210 /Ilmu Peternakan LAPORAN PENELITIAN UNGGULAN ...
-
Upload
khangminh22 -
Category
Documents
-
view
6 -
download
0
Transcript of 210 /Ilmu Peternakan LAPORAN PENELITIAN UNGGULAN ...
1
Bidang Unggulan* : Ketahanan dan Keamanan Pangan
Kode/Nama Rumpun Ilmu** : 210 /Ilmu Peternakan
LAPORAN PENELITIAN
UNGGULAN PERGURUAN TINGGI
RETENSI ENERGI DAN PROTEIN DALAM TUBUH KELINCI LOKAL
(Lepus nigricollis) PADA FAKTOR LINGKUNGA BERBEDA
Dr. Ir. I Made Nuriyasa, MS
(NIDN: 0020026203)
Prof. Ir. I Made Mastika, MSc.,Ph.D
(NIDN: 0007094702)
Eny Puspani, SPt.,MSi
(NIDN: 0004057911)
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2014
Dibiayai dari Dana RM Universitas Udayana dengan Surat Penugasan Penelitian
No:104.29/UN14.2/PNL.01.03.00/2014 tanggal 3 Maret 2014
3
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI i
ABSTRAK 4
BAB 1 PENDAHULUAN 8
1.1 Latar Belakang……………………………………………… 9
1.2 Tujuan Umum………………………………………………. 9
1.3 Tujuan Khusus……………………………………………… 10
BAB 2 STUDI PUSTAKA 11
3.1 Iklim Mikro dan Produktivitas Ternak Kelinci…………….. 11
3.2 Kebutuhan Energi …………………………………………. 12
3.3 Kebutuhan Protein ………………………………………… 13
3.4 Imbangan Energi dan Protein Ransum…………………….. 15
3.5 Peta Jalan Penelitian……………………………………….. 16
BAB 3 TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
3.1 Tujuan Penelitian……………..……………………………. 17
2.3 Manfaat Penelitian...……………………………………….. 18
BAB 4 METODE PENELITIAN 18
4.1 Mekanisme dan Rancangan Penelitian Tahun II ………… 18
4.2 Tempat dan Lama Penelitian………………………………. 18
4.3 Kandang dan Ternak ……………………………………… 19
4.4 Variabel Penelitian…………………………………………. 19
4.4.1 Variabel Iklim Mikro…………………………………….. 19
4.4.2 Variabel Respon Biologi…………………………………. 21
4.4.2.1 Variabel Hematologi…………………………………… 21
4.4.2.2 Variabel Fisiologi………………………………………. 21
4.4.2.3 Variabel Performans……………………………………. 22
4.4.4 Karkas……………………………………………………. 23
4.4.5 Kecernaan………………………………………………… 23
4.4.6 Komposisi Mikroba Sekum dan Kolon………………….. 24
4.4.7 Variabel Komposisi Tubuh………………………………. 24
4.4.8 Keseimbangan Protein……………………………………. 25
4.4.9 Analisis Data……………………………………………… 26
BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN………………………………… 27
5.1 Hasil……………………………………………………….. 27
5.1.1 Iklim Mikro……………………………………………… 27
5.1.2 Respon Fisiologi………………………………………… 28
5.1.3 Respon Hematologi……………………………………… 29
5.1.4 Performans………………………………………………. 31
5.2 Pembahasan……………………………………………….. 39
5.2.1 Iklim Mikro Kandang…………………………………… 39
5.2.2 Respon Fisiologi………………………………………… 40
5.2.3 Respon Hematologi……………………………………… 41
5.2.4 Performan Kelinci………………………………………. 43
5.2.5 Mikroba dalam Sekum dan Kolon Kelinci……………… 47
5.2.6 Koefisien Cerna Ransum………………………………… 47
5.2.7 Karkas Kelinci…………………………………………… 47
4
5.2.8 Neraca Energi……………………………………………. 50
5.2.9 Neraca Protein…………………………………………… 52
5.2.10 Perhitungan Kebutuhan Energi………………………….. 53
5.2.11 Perhitungan Kebutuhan Protein…………………………. 54
BAB 6 SIMPULAN DAN SARAN…………………………………….. 55
6.1 Simpulan……………………………………………………. 56
6.2 Saran………………………………………………………... 57
DAFTAR PUSTAKA 58
LAMPIRAN 61
5
DAFTAR TABEL
No Tabel Halaman
3.1 Komposisi bahan penyusun ransum percobaan……………………… 17
3.2 Kandungan Nutrient ransum percobaan……………………………... 18
5.1 Iklim mikro pada kandang underground shelter dan battery…………
5.2 Iklim mikro pada kandang yang mendapat perlakuan ransum dengan
kandungan energi dan protein berbeda………………………………
27
5.3 Response fisiologi kelinci pada kandang underground shelter dan
battery………………………………………………………………... 28
5.4 Response fisiolgi kelinci yang mendapat perlakuan ransum dengan
kandungan energi dan protein berbeda………………………………. 28
5.5 Response hematologi kelinci pada kandang underground shelter dan
battery………………………………………………………………... 29
5.6 Response hematologi yang mendapat perlakuan ransum dengan
kandungan energi dan protein
berbeda………………………………………………………………..
29
5.7 Performans kelinci pada kandang underground shelter dan
battery………………………………………………………………... 31
5.8 Performans kelinci yang mendapat perlakuan ransum dengan
kandungan energi dan protein
berbeda……………………………………………………………….
31
5.9 Jumlah bakteri dan mikroba dalam sekum dan kolon kelinci yang
dipelihara pada kandang
berbeda………………………………………………………….........
32
5.10 Jumlah bakteri dan mikroba dalam sekum dan kolon kelinci yang
diberi perlakuan ransum
berbeda……………………………………………………………….
33
5.11 Kecernaan bahan kering, energi dan protein ransum oleh kelinci
pada kandang
berbeda……………………………………………………………….
33
5.12 Kecernaan bahan kering, energi dan protein ransum oleh kelinci
yang diberi ransum dengan kandungan energi dan protein
berbeda……………………..
34
5.13 Karkas kelinci yang dipelihara pada kandang
berbeda……………………………………………………………….. 35
5.14 Karkas kelinci yang diberi ransum dengan kandungan energi dan
protein
berbeda……………………………………………………………….
36
6
5.15 Keseimbangan energi dalam tubuh kelinci pada kandang
berbeda………………………………………………………………..
37
5.16 Keseimbangan energi dalam tubuh kelinci yang diberi ransum
dengan kandungan energi dan protein
berbeda………………………………………………………………..
38
5.17 Keseimbangan protein dalam tubuh kelinci pada kandang
berbeda……………………………………………………………….. 39
5.18 Keseimbangan protein dalam tubuh kelinci yang diberi ransum
dengan kandungan energi dan protein
berbeda………………………………………………………………..
39
7
DAFTAR LAMPIRAN
No Lampiran Halaman
1 Catatan
Harian………………………………………………………………
61
2 Penggunaan Anggaran 100%........................................................... 66
3 Journal
Internasional……………………………………………………..
68
4 Seminar
Nasional…………………………………………………………
69
5 Pengabdian Kepada Masyarakat………………………………. 70
6 Buku
Ajar…………………………………………………………….
71
7 Gambar
Penelitian…………………………………………………………
72
8
ABSTRAK
Standar kandungan energi dan protein dalam ransum yang
direkomendasikan oleh NRC (1977) dan McNitt et al. (1996) merupakan rata-rata
dari serangkaian penelitian yang dilakukan di daerah yang beriklim sub tropis.
Sampai saat ini, informasi hasil penelitian tentang kebutuhan energi dan protein
untuk hidup pokok dan pertumbuhan ternak kelinci lokal pada kondisi lingkungan
berbeda, pada musim kemarau dan hujan khususnya di daerah dataran rendah
tropis belum ada. Yates (1987) menyatakan bahwa musim merupakan faktor
pengendali iklim mikro kandang melalui keseimbangan radiasi matahari yang
diterima permukaan bumi. Kondisi lingkungan ternak diluar kebutuhan optimal,
berdampak pada peningkatan penggunaan energi dan protein untuk kebutuhan
hidup pokok dan menurunkan retensi energi dan protein (Xiccato et al., 1999).
Perbedaan kandungan energi dan protein ransum yang diberikan pada ternak
kelinci diharapkan dapat menyebabkan perbedaan pertumbuhan. Retensi energi
dan protein pada tubuh kelinci dari awal penelitian (umur 5 minggu)sampai akhir
penelitian (umur 17 minggu) merupakan indikasi tingkat pertumbuhan sebagai
respon perlakuan yang diberikan. Mengacu pada data retensi energi dan protein
yang didapat serta jumlah konsumsi ransum dalam DM dalam waktu yang sama
maka dapat ditentukan formulasi ransum dengan kandungan energi dan protein
yang lebih sesuai dengan kondisi lingkungan. Setelah penelitian pertama pada
musim kemarau selesai maka penelitian pada tahun kedua dilakukan dengan
metode yang sama namun dilakukan pada musim hujan sehingga akan didapatkan
formulasi ransum dengan kandungan energi dan protein yang lebih sesuai pada
musim berbeda (hujan dan kemarau).
Ternak kelinci jantan lokal (lepus nigricollis) yang dipelihara pada
musim, jenis kandang dan diberi ransum dengan kandungan energi dan protein
yang lebih sesuai dapat menampilkan potensi genetik secara optimal.
Pertumbuhan ternak kelinci yang tinggi disertai efisiensi penggunaan ransum
tinggi karena didukung oleh kesesuaian faktor lingkungan, dapat meningkatkan
pendapatan peternak. Kondisi ini akan mampu mendorong perkembangan
peternakan kelinci di masyarakat sehingga swasembada protein hewani
masyarakat Indonesia tahun 2014 dapat dicapai lebih awal.
_________________________________________________________________
Kata Kunci : Jenis kandang, musim hujan, energi dan protein, formulasi ransum
9
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Penyediaan daging dari ternak sapi, kerbau, kambing, domba, babi, kuda
dan unggas belum mampu memenuhi swasembada pangan terutama protein
hewani asal ternak (Suradi, 2005). Pengembangan ternak penghasil daging
khususnya ruminansia mengalami kendala karena kepemilikan lahan peternakan
sempit dan ditambah laju alih fungsi lahan di Bali dan Indonesia secara umum
semakin tidak terbendung. Kelinci merupakan salah satu ternak alternatif yang
potensial untuk diversifikasi penyediaan sumber protein hewani. Target
swasembada protein hewani pada tahun 2014 akan tercapai bila program
pembangunan peternakan sudah didukung oleh political will dan good will
pemerintah. Disamping itu, prioritas program diarahkan pada jenis ternak yang
cepat menghasilkan, efisien dalam menggunakan ransum, tidak memerlukan
modal yang besar serta membutuhkan lahan relatif sempit. Lick dan Hung
(2008) menyatakan bahwa satu sumber daya ternak yang mampu memenuhi
kreteria tersebut adalah ternak kelinci.
Dibalik sifat unggul yang dimiliki kelinci terdapat kelemahan yaitu ternak
kelinci peka terhadap faktor lingkungan. Hasil penelitian Nuriyasa (2013)
mendapatkan bahwa kelinci yang dipelihara pada kandang underground shelter
mengasilkan iklim mikro dan respon hematologi lebih baik daripada kandang alas
semen dan kandang battery. Peningkatan produktivitas ternak kelinci melalui
perbaikan faktor lingkungan sudah sepantasnya mendapat perhatian lebih atau
minimal sejajar dengan faktor pengendali produktivitas yang lain. Pernyataan
tersebut cukup beralasan dan rasional berdasarkan beberapa pertimbangan
sebagai berikut:
1. Ternak kelinci termasuk jenis hewan homeotherm. Kelinci akan
senantiasa mempertahankan temperatur tubuh tetap konstan (kisaran
yang sempit) walaupun lingkungan sudah berubah pada kisaran yang
cukup ekstrim. Sebagai konsekuensi dari proses adaptasi, terjadi
pemborosan energi untuk hidup pokok sehingga mengurangi efisiensi
penggunaan ransum.
10
2. Indonesia termasuk beriklim tropika basah, dengan temperatur berkisar
21,87 oC sampai 31.13
oC dan kelembaban udara berada pada rentang
79% - 86% (BMKG, 2012) yang sesungguhnya kurang ideal untuk
pengembangan ternak kelinci, terlebih lagi pada daerah dataran rendah.
Menurut Yan dan Li (2008) ternak kelinci memerlukan temperatur
nyaman 20 oC
3. Imbangan energi dan protein ransum sangat penting diperhatikan untuk
menghasilkan performans produksi maksimal (Xiangmei, 2008).
Kebutuhan imbangan energi dan protein ransum kelinci pada kondisi
cekaman panas akan berbeda dibandingkan pada kondisi nyaman
(Leeson, 1986).
4. Kesalahan dalam menentukan imbangan energi dan protein ransum serta
penggunaan jenis kandang yang tidak sesuai untuk daerah dataran
rendah tropis, akan menambah beban panas (heat increament) pada
kelinci. Isu pemanasan global semakin menambah kekawatiran terhadap
tingkat kenyamanan kandang di daerah dataran rendah tropis
Ke empat argumentasi di atas cukup beralasan untuk melakukan
pembenahan faktor lingkungan yang mengarah penciptaan kondisi iklim
mikro dalam kandang yang lebih nyaman, pemberian ransum sesuai kebutuhan
ternak dan efisiensi produksi lebih tinggi.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas maka beberapa permasalahan dapat
dirumuskan sebagai berikut :
1. Seberapa besarkah perbedaan iklim mikro pada kandang battery dan
kandang under ground shelter di daerah dataran rendah tropis pada musim
hujan?
2. Bagaimanakah respon biologi (variabel fisiologi, hematologi, performans
dan karkas) kelinci jantan lokal (umur 5 - 17 minggu) yang diberi ransum
dengan kandungan energi dan protein serta jenis kandang dan musim
hujan?
3. Bagaimanakah komposisi mikroba dalam sekum dan kolon ternak kelinci
yang dipelihara pada kodisi lingkungan berbeda saat musim hujan?.
11
4. Bagaimanakah kebutuhan energi dan protein kelinci jantan lokal (umur
5 – 17 minggu) pada jenis kandang berbeda, saat musim hujan?
1.3 Tujuan Umum
1. Mengetahui kondisi iklim mikro kandang kelinci berbeda pada musim
hujan.
2. Mengetahui respon biologi kelinci jantan lokal pada kondisi lingkungan
berbeda saat musim hujan?
3. Mengetahui komposisi mikroba dalam sekum dan kolon kelinci jantan
lokal kondisi lingkungan berbeda saat musim hujan?
4. Mengetahui formulasi ransum terbaik yang dapat menghasilkan
performan kelinci paling tinggi.
1.4. Tujuan khusus
1. Mengetahui kebutuhan energi untuk hidup pokok dan energi untuk
pertumbuhan ternak kelinci jantan lokal yang dipelihara pada jenis kandang
dan musim hujan.
2. Mengetahui kebutuhan protein untuk hidup pokok dan protein untuk
pertumbuhan ternak kelinci jantan lokal yang dipelihara pada jenis kandang
berbeda saat musim hujan.
3. Membuat formulasi ransum yang lebih sesuai dengan kondisi lingkungan di
daerah dataran rendah tropis dan lebih khususnya pada jenis kandang berbeda
saat musim hujan.
1.6. Urgensi (Keutamaan Penelitian)
Keuntungan potensial yang bisa didapat dari pemeliharaan kelinci adalah
memperluas variasi jenis makanan, mendapatkan penghasilan tambahan,
menambah lapangan kerja dan meningkatkan produksi daging berkualitas tinggi.
Peningkatan pendapatan per kapita masyarakat yang disertai dengan kemajuan
teknologi serta informatika menyebabkan masyarakat lebih selektif dalam
memilih daging untuk dikonsumsi. Daging dengan protein tinggi dan rendah
kolesterol biasanya menjadi prioritas pilihan (USDA, 2009).
Dibalik keunggulan ternak kelinci terdapat sedikit kendala yaitu ternak
kelinci sensitif terhadap perubahan faktor lingkungan (iklim mikro kandang).
Menurut laporan BMKG (20012), Indonesia termasuk daerah yang beriklim
12
tropika basah mempunyai temperatur berkisar 21,87 oC sampai 31.13
oC dan
kelembaban udara berkisar 79% - 86% . Yan dan Li (2008) menyatakan bahwa
suhu nyaman bagi ternak kelinci adalah 20 oC. Bila suhu kandang lebih tinggi
dari 270C berlangsung dalam periode lama akan mengakibatkan penurunan
produktivitas ternak kelinci. Penelitian ini diharapkan dapat menjawab jenis atau
model kandang pada musim berbeda yang dapat mengurangi tingkat cekaman
panas ternak kelinci di daerah dataran rendah tropis.
Sampai saat ini standar kebutuhan nutrient ternak kelinci yang dipakai
acuan oleh peternak dan penyuluh peternakan adalah standar Scott et al. (1982),
NRC (1977) dan McNitt et al. (1996) dimana standar tersebut berasumsi bahwa
ternak berada dalam keadaan nyaman tanpa memperhitungkan kondisi
lingkungan. Pemanfaatan energi pada tubuh ternak sangat dipengaruhi oleh
kondisi iklim mikro (Nuriyasa et al., 2010) serta imbangan energi dan protein
ransum (Xiangmei, 2008). Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat menentukan
kandungan energi dan protein yang seharusnya terdapat dalam ransum pada jenis
kandang dan musim berbeda di daerah dataran rendah tropis.
13
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Iklim Mikro dan Produktivitas Ternak Kelinci
Pengaruh secara langsung dari faktor iklim pada hewan berdarah panas
(homeotherm) termasuk ternak kelinci sesungguhnya terpusat pada sistem
homeostatis (Mount, 1979). Homeostatis pada ternak kelinci dilakukan dengan
proses termoregulasi yaitu usaha untuk menyeimbangkan panas yang diproduksi
dengan panas yang dilepas melaui proses konduksi, konveksi, radiasi dan
evaporasi (Behring, 2000). Suc et al. (1996) mendapatkan bahwa sistem
pemeliharaan ternak kelinci dengan lantai tanah yang dilengkapi dengan lubang
berlindung (under ground shelter) menyebabkan temperatur udara rata-rata dalam
lubang berlindung adalah 25,9 oC dan kelembaban udara 80,4% sedangkan
temperatur udara dengan kandang battery adalah 29,4 oC dan kelembabab udara
75,9%.
Temperatur ideal ternak kelinci adalah 15 0C sampai 20
0C. Apabila
temperatur kandang lebih tinggi dari 27 0C dan berlangsung lama akan
mengakibatkan penurunan produksi dan reproduksi ternak. Pemeliharaan ternak
kelinci pada temperatur kandang di atas 32 0C juga dapat mengganggu kesehatan
kelinci dan menyebabkan meningkatnya angka mortalitas (Sosroamidjoyo,1984).
Menurut Cervera dan Carmona (1998) ternak kelinci sampai berumur 80 hari
memerlukan temperatur optimum berkisar antara 15 0C sampai 25
0C . Kelinci
mulai merasa stres panas pada temperatur kandang 30 oC dan temperatur rektal 27
oC. Pada kondisi ini kelinci melepaskan panas dengan cara gasping . Pada saat
gasping kebutuhan energi pada ternak kelinci meningkat namun tidak selinier
pada saat mengalami cekaman dingin (hypothermia). Pada kondisi cekaman
panas kelinci menurunkan konsumsi ransum, kebutuhan energi untuk hidup pokok
meningkat sehingga energi yang dapat dipakai untuk tujuan produksi menurun.
Thwaites et al. (1990) mendapatkan kelinci yang dipelihara pada temperatur 34 oC
menyebabkan temperatur rektal 40,2 oC dan pada temperatur 36
oC temperatur
rektalnya 40,7 oC. Penelitian yang sama juga mendapatkan, laju respirasi pada
kelinci yang dipelihara pada temperatur 34 oC adalah 69 kali/menit sedangkan
pada temperatur 36 oC adalah 82.9 kali/menit.
14
Hasil Penelitian Yan dan Li (2008) mendapatkan bahwa peningkatan
temperatur lingkungan dari 20 oC menjadi 35
oC menyebabkan frekuensi
pernafasan meningkat dari 40 kali per menit menjadi 200 kali per menit.
Walaupun kelinci dapat bertahan hidup sampai temperatur lingkungan 43 oC ,
namun peningkatan temperatur lingkungan dari kisaran nyaman akan sangat
menggangu kesehatan kelinci. Mortalitas mulai meningkat bila temperatur
lingkungan mencapai 35 oC. Pada temperatur lingkungan tinggi, konsumsi
ransum ternak kelinci turun sampai 30-50%. Pada kondisi tersebut akan sangat
membahayakan bagi kesehatan induk dan anak-anaknya.
Ogunjimi et al. (2008) menyatakan bahwa jumlah panas dan uap air yang
diproduksi dari tubuh ternak kelinci sangat dipengaruhi oleh temperatur dan
kelembaban udara. Besaran temperatur dan kelambaban udara akan menentukan
kenyamanan ternak yang terindikasi oleh Temperature Humidity Index (THI).
Makin tinggi nilai THI maka ternak kelinci mengalami tingkat cekaman panas
makin tinggi dan terjadi penurunan produktivitas yang disebabkan oleh
menurunnya retensi energi.
Suc et al. (1996) menyatakan pemeliharaan kelinci pada temperatur lebih
tinggi dari kebutuhan optimum (kondisi hipertermia) dapat menurunkan
pertambahan berat badan melalui penurunan jumlah ransum yang dikonsumsi.
Penurunan jumlah konsumsi ransum ini merupakan bentuk adaptasi ternak untuk
mengurangi cekaman panas pada ternak. Pertambahan berat badan kelinci pada
lama pemeliharaan 112 hari dan temperatur udara dalam kandang 18 - 20 oC
dapat mencapi 3 kg, sedangkan pada temperatur udara dalam kandang berkisar 30
- 31 oC menghasilkan pertambahan berat badan hanya 2,5 kg.
2.2. Kebutuhan Energi
McNitt et al. (1996) menyatakan kebutuhan energi pada ternak kelinci
dapat pula dinyatakan dalam DE disamping ada pula beberapa peneliti memakai
dasar perhitungan ME. Parigi Bini dan Xiccato (1998) menyatakan bahwa dasar
perhitungan kebutuhan energi ternak kelinci dalam bentuk ME dapat dicari
dengan mengalikan DE dengan bilangan konstanta (k). Beberapa peneliti
mendapatkan nilai k yang sama yaitu 0,95 diantaranya : de Blas et al. (1985);
Parigi Bini dan Xiccato (1986); Partridge et al. (1989); Xiccato et al. (1995).
15
Karbohidrat dan lemak merupakan sumber energi bagi ternak kelinci.
Karbohidrat terpenting pada ternak kelinci adalah pati dan selulosa. Pati akan
dirubah menjadi glukosa melalui proses metabolisme yang selanjutnya digunakan
sebagai sumber energi. Sebagian selulosa mampu dicerna oleh kelinci karena
memiliki mikroorganisme dalam sekum dan kolon sebagai fermentor serat kasar.
Seperti karbohidrat, lemak juga sebagai sumber energi dengan kandungan energi
2,5 kali lebih banyak daripada karbohidrat (McNitt et al., 1996).
Parigi Bini dan Xiccato (1998) menyatakan energi untuk hidup pokok
yaitu kebutuhan energi pada saat tidak ada retensi energi (RE = 0) sangat
dipengaruhi oleh ukuran tubuh. Kelinci ukuran sedang seperti new zealand white
pada fase pertumbuhan memerlukan energi hidup pokok sebesar 381 KJW0,75
.
Sedangkan kelinci jenis besar seperti giant spanish memerlukan energi 552
KJW0,75
.
Net Energi (NE) merupakan energi yang dapat dipergunakan oleh ternak
kelinci untuk kebutuhan hidup pokok dan tujuan produksi. Jumlah energi yang
dipergunakan untuk hidup pokok akan mempengaruhi besaran energi yang dapat
dipergunakan untuk produksi. Tujuan produksi pada ternak kelinci adalah
daging, bulu, susu untuk proses reproduksi (McNitt et al., 1996). Menurut
pendapat Parigi Bini dan Xiccato (1998) peningkatan konsumsi ransum
menyebabkan peningkatan energi tersimpan sebagai protein dan lemak tubuh.
Kelinci new zealand white umur 5 – 12 minggu yang diberi ransum iso
protein (16%) dengan kandungan energi 2800 Kkal DE/kg menghasilkan berat
badan akhir paling tinggi (2181,43 g) dibandingkan dengan kandungan energi
2600 Kkal DE/kg (2090,37 g) dan 2400 Kkal DE/kg (1830,69 g). Nilai FCR
paling rendah dihasilkan oleh kelinci yang diberi ransum dengan kandungan
energi 2600 Kkal DE/kg (3,49) dibandingkan dengan 2800 Kkal DE/kg (3,69)
dan 2400 Kkal DE/kg (3,88). Persentase karkas paling tinggi terjadi pada kelinci
yang diberi ransum dengan kandungan energi 2600 Kkal DE/kg yaitu 64,99%
yang kemudian disusul 2800 dan 2400 Kkal DE/kg masing-masing 64,92% dan
63,03% (El-Hindawy et al., 2009).
Penelitian Ayyat et al. (2009) mendapatkan kelinci dengan sistem
pemelihaaran kadang battery yang diberikan ransum dengan tingkat energi
16
rendah (2276 Kkal DE/kg) secara ekonomis lebih menguntungkan daripada
tingkat energi medium (2436 Kkal DE/kg) dan tingkat energi tinggi (2707 Kkal
DE/kg). Tidak terjadi perbedaan yang nyata pada pertambahan berat badan dan
efisiensi penggunaan ransum pada perlakuan tingkat energi yang diberikan.
Pascuala et al. (1999) menyatakan kandungan energi tingggi (12,2 MJ DE/kg)
dan energi menengah (11,1 MJ DE/kg) menghasilkan berat badan lebih tinggi
pada masa bunting dibandingkan dengan kandungan energi rendah (9,9 MJ
DE/kg), namun kandungan energi ransum yang berbeda tidak berpengaruh nyata
setelah melahirkan.
2.3. Kebutuhan Protein
Protein merupakan nutrien mendasar yang diperlukan untuk menyusun
jaringan daging, membran sel, beberapa hormon dan enzim. Protein tubuh
dibentuk atau disusun dari asam-asam amino. Ternak non ruminansia termasuk
kelinci memerlukan beberapa asam amino esensial diantaranya: arginin, histidin,
isoleusin, leusin, triptofan, lisin, metionin, penilalanin, treosin dan valin (de Blass
dan Wiseman, 1998).
Konsumsi protein diperlukan sebagai sumber N untuk tubuh dalam proses
pembentukan zat-zat yang mengandung N (nitrogenous) dan sebagai sumber
asam-asam amino. Sejumlah asam amino yang terabsorbsi tubuh ternak
dipergunakan untuk pembentukan protein tubuh dalam bentuk polipeptida
(Linder, 1992). Total protein yang terdapat dalam usus halus berasal dari protein
endogen yaitu sekresi pencernaan, sel-sel dari jaringan yang mengelupas dan dari
ransum yang dikonsumsi. Sebelum diserap, protein dirubah menjadi bentuk yang
lebih sederhana yaitu asam-asam amino (Noor, 1990). Menurut pendapat Praga
(1998) hanya sebagian kecil protein dapat dicerna dalam sekum dan kolon karena
sebagian besar sudah tercerna dalam usus halus. Amonia adalah hasil akhir
metabolisme N dan merupakan sumber utama sintesis mikroorganisme dalam
sekum dan kolon. Jumlah amonia yang normal dalam sekum berkisar 4,5 – 6
mmol/liter.
Dong et al. (2010) mendapatkan bahwa ternak kelinci persilangan yang
diberi ransum dasar para grass dan water spinac (ipomoea aquatica) yang
disuplementasi konsentrat sebagai sumber protein sebanyak 37 g/ekor/hari
17
menghasilkan jumlah kelahiran, jumlah sapih dan berat sapih lebih tinggi
daripada 34 g/ekor/hari, 31 g/ekor/hari dan 28 g/ekor/hari.
Performan reproduksi ternak kelinci telah diteliti selama 125 hari dengan
menggunakan ransum dasar hijauan (Hymenachne pseudointerrupta, CP = 6,6%)
yang disuplementasi konsentrat dengan kandungan protein 13,17%, 16,64% dan
21%. Hasil penelitian mendapatkan bahwa lama bunting, jumlah kelahiran, berat
lahir dan pertambahan berat badan anak kelinci selama 28 hari tidak
menunjukkan perbedaan yang nyata. Mortalitas tinggi pada ransum yang
disuplementasi konsentrat dengan kandungan protein tinggi disebabkan karena
jumlah kelahiran yang lebih tinggi. Jumlah kelahiran tinggi menyebabkan
malnutrisi dan berakhir dengan mortalitas (Salma et al., 2004).
Xiccato et al., (1999) meneliti perbedaan kandungan protein (17,6% vs
15,8%) pada ransum kelinci dengan kandungan energi 2634 Kkal DE/kg, serat
kasar 16,5% terhadap retensi protein pada masa reproduksi dengan
menggunakan metode komposisi tubuh. Hasil penelitian mendapatkan, ransum
dengan kandungan protein 17,6% menghasilkan retensi protein selama fase
kebuntingan adalah 203 g/kg pertambahan berat badan, sedangkan ransum
dengan kandungan protein 15,8% menghasilkan retensi energi 186 g/kg
pertambahan berat badan. Pada fase laktasi ransum dengan kandungan protein
17,6% menghasilkan retensi protein 185 g/kg pertambahan berat badan,
sedangkan ransum dengan kandungan protein 15,8% menghasilkan retensi
protein 45 gr/kg pertambahan berat badan.
Mbanya et al. (2010) melakukan penelitian selama 8 minggu dengan
menggunakan kelinci persilangan californian dengan new zealand white terhadap
performan produksi dengan menggunakan perlakuan sumber protein berbeda.
Guatamala grass (Trypsacum laxum) dipakai sebagai ransum dasar dan
disuplementasi dengan sumber protein dari tepung biji kapas, tepung kedelai dan
tepung ikan. Hasil penelitian mendapatkan bahwa sumber protein yang berasal
dari tepung ikan menghasilkan pertambahan berat badan per hari paling tinggi
yaitu 16 g/ekor/hr, sedangkan tepung kacang kedelai dan biji kapas menghasilkan
pertambahan berat badan 11,7 g/ekor/hari dan 10,2 g/ekor/hari. Konsumsi
ransum paling tinggi terjadi pada kelinci yang diberi tepung ikan sebagai sumber
18
protein yaitu 72,2 g/ekor/hari, sedangkan sumber protein tepung kedelai dan
tepung biji kapas masing-masing 63,9 g/ekor/hari dan 61,4 g/ekor/hari.
Hasil penelitian El-Hindawy et al. (2009) mendapatkan suplementasi
probiotik lacto-sacc dan bospro 2,5 g/kg ransum dapat meningkatkan berat badan
akhir (umur 12 minggu), pertambahan berat badan dan efisiensi penggunaan
ransum.
Disamping untuk tujuan produksi (daging, susu dan bulu) kelinci
memerlukan protein untuk mempertahankan kondisi tubuh (hidup pokok) sebagai
pengganti pengelupasan kulit, rambut dan mukosa usus. Hasil penelitian
mendapatkan bahwa kelinci pada umur potong dengan berat badan 2 kg, berhasil
meretensi protein dalam tubuhnya sebesar 5,4 g W0,75
/hari. Kelinci dengan berat
badan 2,5 kg berhasil meretensi protein sebesar 4,7 gW0,75
/hari (de Blas dan
Wiseman, 1998).
2.4 Imbangan energi protein ransum
Imbangan energi dan protein pada ransum kelinci sangat penting
diperhatikan untuk dapat menghasilkan performan produksi maksimal. Nilai
imbangan yang terlalu tinggi atau rendah dari standar yang direkomendasikan
akan berdampak pada penurunan produktivitas dan peningkatan mortalitas
(Xiangmei, 2008).
NRC (1977) menyatakan kelinci potong membutuhkan kandungan energi
dalam ransum sebesar 2500 Kkal DE/kg dan kedungan protein (CP): 16%.
Ditambahkan pula bahwa kelinci memerlukan serat kasar (CF): berkisar 10–12%
, kalsium (Ca): 0,4% dan Posfor (P): 0,22%. Menurut pendapat Sinaga (2009)
kelinci pejantan fase grower memerlukan protein kasar 16% sedangkan induk
menyusui memerlukan protein kasar 15-16%. Kandungan serat kasar pada
ransum kelinci jantan fase grower adalah 10–27% dan induk menyusui adalah
15–20%. Pembatasan pemberian ransum (80% dari adlibitum) pada ternak kelinci
yang mengandung energi 11,7 MJ DE/kg, CP (18,5%), CF (18,7%) dan
pemberian ransum dengan energi rendah, serat kasar tinggi yaitu 9,8 MJ DE/kg,
CP (18,5%), CF (24,6%) pada saat kelinci pubertas sampai satu minggu
menjelang melahirkan dapat menurunkan performan reproduksi dibandingkan
perlakuan kontrol. Owen dan Owen (1981) mendapatkan bahwa pemberian
19
ransum pada kelinci new zealand white dengan kandungan energi 8 MJ DE/kg
dan CP 17,2 % menghasilkan umur potong (berat 2 kg) paling lama yaitu 90 hari
dibandingkan dengan ransum yang mengandung energi 10 MJ DE/kg dengan CP
16% dan energi 12 MJ DE/kg dengan CP 15,7% yaitu masing-masing 74 dan 79
hari. Ransum dengan kandungan energi 8 MJ DE/kg dengan CP 17,2%, energi
10 MJ DE/kg dengan CP 16% dan 12 MJ DE/kg dengan CP 15,7% menyebabkan
perbedaan konsumsi ransum (selama penelitian) yaitu masing-masing 8,05
kgDM, 3,12 kgDM dan 3,40 kgDM. Butcher et al. (1981) mendapatkan bahwa
kelinci new zealand white yang diberikan ransum dengan kandungan energi
termetabolism 8 MJ/kg DM dengan CP 172 g/kg DM menghasilkan pertambahan
berat badan per hari 25,16 g nyata lebih rendah daripada kandungan energi 10
MJ/kgDM dengan CP 160 g/kgDM dan 12 MJ/kgDM dengan CP 157 g/kgDM
yaitu 32,40 g/ekor/hr dan 29,8 g/ekor/hr.
Peta Jalan Penelitian
Penelitian yang akan dilakukan
Penelitian yang sudang dilakukan
1.Response Fisiologi dan
Performans Kelinci pada Kandang
Berbeda.
2. Pertumbuhan dan Karkas
Kelinci yang Diberi Ransum
dengan Aras Ampas Tahu
Terfermentasi Berbeda.
3. Retensi Energi dan Protein
pada kandang berbeda, saat
musim kemarau
Pendugaan kebutuhan energi dan protein elinci lokal (Lepus nigricollis) pada kanda Berbeda, saat musim hujan
Luaran yang akan dihasilkan :
1. Iklim mikro pada jenis kandang dan iklim berbeda.
2. Produktivitas kelinci tertinggi yang dihasil kan pada jenis
kandang dan musim serta kandungan energi dan protein
berbeda.
3. Kebutuhan energi dan protein hidup pokok pada jenis
kandang dan musim berbeda.
4. Kebutuhan energi dan protein untuk pertumbuhan pada
jenis kandang dan musim berbeda.
5. Formulasi ransum yang sesuai dengan jenis kandang dan
musim berbeda di daerah dataran rendah tropis.
20
BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
3.1 Tujuan Penelitian
Penelitian dilakukan dengan tujuan sebagai berikut :
1. Mengetahui kondisi iklim mikro pada kandang battery dan kandang
under ground shelter di daerah dataran rendah tropis pada saat musim
hujan.
2. Mengetahui respon biologi kelinci jantan lokal (umur 5 - 17 minggu) yang
diberi ransum dengan kandungan energi dan protein berbeda pada kondisi
lingkungan berbeda.
3. Mengetahui komposisi mikroba pada sekum dan kolon kelinci jantan lokal
yang diberi ransum dengan kandungan energi dan protein berbeda,
dipelihara pada kandang berbeda pada saat musim hujan
4. Mengetahui kebutuhan energi dan protein kelinci jantan lokal (umur 5 -
17 minggu) pada jenis kandang berbeda, saat musim hujan.
3.2 Manfaat Penelitian
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan alternatif pemilihan
kandang pemeliharaan untuk meminimalkan pengaruh negatif dari
cekaman panas di daerah dataran rendah tropis pada musim hujan.
2. Dari hasil penelitian diharapkan dapat menghasilkan ransum dengan
kandungan energi dan protein yang tepat untuk meningkatkan
produktivitas ternak kelinci di daerah dataran rendah tropis.
3. Melalui hasil penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan ilmu
pengetahuan dan teknologi dalam bidang peternakan terutama
pengembangan teknik-teknik pengukuran nutrien pada ternak kelinci.
4. Hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan dalam menyusun
formulasi ransum ternak kelinci sesuai dengan kondisi lingkungan, di
daerah dataran rendah tropis.
21
BAB 4. METODE PENELITIAN
4.1. Mekanisme dan Rancangan Penelitian Tahun II
Pada tahun kedua penelitian dilakuan pada saat musim hujan
(bulan Desember – Pebruari tahun 2013 ) sesuai dengan ketentuan BMKG
Bali (2013).
Bahan pakan yang akan dipergunakan dianalisis proksimat agar
bisa mendapatkan kandungan energi, protein yang sesuai dengan
kandungan nutrisi bahan pakan yang sebenarnya.
Penelitian lapangan dilaksanakan dengan metode percobaan dua
faktor menurut Rancangan Petak Terpisah (Spli Plot) 2 X 4, dengan
dasar Rancangan Acak Kelompok (RAK). Pembuatan blok didasarkan
pada kisaran berat badan awal yaitu dari terendah hingga tertinggi.
Banyaknya blok (kelompok atau ulangan) adalah 5 kali sehingga jumlah
ternak kelinci yang dipergunakan sebanyak 40 ekor. Dalam penelitian ini
menggunakan dua faktor yaitu faktor jenis kandang (K) dan faktor
kandungan energi dan protein ransum (R). Faktor (K) terdiri dari :
kandang under ground shelter (K0), kandang battery (K1). Faktor K
ditetapkan sebagai petak utama (main plot). Faktor kedua yaitu R terdiri
dari ransum dengan kandungan energi 2400,1 Kkal/Kg dan protein
15,56% (R1), ransum dengan kandungan energi 2600,52 KKal/Kg dan
protein 17,06% (R2), ransum dengan energi 2800,14 Kkal/Kg dan protein
19,0% (R3) serta ransum dengan kandungan energi 3000,90 KKal/Kg dan
protein 21,09% (R4). Komposisi bahan penyusun ransum dan kandungan
nutrisi ransum disajikan pada Tabel 3.1 dan 3.2. Faktor R ditetapkan
sebagai anak petak (sub plot).
4.2. Tempat dan Lama Penelitian.
Penelitian lapangan selama 12 minggu dan dilaksanakan di Desa Dajan Peken,
Kecamatan Tabanan , Kabupaten Tabanan (50m dpl). Analisis laboratorium
dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Ternak, Laboratorium Nutrisi
Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Denpasar dan Laboratorium Ilmu dan
Teknologi Pakan, Institut Pertanian, Bogor.
22
Tabel 3.1 Komposisi Bahan Penyusun Ransum Percobaan
Bahan (%) Perlakuan
R1 R2 R3 R4
Jagung Kuning 24,6 29,0 31,0 33,4
Bungkil Kelapa 14,7 14,2 12,4 6,3
Tepung Ikan 6,9 9,6 15 17,7
Tepung Tapioka 4,3 6,4 9,9 10,3
Tepung Kedelai 4,3 8,4 11,0 17,5
Dedak Padi 22,3 12,1 8,0 2,0
Rumput Gajah 18,6 16,0 5,0 2,0
Serbuk Gergaji 2,7 2,7 5,1 7,65
Minyak Kelapa 0 0 1,2 2,0
Tepung Tulang 0,8 0,8 0,65 0,4
NaCl 0,25 0,25 0,25 0,25
Mineral Mix 0,55 0,55 0,5 0,5
Total 100 100 100 100
4.3. Kandang dan Ternak .
Penelitian menggunakan 60 petak kandang dengan ukuran masing-masing
panjang 70 Cm, lebar 50 Cm dan tinggi 45 Cm (Sceire, 1999). Ketinggian petak
kandang diukur dari lantai bangunan kandang adalah 70 Cm. Masing-masing
petak kandang dilengkapi dengan tempat makanan dan tempat air minum yang
terbuat dari tempurung kelapa. Kandang under ground shelter dibuat pasangan
batoko setinggi 45 cm kelinci tidak mudah lepas. Di atas batako di pasang kawat
agar kandang tidak gelap dan memudahkan pengamatan. Kandang alas batu bata
ini dilengkapi dengan lubang tempat berlindung dengan sudut kemiringan tempat
masuk adalah 45o, panjang 35 cm dan lebar 30 cm dengan lubang masuk 20 cm.
4.4 Variabel Penelitian
4.4.1 Variabel iklim mikro
Pengukuran variabel iklim mikro kandang dilakuan pada periode awal
percobaan, pertengahan percobaan dan akhir percobaan, masing-masing selama
23
tujuh hari. Dalam satu hari dilakukan tiga kali pengukuran yaitu pukul 7,30 wita,
13,30 wita dan 17,30 wita.
Tabel 3.2 Kandungan Nutrien Ransum Percobaan
Nutrien
Perlakuan
R1
R2
R3
R4
Standar
McNitt (1996)
GE (K.kal/kg)*) 3985,0 3909,0 4116,0 4145,0 4033,60
ME (K.kal/kg)**) 2201,1
5
2402,17 2603,45 2801,81 2400
Protein Kasar (%)**) 14,03 15,50 17,01 18,50 16,00
ME/CP Rasio 156,89 154,98 153,14 151,45 150
Lemak (%)*) 6,10 6,72 8,07 9,64 3,00
Serat Kasar (%)*) 14,91 18,51 12,24 10,68 10,00
Ca (%)*) 1,27 1,52 2,0 2,15 0,50
P av (%)*) 0,90 0,91 0,97 1,07 0,30
Lisin (%) 0,68 0,93 0,16 1,18 0,60
Metionin + Sistin
(%)**)
0,38 0,52 0,69 0,65 0,60
Isoleusin (%)**) 0,60 0,52 0,080 0,67 1,10
Leusin (%)**) 0,07 0,89 0,16 1,09 0,30
Penilalanin +
Tirosin (%)**)
1,03 1,29 0,90 1,47 1,10
Treonin (%)**) 0,40 0,53 0,10 0,63 0,60
Triptofan (%)**) 0,12 0,12 0,03 0,008 0,20
Valin (%)**) 0,59 0,77 0,15 0,04 0,70
*) Analisis Proksimat **) Perhitungan berdasarkan tabel komposisi Scott et al. (1982)
Temperatur Udara, Kelembaban Udara dan THI. Data temperatur dan
kelembaban udara dalam kandang diukur dengan menggunakan
thermohygrometer digital tipe CE 11/08. Temperatur dan kelembaban udara di
ukur pada lima titik yaitu pada masing-masing sudut kandang dan titik tengah
24
kandang. Hasil pengukuran pada lima titik ini di rata-ratakan untuk mendapatkan
satu data temperatur yang representatif pada satu petak kandang.
Temperature Humidity Index (THI) untuk ternak kelinci dihitung dengan
formulasi empiris menurut Marai (2002) sebagai berikut :
THI = T - [(0,31 – 0,31 × RH) (T – 14,4)] ………..…………………………(1)
Keterangan: THI : Temperature Humidity Index, T : Temperatur rata-rata
dalam petak kandang (oC) dan RH : Kelembaban relatif/100
Intensitas Radiasi Matahari. Pengukuran intensitas radiasi matahari dilakukan
dengan menggunakan light meter digital merk Lutron tife LX-103 dan
pengukuran dilakukan tiga kali sehari yaitu pukul 7.30, 13.30 dan 17.30 wita.
Rata-rata intensitas radiasi matahari dalam satu hari didapatkan dengan
menjumlahkan data pengamatan pada pukul 7.30, 13.30 dan 17.30 wita kemudian
dibagi tiga.
4.4.2 Variabel respon biologi
4.4.2.1 Variabel hematologi
Pengamatan terhadap variabel hematologi yang terdiri dari rata-rata
kandungan hemoglobin (% ), jumlah sel darah merah (106/µl), jumlah sel darah
putih (103/µl), kandungan hematokrit (%), kandungan glukosa darah (mg/100
ml), dan kandungan trigliserida darah (mg/100 ml), sesuai dengan metode
Nugraha (2010). Pengamatan dilakukan hanya sekali pada akhir penelitian
setelah kelinci berumur 17 minggu. Pengambilan sampel darah dilakukan pada
dua blok setiap kombinasi perlakuan sehingga ada 16 sampel darah. Sampel
darah diambil pagi hari sebelum kelinci diberi makan dan air minum. Cara
pengambilan contoh darah dilakukan dengan menusukkan jarum pada vena
telinga, kemudian disedot dengan spyit plastik dan segera dipindahkan ke tabung
reaksi yang telah terisi zat anti beku darah. Zat anti beku darah yang digunakan
adalah lithium heparin (Xiangmei, 2008). Jumlah sampel darah yang diambil
adalah sebanyak 6 cc untuk satu ekor kelinci (Nugraha, 2010). Segera setelah itu
25
dimasukkan ke dalam termos es dan pada hari itu dikirim ke Laboratorium
Kesehatan Masyarakat, Bina Medika, Denpasar untuk analisis hematologi.
4.4.2.2 Variabel fisiologi
Pengukuran variabel fisiologi dilakukan pada periode awal penelitian,
pertengahan penelitian dan akhir penelitian, masing-masing selama tujuh hari.
Dalam satu hari dilakukan tiga kali pengukuran yaitu pukul 7,30, 13,30 dan 17,30
wita. Data rata-rata variabel fisiologi dalam satu hari didapat dengan cara
menjumlahkan ketiga data pengamatan kemudian dibagi tiga. Variabel fisiologi
yang diamati dalam penelitian ini meliputi:
Temperatur Rektal. Sebelum pengambilan data temperatur rektal dilakukan
pembiasaan pada ternak (pre treatment) selama satu minggu. Temperatur rektal
diukur dengan termometer temperatur tubuh digital yang sensornya berbentuk
bulat dan agak lancip dimasukkan ke dalam anus se dalam 6 cm selama satu
menit (Kasa et al., 1993).
Temperatur Kulit. Suhu kulit diukur dengan menggunakan Imfra Red
Thermometer 8872. Pengukuran dilakukan pada empat titik yaitu kepala, leher,
punggung dan pandat (Kasa et al., 1993). Pengukuran pada empat titik ini
dijumlahkan dan dibagi empat untuk madapatkan rata-rata suhu pada satu kali
pengukuran.
Laju Respirasi. Laju respirasi diperoleh dengan menghitung gerakan naik
turunnya permukaan rusuk-perut selama satu menit
Denyut Jantung. Sebelum pengambilan data denyut jantung dilakukan
pembiasaan pada ternak (pre treatment) selama satu minggu. Langkah pertama
yang dilakukakan adalah mengamati atau meraba bagian ternak yang denyut
nadinya paling terasa. Setelah bagian tubuh yang denyut nadinya paling terasa
ditentukan kemudian dilakukan pengukuran denyut jantung dengan cara
menempelkan stetoskop selama satu meni. Pengitungan mulai dilakukan setelah
lewat satu menit stetoskop ditempelkan pada bagian dada.
26
4.4.2. 3 Variabel performans
Konsumsi Ransum dan Air minum. Konsumsi ransum dan air minum dihitung
setiap minggu dengan mengurangi jumlah yang diberikan dengan sisa.
Berat Badan. Penimbangan berat badan dilakukan setiap minggu untuk
mendapatkan pertambahan berat badan per minggu. Sebelum ditimbang, kelinci
dipuasakan selama 12 jam.
Konversi Ransum. Konversi ransum atau Feed Conversion Ratio (FCR)
dihitung dengan perbandingan antara jumlah ransum yang dikonsumsi dengan
pertambahan berat badan selama penelitian.
Lama Aliran Ransum. Pengukuran lama aliran ransum di dalam saluran
pencernaan dilakukan dengan memberikan ransum yang telah dicampur dengan
indikator Fushin Acide pada ternak kelinci. Lama aliran ransum dihitung dengan
jalan menghitung waktu mulai ransum yang mengandung indikator dimakan
sampai keluarnya indikator untuk pertama kali di dalam feses.
4.4.4 Karkas
Data karkas didapatkan dengan melakukan pemotongan pada ternak
kelinci pada umur 84 hari, sesuai dengan umur potong yang dikemukan oleh
Owen dan Owen (1981). Pemotongan ternak kelinci dilakukan dengan prosedur
yang sama dengan ayam yaitu dengan memotong vena jugularis pada leher untuk
mengeluarkan darahnya (Alhaidary et al., 2010). Tubuh kelinci kemudian
digantung pada salah satu kaki belakang dengan membuat potongan pada kulit
antara tulang dan tendo pada sendi siku kaki belakang. Kepala dilepaskan pada
sendi atlas (Cervical vertebrae), kaki belakang pada sendi siku (Metatarsus) dan
kaki depan pada sendi siku (Metacarpus). Ekor dilepaskan pada pangkalnya
(Caudal vertebrae). Kulit dilepaskan dengan membuat sayatan dibagian belakang
dari paha belakang ke arah pangkal ekor dan paha yang bebas, kemudian ditarik
ke arah leher sampai lepas. Jeroan dikeluarkan dari rongga perut dengan
membuat sayatan median di dinding perut. Berat kosong didapat dengan
mengeluarkan jeroan dengan paru-paru tetap bersama karkas. Persentase karkas
dihitung sebagai total berat karkas segar, lemak rongga abdomen dan paru-paru
27
dibagi dengan berat tubuh sebelum dipotong dikalikan 100 (Lukefahr et al.,
1981).
Karkas dipotong-potong kedalam potongan utama untuk pemasaran
komersial yaitu 2 potongan kaki belakang kiri dan kanan, 1 potongan pinggang
dan punggung, 2 potongan dada dan leher serta 2 potongan kaki depan kiri dan
kanan (Sartika dan Raharjo, 1991). Karkas dipotong dengan melepaskan kedua
kaki depan pada scapula. Kaki belakang dipotong pada sendi antara tulang lumbal
terakhir dengan tulang sacral pertama. Dada dan leher dengan pinggang
dipisahkan dengan membuat potongan antara dua tulang rusuk (ribs) terakhir.
Tulang rusuk terakhir masuk kedalam potongan pinggang. Untuk mengetahui
proporsi dan produksi daging, maka antara daging, lemak, dan tulang dipisahkan.
Rasio daging dengan tulang didapat dengan membagi berat daging dengan berat
tulang.
4.4.5 Kecernaan
Koefisien Cerna Bahan Kering Ransum
Koefisien Cerna Bahan Kering (KCBK) dihitung berdasarkan metode
koleksi total (Tillman et al., 1989). Feses ditampung selama 7 hari, dijemur
dibawah sinar sampai kering udara kemudian dioven pada temperatur 60 oC
selama 24 jam. KCBK dihitung dengan formulasi :
KCBK = A−B A
× 100% ..................................................................................... (2)
Dimana: KCBK : Koefisien cerna bahan kering (%), A: Konsumsi bahan kering
ransum (g) dan B: Jumlah bahan kering ekskreta (g)
Efisiensi Perubahan GE Menjadi DE. Efisien perubahan GE menjadi DE dapat
dihitung berdasarkan metode koleksi total (Prasad et al. 1996). Efisiensi GE
menjadi DE dihitung dengan menggunakan formulasi :
DE/GE = A−B A
× 100% ..............................................................................(3)
Dimana: DE/GE : Efisiensi GE menjadi DE (%), A: Konsumsi energi (Kkal/hari)
daB: Kn andungan energi pada fesese (Kkal/hari
28
Kecernaan Protein. Kecernaan protein (KP) dihitung berdasarkan metode
koleksi total (Prasad et al. 1996). Kecernaan protein (KP) dihitung dengan
menggunakan formulasi : A−B A
× 100% .........................................................................................(4)
Dimana: KP : Kecernaan protein (%), A: Konsumsi protein (g/hari) dan B:
Kandungan protein pada feses (g/hari)
4.4.6 Komposisi Mikroba Sekum dan Kolon
Data jumlah bakteri dan mikroba pada sekum dan kolon dari rongga perut.
Potong ujung usus yang menghubungkan sekum dan kolon, kemudian diikat
dengan tali plastik, masukkan kedalam termos yang sudah berisi es, segera dibawa
ke Laboratotium Balai Besar Veteriner di Denpasar.
Presedurpenanganan sampel sekum dan kolon untuk mengetahui jumlah
mikroba dilakukan sebagai berikut: (1) Pengayakan dilakukan dengan cara isi
sekum dan kolon dimasukkan kedalam tryptich case broth 10 ml kemudian
diinkubasikan pada suhu 37 oC selama 24 jam, (2) uji selektif media yaitu oran
yang telah ditanam diambil dengan jarum inkubasi (ose) digoreskan perlahan-
lahan pada media MDL agar, Mac Conkey, LEMB, nutrien agar dan blood agar
kemudian diinkubasi pada suhu 37 oC selama 24 jam. (3) uji pewarnaan gram
dengan menggunakan Amonium Oxalat-Crystal violet: Sol A; crystal violet 10 g,
ethanol (95%) 100 ml dicampur sampai larut, Sol B; Amonium Oxalat 1%, bila
dipakai 20 ml Sol A ditambahkan 80 ml sol B. Lugol solution, Methanol dan
Safranin 0,5%. Prosedur pewarnaan yaitu: ambil 1 ose bakteri diletakkan di atas
kaca preparat, diberi garam fisiologis kemudian diaduk-aduk, dikeringkan dengan
pengering, kemudian dituangi Sol A dicampur Sol B selama 2 menit. Cuci
dengan air kran, kemudian dituangi larutan Lugol selama 0,5 menit. Diberikan
Aceton 2 -3 ml, kemudian dicuci dengan air, selanjutnya diberi 0,5% Safranin
selama 0,5 menit, dicuci dengan air dan dikeringkan. Hasilnya dilihat di bawah
mikroskop. Cara menentukan hasil adalah dengan prapengayakyaan positif terjadi
kekeruhan, berarti ada pertumbuhan bakteri. Pada media DHL, Mac Conkey
warna koloni merah dadu, konvex, pinggirannya rata. Nutrien agar, pinggirannya
29
rata. E.coli gram negatif, tidak berspora dan berbentuk batang, serotipe. Bila
terjadi aglutinasi serotipe maka dilihat serotipe mana yang mengaglutinasi.
4.4.7. Variabel Komposisi Tubuh
Keseimbangan Energi. Kandungan energi ransum (GE) ditentukan dengan
bomb kalorimeter dan komposisi zat-zat makanan pada ransum ditentukan
dengan analisa proksimat menurut metode AOAC. Energi pada feses (FE)
ditentukan dengan bomb kalori meter, sedangkan protein pada feses ditentukan
dengan analisa Kjeldhal menurut AOAC (1984). Banyaknya energi bruto yang
dikonsumsi ditentukan dari kosumsi ransum dikalikan dengan kandungan energi
bruto dari ransum.
Penentuan energi tercerna atau Digestible Energy (DE) dilakukan dengan
mengunakan metode koleksi total yakni dengan menentukan energi total yang
terkandung dalam ransum dan feses. Digestible Energy (DE) ditentukan dengan
rumus Parigi Bini dan Xiccato (1998), sebagai berikut :
DE = E dikonsumsi – E feses ……………………………..…………………...(5)
Parigi Bini dan Xiccato (1998) menyatakan bahwa dasar perhitungan
kebutuhan energi ternak kelinci dalam bentuk ME dapat dicari dengan
mengalikan DE dengan bilangan konstanta (k). Beberapa peneliti mendapatkan
nilai k yang sama yaitu 0,95 diantaranya : de Blas et al. (1985); Parigi Bini dan
Xiccato (1986); Partridge et al. (1989); Xiccato et al. (1995). Berdasarkan
ketentuan diatas maka perhitungan ME sebagai berikut:
ME = 0,95 × DE ............................................................................................(6)
Retensi energi ditentukan dengan cara mengurangi jumlah energi tubuh
akhir penelitian dengan jumlah energi tubuh pada awal penelitian, sesuai dengan
metode Parigi Bini dan Xiccato (1998). Produksi panas dihitung dengan
formulasi : PP = ME - RE …………………………………………………….(7)
Dimana: PP : Produksi panas, RE : Retensi energi danME : Energi termetabolis
Kebutuhan hidup pokok adalah kebutuhan energi oleh ternak kelinci pada
saat tidak mengalami pertumbuhan (RE = 0). Bila konsumsi energi metabolis
30
(ME) meningkat sebesar ∆ME, maka akan terjadi peningkatan retensi energi (RE)
sebesar ∆RE. Perbandingan antara ∆RE/∆ME disebut parsial efisiensi (Ef) yaitu
nilai konversi ME menjadi RE di atas kebutuhan hidup pokok. Kebutuhan energi
untuk hidup pokok dapat dihitung dengan metode Parigi Bini dan Xiccato (1998)
sebagai berikut:
E Hdp = ME – RE/Ef …………………………..………………………………(9)
Keterangan: EHdp : Kebutuhan energi untuk hidup pokok, ME : Energi
termetabolis RE : Energi teretensi dan Ef : Parsial efisiensi yaitu ∆RE/∆ME.
Kebutuhan energi untuk tumbuh adalah jumlah energi yang diretensi
dalam tubuh yang dikoreksi dengan parsial efisiensi. Total kebutuhan energi oleh
kelinci adalah energi untuk hidup pokok ditambah dengan energi untuk tumbuh
(Mount, 1979).
4.4.8. Kesetimbangan protein
Protein tercerna dihitung dengan formulasi Mc Nitt et al. (1996) sebagai
berikut: Protein tercerna = konsumsi protein – protein feses ….……………..(10)
Protein teretensi dihitung dengan mengurangi jumlah protein tubuh akhir
penelitian dengan protein tubuh pada awal penelitian. Kebutuhan protein untuk
tumbuh dihitung dari jumlah protein yang diretensi di dalam tubuh yang
dikoreksi dengan data-data kecernaan protein dan nilai biologis protein. Protein
untuk hidup pokok dihitung dengan mengurangi banyaknya protein yang
dikonsumsi dengan protein untuk tumbuh. Total kebutuhan protein untuk
pertumbuhan adalah protein untuk hidup pokok ditambah dengan kebutuhan
protein untuk tumbuh.
4.4.9. Analisis Data
Data yang diproleh dianalisis dengan analisis ragam, apabila diantara
perlakuan terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05) maka analisis dilanjutkan
dengan uji jarak berganda Duncan (Steel dan Torrie, 1980). Data mortalitas
31
ditransformasi terlebih dahulu sebelum dianalisis dengan tehnik transformasi
logaritmik yaitu: log (x+1).
32
BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Hasil
5.1.1 Iklim mikro
Perlakuan kandang under ground shelter (K0) menyebabkan temperatur
udara dalam kandang 26,21oC sedangkan kandang battery (K1) menyebabkan
temperatur udara dalam kandang 8,09 % lebih tinggi (P<0,05) daripada K0
(Tabel 5.1). Tidak terjadi perbedaan yang nyata terhadap variabel temperatur
udara dalam kandang pada perlkauan ransum berbeda (Tabel 5.2).
Tabel 5.1 Iklim Mikro pada Kandang Under Ground Shelter dan Battery
Variabel Perlakuan
K0 K1 SEM
Temperatur Udara Dalam Kandang (oC) 26,21
b 28,33
a 0,05
Kelembaban Udara Dalam Kandang (%) 77,36b 76,80
a 0,05
Temperature Humidity Index (THI) 25,37b 27,33
a 0,07
Radiasi Matahari (fc) 4,24a 5,30
a 0,94
1) K0 : Kandang under ground shelter
K1 : Kandang Battery
2) Superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukkan perbedaan tidak nyata (P>0,05)
dan superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)
3) SEM : Standard Error of The Treatment Means
Kandang K1 menyebabkan kelembaban udara dalam kandang 76,80%
sedangkan kandang K0 adalah 0,73% lebih rendah (P<0,05) dibandingkan K1.
Tidak terdapat perbedaan yang nyata diantara perlakuan ransum terhadap variabel
kelembaban udara dalam kandang.
Tabel 5.2
Iklim Mikro pada Kandang yang Mendapat Perlakuan Ransum dengan Kandungan Energi dan
Protein Berbeda
Variabel Perlakuan
R1 R2 R3 R4 SEM
Temperatur Udara Dalam Kandang
(oC)
27,28a
27,42a
27,63a
27,66a
0,05
Kelembaban Udara Dalam Kandang
(%)
77,21a
76,98a
77,38a
77,81a
0,08
Temperature Humidity Index (THI)
26,38a
26,51a
26,70 a
26,73a
0,06
Radiasi Matahari (fc) 5,32a 4,51
a 5,06
a 4,19
a 1,69
1)R1 : Ransum dengan kandungan energi: 2201,15 K.kal ME/kg dan PK: 14,03%
R2 : Ransum dengan kandungan energi: 2402,17 K.kal ME/kg dan PK: 15,50%
R3 : Ransum dengan kandungan energi: 2603,45 K.kalME/kg dan PK: 17,01%
R4 : Ransum dengan kandungan energi: 2801,81 K.kalME/kg dan PK: 18,50%
2) Superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukkan perbedaan tidak nyata (P>0,05)
dan superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)
3) SEM : Standard Error of The Treatment Means
33
Temperature Humidity Index (THI) pada kandang K0 adalah 25,37
sedangkan K1 menyebabkan THI 7,73% lebih tinggi (P<0,05). THI pada
perlakuan R4 adalah 26,73 sedangkan THI pada kandang R1, R2 dan R3 masing-
masing 26,38, 26,51 dan 26,70 yang secara statistik tidak berbeda nyata
dibandingkan dengan R3.
Tidak terjadi perbedaan intensitas radiasi matahari pada kandang yang
mendapat perlakuan ransum dan kandang berbeda.
5.1.2 Respon fisiologi
Denyut jantung pada perlakuan K1 adalah 108,56 kali/menit sedangkan
pada K0 adalah 9,66% lebih rendah (P<0,05) daripada K1 (Tabel 5.3).
Perlakuan R1 menyebabkan denyut jantung 98,86 kali/menit sedangkan
perlakuan R2 dan R3 menyebabkan denyut jantung 1,51% dan 7,40% lebih tinggi
namun tidak berbeda nyata (P>0,05). Perlakuan R4 meneyebabkan denyut
jantung kelinci 12,02% lebih tinggi (P<0,05) sepeti pada Tabel 5.4.
Tidak terjadi perbedaan nyata terhadap variabel suhu rektal pada perlakuan
ransum dan kandang berbeda.
Tabel 5.3
Respon Fisiologi Kelinci pada Kandang Under Ground Shelter dan Battery
Variabel Perlakuan
K0 K1 SEM
Denyut Jantung (kali/menit) 98,07 b 108,56
a 1,66
Frekuensi Pernafasan (kali/menit) 57,09a 69,57
b 0,94
Temperatur Rektal (oC) 39,05
a 39,39
a 0,06
Suhu Kulit (oC) 36,99
b 38,76
a 0,29
1) K0 : Kandang under ground shelter
K1 : Kandang Battery
2) Superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukkan perbedaan tidak nyata (P>0,05)
dan superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)
3) SEM : Standard Error of The Treatment Means
Suhu kulit kelinci pada perlakuan K1 adalah 38,760C sedangkan suhu kulit
kelinci pada perlakuan K0 4,57% nyata lebih rendah daripada K1 (Tabel 5.3).
Tidak terjadi perbedaan yang nyata terhadap variabel suhu kulit diantara
perlakuan Ransum.
34
Tabel 5.4
Respon Fisiologi Kelinci yang Mendapat Perlakuan Ransum dengan Kandungan
Energi dan Protein Berbeda
Variabel Perlakuan
R1 R2 R3 R4 SEM
Denyut Jantung (kali/menit) 98,86b 100,35
b 106,18
ab 110,74
a 2,16
Frekuensi Pernafasan (kali/menit) 59,33a 58,74
a 57,24
a 60,61
a 2,65
Temperatur Rektal (oC) 39,04
a 39,07
a 39,29
a 39,88
a 0,08
Suhu Kulit (oC) 37,68
a 37,39
a 38,06
a 37,98
a 0,25
1)R1 : Ransum dengan kandungan energi: 2201,15 K.kal ME/kg dan PK: 14,03%
R2 : Ransum dengan kandungan energi: 2402,17 K.kal ME/kg dan PK: 15,50%
R3 : Ransum dengan kandungan energi: 2603,45 K.kalME/kg dan PK: 17,01%
R4 : Ransum dengan kandungan energi: 2801,81 K.kalME/kg dan PK: 18,50%
2) Superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukkan perbedaan tidak nyata (P>0,05)
dan superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)
3) SEM : Standard Error of The Treatment Means
Tabel 5.6
Respon Hematologi Kelinci pada Kandang Under Ground Shelter dan
Battery
Variabel Perlakuan
K0 K1 SEM
Haemoglobin (g/100 ml) 15,04a 14,11
b 0,04
Eritrosit (106/µl) 4,37
a 4,14
b 0,002
Leukosit (103/ µl) 6,32
b 6,69
a 0,11
Hematokrit (%) 42,77a 40,29
a 1,07
Glukosa (mg/100 ml) 181,83a 175,36a 14,85
Trigliserida (mg/100 ml) 101,63a 106,54
a 4,58
1) K0 : Kandang under ground shelter
K1 : Kandang Battery
2) Superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukkan perbedaan tidak nyata (P>0,05)
dan superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)
3) SEM : Standard Error of The Treatment Means
Tabel 5.7
Respon Hematologi Kelinci yang Mendapat Perlakuan Ransum dengan Kandungan Energi dan
Protein Berbeda
Variabel Perlakuan
R1 R2 R3 R4 SEM
Haemoglobin (g/100 ml) 13,03c 13,13
bc 15,86
a 14,75
ab 0,17
Eritrosit (106/ml) 3,98
a 4,01
a 4,45
a 4,28
a 0,13
Leukosit (103/ml) 5,77
a 6,06
a 6,08
a 6,82
a 0,21
Hematokrit (%) 39,55a 40,57
a 43,86
a 42,20
a 0,98
Glukosa (mg/100 ml) 180,05a 155,28a 179,86a 198,85a 22,46
Trigliserida (mg/100 ml) 94,08a 94,09
a 95,28
a 107,44
a 4,74
1)R1 : Ransum dengan kandungan energi: 2201,15 K.kal ME/kg dan PK: 14,03%
R2 : Ransum dengan kandungan enegi: 2402,17 K.kal ME/kg dan PK: 15,50%
R3 : Ransum dengan kandungan energi: 2603,45 K.kalME/kg dan PK: 17,01%
R4 : Ransum dengan kandungan energi: 2801,81 K.kalME/kg dan PK: 18,50%
2) Superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukkan perbedaan tidak nyata (P>0,05)
dan superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)
3) SEM : Standard Error of The Treatment Means
35
5.1.3 Respon hematologi
Ternak kelinci yang dipelihara pada kandang K0 mempunyai kandungan
haemoglobin darah 15,04 g/100 ml, sedangkan pada K1 mempunyai kandungan
haemoglobin 6,18% lebih rendah (P<0,05) seperti pada Tabel 5.6. Perlakuan
ransum R3 meneyebabkan kandungan haemoglobin paling tinggi yaitu 15,86
g/100ml sedangkan perlakuan R4 adalah 6,99% dan 17,21% lebih rendah
(P>0,05) da perlakuan R1 adalah 17,84% lebih rendah (P<0,05).
Perlakuan ransum tidak menyebabkan perbedaan yang nyata (P>0,05)
pada kandungan haemoglobin kelinci (Tabel 5.7) Perlakuan kandang K1
menyebabkan kandungan eritrosit darah 4,12 x 106/ml sedangkan kandang K0
menyebabkan kandungan eritrosit darah 1,46% lebih tinggi (P<0,05) daripada
K0. Kandungan eritrosit darah kelinci tidak berbeda nyata (P>0,05) diantara
perlakuan ransum. Ternak kelinci yang dipelihara pada kandang K0 mempunyai
kandungan haemoglobin darah 14,89 g/100 ml, sedangkan pada K1 mempunyai
kandungan haemoglobin 13,81 g/100 ml yang secara statistik berbeda nyata
dibandingkan dengan K0, seperti pada Tabel 5.6. Perlakuan ransum R1
mempunyai kandungan haemoglobin darah paling rendah yaitu 13,53 g/100 ml
yang berbeda tidak nyata dibandingkan dengan R2 (13,83%) namun nyata lebih
rendah (P>0.05) dibandingkan dengan R3 (15,03%) dan R4 (14,23%), seperti
Table 5.7.
Perlakuan kandang K1 menyebabkan kandungan eritrosit darah 4,12 x
106/ml sedangkan kandang K0 menyebabkan kandungan eritrosit darah 1,46%
lebih tinggi (P<0,05) daripada K0 (Tabel 5.6). Kelinci yang mendapat perlakuan
ransum R1 mempunyai kandungan eritrosit darah 3,99 × 106/ml, sedangkan R2,
R3 dan R4 mempunyai kandungan eritrosit masing-masing 4,0 × 106/ml, 4,42 ×
106/ml dan 4,19 × 10
6/ml yang secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05)
dibandingkan R1, seperti Tabel 5.7.
Tabel 5.6 menunjukan, variabel hematokrit kelinci yang mendapat
perlakuan K0 (42,75%) yang tidak berbeda nyata dibandingkan dengan K1
(40,25%). Tidak terdapat perbedaan yang nyata (P>0,05) pada variabel
hematokrit diantara perlakuan R1 (39,50%), R2 (40,50%), R3 (43,75%) dan R4
(42,25%), seperti Tabel 5.7.
36
Glukosa darah kelinci pada K0 adalah 181,38 mg/100 ml sedangkan pada
K1 175,63 mg/100 ml yang secara statistik berbeda tidak nyata dengan K0 (Tabel
5.6). Perlakuan ransum R1 menyebabkan glukosa darah (180,50 mg/100 ml) yang
berbeda tidak nyata dibandingkan dengan R2 (155,25 mg/100 ml), R3 (179,75
mg/100 ml) dan R4 (198,5 mg/100 ml), seperti Tabel 5.7.
Kandungan trigliserida darah kelinci yang dipelihara pada kandang K1
(105,5 mg/100ml) yang secara statistik tidak berbeda nyata dengan K0
(100,13%), seperti Tabel 5.6. Tidak terjadi perbedaan yang nyata terhadap
variabel trigliserida darah diantara perlakuan R1 (94,00 mg/100ml), R2 (94,00
mg/100ml), R3 (95,25 mg/100ml) dan R4 (107,75 mg/100ml), seperti Tabel 5.7.
Variabel hematokrit kelinci yang mendapat perlakuan K0 (42,75%) yang
tidak berbeda nyata dibandingkan dengan K1 (40,25%). Tidak terdapat
perbedaan yang nyata (P>0,05) pada variabel hematokrit diantara perlakuan R1
(39,50%), R2 (40,50%), R3 (43,75%) dan R4 (42,25%).
Tidak terjadi perbedaan yang nyata terhadap variable glukosa dan
trigliserida darah kelinci pada perlakuan ransum dan kandang berbeda.
5.1.4 Performans
Berat badan akhir kelinci yang dipelihara pada kandang K0 adalah
1538,38g, sedangkan kelinci pada K1 mempunyai berat badan 1442,36 g yang
secara statistik tidak berbeda nyata dengan K0 (Tabel 5.8). Kelinci yang
mendapat perlakuan ransum R1 menghasilkan berat badan paling rendah yaitu
1145,51 g, sedangkan R2, R3 dan R4 menghasilkan berat badan 19,92%, 56,78%,
dan 40,62% lebih tinggi (P<0,05) daripada R1.
Kelinci pada kandang K0 mengkonsumsi ransum 49,78 g/hr sedangkan
kelinci pada kandang K1 mengkonsumsi ransum 4,99% lebih tinggi yang secara
statistik berbeda nyata dibandingkan dengan K0 (Tabel 5.8). Kelinci yang
mendapat perlakuan ransum R1 mengkonsumsi ransum 45,08g/hr sedangkan
perlakuan R2, R3 dan R4 mengkonsumsi ransum masing-masing 21,47%,
33,05% dan 24,04% lebih tinggi (P<0,05), seperti Tabel 5.9.
37
Tabel 5.8 Performans Kelinci pada Kandang Under Ground Shelter dan Battery
Variabel Perlakuan
K0 K1 SEM
Berat Badan Awal (g) 191,63a 190,75
a 1,52
Berat Badan Akhir (g) 1538,38a 1442,36
a 47,35
Konsumsi Ransum (g/ hr) 49,78b 58,73
a 1,74
Pertambahan Berat Badan (g/hr) 16,03a 14,91
a 48,32
Konversi Ransum 3,11b 3,94
a 0,57
Konsumsi Air (ml hr) 100,86b 145,03
a 5,29
1) K0 : Kandang under ground shelter
K1 : Kandang Battery
2) Superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukkan perbedaan tidak nyata (P>0,05)
dan superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)
3) SEM : Standard Error of The Treatment Means
Tabel 5.9
Performans Kelinci yang Mendapat Perlakuan Ransum dengan Kandungan
Energi dan Protein Berbeda
Variabel Perlakuan
R1 R2 R3 R4 SEM
Berat Badan Awal (g) 192,55a 188,72
a 190,21
a 189,86
a 2,05
Berat Badan Akhir (g) 1145,51c 1373,75
b 1795,95
a 1679,50
a 58,98
Konsumsi Ransum
(g/ hr)
45,08b
54,76a
59,98a
55,92a
2,03
Pertambahan Berat Badan
(g/hr) 11,34
c 14,11
b 19,16
a 17,73
a 0,81
Konversi Ransum 3,96a
3,88ab
3,13b 3,15
b 0,22
Konsumsi Air (ml/hr) 133,20a 117,99
a 128,11
a 125,95
a 7,86
1)R1 : Ransum dengan kandungan energi: 2201,15 K.kal ME/kg dan PK: 14,03%
R2 : Ransum dengan kandungan energi: 2402,17 K.kal ME/kg dan PK: 15,50%
R3 : Ransum dengan kandungan energi: 2603,45 K.kalME/kg dan PK: 17,01%
R4 : Ransum dengan kandungan energi: 2801,81 K.kalME/kg dan PK: 18,50%
2) Superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukkan perbedaan tidak nyata (P>0,05)
dan superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)
3) SEM : Standard Error of The Treatment Means
Tidak terjadi perbedaan yang nyata terhadap pertambahan berat badan
kelinci pada perlakuan kandang berbeda (Tabel 5.8). Pertambahan berat badan
paling tinggi terjadi pada perlakuan ransum R3 (19,16g/hr) yang tidak berbeda
nyata dibandingkan R4, namun 26,36% dan 40,81% lebih tinggi (P<0,05)
daripada R2 dan R1, seperti pada Tabel 5.9.
Konversi ransum kelinci pada kandang K0 adalah 3,11 sedangkan
konversi ransum pada kandang K1 26,69% lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan
dengan K0. Konversi ransum kelinci yang mendapat perlakuan R1 adalah 3,96.
Konversi ransum pada perlakuan R2, R4 dan R3 masing-masing 2,02%, 20,96%
dan 20,45% lebih rendah (P<0,05) daripada R1.
Perlakuan kandang K0 menyebabkan konsumsi air 100,86 ml/hr
sedangkan konsumsi air pada K1 adalah 43,79% lebih tinggi yang secara statistik
38
berbeda nyata daripada K0 (Tabel 5.8). Tidak terjadi perbedaan yang nyata
(P>0,05) terhadap veriabel konsumsi air pada perlakuan ransum dengan
kandungan energi termetabolis dan protein kasar berbeda (Tabel 5.9).
Jumlah bakteri pada sekum dan kolon kelinci yang dipelihara pada
kandang K0 adalah 16.760 0pg sedangkan pada kandang K1 adalah 14,2% lebih
rendah (P<0,05) dibandingkan dengan K0. Perlakuan K0 menyebabkan jumlah
mikroba 48 × 1010
sedangkan K1 menyebabkan 8,33% lebih rendah daripada K0
(Tabel 5.10).
Tabel 5.10 Jumlah Bakteri dan Mikroba dalam Sekum dan Kolon Kelinci yang Dipelihara
pada Kandang Berbeda
Variabel Perlakuan
K0 K1 SEM
Jumlah Bakteri (opg) 16.760a 14.380
b 574
Jumlah Mikroba (opg) 48 × 10 10a
44 × 1010b
3,64 1) K0 : Kandang under ground shelter
K1 : Kandang Battery
2) Superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukkan perbedaan tidak nyata (P>0,05)
dan superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)
3) SEM : Standard Error of The Treatment Means
Kelinci yang diberikan ransum R1 menyebabkan jumlah bakteri 10.050 opg
sedangkan ransum R2, R3 dan R4 masing-masing 8,96%, 44,29% dan 75,62%
lebih tinggi (P>0,05) dibandingkan dengan R1 (Tabel 5.11). Jumlah mikroba
pada sekum dan kolon kelinci yang diberikan ransum R1 adalah 40×1010
sedangkan ransum R2, R4 dan R3 masing-masing 5%, 15% dan 47,5% lebih
tinggi (P>0,05) dibandingkan denganR1 (Tabel 5.11).
Tabel 5.11 Jumlah Bakteri dan Mikroba dalam Sekum dan Kolon Kelinci yang Diberi
Perlakuan Ransum Berbeda
Variabel Perlakuan
R1 R2 R3 R4 SEM
Jumlah Bakteri (opg) 10.050a 10.950
a 14.500
a 17.650
a 548,24
Jumlah Mikroba (opg) 40×1010a
42×1010a
59×1010a
46×1010a
3,12×1010a
1)R1 : Ransum dengan kandungan energi: 2201,15 K.kal ME/kg dan PK: 14,03%
R2 : Ransum dengan kandungan enerri: 2402,17 K.kal ME/kg dan PK: 15,50%
R3 : Ransum dengan kandungan energi: 2603,45 K.kalME/kg dan PK: 17,01%
R4 : Ransum dengan kandungan energi: 2801,81 K.kalME/kg dan PK: 18,50%
2) Superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukkan perbedaan tidak nyata (P>0,05)
dan superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)
3) SEM : Standard Error of The Treatment Means
39
Kecernaan bahan kering ransum pada kelinci yang dipelihara pada
kandang K0 (70,42%) tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan kecernaan bahan
kering ransum kelinci yang dipelihara pada kandang K1 (70,07%), seperti pada
Tabel 5.12. Kecernaan bahan kering ransum pada kelinci yang diberikan ransum
R4 adalah 71,61%, sedangkan pada kelinci yang diberi ransum R3, R2 dan R1
masing-masing 2,51%, 6,19% dan 10,84% lebih rendah (P>0,05) daripada R4.
Kelinci yang dipelihara pada kandang K1 mempunyai kecernaan energi 76,80%
sedangkan kelinci pada kandang K0 adalah 3,35% lebih rendah (P>0,05)
dibandingkan K1. Kelinci yang diberikan ransum R3 mempunyai kecernaan
energi 77,78%, sedangkan R2, R4 dan R1 masing-masing 3,51%, 4,96% dan
5,35% lebih rendah (P>0,05) daripada R3. Kelinci yang dipelihara pada kandang
K0 mempunyai kecernaan protein (77,17%) tidak berbeda nyata (P>0,05)
dibandingkan K1 (77,91%).
Tabel 5.12
Kecernaan Bahan Kering, Energi dan Protein Ransum oleh Ternak
Kelinci pada Kandang Berbeda
Variabel Perlakuan
K0 K1 SEM
Kecernaan Bahan Kering (%) 70,42a 70,07
a 1,39
DE/GE Rasio (%) 74,09a 76,80
a 0,96
Kecernaan Protein (%) 77,17a 77,91
a 0,16
1) K0 : Kandang under ground shelter
K1 : Kandang Battery
2) Superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukkan perbedaan tidak nyata
(P>0,05)
dan superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)
3) SEM : Standard Error of The Treatment Means
Kelinci yang diberikan ransum R1 mempunyai kecernaan protein paling rendah
(72,94%) sedangkan R3, R2 dan R4 masing-masing 5,58%, 6,14% dan 8,24%
lebih tinggi (P>0,05) daripada R1.
40
Tabel 5.13
Kecernaan Bahan Kering, Energi dan Protein Ransum oleh Ternak Kelinci Yang
Mendapat Perlakuan Ransum Berbeda
Variabel Perlakuan
R1 R2 R3 R4 SEM
Koefisien Cerna Bahan
Kering (%)
63,85a 67,18
a 69,81
a 71,61
a 2,94
DE/GE (%) 73,62a 75,05
a 77,78
a 73,92
a 3,79
Kecernaan Protein (%) 72,94a 77,42
a 77,01
a 78,95
a 1,53
1)R1 : Ransum dengan kandungan energi: 2201,15 K.kal ME/kg dan PK: 14,03%
R2 : Ransum dengan kandungan energi: 2402,17 K.kal ME/kg dan PK: 15,50%
R3 : Ransum dengan kandungan energi: 2603,45 K.kalME/kg dan PK: 17,01%
R4 : Ransum dengan kandungan energi: 2801,81 K.kalME/kg dan PK: 18,50%
2) Superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukkan perbedaan tidak nyata
(P>0,05)
dan superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)
3) SEM : Standard Error of The Treatment Means
Berat potong kelinci yang dipelihara pada kandang K0 adalah 1592,25g,
sedangkan berat potong kelinci pada kandang K1 adalah 7,25% lebih tinggi
namun tidk berbeda nyata (P>0,05) diabndingkan dengan K0 (Tabel 5.14). Berat
potong kelinci yang diberikan ransum R3 adalah 1788,28g, sedangkan R4 adalah
8,78% lebih rendah (P>0,05) dan R2 dan R1 masing-masing 22,06% dan 36,22%
lebih rendah (P<0,05) dibandingkan R3 (Tabel 5.15). Kelinci yang dipelihara
pada kandang K0 menghasilkan berat karkas (768,92g) tidak berbeda nyata
(P>0,05) daripada K1 (688,16g). Perlakuan ransum R3 menghasilkan berat
karkas paling tinggi yaitu 919,03g, sedangkan perlakuan R4, R2 dan R1 masing-
masing 9,46%, 29,53% dan 45,60% lebih rendah (P<0,05) dibandingkan dengan
R3. Tidak terjadi perbedaan yang nyata pada variabel persentase karkas pada
perlakuan kandang berbeda. Perlakuan ransum R1 menghasilkan persentase
karkas paling rendah yaitu 43,83%, sedangkan R2, R4 dan R3 masing-masing
6,02%, 16,38% dan 17,25% lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan R1.
Kelinci yang dipelihara pada kandang K0 adalah 34,02 cm tidak berbeda nyata
dibandingkan dengan K1 yaitu 31,93 cm. Panjang karkas paling tinggi terjadi
pada kandang R3 (35,55 cm) sedangkan pada R4 adalah 4,89% lebih rendah
41
(P>0,05) dibandingkan R3 dan R2 dan R1 masing-masing 12,74% dan 12,91%
lebih rendah (P<0,05).
Tabel 5.14 Karkas Kelinci yang Dipelihara pada Kandang Berbeda
Variabel Perlakuan
K0 K1 SEM
Berat Potong (g) 1592,25a 1476,81
a 38,38
Berat Karkas (g) 768,92a 688,16
a 28,47
Persentase Karkas (%) 48,29a 46,60
a 1,06
Panjang Karkas (cm) 34,02a 31,93
a 1,12
Berat Kaki Depan (g/100 g berat karkas) 16,87a 15,29
a 0,96
Berat Kaki Belakang (g/100 g berat karkas) 30,75a 30,38
a 0,94
Berat Pinggang dan Punggung Karkas
(g/100g berat karkas)
25,36a 27,12
a 3,22
Berat Dada dan leher Karkas (g/100 g berat
karkas)
27,01a 27,08
a 3,87
Berat Daging Karkas (g/100 g berat karkas) 67,28a 64,43
a 2,27
Berat Lemak Karkas (g/100 g berat karkas) 3,19a 2,99
a 0,16
Berat Tulang Karkas (g/100g berat karkas) 29,53 a 32,58
a 1,56
1) K0 : Kandang under ground shelter
K1 : Kandang Battery
2) Superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukkan perbedaan tidak nyata
(P>0,05)
dan superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)
3) SEM : Standard Error of The Treatment Means
Perlakuan kandang berbeda tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap potongan
komersial karkas kelinci yaitu kaki depan, kaki belakang, pinggang dan
punggung, dada dan leher (Tabel 5.14). Potongan komersial karkas (kaki depan,
kaki belakang, pinggang dan punggung, dada dan leher) tidak dipengaruhi secara
nyata (P>0,05) oleh perlakuan ransum berbeda (Tabel 5.15).
42
Tabel 5.15
Karkas Kelinci yang Mendapat Perlakuan Ransum dengan Kandungan Energi
dan
Protein Berbeda
Variabel Perlakuan
R1 R2 R3 R4 SEM
Berat Potong (g) 1140,58b 1393,77
b 1788,28
a 1631,25
a 70,23
Berat Karkas (g) 499,97c 647,66
b 919,03
a 832,07
a 29,88
Persentase Karkas (%) 43,83c 46,47
b 51,39
a 51,01
ab 0,81
Panjang Karkas (cm) 30,96b 31,02
b 35,55
a 33,81
ab 1,21
Berat Kaki Depan Karkas
(g/100g karkas)
17,30a 14,62
a 15,53
a 15,69
a 0,90
Berat Kaki Belakang
Karkas (g/100g karkas)
28,41a 31,54
a 33,59
a 31,59
a 1,54
Pinggang dan Punggung
Karkas (g/100 g karkas)
29,20a 26,92
a 24,56
a 24,01
a 2,07
Berat Dada dan leher
Karkas (g/100 g karkas)
24,92 a 26,85
a 26,49
a 28,88
a 2,71
Berat Daging Karkas
(g/100 g karkas)
61,02b 64,08
b 70,21
a 67,31
ab 1,22
Berat Lemak Karkas
(g/100 g berat karkas)
2,31b 2,98
a 3,09
a 3,98
a 0,40
Berat Tulang Kakas
(g/100g berat karkas)
36,64 a 32,93
a 26,98
a 28,70
a 2,25
1)R1 : Ransum dengan kandungan energi: 2201,15 K.kal ME/kg dan PK: 14,03%
R2 : Ransum dengan kandungan energi: 2402,17 K.kal ME/kg dan PK: 15,50%
R3 : Ransum dengan kandungan energi: 2603,45 K.kalME/kg dan PK: 17,01%
R4 : Ransum dengan kandungan energi: 2801,81 K.kalME/kg dan PK: 18,50%
2) Superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukkan perbedaan tidak nyata
(P>0,05)
dan superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)
3) SEM : Standard Error of The Treatment Means
Kelinci yang dipelihara pada kandang K0 dan K1 menghasilkan konsumsi
energi, energi pada feses, energi tercerna dan energi termetabolis tidak berbeda
(P>0,05) seperti pada Tabel 5.16. Retensi energi pada tubuh kelinci yang
dipelihara pada kandang K0 adalah 51,71 kkal/hari sedangkan pada K1 adalah
21,11% lebih rendah (P<0,05) dibandingkan dengan K0 (Tabel 5.16). Produksi
panas yang dihasilkan oleh tubuh kelinci yang dipelihara pada kandang K1
adalah 164,01 Kkal/hari, sedangkan pada K0 adalah 21,98% lebih rendah
43
(P<0,05) daripada K1. Produksi panas per berat badan metabolis yang dihasilkan
oleh tubuh kelinci yang dipelihara pada kandang K1 adalah 122,96 KkalW
0,75/hari, sedangkan pada K0 adalah 28,38% lebih rendah (P<0,05) daripada K1.
Konsumsi ME/Pbb kelinci yang dipelihara pada kanadang K0 adalah 10,41
kkal/g pbb sedangkan kelinci pada kandang K1 adalah 27,19 lebih tinggi
(P<0,05) dibandingkan K0 ( Tabel 5.16).
Tabel 5.16
Keseimbangan Energi Tubuh Ternak Kelinci pada Kandang Berbeda
Variabel Perlakuan
K0 K1 SEM
Konsumsi Energi (Kkal/hari) 255,28a 276,47
a 16,43
Energi Feses (Kkal/hari) 66,15a 64,15
a 5,14
Energi Tercerna (Kkal/hari) 189,12a 212,32
a 8,52
Energi Termetabolis (Kkal/hari) 179,67a 201,70
a 2,98
Retensi Energi (Kkal/hari) 51,71a 37,69
b 0,32
Produksi Panas (Kkal/hari) 127,96b 164,01
a 6,31
Produksi Panas (KkalW 0,75
/hari) 88,07b 122,96
a 1,16
Konsumsi ME/PBB (Kkal/g pbb) 10,41b 13,24
a 0,94
1) K0 : Kandang under ground shelter
K1 : Kandang Battery
2) Superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukkan perbedaan tidak nyata
(P>0,05)
dan superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)
3) SEM : Standard Error of The Treatment Means
Kelinci yang diberi perlakuan ransum dengan kandungan energi dan
protein berbeda tidak menyebabkan perbedaan nyata (P>0,05) terhadap variabel
energi pada feses, produksi panas dan konsumsi ME/Pbb (Tabel 5.17). Perlakuan
ransum R4 menyebabkan konsumsi energi paling tinggi yaitu 300,71 kkal/hari,
sedangkan perlakuan R3 adalah 1,16% lebih rendah (P>0,05) dibandingkan R4.
Perlakuan ransum R2 dan R1 masing-masing 16,94% dan 28,24% lebih rendah
(P<0,05) daripada R4. Energi tercerna pada kelinci yang diberi perlakuan ransum
R1 adalah 159,95 kkal/kg, sedangkan R2, R3 dan R4 masing-masing 18,06%,
17,36% dan 37,15% lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan R1. Energi
termetabolis pada kelinci yang diberi perlakuan ransum R1 adalah 151,95
kkal/kg, sedangkan R2, R3 dan R4 masing-masing 20,22%, 37,90% dan 42,37%
44
lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan R1. Retensi energi pada tubuh kelinci
paling tinggi terjadi pada perlakuan ransum R3 yaitu 65,36 kkal/hari dan ransum
R4 adalah 10,01% lebih rendah (P>0,05). Retensi energi R2 dan R1 masing-
masing 35,11% dan 41,70% lebih rendah (P<0,05) daripada R3.
Tabel 5.17
Keseimbangan Energi TubuhTernak Kelinci yang Mendapat Perlakuan Ransum
dengan
Kandungan Energi dan Protein Berbeda
Variabel Perlakuan
R1 R2 R3 R4 SEM
Konsumsi Energi
(K.kal/hari)
215,78c 249,78
b 297,22
a 300,71
a 8,02
Energi Feses
(Kkal/hari)
55,84a 60,95
a 62,57
a 81,24
a 5,78
Energi Tercerna
(Kkal/hr)
159,95c 183,33
b 234,65
a 219,46
a 4,53
Energi Termetabolis
(Kkal/hari)
151,95b 179,39
a 178,33
a 208,4
a 5,19
Retensi Energi
(Kkal/hari)
29,28b 35,01
b 65,36
a 49,19
a 2,31
Produksi Panas
(Kkal/hari) 122,67
a 144,38
a 157,56
a 159,32
a 9,75
Produksi Panas
(KkalW0,75
/hari)
110,39a 110,30
a 95,79
a 106,73
a 9,87
Konsumsi ME/PBB
(Kkal/g pbb)
12,97a 12,14
a 10,66
a 11,53
a 1,94
1)R1 : Ransum dengan kandungan energi: 2201,15 Kkal ME/kg dan PK: 14,03%
R2 : Ransum dengan kandungan energi: 2402,17 Kkal ME/kg dan PK: 15,50%
R3 : Ransum dengan kandungan energi: 2603,45 KkalME/kg dan PK: 17,01%
R4 : Ransum dengan kandungan energi: 2801,81 KkalME/kg dan PK: 18,50%
2) Superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukkan perbedaan tidak nyata
(P>0,05)
dan superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)
3) SEM : Standard Error of The Treatment Means
Perlakuan kandang berbeda tidak berpengaruh secara nyaya (P>0,05)
terhadap Tidak terjadi perbedaan yang nyata (P>0,05) pada variabel konsumsi
protein, protein pada feses dan protein tercerna (Tabel 5.18). Kelinci yang
dipelihara pada kandang K0 menghasilkan retensi protein 3,97 g/hari sedangkan
pada kandang K1 adalah 29,78% lebih rendah (P<0,05) dibandingkan dengan K0.
Kelinci yang diberi perlakuan ransum R4 mengkonsumsi protein 13,45 g/hari
45
sedangkan kelinci yang diberi ransum R3, R2 dan R1 masing-masing 12,42% ,
23,71% dan 41,11% lebih rendah (P<0,05) daripada R4. Perlakuan ransum tidak
menyebabkan perbedaan yang nyata (P>0,05) terhadap variabel protein pada
feses ternak kelinci. Perlakuan ransum R4 menyebabkan protein tercerna paling
tinggi yaitu 10,85 g/hari sedangkan perlakuan R3, R2 dan R1 masing-masing
19,54%, 24,98% dan 45,53% lebih rendah dibandingkan dengan R4. Kelinci
yang diberi ransum R3 menyebabkan retensi energi paling tinggi yaitu 4,70 g/hari
sedangkan ransum R4, R2 dan R1 masing-masing 12,98%, 39,57% dan 55,32%
lebih rendah dibandingkan dengan R3.
Tabel 5.18
Keseimbangan Protein Tubuh Kelinci pada Kandang Berbeda
Variabel Perlakuan
K0 K1 SEM
Konsumsi Protein (g/hari) 10,89a 11,20
a 0,44
Protein dalam Feses (g/hari 2,27a 2,50
a 0,16
Protein Tercerna (gr/hari) 8,62a 8,70
a 0,38
Retensi Protein (g/hari) 3,97a 2,57
b 0,31
1) K0 : Kandang under ground shelter
K1 : Kandang Battery
2) Superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukkan perbedaan tidak nyata
(P>0,05)
dan superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)
3) SEM : standard Error of The Treatment Means
46
Tabel 5.19
Keseimbangan Protein Ternak Kelinci yang Mendapat Perlakuan Ransum dengan
Kandungan Energi dan Protein Berbeda
Variabel Perlakuan
R1 R2 R3 R4 SEM
Konsumsi Protein
(g/hari)
7,92d 10,26
c 11,78
b 13,45
a 0,44
Protein Feses (g/hari)
2,01a 2,12
a 3,05
a 2,60
a 0,64
Protein Tercerna
(g/hari)
5,91c 8,14b
b 8,73b
b 10,85a
a 0,20
Retensi Protein (g/hari) 2,10b 2,84
b 4,70
a 4,09
a 0,15
1)R1 : Ransum dengan kandungan energi: 2201,15 Kkal ME/kg dan PK: 14,03%
R2 : Ransum dengan kandungan energi: 2402,17 Kkal ME/kg dan PK: 15,50%
R3 : Ransum dengan kandungan energi: 2603,45 KkalME/kg dan PK: 17,01%
R4 : Ransum dengan kandungan energi: 2801,81 KkalME/kg dan PK: 18,50%
2) Superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukkan perbedaan tidak nyata
(P>0,05)
dan superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)
3) SEM : Standard Error of The Treatment Means
5.2 Pembahasan
5.2.1 Iklim Mikro Kandang
Kelinci yang dipelihara pada kandang under ground shelter (K0)
menyebabkan temperatur udara di dalam kandang lebih rendah daripada kandang
battery (K1). Jarak anatara petak kandang dengan bahan atap pada kandang K0
lebih jauh dibandingkan dengan kandang K1 sehingga pancaran radiasi
gelombang panjang dari bahan atap lebih rendah intensitasnya pada kandang K0
sehingga temperatur yang terukur lebih rendah, sesuai dengan pendapat Lean dan
Rind (1996). Temperatur lebih rendah pada kandang K0 menyebabkan evaporasi
dari sumber air di dalam kandang lebih rendah sehingga menyebabkan
kelembaban udara lebih rendah. Marai (2002) menyatakan temperatur dan
kelembaban udara yang lebih rendah akan menghasilkan Temperatur Humidity
Index (THI) lebih rendah. Perlakuan ransum berbeda tidak berbepangaruh
terhadap temperatur udara di dalam kandang. Perbedaan panas metabolisme yang
47
ditimbulkan oleh perbedaan konsumsi energi dan protein pada perlakuan ransum
berbeda, belum mempengaruhi temperatur udara yang terukur.
5.2.2 Respon Fisiologi
Denyut jantung dan frekuensi pernafasan kelinci yang dipelihara pada
kandang K1 lebih tinggi daripada kandang K0. Tingkat cekaman yang lebih
tinggi pada kelinci yang dipelihara pada kandang K1 mengharuskan kelinci
mempercepat denyut jantung dan frekuensi pernafasan untuk meningkatkan
suplai oksigen pada jaringan, sesuai dengan pendapat Mahardika (1996), Cervera
dan Carmona (1998). Ransum dengan kandungan energi dan protein lebih tinggi
(R4) menyebabkan denyut jantung lebih tinggi daripada kandungan energi dan
protein ransum lebih rendah. Konsumsi energi dan protein yang lebih tinggi pada
kelinci yang diberi ransum R4 menyebabkan peningkatan laju metabolisme.
Peningkatan metabolisme memerlukan suplai oksigen yang lebih banyak
sehingga denyut jantung meningkat agar aliran darah yang membawa oksigen
terikat pada haemoglobin meningkat (Kasa et al., 1995). Hasil penelitian
mendapatkan temperatur raktal rata-rata berkisar antara 39,04 oC sampai 39,88
oC. Hasil yang sama didapatkan oleh Kasa dan Thwaites (1993) yaitu berkisar
39,4 oC sampai 40,6
oC, Bivin dan King (1995) yaitu 39,5
oC. Tidak terjadi
perbedaan pada variabel temperatur rektal pada ternak kelinci yang dipelihara
pada kandang K0 tidak berbeda dengan kandang K1. Perbedaan temperatur udara
rata-rata diantara kandang K0 dan K1 tidak jauh berbeda yatu sebesar 1,59 oC.
Perbedaan temperatur tersebut belum berpengaruh pada temperatur rektal.
Thwaites et al. (1995) juga mendapatkan hasil penelitian yang sama yaitu kelinci
yang dipelihara pada temperatur 34 oC menyebabkan temperatur rektal 40,2
oC
yang tidak berbeda nyata dibandingkan dengan temperatur pemeliharaan 36 oC
yaitu temperature rektalnya 40,7 oC. Perlakuan ransum dengan kandungan energi
dan protein berbeda tidak mempengaruhi temperatur rektal. Hal ini
mengindikasikan bahwa perbedaan panas metabolisme dari perbedaan konsumsi
energi dan protein oleh ternak kelinci belum berpengaruh pada temperatur raktal.
Temperatur kulit kelinci yang dipelihara pada K0 lebih rendah daripada
kelinci pada kandang K1. Ternak yang mempunyai temperatur tubuh lebih tinggi
dari temperatur lingkungan akan berusaha menyeimbangkan temperatur tubuhnya
48
dengan lingkungan melalui cara konduksi, konveksi, radiasi dan evaporasi
(Esmay (1978). Kelinci pada K0 yang berada di bawah lantai bangunan kandang
menerima radiasi panas (gelombang panjang) lebih sedikit daripada K1. Hal ini
menyebabkan temperatur rektal dan temperatur kulit lebih rendah. Disamping
faktor tersebut, kandang under ground shelter yang dilengkapi lubang tempat
berlindung akan memberi kesempatan pada ternak untuk melakukan proses
homeostatis melalui mekanisme konduksi. Temperatur kulit tidak dipengaruhi
oleh perlakuan ransum dengan kandungan energi dan protein berbeda.
Temperatur kulit yang sama ini disebabkan karena perbedaan kandungan energi
dan protein dalam ransum tidak berpengaruh pada temperatur udara dalam
kandang. Ternak dipelihara pada temperatur udara dalam kandang yang sama
akan menghasilkan temperatur kulit yang sama pula, sesuai dengan pendapat
Kasa dan Thwaites (1993).
5.2.3 Respon Hematologi
Kandungan haemoglobin, eritrosit dan hematokrit pada darah kelinci yang
dipelihara pada kandang K1 lebih rendah daripada K0. Hal ini berkaitan dengan
tingkat kenyamanan ternak dalam kandang yang selanjutnya berpengaruh pada
proses metabolisme nutrien dalam tubuh ternak. Kandang K1 meyebabkan nilai
THI lebih tinggi (kurang nyaman) dibandingkan dengan kandang K0.
Pemeliharaan ternak dalam kondisi cekaman panas menyebabkan kebutuhan
energi untuk hidup pokoknya meningkat yang terindikasi pula oleh nilai FCR
yang lebih tinggi (Tabel 5.8). Keadaan ini menyebabkan proses pembentukan
organ tubuh termasuk haemoglobin, eritrosit dan hematokrit darah menurun.
Hasil penelitian ini sesuai dengan Swenson (1970) yang mandapatkan terjadi
penurunan kandungan haemoglobin darah sapi dengan semakin tinggi temperatur
udara lokasi pemeliharaan.
Kandungan haemoglobin, eritrosit dan hematokrit darah kelinci yang
diberi ransum R3 dan R4 lebih tinggi dibandingkan R2 dan R1. Konsumsi
ransum dan tingkat pertumbuhan kelinci pada perlakuan R3 dan R4 lebih tinggi
dibandingkan dengan R2 dan R1. Tingkat pertumbuhan yang tinggi mengandung
pengertian bahwa proses pembentukan organ tumbuh termasuk haemoglobin
makin tinggi. Pendapat ini didukung oleh Behring (2000) yang menyatakan
49
haemoglobin darah merupakan sarana transportasi oksigen dalam jaringan tubuh
yang sangat diperlukan dalam proses metabolisme. Perlakuan ransum dengan
kandungan energi dan protein berbeda belum berpengaruh secara nyata terhadap
kandungan eritrosit darah. Perlakuan ransum dengan kandungan energi dan
protein paling rendah (R1) memiliki kandungan eritrosit paling rendah (3,99 ×
106/ml), R2 (4,0 × 10
6/ml), R3 (4,42 × 10
6/ml) dan R4 (4,19 × 10
6/ml). Kelinci
yang di beri ransum R1 mengkonsumsi ransum paling rendah sehingga konsumsi
energi dan protein paling rendah. Konsumsi energi dan protein yang rendah
menyebabkan proses pembentukan komponen penyusun tubuh termasuk eritrosit
darah menurun. Kelinci jantan lokal mempunyai kandungan leukosit berkisar
5,78 × 103/ml sampai 6,37 × 10
3/ml. Hasil penelitian ini masih berada dalam
kisaran normal, sesuai dengan hasil penelitian Bivin dan King (1995) yang
mendapatkan kandungan leukosit pada ternak berkisar antara 5,2 – 12 × 103
ml.
Peneliti lain yaitu Vanessa et al. (2005) menyatakan ternak kelinci dalam keadaan
sehat mempunyai kandungan leukosit dalam darahnya 6,3 – 10 × 103/ml.
Dinyatakan pula bahwa dalam kondisi cekaman panas kandungan leukosit
meningkat 15 – 30%. Berdasarkan penelitian ini didapatkan bahwa kelinci yang
dipelihara pada kandang K1 memiliki kandungan leukosit darah lebih tinggi
daripada kandang K0. Peningkatan kandungan leukosit darah pada kandang K1
merupakan respon ternak terhadap kondisi cekaman panas, sesuai dengan
pendapat Vanessa et al. (2005). Pada tabel 4 nampak bahwa temperatur,
kelebaban dan nilai THI pada kandang K1 lebih tinggi (kurang nyaman)
dibandingkan kandang K0. Tidak terdapat perbedaan yang nyata pada
kandungan leukosit darah diantara perlakuan ransum. Hal ini mengindikasikan
bahwa tidak terdapat perbedaan tingkat cekaman pada ternak kelinci yang
diberikan ransum dengan kandungan energi dan protein berbeda. Hasil penelitian
ini mendapatkan bahwa kandungan hematokrit darah kelinci jantan local berkisar
antara 39,5% - 42,25%. Hasil penelitian ini masih berada pada kisaran normal
karena Bivin dan King (1995) mendapatkan kelinci new zeland white mempunyai
kandungan hematokrit darah berkisar 39% - 42%. Kelinci jantan lokal memiliki
rata-rata kandungan glukosa darah 178,50 mg/100 ml dan rata-rata kandungan
trigliserida darah kelinci jantan lokal adalah 99,44 mg/100 ml. Sinha et al.
50
(2008) mendapatkan kandungan glukosa darah kelinci new zealand white di
daerah sub tropis adalah 139,3 mg/100 ml untuk jantan dan 145,4 mg/100 ml
untuk betina. Hasil yang lebih rendah ini disebabkan karena perbedaan kondisi
iklim daerah tropis dengan sub tropis. Perlakuan jenis kandang dan kandungan
energi protein ransum berbeda tidak berpengaruh terhadap kandungan glukosa
dan trigliserida darah. Tingkat cekaman panas yang dialami kelinci pada
kandang dan ransum berbeda belum berpengaruh terhadap mobilisasi glukosa
dari simpanan glikogen atau penggantian sumber energi asal lemak
(glukoneogenesis), sesuai dengan pendapat Mahardika (1996).
5.2.4 Perfomans Kelinci
Kelinci jantan lokal yang dipelihara pada kandang K0 menghasilkan berat
badan akhir dan pertambahan berat badan per hari lebih tinggi daripada kandang
K1. Tingkat kenyamanan ternak dalam kandang K0 lebih tinggi daripada K1
yang dindikasikan oleh nilai THI pada K0 lebih rendah daripada K1. Ternak
dalam kondisi nyaman memerlukan energi untuk kebutuhan hidup pokok lebih
rendah sehinga porsi penggunaan energi untuk partumbuhan lebih tinggi
(Lesson. 1986). Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Suc et al. (1996)
menyatakan pemeliharaan kelinci pada temperatur lebih tinggi dari kebutuhan
optimum (kondisi hipertermia) dapat menurunkan pertambahan berat badan.
Pertambahan berat badan kelinci new zealand white dengan lama pemeliharaan
112 hari pada temperatur udara dalam kandang 18-20 oC dapat mencapi 3 Kg,
sedangkan pada temperatur udara dalam kandang berkisar 30-31 oC
menghasilkan pertambahan berat badan hanya 2,5 Kg.
Ransum dengan kandungan energi dan protein paling rendah (R1)
menghasilkan berat badan paling rendah dibandingkan dengan R2, R3 dan R4.
Tabel 5.9 menunjukkan konsumsi ransum yang rendah pada R1 menyebabkan
konsumsi energi dan protein yang merupakan komponen paling utama
pertumbuhan rendah sehingga menghasilkan berat badan paling rendah.
Pendapat ini didukung oleh Haresign et al. (1977) yang menyatakan energi dan
protein yang dikonsumsi merupakan komponen utama penyusun jaringan tubuh.
Perlakuan ransum R3 menghasilkan berat badan paling tinggi disebabkan karena
konsumsi ransum R3 paling tinggi dan nilai konversi ransum paling rendah yang
51
memungkinkan proses pembentukan jaringan tubuh paling baik. Hasil penelitian
ini didukung oleh Xiangmei (2008) yang menyatakan imbangan energi dan
protein ransum sangat penting diperhatikan untuk dapat mencapai produktivitas
optimal. Ransum yang kekurangan atau kelebihan protein pada tingkat energi
yang sama akan menurunkan pertumbuhan. Kekurangan protein menyebabkan
jumlah asam amino yang dikonsumsi menurun sehingga pembentukan jaringan
daging menurun. Sebaliknya protein yang berlebihan menyebabkan protein
dipergunakan untuk menghasilkan energi melalui proses glikogenolisis sehingga
pertumbuhan menurun. Pendapat ini didukung oleh Prijanti (2008) menyatakan
proses metabolisme protein menjadi energi akan meningkatkan produksi panas
tubuh berupa panas matabolisme (heat increament) meningkat sehingga energi
untuk pertumbuhan menurun. Hasil penelitian yang sama dikemukakan oleh
Butcher et al. (1981) mendapatkan bahwa kelinci new zealand white yang
diberikan ransum dengan kandungan energi metabolisme 8 MJ/kg DM dengan
CP 172 g/kg DM menghasilkan pertambahan berat badan per hari 25,16 g/hr
nyata lebih rendah daripada kandungan energi 10 MJ/kgDM dengan CP 160
g/kgDM dan 12 MJ/kgDM dengan CP 157 g/kgDM yaitu 32,40 g/hr dan 29,8
g/hr. Hasil penelitian berbeda didapatkan oleh Ayyat et al., (2009) yang
menyatakan bahwa kelinci dengan sistem pemelihaaran kadang battery yang
diberikan ransum dengan tingkat energi rendah (2276 kkal DE/kg) menghasilkan
pertambahan berat badan yang tidak berbeda nyata dengan tingkat energi 2436
kkal DE/kg dan tingkat energi tinggi 2707 kkal DE/kg.
Konsumsi ransum kelinci yang dipelihara pada kandang K1 lebih tinggi
daripada K0. Hasil penelitian berbeda didapatkan Kasa et al. (1989) yang
mendapatkan konsumsi ransum kelinci pada temperatur 22 oC adalah 73.14 g/hr
dan pada temperatur 30 oC adalah 49,43 g/hr. Perbedaan hasil ini disebabkan
karena perbedaan selisih suhu kandang. Lesson (1986) menyatakan bahwa
kebutuhan energi untuk hidup pokok meningkat bila ternak dalam kondisi
cekaman panas sehingga kebutuhan total energi menjadi lebih tinggi
dibandingkan dengan kondisi nyaman. Data pada Tabel 5.16 menunujukkan
bahwa produksi panas pada K1 lebih tinggi daripada K0 (137,14 kkal/hr vs
144,19 kkal/hr). Hasil perhitungan mendapatkan bahwa total kebutuhan energi
52
pada K1 lebih tinggi sedangkan pada K0 (201,70 kkal/hr vs 179,67 kkal/hr).
Pendapat ini didukung oleh Ogunjimi et al., (2008) menyatakan bahwa jumlah
panas dan uap air yang diproduksi dari tubuh ternak kelinci sangat dipengaruhi
oleh temperatur dan kelembaban udara yang terindikasi oleh nilai THI . Untuk
memenuhi kebutuhan energi tersebut, kelinci pada K1 mengkonsumsi ransum
lebih tinggi daripada K0.
Kelinci jantan lokal yang diberi ransum R1 mengkonsumsi ransum paling
rendah dibandingkan dengan R2, R3 dan R4. McNitt et al. (1996) menyatakan
konsumsi ransum pada ternak kelinci dipengaruhi oleh faktor lingkungan,
kandungan energi, tekstur, bau dan palatabilitas makanan. Kemungkinan ransum
R1 kurang palatabel bagi ternak kelinci karena mengandung bahan pakan dedak
padi dan rumput gajah paling tinggi. Dedak padi dan rumput gajah merupakan
bahan pakan yang menyebabkan ransum bersifat ambar (bulky) pada saat proses
pembuatan pellet. Ransum yang ambar akan cepat menjadi berdebu pada saat
dimakan kelinci. De Blas dan Wiseman (1998) menyatakan ternak kelinci tidak
menyukai makanan yang berdebu. Pendapat ini didukung oleh hasil penelitian
Mbanya et al. (2010) mendapat bahwa bahan ransum dan komposisi bahan
ransum sumber potein yang dipergunakan dalam ransum berpengaruh terhadap
konsumsi ransum. Konsumsi ransum paling tinggi terjadi pada kelinci yang diberi
tepung ikan sebagai sumber protein yaitu 72,2 g/ekor/hr, sedangkan konsumsi
ransum kelinci yang diberi ransum dengan sumber protein tepung kedelai dan
tepung biji kapas masing-masing 63,9 g/ekor/hr dan 61,4 g/ekor/hr. Hasil
penelitian ini berbeda dengan pendapat Tillman (1986) yang menyatakan bahwa
ternak akan meningkatkan konsumsi ransum bila kandungan energi ransum lebih
rendah dari standar kebutuhan ternak. Densitas ransum R1, R2, R3 dan R4
masing-masing 114,12 g/ml, 158,75 g/ml, 164,07 g/ml dan 198,28 g/ml. Mastika
(2009) menyatakan ransum yang bersifat ambar (bulky) akan cepat memenuhi
kapasitas lambung sehingga merupakan pembatas konsumsi ransum. Konsumsi
ransum paling tinggi terjadi pada kelinci yang diberi ransum R3. Pertumbuhan
yang paling tinggi pada kelinci yang diberi ransum R3 memerlukan energi dan
protein tinggi sebagai komponen penyusun jaringan tubuh (Haresign, 1977)
sehingga konsumsi ransum meningkat. Konsumsi ransum pada R4 lebih rendah
53
daripada R3 disebabkan karena R4 kandungan energinya paling tinggi sehingga
kelinci yang diberi ransum R4 makan lebih sedikit dari R3 untuk memenuhi
kebutuhan energinya, sesuai dengan pendapat Tillman (1986). Laju pertumbuhan
yang tinggi pada ternak kelinci yang diberikan ransum R3 dan R4 memerlukan
konsumsi ransum yang tinggi pula untuk memenuhi kebutuhan nutrien ternak.
Konsumsi air oleh kelinci pada kandang K1 lebih tinggi daripada kandang
K0 (145,03 ml/hr vs 100,86 ml/hr). Konsumsi air yang lebih tinggi pada K1
terkait dengan temperatur udara dalam kandang. Kandang K1 menyebabkan
temperatur udara 28,33oC sedangkan kandang K0 menyebabkan temperatur
udara 26,21 oC, seperti pada Tabel 5.1. Hasil penelitian yang sama didapatkan
oleh Kasa et al. (1989) diamana kelinci yang dipelihara pada temperatur 30 oC
mengkonsumsi air lebih banyak daripada dipelihara dengan temperatur 22 oC
(150,14 ml/hr vs 110,29 ml/hr). Jin et al. (1990) mendapatkan pada temperatur
20 oC kelinci mengkonsumsi air 7 g/hari dan pada temperatur 30
oC meningkat
menjadi 36 g/hari. Pada suhu udara yang lebih tinggi dari kebutuhan optimal,
ternak akan meningkatkan konsumsi air sebagai respon adaptasi untuk
menyeimbangkan panas tubuh. Pendapat sama dikemukakan pula oleh Mount
(1979), Yates (1987), Lean dan Rin (1996) yang menyatakan evaporasi air dari
saluran pernafasan akan dapat menurunkan suhu tubuh karena perubahan air
menjadi uap air memerlukan energi berupa panas yang diambil dari hasil
metabolism.
Data pada Tabel 5.9 menunujukkan bahwa kelinci yang diberi ransum R1
mengkonsumsi air paling banyak (133,20 ml/hr) dibandingkan R3 (128,11 ml/hr),
R4 (125,95 ml/hr) dan R2 (117,99 ml/hr). Hasil penelitian ini berbeda dengan
pendapat Tillman (1986) yang menyatakan makin tinggi konsumsi ransum maka
konsumsi air makin tinggi pula. Konsumsi air tinggi pada R1 berkaitan dengan
densitas ransum. Ransum R1 mempunyai densitas paling rendah sehingga cepat
menjadi berdebu pada saat dimakan oleh ternak kelinci. Sifat ransum yang
berdebu ini menyebabkan kelinci mengkonsumsi air lebih banyak.
Konversi rasum kelinci yang dipelihara pada K1 adalah 3,94 sedangkan
pada kandang K0 adalah 3,11. Skrivanova et al. (2011) menyatakan perbedaan
temperatur di dalam kandang berpengaruh terhadap nilai konversi ransum. Hasil
54
penelitiannya mendapatkan bahwa kelinci yang dipelihara pada temperatur 6 oC,
16 oC dan 25
oC menghasilkan nilai konversi ransum masing-masing 4,02; 3,37;
dan 3,13. Lesson (1986) menyatakan konversi ransum berkaitan dengan
penggunaan energi yang dikonsumsi oleh ternak. Kelinci yang dipelihara pada
kandang K1 mengalami tingkat cekaman panas lebih tinggi yang diindikasikan
oleh nilai THI pada kandang K1 lebih tinggi daripada K0. Adaptasi memerlukan
energi yang merupakan energi hidup pokok. Makin banyak penggunaan energi
untuk keperluan hidup pokok maka penggunaan energi untuk pertumbuhan makin
kecil sehingga nilai konversi ransum menjadi lebih tinggi.
Konversi ransum kelinci yang diberi perlakuan ransum R1(3,96) paling
tinggi daripada R2 (3,88), R3 (3,13) dan R4 (3,15). Hasil penelitian ini sesuai
dengan pendapat Xiangmei (2008) yang menyatakan kandungan energi dan
protein pada ransum akan berpengaruh pada konversi ransum. Hasil penelitian
Kjear dan Jensen (1997) mendapatkan kelinci yang diberi ransum dengan
kandungan energi 10,71 MJ/kg DE dan protein kasar 19,18%, energi 10,73 MJ/kg
DE dan protein kasar 21,04% dan energi 10,63 MJ/kg DE dan protein kasar
24,25% menghasilkan konversi ransum 3,29; 3,57 dan 4,08. Hasil penelitian
berbeda dikemukakan oleh Ayyat et al. (2009) yang mendapatkan kelinci dengan
sistem pemelihaaran kadang battery yang diberikan ransum dengan tingkat energi
rendah (2276 kkal DE/kg) menghasil nilai konversi ransum tidak berbeda dengan
tingkat energi medium (2436 kkal DE/kg) dan tingkat energi tinggi (2707 kkal
DE/kg. Perbedaan hasil penelitian ini disebabkan karena ransum penelitian
merupakan ransum iso protein.
Konsumsi energi dan protein oleh kelinci pada kandang K1 lebih tinggi
daripada K0. Konsumsi energi dan protein yang lebih tinggi ini disebabkan
karena kebutuhan energi hidup pokok kelinci pada kandang K1 lebih tinggi
daripada kandang K0. Sebagai konsekuensinya ternak kelinci pada kandang K1
akan meningkatkan konsumsi ransum sehingga konsumsi energi dan protein juga
meningkat. Kelinci yang mendapat perlakuan R1 mengkonsumsi energi dan
protein paling rendah dibandingkan dengan perlakuan ransum R2, R3 dan R4.
Sifat ambar (bulky) dan ransum lebih lama berada dalam saluran pencernaan
(Tabel 5.11) merupakan faktor pembatas konsumsi ransum. Konsumsi ransum
55
yang rendah pada R1 berdampak pada konsumsi energi dan protein yang rendah.
5.2.5 Mikroba dalam Sekum dan Kolon Kelinci
Jumlah bakteri dan mikroba pada sekum dan kolon kelinci yang dipelihara
pada kandang K0 sedikit lebih banyak daripada K1 (Tabel 5.10). Perlakuan
ransum R3 dan R4 menyebabkan jumlah bakteri dan mikroba sedikit lebih banyak
dari R1 dan R2 (Tabel 5.11). Hal ini disebabkan karena sekum dan kolon
merupakan tempat tumbuhnya bakteri yang berfungsi sebagai proteolitik. Bakteri
menyerang protein-protein yang belum dicerna menjadi skatole, indole, fenol,
asam-asam lemak, hidrogen sulfide dan asam-asam amino. Menghidrolisis
selulose menjadi unit-unit glukose, kemudian dirubah menjadi asam-asam lemak
volatil terutama menjadi asetat, propionat dan butirat. Disamping itu bakteri juga
berfungsi untuk mensintesa vitamin B yang diabsorbsi ke dalam tubuh.
5.2.6 Koefisien Cerna Ransum
Koefisien cerna bahan kering, kofisien cerna protein dan DE/GE ransum
pada kelinci yang dipelihara pada kandang K0 dan K1 tidak menunjukkan
perbedaan yang nyata. Hal ini menunjukkan bahwa kecernaan tidak dipengaruhi
oleh perbedaan iklim mikro yang disebabkan oleh perbedaan jenis kandang.
Pendapat ini didukung oleh Tillman et al. (1986) yang menyatakan kecernaan
dipengaruhi oleh spesies hewan, bentuk fisik ransum dan komposisi bahan
makanan. Tidak terjadi perbedaan kecernaan bahan kering, kecernaan protein dan
DE/GE diantara perlakuan R1, R2, R3 dan R4. Hal ini disebabkan karena hasil
analisis proksimat ransum mendapatkan tidak terdapat perbedaan yang besar
pada kandungan serat kasar ransum. Berdasarkan perhitungan analisis
kandungan serat kasar ransum perlakuan adalah R1 (14,91%), R2 (18,51%), R3
(12,24%) dan R4 (10,68%). McNitt et al. (1996) menyatakan bahwa kebutuhan
minimal serat kasar pada ternak kelinci adalah 10%. Pendapat ini didukung oleh
hasil penelitian Prasad et al. (1996) yang mendapatkan hasil bahwa ransum
dengan kandungan energi 2200 kkal DE/kg dengan CP 15%, energi 2500 K.kal
DE/kg dengan CP 18% dan energi 2800 K.kal DE/kg dengan CP 21% tidak
berpengaruh nyata terhadap kecernaan bahan kering, kecernaan protein dan
DE/GE.
5.2.7 Karkas Kelinci
56
Perlakuan kandang berbeda tidak berpengaruh nyata terhadap berat dan
persentase karkas kelinci. Hal ini disebabkan karena berat potong ternak kelinci
tidak berbeda nyata. Pendapat ini didukung oleh Puger (1993) dan McNitt et al.
(1996) yang menyatakan berat karkas dipengaruhi oleh umur dan berat potong
serta kuantitas dan kualitas ransum yang diberikan. Makin tinggi berat potong
maka makin tinggi pula berat karkasnya. Kelinci jantan lokal yang dipelihara
pada kandang K0 menghasilkan persentase karkas yang tidak berbeda nyata
dengan kandang K1. Berat hidup, berat karkas yang tidak berbeda antara K0 dan
K1 menyebabkan persentase karkas yang dihasilkan tidak berbeda nyata, sesuai
dengan pendapat Kartadisastra (1993).
Kelinci yang diberi ransum R3 menghasilkan berat potong, berat karkas,
persentase karkas dan panjang karkas lebih tinggi dibandingkan perlakuan lain.
Kelinci yang diberi ransum R3 mengkonsumsi energi dan protein serta efisiensi
pengguanaan ransum lebih tinggi dari perlakuan lain. Energi dan protein
merupakan komponen utama penyusun jaringan tubuh (Tillman et al, 1986).
Konsumsi energi dan protein yang lebih tinggi pada kelinci dengan perlakuan
ransum R3 mengakibatkan pertumbuhannya paling lebih tinngi sehingga berat
potong, berat karkas, persentase karkas dan panjang karkas yang dihasilkan lebih
tinggi, sesuai dengan pendapat Kartadisastra (1993), McNitt et al. (1996), de
Blas dan Wiseman (1998). Hasil penelitian yang sama didapatkan oleh Kjear dan
Jensen (1997) kelinci yang diberi ransum dengan energi 10,71 MJ/kg DE dengan
kandungan protein 19,18%; energi 10,73 MJ/kg DE dan protein 21,04% ; energi
10,63 MJ/kg DE dan protein 24,25% menghasilkan berat karkas 1816 g, 1641 g
dan 1724 g.
Perlakuan kandang berbeda serta kandungan energi dan protein berbeda
tidak berpengaruh nyata terhadap potongan komersial karkas (Tabel 5.14 dan
Tabel 5.15). Hasil penelitian mendapatkan persentase kaki depan, kaki belakang,
pinggang-punggung dan dada-leher masing-masing 15,79%, 31,28%, 26,17% dan
26,76%. Hasil penelitian ini masih torgolong normal karena tidak jauh berbeda
dengan hasil peneliti lain. Herman (1989) mendapatkan persentase potongan
komersial dengan urutan yang sama yaitu 15%, 40%, 22% dan 23%, sedangkan
Puger (1993) mendapatkan 16%, 42%, 22% dan 20%.
57
Kelinci yang dipelihara pada kandang K0 menghasilkan daging karkas
lebih tinggi dibandingkan kandang K1 (67,28 g/100g berat karkas vs 64,43
g/100g berat karkas ). Hal ini disebabkan karena retensi energi dan protein ternak
kelinci yang dipelihara pada kandang K0 lebih tinggi daripada kandang K1
(Tabel 5.16 dan Tabel 5.17). Kelinci yang diberi perlakuan ransum R1 dan R2
menghasilkan berat daging karkas per 100g berat karkas lebih rendah daripada
ransum R3 dan R4. Hal ini disebabkan karena konsumsi energi dan protein
sebagai komponen utama penyusun jaringan daging pada R1 dan R2 lebih
rendah daripada R3 dan R4. Pendapat ini didukung pula oleh Praga (1998)
menyatakan protein tubuh ternak tersuusun dari asam-asam amino dengan ikatan
peptida dan membentuk ikatan polipeptida.
Hasil penelitian menunjukkan rata-rata berat lemak karkas kelinci jantan
lokal umur 84 hari adalah 3,09g/100g berat karkas. Hasil penelitian ini masih
dalam kisaran normal karena tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian de Blas
dan Wiseman (1998) yang mendapatkan berat lemak karkas kelinci pada umur
106 hari adalah 3,60g/100g berat karkas. Perlakuan kandang K0 menghasilkan
berat lemak karkas kelinci jantan lokal tidak berbeda nyata dengan kandang K1.
Ini berarti perbedaan iklim mikro pada jenis kandang berbeda tidak berpengruh
terhadap lemak karkas.
Kelinci yang diberi ransum R1 menghasilkan lemak tubuh lebih rendah
dibandingkan dengan ransum R2, R3 dan R4. Hal ini disebabkan karena
konsumsi energi kelinci yang diberi ransum R1 lebih rendah daripada perlakuan
ransum yang lain. Data pada Tabel 5.17 juga menunjukkan retensi energi pada
kelinci yang diberi ransum R1 lebih rendah daripada R2, R3 dan R4. Pendapat ini
didukung oleh Haresign et al. (1977) dan Tillman et al. (1986) yang menyatakan
bahwa ternak mengkonsumsi ransum dengan tujuan memenuhi kebutuhan
energinya dan kelebihan energi yang dikonsumsi akan disimpan dalam bentuk
lemak. Makin rendah konsumsi energi maka jumlah energi yang dapat disimpat
sebagai lemak makin rendah pula.
Tidak terjadi perbedaan berat tulang pada kandang berbeda. Hal ini
menunjukkan tidak ada pengaruh iklim mikro yang berbeda terhadap proses
58
pembentukan tulang. Zerrouki et al.,(2008) menyatakan pertumbuhan tulang
tergantung pada perbedaan kandungan mineral pada ransum. Hasil penelitian ini
menunjukkan perbedaan konsumsi mineral Ca dan P karena perbedaan konsumsi
ransum pada kandang berbeda belum berpengaruh terhadap proses pembentukan
tulang. Berat tulang per 100g berat karkas pada kelinci yang diberi ransum R1
dan R2 lebih tinggi daripada R3 dan R4. Hal ini disebabkan karena berat daging
per 100g berat karkas pada R1 dan R2 lebih rendah sehingga berat tulang per
100g berat karkas lebih tinggi.
Rasio daging- tulang rata-rata kelinci jantan lokal adalah 2,23 : 1. Hasil
penelitian ini lebih rendah dari penelitian de Blas dan Wiseman (1998) yang
mendapatkan 4,91: 1 pada umur 106 hari. Selisih hasil penelitian ini disebabkan
karena perbedaan umur potong dan spesies kelinci . Makin tua umur potong
maka rasio daging tulang akan makin tinggi karena tulang merupakan organ
tubuh masak dini, sehingga tulang mendapat prioritas pada fase pertumbuhan.
Kelinci yang dipelihara pada kandang K0 menghasilkan rasio daging-
tulang tidak berbeda dengan K1. Berat daging (Tabel 5.12) dan berat Tulang
(Tabel 5.14) antara kandang K0 dan K1 tidak berbeda sehingga rasio daging-
tulang yang dihasilkan tidak berbeda pula. Ini berarti perbedaan iklim mikro pada
jenis kandang berbeda tidak berpengaruh terhadap rasio daging-tulang karkas.
Perlakuan ransum R1 pada kelinci jantan lokal menghasilkan rasio
daging-tulang paling rendah daripada R2, R3 dan R4. Berat daging kelinci yang
mendapat perlakuan ransum R1 lebih rendah dan berat tulang lebih tinggi
sehingga rasio daging-tulang menjadi lebih rendah.
Pada K0, rasio daging tulang kelinci yang mendapat perlakuan R3 lebih
tinggi daripada R4. Pada kandang K1, rasio daging-tulang R4 lebih tinggi
daripada R3. Hal ini disebabkan karena aktivitas kelinci pada kandang K0 lebih
rendah daripada K1 sehingga kelinci dengan pertumbuhan paling tinggi (R3)
mempunyai berat tulang lebih rendah dari pada R4. Berat tulang yang lebih
rendah ini menghasilkan rasio daging-tulang pada R3 lebih tinggi daripada R4.
Berbeda pada kandang K1, aktivitas ternak yang lebih tinggi menyebabkan
59
kelinci dengan pertumbuhan paling tinggi (R3) mempunyai berat tulang lebih
tinggi daripada R4. Hal ini menyebabkan rasio daging-tulang pada R3 lebih
rendah daripada R4.
5.2.8 Neraca energi
Kelinci yang dipelihara pada kandang K0 mengkonsumsi energi 255,28
kkal/hari, sedangkan pada kandang K1 adalah 276,47 kkal/hari. Hasil penelitian
yang sama didapatkan oleh de Blas dan Wiseman (1998) bahwa kelinci yang
dipelihara pada temperatur pemeliharaan 18 oC mengkonsumsi energi 284,21
K.kal/hari sedangkan pada temperatur pemeliharaan 9 oC mengkonsumsi energ
213,16 K.kal/hari.
Hasil penelitian mendapatkan energi tercerna (DE) kelinci yang dipelihara
pada kandang K0 adalah 189,12 kkal/hari. Pada kandang K1, energi tercerna
(DE) ternak kelinci adalah 206,59 K.kal/hari. Hasil penelitian Xiccato et al.
(1991) mendapatkan hasil yang sama yaitu energi tercerna (DE) kelinci new
zeland white berkisar 179 sampai 202 K.kal/ekor/hari.
Energi tercerna (DE) dan energi termetabolis (ME) pada kelinci yang
dipelihara pada kandang K1 secara kuantitatif lebih tinggi dibandingkan dengan
kandang K0. Kondisi ini disebabkan karena iklim mikro pada kandang K1 (suhu,
kelembaban udara dan THI) lebih tinggi dari kebutuhan nyaman bagi ternak
kelinci seperti data hasil penelitian pada Tabel 5.1. Kelinci pada kondisi
cekaman panas (heat stress) membutuhkan energi lebih tinggi karena sebagian
energi yang dikonsumsi akan dipergunakan untuk beradaptasi mengatasi kondisi
lingkungan, sesuai dengan pendapat Lesson (1986).
Energi tercerna (DE) dan energi termetabolis (ME) pada kelinci yang
diberi perlakuan ransum R3 dan R4 lebih tinggi daripada R2 dan R1 ( Tabel
5.17). Perbedaan ini disebabkan karena kandungan energi ransum perlakuan R3
dan R4 lebih tinggi daripada R2 dan R1 dan konsumsi ransum kelinci yang diberi
ransum perlakuan R3 dan R4 lebih tinggi daripada R2 dan R1. Hasil penelitian ini
didukung oleh penelitian Prasad et al. (1996) yang mendapatkan bahwa kelinci
new zeland white yang diberi ransum dengan kandungan energi 2585 K.kal
DE/kg dan PK 16%, energi 2778 K.kal DE/kg dan PK 20% dan energi 3043
60
K.kal DE/kg dan PK 22,70% menyebabkan energi tercerna (DE) masing-masing
296 K.kal/hari, 318 K.kal//hari dan 287 K.kal/hari.
Retensi energi pada tubuh kelinci yang dipelihara pada kandang K1 lebih
rendah daripada kandang K0. Keadaan ini disebabkan karena penggunaan energi
untuk mengatasi kondisi lingkungan (hidup pokok) kelinci yang dipelihara pada
kandang K1 lebih tinggi daripada K0 (147,85 kkal/hari vs 105,80 kkal/hari).
Hasil penelitian yang sama didapatkan oleh Kasa et al. (1989) dimana domba
saenan yang berlari pada tread mill dengan kecepatan 30 km/jam pada temperatur
40 oC produksi panasnya lebih tinggi daripada temperatur 30
oCdan 20
oC.
Peningkatan produksi panas ini disebabkan karena peningkatan denyut jantung
dan laju respirasi yang merupakan respon ternak untuk mensuplai lebih banyak
oksigen dalam tubuh. Retensi energi pada kelinci yang diberi perlakuan ransum
R3 dan R4 lebih tinggi daripada R2 dan R1. Hal ini disebabkan karena konsumsi
ransum dan konsumsi energi termetabolis (ME) pada perlakuan ransum R3 dan
R4 lebih tinggi dibandingkan ransum R2 dan R1.
Produksi panas kelinci yang dipelhara pada kandang K1 lebih tinggi
daripada kandang K0 (164,09 kkal/hari vs 127,96 kka/hari). Ternak kelinci
mengkonsumsi energi untuk memenuhi hidup pokok dan untuk pertumbuhan (de
Blas dan Wiseman, 1998). Kondisi yang kurang nyaman pada kandang K1
diindikasikan oleh suhu, kelembaban udara dan nilai THI (Tabel 5.1) yang lebih
tinggi menyebabkan produksi panas dalam tubuh ternak meningkat dan retensi
energi (RE) kelinci yang dipelihara pada kandang K1 menurun (Tabel 5.16).
Kelinci yang dipelihara pada kandang K0 menyebabkan konsumsi energi
termetabolis (ME/pbb) lebih rendah daripada K1. Hal ini menunjukkan bahwa
kelinci pada kandang K0 lebih efisien menggunakan energi termetabolis daripada
kelinci pada kandang K1. Setiap pertambahan berat badan kelinci sebesar 1 g
pada kandang K0 memerlukan energi termetabolis (ME) 10,41 kkal, sedangkan
kelinci pada K1 perlu energi termetabolis (ME) lebih tinggi yaitu 13,24 kkal.
Konsumsi energi termetabolis atau ME/pbb kelinci yang mendapat perlakuan
ransum R3 paling rendah yaitu 10,66 kkal/g pbb, kemudian disusul secara
berturut-turut R4 (11,53 kkal/g pbb), R2 (12,41 kkal/g pbb) dan R1 (12,97 kkal/g
pbb). Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan ransum R3 paling efisien
61
menggunakan energi termetabolis (ME) untuk menghasilkan pertambahan berat
badan yang sama dibandingkan dengan ransum R4, R2 dan R1.
5.2.9 Neraca protein
Konsumsi protein rata-rata kelinci jantan lokal adalah 10,85 g/hari. Hasil
penelitian konsumsi protein ini masih berada pada kisaran normal. Penelitian
Prasad et al. (1996) mendapatkan rata-rata konsumsi protein kelinci new zeland
white 14 g/hari.
Hasil penelitian pada Tabel 5.18 mendapatkan bahwa konsumsi protein
pada kandang K0 lebih rendah daripada K1( 10,89 g/hari vs 11,20 g/hari). Hal
ini disebabkan karena konsumsi ransum kelinci pada kandang K0 lebih rendah
dibandingkan dengan K1. Kelinci yang mendapat perlakuan ransum R4
mengkonsumsi protein paling tinggi yaitu 13,45 g/ekor/hari kemudian disusul R3,
R2 dan R1 masing-masing 11,78 g/ekor/hari, 10,26 g/ekor/hari dan 7,92
g/ekor/hari. Perbedaan konsumsi protein ini disebabkan karena perbedaan
kandungan protein kasar ransum perlakuan (Tabel 4.2). Kandungan protein kasar
yang tinggi pada ransum R4 dan disertai dengan konsumsi ransum yang tinggi
pada kelinci yang mendapat perlakuan ransum R4, menyebabkan konsumsi
protein kelinci yang diberi ransum R4 lebih tinggi daripada R3, R2 dan R1.
Perlakuan kandang berbeda serta kandungan energi dan protein berbeda tidak
berpengaruh secara nyata terhadap kandungan protein feses kelinci jantan lokal.
Hal ini mengindikasikan bahwa perbedaan iklim mikro serta kandungan energi
dan protein ransum belum berpengaruh terhadap protein yang terbuang melalui
feses.
Retensi protein pada kelinci yang dipelihara pada kandang K0 lebih tinggi
daripada kandang K1 (3,97 g/hari vs 2,57 g/hari). Data hasil penelitian ini
mengindikasikan bahwa penggunaan protein kelinci pada kandang K0 lebih
efisien daripada kandang K1. Kondisi lingkungan yang lebih nyaman pada
kandang K0 menyebabkan penggunaan protein untuk hidup pokok lebih rendah
daripada kandang K1. Berdasarkan perhitungan didapatkan bahwa kebutuhan
protein untuk hidup pokok kelinci pada kandang K0 rendah daripada K1 (5,33
g/hari vs 7,64 g/hari). Kebutuhan protein untuk hidup pokok yang lebih rendah
pada kandang K0 menyebabkan protein yang dapat diretensi di dalam tubuh
62
kelinci yang dipelihara pada kandang K0 menjadi lebih tinggi dibandingkan
dengan K1.
5.2.10 Perhitungan kebutuhan energi
Perhitungan kebutuhan energi dan protein dihitung berdasarkan data-data
konsumsi, berat badan, kecernaan, retensi energi kelinci jantan umur 5 – 17
minggu. Kebutuhan energi kelinci jantan lokal dihitung dengam cara
menjumlahkan energi untuk hidup pokok dengan energi untuk pertumbuhan.
Energi hidup pokok merupakan energi termetabolis (ME) dikurangi denagn
retensi energi (RE) yang telah dikoreksi denagn parsial efisiensi (RE/ME).
Mount (1979) mendapatkan bahwa nilai RE/ME sama dengan 0,70. Nilai
farsial efisiensi 0,70 mengandung pengertian bahwa 70% kenaikan ME diatas
hidup pokok akan dikonversi menjadi RE dan sisanya 30% akan dikonversi
menjadi panas. Produksi panas untuk hidup pokok (EHp) dihitung dengan
menggunakan formulasi : EHp = ME – RE/0,7.
Berdasarkan formulasi di atas, energi hidup pokok (EHp) pada kandang
under groun shelter (K0) didapatkan 105,79 k.kal/hari setara dengan 73,47
kkal/W0,75
. Energi hidup pokok (EHp) pada kandang battery (K1) didapatkan
147,85 kkal/hari setara dengan 108,32 kkalW0,75
. Hasil penelitian Parigi Bini dan
Xiccato et al. (1998) mendapatkan EHp untuk kelinci new zeland white adalah
381 KJW0,75
setara denag 91,44 KkalW0,75
dan kelinci flemis giant adalah 552 KJ
W0,75
setara dengan 132,48 K.kalW0,75
. Data hasil perhitungan yang didapat
dalam penelitian ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Parigi Bini dan
Xiccato et al. (1998).
Kebutuhan energi untuk hidup pokok (EHp) ternak kelinci yang
dipelihara pada kandang K1 lebih tinggi daripada K0 (147,85 kkal/hari vs 105,79
kkal/hari). Data iklim mikro yaitu temperatur dan kelembaban udara serta nilai
THI (Tabel 5.1) menunjukkan bahwa kandang K1 kurang nyaman dibandingkan
dengan kandang K0. Kondisi ini menunjukan bahwa kebutuhan energi untuk
hidup pokok (EHp) dipengaruhi oleh faktor lingkungan (iklim mikro) dan tingkat
pertumbuhan ternak. Hasil penelitian ini didukung oleh hasil penelitian de Blas
dan Wiseman (1998) yang mendapatkan bahwa kelinci yang dipelihara pada
temperatur 9oC membutuhkan EHp 633 KJ/hari setara dengan 151,44 K.kal/hari,
63
sedangkan pada temperature 18 oC membutuhkan EHp 745 KJ/hari setara
dengan 178,23 K.kal/hari.
Hasil perhitungan energi untuk tumbuh (Et) kelinci jantan lokal umur 5 –
17 minggu pada kandang under ground shelter (K0) adalah 73,87 kkal/hari dan
kandang battery (K1) adalah 53,85 kkal/hari. Hasil penelitian ini lebih rendah
dari penelitian de Blas dan Wiseman yang menggunakan kelinci new zeland
white di daerah sub tropis 611 KJ/hari setara 146,64 K.kal/hari. Perbedaan hasil
ini disebabkan karena perbedaan jenis ternak kelinci yang dipergunakan dan
kondisi iklim mikro.
Ternak kelinci yang dipelihara pada kandang K0 lebih nyaman
dibandingkan dengan kandang K1. Pada kondisi nyaman ternak lebih banyak
menggunakan energi yang dikonsumsi untuk pertumbuhan daripada kondisi
cekaman (Lesson, 1986). Menurut de Blas dan Wiseman (1998) kelinci
mengkonsumsi energi untuk tujuan hidup pokok dan pertumbuhan. Makin
rendah kebutuhan energi untuk hidup pokok maka makin tinggi energi yang dapat
dipergunakan untuk pertumbuhan.
Berdasarkan perhitungan data di atas maka kebutuhan energi pada ternak
kelinci jantan lokal umur 5 – 17 minggu di daerah dataran rendah tropis dapat
dihitung. Kebutuhan energi hidup pokok kelinci pada kandang under groun
shelter (K0) dengan berat badan rata-rata 1538,38 g dan pertambahan berat badan
rata-rata 16,03 g/hari adalah 105,79 kkal/hari setara dengan 72,96 K.kalW0,75
dan
kebutuhan energi untuk pertumbuhan adalah 73,87 K.kal/hari setara dengan 4,61
kkal/g pbb sehingga total kebutuhan energi menjadi 179,66 k.kal/hari. Konsumsi
ransum rata-rata per hari kelinci jantan lokal pada kandang K0 adalah 0,044
kg/ekor/hari, sehingga bila dikonversi kedalam kandungan energi ransum maka
kelinci pada K0 memerlukan ransum 2848,32 kkalME/kg.
Kebutuhan energi hidup pokok kelinci pada kandang battery (K1)
dengan berat badan rata-rata 1442,36 g dan pertambahan berat badan 14,91 g/hari
adalah 147,85 kkal/hari setara dengan 108,31 kkalW0,75
dan kebutuhan energi
untuk pertumbuhan adalah 53,85 kkal/hari setara dengan 3,61 k.kal/g pbb
sehingga total kebutuhan energi menjadi 201,70 kkal/hari. Konsumsi ransum
rata-rata per hari kelinci jantan lokal pada kandang K1 adalah 0,047 kg/ekor/hari,
64
sehingga bila dikonversi kedalam kandungan energi ransum maka kelinci pada
K1 memerlukan ransum 2951,29 kkalME/kg.
5.2.11 Perhitungan kebutuhan protein
Protein dibutuhkan oleh ternak kelinci untuk hidup pokok dan
pertumbuhan. Hasil penelitian medapatkan bahwa kelinci jantan lokal yang
dipelihara pada kandang under ground shelter (K0) selama 84 hari
mengkonsumsi protein 814,76 g untuk meningkatkan 1460,38 g berat badannya
atau 10,89 g protein setiap hari untuk meningkatkan berat badan 17,39 g/hari.
Dari 10,89 g protein yang dikonsumsi setiap hari, sebanyak 3,97 g disimpan
dalam tubuh dan sisanya hilang melalui feses dan digunakan atau dimetabolis
sebagai sumber energi. Berdasarkan perhitungan didapatkan bahwa kelinci jantan
lokal, pada kandang K0 umur 5 – 17 minggu dengan berat badan 1652,00 g dan
pertambahan berat badan 17,39 g/hari membutuhkan protein untuk hidup pokok
5,62 g/hari setara dengan 3,88 gW0,75
dan protein untuk tumbuh 5,27 g/hari setara
dengan 0,31 g/g pbb sehingga total kebutuhan proteinnya 10,89 g/hari. Bila
dikonversi ke dalam ransum, maka ransum kelinci jantan lokal umur 5 – 17
minggu dengan konsumsi 62,07 g/hari sebaiknya mengandung protein 17,10%.
Hasil penelitian medapatkan bahwa kelinci jantan lokal yang dipelihara
pada kandang battery (K1) selama 84 hari mengkonsumsi protein 940,80 g
untuk meningkatkan 1317,75 g berat badannya atau 11,20 g protein setiap hari
untuk meningkatkan berat badan 15,69 g/hari. Dari 11,20 g protein yang
dikonsumsi setiap hari, sebanyak 2,57 g/hari disimpan dalam tubuh dan sisanya
hilang melalui feses dan digunakan atau dimetabolis sebagai sumber energi.
Berdasarkan perhitungan didapatkan bahwa kelinci jantan lokal, pada kandang
K0 umur 5 – 17 minggu dengan berat badan 1508,50 g dan pertambahan berat
badan 15,69 g/hari membutuhkan protein untuk hidup pokok 7,75 g/hari setara
dengan 5,81 gW0,75
dan protein untuk tumbuh 3,45 g/hari setara dengan 0,22 g/g
pbb sehingga total kebutuhan proteinnya 11,20 g/hari. Bila dikonversi ke dalam
ransum, maka ransum kelinci jantan lokal umur 5 – 17 minggu dengan konsumsi
68,58 g/hari sebaiknya mengandung protein 16,24%.
65
BAB 6 SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang respon biologi serta
perhitungan kebutuhan energi dan protein ternak kelinci jantan lokal di daerah
dataran rendah tropis, pada musim hujan dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Kondisi iklim mikro pada kandang under ground shelter lebih
mendekati kondisi nyaman daripada kandang battery.
2. Respon biologi (fisiologi, hematologi, performans dan karkas) kelinci
jantan lokal yang dipelihara pada kandang under ground shelter lebih
baik daripada kandang battery.
3. Perlakuan kandang dan ransum berbeda belum berpengaruh terhadap
jumlah mikroba pada sekum dan kolon ternak kelinci jantan lokal.
4. Respon biologi kelinci yang diberikan ransum dengan kandungan
energi metabolis 2603,45 kkal/kg dan protein kasar 17,01% lebih baik
daripada energi termetabolis 2801,81 kkal/kg dan protein kasar
18,50%; energi termetabolis 2401, 17 kkal/kg dan protein kasar
15,50% serta energi termetabolis 2201, 15 kkal/kg dan protein kasar
14,83%.
5. Kebutuhan energi untuk hidup pokok kelinci jantan lokal yang
dipelihara pada kandang battery lebih tinggi daripada kandang under
ground shelter (147,85 kkalW0,75
/hr vs 73,47 kkalW0,75
/hr).
6. Kebutuhan energi untuk pertumbuhan kelinci jantan lokal yang
dipelihara pada kandang battery lebih rendah daripada kandang under
ground shelter (3,41 kkal/g pbb vs 4,15 kkal/g pbb).
7. Kebutuhan protein untuk hidup pokok kelinci jantan lokal yang
dipelihara pada kandang battery lebih tinggi daripada kandang under
ground shelter ( 5,81 gW0,75
/hr vs 3,88 gW0,75
/hr).
8. Kebutuhan protein untuk pertumbuhan kelinci jantan lokal yang
dipelihara pada kandang battery lebih rendah daripada kandang under
ground shelter ( 0,22 g/g pbb vs 0,31 g /g pbb).
9. Berdasarkan kesetimbangan energi dan protein dapat diduga kelinci
yang dipelihara pada kandang battery memerlukan ransum dengan
66
kandungan energi termetabolis 2951,29 kkal/kg dan protein kasar
16,24%, sedangkan kandang under ground shelter memerlukan
ransum dengan kandungan energi termetabolis 2848,32 kkal/kg dan
protein kasar 17,10%
6.2 Saran
Berdasarkan hasi-hasil penelitian yang diperoleh dapat disarankan sebagai
berikut: Peternak kelinci di daerah dataran rendah tropis disarankan
menggunakan kandang under ground shelter dan memberikan ransum dengan
kandungan ransum dengan kandungan energi termetabolis 2800 kkal/kg dan
protein kasar 17%. Peternak yang menggunakan kandang battery disaran untuk
melakukan modifikasi factor lingkungan dengan cara evaporative colling, atap
kandang berbentuk monitor atau menggunakan kipas angin.
67
DAFTAR PUSTAKA
Alhaidary A., H.E. Mohamed and A.C. Beynen. 2010. Impact of dietary fat type
and amount on growth performance and serum cholesterol in rabbits.
American Journal of Animal and Veterinary Sciences 5(1): 60-64.
Association of Official Analytical Chemist. 1984. Official Methode of Analysis
Vol.2 Ed. 15. Washington.
Ayyat, M.S., K.A. Yamani, S.M. Bassmy, K.M. El-Gendy and M.A Abdalla.
2009. A Study on Using Different Energy Level for Growing Rabbit in
Egypt. Faculty of Agriculture, Zagazig University, Egypt.
Behring, D. 2000. Hematologi and Hemostasis.
http://www.irvingcrowley.com/cls/hemo.htm. Disitir Tanggal 22 Pebruari
2012.
BMKG. 2012. Informasi Cuaca, Iklim dan Gempa Bumi Provinsi Bali. Bulletin.
Tahun III No. 09 September 2012. Balai Besar Meteorologi Klimatologi
dan Geofisika Wilayah III, Denpasar.
Carvera, C and J.F. Carmona. 1998. Climatic Environment. . In. The Nutrition of
the Rabbit. Ed. C. de Blas and J.Wiseman. CABI Publishing, New York.
De Blass, C and J. Wiseman. 1998. The Nutrition of the Rabbit. CABI
Publishinr. University of Nottingham. Nottingham. P.39-55.
Dong, T.K. N., N. Van Thu and T.R. Preston. 2010. Effect of Dietery Protein
Supply on the Reproductive Performance of Crossbred Rabbits. Cantho
University, Cantho City, Vietnam.
El-Hindawy, M.M. K.A.O. Yamani, M.I. Tawfeek and B.M. Khashaba. 2009.
Performance of Weanling Rabbits as Affected by Energy Level and
Inclusion of Biobiotics in the Diet. http:// www.med well
journals.com/full tex/? Doi.rjbsci.1110.1112. Disitir Tanggal 7 Maret
2012.
Kasa, I.W. and C.J. Thwaites. 1993. The effect of imfra-red radiation on rectal,
skin and hair-tip temperatures of rabbits. World Rabbit Science (1993), 1
(4), 133-138.
Leeson, S. 1986. Nutritional considerations of poultry during heat stress. Poultry
Sci. 42 : 69-81.
68
Lick, N.Q. and D.V. Hung. 2008. Study and Design the Rabbit Coop Small-
Scale Farm in Central of Vietnam. Departemen of Agriculture
Engineering, Hue University of Agriculture and Forestry. Vietnam.
Linder, M.C. 1992. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme. Penerbit Universitas
Indonesia, Jakarta. P. 89-90.
Lukefahr, S.D., W.D. Hohenboken, P.R. Cheeke, N.M. Patton and W.H. Kennick.
1981. Carcass and meat characteristics of flemish giant and new zealand
white purebreed and terminal-crossbred rabbits. Journal Of Appl. Res.
4(3): 66 -72.
Marai, I.F.M., A.A.M. Habeeb, A.E. Gad. 2002. Rabbits Productive,
Reproductive and Physiological Performance Traits as Affected by Heat
Stress. Departement of Animal Production, Faculty of Agiculture,
Zagazig University, Zagazig, Egyt.
Mbanya, J.N., B.N. Ndoping, J.M. Mafeni, D.W.Fomunyam. 2010. The Effect of
Different Protein Source and Their Combination on the Performance of
Growing Rabbit in Tropical Conditions.
http://www.Irrd.org/irrd17/3/mban17032.htm. Disitir Tanggal 24 Juli
2010.
Mc.Nitt, J.I., N.M. Nephi, S.D. Lukefahr and P.R. Cheeke. 1996. Rabbit
Production. Interstate Publishers, Inc.p. 78-109.
Mount, L. E. 1979. Adaptation to Thermal Environment, Man and His Productive
Animal. Edward Arnold Publishing, London.
Noor, Z. 1990. Biokimia Nutrisi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi,
Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. P.7-26.
NRC. 1977. Nutrient Requirement of Rabbits. National Academy of Sciences,
Washington.
Nugraha, K.A. 2010. Laboratorium Klinik: Pemeriksaan Darah (Blood Analysis).
http://Komitekeperawatanrsdsoreang.blogspot.com/2010/02/laboratorium-
klinik-pemeriksaan-darah/html. Disitir Tanggal 12 Nopember 2010.
Nuriyasa, I.M., E. Puspani, I.G.N. Sumatra, P.P. Wibawa, I.M. Mudita. 2010.
Peningkatan efisiensi produksi ayam petelur melalui peningkatan
kenyamanan kandang di desa Bolangan.. Jurnal Udayana Mengabdi vol
(9), No (2): 55-58
69
Nuriyasa, I.M. 2013. Iklim Mikro dan Respon Hematologi Kelinci Lokal (Lepus
nigricollis) pada Jenis Lantai Berbeda. Majalah Ilmiah Peternakan Vol 15
(1) : 11-15
Ogunjimi, L.A.O., S.O. Oseni and F.Lasisi. 2008. Influence of Temperature-
Humidity Interaction on Heat and Moisture Production in Rabbit.
Department of Agricultural Engineering, Obafemi Awolowo University,
Nigeria.
Parigi Bini and R., G. Xiccato. 1998. Energy Metabolism and Requirements. In.
The Nutrition of the Rabbit. Ed. C. de Blas and J.Wiseman. CABI
Publishing, New York.
Partridge, G. G., P.H. Garthwaite, M. Findlay. 1989. Protein and energy
retention by growing rabbits offered diets with increasing proportions of
fibre. Journal of Agriculture Science, Cambridge (112): 171 – 178.
Praga, M.J. 1998. Protein Requirment. In the Nutrition of the Rabbit. Ed.C. de
Blas and J. Wiseman. CABI Publishing, New York. P 133-143.
Salma, U., A.G. Miah, Y. Akter, Z.H. Khandaker and A.Reza. 2004. Effect of
different of protein suplementation on reproductive performance of rabbit
does under tropical condition. International Journal of Agriculture
&Biology. (5): 123- 127.
Sartika, T. dan Y.C. Raharjo. 1991. Pengaruh Berbagai Tingkat Serat Kasar
terhadap Penampilan, Persentase Karkas pada Kelinci Rex. Proceedings.
Seminar Nasional Usaha Peningkatan Peternakan dan Perikanan. Vol.1.
Bidang Peternakan. Badan Penerbit Univ. Diponogoro, Semarang.
Scott, M.L.,M.C. Nesheim and R.J. Young. 1982. Nutrition of the Chickens
Second Ed. M.L. Scott and Associates Ithaca, New York.
Steel, R.G.D. and J.H. Torrie. 1980. Prinsip dan Prosedur Statistika. Suatu
Pendekatan Biometrik, Edisi kedua. Diterjemahkan Oleh Sumantri.
Gramedia. Jakarta.
Tillman, A.D., H. Hartadi, S Reksohardiprojo, P. Soeharto dan L. Soekamto.
1986. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gajah Mada University Press.
Yogyakarta.
Thwaites, C.J., N.B. Bailllie and W. Kasa. 1990. Effect of dehydration on the
heat tolerance of male and famale new zealand white rabbits. Journal of
Agricultural Science. Cambridge (1990), 115: 437-440.
70
Suradi, K. 2005. Potensi dan Peluang Teknologi Pengolahan Produk Kelinci.
Prosiding Loka karya Nasional, Potensi dan Peluang Pengembangan
Usaha Kelinci, Bandung 30 September 2005.
Suc,Q., N. D.V. Binh,L.T.T. Ha and T.R. Preston. 1996. Effect of Houshing
System (Cage versus Underground Shelter) on Performance of Rabbits on
Farm. Finca Ecologica, University of Agriculture and Forestry
.http://www.Irrd.org/Irrd8/4/cont 84.htm
USDA. 2009. Rabbit Protein. http://www.mybunnyfarm.com/rabbitprotein/
Xiangmei, G. 2008. Rabbit Feed Nutrition Study for Intensive, Large-Scale Meat
Rabbit Breeding. Qingdao Kangda Food Company Limited, China.
http://www.mekarn.org/prorab/guan.htm. Disitir Tanggal 18 Nopember
2010.
Xiccato, G. M.Bernardini, C.Castellini, A. Dalle Zotte, P.I. Queaque and
A.Trocino.1999. Effect of postweaning feeding on the performance and
energy alance of famale rabbits at different physiological. States. Journal
of Animal Science, Vol. 77 (2) : 416-426.
Yan, Y. and M., Li. 2008. Feeding Management and Technology of Breeding
Rabbit in Hot Climate. Qingdao Kanada Food Company Limited Kanada
Group, Qingdao, 266400, [email protected].
Yates, D. 1987. The Energy Budget Concept. Bahan Training Dosen Perguruan
Tinggi Negeri Indonesia Bagian Barat dalam Bidang Agroklimatologi,
IPB, Bogor.
71
Lampiran 1.
CATATAN KEGIATAN HARIAN PENELITIAN
HIBAH PERGURUAN TINGGI TAHUN 2014
Judul: RETENSI ENERGI DAN PROTEIN DALAM TUBUH KELINCI
LOKAL (Lepus nigricollis) PADA FAKTOR LINGKUNGAN BERBEDA
No Tanggal Kegiatan Tempat/Lokasi Keterangan
1 23
November
2014
Persiapan bangunan
kandang: perbaikan
dinding, atap dan
pembersihan bangunan
kandang.
Desa Dajan
Peken, Tabanan
Kandang penelitian sudah
bersih dan tidak ada
kebocoran pada atap dan tidak
ada kerusakan pada dinding
kandang
2 24
November
2014
Perbaikan petak
kandang battery:
-Membeli 6 rol kawat
lapis plastik
-Membeli 1 rol kawat
kasa
-Membeli 5 buah kayu
usuk 3x5 Cm
-Membeli 4 buah kayu
usuk 4X6 Cm
-Membali 1 pak reng
-Membeli paku: 10 cm,
7 cm, 5 cm, 2,5cm
Toko Bangunan
Oka Agung Jln
Diponogoro,
Tabanan
Bahan pembuatan kandang
battery telah tersedia
3 25 – 27
November
2014
Perbaikan Kandang
Battery dengan
melibatkan tiga tukang
bangunan
Desa Dajan
Peken, Tabanan
Kandang battery tersedia
4 28
November
2014
Persiapan perbaikan
kandang under ground
shelter:
-Membeli 1 colt pasir
-Membeli 50 batako
-Membeli 50 batu bata
-Membeli 2 sak semen
-Membeli 8 buah usuk
3x5 cm
-Membeli 1 pak kayu
reng
Toko Bangunan
Oka Agung Jln
Diponogoro,
Tabanan
Bahan perbaikan kandang
under ground shelter telah
tersedia
5 29-30
November
2014
Perbaikan Kandang
under ground shelter
dengan melibatkan tiga
tukang bangunan
Desa Dajan
Peken, Tabanan
Kandang under ground
shelter tersedia
72
6 1
Desember
2014
Membeli 40 buah
ransum dan air minum
yang terbuat dari
tempurung kelapa
sebagai pengganti
tempat pakan dan air
minum yang rusak
Pasar burung
Tabanan
Tempat pakan dan air minum
kelinci tersedia
7 1
Desember
2014
Mencuci tempat pakan
dan air minum dengan
deterjen, menjemur
tempat pakan dan air
pada terik matahari
Kandang
Penelitian
Tempat pakan dan air minum
siap dipergunakan
8 2
Desembar
2014
Pemasangan lampu
penerangan dalam
kandang penelitian
Desa Dajan
Peken, Tabanan
Penerangan dalam kandang
penelitian sudah terpasang.
9 2
Desember
2014
Memasang tempat
pakan dan air minum
pada masing-masing
petak kandang
Kandang
penelitian, Desa
Dajan Peken,
Tabanan
Tempat pakan dan air telah
terpasang pada petak kandang
10 3
Desember
2014
Pembelian bahan
penyusun ransum
Toko Pertanian
Nurcita, Jl
Sriwijaya No 25
Tabanan, Bali
Bahan penyusun ransum
penelitian sudah ada.
11 3
Desember
2014
Membeli rumput gajah
200 kg
Desa Sobangan,
Mengwi
Rumput gajah tersedia
12 4
Desember
2014
Mencingcang ruput
gajah, menggiling dan
menjemur di terik
matahari
Kandang
Penelitian, Desa
Dajan Pekan,
Tabanan
Tepung rumput gajah sudah
tersedia
13 5
Desember
2014
Menumbuk dan
menyaring bungkil
kelapa, Menyangrai
kedelai lalu menggiling
biji kedelai menjadi
tepung.
Desa Dauh Pala,
Tabanan
Tepung kacang kedelai
tersedia
14 5-7
Desember
2014
Analisa proksimat bahan
ransum
Lab. Ilmu Nutrisi
dan Teknologi
Pakan, IPB,
Bogor
Kandungan nutrien bahan
penyusun ransum kelinci
sudah diketahui
15 7
Desember
2014
Memperbaiki dan
membersihkan mesin
pembuatan pellet
ransum kelinci
Br. Pande, Desa
Dajan Peken,
Tabanan
Mesin pembuatan pellet telah
siap dipergunakan.
73
16 7–9
Desember
2014
Menyusun formulasi
ransum dan membuat
dan menjemur ransum
dalam bentuk pellet.
Desa Dajan
Peken, Tabanan
Ransum penelitian sudah
tersedia
17 9-11
Desember
2014
Pre treatment pakan
dalam bentuk pellet
pada kelinci yang akan
dipakai penelitian
Kandang
penelitian, Desa
Dajan Peken,
Tabanan
Kelinci sudah terbiasa makan
makanan kelinci dalam
bentuk pelet
18 11
Desember
2014
Meminjam alat alat
untuk pengukuran data
iklim mikro
Lab Klimatologi,
Fak Peternakan,
Unud
Alat-alat pengukur iklim
mikro sudah tersedia
19 11
Desember
2014
Desinfektan kandang
penelitian
Kandang
penelitian, Desa
Dajan Peken
Kandang sudah terdesinfektan
20 12
Desember
2014
Membeli 50 ekor kelinci
jantan lepas sapih
Desa Riang
Gede Tabanan
Kelinci penelitian tersedia
21 13
Desember
2014
Mempersiapakan
peralatan yang
diperlukan dalam
pengacakan kelinci Label/ kode
kandang sesuai
dengan
perlakuan Menyiapkan
form data
pengamatan
Kandang
penelitian, Desa
Dajan Peken,
Tabanan
Sarana dan prasarana
pengacakan kelinci sudah siap
22 14
Desember
2014
Penelitian dimulai: Penimbangan
berat badan
untuk keperluan
pemblokan
berdasarkan
berat badan Penempatan
kelinci pada
petak kandang
penelitian
Penimbangan
jatah pemberian
pakan kelinci
Kandang
penelitian, desa
Dajan Peken,
Tabanan
Penelitian sudah dimulai
74
Pengukuran air
minum yang
diberikan
23 14
Desember
2014
Melakukan pemotongan
kelinci pada awal
penelitian untuk
mendapatkan retensi
energi dan protein pada
awal penelitian.
Kandang
penelitian, Desa
Dajan Peken
Tabanan
Sampel tubuh kelinci pada
awal penelitian sudah tersedia
24 10 Juli
2014
Mengirim sampel tubuh
kelinci pada akhir
penelitian ke IPB Bogor
Lab. Ilmu Nutrisi
dan Teknologi
Pakan, IPB,
Bogor, Jawa
Barat
Sampel tubuh kelinci pada
awal penelitian sudah
dianalisis
25 28
Desember
2014
Pengamatan data setelah
dua minggu penelitian
(kelinci umur 7 minggu)
Kandang
penelitian, Desa
Dajan Peken
Tabanan
Data iklim mikro, respon
biologi, kelinci umur 7
minggu didapatkan
26 4
Desember
2014
Pengamatan data setelah
empat minggu penelitian
(kelinci umur 9 minggu)
Kandang
penelitian, Desa
Dajan Peken
Tabanan
Data iklim mikro, respon
biologi, kelinci umur 9
minggu didapatkan
27 18
Desember
2014
Pengamatan data setelah
enam minggu penelitian
(kelinci umur 11
minggu)
Kandang
penelitian, Desa
Dajan Peken
Tabanan
Data iklim mikro, respon
biologi, kelinci umur 11
minggu didapatkan
28 25 Januari
2014
Pengamatan data setelah
delapan minggu
penelitian (kelinci umur
13 minggu)
Kandang
penelitian, Desa
Dajan Peken
Tabanan
Data iklim mikro, respon
biologi, kelinci umur 13
minggu didapatkan
29 8 Pebruari
2014
Pengamatan data setelah
sepuluh minggu
penelitian (kelinci umur
15 minggu)
Kandang
penelitian, Desa
Dajan Peken
Tabanan
Data iklim mikro, respon
biologi, kelinci umur 15
minggu didapatkan
30 22
Pebruari
2014
Pengamatan data setelah
12 minggu penelitian
(kelinci umur 17
minggu)
Kandang
penelitian, Desa
Dajan Peken
Tabanan
Data iklim mikro, respon
biologi, kelinci umur 17
minggu didapatkan
31 23
Pebruari
2014
Pemotongan kelinci
pada akhir penelitian
Kandang
Penelitian, Desa
Dajan Peken
Sampel tubuh kelinci pada
akhir penelitian tersedia
32 23
Pebruari
2014
Pengambilan sampel
darah untuk pengamatan
hematogi darah kelinci
Kandang
Penelitian, Desa
Dajan Peken
Sampel darah kelinci tersedia
yang tersimpan dalam box es.
33 24 Melakukan kegiatan Kandang Kandang penelitian sudah
75
Pebruari
2014
pembersihan pada
kandang penelitian
Penelitian, Desa
Dajan Peken
bersih kembali
34 24
Pebruari
2014
Mengirim sampel darah
ke lab Bina Medika
Denpasar Sampel darah sudah dianalisis
35 25
Pebruari
2014
Mengirim sampel tubuh
kelinci ke IPB Bogor
Lab. Ilmu Nutrisi
dan Teknologi
Pakan, IPB,
Bogor, Jawa
Barat
Sampel tubuh kelinci pada
akhir penelitian sudah
dianalisis
36 26
Pebruari
2014
Menegembalikan alat-
alat pengukur iklim
mikro ke Lab
Klimatologi Fak.
Peternakan, Universitas
Udayana, Denpasar
Fak Peternakan,
Unud, Denpasar
Alat-alat Klimatologi sudah
dikembalikan
37 3 – 14
Maret
2014
Melakukan tabulasi dan
analisis data penelitian
Fakultas
Peternakan,
Unud, denpasar
Data penelitian sudah
teranalisis
38 15- 28
Maret
2014
Membuat laporan
Penelitian
Fakultas
Peternakan,
Unud, denpasar
Laporan penelitian sudah
selesai
Denpasar, 21 Oktober 2014
Ketua Tim Peneliti
Dr. Ir. I Made Nuriyasa, MS
NIP. 196202201987021001