Kebijakan Hukum Pidana

39
{ Kebijakan Hukum Pidana Dr.Ina Heliany SH.,MH

Transcript of Kebijakan Hukum Pidana

{

Kebijakan Hukum Pidana

Dr.Ina Heliany SH.,MH

Istilah kebijakan berasal dari bahasa

Inggris yakni Policy atau dalam

bahasa Belanda Politiek .

Istilah kebijakan hukum pidana

dapat juga disebut dengan istilah

politik hukum pidana.

KEBIJAKAN

Politiek secara umum dapat diartikan sebagai prinsip-prinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan pemerintah (dalam arti luas termasuk pula aparat penegak hukum dalam mengelola, mengatur, atau menyelesaikan urusan-urusan publik, masalah-masalah masyarakat atau bidang-bidang penyusunan peraturan perundang-undangan dan pengaplikasian hukum/peraturan, dengan tujuan (umum) yang mengarah pada upaya mewujudkan kesejahteraan atau kemakmuran masyarakat (warga negara)

Bertolak dari kedua istilah asing tersebut, maka istilah kebijakan hukum pidana dapat pula disebut dengan istilah politik hukum pidana. Dalam kepustakaan asing istilah politik hukum pidana ini sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain penal policy, criminal law policy atau staftrechtspolitiek

1. Pengetahuan mengenai ketatanegaraan (seperti sistem pemerintahan, dasar-dasar pemerintahan);

2. Segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat dan sebagainya);

3. Cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani suatu masalah) kebijakan.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memberikan arti terhadap istilah politik dalam 3

(tiga) batasan pengertian, yaitu :

1. Perkataan politiek dalam bahasa Belanda, berarti sesuatu yang berhubungan dengan negara.

2. Berarti membicarakan masalah kenegaraan atau berhubungan dengan

istilah politik dipakai dalam berbagai arti, yaitu :

Pengertian penal policy (Kebijakan Hukum Pidana) adalah suatu ilmu sekaligus seni yang pada akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan

Marc Ancel

Dengan demikian, kebijakan hukum pidana dapat diartikan dengan cara bertindak atau kebijakan dari negara (pemerintah) untuk menggunakan hukum pidana dalam mencapai tujuan tertentu, terutama dalam menanggulangi kejahatan, memang perlu diakui bahwa banyak cara maupun usaha yang dapat dilakukan oleh setiap negara (pemerintah) dalam menanggulangi kejahatan. Salah satu upaya untuk dapat menanggulangi kejahatan, diantaranya melalui suatu kebijakan hukum pidana atau politik hukum pidana.

1. Kebijakan formulatif/legislatif, yaitu tahap

perumusan/penyusunan hukum pidana

2. Kebijakan aplikatif/yudikatif, yaitu tahap penerapan

hukum pidana

3. Kebijakan administratif/eksekutif, yaitu tahap

pelaksanaan hukum pidana.

Ruang Lingkup Kebijakan Hukum Pidana

1. Kebijakan formulatif/legislatif, yaitu tahap perumusan/penyusunan hukum pidana

Kebijakan Legislatif (Legislatif Policy), yaitu kebijakan hukum pidana dalam tahap

perumusan (formulasi) masalah-masalah yang berhubungan dengan hukum pidana

2. Kebijakan aplikatif/yudikatif, yaitu tahap penerapan hukum pidana

Kebijakan Yudikatif (Judicative Policy), yaitu kebijakan hukum pidana dalam tahap

penerapan (aplikasi) ketentuan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan

hukum pidana

3. Kebijakan administratif/eksekutif, yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana.

Kebijakan Eksekutif(Executive Policy), yaitu kebijakan hukum pidana dalam tahap

fungsionalisasi oleh pejabat yang berwenang menyuruh menjalankan keputusan-keputusan

dalam bidang hukum pidana

{

Pengkajian terhadap Kebijakan Legislatif dalam bidang Hukum Pidana dilakukan dengan memperhatikan beberapa kecenderungan:

Adanya over criminalization terhadap berbagai kejahatan-kejahatan konvensional (blue collar crime), sehingga perlu kebijakan dekriminalisasi dan/atau depenalisasi

Adanya under legislation terhadap berbagai kejahatan-kejahatan baru, terutama yang memanfaatkan teknologi informasi, yang hanya dapat dilakukan oleh mereka yang mempunyai kedudukanan sosial tertentu (white collar crime) sehingga diperlukan kebijakan kriminalisasi dan penalisasi

Kebijakan Legislatif dalam Bidang Hukum Pidana

{

Pengkajian terhadap Kebijakan Yudikatif dalam bidang Hukum Pidana terutama difokuskan pada dua hal:

1. Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System), baik sistem dalam arti abstrak maupun dalam arti konkrit.

2. Administrasi Peradilan Pidana Criminal Justice Administration), baik dalam arti kewenangan maupun pengelolaannya.

Kebijakan Yudikatif dalam Bidang Hukum Pidana

{

Kebijakan Yudikatif terhadap Sistem Peradilan Pidana terutama ditandai oleh adanya:

1. Kecenderungan untuk meningkatkan keterpaduan Sistem

Peradilan Pidana (Integreated Criminal Justice System), baik keterpaduan diantara subsistem dalam CJS, maupun keterpaduan antara CJS dengan sistem peradilan lainnya.

2. Kecenderungan untuk meningkatkan Fleksibilitas Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System Flexibility), baik dalam tahap penyidikan (misalnya police waiver), dalam tahap penuntutan (prosecutor diversion), dalam tahap pemeriksaan dimuka pengadilan (judge discretion)

Kebijakan Yudikatif Terhadap Sistem Peradilan Pidana

{

Kebijakan Yudikatif terhadap Administrasi Peradilan Pidana dalam tahap penyidikan terutama ditandai oleh adanya:

1. Kecenderungan meningkatnya difersivikasi (meragamnya) kewenangan

menyidik, sehingga potensial terjadinya sengketa wewenang menyidik. Misalnya, dalam penyidikan tindak pidana korupsi yang menjadi kewenangan KPK, Polri dan Kejaksaan RI.

2. Kecenderungan meningkatnya pembentukan penyidik khusus (Misalnya: Penyidik BPOM, Penyidik Bea dan Cukai, Penyidik Pajak, Penyidik Pasar Modal, Penyidik Perikanan, Penyidik TNI AL, Penyidik Daerah dll) berhadap-hadapan dengan penyidik Polri juga berpotensi terjadinya benturan kepentingan atau infektivitas dalam penyidikan. Misalnya, penyidikan atas tindak pidana yang terjadi di laut antara Penyidik POLAIRUD, Penyidik TNI AL, dan Penyidik Perikanan.

3. Kecenderungan meningkatnya interdependensi antara penyidik (CJS) dengan lembaga-lembaga non-yudisial. Misalnya, interdependensi antara penyidik Polri dan PPATK dalam tindak pidana pencucian uang atau interdependensi antara penyidik Kejaksaan RI dan KOMNAS HAM dalam tindak pidana pelanggaran HAM berat.

Kebijakan Yudikatif Terhadap Administrasi Peradilan Pidana dalam tahap Penyidikan

1. Bagaimana upaya pemerintah untuk menanggulangi kejahatan dengan hukum pidana

2. Bagaimana merumuskan hukum pidana agar sesuai dengan kondisi masyarakat;

3. Bagaimana kebijakan pemerintah untuk mengatur masyarakat dengan hukum pidana;

4. Bagaimana menggunakan hukum pidana untuk mengatur masyarakat dalam rangka mencapai tujuan yang lebih besar.

Selanjutnya kebijakan hukum pidana dapat

dikaitkan dengan tindakan-tindakan :

Penggunaan hukum pidana dalam mengatur masyarakat (lewat peraturan perundang-undangan) pada hakekatnya merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan (policy). Operasionalisasi kebijakan hukum pidana dengan sarana penal (pidana) dapat dilakukan melalui proses yang terdiri atas tiga tahap, yakni :

1. Tahap formulasi (kebijakan legislatif);

2. Tahap aplikasi (kebijakan yudikatif/yudisial);

3. Tahap eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif).

{

Diversi dan Restoratif Justice Dalam Pandangan Hukum Pidana

Oleh Dr.Ina Heliany SH.,MH

{ Dr. Ina Heliany SH. MH

Kebijakan Kriminal

{

Kebijakan Hukum Pidana dapat dilakukan dengan dua pendekatakan:

Kebijakan Penal (Penal Policy), yaitu kebijakan dengan memberdayakan Sistem Peradilan Pidana atau Criminal Justice System (penegakan hukum pidana)

Kebijakan Non-Penal (Non-Penal Policy), yaitu kebijakan dengan menggunakan sarana lain di luar hukum pidana

Dua Pendekatan dalam Kebijakan Hukum Pidana...

Carl von Savigny, dimana menurutnya “das Recht wird nicht gemacht, est ist und wird mit dem Volke” atau terjemahannya bahwa hukum itu tidak dibuat melainkan tumbuh dan berkembang bersama masyrakat.

Aliran Utilitarianisme dengan tokohnya Jeremy bentham, yang pada dasarnya menyatakan bahwa setiap peraturan yang dibuat harus mempunyai nilai guna untuk masyarakat.

Menurut Bagir Manan, penegakan hukum indonesia bisa dikatakan “communis opinio doctorum”, yang artinya penegakan hukum yang sekarang dianggap telah gagal dalam mencapai tujuan yang diisyaratkan oleh Undang-Undang

diperkenankanlah sebuah alternatif penegakan hukum, yaitu Restorative Justice System, dimana pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sosio-kultural dan bukan pendekatan normatif.

Restorative Justice (Keadilan Restoratif) sebagai perkembangan penting dalam pemikiran manusia didasarkan pada tradisi keadilan dari Arab kuno, Yunani, Romawi dan peradabannya. Bahkan pada masa itu pendekatan restorative ini digunakan untuk kasus pembunuhan. Dalam tradisi agama Hindu di Negara India kuno pada kitab Weda ditemukan Peradaban tentang pernyataan bahwa “ untuk siapa dia yang menebus akan diampuni”, dan Budha kuno pada ajaran Tao, dan tradisi Konfusianisme juga menerang tentang tradisi restoratif

New Zealand adalah Negara pertama yang menerapkan Restorative Justice bukan hanya pada pengadilan anak tapi juga pada peradilan pidana umum, bahkan untuk kejahatan yang berat-berat. Begitu pula Belgia dalam KUHAP 2005 Restorative Justice terwujud dalam mediation penal, yang berkepentingan boleh memohon untuk peradilan umum atau peradilan anak. Hingga sekarang Restoratif dikenal oleh Negara seluruh dunia melalui kongres PBB ke -5 di Genewa tahun 1975 dan mulai diterapkan di Indonesia.

Pasal 1 angka 6 Undang-undang Sistem Peradilan Pidana

Anak, yang menegaskan sebagai berikut:

“Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana

dengan melibatkan pelaku,korban, keluarga pelaku/korban, dan

pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian

yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan

semula, dan bukan pembalasan.”

.Pasal 1 angka 6 Undang-undang No 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak

Sedangkan di dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009, penerapan restorative justice, hanya pada sebahagian prosesnya saja, yaitu adanya kewajiban proses merehabilitasi bagi pecandu Narkotika saja.

{ Teori – teori Pemidanaan dan dasar

pembenaran pidana

DR.INA HELIANY SH.,MH

PIDANA

Sudarto

Penderitaan yang sengaja dibebankan kepada seseorang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat tertentu.

Roeslan saleh

Reaksi atau delik yang berujung nestapa yang sengaja ditimpakan negara kepada pembuat delik itu.

1. Ciri-ciri Pidana

Pidana hakikatnya merupakan penderitaan

atau nestapa

Pidana diberikan oleh orang/badan yang

mempunyai kekuasaan

Pidana diberikan kepada seseorang yang telah

melakukan tindak pidana menurut UU.

Beda Pidana (punishment) dan Tindakan Perlakuan (Treatment)

Alf Ross berpendapat punishment dan treatment tidak didasarkan pada ada atau tidaknya unsur penderitaan, tetapi harus didasarkan pada unsur pencelaan .

Alf ross mengemukakan “concept of punishment “ bertolak pada 2 syarat tujuan, yaitu:

1.pidana ditujukan pada pengenan penderitaan terhadap orang yang bersangkutan

2. pidana merupakan suatu pernyataan pencelaan terhadap perbuatan si pelaku .

Herbert L Packer

Tingkatan / derajat ketidak enakan atau kekejaman bukanlah ciri yang membedakan antara punishment dan treatment

Perbedaannya dilihat dari tujuannya dan seberapa jauh peranan dari perbuatan si pelaku terhadap pidana atau tindakan perlakuan.

Tujuan menurut H.L Packer

Tujuan utama dari Treatment adalah memberikan keuntungan dan memperbaiki orang yang bersangkutan. Fokusnya adalah agar orang tersebut menjadi lebih baik dan lebih sejahtera.

Tujuan Punishment

1. untuk mencegah terjadinya kejahatan atau perbuatan yang tidak dikehendaki atau perbuatan yang salah ( the prevention of crime or undesired conduct or offending conduct)

2. untuk mengenakan penderitaan atau pembalasan yang layak kepada si pelanggar (the deserved infliction of suffering on evildoers /retribution for perceived wrong doing).

Jadi dalam pidana fokusnya adalah pada perbuatan salah atau tindak pidana yang dilakukan pelaku.

Dengan kata lain perbuatan itu mempunyai peranan besar untuk dan merupakan syarat yang harus ada untuk adanya punishment.

Treatment tidak diperlukan adanya hubungan dengan perbuatan .

Teori Pemidanaan (dasar-dasar pembenaran tujuan pidana)

1. Teori absolut / teori pembalasan (retributive/vergeldings theorieen)

2. Teori relatif/teori tujuan(utilitarian/doeltheorieen)

1. Teori absolut

Pidana dijatuhkan semata mata karena orang telah melakukan suatu kejahatan/tindak pidana. (quia peccatum est)

Tujuan utama dari teori ini adalah “untuk memuaskan keadilan” to satisfy the claims of justice.

John Kaplan

Teori retribution ini terbagi 2:

1. teori pembalasan (the revenge theory)

2. teori penebusan dosa (the expiation theory)

Teori ini sebenarnya tidak berbeda, bergantung kepada cara orang berpikir pada wakt menjatuhkan pidana .

Contoh dalam teori pembalasan kamu telah melukai si x , maka kami akan melukai kamu.

Penebusan dosa: kamu telah mengambil sesuatu dari si x maka kamu harus memberikan sesuatu yang nilainya seimbang.

2. Teori relatif/utilitarian

Menurut teori ini memidana bukanlah untuk memuaskan keadailan akan tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat. Sehingga disebut “ teori perlindungan masyarakat”/ the theory of social defence.

Dasar pembenaran pidana ini terletak pada tujuan pidananya.

Pidana dijatuhkan bukan “quia peccatum est” (karena orang telah melakukan kejahatan) tetapi “no peccetur” (supaya orang jangan melakukan kejahatan)