Sosial Budaya Pembentuk Permukiman Masyarakat Tengger Desa Wonokitri Kabupaten Pasuruan

18
arsitektur e-Journal, Volume 5 Nomor 1, Maret 2012 14 SOSIAL BUDAYA PEMBENTUK PERMUKIMAN MASYARAKAT TENGGER DESA WONOKITRI, KABUPATEN PASURUAN Dianing Primanita Ayuninggar, Antariksa, Dian Kusuma Wardhani Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Brawijaya Jl. Mayjen Haryono 167 Malang 65145; Telp (0341) 567886 E-mail: [email protected] ABSTRAK Permukiman tradisional merupakan manifestasi dari nilai sosial budaya masyarakat yang memiliki peranan sangat penting dalam pembentukan struktur ruang permukiman di suatu desa. Permukiman Desa Wonokitri terbentuk dari nilai sosial budaya masyarakat Tengger yang terlihat dari penerapan kegiatan sosial budaya dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Tujuan dari studi ini adalah untuk mengidentifikasi dan menganalisis karakteristik sosial budaya yang membentuk permukiman di Desa Wonokitri. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif eksploratif, analisis behavior mapping dengan metode person centered mapping dan analisis family tree. Hasil studi menunjukkan bahwa keterkaitan antara sistem aktivitas dengan ruang sebagai tempat pelaksanaannya membentuk pola pergerakan (lintasan) dan hierarki ruang tertentu di dalam permukiman masyarakat Tengger Desa Wonokitri. Terbentuk ruang budaya dan ruang ritual di dalam permukiman yang berdasarkan skala penggunaan ruangnya dikelompokkan menjadi skala ruang mikro, meso dan makro. Ditinjau dari tingkat kepentingan ruang ritual, pura, padhanyangan, makam keramat merupakan ruang sakral yang utama dan mempunyai peranan penting dalam pelaksanaan kegiatan sosial budaya di Desa Wonokitri. Pola pergerakan yang terbentuk dari pelaksanaan kegiatan sosial budaya menggambarkan pergerakan secara hierarkis, yakni pergerakan dari tempat sakral ke profan ataupun sebaliknya. Terdapat kesamaan dalam pola tahapan kegiatan, pola pergerakan dan penggunaan ruang pada beberapa kegiatan, terutama kegiatan yang terkait dengan ritual. Kata kunci: sosial budaya, pola ruang, Tengger ABSTRACT Traditional settlement is a manifestation of the socio-cultural society that has a very important role in the formation of spatial structures in a rural settlement. Settlement of Wonokitri village formed from socio-cultural values of Tengger society which is seen from the application of socio-cultural activities in the people’s daily lives.The purpose of this study is to identify and analyze the socio- cultural characteristics that form the settlement in Wonokitri village. The method used is descriptive exploratory method, behaviour mapping analysis with person centered mapping method and family tree analysis. The study results showed that the linkage between the activities and the space as a place where it happen form movement patterns (trajectory) and the hierarchy of a specific space in the settlement of Tengger society in Wonokitri village. Cultural space and ritual space formed in the settlement which is grouped into space scale micro, meso and macro based on the use of spatial scale. In terms of the importance of ritual space, temples, padhanyangan, sacred cemetery are the main sacred spaces and have a major role in the implementation of socio-cultural activities in Wonokitri village. Movement patterns that formed from the implementation of socio-cultural activities hierarchically describe the movement, the movement from the sacred place to the profane, or otherwise. There are similarities in the pattern of phases of activity, movement patterns and use of space in some activities, especially activities related to the ritual. Key words: socio-cultural, space pattern, Tengger

Transcript of Sosial Budaya Pembentuk Permukiman Masyarakat Tengger Desa Wonokitri Kabupaten Pasuruan

arsitektur e-Journal, Volume 5 Nomor 1, Maret 2012 14

SSOOSSIIAALL BBUUDDAAYYAA PPEEMMBBEENNTTUUKK PPEERRMMUUKKIIMMAANN MMAASSYYAARRAAKKAATT TTEENNGGGGEERR

DDEESSAA WWOONNOOKKIITTRRII,, KKAABBUUPPAATTEENN PPAASSUURRUUAANN

Dianing Primanita Ayuninggar, Antariksa, Dian Kusuma Wardhani Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Brawijaya

Jl. Mayjen Haryono 167 Malang 65145; Telp (0341) 567886 E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Permukiman tradisional merupakan manifestasi dari nilai sosial budaya masyarakat yang memiliki peranan sangat penting dalam pembentukan struktur ruang permukiman di suatu desa. Permukiman Desa Wonokitri terbentuk dari nilai sosial budaya masyarakat Tengger yang terlihat dari penerapan kegiatan sosial budaya dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Tujuan dari studi ini adalah untuk mengidentifikasi dan menganalisis karakteristik sosial budaya yang membentuk permukiman di Desa Wonokitri. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif eksploratif, analisis behavior mapping dengan metode person centered mapping dan analisis family tree. Hasil studi menunjukkan bahwa keterkaitan antara sistem aktivitas dengan ruang sebagai tempat pelaksanaannya membentuk pola pergerakan (lintasan) dan hierarki ruang tertentu di dalam permukiman masyarakat Tengger Desa Wonokitri. Terbentuk ruang budaya dan ruang ritual di dalam permukiman yang berdasarkan skala penggunaan ruangnya dikelompokkan menjadi skala ruang mikro, meso dan makro. Ditinjau dari tingkat kepentingan ruang ritual, pura, padhanyangan, makam keramat merupakan ruang sakral yang utama dan mempunyai peranan penting dalam pelaksanaan kegiatan sosial budaya di Desa Wonokitri. Pola pergerakan yang terbentuk dari pelaksanaan kegiatan sosial budaya menggambarkan pergerakan secara hierarkis, yakni pergerakan dari tempat sakral ke profan ataupun sebaliknya. Terdapat kesamaan dalam pola tahapan kegiatan, pola pergerakan dan penggunaan ruang pada beberapa kegiatan, terutama kegiatan yang terkait dengan ritual. Kata kunci: sosial budaya, pola ruang, Tengger

ABSTRACT

Traditional settlement is a manifestation of the socio-cultural society that has a very important role in the formation of spatial structures in a rural settlement. Settlement of Wonokitri village formed from socio-cultural values of Tengger society which is seen from the application of socio-cultural activities in the people’s daily lives.The purpose of this study is to identify and analyze the socio-cultural characteristics that form the settlement in Wonokitri village. The method used is descriptive exploratory method, behaviour mapping analysis with person centered mapping method and family tree analysis. The study results showed that the linkage between the activities and the space as a place where it happen form movement patterns (trajectory) and the hierarchy of a specific space in the settlement of Tengger society in Wonokitri village. Cultural space and ritual space formed in the settlement which is grouped into space scale micro, meso and macro based on the use of spatial scale. In terms of the importance of ritual space, temples, padhanyangan, sacred cemetery are the main sacred spaces and have a major role in the implementation of socio-cultural activities in Wonokitri village. Movement patterns that formed from the implementation of socio-cultural activities hierarchically describe the movement, the movement from the sacred place to the profane, or otherwise. There are similarities in the pattern of phases of activity, movement patterns and use of space in some activities, especially activities related to the ritual. Key words: socio-cultural, space pattern, Tengger

arsitektur e-Journal, Volume 5 Nomor 1, Maret 2012

15

Pendahuluan Permukiman tradisional sering direpresentasikan sebagai tempat yang masih

memegang nilai-nilai adat dan budaya yang dihubungkan dengan nilai-nilai kepercayaan atau agama yang bersifat khusus/unik pada masyarakat tertentu yang berakar dari tempat tertentu pula di luar determinasi sejarah (Crysler dalam Sasongko, 2005). Menurut Rapoport dalam Wikantiyoso (1997:26), permukiman tradisional merupakan manifestasi dari nilai sosial budaya masyarakat yang erat kaitannya dengan nilai sosial budaya penghuninya yang dalam proses penyusunannya menggunakan dasar norma-norma tradisi. Rapoport dalam Nuraini (2004:11) menjelaskan bahwa terbentuknya lingkungan permukiman dimungkinkan karena adanya proses pembentukan hunian sebagai wadah fungsional yang dilandasi oleh pola aktivitas manusia serta pengaruh setting rona lingkungan, baik yang bersifat fisik maupun yang bersifat non fisik (sosial-budaya) yang secara langsung mempengaruhi pola kegiatan dan proses pewadahannya.

Masyarakat Desa Wonokitri menganut adat-istiadat Tengger yang mayoritas beragama Hindu. Ajaran dan ketentuan adat Tengger yang dianut oleh masyarakat Desa Wonokitri termanifestasi dalam kegiatan sosial budaya masyarakat sehari-hari dan berpengaruh secara langsung terhadap pembentukan pola permukiman di Desa Wonokitri. Dalam konteks aktivitas, tradisi budaya Tengger masih tetap dijalankan oleh masyarakat Desa Wonokitri dalam bentuk proses daur hidup (kelahiran, perkawinan, kematian), kegiatan kelompok masyarakat, kegiatan mata pencaharian yang terkait ritual, kegiatan religi dan budaya, serta kegiatan sosial. Berdasarkan pergerakan dari kegiatan sosial budaya tersebut dapat diamati suatu pola lintasan dan penggunaan ruang tertentu yang terbentuk pada permukiman. Setiap kegiatan cenderung memiliki pola yang berbeda-beda, terutama pada bentukan ruangnya. Hal ini menunjukkan bahwa pengaplikasian nilai sosial budaya dalam bentuk kegiatan yang menggunakan ruang membentuk suatu pola dalam permukiman.

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dirumuskan permasalahan, yaitu bagaimanakah karakteristik sosial budaya pembentuk permukiman di Desa Wonokitri, sehingga tujuan dari studi ini adalah untuk mengidentifikasi dan menganalisis karakteristik sosial budaya yang membentuk permukiman di Desa Wonokitri.

Metode Penelitian Metode yang digunakan adalah metode deskriptif eksploratif yang terdiri dari

analisis deskriptif, analisis behaviour mapping dengan metode person centered mapping dan analisis family tree. Sampel dibedakan menjadi sampel bangunan untuk analisis behaviour mapping berjumlah 36 unit bangunan yang terdiri dari 21 unit bangunan untuk sampel kegiatan sosial, religi dan budaya, 13 unit bangunan untuk sampel kegiatan kelompok masyarakat, mata pencaharian, daur hidup manusia (rites of passage) dan 2 unit bangunan rumah tokoh adat (rumah Pak Sanggar dan Pak Sepuh). Sampel bangunan untuk analisis family tree adalah 3 unit hunian (5 unit bangunan) yang merupakan hunian dari narasumber kunci (Pemuka Adat). Pengambilan sampel menggunakan teknik non random sampling atau menggunakan teknik sampling bertujuan (purposive sampling). Hasil dan Pembahasan

Sosial budaya pembentuk permukiman diidentifikasi berdasarkan empat aspek, yaitu riwayat terbentuknya desa (legenda/sejarah), tokoh pendiri/pelindung desa, pola ruang pada kegiatan sosial budaya, serta pola ruang yang terbentuk berdasarkan hubungan kekerabatan.

arsitektur e-Journal, Volume 5 Nomor 1, Maret 2012 16

1. Riwayat terbentuknya desa (legenda/sejarah) a. Sejarah terbentuknya masyarakat Tengger di Desa Wonokitri

Asal mula terbentuknya masyarakat Tengger di Kawasan Pegunungan Tengger, termasuk salah satunya adalah Desa Wonokitri, ditandai dengan ditemukannya Prasasti Walandhit di Desa Wonokitri, berangka tahun 851 Saka (929 M), atau sekitar abad ke-10, pada zaman pemerintahan Mpu Sindok, menyebutkan tentang keberadaan sebuah desa bernama Walandhit, yang terletak di Kawasan Pegunungan Tengger, dihuni oleh Hulun Hyang (abdi Hyang atau abdi dewata), yakni orang yang menghabiskan masa hidupnya untuk menjadi hamba Hyang Widdhi (semacam pertapa). Hefner (1992:238) menyatakan bahwa dalam sejarah Jawa, bukti epigrafis Jawa Kuno menunjukkan bahwa sudah sejak lama dataran tinggi Tengger dihuni oleh sekte agama Hindu dan Budha.

b. Sejarah terbentuknya Desa Wonokitri Riwayat terbentuknya Desa Wonokitri dijelaskan dari penanda non fisik, yaitu

sejarah terbentuknya Desa Wonokitri yang berawal dari legenda/cerita rakyat tentang pembabatan hutan untuk dijadikan sebagai permukiman dan daerah pertanian, dan penanda fisik berupa prasasti-prasasti berangka tahun yang ditemukan di Desa Wonokitri. Pada prasasti 851 tahun Saka (929 Masehi) sekitar abad ke-10, disebutkan bahwa Desa Wonokitri masih berupa hutan belantara yang lebat dan banyak ditumbuhi pohon kayu besar. Sejarah terbentuknya Desa Wonokitri juga dapat diceritakan dari falsafah adat Tengger yang berbunyi, “Jinah, jiting, jinak”.

2. Tokoh pendiri/pelindung desa Tokoh pendiri/pelindung desa yang berperan membentuk tatanan permukiman Desa

Wonokitri adalah Mbah Remboko Tunggul Payung, Alang-alang Ulung dan Endang Lo. Ketiga tokoh tersebut bagi masyarakat Tengger Desa Wonokitri dipercaya sebagai pemangku desa yang melindungi Desa Wonokitri. Mbah Remboko Tunggul Payung adalah orang yang pertama kali membuka dan membabat hutan untuk dijadikan sebagai permukiman dan daerah pertanian. Daerah kekuasaan yang dijaga oleh Mbah Remboko Tunggul Payung adalah di tengah desa, sedangkan Alang-alang Ulung dan Endang Lo menjaga bagian timur desa.

3. Pola ruang pada kegiatan kelompok masyarakat a. Kelompok Seni Reog

Kegiatan kelompok masyarakat di Desa Wonokitri terdiri dari kelompok kesenian, seperti Kelompok Seni Reog. Latihan rutin untuk para anggota Kelompok Seni Reog Singojoyo dilaksanakan setiap malam Jum’at legi dan bertempat di lapangan Balai Desa Wonokitri. Pola pergerakan yang ditimbulkan dalam kegiatan Kelompok Seni Reog dibagi menjadi dua pola pergerakan berdasarkan tahapan kegiatannya. Tahap pertama, yaitu berpola mengumpul, dari beberapa titik menuju ke satu titik, merupakan pergerakan dari tempat profan ke profan. Tahap kedua, pola pergerakan satu titik ke satu titik dan merupakan pergerakan dari tempat profan ke profan. (Gambar 1)

Tahap 2Skala RuangMakro

Tahap 1Skala RuangMeso

A

A

A

B

A

A

A

Balai Desa Wonokitri

Gambar 1. Pola tahapan kegiatan kelompok Seni Reog tahap 1-2 skala ruang meso dan makro.

arsitektur e-Journal, Volume 5 Nomor 1, Maret 2012

17

4. Pola ruang pada kegiatan mata pencaharian a. Upacara Leliwet

Ruang yang digunakan dalam Upacara Leliwet adalah di masing-masing rumah warga yang mempunyai lahan (ladang/tegalan dan pekarangan). Pola pergerakan yang ditimbulkan dalam prosesi Upacara Leliwet berdasarkan tahapan kegiatannya, yaitu tahap pertama berlangsung di pagenen yang merupakan ruang sakral. Tahap kedua, pergerakan berpola dari satu titik ke satu titik dengan pemakaian ruang pagenen-patamon, merupakan pergerakan dari tempat sakral ke sakral. Tahap ketiga, berlangsung di bagian dalam rumah dengan pola pergerakan memutar yang menggunakan ruang patamon-paturon-pagenen-pedaringan-pekayon-pelawangan secara bergantian, merupakan pergerakan dari tempat sakral-profan-sakral. Tahap keempat, berpola memutar mengelilingi empat penjuru pekarangan yang merupakan ruang profan. Tahap kelima, bentuk pergerakan adalah pola mengumpul, dari beberapa titik menuju ke satu titik, merupakan pergerakan dari tempat profan ke profan. Tahap keenam, pola pergerakan dari satu titik ke satu titik dan merupakan pergerakan dari tempat profan ke sakral. (Gambar 2 dan Gambar 3)

A

B

BC

DEF

GH

I

I

J

G

2

1

3

U

Dukun Adat membacakando’a/mantra padatetamping yang diletakkandi meja patamon

Tahap 1-4Skala Ruang Mikro

Keterangan:A : Patamon : Pelawangan utamaB : Paturon : Pelawangan butulan 1C : Pagenen : Pelawangan butulan 2D : Pakiwan A-B-C-D : Ruang utama E : Pedaringan E-F-G-H-I-J : Ruang penunjangF : Pekayon : SakralG : Padmasari : ProfanH : SigiranI : PelataranJ : Pekarangan

1

2

3

Gambar 2. Pola tahapan upacara Leliwet tahap 1-4 skala ruang mikro.

6

Tahap 5Skala RuangMeso

Tahap 6Skala RuangMakro

PertigaanJalan Ranggeh

U

6

A

A

B

Rumah warga

Ladang/tegalan

Gambar 3. Pola tahapan upacara Leliwet tahap 5-6 skala ruang meso dan makro.

arsitektur e-Journal, Volume 5 Nomor 1, Maret 2012 18

b. Upacara Pujan Pola pergerakan yang ditimbulkan dalam prosesi upacara Pujan berdasarkan

tahapan kegiatannya, antara lain tahap pertama, bertempat di pagenen yang merupakan ruang sakral. Tahap kedua, pergerakan berpola mengumpul, dari beberapa titik menuju ke satu titik, merupakan pergerakan dari tempat profan ke profan. Tahap ketiga, pola pergerakan dari satu titik ke satu titik dan merupakan pergerakan dari tempat profan ke sakral. Tahap keempat, berlangsung di pagenen rumah Pak Sanggar yang merupakan ruang sakral. Tahap kelima, berpola pergerakan dari satu titik ke satu titik dan merupakan pergerakan dari tempat sakral ke sakral. Tahap keenam, pola pergerakan dari satu titik ke satu titik dan merupakan pergerakan dari tempat sakral ke profan. (Gambar 4 dan Gambar 5)

Tahap 1Skala Ruang

Mikro

Tahap 2-3 Skala Ruang

Meso

Rumah Pak Sanggar

Pagenen

(a) (b)

Rumah warga

Gambar 4. Pola tahapan upacara Pujan tahap 1-3 skala ruang mikro dan meso.

Tahap 5Skala RuangMakro Sumber mata air

Rumah warga

Rumah Pak Sanggar

Tahap 6SkalaRuangMikro

6

5

4 5

Tahap 4SkalaRuangMikro

U

A

B

C

A

Gambar 5. Pola tahapan upacara Pujan tahap 4-6 skala ruang makro dan mikro.

c. Upacara Munggah Sigiran (Among-among/ngamongi jagung) Pola pergerakan yang ditimbulkan dalam prosesi upacara Munggah Sigiran

berdasarkan tahapan kegiatannya, yaitu tahap pertama, berlangsung di pagenen yang merupakan ruang sakral. Tahap kedua, pergerakan berpola dari satu titik ke satu titik dengan pemakaian ruang pagenen-patamon, merupakan pergerakan dari tempat sakral

arsitektur e-Journal, Volume 5 Nomor 1, Maret 2012

19

ke sakral. Tahap ketiga, pola pergerakan dari satu titik ke satu titik dan merupakan pergerakan dari tempat sakral ke sakral. (Gambar 6)

Dukun Adat menghaturkansesaji pras among kesigiran

Tahap 1-3Skala Ruang

Mikro

U Sigiran

Pagenen

Patamon

Gambar 6. Pola tahapan upacara Munggah Sigiran tahap 1-3 skala ruang mikro.

d. Upacara Wiwit Berdasarkan tahapan kegiatannya, pola pergerakan yang ditimbulkan dalam prosesi

Upacara Wiwit terdiri dari dua pola pergerakan. Tahap pertama, bentuk pergerakan adalah pola mengumpul, dari beberapa titik menuju ke satu titik, merupakan pergerakan dari tempat profan ke profan. Tahap kedua, pola pergerakan dari satu titik ke satu titik dan merupakan pergerakan dari tempat profan ke sakral. (Gambar 7)

6

Tahap 1Skala RuangMeso

Tahap 2Skala RuangMakro

PertigaanJalan Ranggeh

Ladang/tegalan

62

    1  1

    11

2

U

A

A

B

Rumah warga

Gambar 7. Pola tahapan upacara Wiwit tahap 1-2 skala ruang meso dan makro.

5. Pola ruang pada kegiatan sosial a. Membersihkan bak penampungan air umum

Pola pergerakan yang ditimbulkan dalam kegiatan membersihkan bak penampungan air umum hanya terdiri dari satu pola pergerakan, yaitu berpola

arsitektur e-Journal, Volume 5 Nomor 1, Maret 2012 20

mengumpul, dari beberapa titik menuju ke satu titik, merupakan pergerakan dari tempat profan ke profan. (Gambar 8)

1

1

Tahap 1Skala RuangMakro

U

1

1

Rumah warga

Gambar 8. Pola tahapan kegiatan membersihkan bak penampungan air umum tahap 1 skala ruang makro.

b. Membersihkan dan memperbaiki jalan desa Kegiatan membersihkan dan memperbaiki jalan desa menimbulkan pola pergerakan dari satu tahapan kegiatan yang menggunakan skala ruang makro. Pola pergerakan dalam kegiatan ini adalah mengumpul, dari beberapa titik menuju ke satu titik, merupakan pergerakan dari tempat profan ke profan. (Gambar 9 dan Gambar 10)

  11

  1 1

    1 1

Gambar 9. Peta pola tahapan kegiatan membersihkan dan memperbaiki jalan desa skala ruang makro zona A.

arsitektur e-Journal, Volume 5 Nomor 1, Maret 2012

21

  11

Gambar 10. Peta pola tahapan kegiatan membersihkan dan memperbaiki jalan desa skala ruang makro zona B.

c. Membersihkan dan memperbaiki saluran air Pola pergerakan yang ditimbulkan dalam kegiatan membersihkan dan memperbaiki

saluran air berdasarkan tahapan kegiatannya, yaitu tahap pertama, berpola mengumpul, dari beberapa titik menuju ke satu titik, merupakan pergerakan dari tempat profan ke profan. Tahap kedua, pergerakan berpola dari satu titik ke satu titik dan merupakan pergerakan dari tempat profan ke profan. Tahap ketiga, pola pergerakan dari satu titik ke satu titik dan merupakan pergerakan dari tempat profan ke sakral. (Gambar 11)

  1

  1

2

2

33

Gambar 11. Peta pola tahapan kegiatan membersihkan dan memperbaiki saluran air skala ruang meso dan makro zona A.

d. Membersihkan dan memperbaiki fasilitas ibadah Kegiatan membersihkan dan memperbaiki fasilitas ibadah terdiri dari dua tahapan

kegiatan yang menimbulkan pola pergerakan. Tahap pertama, yaitu berpola mengumpul, dari beberapa titik menuju ke satu titik, merupakan pergerakan dari tempat profan ke profan. Tahap kedua adalah pergerakan yang terjadi dari satu titik ke satu titik dan merupakan pergerakan dari tempat profan ke sakral. (Gambar 12)

arsitektur e-Journal, Volume 5 Nomor 1, Maret 2012 22

Gambar 12. Pola tahapan kegiatan membersihkan dan memperbaiki fasilitas ibadah tahap 1-2 skala ruang meso dan makro.

e. Membangun atau memperbaiki fasilitas umum

Pola pergerakan yang ditimbulkan dalam kegiatan membangun atau memperbaiki fasilitas umum adalah dari satu tahapan kegiatan yang menggunakan skala ruang makro. Pergerakan pada kegiatan ini berpola mengumpul, dari beberapa titik menuju ke satu titik, merupakan pergerakan dari tempat profan ke profan. (Gambar 13 dan Gambar 14)

    11

    1  1

    11

Gambar 13. Peta pola tahapan kegiatan membangun atau memperbaiki fasilitas umum skala ruang makro zona A.

    1  1

Gambar 14. Peta pola tahapan kegiatan membangun atau memperbaiki fasilitas umum skala ruang makro zona B.

arsitektur e-Journal, Volume 5 Nomor 1, Maret 2012

23

6. Pola ruang pada kegiatan daur hidup manusia (rites of passage) Penggunaan istilah rites of passage merujuk pada upacara ritual berkait dengan:

kelahiran, puber, perkawinan, kematian dan berbagai peristiwa krusial lain sebagai perubahan atau transisi dalam kehidupan seseorang (Norget, 2000:88).

a. Upacara Perkawinan (Praswaka Gara) (Gambar 15)   Tahap 1

1 2

Tahap 2

2 1 1 2

Pelamaran (Nakok’en)

Sacahan (Notok)

  1

2

3

3

3

2

2

2

(a) (b)

(b)(b)

  1

2

: Rumah calon pengantin pria: Rumah calon pengantin wanita

: Arah pergerakan/lintasan3 : Rumah keluarga dan tetangga

Gambar 15. Pola tahapan pelamaran (Nakok’en) dan Sacahan (Notok).

Pola pergerakan yang ditimbulkan dalam prosesi upacara perkawinan (Praswala Gara) berdasarkan tahapan kegiatannya, yaitu tahap pertama, pergerakan dari satu titik ke satu titik dan merupakan pergerakan dari tempat profan ke profan. Tahap kedua, pergerakan berpola dari satu titik ke satu titik dan berpola mengumpul, dari beberapa titik menuju ke satu titik, merupakan pergerakan dari tempat profan ke profan. Tahap ketiga, berlangsung di patamon yang merupakan ruang sakral. Tahap keempat, berlangsung di patamon rumah pengantin wanita yang merupakan ruang sakral. Tahap kelima, berlangsung di patamon yang merupakan ruang sakral dan pekarangan rumah pengantin wanita. (Gambar 16, Gambar 17, dan Gambar 18)

Tahap 4Nemoken

Ruang patamon di rumahpengantin wanita merupakantempat utamaberlangsungnya prosesiNemoken

U

Patamon

Gambar 16. Pola tahapan pasrah pengantin.

Tahap 3Pasrah

Pengantin

Prosesi PasrahPengantinmenggunakanruang patamon dirumah calonpengantin wanita

UPatamon

3

3

3

3

Gambar 17. Pola tahapan Nemoken.

arsitektur e-Journal, Volume 5 Nomor 1, Maret 2012 24

Patamon

Tahap 5Walagara

Prosesi Walagaraberlangsung di patamonrumah pengantin wanita

U

Pekarangan

55

5

5 5

5 5

Gambar 18. Pola tahapan Banten pengantin (Walagara).

b. Upacara Kehamilan (Sesayut) Prosesi upacara kehamilan (Sesayut) menimbulkan beberapa pola pergerakan

berdasarkan tahapan kegiatannya, antara lain tahap pertama, berlangsung di pagenen yang merupakan ruang sakral. Tahap kedua, pola pergerakan mengumpul, dari beberapa titik menuju ke satu titik, merupakan pergerakan dari tempat profan ke sakral. Tahap ketiga, pergerakan berpola dari satu titik ke satu titik dengan pemakaian ruang pagenen-patamon, merupakan pergerakan dari tempat sakral ke sakral. Tahap keempat, berlangsung di bagian dalam rumah dengan pola pergerakan memutar yang menggunakan ruang patamon-paturon-pagenen-pedaringan-pekayon-pelawangan secara bergantian, merupakan pergerakan dari tempat sakral-profan-sakral. (Gambar 19)

A

B

BC

DEF

GH

I

I

J

G

2

1

3

U

Peletakan pras sayut dipelawangan pada ritualUpacara Kehamilan(Sesayut)

Tahap 1-4Skala Ruang

Mikro dan Meso

Gambar 19. Pola tahapan upacara kehamilan (Sesayut) tahap 1-4 skala ruang mikro dan meso.

c. Upacara Kematian (Entas-entas) Prosesi upacara ini dibagi menjadi beberapa tahapan kegiatan, yaitu pembuatan

petra (pitara), Mernidri dan Nglukat yang menimbulkan pola pergerakan. Tahap pertama, bertempat di pekarangan rumah Pak Sepuh yang merupakan ruang sakral. Tahap kedua,

arsitektur e-Journal, Volume 5 Nomor 1, Maret 2012

25

pergerakan berpola dari satu titik ke satu titik dan merupakan pergerakan dari tempat sakral ke sakral. Tahap ketiga, berlangsung di pagenen yang merupakan ruang sakral. Tahap keempat, pola pergerakan dari satu titik ke satu titik dengan pemakaian ruang pagenen-patamon, merupakan pergerakan dari tempat sakral ke sakral. Tahap kelima, bentuk pergerakan berpola mengumpul, dari beberapa titik menuju ke satu titik, merupakan pergerakan dari tempat profan ke profan. Tahap keenam, berpola pergerakan dari satu titik ke satu titik dan merupakan pergerakan dari tempat profan ke sakral. (Gambar 20, Gambar 21, dan Gambar 22)

Tahap 1

Pembuatan Petra(Pitara)

Rumah Pak Sepuh

Pekarangan

(a) (b)

2

U

Rumahwarga

Tahap 2

2

Gambar 20. Pola tahapan upacara kematian (Entas-entas) tahap 1-2 skala ruang mikro.

Tempat utamayang menjaditempatberlangsungnyaMernidri dalamritual UpacaraKematian (Entas-entas) adalahpada ruangpatamon

Tahap 3-4Mernidri

U

Pagenen

Patamon

3

4

4

Gambar 21. Pola tahapan upacara kematian (Entas-entas) tahap 3-4 skala ruang mikro.

arsitektur e-Journal, Volume 5 Nomor 1, Maret 2012 26

Gambar 22. Pola tahapan upacara kematian (Entas-entas) tahap 5-6’ skala ruang meso dan makro.

7. Pola ruang pada kegiatan religi dan budaya

a. Upacara Galungan Upacara Galungan adalah salah satu bentuk upacara religi yang dilaksanakan oleh

masyarakat Tengger Desa Wonokitri. Prosesi upacara Galungan menimbulkan pola pergerakan, yaitu tahap pertama, bertempat di pagenen yang merupakan ruang sakral. Tahap kedua, pergerakan berpola mengumpul, dari beberapa titik menuju ke satu titik, merupakan pergerakan dari tempat profan ke profan. Tahap ketiga, pola pergerakan dari satu titik ke satu titik dan merupakan pergerakan dari tempat profan ke sakral. (Gambar 23)

Tahap 1Skala Ruang Mikro

Pagenen

(a)

U

Tahap 2SkalaRuangMeso(b)

Pura

3

Tahap 3SkalaRuangMakro

Rumah warga

Rumah warga

A

A

B

A

A2

2

Gambar 23. Pola tahapan upacara Galungan tahap 1-3 skala ruang mikro, meso dan makro.

arsitektur e-Journal, Volume 5 Nomor 1, Maret 2012

27

b. Upacara Hari Raya Karo (Satya Yoga/Satya Setuhu) Upacara Hari Raya Karo adalah upacara adat terbesar kedua setelah upacara Hari

Raya Kasada. Pelaksanaannya setiap setahun sekali pada bulan puso atau karo berdasarkan kalender Tengger. Pola pergerakan yang ditimbulkan dalam prosesi Upacara Hari Raya Karo antara lain tahap pertama, bentuk pergerakan berpola mengumpul, dari beberapa titik menuju ke satu titik, merupakan pergerakan dari tempat profan ke profan. Tahap kedua, bertempat di Balai Desa Wonokitri yang merupakan ruang profan. Tahap ketiga, pola pergerakan mengumpul, dari beberapa titik menuju ke satu titik, merupakan pergerakan dari tempat profan ke profan. Tahap keempat, berlangsung di pagenen yang merupakan ruang sakral. Tahap kelima, keenam dan ketujuh, pergerakan berpola mengumpul, dari beberapa titik menuju ke satu titik, merupakan pergerakan dari tempat profan-profan, profan-sakral, profan-profan. Tahap kedelapan, pergerakan berpola dari satu titik ke satu titik dan merupakan pergerakan dari tempat profan ke sakral. (Gambar 24, Gambar 25, Gambar 26, Gambar 27, dan Gambar 28)

1

3

1

13

32

Tahap 1-3SkalaRuangMakro

Balai Desa Wonokitri

A

A

AB

A

AA

U

Rumah warga

Rumah warga

U

Gambar 24. Pola tahapan upacara Hari Raya Karo tahap 1-3 skala ruang makro.

Prepeganberlangsung dipagenen yangtermasuk skala ruangmikro

Tahap 4SkalaRuangMikro

U

Pagenen

4

Gambar 25. Pola tahapan upacara Hari Raya Karo tahap 4 skala ruang mikro.

arsitektur e-Journal, Volume 5 Nomor 1, Maret 2012 28

5

5

5Tahap 5SkalaRuangMakro

Balai Desa Wonokitri

A

A

AB

A

AA

U

Rumah warga

Rumah warga

Gambar 26. Pola tahapan upacara Hari Raya Karo tahap 5 skala ruang makro.

6

6

Tahap 6SkalaRuangMakro

Makamkeramat

A

B

A

U

Gambar 27. Pola tahapan upacara Hari Raya Karo tahap 6 skala ruang makro.

arsitektur e-Journal, Volume 5 Nomor 1, Maret 2012

29

Gambar 28. Pola tahapan upacara Hari Raya Karo tahap 7-8 skala ruang meso dan makro.

8. Pola ruang yang terbentuk berdasarkan hubungan kekerabatan Masyarakat Tengger Desa Wonokitri menganut sistem sistem utralokal, yaitu

kebebasan memilih tempat tinggal untuk menetap sesudah menikah. Terkait dengan penentuan letak pembangunan rumah anak yang sudah berkeluarga, terdapat aturan adat khusus berdasarkan kepercayaan dan tradisi masyarakat Tengger yang berlaku di Desa Wonokitri, yaitu rumah anak yang sudah berkeluarga tidak boleh dibangun di samping kiri dan di depan rumah orang tuanya. Aturan adat pola letak pembangunan rumah anak yang sudah berkeluarga yang diterapkan di Desa Wonokitri, yaitu serumah dengan orang tua, dibangun di samping kanan rumah orang tua, di belakang rumah orang tua dan rumah anak pertama dibangun di samping kanan rumah orang tua, sedangkan rumah anak kedua dan seterusnya dibangun di belakang rumah orang tua. (Gambar 29 dan Gambar 30)

Gambar 29. Diagram family tree lokasi hunian pola 2 rumah memanjang ke kanan.

arsitektur e-Journal, Volume 5 Nomor 1, Maret 2012 30

Gambar 30. Diagram family tree lokasi hunian pola 3 rumah memanjang ke belakang. Kesimpulan

Keterkaitan antara sistem aktivitas dengan ruang sebagai tempat pelaksanaannya membentuk pola pergerakan (lintasan) dan hierarki ruang tertentu di dalam permukiman masyarakat Tengger Desa Wonokitri yang sangat dipengaruhi oleh pola tahapan, pola pergerakan dan penggunaan ruang pada tiap-tiap kegiatan. Penggunaan ruang dalam pelaksanaan kegiatan sosial budaya menunjukkan terbentuknya ruang budaya (cultural space) dan ruang ritual (ritual space) di dalam permukiman masyarakat Tengger Desa Wonokitri. Hubungan antar ruang mikro, meso dan makro dapat menunjukkan hierarki ruang sakral-profan dari tiap-tiap ruang. Ditinjau dari tingkat kepentingan ruang ritual (ritual space), pura, padhanyangan, makam keramat merupakan ruang sakral yang utama dan mempunyai peranan penting dalam pelaksanaan kegiatan sosial budaya di Desa Wonokitri. Pola pergerakan yang terbentuk dari pelaksanaan kegiatan sosial budaya menggambarkan pergerakan secara hierarkis, yakni pergerakan dari tempat sakral ke profan ataupun sebaliknya. Terdapat kesamaan dalam pola tahapan kegiatan, pola pergerakan dan penggunaan ruang pada beberapa kegiatan, terutama kegiatan yang terkait dengan ritual. Pemuka Agama, Pemuka Adat dan tokoh-tokoh Desa Wonokitri merupakan tokoh kunci yang mempunyai peranan penting dalam pelaksanaan kegiatan sosial budaya yang terkait ritual dan ruang yang digunakan, yaitu sebagai pemimpin prosesi ritual dan pengendali pelaksanaan.

Saran

Berdasarkan hasil studi saran yang dapat dijadikan sebagai bahan masukan dan pertimbangan, yaitu perlunya dilakukan kajian identifikasi, dokumentasi secara mendetail terhadap aspek kelestarian budaya yang ada di Desa Wonokitri. Terkait dengan budaya lokal masyarakat Tengger, terutama pada skala makro (desa) dan mikro (unit hunian masyarakat). Hal ini perlu dilakukan agar didapatkan hasil yang lebih spesifik dalam penataan kawasan permukiman. Khususnya pola ruang yang dapat digunakan untuk merumuskan konsep arahan pelestarian dan mempertahankan pola tata ruang permukiman tradisional di Desa Wonokitri. Daftar Pustaka Hefner, N. J. S. 1992. Pembaron: An East Javanese Rite of Priestly Rebirth. Jurnal of

Southeast Asian Studies. 23 (2):238. Norget, K. 2000. Religion and Culture: An Anthropological Focus. Ed. by R. Scupin. New

Jersey: Prentice-Hall. Nuraini, C. 2004. Permukiman Suku Batak Mandailing. Yogyakarta: Gajah Mada

University Press.

arsitektur e-Journal, Volume 5 Nomor 1, Maret 2012

31

Sasongko, I. 2005. Ruang Ritual dalam Permukiman Sasak: Studi Kasus Desa Puyung Lombok Tengah. Jurnal Plannit. 3 (2):88-99.

Wikantiyoso, R. 1997. Konsep Pengembangan: Transformasi Pola Tata Ruang Tradisional Studi Kasus: Permukiman Tradisional Jawa di Kotagede Yogyakarta-Indonesia. Science. 37:25-33.

© Antariksa 2012