Hukum adat masyarakat Minangkabau (mamas)

23
Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Manusia diciptakan Tuhan menjadi suatu mahluk sosial yang saling membutuhkan satu dengan yang lainnya. Mereka akan memiliki fase dimana ia akan berkeluarga, bermasyarakat, dan bernegara. Tatanan dan cara yang mereka lakukan dalam berinteraksi dengan orang lain diatur berdasarkan perilaku dan akal pikiran mereka nasing-masing. Perilaku yang terus menerus dilakukan perorangan ini menimbulkan suatu kebiasaan pribadi. Kebiasaan pribadi ini, apabila ditiru oleh orang lain maka ia akan mengikuti kebiasaan orang tersebut. Kemudian, jika didalam suatu kelompok masyarakat yang saling melakukan interaksi satu dengan yang lainnya melakukan kebiasaan tersebut, maka lambat laun kebiasaan itu akan menjadi adat dari kelompok masyarakat itu. Seiring dengan berjalannya waktu, adat yang telah menjadi suatu kebiasaan masyarakat itu, dijadikan sebagai suatu adat yang seharusnya berlaku bagi semua anggota masyarakat, sehingga menjadi hukum adat. 1 Namun, dikalangan masyarakat umum istilah “hukum adat” jarang digunakan. Biasanya yang banyak dipakai ialah istilah “adat” saja. Dengan menyebut kata “adat”, maka yang dimaksud adalah 1 ? Hadikusuma, Hilman. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia. 1992. Bandung : Mandar Maju. Hal : 1. Page | 1

Transcript of Hukum adat masyarakat Minangkabau (mamas)

Bab I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Manusia diciptakan Tuhan menjadi suatu mahluk sosial yang

saling membutuhkan satu dengan yang lainnya. Mereka akan

memiliki fase dimana ia akan berkeluarga, bermasyarakat, dan

bernegara. Tatanan dan cara yang mereka lakukan dalam

berinteraksi dengan orang lain diatur berdasarkan perilaku dan

akal pikiran mereka nasing-masing. Perilaku yang terus menerus

dilakukan perorangan ini menimbulkan suatu kebiasaan pribadi.

Kebiasaan pribadi ini, apabila ditiru oleh orang lain maka ia

akan mengikuti kebiasaan orang tersebut. Kemudian, jika

didalam suatu kelompok masyarakat yang saling melakukan

interaksi satu dengan yang lainnya melakukan kebiasaan

tersebut, maka lambat laun kebiasaan itu akan menjadi adat dari

kelompok masyarakat itu. Seiring dengan berjalannya waktu,

adat yang telah menjadi suatu kebiasaan masyarakat itu,

dijadikan sebagai suatu adat yang seharusnya berlaku bagi

semua anggota masyarakat, sehingga menjadi hukum adat.1 Namun,

dikalangan masyarakat umum istilah “hukum adat” jarang

digunakan. Biasanya yang banyak dipakai ialah istilah “adat”

saja. Dengan menyebut kata “adat”, maka yang dimaksud adalah

1

? Hadikusuma, Hilman. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia. 1992. Bandung : Mandar

Maju. Hal : 1.

Page | 1

suatu kebiasaan yang pada umumnya harus berlaku dalam suatu

masyarakat tertentu.

Negara Indonesia memiliki banyak sekali hukum adat yang

terdapat di berbagai penjuru daerah. Salah satunya yaitu hukum

adat atau adat Minangkabau. Masyarakat Minangkabau2 pada

umumnya menganut agama Islam dan dapat ditemui suatu susunan

masyarakat yang diatur dan dijalankan menurut tertib hukum ibu

(matrilinial). Mulai dari lingkungan keluarga, “paruik”,

hingga lingkungan hidup yang paling atas, atau yang disebut

sebagai “nagari”, dapat dilihat faktor turunan darah menurut

garis ibu. Garis turunan inilah yang mengatur organisasi

masyarakat pada umumnya. Oleh karenanya, kehidupan yang diatur

menurut tertib hukum ibu itulah yang disebut dalam istilah

sehari-hari sebagai kehidupan menurut adat atau hukum adat.

Uraian diatas menjelaskan bahwa dasar masyarakat adat

Minangkabau bersifat genealogis-matrialinial, yang merupakan

suatu kesatuan masyarakat yang teratur, dimana para anggotanya

terikat pada suatu garis keturunan yang sama dari satu

leluhur, baik secara langsung karena hubungan darah

(keturunan) atau secara tidak langsung karena pertalian

2 Minangkabau atau yang biasa disingkat Minang adalah kelompok etnik

Nusantara yang berbahasa dan menjunjung adat Minangkabau. Wilayah penganut

kebudayaannya meliputi Sumatera Barat, separuh daratan Riau, bagian utara

Bengkulu, bagian barat Jambi, bagian selatan Sumatera Utara, barat daya

Aceh, dan juga Negeri Sembilan di Malaysia. Wilayah Minangkabau pada

mulanya didiami oleh masyarakat Minangkabau yang menyebut dirinya sebagai “

urang awak ”.

http://fhuk.unand.ac.id (diunduh pada tanggal 7 Februari 2012 pukul 20.30

WIB)

Page | 2

perkawinan atau pertalian adat.3 Sedangkan menurut bentuknya,

masyarakat Minagkabau merupakan masyarakat hukum adat bentuk

bertingkat, dimana di dalamnya terdapat masyarakat hukum adat

atasan dan beberapa masyarakat hukum adat bawahan, yang tunduk

pada masyarakat hukum adat atasan tersebut.4 Oleh karenanya,

masyarakat Minangkabau terdiri dari kesatuan-kesatuan keluarga

kecil yang disebut “paruik” sebagai kesatuan dari “suku” atau

“kampuang” (kampung) sebagai tempat kediaman. Dalam satu

kampung terdiri dari beberapa “paruik” atau “suku” yang

berbeda-beda. Sehingga ada kemungkinan kesatuan keluarga

“paruik” dari satu kesatuan “suku” mendiami kampung yang

berlainan. Kesatuan yang formal adalah “suku” yang dipimpin

oleh seorang Penghulu Suku dan “kampuang” yang dipimpin oleh

seorang Penghulu Andiko atau Dateuk Kampuang.5 Disampaikan pula

sebagai berikut (Soerjono Soekanto 1973 : 48)

“Minangkabau which lies on the west coast of Sumatra, is

one of the most Islamized regions in Indonesia which is

highly matrilineal in respect to its social organization.

In examining its social structure and social organization

one should distinguish the Koto Piliang from the Bodi

Caniago system, but before examining the difference,

first of all we have to deal with the elements of the

whole context. The matrilocal extended family is called

kaum or parui, though the parui may also be composed of a

number of separate kaum. Several parui comprise a suku

3 Opcit. Hal : 108.4 Soekanto, Soerjono. Hukum Adat Indonesia. 1983. Jakarta : Rajawali Pers.

Hal : 159.5 Opcit. Hal : 123.

Page | 3

which is in Bodi Caniago a sub-clan. Within the Koto

Piliang system, the sub-clan is called kampuang and

several kampuang form a suku which is a federation af

sub-clans. The apex of both system is the nagari which

has its own territory within the Koto Piliang as well as

the Bodi Caniago. The difference is that the suku of the

Koto Piliang have to territory, while the other hand some

suku of the Bodi Caniago have territories; others have

none.”6

Selain itu, harus dipahami pula susunan masyarakat

beserta adat-adat yang dijalankan oleh masyarakat Minangkabau.

Aturan-aturan adat yang digunakan sebagai aturan hidup yang

mengatur kehidupan yang selalu dinamis, merupakan aturan-

aturan yang tidak tertulis. Sehingga lebih mudah bagi aturan

tersebut untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan yang

dibutuhkan zaman agar tidak terlihat kaku. Akan tetapi,

walaupun aturan-aturan tersebut telah banyak melakukan

penyesuaian dengan kebutuhan hidup modern, namun masih belum

dapat sama sekali terlepas dari ikatan susunan lama yang

mengikuti tertib hukum ibu (matrilinial).

1.2 Tujuan Penulisan

Penulisan makalah ini bertujuan untuk :

1. Memenuhi tugas ujian akhir semester mata kuliah hukum

adat.

6 Opcit. Hal : 129.

Page | 4

2. Memahami definisi hukum adat Indonesia secara umum.

3. Meninjau hukum adat di wilayah Sumatra Barat khususnya

Minangkabau, berdasarkan susunan masyarakat dan macam-

macam adat istiadatnya.

4. Menambah pemahaman wawasan mengenai hukum adat yang

berada di Indonesia, terutama yang berada di wilayah

Minangkabau.

1.3 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan di

atas, maka rumusan masalah yang akan peneliti kemukakan adalah

:

1. Apakah yang dimaksud dengan hukum adat Indonesia?

2. Bagaimanakah penerapan hukum adat yang berada di

wilayah Minangkabau ditinjau dari susunan masyarakat

dan adat istiadatnya?

1.4 Metode Penelitian

Dalam penyusunan makalah ini penulis menggunakan tinjauan

pustaka sebagai metode penelitiannya. Penulis juga mengambil

referensi dari beberapa buku dan mencari melalui beberapa

website di internet untuk mendapatkan informasi yang terkait

serta teori dan konsep yang mendukung penulisan.

1.5 Sistematika Penulisan

Page | 5

Bab I merupakan bab pendahuluan, yang menjelaskan latar

belakang masalah, tujuan penulisan, rumusan masalah, metode

penulisan, dan sistematika penulisan.

Bab II merupakan pembahasan makalah yang menjelaskan

tentang Hukum Adat Minangkabau yang terdiri dari Definisi

Hukum Adat, Asal Usul Minangkabau, Susunan Masyarakat

Minagkabau, dan Adat Istiadat Masyarakat Minangkabau.

Bab III merupakan kesimpulan dari materi yang telah

disampaikan penulis pada pembahasan sebelumnya.

Bab II

Hukum Adat MinangkabauPage | 6

2.1 Definisi Hukum Adat

Telah dibahas pada bab sebelumnya, bahwa hukum adat

merupakan perpanjangan dari adanya suatu cara berperilaku yang

dilakukan oleh seorang individu yang mana jika cara itu

dilakukan secara terus menerus maka akan terbentuklah suatu

kebiasaan yang apabila kebiasaan tersebut diikuti oleh individu

yang terdapat dalam suatu kelompok masyarakat, sehingga

kelompok masyrakat tersebut mengikuti juga kebiasaan tersebut,

maka kebiasaan tersebut akan menjadi suatu adat dari kelompok

masyarakat tersebut. Kemudian lambat laun kelompok masyarakat

itu menjadikan adat tersebut sebagai adat yang seharusnya

dipakai oleh anggota masyarakat setempat, sehingga lahirlah

yang dimaksud dengan hukum adat yang diterima dan harus

dilaksanakan masyarakat yang bersangkutan.

Pada umumnya, di dalam sistem hukum Indonesia tradisional

terdapat hukum yang tidak tertulis serta hukum yang tidak

dikodifikasikan di dalam suatu kitab undang-undang. Hukum yang

tidak tertulis itu dinamakan hukum adat, yang merupakan

sinonim dari pengetian hukum kebiasaan.7 Istilah “hukum adat”

sendiri merupakan terjemahan dari istilah dalam bahasa Belanda

adatrech, yang dipakai pertama kali oleh Snouck Hurgronje.

Istilah adatrecht kemudian dikutip dan dipakai oleh Van

Vollehoven sebagai istilah teknis-juridis. Dalam perundang-

undangan, istilah adatrech itu baru muncul pada tahun 1920,

7Soekanto, Soerjono. Kedudukan dan Peranan Hukum Adat di Indonesia. 1982.

Jakarta : kurnia Esa. Hal : 10.

Page | 7

yaitu untuk pertama kali dipakai dalam undang-undang Belanda

mengenai perguruan tinggi di Belanda. Tetapi pada permulaan

abad ke-20, lama sebelum dipakai dalam perundang-undangan,

istilah adatrech makin sering dipakai dalam literatur

(kepustakaan) tentang hukum adat, yaitu dipakai oleh

Nederburgh, Juynboll, Scheuer.8

Selain itu, istilah hukum adat juga berasal dari kata-

kata Arab yaitu Huk’um yang berarti ketentuan dan Adah yang

berarti kebiasaan. Jadi dapat dikatakan bahwa “hukum adat”

adalah hukum kebiasaan.9

Adapun pengertian hukum adat menurut Prof. Dr. C. Van

Vollenhoven yaitu aturan-aturan perilaku yang berlaku bagi

orang-orang pribumi dan orang-orang timur asing, yang di satu

pihak memiliki sanksi (maka dikatakan hukum) dan di lain pihak

tidak dikodifikasi (maka dikatakan adat). Sedangkan menurut

Prof. Dr. B. Ter Haar Bzn yang menjadi Guru Besar pada Sekolah

Tinggi Ilmu Hukum (RHS-Rechts Hoge School) di Jakarta, hukum

adat adalah keseluruhan aturan yang menjelma dari keputusan-

keputusan para fungsionaris hukum (dalam arti luas) yang

mempunyai kewibawaan serta mempunyai pengaruh dan yang dalam

pelaksanaan berlakunya serta merta dan ditaati dengan sepenuh

hati.

8 Muhammad, Bushar. Asas-Asas Hukum Adat : Suatu Pengantar. 2002. Jakarta : PT.

Pradnya Paramita.

Hal : 1-29 Hadikusuma, Hilman. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia. 1992. Bandung : Mandar

Maju. Hal : 8.

Page | 8

Prof. Dr. R. Soepomo, yang merupakan Guru Besar dalam

ilmu hukum adat sejak tahun 1938 di RHS Jakarta dan tahun 1941

menggantikan kedudukan Ter Haar sebagai Guru Besar hukum adat,

memberikan pengertian tentang hukum adat sebagai hukum non-

statutair yang sebagian besar adalah hukum kebiasaan dan

sebagian kecil hukum Islam. Menurutnya pula, bahwa hukum adat

tidak tertulis. Istilah “hukum adat” ini dipakai sebagai

sinonim dari hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan

legislatif.10

Bagi masyarakat Indonesia, hukum yang menjadi patokan

untuk berperilaku adalah hukum adat. Hukum adat dianggap

sebagai aturan hidup untuk mencapai kedamaian dalam

masyarakat. Dengan mempelajari hukum adat, maka kita akan

memahami budaya Indonesia. Di Indonesia sendiri, terdapat

sembilan belas wilayah hukum adat yang memiliki ciri-ciri khas

yang memberi tanda kenal pada hukum adat wilayah yang

bersangkutan. Hal ini tentunya dapat mempermudah mempelajari

sistematik hukum adat itu di suatu wilayah. Sehingga kita

dapat memperoleh suatu ikhtisar sistematis tentang hukum adat

di Indonesia. Sembilan belas wilayah hukum adat tersebut

antara lain sebagai berikut :11

1. Aceh (Aceh Besar, Pantai Barat, Singkel, Simeulue)

2. Tanah Gayo, Alas, dan Batak

2a. Nias (Nias Selatan)

10 Ibid. Hal : 14-18.11 Muhammad, Bushar. Asas-Asas Hukum Adat : Suatu Pengantar. 2002. Jakarta : PT. Pradnya Paramita. Hal : 94-95.

Page | 9

3. Tanah Minagkabau (Padang, Agam, Tanahdatar, Limapuluh

Kota, Tanah Kampar, Korinci)

3a. Mentawai (orang Pagai)

4. Sumatra Selatan (Bengkulu, Lampung, Palembang, Jambi)

5. Tanah Malayu (Lingga-Riau, Indragiri, Sumatra Timur,

orang Banjar)

6. Bangka dan Belitung

7. Kalimantan (Dayak, Kalimantan Barat, Kapuas Hulu,

Kalimantan Tenggara, Mahakam-Hulu, Pasir, Dayak Kenya,

Dayak Klemanten, Dayak Landak dan Dayak Tayan, Dayak

Lawangan, Lepo Alim, Lepo Timai, Long Glatt, Dayak

Maanyan-Patai, Dayak Maanyan-Siung, Dayak Ngaju, Dayak

Ot-Danum, Dayak Penyabung-Punan)

8. Minahasa (Menado)

9. Gorontalo (Bolaang Mongondow, Boalemo)

10. Tanah Toraja (Sulawesi Tengah, Toraja, Toraja Baree,

Toraja Barat, Sigi, Kaili, Tawaili, Toraja Sadan, To

Mori, To Lainang, Kepulauan Banggai)

11. Sulawesi Selatan (orang Bugis, Bone, Gowa, Laikang,

Ponre, Mandar, Makassar, Salayar, Muna)

12. Kepulauan Ternate (Ternate, Tidore, Halmaheira,

Tobelo, Kepulauan Sula)

13. Maluku Ambon (Ambon, Hitu, Banda, Kepulauan Uliasar,

Saparua, Buru, Seram, Kepulauan Kei, Kepulauan Aru,

Kisar)

14. Irian

Page | 10

15. Kepulauan Timor (Timot Timur, Timor Barat, Timor

Tengah, Mollo, Sumba, Sumba Tengah, Sumba Timor, Kodi,

Flores, Ngada, Roti, Savu, Bima)

16. Bali dan Lombok (Bali, Tnganan, Pagringsingan,

Kastala, Karangasem, Buleleng, Jembrana, Lombok,

Sumbawa)

17. Jawa Tengah, Jawa Timur, serta Madura (Jawa Tengah,

Kedu, Purwokerto, Tulungagung, Jawa Timur, Surabaya,

dan Madura)

18. Daerah Kerajaan (Solo dan Yogyakarta)

19. Jawa Barat (Priangan, Sunda, Jakarta, Banten

2.2 Asal Usul Minangkabau

Kerajaan Minangkabau memiliki sejumlah kisah yang panjang

dimulai dari awal abad ke-7 M sejak masih berdirinya kerajaan-

kerajaan Hindu Budha pada masa itu. Diawali oleh Kerajaan

Malayu (Melayu Tua) terletak di Muara Tembesi (kini masuk

wilayah Batanghari, Jambi), berdiri sekitar Abad 6 – awal 7 M.

Kemudian Kerajaan Sriwijaya Tua terletak di Muara Sabak (kini

masuk masuk wilayah Tanjung Jabung, Jambi), berdiri sekitar

tengah Abad 7 – awal 8. Selanjutnya Kerajaan Sriwijaya di

Palembang, Sumatra Selatan pada akhir abad 7 – 11 M.

Kesultanan Kuntu terletak di Kampar, sekitar Abad 14 M.

Kerajaan Malayu (Melayu Muda) atau Dharmasraya terletak di

Page | 11

Muara Jambi, abad 12-14 M. Hingga berdirinya Kerajaan

Pagaruyung yang dipimpin oleh Adityawarman pada tahun 1347.

Mengenai asal-usul nama Minangkabau, terdapat beberapa

versi mengenainya, antara lain seperti yang disampaikan oleh

Drs . Zuber Usman.12 Dalam bukunya kesusastraan lama Indonesia

menyatakan bahwa dalam buku Tun Sri Lanang berjudul” Hikayat

Raja Raja Pasai” disebutkan bahwa patih Gajah Mada pergi

menaklukkan pulau perca dengan membawa Seekor Kerbau Hikmat

yang akan diadu dengan kerbau patih sewatang perdana menteri

kerajan Minangkabau. Patih sewatang menyediakan seekor anak

kerbau yang kepalanya diberi tanduk dengan benda tajam dan

runcing yang beberapa hari tidak diberi susu oleh induknya,

waktu kerbau itu diadu anak kerbau tersebut menyeruduk ke

perut kerbau besar sehingga perutnya tembus oleh tanduk yang

dipasang pada anak kerbau sehingga saat itu orang orang minang

bersorak manang kabau (menang kerbau), sehingga disebutlah

daerah itu dengan Manangkabau yang akhirnya berubah menjadi

Minangkabau.

Lain halnya menurut tambo yang telah diterima secara

turun temurun, menceritakan bahwa nenek moyang mereka berasal

dari keturunan Iskandar Zulkarnain (Alexander the Great) dari

Macedonia. Ia memiliki tiga orang anak yaitu Maharajo Alif,

Maharajo Japang dan Maharajo Dirajo yang sedang melakukan

pelayaran bersama. Mereka bertiga lalu berpisah. Maharajo Alifmeneruskan perjalanan ke Barat dan menjadi Raja di Bizantium,

Maharajo Japang ke Timur lalu menjadi Raja di China dan Jepang.

12 http://fhuk.unand.ac.id (diunduh pada tanggal 7 Februari 2012 pukul 20.30

WIB)

Page | 12

Manakala Maharajo Dirajo ke Selatan sedang perahunya terkandas di

puncak Gunung Merapi karena banjir. Begitu banjir surut, dari puncak

gunung Merapi yang diyakini sebagai asal alam Minangkabau turunlah

rombongan Maharajo Dirajo. Ia kemudian menjadi raja dari

Minangkabau. 13 Mulanya wujud Teratak lalu berkembang menjadi Dusun

lalu jadi Nagari lalu jadilah Koto dan akhirnya menjadi Luhak yang

selanjutnya disebut juga dengan nama Luhak nan Tigo, yang terdiri

dari Luhak Limo Puluah, Luhak Agam, dan Luhak Tanah Datar.14

Van Vollenhoven menyatakan bahwa Minangkabau adalah salah

satu adatrechkring (wilayah hukum adat) yang terdapat di wilayah

Hindia Belanda, yaitu suatu wilayah yang terletak di Sumatera

Tengah bagian Barat, sistem kemasyarakatan Matrilineal,

mempunyai bahasa pengantar bahasa minang, sistem perkawinannya

sistem sumando, sedangkan susunan kemasyarakatannya terdiri

dari persekutuan hukum adat genealogis berbentuk suku, paruik,

kaum yang terhimpun menjadi persekutuan hukum adat territorial

yang disebut dengan nagari yang terhimpunpula kedalam luhak

dan Rantau. Di samping itu Minangkabau digunakan untuk

menyebut salah satu etnis dari masyarakat Indonesia, yaitu

etnis Minangkabau.

2.3 Susunan Masyarakat Minangkabau

2.3.1 Masyarakat Hukum Adat

13 Nasroen, M. Dasar Falsafah Adat Minangkabau. Jakarta : Pasaman. Hal : 13. 14 http://udaeko.wordpress.com (diunduh pada tanggal 7 Februari 2012 pukul

21.00 WIB)

Page | 13

Suasana lingkungan masyarakat Indonesia merupakan

suatu persekutuan-persekutuan yang disebut sebagai

persekutuan hukum. Masing-masing persekutuan hukum tersebut

merupakan kesatuan yang mempunyai anggota-anggota di dalam

lingkungannya, terdapat orang-orang yang berkuasa atas nama

persekutuan tersebut, dan mereka memiliki hubungan yang

erat antara anggota dengan kesatuannya.

Bentuk dan susunan masyarakat hukum yang merupakan

persekutuan hukum adat itu, para anggotanya terikat oleh

faktor yang bersifat territorial dan genealogis. Masyarakat hukum

territorial menurut para ahli hukum adat di zaman Hindia

Belanda, adalah masyarakat yang tetap dan teratur, yang

anggota-anggota masyarakatnya terikat pada suatu daerah

kediaman tertentu, baik dalam kaitan duniawi sebagai tempat

kehidupan maupun dalam kaitan rohani sebagai tempat

pemujaan terhadap roh-roh leluhur (Ter Haar, 1960 : 17).15

Sedangkan, yang dimaksud dengan masyarakat hukum yang

bersifat genealogis adalah suatu kesatuan masyarakat yang

teratur, di mana para anggotanya terikat pada suatu garis

keturunan yang sama dari satu leluhur, baik secara langsung

karena hubungan darah (keturunan) atau secara tidak

langsung karena pertalian perkawinan atau pertalian adat. 16

Menurut para ahli hukum adat di masa Hindia Belanda,

masyarakat yang genealogis itu dapat dibedakan dalam tiga

macam, yaitu yang bersifat patrilinial (garis keturuan

15 Hadikusuma, Hilman. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia. 1992. Bandung : Mandar

Maju. Hal : 106.16 Ibid. Hal : 108.

Page | 14

bapak), matrilinial (garis keturunan ibu), dan bilateral

(susunan masyarakatnya ditarik meurut garis keturunan orang

tua, bapak dan ibu secara bersama-sama).

Pada masyarakat Minangkabau, masyarakat adatnya

bersifat genealogis-matrilinial. Sebagai suatu kesatuan

dasar dari organisasi masyarakat Minang, terdapat suatu

persekutuan hukum yang bernama paruik (satu keluarga besar).

Kemudian paruik berkembang menjadi suatu suku. Pertalian yang

mengikat suku hanyalah pertalian darah menurut garis ibu,

sama sekali tidak terikat kepada suatu daerah tersebut. Di

mana saja anggota-anggota suku itu berada, mereka tetap

merasakan pertalian darah dengan segenap sanak-sanak mereka

yang sesuku. Pada perkembangan selanjutnya, beberapa suku

menempati suatu daerah tertentu yang bernama nagari. Di dalam

nagari biasanya dijumpai sedikitnya empat buah suku.17

A. Paruik

Paruik adalah persekutuan hukum yang dapat diartikan

sebagai keluarga. Dengan bertambahnya anggota, maka

sebuah paruik membelah diri di dalam kesatuan-kesatuan

baru yang lebih kecil yang dinamakan jurai. Walaupun

pada masyarakat Minangkabau berdasarkan garis ibu,

namun yang berkuasa di dalamnya selalu orang laki-laki

dari garis ibu. Maka yang berkuasa di dalam jurai

ialah mamak, saudara laki-laki yang tertua dari ibu.

Di dalam sebuah paruik yang berkuasa juga orang laki-

laki dari garis ibu yang dinamakan kapalo paruik atau

17 Anwar, Chairul. Hukum Adat Indonesia : Meninjau Hukum Adat Minangkabau. 1997.

Jakarta : Rineka Cipta. Hal : 9-23.

Page | 15

biasanya disebut panghulu andiko. Kapalo paruik dipilih

dari jurai yang tertua dari paruik tersebut.

B. Suku

Dari sebuah paruik kemudian berkembang menjadi suatu

suku yang anggota-anggotanya satu sama lain diikat

oleh pertalian darah menurut garis ibu. Orang-orang

yang sesuku adalah satu keturunan menurut garis ibu,

dan satu sama lain mereka merasakan dirinya

berdunsanak (bersaudara). Sehingga tidak

diperbolehkanlah melakukan perkawinan di dalam suku

sendiri. Di Minangkabau terdapat empat buah suku asal,

yaitu Koto, Piliang, Bodi, Caniago.

C. Nagari

Nagari adalah persekutuan hukum yang berdiri di atas

faktor teritorial dan faktor genealogis. Di dalam

nagari terdapat suatu batas-batas dan harus terdapat

sekurang-kurangnya empat buah suku. Hal ini dinyatakan

dalam kata adat sebagai berikut :

Nagari bakaampek suku

Nan bahindu babuah paruik

Kampuang batuo

Rumah batungganai

Datuk Katamanggunan beserta Datuk Parpatih Nan

Sabatang telah membuat aturan-aturan bagi alam

Minangkabau. Salah satu aturan tersebut terkenal

dengan nama Nagari Nan Ampek, ada juga yang menyebutnya

Koto Nan Ampek atau di perpendek menjadi Koto Ampek, yang

dimaksudkan ialah Teratak (kediaman yang letaknya jauhPage | 16

terpencil dari kampuang atau nagari), Dusun

(perkembangan dari teratak, yang pada umumnya jika

telah mempunyai tiga buah suku didalamnya dinamakanlah

dusun), Koto (daerah pusat yang akan berkembang menjadi

suatu nagari), dan Nagari (persekutuan hukum yang dapat

diumpamakan sebagai suatu kesatuan kenegaraan).

2.3.2 Sistem Kepengurusan18

Dilihat dari sistem kepengurusan dalam pemerintahan

adatnya dapat dibedakan dari dua kelarasan, yaitu laras atau

lareh Bodi Caniago dan Koto Piliang. Tata adat kelarasan

Bodi Caniago dihubungkan pada tokoh Datuk Parpatih Nan

Sabatang, yang menunjukkan corak kepribadian Melayu yaitu

pemerintahan demokrasi terbuka. Pemerintahan ini

mementingkan musyawarah dan mufakat sesuai dengan

peribahasa “duduk sama rendah berdiri sama tinggi”. Jadi

kedudukan para penghulu andiko itu sejajar yang satu dan

yang lain dalam menetapkan keputusan. Sistem pemerintahan

menurut adat Bodi Caniago terdapat di daerah Agam.

Sedangkan menurut tata adat kelarasan Koto Piliang

yang dihubungkan dengan tokoh legendarisnya Datuk

Katamanggunan, menunjukkan pemerintahan yang bercorak

otokrasi atau demokrasi yang terkendali. Jadi, kepenghuluan

di laras Koto Piliang tidak dipilih seperti di laras Bodi

Caniago, mereka tetap sebagai penghulu yang turun temurun

menurut sub-klennya masing-masing. Para penghulu ini tunduk

18 Hadikusuma, Hilman. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia. 1992. Bandung : Mandar

Maju. Hal : 124.

Page | 17

kepada Penghulu Suku, dan para Penghulu Suku tunduk pada

Penghulu Pucuk (Pucuk Nagari). Dalam pelaksanaan

pemerintahan adat sesungguhnya bukan kato mupakat para

penghulu gabungan suku yang lebih besar pengaruhnya,

melainkan kebijaksanaan dan tindakan yang dilakukan “Urang

Ampek Jinih” (orang empat jenis), yaitu “Penghulu” (Pucuk

Nagari), “Manti” sebagai penulis, “Malim” untuk urusan

keagamaan, dan “Dubalang” untuk urusan keamanan dengan

bantuan dan dukungan para penghulu suku. Daerah yang

memakai sistem pemerintahan menurut adat Koto Piliang ada

di daerah L Koto.

2.4 Adat Masyarakat Minangkabau

Pada umumnya, di kalangan masyarakat tidak ada pembedaan

antara istilah “adat” dengan “hukum adat”. Jadi dengan

mengatakan “adat” berarti sudah meliputi “hukum adat”, baik

adat tanpa sanksi maupun adat yang mempunyai sanksi. Di

masyarakat Minangkabau terdapat empat adat yang telah

dilaksanakan secara turun temurun, yaitu :19

1. Adat Nan Sabana Adat (adat yang sebenarnya)

Yang dimaksud dengan adat nan sabana adat ialah segala

sesuatu yang telah demikian terjadi menurut kehendak

Allah SWT, jadi yang telah merupakan undang-undang alam

yang selalu abadi dan tidak berubah-ubah, seperti :

murai bakicau (murai berkicau), jawi malanguah (sapi

melenguh), dan kabau mangowek (kerbau menguek). Adat

19 Opcit. Hal : 56-58.

Page | 18

nan sabana adat ini juga dimaksudkan segala yang

diterima Nabi Muhammad SAW menurut aturan-aturab yang

terdapat di dalam Al-Qur’an atau disebut juga sebagai

adat yang datang dari Allah SWT.

2. Adat Nan Diadatkan

Merupakan adat yang dibuat oleh orang ahli pengatur

tata alam Minagkabau yaitu Datuk Ketumanggungan beserta

Datuk Perpatih Nan Sabatang. Menurut anggapan rakyat

adat ini juga bersifat abadi dan tak berubah-ubah

seperti dalam pepatah : indak lakang dek paneh, indak lapuak

dek hujan.

Adat ini terdiri dari : Cupak nan Duo (Cupak usali dan

cupak buatan); Kato nan Ampek (Kato pusako, Kato

mufakat, Kato dahulu ditempati, dan Kato kemudian kato

dicari); Undang-undang nan Ampek (Undang-undang

luhak/rantau, Undang-undang nagari, Undang-undang di

dalam nagari, Undang-undang nan duo puluah); Nagari nan

Ampek ( Teratak, Dusun, Koto, Nagari).

3. Adat Nan Teradat

Merupakan kebiasaan bertingkah laku yang dipakai karena

tiru-meniru di antara anggota masyarakat. Karena

perilaku kebiasaan itu sudah terbiasa terpakai, maka

tidak baik untuk ditinggalkan. Misalnya, dikalangan

orang Minangkabau sudah teradat apabila ada kaum

kerabat yang meninggal, atau untuk menyambut tamu

agung, mereka berdatangan dengan berpakaian berwarna

hitam.

4. Adat Istiadat

Page | 19

Yang dimaksud adat istiadat ialah adat sebagai aturan

(kaidah) yang telah ditentukan oleh nenk moyang

(leluhur), yang bagi masyarakat Minangkabau dikatakan

berasal dari Ninik Katamanggungan dan Ninik Parpatih

Nan Sabatang di balai Balairung Periangan Padang

Panjang. Dalam hal ini adat mengandung arti kaidah-

kaidah aturan kebiasaan yang berlaku tradisional sejak

zaman nenek moyang hingga ke anak cucu sekarang. Aturan

kebiasaan ini pada umunya tidak mudah berubah.

Bab III

Kesimpulan

Hukum adat merupakan suatu proses perubahan dalam diri

manusia yang didasari oleh adanya pikiran, kehendak, dan cara

Page | 20

berperilaku. Hal ini bermula dari kebiasaan pribadi individu

yang kemudian apabila kebiasaan ini diikuti oleh individu lain

di dalam suatu kelompok masyarakat, maka kebiasaan pribadi

seseorang tersebut akan berubah menjadi suatu adat. Lama

kelamaan, adat ini dijadikan oleh sekelompok masyarakat

sebagai adat yang seharusnya berlaku bagi seluruh kelompok

masyarakat, sehingga dinamakan hukum adat.

Hukum yang dianalisir telah ada sejak zaman Hindia

Belanda ini, banyak digunakan oleh sejumlah kelompok

masyarakat yang berada di Indonesia. Menurut Ter Haar,

terdapat sekitar sembilan belas wilayah adat yang tersebar di

Indonesia, salah satunya adalah kelompok masyarakat (etnis)

Minangkabau yang berada di Sumatra Barat.

Masyarakat Minangkabau terkenal sekali dengan masyarakat

adatnya yang bersifat genealogis-matrilinial, yaitu suatu

kesatuan masyarakat yang teratur, di mana para anggotanya

terikat pada suatu garis keturunan yang sama dari satu

leluhur, baik secara langsung atau secara tidak langsung. Oleh

karena masyarakat Minangkabau menganut sistem matrilinial,

maka susunan masyarakatnya ditarik dari garis keturunan ibu.

Selain itu, masyarakat Minangkabau menjadi masyarakat adat

terbesar di dunia yang masih mempertahankan sifat

matrilinialnya tersebut.

Dalam hukum adat Minangkabau, terdapat sejumlah aturan-

aturan dan susunan masyarakat yang masih besar pengaruhnya

hingga saat ini. Susunan masyarakat Minangkabau sendiri

terdiri dari kelompok terkecil, paruik, hingga terbentuklah

Page | 21

suatu nagari. Adat istiadatnya juga masih sangat besar

pengaruhnya hingga saat ini, yaitu Adat Nan Sabana Adat (adat yang

sebenar adat), Adat Nan Diadatkan, Adat Nan Teradat, dan Adat Istiadat.

Dengan mempelajari hukum adat yang berada di Indonesia,

khususnya dalam hal ini adalah Minangkabau, kita mengetahui

bahwa masih ada masyarakat Indonesia yang menggunakan hukum-

hukum yang dibuat secara tidak tertulis dan dijadikan sebagai

pedoman masyarakat setempat secara turun-temurun.

Daftar Pustaka

1. Sumber Pustaka

Anwar, Chairul. Hukum Adat Indonesia : Meninjau Hukum Adat

Minangkabau. 1997.

Jakarta: Rineka Cipta.

Hadikusuma, Hilman. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia. 1992.

Bandung :

Mandar Maju.

Muhammad, Bushar. Asas-Asas Hukum Adat : Suatu Pengantar. 2002.

Jakarta :

PT. Pradnya Paramita

Nasroen, M. Dasar Falsafah Adat Minangkabau. Jakarta : Pasaman.

Soekanto, Soerjono. Hukum Adat Indonesia. 1983. Jakarta :

Rajawali Pers.

Page | 22

Soekanto, Soerjono. Kedudukan dan Peranan Hukum Adat di Indonesia. 1982.

Jakarta :

Kurnia Esa.

2. Sumber Website

http://fhuk.unand.ac.id (diunduh pada tanggal 7 Februari

2012 pukul 20.30 WIB)

http://udaeko.wordpress.com (diunduh pada tanggal 7

Februari 2012 pukul 21.00 WIB)

Page | 23