Nahdlatul Ulama Tentang Perkawinan ...

P E N D A H U L U A N 3

Ali Mutakin, MA.Hk

IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA

TENTANG TENTANG TENTANG TENTANG

PERKAWINAN BEDA AGAMAPERKAWINAN BEDA AGAMAPERKAWINAN BEDA AGAMAPERKAWINAN BEDA AGAMA Suatu Kajian Tentang Penerapan Teori Maqa>s}id al-Shari>‘ah

Penerbit TRANSWACANATRANSWACANATRANSWACANATRANSWACANA Tangsel

Sanksi Pelanggaran Pasal44: Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987

Tentang Hak Cipta

1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)

2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)

I J T I H A D N A H D L A T U L U L A M A4I J T I H A D N A H D L A T U L U L A M A | i

KATA PENGANTAR

Pertama-tama penulis ucapkan kepada Allah Swt. yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan penulisan Tesis ini. Shalawat serta salam sejahtera penulis haturkan keharibaan Nabi pilihan, Nabi Muhammad Saw. yang telah mencerdaskan manusia dari alam jahiliyyah menuju alam ilmiah dan membimbing umat manusia agar selalu berada dalam naungan petunjuk agama yang dibawanya.

Dengan penuh kesadaran dan kerendahan hati, buku ini tidak akan lahir dan penulis akan sulit menyelesaikan studi S.2 di UIN Jakarta tanpa bantuan, bimbingan serta dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan kesempatan ini, penulis ingin memberikan penghargaan yang setinggi-tinggi dan mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA, selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA selaku Direktur Sekolah Pascasarjana (SPs) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Bapak Prof. Dr. Suwito, MA, Prof. Dr. Said Aqil Husein Munawar, MA, Prof. Dr. H. Atho Mudhar, MA, Prof. Dr. Yunan Yusuf, MA, Prof. Dr. Salman Harun, MA, Prof. Dr. Fathurrahman Djamil, MA, Dr. Moqsid Ghozali, MA, Dr. A. Luthfi Fatullah, MA, staf dan karyawan Sekolah Pascasarjana (SPs) yang telah memberikan motivasi, pencerahan, pengarahan bimbingan serta fasilitas selama studi Program S.2 penulis di Universitas ini. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Dirjen Pendidikan Islam (Pendis) Kementerian Agama R.I beserta seluruh stafnya yang telah memberikan bantuan dana kepada penulis selama menempuh studi Program S.2 di Sekolah Pascasarjana (SPs) Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta.

Penghargaan dan ucapan terima kasih kepada pembimbing penulis, Ibu Prof. Dr. Huzaimah Tahido Yanggo, MA. Di tengah-tengah kesibukan beliau yang padat, beliau masih meluangkan waktu untuk berdiskusi dengan penulis. Kritik konstruktif dan saran-saran beliau ini, sangat berguna bagi penyempurnaan penulisan buku ini. Demikian juga penulis ucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Sukron Kamil, MA. Prof. Dr. Zainun Kamal, MA. Dr. Yusuf Rahman, MA. Prof. Dr. Abdul Mujib, M.Ag. M.Si. Prof. Dr. Abudin Nata, MA. Prof. Dr. Murodi, MA, Dr. Asep Jahar, MA. yang telah memberi sumbang saran dan kritik konstruktif dalam Ujian Proposal, WIP, Pendahuluan dan Promosi demi perbaikian buku ini.

Demikian juga ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Abah; (alm) Habib Saggaf bin Mahdi bin Syeikh Abi Bakar bin Salim, Umi Waheeda, S.Psi., M.Si binti Abdurrahman, baik selaku pengasuh Yayasan Al-Ashriyyah Nurul Iman Islamic Boarding School maupun Ketua STAINI Parung, yang telah mengasuh,

IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA (Suatu Kajian Tentang Penerapan Teori Maqa>s}id al-Shari>‘ah) Ali Mutakin, MA.Hk © 2015 Ali Mutakin, MA.Hk Diterbitkan oleh : TranswacanaJl. IR. H. Juanda No.5 Pisangan – Ciputat Tangerang SelatanSetting & Layout: Sholeh Disain sampul : Nur Muhsin Cetakan Pertama : Mei 2015 M / Rajab Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip dan memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit

Ali MutakinAli MutakinAli MutakinAli Mutakin

Ijtihad Nahdlatul Ulama Tentang Perkawinan Beda Agama (Suatu kajian Tentang Penerapan Teori Maqa>s}id al-Shari>‘ah)/ Ali- Cet.I - Ciputat: 13 Mei 2015. vi, 202 hlm. : 15.50 x 23.50 cm ISBN 978-602-8070-16-4

1. Ijtihad. 1. Judul.

297.4

P E N D A H U L U A N iI J T I H A D N A H D L A T U L U L A M A | i

KATA PENGANTAR

Pertama-tama penulis ucapkan kepada Allah Swt. yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahnya kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan penulisan Tesis ini. Shalawat serta salam sejahtera penulis haturkan keharibaan Nabi pilihan, Nabi Muhammad Saw. yang telah mencerdaskan manusia dari alam jahiliyyah menuju alam ilmiah dan membimbing umat manusia agar selalu berada dalam naungan petunjuk agama yang dibawanya.

Dengan penuh kesadaran dan kerendahan hati, buku ini tidak akan lahir dan penulis akan sulit menyelesaikan studi S.2 di UIN Jakarta tanpa bantuan, bimbingan serta dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan kesempatan ini, penulis ingin memberikan penghargaan yang setinggi-tinggi dan mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA, selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA selaku Direktur Sekolah Pascasarjana (SPs) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Bapak Prof. Dr. Suwito, MA, Prof. Dr. Said Aqil Husein Munawar, MA, Prof. Dr. H. Atho Mudhar, MA, Prof. Dr. Yunan Yusuf, MA, Prof. Dr. Salman Harun, MA, Prof. Dr. Fathurrahman Djamil, MA, Dr. Moqsid Ghozali, MA, Dr. A. Luthfi Fatullah, MA, staf dan karyawan Sekolah Pascasarjana (SPs) yang telah memberikan motivasi, pencerahan, pengarahan bimbingan serta fasilitas selama studi Program S.2 penulis di Universitas ini. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Dirjen Pendidikan Islam (Pendis) Kementerian Agama R.I beserta seluruh stafnya yang telah memberikan bantuan dana kepada penulis selama menempuh studi Program S.2 di Sekolah Pascasarjana (SPs) Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta.

Penghargaan dan ucapan terima kasih kepada pembimbing penulis, Ibu Prof. Dr. Huzaimah Tahido Yanggo, MA. Di tengah-tengah kesibukan beliau yang padat, beliau masih meluangkan waktu untuk berdiskusi dengan penulis. Kritik konstruktif dan saran-saran beliau ini, sangat berguna bagi penyempurnaan penulisan buku ini. Demikian juga penulis ucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Sukron Kamil, MA. Prof. Dr. Zainun Kamal, MA. Dr. Yusuf Rahman, MA. Prof. Dr. Abdul Mujib, M.Ag. M.Si. Prof. Dr. Abudin Nata, MA. Prof. Dr. Murodi, MA, Dr. Asep Jahar, MA. yang telah memberi sumbang saran dan kritik konstruktif dalam Ujian Proposal, WIP, Pendahuluan dan Promosi demi perbaikian buku ini.

Demikian juga ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Abah; (alm) Habib Saggaf bin Mahdi bin Syeikh Abi Bakar bin Salim, Umi Waheeda, S.Psi., M.Si binti Abdurrahman, baik selaku pengasuh Yayasan Al-Ashriyyah Nurul Iman Islamic Boarding School maupun Ketua STAINI Parung, yang telah mengasuh,

IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA (Suatu Kajian Tentang Penerapan Teori Maqa>s}id al-Shari>‘ah) Ali Mutakin, MA.Hk © 2015 Ali Mutakin, MA.Hk Diterbitkan oleh : TranswacanaJl. IR. H. Juanda No.5 Pisangan – Ciputat Tangerang SelatanSetting & Layout: Sholeh Disain sampul : Nur Muhsin Cetakan Pertama : Mei 2015 M / Rajab Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip dan memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit

Ali MutakinAli MutakinAli MutakinAli Mutakin

Ijtihad Nahdlatul Ulama Tentang Perkawinan Beda Agama (Suatu kajian Tentang Penerapan Teori Maqa>s}id al-Shari>‘ah)/ Ali- Cet.I - Ciputat: 13 Mei 2015. vi, 202 hlm. : 15.50 x 23.50 cm ISBN 978-602-8070-16-4

1. Ijtihad. 1. Judul.

297.4

I J T I H A D N A H D L A T U L U L A M AiiI J T I H A D N A H D L A T U L U L A M A | iii

Kupersembahkan untuk

Ayahanda Rubadi, Ibunda Niswatin Chasanah, Ibunda Khotijah Isteri tercinta Isroiliyah

Serta puteriku tersayang, belahan jiwa Nabila Zahra

ii | I J T I H A D N A H D L A T U L U L A M A

mendidik, dan membimbing serta memberikan restu untuk studi Program S.2 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada keluarga besar Yayasan Al-Ashriyyah Nurul Iman Islamic Boarding School, yang telah menjadi spirit bagi penulis dalam menyelesaikan studi S.2.

Penghargaan dan terimakasih yang khusus tentu penulis sampaikan kepada yang tercinta isteri penulis Isroiliyah, S.Sy yang dengan penuh kesetiaan mendampingi penulis dalam suka maupun duka selama menempuh studi Program S.2 di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. Tanpa dukungan, pengorbanan dan kesabarannya yang luar biasa sebagai seorang isteri dan ibu dari puteri kami yang tersayang Nabila Zahra dalam menciptakan suasana rumah tangga yang saki>nah mawaddah wa rahmah, tentu buku ini sulit akan terselesaikan. Bahkan disaat langkah ini terasa berat untuk mencapai tujuan dan cita-cita, ia selalu memberi semangat dan motivasi yang tulus. Penghargaan dan terima kasih juga penulis sampaikan kepada yang terhormat kedua orang tua dan mertua penulis, Ayahanda Rubadi, Ibunda Siti Niswatin Chasanah, Ayahanda (alm) Tasroni, dan Ibunda Khotijah yang dengan tulus ikhlas selalu mendo’akan keberhasilan penulis dalam menempuh studi Program S.2 ini. Kakak-kakak, adik-adikku terima kasih atas semua dukungan dan motivasi kepada penulis.

Tidak lupa pula penulis ucapkan terima kasih kepada KH. Zulfa Mustofa, KH. Arwani Faishal, KH. Masdar F. Masudi, Pengurus dan staff PBNU yang telah memberikan data dan bantuan lainnya selama penulis melakukan kegiatan penelitian dalam rangka penyelesaian tesis ini. Dan juga kepada teman-teman seperjuangan mahasiswa program beasiswa angkatan 2012 yang telah saling berbagi ilmu pengetahuan dan pengalaman selama menjalankan tugas belajar di SPs UIN Jakarta, mudah-mudahan silaturahmi dan ukhuwah Islamiyah dan Imaniyah tetap terjalin.

Tentu banyak lagi pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu dalam kesempatan ini, yang ikut serta membantu dalam penyelesaian studi penulis. Dengan kerendahan hati, penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak atas bantuannya. Penulis tidak dapat membalas semua ini. Hanya untaian doa semoga segala bantuan dan amal baik yang telah diberikan kepada penulis dapat menjadi amal ibadah dan mendapatkan balasan yang lebih baik dari Allah Swt.

Betapapun, kandungan isi buku ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis, penulis mengharapkan sumbang saran pembaca demi penyempurnaan buku ini. Akhirnya, penulis berharap semoga buku ini bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri dan umumnya bagi pembaca sekalian. Amiin ya rabbal ‘alamin.

Jakarta, 20 April 2015

Penulis

P E N D A H U L U A N iiiI J T I H A D N A H D L A T U L U L A M A | iii

Kupersembahkan untuk

Ayahanda Rubadi, Ibunda Niswatin Chasanah, Ibunda Khotijah Isteri tercinta Isroiliyah

Serta puteriku tersayang, belahan jiwa Nabila Zahra

ii | I J T I H A D N A H D L A T U L U L A M A

mendidik, dan membimbing serta memberikan restu untuk studi Program S.2 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada keluarga besar Yayasan Al-Ashriyyah Nurul Iman Islamic Boarding School, yang telah menjadi spirit bagi penulis dalam menyelesaikan studi S.2.

Penghargaan dan terimakasih yang khusus tentu penulis sampaikan kepada yang tercinta isteri penulis Isroiliyah, S.Sy yang dengan penuh kesetiaan mendampingi penulis dalam suka maupun duka selama menempuh studi Program S.2 di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. Tanpa dukungan, pengorbanan dan kesabarannya yang luar biasa sebagai seorang isteri dan ibu dari puteri kami yang tersayang Nabila Zahra dalam menciptakan suasana rumah tangga yang saki>nah mawaddah wa rahmah, tentu buku ini sulit akan terselesaikan. Bahkan disaat langkah ini terasa berat untuk mencapai tujuan dan cita-cita, ia selalu memberi semangat dan motivasi yang tulus. Penghargaan dan terima kasih juga penulis sampaikan kepada yang terhormat kedua orang tua dan mertua penulis, Ayahanda Rubadi, Ibunda Siti Niswatin Chasanah, Ayahanda (alm) Tasroni, dan Ibunda Khotijah yang dengan tulus ikhlas selalu mendo’akan keberhasilan penulis dalam menempuh studi Program S.2 ini. Kakak-kakak, adik-adikku terima kasih atas semua dukungan dan motivasi kepada penulis.

Tidak lupa pula penulis ucapkan terima kasih kepada KH. Zulfa Mustofa, KH. Arwani Faishal, KH. Masdar F. Masudi, Pengurus dan staff PBNU yang telah memberikan data dan bantuan lainnya selama penulis melakukan kegiatan penelitian dalam rangka penyelesaian tesis ini. Dan juga kepada teman-teman seperjuangan mahasiswa program beasiswa angkatan 2012 yang telah saling berbagi ilmu pengetahuan dan pengalaman selama menjalankan tugas belajar di SPs UIN Jakarta, mudah-mudahan silaturahmi dan ukhuwah Islamiyah dan Imaniyah tetap terjalin.

Tentu banyak lagi pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu dalam kesempatan ini, yang ikut serta membantu dalam penyelesaian studi penulis. Dengan kerendahan hati, penulis menyampaikan terima kasih kepada semua pihak atas bantuannya. Penulis tidak dapat membalas semua ini. Hanya untaian doa semoga segala bantuan dan amal baik yang telah diberikan kepada penulis dapat menjadi amal ibadah dan mendapatkan balasan yang lebih baik dari Allah Swt.

Betapapun, kandungan isi buku ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis, penulis mengharapkan sumbang saran pembaca demi penyempurnaan buku ini. Akhirnya, penulis berharap semoga buku ini bermanfaat khususnya bagi penulis sendiri dan umumnya bagi pembaca sekalian. Amiin ya rabbal ‘alamin.

Jakarta, 20 April 2015

Penulis

I J T I H A D N A H D L A T U L U L A M AivI J T I H A D N A H D L A T U L U L A M A | v

DAFTAR ISI

Kata Pengantar Persembahan Daftar Isi Singkatan

BAB I : PENDAHULUAN 1

BAB II : METODOLOGI PEMIKIRAN HUKUM ISLAM 21 A. Aliran Ahl al-H{adi>th vs Ahl al-Ra’yi 21 B. Metodologi Ijtihad Aliran Tradisionalisme 26 C. Metodologi Ijtihad Aliran Modernisme 30 D. Kedudukan Maqa>s}id al-Shari>‘ah Dalam Metode Ijtihad 39

BAB III : TRADISI IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA 51 A. Ijtihad dalam Pandangan NU 52 B. Bah}th al-Masa>il Fiqhiyah NU: Antara Idea dan Fakta 65 C. Problem Metodologis Ijtihad NU 75

BAB IV : PERKAWINAN BEDA AGAMA 87 A. Landasan Hukum Ketentuan Perkawinan Beda Agama 87 B. Perkawinan Beda Agama Perspektif Fikih 104

BAB V : TINJAUAN MAQA<S}ID AL-SHARI<‘AH TERHADAP KEPUTUSAN NU TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA 109 A. Ijtihad NU Tentang Perkawinan Beda Agama 110

1. Analisis Keputusan NU Tentang Perkawinan Beda Agama 110

2. Analisis Metode Istinba>t} NU Tentang Perkawinan Beda Agama 120

B. Implementasi Maqa>s}id al-Shari>‘ah Terhadap Keputusan NU Tentang Perkawinan Beda Agama 138 1. H{ifz} al-Di>n Dalam Perkawinan Beda Agama 141 2. H{ifz} al-Nasl Dalam Perkawinan Beda Agama 153

BAB V : PENUTUP 163

Daftar Pustaka 167 Indeks 197 Lampiran-Lampiran 181 Tentang Penulis 201

iv | I J T I H A D N A H D L A T U L U L A M A

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB LATIN

1. Konsonan

B = S = K =

T = Sh = L =

Th = S{ = M =

J = D{ = N =

H{ = T{ = W =

Kh = Z{ = H =

D = ‘ = ’ = ء Dh = Gh = Y =

R = F = Z = Q =

2. Vokal

Vokal Tunggal Vokal Rangkap

3. Maddah (Panjang)

Harakat dan Huruf Huruf dan Tanda ا َ a>

يْ َ i@>

و َ u>

Tanda dan Huruf

Huruf Latin

ay ـ يْ

aw ـ وْ

Tanda Huruf Latin

a

I

U

P E N D A H U L U A N vI J T I H A D N A H D L A T U L U L A M A | v

DAFTAR ISI

Kata Pengantar Persembahan Daftar Isi Singkatan

BAB I : PENDAHULUAN 1

BAB II : METODOLOGI PEMIKIRAN HUKUM ISLAM 21 A. Aliran Ahl al-H{adi>th vs Ahl al-Ra’yi 21 B. Metodologi Ijtihad Aliran Tradisionalisme 26 C. Metodologi Ijtihad Aliran Modernisme 30 D. Kedudukan Maqa>s}id al-Shari>‘ah Dalam Metode Ijtihad 39

BAB III : TRADISI IJTIHAD NAHDLATUL ULAMA 51 A. Ijtihad dalam Pandangan NU 52 B. Bah}th al-Masa>il Fiqhiyah NU: Antara Idea dan Fakta 65 C. Problem Metodologis Ijtihad NU 75

BAB IV : PERKAWINAN BEDA AGAMA 87 A. Landasan Hukum Ketentuan Perkawinan Beda Agama 87 B. Perkawinan Beda Agama Perspektif Fikih 104

BAB V : TINJAUAN MAQA<S}ID AL-SHARI<‘AH TERHADAP KEPUTUSAN NU TENTANG PERKAWINAN BEDA AGAMA 109 A. Ijtihad NU Tentang Perkawinan Beda Agama 110

1. Analisis Keputusan NU Tentang Perkawinan Beda Agama 110

2. Analisis Metode Istinba>t} NU Tentang Perkawinan Beda Agama 120

B. Implementasi Maqa>s}id al-Shari>‘ah Terhadap Keputusan NU Tentang Perkawinan Beda Agama 138 1. H{ifz} al-Di>n Dalam Perkawinan Beda Agama 141 2. H{ifz} al-Nasl Dalam Perkawinan Beda Agama 153

BAB V : PENUTUP 163

Daftar Pustaka 167 Indeks 197 Lampiran-Lampiran 181 Tentang Penulis 201

iv | I J T I H A D N A H D L A T U L U L A M A

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB LATIN

1. Konsonan

B = S = K =

T = Sh = L =

Th = S{ = M =

J = D{ = N =

H{ = T{ = W =

Kh = Z{ = H =

D = ‘ = ’ = ء Dh = Gh = Y =

R = F = Z = Q =

2. Vokal

Vokal Tunggal Vokal Rangkap

3. Maddah (Panjang)

Harakat dan Huruf Huruf dan Tanda ا َ a>

يْ َ i@>

و َ u>

Tanda dan Huruf

Huruf Latin

ay ـ يْ

aw ـ وْ

Tanda Huruf Latin

a

I

U

I J T I H A D N A H D L A T U L U L A M Avi 1

BAB I PENDAHULUAN

Dalam ajaran Islam, perkawinan dibangun untuk menciptakan

kemaslahatan bagi seluruh manusia dan bagi pihak-pihak yang bersangkutan dengan perkawinan tersebut. Secara umum, kemaslahatan perkawinan adalah segala sesuatu yang digunakan untuk meraih maqa>s}id al-shari>‘ah dari perkawinan, baik yang bersifat as}liyyah atau taba‘iyyah dan baik yang bersifat d}aru>riyyah, h}a>jjiyyah maupun tah}siniyyah. Kemaslahatan perkawinan yang termasuk ke dalam maqa>s}id as}liyyah adalah meneruskan keturunan yang merupakan penjagaan langsung terhadap salah satu al-us}u>l al-khamsah yang berupa h}ifz} al-nasl. Kemaslahatan tersebut, masuk dalam peringkat mas}lah}ah d}aru>riyah. Sedangkan kemaslahatan perkawinan yang bersifat maqa>s}id taba‘iyyah adalah kemaslahatan yang merupakan penjagaan secara tidak langsung terhadap aspek al-nasl, seperti menyalurkan kebutuhan biologis secara benar (tidak berzina), kemaslahatan ini masuk dalam peringkat mas}lah}ah ha>jiyyah. Dan kemaslahatan untuk mencari ketenangan (saki>nah), membagi cinta dan kasih sayang (mawaddah wa rah}mah), dan sebagainya menempati peringkat mas}lah}ah tah}siniyyah.1 Penjagaan tersebut (h}ifz} al-nasl) dilakukan melalui sebuah perkawinan yang sah menurut agama, kemudian diakui oleh undang-undang serta diterima sebagai bagian dari budaya masyarakat.2

Perkawinan dianggap sebagai lembaga suci untuk mengikat lak-laki dan perempuan dalam suatu ikatan untuk membina rumah tangga yang bahagia penuh ketenangan hidup dan rasa kasih sayang, kekal dalam rangka mengabdi kepada Allah Swt.3 Di samping itu perkawinan juga untuk mendapatkan anak keturunan yang sah guna melanjutkan generasi yang akan datang.4 Sedangkan dalam rumusan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan5 disebutkan bahwa tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Mengingat pentingnya perkawinan tersebut, Islam tidak hanya sekedar menyebutnya sebagai ikatan lahir batin antara kedua pasangan yang melangsungkan perkawinan, malainkan sebuah perjanjian yang melibatkan

1Lihat Yusuf Hamid ‘Alim, al-Maqa>s}id al-‘A<mmah li al-Shari>‘ah al-Isla>miyyah

(USA: International Graphics Printing Service, 1991), 102. 2Fuaddin, Pengasuhan Anak Dalam Keluarga Islam (Jakarta: Lembaga Kajian

Agama dan Jender, 1999), 4 3Lihat QS. al-Ru>m [30]: 21 4Lihat QS. al-Nisa>’ [4]: 1 5Selanjutnya disebut Undang-undang Perkawinan

vi | I J T I H A D N A H D L A T U L U L A M A

SINGKATAN BM : Bah}th al-Masa>’il KHI : Kompilasi Hukum Islam LBM : Lajnah Bah}th al-Masa>’il LINO : Lailatul Ijtima’ Nahdlotoel Oelama MT : Majlis Tarjih MUI : Majlis Ulama Indonesia NU : Nahdlatul Ulama PBA : Perkawinan Beda Agama PBNU : Pengurus Besar Nahdlatul Ulama PCNU : Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama PERSIS : Persatuan Islam PWNU : Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama SI : Sarikat Islam SPKBMNU : Sistem Pengambilan Keputusan Bah}th al-Masa>’il

Nahdlatul Ulama tk. : Tanpa Kota tp. : Tanpat Penerbit tt. : Tanpa Tahun

11

BAB I PENDAHULUAN

Dalam ajaran Islam, perkawinan dibangun untuk menciptakan

kemaslahatan bagi seluruh manusia dan bagi pihak-pihak yang bersangkutan dengan perkawinan tersebut. Secara umum, kemaslahatan perkawinan adalah segala sesuatu yang digunakan untuk meraih maqa>s}id al-shari>‘ah dari perkawinan, baik yang bersifat as}liyyah atau taba‘iyyah dan baik yang bersifat d}aru>riyyah, h}a>jjiyyah maupun tah}siniyyah. Kemaslahatan perkawinan yang termasuk ke dalam maqa>s}id as}liyyah adalah meneruskan keturunan yang merupakan penjagaan langsung terhadap salah satu al-us}u>l al-khamsah yang berupa h}ifz} al-nasl. Kemaslahatan tersebut, masuk dalam peringkat mas}lah}ah d}aru>riyah. Sedangkan kemaslahatan perkawinan yang bersifat maqa>s}id taba‘iyyah adalah kemaslahatan yang merupakan penjagaan secara tidak langsung terhadap aspek al-nasl, seperti menyalurkan kebutuhan biologis secara benar (tidak berzina), kemaslahatan ini masuk dalam peringkat mas}lah}ah ha>jiyyah. Dan kemaslahatan untuk mencari ketenangan (saki>nah), membagi cinta dan kasih sayang (mawaddah wa rah}mah), dan sebagainya menempati peringkat mas}lah}ah tah}siniyyah.1 Penjagaan tersebut (h}ifz} al-nasl) dilakukan melalui sebuah perkawinan yang sah menurut agama, kemudian diakui oleh undang-undang serta diterima sebagai bagian dari budaya masyarakat.2

Perkawinan dianggap sebagai lembaga suci untuk mengikat lak-laki dan perempuan dalam suatu ikatan untuk membina rumah tangga yang bahagia penuh ketenangan hidup dan rasa kasih sayang, kekal dalam rangka mengabdi kepada Allah Swt.3 Di samping itu perkawinan juga untuk mendapatkan anak keturunan yang sah guna melanjutkan generasi yang akan datang.4 Sedangkan dalam rumusan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan5 disebutkan bahwa tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Mengingat pentingnya perkawinan tersebut, Islam tidak hanya sekedar menyebutnya sebagai ikatan lahir batin antara kedua pasangan yang melangsungkan perkawinan, malainkan sebuah perjanjian yang melibatkan

1Lihat Yusuf Hamid ‘Alim, al-Maqa>s}id al-‘A<mmah li al-Shari>‘ah al-Isla>miyyah

(USA: International Graphics Printing Service, 1991), 102. 2Fuaddin, Pengasuhan Anak Dalam Keluarga Islam (Jakarta: Lembaga Kajian

Agama dan Jender, 1999), 4 3Lihat QS. al-Ru>m [30]: 21 4Lihat QS. al-Nisa>’ [4]: 1 5Selanjutnya disebut Undang-undang Perkawinan

vi | I J T I H A D N A H D L A T U L U L A M A

SINGKATAN BM : Bah}th al-Masa>’il KHI : Kompilasi Hukum Islam LBM : Lajnah Bah}th al-Masa>’il LINO : Lailatul Ijtima’ Nahdlotoel Oelama MT : Majlis Tarjih MUI : Majlis Ulama Indonesia NU : Nahdlatul Ulama PBA : Perkawinan Beda Agama PBNU : Pengurus Besar Nahdlatul Ulama PCNU : Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama PERSIS : Persatuan Islam PWNU : Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama SI : Sarikat Islam SPKBMNU : Sistem Pengambilan Keputusan Bah}th al-Masa>’il

Nahdlatul Ulama tk. : Tanpa Kota tp. : Tanpat Penerbit tt. : Tanpa Tahun

I J T I H A D N A H D L A T U L U L A M A2

P E N D A H U L U A N | 3

sakral, karena merupakan suatu perjanjian yang secara khusus melibatkan Allah. Sehingga segala sesuatu yang kerkenaan dengannya diatur secara spesifik dan lengkap dalam Al-Qur’an. Kedua, perkawinan merupakan sebuah wasilah untuk mengahalkan hubungan antara dua orang yang berlainan jenis, yang semula diharamkan, seperti memegang, memeluk, mencium dan hubungan intim. Ketiga, perkawinan merupakan sarana untuk melangsungkan kehidupan umat manusia di muka bumi secara legal dan bertanggung jawab. Keempat, perkawinan mempuyai dimensi psikologis. Pasangan suami isteri yang semula adalah orang lain, lewat perkawinan mereka saling memiliki, saling menjaga, saling membutuhkan, saling mencintai serta menyayangi sehingga terwujud keluarga yang saki>nah. Kelima, perkawinan juga mempunyai dimensi sosiologis. Lewat perkawinan seseorang mempunyai status baru yang dianggap sebagai anggota masyarakat secara utuh sekaligus mengakibatkan lahirnya anak-anak yang secara naluriah mereka membutuhkan penjagaan. Orang tua anak inilah yang bertanggungjawab terhadap perkembangan fisik dan psikis anak tersebut, agar menjadi generasi penerus umat manusia di muka bumi ini. Dari uraian tersebut, dalam pandangan Islam, perkawinan bukan saja persoalan biologis dan juga bukan pula persoalan dan hubungan pribadi antara suami isteri saja, melainkan juga persoalan psikologis dan sosiologis bahkan teologis. Oleh karena itu, Islam memberikan perhatian yang cukup besar terhadap masalah perkawinan ini, termasuk perkawinan antar umat beragama atau perkawinan beda agama.

Dengan demikian, segala sesuatu yang berkaitan dengan pemenuhan terwujudnya tujuan perkawinan harus dipenuhi oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Di antaranya adalah syarat dan rukun perkawinan. Menurut Hilman Hadikusuma, untuk mewujudkan tujuan perkawinan tersebut, Islam menghendaki perkawinan harus dilakukan dengan sesama pemeluk agama, yakni umat Islam dengan umat Islam, Kristen dengan Umat Kristen dan seterusnya.10

Perkawinan beda agama merupakan sebuah perkawinan yang dilakukan oleh dua orang yang berlainan agama, yakni antara seseorang yang beragama Islam (Muslim atau Muslimah) dengan non-Muslim, baik yang dikategorikan

8M. Karsayuda, Perkawinan Beda Agama: Menakar Nilai-Nilai Keadilan dalam

Kompilasi Hukum Islam (Yogyakarta: Total Media, 2006), 66-69 9Ini dapat dilihat dari sekian banyak ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan

hukum, hanya hukum-hukum yang berkaitan dengan perkawinan yang dijelaskan secara rinci dan jelas, yang lain hanya secara global dan umum. Lihat Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), cet. Ke-3, 6-13

10Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama (Bandung: Bandar Maju, 2007), Cet. Ke-3, 25

2 | I J T I H A D N A H D L A T U L U L A M A

Allah, jadi bukan perjanjian perdata biasa, sehingga perkawinan disebut sebagai mi>tha>qan ghali>z}a sebuah ikatan yang kuat lagi kokoh. Hal ini sebagaimana dapat dijumpai dalam firman Allah QS. al-Nisa>> [3]: 21. Perkawinan jika dilihat sekilas, merupakan sebuah aktivitas dunya>wiyah belaka. Namun dalam Islam perkawinan merupakan suatu ibadah yang secara tegas dinyatakan sebagai sunah Rasulullah Saw. Sebagaimana Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Anas ibn Malik bahwa perkawinan merupakan Sunnah Rasul yang pernah dilakukan selama hidupnya dan beliau menghendaki agar umatnya berbuat yang sama. Di sampaing sebagai Sunah Rasul, perkawinan merupakan sunnatullah yakni sesuai dengan qudrah dan ira>dah Allah Swt. Sebagaimana yang tertuang dalam QS. al-Dha>riyat [51]: 49 yang menjelaskan bahwa Allah menciptakan segala sesuatu secara berpasang-pasangan. QS. al-Najm [53]: 45 yang secara tegas Allah menciptakan berpasang-pasangan antara laki-laki dan perempuan. Secara filosofi, makna perkawinan dalam Islam dapat dirumuskan sebagai berikut: Pertama, Islam memandang perkawinan sebagai sesuatu yang

6Bunyi lengkapnya ayat tersebut adalah:

“Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri, dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat (mi>tha>qan ghali>z}a).”

7Bunyi lengkapnya adalah:

“Dan telah menceritakan kepadaku Abu> Bakar bin Na>fi' al-‘Abdi> telah menceritakan kepada kami Bahz telah menceritakan kepada kami H}amma>d bin Salamah dari Tha>bit dari Anas bahwa sekelompok orang dari kalangan sahabat Nabi Saw. bertanya kepada isteri-isteri Nabi Saw. mengenai amalan beliau yang tersembunyi. Maka sebagian dari mereka pun berkata, "Saya tidak akan menikah." Kemudian sebagian lagi berkata, "Aku tidak akan makan daging." Dan sebagian lain lagi berkata, "Aku tidak akan tidur di atas kasurku." Mendengar ucapan-ucapan itu, Nabi Saw. memuji Allah dan menyanjung-Nya, kemudian beliau bersabda: "Ada apa dengan mereka? Mereka berkata begini dan begitu, padahal aku sendiri shalat dan juga tidur, berpuasa dan juga berbuka, dan aku juga menikahi wanita. Maka siapa yang saja yang membenci sunnahku, berarti bukan dari golonganku." S}ah}i>h} Muslim Juz 2, 1401. Lihat juga Sunan al-Da>rimi> Juz 2, 2169

P E N D A H U L U A N 3

P E N D A H U L U A N | 3

sakral, karena merupakan suatu perjanjian yang secara khusus melibatkan Allah. Sehingga segala sesuatu yang kerkenaan dengannya diatur secara spesifik dan lengkap dalam Al-Qur’an. Kedua, perkawinan merupakan sebuah wasilah untuk mengahalkan hubungan antara dua orang yang berlainan jenis, yang semula diharamkan, seperti memegang, memeluk, mencium dan hubungan intim. Ketiga, perkawinan merupakan sarana untuk melangsungkan kehidupan umat manusia di muka bumi secara legal dan bertanggung jawab. Keempat, perkawinan mempuyai dimensi psikologis. Pasangan suami isteri yang semula adalah orang lain, lewat perkawinan mereka saling memiliki, saling menjaga, saling membutuhkan, saling mencintai serta menyayangi sehingga terwujud keluarga yang saki>nah. Kelima, perkawinan juga mempunyai dimensi sosiologis. Lewat perkawinan seseorang mempunyai status baru yang dianggap sebagai anggota masyarakat secara utuh sekaligus mengakibatkan lahirnya anak-anak yang secara naluriah mereka membutuhkan penjagaan. Orang tua anak inilah yang bertanggungjawab terhadap perkembangan fisik dan psikis anak tersebut, agar menjadi generasi penerus umat manusia di muka bumi ini. Dari uraian tersebut, dalam pandangan Islam, perkawinan bukan saja persoalan biologis dan juga bukan pula persoalan dan hubungan pribadi antara suami isteri saja, melainkan juga persoalan psikologis dan sosiologis bahkan teologis. Oleh karena itu, Islam memberikan perhatian yang cukup besar terhadap masalah perkawinan ini, termasuk perkawinan antar umat beragama atau perkawinan beda agama.

Dengan demikian, segala sesuatu yang berkaitan dengan pemenuhan terwujudnya tujuan perkawinan harus dipenuhi oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Di antaranya adalah syarat dan rukun perkawinan. Menurut Hilman Hadikusuma, untuk mewujudkan tujuan perkawinan tersebut, Islam menghendaki perkawinan harus dilakukan dengan sesama pemeluk agama, yakni umat Islam dengan umat Islam, Kristen dengan Umat Kristen dan seterusnya.10

Perkawinan beda agama merupakan sebuah perkawinan yang dilakukan oleh dua orang yang berlainan agama, yakni antara seseorang yang beragama Islam (Muslim atau Muslimah) dengan non-Muslim, baik yang dikategorikan

8M. Karsayuda, Perkawinan Beda Agama: Menakar Nilai-Nilai Keadilan dalam

Kompilasi Hukum Islam (Yogyakarta: Total Media, 2006), 66-69 9Ini dapat dilihat dari sekian banyak ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan

hukum, hanya hukum-hukum yang berkaitan dengan perkawinan yang dijelaskan secara rinci dan jelas, yang lain hanya secara global dan umum. Lihat Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009), cet. Ke-3, 6-13

10Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama (Bandung: Bandar Maju, 2007), Cet. Ke-3, 25

2 | I J T I H A D N A H D L A T U L U L A M A

Allah, jadi bukan perjanjian perdata biasa, sehingga perkawinan disebut sebagai mi>tha>qan ghali>z}a sebuah ikatan yang kuat lagi kokoh. Hal ini sebagaimana dapat dijumpai dalam firman Allah QS. al-Nisa>> [3]: 21. Perkawinan jika dilihat sekilas, merupakan sebuah aktivitas dunya>wiyah belaka. Namun dalam Islam perkawinan merupakan suatu ibadah yang secara tegas dinyatakan sebagai sunah Rasulullah Saw. Sebagaimana Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Anas ibn Malik bahwa perkawinan merupakan Sunnah Rasul yang pernah dilakukan selama hidupnya dan beliau menghendaki agar umatnya berbuat yang sama. Di sampaing sebagai Sunah Rasul, perkawinan merupakan sunnatullah yakni sesuai dengan qudrah dan ira>dah Allah Swt. Sebagaimana yang tertuang dalam QS. al-Dha>riyat [51]: 49 yang menjelaskan bahwa Allah menciptakan segala sesuatu secara berpasang-pasangan. QS. al-Najm [53]: 45 yang secara tegas Allah menciptakan berpasang-pasangan antara laki-laki dan perempuan. Secara filosofi, makna perkawinan dalam Islam dapat dirumuskan sebagai berikut: Pertama, Islam memandang perkawinan sebagai sesuatu yang

6Bunyi lengkapnya ayat tersebut adalah:

“Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri, dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat (mi>tha>qan ghali>z}a).”

7Bunyi lengkapnya adalah:

“Dan telah menceritakan kepadaku Abu> Bakar bin Na>fi' al-‘Abdi> telah menceritakan kepada kami Bahz telah menceritakan kepada kami H}amma>d bin Salamah dari Tha>bit dari Anas bahwa sekelompok orang dari kalangan sahabat Nabi Saw. bertanya kepada isteri-isteri Nabi Saw. mengenai amalan beliau yang tersembunyi. Maka sebagian dari mereka pun berkata, "Saya tidak akan menikah." Kemudian sebagian lagi berkata, "Aku tidak akan makan daging." Dan sebagian lain lagi berkata, "Aku tidak akan tidur di atas kasurku." Mendengar ucapan-ucapan itu, Nabi Saw. memuji Allah dan menyanjung-Nya, kemudian beliau bersabda: "Ada apa dengan mereka? Mereka berkata begini dan begitu, padahal aku sendiri shalat dan juga tidur, berpuasa dan juga berbuka, dan aku juga menikahi wanita. Maka siapa yang saja yang membenci sunnahku, berarti bukan dari golonganku." S}ah}i>h} Muslim Juz 2, 1401. Lihat juga Sunan al-Da>rimi> Juz 2, 2169

I J T I H A D N A H D L A T U L U L A M A4

P E N D A H U L U A N | 5

kita bisa menyaksikan beberapa artis yang melaksanakan perkawinan tersebut, sebagai contoh, Jamal Mirdad seorang Muslim menikah dengan Lidia Kandaw yang beragama Kristen; Nurul Arifin (Muslimah) dengan Mayong (Katholik); Ina Indayati (Muslimah) menikah dengan Jeremi Thomas yang beragama Kristen; Frans Lingua (Kristen) menikah dengan Amara (Islam); Yuni Shara (Muslimah), menikah dengan Hendry Siahaan (Kristen); Ari Sigit (Muslim) menikah dengan Rica Callebaut (Kristen); Ari Sihasale (Kristen) menikahi Nia Zulkarnain yang beragama Islam; Dedy Corbuzer yang beragama Katholik dengan Kalina yang beragama Islam. Selain itu, tentunya masih sangat banyak peristiwa semacam ini yang tidak terdeteksi oleh media.

Hal ini dibuktikan dengan hasil sensus untuk perkawinan beda agama tahun 1990 dan 2000 di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang merupakan melting pot atau wadah peleburan identitas budaya menunjukkan bahwa di DIY terjadi fluktuasi. Pada tahun 1980, paling tidak terdapat 15 kasus perkawinan beda agama dari 1000 kasus perkawinan yang tercatat. Pada tahun 1990, naik menjadi 18 kasus dan trend-nya menurun menjadi 12 kasus pada tahun 2000. Tahun 1980 rendah (15/1000), lalu naik tahun 1990 (19/1000), kemudian turun lagi tahun 2000 (12/1000). Hasil sensus tersebut menunjukkan bahwa laki-laki cenderung melakukan perkawinan beda agama dibanding perempuan. Angka perkawinan beda agama, sesuai sensus 1980, 1990 dan 2000, paling rendah terjadi di kalangan Muslim (di bawah 1%). Hal ini menunjukan bahwa semakin besar kuantitas penduduk beragama Islam, maka pilihan kawin seagama tentu juga semakin besar. Lain halnya, bagi penganut agama yang minoritas, maka dengan sendirinya pilihan kawin dengan pasangan seagama juga semakin kecil. Dengan demikian untuk menikah beda agama, bagi penganut agama yang “minoritas,” kemungkinannya semakin besar.15

Hal menarik lainnya adalah keputusan Mahkamah Agung No. 1400K/Pdt/1986, MA yang mengabulkan permohonan kasasi Andi Vonny Gani P. (Islam) yang menikah dengan Andrianus Petrus Hendrik Nelwan (Kristen Protestan), serta membatalkan penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 11 April 1986 No. 382/PDT/P/1986/PNJKT.PSTtentang penolakan

15Lihat Abd. Rozak A. Sastra dkk, Pengkajian Hukum Tentang Perkawinan

Beda Agama (Perbandingan Beberapa Negara) (Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Jakarta 2011), 4-6. Bandingkan dengan Harold T. Christensen and Kenneth E. Barber, “Interfaith versus Intrafaith Marriage in Indiana” dalam Journal of Marriage and Family, Vol. 29, No. 3 (Aug., 1967). Published by:National Council on Family Relations Stable URL:http://www.jstor.org/stable/349583. James D. Davidson and Tracy Widman, “The Effect of Group Size on Interfaith Marriage among Catholics” dalam Journal for the Scientific Study of Religion, Vol. 41, No. 3 (Sep., 2002). Published by: Wiley on behalf of Society for the Scientific Study of Religion Stable URL: http://www.jstor.org/stable/1387452.

4 | I J T I H A D N A H D L A T U L U L A M A

sebagai golongan Musyrik maupun Ahl al-Kita>b. Perkawinan beda agama dalam setiap masanya selalu memunculkan perdebatan di kalangan para ulama, ini semua terjadi karena perbedaan pandangan dalam memahami ayat-ayat yang menjadi dasar larangan perkawinan orang Muslim dengan orang Musyrik.

Perkawinan beda agama sebagai fakta sosial bukanlah isu-isu baru. Namun secara historis perkawinan beda agama ini telah terjadi di kalangan tokoh-tokoh Islam sejak zaman Nabi Muhammad Saw.11 kemudian zaman sahabat,12 tabi’in hingga masa-masa berikutnya dan berlanjut sampai sekarang. Lebih-lebih dalam konteks masyarakat yang plural dan heterogen, seperti di negara Indonesia, yang merupakan bangsa multikultural dan multiagama. Pluralitas di bidang agama terwujud dalam banyaknya agama yang diakui secara sah di Indonesia, selain Islam ada agama Hindu, Budha, Kristen, Katolik, dan lain-lain.13 Sensus penduduk tahun 1980 menunjukkan bahwa Islam dipeluk oleh sebagian besar bangsa Indonesia (88,2 % dari 145 juta penduduk), disusul Protestan (5,8 %), Katolik (3%), Hindu (2,1 %), dan Budha (0,9 %). Oleh karena itu, perkawinan beda agama menjadi sebuah fakta yang wajar dan sangat mungkin terjadi.14

Dalam konteks Indonesia, meskipun perkawinan beda agama tidak diperbolehkan oleh Undang-undang No 1 tahun 1974, namun fenomena semacam ini terus berkembang. Lewat media masa maupun media elektronik,

11Rasulullah Saw, menikahi Maria al-Qibt}iyyah binti Sham‘un, berasal dari

daerah Ansena, Ashut}, Mesir. Seorang hamba sahaya yang dihadiahkan oleh Gubernur Mesir, Muqawis, setelah perang Khaibar. Melalui Maria al-Qibt}iyyah, Rasulullah Saw, dikaruniai putra yang diberi nama Ibrahim. Rasulullah Saw. juga mengawini S}a>fiyah binti H}uyai bin Akht}ab bin Shu‘aib bin Tha‘labah. Nasabnya sampai ke Nabi Harun, saudara Nabi Musa as. Beliau berdarah Yahudi dari bani Nadhi>r. Landasan historis di atas sebenarnya kurang relevan, sebab sebelum pernikahan Rasulullah dengan Maria al-Qibt}iyyah dan S}a>fiyah binti H}uyai bin Akht}ab bin Shu‘aib bin Tha‘labah, keduanya sudah terlebih dahulu memeluk Islam. Lihat Ahmad Lut}fi Fathullah, Potret Kehidupan Pribadi dan Kehidupan Rasulullah Saw. (Jakarta: Pusat Kajian Hadits)

12Uthma>n bin ‘Affan menikah dengan wanita Kristen bernama Naylah binti al-Fara>fis}ah al-Kala>biyyah yang selanjutnya memeluk Islam, lalu Hudhaifah bin al-Yamani menikahi wanita Yahudi dari Mada>’in, kemudian T}alh}ah Ubaidilla>h menikah dengan wanita Kristen dan masih banyak lagi sahabat lain yang melakukan praktek pernikahan beda agama ini, terutama pada waktu mereka melakukan ekspansi Islam (fath}) ke berbagai wilayah di luar Madinah. Lihat Wahbah al-Zuh}aili>, Al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuhu (Beirut: Da>r al-Fikr, Jilid: VII, 1984), 153-155. Lihat juga Sayyid Sa>biq, Fiqh al-Sunnah (Beirut: Da>r al-Fikr, Jilid: II, 1983), Cet. IV, 90-91.

13Abdurrahman Wahid (mantan Presiden RI ke-4) menyatakan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk, selain Islam ada Hindu, Budha, Kristen, Katolik, Protestan, dan lain-lain. Bahkan yang Islam ada yang santri dan ada yang kejawen. Lihat Koran Kedaulatan Rakyat Yogyakarta, Sabtu, 27 Maret 2004, 11.

14Lihat M. Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia Sebuah Studi tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia 1975-1988 (Jakarta : INIS, 1993), 11.

P E N D A H U L U A N 5

P E N D A H U L U A N | 5

kita bisa menyaksikan beberapa artis yang melaksanakan perkawinan tersebut, sebagai contoh, Jamal Mirdad seorang Muslim menikah dengan Lidia Kandaw yang beragama Kristen; Nurul Arifin (Muslimah) dengan Mayong (Katholik); Ina Indayati (Muslimah) menikah dengan Jeremi Thomas yang beragama Kristen; Frans Lingua (Kristen) menikah dengan Amara (Islam); Yuni Shara (Muslimah), menikah dengan Hendry Siahaan (Kristen); Ari Sigit (Muslim) menikah dengan Rica Callebaut (Kristen); Ari Sihasale (Kristen) menikahi Nia Zulkarnain yang beragama Islam; Dedy Corbuzer yang beragama Katholik dengan Kalina yang beragama Islam. Selain itu, tentunya masih sangat banyak peristiwa semacam ini yang tidak terdeteksi oleh media.

Hal ini dibuktikan dengan hasil sensus untuk perkawinan beda agama tahun 1990 dan 2000 di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang merupakan melting pot atau wadah peleburan identitas budaya menunjukkan bahwa di DIY terjadi fluktuasi. Pada tahun 1980, paling tidak terdapat 15 kasus perkawinan beda agama dari 1000 kasus perkawinan yang tercatat. Pada tahun 1990, naik menjadi 18 kasus dan trend-nya menurun menjadi 12 kasus pada tahun 2000. Tahun 1980 rendah (15/1000), lalu naik tahun 1990 (19/1000), kemudian turun lagi tahun 2000 (12/1000). Hasil sensus tersebut menunjukkan bahwa laki-laki cenderung melakukan perkawinan beda agama dibanding perempuan. Angka perkawinan beda agama, sesuai sensus 1980, 1990 dan 2000, paling rendah terjadi di kalangan Muslim (di bawah 1%). Hal ini menunjukan bahwa semakin besar kuantitas penduduk beragama Islam, maka pilihan kawin seagama tentu juga semakin besar. Lain halnya, bagi penganut agama yang minoritas, maka dengan sendirinya pilihan kawin dengan pasangan seagama juga semakin kecil. Dengan demikian untuk menikah beda agama, bagi penganut agama yang “minoritas,” kemungkinannya semakin besar.15

Hal menarik lainnya adalah keputusan Mahkamah Agung No. 1400K/Pdt/1986, MA yang mengabulkan permohonan kasasi Andi Vonny Gani P. (Islam) yang menikah dengan Andrianus Petrus Hendrik Nelwan (Kristen Protestan), serta membatalkan penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 11 April 1986 No. 382/PDT/P/1986/PNJKT.PSTtentang penolakan

15Lihat Abd. Rozak A. Sastra dkk, Pengkajian Hukum Tentang Perkawinan

Beda Agama (Perbandingan Beberapa Negara) (Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Jakarta 2011), 4-6. Bandingkan dengan Harold T. Christensen and Kenneth E. Barber, “Interfaith versus Intrafaith Marriage in Indiana” dalam Journal of Marriage and Family, Vol. 29, No. 3 (Aug., 1967). Published by:National Council on Family Relations Stable URL:http://www.jstor.org/stable/349583. James D. Davidson and Tracy Widman, “The Effect of Group Size on Interfaith Marriage among Catholics” dalam Journal for the Scientific Study of Religion, Vol. 41, No. 3 (Sep., 2002). Published by: Wiley on behalf of Society for the Scientific Study of Religion Stable URL: http://www.jstor.org/stable/1387452.

4 | I J T I H A D N A H D L A T U L U L A M A

sebagai golongan Musyrik maupun Ahl al-Kita>b. Perkawinan beda agama dalam setiap masanya selalu memunculkan perdebatan di kalangan para ulama, ini semua terjadi karena perbedaan pandangan dalam memahami ayat-ayat yang menjadi dasar larangan perkawinan orang Muslim dengan orang Musyrik.

Perkawinan beda agama sebagai fakta sosial bukanlah isu-isu baru. Namun secara historis perkawinan beda agama ini telah terjadi di kalangan tokoh-tokoh Islam sejak zaman Nabi Muhammad Saw.11 kemudian zaman sahabat,12 tabi’in hingga masa-masa berikutnya dan berlanjut sampai sekarang. Lebih-lebih dalam konteks masyarakat yang plural dan heterogen, seperti di negara Indonesia, yang merupakan bangsa multikultural dan multiagama. Pluralitas di bidang agama terwujud dalam banyaknya agama yang diakui secara sah di Indonesia, selain Islam ada agama Hindu, Budha, Kristen, Katolik, dan lain-lain.13 Sensus penduduk tahun 1980 menunjukkan bahwa Islam dipeluk oleh sebagian besar bangsa Indonesia (88,2 % dari 145 juta penduduk), disusul Protestan (5,8 %), Katolik (3%), Hindu (2,1 %), dan Budha (0,9 %). Oleh karena itu, perkawinan beda agama menjadi sebuah fakta yang wajar dan sangat mungkin terjadi.14

Dalam konteks Indonesia, meskipun perkawinan beda agama tidak diperbolehkan oleh Undang-undang No 1 tahun 1974, namun fenomena semacam ini terus berkembang. Lewat media masa maupun media elektronik,

11Rasulullah Saw, menikahi Maria al-Qibt}iyyah binti Sham‘un, berasal dari

daerah Ansena, Ashut}, Mesir. Seorang hamba sahaya yang dihadiahkan oleh Gubernur Mesir, Muqawis, setelah perang Khaibar. Melalui Maria al-Qibt}iyyah, Rasulullah Saw, dikaruniai putra yang diberi nama Ibrahim. Rasulullah Saw. juga mengawini S}a>fiyah binti H}uyai bin Akht}ab bin Shu‘aib bin Tha‘labah. Nasabnya sampai ke Nabi Harun, saudara Nabi Musa as. Beliau berdarah Yahudi dari bani Nadhi>r. Landasan historis di atas sebenarnya kurang relevan, sebab sebelum pernikahan Rasulullah dengan Maria al-Qibt}iyyah dan S}a>fiyah binti H}uyai bin Akht}ab bin Shu‘aib bin Tha‘labah, keduanya sudah terlebih dahulu memeluk Islam. Lihat Ahmad Lut}fi Fathullah, Potret Kehidupan Pribadi dan Kehidupan Rasulullah Saw. (Jakarta: Pusat Kajian Hadits)

12Uthma>n bin ‘Affan menikah dengan wanita Kristen bernama Naylah binti al-Fara>fis}ah al-Kala>biyyah yang selanjutnya memeluk Islam, lalu Hudhaifah bin al-Yamani menikahi wanita Yahudi dari Mada>’in, kemudian T}alh}ah Ubaidilla>h menikah dengan wanita Kristen dan masih banyak lagi sahabat lain yang melakukan praktek pernikahan beda agama ini, terutama pada waktu mereka melakukan ekspansi Islam (fath}) ke berbagai wilayah di luar Madinah. Lihat Wahbah al-Zuh}aili>, Al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuhu (Beirut: Da>r al-Fikr, Jilid: VII, 1984), 153-155. Lihat juga Sayyid Sa>biq, Fiqh al-Sunnah (Beirut: Da>r al-Fikr, Jilid: II, 1983), Cet. IV, 90-91.

13Abdurrahman Wahid (mantan Presiden RI ke-4) menyatakan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk, selain Islam ada Hindu, Budha, Kristen, Katolik, Protestan, dan lain-lain. Bahkan yang Islam ada yang santri dan ada yang kejawen. Lihat Koran Kedaulatan Rakyat Yogyakarta, Sabtu, 27 Maret 2004, 11.

14Lihat M. Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia Sebuah Studi tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia 1975-1988 (Jakarta : INIS, 1993), 11.

I J T I H A D N A H D L A T U L U L A M A6

P E N D A H U L U A N | 7

Kelompok ulama yang mengharamkan perkawinan beda agama antar laki-laki Muslim dengan wanita Ahl al-Kita>b dikarenakan persepsi mereka bahwa Ahl al-Kita>b mempunyai kedudukan yang sama dengan wanita Musyrik. Padahal baik laki-laki maupun wanita Muslim dilarang kawin dengan orang-orang Musyrik.19 Menurut kelompok ini, Ahl al-Kita>b mempunyai kedudukan yang sama dengan orang Musyrik. Karena orang-orang Ahl al-Kita>b juga mempertuhankan orang ‘A<lim mereka, Rahib-Rahib dan mengakui bahwa ‘Uzair atau Isa adalah putera Allah.20

Di antara ulama yang mendukung pendapat ini adalah Ibnu ‘Umar, menurutnya, Allah mengharamkan wanita Musyrik bagi laki-laki Muslim. “Aku tidak tahu syirik manakah yang jauh lebih besar dari seorang wanita yang mengatakan bahwa Tuhanya adalah Isa.”21 Sedangkan jumhur ulama berpendapat, bahwa laki-laki Muslim diperbolehkan menikahi wanita-wanita Ahl al-Kita>b. Menurut mereka, lafad Mushrikah tidak mencakup Ahl al-Kita>b.22

Meskipun jumhur ulama yang lazim menjadi rujukan ulama di Indonesia membenarkan perkawinan antar laki-laki Muslim dengan wanita Ahl al-Kita>b, akan tetapi perkembangan berikutnya kebolehan perkawinan seperti ini dibatasi. Keputusan Majlis Tarjih Muhammadiyah, Komisi Fatwa MUI melarang secara mutlak perkawinan yang dilakukan oleh dua orang yang berlainan agama. Begitu juga keputusan Lajnah Bah}th al-Masa>’il NU, perkawinan beda agama hukumnya diharamkan. Pada dasarnya ketidakbolehan perkawinan tersebut sudah pernah disinggung oleh ulama-ulama terdahulu. Menurut mereka, meskipun perkawinan beda agama dibolehkan, namun di sana terdapat kecenderungan larangan, hal ini terbukti adanya indikasi makruh

19Dalam QS. al-Mumtah}anah [60]: 10 dijelaskan bahwa pernikahan umat Islam dengan orang Kafir itu ditutup sama sekali. Wa la> tumsiku> bi' Is}am al-Kawa>fir.... Sementara QS. al-Baqarah [2]: 221, wa la> tunkihu> al-mushriki>n... menjelaskan bahwa umat Islam tidak diperbolehkan menikah dengan laki-laki dan perempuan Musyrik. Sementara ada ayat lain, QS. al-Ma'idah [5]: 5 yang memperbolehkan menikah dengan perempuan Ahl al-Kita>b. Wa al-muhs}ana>tu min al ladhi>na utu> al-kita>ba min qoblikum. Perlu kita maklumi bahwa al-Baqarah itu adalah surat yang pertama kali turun ketika Nabi berada di Madinah. Kemudian ayat berikutnya al-Mumtah}anah ayat 10, baru kemudian terakhir turun al-Ma'idah ayat 5. Sudah dimaklumi bahwa ayat yang terakhir turun yang memperbolehkan menikah dengan Ahl al-Kita>b itu telah mentakhs}is}, menspesifikasi dua ayat sebelumnya. Jadi boleh menikah dengan Ahl al-Kita>b, yang pada zaman dulu adalah Yahudi dan Nasrani. Ahl al-Kita>b telah dikecualikan dari keumuman ayat Kafir dan Musyrik.

20Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al- Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, 163

21Fakhr al-Di>n Muhammad ibn ‘Umar, Al-Tafsi>r Al-Kabi>r (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, Jilid VI, 2004), Cet. Ke-2, 116.

22M. Quraish Shihab, Tafsir al- Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, 30-31

6 | I J T I H A D N A H D L A T U L U L A M A

melangsungkan perkawinan oleh Pegawai Luar Biasa Pencatat Sipil Provinsi DKI Jakarta. Menurut MA, UU tentang perkawinan tidak memuat ketentuan apa pun yang menjelaskan larangan perkawinan bagi kedua mempelai yang berlainan agama, hal mana sejalan dengan UUD 1945 Pasal 27 yang menentukan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum, termasuk di dalamnya kesamaan hak asasi untuk kawin dengan sesama warga negara sekalipun berlainan agama.16

Menyikapi kasus perkawinan beda agama tersebut, pada dasarnya terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Sebagian ulama membolehkan, tetapi tidak sedikit pula yang mengharamkanya.17 Ulama juga berbeda pendapat terhadap cakupan Ahl al-Kita>b di mana laki-laki Muslim boleh menikahi wanita-wanita dari golongan Ahl al-Kita>b.18

16Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru Keagamaan

(Bandung: Mizan Pustaka, 2005), 67 17Pada prinsipnya pandangan ulama mengenai perkawinan beda agama ini

terbagi menjadi tiga bagian; Pertama, melarang secara mutlak perkawinan antara Muslim dengan non-Muslim baik yang dikategorikan Musyrik maupun Ahl al-Kita>b. Larangan itu juga berlaku bagi perempuan maupun laki-laki. Kedua, membolehkan dengan bersyarat. Sejumlah ulama membolehkan pernikahan antara laki-laki Muslim dengan perempuan non-Muslim dari kelompok Ahl al-Kita>b. Tetapi perempuan Muslim tidak boleh menikah dengan laki-laki non-Muslim walaupun tergolong Ahl al-Kita>b. Ketiga, membolehkan pernikahan antara Muslim dengan non-Muslim yang berlaku untuk laki-laki dan perempuan Muslim. Lihat Salahuddin Wahid, "Perkawinan Agama dan Negara" dalam Republika Jumat, 1 April 2005, 2. Lihat pula Sukron Kamil dan Chaedaer S. Syari’ah Islam dan HAM: Dampak Perda Syari’ah Terhadap Kebebasan Sipil, Hak Perempuan, dan Non-Muslim (Jakarta: Center For The Study Of Relegion and Culture (CSRC) UIN Syarif Hidayatullah, 2007), 83

18Pada dasarnya terdapat dua pendapat tentang cakupan makna Ahl al-Kita>b. Pertama, berpendapat bahwa Ahl al-Kita>b hanya terbatas pada orang-orang Yahudi dan Nasrani dari Bani> Isra>’il saja. Sedangkan dari bangsa-bangsa lain yang menganut agama Yahudi dan Nasrani dewasa ini tidak termasuk Ahl al-Kita>b. Alasannya, karena nabi Musa as. hanya diutus khusus kepada Bani> Isra>i’l saja, bukan kepada bangsa-bangsa lainnya. Pendapat ini mempersempit pengertian Ahl al-Kita>b, bahkan meniadakan wujudnya dewasa ini. Kedua, berpendapat bahwa siapa saja yang mempercayai salah seorang Nabi, atau kitab yang diturunkan Allah, maka ia termasuk Ahl al-Kita>b. Sehingga Ahl al-Kita>b tidak hanya terbatas pada kelompok penganut agama Yahudi atau Nasrani. Bila ada yang hanya percaya kepada S}uh}uf Nabi Ibrahim as. atau Kitab Zabu>r saja, maka ia pun termasuk Ahl al-Kita>b. Bahkan di antara ulama salaf ada yang berpendapat bahwa setiap umat yang memiliki kitab yang dapat diduga sebagai kitab sama>wi>, maka mereka juga adalah Ahl al-Kita>b, seperti halnya orang-orang Majusi. Pendapat ini memperluas makna Ahl al-Kita>b, dengan mengatakan bahwa semua penganut agama yang memiliki kitab suci atau semacam kitab suci hingga dewasa ini. Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al- Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an (Ciputat: Lentera Hati, vol. 3, 2006), cet. V, 30

P E N D A H U L U A N 7

P E N D A H U L U A N | 7

Kelompok ulama yang mengharamkan perkawinan beda agama antar laki-laki Muslim dengan wanita Ahl al-Kita>b dikarenakan persepsi mereka bahwa Ahl al-Kita>b mempunyai kedudukan yang sama dengan wanita Musyrik. Padahal baik laki-laki maupun wanita Muslim dilarang kawin dengan orang-orang Musyrik.19 Menurut kelompok ini, Ahl al-Kita>b mempunyai kedudukan yang sama dengan orang Musyrik. Karena orang-orang Ahl al-Kita>b juga mempertuhankan orang ‘A<lim mereka, Rahib-Rahib dan mengakui bahwa ‘Uzair atau Isa adalah putera Allah.20

Di antara ulama yang mendukung pendapat ini adalah Ibnu ‘Umar, menurutnya, Allah mengharamkan wanita Musyrik bagi laki-laki Muslim. “Aku tidak tahu syirik manakah yang jauh lebih besar dari seorang wanita yang mengatakan bahwa Tuhanya adalah Isa.”21 Sedangkan jumhur ulama berpendapat, bahwa laki-laki Muslim diperbolehkan menikahi wanita-wanita Ahl al-Kita>b. Menurut mereka, lafad Mushrikah tidak mencakup Ahl al-Kita>b.22

Meskipun jumhur ulama yang lazim menjadi rujukan ulama di Indonesia membenarkan perkawinan antar laki-laki Muslim dengan wanita Ahl al-Kita>b, akan tetapi perkembangan berikutnya kebolehan perkawinan seperti ini dibatasi. Keputusan Majlis Tarjih Muhammadiyah, Komisi Fatwa MUI melarang secara mutlak perkawinan yang dilakukan oleh dua orang yang berlainan agama. Begitu juga keputusan Lajnah Bah}th al-Masa>’il NU, perkawinan beda agama hukumnya diharamkan. Pada dasarnya ketidakbolehan perkawinan tersebut sudah pernah disinggung oleh ulama-ulama terdahulu. Menurut mereka, meskipun perkawinan beda agama dibolehkan, namun di sana terdapat kecenderungan larangan, hal ini terbukti adanya indikasi makruh

19Dalam QS. al-Mumtah}anah [60]: 10 dijelaskan bahwa pernikahan umat Islam dengan orang Kafir itu ditutup sama sekali. Wa la> tumsiku> bi' Is}am al-Kawa>fir.... Sementara QS. al-Baqarah [2]: 221, wa la> tunkihu> al-mushriki>n... menjelaskan bahwa umat Islam tidak diperbolehkan menikah dengan laki-laki dan perempuan Musyrik. Sementara ada ayat lain, QS. al-Ma'idah [5]: 5 yang memperbolehkan menikah dengan perempuan Ahl al-Kita>b. Wa al-muhs}ana>tu min al ladhi>na utu> al-kita>ba min qoblikum. Perlu kita maklumi bahwa al-Baqarah itu adalah surat yang pertama kali turun ketika Nabi berada di Madinah. Kemudian ayat berikutnya al-Mumtah}anah ayat 10, baru kemudian terakhir turun al-Ma'idah ayat 5. Sudah dimaklumi bahwa ayat yang terakhir turun yang memperbolehkan menikah dengan Ahl al-Kita>b itu telah mentakhs}is}, menspesifikasi dua ayat sebelumnya. Jadi boleh menikah dengan Ahl al-Kita>b, yang pada zaman dulu adalah Yahudi dan Nasrani. Ahl al-Kita>b telah dikecualikan dari keumuman ayat Kafir dan Musyrik.

20Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al- Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, 163

21Fakhr al-Di>n Muhammad ibn ‘Umar, Al-Tafsi>r Al-Kabi>r (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, Jilid VI, 2004), Cet. Ke-2, 116.

22M. Quraish Shihab, Tafsir al- Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, 30-31

6 | I J T I H A D N A H D L A T U L U L A M A

melangsungkan perkawinan oleh Pegawai Luar Biasa Pencatat Sipil Provinsi DKI Jakarta. Menurut MA, UU tentang perkawinan tidak memuat ketentuan apa pun yang menjelaskan larangan perkawinan bagi kedua mempelai yang berlainan agama, hal mana sejalan dengan UUD 1945 Pasal 27 yang menentukan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum, termasuk di dalamnya kesamaan hak asasi untuk kawin dengan sesama warga negara sekalipun berlainan agama.16

Menyikapi kasus perkawinan beda agama tersebut, pada dasarnya terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Sebagian ulama membolehkan, tetapi tidak sedikit pula yang mengharamkanya.17 Ulama juga berbeda pendapat terhadap cakupan Ahl al-Kita>b di mana laki-laki Muslim boleh menikahi wanita-wanita dari golongan Ahl al-Kita>b.18

16Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru Keagamaan

(Bandung: Mizan Pustaka, 2005), 67 17Pada prinsipnya pandangan ulama mengenai perkawinan beda agama ini

terbagi menjadi tiga bagian; Pertama, melarang secara mutlak perkawinan antara Muslim dengan non-Muslim baik yang dikategorikan Musyrik maupun Ahl al-Kita>b. Larangan itu juga berlaku bagi perempuan maupun laki-laki. Kedua, membolehkan dengan bersyarat. Sejumlah ulama membolehkan pernikahan antara laki-laki Muslim dengan perempuan non-Muslim dari kelompok Ahl al-Kita>b. Tetapi perempuan Muslim tidak boleh menikah dengan laki-laki non-Muslim walaupun tergolong Ahl al-Kita>b. Ketiga, membolehkan pernikahan antara Muslim dengan non-Muslim yang berlaku untuk laki-laki dan perempuan Muslim. Lihat Salahuddin Wahid, "Perkawinan Agama dan Negara" dalam Republika Jumat, 1 April 2005, 2. Lihat pula Sukron Kamil dan Chaedaer S. Syari’ah Islam dan HAM: Dampak Perda Syari’ah Terhadap Kebebasan Sipil, Hak Perempuan, dan Non-Muslim (Jakarta: Center For The Study Of Relegion and Culture (CSRC) UIN Syarif Hidayatullah, 2007), 83

18Pada dasarnya terdapat dua pendapat tentang cakupan makna Ahl al-Kita>b. Pertama, berpendapat bahwa Ahl al-Kita>b hanya terbatas pada orang-orang Yahudi dan Nasrani dari Bani> Isra>’il saja. Sedangkan dari bangsa-bangsa lain yang menganut agama Yahudi dan Nasrani dewasa ini tidak termasuk Ahl al-Kita>b. Alasannya, karena nabi Musa as. hanya diutus khusus kepada Bani> Isra>i’l saja, bukan kepada bangsa-bangsa lainnya. Pendapat ini mempersempit pengertian Ahl al-Kita>b, bahkan meniadakan wujudnya dewasa ini. Kedua, berpendapat bahwa siapa saja yang mempercayai salah seorang Nabi, atau kitab yang diturunkan Allah, maka ia termasuk Ahl al-Kita>b. Sehingga Ahl al-Kita>b tidak hanya terbatas pada kelompok penganut agama Yahudi atau Nasrani. Bila ada yang hanya percaya kepada S}uh}uf Nabi Ibrahim as. atau Kitab Zabu>r saja, maka ia pun termasuk Ahl al-Kita>b. Bahkan di antara ulama salaf ada yang berpendapat bahwa setiap umat yang memiliki kitab yang dapat diduga sebagai kitab sama>wi>, maka mereka juga adalah Ahl al-Kita>b, seperti halnya orang-orang Majusi. Pendapat ini memperluas makna Ahl al-Kita>b, dengan mengatakan bahwa semua penganut agama yang memiliki kitab suci atau semacam kitab suci hingga dewasa ini. Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir al- Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an (Ciputat: Lentera Hati, vol. 3, 2006), cet. V, 30

I J T I H A D N A H D L A T U L U L A M A8

P E N D A H U L U A N | 9

Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991. Dalam KHI tersebut secara tegas dinyatakan pada pasal 40, 44 dan 61. Pada pasal 40 dinyatakan bahwa seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita karena keadaan tertentu, diantaranya adalah karena seorang wanita yang tidak beragama Islam. Pada pasal 44 dinyatakan bahwa seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam. Sedangkan dalam pasal 61, KHI menyatakan bahwa tidak sekufu’ tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu’ karena perbedaan agama atau ikhtila>f al-di>n.

Terdapat tiga pasal dalam KHI yang secara jelas menyatakan ketidak bolehan melangsungkan perkawinan beda agama, baik untuk pria Muslim dengan wanita non-Muslim maupun untuk wanita Muslimah dengan pria non-Muslim.

Pertimbangan larangan perkawinan beda agama dalam KHI disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: Pertama, perkawinan beda agama lebih banyak menimbulkan persoalan, karena terdapat beberapa hal prinsip yang beda antara kedua mempelai. Meskipun ada beberapa pasangan yang berbeda agama dapat hidup rukun serta mampu mempertahankan ikatan perkawinannya, namun yang sedikit ini tidak bisa dijadikan acuan. Kedua, KHI mengambil pendapat ulama Indonesia, termasuk di dalamnya MUI.25

Larangan perkawinan beda agama, juga didapati dari fatwa-fatwa ulama yang tergabung dalam sebuah organisasi keagamaan seperti Majlis Ulama Indonesia (MUI), Muhammadiyah, dan Nahdlatul Ulama (NU). MUI, lewat Komisi Fatwa yang dilaksanakan pada tanggal 1 Juni 1980 dan diperkuat dengan Keputusan Fatwa No. 4/Munas VII/8/2005 telah mengeluarkan fatwa terkait permasalahan perkawinan beda agama. Fatwa tersebut telah menghasilkan dua ketetapan. Pertama, bahwa seorang perempuan Islam tidak diperbolehkan untuk dikawinkan dengan seorang laki-laki bukan Islam. Kedua, bahwa laki-laki Muslim tidak diizinkan mengawini seorang perempuan bukan Islam, termasuk Kristen (Ahl al-Kita>b).26 Sebuah fatwa yang berseberangan dengan ketentuan nas}s} Al-Qur’an dan pendapat mayoritas ulama yang membolehkannya. Jika dilihat dari metode istinba>t}} al-ah}ka>m yang digunakan oleh MUI, untuk menyelesaikan kasus perkawinan beda agama, yang dengan jelas bersebrangan dengan bunyi teks Al-Qur’an adalah metode mas}lah}ah al-mursalah. Yakni sebuah metode yang berpijak pada kemaslahatan masyarakat atau rujukan untuk menyelesaikan permasalahan perkawinan oleh para hakim di Peradilan Agama (PA).

25Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Rajawali, 1995), 345 26Lihat Majlis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa Majlis Ulama Indonesia

(Jakarta: Majlis Ulama Indonesia, 1997), 122. M. Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majlis Ulama Indonesia: Sebuah Studi Tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia 1975-1988, edisi dwi bahasa (Jakarta: INIS, 1993), 99

8 | I J T I H A D N A H D L A T U L U L A M A

sehingga yang dibolehkan pun hanya Muslim dengan perempuan Ahl al-Kita>b, dan tidak sebaliknya. Bahkan dilarang sama sekali baik Muslim maupun Muslimah untuk menjalin hubungan perkawinan dengan laki-laki maupun perempuan dari orang Kafir.

Dalam konteks Indonesia, peraturan perkawinan tidak dijumpai adanya peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur perkawinan beda agama, peraturan yang ada dan berlaku sampai sekarang yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, itu pun hanya mengatur tata cara perkawinan campuran yang pada dasarnya mempunyai arti berbeda dengan perkawinan beda agama.23 Meskipun secara tidak ekspresif verbis Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ini pun juga melarang terjadinya kawin beda agama.

Dalam UU No. 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat (1) dan (2) dinyatakan bahwa, sahnya suatu perkawinan adalah menurut hukum agamanya atau keyakinannya masing–masing. Dan Pada ayat (2) berbunyi tiap–tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang–undangan yang berlaku. Jadi, maksud dari ungkapan “menurut hukum agamanya masing–masing” adalah sahnya suatu perkawinan diserahkan kepada hukum masing-masing agama yang bersangkutan. Berarti dengan adanya masalah pengaturan perkawinan di Indonesia, Undang–undang memberikan kepercayaannya secara penuh kepada Agama, dan Agama memiliki peranan penting terhadap perkawinan beda agama.

Oleh karena itu, menjadi jelaslah bahwa dalam melangsungkan perkawinan diharuskan untuk seagama agar pelaksanaanya tidak terdapat hambatan maupun penyelewengan agama. Karena dalam pelaksanaanya menurut Undang–undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan beda agama tidak boleh dilaksanakan, dan tidak sah menurut hukum kecuali salah satu pihak mengikuti agama pasangannya. Jika kedua pasangan sudah seagama barulah perkawinan dapat dilangsungkan dan dianggap sah apabila dicatatkan dalam pencatatan perkawinan sesuai dengan ketentuan yang sudah diatur dalam pasal 2 ayat (2) Undang–undang Perkawinan.

Larangan perkawinan beda agama selain dari UU No. 1 Tahun 1974 tersebut, juga diperkuat lahirnya Kompilasi Hukum Islam (KHI)24 berdasarkan

23Pasal 57 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan campuran

adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Jadi, perkawinan campuran bukanlah perkawinan antar agama yang dimaksudkan di sini.

24Adapun alasan dikeluarkanya KHI ini adalah dengan mempertimbangkan keabsahan dan kompleksitas Hukum Islam yang ada dalam masyarakat, sehingga perlu diwujudkan suatu Hukum Islam yang sistematis dan konkerit untuk seluruh umat Islam di Indonesia, yang dengan adanya KHI diharapkan dapat dijadikan sebagai pegangan

P E N D A H U L U A N 9

P E N D A H U L U A N | 9

Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991. Dalam KHI tersebut secara tegas dinyatakan pada pasal 40, 44 dan 61. Pada pasal 40 dinyatakan bahwa seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita karena keadaan tertentu, diantaranya adalah karena seorang wanita yang tidak beragama Islam. Pada pasal 44 dinyatakan bahwa seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam. Sedangkan dalam pasal 61, KHI menyatakan bahwa tidak sekufu’ tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu’ karena perbedaan agama atau ikhtila>f al-di>n.

Terdapat tiga pasal dalam KHI yang secara jelas menyatakan ketidak bolehan melangsungkan perkawinan beda agama, baik untuk pria Muslim dengan wanita non-Muslim maupun untuk wanita Muslimah dengan pria non-Muslim.

Pertimbangan larangan perkawinan beda agama dalam KHI disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: Pertama, perkawinan beda agama lebih banyak menimbulkan persoalan, karena terdapat beberapa hal prinsip yang beda antara kedua mempelai. Meskipun ada beberapa pasangan yang berbeda agama dapat hidup rukun serta mampu mempertahankan ikatan perkawinannya, namun yang sedikit ini tidak bisa dijadikan acuan. Kedua, KHI mengambil pendapat ulama Indonesia, termasuk di dalamnya MUI.25

Larangan perkawinan beda agama, juga didapati dari fatwa-fatwa ulama yang tergabung dalam sebuah organisasi keagamaan seperti Majlis Ulama Indonesia (MUI), Muhammadiyah, dan Nahdlatul Ulama (NU). MUI, lewat Komisi Fatwa yang dilaksanakan pada tanggal 1 Juni 1980 dan diperkuat dengan Keputusan Fatwa No. 4/Munas VII/8/2005 telah mengeluarkan fatwa terkait permasalahan perkawinan beda agama. Fatwa tersebut telah menghasilkan dua ketetapan. Pertama, bahwa seorang perempuan Islam tidak diperbolehkan untuk dikawinkan dengan seorang laki-laki bukan Islam. Kedua, bahwa laki-laki Muslim tidak diizinkan mengawini seorang perempuan bukan Islam, termasuk Kristen (Ahl al-Kita>b).26 Sebuah fatwa yang berseberangan dengan ketentuan nas}s} Al-Qur’an dan pendapat mayoritas ulama yang membolehkannya. Jika dilihat dari metode istinba>t}} al-ah}ka>m yang digunakan oleh MUI, untuk menyelesaikan kasus perkawinan beda agama, yang dengan jelas bersebrangan dengan bunyi teks Al-Qur’an adalah metode mas}lah}ah al-mursalah. Yakni sebuah metode yang berpijak pada kemaslahatan masyarakat atau rujukan untuk menyelesaikan permasalahan perkawinan oleh para hakim di Peradilan Agama (PA).

25Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Rajawali, 1995), 345 26Lihat Majlis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa Majlis Ulama Indonesia

(Jakarta: Majlis Ulama Indonesia, 1997), 122. M. Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majlis Ulama Indonesia: Sebuah Studi Tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia 1975-1988, edisi dwi bahasa (Jakarta: INIS, 1993), 99

8 | I J T I H A D N A H D L A T U L U L A M A

sehingga yang dibolehkan pun hanya Muslim dengan perempuan Ahl al-Kita>b, dan tidak sebaliknya. Bahkan dilarang sama sekali baik Muslim maupun Muslimah untuk menjalin hubungan perkawinan dengan laki-laki maupun perempuan dari orang Kafir.

Dalam konteks Indonesia, peraturan perkawinan tidak dijumpai adanya peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur perkawinan beda agama, peraturan yang ada dan berlaku sampai sekarang yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, itu pun hanya mengatur tata cara perkawinan campuran yang pada dasarnya mempunyai arti berbeda dengan perkawinan beda agama.23 Meskipun secara tidak ekspresif verbis Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ini pun juga melarang terjadinya kawin beda agama.

Dalam UU No. 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat (1) dan (2) dinyatakan bahwa, sahnya suatu perkawinan adalah menurut hukum agamanya atau keyakinannya masing–masing. Dan Pada ayat (2) berbunyi tiap–tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang–undangan yang berlaku. Jadi, maksud dari ungkapan “menurut hukum agamanya masing–masing” adalah sahnya suatu perkawinan diserahkan kepada hukum masing-masing agama yang bersangkutan. Berarti dengan adanya masalah pengaturan perkawinan di Indonesia, Undang–undang memberikan kepercayaannya secara penuh kepada Agama, dan Agama memiliki peranan penting terhadap perkawinan beda agama.

Oleh karena itu, menjadi jelaslah bahwa dalam melangsungkan perkawinan diharuskan untuk seagama agar pelaksanaanya tidak terdapat hambatan maupun penyelewengan agama. Karena dalam pelaksanaanya menurut Undang–undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan beda agama tidak boleh dilaksanakan, dan tidak sah menurut hukum kecuali salah satu pihak mengikuti agama pasangannya. Jika kedua pasangan sudah seagama barulah perkawinan dapat dilangsungkan dan dianggap sah apabila dicatatkan dalam pencatatan perkawinan sesuai dengan ketentuan yang sudah diatur dalam pasal 2 ayat (2) Undang–undang Perkawinan.

Larangan perkawinan beda agama selain dari UU No. 1 Tahun 1974 tersebut, juga diperkuat lahirnya Kompilasi Hukum Islam (KHI)24 berdasarkan

23Pasal 57 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan campuran

adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Jadi, perkawinan campuran bukanlah perkawinan antar agama yang dimaksudkan di sini.

24Adapun alasan dikeluarkanya KHI ini adalah dengan mempertimbangkan keabsahan dan kompleksitas Hukum Islam yang ada dalam masyarakat, sehingga perlu diwujudkan suatu Hukum Islam yang sistematis dan konkerit untuk seluruh umat Islam di Indonesia, yang dengan adanya KHI diharapkan dapat dijadikan sebagai pegangan

I J T I H A D N A H D L A T U L U L A M A10

P E N D A H U L U A N | 11

”berubahnya hukum yang didasarkan pada maslahat dan ‘urf karena berubahnya waktu itu tidak diingkari”30.

Di sisi lain, asas perkawinan Islam menyatakan bahwa perkawinan harus dengan sesama Muslim, asas ini berangkat dari konsep ingin mengejar maslahat. Sebagaimana dalam tujuan hukum atau maqa>s}id al-shari>‘ah, dijelaskan bahwa dalam perumusan hukum maka seorang Mujtahid harus mempertimbangkan lima hal, yakni: 1) agama (al-di>n), 2) jiwa (al-nafs), 3) akal (al-‘aql), 4) keturunan (al-nasl) dan, 5) harta (al-ma>l). Kelima hal tersebut secara berurutan menunjukan sekala prioritas tingkat kebutuhannya. Bagi mereka –yang melarang perkawinan beda agama- menempatkan agama (al-di>n) diatas prioritas empat komponen yang lain, sehingga kemaslahatan keempat komponen yang lain harus mengikuti kemaslahatan agama. Oleh karena itu, demi menjaga agama Islamnya seseorang, maka seseorang harus memilih pasangan sesama Muslim. Mereka memposisikan agama sebagai bagian yang tidak bisa dikurangi dan tidak bisa diganti dalam keadaan apapun.

Selain MUI dan Muhammadiyah, ormas Islam yang juga merespon kasus perkawinan beda agama adalah Nahdlatul Ulama (NU).31 Meskipun dengan metode istinba>t}}32 yang berbeda dengan kedua ormas Islam tersebut, NU juga

30Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa>’id Fiqhiyyah (Jakarta: Pedoman Ilmu

Jaya, cet. Ke-2, 2009), 52 31NU sebagai organisasi sosial-keagamaan (jam‘iyyah al-di>niyyah-al-

ijtima>‘iyyah), secara resmi berdiri pada tanggal 16 Rajab 1314 H. bertepatan dengan tanggal 31 Januari 1926 M. di kampung Kertopaten Surabaya, ada dua faktor yang melatarbelakangi lahirnya NU. Pertama faktor internal. Kedua faktor eksternal. Faktor internal berhubungan dengan perkembangan kaum modernis yang menyuarakan adanya purifikasi Islam dan menyerang praktek keagamaan yang sudah dipercayai dan dijalankan oleh kaum tradisionalis. Sehingga banyak diantara kepercayaan Muslim tradisionalis yang dinyatakan sebagai “bid‘ah”, bukan ajaran asli Islam. Sedangkan faktor eksternal adalah bentuk reaksi atas perkembangan gerakan modernisasi Islam yang terjadi di Timur Tengah tepatnya Saudi Arabia. Dimana ‘Abdul al-‘Aziz ibn Sa‘ud akan memberlakukan sistem mono mazhab, yaitu mazhab Wahabi, yang berimplikasi pada pelarangan atau penghentian ajaran dan praktek madha>hib. Lihat Martin Van Bruinessen, NU, Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa: Pencarian Wacana Baru, alih bahasa Farid Wajidi (Yogyakarta: LkiS, Cet: IV, 2004), 19-25. Lihat juga Arsam, “Dakwah Cultural; Studi Terhadap Dakwah Nahdlatul Ulama”, dalam jurnal Bimbingan Konseling Islam, Volume 2 Nomer 1, Januari-Juni 2011, 129

32Secara garis besar ada tiga metode yang digunakan oleh NU dalam melakukan istinba>t}} hukum, yaitu metode qawli>, ilha>qi> dan manhaji> yang secara prosedur digunakan secara berurutan. Sistem qawli> merupakan metode istinba>t}} dengan cara langsung merujuk kepada redaksi ‘iba>rat (ta‘bi>r) kitab fikih. Sistem ini dipakai manakala suatu kasus bisa dicukupi oleh ‘iba>rah kitab dan di sana hanya terdapat satu

10 | I J T I H A D N A H D L A T U L U L A M A

Islam.27 Namun begitu, terlepas dari metode yang digunakan oleh MUI, fatwa ini dianggap cocok dengan kebutuhan dan kenyataan masyarakat di Indonesia sekarang; bahwa perkawinan beda agama lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya dan karena itu harus dihindari. Selain MUI, ormas Islam yang secara tegas mengeluarkan fatwa tentang larangan perkawinan beda agama adalah Muhammadiyah. Dalam hal ini secara umum Muhammadiyah masih berpedoman pada pendapat mayoritas ulama fikih, yakni laki-laki Muslim dilarang mengawini perempuan Musyrik, begitu juga seorang perempuan Muslimah dilarang untuk dikawinkan dengan laki-laki Musyrik dan Ahl al-Kita>b. Sedangkan untuk laki-laki Muslim yang mengawini perempuan Ahl al-Kita>b, semula Muhammadiyah cenderung sepakat dengan pendapat mayoritas ulama yang membolehkannya, dengan argumentasi kekhususan QS. al-Maidah [5]: 5.28 Namun kemudian, ada pertimbangan lain yang mengalihkan fatwa Muhammadiyah. Menurut Muhammadiyah, hukum muba>h} harus dihubungkan dengan alasan mengapa perkawinan itu dibolehkan. Salah satu hikmah dibolehkannya laki-laki Muslim mengawini perempuan Ahl al-Kita>b adalah untuk berdakwah kepada mereka, dengan harapan mereka mau mengikuti agama suaminya (Islam). Namun jika keadaan sebaliknya, suami akan terpengaruh dan mengikuti agama Istrinya (non-Islam), maka hukum muba>h} dapat berubah menjadi haram.29 Melihat kondisi sekarang, ada dua kekhawatiran yang akan terjadi akibat perkawinan ini. Pertama bahwa laki-laki Muslim yang akan menikahi perempuan Ahl al-Kita>b itu akan dapat ditarik oleh istrinya untuk masuk agamanya. Kedua, pada umumnya agama yang dianut oleh anaknya sama dengan agama yang dianut ibunya. Jika kekhawtiran tersebut lebih kuat, maka untuk menutup kemungkinan terjadinya madlarat yang lebih besar yaitu murtad, maka Muhammadiyah melalui metode sadd al-dhari>‘ah melarang perkawinan antara seorang laki-laki Muslim dengan perempuan Ahl al-Kita>b. Yaitu suatu ketentuan larangan yang oleh nas}s}} diperbolehkan dengan pertimbangan mafsadah lebih besar dari pada mas}lah}ah dalam kajian us}u>l al-fiqh disebut sadd al-dhari>‘ah (tindakan preventif). Perubahan hukum dikarenakan perubahan keadaan dan dinamika sosial itu bisa saja terjadi, karena didasarkan pada kemaslahatan dan ‘urf. Hal ini sesuai dengan kaidah hukum Islam (qawa>’id al-fiqhiyyah):

27M. Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majlis Ulama Indonesia, 99 28Lihat Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah

(Jakarta: Logos Publishing House, Cet. 1, 1995), 143-145 29Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, 146

P E N D A H U L U A N 11

P E N D A H U L U A N | 11

”berubahnya hukum yang didasarkan pada maslahat dan ‘urf karena berubahnya waktu itu tidak diingkari”30.

Di sisi lain, asas perkawinan Islam menyatakan bahwa perkawinan harus dengan sesama Muslim, asas ini berangkat dari konsep ingin mengejar maslahat. Sebagaimana dalam tujuan hukum atau maqa>s}id al-shari>‘ah, dijelaskan bahwa dalam perumusan hukum maka seorang Mujtahid harus mempertimbangkan lima hal, yakni: 1) agama (al-di>n), 2) jiwa (al-nafs), 3) akal (al-‘aql), 4) keturunan (al-nasl) dan, 5) harta (al-ma>l). Kelima hal tersebut secara berurutan menunjukan sekala prioritas tingkat kebutuhannya. Bagi mereka –yang melarang perkawinan beda agama- menempatkan agama (al-di>n) diatas prioritas empat komponen yang lain, sehingga kemaslahatan keempat komponen yang lain harus mengikuti kemaslahatan agama. Oleh karena itu, demi menjaga agama Islamnya seseorang, maka seseorang harus memilih pasangan sesama Muslim. Mereka memposisikan agama sebagai bagian yang tidak bisa dikurangi dan tidak bisa diganti dalam keadaan apapun.

Selain MUI dan Muhammadiyah, ormas Islam yang juga merespon kasus perkawinan beda agama adalah Nahdlatul Ulama (NU).31 Meskipun dengan metode istinba>t}}32 yang berbeda dengan kedua ormas Islam tersebut, NU juga

30Ahmad Sudirman Abbas, Sejarah Qawa>’id Fiqhiyyah (Jakarta: Pedoman Ilmu

Jaya, cet. Ke-2, 2009), 52 31NU sebagai organisasi sosial-keagamaan (jam‘iyyah al-di>niyyah-al-

ijtima>‘iyyah), secara resmi berdiri pada tanggal 16 Rajab 1314 H. bertepatan dengan tanggal 31 Januari 1926 M. di kampung Kertopaten Surabaya, ada dua faktor yang melatarbelakangi lahirnya NU. Pertama faktor internal. Kedua faktor eksternal. Faktor internal berhubungan dengan perkembangan kaum modernis yang menyuarakan adanya purifikasi Islam dan menyerang praktek keagamaan yang sudah dipercayai dan dijalankan oleh kaum tradisionalis. Sehingga banyak diantara kepercayaan Muslim tradisionalis yang dinyatakan sebagai “bid‘ah”, bukan ajaran asli Islam. Sedangkan faktor eksternal adalah bentuk reaksi atas perkembangan gerakan modernisasi Islam yang terjadi di Timur Tengah tepatnya Saudi Arabia. Dimana ‘Abdul al-‘Aziz ibn Sa‘ud akan memberlakukan sistem mono mazhab, yaitu mazhab Wahabi, yang berimplikasi pada pelarangan atau penghentian ajaran dan praktek madha>hib. Lihat Martin Van Bruinessen, NU, Tradisi, Relasi-Relasi Kuasa: Pencarian Wacana Baru, alih bahasa Farid Wajidi (Yogyakarta: LkiS, Cet: IV, 2004), 19-25. Lihat juga Arsam, “Dakwah Cultural; Studi Terhadap Dakwah Nahdlatul Ulama”, dalam jurnal Bimbingan Konseling Islam, Volume 2 Nomer 1, Januari-Juni 2011, 129

32Secara garis besar ada tiga metode yang digunakan oleh NU dalam melakukan istinba>t}} hukum, yaitu metode qawli>, ilha>qi> dan manhaji> yang secara prosedur digunakan secara berurutan. Sistem qawli> merupakan metode istinba>t}} dengan cara langsung merujuk kepada redaksi ‘iba>rat (ta‘bi>r) kitab fikih. Sistem ini dipakai manakala suatu kasus bisa dicukupi oleh ‘iba>rah kitab dan di sana hanya terdapat satu

10 | I J T I H A D N A H D L A T U L U L A M A

Islam.27 Namun begitu, terlepas dari metode yang digunakan oleh MUI, fatwa ini dianggap cocok dengan kebutuhan dan kenyataan masyarakat di Indonesia sekarang; bahwa perkawinan beda agama lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya dan karena itu harus dihindari. Selain MUI, ormas Islam yang secara tegas mengeluarkan fatwa tentang larangan perkawinan beda agama adalah Muhammadiyah. Dalam hal ini secara umum Muhammadiyah masih berpedoman pada pendapat mayoritas ulama fikih, yakni laki-laki Muslim dilarang mengawini perempuan Musyrik, begitu juga seorang perempuan Muslimah dilarang untuk dikawinkan dengan laki-laki Musyrik dan Ahl al-Kita>b. Sedangkan untuk laki-laki Muslim yang mengawini perempuan Ahl al-Kita>b, semula Muhammadiyah cenderung sepakat dengan pendapat mayoritas ulama yang membolehkannya, dengan argumentasi kekhususan QS. al-Maidah [5]: 5.28 Namun kemudian, ada pertimbangan lain yang mengalihkan fatwa Muhammadiyah. Menurut Muhammadiyah, hukum muba>h} harus dihubungkan dengan alasan mengapa perkawinan itu dibolehkan. Salah satu hikmah dibolehkannya laki-laki Muslim mengawini perempuan Ahl al-Kita>b adalah untuk berdakwah kepada mereka, dengan harapan mereka mau mengikuti agama suaminya (Islam). Namun jika keadaan sebaliknya, suami akan terpengaruh dan mengikuti agama Istrinya (non-Islam), maka hukum muba>h} dapat berubah menjadi haram.29 Melihat kondisi sekarang, ada dua kekhawatiran yang akan terjadi akibat perkawinan ini. Pertama bahwa laki-laki Muslim yang akan menikahi perempuan Ahl al-Kita>b itu akan dapat ditarik oleh istrinya untuk masuk agamanya. Kedua, pada umumnya agama yang dianut oleh anaknya sama dengan agama yang dianut ibunya. Jika kekhawtiran tersebut lebih kuat, maka untuk menutup kemungkinan terjadinya madlarat yang lebih besar yaitu murtad, maka Muhammadiyah melalui metode sadd al-dhari>‘ah melarang perkawinan antara seorang laki-laki Muslim dengan perempuan Ahl al-Kita>b. Yaitu suatu ketentuan larangan yang oleh nas}s}} diperbolehkan dengan pertimbangan mafsadah lebih besar dari pada mas}lah}ah dalam kajian us}u>l al-fiqh disebut sadd al-dhari>‘ah (tindakan preventif). Perubahan hukum dikarenakan perubahan keadaan dan dinamika sosial itu bisa saja terjadi, karena didasarkan pada kemaslahatan dan ‘urf. Hal ini sesuai dengan kaidah hukum Islam (qawa>’id al-fiqhiyyah):

27M. Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majlis Ulama Indonesia, 99 28Lihat Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah

(Jakarta: Logos Publishing House, Cet. 1, 1995), 143-145 29Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, 146

I J T I H A D N A H D L A T U L U L A M A12

P E N D A H U L U A N | 13

memilih wanita Kita>biyah dari pada wanita Muslimah, sehingga menimbulkan kesenjangan dan fitnah dikalangan wanita Muslimah.35

Kekhawatiran ‘Umar dan Shaltu>t merupakan dampak negative yang akan timbul akibat perkawinan beda agama. Dampak negative yang berupa kemudaratan tersebut harus dicegah dengan melarang perkawinan tersebut. Kemadlaratan yang timbul akibat perkawinan tersebut jelas tidak sesuai dengan tujuan syari’at Islam. Berdasarkan konsep maqa>s}id al-shari>‘ah, yaitu bahwa Allah menurunkan syari’at Islam ke dunia ini adalah untuk kemaslahatan manusia itu sendiri di dunia dan akhirat. Dengan demikian, larangan tersebut berupaya untuk mewujudkan maslahat dengan cara menghindari atau menghilangkan madlarat.

Namun demikian, larangan yang dilakukan oleh NU bertentangan dengan z}a>hir nas}s} QS. al-Maidah [5]: 5 yang secara tegas membolehkan lelaki Muslim menikah dengan wanita Ahl al-Kita>b. Oleh karena itulah, dalam menyikapi maslah tersebut pada dasarnya terdapat dua kelompok. Pertama, membolehkan dan kedua melarang. Yang masing-masing dari kedua kelompok tersebut meletakan dasar perumusan hukumnya pada jiwa maslahat.

Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut, maka penulis memandang bahwa pengkajian terhadap implementasi teori maqa>s}id al-shari>‘ah terhadap kasus perkawinan beda agama merupakan tema yang sangat penting dan menarik untuk diteliti. Dari penjelasan ini, masalah pokok yang hendak dikaji dalam buku ini adalah metode ijtihad apa yang digunakan oleh Lajnah Bah}th al-Masa>’il dalam menyelesaikan kasus perkawinan beda agama dan bagaimanakah penerapannya teori maqa>s}id al-shari>‘ah?

Penelitian ini secara khusus diarahkan pada kegiatan Lajnah Bah}th al-Masa>’il Nahdlatul Ulama dalam menyelesaikan kasus perkawinan beda agama, baik yang diselenggarakan dalam Muktamar, Konbes maupun Munas Alim Ulama. Pendekatan yang digunakan dalam kajian penelitian ini adalah yuridis normatif filosofis. Hal ini dimaksudkan bahwa keputusan Bah}th al-Masa>’il tentang perkawinan beda agama, dianalisis dengan menggunakan kerangka ilmu us}u>l al-fiqh. Dengan demikian, melalui penelitian ini, akan diperoleh pengetahuan tentang mekanisme ijtihad yang dilakukan oleh Lajnah Bah}th al-Masa>’il, yang pada gilirannya dapat dilihat sejauh mana penerapan teori atau prinsip maqa>s{id al-shari>‘ah dalam pemikiran Lajnah Bah}th al-Masa>’il NU ketika menyelesaikan kasus perkawinan beda agama.

Gagasan tentang ijtihad, khususnya ijtiha>d jama>‘i NU bukanlah yang pertama dan satu-satunya. Organisasi seperti majma>‘ al-buh}u>th al-isla>miyyah, MUI, Muhammadiyah adalah di antara sederetan organisasi yang memiliki gagasan sama untuk ijtihad walaupun dengan konsep dan metodologi yang berbeda dengan NU. Gagasan tentang ijtihad akan terus menjadi wacana dan sebagai topik pembicaraan yang hangat dari waktu ke waktu.

35Lihat Wahbah al-Zuh}ayli>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuh, Juz VII, 154-155

12 | I J T I H A D N A H D L A T U L U L A M A

memberikan fatwa atas keharaman perkawinan beda agama, sebagaimana fatwa yang dikeluarkan oleh kedua ormas lainnya. Keharaman perkawinan tersebut lebih disebabkan oleh dampak negative yang ditimbulkannya. Dampak negative tersebut berupa kemudaratan atau kerusakan agama salah satu pasangan karena tidak mampu mempertahankan agamanya, sehingga terpengaruh oleh agama pasangannya (Murtad).

Menurut Shaltu>t larangan perkawinan beda agama terdapat adanya kecenderungan sementara laki-laki Muslim yang mengawini wanita Kita>biyah. Menurutnya, para suami Muslim yang menikah dengan wanita-wanita Kita>biyah telah terpengaruh oleh budaya dan adat istiadat isterinya, sehingga isteri yang lebih sering bergaul dengan anak-anaknya mendidik menurut agama dan adat istiadatnya.33 Kondisi tersebut, berdampak pada pembiaran sang suami terhadap anak dan keluarganya terlepas dari ajaran Islam,34 karena pengaruh isteri yang sangat dominan dalam keluarga, sehingga anak-anak mengikuti agama ibunya.

Sementara ‘Umar ibn Khat}t}ab melarang lelaki Muslim untuk menikahi wanita Kita>biyah, karena kekhawatiranya terhadap lelaki Muslim lebih

qawl atau wajah. Sedangkan taqri>r jama>‘i adalah sistem pengambilan keputusan hukum dengan cara memilih atau men-tarjih} salah satu qawl atau wajah, sistem ini digunakan pada kasus-kasus yang sudah tercukupi dengan redaksi ‘iba>rah (ta‘bi>r) kitab fikih dan di sana terdapat beberapa qawl atau wajah. Adapun sistem ilh}a>q lengkapnya ilh}a>q al-masa>’il bi naz}a>’iriha> merupakan sistem penyamaan suatu kasus yang belum ada kepastian hukumnya dengan sesuatu yang sudah ada kepastian hukumnya dalam kitab yang dilakukan oleh para ahli. Secara teknis sistem ilh}a>q hampir mirip dengan qiya>s terkait dengan rukun-rukun ilh}a>q, tetapi secara teoritis berbeda. Sistem ini digunakan manakala tidak ada satu atau lebih redaksi ‘iba>rah atau qawl yang tidak bahkan sama sekali memberikan penyelesaian. Sedangkan sistem manhaj adalah sistem yang menggunakan kerangka berfikir imam mazhab, namun penggunaan tersebut hanya terbatas pada kaidah fiqhiyyah dan kaidah us}u>liyyah-nya saja. Sistem manhaj ini dilaksanakan tatkala kasus tidak ada satu atau lebih qawl maupun wajah sama sekali dan tidak mungkin dilakukan ilh}a>q. Lihat Nahdlatul Ulama, Ahka>m al-Fuqa>ha>; Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama 1926-2010 (Surabaya, Khalista dan Lajnah Ta’lif Wa Al Nasyr), 470-471. Lihat pula Ahmad Munjin Nasih, “Bah}th al-Masa>’il Dan Problematikanya Di Kalangan Masyarakat Muslim Tradisional”, dalam jurnal Al-Qānūn, Vol. 12, No. 1, Juni 2009, 107-108

33Lihat Mah}mu>d Shaltu>t, al-Fata>wa> (Kairo: Da>r al-Shuru>q, 1991), 279 34Salah satu hikmah dibolehkanya seorang Muslim menikah dengan wanita Ahl

al-Kita>b adalah untuk media dakwah. Dengan harapan perkawinan tersebut bisa mendekatkan hati isterinya terhadap ajaran-ajaran Islam yang pada akhirnya tumbuh rasa simpati terhadap Islam, karena kemuliaan dan keluhuran ajaran Islam. Lihat Mah}mu>d Shaltu>t, al-Fata>wa> (Kairo: Da>r al-Shuru>q, 1991), 278-279

P E N D A H U L U A N 13

P E N D A H U L U A N | 13

memilih wanita Kita>biyah dari pada wanita Muslimah, sehingga menimbulkan kesenjangan dan fitnah dikalangan wanita Muslimah.35

Kekhawatiran ‘Umar dan Shaltu>t merupakan dampak negative yang akan timbul akibat perkawinan beda agama. Dampak negative yang berupa kemudaratan tersebut harus dicegah dengan melarang perkawinan tersebut. Kemadlaratan yang timbul akibat perkawinan tersebut jelas tidak sesuai dengan tujuan syari’at Islam. Berdasarkan konsep maqa>s}id al-shari>‘ah, yaitu bahwa Allah menurunkan syari’at Islam ke dunia ini adalah untuk kemaslahatan manusia itu sendiri di dunia dan akhirat. Dengan demikian, larangan tersebut berupaya untuk mewujudkan maslahat dengan cara menghindari atau menghilangkan madlarat.

Namun demikian, larangan yang dilakukan oleh NU bertentangan dengan z}a>hir nas}s} QS. al-Maidah [5]: 5 yang secara tegas membolehkan lelaki Muslim menikah dengan wanita Ahl al-Kita>b. Oleh karena itulah, dalam menyikapi maslah tersebut pada dasarnya terdapat dua kelompok. Pertama, membolehkan dan kedua melarang. Yang masing-masing dari kedua kelompok tersebut meletakan dasar perumusan hukumnya pada jiwa maslahat.

Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut, maka penulis memandang bahwa pengkajian terhadap implementasi teori maqa>s}id al-shari>‘ah terhadap kasus perkawinan beda agama merupakan tema yang sangat penting dan menarik untuk diteliti. Dari penjelasan ini, masalah pokok yang hendak dikaji dalam buku ini adalah metode ijtihad apa yang digunakan oleh Lajnah Bah}th al-Masa>’il dalam menyelesaikan kasus perkawinan beda agama dan bagaimanakah penerapannya teori maqa>s}id al-shari>‘ah?

Penelitian ini secara khusus diarahkan pada kegiatan Lajnah Bah}th al-Masa>’il Nahdlatul Ulama dalam menyelesaikan kasus perkawinan beda agama, baik yang diselenggarakan dalam Muktamar, Konbes maupun Munas Alim Ulama. Pendekatan yang digunakan dalam kajian penelitian ini adalah yuridis normatif filosofis. Hal ini dimaksudkan bahwa keputusan Bah}th al-Masa>’il tentang perkawinan beda agama, dianalisis dengan menggunakan kerangka ilmu us}u>l al-fiqh. Dengan demikian, melalui penelitian ini, akan diperoleh pengetahuan tentang mekanisme ijtihad yang dilakukan oleh Lajnah Bah}th al-Masa>’il, yang pada gilirannya dapat dilihat sejauh mana penerapan teori atau prinsip maqa>s{id al-shari>‘ah dalam pemikiran Lajnah Bah}th al-Masa>’il NU ketika menyelesaikan kasus perkawinan beda agama.

Gagasan tentang ijtihad, khususnya ijtiha>d jama>‘i NU bukanlah yang pertama dan satu-satunya. Organisasi seperti majma>‘ al-buh}u>th al-isla>miyyah, MUI, Muhammadiyah adalah di antara sederetan organisasi yang memiliki gagasan sama untuk ijtihad walaupun dengan konsep dan metodologi yang berbeda dengan NU. Gagasan tentang ijtihad akan terus menjadi wacana dan sebagai topik pembicaraan yang hangat dari waktu ke waktu.

35Lihat Wahbah al-Zuh}ayli>, al-Fiqh al-Isla>mi> wa Adillatuh, Juz VII, 154-155

12 | I J T I H A D N A H D L A T U L U L A M A

memberikan fatwa atas keharaman perkawinan beda agama, sebagaimana fatwa yang dikeluarkan oleh kedua ormas lainnya. Keharaman perkawinan tersebut lebih disebabkan oleh dampak negative yang ditimbulkannya. Dampak negative tersebut berupa kemudaratan atau kerusakan agama salah satu pasangan karena tidak mampu mempertahankan agamanya, sehingga terpengaruh oleh agama pasangannya (Murtad).

Menurut Shaltu>t larangan perkawinan beda agama terdapat adanya kecenderungan sementara laki-laki Muslim yang mengawini wanita Kita>biyah. Menurutnya, para suami Muslim yang menikah dengan wanita-wanita Kita>biyah telah terpengaruh oleh budaya dan adat istiadat isterinya, sehingga isteri yang lebih sering bergaul dengan anak-anaknya mendidik menurut agama dan adat istiadatnya.33 Kondisi tersebut, berdampak pada pembiaran sang suami terhadap anak dan keluarganya terlepas dari ajaran Islam,34 karena pengaruh isteri yang sangat dominan dalam keluarga, sehingga anak-anak mengikuti agama ibunya.

Sementara ‘Umar ibn Khat}t}ab melarang lelaki Muslim untuk menikahi wanita Kita>biyah, karena kekhawatiranya terhadap lelaki Muslim lebih

qawl atau wajah. Sedangkan taqri>r jama>‘i adalah sistem pengambilan keputusan hukum dengan cara memilih atau men-tarjih} salah satu qawl atau wajah, sistem ini digunakan pada kasus-kasus yang sudah tercukupi dengan redaksi ‘iba>rah (ta‘bi>r) kitab fikih dan di sana terdapat beberapa qawl atau wajah. Adapun sistem ilh}a>q lengkapnya ilh}a>q al-masa>’il bi naz}a>’iriha> merupakan sistem penyamaan suatu kasus yang belum ada kepastian hukumnya dengan sesuatu yang sudah ada kepastian hukumnya dalam kitab yang dilakukan oleh para ahli. Secara teknis sistem ilh}a>q hampir mirip dengan qiya>s terkait dengan rukun-rukun ilh}a>q, tetapi secara teoritis berbeda. Sistem ini digunakan manakala tidak ada satu atau lebih redaksi ‘iba>rah atau qawl yang tidak bahkan sama sekali memberikan penyelesaian. Sedangkan sistem manhaj adalah sistem yang menggunakan kerangka berfikir imam mazhab, namun penggunaan tersebut hanya terbatas pada kaidah fiqhiyyah dan kaidah us}u>liyyah-nya saja. Sistem manhaj ini dilaksanakan tatkala kasus tidak ada satu atau lebih qawl maupun wajah sama sekali dan tidak mungkin dilakukan ilh}a>q. Lihat Nahdlatul Ulama, Ahka>m al-Fuqa>ha>; Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama 1926-2010 (Surabaya, Khalista dan Lajnah Ta’lif Wa Al Nasyr), 470-471. Lihat pula Ahmad Munjin Nasih, “Bah}th al-Masa>’il Dan Problematikanya Di Kalangan Masyarakat Muslim Tradisional”, dalam jurnal Al-Qānūn, Vol. 12, No. 1, Juni 2009, 107-108

33Lihat Mah}mu>d Shaltu>t, al-Fata>wa> (Kairo: Da>r al-Shuru>q, 1991), 279 34Salah satu hikmah dibolehkanya seorang Muslim menikah dengan wanita Ahl

al-Kita>b adalah untuk media dakwah. Dengan harapan perkawinan tersebut bisa mendekatkan hati isterinya terhadap ajaran-ajaran Islam yang pada akhirnya tumbuh rasa simpati terhadap Islam, karena kemuliaan dan keluhuran ajaran Islam. Lihat Mah}mu>d Shaltu>t, al-Fata>wa> (Kairo: Da>r al-Shuru>q, 1991), 278-279

I J T I H A D N A H D L A T U L U L A M A14

P E N D A H U L U A N | 15

gerbang dari ijtihad “ditutup, tidak pernah lagi akan dibuka kembali”.39 Keempat, Rachel Anne Codd, dalam artikelnya yang berjudul “A Critical Analysis of the Role of Ijtihad in Legal Reforms in the Muslim World” dalam Journal Arab Law Quarterly, penulis mengatakan bahwa Ijtihad menunjukkan janji dalam kemampuannya untuk efek reformasi hukum meskipun ia melakukannya pada tingkat yang sebagian besar perifer. Apa yang benar-benar diperlukan untuk mengatasi masalah ini adalah perombakan struktur hukum secara keseluruhan, yaitu, perubahan dasar syari’at tradisional. Namun ada, beberapa masalah yang harus diatasi dalam umat Islam yang enggan menggunakan Ijtihad untuk menafsirkan Al-Quran dan Sunnah seperti yang dipraktekkan pada hari-hari awal setelah wafatnya Nabi Muhammad. 40

Sedangkan penelitian tentang NU, lembaga ini merupakan obyek yang menarik untuk diteliti dari berbagai seginya, sehingga sudah cukup banyak penelitian yang dilakukan menyangkut berbagai hal tentang lembaga ini. Berikut ini, adalah diantara penelitian yang membahas tentang NU: Pertama, Greg Barton dan Greg Fealy, dalam makalahnya yang berjudul “Nahdlatul Ulama; Traditional Islam and modernity in Indonesia” penulis mengatakan bahwa dalam tulisanya ini, beliau mengupas sepuluh artikel dari enam penulis, beliau mengatakan bahwa NU merupakan organisasi yang kaku dan kuno, tidak dinamis, yang tidak mampu mengatasi masalah zaman modern. 41 Kedua, Nadirsyah Hosen, artikelnya yang berjudul “Nahdlatul Ulama and Collective Ijtihad” yang dipublikasikan dalam journal New Zealand Journal of Asian Studies, penulis menyatakan bahwa sejak tahun 1926 NU telah memainkan penting peran dalam wacana mengenai hukum Islam di Indonesia. Selain itu, NU telah mengkaji metode-metode, bentuk dan sumber-sumber dalam melakukan ijtihad. Ini menunjukkan perkembangan positif dari NU. Meskipun kerendahan hati dengan tidak menyatakan dirinya sebagai Mujtahid, NU telah menunjukkan bahwa ia mampu menggunakan fatwa sebagai instrumen untuk mengatasi perkembangan modern dengan melakukan ijtihad kolektif. Model ijtihad kolektif yang dilakukan oleh NU bisa dipandang sebagai model alternatif ijtihad jama'i di dunia Muslim, dan, di khususnya, untuk mengisi

39Shaista P. Ali-Karamali and Fiona Dunne, “The Ijtihad Controversy” dalam

Journal Arab Law Quarterly, Vol. 9, No. 3 (1994). Published by: BRILL. Stable URL: http://www.jstor.org/stable/3381.

40Rachel Anne Codd, “A Critical Analysis of the Role of Ijtihad in Legal Reforms in the Muslim World” dalam Journal Arab Law Quarterly, Vol. 14, No. 2 (1999). Published by: BRILL Stable URL: http://www.jstor.org/stable/3381998.

41Greg Barton dan Greg Fealy, “Nahdlatul Ulama; Traditional Islam and modernity in Indonesia” Reviewer by: Nico Kaptein dalam journal Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Vol. 154, No. 3 (1998). Published by: KITLV, Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies Stable URL: http://www.jstor.org/stable/27865449.

14 | I J T I H A D N A H D L A T U L U L A M A

Adapun penelitian seputar gagasan tentang ijtihad baik yang bersifat fardi> ataupun jama>‘i, penulis mendapati beberapa hasil penelitian, di antaranya: Pertama, M. Ṣaghīr Ḥasan Ma'ṣūmi, dalam artikelnya yang berjudul “Ijtihād Through Fourteen Centuries” yang dipublikasikan lewat Journal Islamic Studies. Dalam artikelnya, penulis mengatakan bahwa pada masa awal Islam, khususnya di tiga masa pertama, yakni sahabat, ta>bi‘i>n dan ta>bi‘ al-ta>bi‘i>n mencoba untuk mengkristalkan sebuah teks Al-Qur’an dan Sunnah dalam penggunaan bahasa Arab, ekspresi idiomatik, masalah tata bahasa, sejarah, sosial, perspektif hukum, moral dan budaya sejauh teks Al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang dipahami oleh mereka dan makna dan konsep ditentukan. 36 Kedua, Muhammad Qasim Zaman, dalam artikelnya yang berjudul “Evolving Conceptions of Ijtihād in Modern South Asia” dalam Journal Islamic Studies, penulis mempunyai beberapa keprihatinan tentang pelaksanaan ijtihad. di antaranya adalah adanya perdebatan intelektual mengenai ijtihad antara Arab Timur Tengah dan Asia Selatan, lebih khusus antara Salafi> reformis dari dunia Arab dan Deobandis dari benua India. Bahwa bahasa dan retorika ijtihad cenderung semakin merekomendasikan diri mereka menjadi “ulama” yang mempunyai otoritas keagamaan di dunia modern. 37

Ketiga, artikel yang berjudul “Issues in the Understanding of Jihād and Ijtihād” dalam Journal Islamic Studies yang ditulis Mohammad Hashim Kamali. Dalam artikelnya ini penulis mempertanyaan satu hal bahwa dalam hal mana ijtihad dapat memajukan semangat dan tujuan Shari>‘ah di luar batas-batas teks yang diberikan, sebaiknya ini tidak harus dilihat sebagai bentuk sah ijtihad dalam menghadapi teks, namun dilihat dari keterikatanya pada kaidah suci yang menghalangi ijtihad sama sekali di hadapan teks. 38 Keempat, karya Shaista P. Ali-Karamali and Fiona Dunne yang berjudul “The Ijtihad Controversy” dalam Journal Arab Law Quarterly, dalam artikelnya tersebut penulis mempunyai dua kesimpulan, pertama bahwa setelah tahun 1972, kalimat “penutupan” gerbang/pintu ijtihad menjadi semakin lazim. Kedua, keyakinan bahwa gerbang tersebut benar benar tertutup jelas. Pada saat Gibb menulis Tren modern dalam Islam, ia secara dogmatis menyatakan bahwa

36M. Ṣaghīr Ḥasan Ma'ṣūmi, “Ijtihād Through Fourteen Centuries” dalam

Journal Islamic Studies, Vol. 21, No. 4 (Winter 1982). Published by: Islamic Research Institute, International Islamic University, Islamabad Stable URL: http://www.jstor.org/stable/20847218.

37Muhammad Qasim Zaman, “Evolving Conceptions of Ijtihād in Modern South South Asia” dalam Journal Islamic Studies, Vol. 49, No. 1 (Spring 2010). Published by: Islamic Research Institute, International Islamic University, Islamabad. Stable URL: http://www.jstor.org/stable/41429243

38Mohammad Hashim Kamali, “Issues in the Understanding of Jihād and Ijtihād” dalam Journal Islamic Studies, Vol. 41, No. 4 (Winter 2002). Published by: Islamic Research Institute, International Islamic University, Islamabad. Stable URL:http://www.jstor.org/stable/20837232.

P E N D A H U L U A N 15

P E N D A H U L U A N | 15

gerbang dari ijtihad “ditutup, tidak pernah lagi akan dibuka kembali”.39 Keempat, Rachel Anne Codd, dalam artikelnya yang berjudul “A Critical Analysis of the Role of Ijtihad in Legal Reforms in the Muslim World” dalam Journal Arab Law Quarterly, penulis mengatakan bahwa Ijtihad menunjukkan janji dalam kemampuannya untuk efek reformasi hukum meskipun ia melakukannya pada tingkat yang sebagian besar perifer. Apa yang benar-benar diperlukan untuk mengatasi masalah ini adalah perombakan struktur hukum secara keseluruhan, yaitu, perubahan dasar syari’at tradisional. Namun ada, beberapa masalah yang harus diatasi dalam umat Islam yang enggan menggunakan Ijtihad untuk menafsirkan Al-Quran dan Sunnah seperti yang dipraktekkan pada hari-hari awal setelah wafatnya Nabi Muhammad. 40

Sedangkan penelitian tentang NU, lembaga ini merupakan obyek yang menarik untuk diteliti dari berbagai seginya, sehingga sudah cukup banyak penelitian yang dilakukan menyangkut berbagai hal tentang lembaga ini. Berikut ini, adalah diantara penelitian yang membahas tentang NU: Pertama, Greg Barton dan Greg Fealy, dalam makalahnya yang berjudul “Nahdlatul Ulama; Traditional Islam and modernity in Indonesia” penulis mengatakan bahwa dalam tulisanya ini, beliau mengupas sepuluh artikel dari enam penulis, beliau mengatakan bahwa NU merupakan organisasi yang kaku dan kuno, tidak dinamis, yang tidak mampu mengatasi masalah zaman modern. 41 Kedua, Nadirsyah Hosen, artikelnya yang berjudul “Nahdlatul Ulama and Collective Ijtihad” yang dipublikasikan dalam journal New Zealand Journal of Asian Studies, penulis menyatakan bahwa sejak tahun 1926 NU telah memainkan penting peran dalam wacana mengenai hukum Islam di Indonesia. Selain itu, NU telah mengkaji metode-metode, bentuk dan sumber-sumber dalam melakukan ijtihad. Ini menunjukkan perkembangan positif dari NU. Meskipun kerendahan hati dengan tidak menyatakan dirinya sebagai Mujtahid, NU telah menunjukkan bahwa ia mampu menggunakan fatwa sebagai instrumen untuk mengatasi perkembangan modern dengan melakukan ijtihad kolektif. Model ijtihad kolektif yang dilakukan oleh NU bisa dipandang sebagai model alternatif ijtihad jama'i di dunia Muslim, dan, di khususnya, untuk mengisi

39Shaista P. Ali-Karamali and Fiona Dunne, “The Ijtihad Controversy” dalam

Journal Arab Law Quarterly, Vol. 9, No. 3 (1994). Published by: BRILL. Stable URL: http://www.jstor.org/stable/3381.

40Rachel Anne Codd, “A Critical Analysis of the Role of Ijtihad in Legal Reforms in the Muslim World” dalam Journal Arab Law Quarterly, Vol. 14, No. 2 (1999). Published by: BRILL Stable URL: http://www.jstor.org/stable/3381998.

41Greg Barton dan Greg Fealy, “Nahdlatul Ulama; Traditional Islam and modernity in Indonesia” Reviewer by: Nico Kaptein dalam journal Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Vol. 154, No. 3 (1998). Published by: KITLV, Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies Stable URL: http://www.jstor.org/stable/27865449.

14 | I J T I H A D N A H D L A T U L U L A M A

Adapun penelitian seputar gagasan tentang ijtihad baik yang bersifat fardi> ataupun jama>‘i, penulis mendapati beberapa hasil penelitian, di antaranya: Pertama, M. Ṣaghīr Ḥasan Ma'ṣūmi, dalam artikelnya yang berjudul “Ijtihād Through Fourteen Centuries” yang dipublikasikan lewat Journal Islamic Studies. Dalam artikelnya, penulis mengatakan bahwa pada masa awal Islam, khususnya di tiga masa pertama, yakni sahabat, ta>bi‘i>n dan ta>bi‘ al-ta>bi‘i>n mencoba untuk mengkristalkan sebuah teks Al-Qur’an dan Sunnah dalam penggunaan bahasa Arab, ekspresi idiomatik, masalah tata bahasa, sejarah, sosial, perspektif hukum, moral dan budaya sejauh teks Al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang dipahami oleh mereka dan makna dan konsep ditentukan. 36 Kedua, Muhammad Qasim Zaman, dalam artikelnya yang berjudul “Evolving Conceptions of Ijtihād in Modern South Asia” dalam Journal Islamic Studies, penulis mempunyai beberapa keprihatinan tentang pelaksanaan ijtihad. di antaranya adalah adanya perdebatan intelektual mengenai ijtihad antara Arab Timur Tengah dan Asia Selatan, lebih khusus antara Salafi> reformis dari dunia Arab dan Deobandis dari benua India. Bahwa bahasa dan retorika ijtihad cenderung semakin merekomendasikan diri mereka menjadi “ulama” yang mempunyai otoritas keagamaan di dunia modern. 37

Ketiga, artikel yang berjudul “Issues in the Understanding of Jihād and Ijtihād” dalam Journal Islamic Studies yang ditulis Mohammad Hashim Kamali. Dalam artikelnya ini penulis mempertanyaan satu hal bahwa dalam hal mana ijtihad dapat memajukan semangat dan tujuan Shari>‘ah di luar batas-batas teks yang diberikan, sebaiknya ini tidak harus dilihat sebagai bentuk sah ijtihad dalam menghadapi teks, namun dilihat dari keterikatanya pada kaidah suci yang menghalangi ijtihad sama sekali di hadapan teks. 38 Keempat, karya Shaista P. Ali-Karamali and Fiona Dunne yang berjudul “The Ijtihad Controversy” dalam Journal Arab Law Quarterly, dalam artikelnya tersebut penulis mempunyai dua kesimpulan, pertama bahwa setelah tahun 1972, kalimat “penutupan” gerbang/pintu ijtihad menjadi semakin lazim. Kedua, keyakinan bahwa gerbang tersebut benar benar tertutup jelas. Pada saat Gibb menulis Tren modern dalam Islam, ia secara dogmatis menyatakan bahwa

36M. Ṣaghīr Ḥasan Ma'ṣūmi, “Ijtihād Through Fourteen Centuries” dalam

Journal Islamic Studies, Vol. 21, No. 4 (Winter 1982). Published by: Islamic Research Institute, International Islamic University, Islamabad Stable URL: http://www.jstor.org/stable/20847218.

37Muhammad Qasim Zaman, “Evolving Conceptions of Ijtihād in Modern South South Asia” dalam Journal Islamic Studies, Vol. 49, No. 1 (Spring 2010). Published by: Islamic Research Institute, International Islamic University, Islamabad. Stable URL: http://www.jstor.org/stable/41429243

38Mohammad Hashim Kamali, “Issues in the Understanding of Jihād and Ijtihād” dalam Journal Islamic Studies, Vol. 41, No. 4 (Winter 2002). Published by: Islamic Research Institute, International Islamic University, Islamabad. Stable URL:http://www.jstor.org/stable/20837232.

I J T I H A D N A H D L A T U L U L A M A16

P E N D A H U L U A N | 17

yang telah menikah sebelumnya.46 Ketiga, David M. Heer, artikel yang berjudul “The Trend of Interfaith Marriages in Canada: 1922-1957” yang dipublikasikan lewat Journal American Sociological Review, penulis menyatakan bahwa faktor distribusi agama merupakan faktor yang paling dominan dalam meningkatkan jumlah perkawinan beda agama. Selain faktor distribusi agama, Thomas menyebutkan dua faktor lain yaitu pertama berkaitan dengan asosiasi keagamaan dengan perbedaan etnis. Asosiasi ini mempengaruhi antar orang Tingkat pernikahan karena kecenderungan anggota kelompok etnis untuk menikah di antara mereka sendiri tanpa memandang agama. Ketika anggota satu agama sebagian besar adalah anggota dari kelompok etnis tertentu sementara anggota agama kedua sebagian besar adalah anggota dari kelompok etnis kedua, ikatan etnis memperkuat ikatan agama untuk bertentangan proporsi yang tinggi dari orang-orang menikah di luar agama mereka. Faktor kedua yang disebutkan oleh Thomas adalah asosiasi perbedaan agama dengan perbedaan kelas sosial. Dalam hal ini jarak antara kelas-kelas sosial memberikan halangan untuk nikah beda agama, dan hambatan ini akan berkurang jika hubungan antara perbedaan agama dan kelas sosial itu harus dikurangi. 47

Keempat, James D. Davidson and Tracy Widman, dalam karyanya “The Effect of Group Size on Interfaith Marriage among Catholics” yang dipublikasikan dalam Journal for the Scientific Study of Religion, penulis menyatakan Bahwa ada korelasi negative antara ukuran kelompok dan perkawinan dikalangan umat beragama. Semakin besar persentase umat beragama di daerah tertentu, maka semakin besar untuk menikah dengan sesam agama. sebaliknya, semakin kecil persentase umat beragama di daerah tertentu, maka semakin besar kemungkinan mereka untuk menikah dengan orang-orang yang tidak seagama. 48 Kelima, “Religious Intermarriage and Divorce in Utah and the Mountain States” karya Howard M. Bahr, dalam Journal for the Scientific Study of Religion, penulis menyatakan bahwa Perkawinan sesama agama menjadikan perkawinan jauh lebih stabil daripada perkawinan beda agama. Perkawinan beda agama dengan segala perbedaan yang ada, menempati peringkat perceraian tertinggi dibandingkan dengan

46Harild T. Christensen and Kenneth E. Barber, “Interfaith Versus Interfaith

Marriage in Indiana” dalam Journal of Marriage and Family, Vol. 29, No. 3 (Aug., 1976). Publeshed by: National Council on Family Relations Stable URL: http://www.jstor.org/stable/349583

47David M. Heer, “The Trend of Interfaith Marriages in Canada: 1922-1957” dalam Journal American Sociological Review, Vol. 27, No. 2 (Apr., 1962), Published by: American Sociological Association Stable URL: http://www.jstor.org/stable/2089680

48James D. Davidson and Tracy Widman, “The Effect of Group Size on Interfaith Marriage among Catholics” dalam Journal for the Scientific Study of Religion, Vol. 41, No. 3 (Sep., 2002). Published by: Wiley on behalf of Society for the Scientific Study of Religion Stable URL: http://www.jstor.org/stable/1387452

16 | I J T I H A D N A H D L A T U L U L A M A

kesenjangan bimbingan teknis yang telah diabaikan oleh Majma>‘ al-Buh}u>th al-Islamiyyah sejak tahun 1964. 42 Ketiga, Michael Laffan dalam artikelnya yang berjudul “The fatwā Debated? Shūrā in One Indonesian Context” yang dipublikasikan lewat Journal Islamic Law and Society, penulis menyatakan bahwa anggota Musyawarah NU meskipun dalam tekanan dalam membahas suatu masalah atau fatwa dan suara mereka mungkin mengubah kalimat dari fatwa, adalah merupakan deklarasi yang dihasilkan sebagian besar dibentuk oleh kekhawatiran politik dewan eksekutif. 43 Keempat, Ahmad Munjin Nasih, artikelnya yang berjudul ”Bah}th al-Masa>’il dan Problematikanya di Kalangan Masyarakat Muslim Tradisional” yang dipublikasikan lewat jurnal Al-Qānūn, penulis membahas tentang sejarah Bah}th al-Masa>il, proses kegiatan Bah}th al-Masa>il, metode Bah}th al-Masa>’il beserta problem-problem yang muncul disekitar Bah}th al-Masa>il. 44

Sedangkan penelitian yang yang berhubungan dengan kasus perkawinan beda agama juga sangat menarik karena meskipun kasus tersebut terbilang kasus klasik, namun hingga kini kasus tersebut masih actual karena para ahli hukum belum menyatakan kesepakatannya dengan satu suara. Ditambah fakta social perkawinan beda agama yang riil ditengah-tengah masyarakat dengan jumlah yang setiap waktu terus bertambah. Adapun penelitian yang berhubungan dengan perkawinan beda agama di antaranya adalah sebagai berikut: Pertama, “Interfaith Marriage and Adult Religious Practice” artikel yang ditulis oleh John Mulhearn dalam Journal Sociological Analysis, penulis menyatakan bahwa praktek keagamaan tidak dipengaruhi oleh kedua bentuk perkawinan (intra dan antar). Akan tetapi religuitas orang tua yang kuat akan mampu mengendalikan praktek perkawinan antar agama.45 Kedua, “Interfaith versus Intrafaith Marriage in Indiana” karya Harold T. Christensen and Kenneth E. Barber, dalam Journal of Marriage and Family, penulis menyatakan bahwa Perkawinan antar agama memperoleh perhatian yang lebih serius dibandingkan dengan perkawinan yang intra agama. Perkawinan antar agama lebih cenderung menjadi upacara sipil, kecenderungan tersebut melibatkan individu yang beranggotakan kelompok minoritas agama,

42Nadirsyah Hosen, “Nahdlatul Ulama and Collective Ijtihad” dalam

journal New Zealand Journal of Asian Studies (Juni 2004) 43Michael Laffan “The fatwā Debated? Shūrā in One Indonesian Context”

dalam Journal Islamic Law and Society, Vol. 12, No. 1, Fatwās in Indonesia (2005).Published by: BRILL Stable URL: http://www.jstor.org/stable/3399294.

44Ahmad Munjin Nasih,”Bah}th al-Masa>’il dan Problematikanya di Kalangan Masyarakat Muslim Tradisional” dalam jurnal Al-Qānūn, Vol. 12, No. 1, Juni 2009.

45John Mulhearn, S. J, “Interfaith Marriage and Adult Religious Practice” dalam Journal Sociological Analysis, Vol. 30, No. 1 (Spring, 1969). Published by: Oxford University Press Stable URL: http://www.jstor.org/stable/3709931.

P E N D A H U L U A N 17

P E N D A H U L U A N | 17

yang telah menikah sebelumnya.46 Ketiga, David M. Heer, artikel yang berjudul “The Trend of Interfaith Marriages in Canada: 1922-1957” yang dipublikasikan lewat Journal American Sociological Review, penulis menyatakan bahwa faktor distribusi agama merupakan faktor yang paling dominan dalam meningkatkan jumlah perkawinan beda agama. Selain faktor distribusi agama, Thomas menyebutkan dua faktor lain yaitu pertama berkaitan dengan asosiasi keagamaan dengan perbedaan etnis. Asosiasi ini mempengaruhi antar orang Tingkat pernikahan karena kecenderungan anggota kelompok etnis untuk menikah di antara mereka sendiri tanpa memandang agama. Ketika anggota satu agama sebagian besar adalah anggota dari kelompok etnis tertentu sementara anggota agama kedua sebagian besar adalah anggota dari kelompok etnis kedua, ikatan etnis memperkuat ikatan agama untuk bertentangan proporsi yang tinggi dari orang-orang menikah di luar agama mereka. Faktor kedua yang disebutkan oleh Thomas adalah asosiasi perbedaan agama dengan perbedaan kelas sosial. Dalam hal ini jarak antara kelas-kelas sosial memberikan halangan untuk nikah beda agama, dan hambatan ini akan berkurang jika hubungan antara perbedaan agama dan kelas sosial itu harus dikurangi. 47

Keempat, James D. Davidson and Tracy Widman, dalam karyanya “The Effect of Group Size on Interfaith Marriage among Catholics” yang dipublikasikan dalam Journal for the Scientific Study of Religion, penulis menyatakan Bahwa ada korelasi negative antara ukuran kelompok dan perkawinan dikalangan umat beragama. Semakin besar persentase umat beragama di daerah tertentu, maka semakin besar untuk menikah dengan sesam agama. sebaliknya, semakin kecil persentase umat beragama di daerah tertentu, maka semakin besar kemungkinan mereka untuk menikah dengan orang-orang yang tidak seagama. 48 Kelima, “Religious Intermarriage and Divorce in Utah and the Mountain States” karya Howard M. Bahr, dalam Journal for the Scientific Study of Religion, penulis menyatakan bahwa Perkawinan sesama agama menjadikan perkawinan jauh lebih stabil daripada perkawinan beda agama. Perkawinan beda agama dengan segala perbedaan yang ada, menempati peringkat perceraian tertinggi dibandingkan dengan

46Harild T. Christensen and Kenneth E. Barber, “Interfaith Versus Interfaith

Marriage in Indiana” dalam Journal of Marriage and Family, Vol. 29, No. 3 (Aug., 1976). Publeshed by: National Council on Family Relations Stable URL: http://www.jstor.org/stable/349583

47David M. Heer, “The Trend of Interfaith Marriages in Canada: 1922-1957” dalam Journal American Sociological Review, Vol. 27, No. 2 (Apr., 1962), Published by: American Sociological Association Stable URL: http://www.jstor.org/stable/2089680

48James D. Davidson and Tracy Widman, “The Effect of Group Size on Interfaith Marriage among Catholics” dalam Journal for the Scientific Study of Religion, Vol. 41, No. 3 (Sep., 2002). Published by: Wiley on behalf of Society for the Scientific Study of Religion Stable URL: http://www.jstor.org/stable/1387452

16 | I J T I H A D N A H D L A T U L U L A M A

kesenjangan bimbingan teknis yang telah diabaikan oleh Majma>‘ al-Buh}u>th al-Islamiyyah sejak tahun 1964. 42 Ketiga, Michael Laffan dalam artikelnya yang berjudul “The fatwā Debated? Shūrā in One Indonesian Context” yang dipublikasikan lewat Journal Islamic Law and Society, penulis menyatakan bahwa anggota Musyawarah NU meskipun dalam tekanan dalam membahas suatu masalah atau fatwa dan suara mereka mungkin mengubah kalimat dari fatwa, adalah merupakan deklarasi yang dihasilkan sebagian besar dibentuk oleh kekhawatiran politik dewan eksekutif. 43 Keempat, Ahmad Munjin Nasih, artikelnya yang berjudul ”Bah}th al-Masa>’il dan Problematikanya di Kalangan Masyarakat Muslim Tradisional” yang dipublikasikan lewat jurnal Al-Qānūn, penulis membahas tentang sejarah Bah}th al-Masa>il, proses kegiatan Bah}th al-Masa>il, metode Bah}th al-Masa>’il beserta problem-problem yang muncul disekitar Bah}th al-Masa>il. 44

Sedangkan penelitian yang yang berhubungan dengan kasus perkawinan beda agama juga sangat menarik karena meskipun kasus tersebut terbilang kasus klasik, namun hingga kini kasus tersebut masih actual karena para ahli hukum belum menyatakan kesepakatannya dengan satu suara. Ditambah fakta social perkawinan beda agama yang riil ditengah-tengah masyarakat dengan jumlah yang setiap waktu terus bertambah. Adapun penelitian yang berhubungan dengan perkawinan beda agama di antaranya adalah sebagai berikut: Pertama, “Interfaith Marriage and Adult Religious Practice” artikel yang ditulis oleh John Mulhearn dalam Journal Sociological Analysis, penulis menyatakan bahwa praktek keagamaan tidak dipengaruhi oleh kedua bentuk perkawinan (intra dan antar). Akan tetapi religuitas orang tua yang kuat akan mampu mengendalikan praktek perkawinan antar agama.45 Kedua, “Interfaith versus Intrafaith Marriage in Indiana” karya Harold T. Christensen and Kenneth E. Barber, dalam Journal of Marriage and Family, penulis menyatakan bahwa Perkawinan antar agama memperoleh perhatian yang lebih serius dibandingkan dengan perkawinan yang intra agama. Perkawinan antar agama lebih cenderung menjadi upacara sipil, kecenderungan tersebut melibatkan individu yang beranggotakan kelompok minoritas agama,

42Nadirsyah Hosen, “Nahdlatul Ulama and Collective Ijtihad” dalam

journal New Zealand Journal of Asian Studies (Juni 2004) 43Michael Laffan “The fatwā Debated? Shūrā in One Indonesian Context”

dalam Journal Islamic Law and Society, Vol. 12, No. 1, Fatwās in Indonesia (2005).Published by: BRILL Stable URL: http://www.jstor.org/stable/3399294.

44Ahmad Munjin Nasih,”Bah}th al-Masa>’il dan Problematikanya di Kalangan Masyarakat Muslim Tradisional” dalam jurnal Al-Qānūn, Vol. 12, No. 1, Juni 2009.

45John Mulhearn, S. J, “Interfaith Marriage and Adult Religious Practice” dalam Journal Sociological Analysis, Vol. 30, No. 1 (Spring, 1969). Published by: Oxford University Press Stable URL: http://www.jstor.org/stable/3709931.

I J T I H A D N A H D L A T U L U L A M A18

P E N D A H U L U A N | 19

Teori-teori yang akan digunakan sebagai landasan dalam penelitian ini adalah teori mengenai ijtihad NU, maqa>s}id al-shari>‘ah dan perkawinan beda agama.

1. Ijtihad NU Ijtihad menurut pakar us}u>l al-fiqh adalah pengerahan segenap

kemampuan seorang Mujtahid dalam rangka memperoleh pengetahuan tentang hukum-hukum shara‘ dengan cara istinba>t}}.52

Dari definisi di atas, ada beberapa hal yang menjadi sorotan penting dalam melakukan ijtihad: a. Pengerahan segenap kemampuan, maksudnya ijtihad bukanlah usaha ala

kadarnya, melainkan usaha yang melibatkan semua elemen mulai dari jasmani, rohani, tenaga, pikiran, waktu sampai biaya.

b. Adanya seorang Mujtahid, maksudnya bahwa ijtihad hanya mungkin dilakukan oleh seorang yang telah memenuhi persyaratan tertentu, sehingga mencapai level Mujtahid, dan bukan oleh sembarang orang.

c. Guna memperoleh pengetahuan tentang hukum-hukum shara‘, maksudnya capaian ijtihad adalah ketentuan hukum yang menyangkut tingkah laku manusia dalam kaitanya dengan pengamalan ajaran agama.

d. Dengan cara istinba>t}}, maksudnya ijtihad harus dengan cara mengakaji, dan mendalami makna suatu lafad untuk dikeluarkan atau ditetapkan hukumnya.53

Bagi NU, kegiatan ijtihad hanyalah dapat dilakukan oleh orang-orang yang memenuhi persyaratan sebagai Mujtahid, sedangkan bagi orang-orang yang mempunyai ilmu agama yang mendalam, tetapi tidak memenuhi persyaratan Mujtahid, lebih baik taqli>d kepada ulama yang telah memiliki kemampuan berijtihad, karena telah memenuhi persyaratanya. Taqli>d tidak hanya sekedar mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui dalilnya, melainkan juga mengikuti kerangka berfikir atau jalan pikiran imam mazhab dalam menggali hukum. Jadi sistem yang digunakan adalah taqli>d bermazhab, maksudnya NU dalam menyelesaikan suatu masalah, Lajnah Bah}th al-Masa>’il tidak menggunakan istilah ijtihad yang diyakini hanya layak dilakukan oleh Mujtahidi>n terdahulu, melainkan istilah istinba>t}} (penggalian dan penetapan) hukum dengan pendekatan madhhabi>. Maksudnya kegiatan istinba>t}}

52‘Abdul Kari>m Zaida>n, al-Waji>z fi> Us}ul al-Fiqh, (al-Qa>hirah: Da>r al-Tawzi>’

wa al-Nashr al-Islmiyyah, 1992), 399 53Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU; Lajnah Bahthul Masa’il 1926-1999,

97-98

18 | I J T I H A D N A H D L A T U L U L A M A

perceraian yang lainya. 49 Keenam, “Interfaith Marriages” karya Harvey J. Locke, Georges Sabagh and Mary Margaret Thomes, dalam Journal Social Problems, penulis menyatakan bahwa terdapat hubungan timbal balik dalam perkawinan, semakin rendah presentase kuantitas dari kelompok agama tertentu dalam sebuah populasi, maka semakin tinggi tingkat perkawinan beda agama.50 Ketujuh, Brent A. Barlow, dalam artikelnya “Notes on Mormon Interfaith Marriages” yang dipublikasikan lewat Journal The Family Coordinator, penulis menjelaskan bahwa di Amerika terdapat dua kecenderungan dalam memilih pasangan, pertama pengaruh agama masih sangat kuat dalam pemilihan pasangan, artinya hampir 50-70 % dari mereka masih memilih pasangan berdasarkan dengan agama atau menikah sesama agama. Kedua bahwa pernikahan merupakan sebuah trend yang dominan dalam kehidupan keluarga di Amerika, bahkan Olson mencatat 96-97 % dari populasi Amerika akhirnya menikah. Jika kecenderungan pertama memilih pasangan berdasarkan kesamaan agama, maka jika itu sulit kecenderungan kedua adalah memilih pasangan dengan orang yang diinginkanya (antar agama). 51

Dengan demikian, berdasarkan penelusuran peneliti terhadap hasil penelitian-penelitian yang sudah ada, tidak ditemukan hasil penelitian yang focus dan intensif mengkaji ijtihad Nahdlatul Ulama tentang perkawinan beda agama. Adapun distingsi penelitian ini adalah objek penelitian dan variable penelitian. Penelitian ini berupaya menjelaskan hubungan antara teori maqa>s{id al-shari>‘ah dengan metode penetapan hukum NU dan sejauh mana pemikiran hukum Islam NU khususnya tentang pernikahan beda agama. Oleh karena itu, diharapkan tulisan ini bisa melengkapi hasil penelitian-penelitian sebelumnya.

*****

49Howard M. Bahr, “Religious Intermarriage and Divorce in Utah and the

Mountain States”, dalam Journal for the Scientific Study of Religion, Vol. 20, No. 3 (Sep., 1981). Published by: Wiley on behalf of Society for the Scientific Study of Religion Stable URL: http://www.jstor.org/stable/1385547

50Harvey J. Locke, Georges Sabagh and Mary Margaret Thomes, “Interfaith Marriages” dalam Journal Social Problems, Vol. 4, No. 4 (Apr., 1957). Published by: University of California Press on behalf of the Society for the Study of Social Problems Stable URL: http://www.jstor.org/stable/799290.

51Brent A. Barlow, “Notes on Mormon Interfaith Marriages” dalam journal The Family Coordinator, Vol. 26, No. 2 (Apr., 1977). Published by: National Council on Family Relations Stable URL: http://www.jstor.org/stable/583362

P E N D A H U L U A N 19

P E N D A H U L U A N | 19

Teori-teori yang akan digunakan sebagai landasan dalam penelitian ini adalah teori mengenai ijtihad NU, maqa>s}id al-shari>‘ah dan perkawinan beda agama.

1. Ijtihad NU Ijtihad menurut pakar us}u>l al-fiqh adalah pengerahan segenap

kemampuan seorang Mujtahid dalam rangka memperoleh pengetahuan tentang hukum-hukum shara‘ dengan cara istinba>t}}.52

Dari definisi di atas, ada beberapa hal yang menjadi sorotan penting dalam melakukan ijtihad: a. Pengerahan segenap kemampuan, maksudnya ijtihad bukanlah usaha ala

kadarnya, melainkan usaha yang melibatkan semua elemen mulai dari jasmani, rohani, tenaga, pikiran, waktu sampai biaya.

b. Adanya seorang Mujtahid, maksudnya bahwa ijtihad hanya mungkin dilakukan oleh seorang yang telah memenuhi persyaratan tertentu, sehingga mencapai level Mujtahid, dan bukan oleh sembarang orang.

c. Guna memperoleh pengetahuan tentang hukum-hukum shara‘, maksudnya capaian ijtihad adalah ketentuan hukum yang menyangkut tingkah laku manusia dalam kaitanya dengan pengamalan ajaran agama.

d. Dengan cara istinba>t}}, maksudnya ijtihad harus dengan cara mengakaji, dan mendalami makna suatu lafad untuk dikeluarkan atau ditetapkan hukumnya.53

Bagi NU, kegiatan ijtihad hanyalah dapat dilakukan oleh orang-orang yang memenuhi persyaratan sebagai Mujtahid, sedangkan bagi orang-orang yang mempunyai ilmu agama yang mendalam, tetapi tidak memenuhi persyaratan Mujtahid, lebih baik taqli>d kepada ulama yang telah memiliki kemampuan berijtihad, karena telah memenuhi persyaratanya. Taqli>d tidak hanya sekedar mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui dalilnya, melainkan juga mengikuti kerangka berfikir atau jalan pikiran imam mazhab dalam menggali hukum. Jadi sistem yang digunakan adalah taqli>d bermazhab, maksudnya NU dalam menyelesaikan suatu masalah, Lajnah Bah}th al-Masa>’il tidak menggunakan istilah ijtihad yang diyakini hanya layak dilakukan oleh Mujtahidi>n terdahulu, melainkan istilah istinba>t}} (penggalian dan penetapan) hukum dengan pendekatan madhhabi>. Maksudnya kegiatan istinba>t}}

52‘Abdul Kari>m Zaida>n, al-Waji>z fi> Us}ul al-Fiqh, (al-Qa>hirah: Da>r al-Tawzi>’

wa al-Nashr al-Islmiyyah, 1992), 399 53Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU; Lajnah Bahthul Masa’il 1926-1999,

97-98

18 | I J T I H A D N A H D L A T U L U L A M A

perceraian yang lainya. 49 Keenam, “Interfaith Marriages” karya Harvey J. Locke, Georges Sabagh and Mary Margaret Thomes, dalam Journal Social Problems, penulis menyatakan bahwa terdapat hubungan timbal balik dalam perkawinan, semakin rendah presentase kuantitas dari kelompok agama tertentu dalam sebuah populasi, maka semakin tinggi tingkat perkawinan beda agama.50 Ketujuh, Brent A. Barlow, dalam artikelnya “Notes on Mormon Interfaith Marriages” yang dipublikasikan lewat Journal The Family Coordinator, penulis menjelaskan bahwa di Amerika terdapat dua kecenderungan dalam memilih pasangan, pertama pengaruh agama masih sangat kuat dalam pemilihan pasangan, artinya hampir 50-70 % dari mereka masih memilih pasangan berdasarkan dengan agama atau menikah sesama agama. Kedua bahwa pernikahan merupakan sebuah trend yang dominan dalam kehidupan keluarga di Amerika, bahkan Olson mencatat 96-97 % dari populasi Amerika akhirnya menikah. Jika kecenderungan pertama memilih pasangan berdasarkan kesamaan agama, maka jika itu sulit kecenderungan kedua adalah memilih pasangan dengan orang yang diinginkanya (antar agama). 51

Dengan demikian, berdasarkan penelusuran peneliti terhadap hasil penelitian-penelitian yang sudah ada, tidak ditemukan hasil penelitian yang focus dan intensif mengkaji ijtihad Nahdlatul Ulama tentang perkawinan beda agama. Adapun distingsi penelitian ini adalah objek penelitian dan variable penelitian. Penelitian ini berupaya menjelaskan hubungan antara teori maqa>s{id al-shari>‘ah dengan metode penetapan hukum NU dan sejauh mana pemikiran hukum Islam NU khususnya tentang pernikahan beda agama. Oleh karena itu, diharapkan tulisan ini bisa melengkapi hasil penelitian-penelitian sebelumnya.

*****

49Howard M. Bahr, “Religious Intermarriage and Divorce in Utah and the

Mountain States”, dalam Journal for the Scientific Study of Religion, Vol. 20, No. 3 (Sep., 1981). Published by: Wiley on behalf of Society for the Scientific Study of Religion Stable URL: http://www.jstor.org/stable/1385547

50Harvey J. Locke, Georges Sabagh and Mary Margaret Thomes, “Interfaith Marriages” dalam Journal Social Problems, Vol. 4, No. 4 (Apr., 1957). Published by: University of California Press on behalf of the Society for the Study of Social Problems Stable URL: http://www.jstor.org/stable/799290.

51Brent A. Barlow, “Notes on Mormon Interfaith Marriages” dalam journal The Family Coordinator, Vol. 26, No. 2 (Apr., 1977). Published by: National Council on Family Relations Stable URL: http://www.jstor.org/stable/583362

I J T I H A D N A H D L A T U L U L A M A20

P E N D A H U L U A N | 21

berkewarganegaraan asing dan juga salah satunya memiliki perbedaan agama atau kepercayaan.57

*****

57Abd. Rozak A. Sastra dkk, Pengkajian Hukum Tentang Perkawinan Beda

Agama: Perbandingan Beberapa Negara, 12

20 | I J T I H A D N A H D L A T U L U L A M A

(penggalian dan penetapan) hukum hanya berorientasi pada mazhab-mazhab fikih yang dibatasi pada fikih empat mazhab.54 2. Maqa>s}id al-Shari>‘ah

Allah menurunkan syari’at di muka bumi ini tidaklah tanpa tujuan dan tanpa maksud begitu saja, melainkan syari’at diciptakan dengan tujuan dan maksud tertentu. Jika dianalisis, semua perintah dan larangan baik yang terdapat dalam Al-Qur’an maupun dalam Sunnah Nabi, yang diasumsikan ada keterkaitan dengan hukum memberikan kesimpulan bahwa semuanya mempunyai tujuan tertentu dan tidak ada yang sia-sia. Semuanya mempunyai hikmah yang mendalam, yaitu sebagai rahmat bagi umat manusia dengan cara mewujudkan kemaslahatan hamba sekaligus untuk menghindari kerusakan, baik di dunia maupun di akhirat.55

Tujuan syari’at atau maqa>s}id al-shari>‘ah berintikan mewujudkan kemaslahatan, baik dengan cara menarik manfaat (jalb al-mana>fi‘) maupun mencegah kerusakan (dar’u al-mafa>sid). Kemaslahatan akan terwujud jika lima unsur pokok (us}u>l al-khamsah) dapat diwujudkan dan dipelihara. Kelima unsur pokok tersebut adalah al-di>n (agama), al-nafs (jiwa), al-‘aql (akal), al-nasl (keturunan), dan al-mal> (harta).56 Kadangkala, terjadi perbenturan antara lima unsur pokok tersebut atau tingkat kepentingannya, oleh karena itu, maslahat jika ditinjau dari segi skala prioritas, terbagi menjadi tiga tingkatan, yaitu; d}aru>riyya>t, h}a>jjiyya>t dan tah}si>niyya>t. Hal ini berarti bahwa kemaslahatan tingkat al-d}aru>riyya>t lebih didahulukan dari pada kemaslahatan tingkat al-h}a>jjiyya>t, dan kemaslahatan tingkat al-h}a>jjiyya>t lebih didahukan dari pada kemaslahatan tingkat al-tah}si>niyya>t. 3. Perkawinan Beda Agama

Banyak istilah yang digunakan untuk pernikahan antara dua individu yang memeluk agama berbeda, diantaranya interfaith marriage, mixed marriage, mixed faith marriage, atau interreligious marriage. Dalam bahasa Indonesia, peneliti akan menggunakan istilah perkawinan beda agama.

Perkawinan beda agama adalah perkawinan antara pria dan wanita yang keduanya memiliki perbedaan agama atau kepercayaan satu sama lain. Perkawinan beda agama bisa terjadi antar sesama WNI yaitu pria WNI dan wanita WNI yang keduanya memiliki perbedaan agama/ kepercayaan juga bisa antar beda kewarganegaraan yaitu pria dan wanita yang salah satunya

54Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU; Lajnah Bahthul Masa’il 1926-1999,

117 55Ayat-ayat yang dimaksud antara lain adalah: Surat al-Nisa’ ayat 165, surat al-

Anbiya’ ayat 107 tentang pengutusan Rasul, surat Hud ayat 7, surat al-Dha>riya>t ayat 56, surat al-Mulk ayat 2 tentang penciptaan. Lihat Abu Isha>q al-Shat}i>bi, al-Muwa>faqa>t fi> Us}u>l al-Shari>’ah (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyah, Juz II, 2003.

56Abu Isha>q al-Shat}i>bi, al-Muwa>faqa>t fi Us}u>li al-Shari>’ah, 8.

P E N D A H U L U A N 21

P E N D A H U L U A N | 21

berkewarganegaraan asing dan juga salah satunya memiliki perbedaan agama atau kepercayaan.57

*****

57Abd. Rozak A. Sastra dkk, Pengkajian Hukum Tentang Perkawinan Beda

Agama: Perbandingan Beberapa Negara, 12

20 | I J T I H A D N A H D L A T U L U L A M A

(penggalian dan penetapan) hukum hanya berorientasi pada mazhab-mazhab fikih yang dibatasi pada fikih empat mazhab.54 2. Maqa>s}id al-Shari>‘ah

Allah menurunkan syari’at di muka bumi ini tidaklah tanpa tujuan dan tanpa maksud begitu saja, melainkan syari’at diciptakan dengan tujuan dan maksud tertentu. Jika dianalisis, semua perintah dan larangan baik yang terdapat dalam Al-Qur’an maupun dalam Sunnah Nabi, yang diasumsikan ada keterkaitan dengan hukum memberikan kesimpulan bahwa semuanya mempunyai tujuan tertentu dan tidak ada yang sia-sia. Semuanya mempunyai hikmah yang mendalam, yaitu sebagai rahmat bagi umat manusia dengan cara mewujudkan kemaslahatan hamba sekaligus untuk menghindari kerusakan, baik di dunia maupun di akhirat.55

Tujuan syari’at atau maqa>s}id al-shari>‘ah berintikan mewujudkan kemaslahatan, baik dengan cara menarik manfaat (jalb al-mana>fi‘) maupun mencegah kerusakan (dar’u al-mafa>sid). Kemaslahatan akan terwujud jika lima unsur pokok (us}u>l al-khamsah) dapat diwujudkan dan dipelihara. Kelima unsur pokok tersebut adalah al-di>n (agama), al-nafs (jiwa), al-‘aql (akal), al-nasl (keturunan), dan al-mal> (harta).56 Kadangkala, terjadi perbenturan antara lima unsur pokok tersebut atau tingkat kepentingannya, oleh karena itu, maslahat jika ditinjau dari segi skala prioritas, terbagi menjadi tiga tingkatan, yaitu; d}aru>riyya>t, h}a>jjiyya>t dan tah}si>niyya>t. Hal ini berarti bahwa kemaslahatan tingkat al-d}aru>riyya>t lebih didahulukan dari pada kemaslahatan tingkat al-h}a>jjiyya>t, dan kemaslahatan tingkat al-h}a>jjiyya>t lebih didahukan dari pada kemaslahatan tingkat al-tah}si>niyya>t. 3. Perkawinan Beda Agama

Banyak istilah yang digunakan untuk pernikahan antara dua individu yang memeluk agama berbeda, diantaranya interfaith marriage, mixed marriage, mixed faith marriage, atau interreligious marriage. Dalam bahasa Indonesia, peneliti akan menggunakan istilah perkawinan beda agama.

Perkawinan beda agama adalah perkawinan antara pria dan wanita yang keduanya memiliki perbedaan agama atau kepercayaan satu sama lain. Perkawinan beda agama bisa terjadi antar sesama WNI yaitu pria WNI dan wanita WNI yang keduanya memiliki perbedaan agama/ kepercayaan juga bisa antar beda kewarganegaraan yaitu pria dan wanita yang salah satunya

54Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU; Lajnah Bahthul Masa’il 1926-1999,

117 55Ayat-ayat yang dimaksud antara lain adalah: Surat al-Nisa’ ayat 165, surat al-

Anbiya’ ayat 107 tentang pengutusan Rasul, surat Hud ayat 7, surat al-Dha>riya>t ayat 56, surat al-Mulk ayat 2 tentang penciptaan. Lihat Abu Isha>q al-Shat}i>bi, al-Muwa>faqa>t fi> Us}u>l al-Shari>’ah (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyah, Juz II, 2003.

56Abu Isha>q al-Shat}i>bi, al-Muwa>faqa>t fi Us}u>li al-Shari>’ah, 8.