sejarah pendidikan

14
1 SEJARAH PERKEMBANGAN Dan PRAKSIS PEMBELAJARAN PONDOK PESANTREN DARUSSALAM (PERIODE 1962-2012) Studi Kasus: Desa Sumbergayam, Kecamatan Durenan, Kabupaten Trenggalek Danan Tricahyono Jurusan Sejarah, Universitas Negeri Malang Abstract: Boarding School is an educational institution that is original to Indonesia. Boarding school Darussalam is included in the types salafiyah. Previously only available Ponpes Darussalam cottage, but now grown there Islam School. On average boarding Salaf apply learning more concerned with constancy of the students in the following study. Applied learning models that bandongan and lectures. This study uses historical research and deep interview. Abstrak: Pondok Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang asli Indonesia. Pondok pesantren Darussalam merupakan pesantren yang masuk dalam jenis pesantren salafiyah. Dahulu Ponpes Darussalam hanya terdapat pondok saja, tetapi sekarang berkembang dengan ada madrasahnya. Rata-rata pesantren salaf menerapkan pembelajaran yang lebih mementingkan istiqomah dari para santri dalam mengikuti pembelajaran. Model pembelajaran yang diterapkan yaitu bandongan dan ceramah. Metode penelitian ini menggunakan kajian historis dan disertai wawancara mendalam. Kata kunci: Pesantren, Perkembangan, Metode. Pesantren diyakini sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia. Pesantren berasal dari kata santri dengan awalan pe dan akhiran an yang dapat diartikan sebaga tempat tinggal santri. Santri merupakan seorang yang sedang belajar agama Islam. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pesantren merupakan tempat yang digunakan untuk belajar agama Islam (Daulay, 2007:61). Pesantren memiliki ciri yang khas dalam pembelajaran agama Islam. Pesantren lebih mementingkan aspek agama dari pada sifat keduniawian. Pesantren merupakan saksi penyebaran agama Islam di Nusantara. Persepsi orang mengenai agama dan pendidikan berubah dengan adanya pesantren. Orang mulai menyadari bahwa penyempurnaan dalam bidang keagamaan perlu dikaji lebih mendalam melalui agama yang ada di pesantren (Usman, 2013:1).

Transcript of sejarah pendidikan

1

SEJARAH PERKEMBANGAN Dan PRAKSIS PEMBELAJARAN PONDOK PESANTREN DARUSSALAM (PERIODE 1962-2012)

Studi Kasus: Desa Sumbergayam, Kecamatan Durenan, Kabupaten Trenggalek

Danan Tricahyono

Jurusan Sejarah, Universitas Negeri Malang

Abstract: Boarding School is an educational institution that is original to Indonesia. Boarding school Darussalam is included in the types salafiyah. Previously only available Ponpes Darussalam cottage, but now grown there Islam School. On average boarding Salaf apply learning more concerned with constancy of the students in the following study. Applied learning models that bandongan and lectures. This study uses historical research and deep interview. Abstrak: Pondok Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang asli Indonesia. Pondok pesantren Darussalam merupakan pesantren yang masuk dalam jenis pesantren salafiyah. Dahulu Ponpes Darussalam hanya terdapat pondok saja, tetapi sekarang berkembang dengan ada madrasahnya. Rata-rata pesantren salaf menerapkan pembelajaran yang lebih mementingkan istiqomah dari para santri dalam mengikuti pembelajaran. Model pembelajaran yang diterapkan yaitu bandongan dan ceramah. Metode penelitian ini menggunakan kajian historis dan disertai wawancara mendalam. Kata kunci: Pesantren, Perkembangan, Metode.

Pesantren diyakini sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia. Pesantren

berasal dari kata santri dengan awalan pe dan akhiran an yang dapat diartikan

sebaga tempat tinggal santri. Santri merupakan seorang yang sedang belajar

agama Islam. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pesantren merupakan

tempat yang digunakan untuk belajar agama Islam (Daulay, 2007:61). Pesantren

memiliki ciri yang khas dalam pembelajaran agama Islam. Pesantren lebih

mementingkan aspek agama dari pada sifat keduniawian. Pesantren merupakan

saksi penyebaran agama Islam di Nusantara. Persepsi orang mengenai agama dan

pendidikan berubah dengan adanya pesantren. Orang mulai menyadari bahwa

penyempurnaan dalam bidang keagamaan perlu dikaji lebih mendalam melalui

agama yang ada di pesantren (Usman, 2013:1).

2

Sejak zaman dahulu tujuan pesantren adalah mencetak para santri yang

memiliki keahlian di bidang agama Islam. Mereka diharapkan menjadi orang-

orang yang memiliki akhlaq mulia, sehingga dapat dijadikan benteng agama dan

negara. Selain itu juga, mereka mampu berdakwah menyebarkan agama Islam

dengan harapan mampu mencerdaskan kehidupan masyarakat. Para santri tidak

hanya diberi pendidikan tentang agama saja, tetapi mereka juga diberikan

pendidikan mengenai kemandirian, kesederhanaan, ketekunan, dan sikap-sikap

yang bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari (Usman, 2013:1).

Pesantren sejak awal berdirinya sampai sekarang ada yang mengalami

perkembangan dan juga ada yang tetap mempertahankan keaslian yang ada di

pesantren. Pesantren yang tetap mempertahankan ajaran-ajaran yang ada sejak

awal berdirinya dikenal sebagai pesantren salafiyah. Model pembelajaran yang

diterapkan di pesantren salafiyah adalah sistem klasikal yang dipadukan dengan

sistem bandongan. Kitab-kitab yang dikaji berupa kitab-kitab kuning. Pesantren

salaf juga mengalami perkembangan dari segi pengelolaan pendidikan.

Pesantren di Trenggalek terhitung sedikit yang masih mempertahankan

garis salafiyah. Rata-rata pesantren telah berkembang menjadi pesantren

komprehensif, yaitu pesantren yang mengintegrasikan pendidikan agama dengan

pendidikan umum. Pesantren sebagai lembaga pendidikan yang asli Nusantara

memang menarik untuk dikaji. Artikel ini merupakan sebuah studi awal mengenai

sejarah perkembangan dan praksis pembelajaran pondok pesantren salafiyah yang

ada di Desa Sumbergayam, Kecamatan Durenan, Kabupaten Trenggalek.

METODE

Penelitian ini menggunakan metode kajian sejarah dan disertai wawancara

mendalam, hal ini karena selain menggunakan buku-buku sebagai pendukung

penulisan artikel peneliti juga melakukan wawancara dengan narasumber sebagai

sumber lisan yang memberikan keterangan mengenai perkembangan ponpes

Darussalam. Jenis penelitian yang diterapkan adalah deskriptiv analisis. Peneliti

menjelaskan fakta-fakta yang diperoleh dari hasil penelitian serta melakukan

interpretasi untuk menghasilkan analisis yang baik dan benar. Langkah-langkah

3

penelitian yang ditempuh menggunakan metode khas sejarah penelitian sejarah

yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi (Hamid & Madjid, 2011:45).

Kehadiran peneliti di lapangan bertujuan untuk melakukan observasi

terhadap berbagai pihak yang terlibat dalam penelitian. Peneliti melakukan

wawancara mendalam dengan salah satu pengurus Ponpes Darussalam. Lokasi

penelitian dalam hal ini ada di Desa Sumbergayam, Kecamatan Durenan,

Kabupaten Trenggalek. Waktu yang diperlukan untuk melakukan penelitian ini

selama 2 hari, mulai tanggal 1 sampai 2 November 2014. Untuk mendukung hasil

penelitian peneliti menggunakan jurnal dan buku yang memiliki relevansi dengan

topik yang dibahas.

HASIL

Fokus penelitian ini adalah mengkaji tentang sejarah perkembangan dan

praksis pembelajaran pondok pesantren Darussalam. Pada bagian ini peneliti akan

memamparkan hasil-hasil penelitan berupa wawancara dengan Bapak Solekan

serta sumber primer berupa catatan tentang Ponpes Darussalam, hasilnya sebagai

berikut.

Pondok Pesantren Darussalam merupakan salah satu lembaga pendidikan

Islam yang tertua di Kabupaten Trenggalek. Sejak pertama berdiri sampai

sekarang terdapat 8 pemimpin (pengasuh) ponpes Darussalam. Pertama, Abu

Thalab, beliau merupakan ulama yang berasal dari Kendal, Jawa Tengah. Beliau

hijrah dari Kendal menuju daerah yang belum di sentuh oleh agama Islam yaitu

Trenggalek. Kepergianya dari Kendal menuju Trenggalek tidak lepas dari

kebijakan Belanda pada tahun 1825 bahwa pergerakan para ulama atau kyai harus

dibatasi karena dapat mengancam kedudukan Belanda di Nusantara. Berawal dari

hal inilah perjuangan para ulama untuk menyebarkan agama Islam semakin

meningkat (Catatan mengenai ponpes Darussalam, tt:1).

Pada tahun 1870 Abu Thalab pergi ke Trenggalek dengan temanya yaitu

Kyai Muzdalifah. Beliau berdua ini berhenti di tempat yang berbeda. Kyai

Muzdalifah berhenti di Desa Santren, Kecamatan Rejowinangun, Trenggalek.

Buktinya dapat diiedentifikasi dari makam beliau yang ada di desa Santren.

Sementara, Kyai Thalab berhenti di desa Kedunglurah, Kecamatan Pogalan,

4

Trenggalek. Beliau disini menikahi wanita yang bernama Tumijah. Beliau

memutuskan untuk memilih tempat yang bagus untuk dijadikan tempat tinggal

dan untuk menyebarkan Islam. Beliau memilih desa yang dekat dengan Medang

Kamulyan yaitu desa Sumbergayam. Di tempat ini beliau mendirikan surau yang

beratap dari ilalang serta bertembok anyaman bambu dan berlantaikan papan.

Lewat surau ini beliau menyebarkan agama Islam pada masyarakat setempat.

Perkawinan dengan ibu Tumijah ini beliau diberi enam orang anak yaitu

Dariroh, Syarifah, Rustamaji, Badruddin, Murtosiyah, dan Abdulloh Jawahir. Dari

ke enam anaknya ini yang kemudian melajutkan perjuangan beliau untuk

menyebarkan Islam adalah Badruddin (Sholekan, 02 November 2014).

Kyai Badruddin merupakan cikal bakal pendiri ponpes Darussalam. Kyai

Badruddin dilahirkan pada tahun 1880. Pada saat itu Trenggalek sedang dipimpin

oleh Bupati Mangundiredjo yang menjabat sebagai Bupati ke empat, sejak tahun

1850-1894. Sejak kecil Kyai Badruddin dikenal sebagai pribadi yang memiliki

kejujuran, serta tegas dalam mengambil keputusan. Sejak berumur delapan tahun

beliau telah pergi dari rumah untuk mencari ilmu pengetahuan tentang agama

Islam. Pada tahun 1888 beliau menuntut ilmu di Pondok Mojosari Nganjuk yang

merupakan salah satu pondok tertua di Kabupaten Nganjuk. Pondok ini didirikan

pada tahun 1720. Beliau belajar di Pondok Mojosari kurang lebih selama 18

tahun. Banyak hal yang diperoleh selama beliau belajar di Pondok Mojosari,

mulai dari ilmu tentang fiqih, sampai ilmu tentang tarekat. Ilmu yang telah

diperolehnya, beliau aplikasikan untuk meneruskan perjuangan ayahnya untuk

menyiarkan agama Islam di Desa Sumbergayam. Beliau menjadi pimpinan

pondok jajar (nama sebelum berubah menjadi Darussalam) sejak tahun 1910. Pada

tahun ini, santri-santri yang belajar di pondok jajar masih sedikit, hal ini karena

masih adanya pengaruh Belanda di Nusantara. Belanda melakukan pengawasan

secara serius terhadap lembaga-lembaga pendidikan yang ada di Nusantara, baik

formal maupun non formal.

Pondok Jajar untuk model pembelajaranya sendiri masih menerapkan

sorogan dan bandongan. Hal ini tidak lepas dari sikap wira’i kyai Baddrudin.

Sikap wira’i merupakan anggapan untuk meningggalkan hal-hal subhat. Seiring

dengan perkembangan zaman, pondok jajar juga mengalami perkembangan dari

5

segi pendidikanya. Menurut Sholekan (2 November 2014) bahwa ”Kyai

Baddrudin memiliki istri yang bernama Nyai Isti’anah, dan memiliki tiga orang

anak, yaitu Hamid, Agus Qomarudin, dan Hilaiyah. Dan anak yang nomor dua

dan tiga inilah yang menjadi penerus perjangan di pondok Jajar”.

Pada tahun 1957 kyai Baddrudin wafat karena kecelakaan. Pondok Jajar

sepeninggalan kyai Badrudin mengalami pasang surut karena tidak ada pengganti

yang sejajar dengan kyai Badruddin. Sepupu dari kyai Baddrudin yaitu kyai

Mazful ditunjuk oleh para kerabat untuk memimpin pondok Jajar, tetapi tidak

berapa lama menjadi pemimpin pondok beliau juga meninggal dunia. Di pihak

yang lain putra kedua dari Kyai Baddrudin yang sedang mondok di Jawa Tengah

yaitu Agus Komaruddin dipanggil untuk pulang ke Sumbergayam untuk menjadi

pemimpin pondok Jajar. Beliau mengambil kebijakan untuk menyuruh adiknya

yang bernama Hila’iyah untuk segera menikah karena usianya telah menginjak

remaja. Beliau pun menikahkan adiknya dengan pemuda yang alim dan gagah dari

Desa Sukorame, Kecamatan Pogalan, Trenggalek yaitu Mohammad Yunus. Kyai

Agus Qomaruddin menikahkan adiknya ini memiliki tujuan ketika beliau sudah

meninggal nanti estafet kepemimpinan dapat dipegang oleh adiknya. Cita-cita dari

beliau untuk menikahkan adiknya terpenuhi. Karena Beliau merasa belum selesai

dalam menuntut ilmu dalam bidang keagamaan akhirnya beliau memustukan

untuk menempuh pendidikan di Pondok Abul Faid Blitar pada tahun 1960. Satu

setengah tahun beliau menempuh pendidikan di Blitar kemudian beliau pulang ke

Jajar dan merintis pendidikan yang berkelas yang diberi nama Madrasah

Roudlotut Tolibin, madrasah ini diresmikan pada tanggal 21 Maret 1962.

Tranformasi penyelanggaraan pendidikan terjadi di pondok Jajar, yang semula

hanya berupa pondok berubah menjadi ponpes dengan adanya madrasah ini. Sejak

saat itu ada jenjang pendidikan yang jelas, jika sebelumnya hanya pondok maka

berkembang menjadi 3 jenjang yaitu Ibtida’iyah, Tsanwiyah dan Aliyah. Tidak

lama setelah merintis berdirinya madrasah Roudlotut Tolibin, kyai Agus

Qomaruddin meninggal dunia. Pimpinan berikutnya dipegang kyai Tarmuji yang

merupakan suami kedua dari nyai Isti’anah. Tetapi selang beberapa bulan, kyai

Tarmuji juga meninggal dunia ketika beliau sedang menjadi imam sholat Jumat.

6

Secara resmi estafet dipegang oleh Kyai Mohammad Yunus pada bulan Desember

tahun 1962 (Sholekan, 2 November 2014).

Pada masa kepemimpinan Kyai Mohammad Yunus pondok Jajar

mengalami perkembangan secara perlahan menuju kebesaran. Beliau dalam

memimpin ponpes mementingkan musyawarah dengan masyarakat sekitar demi

tercapainya kemajuan pendidikan di ponpesnya. Pernah beliau mendapat saran

jika ponpesnya diberi tanda dengan sebuah nama, karena ponpes ini belum punya

nama. Karena nama jajar sendiri adalah sebuah dusun. Beliau mempertimbangkan

usulan tersebut. Beliau melakukan sholat istiqhoroh untuk meminta petunjuk.

Akhirnya beliau memberikan ponpes tersebut dengan nama Darussalam.

Kyai Muhammad Yunus memiliki istri yang bernama Nyai Hilaiyah, dari

pernikahanya ini beliau memiliki enam orang anak, diantaranya Agus Fahrurrozi,

Ibu. Hj. Sarirotus Sa`diyah, Agus Yahya (meninggal masih kecil), Agus Hamam

Mundzir, Agus Jauhari, Agus Afifudin.

Sejak dipimpin Kyai Mohammad Yunus pondok pesantren Darusalam

banyak diminati oleh para santri baik yang berasal dari dalam Kabupaten

Trenggalek atau berasal dari luar Kabupaten Trenggalek. Para santri ada yang

mondok ada juga yang langsung pulang pergi dari rumahnya. Pada tahun 1980

jumlah santri laki-laki semakin banyak. Hal ini membuat Ponpes Darussalam

semakin dikenal, pada tahun yang sama pula beberapa orang tua tertarik untuk

menitipkan anak perempuanya mondok di Ponpes Darussalam.

Berdasarkan kenyataan yang ada bahwa yang berminat untuk mondok

tidak hanya para laki-laki maka pada tahun 1985 dibangun ponpes Darussalam

putri yang terletak 50 meter di sebelah barat ponpes Darussalam putra. Dalam

perkembanganya beberapa gadis desa mondok ke ponpes putri dengan cara

nduduk (bhs. jawa) atau pulang-pergi dari rumah ke pondok. Baru sejak tahun

1986 ada dua perempuan yang berasal dari Jember dan Dongko yang bermukim di

ponpes Darussalam.

Metode pembelajaran yang diterapkan baik di ponpes putra dan putri sama

yaitu bandongan . Metode pembelajaran bandongan rata-rata masih dipertahankan

oleh ponpes yang beraliran salafiyah, alasanya jika ponpes ini dikembangkan

menjadi ponpes modern, maka garis-garis salafiyah itu akan hilang. Kemudian

7

pengasuh dari ponpes ini juga seorang yang wira’i, alasan inilah yang dijadikan

pengasuh ponpes Darussalam untuk mempertahankan di garis salafiyah. Disisi

lain untuk mengembangkan ponpes Darussalam tanpa menghilangkan garis

Salafiyah, ponpes ini mendirikan ponpok Tahfidzil Qur’an pada tahun 1998.

Perintis dari didirakanya pondok tahfidzil Qur’an adalah Agus Fahrurozi Yunus

dan Istrinya Ibu Hanik Munawaroh yang merupakan seorang hafidz. Tujuan

didirikanya pondok Al-Qur’an ini untuk mewadahi para anak-anak yang memiliki

bakat dalam bidang Al-Qur’an terutama dalam hal hafalan Qur’an. Dalam

perkembanganya jumlah santri semakin bertambah banyak. Untuk metode

pembelajaran yang digunakan khusus pondok Al-Qur’an memakai ceramah dan

bandongan. Pondok ini terus berkembang mengikuti perkembangan zaman. Pada

tahun 2012 Kyai Mohammad Yunus meninggal dunia karena sakit dan

kepemimipinan diberikan kepada putranya yang terakhir bernama Agus Afifudin

Yunus.

Dari segi penyelenggaraan pendidikanya, ponpes Darussalam juga

menerapkan sistem seleksi masuk. Tujuanya untuk mengetahui sejauh mana

penguasaan materi tentang keagamaan dari calon santri. Sistem SPP juga

diperlakukan di ponpes Darussalam. Besaran SPP disesuaikan dengan tingkatan

kelasnya.

PEMBAHASAN

Sejarah Perkembangan dan Praksis Pembelajaran Ponpes Darussalam

Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang asli Indonesia. Hal ini

diperkuat dengan pendapat dari Usman (2013:102) yang menyatakan bahwa

“pesantren merupakan lembaga pendidikan yang didirikan pada abad 15 oleh

Sunan Gresik di daerah leran Gresik”. Pada awalnya Sunan Gresik hanya

mendirikan lembaga pengajian yang ditujujukan untuk menggembleng para santri

untuk menjadi juru dakwah yang handal di masyarakat. Pada awal

perkembanganya kajian yang dibahas di pesantren berupa tarekat. Seiring

perkembangan zaman kajian di pesantren semakin banyak. Mulai dari kitab

kuning dan ilmu-ilmu keagamaan yang lain seperti tauhid dan fiqih. Pesantren

Darussalam merupakan pesantren yang berdiri sejak tahun 1870. Pesantren ini

8

pertama kali didirikan oleh Abu Thalab yang merupakan seorang musafir yang

berasal dari Kendal Jawa Tengah. Seiring dengan tranformasi pesantren yang ada

di Nusantara seperti Pondok Lirboyo Kediri, Pesantren Tebuireng Jombang maka

Ponpes Darussalam juga mengalami perkembangan dari segi penerapan

pendidikanya.

Pada tanggal 21 Maret 1962 pondok Jajar merintis pendidikan berkelas

dengan didirikanya Madrasah Roudlotut Tholibin, status pondok yang bernama

Jajar dirubah menjadi ponpes Darussalam. Yang menjadi pemimpin ponpes

Darussalam adalah Kyai Mohammad Yunus. Beliau dijadikan pengasuh atas saran

dari keluarga, selain juga faktor keturunan dari Abu Thalab sebagai cikal bakal

berdirinya ponpes Darussalam. Perubahan status dari pondok menjadi ponpes

merupakan perubahan yang bersifat mendasar. Ada kriteria tertentu untuk

menentukan lembaga pendidikan bisa disebut sebagai pesantren. Pertama, adanya

pondok, istilah pondok diadopsi dari bahasa Arab funduq yang memiliki arti hotel

atau asrama (Daulay, 2007:62). Pondok berdiri di samping pesantren, fungsi dari

pondok biasanya untuk bermukim para santri yang berasal dari luar daerah atau

santri yang berasal dari satu daerah dengan pesantren. Pondok memiliki aturan

atau tata tertib yang sangat ketat. Para santri diwajibkan untuk mematuhi aturan

yang telah dibuat demi terciptanya suasana ponpes yang damai. Aturan-aturan

yang dibuat sebenarnya bersifat mendasar. Aturan seperti shalat , makan, belajar,

dan istirahat wajib dipatuhi oleh santri agar menjadi pribadi yang mandiri dan

memiliki tanggung jawab.

Ponpes Darussalam mulai menerapkan sistem pondokan sejak tahun 1962.

Namun, para santri yang menginap sebatas santri yang berasal dari desa

Sumbergayam dan daerah sekitarnya itupun masih dalam jumlah yang sedikit,

selebihnya hanya santri kalong yang mengaji sampai malam kemudian pulang,

baru tahun 1985 semenjak dibangunya ponpes Darussalam putri menandakan akan

banyak santri yang memilih untuk tinggal di pesantren. Pada awal pembangunan

para santri masih nduduk (bhs. Jawa) tetapi sejak tahun 1986 ada dua santri yang

berasal dari luar desa Sumbergayam yang menyatakan bermukim, santri tersebut

berasal dari Dongko dan Jember yang memulai menginap di ponpes Darussalam.

Elemen penting kedua dari pesantren adalah masjid. Pesantren mutlak memiliki

9

masjid, tempat yang dijadikan pembelajaran oleh kyai dan santri biasanya selalu

berada di masjid. Terlebih untuk kegiatan pembelajaran yang mengulas kitab-

kitab klasik yang memakai model bandongan, tempat yang luas tentunya memang

diperlukan untuk bandongan yang memiliki ciri khas membentuk lingkaran

dengan guru berada ditengah. Pembelajaran yang dilakukan di masjid juga

diterapkan oleh ponpes Darussalam, biasanya pembelajaran yang dilaksanakan

santri dengan kyai setelah sholat mahgrib, kajian tentang kitab kuning sebagai ciri

dari pesantren salafiyah itu yang selalu dipelajari oleh santri. Sistem pembelajaran

di masjid telah ada sejak zaman Rosululloh SAW, alasan inilah yang dijadikan

ponpes salaf masih mempertahankan kebiasaan pembelajaran di masjid (Daulay,

2007:63).

Ketiga, pengajian kitab kitab klasik atau yang sering dikenal dengan kitab

kuning. Kitab klasik memang tidak dapat dipisahkan dengan pesantren, untuk

menunjang kemampuan santri dalam membaca kitab dengan baik dan benar maka

ditunjang dengan ilmu bantu seperti nahu, syaraf, balaghah, ma’ani dan bayan.

Kegiatan pembelajaran pada jenjang Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan Aliyah di

ponpes Darussalam juga memakai kitab klasik sebagai bahan kajian serta ilmu-

ilmu bantu untuk menunjang kemampuan santri. Masing-masing jenjang

memberikan materi yang berhubungan dengan ilmu bantu seperti nahu, syaraf,

balaghah, ma’ani dan bayan. Namun setiap jenjang dibedakan untuk tingkat

kesulitanya, tentunya jika jenjang pendidikanya makin tinggi maka materi

pelajaran yang diberikan semakin sulit atau juga sebaliknya jika jenjangnya masih

dasar maka materi yang diberikan bersifat dasar.

Keempat, santri merupakan siswa yang menuntut ilmu di pesantren. Santri

dibedakan menjadi dua yaitu santri mukim dan santri kalong, santri dengan ciri

bertempat tinggal atau mondok di pesantren disebut sebagai santri mukim,

sedangkan penyebutan santri kalong lebih ditujukan pada santri yang pulang pergi

dari rumah ke pesantren untuk menuntut ilmu. Para santri yang menuntut ilmu

diibaratkan sebagai seorang musafir yang sedang berkelana mencari ilmu. Mereka

berhak menerima beasiswa berupa ilmu pengetahuan yang berasal dari kyai. Islam

mengajarkan bahwa mencari ilmu tidak ada batasnya, baik di usia tua dan muda

dianggap sama saja (Dhofier, 1994:24). Aspek terakhir adalah kyai, beliau

10

merupakan tokoh yang dianggap sentral, karena maju-mundurnya sebuah

pesantren dibebankan kepada kyai yang memimpin atau yang mengelola

pesantren tersebut. Sejak awal berdirinya pesantren kyai merupakan unsur sosial

yang penting dalam masyarakat Indonesia (Sutriaji, 2010:23).Jika disamakan

dengan sekolah umum maka kyai memiliki kedudukan sama seperti kepala

sekolah (Muhaimin, 2012:118). Alasan Fungsi kyai dianggap penting karena ilmu

pengetahuan berasal dari beliau sebelum disampaikan pada para santri.

Dari segi penyelenggaraan pendidikan ponpes Darussalam tidak

menggunakan kurikulum sebagaimana yang diterapkan di sekolah formal, tetapi

yang diterapkan berupa funun (macam-macam) kitab yang diajarkan kepada

seluruh santrinya. Para kyai memaknai kurikulum sebagai pelajaran atau daftar

mata pelajaran yang akan diberikan kepada para santri dalam waktu tertentu

(Zubaidi, tt: 10). Ponpes Darussalam sebagai pesantren salaf sejak awal

berdirinya lebih mementingkan pelajaran mengenai nahwu dan fiqih. Hal ini

sesuai dengan visi pondok yang ingin mencetak generasi yang memiliki pribadi

yang alim serta memiliki jiwa pembela kebenaran.

Lama pendidikan yang ditempuh untuk masing-masing jenjang memiliki

perbedaan. Ibtidaiyah ditempuh selama 6 tahun dengan 6 tingkatan kelas,

Tsanawiyah ditempuh selama 3 tahun dengan 3 tingkatan kelas, Aliyah ditempuh

selama 3 tahun juga dengan tingkatan 3 kelas. Kelulusan dari santri bukan

ditentukan oleh nilai yang diperolehnya, tetapi lebih kepada kemampuan dalam

mengaji kitab dan keistiqomahan dari para santri dalam mengikuti kegiatan

pembelajaran. Tujuan yang ingin dicapai pondok salafiyah adalah kebersihan jiwa

dari para santrinya. Para santri yang telah menyelesaikan pendidikan tentunya

diberi ijazah sebagai tanda kelulusan. Makna ijazah di pesantren memiliki

perbedaan sedikit dengan sekolah umum. Pesantren ijazah lebih kepada tanda dari

kyai yang memberikan restu kepada santrinya untuk menganjarkan kitab yang

telah dipelarinya kepada santri yang lain (Nafi’i, 2007:68). Untuk menunjang

kegiatan pembelajaran ponpes Darussalam juga menerapkan SPP (Sumbangan

Penyelenggaraan Pendidikan) yang tiap-tiap jenjang dibedakan besaran biayanya.

Untuk jenjang Ibtidaiyah dibagi menjadi dua, kelas 1-2 biayanya Rp 7.000 per

bulan, sedangkan kelas 3-6 biayanya Rp 10.000 per bulan. Kelas 1-3 Tsanawiyah

11

biayanya Rp 12.000 per bulan. Jenjang Aliyah biayanya Rp 15.000 per bulan.

Semua biaya dimasukan dalam keuangan pondok yang digunakan untuk keperluan

pondok, seperti perawatan sarana dan prasarana, pembayaran rekening listrik,

pengairan, kebersihan serta syahriyah.

Secara pola pesantren menurut pendapat dari Daulay (2007:65-66) ponpes

Darussalam masuk dalam pola pesantren tiga. Pola ini dalam satu kompleks

pesantren terdiri dari masjid, rumah kyai, pondok, dan madrasah.

Foto 1. Merupakan gambar ponpes Darussalam dari depan (Sumber: Dokumentasi

pribadi).

Biasanya masjid dijadikan untuk tempat pengajaran bagi santri.

Pada awal berdirinya Roudlotut Tholibin (Darussalam) sistem

pembelajaran yang diterapkan ponpes Darussalam masih menganut sistem klasik

berupa sorogan dan bandongan. Seiring dengan perkembangan zaman sistem

sorogan sudah sedikit dikurangi. Sistem sorogan berlaku ketika pengajian

diberikan di langgar atau di masjid secara individual oleh kyai pada santri tertentu

(Dhofier, 1994:28). Model sorogan diberikan bagi santri yang telah menguasai

bacaan Al-Qur’an sesuai tajwid. Sorogan merupakan model pembelajaran yang

12

paling sulit diterapkan di madrasah. Alasan yang mendasar dari sistem ini sulit

adalah tuntutan yang diberikan kepada para santri ketika belajar harus bersabar,

rajin, disiplin dan taat. Efisiensi waktu juga dijadikan pertimbangan. Jika sorogan

diterapkan secara penuh justru akan menghambat proses pembelajaran. Jadi

sorogan lebih ditekankan untuk kegiatan diluar pembelajaran (bimbingan).

Dengan pertimbangan tersebut ponpes Darussalam akhirnya lebih mengutamakan

model pembelajaran dengan sistem bandongan yang lebih efektif dari segi

waktunya. Sistem bandongan memiliki ciri khas sekelompok murid berkumpul

membentuk lingkaran yang terdiri dari 5 sampai 10 orang untuk membentuk

lingkaran, kemudian guru duduk di depanya untuk mengulas buku-buku Islam.

Setiap santri memperhatikan buku yang dimilikinya untuk diberikan catatan-

catatan mengenai arti ataupun kata-kata sulit yang ada di kitabnya.

Sistem bandongan yang diterapkan di madrasah tidak menuntut santri

untuk memahami pelajaran yang dihadapinya. Ketika pembelajaran para kyai

membacakan kitab-kitabnya sangat cepat, seperti bercerita (Mudzakir & Mujib,

208:192). Bagi santri yang tidak memiliki pengetahuan yang lebih atau bagi

mereka yang tidak pernah mengikuti pembelajaran sistem sorogan akan

mengalami ketinggalan materi. Maka dari hal inilah para kyai tidak mengharuskan

santrinya untuk memahami pelajaran secara penuh. Yang dipentingkan adalah

istiqomah dan disiplin. Istiqomah sangat penting, karena menyangkut konsistensi

dari santri dalam mengikuti pelajaran. Jika santri banyak tidak masuk tentunya

berakibat pada ketinggalan materi pelajaran, tetapi jika mampu istiqomah dijamin

pasti bisa meskipun belum sempurna.

Untuk mengembangkan potensi dari para santri dalam bidang Al-Qur’an,

ponpes Darussalam tahun 1998 membangun pondok yang dikhususkan dalam

bidang Al-Qur’an yang bernama Pondok Tahfidzil Qur’an. Pondok yang memang

khusus menerima santri yang belajar Al-Qur’an mulai dari awal sampai bisa

menghafal Qur’an secara penuh. Materi yang diajarkan berupa mengkaji Al-

Qur’an mulai dari dasar, salah satunya menganalisis isi per juz dari Al-Qur’an,

hafalan per juz, dan puncaknya hafal Satu Qur’an penuh.

Untuk menunjang kegiatan pembelajaran ponpes Darussalam juga

membuka beberapa kegiatan extrakurikuler, yang dalam perkembanganya

13

semakin bertambah banyak sampai sekarang. Ekstrakurikuler yang ada di ponpes

Darussalam antara lain pendididikan berorganisasi, Jami’iyah pusat, Jami’iyah

far’iyah, Bahsul masa’il, qiro’atul qur’an, khotmil qur’an, sorogan Al Qur’an,

metode yanbu’a, metode an-nahdiyah, seminar dan keputrian. Bagi para santri

yang memiliki minat pada salah satu kegiatan extra bisa mengikutinya. Tujuanya

jelas untuk belajar hal-hal yang baru yang belum pernah mereka tahu. Salah satu

kegiatan yang bagus adalah seminar, biasanya ponpes Darussalam mengundang

pemateri dari pondok lain untuk mengisi kegiatan seminar. Acara seminar

diadakan tiga bulan sekali. Ponpes Darussalam juga menyelenggarakan kegiatan

rutinan yang menunjang pembelajaran santri, kegiatanya antara lain pengajian

ahad pon tentang Al-hikam dan Mujahadah Sadziliyah. Jadi para santri selain

mendapatkan pengetahuan dari proses belajar juga mendapat pengetahuan dari

kegiatan ekstrakurikuler.

Kesimpulan dan Saran

Ponpes Darussalam merupakan pesantren yang beraliran salafiyah yang

berdiri sejak zaman Belanda, dan mengalami transformasi pada tahun 1962

dengan mendirikan madrasah Roudlotut Tholibin. Sistem pendidikanya

menerapkan model bandongan dan klasikal berupa mengkaji kitab-kitab kuning.

Untuk mewadahi santri yang ingin secara khusus belajar Al-Qur’an, ponpes

Darussalam juga mendirikan pondok Tahfidzil Qur’an. Selain itu, kegiatan

ekstrakurikuler juga ada di ponpes Darussalam. Penyelenggaraan pendidikan yang

dilaksanakan ponpes Darussalam bertujuan untuk mecetak generasi yang memiliki

kebersihan jiwa seperti yang dicita-citakan dalam pendidikan Islam (Arifin,

2000:40).

Kepada seluruh generasi muda jangan pernah meremehkan pendidikan

pesantren, karena pesantren merupakan lembaga pendidikan asli Indonesia.

Diharapkan para orang tua dalam memilih pendidikan untuk anaknya jangan

hanya berfokus pendidikan umum tetapi pendidikan agama juga penting.

14

DAFTAR RUJUKAN

Arifin, M. 2000. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Akasara. Daulay, H.D. Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di

Indonesia. Jakarta: Prenada Media Group. Dhofier, Z. 1994. Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai.

Jakarta: LP3ES. Muhaimin, A. et.al. 2007. Praksis Pembelajaran Islam. Yogyakarta: LKiS. Muhaimin. 2012. Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam.

Jakarta: Rajawali Pers. Mujib, A & Mudzakir, J. 2008. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Prenada Kencana

Media Group. Hamid, A.R. & Madjid, M.S. 2011. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Ombak. Sutriaji. E. Y. 2010. Upaya Pondok Pesantren Manbaul Hikmah Kresek Dalam

Meningkatkan Mutu Penyelenggarakan Pendidikan Tahun 1969-1996”. Skripsi. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatulloh Jakarta.

Usman, M.I. 2013. Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan Islam (Sejarah Lahir,

Sistem Pendidikan, dan Perkembangannya Masa Kini). (Jurnal Al Hikmah Vol. XIV Nomor 1/2013), (Online), (http://www.uin-alauddin.ac.id/download-al-hikmah%20volume%20xiv%20nomer%201%20&%202%20-%202013.103-121.pdf), diakses pada 3 Oktober 2014.

Zubaidi, M.A. tanpa tahun. Sistem Pendidikan Dakwah Pondok Pesantren Nurul

Haromain Pujon, Malang Dan Perkembangannya. (Online), (http://jurnalonline.um.ac.id/data/artikel/artikel7e1416a3e9f21e892782ea3215b47d8d.pdf), diakses pada 3 Oktober 2014.

Sumber Primer Catatan mengenai Sejarah Ponpes Darussalam. Wawancara Sholekan, pada tanggal 1-2 November 2014.