sejarah pendidikan
-
Upload
independent -
Category
Documents
-
view
2 -
download
0
Transcript of sejarah pendidikan
1
SEJARAH PERKEMBANGAN Dan PRAKSIS PEMBELAJARAN PONDOK PESANTREN DARUSSALAM (PERIODE 1962-2012)
Studi Kasus: Desa Sumbergayam, Kecamatan Durenan, Kabupaten Trenggalek
Danan Tricahyono
Jurusan Sejarah, Universitas Negeri Malang
Abstract: Boarding School is an educational institution that is original to Indonesia. Boarding school Darussalam is included in the types salafiyah. Previously only available Ponpes Darussalam cottage, but now grown there Islam School. On average boarding Salaf apply learning more concerned with constancy of the students in the following study. Applied learning models that bandongan and lectures. This study uses historical research and deep interview. Abstrak: Pondok Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang asli Indonesia. Pondok pesantren Darussalam merupakan pesantren yang masuk dalam jenis pesantren salafiyah. Dahulu Ponpes Darussalam hanya terdapat pondok saja, tetapi sekarang berkembang dengan ada madrasahnya. Rata-rata pesantren salaf menerapkan pembelajaran yang lebih mementingkan istiqomah dari para santri dalam mengikuti pembelajaran. Model pembelajaran yang diterapkan yaitu bandongan dan ceramah. Metode penelitian ini menggunakan kajian historis dan disertai wawancara mendalam. Kata kunci: Pesantren, Perkembangan, Metode.
Pesantren diyakini sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia. Pesantren
berasal dari kata santri dengan awalan pe dan akhiran an yang dapat diartikan
sebaga tempat tinggal santri. Santri merupakan seorang yang sedang belajar
agama Islam. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pesantren merupakan
tempat yang digunakan untuk belajar agama Islam (Daulay, 2007:61). Pesantren
memiliki ciri yang khas dalam pembelajaran agama Islam. Pesantren lebih
mementingkan aspek agama dari pada sifat keduniawian. Pesantren merupakan
saksi penyebaran agama Islam di Nusantara. Persepsi orang mengenai agama dan
pendidikan berubah dengan adanya pesantren. Orang mulai menyadari bahwa
penyempurnaan dalam bidang keagamaan perlu dikaji lebih mendalam melalui
agama yang ada di pesantren (Usman, 2013:1).
2
Sejak zaman dahulu tujuan pesantren adalah mencetak para santri yang
memiliki keahlian di bidang agama Islam. Mereka diharapkan menjadi orang-
orang yang memiliki akhlaq mulia, sehingga dapat dijadikan benteng agama dan
negara. Selain itu juga, mereka mampu berdakwah menyebarkan agama Islam
dengan harapan mampu mencerdaskan kehidupan masyarakat. Para santri tidak
hanya diberi pendidikan tentang agama saja, tetapi mereka juga diberikan
pendidikan mengenai kemandirian, kesederhanaan, ketekunan, dan sikap-sikap
yang bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari (Usman, 2013:1).
Pesantren sejak awal berdirinya sampai sekarang ada yang mengalami
perkembangan dan juga ada yang tetap mempertahankan keaslian yang ada di
pesantren. Pesantren yang tetap mempertahankan ajaran-ajaran yang ada sejak
awal berdirinya dikenal sebagai pesantren salafiyah. Model pembelajaran yang
diterapkan di pesantren salafiyah adalah sistem klasikal yang dipadukan dengan
sistem bandongan. Kitab-kitab yang dikaji berupa kitab-kitab kuning. Pesantren
salaf juga mengalami perkembangan dari segi pengelolaan pendidikan.
Pesantren di Trenggalek terhitung sedikit yang masih mempertahankan
garis salafiyah. Rata-rata pesantren telah berkembang menjadi pesantren
komprehensif, yaitu pesantren yang mengintegrasikan pendidikan agama dengan
pendidikan umum. Pesantren sebagai lembaga pendidikan yang asli Nusantara
memang menarik untuk dikaji. Artikel ini merupakan sebuah studi awal mengenai
sejarah perkembangan dan praksis pembelajaran pondok pesantren salafiyah yang
ada di Desa Sumbergayam, Kecamatan Durenan, Kabupaten Trenggalek.
METODE
Penelitian ini menggunakan metode kajian sejarah dan disertai wawancara
mendalam, hal ini karena selain menggunakan buku-buku sebagai pendukung
penulisan artikel peneliti juga melakukan wawancara dengan narasumber sebagai
sumber lisan yang memberikan keterangan mengenai perkembangan ponpes
Darussalam. Jenis penelitian yang diterapkan adalah deskriptiv analisis. Peneliti
menjelaskan fakta-fakta yang diperoleh dari hasil penelitian serta melakukan
interpretasi untuk menghasilkan analisis yang baik dan benar. Langkah-langkah
3
penelitian yang ditempuh menggunakan metode khas sejarah penelitian sejarah
yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi (Hamid & Madjid, 2011:45).
Kehadiran peneliti di lapangan bertujuan untuk melakukan observasi
terhadap berbagai pihak yang terlibat dalam penelitian. Peneliti melakukan
wawancara mendalam dengan salah satu pengurus Ponpes Darussalam. Lokasi
penelitian dalam hal ini ada di Desa Sumbergayam, Kecamatan Durenan,
Kabupaten Trenggalek. Waktu yang diperlukan untuk melakukan penelitian ini
selama 2 hari, mulai tanggal 1 sampai 2 November 2014. Untuk mendukung hasil
penelitian peneliti menggunakan jurnal dan buku yang memiliki relevansi dengan
topik yang dibahas.
HASIL
Fokus penelitian ini adalah mengkaji tentang sejarah perkembangan dan
praksis pembelajaran pondok pesantren Darussalam. Pada bagian ini peneliti akan
memamparkan hasil-hasil penelitan berupa wawancara dengan Bapak Solekan
serta sumber primer berupa catatan tentang Ponpes Darussalam, hasilnya sebagai
berikut.
Pondok Pesantren Darussalam merupakan salah satu lembaga pendidikan
Islam yang tertua di Kabupaten Trenggalek. Sejak pertama berdiri sampai
sekarang terdapat 8 pemimpin (pengasuh) ponpes Darussalam. Pertama, Abu
Thalab, beliau merupakan ulama yang berasal dari Kendal, Jawa Tengah. Beliau
hijrah dari Kendal menuju daerah yang belum di sentuh oleh agama Islam yaitu
Trenggalek. Kepergianya dari Kendal menuju Trenggalek tidak lepas dari
kebijakan Belanda pada tahun 1825 bahwa pergerakan para ulama atau kyai harus
dibatasi karena dapat mengancam kedudukan Belanda di Nusantara. Berawal dari
hal inilah perjuangan para ulama untuk menyebarkan agama Islam semakin
meningkat (Catatan mengenai ponpes Darussalam, tt:1).
Pada tahun 1870 Abu Thalab pergi ke Trenggalek dengan temanya yaitu
Kyai Muzdalifah. Beliau berdua ini berhenti di tempat yang berbeda. Kyai
Muzdalifah berhenti di Desa Santren, Kecamatan Rejowinangun, Trenggalek.
Buktinya dapat diiedentifikasi dari makam beliau yang ada di desa Santren.
Sementara, Kyai Thalab berhenti di desa Kedunglurah, Kecamatan Pogalan,
4
Trenggalek. Beliau disini menikahi wanita yang bernama Tumijah. Beliau
memutuskan untuk memilih tempat yang bagus untuk dijadikan tempat tinggal
dan untuk menyebarkan Islam. Beliau memilih desa yang dekat dengan Medang
Kamulyan yaitu desa Sumbergayam. Di tempat ini beliau mendirikan surau yang
beratap dari ilalang serta bertembok anyaman bambu dan berlantaikan papan.
Lewat surau ini beliau menyebarkan agama Islam pada masyarakat setempat.
Perkawinan dengan ibu Tumijah ini beliau diberi enam orang anak yaitu
Dariroh, Syarifah, Rustamaji, Badruddin, Murtosiyah, dan Abdulloh Jawahir. Dari
ke enam anaknya ini yang kemudian melajutkan perjuangan beliau untuk
menyebarkan Islam adalah Badruddin (Sholekan, 02 November 2014).
Kyai Badruddin merupakan cikal bakal pendiri ponpes Darussalam. Kyai
Badruddin dilahirkan pada tahun 1880. Pada saat itu Trenggalek sedang dipimpin
oleh Bupati Mangundiredjo yang menjabat sebagai Bupati ke empat, sejak tahun
1850-1894. Sejak kecil Kyai Badruddin dikenal sebagai pribadi yang memiliki
kejujuran, serta tegas dalam mengambil keputusan. Sejak berumur delapan tahun
beliau telah pergi dari rumah untuk mencari ilmu pengetahuan tentang agama
Islam. Pada tahun 1888 beliau menuntut ilmu di Pondok Mojosari Nganjuk yang
merupakan salah satu pondok tertua di Kabupaten Nganjuk. Pondok ini didirikan
pada tahun 1720. Beliau belajar di Pondok Mojosari kurang lebih selama 18
tahun. Banyak hal yang diperoleh selama beliau belajar di Pondok Mojosari,
mulai dari ilmu tentang fiqih, sampai ilmu tentang tarekat. Ilmu yang telah
diperolehnya, beliau aplikasikan untuk meneruskan perjuangan ayahnya untuk
menyiarkan agama Islam di Desa Sumbergayam. Beliau menjadi pimpinan
pondok jajar (nama sebelum berubah menjadi Darussalam) sejak tahun 1910. Pada
tahun ini, santri-santri yang belajar di pondok jajar masih sedikit, hal ini karena
masih adanya pengaruh Belanda di Nusantara. Belanda melakukan pengawasan
secara serius terhadap lembaga-lembaga pendidikan yang ada di Nusantara, baik
formal maupun non formal.
Pondok Jajar untuk model pembelajaranya sendiri masih menerapkan
sorogan dan bandongan. Hal ini tidak lepas dari sikap wira’i kyai Baddrudin.
Sikap wira’i merupakan anggapan untuk meningggalkan hal-hal subhat. Seiring
dengan perkembangan zaman, pondok jajar juga mengalami perkembangan dari
5
segi pendidikanya. Menurut Sholekan (2 November 2014) bahwa ”Kyai
Baddrudin memiliki istri yang bernama Nyai Isti’anah, dan memiliki tiga orang
anak, yaitu Hamid, Agus Qomarudin, dan Hilaiyah. Dan anak yang nomor dua
dan tiga inilah yang menjadi penerus perjangan di pondok Jajar”.
Pada tahun 1957 kyai Baddrudin wafat karena kecelakaan. Pondok Jajar
sepeninggalan kyai Badrudin mengalami pasang surut karena tidak ada pengganti
yang sejajar dengan kyai Badruddin. Sepupu dari kyai Baddrudin yaitu kyai
Mazful ditunjuk oleh para kerabat untuk memimpin pondok Jajar, tetapi tidak
berapa lama menjadi pemimpin pondok beliau juga meninggal dunia. Di pihak
yang lain putra kedua dari Kyai Baddrudin yang sedang mondok di Jawa Tengah
yaitu Agus Komaruddin dipanggil untuk pulang ke Sumbergayam untuk menjadi
pemimpin pondok Jajar. Beliau mengambil kebijakan untuk menyuruh adiknya
yang bernama Hila’iyah untuk segera menikah karena usianya telah menginjak
remaja. Beliau pun menikahkan adiknya dengan pemuda yang alim dan gagah dari
Desa Sukorame, Kecamatan Pogalan, Trenggalek yaitu Mohammad Yunus. Kyai
Agus Qomaruddin menikahkan adiknya ini memiliki tujuan ketika beliau sudah
meninggal nanti estafet kepemimpinan dapat dipegang oleh adiknya. Cita-cita dari
beliau untuk menikahkan adiknya terpenuhi. Karena Beliau merasa belum selesai
dalam menuntut ilmu dalam bidang keagamaan akhirnya beliau memustukan
untuk menempuh pendidikan di Pondok Abul Faid Blitar pada tahun 1960. Satu
setengah tahun beliau menempuh pendidikan di Blitar kemudian beliau pulang ke
Jajar dan merintis pendidikan yang berkelas yang diberi nama Madrasah
Roudlotut Tolibin, madrasah ini diresmikan pada tanggal 21 Maret 1962.
Tranformasi penyelanggaraan pendidikan terjadi di pondok Jajar, yang semula
hanya berupa pondok berubah menjadi ponpes dengan adanya madrasah ini. Sejak
saat itu ada jenjang pendidikan yang jelas, jika sebelumnya hanya pondok maka
berkembang menjadi 3 jenjang yaitu Ibtida’iyah, Tsanwiyah dan Aliyah. Tidak
lama setelah merintis berdirinya madrasah Roudlotut Tolibin, kyai Agus
Qomaruddin meninggal dunia. Pimpinan berikutnya dipegang kyai Tarmuji yang
merupakan suami kedua dari nyai Isti’anah. Tetapi selang beberapa bulan, kyai
Tarmuji juga meninggal dunia ketika beliau sedang menjadi imam sholat Jumat.
6
Secara resmi estafet dipegang oleh Kyai Mohammad Yunus pada bulan Desember
tahun 1962 (Sholekan, 2 November 2014).
Pada masa kepemimpinan Kyai Mohammad Yunus pondok Jajar
mengalami perkembangan secara perlahan menuju kebesaran. Beliau dalam
memimpin ponpes mementingkan musyawarah dengan masyarakat sekitar demi
tercapainya kemajuan pendidikan di ponpesnya. Pernah beliau mendapat saran
jika ponpesnya diberi tanda dengan sebuah nama, karena ponpes ini belum punya
nama. Karena nama jajar sendiri adalah sebuah dusun. Beliau mempertimbangkan
usulan tersebut. Beliau melakukan sholat istiqhoroh untuk meminta petunjuk.
Akhirnya beliau memberikan ponpes tersebut dengan nama Darussalam.
Kyai Muhammad Yunus memiliki istri yang bernama Nyai Hilaiyah, dari
pernikahanya ini beliau memiliki enam orang anak, diantaranya Agus Fahrurrozi,
Ibu. Hj. Sarirotus Sa`diyah, Agus Yahya (meninggal masih kecil), Agus Hamam
Mundzir, Agus Jauhari, Agus Afifudin.
Sejak dipimpin Kyai Mohammad Yunus pondok pesantren Darusalam
banyak diminati oleh para santri baik yang berasal dari dalam Kabupaten
Trenggalek atau berasal dari luar Kabupaten Trenggalek. Para santri ada yang
mondok ada juga yang langsung pulang pergi dari rumahnya. Pada tahun 1980
jumlah santri laki-laki semakin banyak. Hal ini membuat Ponpes Darussalam
semakin dikenal, pada tahun yang sama pula beberapa orang tua tertarik untuk
menitipkan anak perempuanya mondok di Ponpes Darussalam.
Berdasarkan kenyataan yang ada bahwa yang berminat untuk mondok
tidak hanya para laki-laki maka pada tahun 1985 dibangun ponpes Darussalam
putri yang terletak 50 meter di sebelah barat ponpes Darussalam putra. Dalam
perkembanganya beberapa gadis desa mondok ke ponpes putri dengan cara
nduduk (bhs. jawa) atau pulang-pergi dari rumah ke pondok. Baru sejak tahun
1986 ada dua perempuan yang berasal dari Jember dan Dongko yang bermukim di
ponpes Darussalam.
Metode pembelajaran yang diterapkan baik di ponpes putra dan putri sama
yaitu bandongan . Metode pembelajaran bandongan rata-rata masih dipertahankan
oleh ponpes yang beraliran salafiyah, alasanya jika ponpes ini dikembangkan
menjadi ponpes modern, maka garis-garis salafiyah itu akan hilang. Kemudian
7
pengasuh dari ponpes ini juga seorang yang wira’i, alasan inilah yang dijadikan
pengasuh ponpes Darussalam untuk mempertahankan di garis salafiyah. Disisi
lain untuk mengembangkan ponpes Darussalam tanpa menghilangkan garis
Salafiyah, ponpes ini mendirikan ponpok Tahfidzil Qur’an pada tahun 1998.
Perintis dari didirakanya pondok tahfidzil Qur’an adalah Agus Fahrurozi Yunus
dan Istrinya Ibu Hanik Munawaroh yang merupakan seorang hafidz. Tujuan
didirikanya pondok Al-Qur’an ini untuk mewadahi para anak-anak yang memiliki
bakat dalam bidang Al-Qur’an terutama dalam hal hafalan Qur’an. Dalam
perkembanganya jumlah santri semakin bertambah banyak. Untuk metode
pembelajaran yang digunakan khusus pondok Al-Qur’an memakai ceramah dan
bandongan. Pondok ini terus berkembang mengikuti perkembangan zaman. Pada
tahun 2012 Kyai Mohammad Yunus meninggal dunia karena sakit dan
kepemimipinan diberikan kepada putranya yang terakhir bernama Agus Afifudin
Yunus.
Dari segi penyelenggaraan pendidikanya, ponpes Darussalam juga
menerapkan sistem seleksi masuk. Tujuanya untuk mengetahui sejauh mana
penguasaan materi tentang keagamaan dari calon santri. Sistem SPP juga
diperlakukan di ponpes Darussalam. Besaran SPP disesuaikan dengan tingkatan
kelasnya.
PEMBAHASAN
Sejarah Perkembangan dan Praksis Pembelajaran Ponpes Darussalam
Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang asli Indonesia. Hal ini
diperkuat dengan pendapat dari Usman (2013:102) yang menyatakan bahwa
“pesantren merupakan lembaga pendidikan yang didirikan pada abad 15 oleh
Sunan Gresik di daerah leran Gresik”. Pada awalnya Sunan Gresik hanya
mendirikan lembaga pengajian yang ditujujukan untuk menggembleng para santri
untuk menjadi juru dakwah yang handal di masyarakat. Pada awal
perkembanganya kajian yang dibahas di pesantren berupa tarekat. Seiring
perkembangan zaman kajian di pesantren semakin banyak. Mulai dari kitab
kuning dan ilmu-ilmu keagamaan yang lain seperti tauhid dan fiqih. Pesantren
Darussalam merupakan pesantren yang berdiri sejak tahun 1870. Pesantren ini
8
pertama kali didirikan oleh Abu Thalab yang merupakan seorang musafir yang
berasal dari Kendal Jawa Tengah. Seiring dengan tranformasi pesantren yang ada
di Nusantara seperti Pondok Lirboyo Kediri, Pesantren Tebuireng Jombang maka
Ponpes Darussalam juga mengalami perkembangan dari segi penerapan
pendidikanya.
Pada tanggal 21 Maret 1962 pondok Jajar merintis pendidikan berkelas
dengan didirikanya Madrasah Roudlotut Tholibin, status pondok yang bernama
Jajar dirubah menjadi ponpes Darussalam. Yang menjadi pemimpin ponpes
Darussalam adalah Kyai Mohammad Yunus. Beliau dijadikan pengasuh atas saran
dari keluarga, selain juga faktor keturunan dari Abu Thalab sebagai cikal bakal
berdirinya ponpes Darussalam. Perubahan status dari pondok menjadi ponpes
merupakan perubahan yang bersifat mendasar. Ada kriteria tertentu untuk
menentukan lembaga pendidikan bisa disebut sebagai pesantren. Pertama, adanya
pondok, istilah pondok diadopsi dari bahasa Arab funduq yang memiliki arti hotel
atau asrama (Daulay, 2007:62). Pondok berdiri di samping pesantren, fungsi dari
pondok biasanya untuk bermukim para santri yang berasal dari luar daerah atau
santri yang berasal dari satu daerah dengan pesantren. Pondok memiliki aturan
atau tata tertib yang sangat ketat. Para santri diwajibkan untuk mematuhi aturan
yang telah dibuat demi terciptanya suasana ponpes yang damai. Aturan-aturan
yang dibuat sebenarnya bersifat mendasar. Aturan seperti shalat , makan, belajar,
dan istirahat wajib dipatuhi oleh santri agar menjadi pribadi yang mandiri dan
memiliki tanggung jawab.
Ponpes Darussalam mulai menerapkan sistem pondokan sejak tahun 1962.
Namun, para santri yang menginap sebatas santri yang berasal dari desa
Sumbergayam dan daerah sekitarnya itupun masih dalam jumlah yang sedikit,
selebihnya hanya santri kalong yang mengaji sampai malam kemudian pulang,
baru tahun 1985 semenjak dibangunya ponpes Darussalam putri menandakan akan
banyak santri yang memilih untuk tinggal di pesantren. Pada awal pembangunan
para santri masih nduduk (bhs. Jawa) tetapi sejak tahun 1986 ada dua santri yang
berasal dari luar desa Sumbergayam yang menyatakan bermukim, santri tersebut
berasal dari Dongko dan Jember yang memulai menginap di ponpes Darussalam.
Elemen penting kedua dari pesantren adalah masjid. Pesantren mutlak memiliki
9
masjid, tempat yang dijadikan pembelajaran oleh kyai dan santri biasanya selalu
berada di masjid. Terlebih untuk kegiatan pembelajaran yang mengulas kitab-
kitab klasik yang memakai model bandongan, tempat yang luas tentunya memang
diperlukan untuk bandongan yang memiliki ciri khas membentuk lingkaran
dengan guru berada ditengah. Pembelajaran yang dilakukan di masjid juga
diterapkan oleh ponpes Darussalam, biasanya pembelajaran yang dilaksanakan
santri dengan kyai setelah sholat mahgrib, kajian tentang kitab kuning sebagai ciri
dari pesantren salafiyah itu yang selalu dipelajari oleh santri. Sistem pembelajaran
di masjid telah ada sejak zaman Rosululloh SAW, alasan inilah yang dijadikan
ponpes salaf masih mempertahankan kebiasaan pembelajaran di masjid (Daulay,
2007:63).
Ketiga, pengajian kitab kitab klasik atau yang sering dikenal dengan kitab
kuning. Kitab klasik memang tidak dapat dipisahkan dengan pesantren, untuk
menunjang kemampuan santri dalam membaca kitab dengan baik dan benar maka
ditunjang dengan ilmu bantu seperti nahu, syaraf, balaghah, ma’ani dan bayan.
Kegiatan pembelajaran pada jenjang Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan Aliyah di
ponpes Darussalam juga memakai kitab klasik sebagai bahan kajian serta ilmu-
ilmu bantu untuk menunjang kemampuan santri. Masing-masing jenjang
memberikan materi yang berhubungan dengan ilmu bantu seperti nahu, syaraf,
balaghah, ma’ani dan bayan. Namun setiap jenjang dibedakan untuk tingkat
kesulitanya, tentunya jika jenjang pendidikanya makin tinggi maka materi
pelajaran yang diberikan semakin sulit atau juga sebaliknya jika jenjangnya masih
dasar maka materi yang diberikan bersifat dasar.
Keempat, santri merupakan siswa yang menuntut ilmu di pesantren. Santri
dibedakan menjadi dua yaitu santri mukim dan santri kalong, santri dengan ciri
bertempat tinggal atau mondok di pesantren disebut sebagai santri mukim,
sedangkan penyebutan santri kalong lebih ditujukan pada santri yang pulang pergi
dari rumah ke pesantren untuk menuntut ilmu. Para santri yang menuntut ilmu
diibaratkan sebagai seorang musafir yang sedang berkelana mencari ilmu. Mereka
berhak menerima beasiswa berupa ilmu pengetahuan yang berasal dari kyai. Islam
mengajarkan bahwa mencari ilmu tidak ada batasnya, baik di usia tua dan muda
dianggap sama saja (Dhofier, 1994:24). Aspek terakhir adalah kyai, beliau
10
merupakan tokoh yang dianggap sentral, karena maju-mundurnya sebuah
pesantren dibebankan kepada kyai yang memimpin atau yang mengelola
pesantren tersebut. Sejak awal berdirinya pesantren kyai merupakan unsur sosial
yang penting dalam masyarakat Indonesia (Sutriaji, 2010:23).Jika disamakan
dengan sekolah umum maka kyai memiliki kedudukan sama seperti kepala
sekolah (Muhaimin, 2012:118). Alasan Fungsi kyai dianggap penting karena ilmu
pengetahuan berasal dari beliau sebelum disampaikan pada para santri.
Dari segi penyelenggaraan pendidikan ponpes Darussalam tidak
menggunakan kurikulum sebagaimana yang diterapkan di sekolah formal, tetapi
yang diterapkan berupa funun (macam-macam) kitab yang diajarkan kepada
seluruh santrinya. Para kyai memaknai kurikulum sebagai pelajaran atau daftar
mata pelajaran yang akan diberikan kepada para santri dalam waktu tertentu
(Zubaidi, tt: 10). Ponpes Darussalam sebagai pesantren salaf sejak awal
berdirinya lebih mementingkan pelajaran mengenai nahwu dan fiqih. Hal ini
sesuai dengan visi pondok yang ingin mencetak generasi yang memiliki pribadi
yang alim serta memiliki jiwa pembela kebenaran.
Lama pendidikan yang ditempuh untuk masing-masing jenjang memiliki
perbedaan. Ibtidaiyah ditempuh selama 6 tahun dengan 6 tingkatan kelas,
Tsanawiyah ditempuh selama 3 tahun dengan 3 tingkatan kelas, Aliyah ditempuh
selama 3 tahun juga dengan tingkatan 3 kelas. Kelulusan dari santri bukan
ditentukan oleh nilai yang diperolehnya, tetapi lebih kepada kemampuan dalam
mengaji kitab dan keistiqomahan dari para santri dalam mengikuti kegiatan
pembelajaran. Tujuan yang ingin dicapai pondok salafiyah adalah kebersihan jiwa
dari para santrinya. Para santri yang telah menyelesaikan pendidikan tentunya
diberi ijazah sebagai tanda kelulusan. Makna ijazah di pesantren memiliki
perbedaan sedikit dengan sekolah umum. Pesantren ijazah lebih kepada tanda dari
kyai yang memberikan restu kepada santrinya untuk menganjarkan kitab yang
telah dipelarinya kepada santri yang lain (Nafi’i, 2007:68). Untuk menunjang
kegiatan pembelajaran ponpes Darussalam juga menerapkan SPP (Sumbangan
Penyelenggaraan Pendidikan) yang tiap-tiap jenjang dibedakan besaran biayanya.
Untuk jenjang Ibtidaiyah dibagi menjadi dua, kelas 1-2 biayanya Rp 7.000 per
bulan, sedangkan kelas 3-6 biayanya Rp 10.000 per bulan. Kelas 1-3 Tsanawiyah
11
biayanya Rp 12.000 per bulan. Jenjang Aliyah biayanya Rp 15.000 per bulan.
Semua biaya dimasukan dalam keuangan pondok yang digunakan untuk keperluan
pondok, seperti perawatan sarana dan prasarana, pembayaran rekening listrik,
pengairan, kebersihan serta syahriyah.
Secara pola pesantren menurut pendapat dari Daulay (2007:65-66) ponpes
Darussalam masuk dalam pola pesantren tiga. Pola ini dalam satu kompleks
pesantren terdiri dari masjid, rumah kyai, pondok, dan madrasah.
Foto 1. Merupakan gambar ponpes Darussalam dari depan (Sumber: Dokumentasi
pribadi).
Biasanya masjid dijadikan untuk tempat pengajaran bagi santri.
Pada awal berdirinya Roudlotut Tholibin (Darussalam) sistem
pembelajaran yang diterapkan ponpes Darussalam masih menganut sistem klasik
berupa sorogan dan bandongan. Seiring dengan perkembangan zaman sistem
sorogan sudah sedikit dikurangi. Sistem sorogan berlaku ketika pengajian
diberikan di langgar atau di masjid secara individual oleh kyai pada santri tertentu
(Dhofier, 1994:28). Model sorogan diberikan bagi santri yang telah menguasai
bacaan Al-Qur’an sesuai tajwid. Sorogan merupakan model pembelajaran yang
12
paling sulit diterapkan di madrasah. Alasan yang mendasar dari sistem ini sulit
adalah tuntutan yang diberikan kepada para santri ketika belajar harus bersabar,
rajin, disiplin dan taat. Efisiensi waktu juga dijadikan pertimbangan. Jika sorogan
diterapkan secara penuh justru akan menghambat proses pembelajaran. Jadi
sorogan lebih ditekankan untuk kegiatan diluar pembelajaran (bimbingan).
Dengan pertimbangan tersebut ponpes Darussalam akhirnya lebih mengutamakan
model pembelajaran dengan sistem bandongan yang lebih efektif dari segi
waktunya. Sistem bandongan memiliki ciri khas sekelompok murid berkumpul
membentuk lingkaran yang terdiri dari 5 sampai 10 orang untuk membentuk
lingkaran, kemudian guru duduk di depanya untuk mengulas buku-buku Islam.
Setiap santri memperhatikan buku yang dimilikinya untuk diberikan catatan-
catatan mengenai arti ataupun kata-kata sulit yang ada di kitabnya.
Sistem bandongan yang diterapkan di madrasah tidak menuntut santri
untuk memahami pelajaran yang dihadapinya. Ketika pembelajaran para kyai
membacakan kitab-kitabnya sangat cepat, seperti bercerita (Mudzakir & Mujib,
208:192). Bagi santri yang tidak memiliki pengetahuan yang lebih atau bagi
mereka yang tidak pernah mengikuti pembelajaran sistem sorogan akan
mengalami ketinggalan materi. Maka dari hal inilah para kyai tidak mengharuskan
santrinya untuk memahami pelajaran secara penuh. Yang dipentingkan adalah
istiqomah dan disiplin. Istiqomah sangat penting, karena menyangkut konsistensi
dari santri dalam mengikuti pelajaran. Jika santri banyak tidak masuk tentunya
berakibat pada ketinggalan materi pelajaran, tetapi jika mampu istiqomah dijamin
pasti bisa meskipun belum sempurna.
Untuk mengembangkan potensi dari para santri dalam bidang Al-Qur’an,
ponpes Darussalam tahun 1998 membangun pondok yang dikhususkan dalam
bidang Al-Qur’an yang bernama Pondok Tahfidzil Qur’an. Pondok yang memang
khusus menerima santri yang belajar Al-Qur’an mulai dari awal sampai bisa
menghafal Qur’an secara penuh. Materi yang diajarkan berupa mengkaji Al-
Qur’an mulai dari dasar, salah satunya menganalisis isi per juz dari Al-Qur’an,
hafalan per juz, dan puncaknya hafal Satu Qur’an penuh.
Untuk menunjang kegiatan pembelajaran ponpes Darussalam juga
membuka beberapa kegiatan extrakurikuler, yang dalam perkembanganya
13
semakin bertambah banyak sampai sekarang. Ekstrakurikuler yang ada di ponpes
Darussalam antara lain pendididikan berorganisasi, Jami’iyah pusat, Jami’iyah
far’iyah, Bahsul masa’il, qiro’atul qur’an, khotmil qur’an, sorogan Al Qur’an,
metode yanbu’a, metode an-nahdiyah, seminar dan keputrian. Bagi para santri
yang memiliki minat pada salah satu kegiatan extra bisa mengikutinya. Tujuanya
jelas untuk belajar hal-hal yang baru yang belum pernah mereka tahu. Salah satu
kegiatan yang bagus adalah seminar, biasanya ponpes Darussalam mengundang
pemateri dari pondok lain untuk mengisi kegiatan seminar. Acara seminar
diadakan tiga bulan sekali. Ponpes Darussalam juga menyelenggarakan kegiatan
rutinan yang menunjang pembelajaran santri, kegiatanya antara lain pengajian
ahad pon tentang Al-hikam dan Mujahadah Sadziliyah. Jadi para santri selain
mendapatkan pengetahuan dari proses belajar juga mendapat pengetahuan dari
kegiatan ekstrakurikuler.
Kesimpulan dan Saran
Ponpes Darussalam merupakan pesantren yang beraliran salafiyah yang
berdiri sejak zaman Belanda, dan mengalami transformasi pada tahun 1962
dengan mendirikan madrasah Roudlotut Tholibin. Sistem pendidikanya
menerapkan model bandongan dan klasikal berupa mengkaji kitab-kitab kuning.
Untuk mewadahi santri yang ingin secara khusus belajar Al-Qur’an, ponpes
Darussalam juga mendirikan pondok Tahfidzil Qur’an. Selain itu, kegiatan
ekstrakurikuler juga ada di ponpes Darussalam. Penyelenggaraan pendidikan yang
dilaksanakan ponpes Darussalam bertujuan untuk mecetak generasi yang memiliki
kebersihan jiwa seperti yang dicita-citakan dalam pendidikan Islam (Arifin,
2000:40).
Kepada seluruh generasi muda jangan pernah meremehkan pendidikan
pesantren, karena pesantren merupakan lembaga pendidikan asli Indonesia.
Diharapkan para orang tua dalam memilih pendidikan untuk anaknya jangan
hanya berfokus pendidikan umum tetapi pendidikan agama juga penting.
14
DAFTAR RUJUKAN
Arifin, M. 2000. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Akasara. Daulay, H.D. Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di
Indonesia. Jakarta: Prenada Media Group. Dhofier, Z. 1994. Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai.
Jakarta: LP3ES. Muhaimin, A. et.al. 2007. Praksis Pembelajaran Islam. Yogyakarta: LKiS. Muhaimin. 2012. Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan Islam.
Jakarta: Rajawali Pers. Mujib, A & Mudzakir, J. 2008. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Prenada Kencana
Media Group. Hamid, A.R. & Madjid, M.S. 2011. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Ombak. Sutriaji. E. Y. 2010. Upaya Pondok Pesantren Manbaul Hikmah Kresek Dalam
Meningkatkan Mutu Penyelenggarakan Pendidikan Tahun 1969-1996”. Skripsi. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatulloh Jakarta.
Usman, M.I. 2013. Pesantren Sebagai Lembaga Pendidikan Islam (Sejarah Lahir,
Sistem Pendidikan, dan Perkembangannya Masa Kini). (Jurnal Al Hikmah Vol. XIV Nomor 1/2013), (Online), (http://www.uin-alauddin.ac.id/download-al-hikmah%20volume%20xiv%20nomer%201%20&%202%20-%202013.103-121.pdf), diakses pada 3 Oktober 2014.
Zubaidi, M.A. tanpa tahun. Sistem Pendidikan Dakwah Pondok Pesantren Nurul
Haromain Pujon, Malang Dan Perkembangannya. (Online), (http://jurnalonline.um.ac.id/data/artikel/artikel7e1416a3e9f21e892782ea3215b47d8d.pdf), diakses pada 3 Oktober 2014.
Sumber Primer Catatan mengenai Sejarah Ponpes Darussalam. Wawancara Sholekan, pada tanggal 1-2 November 2014.