Kearifan Lokal Masyarakat Suku Tengger Dalam Pemanfaatan Ruang dan Upaya Pemeliharaan Lingkungan...

22
Proceedings Environmental Talk: Toward A Better Green Living 2011 CP. 84 KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT SUKU TENGGER DALAM PEMANFAATAN RUANG DAN UPAYA PEMELIHARAAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Desa Wonokitri, Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan) Dianing Primanita Ayuninggar Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Brawijaya, Malang, [email protected] Antariksa Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Brawijaya, Malang, [email protected] Dian Kusuma Wardhani Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Brawijaya, Malang, [email protected] ABSTRACT Tenggerese community have uniqueness social cultural life pattern concerning with societiespositive behavior in its spatial using and adaptation to environmentally around it. Tenggerese social cultural life pattern based on cultural point, religi and local tradition then forms local wisdom points, such as local wisdom in spatial using and environmental preserve effort. This research works through about local wisdom implement in spatial using and environmental preserve effort at Wonokitri Village to keep up the sustainability of Wonokitri Village. Analysis method use descriptive-explorative analysis. Observational result indicate local wisdoms points in the context of spatial using rules at Wonokitri Village, that is spatial conception bases on custom region and administration region, situating orientation of element forming residence, land ownership system, and home adaptation to climate. Local wisdom in the context of environmental preserve manages about season estimate to get cultivation, traditional technological system in farm management, breeding management system, forest and water resourches management and protection system, along with traditions in environmental preserve that exists at Wonokitri's Village. With the presence of local wisdom points that still relevant interpretted in social cultural life pattern is expected to support environmental preserve effort at Wonokitri Village. Keywords: local wisdom, spatial using, environmental preserve effort, home adaptation to climate, traditional technological system ABSTRAK Masyarakat Suku Tengger memiliki keunikan pola kehidupan sosial budaya terkait dengan perilaku positif masyarakatnya dalam tindakan pemanfaatan

Transcript of Kearifan Lokal Masyarakat Suku Tengger Dalam Pemanfaatan Ruang dan Upaya Pemeliharaan Lingkungan...

Proceedings Environmental Talk: Toward A Better Green Living 2011

CP. 84

KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT SUKU TENGGER DALAM PEMANFAATAN RUANG DAN UPAYA PEMELIHARAAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Desa Wonokitri, Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan)

Dianing Primanita Ayuninggar

Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Brawijaya, Malang,

[email protected]

Antariksa

Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Brawijaya, Malang,

[email protected]

Dian Kusuma Wardhani

Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Brawijaya, Malang,

[email protected]

ABSTRACT

Tenggerese community have uniqueness social cultural life pattern concerning

with societies’ positive behavior in its spatial using and adaptation to

environmentally around it. Tenggerese social cultural life pattern based on

cultural point, religi and local tradition then forms local wisdom points, such as

local wisdom in spatial using and environmental preserve effort. This research

works through about local wisdom implement in spatial using and environmental

preserve effort at Wonokitri Village to keep up the sustainability of Wonokitri

Village. Analysis method use descriptive-explorative analysis. Observational

result indicate local wisdoms points in the context of spatial using rules at

Wonokitri Village, that is spatial conception bases on custom region and

administration region, situating orientation of element forming residence, land

ownership system, and home adaptation to climate. Local wisdom in the context

of environmental preserve manages about season estimate to get cultivation,

traditional technological system in farm management, breeding management

system, forest and water resourches management and protection system, along

with traditions in environmental preserve that exists at Wonokitri's Village. With

the presence of local wisdom points that still relevant interpretted in social

cultural life pattern is expected to support environmental preserve effort at

Wonokitri Village.

Keywords: local wisdom, spatial using, environmental preserve effort, home

adaptation to climate, traditional technological system

ABSTRAK

Masyarakat Suku Tengger memiliki keunikan pola kehidupan sosial budaya

terkait dengan perilaku positif masyarakatnya dalam tindakan pemanfaatan

Proceedings Environmental Talk: Toward A Better Green Living 2011

CP. 85

ruang dan adaptasi terhadap lingkungan di sekitarnya. Pola kehidupan sosial

budaya masyarakat Suku Tengger bersumber dari nilai budaya, religi dan adat-

istiadat setempat yang kemudian membentuk nilai-nilai kearifan lokal, salah

satunya adalah kearifan lokal dalam pemanfaatan ruang dan upaya

pemeliharaan lingkungan. Penelitian ini membahas tentang penerapan kearifan

lokal dalam pemanfaatan ruang dan upaya pemeliharaan lingkungan di Desa

Wonokitri untuk melestarikan dan menjaga keberlanjutan Desa Wonokitri.

Metode analisis yang digunakan adalah analisis deskriptif eksploratif. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa terdapat nilai-nilai kearifan lokal dalam konteks

ketentuan pemanfaatan ruang di Desa Wonokitri, yakni konsepsi ruang

berdasarkan wilayah adat dan wilayah administrasi, orientasi peletakan elemen-

elemen pembentuk permukiman, sistem penguasaan dan kepemilikan tanah,

serta adaptasi tempat tinggal terhadap iklim. Kearifan lokal dalam konteks

pemeliharaan lingkungan mengatur tentang perkiraan musim untuk bercocok

tanam, sistem teknologi tradisional dalam pengelolaan ladang/tegalan, sistem

pemeliharaan hewan ternak sistem pengelolaan dan perlindungan hutan,

sumber-sumber air, serta tradisi-tradisi dalam pemeliharaan lingkungan yang

terdapat di Desa Wonokitri. Dengan adanya penggalian nilai-nilai kearifan lokal

yang masih relevan yang diinterpretasikan dalam pola kehidupan sosial budaya

masyarakat tersebut diharapkan dapat mendukung upaya pemeliharaan dan

pelestarian lingkungan Desa Wonokitri.

Kata Kunci: kearifan lokal, pemanfaatan ruang, pemeliharaan lingkungan,

adaptasi tempat tinggal terhadap iklim, sitem teknologi

tradisional

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Kearifan lokal atau sering disebut local wisdom adalah semua bentuk pengetahuan,

keyakinan, pemahaman, atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun

perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis (Keraf, 2002). Gobyah

(2003) menyatakan bahwa kearifan lokal didefinisikan sebagai kebenaran yang telah

mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Dengan demikian kearifan lokal (local wisdom)

pada suatu masyarakat dapat dipahami sebagai nilai yang dianggap baik dan benar yang

berlangsung secara turun-temurun dan dilaksanakan oleh masyarakat yang bersangkutan

sebagai akibat dari adanya interaksi antara manusia dengan lingkungannya.

Bentuk-bentuk kearifan lokal dalam masyarakat dapat berupa: nilai, norma, etika,

kepercayaan, adat-istiadat, hukum adat, dan aturan-aturan khusus. Berkaitan dengan hal

tersebut Ernawi (2009) menjelaskan bahwa secara substansi kearifan lokal dapat berupa

Proceedings Environmental Talk: Toward A Better Green Living 2011

CP. 86

aturan mengenai: 1) kelembagaan dan sanksi sosial, 2) ketentuan tentang pemanfaatan

ruang dan perkiraan musim untuk bercocok tanam, 3) pelestarian dan perlindungan terhadap

kawasan sensitif, serta 4) bentuk adaptasi dan mitigasi tempat tinggal terhadap iklim,

bencana atau ancaman lainnya.

Desa Wonokitri adalah salah satu desa di Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan yang

terletak di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) dan merupakan desa

sebagai tempat tinggal komunitas Suku Tengger. Berdasarkan Rencana Induk Pengelolaan

Pariwisata Daerah (RIPPDA) Kabupaten Pasuruan Tahun 2004-2014, Desa Wonokitri

diarahkan sebagai Desa Wisata Budaya dengan obyek wisata budaya potensial berupa

budaya, pola kehidupan sosial budaya masyarakat, serta adat-istiadat Suku Tengger.

Terdapat keunikan pada pola kehidupan sosial budaya masyarakat Suku Tengger Desa

Wonokitri terkait dengan perilaku positif masyarakatnya dalam tindakan pemanfaatan ruang

dan adaptasi terhadap lingkungan di sekitarnya.

Pola kehidupan sosial budaya masyarakat Suku Tengger Desa Wonokitri bersumber dari

nilai budaya, religi dan adat-istiadat setempat yang merupakan bentuk nilai-nilai kearifan

lokal, salah satunya adalah kearifan lokal dalam pemanfaatan ruang dan upaya pemeliharaan

lingkungan. Dengan adanya kearifan lokal yang masih relevan diaplikasikan untuk

melestarikan dan menjaga keberlanjutan Desa Wonokitri menjadikan Desa Wonokitri menarik

untuk ditelaah lebih lanjut. Bertolak dari alasan tersebut maka disusun penelitian yang

berjudul “Kearifan Lokal Masyarakat Suku Tengger dalam Pemanfaatan Ruang dan Upaya

Pemeliharaan Lingkungan (Studi Kasus Desa Wonokitri, Kecamatan Tosari, Kabupaten

Pasuruan) ”.

1.2. Tujuan penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi karakteristik kearifan lokal masyarakat Suku

Tengger Desa Wonokitri dalam pemanfaatan ruang dan upaya pemeliharaan lingkungan.

2. METODOLOGI PENELITIAN

Jenis penelitian adalah penelitian kualitatif dengan metode analisis deskriptif eksploratif.

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini melalui observasi dan

wawancara (interview) serta melakukan survei instansional berupa pengumpulan data

sekunder yang terkait dengan wilayah studi. Pengambilan sampel pada penelitian ini adalah

menggunakan teknik sampling non random yakni teknik sampling bertujuan (purposive

sampling). Teknik ini digunakan karena anggota sampel yang dipilih secara khusus

didasarkan pada tujuan penelitian. Untuk sampel bangunan tempat tinggal dilakukan dengan

menentukan terlebih dahulu kriteria tempat tinggal yang akan dipilih. Penentuan kriteria

tempat tinggal yang akan dijadikan sebagai sampel pada wilayah studi adalah:

Proceedings Environmental Talk: Toward A Better Green Living 2011

CP. 87

1. Bangunan difungsikan sebagai tempat tinggal;

2. Bangunan memiliki ciri rumah Tengger, yaitu dinding rumah terbuat dari

perpaduan papan-papan atau batang kayu dan setengah tembok yang terbuat

dari bata, mempunyai atap limasan dan teritisan, lantai masih berupa tanah yang

dipadatkan; dan

3. Diupayakan dapat mewakili kriteria-kriteria bangunan tempat tinggal yang

mempunyai kemampuan beradaptasi dengan iklim.

Sampel masyarakat terdiri dari narasumber kunci (pemerintah desa, pemuka adat,

tokoh masyarakat), serta narasumber-narasumber terkait yang merupakan rekomendasi dari

narasumber kunci yang telah ditentukan terlebih dahulu.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Sistem nilai dan tata kelola (kelembagaan) Suku Tengger Desa Wonokitri sebagai

kearifan lokal

3.1.1. Sistem nilai

Menurut Ernawi (2009), sistem nilai merupakan tata nilai yang dikembangkan oleh suatu

komunitas masyarakat tradisional yang mengatur tentang etika penilaian baik-buruk serta

benar atau salah. Sebagai contoh, di Bali, terdapat sistem nilai Tri Hita Karana yang

mengaitkan dengan nilai-nilai kehidupan masyarakat dalam hubungannya dengan Tuhan,

alam semesta, dan manusia. Ketentuan tersebut mengatur hal-hal adat yang harus ditaati,

mengenai mana yang baik atau buruk, mana yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh

dilakukan, yang jika hal tersebut dilanggar, maka akan ada sanksi adat yang mengaturnya.

Dalam kehidupan sehari-hari, perilaku dan tindakan masyarakat Suku Tengger Desa

Wonokitri diatur oleh ketentuan adat berupa aturan-aturan adat dan hukum adat yang

berfungsi sebagai sistem pengendalian sosial dalam masyarakat. Hal ini seperti yang

diungkapkan Salvina (2003:91-92) bahwa ada sebuah sistem pengendalian sosial yang

disepakati dan dijaga kelestariannya oleh masyarakat Tengger, yaitu adanya hukum adat

untuk mencegah timbulnya ketegangan sosial yang terjadi dalam masyarakat.

Aturan-aturan adat yang harus ditaati masyarakat Suku Tengger Desa Wonokitri antara

lain:

4. Tidak boleh menyakiti atau membunuh binatang (kecuali untuk korban dan

dimakan);

5. Tidak boleh mencuri;

6. Tidak boleh melakukan perbuatan jahat;

7. Tidak boleh berdusta; dan

8. Tidak boleh minum minuman yang memabukkan.

Proceedings Environmental Talk: Toward A Better Green Living 2011

CP. 88

Fungsi hukum adat sebagai sistem pengendalian sosial dalam masyarakat adalah:

1. Memberikan keyakinan pada anggota masyarakat tentang kebaikan adat-istiadat

Tengger yang berlaku;

2. Memberi ganjaran pada anggota masyarakat yang tidak pernah melakukan

kejahatan;

3. Mengembangkan rasa malu; dan

4. Mengembangkan rasa takut dalam jiwa anggota masyarakat yang hendak

menyimpang dari ketentuan adat.

Pada kehidupan masyarakat Suku Tengger Desa Wonokitri terdapat konsep yang

menjadi landasan sikap hidup masyarakat yaitu konsep anteng-seger (Tengger) yang berarti

damai dan makmur. Selain itu, juga terdapat konsep yang mendasari hubungan tiga arah

yaitu hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, dan hubungan

manusia dengan lingkungan alam (tryadic relationship) berdasarkan hasil penelitian Sukari,

dkk, (2004:47-51) sebagai berikut:

1. Konsep Tri Sandya, konsep karma pahala, dan hukum tumimbal lahir mengatur

hubungan manusia dengan Tuhan. Konsep Tri Sandya diaplikasikan dengan

melakukan sembahyang tiga kali sehari (pagi, sore, malam). Konsep karma

pahala menyatakan bahwa hidup atau nasib manusia tergantung dari pahalanya,

sedangkan hukum tumimbal lahir adalah hukum hidup yang harus dipatuhi,

berbunyi ”Sapa nandur kebecikan bakal ngundhuh kabecikan. Sapa nandur

barang ora becik bakal ngundhuh kacilaka”.

2. Sikap hidup sesanti panca setia, guyub rukun, sanjan-sinanjan (saling

mengunjungi), sayan (gotong royong, saling bantu membantu) yang didasari

semboyan “sepi ing pamrih, rame ing gawe”, dan genten kuat (saling tolong

menolong) merupakan dasar ketentuan yang mengatur hubungan manusia

dengan manusia.

3. Sikap hidup yang menganggap lingkungan alam (air,tanah,hutan,tegalan)

sebagai sumbere panguripan mengatur hubungan manusia dengan lingkungan

alam. Selain itu masih terdapat kepercayaan bahwa tanah atau pekarangan

“angker” sehingga muncul sikap tidak boleh sembarangan menebang pohon,

kecuali kalau pohon itu mengganggu lingkungan. Hubungan manusia dengan

alam diwujudkan dalam suatu slogan yang berbunyi “tebang satu tanam dua”,

artinya jika masyarakat menebang satu pohon, maka dia harus menanam

minimal dua pohon yang jenisnya sama.

3.1.2. Tata kelola (kelembagaan)

Tata kelola (kelembagaan) pada suatu masyarakat merupakan salah satu bentuk kearifan

lokal, berperan sebagai sistem kemasyarakatan yang mengatur struktur hirarki sosial dan

Proceedings Environmental Talk: Toward A Better Green Living 2011

CP. 89

kelompok masyarakat. Tata kelola (kelembagaan) pada suatu masyarakat tertentu dapat

berupa organisasi adat yang terdiri dari beberapa kelompok adat. Demikian halnya yang

terdapat pada Suku Tengger Desa Wonokitri, dimana terdapat organisasi adat yang bertugas

mengelola kehidupan masyarakat yaitu lembaga pemuka agama dan lembaga dukun adat.

Dalam konsep Hindu Tengger terdapat adanya pengelompokan antara sistem religi yang

bersumber dari ajaran keTuhanan berdasarkan agama Hindu dengan sistem adat yang

bersumber dari kepercayaan dan tradisi yang turun temurun dari nenek moyang Suku

Tengger. Namun demikian dalam tahap pelaksanaannya dilakukan asimilasi ajaran agama

Hindu dengan ajaran adat-istiadat/kepercayaan Suku Tengger. Hal ini tercermin dari selain

melakukan aktivitas-aktivitas keagamaan berdasarkan ajaran agama Hindu, masyarakat

Suku Tengger Desa Wonokitri juga secara patuh melaksanakan berbagai upacara adat.

Adanya pengelompokan kegiatan religi dan adat berpengaruh terhadap pembagian

tugas dan fungsi dari masing-masing lembaga pemuka agama dan lembaga dukun adat,

sebagai berikut:

A. Lembaga pemuka agama

Lembaga pemuka agama merupakan lembaga agama yang mewadahi ketua dan pengurus

kegiatan keagamaan di Desa Wonokitri. Struktur kepengurusan Lembaga Pemuka Agama

terdiri dari:

1. Mangku Gedhe, ketua agama yang bertugas mengurusi dan memimpin

pelaksanaan upacara-upacara keagamaan atau mengurusi urusan-urusan yang

berkaitan dengan keagamaan di Desa Wonokitri;

2. Mangku Gelar; dan

3. Mangku Alit.

Area yang disucikan dan menjadi wilayah tanggung jawab dari para Mangku adalah

Pura Dhang Kahyangan Kerti Jaya Buana Dusun Wonokitri, Desa Wonokitri yang merupakan

tempat ibadah umat Hindu Desa Wonokitri.

B. Lembaga dukun adat

Lembaga dukun adat berfungsi sebagai lembaga adat yang mewadahi ketua dan pengurus

adat. Struktur kepengurusan lembaga dukun adat terdiri dari:

1. Dukun Adat, ketua adat yang mengurusi upacara adat di Desa Wonokitri;

2. Legen, bertugas untuk membuat sesajian dan mendoakan sesajian pada saat

upacara adat;

3. Sanggar; dan

4. Sepuh.

Proceedings Environmental Talk: Toward A Better Green Living 2011

CP. 90

Dukun, Legen, Sanggar dan Sepuh bertanggungjawab atas padhanyangan (dhanyang)

yang merupakan area yang disucikan secara adat. Selain itu peran seorang dukun adat

adalah mengawasi pelaksanaan aturan-aturan adat dan hukum adat.

Hal unik yang terdapat dalam pranata kehidupan kemasyarakatan masyarakat Suku

Tengger selain pembagian tugas dan fungsi antara lembaga pemuka agama dan lembaga

dukun adat yaitu adanya konsepsi ruang yang membagi wilayah menjadi wilayah administrasi

dan wilayah adat. Seperti desa lain pada umumnya, wilayah administrasi Desa Wonokitri

dikepalai oleh seorang kepala desa, namun yang membedakan dengan desa kebanyakan

adalah dukun/tetua adat yang berperan penting dalam memimpin wilayah adat sebagai

seorang kepala adat.

Masyarakat Suku Tengger yang terbagi dalam dua wilayah adat yakni sabrang kulon

(diwakili oleh Desa Tosari, Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan) dan sabrang wetan

(diwakili oleh Desa Ngadisari, Wanantara, Jetak, Kecamatan Sukapura, Kabupaten

Probolinggo) terdiri atas kelompok-kelompok desa yang masing-masing dipimpin oleh kepala

adat. Sehingga yang menjadi batas wilayah kerja dukun adat adalah wilayah adat dan umat

masyarakat yang terdapat di desa tempat ia menjabat sebagai dukun adat. Di masing-masing

kabupaten terdapat dukun koordinator wilayah yang bertugas mengkoordinir dukun adat di

wilayahnya.

Dukun adat yang berada di masing-masing wilayah desa komunitas Suku Tengger

umumnya dihormati dan sangat dipercaya karena peranannya yang sangat berpengaruh

dalam kehidupan masyarakat Suku Tengger. Secara struktural dukun adat dalam kehidupan

Masyarakat Suku Tengger tergolong sebagai orang-orang terpandang yang menjadi tokoh

panutan masyarakat dan lebih dihormati dibanding lembaga aparatur desa.

Sebagai seorang kepala adat, dukun adat memiliki fungsi spiritual dan fungsi sosial.

Fungsi spiritual dukun adat yaitu memimpin upacara adat. Sedangkan fungsi sosialnya

adalah sebagai mediator antara masyarakat dan urusan yang berhubungan dengan

pemerintahan. Selain itu, dukun adat juga memiliki kewenangan tertentu dalam pengambilan

keputusan, aturan, sanksi, atau denda sosial bagi pelanggar peraturan dan hukum adat.

Sebagai contoh kewenangan dukun adat dalam pengambilan keputusan adalah pada waktu

terjadi bencana, dukun adat berhak menentukan kapan masyarakatnya harus mengungsi

atau tetap mendiami desa.

3.2. Kearifan lokal dalam pemanfaatan ruang di Desa Wonokitri

Luas keseluruhan wilayah Desa Wonokitri adalah 1.120,98 Ha dengan pola penggunaan

lahan yang terdiri dari tanah tegal/pertanian (887,600 Ha), hutan (217,880 Ha),

permukiman/perumahan penduduk (14 Ha), dan makam (1,5 Ha).

Proceedings Environmental Talk: Toward A Better Green Living 2011

CP. 91

Gambar 3.1 Peta penggunaan lahan Desa Wonokitri tahun 2010

Desa Wonokitri berada di gugusan Pegunungan Tengger dengan topografi bentang

alam datar sampai berombak (20%), berombak sampai berbukit (40%) dan berbukit hingga

bergunung (40%) dengan ketinggian antara 1700-2200 m2 dpl. Wilayahnya sebagian besar

berupa lereng dengan kemiringan yang curam berkisar antara 45° hingga hampir mencapai

90° (>50%) (Sumber: Profil Desa Wonokitri Tahun 2009). Daerah-daerah lereng ini menjadi

lahan pertanian (tegal) yang berfungsi sebagai sumber penghidupan masyarakat.

Gambar 3.2 Transek Desa Wonokitri potongan Utara-Selatan

Dalam mengkaji kearifan lokal dalam pemanfaatan ruang di Desa Wonokitri akan

diuraikan berdasarkan konteks ketentuan pemanfaatan ruang yang terdapat di Desa

Wonokitri meliputi aturan-aturan mengenai: konsepsi ruang berdasarkan wilayah adat dan

wilayah administrasi, orientasi peletakan elemen-elemen pembentuk permukiman, sistem

penguasaan dan kepemilikan tanah, serta adaptasi tempat tinggal terhadap iklim.

Proceedings Environmental Talk: Toward A Better Green Living 2011

CP. 92

3.2.1. Konsepsi ruang berdasarkan wilayah adat dan wilayah administrasi

Konsepsi ruang berdasarkan wilayah adat dan wilayah administrasi dapat dijelaskan melalui

dua aspek, yaitu batas wilayah berdasarkan penanda fisik dan penanda non fisik. Batas

wilayah administrasi berdasarkan penanda fisik dapat dinyatakan secara jelas, misalnya jalan

dan sungai. Demikian halnya dengan penanda fisik pada batas wilayah adat yang berupa

lokasi atau bangunan yang bersifat ritual seperti pura, padhanyangan (dhanyang), dan

makam dengan orientasi Gunung Bromo yang berfungsi sebagai pusat aktivitas ritualnya

(pancer).

Penanda non fisik pada batas wilayah adat dapat diamati dari setting perilaku (behaviour

setting) masyarakatnya, misalnya masih mengikuti kepercayaan, hukum, aturan adat,

bahasa, sifat dan sikap hidup Suku Tengger. Terkait dengan hal tersebut, Pangarsa, et.al,

(1992) mengungkapkan bahwa ruang dalam tradisi arsitektur Tengger dapat dijelaskan

melalui konsepsi batas ruang, pada skala ruang makro (wilayah, desa dan lingkungan)

hingga skala ruang mikro (rumah tinggal). Dalam skala wilayah, ada dua konsepsi ruang yang

terjadi: wilayah adat dan wilayah administrasi. Batas wilayah adat tidak setegas wilayah

administrasi desa, dan kedua batas ini tidak selalu berimpitan. Konsepsi Tengger Ngare,

yang ditengarai melalui melalui wilayah pegunungan dialek lokal maupun wilayah kerja dukun

merupakan indikasi batas wilayah adat (Gambar 3.3).

Gambar 3.3 Konsep batas wilayah adat Suku Tengger

Sumber: Pangarsa, dkk, (1993)

Berdasarkan sketsa konsep batas wilayah adat yang dijelaskan oleh Pangarsa, dkk,

(1993) tersebut dapat diidentifikasi penanda fisik pada batas wilayah adat di Desa Wonokitri

(Gambar 3.4)

Proceedings Environmental Talk: Toward A Better Green Living 2011

CP. 93

Gambar 3.4 Batas wilayah adat Suku Tengger

3.2.2. Orientasi peletakan elemen-elemen pembentuk permukiman

Gambar 3.5 Konsep arah dan pemaknaannya pada masyarakat Suku Tengger Desa Wonokitri

Pengidentifikasian nilai kearifan lokal pada permukiman dapat dilihat dari aturan/ketentuan

adat tertentu yang mengatur tentang orientasi peletakan elemen-elemen pembentuk

permukiman. Konsep arah yang berkembang dan menjadi kepercayaan turun-temurun

masyarakat Suku Tengger Desa Wonokitri mempunyai makna filosofis dan dilambangkan

TIMUR BARAT

UTARA

SELATAN

Shiwa (Dewa perusak dan penghancur)

Dilambangkan dengan warna hitam

yang bermakna kegelapan.

Dilambangkan dengan

warna putih yang

bermakna tempat

munculnya matahari.

Brahma (pencipta dari alam semesta)

Dilambangkan dengan warna merah (merupakan

penggambaran warna wajah Brahma) yang bermakna api.

Selatan merupakan arah Gunung Bromo, dalam kepercayaan

Suku Tengger Brahma=Bromo dan Gunung Bromo adalah

tempat tinggal para dewa.

Dilambangkan dengan

warna kuning yang

bermakna keberanian.

Makam sebagai penanda fisik batas wilayah adat.

Pura sebagai penanda fisik batas wilayah adat.

Padhanyangan (dhanyang) sebagai penanda fisik batas wilayah adat.

Wilayah adat Desa Wonokitri.

Arah ke

Gunung Bromo

Poros suci yang menjadi penghubung makam dan padhanyangan (danyang) dengan Gunung Bromo.

Proceedings Environmental Talk: Toward A Better Green Living 2011

CP. 94

oleh unsur warna tertentu. Makna yang terkandung dalam konsep arah ini kemudian

diinterpretasikan dalam ritual upacara Pujan Mubeng (Nrundhung) yang bertujuan memohon

keselamatan desa dan membersihkan desa dari gangguan dan bencana. Bentuk penerapan

makna filosofis yang terdapat pada konsep arah tersebut berdasarkan adat dan kepercayaan

masyarakat Suku Tengger Desa Wonokitri adalah berupa sesajen jadah aneka warna

(merah, putih, kuning, hitam) yang mempunyai makna filosofis melambangkan empat penjuru

desa.

Di Desa Wonokitri terdapat pengaplikasian suatu aturan adat yang menjadi landasan

konsep arah dalam peletakan elemen-elemen pembentuk permukiman, antara lain:

1. Makam di Desa Wonokitri terdiri dari makam keramat dan makam biasa.

Ketentuan peletakan makam keramat adalah di sebelah Utara desa dan jauh

dari lokasi permukiman penduduk. Kepercayaan yang diyakini masyarakat Suku

Tengger Desa Wonokitri terkait peletakan makam adalah sebaiknya di luar areal

permukiman dan ditempatkan di sebelah Utara. Sejak dulu hingga sekarang

lokasi makam keramat tetap ada di tempat yang sama dengan luasan lahan

yang tidak boleh bertambah ataupun berkurang. Sampai kapanpun makam

keramat harus tetap berada di tempat tersebut dengan luasan yang tetap.

2. Pura sebagai tempat ibadah diletakkan di tempat yang disakralkan di tengah-

tengah permukiman, yaitu tempat dimana terdapat paling banyak sanggar

pamujan di sekitarnya. Letak Pura Dhang Kahyangan Kerti Jaya Buana di Desa

Wonokitri adalah di sebelah Timur Laut permukiman penduduk. Makna filosofis

yang terkandung dari ketentuan peletakan pura di sebelah Timur adalah karena

menghadap ke arah matahari. Sebagai tempat yang disakralkan, pura diletakkan

pada kontur lahan yang paling tinggi.

3. Padhanyangan (dhanyang) merupakan tempat yang dikeramatkan oleh

masyarakat Suku Tengger Desa Wonokitri. Letak padhanyangan (dhanyang)

adalah di sebelah Selatan desa dan berada pada satu orientasi dengan makam

keramat (mengarah ke Gunung Bromo).

4. Bangunan tempat tinggal (mikro) terbagi menjadi beberapa ruang yaitu sanggar

pamujan (tempat pemujaan), patamon (ruang tamu), paturon (kamar tidur),

pagenen (dapur), pedaringan (ruang penyimpanan), pakiwan (kamar mandi),

dan pekayon (tempat untuk menyimpan kayu). Ketentuan peletakan masing-

masing ruang adalah: a) sanggar pamujan diletakkan di depan rumah, harus

menghadap ke Timur atau Selatan, tidak boleh menghadap barat dan Utara, b)

patamon diletakkan di bagian depan rumah, c) paturon harus berada di sebelah

kanan arah pelawangan (pintu), d) pagenen dan pedaringan diletakkan di

belakang patamon dan dapat digabungkan, e) peletakan pakiwan harus di

bagian belakang rumah, f) pekayon merupakan ruang tambahan, diletakkan di

bagian belakang rumah (Gambar 3.7). Selain itu juga ada ketentuan adat yang

Proceedings Environmental Talk: Toward A Better Green Living 2011

CP. 95

menyatakan bahwa anak yang sudah berkeluarga tidak boleh membangun

rumah di sebelah kanan rumah orang tuanya.

5. Ladang/tegalan yang digunakan untuk pertanian terletak di sebelah Selatan,

Utara, dan Timur desa.

6. Gunung Bromo yang terletak di sebelah Selatan diyakini sebagai poros (pancer)

aktivitas spiritual seluruh masyarakat Suku Tengger. Terdapat poros suci yang

mengarah ke Gunung Bromo (Selatan) yang menghubungkan antara makam

keramat dan padhanyangan (dhanyang).

Mengenai konsep Gunung Bromo yang terletak di sebelah Selatan sebagai poros

aktivitas spiritual seluruh masyarakat Suku Tengger telah dinyatakan oleh Hefner (1985:65-

69) yang menyebutkan bahwa di Tengger, dugaan dari orientasi Selatan diikuti atas dasar

satu kepercayaan yang menyatakan bahwa Selatan diidentifikasi sebagai singgasana dari

Bromo atau Dewa Brahma. Hal ini dapat dilihat tidak hanya pada posisi pemakaman, berdoa,

pengucapan mantra yang menghadap arah selatan, atau di orientasi dari pintu (pintu utama

atau pelawangan), tapi juga di orientasi dari tempat-tempat suci.

Pura diletakkan di kontur lahan paling tinggi di sebelah Timur (menghadap ke arah matahari) dan di tempat dimana terdapat paling banyak sanggar pamujan.

Makam keramat terletak di sebelah Utara dan di luar areal permukiman. Makam keramat harus tetap berada di tempat tersebut dengan luasan yang tetap.

Ladang/tegalan yang digunakan untuk pertanian terletak di sebelah Selatan, Utara, dan Timur desa.

Letak padhanyangan (dhanyang) di sebelah Selatan desa dan berada pada satu orientasi dengan makam keramat (mengarah ke Gunung Bromo).

Poros suci yang mengarah ke Gunung Bromo, merupakan orientasi yang menghubungkan makam keramat dengan padhanyangan (dhanyang).

Arah ke

Gunung Bromo

Proceedings Environmental Talk: Toward A Better Green Living 2011

CP. 96

Gambar 3.6 Sketsa situasi orientasi

peletakan elemen- elemen pembentuk

permukiman di Desa Wonokitri

Gambar 3.7 Pola tata ruang bangunan tempat tinggal (mikro) Suku Tengger Desa Wonokitri

3.2.3. Sistem penguasaan dan kepemilikan tanah

Berdasarkan hasil penelitian Sukari, dkk, (2004:63), sikap hidup Suku Tengger yang penting

adalah tata tentrem (tidak banyak resiko), ojo jowal-jawil (jangan suka mengganggu orang

lain), kerja keras dan tetap mempertahankan tanah milik secara turun-temurun. Sistem

penguasaan dan kepemilikan tanah yang berlaku pada masyarakat Suku Tengger Desa

Wonokitri mengikuti ketentuan adat Tengger. Seperti pada masyarakat Suku Tengger

lainnya, sistem penguasaan dan kepemilikan tanah diatur oleh aturan adat yang menyatakan

Patamon

Pedaringan

Patu ron

Paki wan

Peka yon

Peka rangan

Patu ron

Sanggar

pamujan

Pagenen

Pelawangan

utama

U

Proceedings Environmental Talk: Toward A Better Green Living 2011

CP. 97

larangan atau pantangan terhadap penjualan tanah di luar masyarakat Suku Tengger.

Apapun alasannya penjualan tanah atau tanah warisan hanya boleh dilakukan antar sesama

masyarakat Suku Tengger, biasanya penjualan tanah atau tanah warisan diutamakan ke

keluarga dekat.

Tanah yang dimiliki oleh masyarakat Suku Tengger Desa Wonokitri umumnya diperoleh

dari hasil warisan orang tuanya. Sistem pembagian tanah warisan juga masih dipertahankan

sejak saat ini dengan ketentuan pembagian yang sama rata antara anak laki-laki maupun

perempuan. Aturan adat dalam pembagian tanah warisan ini mengatur dua kondisi, yaitu

pembagian tanah warisan saat orang tua masih hidup dengan pembagian tanah warisan

setelah orang tua meninggal. Sistem pembagian tanah warisan saat orang tua masih hidup,

misalnya memiliki 3 orang anak, orang tua terlebih dahulu mengambil 1/3 bagian dari luasan

tanahnya. Lalu sisanya sebesar 2/3 bagian dibagi sama rata ke dua orang anaknya. Apabila

orang tua tidak mampu lagi bekerja menggarap ladang/tegalannya maka orang tua tersebut

ikut ke salah satu anaknya, kemudian setelah meninggal hak waris atas tanah jatah orang tua

sebesar 1/3 bagian tersebut akan diberikan kepada anak yang serumah atau yang

mengurusnya.

3.2.4. Adaptasi tempat tinggal terhadap iklim

Salah satu bentuk penerapan nilai kearifan lokal adalah adaptasi tempat tinggal terhadap

iklim. Kontruksi rumah tradisional Suku Tengger Desa Wonokitri mempunyai kemampuan

dalam beradaptasi terhadap iklim setempat. Karena adanya faktor adaptasi terhadap iklim

tersebut mengakibatkan adanya beberapa perubahan dan perkembangan dalam

penggunaan bahan material bangunan pada rumah tradisional masyarakat Suku Tengger

Desa Wonokitri dari waktu ke waktu.

Tampilan bangunan rumah tradisional Suku Tengger Desa Wonokitri dapat dijelaskan

berdasarkan tampilan muka bangunan (facade) dan bagian-bagian perlengkapan bangunan

yang meliputi atap, dinding, tiang, pintu, jendela. Kondisi eksisting tampilan bangunan rumah

tradisional Suku Tengger Desa Wonokitri adalah sebagai berikut (Gambar 3.8):

1. Atap, berbentuk limasan menyerupai limas tegak segitiga dengan sisi kemiringan

±45°, terbuat dari seng;

2. Dinding, berupa tembok atau setengah tembok, tembok terbuat dari bata

sedangkan yang dimaksud setengah tembok adalah perpaduan antara tembok

dengan papan kayu;

3. Pintu, terbuat dari kayu; dan

4. Jendela, terbuat dari kusen kayu dan kaca.

Proceedings Environmental Talk: Toward A Better Green Living 2011

CP. 98

Gambar 3.8 Tampilan bangunan rumah tradisional Suku Tengger Desa Wonokitri

Gambar 3.9 Tampilan bangunan rumah tradisional Suku Tengger Desa Wonokitri

Karakteristik bentuk adaptasi rumah tradisional Suku Tengger Desa Wonokitri terhadap

iklim setempat dapat dijelaskan berdasarkan fungsi beberapa komponen yang terdapat pada

konstruksi bangunan tempat tinggal maupun lingkungan di sekitarnya. Kondisi iklim di Desa

Wonokitri termasuk iklim tropis dengan suhu udara harian rata-rata antara 16°-23°C.

Atap berbentuk limasan dengan sisi kemiringan ±45° dan terbuat dari seng

Ornamen dari kayu pada atap

Dinding setengah tembok dari bata dengan ketinggian ±1m

Dinding bagian atas terbuat dari papan kayu

Ketinggian bangunan ±7m

Tembok dari bata

Proceedings Environmental Talk: Toward A Better Green Living 2011

CP. 99

Tabel 3.1 Perubahan dan Perkembangan Penggunaan Bahan Untuk Atap Pada Rumah Tradisional Suku Tengger Desa Wonokitri

Komponen Gambar Analisis

Lingkungan di sekitar

bangunan

Kondisi eksisting lingkungan di sekitar

bangunan tempat tinggal yang hijau dan

ditanami tanaman pekarangan berfungsi

untuk meminimalkan aliran angin.

Kemiringan dan material atap

Atap berbentuk limasan dengan dengan sisi kemiringan atap cukup besar yaitu ±45°. Bahan material yang digunakan terbuat dari seng. Atap dengan sudut atap yang cukup besar dan terbuat dari material seng dapat menghangatkan suhu dalam rumah di malam hari.

Teritisan

Rumah tradisional Suku Tengger Desa Wonokitri umumnya memiliki teritisan besar yang berfungsi mengurangi suhu panas di siang hari dan meningkatkan kenyamanan. Teritisan dapat melindungi sinar matahari (yang membawa panas), sehingga panas matahari tidak langsung mengenai dinding bangunan.

Bukaan/ventilasi pada dinding, pintu dan jendela

Bukaan/ventilasi berupa pintu dan jendela relatif banyak dan cukup lebar yang memungkinkan sirkulasi udara dan cahaya matahari dapat mengalir masuk ke dalam rumah secara alami. Sinar matahari pada siang hari dapat masuk melalui celah-celah ventilasi yang ada pada dinding papan/kayu.

Proceedings Environmental Talk: Toward A Better Green Living 2011

CP. 100

Komponen Gambar Analisis

Bahan material

dinding dan jendela

a. Bahan material dinding terbuat dari setengah tembok setinggi ±1 meter dari dasar, kemudian atasnya bermaterial kayu. Pemilihan bahan material berupa kayu yang digunakan untuk dinding dapat menghangatkan suhu di dalam rumah ketika malah hari. Bahan padat seperti bata dan kayu dapat bekerja dengan baik dalam menyimpan energi panas jika terkena sinar matahari.

b. Bahan material jendela terbuat dari

perpaduan antara kusen kayu dengan

kaca. Kaca merupakan bahan yang

dirancang sebagai penghantar cahaya.

Penggunaan kaca pada jendela dengan

ukuran yang lebar dapat mengumpulkan

energi sinar matahari cukup banyak

sehingga menghangatkan suhu di dalam

rumah.

Perubahan dalam penggunaan bahan untuk atap pada rumah tradisional Suku Tengger

Desa Wonokitri disebabkan oleh faktor adaptasi terhadap iklim setempat. Pada sekitar tahun

1950-an atap menggunakan bahan dari seng, tapi kemudian pada tahun 1970-an diganti

dengan menggunakan genteng. Namun ternyata rumah yang atapnya menggunakan genteng

justru menyebabkan suhu di dalam rumah menjadi semakin dingin. Oleh karena itu, sejak

tahun 1980-an atap pada rumah tradisional Suku Tengger Desa Wonokitri diganti lagi dengan

menggunakan bahan dari seng yang ternyata lebih sesuai jika diaplikasikan untuk daerah

yang beriklim dingin seperti di Desa Wonokitri. Dari adanya perubahan dalam penggunaan

bahan untuk atap tersebut dapat didentifikasi bentuk nilai kearifan lokal yaitu melalui proses

mencoba-coba (trial and error) kemudian didapatkan hasil paling sesuai dan adaptif jika

diterapkan.

Penggunaan seng sebagai bahan atap pada rumah tradisional Suku Tengger Desa

Wonokitri secara umum masih diaplikasikan hingga sekarang, namun berdasarkan kondisi

eksisting juga terdapat beberapa rumah di Desa Wonokitri yang atapnya menggunakan

genteng.

Tabel 3.2 Perubahan dan Perkembangan Penggunaan Bahan Untuk Atap Pada Rumah Tradisional Suku Tengger Desa Wonokitri

Tahun Jenis Atap Bahan Atap

Sebelum Tahun 1945-an Limasan

Alang-alang yang disusun pada batang-batang

Tahun 1945-1950 Limasan Klakah (bambu)

Tahun 1950-an Limasan Seng

Tahun 1970-an Limasan Genteng

Tahun 1980-an-sekarang Limasan Seng

a.

b.

Proceedings Environmental Talk: Toward A Better Green Living 2011

CP. 101

3.3. Kearifan lokal dalam upaya pemeliharaan lingkungan

3.3.1. Perkiraan musim untuk bercocok tanam

Musim merupakan salah satu hal yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat

Suku Tengger Desa Wonokitri, khususnya terkait dengan keberlangsungan sektor pertanian

di wilayah tersebut. Sistem perhitungan perkiraan musim (pranoto mongso) pada masyarakat

Desa Wonokitri didasarkan pada sistem kalender Suku Tengger yang membagi musim

(mangsa) menjadi 12 mangsa, yaitu: 1) kasa, 2) karo, 3) ketiga, 4) kapat, 5) kelimo, 6)

kanem, 7) kepitu, 8) kewolu, 9) kesanga, 10) kesepuluh, 11) dhesta, 12) kesada. Dari ke-12

mangsa tersebut kemudian dikelompokkan lagi menjadi 4 yaitu mareng, ketigo, rendheng,

dan labuh.

Sistem kalender musim memperlihatkan pola kecenderungan kehidupan masyarakat

Suku Tengger Desa Wonokitri. Dalam kalender musim, terdapat dua bagian utama, yaitu:

1. Kalender musim faktor alamiah yang berpengaruh terhadap pola kegiatan

musiman penduduk. Faktor alamiah tersebut meliputi jenis musim (hujan dan

kemarau), angin, dan lain sebagainya yang berpengaruh terhadap musim tanam

sektor pertanian.

2. Kalender musim faktor non-alamiah yang menginformasikan pola kegiatan

pertanian pada setiap komoditas yang meliputi masa tanam, perawatan, dan

masa panen.

Tabel 3.3 Kalender musim masyarakat Suku Tengger Desa Wonokitri

Bulan/mangsa Kegiatan

Januari (4)

kapat

Februari (5)

kelimo

Maret (6)

kanem

April (7)

kapitu

Mei (8)

kawolu

Juni (9)

kasanga

Juli (10)

kesepuluh

Agustus (11)

dhesta

September (12)

kasada

Oktober (1)

kasa

November (2)

karo

Desember (3)

ketiga

Angin

Hujan

Kemarau

Tanam Jagung

Tanaman Kentang

Tanaman Kubis

Upacara Adat Pujan kapat

Bangun rumah, tidak ada ritual

Sri

Walatri Pujan

kawolu Pujan

kasanga

Tidak ada ritual

Yadnya Kasada,

Pujan Kasada

Hari Raya

Karo Barikan

Proceedings Environmental Talk: Toward A Better Green Living 2011

CP. 102

Khusus untuk waktu penanaman jagung terdapat larangan dan pantangan yang harus

dipatuhi yaitu pada hari kematian orang tua atau hari-hari naas berdasarkan perhitungan

tertentu menurut adat masyarakat Suku Tengger.

3.3.2. Sistem teknologi tradisional dalam pengelolaan ladang/tegalan

Pada dasarnya penggunaan teknologi dalam pengelolaan ladang/tegalan di Desa Wonokitri

dibatasi pada teknologi pertanian sederhana dan ramah lingkungan. Sistem penanaman

menggunakan sistem tumpang sari. Karena kontur lahan yang cukup curam, untuk

menghindari tanah longsor dan erosi maka dibuat sistem terasering dengan membuat lahan

berpetak-petak yang disebut bedengan. Setelah itu tanah dicangkul dan dibolak-balik baru

kemudian dapat ditanami.

Peralatan yang digunakan untuk mengolah tanah adalah peralatan tradisional pertanian

seperti: cangkul, sabit, garpu dan keranjang, serta tangki penyemprot. Untuk mempermudah

dalam menjangkau areal ladang/tegalan yang curam maka petani di Desa Wonokitri memakai

sepatu boot. Sedangkan terkait dengan sistem penanaman, masyarakat Desa Wonokitri

memakai aturan tertentu yang mengelompokkan penanaman tanaman tertentu pada satu

petak lahan. Tanaman berakar kuat misalnya cemara banyak di tanam di ladang/tegalan

Desa Wonokitri untuk mencegah longsor dan erosi, selain akarnya kuat kayunya juga bisa

dimanfaatkan sebagai bahan bangunan. Jenis pupuk yang dipakai sangat mengutamakan

penggunaan pupuk kandang/kompos yang menurut masyarakat Suku Tengger Desa

Wonokitri termasuk ramah lingkungan dan tidak merusak tekstur dan kesuburan tanah.

= Penyiapan Lahan

= Perawatan Lahan

= Masa Panen

= Masa Pengistirahatan Lahan

= Masa Tanam

= Musim Angin

= Musim Hujan

= Musim Panas

50 cm

Kubis

Keterangan:

= Cemara

= Kentang

= Jagung

30 c m

50 cm

3 m

1 m

1 m

Proceedings Environmental Talk: Toward A Better Green Living 2011

CP. 103

Gambar 3.10 Sketsa kebun pola penanaman cemara, kentang, jagung dan sawi di Desa Wonokitri

Pemberantasan hama menggunakan cara manual dengan mengambil hama langsung

dari tanaman kemudian ditanam di tanah atau diinjak dan memakai obat pemberantas hama.

3.3.3. Sistem pemeliharaan hewan ternak

Peternakan yang dibudidayakan di Desa Wonokitri adalah peternakan sapi dan babi. Sapi

yang diternak adalah sapi jantan atas dasar karena sapi jantan tidak dapat memperbanyak

jenisnya sehingga tidak memerlukan tempat yang luas. Pemeliharaan ternak sapi dilakukan

secara individu di ladang masing-masing. Tindakan pemeliharaan pada ternak sapi yaitu

pemberian pakan, pemeliharaan dan perawatan ternak, pembersihan kandang secara teratur

dan pemberian obat penyakit.

Tidak berbeda jauh dengan sistem pemeliharaan ternak sapi, pemeliharaan ternak babi

juga dilakukan di ladang dengan pembuatan kandang khusus. Pemberian pakan ternak babi

dapat berupa sisa hasil makanan yang dibuat di dapur atau makanan yang banyak

mengandung protein, sumber energi dan bahan makanan hijauan.

Bentuk penerapan kearifan lokal masyarakat Suku Tengger Desa Wonokitri dalam

sistem pemeliharaan hewan ternak yaitu dengan peletakan kandang yang lokasinya jauh

dengan permukiman penduduk. Peletakan kandang ternak yang jauh dari permukiman ini

merupakan wujud tindakan tindakan yang arif lingkungan. Selain hal tersebut, masyarakat

Suku Tengger Desa Wonokitri juga memanfaatkan kotoran ternak untuk dibuat pupuk

kandang yang mampu menyuburkan tanpa merusak tekstur tanah namun juga ramah

lingkungan.

3.3.4. Sistem pengelolaan dan perlindungan hutan dan sumber-sumber air

Nilai kearifan lokal pada masyarakat Suku Tengger Desa Wonokitri terkait sistem

pengelolaan dan perlindungan hutan adalah dengan mengklasifikasikan hutan dan

memanfaatkannya. Dalam wilayah Desa Wonokitri hanya terdapat kawasan hutan lindung

yang dikelola oleh pihak Perhutani. Hutan lindung ini berguna untuk menjaga keseimbangan

struktur tanah dan melestarikan tanah. Masyarakat Suku Tengger Desa Wonokitri memiliki

kesadaran yang tinggi dalam mengelola hutan. Bukti keperdulian masyarakat Suku Tengger

Desa Wonokitri dalam kegiatan ikut serta memelihara hutan adalah dengan tidak menebang

hutan secara sembarangan. Sikap dalam pengelolaan dan perlindungan hutan ini dilandasi

oleh slogan yang dipatuhi, berbunyi “tebang satu tanam dua” yang artinya jika menebang

satu pohon, maka harus menanam minimal dua pohon yang jenisnya sama.

Penyediaan air bersih untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari berasal dari sumber

mata air alami dari sumber air pegunungan, yaitu sumber mata air Tangor, Galingsari,

Ngerong, Krecek, Muntur dan sumber mata air Blok Dengklik yang terletak di sebelah selatan

desa. Pada tahun 1977 sistem pipanisasi diterapkan di Desa Wonokitri. Sistem pipanisasi ini

Proceedings Environmental Talk: Toward A Better Green Living 2011

CP. 104

bertujuan untuk mengalirkan air dari sumber mata air disalurkan menggunakan pipa sekitar 3

Km menuju ke bak-bak penampungan air/tandon air (jeding desa) di Desa Wonokitri. Saluran

pipa yang ada terpisah pada 2 blok yaitu blok barat dan blok timur yang kemudian disalurkan

ke masing-masing tandon air pada blok tersebut. Pendistribusian air dari tandon air menuju

ke rumah-rumah warga juga menggunakan sistem pipanisasi. Hingga saat ini terdapat 3 buah

tandon air dan 3 bilik bak air umum di Desa Wonokitri.

Sistem penyediaan air bagi lahan pertanian adalah dengan membuat aliran mellaui pipa

plastik/slang. Sebagian masyarakat memanfaatkan limbah sisa hasil pembuangan rumah

tangga untuk menyirami tanaman dengan cara menampung air limbah di tempat

penampungan kemudian disalurkan melalui pipa plastik/slang ke arah tanaman yang akan

disarami. Ada juga masyarakat yang membuat saluran tersendiri untuk air limbah, biasanya di

samping rumah yang dilewatkan pipa terpendam.

Kegiatan pengelolaan sumber-sumber air yang dilakukan antara lain membersihkan dan

merawat sumber air, melakukan penghijauan di sekitar sumber air serta melakukan perbaikan

pada saluran yang merusak badan jalan akibat longsor. Perbaikan saluran dilakukan dengan

membuat tambak atau tanggul tanah yang dimasukkan ke dalam karung kemudian ditumpuk.

Kegiatan pengelolaan sumber-sumber air ini juga menjadi salah satu kegiatan sosial yang

merupakan kegiatan mingguan bagi masyarakat Suku Tengger Desa Wonokitri adalah

gotong-royong membersihkan bak penampungan air umum. Kegiatan ini dilakukan secara

bergiliran yang dijadwal tiap RT atau lingkungan setiap seminggu sekali. Masyarakat RT atau

lingkungan yang mendapatkan jadwal giliran menuju ke 2 lokasi bak penampungan air umum

yang terdapat di Desa Wonokitri.

3.3.5. Tradisi-tradisi dalam pemeliharaan lingkungan yang terdapat di Desa Wonokitri

Dalam upaya pemeliharaan lingkungan, masyarakat Suku Tengger Desa Wonokitri

melakukan beberapa tradisi ritual berdasarkan adat dan kepercayaan mereka, yaitu

melakukan Upacara Leliwet, Pujan, Munggah Sigiran (Among-among/ngamongi jagung),

Wiwit, Hari Raya Kasad, Mayu (Mahayu) Desa, Mayu Banyu, Pujan Mubeng (Narundhung).

3. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa masyarakat Suku Tengger Desa

Wonokitri menerapkan nilai kearifan lokal dalah kehidupan sosial budanya sehari-hari antara

lain yang terlihat dari:

1. Adanya pembagian konsepsi ruang berdasarkan wilayah adat dan wilayah

administrasi, orientasi peletakan elemen-elemen pembentuk permukiman,

sistem penguasaan dan kepemilikan tanah, serta adaptasi tempat tinggal

terhadap iklim.

Proceedings Environmental Talk: Toward A Better Green Living 2011

CP. 105

2. Kearifan lokal yang mengatur tentang perkiraan musim untuk bercocok tanam,

sistem teknologi tradisional dalam pengelolaan ladang/tegalan, sistem

pemeliharaan hewan ternak sistem pengelolaan dan perlindungan hutan,

sumber-sumber air, serta tradisi-tradisi dalam pemeliharaan lingkungan yang

terdapat di Desa Wonokitri.

4. DAFTAR PUSTAKA

Ernawi. (2009) Kearifan Lokal Dalam Perspektif Penataan Ruang, makalah pada Seminar

Nasional Kearifan Lokal Dalam Perencanaan dan Perancangan Lingkungan.

Geertz, C. (1992) Kebudayaan dan Agama, Kanisius Press, Yogyakarta, 1992b.

Gobyah, I. Ketut (2003) „Berpijak Pada Kearifan lokal‟, www.balipos.co.id.

Hefner, R.W., (1985) Hindu Javanese Tengger Tradition and Islam, New York.

Keraf, S. A., (2002), Etika Lingkungan, Pn. Buku Kompas, Jakarta.

Naping, Hamka. (2007) Kelembagaan Tradisional dan Kearifan Lokal dalam Pengelolaan

Lingkungan pada Masyarakat Toraja. Makassar : PPLH Regional Sulawesi Selatan,

Maluku dan Papua KLH bekerjasama dengan Masagena Press, 2007.

Pangarsa, Galih Widjil, Sigmawan Tri Pamungkas dan Harini Subekti. (1993) Studi

Transformasi Arsitektur Vernakular dan Permukiman di Desa Wonokitri sebagai Dasar

Pertimbangan Kebijaksanaan Pengembangan Industri Pariwisata, Puspit Unibraw,

(Unpublished Report).

Ridwan, N. A. (2007) „Landasan Keilmuan Kearifan Lokal‟, IBDA, Vol. 5, No. 1, Jan-Juni

2007, hal 27-38, P3M STAIN, Purwokerto.

Salvina DS, Vina. (2003) Modal Sosial Masyarakat adat Tengger Dalam Menjaga Tatanan

Sosial dalam Nurdin dkk (Ed), Agama Tradisional Potret Kearifan Hidup Masyarakat

Samin dan Tengger. Yogyakarta: LKIS dan UMM Press

Sukari, dkk, (2004) Kerifan Lokal di Lingkungan Masyarakat Tengger Pasuruan Jawa Timur.

Yogyakarta: Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata.