Ilmu Asbab al-Wurud (Kajian terhadap Sejarah dan Karya di bidang Asbab al-Wurud)

19
1 A. Pendahuluan Hadis merupakan sumber ajaran kehidupan yang menduduki tingkat kedua setelah Alquran. Salah satu fungsi hadis terhadap Alquran adalah memperjelas sesuatu yang di dalam Alquran masih global atau samar. Dalam fungsi yang demikian, umat Islam telah mengakui dan menerimanya. Sebagai sebuah penjelas, maka hadis tidak boleh bertentangan dengan kandungan makna atau maksud dari Alquran. Alquran dan hadis adalah dua entitas yang saling menyempurnakan dan melengkapi. 1 Hadis Nabi merupakan penafsiran Alquran dalam praktek atau penerapan ajaran Islam secara faktual dan ideal. Hal ini mengingat bahwa pribadi Rasulullah yang merupakan perwujudan dari Alquran yang ditafsirkan untuk manusia, serta ajaran Islam yang dijabarkan dalam kehidupan sehari-hari. 2 Untuk memenuhi fungsi hadis yang demikian, maka kita mestinya dapat memahami hadis secara tepat sehingga hal tersebut dapat mempermudah kita untuk memahami Alquran dan ajaran Islam itu sendiri. Ada banyak perangkat keilmuan yang dapat menjadi alat untuk dapat menggali pemahaman terhadap hadis. Salah satu ilmu yang penting yakni ilmu asbāb al-wurūd hadis yang dalam fungsinya bagi hadis tidak berbeda dengan posisi ilmu asbāb al-nuzūl bagi Alquran. Oleh karena itu, pada makalah ini penulis menguraikan kajian tentang ilmu asbāb al-wurūd serta beberapa hal yang melingkupinya seperti definisi asbāb al- wurūd, perbedaan dengan tarikh al-mutun, serta klasifikasi dan fungsi asbāb al- wurūd. Selanjutnya, untuk memperkaya kajian, penulis juga menelaah dua buah kitab asbāb al-wurūd yakni kitab al-Lumā' fī Asbāb al-Wurūd al-Hadīts karya al-Suyuthi dan al-Bayān wa al-Ta'rīf fī Asbāb Wurūd al-Hadīts al-Syarīf karya Ibn Hamzah al- Husayni al-Hanafi al-Dimasyqi. 1 Barmawi Mukri, Kontekstualisasi Hadis Rasulullah, (Yogyakarta: Ideal, 2005), hlm. iii. 2 Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir, Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), hlm. 18.

Transcript of Ilmu Asbab al-Wurud (Kajian terhadap Sejarah dan Karya di bidang Asbab al-Wurud)

1

A. Pendahuluan

Hadis merupakan sumber ajaran kehidupan yang menduduki tingkat kedua

setelah Alquran. Salah satu fungsi hadis terhadap Alquran adalah memperjelas

sesuatu yang di dalam Alquran masih global atau samar. Dalam fungsi yang

demikian, umat Islam telah mengakui dan menerimanya. Sebagai sebuah penjelas,

maka hadis tidak boleh bertentangan dengan kandungan makna atau maksud dari

Alquran. Alquran dan hadis adalah dua entitas yang saling menyempurnakan dan

melengkapi.1 Hadis Nabi merupakan penafsiran Alquran dalam praktek atau

penerapan ajaran Islam secara faktual dan ideal. Hal ini mengingat bahwa pribadi

Rasulullah yang merupakan perwujudan dari Alquran yang ditafsirkan untuk

manusia, serta ajaran Islam yang dijabarkan dalam kehidupan sehari-hari.2

Untuk memenuhi fungsi hadis yang demikian, maka kita mestinya dapat

memahami hadis secara tepat sehingga hal tersebut dapat mempermudah kita untuk

memahami Alquran dan ajaran Islam itu sendiri. Ada banyak perangkat keilmuan

yang dapat menjadi alat untuk dapat menggali pemahaman terhadap hadis. Salah satu

ilmu yang penting yakni ilmu asbāb al-wurūd hadis yang dalam fungsinya bagi hadis

tidak berbeda dengan posisi ilmu asbāb al-nuzūl bagi Alquran.

Oleh karena itu, pada makalah ini penulis menguraikan kajian tentang ilmu

asbāb al-wurūd serta beberapa hal yang melingkupinya seperti definisi asbāb al-

wurūd, perbedaan dengan tarikh al-mutun, serta klasifikasi dan fungsi asbāb al-

wurūd. Selanjutnya, untuk memperkaya kajian, penulis juga menelaah dua buah kitab

asbāb al-wurūd yakni kitab al-Lumā' fī Asbāb al-Wurūd al-Hadīts karya al-Suyuthi

dan al-Bayān wa al-Ta'rīf fī Asbāb Wurūd al-Hadīts al-Syarīf karya Ibn Hamzah al-

Husayni al-Hanafi al-Dimasyqi.

1Barmawi Mukri, Kontekstualisasi Hadis Rasulullah, (Yogyakarta: Ideal, 2005), hlm. iii.

2Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir, Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), hlm. 18.

2

B. Mengenal Ilmu Asbāb al-Wurūd

1. Definisi dan Sejarah Perkembangan

Dari segi bahasa, asbāb al-wurūd terdiri dari dua kata dalam bahasa arab yakni

asbāb ( د) dan al-wurūd (اسثاب س ) Kata asbāb .(اى adalah jama‟ dari kata dasar (اسثاب

sabab ( ثة س ) berarti al-habl yakni tali, saluran.3 Maksudnya segala sesuatu yang

menghubungkan suatu benda dengan benda lainnya, sebagaimana fungsi tali/saluran.

Adapun kata al-wurūd dapat berarti sampai, muncul.4 Menurut ahli bahasa bahwa

kata ini dapat juga berarti air yang memancar atau mengalir (اىاءاىزسد).

Secara istilah, ilmu asbāb al-wurūd dapat berarti,

جاءف اىز ا اىض س اىذذ سدلجي ثةاىز اىس عشفت عي

Ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi menuturkan sabdanya dan waktu

beliau menuturkan itu.5

اسثر س داىذذ س اسثاب عشفت عي

Ilmu yang menerangkan sebab munculnya hadis dan munasabah-munasabahnya

(latar belakang).6

Dalam pengertian yang lebih luas, al-Suyuthi merumuskan pengertian asbāb al-

wurūd dengan „sesuatu yang membatasi maksud/arti suatu hadis, baik berkaitan

dengan arti umum atau khusus, muthlaq atau muqayyad, atau dinasakh dan

seterusnya‟ atau „suatu arti yang dimaksud oleh sebuah hadis saat kemunculannya‟.7

Pengertian asbāb al-wurūd sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pengertian asbāb

al-nuzūl, bedanya hanya terletak pada objeknya. Jika asbāb al-nuzūl objeknya adalah

Alquran maka asbāb al-wurūd objeknya adalah hadis. Secara sederhana, ilmu asbāb

al-wurūd yakni ilmu yang menerangkan sebab munculnya hadis.

Sebagian ulama berpendapat bahwa sebab-sebab, latar belakang dan sejarah

munculnya suatu hadis seyogyanya sudah tercakup dalam pembahasan ilmu tarīkh,

karena itu tidak perlu dijadikan suatu ilmu yang berdiri sendiri. Akan tetapi karena

ilmu ini mempunyai sifat-sifat yang khusus yang dikhawatirkan tidak seluruhnya

3Al-Hāfizh Jalāl al-Dīn Al-Suyūthī, Asbāb Wurūd al-Hadīts aw al-Lumā' fī Asbāb al-Wurūd al-

Hadīts, (Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1983), hlm. 10. 4Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: Rajawali Press, 2011), hlm. 38.

5Muhammad Ahmad dan M. Mudzakir, Ulumul Hadis, … hlm. 63.

6T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits (Jilid II), (Jakarta: Bulan Bintang,

1987), hlm. 302-304. 7Al-Suyūthī, al-Luma' fī Asbāb al-Wurūd al-Hadīts, … hlm. 11.

3

tercakup dalam ilmu tarīkh dan mempunyai manfaat yang besar sekali dalam ilmu

hadis, maka kebanyakan ahli hadis sepakat untuk menjadikannya sebagai suatu ilmu

sendiri, yakni sebagai cabang ilmu hadis dari segi matan.8

Adapun terkait sejarah perkembangan ilmu ini tentu sulit melacak kemunculan

pertamanya. Namun demikian, asbāb al-wurūd yang mayoritas berasal dari riwayat

tentu telah ada sejak masa Nabi karena asbāb al-wurūd itu sendiri adalah peristiwa

yang mengitari munculnya suatu hadis. Meskipun demikian, di masa Nabi saw. para

sahabat tentu tidak menyadari akan pentingnya asbāb al-wurūd karena hadis-hadis

Nabi tidaklah seperti Alquran. Jika Alquran merupakan firman Allah yang terbatas

waktu turun dan jumlahnya, maka tidak demikian dengan hadis. Hadis adalah segala

hal, baik perkataan, perbuatan juga taqrir Nabi saw. yang muncul di masa hidup

beliau setiap hari dan setiap waktu.

Oleh karena itu, ada banyak sekali hadis yang asbāb al-wurūd nya tidak

diriwayatkan dan asumsi kita adalah karena para sahabat merasa penjelasan tentang

asbāb al-wurūd memang tidak urgen pada saat itu. Misalnya saja, hadis-hadis yang

memuat tentang isi khutbah atau ceramah yang disampaikan Nabi saw. pada hari-hari

tertentu. para sahabat menganggap bahwa kegiatan itu adalah kegiatan rutin yang

hanya berupa penyampaian ajaran agama dari Nabi saw. sehingga tidak perlu untuk

menguraikan secara detail situasi dan kondisi ketika Nabi saw. menyampaikan

khutbahnya. Demikian pula pada sekian banyak hadis Nabi saw. yang lain. Meskipun

suatu hadis mungkin memiliki makna tertentu sesuai dengan situasi yang

mengitarinya, namun tanpa perlu dicantumkan riwayat asbāb al-wurūdnya, para

sahabat sebagai saksi hadis tentu sudah dapat memahami dan mengetahui kenapa

hadis itu muncul dan bagaimana pemahamannya. Namun, hal ini kemudian menjadi

berbeda ketika Nabi saw. wafat dan para sahabat yang menjadi saksi juga tidak ada.

Dalam perkembangannya, para ulama menganggap bahwa asbāb al-wurūd

menjadi salah satu aspek penting dalam memahami maksud dan makna yang

dikehendaki hadis. Karena itu, saat ini ilmu asbāb al-wurūd telah menjadi bagian

dari „ulūm al-hadīts. Penyebutan istilah ilmu asbāb al-wurūd ini nampaknya juga

tidak terlepas dari istilah asbāb al-nuzūl dalam kajian Alquran. Jika Alquran

8Fatchur Rahman, Iktisar Musthalahul Hadits, (Bandung: Al-Ma‟arif, 1987), hlm. 286.

4

seringkali disebutkan dengan term „turun‟ maka hadis disebutkan dengan term

„muncul‟. Meskipun demikian, belum ditemukan keterangan pasti terkait istilah bagi

ilmu ini juga kemunculan ilmu ini pertama kalinya dalam kajian „ulūm al-hadīts.

Penulis hanya menemukan dalam beberapa sumber bahwa perintis ilmu ini yakni

Abu Hamid bin Kaznah al-Jubary9, kemudian disusul oleh Abu Hafsh Umar bin

Muhammad bin Raja‟ al-Ukbury/Al-Akbari10

(380-458 H) dengan kitab asbāb al-

hadīts. Selanjutnya imam al-Suyuthi (849-911 H) juga melahirkan kitab Asbāb

Wurūd al-Hadīts atau al-Luma' fī Asbāb al-Wurūd al-Hadīts. Lalu dilanjutkan oleh

Ibnu Hamzah al-Husainy al-Dimasyqi (1054-1120 H) yang mengarang kitab asbāb

al-wurūd berjudul al-Bayān wa al-Ta‟rīf fī Asbāb Wurūd al-Hadīts al-Syarīf. Kitab-

kitab yang telah disebutkan diatas secara umum merupakan kitab yang memuat

riwayat-riwayat asbāb al-wurūd hadis. Motif utama penghimpunan asbāb al-wurūd

hadis tersebut terutama ketika para ulama mulai giat memahami syariat dan dasar

hukum agama.

Seiring dengan perkembangan zaman dan kompleksnya masalah umat Islam,

kebutuhan akan memahami hadis semakin besar. Karena itu, sebagian ulama

memandang bahwa memahami hadis dengan asbāb al-wurūd secara sempit yang

berasal dari riwayat (asbāb al-wurūd mikro) tidaklah cukup. Hal inilah yang

memunculkan konsep asbāb al-wurūd makro yakni dengan mempertimbangkan

berbagai aspek di luar asbāb al-wurūd dari riwayat seperti aspek sosiologis,

antropologis, psikologis, dan historis. Konsep ini pada awalnya digagas oleh tokoh

kontemporer bernama Fazlur Rahman yang menggabungkan antara asbāb al-wurūd

mikro dan asbāb al-wurūd makro sebagai bahan pertimbangan untuk menemukan

ideal moral dari suatu hadis.

9Disebutkan bahwa dalam naskah lfiyatus-Suyuthy, syarah Muhammad Mahfudh At-Turmusy,

tertulis „Al-Jubany‟, tetapi dalam Alfiyatus-Suyuthi, syarah Ahmad Muhammad Syakir tertulis „Al-

Jubary‟ sebagaimana dikutip dari Fatchur Rahman, Iktisar Musthalahul Hadits,... hlm. 287. Dalam

kitab Al-Suyūthī disebutkan nama lengkap beliau adalah Abu Sa‟ad Abdul Jalil bin Muhammad

Abdul Wahid bin Qatadah al-Jubari al-Hafizh. Namanya dinisbahkan pada desa Jubarah, suatu daerah

yang termasuk wilayah Isfahan. Lihat Al-Hāfizh Jalāl al-Dīn Al-Suyūthī, Proses Lahirnya Sebuah

Hadits: Asbab Wurud al-Hadits, Thohiruddin Lubis (ed.), (Bandung: Pustaka, 1985), hlm 310. 10

Beliau adalah seorang guru Abu Ya‟la Muhammad bin al-Husain al-Farra al-Hanbaly dan salah

seorang murid dari Abdullah bin Ahmad bin Hanbal.

5

2. Perbedaannya dengan Ilmu Tarīkh al-Mutun

Dalam definisi yang sederhana, ilmu tarīikh al-mutun menerangkan sejarah

munculnya hadis Nabi (ف ش ساىش داىذذ س خ ذاس عشفت .(عي11

Secara sepintas, ilmu ini

dapat dianggap mirip dengan ilmu asbāb al-wurūd, namun sebenarnya ada titik

penekanan kajian yang berbeda dari kedua ilmu tersebut. Jika asbāb al-wurūd

menekankan pada latar belakang dan sebab lahirnya suatu hadis, dengan pertanyaan

kenapa Nabi bersabda atau berbuat demikian, maka pertanyaan substantif dalam

kajian tarīkh al-mutun adalah kapan atau di waktu apa hadis itu diucapkan atau

perbuatan itu dilakukan oleh Nabi saw.

Ilmu tarīkh al-mutun sangat berperan dan berhubungan dengan ilmu nāsikh wa

mansūkh. Hal ini karena untuk menentukan nāsikh dan mansūkhnya hadis harus

diketahui waktu munculnya hadis tersebut sehingga yang muncul belakangan dapat

menghapus hukum dari suatu hadis yang muncul lebih dahulu. Setelah itu baru dapat

diamalkan hadis yang nāsikh sementara yang mansūkh ditinggalkan.12

Meskipun

demikian, ilmu tarīkh al-mutun juga dapat melengkapi ilmu asbāb al-wurūd dalam

membantu untuk memahami makna yang terkandung dalam hadis secara sempurna.

Dalam kajian tarikh al-mutun, terdapat beberapa metode yang dapat digunakan

untuk mengetahui sejarah kemunculan sebuah teks hadits. Pertama, pendataan teks-

teks hadits shahih atau matan-matan hadits yang benar-benar bersumber dari Nabi.

Kedua, penelitian sejarah, dalam hal ini selalu bersinggungan dengan disiplin asbāb

al-wurūd sebuah hadits. Hal ini disebabkan adanya keterkaitan antara unsur-unsur

yang memiliki andil dalam kelahiran sebuah matan hadits, seperti latar belakang,

waktu, tempat, serta sahabat yang menerima matan tersebut. Salah satu cara untuk

mengetahui tarīkh al-mutun yakni dengan mengamati redaksi hadis yang

menunjukkan suatu waktu/masa. Sebagai contoh adanya redaksi „مزا ما ا ه ‟ا13

permulaan yang terjadi adalah begini, „قثو‟14

sebelum, „تعذ‟ sesudah, „ ش ال ‟اخش15

yang terakhir dari dua urusan, „ ش .dengan sebulan, dan isyarat redaksi lainnya ‟تش16

11

Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok Ilmu Dirayah Hadits, … hlm. 302. 12

Fatchur Rahman, Iktisar Musthalahul Hadits,… hlm. 290. 13)سااىثخاس( اىذحفاى ؤااىص اىش د اى

سي عي للا صي سسهللا اتذبت ه أ14 ذ رقثو سأ اءقاهش اى شقا ئراأ تفشجا سرقثيا أ سرذتشاىقثيح أ ع قذاا سي عي للا صي سسهللا ما

سرقثواىقثيح)ساادذ( ثه تعا15اغشخاىاس)سااتداد( ضء ذشكاى سي عي للا صي سسهللا ش آخشال ما

16Hasbi Ash-Shiddieqy, Pokok Ilmu Dirayah Hadits … hlm. 302-304.

6

Dari uraian di atas, kita dapat menyimpulkan perbedaan antara ilmu asbāb al-

wurūd dan ilmu tarīikh al-mutun yakni pada titik penekanan kajiannya antara

mengetahui sebab kemunculan hadis Nabi (mengapa) dan waktu kemunculan hadis

Nabi (kapan). Meskipun demikian, kedua ilmu ini dapat menjadi alat bantu untuk

dapat memahami maksud dan makna dari sebuah hadis.

3. Cara Mengetahui Asbāb al-Wurūd Hadis

Senada dengan Alquran yakni tidak semua ayat memiliki asbāb al-nuzūl, maka

demikian pula dengan hadis. Ada sebagian hadis yang dikemukakan oleh Nabi

didahului oleh sebab tertentu, sebagian lagi tanpa didahului oleh sebab tertentu. Oleh

karenanya, tidak semua hadis Nabi memiliki asbāb al-wurūd, sehingga tidak semua

hadis Nabi dapat dipahami melalui pendekatan ilmu asbāb wurūd al-hadīts ini.

Meski demikian, saat ini gagasan asbāb al-wurūd makro dapat menjadi alternatif

untuk memahami hadis jika memang tidak ditemukan asbāb al-wurūd mikro.

Bagi hadis-hadis yang memiliki asbāb al-wurūd, maka jalan untuk mengetahui

sebab kemunculannya hanya dengan jalan riwayat saja, karena dalam hal ini tidak

ada jalan bagi logika. Artinya, logika tidak bisa mengira-ngira sebab munculnya

hadis karena yang mengetahui hal tersebut hanyalah para sahabat yang hidup di masa

Nabi saw. Kesaksian para sahabat ini kemudian dikemukakan dalam riwayat-riwayat

yang tersebar di berbagai kitab. Menurut al-Suyūthī, asbāb al-wurūd itu dapat

dikategorikan menjadi tiga macam, yakni:17

a. Berupa ayat Alquran

Kategori ini bisa disebabkan turunnya ayat Alquran yang memiliki bentuk

umum, namun yang dikehendaki oleh ayat itu adalah makna khusus. guna

menjelaskan ayat ini, Nabi saw. menjelaskan kepada para sahabat misalnya pada

firman Allah,

18

17

Al-Suyūthī, Proses Lahirnya Sebuah Hadits, … hlm. 16-18 18

Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman

mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat

petunjuk. (QS. Al-An‟am: 82)

7

Pada ayat tersebut terdapat kata zhulmun ( yang dipahami oleh sebagian (ظي

sahabat dengan berbuat aniaya atau melanggar batas ajaran agama. Karena itu,

mereka kemudian datang kepada Nabi dan beliau lantas menjelaskan bahwa yang

dimaksud zhulmun adalah syirik sebagaimana yang disebutkan dalam QS. Luqman:

13 (Sesungguhnya syirik itu merupakan kezhaliman yang besar).19

b. Berupa hadis

Hal ini dapat ditemukan dalam ucapan Nabi saw yang sulit dipahami oleh

sebagian sahabat, lalu beliau menjelaskan melalui hadis untuk menjawab

kemusykilan tersebut. Selain itu, bisa juga hadis yang muncul karena pertanyaan dari

Nabi kepada sahabat, lalu Nabi juga memberi penjelasan/jawaban terhadap

pertanyaan beliau tersebut. Dalam kitab asbāb al-wurūd akan banyak kita temukan

sebab hadis dengan bentuk berupa hadis ini.

c. Berupa perkara yang berkaitan dengan para pendengar di kalangan

sahabat

Bentuk sebab ketiga ini muncul karena adanya suatu persoalan yang berkenaan

dengan penjelasan bagi para sahabat yang mendengarkan pada saat itu. Misalnya

hadis tentang larangan tergesa-gesa menuju tempat shalat yang muncul karena

perilaku beberapa sahabat kala itu.20

قاه أت أتقرادجع ت عثذللا ذع ع ثا شاش قاهدذ شاأتع دذ عاىث صي اذ ت

قاىااسرعجيائىاصي اشأن قاه اصي في عجيثحسجاه ئرس سي عي لجقاهفلذفعياللا ىص

افاذن ا فصي اأدسمر نحف تاىس ن لجفعي اىص ر ائراأذ فأذ 21

Dari Abu Qatadah, dari ayahnya, dia berkata: “Ketika kami sedang shalat

bersama Nabi saw., tiba-tiba beliau mendengar keributan orang-orang. Maka

setelah selesai shalat, Nabi memanggil mereka seraya bertanya: “Mengapa

kalian tadi ribut-ribut?” Mereka menjawab: “Kami terburu-buru ingin

menghadiri shalat ya Rasulullah.” Maka Rasulullah bersabda: “Janganlah

kalian melakukan seerti itu. Apabila kalian mau menghadiri shalat, maka

19

Riwayat ini dikemukakan dalam beberapa kitab hadis seperti Shahīh al-Bukhārī dalam kitāb

ahādīts al-anbiyā, Shahīh Muslim dalam kitāb al-īmān. Lihat Al-Suyūthī, Proses Lahirnya Sebuah

Hadits, … hlm. 17. 20

Hadis no. 13 pada Al-Suyūthī, al-Lumā' fī Asbāb al-Wurūd al-Hadīts, … hlm. 97-98. 21

Abū „Abdullāh Muhammad ibn Ismā‟īl ibn Ibrāhīm ibn al-Mughīrah ibn Barzibah al-Bukhārī,

Shahīh al-Bukhāīî, Juz I, (Beirut: Dār al-Fikr, 1981), hlm. 156.

8

datanglah dengan tenang, tidak perlu terburu-buru. Apa yang kalian dapatkan

bersama imam, maka shalatlah kalian bersamanya dan sempurnakanlah rakaat

yang tertinggal.” (HR. Al-Bukhari)

Bila ditinjau dari kaitan dan terpisahnya hadis satu sama lain, maka asbāb wurūd

al-hadīts ini dapat dibagi dalam dua jenis. Hal inilah yang diungkapkan oleh al-

Bulqiny seperti yang dikutip oleh al-Suyuthi. Kedua jenis asbāb al-wurūd itu

yakni:22

a. Sebab munculnya hadis yang tercantum dalam hadis itu sendiri yakni menjadi

satu dengan hadis yang disampaikan Nabi. Bila asbāb wurūd al-hadīts ini

bersambung dengan hadisnya, maka ia dinukil dari hadis itu. Contoh dari hadis

dan sebab hadis jenis ini sangat banyak seperti hadis tentang Islam, Iman, Ihsan,

dan hadis tentang air dua qullah, serta hadis tentang larangan shalat tergesa-gesa

seperti yang telah disebutkan. Berikut ini contoh lain hadis jenis ini yakni:

سل ت ح عا شا دذ قاه ش د ت ذ ذ شا دذ قاه ص اىذ له عست أخثشا ت ح عنش ع

أتع اد شذ ع اس قاهع ي حاىثا ا أتأ ع فقاهأسأد اس سي عي للا صي ئىاىث جاءسجو

ءى لش سي عي للا صي اىفقاهسسهللا مش اىز سالجش غضاير سجلا اخ ش فأعاداشلز

اى لقثو للا قاهئ ش ءى لش سي عي للا صي سسهللا اقهى ىخاىصا اما وئل ع

ج ت اترغ )سااىسائ( 23

Dari Abu Umamah Al-Bahily, dia berkata: Seseorang datang kepada Rasulullah

SAW dan bertanya: “Bagaimana jika ada seorang yang berjihad untuk mencari

pahala dan ketenaran, adakah ia mendapat pahala?” Jawab beliau: “Ia tidak

akan mendapat pahala”. Maka orang itu mengulangi pertanyaannya hingga tiga

kali, dan beliau tetap menjawab: “Ia tidak akan mendapat pahala.

Sesungguhnya Allah tidak akan menerima amal seseorang, melainkan yang

ikhlas hanya untuk-Nya dan semata-mata hanya mengharap ridha-Nya.”24

22

Al-Suyūthī, al-Lumā' fī Asbāb al-Wurūd al-Hadīts, … hlm. 20. 23

Abū „Abdurrahmān Ahmad bin Syu‟aib al-Nasā`ī, Sunan Al-Nasā`ī, (Beirut: Dār Ihyā al-Turāts

al-Arabī, tt), hlm. 528. 24

Hadis ini juga dimasukkan oleh Ibnu Hamzah al-Dimasyqi dalam kitab beliau yakni hadis no

492. Lihat al-Syarīf Ibrāhīm ibn Muhammad ibn Kamāl al-Dīn aw Ibn Hamzah al-Husaynī al-Hanafī

al-Dimasyqī, Al-Bayān wa al-Ta‟rīf fī Asbāb Wurūd al-Hadīts al-Syarīf, Juz 1, (Beirut: al-Maktabah

al-„Ilmiyyah, 1982), hlm. 416.

9

b. Sebab munculnya hadis yang tidak tercantum dalam hadis itu akan tetapi

dijelaskan pada hadis lain Artinya asbāb wurūd al-hadītsnya terpisah dari hadis

itu, maka ia dinukil melalui jalan/riwayat yang lain. Jenis ini juga banyak karena

terkadang suatu hadis pada satu riwayat diungkapkan dengan lafaz yang pendek.

Untuk mengetahui penyebab munculnya hadis tersebut dapat melalui bantuan

dari hadis dari periwayat lain. Contohnya hadis tentang niat25

atau hadis tentang

jaminan (al-dhammān)26

. Contohnya yakni:

سا م ت قاهصاىخ ا سي ع تنش أت شا دذ قاه تله ت ا سي ت ب أ شا عثذدذ العشض شا دذ

ت ىعثذللا افع شج أتش شع غ د شااىش ادذ شأ ع ت عثذللا شع سسه ع ع

ج شذ لجفا اىص فأتشداع اىذش قاهئرااشرذ أ سي عي للا صي للا خج ف اىذش27

Dari Ibnu Umar, Rasulullah bersabda: “Apabila hari sangat panas, maka

laksanakanlah shalat bila telah dingin, sebab panas demikian hebat itu

merupakan tiupan udara jahannam.” (HR. Al-Bukhari)

Penyebab hadis ini dijelaskan oleh hadis lain yang diriwayatkan oleh perawi

yang berbeda berikut ini.

أخثشااىفضو ،قاه:دذشأتاىس،قاه:دذشاشعثح،قاه:دذشاأتاىىذاىطذاىجابثاىذت

سعأتارس،قه:ماىذس،قاه:سعدصذتة،قه:ئ للاصيللاعيهسسعا

أادسأ،ش«دشتأ»،فقاهىاىثصيللاعيسي:شاىظترإأرإاىادسأ،فش فسسيف

هياىرءافأسرا،دشالشأذش«دشتأ:»ىاهق،فرإ جخفشذاىجذشئ:»اهق،

«جلاىصاتدشتأفشذاىذرااشرا،ف28

)صذخاتدثا(

Dari Abu Dzar, katanya kami bersama Nabi saw. dalam suatu perjalanan.

Kemudian ada seseorang yang minta izin untuk mengumandangkan azan zuhur.

Beliau menjawab, “Biar dingin dulu”. Beberapa saat kemudian, ia minta izin

kembali kepada beliau, dan Rasul menjawab: “Biar dingin dulu”. Sampai

akhirnya kami melihat bayangan yang sudah condong. Maka saat itu Rasul

berkata: “Sesungguhnya panas yang demikian hebat ini adalah hembusan api

25

Hadis dan sebab hadisnya dimuat dalam kitab al-Suyūthī pada hadis no 1. Lihat Al-Suyūthī, al-

Lumā' fī Asbāb al-Wurūd al-Hadīts, … hlm. 72-73. 26

Hadis dan sebab hadisnya dimuat dalam kitab al-Suyūthī pada hadis no 43. Lihat Al-Suyūthī, al-

Lumā' fī Asbāb al-Wurūd al-Hadīts, … hlm. 176-177. 27

Al-Bukhārī, Shahīh al-Bukhāīî, Juz I, ... hlm. 135. 28

Al-Amīr Alā` al-Dīn „Alīy ibn Balbān al-Fārisī, Shahīh Ibn Hibbān bi Tartīb Ibn Balbān,

(Beirut: al-Muassasah al-Risālah, 1997), hlm. 376.

10

jahannam. Maka ketika hari dalam keadaan panas seperti sekarang ini,

lakukanlah shalat ketika sudah dingin.”29

(Shahih Ibnu Hibban)

4. Fungsi Asbāb al-Wurūd

Kedudukan asbāb al-wurūd bagi hadis sebenarnya sama dengan posisi asbāb al-

nuzūl bagi Alquran. Ilmu asbāb al-wurūd merupakan suatu jalan yang penting untuk

memahami makna yang terkandung dalam matan hadis secara kontekstual seperti

halnya ilmu asbāb al-nuzūl bagi pemahaman Alquran. Berikut ini beberapa fungsi

asbāb al-wurūd bagi hadis:30

1. Untuk mengetahui konteks sosial dan budaya atau setting sosial ketika hadis itu

muncul. Hal ini sangat diperlukan sebab dengan ini kita akan mampu memahami

hadis Nabi secara lebih tepat.

2. Untuk mengetahui hikmah-hikmah ketetapan syariat (hukum). Bagi manusia

awam, sebagian ketetapan syariat dianggap tidak memiliki makna, hal ini

dikarenakan pengetahuan mereka tidak sampai kepada hal itu. Dengan

mengetahui asbāb al-wurūd, maka kita dapat menyingkap makna dan hikmah

dari adanya ketetapan syariat dalam hadis.

3. Untuk menjelaskan posisi atau fungsi Nabi saw. ketika menyampaikan hadis

apakah sebagai Nabi (penyampai risalah), kepala negara, pemimpin perang,

kepala rumah tangga atau sebagai manusia biasa.31

4. Untuk mentakhshishkan hukum yang terkandung, karena terkadang lafaz hadis

disebutkan secara umum, sehingga untuk mengambil kandungan isinya

memerlukan dalil yang mentakhsiskannya (takhshish al-‟ am)32

29

Hadis dan penyebab hadis ini juga dimasukkan oleh Al-Suyūthī dalam kitabnya pada hadis no

18. Lihat Al-Suyūthī, al-Lumā' fī Asbāb al-Wurūd al-Hadīts, … hlm. 105-106. 30

Al-Suyūthī, Proses Lahirnya Sebuah Hadits, … hlm. 7-16. Lihat juga Fatchur Rahman, Iktisar

Musthalahul Hadits, … hlm. 287. 31

Fungsi ini dapat dilihat pada asbāb al-wurūd dari hadis berikut ini, “ ام شد تأ أعي ر -Asbāb al .”أ

wurūd hadis ini yakni ketika Nabi saw. memberikan saran mengenai cara penyerbukan kurma pada

petani di Madinah. Karena menganggap posisi beliau sebagai Nabi saw., maka petani tersebut

mengikuti saran Nabi saw. Namun, hasil penyerbukan tersebut malah gagal dan petani tersebut lantas

melaporkannya kepada Nabi saw. mendengar itu, Nabi saw. kemudian bersabda dengan hadis

tersebut. Dengan mengetahui asbāb al-wurūd hadis ini, kita dapat menyimpulkan bahwa saran Nabi

saw. kepada petani tersebut adalah saran sebagai seorang manusia biasa, karena beliau memang tidak

memiliki kemampuan dalam dunia pertanian. Lihat Abū Husain Muslim ibn al-Hajjāj ibn al-Qausyaz

al-Qusyairī an-Naisābūrī, Shahīh Muslim, (Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1991), hlm. 1836.

11

5. Untuk membatasi arti yang mutlak dari suatu hadis (taqyid al-muthlaq).33

6. Untuk merinci ketentuan yang masih bersifat global (tafshil al-mujmal).

7. Untuk menentukan dan menyelesaikan persoalan nāsikh dan mansūkh. Ilmu

asbāb al-wurūd dapat membantu untuk mengetahui mana hadis yang datang

lebih dahulu dari hadis yang bertentangan. Sehingga kita dapat

mengkompromikan atau menghapus yang datang lebih dahulu.

8. Untuk menerangkan „illat (alasan) suatu hukum.

9. Untuk menjelaskan kemusykilan hadis.

Dari sejumlah poin di atas, kita dapat menyimpulkan fungsi umum dari

mengetahui sebab munculnya suatu hadis yakni agar dapat mendukung dalam

pengkajian makna hadis yang dikehendaki. Pengetahuan akan sebab munculnya

hadis dapat menjadi sarana untuk mengetahui dan memahami maksud dari akibat

yang ditimbulkannya (dalam hal ini hadis). Selain itu, kita dapat mengetahui

perubahan hukum, karena hukum dapat berubah karena perubahan atau perbedaan

sebab, situasi, dan „illat.34

Hal ini juga dibenarkan Yusuf al-Qardhawi yang menyatakan bahwa di antara

cara yang baik untuk memahami hadis Nabi saw. ialah dengan memperhatikan sebab

khusus yang melatarbelakangi diucapkannya suatu hadis, atau kaitannya dengan

„illah (alasan/sebab) tertentu, yang dinyatakan dalam hadis atau disimpulkan darinya,

atau dapat dipahami dari kejadian yang menyertainya. Karena itu, menurut haruslah

dilakukan pemilahan antara apa yang bersifat khusus dan yang umum, yang

sementara dan yang abadi, serta antara yang partikular dan yang universal. Dengan

memperhatikan konteks, kondisi lingkungan, serta asbāb al-wurūd, maka tentu akan

lebih mudah untuk mendapatkan pemahaman yang lebih tepat.35

32

Misalnya hadis tentang pahala shalat orang yang duduk (HR. Ahmad). Dari asbāb al-wurūd

dapat dipahami bahwa shalat yang dimaksud adalah shalat sunnah. Lihat Said Agil Husin Munawwar

dan Abdul Mustaqim, Asbabul Wurud, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 14 33

Misalnya hadis tentang sunnah. Kata sunnah masih bersifat mutlak mencakup perbuatan yang

memiliki landasan hukum maupun yang tidak memiliki landasan hukum. Lalu, dari asbāb al-wurūd

al-Suyūthī menyimpulkan bahwa sunnah dalam hadis tersebut adalah perbuatan yang ada nash nya

dalam Islam. Lihat Al-Suyūthī, Proses Lahirnya Sebuah Hadis, ... hlm. 8. 34

Nuruddin „Itr, „Ulum al-Hadits 2, terj. Mujiyo, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), hlm. 108.

Lihat juga Muh Zuhri, Telaah Matan Hadis, (Yogyakarta: LESFI, 2003), hlm. 62. 35

Yusuf Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi saw., terj. Muhammad al-Baqir, (Bandung:

Karisma, 1999), hlm. 131-133.

12

C. Telaah Kitab Asbāb al-Wurūd

1. Al-Luma' fī Asbāb al-Wurūd al-Hadīts

Penulis kitab ini adalah al-Hafizh Abdurrahman ibn al-Kamal Abi Bakr bin

Muhammad bin Sabiq al-Din ibn al-Fakhr Utsman bin Nazhir al-Din al-Hamam al-

Hudhairi al-Suyuthi. Beliau diberi gelar Jalaluddin, serta dipanggil dengan nama Abu

al-Fadhl. Imam al-Suyuthi dilahirkan di wilayah Asyuth pada malam ahad bulan

Rajab, 849 H dan wafat pada tahun 911 H. Beliau dikenal sebagai orang yang begitu

dalam pengetahuannya dalam tujuh disiplin ilmu, yakni Tafsir, hadis, Fiqih, Nahwu,

Ma‟ani, Bayan, dan Badi‟. Karyanya berjumlah sekitar 600 kitab dari berbagai

bidang ilmu.36

Kitab al-luma' fī asbāb al-wurūd al-hadīts adalah salah satu karya fenomenal

beliau dalam bidang hadis terutama mengenai ilmu asbāb al-wurūd. Adapun latar

belakang penulisan kitab ini –sejauh pembacaan penulis secara umum berdasar atas

keinginan beliau untuk turut andil dalam kajian asbāb al-wurūd. Meskipun beliau

mengakui bahwa berdasarkan catatan beberapa ulama dalam kitab mereka –seperti

Syarh al-Nukhbah karya Ibn Hajar- telah ada karya tentang asbāb al-wurūd sebelum

beliau, namun bentuk fisik dari karya tersebut tidak ditemukan. Karena itu, al-

Suyuthi merasa perlu untuk menghimpun hadis-hadis yang memiliki asbāb al-wurūd

hadis.37

Pada terbitan dār al-kutub al-„ilmiyyah tahun 1984, kitab ini dicetak dalam satu

jilid serta telah di tahqīq oleh Yahya Isma‟il Ahmad. Sistematika bab kitab ini terdiri

dari muqaddimah dan sebelas bab (tema). Bagian muqaddimah terdiri dari dua bab

yakni penjelasan tentang asbāb al-wurūd dan pengenalan terhadap kitab ini termasuk

metode pentahqīq. Sementara sebelas bab yang termuat dalam kitab ini yakni bab

thaharah (8 hadis), bab shalat (12 hadis), bab jenazah (8 hadis), bab shiyam (5 hadis),

bab haji (3 hadis), bab jual beli (8 hadis), bab nikah (3 hadis), bab jinayah (5 hadis),

bab adhhiyah (1 hadis), bab makanan (3 hadis), bab adab (42 hadis). Dengan

demikian, total kitab ini mengupas 98 asbāb al-wurūd hadis Nabi saw.

36

Al-Suyūthī, Proses Lahirnya Sebuah Hadits, … hlm. 41-42 37

Al-Suyūthī, al-Lumā' fī Asbāb al-Wurūd al-Hadīts, … hlm. 65.

13

Metode penulisan imam al-Suyuthi dalam menyusun kitab ini yakni:

a. Mengemukan hadis terlebih dahulu dengan baru kemudian menyebutkan sebab

munculnya hadis tersebut. Untuk memudahkan pembaca, maka beliau menandai

dengan kata „دذس‟ sebelum menyebut teks hadis, dan menandai dengan kata

.sebelum menyebut sebab munculnya hadis ‟سثة„

b. Ketika mengemukakan hadis, beliau tidak mencantumkan sanad secara utuh

tetapi hanya menyebut sanad yang berasal dari sahabat serta mukharrij kitab.

Teknik ini dinamakan ta‟liq yakni membuang seluruh sanad dan menyingkatnya

pada peringkat sahabat periwayat hadis.

c. Satu hadis tidak mesti hanya memiliki satu sebab, adakalanya beliau

mengemukakan beberapa sebab dari munculnya hadis tersebut. Karena itu,

beliau menggunakan kata sebab dengan bentuk nakirah (umum) sebagai tanda

bahwa sebab itu tidak terbatas pada apa yang beliau kemukakan saja. Karena itu,

pentahqiq kitab ini juga terkadang menambahkan sebab lain yang belum

dikemukakan al-Suyuti.

d. Sumber rujukan al-Suyuti baik sumber hadis maupun sebab munculnya hadis

yakni kitab-kitab sunnah yang terkenal baik berupa al-Jawāmi‟, al-masānid, al-

ma‟ājim, dan lain-lain, termasuk kitab tarikh.38

e. Dalam mengemukakan hadis yang terkait suatu tema, pada umumnya beliau

hanya menyebutkan satu hadis karna sudah di anggap mewakili. Namun, ada

pula yang disebutkan lebih dari satu hadis namun dari jalur serta sumber hadis

yang berbeda, misalnya hadis ke 3039

. Selain itu, sesekali menyebutkan hadis

yang berasal dari dua kitab hadis berbeda dengan matannya berbeda, misalnya

hadis ke 32.40

38

Di antaranya kutub al-sittah (Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan al-

Tirmidzi, Sunan al-Nasai, dan Sunan Ibnu Majah), Muwathth‟ Malik, Musnad asy-Syafi‟i, Musnad

Ahmad, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al-Hakim al-Naisaburi, Al-Baihaqi, Ath-Thabrani,

Mushannaf Abd Ar-Razzaq, Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, Tarikh Baghdad, dan lain-lain. Lihat Al-

Suyūthī, Proses Lahirnya Sebuah Hadits, … hlm. 48-52. 39

Pada hadis ke-30 tentang berbekam, beliau mengungkapkan hadis dari jalur Usamah bin Zaid

dari Ahmad dan al-Nasai serta hadis lain dari Tsauban dari Abu Dawud. Kedua hadis ini memiliki

matan yang sama. Lihat Al-Suyūthī, al-Lumā' fī Asbāb al-Wurūd al-Hadīts, … hlm. 127-128. 40

Pada hadis ke 32 tentang larangan puasa sebelum Ramadhan, beliau mengungkapkan satu hadis

dari jalur Abu Hurairah dari Ahmad, Muslim dan imam empat (Abu Dawud, al-Tirmidzi, al-Nasa‟I,

14

Adapun kelebihan dari kitab ini di antaranya:

a. Kitab ini bisa dikatakan sebagai kitab pertama yang mengkaji sebab-sebab

munculnya hadis (asbāb al-wurūd hadis), setidaknya kitab yang paling awal

muncul dari kitab-kitab yang sampai kepada kita saat ini, karena kitab-kitab lain

yang terdahulu sudah tidak ditemukan lagi.41

b. Sebagian besar sebab munculnya hadis yang dikemukakan dalam kitab ini

masuk dalam kategori kedua yakni tidak termuat dalam hadis yang dimaksud,

karena itu al-Suyuthi telah melakukan usaha keras untuk dapat melacak sebab-

sebab hadis tersebut.

c. Mendorong umat Islam untuk mengkaji kitab tarikh, karena sebab-sebab hadis

sebagian ditemukan as-Suyuti justru dari kitab tarikh.

d. Al-Suyuthi mengemukakan hadis dan sebabnya secara sederhana dan ringkas,

tidak berpanjang lebar, bahkan beliau juga menggunakan metode ta‟liq dalam

mengungkapkan hadis. Hal ini sebagai cara untuk memudahkan umat Islam.

Adapun kekurangan dari kitab ini yakni:

a. Ada sebagian hadis yang dimuat pada bab tertentu, tapi jika dicermati hadis

tersebut tidak ada kaitannya dengan nama bab yang dimaksud. Contoh pada bab

thaharah dimulai dengan hadis tentang niat. Meskipun jika ingin dipertahankan

mungkin as-Suyuthi ingin memulai kitabnya dengan hadis niat sebagaimana

yang dilakukan al-Bukhari dalam Shahihnya.42

b. Ada beberapa hadis yang tidak disebutkan redaksi hadis dan juga sebab

munculnya hadis tersebut, tapi hanya menyebut tema hadis. Hal ini dapat dilihat

pada hadis no 20, al-Suyuthi hanya menyebutkan „ادادساىرشذ‟.43

dan Ibnu Majah) serta satu hadis lain dari Ibnu Abbas dari Abu Dawud dan al-Baihaqi. Kedua hadis

ini memiliki matan yang berbeda tetapi maknanya sama. Lihat Al-Suyūthī, al-Lumā' fī Asbāb al-

Wurūd al-Hadīts, … hlm. 132. 41

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Al-Suyūthī dalam muqaddimah kitabnya. Lihat Al-Suyūthī,

al-Lumā' fī Asbāb al-Wurūd al-Hadīts, … hlm. 65. 42

Contoh lain misalnya hadis no 28 tentang keutamaan orang yang bersabar saat Allah ambil

barang yang paling dicintainya. Hadis ini dimasukkan oleh Al-Suyūthī dalam bab Jenazah, padahal

jika dicermati hadis ini lebih tepat dimasukkan dalam bab adab. Lihat Al-Suyūthī, al-Lumā' fī Asbāb

al-Wurūd al-Hadīts, … 121. 43

Al-Suyūthī, al-Lumā' fī Asbāb al-Wurūd al-Hadīts, … hlm. 109.

15

Namun, terlepas dari berbagai kekurangan yang ada, al-Suyuthi telah mencurahkan

segala usahanya untuk menghasilkan kitab ini. Karena itu, kitab ini tetaplah istimewa

serta menjadi rujukan penting guna mengetahui asbab al-wurud hadis.

2. Al-Bayān wa al-Ta’rīf fī Asbāb Wurūd al-Hadīts al-Syarīf

Pengarang kitab ini adalah al-Syarīf Ibrāhīm ibn Muhammad ibn Muhammad

ibn Muhammad Kamāl al-Dīn ibn Muhammad ibn Husayn ibn Muhammad ibn

Hamzah. Beliau lebih dikenal dengan kuniahnya yakni Ibn Hamzah al-Husaynī al-

Hanafī al-Dimasyqī. Beliau lahir di Damaskus pada tahun 1054 H/1644 M dan beliau

wafat pada saat sekembalinya dari ibadah haji di suatu tempat bernama Dzāt al-Hajj

pada 1120 H/1708 M. Karya beliau selain al-bayān wa al-ta‟rīf fī asbāb wurūd al-

hadīts al-syarīf yakni Hāsyiyah „alā syarh al-alfiyyah li ibn al-mushannaf al-

nahwi.44

Ibnu Hamzah dikenal sebagai seorang pakar dalam ilmu hadis. Beliau

mengembara untuk menuntut ilmu ke negara lain bersama ayah dan saudaranya, al-

Sayyid „Abdurrahmān. Guru-guru beliau mencapai delapan puluh orang. Gurunya di

Damaskus seperti Muhammad bin Sulaymān al-Maghribī al-Hashakafī dan al-Sayyid

„Abd al-Bāqī al-Hanbalī. Guru di Mesir seperti „Abd al-Bāqī al-Zarqānī, Muhammad

al-Syauburi, Muhammad al-Bakri. Guru- di Haramain seperti Ahmad-al-Nukhli, Ibnu

Salam al-Bisri, al-Hasan bin Ali al-„Ajimi al-Maki, Ibrahim al-Kaurani, Khairuddin

al-Ramli dan seorang pentahqiq hadis, Abd al-Qadir al-Bagdadi dan lain-lain.45

Kitab al-bayān wa al-ta‟rīf fī asbāb wurūd al-hadīts al-syarīf adalah salah satu

karya terbaik Ibnu Hamzah yang memuat hadis-hadis Nabi saw. yang memiliki

asbāb al-wurūd. Kitab ini dicetak pada tahun 1329 H dalam dua jilid besar.46

Kitab

ini merupakan kitab yang paling luas pembahasannya dalam bidang ini sehingga

menjadi salah satu rujukan utama. Kitab ini bahkan telah diterjemahkan ke dalam

bahasa Indonesia menjadi tiga jilid besar.

Pada terbitan al-maktabah al-„ilmiyyah tahun 1982, kitab ini dicetak dalam tiga

jilid besar. Sebelum mengemukakan hadis-hadis, bagian awal kitab ini dibuka

44

Umar Ridha Kahalah, Mu‟jam al-Mu`allifīn: Tarajim Mushannif al-Kutub al-„Arabiyyah, Juz I,

(Beirut: Muassasah al-Risālah, 1993), hlm. 69. Lihat juga Ibn Hamzah, Al-Bayān wa al-Ta‟rīf, Juz I,

… hlm. 30. 45

Ibn Hamzah, Al-Bayān wa al-Ta‟rīf, Juz I, … hlm. 29-30. 46

M. Ma‟shum Zein, Ilmu Memahami Hadits Nabi, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2012), hlm.

93.

16

dengan muqaddimah dan muqaddimah kitab. Muqaddimah pertama ditulis oleh Dr.

Abdul Halim Mahmud, berisi hal-hal terkait sunnah Nabi baik kedudukannya

bersama Alquran maupun dalam syariat, serta di bagian terakhir dimuat pula biografi

singkat Ibnu Hamzah. Sementara muqaddimah kedua adalah muqaddimah dari Ibnu

Hamzah yang memuat hal-hal terkait asbāb al-wurūd termasuk beberapa contohnya.

Pada bagian isi kitab, berbeda dengan kitab al-Suyūthī yang disusun dengan

bab-bab berdasarkan tema, kitab ini disusun berdasarkan urutan huruf hijaiyyah atau

berdasarkan urutan seperti kamus (mu‟jam) dengan memperhatikan huruf pertama

dan kedua dari matan hadis yang dikemukakan. Pada jilid pertama kitab ini dimulai

dengan „دشفاىضج‟ sampai dengan „اىضجعاى‟ (hadis ke 1-551). Sementara pada

jilid kedua adalah sambungan dari „ اىضجعاى ‟ hingga „اىعاىيح دشف‟ (hadis ke

552-1169). Pada jilid ketiga sambungan dari „اىيح اىع اىاء„ hingga ‟دشف ‟دشف

(hadis ke 1170-1832). Dengan demikian, total kitab ini mengupas 1832 asbāb al-

wurūd hadis Nabi saw.

Sementara itu, metode penulisan Ibnu Hamzah dalam kitab ini yaitu:

a. Menyebutkan matan hadis sesuai urutan huruf hijaiyyah (dengan memperhatikn

huruf pertama dan kedua untuk pengurutannya) dan memberi nomor. Kemudian

menyebutkan sumber-sumber takhrij hadis serta sahabat yang meriwayatkan

hadis tersebut. Terkadang juga disebutkan kualitas hadis tersebut.

b. Mengemukan riwayat yang memuat sebab munculnya hadis dengan

menyebutkan sahabat yang meriwayatkan hadis terlebih dahulu. Terkadang

beliau menyebut juga sumber takhrij hadis, namun kebanyakan tanpa beliau

sebutkan. Untuk memudahkan beliau memberi tulisan dalam tanda kurung „سثث‟

sebelum menyebutkan sebabnya.

c. Seringkali beliau memberikan catatan kaki pada redaksi hadis yang dianggap

memerlukan penjelasan secara lebih rinci atau jika ada tambahan riwayat yang

serupa untuk menguatkan hadis yang dikemukakan.47

f. Sumber rujukan kitab ini yakni kitab-kitab sunnah yang terkenal seperti kitab

mu‟jam (al-kabīr, al-awsath, dan al-shaghir), al-masānid (musnad Ahmad bin

Hanbal dan lain-lain), dan al-kutub al-sittah (Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim,

47

Lihat Ibn Hamzah, Al-Bayān wa al-Ta‟rīf, Juz I, … hlm. 430.

17

Sunan Abu Dawud, Sunan al-Tirmidzi, Sunan al-Nasai, dan Sunan Ibnu

Majah).48

Berikut ini penulis kemukakan salah satu contoh hadis dan asbāb al-wurūd yang

termuat dalam kitab Ibnu Hamzah.

اىرشاب143) ج فادصاف اد ذ اى ر (ئراسأ

اى ذ اأد زأخشجال اىرش د دا أت سي فالدب عثخاس للاعضدسسالادتذقاى

حعثشتأاتضشخسثثأ قذادفجصاعيسمزاساىذتا ذاى فع ا ذحعص جعو سجلا أ ثر

اهق ج افجعوذصف ا ضخ سجلا ما اشأل ا يللاصهسساهقاهقاىذصثاءفقاهىعص

ثاىشصعذعزاسثةتشمزافرئيسيعللا اصسادذدفجثاىشصعثفثسذقذج49

Adapun kelebihan dari kitab ini di antaranya:

a. Kitab ini bisa dikatakan sebagai kitab yang paling luas pembahasannya.

Dibandingkan dengan kitab al-Suyūthī, kitab ini memuat hadis dan asbāb al-

wurūd yang jauh lebih banyak.

b. Sistematika penyusunan dengan metode mu‟jam memberi kemudahan bagi

pembaca untuk menemukan hadis dan asbāb al-wurūd yang ingin diketahui,

terutama jika mengetahui huruf awal matan hadis.

c. Penyebutan sumber-sumber kitab takhrij pada hadis yang dikemukakan juga

memudahkan pembaca untuk melacak hadis tersebut pada kitab hadis yang asli.

e. Hadis dan sebabnya disajikan secara sederhana dan ringkas yakni hanya

menyebut sahabat periwayat, tidak berpanjang lebar kecuali pada beberapa

bagian yang memang perlu dijelaskan.

Adapun kekurangan kitab ini yakni:

a. Penyusunan dengan metode mu‟jam di satu sisi menjadi kelebihan, namun di sisi

lain juga menjadi keterbatasan bagi pembaca yang tidak mengetahui lafal awal

matan hadis.

b. Pada bagian asbāb al-wurūd hanya beberapa yang disebutkan sumber takhrij

hadis, sementara yang lain hanya disebutkan sahabat periwayat. Hal ini cukup

menyulitkan pembaca jika hendak melacak pada kitab lain terutama jika hadis

dan sebabnya berasal dari dua riwayat yang berbeda.

48

Lihat Muqaddimah Ibn Hamzah, Al-Bayān wa al-Ta‟rīf, Juz I, … hlm. 35. 49

Lihat Ibn Hamzah, Al-Bayān wa al-Ta‟rīf, Juz I, … hlm. 155-156.

18

c. Kitab ini tidak menyebutkan sanad hadis secara lengkap tetapi hanya menyebut

periwayat dari kalangan sahabat. Karena itu, jika hendak mengetahui sanadnya,

maka harus melacak ke kitab aslinya.

Akan tetapi, terlepas dari kekurangan yang ada, kitab al-bayān wa al-ta‟rīf fī

asbāb wurūd al-hadīts al-syarīf telah menjadi salah satu rujukan utama untuk

melacak asbāb al-wurūd hadis. Selain itu, usaha Ibnu Hamzah untuk menghimpun

1832 hadis beserta sebab munculnya merupakan prestasi istimewa yang patut

diacungi jempol.

D. Kesimpulan

Dari pemaparan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa ilmu asbāb al-wurūd

memiliki kedudukan sebagaimana ilmu asbāb al-nuzūl. Ilmu ini menjadi salah satu

penopang dalam usaha untuk mengkaji makna dan maksud dari suatu hadis. Artinya

asbāb al-wurūd menjadi sarana untuk mengetahui dan memahami maksud dari

akibat yang ditimbulkannya yakni hadis. Dengan demikian maksud hadis menjadi

jelas dan terhindar dari berbagai perkiraan yang menyimpang dari tujuan sebenarnya.

Dua buah karya terkenal dalam bidang asbāb al-wurūd yang sampai kepada kita

saat ini yakni al-luma' fī asbāb al-wurūd al-hadīts karya al-Suyūthī dan al-bayān wa

al-ta‟rīf fī asbāb wurūd al-Hadīts al-Syarīf karya Ibnu Hamzah al-Dimasyqi. Dengan

metode penulisan serta keistimewaan masing-masing, maka kedua kitab ini telah

menjadi rujukan penting dalam kajian asbāb al-wurūd.

19

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Muhammad dan M. Mudzakir, Ulumul Hadis, Bandung: Pustaka Setia,

1998.

Al-Bukhārī, Abū „Abdullāh Muhammad ibn Ismā‟īl ibn Ibrāhīm ibn al-Mughīrah

ibn Barzibah, Shahīh al-Bukhāīî, Juz I, Beirut: Dār al-Fikr, 1981.

Husin Munawwar, Said Agil dan Abdul Mustaqim, Asbabul Wurud, Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2001.

Ibn Balbān al-Fārisī, Al-Amīr Alā` al-Dīn „Alīy, Shahīh Ibn Hibbān bi Tartīb Ibn

Balbān, Beirut: al-Muassasah al-Risālah, 1997.

Ibn Hamzah al-Husaynī al-Hanafī al-Dimasyqī, Al-Syarīf Ibrāhīm ibn Muhammad

ibn Kamāl al-Dīn, Al-Bayān wa al-Ta‟rīf fī Asbāb Wurūd al-Hadīts al-Syarīf,

Beirut: al-Maktabah al-„Ilmiyyah, 1982.

Ibnu Hibban, Shahīh Ibn Hibbān, al-Maktabah al-Syāmilah.

Itr, Nuruddin, „Ulum al-Hadits 2, terj. Mujiyo, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994.

Kahalah, Umar Ridha, Mu‟jam al-Mu`allifīn: Tarajim Mushannif al-Kutub al-

„Arabiyyah, Juz I, Beirut: Muassasah al-Risālah, 1993.

Muh Zuhri, Telaah Matan Hadis, Yogyakarta: LESFI, 2003.

Mukri, Barmawi, Kontekstualisasi Hadis Rasulullah, Yogyakarta: Ideal, 2005.

Muslim, Abū Husain ibn al-Hajjāj ibn al-Qausyaz al-Qusyairī an-Naisābūrī, Shahīh

Muslim, Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1991.

Al-Nasā`ī, Abū „Abdurrahmān Ahmad bin Syu‟aib, Sunan Al-Nasā`ī, Beirut: Dār

Ihyā al-Turāts al-Arabī, tt.

Qardhawi, Yusuf, Bagaimana Memahami Hadis Nabi saw., terj. Muhammad al-

Baqir, Bandung: Karisma, 1999.

Rahman, Fatchur, Iktisar Musthalahul Hadits, Bandung: Al-Ma‟arif, 1987.

Ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi, Pokok-Pokok Ilmu Dirayah Hadits (Jilid II), Jakarta:

Bulan Bintang, 1987.

Suparta, Munzier, Ilmu Hadis, Jakarta: Rajawali Press, 2011.

Al-Suyūthī, Al-Hāfizh Jalāl al-Dīn, Asbāb Wurūd al-Hadīts aw al-Lumā' fī Asbāb al-

Wurūd al-Hadīts, Beirut: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1983.

Al-Suyūthī, Al-Hāfizh Jalāl al-Dīn, Proses Lahirnya Sebuah Hadits: Asbab Wurud

al-Hadits, Thohiruddin Lubis (ed.), Bandung: Pustaka, 1985.

Zein, M. Ma‟shum, Ilmu Memahami Hadits Nabi, Yogyakarta: Pustaka Pesantren,

201