Siapa Bilang Ulama Cuma Bisa Baca Do'a ?

21
1 Siapa Bilang Ulama Cuma Bisa Baca Do’a ? Davy Hendri Mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Ekonomi FEUI Abstrak Mengurangi kriminalitas telah menjadi masalah besar yang harus dihadapi pemerintah di berbagai negara dunia, termasuk Indonesia sejak beberapa waktu terakhir. Bank Dunia menyimpulkan bahwa pencegahan kriminalitas berbasis masyarakat melalui pembentukan collective efficacy-- penguatan kapasitas masyarakat untuk penegakkan regulasi sosial--dalam rangka mewujudkan partisipasi warga dalam sebuah kegiatan bersama (collective action) seharusnya menjadi salah satu opsi strategi dan tujuan kebijakan. Collective efficacy hanya bisa diwujudkan dengan prasyarat adanya trust antar warga dalam komunitas dan kepemimpinan informal yang cakap. Dalam struktur sosial-ekonomi komunitas yang sangat heterogen, baik dari sisi ekonomi dan sosial, mewujudkan hal ini menjadi sebuah tantangan besar. Artikel ini menguji hubungan antara struktur sosial-ekonomi komunitas dengan penciptaan collective efficacy melalui peran tokoh informal, dalam hal ini tokoh agama dan tokoh masyarakat. Selanjutnya dilanjutkan dengan analisis tentang dampak collective efficacy dalam komunitas tersebut terhadap upaya menuju penciptaan public goods berupa security melalui collective action kegiatan pencegahan kriminalitas, yang dilakukan oleh dan pada komunitas itu sendiri. Analisis dilakukan dengan menggunakan data sosial-ekonomi gabungan PODES dan SUSENAS BPS, dengan unit analisis komunitas berbasis sekitar 70.000 desa/kelurahan yang diaggregate pada sekitar 480 kabupaten/kota dari 33 provinsi se-Indonesia pada tahun 2011. Penelitian ini menemukan fakta bahwa struktur sosial-ekonomi komunitas yang “stabil”, amatlah menentukan pembentukan collective efficacy. Di satu sisi, memburuknya ketimpangan pendapatan yang diwakili oleh tingginya Gini indeks, cenderung mengikis peran (pengaruh) tokoh informal. Sebaliknya, Gini indeks yang rendah, mendorong naiknya tingkat kepercayaan (general trust) kepada pemimpin informal lokal berkualitas terutama tokoh agama. Pada gilirannya, tokoh agama berperan penting mendorong collective action komunitasnya dalam pencegahan kriminalitas, seperti membangun pos kamling, ronda malam, menambah hansip dan sebagainya. Melalui estimasi regressi OLS sederhana, penelitian ini menyimpulkan bahwa pada kabupaten/kota di mana Gini indeks rendah, semakin besar tingkat aktivitas collective action. Selain itu struktur komunitas juga menentukan bentuk kegiatan collective action yang menjadi preferensi suatu komunitas. Kata kunci: Gini Indek, Sosial Capital, Collectice Efficacy, Collective Action, Pencegahan Kriminalitas

Transcript of Siapa Bilang Ulama Cuma Bisa Baca Do'a ?

1

Siapa Bilang Ulama Cuma Bisa Baca Do’a ?

Davy HendriMahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Ekonomi FEUI

Abstrak

Mengurangi kriminalitas telah menjadi masalah besar yang harus dihadapi pemerintah di berbagainegara dunia, termasuk Indonesia sejak beberapa waktu terakhir. Bank Dunia menyimpulkanbahwa pencegahan kriminalitas berbasis masyarakat melalui pembentukan collective efficacy--penguatan kapasitas masyarakat untuk penegakkan regulasi sosial--dalam rangka mewujudkanpartisipasi warga dalam sebuah kegiatan bersama (collective action) seharusnya menjadi salahsatu opsi strategi dan tujuan kebijakan. Collective efficacy hanya bisa diwujudkan denganprasyarat adanya trust antar warga dalam komunitas dan kepemimpinan informal yang cakap.Dalam struktur sosial-ekonomi komunitas yang sangat heterogen, baik dari sisi ekonomi dan sosial,mewujudkan hal ini menjadi sebuah tantangan besar. Artikel ini menguji hubungan antara struktursosial-ekonomi komunitas dengan penciptaan collective efficacy melalui peran tokoh informal,dalam hal ini tokoh agama dan tokoh masyarakat. Selanjutnya dilanjutkan dengan analisis tentangdampak collective efficacy dalam komunitas tersebut terhadap upaya menuju penciptaan publicgoods berupa security melalui collective action kegiatan pencegahan kriminalitas, yang dilakukanoleh dan pada komunitas itu sendiri.

Analisis dilakukan dengan menggunakan data sosial-ekonomi gabungan PODES dan SUSENASBPS, dengan unit analisis komunitas berbasis sekitar 70.000 desa/kelurahan yang diaggregatepada sekitar 480 kabupaten/kota dari 33 provinsi se-Indonesia pada tahun 2011. Penelitian inimenemukan fakta bahwa struktur sosial-ekonomi komunitas yang “stabil”, amatlah menentukanpembentukan collective efficacy. Di satu sisi, memburuknya ketimpangan pendapatan yang diwakilioleh tingginya Gini indeks, cenderung mengikis peran (pengaruh) tokoh informal. Sebaliknya, Giniindeks yang rendah, mendorong naiknya tingkat kepercayaan (general trust) kepada pemimpininformal lokal berkualitas terutama tokoh agama. Pada gilirannya, tokoh agama berperan pentingmendorong collective action komunitasnya dalam pencegahan kriminalitas, seperti membangunpos kamling, ronda malam, menambah hansip dan sebagainya. Melalui estimasi regressi OLSsederhana, penelitian ini menyimpulkan bahwa pada kabupaten/kota di mana Gini indeks rendah,semakin besar tingkat aktivitas collective action. Selain itu struktur komunitas juga menentukanbentuk kegiatan collective action yang menjadi preferensi suatu komunitas.

Kata kunci: Gini Indek, Sosial Capital, Collectice Efficacy, Collective Action, PencegahanKriminalitas

2

Who says Ulama Just Can Read Do’a ?

Davy HendriGraduate Student of Economics UI

Abstract

Reducing crime has become a major problem that must be faced by governments invarious countries of the world since the past few days, including Indonesia . TheWorld Bank concludes that community-based crime prevention through theestablishment of collective efficacy-- strengthening community capacity to enforcethe social regulation - in order to realize the participation of citizens in a jointactivity (collective action) should be one of the options strategies and policyobjectives. Collective efficacy can only be realized with these prerequisite : mutualtrust between people in the community and icapable informal leadership. In theheteregenous socio-economic structure community, both in economic and socialterms of, realizing those are becoming a major challenge. This article examines therelationship between socio-economic structure of the community with the creationof collective efficacy through the role of the informal character, in this casereligious leaders (ulama). Furthermore, followed by an analysis of the impact ofcollective efficacy in the community to the efforts towards the creation of publicgoods in the form of security through collective action crime prevention activities,carried out by and in the community itself.

Data analysis was performed using a combination of socio-economic andSUSENAS PODES provided by BPS, the unit of analysis based communities around70,000 villages which aggregated at about 480 districts / cities level of 33 provincesin Indonesia in 2011. This study found that “stable” socio-economic structure of thecommunities are determine the formation of collective efficacy. On the one hand,worsening income inequality represented by the high Gini index, tend to erode therole (influence) ulama. Conversely, a low Gini index, boosted the confidence level(general trust) to the quality of ulama. In turn, ulama play an important role toencourage collective action in community crime prevention, such as build a poskamling, night guards, adding guards and so on. Through a simple OLS regressionestimates, the study concluded that the district / city where more lower Gini index,more greater the level of activity of it’s communitie’s collective action. In addition,community structure also determines the form of collective action activity preferedby it’s community.

Keywords: Gini Index, Social Capital, Collectice Efficacy, Collective Action, CrimePrevention

3

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi ternyata tidak dinikmati oleh seluruh rakyat sesuaiproporsi mereka.Gini index sebagai proxy ketimpangan pendapatan, merangkak pelannamun pasti dari tahun ke tahun. Pada tahun 2005 Gini index baru sebesar 0,34,kemudian meningkat menjadi 0,37 pada tahun 2009, dan kemudian menjadi 0,41 padatahun 2011.1 Meningkatnya ketimpangan perekonomian tersebut telah lama diindikasikanakan berimbas, baik secara langsung maupun tidak lansung, terhadap perekonomian itusendiri dan sisi lain kehidupan, salah satunya kriminalitas2. Secara nasional, pergerakanangka kriminalitas juga bergerak seiring trend peningkatan Gini index. Data yang dirilisoleh Bareskrim Mabes POLRI menunjukkan bahwa jumlah kriminalitas di tahun 2012,tepatnya hingga November 2012, mencapai 316,500 kasus. Risiko penduduk yangmengalami kriminalitas sekitar 136 orang tahun ini3. Jadi, setiap 91 detik terjadi satukriminalitas di Indonesia sepanjang tahun 2012.4

Pada gilirannya, dampak ekonomi berupa biaya langsung berupa kerugian harta, fisik,dan psikis korban kriminalitas serta upaya pengurangan kriminalitas berupa biayapenyediaan sistem hukum, penjara, dan pembinaan para kriminil, akan semakinmembesar seiring meningkatnya kriminalitas. Sebuah studi yang dilakukan pada tahun1999 menyatakan bahwa kriminalitas telah menyedot dana pembayar pajak di AmerikaSerikat sekitar USD300 miliar sampai dengan USD1 triliun setiap tahunnya5. Sehinggakriminalitas menjadi masalah yang paling mendesak yang dihadapi oleh berbagai negaradewasa ini.

Bank Dunia bahkan mendorong berbagai pendekatan multi sektor termasuk strategiberbasis masyarakat untuk memecahkan masalah pelik ini. Pada intinya, strategi iniberupa kebijakan mendorong partisipasi setiap pribadi warga dalam upaya proteksibersama terhadap berbagai resiko seperti terpapar kriminalitas (Osrom, 2000). Partisipasibisa muncul dalam bentuk kontribusi moneter (iuran) dan non-moneter (waktu dan bentuklainnya) guna penyediaan fasilitas fisik dan non-fisik sehingga tercipta security (publicgood) di level komunitas (private provision of public good). Masalahnya, dalam struktursosial-ekonomi komunitas yang sangat heterogen, mewujudkan hal ini menjadi sebuahtantangan besar.

Komunitas warga dengan stok pribadi dengan social-capital baik tidak akan serta mertabisa lansung mewujudkan hal ini. Pertama, supply berupa struktur peluang yang adadalam komunitas akan menentukan apa dan siapa akan berpartisipasi dalam kegiatan

1 BPS, Indikator Sosial Ekonomi, dari berbagai tahun.2 Hal ini telah dijelaskan oleh beberapa ekonom dan lembaga ekonomi Internasional kenamaan,

termasuk Bourguignon, F. Dalam tulisannya “Crime as a Social Cost of Poverty and Inequality: AReview Focusing on Developing Countries”. World Bank Discussion Paper, 2001

3 Data ini merupakan publikasi Bareskrim Mabes POLRI sampai bulan November 2012. Jadi belum genapsatu tahun kelender. Hal ini menjadi salah satu alasan mengapa data tahun 2012 ini tidak dimasukkandalam analisis

4 Indikator kriminalitas yang pertama adalah total kejadian kriminalitas (C) yang terjadi dan dilaporkan kepadaatau dicatat oleh pihak kepolisian dalam satu tahun. Sementara itu, risiko penduduk terkena kriminalitasmerupakan rasio antara total kejadian kriminalitas per 100,000 penduduk (C/populasi)*100,000. Sementaraitu rentang waktu kejadian krimalitas merupakan rasio jumlah detik dalam satu tahun terhadap totalkejadian kriminalitas (3600*365*24/C). Lebih detail dapat dilihat dalam BPS, Statistik Kriminalitas, 2007.

5 D. A. Anderson, “The Aggregate Burden of Crime”.Journal of Law and Economics.42(2), 1999, pp. 611-642.

4

tersebut. Warga pria dewasa yang sebagian besar waktunya tersita oleh aktivitas untukrumah tangga, seperti bekerja, akan lebih cenderung untuk berpartisipasi dalam bentukmoneter, membayar iuran dari pada kontribusi waktu turut melakukan ronda malam.Ketersediaan struktur peluang berpartisipasi berupa infrastruktur sarana kegiatanpencegahan kriminalitas merupakan syarat perlu (necessary condition) dari sebuahaktivitas bersama.

Kedua, keputusan individu juga akan dipengaruhi oleh karakteristik lingkungan tempattinggalnya (neighbourhood effect). Ketersediaan sarana memang perlu, namun belumcukup untuk memastikan hadirnya kegiatan bersama tadi. Dalam konteks ini, menurutSampson, Raudenbush dan Earls (1997), collective efficacy (selanjutnya dibaca, CE)sebagai sebuah konstruk upaya intervensi mekanisme sosial dalam masyarakat denganmenggabungkan dua hal sekaligus yaitu hubungan yang mencerminkan kohesi(kepercayaan, kedekatan, menolong dan nilai-nilai bersama) dengan keterlibatan aktifdalam kontrol sosial secara informal (Sampson et al, 1997; Sampson & Graif, 2009)merupakan syarat cukup (sufficient condition) dari collective action (selanjutnya dibaca,CA).

B. Perumusan Masalah

Mekanisme transmisi peranan sosial lingkungan terhadap CA guna mengurangikriminalitas di level komunitas sudah diperdebatkan sejak lama. Mancur Olson (1965)dalam karya magnum opusnya menyatkan bahwa rational, self-interested individual willact to achieve their common or groups interests. Dalam konteks berbeda, tingkatpartisipasi individu dalam sebuah CA bersifat ambigu (Alesina & La Ferara, 2000).Secara spesifik Bergstrom (1986) menyatakan bahwa ada treshold bagi private pribadidalam mendistribusikan kekayaannya secara sukarela demi penciptaan public good. Halini amat ditentukan oleh dinamika posisi dan status kesejahteraannya dalam komunitas itu.Terkait hal ini, ketimpangan income yang tinggi pada komunitas tertentu bisa menjadiinsentif (positif) atau disinsentif (negatif) kontribusi moneter pribadi warga (La Ferara,2002).

Selain itu, beberapa sosiolog menyatakan adanya endogenitas dalam relasi kriminalitasdengan kohesivitas sosial (sebagai proksi dari social capital level komunitas atau CE).Kriminalitas pada level tertentu juga memberi pengaruh terhadap pembentukankohesivitas sosial. Pada level kriminalitas yang rendah dan tidak secara lansungberdampak pada diri dan keluarganya, individu cenderung bersikap abai danmenyerahkan kewajiban kontribusi non-moneternya (mengawasi lingkungan) kepadawarga individu lain. Sebaliknya, jika level kriminalitas sedemikian tinggi, individu tadimalah cenderung apatis karena takut untuk turut berkontribusi. Pada kasus ekstrim,individu tadi kemudian akan keluar pindah dari komunitas lingkungan sosial tadi, yangberarti CA tidak akan terjadi sehingga penyediaan public good yang optimal yang jugatidak akan tercapai.

C. Tujuan

Studi ini dimaksudkan untuk membahas tenetang konsep collective efficacy danketrrkaitannya dengan pencegahan kejahatan berbasis masyarakat. Teori ini berpendapatbahwa level CE masyarakat yang tinggi akan melemahkan efek merugikan dariketimpangan struktural terhadap tingkat kriminalitas. Perbedaan paper ini dengan

5

berbagai paper lainnya terletak pada eksplorasi sumber dan bagaimana CE ini terbentukdalam sebuah komunitas. Paper ini menjadikan pengaruh tokoh informal seperti tokohagama dan tokoh masyarakat sebagai sumber CE.

Secara spesifik, paper ini bertujuan untuk :

1. Mengeksplorasi bagaimana dampak struktur sosial ekonomi terhadap levelCE pada setiap komunitas

2. Mengestimasi bagaimana proses transmisi dan besaran masing-masing peran CEyang diwakili kedua tokoh informal tadi terhadap ketersediaan CA dalammengantisipasi kriminalitas pada level lokal.

6

II. KERANGKA TEORI

Ada konsensus umum bahwa trust adalah syarat penting bagi performa efisiensi danpertumbuhan ekonomi. Di tengah ketidak sempurnaan informasi, mahalnya biayapenegakan hukum, atau kegagalan koordinasi, trust mungkin mengatasi kegagalan pasardan menghasilkan capaian yang mungkin tidak akan diraih dengan cara lain. Memang, disisi empiris, trust ditemukan terkait dengan berkurangnya korupsi dan birokrasi yang lebihefektif (La Porta et al., 1997), pengembangan sektor keuangan (Guiso et al., 2004) danjuga pembangunan ekonomi yang lebih tinggi (Knack dan Keefer, 1997; Zak dan Knack,2001; Dearmon dan Grier, 2011).

Tidak mengherankan, banyak ilmuwan sosial berusaha untuk memahami faktor-faktorpenentu trust dan mengapa hal itu sangat bervariasi di seluruh negara (Knack dan Keefer,1997; Zak dan Knack, 2001; Bjørnskov, 2006; Leigh, 2006a). Sebagian besar penelitianini telah difokuskan pada hubungan antara trust dan ketimpangan pendapatan (danukuran lain dari heterogenitas seperti fractionalisasi etnis atau agama) dan mencapaikesimpulan umum bahwa ada korelasi negatif yang kuat antara ketimpangan dengankepercayaan umum (general trust).

Menurut literatur, korelasi ini didorong oleh tiga faktor utama. Pertama, prinsip homophily(McPherson et al. 2001) dan resistensi atas heterogenitas (Alesina dan La Ferrara 2002).Dari perspektif ini, kesenjangan ekonomi merupakan sumber keragaman dan jarak sosial-ekonomi: semakin tinggi tingkat ketimpangan ekonomi, semakin tinggi "hambatan sosial"antara kelompok-kelompok yang berbeda dan individu akan merasa kurang akrab dengandan terhubung ke orang lain. Hal ini, pada gilirannya, menghambat pembentukankepercayaan. Kedua, berkaitan dengan konsep keadilan. Ketimpanagan dapatmenghasilkan persepsi ketidakadilan dan keyakinan bahwa orang lain memiliki kelebihanyang tidak adil, sehingga menghambat perkembangan kepercayaan terhadap orang lain.Ketiga mengacu pada hipotesis konflik sumber daya. Yaitu, masyarakat yang timpang,mungkin tidak bersepakat atas bagaimana berbagi (dan membiayai) barang publik (publicgoods). Konflik ini, pada gilirannya, memecah ikatan sosial dan mengurangi pembentukankepercayaan dan kohesi sosial (Delhey dan Newton, 2005).

A. Collective Efficacy

Dalam studi mereka data dari Chicago dan kota-kota AS lainnya, Shaw dan McKay (1942)menemukan bahwa kenakalan serius oleh remaja tidak secara acak didistribusikan dikota-kota, tetapi bervariasi terkait dengan konsentrasi kemiskinan, ketidakstabilanperumahan dan heterogenitas etnis (Short, dalam Shaw & Mc Kay, 1969). Merekaberhipotesis bahwa faktor-faktor ini dikaitkan dengan tingkat yang lebih tinggi dari yangserius kenakalan melalui mekanisme yang mendasari disorganisasi sosial (Shaw &McKay, 1969; Sampson & Groves, 1989; Kubrin & Weitzer, 2003). Mereka menjelaskanbagaimana kondisi ekologis yang merugikan berdampak mengganggu pembentukan danpemeliharaan hubungan tetangga dan jaringan.

Sebagaimana layaknya sebuah proses produksi, pada gilirannya, input yang jelek ini akanmenghambat proses-proses produksi kontrol sosial yang akan menghasilkan keteraturandi dalam komunitas (Browning, 2004). Oleh karena itu gangguan ini akan mencegahperumusan norma-norma sosial, aturan dan hubungan yang dibagikan melalui lembagakeluarga, agama, sistem pendidikan dan masyarakat, dan selanjutnya menimbulkan

7

gangguan, kriminalitas dan masalah perilaku lainnya (Kubrin & Weitzer, 2003; Kecil, 2004;Browning et al, 2004;. Sampson, 2006).

Salah satu temuan kunci dari studi kriminologi PHDCN adalah bahwakonstruksi ekologis tradisional seperti disorganisasi sosial, struktur sosial dan bahkansosial modal (lihat Coleman 1988, 1990; Putnam 2000) gagal menjelaskan spasial variasikontemporer dalam kejahatan di seluruh lanskap Chicago. Sampson dan rekan-rekannyamengidentifikasi konstruks baru yang mereka istilahkan dengan collective efficacy (CE)yaitu tingkat dan mekanisme pengawasan informal, yang tidak sama di semua lingkungan,lebih baik dalam menjelaskan pola data pada kriminalitas spasial.

Sampson dan Raudenbush (2001: 2) mengatakan bahwa

where there is cohesion and mutual trust among neighbors, the likelihood is greater thatthey will share a willingness to intervene for the common good. This link of cohesion andtrust with shared expectations for intervening in support of neighborhood social controlhas been termed “Collective Efficacy,” a key social process proposed…as an inhibitor ofboth crime and disorder.

B. Collective ActionB.1. Perspektif Ekonomi

Pada dasarnya setiap individu mendapatkan utility dari mengkonsumsi barang untukpribadi dan tambahan utility dari public good sebagai konsekuensi dari posisinya dalaminteraksi sosial. Misalkan sekelompok individu secara seragam terdistribusi dalam rentang 0,1 dan dirangking berdasarkan status kekayaannya iy , sehingga yang termiskinmemiliki indek 0 dan terkaya memiliki indeks 1. Dimisalkan distribusi awal kekayaansebagai iy . Misalkan H adalah set individu yang bergabung ke dalam grup. Setiapindividu bebas memutuskan untuk bergabung dengan sebuah grup yang menyediakanexcludable good kepada setiap anggotanya. Barang ini dikonsumsi dalam kuantitas yangsama oleh dan hanya untuk anggota tiap grup. Total upaya dan konsekuensi biaya untukmenyediakan barang diasumsikan tetap dan sama dengan C . Biaya ditutup dari pajakyang dikenakan kepada individu anggota grup dengan sistim proporsional atas kekayaanity yang diasumsikan eksogen dan hak akses diatur sedemikian rupa sehingga

diasumsikan tidak ada masalah free-rider.

Ekuilibrium grup akan dibentuk oleh individu miskin *0, h . Hanya dengan melihat

perubahan inequality yang dihasilkan oleh pertambahan jumlah anggota maka ekuilibriumbaru terjawab. Perubahan inequality akan mempengaruhi status distribusi kekayaankelompok i

, apakah sama saja distribusinya dengan awal, makin kaya

,1i

atau makin

miskin0, i

. Selanjutnya akan dibahas ekuilibrium yang terjadi jika terjadi perubahan

inequality dalam grup.

ii H

C ty d i

...........................................................(1)

8

1. Anggota yang baru relatif ternyata lebih kaya *h ,1 dari treshold yang ditetapkan

* *h hy y , distribusi kekayaan semakin tertarik ke atas menjadi Namun hal ini menjadiambigu, karena anggota baru tadi menjadi realtive lebih kaya sementara yang lainmenjadi relative lebih miskin. Anggota baru yang lebih kaya akan memilih untuk tidakjadi bergabung ke dalam grup.

2. anggota yang baru relatif ternyata lebih miskin *0, h dari treshold yang ditetapkan

* *h hy y

, distribusi kekayaan semakin tertarik ke bawah sehingga cost aktivitas grupakan semakin berat ditanggung anggota yang lebih kaya (yang berada di atastreshold). Hal ini menyebabkan yang relativ lebih miskin akan lebih mendapat benefitdan bertambah banyak jumlahnya dengan bergabung di dalam grup daripada si kaya.Komposisi grup akan lebih banyak diisi oleh yang miskin dan distribusi kekayaanakan berada di level bawah daripada sebelumnya.

Figure 1

Integrated Model of Personality and Social Psychological Theories of Collective Action.

Identity

Collective

Action

Efficacy

Injustice

Personality and

Life

Experiencesa

(A) (B)

(C)

9

Jadi kesimpulannya, dampak dari meningkatnya inequality terhadap partisipasi dalamgrup adalah ambigu. Hal ditentukan oleh perubahan pola distribusi (redistribusi) kekayaanyang terjadi setelah anggota baru bergabung. Dampaknya akan negatif jika redistribusitadi menyebabkan semakin memburuknya inequality pada bagian terbawah dari anggotagrup. Dampaknya akan positif jika redistribusi tadi menguntungkan sedikit bagi(tergantung penurunan tax rate yang diperolehnya) orang kaya di atas banyak orangmiskin sehingga akan meringankan inequality pada bagian terbawah dari anggota grup.

B.2. Perspektif Sosiologi

Sementara itu dari perspektif sosiologi, Chong (1991) juga memulai titik perhatian samaseperti halnya Sampson (2006) bahwa "orang-orang rasional keputusannya dipandu olehperhitungan rasional ". Namun, Chong tidak puas dengan murni penjelasan rasionalisdan pandangan bahwa insentif material akan mendorong individu untuk berkontribusidalam kegiatan CA berbasis publik. Ia percaya bahwa peserta aksi CA berbasis publikjuga menerima "insentif selektif" untuk bekerja sama, yang non-kooperator tidak akanmenerimanya. Namun insentif ini didasarkan pada tekanan sosial dan tidak melulumoneter. Kedua, dalam konteks kelompok besar, motivasi untuk CA terjadi dalam situasiinteraksi berulang, maka ada insentif sosial "seperti keinginan untuk mendapatkan ataumempertahankan persahabatan, menjaga status sosial seseorang dan menghindaricemoohan atau pengucilan " (Chong, 1991, hal. 9).

Singkatnya, partisipasi mengamankan insentif selektif berupa reputasi yang baik. Diaberpendapat bahwa reputasi adalah tujuan intrinsik individu karena mereka berusahauntuk membangun dan memelihara identitas sosial tertentu- bagaimana mereka terlihat dimata orang lain. Mempertahankan reputasi, oleh karena itu menjadi insentif untukberpartisipasi, sedangkan potensi kerugian reputasi menjadi sanksi. Chong mengakuijuga bahwa ada orang-orang yang benar-benar berkomitmen, kooperator tanpa syarat(unconditional cooperator), yang berkontribusi terhadap gerakan, terlepas dari keterlibatanatau investasi lain. Orang tersebut, didorong oleh kombinasi altruisme (kesenangan yangdiperoleh dari membahagiakan orang lain), dan moral yang kuat (kebenaran yang tidakperlu meningkatkan kesenangan atau kesejahteraan) serta komitmen.

Selain itu, kooperator tanpa syarat yang termotivasi, berperan penting dalammempromosikan kerjasama. Menurut Chong (1991) dan Ostrom (2010) mereka membukajalan untuk kooperator bersyarat (conditional cooperator)-mereka yang berpartisipasibergantung pada kontribusi orang lain - untuk terlibat. Teori tambahan pada perankooperator tanpa syarat dapat ditemukan dalam pembahasan kepemimpinan dalamberbagai bidang termasuk manajemen, dan pendidikan6. Dalam manajemen istilahpemimpin transformasional digunakan untuk menentukan orang-orang yang memotivasiorang lain untuk bergabung dengan gerakan dengan pengaturan standar yang tinggi dansebaliknya menginspirasi pengikutnya (Chou, Lin, Chang & Chuang, 2013; Demir, 2008).

Isu-isu penting muncul dari literatur kepemimpinan dan CA. Pertama, hal ini menjadisebuah tantangan terhadap gagasan bahwa pertimbangan rasional sebagai satu-satunyamotivasi untuk terlibat dalam tindakan kontrol sosial. Sebaliknya orang mungkin didorong

6 Halimatussadiah, Alin, 2013, Social Capital to Streghten Collective Environmental Action in Indonesia,Disertasi Doktoral Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia yang tidak dipublikasikan

10

oleh insentif sosial termasuk menjaga reputasi mereka atau dengan kepentingan altruistik.Kedua, dorongan CA bisa datang dari pemimpin teladan yang oleh karena pengorbananpribadi, komitmen yang kuat akan menarik dan menjadi pemberi motivasi dan sanksi bagiorang lain untuk mengikutinya. Ketiga, kooperator bersyarat atau pengikut - massa kritisdalam gerakan sosial - memperoleh insentif dari sistem tata nilai mereka sendiri dan jugaoleh sistem penghargaan dan sanksi yang terkait dengan kepentingan reputasi mereka.Akhirnya karena itu, kepemimpinan muncul sebagai bahan penting dalam membangkitkanCA. Dalam hal ini, memahami motivasi CA dan peran pemimpin altruistik juga bisamenjadi mekanisme dalam teori CE.

11

III. METODOLOGI

Studi ini akan menguji hubungan antara peran struktur (identitas) sosial ekonomi sepertiketimpangan pendapatan, demografi seperti jumlah anak dalam rumah tangga, rumahtangga yang di kepalai perempuan terhadap pembentukan collective efficacy CE padalevel komunitas. Selanjutnya dari situ estimasi dilanutkan dengan melihat dampak CEterhadap collective action CA.

A. Data dan Variabel

Studi ini menggabungkan data level individu pada modul aspek penghasilan SUSENAS2011 dan data aspek CA dan peranan informal leader pada level desa/kelurahan dariPODES 2011 serta berbagai data resepresentasi nasional lainnya. Pada akhirnyakemudian kedua level data ini diaggregate ke level kabupaten/kota sesuai maksud dancakupan studi. Jadi studi ini mencakup data cross-section dengan unit analisis ekologisekitar 480 kabupaten/kota se-Indonesia.

Dalam hal prediktor struktural disorganisasi sosial, Sampson dan Groves (1989)menggunakan lima variabel yaitu, ketimpangan income, ketidakstabilan perumahan,kerentanan keluarga dan urbanisasi. Variabel interest atau variabel independet utamadalam hal ini adalah ketimpangan income yang diproksikan oleh gini. Berbagai teorisosiologi dan ekonomi yang dipaparkan sebelumnya telah mengklaim bahwa variabel inimerupakan “jembatan utama” dalam memahami CE, CA dan kriminalitas.

Selanjutnya mobilitas perumahan yang diduga mempengaruhi tingkat kejahatan secaratidak langsung dengan mengganggu jaringan sosial dan hubungan (Sampson & Groves,1989), melemahnya kapasitas organisasi lokal (Wilson, 1996) dan memperlambatasimilasi anggota baru (Janowitz, 1974). Ketiga, Sampson (1987) dan Wilson (1987)menyepakati bahwa gangguan keluarga mempengaruhi tingkat kejahatan denganmelemahnya kemampuan keluarga untuk mengawasi anggota muda.

Gangguan keluarga mengacu pada fenomena rumah tangga yang dikepalai oleh singleparent--umumnya perempuan termasuk yang kepala rumah tangga yang sudah bercerai,janda atau terpisah (Sampson & Groves,1989). Hal ini sangat berkaitan dengankenakalan remaja dan kejahatan dewasa baik di kalangan rumah tangga mayoritas kulitputih dan minoritas (Sampson & Wilson, 1995). Akhirnya, Sampson dan Groves (1989)berpendapat bahwa urbanisasi dapat mempengaruhi kejahatan dengan melemahnyajaringan persahabatan dan ikatan kekeluargaan dan peran serta lokal.

Sementara itu, juga dimasukkan variabel ketersediaan lembaga sosial dankemasyarakatan. Variabel kelembagaan ini dianggap penting untuk di analisis untukmengetahui dari manakah sumber pengaruh tokoh agama dan masyarakat itu berasal.Jika diasumsiskan tokoh informal identik dengan keberadaan lembaga sejenis ini, makakeberhasilan mereka dalam memimpin atau mengelola lembaga ini menjadi proksi darisumber pengaruh mereka. Kemudian jenis CA pencegahan kriminalias yang dilakukanoleh komunitas juga merupakan variasi dari struktur sosial-ekonomi komunitas tersebut.Beberapa di antaranya mendirikan pos kamling, menambah regu keamanan, menambahjumlah hansip dan mengecek orang asing yang berkunjung ke komunitas tersebut.

12

Tabel _1. Statistik Deskriptif Variabel

Variable | Obs Mean Std. Dev. Min Max

-------------+--------------------------------------------------------

t_agama | 182 .1163559 .2959023 .000239 2.495953t_masy | 182 .063934 .3119498 .0000835 3.959098urbrate| 473 .3915468 .3112831 .0080541 1crate10| 489 91.40057 115.8651 1.455975 1110.365fem_hh | 487 233.8293 444.0921 .4114286 4619.275

-------------+--------------------------------------------------------skhrate| 497 .0031851 .0035396 .0002963 .0484858ownhome| 487 1218.467 1746.84 1.99619 17368.47meaninc| 497 616956.7 216818.7 196608.1 1563510gini | 497 .3264046 .0479258 .183734 .478436ginisq | 497 .1088322 .0316359 .0337582 .228901

-------------+--------------------------------------------------------uang | 456 .1169266 .277445 .0004472 2.723971waktu | 471 .2927216 .7487448 .0005411 7.710467u_wak | 487 1.555499 3.962542 .0000196 38.09095

aksi_tot | 424 .0827419 .2202538 .0001989 2.098798poskamdes | 110 .0147558 .0408667 .0000835 .3756738

-------------+--------------------------------------------------------bikinregu | 96 .0150967 .042267 .0000835 .3756738cek_asing | 475 .5861006 1.711707 .0010855 21.56849cara_lain | 429 .0714573 .2096034 .0001224 2.679316

B. Strategi Estimasi

Untuk menganalisis hubungan antara ketimpangan pendapatan dan CA melalui mediasiCE maka akan digunakan dua buah model regressi OLS. Pertama, model estimasipengaruh variabel ketimpangan income terhadap CE, di mana dalam hal ini di proksikanoleh level pengaruh pemimpin informal kepada komunitasnya. Secara operasional,pemimpin informal ini, meliputi tokoh agama atau tokoh masyarakat, (bukan keduanyasekaligus) disebut berpengaruh jika mereka berhasil memediasi perkelahian massal dilevel komunitasnya. Estimasi level pengaruh ini dilakukan dengan menggenerate skoretertimbang setiap variabel level desa kepada level kab/kota melalui persamaan OLSsebagai berikut :

Semua variabel, kecuali G, diaggregate dari level desa ke level kota/kab dengan dualangkah. Pertama, mengambil nilai pembobotan terhadap jumlah populasi per desa.“Kinerja” pengaruh seperti jumlah pengikut dan kepatuhan lain sebagainya setiap tokohagama harus mempertimbangkan banyaknya massa yaitu populasi komunitas di mana iaberada. Kedua, perbedaan jumlah desa pada setiap kota/kab juga menentukan level“kinerja” seorang tokoh jika itu akan diukur pada level kota/kab. Oleh karenanya variabelini harus dibobot dengan jumlah desa pada setiap kota/kab.

iv iv iv v ivCE X H G v ....................................................(2)

13

Variabel ivx adalah vector dari karakteristik fasilitas sosial dan umum di kota/kab v yangdiaggregate dari rerata per desa i , meliputi ketersediaan lembaga sosial dankemasyarakatan yang aktiv berkegiatan. Sementara itu hvH adalah vector darikarakteristik demografi di kota/kab v yang diaggregate dari rerata per desa i , meliputiketersediaan jumlah anak berusia sekolah, rasio rumah tangga yang dikepalaiperempuan. Sementara itu vG adalah variabel ekonomi pada level kabupaten sepertiindeks gini di kota/kab dan mean income.

Selanjutnya, kesediaan berpartisipasi bagi komunitas di desa i dalam kegiatanpencegahan kriminalitas j ditentukan melalui rerata :

Estimasi ini akan menentukan variasi kegiatan CA pencegahan kriminalitas apa saja yangdilakukan oleh komunitas melalui inisiasi CE, dalam hal ini pengaruh tokoh agama atautokoh masyarakat. Variabel independent utama adalah skore prediksi dari var CE (fittedvalue atau CEhat) yang digenerate hasil regressi pada persamaan 2. Sementara itu ivKadalah vector dari karakteristik sosial-ekonomi dan demografi di kota/kab v yangdiaggregate dari rerata per desa i , yang berkaitan secara teori dengan partisipasi dalamCA namun tidak dengan CE..

*iv iv iv ivCA CE K v ..........................................................(3)

14

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pembentuk Pengaruh Tokoh Agama

Pembahasan diawali dengan analisis realita variabel independen (utama dan kontrol) danvariabel dependen, collective efficacy yang diproksikan oleh level pengaruh tokoh informal.Selanjutnya hasil analisis ekonometrika model statis disajikan pada Tabel 1. Kolom (1)memberikan kita hasil yang berkaitan dengan estimasi model dengan regresi OLS denganhanya satu variabel utama, yaitu indeks gini. Hasil uji ekonometrika memperlihatkanbahwa varibel gini (saja) tidak negatif signifikan mempengaruhi CE. Dengan kata lain,kurva relasi neatif antara indeks gini dengan pengaruh tokoh agama tidak signifikan dalammodel positif linear. Sementara pada kolom (2), ketika variabel gini dalam bentuk kurvakuadratik, maka ternyata kontribusi indeks gini terhadap pengaruh tokoh agama terbuktisignifikan.

Tabel 2. Regresi Relasi struktur ekonomi-kelembagaan terhadapPengaruh Tokoh Agama

-------------------------------------------------------------------------------------------(1) (2) (3) (4) (5)

t_agama t_agama t_agama t_agama t_agama-------------------------------------------------------------------------------------------

gini -0.251 -10.23** -8.265** -8.546** -7.204*(-0.58) (-2.40) (-2.30) (-2.33) (-1.81)

ginisq 14.90** 11.65** 11.98** 10.11*(2.35) (2.20) (2.21) (1.74)

lemsos 0.616*** 0.606*** 0.607***(3.95) (3.82) (3.91)

lemasy 0.0153 0.0200 0.0201(0.46) (0.58) (0.59)

crate10 0.000128 -0.000197(0.57) (-0.79)

meaninc 2.82e-08 5.46e-08(0.30) (0.44)

anak 19.66**(2.35)

urbrate -0.0501(-0.52)

_cons 0.198 1.829* 1.474* 1.503* 1.230(1.39) (2.58) (2.46) (2.44) (1.82)

--------------------------------------------------------------------------------------------N 182 182 150 149 147adj. R-sq -0.004 0.021 0.138 0.129 0.180-------------------------------------------------------------------------------------------t statistics in parentheses* p<0.1, ** p<0.05, *** p<0.01

Pembacaan dari kolom 3, sumber pengaruh tokoh agama berasal dari ketersediaanlembaga sosial (lemsos) yang aktiv dalam komunitas itu. Hal ini dapat dimaklumi bahwalembagas sosial seperti panti asuhan, lembaga ZIS dan semacamnya, umumnya diinisiasi

15

ataupun paling tidak didukung oleh para pemimpin agama. Selanjutnya dari kolom 4,terbaca bahwa rasio populasi anak-anak pada komunitas juga menjadi sumberpembentuk pengaruh tokoh agama secara signifikan. Dalam konteks komunitas berusiamuda maka dapat diamati bahwa pendidikan agama yang dipercayakan kepada tokohagama, telah menjadikan mereka mampu memberikan pengaruh yang cukup besar.Sementara itu, keberadaan lembaga kemasyarakatan seperti ormas dan sejenisnya tidaksignifikan membentuk pengaruh tokoh agama.

B. Pengaruh Ulama, Struktur Komunitas dan Collective Action

Selain temuan di atas, hasil analisis juga menujukkan temuan menarik lainnya. Ternyata,relasi dan pola hubungan antara CE melalui pengaruh tokoh informal dengan berbagairagam CA pencegahan kriminalitas juga amat dipengaruhi oleh struktrur sosial danekonomi yang ada pada level komunitas.

Pada tabel 4, hasil analisis menunjukkan bahwa bentuk CA pencegahan kriminalitas yangsiginifikan digerakkan melalui CE tokoh agama diantaranya adalah pendirian pos kamling,membikin regu keamanan, mengecek keberadaan orang asing di komunitas itu. Dalamkonteks CA yang multi-task, artinya kombinasi dari lebih satu CA yang dilakukankomunitas, maka CA berbasis utama pada waktu (terdiri dari membuat regukeamanan+mengecek orang asing) dan uang (terdiri dari mendirikan pos kamling danmenambah jumlah hansip) juga signifikan digerakkan oleh CE. Jadi apapun jenis CApencegahan kriminalitas, peran tokoh agama di dalamnya sangat signifikan.

Sementara itu dari sisi struktur sosial-ekonomi, komunitas yang semakin membesar rasiokepemilikan rumah sendiri (ownhome), lebih membutuhkan aksi penanganan yang cepatseperti menambah jumlah hansip dan mengecek keberadaan orang asing, serta CA yangmulti-task. Hal ini terlihat dari tidak signifikannya keterkaitannya dengan CA sepertipendirian pos kamling dan membentuk regu keamanan.

Komunitas dengan rasio rumah tangga dikepalai perempuan (female_hh) yang semakinmembesar, lebih membutuhkan aksi penanganan yang membutuhkan keterlibatanlansung seperti mengecek keberadaan orang asing. Kelihatannya mereka juga keberatadengan CA yang dominan berbasis uang. Demikian halnya dengan komunitas denganrerata pengeluaran (meaninc). Semakin meningkat rerata pengeluarannya, semakinmereka lebih membutuhkan aksi penanganan yang lebih multi-task dan khusus dan tidakmemilih aktivitas CA pencegahan keamanan berpola “tradisional”. Hal ini terlihat dari tidaksignifikannya keterkaitannya dengan CA seperti mendirikan pos kamling dan membentukregu keamanan.

16

Tabel 4. Regresi Relasi Struktur Sosial-ekonomi dan CE Pengaruh Ulamadengan variasi CA pencegahan kriminalitas

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)poskamdes bikinregu hansip cek_asing cara_lain uang waktu aksi_tot

-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

t_agamahat 0.324*** 0.256** 0.216 1.618** 0.313* 0.482** 1.211** 0.414**(4.06) (3.03) (0.73) (2.86) (2.58) (3.14) (3.16) (3.20)

fem_hh -0.0000292 -0.0000264 -0.000402** 0.00195*** 0.0000309 -0.000330*** -0.000149 -0.000270***(-1.29) (-1.05) (-3.02) (7.99) (0.66) (-4.93) (-0.90) (-4.74)

ownhome 0.00000832 0.00000966 0.000137*** 0.000454*** 0.0000891*** 0.000197*** 0.000389*** 0.000155***(1.13) (1.16) (3.45) (6.34) (6.39) (10.09) (8.02) (9.27)

skhrate 2.874 3.533* 31.79** 110.5*** 17.06*** 24.14*** 58.61*** 18.47***(1.52) (2.00) (2.92) (5.34) (3.94) (4.26) (4.18) (3.88)

meaninc 1.78e-09 5.60e-09 1.63e-08 0.00000103*** 0.000000141*** 0.000000153** 0.000000405*** 0.000000135***(0.10) (0.29) (0.15) (5.97) (4.10) (3.28) (3.46) (3.39)

crate10 0.0000188 -0.0000330 0.0000653 0.000531 -0.0000651 0.0000243 0.000104 -0.0000296(0.34) (-0.62) (0.22) (1.30) (-0.79) (0.22) (0.38) (-0.32)

_cons -0.0211 -0.0211 -0.0750 -1.531*** -0.193*** -0.241*** -0.637*** -0.203***(-1.44) (-1.25) (-0.84) (-10.61) (-6.79) (-6.18) (-6.52) (-6.11)

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------N 98 89 158 409 378 400 409 378adj. R-sq 0.413 0.333 0.144 0.844 0.633 0.541 0.625 0.504--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------t statistics in parentheses* p<0.05, ** p<0.01, *** p<0.001

17

V. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Simpulan utama dari makalah ini adalah bahwa ketimpangan pendapatan yang diukurdengan indeks Gini, memiliki pengaruh yang signifikan dan negatif terhadap pembentukanCE. Dalam proses hingga tiba pada simpulan ini.kami menemukan hasil yang menariklainnya. Berikut ini adalah beberapa di antaranya. Pertama, ada pola kuadratik dari relasiantara ketimpangan pendapatan yang diproksikan oleh Gini index dengan angka level CE.Kedua, level CE amat berperan signifikan dan positif dalam menentukan aktivitas CA.

Paper ini menunjukkan bahwa dorongan melakukan CA bisa datang dari pemimpinteladan yang oleh karena pengorbanan pribadi, komitmen yang kuat akan menarik danmenjadi pemberi motivasi dan sanksi bagi orang lain untuk mengikutinya. Dalam hal ini,tokoh agama dan tokoh masyarakat memperoleh pengaruh CE dari sumber lokal berupaketersediaan lembaga sosial dan juga struktur demografi komunitasnya yang di dominasiusia muda. Selain itu, keberadaan lembaga sosial ini pada gilirannya diharapkansekaligus akan menjadi kawah “candra dimuka”, tempat penggemblengan bagi prosespembentukan social capital warganya, terutama jika diinteraksikan dengan rasio anakyang besar.

Kemudian analisis selanjutnya memperlihatkan bahwa supply berupa struktur peluangyang ada dalam komunitas akan menentukan apa dan siapa akan berpartisipasi dalamkegiatan tersebut. Dalam setiap komunitas semakin besar rasio kepala rumah tanggaperempuan (single parent) maka pilihan jenis CA akan berupa kegiatan yang tidakdominan berbasis uang dan malah menuntut keterlibatan lansung, agaknya lebih sesuaidengan karakteristik mereka. Temuan berbeda juga dapat ditarik dari perbedaan levelstruktur sosial-ekonomi komunitas. Pada komunitas yang secara rerata lebih kaya,membutuhkan aksi CA pencegahan kriminalitas berbeda pula. Demikian halnya dengankomunitas lainnya.

B. Saran

Paper ini memiliki beberapa kekurangan penting yang harus dijawab di dalam berbagaipenelitian lanjutan. Pertama, eksplorasi sumber pembentuk CE masih sangat terbatas.Paper ini hanya mengambil proksi keberhasilan memediasi perkelahian massal oleh tokohagama atau tokoh masyarakat sebagai CE. Hal ini tentu memerlukan klarifikasi lanjutanuntuk meyakini bahwa memang hal ini valid mewakili level CE. Kedua, relasi levelpengaruh tokoh atau CE dengan indeks gini yang berupa pola U menyisakan pertanyaanmenarik tentang variabel intermediasi yang menjadi penyebabnya: Apa sebenarnya danmelalui mekanisme apa yang menyebabkan terjadinya marginal decreasing (fungsikuadratic) dampak ketimpangan terhadap level pengaruh otokoh ini ?.

Ketidakpastian tentang mekanisme ini menimbulkan berbagai pertanyaan denganimplikasi kebijakan yang penting. Hal ini merupakan satu informasi penting yang bisamenjadi instrumen kebijakan pengurangan kriminalitas yang dapat diintervensi pemerintah.Dari hal itu, diharapkan dapat menjawab pertanyaan tentang seberapa pentingpencegahan kejahatan melalui program penguatan tokoh informal dalam komunitas dalammasa-masa ekstrim, semisal ketimpangan income yang semakin meninggi ? Sampaisejauh mana otoritas publik harus peduli dengan pendapatan dan polarisasi kelas?

18

Apakah kebijakan yang mempromosikan pengembangan lembaga sosial sebagai sumberpembentuk pengaruh tokoh informal tadi dapat akan dapat dikeloa dengan baik merujukkepada struktur sosial ekonomi komunitas itu sendiri ?. Semoga paper kecil dansederhana ini akan membantu membangkitkan minat pada isu dan bisa menjawabsebagian pertanyaan terkait pencegahan kriminalitas berbasis komunitas.

19

Daftar Pustaka (Sementara)

Ahn, Toh-Kyeong, and Elinor Ostrom. (2008). Social Capital and Collective Action inThe Handbook of Social Capital, edited by Dario Castiglione, Jan Van Deth, andGuglielmo Wolleb. New York: Oxford University Press

Alesina, R. and La Ferrara, E., (2000). Participation in Heterogeneous Communities,Quarterly Journal of Economics 115(3), pp. 847-904.

Anshory, Arief Yusuf and Irlan Adiyatma Rum, (2013), Evolution of Inequality inIndonesia 1990-2012, SEADI Discussion Paper No. 17

Becker, G. (1968), Crime and punishment: An economic approach, Journal of PoliticalEconomy, Vol. 76, pp. 169–217

Bergstrom, T., Blume, Lawrence and Varian, Hal (1986), On The Private Provision ofThe Public Goods, Journal of Public Economics, Vol.29 , pp. 25–49

Bourguignon, F. (2001). Crime as a Social Cost of Poverty and Inequality : A ReviewFocusing on Developing Countries.” World Bank Discussion Paper 2001:44

Brush, Jesse. (2007). Does Income Inequality Lead to More Crime? Economic Letters.pp. 264-268.

Chiu, W. & Madden, P. (1998), Burglary and income inequality, Journal of PublicEconomics 69, 123-141.

Demombynes, Gabriel., Ozler, B. (2003). Crime and local inequality in South Africa,Journal of Development Economics, vol. 76, 265– 292

Dijk, Frans van and Winden, Frans van. (1997). Dynamics of Social Tiesnand Local PublicGood Provision. Journal of Public Economics, vol. 64, 323– 341

Demombynes, Gabriel., Ozler, B. (2003). Crime and local inequality in South Africa,Journal of Development Economics, vol. 76, 265– 292

Ehrlich, I. (1973). Participation in Illegitimate Activies: A Theorical and EmpiricalInvestigation. Journal of Political Economy, v. 81, p. 521-565

Fajnzylber, P., D. Lederman, and N. Loayza. (2002). Inequality and violent crime,Journal of Law and Economics, Vol. 45 (1), 1-40.

Freeman, Richard B., (1996), Why Do So Many Young American Men Commit Crimesand What Might We Do About It ?, Journal of Economic Perspectives, Vol. 10, No. 1(Winter, 1996), pp. 25-42

Fukuyama, F. (1995), Trust. the social virtues and the creation of prosperity, London:Penguin Books

Gachter, S., & Fehr, E. (1999). Collective Action as a Social Exchange. Journal ofEconomic Behavior & Organization, 39, 341-369.

20

Glaeser, E. L., Laibson, D., & Sacerdote, B. (2002). An Economic Approach to SocialCapital. The Economic Journal , 112 (483), F437-F458.

Halimatussadiah, Alin (2013). Social Capital to Streghten Collective EnvironmentalAction in Indonesia, Disertasi Doktoral Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi UniversitasIndonesia yang tidak dipublikasikan

Kelley, M. (2000), Inequality and crime, The Review of Economics and Statistics 82(4),530-539

La Ferara, E. (2002). Inequality and Participation : Theory and Evidence from RuralTanzania. Journal of Public Economics, vol. 85(2), pages 235-273

Lin, Nan. (2001). Building a network theory of social capital in N. Lin, K. Cook et al.(eds.) Social Capital. Theory and Research, New York: Walter de Gruyter

Narayan, Deepa, and Lant Pritchett. (1999). Cents and Sociability: Household Incomeand Social Capital in Rural Tanzania. Economic Development and Cultural Change47:871-97.

Olson, Mancur (1965), The Logic of Collective Action : Public Goods and The Theoryof Groups, Cambrigde, MA : Harvard University Press.

Ostrom, Elinor (2000), Collective Actions and The Evolution of Social Norms, Journalof Economics Perspectives, Vol. 14 No. 3, pp. 137-158

Ormerod, Paul (2005), Crime : Economic Incentives and Social Networks, London,UK : The Institute of Economic Affairs

Portes, A.,(1998). Social Capital: Its Origins and Applications in Modern Sociology,Annual Review of Sociology, Vol. 24, pp. 1-24.

Putnam, R. D. (1994) Making Democracy Work. Civic Traditions in Modern Italy,Princeton, USA: University of Princeton Press.

..........editor. (2002). Democracies in flux: the evolution of social capital incontemporary society, New York, Oxford University Press, Inc.

Rukus, Joseph and Mildred E. Warner (2012), Crime rates and collective efficacy: Therole of family friendly planning, Journal Cities

Sampson, R., & Raudenbush, S. (2001). Disorder in urban neighborhoods : Does ItLead To Crime ?. Washington, DC: National Institute of Justice.

Sharma, Gunjan., (2011). Crime and Inequality in India, working paper of University ofMissouri April 2011

Soares, R. (2003), Development, Crime, and Punishment: Accounting forInternational Differences in Crime Rates, Journal of Development Economics pp. 155-184

21