210 /Ilmu Peternakan LAPORAN PENELITIAN UNGGULAN ...

78
1 Bidang Unggulan* : Ketahanan dan Keamanan Pangan Kode/Nama Rumpun Ilmu** : 210 /Ilmu Peternakan LAPORAN PENELITIAN UNGGULAN PERGURUAN TINGGI RETENSI ENERGI DAN PROTEIN DALAM TUBUH KELINCI LOKAL (Lepus nigricollis) PADA FAKTOR LINGKUNGA BERBEDA Dr. Ir. I Made Nuriyasa, MS (NIDN: 0020026203) Prof. Ir. I Made Mastika, MSc.,Ph.D (NIDN: 0007094702) Eny Puspani, SPt.,MSi (NIDN: 0004057911) FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS UDAYANA 2014 Dibiayai dari Dana RM Universitas Udayana dengan Surat Penugasan Penelitian No:104.29/UN14.2/PNL.01.03.00/2014 tanggal 3 Maret 2014

Transcript of 210 /Ilmu Peternakan LAPORAN PENELITIAN UNGGULAN ...

1

Bidang Unggulan* : Ketahanan dan Keamanan Pangan

Kode/Nama Rumpun Ilmu** : 210 /Ilmu Peternakan

LAPORAN PENELITIAN

UNGGULAN PERGURUAN TINGGI

RETENSI ENERGI DAN PROTEIN DALAM TUBUH KELINCI LOKAL

(Lepus nigricollis) PADA FAKTOR LINGKUNGA BERBEDA

Dr. Ir. I Made Nuriyasa, MS

(NIDN: 0020026203)

Prof. Ir. I Made Mastika, MSc.,Ph.D

(NIDN: 0007094702)

Eny Puspani, SPt.,MSi

(NIDN: 0004057911)

FAKULTAS PETERNAKAN

UNIVERSITAS UDAYANA

2014

Dibiayai dari Dana RM Universitas Udayana dengan Surat Penugasan Penelitian

No:104.29/UN14.2/PNL.01.03.00/2014 tanggal 3 Maret 2014

2

3

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI i

ABSTRAK 4

BAB 1 PENDAHULUAN 8

1.1 Latar Belakang……………………………………………… 9

1.2 Tujuan Umum………………………………………………. 9

1.3 Tujuan Khusus……………………………………………… 10

BAB 2 STUDI PUSTAKA 11

3.1 Iklim Mikro dan Produktivitas Ternak Kelinci…………….. 11

3.2 Kebutuhan Energi …………………………………………. 12

3.3 Kebutuhan Protein ………………………………………… 13

3.4 Imbangan Energi dan Protein Ransum…………………….. 15

3.5 Peta Jalan Penelitian……………………………………….. 16

BAB 3 TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

3.1 Tujuan Penelitian……………..……………………………. 17

2.3 Manfaat Penelitian...……………………………………….. 18

BAB 4 METODE PENELITIAN 18

4.1 Mekanisme dan Rancangan Penelitian Tahun II ………… 18

4.2 Tempat dan Lama Penelitian………………………………. 18

4.3 Kandang dan Ternak ……………………………………… 19

4.4 Variabel Penelitian…………………………………………. 19

4.4.1 Variabel Iklim Mikro…………………………………….. 19

4.4.2 Variabel Respon Biologi…………………………………. 21

4.4.2.1 Variabel Hematologi…………………………………… 21

4.4.2.2 Variabel Fisiologi………………………………………. 21

4.4.2.3 Variabel Performans……………………………………. 22

4.4.4 Karkas……………………………………………………. 23

4.4.5 Kecernaan………………………………………………… 23

4.4.6 Komposisi Mikroba Sekum dan Kolon………………….. 24

4.4.7 Variabel Komposisi Tubuh………………………………. 24

4.4.8 Keseimbangan Protein……………………………………. 25

4.4.9 Analisis Data……………………………………………… 26

BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN………………………………… 27

5.1 Hasil……………………………………………………….. 27

5.1.1 Iklim Mikro……………………………………………… 27

5.1.2 Respon Fisiologi………………………………………… 28

5.1.3 Respon Hematologi……………………………………… 29

5.1.4 Performans………………………………………………. 31

5.2 Pembahasan……………………………………………….. 39

5.2.1 Iklim Mikro Kandang…………………………………… 39

5.2.2 Respon Fisiologi………………………………………… 40

5.2.3 Respon Hematologi……………………………………… 41

5.2.4 Performan Kelinci………………………………………. 43

5.2.5 Mikroba dalam Sekum dan Kolon Kelinci……………… 47

5.2.6 Koefisien Cerna Ransum………………………………… 47

5.2.7 Karkas Kelinci…………………………………………… 47

4

5.2.8 Neraca Energi……………………………………………. 50

5.2.9 Neraca Protein…………………………………………… 52

5.2.10 Perhitungan Kebutuhan Energi………………………….. 53

5.2.11 Perhitungan Kebutuhan Protein…………………………. 54

BAB 6 SIMPULAN DAN SARAN…………………………………….. 55

6.1 Simpulan……………………………………………………. 56

6.2 Saran………………………………………………………... 57

DAFTAR PUSTAKA 58

LAMPIRAN 61

5

DAFTAR TABEL

No Tabel Halaman

3.1 Komposisi bahan penyusun ransum percobaan……………………… 17

3.2 Kandungan Nutrient ransum percobaan……………………………... 18

5.1 Iklim mikro pada kandang underground shelter dan battery…………

5.2 Iklim mikro pada kandang yang mendapat perlakuan ransum dengan

kandungan energi dan protein berbeda………………………………

27

5.3 Response fisiologi kelinci pada kandang underground shelter dan

battery………………………………………………………………... 28

5.4 Response fisiolgi kelinci yang mendapat perlakuan ransum dengan

kandungan energi dan protein berbeda………………………………. 28

5.5 Response hematologi kelinci pada kandang underground shelter dan

battery………………………………………………………………... 29

5.6 Response hematologi yang mendapat perlakuan ransum dengan

kandungan energi dan protein

berbeda………………………………………………………………..

29

5.7 Performans kelinci pada kandang underground shelter dan

battery………………………………………………………………... 31

5.8 Performans kelinci yang mendapat perlakuan ransum dengan

kandungan energi dan protein

berbeda……………………………………………………………….

31

5.9 Jumlah bakteri dan mikroba dalam sekum dan kolon kelinci yang

dipelihara pada kandang

berbeda………………………………………………………….........

32

5.10 Jumlah bakteri dan mikroba dalam sekum dan kolon kelinci yang

diberi perlakuan ransum

berbeda……………………………………………………………….

33

5.11 Kecernaan bahan kering, energi dan protein ransum oleh kelinci

pada kandang

berbeda……………………………………………………………….

33

5.12 Kecernaan bahan kering, energi dan protein ransum oleh kelinci

yang diberi ransum dengan kandungan energi dan protein

berbeda……………………..

34

5.13 Karkas kelinci yang dipelihara pada kandang

berbeda……………………………………………………………….. 35

5.14 Karkas kelinci yang diberi ransum dengan kandungan energi dan

protein

berbeda……………………………………………………………….

36

6

5.15 Keseimbangan energi dalam tubuh kelinci pada kandang

berbeda………………………………………………………………..

37

5.16 Keseimbangan energi dalam tubuh kelinci yang diberi ransum

dengan kandungan energi dan protein

berbeda………………………………………………………………..

38

5.17 Keseimbangan protein dalam tubuh kelinci pada kandang

berbeda……………………………………………………………….. 39

5.18 Keseimbangan protein dalam tubuh kelinci yang diberi ransum

dengan kandungan energi dan protein

berbeda………………………………………………………………..

39

7

DAFTAR LAMPIRAN

No Lampiran Halaman

1 Catatan

Harian………………………………………………………………

61

2 Penggunaan Anggaran 100%........................................................... 66

3 Journal

Internasional……………………………………………………..

68

4 Seminar

Nasional…………………………………………………………

69

5 Pengabdian Kepada Masyarakat………………………………. 70

6 Buku

Ajar…………………………………………………………….

71

7 Gambar

Penelitian…………………………………………………………

72

8

ABSTRAK

Standar kandungan energi dan protein dalam ransum yang

direkomendasikan oleh NRC (1977) dan McNitt et al. (1996) merupakan rata-rata

dari serangkaian penelitian yang dilakukan di daerah yang beriklim sub tropis.

Sampai saat ini, informasi hasil penelitian tentang kebutuhan energi dan protein

untuk hidup pokok dan pertumbuhan ternak kelinci lokal pada kondisi lingkungan

berbeda, pada musim kemarau dan hujan khususnya di daerah dataran rendah

tropis belum ada. Yates (1987) menyatakan bahwa musim merupakan faktor

pengendali iklim mikro kandang melalui keseimbangan radiasi matahari yang

diterima permukaan bumi. Kondisi lingkungan ternak diluar kebutuhan optimal,

berdampak pada peningkatan penggunaan energi dan protein untuk kebutuhan

hidup pokok dan menurunkan retensi energi dan protein (Xiccato et al., 1999).

Perbedaan kandungan energi dan protein ransum yang diberikan pada ternak

kelinci diharapkan dapat menyebabkan perbedaan pertumbuhan. Retensi energi

dan protein pada tubuh kelinci dari awal penelitian (umur 5 minggu)sampai akhir

penelitian (umur 17 minggu) merupakan indikasi tingkat pertumbuhan sebagai

respon perlakuan yang diberikan. Mengacu pada data retensi energi dan protein

yang didapat serta jumlah konsumsi ransum dalam DM dalam waktu yang sama

maka dapat ditentukan formulasi ransum dengan kandungan energi dan protein

yang lebih sesuai dengan kondisi lingkungan. Setelah penelitian pertama pada

musim kemarau selesai maka penelitian pada tahun kedua dilakukan dengan

metode yang sama namun dilakukan pada musim hujan sehingga akan didapatkan

formulasi ransum dengan kandungan energi dan protein yang lebih sesuai pada

musim berbeda (hujan dan kemarau).

Ternak kelinci jantan lokal (lepus nigricollis) yang dipelihara pada

musim, jenis kandang dan diberi ransum dengan kandungan energi dan protein

yang lebih sesuai dapat menampilkan potensi genetik secara optimal.

Pertumbuhan ternak kelinci yang tinggi disertai efisiensi penggunaan ransum

tinggi karena didukung oleh kesesuaian faktor lingkungan, dapat meningkatkan

pendapatan peternak. Kondisi ini akan mampu mendorong perkembangan

peternakan kelinci di masyarakat sehingga swasembada protein hewani

masyarakat Indonesia tahun 2014 dapat dicapai lebih awal.

_________________________________________________________________

Kata Kunci : Jenis kandang, musim hujan, energi dan protein, formulasi ransum

9

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penyediaan daging dari ternak sapi, kerbau, kambing, domba, babi, kuda

dan unggas belum mampu memenuhi swasembada pangan terutama protein

hewani asal ternak (Suradi, 2005). Pengembangan ternak penghasil daging

khususnya ruminansia mengalami kendala karena kepemilikan lahan peternakan

sempit dan ditambah laju alih fungsi lahan di Bali dan Indonesia secara umum

semakin tidak terbendung. Kelinci merupakan salah satu ternak alternatif yang

potensial untuk diversifikasi penyediaan sumber protein hewani. Target

swasembada protein hewani pada tahun 2014 akan tercapai bila program

pembangunan peternakan sudah didukung oleh political will dan good will

pemerintah. Disamping itu, prioritas program diarahkan pada jenis ternak yang

cepat menghasilkan, efisien dalam menggunakan ransum, tidak memerlukan

modal yang besar serta membutuhkan lahan relatif sempit. Lick dan Hung

(2008) menyatakan bahwa satu sumber daya ternak yang mampu memenuhi

kreteria tersebut adalah ternak kelinci.

Dibalik sifat unggul yang dimiliki kelinci terdapat kelemahan yaitu ternak

kelinci peka terhadap faktor lingkungan. Hasil penelitian Nuriyasa (2013)

mendapatkan bahwa kelinci yang dipelihara pada kandang underground shelter

mengasilkan iklim mikro dan respon hematologi lebih baik daripada kandang alas

semen dan kandang battery. Peningkatan produktivitas ternak kelinci melalui

perbaikan faktor lingkungan sudah sepantasnya mendapat perhatian lebih atau

minimal sejajar dengan faktor pengendali produktivitas yang lain. Pernyataan

tersebut cukup beralasan dan rasional berdasarkan beberapa pertimbangan

sebagai berikut:

1. Ternak kelinci termasuk jenis hewan homeotherm. Kelinci akan

senantiasa mempertahankan temperatur tubuh tetap konstan (kisaran

yang sempit) walaupun lingkungan sudah berubah pada kisaran yang

cukup ekstrim. Sebagai konsekuensi dari proses adaptasi, terjadi

pemborosan energi untuk hidup pokok sehingga mengurangi efisiensi

penggunaan ransum.

10

2. Indonesia termasuk beriklim tropika basah, dengan temperatur berkisar

21,87 oC sampai 31.13

oC dan kelembaban udara berada pada rentang

79% - 86% (BMKG, 2012) yang sesungguhnya kurang ideal untuk

pengembangan ternak kelinci, terlebih lagi pada daerah dataran rendah.

Menurut Yan dan Li (2008) ternak kelinci memerlukan temperatur

nyaman 20 oC

3. Imbangan energi dan protein ransum sangat penting diperhatikan untuk

menghasilkan performans produksi maksimal (Xiangmei, 2008).

Kebutuhan imbangan energi dan protein ransum kelinci pada kondisi

cekaman panas akan berbeda dibandingkan pada kondisi nyaman

(Leeson, 1986).

4. Kesalahan dalam menentukan imbangan energi dan protein ransum serta

penggunaan jenis kandang yang tidak sesuai untuk daerah dataran

rendah tropis, akan menambah beban panas (heat increament) pada

kelinci. Isu pemanasan global semakin menambah kekawatiran terhadap

tingkat kenyamanan kandang di daerah dataran rendah tropis

Ke empat argumentasi di atas cukup beralasan untuk melakukan

pembenahan faktor lingkungan yang mengarah penciptaan kondisi iklim

mikro dalam kandang yang lebih nyaman, pemberian ransum sesuai kebutuhan

ternak dan efisiensi produksi lebih tinggi.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas maka beberapa permasalahan dapat

dirumuskan sebagai berikut :

1. Seberapa besarkah perbedaan iklim mikro pada kandang battery dan

kandang under ground shelter di daerah dataran rendah tropis pada musim

hujan?

2. Bagaimanakah respon biologi (variabel fisiologi, hematologi, performans

dan karkas) kelinci jantan lokal (umur 5 - 17 minggu) yang diberi ransum

dengan kandungan energi dan protein serta jenis kandang dan musim

hujan?

3. Bagaimanakah komposisi mikroba dalam sekum dan kolon ternak kelinci

yang dipelihara pada kodisi lingkungan berbeda saat musim hujan?.

11

4. Bagaimanakah kebutuhan energi dan protein kelinci jantan lokal (umur

5 – 17 minggu) pada jenis kandang berbeda, saat musim hujan?

1.3 Tujuan Umum

1. Mengetahui kondisi iklim mikro kandang kelinci berbeda pada musim

hujan.

2. Mengetahui respon biologi kelinci jantan lokal pada kondisi lingkungan

berbeda saat musim hujan?

3. Mengetahui komposisi mikroba dalam sekum dan kolon kelinci jantan

lokal kondisi lingkungan berbeda saat musim hujan?

4. Mengetahui formulasi ransum terbaik yang dapat menghasilkan

performan kelinci paling tinggi.

1.4. Tujuan khusus

1. Mengetahui kebutuhan energi untuk hidup pokok dan energi untuk

pertumbuhan ternak kelinci jantan lokal yang dipelihara pada jenis kandang

dan musim hujan.

2. Mengetahui kebutuhan protein untuk hidup pokok dan protein untuk

pertumbuhan ternak kelinci jantan lokal yang dipelihara pada jenis kandang

berbeda saat musim hujan.

3. Membuat formulasi ransum yang lebih sesuai dengan kondisi lingkungan di

daerah dataran rendah tropis dan lebih khususnya pada jenis kandang berbeda

saat musim hujan.

1.6. Urgensi (Keutamaan Penelitian)

Keuntungan potensial yang bisa didapat dari pemeliharaan kelinci adalah

memperluas variasi jenis makanan, mendapatkan penghasilan tambahan,

menambah lapangan kerja dan meningkatkan produksi daging berkualitas tinggi.

Peningkatan pendapatan per kapita masyarakat yang disertai dengan kemajuan

teknologi serta informatika menyebabkan masyarakat lebih selektif dalam

memilih daging untuk dikonsumsi. Daging dengan protein tinggi dan rendah

kolesterol biasanya menjadi prioritas pilihan (USDA, 2009).

Dibalik keunggulan ternak kelinci terdapat sedikit kendala yaitu ternak

kelinci sensitif terhadap perubahan faktor lingkungan (iklim mikro kandang).

Menurut laporan BMKG (20012), Indonesia termasuk daerah yang beriklim

12

tropika basah mempunyai temperatur berkisar 21,87 oC sampai 31.13

oC dan

kelembaban udara berkisar 79% - 86% . Yan dan Li (2008) menyatakan bahwa

suhu nyaman bagi ternak kelinci adalah 20 oC. Bila suhu kandang lebih tinggi

dari 270C berlangsung dalam periode lama akan mengakibatkan penurunan

produktivitas ternak kelinci. Penelitian ini diharapkan dapat menjawab jenis atau

model kandang pada musim berbeda yang dapat mengurangi tingkat cekaman

panas ternak kelinci di daerah dataran rendah tropis.

Sampai saat ini standar kebutuhan nutrient ternak kelinci yang dipakai

acuan oleh peternak dan penyuluh peternakan adalah standar Scott et al. (1982),

NRC (1977) dan McNitt et al. (1996) dimana standar tersebut berasumsi bahwa

ternak berada dalam keadaan nyaman tanpa memperhitungkan kondisi

lingkungan. Pemanfaatan energi pada tubuh ternak sangat dipengaruhi oleh

kondisi iklim mikro (Nuriyasa et al., 2010) serta imbangan energi dan protein

ransum (Xiangmei, 2008). Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat menentukan

kandungan energi dan protein yang seharusnya terdapat dalam ransum pada jenis

kandang dan musim berbeda di daerah dataran rendah tropis.

13

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Iklim Mikro dan Produktivitas Ternak Kelinci

Pengaruh secara langsung dari faktor iklim pada hewan berdarah panas

(homeotherm) termasuk ternak kelinci sesungguhnya terpusat pada sistem

homeostatis (Mount, 1979). Homeostatis pada ternak kelinci dilakukan dengan

proses termoregulasi yaitu usaha untuk menyeimbangkan panas yang diproduksi

dengan panas yang dilepas melaui proses konduksi, konveksi, radiasi dan

evaporasi (Behring, 2000). Suc et al. (1996) mendapatkan bahwa sistem

pemeliharaan ternak kelinci dengan lantai tanah yang dilengkapi dengan lubang

berlindung (under ground shelter) menyebabkan temperatur udara rata-rata dalam

lubang berlindung adalah 25,9 oC dan kelembaban udara 80,4% sedangkan

temperatur udara dengan kandang battery adalah 29,4 oC dan kelembabab udara

75,9%.

Temperatur ideal ternak kelinci adalah 15 0C sampai 20

0C. Apabila

temperatur kandang lebih tinggi dari 27 0C dan berlangsung lama akan

mengakibatkan penurunan produksi dan reproduksi ternak. Pemeliharaan ternak

kelinci pada temperatur kandang di atas 32 0C juga dapat mengganggu kesehatan

kelinci dan menyebabkan meningkatnya angka mortalitas (Sosroamidjoyo,1984).

Menurut Cervera dan Carmona (1998) ternak kelinci sampai berumur 80 hari

memerlukan temperatur optimum berkisar antara 15 0C sampai 25

0C . Kelinci

mulai merasa stres panas pada temperatur kandang 30 oC dan temperatur rektal 27

oC. Pada kondisi ini kelinci melepaskan panas dengan cara gasping . Pada saat

gasping kebutuhan energi pada ternak kelinci meningkat namun tidak selinier

pada saat mengalami cekaman dingin (hypothermia). Pada kondisi cekaman

panas kelinci menurunkan konsumsi ransum, kebutuhan energi untuk hidup pokok

meningkat sehingga energi yang dapat dipakai untuk tujuan produksi menurun.

Thwaites et al. (1990) mendapatkan kelinci yang dipelihara pada temperatur 34 oC

menyebabkan temperatur rektal 40,2 oC dan pada temperatur 36

oC temperatur

rektalnya 40,7 oC. Penelitian yang sama juga mendapatkan, laju respirasi pada

kelinci yang dipelihara pada temperatur 34 oC adalah 69 kali/menit sedangkan

pada temperatur 36 oC adalah 82.9 kali/menit.

14

Hasil Penelitian Yan dan Li (2008) mendapatkan bahwa peningkatan

temperatur lingkungan dari 20 oC menjadi 35

oC menyebabkan frekuensi

pernafasan meningkat dari 40 kali per menit menjadi 200 kali per menit.

Walaupun kelinci dapat bertahan hidup sampai temperatur lingkungan 43 oC ,

namun peningkatan temperatur lingkungan dari kisaran nyaman akan sangat

menggangu kesehatan kelinci. Mortalitas mulai meningkat bila temperatur

lingkungan mencapai 35 oC. Pada temperatur lingkungan tinggi, konsumsi

ransum ternak kelinci turun sampai 30-50%. Pada kondisi tersebut akan sangat

membahayakan bagi kesehatan induk dan anak-anaknya.

Ogunjimi et al. (2008) menyatakan bahwa jumlah panas dan uap air yang

diproduksi dari tubuh ternak kelinci sangat dipengaruhi oleh temperatur dan

kelembaban udara. Besaran temperatur dan kelambaban udara akan menentukan

kenyamanan ternak yang terindikasi oleh Temperature Humidity Index (THI).

Makin tinggi nilai THI maka ternak kelinci mengalami tingkat cekaman panas

makin tinggi dan terjadi penurunan produktivitas yang disebabkan oleh

menurunnya retensi energi.

Suc et al. (1996) menyatakan pemeliharaan kelinci pada temperatur lebih

tinggi dari kebutuhan optimum (kondisi hipertermia) dapat menurunkan

pertambahan berat badan melalui penurunan jumlah ransum yang dikonsumsi.

Penurunan jumlah konsumsi ransum ini merupakan bentuk adaptasi ternak untuk

mengurangi cekaman panas pada ternak. Pertambahan berat badan kelinci pada

lama pemeliharaan 112 hari dan temperatur udara dalam kandang 18 - 20 oC

dapat mencapi 3 kg, sedangkan pada temperatur udara dalam kandang berkisar 30

- 31 oC menghasilkan pertambahan berat badan hanya 2,5 kg.

2.2. Kebutuhan Energi

McNitt et al. (1996) menyatakan kebutuhan energi pada ternak kelinci

dapat pula dinyatakan dalam DE disamping ada pula beberapa peneliti memakai

dasar perhitungan ME. Parigi Bini dan Xiccato (1998) menyatakan bahwa dasar

perhitungan kebutuhan energi ternak kelinci dalam bentuk ME dapat dicari

dengan mengalikan DE dengan bilangan konstanta (k). Beberapa peneliti

mendapatkan nilai k yang sama yaitu 0,95 diantaranya : de Blas et al. (1985);

Parigi Bini dan Xiccato (1986); Partridge et al. (1989); Xiccato et al. (1995).

15

Karbohidrat dan lemak merupakan sumber energi bagi ternak kelinci.

Karbohidrat terpenting pada ternak kelinci adalah pati dan selulosa. Pati akan

dirubah menjadi glukosa melalui proses metabolisme yang selanjutnya digunakan

sebagai sumber energi. Sebagian selulosa mampu dicerna oleh kelinci karena

memiliki mikroorganisme dalam sekum dan kolon sebagai fermentor serat kasar.

Seperti karbohidrat, lemak juga sebagai sumber energi dengan kandungan energi

2,5 kali lebih banyak daripada karbohidrat (McNitt et al., 1996).

Parigi Bini dan Xiccato (1998) menyatakan energi untuk hidup pokok

yaitu kebutuhan energi pada saat tidak ada retensi energi (RE = 0) sangat

dipengaruhi oleh ukuran tubuh. Kelinci ukuran sedang seperti new zealand white

pada fase pertumbuhan memerlukan energi hidup pokok sebesar 381 KJW0,75

.

Sedangkan kelinci jenis besar seperti giant spanish memerlukan energi 552

KJW0,75

.

Net Energi (NE) merupakan energi yang dapat dipergunakan oleh ternak

kelinci untuk kebutuhan hidup pokok dan tujuan produksi. Jumlah energi yang

dipergunakan untuk hidup pokok akan mempengaruhi besaran energi yang dapat

dipergunakan untuk produksi. Tujuan produksi pada ternak kelinci adalah

daging, bulu, susu untuk proses reproduksi (McNitt et al., 1996). Menurut

pendapat Parigi Bini dan Xiccato (1998) peningkatan konsumsi ransum

menyebabkan peningkatan energi tersimpan sebagai protein dan lemak tubuh.

Kelinci new zealand white umur 5 – 12 minggu yang diberi ransum iso

protein (16%) dengan kandungan energi 2800 Kkal DE/kg menghasilkan berat

badan akhir paling tinggi (2181,43 g) dibandingkan dengan kandungan energi

2600 Kkal DE/kg (2090,37 g) dan 2400 Kkal DE/kg (1830,69 g). Nilai FCR

paling rendah dihasilkan oleh kelinci yang diberi ransum dengan kandungan

energi 2600 Kkal DE/kg (3,49) dibandingkan dengan 2800 Kkal DE/kg (3,69)

dan 2400 Kkal DE/kg (3,88). Persentase karkas paling tinggi terjadi pada kelinci

yang diberi ransum dengan kandungan energi 2600 Kkal DE/kg yaitu 64,99%

yang kemudian disusul 2800 dan 2400 Kkal DE/kg masing-masing 64,92% dan

63,03% (El-Hindawy et al., 2009).

Penelitian Ayyat et al. (2009) mendapatkan kelinci dengan sistem

pemelihaaran kadang battery yang diberikan ransum dengan tingkat energi

16

rendah (2276 Kkal DE/kg) secara ekonomis lebih menguntungkan daripada

tingkat energi medium (2436 Kkal DE/kg) dan tingkat energi tinggi (2707 Kkal

DE/kg). Tidak terjadi perbedaan yang nyata pada pertambahan berat badan dan

efisiensi penggunaan ransum pada perlakuan tingkat energi yang diberikan.

Pascuala et al. (1999) menyatakan kandungan energi tingggi (12,2 MJ DE/kg)

dan energi menengah (11,1 MJ DE/kg) menghasilkan berat badan lebih tinggi

pada masa bunting dibandingkan dengan kandungan energi rendah (9,9 MJ

DE/kg), namun kandungan energi ransum yang berbeda tidak berpengaruh nyata

setelah melahirkan.

2.3. Kebutuhan Protein

Protein merupakan nutrien mendasar yang diperlukan untuk menyusun

jaringan daging, membran sel, beberapa hormon dan enzim. Protein tubuh

dibentuk atau disusun dari asam-asam amino. Ternak non ruminansia termasuk

kelinci memerlukan beberapa asam amino esensial diantaranya: arginin, histidin,

isoleusin, leusin, triptofan, lisin, metionin, penilalanin, treosin dan valin (de Blass

dan Wiseman, 1998).

Konsumsi protein diperlukan sebagai sumber N untuk tubuh dalam proses

pembentukan zat-zat yang mengandung N (nitrogenous) dan sebagai sumber

asam-asam amino. Sejumlah asam amino yang terabsorbsi tubuh ternak

dipergunakan untuk pembentukan protein tubuh dalam bentuk polipeptida

(Linder, 1992). Total protein yang terdapat dalam usus halus berasal dari protein

endogen yaitu sekresi pencernaan, sel-sel dari jaringan yang mengelupas dan dari

ransum yang dikonsumsi. Sebelum diserap, protein dirubah menjadi bentuk yang

lebih sederhana yaitu asam-asam amino (Noor, 1990). Menurut pendapat Praga

(1998) hanya sebagian kecil protein dapat dicerna dalam sekum dan kolon karena

sebagian besar sudah tercerna dalam usus halus. Amonia adalah hasil akhir

metabolisme N dan merupakan sumber utama sintesis mikroorganisme dalam

sekum dan kolon. Jumlah amonia yang normal dalam sekum berkisar 4,5 – 6

mmol/liter.

Dong et al. (2010) mendapatkan bahwa ternak kelinci persilangan yang

diberi ransum dasar para grass dan water spinac (ipomoea aquatica) yang

disuplementasi konsentrat sebagai sumber protein sebanyak 37 g/ekor/hari

17

menghasilkan jumlah kelahiran, jumlah sapih dan berat sapih lebih tinggi

daripada 34 g/ekor/hari, 31 g/ekor/hari dan 28 g/ekor/hari.

Performan reproduksi ternak kelinci telah diteliti selama 125 hari dengan

menggunakan ransum dasar hijauan (Hymenachne pseudointerrupta, CP = 6,6%)

yang disuplementasi konsentrat dengan kandungan protein 13,17%, 16,64% dan

21%. Hasil penelitian mendapatkan bahwa lama bunting, jumlah kelahiran, berat

lahir dan pertambahan berat badan anak kelinci selama 28 hari tidak

menunjukkan perbedaan yang nyata. Mortalitas tinggi pada ransum yang

disuplementasi konsentrat dengan kandungan protein tinggi disebabkan karena

jumlah kelahiran yang lebih tinggi. Jumlah kelahiran tinggi menyebabkan

malnutrisi dan berakhir dengan mortalitas (Salma et al., 2004).

Xiccato et al., (1999) meneliti perbedaan kandungan protein (17,6% vs

15,8%) pada ransum kelinci dengan kandungan energi 2634 Kkal DE/kg, serat

kasar 16,5% terhadap retensi protein pada masa reproduksi dengan

menggunakan metode komposisi tubuh. Hasil penelitian mendapatkan, ransum

dengan kandungan protein 17,6% menghasilkan retensi protein selama fase

kebuntingan adalah 203 g/kg pertambahan berat badan, sedangkan ransum

dengan kandungan protein 15,8% menghasilkan retensi energi 186 g/kg

pertambahan berat badan. Pada fase laktasi ransum dengan kandungan protein

17,6% menghasilkan retensi protein 185 g/kg pertambahan berat badan,

sedangkan ransum dengan kandungan protein 15,8% menghasilkan retensi

protein 45 gr/kg pertambahan berat badan.

Mbanya et al. (2010) melakukan penelitian selama 8 minggu dengan

menggunakan kelinci persilangan californian dengan new zealand white terhadap

performan produksi dengan menggunakan perlakuan sumber protein berbeda.

Guatamala grass (Trypsacum laxum) dipakai sebagai ransum dasar dan

disuplementasi dengan sumber protein dari tepung biji kapas, tepung kedelai dan

tepung ikan. Hasil penelitian mendapatkan bahwa sumber protein yang berasal

dari tepung ikan menghasilkan pertambahan berat badan per hari paling tinggi

yaitu 16 g/ekor/hr, sedangkan tepung kacang kedelai dan biji kapas menghasilkan

pertambahan berat badan 11,7 g/ekor/hari dan 10,2 g/ekor/hari. Konsumsi

ransum paling tinggi terjadi pada kelinci yang diberi tepung ikan sebagai sumber

18

protein yaitu 72,2 g/ekor/hari, sedangkan sumber protein tepung kedelai dan

tepung biji kapas masing-masing 63,9 g/ekor/hari dan 61,4 g/ekor/hari.

Hasil penelitian El-Hindawy et al. (2009) mendapatkan suplementasi

probiotik lacto-sacc dan bospro 2,5 g/kg ransum dapat meningkatkan berat badan

akhir (umur 12 minggu), pertambahan berat badan dan efisiensi penggunaan

ransum.

Disamping untuk tujuan produksi (daging, susu dan bulu) kelinci

memerlukan protein untuk mempertahankan kondisi tubuh (hidup pokok) sebagai

pengganti pengelupasan kulit, rambut dan mukosa usus. Hasil penelitian

mendapatkan bahwa kelinci pada umur potong dengan berat badan 2 kg, berhasil

meretensi protein dalam tubuhnya sebesar 5,4 g W0,75

/hari. Kelinci dengan berat

badan 2,5 kg berhasil meretensi protein sebesar 4,7 gW0,75

/hari (de Blas dan

Wiseman, 1998).

2.4 Imbangan energi protein ransum

Imbangan energi dan protein pada ransum kelinci sangat penting

diperhatikan untuk dapat menghasilkan performan produksi maksimal. Nilai

imbangan yang terlalu tinggi atau rendah dari standar yang direkomendasikan

akan berdampak pada penurunan produktivitas dan peningkatan mortalitas

(Xiangmei, 2008).

NRC (1977) menyatakan kelinci potong membutuhkan kandungan energi

dalam ransum sebesar 2500 Kkal DE/kg dan kedungan protein (CP): 16%.

Ditambahkan pula bahwa kelinci memerlukan serat kasar (CF): berkisar 10–12%

, kalsium (Ca): 0,4% dan Posfor (P): 0,22%. Menurut pendapat Sinaga (2009)

kelinci pejantan fase grower memerlukan protein kasar 16% sedangkan induk

menyusui memerlukan protein kasar 15-16%. Kandungan serat kasar pada

ransum kelinci jantan fase grower adalah 10–27% dan induk menyusui adalah

15–20%. Pembatasan pemberian ransum (80% dari adlibitum) pada ternak kelinci

yang mengandung energi 11,7 MJ DE/kg, CP (18,5%), CF (18,7%) dan

pemberian ransum dengan energi rendah, serat kasar tinggi yaitu 9,8 MJ DE/kg,

CP (18,5%), CF (24,6%) pada saat kelinci pubertas sampai satu minggu

menjelang melahirkan dapat menurunkan performan reproduksi dibandingkan

perlakuan kontrol. Owen dan Owen (1981) mendapatkan bahwa pemberian

19

ransum pada kelinci new zealand white dengan kandungan energi 8 MJ DE/kg

dan CP 17,2 % menghasilkan umur potong (berat 2 kg) paling lama yaitu 90 hari

dibandingkan dengan ransum yang mengandung energi 10 MJ DE/kg dengan CP

16% dan energi 12 MJ DE/kg dengan CP 15,7% yaitu masing-masing 74 dan 79

hari. Ransum dengan kandungan energi 8 MJ DE/kg dengan CP 17,2%, energi

10 MJ DE/kg dengan CP 16% dan 12 MJ DE/kg dengan CP 15,7% menyebabkan

perbedaan konsumsi ransum (selama penelitian) yaitu masing-masing 8,05

kgDM, 3,12 kgDM dan 3,40 kgDM. Butcher et al. (1981) mendapatkan bahwa

kelinci new zealand white yang diberikan ransum dengan kandungan energi

termetabolism 8 MJ/kg DM dengan CP 172 g/kg DM menghasilkan pertambahan

berat badan per hari 25,16 g nyata lebih rendah daripada kandungan energi 10

MJ/kgDM dengan CP 160 g/kgDM dan 12 MJ/kgDM dengan CP 157 g/kgDM

yaitu 32,40 g/ekor/hr dan 29,8 g/ekor/hr.

Peta Jalan Penelitian

Penelitian yang akan dilakukan

Penelitian yang sudang dilakukan

1.Response Fisiologi dan

Performans Kelinci pada Kandang

Berbeda.

2. Pertumbuhan dan Karkas

Kelinci yang Diberi Ransum

dengan Aras Ampas Tahu

Terfermentasi Berbeda.

3. Retensi Energi dan Protein

pada kandang berbeda, saat

musim kemarau

Pendugaan kebutuhan energi dan protein elinci lokal (Lepus nigricollis) pada kanda Berbeda, saat musim hujan

Luaran yang akan dihasilkan :

1. Iklim mikro pada jenis kandang dan iklim berbeda.

2. Produktivitas kelinci tertinggi yang dihasil kan pada jenis

kandang dan musim serta kandungan energi dan protein

berbeda.

3. Kebutuhan energi dan protein hidup pokok pada jenis

kandang dan musim berbeda.

4. Kebutuhan energi dan protein untuk pertumbuhan pada

jenis kandang dan musim berbeda.

5. Formulasi ransum yang sesuai dengan jenis kandang dan

musim berbeda di daerah dataran rendah tropis.

20

BAB 3. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

3.1 Tujuan Penelitian

Penelitian dilakukan dengan tujuan sebagai berikut :

1. Mengetahui kondisi iklim mikro pada kandang battery dan kandang

under ground shelter di daerah dataran rendah tropis pada saat musim

hujan.

2. Mengetahui respon biologi kelinci jantan lokal (umur 5 - 17 minggu) yang

diberi ransum dengan kandungan energi dan protein berbeda pada kondisi

lingkungan berbeda.

3. Mengetahui komposisi mikroba pada sekum dan kolon kelinci jantan lokal

yang diberi ransum dengan kandungan energi dan protein berbeda,

dipelihara pada kandang berbeda pada saat musim hujan

4. Mengetahui kebutuhan energi dan protein kelinci jantan lokal (umur 5 -

17 minggu) pada jenis kandang berbeda, saat musim hujan.

3.2 Manfaat Penelitian

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan alternatif pemilihan

kandang pemeliharaan untuk meminimalkan pengaruh negatif dari

cekaman panas di daerah dataran rendah tropis pada musim hujan.

2. Dari hasil penelitian diharapkan dapat menghasilkan ransum dengan

kandungan energi dan protein yang tepat untuk meningkatkan

produktivitas ternak kelinci di daerah dataran rendah tropis.

3. Melalui hasil penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan ilmu

pengetahuan dan teknologi dalam bidang peternakan terutama

pengembangan teknik-teknik pengukuran nutrien pada ternak kelinci.

4. Hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan dalam menyusun

formulasi ransum ternak kelinci sesuai dengan kondisi lingkungan, di

daerah dataran rendah tropis.

21

BAB 4. METODE PENELITIAN

4.1. Mekanisme dan Rancangan Penelitian Tahun II

Pada tahun kedua penelitian dilakuan pada saat musim hujan

(bulan Desember – Pebruari tahun 2013 ) sesuai dengan ketentuan BMKG

Bali (2013).

Bahan pakan yang akan dipergunakan dianalisis proksimat agar

bisa mendapatkan kandungan energi, protein yang sesuai dengan

kandungan nutrisi bahan pakan yang sebenarnya.

Penelitian lapangan dilaksanakan dengan metode percobaan dua

faktor menurut Rancangan Petak Terpisah (Spli Plot) 2 X 4, dengan

dasar Rancangan Acak Kelompok (RAK). Pembuatan blok didasarkan

pada kisaran berat badan awal yaitu dari terendah hingga tertinggi.

Banyaknya blok (kelompok atau ulangan) adalah 5 kali sehingga jumlah

ternak kelinci yang dipergunakan sebanyak 40 ekor. Dalam penelitian ini

menggunakan dua faktor yaitu faktor jenis kandang (K) dan faktor

kandungan energi dan protein ransum (R). Faktor (K) terdiri dari :

kandang under ground shelter (K0), kandang battery (K1). Faktor K

ditetapkan sebagai petak utama (main plot). Faktor kedua yaitu R terdiri

dari ransum dengan kandungan energi 2400,1 Kkal/Kg dan protein

15,56% (R1), ransum dengan kandungan energi 2600,52 KKal/Kg dan

protein 17,06% (R2), ransum dengan energi 2800,14 Kkal/Kg dan protein

19,0% (R3) serta ransum dengan kandungan energi 3000,90 KKal/Kg dan

protein 21,09% (R4). Komposisi bahan penyusun ransum dan kandungan

nutrisi ransum disajikan pada Tabel 3.1 dan 3.2. Faktor R ditetapkan

sebagai anak petak (sub plot).

4.2. Tempat dan Lama Penelitian.

Penelitian lapangan selama 12 minggu dan dilaksanakan di Desa Dajan Peken,

Kecamatan Tabanan , Kabupaten Tabanan (50m dpl). Analisis laboratorium

dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Ternak, Laboratorium Nutrisi

Fakultas Peternakan, Universitas Udayana, Denpasar dan Laboratorium Ilmu dan

Teknologi Pakan, Institut Pertanian, Bogor.

22

Tabel 3.1 Komposisi Bahan Penyusun Ransum Percobaan

Bahan (%) Perlakuan

R1 R2 R3 R4

Jagung Kuning 24,6 29,0 31,0 33,4

Bungkil Kelapa 14,7 14,2 12,4 6,3

Tepung Ikan 6,9 9,6 15 17,7

Tepung Tapioka 4,3 6,4 9,9 10,3

Tepung Kedelai 4,3 8,4 11,0 17,5

Dedak Padi 22,3 12,1 8,0 2,0

Rumput Gajah 18,6 16,0 5,0 2,0

Serbuk Gergaji 2,7 2,7 5,1 7,65

Minyak Kelapa 0 0 1,2 2,0

Tepung Tulang 0,8 0,8 0,65 0,4

NaCl 0,25 0,25 0,25 0,25

Mineral Mix 0,55 0,55 0,5 0,5

Total 100 100 100 100

4.3. Kandang dan Ternak .

Penelitian menggunakan 60 petak kandang dengan ukuran masing-masing

panjang 70 Cm, lebar 50 Cm dan tinggi 45 Cm (Sceire, 1999). Ketinggian petak

kandang diukur dari lantai bangunan kandang adalah 70 Cm. Masing-masing

petak kandang dilengkapi dengan tempat makanan dan tempat air minum yang

terbuat dari tempurung kelapa. Kandang under ground shelter dibuat pasangan

batoko setinggi 45 cm kelinci tidak mudah lepas. Di atas batako di pasang kawat

agar kandang tidak gelap dan memudahkan pengamatan. Kandang alas batu bata

ini dilengkapi dengan lubang tempat berlindung dengan sudut kemiringan tempat

masuk adalah 45o, panjang 35 cm dan lebar 30 cm dengan lubang masuk 20 cm.

4.4 Variabel Penelitian

4.4.1 Variabel iklim mikro

Pengukuran variabel iklim mikro kandang dilakuan pada periode awal

percobaan, pertengahan percobaan dan akhir percobaan, masing-masing selama

23

tujuh hari. Dalam satu hari dilakukan tiga kali pengukuran yaitu pukul 7,30 wita,

13,30 wita dan 17,30 wita.

Tabel 3.2 Kandungan Nutrien Ransum Percobaan

Nutrien

Perlakuan

R1

R2

R3

R4

Standar

McNitt (1996)

GE (K.kal/kg)*) 3985,0 3909,0 4116,0 4145,0 4033,60

ME (K.kal/kg)**) 2201,1

5

2402,17 2603,45 2801,81 2400

Protein Kasar (%)**) 14,03 15,50 17,01 18,50 16,00

ME/CP Rasio 156,89 154,98 153,14 151,45 150

Lemak (%)*) 6,10 6,72 8,07 9,64 3,00

Serat Kasar (%)*) 14,91 18,51 12,24 10,68 10,00

Ca (%)*) 1,27 1,52 2,0 2,15 0,50

P av (%)*) 0,90 0,91 0,97 1,07 0,30

Lisin (%) 0,68 0,93 0,16 1,18 0,60

Metionin + Sistin

(%)**)

0,38 0,52 0,69 0,65 0,60

Isoleusin (%)**) 0,60 0,52 0,080 0,67 1,10

Leusin (%)**) 0,07 0,89 0,16 1,09 0,30

Penilalanin +

Tirosin (%)**)

1,03 1,29 0,90 1,47 1,10

Treonin (%)**) 0,40 0,53 0,10 0,63 0,60

Triptofan (%)**) 0,12 0,12 0,03 0,008 0,20

Valin (%)**) 0,59 0,77 0,15 0,04 0,70

*) Analisis Proksimat **) Perhitungan berdasarkan tabel komposisi Scott et al. (1982)

Temperatur Udara, Kelembaban Udara dan THI. Data temperatur dan

kelembaban udara dalam kandang diukur dengan menggunakan

thermohygrometer digital tipe CE 11/08. Temperatur dan kelembaban udara di

ukur pada lima titik yaitu pada masing-masing sudut kandang dan titik tengah

24

kandang. Hasil pengukuran pada lima titik ini di rata-ratakan untuk mendapatkan

satu data temperatur yang representatif pada satu petak kandang.

Temperature Humidity Index (THI) untuk ternak kelinci dihitung dengan

formulasi empiris menurut Marai (2002) sebagai berikut :

THI = T - [(0,31 – 0,31 × RH) (T – 14,4)] ………..…………………………(1)

Keterangan: THI : Temperature Humidity Index, T : Temperatur rata-rata

dalam petak kandang (oC) dan RH : Kelembaban relatif/100

Intensitas Radiasi Matahari. Pengukuran intensitas radiasi matahari dilakukan

dengan menggunakan light meter digital merk Lutron tife LX-103 dan

pengukuran dilakukan tiga kali sehari yaitu pukul 7.30, 13.30 dan 17.30 wita.

Rata-rata intensitas radiasi matahari dalam satu hari didapatkan dengan

menjumlahkan data pengamatan pada pukul 7.30, 13.30 dan 17.30 wita kemudian

dibagi tiga.

4.4.2 Variabel respon biologi

4.4.2.1 Variabel hematologi

Pengamatan terhadap variabel hematologi yang terdiri dari rata-rata

kandungan hemoglobin (% ), jumlah sel darah merah (106/µl), jumlah sel darah

putih (103/µl), kandungan hematokrit (%), kandungan glukosa darah (mg/100

ml), dan kandungan trigliserida darah (mg/100 ml), sesuai dengan metode

Nugraha (2010). Pengamatan dilakukan hanya sekali pada akhir penelitian

setelah kelinci berumur 17 minggu. Pengambilan sampel darah dilakukan pada

dua blok setiap kombinasi perlakuan sehingga ada 16 sampel darah. Sampel

darah diambil pagi hari sebelum kelinci diberi makan dan air minum. Cara

pengambilan contoh darah dilakukan dengan menusukkan jarum pada vena

telinga, kemudian disedot dengan spyit plastik dan segera dipindahkan ke tabung

reaksi yang telah terisi zat anti beku darah. Zat anti beku darah yang digunakan

adalah lithium heparin (Xiangmei, 2008). Jumlah sampel darah yang diambil

adalah sebanyak 6 cc untuk satu ekor kelinci (Nugraha, 2010). Segera setelah itu

25

dimasukkan ke dalam termos es dan pada hari itu dikirim ke Laboratorium

Kesehatan Masyarakat, Bina Medika, Denpasar untuk analisis hematologi.

4.4.2.2 Variabel fisiologi

Pengukuran variabel fisiologi dilakukan pada periode awal penelitian,

pertengahan penelitian dan akhir penelitian, masing-masing selama tujuh hari.

Dalam satu hari dilakukan tiga kali pengukuran yaitu pukul 7,30, 13,30 dan 17,30

wita. Data rata-rata variabel fisiologi dalam satu hari didapat dengan cara

menjumlahkan ketiga data pengamatan kemudian dibagi tiga. Variabel fisiologi

yang diamati dalam penelitian ini meliputi:

Temperatur Rektal. Sebelum pengambilan data temperatur rektal dilakukan

pembiasaan pada ternak (pre treatment) selama satu minggu. Temperatur rektal

diukur dengan termometer temperatur tubuh digital yang sensornya berbentuk

bulat dan agak lancip dimasukkan ke dalam anus se dalam 6 cm selama satu

menit (Kasa et al., 1993).

Temperatur Kulit. Suhu kulit diukur dengan menggunakan Imfra Red

Thermometer 8872. Pengukuran dilakukan pada empat titik yaitu kepala, leher,

punggung dan pandat (Kasa et al., 1993). Pengukuran pada empat titik ini

dijumlahkan dan dibagi empat untuk madapatkan rata-rata suhu pada satu kali

pengukuran.

Laju Respirasi. Laju respirasi diperoleh dengan menghitung gerakan naik

turunnya permukaan rusuk-perut selama satu menit

Denyut Jantung. Sebelum pengambilan data denyut jantung dilakukan

pembiasaan pada ternak (pre treatment) selama satu minggu. Langkah pertama

yang dilakukakan adalah mengamati atau meraba bagian ternak yang denyut

nadinya paling terasa. Setelah bagian tubuh yang denyut nadinya paling terasa

ditentukan kemudian dilakukan pengukuran denyut jantung dengan cara

menempelkan stetoskop selama satu meni. Pengitungan mulai dilakukan setelah

lewat satu menit stetoskop ditempelkan pada bagian dada.

26

4.4.2. 3 Variabel performans

Konsumsi Ransum dan Air minum. Konsumsi ransum dan air minum dihitung

setiap minggu dengan mengurangi jumlah yang diberikan dengan sisa.

Berat Badan. Penimbangan berat badan dilakukan setiap minggu untuk

mendapatkan pertambahan berat badan per minggu. Sebelum ditimbang, kelinci

dipuasakan selama 12 jam.

Konversi Ransum. Konversi ransum atau Feed Conversion Ratio (FCR)

dihitung dengan perbandingan antara jumlah ransum yang dikonsumsi dengan

pertambahan berat badan selama penelitian.

Lama Aliran Ransum. Pengukuran lama aliran ransum di dalam saluran

pencernaan dilakukan dengan memberikan ransum yang telah dicampur dengan

indikator Fushin Acide pada ternak kelinci. Lama aliran ransum dihitung dengan

jalan menghitung waktu mulai ransum yang mengandung indikator dimakan

sampai keluarnya indikator untuk pertama kali di dalam feses.

4.4.4 Karkas

Data karkas didapatkan dengan melakukan pemotongan pada ternak

kelinci pada umur 84 hari, sesuai dengan umur potong yang dikemukan oleh

Owen dan Owen (1981). Pemotongan ternak kelinci dilakukan dengan prosedur

yang sama dengan ayam yaitu dengan memotong vena jugularis pada leher untuk

mengeluarkan darahnya (Alhaidary et al., 2010). Tubuh kelinci kemudian

digantung pada salah satu kaki belakang dengan membuat potongan pada kulit

antara tulang dan tendo pada sendi siku kaki belakang. Kepala dilepaskan pada

sendi atlas (Cervical vertebrae), kaki belakang pada sendi siku (Metatarsus) dan

kaki depan pada sendi siku (Metacarpus). Ekor dilepaskan pada pangkalnya

(Caudal vertebrae). Kulit dilepaskan dengan membuat sayatan dibagian belakang

dari paha belakang ke arah pangkal ekor dan paha yang bebas, kemudian ditarik

ke arah leher sampai lepas. Jeroan dikeluarkan dari rongga perut dengan

membuat sayatan median di dinding perut. Berat kosong didapat dengan

mengeluarkan jeroan dengan paru-paru tetap bersama karkas. Persentase karkas

dihitung sebagai total berat karkas segar, lemak rongga abdomen dan paru-paru

27

dibagi dengan berat tubuh sebelum dipotong dikalikan 100 (Lukefahr et al.,

1981).

Karkas dipotong-potong kedalam potongan utama untuk pemasaran

komersial yaitu 2 potongan kaki belakang kiri dan kanan, 1 potongan pinggang

dan punggung, 2 potongan dada dan leher serta 2 potongan kaki depan kiri dan

kanan (Sartika dan Raharjo, 1991). Karkas dipotong dengan melepaskan kedua

kaki depan pada scapula. Kaki belakang dipotong pada sendi antara tulang lumbal

terakhir dengan tulang sacral pertama. Dada dan leher dengan pinggang

dipisahkan dengan membuat potongan antara dua tulang rusuk (ribs) terakhir.

Tulang rusuk terakhir masuk kedalam potongan pinggang. Untuk mengetahui

proporsi dan produksi daging, maka antara daging, lemak, dan tulang dipisahkan.

Rasio daging dengan tulang didapat dengan membagi berat daging dengan berat

tulang.

4.4.5 Kecernaan

Koefisien Cerna Bahan Kering Ransum

Koefisien Cerna Bahan Kering (KCBK) dihitung berdasarkan metode

koleksi total (Tillman et al., 1989). Feses ditampung selama 7 hari, dijemur

dibawah sinar sampai kering udara kemudian dioven pada temperatur 60 oC

selama 24 jam. KCBK dihitung dengan formulasi :

KCBK = A−B A

× 100% ..................................................................................... (2)

Dimana: KCBK : Koefisien cerna bahan kering (%), A: Konsumsi bahan kering

ransum (g) dan B: Jumlah bahan kering ekskreta (g)

Efisiensi Perubahan GE Menjadi DE. Efisien perubahan GE menjadi DE dapat

dihitung berdasarkan metode koleksi total (Prasad et al. 1996). Efisiensi GE

menjadi DE dihitung dengan menggunakan formulasi :

DE/GE = A−B A

× 100% ..............................................................................(3)

Dimana: DE/GE : Efisiensi GE menjadi DE (%), A: Konsumsi energi (Kkal/hari)

daB: Kn andungan energi pada fesese (Kkal/hari

28

Kecernaan Protein. Kecernaan protein (KP) dihitung berdasarkan metode

koleksi total (Prasad et al. 1996). Kecernaan protein (KP) dihitung dengan

menggunakan formulasi : A−B A

× 100% .........................................................................................(4)

Dimana: KP : Kecernaan protein (%), A: Konsumsi protein (g/hari) dan B:

Kandungan protein pada feses (g/hari)

4.4.6 Komposisi Mikroba Sekum dan Kolon

Data jumlah bakteri dan mikroba pada sekum dan kolon dari rongga perut.

Potong ujung usus yang menghubungkan sekum dan kolon, kemudian diikat

dengan tali plastik, masukkan kedalam termos yang sudah berisi es, segera dibawa

ke Laboratotium Balai Besar Veteriner di Denpasar.

Presedurpenanganan sampel sekum dan kolon untuk mengetahui jumlah

mikroba dilakukan sebagai berikut: (1) Pengayakan dilakukan dengan cara isi

sekum dan kolon dimasukkan kedalam tryptich case broth 10 ml kemudian

diinkubasikan pada suhu 37 oC selama 24 jam, (2) uji selektif media yaitu oran

yang telah ditanam diambil dengan jarum inkubasi (ose) digoreskan perlahan-

lahan pada media MDL agar, Mac Conkey, LEMB, nutrien agar dan blood agar

kemudian diinkubasi pada suhu 37 oC selama 24 jam. (3) uji pewarnaan gram

dengan menggunakan Amonium Oxalat-Crystal violet: Sol A; crystal violet 10 g,

ethanol (95%) 100 ml dicampur sampai larut, Sol B; Amonium Oxalat 1%, bila

dipakai 20 ml Sol A ditambahkan 80 ml sol B. Lugol solution, Methanol dan

Safranin 0,5%. Prosedur pewarnaan yaitu: ambil 1 ose bakteri diletakkan di atas

kaca preparat, diberi garam fisiologis kemudian diaduk-aduk, dikeringkan dengan

pengering, kemudian dituangi Sol A dicampur Sol B selama 2 menit. Cuci

dengan air kran, kemudian dituangi larutan Lugol selama 0,5 menit. Diberikan

Aceton 2 -3 ml, kemudian dicuci dengan air, selanjutnya diberi 0,5% Safranin

selama 0,5 menit, dicuci dengan air dan dikeringkan. Hasilnya dilihat di bawah

mikroskop. Cara menentukan hasil adalah dengan prapengayakyaan positif terjadi

kekeruhan, berarti ada pertumbuhan bakteri. Pada media DHL, Mac Conkey

warna koloni merah dadu, konvex, pinggirannya rata. Nutrien agar, pinggirannya

29

rata. E.coli gram negatif, tidak berspora dan berbentuk batang, serotipe. Bila

terjadi aglutinasi serotipe maka dilihat serotipe mana yang mengaglutinasi.

4.4.7. Variabel Komposisi Tubuh

Keseimbangan Energi. Kandungan energi ransum (GE) ditentukan dengan

bomb kalorimeter dan komposisi zat-zat makanan pada ransum ditentukan

dengan analisa proksimat menurut metode AOAC. Energi pada feses (FE)

ditentukan dengan bomb kalori meter, sedangkan protein pada feses ditentukan

dengan analisa Kjeldhal menurut AOAC (1984). Banyaknya energi bruto yang

dikonsumsi ditentukan dari kosumsi ransum dikalikan dengan kandungan energi

bruto dari ransum.

Penentuan energi tercerna atau Digestible Energy (DE) dilakukan dengan

mengunakan metode koleksi total yakni dengan menentukan energi total yang

terkandung dalam ransum dan feses. Digestible Energy (DE) ditentukan dengan

rumus Parigi Bini dan Xiccato (1998), sebagai berikut :

DE = E dikonsumsi – E feses ……………………………..…………………...(5)

Parigi Bini dan Xiccato (1998) menyatakan bahwa dasar perhitungan

kebutuhan energi ternak kelinci dalam bentuk ME dapat dicari dengan

mengalikan DE dengan bilangan konstanta (k). Beberapa peneliti mendapatkan

nilai k yang sama yaitu 0,95 diantaranya : de Blas et al. (1985); Parigi Bini dan

Xiccato (1986); Partridge et al. (1989); Xiccato et al. (1995). Berdasarkan

ketentuan diatas maka perhitungan ME sebagai berikut:

ME = 0,95 × DE ............................................................................................(6)

Retensi energi ditentukan dengan cara mengurangi jumlah energi tubuh

akhir penelitian dengan jumlah energi tubuh pada awal penelitian, sesuai dengan

metode Parigi Bini dan Xiccato (1998). Produksi panas dihitung dengan

formulasi : PP = ME - RE …………………………………………………….(7)

Dimana: PP : Produksi panas, RE : Retensi energi danME : Energi termetabolis

Kebutuhan hidup pokok adalah kebutuhan energi oleh ternak kelinci pada

saat tidak mengalami pertumbuhan (RE = 0). Bila konsumsi energi metabolis

30

(ME) meningkat sebesar ∆ME, maka akan terjadi peningkatan retensi energi (RE)

sebesar ∆RE. Perbandingan antara ∆RE/∆ME disebut parsial efisiensi (Ef) yaitu

nilai konversi ME menjadi RE di atas kebutuhan hidup pokok. Kebutuhan energi

untuk hidup pokok dapat dihitung dengan metode Parigi Bini dan Xiccato (1998)

sebagai berikut:

E Hdp = ME – RE/Ef …………………………..………………………………(9)

Keterangan: EHdp : Kebutuhan energi untuk hidup pokok, ME : Energi

termetabolis RE : Energi teretensi dan Ef : Parsial efisiensi yaitu ∆RE/∆ME.

Kebutuhan energi untuk tumbuh adalah jumlah energi yang diretensi

dalam tubuh yang dikoreksi dengan parsial efisiensi. Total kebutuhan energi oleh

kelinci adalah energi untuk hidup pokok ditambah dengan energi untuk tumbuh

(Mount, 1979).

4.4.8. Kesetimbangan protein

Protein tercerna dihitung dengan formulasi Mc Nitt et al. (1996) sebagai

berikut: Protein tercerna = konsumsi protein – protein feses ….……………..(10)

Protein teretensi dihitung dengan mengurangi jumlah protein tubuh akhir

penelitian dengan protein tubuh pada awal penelitian. Kebutuhan protein untuk

tumbuh dihitung dari jumlah protein yang diretensi di dalam tubuh yang

dikoreksi dengan data-data kecernaan protein dan nilai biologis protein. Protein

untuk hidup pokok dihitung dengan mengurangi banyaknya protein yang

dikonsumsi dengan protein untuk tumbuh. Total kebutuhan protein untuk

pertumbuhan adalah protein untuk hidup pokok ditambah dengan kebutuhan

protein untuk tumbuh.

4.4.9. Analisis Data

Data yang diproleh dianalisis dengan analisis ragam, apabila diantara

perlakuan terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05) maka analisis dilanjutkan

dengan uji jarak berganda Duncan (Steel dan Torrie, 1980). Data mortalitas

31

ditransformasi terlebih dahulu sebelum dianalisis dengan tehnik transformasi

logaritmik yaitu: log (x+1).

32

BAB 5. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil

5.1.1 Iklim mikro

Perlakuan kandang under ground shelter (K0) menyebabkan temperatur

udara dalam kandang 26,21oC sedangkan kandang battery (K1) menyebabkan

temperatur udara dalam kandang 8,09 % lebih tinggi (P<0,05) daripada K0

(Tabel 5.1). Tidak terjadi perbedaan yang nyata terhadap variabel temperatur

udara dalam kandang pada perlkauan ransum berbeda (Tabel 5.2).

Tabel 5.1 Iklim Mikro pada Kandang Under Ground Shelter dan Battery

Variabel Perlakuan

K0 K1 SEM

Temperatur Udara Dalam Kandang (oC) 26,21

b 28,33

a 0,05

Kelembaban Udara Dalam Kandang (%) 77,36b 76,80

a 0,05

Temperature Humidity Index (THI) 25,37b 27,33

a 0,07

Radiasi Matahari (fc) 4,24a 5,30

a 0,94

1) K0 : Kandang under ground shelter

K1 : Kandang Battery

2) Superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukkan perbedaan tidak nyata (P>0,05)

dan superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)

3) SEM : Standard Error of The Treatment Means

Kandang K1 menyebabkan kelembaban udara dalam kandang 76,80%

sedangkan kandang K0 adalah 0,73% lebih rendah (P<0,05) dibandingkan K1.

Tidak terdapat perbedaan yang nyata diantara perlakuan ransum terhadap variabel

kelembaban udara dalam kandang.

Tabel 5.2

Iklim Mikro pada Kandang yang Mendapat Perlakuan Ransum dengan Kandungan Energi dan

Protein Berbeda

Variabel Perlakuan

R1 R2 R3 R4 SEM

Temperatur Udara Dalam Kandang

(oC)

27,28a

27,42a

27,63a

27,66a

0,05

Kelembaban Udara Dalam Kandang

(%)

77,21a

76,98a

77,38a

77,81a

0,08

Temperature Humidity Index (THI)

26,38a

26,51a

26,70 a

26,73a

0,06

Radiasi Matahari (fc) 5,32a 4,51

a 5,06

a 4,19

a 1,69

1)R1 : Ransum dengan kandungan energi: 2201,15 K.kal ME/kg dan PK: 14,03%

R2 : Ransum dengan kandungan energi: 2402,17 K.kal ME/kg dan PK: 15,50%

R3 : Ransum dengan kandungan energi: 2603,45 K.kalME/kg dan PK: 17,01%

R4 : Ransum dengan kandungan energi: 2801,81 K.kalME/kg dan PK: 18,50%

2) Superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukkan perbedaan tidak nyata (P>0,05)

dan superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)

3) SEM : Standard Error of The Treatment Means

33

Temperature Humidity Index (THI) pada kandang K0 adalah 25,37

sedangkan K1 menyebabkan THI 7,73% lebih tinggi (P<0,05). THI pada

perlakuan R4 adalah 26,73 sedangkan THI pada kandang R1, R2 dan R3 masing-

masing 26,38, 26,51 dan 26,70 yang secara statistik tidak berbeda nyata

dibandingkan dengan R3.

Tidak terjadi perbedaan intensitas radiasi matahari pada kandang yang

mendapat perlakuan ransum dan kandang berbeda.

5.1.2 Respon fisiologi

Denyut jantung pada perlakuan K1 adalah 108,56 kali/menit sedangkan

pada K0 adalah 9,66% lebih rendah (P<0,05) daripada K1 (Tabel 5.3).

Perlakuan R1 menyebabkan denyut jantung 98,86 kali/menit sedangkan

perlakuan R2 dan R3 menyebabkan denyut jantung 1,51% dan 7,40% lebih tinggi

namun tidak berbeda nyata (P>0,05). Perlakuan R4 meneyebabkan denyut

jantung kelinci 12,02% lebih tinggi (P<0,05) sepeti pada Tabel 5.4.

Tidak terjadi perbedaan nyata terhadap variabel suhu rektal pada perlakuan

ransum dan kandang berbeda.

Tabel 5.3

Respon Fisiologi Kelinci pada Kandang Under Ground Shelter dan Battery

Variabel Perlakuan

K0 K1 SEM

Denyut Jantung (kali/menit) 98,07 b 108,56

a 1,66

Frekuensi Pernafasan (kali/menit) 57,09a 69,57

b 0,94

Temperatur Rektal (oC) 39,05

a 39,39

a 0,06

Suhu Kulit (oC) 36,99

b 38,76

a 0,29

1) K0 : Kandang under ground shelter

K1 : Kandang Battery

2) Superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukkan perbedaan tidak nyata (P>0,05)

dan superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)

3) SEM : Standard Error of The Treatment Means

Suhu kulit kelinci pada perlakuan K1 adalah 38,760C sedangkan suhu kulit

kelinci pada perlakuan K0 4,57% nyata lebih rendah daripada K1 (Tabel 5.3).

Tidak terjadi perbedaan yang nyata terhadap variabel suhu kulit diantara

perlakuan Ransum.

34

Tabel 5.4

Respon Fisiologi Kelinci yang Mendapat Perlakuan Ransum dengan Kandungan

Energi dan Protein Berbeda

Variabel Perlakuan

R1 R2 R3 R4 SEM

Denyut Jantung (kali/menit) 98,86b 100,35

b 106,18

ab 110,74

a 2,16

Frekuensi Pernafasan (kali/menit) 59,33a 58,74

a 57,24

a 60,61

a 2,65

Temperatur Rektal (oC) 39,04

a 39,07

a 39,29

a 39,88

a 0,08

Suhu Kulit (oC) 37,68

a 37,39

a 38,06

a 37,98

a 0,25

1)R1 : Ransum dengan kandungan energi: 2201,15 K.kal ME/kg dan PK: 14,03%

R2 : Ransum dengan kandungan energi: 2402,17 K.kal ME/kg dan PK: 15,50%

R3 : Ransum dengan kandungan energi: 2603,45 K.kalME/kg dan PK: 17,01%

R4 : Ransum dengan kandungan energi: 2801,81 K.kalME/kg dan PK: 18,50%

2) Superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukkan perbedaan tidak nyata (P>0,05)

dan superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)

3) SEM : Standard Error of The Treatment Means

Tabel 5.6

Respon Hematologi Kelinci pada Kandang Under Ground Shelter dan

Battery

Variabel Perlakuan

K0 K1 SEM

Haemoglobin (g/100 ml) 15,04a 14,11

b 0,04

Eritrosit (106/µl) 4,37

a 4,14

b 0,002

Leukosit (103/ µl) 6,32

b 6,69

a 0,11

Hematokrit (%) 42,77a 40,29

a 1,07

Glukosa (mg/100 ml) 181,83a 175,36a 14,85

Trigliserida (mg/100 ml) 101,63a 106,54

a 4,58

1) K0 : Kandang under ground shelter

K1 : Kandang Battery

2) Superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukkan perbedaan tidak nyata (P>0,05)

dan superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)

3) SEM : Standard Error of The Treatment Means

Tabel 5.7

Respon Hematologi Kelinci yang Mendapat Perlakuan Ransum dengan Kandungan Energi dan

Protein Berbeda

Variabel Perlakuan

R1 R2 R3 R4 SEM

Haemoglobin (g/100 ml) 13,03c 13,13

bc 15,86

a 14,75

ab 0,17

Eritrosit (106/ml) 3,98

a 4,01

a 4,45

a 4,28

a 0,13

Leukosit (103/ml) 5,77

a 6,06

a 6,08

a 6,82

a 0,21

Hematokrit (%) 39,55a 40,57

a 43,86

a 42,20

a 0,98

Glukosa (mg/100 ml) 180,05a 155,28a 179,86a 198,85a 22,46

Trigliserida (mg/100 ml) 94,08a 94,09

a 95,28

a 107,44

a 4,74

1)R1 : Ransum dengan kandungan energi: 2201,15 K.kal ME/kg dan PK: 14,03%

R2 : Ransum dengan kandungan enegi: 2402,17 K.kal ME/kg dan PK: 15,50%

R3 : Ransum dengan kandungan energi: 2603,45 K.kalME/kg dan PK: 17,01%

R4 : Ransum dengan kandungan energi: 2801,81 K.kalME/kg dan PK: 18,50%

2) Superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukkan perbedaan tidak nyata (P>0,05)

dan superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)

3) SEM : Standard Error of The Treatment Means

35

5.1.3 Respon hematologi

Ternak kelinci yang dipelihara pada kandang K0 mempunyai kandungan

haemoglobin darah 15,04 g/100 ml, sedangkan pada K1 mempunyai kandungan

haemoglobin 6,18% lebih rendah (P<0,05) seperti pada Tabel 5.6. Perlakuan

ransum R3 meneyebabkan kandungan haemoglobin paling tinggi yaitu 15,86

g/100ml sedangkan perlakuan R4 adalah 6,99% dan 17,21% lebih rendah

(P>0,05) da perlakuan R1 adalah 17,84% lebih rendah (P<0,05).

Perlakuan ransum tidak menyebabkan perbedaan yang nyata (P>0,05)

pada kandungan haemoglobin kelinci (Tabel 5.7) Perlakuan kandang K1

menyebabkan kandungan eritrosit darah 4,12 x 106/ml sedangkan kandang K0

menyebabkan kandungan eritrosit darah 1,46% lebih tinggi (P<0,05) daripada

K0. Kandungan eritrosit darah kelinci tidak berbeda nyata (P>0,05) diantara

perlakuan ransum. Ternak kelinci yang dipelihara pada kandang K0 mempunyai

kandungan haemoglobin darah 14,89 g/100 ml, sedangkan pada K1 mempunyai

kandungan haemoglobin 13,81 g/100 ml yang secara statistik berbeda nyata

dibandingkan dengan K0, seperti pada Tabel 5.6. Perlakuan ransum R1

mempunyai kandungan haemoglobin darah paling rendah yaitu 13,53 g/100 ml

yang berbeda tidak nyata dibandingkan dengan R2 (13,83%) namun nyata lebih

rendah (P>0.05) dibandingkan dengan R3 (15,03%) dan R4 (14,23%), seperti

Table 5.7.

Perlakuan kandang K1 menyebabkan kandungan eritrosit darah 4,12 x

106/ml sedangkan kandang K0 menyebabkan kandungan eritrosit darah 1,46%

lebih tinggi (P<0,05) daripada K0 (Tabel 5.6). Kelinci yang mendapat perlakuan

ransum R1 mempunyai kandungan eritrosit darah 3,99 × 106/ml, sedangkan R2,

R3 dan R4 mempunyai kandungan eritrosit masing-masing 4,0 × 106/ml, 4,42 ×

106/ml dan 4,19 × 10

6/ml yang secara statistik tidak berbeda nyata (P>0,05)

dibandingkan R1, seperti Tabel 5.7.

Tabel 5.6 menunjukan, variabel hematokrit kelinci yang mendapat

perlakuan K0 (42,75%) yang tidak berbeda nyata dibandingkan dengan K1

(40,25%). Tidak terdapat perbedaan yang nyata (P>0,05) pada variabel

hematokrit diantara perlakuan R1 (39,50%), R2 (40,50%), R3 (43,75%) dan R4

(42,25%), seperti Tabel 5.7.

36

Glukosa darah kelinci pada K0 adalah 181,38 mg/100 ml sedangkan pada

K1 175,63 mg/100 ml yang secara statistik berbeda tidak nyata dengan K0 (Tabel

5.6). Perlakuan ransum R1 menyebabkan glukosa darah (180,50 mg/100 ml) yang

berbeda tidak nyata dibandingkan dengan R2 (155,25 mg/100 ml), R3 (179,75

mg/100 ml) dan R4 (198,5 mg/100 ml), seperti Tabel 5.7.

Kandungan trigliserida darah kelinci yang dipelihara pada kandang K1

(105,5 mg/100ml) yang secara statistik tidak berbeda nyata dengan K0

(100,13%), seperti Tabel 5.6. Tidak terjadi perbedaan yang nyata terhadap

variabel trigliserida darah diantara perlakuan R1 (94,00 mg/100ml), R2 (94,00

mg/100ml), R3 (95,25 mg/100ml) dan R4 (107,75 mg/100ml), seperti Tabel 5.7.

Variabel hematokrit kelinci yang mendapat perlakuan K0 (42,75%) yang

tidak berbeda nyata dibandingkan dengan K1 (40,25%). Tidak terdapat

perbedaan yang nyata (P>0,05) pada variabel hematokrit diantara perlakuan R1

(39,50%), R2 (40,50%), R3 (43,75%) dan R4 (42,25%).

Tidak terjadi perbedaan yang nyata terhadap variable glukosa dan

trigliserida darah kelinci pada perlakuan ransum dan kandang berbeda.

5.1.4 Performans

Berat badan akhir kelinci yang dipelihara pada kandang K0 adalah

1538,38g, sedangkan kelinci pada K1 mempunyai berat badan 1442,36 g yang

secara statistik tidak berbeda nyata dengan K0 (Tabel 5.8). Kelinci yang

mendapat perlakuan ransum R1 menghasilkan berat badan paling rendah yaitu

1145,51 g, sedangkan R2, R3 dan R4 menghasilkan berat badan 19,92%, 56,78%,

dan 40,62% lebih tinggi (P<0,05) daripada R1.

Kelinci pada kandang K0 mengkonsumsi ransum 49,78 g/hr sedangkan

kelinci pada kandang K1 mengkonsumsi ransum 4,99% lebih tinggi yang secara

statistik berbeda nyata dibandingkan dengan K0 (Tabel 5.8). Kelinci yang

mendapat perlakuan ransum R1 mengkonsumsi ransum 45,08g/hr sedangkan

perlakuan R2, R3 dan R4 mengkonsumsi ransum masing-masing 21,47%,

33,05% dan 24,04% lebih tinggi (P<0,05), seperti Tabel 5.9.

37

Tabel 5.8 Performans Kelinci pada Kandang Under Ground Shelter dan Battery

Variabel Perlakuan

K0 K1 SEM

Berat Badan Awal (g) 191,63a 190,75

a 1,52

Berat Badan Akhir (g) 1538,38a 1442,36

a 47,35

Konsumsi Ransum (g/ hr) 49,78b 58,73

a 1,74

Pertambahan Berat Badan (g/hr) 16,03a 14,91

a 48,32

Konversi Ransum 3,11b 3,94

a 0,57

Konsumsi Air (ml hr) 100,86b 145,03

a 5,29

1) K0 : Kandang under ground shelter

K1 : Kandang Battery

2) Superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukkan perbedaan tidak nyata (P>0,05)

dan superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)

3) SEM : Standard Error of The Treatment Means

Tabel 5.9

Performans Kelinci yang Mendapat Perlakuan Ransum dengan Kandungan

Energi dan Protein Berbeda

Variabel Perlakuan

R1 R2 R3 R4 SEM

Berat Badan Awal (g) 192,55a 188,72

a 190,21

a 189,86

a 2,05

Berat Badan Akhir (g) 1145,51c 1373,75

b 1795,95

a 1679,50

a 58,98

Konsumsi Ransum

(g/ hr)

45,08b

54,76a

59,98a

55,92a

2,03

Pertambahan Berat Badan

(g/hr) 11,34

c 14,11

b 19,16

a 17,73

a 0,81

Konversi Ransum 3,96a

3,88ab

3,13b 3,15

b 0,22

Konsumsi Air (ml/hr) 133,20a 117,99

a 128,11

a 125,95

a 7,86

1)R1 : Ransum dengan kandungan energi: 2201,15 K.kal ME/kg dan PK: 14,03%

R2 : Ransum dengan kandungan energi: 2402,17 K.kal ME/kg dan PK: 15,50%

R3 : Ransum dengan kandungan energi: 2603,45 K.kalME/kg dan PK: 17,01%

R4 : Ransum dengan kandungan energi: 2801,81 K.kalME/kg dan PK: 18,50%

2) Superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukkan perbedaan tidak nyata (P>0,05)

dan superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)

3) SEM : Standard Error of The Treatment Means

Tidak terjadi perbedaan yang nyata terhadap pertambahan berat badan

kelinci pada perlakuan kandang berbeda (Tabel 5.8). Pertambahan berat badan

paling tinggi terjadi pada perlakuan ransum R3 (19,16g/hr) yang tidak berbeda

nyata dibandingkan R4, namun 26,36% dan 40,81% lebih tinggi (P<0,05)

daripada R2 dan R1, seperti pada Tabel 5.9.

Konversi ransum kelinci pada kandang K0 adalah 3,11 sedangkan

konversi ransum pada kandang K1 26,69% lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan

dengan K0. Konversi ransum kelinci yang mendapat perlakuan R1 adalah 3,96.

Konversi ransum pada perlakuan R2, R4 dan R3 masing-masing 2,02%, 20,96%

dan 20,45% lebih rendah (P<0,05) daripada R1.

Perlakuan kandang K0 menyebabkan konsumsi air 100,86 ml/hr

sedangkan konsumsi air pada K1 adalah 43,79% lebih tinggi yang secara statistik

38

berbeda nyata daripada K0 (Tabel 5.8). Tidak terjadi perbedaan yang nyata

(P>0,05) terhadap veriabel konsumsi air pada perlakuan ransum dengan

kandungan energi termetabolis dan protein kasar berbeda (Tabel 5.9).

Jumlah bakteri pada sekum dan kolon kelinci yang dipelihara pada

kandang K0 adalah 16.760 0pg sedangkan pada kandang K1 adalah 14,2% lebih

rendah (P<0,05) dibandingkan dengan K0. Perlakuan K0 menyebabkan jumlah

mikroba 48 × 1010

sedangkan K1 menyebabkan 8,33% lebih rendah daripada K0

(Tabel 5.10).

Tabel 5.10 Jumlah Bakteri dan Mikroba dalam Sekum dan Kolon Kelinci yang Dipelihara

pada Kandang Berbeda

Variabel Perlakuan

K0 K1 SEM

Jumlah Bakteri (opg) 16.760a 14.380

b 574

Jumlah Mikroba (opg) 48 × 10 10a

44 × 1010b

3,64 1) K0 : Kandang under ground shelter

K1 : Kandang Battery

2) Superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukkan perbedaan tidak nyata (P>0,05)

dan superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)

3) SEM : Standard Error of The Treatment Means

Kelinci yang diberikan ransum R1 menyebabkan jumlah bakteri 10.050 opg

sedangkan ransum R2, R3 dan R4 masing-masing 8,96%, 44,29% dan 75,62%

lebih tinggi (P>0,05) dibandingkan dengan R1 (Tabel 5.11). Jumlah mikroba

pada sekum dan kolon kelinci yang diberikan ransum R1 adalah 40×1010

sedangkan ransum R2, R4 dan R3 masing-masing 5%, 15% dan 47,5% lebih

tinggi (P>0,05) dibandingkan denganR1 (Tabel 5.11).

Tabel 5.11 Jumlah Bakteri dan Mikroba dalam Sekum dan Kolon Kelinci yang Diberi

Perlakuan Ransum Berbeda

Variabel Perlakuan

R1 R2 R3 R4 SEM

Jumlah Bakteri (opg) 10.050a 10.950

a 14.500

a 17.650

a 548,24

Jumlah Mikroba (opg) 40×1010a

42×1010a

59×1010a

46×1010a

3,12×1010a

1)R1 : Ransum dengan kandungan energi: 2201,15 K.kal ME/kg dan PK: 14,03%

R2 : Ransum dengan kandungan enerri: 2402,17 K.kal ME/kg dan PK: 15,50%

R3 : Ransum dengan kandungan energi: 2603,45 K.kalME/kg dan PK: 17,01%

R4 : Ransum dengan kandungan energi: 2801,81 K.kalME/kg dan PK: 18,50%

2) Superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukkan perbedaan tidak nyata (P>0,05)

dan superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)

3) SEM : Standard Error of The Treatment Means

39

Kecernaan bahan kering ransum pada kelinci yang dipelihara pada

kandang K0 (70,42%) tidak berbeda nyata (P>0,05) dengan kecernaan bahan

kering ransum kelinci yang dipelihara pada kandang K1 (70,07%), seperti pada

Tabel 5.12. Kecernaan bahan kering ransum pada kelinci yang diberikan ransum

R4 adalah 71,61%, sedangkan pada kelinci yang diberi ransum R3, R2 dan R1

masing-masing 2,51%, 6,19% dan 10,84% lebih rendah (P>0,05) daripada R4.

Kelinci yang dipelihara pada kandang K1 mempunyai kecernaan energi 76,80%

sedangkan kelinci pada kandang K0 adalah 3,35% lebih rendah (P>0,05)

dibandingkan K1. Kelinci yang diberikan ransum R3 mempunyai kecernaan

energi 77,78%, sedangkan R2, R4 dan R1 masing-masing 3,51%, 4,96% dan

5,35% lebih rendah (P>0,05) daripada R3. Kelinci yang dipelihara pada kandang

K0 mempunyai kecernaan protein (77,17%) tidak berbeda nyata (P>0,05)

dibandingkan K1 (77,91%).

Tabel 5.12

Kecernaan Bahan Kering, Energi dan Protein Ransum oleh Ternak

Kelinci pada Kandang Berbeda

Variabel Perlakuan

K0 K1 SEM

Kecernaan Bahan Kering (%) 70,42a 70,07

a 1,39

DE/GE Rasio (%) 74,09a 76,80

a 0,96

Kecernaan Protein (%) 77,17a 77,91

a 0,16

1) K0 : Kandang under ground shelter

K1 : Kandang Battery

2) Superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukkan perbedaan tidak nyata

(P>0,05)

dan superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)

3) SEM : Standard Error of The Treatment Means

Kelinci yang diberikan ransum R1 mempunyai kecernaan protein paling rendah

(72,94%) sedangkan R3, R2 dan R4 masing-masing 5,58%, 6,14% dan 8,24%

lebih tinggi (P>0,05) daripada R1.

40

Tabel 5.13

Kecernaan Bahan Kering, Energi dan Protein Ransum oleh Ternak Kelinci Yang

Mendapat Perlakuan Ransum Berbeda

Variabel Perlakuan

R1 R2 R3 R4 SEM

Koefisien Cerna Bahan

Kering (%)

63,85a 67,18

a 69,81

a 71,61

a 2,94

DE/GE (%) 73,62a 75,05

a 77,78

a 73,92

a 3,79

Kecernaan Protein (%) 72,94a 77,42

a 77,01

a 78,95

a 1,53

1)R1 : Ransum dengan kandungan energi: 2201,15 K.kal ME/kg dan PK: 14,03%

R2 : Ransum dengan kandungan energi: 2402,17 K.kal ME/kg dan PK: 15,50%

R3 : Ransum dengan kandungan energi: 2603,45 K.kalME/kg dan PK: 17,01%

R4 : Ransum dengan kandungan energi: 2801,81 K.kalME/kg dan PK: 18,50%

2) Superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukkan perbedaan tidak nyata

(P>0,05)

dan superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)

3) SEM : Standard Error of The Treatment Means

Berat potong kelinci yang dipelihara pada kandang K0 adalah 1592,25g,

sedangkan berat potong kelinci pada kandang K1 adalah 7,25% lebih tinggi

namun tidk berbeda nyata (P>0,05) diabndingkan dengan K0 (Tabel 5.14). Berat

potong kelinci yang diberikan ransum R3 adalah 1788,28g, sedangkan R4 adalah

8,78% lebih rendah (P>0,05) dan R2 dan R1 masing-masing 22,06% dan 36,22%

lebih rendah (P<0,05) dibandingkan R3 (Tabel 5.15). Kelinci yang dipelihara

pada kandang K0 menghasilkan berat karkas (768,92g) tidak berbeda nyata

(P>0,05) daripada K1 (688,16g). Perlakuan ransum R3 menghasilkan berat

karkas paling tinggi yaitu 919,03g, sedangkan perlakuan R4, R2 dan R1 masing-

masing 9,46%, 29,53% dan 45,60% lebih rendah (P<0,05) dibandingkan dengan

R3. Tidak terjadi perbedaan yang nyata pada variabel persentase karkas pada

perlakuan kandang berbeda. Perlakuan ransum R1 menghasilkan persentase

karkas paling rendah yaitu 43,83%, sedangkan R2, R4 dan R3 masing-masing

6,02%, 16,38% dan 17,25% lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan R1.

Kelinci yang dipelihara pada kandang K0 adalah 34,02 cm tidak berbeda nyata

dibandingkan dengan K1 yaitu 31,93 cm. Panjang karkas paling tinggi terjadi

pada kandang R3 (35,55 cm) sedangkan pada R4 adalah 4,89% lebih rendah

41

(P>0,05) dibandingkan R3 dan R2 dan R1 masing-masing 12,74% dan 12,91%

lebih rendah (P<0,05).

Tabel 5.14 Karkas Kelinci yang Dipelihara pada Kandang Berbeda

Variabel Perlakuan

K0 K1 SEM

Berat Potong (g) 1592,25a 1476,81

a 38,38

Berat Karkas (g) 768,92a 688,16

a 28,47

Persentase Karkas (%) 48,29a 46,60

a 1,06

Panjang Karkas (cm) 34,02a 31,93

a 1,12

Berat Kaki Depan (g/100 g berat karkas) 16,87a 15,29

a 0,96

Berat Kaki Belakang (g/100 g berat karkas) 30,75a 30,38

a 0,94

Berat Pinggang dan Punggung Karkas

(g/100g berat karkas)

25,36a 27,12

a 3,22

Berat Dada dan leher Karkas (g/100 g berat

karkas)

27,01a 27,08

a 3,87

Berat Daging Karkas (g/100 g berat karkas) 67,28a 64,43

a 2,27

Berat Lemak Karkas (g/100 g berat karkas) 3,19a 2,99

a 0,16

Berat Tulang Karkas (g/100g berat karkas) 29,53 a 32,58

a 1,56

1) K0 : Kandang under ground shelter

K1 : Kandang Battery

2) Superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukkan perbedaan tidak nyata

(P>0,05)

dan superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)

3) SEM : Standard Error of The Treatment Means

Perlakuan kandang berbeda tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap potongan

komersial karkas kelinci yaitu kaki depan, kaki belakang, pinggang dan

punggung, dada dan leher (Tabel 5.14). Potongan komersial karkas (kaki depan,

kaki belakang, pinggang dan punggung, dada dan leher) tidak dipengaruhi secara

nyata (P>0,05) oleh perlakuan ransum berbeda (Tabel 5.15).

42

Tabel 5.15

Karkas Kelinci yang Mendapat Perlakuan Ransum dengan Kandungan Energi

dan

Protein Berbeda

Variabel Perlakuan

R1 R2 R3 R4 SEM

Berat Potong (g) 1140,58b 1393,77

b 1788,28

a 1631,25

a 70,23

Berat Karkas (g) 499,97c 647,66

b 919,03

a 832,07

a 29,88

Persentase Karkas (%) 43,83c 46,47

b 51,39

a 51,01

ab 0,81

Panjang Karkas (cm) 30,96b 31,02

b 35,55

a 33,81

ab 1,21

Berat Kaki Depan Karkas

(g/100g karkas)

17,30a 14,62

a 15,53

a 15,69

a 0,90

Berat Kaki Belakang

Karkas (g/100g karkas)

28,41a 31,54

a 33,59

a 31,59

a 1,54

Pinggang dan Punggung

Karkas (g/100 g karkas)

29,20a 26,92

a 24,56

a 24,01

a 2,07

Berat Dada dan leher

Karkas (g/100 g karkas)

24,92 a 26,85

a 26,49

a 28,88

a 2,71

Berat Daging Karkas

(g/100 g karkas)

61,02b 64,08

b 70,21

a 67,31

ab 1,22

Berat Lemak Karkas

(g/100 g berat karkas)

2,31b 2,98

a 3,09

a 3,98

a 0,40

Berat Tulang Kakas

(g/100g berat karkas)

36,64 a 32,93

a 26,98

a 28,70

a 2,25

1)R1 : Ransum dengan kandungan energi: 2201,15 K.kal ME/kg dan PK: 14,03%

R2 : Ransum dengan kandungan energi: 2402,17 K.kal ME/kg dan PK: 15,50%

R3 : Ransum dengan kandungan energi: 2603,45 K.kalME/kg dan PK: 17,01%

R4 : Ransum dengan kandungan energi: 2801,81 K.kalME/kg dan PK: 18,50%

2) Superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukkan perbedaan tidak nyata

(P>0,05)

dan superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)

3) SEM : Standard Error of The Treatment Means

Kelinci yang dipelihara pada kandang K0 dan K1 menghasilkan konsumsi

energi, energi pada feses, energi tercerna dan energi termetabolis tidak berbeda

(P>0,05) seperti pada Tabel 5.16. Retensi energi pada tubuh kelinci yang

dipelihara pada kandang K0 adalah 51,71 kkal/hari sedangkan pada K1 adalah

21,11% lebih rendah (P<0,05) dibandingkan dengan K0 (Tabel 5.16). Produksi

panas yang dihasilkan oleh tubuh kelinci yang dipelihara pada kandang K1

adalah 164,01 Kkal/hari, sedangkan pada K0 adalah 21,98% lebih rendah

43

(P<0,05) daripada K1. Produksi panas per berat badan metabolis yang dihasilkan

oleh tubuh kelinci yang dipelihara pada kandang K1 adalah 122,96 KkalW

0,75/hari, sedangkan pada K0 adalah 28,38% lebih rendah (P<0,05) daripada K1.

Konsumsi ME/Pbb kelinci yang dipelihara pada kanadang K0 adalah 10,41

kkal/g pbb sedangkan kelinci pada kandang K1 adalah 27,19 lebih tinggi

(P<0,05) dibandingkan K0 ( Tabel 5.16).

Tabel 5.16

Keseimbangan Energi Tubuh Ternak Kelinci pada Kandang Berbeda

Variabel Perlakuan

K0 K1 SEM

Konsumsi Energi (Kkal/hari) 255,28a 276,47

a 16,43

Energi Feses (Kkal/hari) 66,15a 64,15

a 5,14

Energi Tercerna (Kkal/hari) 189,12a 212,32

a 8,52

Energi Termetabolis (Kkal/hari) 179,67a 201,70

a 2,98

Retensi Energi (Kkal/hari) 51,71a 37,69

b 0,32

Produksi Panas (Kkal/hari) 127,96b 164,01

a 6,31

Produksi Panas (KkalW 0,75

/hari) 88,07b 122,96

a 1,16

Konsumsi ME/PBB (Kkal/g pbb) 10,41b 13,24

a 0,94

1) K0 : Kandang under ground shelter

K1 : Kandang Battery

2) Superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukkan perbedaan tidak nyata

(P>0,05)

dan superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)

3) SEM : Standard Error of The Treatment Means

Kelinci yang diberi perlakuan ransum dengan kandungan energi dan

protein berbeda tidak menyebabkan perbedaan nyata (P>0,05) terhadap variabel

energi pada feses, produksi panas dan konsumsi ME/Pbb (Tabel 5.17). Perlakuan

ransum R4 menyebabkan konsumsi energi paling tinggi yaitu 300,71 kkal/hari,

sedangkan perlakuan R3 adalah 1,16% lebih rendah (P>0,05) dibandingkan R4.

Perlakuan ransum R2 dan R1 masing-masing 16,94% dan 28,24% lebih rendah

(P<0,05) daripada R4. Energi tercerna pada kelinci yang diberi perlakuan ransum

R1 adalah 159,95 kkal/kg, sedangkan R2, R3 dan R4 masing-masing 18,06%,

17,36% dan 37,15% lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan R1. Energi

termetabolis pada kelinci yang diberi perlakuan ransum R1 adalah 151,95

kkal/kg, sedangkan R2, R3 dan R4 masing-masing 20,22%, 37,90% dan 42,37%

44

lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan dengan R1. Retensi energi pada tubuh kelinci

paling tinggi terjadi pada perlakuan ransum R3 yaitu 65,36 kkal/hari dan ransum

R4 adalah 10,01% lebih rendah (P>0,05). Retensi energi R2 dan R1 masing-

masing 35,11% dan 41,70% lebih rendah (P<0,05) daripada R3.

Tabel 5.17

Keseimbangan Energi TubuhTernak Kelinci yang Mendapat Perlakuan Ransum

dengan

Kandungan Energi dan Protein Berbeda

Variabel Perlakuan

R1 R2 R3 R4 SEM

Konsumsi Energi

(K.kal/hari)

215,78c 249,78

b 297,22

a 300,71

a 8,02

Energi Feses

(Kkal/hari)

55,84a 60,95

a 62,57

a 81,24

a 5,78

Energi Tercerna

(Kkal/hr)

159,95c 183,33

b 234,65

a 219,46

a 4,53

Energi Termetabolis

(Kkal/hari)

151,95b 179,39

a 178,33

a 208,4

a 5,19

Retensi Energi

(Kkal/hari)

29,28b 35,01

b 65,36

a 49,19

a 2,31

Produksi Panas

(Kkal/hari) 122,67

a 144,38

a 157,56

a 159,32

a 9,75

Produksi Panas

(KkalW0,75

/hari)

110,39a 110,30

a 95,79

a 106,73

a 9,87

Konsumsi ME/PBB

(Kkal/g pbb)

12,97a 12,14

a 10,66

a 11,53

a 1,94

1)R1 : Ransum dengan kandungan energi: 2201,15 Kkal ME/kg dan PK: 14,03%

R2 : Ransum dengan kandungan energi: 2402,17 Kkal ME/kg dan PK: 15,50%

R3 : Ransum dengan kandungan energi: 2603,45 KkalME/kg dan PK: 17,01%

R4 : Ransum dengan kandungan energi: 2801,81 KkalME/kg dan PK: 18,50%

2) Superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukkan perbedaan tidak nyata

(P>0,05)

dan superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)

3) SEM : Standard Error of The Treatment Means

Perlakuan kandang berbeda tidak berpengaruh secara nyaya (P>0,05)

terhadap Tidak terjadi perbedaan yang nyata (P>0,05) pada variabel konsumsi

protein, protein pada feses dan protein tercerna (Tabel 5.18). Kelinci yang

dipelihara pada kandang K0 menghasilkan retensi protein 3,97 g/hari sedangkan

pada kandang K1 adalah 29,78% lebih rendah (P<0,05) dibandingkan dengan K0.

Kelinci yang diberi perlakuan ransum R4 mengkonsumsi protein 13,45 g/hari

45

sedangkan kelinci yang diberi ransum R3, R2 dan R1 masing-masing 12,42% ,

23,71% dan 41,11% lebih rendah (P<0,05) daripada R4. Perlakuan ransum tidak

menyebabkan perbedaan yang nyata (P>0,05) terhadap variabel protein pada

feses ternak kelinci. Perlakuan ransum R4 menyebabkan protein tercerna paling

tinggi yaitu 10,85 g/hari sedangkan perlakuan R3, R2 dan R1 masing-masing

19,54%, 24,98% dan 45,53% lebih rendah dibandingkan dengan R4. Kelinci

yang diberi ransum R3 menyebabkan retensi energi paling tinggi yaitu 4,70 g/hari

sedangkan ransum R4, R2 dan R1 masing-masing 12,98%, 39,57% dan 55,32%

lebih rendah dibandingkan dengan R3.

Tabel 5.18

Keseimbangan Protein Tubuh Kelinci pada Kandang Berbeda

Variabel Perlakuan

K0 K1 SEM

Konsumsi Protein (g/hari) 10,89a 11,20

a 0,44

Protein dalam Feses (g/hari 2,27a 2,50

a 0,16

Protein Tercerna (gr/hari) 8,62a 8,70

a 0,38

Retensi Protein (g/hari) 3,97a 2,57

b 0,31

1) K0 : Kandang under ground shelter

K1 : Kandang Battery

2) Superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukkan perbedaan tidak nyata

(P>0,05)

dan superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)

3) SEM : standard Error of The Treatment Means

46

Tabel 5.19

Keseimbangan Protein Ternak Kelinci yang Mendapat Perlakuan Ransum dengan

Kandungan Energi dan Protein Berbeda

Variabel Perlakuan

R1 R2 R3 R4 SEM

Konsumsi Protein

(g/hari)

7,92d 10,26

c 11,78

b 13,45

a 0,44

Protein Feses (g/hari)

2,01a 2,12

a 3,05

a 2,60

a 0,64

Protein Tercerna

(g/hari)

5,91c 8,14b

b 8,73b

b 10,85a

a 0,20

Retensi Protein (g/hari) 2,10b 2,84

b 4,70

a 4,09

a 0,15

1)R1 : Ransum dengan kandungan energi: 2201,15 Kkal ME/kg dan PK: 14,03%

R2 : Ransum dengan kandungan energi: 2402,17 Kkal ME/kg dan PK: 15,50%

R3 : Ransum dengan kandungan energi: 2603,45 KkalME/kg dan PK: 17,01%

R4 : Ransum dengan kandungan energi: 2801,81 KkalME/kg dan PK: 18,50%

2) Superskrip yang sama pada baris yang sama menunjukkan perbedaan tidak nyata

(P>0,05)

dan superskrip berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05)

3) SEM : Standard Error of The Treatment Means

5.2 Pembahasan

5.2.1 Iklim Mikro Kandang

Kelinci yang dipelihara pada kandang under ground shelter (K0)

menyebabkan temperatur udara di dalam kandang lebih rendah daripada kandang

battery (K1). Jarak anatara petak kandang dengan bahan atap pada kandang K0

lebih jauh dibandingkan dengan kandang K1 sehingga pancaran radiasi

gelombang panjang dari bahan atap lebih rendah intensitasnya pada kandang K0

sehingga temperatur yang terukur lebih rendah, sesuai dengan pendapat Lean dan

Rind (1996). Temperatur lebih rendah pada kandang K0 menyebabkan evaporasi

dari sumber air di dalam kandang lebih rendah sehingga menyebabkan

kelembaban udara lebih rendah. Marai (2002) menyatakan temperatur dan

kelembaban udara yang lebih rendah akan menghasilkan Temperatur Humidity

Index (THI) lebih rendah. Perlakuan ransum berbeda tidak berbepangaruh

terhadap temperatur udara di dalam kandang. Perbedaan panas metabolisme yang

47

ditimbulkan oleh perbedaan konsumsi energi dan protein pada perlakuan ransum

berbeda, belum mempengaruhi temperatur udara yang terukur.

5.2.2 Respon Fisiologi

Denyut jantung dan frekuensi pernafasan kelinci yang dipelihara pada

kandang K1 lebih tinggi daripada kandang K0. Tingkat cekaman yang lebih

tinggi pada kelinci yang dipelihara pada kandang K1 mengharuskan kelinci

mempercepat denyut jantung dan frekuensi pernafasan untuk meningkatkan

suplai oksigen pada jaringan, sesuai dengan pendapat Mahardika (1996), Cervera

dan Carmona (1998). Ransum dengan kandungan energi dan protein lebih tinggi

(R4) menyebabkan denyut jantung lebih tinggi daripada kandungan energi dan

protein ransum lebih rendah. Konsumsi energi dan protein yang lebih tinggi pada

kelinci yang diberi ransum R4 menyebabkan peningkatan laju metabolisme.

Peningkatan metabolisme memerlukan suplai oksigen yang lebih banyak

sehingga denyut jantung meningkat agar aliran darah yang membawa oksigen

terikat pada haemoglobin meningkat (Kasa et al., 1995). Hasil penelitian

mendapatkan temperatur raktal rata-rata berkisar antara 39,04 oC sampai 39,88

oC. Hasil yang sama didapatkan oleh Kasa dan Thwaites (1993) yaitu berkisar

39,4 oC sampai 40,6

oC, Bivin dan King (1995) yaitu 39,5

oC. Tidak terjadi

perbedaan pada variabel temperatur rektal pada ternak kelinci yang dipelihara

pada kandang K0 tidak berbeda dengan kandang K1. Perbedaan temperatur udara

rata-rata diantara kandang K0 dan K1 tidak jauh berbeda yatu sebesar 1,59 oC.

Perbedaan temperatur tersebut belum berpengaruh pada temperatur rektal.

Thwaites et al. (1995) juga mendapatkan hasil penelitian yang sama yaitu kelinci

yang dipelihara pada temperatur 34 oC menyebabkan temperatur rektal 40,2

oC

yang tidak berbeda nyata dibandingkan dengan temperatur pemeliharaan 36 oC

yaitu temperature rektalnya 40,7 oC. Perlakuan ransum dengan kandungan energi

dan protein berbeda tidak mempengaruhi temperatur rektal. Hal ini

mengindikasikan bahwa perbedaan panas metabolisme dari perbedaan konsumsi

energi dan protein oleh ternak kelinci belum berpengaruh pada temperatur raktal.

Temperatur kulit kelinci yang dipelihara pada K0 lebih rendah daripada

kelinci pada kandang K1. Ternak yang mempunyai temperatur tubuh lebih tinggi

dari temperatur lingkungan akan berusaha menyeimbangkan temperatur tubuhnya

48

dengan lingkungan melalui cara konduksi, konveksi, radiasi dan evaporasi

(Esmay (1978). Kelinci pada K0 yang berada di bawah lantai bangunan kandang

menerima radiasi panas (gelombang panjang) lebih sedikit daripada K1. Hal ini

menyebabkan temperatur rektal dan temperatur kulit lebih rendah. Disamping

faktor tersebut, kandang under ground shelter yang dilengkapi lubang tempat

berlindung akan memberi kesempatan pada ternak untuk melakukan proses

homeostatis melalui mekanisme konduksi. Temperatur kulit tidak dipengaruhi

oleh perlakuan ransum dengan kandungan energi dan protein berbeda.

Temperatur kulit yang sama ini disebabkan karena perbedaan kandungan energi

dan protein dalam ransum tidak berpengaruh pada temperatur udara dalam

kandang. Ternak dipelihara pada temperatur udara dalam kandang yang sama

akan menghasilkan temperatur kulit yang sama pula, sesuai dengan pendapat

Kasa dan Thwaites (1993).

5.2.3 Respon Hematologi

Kandungan haemoglobin, eritrosit dan hematokrit pada darah kelinci yang

dipelihara pada kandang K1 lebih rendah daripada K0. Hal ini berkaitan dengan

tingkat kenyamanan ternak dalam kandang yang selanjutnya berpengaruh pada

proses metabolisme nutrien dalam tubuh ternak. Kandang K1 meyebabkan nilai

THI lebih tinggi (kurang nyaman) dibandingkan dengan kandang K0.

Pemeliharaan ternak dalam kondisi cekaman panas menyebabkan kebutuhan

energi untuk hidup pokoknya meningkat yang terindikasi pula oleh nilai FCR

yang lebih tinggi (Tabel 5.8). Keadaan ini menyebabkan proses pembentukan

organ tubuh termasuk haemoglobin, eritrosit dan hematokrit darah menurun.

Hasil penelitian ini sesuai dengan Swenson (1970) yang mandapatkan terjadi

penurunan kandungan haemoglobin darah sapi dengan semakin tinggi temperatur

udara lokasi pemeliharaan.

Kandungan haemoglobin, eritrosit dan hematokrit darah kelinci yang

diberi ransum R3 dan R4 lebih tinggi dibandingkan R2 dan R1. Konsumsi

ransum dan tingkat pertumbuhan kelinci pada perlakuan R3 dan R4 lebih tinggi

dibandingkan dengan R2 dan R1. Tingkat pertumbuhan yang tinggi mengandung

pengertian bahwa proses pembentukan organ tumbuh termasuk haemoglobin

makin tinggi. Pendapat ini didukung oleh Behring (2000) yang menyatakan

49

haemoglobin darah merupakan sarana transportasi oksigen dalam jaringan tubuh

yang sangat diperlukan dalam proses metabolisme. Perlakuan ransum dengan

kandungan energi dan protein berbeda belum berpengaruh secara nyata terhadap

kandungan eritrosit darah. Perlakuan ransum dengan kandungan energi dan

protein paling rendah (R1) memiliki kandungan eritrosit paling rendah (3,99 ×

106/ml), R2 (4,0 × 10

6/ml), R3 (4,42 × 10

6/ml) dan R4 (4,19 × 10

6/ml). Kelinci

yang di beri ransum R1 mengkonsumsi ransum paling rendah sehingga konsumsi

energi dan protein paling rendah. Konsumsi energi dan protein yang rendah

menyebabkan proses pembentukan komponen penyusun tubuh termasuk eritrosit

darah menurun. Kelinci jantan lokal mempunyai kandungan leukosit berkisar

5,78 × 103/ml sampai 6,37 × 10

3/ml. Hasil penelitian ini masih berada dalam

kisaran normal, sesuai dengan hasil penelitian Bivin dan King (1995) yang

mendapatkan kandungan leukosit pada ternak berkisar antara 5,2 – 12 × 103

ml.

Peneliti lain yaitu Vanessa et al. (2005) menyatakan ternak kelinci dalam keadaan

sehat mempunyai kandungan leukosit dalam darahnya 6,3 – 10 × 103/ml.

Dinyatakan pula bahwa dalam kondisi cekaman panas kandungan leukosit

meningkat 15 – 30%. Berdasarkan penelitian ini didapatkan bahwa kelinci yang

dipelihara pada kandang K1 memiliki kandungan leukosit darah lebih tinggi

daripada kandang K0. Peningkatan kandungan leukosit darah pada kandang K1

merupakan respon ternak terhadap kondisi cekaman panas, sesuai dengan

pendapat Vanessa et al. (2005). Pada tabel 4 nampak bahwa temperatur,

kelebaban dan nilai THI pada kandang K1 lebih tinggi (kurang nyaman)

dibandingkan kandang K0. Tidak terdapat perbedaan yang nyata pada

kandungan leukosit darah diantara perlakuan ransum. Hal ini mengindikasikan

bahwa tidak terdapat perbedaan tingkat cekaman pada ternak kelinci yang

diberikan ransum dengan kandungan energi dan protein berbeda. Hasil penelitian

ini mendapatkan bahwa kandungan hematokrit darah kelinci jantan local berkisar

antara 39,5% - 42,25%. Hasil penelitian ini masih berada pada kisaran normal

karena Bivin dan King (1995) mendapatkan kelinci new zeland white mempunyai

kandungan hematokrit darah berkisar 39% - 42%. Kelinci jantan lokal memiliki

rata-rata kandungan glukosa darah 178,50 mg/100 ml dan rata-rata kandungan

trigliserida darah kelinci jantan lokal adalah 99,44 mg/100 ml. Sinha et al.

50

(2008) mendapatkan kandungan glukosa darah kelinci new zealand white di

daerah sub tropis adalah 139,3 mg/100 ml untuk jantan dan 145,4 mg/100 ml

untuk betina. Hasil yang lebih rendah ini disebabkan karena perbedaan kondisi

iklim daerah tropis dengan sub tropis. Perlakuan jenis kandang dan kandungan

energi protein ransum berbeda tidak berpengaruh terhadap kandungan glukosa

dan trigliserida darah. Tingkat cekaman panas yang dialami kelinci pada

kandang dan ransum berbeda belum berpengaruh terhadap mobilisasi glukosa

dari simpanan glikogen atau penggantian sumber energi asal lemak

(glukoneogenesis), sesuai dengan pendapat Mahardika (1996).

5.2.4 Perfomans Kelinci

Kelinci jantan lokal yang dipelihara pada kandang K0 menghasilkan berat

badan akhir dan pertambahan berat badan per hari lebih tinggi daripada kandang

K1. Tingkat kenyamanan ternak dalam kandang K0 lebih tinggi daripada K1

yang dindikasikan oleh nilai THI pada K0 lebih rendah daripada K1. Ternak

dalam kondisi nyaman memerlukan energi untuk kebutuhan hidup pokok lebih

rendah sehinga porsi penggunaan energi untuk partumbuhan lebih tinggi

(Lesson. 1986). Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Suc et al. (1996)

menyatakan pemeliharaan kelinci pada temperatur lebih tinggi dari kebutuhan

optimum (kondisi hipertermia) dapat menurunkan pertambahan berat badan.

Pertambahan berat badan kelinci new zealand white dengan lama pemeliharaan

112 hari pada temperatur udara dalam kandang 18-20 oC dapat mencapi 3 Kg,

sedangkan pada temperatur udara dalam kandang berkisar 30-31 oC

menghasilkan pertambahan berat badan hanya 2,5 Kg.

Ransum dengan kandungan energi dan protein paling rendah (R1)

menghasilkan berat badan paling rendah dibandingkan dengan R2, R3 dan R4.

Tabel 5.9 menunjukkan konsumsi ransum yang rendah pada R1 menyebabkan

konsumsi energi dan protein yang merupakan komponen paling utama

pertumbuhan rendah sehingga menghasilkan berat badan paling rendah.

Pendapat ini didukung oleh Haresign et al. (1977) yang menyatakan energi dan

protein yang dikonsumsi merupakan komponen utama penyusun jaringan tubuh.

Perlakuan ransum R3 menghasilkan berat badan paling tinggi disebabkan karena

konsumsi ransum R3 paling tinggi dan nilai konversi ransum paling rendah yang

51

memungkinkan proses pembentukan jaringan tubuh paling baik. Hasil penelitian

ini didukung oleh Xiangmei (2008) yang menyatakan imbangan energi dan

protein ransum sangat penting diperhatikan untuk dapat mencapai produktivitas

optimal. Ransum yang kekurangan atau kelebihan protein pada tingkat energi

yang sama akan menurunkan pertumbuhan. Kekurangan protein menyebabkan

jumlah asam amino yang dikonsumsi menurun sehingga pembentukan jaringan

daging menurun. Sebaliknya protein yang berlebihan menyebabkan protein

dipergunakan untuk menghasilkan energi melalui proses glikogenolisis sehingga

pertumbuhan menurun. Pendapat ini didukung oleh Prijanti (2008) menyatakan

proses metabolisme protein menjadi energi akan meningkatkan produksi panas

tubuh berupa panas matabolisme (heat increament) meningkat sehingga energi

untuk pertumbuhan menurun. Hasil penelitian yang sama dikemukakan oleh

Butcher et al. (1981) mendapatkan bahwa kelinci new zealand white yang

diberikan ransum dengan kandungan energi metabolisme 8 MJ/kg DM dengan

CP 172 g/kg DM menghasilkan pertambahan berat badan per hari 25,16 g/hr

nyata lebih rendah daripada kandungan energi 10 MJ/kgDM dengan CP 160

g/kgDM dan 12 MJ/kgDM dengan CP 157 g/kgDM yaitu 32,40 g/hr dan 29,8

g/hr. Hasil penelitian berbeda didapatkan oleh Ayyat et al., (2009) yang

menyatakan bahwa kelinci dengan sistem pemelihaaran kadang battery yang

diberikan ransum dengan tingkat energi rendah (2276 kkal DE/kg) menghasilkan

pertambahan berat badan yang tidak berbeda nyata dengan tingkat energi 2436

kkal DE/kg dan tingkat energi tinggi 2707 kkal DE/kg.

Konsumsi ransum kelinci yang dipelihara pada kandang K1 lebih tinggi

daripada K0. Hasil penelitian berbeda didapatkan Kasa et al. (1989) yang

mendapatkan konsumsi ransum kelinci pada temperatur 22 oC adalah 73.14 g/hr

dan pada temperatur 30 oC adalah 49,43 g/hr. Perbedaan hasil ini disebabkan

karena perbedaan selisih suhu kandang. Lesson (1986) menyatakan bahwa

kebutuhan energi untuk hidup pokok meningkat bila ternak dalam kondisi

cekaman panas sehingga kebutuhan total energi menjadi lebih tinggi

dibandingkan dengan kondisi nyaman. Data pada Tabel 5.16 menunujukkan

bahwa produksi panas pada K1 lebih tinggi daripada K0 (137,14 kkal/hr vs

144,19 kkal/hr). Hasil perhitungan mendapatkan bahwa total kebutuhan energi

52

pada K1 lebih tinggi sedangkan pada K0 (201,70 kkal/hr vs 179,67 kkal/hr).

Pendapat ini didukung oleh Ogunjimi et al., (2008) menyatakan bahwa jumlah

panas dan uap air yang diproduksi dari tubuh ternak kelinci sangat dipengaruhi

oleh temperatur dan kelembaban udara yang terindikasi oleh nilai THI . Untuk

memenuhi kebutuhan energi tersebut, kelinci pada K1 mengkonsumsi ransum

lebih tinggi daripada K0.

Kelinci jantan lokal yang diberi ransum R1 mengkonsumsi ransum paling

rendah dibandingkan dengan R2, R3 dan R4. McNitt et al. (1996) menyatakan

konsumsi ransum pada ternak kelinci dipengaruhi oleh faktor lingkungan,

kandungan energi, tekstur, bau dan palatabilitas makanan. Kemungkinan ransum

R1 kurang palatabel bagi ternak kelinci karena mengandung bahan pakan dedak

padi dan rumput gajah paling tinggi. Dedak padi dan rumput gajah merupakan

bahan pakan yang menyebabkan ransum bersifat ambar (bulky) pada saat proses

pembuatan pellet. Ransum yang ambar akan cepat menjadi berdebu pada saat

dimakan kelinci. De Blas dan Wiseman (1998) menyatakan ternak kelinci tidak

menyukai makanan yang berdebu. Pendapat ini didukung oleh hasil penelitian

Mbanya et al. (2010) mendapat bahwa bahan ransum dan komposisi bahan

ransum sumber potein yang dipergunakan dalam ransum berpengaruh terhadap

konsumsi ransum. Konsumsi ransum paling tinggi terjadi pada kelinci yang diberi

tepung ikan sebagai sumber protein yaitu 72,2 g/ekor/hr, sedangkan konsumsi

ransum kelinci yang diberi ransum dengan sumber protein tepung kedelai dan

tepung biji kapas masing-masing 63,9 g/ekor/hr dan 61,4 g/ekor/hr. Hasil

penelitian ini berbeda dengan pendapat Tillman (1986) yang menyatakan bahwa

ternak akan meningkatkan konsumsi ransum bila kandungan energi ransum lebih

rendah dari standar kebutuhan ternak. Densitas ransum R1, R2, R3 dan R4

masing-masing 114,12 g/ml, 158,75 g/ml, 164,07 g/ml dan 198,28 g/ml. Mastika

(2009) menyatakan ransum yang bersifat ambar (bulky) akan cepat memenuhi

kapasitas lambung sehingga merupakan pembatas konsumsi ransum. Konsumsi

ransum paling tinggi terjadi pada kelinci yang diberi ransum R3. Pertumbuhan

yang paling tinggi pada kelinci yang diberi ransum R3 memerlukan energi dan

protein tinggi sebagai komponen penyusun jaringan tubuh (Haresign, 1977)

sehingga konsumsi ransum meningkat. Konsumsi ransum pada R4 lebih rendah

53

daripada R3 disebabkan karena R4 kandungan energinya paling tinggi sehingga

kelinci yang diberi ransum R4 makan lebih sedikit dari R3 untuk memenuhi

kebutuhan energinya, sesuai dengan pendapat Tillman (1986). Laju pertumbuhan

yang tinggi pada ternak kelinci yang diberikan ransum R3 dan R4 memerlukan

konsumsi ransum yang tinggi pula untuk memenuhi kebutuhan nutrien ternak.

Konsumsi air oleh kelinci pada kandang K1 lebih tinggi daripada kandang

K0 (145,03 ml/hr vs 100,86 ml/hr). Konsumsi air yang lebih tinggi pada K1

terkait dengan temperatur udara dalam kandang. Kandang K1 menyebabkan

temperatur udara 28,33oC sedangkan kandang K0 menyebabkan temperatur

udara 26,21 oC, seperti pada Tabel 5.1. Hasil penelitian yang sama didapatkan

oleh Kasa et al. (1989) diamana kelinci yang dipelihara pada temperatur 30 oC

mengkonsumsi air lebih banyak daripada dipelihara dengan temperatur 22 oC

(150,14 ml/hr vs 110,29 ml/hr). Jin et al. (1990) mendapatkan pada temperatur

20 oC kelinci mengkonsumsi air 7 g/hari dan pada temperatur 30

oC meningkat

menjadi 36 g/hari. Pada suhu udara yang lebih tinggi dari kebutuhan optimal,

ternak akan meningkatkan konsumsi air sebagai respon adaptasi untuk

menyeimbangkan panas tubuh. Pendapat sama dikemukakan pula oleh Mount

(1979), Yates (1987), Lean dan Rin (1996) yang menyatakan evaporasi air dari

saluran pernafasan akan dapat menurunkan suhu tubuh karena perubahan air

menjadi uap air memerlukan energi berupa panas yang diambil dari hasil

metabolism.

Data pada Tabel 5.9 menunujukkan bahwa kelinci yang diberi ransum R1

mengkonsumsi air paling banyak (133,20 ml/hr) dibandingkan R3 (128,11 ml/hr),

R4 (125,95 ml/hr) dan R2 (117,99 ml/hr). Hasil penelitian ini berbeda dengan

pendapat Tillman (1986) yang menyatakan makin tinggi konsumsi ransum maka

konsumsi air makin tinggi pula. Konsumsi air tinggi pada R1 berkaitan dengan

densitas ransum. Ransum R1 mempunyai densitas paling rendah sehingga cepat

menjadi berdebu pada saat dimakan oleh ternak kelinci. Sifat ransum yang

berdebu ini menyebabkan kelinci mengkonsumsi air lebih banyak.

Konversi rasum kelinci yang dipelihara pada K1 adalah 3,94 sedangkan

pada kandang K0 adalah 3,11. Skrivanova et al. (2011) menyatakan perbedaan

temperatur di dalam kandang berpengaruh terhadap nilai konversi ransum. Hasil

54

penelitiannya mendapatkan bahwa kelinci yang dipelihara pada temperatur 6 oC,

16 oC dan 25

oC menghasilkan nilai konversi ransum masing-masing 4,02; 3,37;

dan 3,13. Lesson (1986) menyatakan konversi ransum berkaitan dengan

penggunaan energi yang dikonsumsi oleh ternak. Kelinci yang dipelihara pada

kandang K1 mengalami tingkat cekaman panas lebih tinggi yang diindikasikan

oleh nilai THI pada kandang K1 lebih tinggi daripada K0. Adaptasi memerlukan

energi yang merupakan energi hidup pokok. Makin banyak penggunaan energi

untuk keperluan hidup pokok maka penggunaan energi untuk pertumbuhan makin

kecil sehingga nilai konversi ransum menjadi lebih tinggi.

Konversi ransum kelinci yang diberi perlakuan ransum R1(3,96) paling

tinggi daripada R2 (3,88), R3 (3,13) dan R4 (3,15). Hasil penelitian ini sesuai

dengan pendapat Xiangmei (2008) yang menyatakan kandungan energi dan

protein pada ransum akan berpengaruh pada konversi ransum. Hasil penelitian

Kjear dan Jensen (1997) mendapatkan kelinci yang diberi ransum dengan

kandungan energi 10,71 MJ/kg DE dan protein kasar 19,18%, energi 10,73 MJ/kg

DE dan protein kasar 21,04% dan energi 10,63 MJ/kg DE dan protein kasar

24,25% menghasilkan konversi ransum 3,29; 3,57 dan 4,08. Hasil penelitian

berbeda dikemukakan oleh Ayyat et al. (2009) yang mendapatkan kelinci dengan

sistem pemelihaaran kadang battery yang diberikan ransum dengan tingkat energi

rendah (2276 kkal DE/kg) menghasil nilai konversi ransum tidak berbeda dengan

tingkat energi medium (2436 kkal DE/kg) dan tingkat energi tinggi (2707 kkal

DE/kg. Perbedaan hasil penelitian ini disebabkan karena ransum penelitian

merupakan ransum iso protein.

Konsumsi energi dan protein oleh kelinci pada kandang K1 lebih tinggi

daripada K0. Konsumsi energi dan protein yang lebih tinggi ini disebabkan

karena kebutuhan energi hidup pokok kelinci pada kandang K1 lebih tinggi

daripada kandang K0. Sebagai konsekuensinya ternak kelinci pada kandang K1

akan meningkatkan konsumsi ransum sehingga konsumsi energi dan protein juga

meningkat. Kelinci yang mendapat perlakuan R1 mengkonsumsi energi dan

protein paling rendah dibandingkan dengan perlakuan ransum R2, R3 dan R4.

Sifat ambar (bulky) dan ransum lebih lama berada dalam saluran pencernaan

(Tabel 5.11) merupakan faktor pembatas konsumsi ransum. Konsumsi ransum

55

yang rendah pada R1 berdampak pada konsumsi energi dan protein yang rendah.

5.2.5 Mikroba dalam Sekum dan Kolon Kelinci

Jumlah bakteri dan mikroba pada sekum dan kolon kelinci yang dipelihara

pada kandang K0 sedikit lebih banyak daripada K1 (Tabel 5.10). Perlakuan

ransum R3 dan R4 menyebabkan jumlah bakteri dan mikroba sedikit lebih banyak

dari R1 dan R2 (Tabel 5.11). Hal ini disebabkan karena sekum dan kolon

merupakan tempat tumbuhnya bakteri yang berfungsi sebagai proteolitik. Bakteri

menyerang protein-protein yang belum dicerna menjadi skatole, indole, fenol,

asam-asam lemak, hidrogen sulfide dan asam-asam amino. Menghidrolisis

selulose menjadi unit-unit glukose, kemudian dirubah menjadi asam-asam lemak

volatil terutama menjadi asetat, propionat dan butirat. Disamping itu bakteri juga

berfungsi untuk mensintesa vitamin B yang diabsorbsi ke dalam tubuh.

5.2.6 Koefisien Cerna Ransum

Koefisien cerna bahan kering, kofisien cerna protein dan DE/GE ransum

pada kelinci yang dipelihara pada kandang K0 dan K1 tidak menunjukkan

perbedaan yang nyata. Hal ini menunjukkan bahwa kecernaan tidak dipengaruhi

oleh perbedaan iklim mikro yang disebabkan oleh perbedaan jenis kandang.

Pendapat ini didukung oleh Tillman et al. (1986) yang menyatakan kecernaan

dipengaruhi oleh spesies hewan, bentuk fisik ransum dan komposisi bahan

makanan. Tidak terjadi perbedaan kecernaan bahan kering, kecernaan protein dan

DE/GE diantara perlakuan R1, R2, R3 dan R4. Hal ini disebabkan karena hasil

analisis proksimat ransum mendapatkan tidak terdapat perbedaan yang besar

pada kandungan serat kasar ransum. Berdasarkan perhitungan analisis

kandungan serat kasar ransum perlakuan adalah R1 (14,91%), R2 (18,51%), R3

(12,24%) dan R4 (10,68%). McNitt et al. (1996) menyatakan bahwa kebutuhan

minimal serat kasar pada ternak kelinci adalah 10%. Pendapat ini didukung oleh

hasil penelitian Prasad et al. (1996) yang mendapatkan hasil bahwa ransum

dengan kandungan energi 2200 kkal DE/kg dengan CP 15%, energi 2500 K.kal

DE/kg dengan CP 18% dan energi 2800 K.kal DE/kg dengan CP 21% tidak

berpengaruh nyata terhadap kecernaan bahan kering, kecernaan protein dan

DE/GE.

5.2.7 Karkas Kelinci

56

Perlakuan kandang berbeda tidak berpengaruh nyata terhadap berat dan

persentase karkas kelinci. Hal ini disebabkan karena berat potong ternak kelinci

tidak berbeda nyata. Pendapat ini didukung oleh Puger (1993) dan McNitt et al.

(1996) yang menyatakan berat karkas dipengaruhi oleh umur dan berat potong

serta kuantitas dan kualitas ransum yang diberikan. Makin tinggi berat potong

maka makin tinggi pula berat karkasnya. Kelinci jantan lokal yang dipelihara

pada kandang K0 menghasilkan persentase karkas yang tidak berbeda nyata

dengan kandang K1. Berat hidup, berat karkas yang tidak berbeda antara K0 dan

K1 menyebabkan persentase karkas yang dihasilkan tidak berbeda nyata, sesuai

dengan pendapat Kartadisastra (1993).

Kelinci yang diberi ransum R3 menghasilkan berat potong, berat karkas,

persentase karkas dan panjang karkas lebih tinggi dibandingkan perlakuan lain.

Kelinci yang diberi ransum R3 mengkonsumsi energi dan protein serta efisiensi

pengguanaan ransum lebih tinggi dari perlakuan lain. Energi dan protein

merupakan komponen utama penyusun jaringan tubuh (Tillman et al, 1986).

Konsumsi energi dan protein yang lebih tinggi pada kelinci dengan perlakuan

ransum R3 mengakibatkan pertumbuhannya paling lebih tinngi sehingga berat

potong, berat karkas, persentase karkas dan panjang karkas yang dihasilkan lebih

tinggi, sesuai dengan pendapat Kartadisastra (1993), McNitt et al. (1996), de

Blas dan Wiseman (1998). Hasil penelitian yang sama didapatkan oleh Kjear dan

Jensen (1997) kelinci yang diberi ransum dengan energi 10,71 MJ/kg DE dengan

kandungan protein 19,18%; energi 10,73 MJ/kg DE dan protein 21,04% ; energi

10,63 MJ/kg DE dan protein 24,25% menghasilkan berat karkas 1816 g, 1641 g

dan 1724 g.

Perlakuan kandang berbeda serta kandungan energi dan protein berbeda

tidak berpengaruh nyata terhadap potongan komersial karkas (Tabel 5.14 dan

Tabel 5.15). Hasil penelitian mendapatkan persentase kaki depan, kaki belakang,

pinggang-punggung dan dada-leher masing-masing 15,79%, 31,28%, 26,17% dan

26,76%. Hasil penelitian ini masih torgolong normal karena tidak jauh berbeda

dengan hasil peneliti lain. Herman (1989) mendapatkan persentase potongan

komersial dengan urutan yang sama yaitu 15%, 40%, 22% dan 23%, sedangkan

Puger (1993) mendapatkan 16%, 42%, 22% dan 20%.

57

Kelinci yang dipelihara pada kandang K0 menghasilkan daging karkas

lebih tinggi dibandingkan kandang K1 (67,28 g/100g berat karkas vs 64,43

g/100g berat karkas ). Hal ini disebabkan karena retensi energi dan protein ternak

kelinci yang dipelihara pada kandang K0 lebih tinggi daripada kandang K1

(Tabel 5.16 dan Tabel 5.17). Kelinci yang diberi perlakuan ransum R1 dan R2

menghasilkan berat daging karkas per 100g berat karkas lebih rendah daripada

ransum R3 dan R4. Hal ini disebabkan karena konsumsi energi dan protein

sebagai komponen utama penyusun jaringan daging pada R1 dan R2 lebih

rendah daripada R3 dan R4. Pendapat ini didukung pula oleh Praga (1998)

menyatakan protein tubuh ternak tersuusun dari asam-asam amino dengan ikatan

peptida dan membentuk ikatan polipeptida.

Hasil penelitian menunjukkan rata-rata berat lemak karkas kelinci jantan

lokal umur 84 hari adalah 3,09g/100g berat karkas. Hasil penelitian ini masih

dalam kisaran normal karena tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian de Blas

dan Wiseman (1998) yang mendapatkan berat lemak karkas kelinci pada umur

106 hari adalah 3,60g/100g berat karkas. Perlakuan kandang K0 menghasilkan

berat lemak karkas kelinci jantan lokal tidak berbeda nyata dengan kandang K1.

Ini berarti perbedaan iklim mikro pada jenis kandang berbeda tidak berpengruh

terhadap lemak karkas.

Kelinci yang diberi ransum R1 menghasilkan lemak tubuh lebih rendah

dibandingkan dengan ransum R2, R3 dan R4. Hal ini disebabkan karena

konsumsi energi kelinci yang diberi ransum R1 lebih rendah daripada perlakuan

ransum yang lain. Data pada Tabel 5.17 juga menunjukkan retensi energi pada

kelinci yang diberi ransum R1 lebih rendah daripada R2, R3 dan R4. Pendapat ini

didukung oleh Haresign et al. (1977) dan Tillman et al. (1986) yang menyatakan

bahwa ternak mengkonsumsi ransum dengan tujuan memenuhi kebutuhan

energinya dan kelebihan energi yang dikonsumsi akan disimpan dalam bentuk

lemak. Makin rendah konsumsi energi maka jumlah energi yang dapat disimpat

sebagai lemak makin rendah pula.

Tidak terjadi perbedaan berat tulang pada kandang berbeda. Hal ini

menunjukkan tidak ada pengaruh iklim mikro yang berbeda terhadap proses

58

pembentukan tulang. Zerrouki et al.,(2008) menyatakan pertumbuhan tulang

tergantung pada perbedaan kandungan mineral pada ransum. Hasil penelitian ini

menunjukkan perbedaan konsumsi mineral Ca dan P karena perbedaan konsumsi

ransum pada kandang berbeda belum berpengaruh terhadap proses pembentukan

tulang. Berat tulang per 100g berat karkas pada kelinci yang diberi ransum R1

dan R2 lebih tinggi daripada R3 dan R4. Hal ini disebabkan karena berat daging

per 100g berat karkas pada R1 dan R2 lebih rendah sehingga berat tulang per

100g berat karkas lebih tinggi.

Rasio daging- tulang rata-rata kelinci jantan lokal adalah 2,23 : 1. Hasil

penelitian ini lebih rendah dari penelitian de Blas dan Wiseman (1998) yang

mendapatkan 4,91: 1 pada umur 106 hari. Selisih hasil penelitian ini disebabkan

karena perbedaan umur potong dan spesies kelinci . Makin tua umur potong

maka rasio daging tulang akan makin tinggi karena tulang merupakan organ

tubuh masak dini, sehingga tulang mendapat prioritas pada fase pertumbuhan.

Kelinci yang dipelihara pada kandang K0 menghasilkan rasio daging-

tulang tidak berbeda dengan K1. Berat daging (Tabel 5.12) dan berat Tulang

(Tabel 5.14) antara kandang K0 dan K1 tidak berbeda sehingga rasio daging-

tulang yang dihasilkan tidak berbeda pula. Ini berarti perbedaan iklim mikro pada

jenis kandang berbeda tidak berpengaruh terhadap rasio daging-tulang karkas.

Perlakuan ransum R1 pada kelinci jantan lokal menghasilkan rasio

daging-tulang paling rendah daripada R2, R3 dan R4. Berat daging kelinci yang

mendapat perlakuan ransum R1 lebih rendah dan berat tulang lebih tinggi

sehingga rasio daging-tulang menjadi lebih rendah.

Pada K0, rasio daging tulang kelinci yang mendapat perlakuan R3 lebih

tinggi daripada R4. Pada kandang K1, rasio daging-tulang R4 lebih tinggi

daripada R3. Hal ini disebabkan karena aktivitas kelinci pada kandang K0 lebih

rendah daripada K1 sehingga kelinci dengan pertumbuhan paling tinggi (R3)

mempunyai berat tulang lebih rendah dari pada R4. Berat tulang yang lebih

rendah ini menghasilkan rasio daging-tulang pada R3 lebih tinggi daripada R4.

Berbeda pada kandang K1, aktivitas ternak yang lebih tinggi menyebabkan

59

kelinci dengan pertumbuhan paling tinggi (R3) mempunyai berat tulang lebih

tinggi daripada R4. Hal ini menyebabkan rasio daging-tulang pada R3 lebih

rendah daripada R4.

5.2.8 Neraca energi

Kelinci yang dipelihara pada kandang K0 mengkonsumsi energi 255,28

kkal/hari, sedangkan pada kandang K1 adalah 276,47 kkal/hari. Hasil penelitian

yang sama didapatkan oleh de Blas dan Wiseman (1998) bahwa kelinci yang

dipelihara pada temperatur pemeliharaan 18 oC mengkonsumsi energi 284,21

K.kal/hari sedangkan pada temperatur pemeliharaan 9 oC mengkonsumsi energ

213,16 K.kal/hari.

Hasil penelitian mendapatkan energi tercerna (DE) kelinci yang dipelihara

pada kandang K0 adalah 189,12 kkal/hari. Pada kandang K1, energi tercerna

(DE) ternak kelinci adalah 206,59 K.kal/hari. Hasil penelitian Xiccato et al.

(1991) mendapatkan hasil yang sama yaitu energi tercerna (DE) kelinci new

zeland white berkisar 179 sampai 202 K.kal/ekor/hari.

Energi tercerna (DE) dan energi termetabolis (ME) pada kelinci yang

dipelihara pada kandang K1 secara kuantitatif lebih tinggi dibandingkan dengan

kandang K0. Kondisi ini disebabkan karena iklim mikro pada kandang K1 (suhu,

kelembaban udara dan THI) lebih tinggi dari kebutuhan nyaman bagi ternak

kelinci seperti data hasil penelitian pada Tabel 5.1. Kelinci pada kondisi

cekaman panas (heat stress) membutuhkan energi lebih tinggi karena sebagian

energi yang dikonsumsi akan dipergunakan untuk beradaptasi mengatasi kondisi

lingkungan, sesuai dengan pendapat Lesson (1986).

Energi tercerna (DE) dan energi termetabolis (ME) pada kelinci yang

diberi perlakuan ransum R3 dan R4 lebih tinggi daripada R2 dan R1 ( Tabel

5.17). Perbedaan ini disebabkan karena kandungan energi ransum perlakuan R3

dan R4 lebih tinggi daripada R2 dan R1 dan konsumsi ransum kelinci yang diberi

ransum perlakuan R3 dan R4 lebih tinggi daripada R2 dan R1. Hasil penelitian ini

didukung oleh penelitian Prasad et al. (1996) yang mendapatkan bahwa kelinci

new zeland white yang diberi ransum dengan kandungan energi 2585 K.kal

DE/kg dan PK 16%, energi 2778 K.kal DE/kg dan PK 20% dan energi 3043

60

K.kal DE/kg dan PK 22,70% menyebabkan energi tercerna (DE) masing-masing

296 K.kal/hari, 318 K.kal//hari dan 287 K.kal/hari.

Retensi energi pada tubuh kelinci yang dipelihara pada kandang K1 lebih

rendah daripada kandang K0. Keadaan ini disebabkan karena penggunaan energi

untuk mengatasi kondisi lingkungan (hidup pokok) kelinci yang dipelihara pada

kandang K1 lebih tinggi daripada K0 (147,85 kkal/hari vs 105,80 kkal/hari).

Hasil penelitian yang sama didapatkan oleh Kasa et al. (1989) dimana domba

saenan yang berlari pada tread mill dengan kecepatan 30 km/jam pada temperatur

40 oC produksi panasnya lebih tinggi daripada temperatur 30

oCdan 20

oC.

Peningkatan produksi panas ini disebabkan karena peningkatan denyut jantung

dan laju respirasi yang merupakan respon ternak untuk mensuplai lebih banyak

oksigen dalam tubuh. Retensi energi pada kelinci yang diberi perlakuan ransum

R3 dan R4 lebih tinggi daripada R2 dan R1. Hal ini disebabkan karena konsumsi

ransum dan konsumsi energi termetabolis (ME) pada perlakuan ransum R3 dan

R4 lebih tinggi dibandingkan ransum R2 dan R1.

Produksi panas kelinci yang dipelhara pada kandang K1 lebih tinggi

daripada kandang K0 (164,09 kkal/hari vs 127,96 kka/hari). Ternak kelinci

mengkonsumsi energi untuk memenuhi hidup pokok dan untuk pertumbuhan (de

Blas dan Wiseman, 1998). Kondisi yang kurang nyaman pada kandang K1

diindikasikan oleh suhu, kelembaban udara dan nilai THI (Tabel 5.1) yang lebih

tinggi menyebabkan produksi panas dalam tubuh ternak meningkat dan retensi

energi (RE) kelinci yang dipelihara pada kandang K1 menurun (Tabel 5.16).

Kelinci yang dipelihara pada kandang K0 menyebabkan konsumsi energi

termetabolis (ME/pbb) lebih rendah daripada K1. Hal ini menunjukkan bahwa

kelinci pada kandang K0 lebih efisien menggunakan energi termetabolis daripada

kelinci pada kandang K1. Setiap pertambahan berat badan kelinci sebesar 1 g

pada kandang K0 memerlukan energi termetabolis (ME) 10,41 kkal, sedangkan

kelinci pada K1 perlu energi termetabolis (ME) lebih tinggi yaitu 13,24 kkal.

Konsumsi energi termetabolis atau ME/pbb kelinci yang mendapat perlakuan

ransum R3 paling rendah yaitu 10,66 kkal/g pbb, kemudian disusul secara

berturut-turut R4 (11,53 kkal/g pbb), R2 (12,41 kkal/g pbb) dan R1 (12,97 kkal/g

pbb). Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan ransum R3 paling efisien

61

menggunakan energi termetabolis (ME) untuk menghasilkan pertambahan berat

badan yang sama dibandingkan dengan ransum R4, R2 dan R1.

5.2.9 Neraca protein

Konsumsi protein rata-rata kelinci jantan lokal adalah 10,85 g/hari. Hasil

penelitian konsumsi protein ini masih berada pada kisaran normal. Penelitian

Prasad et al. (1996) mendapatkan rata-rata konsumsi protein kelinci new zeland

white 14 g/hari.

Hasil penelitian pada Tabel 5.18 mendapatkan bahwa konsumsi protein

pada kandang K0 lebih rendah daripada K1( 10,89 g/hari vs 11,20 g/hari). Hal

ini disebabkan karena konsumsi ransum kelinci pada kandang K0 lebih rendah

dibandingkan dengan K1. Kelinci yang mendapat perlakuan ransum R4

mengkonsumsi protein paling tinggi yaitu 13,45 g/ekor/hari kemudian disusul R3,

R2 dan R1 masing-masing 11,78 g/ekor/hari, 10,26 g/ekor/hari dan 7,92

g/ekor/hari. Perbedaan konsumsi protein ini disebabkan karena perbedaan

kandungan protein kasar ransum perlakuan (Tabel 4.2). Kandungan protein kasar

yang tinggi pada ransum R4 dan disertai dengan konsumsi ransum yang tinggi

pada kelinci yang mendapat perlakuan ransum R4, menyebabkan konsumsi

protein kelinci yang diberi ransum R4 lebih tinggi daripada R3, R2 dan R1.

Perlakuan kandang berbeda serta kandungan energi dan protein berbeda tidak

berpengaruh secara nyata terhadap kandungan protein feses kelinci jantan lokal.

Hal ini mengindikasikan bahwa perbedaan iklim mikro serta kandungan energi

dan protein ransum belum berpengaruh terhadap protein yang terbuang melalui

feses.

Retensi protein pada kelinci yang dipelihara pada kandang K0 lebih tinggi

daripada kandang K1 (3,97 g/hari vs 2,57 g/hari). Data hasil penelitian ini

mengindikasikan bahwa penggunaan protein kelinci pada kandang K0 lebih

efisien daripada kandang K1. Kondisi lingkungan yang lebih nyaman pada

kandang K0 menyebabkan penggunaan protein untuk hidup pokok lebih rendah

daripada kandang K1. Berdasarkan perhitungan didapatkan bahwa kebutuhan

protein untuk hidup pokok kelinci pada kandang K0 rendah daripada K1 (5,33

g/hari vs 7,64 g/hari). Kebutuhan protein untuk hidup pokok yang lebih rendah

pada kandang K0 menyebabkan protein yang dapat diretensi di dalam tubuh

62

kelinci yang dipelihara pada kandang K0 menjadi lebih tinggi dibandingkan

dengan K1.

5.2.10 Perhitungan kebutuhan energi

Perhitungan kebutuhan energi dan protein dihitung berdasarkan data-data

konsumsi, berat badan, kecernaan, retensi energi kelinci jantan umur 5 – 17

minggu. Kebutuhan energi kelinci jantan lokal dihitung dengam cara

menjumlahkan energi untuk hidup pokok dengan energi untuk pertumbuhan.

Energi hidup pokok merupakan energi termetabolis (ME) dikurangi denagn

retensi energi (RE) yang telah dikoreksi denagn parsial efisiensi (RE/ME).

Mount (1979) mendapatkan bahwa nilai RE/ME sama dengan 0,70. Nilai

farsial efisiensi 0,70 mengandung pengertian bahwa 70% kenaikan ME diatas

hidup pokok akan dikonversi menjadi RE dan sisanya 30% akan dikonversi

menjadi panas. Produksi panas untuk hidup pokok (EHp) dihitung dengan

menggunakan formulasi : EHp = ME – RE/0,7.

Berdasarkan formulasi di atas, energi hidup pokok (EHp) pada kandang

under groun shelter (K0) didapatkan 105,79 k.kal/hari setara dengan 73,47

kkal/W0,75

. Energi hidup pokok (EHp) pada kandang battery (K1) didapatkan

147,85 kkal/hari setara dengan 108,32 kkalW0,75

. Hasil penelitian Parigi Bini dan

Xiccato et al. (1998) mendapatkan EHp untuk kelinci new zeland white adalah

381 KJW0,75

setara denag 91,44 KkalW0,75

dan kelinci flemis giant adalah 552 KJ

W0,75

setara dengan 132,48 K.kalW0,75

. Data hasil perhitungan yang didapat

dalam penelitian ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Parigi Bini dan

Xiccato et al. (1998).

Kebutuhan energi untuk hidup pokok (EHp) ternak kelinci yang

dipelihara pada kandang K1 lebih tinggi daripada K0 (147,85 kkal/hari vs 105,79

kkal/hari). Data iklim mikro yaitu temperatur dan kelembaban udara serta nilai

THI (Tabel 5.1) menunjukkan bahwa kandang K1 kurang nyaman dibandingkan

dengan kandang K0. Kondisi ini menunjukan bahwa kebutuhan energi untuk

hidup pokok (EHp) dipengaruhi oleh faktor lingkungan (iklim mikro) dan tingkat

pertumbuhan ternak. Hasil penelitian ini didukung oleh hasil penelitian de Blas

dan Wiseman (1998) yang mendapatkan bahwa kelinci yang dipelihara pada

temperatur 9oC membutuhkan EHp 633 KJ/hari setara dengan 151,44 K.kal/hari,

63

sedangkan pada temperature 18 oC membutuhkan EHp 745 KJ/hari setara

dengan 178,23 K.kal/hari.

Hasil perhitungan energi untuk tumbuh (Et) kelinci jantan lokal umur 5 –

17 minggu pada kandang under ground shelter (K0) adalah 73,87 kkal/hari dan

kandang battery (K1) adalah 53,85 kkal/hari. Hasil penelitian ini lebih rendah

dari penelitian de Blas dan Wiseman yang menggunakan kelinci new zeland

white di daerah sub tropis 611 KJ/hari setara 146,64 K.kal/hari. Perbedaan hasil

ini disebabkan karena perbedaan jenis ternak kelinci yang dipergunakan dan

kondisi iklim mikro.

Ternak kelinci yang dipelihara pada kandang K0 lebih nyaman

dibandingkan dengan kandang K1. Pada kondisi nyaman ternak lebih banyak

menggunakan energi yang dikonsumsi untuk pertumbuhan daripada kondisi

cekaman (Lesson, 1986). Menurut de Blas dan Wiseman (1998) kelinci

mengkonsumsi energi untuk tujuan hidup pokok dan pertumbuhan. Makin

rendah kebutuhan energi untuk hidup pokok maka makin tinggi energi yang dapat

dipergunakan untuk pertumbuhan.

Berdasarkan perhitungan data di atas maka kebutuhan energi pada ternak

kelinci jantan lokal umur 5 – 17 minggu di daerah dataran rendah tropis dapat

dihitung. Kebutuhan energi hidup pokok kelinci pada kandang under groun

shelter (K0) dengan berat badan rata-rata 1538,38 g dan pertambahan berat badan

rata-rata 16,03 g/hari adalah 105,79 kkal/hari setara dengan 72,96 K.kalW0,75

dan

kebutuhan energi untuk pertumbuhan adalah 73,87 K.kal/hari setara dengan 4,61

kkal/g pbb sehingga total kebutuhan energi menjadi 179,66 k.kal/hari. Konsumsi

ransum rata-rata per hari kelinci jantan lokal pada kandang K0 adalah 0,044

kg/ekor/hari, sehingga bila dikonversi kedalam kandungan energi ransum maka

kelinci pada K0 memerlukan ransum 2848,32 kkalME/kg.

Kebutuhan energi hidup pokok kelinci pada kandang battery (K1)

dengan berat badan rata-rata 1442,36 g dan pertambahan berat badan 14,91 g/hari

adalah 147,85 kkal/hari setara dengan 108,31 kkalW0,75

dan kebutuhan energi

untuk pertumbuhan adalah 53,85 kkal/hari setara dengan 3,61 k.kal/g pbb

sehingga total kebutuhan energi menjadi 201,70 kkal/hari. Konsumsi ransum

rata-rata per hari kelinci jantan lokal pada kandang K1 adalah 0,047 kg/ekor/hari,

64

sehingga bila dikonversi kedalam kandungan energi ransum maka kelinci pada

K1 memerlukan ransum 2951,29 kkalME/kg.

5.2.11 Perhitungan kebutuhan protein

Protein dibutuhkan oleh ternak kelinci untuk hidup pokok dan

pertumbuhan. Hasil penelitian medapatkan bahwa kelinci jantan lokal yang

dipelihara pada kandang under ground shelter (K0) selama 84 hari

mengkonsumsi protein 814,76 g untuk meningkatkan 1460,38 g berat badannya

atau 10,89 g protein setiap hari untuk meningkatkan berat badan 17,39 g/hari.

Dari 10,89 g protein yang dikonsumsi setiap hari, sebanyak 3,97 g disimpan

dalam tubuh dan sisanya hilang melalui feses dan digunakan atau dimetabolis

sebagai sumber energi. Berdasarkan perhitungan didapatkan bahwa kelinci jantan

lokal, pada kandang K0 umur 5 – 17 minggu dengan berat badan 1652,00 g dan

pertambahan berat badan 17,39 g/hari membutuhkan protein untuk hidup pokok

5,62 g/hari setara dengan 3,88 gW0,75

dan protein untuk tumbuh 5,27 g/hari setara

dengan 0,31 g/g pbb sehingga total kebutuhan proteinnya 10,89 g/hari. Bila

dikonversi ke dalam ransum, maka ransum kelinci jantan lokal umur 5 – 17

minggu dengan konsumsi 62,07 g/hari sebaiknya mengandung protein 17,10%.

Hasil penelitian medapatkan bahwa kelinci jantan lokal yang dipelihara

pada kandang battery (K1) selama 84 hari mengkonsumsi protein 940,80 g

untuk meningkatkan 1317,75 g berat badannya atau 11,20 g protein setiap hari

untuk meningkatkan berat badan 15,69 g/hari. Dari 11,20 g protein yang

dikonsumsi setiap hari, sebanyak 2,57 g/hari disimpan dalam tubuh dan sisanya

hilang melalui feses dan digunakan atau dimetabolis sebagai sumber energi.

Berdasarkan perhitungan didapatkan bahwa kelinci jantan lokal, pada kandang

K0 umur 5 – 17 minggu dengan berat badan 1508,50 g dan pertambahan berat

badan 15,69 g/hari membutuhkan protein untuk hidup pokok 7,75 g/hari setara

dengan 5,81 gW0,75

dan protein untuk tumbuh 3,45 g/hari setara dengan 0,22 g/g

pbb sehingga total kebutuhan proteinnya 11,20 g/hari. Bila dikonversi ke dalam

ransum, maka ransum kelinci jantan lokal umur 5 – 17 minggu dengan konsumsi

68,58 g/hari sebaiknya mengandung protein 16,24%.

65

BAB 6 SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang respon biologi serta

perhitungan kebutuhan energi dan protein ternak kelinci jantan lokal di daerah

dataran rendah tropis, pada musim hujan dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Kondisi iklim mikro pada kandang under ground shelter lebih

mendekati kondisi nyaman daripada kandang battery.

2. Respon biologi (fisiologi, hematologi, performans dan karkas) kelinci

jantan lokal yang dipelihara pada kandang under ground shelter lebih

baik daripada kandang battery.

3. Perlakuan kandang dan ransum berbeda belum berpengaruh terhadap

jumlah mikroba pada sekum dan kolon ternak kelinci jantan lokal.

4. Respon biologi kelinci yang diberikan ransum dengan kandungan

energi metabolis 2603,45 kkal/kg dan protein kasar 17,01% lebih baik

daripada energi termetabolis 2801,81 kkal/kg dan protein kasar

18,50%; energi termetabolis 2401, 17 kkal/kg dan protein kasar

15,50% serta energi termetabolis 2201, 15 kkal/kg dan protein kasar

14,83%.

5. Kebutuhan energi untuk hidup pokok kelinci jantan lokal yang

dipelihara pada kandang battery lebih tinggi daripada kandang under

ground shelter (147,85 kkalW0,75

/hr vs 73,47 kkalW0,75

/hr).

6. Kebutuhan energi untuk pertumbuhan kelinci jantan lokal yang

dipelihara pada kandang battery lebih rendah daripada kandang under

ground shelter (3,41 kkal/g pbb vs 4,15 kkal/g pbb).

7. Kebutuhan protein untuk hidup pokok kelinci jantan lokal yang

dipelihara pada kandang battery lebih tinggi daripada kandang under

ground shelter ( 5,81 gW0,75

/hr vs 3,88 gW0,75

/hr).

8. Kebutuhan protein untuk pertumbuhan kelinci jantan lokal yang

dipelihara pada kandang battery lebih rendah daripada kandang under

ground shelter ( 0,22 g/g pbb vs 0,31 g /g pbb).

9. Berdasarkan kesetimbangan energi dan protein dapat diduga kelinci

yang dipelihara pada kandang battery memerlukan ransum dengan

66

kandungan energi termetabolis 2951,29 kkal/kg dan protein kasar

16,24%, sedangkan kandang under ground shelter memerlukan

ransum dengan kandungan energi termetabolis 2848,32 kkal/kg dan

protein kasar 17,10%

6.2 Saran

Berdasarkan hasi-hasil penelitian yang diperoleh dapat disarankan sebagai

berikut: Peternak kelinci di daerah dataran rendah tropis disarankan

menggunakan kandang under ground shelter dan memberikan ransum dengan

kandungan ransum dengan kandungan energi termetabolis 2800 kkal/kg dan

protein kasar 17%. Peternak yang menggunakan kandang battery disaran untuk

melakukan modifikasi factor lingkungan dengan cara evaporative colling, atap

kandang berbentuk monitor atau menggunakan kipas angin.

67

DAFTAR PUSTAKA

Alhaidary A., H.E. Mohamed and A.C. Beynen. 2010. Impact of dietary fat type

and amount on growth performance and serum cholesterol in rabbits.

American Journal of Animal and Veterinary Sciences 5(1): 60-64.

Association of Official Analytical Chemist. 1984. Official Methode of Analysis

Vol.2 Ed. 15. Washington.

Ayyat, M.S., K.A. Yamani, S.M. Bassmy, K.M. El-Gendy and M.A Abdalla.

2009. A Study on Using Different Energy Level for Growing Rabbit in

Egypt. Faculty of Agriculture, Zagazig University, Egypt.

Behring, D. 2000. Hematologi and Hemostasis.

http://www.irvingcrowley.com/cls/hemo.htm. Disitir Tanggal 22 Pebruari

2012.

BMKG. 2012. Informasi Cuaca, Iklim dan Gempa Bumi Provinsi Bali. Bulletin.

Tahun III No. 09 September 2012. Balai Besar Meteorologi Klimatologi

dan Geofisika Wilayah III, Denpasar.

Carvera, C and J.F. Carmona. 1998. Climatic Environment. . In. The Nutrition of

the Rabbit. Ed. C. de Blas and J.Wiseman. CABI Publishing, New York.

De Blass, C and J. Wiseman. 1998. The Nutrition of the Rabbit. CABI

Publishinr. University of Nottingham. Nottingham. P.39-55.

Dong, T.K. N., N. Van Thu and T.R. Preston. 2010. Effect of Dietery Protein

Supply on the Reproductive Performance of Crossbred Rabbits. Cantho

University, Cantho City, Vietnam.

El-Hindawy, M.M. K.A.O. Yamani, M.I. Tawfeek and B.M. Khashaba. 2009.

Performance of Weanling Rabbits as Affected by Energy Level and

Inclusion of Biobiotics in the Diet. http:// www.med well

journals.com/full tex/? Doi.rjbsci.1110.1112. Disitir Tanggal 7 Maret

2012.

Kasa, I.W. and C.J. Thwaites. 1993. The effect of imfra-red radiation on rectal,

skin and hair-tip temperatures of rabbits. World Rabbit Science (1993), 1

(4), 133-138.

Leeson, S. 1986. Nutritional considerations of poultry during heat stress. Poultry

Sci. 42 : 69-81.

68

Lick, N.Q. and D.V. Hung. 2008. Study and Design the Rabbit Coop Small-

Scale Farm in Central of Vietnam. Departemen of Agriculture

Engineering, Hue University of Agriculture and Forestry. Vietnam.

Linder, M.C. 1992. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme. Penerbit Universitas

Indonesia, Jakarta. P. 89-90.

Lukefahr, S.D., W.D. Hohenboken, P.R. Cheeke, N.M. Patton and W.H. Kennick.

1981. Carcass and meat characteristics of flemish giant and new zealand

white purebreed and terminal-crossbred rabbits. Journal Of Appl. Res.

4(3): 66 -72.

Marai, I.F.M., A.A.M. Habeeb, A.E. Gad. 2002. Rabbits Productive,

Reproductive and Physiological Performance Traits as Affected by Heat

Stress. Departement of Animal Production, Faculty of Agiculture,

Zagazig University, Zagazig, Egyt.

Mbanya, J.N., B.N. Ndoping, J.M. Mafeni, D.W.Fomunyam. 2010. The Effect of

Different Protein Source and Their Combination on the Performance of

Growing Rabbit in Tropical Conditions.

http://www.Irrd.org/irrd17/3/mban17032.htm. Disitir Tanggal 24 Juli

2010.

Mc.Nitt, J.I., N.M. Nephi, S.D. Lukefahr and P.R. Cheeke. 1996. Rabbit

Production. Interstate Publishers, Inc.p. 78-109.

Mount, L. E. 1979. Adaptation to Thermal Environment, Man and His Productive

Animal. Edward Arnold Publishing, London.

Noor, Z. 1990. Biokimia Nutrisi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi,

Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. P.7-26.

NRC. 1977. Nutrient Requirement of Rabbits. National Academy of Sciences,

Washington.

Nugraha, K.A. 2010. Laboratorium Klinik: Pemeriksaan Darah (Blood Analysis).

http://Komitekeperawatanrsdsoreang.blogspot.com/2010/02/laboratorium-

klinik-pemeriksaan-darah/html. Disitir Tanggal 12 Nopember 2010.

Nuriyasa, I.M., E. Puspani, I.G.N. Sumatra, P.P. Wibawa, I.M. Mudita. 2010.

Peningkatan efisiensi produksi ayam petelur melalui peningkatan

kenyamanan kandang di desa Bolangan.. Jurnal Udayana Mengabdi vol

(9), No (2): 55-58

69

Nuriyasa, I.M. 2013. Iklim Mikro dan Respon Hematologi Kelinci Lokal (Lepus

nigricollis) pada Jenis Lantai Berbeda. Majalah Ilmiah Peternakan Vol 15

(1) : 11-15

Ogunjimi, L.A.O., S.O. Oseni and F.Lasisi. 2008. Influence of Temperature-

Humidity Interaction on Heat and Moisture Production in Rabbit.

Department of Agricultural Engineering, Obafemi Awolowo University,

Nigeria.

Parigi Bini and R., G. Xiccato. 1998. Energy Metabolism and Requirements. In.

The Nutrition of the Rabbit. Ed. C. de Blas and J.Wiseman. CABI

Publishing, New York.

Partridge, G. G., P.H. Garthwaite, M. Findlay. 1989. Protein and energy

retention by growing rabbits offered diets with increasing proportions of

fibre. Journal of Agriculture Science, Cambridge (112): 171 – 178.

Praga, M.J. 1998. Protein Requirment. In the Nutrition of the Rabbit. Ed.C. de

Blas and J. Wiseman. CABI Publishing, New York. P 133-143.

Salma, U., A.G. Miah, Y. Akter, Z.H. Khandaker and A.Reza. 2004. Effect of

different of protein suplementation on reproductive performance of rabbit

does under tropical condition. International Journal of Agriculture

&Biology. (5): 123- 127.

Sartika, T. dan Y.C. Raharjo. 1991. Pengaruh Berbagai Tingkat Serat Kasar

terhadap Penampilan, Persentase Karkas pada Kelinci Rex. Proceedings.

Seminar Nasional Usaha Peningkatan Peternakan dan Perikanan. Vol.1.

Bidang Peternakan. Badan Penerbit Univ. Diponogoro, Semarang.

Scott, M.L.,M.C. Nesheim and R.J. Young. 1982. Nutrition of the Chickens

Second Ed. M.L. Scott and Associates Ithaca, New York.

Steel, R.G.D. and J.H. Torrie. 1980. Prinsip dan Prosedur Statistika. Suatu

Pendekatan Biometrik, Edisi kedua. Diterjemahkan Oleh Sumantri.

Gramedia. Jakarta.

Tillman, A.D., H. Hartadi, S Reksohardiprojo, P. Soeharto dan L. Soekamto.

1986. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gajah Mada University Press.

Yogyakarta.

Thwaites, C.J., N.B. Bailllie and W. Kasa. 1990. Effect of dehydration on the

heat tolerance of male and famale new zealand white rabbits. Journal of

Agricultural Science. Cambridge (1990), 115: 437-440.

70

Suradi, K. 2005. Potensi dan Peluang Teknologi Pengolahan Produk Kelinci.

Prosiding Loka karya Nasional, Potensi dan Peluang Pengembangan

Usaha Kelinci, Bandung 30 September 2005.

Suc,Q., N. D.V. Binh,L.T.T. Ha and T.R. Preston. 1996. Effect of Houshing

System (Cage versus Underground Shelter) on Performance of Rabbits on

Farm. Finca Ecologica, University of Agriculture and Forestry

.http://www.Irrd.org/Irrd8/4/cont 84.htm

USDA. 2009. Rabbit Protein. http://www.mybunnyfarm.com/rabbitprotein/

Xiangmei, G. 2008. Rabbit Feed Nutrition Study for Intensive, Large-Scale Meat

Rabbit Breeding. Qingdao Kangda Food Company Limited, China.

http://www.mekarn.org/prorab/guan.htm. Disitir Tanggal 18 Nopember

2010.

Xiccato, G. M.Bernardini, C.Castellini, A. Dalle Zotte, P.I. Queaque and

A.Trocino.1999. Effect of postweaning feeding on the performance and

energy alance of famale rabbits at different physiological. States. Journal

of Animal Science, Vol. 77 (2) : 416-426.

Yan, Y. and M., Li. 2008. Feeding Management and Technology of Breeding

Rabbit in Hot Climate. Qingdao Kanada Food Company Limited Kanada

Group, Qingdao, 266400, [email protected].

Yates, D. 1987. The Energy Budget Concept. Bahan Training Dosen Perguruan

Tinggi Negeri Indonesia Bagian Barat dalam Bidang Agroklimatologi,

IPB, Bogor.

71

Lampiran 1.

CATATAN KEGIATAN HARIAN PENELITIAN

HIBAH PERGURUAN TINGGI TAHUN 2014

Judul: RETENSI ENERGI DAN PROTEIN DALAM TUBUH KELINCI

LOKAL (Lepus nigricollis) PADA FAKTOR LINGKUNGAN BERBEDA

No Tanggal Kegiatan Tempat/Lokasi Keterangan

1 23

November

2014

Persiapan bangunan

kandang: perbaikan

dinding, atap dan

pembersihan bangunan

kandang.

Desa Dajan

Peken, Tabanan

Kandang penelitian sudah

bersih dan tidak ada

kebocoran pada atap dan tidak

ada kerusakan pada dinding

kandang

2 24

November

2014

Perbaikan petak

kandang battery:

-Membeli 6 rol kawat

lapis plastik

-Membeli 1 rol kawat

kasa

-Membeli 5 buah kayu

usuk 3x5 Cm

-Membeli 4 buah kayu

usuk 4X6 Cm

-Membali 1 pak reng

-Membeli paku: 10 cm,

7 cm, 5 cm, 2,5cm

Toko Bangunan

Oka Agung Jln

Diponogoro,

Tabanan

Bahan pembuatan kandang

battery telah tersedia

3 25 – 27

November

2014

Perbaikan Kandang

Battery dengan

melibatkan tiga tukang

bangunan

Desa Dajan

Peken, Tabanan

Kandang battery tersedia

4 28

November

2014

Persiapan perbaikan

kandang under ground

shelter:

-Membeli 1 colt pasir

-Membeli 50 batako

-Membeli 50 batu bata

-Membeli 2 sak semen

-Membeli 8 buah usuk

3x5 cm

-Membeli 1 pak kayu

reng

Toko Bangunan

Oka Agung Jln

Diponogoro,

Tabanan

Bahan perbaikan kandang

under ground shelter telah

tersedia

5 29-30

November

2014

Perbaikan Kandang

under ground shelter

dengan melibatkan tiga

tukang bangunan

Desa Dajan

Peken, Tabanan

Kandang under ground

shelter tersedia

72

6 1

Desember

2014

Membeli 40 buah

ransum dan air minum

yang terbuat dari

tempurung kelapa

sebagai pengganti

tempat pakan dan air

minum yang rusak

Pasar burung

Tabanan

Tempat pakan dan air minum

kelinci tersedia

7 1

Desember

2014

Mencuci tempat pakan

dan air minum dengan

deterjen, menjemur

tempat pakan dan air

pada terik matahari

Kandang

Penelitian

Tempat pakan dan air minum

siap dipergunakan

8 2

Desembar

2014

Pemasangan lampu

penerangan dalam

kandang penelitian

Desa Dajan

Peken, Tabanan

Penerangan dalam kandang

penelitian sudah terpasang.

9 2

Desember

2014

Memasang tempat

pakan dan air minum

pada masing-masing

petak kandang

Kandang

penelitian, Desa

Dajan Peken,

Tabanan

Tempat pakan dan air telah

terpasang pada petak kandang

10 3

Desember

2014

Pembelian bahan

penyusun ransum

Toko Pertanian

Nurcita, Jl

Sriwijaya No 25

Tabanan, Bali

Bahan penyusun ransum

penelitian sudah ada.

11 3

Desember

2014

Membeli rumput gajah

200 kg

Desa Sobangan,

Mengwi

Rumput gajah tersedia

12 4

Desember

2014

Mencingcang ruput

gajah, menggiling dan

menjemur di terik

matahari

Kandang

Penelitian, Desa

Dajan Pekan,

Tabanan

Tepung rumput gajah sudah

tersedia

13 5

Desember

2014

Menumbuk dan

menyaring bungkil

kelapa, Menyangrai

kedelai lalu menggiling

biji kedelai menjadi

tepung.

Desa Dauh Pala,

Tabanan

Tepung kacang kedelai

tersedia

14 5-7

Desember

2014

Analisa proksimat bahan

ransum

Lab. Ilmu Nutrisi

dan Teknologi

Pakan, IPB,

Bogor

Kandungan nutrien bahan

penyusun ransum kelinci

sudah diketahui

15 7

Desember

2014

Memperbaiki dan

membersihkan mesin

pembuatan pellet

ransum kelinci

Br. Pande, Desa

Dajan Peken,

Tabanan

Mesin pembuatan pellet telah

siap dipergunakan.

73

16 7–9

Desember

2014

Menyusun formulasi

ransum dan membuat

dan menjemur ransum

dalam bentuk pellet.

Desa Dajan

Peken, Tabanan

Ransum penelitian sudah

tersedia

17 9-11

Desember

2014

Pre treatment pakan

dalam bentuk pellet

pada kelinci yang akan

dipakai penelitian

Kandang

penelitian, Desa

Dajan Peken,

Tabanan

Kelinci sudah terbiasa makan

makanan kelinci dalam

bentuk pelet

18 11

Desember

2014

Meminjam alat alat

untuk pengukuran data

iklim mikro

Lab Klimatologi,

Fak Peternakan,

Unud

Alat-alat pengukur iklim

mikro sudah tersedia

19 11

Desember

2014

Desinfektan kandang

penelitian

Kandang

penelitian, Desa

Dajan Peken

Kandang sudah terdesinfektan

20 12

Desember

2014

Membeli 50 ekor kelinci

jantan lepas sapih

Desa Riang

Gede Tabanan

Kelinci penelitian tersedia

21 13

Desember

2014

Mempersiapakan

peralatan yang

diperlukan dalam

pengacakan kelinci Label/ kode

kandang sesuai

dengan

perlakuan Menyiapkan

form data

pengamatan

Kandang

penelitian, Desa

Dajan Peken,

Tabanan

Sarana dan prasarana

pengacakan kelinci sudah siap

22 14

Desember

2014

Penelitian dimulai: Penimbangan

berat badan

untuk keperluan

pemblokan

berdasarkan

berat badan Penempatan

kelinci pada

petak kandang

penelitian

Penimbangan

jatah pemberian

pakan kelinci

Kandang

penelitian, desa

Dajan Peken,

Tabanan

Penelitian sudah dimulai

74

Pengukuran air

minum yang

diberikan

23 14

Desember

2014

Melakukan pemotongan

kelinci pada awal

penelitian untuk

mendapatkan retensi

energi dan protein pada

awal penelitian.

Kandang

penelitian, Desa

Dajan Peken

Tabanan

Sampel tubuh kelinci pada

awal penelitian sudah tersedia

24 10 Juli

2014

Mengirim sampel tubuh

kelinci pada akhir

penelitian ke IPB Bogor

Lab. Ilmu Nutrisi

dan Teknologi

Pakan, IPB,

Bogor, Jawa

Barat

Sampel tubuh kelinci pada

awal penelitian sudah

dianalisis

25 28

Desember

2014

Pengamatan data setelah

dua minggu penelitian

(kelinci umur 7 minggu)

Kandang

penelitian, Desa

Dajan Peken

Tabanan

Data iklim mikro, respon

biologi, kelinci umur 7

minggu didapatkan

26 4

Desember

2014

Pengamatan data setelah

empat minggu penelitian

(kelinci umur 9 minggu)

Kandang

penelitian, Desa

Dajan Peken

Tabanan

Data iklim mikro, respon

biologi, kelinci umur 9

minggu didapatkan

27 18

Desember

2014

Pengamatan data setelah

enam minggu penelitian

(kelinci umur 11

minggu)

Kandang

penelitian, Desa

Dajan Peken

Tabanan

Data iklim mikro, respon

biologi, kelinci umur 11

minggu didapatkan

28 25 Januari

2014

Pengamatan data setelah

delapan minggu

penelitian (kelinci umur

13 minggu)

Kandang

penelitian, Desa

Dajan Peken

Tabanan

Data iklim mikro, respon

biologi, kelinci umur 13

minggu didapatkan

29 8 Pebruari

2014

Pengamatan data setelah

sepuluh minggu

penelitian (kelinci umur

15 minggu)

Kandang

penelitian, Desa

Dajan Peken

Tabanan

Data iklim mikro, respon

biologi, kelinci umur 15

minggu didapatkan

30 22

Pebruari

2014

Pengamatan data setelah

12 minggu penelitian

(kelinci umur 17

minggu)

Kandang

penelitian, Desa

Dajan Peken

Tabanan

Data iklim mikro, respon

biologi, kelinci umur 17

minggu didapatkan

31 23

Pebruari

2014

Pemotongan kelinci

pada akhir penelitian

Kandang

Penelitian, Desa

Dajan Peken

Sampel tubuh kelinci pada

akhir penelitian tersedia

32 23

Pebruari

2014

Pengambilan sampel

darah untuk pengamatan

hematogi darah kelinci

Kandang

Penelitian, Desa

Dajan Peken

Sampel darah kelinci tersedia

yang tersimpan dalam box es.

33 24 Melakukan kegiatan Kandang Kandang penelitian sudah

75

Pebruari

2014

pembersihan pada

kandang penelitian

Penelitian, Desa

Dajan Peken

bersih kembali

34 24

Pebruari

2014

Mengirim sampel darah

ke lab Bina Medika

Denpasar Sampel darah sudah dianalisis

35 25

Pebruari

2014

Mengirim sampel tubuh

kelinci ke IPB Bogor

Lab. Ilmu Nutrisi

dan Teknologi

Pakan, IPB,

Bogor, Jawa

Barat

Sampel tubuh kelinci pada

akhir penelitian sudah

dianalisis

36 26

Pebruari

2014

Menegembalikan alat-

alat pengukur iklim

mikro ke Lab

Klimatologi Fak.

Peternakan, Universitas

Udayana, Denpasar

Fak Peternakan,

Unud, Denpasar

Alat-alat Klimatologi sudah

dikembalikan

37 3 – 14

Maret

2014

Melakukan tabulasi dan

analisis data penelitian

Fakultas

Peternakan,

Unud, denpasar

Data penelitian sudah

teranalisis

38 15- 28

Maret

2014

Membuat laporan

Penelitian

Fakultas

Peternakan,

Unud, denpasar

Laporan penelitian sudah

selesai

Denpasar, 21 Oktober 2014

Ketua Tim Peneliti

Dr. Ir. I Made Nuriyasa, MS

NIP. 196202201987021001

76

Lampiran 2. Penggunaan Anggaran 100%

77

78