SUKU TENGGER DAN KEHIDUPAN SOSIAL
-
Upload
independent -
Category
Documents
-
view
0 -
download
0
Transcript of SUKU TENGGER DAN KEHIDUPAN SOSIAL
SUKU TENGGER DAN KEHIDUPAN SOSIALNYA
Suku Tengger kaya akan kepercayaan dan upacara adat,
diantaranya ialah:
1. Upacara Adat Karo : Dilakukan pada bulan Puso, yang
merupakan hari raya terbesar masyarakat Tengger,
tujuan penyelenggaraan upacara karo adalah Mengadakan
pemujaan terhadap Sang Hyang Widi Wasa dan
menghormati leluhurnya, memperingati asal usul
manusia, untuk kembali pada kesucian.
1
2. Upacara Pujan Kapat : Jatuh pada bulan keempat menurut
tahun saka, bertujuan untuk memohon berkah
keselamatan serta selamat kiblat, yaitu pemujaan
terhadap arah mata angin.
3. Upacara Pujan Kawolu : Jatuh pada bulan kedelapan tahun
saka. Masyarakat mengirimkan sesaji ke kepala desa,
dengan tujuan untuk keselamatan bumi, air, api,
angin, matahari, bulan dan bintang.
4. Upacara Pujan Kasanga : Jatuh pada bulan sembilan tahun
saka. Masyarakat berkeliling desa dengan membunyikan
kentongan dengan membawa obor. Tujuan upacara ini
adalah memohon kepada Sang Hyang Widi Wasa untuk
keselamatan Masyarakat Tengger.
5. Upacara Pujan Kasada : Upacara ini disebut juga sebagai
Hari Raya Kurban. Biasanya lima hari sebelum upacara
Yadnya Kasada.
6. Upacara Bari’an : Upacara ini dilakukan setelah terjadi
bencana alam, dilaksanakan 5-7 hari setelah bencana
itu terjadi. Upacara Bari’an juga dilaksanakan
sebagai wujud ungkapan syukur kepada Sang Hyang Widi.
7. Upacara Unan-unan : Diadakan hanya setiap lima tahun
sekali. Tujuannya untuk melalukakan penghormatan
terhadap Roh Leluhur. Dalam upacara ini selalu
diadakan penyembelihan binatang ternak yaitu Kerbau.
Kepala Kerbau dan kulitnya diletakkan diatas ancak
besar yang terbuat dari bambu, diarak ke sanggar
pamujan.
2
8. Upacara Entas-entas : Dimaksudkan untuk menyucikan arwah
(roh) orang yang telah meninggal dunia supaya orang
tersebut masuk surga, dilakukan pada hari ke 1000
setelah orang tersebut meninggal.
A. KEADAAN GEOGRAFIS
Luas daerah Tengger kurang lebih 40km dan utara ke
selatan; 20-30 km dan timur ke barat, di atas ketinggian
antara 1000m - 3675 m. Daerah Tengger teletak pada bagian
dari empat kabupaten, yaitu : Probolinggo, Pasuruan, Malang
dan Lumajang. Tipe permukaan tanahnya bergunung-gunung
dengan tebing-tebing yang curam. Kaldera Tengger adalah
lautan pasir yang terluas, terletak pada ketinggian 2300 m,
dengan panjang 5-10 km. Kawah Gunung Bromo, dengan
ketinggian 2392 m, dan masih aktif .Di sebelah selatan
menjulang puncak Gunung Semeru dengan ketinggian 3676 m.
B. WILAYAH ADAT
Wilayah Adat Suku Tengger terbagi menjadi dua wilayah
yaitu Sabrang Kulon (Brang Kulon diwakili oleh Desa Tosari
Kecamatan Tosari Kabupaten Pasuruan )dan Sabrang Wetan
( Brang Wetan diwakili oleh Desa Ngadisari,Wanantara,Jetak
Kecamatan Sukapura Kabupaten Probolinggo ). Perwakilan oleh
Desa T osari dan tiga Desa tersebut mengacu pada Prosesi
Pembukaan Upacara Karo yang sekaligus membukla Jhodang
Wasiat / Jimat Klontong.
3
Adapun Desa – Desa yang merupakan Komunitas Suku
Tengger adalah Sebagai Berikut:
Desa Ngadas, Wanatara, Jetak, dan Ngadisari ( Kecamatan
Sukapura Kabupaten Probolinggo ), Desa Wanakersa, Ledokombo,
Pandansari ( Kecamatan Sumber Kabupaten Probolinggo ), Desa
Tosari, Baledono, Sedaeng, Wonokitri, Ngadiwono, Kandangan,
Mororejo ( Kecamatan Tosari Kabupaten Pasuruan ), Desa
Keduwung ( kecamatan Puspo Kabupaten Pasuruan ), Desa
Ngadirejo, Ledok Pring ( Kecamatan Tutur Kabupaten
Pasuruan ), Desa Ngadas ( Kecamatan Poncokusumo Kabupaten
Malang),dan Desa Ranupani ( Kecamatan Senduro Kabupaten
Lumajang).
C. KEADAAN TANAH DAN TANAM-TANAMAN
Keadaan tanah daerah Tengger gembur seperti pasir,
namun cukup subur. Tanaman keras yang tumbuh terutama adalah
agathis laranthifolia, pinus merkusii, tectona, grandis
leucaena, dan swietenia altingia excelsa, anthocepalus
cadamba. Di kaki bukit paling atas ditumbuhi pohon cemara
sampai di ketinggian 3000 dpl yaitu lereng Gunung Semeru.
Tumbuhan utamanya adalah pohon-pohonan yang tinggi, pohon
elfin dan pohon cemara, sedangkan tanam-tanaman pertanian
terutama adalah kentang, kubis, wortel, jagung,bawang
prei(plompong tengger) dsb.
D. JENIS HEWAN
4
Jenis hewan piaraan yang ada antara lain lembu,
kambing, babi dan ayam kampung. Jenis binatang yang hidup
secara liar di hutan-hutan adalah babi hutan (sus scrofa)
rusa timur (cervus timorensis), serigala atau (muncak
muntiacus), dan berkembang pula jenis macam tutul (panthera
pardus), terdapat pula species burung-burungan, misalnya
burung air.
E. IKLIM DAN CUACA
Iklim daerah Tengger adalah hujan dan kemarau. Musim
kemarau terjadi antara bulan Mei-Oktober. Curah hujan di
Sukapura sekitar 1800 mm, sedangkan musim hujan terjadi pada
bulan November-April, dengan persentase 20 hari/lebih hujan
turun dalam satu bulan. Suhu udara berubah-ubah, tergantung
ketinggian, antara 3º - 18º Celsius. Selama musim hujan
kelembaban udara rata-rata 80%. Temperaturnya sepanjang hari
terasa sejuk, dan pada malam hari terasa dingin. Pada musim
kemarau temperatur malam hari terasa lebih dingin daripada
musim hujan. Pada musim dingin biasanya diselimuti kabut
tebal. Di daerah perkampungan, kabut mulai menebal pada sore
hari. Di daerah sekitar puncak Gunung Bromo kabut mulai
menebal pada pagi hari sebelum fajar menyingsing.
F. AGAMA SUKU TENGGER
Masyarakat Suku Tengger menganut empat agama dari lima
agama yang diakui oleh Pemerintah Indonesia. Yaitu Agama
Hindu , Islam ,Kristen dan Budha.
5
G. MATA PENCAHARIAN SUKU TENGGER
Penduduk di sekitar Taman Nasional Bromo kurang lebih
sebanyak 128.181 jiwa dengan distribusi sebagai berikut:
petani penggarap 48.625 orang (37,93%), buruh tani 10.461
orang (8,16%), karyawan dan ABRI 1.595 orang (1,24%),
pedagang 3.009 orang (2,38%), pengrajin/industri kecil 343
orang (0,01%), dan lain-lain sekitar 64.140 orang (50,05%).
Penduduk masyarakat Tengger pada umumnya bertempat tinggal
berkelompok di bukit-bukit mendekati lahan pertanian. Mereka
hidup dari bercocok tanam di ladang, dengan pengairan tadah
hujan. Pada mulanya mereka menanam jagung sebagai makanan
pokok, akan tetapi saat ini sudah berubah. Pada musim hujan
mereka menanam sayuran seperti kentang, kubis, bawang, dan
wortel sebagai tanaman perdagangan. Pada penghujung akhir
musim hujan mereka menanam jagung sebagai cadangan makanan
pokok.
Sejak zaman pemerintahan Majapahit, tingkat
perkembangan penduduk Tengger tergolong lambat. Sejarah
perkembangan masyarakat Tengger tidak diketahui dengan
jelas, kecuali secara samar sebagai hasil penelitian Nancy
(1985).
Masyarakat Tengger saat ini sudah ada yang membuka usaha
Jasa ( Persewaan Home Stay dan Jeep Hard Top sebagai
transportasi ke Bromo ),hal ini di lakukan semenjak Bromo di
buka sebagai obyek wisata.
H. PEMIMPIN SUKU TENGGER
6
Masyarakat Suku Tengger tidak mengenal dualisme
kepemimpinan ,walaupun ada yang namanya Dukun adat. Tetapi
secara formal pemerintahan dan adat , Suku Tengger dipimpin
oleh seorang Kepala Desa ( Petinggi ) yang sekaligus adalah
Kepala Adat. Sedangkan Dukun diposisikan sebagai pemimpin
Ritual / Upacara Adat.
Proses pemilihan seorang Petinggi ,dilakukan dengan cara
pemilihan langsung oleh masyarakat , melalui proses
pemilihan petinggi. Sedang untuk pemilihan Dukun ,dilakukan
melalui beberapa tahapan – tahapan ( menyangkut diri pribadi
calon Dukun ).yang pada akhirnya akan diuji melalui ujian
Mulunen ( ujian pengucapan mantra yang tidak boleh terputus
ataupun lupa ) yang waktunya pada waktu Upacara Kasada
bertempat di Poten Gunung Bromo.
I. KESENIAN
Tari sodor dan tari ujung,peralatan
musik:gamelan ,musik ketepung & terompet
J. MAKANAN KHAS
Nasi ARON ( nasi yang terbuat dar jagung tengger dengan
masa tanam kurang lebih 8 bulan ).dan sambal Krangean
bahannya terbuat dari bahan sambal terasi seperti
biasanya,hanya saja di tambah buah Krangean ( hanya tumbuh
di Tengger) bentuknya kecil seperti buah merica dan baunya
harum seperti daun kemangi,wananya hijau masih segar (baru
petik) dan hitam (klau sudah layu atau kering).
7
K. SISTIM KALENDER SUKU TENGGER
Suku Tengger sudah mengenal dan mempunyai sistem
kalender sendiri yang mereka namakan Tahun Saka atau Saka
Warsa., jumlah usia kalender suku tengger berjumlah 30 hari
(masing-masing bulan dibulatkan),tetapi ada perbedaan
penyebutan usia hari yaitu antara tanggal 1 sampai dengan 15
disebut tanggal hari,dan 15 sampai 30 disebut Panglong Hari
(penyebutannya adalah Panglong siji,panglong loro dan
seterusnya) . Pada tanggal dan bulan tertentu terdapat
tanggal yang digabungkan yaitu tumbuknya dua tanggal. Pada
tanggal Perhitungan Tahun Saka di Indonesia jatuh pada
tanggal 1 (sepisan) sasih kedhasa (bulan ke sepuluh), yaitu
sehari setelah bulan tilem (bulan mati), tepatnya pada bulan
Maret dalam Tahun Masehi (Supriyono, 1992). Cara
menghitungnya dengan rumus : tiap bulan berlangsung 30 hari,
sehingga dalam 12 bulan terdapat 360 hari. Sedangkan untuk
wuku dan hari pasaran tertentu dianggap sebagai wuku atau
hari tumbuk, sehingga ada dua tanggal yang harus disatukan
dan akan terjadi pengurangan jumlah hari pada tiap tahunnya.
Untuk melengkapi atau menyempurnakannya diadakan perhitungan
kembali setiap lima tahun, atau satu windu tahun wuku. Pada
waktu itu ada bulan yang ditiadakan, digunakan untuk
mengadakan perayaan Unan-unan, yang kemudian tanggal dan
bulan seterusnya digunakan untuk memulai bulan berikutnya,
yaitu bulan Dhesta atau bulan ke-sebelas.
MECAK (Perhitungan Kalender Tengger ),istilah mecak
biasanya digunakan untuk menghitung atau mencari tanggal
8
yang tepat untuk melaksankan Upacara-upacara besar seperti
Karo,Kasada maupun Upacara Unan-unan. Setiap Dukun Sepuh
telah mempunyai persiapan atau catatan tanggal hasil Mecak
untuk tiap – tiap Upacara yang akan dilaksanakan sampai lima
tahun ke depan.
NAMA – NAMA HARI SUKU TENGGER.
1. DHITE : MINGGU
2. SHOMA : SENIN
3. ANGGARA : SELASA
4. BUDHA : R A B U
5. RESPATI : KAMIS
6. SUKRA : JUM’AT
7. TUMPEK : SABTU
NAMA – NAMA BULAN SUKU TENGGER
1. KARTIKA : KASA
2. PUSA : KARO
3. MANGGASTRI : KATIGA
4. SITRA : KAPAT
5. MANGGAKALA : KALIMA
6. NAYA : KANEM
7. PALGUNO : KAPITU
8. WISAKA : KAWOLU
9. JITO : KASANGA
10. SERAWANA : KASEPOLOH
11. PANDRAWANA : DESTHA
12. ASUJI : KASADA
9
ADAPUN TAHUN YANG DIGUNAKAN ADALAH TAHUN SAKA ( CAKA ).
L. SIFAT DAN SIKAP SUKU TENGGER
Konsep tentang Manusia Menurut Falsafah TenggerSifat
Umum Di dalam kehidupan sehari-hari orang Tengger mempunyai
kebiasaan hidup sederhana, rajin dan damai. Mereka adalah
petani. Ladang mereka di lereng-lereng gunung dan puncak-
puncak yang berbukit-bukit. Alat pertanian yang mereka pakai
sangat sederhana, terdiri dari cangkul,sabit dan semacamnya.
Hasil pertaniannya itu terutama adalah jagung, kopi,
kentang, kubis, bawang prei, Wortel dsb. Kebanyakan mereka
bertempat tinggal jauh dari ladangnya, sehingga harus
membuat gubuh-gubuk sederhana di ladangnya untuk berteduh
sementara waktu siang hari. Mereka bekerja sangat rajin dan
pagi hingga petang hari di ladangnya.
Pada umumnya masyarakat Tengger hidup sangat sederhana
dan hemat. Kelebihan penjualan hasil ladang ditabung untuk
perbaikan rumah serta keperluan memenuhi kebutuhan rumah
tangga lainnya. Kehidupan masyarakat Tengger sangat dekat
dengan adat- istiadat yang telah diwariskan oleh nenek
moyangnya secara turun-temurun. Dukun berperan penting dalam
melaksanakan upacara Adat. Dukun berperan dalam segala
pelaksanaan adat, baik mengenai perkawinan, kematian atau
kegiatan-kegiatan lainnya. Dukun sebagai tempat bertanya
10
untuk mengatasi kesulitan ataupun berbagai masalah
kehidupan.
Kehidupan pada masyarakat Tengger penuh dengan
kedamaian dan kondisi masyarakatnya sangat aman. Segala
masalah dapat diselesaikan dengan mudah atas peranan orang
yang berpengaruh pada masyarakat tersebut dengan sistem
musyawarah. Pelanggaran yang dilakukan cukup diselesaikan
oleh Petinggi ( Kepala Desa) dan biasanya mereka patuh.
Apabila cara ini tidak juga menolong, maka si pelaku
pelanggaran itu cukup disatru (tidak diajak bicara) oleh
seluruh penduduk. Mereka juga sangat patuh dengan segala
peraturan pemerintah yang ada, seperti kewajiban membayak
pajak, kerja bakti dan sebagainya.
M. Bahasa Tengger
Bahasa daerah yang digunakan adalah bahasa Jawa yang
masih berbau Jawa Kuno. Mereka menggunakan dua tingkatan
bahasa yaitu ngoko, bahasa sehari-hari terhadap sesamanya,
dan krama untuk komunikasi terhadap orang yang lebih tua
atau orang tua yang dihormati. Pada masyarakat Tengger tidak
terdapat adanya perbedaan kasta, dalam arti mereka
berkedudukan sama.
Contoh: Aku ( Laki-laki) = Reang , Aku ( wanita ) = Isun ,
Kamu ( untuk seusia)= Sira , Kamu ( untuk yang lebih tua) =
Rika, Bapak/Ayah= Pak , Ibu = Mak , Kakek=Wek , Kakak=
Kang , Mbak= Yuk
11
N. Asal-Usul Manusia menurut Falsafah Tengger
Ajaran tentang asal-usul manusia adalah seperti
terdapat pada mantra purwa bhumi. Sedangkan tugas manusia di
dunia ini dapat dipelajari melalui cara masyarakat Tengger
memberi makna kepada aksara Jawa yang mereka kembangkan.
Adapun makna yang dimaksudkan adalah seperti tersebut
dibawah ini.
h.n.c.r.k : hingsun nitahake cipta, rasa karsa,
d,t,s,w,l : dumadi tetesing sarira wadi laksana,
p, dh, j, y, ny : panca dhawuh jagad yekti nyawiji,
m, g, b, th, ng : marmane gantia binuka thukul ngakasa.
Apabila diartikan secara harfiah kurang lebih sebagai
berikut: “Tuhan Yang Maha Esa menciptakan cahaya, rasa dan
kehendak pada manusia, (manusia) dijadikan melalui badan
gaib untuk melaksanakan lima perintah di dunia dengan
kesungguhan hati, agar saling terbuka tumbuh (berkembang)
penuh kebebasan (ngakasa ‘menuju alam bebas angkasa’)”.
Pada hakikatnya manusia adalah ciptaan Tuhan, yang
dilahirkan dari tidak ada menjadi ada atau dari alam gaib,
untuk mengemban tugas di dunia ini melaksanakan lima
perintah-Nya dengan menyatukan diri pada tugasnya, agar di
dunia ini tumbuh keterbukaan dan perkembangan menuju
kesempurnaan.
Masih ada lagi tafsiran tentang aksara Jawa yang
dikaitkan dengan cerita tentang Aji Saka, yaitu bahwa ada
utusan, yang keduanya saling bertengkar (berebut kebenaran).
Keduanya sama kuatnya (sama-sama berjaya), yang akhirnya
12
keduanya mengalami nasib yang sama, yaitu menjadi mayat. Hal
ini mengandung makna bahwa baik-buruk, senang-susah, sehat-
sakit, adalah ada pada manusia dan tak dapat dihindari.
Kesempurnaan hidup manusia apabila dapat menyeimbangkan
kedua hal itu.
O. Hubungan Badan dan Roh Menurut Falsafah Tengger
Masyarakat Tengger beranggapan bahwa badan manusia itu
hanya merupakan pembungkus sukma (roh). Sukma adalah badan
halus yang bersifat abadi. Jika orang meninggal, badannya
pulang ke pertiwi (bumi), sedangkan sukmanya terbebas dari
mengalami suatu proses penyucian di dalam neraka, dan selama
itu mereka mengembara tidak mempunyai tempat berhenti.
Cahaya, api dan air dari arah timur akan melenyapkan semua
kejahatan yang dialami sukma sewaktu berada di dalam badan.
Masyarakat Tengger percaya bahwa neraka itu terdiri dari
beberapa bagian. Bagian terakhir ialah bagian timur yang
disebut juga kawah candradimuka, yang akan menyucikan sukma
sehingga menjadi bersih dan suci serta masuk surga. Hal ini
terjadi pada hari ke-1000 sesudah kematian dan melalui
upacara Entas-entas.
P. Hubungan Antar-manusia Menurut Falsafah Tengger
13
Sesuai dengan ajaran yang hidup di masyarakat Tengger
seperti terkandung dalam ajaran tentang sikap hidup dengan
sesanti panca setia, yaitu:
i. setya budaya artinya, taat, tekun, mandiri;
ii. setya wacana artinya setia pada ucapan;
iii. setya semàya artinya setia padajanji;
iv. setya laksana artinya patuh, tuhu, taat;
v. setya mitra artinya setia kawan.
Ajaran tentang kesetiaan berpengaruh besar terhadap
perilaku masyarakat Tengger. Hal ini tampak pada sifat taat,
tekun bekerja, toleransi tinggi, gotong-royong, serta rasa
tanggung jawab. umpamanya menunjukkan bahwa pada umumnya
mereka bekerja di ladangnya dari jam 6 pagi sampai jam 6
sore setiap hari secara tekun. Sikap gotong-royongnya
terlihat pula pada waktu mendirikan pendopo agung di Tosari,
adalah sebagai hasil jerih payah rakyat membuat jalan
sepanjang 15 km dari Tosari menuju Bromo (tahun 1971-1976).
Demikian pula tanggung jawab mereka terhadap lingkungan
sosial tercermin pada kesadaran rakyat untuk ikut serta
menjaga keamanan, serta merelakan sebagian tanahnya apabila
terkena pembangunan jalan.
Sifat lain yang positif adalah kemampuan menyesuaikan
diri terhadap perkembangan, yaitu kesediaan mereka untuk
menerima orang asing atau orang lain, meskipun mereka tetap
pada sikap yang sesuai dengan identitasnya sebagai orang
Tengger. Hubungan antara pria dan wanita tercermin pada
sikap bahwa pria adalah sebagai pengayom bagi wanita, yaitu
14
ngayomi, ngayani, ngayemi, artinya memberikan perlindungan,
memberikan nafkah, serta menciptakan suasana tenteram dan
damai.
Q. Sikap dan Pandangan Hidup
Pandangan tentang Perilaku
Sikap dan pandangan hidup orang Tengger tercermin pada
harapannya, yaitu waras (sehat), wareg (kenyang), wastra
(memiliki pakaian, sandang), wisma (memiliki rumah, tempat
tinggal), dan widya (menguasai ilmu dan teknologi,
berpengetahuan dan terampil).
Mereka mengembangkan pandangan hidup yang disebut
pengetahuan tentang watak yaitu:
i. prasaja berarti jujur, tidak dibuat-buat apa adanya;
ii. prayoga berarti senantiasa bersikap bijaksana;
iii. pranata berarti senantiasa patuh pada raja, berarti
pimpinan atau pemerintah;
iv. prasetya berarti setya;
v. prayitna berarti waspada.
Atas dasar kelima pandangan hidup tersebut, masyarakat
Tengger mengembangkan sikap kepribadian tertentu sesuai
dengan kondisi dan perkembangan yang ada. Antara lain
mengembangkan sikap seperti kelima pandangan hidup tersebut,
di samping dikembangkan pula sikap lain sebagai
perwujudannya.
15
Mereka mengembangkan sikap rasa malu dalam arti
positif, yaitu rasa malu apabila tidak ikut serta dalam
kegiatan sosial. Begitu mendalamnya rasa malu itu, sehingga
pernah ada kasus (di Tosari) seorang warga masyarakat yang
bunuh diri hanya karena tidak ikut serta dalam kegiatan
gotong-royong.
Sikap toleransi mereka tercermin pada kenyataan bahwa
mereka dapat bergaul dengan orang beragama lain, ataupun
kedatangan orang beragama lain. Dalam keagamaan mereka tetap
setia kepada agama yang telah dimiliki namun toleransi tetap
tinggi, sebab mereka lebih berorientasi pada tujuan, bukan
pada cara mencapai tujuan. Pada dasarnya manusia itu
bertujuan satu, yaitu mencapai Tuhan, meskipun jalannya
beraneka warna. Sikap toleransi itu tampak pula dalam hal
perkawinan, yaitu sikap orang tua yang memberikan kebebasan
bagi para putra-putrinya untuk memilih calon istri atau
suaminya. Pada dasarnya perkawinan bersifat bebas. Mereka
tetap dapat menerima apabila anak-anaknya ada yang berumah
tangga dengan wanita atau pria yang berlainan agama
sekalipun. Namun dalam hal melaksanakan adat, pada umumnya
para generasi muda masih tetap melakukannya sesuai dengan
adat kebiasaan orang tuanya.
Sikap hidup masyarakat Tengger yang penting adalah tata
tentrem (tidak banyak risiko), aja jowal-jawil (jangan suka
mengganggu orang lain), kerja keras, dan tetap
mempertahankan tanah milik secara turun-temurun. Sikap
terhadap kerja adalah positif dengan titi luri-nya, yaitu
16
meneruskan sikap nenek moyangnya sebagai penghormatan kepada
leluhur.
Sikap terhadap hasil kerja bukanlah semata-mata hidup
untuk mengumpulkan harta demi kepentingan pribadi, akan
tetapi untuk menolong sesamanya. Dengan demikian, dalam
masyarakat Tengger tidak pernah terjadi kelaparan. Untuk
mencapai keberhasilan dalam hidup semata-marta diutamakan
pada hasil kerja sendiri, dan mereka menjauhkan diri dari
sikap nyadhang (menengadahkan telapak tangan ke atas).
Masyarakat Tengger mengharapkan generasi mudanya mampu
mandiri seperti ksatria Tengger. Orang tua tidak ingin
mempunyai anak yang memalukan, dengan harapan agar anak
mampu untuk mikul dhuwur mendhem jero, yaitu memuliakan
orangtuanya.
Sikap mereka terhadap perubahan cukup baik, terbukti mereka
dapat menerima pengaruh model pakaian, dan teknologi, serta
perubahan lain yang berkaitan dengan cara mereka
mengharapkan masa depan yang lebih baik dan berkeyakinan
akan datangnya kejayaan dan kesejahteraan masyarakatnya.
R. Siklus Hidup Menurut Falsafah Tengger
Ada 3 (tiga) tahap penting siklus kehidupan menurut
pandangan masyarakat Tengger, yakni:
1. umur 0 sampal 21 (wanita) atau 27 (pria), dengan lambang
bramacari yaitu masa yang tepat untuk pendidikan;
2. usia 21 (wanita) atau 27 (pria) sampai 60 tahun lambing
griasta, masa yang tepat untuk
membangun rumah dan mandiri;
17
3. 60 tahun ke atas, dengan lambang biksuka, membangun diri
sebagai manusia usia lanjut untuk lebih mementingkan masa
akhir hidupnya.
Pada masa griasta ada ungkapan yang berbunyi kalau
masih mentah sama adil, kalau sudah masak tidak ada harga,
yang dimaksudkan adalah hendaklah manusia itu pada waktu
mudanya bersikap adil dan masa dewasa menyiapkan dirinya
untuk masa tuanya dan hari akhirnya.
S. Pertunangan dan Perkawinan
Pada umumnya masyarakat Tengger mempunyai pendirian
yang cukup bermoral atas perkawinan. Poligami dan perceraian
boleh dikatakan tidak pernah terjadi. Perkawinan di bawah
umur juga jarang terjadi. Dalam pertunangan (pacangan),
lamaran dilakukan oleh orangtua pria. Sebelumnya didahului
dengan pertemuan antara kedua calon, atas dasar rasa senang
kedua belah pihak. Apabila kedua belah pihak telah sepakat,
maka orangtua pihak wanita (sebagai calon) berkunjung ke
orangtua pihak pria untuk menanyakan persetujuannya atau
notok. Selanjutnya apabila orangtua pihak pria telah
menyetujui, diteruskan dengan kunjungan dari pihak orangtua
pria untuk menyampaikan ikatan (peningset) dan menentukan
hari perkawinan yang disetujui oleh kedua belah pihak.
Sesudah itu barulah upacara perkawinan dilakukan.
Sebelum acara perkawinan biasanya telah dimintakan
nasihat kepada dukun mengenai kapan sebaiknya hari
perkawinan itu dilaksanakan. Dukun akan memberikan saran
(menetapkan) hari yang baik dan tepat, ‘papan’ tempat
18
pelaksanaan perkawinan, dan sebagainya. Setelah hari untuk
upacara perkawinan ditentukan, maka diawali selamatan kecil
(dengan sajian bubur merah dan bubur putih). Sebagai
kelengkapan upacara perkawinan, maka pasangan pengantin
diarak (upacara ngarak) keliling, diikuti oleh empat gadis
dan empat jejaka dengan diiringi gamelan. Pada upacara
perkawinan pengantin wanita memberikan hadiah bokor tembaga
berisi sirih lengkap dengan tembakau, rokok dan lain,
sedangkan pengantin pria memberikan hadiah berupa sebuah
keranjang berisi buah-buahan, beras dan mas kawin.
Pada upacara asrah pengantin, masing-masing pihak
diwakili oleh seorang utusan. Para wakil mengadakan
pembicaraan mengenai kewajiban dalam perkawinan dengan
disaksikan oleh seoran dukun. Pada upacara pernikahan
dibuatkan petra (petara: boneka sebagai tempat roh nenek
moyang) supaya roh nenek moyangnya bisa hadir menyaksikan.
Biasanya setelah melakukan perkawinan kemanten pria harus
tinggal dirumah (mengikuti) kemanten wanita.
Hak Waris
Pada dasarnya masyarakat Tengger mempertahankan hak
waris tanah untuk anak keturunan mereka saja. Apabila ada
keluarga yang terpaksa menjual hak tanah, diusahakan untuk
dibeli oleh keluarga yang terdekat. Pewarisan kepada anak-
turunannya ditentukan oleh kerelaan pihak orang tua, bukan
atas dasar aturan ketat yang dibakukan.
T. Tata Rumah
19
Rumah penduduk Tengger dibangun di atas tanah, yang
sedapat mungkin dipilih pada daerah datar, dekat air, atau
kalau terpaksa dipilih tanah yang dapat dibuat teras, dan
jauh dan gangguan angiñ. Rumah-rumah letaknya berdekatan
atau menggerombol pada suatu tempat yang dapat dimasuki dan
berbagaf jurusany yang dihubungkan dengan jalan sempit atau
gak lebar antara satu desa dengan desa lain. Desa induk yang
disebut Jcrajan biasa-nya terletak di tengah dengan jaringan
jalan-jalan yang menghubungkan dengan desa lain.
Pembangunan sebuah rumah selalu diawali dengan
selamatan, demikiah pula apabila bangunan telah selesai
diadakan selamatan lagi. Pada setiap bangunan yang sedang
dikejakan selalu terdapat sesajen, yang digantungkan pada
tiang-tiang, berupa makanan, ketupat, lepet, pisang raja dan
lain-lain. Bangunan rumah orang Tengger biasanya luas sebab
pada umumnya dihuni oleh beberapa keluarga bersama-sama, Ada
kebiasaan bahwa seorang pria yang baru saja kawin akan
tinggal bersama mertuanya.
Tiang dan dinding rumahnya terbuat dan kayu dan atapnya
terbuat dan bambu yang dibelah. Setelah bahan itu sulit
diperoleh, dewasa ini masyarakat telah mengubah kebiasaan
itu dengan menggunakan atap dan seng, papan atau genteng.
Alat rumah tangga tradisional yang hingga sekarang pada
umumnya masih tetap ada adalah balai-balai, semacam dipan
yang ditaruh di depan rumah. Di dalam ruangan rumah itu
disediakan pula tungku perapian (pra pen) yang terbuat dan
batu atau semen. Perapian ini kurang lebih panjangnya 1/4
dari panjang ruangan yang ada. Di dekat perapian terdapat
20
tempat duduk pendek terbuat dari kayu (dingklik bhs jawa)
yang meliputi kurang lebih separuh dan seluruh ruangan.
Apabila seorang tamu di terima dan dipersilakan duduk di
tempat ini menunjukkan bahwa tamu tersebut diterima dengan
hormat.
Selain digunakan untuk penghangat tubuh bagi penghuni
rumah, perapian juga dimanfaatkan untuk mengeringkan jagung,
atau bahan makan lainnya yang memerlukan pengawetan dan
ditaruh di atas paga. Dekat tempat perapian itu terdapat
pula alat-alat dapur, lesung, dan tangga. Halaman rumah
mereka pada umumnya sempit (kecil) dan tidak ditanami pohon-
pohonan. Di halaman itu pula terdapat sigiran, tempat untuk
menggantungkan jagung yang belum dikupas. Selain itu,
sigiran dimanfaatkan untuk menyimpan jagung, sehingga juga
berfungsi sebagai lumbung untuk menyimpan sampai panen
mendatang.
PUSAKA YANGDI MILIKI OLEH SUKU TENGGER
Jimat Klonthongan / Jodang Wasiat
Jimat Klonthong / Jodang wasiat jumlahnya ada dua, yang
pertama disimpan oleh masyarakat Suku Tengger Brang Wetan
tepatnya di Desa Ngadisari Kecamatan Sukapura Kabupaten
Probolinggo.bentuknya berupa kotak terbuat dari kayu.Sedang
Jimat Klonthong / Jodang Wasiat yang kedua disimpan di
wilayah Brang Kulon yaitu di Desa Tosari Kecamatan Tosari
Kabupaten Pasuruan dan bentuknya berbeda dengan yang ada di
wilayah brang wetan yaitu berbentuk bumbung terbuat dari
kayu.
21
Kedua Jimat Klonthong / Jodang Wasiat tersebut merupakan
benda warisan nenek moyang ( Joko Seger dan Loro Anteng )
berisi gayung, sarak, sodar, tumbu, cepel, Ontokusumo
sejenis pakaian nenek moyang, dan sejumlah uang satak (uang
logam kuno). Termasuk mantra-mantra yaitu mantra Purwobumi
dan mantra Mandala Giri.
Lontar (keropak)
Di Tengger masih terdapat lontar (keropak) sebanyak 21
ikat, berisi tulisan Jawa lama, yang orang Tengger sendiri
tidak bisa membacanya.
Pusaka TRISULA yaitu berbentuk Tombak yang mempunyai ujung
mata tiga.
U. PERALATAN UPACARA
Baju Adat Tengger Hitam, sehelai kain baju tanpa
jahitan,Udeng dan kain Selempang berwarna kuning. Hal ini
sesuai dengan yang diperoleh sebagai warisan dari nenek
moyang Suku Tengger. Prasen, berasal dari kata rasi atau
praci (Sansekerta) yang berarti zodiak. Prasen ini berupa
mangkuk bergambar binatang dan zodiak. Beberapa prasen yang
dimiliki oleh para dukun berangka tahun Saka: 1249, 1251,
1253, 1261; dan pada dua prasen lainnya terdapat tanda tahun
Saka 1275. Tanda tahun ini menunjukkan masa berkuasanya
pemerintahan Tribhuwana Tunggadewi di Majapahit.
Tali sampet, terbuat dari kain batik, atau kain berwarna
kuning yang dipakai oleh Dukun Tengger. Genta, keropak dan
prapen, sebagai pelengkap upacara.
22
V. LAIN – LAIN
Masyarakat Suku Tengger tidak mengenal nama Marga
( keluarga ) karena di dalam Suku Tengger tidak mengenal
Kasta,namun biasanya cara memanggil nama orang yang sudah
berkeluarga dan mempunyai keturunan ,mereka memanggil nama
yang bersangkutan dengan nama anak pertamanya.
SUMBER :
Suara Kebebasan http://capsulx368.blogspot.com/2010/11/suku-
tengger-dan-kehidupan-sosialnya.html#ixzz1u4BkUFi5
http://capsulx368.blogspot.com/2010/11/suku-tengger-dan-
kehidupan-sosialnya.html
http://d16do.blogdetik.com/about-suku-tengger/
23