KEBIJAKAN PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TERLANTAR DALAM KERANGKA REFORMA AGRARIA1

22
KEBIJAKAN PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TERLANTAR DALAM KERANGKA REFORMA AGRARIA 1 Ida Nurlinda 2 [email protected] A. Pendahuluan Kondisi tanah (terindikasi) terlantar di Indonesia saat ini cukup luas. Berdasarkan hasil identifikasi BPN pada tahun 2011, terdapat sekitar 7,3 juta hektar tanah yang terindikasi terlantar; sedangkan tanah yang sudah dinyatakan terlantar adalah 459 bidang 3 , yang luasnya mencakup 4,8 juta hektar. Luas tanah terlantar ini bertambah, karena data pada tahun 2007 tanah terlantar seluas 7,1 juta hektar di luar kawasan hutan 4 . Tanah terlantar seluas itu sama dengan 14 kali luas wilayah Singapura. Data terakhir (2014), potensi tanah (terindikasi) terlantar mencapai 7,5 juta 1 Makalah disajikan pada Rapat Kerja Teknis Penatagunaan Tanah dan Konsultasi Teknis Pengendalian Penerapan Kebijakan dan Program T.A. 2014 BPN, Jakarta, 6 Mei 2014 2 Dosen Hukum Agraria, Hukum Lingkungan dan Hukum Tata Ruang pada Fakultas Hukum UNPAD Bandung 3 Kurnia Toha, Ka. Pusat Hukum dan Humas BPN, BPN nyatakan 4,8 juta ha lahan terlantar, Harian Media Indonesia, 25 September 2012: hlm. 4 4 Joyo Winoto, Reforma Agraria: Mandat Politik, Konstitusi, dan Hukum dalam rangka mewujudkan Tanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat , Makalah Kuliah Umum di Balai Senat UGM, Yogyakarta, 22 November 2007: hlm 1 1

Transcript of KEBIJAKAN PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TERLANTAR DALAM KERANGKA REFORMA AGRARIA1

KEBIJAKAN PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TERLANTAR DALAMKERANGKA REFORMA AGRARIA1

Ida Nurlinda2

[email protected]

A. Pendahuluan

Kondisi tanah (terindikasi) terlantar di

Indonesia saat ini cukup luas. Berdasarkan hasil

identifikasi BPN pada tahun 2011, terdapat sekitar

7,3 juta hektar tanah yang terindikasi terlantar;

sedangkan tanah yang sudah dinyatakan terlantar

adalah 459 bidang3, yang luasnya mencakup 4,8 juta

hektar. Luas tanah terlantar ini bertambah, karena

data pada tahun 2007 tanah terlantar seluas 7,1

juta hektar di luar kawasan hutan4. Tanah

terlantar seluas itu sama dengan 14 kali luas

wilayah Singapura. Data terakhir (2014), potensi

tanah (terindikasi) terlantar mencapai 7,5 juta

1 Makalah disajikan pada Rapat Kerja Teknis Penatagunaan Tanahdan Konsultasi Teknis Pengendalian Penerapan Kebijakan danProgram T.A. 2014 BPN, Jakarta, 6 Mei 2014

2 Dosen Hukum Agraria, Hukum Lingkungan dan Hukum Tata Ruangpada Fakultas Hukum UNPAD Bandung

3 Kurnia Toha, Ka. Pusat Hukum dan Humas BPN, BPN nyatakan 4,8 jutaha lahan terlantar, Harian Media Indonesia, 25 September 2012:hlm. 4

4 Joyo Winoto, Reforma Agraria: Mandat Politik, Konstitusi, dan Hukum dalamrangka mewujudkan Tanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat, MakalahKuliah Umum di Balai Senat UGM, Yogyakarta, 22 November 2007:hlm 1

1

ha5. Data-data tersebut menunjukkan tanah

(terindikasi) terlantar perlu ditangani sesegera

mungkin dan penanganannya bersifat multi sektor.

Dalam arti harus melibatkan kontribusi berbagai

sektor yang terkait dan partisipasi aktif

masyarakat, baik pemilik hak atas tanah maupun

masyarakat yang berkepentingan pada penertiban dan

pendayagunaan tanah terlantar.

Berbagai peraturan perundang-undangan telah

dibentuk, kebijakan telah diambil untuk menangani

masalah tanah terlantar, namun hasilnya masih

belum sesuai dengan yang diharapkan. Di era Orde

Baru, telah ada Instruksi Mendagri No. 2 tahun

1982 tentang Penertiban Tanah Terlantar di Daerah

Perkotaan yang Dikuasai oleh Badan

Hukum/Perorangan yang tidak Dimanfaatkan/

Diterlantarkan,. Setelah itu kemudian terbit

Keputusan Mendagri No. 268 tahun 1982 tentang

Pokok-pokok Kebijakan Penertiban/Pemanfaatan Tanah

yang Dicadangkan bagi dan/atau Dikuasai oleh

Perusahaan-Perusahaan. Di era Reformasi, muncul PP

No. 36 tahun 1998 tentang Penertiban dan

Pendayagunaan Tanah Terlantar jo Keputusan Ka. BPN

No. 24 tahun 2002 sebagai peraturan

5 Budi Mulyanto, Direktur Penatagunaan Tanah BPN pada talkshow“Reformasi Agraria dan Alih Fungsi Lahan”, Agrinex Expo ke 8, Jakarta,29 Maret 2014

2

pelaksanaannya. Selanjutnya PP tersebut diganti

oleh PP No. 11 tahun 2010 tentang Penertiban dan

Pendayagunaan Tanah Terlantar, dan ditindak

lanjuti oleh Perkaban No. 4 tahun 2010 tentang

Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar, dan Perkaban

No. 5 tahun 2011 tentang Tata Cara Pendayagunaan

Tanah Negara Bekas Tanah Terlantar.

Meskipun peraturan dan kebijakan telah dibentuk

namun faktanya jumlah tanah (terindikasi)

terlantar justru meningkat, sehingga upaya

penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar

semakin jauh dari tujuan awalnya, yaitu mewujudkan

keadilan agraria. dalam kerangka reforma agraria.

Jika reforma agraria dilakukan hanya untuk

merektrukturisasi tatanan penguasaan dan pemilikan

tanah semata, maka reforma agraria itu hanya

bermakna sebagai suatu perubahan sosial semata6,

belum tentu mewujudkan keadilan agraria. Dengan

demikian, kebijakan penertiban dan pendayagunaan

tanah terlantar harus bermuara pada keadilan

agraria sebagai amanat dari Konstitusi Pasal 33

ayat (3) UUD 1945.

6 Ida Nurlinda, Monograf Hukum Agraria: Reforma Agraria untuk KesejahteraanRakyat dan Keadilan Agraria, LoGoz Publishing bekerjasama denganPusat Studi Hukum Lingkungan dan Penataan Ruang Fakultas HukumUnpad, Bandung, 2013: hlm. 24

3

B. Implementasi Penertiban dan Pendayagunaan Tanah

Tertantar

Dalam beberapa penelitian yang telah dilakukan

baik oleh penulis maupun oleh mahasiswa-mahasiswa

di Fakultas Hukum Unpad menunjukkan bahwa

implementasi kebijakan penertiban dan

pendayagunaan tanah terlantar masih menghadapi

kendala. Baik implementasi yang mengacu pada PP

No. 36 tahun 1998 maupun pada PP No. 11 tahun 2010

dan peraturan-peraturan pelaksanaan sebagai dasar

hukumnya. Banyak hal yang menyebabkan timbulnya

kendala tersebut, yang pasti akibatnya sama, yaitu

belum tercapainya kesejahteraan rakyat sebagaimana

diamanatkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Kendala-

kendala ini seyogianya dikaji dengan perspektif

multi sektor karena fakta di lapangan menunjukkan

kendala muncul tidak hanya terkait dengan

kewenangan BPN dan aparat di tataran

pelaksanaannya (kanwil dan kantor pertanahan)

tetapi juga terkait dengan kewenangan instansi

lain. Hal demikian banyak terjadi pada kasus tanah

(terindikasi) terlantar di Provinsi Jawa Barat.

Di Kabupaten Tasikmalaya misalnya, tanah-tanah

(milik PT Genteng Marba dan PT Datar Salam) yang

tengah diajukan proses penetapan tanah terlantar

oleh Kantor Pertanahan setempat ke Kanwil BPN

4

Provinsi Jabar dan BPN Pusat, tidak termonitor

dengan baik (tidak diketahui) oleh Bappeda serta

Dinas Pertanian dan Perkebunan setempat, sehingga

dalam kebijakannya kedua istansi tersebut masih

memasukkan kedua tanah yang terindikasi terlantar

tersebut dalam kebijakan intensifikasi pertanian

di wilayah Kabupaten Tasikmalaya. Padahal menurut

Pasal 12 PP No. 11 tahun 2010, tanah-tanah yang

diusulkan untuk ditetapkan menjadi tanah

terlantar, harus dinyatakan dalam kondisi status

quo. Hal demikian seharusnya tidak terjadi karena

dalam pembentuk Panitia C yang bertugas melakukan

identifikasi dan penelitian tanah terlantar,

dinas/instansi terkait dengan peruntukan tanah

(baik di tingkat Kabupaten/Kota maupun di tingkat

Provinsi) merupakan anggota dari Panitia Tim C

tersebut7, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 10

Perkaban No. 4 tahun 2010 tentang Tata Cara

Penertiban Tanah Terlantar. Dengan demikian

seharusnya Bappeda dan Dinas Pertanian dan

Perkebunan Kabupaten Tasikmalaya mengetahui hal

tersebut.

7 Ida Nurlinda, Yani Pujiwati dan Marenda Ishak, Evaluasi DampakBerlakunya PP No. 11 tahun 2010 tentang Pertiban dan Pendayagunaan TanahTerlantar terhadap Kebijakan Pengelolaan Tanah Pertanian di KabupatenTasikmalaya, Laporan Penelitian Hibah Bersaing ProgramDesentralisasi DIKTI, 2012: hlm. 38

5

Di Provinsi Jawa Barat, masalah penertiban dan

pendayagunaan tanah terlantar memang cukup rumit

dan berpotensi besar menimbulkan konflik/sengketa

pertanahan. Di Provinsi Jabar, tanah yang

terindikasi terlantar sampai tahun 2011 mencapai

19.654,2694 hektar. Tanah tersebut menyebar di

beberapa wilayah seperti Kabupaten Sukabumi,

Kabupaten Karawang, Kabupaten Tasikmalaya,

Kabupaten Ciamis, dan sebagainya; dengan dasar

penguasaan hak berupa HGU, HGB, Hak Pengelolaan

dan bahkan yang masih berstatus izin lokasi8 Dari

wilayah-wilayah di Provinsi Jabar tersebut,

Kabupaten Sukabumi merupakan wilayah yang

mempunyai tanah terlantar terluas. Dari luas

wilayah Kabupaten Sukabumi 412.799,54 ha, terdapat

tanah (diindikasikan) terlantar seluas 12.652,8

ha. Tanah-tanah itu baik berstatus tanah HGU

maupun HGB. Secara rinci tanah-tanah tersebut

dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel : 1Tanah yang (Terindikasi) Terlantar di Kabupaten

Sukabumi

NO PEMEGANG HAK STATUS LUAS 1 PT Cibuhung HGU 121 Ha

8 Ida Nurlinda, Yani Pujiwati dan Marenda Ishak, PerbandinganPenanganan Tanah Terlantar di Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Sukabumidalam Mewujudkan Ketahanan Pangan Provinsi Jawa Barat, LaporanPenelitian Kompetitif DIKTI, 2013: hlm. 13

6

2 PT Bumi Lestari Abadi HGU 538 Ha3 PT Intan Hepta HGU 634 Ha4 PT Intan Hepta (Pandan Arum) HGU 583 Ha5 PT Hardjasari (Cikapundung) HGU 130 Ha6 PT Djasulawangi (Ciranggon) HGU 1101 Ha7 PT Golden Private (Citandoh) HGU 340 Ha8 PT Priangan (Gunung Walat) HGU 480 Ha9 PT Priangan (Gunung Walat) HGU 124 Ha10 PT Sugih Mukti (Halimun) HGU 731 Ha11 PT Cengkeh Zanzibar (Maranginan) HGU 612 Ha12 PT Cengkeh Zanzibar (Mataram) HGU 363 Ha13 PT Pasir Salam (Pasir Salam) HGU 199 Ha14 PT Putri Perdana HGU 90 Ha15 PT Tybar HGU 1055 Ha16 PT Tybar HGU 774 Ha17 PT Papanmas Permai Sejahtera HGB 170 Ha18 PT Mustika Raharja HGB 30 Ha19 PT Surya Nadi Cipta HGB 700 Ha20 PT Pengembangan Agrowisata Prima HGB 215 Ha21 PT Jaya Langgasari Persada HGB 100 Ha22 PT Matahari Caritaria HGB 150 Ha23 Harja Setia HGB 630 Ha24 PT Nuansa Baskara Cipta HGB 500 Ha25 PT Prisma Maju Indonesia HGB 74 Ha26 PT Pusin Plus Indonesia HGB 200 Ha27 PT Kowarman Internasional Corp HGB 120 Ha28 PT Surya Petani HGB 39 Ha29 PT Mustika Rahardja HGB 420 Ha30 PT Wijaya Karya HGB 100 Ha31 PT Cijambe Indah HGB 160 Ha32 KPN Gemah HGB 3,8 Ha33 PT Bangunarta Pola Perkasa HGB 5 Ha34 PT Citra Wisata Habitat HGB 15 Ha35 PT Margahayu Raya HGB 50 Ha36 PT Plaban Purwa Griya HGB 17 Ha37 PT Perkasa Indosteel HGB 300 Ha38 PT Rizky HGB 5 Ha39 PT Honoris Industri HGB 5 Ha40 Yayasan Ar-Raya HGB 15 Ha41 PT Perdagangan dan Industri

TjipelangHGU 136 Ha

42 PT Djaja HGU 618 HaTOTAL 12.652,8 Ha

7

Sumber : Kantor Pertanahan Kabupaten Sukabumi,

tahun 20119

Menjadi pertanyaan tersendiri, mengapa begitu

banyak tanah yang (diindikasikan) terlantar di

Kabupaten Sukabumi. Bagaimana Rencana Tata Ruang

Wilayah (RTRW) dan penatagunaan tanah Kabupaten

Sukabumi disusun dengan begitu banyak tanah-tanah

yang tidak jelas peruntukan dan pemanfaatannya?

Bagaimana Bappeda Kabupaten Sukabumi bekerja

dengan fakta-fakta seperti di atas? Rangkaian

pertanyaan-pertanyaan ini seharusnya tidak muncul

manakala keputusan pemberian hak dilakukan dengan

seteliti mungkin dan pengawasan serta monitoring

berjalan dengan baik.

Selain itu, yang menarik juga dari kasus di

Kabupaten Sukabumi ini adalah cukup banyaknya

tanah (terindikasi) terlantar yang berstatus HGB.

Hal demikian sebenarnya cukup jarang terjadi.. Di

Kabupaten Sukabumi terdapat banyak tanah terlantar

berstatus HGB karena sebelum krisis moneter dan

krisis keuangan terjadi pada akhir tahun 1990-an,

di wilayah Kabupaten Sukabumi banyak pengusaha

properti yang merencanakan pembangunan hotel dan

9 Galih Sasmita, Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar untukKemakmuran Rakyat di Kabupaten Sukabumi dihubungkan dengan PP No. 11 tahun2010, Skripsi pada Fakultas Hukum Unpad, Bandung, 2011: hlm.80

8

resort10. Tanah yang (terindikasi) terlantar yang

berstatus HGB juga terdapat di Kota Bandung,

meskipun tidak seluas di Kabupaten Sukabumi, yaitu

hanya seluas 2.360.951 m2 HGB milik PT Duma Kaya

Megar dan seluas 89.962 m2 HGB milik PT Mahkota

Permata Perdana11. Meskipun tidak terlalu luas,

namun mengingat letak tanah tersebut di pusat Kota

Bandung, maka adanya tanah yang diindikasikan

terlantar menjadi sebuah ironi karena tingginya

kebutuhan akan tanah di Kota Bandung. Selain itu

beberapa tanah yang akan ditetapkan sebagai tanah

terlantar juga masih dalam status dijaminkan ke

Bank, misalnya kasus tanah yang terindikasi

terlantar yaitu HGU milik PT Utama di Kabupaten

Karawang yang telah dijaminkan ke PT Bank BNI di

Kabupaten Karawang pada tahun 2009, sehingga

ketika akan ditetapkan sebagai tanah terlantar

pada tahun 2013, pihak Bank BNI melakukan upaya

hukum melalui pengadilan12. Hal demikian perlu

diatasi dengan hati-hati dan bekerjasama dengan

10 Ida Nurlinda, Yani Pujiwati dan Marenda Ishak, Op.Cit, 2013:hlm. 33

11 Ardi Suryadin, Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar terhadapLahan berstatus HGB di Kota Bandung dikaitkan dengan PP No. 11 tahun 2010tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, Skipsi S-1 padaFakultas Hukum Unpad, Bandung, 2014: hlm.68-69

12 Listiani Nurhasanah, Pelaksanaan Penertiban dan Pendayagunaan TanahTerlantar di wilayah Kabupaten Karawang dalam rangka Reforma Agraria ditinjaudari PP No. 11 tahun 2010, Skripsi S-1, Fakultas Hukum Unpad, 2012:hlm. 58

9

pihak bank karena penetapan tanah terlantar yang

gegabah tidak memperhatikan aspek-aspek hukum

jaminan akan menyebabkan bank akan enggan

memberikan kreditnya. Hal demikian pada akhirnya

dapat berdampak pada iklim investasi yang tidak

kondusif.

Di luar Pulau Jawa, kasus penelantaran tanah

lebih banyak terjadi pada tanah-tanah HGU

perkebunan, seperti yang terjadi di Provinsi

Kalimantan Timur. Lahan budidaya non kehutanan

dengan komoditi kelapa sawit seluas 2.044,36 ha

yang terletak di Desa Nunukan Barat, Kecamatan

Nunukan, Kabupaten Nunukan Provinsi Kalimantan

Timur, HGU milik PT Bhumi Simanggaris Indah. Tanah

tersebut tidak diusahakan dengan baik oleh

pemiliknya sehingga diindikasikan sebagai tanah

terlantar13. Mengingat Kabupaten Nunukan letaknya

sangat strategis sebagai kawasan perbatasan antara

Indonesia dan Malaysia, maka penelantaran tanah di

wilayah perbatasan negara mempunyai dampak yang

sangat strategis pula. Tanah yang tidak

dimanfaatkan oleh PT Bhumi Simanggaris Indah

tersebut kemudian dipergunakan dan dikuasai oleh

13 Dara Hapsari Nastiti, Penyelesaian Konflik Pertanahan diKabupaten Nunukan Kalimatan Timur antara Masyarakat denganPerusahaan Perkebunan dihubungkan dengan PP No. 11 tahun 2010,Skripsi S-1 pada Fakultas Hukum Unpad, Bandung, 2013: hlm. 6

10

masyarakat setempat seluas 810,82 ha14. Meskipun

masyarakat tersebut pada akhirnya memperoleh tanah

yang dikuasainya melalui redistribusi tanah HGU

melalui program pendayagunaan tanah terlantar,

tapi kasus tanah di Kabupaten Nunukan itu telah

cukup menyengsarakan kehidupan masyarakat sekitar

lokasi tanah perkebunan.

Dari paparan beberapa kasus penertiban dan

pendayagunaan tanah dan atas dasar studi-studi

lainnya yang terkait dengan tanah terlantar, ada 2

sisi yang menjadi hambatan implementasi penertiban

dan pendayagunaan tanah terlantar, khususnya dalam

kaitan implementasi PP No. 11 tahun 2010 beserta

peraturan pelaksanaannya, yaitu:

1. Secara normatif, bentuk hukum PP (Peraturan

Pemerintah) yang mengatur mengenai penertiban

dan pendayagunaan tanah terlantar, memiliki

posisi yang inferior ketika di lapangan

berhadapan dengan tanah-tanah terlantar yang

merupakan kawasan hutan misalnya, yang diatur

dalam bentuk hukum yang lebih tinggi (Undang-

undang) daripada PP; atau jika upaya

penertiban itu terkait dengan kewenangan

instansi lain yang diatur dalam bentuk

Undang-undang. Misalnya dalam hal terkait

14 Ibid.: hlm. 175

11

tanah pertanian, telah diatur dalam bentuk

hukum UU, yaitu UU No. 41 Tahun 2009 tentang

Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan.

Atau tanah perkebunan yang diatur dalam UU

No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan.

2. Dalam tataran implementasi, bentuk hukum PP

dari aturan mengenai penertiban dan

pendayagunaan tanah terlantar tersebut

menjadi masalah tersendiri ketika berkaitan

dengan instansi pelaksananya, di mana BPN

hanyalah sebuah “badan” yang tentu akan

berbeda dengan kawasan hutan atau tanah

pertanian yang kewenangannya dilakukan oleh

sebuah kementerian. Kendala-kendala demikian

disadari atau tidak menjadi hambatan

tersendiri ketika BPN akan menetapkan suatu

tanah menjadi tanah terlantar.

Hambatan-hambatan tersebut di atas kiranya

perlu segera di atasi dengan menempatkan kembali

(reposisi) hakekat penertiban dan pendayagunaan

tanah terlantar tersebut untuk mewujudkan keadilan

agraria dalam kerangka reforma agraria, sehingga

upaya mengatasi hambatan tersebut dengan

mengedepankan kepentingan rakyat, mewujudkan

kesejahteraan rakyat dan dilandasi oleh prinsip-

prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good

12

governance) di semua sektor dan bidang yang

terkait. Unsur-unsur transparansi, kesetaraan

semua pihak dan supremasi hukum harus

dikedepankan. Supremasi hukum bukan berarti

mengedepankan aspek kepastian hukum saja tetapi

juga aspek keadilan dan kemanfaatan dari hukum

harus dikedepankan, jika aspek kesejahteraan

rakyat menjadi tujuan akhirnya15. Pendek kata,

dalam tata kelola pertanahan yang baik (good land

governance) semua unsur pemerintah secara bersama-

sama mewujudkan peran tanah yang optimal untuk

mewujudkan kesejateraan rakyat. Hal ini penting

dilakukan karena reforma agraria bukan semata-mata

tugas BPN saja akan tetapi semua elemen bangsa

Indonesia.

Selain itu, karena substansi yang diatur dalam

PP No. 11 tahun 2010 terkait dengan aspek Hak

Asasi Manusia (HAM) yaitu putusnya hubungan hukum

antara pemilik tanah dengan tanahnya, serta PP No.

11 tahun 2010 ini dalam pelaksanaannya

bersinggungan dengan UU lain, maka seyogianya

peraturan tentang penertiban tanah terlantar

berbentuk hukum UU16. Hal ini analog dengan

masalah pengadaan tanah bagi pembangunan untuk15 Ida Nurlinda, Prinsip-prinsip Pembaruan Agraria: Perspektif Hukum,

RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2009: hlm. 23016 Maria S.W. Sumardjono, Tanah untuk Kesejahteraan Rakyat, Bagian

Hukum Agraria Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, 2010: hlm. 161

13

kepentingan umum yang diatur oleh UU (UU No. 2

tahun 2012), karena ada pengambilalihan hak

seseorang atas tanah oleh negara atas nama

kepentingan umum.

Penetapan suatu bidang tanah sebagai tanah

terlantar memang terkait dengan masalah HAM karena

putusnya hubungan hukum antara pemilik hak dengan

tanah sebagai obyek hak tersebut. Hal ini akan

sangat berpotensi menimbulkan gugatan, memicu

timbulnya sengketa bahkan konflik pertanahan yang

bersifat masif. Keadaan demikian harus dapat

dicegah dengan pemahaman bahwa implementasi PP No.

11 tahun 2010 merupakan upaya terakhir setelah

semua upaya persuasif dan peringatan dilakukan

agar pemilik tanah mengusahakan tanahnya sesuai

dengan asas-asas penatagunaan tanah sebagaimana

diatur dalam Pasal 2 PP No. 16 tahun 2004 tentang

Penatagunaan Tanah. Dengan demikian peringatan

tidak perlu dilakukan hingga terindikasinya tanah

terlantar berdasarkan hasil identifikasi dan

penelitian. Cukup manakala asas-asas penatagunaan

tanah tidak terimplementasi dengan baik, maka

tindakan-tindakan pencegahan penelantaran tanah

sudah dapat dilakukan.

Tindakan pencegahan tersebut harus dilakukan

dengan koordinasi bersama-sama instansi lain yang

14

terkait. Misalnya dengan Dinas Pertanian atau

Dinas Perkebunan. Fakta pada tanah milik PT Datar

Salam di Kabupaten Tasikmalaya yang diindikasikan

terlantar, menunjukkan bahwa tidak

dimanfaatkannya tanah itu karena

struktur/kandungan tanahnya tidak cocok untuk

dijadikan perkebunan karet17. Dengan demikian

pertimbangan penetapan tanah terlantar sebaiknya

tidak hanya didasarkan pada luas (kuantitas) lahan

yang tidak dimanfaatkan semata, namun juga pada

aspek kualitas dari tanah untuk pemanfaatan

tertentu.

C. Pendayagunaan Tanah Terlantar melalui Reforma

Agraria

Dalam kepustakaan, beragam makna reforma

agraria dirumuskan. Antara lain pendapat Kuhnen

sebagaimana dikutip oleh Michael Kirk, et.al.18,

yang menyatakan:

Agrarian reform can be defined as a bundle of measures forovercoming the obstacles to economic and social developmentthat are based on shortcomings in the agrarian structure.Agrarian reforms includes both the conditions for land tenure(like ownership, lease, etc.), known as reform of land ownershipand those aspects for land use (like farm size, supportinginstitutions, etc.) called land management reform.

17 Ida Nurlinda, Yani Pujiwati, Marenda Ishak, Op.cit., 2012: hlm.42

18 Kirk, Michael., Loffler and Zimmermann, Land Tenure in DevelopmentCooperation: Guiding Principles, GT2 GmbH, Wiesbaden, 1998: hlm. 82

15

Dengan demikian, pemahaman reforma agraria

mempunyai makna yang luas dari restrukturisasi

agraria, untuk mengatasi hambatan dalam

pembangunan ekonomi dan sosial.

Sebagai suatu komitmen politik, Pasal 2

Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan

Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam

menegaskan bahwa:

Pembaruan agraria mencakup suatu proses yangberkesinambungan berkenaan dengan penataankembali penguasaan, pemilikan, penggunaan danpemanfaatan sumber daya agraria, yangdilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastiandan perlindungan hukum serta keadilan dankemakmuran rakyat bagi seluruh rakyatIndonesia.

Pada pengertian di atas, terdapat kata kunci

(keywords) pelaksanaan reforma agraria di

Indonesia, yaitu (1) kepastian dan perlindungan

hukum, serta (2) keadilan dan kemakmuran rakyat.

Kata kunci tersebut menjadi tujuan akhir dari

pelaksanaan reforma agraria. Untuk mewujudkannya,

dibutuhkan politik hukum yang mendukung. Mahfud

M.D., menegaskan bahwa politik hukum merupakan

arahan/garis resmi yang dijadikan dasar pijak dan

cara untuk membuat dan melaksanakan hukum dalam

rangka mencapai tujuan bangsa dan negara19. Dengan19 Mahfud, M.D., Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Pustaka

LP3ES Indonesia, Jakarta, 2006: hlm. 15

16

demikian, politik hukum agraria yang mendukung

reforma agraria merupakan kristalisasi dari

berbagai kehendak politik atas penguasaan tanah

untuk mewujudkan kedua kata kunci reforma agraria

di atas20.

Dalam kaitannya dengan upaya penertiban dan

pendayagunaan tanah terlantar, pada PP No. 36

tahun 1998 ditegaskan bahwa tanah terlantar

didayagunakan untuk program-program kemitraan,

redistribusi tanah, konsolidasi tanah dan

pemberian hak atas tanah kepada pihak lain.

Sementara itu, Pasal 15 ayat (1) PP No. 11 tahun

2010 jo Pasal 16 ayat (1) Perkaban No. 5 tahun

2011 tentang Tata Cara Pendayagunaan Tanah Negara

Bekas Tanah Terlantar, menegaskan bahwa peruntukan

penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan

tanah negara bekas tanah terlantar didayagunakan

untuk kepentingan masyarakat dan negara melalui

(1) program reforma agraria, (2) alokasi program

strategis negara dan (3) untuk cadangan negara

lainnya. Tanah ini kemudian dikenal sebagai Tanah

Cadangan Umum Negara (TCUN). Dengan demikian,

arahan pendayagunaan tanah terlantar dalam PP No.

20 Ida Nurlinda, Monograf Hukum Agraria: Membangun Pluralisme Hukumdalam kerangka Unifikasi Hukum Agraria, LoGoz Publishing bekerjasamadengan Pusat Studi Hukum Lingkungan dan Penataan RuangFakultas Hukum Unpad, Bandung, 2014: hlm. 10

17

11 tahun 2010 lebih luas dari pada PP No. 36 tahun

1998.

Meskipun pendayagunaan tanah terlantar dapat

dilakukan melalui 3 cara, namun program-program

pemanfaatannya saling terkait dan sama-sama

dimaksudkan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.

TCUN melalui program reforma agraria dimanfaatkan

untuk pertanian dan non pertanian; sedangkan TCUN

untuk program strategis negara dimanfaatkan untuk

pengembangan sektor pangan, energi dan perumahan

rakyat. Sementara itu, TCUN untuk cadangan negara

lainnya dimanfaatkan untuk kepentingan pemerintah,

hankam dan bencana alam. Pemanfaatan TCUN melalui

reforma agraria dan program startegis diarahkan

untuk terbentuknya ketahanan pangan dan ketahanan

energi serta terpeenuhinya kebutuhan perumahan

sebagai kebutuhan dasar manusia.

D. Penutup

Penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar

merupakan mekanisme penguatan asas hukum agraria

yang utama, yaitu hak atas tanah harus berfungsi

sosial. Makna hakiki dari fungsi sosial itu adalah

fungsi tanah sebagai sarana untuk mewujudkan

sebesar-besar kemakmuran rakyat sesuai dengan

18

amanah konstitusi. Untuk itu, peran hukum baik

dalam arti asas, peraturan/kebijakan,

lembaga/instansi dan proses untuk mewujudkan asas

dan peraturan/kebijakan tersebut dalam kenyataan,

menjadi penting. Keempat unsur hukum tersebut

harus menjadi instrumen untuk mentransfer fungsi

sosial tanah kepada terwujudnya kesejahteraan

rakyat. Dalam hal ini hukum harus berperan secara

responsif.

Terlepas dari permasalahan yang timbul dalam

implementasi kebijakan penertiban dan

pendayagunaan tanah terlantar, secara bentuk hukum

pengaturannya perlu dituangkan dalam bentuk hukum

undang-undang. Secara substansi, PP No. 11 tahun

2010 perlu disempurnakan mengingat adanya beberapa

hal yang debatable. Misalnya tentang masuknya hak

pengelolaan sebagai obyek tanah terlantar pada

Pasal 2, tetapi Pasal 3 huruf (b),

mengecualikannya sebagai obyek tanah terlantar.

Bagaimana pun, hak pengelolaan merupakan bagian

dari tanah yang dikuasai oleh negara/pemerintah.

Contoh lain misalnya tentang hak pakai. Hak pakai

merupakan obyek penertiban tanah terlantar menurut

Pasal 2, namun dalam Pasal 3 huruf (a) hanya

memasukan tanah hak milik dan HGB saja sebagai

tanah yang diperkecualikan dari obyek tanah

19

terlantar jika tanpa kesengajaan. Dalam hal ini

tanah hak pakai tidak termasuk yang

diperkecualikan. Hal-hal demikian nampaknya

seperti persoalan kecil namun dari perspektif

hukum sangat melemahkan kedudukan PP No. 11 tahun

2010 ini dalam tatanan sistem hukum tanah

nasional, bahkan sistem hukum nasional secara

keseluruhan.

-bdg:050514-

Daftar Pustaka

Ardi Suryadin, Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantarterhadap Lahan berstatus HGB di Kota Bandung dikaitkan dengan PPNo. 11 tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan TanahTerlantar, Skipsi S-1 pada Fakultas Hukum Unpad,Bandung, 2014

Budi Mulyanto, Direktur Penatagunaan Tanah BPN padatalkshow “Reformasi Agraria dan Alih Fungsi Lahan”, AgrinexExpo ke 8, Jakarta, 29 Maret 2014

Dara Hapsari Nastiti, Penyelesaian Konflik Pertanahan diKabupaten Nunukan Kalimatan Timur antara Masyarakat denganPerusahaan Perkebunan dihubungkan dengan PP No. 11 tahun2010, Skripsi S-1 pada Fakultas Hukum Unpad,Bandung, 2013

Galih Sasmita, Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantaruntuk Kemakmuran Rakyat di Kabupaten Sukabumi dihubungkandengan PP No. 11 tahun 2010, Skripsi pada Fakultas HukumUnpad, Bandung, 2011

20

Ida Nurlinda, Prinsip-prinsip Pembaruan Agraria: Perspektif Hukum,RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2009

----------, Monograf Hukum Agraria: Reforma Agraria untukKesejahteraan Rakyat dan Keadilan Agraria, LoGoz Publishingbekerjasama dengan Pusat Studi Hukum Lingkungan danPenataan Ruang Fakultas Hukum Unpad, Bandung, 2013

----------, Monograf Hukum Agraria: Membangun PluralismeHukum dalam kerangka Unifikasi Hukum Agraria, LoGozPublishing bekerjasama dengan Pusat Studi HukumLingkungan dan Penataan Ruang Fakultas Hukum Unpad,Bandung, 2014

Ida Nurlinda, Yani Pujiwati dan Marenda Ishak, EvaluasiDampak Berlakunya PP No. 11 tahun 2010 tentang Pertiban danPendayagunaan Tanah Terlantar terhadap Kebijakan PengelolaanTanah Pertanian di Kabupaten Tasikmalaya, LaporanPenelitian Hibah Bersaing Program DesentralisasiDIKTI, 2012

----------, Perbandingan Penanganan Tanah Terlantar diKabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Sukabumi dalamMewujudkan Ketahanan Pangan Provinsi Jawa Barat, LaporanPenelitian Kompetitif DIKTI, 2013

Joyo Winoto, Reforma Agraria: Mandat Politik, Konstitusi, dan Hukumdalam rangka mewujudkan Tanah untuk Keadilan dan KesejahteraanRakyat, Makalah Kuliah Umum di Balai Senat UGM,Yogyakarta, 22 November 2007

Kirk, Michael., Loffler and Zimmermann, Land Tenure inDevelopment Cooperation: Guiding Principles, GT2 GmbH,Wiesbaden, 1998

Kurnia Toha, Ka. Pusat Hukum dan Humas BPN, BPN nyatakan4,8 juta ha lahan terlantar, Harian Media Indonesia, 25September 2012

21

Listiani Nurhasanah, Pelaksanaan Penertiban dan PendayagunaanTanah Terlantar di wilayah Kabupaten Karawang dalam rangkaReforma Agraria ditinjau dari PP No. 11 tahun 2010, Skripsi S-1,Fakultas Hukum Unpad, 2012

Mahfud, M.D., Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi,Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta, 2006

Maria S.W. Sumardjono, Tanah untuk Kesejahteraan Rakyat,Bagian Hukum Agraria Fakultas Hukum UGM,Yogyakarta, 2010

22