KEBIJAKAN PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TERLANTAR DALAM KERANGKA REFORMA AGRARIA1
Transcript of KEBIJAKAN PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TERLANTAR DALAM KERANGKA REFORMA AGRARIA1
KEBIJAKAN PENERTIBAN DAN PENDAYAGUNAAN TERLANTAR DALAMKERANGKA REFORMA AGRARIA1
Ida Nurlinda2
A. Pendahuluan
Kondisi tanah (terindikasi) terlantar di
Indonesia saat ini cukup luas. Berdasarkan hasil
identifikasi BPN pada tahun 2011, terdapat sekitar
7,3 juta hektar tanah yang terindikasi terlantar;
sedangkan tanah yang sudah dinyatakan terlantar
adalah 459 bidang3, yang luasnya mencakup 4,8 juta
hektar. Luas tanah terlantar ini bertambah, karena
data pada tahun 2007 tanah terlantar seluas 7,1
juta hektar di luar kawasan hutan4. Tanah
terlantar seluas itu sama dengan 14 kali luas
wilayah Singapura. Data terakhir (2014), potensi
tanah (terindikasi) terlantar mencapai 7,5 juta
1 Makalah disajikan pada Rapat Kerja Teknis Penatagunaan Tanahdan Konsultasi Teknis Pengendalian Penerapan Kebijakan danProgram T.A. 2014 BPN, Jakarta, 6 Mei 2014
2 Dosen Hukum Agraria, Hukum Lingkungan dan Hukum Tata Ruangpada Fakultas Hukum UNPAD Bandung
3 Kurnia Toha, Ka. Pusat Hukum dan Humas BPN, BPN nyatakan 4,8 jutaha lahan terlantar, Harian Media Indonesia, 25 September 2012:hlm. 4
4 Joyo Winoto, Reforma Agraria: Mandat Politik, Konstitusi, dan Hukum dalamrangka mewujudkan Tanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat, MakalahKuliah Umum di Balai Senat UGM, Yogyakarta, 22 November 2007:hlm 1
1
ha5. Data-data tersebut menunjukkan tanah
(terindikasi) terlantar perlu ditangani sesegera
mungkin dan penanganannya bersifat multi sektor.
Dalam arti harus melibatkan kontribusi berbagai
sektor yang terkait dan partisipasi aktif
masyarakat, baik pemilik hak atas tanah maupun
masyarakat yang berkepentingan pada penertiban dan
pendayagunaan tanah terlantar.
Berbagai peraturan perundang-undangan telah
dibentuk, kebijakan telah diambil untuk menangani
masalah tanah terlantar, namun hasilnya masih
belum sesuai dengan yang diharapkan. Di era Orde
Baru, telah ada Instruksi Mendagri No. 2 tahun
1982 tentang Penertiban Tanah Terlantar di Daerah
Perkotaan yang Dikuasai oleh Badan
Hukum/Perorangan yang tidak Dimanfaatkan/
Diterlantarkan,. Setelah itu kemudian terbit
Keputusan Mendagri No. 268 tahun 1982 tentang
Pokok-pokok Kebijakan Penertiban/Pemanfaatan Tanah
yang Dicadangkan bagi dan/atau Dikuasai oleh
Perusahaan-Perusahaan. Di era Reformasi, muncul PP
No. 36 tahun 1998 tentang Penertiban dan
Pendayagunaan Tanah Terlantar jo Keputusan Ka. BPN
No. 24 tahun 2002 sebagai peraturan
5 Budi Mulyanto, Direktur Penatagunaan Tanah BPN pada talkshow“Reformasi Agraria dan Alih Fungsi Lahan”, Agrinex Expo ke 8, Jakarta,29 Maret 2014
2
pelaksanaannya. Selanjutnya PP tersebut diganti
oleh PP No. 11 tahun 2010 tentang Penertiban dan
Pendayagunaan Tanah Terlantar, dan ditindak
lanjuti oleh Perkaban No. 4 tahun 2010 tentang
Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar, dan Perkaban
No. 5 tahun 2011 tentang Tata Cara Pendayagunaan
Tanah Negara Bekas Tanah Terlantar.
Meskipun peraturan dan kebijakan telah dibentuk
namun faktanya jumlah tanah (terindikasi)
terlantar justru meningkat, sehingga upaya
penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar
semakin jauh dari tujuan awalnya, yaitu mewujudkan
keadilan agraria. dalam kerangka reforma agraria.
Jika reforma agraria dilakukan hanya untuk
merektrukturisasi tatanan penguasaan dan pemilikan
tanah semata, maka reforma agraria itu hanya
bermakna sebagai suatu perubahan sosial semata6,
belum tentu mewujudkan keadilan agraria. Dengan
demikian, kebijakan penertiban dan pendayagunaan
tanah terlantar harus bermuara pada keadilan
agraria sebagai amanat dari Konstitusi Pasal 33
ayat (3) UUD 1945.
6 Ida Nurlinda, Monograf Hukum Agraria: Reforma Agraria untuk KesejahteraanRakyat dan Keadilan Agraria, LoGoz Publishing bekerjasama denganPusat Studi Hukum Lingkungan dan Penataan Ruang Fakultas HukumUnpad, Bandung, 2013: hlm. 24
3
B. Implementasi Penertiban dan Pendayagunaan Tanah
Tertantar
Dalam beberapa penelitian yang telah dilakukan
baik oleh penulis maupun oleh mahasiswa-mahasiswa
di Fakultas Hukum Unpad menunjukkan bahwa
implementasi kebijakan penertiban dan
pendayagunaan tanah terlantar masih menghadapi
kendala. Baik implementasi yang mengacu pada PP
No. 36 tahun 1998 maupun pada PP No. 11 tahun 2010
dan peraturan-peraturan pelaksanaan sebagai dasar
hukumnya. Banyak hal yang menyebabkan timbulnya
kendala tersebut, yang pasti akibatnya sama, yaitu
belum tercapainya kesejahteraan rakyat sebagaimana
diamanatkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Kendala-
kendala ini seyogianya dikaji dengan perspektif
multi sektor karena fakta di lapangan menunjukkan
kendala muncul tidak hanya terkait dengan
kewenangan BPN dan aparat di tataran
pelaksanaannya (kanwil dan kantor pertanahan)
tetapi juga terkait dengan kewenangan instansi
lain. Hal demikian banyak terjadi pada kasus tanah
(terindikasi) terlantar di Provinsi Jawa Barat.
Di Kabupaten Tasikmalaya misalnya, tanah-tanah
(milik PT Genteng Marba dan PT Datar Salam) yang
tengah diajukan proses penetapan tanah terlantar
oleh Kantor Pertanahan setempat ke Kanwil BPN
4
Provinsi Jabar dan BPN Pusat, tidak termonitor
dengan baik (tidak diketahui) oleh Bappeda serta
Dinas Pertanian dan Perkebunan setempat, sehingga
dalam kebijakannya kedua istansi tersebut masih
memasukkan kedua tanah yang terindikasi terlantar
tersebut dalam kebijakan intensifikasi pertanian
di wilayah Kabupaten Tasikmalaya. Padahal menurut
Pasal 12 PP No. 11 tahun 2010, tanah-tanah yang
diusulkan untuk ditetapkan menjadi tanah
terlantar, harus dinyatakan dalam kondisi status
quo. Hal demikian seharusnya tidak terjadi karena
dalam pembentuk Panitia C yang bertugas melakukan
identifikasi dan penelitian tanah terlantar,
dinas/instansi terkait dengan peruntukan tanah
(baik di tingkat Kabupaten/Kota maupun di tingkat
Provinsi) merupakan anggota dari Panitia Tim C
tersebut7, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 10
Perkaban No. 4 tahun 2010 tentang Tata Cara
Penertiban Tanah Terlantar. Dengan demikian
seharusnya Bappeda dan Dinas Pertanian dan
Perkebunan Kabupaten Tasikmalaya mengetahui hal
tersebut.
7 Ida Nurlinda, Yani Pujiwati dan Marenda Ishak, Evaluasi DampakBerlakunya PP No. 11 tahun 2010 tentang Pertiban dan Pendayagunaan TanahTerlantar terhadap Kebijakan Pengelolaan Tanah Pertanian di KabupatenTasikmalaya, Laporan Penelitian Hibah Bersaing ProgramDesentralisasi DIKTI, 2012: hlm. 38
5
Di Provinsi Jawa Barat, masalah penertiban dan
pendayagunaan tanah terlantar memang cukup rumit
dan berpotensi besar menimbulkan konflik/sengketa
pertanahan. Di Provinsi Jabar, tanah yang
terindikasi terlantar sampai tahun 2011 mencapai
19.654,2694 hektar. Tanah tersebut menyebar di
beberapa wilayah seperti Kabupaten Sukabumi,
Kabupaten Karawang, Kabupaten Tasikmalaya,
Kabupaten Ciamis, dan sebagainya; dengan dasar
penguasaan hak berupa HGU, HGB, Hak Pengelolaan
dan bahkan yang masih berstatus izin lokasi8 Dari
wilayah-wilayah di Provinsi Jabar tersebut,
Kabupaten Sukabumi merupakan wilayah yang
mempunyai tanah terlantar terluas. Dari luas
wilayah Kabupaten Sukabumi 412.799,54 ha, terdapat
tanah (diindikasikan) terlantar seluas 12.652,8
ha. Tanah-tanah itu baik berstatus tanah HGU
maupun HGB. Secara rinci tanah-tanah tersebut
dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel : 1Tanah yang (Terindikasi) Terlantar di Kabupaten
Sukabumi
NO PEMEGANG HAK STATUS LUAS 1 PT Cibuhung HGU 121 Ha
8 Ida Nurlinda, Yani Pujiwati dan Marenda Ishak, PerbandinganPenanganan Tanah Terlantar di Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Sukabumidalam Mewujudkan Ketahanan Pangan Provinsi Jawa Barat, LaporanPenelitian Kompetitif DIKTI, 2013: hlm. 13
6
2 PT Bumi Lestari Abadi HGU 538 Ha3 PT Intan Hepta HGU 634 Ha4 PT Intan Hepta (Pandan Arum) HGU 583 Ha5 PT Hardjasari (Cikapundung) HGU 130 Ha6 PT Djasulawangi (Ciranggon) HGU 1101 Ha7 PT Golden Private (Citandoh) HGU 340 Ha8 PT Priangan (Gunung Walat) HGU 480 Ha9 PT Priangan (Gunung Walat) HGU 124 Ha10 PT Sugih Mukti (Halimun) HGU 731 Ha11 PT Cengkeh Zanzibar (Maranginan) HGU 612 Ha12 PT Cengkeh Zanzibar (Mataram) HGU 363 Ha13 PT Pasir Salam (Pasir Salam) HGU 199 Ha14 PT Putri Perdana HGU 90 Ha15 PT Tybar HGU 1055 Ha16 PT Tybar HGU 774 Ha17 PT Papanmas Permai Sejahtera HGB 170 Ha18 PT Mustika Raharja HGB 30 Ha19 PT Surya Nadi Cipta HGB 700 Ha20 PT Pengembangan Agrowisata Prima HGB 215 Ha21 PT Jaya Langgasari Persada HGB 100 Ha22 PT Matahari Caritaria HGB 150 Ha23 Harja Setia HGB 630 Ha24 PT Nuansa Baskara Cipta HGB 500 Ha25 PT Prisma Maju Indonesia HGB 74 Ha26 PT Pusin Plus Indonesia HGB 200 Ha27 PT Kowarman Internasional Corp HGB 120 Ha28 PT Surya Petani HGB 39 Ha29 PT Mustika Rahardja HGB 420 Ha30 PT Wijaya Karya HGB 100 Ha31 PT Cijambe Indah HGB 160 Ha32 KPN Gemah HGB 3,8 Ha33 PT Bangunarta Pola Perkasa HGB 5 Ha34 PT Citra Wisata Habitat HGB 15 Ha35 PT Margahayu Raya HGB 50 Ha36 PT Plaban Purwa Griya HGB 17 Ha37 PT Perkasa Indosteel HGB 300 Ha38 PT Rizky HGB 5 Ha39 PT Honoris Industri HGB 5 Ha40 Yayasan Ar-Raya HGB 15 Ha41 PT Perdagangan dan Industri
TjipelangHGU 136 Ha
42 PT Djaja HGU 618 HaTOTAL 12.652,8 Ha
7
Sumber : Kantor Pertanahan Kabupaten Sukabumi,
tahun 20119
Menjadi pertanyaan tersendiri, mengapa begitu
banyak tanah yang (diindikasikan) terlantar di
Kabupaten Sukabumi. Bagaimana Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) dan penatagunaan tanah Kabupaten
Sukabumi disusun dengan begitu banyak tanah-tanah
yang tidak jelas peruntukan dan pemanfaatannya?
Bagaimana Bappeda Kabupaten Sukabumi bekerja
dengan fakta-fakta seperti di atas? Rangkaian
pertanyaan-pertanyaan ini seharusnya tidak muncul
manakala keputusan pemberian hak dilakukan dengan
seteliti mungkin dan pengawasan serta monitoring
berjalan dengan baik.
Selain itu, yang menarik juga dari kasus di
Kabupaten Sukabumi ini adalah cukup banyaknya
tanah (terindikasi) terlantar yang berstatus HGB.
Hal demikian sebenarnya cukup jarang terjadi.. Di
Kabupaten Sukabumi terdapat banyak tanah terlantar
berstatus HGB karena sebelum krisis moneter dan
krisis keuangan terjadi pada akhir tahun 1990-an,
di wilayah Kabupaten Sukabumi banyak pengusaha
properti yang merencanakan pembangunan hotel dan
9 Galih Sasmita, Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar untukKemakmuran Rakyat di Kabupaten Sukabumi dihubungkan dengan PP No. 11 tahun2010, Skripsi pada Fakultas Hukum Unpad, Bandung, 2011: hlm.80
8
resort10. Tanah yang (terindikasi) terlantar yang
berstatus HGB juga terdapat di Kota Bandung,
meskipun tidak seluas di Kabupaten Sukabumi, yaitu
hanya seluas 2.360.951 m2 HGB milik PT Duma Kaya
Megar dan seluas 89.962 m2 HGB milik PT Mahkota
Permata Perdana11. Meskipun tidak terlalu luas,
namun mengingat letak tanah tersebut di pusat Kota
Bandung, maka adanya tanah yang diindikasikan
terlantar menjadi sebuah ironi karena tingginya
kebutuhan akan tanah di Kota Bandung. Selain itu
beberapa tanah yang akan ditetapkan sebagai tanah
terlantar juga masih dalam status dijaminkan ke
Bank, misalnya kasus tanah yang terindikasi
terlantar yaitu HGU milik PT Utama di Kabupaten
Karawang yang telah dijaminkan ke PT Bank BNI di
Kabupaten Karawang pada tahun 2009, sehingga
ketika akan ditetapkan sebagai tanah terlantar
pada tahun 2013, pihak Bank BNI melakukan upaya
hukum melalui pengadilan12. Hal demikian perlu
diatasi dengan hati-hati dan bekerjasama dengan
10 Ida Nurlinda, Yani Pujiwati dan Marenda Ishak, Op.Cit, 2013:hlm. 33
11 Ardi Suryadin, Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar terhadapLahan berstatus HGB di Kota Bandung dikaitkan dengan PP No. 11 tahun 2010tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, Skipsi S-1 padaFakultas Hukum Unpad, Bandung, 2014: hlm.68-69
12 Listiani Nurhasanah, Pelaksanaan Penertiban dan Pendayagunaan TanahTerlantar di wilayah Kabupaten Karawang dalam rangka Reforma Agraria ditinjaudari PP No. 11 tahun 2010, Skripsi S-1, Fakultas Hukum Unpad, 2012:hlm. 58
9
pihak bank karena penetapan tanah terlantar yang
gegabah tidak memperhatikan aspek-aspek hukum
jaminan akan menyebabkan bank akan enggan
memberikan kreditnya. Hal demikian pada akhirnya
dapat berdampak pada iklim investasi yang tidak
kondusif.
Di luar Pulau Jawa, kasus penelantaran tanah
lebih banyak terjadi pada tanah-tanah HGU
perkebunan, seperti yang terjadi di Provinsi
Kalimantan Timur. Lahan budidaya non kehutanan
dengan komoditi kelapa sawit seluas 2.044,36 ha
yang terletak di Desa Nunukan Barat, Kecamatan
Nunukan, Kabupaten Nunukan Provinsi Kalimantan
Timur, HGU milik PT Bhumi Simanggaris Indah. Tanah
tersebut tidak diusahakan dengan baik oleh
pemiliknya sehingga diindikasikan sebagai tanah
terlantar13. Mengingat Kabupaten Nunukan letaknya
sangat strategis sebagai kawasan perbatasan antara
Indonesia dan Malaysia, maka penelantaran tanah di
wilayah perbatasan negara mempunyai dampak yang
sangat strategis pula. Tanah yang tidak
dimanfaatkan oleh PT Bhumi Simanggaris Indah
tersebut kemudian dipergunakan dan dikuasai oleh
13 Dara Hapsari Nastiti, Penyelesaian Konflik Pertanahan diKabupaten Nunukan Kalimatan Timur antara Masyarakat denganPerusahaan Perkebunan dihubungkan dengan PP No. 11 tahun 2010,Skripsi S-1 pada Fakultas Hukum Unpad, Bandung, 2013: hlm. 6
10
masyarakat setempat seluas 810,82 ha14. Meskipun
masyarakat tersebut pada akhirnya memperoleh tanah
yang dikuasainya melalui redistribusi tanah HGU
melalui program pendayagunaan tanah terlantar,
tapi kasus tanah di Kabupaten Nunukan itu telah
cukup menyengsarakan kehidupan masyarakat sekitar
lokasi tanah perkebunan.
Dari paparan beberapa kasus penertiban dan
pendayagunaan tanah dan atas dasar studi-studi
lainnya yang terkait dengan tanah terlantar, ada 2
sisi yang menjadi hambatan implementasi penertiban
dan pendayagunaan tanah terlantar, khususnya dalam
kaitan implementasi PP No. 11 tahun 2010 beserta
peraturan pelaksanaannya, yaitu:
1. Secara normatif, bentuk hukum PP (Peraturan
Pemerintah) yang mengatur mengenai penertiban
dan pendayagunaan tanah terlantar, memiliki
posisi yang inferior ketika di lapangan
berhadapan dengan tanah-tanah terlantar yang
merupakan kawasan hutan misalnya, yang diatur
dalam bentuk hukum yang lebih tinggi (Undang-
undang) daripada PP; atau jika upaya
penertiban itu terkait dengan kewenangan
instansi lain yang diatur dalam bentuk
Undang-undang. Misalnya dalam hal terkait
14 Ibid.: hlm. 175
11
tanah pertanian, telah diatur dalam bentuk
hukum UU, yaitu UU No. 41 Tahun 2009 tentang
Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan.
Atau tanah perkebunan yang diatur dalam UU
No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan.
2. Dalam tataran implementasi, bentuk hukum PP
dari aturan mengenai penertiban dan
pendayagunaan tanah terlantar tersebut
menjadi masalah tersendiri ketika berkaitan
dengan instansi pelaksananya, di mana BPN
hanyalah sebuah “badan” yang tentu akan
berbeda dengan kawasan hutan atau tanah
pertanian yang kewenangannya dilakukan oleh
sebuah kementerian. Kendala-kendala demikian
disadari atau tidak menjadi hambatan
tersendiri ketika BPN akan menetapkan suatu
tanah menjadi tanah terlantar.
Hambatan-hambatan tersebut di atas kiranya
perlu segera di atasi dengan menempatkan kembali
(reposisi) hakekat penertiban dan pendayagunaan
tanah terlantar tersebut untuk mewujudkan keadilan
agraria dalam kerangka reforma agraria, sehingga
upaya mengatasi hambatan tersebut dengan
mengedepankan kepentingan rakyat, mewujudkan
kesejahteraan rakyat dan dilandasi oleh prinsip-
prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good
12
governance) di semua sektor dan bidang yang
terkait. Unsur-unsur transparansi, kesetaraan
semua pihak dan supremasi hukum harus
dikedepankan. Supremasi hukum bukan berarti
mengedepankan aspek kepastian hukum saja tetapi
juga aspek keadilan dan kemanfaatan dari hukum
harus dikedepankan, jika aspek kesejahteraan
rakyat menjadi tujuan akhirnya15. Pendek kata,
dalam tata kelola pertanahan yang baik (good land
governance) semua unsur pemerintah secara bersama-
sama mewujudkan peran tanah yang optimal untuk
mewujudkan kesejateraan rakyat. Hal ini penting
dilakukan karena reforma agraria bukan semata-mata
tugas BPN saja akan tetapi semua elemen bangsa
Indonesia.
Selain itu, karena substansi yang diatur dalam
PP No. 11 tahun 2010 terkait dengan aspek Hak
Asasi Manusia (HAM) yaitu putusnya hubungan hukum
antara pemilik tanah dengan tanahnya, serta PP No.
11 tahun 2010 ini dalam pelaksanaannya
bersinggungan dengan UU lain, maka seyogianya
peraturan tentang penertiban tanah terlantar
berbentuk hukum UU16. Hal ini analog dengan
masalah pengadaan tanah bagi pembangunan untuk15 Ida Nurlinda, Prinsip-prinsip Pembaruan Agraria: Perspektif Hukum,
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2009: hlm. 23016 Maria S.W. Sumardjono, Tanah untuk Kesejahteraan Rakyat, Bagian
Hukum Agraria Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, 2010: hlm. 161
13
kepentingan umum yang diatur oleh UU (UU No. 2
tahun 2012), karena ada pengambilalihan hak
seseorang atas tanah oleh negara atas nama
kepentingan umum.
Penetapan suatu bidang tanah sebagai tanah
terlantar memang terkait dengan masalah HAM karena
putusnya hubungan hukum antara pemilik hak dengan
tanah sebagai obyek hak tersebut. Hal ini akan
sangat berpotensi menimbulkan gugatan, memicu
timbulnya sengketa bahkan konflik pertanahan yang
bersifat masif. Keadaan demikian harus dapat
dicegah dengan pemahaman bahwa implementasi PP No.
11 tahun 2010 merupakan upaya terakhir setelah
semua upaya persuasif dan peringatan dilakukan
agar pemilik tanah mengusahakan tanahnya sesuai
dengan asas-asas penatagunaan tanah sebagaimana
diatur dalam Pasal 2 PP No. 16 tahun 2004 tentang
Penatagunaan Tanah. Dengan demikian peringatan
tidak perlu dilakukan hingga terindikasinya tanah
terlantar berdasarkan hasil identifikasi dan
penelitian. Cukup manakala asas-asas penatagunaan
tanah tidak terimplementasi dengan baik, maka
tindakan-tindakan pencegahan penelantaran tanah
sudah dapat dilakukan.
Tindakan pencegahan tersebut harus dilakukan
dengan koordinasi bersama-sama instansi lain yang
14
terkait. Misalnya dengan Dinas Pertanian atau
Dinas Perkebunan. Fakta pada tanah milik PT Datar
Salam di Kabupaten Tasikmalaya yang diindikasikan
terlantar, menunjukkan bahwa tidak
dimanfaatkannya tanah itu karena
struktur/kandungan tanahnya tidak cocok untuk
dijadikan perkebunan karet17. Dengan demikian
pertimbangan penetapan tanah terlantar sebaiknya
tidak hanya didasarkan pada luas (kuantitas) lahan
yang tidak dimanfaatkan semata, namun juga pada
aspek kualitas dari tanah untuk pemanfaatan
tertentu.
C. Pendayagunaan Tanah Terlantar melalui Reforma
Agraria
Dalam kepustakaan, beragam makna reforma
agraria dirumuskan. Antara lain pendapat Kuhnen
sebagaimana dikutip oleh Michael Kirk, et.al.18,
yang menyatakan:
Agrarian reform can be defined as a bundle of measures forovercoming the obstacles to economic and social developmentthat are based on shortcomings in the agrarian structure.Agrarian reforms includes both the conditions for land tenure(like ownership, lease, etc.), known as reform of land ownershipand those aspects for land use (like farm size, supportinginstitutions, etc.) called land management reform.
17 Ida Nurlinda, Yani Pujiwati, Marenda Ishak, Op.cit., 2012: hlm.42
18 Kirk, Michael., Loffler and Zimmermann, Land Tenure in DevelopmentCooperation: Guiding Principles, GT2 GmbH, Wiesbaden, 1998: hlm. 82
15
Dengan demikian, pemahaman reforma agraria
mempunyai makna yang luas dari restrukturisasi
agraria, untuk mengatasi hambatan dalam
pembangunan ekonomi dan sosial.
Sebagai suatu komitmen politik, Pasal 2
Ketetapan MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan
Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam
menegaskan bahwa:
Pembaruan agraria mencakup suatu proses yangberkesinambungan berkenaan dengan penataankembali penguasaan, pemilikan, penggunaan danpemanfaatan sumber daya agraria, yangdilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastiandan perlindungan hukum serta keadilan dankemakmuran rakyat bagi seluruh rakyatIndonesia.
Pada pengertian di atas, terdapat kata kunci
(keywords) pelaksanaan reforma agraria di
Indonesia, yaitu (1) kepastian dan perlindungan
hukum, serta (2) keadilan dan kemakmuran rakyat.
Kata kunci tersebut menjadi tujuan akhir dari
pelaksanaan reforma agraria. Untuk mewujudkannya,
dibutuhkan politik hukum yang mendukung. Mahfud
M.D., menegaskan bahwa politik hukum merupakan
arahan/garis resmi yang dijadikan dasar pijak dan
cara untuk membuat dan melaksanakan hukum dalam
rangka mencapai tujuan bangsa dan negara19. Dengan19 Mahfud, M.D., Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Pustaka
LP3ES Indonesia, Jakarta, 2006: hlm. 15
16
demikian, politik hukum agraria yang mendukung
reforma agraria merupakan kristalisasi dari
berbagai kehendak politik atas penguasaan tanah
untuk mewujudkan kedua kata kunci reforma agraria
di atas20.
Dalam kaitannya dengan upaya penertiban dan
pendayagunaan tanah terlantar, pada PP No. 36
tahun 1998 ditegaskan bahwa tanah terlantar
didayagunakan untuk program-program kemitraan,
redistribusi tanah, konsolidasi tanah dan
pemberian hak atas tanah kepada pihak lain.
Sementara itu, Pasal 15 ayat (1) PP No. 11 tahun
2010 jo Pasal 16 ayat (1) Perkaban No. 5 tahun
2011 tentang Tata Cara Pendayagunaan Tanah Negara
Bekas Tanah Terlantar, menegaskan bahwa peruntukan
penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan
tanah negara bekas tanah terlantar didayagunakan
untuk kepentingan masyarakat dan negara melalui
(1) program reforma agraria, (2) alokasi program
strategis negara dan (3) untuk cadangan negara
lainnya. Tanah ini kemudian dikenal sebagai Tanah
Cadangan Umum Negara (TCUN). Dengan demikian,
arahan pendayagunaan tanah terlantar dalam PP No.
20 Ida Nurlinda, Monograf Hukum Agraria: Membangun Pluralisme Hukumdalam kerangka Unifikasi Hukum Agraria, LoGoz Publishing bekerjasamadengan Pusat Studi Hukum Lingkungan dan Penataan RuangFakultas Hukum Unpad, Bandung, 2014: hlm. 10
17
11 tahun 2010 lebih luas dari pada PP No. 36 tahun
1998.
Meskipun pendayagunaan tanah terlantar dapat
dilakukan melalui 3 cara, namun program-program
pemanfaatannya saling terkait dan sama-sama
dimaksudkan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.
TCUN melalui program reforma agraria dimanfaatkan
untuk pertanian dan non pertanian; sedangkan TCUN
untuk program strategis negara dimanfaatkan untuk
pengembangan sektor pangan, energi dan perumahan
rakyat. Sementara itu, TCUN untuk cadangan negara
lainnya dimanfaatkan untuk kepentingan pemerintah,
hankam dan bencana alam. Pemanfaatan TCUN melalui
reforma agraria dan program startegis diarahkan
untuk terbentuknya ketahanan pangan dan ketahanan
energi serta terpeenuhinya kebutuhan perumahan
sebagai kebutuhan dasar manusia.
D. Penutup
Penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar
merupakan mekanisme penguatan asas hukum agraria
yang utama, yaitu hak atas tanah harus berfungsi
sosial. Makna hakiki dari fungsi sosial itu adalah
fungsi tanah sebagai sarana untuk mewujudkan
sebesar-besar kemakmuran rakyat sesuai dengan
18
amanah konstitusi. Untuk itu, peran hukum baik
dalam arti asas, peraturan/kebijakan,
lembaga/instansi dan proses untuk mewujudkan asas
dan peraturan/kebijakan tersebut dalam kenyataan,
menjadi penting. Keempat unsur hukum tersebut
harus menjadi instrumen untuk mentransfer fungsi
sosial tanah kepada terwujudnya kesejahteraan
rakyat. Dalam hal ini hukum harus berperan secara
responsif.
Terlepas dari permasalahan yang timbul dalam
implementasi kebijakan penertiban dan
pendayagunaan tanah terlantar, secara bentuk hukum
pengaturannya perlu dituangkan dalam bentuk hukum
undang-undang. Secara substansi, PP No. 11 tahun
2010 perlu disempurnakan mengingat adanya beberapa
hal yang debatable. Misalnya tentang masuknya hak
pengelolaan sebagai obyek tanah terlantar pada
Pasal 2, tetapi Pasal 3 huruf (b),
mengecualikannya sebagai obyek tanah terlantar.
Bagaimana pun, hak pengelolaan merupakan bagian
dari tanah yang dikuasai oleh negara/pemerintah.
Contoh lain misalnya tentang hak pakai. Hak pakai
merupakan obyek penertiban tanah terlantar menurut
Pasal 2, namun dalam Pasal 3 huruf (a) hanya
memasukan tanah hak milik dan HGB saja sebagai
tanah yang diperkecualikan dari obyek tanah
19
terlantar jika tanpa kesengajaan. Dalam hal ini
tanah hak pakai tidak termasuk yang
diperkecualikan. Hal-hal demikian nampaknya
seperti persoalan kecil namun dari perspektif
hukum sangat melemahkan kedudukan PP No. 11 tahun
2010 ini dalam tatanan sistem hukum tanah
nasional, bahkan sistem hukum nasional secara
keseluruhan.
-bdg:050514-
Daftar Pustaka
Ardi Suryadin, Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantarterhadap Lahan berstatus HGB di Kota Bandung dikaitkan dengan PPNo. 11 tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan TanahTerlantar, Skipsi S-1 pada Fakultas Hukum Unpad,Bandung, 2014
Budi Mulyanto, Direktur Penatagunaan Tanah BPN padatalkshow “Reformasi Agraria dan Alih Fungsi Lahan”, AgrinexExpo ke 8, Jakarta, 29 Maret 2014
Dara Hapsari Nastiti, Penyelesaian Konflik Pertanahan diKabupaten Nunukan Kalimatan Timur antara Masyarakat denganPerusahaan Perkebunan dihubungkan dengan PP No. 11 tahun2010, Skripsi S-1 pada Fakultas Hukum Unpad,Bandung, 2013
Galih Sasmita, Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantaruntuk Kemakmuran Rakyat di Kabupaten Sukabumi dihubungkandengan PP No. 11 tahun 2010, Skripsi pada Fakultas HukumUnpad, Bandung, 2011
20
Ida Nurlinda, Prinsip-prinsip Pembaruan Agraria: Perspektif Hukum,RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2009
----------, Monograf Hukum Agraria: Reforma Agraria untukKesejahteraan Rakyat dan Keadilan Agraria, LoGoz Publishingbekerjasama dengan Pusat Studi Hukum Lingkungan danPenataan Ruang Fakultas Hukum Unpad, Bandung, 2013
----------, Monograf Hukum Agraria: Membangun PluralismeHukum dalam kerangka Unifikasi Hukum Agraria, LoGozPublishing bekerjasama dengan Pusat Studi HukumLingkungan dan Penataan Ruang Fakultas Hukum Unpad,Bandung, 2014
Ida Nurlinda, Yani Pujiwati dan Marenda Ishak, EvaluasiDampak Berlakunya PP No. 11 tahun 2010 tentang Pertiban danPendayagunaan Tanah Terlantar terhadap Kebijakan PengelolaanTanah Pertanian di Kabupaten Tasikmalaya, LaporanPenelitian Hibah Bersaing Program DesentralisasiDIKTI, 2012
----------, Perbandingan Penanganan Tanah Terlantar diKabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Sukabumi dalamMewujudkan Ketahanan Pangan Provinsi Jawa Barat, LaporanPenelitian Kompetitif DIKTI, 2013
Joyo Winoto, Reforma Agraria: Mandat Politik, Konstitusi, dan Hukumdalam rangka mewujudkan Tanah untuk Keadilan dan KesejahteraanRakyat, Makalah Kuliah Umum di Balai Senat UGM,Yogyakarta, 22 November 2007
Kirk, Michael., Loffler and Zimmermann, Land Tenure inDevelopment Cooperation: Guiding Principles, GT2 GmbH,Wiesbaden, 1998
Kurnia Toha, Ka. Pusat Hukum dan Humas BPN, BPN nyatakan4,8 juta ha lahan terlantar, Harian Media Indonesia, 25September 2012
21
Listiani Nurhasanah, Pelaksanaan Penertiban dan PendayagunaanTanah Terlantar di wilayah Kabupaten Karawang dalam rangkaReforma Agraria ditinjau dari PP No. 11 tahun 2010, Skripsi S-1,Fakultas Hukum Unpad, 2012
Mahfud, M.D., Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi,Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta, 2006
Maria S.W. Sumardjono, Tanah untuk Kesejahteraan Rakyat,Bagian Hukum Agraria Fakultas Hukum UGM,Yogyakarta, 2010
22