INSITUT KEGLTRUAN DAI{ ILMU PBI{I}II)IKAN
-
Upload
khangminh22 -
Category
Documents
-
view
4 -
download
0
Transcript of INSITUT KEGLTRUAN DAI{ ILMU PBI{I}II)IKAN
INSITUT KEGLTRUAN DAI{ ILMU PBI{I}II)IKAN(IKIP) PGRI BALI
LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABI}IAN MASYARAKAT (LPPM)Alamat : .Ialan Seroja, Tonja, Denpasar TelplFax. A361431434
PERJANJIAN KON TRAK PENTLr,IIANNomor : 72lIY ILPPWIKIP PGRY2020
Sebagai tindak laqfut dari penandatanganan kontrak peaehtian tahun anggaran 2020antara LLDIKTI Wilayah VIII dengan IKIP PGRI Bali, tanggal 30 Maret 2020 Nomorrc64LL8lPG/Iil\{/2020 tentang Pelaksanaan Penelitian Dasar Usulan Baru, dipandangperlu dibuat perjanjian kontrak penelitian antara Lembaga Penelitian dan PengabdianMasyarakat IKIP PGRI Bali dengan ketua tim peneliti, seperti berikut ini.
Yang benanda tangan di bawah ini:
1. Dr. I Made Darma-da, NIP. 196512121991031004, selaku Ketua LembagaPenelitian dan Pengabdian Masyarakat, IKIP PGRI Bali; selanjutnya disebutPIHAK PERTAMA.
2. Dr.Nengah Arnawa, M.Hum. NIP. 196512241990031001, selaku ketua timpeneliti; selanjutnya disebut PIHAK KEDUA.
Menyatakan bersepakat membuat perjanjian kontrak penelitian sebagai berikut.
Pasal 1
Judul Penelitian
Sesuai usulan penelitian yang diajukan melalui Simlitabmas serta telah mendapatpersetujuan pendanaan dari DRPM, PIHAK PERTAMA menugaskan PIHAK KEDUAuntuk melaksanakan penelitian dasar yang berjudul PEMETAAN GERAKANLITERASI PADA SEKOLAH LUAR BIASA DI PROVINSI BAII.
Pasal2Personalia Penelitian
Susunan personalia penelitian tersebut, sebagai benkut.Ketua : Dr.Nengah Arnawa, M.Hum.Anggota : Dr. Anak Agung Gede Alit Geria, M.Si.
Drs. I Gusti Lanang Rai Arsana, M.Pd.
Pasal3Waktu dan Biaya Penelitian
1. Waktu pelaksanaan penelitian selama 7 bulan, sejak 1 April - 15 November 2A20.2. Biaya penelitian sebesarRp 108.170.000,00 (Terbilang: seratus delapan juta seratus
tujuh puluh ribu rupiah), yang bersumber dari DIPA DRPM nomor SP-DIPA-A42.A6.14A151612019 tanggal 12 November 2019 dan SP2H Nomor:1 88/SP2HiLTIDRPMD020 dan 1064 1LLS 1PGIKI\,{/?020
3. Pencairan biaya penelitian dilakukan dalam 2 tahap. Tahap pertama dibayarkansebesar 70% setelah penandatanganan kontrak. Tahap kedua dibayarkan sebesar30% setelah laporan kemajuantahun pertama.
Pasal4Keaslian Penelitian dan Tidak Terikat pada Pihak Lain
1. PIIIAK KEDUA bertanggaung jawab atas keaslian hasil penelitian ini.2. PIHAK KEDUA menjamin bahwa penelitian ini tidak terikat dengan instansi lain.3. Apabila ditemukan planggaran atas pasal mr, PIHAK KEDUA wajib
mengembalikan dana yang telah diterima.
Pasal 5
Monitoring Penelitian
1. PIHAK PERTAMA berhak untuk:a. Melakukan pengawasan administrasi, monitoring, daa evalu,asi pelaksanaan
penelitian.b. Memberikan sanksi jika dalam pelaksanaan penelitian te{adi pelanggaran
perj anjian oleh PIF{AK KEDUAc. Bentuk sanksi disesuaikan dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan
2. Pemantuan kemajuan penelitian dilakukan olsh PIHAK PERTAMA bersamareviewer yang ditetapkan oleh PIHAK PERTAMA
3. PIHAK KEDUA wajib meilbuat dan menyampaikan laporan kemajuan ataspelaksanaan penelitiannya
4. Pengumpulan laporan kemajuan paling lambat tanggal 16 November 2A20 (sesuaikontrak arrtara LLDIKTI Wilayah VIil dengan IKIP PGRI Bali No.1064,&L8/PGlKIvIi-2020)
5. Format laporan kemajuan penelitian mengikuti template yang tercantum padaSimlitabmas.
Pasal6Kekayaan Intelekiual
1. Hak kekayaan inteleklual yang dihasilkan dari penelitian ini diatur dan dikelolasesuai peraturan dan perundang-undangan.
2. Setiap publikasi lauaran penelitian rni *ajib mencatumkan DRPM sebagai pemberidana.
Pasal TAmandemen Kontrak
Apabila ada hal lain yang belum diatur dan/atau terjadi perubahan atas perjanjiankontrak penelitian ini, maka akan dilakukan amandsmen kontrak penelitian.
Pasal 8
Sanksi
1. Apabila sarnpai batas waktu yang telah ditetapkan, PIHAK KEDUA tidakmelaksanakan kewajiban penelitiannya, maka kepadanya dikenakan sanksiadministratif.
2. Sanksi administratif yang dimaksud adalah penghentian pembayaran dan tidakdapat mengajukan usulan penelitian selama dua tahun berturut-turut.
Pasal 9Penutup
Surat perjanjian kontrak penelitian ini dibuat rangkap tiga bermeterai cukup sesuai
dengan ketentuan yang berlaku; dan biaya meterai dibebankan kepada PIIIAKKEDUA.
Denpasar, 15 April2020
PIHAK PERTAMAKetua LPPM IKIP PGRI Bali,
PIHAK KEDUAKetua Tim Peneliti,
Dr. Nengah Arnaw4 M.Hum.NrP. 1965 1224199003 1001
RIST€K.tsFIIN
KEMENTERIAN RIStrT DAN TEKNOLOGII BADAN RISETDAN INOVASI NASIONAL
DEPUTI BIDANG PE]TGUATAI{ RISET DAN PEhIGEMBANGANJalan M.H. Thamrin Nomor 8, Jakarta 10340, Gedung iI BPPT Lantai T9 -20
Telepon: (021) 3169707; Faksimile: (021) 3707728,3102368Laman: www.risbane.ristekdikti. go.id
NomorLarnpiran
Hal
: B/87/E3/RA.00|2A20 28 Januari 2020: 4 (Empat) Berkas
: Pengumuman Penerima Pendanaan Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakatdi Pergunran Thg$ Tahun Anggaran 2020
Yth. l. Rektor/ Direl-turi Ketua Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta2. Kepala Lembaga LayananPendidikan Titrgg, Wilayah I #d XIY
Berdasarkan Keputusan Kuasa Pengguna Anggaran Deputi Bidang Penguatan Riset danPengembangan Kementerian Riset dan Teknologil Badan Riset dan Inovasi Nasional NomorTlElf;(PTl 2A20 hnggal 24 Januari 2CI20 tentang Penetapan Pendanaan Pengabdian kepadaMasyarakat Tahun Anggaran 2020, Keputusan Kuasa Pengguna Anggaran Deputi Bidang PenguatanRiset dan Pengembangan Kementerian Riset dan Teknologil Badan Riset dan Inovasi NasionalNomor SlEllKPT/ 2A20 langgal 24 Januari 2020 tentang Penetapan Pendanaan Penelitian diPerguman Tingg;i Tahun Anggaran 2A20, dan Keputusan Kuasa Penggrrna Anggaran Deputi BidangPenguatan Riset dan Pengembangan Kementerian Riset dan Teknologi/ Badan Riset dan lnovasiNasional Nomor giElli(PT/ 2020 tanggal 24 Januari 2020 tentang Penetapan Hasil ReviewPendanaan Penelitian Tahun Anggaran 2A20, bersama ini kami sampaikan daftar nama penerimapendanaan Penelitian dan Pengabdim Kepada Masyarakat tahun anggaran 2020 sebagai berikut:
1. Penerima Pendanaan Penelitian di Perguruan Thggi Non-PTNBH Usulan Tahun 2019(Larnpiran 1)
2. Penelitian Kontrak Tahun Jamak Z919-2021yang dilanjutkan pendanaailnya (Lampiran 2)3. PenerimaPeudanaan Pengabdian KepadaMasyarakat (Lampiran 3)
Kami informasikan bahwa penerima pendanaan Penelitian dan Pengabdian Kepada MasymakatTahun Anggaran 2020 adalah pengusul yang proposalnya dinyatakan lolos seleksi, dan yangbersangkutan atau institirsi telah memenuhi kewajiban sebagai berikut:
1. Mengunggah laporan kernajuan sampai dengan tahun ZAW;2. Mengrnggah laporan akhir sampai dengan tahun 2019;3. Melaksanakan seluruh tahapan seleksi sebagaimana disebutkan dalam Panduan Pelaksanaan
Penelitian dan PengabdianMasyarakatPerguruan Tinggi Edisi XlI Revisi Tahun 2019 unhrkskema penelitian desentralisasi bagi Perguruan Tinggi klaster Mandiri, Utarna, dan Madyasesuai dengan hasil klasterisasi tahun 2A19;
4. Melaksanakan Monitoring dan Evaluasi penelitian secara daring sebagaimana surat DirekturDRPM dengan Nomor B 1969 lE3 .l/RA.06/20 1 9;
5. Mengunggah bsrkas kelengkapan seminar hasil bagi pelaksana Pengabdian kepadaMasyarakat sampai dengan tahun 2019;
6. Tidak sedang dalam status tugas belajar baik unttrk ketua mauplm anggot4 kecuali arggotapada skema Penelitian Pascasarj ana;
Pendanaan peneiitian diberikan dengan menperhatikan kuota berdasarkan h-index peneliti,kecuali unflik skema Penelitian Pascasarjana yang tidak dihitung sebagai kuota;Hanya menjadi ketua di satu judul Pengabdian kepada Masyarakat, untuk pendanaan
Pengabdian kepada Masyarakat tahun yang baru.
Adapun penelitian Penelitian Kontrak Tahrm Jamak 2019-2A21 yang dilanjutkan pendanaannya
merupakan penelitian yang telah dinyatakan layak berdasalkan hasil monitoring dan evaluasi pada
tahun 2019.
Apabila ada penerima pendanaan Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat sebagaimana
tercantum pada lampiran ternyata tidak memenuhi salah satu dari ketentuan di atas, atau pelanggaran
terhadap ketentuan Panduan Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Edisi XII Revisi Tahun
20 I 9 maka pendanaannya dapat ditinjau kembali.
Berkenaan dengan hal tersebut, DRPM mengucapkan selamat kepada penerima pendanaan penelitian
dan pengabdian kepada masyarakat tahun anggaran 2020. DRPM rnengucapkan terimakasih kepadapengusul yang telah berpartisipasi, bagi pengusul yang belum mendapatkan pendanaa:r tahun iuidapat mengusulkan proposal penelitian dan pengabdian kepada masyarakat untuk pendanaan tahun2021. Selanjutnya, kami mohon bantuan Bapakllbu untuk menyampaikan infonnasi di atas kepada
nama-nama yang tercannrm pada lampiran di Perguruan Tinggi masing-masing.
Perlu kami sampaikan bahwa mekanisme penyaluran dana akan dilalcukan melalui kontrak. Berkaitandengan hal ini, perlu kaini sampaikan beberapa hal sebagai berikut:
1. Unhrk penelitian, diterapkan kontrak tahun tunggal dan kontrak tahun jarnak. Kontrak tahun
tunggal digunakan untuk kontrak penelitian yang pendan,umnya hanya I (satu) tahun,
adapun kontrak tahun jamak digunakan untuk kontrak penelitian yang pendanaannya lebihdari 1 (satu) tahun.
Kontrak dilakukan secara berjenjang. Untuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN), kontrakdilakukan antara DRPM dengan Ketua LP/LPPIWLPM/Direktur Politeknik, adapun untukPerguruan Tinggi Swasta kontrak dilakukan melalui Kepala Lembaga Layanan PendidikanTinggi (LLDIKTD masing - masing wilayah.Pencairan dana penelitian dilakukar dengan 2 (dua) cara yaitu secara sekaligus dan secara
bertahap;
Untuk Pengabdian kepada Masyarakat di tetapkan kontrak tahun tunggal bagi semua skemadan pencairannya dilaksanakan dalam 2 (dua) tahap.
Para penerima pendanaan Penelitian akan diminta untuk mengunggah perbaikan proposal
dan RAB sesuai dengan dana yang diterima. Informasi lebih rinci terkait pengrrnggahan
perbaikan proposal akan disampaikan kemudian.
Hal-hal lain yang terkait dengan penandatanganan kontrak, pencairan dana dan pelaksanaan
penelitian dan pengabdian kepada masyarakat akan diinforrnasikan lebih lanjut melaluilaman: http:i/simlibtamas.ristekdikti.go.id.
8.
2.
a-).
4,
5.
6,
Berkaitan dengan data yang diperlukan untuk penandatanganan kontrak, bersama ini kami kirimkanDaftar Isian (Lampiran 4). Kami mohon Daftar Isian tersebut dapat diisi dan segera dikirim melaluiemail ke alamat [email protected], untuk Penelitian CC ke alamat email
[email protected] dengan subjek Data Kontrak Penelitian dan untuk Pengabdian Masyarakat
CC ke alamat email ppm,[email protected] dengan subjek Data Kontrak Pengabdiau,paling lambat tanggal 10 Februari 2020. Untuk PTS tidak perlu mengirimkan daftar isian karena
Kontrak akan dilakukan dengan LLDIKTI Wilayah masing -masing.
Demikian kami sampaikan, atas perhatian dan kerjasarna Bapak/Ibu kami ucapkan terima kasih.
Tembusan:
Deputi Bidang Penguatan Riset dan Pengembangan;
Direktur Riset dan Pengabdian
Masyarakat,
TTD
Ocky Karna Radjasa
NrP 19651029199003 100 I
azF.i rl< ;-lrlA 'D
e6-.c:
d".o .o
5
.,6ad5
FE.c
p
-.o
7
<tr =c("1*5hrilrH-
E
JFF
F?ZDil<E'A29<zt,\zOFz 4.*1 H
F+<xrr) F
?PBl1?->)-5s?aiEgr Ll ltr!u-.j
a-lOuA11
0)t^r-o&gE lri
|J3<t,17 anc,
^-icndr :J t!EEE<oJ!,<s:
5 d?^"p.i;IA
troliGd>
Fir.
v) .)c4u44^pt^.c-<=iEtr^
\ v i/HHAE'Hv!*^)iltE*r^
H&E^
i,,-=E>Ze'*){3-5<u>YF.u2 <vzi\7zHHV<.JJ\./v<;:6
4.JVAr:<ZE}83ZnrA*,q.li:aAOP-Z<;I'T;iFF-:*?f,;l<ft^/!-H?Q>tr1H.-riA!Av H:r H -z, ./- * .) *,i-\ i-i t, t 4
PiA[ncr0q
Fl
U)
V)
?r.1
l)a
i2
<!' H.-jtA4
:=.AZz<<Fi;4
tr
5!i-)
oa
sJ.
5EAr, G
.ca+O
c).*mll,i\
6
50
16
n)r3)
Mo,
-o
LI
Lf) \-
cc;-Cddd
F
Fl
EJa
3AadJJ4trtriF-4AFl zzl:a*t! .iZr;
FiHF.l p<
z\E]Di!. J
*rn
>HOtd^!!
-rhc.ov.:
'=lFl
;oi3*JL,]':vF
01 tr!
:l <A*;Hh/i#=Eo g:;
^- gXVPdrut'oEEHF^i=
:-J--: d o-ti*rd!EOdU
2fr1<22Ir?H?=F.ln25?5IFdS-IIj;>F=--] 1\r'trd<*2atr. -/ *rra*&\)4"l)zP.
*<-d5?s,:>-:1 A?n(,14<^Ad*1o-i llil.>
ild.*cB
I5#=^d
(dla0'a a,.nzt E
>*\'J>
0uHsu l:<-r, <rnP o
v& E
=u-bo_E;o i)'::F-iiF
d
oL{)
{)
EO
!
H
dJ
oi3
LJ
e)nl
cf,
I(JA
pr(J
=o\J;
6o{jl.taAEF-
tuth-Eo:E(s(6Q
;h
; EN'?h
4;\j
zZ
rr00ostC'
O..l00al
aa
oooo
elco
oa
O(:)C'O
(:frqo
()alco- to
O
a.l
=la.lC)
()
co
c4O
co
anco
cco0060Omr.:looC)
Uc.rcoO
*t-O06O
;rz
/t4
5?F<a5ldgA5D2ook-zr-n
H
Eifr
)4F*1 F
a**Ln
?')7-l F4<t] i4
zue<z- Lr)
E'H<p<4Ai<=>>7_
IJ.]
*tL\,;zU<p>
z?+
zHz
z
F<Utr7<>7/<7nF;74"l.t:d
za;)aH
<+<04
>2*(,=d252[-v-\a7ti;ir<YiB
<Ev,r- razq(t)
?<2a-oz2
D
#
=zFJi-
=ilZ<
*rI]
a
q.)
6
{)6J
o
=a()o
qla
L.l
d
()()
tra)
d
o=()dJ
{J
a
q3
(Ll 0
:-o{J
t-t
o()tri
o 4.)ga
'E cc
a)0)F" Fr
nl
u'Fo {,)
o
=J{.)6J
tsP
o
,lJ t)
ra
FFU1z
-z.
i4
&(,
M
R
U
H
r+
ro
6 Eg
M
dH
G
!
*U
jJt
ca
&
E
'oC0o(B
-d46FO
= -)a
eY
EA
onQh0fdVE+d3?tso
a-yb 'L)
52
tr
oc00dw=
-d=?HO
#:
I2
G*
oE0\/ -tJBd
tso
i;oi2
(td<Fd
Od
:o
€S
!:
<>
-\7z2FA:l
*tF<E{5
rFlFiFH>
F<l-1 li/F,l-F1 >
F-i <f'i/ '- -X.rI:r-.,1 \ r'J>
F<Lt:.i=
F<=.c.n{>.rs
+Fr<
E{F-.1F
F<E1>-1 F-t
F<ll:rzFll
Fi<
t-.1 -- rz.1F'P>
F
F<E<FJ>
|l
F<E<i:r !i=
F<=df;I-j ar'r-J >
Zt-rf,t'-
r*mN
|.,fritr*
ot)trrF-
t'"mtr-
c6
r-00
F..
c.I
r-
aFleo
t*-
smr-
@fn|.-
c€
a--
Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat Direktorat Jenderal Riset dan Pengembangan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Gedung BPPT II Lantai 19, Jl. MH. Thamrin No. 8 Jakarta Pusat http://simlitabmas.ristekdikti.go.id/
PROTEKSI ISI LAPORAN KEMAJUAN PENELITIAN Dilarang menyalin, menyimpan, memperbanyak sebagian atau seluruh isi laporan ini dalam bentuk apapun
kecuali oleh peneliti dan pengelola administrasi penelitian
LAPORAN KEMAJUAN PENELITIAN MULTI TAHUN
ID Proposal: 0636980f-4bdd-45c1-9fe5-e3cf984922b5Laporan Kemajuan Penelitian: tahun ke-1 dari 3 tahun
1. IDENTITAS PENELITIAN
A. JUDUL PENELITIAN
PEMETAAN GERAKAN LITERASI PADA SEKOLAH LUAR BIASA DI PROVINSI BALI
B. BIDANG, TEMA, TOPIK, DAN RUMPUN BIDANG ILMU
Bidang Fokus RIRN / Bidang Unggulan Perguruan Tinggi
Tema Topik (jika ada)Rumpun Bidang
Ilmu
Sosial Humaniora, Seni Budaya, Pendidikan Desk Study Dalam Negeri
PendidikanHasil pendidikan dan pembentukan karakter bangsa
Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah
C. KATEGORI, SKEMA, SBK, TARGET TKT DAN LAMA PENELITIAN
Kategori (Kompetitif Nasional/
Desentralisasi/ Penugasan)
Skema Penelitian
Strata (Dasar/ Terapan/
Pengembangan)
SBK (Dasar, Terapan,
Pengembangan)
Target Akhir TKT
Lama Penelitian (Tahun)
Penelitian Kompetitif Nasional
Penelitian Dasar
SBK Riset Dasar SBK Riset Dasar 3 3
2. IDENTITAS PENGUSUL
Nama, PeranPerguruan
Tinggi/ Institusi
Program Studi/ Bagian
Bidang Tugas ID Sinta H-Index
NENGAH ARNAWA
Ketua Pengusul
Universitas Mahadewa Indonesia
Pendidikan Bahasa
Indonesia Dan Daerah
5984421 0
Dr. Drs ANAK AGUNG GDE
ALIT GERIA M.Si
Anggota Pengusul 1
IKIP PGRI Bali
Pendidikan Bahasa
Indonesia Dan Daerah
Ikut mendesain, melaksanakan, dan mengevaluasi setiap tahap penelitian
6184316 0
Drs I GUSTI LANANG RAI
ARSANA M.Pd
Anggota Pengusul 2
IKIP PGRI BaliBimbingan Dan
Konseling
Ikut mendesain, melaksanakan, dan mengevaluasi setiap tahap penelitian
6169205 0
3. MITRA KERJASAMA PENELITIAN (JIKA ADA)
Pelaksanaan penelitian dapat melibatkan mitra kerjasama, yaitu mitra kerjasama dalam melaksanakan penelitian, mitra sebagai calon pengguna hasil penelitian, atau mitra investor
Mitra Nama Mitra
4. LUARAN DAN TARGET CAPAIAN
Luaran Wajib
Tahun Luaran
Jenis Luaran
Status target capaian (accepted, published, terdaftar
atau granted, atau status lainnya)
Keterangan (url dan nama jurnal, penerbit, url paten,
keterangan sejenis lainnya)
1 Artikel di Jurnal Internasional Terindeks di Pengindeks Bereputasi
Accepted Journal of Langauage Teaching and Research
Luaran Tambahan
Tahun Luaran
Jenis LuaranStatus target capaian (accepted, published, terdaftar atau granted,
atau status lainnya)
Keterangan (url dan nama jurnal, penerbit, url paten, keterangan
sejenis lainnya)
1
Artikel di Jurnal Nasional terakreditasi peringkat 1-3
Accepted Aksara
5. ANGGARAN
Rencana anggaran biaya penelitian mengacu pada PMK yang berlaku dengan besaran minimum dan maksimum sebagaimana diatur pada buku Panduan Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Edisi 12.
Total RAB 3 Tahun Rp. 338,875,000
Tahun 1 Total Rp. 108,170,000
Jenis Pembelanjaan Item Satuan Vol.Biaya
SatuanTotal
Analisis Data Biaya analisis sampel Unit 1 500,000 500,000
Analisis Data Honorarium narasumber OJ 9 400,000 3,600,000
Analisis DataHR Sekretariat/Administrasi Peneliti
OB 10 200,000 2,000,000
Analisis Data HR Pengolah DataP (penelitian)
10 300,000 3,000,000
Analisis Data Uang Harian OH 12 400,000 4,800,000
Analisis Data Transport Lokal OK (kali) 12 150,000 1,800,000
Analisis Data Biaya konsumsi rapat OH 12 50,000 600,000
Bahan ATK Paket 3 210,000 630,000
BahanBahan Penelitian (Habis Pakai)
Unit 13 580,000 7,540,000
Pelaporan, Luaran Wajib, dan Luaran Tambahan
Biaya seminar nasional Paket 1 1,500,000 1,500,000
Pelaporan, Luaran Wajib, dan Luaran Tambahan
Biaya Publikasi artikel di Jurnal Nasional
Paket 1 1,500,000 1,500,000
Pelaporan, Luaran Wajib, dan Luaran Tambahan
Publikasi artikel di Jurnal Internasional
Paket 1 5,000,000 5,000,000
Jenis Pembelanjaan Item Satuan Vol.Biaya
SatuanTotal
Pengumpulan Data FGD persiapan penelitian Paket 1 3,700,000 3,700,000
Pengumpulan Data Tiket OK (kali) 2 2,000,000 4,000,000
Pengumpulan Data Penginapan OH 3 500,000 1,500,000
Pengumpulan DataUang harian rapat di dalam kantor
OH 15 300,000 4,500,000
Pengumpulan Data HR Pembantu Peneliti OJ 20 300,000 6,000,000
Pengumpulan Data HR Petugas Survei OH/OR 20 400,000 8,000,000
Pengumpulan Data Transport OK (kali) 20 300,000 6,000,000
Pengumpulan DataHR Sekretariat/Administrasi Peneliti
OB 30 200,000 6,000,000
Pengumpulan Data Uang Harian OH 30 400,000 12,000,000
Pengumpulan Data HR Pembantu Lapangan OH 30 250,000 7,500,000
Pengumpulan Data Biaya konsumsi OH 60 50,000 3,000,000
Sewa Peralatan Peralatan penelitian Unit 3 1,500,000 4,500,000
Sewa Peralatan Obyek penelitian Unit 3 1,500,000 4,500,000
Sewa Peralatan Ruang penunjang penelitian Unit 3 1,500,000 4,500,000
Tahun 2 Total Rp. 116,785,000
Jenis Pembelanjaan Item Satuan Vol.Biaya
SatuanTotal
Analisis Data Biaya analisis sampel Unit 1 1,000,000 1,000,000
Analisis Data Honorarium narasumber OJ 9 400,000 3,600,000
Analisis DataHR Sekretariat/Administrasi Peneliti
OB 10 200,000 2,000,000
Analisis Data HR Pengolah DataP (penelitian)
10 300,000 3,000,000
Analisis Data Uang Harian OH 12 400,000 4,800,000
Analisis Data Transport Lokal OK (kali) 12 150,000 1,800,000
Analisis Data Biaya konsumsi rapat OH 12 50,000 600,000
Bahan Barang Persediaan Unit 1 155,000 155,000
Bahan ATK Paket 3 210,000 630,000
BahanBahan Penelitian (Habis Pakai)
Unit 15 600,000 9,000,000
Pelaporan, Luaran Wajib, dan Luaran Tambahan
Biaya seminar nasional Paket 1 1,500,000 1,500,000
Pelaporan, Luaran Wajib, dan Luaran Tambahan
Biaya Publikasi artikel di Jurnal Nasional
Paket 1 1,500,000 1,500,000
Pelaporan, Luaran Wajib, dan Luaran Tambahan
Publikasi artikel di Jurnal Internasional
Paket 1 5,000,000 5,000,000
Pengumpulan Data FGD persiapan penelitian Paket 1 3,700,000 3,700,000
Jenis Pembelanjaan Item Satuan Vol.Biaya
SatuanTotal
Pengumpulan Data Tiket OK (kali) 2 2,000,000 4,000,000
Pengumpulan Data Penginapan OH 6 500,000 3,000,000
Pengumpulan Data HR Pembantu Peneliti OJ 20 300,000 6,000,000
Pengumpulan Data HR Petugas Survei OH/OR 20 400,000 8,000,000
Pengumpulan Data Transport OK (kali) 20 325,000 6,500,000
Pengumpulan DataUang harian rapat di dalam kantor
OH 20 300,000 6,000,000
Pengumpulan DataHR Sekretariat/Administrasi Peneliti
OB 30 200,000 6,000,000
Pengumpulan Data Uang Harian OH 30 400,000 12,000,000
Pengumpulan Data HR Pembantu Lapangan OH 30 200,000 6,000,000
Pengumpulan Data Biaya konsumsi OH 60 50,000 3,000,000
Sewa Peralatan Peralatan penelitian Unit 3 2,000,000 6,000,000
Sewa Peralatan Obyek penelitian Unit 3 2,000,000 6,000,000
Sewa Peralatan Ruang penunjang penelitian Unit 3 2,000,000 6,000,000
Tahun 3 Total Rp. 113,920,000
Jenis Pembelanjaan Item Satuan Vol.Biaya
SatuanTotal
Analisis Data Transport Lokal OK (kali) 6 150,000 900,000
Analisis Data Honorarium narasumber OJ 9 400,000 3,600,000
Analisis DataHR Sekretariat/Administrasi Peneliti
OB 10 200,000 2,000,000
Analisis Data HR Pengolah DataP (penelitian)
10 300,000 3,000,000
Analisis Data Biaya konsumsi rapat OH 10 50,000 500,000
Analisis Data Uang Harian OH 12 400,000 4,800,000
Bahan ATK Paket 1 210,000 210,000
Bahan Barang Persediaan Unit 1 310,000 310,000
BahanBahan Penelitian (Habis Pakai)
Unit 9 600,000 5,400,000
Pelaporan, Luaran Wajib, dan Luaran Tambahan
Biaya seminar nasional Paket 1 1,500,000 1,500,000
Pelaporan, Luaran Wajib, dan Luaran Tambahan
Biaya Publikasi artikel di Jurnal Nasional
Paket 1 1,500,000 1,500,000
Pelaporan, Luaran Wajib, dan Luaran Tambahan
Publikasi artikel di Jurnal Internasional
Paket 1 5,000,000 5,000,000
Pelaporan, Luaran Wajib, dan Luaran
Biaya penyusunan buku termasuk book chapter
Paket 1 3,000,000 3,000,000
Jenis Pembelanjaan Item Satuan Vol.Biaya
SatuanTotal
Tambahan
Pengumpulan Data FGD persiapan penelitian Paket 1 3,700,000 3,700,000
Pengumpulan Data Tiket OK (kali) 2 2,000,000 4,000,000
Pengumpulan Data Penginapan OH 3 500,000 1,500,000
Pengumpulan Data HR Petugas Survei OH/OR 10 400,000 4,000,000
Pengumpulan Data HR Pembantu Peneliti OJ 20 300,000 6,000,000
Pengumpulan DataHR Sekretariat/Administrasi Peneliti
OB 20 200,000 4,000,000
Pengumpulan Data Transport OK (kali) 20 325,000 6,500,000
Pengumpulan DataUang harian rapat di dalam kantor
OH 20 300,000 6,000,000
Pengumpulan Data Uang Harian OH 30 400,000 12,000,000
Pengumpulan Data HR Pembantu Lapangan OH 30 250,000 7,500,000
Pengumpulan Data Biaya konsumsi OH 60 50,000 3,000,000
Sewa Peralatan Peralatan penelitian Unit 4 2,000,000 8,000,000
Sewa Peralatan Obyek penelitian Unit 4 2,000,000 8,000,000
Sewa Peralatan Ruang penunjang penelitian Unit 4 2,000,000 8,000,000
6. KEMAJUAN PENELITIAN
A. RINGKASAN: Tuliskan secara ringkas latar belakang penelitian, tujuan dan tahapan metode penelitian, luaran yang ditargetkan, serta uraian TKT penelitian.
1. Latar Belakang Penelitian Gerakan literasi sekolah (GLS) telah dicangkan pemerintah sejak tahun 2015. Tujuan utamanya adalah menumbuhkembangkan keterampilan literasi informasi sehingga peserta didik memiliki kemampuan untuk mencari, memahami, mengevaluasi secara kritis, dan mengelola informasi menjadi pengetahuan yang bermanfaat untuk pengembangan kehidupan pribadi dan sosialnya. Hakikat literasi informasi adalah kemampuan manajemen pengetahuan, yang meliputi aktivitas menemukan sumber informasi, mengritisi, mengintegrasikan dengan pengetahuan yang telah dimiliki, memanfaatkan, dan mengomunikasikan secara efktif, legal, dan etis (Kemdibud, 2016: 1). Kebijakan GLS ini merupakan bagian integeral dengan program pendidikan nasional. Sebagai kebijakan nasional, GLS ini pun berlaku pada sekolah luar biasa (SLB). Keterbatasan siswa SLB seharusnya tidak menjadi halangan untuk melakukan aktivitas literasi informasi; hanya saja diperlukan penyesuaian program layanan. Misalnya, para siswa pada SLB-A (tunanetra), yang memiliki keterbatasan visual, harus didorong mengotimalkan indra lain, seperti: pendengaran, peraba, perasa, pencium untuk aktivitas literasi. Untuk optimalisasi literasi informasi pada siswa yang memiliki keterbatasan khusus diperlukan layanan program literasi yang lebih spesifik. Untuk bisa menyusun program layanan literasi yang lebih spesifik-fungsional diperlukan peta kompetensi literasi pada para siswa dengan keterbatasan khusus itu. Peta kompetensi literasi diharapkan menjadi landasan konseptual pengembangan program literasi untuk anak berketerbatasan khusus pada semua jenis dan
jenjang SLB. 2. Tujuan, Tahapan Penelitian, dan Metode Penelitian 2.1 Tujuan Penelitian 1. Menjelaskan pelaksanaan program GLS bagi peserta didik tunanetra pada SLB di Provinsi Bali. 2. Mengungkapkan karakteristik teks yang dibutuhkan untuk program GLS bagi peserta didik tunanetra pada SLB di Provinsi Bali. 3. Menggambarkan peran pengampu kepentingan pada pelaksanaan program literasi bagi peserta didik tunanetra pada SLB di Provinsi Bali 22. Tahapan Penelitian Tahun I : Pemetaan GLS pada SLB-A. Tahun II : Pemetaan GLS pada SLB-B Tahun III : Pemetaan GLS pada SLB-C 2.3 Metode Penelitian Desain penelitian : Kualitatif Sampel tahun I : SLB N 1 Singaraja, SLBN 1 Denpasar, dan SLBN 1 Tabanan. Teknik pengumpulan data : Observasi, angket, dan wawancara Instrumen penelitai : Pedoman observasi, pedoman wawancara, dan angket Analisis data : Deskriptif -kualitatif dan komparatif 3. Luaran yang ditargetkan a. Wajib : Artikel jurnal internasional terindeks beriputasi (accepted) b. Tambahan : Artikel junal nasional terakreditasi peringkat 1 - 3 (accepted) 4. Uraian TKT Taget akhir TKT adalah 3, yakni Karakteristik/sifat dan kapasitas unjuk kerja sistem dasar telah diidentifikasi dan diprediksi. 5. Hasil Penelitian tahun I I. Pelaksanaan program literasi bagi peserta didik tunanetra pada SLB di Provinsi Bali. 1. Pelaksanaan gerakan literasi sekolah merujuk kepada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Gerakan literasi sekolah merupakan program nasional sehingga semua Sekolah Luar Biasa di Provinsi Bali telah melaksanakannya. 2. Berdasarkan wawancaara dan observasi terungkap bahwa gerakan literasi yakni kegiatan wajib membaca 15 menit sebelum pelajaran dimulai pada Sekolah Luar Biasa di Provinsi Bali bagi peserta didik tunanetra dilaksanakan dengan 3 pola. 3. Pola pelaksanaan program gerakan literasi sekolah pada SLB di Provinsi Bali bagi peserta didik tunanetra terdiri dari : pola teks dibacakan guru, pola penggunaan audiobook, dan pola penyediaan pojok baca Braille. 4. Pilihan terhadap 3 pola itu diltarbelakangi oleh karakteristik peserta didik tunanetra sangat beragam. Varian pertama berakitan dengan usia. Kelompok peserta didik tunanetra terdiri dari jenjang usia Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah Menengah Atas. Varian ini berimplikasi kepada keterampilan membaca teks berhuruf Braille yang sangat beragam. Ada sekelompok peserta didik yang belum mengenal huruf Braille, sebaliknya ada sekelompok lain yang sudah relatif terampil membaca huruf itu. Varian kedua, adanya peredaan hambatan; yakni ada peserta didik tunanetra murni dan ada pula peserta didik tunanetra dengan hambatan ganda, misalnya tunanetra sekaligus tunarungu. Varian ketiga disebabkan perbedaan visus. Ke dalam kelompok ini ada peserta didik dengan low vision dan buta. 5. Penggunaan 3 pola pelaksanaan literasi pada Sekolah Luar Biasa dengan peserta
didik tunanetra merupakan implementasi dari prinsip literasi bahwa literasi berjalan sesuai tahap perkembangan yang dapat diprediksi dan bersifat berimbang serta mendorong pengembangan budaya lisan dan tulis. Penggunaan 3 pola literasi diasumsikan dapat memenuhi kebutuhan literasi peserta didik tunanetra dengan berbagai keterbatasan dan keragaman kebutuhannya. 6. Tahap-tahap pelaksanaan ketiga pola literasi bagi peserta didik tunanetra: a) Pola pertama, dibacakan guru. Literasi dengan pola dibacakan guru diterapkan kepada peserta didik tunanetra pada jenjang Sekolah Dasar, khususnya pada 3 tahun pertama. Pada periode ini, peserta didik tunentara mulai diajarkan huruf Braille. Kepekaan takstil mulai dikembangkan sebagai modal dalam membaca huruf Braille. Fakta ini merupakan perbedaan yang mencolok dengan anak-anak awas (sighted). Ketika masuk Sekolah Dasar, anak-anak awas umumnya sudah bisa membaca dan menulis sederhana yang dipelajarinya sejak mereka di Tanam Kanak-Kanak. Tidak demikian halnya dengan anak-anak tunanetra. Anak-anak tunanetra akan mulai mempelajari huruf Braille sejak tahun pertama di Sekolah Dasar, itupun tidak semua peserta didik memiliki kesiapan belajar yang memadai. Pembelajaran huruf Braiile bagi pemula bukanlah sesuatu yang mudah, meskipun para guru telah berupaya maksimal mengajarkannya. Pembelajar pemula huruf Braille harus terlebih dahulu memiliki kecakapan takstil yang menjadi modal dalam membaca. Akan tetapi, mereka umumnya belum peka dengan hal itu sehingga mengalami kesulitan dalam mengintegerasikan formulasi titik-titik Braille. Fakta ini mendorong diterapkannya pola literasi yang dibacakan guru. Pilihan pola literasi yang dibacakan guru berpijak pada asumsi bahwa kemampuan pemahaman anak-anak tunanetra sama dengan anak-anak awas. Emerson; Holbrook, and D’Andrea ( 2009) menegaskan bahwa pada aspek pemahaman dan decoding antara anak awas dengan tunanetra perbedaan mencolok terlihat pada aspek decoding. Artinya guru dapat memaksimalkan aspek pemahaman literasi dengan mengoptimalkan rangsang pendengaran dan sambil jalan diajarkan huruf Braille. b) Pola kedua penggunaan audiobook. Pelaksanaan pola ini tetap mengotimalkan indera pendengaran. Dibandingkan dengan pola pertama, pola ini memanfaatkan kemajuan teknologi informasi. Konkretnya, buku-buku target terlebih dahulu dibacakan oleh narator disertai dengan perekaman audio. Dalam hal ini, diperlukan pelatihan narator agar pengucapannya jelas dan tidak ambigu. Intonasi diberikan secara tepat karena berpengaruh pada interpretasi pesan. Ilustrasi musik sering disertakan pada proses perekaman. Berdasarkan data, jenis audiobook yang digunakan pada Sekolah Luar Biasa di Provinsi Bali adalah unabridge dan abridge serta umumnya merupakan produk komersial. Unabridge merupakan rekaman utuh (lengkap) dari sebuah buku; sedangkan abridge merupakan pembacaan ringkas dari sebuah buku Literasi dengan pola audiobook dilaksanakan di ruang komputer dalam pengawasan guru. Berdasarkan hasil wawancara, pola ini cukup dominan dilaksanakan pada Sekolah Luar Bias di Provinsi Bali. c) Pola ketiga penyediaan pojok baca Braille. Pola ini yang paling ideal sesuai karakteristik peserta didik tunanetra. Dikatakan ideal karena keterampilan membaca dan menulis huruf Braille merupakan ciri unik pemebelajar tunanetra. Keterampilan membaca dan menulis huruf Braille sebagai kebutuhan dasar literasi mereka. Alasan lainnya adalah fleksibelitas waktu dan pemupukan minat baca secara mandiri. Penyediaan pojok baca Braille memberikan keleluasaan peserta didik tunanetra untuk berliterasi kapan saja, tidak tergantung pada jadwal yang disediakan. Peserta didik dapat memilih bahan baca yang bermakna sesuai dengan minat dan kebutuhannya. Pola ini diyakini dapat menumbuhkan minat baca pada peserta didik. Pojok baca Braille umumnya diletakkan di belakang kelas yang bertujuan agar mudah dan aman diangkau anak-anak. 7. Pilihan materi literasi. Pada Sekolah Luar Biasa dengan peserta didik tunanetra, kegiatan literasi umumnya dipadukan dengan konten pelajaran bagi anak berkebutuhan khusus. Bahan-bahan baca umumnya bersifat fungsional yang relevan dengan bakat dan minatnya. Setiap sekolah dapat mengembangkan program keterampilan hidup yang bervariasi, seperti seni musik, keterampilan pijat, seni sastra dan teater. Pengaitan konten literasi dengan kurikulum anak berkebutuhan khusus merupakan upaya peningkatan makna kegiatan literasi bagi hidup mereka yang pelaksanannya melalui upaya pembiasaan,
pengembangan, dan pembelajaran berbasis literasi. 8. Komponen literasi. Mencermati fakta-fakta lapangan dengan merujuk pada 3 pola pelaksanannya, gerakan literasi pada Sekolah Luar Biasa dengan peserta didik tunanetra diarahkan pada komponen literasi dini (early literacy) dan literasi dasar (basic literacy) yang diimplementasikan melalui pola literasi yang dibacakan guru. Literasi media (media literacy) dan literasi teknologi (technology literacy) diimplementasikan melalui pola audiobook di ruang komputer. Literasi pustaka (library literacy) diimplementasikan melalui penyediaan pojok baca Braille di ruang-ruang kelas. Karena keterbatasan yang dialami pada aspek penglihatan, kepada peserta didik tunanetra tidak dapat dilakukan kegiatan visual literacy. Kegiatan ini diganti dengan literasi takstil dengan menggunakan pajanan benda tiruan tiga dimensi. 9. Kendala pelsaksanaannya. Berdasarkan hasil penelitian terungkap ada beberpa kendala utama pelaksanaan gerakan literasi bagi peserta didik tunanetra pada SLB di Provinsi Bali. a) Kendala pertama yang bersumber dari internal. Kendala internal berkaitan dengan masalah emosi, sosial, dan psikologis. Masalah sosial yang teramati pada peserta didik tunanetra adalah kecemasan yang memunculkan rasa takut dan khawatir. Akibatnya, peserta didik tunanetra merasa ragu ketika melakukan kegiatan literasi. Kecemasan itu sering pula memicu kemarahan, mudah tersinggung, murung, dan sedih. Bahkan sering ditemukan anak tunanetra yang sangat frustasi, merasa tidak berguna dan hanya jadi beban keluarga. Dalam satu kasus esktrem, ditemukan seorang anak tunanetra yang merobek buku ketika diajarkan membaca huruf Braille. Perobekan buku itu sebagai pelampiasan rasa furstasi yang sangat mendalam. Hambatan lain yang bersumber dari internal pemelajar adalah rasa rendah diri. Banyak anak tunanetra yang merasa malu dan rendah diri di hadapan anak awas. Rasa malu ini menghilangkan motivasi berprestasi mereka. Perasaan malu itu semakin kuat apabila peserta didik tunanetra sering gagal merespons stimulus secara benar. Akibatnya, mereka sering menarik diri dari interaksi sosial. Fakta ini menghambat pelaksanaan kegiatan literasi pada Sekolah luar Biasa di Provinsi Bali. Untuk mengatasi kendala internal tersebut perlu ada layanan individul sehingga aspek-aspek personalitas siswa bisa lebih diperhatikan untuk memudahkan pengembangan potensi setiap peserta didik. Layanan literasi individual diharapkan dapat menumbuhkan motivasi berprestasi di kalangan peserta didik tunanetra. b) Kendala kedua bersumber dari lingkungan belajar. Kendala ini berkaitan dengan ketersediaan bahan literasi bagi peserta didik tunanetra. Perlu ada distribusi media literasi takstil yang merata kepada seluruh Sekolah Luar Biasa. Hal ini sajalan dengan perubahan adminstrasi pendidikan luar biasa, yakni setiap sekolah melayani berbagai anak berkebutuhan khusus. Kini, Sekolah Luar Biasa tidak lagi diklasifikasi menjadi SLB-A yang khusus melayani anak tunanetra atau SLB-B yang khusus melayani anak tunarungu, atau SLB-C yang khusus menangani anak tunagrahita, tetapi telah menjadi unity of the whole. Kecepatan membaca huruf Braille yang relatif rendah yakni antara 85 – 101 kata per menit pun merupakan hambatan tersendiri. Untuk ini, dibutuhkan teks Barille yang telah diringkas secara telegrafis dengan tidak mengurangi informasi pokok. Upaya lain yang dapat dilakukan adalah penyediaan audiobook dalam jumlah yang memadai dengan topik yang bervariasi. c) Kendala ketiga bersumber dari hambatan mobilitas. Hambatan mobilitas peserta didik tunanetra membutuhkan peran pustakawan yang lebih intensif pada setiap Sekolah Luar Biasa. Perannya sangat dibutuhkan dalam melakukan rotasi buku. Hambatan rotasi buku antarpojok baca Braille masih sering terjadi. Persoalan lain yang sangat urgen adalah pendampingan pelatihan membaca huruf Brille. Pendampingan dapat dilakukan oleh guru maupun siswa senior yang telah terampil membaca huruf Bralle. II. Kebutuhan Teks khusus untuk program literasi bagi peserta didik tunanetra pada SLB di Provinsi Bali 1. Kecepatan efektif membaca (KEM) peserta didik tunanetra. Dalam penelitian ini, kecepatan membaca difokuskan kepada peserta didik tunanetra
yang telah terampil membaca Brille. Oleh karena itu data yang dikumpulkan dari jenjang SMPLB dan SMALB. Ada dua data sekunder terpisah diperoleh dari guru, yaitu jumlah kata yang dibaca siswa per menit dan hasil tes pemahaman isi bacaan. Data itu merupakan dokumen tahun pelajaran 2018/2019. Data tahun pelajaran 2019/2020 tidak bisa diperoleh karena terkendala pandemi Covid-19. Kedua data itu diolah untuk mendapatkan kecepatan membaca efektif. Kecepatan membaca efektif merupakan korelasi jumlah kata yang dapat dibaca per menit dengan tingkat pemahaman isi. Data sekunder itu diolah dengan formula berikut ini. Keterangan: KEM : kecepatan efektif membaca 1m : 1 menit jk : jumlah kata terbaca sn : skor nyata SMI : skor maksimal ideal /skor harapan kpm : kecepatan / menit (Diadaptasi dari Jumaidi et al., 2013) Tahap berikutnya, data sekunder yang diperoleh dari guru diolah menggunakan formula itu. Hasilnya disajikan dalam tabel 1 dan 2 berikut ini. Tabel 1. Kecepatan Efektif Membaca Teks Huruf Braiile Siswa Tunanetra pada SMPLB di Provinsi Bali No. Kode Subjek Jumlah kata per menit Pemahaman (SMI = 100) KEM (1) (2) (3) (4) (5) 1. MA 112 70 78,40 2. IPA 121 75 90,75 3. ET 116 70 81,20 4. AGR 102 75 76,50 5. MAP 110 75 82,50 6. KSY 109 70 76,30 7. KTA 121 75 96,80 8. KDA 129 80 103,20 9. IM 108 75 81,00 10. PBK 113 75 84,75 11. NGA 120 75 90,00 12. GAT 117 70 81,90 13. GDJ 108 75 81,00 14. DNJ 120 75 90,00 15. DL 114 70 79,80 Rata-rata 108 72,67 84,94 Pembulatan 108 73 85 Tabel 2. Kecepatan Efektif Membaca Teks Huruf Braiile Siswa Tunanetra pada SMALB di Provinsi Bali No. Kode Subjek Jumlah kata per menit Pemahaman (SMI = 100) KEM 1. IPS 120 75 90,00 2. SAM 127 80 101,60 3. NEY 118 75 88,50 4. KYL 120 75 90,00 5. KRA 123 80 98,40 6. MFG 118 75 94,00 7. KA 126 80 100,80 8. KDS 118 80 94,40 9. PYP 122 75 91,50 10. KAM 120 75 90,00
11. KR 117 80 93,60 12. KS 120 75 90,00 13. GNA 127 80 101,60 14. AKC 119 80 95,20 15. ENF 122 80 97,60 16. AMH 118 80 94,40 Rata-rata 120,94 77,81 100,77 Pembulatan 121 78 101 Berdasarkan tabel 1 dan 2 di atas dapat diketahui kecepatan membaca efektif peserta didik tunanetra jenjang SMPLB – SMALB di Provinsi Bali adalah 85 – 101 kpm. Sebagai perbandingan, kecepatan membaca efektif peserta didik jenjang SMP – SMA (normal) adalah 250 – 325 kpm (Jumaidi et al., 2013). Data ini membuktikan bahwa membaca Braille jauh lebih lambat daripada membaca huruf awas. Kelambatan membaca huruf Braille disebabkan banyak faktor, antara lain kepekaan takstil peserta didik tunanetra jenjang SMPLB – SMALB masih perlu ditingkatkan. Selain itu, faktor psikologi pun diduga berpengaruh, yakni perasaan rendah diri dan putus asa menghambat prestasi belajar peserta didik tunanetra. Untuk itu dibutuhkan upaya konseling secara berkelanjutan hingga dapat memunculkan motivasi berprestasi pada peserta didik tunanetra. 2. Kebutuhan akan Teks Telegrafis Perbedaan kecepatan efektif membaca (KEM) siswa awas dengan tunanetra sangat mencolok. Peserta didik tunanentra rata-rata membutuhkan waktu 3 kali lebih lama daripada peserta didik awas untuk membaca teks dengan jumlah kata yang sama. Selain terus memacu kecepatan membaca teks Braile melalui pelatihan yang berkelanjutan diperlukan pula upaya pengubahan konstruksi teks menjadi lebih padat dan ringkas. Peringkasan teks awas menjadi Braille tidak dibenarkan mengurangi inti informasi. III. Peran Pengampu kepentingan / Partisipasi Publik 1) Keberhasilan program gerakan literasi pada Sekolah Luar Biasa di Provinsi Bali memerlukan partisipasi publik. Di dalam panduan pelaksanaannya telah diatur keterlibatan partisipasi publik, seperti komite sekolah, orang tua/wali murid, dunia usaha dan dunia industri. Berdasarkan hasil angket terungkap bahwa secara umum partisipasi publik masih relatif rendah. Data menunjukan adanya asimetris antara pemahaman dengan tindakan konkret. 2) Seluruh anggota komite sekolah dan orang tua/ wali murid memahami pentingnya kegiatan literasi sekolah; akan tetapi pemahaman itu belum diikuti dengan langkah nyata. 3) Partisipasi publik sangat diharapkan, seperti bantuan sarana dan prasarana pendukungnya, pembentukan komite literasi, dan perbantuan membangun jejaring sekolah. Langkah-langkah ini urgen dilakukan sebagai wujud konkret dukungan komite sekolah dan orang tua/wali murid pada program gerakan literasi pada Sekolah Luar Biasa di Provinsi Bali. 4) Pengawasan dan pendampingan kegiatan literasi di rumah masing-masing sangat perlu ditingkatkan. Berdasarkan angket, terungkap pula bahwa mayoritas orang tua mengaku melakukan pengawasan dan pendampingan pada kegiatan literasi di rumah mereka masing-masing. Pengawasan dan pendampingan yang dilakukan orang tua tampaknya kurang optimal karena umumnya mereka menyatakan kurang memahami, bahkan tidak mengerti tentang huruf Braille. Keterbatasan ini tampaknya dapat diatasi dengan pembentukan komite literasi Braille pada setiap Sekolah Luar Biasa. Komite ini bisa dibentuk atas partisipasi orang tua / wali murid. 5) Partisipasi dunia usaha dan dunia industri diyakini dapat meningkatkan motivasi literasi peserta didik tunanetra. Berdasarkan wawancara dengan pihak sekolah yang menjadi sampel, terungkap bahwa mayoritas buku dan sarana Braille lainnya merupakan pengadaan dari pemerintah dan sumbangan pihak lain, seperti penerbit dan yayasaan yang bergerak
dibidang ketunanetraan. Partisipasi dunia industri dan dunia usaha pun banyak diwujudkan melalui kontribusi pendanaan kegiatan lomba literasi yang diselenggarakan. Partisipasi lain yang juga terungkap dari penelitian ini adalah kesediaan dunia usaha dan dunia industri sebagai objek kunjungan belajar oleh peserta didik tunanetra. Kunjungan belajar ini bertujuan memupuk kepercayaan diri, sosial, dan mobilitas setiap peserta didik. Kunjungan belajar merupakan upaya konkret kegiatan literasi berbasis lingkungan. Dukungan dan kegiatan ini perlu ditingkatkan, baik secara kuantitas maupun kualitas.
B. KATA KUNCI: Tuliskan maksimal 5 kata kunci.
gerakan lietasi sekolah, tunanetra, wacana telegrafis, kecepatan efektif membaca.
Pengisian poin C sampai dengan poin H mengikuti template berikut dan tidak dibatasi jumlah kata atau halaman namun disarankan seringkas mungkin. Dilarang menghapus/memodifikasi template ataupun menghapus penjelasan di setiap poin.
C. HASIL PELAKSANAAN PENELITIAN: Tuliskan secara ringkas hasil pelaksanaan penelitian yang telah dicapai sesuai tahun pelaksanaan penelitian. Penyajian dapat berupa data, hasil analisis, dan capaian luaran (wajib dan atau tambahan). Seluruh hasil atau capaian yang dilaporkan harus berkaitan dengan tahapan pelaksanaan penelitian sebagaimana direncanakan pada proposal. Penyajian data dapat berupa gambar, tabel, grafik, dan sejenisnya, serta analisis didukung dengan sumber pustaka primer yang relevan dan terkini.
Pengisian poin C sampai dengan poin H mengikuti template berikut dan tidak dibatasi jumlah kata atau halaman
namun disarankan seringkas mungkin. Dilarang menghapus/memodifikasi template ataupun menghapus
penjelasan di setiap poin.
Sesuai rencana seperti yang tercantum dalam proposal, penelitian ini dilaksanakan
secara bertahap dalam kurun waktu 3 tahun, yakni dari tahun 2020 hingga 2022. Pada tahun
pertama (2020), penelitian difokuskan pada program literasi bagi peserta didik tunanetra. Ada
3 permasalahan yang ingin dijawab pada penelitian tahun pertama ini.
1. Bagaimanakah pelaksanaan program literasi bagi peserta didik tunanetra pada SLB
di Provinsi Bali?
2. Bagaimanakah karakteristik teks yang dibutuhkan untuk program literasi bagi
peserta didik tunanetra pada SLB di Provinsi Bali?
3. Bagaimanakah peran pengampu kepentingan pada pelaksanaan program literasi
bagi peserta didik tunanetra pada SLB di Provinsi Bali?
Untuk menjawab ketiga permasalahan itu, data dikumpulkan dari tiga SLB sebagai
sampel yang ditentukan secara purposive-areal sampling. Dengan penerapan teknik sampling
itu ditetapkan sampel penelitian tahun pertama adalah SLB Negeri 1 Denpasar, SLB Negeri 1
Tabanan, dan SLB Negeri 1 Singaraja. Data dikumpulkan dengan metode observasi,
pencatatan dokumen, wawancara, dan angket. Data yang terkumpul dianalisis secara
deskriptif-kwalitatif dengan memposisikan peserta didik sebagai subjek dan program literasi
sebagai peristiwa. Relasi subjek dengan peristiwa itulah dijelaskan untuk menghasilkan
gambaran program literasi bagi peserta didik tunanetra pada SLB di Provinsi Bali. Dengan
prosesedur sepeti itu, diperoleh hasil penelitian seperti berikut ini.
I. Pelaksanaan program literasi bagi peserta didik tunanetra pada SLB di Provinsi
Bali.
1. Pelaksanaan gerakan literasi sekolah merujuk kepada Peraturan Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan
Budi Pekerti. Gerakan literasi sekolah merupakan program nasional sehingga semua
Sekolah Luar Biasa di Provinsi Bali telah melaksanakannya.
2. Berdasarkan wawancaara dan observasi terungkap bahwa gerakan literasi yakni
kegiatan wajib membaca 15 menit sebelum pelajaran dimulai pada Sekolah Luar
Biasa di Provinsi Bali bagi peserta didik tunanetra dilaksanakan dengan 3 pola.
3. Pola pelaksanaan program gerakan literasi sekolah pada SLB di Provinsi Bali bagi
peserta didik tunanetra terdiri dari : pola teks dibacakan guru, pola penggunaan
audiobook, dan pola penyediaan pojok baca Braille.
4. Pilihan terhadap 3 pola itu diltarbelakangi oleh karakteristik peserta didik tunanetra
sangat beragam. Varian pertama berakitan dengan usia. Kelompok peserta didik
tunanetra terdiri dari jenjang usia Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan
Sekolah Menengah Atas. Varian ini berimplikasi kepada keterampilan membaca teks
berhuruf Braille yang sangat beragam. Ada sekelompok peserta didik yang belum
mengenal huruf Braille, sebaliknya ada sekelompok lain yang sudah relatif terampil
membaca huruf itu. Varian kedua, adanya peredaan hambatan; yakni ada peserta
didik tunanetra murni dan ada pula peserta didik tunanetra dengan hambatan ganda,
misalnya tunanetra sekaligus tunarungu. Varian ketiga disebabkan perbedaan visus.
Ke dalam kelompok ini ada peserta didik dengan low vision dan buta.
C. HASIL PELAKSANAAN PENELITIAN: Tuliskan secara ringkas hasil pelaksanaan penelitian yang
telah dicapai sesuai tahun pelaksanaan penelitian. Penyajian meliputi data, hasil analisis, dan capaian
luaran (wajib dan atau tambahan). Seluruh hasil atau capaian yang dilaporkan harus berkaitan dengan
tahapan pelaksanaan penelitian sebagaimana direncanakan pada proposal. Penyajian data dapat berupa
gambar, tabel, grafik, dan sejenisnya, serta analisis didukung dengan sumber pustaka primer yang relevan
dan terkini.
5. Penggunaan 3 pola pelaksanaan literasi pada Sekolah Luar Biasa dengan peserta didik
tunanetra merupakan implementasi dari prinsip literasi bahwa literasi berjalan sesuai
tahap perkembangan yang dapat diprediksi dan bersifat berimbang serta mendorong
pengembangan budaya lisan dan tulis. Penggunaan 3 pola literasi diasumsikan dapat
memenuhi kebutuhan literasi peserta didik tunanetra dengan berbagai keterbatasan
dan keragaman kebutuhannya.
6. Tahap-tahap pelaksanaan ketiga pola literasi bagi peserta didik tunanetra:
a) Pola pertama, dibacakan guru. Literasi dengan pola dibacakan guru diterapkan
kepada peserta didik tunanetra pada jenjang Sekolah Dasar, khususnya pada 3
tahun pertama. Pada periode ini, peserta didik tunentara mulai diajarkan huruf
Braille. Kepekaan takstil mulai dikembangkan sebagai modal dalam membaca
huruf Braille. Fakta ini merupakan perbedaan yang mencolok dengan anak-
anak awas (sighted). Ketika masuk Sekolah Dasar, anak-anak awas umumnya
sudah bisa membaca dan menulis sederhana yang dipelajarinya sejak mereka
di Tanam Kanak-Kanak. Tidak demikian halnya dengan anak-anak tunanetra.
Anak-anak tunanetra akan mulai mempelajari huruf Braille sejak tahun
pertama di Sekolah Dasar, itupun tidak semua peserta didik memiliki kesiapan
belajar yang memadai. Pembelajaran huruf Braiile bagi pemula bukanlah
sesuatu yang mudah, meskipun para guru telah berupaya maksimal
mengajarkannya. Pembelajar pemula huruf Braille harus terlebih dahulu
memiliki kecakapan takstil yang menjadi modal dalam membaca. Akan tetapi,
mereka umumnya belum peka dengan hal itu sehingga mengalami kesulitan
dalam mengintegerasikan formulasi titik-titik Braille. Fakta ini mendorong
diterapkannya pola literasi yang dibacakan guru. Pilihan pola literasi yang
dibacakan guru berpijak pada asumsi bahwa kemampuan pemahaman anak-
anak tunanetra sama dengan anak-anak awas. Emerson; Holbrook, and
D’Andrea ( 2009) menegaskan bahwa pada aspek pemahaman dan decoding
antara anak awas dengan tunanetra perbedaan mencolok terlihat pada aspek
decoding. Artinya guru dapat memaksimalkan aspek pemahaman literasi
dengan mengoptimalkan rangsang pendengaran dan sambil jalan diajarkan
huruf Braille.
b) Pola kedua penggunaan audiobook. Pelaksanaan pola ini tetap mengotimalkan
indera pendengaran. Dibandingkan dengan pola pertama, pola ini
memanfaatkan kemajuan teknologi informasi. Konkretnya, buku-buku target
terlebih dahulu dibacakan oleh narator disertai dengan perekaman audio.
Dalam hal ini, diperlukan pelatihan narator agar pengucapannya jelas dan
tidak ambigu. Intonasi diberikan secara tepat karena berpengaruh pada
interpretasi pesan. Ilustrasi musik sering disertakan pada proses perekaman.
Berdasarkan data, jenis audiobook yang digunakan pada Sekolah Luar Biasa
di Provinsi Bali adalah unabridge dan abridge serta umumnya merupakan
produk komersial. Unabridge merupakan rekaman utuh (lengkap) dari sebuah
buku; sedangkan abridge merupakan pembacaan ringkas dari sebuah buku
Literasi dengan pola audiobook dilaksanakan di ruang komputer dalam
pengawasan guru. Berdasarkan hasil wawancara, pola ini cukup dominan
dilaksanakan pada Sekolah Luar Bias di Provinsi Bali.
c) Pola ketiga penyediaan pojok baca Braille. Pola ini yang paling ideal sesuai
karakteristik peserta didik tunanetra. Dikatakan ideal karena keterampilan
membaca dan menulis huruf Braille merupakan ciri unik pemebelajar
tunanetra. Keterampilan membaca dan menulis huruf Braille sebagai
kebutuhan dasar literasi mereka. Alasan lainnya adalah fleksibelitas waktu dan
pemupukan minat baca secara mandiri. Penyediaan pojok baca Braille
memberikan keleluasaan peserta didik tunanetra untuk berliterasi kapan saja,
tidak tergantung pada jadwal yang disediakan. Peserta didik dapat memilih
bahan baca yang bermakna sesuai dengan minat dan kebutuhannya. Pola ini
diyakini dapat menumbuhkan minat baca pada peserta didik. Pojok baca
Braille umumnya diletakkan di belakang kelas yang bertujuan agar mudah dan
aman diangkau anak-anak.
7. Pilihan materi literasi. Pada Sekolah Luar Biasa dengan peserta didik tunanetra,
kegiatan literasi umumnya dipadukan dengan konten pelajaran bagi anak
berkebutuhan khusus. Bahan-bahan baca umumnya bersifat fungsional yang relevan
dengan bakat dan minatnya. Setiap sekolah dapat mengembangkan program
keterampilan hidup yang bervariasi, seperti seni musik, keterampilan pijat, seni sastra
dan teater. Pengaitan konten literasi dengan kurikulum anak berkebutuhan khusus
merupakan upaya peningkatan makna kegiatan literasi bagi hidup mereka yang
pelaksanannya melalui upaya pembiasaan, pengembangan, dan pembelajaran berbasis
literasi.
8. Komponen literasi. Mencermati fakta-fakta lapangan dengan merujuk pada 3 pola
pelaksanannya, gerakan literasi pada Sekolah Luar Biasa dengan peserta didik
tunanetra diarahkan pada komponen literasi dini (early literacy) dan literasi dasar
(basic literacy) yang diimplementasikan melalui pola literasi yang dibacakan guru.
Literasi media (media literacy) dan literasi teknologi (technology literacy)
diimplementasikan melalui pola audiobook di ruang komputer. Literasi pustaka
(library literacy) diimplementasikan melalui penyediaan pojok baca Braille di
ruang-ruang kelas. Karena keterbatasan yang dialami pada aspek penglihatan, kepada
peserta didik tunanetra tidak dapat dilakukan kegiatan visual literacy. Kegiatan ini
diganti dengan literasi takstil dengan menggunakan pajanan benda tiruan tiga dimensi.
9. Kendala pelsaksanaannya. Berdasarkan hasil penelitian terungkap ada beberpa
kendala utama pelaksanaan gerakan literasi bagi peserta didik tunanetra pada SLB di
Provinsi Bali.
a) Kendala pertama yang bersumber dari internal. Kendala internal berkaitan
dengan masalah emosi, sosial, dan psikologis. Masalah sosial yang teramati
pada peserta didik tunanetra adalah kecemasan yang memunculkan rasa takut
dan khawatir. Akibatnya, peserta didik tunanetra merasa ragu ketika
melakukan kegiatan literasi. Kecemasan itu sering pula memicu kemarahan,
mudah tersinggung, murung, dan sedih. Bahkan sering ditemukan anak
tunanetra yang sangat frustasi, merasa tidak berguna dan hanya jadi beban
keluarga. Dalam satu kasus esktrem, ditemukan seorang anak tunanetra yang
merobek buku ketika diajarkan membaca huruf Braille. Perobekan buku itu
sebagai pelampiasan rasa furstasi yang sangat mendalam. Hambatan lain yang
bersumber dari internal pemelajar adalah rasa rendah diri. Banyak anak
tunanetra yang merasa malu dan rendah diri di hadapan anak awas. Rasa malu
ini menghilangkan motivasi berprestasi mereka. Perasaan malu itu semakin
kuat apabila peserta didik tunanetra sering gagal merespons stimulus secara
benar. Akibatnya, mereka sering menarik diri dari interaksi sosial. Fakta ini
menghambat pelaksanaan kegiatan literasi pada Sekolah luar Biasa di Provinsi
Bali. Untuk mengatasi kendala internal tersebut perlu ada layanan individul
sehingga aspek-aspek personalitas siswa bisa lebih diperhatikan untuk
memudahkan pengembangan potensi setiap peserta didik. Layanan literasi
individual diharapkan dapat menumbuhkan motivasi berprestasi di kalangan
peserta didik tunanetra.
b) Kendala kedua bersumber dari lingkungan belajar. Kendala ini berkaitan
dengan ketersediaan bahan literasi bagi peserta didik tunanetra. Perlu ada
distribusi media literasi takstil yang merata kepada seluruh Sekolah Luar
Biasa. Hal ini sajalan dengan perubahan adminstrasi pendidikan luar biasa,
yakni setiap sekolah melayani berbagai anak berkebutuhan khusus. Kini,
Sekolah Luar Biasa tidak lagi diklasifikasi menjadi SLB-A yang khusus
melayani anak tunanetra atau SLB-B yang khusus melayani anak tunarungu,
atau SLB-C yang khusus menangani anak tunagrahita, tetapi telah menjadi
unity of the whole. Kecepatan membaca huruf Braille yang relatif rendah yakni
antara 85 – 101 kata per menit pun merupakan hambatan tersendiri. Untuk ini,
dibutuhkan teks Barille yang telah diringkas secara telegrafis dengan tidak
mengurangi informasi pokok. Upaya lain yang dapat dilakukan adalah
penyediaan audiobook dalam jumlah yang memadai dengan topik yang
bervariasi.
c) Kendala ketiga bersumber dari hambatan mobilitas. Hambatan mobilitas
peserta didik tunanetra membutuhkan peran pustakawan yang lebih intensif
pada setiap Sekolah Luar Biasa. Perannya sangat dibutuhkan dalam
melakukan rotasi buku. Hambatan rotasi buku antarpojok baca Braille masih
sering terjadi. Persoalan lain yang sangat urgen adalah pendampingan
pelatihan membaca huruf Brille. Pendampingan dapat dilakukan oleh guru
maupun siswa senior yang telah terampil membaca huruf Bralle.
II. Kebutuhan Teks khusus untuk program literasi bagi peserta didik tunanetra pada
SLB di Provinsi Bali
1. Kecepatan efektif membaca (KEM) peserta didik tunanetra.
Dalam penelitian ini, kecepatan membaca difokuskan kepada peserta didik tunanetra
yang telah terampil membaca Brille. Oleh karena itu data yang dikumpulkan dari
jenjang SMPLB dan SMALB. Ada dua data sekunder terpisah diperoleh dari guru,
yaitu jumlah kata yang dibaca siswa per menit dan hasil tes pemahaman isi bacaan.
Data itu merupakan dokumen tahun pelajaran 2018/2019. Data tahun pelajaran
2019/2020 tidak bisa diperoleh karena terkendala pandemi Covid-19. Kedua data itu
diolah untuk mendapatkan kecepatan membaca efektif. Kecepatan membaca efektif
merupakan korelasi jumlah kata yang dapat dibaca per menit dengan tingkat
pemahaman isi. Data sekunder itu diolah dengan formula berikut ini.
Keterangan:
KEM : kecepatan efektif membaca 1m : 1 menit
jk : jumlah kata terbaca sn : skor nyata
SMI : skor maksimal ideal /skor harapan kpm : kecepatan / menit
(Diadaptasi dari Jumaidi et al., 2013)
Tahap berikutnya, data sekunder yang diperoleh dari guru diolah menggunakan
formula itu. Hasilnya disajikan dalam tabel 1 dan 2 berikut ini.
Tabel 1. Kecepatan Efektif Membaca Teks Huruf Braiile
Siswa Tunanetra pada SMPLB di Provinsi Bali
No. Kode
Subjek
Jumlah kata
per menit
Pemahaman
(SMI = 100) KEM
(1) (2) (3) (4) (5)
1. MA 112 70 78,40
2. IPA 121 75 90,75
3. ET 116 70 81,20
4. AGR 102 75 76,50
5. MAP 110 75 82,50
6. KSY 109 70 76,30
7. KTA 121 75 96,80
8. KDA 129 80 103,20
9. IM 108 75 81,00
10. PBK 113 75 84,75
11. NGA 120 75 90,00
12. GAT 117 70 81,90
13. GDJ 108 75 81,00
14. DNJ 120 75 90,00
15. DL 114 70 79,80
Rata-rata 108 72,67 84,94
Pembulatan 108 73 85
Tabel 2. Kecepatan Efektif Membaca Teks Huruf Braiile
Siswa Tunanetra pada SMALB di Provinsi Bali
No. Kode
Subjek
Jumlah kata
per menit
Pemahaman
(SMI = 100) KEM
1. IPS 120 75 90,00
2. SAM 127 80 101,60
3. NEY 118 75 88,50
4. KYL 120 75 90,00
5. KRA 123 80 98,40
6. MFG 118 75 94,00
7. KA 126 80 100,80
8. KDS 118 80 94,40
9. PYP 122 75 91,50
10. KAM 120 75 90,00
11. KR 117 80 93,60
12. KS 120 75 90,00
13. GNA 127 80 101,60
14. AKC 119 80 95,20
15. ENF 122 80 97,60
16. AMH 118 80 94,40
Rata-rata 120,94 77,81 100,77
Pembulatan 121 78 101
Berdasarkan tabel 1 dan 2 di atas dapat diketahui kecepatan membaca efektif peserta
didik tunanetra jenjang SMPLB – SMALB di Provinsi Bali adalah 85 – 101 kpm.
Sebagai perbandingan, kecepatan membaca efektif peserta didik jenjang SMP – SMA
(normal) adalah 250 – 325 kpm (Jumaidi et al., 2013). Data ini membuktikan bahwa
membaca Braille jauh lebih lambat daripada membaca huruf awas. Kelambatan
membaca huruf Braille disebabkan banyak faktor, antara lain kepekaan takstil peserta
didik tunanetra jenjang SMPLB – SMALB masih perlu ditingkatkan. Selain itu, faktor
psikologi pun diduga berpengaruh, yakni perasaan rendah diri dan putus asa
menghambat prestasi belajar peserta didik tunanetra. Untuk itu dibutuhkan upaya
konseling secara berkelanjutan hingga dapat memunculkan motivasi berprestasi pada
peserta didik tunanetra.
2. Kebutuhan Teks Telegrafis
Perbedaan kecepatan efektif membaca (KEM) siswa awas dengan tunanetra sangat
mencolok. Peserta didik tunanentra rata-rata membutuhkan waktu 3 kali lebih lama
daripada peserta didik awas untuk membaca teks dengan jumlah kata yang sama.
Selain terus memacu kecepatan membaca teks Braile melalui pelatihan yang
berkelanjutan diperlukan pula upaya pengubahan konstruksi teks menjadi lebih padat
dan ringkas. Peringkasan teks awas menjadi Braille tidak dibenarkan mengurangi inti
informasi. Prinsip ini sejalan dengan audio book jenis abridge (Camalia, 2016). Sifat
padat dan ringkas itu yang diharapkan seperti menulis berita telegram, yang hanya
mempertahankan informasi pokok; seperti kalimat telegrafis yang hanya
mempertahankan kontentif, yakni kata yang signifikan menentukan makna suatu
kalimat. Misalnya, Bapak kantor untuk menyatakan maksud ‘Bapak sedang bekerja
di kantor’. Merujuk konsep dasar itu, wacana tulis telegrafis dikembangkan agar
peserta didik tunanetra tidak kehilangan informasi akibat kecepatan membacanya
yang masih sangat rendah. Berikut ini disajikan contoh teks informasi tentang covid
19 dalam 2 teks yang berbeda.
Gambar 1. Contoh Wacana Panjang Berhuruf Awas
Wacana seperti tertera pada gambar 1, jika dikonversi menjadi teks berhuruf Braille
kan tampak seperti gambar 2 berikut ini.
Gambar 2. Wacana Panjang Berhuruf Braille
Gambar 2 adalah teks panjang tentang informasi Covid-19 dengan 525 jumlah kata.
Setelah dikonversi ke dalam huruf Braille, terlihat seperti gambar 2, yang
membutuhkan halaman lebih banyak. Untuk membaca teks itu peserta didik
tunanetra membutuhkan waktu 5,20 – 6,18 menit; sedangkan peserta didik awas
hanya membutuhkan 1,61 – 2,1 menit. Untuk itu, wacana tulis tersebut perlu diubah
menjadi wacana telagrafis dengan jumlah kata yang lebih sedikit, seperti berikut ini.
1 2
3
Gambar 3 dan 4 merupakan kontraksi dari wacana panjang yang tertera pada gambar
1 dan 2. Wacana telegrafis pada gambar 3 dan 4 hanya terdiri dari 83 kata, tetapi
mengandung informasi pokok yang sama. Dengan upaya itu, kebutuhan waktu baca
bagi peserta didik tunanetra menjadi lebih singkat. Dengan acuan KEM 85 – 101
kpm, kebutuhan waktu baca peserta didik tunanetra turun dari 5,20 – 6,18 menit
menjadi sekitar 1 menit; hampir sama dengan siswa awas. Penggunaan wacana
telegrafis pada program literasi bagi peserta didik tunanetra sejalan dengan prinsip
kerja sama dalam teori pragmatik, khususnya maksim kuantitas; yakni berikan
informasi secukupnya (Leech, 1983 dan Nababan, 1987). Mengacu maksim itu,
peringkasan teks wajib mempertahankan keutuhan informasi utama.
III. Peran Pengampu kepentingan / Partisipasi Publik
1) Keberhasilan program gerakan literasi pada Sekolah Luar Biasa di Provinsi Bali
memerlukan partisipasi publik. Di dalam panduan pelaksanaannya telah diatur
keterlibatan partisipasi publik, seperti komite sekolah, orang tua/wali murid, dunia
usaha dan dunia industri. Berdasarkan hasil angket terungkap bahwa secara umum
partisipasi publik masih relatif rendah. Data menunjukan adanya asimetris antara
pemahaman dengan tindakan konkret.
2) Seluruh anggota komite sekolah dan orang tua/ wali murid memahami pentingnya
kegiatan literasi sekolah; akan tetapi pemahaman itu belum diikuti dengan langkah
nyata.
3) Partisipasi publik sangat diharapkan, seperti bantuan sarana dan prasarana
pendukungnya, pembentukan komite literasi, dan perbantuan membangun jejaring
sekolah. Langkah-langkah ini urgen dilakukan sebagai wujud konkret dukungan
komite sekolah dan orang tua/wali murid pada program gerakan literasi pada
Sekolah Luar Biasa di Provinsi Bali.
4) Pengawasan dan pendampingan kegiatan literasi di rumah masing-masing sangat
perlu ditingkatkan. Berdasarkan angket, terungkap pula bahwa mayoritas orang tua
mengaku melakukan pengawasan dan pendampingan pada kegiatan literasi di
rumah mereka masing-masing. Pengawasan dan pendampingan yang dilakukan
orang tua tampaknya kurang optimal karena umumnya mereka menyatakan kurang
memahami, bahkan tidak mengerti tentang huruf Braille. Keterbatasan ini
tampaknya dapat diatasi dengan pembentukan komite literasi Braille pada setiap
Sekolah Luar Biasa. Komite ini bisa dibentuk atas partisipasi orang tua / wali
murid.
5) Partisipasi dunia usaha dan dunia industri diyakini dapat meningkatkan motivasi
literasi peserta didik tunanetra. Berdasarkan wawancara dengan pihak sekolah yang
menjadi sampel, terungkap bahwa mayoritas buku dan sarana Braille lainnya
merupakan pengadaan dari pemerintah dan sumbangan pihak lain, seperti penerbit
dan yayasaan yang bergerak dibidang ketunanetraan. Partisipasi dunia industri dan
dunia usaha pun banyak diwujudkan melalui kontribusi pendanaan kegiatan lomba
literasi yang diselenggarakan. Partisipasi lain yang juga terungkap dari penelitian
ini adalah kesediaan dunia usaha dan dunia industri sebagai objek kunjungan belajar
oleh peserta didik tunanetra. Kunjungan belajar ini bertujuan memupuk
kepercayaan diri, sosial, dan mobilitas setiap peserta didik. Kunjungan belajar
merupakan upaya konkret kegiatan literasi berbasis lingkungan. Dukungan dan
kegiatan ini perlu ditingkatkan, baik secara kuantitas maupun kualitas.
D. STATUS LUARAN: Tuliskan jenis, identitas dan status ketercapaiansetiap luaran wajib dan luaran
tambahan (jika ada)yang dijanjikan. Jenis luarandapat berupa publikasi, perolehan kekayaan intelektual,
hasil pengujian atau luaran lainnya yang telah dijanjikan pada proposal. Uraian status luaran harus
didukung dengan bukti kemajuan ketercapaian luaran sesuai dengan luaran yang dijanjikan. Lengkapi
isian jenis luaran yang dijanjikan serta mengunggah bukti dokumen ketercapaian luaran wajib dan luaran
tambahan melalui Simlitabmas.
Luaran penelitian tahun I:
1. Makalah disajikan dalam seminar nasional.
Makalah telah disajikan pada Seminar Nasional Riset Linguistik dan Pengajarannya
(SENARILIP) IV, 6 – 7 Oktober 2020. Judul makalah: Gerakan Literasi pada SLB-A di
Provinsi Bali. Prosiding sedang dalam proses publikasi oleh panitia penyelenggara. Bukti
kepesertaan seminar seperti berikut ini.
Makalah Lengkap
GERAKAN LITERASI PADA SLB-A DI PROPVINSI BALI
Oleh: Nengah Arnawa1
Anak Agung Gde Alit Geria2 I Gusti Lanang Rai Arsana3
1,2,3FKIP Universitas Mahadewa Indonesia Email: [email protected]
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk memetakan pelaksanaan program gerakan literasi pada SLB di Provinsi Bali, yang direncanakan dilaksanakan selama 3 tahun. Pada tahun pertama, fokus penelitian diarahkan kepada pelaksanaan gerakan literasi pada SLB-A, yakni dengan peserta didik anak tunanetra. Penelitian ini didesain dengan teknik survey dengan prosedur komparatif; yakni membandingkan aspek sarana dan aktivitas literasi yang wajib sesuai panduan dengan realitas ketersediaan sarana dan aktivitas nyata yang terjadi di sekolah yang terpilih sebagai sampel. Komparasi itu menghasilkan peta pelaksanaan gerakan literasi pada SLB. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang dikumpulkan melalui wawancara dengan guru pembina lieterasi di SLB. Data tersebut berupa dokumen program dan capaian. Berdasarkan prosedur itu terungkap bahwa program literasi pada SLB-A dapat dirinci berikut. (a) pembiasaan membaca (huruf Braille dan awas) dengan berbagai kendala; (b) konten diarahkan pada keterampilan hidup dan kewirausahaan yang didasarkan kepada: kurikulum dengan hambatan, kandungan yang adaptif dan up to date, program khusus: orientasi komunikasi, orientasi sosial, orietasi mobilitas, aktivitas sehari-hari, kecakapan
hidup, dan pengembangan bakat: musik, sastra dan dharma gita. Mencermati program tersebut diketahui bahwa panduan gerakan literasi pada SLB-A belum bisa dilaksanakan secara konsisten. Hal ini dapat dilihat dari (a) program literasi umumnya diintegrasikan dengan pelajaran, yang seharusnya terpisah; (b) keterlambatan peserta didik menguasai huruf Braille menghambat program GLS pada SLB-A (c) kendala psikologis, yakni membangkitkan semangat dan motivasi peserta didik yang frustasi karena keterbatasan fisiknya. Kendala ini pun terkait dengan karakteristik siswa tuna netra, yakni tunanetra total – rabun; tunanetra sejak lahir – tidak sejak lahir; tunanetra murni – tunanetra dengan keterbatasan ganda. Meskipun demikian, ada beberapa prestasi yang dicapai melalui program literasi ini, yaitu pentas teater, baca puisi, musik dan dharma gita. Hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan peningkatan dan pengembangan program GLS pada SLB-A. Kata kunci: gerakan literasi, SLB, Braille, tunanetra
LITERACY ENHANCEMENT PROGRAM FOR SPECIAL SCHOOL-A IN BALI PROVINCE
By: Nengah Arnawa1
Anak Agung Gde Alit Gria2 I Gusti Lanang Rai Arsana3
1,2,3FKIP Universitas Mahadewa Indonesia Email: [email protected]
Abstract
This study was conducted to map the implementation of the three-year literacy enhancement program held in special schools in Bali Province. In the first year, the focus of this study was on the implementation of the program in Special School-A, special schools for children with blindness. This study was carried out in the form of a survey using comparative procedures which compared the real condition regarding literacy facilities and mandatory activities to the ideal conditions as described in the program guidelines in the sampled schools. The comparison produced a map of the literacy program implementation in special schools. Secondary data in the forms of program documents and accomplishment were collected through interviews with literacy enhancement program supervisors in the schools. Based on the procedure, the literacy enhancement program at Special School-Aare described as follows. (a) reading habit (Braille and beware) with various problems; (b) contents that were directed at developing life skills and entrepreneurship based on: special curriculum, adaptive and up to date contents, specific programs: communication-orientated program, social-oriented program, mobility-oriented program, daily activities, life skills, and talent development: music, literature and dharma gita. Based on the observations on this program, the literacy program guidelines were not yet consistently implemented as reflected in (a) literacy programs that were integrated into general lessons, while they should be presented as a single program; (b) the delay of students in mastering Braille letters which inhibited the success of the program (c) psychological constraints related to the difficulties in growing students’ enthusiasm and motivation since they were frustrated about their physical limitations. Another challenge was also related to varied levels of blindness, namely total blindness - nearsightedness; blind by birth - not by birth; visually impaired - blind with multiple limitations. Despite those limitations, several sub-programs have been accomplished including theatre performances, poetry reading, music performance and dharma gita. This study provided insights that can be used as a reference in improving and developing the literacy enhancement program at Special School -A. Key words: literacy enhancement program, Special School, Braille, students with blindness
1. Pendahuluan Peningkatan dan pengembangan kualitas sumber daya manusia (SDM) merupakan program
sentral pembangunan nasional. Dikatakan demikian karena kualitas SDM berdampak langsung pada pembangunan sektor lainnya. Setiap pembangunan pada sektor lain bermuara pada aspek ‘manusia’ bangsa Indonesia; misalnya, pembangunan teknologi dan infrastruktur bertujuan meningkatkan kesejahteraan setiap insan Indonesia. Cetak biru pembangunan SDM dituangkan dalam program nasional di bidang pendidikan; yang mencakup pendidikan informal, formal, dan nonformal.
Sekolah luar biasa (SLB) merupakan lembaga pendidikan formal yang diperuntukkan bagi anak bangsa yang memiliki keterbatasan dalam aspek fisik dan/atau mental. Anak-anak dengan keterbatasan itu pun merupakan bagian dari generasi bangsa yang harus diberdayakan sesuai dengan potensi yang dimilikinya sehingga mereka menjadi insan yang bertanggung jawab, baik secara individi maupun sosial. Anak-anak yang dilahirkan dengan keterbatasan memiliki hak yang sama dalam perolehan pendidikan, seperti yang diatur dalam pasal 31 UUD 1945, khususnya ayat (1) – (2) yang mengatur hak dan kewajiban setiap warga negara dalam bidang pendidikan. Pada ayat (1) ditegaskan secara eksplisit bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan; dan pada ayat (2) dinyatakan kewajiban setiap warga mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. Merujuk pada kedua ayat itu, secara konstitusi, anak-anak dengan keterbatasan wajib dan berhak mendapat pendidikan.
Secara makro, peserta didik pada SLB merupakan bagian dari masyarakat global. Salah satu ciri masyarakat global adalah mampu mengadaptasi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (Kemendikbud, 2016). Untuk mewujudkan hal itu, pemerintah mencanangkan program gerakan literasi sekolah (GLS), tidak terkecuali pada SLB. Pencanangan GLS di Indonesia sejalan dengan Deklrasi Praha yang menekankan pentingnya literasi informasi (information literacy) sebagai strategi makro pembangnunan SDM. Secara konseptual, literasi informasi merupakan kemampuan mandiri setiap peserta didik untuk mencari serta menemukan pengetahuan dan teknologi, memahami, mengevaluasi secara kritis lanjut memanfaatkannya untuk pengembangan pribadi dan kehidupan sosialnya (Unesco, 2003). Merujuk konsep itu, muara GLS adalah kesadaran peningkatan kualitas hidup masyarakat melalui penerapan IPTEK yang perolehannya melalui upaya sendiri. Untuk bisa mewujudkan pribadi yang demikian diperlukan kapasitas setiap orang agar memiliki: (a) kemampuan manajemen pengetahuan dan motivasi belajar tanpa henti; (b) kesadaran akan kebutuhan informasi; (c) kemampuan menemukan sumber informasi sesuai kebutuhan; (d) kemampuan menilai informasi secara kritis: (e) kemampuan mengorganisasi serta mengintegrasi pengetahuan; (f) kecermatan menggunakan informasi pada saat yang tepat; dan (g) kemampuan mengkomunikasikan kepada masyarakat luas secara efektif, legal dan etis. Ketujuh kemampuan unsur literasi itu diharpkan menjadi bagian dari pendidikan karakter (Permendikbud, Nomor 23/2015). Dalam konteks penumbuhkembangan kompetensi literasi inilah urgensi peningkatan keterampilan berbahasa (Indonesia, daerah, dan asing) sangatlah penting; sehingga dijadikan landasan filosofis program GLS.
Secara konseptual, operasional kegiatan GLS diidentikkan dengan aktivitas membaca dan menulis (Kemdikbud, 2016). GLS dikembangkan sebagai kegiatan partisipatif dengan melibatkan semua pemangku kepentingan sekolah. Pelibatan berbagai stakeholdrs menjadikan GLS sebagai gerakan sosial. Langkah awal program GLS diupayakan melalui pembiasaan membaca selama 15 menit sebelum pelajaran dimulai yang akan dikembangkan menjadi keterampilan reseptif dan produktif. Program GLS merupakan upaya komprehensif yang berkesinambungan untuk membangun sekolah menjadi lembaga literat. Sebagai lembaga literat, semua warga sekolah: kepala sekolah, guru, pustakawan, murid, komite sekolah, bahkan orang tua diharapkan memiliki kegemaran membaca sebagai cara belajar sepanjang hayat (Kemdikbud, 2016a). GLS dicanangkan pemerintah sebagai jawaban atas rendahnya keterampilan membaca para siswa di Indonesia, seperti yang dilaporkan organisasi-organisasi internasional, seperti Progress in International Reading Literacy Study (2011), Trends International Mathematics and Science Studies (2011), Programme for International Student Assessment (2012). Capaian GLS dilihat dari 6 aspek, yaitu: literasi dini, literasi dasar, literasi perpustakaan, literasi media, literasi teknologi, dan literasi visual. Setiap tahap
perkembangan literasi itu diukur berdasarkan indikator yang berkesinambungan dan berjenjang secara hirarkis dengan melibatkan pihak terkait (Kemdikbud, 2016).
Sebagai gerakan nasional, GLS berlaku pula pada Sekolah Luar Biasa (SLB). Sebagai lembaga pendidikan formal bagi anak yang berketerbatasan khusus, layanan GLS pada SLB pun berbeda dengan sekolah pada umumnya. Format layanan GLS pada SLB disesuaikan dengan keterbatasan kelompok peserta didik, seperti pada kelompok tunanetra (SLB-A), tunarungu (SLB-B), dan tunagrahita (SLB-C). Sasaran GLS pada SLB adalah terciptanya iklim literasi pada SLB, yang meliputi: lingkungan fisik sekolah, lingkungan sosial dan afektif, serta lingkungan akademik dengan berpegang pada prinsip: gerakan literasi sejalan dengan perkembangan murid yang dapat diprediksi, berimbang, berlangsung pada semua area kurikulum, bermakna, diskusi dan strategi bahasa lisan, serta keberagaman (Kemdikbud, 2016b).
Beberapa kajian sebagai pijakan awal penelitian ini dapat dipetakan seperti berikut. Triwiaty dan Assjari (2017) melaporkan bahwa program literasi sekolah di SLB Cimahi sudah ada, tetapi belum maksimal karena sebagian siswa masih menolak kegiatan literasi; sehingga perlu pembenahan program yang lebih variatif, baik dalam aspek media maupun strategi pencapaiannya. Kajian yang dilakukan Triwiaty dan Assjari tersebut membuktikan bahwa perlu ada pemetaan kompetensi literasi informasi pada siswa SLB sehingga program dan strategi pencapaian lebih berorientasi pada keterbatasan dan kebutuhan peserta didik.
Humaira (2012) mengkaji pelaksanaan pembelajaran bahasa Indonesia bagi anak tunagrahita di Pariaman. Berdasarkan kajiannya disimpulkan bahwa terdapat kesenjangan antara teori dengan keadaan lapangan. Kesenjangan itu tampak melalui pengajaran yang klasikal, dominasi metode ceramah, dan jarangnya penguatan oleh guru. Kesenjangan ini diyakini berdampak pada rendahnya kualitas keterampilan literasi informasi oleh anak-anak tunagrahita di Pariaman karena keterampilan berbahasa Indonesia merupakan modal untuk melakukan kegiatan literasi informasi. Untuk mengatasi problematika ini diperlukan pembaharuan pembelajaran bahasa Indonesia yang dapat memperkokoh program literasi informasi.
Ina (2018) melaporkan hasil penelitiannya tentang pemerolehan bahasa anak berkebutuhan
khusus di Sumba Timur, NTT. Berdasarkan hasil penelitiannya terungkap bahwa pemerolehan bahasa pada anak berkebutuhan khusus di Sumba Timur, NTT melalui pemerolehan leksikal dan pemerolehan semantik. Keterbatasan fisik dan mental menyebabkan banyak anak berkebutuhan khusus yang mengalami kesulitan dalam pembelajaran. Data ini menjelaskan bahwa ada relasi keterbatasan fisik dan mental siswa dengan hambatan belajarnya. Keterbatasan itu pun diyakini bepengaruh kepada hambatan literasi, karena pembelajaran merupakan salah satu tahap proses literasi informasi. Laporan Ina ini sejalan dengan hasil penelitiannya Aryadi (2017) yang menyatakan bahwa siswa tunarungu di Gudung Kidul belum dapat berbicara dengan jelas (artikulasi tidak jelas). Ketidakjelasan artikulasi berpengaruh pada kemampuan mengkomunikasikan gagasan sebagai bagian dari kegiatan literasi informasi. Siswa akan mampu membaca ujaran jika siswa benar-benar memperhatikan lisan lawan bicara. Data ini dapat dijadikan pertimbangan dalam menyusun praktik literasi sekolah di SLB-B.
Rachma (2016) melaporkan hasil penelitiannya tentang peranan perpustakaan dalam literasi informasi di SLB-A Palembang. Dari hasil penelitian itu terungkap bahwa perpustakaan berperan penting dalam peningkatan literasi informasi di SLB-A. Hal-hal yang perlu tersedia diperpustkaan SLB-A adalah rekaman audio, buku dengan tulisan Braille, media tiga dimensi, komputer, dan jadwal yang terstruktur baik. Ketersediaan perpustakaan yang memadai untuk siswa penyandang tunanetra dapat meningkatkan motivasi literasi para siswa.
Dari sejumlah laporan penelitian tersebut di atas dapat terungkap bahwa masih ada sejumlah kendala pelaksanaan GLS di SLB. Kendala itu dapat diatasi jika tersedia praktik GLS yang sesuai dengan kebutuhan dan keterbatasan siswa SLB. Untuk bisa menyusun praktik GLS yang sesuai dengan keterbatasan dan kebutuhan siswa SLB diperlukan landasan konseptual yang teruji secara teoretis. Landasan konseptual bisa dirumuskan jika telah dipetakan kompetensi literasi informasi yang dimiliki oleh peserta didik SLB pada semua jenis dan jenjang pendidikan. Penelitian ini
diarahkan untuk menghasilkan deskripsi dan eksplanasi kompetensi literasi informasi para siswa SLB di seluruh Provinsi Bali. Pemetaan kompetensi literasi informasi memiliki nilai strategis untuk dapat menyusun praktik GLS yang efektif bagi para siswa SLB. 2. Metode Penelitian
Penelitian ini dirancang selama 3 tahun dengan menggunakan desain kualitatif. Pada tahun pertama, kjian difokuskan pada GLS untuk peserta didik tunanetra; pada tahun kedua difokuskan pada peserta didik tunarungu; dan pada tahun ketiga difokuskan pada peserta didik tunagrahita. Sampel penelitian dirancang mengunnakan teknik areal, seperti berikut ini.
No Tahun Pelaksanaan Fokus Penelitian Sampel 1. 2020 Tunanetra (SLB-A) SLBN 1 Denpasar
SLBN 1 Singaraja SLBN 1 Tabanan
2. 2021 Tunarungu (SLB-B) SLBN 1 Badung SLBN 1 Semarapura SLBN 1 Bangli
3. 2022 Tunagrahita (SLB-C) SLBN 1 Amlapura SLBN 1 Bangli SLBN 1 Gianyar
Selama pandemi Covid-19, pembelajaran dilakukan secara daring dan luring sehingga pengumpulan data primer tidak dimungkinkan. Oleh karena itu, pada tahun I dikumpulkan data sekunder melalui pencatatan dokumen tentang program GLS, wawancara dan angket dengan guru pembina. Analisis data dilakukan secara komparatif, yakni membandingkan komponen kegiatan yang digariskan dalam panduan GLS dengan realisasi pelaksanaannya di sekolah sampel. Fokus kajian dirahkan pada: (a) tahapan literasi, (b) implementasi prinsip GLS, (c) komponen literasi, dan (d) capaian. 3. Hasil dan Pembahasan 3.1 Karakteristik peserta didik
Istilah tunanetra tidak saja merujuk kepada orang yang benar-benar buta, tetapi juga
mencakup seseorang yang memiliki kemampuan melihat dengan sangat terbatas. Identifikasi karakteristik peserta didik tunanetra berelasi erat dengan aspek psiko-metodologis pembelajaran. Berdasarkan data terungkap bahwa peserta didik tunanetra diidentifikasi seperti berikut ini.
a. Tunanetra total, yakni peserta didik yang betul-betul tidak bisa melihat atau kehilangan kemapuan melihat 100%. Istilah teknis untuk menjelaskannya adalah anak yang visusnya = 0. Anak ke dalam kategori ini apabila mereka betul-betul tidak mampu menerima ransang cahaya dari luar. Tipe ini dikelompokkn menjadi dua subkategori, yakni tunanetra total sejak lahir dan tunanetra total tidak sejak lahir. Tunantera total tidak sejak lahir bisa disebabkan oleh suatu penyakit atau kecelakaan. Kedua tipe peserta didik ini memiliki kendala psikologis dengan intensitas yang berbeda. Peserta didik tunanetra total sejak lahir umumnya memiliki rasa frustasi meskipun tidak sedalam peserta didik tunanetra yang tidak sejak lahir. Kedalaman intensitas rasa frustasi ini berimplikasi pada pelaksanaan GLS.
b. Rabun (low vision), yakni peserta didik yang mengalami penurunan drastis kemanpuan penglihatan. Secara teknis dijelaskan bahwa peserta didik termasuk kategori ini apabila mereka masih bisa menerima rangsang cahaya dari luar tetapi visusnya ≤ 6/21. Secara awam, visus 6/21 bermakna bahwa anak dapat membaca huruf dari jarak 6 meter yang oleh orang berpenglihatan normal (awas) bisa dibaca dari jarak 21 meter. Peserta didik kelompok ini masih bisa membaca judul berita koran.
c. Tunanetra murni, yakni peserta didik yang hanya kehilangan kemampuan penglihatan saja; kemampuan lain, seperti: bicara, menyimak, dan tingkat kecerdasannya normal.
d. Tunanetra ganda, yakni peserta didik yang selain kehilangan kemampuan penglihatan juga kehilangan salah satu atau lebih kemampuan lainnya; seperti peserta didik tunanetra dan tunarugu, peserta didik tunanetra dan tunagrahita, atau peserta didik tunanetra dan tunarungu serta tunagrahita.
Keterbatasan-keterbatasan tersebut berimplikasi kepada perkembangan aspek-aspek lainnya yang dapat menghambat pelaksanaan GLS bagi mereka.
Dibandingkan dengan anak normal, perkembangan motorik anak tunanetra cenderung lebih lambat yang disebabkan ketiadaan koordinasi fungsional antara otot dengan sistem syaraf. Kendala ini menimbulkan hambatan psikis yang berkaitan dengan aspek kognitif, afektif, dan konatif. Ketiga hambatan psikologis itu disebabkan karena anak tunanetra ‘kehilangan’ kesempatan perolehan pengentahuan melalui interaksi dengan lingkungannya. Akibatnya, anak tunantera mencapai kematangan motorik lebih lambat daripada anak normal lainnya. Dikaitkan dengan program GLS, peserta didik tunanetra mengalami hambatan mengakses lingkungan sebagai sumber literasi; seperti terhambat ke perpustakaan atau ke pojok baca.
Selain pada aspek motorik, peserta didik tunanetra pun mengalami hambatan pada aspek emosi dan sosial. Kedua hambatan yang dialami ini pun berdampak pada pelaksanaan GLS bagi peserta didik tunanetra. Anak tunanetra mengalami hambatan dalam menderivasi emosi sesuai dengan rangsang lingkungan. Akibatnya, mereka cenderung memilih sikap ‘introvert’. Hambatan perkembangan emosi pun menyebabkan hambatan sosial, yakni peserta didik tunanetra relatif lambat dalam penyesuaian sosial yang menghilangkan motivasi bahkan dapat menimbulkan ‘ketakutan’ pada lingkungannya, terlebih-lebih lingkungan yang baru. Kehilangan penglihatan menyebabkan peserta didik tunanetra tidak bisa dengan cepat melakukan identifikasi dan imitasi lingkungan. Hal ini sangat menghambat pelaksanaan GLS pada SLB-A. Untuk membantu mengurangi hambatan-hambatan itu, peran sosial orang-orang di sekitarnya sangat dibutuhkan. Dalam konteks GLS di SLB-A peran guru, pegawai tata usaha, orang tua, komite sekolah diharapkan dapat menumbuhkan motivasi belajar peserta didik penyandang tunanetra.
3.2 Potret Literasi pada SLB-A
Secara umum, perhatian pemerintah terhadap pelaksanaan GLS pada SLB-A sangat baik. Hal ini dibuktikan dengan ketersediaan sarana yang memadai. Pada SLB-A umumnya telah tersedia sarana literasi berupa: miniatur benda 3 dimensi (seperti: miniatur binatang, alat-alat rumah tangga, dan lain-lain), buku dengan huruf Braille, reglet, CD audio, bahkan telah tersedia komputer bicara. Penggunaan CD audio dan komputer wicara bertujuan untuk memaksimalkan potensi keterampilan menyimak pada peserta didik tunanetra.
Khasanah isi pelaksanaan GLS di SLB-A mengacu kepada tuntutan kurikulum dengan hambatan. Kandungan materi diupayakan adaptif dan up to date dengan fokus utama pada: oreintasi komunikasi, orientasi sosial, oreintasi mobilitas, ADL (activity daily life ‘aktivitas kehidupan sehari-hari’), serta didominasi dengan kecakapan hidup / keterampilan. Dalam bidang kebahasaan diarahkan pada keterampilan komunikatif yang efektif (menyimak, berbicara, membaca dan menulis huruf Brille), dalam bidang kesastraan diarahkan pada pembacaan dan penulisan pusi, cerpen, prosa, serta dharma gita.
Implementasi program GLS pada SLB-A diawali dengan pembiasaan membaca huruf Braille dan awas. Pelaksanaan literasi ini penuh tantangan dan hambatan psikologis, terutama pada peserta didik baru. Karena hambatan itu, pengajaran membaca dan menulis permulaan dengan huruf Braille sering tidak bisa dilakukan sejak awal. Fakta ini menghambat pelaksanaan program GLS pada SLB-A. Dalam beberapa kasus, sering terjadi perobekan buku oleh siswa. Bagi mereka belajar membaca dan menulis dengan huruf Braille dianggap tidak perlu. Kondisi ini sangat berbeda dengan pelajaran membaca dan menulis permulaan huruf Latin pada sekolah normal (biasa). Materi literasi difokuskan pada aspek keterampilan hidup dan kewirausahaan, seperti: tata rias dan busana, seni (teater,
musik, sastra), massage. Selain itu, program literasi juga diarahkan pada penguatan mental dan pembentukan disiplin pribadi dan sosial sehingga peserta didik tunanetra dapat dengan cepat beradaptasi dengan lingkungan.
Pelaksanaan program GLS di SLB-A dihadapkan pada sejumlah kendala. Pertama, kerumitan penempatan/lokasi pojok baca Braille yang menuntut keamanan tinggi bagi peserta didik. Sering terjadi keterlambatan sirkulasi dan permutasi buku Braille antarpojok baca. Ketiga, kendala psikologis para peserta didik baru yang didominasi oleh keputusasaan yang mendalam; dan keempat, hambatan psikologis bagi peserta didik tunanetra-baru karena terjadi perubahan hidup yang sangat ekstrem.
Asesmen GLS pada SLB-A diarahkan pada dua hal pokok, yaitu aspek akademis dan fungsional. Asesmen akademis mengacu kepada tuntutan kurikulum dengan hambatan yang lebih fokus pada kecakapan hidup. Asesmen fungsional dilakukan berdasarkan bakat dan minat perserta didik secara individual. Berdasarkan asesmen yang telah dilakukan dicapai hal-hal berikut. Pertama, kebangkitan psikologis peserta didik, yakni tumbuhknya kesadaran dan pengenalan potensi diri yang layak dikembangkan. Capaian ini berhasil membangun motivasi berprestasi peserta didik tunanetra. Kedua, Disiplin diri peserta didik yang terus berkembang secara signifikan. Ketiga, kecepatan beradaptasi dengan tempat kerja. Jadi, pada SLB-A GLS merupakan salah satu upaya pembangunan karakter. 3.3 Program Literasi dan Pengembangan Bahasa pada SLB-A
Kesulitan anak tunanetra terletak pada keterbatasan pemahaman informasi/pengetahuan yang bersumber dari dunia konkret; sedangkan kemampuan pengolahan informasi audio relatif sama karena kemampuan berbahasa anak tunanetra tidak berbeda dengan anak pada umumnya. Potensi kebahasaan anak tunanetra dapat dijadikan tumpuan GLS. Oleh karena itu pengajaran bahasa (Indonesia, daerah, dan asing) terkait erat dengan pelaksanaan GLS pada SLB-A. Secara umum, tujuan pengajaran bahasa adalah menumbuhkan keterampilan berkomunikasi dengan bahasa yang dipelajari. Pengajaran bahasa diarahkan pada peningkatan keterampilan menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Khusus pada SLB-A, keterampilan membaca dan menulis diarahkan pada penggunaan huruf Braille dan awas (dengan bantuan suara). Pengajaran menyimak dan berbicara dapat dilakukan melalui teknik cerita, yakni guru bercerita atau membacakan sesuatu; peserta didik menyimak informasi yang disampaikan, mengkritisi, mengajukan pertanyaan dan mendiskusikannya. Pengajaran menyimak dan berbicara dapat pula dilakukan dengan memutar rekaman audio yang diikuti dengan tanya jawab sesuai isinya. Pengembangan kemampuan berbahasa anak tunanetra dapat pula dipupuk melalui kegiatan bermain peran yang memungkinkan komunikasi alamiah antar peserta didik. Dalam hal pengajaran membaca dan menulis, peserta didik tunanetra diajar dalam huruf Brille. Pelaksanaan pengajaran membaca dan menulis (Braille) relatif terhambat karena berbagai keadaan, khususnya kesiapan siswa. Dengan adanya teknologi komputer audio atau aplikasi telepon pintar yang dirancang untuk tunanetra secara berangsur-angsur keterbatasan anak tunanetra dalam baca-tulis dapat diatasi.
Kegiatan literasi sangat gayut dengan kegiatan membaca. Bagi penyandang tunanetra, kegiatan membaca diarahkan pada teks dengan huruf Braille. Huruf Braille merupakan sarana literasi penting bagi peserta didik tunanetra. Oleh karena itu, pengajaran membaca dan menulis dengan huruf Braille yang menggunakan dria taktual menjadi sangat urgen. Sebagai awal pembelajaran baca-tulis Braille, para siswa terlebih dahulu dilatih kepekaan dria taktualnya karena keterampilan ini bukanlah sesuatu yang dikuasai secara otomatis (Rudiyati, 2010). Pelatihan kepekaan dria taktual dapat dilakukan dengan penerapan terpadu antara metode ceramah, tanya jawab, dan metode demonstrasi. Dalam hal ini media yang dibutuhkan adalah reken plank sebagai sarana pengenalan enam titik huruf Braille. Penguasaan penguasaan enam titik Braille dapat ditransformasi ke dalam reglet.
Kecepatan membaca sangat mendukung capaian program literasi. Pada orang normal, kecepatan membaca ideal adalah 250 – 300 kata/menit dengan tingkat pemahaman yang memadai.
Namun, pada tunanetra kecepatan membaca yang ideal adalah 90 – 115 kata/ menit. Perbedaan kecepatan membaca huruf awas dengan huruf Braille ini merupakan hambatan tersendiri pada pelaksanaan GLS bagi peserta didik tunanetra. Fakta-fakta itu menunjukkan betapa pentingnya keterampilan membaca huruf Braille untuk menyukseskan program GLS bagi penyandang tunanetra.
4. Simpulan
Program literasi merupakan upaya peningkatan kapasitan dan kapabilitas sumber daya manusia, yang pelaksanaannya melalui jalur pendidikan formal. SLB-A merupakan salah satu bentuk pendidikan formal bagi peserta didik penyandanag tunanetra. Oleh karena itu, pelaksanaan program literasi pun menjadi kewajiban SLB-A. Pelaksaanaan GLS pada SLB-A dihadapkan pada sejumlah kendala, yakni karakteristik peserta didik, habatan operasional, dan hambatan keterampilan membaca dengan Braille. Kesuksesan GLS pada SLB-A membutuhkan dukungan semua stakeholder.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kemdikbud, 2016. Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah. Jakarta: Direktoral
Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah.
2. Mullis, I.V.S., Martin, M.O., Foy, P., & Drucker, K.T. 2012. The PIRLS 2011
International Results in Reading. Chestnut Hill, MA: TIMSS & PIRLS International
Study Center, Boston College.
3. PISA.2012. Result in Focus. Cited at https://www.oecd.org/pisa/keyfindings/pisa-
2012-results-overview.pdf
4. Unesco.2006. Literacy fo Life: Educational for All Global Monitoring Report.
5. Unesco. 2005. Beacons of The Information Society.
6. Permendikbud No. 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Dikutip dari
http://simpuh.kemenag.go.id/regulasi/permendikbud_23_15.pdf
7. Kendikbud, 2016b. Panduan Gerakan Literasi Sekolah di Sekolah Luar Biasa.
Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah.
8. Triwiaty, R. Dan Assjari, M. 2017. ‘Program Literasi Sekolah untuk Meningkatkan
Kemampuan Membaca Siswa Tunanetra SLB di Cimahi’. Dalam Jassl_anakku Vol.
18 No. 2 hal 51 – 56.
9. Humaira, Desni. 2012. Pelaksanaan Pembelajaran bahasa Indonesia bagi Anak
Tunagrahita Ringan Kelas III di SLB Sabiluna Pariaman. Dalam E-Jupekhu, Vol. 1
No. 3 hal. 95 – 109.
10. Ina, Bagita Tamu. 2018. Pemerolehan Bahasa pada Anak Berkebutuhan Khusus Kelas
VI di SLB Sumba Timur, NTT. Dalam NOSI Vol. 6 No. 2. Hal 1 – 10.
11. Rachma, Dian Nurbaiti. 2016. Peranan Perpustakaan dalam menumbuhkan
Kemampuan Literasi Informasi bagi Anak Tunanetra di SLB-A Panti Rehabilitasi
Penyandang Cacat Netra Palembang. Dikutip dari
http://eprints.radenfatah.ac.id/613/1/DIAN%20NURBAITI%20RACHMA_AdabIlmP
erp.pdf
2. Artikel Jurnal Nasional terakreditasi Sinta 1 - 3
Pada tanggal 11 Oktober 2020 telah mengirim artikel kepada Jurnal Sawerigading,
Peringkat SINTA 2. Judul Artikel : Kebutuhan Wacana Tulis Telegrafis untuk
Program GLS bagi Peserta Didik Tunanetra pada SLB di Provinsi Bali.
Bukti submit artikel seperti berikut ini.
Artikel Lengkap (Submitted)
KEBUTUHAN WACANA TULIS TELEGRAFIS UNTUK PROGRAM GLS BAGI PESERTA DIDIK TUNANETRA PADA SLB DI PROVINSI BALI
Oleh:
Nengah Arnawa1 Anak Agung Gde Alit Geria2 I Gusti Lanang Rai Arsana3
e-mail: [email protected] 1,2,3 FKIP Universitas PGRI Mahadewa Indonesia
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk memetakan pelaksanaan program GLS-SLB bagi peserta didik tunanetra di Provinsi Bali. Penelitian ini menggunakan desain kualitatif. Data dikumpulkan dari 3 kabupaten yang berbeda. Sampel sekolah ditetapkan berdasarkan purposive. Data dikumpulkan melalui pencatatan dokumen, observasi, wawancara, dan angket. Data yang diperoleh direduksi, di-display, dan diverifikasi. Berdasarkan prosedur kerja seperti itu terungkap hal-hal berikut. (1) Program GLS bagi peserta peserta didik tunanetra dilakukan dengan tiga pola, yaitu dibacakan guru, menggunakan audio book, dan pojok baca. Hambatan utama pelaksanaan GLS bagi peserta didik tunanetra adalah kecepatan efektif membaca (KEM) teks berhuruf Braille yang sangat rendah, yakni
85 – 101 kpm (kata per menit). Untuk mengatasinya diperlukan wacana tulis telegrafis dan pelatihan kepekaan takstil para peserta didik secara kelanjutan. Kata kunci: gerakan lietasi sekolah, tunanetra, wacana telegrafis, kecepatan efektif membaca.
THE NEED FOR TELEGRAPHIC WRITING TO SUPPORT SCHOOL LITERACY ENHANCEMENT PROGRAM FOR BLIND STUDENTS IN BALI
Abstract
This study examined the implementation of School Literacy Enhancement Program for blind students in Bali. In this qualitative study, data were collected from 3 districts though document study, observation, interviews, and questionnaires. The data were then reduced, displayed and verified. This study revealed that (1) the program was done in three methods; reading out loud by teachers, using audio book, and developing reading corner. The major problem experienced by blind students was on the low effective Braille reading rate at 85-101 words per minute. To address this problem, telegraphic writing and text preciseness skills among students should be enhanced continuously.
Key words: school literacy enhancement program, telegraphic writing, effective reading rate
1. Pendahuluan Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kondisi empirik bahwa minat baca siswa sangat rendah,
seperti yang dilaporkan berbagai pihak (Wiedarti, 2016a); sedangkan perkembangan masyarakat global menuntut keterampilan literasi sebagai sesuatu yang sangat urgen. Untuk mengatasi kesenjangan itu disusun program nasional Gerakan Literasi Sekolah (GLS). Sebagai gerakan nasional, Sekolah Luar Biasa (SLB) tidak dikecualikan. Pelaksanaan GLS pda SLB perlu didukung agar anak-anak dengan keterbatasan bisa mengembangkan potensi diri secara optimal. Salah satu kelompok peserta didik di SLB adalah penyandang tunanetra. Untuk mendorong pelaksanaan GLS bagi peserta didik tunanetra perlu dilakukan analisis kebutuhan.
Dengan keterbatasannya, peserta didik tunanetra diduga memiliki kebutuhan literasi yang berbeda. Dugaan perbedan itu bersumber dari asumsi bahwa membaca teks dengan huruf Brille membutuhkan waktu yang lebih lama. Persoalannya adalah belum tersedia data yang memadai tentang kecepatan membaca teks berhuruf Braille bagi anak-anak tunanetra sehingga kebutuhan struktur teks informasi yang sesuai belum bisa dideskripsikan. Merujuk persoalan tersebut, penelitian ini memiliki dua tujuan utama. Pertama, mengungkapkan kecepatan rata-rata membaca teks berhuruf Brille bagi peserta didik tunatera di Provinsi Bali sehingga bisa dijadikan rujukan bagi SLB di daerah lain. Kedua, mengungkapkan struktur teks yang dinilai efektif untuk mendukung program literasi bagi peserta didik tunanetra. Penyesuaian struktur teks dengan kecepatan membaca huruf Braille bertujuan agar peserta didik tunanetra dapat mengakses informasi secara lebih efektif untuk kepentingan hidup pribadi dan sosial mereka sehari-hari.
Penyesuaian struktur teks informasi merupakan kebutuhan konkret bagi peserta didik tunanetra. Ada dua konsep filosofis-normatif yang melatari kebutuhan itu. Pertama, peserta didik tunanetra memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pendidikan dan informasi. Kedua, prinsip dasar pendidikan luar biasa adalah penyesuaian lingkungan belajar dengan keterbatasan anak-anak yang berkebutuhan khuusus. Landasan filosofis-normatif itu perlu dipraktikan untuk mendukung program GLS pada SLB. Wujud praktisnya adalah penyediaan teks literasi yang sesuai kebutuhan pembelajaran peserta didik tunanetra. Untuk mengungkapkan struktur teks informasi yang sesuai itulah penelitian ini dilakukan.
1. Kerangka Teoretis 2.1 Ketunanetraan
Ketunanetraan bukanlah halangan bagi seseorang untuk menjalani proses pendidikan. Peserta didik dikategorikan tunanetra apabila visusnya kurang dari 6/21 (Hidayat dan Suwandi, 2016). Merujuk pada batasan itu, seorang anak dikategorikan tunanetra apabila mereka dapat membaca huruf berukuran besar dari jarak 6 meter, sedangkan bagi anak awas huruf itu dapat dibaca dari jarak 21 meter. Selanjutnya, peserta didik tunanetra diidentifikasi menjadi dua kelompok, yakni peserta didik rabun (low vision) dan dan peserta didik buta (blind). Ketunanetraan seseorang dapat dialami sejak lahir dan setelah lahir. Peserta didik tunanetra sejak lahir adalah mereka yang sama sekali tidak memiliki pengalaman visual sehingga semua pengetahuan dan informasi yang dimilikinya bersumber dari rangsang indra lain. Sebaliknya, peserta didik tunanetra setelah lahir adalah mereka yang pernah memiliki pengalaman visual dalam hidupnya. Peserta didik tunanetra setelah lahir ini kehilangan penglihatannya karena berbagai hal, misalnya karena kecelakaan. Dikaitkan dengan program nasional GLS, baik peserta didik dengan low vision maupun yang blind, serta tunanetra sejak lahir maupun setelah lahir semuanya membutuhkan layanan khusus; misalnya, modifikasi struktur teks informasi dan alih aksara ke huruf Brille.
Huruf Braille merupakan sistem abjad fonetik takstil untuk penyandang tunanetra (Hoskin dan Davis, 2019). Huruf Braille merupakan korespondensi satu demi satu titik (Emerson; Holbrook; dan D’Andrea, 2009). Urutan abjad Braille mengikuti urutan abjad Latin, yang terdiri dari 26 huruf, yakni huruf a – z. Karakter huruf Brille dikembangkan berdasarkan kerangka enam titik dengan posisi dua kolom dan tiga baris, seperti tampak pada gambar berikut ini.
Gambar 1. Kerangka Dasar Karakter Huruf Brille
Karakter huruf Brille dibentuk berdasarkan konfigurasi 6 titik tersebut. Sepuluh abjad pertama, yakni huruf a – j, dibentuk dengan konfigurasi titik 1, 4, 2, dan 5 yang dalam sistem Brille disebut tanda atas. Sepuluh huruf kedua yakni k – t dibentuk dengan menambhakan titik posisi 3 pada sepuluh huruf pertama itu. Selanjutnya, lima huruf lainnya, yakni u, v, x, y, dan z dibentuk dengan menambahkan titik posisi 3 dan 6 pada huruf a, b, c, d, dan e; sedangkan huruf w dibentuk dengan konfigurasi titik posisi 2-4-5-6. Peyimpangan pola titik huruf w karena pada abjad asli Braille tidak dikenal huruf ini. Huruf w dikenal dalam abjad Brille setelah masuk Amerika (Hidayat dan Suwandi, 2016). Selengkapnya, konfigurasi titik huruf Braille dapat ditabulasi dalam tabel berikut ini.
Tabel 1. Konfigurasi Titik Huruf Braille
No. Huruf Latin Konfigurasi Titik Huruf Brille
1. a/A 1 2. b/B 1-2 3. c/C 1-4 4. d/D 1-4-5 5. e/E 1-5 6. f/F 1-2-4 7. g/G 1-2-4-5 8. h/H 1-2-5
9. i/I 2-4 10. j/J 2-4-5 11. k/K 1-3 12. l/L 1-2-3 13. m/M 1-3-4 14. n/N 1-3-4-5 15. o/O 1-3-5 16. p/P 1-2-3-4 17. q/Q 1-2-3-4-5 18. r/R 1-2-3-5 19. s/S 2-3-4 20. t/T 2-3-4-5 21. u/U 1-3-6 22. v/V 1-2-3-6 23. w/W 2-4-5-6 24. x/X 1-3-4-6 25. y/Y 1-3-4-5-6 26 z/Z 1-3-5-6
Selaian huruf, sistem Braille pun memiliki cara penulisan angka dan tanda baca yang harus dihafalkan oleh para penyandang tunanetra. Konfigurasi titik untuk angka Braille dapat disajikan pada tabel berikut ini.
Tabel 2. Konfigurasi Titik Angka Braille
1.2 Gerakan Litearasi SLB Gerakan Literasi Sekolah merupakan program nasional yang pelaksanaannya didasarkan pada
Peraturan Meneteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti; yang dalam lampirannya mewajibkan sekolah melaksanakan kegiatan membaca selain buku pelajaran selama 15 menit setiap hari untuk menumbuhkan kebiasaan berliterasi. Kewajiban itu pun melekat pada SLB. Untuk kepentingan ini, pemerintah telah menerbitkan panduan GLS untuk SLB, yang di dalamnya memuat pula penjelasan pedoman pelaksanaan literasi bagi anak tunanetra (Wiedarti, dkk., 2016b).
Konsep awal literasi berpijak pada makna keberaksaraan atau melek huruf, yang dikaitkan langsung dengan keterampilan membaca dan menulis. Dalam perkembangannya, konsep dasar itu dielaborasi secara fungsional hingga mencakup kemampuan mengaplikasikan dan mengomunikasikan IPTEKS menjadi keterampilan hidup (Harsiati dan Priyatni, 2017). Kegiatan literasi merupakan wujud kesadaran dan kebutuhan belajar sepanjang hayat agar peserta didik mampu mengidentifikasi, menentukan, menemukan, mengevaluasi, menciptakan dan mengomunikasikan informasi untuk kehidupan (Wiedarti, 2016a). Selanjutnya, konsep literasi itu dijabarkan menjadi standar kompetensi lulusan (SKL), yakni para peserta didik dapat menemukan dan mengaplikasikan informasi secara kreatif dan inovatif dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan pemikiran kritis-rasional; serta mampu memecahkan masalah (Umamy, dkk., 2012).
Kecepatan membaca merupakan salah satu aspek yang menentukan keberhasilan GLS. Jumaidi, dkk. (2013) merinci kecepatan membaca ideal berdasarkan jenjang pendidikan, seperti berikut. Untuk tingkat SD kecepatan membaca idealnya adalah 200 kpm (kata per menit), SMP 250 kpm, SMA 325 kpm, mahasiswa 400 kpm. Akan tetapi realitasnya tidak demikian. Berdasarkan data statistik rata-rata kecepatan membaca peserta didik dengan penglihatan normal adalah 200 – 250 kpm (Noer, 2016); sedangkan bagi anak tunanetra jauh lebih lambat, yakni hanya 90 – 115 kpm (Jumaidi, dkk. 2013).
Peserta didik tunanetra memiliki banyak hambatan dalam kegiatan berliterasi. Pembaca pemula teks berhuruf Braille umumnya belum memiliki kepekaan dan kemahiran membaca secara takstil. Mereka belum sensitif terhadap elemen-elemen subleksikal. Pembaca pemula Braille tidak hanya belajar tentang huruf, gramatikal, dan ejaan; tetapi juga belajar tentang konstruksi Braille dan aturan penggunaannya (Emerson; Holbrook; dan D’Andrea, 2009). Adanya berbagai keterbatasan itu memerlukan modifikasi lingkungan belajar. Hal ini sesuai dengan prinsip pendidikan luar biasa, yakni lingkungan yang menyesuaikan dengaan kebutuhan peserta didik yang memiliki keterbatasan.
2.3 Wacana Telegrafis
Konsep wacana tulis telegrafis dikembangkan sesuai kebutuhan lapangan bagi peserta didik tunanetra, yang memiliki kecepatan membaca rata-rata lebih lambat daripada anak-anak awas. Secara operasional, konsep ini dipandang sebagai konstruksi wacana yang lebih fokus pada aspek informasi inti daripada informasi pejelas dan ilustrasi. Definisi operasional ini merujuk pada konsep kalimat telegrafis yang lebih mempertahankan kontentif daripada fungtor (Akhyar, 2017). Meskipun sangat singakat, konstruksi wacana telegrafis wajib mempertahankan keutuhan pesan serta menjaga kekoheresian dan kekohesifannya. Hal ini sagat penting karena hakikat wacana adalah keutuhan informasi yang mempersyaratkan adanya kohesi dan koherensi (Lubis, 1993; Badara 2012).
Wacana telegrafis juga dikembangkan dengan berpijak pada prinsip kerja sama. Dalam studi pragmatik, prinsip kerja sama merupakan panduan penggunaan bahasa secara efektif. Indikator keefektifanya dituangkan menjadi empat maksim, yakni: maksim kuantitas, kualitas, relevan, dan cara (Leech, 1983 dan Nababan, 1987). Maksim kuantitas fokus pada jumlah informasi yang disampaikan. Prinsip dasarnya adalah pemberian informasi sebanyak yang diperlukan. Maksim kualitas menekankan pentingnya kebenaran informasi. Maksim relevansi lebih berorientasi pada aspek kesesuaian kebutuhan informasi. Bagi peserta didik tunanetra, literasi kedaruratan, akademik,
dan fungsional lebih dibutuhkan (Waldron; Steer; dan Bhargava, 2014; Schiff, 2009). Terakhir, maksim cara mengatur pilihan konstruksi kebahasaan yang digunakan, seperti pilihan kalimat, diksi, urutan gagasan, singkat, dan tidak taksa. Prinsip-prinsip itulah yang diaplikasikan dalam penyusunan wacana telegrafis untuk memenuhi kebutuhan literasi peserta didik tunanetra. 2. Metode
Peneltian ini menggunakan desain kualitatif. Prinsip dasar penelitian kualitatif adalah menjadikan manusia sebagai subjek utama dalam suatu peritiwa (Kopeuw, 2009). Terkait dengan penelitian ini, peserta didik tunanetra merupakan subjek utama sedangkan kegiatan literasi sebagai peristiwanya.
3.1 Sampel Penelitian
Penelitian tentang GLS SLB di Provinsi Bali ini direncanakan selama 3 tahun. Pada tahun pertama (2020) difokuskan pada literasi bagi peserta didik tunantera (SLB-A). Sampel penelitian tahun ini berjumlah 65 orang yang tersebar pada 3 SLB Negeri dari Kabupaten yang berbeda, yang ditentukan secara purposive. Sebaran sampel penelitian dapat dirinci seperti berikut.
Tabel 3. Sampel Penelitian
No Sekolah Jumlah Peserta Didik Tunanetra
1 SLB Negeri 1 Denpasar 52 orang 2 SLB Negeri 1 Tabanan 9 orang 3. SLB Negeri 1 Singaraja 4 orang
Jumlah 65 orang
3.2 Pengumpulan Data
Data penelitian dikumpulkan dengan tiga cara. Pertama, data tentang kecepatan membaca peserta didik tunanetra dikumpulkan melalui pencatatan dukumen. Dokumen itu berupa catatan evaluasi portofolio dari para guru. Kedua, validasi data dokumenter dilakukan melalui wawancara mendalam (indepth interview) dengan para guru pembina. Dengan teknik snow ball dapat digali informasi yang lebih luas dan mendalam tentang variabel-variabel yang mempengaruhi kecepatan membaca peserta didik tunanetra. Ketiga, untuk mengetahui keadaan sarana dan prasarana literasi dilakukan observasi lapangan. Yang menjadi fokus observasi adalah pusat kegitan literasi pada sekolah sampel. Keempat, untuk melengkapi data yang diperoleh disebarkan angket dengan pertanyaan tertutup kepada sejumlah guru, pegawai dan orang tua siswa. Pernyataan dalam angket disusun sesuai pola Likert. Angket itu terdiri dari 100 item pernyataan yang dielaborasi dari 4 topik utama, yaitu: (a) kegiatan membaca 15 menit sebelum pelajaran dimulai, (b) ketersediaan ruang/pojok baca serta variasi bahan bacaaan berhuruf Braille, (c) dukungan guru, pegawai dan komite/orangtua terhadap program literasi sekolah, serta (d) persepsi tentang program GLS. 3.3 Analisis Data
Sesuai karakteristiknya, analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan secara intreraktif berkelanjutan hinga tuntas. Dalam penelitian kualitatif, ada tiga tahap analisis data, yaitu: reduksi data, display data, serta verifikasi dan penarikan simpulan (Sugiono, 2012). Pada tahap reduksi data, dilakukan klasifikasi berdasarkan kesamaan pola sehingga data menjadi lebih sederhana. Dalam penelitian ini dilakukan reduksi data tentang pola pelaksanaan program literasi. Display data merupakan kegiatan menyajikan data dalam bentuk tabel, grafik, dan lain-lain sehingga mudah diberikan interpretasi. Pada tahap ketiga dilakukan verifikasi untuk menarik simpulan. Simpulan penelitian kualitataif merupakan temuan baru. Dalam penelitian ini temuan baru itu adalah kebutuhan teks tulis Braille telegrafis.
3. Hasil dan Pembahasan 4.1 Pelaksanaan GLS pada Peserta didik Tunanetra Gerakan literasi sekolah dilaksanakan untuk menumbuhkan budaya baca pada para peserta didik. Untuk itu, setiap sekolah wajib melaksanakannya melalui kegiatan membaca buku selain buku pelajaran selama 15 menit sebelum pelajaran dimulai. Oleh SLB di Provinsi Bali, GLS untuk peserta didik tunanetra dilaksanakan dengan tiga pola, yakni dibacakan guru, pengunaan audiobook, dan pojok Braille.
Kegiatan GLS dengan pola dibacakan guru umumnya dilaksanakan untuk peserta didik tunanetra jenjang SD. Pilihan penerapan pola ini karena peserta didik tunanetra jenjang SD belum terampil membaca huruf Braille. Inilah perbedaan mencolok antara anak awas dengan anak tunanetra usia SD. Anak awas sudah belajar membaca, menulis, dan berhitung sejak TK sehingga ketika tahun pertama SD mereka sudah bisa membaca dan menulis. Sesuai standar kompetensi pelajaran bahasa Indonesia, anak tunanetra mulai belajar huruf Brille sejak kelas I semester 1 melalui kegiatan membaca nyaring suku kata, kata, dan kalimat sederhana serta kegiatan menulis permulaan melalui kegiatan mencontoh dan menulis permulaan huruf, kata atau kalimat sederhana. Namun, tampaknya pengimplementasiannya mengalami hambatan yang bersumber dari kesiapan belajar peserta didik dengan karakteristik yang sangat heterogen. Keheterogenan peserta didik menyebabkan pembelajaran harus dilakukan secara individual. Berdasarkan data, jumlah peserta didik tunanetra dalam satu rombongan belajar di SLB Provinsi Bali berkisar antara 1 – 7 orang, tetapi umumnya 4 orang. Penerpan kelas kecil dalam setiap rombongan belajar sangat membantu kesuksesan pembelajaran individual. Kondisi ini sangat berpengaruh pada peningkatan kecepatan membaca huruf Braille. Hambatan utama lainnya adalah peserta didik tunanetra jenjang SD belum memiliki kesensitifan takstil. Kesensitifan takstil merupakan modal dasar dalam pembelajaran huruf Braille. Hal ini sejalan dengan padangan (Emerson; Holbrook, dan Andre, 2009). Dengan pembelajaran indivual, peserta didik tunanetra umumnya bisa membaca teks singkat berhuruf Braille sekitar kelas IV dan V.
Pola literasi kedua yang diaplikasikan pada kelas tunanetra adalah penggunaan audiobook. Audiobook pada hakikatnya merupakan rekaman suara dari sebuah buku. Isi buku cetak sama dengan audiobook. Teknisnya, sebuah buku dibaca oleh narator dan direkam (biasanya disertakan ilustrasi musik). Hasil rekaman diputar untuk didengarkan oleh audiens. Pembuatan audiobook bertujuan untuk membantu literasi peserta didik tunanetra. Berdasarkan keutuhan teksnya, audiobook yang digunakan dibedakan menjadi dua, yaitu unabridge dan abridge. Unabridge audiobook merupakan rekaman utuh (lengkap) dari sebuah buku; sedangkan abridge audiobook merupakan pembacaan ringkas dari sebuah buk (Camalia, 2016). Meskipun terjadi proses peringkasan, substansi isi buku wajib tetap dipertahankan. Penggunaan audiobook untuk pelaksanaan GLS di SLB dengan peserta didik tunanetra umumnya dilakukan pada ruang komputer dengan bimbingan guru. Kegiatannya pun dilakukan secara terprogram. Penggunan audiobook merupakan upaya pemanfaatan kemajuan teknologi informasi bagi peserta didik tunanetra. Pola ini dikembangkan karena fakta menunjukkan bahwa kecepatan membaca peserta didik tunanetra lebih rendah daripada peserta didik awas. Untuk mengimbangi kelambatan membaca itu, pola ini dikembangkan. Meskipun pola ini sangat membantu, tetapi tidak dapat diterapkan kepada peserta didik tunanetra yang disertai tunarungu. Untuk itu, terlebih dahulu diperlukan identifikasi peserta didik.
Pola ketiga adalah penyediaan pojok baca. Sekolah menyediakan sejumlah buku berbagai bidang yang ditulis dengan huruf Braille. Pojak baca ditempatkan pada posisi yang sangat aman agar tidak membahayakan peserta didik. Pojok baca umumnya ditempatkan di belakang ruang kelas. Penempatan ini bertujuan untuk mengurangi mobilitas peserta didik tunanetra. Pola literasi dengan pojok baca ini dinilai paling ideal karena dapat memenuhi kebutuhan dan minat peserta didik secara individual. Kendalanya anatar lain : (a) kerapian dan katalog buku kurang terjaga; (b) perlu ada distribusi pertukaran buku secara periodik antarpojok baca untuk menghindaari kebosanan peserta didik; (c) kecepatan dan keterampilan membaca peserta didik yang sangat variatif, dan (d) belum
semua SLB di Provinsi Bali memiliki alat yang memadai untuk pelaksanaan GLS tunanetra. Kekurangtersediaan buku bacaaan berhuruf Braiile merupakan kendala utama pembuatan pojok baca. Untuk mengatasi masalah (a) dan (b) peran pustakawan dapat dioptimalkan. Untuk masalah (c) guru pembina literasi dapat menyusun program percepatan keterampilan membaca Braille; sedangkan masalah (d) dapat diatasi dengan pelibatan dan peran serta pemangku kepentingan: pemerintah pusat dan daerah, sekolah, komite, orang tua, dan kelompok masyarakat.
3.2 Kecepatan Efektif Membaca Peserta Didik Tunanetra
Dalam penelitian ini, kecepatan membaca difokuskan kepada peserta didik tunanetra yang telah terampil membaca Brille. Oleh karena itu data yang dikumpulkan dari jenjang SMPLB dan SMALB. Ada dua data sekunder terpisah diperoleh dari guru, yaitu jumlah kata yang dibaca siswa per menit dan hasil tes pemahaman isi bacaan. Data itu merupakan dokumen tahun pelajaran 2018/2019. Data tahun pelajaran 2019/2020 tidak bisa diperoleh karena terkendala pandemi Covid-19. Kedua data itu diolah untuk mendapatkan kecepatan membaca efektifnya. Kecepatan membaca efektif merupakan korelasi jumlah kata yang dapat dibaca per menit dengan tingkat pemahaman isi. Data sekunder itu diolah dengan formula berikut ini.
Keterangan : KEM = kecepatan efektif membaca jk = jumlah kata terbaca 1m = 1 menit sn = skor nyata SMI = skor maksimal ideal /skor harapan kpm = kecepatan per menit (Diadaptasi dari Jumaidi, dkk; 2013)
Pengolahan data sekunder dengan formula itu menghasilkan kecepatan efektif membaca (KEM) peserta didik tunanetra seperti pada tabel 2 dan 3 berikut ini.
Tabel 4. Kecepatan Efektif Membaca Teks Huruf Braiile Siswa Tunanetra pada SMPLB di Provinsi Bali
No. Kode
Subjek Jumlah kata
per menit Pemahaman (SMI = 100)
KEM
1. MA 112 70 78,40
2. IPA 121 75 90,75
3. ET 116 70 81,20
4. AGR 102 75 76,50
5. MAP 110 75 82,50
6. KSY 109 70 76,30
7. KTA 121 75 96,80
8. KDA 129 80 103,20
9. IM 108 75 81,00
10. PBK 113 75 84,75
11. NGA 120 75 90,00
12. GAT 117 70 81,90
13. GDJ 108 75 81,00
14. DNJ 120 75 90,00
15. DL 114 70 79,80
Rata-rata 108 72,67 84,94
Pembulatan 108 73 85
Tabel 5. Kecepatan Efektif Membaca Teks Huruf Braiile Siswa Tunanetra pada SMALB di Provinsi Bali
No. Kode
Subjek Jumlah kata
per menit Pemahaman (SMI = 100)
KEM
1. IPS 120 75 90,00
2. SAM 127 80 101,60
3. NEY 118 75 88,50
4. KYL 120 75 90,00
5. KRA 123 80 98,40
6. MFG 118 75 94,00
7. KA 126 80 100,80
8. KDS 118 80 94,40
9. PYP 122 75 91,50
10. KAM 120 75 90,00
11. KR 117 80 93,60
12. KS 120 75 90,00
13. GNA 127 80 101,60
14. AKC 119 80 95,20
15. ENF 122 80 97,60
16. AMH 118 80 94,40
Rata-rata 120,94 77,81 100,77
Pembulatan 121 78 101
Berdasarkan tabel 4 dan 5 di atas dapat diketahui kecepatan membaca efektif peserta didik
tunanetra jenjang SMPLB – SMALB di Provinsi Bali adalah 85 – 101 kpm. Sebagai perbandingan, kecepatan membaca efektif peserta didik jenjang SMP – SMA (normal) adalah 250 – 325 kpm (Jumaidi, dkk; 2013). Data ini membuktikan bahwa membaca Braille jauh lebih lambat daripada membaca huruf awas. Kelambatan membaca huruf Braille disebabkan banyak faktor, antara lain kepekaan takstil peserta didik tunanetra jenjang SMPLB – SMALB masih perlu ditingkatkan. Selain itu, faktor psikologi pun diduga berpengaruh, yakni perasaan rendah diri dan putus asa menghambat prestasi belajar peserta didik tunanetra. Untuk itu dibutuhkan upaya konsling secara berkelanjutan hingga dapat memunculkan motivasi berprestasi pada peserta didik tunanetra.. 3.3 Kebutuhan Teks Telegrafis
Perbedaan kecepatan efektif membaca siswa awas dengan peserta didik tunanetra sangat mencolok. Peserta didik tunanentra rata-rata membutuhkan waktu 3 kali lebih lama daripada peserta didik awas untuk membaca teks dengan jumlah kata yang sama. Selain terus memacu kecepatan membaca Braile melalui pelatihan yang berkelanjutan diperlukan pula upaya pengubahan konstruksi teks menjadi lebih padat dan ringkas. Peringkasan teks awas menjadi Braille tidak boleh mengurangi inti informasi. Prinsip ini sejalan dengan audiobook jenis abridge (Camalia, 2016). Sifat padat dan ringkas itu yang diharapkan seperti menulis berita telegram, yang hanya mempertahankan informasi pokok. Gagasan pengembangan wacana telegrafis diturunkan dari konsep kalimat telegrafis pada periode pemerolehan bahasa anak. Pada kalimat telegrafis, anak-anak hanya mempertahankan kontentif, yakni kata yang signifikan menentukan makna suatu kalimat; misalnya, Bapak kantor untuk menyatakan maksud ‘Bapak sedang bekerja di kantor’. Merujuk konsep dasar itu, wacana tulis telegrafis dikembangkan agar peserta didik tunanetra tidak kehilangan informasi karena terkendala kecepatan membacanya yang masih sangat rendah. Berikut ini disajikan sebuah contoh teks informasi tentang covid 19 dalam 2 huruf yang berbeda.
Gambar 2 merupakan teks berhuruf awas yang utuh tentang informasi Covid-19 dengan 525 kata. Setelah dikonversi ke dalam huruf Braille, terlihat seperti gambar 3, yang membutuhkan ruang lebih banyak. Untuk membacanya peserta didik tunanetra membutuhkan waktu 5,20 – 6,18 menit; sedangkan peserta didik awas hanya membutuhkan 1,61 – 2,1 menit. Untuk itu, wacana tulis tersebut perlu diubah menjadi wacana telagrafis dengan jumlah kata yang lebih sedikit, seperti berikut ini.
Gambar 4. Contoh Wacana telegrafis
Wacana telegafis pada gambar 4 merupakan kontraksi dari wacana utuh yang tertera pada gambar 2. Wacana telegrafis pada gambar 4 hanya terdiri dari 83 kata dengan kandungan informasi pokok yang sama. Dengan upaya itu, dibutuhkan waktu yang lebih singkat bagi peserta didik tunanetra untuk memahaminya. Berdasakrkan contoh wacana itu kebutuhan waktu baca peserta didik tunanetra turun dari 5, 20 – 6,18 menit menjadi hanya sekitar 1 menit. Penggunaan wacana telegrafis pada program literasi bagi peserta didik tunanetra sejalan dengan prinsip kerja sama dalam teori pragmatik, khususnya maksim kuantitas; yakni berikan informasi secukupnya (Leech, 1983 dan Nababan, 1987). Mengacu maksim itu, peringkasan teks diwajibkan mempertahankan keutuhan informasi utama. Selanjutnya, jika wacana telegrafis pada gambar 4 dikonversi ke dalam huruf Brille akan tampak seperti gambar 5 berikut ini.
Gambar 5. Contoh Wacana telegrafis Berhuruf Brille
4. Simpulan
Program GLS pada SLB dengan peserta didik tunanetra dilaksanakan dengan tiga pola, yaitu: dibacakan guru, penggunaan audiobook, dan pojok baca. Pilihan ketiga pola itu merupakan upaya penyesuaian dengan kebutuhan peserta didik tunanetra. Untuk mendukung pelaksanaan program GLS bagi peserta didik tunanetra dibutuhkan wacana tulis telegrafis karena kecepatan efektif membaca para peserta didik masih sangat rendah, yakni 85 – 101 kpm. Berdasarkan temuan ini, perlu dirancang program kolektif, massal, dan berkelanjutan untuk menyusun kumpulan teks tulis telegrafis fungsional sesuai kebutuhan peserta didik tunanetra.
Ucapan terima kasih
Penelitian ini dapat dilaksanakan berkat dukungan dana dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, tahun anggaran 2020. Atas bantuan itu kami tim peneliti mengucapkan terima kasih. Ucapan terima kasih yang tulus juga disampaikan kepada Ibu Kepala SLBN 1 Singaraja, Bapak Kepala SLBN 1 Denpasar, Bapak Kepala SLBN 1 Tabanan,dan para guru pembina literasi di ketiga sekolah itu. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Rektor Universitas PGRI Mahadewa Indonesia.
Referensi
Akhyar, F. (2017). Tahap Perkembangan Bahasa Anak (Tinjauan Neuro Psikolinguistik), LENTERA: Jurnal Ilmiah Kependidikan, Vol. 1 (2017) pp 99-108 . http://garuda.ristekbrin.go.id/documents/detail/756831
Badara, A. (2012). Analisis Wacana. Jakarta: Kencana Camalia, F. (2016). Pengembangan Audiobook Dilengkapi Alat Peraga Materi getaran Gelombang
Untuk Tunanetra Kelas VIII SMP. Universitas Negeri Semarang. https://lib.unnes.ac.id/26695/
Emerson, R.W; M.C. Holbrook; F. M. D’Andrea. (2009). Acquisition of Literasi Skills by
Young Chikdren Who Are Blind: Results from the ABC Brille Study, Journal of Visual
Impairment & Blindness, pp 610 – 624.
https://www.researchgate.net/publication/286232902 Harsiati, T. dan E.T. Priyatni. (2017). Karakteristik Tes Literasi Membaca pada Programme for
International Student Assesment (PISA), Bibliotika: Jurnal Kajian Perpustakaan dan Informasi, pp 1 – 11. http://journal2.um.ac.id/index.php/bibliotika/article/view/2301/1391
Hidayat, A.A. dan A. Suwandi. (2016). Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Tunanetra.
Jakarta: Luxima Metro Media.
Hoskin, E; dan T.C. Davis. (2019). Assistive Technology for Braille Literacy Education:
Identifying Ideal Design Criteria. Building and Designing Assistive Technology Lab,
Queen University.
https://www.resna.org/sites/default/files/conference/2019/cognitive/Hoskin.html Jumaidi; Atmazaki, dan H. E. Thahar. (2013). Peningkatan Kecepatan Membaca Tulisan Braille
dengan Teknik Dua Tangan Bagi Tunanetra Kelas V SLB Negeri 2 Padang, Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya Vol 1 (3) pp 60 – 70. http://ejournal.unp.ac.id/index.php/bsp/article/view/5016
Kopeuw, P. (2009). Hakikat Penelitian Kualitatif, Kuantitatif, dan Tindakan, diambil dari
https://pealtwo.wordpress.com/2012/05/15/
Leech, G. (1983). The Principles of Pragmatics. London and New York: Longman. Lubis, H.H. (1993). Analisis Wacana Pragmatik. Bandung: Angkasa.
Nababan, P.W.J. (1987). Ilmu Pragmatik (Teori dan Penerapannya). Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. Noer, M. (2014). Variasi Kecepatan Baca yang Benar untuk Membaca Bacaan Sehari-Hari.
https://www.membacacepat.com/artikel/variasi-kecepatan-membaca/
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 20015
tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Schiff, Rubecca. (2009). Information Literacy and Blind and Visually Impaired Students. New York:
City University of New York. DOI: 10.31641/ulj150205
Sugiono. (2012). Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan
R&D. Bandung: Alfabeta. Umamy, E., Suyono, dan I.A. Basuki. (2012). Pengembangan Instrumen Asesmen Literasi Membaca
dengan Acuan PISA. http://library.um.ac.id/free-contents/download/pub/pub.php/56393.pdf
Waldron, K; M. Steer; D. Bhargava. (2014). Literacy and Australians with Low Vision.
Melbourne: Tirnity University Press. Wiedarti, P (Ed). (2016a). Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah. Jakarta: Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan. Wiedarti, P (Ed). (2016b). Panduan Gerakan Literasi Sekolah di Sekolah Luar Biasa. Jakarta:
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
3. Artikel pada jurnal internasional
Pada tanggal 1 Desember 2020 telah menerima Letter of Acceptance dari PalArch’s Journal
of Archaeology of Egypt/Egyptology ISSN 1567214X, terindeks pada SJR Q3 (LoA
terlampir)
Full Article (Accepted)
THE IMPLEMENTATION OF SCHOOL LITERACY PROGRAM FOR BLIND STUDENTS AT SPECIAL SCHOOLS IN BALI PROVINCE
BY:
Nengah Arnawa1
e-mail: [email protected]
Anak Agung Gde Alit Geria2
e-mail: [email protected]
I Gusti Lanang Rai Arsana3
e-mail: [email protected]
I MadeSugata Email: [email protected]
1–4University of PGRI Mahadewa Indonesia
Abstract
This study mapped the implementation of literacy enhancement program at special schools in Bali Province. This study was planned to complete within three years. In the first year, the mapping was focused on blind students. This study was conducted using a qualitative paradigm. Data were collected from special schools in three districts and cities in Bali Province with a total population of 65 students, consisting of 1st grade (SDLB) – 12th grade (SMALB) students. Data were collected through document review, in-depth interviews, questionnaires, and observations. The data analysis showed that Special Schools in Bali Province applied three kinds of literacy enhancement activities to address the problems that students experienced; reading by the teacher, using audiobooks, and the provision of Braille corners. Those activities were expected to facilitate literacy enhancement program as outlined in the guidelines. Teachers’ reading aloud promoted early and basic literacy skill and the use of audiobooks to enhance media and technology literacy. The Braille reading corner was intended to improve the library literacy. The only type of literacy enhancement activity that cannot be applied to blind students is visual literacy enhancement, yet this limitation can be overcome by providing three-dimensional media. Unfortunately, public participation was relatively low. School committees and parents / guardians generally understood the importance of literacy for students with visual impairments, but their real contributions need to be improved. The participation of the business and industrial sectors was found adequate as they provided books, literacy facilities, and learning tools. Many foundations that care for children with visual impairment also participated this program. The results of this study are expected to be used as a scientific basis for the betterment of literacy programs in Indonesia and to encourage stronger public participation. Key words: literacy, special school, blind, Braille 1. Introduction
The rapid distribution of information in the global era requires everyone to have basic skills to assess information, including literacy skills. Literacy skills are closely related to reading and writing habits. The data released by some parties showed that the reading skills of students in Indonesia were relatively low (Hasanah and Warjana, 2019; Wiedarti, 2016a; Wiedarti 2016b). To address this
problem, the government has enacted a national program on literacy enhancement . The implementation of the school literacy program is stipulated in the Regulation issued by
the Minister of Education and Culture of the Republic of Indonesia Number 23 of 2015 concerning Character Building. Based on this regulation, it is mandatory for students to read a textbook for 15 minutes before starting a lesson. The main goal of this program is to foster good reading habit. The provision and selection of books depend on the development and needs of students; with special emphasis on books containing strong moral values, local, national and global wisdom. Based on the technical guidelines of the program implementation, the national school literacy program launched involves various parties including parents and the community.
As a national program, the school literacy program is obligatory to be implemented in Special Schools that educate children with special needs. One of the groups of students in the Special School is students with visual impairment. Therefore, the implementation of the school literacy movement program for visually-impaired students needs to be mapped. This mapping reveals the real implementation of the program and its achievements, constraints and the contribution of the public. The findings of this study can be used as a reference for the improvement of the capacity and quality of the national literacy program implemented at special schools.
Literacy skills are skills that worth enhancing, including for children with special needs. Literacy skills offer great philosophical and practical values. Philosophically, literacy skills lift up the position of children with special needs. Literacy skills supports the mastery of other skills, allowing children with special needs to develop optimally. Optimal potential development will be quite beneficial for students to live their life in terms of personal and social domains. Regarding this reason, literary programs for children with special needs need to be mapped carefully to develop methods that suit their needs.
Changes in organizational structure in in Special Schools have affected schools’ readiness to implement the literacy program. Special Schools in Indonesia were initially sectoral schools, consisting of SLB-A which specifically educated children with visual impairments, SLB-B which specifically educated children with disabilities, and SLB-C which specifically educated mentally-retarded children. The changes in organizational structure affected the use of learning facilities and the professionalism of teachers and other education personnel. Integrating sectoral units into general special schools that educate all groups of students with special needs changed the map of school readiness in carrying out literacy activities. This change requires should be examined in a systematic study in order to develop literacy programs to meet students’ needs.
2. Literature Review
People in common over generalize visual impairment as total blindness. Whereas, the term “blind” has been technically explained by Hidayat and Suwandi (2016) as follows. A person is visually impaired if his vision is ≤ of 6/21. This means that a person is identified as visually impaired if they can read letters from a distance of 6 meters, while a sighted child can read them from a distance of 21 meters. Referring to this terminological concept, visually impaired persons are not only those who have total blindness but also referring to those with low vision. Visual impairment can occur by birth or it can develop overtime. People who develop blindness after birth have prior visual experiences which strongly affect their subsequent acquisition of knowledge. On the other hand, people who are blind by birth have absolutely no visual experience. Hence they obtain their knowledge through other four senses; one of them through touches.
Blind children are a group of students who need special treatment. The level of visual impairment varies. Some students might only have visual impairments, while other aspects, such as intelligence, hearing, and speech organs are in normal conditions. However, it is possible that there are blind students with multiple constraints such as deafness and / or mental retardation. This diverse condition requires special education services. Special services for blind students are also expected to optimally develop students’ potentials and help them make social adaptations (Hidayat
and Suwandi, 2016). One form of special services for blind students is learning Braille writings. Braille letters were
developed based on touch sensory (Hoskin and Davies, 2019). The Braille alphabetical order is the same as the Latin alphabet, yet Braille letters use 6-dot pattern. The pattern is arranged in two columns and three rows. Basic Braille dots can be visualized as follows.
Figure 1. The Basic Pattern of Braille Letters
For easier memorization, the basic pattern is numbered in order vertically from left column to the right column as follows.
Figure 2. The Numbering of Braille Dots
The position of the dots is the basis for teaching Braille letters to blind students. Braille letters are arranged in a logical pattern. The letters a - j are arranged by using the position points 1, 2, 4, and 5. The letters k - t are arranged by adding the position point 3 to the letters a - j. The letters u, v, x, y, and z are arranged by adding the position points 3 and 6 to the letters a, b, c, d, and e; while the letter w is arranged with the position points 2, 4, 5, and 6. The deviation of the letter w pattern is because in the original Braille alphabet this letter does not exist (Hidayat and Suwandi, 2016). The National Federation of The Blind (2009) visualized the position of the Braille dots as shown in the following figure.
• • • • • •
Figure 3. Braille Letters
Figure 3. Braille Letters Braille reading skill is a distinct characteristic of the education for children with disabilities.
Technology and information advancement has produced various learning media in the forms of audiobooks. However, audiobooks cannot replace Braille text. Braille is the main literary instrument for blind students (Danis Association of the Blind and the International Council for Education of People with Visual Impairment, 2018). Therefore, to enhance literacy skills, children with visual impairment must be skilled at reading Braille text. However, they often experience problems when they start learning Braille. They are required to not only learn about letters, grammatical rules, and spelling like sighted children do, but they also need to learn about abbreviations and rules of use in Braille. Many teachers believe that there are differences in reading rate, comprehension of content, vocabulary development, and reading interest between alert children and blind students (Emerson; Holbrook and D'Andrea, 2009). This gap should be overcome through changes in the learning environment for blind students. Changes in the learning environment are necessary for children with special needs to accelerate their Braille reading skills improvement.
The success of the school literacy program greatly depends on the level of students’ effective reading rate. The effective reading ate is measured by the number of words read per minute and the level of students’ comprehension upon a text. The reading rate is influenced by the difficulty level of the text, the purpose of reading, and the level of comprehension targeted. More complex text with more detailed the purpose of reading, higher the target comprehension will lead to lower reading rate. Based on this measurement, in general, the ideal effective reading rate is around 250 - 300 words per minute which is far from the reality. Students’ effective reading rate ranged between 200 - 250 words per minute, which is equivalent to the ideal reading ate of elementary students (Noer, 2014). The rate of reading Braille letters for blind students is even slower, which is around 90 - 116 words per minute (Jumaidi; Atmazaki; and Tahar, 2013). Therefore, efforts should be made to increase the Braille reading rate of children with visual impairments.
The public perception that the rate of Braille reading is very slow has been refuted by the National Federation of the Blind (2009). The largest and most influential blind membership organization in the United States stated that Braille is an efficient and effective reading medium. Learners with visual impairments can have a reading rate of over 200 words per minute. Learning Braille reading to this rate requires effort. Schiff (2009) mentioned some methods that can improve the rate of Braille reading, namely assistive technologies, job access with speech, and zoom text. Waldron; Steer; and Bhargava (2014) formulated the literacy principles for blind children as follows. First, it is necessary make sure children with visual impairments have a lot of basic life experiences and direct access to literacy activities from an early age. Second, children with visual impairments can develop academic literacy skills that allow them to read efficiently, effectively, comfortably and happily at school. Third, various learning strategies should be applied to allow blind children to grow as independent individuals. Fourth, children with visual impairments can develop functional literacy skills to solve their daily life and work problems. Fifth, to support literacy activities, unique needs of blind children should be facilitated. Sixth, blind children need to be given the opportunity to experience reading activities which raise their awareness of the importance of literacy skills.
3. Method
This qualitative study put blind students as the main subject in the school literacy program (Kopeuw, 2009). The samples of this study were 65 students selected from 3 special schools in 3 different districts in Bali Province, namely: Buleleng District, Tabanan District, and Denpasar City. Samples were students of special schools at the elementary, junior high and high school levels. In this study, 3 groups of data were collected, namely data on the description of the literacy enhancement program at the Special School, constraints in its implementation, and public
participation. Those data were collected through document review, in-depth interviews, questionnaires, and observations. This study put emphasis on the data of the 15-reading before starting a lesson, the availability of literacy facilities for blind students, developed literacy strategies, and public participation in literacy enhancement activities at special schools. The collected data were analyzed through 3 stages, namely data reduction, data presentation and verification and drawing conclusions (Sugiono, 2012). Data reduction was done to classify the data based on certain similarities to make the data simpler. Data presentation was done by visualizing the data in the forms of tables, graphs, etc. for easier interpretation. Before drawing conclusions, verification was carried out as data triangulation. 4. Results and Discussions 3.1 The Implementation of Literacy Enhancement Program for Blind Students.
The school literacy program is a national program that must be implemented in every school. Its main goal is to create positive literacy habit in Special Schools. The operational principle of this program mentions that the literacy enhancement program is carried out according to predictable, balanced developmental stages, takes place in all areas of the curriculum, meaningful reading and writing and emphasis on the importance of spoken discussions and develop awareness of diversity (Wiedarti, 2016a).
Based on data from interviews and observations 15-minute reading activity before lessons start implemented in special school for blind students was carried out in 3 patterns; teacher’s reading aloud, using an audiobook, and providing a Braille reading corner. Those options were taken to facilitate diverse characteristics of blind students. The first option is quite determined by students’ age. This activity affect the students’ Braille reading skills. Some students might be familiar with this type of text, but some other might not. The second constraint relates to other disabilities that follow; some students might be totally blind, but some students might be partially blind, or some others are blind and deaf. The third one relates to the level of visual impairment. In this group there are students with low vision and blindness. Those three aspects ensure that the program matches predictable and balanced developmental stage and encourages the development of oral and written culture. The use of 3 literacy patterns is assumed to facilitate the need for literacy enhancement among blind students.
Teachers’ reading is a popular method applied to teach blind students at the elementary school level, especially in the first 3 years. During this period, students begin to learn Braille letters. Tactile sensitivity begins to develop which is a good start in reading Braille. This condition is a striking difference from the one of sighted children. In elementary school, sighted children are generally able to read and write down simple things they learned in kindergarten. Yet, blind children will start learning Braille in the first year of elementary school, while not all students have equal readiness to start learning. Learning Braille letters for beginners is quite challenging, even though teachers try their best to teach it. Beginner learners must first have the prerequisite skills. Unfortunately, some students are lack of sensitivity and have difficulty integrating the Braille dots. In this condition, teachers will have to read the text out for them. This option is taken based on the assumption that the ability of blind children to comprehend a text is equal to those of sighted children. Emerson; Holbrook, and D'Andrea (2009) emphasized that students’ comprehension and ability to decode between children with visual impairments and blind students can be seen in the decoding ability. Teachers can optimize students’ comprehension optimizing auditory stimulation and teaching Braille as they go.
The second strategy is to use audiobooks that optimize students’ hearing sense. This method takes the advantages of information and technology advancement. The target books are read out by the narrator in the form of audio recordings. In this case, it is necessary to train the narrator to make clear and unambiguous pronunciation. The intonation should be appropriate as it affects the interpretation of the message. Musical illustrations can be inserted in the recording process. Based on the data, the types of audiobooks used at the Special Schools in Bali Province were unabridge and
abridge and were generally commercial products. Unabridge is a complete audio record of a book; while abridge is non-complete or brief audio recording of a book (Camalia, 2016). The use of audiobook can be done in computer room under teachers’ supervision. Based on the results of the interviews, this method is the most-used method in Special Schools in Bali Province.
The third method was enhancing the literacy by creating Braille reading corner. This method is the most ideal one to meet the characteristics of blind students since reading and writing skills in Braille are the unique characteristics of blind learners. Reading and writing skills in Braille are basic literacy requirement. In addition, Braille reading corner offers flexibility of time and it promotes students’ interest in reading independently. The provision of a Braille reading corner allows students to develop their literacy regardless of time and learning schedule. Students can choose meaningful reading material to their interests and needs. This method is believed to foster students’ reading interest. Braille reading corners are generally placed at the back of the classroom to make it easily accessed by students.
In Special Schools for blind students, literacy enhancement activities are generally integrated into main lessons for children with special needs. Generally, reading materials are functional and relevant to their talents and interests. Each school can develop a variety of life skills programs, such as music, massage skills, literary arts and theater. Integrating the literacy content to the curriculum for children with special needs is an attempt to improve the role of literacy activities in students’ daily life through literacy-based habituation, development and learning. Facts that occurred in the field were observed by referring to the 3 implementation method. Literacy enhancement program Special Schools for blind students is directed at early literacy and basic literacy components which are implemented through those methods. Media literacy and technology literacy are enhanced through the use of audiobook in the computer room. Library literacy is implemented through the provision of Braille reading corners in classrooms. Due to the visual impairment, students cannot do visual literacy activities effectively. Hence, this activity is replaced by textual literacy by using three-dimensional artificial objects. Those methods were expected to improve the average effective reading rate of blind students in Bali Province which were between to 90 - 115 words per minute (Simon and Huertas, 1998).
3.2 Constraints in the Implementation of Literacy Enhancement Program in Special School for Blind
Students The teaching and learning activities for children with special needs, including those with visual
impairments, require greater effort. Based on the interview, it was revealed that the implementation of the literacy program at special schools for blind students was constrained by 2 factors; internal factor and learning environment factor. Internal constraints were related to emotional, social and psychological problems. The social problem found in blind students was related to anxiety problem which triggered fear and worry. Consequently, students felt doubtful when carrying out literacy activities. Anxiety often triggers anger, irritability, depression, and sadness. In fact, blind children often got very frustrated, felt useless and felt that they were the burden on the family. In one extreme case, a blind child was found to tear a book off while being taught to read Braille. This behavior reflected his frustration. Another obstacle that comes from internal learners is related to the sense of inferiority. Many blind children feel embarrassed and inferior in front of typical children. This shame deprives them of their achievement motivation. Feelings of shame are getting stronger when blind students fail to correctly respond to stimuli. As a result, they often withdraw themselves from social interactions. This fact hinders the implementation of literacy activities at special schools in Bali Province. To overcome these internal constraints, there needs to be personal service that facilitates the development of the potential of each student. Personal literacy services are expected to maintain students’ motivation.
The second constraint is related to the learning environment regarding the limited learning materials for blind students. Students in special schools also need equal distribution of text literacy media to enhance their literacy skills. This need also relates to the changes in the administration of
special education, in which each school provides education services for children with special needs. Currently, special schools are no longer classified into SLB-A which specifically served blind children or SLB-B which specifically served deaf children, or SLB-C which specifically served students with mental retardation. Instead, special schools provide general education for any type of disabilities. Students’ low reading rate of between 85-101 words per minute was also a constraint. Therefore, Braille text which has been summarized telegraphically without reducing the message in the text is needed. Another effort that can be done to improve the implementation of this program is to provide an adequate number of audiobooks on a variety of topics.
Mobility constraints of blind students also require more intensive role of librarians in Special Schools. Librarians play important roles in book distribution. Problems in book distribution in all Braille reading corners commonly occurred. In addition, assistance in reading Braille letters is also necessary, which assistance can be provided by teachers and senior students who are skilled at reading Braille.
3.3 Public Participation
The success of the literacy movement program in Special Schools in Bali Province requires public participation. The implementation guidelines regulate the involvement of public participation, such as school committees, parents / guardians of students, business sector and industries. The questionnaires revealed that in general, public participation was still relatively low. The data showed asymmetry between public’s comprehension and their concrete action. All school committee members and parents / guardians understood the importance of school literacy activities; however, this understanding was not followed by concrete actions, such as providing supports for literacy facilities, infrastructure, support for literacy committee, and develop school networks. These steps are concrete forms of support from the school committee and parents / guardians to the literacy enhancement movement program at the Special Schools in Bali Province.
Supervision and assistance for literacy activities at home also need to be improved. Based on the questionnaire, mostly, parents admitted to supervising and assisting literacy activities in their respective homes. The supervision and assistance carried out by parents seemed ineffective because in general they stated that they did not understand, or even did not know Braille letters at all. This problem can be addressed by forming Braille literacy committee at each Special School with adequate participation of parents / students’ guardians.
Active participation from business and industrial sectors is believed to significantly improve students’ motivation to enhance their literacy skills. Based on interviews with sample schools, most of Braille books and other Braille facilities were procured by the government and donations from other parties, such as publishers and agencies engaged in this sector. The participation of the business and industrial sectors can be enhanced in the form of funding for various literacy competitions. Those sectors can also show their participation by allowing student tour/visit to their factories. Such activities can foster students’ confidence, social and mobility skills. Allowing student visits is a concrete effort supporting environment-based literacy activities, which frequency and quality should be increased.
5. Conclusions The national school literacy program does not exclude Special Schools. To support this
national program, the Government of Indonesia through the Ministry of Education and Culture has set guidelines for its implementation. However, the implementation of this program for blind students was still hindered by some constraints, including the relatively low Braille reading rate. Students’ average reading rate was found much slower than the ideal one. Thus, it is necessary to have Braille text packaged in a concise manner, without reducing the core message of the text. Other constraints occurred from the internal personalities of students, such as anxiety and frustration which reduced their achievement motivation. To overcome this problem, schools have
developed three methods of literacy activities for blind people, namely text reading by teacher, using an audiobook, and creating Braille reading corner in the back of the classroom. Those methods support the enhancement of early literacy, basic literacy, library literacy, media literacy and technology literacy. Due to their visual impairments, students could not do visual literacy activities. Therefore, visual activities were compensated by greater exposure to three-dimensional artificial objects that focus on the use of the tactile senses. The success of this national program requires public support. Many businesses and industries entities have shown their support through concrete actions. Concrete support from school committees and parents / guardians s should be enhanced even though they already had proper understanding about the importance of literacy skills for students. The school committee can form a Braille literacy committee that accounts for the development of literacy skills of blind students.
Acknowledgement
Sincere gratitude is expressed to the Directorate of Research and Community Service, Deputy for Research and Development of the Ministry of Research and Technology / National Research and Innovation Agency for the funding which has made it possible to complete this study. Gratitude also goes to the Head of SLB Negeri 1 Singaraja, Head of SLB Negeri 1 Denpasar, and Head of SLB Nengeri 1 Tabanan for having given the access to collect the data of this study. The researcher would like to thank the Rector of the PGRI Mahadewa University of Indonesia for the support given to the completion of this study.
References Camalia, F. (2016). Pengembangan Audiobook Dilengkapi Alat Peraga Materi getaran Gelombang
Untuk Tunanetra Kelas VIII SMP. In Universitas Negeri Semarang. https://lib.unnes.ac.id/26695/
Danis Association of the Blind and the International Council for Educatian of People with Visual Impairment. (2018). Braille Teaching and Literacy: A Report for the European Blind Union and European Commission.
https://www.pathstoliteracy.org/research/braille-teaching-and-literacy-report-european-blind-union-and-european-commission
Emerson, R. ., Holbrook, M. C., & D’Andrea, F. M. (2009). Acquisition of Literasi Skills by Young Chikdren Who Are Blind: Results from the ABC Brille Study. Journal of Visual Impairment & Blindness, 610 – 624. https://www.researchgate.net/publication/286232902
Hasanah, U. and Warjana. (2019). Pengembangan Pembelajaran Literasi Membaca untuk Meningkatkan Daya Baca Siswa, Media Pustakawan Vol. 24 (2), pp 129 – 139. https://ejournal.perpusnas.go.id/mp/article/view/184
Hidayat, A. A., & Suwandi, A. (2016). Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Tunanetra. Jakarta: Luxima Metro Media.
Hoskin, E., & Davis, T. C. (2019). Assistive Technology for Braille Literacy Education: Identifying Ideal Design Criteria. Building and Designing Assistive Technology Lab, Queen University. https://www.resna.org/sites/default/files/conference/2019/cognitive/Hoskin.html
Jumaidi, Atmazaki, & Thahar, H. E. (2013). Peningkatan Kecepatan Membaca Tulisan Braille dengan Teknik Dua Tangan Bagi Tunanetra Kelas V SLB Negeri 2 Padang. Jurnal Bahasa, Sastra Dan Pembelajarannya, 1(3), 60 – 70. http://ejournal.unp.ac.id/index.php/bsp/article/view/5016
Kopeuw, P. (2009). Hakikat Penelitian Kualitatif, Kuantitatif, dan Tindakan. https://pealtwo.wordpress.com/2012/05/15/
National Federation of The Blind. (2009). The Braille Literacy Crisis in America: A Report to the Nation. Jernigan Institute.
https://www.nfb.org/sites/www.nfb.org/files/images/nfb/documents/pdf/braille_literacy_report_web.pdf
Noer, M. (2014). Variasi Kecepatan Baca yang Benar untuk Membaca Bacaan Sehari-Hari.
https://www.membacacepat.com/artikel/variasi-kecepatan-membaca/ Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2015 tentang
Penumbuhan Budi Pekerti. Schiff, R.A. (2009). Information Literacy and Blind and Visual Impaired Students. New York: City
University of New York. https://www.researchgate.net/publication/251500738_Information_Literacy_and_Blind_and_Visually_Impaired_Students
Simon, C. and J.A. Huertas. (1998). How Blind Readers Perceive and Gather Information Written in Braille, Journal of Visual Impairment & Blindness, pp 322 – 329.https://www.researchgate.net/publication/234690620_How_Blind_Readers_Perceive_and_Gather_Information_Written_in_Braille/link/5ba7d55e45851574f7e0aee5/download
Sugiono. (2012). Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Badung: Alfabeta.
Waldron, K., Steer, M., & Bhargava, D. (2014). Literacy and Australians with Low Vision. Melbourne: Tirnity University Press https://sites.trinity.edu/sensoryimpariment/literacy-and-australians-low-vision
Wiedarti, P. (2016a). Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Wiedarti, P. (2016b). Panduan Gerakan Literasi Sekolah di Sekolah Luar Biasa. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
E. PERAN MITRA: Tuliskan realisasi kerjasama dan kontribusi Mitra baik in-kind maupun in-cash (untuk
Penelitian Terapan, Penelitian Pengembangan, PTUPT, PPUPT serta KRUPT). Bukti pendukung realisasi
kerjasama dan realisasi kontribusi mitra dilaporkan sesuai dengan kondisi yang sebenarnya. Bukti
dokumen realisasi kerjasama dengan Mitra diunggah melalui Simlitabmas.
Penelitian ini tidak mewajibkan ada mitra.
F. KENDALA PELAKSANAAN PENELITIAN: Tuliskan kesulitan atau hambatan yang dihadapi selama
melakukan penelitian dan mencapai luaran yang dijanjikan, termasuk penjelasan jika pelaksanaan
penelitian dan luaran penelitian tidak sesuai dengan yang direncanakan atau dijanjikan.
Pelaksanaan penelitian ini terkendala terjadinya pandemi Covid-19. Akibatnya, terjadi
penjadwalan ulang pelaksanaan penelitian. Unggah revisi proposal baru ada kepastian pada
bulan Juli 2020. Anggaran pelaksanaan penelitian cair pada bulan Agustus. Penjadwalan
ulang itu mengakibatkan penundaan pelaksanaan penelitian sehingga berdampak pada target
luaran penelitian secara keseluruhan.
Akibat pandemi Covid-19, semua sekolah, termasuk SLB di Provinsi Bali melakukan
pembelajaran secara online. Akibatnya tidak dimungkinkan mengumpulkan data primer
langsung dari para peserta didik. Kebutuhan data penelitian terpenuhi melalui data sekunder
yang bersumber dari dokumen para guru. Hasil wawancara dengan kepala sekolah dan guru
pembina literasi, serta penyebaran angket dapat menguatkan catatan dokumeter sebagai dasar
pengambilan simpulan penelitian ini. FGD pun dilakukan secara terbatas. Teknis yang dapat
dilakukan adalah mendiskusikan hasil-hasil penelitian dengan pihak sekolah. Operasionalnya,
peneliti mengunjungi kepala sekolah sampel untuk membahas dan mendalami temuan
sebelum dipublikasi.
G. RENCANA TAHAPAN SELANJUTNYA: Tuliskan dan uraikan rencana penelitian di tahun berikutnya
berdasarkan indikator luaran yang telah dicapai, rencana realisasi luaran wajib yang dijanjikan dan
tambahan (jika ada) di tahun berikutnya sertaroadmap penelitian keseluruhan. Pada bagian ini
diperbolehkan untuk melengkapi penjelasan dari setiap tahapan dalam metoda yang akan direncanakan
termasuk jadwal berkaitan dengan strategi untuk mencapai luaran seperti yang telah dijanjikan dalam
proposal. Jika diperlukan, penjelasan dapat juga dilengkapi dengan gambar, tabel, diagram, serta pustaka
yang relevan. Jika laporan kemajuan merupakan laporan pelaksanaan tahun terakhir, pada bagian ini dapat
dituliskan rencana penyelesaian target yang belum tercapai.
Setelah pada tahun pertama dilaksanakan penelitian tentang program literasi bagi anak-
anak tunanetra, sesuai proposal, penelitian tahun kedua difokuskan pada program literasi bagi
peserta didik tunarungu. Pada tahun kedua ini diharapkan dapat dideskripsi secara cermat
program literasi bagi peserta didik tunarungu; hasil-hasil yang dicapai; kebutuhan
pengembangan program literasi dan kendala yang dihadapi. Luaran tahun kedua direncakan
berupa makalah yang termuat pada prosiding seminar nasional, artikel jurnal nasional
terakreditasi, dan artikel yang termuat pada jurnal internasional. Selanjutnya, pada tahun
ketiga direncanakan fikus penelitian ini diarahkan kepada program literasi bagi anak-anak
tunagrahita, seperti roadmap penelitian yang diusulkan dalam proposal, seperti berikut ini.
Prosedur pelaksanaan penelitian tahun kedua direncanakan seperti berikut ini.
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian tahun kedua, sama dengan penelitian tahun I, dilaksanakan secara induktif.
Data dan fakta dikumpulkan dari lapangan untuk merumuskan kebutuhan program
literasi bagi peserta didik penyandang tunarungu.
2. Penentuan sampel penelitian
Data penelitian tentang program literasi bagi peserta didik tunarungu akan diambil
dari SLB negeri 2 Denpasar, SLB Negeri Semarapura (Kabupaten Klungkung), dan
SLB Negeri Negara (Kabupaten Jembrana)
3. Pengumpulan data
Data dikumpulkan melalui observasi, wawancara, angket, dan tes (jika
dimungkinkan). Jika tidak dimukinkan melakukan tes secara langsung, data tentang
kompetensi literasi (membaca) akan diambil dari dokumen para guru.
4. Analissi data
Data yang terkumpul dianalisis secara kualitatif, yakni menjelaskan relasi peserta
didik tunarungu dalam kaitannya dengan program literasi yang dilakukan di masing-
masing sekolah sampel. Dengan cara iru diharapkan terungkap kebutuhan literasi
peserta didik tunarugu. Hal ini sesuai dengan bagan alir penelitian berikut ini.
Adapun jadwal pelaksanaan penelitian tahun kedua direncanakan seperti berikut.
Tahun 2021
No Nama Kegiatan Bulan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
1. Identifikasi populasi
2. Penyusunan instrumen dan validasi pakar
3. Pengumpulan data
4. Triangulasi narasumber
5. Klasifikasi dan analisis data
6. Validasi pakar dan FGD
7. Penyusan luaran dan laporan penelitian
H. DAFTAR PUSTAKA: PenyusunanDaftar Pustaka berdasarkan sistem nomor sesuai dengan urutan
pengutipan. Hanya pustaka yang disitasi pada laporan kemajuan yang dicantumkan dalam Daftar Pustaka.
DAFTAR PUSTAKA
1. Akhyar, F. (2017). Tahap Perkembangan Bahasa Anak (Tinjauan Neuro
Psikolinguistik), LENTERA: Jurnal Ilmiah Kependidikan, Vol. 1 (2017) pp 99-108 .
http://garuda.ristekbrin.go.id/documents/detail/756831 2. Badara, A. (2012). Analisis Wacana. Jakarta: Kencana 3. Camalia, F. (2016). Pengembangan Audiobook Dilengkapi Alat Peraga Materi getaran
Gelombang Untuk Tunanetra Kelas VIII SMP. Universitas Negeri Semarang. https://lib.unnes.ac.id/26695/
4. Danis Association of the Blind and the International Council for Educatian of People with Visual Impairment. (2018). Braille Teaching and Literacy: A Report for the European Blind Union and European Commission. https://www.pathstoliteracy.org/research/braille-teaching-and-literacy-report-european-blind-union-and-european-commission
5. Emerson, R.W; M.C. Holbrook; F. M. D’Andrea. (2009). Acquisition of Literasi
Skills by Young Chikdren Who Are Blind: Results from the ABC Brille Study,
Journal of Visual Impairment & Blindness, pp 610 – 624.
https://www.researchgate.net/publication/286232902 6. Harsiati, T. dan E.T. Priyatni. (2017). Karakteristik Tes Literasi Membaca pada Programme for
International Student Assesment (PISA), Bibliotika: Jurnal Kajian Perpustakaan dan Informasi, pp 1 – 11. http://journal2.um.ac.id/index.php/bibliotika/article/view/2301/1391
7. Hasanah, U. and Warjana. (2019). Pengembangan Pembelajaran Literasi Membaca untuk Meningkatkan Daya Baca Siswa, Media Pustakawan Vol. 24 (2), pp 129 – 139. https://ejournal.perpusnas.go.id/mp/article/view/184
8. Hidayat, A.A. dan A. Suwandi. (2016). Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus
Tunanetra. Jakarta: Luxima Metro Media.
9. Hoskin, E; dan T.C. Davis. (2019). Assistive Technology for Braille Literacy
Education: Identifying Ideal Design Criteria. Building and Designing Assistive
Technology Lab, Queen University.
https://www.resna.org/sites/default/files/conference/2019/cognitive/Hoskin.html
10. Humaira, Desni. 2012. Pelaksanaan Pembelajaran bahasa Indonesia bagi Anak
Tunagrahita Ringan Kelas III di SLB Sabiluna Pariaman. Dalam E-Jupekhu, Vol. 1
No. 3 hal. 95 – 109
11. Ina, Bagita Tamu. 2018. Pemerolehan Bahasa pada Anak Berkebutuhan Khusus Kelas
VI di SLB Sumba Timur, NTT. Dalam NOSI Vol. 6 No. 2. Hal 1 – 10.
12. Jumaidi; Atmazaki, dan H. E. Thahar. (2013). Peningkatan Kecepatan Membaca
Tulisan Braille dengan Teknik Dua Tangan Bagi Tunanetra Kelas V SLB Negeri 2
Padang, Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya Vol 1 (3) pp 60 – 70.
http://ejournal.unp.ac.id/index.php/bsp/article/view/5016
13. Kemdikbud, 2016. Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah. Jakarta: Direktoral
Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah.
14. Kemdikbud, 2016b. Panduan Gerakan Literasi Sekolah di Sekolah Luar Biasa.
Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah.
15. Kopeuw, P. (2009). Hakikat Penelitian Kualitatif, Kuantitatif, dan Tindakan, diambil
dari https://pealtwo.wordpress.com/2012/05/15/
16. Leech, G. (1983). The Principles of Pragmatics. London and New York: Longman.
17. Lubis, H.H. (1993). Analisis Wacana Pragmatik. Bandung: Angkasa.
18. Mullis, I.V.S., Martin, M.O., Foy, P., & Drucker, K.T. 2012. The PIRLS 2011
International Results in Reading. Chestnut Hill, MA: TIMSS & PIRLS International
Study Center, Boston College.
19. Nababan, P.W.J. (1987). Ilmu Pragmatik (Teori dan Penerapannya). Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
20. National Federation of The Blind. (2009). The Braille Literacy Crisis in America: A
Report to the Nation. Jernigan Institute.
https://www.nfb.org/sites/www.nfb.org/files/images/nfb/documents/pdf/braille_literac
y_report_web.pdf
21. Noer, M. (2014). Variasi Kecepatan Baca yang Benar untuk Membaca Bacaan Sehari-
Hari. https://www.membacacepat.com/artikel/variasi-kecepatan-membaca/
22. Permendikbud No. 23 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Dikutip dari
http://simpuh.kemenag.go.id/regulasi/permendikbud_23_15.pdf
23. PISA.2012. Result in Focus. Cited at https://www.oecd.org/pisa/keyfindings/pisa-
2012-results-overview.pdf
24. Rachma, Dian Nurbaiti. 2016. Peranan Perpustakaan dalam menumbuhkan
Kemampuan Literasi Informasi bagi Anak Tunanetra di SLB-A Panti Rehabilitasi
Penyandang Cacat Netra Palembang. Dikutip dari
http://eprints.radenfatah.ac.id/613/1/DIAN%20NURBAITI%20RACHMA_AdabIlmP
erp.pdf
25. Schiff, R.A. (2009). Information Literacy and Blind and Visually Impaired Students.
New York: City University of New York. DOI: 10.31641/ulj150205
26. Simon, C. and J.A. Huertas. (1998). How Blind Readers Perceive and Gather
Information Written in Braille, Journal of Visual Impairment & Blindness, pp
322 –
329.https://www.researchgate.net/publication/234690620_How_Blind_Readers_Perce
ive_and_Gather_Information_Written_in_Braille/link/5ba7d55e45851574f7e0aee5/do
wnload
27. Sugiono. (2012). Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif,
dan R&D. Bandung: Alfabeta.
28. Triwiaty, R. Dan Assjari, M. 2017. ‘Program Literasi Sekolah untuk Meningkatkan
Kemampuan Membaca Siswa Tunanetra SLB di Cimahi’. Dalam Jassl_anakku Vol.
18 No. 2 hal 51 – 56.
29. Umamy, E., Suyono, dan I.A. Basuki. (2012). Pengembangan Instrumen Asesmen
Literasi Membaca dengan Acuan PISA. http://library.um.ac.id/free-
contents/download/pub/pub.php/56393.pdf
30. Unesco. 2005. Beacons of The Information Society.
31. Unesco.2006. Literacy fo Life: Educational for All Global Monitoring Report.
32. Waldron, K; M. Steer; D. Bhargava. (2014). Literacy and Australians with Low
Vision. Melbourne: Tirnity University Press.
33. Wiedarti, P (Ed). (2016a). Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah. Jakarta:
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
34. Wiedarti, P (Ed). (2016b). Panduan Gerakan Literasi Sekolah di Sekolah Luar Biasa.
Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Dokumen pendukung luaran Wajib #1
Luaran dijanjikan: Artikel di Jurnal Internasional Terindeks di Pengindeks Bereputasi
Target: Accepted
Dicapai: Accepted
Dokumen wajib diunggah:
1. Naskah artikel
2. Surat keterangan accepted dari editor
Dokumen sudah diunggah:
1. Surat keterangan accepted dari editor
2. Naskah artikel
Dokumen belum diunggah:
- Sudah lengkap
Nama jurnal: PalArch's Journal of Archaeology of Egypt/Egyptology
Peran penulis: first author | EISSN: 1567214
Nama Lembaga Pengindek: SJR
URL jurnal: http://www.palarch.nl/index.php/jae
Judul artikel: THE IMPLEMENTATION OF SCHOOL LITERACY PROGRAM FOR
BLIND STUDENTS AT SPECIAL SCHOOLS IN BALI PROVINCE
4262
Nengah Arnawa, Anak Agung Gde Alit Geria, I Gusti Lanang Rai Arsana, I Made
Sugata. The Implementation of School Literacy Program for Blind Students at
Special Schools in Bali Province – Palarch’s Journal Of Archaeology Of
Egypt/Egyptology 17 (6) ( 2020) ISSN 1567-214x
Keywords: literacy, special school, blind, Braille
PJAEE, 17 (6) (2020)
THE IMPLEMENTATION OF SCHOOL LITERACY PROGRAM
FOR BLIND STUDENTS AT SPECIAL SCHOOLS IN BALI PROVINCE
Nengah Arnawa1, Anak Agung Gde Alit Geria2, I Gusti Lanang Rai Arsana3,I Made Sugata4
1,2,3,4University of PGRI Mahadewa Indonesia
Corresponding Author1 [email protected]
ABSTRACT:
This study mapped the implementation of literacy enhancement program at special schools in
Bali Province. This study was planned to complete within three years. In the first year, the
mapping was focused on blind students. This study was conducted using a qualitative
paradigm. Data were collected from special schools in three districts and cities in Bali
Province with a total population of 65 students, consisting of 1st grade (SDLB) – 12th grade
(SMALB) students. Data were collected through document review, in-depth interviews,
questionnaires, and observations. The data analysis showed that Special Schools in Bali
Province applied three kinds of literacy enhancement activities to address the problems that
students experienced; reading by the teacher, using audiobooks, and the provision of Braille
corners. Those activities were expected to facilitate literacy enhancement program as outlined
in the guidelines. Teachers’ reading aloud promoted early and basic literacy skill and the use
of audiobooks to enhance media and technology literacy. The Braille reading corner was
intended to improve the library literacy. The only type of literacy enhancement activity that
cannot be applied to blind students is visual literacy enhancement, yet this limitation can be
overcome by providing three-dimensional media. Unfortunately, public participation was
relatively low. School committees and parents / guardians generally understood the
importance of literacy for students with visual impairments, but their real contributions need
to be improved. The participation of the business and industrial sectors was found adequate
as they provided books, literacy facilities, and learning tools. Many foundations that care for
children with visual impairment also participated this program. The results of this study are
expected to be used as a scientific basis for the betterment of literacy programs in Indonesia
and to encourage stronger public participation.
4263
THE IMPLEMENTATION OF SCHOOL LITERACY PROGRAM FOR BLIND STUDENTS AT SPECIAL SCHOOL IN BALI PROVINCE PJAEE, 17(6) (2020)
INTRODUCTION The rapid distribution of information in the global era requires everyone to have basic skills to assess information, including literacy skills. Literacy skills are closely related to reading and writing habits. The data released by some parties showed that the reading skills of students in Indonesia were relatively low (Hasanah and Warjana, 2019; Wiedarti, 2016a; Wiedarti 2016b). To address this problem, the government has enacted a national program on literacy enhancement .
The implementation of the school literacy program is stipulated in the Regulation issued by the Minister of Education and Culture of the Republic of Indonesia Number 23 of 2015 concerning Character Building. Based on this regulation, it is mandatory for students to read a textbook for 15 minutes before starting a lesson. The main goal of this program is to foster good reading habit. The provision and selection of books depend on the development and needs of students; with special emphasis on books containing strong moral values, local, national and global wisdom. Based on the technical guidelines of the program implementation, the national school literacy program launched involves various parties including parents and the community.
As a national program, the school literacy program is obligatory to be implemented in Special Schools that educate children with special needs. One of the groups of students in the Special School is students with visual impairment. Therefore, the implementation of the school literacy movement program for visually-impaired students needs to be mapped. This mapping reveals the real implementation of the program and its achievements, constraints and the contribution of the public. The findings of this study can be used as a reference for the improvement of the capacity and quality of the national literacy program implemented at special schools.
Literacy skills are skills that worth enhancing, including for children with special needs. Literacy skills offer great philosophical and practical values. Philosophically, literacy skills lift up the position of children with special needs. Literacy skills supports the mastery of other skills, allowing children with special needs to develop optimally. Optimal potential development will be quite beneficial for students to live their life in terms of personal and social domains. Regarding this reason, literary programs for children with special needs need to be mapped carefully to develop methods that suit their needs.
Changes in organizational structure in in Special Schools have affected schools’ readiness to implement the literacy program. Special Schools in Indonesia were initially sectoral schools, consisting of SLB-A which specifically educated children with visual impairments, SLB-B which specifically educated children with disabilities, and SLB-C which specifically educated mentally-retarded children. The changes in organizational structure affected the use of learning facilities and the professionalism of teachers and other education personnel. Integrating sectoral units into general special schools that educate all groups of students with special needs changed the map of school readiness in carrying out literacy activities. This change requires should be examined in a systematic study in order to develop literacy programs to meet students’ needs.
4264
THE IMPLEMENTATION OF SCHOOL LITERACY PROGRAM FOR BLIND STUDENTS AT SPECIAL SCHOOL IN BALI PROVINCE PJAEE, 17(6) (2020)
• • • • • •
LITERATURE REVIEW People in common over generalize visual impairment as total blindness. Whereas, the term “blind” has been technically explained by Hidayat and Suwandi (2016) as follows. A person is visually impaired if his vision is ≤ of 6/21. This means that a person is identified as visually impaired if they can read letters from a distance of 6 meters, while a sighted child can read them from a distance of 21 meters. Referring to this terminological concept, visually impaired persons are not only those who have total blindness but also referring to those with low vision. Visual impairment can occur by birth or it can develop overtime. People who develop blindness after birth have prior visual experiences which strongly affect their subsequent acquisition of knowledge. On the other hand, people who are blind by birth have absolutely no visual experience. Hence they obtain their knowledge through other four senses; one of them through touches.
Blind children are a group of students who need special treatment. The level of visual impairment varies. Some students might only have visual impairments, while other aspects, such as intelligence, hearing, and speech organs are in normal conditions. However, it is possible that there are blind students with multiple constraints such as deafness and / or mental retardation. This diverse condition requires special education services. Special services for blind students are also expected to optimally develop students’ potentials and help them make social adaptations (Hidayat and Suwandi, 2016).
One form of special services for blind students is learning Braille writings. Braille letters were developed based on touch sensory (Hoskin and Davies, 2019). The Braille alphabetical order is the same as the Latin alphabet, yet Braille letters use 6- dot pattern. The pattern is arranged in two columns and three rows. Basic Braille dots can be visualized as follows.
Figure 1. The Basic Pattern of Braille Letters
For easier memorization, the basic pattern is numbered in order vertically from left column to the right column as follows.
Figure 2. The Numbering of Braille Dots
The position of the dots is the basis for teaching Braille letters to blind students. Braille letters are arranged in a logical pattern. The letters a - j are arranged by using
4265
THE IMPLEMENTATION OF SCHOOL LITERACY PROGRAM FOR BLIND STUDENTS AT SPECIAL SCHOOL IN BALI PROVINCE PJAEE, 17(6) (2020)
Figure 3. Braille Letters
the position points 1, 2, 4, and 5. The letters k - t are arranged by adding the position point 3 to the letters a - j. The letters u, v, x, y, and z are arranged by adding the position points 3 and 6 to the letters a, b, c, d, and e; while the letter w is arranged with the position points 2, 4, 5, and 6. The deviation of the letter w pattern is because in the original Braille alphabet this letter does not exist (Hidayat and Suwandi, 2016). The National Federation of The Blind (2009) visualized the position of the Braille dots as shown in the following figure.
Figure 3. Braille Letters
Braille reading skill is a distinct characteristic of the education for children with disabilities. Technology and information advancement has produced various learning media in the forms of audiobooks. However, audiobooks cannot replace Braille text. Braille is the main literary instrument for blind students (Danis Association of the Blind and the International Council for Education of People with Visual Impairment, 2018). Therefore, to enhance literacy skills, children with visual impairment must be skilled at reading Braille text. However, they often experience problems when they start learning Braille. They are required to not only learn about letters, grammatical rules, and spelling like sighted children do, but they also need to learn about abbreviations and rules of use in Braille. Many teachers believe that there are differences in reading rate, comprehension of content, vocabulary development, and reading interest between alert children and blind students (Emerson; Holbrook and D'Andrea, 2009). This gap should be overcome through changes in the learning environment for blind students. Changes in the learning environment are necessary for children with special needs to accelerate their Braille reading skills improvement.
The success of the school literacy program greatly depends on the level of students’ effective reading rate. The effective reading ate is measured by the number of words read per minute and the level of students’ comprehension upon a text. The reading rate is influenced by the difficulty level of the text, the purpose of reading, and the level of comprehension targeted. More complex text with more detailed the purpose of reading, higher the target comprehension will lead to lower reading rate. Based on this measurement, in general, the ideal effective reading rate is around 250 - 300
4266
THE IMPLEMENTATION OF SCHOOL LITERACY PROGRAM FOR BLIND STUDENTS AT SPECIAL SCHOOL IN BALI PROVINCE PJAEE, 17(6) (2020)
words per minute which is far from the reality. Students’ effective reading rate ranged between 200 - 250 words per minute, which is equivalent to the ideal reading ate of elementary students (Noer, 2014). The rate of reading Braille letters for blind students is even slower, which is around 90 - 116 words per minute (Jumaidi; Atmazaki; and Tahar, 2013). Therefore, efforts should be made to increase the Braille reading rate of children with visual impairments.
The public perception that the rate of Braille reading is very slow has been refuted by the National Federation of the Blind (2009). The largest and most influential blind membership organization in the United States stated that Braille is an efficient and effective reading medium. Learners with visual impairments can have a reading rate of over 200 words per minute. Learning Braille reading to this rate requires effort. Schiff (2009) mentioned some methods that can improve the rate of Braille reading, namely assistive technologies, job access with speech, and zoom text. Waldron; Steer; and Bhargava (2014) formulated the literacy principles for blind children as follows. First, it is necessary make sure children with visual impairments have a lot of basic life experiences and direct access to literacy activities from an early age. Second, children with visual impairments can develop academic literacy skills that allow them to read efficiently, effectively, comfortably and happily at school. Third, various learning strategies should be applied to allow blind children to grow as independent individuals. Fourth, children with visual impairments can develop functional literacy skills to solve their daily life and work problems. Fifth, to support literacy activities, unique needs of blind children should be facilitated. Sixth, blind children need to be given the opportunity to experience reading activities which raise their awareness of the importance of literacy skills.
RESEARCH METHODOLOGY
This qualitative study put blind students as the main subject in the school literacy program (Kopeuw, 2009). The samples of this study were 65 students selected from 3 special schools in 3 different districts in Bali Province, namely: Buleleng District, Tabanan District, and Denpasar City. Samples were students of special schools at the elementary, junior high and high school levels. In this study, 3 groups of data were collected, namely data on the description of the literacy enhancement program at the Special School, constraints in its implementation, and public participation. Those data were collected through document review, in-depth interviews, questionnaires, and observations. This study put emphasis on the data of the 15-reading before starting a lesson, the availability of literacy facilities for blind students, developed literacy strategies, and public participation in literacy enhancement activities at special schools. The collected data were analyzed through 3 stages, namely data reduction, data presentation and verification and drawing conclusions (Sugiono, 2012). Data reduction was done to classify the data based on certain similarities to make the data simpler. Data presentation was done by visualizing the data in the forms of tables, graphs, etc. for easier interpretation. Before drawing conclusions, verification was carried out as data triangulation.
RESULT & DISCUSSION
4267
THE IMPLEMENTATION OF SCHOOL LITERACY PROGRAM FOR BLIND STUDENTS AT SPECIAL SCHOOL IN BALI PROVINCE PJAEE, 17(6) (2020)
The Implementation of Literacy Enhancement Program for Blind
Students
The school literacy program is a national program that must be implemented in
every school. Its main goal is to create positive literacy habit in Special
Schools. The operational principle of this program mentions that the literacy
enhancement program is carried out according to predictable, balanced
developmental stages, takes place in all areas of the curriculum, meaningful
reading and writing and emphasis on the importance of spoken discussions and
develop awareness of diversity (Wiedarti, 2016a).
Based on data from interviews and observations 15-minute reading activity
before lessons start implemented in special school for blind students was
carried out in 3 patterns; teacher’s reading aloud, using an audiobook, and
providing a Braille reading corner. Those options were taken to facilitate
diverse characteristics of blind students. The first option is quite determined by
students’ age. This activity affect the students’ Braille reading skills. Some
students might be familiar with this type of text, but some other might not. The
second constraint relates to other disabilities that follow; some students might
be totally blind, but some students might be partially blind, or some others are
blind and deaf. The third one relates to the level of visual impairment. In this
group there are students with low vision and blindness. Those three aspects
ensure that the program matches predictable and balanced developmental stage
and encourages the development of oral and written culture. The use of 3
literacy patterns is assumed to facilitate the need for literacy enhancement
among blind students.
Teachers’ reading is a popular method applied to teach blind students at the
elementary school level, especially in the first 3 years. During this period,
students begin to learn Braille letters. Tactile sensitivity begins to develop
which is a good start in reading Braille. This condition is a striking difference
from the one of sighted children. In elementary school, sighted children are
generally able to read and write down simple things they learned in
kindergarten. Yet, blind children will start learning Braille in the first year of
elementary school, while not all students have equal readiness to start learning.
Learning Braille letters for beginners is quite challenging, even though
teachers try their best to teach it. Beginner learners must first have the
prerequisite skills. Unfortunately, some students are lack of sensitivity and
have difficulty integrating the Braille dots. In this condition, teachers will have
to read the text out for them. This option is taken based on the assumption that
the ability of blind children to comprehend a text is equal to those of sighted
children. Emerson; Holbrook, and D'Andrea (2009) emphasized that students’ comprehension and ability to decode between children with visual
impairments and blind students can be seen in the decoding ability. Teachers
can optimize students’ comprehension optimizing auditory stimulation and
teaching Braille as they go.
The second strategy is to use audiobooks that optimize students’ hearing sense.
This method takes the advantages of information and technology
4268
THE IMPLEMENTATION OF SCHOOL LITERACY PROGRAM FOR BLIND STUDENTS AT SPECIAL SCHOOL IN BALI PROVINCE PJAEE, 17(6) (2020)
advancement. The target books are read out by the narrator in the form of audio recordings. In this case, it is necessary to train the narrator to make clear
and unambiguous pronunciation. The intonation should be appropriate as it
affects the interpretation of the message. Musical illustrations can be inserted
in the recording process. Based on the data, the types of audiobooks used at
the Special Schools in Bali Province were unabridge and abridge and were
generally commercial products. Unabridge is a complete audio record of a
book; while abridge is non-complete or brief audio recording of a book
(Camalia, 2016). The use of audiobook can be done in computer room under
teachers’ supervision. Based on the results of the interviews, this method is the
most-used method in Special Schools in Bali Province.
The third method was enhancing the literacy by creating Braille reading
corner. This method is the most ideal one to meet the characteristics of blind
students since reading and writing skills in Braille are the unique
characteristics of blind learners. Reading and writing skills in Braille are basic
literacy requirement. In addition, Braille reading corner offers flexibility of
time and it promotes students’ interest in reading independently. The provision
of a Braille reading corner allows students to develop their literacy regardless
of time and learning schedule. Students can choose meaningful reading
material to their interests and needs. This method is believed to foster students’
reading interest. Braille reading corners are generally placed at the back of the
classroom to make it easily accessed by students.
In Special Schools for blind students, literacy enhancement activities are
generally integrated into main lessons for children with special needs.
Generally, reading materials are functional and relevant to their talents and
interests. Each school can develop a variety of life skills programs, such as
music, massage skills, literary arts and theater. Integrating the literacy content
to the curriculum for children with special needs is an attempt to improve the
role of literacy activities in students’ daily life through literacy-based
habituation, development and learning. Facts that occurred in the field were
observed by referring to the 3 implementation method. Literacy enhancement
program Special Schools for blind students is directed at early literacy and
basic literacy components which are implemented through those methods.
Media literacy and technology literacy are enhanced through the use of
audiobook in the computer room. Library literacy is implemented through the
provision of Braille reading corners in classrooms. Due to the visual
impairment, students cannot do visual literacy activities effectively. Hence,
this activity is replaced by textual literacy by using three-dimensional artificial
objects. Those methods were expected to improve the average effective
reading rate of blind students in Bali Province which were between to 90 - 115
words per minute (Simon and Huertas, 1998).
Constraints in the Implementation of Literacy Enhancement Program in
Special School for Blind Students
The teaching and learning activities for children with special needs, including
those with visual impairments, require greater effort. Based on the interview, it
was revealed that the implementation of the literacy program at special schools
4269
THE IMPLEMENTATION OF SCHOOL LITERACY PROGRAM FOR BLIND STUDENTS AT SPECIAL SCHOOL IN BALI PROVINCE PJAEE, 17(6) (2020)
for blind students was constrained by 2 factors; internal factor and learning environment factor. Internal constraints were related to emotional, social and
psychological problems. The social problem found in blind students was
related to anxiety problem which triggered fear and worry. Consequently,
students felt doubtful when carrying out literacy activities. Anxiety often
triggers anger, irritability, depression, and sadness. In fact, blind children often
got very frustrated, felt useless and felt that they were the burden on the
family. In one extreme case, a blind child was found to tear a book off while
being taught to read Braille. This behavior reflected his frustration. Another
obstacle that comes from internal learners is related to the sense of inferiority.
Many blind children feel embarrassed and inferior in front of typical children.
This shame deprives them of their achievement motivation. Feelings of shame
are getting stronger when blind students fail to correctly respond to stimuli. As
a result, they often withdraw themselves from social interactions. This fact
hinders the implementation of literacy activities at special schools in Bali
Province. To overcome these internal constraints, there needs to be personal
service that facilitates the development of the potential of each student.
Personal literacy services are expected to maintain students’ motivation.
The second constraint is related to the learning environment regarding the limited learning materials for blind students. Students in special schools also
need equal distribution of text literacy media to enhance their literacy skills.
This need also relates to the changes in the administration of special education,
in which each school provides education services for children with special
needs. Currently, special schools are no longer classified into SLB-A which
specifically served blind children or SLB-B which specifically served deaf
children, or SLB-C which specifically served students with mental retardation.
Instead, special schools provide general education for any type of disabilities.
Students’ low reading rate of between 85-101 words per minute was also a
constraint. Therefore, Braille text which has been summarized telegraphically
without reducing the message in the text is needed. Another effort that can be
done to improve the implementation of this program is to provide an adequate
number of audiobooks on a variety of topics.
Mobility constraints of blind students also require more intensive role of
librarians in Special Schools. Librarians play important roles in book
distribution. Problems in book distribution in all Braille reading corners
commonly occurred. In addition, assistance in reading Braille letters is also
necessary, which assistance can be provided by teachers and senior students
who are skilled at reading Braille.
Public Participation
The success of the literacy movement program in Special Schools in Bali
Province requires public participation. The implementation guidelines regulate
the involvement of public participation, such as school committees, parents /
guardians of students, business sector and industries. The questionnaires
revealed that in general, public participation was still relatively low. The data
showed asymmetry between public’s comprehension and their concrete action.
All school committee members and parents / guardians understood the
THE IMPLEMENTATION OF SCHOOL LITERACY PROGRAM FOR BLIND STUDENTS AT SPECIAL SCHOOL IN BALI PROVINCE PJAEE, 17(6) (2020)
4270
importance of school literacy activities; however, this understanding was not followed by concrete actions, such as providing supports for literacy facilities,
infrastructure, support for literacy committee, and develop school networks.
These steps are concrete forms of support from the school committee and
parents / guardians to the literacy enhancement movement program at the
Special Schools in Bali Province.
Supervision and assistance for literacy activities at home also need to be
improved. Based on the questionnaire, mostly, parents admitted to supervising
and assisting literacy activities in their respective homes. The supervision and
assistance carried out by parents seemed ineffective because in general they
stated that they did not understand, or even did not know Braille letters at all.
This problem can be addressed by forming Braille literacy committee at each
Special School with adequate participation of parents / students’ guardians.
Active participation from business and industrial sectors is believed to
significantly improve students’ motivation to enhance their literacy skills.
Based on interviews with sample schools, most of Braille books and other
Braille facilities were procured by the government and donations from other
parties, such as publishers and agencies engaged in this sector. The
participation of the business and industrial sectors can be enhanced in the form
of funding for various literacy competitions. Those sectors can also show their
participation by allowing student tour/visit to their factories. Such activities
can foster students’ confidence, social and mobility skills. Allowing student
visits is a concrete effort supporting environment-based literacy activities,
which frequency and quality should be increased.
CONCLUSION
The national school literacy program does not exclude Special Schools. To support this national program, the Government of Indonesia through the Ministry of Education and Culture has set guidelines for its implementation. However, the implementation of this program for blind students was still hindered by some constraints, including the relatively low Braille reading rate. Students’ average reading rate was found much slower than the ideal one. Thus, it is necessary to have Braille text packaged in a concise manner, without reducing the core message of the text. Other constraints occurred from the internal personalities of students, such as anxiety and frustration which reduced their achievement motivation. To overcome this problem, schools have developed three methods of literacy activities for blind people, namely text reading by teacher, using an audiobook, and creating Braille reading corner in the back of the classroom. Those methods support the enhancement of early literacy, basic literacy, library literacy, media literacy and technology literacy. Due to their visual impairments, students could not do visual literacy activities. Therefore, visual activities were compensated by greater exposure to three-dimensional artificial objects that focus on the use of the tactile senses. The success of this national program requires public support. Many businesses and industries entities have shown their support through concrete actions. Concrete support from school committees and parents / guardians s should be enhanced even though they already had proper understanding about the importance of literacy
THE IMPLEMENTATION OF SCHOOL LITERACY PROGRAM FOR BLIND STUDENTS AT SPECIAL SCHOOL IN BALI PROVINCE PJAEE, 17(6) (2020)
4271
skills for students. The school committee can form a Braille literacy committee that accounts for the development of literacy skills of blind students.
ACKNOWLEDGEMENT
Sincere gratitude is expressed to the Directorate of Research and Community
Service, Deputy for Research and Development of the Ministry of Research
and Technology / National Research and Innovation Agency for the funding
which has made it possible to complete this study. Gratitude also goes to the
Head of SLB Negeri 1 Singaraja, Head of SLB Negeri 1 Denpasar, and Head
of SLB Nengeri 1 Tabanan for having given the access to collect the data of
this study. The researcher would like to thank the Rector of the PGRI Mahadewa University of Indonesia for the support given to the completion of
this study.
REFERENCE
Camalia, F. (2016). Pengembangan Audiobook Dilengkapi Alat Peraga Materi getaran Gelombang Untuk Tunanetra Kelas VIII SMP. In Universitas Negeri Semarang. https://lib.unnes.ac.id/26695/
Danis Association of the Blind and the International Council for Educatian of People with Visual Impairment. (2018). Braille Teaching and Literacy: A Report for the European Blind Union and European Commission.
https://www.pathstoliteracy.org/research/braille-teaching-and-literacy-report- european-blind-union-and-european-commission
Emerson, R. ., Holbrook, M. C., & D’Andrea, F. M. (2009). Acquisition of Literasi Skills by Young Chikdren Who Are Blind: Results from the ABC Brille Study. Journal of Visual Impairment & Blindness, 610 – 624. https://www.researchgate.net/publication/286232902
Hasanah, U. and Warjana. (2019). Pengembangan Pembelajaran Literasi Membaca untuk Meningkatkan Daya Baca Siswa, Media Pustakawan Vol. 24 (2), pp 129 – 139. https://ejournal.perpusnas.go.id/mp/article/view/184
Hidayat, A. A., & Suwandi, A. (2016). Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Tunanetra. Jakarta: Luxima Metro Media.
Hoskin, E., & Davis, T. C. (2019). Assistive Technology for Braille Literacy Education: Identifying Ideal Design Criteria. Building and Designing Assistive Technology Lab, Queen University. https://www.resna.org/sites/default/files/conference/2019/cognitive/Hos kin.html
Jumaidi, Atmazaki, & Thahar, H. E. (2013). Peningkatan Kecepatan Membaca Tulisan Braille dengan Teknik Dua Tangan Bagi Tunanetra Kelas V SLB Negeri 2 Padang. Jurnal Bahasa, Sastra Dan Pembelajarannya, 1(3), 60 – 70. http://ejournal.unp.ac.id/index.php/bsp/article/view/5016
Kopeuw, P. (2009). Hakikat Penelitian Kualitatif, Kuantitatif, dan Tindakan. https://pealtwo.wordpress.com/2012/05/15/
National Federation of The Blind. (2009). The Braille Literacy Crisis in America: A Report to the Nation. Jernigan Institute.
https://www.nfb.org/sites/www.nfb.org/files/images/nfb/documents/pdf/braille_lit eracy_report_web.pdf
Noer, M. (2014). Variasi Kecepatan Baca yang Benar untuk Membaca Bacaan Sehari- Hari. https://www.membacacepat.com/artikel/variasi-kecepatan-
THE IMPLEMENTATION OF SCHOOL LITERACY PROGRAM FOR BLIND STUDENTS AT SPECIAL SCHOOL IN BALI PROVINCE PJAEE, 17(6) (2020)
4272
membaca/ Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Schiff, R.A. (2009). Information Literacy and Blind and Visual Impaired Students. New
York: City University of New York. https://www.researchgate.net/publication/251500738_Information_Litera cy_and_Blind_and_Visually_Impaired_Students
Simon, C. and J.A. Huertas. (1998). How Blind Readers Perceive and Gather Information Written in Braille, Journal of Visual Impairment & Blindness, pp 322 – 329.https://www.researchgate.net/publication/234690620_How_Blind_Re aders_Perceive_and_Gather_Information_Written_in_Braille/link/5ba7d55 e45851574f7e0aee5/download
Sugiono. (2012). Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Badung: Alfabeta.
Waldron, K., Steer, M., & Bhargava, D. (2014). Literacy and Australians with Low Vision. Melbourne: Tirnity University Press https://sites.trinity.edu/sensoryimpariment/literacy-and-australians-low- vision
Wiedarti, P. (2016a). Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Wiedarti, P. (2016b). Panduan Gerakan Literasi Sekolah di Sekolah Luar Biasa. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
N: 2081-7452
Dear Authors
Date: December 1, 2020 Ref.: PJAE/2020121/845
Nengah Arnawa, Anak Agung Gde Alit Geria, I Gusti Lanang Rai Arsana and I MadeSugata
University of PGRI Mahadewa Indonesia
It is pleasure to inform you that, after the peer review, your paper,
THE IMPLEMENTATION OF SCHOOL LITERACY PROGRAM
FOR BLIND STUDENTS AT SPECIAL SCHOOLS IN BALI
PROVINCE
has been ACCEPTED to publish with PalArch's Journal of Archaeology of Egypt/ Egyptology, ISSN: 1567214X.
It will be published in the current issue. I believe that our collaboration will help to accelerate the global
knowledge creation and sharing one-step further. Please do not hesitate to contact me if you have any
further questions.
Sincerely,
Editorial Manager
PalArch's Journal of Archaeology of Egypt/ Egyptology
ISSN: 1567214X https://www.scimagojr.com/journalsearch.php?q=21100286805&tip=sid&clean=0
http://www.palarch.nl/index.php/jae
Dokumen pendukung luaran Tambahan #1
Luaran dijanjikan: Artikel di Jurnal Nasional terakreditasi peringkat 1-3
Target: Accepted
Dicapai: Submited
Dokumen wajib diunggah:
1. Naskah artikel
2. Bukti submit
Dokumen sudah diunggah:
1. Naskah artikel
2. Bukti submit
Dokumen belum diunggah:
-
KEBUTUHAN WACANA TULIS TELEGRAFIS UNTUK PROGRAM GLS
BAGI PESERTA DIDIK TUNANETRA PADA SLB DI PROVINSI BALI
Oleh:
Nengah Arnawa1
Anak Agung Gde Alit Geria2
I Gusti Lanang Rai Arsana3
e-mail: [email protected] 1,2,3
FKIP Universitas PGRI Mahadewa Indonesia
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk memetakan pelaksanaan program GLS-SLB bagi peserta
didik tunanetra di Provinsi Bali. Penelitian ini menggunakan desain kualitatif. Data
dikumpulkan dari 3 kabupaten yang berbeda. Sampel sekolah ditetapkan berdasarkan
purposive. Data dikumpulkan melalui pencatatan dokumen, observasi, wawancara, dan
angket. Data yang diperoleh direduksi, di-display, dan diverifikasi. Berdasarkan
prosedur kerja seperti itu terungkap hal-hal berikut. (1) Program GLS bagi peserta
peserta didik tunanetra dilakukan dengan tiga pola, yaitu dibacakan guru, menggunakan
audio book, dan pojok baca. Hambatan utama pelaksanaan GLS bagi peserta didik
tunanetra adalah kecepatan efektif membaca (KEM) teks berhuruf Braille yang sangat
rendah, yakni 85 – 101 kpm (kata per menit). Untuk mengatasinya diperlukan wacana
tulis telegrafis dan pelatihan kepekaan takstil para peserta didik secara kelanjutan.
Kata kunci: gerakan lietasi sekolah, tunanetra, wacana telegrafis, kecepatan efektif
membaca.
THE NEED FOR TELEGRAPHIC WRITING TO SUPPORT SCHOOL
LITERACY ENHANCEMENT PROGRAM FOR BLIND STUDENTS IN BALI
Abstract
This study examined the implementation of School Literacy Enhancement Program for
blind students in Bali. In this qualitative study, data were collected from 3 districts
though document study, observation, interviews, and questionnaires. The data were then
reduced, displayed and verified. This study revealed that (1) the program was done in three methods; reading out loud by teachers, using audio book, and developing reading
corner. The major problem experienced by blind students was on the low effective
Braille reading rate at 85-101 words per minute. To address this problem, telegraphic
writing and text preciseness skills among students should be enhanced continuously.
Key words: school literacy enhancement program, telegraphic writing, effective reading
rate
1. Pendahuluan
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kondisi empirik bahwa minat baca siswa
sangat rendah, seperti yang dilaporkan berbagai pihak (Wiedarti, 2016a); sedangkan
perkembangan masyarakat global menuntut keterampilan literasi sebagai sesuatu yang
sangat urgen. Untuk mengatasi kesenjangan itu disusun program nasional Gerakan
Literasi Sekolah (GLS). Sebagai gerakan nasional, Sekolah Luar Biasa (SLB) tidak
dikecualikan. Pelaksanaan GLS pda SLB perlu didukung agar anak-anak dengan
keterbatasan bisa mengembangkan potensi diri secara optimal. Salah satu kelompok
peserta didik di SLB adalah penyandang tunanetra. Untuk mendorong pelaksanaan GLS
bagi peserta didik tunanetra perlu dilakukan analisis kebutuhan.
Dengan keterbatasannya, peserta didik tunanetra diduga memiliki kebutuhan
literasi yang berbeda. Dugaan perbedan itu bersumber dari asumsi bahwa membaca teks
dengan huruf Brille membutuhkan waktu yang lebih lama. Persoalannya adalah belum
tersedia data yang memadai tentang kecepatan membaca teks berhuruf Braille bagi
anak-anak tunanetra sehingga kebutuhan struktur teks informasi yang sesuai belum bisa
dideskripsikan. Merujuk persoalan tersebut, penelitian ini memiliki dua tujuan utama.
Pertama, mengungkapkan kecepatan rata-rata membaca teks berhuruf Brille bagi peserta
didik tunatera di Provinsi Bali sehingga bisa dijadikan rujukan bagi SLB di daerah lain.
Kedua, mengungkapkan struktur teks yang dinilai efektif untuk mendukung program
literasi bagi peserta didik tunanetra. Penyesuaian struktur teks dengan kecepatan
membaca huruf Braille bertujuan agar peserta didik tunanetra dapat mengakses
informasi secara lebih efektif untuk kepentingan hidup pribadi dan sosial mereka sehari-
hari.
Penyesuaian struktur teks informasi merupakan kebutuhan konkret bagi peserta
didik tunanetra. Ada dua konsep filosofis-normatif yang melatari kebutuhan itu.
Pertama, peserta didik tunanetra memiliki hak yang sama untuk mendapatkan
pendidikan dan informasi. Kedua, prinsip dasar pendidikan luar biasa adalah
penyesuaian lingkungan belajar dengan keterbatasan anak-anak yang berkebutuhan
khuusus. Landasan filosofis-normatif itu perlu dipraktikan untuk mendukung program
GLS pada SLB. Wujud praktisnya adalah penyediaan teks literasi yang sesuai
kebutuhan pembelajaran peserta didik tunanetra. Untuk mengungkapkan struktur teks
informasi yang sesuai itulah penelitian ini dilakukan.
1. Kerangka Teoretis
2.1 Ketunanetraan
Ketunanetraan bukanlah halangan bagi seseorang untuk menjalani proses
pendidikan. Peserta didik dikategorikan tunanetra apabila visusnya kurang dari 6/21
(Hidayat dan Suwandi, 2016). Merujuk pada batasan itu, seorang anak dikategorikan
tunanetra apabila mereka dapat membaca huruf berukuran besar dari jarak 6 meter,
sedangkan bagi anak awas huruf itu dapat dibaca dari jarak 21 meter. Selanjutnya,
peserta didik tunanetra diidentifikasi menjadi dua kelompok, yakni peserta didik rabun
(low vision) dan dan peserta didik buta (blind). Ketunanetraan seseorang dapat dialami
sejak lahir dan setelah lahir. Peserta didik tunanetra sejak lahir adalah mereka yang
sama sekali tidak memiliki pengalaman visual sehingga semua pengetahuan dan
informasi yang dimilikinya bersumber dari rangsang indra lain. Sebaliknya, peserta
didik tunanetra setelah lahir adalah mereka yang pernah memiliki pengalaman visual
dalam hidupnya. Peserta didik tunanetra setelah lahir ini kehilangan penglihatannya
karena berbagai hal, misalnya karena kecelakaan. Dikaitkan dengan program nasional
GLS, baik peserta didik dengan low vision maupun yang blind, serta tunanetra sejak
lahir maupun setelah lahir semuanya membutuhkan layanan khusus; misalnya,
modifikasi struktur teks informasi dan alih aksara ke huruf Brille.
Huruf Braille merupakan sistem abjad fonetik takstil untuk penyandang tunanetra
(Hoskin dan Davis, 2019). Huruf Braille merupakan korespondensi satu demi satu titik
(Emerson; Holbrook; dan D’Andrea, 2009). Urutan abjad Braille mengikuti urutan
abjad Latin, yang terdiri dari 26 huruf, yakni huruf a – z. Karakter huruf Brille
dikembangkan berdasarkan kerangka enam titik dengan posisi dua kolom dan tiga baris,
seperti tampak pada gambar berikut ini.
Gambar 1. Kerangka Dasar Karakter Huruf Brille
Karakter huruf Brille dibentuk berdasarkan konfigurasi 6 titik tersebut. Sepuluh abjad
pertama, yakni huruf a – j, dibentuk dengan konfigurasi titik 1, 4, 2, dan 5 yang dalam
sistem Brille disebut tanda atas. Sepuluh huruf kedua yakni k – t dibentuk dengan
menambhakan titik posisi 3 pada sepuluh huruf pertama itu. Selanjutnya, lima huruf
lainnya, yakni u, v, x, y, dan z dibentuk dengan menambahkan titik posisi 3 dan 6 pada
huruf a, b, c, d, dan e; sedangkan huruf w dibentuk dengan konfigurasi titik posisi 2-4-
5-6. Peyimpangan pola titik huruf w karena pada abjad asli Braille tidak dikenal huruf
ini. Huruf w dikenal dalam abjad Brille setelah masuk Amerika (Hidayat dan Suwandi,
2016). Selengkapnya, konfigurasi titik huruf Braille dapat ditabulasi dalam tabel berikut
ini.
Tabel 1. Konfigurasi Titik Huruf Braille
No. Huruf Latin Konfigurasi Titik Huruf
Brille
1. a/A 1
2. b/B 1-2
3. c/C 1-4
4. d/D 1-4-5
5. e/E 1-5
6. f/F 1-2-4
7. g/G 1-2-4-5
8. h/H 1-2-5
9. i/I 2-4
10. j/J 2-4-5
11. k/K 1-3
12. l/L 1-2-3
13. m/M 1-3-4
14. n/N 1-3-4-5
15. o/O 1-3-5
16. p/P 1-2-3-4
17. q/Q 1-2-3-4-5
18. r/R 1-2-3-5
19. s/S 2-3-4
20. t/T 2-3-4-5
21. u/U 1-3-6
22. v/V 1-2-3-6
23. w/W 2-4-5-6
24. x/X 1-3-4-6
25. y/Y 1-3-4-5-6
26 z/Z 1-3-5-6
Selaian huruf, sistem Braille pun memiliki cara penulisan angka dan tanda baca yang
harus dihafalkan oleh para penyandang tunanetra. Konfigurasi titik untuk angka Braille
dapat disajikan pada tabel berikut ini.
Tabel 2. Konfigurasi Titik Angka Braille
1.2 Gerakan Litearasi SLB
Gerakan Literasi Sekolah merupakan program nasional yang pelaksanaannya
didasarkan pada Peraturan Meneteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun
2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti; yang dalam lampirannya mewajibkan sekolah
melaksanakan kegiatan membaca selain buku pelajaran selama 15 menit setiap hari
untuk menumbuhkan kebiasaan berliterasi. Kewajiban itu pun melekat pada SLB.
Untuk kepentingan ini, pemerintah telah menerbitkan panduan GLS untuk SLB, yang di
dalamnya memuat pula penjelasan pedoman pelaksanaan literasi bagi anak tunanetra
(Wiedarti, dkk., 2016b).
Konsep awal literasi berpijak pada makna keberaksaraan atau melek huruf, yang
dikaitkan langsung dengan keterampilan membaca dan menulis. Dalam
perkembangannya, konsep dasar itu dielaborasi secara fungsional hingga mencakup
kemampuan mengaplikasikan dan mengomunikasikan IPTEKS menjadi keterampilan
hidup (Harsiati dan Priyatni, 2017). Kegiatan literasi merupakan wujud kesadaran dan
kebutuhan belajar sepanjang hayat agar peserta didik mampu mengidentifikasi,
menentukan, menemukan, mengevaluasi, menciptakan dan mengomunikasikan
informasi untuk kehidupan (Wiedarti, 2016a). Selanjutnya, konsep literasi itu
dijabarkan menjadi standar kompetensi lulusan (SKL), yakni para peserta didik dapat
menemukan dan mengaplikasikan informasi secara kreatif dan inovatif dalam
kehidupan sehari-hari berdasarkan pemikiran kritis-rasional; serta mampu memecahkan
masalah (Umamy, dkk., 2012).
Kecepatan membaca merupakan salah satu aspek yang menentukan keberhasilan
GLS. Jumaidi, dkk. (2013) merinci kecepatan membaca ideal berdasarkan jenjang
pendidikan, seperti berikut. Untuk tingkat SD kecepatan membaca idealnya adalah 200
kpm (kata per menit), SMP 250 kpm, SMA 325 kpm, mahasiswa 400 kpm. Akan tetapi
realitasnya tidak demikian. Berdasarkan data statistik rata-rata kecepatan membaca
peserta didik dengan penglihatan normal adalah 200 – 250 kpm (Noer, 2016);
sedangkan bagi anak tunanetra jauh lebih lambat, yakni hanya 90 – 115 kpm (Jumaidi,
dkk. 2013).
Peserta didik tunanetra memiliki banyak hambatan dalam kegiatan berliterasi.
Pembaca pemula teks berhuruf Braille umumnya belum memiliki kepekaan dan
kemahiran membaca secara takstil. Mereka belum sensitif terhadap elemen-elemen
subleksikal. Pembaca pemula Braille tidak hanya belajar tentang huruf, gramatikal, dan
ejaan; tetapi juga belajar tentang konstruksi Braille dan aturan penggunaannya
(Emerson; Holbrook; dan D’Andrea, 2009). Adanya berbagai keterbatasan itu
memerlukan modifikasi lingkungan belajar. Hal ini sesuai dengan prinsip pendidikan
luar biasa, yakni lingkungan yang menyesuaikan dengaan kebutuhan peserta didik yang
memiliki keterbatasan.
2.3 Wacana Telegrafis
Konsep wacana tulis telegrafis dikembangkan sesuai kebutuhan lapangan bagi
peserta didik tunanetra, yang memiliki kecepatan membaca rata-rata lebih lambat
daripada anak-anak awas. Secara operasional, konsep ini dipandang sebagai konstruksi
wacana yang lebih fokus pada aspek informasi inti daripada informasi pejelas dan
ilustrasi. Definisi operasional ini merujuk pada konsep kalimat telegrafis yang lebih
mempertahankan kontentif daripada fungtor (Akhyar, 2017). Meskipun sangat
singakat, konstruksi wacana telegrafis wajib mempertahankan keutuhan pesan serta
menjaga kekoheresian dan kekohesifannya. Hal ini sagat penting karena hakikat wacana
adalah keutuhan informasi yang mempersyaratkan adanya kohesi dan koherensi (Lubis,
1993; Badara 2012).
Wacana telegrafis juga dikembangkan dengan berpijak pada prinsip kerja sama.
Dalam studi pragmatik, prinsip kerja sama merupakan panduan penggunaan bahasa
secara efektif. Indikator keefektifanya dituangkan menjadi empat maksim, yakni:
maksim kuantitas, kualitas, relevan, dan cara (Leech, 1983 dan Nababan, 1987).
Maksim kuantitas fokus pada jumlah informasi yang disampaikan. Prinsip dasarnya
adalah pemberian informasi sebanyak yang diperlukan. Maksim kualitas menekankan
pentingnya kebenaran informasi. Maksim relevansi lebih berorientasi pada aspek
kesesuaian kebutuhan informasi. Bagi peserta didik tunanetra, literasi kedaruratan,
akademik, dan fungsional lebih dibutuhkan (Waldron; Steer; dan Bhargava, 2014;
Schiff, 2009). Terakhir, maksim cara mengatur pilihan konstruksi kebahasaan yang
digunakan, seperti pilihan kalimat, diksi, urutan gagasan, singkat, dan tidak taksa.
Prinsip-prinsip itulah yang diaplikasikan dalam penyusunan wacana telegrafis untuk
memenuhi kebutuhan literasi peserta didik tunanetra.
2. Metode
Peneltian ini menggunakan desain kualitatif. Prinsip dasar penelitian kualitatif
adalah menjadikan manusia sebagai subjek utama dalam suatu peritiwa (Kopeuw,
2009). Terkait dengan penelitian ini, peserta didik tunanetra merupakan subjek utama
sedangkan kegiatan literasi sebagai peristiwanya.
3.1 Sampel Penelitian
Penelitian tentang GLS SLB di Provinsi Bali ini direncanakan selama 3 tahun.
Pada tahun pertama (2020) difokuskan pada literasi bagi peserta didik tunantera (SLB-
A). Sampel penelitian tahun ini berjumlah 65 orang yang tersebar pada 3 SLB Negeri
dari Kabupaten yang berbeda, yang ditentukan secara purposive. Sebaran sampel
penelitian dapat dirinci seperti berikut.
Tabel 3. Sampel Penelitian
No Sekolah Jumlah Peserta Didik
Tunanetra
1 SLB Negeri 1 Denpasar 52 orang
2 SLB Negeri 1 Tabanan 9 orang
3. SLB Negeri 1 Singaraja 4 orang
Jumlah 65 orang
3.2 Pengumpulan Data
Data penelitian dikumpulkan dengan tiga cara. Pertama, data tentang kecepatan
membaca peserta didik tunanetra dikumpulkan melalui pencatatan dukumen. Dokumen
itu berupa catatan evaluasi portofolio dari para guru. Kedua, validasi data dokumenter
dilakukan melalui wawancara mendalam (indepth interview) dengan para guru pembina.
Dengan teknik snow ball dapat digali informasi yang lebih luas dan mendalam tentang
variabel-variabel yang mempengaruhi kecepatan membaca peserta didik tunanetra.
Ketiga, untuk mengetahui keadaan sarana dan prasarana literasi dilakukan observasi
lapangan. Yang menjadi fokus observasi adalah pusat kegitan literasi pada sekolah
sampel. Keempat, untuk melengkapi data yang diperoleh disebarkan angket dengan
pertanyaan tertutup kepada sejumlah guru, pegawai dan orang tua siswa. Pernyataan
dalam angket disusun sesuai pola Likert. Angket itu terdiri dari 100 item pernyataan
yang dielaborasi dari 4 topik utama, yaitu: (a) kegiatan membaca 15 menit sebelum
pelajaran dimulai, (b) ketersediaan ruang/pojok baca serta variasi bahan bacaaan
berhuruf Braille, (c) dukungan guru, pegawai dan komite/orangtua terhadap program
literasi sekolah, serta (d) persepsi tentang program GLS.
3.3 Analisis Data
Sesuai karakteristiknya, analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan secara
intreraktif berkelanjutan hinga tuntas. Dalam penelitian kualitatif, ada tiga tahap analisis
data, yaitu: reduksi data, display data, serta verifikasi dan penarikan simpulan (Sugiono,
2012). Pada tahap reduksi data, dilakukan klasifikasi berdasarkan kesamaan pola
sehingga data menjadi lebih sederhana. Dalam penelitian ini dilakukan reduksi data
tentang pola pelaksanaan program literasi. Display data merupakan kegiatan menyajikan
data dalam bentuk tabel, grafik, dan lain-lain sehingga mudah diberikan interpretasi.
Pada tahap ketiga dilakukan verifikasi untuk menarik simpulan. Simpulan penelitian
kualitataif merupakan temuan baru. Dalam penelitian ini temuan baru itu adalah
kebutuhan teks tulis Braille telegrafis.
3. Hasil dan Pembahasan
4.1 Pelaksanaan GLS pada Peserta didik Tunanetra
Gerakan literasi sekolah dilaksanakan untuk menumbuhkan budaya baca pada para
peserta didik. Untuk itu, setiap sekolah wajib melaksanakannya melalui kegiatan
membaca buku selain buku pelajaran selama 15 menit sebelum pelajaran dimulai. Oleh
SLB di Provinsi Bali, GLS untuk peserta didik tunanetra dilaksanakan dengan tiga pola,
yakni dibacakan guru, pengunaan audiobook, dan pojok Braille.
Kegiatan GLS dengan pola dibacakan guru umumnya dilaksanakan untuk peserta
didik tunanetra jenjang SD. Pilihan penerapan pola ini karena peserta didik tunanetra
jenjang SD belum terampil membaca huruf Braille. Inilah perbedaan mencolok antara
anak awas dengan anak tunanetra usia SD. Anak awas sudah belajar membaca, menulis,
dan berhitung sejak TK sehingga ketika tahun pertama SD mereka sudah bisa membaca
dan menulis. Sesuai standar kompetensi pelajaran bahasa Indonesia, anak tunanetra
mulai belajar huruf Brille sejak kelas I semester 1 melalui kegiatan membaca nyaring
suku kata, kata, dan kalimat sederhana serta kegiatan menulis permulaan melalui
kegiatan mencontoh dan menulis permulaan huruf, kata atau kalimat sederhana. Namun,
tampaknya pengimplementasiannya mengalami hambatan yang bersumber dari kesiapan
belajar peserta didik dengan karakteristik yang sangat heterogen. Keheterogenan peserta
didik menyebabkan pembelajaran harus dilakukan secara individual. Berdasarkan data,
jumlah peserta didik tunanetra dalam satu rombongan belajar di SLB Provinsi Bali
berkisar antara 1 – 7 orang, tetapi umumnya 4 orang. Penerpan kelas kecil dalam setiap
rombongan belajar sangat membantu kesuksesan pembelajaran individual. Kondisi ini
sangat berpengaruh pada peningkatan kecepatan membaca huruf Braille. Hambatan
utama lainnya adalah peserta didik tunanetra jenjang SD belum memiliki kesensitifan
takstil. Kesensitifan takstil merupakan modal dasar dalam pembelajaran huruf Braille.
Hal ini sejalan dengan padangan (Emerson; Holbrook, dan Andre, 2009). Dengan
pembelajaran indivual, peserta didik tunanetra umumnya bisa membaca teks singkat
berhuruf Braille sekitar kelas IV dan V.
Pola literasi kedua yang diaplikasikan pada kelas tunanetra adalah penggunaan
audiobook. Audiobook pada hakikatnya merupakan rekaman suara dari sebuah buku. Isi
buku cetak sama dengan audiobook. Teknisnya, sebuah buku dibaca oleh narator dan
direkam (biasanya disertakan ilustrasi musik). Hasil rekaman diputar untuk
didengarkan oleh audiens. Pembuatan audiobook bertujuan untuk membantu literasi
peserta didik tunanetra. Berdasarkan keutuhan teksnya, audiobook yang digunakan
dibedakan menjadi dua, yaitu unabridge dan abridge. Unabridge audiobook merupakan
rekaman utuh (lengkap) dari sebuah buku; sedangkan abridge audiobook merupakan
pembacaan ringkas dari sebuah buk (Camalia, 2016). Meskipun terjadi proses
peringkasan, substansi isi buku wajib tetap dipertahankan. Penggunaan audiobook untuk
pelaksanaan GLS di SLB dengan peserta didik tunanetra umumnya dilakukan pada
ruang komputer dengan bimbingan guru. Kegiatannya pun dilakukan secara terprogram.
Penggunan audiobook merupakan upaya pemanfaatan kemajuan teknologi informasi
bagi peserta didik tunanetra. Pola ini dikembangkan karena fakta menunjukkan bahwa
kecepatan membaca peserta didik tunanetra lebih rendah daripada peserta didik awas.
Untuk mengimbangi kelambatan membaca itu, pola ini dikembangkan. Meskipun pola
ini sangat membantu, tetapi tidak dapat diterapkan kepada peserta didik tunanetra yang
disertai tunarungu. Untuk itu, terlebih dahulu diperlukan identifikasi peserta didik.
Pola ketiga adalah penyediaan pojok baca. Sekolah menyediakan sejumlah buku
berbagai bidang yang ditulis dengan huruf Braille. Pojak baca ditempatkan pada posisi
yang sangat aman agar tidak membahayakan peserta didik. Pojok baca umumnya
ditempatkan di belakang ruang kelas. Penempatan ini bertujuan untuk mengurangi
mobilitas peserta didik tunanetra. Pola literasi dengan pojok baca ini dinilai paling ideal
karena dapat memenuhi kebutuhan dan minat peserta didik secara individual.
Kendalanya anatar lain : (a) kerapian dan katalog buku kurang terjaga; (b) perlu ada
distribusi pertukaran buku secara periodik antarpojok baca untuk menghindaari
kebosanan peserta didik; (c) kecepatan dan keterampilan membaca peserta didik yang
sangat variatif, dan (d) belum semua SLB di Provinsi Bali memiliki alat yang memadai
untuk pelaksanaan GLS tunanetra. Kekurangtersediaan buku bacaaan berhuruf Braiile
merupakan kendala utama pembuatan pojok baca. Untuk mengatasi masalah (a) dan (b)
peran pustakawan dapat dioptimalkan. Untuk masalah (c) guru pembina literasi dapat
menyusun program percepatan keterampilan membaca Braille; sedangkan masalah (d)
dapat diatasi dengan pelibatan dan peran serta pemangku kepentingan: pemerintah pusat
dan daerah, sekolah, komite, orang tua, dan kelompok masyarakat.
3.2 Kecepatan Efektif Membaca Peserta Didik Tunanetra
Dalam penelitian ini, kecepatan membaca difokuskan kepada peserta didik
tunanetra yang telah terampil membaca Brille. Oleh karena itu data yang dikumpulkan
dari jenjang SMPLB dan SMALB. Ada dua data sekunder terpisah diperoleh dari guru,
yaitu jumlah kata yang dibaca siswa per menit dan hasil tes pemahaman isi bacaan.
Data itu merupakan dokumen tahun pelajaran 2018/2019. Data tahun pelajaran
2019/2020 tidak bisa diperoleh karena terkendala pandemi Covid-19. Kedua data itu
diolah untuk mendapatkan kecepatan membaca efektifnya. Kecepatan membaca efektif
merupakan korelasi jumlah kata yang dapat dibaca per menit dengan tingkat
pemahaman isi. Data sekunder itu diolah dengan formula berikut ini.
Keterangan :
KEM = kecepatan efektif membaca
jk = jumlah kata terbaca
1m = 1 menit
sn = skor nyata
SMI = skor maksimal ideal /skor harapan
kpm = kecepatan per menit
(Diadaptasi dari Jumaidi, dkk; 2013)
Pengolahan data sekunder dengan formula itu menghasilkan kecepatan efektif
membaca (KEM) peserta didik tunanetra seperti pada tabel 2 dan 3 berikut ini.
Tabel 4. Kecepatan Efektif Membaca Teks Huruf Braiile
Siswa Tunanetra pada SMPLB di Provinsi Bali
No. Kode
Subjek
Jumlah kata
per menit
Pemahaman
(SMI = 100) KEM
1. MA 112 70 78,40
2. IPA 121 75 90,75
3. ET 116 70 81,20
4. AGR 102 75 76,50
5. MAP 110 75 82,50
6. KSY 109 70 76,30
7. KTA 121 75 96,80
8. KDA 129 80 103,20
9. IM 108 75 81,00
10. PBK 113 75 84,75
11. NGA 120 75 90,00
12. GAT 117 70 81,90
13. GDJ 108 75 81,00
14. DNJ 120 75 90,00
15. DL 114 70 79,80
Rata-rata 108 72,67 84,94
Pembulatan 108 73 85
Tabel 5. Kecepatan Efektif Membaca Teks Huruf Braiile
Siswa Tunanetra pada SMALB di Provinsi Bali
No. Kode
Subjek
Jumlah kata
per menit
Pemahaman
(SMI = 100) KEM
1. IPS 120 75 90,00
2. SAM 127 80 101,60
3. NEY 118 75 88,50
4. KYL 120 75 90,00
5. KRA 123 80 98,40
6. MFG 118 75 94,00
7. KA 126 80 100,80
8. KDS 118 80 94,40
9. PYP 122 75 91,50
10. KAM 120 75 90,00
11. KR 117 80 93,60
12. KS 120 75 90,00
13. GNA 127 80 101,60
14. AKC 119 80 95,20
15. ENF 122 80 97,60
16. AMH 118 80 94,40
Rata-rata 120,94 77,81 100,77
Pembulatan 121 78 101
Berdasarkan tabel 4 dan 5 di atas dapat diketahui kecepatan membaca efektif
peserta didik tunanetra jenjang SMPLB – SMALB di Provinsi Bali adalah 85 – 101
kpm. Sebagai perbandingan, kecepatan membaca efektif peserta didik jenjang SMP –
SMA (normal) adalah 250 – 325 kpm (Jumaidi, dkk; 2013). Data ini membuktikan
bahwa membaca Braille jauh lebih lambat daripada membaca huruf awas. Kelambatan
membaca huruf Braille disebabkan banyak faktor, antara lain kepekaan takstil peserta
didik tunanetra jenjang SMPLB – SMALB masih perlu ditingkatkan. Selain itu, faktor
psikologi pun diduga berpengaruh, yakni perasaan rendah diri dan putus asa
menghambat prestasi belajar peserta didik tunanetra. Untuk itu dibutuhkan upaya
konsling secara berkelanjutan hingga dapat memunculkan motivasi berprestasi pada
peserta didik tunanetra..
3.3 Kebutuhan Teks Telegrafis
Perbedaan kecepatan efektif membaca siswa awas dengan peserta didik tunanetra
sangat mencolok. Peserta didik tunanentra rata-rata membutuhkan waktu 3 kali lebih
lama daripada peserta didik awas untuk membaca teks dengan jumlah kata yang sama.
Selain terus memacu kecepatan membaca Braile melalui pelatihan yang berkelanjutan
diperlukan pula upaya pengubahan konstruksi teks menjadi lebih padat dan ringkas.
Peringkasan teks awas menjadi Braille tidak boleh mengurangi inti informasi. Prinsip
ini sejalan dengan audiobook jenis abridge (Camalia, 2016). Sifat padat dan ringkas itu
yang diharapkan seperti menulis berita telegram, yang hanya mempertahankan
informasi pokok. Gagasan pengembangan wacana telegrafis diturunkan dari konsep
kalimat telegrafis pada periode pemerolehan bahasa anak. Pada kalimat telegrafis, anak-
anak hanya mempertahankan kontentif, yakni kata yang signifikan menentukan makna
suatu kalimat; misalnya, Bapak kantor untuk menyatakan maksud ‘Bapak sedang
bekerja di kantor’. Merujuk konsep dasar itu, wacana tulis telegrafis dikembangkan agar
peserta didik tunanetra tidak kehilangan informasi karena terkendala kecepatan
membacanya yang masih sangat rendah. Berikut ini disajikan sebuah contoh teks
informasi tentang covid 19 dalam 2 huruf yang berbeda.
Gambar 2. Contoh Wacana Utuh Berhuruf Awas
Gambar 3. Wacana Utuh Berhuruf Braille
Gambar 2 merupakan teks berhuruf awas yang utuh tentang informasi Covid-19
dengan 525 kata. Setelah dikonversi ke dalam huruf Braille, terlihat seperti gambar 3,
yang membutuhkan ruang lebih banyak. Untuk membacanya peserta didik tunanetra
membutuhkan waktu 5,20 – 6,18 menit; sedangkan peserta didik awas hanya
membutuhkan 1,61 – 2,1 menit. Untuk itu, wacana tulis tersebut perlu diubah menjadi
wacana telagrafis dengan jumlah kata yang lebih sedikit, seperti berikut ini.
1 2
3
Gambar 4. Contoh Wacana telegrafis
Wacana telegafis pada gambar 4 merupakan kontraksi dari wacana utuh yang
tertera pada gambar 2. Wacana telegrafis pada gambar 4 hanya terdiri dari 83 kata
dengan kandungan informasi pokok yang sama. Dengan upaya itu, dibutuhkan waktu
yang lebih singkat bagi peserta didik tunanetra untuk memahaminya. Berdasakrkan
contoh wacana itu kebutuhan waktu baca peserta didik tunanetra turun dari 5, 20 – 6,18
menit menjadi hanya sekitar 1 menit. Penggunaan wacana telegrafis pada program
literasi bagi peserta didik tunanetra sejalan dengan prinsip kerja sama dalam teori
pragmatik, khususnya maksim kuantitas; yakni berikan informasi secukupnya (Leech,
1983 dan Nababan, 1987). Mengacu maksim itu, peringkasan teks diwajibkan
mempertahankan keutuhan informasi utama. Selanjutnya, jika wacana telegrafis pada
gambar 4 dikonversi ke dalam huruf Brille akan tampak seperti gambar 5 berikut ini.
Gambar 5. Contoh Wacana telegrafis Berhuruf Brille
4. Simpulan
Program GLS pada SLB dengan peserta didik tunanetra dilaksanakan dengan tiga
pola, yaitu: dibacakan guru, penggunaan audiobook, dan pojok baca. Pilihan ketiga
pola itu merupakan upaya penyesuaian dengan kebutuhan peserta didik tunanetra.
Untuk mendukung pelaksanaan program GLS bagi peserta didik tunanetra dibutuhkan
wacana tulis telegrafis karena kecepatan efektif membaca para peserta didik masih
sangat rendah, yakni 85 – 101 kpm. Berdasarkan temuan ini, perlu dirancang program
kolektif, massal, dan berkelanjutan untuk menyusun kumpulan teks tulis telegrafis
fungsional sesuai kebutuhan peserta didik tunanetra.
Ucapan terima kasih
Penelitian ini dapat dilaksanakan berkat dukungan dana dari Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, tahun anggaran 2020.
Atas bantuan itu kami tim peneliti mengucapkan terima kasih. Ucapan terima kasih
yang tulus juga disampaikan kepada Ibu Kepala SLBN 1 Singaraja, Bapak Kepala
SLBN 1 Denpasar, Bapak Kepala SLBN 1 Tabanan,dan para guru pembina literasi di
ketiga sekolah itu. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Rektor Universitas
PGRI Mahadewa Indonesia.
Referensi
Akhyar, F. (2017). Tahap Perkembangan Bahasa Anak (Tinjauan Neuro
Psikolinguistik), LENTERA: Jurnal Ilmiah Kependidikan, Vol. 1 (2017) pp 99-108 .
http://garuda.ristekbrin.go.id/documents/detail/756831
Badara, A. (2012). Analisis Wacana. Jakarta: Kencana
Camalia, F. (2016). Pengembangan Audiobook Dilengkapi Alat Peraga Materi getaran
Gelombang Untuk Tunanetra Kelas VIII SMP. Universitas Negeri Semarang.
https://lib.unnes.ac.id/26695/
Emerson, R.W; M.C. Holbrook; F. M. D’Andrea. (2009). Acquisition of Literasi Skills
by Young Chikdren Who Are Blind: Results from the ABC Brille Study, Journal
of Visual Impairment & Blindness, pp 610 – 624.
https://www.researchgate.net/publication/286232902
Harsiati, T. dan E.T. Priyatni. (2017). Karakteristik Tes Literasi Membaca pada
Programme for International Student Assesment (PISA), Bibliotika: Jurnal Kajian
Perpustakaan dan Informasi, pp 1 – 11.
http://journal2.um.ac.id/index.php/bibliotika/article/view/2301/1391
Hidayat, A.A. dan A. Suwandi. (2016). Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus
Tunanetra. Jakarta: Luxima Metro Media.
Hoskin, E; dan T.C. Davis. (2019). Assistive Technology for Braille Literacy
Education: Identifying Ideal Design Criteria. Building and Designing Assistive
Technology Lab, Queen University.
https://www.resna.org/sites/default/files/conference/2019/cognitive/Hoskin.html
Jumaidi; Atmazaki, dan H. E. Thahar. (2013). Peningkatan Kecepatan Membaca
Tulisan Braille dengan Teknik Dua Tangan Bagi Tunanetra Kelas V SLB Negeri
2 Padang, Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya Vol 1 (3) pp 60 – 70.
http://ejournal.unp.ac.id/index.php/bsp/article/view/5016
Kopeuw, P. (2009). Hakikat Penelitian Kualitatif, Kuantitatif, dan Tindakan, diambil
dari https://pealtwo.wordpress.com/2012/05/15/
Leech, G. (1983). The Principles of Pragmatics. London and New York: Longman.
Lubis, H.H. (1993). Analisis Wacana Pragmatik. Bandung: Angkasa.
Nababan, P.W.J. (1987). Ilmu Pragmatik (Teori dan Penerapannya). Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Noer, M. (2014). Variasi Kecepatan Baca yang Benar untuk Membaca Bacaan Sehari-
Hari. https://www.membacacepat.com/artikel/variasi-kecepatan-membaca/
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
20015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti.
Schiff, Rubecca. (2009). Information Literacy and Blind and Visually Impaired
Students. New York: City University of New York. DOI: 10.31641/ulj150205
Sugiono. (2012). Metode Penelitian Pendidikan: Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan
R&D. Bandung: Alfabeta.
Umamy, E., Suyono, dan I.A. Basuki. (2012). Pengembangan Instrumen Asesmen
Literasi Membaca dengan Acuan PISA. http://library.um.ac.id/free-
contents/download/pub/pub.php/56393.pdf
Waldron, K; M. Steer; D. Bhargava. (2014). Literacy and Australians with Low Vision.
Melbourne: Tirnity University Press.
Wiedarti, P (Ed). (2016a). Desain Induk Gerakan Literasi Sekolah. Jakarta:
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Wiedarti, P (Ed). (2016b). Panduan Gerakan Literasi Sekolah di Sekolah Luar Biasa.
Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Active Submissions Page 1 of2
H()lilf ABolff
ry':_' y:: a.!':h'r : Active subm,s'l,.ns
ACTIVE SUBMISSIONS
SEARCH C!r*I$Xr ABCfiTVES Ar{r{Out{CEi{Er{rS rO:TOnXALSSABD6 AI}tSAiBgCSpE
HM-NDtD st BlltT AUTHORS
t34 10-11 AAI Affiu6, Gtria. AEara
1-loflItems
START A NEW SUBMISSIONcUQ< HBE to go to step one of the flye-step subml$ls prrc,
XB'Tt'tA'{ WACAI{A'RruS 1&BIMFISffiLt( pioGRAfi GUi EAcr-..
Alran*E GBIImert
On1ne Submlsslms
Aoths Gutdellns
P{Uictloa Ethl6
Ahstm.tlnS ild hdexlns
ReYlere: Acknowledgemnl
Peer Reylew Pffi
Arttcle P1o€TslnS Charses
HEorAl Serds
Co[tad Lrs
usIt
AA'T!ADDED HITS IJRL
flrere are cutrefttt, fro refbacks.
pulllsh I tgnore I pstate I sebctAl I
You are loqged ln 6,..nengrhamawaily Pro,n,eLog Out
tooLSSIIITBffiNNN8 ITOEIII TT:
@2016 Sawerlgadlng, Balal Bahas Prcy. Sulawert Selatan dan Piov. Sulaust Barat. powered by O.tS
TnE work ls llcEed under a Creatlve Commns Attdbutim-ShareAllke 4.0 Intemagmal Ucns.
turnitin
M[N
TEIIPITTE
KEYl!'ORDS
BIPA Buglnese languageMakassar afiksasi bahasaBugis bahasa Indonesiabudaya code mixirE dialekntaiaa fonologi gayabahasa makna meantnqmetafora metaphormtional chaE(ter &nstrudperempuan pllonology
po€try puisi Etytistic
vlsITOR
t0 33679 US
MY 465 RU
$G 135 tN
HK 106 CN
TW4aFRNwst: SKY0U:
7575456
1X51
43
ID
Today:Month:Tohl:
100748243
E@u,"*rrr,*.
GLS PADA SLB DI PROVI... I2IIII2O2O
tsi*rE}
mhtml : file: /ID: \ARNAWA\PENELITIANIPEMETAAN
SURAT PER}IYATAAI{ TANGGT]NG JAWAB BELANJA
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Dr Drs NENGAH ARNA1VA M.HumAlamat : Dalung Pennai Blok S111, Desa Dalung, Kec. Kuta Utara, Badung, Baliberdasarkan Swat Keputusan Nomor SP DIPA 0M2.06.140151612A19 dan Perjanjian / Kontrak
Nomor 1 88/SP2HILT/DRPI\{/2020 mendapatkan Anggaran Penelitian PEMETAAN
GERAzu"N LITERASI PADA SEKOLAH LUAR BIASA DI PROVINSI BALI SebeSaT
108,170,000 .
Dengan ini menyatakan bahwa. :
1. Biaya kegiatan penelitian di bawah ini meliputi :
No Jraian Jumlah
01 BahandTK. bahan habis pakai 9,170,000
02 Pengumpulan l)ataPersipan, penginapan, Bffig harian, honor pembat* peneliti, kansport,ldministrasi" konsumsi
58,200,000
03 Anrlisis Data (fermasuk Sewa Peralatan)*mpel, honor narasumber, administrasi, pengolahan data, lumsum,Lransoort lokal. konsumsi" sewa aeralatan. oemeliharaall peralatan
33,800,000
04 Pelaporan, Luaran Wajib dan Luaran TambahanSiaya seminar, biaya publikasi jurnal nasional terakreditasi, biayarublikasi iurnal internasional bereputasi
g,ooo,ooo
JumIah 108.170-000
2. Jumlah uang tersebut pada angka 1, benar-benar dikeluarkan untuk pelaksanaan kegiatan
penelitian dimaksud.Demikian surat pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya.
@r Drs NENGAH ARNAWA, M.Hum)NIPA{IK t96s1224199003 I 00 1
uar, 18 -4-2021
ruascAJx089334251