fotografi tradisional dan fotografi digital adalah media ...
Konsep Tradisional dalam Resolusi Konflik
-
Upload
independent -
Category
Documents
-
view
0 -
download
0
Transcript of Konsep Tradisional dalam Resolusi Konflik
Konsep Tradisional dalam Resolusi Konflik :Resolusi Konflik di Aceh Melalui Mekanisme Di’iet,
Sayam dan Sulôh
Oleh : Mumtazinur 09/295498/PSP/03838
Konflik dan Resolusi Cara Tradisional
Konflik merupakan salah satu fenomena sosial yang sering
terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Menurut kelompok
Esensialis, sifat untuk berkonflik melekat pada setiap aktor-
aktor, konflik tidak dapat diselesaikan tetapi hanya dapat
dikelola (conflict management) agar tidak semakin membesar. Di lain
sisi, kelompok Non-Esensialis berpendapat bahwa konflik bukan
merupakan sifat bawaan manusia, konflik tidak selalu ada tapi
berpotensi untuk muncul. Kemunculan konflik menurut pandangan
Non-Esensialis dikarenakan konstruksi sosial manusia tetapi
dapat di selesaikan (conflict resolution).
Menurut pendapat Faountain paling tidak ada tiga isu utama
yang menjadi perebutan dalam suatu konflik yaitu sumberdaya,
perasaan dan nilai. Sumberdaya adalah segala sesuatu yang
diperselisihkan untuk dimiliki atau diakses oleh para pihak
seperti makanan, air, minyak, uang, peralatan, fasilitas,
1
tanah dan sebagainya. Perasaan merupakan persyaratan atau
kebutuhan yang mesti dimiliki oleh setiap manusia seperti rasa
cinta, perhatian, pengawasan dan dukungan, identitas, kontrol
dan penghargaan. Nilai merupakan keyakinan, prinsip atau
alasan ideal yang berakar dari agama, budaya, tradisi,
afiliasi politik atau sosial maupun pendirian pribadi
(Faountain, 1997:31).
Di samping itu terdapat pula beberapa faktor yang menjadi
pemicu terjadinya konflik yaitu faktor kultural, struktural,
institusional, ekonomi dan faktor pendidikan. Proses
penyelesaian konflik sangat bergantung pada pemahaman yang
mendalam mengenai isu atau akar penyebab konflik, sehingga
solusi yang diberikan dapat disesuaikan dengan akar
permasalahan konflik.
Dalam studi Sosiologi, konflik dan kekerasan dibedakan
maknanya. Konflik merupakan perbedaan yang muncul dari dalam
diri seseorang, antar dua orang, antar kelompok bahkan antar
negara (Mial, 2000:19). Karl Marx juga berpendapat bahwa
konflik atau kekerasaan adalah adalah bagaian yang tak
terelakkan dalam sebuah Masyarakat (Pruit dan Rubin, 2004 :
12).
Kekerasan juga dapat dikatakan sebagai bagian dari budaya
manusia (human culture) . Kekerasan merupakan akibat negatif dari
konflik. Istilah negatif penting dalam hal ini, karena konflik
dapat berdampak positif ataupun negatif. Berdampak positif
jika kelompok tersebut dapat mengelola konflik, sehingga dapat
melahirkan kreativitas dan kompromi. Namun, dapat juga2
berdampak negatif jika konflik tersebut berujung menjadi lebih
buruk seperti peperangan. Dengan kata lain, kekerasan adalah
bentuk penyikapan yang salah terhadap konflik, karena satu
pihak memaksa kehendak kepada pihak lain atau para pihak
kehilangan kontrol sehingga mengalami kebuntuan.
Berdasarkan pada konsep teoretis diatas terlihat bahwa
konflik pada dasarnya bersifat netral. Ia dapat berimplikasi
positif dan negatif (Simon, 2001 : 78). Oleh karena itu, dalam
teori Resolusi Konflik dijelaskan bahwa konflik dapat
diselesaikan, sebagaimana pandangan kelompok Non-Esensialis,
jika seseorang dapat mengidentifikasi secara cepat isu yang
menjadi persoalan, tuntutan, atau perebutan dalam konflik
tersebut. Menurut beberapa pendapat, konflik dianggap sebagai
suatu kebutuhan terutama sebagai sebuah proses sosial
(Sugihen, 2004 : v).
Menurut Pandangan Saby (2007 : xvi-xvii) bahwa tanpa
konflik rasanya tidak ada karya besar yang dapat dihasilkan
oleh peradaban manusia. Konflik yang demokratis dalam
masyarakat yang berdemokrasi adalah sehat sehingga perlu
dipelihara dan dikembangkan. Sedangkan konflik dalam konteks
yang lainnya dapat merugikan, dan banyak juga yang telah
menghancurkan peradaban manusia.
Kelompok Non-Esensialis percaya bahwa konflik dapat
diselesaikan melalui mekanisme resolusi konflik (conflict
resolution). Ada dua cara yang dikenal dalam proses resolusi
konflik, pertama penyelesaian konflik dengan cara modern dan
kedua, penyelesaian konflik dengan cara tradisional. Dalam
proses penyelesaian atau resolusi konflik, apabila cara modern3
dianggap gagal, maka cenderung beralih kepada cara
tradisional. Berikut ini adalah beberapa hal yang membedakan
resolusi konflik modern dan tradisional :
Tabel 1. Perbedaan Resolusi Konflik Model Modern dan Tradisional
Modern Tradisional
Penekanan pada sisi
rasionalitas
Penekanan pada sisi emosional
Penggunaan aspek verbal Penggunaan aspek Non-VerbalBersifat Universalitas Bersifat KontekstualLinear Timing Circular Timing
Prinsip-prinsip Non-violance Violance (kekerasan)Individual KolektifMengikuti Prosedural Pelaksanaan Ceremonial
(upacara), ritual atau
sesuatu yang bersifat magis.
Esensi dari proses resolusi konflik yaitu mengembalikan
order atau harmony (keselarasan). Dalam resolusi konflik model
modern, proses penyelesaian konflik didasarkan pada hak,
keadilan, dan lain sebagainya yang diwujudkan melalui
penekanan pada nilai rasionalitas. Sedangkan dalam proses
resolusi konflik model tradisional, mengembalikan keselarasan
dalam hubungan manusia menjadi poin penting yang berusaha
diwujudkan melalui penekanan pada nilai-nilai emosional.
4
Pada resolusi konflik model tradisional, proses
penyelesaian konflik diselesaikan melalui pendekatan
kebudayaan dan adat istiadat yang berlaku. Kebudayaan dianggap
mewakili komunitas tertentu. Sistem budaya itu sendiri adalah
seperangkat pengetahuan meliputi pandangan hidup, keyakinan,
nilai, norma, aturan, hukum yang menjadi milik satu masyarakat
melalui proses belajar, yang kemudian diacu sebagai pedoman
untuk menata, menilai, dan menginterpretasikan sejumlah benda
dan peristiwa dalam beragam aspek kehidupan dalam lingkungan
masyarakat yang bersangkutan (Bachtiar, 1994 : 18; Suparlan,
1992; Melalatoa, 1997 : 4-5). Keseluruhan unsur diatas menjadi
“roh” bagi kehidupan dalam masyarakat. Pola hidup sampai pada
proses penyelesaian konflik pun melibatkan nilai-nilai
kebudayaan didalamnya.
Kebudayaan menjadi sesuatu yang sangat penting bagi
komunitas tersebut maupun komunitas lain diluarnya. Bagi
komunitas lain diluarnya, hal ini menjadi “pintu” untuk
memasuki dan mempelajari komunitas tertentu. Kebudayaan
menjadi dasar untuk bertingkah laku dalam masyarakat dan juga
untuk menghindari konflik. Namun, apabila konflik tidak dapat
dihindarkan maka nilai-nilai kebudayaan akan kembali digunakan
sebagai proses penyelesaian masalah.
Pada resolusi konflik model modern, salah satu bentuk
penyelesaian konflik yaitu melalui beberapa jalur seperti
arbitrase, negosiasi, dan mediasi. Negosiasi adalah suatu
strategi di mana para pihak yang berkonflik setuju untuk
menyelesaikan suatu persoalan mereka melalui proses
perundingan. Proses ini tidak melibatkan pihak ketiga, karena5
para pihak yang bersangkutan langsung berinisiatif untuk
menyelesaikan konflik mereka dan terlibat langsung dalam
dialog dan prosesnya. Meskipun demikian, apabila konfrontasi
dan kekerasan meningkat sehingga mengakibatkan para pihak
sulit untuk bernegosiasi secara langsung, fasilitator dan
negosiator dapat berperan untuk memperlancar proses negosasi
mereka.
Mediasi adalah proses penyelesaian konflik di mana para
pihak yang berkonflik mengizinkan pihak ketiga yang netral
untuk membantu mereka, mecari solusi dan pihak ketiga ini
disebut mediator. Sedangkan arbitrase merupakan suatu strategi
dalam resolusi konflik di mana para pihak meminta pihak
netral baik seseorang atau institusi yang ahli atau
berpengalaman di bidang itu untuk membuat keputusan dalam
mendamaikan para pihak yang berkonflik. Para pihak berada
dalam posisi untuk mematuhi putusan yang dibuat oleh
arbitrator. Arbitrasi umumnya dilakukan ketika para pihak
tidak mampu menyelesaikan persoalan mereka, dan karena itu
mereka bersepakat membolehkan pihak ketiga bertindak sebagai
arbitrator.
Dalam penyelesaian konflik melalui arbirtase, negosiasi
maupun mediasi tidak menggunakan unsur-unsur adat dan budaya
dalam proses pelaksanaannya. Namun, tujuan yang ingin dicapai
sama dengan model tradisional yaitu sebagai resolusi konflik.
Meskipun dalam proses pelaksanaannya kerap menemukan perbedaan
kepentingan antar pihak, namun itu bukanlah menjadi konflik
baru melainkan menjadi awal dari sebuah resolusi konflik.
Berikut ini kita akan melihat salah satu bentuk resolusi6
konflik dengan konsep tradisional di Aceh melalui mekanisme
Di’iet, Sayam dan Sulôh.
Mekanisme Di’iet, Sayam dan Sulôh sebagai Resolusi Konflik
Setiap komunitas masyarakat di dunia memiliki nilai-nilai
budaya yang berlaku sebagai acuan untuk hidup dan
bersosialisasi dalam masyarakat. Indonesia sebagai sebuah
negara kepulauan yang memiliki beragam suku bangsa juga
memiliki kebudayaan yang berbeda. Mulai dari Sabang sampai
Merauke memiliki adat istidat yang berbeda, salah satunya
mekanisme penyelesaian konflik dengan menggunakan adat
istiadat setempat.
Dalam kehidupan masyarakat Aceh, pola penyelesaian konflik
dengan menggunakan konsep tradisional sudah lama dipraktikkan
dan dilestarikan. Adapun mekanisme tersebut dikenal sebagai
Di’iet, Sayam dan Sulôh. Ketiga mekanisme penyelesaian konflik
tersebut sudah dipraktikkan mulai mulai dari zaman kerajaan
Aceh, khususnya pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda
(1607-1636). Ketiga mekanisme tersebut diwujudkan dalam
institusi adat dan agama.
Di’iet berakar dari bahasa Arab yaitu diyat, yaitu berupa
kompensasi yang dibayarkan oleh pelaku pidana kepada korban
atau ahli waris korban dalam kasus pembunuhan. Dalam di’iet ini,
pelaku pidana atau keluarganya memberikan sesuatu kepada
korban, biasanya emas, atau menyembelih hewan berupa sapi atau
kerbau.
7
Sayam merupakan salah satu pola penyelesaian konflik untuk
kasus selain pembunuhan seperti penganiayaan, perusakan
anggota tubuh atau pertengkaran yang menyebabkan luka,
sehingga mengalirnya darah. Pola sayam ini sama dengan di’iet,
namun kompensasi yang diberikan berupa kambing atau yang
setara dengan itu.
Sedangkan Sulôh, yang berasal dari bahasa Arab islah, merupakan
pola penyelesaian konflik bukan hanya untuk kasus pidana,
tetapi juga untuk kasus perdata atau sengketa dalam rumah
tangga. Bahkan Sulôh ini memayungi pola-pola sebelumnya, karena
mengakhiri konflik dapat dilakukan bila adanya keinginan untuk
mewujudkan islah.
Di’iet, sayam dan Sulôh dalam praktik masyarakat Aceh dibalut
dengan bingkai adat yang dipimpin oleh ulama atau tokoh adat
(imuem mukim, geuchik, tengku meunasah) dan disaksikan oleh seluruh
masyarakat setempat.
Praktik Di’iet, sayam dan Sulôh ini memiliki serangkaian kegiatan
yaitu dimulai dari musyawarah antara kedua belah pihak untuk
mencapai kesepakatan mengenai kapan upacara adat dapat
dilakukan dan berapa besar kompensasai yang harus diberikan.
Setelah mencapai kesepakatan maka upacara adat dapat
dilakukan. Kegiatan ini dilakukan di tempat yang terbuka,
seperti di meunasah (masjid) atau dirumah korban supaya
masyarakat dapat menyaksikan jalannya prosesi secara langsung.
Upacara adat sendiri memiliki serangkaian tahap yang
dimulai dari peusijuek (mendinginkan), dilanjutkan dengan nasehat
dari tetua adat, peumat jaroe (bersalaman), memberikan
8
kompensasi (sumbangan) kepada korban, dan terakhir ditutup
dengan keunduri (makan-makan).
Ritual Peusijuek berarti mendinginkan. Dapat pula diartikan
sebagai serangkaian prosesi adat yang selalu dipraktekkan
masyarakat ketika mengapresiasikan sesuatu, atau mengakhiri
sengketa yang telah terjadi antarwarga. Sering juga peusijuek
dilakukan ketika warga mendapatkan keberuntungan, lepas dari
mara bahaya, dan ketika akan melaksanakan pekerjaan-pekerjaan
baik seperti hendak melakukan atau sekembali dari melakukan
ibadah haji, tueng linto baroe/dara baroe (pernikahan), woe u rumoe
baroe (masuk rumah baru), ketika melaksanakan sunnah rasul,
menggunakan peralatan kerja baru, atau ketika akan melakukan
perkejaan-pekerjaan yang dianggap mulia menurut adat Aceh
(Muliadi Kurdi, 2009 : 2).
Menurut Husin (1970) semua ritual peusijuek ini merupakan
salah satu bentuk pernyataan rasa syukur kepada Allah SWT,
atas nikmat yang diberikan-Nya, sekaligus sebagai permohonan
dan harapan untuk memperoleh keberkahan dan keselamatan hidup.
Selain itu, Peusijuek ini juga merupakan simbol adat untuk
meminta maaf kepada sesama manusia atas suatu kesalahan dan
kekhilafan (Kurdi, 2005 : 158).
Dalam Proses penyelesaian konflik, ritual Peusijuek berarti
memiliki tujuan untuk mendinginkan dan mendamaikan hati
(peleupie hatée) antara pihak yang bersengketa seolah-olah tidak
pernah terjadi sengketa sebelumnya, sehingga dapat
menyelesaikan masalah dengan hati dan pikiran yang dingin
tanpa emosi.
9
Pada saat Peusijuek, kedua belah pihak akan diperciki
campuran air dan tepung tawar, padi dan beras dengan
menggunakan beberapa jenis daun-daunan dan ilalang yang diikat
menjadi satu, lalu disunting (bahasa Aceh : Peusunteng) dengan
ketan kuning (bueleukat kunéng) dibelakang telinga oleh para tetua
adat atau tokoh masyarakat. Semua ritual ini bermakna keutuhan
dan perekat dalam ikatan persaudaraan yang dilambangkan dengan
ikatan dedaunan dan ketan kuning (Van Waardenburg, 1936 :3).
Tahapan terakhir yaitu bersalam-salaman antara kedua belah
pihak. Diharapkan dengan melakukan peumat jaroe (bersalaman)
ini, maka kedua pihak yang bertikai dapat berdamai dan
menghilangkan rasa dendam. Pada saat bersalaman, tetua adat
mengucapkan kata-kata khusus seperti “ nyoe ka sep oh no, bek na
dendam le. Nyoe beujeut keujalinan silaturrahmi, kareuna nyan ajaran agama
geutanyoe (masalah ini cukup sampai disini, jangan ada dendam
lagi, Mudah-mudahan ini dapat menjadi jalinan silaturahmi,
karena itu adalah ajaran agama kita)”. Oleh karena itu, tahapan
terakhir ini menjadi poin penting untuk mengakhiri konflik
secara keseluruhan dan diharapkan dapat menjadi awal dari
sebuah ikatan kekeluargaan (Syafioeddin, 1982 : 50).
Setelah semua acara adat selesai, maka diakhiri dengan
pembacaan doa oleh tetua adat atau tokoh agama memohon
perlindungan dan keberkatan dari Allah swt, agar terhindar
dari mara bahaya. Selanjutnya melakukan keunduri (makan-makan)
dengan masyarakat yang hadir sebagai bentuk keberkahan atas
rizki tuhan dan menguatkan rasa kekeluargaan.
Beberapa tahapan diatas merupakan rangkaian perjalanan
panjang dalam rangka mencapai perdamaian melalui proses10
resolusi konflik. Dalam proses penyelesaian konflik tersebut,
para tokoh agama dan tokoh masyarakat sangat berperan penting.
Namun, paska rangkaian upacara adat selesai dilakukan, peran
para tokoh-tokoh penting pun berkurang. Hal ini berarti, kedua
belah pihak akan melanjutkan peran untuk melanjutkan ikatan
persaudaran sebagaimana pesan yang terkandung dalam prosesi
Peumat jaroe tersebut. Masyarakat pun berfungsi untuk mengontrol
bagaimana hubungan kedua belah pihak berjalan paska upacara
adat.
Bentuk hubungan lazimnya terus berlanjut paska prosesi
adat tersebut yang diawali dengan kunjung-mengunjungi antar
kedua belah pihak pada hari-hari penting seperti Idul
Fitri,dan Meugang (hari memotong sapi atau hewan ternak
lainnya sehari sebelum bulan Ramadhan dan sehari sebelum Idul
Fitri). Hal ini mengandung makna bentuk hubungan hablumminannas
atau membina ikatan persaudaraan sesama manusia sebagaimana
pesan yang terkandung dalam prosesi Peumat jaroe.
Ketiga mekanisme penyelesaian konflik tersebut merupakan
contoh penyelesaian konflik dengan konsep tradisional. Dari
mekanisme Di’iet, Sayam dan Sulôh kita melihat terdapat beberapa
aspek sebagaimana yang terkandung dalam konsep tradisional.
Tabel 2. Aspek Tradisional dalam Mekanisme Di’iet,
Sayam dan Sulôh
Tradisional
Penekanan Pada Sisi Emosional
Penggunaan Aspek Non-Verbal -
11
Bersifat Kontekstual
Circular Timing -Violance (kekerasan) -Kolektif
Pelaksanaan Ceremonial
(upacara), ritual atau
sesuatu yang bersifat magis
Mekanisme Di’iet, Sayam dan Sulôh mengandung beberapa aspek
tradisional diantaranya yaitu adanya penekananan pada sisi
emosional, bersifat kontekstual, kolektifitas, dan adanya
pelaksanaan upacara, ritual atau sesuatu yang bersifat magis.
Namun, Ada 3 aspek yang tidak ditemukan dalam mekanisme ini
yaitu tidak adanya penggunaan aspek non-verbal, circular timing,
dan penggunaan kekerasan (violance).
Resolusi konflik sangat menekankan pada sisi-sisi
emosional yang sangat berbeda dari konsep modern yang
menekankan pada sisi-sisi rasionalitas. Penggunaan sisi
emosional dalam mekanisme Di’iet, Sayam dan Sulôh ini tergambar
dalam konsep damai, tentram, dan penuh persaudaraan.
Sebagaimana prinsip Narit maja (pepatah) berikut ini : “Hai aneuk
hai, beklé ta meupaké, Masalah nyang rayeuk ta peu ubit, nyang ubit ta peugadöh,
beule ta saba (wahai anak, jangan lagi kita bertengkar, masalah
yang besar kita perkecil, yang kecil kita hilangkan, harus
banyak bersabar)”
Pada konsep modern yang menekankan pada sisi rasionalitas,
usaha untuk mencari pembenaran sering ditemukan, sehingga
sangat memungkinkan adanya pihak yang merasa benar dan salah.
Namun, pada konsep tradisional hal ini menjadi tidak penting,
12
yang menjadi poin penting kedua pihak tidak merasa benar atau
ada pihak yang dipersalahkan. Hal yang menjadi keutamaan yaitu
masalah dapat terselesaikan dengan baik tanpa menimbulkan
rasa dendam karena ada pihak yang merasa menang. Kedua pihak
dapat menerima keputusan bersama sesuai yang digariskan oleh
hukum adat.
Pada mekanisme Di’iet, Sayam dan Sulôh di Aceh, penyelesaian
konflik bersifat kontekstual yang berpegang pada nilai-nilai
kultural masyarakat. Proses resolusi konflik ini sangat
berpengang pada ajaran agama Islam dan nilai-nilai yang
terkandung dalam Al-Quran sebagaimana yang dianut oleh
mayoritas masyarakat Aceh. Namun, meskipun bersifat
kontekstual, mekanisme Di’iet, Sayam dan Sulôh dapat juga bersifat
universal dengan kata lain dapat digunakan dimana saja dan
dapat berlaku bagi siap saja yang ingin menggunakannya.
Mekanisme Resolusi konflik di Aceh ini juga bersifat
kolektif dimana masyarakat ikut memainkan peran, tdak hanya
individu saja yang terkait seperti dalam konsep modern.
Masyarakat dan keluarga kedua pihak ikut berpartisipasi untuk
mewujudkan perdamaian bagi pihak yang bersengketa. Setelah
perdamaian terwujud, peran masyarakat tidak lantas menjadi
berkurang, tetapi akan semakin besar karena masyarakat
kemudian berperan untuk mengawasi dan ikut menjaga agar
perdamaian tetap terwujud.
Aspek tradisional lainnya yang terdapat dalam mekanisme
Di’iet, Sayam dan Sulôh ini yaitu adanya pelaksanaan Ceremonial
(upacara), ritual atau sesuatu yang bersifat magis. Prosesi
upacara adat ini merupakan tahapan terakhir dari seluruh13
rangkaian kegiatan yang dilaksanakan. Dalam konsep
tradisional, pelaksanaan upacara adat ini sangat signifikan
dan menjadi kekuatan tersendiri, karena melalui prosesi inilah
nilai-nilai budaya dan adat ditanamkan. Kedua pihak yang
bersengketa pun terikat untuk mematuhi hukum adat,
melaksanakan serta mempertanggungjawabkannya.
Namun, diantara semua aspek tradisional yang ada,
mekanisme Di’iet, Sayam dan Sulôh tidak memiliki tiga aspek yaitu
penggunaan aspek non-verbal, circular timing, dan penggunaan
kekerasan.
Pada penyelesaian konflik di Aceh melalui Di’iet, Sayam dan
Sulôh, komunikasi verbal sangat penting sekali untuk mencapai
kesepakatan. Saling keterbukaan, jujur, dan lapang dada sangat
dibutuhkan. Namun, sekali lagi hal ini tidak untuk mencari
pembenaran diri dan memutuskan sapa yang salah dan benar,
tetapi sikap saling memahami akan kelemahan manusia sebagai
makhluk yang pernah khilaf dan salah. Diharapkan melalui
komunikasi verbal ini kedua pihak dapat menemukan kesepahaman
bersama demi melancarkan jalan menuju perdamaian.
Mekanisme Di’iet, Sayam dan Sulôh tidak bersifat circular timing
(berputar). Penyelesaian masalah meski dilakukan dalam
beberapa tahap namun tetap berada dalam satu kesatuan. Setelah
perdamaian berhasil diwujudkan maka proses untuk tetap
mempertahankan perdamaian itu akan dijaga oleh masing-masing
pihak yang berkonflik dengan pengawasan dari masyarakat
sehingga peran lembaga adat tidak dibutuhkan lagi.
Penggunaan kekerasaan (violance) menjadi hal yang sangat
dihindari dari mekanisme Di’iet, Sayam dan Sulôh ini. Proses14
menyelesaikan masalah dan mewujudkan perdamaian ditempuh
dengan cara-cara yang damai yaitu bermusyawarah untuk mencapai
kesepakatan. Hal ini sejalan dengan adat dan budaya masyarakat
Aceh yang disandarkan pada ajaran-ajaran Islam yang
mengharuskan bermufakat dan menghindari pertikaian.
Kelebihan dan Kekurangan Mekanisme Di’iet, Sayam dan Sulôh
Setiap mekanisme penyelesaian konflik baik modern maupun
tradisional pasti memiliki kelebihan dan kekurangan masing-
masing tak terkecuali mekanisme Di’iet, Sayam dan Sulôh ini.
Adapun beberapa hal yang menjadi kelebihan dari mekanisme ini,
beberapa diantaranya yaitu pertama, Konflik tidak sempat
memuncak karena langsung ditangani. Ketika sudah mulai tercium
bahwa telah terjadi sengketa, maka para tetua adat melalui
lembaga adat Aceh langsung turun tangan untuk menyelesaikan
konflik, sehingga konflik tidak semakin melebar. Proses ini
mungkin sangat jauh berbeda dengan konsep modern yang bersifat
prosedural, rumit dan waktunya lama. Sehingga kedua pihak
berlarut-larut dalam konflik yang berkepanjangan.
Kedua, mekanisme ini dapat juga bersifat universal, yaitu
dapat berlaku dimana saja dan dapat digunakan oleh siapa saja
yang ingin menggunakannya. Mekanisme Di’iet, Sayam dan Sulôh ini
tidak hanya diperuntukkan bagi orang Aceh atau muslim saja,
namun bagi seluruh kalangan. Tidak ada kegiatan-kegiatan yang
berbau keagamaan seperti misalnya harus membaca Al-Quran,
berwudhu, atau bahkan shalat terlebih dulu sebelum melakukan
ritual. Kemudahan diatas membuat mekanisme Di’iet, Sayam dan Sulôh
15
ini memiliki kelebihan tersendiri. Meskipun berdasarkan pada
ajaran Islam namun, tidak hanya dapat digunakan oleh muslim
saja.
Ketiga, mekanisme ini membuat resolusi tanpa harus harus
membuat salah satu pihak merasa kalah dan bersalah. Meskipun
ada satu pihak yang harus memberikan kompensasi, namun hal itu
tidak lantas dianggap sebagai pihak yang benar dan menang. Hal
itu telah diputuskan bersama melalui musyawarah sebelumnya dan
semua pihak menerimanya dengan lapang dada karena hal tersebut
merupakan prasyarat sebelum melangkah menuju prosesi adat
selanjutnya. Kedua pihak tidak saling menyalahkan dan
menganggap hal itu sebagai tanggungan bersama.
Keempat, mekanisme Di’iet, Sayam dan Sulôh ini dapat bersifat
fleksibel mengikuti perkembangan zaman. Dahulu, terutama pada
masa kerajaan Aceh, sanksi dan besarnya kontribusi yang
ditentukan oleh kerajaan tidak dapat diganggu gugat. Namun,
seiring dengan perkembangan zaman, maka semua ikut
menyesuaikan. Kalau dulunya kontribusi harus berupa kambing
atau sapi, maka sekarang dapat digantikan dengan ayam saja.
Hal ini dibuat agar pihak yang harus membayar kontribusi tidak
terlalu terberatkan dengan sanksi yang diberikan. Poin penting
tidak terletak pada besarnya kontribusi, tetapi pada
keikhlasan bagi kedua belah pihak untuk dapat menghentikan
perdamaian.
Terakhir, melalui mekanisme ini dapat melahirkan perdamaian
yang permanen. Melalui Di’iet, Sayam dan Sulôh dapat menjalin
silahturahmi dengan pihak yang bersengketa, bahkan dalam
kehidupan nyata banyak keluarga korban menjadi anak angkat16
atau saudara angkat bagi pelaku pidana. Ini menjadi salah satu
kelebihan yang dimiliki konsep tradisional, tidak seperti
konsep modern, dimana ketika masalah selesai maka berakhir
pula hubungan diantara kedua pihak tersebut.
Beberapa hal diatas merupakan kelebihan dari penyelesaian
konflik dengan mekanisme Di’iet, Sayam dan Sulôh, namun segala
sesuatu tetap tak terlepas dari kekurangan. Tetapi, sejauh
ini sangat sulit untuk melihat kekurangan dari mekanisme Di’iet,
Sayam dan Sulôh ini. Hal ini dikarenakan mekanisme ini sangat
berpedoman pada ajaran-ajaran Islam dan Al-Quran yang
mengajarkan pada kesempurnaan, kebaikan, keikhlasan, dan lain
sebagainya. Sebagaimana yang terdapat dalam pepatah Aceh yaitu
“hukom ngon agama lagee zat ngon sifeut ( hukum dan agama, seperti zat
dan sifatnya)”
Ajaran agama telah mengatur dengan baik sehingga sangat
sulit untuk mencari celah kesalahan. Seperti dalam mekanisme
penyelesaian konflik ini, cara-cara kekerasan sangat
dihindari, saling menyalahkan, menyimpan dendam, menjauhkan
silahturami, dan lain sebagainya. Hal yang juga sangat
dihindari yaitu jangan sampai ada pihak yang merasa
direndahkan, dirugikan, ataupun merasa dikucilkan dari
masyarakat. Hukum dan prosesi adat yang dilakukan semua
didasarkan pada nilai-nilai Islam yang dibuat sebaik mungkin
untuk menjauhkan konflik dan mendekatkan pada perdamaian.
Namun, sedikit yang menjadi kekurangan yaitu pada awal-
awal proses penyelesaian konflik, dimana masing-masing pihak
merasa benar dan mementingkan egoisme masing-masing. Pihak
yang bersengketa merasa diberatkan akan sanksi-sanksi yang17
diberikan, sehingga bagi salah satu pihak menganggap adanya
ketidakadilan. Hal ini menjadikan proses untuk mencapai
kesepakatan membutuhkan waktu yang lama, kedua pihak tak ada
yang ingin mengalah. Tetapi, setelah kesepakatan tercapai
sampai pada upacara adat dilaksanakan, kedua pihak sudah
mulai berlapang dada, ikhlas dan menerimanya sebagai
tanggungjawab bersama.
Paska perdamaian terwujud, pihak-pihak yang pernah
bertikai baru dapat merasakan hikmah dibalik konflik yang
pernah terjadi. Jalinan silahturahmi dan ikatan persaudaraan
pun menjadi erat, hal ini membuat seolah-olah tidak pernah
terjadi konflik diantara mereka.
Kesimpulan
Konflik merupakan fenomena sosial yang sering terjadi
dalam kehidupan sosial bermasyarakat. Konflik bukanlah
sesuatu yang dominan dalam diri manusia, tetapi potensi untuk
terjadinya konflik dapat saja muncul. Namun, konflik dapat
diselesaikan melalui beberapa cara. Proses penyelesaian
konflik pun beragam mulai dari pemakaian konsep modern seperti
diplomasi atau negosiasi, maupun dengan konsep tradisional
yang berpegang pada nilai-nilai kultural setempat.
Dalam kehidupan masyarakat Aceh sendiri, dikenal proses
penyelesaian konflik secara tradisional yang dinamakan Di’iet,
Sayam dan Sulôh. Mekanisme penyelesaian konflik ini sudah
dijalankan sejak zaman kerajaan Aceh hingga sekarang namun,
sudah lebih fleksibel seiring dengan perkembangan zaman,
18
tetapi tetap berpegang pada nilai-nilai sosial masyarakat
Aceh.
Mekanisme penyelesian konflik dengan Di’iet, Sayam dan Sulôh
ini juga memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan. Salah
satu kelebihan yang cukup menonjol yaitu dapat menciptakan
perdamaian seutuhnya yang menghilangkan dendam, bahkan dapat
menjalin silahturahmi dengan pihak yang pernah bersengketa.
Namun sebaliknya, sangat sulit untuk menemukan kekurangan dari
mekanisme penyelesaian konflik ini, karena didasarkan pada
syari’at Islam.
Serangkaian ritual adat yang dilakukan sebagai proses
penyelesaian konflik ditujukan dalam rangka mencapai
keseimbangan hidup pascakonflik. Tanpa adanya ritual adat ini,
proses mewujudkan perdamaian masih dirasa kurang sempurna.
Diharapkan dengan dilaksanakannya seluruh prosesi adat yang
terdiri dari peusijuek dan peumat jaroe ini dapat memutus mata
rantai dendam dan dapat menjalin tali silaturahmi yang baru
dengan pihak yang bersengketa dan keluarga.
Masyarakat sangat berperan penting dalam proses
penyelesaian konflik dengan konsep tradisional. Partisipasi
masyarakat dimulai sejak awal hingga perdamaian tercipta, hal
ini sangat membedakan dari konsep modern dimana masyarakat
tidak ikut berperan aktif.
Resolusi konflik dengan konsep modern maupun dengan
konsep tradisional memiliki kelebihan dan kekurangan masing-
masing. Meskipun cara yang ditempuh berbeda namun, tetap
memiliki tujuan yang sama yaitu sebagai resolusi konflik.
Cara penyelesaian konflik dengan konsep modern mungkin menjadi19
sangat dominan digunakan sekarang ini tetapi apabila cara ini
dianggap gagal, maka akan mengambil alternatif pemecahan
masalah dengan konsep tradisional. Cara ini dianggap masih
tetap relevan bahkan cenderung bersifat fleksibel seirirng
dengan perubahan dan perkembangan zaman.
Referensi
Buku dan Artikel dalam Buku
Bachtiar, H.W, 1994.
Burton, Jhon, 1990. Conflict : Resolution and Provention, New York : ST.Martin’s Press.
Faountain, E. Jane, 1997. Social Capital : A Key Enabler of Innovation inScience and Technology. Published in L.M
Fisher, Simon, 2001. Mengelola Konflik : Keterampilan dan Strategi untukBertindak, Jakarta : The British Council
Hurgronje, Snouck, 1985. Aceh di Mata Kolonialis, Jakarta : Sokoguru
Ismail, Badruzzaman, 2008. Sistem Adat Budaya Aceh, Banda Aceh :Majelis Adat Aceh Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Kurdi, Muliadi, 2005. Menelusuri Karakteristik Masyarakat Desa : PendekatanSosiologi Budaya Dalam Masyarakat Aceh. Banda Aceh : Pena
Mial, Hugh, Oliver Rombotham, 2000. Resolusi Damai KonflikKontemporer : Menyelesaikan, Mencegah, Metode, dan Menggugah KonflikBersumber Politik, Sosial, Agama, dan Ras. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada
20
Melalatoa, M.J. Peranan Islam Melalui Adat Istiadat Gayo dalamPembangunan Masyarakat Gayo : Kajian Antropologi Masa Kini. Jakarta :IKA-UI.
Pirous, AD, Abdul Hadi, Dkk, 2005. Aceh Kembali Ke Masa Depan,Jakarta : IKJ Press bekerja sama dengan Kata Kita.
Rubin, Jefrey Z, Dean G, 2004. Teori Konflik Sosial, Jakarta :Pustaka Pelajar.
Saby, Yusni, 2007. Konflik dan Damai Budaya yang dapat Direkayasa dalamTIM Penulis IAIN Ar-Raniry Pergulatan Panjang Budaya Damai dalamMasyarakat Multikultural Kajian Edukasi, Syar’i, Historis, Filosofis,dan MediaMassa. Banda Aceh : Yayasan Pena dan Ar-Raniry Press.
Sugihen, Bahrein T, 2004. Pengantar Kata dalam Gerhan Lantara. AcehMenggugat Penolakan Masyarakat Aceh Terhadap GAM, Tanpa Penerbit.
Suparlan, P. Kebudayaan dan Pembangunan : Kajian Agama dan Masyarakat(Sudjangi, Ed.). Jakarta : Departemen Agama RI.
Syafioeddin, M. Hisyam, 1982. Perdamaian Adat dalam Masyarakat Aceh :Studi di Kabupaten Aceh Besar dan Pidie. Banda Aceh : PLPIIS
Van Wardenburg, Jan Julius Cornelis Hendrik, 1936. De Invloed vanden Landbouw op de zeden, de taal en letterkunde de Atjehers. Batavia :Gedrukt te Leinden Bij N.V. Dubbelde man’s Boekhandel.
Artikel Online
Agus Budi Wibowo, “ Ade Peusijuek dalam Penyelesaian Konflikatau Persengketaan dalam Masyarakat Aceh” , online,www.facebook.com/topic.php, diakses tanggal 11 September2010
Muliadi Kurdi, “ Filosofi Peusijuek dalam Masyarakat Aceh”,online, www.muliadikurdi.com, diakses tanggal 11 September2010
21