sejarah perpustakaan bait al-hikmah pada - Jurnal Raden Fatah
Ilmu Asbab al-Wurud (Kajian terhadap Sejarah dan Karya di bidang Asbab al-Wurud)
Transcript of Ilmu Asbab al-Wurud (Kajian terhadap Sejarah dan Karya di bidang Asbab al-Wurud)
1
A. Pendahuluan
Hadis merupakan sumber ajaran kehidupan yang menduduki tingkat kedua
setelah Alquran. Salah satu fungsi hadis terhadap Alquran adalah memperjelas
sesuatu yang di dalam Alquran masih global atau samar. Dalam fungsi yang
demikian, umat Islam telah mengakui dan menerimanya. Sebagai sebuah penjelas,
maka hadis tidak boleh bertentangan dengan kandungan makna atau maksud dari
Alquran. Alquran dan hadis adalah dua entitas yang saling menyempurnakan dan
melengkapi.1 Hadis Nabi merupakan penafsiran Alquran dalam praktek atau
penerapan ajaran Islam secara faktual dan ideal. Hal ini mengingat bahwa pribadi
Rasulullah yang merupakan perwujudan dari Alquran yang ditafsirkan untuk
manusia, serta ajaran Islam yang dijabarkan dalam kehidupan sehari-hari.2
Untuk memenuhi fungsi hadis yang demikian, maka kita mestinya dapat
memahami hadis secara tepat sehingga hal tersebut dapat mempermudah kita untuk
memahami Alquran dan ajaran Islam itu sendiri. Ada banyak perangkat keilmuan
yang dapat menjadi alat untuk dapat menggali pemahaman terhadap hadis. Salah satu
ilmu yang penting yakni ilmu asbāb al-wurūd hadis yang dalam fungsinya bagi hadis
tidak berbeda dengan posisi ilmu asbāb al-nuzūl bagi Alquran.
Oleh karena itu, pada makalah ini penulis menguraikan kajian tentang ilmu
asbāb al-wurūd serta beberapa hal yang melingkupinya seperti definisi asbāb al-
wurūd, perbedaan dengan tarikh al-mutun, serta klasifikasi dan fungsi asbāb al-
wurūd. Selanjutnya, untuk memperkaya kajian, penulis juga menelaah dua buah kitab
asbāb al-wurūd yakni kitab al-Lumā' fī Asbāb al-Wurūd al-Hadīts karya al-Suyuthi
dan al-Bayān wa al-Ta'rīf fī Asbāb Wurūd al-Hadīts al-Syarīf karya Ibn Hamzah al-
Husayni al-Hanafi al-Dimasyqi.
1Barmawi Mukri, Kontekstualisasi Hadis Rasulullah, (Yogyakarta: Ideal, 2005), hlm. iii.
2Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir, Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), hlm. 18.
2
B. Mengenal Ilmu Asbāb al-Wurūd
1. Definisi dan Sejarah Perkembangan
Dari segi bahasa, asbāb al-wurūd terdiri dari dua kata dalam bahasa arab yakni
asbāb ( د) dan al-wurūd (اسثاب س ) Kata asbāb .(اى adalah jama‟ dari kata dasar (اسثاب
sabab ( ثة س ) berarti al-habl yakni tali, saluran.3 Maksudnya segala sesuatu yang
menghubungkan suatu benda dengan benda lainnya, sebagaimana fungsi tali/saluran.
Adapun kata al-wurūd dapat berarti sampai, muncul.4 Menurut ahli bahasa bahwa
kata ini dapat juga berarti air yang memancar atau mengalir (اىاءاىزسد).
Secara istilah, ilmu asbāb al-wurūd dapat berarti,
جاءف اىز ا اىض س اىذذ سدلجي ثةاىز اىس عشفت عي
Ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi menuturkan sabdanya dan waktu
beliau menuturkan itu.5
اسثر س داىذذ س اسثاب عشفت عي
Ilmu yang menerangkan sebab munculnya hadis dan munasabah-munasabahnya
(latar belakang).6
Dalam pengertian yang lebih luas, al-Suyuthi merumuskan pengertian asbāb al-
wurūd dengan „sesuatu yang membatasi maksud/arti suatu hadis, baik berkaitan
dengan arti umum atau khusus, muthlaq atau muqayyad, atau dinasakh dan
seterusnya‟ atau „suatu arti yang dimaksud oleh sebuah hadis saat kemunculannya‟.7
Pengertian asbāb al-wurūd sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pengertian asbāb
al-nuzūl, bedanya hanya terletak pada objeknya. Jika asbāb al-nuzūl objeknya adalah
Alquran maka asbāb al-wurūd objeknya adalah hadis. Secara sederhana, ilmu asbāb
al-wurūd yakni ilmu yang menerangkan sebab munculnya hadis.
Sebagian ulama berpendapat bahwa sebab-sebab, latar belakang dan sejarah
munculnya suatu hadis seyogyanya sudah tercakup dalam pembahasan ilmu tarīkh,
karena itu tidak perlu dijadikan suatu ilmu yang berdiri sendiri. Akan tetapi karena
ilmu ini mempunyai sifat-sifat yang khusus yang dikhawatirkan tidak seluruhnya
3Al-Hāfizh Jalāl al-Dīn Al-Suyūthī, Asbāb Wurūd al-Hadīts aw al-Lumā' fī Asbāb al-Wurūd al-
Hadīts, (Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1983), hlm. 10. 4Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: Rajawali Press, 2011), hlm. 38.
5Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir, Ulumul Hadis, … hlm. 63.
6T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits (Jilid II), (Jakarta: Bulan Bintang,
1987), hlm. 302-304. 7Al-Suyūthī, al-Luma' fī Asbāb al-Wurūd al-Hadīts, … hlm. 11.
3
tercakup dalam ilmu tarīkh dan mempunyai manfaat yang besar sekali dalam ilmu
hadis, maka kebanyakan ahli hadis sepakat untuk menjadikannya sebagai suatu ilmu
sendiri, yakni sebagai cabang ilmu hadis dari segi matan.8
Adapun terkait sejarah perkembangan ilmu ini tentu sulit melacak kemunculan
pertamanya. Namun demikian, asbāb al-wurūd yang mayoritas berasal dari riwayat
tentu telah ada sejak masa Nabi karena asbāb al-wurūd itu sendiri adalah peristiwa
yang mengitari munculnya suatu hadis. Meskipun demikian, di masa Nabi saw. para
sahabat tentu tidak menyadari akan pentingnya asbāb al-wurūd karena hadis-hadis
Nabi tidaklah seperti Alquran. Jika Alquran merupakan firman Allah yang terbatas
waktu turun dan jumlahnya, maka tidak demikian dengan hadis. Hadis adalah segala
hal, baik perkataan, perbuatan juga taqrir Nabi saw. yang muncul di masa hidup
beliau setiap hari dan setiap waktu.
Oleh karena itu, ada banyak sekali hadis yang asbāb al-wurūd nya tidak
diriwayatkan dan asumsi kita adalah karena para sahabat merasa penjelasan tentang
asbāb al-wurūd memang tidak urgen pada saat itu. Misalnya saja, hadis-hadis yang
memuat tentang isi khutbah atau ceramah yang disampaikan Nabi saw. pada hari-hari
tertentu. para sahabat menganggap bahwa kegiatan itu adalah kegiatan rutin yang
hanya berupa penyampaian ajaran agama dari Nabi saw. sehingga tidak perlu untuk
menguraikan secara detail situasi dan kondisi ketika Nabi saw. menyampaikan
khutbahnya. Demikian pula pada sekian banyak hadis Nabi saw. yang lain. Meskipun
suatu hadis mungkin memiliki makna tertentu sesuai dengan situasi yang
mengitarinya, namun tanpa perlu dicantumkan riwayat asbāb al-wurūdnya, para
sahabat sebagai saksi hadis tentu sudah dapat memahami dan mengetahui kenapa
hadis itu muncul dan bagaimana pemahamannya. Namun, hal ini kemudian menjadi
berbeda ketika Nabi saw. wafat dan para sahabat yang menjadi saksi juga tidak ada.
Dalam perkembangannya, para ulama menganggap bahwa asbāb al-wurūd
menjadi salah satu aspek penting dalam memahami maksud dan makna yang
dikehendaki hadis. Karena itu, saat ini ilmu asbāb al-wurūd telah menjadi bagian
dari „ulūm al-hadīts. Penyebutan istilah ilmu asbāb al-wurūd ini nampaknya juga
tidak terlepas dari istilah asbāb al-nuzūl dalam kajian Alquran. Jika Alquran
8Fatchur Rahman, Iktisar Musthalahul Hadits, (Bandung: Al-Ma‟arif, 1987), hlm. 286.
4
seringkali disebutkan dengan term „turun‟ maka hadis disebutkan dengan term
„muncul‟. Meskipun demikian, belum ditemukan keterangan pasti terkait istilah bagi
ilmu ini juga kemunculan ilmu ini pertama kalinya dalam kajian „ulūm al-hadīts.
Penulis hanya menemukan dalam beberapa sumber bahwa perintis ilmu ini yakni
Abu Hamid bin Kaznah al-Jubary9, kemudian disusul oleh Abu Hafsh Umar bin
Muhammad bin Raja‟ al-Ukbury/Al-Akbari10
(380-458 H) dengan kitab asbāb al-
hadīts. Selanjutnya imam al-Suyuthi (849-911 H) juga melahirkan kitab Asbāb
Wurūd al-Hadīts atau al-Luma' fī Asbāb al-Wurūd al-Hadīts. Lalu dilanjutkan oleh
Ibnu Hamzah al-Husainy al-Dimasyqi (1054-1120 H) yang mengarang kitab asbāb
al-wurūd berjudul al-Bayān wa al-Ta‟rīf fī Asbāb Wurūd al-Hadīts al-Syarīf. Kitab-
kitab yang telah disebutkan diatas secara umum merupakan kitab yang memuat
riwayat-riwayat asbāb al-wurūd hadis. Motif utama penghimpunan asbāb al-wurūd
hadis tersebut terutama ketika para ulama mulai giat memahami syariat dan dasar
hukum agama.
Seiring dengan perkembangan zaman dan kompleksnya masalah umat Islam,
kebutuhan akan memahami hadis semakin besar. Karena itu, sebagian ulama
memandang bahwa memahami hadis dengan asbāb al-wurūd secara sempit yang
berasal dari riwayat (asbāb al-wurūd mikro) tidaklah cukup. Hal inilah yang
memunculkan konsep asbāb al-wurūd makro yakni dengan mempertimbangkan
berbagai aspek di luar asbāb al-wurūd dari riwayat seperti aspek sosiologis,
antropologis, psikologis, dan historis. Konsep ini pada awalnya digagas oleh tokoh
kontemporer bernama Fazlur Rahman yang menggabungkan antara asbāb al-wurūd
mikro dan asbāb al-wurūd makro sebagai bahan pertimbangan untuk menemukan
ideal moral dari suatu hadis.
9Disebutkan bahwa dalam naskah lfiyatus-Suyuthy, syarah Muhammad Mahfudh At-Turmusy,
tertulis „Al-Jubany‟, tetapi dalam Alfiyatus-Suyuthi, syarah Ahmad Muhammad Syakir tertulis „Al-
Jubary‟ sebagaimana dikutip dari Fatchur Rahman, Iktisar Musthalahul Hadits,... hlm. 287. Dalam
kitab Al-Suyūthī disebutkan nama lengkap beliau adalah Abu Sa‟ad Abdul Jalil bin Muhammad
Abdul Wahid bin Qatadah al-Jubari al-Hafizh. Namanya dinisbahkan pada desa Jubarah, suatu daerah
yang termasuk wilayah Isfahan. Lihat Al-Hāfizh Jalāl al-Dīn Al-Suyūthī, Proses Lahirnya Sebuah
Hadits: Asbab Wurud al-Hadits, Thohiruddin Lubis (ed.), (Bandung: Pustaka, 1985), hlm 310. 10
Beliau adalah seorang guru Abu Ya‟la Muhammad bin al-Husain al-Farra al-Hanbaly dan salah
seorang murid dari Abdullah bin Ahmad bin Hanbal.
5
2. Perbedaannya dengan Ilmu Tarīkh al-Mutun
Dalam definisi yang sederhana, ilmu tarīikh al-mutun menerangkan sejarah
munculnya hadis Nabi (ف ش ساىش داىذذ س خ ذاس عشفت .(عي11
Secara sepintas, ilmu ini
dapat dianggap mirip dengan ilmu asbāb al-wurūd, namun sebenarnya ada titik
penekanan kajian yang berbeda dari kedua ilmu tersebut. Jika asbāb al-wurūd
menekankan pada latar belakang dan sebab lahirnya suatu hadis, dengan pertanyaan
kenapa Nabi bersabda atau berbuat demikian, maka pertanyaan substantif dalam
kajian tarīkh al-mutun adalah kapan atau di waktu apa hadis itu diucapkan atau
perbuatan itu dilakukan oleh Nabi saw.
Ilmu tarīkh al-mutun sangat berperan dan berhubungan dengan ilmu nāsikh wa
mansūkh. Hal ini karena untuk menentukan nāsikh dan mansūkhnya hadis harus
diketahui waktu munculnya hadis tersebut sehingga yang muncul belakangan dapat
menghapus hukum dari suatu hadis yang muncul lebih dahulu. Setelah itu baru dapat
diamalkan hadis yang nāsikh sementara yang mansūkh ditinggalkan.12
Meskipun
demikian, ilmu tarīkh al-mutun juga dapat melengkapi ilmu asbāb al-wurūd dalam
membantu untuk memahami makna yang terkandung dalam hadis secara sempurna.
Dalam kajian tarikh al-mutun, terdapat beberapa metode yang dapat digunakan
untuk mengetahui sejarah kemunculan sebuah teks hadits. Pertama, pendataan teks-
teks hadits shahih atau matan-matan hadits yang benar-benar bersumber dari Nabi.
Kedua, penelitian sejarah, dalam hal ini selalu bersinggungan dengan disiplin asbāb
al-wurūd sebuah hadits. Hal ini disebabkan adanya keterkaitan antara unsur-unsur
yang memiliki andil dalam kelahiran sebuah matan hadits, seperti latar belakang,
waktu, tempat, serta sahabat yang menerima matan tersebut. Salah satu cara untuk
mengetahui tarīkh al-mutun yakni dengan mengamati redaksi hadis yang
menunjukkan suatu waktu/masa. Sebagai contoh adanya redaksi „مزا ما ا ه ‟ا13
permulaan yang terjadi adalah begini, „قثو‟14
sebelum, „تعذ‟ sesudah, „ ش ال ‟اخش15
yang terakhir dari dua urusan, „ ش .dengan sebulan, dan isyarat redaksi lainnya ‟تش16
11
Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok Ilmu Dirayah Hadits, … hlm. 302. 12
Fatchur Rahman, Iktisar Musthalahul Hadits,… hlm. 290. 13)سااىثخاس( اىذحفاى ؤااىص اىش د اى
سي عي للا صي سسهللا اتذبت ه أ14 ذ رقثو سأ اءقاهش اى شقا ئراأ تفشجا سرقثيا أ سرذتشاىقثيح أ ع قذاا سي عي للا صي سسهللا ما
سرقثواىقثيح)ساادذ( ثه تعا15اغشخاىاس)سااتداد( ضء ذشكاى سي عي للا صي سسهللا ش آخشال ما
16Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok Ilmu Dirayah Hadits … hlm. 302-304.
6
Dari uraian di atas, kita dapat menyimpulkan perbedaan antara ilmu asbāb al-
wurūd dan ilmu tarīikh al-mutun yakni pada titik penekanan kajiannya antara
mengetahui sebab kemunculan hadis Nabi (mengapa) dan waktu kemunculan hadis
Nabi (kapan). Meskipun demikian, kedua ilmu ini dapat menjadi alat bantu untuk
dapat memahami maksud dan makna dari sebuah hadis.
3. Cara Mengetahui Asbāb al-Wurūd Hadis
Senada dengan Alquran yakni tidak semua ayat memiliki asbāb al-nuzūl, maka
demikian pula dengan hadis. Ada sebagian hadis yang dikemukakan oleh Nabi
didahului oleh sebab tertentu, sebagian lagi tanpa didahului oleh sebab tertentu. Oleh
karenanya, tidak semua hadis Nabi memiliki asbāb al-wurūd, sehingga tidak semua
hadis Nabi dapat dipahami melalui pendekatan ilmu asbāb wurūd al-hadīts ini.
Meski demikian, saat ini gagasan asbāb al-wurūd makro dapat menjadi alternatif
untuk memahami hadis jika memang tidak ditemukan asbāb al-wurūd mikro.
Bagi hadis-hadis yang memiliki asbāb al-wurūd, maka jalan untuk mengetahui
sebab kemunculannya hanya dengan jalan riwayat saja, karena dalam hal ini tidak
ada jalan bagi logika. Artinya, logika tidak bisa mengira-ngira sebab munculnya
hadis karena yang mengetahui hal tersebut hanyalah para sahabat yang hidup di masa
Nabi saw. Kesaksian para sahabat ini kemudian dikemukakan dalam riwayat-riwayat
yang tersebar di berbagai kitab. Menurut al-Suyūthī, asbāb al-wurūd itu dapat
dikategorikan menjadi tiga macam, yakni:17
a. Berupa ayat Alquran
Kategori ini bisa disebabkan turunnya ayat Alquran yang memiliki bentuk
umum, namun yang dikehendaki oleh ayat itu adalah makna khusus. guna
menjelaskan ayat ini, Nabi saw. menjelaskan kepada para sahabat misalnya pada
firman Allah,
18
17
Al-Suyūthī, Proses Lahirnya Sebuah Hadits, … hlm. 16-18 18
Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman
mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat
petunjuk. (QS. Al-An‟am: 82)
7
Pada ayat tersebut terdapat kata zhulmun ( yang dipahami oleh sebagian (ظي
sahabat dengan berbuat aniaya atau melanggar batas ajaran agama. Karena itu,
mereka kemudian datang kepada Nabi dan beliau lantas menjelaskan bahwa yang
dimaksud zhulmun adalah syirik sebagaimana yang disebutkan dalam QS. Luqman:
13 (Sesungguhnya syirik itu merupakan kezhaliman yang besar).19
b. Berupa hadis
Hal ini dapat ditemukan dalam ucapan Nabi saw yang sulit dipahami oleh
sebagian sahabat, lalu beliau menjelaskan melalui hadis untuk menjawab
kemusykilan tersebut. Selain itu, bisa juga hadis yang muncul karena pertanyaan dari
Nabi kepada sahabat, lalu Nabi juga memberi penjelasan/jawaban terhadap
pertanyaan beliau tersebut. Dalam kitab asbāb al-wurūd akan banyak kita temukan
sebab hadis dengan bentuk berupa hadis ini.
c. Berupa perkara yang berkaitan dengan para pendengar di kalangan
sahabat
Bentuk sebab ketiga ini muncul karena adanya suatu persoalan yang berkenaan
dengan penjelasan bagi para sahabat yang mendengarkan pada saat itu. Misalnya
hadis tentang larangan tergesa-gesa menuju tempat shalat yang muncul karena
perilaku beberapa sahabat kala itu.20
قاه أت أتقرادجع ت عثذللا ذع ع ثا شاش قاهدذ شاأتع دذ عاىث صي اذ ت
قاىااسرعجيائىاصي اشأن قاه اصي في عجيثحسجاه ئرس سي عي لجقاهفلذفعياللا ىص
افاذن ا فصي اأدسمر نحف تاىس ن لجفعي اىص ر ائراأذ فأذ 21
Dari Abu Qatadah, dari ayahnya, dia berkata: “Ketika kami sedang shalat
bersama Nabi saw., tiba-tiba beliau mendengar keributan orang-orang. Maka
setelah selesai shalat, Nabi memanggil mereka seraya bertanya: “Mengapa
kalian tadi ribut-ribut?” Mereka menjawab: “Kami terburu-buru ingin
menghadiri shalat ya Rasulullah.” Maka Rasulullah bersabda: “Janganlah
kalian melakukan seerti itu. Apabila kalian mau menghadiri shalat, maka
19
Riwayat ini dikemukakan dalam beberapa kitab hadis seperti Shahīh al-Bukhārī dalam kitāb
ahādīts al-anbiyā, Shahīh Muslim dalam kitāb al-īmān. Lihat Al-Suyūthī, Proses Lahirnya Sebuah
Hadits, … hlm. 17. 20
Hadis no. 13 pada Al-Suyūthī, al-Lumā' fī Asbāb al-Wurūd al-Hadīts, … hlm. 97-98. 21
Abū „Abdullāh Muhammad ibn Ismā‟īl ibn Ibrāhīm ibn al-Mughīrah ibn Barzibah al-Bukhārī,
Shahīh al-Bukhāīî, Juz I, (Beirut: Dār al-Fikr, 1981), hlm. 156.
8
datanglah dengan tenang, tidak perlu terburu-buru. Apa yang kalian dapatkan
bersama imam, maka shalatlah kalian bersamanya dan sempurnakanlah rakaat
yang tertinggal.” (HR. Al-Bukhari)
Bila ditinjau dari kaitan dan terpisahnya hadis satu sama lain, maka asbāb wurūd
al-hadīts ini dapat dibagi dalam dua jenis. Hal inilah yang diungkapkan oleh al-
Bulqiny seperti yang dikutip oleh al-Suyuthi. Kedua jenis asbāb al-wurūd itu
yakni:22
a. Sebab munculnya hadis yang tercantum dalam hadis itu sendiri yakni menjadi
satu dengan hadis yang disampaikan Nabi. Bila asbāb wurūd al-hadīts ini
bersambung dengan hadisnya, maka ia dinukil dari hadis itu. Contoh dari hadis
dan sebab hadis jenis ini sangat banyak seperti hadis tentang Islam, Iman, Ihsan,
dan hadis tentang air dua qullah, serta hadis tentang larangan shalat tergesa-gesa
seperti yang telah disebutkan. Berikut ini contoh lain hadis jenis ini yakni:
سل ت ح عا شا دذ قاه ش د ت ذ ذ شا دذ قاه ص اىذ له عست أخثشا ت ح عنش ع
أتع اد شذ ع اس قاهع ي حاىثا ا أتأ ع فقاهأسأد اس سي عي للا صي ئىاىث جاءسجو
ءى لش سي عي للا صي اىفقاهسسهللا مش اىز سالجش غضاير سجلا اخ ش فأعاداشلز
اى لقثو للا قاهئ ش ءى لش سي عي للا صي سسهللا اقهى ىخاىصا اما وئل ع
ج ت اترغ )سااىسائ( 23
Dari Abu Umamah Al-Bahily, dia berkata: Seseorang datang kepada Rasulullah
SAW dan bertanya: “Bagaimana jika ada seorang yang berjihad untuk mencari
pahala dan ketenaran, adakah ia mendapat pahala?” Jawab beliau: “Ia tidak
akan mendapat pahala”. Maka orang itu mengulangi pertanyaannya hingga tiga
kali, dan beliau tetap menjawab: “Ia tidak akan mendapat pahala.
Sesungguhnya Allah tidak akan menerima amal seseorang, melainkan yang
ikhlas hanya untuk-Nya dan semata-mata hanya mengharap ridha-Nya.”24
22
Al-Suyūthī, al-Lumā' fī Asbāb al-Wurūd al-Hadīts, … hlm. 20. 23
Abū „Abdurrahmān Ahmad bin Syu‟aib al-Nasā`ī, Sunan Al-Nasā`ī, (Beirut: Dār Ihyā al-Turāts
al-Arabī, tt), hlm. 528. 24
Hadis ini juga dimasukkan oleh Ibnu Hamzah al-Dimasyqi dalam kitab beliau yakni hadis no
492. Lihat al-Syarīf Ibrāhīm ibn Muhammad ibn Kamāl al-Dīn aw Ibn Hamzah al-Husaynī al-Hanafī
al-Dimasyqī, Al-Bayān wa al-Ta‟rīf fī Asbāb Wurūd al-Hadīts al-Syarīf, Juz 1, (Beirut: al-Maktabah
al-„Ilmiyyah, 1982), hlm. 416.
9
b. Sebab munculnya hadis yang tidak tercantum dalam hadis itu akan tetapi
dijelaskan pada hadis lain Artinya asbāb wurūd al-hadītsnya terpisah dari hadis
itu, maka ia dinukil melalui jalan/riwayat yang lain. Jenis ini juga banyak karena
terkadang suatu hadis pada satu riwayat diungkapkan dengan lafaz yang pendek.
Untuk mengetahui penyebab munculnya hadis tersebut dapat melalui bantuan
dari hadis dari periwayat lain. Contohnya hadis tentang niat25
atau hadis tentang
jaminan (al-dhammān)26
. Contohnya yakni:
سا م ت قاهصاىخ ا سي ع تنش أت شا دذ قاه تله ت ا سي ت ب أ شا عثذدذ العشض شا دذ
ت ىعثذللا افع شج أتش شع غ د شااىش ادذ شأ ع ت عثذللا شع سسه ع ع
ج شذ لجفا اىص فأتشداع اىذش قاهئرااشرذ أ سي عي للا صي للا خج ف اىذش27
Dari Ibnu Umar, Rasulullah bersabda: “Apabila hari sangat panas, maka
laksanakanlah shalat bila telah dingin, sebab panas demikian hebat itu
merupakan tiupan udara jahannam.” (HR. Al-Bukhari)
Penyebab hadis ini dijelaskan oleh hadis lain yang diriwayatkan oleh perawi
yang berbeda berikut ini.
أخثشااىفضو ،قاه:دذشأتاىس،قاه:دذشاشعثح،قاه:دذشاأتاىىذاىطذاىجابثاىذت
سعأتارس،قه:ماىذس،قاه:سعدصذتة،قه:ئ للاصيللاعيهسسعا
أادسأ،ش«دشتأ»،فقاهىاىثصيللاعيسي:شاىظترإأرإاىادسأ،فش فسسيف
هياىرءافأسرا،دشالشأذش«دشتأ:»ىاهق،فرإ جخفشذاىجذشئ:»اهق،
«جلاىصاتدشتأفشذاىذرااشرا،ف28
)صذخاتدثا(
Dari Abu Dzar, katanya kami bersama Nabi saw. dalam suatu perjalanan.
Kemudian ada seseorang yang minta izin untuk mengumandangkan azan zuhur.
Beliau menjawab, “Biar dingin dulu”. Beberapa saat kemudian, ia minta izin
kembali kepada beliau, dan Rasul menjawab: “Biar dingin dulu”. Sampai
akhirnya kami melihat bayangan yang sudah condong. Maka saat itu Rasul
berkata: “Sesungguhnya panas yang demikian hebat ini adalah hembusan api
25
Hadis dan sebab hadisnya dimuat dalam kitab al-Suyūthī pada hadis no 1. Lihat Al-Suyūthī, al-
Lumā' fī Asbāb al-Wurūd al-Hadīts, … hlm. 72-73. 26
Hadis dan sebab hadisnya dimuat dalam kitab al-Suyūthī pada hadis no 43. Lihat Al-Suyūthī, al-
Lumā' fī Asbāb al-Wurūd al-Hadīts, … hlm. 176-177. 27
Al-Bukhārī, Shahīh al-Bukhāīî, Juz I, ... hlm. 135. 28
Al-Amīr Alā` al-Dīn „Alīy ibn Balbān al-Fārisī, Shahīh Ibn Hibbān bi Tartīb Ibn Balbān,
(Beirut: al-Muassasah al-Risālah, 1997), hlm. 376.
10
jahannam. Maka ketika hari dalam keadaan panas seperti sekarang ini,
lakukanlah shalat ketika sudah dingin.”29
(Shahih Ibnu Hibban)
4. Fungsi Asbāb al-Wurūd
Kedudukan asbāb al-wurūd bagi hadis sebenarnya sama dengan posisi asbāb al-
nuzūl bagi Alquran. Ilmu asbāb al-wurūd merupakan suatu jalan yang penting untuk
memahami makna yang terkandung dalam matan hadis secara kontekstual seperti
halnya ilmu asbāb al-nuzūl bagi pemahaman Alquran. Berikut ini beberapa fungsi
asbāb al-wurūd bagi hadis:30
1. Untuk mengetahui konteks sosial dan budaya atau setting sosial ketika hadis itu
muncul. Hal ini sangat diperlukan sebab dengan ini kita akan mampu memahami
hadis Nabi secara lebih tepat.
2. Untuk mengetahui hikmah-hikmah ketetapan syariat (hukum). Bagi manusia
awam, sebagian ketetapan syariat dianggap tidak memiliki makna, hal ini
dikarenakan pengetahuan mereka tidak sampai kepada hal itu. Dengan
mengetahui asbāb al-wurūd, maka kita dapat menyingkap makna dan hikmah
dari adanya ketetapan syariat dalam hadis.
3. Untuk menjelaskan posisi atau fungsi Nabi saw. ketika menyampaikan hadis
apakah sebagai Nabi (penyampai risalah), kepala negara, pemimpin perang,
kepala rumah tangga atau sebagai manusia biasa.31
4. Untuk mentakhshishkan hukum yang terkandung, karena terkadang lafaz hadis
disebutkan secara umum, sehingga untuk mengambil kandungan isinya
memerlukan dalil yang mentakhsiskannya (takhshish al-‟ am)32
29
Hadis dan penyebab hadis ini juga dimasukkan oleh Al-Suyūthī dalam kitabnya pada hadis no
18. Lihat Al-Suyūthī, al-Lumā' fī Asbāb al-Wurūd al-Hadīts, … hlm. 105-106. 30
Al-Suyūthī, Proses Lahirnya Sebuah Hadits, … hlm. 7-16. Lihat juga Fatchur Rahman, Iktisar
Musthalahul Hadits, … hlm. 287. 31
Fungsi ini dapat dilihat pada asbāb al-wurūd dari hadis berikut ini, “ ام شد تأ أعي ر -Asbāb al .”أ
wurūd hadis ini yakni ketika Nabi saw. memberikan saran mengenai cara penyerbukan kurma pada
petani di Madinah. Karena menganggap posisi beliau sebagai Nabi saw., maka petani tersebut
mengikuti saran Nabi saw. Namun, hasil penyerbukan tersebut malah gagal dan petani tersebut lantas
melaporkannya kepada Nabi saw. mendengar itu, Nabi saw. kemudian bersabda dengan hadis
tersebut. Dengan mengetahui asbāb al-wurūd hadis ini, kita dapat menyimpulkan bahwa saran Nabi
saw. kepada petani tersebut adalah saran sebagai seorang manusia biasa, karena beliau memang tidak
memiliki kemampuan dalam dunia pertanian. Lihat Abū Husain Muslim ibn al-Hajjāj ibn al-Qausyaz
al-Qusyairī an-Naisābūrī, Shahīh Muslim, (Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1991), hlm. 1836.
11
5. Untuk membatasi arti yang mutlak dari suatu hadis (taqyid al-muthlaq).33
6. Untuk merinci ketentuan yang masih bersifat global (tafshil al-mujmal).
7. Untuk menentukan dan menyelesaikan persoalan nāsikh dan mansūkh. Ilmu
asbāb al-wurūd dapat membantu untuk mengetahui mana hadis yang datang
lebih dahulu dari hadis yang bertentangan. Sehingga kita dapat
mengkompromikan atau menghapus yang datang lebih dahulu.
8. Untuk menerangkan „illat (alasan) suatu hukum.
9. Untuk menjelaskan kemusykilan hadis.
Dari sejumlah poin di atas, kita dapat menyimpulkan fungsi umum dari
mengetahui sebab munculnya suatu hadis yakni agar dapat mendukung dalam
pengkajian makna hadis yang dikehendaki. Pengetahuan akan sebab munculnya
hadis dapat menjadi sarana untuk mengetahui dan memahami maksud dari akibat
yang ditimbulkannya (dalam hal ini hadis). Selain itu, kita dapat mengetahui
perubahan hukum, karena hukum dapat berubah karena perubahan atau perbedaan
sebab, situasi, dan „illat.34
Hal ini juga dibenarkan Yusuf al-Qardhawi yang menyatakan bahwa di antara
cara yang baik untuk memahami hadis Nabi saw. ialah dengan memperhatikan sebab
khusus yang melatarbelakangi diucapkannya suatu hadis, atau kaitannya dengan
„illah (alasan/sebab) tertentu, yang dinyatakan dalam hadis atau disimpulkan darinya,
atau dapat dipahami dari kejadian yang menyertainya. Karena itu, menurut haruslah
dilakukan pemilahan antara apa yang bersifat khusus dan yang umum, yang
sementara dan yang abadi, serta antara yang partikular dan yang universal. Dengan
memperhatikan konteks, kondisi lingkungan, serta asbāb al-wurūd, maka tentu akan
lebih mudah untuk mendapatkan pemahaman yang lebih tepat.35
32
Misalnya hadis tentang pahala shalat orang yang duduk (HR. Ahmad). Dari asbāb al-wurūd
dapat dipahami bahwa shalat yang dimaksud adalah shalat sunnah. Lihat Said Agil Husin Munawwar
dan Abdul Mustaqim, Asbabul Wurud, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 14 33
Misalnya hadis tentang sunnah. Kata sunnah masih bersifat mutlak mencakup perbuatan yang
memiliki landasan hukum maupun yang tidak memiliki landasan hukum. Lalu, dari asbāb al-wurūd
al-Suyūthī menyimpulkan bahwa sunnah dalam hadis tersebut adalah perbuatan yang ada nash nya
dalam Islam. Lihat Al-Suyūthī, Proses Lahirnya Sebuah Hadis, ... hlm. 8. 34
Nuruddin „Itr, „Ulum al-Hadits 2, terj. Mujiyo, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), hlm. 108.
Lihat juga Muh Zuhri, Telaah Matan Hadis, (Yogyakarta: LESFI, 2003), hlm. 62. 35
Yusuf Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi saw., terj. Muhammad al-Baqir, (Bandung:
Karisma, 1999), hlm. 131-133.
12
C. Telaah Kitab Asbāb al-Wurūd
1. Al-Luma' fī Asbāb al-Wurūd al-Hadīts
Penulis kitab ini adalah al-Hafizh Abdurrahman ibn al-Kamal Abi Bakr bin
Muhammad bin Sabiq al-Din ibn al-Fakhr Utsman bin Nazhir al-Din al-Hamam al-
Hudhairi al-Suyuthi. Beliau diberi gelar Jalaluddin, serta dipanggil dengan nama Abu
al-Fadhl. Imam al-Suyuthi dilahirkan di wilayah Asyuth pada malam ahad bulan
Rajab, 849 H dan wafat pada tahun 911 H. Beliau dikenal sebagai orang yang begitu
dalam pengetahuannya dalam tujuh disiplin ilmu, yakni Tafsir, hadis, Fiqih, Nahwu,
Ma‟ani, Bayan, dan Badi‟. Karyanya berjumlah sekitar 600 kitab dari berbagai
bidang ilmu.36
Kitab al-luma' fī asbāb al-wurūd al-hadīts adalah salah satu karya fenomenal
beliau dalam bidang hadis terutama mengenai ilmu asbāb al-wurūd. Adapun latar
belakang penulisan kitab ini –sejauh pembacaan penulis secara umum berdasar atas
keinginan beliau untuk turut andil dalam kajian asbāb al-wurūd. Meskipun beliau
mengakui bahwa berdasarkan catatan beberapa ulama dalam kitab mereka –seperti
Syarh al-Nukhbah karya Ibn Hajar- telah ada karya tentang asbāb al-wurūd sebelum
beliau, namun bentuk fisik dari karya tersebut tidak ditemukan. Karena itu, al-
Suyuthi merasa perlu untuk menghimpun hadis-hadis yang memiliki asbāb al-wurūd
hadis.37
Pada terbitan dār al-kutub al-„ilmiyyah tahun 1984, kitab ini dicetak dalam satu
jilid serta telah di tahqīq oleh Yahya Isma‟il Ahmad. Sistematika bab kitab ini terdiri
dari muqaddimah dan sebelas bab (tema). Bagian muqaddimah terdiri dari dua bab
yakni penjelasan tentang asbāb al-wurūd dan pengenalan terhadap kitab ini termasuk
metode pentahqīq. Sementara sebelas bab yang termuat dalam kitab ini yakni bab
thaharah (8 hadis), bab shalat (12 hadis), bab jenazah (8 hadis), bab shiyam (5 hadis),
bab haji (3 hadis), bab jual beli (8 hadis), bab nikah (3 hadis), bab jinayah (5 hadis),
bab adhhiyah (1 hadis), bab makanan (3 hadis), bab adab (42 hadis). Dengan
demikian, total kitab ini mengupas 98 asbāb al-wurūd hadis Nabi saw.
36
Al-Suyūthī, Proses Lahirnya Sebuah Hadits, … hlm. 41-42 37
Al-Suyūthī, al-Lumā' fī Asbāb al-Wurūd al-Hadīts, … hlm. 65.
13
Metode penulisan imam al-Suyuthi dalam menyusun kitab ini yakni:
a. Mengemukan hadis terlebih dahulu dengan baru kemudian menyebutkan sebab
munculnya hadis tersebut. Untuk memudahkan pembaca, maka beliau menandai
dengan kata „دذس‟ sebelum menyebut teks hadis, dan menandai dengan kata
.sebelum menyebut sebab munculnya hadis ‟سثة„
b. Ketika mengemukakan hadis, beliau tidak mencantumkan sanad secara utuh
tetapi hanya menyebut sanad yang berasal dari sahabat serta mukharrij kitab.
Teknik ini dinamakan ta‟liq yakni membuang seluruh sanad dan menyingkatnya
pada peringkat sahabat periwayat hadis.
c. Satu hadis tidak mesti hanya memiliki satu sebab, adakalanya beliau
mengemukakan beberapa sebab dari munculnya hadis tersebut. Karena itu,
beliau menggunakan kata sebab dengan bentuk nakirah (umum) sebagai tanda
bahwa sebab itu tidak terbatas pada apa yang beliau kemukakan saja. Karena itu,
pentahqiq kitab ini juga terkadang menambahkan sebab lain yang belum
dikemukakan al-Suyuti.
d. Sumber rujukan al-Suyuti baik sumber hadis maupun sebab munculnya hadis
yakni kitab-kitab sunnah yang terkenal baik berupa al-Jawāmi‟, al-masānid, al-
ma‟ājim, dan lain-lain, termasuk kitab tarikh.38
e. Dalam mengemukakan hadis yang terkait suatu tema, pada umumnya beliau
hanya menyebutkan satu hadis karna sudah di anggap mewakili. Namun, ada
pula yang disebutkan lebih dari satu hadis namun dari jalur serta sumber hadis
yang berbeda, misalnya hadis ke 3039
. Selain itu, sesekali menyebutkan hadis
yang berasal dari dua kitab hadis berbeda dengan matannya berbeda, misalnya
hadis ke 32.40
38
Di antaranya kutub al-sittah (Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan al-
Tirmidzi, Sunan al-Nasai, dan Sunan Ibnu Majah), Muwathth‟ Malik, Musnad asy-Syafi‟i, Musnad
Ahmad, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al-Hakim al-Naisaburi, Al-Baihaqi, Ath-Thabrani,
Mushannaf Abd Ar-Razzaq, Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, Tarikh Baghdad, dan lain-lain. Lihat Al-
Suyūthī, Proses Lahirnya Sebuah Hadits, … hlm. 48-52. 39
Pada hadis ke-30 tentang berbekam, beliau mengungkapkan hadis dari jalur Usamah bin Zaid
dari Ahmad dan al-Nasai serta hadis lain dari Tsauban dari Abu Dawud. Kedua hadis ini memiliki
matan yang sama. Lihat Al-Suyūthī, al-Lumā' fī Asbāb al-Wurūd al-Hadīts, … hlm. 127-128. 40
Pada hadis ke 32 tentang larangan puasa sebelum Ramadhan, beliau mengungkapkan satu hadis
dari jalur Abu Hurairah dari Ahmad, Muslim dan imam empat (Abu Dawud, al-Tirmidzi, al-Nasa‟I,
14
Adapun kelebihan dari kitab ini di antaranya:
a. Kitab ini bisa dikatakan sebagai kitab pertama yang mengkaji sebab-sebab
munculnya hadis (asbāb al-wurūd hadis), setidaknya kitab yang paling awal
muncul dari kitab-kitab yang sampai kepada kita saat ini, karena kitab-kitab lain
yang terdahulu sudah tidak ditemukan lagi.41
b. Sebagian besar sebab munculnya hadis yang dikemukakan dalam kitab ini
masuk dalam kategori kedua yakni tidak termuat dalam hadis yang dimaksud,
karena itu al-Suyuthi telah melakukan usaha keras untuk dapat melacak sebab-
sebab hadis tersebut.
c. Mendorong umat Islam untuk mengkaji kitab tarikh, karena sebab-sebab hadis
sebagian ditemukan as-Suyuti justru dari kitab tarikh.
d. Al-Suyuthi mengemukakan hadis dan sebabnya secara sederhana dan ringkas,
tidak berpanjang lebar, bahkan beliau juga menggunakan metode ta‟liq dalam
mengungkapkan hadis. Hal ini sebagai cara untuk memudahkan umat Islam.
Adapun kekurangan dari kitab ini yakni:
a. Ada sebagian hadis yang dimuat pada bab tertentu, tapi jika dicermati hadis
tersebut tidak ada kaitannya dengan nama bab yang dimaksud. Contoh pada bab
thaharah dimulai dengan hadis tentang niat. Meskipun jika ingin dipertahankan
mungkin as-Suyuthi ingin memulai kitabnya dengan hadis niat sebagaimana
yang dilakukan al-Bukhari dalam Shahihnya.42
b. Ada beberapa hadis yang tidak disebutkan redaksi hadis dan juga sebab
munculnya hadis tersebut, tapi hanya menyebut tema hadis. Hal ini dapat dilihat
pada hadis no 20, al-Suyuthi hanya menyebutkan „ادادساىرشذ‟.43
dan Ibnu Majah) serta satu hadis lain dari Ibnu Abbas dari Abu Dawud dan al-Baihaqi. Kedua hadis
ini memiliki matan yang berbeda tetapi maknanya sama. Lihat Al-Suyūthī, al-Lumā' fī Asbāb al-
Wurūd al-Hadīts, … hlm. 132. 41
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Al-Suyūthī dalam muqaddimah kitabnya. Lihat Al-Suyūthī,
al-Lumā' fī Asbāb al-Wurūd al-Hadīts, … hlm. 65. 42
Contoh lain misalnya hadis no 28 tentang keutamaan orang yang bersabar saat Allah ambil
barang yang paling dicintainya. Hadis ini dimasukkan oleh Al-Suyūthī dalam bab Jenazah, padahal
jika dicermati hadis ini lebih tepat dimasukkan dalam bab adab. Lihat Al-Suyūthī, al-Lumā' fī Asbāb
al-Wurūd al-Hadīts, … 121. 43
Al-Suyūthī, al-Lumā' fī Asbāb al-Wurūd al-Hadīts, … hlm. 109.
15
Namun, terlepas dari berbagai kekurangan yang ada, al-Suyuthi telah mencurahkan
segala usahanya untuk menghasilkan kitab ini. Karena itu, kitab ini tetaplah istimewa
serta menjadi rujukan penting guna mengetahui asbab al-wurud hadis.
2. Al-Bayān wa al-Ta’rīf fī Asbāb Wurūd al-Hadīts al-Syarīf
Pengarang kitab ini adalah al-Syarīf Ibrāhīm ibn Muhammad ibn Muhammad
ibn Muhammad Kamāl al-Dīn ibn Muhammad ibn Husayn ibn Muhammad ibn
Hamzah. Beliau lebih dikenal dengan kuniahnya yakni Ibn Hamzah al-Husaynī al-
Hanafī al-Dimasyqī. Beliau lahir di Damaskus pada tahun 1054 H/1644 M dan beliau
wafat pada saat sekembalinya dari ibadah haji di suatu tempat bernama Dzāt al-Hajj
pada 1120 H/1708 M. Karya beliau selain al-bayān wa al-ta‟rīf fī asbāb wurūd al-
hadīts al-syarīf yakni Hāsyiyah „alā syarh al-alfiyyah li ibn al-mushannaf al-
nahwi.44
Ibnu Hamzah dikenal sebagai seorang pakar dalam ilmu hadis. Beliau
mengembara untuk menuntut ilmu ke negara lain bersama ayah dan saudaranya, al-
Sayyid „Abdurrahmān. Guru-guru beliau mencapai delapan puluh orang. Gurunya di
Damaskus seperti Muhammad bin Sulaymān al-Maghribī al-Hashakafī dan al-Sayyid
„Abd al-Bāqī al-Hanbalī. Guru di Mesir seperti „Abd al-Bāqī al-Zarqānī, Muhammad
al-Syauburi, Muhammad al-Bakri. Guru- di Haramain seperti Ahmad-al-Nukhli, Ibnu
Salam al-Bisri, al-Hasan bin Ali al-„Ajimi al-Maki, Ibrahim al-Kaurani, Khairuddin
al-Ramli dan seorang pentahqiq hadis, Abd al-Qadir al-Bagdadi dan lain-lain.45
Kitab al-bayān wa al-ta‟rīf fī asbāb wurūd al-hadīts al-syarīf adalah salah satu
karya terbaik Ibnu Hamzah yang memuat hadis-hadis Nabi saw. yang memiliki
asbāb al-wurūd. Kitab ini dicetak pada tahun 1329 H dalam dua jilid besar.46
Kitab
ini merupakan kitab yang paling luas pembahasannya dalam bidang ini sehingga
menjadi salah satu rujukan utama. Kitab ini bahkan telah diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia menjadi tiga jilid besar.
Pada terbitan al-maktabah al-„ilmiyyah tahun 1982, kitab ini dicetak dalam tiga
jilid besar. Sebelum mengemukakan hadis-hadis, bagian awal kitab ini dibuka
44
Umar Ridha Kahalah, Mu‟jam al-Mu`allifīn: Tarajim Mushannif al-Kutub al-„Arabiyyah, Juz I,
(Beirut: Muassasah al-Risālah, 1993), hlm. 69. Lihat juga Ibn Hamzah, Al-Bayān wa al-Ta‟rīf, Juz I,
… hlm. 30. 45
Ibn Hamzah, Al-Bayān wa al-Ta‟rīf, Juz I, … hlm. 29-30. 46
M. Ma‟shum Zein, Ilmu Memahami Hadits Nabi, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2012), hlm.
93.
16
dengan muqaddimah dan muqaddimah kitab. Muqaddimah pertama ditulis oleh Dr.
Abdul Halim Mahmud, berisi hal-hal terkait sunnah Nabi baik kedudukannya
bersama Alquran maupun dalam syariat, serta di bagian terakhir dimuat pula biografi
singkat Ibnu Hamzah. Sementara muqaddimah kedua adalah muqaddimah dari Ibnu
Hamzah yang memuat hal-hal terkait asbāb al-wurūd termasuk beberapa contohnya.
Pada bagian isi kitab, berbeda dengan kitab al-Suyūthī yang disusun dengan
bab-bab berdasarkan tema, kitab ini disusun berdasarkan urutan huruf hijaiyyah atau
berdasarkan urutan seperti kamus (mu‟jam) dengan memperhatikan huruf pertama
dan kedua dari matan hadis yang dikemukakan. Pada jilid pertama kitab ini dimulai
dengan „دشفاىضج‟ sampai dengan „اىضجعاى‟ (hadis ke 1-551). Sementara pada
jilid kedua adalah sambungan dari „ اىضجعاى ‟ hingga „اىعاىيح دشف‟ (hadis ke
552-1169). Pada jilid ketiga sambungan dari „اىيح اىع اىاء„ hingga ‟دشف ‟دشف
(hadis ke 1170-1832). Dengan demikian, total kitab ini mengupas 1832 asbāb al-
wurūd hadis Nabi saw.
Sementara itu, metode penulisan Ibnu Hamzah dalam kitab ini yaitu:
a. Menyebutkan matan hadis sesuai urutan huruf hijaiyyah (dengan memperhatikn
huruf pertama dan kedua untuk pengurutannya) dan memberi nomor. Kemudian
menyebutkan sumber-sumber takhrij hadis serta sahabat yang meriwayatkan
hadis tersebut. Terkadang juga disebutkan kualitas hadis tersebut.
b. Mengemukan riwayat yang memuat sebab munculnya hadis dengan
menyebutkan sahabat yang meriwayatkan hadis terlebih dahulu. Terkadang
beliau menyebut juga sumber takhrij hadis, namun kebanyakan tanpa beliau
sebutkan. Untuk memudahkan beliau memberi tulisan dalam tanda kurung „سثث‟
sebelum menyebutkan sebabnya.
c. Seringkali beliau memberikan catatan kaki pada redaksi hadis yang dianggap
memerlukan penjelasan secara lebih rinci atau jika ada tambahan riwayat yang
serupa untuk menguatkan hadis yang dikemukakan.47
f. Sumber rujukan kitab ini yakni kitab-kitab sunnah yang terkenal seperti kitab
mu‟jam (al-kabīr, al-awsath, dan al-shaghir), al-masānid (musnad Ahmad bin
Hanbal dan lain-lain), dan al-kutub al-sittah (Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim,
47
Lihat Ibn Hamzah, Al-Bayān wa al-Ta‟rīf, Juz I, … hlm. 430.
17
Sunan Abu Dawud, Sunan al-Tirmidzi, Sunan al-Nasai, dan Sunan Ibnu
Majah).48
Berikut ini penulis kemukakan salah satu contoh hadis dan asbāb al-wurūd yang
termuat dalam kitab Ibnu Hamzah.
اىرشاب143) ج فادصاف اد ذ اى ر (ئراسأ
اى ذ اأد زأخشجال اىرش د دا أت سي فالدب عثخاس للاعضدسسالادتذقاى
حعثشتأاتضشخسثثأ قذادفجصاعيسمزاساىذتا ذاى فع ا ذحعص جعو سجلا أ ثر
اهق ج افجعوذصف ا ضخ سجلا ما اشأل ا يللاصهسساهقاهقاىذصثاءفقاهىعص
ثاىشصعذعزاسثةتشمزافرئيسيعللا اصسادذدفجثاىشصعثفثسذقذج49
Adapun kelebihan dari kitab ini di antaranya:
a. Kitab ini bisa dikatakan sebagai kitab yang paling luas pembahasannya.
Dibandingkan dengan kitab al-Suyūthī, kitab ini memuat hadis dan asbāb al-
wurūd yang jauh lebih banyak.
b. Sistematika penyusunan dengan metode mu‟jam memberi kemudahan bagi
pembaca untuk menemukan hadis dan asbāb al-wurūd yang ingin diketahui,
terutama jika mengetahui huruf awal matan hadis.
c. Penyebutan sumber-sumber kitab takhrij pada hadis yang dikemukakan juga
memudahkan pembaca untuk melacak hadis tersebut pada kitab hadis yang asli.
e. Hadis dan sebabnya disajikan secara sederhana dan ringkas yakni hanya
menyebut sahabat periwayat, tidak berpanjang lebar kecuali pada beberapa
bagian yang memang perlu dijelaskan.
Adapun kekurangan kitab ini yakni:
a. Penyusunan dengan metode mu‟jam di satu sisi menjadi kelebihan, namun di sisi
lain juga menjadi keterbatasan bagi pembaca yang tidak mengetahui lafal awal
matan hadis.
b. Pada bagian asbāb al-wurūd hanya beberapa yang disebutkan sumber takhrij
hadis, sementara yang lain hanya disebutkan sahabat periwayat. Hal ini cukup
menyulitkan pembaca jika hendak melacak pada kitab lain terutama jika hadis
dan sebabnya berasal dari dua riwayat yang berbeda.
48
Lihat Muqaddimah Ibn Hamzah, Al-Bayān wa al-Ta‟rīf, Juz I, … hlm. 35. 49
Lihat Ibn Hamzah, Al-Bayān wa al-Ta‟rīf, Juz I, … hlm. 155-156.
18
c. Kitab ini tidak menyebutkan sanad hadis secara lengkap tetapi hanya menyebut
periwayat dari kalangan sahabat. Karena itu, jika hendak mengetahui sanadnya,
maka harus melacak ke kitab aslinya.
Akan tetapi, terlepas dari kekurangan yang ada, kitab al-bayān wa al-ta‟rīf fī
asbāb wurūd al-hadīts al-syarīf telah menjadi salah satu rujukan utama untuk
melacak asbāb al-wurūd hadis. Selain itu, usaha Ibnu Hamzah untuk menghimpun
1832 hadis beserta sebab munculnya merupakan prestasi istimewa yang patut
diacungi jempol.
D. Kesimpulan
Dari pemaparan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa ilmu asbāb al-wurūd
memiliki kedudukan sebagaimana ilmu asbāb al-nuzūl. Ilmu ini menjadi salah satu
penopang dalam usaha untuk mengkaji makna dan maksud dari suatu hadis. Artinya
asbāb al-wurūd menjadi sarana untuk mengetahui dan memahami maksud dari
akibat yang ditimbulkannya yakni hadis. Dengan demikian maksud hadis menjadi
jelas dan terhindar dari berbagai perkiraan yang menyimpang dari tujuan sebenarnya.
Dua buah karya terkenal dalam bidang asbāb al-wurūd yang sampai kepada kita
saat ini yakni al-luma' fī asbāb al-wurūd al-hadīts karya al-Suyūthī dan al-bayān wa
al-ta‟rīf fī asbāb wurūd al-Hadīts al-Syarīf karya Ibnu Hamzah al-Dimasyqi. Dengan
metode penulisan serta keistimewaan masing-masing, maka kedua kitab ini telah
menjadi rujukan penting dalam kajian asbāb al-wurūd.
19
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Muhammad dan M. Mudzakir, Ulumul Hadis, Bandung: Pustaka Setia,
1998.
Al-Bukhārī, Abū „Abdullāh Muhammad ibn Ismā‟īl ibn Ibrāhīm ibn al-Mughīrah
ibn Barzibah, Shahīh al-Bukhāīî, Juz I, Beirut: Dār al-Fikr, 1981.
Husin Munawwar, Said Agil dan Abdul Mustaqim, Asbabul Wurud, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2001.
Ibn Balbān al-Fārisī, Al-Amīr Alā` al-Dīn „Alīy, Shahīh Ibn Hibbān bi Tartīb Ibn
Balbān, Beirut: al-Muassasah al-Risālah, 1997.
Ibn Hamzah al-Husaynī al-Hanafī al-Dimasyqī, Al-Syarīf Ibrāhīm ibn Muhammad
ibn Kamāl al-Dīn, Al-Bayān wa al-Ta‟rīf fī Asbāb Wurūd al-Hadīts al-Syarīf,
Beirut: al-Maktabah al-„Ilmiyyah, 1982.
Ibnu Hibban, Shahīh Ibn Hibbān, al-Maktabah al-Syāmilah.
Itr, Nuruddin, „Ulum al-Hadits 2, terj. Mujiyo, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994.
Kahalah, Umar Ridha, Mu‟jam al-Mu`allifīn: Tarajim Mushannif al-Kutub al-
„Arabiyyah, Juz I, Beirut: Muassasah al-Risālah, 1993.
Muh Zuhri, Telaah Matan Hadis, Yogyakarta: LESFI, 2003.
Mukri, Barmawi, Kontekstualisasi Hadis Rasulullah, Yogyakarta: Ideal, 2005.
Muslim, Abū Husain ibn al-Hajjāj ibn al-Qausyaz al-Qusyairī an-Naisābūrī, Shahīh
Muslim, Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1991.
Al-Nasā`ī, Abū „Abdurrahmān Ahmad bin Syu‟aib, Sunan Al-Nasā`ī, Beirut: Dār
Ihyā al-Turāts al-Arabī, tt.
Qardhawi, Yusuf, Bagaimana Memahami Hadis Nabi saw., terj. Muhammad al-
Baqir, Bandung: Karisma, 1999.
Rahman, Fatchur, Iktisar Musthalahul Hadits, Bandung: Al-Ma‟arif, 1987.
Ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits (Jilid II), Jakarta:
Bulan Bintang, 1987.
Suparta, Munzier, Ilmu Hadis, Jakarta: Rajawali Press, 2011.
Al-Suyūthī, Al-Hāfizh Jalāl al-Dīn, Asbāb Wurūd al-Hadīts aw al-Lumā' fī Asbāb al-
Wurūd al-Hadīts, Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1983.
Al-Suyūthī, Al-Hāfizh Jalāl al-Dīn, Proses Lahirnya Sebuah Hadits: Asbab Wurud
al-Hadits, Thohiruddin Lubis (ed.), Bandung: Pustaka, 1985.
Zein, M. Ma‟shum, Ilmu Memahami Hadits Nabi, Yogyakarta: Pustaka Pesantren,
201