ANALISIS KONFLIK GAM-RI

10
1 ANALISIS KONFLIK GAM-RI Oleh : Elkana Goro Leba 1. PROSES KONSILIASI YANG TERJADI ANTARA GERAKAN ACEH MERDEKA (GAM) DENGAN REPUBLIK INDONESIA (RI) A. Latar Belakang Konflik Di Aceh Sebelum melangkah lebih jauh ada baiknya kita mengetahui terlebih dahulu latar belakang dan sebab-musabab dari konflik ini. Aceh memiliki sejarah militansi untuk memerangi orang-ornga Portugis pada tahun 1520-an dan menantang penjajah Belanda dari tahun 1873-1913, dan melancarkan perlawanan Islam kepada Republik Indonesia pada tahun 1953. perlawanan itu disebut “DARUL ISLAM”. Dimana perlawanan ini bertujuan untuk mendirikan sebuah Republik Islam atas seluruh wilayah Indonesia. Hal ini juga menjadi tujuan kelompok-kelompok Islam militan di Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Pemberontakan ini berakhir tahun 1962, ketika pemerintahan Soekarno memberi jaminan bahwa Aceh akan diberi status sebagai sebuah daerah istimewa dengan otonomi luas di bidang agama, hukum, adat dan pendidikan. Tetapi selama bertahun-tahun janji ini secara umum tidak terpenuhi.

Transcript of ANALISIS KONFLIK GAM-RI

1

ANALISIS KONFLIK GAM-RI

Oleh: Elkana Goro Leba

1. PROSES KONSILIASI YANG TERJADI ANTARA GERAKAN ACEH

MERDEKA (GAM) DENGAN REPUBLIK INDONESIA (RI) A. Latar Belakang Konflik Di Aceh

Sebelum melangkah lebih jauh ada baiknya kita mengetahui terlebih dahulu

latar belakang dan sebab-musabab dari konflik ini.

Aceh memiliki sejarah militansi untuk memerangi orang-ornga Portugis

pada tahun 1520-an dan menantang penjajah Belanda dari tahun 1873-1913, dan

melancarkan perlawanan Islam kepada Republik Indonesia pada tahun 1953.

perlawanan itu disebut “DARUL ISLAM”. Dimana perlawanan ini bertujuan

untuk mendirikan sebuah Republik Islam atas seluruh wilayah Indonesia. Hal ini

juga menjadi tujuan kelompok-kelompok Islam militan di Jawa Barat dan

Sulawesi Selatan. Pemberontakan ini berakhir tahun 1962, ketika pemerintahan

Soekarno memberi jaminan bahwa Aceh akan diberi status sebagai sebuah daerah

istimewa dengan otonomi luas di bidang agama, hukum, adat dan pendidikan.

Tetapi selama bertahun-tahun janji ini secara umum tidak terpenuhi.

2

Pemberonntakan separatis Aceh dewasa ini dimulai 4 Desember 1976,

ketika M. Hasan di Tiro mendeklarasikan kemerdekaan Aceh. Di Tiro dan

parapengikut setianya telah terlibat dalam pemberontakan Darul Islam tahun

1953, tetapi kali ini pemberontakan mereka diberi nama Gerakan Aceh Merdeka

(GAM) secara jelas berniat unutk memisahkan diri dari Republik Indonesia.

Tidak lama setelah deklarasi kemerdekanaa tersebut, kekuatan pasukan bersenjata

GAM mulai menyerang pasukan pemerintah RI, hal yang mengundang kembali

operasi penumpasan pemberontakan oleh pemerintah. Pada tahun 1983, kekuatan

GAM telah dikalahkan di lapangan dan di Tiro lari ke luar negeri bersama

beberapa pengikutnya dan akhirnya menjadi warga negara Swedia.

Dalam sebagian besar dekade tahun 1980-an, GAM menguat lagi,

merasionalisasikan status politiknya dan memperkuat sayap militer Angkatan

Gerakan Aceh Merdeka (AGAM). Dalam periode ini, sebagian dari 400 kader

Aceh dilaporkan kirim ke Libya untuk latihan militer. Tahun 1989, GAM merasa

cukup kuat untuk sekali lagi menjajal pemerintah Indonesia, menerang pasukan

pemerintah, warga sipil dan orang-orang yang dicurigai sebagai mata-mata.

Pemerintah membalas dengan operasi militer dan tindak penumpasan berskala

besar.

Pada tahun 1992, tampak bahwa pemerintah mengendalikan situasi

sepenuhnya. Tetapi operasi militer yang ditandai dengan pelanggaran Hak Asasi

Manusia (HAM) di Aceh menjadi sorotan publik tidak lama setelah persiden

Soeharto lengser dari kekuasaannya karena kerusuhan politik Mei 1998. Ditekan

oleh teriakan publik di seluruh wilayah Indonesia atas pengniayaan dan

pelanggaran HAM di Aceh, Pengb. Jend. Wiranto minta maaf atas ekses-ekses

militer dari tahun 1998-1989 dan mencabut status Aceh sebagai sebuah Daerah

Operasi Militer (DOM) dan menjanjikan sejumlah besar tentara dari propinsi itu.

Meski demikian, perdamaian tak kunjung datang karena GAM memanfaatkan

demoralisasi militer dan melancarkan serangan besar-besaran. Maka konfrontasi

senjata dimulai lagi.

3

B. Analisis Konflik

Beberapa pendekatan dalam penyelesaian konflik

1. Pendekatan “Ralf Dahrendrof”

Pendekatan ini mengacu pada teori pakar konflik dan resolusi konflik Ralf

Dahrendrof. Dalam pendekatan ini menyebutkan tiga bentuk pengaturan atau

penyelesaian konflik, yaitu:

1) Konsiliasi

Yaitu membentuk konsiliasi seperti parlemen atau kuasa parlemen. Di sini

semua pihak diajak berdiskusi dan berdebat secara terbuka dan mendalam

untuk mencapai kesepakatan tanpa ada pihak-pihak yang memonopoli

pembicaraan atau memaksa kehendak.

2) Mediasi

Yaitu cara dimana kedua belah pihak sepakat mencari nasihat pihak ketiga

tetapi nasehat pihak ketiga itu tidak mengikat pihak-pihak yang

berkonflik. Adapun MoU mengambil model penyelesaian yang kedua

ini.

3) Jalan Arbitrase

Yaitu kedua pihak sepakat menyerahkan persoalannya kepada Badan

Arbitrase Internasional untuk mendapatkan keputusan yang legal sebagai

penyelesaian konflik.

2. Pendekatan Structural Fungsional

Pendekatan ini memandang masyarakat sebagai komunitas yang

terintegrasikan secara teratur atas dasar nilai kesepakatan dari setiap anggota

masyarakat. Dalam pendekatan ini juga dikenal salah satu statement yaitu

“General Agreements” yang memiliki kemampuan untuk mengatasi

perbedaan-perbedaan pendapat dan kepentingan di antara para anggota

masyarakat.

Beberapa sudut pandang dari pendekatan struktural fungsional adalah

sebagai berikut:

4

a) Masyarakat sebagai suatu sistem. Oleh karena itu maka saling

mempengaruhi satu sama lain.

b) Kendati integrasi sosial tidak mungkin terwujud dengan sempurna, tetapi

secara fundamental sistem sosial cenderung bergerak kearah equilibrium

yang bersifat dinamis.

c) Disfungsi, berbagai ketegangan dan penyimpangan-penyimpangan

senantiasa terjadi akan tetapi dalam jangka panjang keadaan tersebut akan

teratasi dengsn sendirinya melalui cara adaptasi dan proses

institusioanalisasi.

d) Kompleksitas dalam sistem sosial pada umumnya terjadi secara gradual,

melalui adaptasi dan tidak secara cepat.

e) Faktor paling penting yang memiliki daya mengintegrasikan suatu sistem

sosial adalah konsensus antara anggota masyarakat berupa norma-norma

sosial yang sesungguhnya membentuk struktur sosial.

2. Analisis Faktor Penyebab Kegagalan dan Keberhasilan yang Pernah Terjadi

dalam Mewujudkan Perdamaian Aceh dengan Republik Indonesia

Sejumlah perundingan sempat dilakukan untuk mengakhiri konflik di Aceh,

namun tidak banyak dari perundingan itu yang akhirnya gagal. Perundingan Helsinki

nyang hampir menjadi jalan damai pun sempat di protes oleh berbagai kalangan

karena dinilai justru melapangkan jalan kemerdekaan. Perundngan ini melewati jalan

terjal dan berliku. Wakil Presiden Jusuf Kalla yang menjadi inisiator perundingan ini

berusaha untuk membuat netralitas di antara polemik yang terjadi di kalangan publik

dengan menyatakan, MoU Helsinki ibarat gelas yang setengahnya berisikan air, jadi

tergantung darimana kita melihatnya. Yang positif menyatakan hebat dan negatif

menyatakan bahwa kita kalah oleh GAM. Namun ditengah-tengah gencarnya polemik

yang terjadi di banyak kalangan muncul banyak analisis menyimpulkan bahwa salah

satu faktor penting tercapainya MoU dan tidak berniatnya lagi GAM mengibarkan

bendera kemerdekaan adalah karena bencana Gempa Bumi 8,9 Skala Richter yang

diikuti gelombang Tsunami 26 Desember 2006 yang meluluhlantakan daerah pesisir

pantai Aceh sepanjang 800 Km.

5

A. Analisis Faktor-faktor Penyebab Kegagalan dalam Mewujudkan

Perdamaian Di Aceh

a) Belum terciptanya hurting stalemate menyebabkan pihak ketiga sulit untuk

menemukan titik atau entry point untuk mengajak seluruh pihak bertikai

duduk di meja perundingan.

b) Persamaan identitas dan solidaritas cenderung tergantung pada konflik.

Konfliklah yang akan melindungi identitas dan solidaritas tersebut sehingga

tanpa konflik, dua hal tersebut akan lenyap.

c) Penyelesaian politik dalam perang sipil membutuhkan setiap kelompok untuk

melakukan disarmament dan membentuk pemerintahan yang single atau

negara yang tunggal. Padahal logikanya, tentu saja tidak ada orang yang mau

“Hidup Satu Atap” dengan musuhnya. Bagi TNI, GAM adalah musuh yang

harus dimusnahkan! Sebaliknya, bagi GAM, TNI adalah kaum penjajah yang

harus diusir dari Aceh! Susah untuk dibayangkan jika mereka yang selama ini

saling membunuh mau hidup berdampingan dengan damai.

d) Adanya Kegagalan implementasi biasanya terjadi karena salah satu pihak

merasa dirugikan oleh pihak lain. Kegagalan implementasi berkaitan erat

dengan karakteristik perang. Ketika perasaan takut lebih besar daripada

kepercayaan terhadap musuh, perang dapat berlanjut kembali. upaya dialog

untuk menyelesaikan konflik Aceh secara damai praktis berhenti pada tanggal

18 Mei 2003 saat GAM menolak menerima draft pernyataan pemerintah

Indonesia dan tidak bersedia mengajukan counter draft nya. Respon

Pemerintah Indonesia terhadap penolakan GAM sangat cepat dan tegas.

Dalam hitungan jam, Presiden Megawati Sukarnoputri menandatangani

Darurat Militer di Aceh yang berarti dilegalkannya tindakan kekerasan untuk

mengahadapi GAM dan kekuasaan berada di bawah kendali militer

seluruhnya. dengan dikeluarkannya kebijakan tersebut, CoHA menjadi

diabaikan dan peran HDC terhenti. Pada tahap inilah kemudian HDC telah

gagal menjalankan perannya sebagai fasilitator perdamaian di Aceh.

e) Situasi yang ada belum memungkinkan untuk dilakukannya mediasi atau

belum terciptanya kondisi hurting stalemate. Keadaan ini dapat terlihat dalam

6

Proses terjadinya negosiasi sangat sulit karena juru bicara GAM berulang kali

menyatakan bahwa tidak akan pernah terjadi penyelesaian kecuali

kemerdekaan, sedangkan Pemerintah Indonesia juga berkali-kali

mengultimatum bahwa negosiasi hendaknya dalam kerangka Negara

Kesatuan Republik Indonesia. Dari fakta diatas dapat kita analisis bahwa

penyelesaian konflik tidak akan berjalan jika tidak adanya general agreement

atau kesepakatan umum ( pendekatan structural fungsional) antara dua belah

pihak yang berkonflik

f) Isu pelanggaran HAM dan ketimpangan sosial lainnya yang menjadi ciri khas

alasan pemberontakan GAM. Misalnya ketertinggalan pembangunan Aceh

dengan Sumatra Utara, serta rencana pengambungan Provinsi Aceh dengan

provinsi Sumatra Utara yang mana tidak dapat diterima oleh rakyat Aceh

sehingga merasa bahwa Indonesia sebagai bangsa yang tidak tahu berbalas

budi atas kebaikan Aceh dimasa lalu.

g) Terdapatnya maksud-maksud politik berupa upaya mencari keuntungan dari

konflik antara Gam dan RI, sehingga menyulitkan proses perundingan yang

ada, misalnya berlarutnya konflik di Aceh membawa keuntungan-keuntungan

bagi TNI, seperti ekonomi dan politik. Kepentingan politik di TNI berkaitan

dengan perannya yang terus menurun di pentas perpolitikan nasional sejak

1998. Kekacauan di Aceh akan memberikan justifikasi bagi TNI untuk tetap

bertahan memainkan perannya dalam konsep pertahanan negara, minimal

melegalkan kehadiran mereka untuk menduduki kursi kekuasaan sipil di

Aceh. Dari segi ekonomi, TNI memperoleh keuntungan dengan

mempekerjakan mantan perwira militer untuk mengawasi kegiatan

perusahaan dan usaha yang didukung militer memperoleh kemudahan kontrak

karena kehadiran angkatan darat tersebut serta kebiasaannya untuk

melindungi kegiatan usaha itu dan kekuatan pengincar lainnya. Kekayaan

yang dimiliki Aceh mampu memenuhi kebutuhan TNI baik secara individu

maupun organisasi. Secara organisasi, anggaran pemerintah mengenai

pertahanan hanya menyediakan 30% dari total anggaran yang dibutuhkan

TNI. Sisanya, sebanyak 70%, harus dicari sendiri oleh TNI. Berbagai industri

7

gas alam dan minyak di Aceh mampu menopang kekurangan anggaran militer

tersebut. Apabila proses damai terjadi, maka praktis TNI tidak dibutuhkan

lagi di Aceh. Itu berarti mereka akan kehilangan sumber ekonomi penting

h) Tidak adanya keinginan untuk melakukan kompromi dari setiap pihak yang

terlibat konflik. Hal ini tercermin dalam berbagai perundingan yang tidak

menemukan solusi antara kedua belah pihak.

B. Analisis Faktor-faktor Penyebab Keberhasilan Dalam Mewujudkan

Perdamaian Di Aceh

A. “MoU Helsinki” Sebagai Salah Satu Bagian Penting Mewujudkan

Perdamaian di Aceh

Pada tanggal 15 Agustus 2005 (dua hari sebelum HUT RI ke-60 pada

tahun 2005) merupakan tanggal bebrsejarah bagi rakyat Indonesia umumnya

dan rakyat Aceh khususnya. Dimana pada hari itu ditandatangani sebuah nota

kesepahaman perdamaian atau dikenal dengan nama Memorandum Of

Understanding (MOU) Helsinki. Disebut sebagai MOU Helsinki karena

dibuat atau ditandantangani di Helsinki, Finlandia. MOU itu ditorehkan oleh

tiga tanda tangan pejabat penting bagi Aceh-RI, yakni:

1) Ketua Delegasi RI yang ketika itu menjabat sebagai Menteri Hukum dan

HAM, Hamid Awaludin

2) Ketua delegasi GAM, Malik Mahmud

3) Ketua Crisis Management Intiative (CMI), Martti Ahtisari

Sejak itu, Aceh memasuki kehidupan baru. Konflik bersenjata sejak

GAM mendeklarasikan diri 4 Desember 1976, yang disusun dengan jatuhnya

ribuan korban, kerusakan berbagai fasilitas dan penderitaan berkepanjangan

berusaha ditutup dengan MOU Helsinki. Aktor utama dalam perundingan ini

adalah Wakil Presiden RI Jusuf Kalla.

MOU Helsinki ini dilakukan dalam 4 tahap, yaitu:

Tahap pertama:

Satu bulan setelah Tsunami yakni 27-29 Januari 2005 yang

tidak menghasilkan apa-apa.

8

Tahap kedua:

Satu bulan kemudian yakni 21-23 Februari 2005, dimana

saat itu titik terang makin terbayang karena GAM beritikad

menghentikan keinginan untuk membentuk Negara Aceh

Merdeka.

Tahap ketiga:

Yakni tanggal 12-16 April 2005. Baik GAM maupun

pemerintah RI sepakat mencari solusi menyeluruh dan

permanen dengan penekanan pada martabat kedua belah pihak.

Tahap keempat:

Yaitu tanggal 12-17 Juli 2005, mencapai kemajuan kemajuan

pesat. Hal ini terlihat dari GAM yang tidak lagi mempersoalkan

Konstitusi NKRI dan tuntutan merdeka. Dalam perundingan ini

sekaligus draf MOU ditandatangani yang finalisasinya MOU

ditandatangani tanggal 15 Agustus 2005.

B. Variabel Bebas dalam Mewujudkan Perdamaian GAM-RI

a) MOU Helsinki yang mejadi general agreements atau nilai-nilai yang

disepakati bersama antara kedua belah pihak.

b) Adanya agen yang mampu menjembatani antara pihak yang terlibat

konflik. Misalnya NGO yaitu Dunant Center (HDC) dan Crisis

Management Initiative (CMI).

c) Terciptanya kondisi hurting stalemate atau situasi yang ada

memungkinkan untuk dilakukannya mediasi dilahirkan bukan karena

faktor.

d) Banyak anlisis juga mengatakan bahwa salah satu faktor penting dalam

mewujudkan perdamaian itu adalah Tsunami yang meluluhlantakan

Daerah Istimewa Aceh pada tangal 26 Desember 2006

e) Adanya keinginan untuk melakukan kompromi dari setiap pihak yang

terlibat konflik. Hal ini tercermin dalam berbagai perundingan yang

akhirnya menemukan titik terang atau solusi antara kedua belah pihak.

9

KESIMPULAN

Pada tahun 1953 Aceh melancarkan perlawanannya kepada Republik Indonesia.

Dimana perlawanan ini bertujuan untuk mendirikan sebuah Republik Islam atas seluruh

wilayah Indonesia. Hal ini juga menjadi tujuan kelompok-kelompok Islam militan di

Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Pemberontakan ini berakhir tahun 1962, ketika

pemerintahan Soekarno memberi jaminan bahwa Aceh akan diberi status sebagai sebuah

daerah istimewa dengan otonomi luas di bidang agama, hukum, adat dan pendidikan.

Tetapi selama bertahun-tahun janji ini secara umum tidak terpenuhi.

Berangkat dari pernyataan di atas, maka perlawanan itu merupakan pelanggaran

terhadap nilai-nilai pancasila dimana setiap umat beragama memiliki kebebasan untuk

beribadat menurut agama dan kepercayaannya masing-masing. Yang diimplementasikan

dalam sila ke-5 yaitu, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dan tidak mengakiu

kamajemukan di bangsa ini. Oleh sebab itu, untuk menghindari konflik yang seperti itu

maka kita harus mengakui adanya kemajemukan ras, golongan suku, bangsa dan agama

di negeri ini. Kita adalah bengsa yang majemuk.

Di sisi lain, pemberontakan GAM tidak terlepas dari kegagalan pemerintah dalam

mewujudkan pemerataan pembangunan di seluruh nusantara. Dimana tercermin dalam

konflik di atas bahwa motiv utama pemberontakan itu adalah karena ketidapuasan rakyat

Aceh atas pembangunan yang dilaksanakan di propinsi tersebut. Sudah mejadi kenangan

hitam bagi negeri ini atas kehilangan Tim-Tim karena berhasil memisahkan diri dari

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjadi negara merdeka dan Papua

(Organisasi Papua Merdeka) yang hingga saat ini tetap menjadi Pekerjaan rumah bagi

pemerintah pusat dalam mempertahankan persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan

Republik Indonesia. Bertolak dari kejadian itu, maka hal ini dapat mencelikan mata

pemerintah pusat dalam mewujudkan pembangunan yang merata di negeri ini.

10

DAFTAR PUSTAKA

1. http://www.okezone.com/

2. Kompas, 4 Desember 2002, hal.8

3. Kompas, 24 Nopember 2002, hal.30

4. Kompas, 16 Desember 2002

5. Kompas, 10 Desember 2002, hal.1

6. Iskandar Zulkarnaen. Ketua Pusat Studi Sosial Politik, dan Dosen FISIP Universitas

Malikussaleh. Peneliti pada The Aceh Institute. Email : [email protected]

7. Kompas, 24 Nopember 2002, hal.30

8. ICG Asia Report, No. 17, 12 Juni 2001, Aceh: Kenapa Kekuatan Militer Tidak akan

Membawa pada Perdamaian Kekal, hlm.10

9. Jakarta Post, 18 Januari 2000