Laporan kgm sk 1

42
LAPORAN TUTORIAL BLOK KEGAWATDARURATAN MEDIK SKENARIO 1 : PENURUNAN KESADARAN Disusun oleh: Kelompok A1 Amirul Zakiya B. (G0011019) Andyka Prima Pratama (G0011023) Dewi Nur Khotimah (G0011071) Derajat Fauzan N. (G0011065) Lina Kristanti W. (G0011127) Martha Oktavia Dewi (G0011133) Nadya K. Amira (G0011145) Naili N.S.N (G0011147) R.A. Sitha Anisa P (G0011161) Rizqa Febriliany P (G0011183) Yoga Mulia Pratama (G0011213) 1

Transcript of Laporan kgm sk 1

LAPORAN TUTORIAL

BLOK KEGAWATDARURATAN MEDIK

SKENARIO 1 : PENURUNAN KESADARAN

Disusun oleh:

Kelompok A1

Amirul Zakiya B. (G0011019)

Andyka Prima Pratama (G0011023)

Dewi Nur Khotimah (G0011071)

Derajat Fauzan N. (G0011065)

Lina Kristanti W. (G0011127)

Martha Oktavia Dewi (G0011133)

Nadya K. Amira (G0011145)

Naili N.S.N (G0011147)

R.A. Sitha Anisa P (G0011161)

Rizqa Febriliany P (G0011183)

Yoga Mulia Pratama (G0011213)

1

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

2014BAB I

PENDAHULUAN

SKENARIO I

“Penurunan Kesadaran”

Seorang laki-laki berusia 65 tahun diantar anak

laki-lakinya yang serumah dengannya ke Instalasi Gawat

Darurat Rumah Sakit Tipe D karena tidak sadar. Dari

Alloanamnesis didapatkan informasi 5 jam sebelum masuk

rumah sakit pasien diketahui oleh anak kandungnya itu

tidak sadar. Bisa dibangunkan tetapi kemudian tidur lagi

dan diajak bicara tidak nyambung. Dari keterangan

anaknya, sejak 3 hari penderita panas mual disertai

muntah, sering kencing, nyeri pinggang dan urin berwarna

keruh. Penderita hanya makan dan minum sedikit selama 3

hari terakhir. Ada riwayat DM dan Hipertensi sejak 5

tahun yang lalu dengan riwayat terapi insulin rapid 6-6-4

dan Captopril 3 x 25 mg, diketahui penderita jarang

kontrol dan tidak suntik insulin 2 hari sebelumnya.

2

Pada pemeriksaan fisik didapatkan: sakit berat,

somnolen, GCS E3V4M5, tekanan darah 80/40 mmHg, suhu 38

C, laju pernafasan 32 kali per menit, nadi 128

kali/menit, lemah. Pada pemeriksaan fisik tidak

didapatkan rhonki di kedua lapang paru. Refleks

fisiologis dalam batas norma, refleks patologis (-).

Pemeriksaan laboratorium : Hb 13 gr%, leukosit

25.000/mm3, trombosit 350.000/mm3, GDS 600 mg/dl, ureum

60 mg/dl, kreatinin 1,0 mg/dl, kalium 4,5 mmol/L.

Pemeriksaan urin rutin dan gas darah masih menunggu

hasil. Setelah dijelaskan dan mendapat persetujuan

keluarga dengan menandatangani inform consent,diberikan

infus RL 2 jalur, tetesan cepat dan bolus insulin 0,1

unit/KgBB.

BAB II

DISKUSI DAN TINJAUAN PUSTAKA

A. Seven Jump

1. Langkah I: Klarifikasi istilah dan konsep

Dalam skenario ini kami mengklarifikasi istilah

sebagai berikut:

3

a. RS Tipe D : Bersifat transisi karena pada suatu saat

akan ditingkatkan menjadi rumah sakit kelas C.

Pelayanan terdiri dari kedokteran umum dan

kedokteran gigi. Menerima pelayanan rujukan dari

puskesmas.

b. Insuli rapid 6-6-4 : Pemberian boluls insulin pada pagi

hari saat sarapan sebanyak 6 unit, siang hari saat

makan siang sebanyak 6 unit, dan malam hari saat

makan malam sebanyak 4 unit.

c. Captopril 3x 25: Adalah obat anti hipertensi golongan

ACE inhibitor dengan cara mensupresi system renin

angiotensin aldosteron. Dosis awal 12,5 x 3, bila

2 minggu penurunan tekanan darah belum memuaskan

maka dosis ditingkatka menjadi 25 x 3 (Ganiswara,

1995).

d. Somnolen : (Obtundasi, Letargi) yaitu kesadaran

menurun, respon psikomotor yang lambat, mudah

tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila

dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi jatuh

tertidur lagi, mampu memberi jawaban verbal.

e. Pemeriksaan Urin Rutin : pemeriksaan yang meliputi

kimia, sedimen mikroskopis, dan makroskopis urin.

4

f. GCS E3V4M5 : Secara Kuantitatif dengan GCS

( Glasgow Coma Scale )

1. Menilai respon membuka mata (E)

(4) : spontan

(3) : dengan rangsang suara (suruh pasien membuka

mata).

(2) : dengan rangsang nyeri (berikan rangsangan

nyeri, misalnya menekan kuku jari)

(1) : tidak ada respon

2. Menilai respon Verbal/respon Bicara (V)

(5) : orientasi baik

(4) : bingung, berbicara mengacau ( sering

bertanya berulang-ulang ) disorientasi tempat dan

waktu.

(3) : kata-kata saja (berbicara tidak jelas, tapi

kata-kata masih jelas, namun tidak dalam satu

kalimat. Misalnya “aduh…, bapak…”)

(2) : suara tanpa arti (mengerang)

(1) : tidak ada respon

3. Menilai respon motorik (M)

(6) : mengikuti perintah

(5) : melokalisir nyeri (menjangkau & menjauhkan

stimulus saat diberi rangsang nyeri)

5

(4) : withdraws (menghindar / menarik extremitas

atau tubuh menjauhi stimulus saat diberi rangsang

nyeri)

(3) : flexi abnormal (tangan satu atau keduanya

posisi kaku diatas dada & kaki extensi saat diberi

rangsang nyeri).

(2) : extensi abnormal (tangan satu atau keduanya

extensi di sisi tubuh, dengan jari mengepal & kaki

extensi saat diberi rangsang nyeri).

(1) : tidak ada respon

Hasil pemeriksaan tingkat kesadaran berdasarkan

GCS disajikan dalam simbol E…V…M… Selanutnya

nilai-nilai dijumlahkan. Nilai GCS yang tertinggi

adalah 15 yaitu E4V5M6 dan terendah adalah 3 yaitu

E1V1M1

Setelah dilakukan scoring maka dapat diambil

kesimpulan :

(Compos Mentis(GCS: 15-14) / Apatis (GCS: 13-12) /

Somnolen(11-10) / Delirium (GCS: 9-7)/ Sporo coma

(GCS: 6-4) / Coma (GCS: 3))

g. Refleks Fisiologis : serangkaian pemeriksaan untuk

mendeteksi kelainan pada system saraf.

6

h. Refleks Patologis : refleks yang normal muncul pada

orang yang sehat. Refleks yang muncul pada orang

dengan kelainan neurologis adalah refleks

patologis.

i. Pemeriksaan gas darah : pemeriksaan untuk mengukur

keasaman (pH), jumlah oksigen dan karbondioksida

dalam darah.

2. Langkah II: Menetapkan/mendefinisikan permasalahan

Permasalahan pada skenario ini yaitu sebagai berikut:

a. Apa jenis kegawatdaruratan dalam skenario?

b. Bagaimana prinsip penanganan pasien gawat darurat?

c. Bagaimana penilaian bahwa pasien gawat darurat?

d. Bagaimana prosedur penanganan kegawatdaruratan

dalam scenario?

e. Bagaimana triage dan guidline AHA pada kasus gawat

darurat nontrauma?

f. Bagaimana patofisiologi setiap keluhan & korelasi

dengan keluhan?

g. Apa penyebab kesadaran menurun?

h. Apa kaitan riwayat penyakit dahulu dengan kasus

sekarang?

7

i. Adakah hubungan tidak suntik 2 hari dengan

keluhan?

j. Bagaimana Interpretasi hasil pemeriksaan?

k. Apakah fungsi pemeriksaan Gas Darah dan Urin

rutin?

l. Apakah setiap kasus gawat darurat harus dilakukan

pemeriksaan lengkap?

m. Apa Diagnosis dan Diagnosis bandingnya?

n. Bagaimana tatalaksana kasus sampai selesai?

o. Bagaimana komplikasi dan prognosis kasus dala

skenario?

p. Bagaimana farmakokinetik dan farmakodinamik obat

dalam kasus ini?

q. Bagaimana aspek medikolegal kegawatdaruratan?

r. Apa saja jenis-jenis RS dan Alur rujukannya?

3. Langkah III: Analisis masalah

Berikut analisa dan pernyataan sementara dari masalah

yang telah ditetapkan:

1. Penyebab kesadaran menurun

Pada keadaan normal, ketika mengonsumsi

karbohidrat, kadar glikemik akan meningkat dan8

diambil oleh jaringan. Selain itu, akan menstimulus

sekresi insulin sehingga kadar insulin meningkat dan

menghambat pelepasan glukagon. Rasio yang tinggi

antara insulin plasma dan glukagon akan membantu

beberapa proses, seperti: (1) penyimpanan glukosa

sebagai glikogen di hati dan otot, (2) lipogenesis

di adiposit, (3) mendorong potasium masuk ke dalam

sel, dan (4) pengambilan asam amino oleh otot.

Apabila sekresi insulin tidak ada, maka kadar

glukagon akan meningkat dan menyebabkan efek

sebaliknya, yaitu pemecahan glikogen di hati dan

otot, glukoneogenesis oleh hati, dan membantu

lipolysis dan pembentukan badan keton oleh hati.

Glukagon merupakan salah satu hormon counterregulatory

di samping hormon pertumbuhan, epinefrin, dan

kortisol. Hormon tersebut akan meningkat ketika

stres dan terserang penyakit secara akut, seperti

infeksi, infark miokard, dan pankreatitis.

Efek tersebut akan meningkatkan kadar glukosa.

Ketika glukosa ≥180 mg/dl, tubulus proksimal tidak

dapat mereabsorbsi secara sempurna sehingga glukosa

akan mengalir melalui nefron dan saluran kemih dan

akhirnya keluar sebagai urin dengan membawa air dan

9

elektrolit. Hilangnya sejumlah air dari tubuh tanpa

adanya pemberian cairan tambahan secara oral dapat

menyebabkan keadaan hipovolemi. Keadaan hipovolemi

ini akan menyebabkan hipoksia dan hipotensi. Keadaan

kekurangan oksigen tersebut dapat mempengaruhi

tingkat kesadaran (Hemphill, 2014; Raghavan, 2014).

2. Patofisiologi keluhan dan interpretasi hasil

pemeriksaan

a. Sakit berat, somnolen, GCS turun: merupakan

penurunan kesadaran karena kurangnya asupan

oksigen ke otak dan merupakan tanda - tanda

syok.

b. Tekanan darah 80/40: turunnya tekanan darah

dengan sistol <100 mmHg merupakan tanda syok.

c. Suhu 380 C: demam tanda adanya inflamasi atau

infeksi

d. RR 32 x / menit: takipnea, tanda terjadinya

asidosis metabolic

e. Nadi 128 x / menit, lemah: merupakan tanda

adanya syok.

f. Rhonki (-): tidak didapatkan obstruksi pada

paru.

10

g. Reflex fisiologis normal dan reflex patologis

(-): tidak munujukkan adanya cedera otak atau

UMN.

h. Hb, trombosit normal: tidak munujukkan adanya

perdarahan dalam.

i. Leukosit meningkat: indikasi adanya infeksi.

j. GDS tinggi: karena kadar insulin yang rendah

sehingga tidak bias dimetabolisme.

k. Ureum tinggi: sebagai hasil dari lipolisis

l. Kreatinin normal: tidak ditemukan gagal ginjal

maupun kerusakan jaringan lain.

m. Kalium dalam kadar normal.

4. Langkah V: Merumuskan tujuan pembelajaran

Tujuan pembelajaran pada skenario ini yaitu sebagai

berikut:

1. Prosedur penanganan kegawatdaruratan dalam

skenario

2. Kaitan Riwayat penyakit dahulu dengan kasus

sekarang

3. Hubungan tidak suntik 2 hari dengan keluhan

4. Jenis-jenis RS dan Alur rujukan RS

5. Aspek medikolegal kegawatdaruratan

11

6. Apa jenis kegawatdaruratan dlm skenario

7. Diagnosis dan Diagnosis Banding

8. Bagaimana penilaian bahwa pasien gawat darurat

9. Interpretasi hasil pemeriksaan

10. tatalaksana kasus

11. Fungsi pemeriksaan Gas Darah dan Urin rutin

12. Farmakokinetik dan dinamik obat dlm kasus ini

13. Apakah setiap kasus GD harus dilakukan

pemeriksaan lengkap

14. Komplikasi dan prognosis

15. triage dan guidline AHA pada gawat darurat

nontrauma

5. Langkah VI: Belajar mandiri

Mahasiswa mengumpulkan informasi dari sumber-sumber

ilmiah.

6. Langkah VII: Melakukan sintesis dan pengujian

informasi yang telah terkumpul

1. Kegawatdaruratan dalam Skenario dan Diagnosis

Banding

a. KAD (Ketoasidosis Diabetik)

12

KAD adalah keadaan yang ditandai dengan

asidosis metabolik akibat pembentukan keton yang

berlebihan. Sindroma ini ditandai dengan triad

yang terdiri dari hiperglikemia, ketosis dan

asidemia. Criteria diagnostic untuk KAD adalah

pH arterial < 7.3, kadar bikarbonat < 15 mEq/L,

dan kadar glukosa darah > 250 mg/dL disertai

ketonemia dan ketonuria moderate.

b. SHH (Status Hiperosmolar Hiperglikemik)

SHH adalah keadaan yang ditandai dengan

hiperosmolaritas berat dengan kadar glukosa

serum yang biasanya lebih tinggi dari KAD murni.

SHH didefinisikan sebagai hiperglikemia ekstrim,

osmolalitas serum yang tinggi dan dehidrasi

berat tanpa ketosis dan asidosis yang

signifikan. Nilai normal osmolalitas serum

adalah 290 ± 5 mOsm/kg air. Pada umumnya keton

serum negatif dengan pemeriksaan metode

nitropusid pada dilusi 1:2, bikabonat serum > 20

mEq/L, dan pH arterial > 7.3. Hiperglikemia pada

SHH biasanya lebih berat daripada KAD; kadar

glukosa darah > 600 mg/dL biasanya dipakai

sebagai kriteria diagnostik. SHH lebih sering

13

terjadi pada usia tua atau pada mereka yang baru

didiagnosis sebagai diabetes dengan onset

lambat. (Mansjoer, 2000)

Untuk diagnosis pasti dalam skenario, masih

harus menunggu hasil pemeriksaan gas darah dan

urin rutin.

2. Penilaian Pasien Gawat Darurat dalam Skenario

Syok hipovolemik bias terjadi karena

kehilangan cairan dan elektrolit seperti diare,

muntah, keringat yang berlebihan, keadaan

hiperosmolar (Ketoasidosis diabetic, koma

hiperosmolar non ketotik). Manifestasi klinis

syok adalah tekanan darah sistemik rendah dan

takikardi; puncak tekanan darah sistolik < 100

mmHg atau lebih dari 10 % dibawah tekanan darah

yang telah diketahui, hipoperfusi perifer,

vasokonstriksi; kulit dingin, lembab, dan

sianonis, status mental terganggu; kebingungan,

agitasi, koma, oligouria atau anuria dan

asidosis metabolic (Mansjoer et al., 2000).

3. Pemeriksaan pada Kasus Gawat Darurat

Departemen kegawatdaruratan harus menentukan

pemeriksaan apa yang harus dilakukan sebagai

14

pemeriksaan dasar dan pemeriksaan yang

dibutuhkan tetapi tidak memerlukan analisis yang

cepat. Contoh pemeriksaan yang dibutuhkan

sebagai pemeriksaan dasar pada departemen

kegawatdaruratan adalah pemeriksaan darah

lengkap, kreatinin fosfokinase total,

elektrolit, glukosa, amilase, kalsium, analisis

gas darah, dan skrining toksikologi dasar yang

terdiri dari aspirin, asetaminofen, fenitoin,

dan kadar etanol. Pemeriksaan lain yang dapat

dipertimbangkan sebagai pemeriksaan dasar adalah

kadar digoksin dan fenobarbital, kreatinin

fosfokinase (CPK-MB), karbon monoksida, dan

mengukur saturasi oksigen. Ketika menentukan

pemeriksaan apakah yang harus dilakukan sebagai

pemeriksaan dasar atau tidak harus

mempertimbangkan beberapa hal seperti (Hardin,

1996) :

Manfaat potensial untuk pasien

Apakah hasil segera dari pemeriksaan bisa

mengubah rencana pengobatan

Biaya dari pemeriksaan yang dilakukan

15

Sumber daya yang tersedia pada departemen

kegawatdaruratan seperti dokter jaga

Standar pelayanan yang diterapkan

Ketersediaan dari beberapa pemeriksaan atau

prosedur pada tempat pelayanan kesehatan

tersier (jika departemen kegawatdaruratan

merupakan bagian dari fasilitas komunitas

kecil)

Aspek medikolegal

Tabel 1. Pedoman yang digunakan untuk penggunaan

pemeriksaan darah pada bagian kegawatdaruratan

sebagai penilaian awal dari pasien

kegawatdaruratan (Rehmani and Amarullah, 1999).Penyakit Jenis

PemeriksaanNyeri dada iskemik Biasanya tidak memerlukan

pemeriksaan darah. Untuk

evaluasi bisa dilakukan

pemeriksaan mioglobin dan

kreatinin kinase.Aritmia Blood Urea Nitrogen (BUN) dan

kreatinin; elektrolitGagal jantung Analisis gas darah; BUN dan

kreatinin; elektrolit

16

Cardiac arrest Analisis gas darah;

kreatinin dan elektrolit

pada fase pasca resusitasiAsma akut Analisis gas darah, hitung

leukosit total, dan hitung

leukosit diferensialPPOK (Penyakit Paru

Obstruktif Kronik)

Analisis gas darah, hitung

leukosit total, dan hitung

leukosit diferensialPerdarahan

gastrointestinal

bagian atas dan bawah

Hitung darah lengkap, waktu

protrombin, dan waktu aktif

sebagian tromboplastinGastroenteritis Hitung darah lengkap,

pemeriksaan tinja, jika

lebih dari 24 jam perlu

dilakukan pemeriksaan BUN

dan kreatinin, elektrolitHipoglikemi Gula darah, BUN dan

kreatinin, elektrolitKetoasidosis diabetik

dan hiperosmolar

nonketotik

Gula darah, analisis gas

darah, BUN dan kreatinin,

elektrolit. Hitung sel

darah putih dilakukan pada

beberapa kasusPenyakit demam akut Kurang dari 3 hari : hitung

17

darah lengkap dan parasit

malaria; lebih dari 3

hari : tambah kultur darah

dan pemeriksaan

sensitivitasOverdosis obat Kadar obat, kadang hitung

sel darah merah, BUN dan

kreatinin, elektrolitPolitrauma Hitung darah lengkap,

golongan darah, dan

crossmatch

Trauma tunggal Hitung darah lengkap,

golongan darah, dan

crossmatch pada kasus

tertentuPenyakit asam peptik,

pankreatitis,

perforasi dan nyeri

abdomen non spesifik

Hitung darah lengkap,

amilase. BUN dan kreatinin

dan elektrolit dilakukkan

jika terdapat muntah dan

diare yang signifikanPerdarahan pervaginal Golongan darah dan

crossmatch. Gonadotropin

korionik beta-human

dilakukan pada kasus

tertentu.

18

Pemeriksaan darah lain dapat dilakukan pada

manajemen akut dari pasien tapi harus terfokus

pada kebutuhan klinis pada tiap individu.

4. Prinsip Penanganan Kasus Gawat Darurat Non

Trauma Berdasarkan Triage dan Guidline AHA

Penilaian triage dapat menggunakan metode START

(Simple, Triage, Rapid, Treatment) seperti skema

di bawah ini:

19

5. Aspek Medikolegal Kegawatdaruratan

Informed consent menurut Hanafiah dan Amir

(2009) memiliki dua sifat, yaitu implied atau

tersirat dan expressed atau tersurat. Pada keadaan

gawat darurat dimana korban tidak sadar dan

tidak terdapat keluarga atau wakil dari korban,

maka digunakan informed consent yang tersirat, atau

disebut juga presumed consent. Pada presumed consent,

20

dianggap ketika pasien sadar menyetujui tindakan

dokter untuk menolongnya. Expressed informed consent

digunakan apabila diperlukan tindakan besar,

seperti pembedahan. Apabila prosedur diagnostik

atau terapeutik harus segera dilakukan, dokter

tidak harus menjelaskan secara rinci mengenai

prosedur, tetapi penjelasan dapat dilakukan

setelah tindakan selesai dilakukan. Apabila

terjadi komplikasi saat penanganan, maka dokter

tidak bersalah.

Di USA dikenal penerapan doktrin Good

Samaritan dalam peraturan perundang-undangan

pada hampir seluruh negara bagian. Doktrin

tersebut terutama diberlakukan dalam fase pra-

rumah sakit untuk melindungi pihak yang secara

sukarela beritikad baik menolong seseorang dalam

keadaan gawat darurat. Dengan demikian seorang

pasien dilarang menggugat dokter atau tenaga

kesehatan lain untuk kecederaan yang dialaminya.

Dua syarat utama doktrin Good Samaritan yang

harus dipenuhi adalah:

Kesukarelaan pihak penolong. Kesukarelaan

dibuktikan dengan tidak ada harapan atau

21

keinginan pihak penolong untuk memperoleh

kompensasi dalam bentuk apapun. Bila pihak

penolong menarik biaya pada akhir

pertolongannya, maka doktrin tersebut tidak

berlaku.

Itikad baik pihak penolong. Itikad baik

tersebut dapat dinilai dari tindakan yang

dilakukan penolong. Hal yang bertentangan

dengan itikad baik misalnya melakukan

trakeostomi yang tidak perlu untuk menambah

ketrampilan penolong. (Herkutanto, 2007)

Dalam hal pertanggungjawaban hukum, bila

pihak pasien menggugat tenaga kesehatan karena

diduga terdapat kekeliruan dalam penegakan

diagnosis atau pemberian terapi maka pihak

pasien harus membuktikan bahwa hanya kekeliruan

itulah yang menjadi penyebab kerugiannya/cacat

(proximate cause). Bila tuduhan kelalaian

tersebut dila- kukan dalam situasi gawat darurat

maka perlu dipertim- bangkan faktor kondisi dan

situasi saat peristiwa tersebut terjadi. Jadi,

tepat atau tidaknya tindakan tenaga kesehatan

perlu dibandingkan dengan tenaga kesehatan yang

22

berkua- lifikasi sama, pada pada situasi dan

kondisi yang sama pula.

Setiap tindakan medis harus mendapatkan

persetujuan dari pasien (informed consent). Hal

itu telah diatur sebagai hak pasien dalam UU

No.23/1992 tentang Kesehatan pasal 53 ayat 2 dan

Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989 tentang

Persetujuan Tindakan Medis. Dalam keadaan gawat

darurat di mana harus segera dilakukan tindakan

medis pada pasien yang tidak sadar dan tidak

didampingi pasien, tidak perlu persetujuan dari

siapapun (pasal 11 Peraturan Menteri Kesehatan

No.585/1989). Dalam hal persetujuan tersbut

dapat diperoleh dalam bentuk tertulis, maka

lembar persetujuan tersebut harus disimpan dalam

berkas rekam medis.

Kematian pada Instalasi Gawat Darurat

Pada prinsipnya setiap pasien yang

meninggal pada saat dibawa ke IGD (Death on

Arrival) harus dilaporkan kepada pihak berwajib.

Di negara Anglo-Saxon digunakan sistem koroner,

yaitu setiap kematian mendadak yang tidak

terduga (sudden unexpected death) apapun

23

penyebabnya harus dilaporkan dan ditangani oleh

Coroner atau Medical Examiner. Pejabat tersebut

menentukan tindakan lebih lanjut apakah jenazah

harus diautopsi untuk pemeriksaan lebih lanjut

atau tidak. Dalam keadaan tersebut surat

keterangan kematian (death certificate)

diterbitkan oleh Coroner atau Medical Examiner.

Pihak rumah sakit harus menjaga keutuhan jenazah

dan benda-benda yang berasal dari tubuh jenazah

(pakaian dan benda lainnya) untuk pemeriksaan

lebih lanjut. (Herkutanto, 2007)

Indonesia tidak menganut sistem tersebut,

sehingga fungsi semacam coroner diserahkan pada

pejabat kepolisian di wilayah tersebut. Dengan

demikian pihak POLRI yang akan menentukan apakah

jenazah akan diautopsi atau tidak. Dokter yang

bertugas di IGD tidak boleh menerbitkan surat

keterangan kematian dan menyerahkan

permasalahannya pada POLRI.

Untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, sesuai

dengan Keputusan Kepala Dinas Kesehatan DKI

Nomor 3349/1989 tentang berlakunya Petunjuk

Pelaksanaan Pencatatan dan Pelaporan kematian di

24

Puskesmas, Rumah Sakit, RSB/RB di wilayah DKI

Jakarta yang telah disempurnakan tanggal 9

Agustus 1989 telah ditetapkan bahwa semua

peristiwa kematian rudapaksa dan yang dicurigai

rudapaksa dianjurkan kepada keluarga untuk

dilaporkan kepada pihak kepolisian dan

selanjutnya jenazah harus dikirim ke RS Cipto

Mangunkusumo untuk dilakukan visum et repertum.

Kasus yang tidak boleh diberikan diberikan surat

keterangan kematian adalah:

meninggal pada saat dibawa ke IGD

meninggal akibat berbagai kekerasan

meninggal akibat keracunan

meninggal dengan kaitan berbagai peristiwa

kecelakaan.

Kematian yang boleh dibuatkan surat

keterangan kematiannya adalah yang cara

kematiannya alamiah karena penyakit dan tidak

ada tanda-tanda kekerasan. (Herkutanto, 2007)

25

6. Jenis-Jenis RS dan Alur Rujukan RS

Gambar 1. Alur Pelayanan kesehatan (BPJS, 2014)

Gambar 2. Sistem rujukan berjenjang (BPJS, 2014)

Pasien dengan kegawatdaruratan tidak

menerapkan sistem rujukan untuk

pertolonganpertamanya sehingga dapat ditolong

meskipun pada rumah sakit (RS) tipe A (Gambar26

1). Sistemrujukan pada era BPJS secara umum

terbagi menjadi tiga tingkat yaitu tingkat

pertama, kedua,dan ketiga. Tingkat pertama

merupakan pelayanan primer, atau dokter umum.

Tingkat kedua olehtenaga kesehatan spesialistik

pada fasilitas kesehatan tingkat lanjutan

pertama. Kemudian tingkatketiga adalah

pelayanan oleh tenaga kesehatan spesialistik

pada rujukan tingkat kedua.Sedangkan pada

kasus yang sudah ditegakkan diagnosisnya dapat

langsung menuju ke tingkatketiga (BPJS, 2014).

Untuk alur rujukan rumah sakit yaitu sebagai

berikut, RS tipe C dan D serta puskesmas

memberikan rujukan ke RS tipe B. RS tipe B akan

memberikan rujukan ke RS tipe A. Rujukan

langsung ke RS tipe A juga diperkenankan untuk

daerah yang memiliki kondisi geografis yang

tidak baik (Kemenkes, 2014).

27

Gambar 3. Sistem rujukan regional (Kemenkes, 2014)

7. Hubungan Tidak Suntik 2 Hari dengan Keluhan

Adanya penghentian pemberian insulin akan

memicu terjadinya KAD, kemudian sedikit makan juga

mengakibatkan peningkatan kadar glucagon dalam

darah yang mengakibatkan penurunan sekresi

insulin. Kemudian juga adanya tanda tanda infeksi

yang mengakibatkan peningkatan metabolisme tubuh

sehingga kebutuhan insulin juga meningkat

(Mansjoer et al., 2000).

8. Kaitan Riwayat Penyakit Dahulu28

Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah keadaan

kompleks gangguan metabolik yang memiliki

karakteristik hiperglikemi, ketoasidosis, dan

ketonuri. KAD biasanya terjadi sebagai konsekuensi

dari defisiensi insulin absolut atau relatif yang

diikuti dengan peningkatan hormon kontra regulasi

seperti glukagon, kortisol, growth hormone, dan

epinefrin). Hormon yang tidak seimbang memperbesar

glukoneogenesis hepar, glikogenolisis, dan

lipolisis. Glukoneogenesis hepar, glikogenolisis

sekunder sampai defisiensi insulin dan hormon

kontra regulasi yang berlebih mengakibatkan

hiperglikemi yang sangat buruk, sementara

lipolisis meningkatkan serum asam lemak bebas.

Metabolisme asam lemak bebas pada hepar sebagai

sumber tenaga alternatif (ketogenesis) menyebabkan

akumulasi dari asam intermediet dan metabolit

akhir (seperti keton dan asam keton). Keton

termasuk aseton, beta-hidroksibutirat, dan

asetoasetat.

Glukoneogenesis hepar, glikogenolisis sekunder

sampai defisiensi insulin, dan hormon kontra

regulasi yang berlebih menyebabkan hiperglikemi

29

yang sangat buruk, sementara lipolisis

meningkatkan serum asam lemak bebas. Badan keton

diproduksi dari asetil koenzim A terutama pada

mitokondria dengan hepatosit ketika penggunaan

karbohidrat terganggu karena defisiensi insulin

relatif atau absolut, seperti energi yang didapat

dari metabolisme asam lemak.Tingginya kadar asetil

koenzim A pada sel menghambat dehidrogenase

pituvat kompleks, tetapi karboksilasi piruvat

telah aktif. Sehingga, oksaloasetat dihasilkan

melalui glukoneogenesis daripada siklus asam

sitrat, akhirnya juga dihambat oleh kadar

nicotinamide adenine dinucleotide (NADH) yang tinggi yang

dihasilkan dari beta-oksidasi berlebih dari asam

lemak, yang merupakan konsekuensi lain dari

resistensi insulin/defisiensi insulin.

Asetil koenzim A yang berlebih akan masuk ke

jalur ketogenesis. Ketoon termasuk aseton, beta-

hidroksibutirat, dan asetoasetat. Peningkatan

konsentrasi darah yang progresif dari subtansi

asam organik ini menyebabkan keadaan awal dari

ketonemi, walaupun ekstraselular dan intraselular

penyangga tubuh dapat membatasi ketonemi pada

30

tahap awal, yang direfleksikan oleh pH arteri

normal berhubungan dengan defisit dasar dan gap

anion ringan. Ketika akumulasi keton berlebih pada

kapasitas tubuh untuk ekstraksi, mereka mengalir

melalui urin (seperti ketonuri). Jika situasi

tidak diobati secara tepat, akumulasi dari asam

organik semakin besar yang menyebabkan asidosis

metabolik (seperti ketoasidosis), dengan tanda

penurunan pH dan kadar serum bikarbonat.

Kompensasi pernafasan dari kondisi asidosis

menyeabkan pernafasan dangkal (pernafasan

Kussmaul). Beta-hidroksibutirat meningkatkan

nausea dan muntah yang menyebabkan perburukan

cairan dan kehilangan elektrolit yang terjadi pada

KAD. Selain itu, aseton memproduksi fruity breath odor

yang merupakan karakteristik dari pasien ketotik.

Hiperglikemi, diuresis osmotik, serum

hiperosmolaritas, dan metabolik asidosis

menyebabkan gangguan berat elektrolit. Hal ini

dikarakteristikkan sebagai kehilangan cairan

kalium. Kehilangan ini tidak berpengaruh pada

kadar serum kalium, mungkin rendah atau mungkin

tinggi. Kehilangan kalium dikarenakan berpindahnya

31

kalium dari intraselular ke ruang ekstraselular

dan bertukar dengan ion hidrogen sehingga

terakumulasi pada ekstraselular pada asidosis.

Kalium yang terdapat pada ekstraselular hilang dan

terdapat pada urin akibat diuresis osmotik. Pasien

dengan hipokalemi biasanya memiliki kadar kalium

tubuh yang buruk dan mengalami deplesi kalium.

Tingginya osmolaritas serum juga menyebabkan

air berpindah dari intraselular ke ruang

ekstraselular, sehingga terjadi hiponatremi

dilusional. Sodium juga hilang dan terkandung pada

urin selama diuresis osmotik. Secara keseluruhan

elektrolit hilang, termasuk 200-500 mEq/L dari

kalium, 300-700 mEq/L dari sodium dan 350-500

mEq/L dari klorida. Kombinasi efek dari dehidrasi

hiperosmolaritas serum dan asidosis menyebabkan

peningkatan osmolaritas pada sel otak sehingga

terjadi manifestasi klinis seperti perubahan

tingkat kesadaran. Beberapa gangguan patofisiologi

pada KAD biasanya dapat langsung terdeteksi oleh

klinisi dan perlu pengobatannya perlu diawasi.

Perhatian yang mendalam pada data laboratorium

dapat mendeteksi asidosis dan hiperglikemi, sama

32

seperti pencehajan dari komplikasi potensial letal

seperti hipoglikemi, hiponatremi, dan hipokalemi

(Raghavan et al., 2014).

9. Fungsi Pemeriksaan Gas Darah dan Urin rutin

Pemeriksaan gas darah meliputi PO2, PCO2, pH,

HCO3, dan saturasi O2. Pemeriksaan ini dapat

berguna untuk mengevaluasi fungsi pernapasan,

seperti adanya hipoksia dan keseimbangan asam-basa

pada darah. Pemeriksaan urin rutin meliputi

pemeriksaan kimia (berat jenis, pH, leukosit

esterase, nitrit, albumin, glukosa, keton,

urobilinogen, bilirubin, darah), sedimen

mikroskopis (eritrosit, leukosit, silinder, epitel

sel, bakteri, kristal), dan makroskopis (warna dan

kejernihan. Pemeriksaan ini dapat membantu

mengetahui adanya keadaan ketosis, kelebihan

glukosa, dan adanya infeksi saluran kemih

(O’Callaghan, 2009).

10. Tatalaksana Kasus

Prinsip pengobatan KAD dan HONK:

1. Penggantian cairan tubuh dan garam yang hilang

Cairan yang digunakan adalah garam fisiologi

berdasarkan perkiraan hilangnya cairan, yaitu

33

mencapai 100ml / kgBB. Ada dua keuntungan

rehidrasi pada pasien KAD, yaitu memperbaiki

perfusi jaringan dan menurunkan hormon

kontraregulator insulin, sehingga glukosa darah

bisa segera dikontrol dengan baik.

2. Menekan lipolisis sel lemak dan menekan

glukoneogenesis sel hati dengan pemberian insulin.

Tujuan pemberian insulin di sini bukan hanya untuk

mencapai kadar glukosa normal, teapi juga untuk

mengatasi keadaan ketonemia.

3. Pemberian glukosa

Diberikan larutan mengandung glukosa (dekstrosa 5%

atau 10%) apabila didapatkan kadar glukosa darah

kurang dari 200 mg/dl. Setelah rehidrasi 2 jam

pertama, biasanya kadar glukosa darah akan turun.

4. Mengatasi stres sebagai pencetus KAD

5. Mengembalikan keadaan fisiologi normal dan

menyadari pentingnya pemanatauan serta penyesuaian

pengobatan

(Setyohadi et al., 2012)

11. Komplikasi dan Prognosis

Dalam pengobatan KAD dapat timbul keadaan

hipoksia dan sindrom gawat nafas dewasa (ARDS),

34

hipertrigliseridimia yang dapat menyebabkan

pancreatitis akut, dan dapat mengalami infark

miokard akut pada proses pengobtan pada lansia.

Juga ada komplikasi iatrogenic seperti

hipoglikemia, hipokalemia, hiperkloremia, edema

otak dan hipokalsemia (Mansjoer et al., 2000).

Prognosis dari HONK angka kematiannya lebih

besar dari KAD, dan lebih sering pada usia lanjut,

angka kematiannya berkisar 30 – 50 % (Mansjoer et

al., 2000).

12. Farmakokinetik dan Farmakodinamik

Obat dalam Skenario

Captopril

Farmakodinamik

Kaptopril merupakan antihipertensiva yang

bekerja dengan cara menghambat angiotensin

converting enzyme (ACE) yang membantu perubahan

angiotensin I menjadi angiotensin II. Atas kerja

ini, kaptopril mampu menyebabkan vasodilatasi

dan penurunan sekresi aldosteron, serta mampu

menghambat degradasi bradikinin yang nantinya

juga menyebabkan vasodilatasi. Vasodilatasi

secara langsung akan menurunkan tekanan darah,

35

sedangkan berkurangnya aldosteron akan

menyebabkan ekskresi air dan natrium dan retensi

kalium.

Farmakokinetik

Kaptopril diabsorbsi baik pada pemberian oral,

dimetabolisme di hati, dan dieliminasi melalui

ginjal.

Efek Samping

a. Hipotensi

b. Batuk kering

c. Hiperkalemia

d. Ruam

e. Edema angioneurogenik

f. Gagal ginjal akut

g. Proteinuria

h. Teratogenik

36

BAB III

KESIMPULAN

Pada kasus kegawatdaruratan diperlukan penanganan yang

cepat dan tepat karena pasien dapat terancam jiwanya.

Sebagai dokter umum, sudah seharusnya mengetahui dan

dapat melaksanakan pertolongan pada pasien

kegawatdaruratan medik. Selain itu penilaian kondisi

pasien yang tepat dan teratur juga merupakan hal yang tak

kalah penting. Setelah kondisi pasien stabil, dokter umum

juga diharuskan mengetahui bagaimana alur rujukan yang

tepat.

Pada kasus dalam skenario pasien diperkirakan menderita

kegawatdaruratan medik yang berhubungan dengan proses

metabolik tubuh. Sambil menunggu hasil pemeriksaan

lanjutan untuk memperoleh diagnosis lebih pasti,

diperlukan penilaian dan penanganan yang cepat dan tepat.

Pada kasus diperlukan pemberian cairan kristaloid dan

insulin dengan cepat.

37

BAB IV

SARAN

Materi dalam skenario cukup baik. Keterangan pada

kasus di skenario sudah cukup lengkap dengan adanya hasil

pemeriksaan fisik ataupun pemeriksaan lain sehingga

mahasiswa dapat belajar lebih terarah.

Kegiatan diskusi tutorial kelompok kami telah berjalan

cukup lancar. Mahasiswa telah berperan aktif dalam

diskusi ini. Tutor juga mengarahkan diskusi sehingga LO

atau tujuan pembelajaran dapat tercapai.

38

DAFTAR PUSTAKA

American Heart Association. 2010. American Heart

Association Guidelines for Cardiopulmonary

39

Resuscitation and Emergency Cardiovascular

Care. Circulation. 2010;122:S640-S656.

Arifin AL, Natalia N, Kariadi SHKS (2011). Krisis

Hiperglikemia pada Diabetes Melitus. Bandung:

Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran

Universitas Padjajaran.

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. 2014. Panduan

praktis system rujukan berjenjang

Ganiswara SG (Eds) (1995). Farmakologi dan Terapi Edisi 4.

Jakarta: Bagian Farmakologi UI

Hanafiah MJ, Amir A (2009). Etika kedokteran & hukum

kesehatan. Jakarta: EGC.

Hardin, Eugene. 1996. Emergency Medicine and the

Laboratory. Journal Of The National Medical Association.

88(5): 279-282.

Hemphill RR (2014). Hyperosmolar hyperglycemic

state. Medscape

Herkutanto. 2007. Aspek medikolegal pelayanan gawat

darurat. Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia / Rumah Sakit Cipto

Mangunkusumo. MajKedoktIndon, Volum: 57, Nomor:

2

40

Kementrian Kesehatan Nasional. 2014. Sistem Rujukan

terstruktur dan berjenjang.

Mansjoer A, Triyanti K, Savitri R, Wardhani WI,

Setiowulan W (2000). Kapita Selekta Kedokteran Edisi

Ketiga Jilid 1. Jakarta : Media Aeusculapius FK UI

Nafrialdi (2011). Antihipertensi. Dalam: Gunawan SG,

Setiabudy R, Nafrialdi, Elysabeth (ed).

Farmakologi dan terapi. Edisi ke 5. Jakarta:Badan

Penerbit FKUI, pp:355-6.

O’Callaghan CA (2009). At a glance sistem ginjal. Edisi ke-

2. Jakarta: Penerbit Erlangga

Powers AC. 2008. Diabetes Mellitus. Dalam: Fauci AS,

Kasper DL, Longo DL, Braunwald E. Hauser SL,

Jameson JL, Loscalzo J (eds.) Harrison’s Principles of

Internal Medicine. New York: Mc Graw Hill Medical,

pp: 2275-2304.

Raghavan V.A., Hamdy O.,Khardori R., Bessen

H.A.,Brenner B.E.,Schade D.S.,Schalch D.S.

2014. Diabetic Ketoacidosis.

http://emedicine.medscape.com/article/118361-

overview. Diakses pada 11 Mei 2014.

41

Rehmani R. and Amanullah S. 1999. Analysis of blood

tests in the emergency department of a tertiary

care hospital. Postgrad Med J. 75:662–666.

Setyohadi B, Arsana PM, Soeroto AY, Suryanto A,

Abdullah M (2012). Kegawatdaruratan Penyakit Dalam.

Jakarta : Internal Publishing

Wulandari DS (2011). Penurunan Kesadaran. Serang:

SMF Neurologi RSUD Serang, Fakultas Kedokteran

Universitas Yarsi.

42