INSITUT KEGLTRUAN DAI{ ILMU PBI{I}II)IKAN

97
INSITUT KEGLTRUAN DAI{ ILMU PBI{I}II)IKAN (IKIP) PGRI BALI LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABI}IAN MASYARAKAT (LPPM) Alamat : .Ialan Seroja, Tonja, Denpasar TelplFax. A361431434 PERJANJIAN KON TRAK PENTLr,IIAN Nomor : 72lIY ILPPWIKIP PGRY2020 Sebagai tindak laqfut dari penandatanganan kontrak peaehtian tahun anggaran 2020 antara LLDIKTI Wilayah VIII dengan IKIP PGRI Bali, tanggal 30 Maret 2020 Nomor rc64LL8lPG/Iil\{/2020 tentang Pelaksanaan Penelitian Dasar Usulan Baru, dipandang perlu dibuat perjanjian kontrak penelitian antara Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat IKIP PGRI Bali dengan ketua tim peneliti, seperti berikut ini. Yang benanda tangan di bawah ini: 1. Dr. I Made Darma-da, NIP. 196512121991031004, selaku Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, IKIP PGRI Bali; selanjutnya disebut PIHAK PERTAMA. 2. Dr.Nengah Arnawa, M.Hum. NIP. 196512241990031001, selaku ketua tim peneliti; selanjutnya disebut PIHAK KEDUA. Menyatakan bersepakat membuat perjanjian kontrak penelitian sebagai berikut. Pasal 1 Judul Penelitian Sesuai usulan penelitian yang diajukan melalui Simlitabmas serta telah mendapat persetujuan pendanaan dari DRPM, PIHAK PERTAMA menugaskan PIHAK KEDUA untuk melaksanakan penelitian dasar yang berjudul PEMETAAN GERAKAN LITERASI PADA SEKOLAH LUAR BIASA DI PROVINSI BAII. Pasal2 Personalia Penelitian Susunan personalia penelitian tersebut, sebagai benkut. Ketua : Dr.Nengah Arnawa, M.Hum. Anggota : Dr. Anak Agung Gede Alit Geria, M.Si. Drs. I Gusti Lanang Rai Arsana, M.Pd. Pasal3 Waktu dan Biaya Penelitian 1. Waktu pelaksanaan penelitian selama 7 bulan, sejak 1 April - 15 November 2A20. 2. Biaya penelitian sebesarRp 108.170.000,00 (Terbilang: seratus delapan juta seratus tujuh puluh ribu rupiah), yang bersumber dari DIPA DRPM nomor SP-DIPA- A42.A6.14A151612019 tanggal 12 November 2019 dan SP2H Nomor: 1 88/SP2HiLTIDRPMD020 dan 1064 1LLS 1PGIKI\,{/?020 3. Pencairan biaya penelitian dilakukan dalam 2 tahap. Tahap pertama dibayarkan sebesar 70% setelah penandatanganan kontrak. Tahap kedua dibayarkan sebesar 30% setelah laporan kemajuantahun pertama.

Transcript of INSITUT KEGLTRUAN DAI{ ILMU PBI{I}II)IKAN

INSITUT KEGLTRUAN DAI{ ILMU PBI{I}II)IKAN(IKIP) PGRI BALI

LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABI}IAN MASYARAKAT (LPPM)Alamat : .Ialan Seroja, Tonja, Denpasar TelplFax. A361431434

PERJANJIAN KON TRAK PENTLr,IIANNomor : 72lIY ILPPWIKIP PGRY2020

Sebagai tindak laqfut dari penandatanganan kontrak peaehtian tahun anggaran 2020antara LLDIKTI Wilayah VIII dengan IKIP PGRI Bali, tanggal 30 Maret 2020 Nomorrc64LL8lPG/Iil\{/2020 tentang Pelaksanaan Penelitian Dasar Usulan Baru, dipandangperlu dibuat perjanjian kontrak penelitian antara Lembaga Penelitian dan PengabdianMasyarakat IKIP PGRI Bali dengan ketua tim peneliti, seperti berikut ini.

Yang benanda tangan di bawah ini:

1. Dr. I Made Darma-da, NIP. 196512121991031004, selaku Ketua LembagaPenelitian dan Pengabdian Masyarakat, IKIP PGRI Bali; selanjutnya disebutPIHAK PERTAMA.

2. Dr.Nengah Arnawa, M.Hum. NIP. 196512241990031001, selaku ketua timpeneliti; selanjutnya disebut PIHAK KEDUA.

Menyatakan bersepakat membuat perjanjian kontrak penelitian sebagai berikut.

Pasal 1

Judul Penelitian

Sesuai usulan penelitian yang diajukan melalui Simlitabmas serta telah mendapatpersetujuan pendanaan dari DRPM, PIHAK PERTAMA menugaskan PIHAK KEDUAuntuk melaksanakan penelitian dasar yang berjudul PEMETAAN GERAKANLITERASI PADA SEKOLAH LUAR BIASA DI PROVINSI BAII.

Pasal2Personalia Penelitian

Susunan personalia penelitian tersebut, sebagai benkut.Ketua : Dr.Nengah Arnawa, M.Hum.Anggota : Dr. Anak Agung Gede Alit Geria, M.Si.

Drs. I Gusti Lanang Rai Arsana, M.Pd.

Pasal3Waktu dan Biaya Penelitian

1. Waktu pelaksanaan penelitian selama 7 bulan, sejak 1 April - 15 November 2A20.2. Biaya penelitian sebesarRp 108.170.000,00 (Terbilang: seratus delapan juta seratus

tujuh puluh ribu rupiah), yang bersumber dari DIPA DRPM nomor SP-DIPA-A42.A6.14A151612019 tanggal 12 November 2019 dan SP2H Nomor:1 88/SP2HiLTIDRPMD020 dan 1064 1LLS 1PGIKI\,{/?020

3. Pencairan biaya penelitian dilakukan dalam 2 tahap. Tahap pertama dibayarkansebesar 70% setelah penandatanganan kontrak. Tahap kedua dibayarkan sebesar30% setelah laporan kemajuantahun pertama.

Pasal4Keaslian Penelitian dan Tidak Terikat pada Pihak Lain

1. PIIIAK KEDUA bertanggaung jawab atas keaslian hasil penelitian ini.2. PIHAK KEDUA menjamin bahwa penelitian ini tidak terikat dengan instansi lain.3. Apabila ditemukan planggaran atas pasal mr, PIHAK KEDUA wajib

mengembalikan dana yang telah diterima.

Pasal 5

Monitoring Penelitian

1. PIHAK PERTAMA berhak untuk:a. Melakukan pengawasan administrasi, monitoring, daa evalu,asi pelaksanaan

penelitian.b. Memberikan sanksi jika dalam pelaksanaan penelitian te{adi pelanggaran

perj anjian oleh PIF{AK KEDUAc. Bentuk sanksi disesuaikan dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan

2. Pemantuan kemajuan penelitian dilakukan olsh PIHAK PERTAMA bersamareviewer yang ditetapkan oleh PIHAK PERTAMA

3. PIHAK KEDUA wajib meilbuat dan menyampaikan laporan kemajuan ataspelaksanaan penelitiannya

4. Pengumpulan laporan kemajuan paling lambat tanggal 16 November 2A20 (sesuaikontrak arrtara LLDIKTI Wilayah VIil dengan IKIP PGRI Bali No.1064,&L8/PGlKIvIi-2020)

5. Format laporan kemajuan penelitian mengikuti template yang tercantum padaSimlitabmas.

Pasal6Kekayaan Intelekiual

1. Hak kekayaan inteleklual yang dihasilkan dari penelitian ini diatur dan dikelolasesuai peraturan dan perundang-undangan.

2. Setiap publikasi lauaran penelitian rni *ajib mencatumkan DRPM sebagai pemberidana.

Pasal TAmandemen Kontrak

Apabila ada hal lain yang belum diatur dan/atau terjadi perubahan atas perjanjiankontrak penelitian ini, maka akan dilakukan amandsmen kontrak penelitian.

Pasal 8

Sanksi

1. Apabila sarnpai batas waktu yang telah ditetapkan, PIHAK KEDUA tidakmelaksanakan kewajiban penelitiannya, maka kepadanya dikenakan sanksiadministratif.

2. Sanksi administratif yang dimaksud adalah penghentian pembayaran dan tidakdapat mengajukan usulan penelitian selama dua tahun berturut-turut.

Pasal 9Penutup

Surat perjanjian kontrak penelitian ini dibuat rangkap tiga bermeterai cukup sesuai

dengan ketentuan yang berlaku; dan biaya meterai dibebankan kepada PIIIAKKEDUA.

Denpasar, 15 April2020

PIHAK PERTAMAKetua LPPM IKIP PGRI Bali,

PIHAK KEDUAKetua Tim Peneliti,

Dr. Nengah Arnaw4 M.Hum.NrP. 1965 1224199003 1001

RIST€K.tsFIIN

KEMENTERIAN RIStrT DAN TEKNOLOGII BADAN RISETDAN INOVASI NASIONAL

DEPUTI BIDANG PE]TGUATAI{ RISET DAN PEhIGEMBANGANJalan M.H. Thamrin Nomor 8, Jakarta 10340, Gedung iI BPPT Lantai T9 -20

Telepon: (021) 3169707; Faksimile: (021) 3707728,3102368Laman: www.risbane.ristekdikti. go.id

NomorLarnpiran

Hal

: B/87/E3/RA.00|2A20 28 Januari 2020: 4 (Empat) Berkas

: Pengumuman Penerima Pendanaan Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakatdi Pergunran Thg$ Tahun Anggaran 2020

Yth. l. Rektor/ Direl-turi Ketua Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta2. Kepala Lembaga LayananPendidikan Titrgg, Wilayah I #d XIY

Berdasarkan Keputusan Kuasa Pengguna Anggaran Deputi Bidang Penguatan Riset danPengembangan Kementerian Riset dan Teknologil Badan Riset dan Inovasi Nasional NomorTlElf;(PTl 2A20 hnggal 24 Januari 2CI20 tentang Penetapan Pendanaan Pengabdian kepadaMasyarakat Tahun Anggaran 2020, Keputusan Kuasa Pengguna Anggaran Deputi Bidang PenguatanRiset dan Pengembangan Kementerian Riset dan Teknologil Badan Riset dan Inovasi NasionalNomor SlEllKPT/ 2A20 langgal 24 Januari 2020 tentang Penetapan Pendanaan Penelitian diPerguman Tingg;i Tahun Anggaran 2A20, dan Keputusan Kuasa Penggrrna Anggaran Deputi BidangPenguatan Riset dan Pengembangan Kementerian Riset dan Teknologi/ Badan Riset dan lnovasiNasional Nomor giElli(PT/ 2020 tanggal 24 Januari 2020 tentang Penetapan Hasil ReviewPendanaan Penelitian Tahun Anggaran 2A20, bersama ini kami sampaikan daftar nama penerimapendanaan Penelitian dan Pengabdim Kepada Masyarakat tahun anggaran 2020 sebagai berikut:

1. Penerima Pendanaan Penelitian di Perguruan Thggi Non-PTNBH Usulan Tahun 2019(Larnpiran 1)

2. Penelitian Kontrak Tahun Jamak Z919-2021yang dilanjutkan pendanaailnya (Lampiran 2)3. PenerimaPeudanaan Pengabdian KepadaMasyarakat (Lampiran 3)

Kami informasikan bahwa penerima pendanaan Penelitian dan Pengabdian Kepada MasymakatTahun Anggaran 2020 adalah pengusul yang proposalnya dinyatakan lolos seleksi, dan yangbersangkutan atau institirsi telah memenuhi kewajiban sebagai berikut:

1. Mengunggah laporan kernajuan sampai dengan tahun ZAW;2. Mengrnggah laporan akhir sampai dengan tahun 2019;3. Melaksanakan seluruh tahapan seleksi sebagaimana disebutkan dalam Panduan Pelaksanaan

Penelitian dan PengabdianMasyarakatPerguruan Tinggi Edisi XlI Revisi Tahun 2019 unhrkskema penelitian desentralisasi bagi Perguruan Tinggi klaster Mandiri, Utarna, dan Madyasesuai dengan hasil klasterisasi tahun 2A19;

4. Melaksanakan Monitoring dan Evaluasi penelitian secara daring sebagaimana surat DirekturDRPM dengan Nomor B 1969 lE3 .l/RA.06/20 1 9;

5. Mengunggah bsrkas kelengkapan seminar hasil bagi pelaksana Pengabdian kepadaMasyarakat sampai dengan tahun 2019;

6. Tidak sedang dalam status tugas belajar baik unttrk ketua mauplm anggot4 kecuali arggotapada skema Penelitian Pascasarj ana;

Pendanaan peneiitian diberikan dengan menperhatikan kuota berdasarkan h-index peneliti,kecuali unflik skema Penelitian Pascasarjana yang tidak dihitung sebagai kuota;Hanya menjadi ketua di satu judul Pengabdian kepada Masyarakat, untuk pendanaan

Pengabdian kepada Masyarakat tahun yang baru.

Adapun penelitian Penelitian Kontrak Tahrm Jamak 2019-2A21 yang dilanjutkan pendanaannya

merupakan penelitian yang telah dinyatakan layak berdasalkan hasil monitoring dan evaluasi pada

tahun 2019.

Apabila ada penerima pendanaan Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat sebagaimana

tercantum pada lampiran ternyata tidak memenuhi salah satu dari ketentuan di atas, atau pelanggaran

terhadap ketentuan Panduan Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Edisi XII Revisi Tahun

20 I 9 maka pendanaannya dapat ditinjau kembali.

Berkenaan dengan hal tersebut, DRPM mengucapkan selamat kepada penerima pendanaan penelitian

dan pengabdian kepada masyarakat tahun anggaran 2020. DRPM rnengucapkan terimakasih kepadapengusul yang telah berpartisipasi, bagi pengusul yang belum mendapatkan pendanaa:r tahun iuidapat mengusulkan proposal penelitian dan pengabdian kepada masyarakat untuk pendanaan tahun2021. Selanjutnya, kami mohon bantuan Bapakllbu untuk menyampaikan infonnasi di atas kepada

nama-nama yang tercannrm pada lampiran di Perguruan Tinggi masing-masing.

Perlu kami sampaikan bahwa mekanisme penyaluran dana akan dilalcukan melalui kontrak. Berkaitandengan hal ini, perlu kaini sampaikan beberapa hal sebagai berikut:

1. Unhrk penelitian, diterapkan kontrak tahun tunggal dan kontrak tahun jarnak. Kontrak tahun

tunggal digunakan untuk kontrak penelitian yang pendan,umnya hanya I (satu) tahun,

adapun kontrak tahun jamak digunakan untuk kontrak penelitian yang pendanaannya lebihdari 1 (satu) tahun.

Kontrak dilakukan secara berjenjang. Untuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN), kontrakdilakukan antara DRPM dengan Ketua LP/LPPIWLPM/Direktur Politeknik, adapun untukPerguruan Tinggi Swasta kontrak dilakukan melalui Kepala Lembaga Layanan PendidikanTinggi (LLDIKTD masing - masing wilayah.Pencairan dana penelitian dilakukar dengan 2 (dua) cara yaitu secara sekaligus dan secara

bertahap;

Untuk Pengabdian kepada Masyarakat di tetapkan kontrak tahun tunggal bagi semua skemadan pencairannya dilaksanakan dalam 2 (dua) tahap.

Para penerima pendanaan Penelitian akan diminta untuk mengunggah perbaikan proposal

dan RAB sesuai dengan dana yang diterima. Informasi lebih rinci terkait pengrrnggahan

perbaikan proposal akan disampaikan kemudian.

Hal-hal lain yang terkait dengan penandatanganan kontrak, pencairan dana dan pelaksanaan

penelitian dan pengabdian kepada masyarakat akan diinforrnasikan lebih lanjut melaluilaman: http:i/simlibtamas.ristekdikti.go.id.

8.

2.

a-).

4,

5.

6,

Berkaitan dengan data yang diperlukan untuk penandatanganan kontrak, bersama ini kami kirimkanDaftar Isian (Lampiran 4). Kami mohon Daftar Isian tersebut dapat diisi dan segera dikirim melaluiemail ke alamat [email protected], untuk Penelitian CC ke alamat email

[email protected] dengan subjek Data Kontrak Penelitian dan untuk Pengabdian Masyarakat

CC ke alamat email ppm,[email protected] dengan subjek Data Kontrak Pengabdiau,paling lambat tanggal 10 Februari 2020. Untuk PTS tidak perlu mengirimkan daftar isian karena

Kontrak akan dilakukan dengan LLDIKTI Wilayah masing -masing.

Demikian kami sampaikan, atas perhatian dan kerjasarna Bapak/Ibu kami ucapkan terima kasih.

Tembusan:

Deputi Bidang Penguatan Riset dan Pengembangan;

Direktur Riset dan Pengabdian

Masyarakat,

TTD

Ocky Karna Radjasa

NrP 19651029199003 100 I

azF.i rl< ;-lrlA 'D

e6-.c:

d".o .o

5

.,6ad5

FE.c

p

-.o

7

<tr =c("1*5hrilrH-

E

JFF

F?ZDil<E'A29<zt,\zOFz 4.*1 H

F+<xrr) F

?PBl1?->)-5s?aiEgr Ll ltr!u-.j

a-lOuA11

0)t^r-o&gE lri

|J3<t,17 anc,

^-icndr :J t!EEE<oJ!,<s:

5 d?^"p.i;IA

troliGd>

Fir.

v) .)c4u44^pt^.c-<=iEtr^

\ v i/HHAE'Hv!*^)iltE*r^

H&E^

i,,-=E>Ze'*){3-5<u>YF.u2 <vzi\7zHHV<.JJ\./v<;:6

4.JVAr:<ZE}83ZnrA*,q.li:aAOP-Z<;I'T;iFF-:*?f,;l<ft^/!-H?Q>tr1H.-riA!Av H:r H -z, ./- * .) *,i-\ i-i t, t 4

PiA[ncr0q

Fl

U)

V)

?r.1

l)a

i2

<!' H.-jtA4

:=.AZz<<Fi;4

tr

5!i-)

oa

sJ.

5EAr, G

.ca+O

c).*mll,i\

6

50

16

n)r3)

Mo,

-o

LI

Lf) \-

cc;-Cddd

F

Fl

EJa

3AadJJ4trtriF-4AFl zzl:a*t! .iZr;

FiHF.l p<

z\E]Di!. J

*rn

>HOtd^!!

-rhc.ov.:

'=lFl

;oi3*JL,]':vF

01 tr!

:l <A*;Hh/i#=Eo g:;

^- gXVPdrut'oEEHF^i=

:-J--: d o-ti*rd!EOdU

2fr1<22Ir?H?=F.ln25?5IFdS-IIj;>F=--] 1\r'trd<*2atr. -/ *rra*&\)4"l)zP.

*<-d5?s,:>-:1 A?n(,14<^Ad*1o-i llil.>

ild.*cB

I5#=^d

(dla0'a a,.nzt E

>*\'J>

0uHsu l:<-r, <rnP o

v& E

=u-bo_E;o i)'::F-iiF

d

oL{)

{)

EO

!

H

dJ

oi3

LJ

e)nl

cf,

I(JA

pr(J

=o\J;

6o{jl.taAEF-

tuth-Eo:E(s(6Q

;h

; EN'?h

4;\j

zZ

rr00ostC'

O..l00al

aa

oooo

elco

oa

O(:)C'O

(:frqo

()alco- to

O

a.l

=la.lC)

()

co

c4O

co

anco

cco0060Omr.:looC)

Uc.rcoO

*t-O06O

;rz

/t4

5?F<a5ldgA5D2ook-zr-n

H

Eifr

)4F*1 F

a**Ln

?')7-l F4<t] i4

zue<z- Lr)

E'H<p<4Ai<=>>7_

IJ.]

*tL\,;zU<p>

z?+

zHz

z

F<Utr7<>7/<7nF;74"l.t:d

za;)aH

<+<04

>2*(,=d252[-v-\a7ti;ir<YiB

<Ev,r- razq(t)

?<2a-oz2

D

#

=zFJi-

=ilZ<

*rI]

a

q.)

6

{)6J

o

=a()o

qla

L.l

d

()()

tra)

d

o=()dJ

{J

a

q3

(Ll 0

:-o{J

t-t

o()tri

o 4.)ga

'E cc

a)0)F" Fr

nl

u'Fo {,)

o

=J{.)6J

tsP

o

,lJ t)

ra

FFU1z

-z.

i4

&(,

M

R

U

H

r+

ro

6 Eg

M

dH

G

!

*U

jJt

ca

&

E

'oC0o(B

-d46FO

= -)a

eY

EA

onQh0fdVE+d3?tso

a-yb 'L)

52

tr

oc00dw=

-d=?HO

#:

I2

G*

oE0\/ -tJBd

tso

i;oi2

(td<Fd

Od

:o

€S

!:

<>

-\7z2FA:l

*tF<E{5

rFlFiFH>

F<l-1 li/F,l-F1 >

F-i <f'i/ '- -X.rI:r-.,1 \ r'J>

F<Lt:.i=

F<=.c.n{>.rs

+Fr<

E{F-.1F

F<E1>-1 F-t

F<ll:rzFll

Fi<

t-.1 -- rz.1F'P>

F

F<E<FJ>

|l

F<E<i:r !i=

F<=df;I-j ar'r-J >

Zt-rf,t'-

r*mN

|.,fritr*

ot)trrF-

t'"mtr-

c6

r-00

F..

c.I

r-

aFleo

t*-

smr-

@fn|.-

c€

a--

Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Direktorat Jenderal Riset dan Pengembangan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Gedung BPPT II Lantai 19, Jl. MH. Thamrin No. 8 Jakarta Pusat http://simlitabmas.ristekdikti.go.id/

PROTEKSI ISI LAPORAN KEMAJUAN PENELITIAN Dilarang menyalin, menyimpan, memperbanyak sebagian atau seluruh isi laporan ini dalam bentuk apapun

kecuali oleh peneliti dan pengelola administrasi penelitian

LAPORAN KEMAJUAN PENELITIAN MULTI TAHUN

ID Proposal: 0636980f-4bdd-45c1-9fe5-e3cf984922b5Laporan Kemajuan Penelitian: tahun ke-1 dari 3 tahun

 1. IDENTITAS PENELITIAN

  A. JUDUL PENELITIAN

PEMETAAN GERAKAN LITERASI PADA SEKOLAH LUAR BIASA DI PROVINSI BALI

   B. BIDANG, TEMA, TOPIK, DAN RUMPUN BIDANG ILMU

Bidang Fokus RIRN / Bidang Unggulan Perguruan Tinggi

Tema Topik (jika ada)Rumpun Bidang

Ilmu

Sosial Humaniora, Seni Budaya, Pendidikan Desk Study Dalam Negeri

PendidikanHasil pendidikan dan pembentukan karakter bangsa

Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah

   C. KATEGORI, SKEMA, SBK, TARGET TKT DAN LAMA PENELITIAN

Kategori (Kompetitif Nasional/

Desentralisasi/ Penugasan)

Skema Penelitian

Strata (Dasar/ Terapan/

Pengembangan)

SBK (Dasar, Terapan,

Pengembangan)

Target Akhir TKT

Lama Penelitian (Tahun)

Penelitian Kompetitif Nasional

Penelitian Dasar

SBK Riset Dasar SBK Riset Dasar 3 3

 2. IDENTITAS PENGUSUL

Nama, PeranPerguruan

Tinggi/ Institusi

Program Studi/ Bagian

Bidang Tugas ID Sinta H-Index

NENGAH ARNAWA

Ketua Pengusul

Universitas Mahadewa Indonesia

Pendidikan Bahasa

Indonesia Dan Daerah

5984421 0

Dr. Drs ANAK AGUNG GDE

ALIT GERIA M.Si

Anggota Pengusul 1

IKIP PGRI Bali

Pendidikan Bahasa

Indonesia Dan Daerah

Ikut mendesain, melaksanakan, dan mengevaluasi setiap tahap penelitian

6184316 0

Drs I GUSTI LANANG RAI

ARSANA M.Pd

Anggota Pengusul 2

IKIP PGRI BaliBimbingan Dan

Konseling

Ikut mendesain, melaksanakan, dan mengevaluasi setiap tahap penelitian

6169205 0

 3. MITRA KERJASAMA PENELITIAN (JIKA ADA)

Pelaksanaan penelitian dapat melibatkan mitra kerjasama, yaitu mitra kerjasama dalam melaksanakan penelitian, mitra sebagai calon pengguna hasil penelitian, atau mitra investor

Mitra Nama Mitra

 4. LUARAN DAN TARGET CAPAIAN

Luaran Wajib

Tahun Luaran

Jenis Luaran

Status target capaian (accepted, published, terdaftar

atau granted, atau status lainnya)

Keterangan (url dan nama jurnal, penerbit, url paten,

keterangan sejenis lainnya)

  1  Artikel di Jurnal Internasional Terindeks di Pengindeks Bereputasi

  Accepted  Journal of Langauage Teaching and Research

Luaran Tambahan

Tahun Luaran

Jenis LuaranStatus target capaian (accepted, published, terdaftar atau granted,

atau status lainnya)

Keterangan (url dan nama jurnal, penerbit, url paten, keterangan

sejenis lainnya)

  1

  Artikel di Jurnal Nasional terakreditasi peringkat 1-3

  Accepted   Aksara

5. ANGGARAN

Rencana anggaran biaya penelitian mengacu pada PMK yang berlaku dengan besaran minimum dan maksimum sebagaimana diatur pada buku Panduan Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Edisi 12.

Total RAB 3 Tahun Rp. 338,875,000

Tahun 1 Total Rp. 108,170,000

Jenis Pembelanjaan Item Satuan Vol.Biaya

SatuanTotal

Analisis Data Biaya analisis sampel Unit 1 500,000 500,000

Analisis Data Honorarium narasumber OJ 9 400,000 3,600,000

Analisis DataHR Sekretariat/Administrasi Peneliti

OB 10 200,000 2,000,000

Analisis Data HR Pengolah DataP (penelitian)

10 300,000 3,000,000

Analisis Data Uang Harian OH 12 400,000 4,800,000

Analisis Data Transport Lokal OK (kali) 12 150,000 1,800,000

Analisis Data Biaya konsumsi rapat OH 12 50,000 600,000

Bahan ATK Paket 3 210,000 630,000

BahanBahan Penelitian (Habis Pakai)

Unit 13 580,000 7,540,000

Pelaporan, Luaran Wajib, dan Luaran Tambahan

Biaya seminar nasional Paket 1 1,500,000 1,500,000

Pelaporan, Luaran Wajib, dan Luaran Tambahan

Biaya Publikasi artikel di Jurnal Nasional

Paket 1 1,500,000 1,500,000

Pelaporan, Luaran Wajib, dan Luaran Tambahan

Publikasi artikel di Jurnal Internasional

Paket 1 5,000,000 5,000,000

Jenis Pembelanjaan Item Satuan Vol.Biaya

SatuanTotal

Pengumpulan Data FGD persiapan penelitian Paket 1 3,700,000 3,700,000

Pengumpulan Data Tiket OK (kali) 2 2,000,000 4,000,000

Pengumpulan Data Penginapan OH 3 500,000 1,500,000

Pengumpulan DataUang harian rapat di dalam kantor

OH 15 300,000 4,500,000

Pengumpulan Data HR Pembantu Peneliti OJ 20 300,000 6,000,000

Pengumpulan Data HR Petugas Survei OH/OR 20 400,000 8,000,000

Pengumpulan Data Transport OK (kali) 20 300,000 6,000,000

Pengumpulan DataHR Sekretariat/Administrasi Peneliti

OB 30 200,000 6,000,000

Pengumpulan Data Uang Harian OH 30 400,000 12,000,000

Pengumpulan Data HR Pembantu Lapangan OH 30 250,000 7,500,000

Pengumpulan Data Biaya konsumsi OH 60 50,000 3,000,000

Sewa Peralatan Peralatan penelitian Unit 3 1,500,000 4,500,000

Sewa Peralatan Obyek penelitian Unit 3 1,500,000 4,500,000

Sewa Peralatan Ruang penunjang penelitian Unit 3 1,500,000 4,500,000

Tahun 2 Total Rp. 116,785,000

Jenis Pembelanjaan Item Satuan Vol.Biaya

SatuanTotal

Analisis Data Biaya analisis sampel Unit 1 1,000,000 1,000,000

Analisis Data Honorarium narasumber OJ 9 400,000 3,600,000

Analisis DataHR Sekretariat/Administrasi Peneliti

OB 10 200,000 2,000,000

Analisis Data HR Pengolah DataP (penelitian)

10 300,000 3,000,000

Analisis Data Uang Harian OH 12 400,000 4,800,000

Analisis Data Transport Lokal OK (kali) 12 150,000 1,800,000

Analisis Data Biaya konsumsi rapat OH 12 50,000 600,000

Bahan Barang Persediaan Unit 1 155,000 155,000

Bahan ATK Paket 3 210,000 630,000

BahanBahan Penelitian (Habis Pakai)

Unit 15 600,000 9,000,000

Pelaporan, Luaran Wajib, dan Luaran Tambahan

Biaya seminar nasional Paket 1 1,500,000 1,500,000

Pelaporan, Luaran Wajib, dan Luaran Tambahan

Biaya Publikasi artikel di Jurnal Nasional

Paket 1 1,500,000 1,500,000

Pelaporan, Luaran Wajib, dan Luaran Tambahan

Publikasi artikel di Jurnal Internasional

Paket 1 5,000,000 5,000,000

Pengumpulan Data FGD persiapan penelitian Paket 1 3,700,000 3,700,000

Jenis Pembelanjaan Item Satuan Vol.Biaya

SatuanTotal

Pengumpulan Data Tiket OK (kali) 2 2,000,000 4,000,000

Pengumpulan Data Penginapan OH 6 500,000 3,000,000

Pengumpulan Data HR Pembantu Peneliti OJ 20 300,000 6,000,000

Pengumpulan Data HR Petugas Survei OH/OR 20 400,000 8,000,000

Pengumpulan Data Transport OK (kali) 20 325,000 6,500,000

Pengumpulan DataUang harian rapat di dalam kantor

OH 20 300,000 6,000,000

Pengumpulan DataHR Sekretariat/Administrasi Peneliti

OB 30 200,000 6,000,000

Pengumpulan Data Uang Harian OH 30 400,000 12,000,000

Pengumpulan Data HR Pembantu Lapangan OH 30 200,000 6,000,000

Pengumpulan Data Biaya konsumsi OH 60 50,000 3,000,000

Sewa Peralatan Peralatan penelitian Unit 3 2,000,000 6,000,000

Sewa Peralatan Obyek penelitian Unit 3 2,000,000 6,000,000

Sewa Peralatan Ruang penunjang penelitian Unit 3 2,000,000 6,000,000

Tahun 3 Total Rp. 113,920,000

Jenis Pembelanjaan Item Satuan Vol.Biaya

SatuanTotal

Analisis Data Transport Lokal OK (kali) 6 150,000 900,000

Analisis Data Honorarium narasumber OJ 9 400,000 3,600,000

Analisis DataHR Sekretariat/Administrasi Peneliti

OB 10 200,000 2,000,000

Analisis Data HR Pengolah DataP (penelitian)

10 300,000 3,000,000

Analisis Data Biaya konsumsi rapat OH 10 50,000 500,000

Analisis Data Uang Harian OH 12 400,000 4,800,000

Bahan ATK Paket 1 210,000 210,000

Bahan Barang Persediaan Unit 1 310,000 310,000

BahanBahan Penelitian (Habis Pakai)

Unit 9 600,000 5,400,000

Pelaporan, Luaran Wajib, dan Luaran Tambahan

Biaya seminar nasional Paket 1 1,500,000 1,500,000

Pelaporan, Luaran Wajib, dan Luaran Tambahan

Biaya Publikasi artikel di Jurnal Nasional

Paket 1 1,500,000 1,500,000

Pelaporan, Luaran Wajib, dan Luaran Tambahan

Publikasi artikel di Jurnal Internasional

Paket 1 5,000,000 5,000,000

Pelaporan, Luaran Wajib, dan Luaran

Biaya penyusunan buku termasuk book chapter

Paket 1 3,000,000 3,000,000

Jenis Pembelanjaan Item Satuan Vol.Biaya

SatuanTotal

Tambahan

Pengumpulan Data FGD persiapan penelitian Paket 1 3,700,000 3,700,000

Pengumpulan Data Tiket OK (kali) 2 2,000,000 4,000,000

Pengumpulan Data Penginapan OH 3 500,000 1,500,000

Pengumpulan Data HR Petugas Survei OH/OR 10 400,000 4,000,000

Pengumpulan Data HR Pembantu Peneliti OJ 20 300,000 6,000,000

Pengumpulan DataHR Sekretariat/Administrasi Peneliti

OB 20 200,000 4,000,000

Pengumpulan Data Transport OK (kali) 20 325,000 6,500,000

Pengumpulan DataUang harian rapat di dalam kantor

OH 20 300,000 6,000,000

Pengumpulan Data Uang Harian OH 30 400,000 12,000,000

Pengumpulan Data HR Pembantu Lapangan OH 30 250,000 7,500,000

Pengumpulan Data Biaya konsumsi OH 60 50,000 3,000,000

Sewa Peralatan Peralatan penelitian Unit 4 2,000,000 8,000,000

Sewa Peralatan Obyek penelitian Unit 4 2,000,000 8,000,000

Sewa Peralatan Ruang penunjang penelitian Unit 4 2,000,000 8,000,000

 6. KEMAJUAN PENELITIAN

A. RINGKASAN: Tuliskan secara ringkas latar belakang penelitian, tujuan dan tahapan metode penelitian, luaran yang ditargetkan, serta uraian TKT penelitian.

 

          1. Latar Belakang Penelitian                    Gerakan literasi sekolah (GLS) telah dicangkan pemerintah sejak tahun 2015. Tujuan utamanya adalah menumbuhkembangkan keterampilan literasi informasi sehingga peserta didik memiliki kemampuan untuk mencari, memahami, mengevaluasi secara kritis, dan mengelola informasi menjadi pengetahuan yang bermanfaat untuk pengembangan kehidupan pribadi dan sosialnya. Hakikat literasi informasi adalah kemampuan manajemen pengetahuan, yang meliputi aktivitas menemukan sumber informasi, mengritisi, mengintegrasikan dengan pengetahuan yang telah dimiliki, memanfaatkan, dan mengomunikasikan secara efktif, legal, dan etis (Kemdibud, 2016: 1). Kebijakan GLS ini merupakan bagian integeral dengan program pendidikan nasional.                    Sebagai kebijakan nasional, GLS ini pun berlaku pada sekolah luar biasa (SLB). Keterbatasan siswa SLB seharusnya tidak menjadi halangan untuk melakukan aktivitas literasi informasi; hanya saja diperlukan penyesuaian program layanan. Misalnya, para siswa pada SLB-A (tunanetra), yang memiliki keterbatasan visual, harus didorong mengotimalkan indra lain, seperti: pendengaran, peraba, perasa, pencium untuk aktivitas literasi. Untuk optimalisasi literasi informasi pada siswa yang memiliki keterbatasan khusus diperlukan layanan program literasi yang lebih spesifik. Untuk bisa menyusun program layanan literasi yang lebih spesifik-fungsional diperlukan peta kompetensi literasi pada para siswa dengan keterbatasan khusus itu. Peta kompetensi literasi diharapkan menjadi landasan konseptual pengembangan program literasi untuk anak berketerbatasan khusus pada semua jenis dan

jenjang SLB.                    2. Tujuan, Tahapan Penelitian, dan Metode Penelitian          2.1 Tujuan Penelitian          1. Menjelaskan pelaksanaan program GLS bagi peserta didik tunanetra pada SLB di Provinsi Bali.          2. Mengungkapkan karakteristik teks yang dibutuhkan untuk program GLS bagi peserta didik tunanetra pada SLB di Provinsi Bali.          3. Menggambarkan peran pengampu kepentingan pada pelaksanaan program literasi bagi peserta didik tunanetra pada SLB di Provinsi Bali                    22. Tahapan Penelitian          Tahun I : Pemetaan GLS pada SLB-A.          Tahun II : Pemetaan GLS pada SLB-B          Tahun III : Pemetaan GLS pada SLB-C                    2.3 Metode Penelitian          Desain penelitian : Kualitatif          Sampel tahun I : SLB N 1 Singaraja, SLBN 1 Denpasar, dan SLBN 1 Tabanan.          Teknik pengumpulan data : Observasi, angket, dan wawancara          Instrumen penelitai : Pedoman observasi, pedoman wawancara, dan angket          Analisis data : Deskriptif -kualitatif dan komparatif                    3. Luaran yang ditargetkan          a. Wajib : Artikel jurnal internasional terindeks beriputasi (accepted)          b. Tambahan : Artikel junal nasional terakreditasi peringkat 1 - 3 (accepted)                    4. Uraian TKT           Taget akhir TKT adalah 3, yakni Karakteristik/sifat dan kapasitas unjuk kerja sistem dasar telah diidentifikasi dan diprediksi.                    5. Hasil Penelitian tahun I                    I. Pelaksanaan program literasi bagi peserta didik tunanetra pada SLB di Provinsi Bali.          1. Pelaksanaan gerakan literasi sekolah merujuk kepada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Gerakan literasi sekolah merupakan program nasional sehingga semua Sekolah Luar Biasa di Provinsi Bali telah melaksanakannya.          2. Berdasarkan wawancaara dan observasi terungkap bahwa gerakan literasi yakni kegiatan wajib membaca 15 menit sebelum pelajaran dimulai pada Sekolah Luar Biasa di Provinsi Bali bagi peserta didik tunanetra dilaksanakan dengan 3 pola.          3. Pola pelaksanaan program gerakan literasi sekolah pada SLB di Provinsi Bali bagi peserta didik tunanetra terdiri dari : pola teks dibacakan guru, pola penggunaan audiobook, dan pola penyediaan pojok baca Braille.          4. Pilihan terhadap 3 pola itu diltarbelakangi oleh karakteristik peserta didik tunanetra sangat beragam. Varian pertama berakitan dengan usia. Kelompok peserta didik tunanetra terdiri dari jenjang usia Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah Menengah Atas. Varian ini berimplikasi kepada keterampilan membaca teks berhuruf Braille yang sangat beragam. Ada sekelompok peserta didik yang belum mengenal huruf Braille, sebaliknya ada sekelompok lain yang sudah relatif terampil membaca huruf itu. Varian kedua, adanya peredaan hambatan; yakni ada peserta didik tunanetra murni dan ada pula peserta didik tunanetra dengan hambatan ganda, misalnya tunanetra sekaligus tunarungu. Varian ketiga disebabkan perbedaan visus. Ke dalam kelompok ini ada peserta didik dengan low vision dan buta.          5. Penggunaan 3 pola pelaksanaan literasi pada Sekolah Luar Biasa dengan peserta

didik tunanetra merupakan implementasi dari prinsip literasi bahwa literasi berjalan sesuai tahap perkembangan yang dapat diprediksi dan bersifat berimbang serta mendorong pengembangan budaya lisan dan tulis. Penggunaan 3 pola literasi diasumsikan dapat memenuhi kebutuhan literasi peserta didik tunanetra dengan berbagai keterbatasan dan keragaman kebutuhannya.          6. Tahap-tahap pelaksanaan ketiga pola literasi bagi peserta didik tunanetra:          a) Pola pertama, dibacakan guru. Literasi dengan pola dibacakan guru diterapkan kepada peserta didik tunanetra pada jenjang Sekolah Dasar, khususnya pada 3 tahun pertama. Pada periode ini, peserta didik tunentara mulai diajarkan huruf Braille. Kepekaan takstil mulai dikembangkan sebagai modal dalam membaca huruf Braille. Fakta ini merupakan perbedaan yang mencolok dengan anak-anak awas (sighted). Ketika masuk Sekolah Dasar, anak-anak awas umumnya sudah bisa membaca dan menulis sederhana yang dipelajarinya sejak mereka di Tanam Kanak-Kanak. Tidak demikian halnya dengan anak-anak tunanetra. Anak-anak tunanetra akan mulai mempelajari huruf Braille sejak tahun pertama di Sekolah Dasar, itupun tidak semua peserta didik memiliki kesiapan belajar yang memadai. Pembelajaran huruf Braiile bagi pemula bukanlah sesuatu yang mudah, meskipun para guru telah berupaya maksimal mengajarkannya. Pembelajar pemula huruf Braille harus terlebih dahulu memiliki kecakapan takstil yang menjadi modal dalam membaca. Akan tetapi, mereka umumnya belum peka dengan hal itu sehingga mengalami kesulitan dalam mengintegerasikan formulasi titik-titik Braille. Fakta ini mendorong diterapkannya pola literasi yang dibacakan guru. Pilihan pola literasi yang dibacakan guru berpijak pada asumsi bahwa kemampuan pemahaman anak-anak tunanetra sama dengan anak-anak awas. Emerson; Holbrook, and D’Andrea ( 2009) menegaskan bahwa pada aspek pemahaman dan decoding antara anak awas dengan tunanetra perbedaan mencolok terlihat pada aspek decoding. Artinya guru dapat memaksimalkan aspek pemahaman literasi dengan mengoptimalkan rangsang pendengaran dan sambil jalan diajarkan huruf Braille.          b) Pola kedua penggunaan audiobook. Pelaksanaan pola ini tetap mengotimalkan indera pendengaran. Dibandingkan dengan pola pertama, pola ini memanfaatkan kemajuan teknologi informasi. Konkretnya, buku-buku target terlebih dahulu dibacakan oleh narator disertai dengan perekaman audio. Dalam hal ini, diperlukan pelatihan narator agar pengucapannya jelas dan tidak ambigu. Intonasi diberikan secara tepat karena berpengaruh pada interpretasi pesan. Ilustrasi musik sering disertakan pada proses perekaman. Berdasarkan data, jenis audiobook yang digunakan pada Sekolah Luar Biasa di Provinsi Bali adalah unabridge dan abridge serta umumnya merupakan produk komersial. Unabridge merupakan rekaman utuh (lengkap) dari sebuah buku; sedangkan abridge merupakan pembacaan ringkas dari sebuah buku Literasi dengan pola audiobook dilaksanakan di ruang komputer dalam pengawasan guru. Berdasarkan hasil wawancara, pola ini cukup dominan dilaksanakan pada Sekolah Luar Bias di Provinsi Bali.          c) Pola ketiga penyediaan pojok baca Braille. Pola ini yang paling ideal sesuai karakteristik peserta didik tunanetra. Dikatakan ideal karena keterampilan membaca dan menulis huruf Braille merupakan ciri unik pemebelajar tunanetra. Keterampilan membaca dan menulis huruf Braille sebagai kebutuhan dasar literasi mereka. Alasan lainnya adalah fleksibelitas waktu dan pemupukan minat baca secara mandiri. Penyediaan pojok baca Braille memberikan keleluasaan peserta didik tunanetra untuk berliterasi kapan saja, tidak tergantung pada jadwal yang disediakan. Peserta didik dapat memilih bahan baca yang bermakna sesuai dengan minat dan kebutuhannya. Pola ini diyakini dapat menumbuhkan minat baca pada peserta didik. Pojok baca Braille umumnya diletakkan di belakang kelas yang bertujuan agar mudah dan aman diangkau anak-anak.          7. Pilihan materi literasi. Pada Sekolah Luar Biasa dengan peserta didik tunanetra, kegiatan literasi umumnya dipadukan dengan konten pelajaran bagi anak berkebutuhan khusus. Bahan-bahan baca umumnya bersifat fungsional yang relevan dengan bakat dan minatnya. Setiap sekolah dapat mengembangkan program keterampilan hidup yang bervariasi, seperti seni musik, keterampilan pijat, seni sastra dan teater. Pengaitan konten literasi dengan kurikulum anak berkebutuhan khusus merupakan upaya peningkatan makna kegiatan literasi bagi hidup mereka yang pelaksanannya melalui upaya pembiasaan,

pengembangan, dan pembelajaran berbasis literasi.          8. Komponen literasi. Mencermati fakta-fakta lapangan dengan merujuk pada 3 pola pelaksanannya, gerakan literasi pada Sekolah Luar Biasa dengan peserta didik tunanetra diarahkan pada komponen literasi dini (early literacy) dan literasi dasar (basic literacy) yang diimplementasikan melalui pola literasi yang dibacakan guru. Literasi media (media literacy) dan literasi teknologi (technology literacy) diimplementasikan melalui pola audiobook di ruang komputer. Literasi pustaka (library literacy) diimplementasikan melalui penyediaan pojok baca Braille di ruang-ruang kelas. Karena keterbatasan yang dialami pada aspek penglihatan, kepada peserta didik tunanetra tidak dapat dilakukan kegiatan visual literacy. Kegiatan ini diganti dengan literasi takstil dengan menggunakan pajanan benda tiruan tiga dimensi.          9. Kendala pelsaksanaannya. Berdasarkan hasil penelitian terungkap ada beberpa kendala utama pelaksanaan gerakan literasi bagi peserta didik tunanetra pada SLB di Provinsi Bali.          a) Kendala pertama yang bersumber dari internal. Kendala internal berkaitan dengan masalah emosi, sosial, dan psikologis. Masalah sosial yang teramati pada peserta didik tunanetra adalah kecemasan yang memunculkan rasa takut dan khawatir. Akibatnya, peserta didik tunanetra merasa ragu ketika melakukan kegiatan literasi. Kecemasan itu sering pula memicu kemarahan, mudah tersinggung, murung, dan sedih. Bahkan sering ditemukan anak tunanetra yang sangat frustasi, merasa tidak berguna dan hanya jadi beban keluarga. Dalam satu kasus esktrem, ditemukan seorang anak tunanetra yang merobek buku ketika diajarkan membaca huruf Braille. Perobekan buku itu sebagai pelampiasan rasa furstasi yang sangat mendalam. Hambatan lain yang bersumber dari internal pemelajar adalah rasa rendah diri. Banyak anak tunanetra yang merasa malu dan rendah diri di hadapan anak awas. Rasa malu ini menghilangkan motivasi berprestasi mereka. Perasaan malu itu semakin kuat apabila peserta didik tunanetra sering gagal merespons stimulus secara benar. Akibatnya, mereka sering menarik diri dari interaksi sosial. Fakta ini menghambat pelaksanaan kegiatan literasi pada Sekolah luar Biasa di Provinsi Bali. Untuk mengatasi kendala internal tersebut perlu ada layanan individul sehingga aspek-aspek personalitas siswa bisa lebih diperhatikan untuk memudahkan pengembangan potensi setiap peserta didik. Layanan literasi individual diharapkan dapat menumbuhkan motivasi berprestasi di kalangan peserta didik tunanetra.          b) Kendala kedua bersumber dari lingkungan belajar. Kendala ini berkaitan dengan ketersediaan bahan literasi bagi peserta didik tunanetra. Perlu ada distribusi media literasi takstil yang merata kepada seluruh Sekolah Luar Biasa. Hal ini sajalan dengan perubahan adminstrasi pendidikan luar biasa, yakni setiap sekolah melayani berbagai anak berkebutuhan khusus. Kini, Sekolah Luar Biasa tidak lagi diklasifikasi menjadi SLB-A yang khusus melayani anak tunanetra atau SLB-B yang khusus melayani anak tunarungu, atau SLB-C yang khusus menangani anak tunagrahita, tetapi telah menjadi unity of the whole. Kecepatan membaca huruf Braille yang relatif rendah yakni antara 85 – 101 kata per menit pun merupakan hambatan tersendiri. Untuk ini, dibutuhkan teks Barille yang telah diringkas secara telegrafis dengan tidak mengurangi informasi pokok. Upaya lain yang dapat dilakukan adalah penyediaan audiobook dalam jumlah yang memadai dengan topik yang bervariasi.          c) Kendala ketiga bersumber dari hambatan mobilitas. Hambatan mobilitas peserta didik tunanetra membutuhkan peran pustakawan yang lebih intensif pada setiap Sekolah Luar Biasa. Perannya sangat dibutuhkan dalam melakukan rotasi buku. Hambatan rotasi buku antarpojok baca Braille masih sering terjadi. Persoalan lain yang sangat urgen adalah pendampingan pelatihan membaca huruf Brille. Pendampingan dapat dilakukan oleh guru maupun siswa senior yang telah terampil membaca huruf Bralle.                    II. Kebutuhan Teks khusus untuk program literasi bagi peserta didik tunanetra pada SLB di Provinsi Bali                    1. Kecepatan efektif membaca (KEM) peserta didik tunanetra.          Dalam penelitian ini, kecepatan membaca difokuskan kepada peserta didik tunanetra

yang telah terampil membaca Brille. Oleh karena itu data yang dikumpulkan dari jenjang SMPLB dan SMALB. Ada dua data sekunder terpisah diperoleh dari guru, yaitu jumlah kata yang dibaca siswa per menit dan hasil tes pemahaman isi bacaan. Data itu merupakan dokumen tahun pelajaran 2018/2019. Data tahun pelajaran 2019/2020 tidak bisa diperoleh karena terkendala pandemi Covid-19. Kedua data itu diolah untuk mendapatkan kecepatan membaca efektif. Kecepatan membaca efektif merupakan korelasi jumlah kata yang dapat dibaca per menit dengan tingkat pemahaman isi. Data sekunder itu diolah dengan formula berikut ini.                    Keterangan:          KEM : kecepatan efektif membaca 1m : 1 menit          jk : jumlah kata terbaca sn : skor nyata          SMI : skor maksimal ideal /skor harapan kpm : kecepatan / menit           (Diadaptasi dari Jumaidi et al., 2013)                    Tahap berikutnya, data sekunder yang diperoleh dari guru diolah menggunakan formula itu. Hasilnya disajikan dalam tabel 1 dan 2 berikut ini.                                        Tabel 1. Kecepatan Efektif Membaca Teks Huruf Braiile           Siswa Tunanetra pada SMPLB di Provinsi Bali          No. Kode Subjek Jumlah kata per menit Pemahaman (SMI = 100) KEM          (1) (2) (3) (4) (5)          1. MA 112 70 78,40          2. IPA 121 75 90,75          3. ET 116 70 81,20          4. AGR 102 75 76,50          5. MAP 110 75 82,50          6. KSY 109 70 76,30          7. KTA 121 75 96,80          8. KDA 129 80 103,20          9. IM 108 75 81,00          10. PBK 113 75 84,75          11. NGA 120 75 90,00          12. GAT 117 70 81,90          13. GDJ 108 75 81,00          14. DNJ 120 75 90,00          15. DL 114 70 79,80          Rata-rata 108 72,67 84,94          Pembulatan 108 73 85                    Tabel 2. Kecepatan Efektif Membaca Teks Huruf Braiile           Siswa Tunanetra pada SMALB di Provinsi Bali          No. Kode Subjek Jumlah kata per menit Pemahaman (SMI = 100) KEM          1. IPS 120 75 90,00          2. SAM 127 80 101,60          3. NEY 118 75 88,50          4. KYL 120 75 90,00          5. KRA 123 80 98,40          6. MFG 118 75 94,00          7. KA 126 80 100,80          8. KDS 118 80 94,40          9. PYP 122 75 91,50          10. KAM 120 75 90,00

          11. KR 117 80 93,60          12. KS 120 75 90,00          13. GNA 127 80 101,60          14. AKC 119 80 95,20          15. ENF 122 80 97,60          16. AMH 118 80 94,40          Rata-rata 120,94 77,81 100,77          Pembulatan 121 78 101                    Berdasarkan tabel 1 dan 2 di atas dapat diketahui kecepatan membaca efektif peserta didik tunanetra jenjang SMPLB – SMALB di Provinsi Bali adalah 85 – 101 kpm. Sebagai perbandingan, kecepatan membaca efektif peserta didik jenjang SMP – SMA (normal) adalah 250 – 325 kpm (Jumaidi et al., 2013). Data ini membuktikan bahwa membaca Braille jauh lebih lambat daripada membaca huruf awas. Kelambatan membaca huruf Braille disebabkan banyak faktor, antara lain kepekaan takstil peserta didik tunanetra jenjang SMPLB – SMALB masih perlu ditingkatkan. Selain itu, faktor psikologi pun diduga berpengaruh, yakni perasaan rendah diri dan putus asa menghambat prestasi belajar peserta didik tunanetra. Untuk itu dibutuhkan upaya konseling secara berkelanjutan hingga dapat memunculkan motivasi berprestasi pada peserta didik tunanetra.                    2. Kebutuhan akan Teks Telegrafis          Perbedaan kecepatan efektif membaca (KEM) siswa awas dengan tunanetra sangat mencolok. Peserta didik tunanentra rata-rata membutuhkan waktu 3 kali lebih lama daripada peserta didik awas untuk membaca teks dengan jumlah kata yang sama. Selain terus memacu kecepatan membaca teks Braile melalui pelatihan yang berkelanjutan diperlukan pula upaya pengubahan konstruksi teks menjadi lebih padat dan ringkas. Peringkasan teks awas menjadi Braille tidak dibenarkan mengurangi inti informasi.                              III. Peran Pengampu kepentingan / Partisipasi Publik                    1) Keberhasilan program gerakan literasi pada Sekolah Luar Biasa di Provinsi Bali memerlukan partisipasi publik. Di dalam panduan pelaksanaannya telah diatur keterlibatan partisipasi publik, seperti komite sekolah, orang tua/wali murid, dunia usaha dan dunia industri. Berdasarkan hasil angket terungkap bahwa secara umum partisipasi publik masih relatif rendah. Data menunjukan adanya asimetris antara pemahaman dengan tindakan konkret.          2) Seluruh anggota komite sekolah dan orang tua/ wali murid memahami pentingnya kegiatan literasi sekolah; akan tetapi pemahaman itu belum diikuti dengan langkah nyata.          3) Partisipasi publik sangat diharapkan, seperti bantuan sarana dan prasarana pendukungnya, pembentukan komite literasi, dan perbantuan membangun jejaring sekolah. Langkah-langkah ini urgen dilakukan sebagai wujud konkret dukungan komite sekolah dan orang tua/wali murid pada program gerakan literasi pada Sekolah Luar Biasa di Provinsi Bali.          4) Pengawasan dan pendampingan kegiatan literasi di rumah masing-masing sangat perlu ditingkatkan. Berdasarkan angket, terungkap pula bahwa mayoritas orang tua mengaku melakukan pengawasan dan pendampingan pada kegiatan literasi di rumah mereka masing-masing. Pengawasan dan pendampingan yang dilakukan orang tua tampaknya kurang optimal karena umumnya mereka menyatakan kurang memahami, bahkan tidak mengerti tentang huruf Braille. Keterbatasan ini tampaknya dapat diatasi dengan pembentukan komite literasi Braille pada setiap Sekolah Luar Biasa. Komite ini bisa dibentuk atas partisipasi orang tua / wali murid.          5) Partisipasi dunia usaha dan dunia industri diyakini dapat meningkatkan motivasi literasi peserta didik tunanetra. Berdasarkan wawancara dengan pihak sekolah yang menjadi sampel, terungkap bahwa mayoritas buku dan sarana Braille lainnya merupakan pengadaan dari pemerintah dan sumbangan pihak lain, seperti penerbit dan yayasaan yang bergerak

dibidang ketunanetraan. Partisipasi dunia industri dan dunia usaha pun banyak diwujudkan melalui kontribusi pendanaan kegiatan lomba literasi yang diselenggarakan. Partisipasi lain yang juga terungkap dari penelitian ini adalah kesediaan dunia usaha dan dunia industri sebagai objek kunjungan belajar oleh peserta didik tunanetra. Kunjungan belajar ini bertujuan memupuk kepercayaan diri, sosial, dan mobilitas setiap peserta didik. Kunjungan belajar merupakan upaya konkret kegiatan literasi berbasis lingkungan. Dukungan dan kegiatan ini perlu ditingkatkan, baik secara kuantitas maupun kualitas.                              

 

B. KATA KUNCI: Tuliskan maksimal 5 kata kunci.

 

gerakan lietasi sekolah, tunanetra, wacana telegrafis, kecepatan efektif membaca.

 Pengisian poin C sampai dengan poin H mengikuti template berikut dan tidak dibatasi jumlah kata atau halaman namun disarankan seringkas mungkin. Dilarang menghapus/memodifikasi template ataupun menghapus penjelasan di setiap poin.

C. HASIL PELAKSANAAN PENELITIAN: Tuliskan secara ringkas hasil pelaksanaan penelitian yang telah dicapai sesuai tahun pelaksanaan penelitian. Penyajian dapat berupa data, hasil analisis, dan capaian luaran (wajib dan atau tambahan). Seluruh hasil atau capaian yang dilaporkan harus berkaitan dengan tahapan pelaksanaan penelitian sebagaimana direncanakan pada proposal. Penyajian data dapat berupa gambar, tabel, grafik, dan sejenisnya, serta analisis didukung dengan sumber pustaka primer yang relevan dan terkini.

Pengisian poin C sampai dengan poin H mengikuti template berikut dan tidak dibatasi jumlah kata atau halaman

namun disarankan seringkas mungkin. Dilarang menghapus/memodifikasi template ataupun menghapus

penjelasan di setiap poin.

Sesuai rencana seperti yang tercantum dalam proposal, penelitian ini dilaksanakan

secara bertahap dalam kurun waktu 3 tahun, yakni dari tahun 2020 hingga 2022. Pada tahun

pertama (2020), penelitian difokuskan pada program literasi bagi peserta didik tunanetra. Ada

3 permasalahan yang ingin dijawab pada penelitian tahun pertama ini.

1. Bagaimanakah pelaksanaan program literasi bagi peserta didik tunanetra pada SLB

di Provinsi Bali?

2. Bagaimanakah karakteristik teks yang dibutuhkan untuk program literasi bagi

peserta didik tunanetra pada SLB di Provinsi Bali?

3. Bagaimanakah peran pengampu kepentingan pada pelaksanaan program literasi

bagi peserta didik tunanetra pada SLB di Provinsi Bali?

Untuk menjawab ketiga permasalahan itu, data dikumpulkan dari tiga SLB sebagai

sampel yang ditentukan secara purposive-areal sampling. Dengan penerapan teknik sampling

itu ditetapkan sampel penelitian tahun pertama adalah SLB Negeri 1 Denpasar, SLB Negeri 1

Tabanan, dan SLB Negeri 1 Singaraja. Data dikumpulkan dengan metode observasi,

pencatatan dokumen, wawancara, dan angket. Data yang terkumpul dianalisis secara

deskriptif-kwalitatif dengan memposisikan peserta didik sebagai subjek dan program literasi

sebagai peristiwa. Relasi subjek dengan peristiwa itulah dijelaskan untuk menghasilkan

gambaran program literasi bagi peserta didik tunanetra pada SLB di Provinsi Bali. Dengan

prosesedur sepeti itu, diperoleh hasil penelitian seperti berikut ini.

I. Pelaksanaan program literasi bagi peserta didik tunanetra pada SLB di Provinsi

Bali.

1. Pelaksanaan gerakan literasi sekolah merujuk kepada Peraturan Menteri Pendidikan

dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan

Budi Pekerti. Gerakan literasi sekolah merupakan program nasional sehingga semua

Sekolah Luar Biasa di Provinsi Bali telah melaksanakannya.

2. Berdasarkan wawancaara dan observasi terungkap bahwa gerakan literasi yakni

kegiatan wajib membaca 15 menit sebelum pelajaran dimulai pada Sekolah Luar

Biasa di Provinsi Bali bagi peserta didik tunanetra dilaksanakan dengan 3 pola.

3. Pola pelaksanaan program gerakan literasi sekolah pada SLB di Provinsi Bali bagi

peserta didik tunanetra terdiri dari : pola teks dibacakan guru, pola penggunaan

audiobook, dan pola penyediaan pojok baca Braille.

4. Pilihan terhadap 3 pola itu diltarbelakangi oleh karakteristik peserta didik tunanetra

sangat beragam. Varian pertama berakitan dengan usia. Kelompok peserta didik

tunanetra terdiri dari jenjang usia Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan

Sekolah Menengah Atas. Varian ini berimplikasi kepada keterampilan membaca teks

berhuruf Braille yang sangat beragam. Ada sekelompok peserta didik yang belum

mengenal huruf Braille, sebaliknya ada sekelompok lain yang sudah relatif terampil

membaca huruf itu. Varian kedua, adanya peredaan hambatan; yakni ada peserta

didik tunanetra murni dan ada pula peserta didik tunanetra dengan hambatan ganda,

misalnya tunanetra sekaligus tunarungu. Varian ketiga disebabkan perbedaan visus.

Ke dalam kelompok ini ada peserta didik dengan low vision dan buta.

C. HASIL PELAKSANAAN PENELITIAN: Tuliskan secara ringkas hasil pelaksanaan penelitian yang

telah dicapai sesuai tahun pelaksanaan penelitian. Penyajian meliputi data, hasil analisis, dan capaian

luaran (wajib dan atau tambahan). Seluruh hasil atau capaian yang dilaporkan harus berkaitan dengan

tahapan pelaksanaan penelitian sebagaimana direncanakan pada proposal. Penyajian data dapat berupa

gambar, tabel, grafik, dan sejenisnya, serta analisis didukung dengan sumber pustaka primer yang relevan

dan terkini.

5. Penggunaan 3 pola pelaksanaan literasi pada Sekolah Luar Biasa dengan peserta didik

tunanetra merupakan implementasi dari prinsip literasi bahwa literasi berjalan sesuai

tahap perkembangan yang dapat diprediksi dan bersifat berimbang serta mendorong

pengembangan budaya lisan dan tulis. Penggunaan 3 pola literasi diasumsikan dapat

memenuhi kebutuhan literasi peserta didik tunanetra dengan berbagai keterbatasan

dan keragaman kebutuhannya.

6. Tahap-tahap pelaksanaan ketiga pola literasi bagi peserta didik tunanetra:

a) Pola pertama, dibacakan guru. Literasi dengan pola dibacakan guru diterapkan

kepada peserta didik tunanetra pada jenjang Sekolah Dasar, khususnya pada 3

tahun pertama. Pada periode ini, peserta didik tunentara mulai diajarkan huruf

Braille. Kepekaan takstil mulai dikembangkan sebagai modal dalam membaca

huruf Braille. Fakta ini merupakan perbedaan yang mencolok dengan anak-

anak awas (sighted). Ketika masuk Sekolah Dasar, anak-anak awas umumnya

sudah bisa membaca dan menulis sederhana yang dipelajarinya sejak mereka

di Tanam Kanak-Kanak. Tidak demikian halnya dengan anak-anak tunanetra.

Anak-anak tunanetra akan mulai mempelajari huruf Braille sejak tahun

pertama di Sekolah Dasar, itupun tidak semua peserta didik memiliki kesiapan

belajar yang memadai. Pembelajaran huruf Braiile bagi pemula bukanlah

sesuatu yang mudah, meskipun para guru telah berupaya maksimal

mengajarkannya. Pembelajar pemula huruf Braille harus terlebih dahulu

memiliki kecakapan takstil yang menjadi modal dalam membaca. Akan tetapi,

mereka umumnya belum peka dengan hal itu sehingga mengalami kesulitan

dalam mengintegerasikan formulasi titik-titik Braille. Fakta ini mendorong

diterapkannya pola literasi yang dibacakan guru. Pilihan pola literasi yang

dibacakan guru berpijak pada asumsi bahwa kemampuan pemahaman anak-

anak tunanetra sama dengan anak-anak awas. Emerson; Holbrook, and

D’Andrea ( 2009) menegaskan bahwa pada aspek pemahaman dan decoding

antara anak awas dengan tunanetra perbedaan mencolok terlihat pada aspek

decoding. Artinya guru dapat memaksimalkan aspek pemahaman literasi

dengan mengoptimalkan rangsang pendengaran dan sambil jalan diajarkan

huruf Braille.

b) Pola kedua penggunaan audiobook. Pelaksanaan pola ini tetap mengotimalkan

indera pendengaran. Dibandingkan dengan pola pertama, pola ini

memanfaatkan kemajuan teknologi informasi. Konkretnya, buku-buku target

terlebih dahulu dibacakan oleh narator disertai dengan perekaman audio.

Dalam hal ini, diperlukan pelatihan narator agar pengucapannya jelas dan

tidak ambigu. Intonasi diberikan secara tepat karena berpengaruh pada

interpretasi pesan. Ilustrasi musik sering disertakan pada proses perekaman.

Berdasarkan data, jenis audiobook yang digunakan pada Sekolah Luar Biasa

di Provinsi Bali adalah unabridge dan abridge serta umumnya merupakan

produk komersial. Unabridge merupakan rekaman utuh (lengkap) dari sebuah

buku; sedangkan abridge merupakan pembacaan ringkas dari sebuah buku

Literasi dengan pola audiobook dilaksanakan di ruang komputer dalam

pengawasan guru. Berdasarkan hasil wawancara, pola ini cukup dominan

dilaksanakan pada Sekolah Luar Bias di Provinsi Bali.

c) Pola ketiga penyediaan pojok baca Braille. Pola ini yang paling ideal sesuai

karakteristik peserta didik tunanetra. Dikatakan ideal karena keterampilan

membaca dan menulis huruf Braille merupakan ciri unik pemebelajar

tunanetra. Keterampilan membaca dan menulis huruf Braille sebagai

kebutuhan dasar literasi mereka. Alasan lainnya adalah fleksibelitas waktu dan

pemupukan minat baca secara mandiri. Penyediaan pojok baca Braille

memberikan keleluasaan peserta didik tunanetra untuk berliterasi kapan saja,

tidak tergantung pada jadwal yang disediakan. Peserta didik dapat memilih

bahan baca yang bermakna sesuai dengan minat dan kebutuhannya. Pola ini

diyakini dapat menumbuhkan minat baca pada peserta didik. Pojok baca

Braille umumnya diletakkan di belakang kelas yang bertujuan agar mudah dan

aman diangkau anak-anak.

7. Pilihan materi literasi. Pada Sekolah Luar Biasa dengan peserta didik tunanetra,

kegiatan literasi umumnya dipadukan dengan konten pelajaran bagi anak

berkebutuhan khusus. Bahan-bahan baca umumnya bersifat fungsional yang relevan

dengan bakat dan minatnya. Setiap sekolah dapat mengembangkan program

keterampilan hidup yang bervariasi, seperti seni musik, keterampilan pijat, seni sastra

dan teater. Pengaitan konten literasi dengan kurikulum anak berkebutuhan khusus

merupakan upaya peningkatan makna kegiatan literasi bagi hidup mereka yang

pelaksanannya melalui upaya pembiasaan, pengembangan, dan pembelajaran berbasis

literasi.

8. Komponen literasi. Mencermati fakta-fakta lapangan dengan merujuk pada 3 pola

pelaksanannya, gerakan literasi pada Sekolah Luar Biasa dengan peserta didik

tunanetra diarahkan pada komponen literasi dini (early literacy) dan literasi dasar

(basic literacy) yang diimplementasikan melalui pola literasi yang dibacakan guru.

Literasi media (media literacy) dan literasi teknologi (technology literacy)

diimplementasikan melalui pola audiobook di ruang komputer. Literasi pustaka

(library literacy) diimplementasikan melalui penyediaan pojok baca Braille di

ruang-ruang kelas. Karena keterbatasan yang dialami pada aspek penglihatan, kepada

peserta didik tunanetra tidak dapat dilakukan kegiatan visual literacy. Kegiatan ini

diganti dengan literasi takstil dengan menggunakan pajanan benda tiruan tiga dimensi.

9. Kendala pelsaksanaannya. Berdasarkan hasil penelitian terungkap ada beberpa

kendala utama pelaksanaan gerakan literasi bagi peserta didik tunanetra pada SLB di

Provinsi Bali.

a) Kendala pertama yang bersumber dari internal. Kendala internal berkaitan

dengan masalah emosi, sosial, dan psikologis. Masalah sosial yang teramati

pada peserta didik tunanetra adalah kecemasan yang memunculkan rasa takut

dan khawatir. Akibatnya, peserta didik tunanetra merasa ragu ketika

melakukan kegiatan literasi. Kecemasan itu sering pula memicu kemarahan,

mudah tersinggung, murung, dan sedih. Bahkan sering ditemukan anak

tunanetra yang sangat frustasi, merasa tidak berguna dan hanya jadi beban

keluarga. Dalam satu kasus esktrem, ditemukan seorang anak tunanetra yang

merobek buku ketika diajarkan membaca huruf Braille. Perobekan buku itu

sebagai pelampiasan rasa furstasi yang sangat mendalam. Hambatan lain yang

bersumber dari internal pemelajar adalah rasa rendah diri. Banyak anak

tunanetra yang merasa malu dan rendah diri di hadapan anak awas. Rasa malu

ini menghilangkan motivasi berprestasi mereka. Perasaan malu itu semakin

kuat apabila peserta didik tunanetra sering gagal merespons stimulus secara

benar. Akibatnya, mereka sering menarik diri dari interaksi sosial. Fakta ini

menghambat pelaksanaan kegiatan literasi pada Sekolah luar Biasa di Provinsi

Bali. Untuk mengatasi kendala internal tersebut perlu ada layanan individul

sehingga aspek-aspek personalitas siswa bisa lebih diperhatikan untuk

memudahkan pengembangan potensi setiap peserta didik. Layanan literasi

individual diharapkan dapat menumbuhkan motivasi berprestasi di kalangan

peserta didik tunanetra.

b) Kendala kedua bersumber dari lingkungan belajar. Kendala ini berkaitan

dengan ketersediaan bahan literasi bagi peserta didik tunanetra. Perlu ada

distribusi media literasi takstil yang merata kepada seluruh Sekolah Luar

Biasa. Hal ini sajalan dengan perubahan adminstrasi pendidikan luar biasa,

yakni setiap sekolah melayani berbagai anak berkebutuhan khusus. Kini,

Sekolah Luar Biasa tidak lagi diklasifikasi menjadi SLB-A yang khusus

melayani anak tunanetra atau SLB-B yang khusus melayani anak tunarungu,

atau SLB-C yang khusus menangani anak tunagrahita, tetapi telah menjadi

unity of the whole. Kecepatan membaca huruf Braille yang relatif rendah yakni

antara 85 – 101 kata per menit pun merupakan hambatan tersendiri. Untuk ini,

dibutuhkan teks Barille yang telah diringkas secara telegrafis dengan tidak

mengurangi informasi pokok. Upaya lain yang dapat dilakukan adalah

penyediaan audiobook dalam jumlah yang memadai dengan topik yang

bervariasi.

c) Kendala ketiga bersumber dari hambatan mobilitas. Hambatan mobilitas

peserta didik tunanetra membutuhkan peran pustakawan yang lebih intensif

pada setiap Sekolah Luar Biasa. Perannya sangat dibutuhkan dalam

melakukan rotasi buku. Hambatan rotasi buku antarpojok baca Braille masih

sering terjadi. Persoalan lain yang sangat urgen adalah pendampingan

pelatihan membaca huruf Brille. Pendampingan dapat dilakukan oleh guru

maupun siswa senior yang telah terampil membaca huruf Bralle.

II. Kebutuhan Teks khusus untuk program literasi bagi peserta didik tunanetra pada

SLB di Provinsi Bali

1. Kecepatan efektif membaca (KEM) peserta didik tunanetra.

Dalam penelitian ini, kecepatan membaca difokuskan kepada peserta didik tunanetra

yang telah terampil membaca Brille. Oleh karena itu data yang dikumpulkan dari

jenjang SMPLB dan SMALB. Ada dua data sekunder terpisah diperoleh dari guru,

yaitu jumlah kata yang dibaca siswa per menit dan hasil tes pemahaman isi bacaan.

Data itu merupakan dokumen tahun pelajaran 2018/2019. Data tahun pelajaran

2019/2020 tidak bisa diperoleh karena terkendala pandemi Covid-19. Kedua data itu

diolah untuk mendapatkan kecepatan membaca efektif. Kecepatan membaca efektif

merupakan korelasi jumlah kata yang dapat dibaca per menit dengan tingkat

pemahaman isi. Data sekunder itu diolah dengan formula berikut ini.

Keterangan:

KEM : kecepatan efektif membaca 1m : 1 menit

jk : jumlah kata terbaca sn : skor nyata

SMI : skor maksimal ideal /skor harapan kpm : kecepatan / menit

(Diadaptasi dari Jumaidi et al., 2013)

Tahap berikutnya, data sekunder yang diperoleh dari guru diolah menggunakan

formula itu. Hasilnya disajikan dalam tabel 1 dan 2 berikut ini.

Tabel 1. Kecepatan Efektif Membaca Teks Huruf Braiile

Siswa Tunanetra pada SMPLB di Provinsi Bali

No. Kode

Subjek

Jumlah kata

per menit

Pemahaman

(SMI = 100) KEM

(1) (2) (3) (4) (5)

1. MA 112 70 78,40

2. IPA 121 75 90,75

3. ET 116 70 81,20

4. AGR 102 75 76,50

5. MAP 110 75 82,50

6. KSY 109 70 76,30

7. KTA 121 75 96,80

8. KDA 129 80 103,20

9. IM 108 75 81,00

10. PBK 113 75 84,75

11. NGA 120 75 90,00

12. GAT 117 70 81,90

13. GDJ 108 75 81,00

14. DNJ 120 75 90,00

15. DL 114 70 79,80

Rata-rata 108 72,67 84,94

Pembulatan 108 73 85

Tabel 2. Kecepatan Efektif Membaca Teks Huruf Braiile

Siswa Tunanetra pada SMALB di Provinsi Bali

No. Kode

Subjek

Jumlah kata

per menit

Pemahaman

(SMI = 100) KEM

1. IPS 120 75 90,00

2. SAM 127 80 101,60

3. NEY 118 75 88,50

4. KYL 120 75 90,00

5. KRA 123 80 98,40

6. MFG 118 75 94,00

7. KA 126 80 100,80

8. KDS 118 80 94,40

9. PYP 122 75 91,50

10. KAM 120 75 90,00

11. KR 117 80 93,60

12. KS 120 75 90,00

13. GNA 127 80 101,60

14. AKC 119 80 95,20

15. ENF 122 80 97,60

16. AMH 118 80 94,40

Rata-rata 120,94 77,81 100,77

Pembulatan 121 78 101

Berdasarkan tabel 1 dan 2 di atas dapat diketahui kecepatan membaca efektif peserta

didik tunanetra jenjang SMPLB – SMALB di Provinsi Bali adalah 85 – 101 kpm.

Sebagai perbandingan, kecepatan membaca efektif peserta didik jenjang SMP – SMA

(normal) adalah 250 – 325 kpm (Jumaidi et al., 2013). Data ini membuktikan bahwa

membaca Braille jauh lebih lambat daripada membaca huruf awas. Kelambatan

membaca huruf Braille disebabkan banyak faktor, antara lain kepekaan takstil peserta

didik tunanetra jenjang SMPLB – SMALB masih perlu ditingkatkan. Selain itu, faktor

psikologi pun diduga berpengaruh, yakni perasaan rendah diri dan putus asa

menghambat prestasi belajar peserta didik tunanetra. Untuk itu dibutuhkan upaya

konseling secara berkelanjutan hingga dapat memunculkan motivasi berprestasi pada

peserta didik tunanetra.

2. Kebutuhan Teks Telegrafis

Perbedaan kecepatan efektif membaca (KEM) siswa awas dengan tunanetra sangat

mencolok. Peserta didik tunanentra rata-rata membutuhkan waktu 3 kali lebih lama

daripada peserta didik awas untuk membaca teks dengan jumlah kata yang sama.

Selain terus memacu kecepatan membaca teks Braile melalui pelatihan yang

berkelanjutan diperlukan pula upaya pengubahan konstruksi teks menjadi lebih padat

dan ringkas. Peringkasan teks awas menjadi Braille tidak dibenarkan mengurangi inti

informasi. Prinsip ini sejalan dengan audio book jenis abridge (Camalia, 2016). Sifat

padat dan ringkas itu yang diharapkan seperti menulis berita telegram, yang hanya

mempertahankan informasi pokok; seperti kalimat telegrafis yang hanya

mempertahankan kontentif, yakni kata yang signifikan menentukan makna suatu

kalimat. Misalnya, Bapak kantor untuk menyatakan maksud ‘Bapak sedang bekerja

di kantor’. Merujuk konsep dasar itu, wacana tulis telegrafis dikembangkan agar

peserta didik tunanetra tidak kehilangan informasi akibat kecepatan membacanya

yang masih sangat rendah. Berikut ini disajikan contoh teks informasi tentang covid

19 dalam 2 teks yang berbeda.

Gambar 1. Contoh Wacana Panjang Berhuruf Awas

Wacana seperti tertera pada gambar 1, jika dikonversi menjadi teks berhuruf Braille

kan tampak seperti gambar 2 berikut ini.

Gambar 2. Wacana Panjang Berhuruf Braille

Gambar 2 adalah teks panjang tentang informasi Covid-19 dengan 525 jumlah kata.

Setelah dikonversi ke dalam huruf Braille, terlihat seperti gambar 2, yang

membutuhkan halaman lebih banyak. Untuk membaca teks itu peserta didik

tunanetra membutuhkan waktu 5,20 – 6,18 menit; sedangkan peserta didik awas

hanya membutuhkan 1,61 – 2,1 menit. Untuk itu, wacana tulis tersebut perlu diubah

menjadi wacana telagrafis dengan jumlah kata yang lebih sedikit, seperti berikut ini.

1 2

3

Gambar 3. Contoh Wacana Telegrafis Berhuruf Awas

Gambar 4. Contoh Wacana Telegrafis Berhuruf Brille

Gambar 3 dan 4 merupakan kontraksi dari wacana panjang yang tertera pada gambar

1 dan 2. Wacana telegrafis pada gambar 3 dan 4 hanya terdiri dari 83 kata, tetapi

mengandung informasi pokok yang sama. Dengan upaya itu, kebutuhan waktu baca

bagi peserta didik tunanetra menjadi lebih singkat. Dengan acuan KEM 85 – 101

kpm, kebutuhan waktu baca peserta didik tunanetra turun dari 5,20 – 6,18 menit

menjadi sekitar 1 menit; hampir sama dengan siswa awas. Penggunaan wacana

telegrafis pada program literasi bagi peserta didik tunanetra sejalan dengan prinsip

kerja sama dalam teori pragmatik, khususnya maksim kuantitas; yakni berikan

informasi secukupnya (Leech, 1983 dan Nababan, 1987). Mengacu maksim itu,

peringkasan teks wajib mempertahankan keutuhan informasi utama.

III. Peran Pengampu kepentingan / Partisipasi Publik

1) Keberhasilan program gerakan literasi pada Sekolah Luar Biasa di Provinsi Bali

memerlukan partisipasi publik. Di dalam panduan pelaksanaannya telah diatur

keterlibatan partisipasi publik, seperti komite sekolah, orang tua/wali murid, dunia

usaha dan dunia industri. Berdasarkan hasil angket terungkap bahwa secara umum

partisipasi publik masih relatif rendah. Data menunjukan adanya asimetris antara

pemahaman dengan tindakan konkret.

2) Seluruh anggota komite sekolah dan orang tua/ wali murid memahami pentingnya

kegiatan literasi sekolah; akan tetapi pemahaman itu belum diikuti dengan langkah

nyata.

3) Partisipasi publik sangat diharapkan, seperti bantuan sarana dan prasarana

pendukungnya, pembentukan komite literasi, dan perbantuan membangun jejaring

sekolah. Langkah-langkah ini urgen dilakukan sebagai wujud konkret dukungan

komite sekolah dan orang tua/wali murid pada program gerakan literasi pada

Sekolah Luar Biasa di Provinsi Bali.

4) Pengawasan dan pendampingan kegiatan literasi di rumah masing-masing sangat

perlu ditingkatkan. Berdasarkan angket, terungkap pula bahwa mayoritas orang tua

mengaku melakukan pengawasan dan pendampingan pada kegiatan literasi di

rumah mereka masing-masing. Pengawasan dan pendampingan yang dilakukan

orang tua tampaknya kurang optimal karena umumnya mereka menyatakan kurang

memahami, bahkan tidak mengerti tentang huruf Braille. Keterbatasan ini

tampaknya dapat diatasi dengan pembentukan komite literasi Braille pada setiap

Sekolah Luar Biasa. Komite ini bisa dibentuk atas partisipasi orang tua / wali

murid.

5) Partisipasi dunia usaha dan dunia industri diyakini dapat meningkatkan motivasi

literasi peserta didik tunanetra. Berdasarkan wawancara dengan pihak sekolah yang

menjadi sampel, terungkap bahwa mayoritas buku dan sarana Braille lainnya

merupakan pengadaan dari pemerintah dan sumbangan pihak lain, seperti penerbit

dan yayasaan yang bergerak dibidang ketunanetraan. Partisipasi dunia industri dan

dunia usaha pun banyak diwujudkan melalui kontribusi pendanaan kegiatan lomba

literasi yang diselenggarakan. Partisipasi lain yang juga terungkap dari penelitian

ini adalah kesediaan dunia usaha dan dunia industri sebagai objek kunjungan belajar

oleh peserta didik tunanetra. Kunjungan belajar ini bertujuan memupuk

kepercayaan diri, sosial, dan mobilitas setiap peserta didik. Kunjungan belajar

merupakan upaya konkret kegiatan literasi berbasis lingkungan. Dukungan dan

kegiatan ini perlu ditingkatkan, baik secara kuantitas maupun kualitas.

D. STATUS LUARAN: Tuliskan jenis, identitas dan status ketercapaiansetiap luaran wajib dan luaran

tambahan (jika ada)yang dijanjikan. Jenis luarandapat berupa publikasi, perolehan kekayaan intelektual,

hasil pengujian atau luaran lainnya yang telah dijanjikan pada proposal. Uraian status luaran harus

didukung dengan bukti kemajuan ketercapaian luaran sesuai dengan luaran yang dijanjikan. Lengkapi

isian jenis luaran yang dijanjikan serta mengunggah bukti dokumen ketercapaian luaran wajib dan luaran

tambahan melalui Simlitabmas.

Luaran penelitian tahun I:

1. Makalah disajikan dalam seminar nasional.

Makalah telah disajikan pada Seminar Nasional Riset Linguistik dan Pengajarannya

(SENARILIP) IV, 6 – 7 Oktober 2020. Judul makalah: Gerakan Literasi pada SLB-A di

Provinsi Bali. Prosiding sedang dalam proses publikasi oleh panitia penyelenggara. Bukti

kepesertaan seminar seperti berikut ini.

Makalah Lengkap

GERAKAN LITERASI PADA SLB-A DI PROPVINSI BALI

Oleh: Nengah Arnawa1

Anak Agung Gde Alit Geria2 I Gusti Lanang Rai Arsana3

1,2,3FKIP Universitas Mahadewa Indonesia Email: [email protected]

Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk memetakan pelaksanaan program gerakan literasi pada SLB di Provinsi Bali, yang direncanakan dilaksanakan selama 3 tahun. Pada tahun pertama, fokus penelitian diarahkan kepada pelaksanaan gerakan literasi pada SLB-A, yakni dengan peserta didik anak tunanetra. Penelitian ini didesain dengan teknik survey dengan prosedur komparatif; yakni membandingkan aspek sarana dan aktivitas literasi yang wajib sesuai panduan dengan realitas ketersediaan sarana dan aktivitas nyata yang terjadi di sekolah yang terpilih sebagai sampel. Komparasi itu menghasilkan peta pelaksanaan gerakan literasi pada SLB. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang dikumpulkan melalui wawancara dengan guru pembina lieterasi di SLB. Data tersebut berupa dokumen program dan capaian. Berdasarkan prosedur itu terungkap bahwa program literasi pada SLB-A dapat dirinci berikut. (a) pembiasaan membaca (huruf Braille dan awas) dengan berbagai kendala; (b) konten diarahkan pada keterampilan hidup dan kewirausahaan yang didasarkan kepada: kurikulum dengan hambatan, kandungan yang adaptif dan up to date, program khusus: orientasi komunikasi, orientasi sosial, orietasi mobilitas, aktivitas sehari-hari, kecakapan

hidup, dan pengembangan bakat: musik, sastra dan dharma gita. Mencermati program tersebut diketahui bahwa panduan gerakan literasi pada SLB-A belum bisa dilaksanakan secara konsisten. Hal ini dapat dilihat dari (a) program literasi umumnya diintegrasikan dengan pelajaran, yang seharusnya terpisah; (b) keterlambatan peserta didik menguasai huruf Braille menghambat program GLS pada SLB-A (c) kendala psikologis, yakni membangkitkan semangat dan motivasi peserta didik yang frustasi karena keterbatasan fisiknya. Kendala ini pun terkait dengan karakteristik siswa tuna netra, yakni tunanetra total – rabun; tunanetra sejak lahir – tidak sejak lahir; tunanetra murni – tunanetra dengan keterbatasan ganda. Meskipun demikian, ada beberapa prestasi yang dicapai melalui program literasi ini, yaitu pentas teater, baca puisi, musik dan dharma gita. Hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan peningkatan dan pengembangan program GLS pada SLB-A. Kata kunci: gerakan literasi, SLB, Braille, tunanetra

LITERACY ENHANCEMENT PROGRAM FOR SPECIAL SCHOOL-A IN BALI PROVINCE

By: Nengah Arnawa1

Anak Agung Gde Alit Gria2 I Gusti Lanang Rai Arsana3

1,2,3FKIP Universitas Mahadewa Indonesia Email: [email protected]

Abstract

This study was conducted to map the implementation of the three-year literacy enhancement program held in special schools in Bali Province. In the first year, the focus of this study was on the implementation of the program in Special School-A, special schools for children with blindness. This study was carried out in the form of a survey using comparative procedures which compared the real condition regarding literacy facilities and mandatory activities to the ideal conditions as described in the program guidelines in the sampled schools. The comparison produced a map of the literacy program implementation in special schools. Secondary data in the forms of program documents and accomplishment were collected through interviews with literacy enhancement program supervisors in the schools. Based on the procedure, the literacy enhancement program at Special School-Aare described as follows. (a) reading habit (Braille and beware) with various problems; (b) contents that were directed at developing life skills and entrepreneurship based on: special curriculum, adaptive and up to date contents, specific programs: communication-orientated program, social-oriented program, mobility-oriented program, daily activities, life skills, and talent development: music, literature and dharma gita. Based on the observations on this program, the literacy program guidelines were not yet consistently implemented as reflected in (a) literacy programs that were integrated into general lessons, while they should be presented as a single program; (b) the delay of students in mastering Braille letters which inhibited the success of the program (c) psychological constraints related to the difficulties in growing students’ enthusiasm and motivation since they were frustrated about their physical limitations. Another challenge was also related to varied levels of blindness, namely total blindness - nearsightedness; blind by birth - not by birth; visually impaired - blind with multiple limitations. Despite those limitations, several sub-programs have been accomplished including theatre performances, poetry reading, music performance and dharma gita. This study provided insights that can be used as a reference in improving and developing the literacy enhancement program at Special School -A. Key words: literacy enhancement program, Special School, Braille, students with blindness

1. Pendahuluan Peningkatan dan pengembangan kualitas sumber daya manusia (SDM) merupakan program

sentral pembangunan nasional. Dikatakan demikian karena kualitas SDM berdampak langsung pada pembangunan sektor lainnya. Setiap pembangunan pada sektor lain bermuara pada aspek ‘manusia’ bangsa Indonesia; misalnya, pembangunan teknologi dan infrastruktur bertujuan meningkatkan kesejahteraan setiap insan Indonesia. Cetak biru pembangunan SDM dituangkan dalam program nasional di bidang pendidikan; yang mencakup pendidikan informal, formal, dan nonformal.

Sekolah luar biasa (SLB) merupakan lembaga pendidikan formal yang diperuntukkan bagi anak bangsa yang memiliki keterbatasan dalam aspek fisik dan/atau mental. Anak-anak dengan keterbatasan itu pun merupakan bagian dari generasi bangsa yang harus diberdayakan sesuai dengan potensi yang dimilikinya sehingga mereka menjadi insan yang bertanggung jawab, baik secara individi maupun sosial. Anak-anak yang dilahirkan dengan keterbatasan memiliki hak yang sama dalam perolehan pendidikan, seperti yang diatur dalam pasal 31 UUD 1945, khususnya ayat (1) – (2) yang mengatur hak dan kewajiban setiap warga negara dalam bidang pendidikan. Pada ayat (1) ditegaskan secara eksplisit bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan; dan pada ayat (2) dinyatakan kewajiban setiap warga mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Merujuk pada kedua ayat itu, secara konstitusi, anak-anak dengan keterbatasan wajib dan berhak mendapat pendidikan.

Secara makro, peserta didik pada SLB merupakan bagian dari masyarakat global. Salah satu ciri masyarakat global adalah mampu mengadaptasi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (Kemendikbud, 2016). Untuk mewujudkan hal itu, pemerintah mencanangkan program gerakan literasi sekolah (GLS), tidak terkecuali pada SLB. Pencanangan GLS di Indonesia sejalan dengan Deklrasi Praha yang menekankan pentingnya literasi informasi (information literacy) sebagai strategi makro pembangnunan SDM. Secara konseptual, literasi informasi merupakan kemampuan mandiri setiap peserta didik untuk mencari serta menemukan pengetahuan dan teknologi, memahami, mengevaluasi secara kritis lanjut memanfaatkannya untuk pengembangan pribadi dan kehidupan sosialnya (Unesco, 2003). Merujuk konsep itu, muara GLS adalah kesadaran peningkatan kualitas hidup masyarakat melalui penerapan IPTEK yang perolehannya melalui upaya sendiri. Untuk bisa mewujudkan pribadi yang demikian diperlukan kapasitas setiap orang agar memiliki: (a) kemampuan manajemen pengetahuan dan motivasi belajar tanpa henti; (b) kesadaran akan kebutuhan informasi; (c) kemampuan menemukan sumber informasi sesuai kebutuhan; (d) kemampuan menilai informasi secara kritis: (e) kemampuan mengorganisasi serta mengintegrasi pengetahuan; (f) kecermatan menggunakan informasi pada saat yang tepat; dan (g) kemampuan mengkomunikasikan kepada masyarakat luas secara efektif, legal dan etis. Ketujuh kemampuan unsur literasi itu diharpkan menjadi bagian dari pendidikan karakter (Permendikbud, Nomor 23/2015). Dalam konteks penumbuhkembangan kompetensi literasi inilah urgensi peningkatan keterampilan berbahasa (Indonesia, daerah, dan asing) sangatlah penting; sehingga dijadikan landasan filosofis program GLS.

Secara konseptual, operasional kegiatan GLS diidentikkan dengan aktivitas membaca dan menulis (Kemdikbud, 2016). GLS dikembangkan sebagai kegiatan partisipatif dengan melibatkan semua pemangku kepentingan sekolah. Pelibatan berbagai stakeholdrs menjadikan GLS sebagai gerakan sosial. Langkah awal program GLS diupayakan melalui pembiasaan membaca selama 15 menit sebelum pelajaran dimulai yang akan dikembangkan menjadi keterampilan reseptif dan produktif. Program GLS merupakan upaya komprehensif yang berkesinambungan untuk membangun sekolah menjadi lembaga literat. Sebagai lembaga literat, semua warga sekolah: kepala sekolah, guru, pustakawan, murid, komite sekolah, bahkan orang tua diharapkan memiliki kegemaran membaca sebagai cara belajar sepanjang hayat (Kemdikbud, 2016a). GLS dicanangkan pemerintah sebagai jawaban atas rendahnya keterampilan membaca para siswa di Indonesia, seperti yang dilaporkan organisasi-organisasi internasional, seperti Progress in International Reading Literacy Study (2011), Trends International Mathematics and Science Studies (2011), Programme for International Student Assessment (2012). Capaian GLS dilihat dari 6 aspek, yaitu: literasi dini, literasi dasar, literasi perpustakaan, literasi media, literasi teknologi, dan literasi visual. Setiap tahap

perkembangan literasi itu diukur berdasarkan indikator yang berkesinambungan dan berjenjang secara hirarkis dengan melibatkan pihak terkait (Kemdikbud, 2016).

Sebagai gerakan nasional, GLS berlaku pula pada Sekolah Luar Biasa (SLB). Sebagai lembaga pendidikan formal bagi anak yang berketerbatasan khusus, layanan GLS pada SLB pun berbeda dengan sekolah pada umumnya. Format layanan GLS pada SLB disesuaikan dengan keterbatasan kelompok peserta didik, seperti pada kelompok tunanetra (SLB-A), tunarungu (SLB-B), dan tunagrahita (SLB-C). Sasaran GLS pada SLB adalah terciptanya iklim literasi pada SLB, yang meliputi: lingkungan fisik sekolah, lingkungan sosial dan afektif, serta lingkungan akademik dengan berpegang pada prinsip: gerakan literasi sejalan dengan perkembangan murid yang dapat diprediksi, berimbang, berlangsung pada semua area kurikulum, bermakna, diskusi dan strategi bahasa lisan, serta keberagaman (Kemdikbud, 2016b).

Beberapa kajian sebagai pijakan awal penelitian ini dapat dipetakan seperti berikut. Triwiaty dan Assjari (2017) melaporkan bahwa program literasi sekolah di SLB Cimahi sudah ada, tetapi belum maksimal karena sebagian siswa masih menolak kegiatan literasi; sehingga perlu pembenahan program yang lebih variatif, baik dalam aspek media maupun strategi pencapaiannya. Kajian yang dilakukan Triwiaty dan Assjari tersebut membuktikan bahwa perlu ada pemetaan kompetensi literasi informasi pada siswa SLB sehingga program dan strategi pencapaian lebih berorientasi pada keterbatasan dan kebutuhan peserta didik.

Humaira (2012) mengkaji pelaksanaan pembelajaran bahasa Indonesia bagi anak tunagrahita di Pariaman. Berdasarkan kajiannya disimpulkan bahwa terdapat kesenjangan antara teori dengan keadaan lapangan. Kesenjangan itu tampak melalui pengajaran yang klasikal, dominasi metode ceramah, dan jarangnya penguatan oleh guru. Kesenjangan ini diyakini berdampak pada rendahnya kualitas keterampilan literasi informasi oleh anak-anak tunagrahita di Pariaman karena keterampilan berbahasa Indonesia merupakan modal untuk melakukan kegiatan literasi informasi. Untuk mengatasi problematika ini diperlukan pembaharuan pembelajaran bahasa Indonesia yang dapat memperkokoh program literasi informasi.

Ina (2018) melaporkan hasil penelitiannya tentang pemerolehan bahasa anak berkebutuhan

khusus di Sumba Timur, NTT. Berdasarkan hasil penelitiannya terungkap bahwa pemerolehan bahasa pada anak berkebutuhan khusus di Sumba Timur, NTT melalui pemerolehan leksikal dan pemerolehan semantik. Keterbatasan fisik dan mental menyebabkan banyak anak berkebutuhan khusus yang mengalami kesulitan dalam pembelajaran. Data ini menjelaskan bahwa ada relasi keterbatasan fisik dan mental siswa dengan hambatan belajarnya. Keterbatasan itu pun diyakini bepengaruh kepada hambatan literasi, karena pembelajaran merupakan salah satu tahap proses literasi informasi. Laporan Ina ini sejalan dengan hasil penelitiannya Aryadi (2017) yang menyatakan bahwa siswa tunarungu di Gudung Kidul belum dapat berbicara dengan jelas (artikulasi tidak jelas). Ketidakjelasan artikulasi berpengaruh pada kemampuan mengkomunikasikan gagasan sebagai bagian dari kegiatan literasi informasi. Siswa akan mampu membaca ujaran jika siswa benar-benar memperhatikan lisan lawan bicara. Data ini dapat dijadikan pertimbangan dalam menyusun praktik literasi sekolah di SLB-B.

Rachma (2016) melaporkan hasil penelitiannya tentang peranan perpustakaan dalam literasi informasi di SLB-A Palembang. Dari hasil penelitian itu terungkap bahwa perpustakaan berperan penting dalam peningkatan literasi informasi di SLB-A. Hal-hal yang perlu tersedia diperpustkaan SLB-A adalah rekaman audio, buku dengan tulisan Braille, media tiga dimensi, komputer, dan jadwal yang terstruktur baik. Ketersediaan perpustakaan yang memadai untuk siswa penyandang tunanetra dapat meningkatkan motivasi literasi para siswa.

Dari sejumlah laporan penelitian tersebut di atas dapat terungkap bahwa masih ada sejumlah kendala pelaksanaan GLS di SLB. Kendala itu dapat diatasi jika tersedia praktik GLS yang sesuai dengan kebutuhan dan keterbatasan siswa SLB. Untuk bisa menyusun praktik GLS yang sesuai dengan keterbatasan dan kebutuhan siswa SLB diperlukan landasan konseptual yang teruji secara teoretis. Landasan konseptual bisa dirumuskan jika telah dipetakan kompetensi literasi informasi yang dimiliki oleh peserta didik SLB pada semua jenis dan jenjang pendidikan. Penelitian ini

diarahkan untuk menghasilkan deskripsi dan eksplanasi kompetensi literasi informasi para siswa SLB di seluruh Provinsi Bali. Pemetaan kompetensi literasi informasi memiliki nilai strategis untuk dapat menyusun praktik GLS yang efektif bagi para siswa SLB. 2. Metode Penelitian

Penelitian ini dirancang selama 3 tahun dengan menggunakan desain kualitatif. Pada tahun pertama, kjian difokuskan pada GLS untuk peserta didik tunanetra; pada tahun kedua difokuskan pada peserta didik tunarungu; dan pada tahun ketiga difokuskan pada peserta didik tunagrahita. Sampel penelitian dirancang mengunnakan teknik areal, seperti berikut ini.

No Tahun Pelaksanaan Fokus Penelitian Sampel 1. 2020 Tunanetra (SLB-A) SLBN 1 Denpasar

SLBN 1 Singaraja SLBN 1 Tabanan

2. 2021 Tunarungu (SLB-B) SLBN 1 Badung SLBN 1 Semarapura SLBN 1 Bangli

3. 2022 Tunagrahita (SLB-C) SLBN 1 Amlapura SLBN 1 Bangli SLBN 1 Gianyar

Selama pandemi Covid-19, pembelajaran dilakukan secara daring dan luring sehingga pengumpulan data primer tidak dimungkinkan. Oleh karena itu, pada tahun I dikumpulkan data sekunder melalui pencatatan dokumen tentang program GLS, wawancara dan angket dengan guru pembina. Analisis data dilakukan secara komparatif, yakni membandingkan komponen kegiatan yang digariskan dalam panduan GLS dengan realisasi pelaksanaannya di sekolah sampel. Fokus kajian dirahkan pada: (a) tahapan literasi, (b) implementasi prinsip GLS, (c) komponen literasi, dan (d) capaian. 3. Hasil dan Pembahasan 3.1 Karakteristik peserta didik

Istilah tunanetra tidak saja merujuk kepada orang yang benar-benar buta, tetapi juga

mencakup seseorang yang memiliki kemampuan melihat dengan sangat terbatas. Identifikasi karakteristik peserta didik tunanetra berelasi erat dengan aspek psiko-metodologis pembelajaran. Berdasarkan data terungkap bahwa peserta didik tunanetra diidentifikasi seperti berikut ini.

a. Tunanetra total, yakni peserta didik yang betul-betul tidak bisa melihat atau kehilangan kemapuan melihat 100%. Istilah teknis untuk menjelaskannya adalah anak yang visusnya = 0. Anak ke dalam kategori ini apabila mereka betul-betul tidak mampu menerima ransang cahaya dari luar. Tipe ini dikelompokkn menjadi dua subkategori, yakni tunanetra total sejak lahir dan tunanetra total tidak sejak lahir. Tunantera total tidak sejak lahir bisa disebabkan oleh suatu penyakit atau kecelakaan. Kedua tipe peserta didik ini memiliki kendala psikologis dengan intensitas yang berbeda. Peserta didik tunanetra total sejak lahir umumnya memiliki rasa frustasi meskipun tidak sedalam peserta didik tunanetra yang tidak sejak lahir. Kedalaman intensitas rasa frustasi ini berimplikasi pada pelaksanaan GLS.

b. Rabun (low vision), yakni peserta didik yang mengalami penurunan drastis kemanpuan penglihatan. Secara teknis dijelaskan bahwa peserta didik termasuk kategori ini apabila mereka masih bisa menerima rangsang cahaya dari luar tetapi visusnya ≤ 6/21. Secara awam, visus 6/21 bermakna bahwa anak dapat membaca huruf dari jarak 6 meter yang oleh orang berpenglihatan normal (awas) bisa dibaca dari jarak 21 meter. Peserta didik kelompok ini masih bisa membaca judul berita koran.

c. Tunanetra murni, yakni peserta didik yang hanya kehilangan kemampuan penglihatan saja; kemampuan lain, seperti: bicara, menyimak, dan tingkat kecerdasannya normal.

d. Tunanetra ganda, yakni peserta didik yang selain kehilangan kemampuan penglihatan juga kehilangan salah satu atau lebih kemampuan lainnya; seperti peserta didik tunanetra dan tunarugu, peserta didik tunanetra dan tunagrahita, atau peserta didik tunanetra dan tunarungu serta tunagrahita.

Keterbatasan-keterbatasan tersebut berimplikasi kepada perkembangan aspek-aspek lainnya yang dapat menghambat pelaksanaan GLS bagi mereka.

Dibandingkan dengan anak normal, perkembangan motorik anak tunanetra cenderung lebih lambat yang disebabkan ketiadaan koordinasi fungsional antara otot dengan sistem syaraf. Kendala ini menimbulkan hambatan psikis yang berkaitan dengan aspek kognitif, afektif, dan konatif. Ketiga hambatan psikologis itu disebabkan karena anak tunanetra ‘kehilangan’ kesempatan perolehan pengentahuan melalui interaksi dengan lingkungannya. Akibatnya, anak tunantera mencapai kematangan motorik lebih lambat daripada anak normal lainnya. Dikaitkan dengan program GLS, peserta didik tunanetra mengalami hambatan mengakses lingkungan sebagai sumber literasi; seperti terhambat ke perpustakaan atau ke pojok baca.

Selain pada aspek motorik, peserta didik tunanetra pun mengalami hambatan pada aspek emosi dan sosial. Kedua hambatan yang dialami ini pun berdampak pada pelaksanaan GLS bagi peserta didik tunanetra. Anak tunanetra mengalami hambatan dalam menderivasi emosi sesuai dengan rangsang lingkungan. Akibatnya, mereka cenderung memilih sikap ‘introvert’. Hambatan perkembangan emosi pun menyebabkan hambatan sosial, yakni peserta didik tunanetra relatif lambat dalam penyesuaian sosial yang menghilangkan motivasi bahkan dapat menimbulkan ‘ketakutan’ pada lingkungannya, terlebih-lebih lingkungan yang baru. Kehilangan penglihatan menyebabkan peserta didik tunanetra tidak bisa dengan cepat melakukan identifikasi dan imitasi lingkungan. Hal ini sangat menghambat pelaksanaan GLS pada SLB-A. Untuk membantu mengurangi hambatan-hambatan itu, peran sosial orang-orang di sekitarnya sangat dibutuhkan. Dalam konteks GLS di SLB-A peran guru, pegawai tata usaha, orang tua, komite sekolah diharapkan dapat menumbuhkan motivasi belajar peserta didik penyandang tunanetra.

3.2 Potret Literasi pada SLB-A

Secara umum, perhatian pemerintah terhadap pelaksanaan GLS pada SLB-A sangat baik. Hal ini dibuktikan dengan ketersediaan sarana yang memadai. Pada SLB-A umumnya telah tersedia sarana literasi berupa: miniatur benda 3 dimensi (seperti: miniatur binatang, alat-alat rumah tangga, dan lain-lain), buku dengan huruf Braille, reglet, CD audio, bahkan telah tersedia komputer bicara. Penggunaan CD audio dan komputer wicara bertujuan untuk memaksimalkan potensi keterampilan menyimak pada peserta didik tunanetra.

Khasanah isi pelaksanaan GLS di SLB-A mengacu kepada tuntutan kurikulum dengan hambatan. Kandungan materi diupayakan adaptif dan up to date dengan fokus utama pada: oreintasi komunikasi, orientasi sosial, oreintasi mobilitas, ADL (activity daily life ‘aktivitas kehidupan sehari-hari’), serta didominasi dengan kecakapan hidup / keterampilan. Dalam bidang kebahasaan diarahkan pada keterampilan komunikatif yang efektif (menyimak, berbicara, membaca dan menulis huruf Brille), dalam bidang kesastraan diarahkan pada pembacaan dan penulisan pusi, cerpen, prosa, serta dharma gita.

Implementasi program GLS pada SLB-A diawali dengan pembiasaan membaca huruf Braille dan awas. Pelaksanaan literasi ini penuh tantangan dan hambatan psikologis, terutama pada peserta didik baru. Karena hambatan itu, pengajaran membaca dan menulis permulaan dengan huruf Braille sering tidak bisa dilakukan sejak awal. Fakta ini menghambat pelaksanaan program GLS pada SLB-A. Dalam beberapa kasus, sering terjadi perobekan buku oleh siswa. Bagi mereka belajar membaca dan menulis dengan huruf Braille dianggap tidak perlu. Kondisi ini sangat berbeda dengan pelajaran membaca dan menulis permulaan huruf Latin pada sekolah normal (biasa). Materi literasi difokuskan pada aspek keterampilan hidup dan kewirausahaan, seperti: tata rias dan busana, seni (teater,

musik, sastra), massage. Selain itu, program literasi juga diarahkan pada penguatan mental dan pembentukan disiplin pribadi dan sosial sehingga peserta didik tunanetra dapat dengan cepat beradaptasi dengan lingkungan.

Pelaksanaan program GLS di SLB-A dihadapkan pada sejumlah kendala. Pertama, kerumitan penempatan/lokasi pojok baca Braille yang menuntut keamanan tinggi bagi peserta didik. Sering terjadi keterlambatan sirkulasi dan permutasi buku Braille antarpojok baca. Ketiga, kendala psikologis para peserta didik baru yang didominasi oleh keputusasaan yang mendalam; dan keempat, hambatan psikologis bagi peserta didik tunanetra-baru karena terjadi perubahan hidup yang sangat ekstrem.

Asesmen GLS pada SLB-A diarahkan pada dua hal pokok, yaitu aspek akademis dan fungsional. Asesmen akademis mengacu kepada tuntutan kurikulum dengan hambatan yang lebih fokus pada kecakapan hidup. Asesmen fungsional dilakukan berdasarkan bakat dan minat perserta didik secara individual. Berdasarkan asesmen yang telah dilakukan dicapai hal-hal berikut. Pertama, kebangkitan psikologis peserta didik, yakni tumbuhknya kesadaran dan pengenalan potensi diri yang layak dikembangkan. Capaian ini berhasil membangun motivasi berprestasi peserta didik tunanetra. Kedua, Disiplin diri peserta didik yang terus berkembang secara signifikan. Ketiga, kecepatan beradaptasi dengan tempat kerja. Jadi, pada SLB-A GLS merupakan salah satu upaya pembangunan karakter. 3.3 Program Literasi dan Pengembangan Bahasa pada SLB-A

Kesulitan anak tunanetra terletak pada keterbatasan pemahaman informasi/pengetahuan yang bersumber dari dunia konkret; sedangkan kemampuan pengolahan informasi audio relatif sama karena kemampuan berbahasa anak tunanetra tidak berbeda dengan anak pada umumnya. Potensi kebahasaan anak tunanetra dapat dijadikan tumpuan GLS. Oleh karena itu pengajaran bahasa (Indonesia, daerah, dan asing) terkait erat dengan pelaksanaan GLS pada SLB-A. Secara umum, tujuan pengajaran bahasa adalah menumbuhkan keterampilan berkomunikasi dengan bahasa yang dipelajari. Pengajaran bahasa diarahkan pada peningkatan keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Khusus pada SLB-A, keterampilan membaca dan menulis diarahkan pada penggunaan huruf Braille dan awas (dengan bantuan suara). Pengajaran menyimak dan berbicara dapat dilakukan melalui teknik cerita, yakni guru bercerita atau membacakan sesuatu; peserta didik menyimak informasi yang disampaikan, mengkritisi, mengajukan pertanyaan dan mendiskusikannya. Pengajaran menyimak dan berbicara dapat pula dilakukan dengan memutar rekaman audio yang diikuti dengan tanya jawab sesuai isinya. Pengembangan kemampuan berbahasa anak tunanetra dapat pula dipupuk melalui kegiatan bermain peran yang memungkinkan komunikasi alamiah antar peserta didik. Dalam hal pengajaran membaca dan menulis, peserta didik tunanetra diajar dalam huruf Brille. Pelaksanaan pengajaran membaca dan menulis (Braille) relatif terhambat karena berbagai keadaan, khususnya kesiapan siswa. Dengan adanya teknologi komputer audio atau aplikasi telepon pintar yang dirancang untuk tunanetra secara berangsur-angsur keterbatasan anak tunanetra dalam baca-tulis dapat diatasi.

Kegiatan literasi sangat gayut dengan kegiatan membaca. Bagi penyandang tunanetra, kegiatan membaca diarahkan pada teks dengan huruf Braille. Huruf Braille merupakan sarana literasi penting bagi peserta didik tunanetra. Oleh karena itu, pengajaran membaca dan menulis dengan huruf Braille yang menggunakan dria taktual menjadi sangat urgen. Sebagai awal pembelajaran baca-tulis Braille, para siswa terlebih dahulu dilatih kepekaan dria taktualnya karena keterampilan ini bukanlah sesuatu yang dikuasai secara otomatis (Rudiyati, 2010). Pelatihan kepekaan dria taktual dapat dilakukan dengan penerapan terpadu antara metode ceramah, tanya jawab, dan metode demonstrasi. Dalam hal ini media yang dibutuhkan adalah reken plank sebagai sarana pengenalan enam titik huruf Braille. Penguasaan penguasaan enam titik Braille dapat ditransformasi ke dalam reglet.

Kecepatan membaca sangat mendukung capaian program literasi. Pada orang normal, kecepatan membaca ideal adalah 250 – 300 kata/menit dengan tingkat pemahaman yang memadai.

Namun, pada tunanetra kecepatan membaca yang ideal adalah 90 – 115 kata/ menit. Perbedaan kecepatan membaca huruf awas dengan huruf Braille ini merupakan hambatan tersendiri pada pelaksanaan GLS bagi peserta didik tunanetra. Fakta-fakta itu menunjukkan betapa pentingnya keterampilan membaca huruf Braille untuk menyukseskan program GLS bagi penyandang tunanetra.

4. Simpulan

Program literasi merupakan upaya peningkatan kapasitan dan kapabilitas sumber daya manusia, yang pelaksanaannya melalui jalur pendidikan formal. SLB-A merupakan salah satu bentuk pendidikan formal bagi peserta didik penyandanag tunanetra. Oleh karena itu, pelaksanaan program literasi pun menjadi kewajiban SLB-A. Pelaksaanaan GLS pada SLB-A dihadapkan pada sejumlah kendala, yakni karakteristik peserta didik, habatan operasional, dan hambatan keterampilan membaca dengan Braille. Kesuksesan GLS pada SLB-A membutuhkan dukungan semua stakeholder.

DAFTAR PUSTAKA

1. Kemdikbud, 2016. Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah. Jakarta: Direktoral

Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah.

2. Mullis, I.V.S., Martin, M.O., Foy, P., & Drucker, K.T. 2012. The PIRLS 2011

International Results in Reading. Chestnut Hill, MA: TIMSS & PIRLS International

Study Center, Boston College.

3. PISA.2012. Result in Focus. Cited at https://www.oecd.org/pisa/keyfindings/pisa-

2012-results-overview.pdf

4. Unesco.2006. Literacy fo Life: Educational for All Global Monitoring Report.

5. Unesco. 2005. Beacons of The Information Society.

6. Permendikbud No. 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Dikutip dari

http://simpuh.kemenag.go.id/regulasi/permendikbud_23_15.pdf

7. Kendikbud, 2016b. Panduan Gerakan Literasi Sekolah di Sekolah Luar Biasa.

Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah.

8. Triwiaty, R. Dan Assjari, M. 2017. ‘Program Literasi Sekolah untuk Meningkatkan

Kemampuan Membaca Siswa Tunanetra SLB di Cimahi’. Dalam Jassl_anakku Vol.

18 No. 2 hal 51 – 56.

9. Humaira, Desni. 2012. Pelaksanaan Pembelajaran bahasa Indonesia bagi Anak

Tunagrahita Ringan Kelas III di SLB Sabiluna Pariaman. Dalam E-Jupekhu, Vol. 1

No. 3 hal. 95 – 109.

10. Ina, Bagita Tamu. 2018. Pemerolehan Bahasa pada Anak Berkebutuhan Khusus Kelas

VI di SLB Sumba Timur, NTT. Dalam NOSI Vol. 6 No. 2. Hal 1 – 10.

11. Rachma, Dian Nurbaiti. 2016. Peranan Perpustakaan dalam menumbuhkan

Kemampuan Literasi Informasi bagi Anak Tunanetra di SLB-A Panti Rehabilitasi

Penyandang Cacat Netra Palembang. Dikutip dari

http://eprints.radenfatah.ac.id/613/1/DIAN%20NURBAITI%20RACHMA_AdabIlmP

erp.pdf

2. Artikel Jurnal Nasional terakreditasi Sinta 1 - 3

Pada tanggal 11 Oktober 2020 telah mengirim artikel kepada Jurnal Sawerigading,

Peringkat SINTA 2. Judul Artikel : Kebutuhan Wacana Tulis Telegrafis untuk

Program GLS bagi Peserta Didik Tunanetra pada SLB di Provinsi Bali.

Bukti submit artikel seperti berikut ini.

Artikel Lengkap (Submitted)

KEBUTUHAN WACANA TULIS TELEGRAFIS UNTUK PROGRAM GLS BAGI PESERTA DIDIK TUNANETRA PADA SLB DI PROVINSI BALI

Oleh:

Nengah Arnawa1 Anak Agung Gde Alit Geria2 I Gusti Lanang Rai Arsana3

e-mail: [email protected] 1,2,3 FKIP Universitas PGRI Mahadewa Indonesia

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk memetakan pelaksanaan program GLS-SLB bagi peserta didik tunanetra di Provinsi Bali. Penelitian ini menggunakan desain kualitatif. Data dikumpulkan dari 3 kabupaten yang berbeda. Sampel sekolah ditetapkan berdasarkan purposive. Data dikumpulkan melalui pencatatan dokumen, observasi, wawancara, dan angket. Data yang diperoleh direduksi, di-display, dan diverifikasi. Berdasarkan prosedur kerja seperti itu terungkap hal-hal berikut. (1) Program GLS bagi peserta peserta didik tunanetra dilakukan dengan tiga pola, yaitu dibacakan guru, menggunakan audio book, dan pojok baca. Hambatan utama pelaksanaan GLS bagi peserta didik tunanetra adalah kecepatan efektif membaca (KEM) teks berhuruf Braille yang sangat rendah, yakni

85 – 101 kpm (kata per menit). Untuk mengatasinya diperlukan wacana tulis telegrafis dan pelatihan kepekaan takstil para peserta didik secara kelanjutan. Kata kunci: gerakan lietasi sekolah, tunanetra, wacana telegrafis, kecepatan efektif membaca.

THE NEED FOR TELEGRAPHIC WRITING TO SUPPORT SCHOOL LITERACY ENHANCEMENT PROGRAM FOR BLIND STUDENTS IN BALI

Abstract

This study examined the implementation of School Literacy Enhancement Program for blind students in Bali. In this qualitative study, data were collected from 3 districts though document study, observation, interviews, and questionnaires. The data were then reduced, displayed and verified. This study revealed that (1) the program was done in three methods; reading out loud by teachers, using audio book, and developing reading corner. The major problem experienced by blind students was on the low effective Braille reading rate at 85-101 words per minute. To address this problem, telegraphic writing and text preciseness skills among students should be enhanced continuously.

Key words: school literacy enhancement program, telegraphic writing, effective reading rate

1. Pendahuluan Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kondisi empirik bahwa minat baca siswa sangat rendah,

seperti yang dilaporkan berbagai pihak (Wiedarti, 2016a); sedangkan perkembangan masyarakat global menuntut keterampilan literasi sebagai sesuatu yang sangat urgen. Untuk mengatasi kesenjangan itu disusun program nasional Gerakan Literasi Sekolah (GLS). Sebagai gerakan nasional, Sekolah Luar Biasa (SLB) tidak dikecualikan. Pelaksanaan GLS pda SLB perlu didukung agar anak-anak dengan keterbatasan bisa mengembangkan potensi diri secara optimal. Salah satu kelompok peserta didik di SLB adalah penyandang tunanetra. Untuk mendorong pelaksanaan GLS bagi peserta didik tunanetra perlu dilakukan analisis kebutuhan.

Dengan keterbatasannya, peserta didik tunanetra diduga memiliki kebutuhan literasi yang berbeda. Dugaan perbedan itu bersumber dari asumsi bahwa membaca teks dengan huruf Brille membutuhkan waktu yang lebih lama. Persoalannya adalah belum tersedia data yang memadai tentang kecepatan membaca teks berhuruf Braille bagi anak-anak tunanetra sehingga kebutuhan struktur teks informasi yang sesuai belum bisa dideskripsikan. Merujuk persoalan tersebut, penelitian ini memiliki dua tujuan utama. Pertama, mengungkapkan kecepatan rata-rata membaca teks berhuruf Brille bagi peserta didik tunatera di Provinsi Bali sehingga bisa dijadikan rujukan bagi SLB di daerah lain. Kedua, mengungkapkan struktur teks yang dinilai efektif untuk mendukung program literasi bagi peserta didik tunanetra. Penyesuaian struktur teks dengan kecepatan membaca huruf Braille bertujuan agar peserta didik tunanetra dapat mengakses informasi secara lebih efektif untuk kepentingan hidup pribadi dan sosial mereka sehari-hari.

Penyesuaian struktur teks informasi merupakan kebutuhan konkret bagi peserta didik tunanetra. Ada dua konsep filosofis-normatif yang melatari kebutuhan itu. Pertama, peserta didik tunanetra memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan dan informasi. Kedua, prinsip dasar pendidikan luar biasa adalah penyesuaian lingkungan belajar dengan keterbatasan anak-anak yang berkebutuhan khuusus. Landasan filosofis-normatif itu perlu dipraktikan untuk mendukung program GLS pada SLB. Wujud praktisnya adalah penyediaan teks literasi yang sesuai kebutuhan pembelajaran peserta didik tunanetra. Untuk mengungkapkan struktur teks informasi yang sesuai itulah penelitian ini dilakukan.

1. Kerangka Teoretis 2.1 Ketunanetraan

Ketunanetraan bukanlah halangan bagi seseorang untuk menjalani proses pendidikan. Peserta didik dikategorikan tunanetra apabila visusnya kurang dari 6/21 (Hidayat dan Suwandi, 2016). Merujuk pada batasan itu, seorang anak dikategorikan tunanetra apabila mereka dapat membaca huruf berukuran besar dari jarak 6 meter, sedangkan bagi anak awas huruf itu dapat dibaca dari jarak 21 meter. Selanjutnya, peserta didik tunanetra diidentifikasi menjadi dua kelompok, yakni peserta didik rabun (low vision) dan dan peserta didik buta (blind). Ketunanetraan seseorang dapat dialami sejak lahir dan setelah lahir. Peserta didik tunanetra sejak lahir adalah mereka yang sama sekali tidak memiliki pengalaman visual sehingga semua pengetahuan dan informasi yang dimilikinya bersumber dari rangsang indra lain. Sebaliknya, peserta didik tunanetra setelah lahir adalah mereka yang pernah memiliki pengalaman visual dalam hidupnya. Peserta didik tunanetra setelah lahir ini kehilangan penglihatannya karena berbagai hal, misalnya karena kecelakaan. Dikaitkan dengan program nasional GLS, baik peserta didik dengan low vision maupun yang blind, serta tunanetra sejak lahir maupun setelah lahir semuanya membutuhkan layanan khusus; misalnya, modifikasi struktur teks informasi dan alih aksara ke huruf Brille.

Huruf Braille merupakan sistem abjad fonetik takstil untuk penyandang tunanetra (Hoskin dan Davis, 2019). Huruf Braille merupakan korespondensi satu demi satu titik (Emerson; Holbrook; dan D’Andrea, 2009). Urutan abjad Braille mengikuti urutan abjad Latin, yang terdiri dari 26 huruf, yakni huruf a – z. Karakter huruf Brille dikembangkan berdasarkan kerangka enam titik dengan posisi dua kolom dan tiga baris, seperti tampak pada gambar berikut ini.

Gambar 1. Kerangka Dasar Karakter Huruf Brille

Karakter huruf Brille dibentuk berdasarkan konfigurasi 6 titik tersebut. Sepuluh abjad pertama, yakni huruf a – j, dibentuk dengan konfigurasi titik 1, 4, 2, dan 5 yang dalam sistem Brille disebut tanda atas. Sepuluh huruf kedua yakni k – t dibentuk dengan menambhakan titik posisi 3 pada sepuluh huruf pertama itu. Selanjutnya, lima huruf lainnya, yakni u, v, x, y, dan z dibentuk dengan menambahkan titik posisi 3 dan 6 pada huruf a, b, c, d, dan e; sedangkan huruf w dibentuk dengan konfigurasi titik posisi 2-4-5-6. Peyimpangan pola titik huruf w karena pada abjad asli Braille tidak dikenal huruf ini. Huruf w dikenal dalam abjad Brille setelah masuk Amerika (Hidayat dan Suwandi, 2016). Selengkapnya, konfigurasi titik huruf Braille dapat ditabulasi dalam tabel berikut ini.

Tabel 1. Konfigurasi Titik Huruf Braille

No. Huruf Latin Konfigurasi Titik Huruf Brille

1. a/A 1 2. b/B 1-2 3. c/C 1-4 4. d/D 1-4-5 5. e/E 1-5 6. f/F 1-2-4 7. g/G 1-2-4-5 8. h/H 1-2-5

9. i/I 2-4 10. j/J 2-4-5 11. k/K 1-3 12. l/L 1-2-3 13. m/M 1-3-4 14. n/N 1-3-4-5 15. o/O 1-3-5 16. p/P 1-2-3-4 17. q/Q 1-2-3-4-5 18. r/R 1-2-3-5 19. s/S 2-3-4 20. t/T 2-3-4-5 21. u/U 1-3-6 22. v/V 1-2-3-6 23. w/W 2-4-5-6 24. x/X 1-3-4-6 25. y/Y 1-3-4-5-6 26 z/Z 1-3-5-6

Selaian huruf, sistem Braille pun memiliki cara penulisan angka dan tanda baca yang harus dihafalkan oleh para penyandang tunanetra. Konfigurasi titik untuk angka Braille dapat disajikan pada tabel berikut ini.

Tabel 2. Konfigurasi Titik Angka Braille

1.2 Gerakan Litearasi SLB Gerakan Literasi Sekolah merupakan program nasional yang pelaksanaannya didasarkan pada

Peraturan Meneteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti; yang dalam lampirannya mewajibkan sekolah melaksanakan kegiatan membaca selain buku pelajaran selama 15 menit setiap hari untuk menumbuhkan kebiasaan berliterasi. Kewajiban itu pun melekat pada SLB. Untuk kepentingan ini, pemerintah telah menerbitkan panduan GLS untuk SLB, yang di dalamnya memuat pula penjelasan pedoman pelaksanaan literasi bagi anak tunanetra (Wiedarti, dkk., 2016b).

Konsep awal literasi berpijak pada makna keberaksaraan atau melek huruf, yang dikaitkan langsung dengan keterampilan membaca dan menulis. Dalam perkembangannya, konsep dasar itu dielaborasi secara fungsional hingga mencakup kemampuan mengaplikasikan dan mengomunikasikan IPTEKS menjadi keterampilan hidup (Harsiati dan Priyatni, 2017). Kegiatan literasi merupakan wujud kesadaran dan kebutuhan belajar sepanjang hayat agar peserta didik mampu mengidentifikasi, menentukan, menemukan, mengevaluasi, menciptakan dan mengomunikasikan informasi untuk kehidupan (Wiedarti, 2016a). Selanjutnya, konsep literasi itu dijabarkan menjadi standar kompetensi lulusan (SKL), yakni para peserta didik dapat menemukan dan mengaplikasikan informasi secara kreatif dan inovatif dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan pemikiran kritis-rasional; serta mampu memecahkan masalah (Umamy, dkk., 2012).

Kecepatan membaca merupakan salah satu aspek yang menentukan keberhasilan GLS. Jumaidi, dkk. (2013) merinci kecepatan membaca ideal berdasarkan jenjang pendidikan, seperti berikut. Untuk tingkat SD kecepatan membaca idealnya adalah 200 kpm (kata per menit), SMP 250 kpm, SMA 325 kpm, mahasiswa 400 kpm. Akan tetapi realitasnya tidak demikian. Berdasarkan data statistik rata-rata kecepatan membaca peserta didik dengan penglihatan normal adalah 200 – 250 kpm (Noer, 2016); sedangkan bagi anak tunanetra jauh lebih lambat, yakni hanya 90 – 115 kpm (Jumaidi, dkk. 2013).

Peserta didik tunanetra memiliki banyak hambatan dalam kegiatan berliterasi. Pembaca pemula teks berhuruf Braille umumnya belum memiliki kepekaan dan kemahiran membaca secara takstil. Mereka belum sensitif terhadap elemen-elemen subleksikal. Pembaca pemula Braille tidak hanya belajar tentang huruf, gramatikal, dan ejaan; tetapi juga belajar tentang konstruksi Braille dan aturan penggunaannya (Emerson; Holbrook; dan D’Andrea, 2009). Adanya berbagai keterbatasan itu memerlukan modifikasi lingkungan belajar. Hal ini sesuai dengan prinsip pendidikan luar biasa, yakni lingkungan yang menyesuaikan dengaan kebutuhan peserta didik yang memiliki keterbatasan.

2.3 Wacana Telegrafis

Konsep wacana tulis telegrafis dikembangkan sesuai kebutuhan lapangan bagi peserta didik tunanetra, yang memiliki kecepatan membaca rata-rata lebih lambat daripada anak-anak awas. Secara operasional, konsep ini dipandang sebagai konstruksi wacana yang lebih fokus pada aspek informasi inti daripada informasi pejelas dan ilustrasi. Definisi operasional ini merujuk pada konsep kalimat telegrafis yang lebih mempertahankan kontentif daripada fungtor (Akhyar, 2017). Meskipun sangat singakat, konstruksi wacana telegrafis wajib mempertahankan keutuhan pesan serta menjaga kekoheresian dan kekohesifannya. Hal ini sagat penting karena hakikat wacana adalah keutuhan informasi yang mempersyaratkan adanya kohesi dan koherensi (Lubis, 1993; Badara 2012).

Wacana telegrafis juga dikembangkan dengan berpijak pada prinsip kerja sama. Dalam studi pragmatik, prinsip kerja sama merupakan panduan penggunaan bahasa secara efektif. Indikator keefektifanya dituangkan menjadi empat maksim, yakni: maksim kuantitas, kualitas, relevan, dan cara (Leech, 1983 dan Nababan, 1987). Maksim kuantitas fokus pada jumlah informasi yang disampaikan. Prinsip dasarnya adalah pemberian informasi sebanyak yang diperlukan. Maksim kualitas menekankan pentingnya kebenaran informasi. Maksim relevansi lebih berorientasi pada aspek kesesuaian kebutuhan informasi. Bagi peserta didik tunanetra, literasi kedaruratan, akademik,

dan fungsional lebih dibutuhkan (Waldron; Steer; dan Bhargava, 2014; Schiff, 2009). Terakhir, maksim cara mengatur pilihan konstruksi kebahasaan yang digunakan, seperti pilihan kalimat, diksi, urutan gagasan, singkat, dan tidak taksa. Prinsip-prinsip itulah yang diaplikasikan dalam penyusunan wacana telegrafis untuk memenuhi kebutuhan literasi peserta didik tunanetra. 2. Metode

Peneltian ini menggunakan desain kualitatif. Prinsip dasar penelitian kualitatif adalah menjadikan manusia sebagai subjek utama dalam suatu peritiwa (Kopeuw, 2009). Terkait dengan penelitian ini, peserta didik tunanetra merupakan subjek utama sedangkan kegiatan literasi sebagai peristiwanya.

3.1 Sampel Penelitian

Penelitian tentang GLS SLB di Provinsi Bali ini direncanakan selama 3 tahun. Pada tahun pertama (2020) difokuskan pada literasi bagi peserta didik tunantera (SLB-A). Sampel penelitian tahun ini berjumlah 65 orang yang tersebar pada 3 SLB Negeri dari Kabupaten yang berbeda, yang ditentukan secara purposive. Sebaran sampel penelitian dapat dirinci seperti berikut.

Tabel 3. Sampel Penelitian

No Sekolah Jumlah Peserta Didik Tunanetra

1 SLB Negeri 1 Denpasar 52 orang 2 SLB Negeri 1 Tabanan 9 orang 3. SLB Negeri 1 Singaraja 4 orang

Jumlah 65 orang

3.2 Pengumpulan Data

Data penelitian dikumpulkan dengan tiga cara. Pertama, data tentang kecepatan membaca peserta didik tunanetra dikumpulkan melalui pencatatan dukumen. Dokumen itu berupa catatan evaluasi portofolio dari para guru. Kedua, validasi data dokumenter dilakukan melalui wawancara mendalam (indepth interview) dengan para guru pembina. Dengan teknik snow ball dapat digali informasi yang lebih luas dan mendalam tentang variabel-variabel yang mempengaruhi kecepatan membaca peserta didik tunanetra. Ketiga, untuk mengetahui keadaan sarana dan prasarana literasi dilakukan observasi lapangan. Yang menjadi fokus observasi adalah pusat kegitan literasi pada sekolah sampel. Keempat, untuk melengkapi data yang diperoleh disebarkan angket dengan pertanyaan tertutup kepada sejumlah guru, pegawai dan orang tua siswa. Pernyataan dalam angket disusun sesuai pola Likert. Angket itu terdiri dari 100 item pernyataan yang dielaborasi dari 4 topik utama, yaitu: (a) kegiatan membaca 15 menit sebelum pelajaran dimulai, (b) ketersediaan ruang/pojok baca serta variasi bahan bacaaan berhuruf Braille, (c) dukungan guru, pegawai dan komite/orangtua terhadap program literasi sekolah, serta (d) persepsi tentang program GLS. 3.3 Analisis Data

Sesuai karakteristiknya, analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan secara intreraktif berkelanjutan hinga tuntas. Dalam penelitian kualitatif, ada tiga tahap analisis data, yaitu: reduksi data, display data, serta verifikasi dan penarikan simpulan (Sugiono, 2012). Pada tahap reduksi data, dilakukan klasifikasi berdasarkan kesamaan pola sehingga data menjadi lebih sederhana. Dalam penelitian ini dilakukan reduksi data tentang pola pelaksanaan program literasi. Display data merupakan kegiatan menyajikan data dalam bentuk tabel, grafik, dan lain-lain sehingga mudah diberikan interpretasi. Pada tahap ketiga dilakukan verifikasi untuk menarik simpulan. Simpulan penelitian kualitataif merupakan temuan baru. Dalam penelitian ini temuan baru itu adalah kebutuhan teks tulis Braille telegrafis.

3. Hasil dan Pembahasan 4.1 Pelaksanaan GLS pada Peserta didik Tunanetra Gerakan literasi sekolah dilaksanakan untuk menumbuhkan budaya baca pada para peserta didik. Untuk itu, setiap sekolah wajib melaksanakannya melalui kegiatan membaca buku selain buku pelajaran selama 15 menit sebelum pelajaran dimulai. Oleh SLB di Provinsi Bali, GLS untuk peserta didik tunanetra dilaksanakan dengan tiga pola, yakni dibacakan guru, pengunaan audiobook, dan pojok Braille.

Kegiatan GLS dengan pola dibacakan guru umumnya dilaksanakan untuk peserta didik tunanetra jenjang SD. Pilihan penerapan pola ini karena peserta didik tunanetra jenjang SD belum terampil membaca huruf Braille. Inilah perbedaan mencolok antara anak awas dengan anak tunanetra usia SD. Anak awas sudah belajar membaca, menulis, dan berhitung sejak TK sehingga ketika tahun pertama SD mereka sudah bisa membaca dan menulis. Sesuai standar kompetensi pelajaran bahasa Indonesia, anak tunanetra mulai belajar huruf Brille sejak kelas I semester 1 melalui kegiatan membaca nyaring suku kata, kata, dan kalimat sederhana serta kegiatan menulis permulaan melalui kegiatan mencontoh dan menulis permulaan huruf, kata atau kalimat sederhana. Namun, tampaknya pengimplementasiannya mengalami hambatan yang bersumber dari kesiapan belajar peserta didik dengan karakteristik yang sangat heterogen. Keheterogenan peserta didik menyebabkan pembelajaran harus dilakukan secara individual. Berdasarkan data, jumlah peserta didik tunanetra dalam satu rombongan belajar di SLB Provinsi Bali berkisar antara 1 – 7 orang, tetapi umumnya 4 orang. Penerpan kelas kecil dalam setiap rombongan belajar sangat membantu kesuksesan pembelajaran individual. Kondisi ini sangat berpengaruh pada peningkatan kecepatan membaca huruf Braille. Hambatan utama lainnya adalah peserta didik tunanetra jenjang SD belum memiliki kesensitifan takstil. Kesensitifan takstil merupakan modal dasar dalam pembelajaran huruf Braille. Hal ini sejalan dengan padangan (Emerson; Holbrook, dan Andre, 2009). Dengan pembelajaran indivual, peserta didik tunanetra umumnya bisa membaca teks singkat berhuruf Braille sekitar kelas IV dan V.

Pola literasi kedua yang diaplikasikan pada kelas tunanetra adalah penggunaan audiobook. Audiobook pada hakikatnya merupakan rekaman suara dari sebuah buku. Isi buku cetak sama dengan audiobook. Teknisnya, sebuah buku dibaca oleh narator dan direkam (biasanya disertakan ilustrasi musik). Hasil rekaman diputar untuk didengarkan oleh audiens. Pembuatan audiobook bertujuan untuk membantu literasi peserta didik tunanetra. Berdasarkan keutuhan teksnya, audiobook yang digunakan dibedakan menjadi dua, yaitu unabridge dan abridge. Unabridge audiobook merupakan rekaman utuh (lengkap) dari sebuah buku; sedangkan abridge audiobook merupakan pembacaan ringkas dari sebuah buk (Camalia, 2016). Meskipun terjadi proses peringkasan, substansi isi buku wajib tetap dipertahankan. Penggunaan audiobook untuk pelaksanaan GLS di SLB dengan peserta didik tunanetra umumnya dilakukan pada ruang komputer dengan bimbingan guru. Kegiatannya pun dilakukan secara terprogram. Penggunan audiobook merupakan upaya pemanfaatan kemajuan teknologi informasi bagi peserta didik tunanetra. Pola ini dikembangkan karena fakta menunjukkan bahwa kecepatan membaca peserta didik tunanetra lebih rendah daripada peserta didik awas. Untuk mengimbangi kelambatan membaca itu, pola ini dikembangkan. Meskipun pola ini sangat membantu, tetapi tidak dapat diterapkan kepada peserta didik tunanetra yang disertai tunarungu. Untuk itu, terlebih dahulu diperlukan identifikasi peserta didik.

Pola ketiga adalah penyediaan pojok baca. Sekolah menyediakan sejumlah buku berbagai bidang yang ditulis dengan huruf Braille. Pojak baca ditempatkan pada posisi yang sangat aman agar tidak membahayakan peserta didik. Pojok baca umumnya ditempatkan di belakang ruang kelas. Penempatan ini bertujuan untuk mengurangi mobilitas peserta didik tunanetra. Pola literasi dengan pojok baca ini dinilai paling ideal karena dapat memenuhi kebutuhan dan minat peserta didik secara individual. Kendalanya anatar lain : (a) kerapian dan katalog buku kurang terjaga; (b) perlu ada distribusi pertukaran buku secara periodik antarpojok baca untuk menghindaari kebosanan peserta didik; (c) kecepatan dan keterampilan membaca peserta didik yang sangat variatif, dan (d) belum

semua SLB di Provinsi Bali memiliki alat yang memadai untuk pelaksanaan GLS tunanetra. Kekurangtersediaan buku bacaaan berhuruf Braiile merupakan kendala utama pembuatan pojok baca. Untuk mengatasi masalah (a) dan (b) peran pustakawan dapat dioptimalkan. Untuk masalah (c) guru pembina literasi dapat menyusun program percepatan keterampilan membaca Braille; sedangkan masalah (d) dapat diatasi dengan pelibatan dan peran serta pemangku kepentingan: pemerintah pusat dan daerah, sekolah, komite, orang tua, dan kelompok masyarakat.

3.2 Kecepatan Efektif Membaca Peserta Didik Tunanetra

Dalam penelitian ini, kecepatan membaca difokuskan kepada peserta didik tunanetra yang telah terampil membaca Brille. Oleh karena itu data yang dikumpulkan dari jenjang SMPLB dan SMALB. Ada dua data sekunder terpisah diperoleh dari guru, yaitu jumlah kata yang dibaca siswa per menit dan hasil tes pemahaman isi bacaan. Data itu merupakan dokumen tahun pelajaran 2018/2019. Data tahun pelajaran 2019/2020 tidak bisa diperoleh karena terkendala pandemi Covid-19. Kedua data itu diolah untuk mendapatkan kecepatan membaca efektifnya. Kecepatan membaca efektif merupakan korelasi jumlah kata yang dapat dibaca per menit dengan tingkat pemahaman isi. Data sekunder itu diolah dengan formula berikut ini.

Keterangan : KEM = kecepatan efektif membaca jk = jumlah kata terbaca 1m = 1 menit sn = skor nyata SMI = skor maksimal ideal /skor harapan kpm = kecepatan per menit (Diadaptasi dari Jumaidi, dkk; 2013)

Pengolahan data sekunder dengan formula itu menghasilkan kecepatan efektif membaca (KEM) peserta didik tunanetra seperti pada tabel 2 dan 3 berikut ini.

Tabel 4. Kecepatan Efektif Membaca Teks Huruf Braiile Siswa Tunanetra pada SMPLB di Provinsi Bali

No. Kode

Subjek Jumlah kata

per menit Pemahaman (SMI = 100)

KEM

1. MA 112 70 78,40

2. IPA 121 75 90,75

3. ET 116 70 81,20

4. AGR 102 75 76,50

5. MAP 110 75 82,50

6. KSY 109 70 76,30

7. KTA 121 75 96,80

8. KDA 129 80 103,20

9. IM 108 75 81,00

10. PBK 113 75 84,75

11. NGA 120 75 90,00

12. GAT 117 70 81,90

13. GDJ 108 75 81,00

14. DNJ 120 75 90,00

15. DL 114 70 79,80

Rata-rata 108 72,67 84,94

Pembulatan 108 73 85

Tabel 5. Kecepatan Efektif Membaca Teks Huruf Braiile Siswa Tunanetra pada SMALB di Provinsi Bali

No. Kode

Subjek Jumlah kata

per menit Pemahaman (SMI = 100)

KEM

1. IPS 120 75 90,00

2. SAM 127 80 101,60

3. NEY 118 75 88,50

4. KYL 120 75 90,00

5. KRA 123 80 98,40

6. MFG 118 75 94,00

7. KA 126 80 100,80

8. KDS 118 80 94,40

9. PYP 122 75 91,50

10. KAM 120 75 90,00

11. KR 117 80 93,60

12. KS 120 75 90,00

13. GNA 127 80 101,60

14. AKC 119 80 95,20

15. ENF 122 80 97,60

16. AMH 118 80 94,40

Rata-rata 120,94 77,81 100,77

Pembulatan 121 78 101

Berdasarkan tabel 4 dan 5 di atas dapat diketahui kecepatan membaca efektif peserta didik

tunanetra jenjang SMPLB – SMALB di Provinsi Bali adalah 85 – 101 kpm. Sebagai perbandingan, kecepatan membaca efektif peserta didik jenjang SMP – SMA (normal) adalah 250 – 325 kpm (Jumaidi, dkk; 2013). Data ini membuktikan bahwa membaca Braille jauh lebih lambat daripada membaca huruf awas. Kelambatan membaca huruf Braille disebabkan banyak faktor, antara lain kepekaan takstil peserta didik tunanetra jenjang SMPLB – SMALB masih perlu ditingkatkan. Selain itu, faktor psikologi pun diduga berpengaruh, yakni perasaan rendah diri dan putus asa menghambat prestasi belajar peserta didik tunanetra. Untuk itu dibutuhkan upaya konsling secara berkelanjutan hingga dapat memunculkan motivasi berprestasi pada peserta didik tunanetra.. 3.3 Kebutuhan Teks Telegrafis

Perbedaan kecepatan efektif membaca siswa awas dengan peserta didik tunanetra sangat mencolok. Peserta didik tunanentra rata-rata membutuhkan waktu 3 kali lebih lama daripada peserta didik awas untuk membaca teks dengan jumlah kata yang sama. Selain terus memacu kecepatan membaca Braile melalui pelatihan yang berkelanjutan diperlukan pula upaya pengubahan konstruksi teks menjadi lebih padat dan ringkas. Peringkasan teks awas menjadi Braille tidak boleh mengurangi inti informasi. Prinsip ini sejalan dengan audiobook jenis abridge (Camalia, 2016). Sifat padat dan ringkas itu yang diharapkan seperti menulis berita telegram, yang hanya mempertahankan informasi pokok. Gagasan pengembangan wacana telegrafis diturunkan dari konsep kalimat telegrafis pada periode pemerolehan bahasa anak. Pada kalimat telegrafis, anak-anak hanya mempertahankan kontentif, yakni kata yang signifikan menentukan makna suatu kalimat; misalnya, Bapak kantor untuk menyatakan maksud ‘Bapak sedang bekerja di kantor’. Merujuk konsep dasar itu, wacana tulis telegrafis dikembangkan agar peserta didik tunanetra tidak kehilangan informasi karena terkendala kecepatan membacanya yang masih sangat rendah. Berikut ini disajikan sebuah contoh teks informasi tentang covid 19 dalam 2 huruf yang berbeda.

Gambar 2. Contoh Wacana Utuh Berhuruf Awas

Gambar 3. Wacana Utuh Berhuruf Braille

1 2

3

3

Gambar 2 merupakan teks berhuruf awas yang utuh tentang informasi Covid-19 dengan 525 kata. Setelah dikonversi ke dalam huruf Braille, terlihat seperti gambar 3, yang membutuhkan ruang lebih banyak. Untuk membacanya peserta didik tunanetra membutuhkan waktu 5,20 – 6,18 menit; sedangkan peserta didik awas hanya membutuhkan 1,61 – 2,1 menit. Untuk itu, wacana tulis tersebut perlu diubah menjadi wacana telagrafis dengan jumlah kata yang lebih sedikit, seperti berikut ini.

Gambar 4. Contoh Wacana telegrafis

Wacana telegafis pada gambar 4 merupakan kontraksi dari wacana utuh yang tertera pada gambar 2. Wacana telegrafis pada gambar 4 hanya terdiri dari 83 kata dengan kandungan informasi pokok yang sama. Dengan upaya itu, dibutuhkan waktu yang lebih singkat bagi peserta didik tunanetra untuk memahaminya. Berdasakrkan contoh wacana itu kebutuhan waktu baca peserta didik tunanetra turun dari 5, 20 – 6,18 menit menjadi hanya sekitar 1 menit. Penggunaan wacana telegrafis pada program literasi bagi peserta didik tunanetra sejalan dengan prinsip kerja sama dalam teori pragmatik, khususnya maksim kuantitas; yakni berikan informasi secukupnya (Leech, 1983 dan Nababan, 1987). Mengacu maksim itu, peringkasan teks diwajibkan mempertahankan keutuhan informasi utama. Selanjutnya, jika wacana telegrafis pada gambar 4 dikonversi ke dalam huruf Brille akan tampak seperti gambar 5 berikut ini.

Gambar 5. Contoh Wacana telegrafis Berhuruf Brille

4. Simpulan

Program GLS pada SLB dengan peserta didik tunanetra dilaksanakan dengan tiga pola, yaitu: dibacakan guru, penggunaan audiobook, dan pojok baca. Pilihan ketiga pola itu merupakan upaya penyesuaian dengan kebutuhan peserta didik tunanetra. Untuk mendukung pelaksanaan program GLS bagi peserta didik tunanetra dibutuhkan wacana tulis telegrafis karena kecepatan efektif membaca para peserta didik masih sangat rendah, yakni 85 – 101 kpm. Berdasarkan temuan ini, perlu dirancang program kolektif, massal, dan berkelanjutan untuk menyusun kumpulan teks tulis telegrafis fungsional sesuai kebutuhan peserta didik tunanetra.

Ucapan terima kasih

Penelitian ini dapat dilaksanakan berkat dukungan dana dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, tahun anggaran 2020. Atas bantuan itu kami tim peneliti mengucapkan terima kasih. Ucapan terima kasih yang tulus juga disampaikan kepada Ibu Kepala SLBN 1 Singaraja, Bapak Kepala SLBN 1 Denpasar, Bapak Kepala SLBN 1 Tabanan,dan para guru pembina literasi di ketiga sekolah itu. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Rektor Universitas PGRI Mahadewa Indonesia.

Referensi

Akhyar, F. (2017). Tahap Perkembangan Bahasa Anak (Tinjauan Neuro Psikolinguistik), LENTERA: Jurnal Ilmiah Kependidikan, Vol. 1 (2017) pp 99-108 . http://garuda.ristekbrin.go.id/documents/detail/756831

Badara, A. (2012). Analisis Wacana. Jakarta: Kencana Camalia, F. (2016). Pengembangan Audiobook Dilengkapi Alat Peraga Materi getaran Gelombang

Untuk Tunanetra Kelas VIII SMP. Universitas Negeri Semarang. https://lib.unnes.ac.id/26695/

Emerson, R.W; M.C. Holbrook; F. M. D’Andrea. (2009). Acquisition of Literasi Skills by

Young Chikdren Who Are Blind: Results from the ABC Brille Study, Journal of Visual

Impairment & Blindness, pp 610 – 624.

https://www.researchgate.net/publication/286232902 Harsiati, T. dan E.T. Priyatni. (2017). Karakteristik Tes Literasi Membaca pada Programme for

International Student Assesment (PISA), Bibliotika: Jurnal Kajian Perpustakaan dan Informasi, pp 1 – 11. http://journal2.um.ac.id/index.php/bibliotika/article/view/2301/1391

Hidayat, A.A. dan A. Suwandi. (2016). Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Tunanetra.

Jakarta: Luxima Metro Media.

Hoskin, E; dan T.C. Davis. (2019). Assistive Technology for Braille Literacy Education:

Identifying Ideal Design Criteria. Building and Designing Assistive Technology Lab,

Queen University.

https://www.resna.org/sites/default/files/conference/2019/cognitive/Hoskin.html Jumaidi; Atmazaki, dan H. E. Thahar. (2013). Peningkatan Kecepatan Membaca Tulisan Braille

dengan Teknik Dua Tangan Bagi Tunanetra Kelas V SLB Negeri 2 Padang, Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya Vol 1 (3) pp 60 – 70. http://ejournal.unp.ac.id/index.php/bsp/article/view/5016

Kopeuw, P. (2009). Hakikat Penelitian Kualitatif, Kuantitatif, dan Tindakan, diambil dari

https://pealtwo.wordpress.com/2012/05/15/

Leech, G. (1983). The Principles of Pragmatics. London and New York: Longman. Lubis, H.H. (1993). Analisis Wacana Pragmatik. Bandung: Angkasa.

Nababan, P.W.J. (1987). Ilmu Pragmatik (Teori dan Penerapannya). Jakarta: Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan. Noer, M. (2014). Variasi Kecepatan Baca yang Benar untuk Membaca Bacaan Sehari-Hari.

https://www.membacacepat.com/artikel/variasi-kecepatan-membaca/

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 20015

tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Schiff, Rubecca. (2009). Information Literacy and Blind and Visually Impaired Students. New York:

City University of New York. DOI: 10.31641/ulj150205

Sugiono. (2012). Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan

R&D. Bandung: Alfabeta. Umamy, E., Suyono, dan I.A. Basuki. (2012). Pengembangan Instrumen Asesmen Literasi Membaca

dengan Acuan PISA. http://library.um.ac.id/free-contents/download/pub/pub.php/56393.pdf

Waldron, K; M. Steer; D. Bhargava. (2014). Literacy and Australians with Low Vision.

Melbourne: Tirnity University Press. Wiedarti, P (Ed). (2016a). Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah. Jakarta: Kementerian Pendidikan

dan Kebudayaan. Wiedarti, P (Ed). (2016b). Panduan Gerakan Literasi Sekolah di Sekolah Luar Biasa. Jakarta:

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

3. Artikel pada jurnal internasional

Pada tanggal 1 Desember 2020 telah menerima Letter of Acceptance dari PalArch’s Journal

of Archaeology of Egypt/Egyptology ISSN 1567214X, terindeks pada SJR Q3 (LoA

terlampir)

Full Article (Accepted)

THE IMPLEMENTATION OF SCHOOL LITERACY PROGRAM FOR BLIND STUDENTS AT SPECIAL SCHOOLS IN BALI PROVINCE

BY:

Nengah Arnawa1

e-mail: [email protected]

Anak Agung Gde Alit Geria2

e-mail: [email protected]

I Gusti Lanang Rai Arsana3

e-mail: [email protected]

I MadeSugata Email: [email protected]

1–4University of PGRI Mahadewa Indonesia

Abstract

This study mapped the implementation of literacy enhancement program at special schools in Bali Province. This study was planned to complete within three years. In the first year, the mapping was focused on blind students. This study was conducted using a qualitative paradigm. Data were collected from special schools in three districts and cities in Bali Province with a total population of 65 students, consisting of 1st grade (SDLB) – 12th grade (SMALB) students. Data were collected through document review, in-depth interviews, questionnaires, and observations. The data analysis showed that Special Schools in Bali Province applied three kinds of literacy enhancement activities to address the problems that students experienced; reading by the teacher, using audiobooks, and the provision of Braille corners. Those activities were expected to facilitate literacy enhancement program as outlined in the guidelines. Teachers’ reading aloud promoted early and basic literacy skill and the use of audiobooks to enhance media and technology literacy. The Braille reading corner was intended to improve the library literacy. The only type of literacy enhancement activity that cannot be applied to blind students is visual literacy enhancement, yet this limitation can be overcome by providing three-dimensional media. Unfortunately, public participation was relatively low. School committees and parents / guardians generally understood the importance of literacy for students with visual impairments, but their real contributions need to be improved. The participation of the business and industrial sectors was found adequate as they provided books, literacy facilities, and learning tools. Many foundations that care for children with visual impairment also participated this program. The results of this study are expected to be used as a scientific basis for the betterment of literacy programs in Indonesia and to encourage stronger public participation. Key words: literacy, special school, blind, Braille 1. Introduction

The rapid distribution of information in the global era requires everyone to have basic skills to assess information, including literacy skills. Literacy skills are closely related to reading and writing habits. The data released by some parties showed that the reading skills of students in Indonesia were relatively low (Hasanah and Warjana, 2019; Wiedarti, 2016a; Wiedarti 2016b). To address this

problem, the government has enacted a national program on literacy enhancement . The implementation of the school literacy program is stipulated in the Regulation issued by

the Minister of Education and Culture of the Republic of Indonesia Number 23 of 2015 concerning Character Building. Based on this regulation, it is mandatory for students to read a textbook for 15 minutes before starting a lesson. The main goal of this program is to foster good reading habit. The provision and selection of books depend on the development and needs of students; with special emphasis on books containing strong moral values, local, national and global wisdom. Based on the technical guidelines of the program implementation, the national school literacy program launched involves various parties including parents and the community.

As a national program, the school literacy program is obligatory to be implemented in Special Schools that educate children with special needs. One of the groups of students in the Special School is students with visual impairment. Therefore, the implementation of the school literacy movement program for visually-impaired students needs to be mapped. This mapping reveals the real implementation of the program and its achievements, constraints and the contribution of the public. The findings of this study can be used as a reference for the improvement of the capacity and quality of the national literacy program implemented at special schools.

Literacy skills are skills that worth enhancing, including for children with special needs. Literacy skills offer great philosophical and practical values. Philosophically, literacy skills lift up the position of children with special needs. Literacy skills supports the mastery of other skills, allowing children with special needs to develop optimally. Optimal potential development will be quite beneficial for students to live their life in terms of personal and social domains. Regarding this reason, literary programs for children with special needs need to be mapped carefully to develop methods that suit their needs.

Changes in organizational structure in in Special Schools have affected schools’ readiness to implement the literacy program. Special Schools in Indonesia were initially sectoral schools, consisting of SLB-A which specifically educated children with visual impairments, SLB-B which specifically educated children with disabilities, and SLB-C which specifically educated mentally-retarded children. The changes in organizational structure affected the use of learning facilities and the professionalism of teachers and other education personnel. Integrating sectoral units into general special schools that educate all groups of students with special needs changed the map of school readiness in carrying out literacy activities. This change requires should be examined in a systematic study in order to develop literacy programs to meet students’ needs.

2. Literature Review

People in common over generalize visual impairment as total blindness. Whereas, the term “blind” has been technically explained by Hidayat and Suwandi (2016) as follows. A person is visually impaired if his vision is ≤ of 6/21. This means that a person is identified as visually impaired if they can read letters from a distance of 6 meters, while a sighted child can read them from a distance of 21 meters. Referring to this terminological concept, visually impaired persons are not only those who have total blindness but also referring to those with low vision. Visual impairment can occur by birth or it can develop overtime. People who develop blindness after birth have prior visual experiences which strongly affect their subsequent acquisition of knowledge. On the other hand, people who are blind by birth have absolutely no visual experience. Hence they obtain their knowledge through other four senses; one of them through touches.

Blind children are a group of students who need special treatment. The level of visual impairment varies. Some students might only have visual impairments, while other aspects, such as intelligence, hearing, and speech organs are in normal conditions. However, it is possible that there are blind students with multiple constraints such as deafness and / or mental retardation. This diverse condition requires special education services. Special services for blind students are also expected to optimally develop students’ potentials and help them make social adaptations (Hidayat

and Suwandi, 2016). One form of special services for blind students is learning Braille writings. Braille letters were

developed based on touch sensory (Hoskin and Davies, 2019). The Braille alphabetical order is the same as the Latin alphabet, yet Braille letters use 6-dot pattern. The pattern is arranged in two columns and three rows. Basic Braille dots can be visualized as follows.

Figure 1. The Basic Pattern of Braille Letters

For easier memorization, the basic pattern is numbered in order vertically from left column to the right column as follows.

Figure 2. The Numbering of Braille Dots

The position of the dots is the basis for teaching Braille letters to blind students. Braille letters are arranged in a logical pattern. The letters a - j are arranged by using the position points 1, 2, 4, and 5. The letters k - t are arranged by adding the position point 3 to the letters a - j. The letters u, v, x, y, and z are arranged by adding the position points 3 and 6 to the letters a, b, c, d, and e; while the letter w is arranged with the position points 2, 4, 5, and 6. The deviation of the letter w pattern is because in the original Braille alphabet this letter does not exist (Hidayat and Suwandi, 2016). The National Federation of The Blind (2009) visualized the position of the Braille dots as shown in the following figure.

• • • • • •

Figure 3. Braille Letters

Figure 3. Braille Letters Braille reading skill is a distinct characteristic of the education for children with disabilities.

Technology and information advancement has produced various learning media in the forms of audiobooks. However, audiobooks cannot replace Braille text. Braille is the main literary instrument for blind students (Danis Association of the Blind and the International Council for Education of People with Visual Impairment, 2018). Therefore, to enhance literacy skills, children with visual impairment must be skilled at reading Braille text. However, they often experience problems when they start learning Braille. They are required to not only learn about letters, grammatical rules, and spelling like sighted children do, but they also need to learn about abbreviations and rules of use in Braille. Many teachers believe that there are differences in reading rate, comprehension of content, vocabulary development, and reading interest between alert children and blind students (Emerson; Holbrook and D'Andrea, 2009). This gap should be overcome through changes in the learning environment for blind students. Changes in the learning environment are necessary for children with special needs to accelerate their Braille reading skills improvement.

The success of the school literacy program greatly depends on the level of students’ effective reading rate. The effective reading ate is measured by the number of words read per minute and the level of students’ comprehension upon a text. The reading rate is influenced by the difficulty level of the text, the purpose of reading, and the level of comprehension targeted. More complex text with more detailed the purpose of reading, higher the target comprehension will lead to lower reading rate. Based on this measurement, in general, the ideal effective reading rate is around 250 - 300 words per minute which is far from the reality. Students’ effective reading rate ranged between 200 - 250 words per minute, which is equivalent to the ideal reading ate of elementary students (Noer, 2014). The rate of reading Braille letters for blind students is even slower, which is around 90 - 116 words per minute (Jumaidi; Atmazaki; and Tahar, 2013). Therefore, efforts should be made to increase the Braille reading rate of children with visual impairments.

The public perception that the rate of Braille reading is very slow has been refuted by the National Federation of the Blind (2009). The largest and most influential blind membership organization in the United States stated that Braille is an efficient and effective reading medium. Learners with visual impairments can have a reading rate of over 200 words per minute. Learning Braille reading to this rate requires effort. Schiff (2009) mentioned some methods that can improve the rate of Braille reading, namely assistive technologies, job access with speech, and zoom text. Waldron; Steer; and Bhargava (2014) formulated the literacy principles for blind children as follows. First, it is necessary make sure children with visual impairments have a lot of basic life experiences and direct access to literacy activities from an early age. Second, children with visual impairments can develop academic literacy skills that allow them to read efficiently, effectively, comfortably and happily at school. Third, various learning strategies should be applied to allow blind children to grow as independent individuals. Fourth, children with visual impairments can develop functional literacy skills to solve their daily life and work problems. Fifth, to support literacy activities, unique needs of blind children should be facilitated. Sixth, blind children need to be given the opportunity to experience reading activities which raise their awareness of the importance of literacy skills.

3. Method

This qualitative study put blind students as the main subject in the school literacy program (Kopeuw, 2009). The samples of this study were 65 students selected from 3 special schools in 3 different districts in Bali Province, namely: Buleleng District, Tabanan District, and Denpasar City. Samples were students of special schools at the elementary, junior high and high school levels. In this study, 3 groups of data were collected, namely data on the description of the literacy enhancement program at the Special School, constraints in its implementation, and public

participation. Those data were collected through document review, in-depth interviews, questionnaires, and observations. This study put emphasis on the data of the 15-reading before starting a lesson, the availability of literacy facilities for blind students, developed literacy strategies, and public participation in literacy enhancement activities at special schools. The collected data were analyzed through 3 stages, namely data reduction, data presentation and verification and drawing conclusions (Sugiono, 2012). Data reduction was done to classify the data based on certain similarities to make the data simpler. Data presentation was done by visualizing the data in the forms of tables, graphs, etc. for easier interpretation. Before drawing conclusions, verification was carried out as data triangulation. 4. Results and Discussions 3.1 The Implementation of Literacy Enhancement Program for Blind Students.

The school literacy program is a national program that must be implemented in every school. Its main goal is to create positive literacy habit in Special Schools. The operational principle of this program mentions that the literacy enhancement program is carried out according to predictable, balanced developmental stages, takes place in all areas of the curriculum, meaningful reading and writing and emphasis on the importance of spoken discussions and develop awareness of diversity (Wiedarti, 2016a).

Based on data from interviews and observations 15-minute reading activity before lessons start implemented in special school for blind students was carried out in 3 patterns; teacher’s reading aloud, using an audiobook, and providing a Braille reading corner. Those options were taken to facilitate diverse characteristics of blind students. The first option is quite determined by students’ age. This activity affect the students’ Braille reading skills. Some students might be familiar with this type of text, but some other might not. The second constraint relates to other disabilities that follow; some students might be totally blind, but some students might be partially blind, or some others are blind and deaf. The third one relates to the level of visual impairment. In this group there are students with low vision and blindness. Those three aspects ensure that the program matches predictable and balanced developmental stage and encourages the development of oral and written culture. The use of 3 literacy patterns is assumed to facilitate the need for literacy enhancement among blind students.

Teachers’ reading is a popular method applied to teach blind students at the elementary school level, especially in the first 3 years. During this period, students begin to learn Braille letters. Tactile sensitivity begins to develop which is a good start in reading Braille. This condition is a striking difference from the one of sighted children. In elementary school, sighted children are generally able to read and write down simple things they learned in kindergarten. Yet, blind children will start learning Braille in the first year of elementary school, while not all students have equal readiness to start learning. Learning Braille letters for beginners is quite challenging, even though teachers try their best to teach it. Beginner learners must first have the prerequisite skills. Unfortunately, some students are lack of sensitivity and have difficulty integrating the Braille dots. In this condition, teachers will have to read the text out for them. This option is taken based on the assumption that the ability of blind children to comprehend a text is equal to those of sighted children. Emerson; Holbrook, and D'Andrea (2009) emphasized that students’ comprehension and ability to decode between children with visual impairments and blind students can be seen in the decoding ability. Teachers can optimize students’ comprehension optimizing auditory stimulation and teaching Braille as they go.

The second strategy is to use audiobooks that optimize students’ hearing sense. This method takes the advantages of information and technology advancement. The target books are read out by the narrator in the form of audio recordings. In this case, it is necessary to train the narrator to make clear and unambiguous pronunciation. The intonation should be appropriate as it affects the interpretation of the message. Musical illustrations can be inserted in the recording process. Based on the data, the types of audiobooks used at the Special Schools in Bali Province were unabridge and

abridge and were generally commercial products. Unabridge is a complete audio record of a book; while abridge is non-complete or brief audio recording of a book (Camalia, 2016). The use of audiobook can be done in computer room under teachers’ supervision. Based on the results of the interviews, this method is the most-used method in Special Schools in Bali Province.

The third method was enhancing the literacy by creating Braille reading corner. This method is the most ideal one to meet the characteristics of blind students since reading and writing skills in Braille are the unique characteristics of blind learners. Reading and writing skills in Braille are basic literacy requirement. In addition, Braille reading corner offers flexibility of time and it promotes students’ interest in reading independently. The provision of a Braille reading corner allows students to develop their literacy regardless of time and learning schedule. Students can choose meaningful reading material to their interests and needs. This method is believed to foster students’ reading interest. Braille reading corners are generally placed at the back of the classroom to make it easily accessed by students.

In Special Schools for blind students, literacy enhancement activities are generally integrated into main lessons for children with special needs. Generally, reading materials are functional and relevant to their talents and interests. Each school can develop a variety of life skills programs, such as music, massage skills, literary arts and theater. Integrating the literacy content to the curriculum for children with special needs is an attempt to improve the role of literacy activities in students’ daily life through literacy-based habituation, development and learning. Facts that occurred in the field were observed by referring to the 3 implementation method. Literacy enhancement program Special Schools for blind students is directed at early literacy and basic literacy components which are implemented through those methods. Media literacy and technology literacy are enhanced through the use of audiobook in the computer room. Library literacy is implemented through the provision of Braille reading corners in classrooms. Due to the visual impairment, students cannot do visual literacy activities effectively. Hence, this activity is replaced by textual literacy by using three-dimensional artificial objects. Those methods were expected to improve the average effective reading rate of blind students in Bali Province which were between to 90 - 115 words per minute (Simon and Huertas, 1998).

3.2 Constraints in the Implementation of Literacy Enhancement Program in Special School for Blind

Students The teaching and learning activities for children with special needs, including those with visual

impairments, require greater effort. Based on the interview, it was revealed that the implementation of the literacy program at special schools for blind students was constrained by 2 factors; internal factor and learning environment factor. Internal constraints were related to emotional, social and psychological problems. The social problem found in blind students was related to anxiety problem which triggered fear and worry. Consequently, students felt doubtful when carrying out literacy activities. Anxiety often triggers anger, irritability, depression, and sadness. In fact, blind children often got very frustrated, felt useless and felt that they were the burden on the family. In one extreme case, a blind child was found to tear a book off while being taught to read Braille. This behavior reflected his frustration. Another obstacle that comes from internal learners is related to the sense of inferiority. Many blind children feel embarrassed and inferior in front of typical children. This shame deprives them of their achievement motivation. Feelings of shame are getting stronger when blind students fail to correctly respond to stimuli. As a result, they often withdraw themselves from social interactions. This fact hinders the implementation of literacy activities at special schools in Bali Province. To overcome these internal constraints, there needs to be personal service that facilitates the development of the potential of each student. Personal literacy services are expected to maintain students’ motivation.

The second constraint is related to the learning environment regarding the limited learning materials for blind students. Students in special schools also need equal distribution of text literacy media to enhance their literacy skills. This need also relates to the changes in the administration of

special education, in which each school provides education services for children with special needs. Currently, special schools are no longer classified into SLB-A which specifically served blind children or SLB-B which specifically served deaf children, or SLB-C which specifically served students with mental retardation. Instead, special schools provide general education for any type of disabilities. Students’ low reading rate of between 85-101 words per minute was also a constraint. Therefore, Braille text which has been summarized telegraphically without reducing the message in the text is needed. Another effort that can be done to improve the implementation of this program is to provide an adequate number of audiobooks on a variety of topics.

Mobility constraints of blind students also require more intensive role of librarians in Special Schools. Librarians play important roles in book distribution. Problems in book distribution in all Braille reading corners commonly occurred. In addition, assistance in reading Braille letters is also necessary, which assistance can be provided by teachers and senior students who are skilled at reading Braille.

3.3 Public Participation

The success of the literacy movement program in Special Schools in Bali Province requires public participation. The implementation guidelines regulate the involvement of public participation, such as school committees, parents / guardians of students, business sector and industries. The questionnaires revealed that in general, public participation was still relatively low. The data showed asymmetry between public’s comprehension and their concrete action. All school committee members and parents / guardians understood the importance of school literacy activities; however, this understanding was not followed by concrete actions, such as providing supports for literacy facilities, infrastructure, support for literacy committee, and develop school networks. These steps are concrete forms of support from the school committee and parents / guardians to the literacy enhancement movement program at the Special Schools in Bali Province.

Supervision and assistance for literacy activities at home also need to be improved. Based on the questionnaire, mostly, parents admitted to supervising and assisting literacy activities in their respective homes. The supervision and assistance carried out by parents seemed ineffective because in general they stated that they did not understand, or even did not know Braille letters at all. This problem can be addressed by forming Braille literacy committee at each Special School with adequate participation of parents / students’ guardians.

Active participation from business and industrial sectors is believed to significantly improve students’ motivation to enhance their literacy skills. Based on interviews with sample schools, most of Braille books and other Braille facilities were procured by the government and donations from other parties, such as publishers and agencies engaged in this sector. The participation of the business and industrial sectors can be enhanced in the form of funding for various literacy competitions. Those sectors can also show their participation by allowing student tour/visit to their factories. Such activities can foster students’ confidence, social and mobility skills. Allowing student visits is a concrete effort supporting environment-based literacy activities, which frequency and quality should be increased.

5. Conclusions The national school literacy program does not exclude Special Schools. To support this

national program, the Government of Indonesia through the Ministry of Education and Culture has set guidelines for its implementation. However, the implementation of this program for blind students was still hindered by some constraints, including the relatively low Braille reading rate. Students’ average reading rate was found much slower than the ideal one. Thus, it is necessary to have Braille text packaged in a concise manner, without reducing the core message of the text. Other constraints occurred from the internal personalities of students, such as anxiety and frustration which reduced their achievement motivation. To overcome this problem, schools have

developed three methods of literacy activities for blind people, namely text reading by teacher, using an audiobook, and creating Braille reading corner in the back of the classroom. Those methods support the enhancement of early literacy, basic literacy, library literacy, media literacy and technology literacy. Due to their visual impairments, students could not do visual literacy activities. Therefore, visual activities were compensated by greater exposure to three-dimensional artificial objects that focus on the use of the tactile senses. The success of this national program requires public support. Many businesses and industries entities have shown their support through concrete actions. Concrete support from school committees and parents / guardians s should be enhanced even though they already had proper understanding about the importance of literacy skills for students. The school committee can form a Braille literacy committee that accounts for the development of literacy skills of blind students.

Acknowledgement

Sincere gratitude is expressed to the Directorate of Research and Community Service, Deputy for Research and Development of the Ministry of Research and Technology / National Research and Innovation Agency for the funding which has made it possible to complete this study. Gratitude also goes to the Head of SLB Negeri 1 Singaraja, Head of SLB Negeri 1 Denpasar, and Head of SLB Nengeri 1 Tabanan for having given the access to collect the data of this study. The researcher would like to thank the Rector of the PGRI Mahadewa University of Indonesia for the support given to the completion of this study.

References Camalia, F. (2016). Pengembangan Audiobook Dilengkapi Alat Peraga Materi getaran Gelombang

Untuk Tunanetra Kelas VIII SMP. In Universitas Negeri Semarang. https://lib.unnes.ac.id/26695/

Danis Association of the Blind and the International Council for Educatian of People with Visual Impairment. (2018). Braille Teaching and Literacy: A Report for the European Blind Union and European Commission.

https://www.pathstoliteracy.org/research/braille-teaching-and-literacy-report-european-blind-union-and-european-commission

Emerson, R. ., Holbrook, M. C., & D’Andrea, F. M. (2009). Acquisition of Literasi Skills by Young Chikdren Who Are Blind: Results from the ABC Brille Study. Journal of Visual Impairment & Blindness, 610 – 624. https://www.researchgate.net/publication/286232902

Hasanah, U. and Warjana. (2019). Pengembangan Pembelajaran Literasi Membaca untuk Meningkatkan Daya Baca Siswa, Media Pustakawan Vol. 24 (2), pp 129 – 139. https://ejournal.perpusnas.go.id/mp/article/view/184

Hidayat, A. A., & Suwandi, A. (2016). Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Tunanetra. Jakarta: Luxima Metro Media.

Hoskin, E., & Davis, T. C. (2019). Assistive Technology for Braille Literacy Education: Identifying Ideal Design Criteria. Building and Designing Assistive Technology Lab, Queen University. https://www.resna.org/sites/default/files/conference/2019/cognitive/Hoskin.html

Jumaidi, Atmazaki, & Thahar, H. E. (2013). Peningkatan Kecepatan Membaca Tulisan Braille dengan Teknik Dua Tangan Bagi Tunanetra Kelas V SLB Negeri 2 Padang. Jurnal Bahasa, Sastra Dan Pembelajarannya, 1(3), 60 – 70. http://ejournal.unp.ac.id/index.php/bsp/article/view/5016

Kopeuw, P. (2009). Hakikat Penelitian Kualitatif, Kuantitatif, dan Tindakan. https://pealtwo.wordpress.com/2012/05/15/

National Federation of The Blind. (2009). The Braille Literacy Crisis in America: A Report to the Nation. Jernigan Institute.

https://www.nfb.org/sites/www.nfb.org/files/images/nfb/documents/pdf/braille_literacy_report_web.pdf

Noer, M. (2014). Variasi Kecepatan Baca yang Benar untuk Membaca Bacaan Sehari-Hari.

https://www.membacacepat.com/artikel/variasi-kecepatan-membaca/ Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2015 tentang

Penumbuhan Budi Pekerti. Schiff, R.A. (2009). Information Literacy and Blind and Visual Impaired Students. New York: City

University of New York. https://www.researchgate.net/publication/251500738_Information_Literacy_and_Blind_and_Visually_Impaired_Students

Simon, C. and J.A. Huertas. (1998). How Blind Readers Perceive and Gather Information Written in Braille, Journal of Visual Impairment & Blindness, pp 322 – 329.https://www.researchgate.net/publication/234690620_How_Blind_Readers_Perceive_and_Gather_Information_Written_in_Braille/link/5ba7d55e45851574f7e0aee5/download

Sugiono. (2012). Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Badung: Alfabeta.

Waldron, K., Steer, M., & Bhargava, D. (2014). Literacy and Australians with Low Vision. Melbourne: Tirnity University Press https://sites.trinity.edu/sensoryimpariment/literacy-and-australians-low-vision

Wiedarti, P. (2016a). Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Wiedarti, P. (2016b). Panduan Gerakan Literasi Sekolah di Sekolah Luar Biasa. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

E. PERAN MITRA: Tuliskan realisasi kerjasama dan kontribusi Mitra baik in-kind maupun in-cash (untuk

Penelitian Terapan, Penelitian Pengembangan, PTUPT, PPUPT serta KRUPT). Bukti pendukung realisasi

kerjasama dan realisasi kontribusi mitra dilaporkan sesuai dengan kondisi yang sebenarnya. Bukti

dokumen realisasi kerjasama dengan Mitra diunggah melalui Simlitabmas.

Penelitian ini tidak mewajibkan ada mitra.

F. KENDALA PELAKSANAAN PENELITIAN: Tuliskan kesulitan atau hambatan yang dihadapi selama

melakukan penelitian dan mencapai luaran yang dijanjikan, termasuk penjelasan jika pelaksanaan

penelitian dan luaran penelitian tidak sesuai dengan yang direncanakan atau dijanjikan.

Pelaksanaan penelitian ini terkendala terjadinya pandemi Covid-19. Akibatnya, terjadi

penjadwalan ulang pelaksanaan penelitian. Unggah revisi proposal baru ada kepastian pada

bulan Juli 2020. Anggaran pelaksanaan penelitian cair pada bulan Agustus. Penjadwalan

ulang itu mengakibatkan penundaan pelaksanaan penelitian sehingga berdampak pada target

luaran penelitian secara keseluruhan.

Akibat pandemi Covid-19, semua sekolah, termasuk SLB di Provinsi Bali melakukan

pembelajaran secara online. Akibatnya tidak dimungkinkan mengumpulkan data primer

langsung dari para peserta didik. Kebutuhan data penelitian terpenuhi melalui data sekunder

yang bersumber dari dokumen para guru. Hasil wawancara dengan kepala sekolah dan guru

pembina literasi, serta penyebaran angket dapat menguatkan catatan dokumeter sebagai dasar

pengambilan simpulan penelitian ini. FGD pun dilakukan secara terbatas. Teknis yang dapat

dilakukan adalah mendiskusikan hasil-hasil penelitian dengan pihak sekolah. Operasionalnya,

peneliti mengunjungi kepala sekolah sampel untuk membahas dan mendalami temuan

sebelum dipublikasi.

G. RENCANA TAHAPAN SELANJUTNYA: Tuliskan dan uraikan rencana penelitian di tahun berikutnya

berdasarkan indikator luaran yang telah dicapai, rencana realisasi luaran wajib yang dijanjikan dan

tambahan (jika ada) di tahun berikutnya sertaroadmap penelitian keseluruhan. Pada bagian ini

diperbolehkan untuk melengkapi penjelasan dari setiap tahapan dalam metoda yang akan direncanakan

termasuk jadwal berkaitan dengan strategi untuk mencapai luaran seperti yang telah dijanjikan dalam

proposal. Jika diperlukan, penjelasan dapat juga dilengkapi dengan gambar, tabel, diagram, serta pustaka

yang relevan. Jika laporan kemajuan merupakan laporan pelaksanaan tahun terakhir, pada bagian ini dapat

dituliskan rencana penyelesaian target yang belum tercapai.

Setelah pada tahun pertama dilaksanakan penelitian tentang program literasi bagi anak-

anak tunanetra, sesuai proposal, penelitian tahun kedua difokuskan pada program literasi bagi

peserta didik tunarungu. Pada tahun kedua ini diharapkan dapat dideskripsi secara cermat

program literasi bagi peserta didik tunarungu; hasil-hasil yang dicapai; kebutuhan

pengembangan program literasi dan kendala yang dihadapi. Luaran tahun kedua direncakan

berupa makalah yang termuat pada prosiding seminar nasional, artikel jurnal nasional

terakreditasi, dan artikel yang termuat pada jurnal internasional. Selanjutnya, pada tahun

ketiga direncanakan fikus penelitian ini diarahkan kepada program literasi bagi anak-anak

tunagrahita, seperti roadmap penelitian yang diusulkan dalam proposal, seperti berikut ini.

Prosedur pelaksanaan penelitian tahun kedua direncanakan seperti berikut ini.

1. Pendekatan Penelitian

Penelitian tahun kedua, sama dengan penelitian tahun I, dilaksanakan secara induktif.

Data dan fakta dikumpulkan dari lapangan untuk merumuskan kebutuhan program

literasi bagi peserta didik penyandang tunarungu.

2. Penentuan sampel penelitian

Data penelitian tentang program literasi bagi peserta didik tunarungu akan diambil

dari SLB negeri 2 Denpasar, SLB Negeri Semarapura (Kabupaten Klungkung), dan

SLB Negeri Negara (Kabupaten Jembrana)

3. Pengumpulan data

Data dikumpulkan melalui observasi, wawancara, angket, dan tes (jika

dimungkinkan). Jika tidak dimukinkan melakukan tes secara langsung, data tentang

kompetensi literasi (membaca) akan diambil dari dokumen para guru.

4. Analissi data

Data yang terkumpul dianalisis secara kualitatif, yakni menjelaskan relasi peserta

didik tunarungu dalam kaitannya dengan program literasi yang dilakukan di masing-

masing sekolah sampel. Dengan cara iru diharapkan terungkap kebutuhan literasi

peserta didik tunarugu. Hal ini sesuai dengan bagan alir penelitian berikut ini.

Adapun jadwal pelaksanaan penelitian tahun kedua direncanakan seperti berikut.

Tahun 2021

No Nama Kegiatan Bulan

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

1. Identifikasi populasi

2. Penyusunan instrumen dan validasi pakar

3. Pengumpulan data

4. Triangulasi narasumber

5. Klasifikasi dan analisis data

6. Validasi pakar dan FGD

7. Penyusan luaran dan laporan penelitian

H. DAFTAR PUSTAKA: PenyusunanDaftar Pustaka berdasarkan sistem nomor sesuai dengan urutan

pengutipan. Hanya pustaka yang disitasi pada laporan kemajuan yang dicantumkan dalam Daftar Pustaka.

DAFTAR PUSTAKA

1. Akhyar, F. (2017). Tahap Perkembangan Bahasa Anak (Tinjauan Neuro

Psikolinguistik), LENTERA: Jurnal Ilmiah Kependidikan, Vol. 1 (2017) pp 99-108 .

http://garuda.ristekbrin.go.id/documents/detail/756831 2. Badara, A. (2012). Analisis Wacana. Jakarta: Kencana 3. Camalia, F. (2016). Pengembangan Audiobook Dilengkapi Alat Peraga Materi getaran

Gelombang Untuk Tunanetra Kelas VIII SMP. Universitas Negeri Semarang. https://lib.unnes.ac.id/26695/

4. Danis Association of the Blind and the International Council for Educatian of People with Visual Impairment. (2018). Braille Teaching and Literacy: A Report for the European Blind Union and European Commission. https://www.pathstoliteracy.org/research/braille-teaching-and-literacy-report-european-blind-union-and-european-commission

5. Emerson, R.W; M.C. Holbrook; F. M. D’Andrea. (2009). Acquisition of Literasi

Skills by Young Chikdren Who Are Blind: Results from the ABC Brille Study,

Journal of Visual Impairment & Blindness, pp 610 – 624.

https://www.researchgate.net/publication/286232902 6. Harsiati, T. dan E.T. Priyatni. (2017). Karakteristik Tes Literasi Membaca pada Programme for

International Student Assesment (PISA), Bibliotika: Jurnal Kajian Perpustakaan dan Informasi, pp 1 – 11. http://journal2.um.ac.id/index.php/bibliotika/article/view/2301/1391

7. Hasanah, U. and Warjana. (2019). Pengembangan Pembelajaran Literasi Membaca untuk Meningkatkan Daya Baca Siswa, Media Pustakawan Vol. 24 (2), pp 129 – 139. https://ejournal.perpusnas.go.id/mp/article/view/184

8. Hidayat, A.A. dan A. Suwandi. (2016). Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus

Tunanetra. Jakarta: Luxima Metro Media.

9. Hoskin, E; dan T.C. Davis. (2019). Assistive Technology for Braille Literacy

Education: Identifying Ideal Design Criteria. Building and Designing Assistive

Technology Lab, Queen University.

https://www.resna.org/sites/default/files/conference/2019/cognitive/Hoskin.html

10. Humaira, Desni. 2012. Pelaksanaan Pembelajaran bahasa Indonesia bagi Anak

Tunagrahita Ringan Kelas III di SLB Sabiluna Pariaman. Dalam E-Jupekhu, Vol. 1

No. 3 hal. 95 – 109

11. Ina, Bagita Tamu. 2018. Pemerolehan Bahasa pada Anak Berkebutuhan Khusus Kelas

VI di SLB Sumba Timur, NTT. Dalam NOSI Vol. 6 No. 2. Hal 1 – 10.

12. Jumaidi; Atmazaki, dan H. E. Thahar. (2013). Peningkatan Kecepatan Membaca

Tulisan Braille dengan Teknik Dua Tangan Bagi Tunanetra Kelas V SLB Negeri 2

Padang, Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya Vol 1 (3) pp 60 – 70.

http://ejournal.unp.ac.id/index.php/bsp/article/view/5016

13. Kemdikbud, 2016. Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah. Jakarta: Direktoral

Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah.

14. Kemdikbud, 2016b. Panduan Gerakan Literasi Sekolah di Sekolah Luar Biasa.

Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah.

15. Kopeuw, P. (2009). Hakikat Penelitian Kualitatif, Kuantitatif, dan Tindakan, diambil

dari https://pealtwo.wordpress.com/2012/05/15/

16. Leech, G. (1983). The Principles of Pragmatics. London and New York: Longman.

17. Lubis, H.H. (1993). Analisis Wacana Pragmatik. Bandung: Angkasa.

18. Mullis, I.V.S., Martin, M.O., Foy, P., & Drucker, K.T. 2012. The PIRLS 2011

International Results in Reading. Chestnut Hill, MA: TIMSS & PIRLS International

Study Center, Boston College.

19. Nababan, P.W.J. (1987). Ilmu Pragmatik (Teori dan Penerapannya). Jakarta:

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

20. National Federation of The Blind. (2009). The Braille Literacy Crisis in America: A

Report to the Nation. Jernigan Institute.

https://www.nfb.org/sites/www.nfb.org/files/images/nfb/documents/pdf/braille_literac

y_report_web.pdf

21. Noer, M. (2014). Variasi Kecepatan Baca yang Benar untuk Membaca Bacaan Sehari-

Hari. https://www.membacacepat.com/artikel/variasi-kecepatan-membaca/

22. Permendikbud No. 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Dikutip dari

http://simpuh.kemenag.go.id/regulasi/permendikbud_23_15.pdf

23. PISA.2012. Result in Focus. Cited at https://www.oecd.org/pisa/keyfindings/pisa-

2012-results-overview.pdf

24. Rachma, Dian Nurbaiti. 2016. Peranan Perpustakaan dalam menumbuhkan

Kemampuan Literasi Informasi bagi Anak Tunanetra di SLB-A Panti Rehabilitasi

Penyandang Cacat Netra Palembang. Dikutip dari

http://eprints.radenfatah.ac.id/613/1/DIAN%20NURBAITI%20RACHMA_AdabIlmP

erp.pdf

25. Schiff, R.A. (2009). Information Literacy and Blind and Visually Impaired Students.

New York: City University of New York. DOI: 10.31641/ulj150205

26. Simon, C. and J.A. Huertas. (1998). How Blind Readers Perceive and Gather

Information Written in Braille, Journal of Visual Impairment & Blindness, pp

322 –

329.https://www.researchgate.net/publication/234690620_How_Blind_Readers_Perce

ive_and_Gather_Information_Written_in_Braille/link/5ba7d55e45851574f7e0aee5/do

wnload

27. Sugiono. (2012). Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif,

dan R&D. Bandung: Alfabeta.

28. Triwiaty, R. Dan Assjari, M. 2017. ‘Program Literasi Sekolah untuk Meningkatkan

Kemampuan Membaca Siswa Tunanetra SLB di Cimahi’. Dalam Jassl_anakku Vol.

18 No. 2 hal 51 – 56.

29. Umamy, E., Suyono, dan I.A. Basuki. (2012). Pengembangan Instrumen Asesmen

Literasi Membaca dengan Acuan PISA. http://library.um.ac.id/free-

contents/download/pub/pub.php/56393.pdf

30. Unesco. 2005. Beacons of The Information Society.

31. Unesco.2006. Literacy fo Life: Educational for All Global Monitoring Report.

32. Waldron, K; M. Steer; D. Bhargava. (2014). Literacy and Australians with Low

Vision. Melbourne: Tirnity University Press.

33. Wiedarti, P (Ed). (2016a). Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah. Jakarta:

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

34. Wiedarti, P (Ed). (2016b). Panduan Gerakan Literasi Sekolah di Sekolah Luar Biasa.

Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Dokumen pendukung luaran Wajib #1

Luaran dijanjikan: Artikel di Jurnal Internasional Terindeks di Pengindeks Bereputasi

Target: Accepted

Dicapai: Accepted

Dokumen wajib diunggah:

1. Naskah artikel

2. Surat keterangan accepted dari editor

Dokumen sudah diunggah:

1. Surat keterangan accepted dari editor

2. Naskah artikel

Dokumen belum diunggah:

- Sudah lengkap

Nama jurnal: PalArch's Journal of Archaeology of Egypt/Egyptology

Peran penulis: first author | EISSN: 1567214

Nama Lembaga Pengindek: SJR

URL jurnal: http://www.palarch.nl/index.php/jae

Judul artikel: THE IMPLEMENTATION OF SCHOOL LITERACY PROGRAM FOR

BLIND STUDENTS AT SPECIAL SCHOOLS IN BALI PROVINCE

4262

Nengah Arnawa, Anak Agung Gde Alit Geria, I Gusti Lanang Rai Arsana, I Made

Sugata. The Implementation of School Literacy Program for Blind Students at

Special Schools in Bali Province – Palarch’s Journal Of Archaeology Of

Egypt/Egyptology 17 (6) ( 2020) ISSN 1567-214x

Keywords: literacy, special school, blind, Braille

PJAEE, 17 (6) (2020)

THE IMPLEMENTATION OF SCHOOL LITERACY PROGRAM

FOR BLIND STUDENTS AT SPECIAL SCHOOLS IN BALI PROVINCE

Nengah Arnawa1, Anak Agung Gde Alit Geria2, I Gusti Lanang Rai Arsana3,I Made Sugata4

1,2,3,4University of PGRI Mahadewa Indonesia

Corresponding Author1 [email protected]

ABSTRACT:

This study mapped the implementation of literacy enhancement program at special schools in

Bali Province. This study was planned to complete within three years. In the first year, the

mapping was focused on blind students. This study was conducted using a qualitative

paradigm. Data were collected from special schools in three districts and cities in Bali

Province with a total population of 65 students, consisting of 1st grade (SDLB) – 12th grade

(SMALB) students. Data were collected through document review, in-depth interviews,

questionnaires, and observations. The data analysis showed that Special Schools in Bali

Province applied three kinds of literacy enhancement activities to address the problems that

students experienced; reading by the teacher, using audiobooks, and the provision of Braille

corners. Those activities were expected to facilitate literacy enhancement program as outlined

in the guidelines. Teachers’ reading aloud promoted early and basic literacy skill and the use

of audiobooks to enhance media and technology literacy. The Braille reading corner was

intended to improve the library literacy. The only type of literacy enhancement activity that

cannot be applied to blind students is visual literacy enhancement, yet this limitation can be

overcome by providing three-dimensional media. Unfortunately, public participation was

relatively low. School committees and parents / guardians generally understood the

importance of literacy for students with visual impairments, but their real contributions need

to be improved. The participation of the business and industrial sectors was found adequate

as they provided books, literacy facilities, and learning tools. Many foundations that care for

children with visual impairment also participated this program. The results of this study are

expected to be used as a scientific basis for the betterment of literacy programs in Indonesia

and to encourage stronger public participation.

4263

THE IMPLEMENTATION OF SCHOOL LITERACY PROGRAM FOR BLIND STUDENTS AT SPECIAL SCHOOL IN BALI PROVINCE PJAEE, 17(6) (2020)

INTRODUCTION The rapid distribution of information in the global era requires everyone to have basic skills to assess information, including literacy skills. Literacy skills are closely related to reading and writing habits. The data released by some parties showed that the reading skills of students in Indonesia were relatively low (Hasanah and Warjana, 2019; Wiedarti, 2016a; Wiedarti 2016b). To address this problem, the government has enacted a national program on literacy enhancement .

The implementation of the school literacy program is stipulated in the Regulation issued by the Minister of Education and Culture of the Republic of Indonesia Number 23 of 2015 concerning Character Building. Based on this regulation, it is mandatory for students to read a textbook for 15 minutes before starting a lesson. The main goal of this program is to foster good reading habit. The provision and selection of books depend on the development and needs of students; with special emphasis on books containing strong moral values, local, national and global wisdom. Based on the technical guidelines of the program implementation, the national school literacy program launched involves various parties including parents and the community.

As a national program, the school literacy program is obligatory to be implemented in Special Schools that educate children with special needs. One of the groups of students in the Special School is students with visual impairment. Therefore, the implementation of the school literacy movement program for visually-impaired students needs to be mapped. This mapping reveals the real implementation of the program and its achievements, constraints and the contribution of the public. The findings of this study can be used as a reference for the improvement of the capacity and quality of the national literacy program implemented at special schools.

Literacy skills are skills that worth enhancing, including for children with special needs. Literacy skills offer great philosophical and practical values. Philosophically, literacy skills lift up the position of children with special needs. Literacy skills supports the mastery of other skills, allowing children with special needs to develop optimally. Optimal potential development will be quite beneficial for students to live their life in terms of personal and social domains. Regarding this reason, literary programs for children with special needs need to be mapped carefully to develop methods that suit their needs.

Changes in organizational structure in in Special Schools have affected schools’ readiness to implement the literacy program. Special Schools in Indonesia were initially sectoral schools, consisting of SLB-A which specifically educated children with visual impairments, SLB-B which specifically educated children with disabilities, and SLB-C which specifically educated mentally-retarded children. The changes in organizational structure affected the use of learning facilities and the professionalism of teachers and other education personnel. Integrating sectoral units into general special schools that educate all groups of students with special needs changed the map of school readiness in carrying out literacy activities. This change requires should be examined in a systematic study in order to develop literacy programs to meet students’ needs.

4264

THE IMPLEMENTATION OF SCHOOL LITERACY PROGRAM FOR BLIND STUDENTS AT SPECIAL SCHOOL IN BALI PROVINCE PJAEE, 17(6) (2020)

• • • • • •

LITERATURE REVIEW People in common over generalize visual impairment as total blindness. Whereas, the term “blind” has been technically explained by Hidayat and Suwandi (2016) as follows. A person is visually impaired if his vision is ≤ of 6/21. This means that a person is identified as visually impaired if they can read letters from a distance of 6 meters, while a sighted child can read them from a distance of 21 meters. Referring to this terminological concept, visually impaired persons are not only those who have total blindness but also referring to those with low vision. Visual impairment can occur by birth or it can develop overtime. People who develop blindness after birth have prior visual experiences which strongly affect their subsequent acquisition of knowledge. On the other hand, people who are blind by birth have absolutely no visual experience. Hence they obtain their knowledge through other four senses; one of them through touches.

Blind children are a group of students who need special treatment. The level of visual impairment varies. Some students might only have visual impairments, while other aspects, such as intelligence, hearing, and speech organs are in normal conditions. However, it is possible that there are blind students with multiple constraints such as deafness and / or mental retardation. This diverse condition requires special education services. Special services for blind students are also expected to optimally develop students’ potentials and help them make social adaptations (Hidayat and Suwandi, 2016).

One form of special services for blind students is learning Braille writings. Braille letters were developed based on touch sensory (Hoskin and Davies, 2019). The Braille alphabetical order is the same as the Latin alphabet, yet Braille letters use 6- dot pattern. The pattern is arranged in two columns and three rows. Basic Braille dots can be visualized as follows.

Figure 1. The Basic Pattern of Braille Letters

For easier memorization, the basic pattern is numbered in order vertically from left column to the right column as follows.

Figure 2. The Numbering of Braille Dots

The position of the dots is the basis for teaching Braille letters to blind students. Braille letters are arranged in a logical pattern. The letters a - j are arranged by using

4265

THE IMPLEMENTATION OF SCHOOL LITERACY PROGRAM FOR BLIND STUDENTS AT SPECIAL SCHOOL IN BALI PROVINCE PJAEE, 17(6) (2020)

Figure 3. Braille Letters

the position points 1, 2, 4, and 5. The letters k - t are arranged by adding the position point 3 to the letters a - j. The letters u, v, x, y, and z are arranged by adding the position points 3 and 6 to the letters a, b, c, d, and e; while the letter w is arranged with the position points 2, 4, 5, and 6. The deviation of the letter w pattern is because in the original Braille alphabet this letter does not exist (Hidayat and Suwandi, 2016). The National Federation of The Blind (2009) visualized the position of the Braille dots as shown in the following figure.

Figure 3. Braille Letters

Braille reading skill is a distinct characteristic of the education for children with disabilities. Technology and information advancement has produced various learning media in the forms of audiobooks. However, audiobooks cannot replace Braille text. Braille is the main literary instrument for blind students (Danis Association of the Blind and the International Council for Education of People with Visual Impairment, 2018). Therefore, to enhance literacy skills, children with visual impairment must be skilled at reading Braille text. However, they often experience problems when they start learning Braille. They are required to not only learn about letters, grammatical rules, and spelling like sighted children do, but they also need to learn about abbreviations and rules of use in Braille. Many teachers believe that there are differences in reading rate, comprehension of content, vocabulary development, and reading interest between alert children and blind students (Emerson; Holbrook and D'Andrea, 2009). This gap should be overcome through changes in the learning environment for blind students. Changes in the learning environment are necessary for children with special needs to accelerate their Braille reading skills improvement.

The success of the school literacy program greatly depends on the level of students’ effective reading rate. The effective reading ate is measured by the number of words read per minute and the level of students’ comprehension upon a text. The reading rate is influenced by the difficulty level of the text, the purpose of reading, and the level of comprehension targeted. More complex text with more detailed the purpose of reading, higher the target comprehension will lead to lower reading rate. Based on this measurement, in general, the ideal effective reading rate is around 250 - 300

4266

THE IMPLEMENTATION OF SCHOOL LITERACY PROGRAM FOR BLIND STUDENTS AT SPECIAL SCHOOL IN BALI PROVINCE PJAEE, 17(6) (2020)

words per minute which is far from the reality. Students’ effective reading rate ranged between 200 - 250 words per minute, which is equivalent to the ideal reading ate of elementary students (Noer, 2014). The rate of reading Braille letters for blind students is even slower, which is around 90 - 116 words per minute (Jumaidi; Atmazaki; and Tahar, 2013). Therefore, efforts should be made to increase the Braille reading rate of children with visual impairments.

The public perception that the rate of Braille reading is very slow has been refuted by the National Federation of the Blind (2009). The largest and most influential blind membership organization in the United States stated that Braille is an efficient and effective reading medium. Learners with visual impairments can have a reading rate of over 200 words per minute. Learning Braille reading to this rate requires effort. Schiff (2009) mentioned some methods that can improve the rate of Braille reading, namely assistive technologies, job access with speech, and zoom text. Waldron; Steer; and Bhargava (2014) formulated the literacy principles for blind children as follows. First, it is necessary make sure children with visual impairments have a lot of basic life experiences and direct access to literacy activities from an early age. Second, children with visual impairments can develop academic literacy skills that allow them to read efficiently, effectively, comfortably and happily at school. Third, various learning strategies should be applied to allow blind children to grow as independent individuals. Fourth, children with visual impairments can develop functional literacy skills to solve their daily life and work problems. Fifth, to support literacy activities, unique needs of blind children should be facilitated. Sixth, blind children need to be given the opportunity to experience reading activities which raise their awareness of the importance of literacy skills.

RESEARCH METHODOLOGY

This qualitative study put blind students as the main subject in the school literacy program (Kopeuw, 2009). The samples of this study were 65 students selected from 3 special schools in 3 different districts in Bali Province, namely: Buleleng District, Tabanan District, and Denpasar City. Samples were students of special schools at the elementary, junior high and high school levels. In this study, 3 groups of data were collected, namely data on the description of the literacy enhancement program at the Special School, constraints in its implementation, and public participation. Those data were collected through document review, in-depth interviews, questionnaires, and observations. This study put emphasis on the data of the 15-reading before starting a lesson, the availability of literacy facilities for blind students, developed literacy strategies, and public participation in literacy enhancement activities at special schools. The collected data were analyzed through 3 stages, namely data reduction, data presentation and verification and drawing conclusions (Sugiono, 2012). Data reduction was done to classify the data based on certain similarities to make the data simpler. Data presentation was done by visualizing the data in the forms of tables, graphs, etc. for easier interpretation. Before drawing conclusions, verification was carried out as data triangulation.

RESULT & DISCUSSION

4267

THE IMPLEMENTATION OF SCHOOL LITERACY PROGRAM FOR BLIND STUDENTS AT SPECIAL SCHOOL IN BALI PROVINCE PJAEE, 17(6) (2020)

The Implementation of Literacy Enhancement Program for Blind

Students

The school literacy program is a national program that must be implemented in

every school. Its main goal is to create positive literacy habit in Special

Schools. The operational principle of this program mentions that the literacy

enhancement program is carried out according to predictable, balanced

developmental stages, takes place in all areas of the curriculum, meaningful

reading and writing and emphasis on the importance of spoken discussions and

develop awareness of diversity (Wiedarti, 2016a).

Based on data from interviews and observations 15-minute reading activity

before lessons start implemented in special school for blind students was

carried out in 3 patterns; teacher’s reading aloud, using an audiobook, and

providing a Braille reading corner. Those options were taken to facilitate

diverse characteristics of blind students. The first option is quite determined by

students’ age. This activity affect the students’ Braille reading skills. Some

students might be familiar with this type of text, but some other might not. The

second constraint relates to other disabilities that follow; some students might

be totally blind, but some students might be partially blind, or some others are

blind and deaf. The third one relates to the level of visual impairment. In this

group there are students with low vision and blindness. Those three aspects

ensure that the program matches predictable and balanced developmental stage

and encourages the development of oral and written culture. The use of 3

literacy patterns is assumed to facilitate the need for literacy enhancement

among blind students.

Teachers’ reading is a popular method applied to teach blind students at the

elementary school level, especially in the first 3 years. During this period,

students begin to learn Braille letters. Tactile sensitivity begins to develop

which is a good start in reading Braille. This condition is a striking difference

from the one of sighted children. In elementary school, sighted children are

generally able to read and write down simple things they learned in

kindergarten. Yet, blind children will start learning Braille in the first year of

elementary school, while not all students have equal readiness to start learning.

Learning Braille letters for beginners is quite challenging, even though

teachers try their best to teach it. Beginner learners must first have the

prerequisite skills. Unfortunately, some students are lack of sensitivity and

have difficulty integrating the Braille dots. In this condition, teachers will have

to read the text out for them. This option is taken based on the assumption that

the ability of blind children to comprehend a text is equal to those of sighted

children. Emerson; Holbrook, and D'Andrea (2009) emphasized that students’ comprehension and ability to decode between children with visual

impairments and blind students can be seen in the decoding ability. Teachers

can optimize students’ comprehension optimizing auditory stimulation and

teaching Braille as they go.

The second strategy is to use audiobooks that optimize students’ hearing sense.

This method takes the advantages of information and technology

4268

THE IMPLEMENTATION OF SCHOOL LITERACY PROGRAM FOR BLIND STUDENTS AT SPECIAL SCHOOL IN BALI PROVINCE PJAEE, 17(6) (2020)

advancement. The target books are read out by the narrator in the form of audio recordings. In this case, it is necessary to train the narrator to make clear

and unambiguous pronunciation. The intonation should be appropriate as it

affects the interpretation of the message. Musical illustrations can be inserted

in the recording process. Based on the data, the types of audiobooks used at

the Special Schools in Bali Province were unabridge and abridge and were

generally commercial products. Unabridge is a complete audio record of a

book; while abridge is non-complete or brief audio recording of a book

(Camalia, 2016). The use of audiobook can be done in computer room under

teachers’ supervision. Based on the results of the interviews, this method is the

most-used method in Special Schools in Bali Province.

The third method was enhancing the literacy by creating Braille reading

corner. This method is the most ideal one to meet the characteristics of blind

students since reading and writing skills in Braille are the unique

characteristics of blind learners. Reading and writing skills in Braille are basic

literacy requirement. In addition, Braille reading corner offers flexibility of

time and it promotes students’ interest in reading independently. The provision

of a Braille reading corner allows students to develop their literacy regardless

of time and learning schedule. Students can choose meaningful reading

material to their interests and needs. This method is believed to foster students’

reading interest. Braille reading corners are generally placed at the back of the

classroom to make it easily accessed by students.

In Special Schools for blind students, literacy enhancement activities are

generally integrated into main lessons for children with special needs.

Generally, reading materials are functional and relevant to their talents and

interests. Each school can develop a variety of life skills programs, such as

music, massage skills, literary arts and theater. Integrating the literacy content

to the curriculum for children with special needs is an attempt to improve the

role of literacy activities in students’ daily life through literacy-based

habituation, development and learning. Facts that occurred in the field were

observed by referring to the 3 implementation method. Literacy enhancement

program Special Schools for blind students is directed at early literacy and

basic literacy components which are implemented through those methods.

Media literacy and technology literacy are enhanced through the use of

audiobook in the computer room. Library literacy is implemented through the

provision of Braille reading corners in classrooms. Due to the visual

impairment, students cannot do visual literacy activities effectively. Hence,

this activity is replaced by textual literacy by using three-dimensional artificial

objects. Those methods were expected to improve the average effective

reading rate of blind students in Bali Province which were between to 90 - 115

words per minute (Simon and Huertas, 1998).

Constraints in the Implementation of Literacy Enhancement Program in

Special School for Blind Students

The teaching and learning activities for children with special needs, including

those with visual impairments, require greater effort. Based on the interview, it

was revealed that the implementation of the literacy program at special schools

4269

THE IMPLEMENTATION OF SCHOOL LITERACY PROGRAM FOR BLIND STUDENTS AT SPECIAL SCHOOL IN BALI PROVINCE PJAEE, 17(6) (2020)

for blind students was constrained by 2 factors; internal factor and learning environment factor. Internal constraints were related to emotional, social and

psychological problems. The social problem found in blind students was

related to anxiety problem which triggered fear and worry. Consequently,

students felt doubtful when carrying out literacy activities. Anxiety often

triggers anger, irritability, depression, and sadness. In fact, blind children often

got very frustrated, felt useless and felt that they were the burden on the

family. In one extreme case, a blind child was found to tear a book off while

being taught to read Braille. This behavior reflected his frustration. Another

obstacle that comes from internal learners is related to the sense of inferiority.

Many blind children feel embarrassed and inferior in front of typical children.

This shame deprives them of their achievement motivation. Feelings of shame

are getting stronger when blind students fail to correctly respond to stimuli. As

a result, they often withdraw themselves from social interactions. This fact

hinders the implementation of literacy activities at special schools in Bali

Province. To overcome these internal constraints, there needs to be personal

service that facilitates the development of the potential of each student.

Personal literacy services are expected to maintain students’ motivation.

The second constraint is related to the learning environment regarding the limited learning materials for blind students. Students in special schools also

need equal distribution of text literacy media to enhance their literacy skills.

This need also relates to the changes in the administration of special education,

in which each school provides education services for children with special

needs. Currently, special schools are no longer classified into SLB-A which

specifically served blind children or SLB-B which specifically served deaf

children, or SLB-C which specifically served students with mental retardation.

Instead, special schools provide general education for any type of disabilities.

Students’ low reading rate of between 85-101 words per minute was also a

constraint. Therefore, Braille text which has been summarized telegraphically

without reducing the message in the text is needed. Another effort that can be

done to improve the implementation of this program is to provide an adequate

number of audiobooks on a variety of topics.

Mobility constraints of blind students also require more intensive role of

librarians in Special Schools. Librarians play important roles in book

distribution. Problems in book distribution in all Braille reading corners

commonly occurred. In addition, assistance in reading Braille letters is also

necessary, which assistance can be provided by teachers and senior students

who are skilled at reading Braille.

Public Participation

The success of the literacy movement program in Special Schools in Bali

Province requires public participation. The implementation guidelines regulate

the involvement of public participation, such as school committees, parents /

guardians of students, business sector and industries. The questionnaires

revealed that in general, public participation was still relatively low. The data

showed asymmetry between public’s comprehension and their concrete action.

All school committee members and parents / guardians understood the

THE IMPLEMENTATION OF SCHOOL LITERACY PROGRAM FOR BLIND STUDENTS AT SPECIAL SCHOOL IN BALI PROVINCE PJAEE, 17(6) (2020)

4270

importance of school literacy activities; however, this understanding was not followed by concrete actions, such as providing supports for literacy facilities,

infrastructure, support for literacy committee, and develop school networks.

These steps are concrete forms of support from the school committee and

parents / guardians to the literacy enhancement movement program at the

Special Schools in Bali Province.

Supervision and assistance for literacy activities at home also need to be

improved. Based on the questionnaire, mostly, parents admitted to supervising

and assisting literacy activities in their respective homes. The supervision and

assistance carried out by parents seemed ineffective because in general they

stated that they did not understand, or even did not know Braille letters at all.

This problem can be addressed by forming Braille literacy committee at each

Special School with adequate participation of parents / students’ guardians.

Active participation from business and industrial sectors is believed to

significantly improve students’ motivation to enhance their literacy skills.

Based on interviews with sample schools, most of Braille books and other

Braille facilities were procured by the government and donations from other

parties, such as publishers and agencies engaged in this sector. The

participation of the business and industrial sectors can be enhanced in the form

of funding for various literacy competitions. Those sectors can also show their

participation by allowing student tour/visit to their factories. Such activities

can foster students’ confidence, social and mobility skills. Allowing student

visits is a concrete effort supporting environment-based literacy activities,

which frequency and quality should be increased.

CONCLUSION

The national school literacy program does not exclude Special Schools. To support this national program, the Government of Indonesia through the Ministry of Education and Culture has set guidelines for its implementation. However, the implementation of this program for blind students was still hindered by some constraints, including the relatively low Braille reading rate. Students’ average reading rate was found much slower than the ideal one. Thus, it is necessary to have Braille text packaged in a concise manner, without reducing the core message of the text. Other constraints occurred from the internal personalities of students, such as anxiety and frustration which reduced their achievement motivation. To overcome this problem, schools have developed three methods of literacy activities for blind people, namely text reading by teacher, using an audiobook, and creating Braille reading corner in the back of the classroom. Those methods support the enhancement of early literacy, basic literacy, library literacy, media literacy and technology literacy. Due to their visual impairments, students could not do visual literacy activities. Therefore, visual activities were compensated by greater exposure to three-dimensional artificial objects that focus on the use of the tactile senses. The success of this national program requires public support. Many businesses and industries entities have shown their support through concrete actions. Concrete support from school committees and parents / guardians s should be enhanced even though they already had proper understanding about the importance of literacy

THE IMPLEMENTATION OF SCHOOL LITERACY PROGRAM FOR BLIND STUDENTS AT SPECIAL SCHOOL IN BALI PROVINCE PJAEE, 17(6) (2020)

4271

skills for students. The school committee can form a Braille literacy committee that accounts for the development of literacy skills of blind students.

ACKNOWLEDGEMENT

Sincere gratitude is expressed to the Directorate of Research and Community

Service, Deputy for Research and Development of the Ministry of Research

and Technology / National Research and Innovation Agency for the funding

which has made it possible to complete this study. Gratitude also goes to the

Head of SLB Negeri 1 Singaraja, Head of SLB Negeri 1 Denpasar, and Head

of SLB Nengeri 1 Tabanan for having given the access to collect the data of

this study. The researcher would like to thank the Rector of the PGRI Mahadewa University of Indonesia for the support given to the completion of

this study.

REFERENCE

Camalia, F. (2016). Pengembangan Audiobook Dilengkapi Alat Peraga Materi getaran Gelombang Untuk Tunanetra Kelas VIII SMP. In Universitas Negeri Semarang. https://lib.unnes.ac.id/26695/

Danis Association of the Blind and the International Council for Educatian of People with Visual Impairment. (2018). Braille Teaching and Literacy: A Report for the European Blind Union and European Commission.

https://www.pathstoliteracy.org/research/braille-teaching-and-literacy-report- european-blind-union-and-european-commission

Emerson, R. ., Holbrook, M. C., & D’Andrea, F. M. (2009). Acquisition of Literasi Skills by Young Chikdren Who Are Blind: Results from the ABC Brille Study. Journal of Visual Impairment & Blindness, 610 – 624. https://www.researchgate.net/publication/286232902

Hasanah, U. and Warjana. (2019). Pengembangan Pembelajaran Literasi Membaca untuk Meningkatkan Daya Baca Siswa, Media Pustakawan Vol. 24 (2), pp 129 – 139. https://ejournal.perpusnas.go.id/mp/article/view/184

Hidayat, A. A., & Suwandi, A. (2016). Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Tunanetra. Jakarta: Luxima Metro Media.

Hoskin, E., & Davis, T. C. (2019). Assistive Technology for Braille Literacy Education: Identifying Ideal Design Criteria. Building and Designing Assistive Technology Lab, Queen University. https://www.resna.org/sites/default/files/conference/2019/cognitive/Hos kin.html

Jumaidi, Atmazaki, & Thahar, H. E. (2013). Peningkatan Kecepatan Membaca Tulisan Braille dengan Teknik Dua Tangan Bagi Tunanetra Kelas V SLB Negeri 2 Padang. Jurnal Bahasa, Sastra Dan Pembelajarannya, 1(3), 60 – 70. http://ejournal.unp.ac.id/index.php/bsp/article/view/5016

Kopeuw, P. (2009). Hakikat Penelitian Kualitatif, Kuantitatif, dan Tindakan. https://pealtwo.wordpress.com/2012/05/15/

National Federation of The Blind. (2009). The Braille Literacy Crisis in America: A Report to the Nation. Jernigan Institute.

https://www.nfb.org/sites/www.nfb.org/files/images/nfb/documents/pdf/braille_lit eracy_report_web.pdf

Noer, M. (2014). Variasi Kecepatan Baca yang Benar untuk Membaca Bacaan Sehari- Hari. https://www.membacacepat.com/artikel/variasi-kecepatan-

THE IMPLEMENTATION OF SCHOOL LITERACY PROGRAM FOR BLIND STUDENTS AT SPECIAL SCHOOL IN BALI PROVINCE PJAEE, 17(6) (2020)

4272

membaca/ Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 23 Tahun

2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Schiff, R.A. (2009). Information Literacy and Blind and Visual Impaired Students. New

York: City University of New York. https://www.researchgate.net/publication/251500738_Information_Litera cy_and_Blind_and_Visually_Impaired_Students

Simon, C. and J.A. Huertas. (1998). How Blind Readers Perceive and Gather Information Written in Braille, Journal of Visual Impairment & Blindness, pp 322 – 329.https://www.researchgate.net/publication/234690620_How_Blind_Re aders_Perceive_and_Gather_Information_Written_in_Braille/link/5ba7d55 e45851574f7e0aee5/download

Sugiono. (2012). Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Badung: Alfabeta.

Waldron, K., Steer, M., & Bhargava, D. (2014). Literacy and Australians with Low Vision. Melbourne: Tirnity University Press https://sites.trinity.edu/sensoryimpariment/literacy-and-australians-low- vision

Wiedarti, P. (2016a). Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Wiedarti, P. (2016b). Panduan Gerakan Literasi Sekolah di Sekolah Luar Biasa. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

N: 2081-7452

Dear Authors

Date: December 1, 2020 Ref.: PJAE/2020121/845

Nengah Arnawa, Anak Agung Gde Alit Geria, I Gusti Lanang Rai Arsana and I MadeSugata

University of PGRI Mahadewa Indonesia

It is pleasure to inform you that, after the peer review, your paper,

THE IMPLEMENTATION OF SCHOOL LITERACY PROGRAM

FOR BLIND STUDENTS AT SPECIAL SCHOOLS IN BALI

PROVINCE

has been ACCEPTED to publish with PalArch's Journal of Archaeology of Egypt/ Egyptology, ISSN: 1567214X.

It will be published in the current issue. I believe that our collaboration will help to accelerate the global

knowledge creation and sharing one-step further. Please do not hesitate to contact me if you have any

further questions.

Sincerely,

Editorial Manager

PalArch's Journal of Archaeology of Egypt/ Egyptology

ISSN: 1567214X https://www.scimagojr.com/journalsearch.php?q=21100286805&tip=sid&clean=0

http://www.palarch.nl/index.php/jae

Dokumen pendukung luaran Tambahan #1

Luaran dijanjikan: Artikel di Jurnal Nasional terakreditasi peringkat 1-3

Target: Accepted

Dicapai: Submited

Dokumen wajib diunggah:

1. Naskah artikel

2. Bukti submit

Dokumen sudah diunggah:

1. Naskah artikel

2. Bukti submit

Dokumen belum diunggah:

-

KEBUTUHAN WACANA TULIS TELEGRAFIS UNTUK PROGRAM GLS

BAGI PESERTA DIDIK TUNANETRA PADA SLB DI PROVINSI BALI

Oleh:

Nengah Arnawa1

Anak Agung Gde Alit Geria2

I Gusti Lanang Rai Arsana3

e-mail: [email protected] 1,2,3

FKIP Universitas PGRI Mahadewa Indonesia

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk memetakan pelaksanaan program GLS-SLB bagi peserta

didik tunanetra di Provinsi Bali. Penelitian ini menggunakan desain kualitatif. Data

dikumpulkan dari 3 kabupaten yang berbeda. Sampel sekolah ditetapkan berdasarkan

purposive. Data dikumpulkan melalui pencatatan dokumen, observasi, wawancara, dan

angket. Data yang diperoleh direduksi, di-display, dan diverifikasi. Berdasarkan

prosedur kerja seperti itu terungkap hal-hal berikut. (1) Program GLS bagi peserta

peserta didik tunanetra dilakukan dengan tiga pola, yaitu dibacakan guru, menggunakan

audio book, dan pojok baca. Hambatan utama pelaksanaan GLS bagi peserta didik

tunanetra adalah kecepatan efektif membaca (KEM) teks berhuruf Braille yang sangat

rendah, yakni 85 – 101 kpm (kata per menit). Untuk mengatasinya diperlukan wacana

tulis telegrafis dan pelatihan kepekaan takstil para peserta didik secara kelanjutan.

Kata kunci: gerakan lietasi sekolah, tunanetra, wacana telegrafis, kecepatan efektif

membaca.

THE NEED FOR TELEGRAPHIC WRITING TO SUPPORT SCHOOL

LITERACY ENHANCEMENT PROGRAM FOR BLIND STUDENTS IN BALI

Abstract

This study examined the implementation of School Literacy Enhancement Program for

blind students in Bali. In this qualitative study, data were collected from 3 districts

though document study, observation, interviews, and questionnaires. The data were then

reduced, displayed and verified. This study revealed that (1) the program was done in three methods; reading out loud by teachers, using audio book, and developing reading

corner. The major problem experienced by blind students was on the low effective

Braille reading rate at 85-101 words per minute. To address this problem, telegraphic

writing and text preciseness skills among students should be enhanced continuously.

Key words: school literacy enhancement program, telegraphic writing, effective reading

rate

1. Pendahuluan

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kondisi empirik bahwa minat baca siswa

sangat rendah, seperti yang dilaporkan berbagai pihak (Wiedarti, 2016a); sedangkan

perkembangan masyarakat global menuntut keterampilan literasi sebagai sesuatu yang

sangat urgen. Untuk mengatasi kesenjangan itu disusun program nasional Gerakan

Literasi Sekolah (GLS). Sebagai gerakan nasional, Sekolah Luar Biasa (SLB) tidak

dikecualikan. Pelaksanaan GLS pda SLB perlu didukung agar anak-anak dengan

keterbatasan bisa mengembangkan potensi diri secara optimal. Salah satu kelompok

peserta didik di SLB adalah penyandang tunanetra. Untuk mendorong pelaksanaan GLS

bagi peserta didik tunanetra perlu dilakukan analisis kebutuhan.

Dengan keterbatasannya, peserta didik tunanetra diduga memiliki kebutuhan

literasi yang berbeda. Dugaan perbedan itu bersumber dari asumsi bahwa membaca teks

dengan huruf Brille membutuhkan waktu yang lebih lama. Persoalannya adalah belum

tersedia data yang memadai tentang kecepatan membaca teks berhuruf Braille bagi

anak-anak tunanetra sehingga kebutuhan struktur teks informasi yang sesuai belum bisa

dideskripsikan. Merujuk persoalan tersebut, penelitian ini memiliki dua tujuan utama.

Pertama, mengungkapkan kecepatan rata-rata membaca teks berhuruf Brille bagi peserta

didik tunatera di Provinsi Bali sehingga bisa dijadikan rujukan bagi SLB di daerah lain.

Kedua, mengungkapkan struktur teks yang dinilai efektif untuk mendukung program

literasi bagi peserta didik tunanetra. Penyesuaian struktur teks dengan kecepatan

membaca huruf Braille bertujuan agar peserta didik tunanetra dapat mengakses

informasi secara lebih efektif untuk kepentingan hidup pribadi dan sosial mereka sehari-

hari.

Penyesuaian struktur teks informasi merupakan kebutuhan konkret bagi peserta

didik tunanetra. Ada dua konsep filosofis-normatif yang melatari kebutuhan itu.

Pertama, peserta didik tunanetra memiliki hak yang sama untuk mendapatkan

pendidikan dan informasi. Kedua, prinsip dasar pendidikan luar biasa adalah

penyesuaian lingkungan belajar dengan keterbatasan anak-anak yang berkebutuhan

khuusus. Landasan filosofis-normatif itu perlu dipraktikan untuk mendukung program

GLS pada SLB. Wujud praktisnya adalah penyediaan teks literasi yang sesuai

kebutuhan pembelajaran peserta didik tunanetra. Untuk mengungkapkan struktur teks

informasi yang sesuai itulah penelitian ini dilakukan.

1. Kerangka Teoretis

2.1 Ketunanetraan

Ketunanetraan bukanlah halangan bagi seseorang untuk menjalani proses

pendidikan. Peserta didik dikategorikan tunanetra apabila visusnya kurang dari 6/21

(Hidayat dan Suwandi, 2016). Merujuk pada batasan itu, seorang anak dikategorikan

tunanetra apabila mereka dapat membaca huruf berukuran besar dari jarak 6 meter,

sedangkan bagi anak awas huruf itu dapat dibaca dari jarak 21 meter. Selanjutnya,

peserta didik tunanetra diidentifikasi menjadi dua kelompok, yakni peserta didik rabun

(low vision) dan dan peserta didik buta (blind). Ketunanetraan seseorang dapat dialami

sejak lahir dan setelah lahir. Peserta didik tunanetra sejak lahir adalah mereka yang

sama sekali tidak memiliki pengalaman visual sehingga semua pengetahuan dan

informasi yang dimilikinya bersumber dari rangsang indra lain. Sebaliknya, peserta

didik tunanetra setelah lahir adalah mereka yang pernah memiliki pengalaman visual

dalam hidupnya. Peserta didik tunanetra setelah lahir ini kehilangan penglihatannya

karena berbagai hal, misalnya karena kecelakaan. Dikaitkan dengan program nasional

GLS, baik peserta didik dengan low vision maupun yang blind, serta tunanetra sejak

lahir maupun setelah lahir semuanya membutuhkan layanan khusus; misalnya,

modifikasi struktur teks informasi dan alih aksara ke huruf Brille.

Huruf Braille merupakan sistem abjad fonetik takstil untuk penyandang tunanetra

(Hoskin dan Davis, 2019). Huruf Braille merupakan korespondensi satu demi satu titik

(Emerson; Holbrook; dan D’Andrea, 2009). Urutan abjad Braille mengikuti urutan

abjad Latin, yang terdiri dari 26 huruf, yakni huruf a – z. Karakter huruf Brille

dikembangkan berdasarkan kerangka enam titik dengan posisi dua kolom dan tiga baris,

seperti tampak pada gambar berikut ini.

Gambar 1. Kerangka Dasar Karakter Huruf Brille

Karakter huruf Brille dibentuk berdasarkan konfigurasi 6 titik tersebut. Sepuluh abjad

pertama, yakni huruf a – j, dibentuk dengan konfigurasi titik 1, 4, 2, dan 5 yang dalam

sistem Brille disebut tanda atas. Sepuluh huruf kedua yakni k – t dibentuk dengan

menambhakan titik posisi 3 pada sepuluh huruf pertama itu. Selanjutnya, lima huruf

lainnya, yakni u, v, x, y, dan z dibentuk dengan menambahkan titik posisi 3 dan 6 pada

huruf a, b, c, d, dan e; sedangkan huruf w dibentuk dengan konfigurasi titik posisi 2-4-

5-6. Peyimpangan pola titik huruf w karena pada abjad asli Braille tidak dikenal huruf

ini. Huruf w dikenal dalam abjad Brille setelah masuk Amerika (Hidayat dan Suwandi,

2016). Selengkapnya, konfigurasi titik huruf Braille dapat ditabulasi dalam tabel berikut

ini.

Tabel 1. Konfigurasi Titik Huruf Braille

No. Huruf Latin Konfigurasi Titik Huruf

Brille

1. a/A 1

2. b/B 1-2

3. c/C 1-4

4. d/D 1-4-5

5. e/E 1-5

6. f/F 1-2-4

7. g/G 1-2-4-5

8. h/H 1-2-5

9. i/I 2-4

10. j/J 2-4-5

11. k/K 1-3

12. l/L 1-2-3

13. m/M 1-3-4

14. n/N 1-3-4-5

15. o/O 1-3-5

16. p/P 1-2-3-4

17. q/Q 1-2-3-4-5

18. r/R 1-2-3-5

19. s/S 2-3-4

20. t/T 2-3-4-5

21. u/U 1-3-6

22. v/V 1-2-3-6

23. w/W 2-4-5-6

24. x/X 1-3-4-6

25. y/Y 1-3-4-5-6

26 z/Z 1-3-5-6

Selaian huruf, sistem Braille pun memiliki cara penulisan angka dan tanda baca yang

harus dihafalkan oleh para penyandang tunanetra. Konfigurasi titik untuk angka Braille

dapat disajikan pada tabel berikut ini.

Tabel 2. Konfigurasi Titik Angka Braille

1.2 Gerakan Litearasi SLB

Gerakan Literasi Sekolah merupakan program nasional yang pelaksanaannya

didasarkan pada Peraturan Meneteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun

2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti; yang dalam lampirannya mewajibkan sekolah

melaksanakan kegiatan membaca selain buku pelajaran selama 15 menit setiap hari

untuk menumbuhkan kebiasaan berliterasi. Kewajiban itu pun melekat pada SLB.

Untuk kepentingan ini, pemerintah telah menerbitkan panduan GLS untuk SLB, yang di

dalamnya memuat pula penjelasan pedoman pelaksanaan literasi bagi anak tunanetra

(Wiedarti, dkk., 2016b).

Konsep awal literasi berpijak pada makna keberaksaraan atau melek huruf, yang

dikaitkan langsung dengan keterampilan membaca dan menulis. Dalam

perkembangannya, konsep dasar itu dielaborasi secara fungsional hingga mencakup

kemampuan mengaplikasikan dan mengomunikasikan IPTEKS menjadi keterampilan

hidup (Harsiati dan Priyatni, 2017). Kegiatan literasi merupakan wujud kesadaran dan

kebutuhan belajar sepanjang hayat agar peserta didik mampu mengidentifikasi,

menentukan, menemukan, mengevaluasi, menciptakan dan mengomunikasikan

informasi untuk kehidupan (Wiedarti, 2016a). Selanjutnya, konsep literasi itu

dijabarkan menjadi standar kompetensi lulusan (SKL), yakni para peserta didik dapat

menemukan dan mengaplikasikan informasi secara kreatif dan inovatif dalam

kehidupan sehari-hari berdasarkan pemikiran kritis-rasional; serta mampu memecahkan

masalah (Umamy, dkk., 2012).

Kecepatan membaca merupakan salah satu aspek yang menentukan keberhasilan

GLS. Jumaidi, dkk. (2013) merinci kecepatan membaca ideal berdasarkan jenjang

pendidikan, seperti berikut. Untuk tingkat SD kecepatan membaca idealnya adalah 200

kpm (kata per menit), SMP 250 kpm, SMA 325 kpm, mahasiswa 400 kpm. Akan tetapi

realitasnya tidak demikian. Berdasarkan data statistik rata-rata kecepatan membaca

peserta didik dengan penglihatan normal adalah 200 – 250 kpm (Noer, 2016);

sedangkan bagi anak tunanetra jauh lebih lambat, yakni hanya 90 – 115 kpm (Jumaidi,

dkk. 2013).

Peserta didik tunanetra memiliki banyak hambatan dalam kegiatan berliterasi.

Pembaca pemula teks berhuruf Braille umumnya belum memiliki kepekaan dan

kemahiran membaca secara takstil. Mereka belum sensitif terhadap elemen-elemen

subleksikal. Pembaca pemula Braille tidak hanya belajar tentang huruf, gramatikal, dan

ejaan; tetapi juga belajar tentang konstruksi Braille dan aturan penggunaannya

(Emerson; Holbrook; dan D’Andrea, 2009). Adanya berbagai keterbatasan itu

memerlukan modifikasi lingkungan belajar. Hal ini sesuai dengan prinsip pendidikan

luar biasa, yakni lingkungan yang menyesuaikan dengaan kebutuhan peserta didik yang

memiliki keterbatasan.

2.3 Wacana Telegrafis

Konsep wacana tulis telegrafis dikembangkan sesuai kebutuhan lapangan bagi

peserta didik tunanetra, yang memiliki kecepatan membaca rata-rata lebih lambat

daripada anak-anak awas. Secara operasional, konsep ini dipandang sebagai konstruksi

wacana yang lebih fokus pada aspek informasi inti daripada informasi pejelas dan

ilustrasi. Definisi operasional ini merujuk pada konsep kalimat telegrafis yang lebih

mempertahankan kontentif daripada fungtor (Akhyar, 2017). Meskipun sangat

singakat, konstruksi wacana telegrafis wajib mempertahankan keutuhan pesan serta

menjaga kekoheresian dan kekohesifannya. Hal ini sagat penting karena hakikat wacana

adalah keutuhan informasi yang mempersyaratkan adanya kohesi dan koherensi (Lubis,

1993; Badara 2012).

Wacana telegrafis juga dikembangkan dengan berpijak pada prinsip kerja sama.

Dalam studi pragmatik, prinsip kerja sama merupakan panduan penggunaan bahasa

secara efektif. Indikator keefektifanya dituangkan menjadi empat maksim, yakni:

maksim kuantitas, kualitas, relevan, dan cara (Leech, 1983 dan Nababan, 1987).

Maksim kuantitas fokus pada jumlah informasi yang disampaikan. Prinsip dasarnya

adalah pemberian informasi sebanyak yang diperlukan. Maksim kualitas menekankan

pentingnya kebenaran informasi. Maksim relevansi lebih berorientasi pada aspek

kesesuaian kebutuhan informasi. Bagi peserta didik tunanetra, literasi kedaruratan,

akademik, dan fungsional lebih dibutuhkan (Waldron; Steer; dan Bhargava, 2014;

Schiff, 2009). Terakhir, maksim cara mengatur pilihan konstruksi kebahasaan yang

digunakan, seperti pilihan kalimat, diksi, urutan gagasan, singkat, dan tidak taksa.

Prinsip-prinsip itulah yang diaplikasikan dalam penyusunan wacana telegrafis untuk

memenuhi kebutuhan literasi peserta didik tunanetra.

2. Metode

Peneltian ini menggunakan desain kualitatif. Prinsip dasar penelitian kualitatif

adalah menjadikan manusia sebagai subjek utama dalam suatu peritiwa (Kopeuw,

2009). Terkait dengan penelitian ini, peserta didik tunanetra merupakan subjek utama

sedangkan kegiatan literasi sebagai peristiwanya.

3.1 Sampel Penelitian

Penelitian tentang GLS SLB di Provinsi Bali ini direncanakan selama 3 tahun.

Pada tahun pertama (2020) difokuskan pada literasi bagi peserta didik tunantera (SLB-

A). Sampel penelitian tahun ini berjumlah 65 orang yang tersebar pada 3 SLB Negeri

dari Kabupaten yang berbeda, yang ditentukan secara purposive. Sebaran sampel

penelitian dapat dirinci seperti berikut.

Tabel 3. Sampel Penelitian

No Sekolah Jumlah Peserta Didik

Tunanetra

1 SLB Negeri 1 Denpasar 52 orang

2 SLB Negeri 1 Tabanan 9 orang

3. SLB Negeri 1 Singaraja 4 orang

Jumlah 65 orang

3.2 Pengumpulan Data

Data penelitian dikumpulkan dengan tiga cara. Pertama, data tentang kecepatan

membaca peserta didik tunanetra dikumpulkan melalui pencatatan dukumen. Dokumen

itu berupa catatan evaluasi portofolio dari para guru. Kedua, validasi data dokumenter

dilakukan melalui wawancara mendalam (indepth interview) dengan para guru pembina.

Dengan teknik snow ball dapat digali informasi yang lebih luas dan mendalam tentang

variabel-variabel yang mempengaruhi kecepatan membaca peserta didik tunanetra.

Ketiga, untuk mengetahui keadaan sarana dan prasarana literasi dilakukan observasi

lapangan. Yang menjadi fokus observasi adalah pusat kegitan literasi pada sekolah

sampel. Keempat, untuk melengkapi data yang diperoleh disebarkan angket dengan

pertanyaan tertutup kepada sejumlah guru, pegawai dan orang tua siswa. Pernyataan

dalam angket disusun sesuai pola Likert. Angket itu terdiri dari 100 item pernyataan

yang dielaborasi dari 4 topik utama, yaitu: (a) kegiatan membaca 15 menit sebelum

pelajaran dimulai, (b) ketersediaan ruang/pojok baca serta variasi bahan bacaaan

berhuruf Braille, (c) dukungan guru, pegawai dan komite/orangtua terhadap program

literasi sekolah, serta (d) persepsi tentang program GLS.

3.3 Analisis Data

Sesuai karakteristiknya, analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan secara

intreraktif berkelanjutan hinga tuntas. Dalam penelitian kualitatif, ada tiga tahap analisis

data, yaitu: reduksi data, display data, serta verifikasi dan penarikan simpulan (Sugiono,

2012). Pada tahap reduksi data, dilakukan klasifikasi berdasarkan kesamaan pola

sehingga data menjadi lebih sederhana. Dalam penelitian ini dilakukan reduksi data

tentang pola pelaksanaan program literasi. Display data merupakan kegiatan menyajikan

data dalam bentuk tabel, grafik, dan lain-lain sehingga mudah diberikan interpretasi.

Pada tahap ketiga dilakukan verifikasi untuk menarik simpulan. Simpulan penelitian

kualitataif merupakan temuan baru. Dalam penelitian ini temuan baru itu adalah

kebutuhan teks tulis Braille telegrafis.

3. Hasil dan Pembahasan

4.1 Pelaksanaan GLS pada Peserta didik Tunanetra

Gerakan literasi sekolah dilaksanakan untuk menumbuhkan budaya baca pada para

peserta didik. Untuk itu, setiap sekolah wajib melaksanakannya melalui kegiatan

membaca buku selain buku pelajaran selama 15 menit sebelum pelajaran dimulai. Oleh

SLB di Provinsi Bali, GLS untuk peserta didik tunanetra dilaksanakan dengan tiga pola,

yakni dibacakan guru, pengunaan audiobook, dan pojok Braille.

Kegiatan GLS dengan pola dibacakan guru umumnya dilaksanakan untuk peserta

didik tunanetra jenjang SD. Pilihan penerapan pola ini karena peserta didik tunanetra

jenjang SD belum terampil membaca huruf Braille. Inilah perbedaan mencolok antara

anak awas dengan anak tunanetra usia SD. Anak awas sudah belajar membaca, menulis,

dan berhitung sejak TK sehingga ketika tahun pertama SD mereka sudah bisa membaca

dan menulis. Sesuai standar kompetensi pelajaran bahasa Indonesia, anak tunanetra

mulai belajar huruf Brille sejak kelas I semester 1 melalui kegiatan membaca nyaring

suku kata, kata, dan kalimat sederhana serta kegiatan menulis permulaan melalui

kegiatan mencontoh dan menulis permulaan huruf, kata atau kalimat sederhana. Namun,

tampaknya pengimplementasiannya mengalami hambatan yang bersumber dari kesiapan

belajar peserta didik dengan karakteristik yang sangat heterogen. Keheterogenan peserta

didik menyebabkan pembelajaran harus dilakukan secara individual. Berdasarkan data,

jumlah peserta didik tunanetra dalam satu rombongan belajar di SLB Provinsi Bali

berkisar antara 1 – 7 orang, tetapi umumnya 4 orang. Penerpan kelas kecil dalam setiap

rombongan belajar sangat membantu kesuksesan pembelajaran individual. Kondisi ini

sangat berpengaruh pada peningkatan kecepatan membaca huruf Braille. Hambatan

utama lainnya adalah peserta didik tunanetra jenjang SD belum memiliki kesensitifan

takstil. Kesensitifan takstil merupakan modal dasar dalam pembelajaran huruf Braille.

Hal ini sejalan dengan padangan (Emerson; Holbrook, dan Andre, 2009). Dengan

pembelajaran indivual, peserta didik tunanetra umumnya bisa membaca teks singkat

berhuruf Braille sekitar kelas IV dan V.

Pola literasi kedua yang diaplikasikan pada kelas tunanetra adalah penggunaan

audiobook. Audiobook pada hakikatnya merupakan rekaman suara dari sebuah buku. Isi

buku cetak sama dengan audiobook. Teknisnya, sebuah buku dibaca oleh narator dan

direkam (biasanya disertakan ilustrasi musik). Hasil rekaman diputar untuk

didengarkan oleh audiens. Pembuatan audiobook bertujuan untuk membantu literasi

peserta didik tunanetra. Berdasarkan keutuhan teksnya, audiobook yang digunakan

dibedakan menjadi dua, yaitu unabridge dan abridge. Unabridge audiobook merupakan

rekaman utuh (lengkap) dari sebuah buku; sedangkan abridge audiobook merupakan

pembacaan ringkas dari sebuah buk (Camalia, 2016). Meskipun terjadi proses

peringkasan, substansi isi buku wajib tetap dipertahankan. Penggunaan audiobook untuk

pelaksanaan GLS di SLB dengan peserta didik tunanetra umumnya dilakukan pada

ruang komputer dengan bimbingan guru. Kegiatannya pun dilakukan secara terprogram.

Penggunan audiobook merupakan upaya pemanfaatan kemajuan teknologi informasi

bagi peserta didik tunanetra. Pola ini dikembangkan karena fakta menunjukkan bahwa

kecepatan membaca peserta didik tunanetra lebih rendah daripada peserta didik awas.

Untuk mengimbangi kelambatan membaca itu, pola ini dikembangkan. Meskipun pola

ini sangat membantu, tetapi tidak dapat diterapkan kepada peserta didik tunanetra yang

disertai tunarungu. Untuk itu, terlebih dahulu diperlukan identifikasi peserta didik.

Pola ketiga adalah penyediaan pojok baca. Sekolah menyediakan sejumlah buku

berbagai bidang yang ditulis dengan huruf Braille. Pojak baca ditempatkan pada posisi

yang sangat aman agar tidak membahayakan peserta didik. Pojok baca umumnya

ditempatkan di belakang ruang kelas. Penempatan ini bertujuan untuk mengurangi

mobilitas peserta didik tunanetra. Pola literasi dengan pojok baca ini dinilai paling ideal

karena dapat memenuhi kebutuhan dan minat peserta didik secara individual.

Kendalanya anatar lain : (a) kerapian dan katalog buku kurang terjaga; (b) perlu ada

distribusi pertukaran buku secara periodik antarpojok baca untuk menghindaari

kebosanan peserta didik; (c) kecepatan dan keterampilan membaca peserta didik yang

sangat variatif, dan (d) belum semua SLB di Provinsi Bali memiliki alat yang memadai

untuk pelaksanaan GLS tunanetra. Kekurangtersediaan buku bacaaan berhuruf Braiile

merupakan kendala utama pembuatan pojok baca. Untuk mengatasi masalah (a) dan (b)

peran pustakawan dapat dioptimalkan. Untuk masalah (c) guru pembina literasi dapat

menyusun program percepatan keterampilan membaca Braille; sedangkan masalah (d)

dapat diatasi dengan pelibatan dan peran serta pemangku kepentingan: pemerintah pusat

dan daerah, sekolah, komite, orang tua, dan kelompok masyarakat.

3.2 Kecepatan Efektif Membaca Peserta Didik Tunanetra

Dalam penelitian ini, kecepatan membaca difokuskan kepada peserta didik

tunanetra yang telah terampil membaca Brille. Oleh karena itu data yang dikumpulkan

dari jenjang SMPLB dan SMALB. Ada dua data sekunder terpisah diperoleh dari guru,

yaitu jumlah kata yang dibaca siswa per menit dan hasil tes pemahaman isi bacaan.

Data itu merupakan dokumen tahun pelajaran 2018/2019. Data tahun pelajaran

2019/2020 tidak bisa diperoleh karena terkendala pandemi Covid-19. Kedua data itu

diolah untuk mendapatkan kecepatan membaca efektifnya. Kecepatan membaca efektif

merupakan korelasi jumlah kata yang dapat dibaca per menit dengan tingkat

pemahaman isi. Data sekunder itu diolah dengan formula berikut ini.

Keterangan :

KEM = kecepatan efektif membaca

jk = jumlah kata terbaca

1m = 1 menit

sn = skor nyata

SMI = skor maksimal ideal /skor harapan

kpm = kecepatan per menit

(Diadaptasi dari Jumaidi, dkk; 2013)

Pengolahan data sekunder dengan formula itu menghasilkan kecepatan efektif

membaca (KEM) peserta didik tunanetra seperti pada tabel 2 dan 3 berikut ini.

Tabel 4. Kecepatan Efektif Membaca Teks Huruf Braiile

Siswa Tunanetra pada SMPLB di Provinsi Bali

No. Kode

Subjek

Jumlah kata

per menit

Pemahaman

(SMI = 100) KEM

1. MA 112 70 78,40

2. IPA 121 75 90,75

3. ET 116 70 81,20

4. AGR 102 75 76,50

5. MAP 110 75 82,50

6. KSY 109 70 76,30

7. KTA 121 75 96,80

8. KDA 129 80 103,20

9. IM 108 75 81,00

10. PBK 113 75 84,75

11. NGA 120 75 90,00

12. GAT 117 70 81,90

13. GDJ 108 75 81,00

14. DNJ 120 75 90,00

15. DL 114 70 79,80

Rata-rata 108 72,67 84,94

Pembulatan 108 73 85

Tabel 5. Kecepatan Efektif Membaca Teks Huruf Braiile

Siswa Tunanetra pada SMALB di Provinsi Bali

No. Kode

Subjek

Jumlah kata

per menit

Pemahaman

(SMI = 100) KEM

1. IPS 120 75 90,00

2. SAM 127 80 101,60

3. NEY 118 75 88,50

4. KYL 120 75 90,00

5. KRA 123 80 98,40

6. MFG 118 75 94,00

7. KA 126 80 100,80

8. KDS 118 80 94,40

9. PYP 122 75 91,50

10. KAM 120 75 90,00

11. KR 117 80 93,60

12. KS 120 75 90,00

13. GNA 127 80 101,60

14. AKC 119 80 95,20

15. ENF 122 80 97,60

16. AMH 118 80 94,40

Rata-rata 120,94 77,81 100,77

Pembulatan 121 78 101

Berdasarkan tabel 4 dan 5 di atas dapat diketahui kecepatan membaca efektif

peserta didik tunanetra jenjang SMPLB – SMALB di Provinsi Bali adalah 85 – 101

kpm. Sebagai perbandingan, kecepatan membaca efektif peserta didik jenjang SMP –

SMA (normal) adalah 250 – 325 kpm (Jumaidi, dkk; 2013). Data ini membuktikan

bahwa membaca Braille jauh lebih lambat daripada membaca huruf awas. Kelambatan

membaca huruf Braille disebabkan banyak faktor, antara lain kepekaan takstil peserta

didik tunanetra jenjang SMPLB – SMALB masih perlu ditingkatkan. Selain itu, faktor

psikologi pun diduga berpengaruh, yakni perasaan rendah diri dan putus asa

menghambat prestasi belajar peserta didik tunanetra. Untuk itu dibutuhkan upaya

konsling secara berkelanjutan hingga dapat memunculkan motivasi berprestasi pada

peserta didik tunanetra..

3.3 Kebutuhan Teks Telegrafis

Perbedaan kecepatan efektif membaca siswa awas dengan peserta didik tunanetra

sangat mencolok. Peserta didik tunanentra rata-rata membutuhkan waktu 3 kali lebih

lama daripada peserta didik awas untuk membaca teks dengan jumlah kata yang sama.

Selain terus memacu kecepatan membaca Braile melalui pelatihan yang berkelanjutan

diperlukan pula upaya pengubahan konstruksi teks menjadi lebih padat dan ringkas.

Peringkasan teks awas menjadi Braille tidak boleh mengurangi inti informasi. Prinsip

ini sejalan dengan audiobook jenis abridge (Camalia, 2016). Sifat padat dan ringkas itu

yang diharapkan seperti menulis berita telegram, yang hanya mempertahankan

informasi pokok. Gagasan pengembangan wacana telegrafis diturunkan dari konsep

kalimat telegrafis pada periode pemerolehan bahasa anak. Pada kalimat telegrafis, anak-

anak hanya mempertahankan kontentif, yakni kata yang signifikan menentukan makna

suatu kalimat; misalnya, Bapak kantor untuk menyatakan maksud ‘Bapak sedang

bekerja di kantor’. Merujuk konsep dasar itu, wacana tulis telegrafis dikembangkan agar

peserta didik tunanetra tidak kehilangan informasi karena terkendala kecepatan

membacanya yang masih sangat rendah. Berikut ini disajikan sebuah contoh teks

informasi tentang covid 19 dalam 2 huruf yang berbeda.

Gambar 2. Contoh Wacana Utuh Berhuruf Awas

Gambar 3. Wacana Utuh Berhuruf Braille

Gambar 2 merupakan teks berhuruf awas yang utuh tentang informasi Covid-19

dengan 525 kata. Setelah dikonversi ke dalam huruf Braille, terlihat seperti gambar 3,

yang membutuhkan ruang lebih banyak. Untuk membacanya peserta didik tunanetra

membutuhkan waktu 5,20 – 6,18 menit; sedangkan peserta didik awas hanya

membutuhkan 1,61 – 2,1 menit. Untuk itu, wacana tulis tersebut perlu diubah menjadi

wacana telagrafis dengan jumlah kata yang lebih sedikit, seperti berikut ini.

1 2

3

Gambar 4. Contoh Wacana telegrafis

Wacana telegafis pada gambar 4 merupakan kontraksi dari wacana utuh yang

tertera pada gambar 2. Wacana telegrafis pada gambar 4 hanya terdiri dari 83 kata

dengan kandungan informasi pokok yang sama. Dengan upaya itu, dibutuhkan waktu

yang lebih singkat bagi peserta didik tunanetra untuk memahaminya. Berdasakrkan

contoh wacana itu kebutuhan waktu baca peserta didik tunanetra turun dari 5, 20 – 6,18

menit menjadi hanya sekitar 1 menit. Penggunaan wacana telegrafis pada program

literasi bagi peserta didik tunanetra sejalan dengan prinsip kerja sama dalam teori

pragmatik, khususnya maksim kuantitas; yakni berikan informasi secukupnya (Leech,

1983 dan Nababan, 1987). Mengacu maksim itu, peringkasan teks diwajibkan

mempertahankan keutuhan informasi utama. Selanjutnya, jika wacana telegrafis pada

gambar 4 dikonversi ke dalam huruf Brille akan tampak seperti gambar 5 berikut ini.

Gambar 5. Contoh Wacana telegrafis Berhuruf Brille

4. Simpulan

Program GLS pada SLB dengan peserta didik tunanetra dilaksanakan dengan tiga

pola, yaitu: dibacakan guru, penggunaan audiobook, dan pojok baca. Pilihan ketiga

pola itu merupakan upaya penyesuaian dengan kebutuhan peserta didik tunanetra.

Untuk mendukung pelaksanaan program GLS bagi peserta didik tunanetra dibutuhkan

wacana tulis telegrafis karena kecepatan efektif membaca para peserta didik masih

sangat rendah, yakni 85 – 101 kpm. Berdasarkan temuan ini, perlu dirancang program

kolektif, massal, dan berkelanjutan untuk menyusun kumpulan teks tulis telegrafis

fungsional sesuai kebutuhan peserta didik tunanetra.

Ucapan terima kasih

Penelitian ini dapat dilaksanakan berkat dukungan dana dari Direktorat Jenderal

Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, tahun anggaran 2020.

Atas bantuan itu kami tim peneliti mengucapkan terima kasih. Ucapan terima kasih

yang tulus juga disampaikan kepada Ibu Kepala SLBN 1 Singaraja, Bapak Kepala

SLBN 1 Denpasar, Bapak Kepala SLBN 1 Tabanan,dan para guru pembina literasi di

ketiga sekolah itu. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Rektor Universitas

PGRI Mahadewa Indonesia.

Referensi

Akhyar, F. (2017). Tahap Perkembangan Bahasa Anak (Tinjauan Neuro

Psikolinguistik), LENTERA: Jurnal Ilmiah Kependidikan, Vol. 1 (2017) pp 99-108 .

http://garuda.ristekbrin.go.id/documents/detail/756831

Badara, A. (2012). Analisis Wacana. Jakarta: Kencana

Camalia, F. (2016). Pengembangan Audiobook Dilengkapi Alat Peraga Materi getaran

Gelombang Untuk Tunanetra Kelas VIII SMP. Universitas Negeri Semarang.

https://lib.unnes.ac.id/26695/

Emerson, R.W; M.C. Holbrook; F. M. D’Andrea. (2009). Acquisition of Literasi Skills

by Young Chikdren Who Are Blind: Results from the ABC Brille Study, Journal

of Visual Impairment & Blindness, pp 610 – 624.

https://www.researchgate.net/publication/286232902

Harsiati, T. dan E.T. Priyatni. (2017). Karakteristik Tes Literasi Membaca pada

Programme for International Student Assesment (PISA), Bibliotika: Jurnal Kajian

Perpustakaan dan Informasi, pp 1 – 11.

http://journal2.um.ac.id/index.php/bibliotika/article/view/2301/1391

Hidayat, A.A. dan A. Suwandi. (2016). Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus

Tunanetra. Jakarta: Luxima Metro Media.

Hoskin, E; dan T.C. Davis. (2019). Assistive Technology for Braille Literacy

Education: Identifying Ideal Design Criteria. Building and Designing Assistive

Technology Lab, Queen University.

https://www.resna.org/sites/default/files/conference/2019/cognitive/Hoskin.html

Jumaidi; Atmazaki, dan H. E. Thahar. (2013). Peningkatan Kecepatan Membaca

Tulisan Braille dengan Teknik Dua Tangan Bagi Tunanetra Kelas V SLB Negeri

2 Padang, Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya Vol 1 (3) pp 60 – 70.

http://ejournal.unp.ac.id/index.php/bsp/article/view/5016

Kopeuw, P. (2009). Hakikat Penelitian Kualitatif, Kuantitatif, dan Tindakan, diambil

dari https://pealtwo.wordpress.com/2012/05/15/

Leech, G. (1983). The Principles of Pragmatics. London and New York: Longman.

Lubis, H.H. (1993). Analisis Wacana Pragmatik. Bandung: Angkasa.

Nababan, P.W.J. (1987). Ilmu Pragmatik (Teori dan Penerapannya). Jakarta:

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Noer, M. (2014). Variasi Kecepatan Baca yang Benar untuk Membaca Bacaan Sehari-

Hari. https://www.membacacepat.com/artikel/variasi-kecepatan-membaca/

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 23 Tahun

20015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti.

Schiff, Rubecca. (2009). Information Literacy and Blind and Visually Impaired

Students. New York: City University of New York. DOI: 10.31641/ulj150205

Sugiono. (2012). Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan

R&D. Bandung: Alfabeta.

Umamy, E., Suyono, dan I.A. Basuki. (2012). Pengembangan Instrumen Asesmen

Literasi Membaca dengan Acuan PISA. http://library.um.ac.id/free-

contents/download/pub/pub.php/56393.pdf

Waldron, K; M. Steer; D. Bhargava. (2014). Literacy and Australians with Low Vision.

Melbourne: Tirnity University Press.

Wiedarti, P (Ed). (2016a). Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah. Jakarta:

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Wiedarti, P (Ed). (2016b). Panduan Gerakan Literasi Sekolah di Sekolah Luar Biasa.

Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Active Submissions Page 1 of2

H()lilf ABolff

ry':_' y:: a.!':h'r : Active subm,s'l,.ns

ACTIVE SUBMISSIONS

SEARCH C!r*I$Xr ABCfiTVES Ar{r{Out{CEi{Er{rS rO:TOnXALSSABD6 AI}tSAiBgCSpE

HM-NDtD st BlltT AUTHORS

t34 10-11 AAI Affiu6, Gtria. AEara

1-loflItems

START A NEW SUBMISSIONcUQ< HBE to go to step one of the flye-step subml$ls prrc,

XB'Tt'tA'{ WACAI{A'RruS 1&BIMFISffiLt( pioGRAfi GUi EAcr-..

Alran*E GBIImert

On1ne Submlsslms

Aoths Gutdellns

P{Uictloa Ethl6

Ahstm.tlnS ild hdexlns

ReYlere: Acknowledgemnl

Peer Reylew Pffi

Arttcle P1o€TslnS Charses

HEorAl Serds

Co[tad Lrs

usIt

AA'T!ADDED HITS IJRL

flrere are cutrefttt, fro refbacks.

pulllsh I tgnore I pstate I sebctAl I

You are loqged ln 6,..nengrhamawaily Pro,n,eLog Out

tooLSSIIITBffiNNN8 ITOEIII TT:

@2016 Sawerlgadlng, Balal Bahas Prcy. Sulawert Selatan dan Piov. Sulaust Barat. powered by O.tS

TnE work ls llcEed under a Creatlve Commns Attdbutim-ShareAllke 4.0 Intemagmal Ucns.

turnitin

M[N

TEIIPITTE

KEYl!'ORDS

BIPA Buglnese languageMakassar afiksasi bahasaBugis bahasa Indonesiabudaya code mixirE dialekntaiaa fonologi gayabahasa makna meantnqmetafora metaphormtional chaE(ter &nstrudperempuan pllonology

po€try puisi Etytistic

vlsITOR

t0 33679 US

MY 465 RU

$G 135 tN

HK 106 CN

TW4aFRNwst: SKY0U:

7575456

1X51

43

ID

Today:Month:Tohl:

100748243

[email protected]

E@u,"*rrr,*.

GLS PADA SLB DI PROVI... I2IIII2O2O

tsi*rE}

mhtml : file: /ID: \ARNAWA\PENELITIANIPEMETAAN

SURAT PER}IYATAAI{ TANGGT]NG JAWAB BELANJA

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Dr Drs NENGAH ARNA1VA M.HumAlamat : Dalung Pennai Blok S111, Desa Dalung, Kec. Kuta Utara, Badung, Baliberdasarkan Swat Keputusan Nomor SP DIPA 0M2.06.140151612A19 dan Perjanjian / Kontrak

Nomor 1 88/SP2HILT/DRPI\{/2020 mendapatkan Anggaran Penelitian PEMETAAN

GERAzu"N LITERASI PADA SEKOLAH LUAR BIASA DI PROVINSI BALI SebeSaT

108,170,000 .

Dengan ini menyatakan bahwa. :

1. Biaya kegiatan penelitian di bawah ini meliputi :

No Jraian Jumlah

01 BahandTK. bahan habis pakai 9,170,000

02 Pengumpulan l)ataPersipan, penginapan, Bffig harian, honor pembat* peneliti, kansport,ldministrasi" konsumsi

58,200,000

03 Anrlisis Data (fermasuk Sewa Peralatan)*mpel, honor narasumber, administrasi, pengolahan data, lumsum,Lransoort lokal. konsumsi" sewa aeralatan. oemeliharaall peralatan

33,800,000

04 Pelaporan, Luaran Wajib dan Luaran TambahanSiaya seminar, biaya publikasi jurnal nasional terakreditasi, biayarublikasi iurnal internasional bereputasi

g,ooo,ooo

JumIah 108.170-000

2. Jumlah uang tersebut pada angka 1, benar-benar dikeluarkan untuk pelaksanaan kegiatan

penelitian dimaksud.Demikian surat pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya.

@r Drs NENGAH ARNAWA, M.Hum)NIPA{IK t96s1224199003 I 00 1

uar, 18 -4-2021

ruascAJx089334251