manajemen pengembangan peternakan

25
PROBLEMATIKA PENGEMBANGAN KERBAU DI INDONESIA TUGAS: MANAJEMEN PEMBIBITAN TERNAK (Problematika Perkembangan Kerbau Di Indonesia) NAMA : ALIFUDN POY STAMBUK : DIB4 09 028 JURUSAN PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

Transcript of manajemen pengembangan peternakan

PROBLEMATIKA PENGEMBANGAN KERBAU DI INDONESIA

TUGAS:

MANAJEMEN PEMBIBITAN TERNAK

(Problematika Perkembangan Kerbau Di Indonesia)

NAMA : ALIFUDN POY

STAMBUK : DIB4 09 028

JURUSAN PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

UNIVERSITAS HALUOLEO

KENDARI

2012

BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Kerbau (Bubalus bubalis) yaitu ruminansia besar yang

mempunyai potensi tinggi dalam penyediaan daging. Peranan

ternak kerbau cukup signifikan dalam menunjang program

swasembada daging sapi (termasuk kerbau) tahun 2014, dilihat

dari jumlah populasi kerbau sebanyak 2, 2 juta ekor dan

dihasilkan produksi daging sebesar 46 ribu ton atau sebesar 2

% dari jumlah produksi daging nasional, sedangkan kontribusi

daging kerbau sebesar 19 %. Dengan demikian ternak kerbau juga

mendukung penyediaan daging di Indonesia.

Produktivitas kerbau yang berasal dari pemeliharaan

tradisional oleh masyarakat petani memiliki kegunaan sebagi

hewan kerja, sumber daging, pupuk organik dan perlengkapan

acara keagamaan, memegang peranan penting dalam produktivitas

kerbau secara nasional. Pemeliharaan kerbau yang merupakan

integrasi antara faktor biologi, sosiologi dan ekologi akan

mempertahankan kelangsungan produktivitas usahatani. Lahan

pertanian akan tergarap dengan baik karena tenaga kerbau

sebagai pembantu dalam mengolah lahan, pupuk kandang akan

membantu menyuburkan tanah sehingga dapat mempertahankan

produksi padi yang pada giliranya ketahanan pangan akan

tercapai (Bandiati, 2005).

Perkawinan kerbau berkerabat dekat (inbreeding) pada sistem

pemeliharaan kerbau secara ekstensif diduga sebagai penyebab

lain menurunya performa kerbau. Oleh sebab itu perlu adanya

upaya peningkatan produktivitas kerbau melalui program

pemuliaan yang berkelanjutan. Martojo (2004) mengungkapkan

kebutuhan akan adanya suatu rancangan program pemuliaan ternak

nasional telah lama dirasakan. Beberapa gagasan telah diajukan

sejak Repelita I sampai VI oleh Direktorat Jendral Peternakan

untuk setiap Repelita. Demikian pula gagasan atau saran yang

disampaikan para penasehat maupun pakar perguruan tinggi

negeri, pusat penelitian dan pengembangan peternakan yang

bertindak sebagai penasihat bagi DitJenNak dalam kesempatan

berbagai lokakarya yang bersifat umum, menyeluruh ataupun

khusus untuk satu komoditas seperti lokakarya pengembangan

ternak perah, ternak daging dan kerja, dan ternak kecil.

Bentuk lain pula tugas yang dikontrakan kepada beberapa orang

pakar/ahli dari UNPDP/FAO atau biro konsultan. Akan tetapi

sampai dengan orde reformasi sekalipun kegiatan pemuliaan

ternak di Indonesia belum dapat berjalan secara optimal.

Salah satu tolok ukur meningkatnya efisiensi reproduksi

pada ternak kerbau adalah meningkatnya angka kelahiran yang

sangat ditentukan oleh kesubauran betina dan kesuburan

pejantan melalui suatu perkawinan. Perkawinan tidak pernah

akan terjadi bila salah satu dari dua jenis kelamin tersebut

tidak tersedia, baik betina maupun pejantan sehingga tidak

akan terjadi kebuntingan apalagi kelahiran. Walaupun demikian,

masih ada kepercayaan dikalangan sebagian para petani yang

berpendapat bahwa betina dewasa akan bunting meskipun tidak

ada pejantan.

B.     Rumusan Masalah

Dari latar belakang diatas maka dapat menjadi rumusan

masalah adalah bagaman cara meningkatkan produktifitas ternak

kerbau di Indonesia dalam hal manajemen pemeliharaan, sistem

perkawinan, pemilihan pejantan dan faktor eksternal maupun

faktor internal

C.    Tujuan dan Manfaat

Tujuan dari makalah ini yaitu dapat mengetahui kendala

peningkatan produktifitas ternak kerbau di Indonesia baik

dalam sistem manajemen pemeliharaan, sistem perkawinan maupun

faktor eksternal dan internal.

Manfaat dari makalah ini yaitu dapat mengetahui

perkembangan/peningkatan populasi ternak kerbau di Indonesia

dalam hal manajemen secara umum.

BABA II

PEMBAHASAN

A.    Potensi Pengembangan Kerbau

potensi ternak asli daerah yang merupakan sumber plasma

nutfah perlu dijaga dan dilestarikan, salah satunya

adalah pengembangan ternak kerbau rawa sebagai usahatani pada

agroekosistem lahan rawa dengan ”sistem kalang”. Kalang

adalah kandang yang dibuat dari balokbalok/ glondongan kayu

blangiran (shore balangeran) dengan diameter 10-20 cm

yang disusun teratur berselang-seling dari dasar rawa sampai

tersembul diatas permukaan air dengan tinggi ± 2-5 meter,

panjang mencapai 25 meter dan lebar 10 meter, atau

ukuran kalang disesuaikan dengan jumlah kerbau yang ada.

Bagian atas dibuatkan lantai dari belahan kayu yang disusun

rapat untuk kerbau beristirahat. Umumnya kalang

dapat berbentuk empat persegi panjang atau letter L/T, yang

terdiri atas beberapa ancak (petak kalang) dan setiap ancaknya

berukuran 5x5 meter. Pada bagian sisi kalang dibuatkan tangga

untuk turun dan naiknya kerbau, selebar ± 2,5 meter.

Selanjutnya setiap ancak mampu menampung 10-15 ekor

kerbau dewasa. Luas wilayah Kalimantan Selatan 3.503.052 ha de

ngan kondisi agroekosistem lahan kering, pasang surut, lebak,

tadah hujan, rawa dan lainnya; jumlah penduduk

sebanyak 3.201.962 jiwa, dengan mata pencahariannya sebagian

besar dari pertanian tanaman pangan, perkebunan, perikanan dan

peternakan (Badan Pusat Statistik, 2004).

B.     Masalah Pengembangan Kerbau Di indonesia

Faktor penyebab menurunnya populasi kerbau di Indonesia

tidak jauh berbeda dengan di negara-negara Asia lainnya.

Penurunan produktivitas kerbau disebabkan faktor internal dan

faktor eksternal.

1.      Faktor internal

Faktor internal ditentukan oleh sifat atau karakteristik

dari suatu jenis ternak. Pada kerbau sifat internal yang

berpengaruh terhadap kendala peningkatan populasi adalah:

      Masak lambat

Kerbau termasuk ternak yang lambat di dalam mencapai

dewasa kelamin (SUBIYANTO, 2010). Pada umumnya kerbau

mencapai pubertas pada usia yang lebih tua, sehingga kerbau

mencapai dewasa kelamin pada usia minimal 3 tahun (TOELIHERE,

1985; DO KIM TUYEN dan NGUYEN VAN LY, 2001); 2 – 3 tahun

(LENDHANIE, 2005); 2 – 2,5 (SUBIYANTO, 2010).

      Lama bunting

Kerbau akan mengandung anaknya selama 10,5 bulan,

sedangkan sapi hanya 9 bulan. Menurut KEMAN (2006) lama

bunting pada kerbau bervariasi dari 300 – 334 hari (rata-

rata 310 hari) atau secara kasar 10 bulan 10 hari.

Dikemukakan pula oleh HILL (1988) bahwa N lama bunting pada

kerbau lebih lama dan lebih bervariasi. Untuk kerbau kerja

lama bunting kerbau di Mesir bervariasi dari 325 sampai

330 hari. Hasil penelitian LANDHANIE (2005) di Desa

Sapala, Kecamatan Danau Panggang lama bunting kerbau rawa

mencapai 1 tahun.

      Berahi tenang

Tanda-tanda berahi pada kerbau, umumnya tidak tampak

jelas (SUBIYANTO, 2010). Sifat ini menyulitkan pada

pengamatan berahi untuk program inseminasi buatan. Meskipun

fenomena ini bisa diatasi dengan menggunakan jantan, namun

kelangkaan jantan dan sistem pemeliharaan yang terkurung

memungkinkan perkawinan tidak terjadi.

      Waktu berahi

Umumnya berahi pada kerbau terjadi pada saat menjelang

malam sampai agak malam dan menjelang pagi atau saat subuh

atau lebih pagi (TOELIHERE, 2001). Menurut HILL (1988)

tanda-tanda berahi dan aktivitas perkawinan pada kerbau di

Mesir umumnya pada kerbau terjadi pada malam hari. Pada saat

seperti ini umumnya kerbau-kerbau betina di Indonesia sedang

berada dalam kandang yang tertutup, yang tidak memungkinkan

terjadinya perkawinan.

      Jarak beranak yang panjang

Jarak beranak yang panjang merupakan implikasi dari

sifat-sifat reproduksi lainnya. Pada kerbau kerja jarak

beranak bervariasi dari 350 sampai 800 hari dengan rata-rata

553 hari (KEMAN, 2006). Menurut HILL (1988) jarak beranak

pada kerbau bervariasi dari 334 hari sampai 650 hari,

tergantung pada manajemen

yang dilakukan. Menurut LADHANIE (2005) jarak beranak

pada kerbau rawa antara 18 sampai 24 bulan.

      Beranak pertama

Panjang sifat-sifat produksi lain akan berpengaruh

langsung terhadap beranak pertama pada kerbau. Hasil survei

di Indonesia terutama di NAD, Jawa Barat, Jawa Tengah,

Jawa Timur, NTB dan Sulawesi Selatan, umur pertama kali

kerbau beranak masing-masing 45,0; 49,6; 47,7; 49,1; 45,6

dan 49,2 bulan dengan rata-rata 47,7 bulan (ANONIMUS,

1985 yang dikutip KEMAN, 2006). Sementara itu, di Brebes,

Pemalang, Semarang dan Pati rata-rata umur kerbau pertama

kali beranak, berturutturut adalah 44, 40, 44 dan 42

bulan (SURYANTO, et al. 2002 yang dikutip KEMAN, 2006).

2.      Faktor eksternal

Diantara faktor eksternal, ada yang berpengaruh langsung

terhadap performan reproduksi dan ada yang berpengaruh tidak

langsung. Reproduksi adalah suatu proses yang rumit pada

semua species hewan. Rumit karena reproduksi tergantung

pada fungsi yang sempurna proses- proses biokimia dari

sebagian besar alat tubuh. Ovulasi, birahi, kebuntingan,

kelahiran dan laktasi, itu semua tergantung dari

fungsi yang sempurna dari berbagai hormone dan alat

tubuh. Setiap abnormalitas dalam anatomi atau fisiologi dari

alat reproduksi berakibat fertilitas menurun atau dapat

menyebabkan sterilitas (ANGGORODI, 1979). Faktor

eksternal yang berpengaruh langsung terhadap performa

reproduksi adalah:

      Pakan

Kontribusi pakan sangat kuat pengaruhnya terhadap performan

reproduksi. Makanan berperan penting dalam perkembangan

umum dari tubuh dan reproduktip (TILLMAN et al., 1983).

Peternak kerbau di negara kita pada dasarnya merupakan

peternak tradisional dan merupakan kegiatan yang turun menurun

sehingga pemberian pakan umumnya di dapat pada saat

digembalakan. Rumput yang tumbuhdi lapangan, di pematang sawah

atau pinggirpinggir jalan adalah pakan yang tersedia pada saat

digembalakan. Pakan yang diberikan di kandang umumnya jerami

kering yang kadang-kadang disiram larutan garam dapur. Pada

musim kemarau ketersediaan rumput alam akan sangat menurun

jumlahnya dan secara langsung akan berpengaruh terhadap asupan

pakan pada ternak. Pakan dengan kualitas dan kuantitas seperti

ini akan berpengaruh tidak baik terhadap performa reproduksi.

Diperparah lagi oleh tugas yang harus dilakukan pada saat

musim mengolah sawah. Meskipun salah satu keunggulan kerbau

adalah mampu memanfaatkan pakan dengan kualitas rendah, namun

untuk mendapatkan performan reproduksi yang baik memerlukan

makanan yang cukup, baik kualitas maupun kuantitas.

      Sosial budaya

Beberapa daerah di Indonesia yang secara sosial budaya

berkaitan dengan kerbau menunjukkan populasi kerbau yang

tinggi. Keterkaitannya bisa berupa dalam adat istiadat atau

kebutuhan tenaga kerja. NTB, Sumatera Barat, Sumatera Utara,

Sulawesi Selatan keterkaitannya lebih pada adat istiadat

yang turun temurun. Di Sumatera Barat, kerbau mempunyai arti

sosial yang sangat khas. Rumah adat dan perkantoran

pemerintah mempunyai bentuk atap yang melengkung

melambangkan bentuk tanduk kerbau. Diduga kata

“Minangkabau” berasal dari “Menang Kerbau (HARDJOSUBROTO,

2006). Pada masyarakat Batak dikenal upacara kematian

seperti saur matua dan mangokal hili. Bagian dari rangkaian

upacara tersebut biasanya dilaksanakan pesta syukuran

adat yang disertai pemotongan kerbau. Pemotongan kerbau juga

dilakukan pada saat upacara perkawinan, horja bius (acara

penghormatan terhadap leluhur, dan pendirian rumah adat

(SUSILOWATI, 2008). Bagi etnis Toraja, khususnya Toraja

Sa’dan, kerbau adalah binatang paling penting dalam

kehidupan sosial mereka (NOOY-PALM, 2003 yang dikutip

STEPANUS, 2008) Selain sebagai hewan untuk memenuhi

kehidupan sosial, ,ritual maupun kepercayaan tradisional,

kerbau juga menjadi alat takaran status sosial dan alat

transaksi. Dari sisi sosial, kerbau merupakan harta yang

bernilai tinggi bagi pemiliknya (ISSUDARSONO, 1976 yang

dikutip STEPANUS, 2008). Kerbau juga merupakan hewan

domestik yang sering dikaitkan dengan kehidupan masyarakat

yang bermata pencaharian di bidang pertanian. Di Banten,

kerbau selain digunakan sebagai hewan kerja juga

masyarakatnya sangat fanatic terhadap daging kerbau. Menurut

PATHERAM dan LIEM (1982) selera masyarakat Banten

terhadap daging kerbau cukup tinggi dibandingkan dengan

daging sapi. Di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur lebih

pada kebutuhan tenaga kerja. Hal ini menunjukan bahwa

budaya masyarakat sangat berperan terhadap perkembangan

populasi kerbau. Populasi kerbau di Indonesia terdapat di

seluruh provinsi, karena kerbau mempunyai daya adaptasi

yang sangat tinggi. Kerbau bisa berkembang mulai dari

daerah kering di NTT dan NTB, lahan pertanian yang subur

di Jawa hingga lahan rawa di Sulawesi Selatan, Kalimantan

dan daerah pantai utara Sumatera (Asahan sampai Palembang).

Selain itu pengembangannya juga tidak akan menghadapi

hambatan selera, budaya dan agama (TRIWULANNINGSIH). Pada

Tabel 1 memperlihatkan sepuluh propinsi yang memiliki

jumlah kerbau terbanyak di Indonesia.

C.    Manejemen Perkawinan

Bagi daerah–daerah dengan imbangan jantan dan betina

sempit, maka IB bukanlah prioritas utama dalam melaksakan

sistem perkawinan. Diketahu bahwa tingkat kebuntingan hasil IB

masih cukup rendah yakni sekitar 30% pada kondisi lapangan dan

pada kondisi stasiun percobaan 60% (SITUMORANG dan SITEPU,

1991). IB hendaknya dilakukan pada wilayah dimana kerbau

jantan jumlahnya terbatas, seperti di Tana Toraja dan

Kalimantan Selatan. Kiranya akan lebih bijaksana bila sistem

perkawinan yang diterapkan adalah kawin alam secara kelompok

dalam kandang kelompok dengan imbangan jantan : betina = 1 :

10, karena dengan sistem perkawinan ini peternak tidak repot

untuk mengamati berahi, pejantan dengan sendirinya dapat

mengetahui kerbau betina yang berahi dan secara otomatis akan

mengawininya

Diketahui, walaupun perkawinan menggunakan sistem IB,

namun dibutuhkan juga pejantan untuk kawin alam, hal ini

dimaksudkan bila terjadi kegagalan dalam menggunakan IB karena

berahi tenang, maka pejantan tersebut dapat mengawini betina–

betina yang mengalami berahi tenang tersebut sebagaimana biasa

dilakukan pada ternak sapi perah. JILL (2006) menerangkan

bahwa pada sekelompok sapi perah induk yang berjumlah 600–800

ekor sistem perkawinan menggunakan IB selama 6 minggu,

selebihnya dilakukan kawin alam dengan menggunakan pejantan

untuk mengawini sapi perah indukyang mengalami berahi tenang.

Jumlah pejantan yang digunakan adalah 4 ekor dengan perincian

3 ekor untuk 100 betina dan 1 ekor pejantan lagi sebagai

cadangan. Pejantan disatukan dengan betina dalam kandang

kelompok selama 12 minggu.

D.    Program Seleksi dalam Bangsa

Seleksi dilakukan oleh petugas teknis pendamping

Kabupaten terhadap ternak yang akan dikembangkan untuk

keperluan peremajaan atau dijual sebagai bibit. Seleksi calon

bibit betina dipilih 50% dan calon bibit jantan 20% terbaik

dari hasil keturunan untuk menghasilkan bibit yang memenuhi

kriteria mutu. Sifat kuantitatif induk kerbau yang perlu

diperhatikan dalam seleksi adalah : Umur pubertas (2 tahun),

kelahiran yang teratur (calving interval teratur), bobot

lahir, bobot sapih, bobot kawin, bobot dewasa, laju

pertumbuhan setelah disapih dan produksi susu. Sifat

kualitatif induk kerbau yang perlu diperhatikan dalam seleksi

adalah : bentuk tubuh/eksterior.ada tidaknya cacat, tidak ada

kesulitan melahirkan dan tabiat (behavior).

Martojo (1989) menyarankan program seleksi dalam bangsa

yang dapat dilaksanakan dalam kelompok peternak dengan

ternaknya secara sederhana

dipedesaan. Secara sederhana tanpa catatan dalam bentuk

recording di atas kertas

dianjurkan untuk melaksanakan “catul” atau catatan berulang

yang dicatat dalam

bentuk cap bakar pada tubuh ternak, dalam hal ini induk dan

anaknya. Satu catatan yang diperlukan yaitu bobot sapih atau

bobot pada sekitar 6-7 bulan. Jika tidak ada timbangan dapat

dengan mengukur lingkar dada saja. Ukuran lingkar dada tidak

perlu diterjemahkan ke dalam taksiran bobot badan. Ukuran ini

hanya dipakai untuk membandingkan satu anak ternak (kerbau)

dari yang lain dalam kelompok umur dan daerah yang sama. Anak

kerbau yang merupakan 10-20% terbaik ditetapkan sebagai bibit

pilihan dan diberi cap bakar A seterusnya kelompok B adalah

yang merupakan sisa yang berukuran di atas rataan kelompoknya.

Induk dari anak kerbau kelas A diberi cap A pula. Selanjutnya

bibit pilihan jantan dan betina dijadikan calon pejantan dan

induk untuk menghasilkan generasi selanjutnya. Martojo (2002)

mengungkapkan bahwa upaya perubahan genetik hewan sejak masa

penjajahan sampai masa kemerdekaan tidak menunjukkan hasil

yang memadai, karena upaya pemuliaan ditekankan pada impor

bahan genetik dari luar untuk dipelihara sebagai bangsa hewan

murni atau persilangan.

Upaya melalui seleksi tidak banyak dilakukan terutama

dalam pelita I sampai VI yang lalu, hal ini karena perencanaan

yang ditekankan pada pemerataan dan cara-cara relatif murah

dengan hasil cepat dan menonjol. Ketika arus bioteknologi

melanda dunia, Indonesia harus sanggup melaksanakan penelitian

rekayasa genetik sebatas embrio transfer dan beberapa teknik

manipulasi seluler embrio. Upaya seleksi yang sejak itu sudah

dianggap rekayasa genetik konvensional, yang seharusnya

menjadi dasar bagi rekayasa genetik modern, justru dianggap

tidak perlu diprioritaskan, sehingga ketertinggalan

dalam bidang ini sampai saat ini semakin jauh. Bahwa rekayasa

genetik modern

terutama dalam rekayasa pembentukkan hewan transgenik ternyata

menghadapi

berbagai kendala, bagi bidang pemuliaan hewan disambut dengan

rasa yang lega

karena, dengan demikian diharapkan pemuliaan atau rekayasa

konvensional dapat

menyusul ketertinggalannya dan langsung turut menunjukkan

perhatian pada bidang bioteknologi molekuler untuk tujuan

seleksi terbantu penciri (marker asisted selection /MAS). Untuk

seleksi model terakhir ini, misalnya pada peternakan sapi

potong/daging, sangat diperlukan berkembangnya subsistem

industri peternakan berupa usaha peternakan pembibitan (tempat

pemuliaan konvensional diterapkan), subsistem usaha peternakan

bakalan dan subsistem penggemukan. Pada akhir orde

pemerintahan yang lalu hanya sub sistem penggemukkan yang

didukung pemerintah, sedangkan upaya lain ditekankan pada

bentuk peternakan rakyat, yang tidak memungkinkan pemuliaan

konvensional di dalamnya.

Lebih jauh Martojo (2002) mengungkapkan bahwa penelitian

bidang

pemuliaan ternak konvensional di lembaga penelitian di

lingkungan Depertemen

Pertanian dan perguruan tinggi di Departemen Pendidikan

Nasional selama itu tidak cukup dana untuk pelaksanaan

penelitian jangka panjang untuk pembentukan bangsabangsa

ternak unggul. Pihak swasta sementara itu tidak tertarik untuk

berusaha dalam bidang pembibitan, apalagi penelitian dalam

bidang pemuliaan ternak konvensional. Akibatnya terlihat dari

kenyataan bahwa, berbeda kontras dengan bidang pemuliaan

tanaman konvensional, sampai saat ini belum berhasil dibentuk

satupun bangsa hewan unggul setara varietas, klon atau bibit

unggul dalam bidang tanaman pangan, hortikultura atau

perkebunan. Ironis bahwa pada saat BAPPENAS/DRN merestui

pemanfaatan sejumlah dana besar untuk penelitian dalam bidang

peternakan, pemerintah justru tidak mendukung pelaksanaan

penelitian pemuliaan konvensional tetapi mau membuat lompatan

langsung ke bidang bioteknologi. Hal ini masih terus terjadi

hingga era reformasi dan krisis moneter yang berkepanjangan

ini semakin tidak mungkin realisasi penelitian pemuliaan

konvensional.

E.     Pemuliaan Ternak Berkelanjutan

Pemuliaan ternak berkelanjutan diimplementasikan dalam

kesinambungan

program dan tujuan pemuliaan yang paripurna secara terus

menerus sehingga

dihasilkan ternak yang berkualitas genetik tinggi dan

responsif terhadap teknologi.

Philipsson dan Rege (2002) menyatakan, kegiatan pemuliaan

ternak tidak semata-mata hanya menerapkan teori tentang

pemuliaan ternak untuk meningkatkan

produktivitasnya, akan tetapi berkaitan erat dengan

pembangunan masyarakat yang berkelanjutan dengan memperhatikan

kesempatan peningkatan kesejahteraan dari ternak yang

dimilikinya. Oleh karenanya program pemuliaan ternak erat

kaitannya dengan aspek: (i) kebijakan pemerintah (ii) peran

peternak, (iii) infrastruktur (saranaprasarana), dan (iv)

kesesuaian genotipe dengan lingkungan sehingga sumberdaya

ternak yang tersedia cocok dengan lingkungannya.

Potensi sumberdaya peternak dan lingkungan pendukung

dapat menjadi

rujukan rencana implementasi program pemulian ternak yang akan

dilakukan. Kosgey (2004) memaparkan bahwa walaupun peternakan

rakyat melakukan kegiatan usahaternak secara tradisional,

namun sumbangannya terhadap perbaikan mutu genetic ternak

cukup besar, karena mereka dengan segala kelebihan dan

kekuranganya mampu memilih dan memilah ternak yang dipelihara

sesuai dengan kondisi lingkungan serta sosial budayanya. Peran

serta peternak dalam kegiatan pemuliaan ternak sangat

diperlukan, karena keinginan dan harapan peternak untuk

memperoleh ternak bermutu genetik baik yang cocok dengan

lingkungannya merupakan landasan kuat pentingnya dilakukan

kegiatan pemuliaan ternak. Hal ini sejalan dengan pendapat

Wollny et al. (2002) yang menyatakan bahwa kegagalan pemuliaan

ternak di negara berkembang disebabkan bersifat top down tanpa

memperhatikan dan melibatkan kepentingan peternak.

Chantalakana dan Skunmun (2002) mengungkapkan kendala

kegiatan

pemuliaan ternak di negara berkembang adalah rendahnya

dukungan pemerintah

(finansial maupun kebijakan). Implikasinya adalah kegiatan

pemuliaan ternak kurang dapat berjalan dengan baik, padahal

konsep peternakan yang berkelanjutan

menghendaki adannya dukungan kerjasama semua fihak terkait

(peternak, pemerintah, peneliti, praktisi dan akademisi)

sedemikian rupa sehingga kegiatan peternakan memberikan

manfaat bagi seluruh generasi yang diwujudkan dengan

terjaganya kualitas lingkungan hidup yang baik.

Langkah pertama pada kegiatan pemuliaan ternak adalah

menentukan tujuan pemuliaan (breeding objective) dan pola pemuliaan

(breeding strategies). Tujuan dan pola pemuliaan harus dirumuskan

dengan jelas oleh para pelaku kegiatan pemuliaan sehingga

dapat diimplementasikan dalam pelaksanaannya (Kosgey, 2004).

Di negara berkembang agraris seperti Indonesia, kerbau lumpur

umumnya digunakan sebagai sumber tenaga kerja pengolah lahan.

Oleh sebab itu tujuan pemuliaan yang mungkin dapat dirumuskan

adalah mendapatkan kerbau lumpur yang unggul sebagai tenaga

pengolah lahan pertanian. Chantalakhana dan Skunmun (2002)

mengungkapkan jika kerbau lumpur akan ditujukan sebagai ternak

kerja pengolah lahan, maka kriteria seleksi yang dapat

dilakukan adalah kekuatan, daya tahan terhadap cekaman panas

dan bertemperamen baik sehingga mudah dikendalikan oleh

peternak.

Komponen yang harus diperhatikan meliputi: kekuatan kaki,

ukuran teracak kaki, kemampuan berjalan, tinggi pundak dan

panjang badan, ketebalan bulu, warna kulit, daya tahan

terhadap parasit tubuh serta cocok dengan kondisi sosial

budaya peternak yang menilainya. Pola pemuliaan kerbau yang

mungkin dapat dilakukan adalah open nucleus breeding, yakni

dimungkinkan adanya aliran gen dari inti dan pembiak. Pola

seperti itu telah dilakukan dalam peningkatan mutu genetik

kerbau di Thailand sejak tahun 1981 melalui The National Buffalo

Breeding and Research Programme. Tujuannya adalah diperoleh kerbau

unggul yang kemudian dapat disebar kepeternak. Para peternak

dilibatkan dalam kegiatan pemuliaan melalui “Cattle and Buffalo Bank

Royal Project”, Development of Livestock Production at Small-Farmer Level’ dan

kemajuan genetik didesiminasikan agar para peternak tidak

menjual kerbau potensial kepada tengkulak untuk dipotong (Na-

Chiangmai, 2000).

Intaramongkol (1998) memberikan ilustrasi kegiatan

pemuliaan kerbau yang dilakukan di Thailand (Surin Buffalo Breeding

Center) (ilustrasi 1). Pada kelompok inti (elite) terdiri atas 15

ekor pejantan dan 300 ekor betina terpilih. Pejantan elite

mengawini betina pada populasi inti, populasi betina di

stasiun pemerintah atau swasata dan betina di peternakan

rakyat. Hasil perkawinan pada stasiun pemerintah atau swasta

akan diperoleh betina terseleksi yang pada akhirnya dijadikan

sebagai betina elite pada populasi inti, sedangkan hasil

perkawinan pada populasi peternakan rakyat dilakukan seleksi

melalui acara kontes ternak yang telah dilakukan sejak tahun

1994, dan juara kontes dipilih sebagi ternak betina terbaik

yang kemudian akan dimasukkan ke dalam kelompok elite pada

populasi inti, begitulah seterusnya.

Dalam program pemuliaan inti terbuka (open nucleus breeding

system, ONBS), aliran gen-gen dari populasi bibit induk

dimungkinkan masuk ke populasi inti yakni dengan penjaringan

ternak betina. Sedangkan aliran gen dari populasi bibit sebar

dapat masuk ke populasi bibit induk juga dilakukan melalui

penjaringan ternak betina sebagai replacement. Betina-betina

terbaik dari populasi bibit induk yang mempunyai performans

diatas rataan populasi inti dapat masuk ke populasi inti.

Sementara itu betina dalam kelompok bibit dasar mempunyai

performans di bawah rataan populasi dipindahkan ke populasi

bibit induk. Pejantan yang dilahirkan dari populasi inti

dipergunakan untuk mengawini betina-betina di populasi bibit

induk atau populasi bibit sebar. Namun demikian tidak

dimungkinkan ada aliran gen (perpindahan pejantan) dari

populasi bibit induk atau populasi bibit sebar ke populasi

inti, kecuali jika ada kondisi yang luar biasa (Diwyanto dan

Hardimirawan, 2006).

F.     Upaya-Upaya Inovasi Teknologi

Untuk meningkatkan produktivitas dan eksistensi kerbau

rawa secara berkelanjutan,n Pemerintah Provinsi Kalimantan

Selatan melakukan perlindungan, pelestarian, dan pengelolaan

ternak kerbau,

yang meliputi: 1) peningkatan mutu genetik melalui grading up, 2)

revitalisasi dan pengembangan kawasan perbibitan kerbau rakyat

melalui penataan kelompok, dan 3) pelaksanaan biosekuriti

secara tepat terutama pada kawasan perbibitan. Pengadaan

dan pengembangan bibit kerbau dilakukan melalui seleksi dan

afkir atau culling secara sistematis, dan menyebarluaskan bibit

unggul hasil kajian dan telah memperoleh justifikasi dari

lembaga berwenang, baik di pusat maupun daerah. Program

pemuliabiakan untuk memperoleh bibit unggul dilakukan melalui:

1) seleksi peningkatan populasi dan produktivitas, 2)

persilangan secara sistematis dan terarah, dan 3) program

pencatatan atau recording system terutama di lokasi yang diarahkan

untuk pembibitan dan sertifikasi bibit (Toelihere dan Achyadi

2005). Penelitian dan pengkajian tentang teknologi pakan

dengan pemanfaatan bahan pakan lokal untuk meningkatkan

produktivitas dan reproduktivitas kerbau rawa perlu dilakukan.

Penataan areal penggembalaan alami juga dapat memenuhi

ketersediaan pakan sepanjang tahun.

Pencegahan dan pengendalian penyakit, terutama

fascioliasis, ngorok, surra, dan penyakit lainnya perlu

dilakukan secara periodik. Untuk mengendalikan penyakit ngorok

dapat dilakukan vaksinasi dengan cakupan minimal 60−70%

populasi terancam, pemberantasan vector penyakit, menyiagakan

petugas lapang (tenaga medis veteriner), serta melaporkan bila

terjadi wabah penyakit kepada petugas atau dinas peternakan

terdekat. Jika ada kerbau yang mati dapat dilakukan

pengambilan spesimen untuk pemeriksaan lebih lanjut di

laboratorium. Hewan yang sakit harus segera diobati (Tarmudji

2003).

G.    Lahan Penggembalaan

Sistem pemeliharaan ternak kerbau di pedesaan di Jambi

sangat tergantung pada lahan penggembalaan karena sistem

pemeliharaan yang ekstensif tradisional. LUBIS (1999),

melaporkan bahwa 91% pemeliharaan kerbau di Propinsi Jambi

masih

memanfaatkan pakan alami yang diambil sendiri oleh ternak di

padang penggembalaan dan selebihnya diambil secara cut and carry

untuk makan selama masa musim tanam. Pada saat ini umumnya

lahan yang dominan digunakan adalah untuk perkebunan kelapa

sawit dan karet. Sementara itu juga padang penggembalaan telah

banyak beralih fungsi menjadi lahan perkebunan sawit dan karet

(Gambar 3). Dengan semakin berkurangnya lahan penggembalaan

maka pada musim kemarau telah mulai kelihatan dampak negative

bagi perkembangan ternak kerbau seperti terjadi beberapa kasus

keguguran (kasus di Desa Mersam). Selain alih fungsi lahan

pengembalaan, statusnya hanya dimiliki oleh individu sehingga

suatu saat nanti lahan penggembalaan semakin berkurang apabila

dibiarkan berlanjut seperti saat ini. Untuk itu diperlukan

kebijakan-kebijakan dalam rangka mempertahankan keberadaan

lahan penggembalaan pada daerah-daerah yang potensial

pengembangan ternak kerbau. Belum adanya lahan penggembalaan

yang legal secara hukum di tingkat pedesaan akan menimbulkan

kekhawatiran beralih fungsinya lahan-lahan tersebut bagi usaha

di luar peternakan.

Untuk mengoptimalkan penggunaan lahan sebenarnya ternak

kerbau dapat diintegrasikan dengan perkebunanan kelapa sawit

dan karet, pada tanaman berusia di atas 6 tahun. Banyak

keuntungan apabila ternak kerbau diintegrasikan dengan

perkebunan sawit dan karet, memanfaatkan rumput yang tumbuh di

antara tanaman utama sebagai pakan dan dijadikan tenaga kerja

untuk alat transportasi

tandan buah segar (TBS) sawit. Sebenarnya kemampuan ternak

kerbau untuk

mengkonsumsi pakan lebih baik dari ternak sapi. DEVENDRA

(1985) mengemukakan bahwa kerbau mampunyai kemampuan lebih

baik memanfaatkan hijauan yang berkualitas rendah dari pada

sapi. menurut beberapa laporan jarak kelahiran adalah 18-24

bulan. Gambar 3 (kasus di Desa Mersam) memperlihatkan bahwa

anak yang diperkirakan berumur 1,5 tahun masih menyusui dengan

induknya, hal ini mengindikasikan reproduksi ternak kerbau di

tingkat petani masih lambat sebagai mana yang dilaporkan oleh

PUTU (1992). Beberapa masalah pengembangan ternak kerbau di

Indonesia antara lain adalah pemasaran daging kerbau,

pertumbuhan yang lambat, calving interval yang panjang

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Dari pembahasan diatas maka ditarik suatu kesimpulan

yaitu

1.      padang penggembalaan semakin terbatas, mortalitas tinggi

dan penjualan kerbau jantan yang tinggi.

2.      Pengembangan kerbau diprioritaskan pada daerah-daerah

yang social budaya masyarakatnya sangat erat kaitannya dengan

kerbau.

3.      Pembentukan kelompok peternak kerbau perlu revitalisasi,

untuk memudahkan transfer ilmu dan teknologi yang berkaitan

dengan percepatan peningkatan populasi dan kualitas kerbau.

4.      Perlu adanya introduksi pejantan unggul pada kelompok

peternak yang belum memungkinkan dilakukan IB.

5.      Produksi semen beku kerbau perlu ditingkatkan di setiap

Balai Inseminasi Buatan.

6.      Peningkatan pengetahuan dan keterampilan inseminator

perlu mendapat dukungan dari pemerintah daerah dan pusat dan

7.      Sifat kerbau yang memperlihatkan berahi tenang sehingga

sulit dilakukan IB harus disiasati dengan melakukan

sikronisasi birahi.

8.      meningkatkan populasi dan kualitas kerbau di negeri kita

selain melaksanakan aktivitas untuk menyiasati faktor internal

yang lebih terarah dan berkelanjutan, perlu pula memperhatikan

dan memperbaiki faktor internal yang pengaruhnya sangat kuat.

DAFTAR PUSTAKA

Bandiati, S. 2005. Karakteristik bangsa dan pengembangan

kerbau lokal. Disampaikan pada saresehan peternakan 2005,

revitalisasi ternak kerbau dan pola perbibitan sapi potong.

Bandung 24 Desember 2005.

DitJenNak. 2006. Statistik Peternakan 2006. CV Arena Seni.

Jakarta.

Diwyanto, K. dan E. Hardiwirawan. 2006. Strategi pengembangan

ternak kerbau: Aspek penjaringan dan distribusi.

Prosiding Lokakarya Nasional Usahaternak Kerbau Mendukung

Program Kecukupan Daging Sapi.

Balitbang Deptan Puslitbangnak bekerjasama dengan

Direktorat Perbibitan

DitjenNak, DisPet Provinsi NTB dan Pemda Kab. Sumbawa.

Sumbawa 4-

5 Agustus 2006.

Hardjosubroto, W. 2006. Kerbau mutiara yang terlupakan. Orasi

purna tugas.

Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Kosgey IS. 2004. Breeding objective and breeding strategies

for small ruminants in the tropics. Ph.D. Thesis, Animal

Breeding and Genetics Group. Wageningen University.

Misra, A.K. 2006. Application of embryo biotecnology to

augment reproduction

and production in buffaloes: current status and future

possibilities. Internnational seminar on artificial

reproductive biotechnologies for buffaloes. August 28-

September 01 2006. Bogor-Indonesia.

Philipsson, J. and J.E.O. Rege. 2002. Sustainable breeding

programes for tropial

farming systems. Module 3. Animal genetics training

resources (CDROOM) Version 1 (2002) ILRI-SLU.

Sofyan, A. 2006. Dukungan kebijakan Areal untuk pengembangan

kawasan ternak kerbau. Prosiding Lokakarya Nasional

Usahaternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi.

Balitbang Deptan Puslitbangnak bekerjasama dengan

Direktorat Perbibitan DitjenNak, DisPet Provinsi NTB dan

Pemda Kab. Sumbawa. Sumbawa 4-5 Agustus 2006.

Suryanto, B, M. Arifin, and E. Rianto. 2002. Potential of

swamp buffalo development in Central Java, Indonesia. Buffalo

Bulletin Vol.21 No.1. 3- 9p Toelihere, M. 1975. Physiology of

reproduction and artificial insemination of water buffaloes.

Food and technology center for the Asian and Facific

region.

Triwulaningsih E and L Praharani. 2006. Buffaloes in

Indonesia. International

seminar on artificial reproductive biotechnologies for

buffaloes. August 28-September 01 2006. Bogor-Indonesia.

Wollny CBA, Banda JW, Mlewah TFT, Phoya, RKD. 2002. The lesson

livestock

improvement failure: revising breeding strategies for

indigenous Malawi sheep.In: Proceeding of the seventh World

Congress on Genetics Applied to Livestock Production, vol 33,

Montpellier, France, 19-23 august 2002.