PERKEMBANGAN POLITIK HUKUM DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN TERHADAP MASYARAKAT HUKUM ADAT* Oleh: Oloan...

26
PERKEMBANGAN POLITIK HUKUM DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN TERHADAP MASYARAKAT HUKUM ADAT * Oleh: Oloan Sitorus * * Dinamika politik hukum tanah mengenai eksistensi masyarakat hukum adat dan hak ulayatnya berkembang sesuai perjuangan keadilan sosial. Sejarah hukum menunjukkan bahwa kepedulian negara terhadap hak ulayat masyarakat hukum adat tidak datang dengan sendirinya atas belas-kasih para penyelenggara negara, melainkan karena perjuangan masyarakat hukum adat itu sendiri. Ide negara budiman yang diimpikan untuk mensejahterahkan seluruh warga negaranya, termasuk yang marjinal seperti masyarakat hukum adat, lebih banyak terbukti sebagai mitos. Tulisan ini ingin mendeskripsikan bahwa perjuangan penegakan hak ulayat masyarakat hukum adat lebih merupakan usaha dari masyarakat hukum adat itu sendiri. Hal ini tampak dari perkembangan politik hukum tanah di Indonesia sejak jaman Pemerintah Hindia Belanda sampai pada Pemerintah Negara Indonesia sekarang ini. Bahkan, perkembangan politik hukum beberapa negara di Asia pun menunjukkan kecenderungan yang sama. Secara asumtif dapat dikatakan, semakin demokratis suatu negara, semakin baik pula kemungkinan perjuangan penegakan eksistensi hak ulayat. Hak Ulayat sebelum UUPA Secara sepintas Regerings Reglement 1854 Pasal 64 alinea 3 menyebutkan pengakuan terhadap Hak Wilayah (ulayat) ini dengan menyatakan: ”tanah-tanah yang dibuka oleh rakyat untuk pengonan umum atau keperluan lain, termasuk dalam desa.” Ketentuan ini merupakan pengakuan adanya hak desa atas tanah dalam lingkungannya. Tetapi dengan Stb. 1896 No. 44 dan Stb 1925 No. 649, maka beschikkingsrecht-nya desa menjadi berkurang, karena kekuasaan untuk mengatur tanah yang ada dalam lingkungan daerah desanya (tanah yang belum dibuka) sudah tidak ada lagi, dan tidak dapat lagi menentukannya. Hak wilayah ini berupa kekuasaan mengatur tanah dalam lingkungan desa serta menjaga tanah dalam desa itu untuk keselamatan dan kepentingan penduduknya. [1] Dapat dikatakan, sesungguhnya tidak ada pengakuan secara tegas terhadap Hak

Transcript of PERKEMBANGAN POLITIK HUKUM DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN TERHADAP MASYARAKAT HUKUM ADAT* Oleh: Oloan...

PERKEMBANGAN POLITIK HUKUMDALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN TERHADAP

MASYARAKAT HUKUM ADAT*

 Oleh: Oloan Sitorus**

 Dinamika politik hukum tanah mengenai eksistensi masyarakathukum  adat dan hak ulayatnya berkembang sesuai perjuangankeadilan sosial. Sejarah hukum menunjukkan bahwa kepeduliannegara terhadap hak ulayat masyarakat hukum adat tidak datangdengan sendirinya atas belas-kasih para penyelenggara negara,melainkan karena perjuangan masyarakat hukum adat itu sendiri.Ide negara budiman yang diimpikan untuk mensejahterahkanseluruh warga negaranya, termasuk yang marjinal sepertimasyarakat hukum adat, lebih banyak terbukti sebagai mitos. Tulisan ini ingin mendeskripsikan bahwa perjuangan penegakanhak ulayat masyarakat hukum adat lebih merupakan usaha darimasyarakat hukum adat itu sendiri. Hal ini tampak dariperkembangan politik hukum tanah di Indonesia sejak jamanPemerintah Hindia Belanda sampai pada Pemerintah NegaraIndonesia  sekarang ini. Bahkan, perkembangan politik hukumbeberapa negara di Asia pun menunjukkan kecenderungan yangsama. Secara asumtif dapat dikatakan, semakin demokratis suatunegara, semakin baik pula kemungkinan perjuangan penegakaneksistensi hak ulayat. Hak Ulayat sebelum UUPASecara sepintas Regerings Reglement 1854 Pasal 64 alinea 3menyebutkan pengakuan terhadap Hak Wilayah (ulayat) ini denganmenyatakan: ”tanah-tanah yang dibuka oleh rakyat untuk pengonan umum ataukeperluan lain, termasuk dalam desa.” Ketentuan ini merupakan pengakuanadanya hak desa atas tanah dalam lingkungannya.  Tetapi denganStb. 1896 No. 44 dan Stb 1925 No. 649, maka beschikkingsrecht-nyadesa  menjadi berkurang, karena kekuasaan untuk mengatur tanahyang ada dalam lingkungan daerah desanya (tanah yang belumdibuka) sudah tidak ada lagi, dan tidak dapat lagimenentukannya. Hak wilayah ini berupa kekuasaan mengatur tanahdalam lingkungan desa serta menjaga tanah dalam desa itu untukkeselamatan dan kepentingan penduduknya.[1] Dapat dikatakan,sesungguhnya tidak ada pengakuan secara tegas terhadap Hak

Ulayat (dengan segala variasinya) secara utuh di seluruhwilayah Hindia Belanda. Oleh karena itu, Boedi Harsono menyatakan bahwa politikpertanahan pemerintahan kolonial diarahkan untuk tidakmengakui dan menghormati Hak Ulayat (beschikkingsrecht: VanVollenhoven atau wewengkon). Bahkan Pemerintah Kolonial Belandamenggolongkan tanah-tanah ulayat sebagai tanah negarabebas (vrij lands domein).[2] Pengambilan tanah ulayat dalam praktikdisertai pemberian sesuatu yang disebut ”recognitie’, sebagaipengakuan adanya hak masyarakat hukum adat yang bersangkutanatas tanah yang diambil. Sesungguhnya, rendahnya pengakuanterhadap tanah milik rakyat bumiputera bukan saja terhadaptanah komunalnya, tetapi juga kepada tanah-tanah milik adatlainnya yang sudah bersifat individual seperti hak memakaiindividual yang turun temurun (erfelijk individueelrechtgebruiksrecht)  dan Inlandsbezitrecht.Dalam administrasi pertahanan,tanah-tanah milik adat tersebut dikenal sebagai onvrij landsdomein (tanah negara tidak bebas). Pada peta pendaftarankadaster, tanah-tanah tersebut dilukiskan dengan sebutan landsdomein, tanpa menyebut adanya hak rakyat yang diakui dandilindungi hukum. Dengan demikian, jika melihat peta kadastersaja, orang sering keliru menafsirkan status hukum tanah yangbersangkutan, seakan-akan tidak ada hak rakyat yangmembebaninya.[3]

 Pengabaian Hak Ulayat ini semakin tampak nyata dengan adanyaKoninklijk Besluit  Stb 1870-118 yang kemudian dikenaldengan Agrarisch Besluit, yang dalam Pasal 1, intinya menyatakanbahwa semua tanah yang pihak lain tidak dapat membuktikansebagai hak eigendomnya, adalah domein (milik) negara.Ketentuan ini lebih dikenal sebagai Domein Verklaring (DV). DV inisemula hanya berlaku untuk Jawa dan Madura, tetapi dengan Stb1875-119a DV ini juga berlaku untuk daerah pemerintahanlangsung di luar Jawa dan Madura. Dengan DV, maka satu-satunyapenguasa yang berwenang memberikan tanah kepada pihak lainadalah pemerintah kolonial Belanda. Politik hukum yangdemikian penting untuk melancarkan misi besar dari PolitikHukum Agraria Kolonial pada waktu itu, yaknimenjadikan Agrarische Wet sebagai instrumen untuk memfasilitasipengusaha besar swasta dalam melaksanakan berbagai usahanya diwilayah jajahan Hindia Belanda.[4]

 Hak Ulayat setelah UUPAUUPA tampak ingin menentukan bahwa hukum materiel (substantive law)[5] dari Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat (HUMHA) adalah hukumadat. Hal itu yang tampak secara implisit antara lain dalamketentuan Pasal 3, 5, 22, 56, dan 58 UUPA. Yang pentingdicermati dari berbagai pasal UUPA tersebut adalah adanyasikap politik hukum berikut ini: (a) HUMHA yang diakui danakan dilaksanakan dalam praktik hukumnya adalah adalah hakulayat sebagai hubungan hukum konkrit (yang nyata-nyata masihada)[6]; dan (b) hukum materiel HUMHA tunduk pada Hukum Adat.Kedua sikap itu baru tampak jika melihat hubungan antara HukumTanah Nasional dan Hukum Adat. Boedi Harsono berpendapat bahwa pernyataan UUPA menyatakanbahwa HTN ‘berdasarkan’ Hukum Adat dan HTN ‘ialah’ Hukum Adat,menunjukkan adanya hubungan fungsional antara Hukum Adat danHTN. HTN ‘berdasarkan’ Hukum Adat berarti bahwadalam pembangunan HTN, Hukum Adat berfungsi sebagai sumberutama dalam pengambilan bahan-bahan yang diperlukan; sedangkanpernyataan HTN ‘ialah’ Hukum Adat mengandung makna bahwa dalamhubungannya dengan HTN positif, norma-norma Hukum Adatberfungsi sebagai hukum yang melengkapi.[7]

 Sikap untuk tetap menggunakan Hukum Adat sebagai pelengkap HTNadalah suatu hal yang realistik. Disadari bahwa pembangunanHTN merupakan proses jangka panjang, sementara tindakan-tindakan hukum berkaitan dengan tanah tetap berlangsung. Dalamhal tindakan-tindakan hukum itu belum diatur oleh HTN positif(yang tertulis), maka untuk mencegah kevakuman hukum,berlakulah hukum-hukum positif yang tidak bersumber padaperaturan perundang-undangan, melainkan bersumber pada hukumtidak tertulis, seperti Hukum Adat. Pemberlakuan Hukum Adatsebagai hukum positif bisa juga karena basis sosial yangmembutuhkan memang masih lebih tepat menggunakan hukum yangtradisional daripada hukum modern. Selain itu, Hukum Adatsebagai hukum positif yang melengkapi norma-norma HTN mungkinkarena tingginya pluralisme masyarakat pengguna hukum tanahsesuai dengan ragam suku bangsa di Indonesia. Bagi penulis, meskipun unifikasi hukum merupakan salah satutujuan penyusunan UUPA, bukan berarti bahwa UUPA sama sekali

menutup pintu terhadap pluralisme hukum. Misalnya, jika faktorsosial-kultural suatu daerah masih sangat kuat sehinggamasalah pertanahan tertentu masih dirasa lebih adil denganketentuan hukum lokal tersebut, maka kiranya hukum lokalitulah untuk sementara yang masih tetap berlaku. Tegasnya, jika kondisi lokal tertentu memang betul-betul masihmembutuhkan, maka ketentuan Hukum Adat lah yang kiranyadigunakan sebagai pelengkap HTN positif (yang tertulis). Halitu yang tampak secara implisit antara lain dalam ketentuanPasal 3, 5, 22, 56, dan 58 UUPA. Dalam perspektif yangdemikian, jelas kiranya bahwa hukum materiel     dari Hak Ulayat adalah Hukum Adat. Oleh karena itulah, penulis mengatakan bahwaketentuan Pasal 3 UUPA yang hanya mengakui Hak Ulayatsebagai  hubungan hukum konkrit (dan bukan secara lengkapsebagai lembaga hukum dan hubungan hukum konkrit), berpangkaldari pemikiran aliran realisme hukum (legal realism)   yangmengharapkan UUPA sebagai  a tool of social engineering. Sikap yangseperti itu diambil karena merasa yakin bahwa hakikat HakUlayat sebagai hak komunal secara bertahap sesuai denganperkembangan peradaban masyarakat hukum adat akan mengalamiproses individualisasi. Artinya, sesuai dengan kebutuhanmasyarakat hukum adat, hak-hak komunal itu secara gradual akanmenjadi hak-hak individual. Kiranya, jalan pemikiran itu jugalah yang menyebabkan sehingga UUPA membiarkan pengaturan HakUlayat secara materiel tetap berlangsung menurut Hukum Adat. Lebih tegas Boedi Harsono mengatakan mengatakan:“Sengaja UUPA tidak mengadakan pengaturan dalam bentuk peraturan perundanganmengenai Hak Ulayat, dan membiarkan pengaturannya tetap berlangsung menurut HukumAdat setempat. Mengatur Hak Ulayat menurut perancang dan pembentuk UUPA akanberakibatmenghambat perkembangan alamiah Hak Ulayat, yang pada kenyataannyamemang cenderung melemah. Kecenderungan tersebut dipercepat dengan membikinbertambah kuatnya hak-hak individu, melalui pengaturannya dalam bentuk hukum yangtertulis dan penyelenggaran pendaftarannya yang menghasilkan surat-surat tandapembuktian haknya. Melemahnya atau bahkan menghilangnya Hak Ulayat, diusahakanpenampungannya dalam rangka pelaksanaan Hak Menguasai dari Negara, yangmencakup dan menggantikan peranan Kepala Adat dan para tetua adat masyarakathukum adat yang bersangkutan dalam hubungannya dengan tanah-tanah yang sudahdihaki secara individual oleh para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan,seperti halnya tanah-tanah daerah lain.” [8]

 

Sikap politik hukum UUPA untuk menghormati hukum adat sebagaihukum materiel dari hak ulayat “dikapitalisasi” olehpemerintahan Orde Baru yang bersandar pada investor. Dalamkenyataan hukumnya, hukum adat sebagai hukum materiel HUMHAtidak dihormati oleh penguasa otoritarian tersebut, sehinggaharapan proses individualisasi hak ulayat sebagai hak komunaltidak terjadi menjadi hak individual bagi para anggotamasyarakat hukum adat itu sendiri. Bahkan, yang terjadi adalahhak-hak ulayat masyarakat hukum adat mengalami“individualisasi” menjadi hak-hak guna usaha para investor.Akibatnya, masyarakat hukum adat terpinggirkan bahkanterlempar keluar dari lingkungan hukum adatnya. Ketika OrdeBaru digantikan oleh Orde Reformasi, lahir tuntutanpenyelenggaraan pemerintahan negara yang demokratis. Salah satu tuntutan ‘reformasi’ mendesak penyelenggarapemerintahan di bidang keagrariaan/pertanahan untukmengeluarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 5Tahun 1999 tentang Pedoman Masalah Hak Ulayat Masyarakat HukumAdat. Peraturan ini pada hakikatnya menegaskan[9] kriteriaeksistensi Hak Ulayat dan penentuan keberadaan Hak Ulayat.Sesuai dengan semangat desentralisasi yang dibawakan oleh UUNo. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah ditegaskan bahwapenelitian dan penentuan masih adanya Hak Ulayat dilakukanoleh Pemerintah Daerah[10] dengan mengikutsertakan para pakarHukum Adat, masyarakat hukum adat yang ada di daerah yangbersangkutan, Lembaga Swadaya Masyarakat dan instansi-instansiyang mengelola sumber daya alam. Meskipun penerbitan Peraturan Menteri Negara Agraria/KepalaBPN No. 5 Tahun 1999 tidak mengubah dasar hukum materiel HakUlayat, tidak dapat dipungkiri bahwa kehadirannya dapatdikatakan memperkuat political will pemerintah untuk mengakui HakUlayat sebagaimana secara normatif sudah dinyatakan di dalamPasal 3 UUPA. Melalui Peraturan Menteri Negara Agraria/KepalaBPN No. 5 Tahun 1999 ini, tanggungjawab untuk mengatur lebihlanjut dan menata Hak Ulayat, sesuai dengan otonomi daerahsudah berada di tangan Pemerintah Daerah. Hal itu kemudianditegaskan oleh Keppres No. 34 Tahun 2003 yang antaralain  menyatakan bahwa ‘penetapan dan penyelesaian masalahtanah ulayat’ dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota.[11] Dapat diterima akal, jika kewenangan untuk ‘penetapan dan

penyelesaian masalah tanah ulayat’ dilaksanakan olehPemerintah Kabupaten/Kota, oleh karena secara asumtif dapatdikatakan bahwa terdapat variasi Hak Ulayat antara suatudaerah dengan daerah lainnya. Pelaksanaan masalah tanah ulayatoleh Pemerintah Daerah  itu juga selaras dengan titik beratotonomi daerah yang berada di tangan PemerintahKabupaten/Kota. Dalam pada itu, jika negara ini masih konsisten sebagai negarayang berbentuk unitarisme (negara kesatuan), kiranya arahpolitik hukum[12] tanah nasional yang bertujuan membangununifikasi hukum tanah di Indonesia berdasarkan konsepsi(falsafah), asas dan lembaga hukum adat yang bersifatnasional, masih tetap dapat dipertahankan seperti yangdiharapkan Tap MPRS No. II/MPRS/1960 dan diputuskan di dalamSeminar “Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional” yangdiselenggarakan di Yogyakarta tahun 1975. Hal yang perludireformasi dari politik hukum tanah sebelumnya adalah suatusikap yang memandang rendah norma-norma Hukum Adat yang secarafaktual masih merupakan kesadaran hukum dari suatu masyarakattertentu. Pelecehan itu harus diganti dengan kebijakanpenghormatan terhadap norma hukum tradisional itu sebagaibagian tidak terpisah dari norma HTN positif (tertulis). NormaHTN sebagai produk hukum negara tidak boleh mengkooptasi normaHukum Adat, karena memang Hukum Adat bukan subordinasi darinorma HTN sebagai produk hukum negara. Posisi norma Hukum Adat‘sama berharganya’ dengan produk hukum negara. Dalam pemahamanseperti itulah kiranya diartikan ‘Arah Kebijakan Hukum’ GBHN1999-2004 Bab IV A.2. yang akan menata sistem hukum nasionalyang menyeluruh dan terpadu dengan  mengakui hukum agama danhukum adat. Sikap yang demikian itu pulalah yang mendasariBadan Pembinaan Hukum Nasional yang menjadikan wawasanpembangunan hukum meliputi: wawasan nusantara, wawasankebangsaan, dan wawasan bhineka tunggal ika secara simultan.[13]

 Memberi penghargaan yang sama terhadap norma HTN sebagaiproduk hukum negara dengan produk hukum adat tidak perluberarti bahwa kebijakan hukum nasional akan beralih dari cita-cita unifikasi hukum ke arah pluralisme hukum atau pengkotak-kotakan pengguna hukum sebagaimana politik hukum kolonial yangdigariskan pada Pasal 131 jo 163 IS. Sebagai produk hukumkolonial, kebijakan pluralisme dan pengkotak-kotakan hukum

oleh pemerintahan kolonial tidak terlepas dari taktikpolitik devide et impera. Secara hipotetis dapat dikatakan bahwapluralisme hukum pada waktu itu digunakan sebagai sarana untukmemecah belah Bangsa Indonesia. Penulis berpendirian bahwatuntutan reformasi yang menginginkan pemerintahan yangdemokratis melalui pemberdayaan masyarakat dan daerahseyogianya tidak meninggalkan cita-cita unifikasi hukum,apalagi untuk hukum dalam bidang kehidupan netral, melainkanmeningkatkan perhatian dan pengakuan akan eksistensi normaproduk hukum masyarakat (norma hukum kebiasaan dan hukumadat). Artinya, ketika melakukan pembangunan hukum nasional,konsepsi (falsafah), asas, dan lembaga hukum adat harussungguh-sungguh dijadikan sebagai bahan utama pembangunanhukum, namun dengan tetap memperhatikan kecenderunganglobalisasi di bidang hukum. Selanjutnya, jika kesadaran hukummasyarakat masih memandang hukum adatnyalah yang lebih tepatsebagai kebutuhannya, maka norma-norma hukum adat yang akandigunakan sebagai hukum positif. Keberadaannya merupakanbagian yang setara dengan produk hukum negara. Berarti,keduanya merupakan unsur yang terintegrasi dalam suatu sistemhukum nasional. Oleh karena itu, pemerintah tidak perlumemaksakan kehendaknya untuk memberlakukan produk hukumnegara. Bagaimanakah bentuk dan isi hukum dari aturan yang mengaturHak Ulayat. Apakah keberadaan Hak Ulayat yang tunduk padapengaturan Hukum Adat tetap dibiarkan berlangsung tanpabimbingan pemerintah? Tidakkah tetap dibutuhkan peranpemerintah (karena memang masyarakat hukum adat sebagai subyekHak Ulayat berada di dalam suatu negara) untuk mengakui danmenghormati Hak Ulayat sebagai lembaga penguasaan tanah darimasyarakat bersahaja Bangsa Indonesia? Untuk itu, kiranyapenting melihat pengaturan tanah-tanah adat di berbagai negaradan mencermati penataan hak komunal di Provinsi Bali. Indigenous People di AsiaJose Martinez Cobo, reporter khusus PBB yang ditugaskan untukmengkaji diskriminasi yang diderita oleh masyarakatasli(indigenous people),  menyatakan:

“Indigenous communities, people and nations are those which, having a historicalcontinuity with pre invasion and pre-colonial societies that developed on theirterritories, consider themselves distinct from other sectors of the societies nowprevailing in those territories, or parts of them. They form at present non-dominant

sectors of society and are determined to preserve, develop and transmit to futuregenerations their ancestral territories, and their ethnic identity, as the basis of theircontinued existence as people, in accordance with their own cultural patterns, socialinstitutions and legal systems.”[14]

 Definisi di atas memberi beberapa tekanan, sebagai berikut:1.     masyarakat asli (indigenous people) haruslah

mempunyai kontinuitas historis dengan masyarakat prakolonial dan pra invasi, sehingga tidak ada masyarakat asliyang muncul tiba-tiba;

2.     mempertimbangkan diri sebagai sesuatu yang berbedadari masyarakat lainnya yang sekarang di wilayah itu, ataumerupakan bagian dari masyarakat yang ada di wilayah itu;

3.     masyarakat asli ditujukan  untuk memelihara,mengembangkan, dan melanjutkan   wilayah dan identitasetnis mereka bagi generasi penerus;

4.     basis dari eksistensi keberlanjutan mereka sebagaimasyarakat sesuai sistem hukum, pranata sosial, dan polakultural mereka sendiri.

 Dari Poin 4 di atas, tampak bahwa secara hukum, keberadaanmasyarakat asli tunduk pada sistem hukum tersendiri. Artinya,masyarakat asli mempunyai sistem hukum tersendiri secarakhusus yang berbeda dari sistem hukum yang ada secaranasional. Biasanya, wilayah masyarakat adat itu sendiri punsebagai asetnya tunduk pada hukum mereka sendiri. Hukum inilahyang biasanya di Indonesia disebut sebagai Hukum Adat (Adat Law,Customary Law). Yang dimaksud sebagai Hukum Adat (CustomaryLaw), adalah: ‘and established system of immemorial rules which had evolvedfrom the way of life and natural wants of the people, the general context of whichwas a matter of common knowledge, coupled with precedent applying to specialcase, which were retained in the memories of the chief and his counselors, their sonsand theri son’s sons (sic), until forgotten, or until they became part of theimmemorial rules...’. Di Asia, terminologi Indigenous People (IP) bervariasi,yakni: aboriginal tribes (Taiwan), aborigines (Malaysia-peninsular),cultural minorities (Phillipines), hilltribes (Thailand), minorities nationalities (China), natives (MalaysianBorneo), dan‘scheduled tribes’ (India). Pertanyaan identitas asli(indigenous)  masih merupakan perdebatan hangat di Negara-negaraAsia, namun sekarang ini negara-negara Asia secara gradual

telah menunjukkan toleransi yang lebih besar terhadap istilah‘asli’(indigenous). Bahkan di beberapa negara secara tegasmemberikan pengakuan terhadap eksistensi dari masyarakat asliini, termasuk terhadap tanah yang menjadi wilayahkeberlangsungan hidupnya. Hak  komunal atas tanah di Cordilerra (Filipina) disebutsebagai anchestral land (tanah leluhur).  Di Filipina terdapatpengakuan konstitusional  yang secara tegas terhadaphak  tanah dan sumber daya alam lainnya (Section 22 ArticleII, Constitution of the Philippines). Selanjutnya pada levelundang-undang, telah ditetapkan Indigenous People’s Right Act– IPRA (1997) yang intinya menyatakan: “… to delineate, recognize, and,where appropriate, to provide written titles to genuine claims over ancestral landsand domains.” Di dalam Pasal 5 IPRA (1997) ditegaskan pula apayang dimaksud sebagaiindigenous concept of ownership, yaitu: “Theindigenous concept of ownership sustain the view that ancestral domains and allresources found therein shall serve as the material bases of their cultural integrity.The indigenous concept of ownership generally holds that ancestral domain are[indigenous cultural communities/indigenous people] private but common property,which belong to all generations and therefore can not be sold, disposed of ordestroyed. It likewise covers sustainable traditional resource right (garis bawahdari penulis).”  Berarti, bahwa di Filipina, hak-hak adat atastanah dipandang sama dengan hak-hak atas tanah menurut HukumTertulis negaranya (right equivalent to ownership). Hak-hak adat itutetap sebagai suatu hak atas pemilikan yang bersifat terbatas,karena tidak bisa dialihkan. Untuk melaksanakan amanat undang-undang tersebut dibentuklahKomisi Nasional tentang Masyarakat Asli (National Commission onIndigenous People - NCIP)   di bawah Kantor Kepresidenan. Komisiinilah kelak yang akan mengeluarkan  Certificate of Ancestral LandTitle  (CALT) dan Certificate of Ancestral  Domein Title (CADT).Selanjutnya, di tingkat municipality disusun Ancestral DomainManagement Plan (ADMP) untuk mempersiapkan penerbitan sertifikatdimaksud.[15] Pada kasus Cordillera, ADMP itu dipandang sangatpenting mengingat kenyataan problematik yang selalu dihadapiadalah adanya kontradiksi-kontradiksi administratif dangeografis. Kontradiksi-kontradiksi dipandang sebagai fokus didalam melakukan riset partisipatoris untuk mengharmonisasikanstruktur pengelolaan adat kebiasaan dengan persyaratan prosespensertipikatan.[16]

 Riset diarahkan kepada pendekatan Community-Based Natural ResourcesManagement (CBNRM).  Tim  Riset memikirkan 2 (dua) langkahstrategi. Langkah pertama, untuk mendapatkan pengakuanpemilikan secara formal di dalam municipalityagar mereka dapatdiakui sebagai unit-unit perencanaan kunci (key planningunits). Langkah kedua, menolong 3 (tiga) komunitastradisional (ilis), mengidentifikasi isu-isu dan aktivitas-aktivitas untuk dimasukkan di dalam perencanaan pengelolaanmereka.  Di Cordillera,   3 (tiga) tipe masyarakat hukum adat(yang disebut Ili) (traditional communities), ituadalah: Fidelisan(utara), Demang (tengah), Ankileng (selatan). Ketiganya dapatmewakili zona agroekologi Sagada (agro-ecological zones of Sagada).Unit yang lebih kecil dalam suatu ili adalah barangays.  Yang perludiketahui bahwa sertipikat diberikan kepada municipality.[17]  Marcus Colschester mengatakan bahwa  di Malaysia, (sama denganIndonesia), penguasaan adat lebih dekat disebutsebagaiusufruct[18] right (hanya semacam hakpenguasaan/menikmati  atas tanah bersama), bukan sebagai hakatas tanah yang berisi dan memiliki isi kewenangan privat (rightequivalent to ownership).[19]  Secara lebih tegas dinyatakan: “In othercountries, such as Indonesia and Malaysia, the laws grant what administratorsunderstand to be much more limited usufructory or possessory right, considered tobe much weaker than full ownership. Di Peninsular Malaysia, pada kasuspengadilan di Johor, (1997) dengan aboriginal people (orang asli)telah kehilangan penguasaan untuk membuat tanggul, secaraefektif menantang interpretasi hukum para administrasi danmenegakkan prinsip hak aborigin sebagai hak-hak okupasi danpenggunaan tradisional yang tidak bisa dipadamkan.[20]   DiSabah, right of usufruct hanya ditoleransi sebagaitenants- at- will onstate land (semacam pinjam pakai di atas tanah negara).[21] Bahkandi Sarawak, upaya untuk mengamankan aset tanah masyarakat aslisecara partisipatoris dipandang sebagai perbuatankriminal.  Undang-undang Surveyor Pertanahan tahun 2001,dilakukan kriminalisasi terhadap pemetaan yang dilakukan olehmasyarakat (community mapping). Undang-undang tersebut menyatakanbahwa semua pemetaan yang dilakukan oleh masyarakat adalahilegal, kecuali yang dilakukan oleh surveyor berlisensi (licencedsurveyors). Selanjutnya, undang-undang itu juga membatasi: “theboundaries of any land, including state land and any lawfully held under nativecustomary rights.”[22] 

 Penataan Tanah-tanah Adat Di Provinsi Bali[23]

Pada tahun 1990-an, sesungguhnya meskipun hanya sporadis,telah ada upaya nyata untuk melakukan penataan tanah-tanahadat di Bali. Sebagai contoh, pengaturan mengenai penataantanah-tanah adat ditemukan juga di Kabupaten Bangli. BupatiKDH Bangli mengeluarkan Keputusan KDH Tingkat II Bupati No.651 Tahun 1998 tentang Pensertifikatan Tanah-tanah Ayahan Desa(AYDS) Maksimal pada Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai. Pasal 1Keputusan Bupati tersebut menyatakan  bahwa tanah-tanah AyahanDesa (Ayds) yang berada di Kabupaten Daerah Tingkat II Banglidapat disertifikatkan maksimal menjadi hak guna bangunan atauhak pakai atas nama yang menguasai tanah dimaksud secara turuntemurun sejak sebelum 24 September 1960. Selanjutnya Pasal 2 Keputusan Bupati di atas menyatakan bahwadalam pensertifipakatan tanah dimaksud, di samping diperlukansurat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlakujuga diperlukan adanya ijin/persetujuan dari Desa Adat yangbersangkutan. Kemudian, Pasal 3 Keputusan Bupati itu jugamenyatakan bahwa pengalihan tanah Ayds maupun untukdijaminkan/dipakai untuk tanggungan suatu utang piutang disamping diperlukan surat sesuai dengan ketentuan peraturanperundang-undangan yang berlaku juga diperlukan adanyaijin/persetujuan dari Desa Adat yang bersangkutan. Akhirnya,Pasal 4 Keputusan Bupati tersebut menyatakan bahwa untuk tidakmengaburkan identitas tanah ayahan desa, maka istilah Aydstetap dicantumkan dalam sertipikat Hak Milik Atas Tanah maupundalam Surat Permohonan Pendaftaran Tanah (SPPT). Praktik untukmencantumkan identitas tanah Ayds maupun PkD dalam praktikpensertipikatan tanah desa adat sudah dilaksanakan diKabupaten Bangli. Karena keinginan untuk melestarikan tanah-tanah adat semakinmenguat,  maka Kakanwil BPN Provinsi Bali mengeluarkan SuratNo. 27 Januari 1993  No. 630.1.61-227 perihal PendaftaranTanah Ayahan Desa (Ayds). Di dalam Surat Kakanwil BPN ProvinsiBali tersebut dinyatakan bahwa karena alasan ketiadaanpetunjuk teknis yang tegas, maka pendaftaran tanah-tanah adatditunda pelaksanaannya. 

Selanjutnya, pada sejak awal tahun 2000-an semakin intensifupaya untuk mempertahankan eksistensi tanah-tanah adat diProvinsi Bali. Berbagai upaya Pemerintah Provinsi danPemkab/Pemkot serta masyarakat untuk menata tanah-tanah adatdi Propinsi Bali guna mempertahankan eksistensi sekaligusmemberdayakannya bagi kepentingan pembangunan di provinsitersebut dilakukan baik pada tataran konsep dan tindakannyata. Pengumpulan dan pengolahan gagasan mengenai penataantanah-tanah adat ini dilakukan melalui penyelenggaraan:1.     ‘Rapat Kerja tentang Pelestarian Tanah-tanah Adat di Bali

yang diselenggaarakan Pemerintah Provinsi Bali tahun 2002.Rapat kerja tersebut mengamantkan agar segera dilakukanupaya untuk melestarikan tanah-tanah adat di Propinsi Bali;

2.     Seminar Problematik Tanah Druwe Desa Pakraman dengantopik “Peluang Desa Pakraman Menjadi Subyek Hukum”,tanggal 18 Juni2004, yang pada intinya menghasilkan pendapat agar DesaAdat (pakraman) boleh sebagai subyek Hak Milik atas tanahadat, sehingga tanah  Pasal II ayat (1)  ketentuan konversiUUPA yang antara lain secara tersurat menyatakan agar hakatas druwe dan hak atas druwe desa dapat dikonversi menjadiHak Milik yang dipegang oleh Desa Adat atau Desa Pakraman.

 Tampaknya ‘Rapat Kerja tentang Pelestarian Tanah-tanah Adat diBali yang diselenggaarakan Pemerintah Provinsi Bali tahun2002’ langsung ditindaklanjuti secara konkrit. Hal itu tampakdari berbagai upaya Pemerintah Provinsi yang segera memohonpetunjuk penyelesaian kemungkinan Desa Adat (Pakraman) sebagaisubyek Hak Milik, yakni:1.     Surat Gubernur Bali No. 590/1078/B.T.Pem tanggal  25

Februari 2005 kepada Menteri Dalam Negeri dan MenteriSosial R.I, perihal mohon Desa Pakraman yang di Bali dapatditetapkan sebagai Badan Sosial Religius yang dapatmemiliki Hak Milik atas Tanah Desanya.[24] Di dalam surattersebut dinyatakan bahwa mengingat antara Pura dengan DesaPakraman (Desa Adat) tidak dapat dipisahkan keberadaannya,maka untuk tetap terpeliharanya Pura dengan segala kegiatanupacaranya yang ditangani oleh Desa Pakraman (Desa Adat) diBali dapat diberikan status hukum sebagai   Badan Hukum Sosial Religius   yang dapat memiliki hak atas Tanah Pekarangan Desa, Tanah Ayahan Desa dan Tanah Milik DesaPakraman (Desa Adat) lainnya. Surat Gubernur ini kemudiandirespons oleh:

a.     Surat Menteri Dalam Negeri No. 590/713/SO tanggal 10April 2002 perihal Permohonan Atas Penetapan StatusHukum sebagai Badan Sosial Religius pada Desa Pakraman(Desa Adat) di Bali. Surat Mendagri ini menyatakan bahwakewenangan atas penetapan status hukum terhadap desadefinitif maupun penetapan status hukum sebagai badanatau lembaga adat di Desa merupakan kewenanganPemerintah daerah Kabupaten dengan mempedomani padaPeraturan Daerah Kabupaten yang telah ditetapkan. Halitu didasarkan pada Bab XI UU No. 22 Tahun 1999 junctoPP No. 76 Tahun 2001 tentang Pedoman Umum PengaturanMengenai Desa, bahwa Pemerintah Daerah Kabupatendiberikan kewenangan untuk menetapkan peraturan daerahyang mengatur desa dengan berpedoman pada ketentuan yangtelah ditetapkan oleh Pemerintah.

b.     Surat Menteri Sosial Republik Indonesia No.A/A-161/VIII-02/MS tanggal 5 Agustus 2002, perihalPermohonan Desa Pakraman dapat ditetapkan sebagai BadanSosial Religius yang memiliki Hak Milik atas TanahDesanya, menyatakan bahwa pemberian rekomendasipengalihan status hak milik atas tanah yang merupakankewenangan Menteri Sosial. Rekomendasi hanya dapatdiberikan kepada Badan Sosial sekurang-kurangnya telahterdaftar pada Kantor Departemen Sosial/Instansi Sosialsetempat, dan mempunyai rencana serta  telahmelaksanakan kegiatan di bidang usaha kesejahteraansosial. Berdasarkan hal itu Menteri Sosial menyarankanagar Gubernur Bali beserta perangkat DesaPakraman segera membentuk Badan Sosial Keagamaan yangmempunyai status Badan Hukum dengan akta notaris yangpengesahannya oleh Kepala Kantor Wilayah DepartemenKehakiman dan Hak Asasi Manusia atas nama Menteri.Selanjutnya, setelah Badan Sosial Keagamaan telahterbentuk sesuai peraturan perundang-undangan yangberlaku, maka pihak Badan Sosial Keagamaan tersebutmengajukan permohonan rekomendasi kepada Menteri Agamasebagai persyaratan administrasi yang menerangkan bahwatanah Desa Pakraman akan digunakan untuk kepentinganritual keagamaan. Persyaratan rekomendasi dimaksudmerupakan salah satu bahan pertimbangan bagi pihak BadanPertanahan Nasional (BPN) dalam memberikan pengalihanstatus hak atas tanah.

2.  Surat Gubernur Bali kepada Mendagri, Menteri Sosial, danKepala BPN dengan Suratnya No. 590/3551/B.T.Pem tanggal 17Juni 2002, perihal Mohon Desa Pakraman yang ada di Balidapat ditetapkan sebagai Badan Sosial Religius yang dapatmemiliki Hak Milik atas tanah Desanya, yang intinya jugatetap seperti surat semula. Surat kedua ini dipandang perludibuat kembali oleh karena Surat Menteri Dalam Negeri No.590/713/SO tanggal 10 April 2002 perihal Permohonan AtasPenetapan Status Hukum sebagai Badan Sosial Religius padaDesa Pakraman (Desa Adat) di Bali, menyatakan bahwakewenangan atas penetapan status hukum terhadap desadefinitif maupun penetapan status hukum sebagai badan ataulembaga adat di Desa merupakan kewenangan Pemerintah DaerahKabupaten, padahal kenyataannya kewenangan pertanahan masihtetap kewenangan Pemerintah Pusat sebagaimana dalam UU No.5 Tahun 1960 Juncto PP No. 38 Tahun 1963.

 Sebagaimana dikemukakan dalam Surat Gubernur, yang dimohonadalah agar  Desa Pakraman yang di Bali dapat ditetapkansebagai Badan Sosial Religius yang dapat memiliki Hak Milikatas Tanah Desanya. Namun Kakanwil BPN Propinsi Balimenyatakan bahwa agar desa adat dapat ditunjuk sebagai subyekhak atas tanah dengan status hak milik, maka perlu ditentukanterlebih dahulu bahwa tanah-tanah yang dikuasai desa adattersebut masih ada dalam lingkup tanah ulayat masyarakat hukumadat. Untuk itu, dapat dipedomani Peraturan Menteri NegaraAgraria/Kepala BPN No. 5 Tahun 1999 tentang PedomanPenyelesaian Masalah Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.[25]

 Hal yang patut dihargai dari pandangan Kanwil BPN PropinsiBali di atas adalah pengakuan bahwa Hak Milik atas Tanah DesaPakraman (yang diusulkan tersebut) berada dalam lingkup tanahulayat masyarakat hukum adat. Dalam pada itu, penelitimemandang kiranya usulan yang lebih mendasar adalah agar DesaPakraman di Provinsi Bali ditetapkan sebagai subyek HakPengelolaan Desa Adat.[26] Kalau diperhatikan karakter hukumyang terdapat pada tanah-tanah desa adat di Bali, hakpenguasaan atas tanah desa adat itu secara sekaligus memilikikewenangan publik dan privat. Kewenangan yang seperti ini didalam Sistem Hukum Tanah Nasional Indonesia lebih mirip denganHak Pengelolaan.[27]

 

Menurut penulis, perolehan Hak Pengelolaan Desa Adat tersebutsecara hukum telah diperoleh sejak Desa Adat secara nyatamemang masih memiliki tanah-tanah adat. Oleh karena itu,perolehannya terjadi karena hukum melalui konversi, dalam halini penyesuaian hak adat ke dalam Sistem Hukum Tanah Nasional.Jika logika hukum seperti itu dapat diterima, maka akan tetapada dasar hukum bagi terjadinya hak-hak atas tanah lainnya diatas Hak Pengelolaan Desa Adat tersebut, seperti: Hak DruweDesa dalam arti sempit, Tanah PKD, Tanah Ayahan Desa, danTanah Pelaba Pura. Beberapa keuntungan yang diperoleh jika penataan tanah-tanahadat tersebut menggunakan konstruksi hukum HakPengelolaan. Pertama, dengan Hak Pengelolaan akan secara jelasdiperoleh dasar hukum bagi pemegang hak pengelolaan untukmemberikan kepada pihak ketiga, dalam hal ini, para anggotamasyarakat desa pakraman. Penentuan subyek dan jenis hak yangtepat bagi anggota desa pakraman merupakan kewenangan publikdari hak penguasaan atas tanah. Kewenangan semacam itu hanyaada pada Hak Pengelolaan. Kedua, dengan mengintroduksi hakpengelolaan desa adat sebagai hasil konversi  dari tanah-tanahadat berarti secara bertahap telah dilakukan upaya rekayasa(dalam arti positif) penataan tanah-tanah adat ke dalam sistemhukum tanah nasional. Hal itu penting dilakukan jika politikhukum tanah nasional tetap menginginkan unifikasi hukum tanahnasional, tanpa mengorbankan diversifikasi hukum adat diIndonesia.Ketiga, akan lebih dimungkinkan terwujudnya keinginanPemerintah Provinsi Bali untuk melestarikan tanah-tanah adatBali. Karena, tanah pengelolaan Desa Adat relatif lebih sukarberalih daripada ‘Tanah Milik Atas Desa Adat’. Sebaliknya, tampaknya kurang begitu selaras dengan SistemHukum Tanah Nasional jika Desa Pakraman langsung memohon agarkepadanya diberikan Hak Milik atas tanah-tanah adat diProvinsi Bali. Karena, Desa Adat sebagai lembaga pemerintahanadat yang kiranya lebih tepat dikategorikan sebagai badanhukum publik yang tidak bisa sebagai subyek Hak Milik. Badanhukum yang bersifat publik dalam Hukum Tanah Nasional lebihtepat diberikan Hak Pengelolaan atau Hak Pakai yang bersifatpublik (public rechtelijke). Hal itu tergantung pada rencanapenggunaan pemanfaatan tanah-tanah desa adat tersebut. JikaDesa Pakraman hanya menggunakannya sendiri, maka hak yang

lebih tepat adalah Hak Pakai. Akan tetapi, jika selain untukdigunakan sendiri oleh Pemerintahan Desa Adat juga akandiberikan kepada pihak lain maka yang diberikan lebih tepatHak Pengelolaan. 

Penulis menyimpulkan bahwa isi kewenangan dari tanah desa adat(dalam arti luas) dapat disederhanakan menjadi 2 (dua)kewenangan, yakni: (a) kewenangan privat dari semua anggotamasyarakat hukum adat (Desa Pakraman) yakni kewenangan untukmenguasai, mengusahai, bahkan “memiliki” bagian dari tanahdesa adat tersebut untuk kepentingan diri dan keluarganya; dan(b) kewenangan publik yang dimiliki oleh desa adat itu sendiri(tentu yang akan diselenggarakan oleh para penyelenggarapemerintahan desa adat/tetua adat). Kedua kewenangan itusetidaknya secara jelas tampak pada: (a) strata/jenis hak yangterdapat pada tanah desa adat di seluruh Provinsi Bali padaumumnya;  (b) pola penataan penguasaan dan pemanfaatan tanahyang ditemukan di Kabupaten Gianyar; dan (c) pada kenyataankehidupan hak atas tanah desa adat kuno di Desa TengananPegringsingan, Kabupaten Karangasem. Kewenangan semacam itudalam Hukum Tanah Adat di Indonesia pada umumnya dapat disebutsebagai Hak Ulayat (prabumian desa). Namun, kenyataannya tanah-tanah ulayat itu pada umumnya telah mengalami prosesindividualisasi ke dalam hak-hak yang bersifat perorangan,baik kepada anggota masyarakat Desa Pakraman maupun kepadalembaga adat pemangku tugas keagamaan, seperti Pura.Konsekuensinya, hak ulayat semakin mengecil kekuatannyasehingga yang tampak adalah semakin menguatnya hak-hakindividual tersebut. 

Meskipun kenyataannya keberadaan tanah-tanah ulayat itu terusmengalami proses individualisasi, jika hendak melakukanpenataan terhadap tanah-tanah adat di Provinsi Bali seyogianyatetap dilakukan secara komprehensif sejak dari tanah ulayatyang bersifat komunal sampai pada tanah-tanah yang bersifatindividual. Pada tataran penguasaan yang bersifat komunal,kiranya pemilikan tanah oleh Desa Pakraman dilakukan denganHak Pengelolaan Desa Pakraman. Hak Ulayat itu secara hukumdiperoleh Desa Pakraman jika dalam kenyataannya tanah ulayatbenar-benar masih ada. Tegasnya, Hak Pengelolaan Desa Pakramanitu diperoleh melalui cara konversi. Kiranya konstruksi hukumyang demikian dapat dilakukan mengingat ketentuan Pasal 2 ayat(4) UUPA yang memberi ruang  bagi masyarakat hukum adatsebagai subyek Hak Pengelolaan. Agar eksistensi tanah-tanahadat di Provinsi Bali tetap terjaga, kiranya dapat dibuatsuatu ketentuan agar peralihan tanah-tanah adat yang bersifatindividual itu hanya dapat dilakukan di antara anggotamasyarakat Desa Pakraman 

Selanjutnya, penulis menyarankan. Pertama, diperlukan tindakankonkrit untuk mengarahkan proses individualisasi dari tanah-tanah komunal di Provinsi Bali, sehingga akan dipastikan bahwaproses individualisasi tanah komunal tersebut berlangsungterhadap anggota Desa Pakraman, bukan kepada orang lain diluar anggota masyarakat Desa Pakraman. Untuk memastikan bahwapemilikan secara individual pun tidak beralih orang di luarDesa Pakraman, kiranya dapat ditentukan dalam Perda mengenaipenataan tanah adat Bali maupun dalam awig-awig mengenailarangan peralihan tanah adat Desa Pakraman kepada orang luarDesa Pakraman. Kedua, agar politik unifikasi Hukum Tanahsecara gradual dapat berlangsung di atas tanah-tanah adat,maka kiranya perlu segera mengintroduksi pendaftaran tanahadat. Dalam pada itu, tindakan yang pertama kali dilakukanadalah mengakui konversi tanah-tanah adat komunal yang jelas-jelas masih ada ke menjadi tanah Hak Pengelolaan DesaPakraman. Selanjutnya, bagian dari Hak Pengelolaan itu dapatdiberikan kepada anggota masyarakat Desa Pakraman, baikperorangan maupun lembaga keagamaan, dalam bentuk hak-hak yangbersifat individual, seperti Hak Milik maupun Hak Pakai. Olehkarena itu, diperlukan suatu aturan dalam bentuk Undang-undangyang mengkonfirmasi bahwa Desa Pakraman dapat sebagai subyekHak Pengelolaan. 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

CURRIKULUM VITAE(s/d  5 Juni 2011)

Nama Lengkap                       :  Dr. Oloan Sitorus, S.H., M.S.NIP.                                         :  19650805 199203 1 003Tempat/Tanggal Lahir           :  Simalungun/05 Agustus 1965Golongan/Pangkat                :  Lektor Kepala/IV/c/Pembina Utama MudaAlamat                                                :  Kampus Agraria Lama Jl. Kerto No. 1 Mujamuju                                                   Yogyakarta, Telpon 0274-549879, 081 328 102 123Email                                      :  [email protected]  A.  Riwayat Pendidikan/Latar Belakang Akademik     Pendidikan Formal

1.     Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (FH USU), 1988;2.     Fakultas Pascasarjana UGM (FPs UGM), 1992;3.     Program Doktor Ilmu Hukum USU (PPs USU), 2002.

     Pendidikan Lain

1.     Kursus Dasar Pertanahan (KDP) II, Bogor, 1993;2.     Kursus Konsolidasi Tanah, Bogor, 1994;3.     Studi Banding  mengenai Land Oriented Educational Management  di UNSW

(Sydney), QUT (Brisbane), dan RMIT (Melbourne), Australia, 1997;4.     Short course mengenai Human Resources Development (di bidang pertanahan),

CIET (Adelaide) dan RMIT-Business, Australia, 1997;5.     Studi Banding mengenai Teori Hukum pada Fakultas Hukum, National

University of Singapore, Singapura, 2001. B.  Riwayat Pekerjaan/Bidang Kajian yang Digeluti      Riwayat Pekerjaan

1.    Staf Penatagunaan Tanah Kanwil BPN Provinsi Sumut (1992-1993);2.    Ketua Jurusan Manajemen Pertanahan STPN (1997-1998;3.    Pembantu Ketua Bidang Akademik STPN (2003-2007) dan (2007-2011);4.    Kepala Pusat Penelitian dan Pengabdian Pada Masyarakat STPN (2011-

sekarang)     Mengajar dan Penguji, antara lain:

1.    Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun (2005-sekarang);2.    Perbandingan Hukum Tanah, DIV STPN (1996-sekarang)3.    Metodologi Penelitian, DIV STPN (2000-sekarang);4.    Hukum Agraria, Program Pascasarjana Ilmu Hukum STIH IBLAM, Cirebon,

(2003);

5.    Hukum Agraria, Prog.Magister Kenotariatan (S2),PPs USU, Medan,(2002-sekarang);

6.    Konsolidasi Tanah serta Politik dan Teori Hukum Agraria, Prog.Doktor Ilmu Hukum (S3), PPs-USU, Medan, (2003-sekarang);

7.    Hukum Tata Ruang dan Konsolidasi Tanah, Program Studi Ilmu Hukum,Program Pascasarjana (S3)- UNAIR, Surabaya (2006-2008);

8.    Kebijakan Pertanahan, Program Studi Magister Perencanaan Wilayah,Sekolah Pascasarjana IPB,  Bogor, (2006-sekarang);

9.    Perbandingan Hukum Tanah, Program Pascasarjana Ilmu HukumUniversitas Jayabaya, Jakarta, (2008-sekarang);

10. Penguji Eksternal Program S3 Ilmu Hukum UI, Jakarta,  untukDisertasi mengenai Pengadaan Tanah a/n Lieke Tukgalie (2007-sekarang);

 C.   Penelitian Yang Dilakukan, antara lain:

1.     Partisipasi Masyarakat dalam Pelaksanaan Konsolidasi TanahPerkotaan di Propinsi Jawa Tengah, UPPM-STPN, 2000;

2.     Aspek Hukum Konsolidasi Tanah Perkotaan sebagai InstrumenKebijakan Pertanahan Partisipatif dalam Pemanfaatan Ruang diPropinsi Bali, UPPM-STPN, 2000;

3.     Kepatuhan Hukum Masyarakat dalam Penyelenggaraan Konsolidasi Tanahdi Propinsi Jawa Tengah, UPPM-STPN, 2001;

4.     Penataan Penguasaan Tanah Perkebunan Tembakau Deli, UPPM-STPN,2002.

5.     Dimensi Pertanahan pada Kawasan Pesisir Pantai Timur ProvinsiSumatera Utara, UPPM-STPN, 2005;

6.     Penataan Hak Atas Tanah Adat di Provinsi Bali, UPPM-STPN, 2005;7.     Penguasaan dan Pemanfaatan Tanah Oleh Orang Asing di Provinsi Bali

(Suatu Temuan Fakta), 2008;8.     Ijin Pemakaian Tanah (IPT) di Kota Surabaya – Menyoal Justifikasi

dan Legalitas (Lanjutan), 2009;9.     Konsolidasi Tanah sebagai Restorasi Kerusakan Wilayah Akibat

Tsunami di Aceh, 2009. D.   Bidang Minat (informal/otodidak)    Penulisan Buku:1.     Penulis utama Buku “Sejumlah Masalah Hukum Agraria (Bagian 1),

Penerbit Dasamedia Utama, Jakarta, 1994;2.     Penulis utama Buku  “Hak atas Tanah dan Kondominium – Suatu Tinjauan

Hukum, Penerbit Dasamedia Utama, Jakarta, 1995;3.     Penulis utama Buku “Pelepasan atau Penyerahan Hak sebagai Cara

Pengadaan Tanah, Penerbit Dasamedia Utama, Jakarta, 1995;4.     Penulis  utama Buku “Konsolidasi Tanah Perkotaan – Suatu Tinjauan

Hukum, Penerbit Mitra Kebijakan Tanah Indonesia (MKTI), Yogyakarta,1996;

5.     Penulis utama Buku “Kondominium dan Permasalahannya”, MKTI,Yogyakarta, 1998;

6.     Penulis Buku “Kapita Selekta Perbandingan Hukum Tanah”, MKTI,Yogyakarta, 2004;

7.     Penulis utama Buku “Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum”, MitraKebijakan Tanah Indonesia, Yogyakarta, 2004;

8.     Membangun Teori Hukum Indonesia, 2005, Penerbit MKTI-Yogyakarta.9.     Penulis utama Buku “Cara Penyelesaian Karya Ilmiah di Bidang Hukum

(Panduan Dasar Menuntaskan Skripsi, Tesis, dan Disertasi), PenerbitMKTI, Yogyakarta, 2006 (Edisi Revisi);

10.   Penulis Buku ‘Keterbatasan Hukum Konsolidasi Tanah Perkotaan sebagaiInstrumen Kebijakan Pertanahan Partisipatif dalam Penataan Ruang diIndonesia’, Penerbit MKTI, Yogyakarta, 2006;

11.   Hukum Agraria Di Indonesia – Konsep Dasar dan Implementasi, PenerbitMKTI, Yogyakarta, 2006.

12.   Seputar Hak Pengelolaan, Penerbit STPN Press, Yogyakarta, 2011(bersama Prof. Arie Hutagalung)

      Presentasi Makalah, antara lain:1.     Penulis additional paper “Legal Structuring of Land Consolidation in

Indonesia”, pada The 10th International Seminar on Land Readjustment and UrbanDevelopment Proceedings,  publikasi Seminar Internasional mengenaiKonsolidasi Tanah Perkotaan yang diselenggarakan atas kerjasama BPN,Ministry of Construction-Japan, JICA, dan JUDRA, di Bali, 2000;

2.     Presentasi Makalah “Aspek Hukum Konsolidasi Tanah dalam PemanfaatanRuang Kawasan Perkotaan”, pada “Diskusi Terfokus Konsolidasi Tanahdalam Penatang Ruang Kawasan Perkotaan”, BAPPENAS, Jakarta, 2001;

3.      Presentasi Makalah “Pembagian Kewenangan Pusat, Propinsi, Dan Daerahdi Bidang Pertanahan”, pada Diskusi Terbatas “Pengembangan KebijakanPertanahan dalam Era Desentralisasi dan Peningkatan PelayananPertanahan kepada Masyarakat”, BAPPENAS, 2002;

4.     Presentasi Makalah “Keterbatasan Hukum Konsolidasi Tanah Perkotaansebagai Instrumen Kebijakan Pertanahan Partisipatif dalam PenataanRuang di Indonesia”, pada Seminar Nasional yang diselenggarakanUniversitas Nusa Bangsa, Hotel Century Park, Jakarta, tanggal 7Desember 2004.

5.     Presentasi Makalah “Legal Aspect of Urban Land Consolidation inIndonesia”, pada  International Seminar on Urban Planning and Land Readjustment forSustainable Urban Development, diselenggarakan United Nations Center on RegionalDevelopment dan Pemkab Sleman Yogyakarta, 09 March 2005.

6.     Presentasi Makalah “Penataan Penguasaan dan Pemilikan Tanah dalamAmandemen UUPA”, pada Semiloka Nasional “Penyempurnaan Undang-undangNo. 5 Tahun 1960”, Diselenggarakan atas kerjasama Dewan PerwakilanDaerah (DPD) RI dengan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia,Hotel Sahid, Yogyakarta, 24 Maret 2006;

7.     Presentasi Makalah “Reforma Agraria di Indonesia (Konsep Dasar danImplementasi), Dipresentasikan pada Workshop  ”Permasalahan Tanah diKabupaten Simalungun Tahun Anggaran 2008”, pada tanggal 3 Desember2008, di Hotel Inna, Parapat, Kabupaten Simalungun, Provinsi SumateraUtara;

8.     Presentasi Makalah ”Prinsip Dasar Pelaksanaan Konsolidasi Tanah BagiPembangunan Rumah Susun”, Dipresentasikan pada ”Workshop dalamrangka Konsolidasi Tanah Vertikal Tahun Anggaran 2008”,  pada tanggal 18Desember 2008, di Hotel Golden Boutique, Jakarta.

 

Penulisan Karya Ilmiah pada Jurnal, antara lain:1.    Penulis “Partisipasi Masyarakat dalam Penyelenggaraan Konsolidasi

Tanah Perkotaan di Indonesia”, pada BHUMI Jurnal Pertanahan, SekolahTinggi Pertanahan Nasional, Edisi No. 7 Tahun 3, Desember 2003, ISSN1412-730X;

2.    Penulis Utama “Dimensi Pertanahan pada Kawasan Pesisir Pantai TimurProvinsi Sumatera Utara”, pada BHUMI Jurnal Pertanahan, Sekolah TinggiPertanahan Nasional, Edisi No. 12 Tahun 5, Juni 2005, ISSN 1412-730X;

3.    Penulis utama “Penataan Hak Atas Tanah Adat di Provinsi Bali”,pada BHUMI Jurnal Pertanahan, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, EdisiNo. 13 Tahun 5, Desember 2005, ISSN 1412-730X;

4.    “Keterbatasan Hukum Konsolidasi Tanah Perkotaan Sebagai InstrumenKebijakan Pertanahan Partisipatif di Indonesia”, pada ARENAHUKUM,Majalah Penelitian dan Pengembangan Hukum, Penerbit Fak. HukumUniversitas Brawijaya, Edisi No. 19, Tahun 6, November 2003, ISSN 20126-0235, Terakreditasi;

5.    “Aspek Hukum Konsolidasi Tanah Perkotaan di Indonesia”, pada MIMBARHUKUM Jurnal Berkala Fakultas Hukum UGM, Edisi Volume 18, No. 1,Februari 2006, ISSN 0852-100X, Terakreditasi;

6.    Penulis Utama “Aspek Hukum Tanah Negara Bekas Hak Guna UsahaPerkebunan di Provinsi Sumatera Utara”, pada BHUMI, Edisi No. 24 Tahun8, Desember 2008.

  Yogyakarta,  5 Juni  2011  Oloan Sitorus

       *) Tulisan ini adalah penyempurnaan  makalah penulis yangdipresentasikan pada Seminar Nasional ”Politik Hukum Pertanahan dalamMemberikan Perlindungan terhadap Kesatuan Masyarakat Hukum Adat”, padaKampus Program Magister Kenotariatan Universitas Udayana, Jl. Pulau BaliNo. 1 Sanglah, Denpasar, Jumat, 27 April 2012.     **) Dosen dan Kepala Pusat Penelitian dan Pengabdian Pada MasyarakatSekolah Tinggi Pertanahan Nasional (PPPM STPN), Yogyakarta. Juga menjadiStaf Pengajar Tidak Tetap pada Program Magister Kenotariatan USU, ProgramDoktor Ilmu Hukum USU Medan, Program Magister Bisnis IPB, Bogor, danPenguji Eksternal Program Doktor Ilmu Hukum UI, Jakarta.         [1] Mochammad Tauchid, Masalah Agraria Sebagai Masalah Penghidupan danKemakmuran Rakjat Indonesia, Penerbit Tjakrawala, Djakarta, 1952, hlm. 103-104.        [2]  Tanah Negara bebas berarti Negara bebas memberikan tanahtersebut kepada pihak lain. Tanah Negara tidak bebas berarti di atas tanahtersebut Negara tidak bebas memberikan kepada pihak lain karena tanahtersebut ada yang mendudukinya.        [3] Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-undangPokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya – Jilid 1 Hukum Tanah Nasional, Edisi Revisi CetakanKesepuluh, 2005, hlm. 46.

       [4] Ibid hlm 35.         [5] Perhatikan Hendry Campbell Black,  op. cit., hlm 1429, yangmenjelaskan bahwa substantive law adalah “that part of  law which creates, defines, andregulates rights.         [6] Pasal 3 UUPA menyatakan: ”Dengan mengingat ketentuan-ketentuandalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya. masih ada, harus sedemikianrupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan ataspersatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.”  Jelas kiranya bahwa Pasal 3 UUPA hanyamengatur hak ulayat yang jelas-jelas masih ada. Inilah yang disebut’hak sebagai hubungan hukum konkrit’.       [7] Boedi Harsono,  Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-undangPokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I Hukum Tanah Nasional, CetakanKedelapan, (Edisi Revisi), Penerbit Djambatan, Jakarta, 1999, hlm. 201-202.       [8] Boedi Harsono,  Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-undangPokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, 1999, op. cit., hlm 193.       [9] Kata ‘menegaskan’ segaja digunakan untuk menandaskan sikappenulis bahwa hukum materiel dari Hak Ulayat adalah Hukum Adat. Jadi, tidakserta merta ditemukan dalam Peraturan Menteri Negara/Kepala BPN No. 5 Tahun1999 tersebut.        5. Lihat ketentuan Pasal 5 ayat (1) Peraturan Menteri NegaraAgraria/Kepala BPN No. 5 Tahun 1999.       [11] Perhatikan Pasal 2 ayat (1) Keppres No. 34 Tahun 2004 yangmenyatakan bahwa sebagian kewenangan Pemerintah (Pemerintah Pusatmaksudnya: penulis) di bidang pertanahan dilaksanakan oleh PemerintahKabupaten/Kota. Selanjutnya, ayat (2) dari Pasal 2 Keppres di atas merincikewenangan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota, yaitu:a.    pemberian ijin lokasi;b.    penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan;c.    penyelesaian sengketa tanah garapan;d.    penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk

pembangunan;e.    penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian

tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee;f.     penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat;g.    pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong;h.    pemberian ijin membuka tanah;i.     perencanaan penggunaan tanah wilayah Kabupaten/Kota.       [12] Pengertian politik hukum tanah dalam tulisan ini berpangkal padapengertian politik hukum yang dikemukakan oleh M. Solly Lubis, Serba serbiPolitik dan Hukum, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 1989, hlm. 100, yangmenyatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan politik yang menentukanaturan hukum apa yang sebenarnya berlaku mengatur berbagai hal kehidupanbermasyarakat dan bernegara. Untuk mengetahui hal-hal/segi-segi hukum yangditentukan dalam politik hukum, dapat dilihat pada rumusan PadmoWahyono, Pendidikan Tinggi Hukum di Indonesia,Penerbitan Bersama Firma Wijaya danYayasan Tritura ’66, Jakarta, 1989, hlm. 36, yang  menyatakan bahwa politikhukum adalah kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk maupun isihukum yang akan dibentuk. Ditegaskan pula olehnya bahwa politik hukum

adalah mengenai nilai-nilai, penentuannya, pengembangannya, dan pemberianbentuk hukumnya. Oleh karena itu, dapat ditegaskan bahwa masalah politikhukum adalah juga masalah derivasi nilai.      [13] Badan Pembinaan Hukum Nasional,  Pola Pikir dan Kerangka Sistem HukumNasional, Penerbit BPHN-Depkeh, 1995, hlm. 30-32.       [14]  Raja Devasish Roy, Traditional Customary Laws and Indigenoues Peoples inAsia, Penerbit Minority Rights Group International, 2005, hlm. 6       [15] Ibid, hlm. 16.       [16] Lorelei C. Mendoza,dkk,  Harmonizing Ancestral Domain with LocalGovernance in the Cordillera of the Northern Philippines,  2008, hlm. 1.          [17] Ibid, hlm. 3, 8, 9.        [18] Perhatikan Henry Campbell Black,  Black’s Law Dictionary Definitions of theTerms and Phrases of American and English Jurisprudence, Ancient and Modern, Penerbit St.Paul, Minn, West Publishing Co., 1990,  hlm. 1544,menyatakan usufrucht dalam Hukum Perdata (civil law)adalah: “….., a real right of limitedduration on the property of another. The features of the right vary with the nature of the thingssubject to it as consumables or nonconsumable. Civ. Code La. Art 535. The right of using and enjoyingand receiving the profits of property that belongs to another, and a “usufructuary” is a person whohas the usufruct or right of enjoying anything in which he has no property interest.         [19] Marcus Colschester, Indigenous People and Communal Tenures inAsia, http://www.fao.org/docrep,  14 Mei 2008, hlm. 1, 2.       [20] Ibid, hlm. 7      [21] Ibid.      [22] Ibid, hlm. 8.        [23] Uraian ini pada intinya merupakan hasil  penelitian OloanSitorus, dkk, Penataan Hak Atas Tanah Adat di Provinsi Bali, Laporan Penelitian DosenSTPN, Yogyakarta, 2005.     [24] Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Bali No. 593/847/DPRDtanggal 2 Juli 2002 kepada Mendagri dan Menteri Sosial RI yang menyatakanbahwa DPRD Provinsi Bali sangat mendukung Surat Gubernur Provinsi Balitertanggal 22 Februari 2002 No. 590/1078/B.T.  DPRD Propinsi Bali di dalamsuratnya tersebut menyatakan sangat mendukung kebijaksanaan Gubernur Baliagar Desa Pakraman ditetapkan sebagai  Badan Hukum Sosial Religius yangdapat memiliki hak milik atas tanah desanya, dengan dasar pertimbangan:

a.    untuk mendukung Bali sebagai salah satu daerah tujuan pariwisatainternasional perlu menjaga kelesatarian Adat/Budaya Bali sebagaisalah satu objek dan daya tarik wisata;

b.    Desa Pakraman (Desa Adat) di Bali memiliki kontribusi yang sangatbesar terhadap stabilitas keberhasilan pembangunan termasukpariwisata budaya yang sangat erat kaitannya dengan Pura TriKahyangan, sehingga perlu dipelihara dan dipertanggungjawabkan kepadamasyarakat adat/Desa Pakraman;

c.    Untuk terpeliharanya pura dengan segala kegiatan upacaranya yangditangani oleh Desa Pakraman (Desa Adat) di Bali, perlu menetapkanstatus hukumnya menjadi Badan Hukum Sosial Religius yang dapatmemiliki Hak Atas Tanah Pekarangan Desa, Tanah Ayahan Desa dan TanahMilik Desa Pakraman (Desa Adat) lainnya. DPRD Kabupaten Gianyar punmemberi dukungan terhadap Surat Gubernur Bali No. 590/1078/B.T. Pemtanggal 25 Februari 2002. Surat DPRD Kabupaten Gianyar tersebutmenyatakan bahwa antara Pura  dengan Desa Pakraman (Desa Adat) tidak

dapat dipisahkan keberadaannya, sehingga untuk tetap terpeliharanyapura dengan segala kegiatan upacaranya yang ditangani oleh DesaPakraman (Desa Adat) di Bali dapat diberikan Status Hukum sebagaiBadan Hukum Sosial Religius yang dapat memiliki hak atas TanahPekarangan Desa, Tanah Ayahan Desa dan Tanah Milik Desa Pakraman(Desa Adat) lainnya.

[25] Kanwil BPN Propinsi Bali,  Problematika Pemberian Strata/Jenis Hak Atas TanahMasyarakat Adat dalam Desa Pakraman di Bali (Suatu Konsep Pemecahan Permasalahan dalamUndang-undang Pokok Agraria), Makalah Disampaikan dalam rangka Seminar “PeluangDesa Pakraman Menjadi Subyek Hukum”, tanggal 18 Juni 2004,  hlm. 12. [26] Pasal 2 ayat (4) UUPA menyatakan bahwa  Hak Menguasai dari Negara (HMN)dapat dikuasakan kepada kepada Daerah-daerah Swatantra danmasyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengankepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah. [27]  Pasal 1 butir 3 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 9Tahun  1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas TanahNegara dan Hak Pengelolaan merumuskan bahwa Hak Pengelolaan adalah HakMenguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkankepada pemegangnya.