HARMONI AGAMA DAN FILSAFAT DALAM PEMIKIRAN IBN RUSYD

24
1 HARMONI AGAMA DAN FILSAFAT DALAM PEMIKIRAN IBN RUSYD Samsul Huda Dosen Fakultas ADAB dan Humaniora IAIN STS Jambi Abstract: This paper intends to reveal Ibn Rushd‟s thought about the relationship between religion and philosophy as it became a polemic and controversy, especially in the Islamic society. With a philosophical approach and rational method Ibn Rushd built arguments to assert that religion and philosophy are not contradictory, but instead have a synergistic relationship for human life (the perfect harmony between religion and philosophy). It is even accordance with Quran, as a source of Islamic teachings, that actually ordered the activity of philosophizing. If there is a potential difference based on text, there must be ta‟wil against him. Ibn Rushd concluded that religion should be understood based on the level of understanding of the human mind that is khottobiyyah , jadaliyyah and burhaniyyah . Key words: religion, philosophy, ta'weel, harmony, khottobiyya A. PENDAHULUAN Ibn Rusyd, 1 adalah seorang filosof Muslim yang mempunyai posisi terhormat dalam sejarah filsafat. Di Dunia Barat ia dikenal sebagai komentator paling otoritatif bagi filsafat Aristoteles, 2 sehingga ulasannya menjadi rujukan standar bagi filosof yang akan mengkaji filsafat Aristoteles sampai abad ke-16 M. Sedangkan di Timur (khususnya di kalangan Islam) ia dikenal sebagai filosof yang dengan gigih membela filsafat dari serangan filosof muslim lainnya al-Ghazālī. Dua posisi Ibn Rusyd, baik di Timur maupun di Barat, di perkuat dengan kapasitasnya sebagai ahli fikih ternama dan pernah menjabat sebagai pemangku hukum syari„at (Qādī) . Penguasaannya terhadap hukum-hukum fikih telah memudahkannya untuk menjembatani pemahaman kaum Muslimin terhadap filsafat dan agama. Inilah yang kemudian memudahkan Ibn Rusyd membangun masterpiece pemikirannya dalam 1 Nama lengkapnya adalah Abū al-Walīd Muhammad Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ahmad Ibn Rusyd, seorang filosof Muslim yang lahir di Cordova, Ibu kota Andalusia (sekarang Spanyol), tahun 520 H/ 1126 M. dan wafat tanggal 9 Safar 595 H. atau tanggal 11 Desember 1198 M. di kota Marakusy, ibu kota Maroko wilayah barat Afrika Utara. Ibn Rusyd, Tahāfut al-Tahāfut, jil. I, ed. Sulaimān Dunia, (Kairo: Dār al-Ma‘ārif, 1968), 9; Raīs Syāril Halwī, Mawsū‘ah A‘lām al-Falsafah al-‘Arab wa al-Ajānib, jil. I, (Beirūt: Dār al -Kutub al- ‘Ilmiyyah, 1992), hlm.22-28. Ia memiliki beberapa nama sebutan lain seperti: Averroes, Ibn Rosidin, Filius Rosadis, Ibn Rusid, Ben Raxid, Ibn Ruschod, Ben Resched, Aben Rassed, Aben Rust, Avenrusd, Avenryz, Adveroys, Benroist, Liveroys, Averroyth, Averroysta, Mumbucius, Muhuntius, Mautius, Mamus, Abulgail, Aboolit, Alulidus, Ablult, Aboloys dan seterusnya, yang sesuai dengan bahasa dan aksentuasi suku bangsa yang menyebutnya. H. Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Ibn Rusyd (Averroes; Filosuf Islam Terbesar di Barat) , (Jakarta: Bulan Bintang, 1965), hlm.26. 2 Istilah komentator (commentator) atau pengulas Aristoteles adalah gelar yang diberikan oleh Dante (1265-1321 M) bagi Ibn Rusyd dalam bukunya Divina Commedia. Di lain pihak, disebutkan bahwa gelar tersebut diberikan oleh Thomas Aquinas. Barnes & Nobel, New American Encyclopedia, jil. II, (New York: Grolier, 1991), hlm.370.

Transcript of HARMONI AGAMA DAN FILSAFAT DALAM PEMIKIRAN IBN RUSYD

1

HARMONI AGAMA DAN FILSAFAT DALAM PEMIKIRAN

IBN RUSYD

Samsul Huda

Dosen Fakultas ADAB dan Humaniora IAIN STS Jambi

Abstract: This paper intends to reveal Ibn Rushd‟s thought about the relationship

between religion and philosophy as it became a polemic and controversy, especially in

the Islamic society. With a philosophical approach and rational method Ibn Rushd built

arguments to assert that religion and philosophy are not contradictory, but instead have a

synergistic relationship for human life (the perfect harmony between religion and

philosophy). It is even accordance with Quran, as a source of Islamic teachings, that

actually ordered the activity of philosophizing. If there is a potential difference based on

text, there must be ta‟wil against him. Ibn Rushd concluded that religion should be

understood based on the level of understanding of the human mind that is khottobiyyah ,

jadaliyyah and burhaniyyah .

Key words: religion, philosophy, ta'weel, harmony, khottobiyya

A. PENDAHULUAN

Ibn Rusyd,1 adalah seorang filosof Muslim yang mempunyai posisi terhormat dalam sejarah

filsafat. Di Dunia Barat ia dikenal sebagai komentator paling otoritatif bagi filsafat

Aristoteles,2 sehingga ulasannya menjadi rujukan standar bagi filosof yang akan mengkaji

filsafat Aristoteles sampai abad ke-16 M. Sedangkan di Timur (khususnya di kalangan Islam)

ia dikenal sebagai filosof yang dengan gigih membela filsafat dari serangan filosof muslim

lainnya al-Ghazālī. Dua posisi Ibn Rusyd, baik di Timur maupun di Barat, diperkuat dengan

kapasitasnya sebagai ahli fikih ternama dan pernah menjabat sebagai pemangku hukum

syari„at (Qādī). Penguasaannya terhadap hukum-hukum fikih telah memudahkannya untuk

menjembatani pemahaman kaum Muslimin terhadap filsafat dan agama. Inilah yang

kemudian memudahkan Ibn Rusyd membangun masterpiece pemikirannya dalam

1Nama lengkapnya adalah Abū al-Walīd Muhammad Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ahmad Ibn

Rusyd, seorang filosof Muslim yang lahir di Cordova, Ibu kota Andalusia (sekarang Spanyol), tahun 520 H/ 1126 M. dan wafat tanggal 9 Safar 595 H. atau tanggal 11 Desember 1198 M. di kota Marakusy, ibu kota Maroko wilayah barat Afrika Utara. Ibn Rusyd, Tahāfut al-Tahāfut, jil. I, ed. Sulaimān Dunia, (Kairo: Dār al-Ma‘ārif, 1968), 9; Raīs Syāril Halwī, Mawsū‘ah A‘lām al-Falsafah al-‘Arab wa al-Ajānib, jil. I, (Beirūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1992), hlm.22-28. Ia memiliki beberapa nama sebutan lain seperti: Averroes, Ibn Rosidin, Filius Rosadis, Ibn Rusid, Ben Raxid, Ibn Ruschod, Ben Resched, Aben Rassed, Aben Rust, Avenrusd, Avenryz, Adveroys, Benroist, Liveroys, Averroyth, Averroysta, Mumbucius, Muhuntius, Mautius, Mamus, Abulgail, Aboolit, Alulidus, Ablult, Aboloys dan seterusnya, yang sesuai dengan bahasa dan aksentuasi suku bangsa yang menyebutnya. H. Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Ibn Rusyd (Averroes; Filosuf Islam Terbesar di Barat), (Jakarta: Bulan Bintang, 1965), hlm.26.

2Istilah komentator (commentator) atau pengulas Aristoteles adalah gelar yang diberikan oleh Dante

(1265-1321 M) bagi Ibn Rusyd dalam bukunya Divina Commedia. Di lain pihak, disebutkan bahwa gelar tersebut diberikan oleh Thomas Aquinas. Barnes & Nobel, New American Encyclopedia, jil. II, (New York: Grolier, 1991), hlm.370.

2

mempertemukan argumentasi-argumentasi filsafat dan doktrin-doktrin agama, wahyu dan

akal (the perfect harmony between religion and philosophy), yang terhimpun dalam tiga

magnum opus, yaitu Tahāfut al-Tahāfut, yang disusunnya sekitar tahun 1180 M, Fasl al-

Maqāl fī mā bayna al-Hikmah wa al-Syarī‘ah min al-Ittisāl, Al-Kasyf ‘an Manāhij al-

’Adillah (1179/1180). Ketiga buku di atas, merupakan corpus penting dalam membedah

pemikiran Ibn Rusyd, terutama dalam masalah hubungan antara filsafat dan agama.

Dalam sejarah Islam pada masa klasik, telah terjadi lingkaran perdebatan panjang

antara para filosof dan ulama kalām konservatif. Akar perdebatan yang secara epistemologis

merupakan perbedaan sudut pandang pemikiran. Pada satu sisi, para filosof mendasari setiap

argumen pemikiran berdasarkan akal, sementara pada sisi yang lain, para ulama kalam

konservatif bertolak dari dasar wahyu. Ketika terjadi perbedaan kesimpulan terhadap

masalah yang sama, masing-masing pihak membenarkan argumen pemikirannya dan

berselisih paham dengan kelompok lainnya.

Pada situasi historis seperti inilah dimulai usaha - terutama dari kelompok filosof

Muslim - untuk mencari jalan penyelesaiannya, dimotivasi oleh kecintaan mereka terhadap

kajian filsafat. Beberapa konsep pemikiran dalam berbagai varian kemudian muncul sebagai

usaha mempertemukan kebenaran filsafat dan agama sebagai kesatuan kebenaran, dan bahwa

antara filsafat dan agama masing-masing saling berhubungan.3

Ibn Rusyd bukanlah filosof pertama yang mendalami masalah “pendamaian” antara

filsafat dan agama. Sebelumnya, al-Kindī4 juga telah berusaha mencari titik temu persesuaian

antara filsafat dan agama dalam rangka membela pengkajian filsafat Yunani, untuk

menghadapi pendapat ulama kalam konservatif yang menentang rasionalitas dan menganggap

filsafat adalah bid‘ah. Al-Kindī berada pada posisi tengah antara kalām dan filsafat, dan

mengatakan bahwa kesatuan kebenaran antara filsafat dan agama adalah masalah yang sudah

selesai. Filsafat dan syari„at atau akal dan wahyu memiliki tujuan dan sasaran yang sama.

Namun secara tegas al-Kindī mengatakan, apabila terjadi pertentangan antara keduanya,

maka wahyu tetap didahulukan dari akal.5 Dalam terminologi al-Kindī, keunggulan wahyu

merupakan salah satu fenomena kebijaksanaan Allah, dan posisi “unik” tersebut ditempati

3Muhammad ‘Atīf al-‘Irāqī, Al-Nuz‘ah al-‘Aqliyyah fī Falsafah Ibn Rusyd, (Kairo: Dār al-Ma‘ārif, 1967), hlm.

268. 4Abū Yūsuf Ya`qūb Ibn Ishāq al-Kindī, lahir di Kuffah 184 H/801 M dan wafat tahun 250 H/ 865 M. Dalam

filsafat ia lebih condong kepada pemikiran Aristoteles. Halwi, Mawsū‘ah, jil. II, hlm.277-283. 5M.A.H. Abū Ridah (ed.), Risālat al-Kindī al-Falsafīyyah, jil. I, (Kairo: Dār al-Fikr al-‘Arabī, 1950), hlm. 371-

372.

3

para Nabi di antara manusia sebagai pembawa risalah Tuhan yang mengatasi daya penalaran

manusia.6

Hal yang berbeda antara al-Fārābī7 dan Ibn Sīnā

8 ialah bahwa keduanya beranggapan

bahwa apabila terjadi pertentangan antara akal dan wahyu, maka akal memiliki posisi yang

lebih tinggi untuk diambil sebagai kesimpulan kebenaran. Kendati terdapat perbedaan

kesimpulan mengenai hubungan dan pertentangan antara akal dan wahyu, di antara para

filosof tersebut terdapat kesamaan tentang keharusan adanya takwil apabila terjadi ketidak

sesuaian antara keduanya.

Di belahan dunia Barat Islam muncul Ibn Tufayl 9

melalui tulisan fenomenalnya Hay

Ibn Yaq zān, secara konsisten ia tetap mencari solusi bagi keterhubungan filsafat dan agama.

Secara sungguh-sungguh dalam Hay Ibn Yaqzān, Ibn Tufayl berusaha membuktikan bahwa

rasionalitas filsafat tidaklah bertentangan dengan wahyu dan syari„at.10

Namun, novel filsafat

ini tidak memberi pengaruh yang besar bagi pengembalian supremasi filsafat, karena bahasa

dan metode pemaparannya tidak mampu dipahami oleh semua kalangan.

Usaha yang telah dilakukan oleh beberapa pemikir-filosof Muslim dalam

menjembatani filsafat dan agama tidak berhasil menghilangkan perselisihan antara filosof dan

mutakallimūn, bahkan selanjutnya selama beberapa dekade, terjadi perang dialektika yang

begitu tajam antara kelompok filosof dan kelompok ulama kalām, yang dipungkasi oleh

kemunculan al-Ghazālī11

dengan Tahāfut al-Falāsifah-nya yang mengkritisi para filosof

sebagai telah menyimpang dari ajaran agama.

Pada situasi historis ini, Ibn Rusyd membangun argumentasi filsafat yang teratur dan

penuh rasa hormat kepada al-Ghazālī melalui bukunya Tahāfut al-Tahāfut,12

dan dengan

6Abū Ridah, Risālah, hlm.372.

7Abū Nasr al-Fārābī Lahir 870 M dan wafat 339 H/950 M. Filosof Muslim yang diberi gelar al-mu‘allim al-

thānī, yang mencoba menggabungkan filsafat Plato dan filsafat Aristoteles. Halwi, Mawsū‘ah, jil. II, hlm.126. 8Abū ‘Alī al-Husayn Ibn Abdillah Ibn Sīnā, lahir 370 H/980 M dan wafat di Hamzan Iran 428 H/1037 M.

diberi gelar syaykh al-raīs. Halwi, Mawsū‘ah, jil. I, hlm.29. 9Abū Bakr Muhammad Ibn ‘Abd Mālik Ibn Tufayl al-Qaysī. Lahir di Qadis 393 H/1100 M dan wafat di

Marakusy 580 H/1185 M. Membuat karya fenomenal di bidang filsafat Hay Ibn Yaqzān. Novel filsafat ini penuh dengan pengembaraan rasionalitas tentang proses penciptaan alam semesta. Halwi, Mawsū‘ah, hlm. 33.

10‘Atīf al-‘Irāqī, Al-Nuz‘ah, hlm.268-269.

11 Abū Hāmid Muhammad bin Muhammad bin bin Ahmad al-Ghazālī lahir di kota Thus daerah Khurasan

450 H/1059 M dan wafat 504 H/1111 M. Ia seorang Muslim yang kompleks dengan berbagai karya fenomenal dan berpengaruh dalam sejarah dunia Islam. Di antara karyanya yang berpengaruh adalah Tahāfut al-Falāsifah (Filsafat dan Kalam), Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn (Tasawwuf). Halwi, Mawsū‘ah, jil. II.hlm. 94-105.

12Ibn Rusyd dalam buku Tahāfut al-Tahāfut, selalu menyebut radiya Allah ‘anhu atau rahimahu Allah

setelah menyebut nama al-Ghazālī setiap memulai kritik terhadap argumen-argumen al-Ghazālī, dengan tanpa mengurangi hasratnya untuk menyalahkan al-Ghazālī dalam buku Tahāfut al-Falāsifah. Muhammad Lutfī

Jam„ah, Tārīkh Falāsifat al-Islam fī al-Masyriq wa al-Maghrib, (Beirut: Al-Kutub al-„Ilmiyyah, tt), hlm.200-

201

4

bukunya Fasl al-Maqāl fi ma bayna al-Hikmah wa al-Syarī‘ah min al-ittisāl, Rusyd berupaya

mencari titik temu persesuaian antara argumen akal dan argumen syari„at (wahyu) tentang

berbagai hal dalam kerangka yang harmonis, dan dalam bahasa yang mengakomodir

pemahaman setiap lapisan tingkatan ummat Islam. Ibn Rusyd membuat metode teologis-

filosofis untuk menjembatani antara filsafat dan agama sebagai suatu harmoni kesetaraan dan

kesejajaran.

Usaha Ibn Rusyd ini adalah warisan yang berharga bagi dunia Islam dalam

menyatukan intelektualitas dan spiritualitas, walau tidak mendapat respon yang cukup luas

dalam dunia Islam. Bahkan, Averroesme13

telah secara keliru memahami pemikirannya

dengan mendistorsi aspek harmonis antara agama dan filsafat. Dunia filsafat Barat

mengambil penggalan karyanya berupa otonomi akal, keharusan berfilsafat, keniscayaan

hukum sebab-akibat, sebagai bangunan epistemologis ilmu pengetahuan mereka, namun

meninggalkan aspek spiritualitasnya, sehingga dunia Barat mencapai kemajuan di bidang

intelektualitas berupa sains dan teknologi, akan tetapi miskin spiritualitas. Sebaliknya dalam

dunia Islam pemikiran monumental Ibn Rusyd secara keseluruhan tenggelam dalam arus

spiritualitas yang diterjemahkan secara berlebihan, dan pada akhirnya memunculkan stagnasi

intelektual dalam dunia Islam.

Dalam tulisan ini penulis selanjutnya mencoba menganalisis variabel konstruksi the

body of knowledge Ibn Rusyd dan relealibitas argumentasi-argumentasi filosofisnya secara

holistic.14

yang secara sinergis membentuk pemikiran tentang harmonisasi antara filsafat dan

agama.

B. PANDANGAN IBN RUSYD TERHADAP AGAMA DAN FILSAFAT

Ibn Rusyd melandaskan pemikirannya pada sebuah logika bahwa mendamaikan dan

mengharmonisasikan filsafat dan agama adalah mungkin, apabila dapat dibuktikan

kemustahilan adanya pertentangan orisinil dan fundamental antara filsafat dan agama, dan

13

Averroesme adalah sebuah paham atau aliran pemikiran di Eropa abad pertengahan yang dinisbahkan kepada Ibn Rusyd. Namun pemikirannya justru mendistorsi pemikiran Ibn Rusyd yang utuh, karena hanya mengambil sebahagian pemikiran saja, terutama tentang konsep otonomi akal yang menjadi embrio free thinking (kebebasan berpikir). Aliran ini pada masanya sangat ditentang oleh kaum Gereja karena menggunakan teori “kebenaran ganda” yang memungkinkan perbenturan antara akal dan wahyu tanpa ada solusi antara keduanya seperti yang dilakukan oleh Ibn Rusyd. Salah satu tokoh Averroesme adalah Siger Brabant (1235-1282). W. Montgomery Watt, Islam dan Peradaban Dunia, cet. II, terj. Hendro Prasetyo, (Jakarta: Gramedia, 1997), hlm.102-103.

14Holistik merupakan kata sifat dari holistika. Dalam penelitian kefilsafatan, holistika sebagai bagian

metodologi penelitian adalah untuk memahami konsepsi-konsepsi filosofis tokoh, yang diteliti dengan betul-betul. Seorang tokoh dilihat dalam kerangka keseluruhan visinya mengenai manusia, dunia dan Tuhan. Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hlm.64.

5

bahwa syari„at apabila ditakwilkan secara benar akan sesuai dengan filsafat yang dipahami

secara benar pula, karena tujuan utama syari„at agama adalah mengajarkan ilmu yang benar

dan amal yang benar pula.15

Ibn Rusyd memulai pemikirannya dengan tesis bahwa agama mengharuskan belajar

filsafat. Postulat-postulat yang terdapat dalam preskripsi-preskripsi Qur‟āni, yang tersurat

pada banyak ayat dalam al-Qur‟ān, di antaranya merekomendasikan keharusan nazar

(meneliti/analisa) terhadap semua wujud dengan penalaran rasio, dan kemudian mengambil

pelajaran (i‘tibār). I‘tibār menurutnya adalah menggali dan mengeluarkan sesuatu yang

majhūl dari sesuatu yang ma‘lūm, dan inilah qiyās atau jalan kepada qiyās (analogi), maka

wajib bagi manusia Muslim menjadikan proses penalaran terhadap wujud-wujud yang ada

melalui analogi rasional.16

Pada tingkat kesempurnaan analogi rasional, oleh Ibn Rusyd

dikatakan sebagai demonstrasi (burhān).17

Ada dua hal yang membantu Ibn Rusyd untuk mencari harmonisasi antara filsafat dan

agama: Pertama, pembedaan al-Qur‟ān terhadap ayat-ayatnya yang telah diakui oleh para

ahli tafsir (mufassirūn) sejak zaman al-Tabārī (w. 923) menjadi ayat-ayat mutasyābihāt dan

ayat-ayat muhkamāt; Kedua, tidak adanya otoritas pengajaran dalam Islam Sunni yang

mempunyai hak untuk menentukan doktrin iman. Hal pertama menunjukkan adanya

pengakuan bahwa sebahagian ayat-ayat al-Qur‟ān yang diwahyukan tidak mungkin dipahami

secara literal, sementara hal kedua mengindikasikan perlunya suatu otoritas yang dapat

menjadi sandaran dalam penyelesaian perselisihan mengenai doktrin agama.

Dalam kitab Fasl al-Maqāl yang secara kronologis lebih dahulu dari kitab al-Kasyf -

yang merinci metode-metode pembuktian relatif pada dogma-dogma agama- milik Ibn

Rusyd, ia mengatakan bahwa wahyu mempunyai sisi yang jelas dan juga mempunyai sisi

yang masih membutuhkan penafsiran yang diperuntukkan pada setiap orang.18

Sementara

tingkat kemampuan masing-masing orang dalam mencerna wahyu berbeda berdasarkan

tingkatan intelektualnya, maka untuk mengatasi divergensi ummat, ia merumuskan formulasi

kesetaraan dan keselarasan filsafat dan agama dengan memunculkan tiga metode untuk

15

Ibn Rusyd, Fasl al-Maqāl fī mā bayna al-Hikmah wa al-Syarī‘ah al-Ittisāl, ed. M. ‘Imārah, (Kairo: Dār al-Ma‘ārif, 1972), hlm.54.

16Ibn Rusyd, Fasl al-Maqāl, hlm. 23.

17Burhān dalam pengertian umum adalah setiap aktivitas rasional untuk menentukan kebenaran suatu

premis. Sedangkan dalam istilah mantiq (bersifat logis), burhān adalah pendalaman atau kritik terhadap suatu proposisi, yakni, usaha rasional untuk menentukan validitas premis dalam proses konklusi, dengan terikat kepada premis-premis sebelumnya atau premis terdahulu yang sudah diakui kebnarannya. ‘Ābid al-Jābirī, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabī, cet. III, (Beirūt: al-Markaz al-Thaqāfī al-‘Arabī, 1993), hlm. 383.

18Dominique Urvoy, Perjalanan Intelektual Ibn Rusyd, terj. Achmad Syahid, (Surabaya: Risalah Gusti,

2000), hlm. 128.

6

memahami agama sebagai pembenaran (tasdīq), yang sesuai dengan tingkat kemampuan

intelektualitas manusia. Ketiga metode tersebut adalah metode demonstratif (burhāniyyah),

dialektik (jadaliyyah) dan retorik (khattābiyyah).19

Sedangkan dalam pembentukan konsep

(tasawwur) untuk memahami agama atau syari„at Ibn Rusyd merumuskan dua metode yaitu

melalui obyek itu sendiri dan obyek lain yang semisal.20

Ketiga metode tasdīq di atas,

digunakan dalam memahami al-Qur‟ān dengan dasar asumsi bahwa al-Qur‟ān yang

diperuntukkan kepada seluruh umat manusia dalam tiga tingkatan intelektualitas harus

menggunakan tiga metode yang telah disebutkan (burhāniyyah, jadaliyyah, khatābiyyah).

Setiap lapisan mencapai tingkatan pembenaran (tasdīq) yang khusus bagi mereka, dan

dianjurkan demi kebahagiaan anggota-anggota masing-masing lapisan tersebut.21

Hal yang demikian, menurut Ibn Rusyd adalah pertanda kebijaksanaan Allah yang

berbicara kepada manusia melalui tingkat kemampuannya. Produk takwil pada tingkat yang

lebih tinggi tidak boleh disebarkan dalam lapisan masyarakat yang tingkat kemampuan

pemahamannya lebih rendah,22

karena bisa menimbulkan fitnah dan menanam bibit

perselisihan ummat. Sebagai contoh, Ibn Rusyd menyatakan berulangkali bahwa orang-orang

awam cukup memahami ayat-ayat al-Qur‟ān menurut makna lahirnya.

Ibn Rusyd mencoba mengharmonisasi semua pemahaman pada lapisan-lapisan

masyarakat Muslim bahwa sesungguhnya agama tidaklah menentang adanya filsafat, karena

masing-masing dalam aktualitasnya saling mengisi dan secara fungsional berada dalam satu

ikatan sinergis yang bersifat kontributif. Sejarah telah membuktikan bahwa sesungguhnya

tidak ada hal yang krusial dalam perbedaan agama dan filsafat, hal itu terjadi justru karena

kekeliruan dalam memahami agama dan filsafat itu sendiri, yang menimbulkan penilaian

yang tidak tepat terhadap keduanya.

C. HARMONISASI ANTARA FILSAFAT DAN AGAMA DALAM ISLAM

Sejarah perdebatan tentang hubungan antara iman (naql) dan rasionalitas (‘aql) yang telah

mewarnai filsafat Islam dan kalām, telah menjadi objek kajian penting dalam rangka

menganalisis dan menelusuri partikel-partikel dari rancang-bangun pemikiran dalam Islam.

Karena proses dan hasil perdebatan tersebut, telah melahirkan konsep-konsep pemikiran yang

didasarkan pada unsur rasionalitas dan wahyu (ayat al-Qur‟ān) atau sinergi antara keduanya,

yang dianggap oleh beberapa peneliti sebagai puncak kejayaan pemikiran Islam klasik,

19

Ibn Rusyd, Fasl al-Maqāl, hlm.55-59. 20

Ibn Rusyd, Fasl al-Maqāl, hlm.59. 21

Ibn Rusyd, Fasl al-Maqāl, hlm.60-61. 22

Ibn Rusyd, Fasl al-Maqāl, hlm.61.

7

karena telah mewariskan banyak manuskrip dan tulisan yang menjadi referensi bagi

perkembangan pemikiran pada masa sesudahnya.

Dalam Islam, al-Qur‟ān merupakan bentuk pewahyuan terakhir sebagai diinginkan

oleh Allah. Al-Qur‟ān merupakan batang tubuh (sumber) dari kebenaran, lantas bagaimana

jika isi al-Qur‟ān berbeda dari pemikiran filosof? Sebagian besar teolog dan ahli fikih

menolak argumen filsafat. Hal itu, seperti telah beberapa kali disebutkan, berakibat terjadi

banyak penolakan terhadap filsafat di kalangan umat Islam. Padahal yang dilakukan oleh para

filosof adalah: Kita mempercayai Tuhan alam semesta yang mengatasi alam yang tampak

nyata. Untuk itulah dilahirkan argumen-argumen sebagai usaha harmonisasi antara filsafat

dan kepercayaan Islam. Jika al-Qur‟ān dalam pengertian literal, bertentangan dengan

pemikiran filsafat yang rasional, maka al-Qur‟ān harus diinterpretasikan secara alegoris.

Perdebatan tentang pola hubungan filsafat dan agama tidak hanya terjadi dalam

agama Islam. Thomas Aquinas misalnya, mengkritisi beberapa teolog Kristen skolastik

sebagai pengikut aliran Ibn Rusyd. Mereka dikenal sebagai pengikut Rusyd Latin yang

dinamakan averroesme. Karakteristik pemikiran mereka dilatar-belakangi oleh doktrin

“kebenaran ganda.” Doktrin ini mempercayai adanya dua kebenaran yang masing-masing

berasal dari pemikiran para filosof yang dihasilkan melalui penalaran demonstratif - tentu

saja dengan metode deduksi - dan kebenaran yang berasal dari wahyu. Dua kebenaran ini

berbeda, namun tidak akan terjadi pertentangan.

Ajaran semacam ini ditentang oleh Aquinas, karena dalam pemikirannya, kebenaran

itu haruslah satu. Jika tidak ada kesatuan kebenaran, maka prinsip dasar logika sebagai aturan

yang tidak mempunyai kontradiksi, menjadi tidak berarti apa-apa. Di antara prinsip dasar

tersebut: Sebuah proposisi tidak bisa menjadi benar atau keliru sekaligus. Contohnya, jika

benar bahwa Tuhan menciptakan alam semesta dari ketiadaan (dasar pemikiran teologi yang

umum dalam Yahudi, Kristen, Islam), maka argumen tentang eternalitas alam (pikiran

Aristoteles) niscaya keliru. Jadi menurut Aquinas, doktrin tentang kebenaran ganda adalah

doktrin yang mempunyai dasar logika yang absurd.23

Mengapa demikian, karena bagaimanapun juga, apakah Aquinas sendiri yang

memberi label bagi doktrin averroesme sebagai “kebenaran ganda,” atau realitas

kemudiannya. Sebahagian besar pemikir atau teolog Kristen mensinyalir bahwa pemikiran

Ibn Rusyd sebagai doktrin kebenaran ganda, sebagai usaha mempertemukan iman dan akal,

yang mengajarkan bahwa pada akhirnya iman dan nalar tidak akan bertentangan. Pemikiran

23

Gary E. Kessler, Philosophy of Religion: Toward a Global Perspective, (Toronto: Wadsworth Publishing Company, 1999), hlm.431.

8

ini sebenarnya tidaklah menjadi alasan untuk dikatakan adanya dua kebenaran. Karena

senyatanya, hanya ada satu kebenaran di balik dua kebenaran tersebut. Maka jika ada

pertentangan harus dijernihkan, dan tugas filosoflah untuk memperlihatkan bagaimana

sesungguhnya kebenaran wahyu dan kebenaran akal itu menjadi sinergi yang harmonis.24

Dalam masyarakat Islam sendiri sejak awal, setelah filsafat Yunani diterjemahkan ke

dalam bahasa Arab dan beredar secara bergelombang dalam masyarakat Islam,25

muncul

reaksi kontra produktif terhadap filsafat yang dianggap sebagai ancaman bagi akidah Islam.

Tantangan kuat datang dari kelompok konservatif, khususnya dari kelompok ulama fikih

yang sampai berkesimpulan bahwa filsafat, terutama dalam persoalan metafisika yang

menyentuh hakikat akidah yang diajarkan agama bisa membawa kesesatan.26

Maka, terjadilah

pro dan kontra dalam masyarakat Islam tentang keabsahan dan kegunaan filsafat dalam

konstalasi pemikiran agama.

Sebenarnya, sebagaimana telah diulas terdahulu, usaha untuk membangun argumen

titik temu antara filsafat dan agama di dunia Timur Islam, telah dimulai sejak al-Kindī,

sedangkan di bagian Barat Islam, khususnya Andalus, baru ada setelahnya. Namun di

Andalus para filosof memulai usaha harmonisasi ini secara lebih serius dari apa yang di

lakukan di Timur Islam. Kendati di Timur telah lebih dahulu aktif dalam usaha harmonisasi

antara filsafat dan agama, namun tidak seorang pun di antara mereka yang secara khusus

menulis argumen kesetaraan dan harmonisasi antara filsafat dan agama, baik berupa risalah

maupun buku. Berbeda dengan di Andalusia, para filosof Muslim mengkhususkan karya

mereka dalam membangun argumen harmonitas filsafat dan agama, di antaranya ada yang

berbentuk diktat, novel dan juga buku.

Pada masa terjadi penolakan terhadap filsafat di bagian Timur Islam, terdapat

toleransi yang cukup besar dalam berpikir. Kendati ada penolakan terhadap filsafat, namun

kehidupan dan aktivitas filsafat dan para filosof tidak diusik. Sedangkan di bagian Barat,

kondisi masyarakat masih berpola pikir ta‘āsub, pola pikir yang picik dan cenderung

primordial. Di samping itu, di Timur tidak ada represi politik dari penguasa yang menentang

filsafat, karena sebagaimana diketahui, khususnya pada zaman „Abbāsiyyah, para Penguasa

24

Kessler, Philosophy of Religion, hlm.431. 25

Penerjemahan secara besar-besaran karya-karya Yunani ke dalam bahasa Arab terjadi pada masa Khalifah al-Ma’mūn (813-833) dari Dinasti ‘Abbāsiyyah bersamaan dengan didirikannya bayt al-hikmah. Penerjemah yang masyhur pada saat itu adalah seorang Arab Kristen yang ahli bahasa Yunani, Hunain bin Ishāq (809-873). W. Montgomery Watt, Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam, terj. Umar Basalim, (Jakarta: P3M, 1979), hlm.54.

26‘Abd al-Maqsūd ‘abd al-Ghanī Abdul Maqsūd, Al-Tauīīq bayna al-Dīn wa al-Falsafah; ‘Inda Falāsifah al-

Islām fī al-Andalus, (Kairo: Maktabah al-Zuharā’, 1993), hlm.5.

9

juga memahami filsafat. Sedangkan di Barat Islam, doktrin keagamaan yang sempit masih

menguasai pola pikir kaum Muslim yang cenderung fundamental dan ekslusif. Di bagian

Timur Islam, situasi yang kondusif tidak terlalu memaksa para pencinta filsafat untuk

mengkhususkan bahasan pada usaha harmonisasi secara khusus, berbeda dengan yang terjadi

di Barat Islam yang hidup di bawah kekuasaan al-Murabitūn dan al-Muwahhidūn yang

masih berpikir sempit dan menentang kebebasan berpikir.

Pola pikir yang sempit ini sampai pada titik nadir yang memaksa para Penguasa

mengikuti mereka untuk mendapatkan dukungan, dan terpaksa meninggalkan para filosof

yang sebelumnya dekat dengan Penguasa, seperti yang dialami oleh Ibn Bajjah dan Ibn

Rusyd.27

Dalam situasi inilah para filosof terpaksa berupaya membangun pemikiran yang

mempertemukan antara Islam dan filsafat, yang bertujuan untuk menyelamatkan posisi

mereka sekaligus menerangkan kepada masyarakat bahwa filsafat tidaklah bertentangan

dengan agama.

Sebahagian filosof ada yang membangun argumen berbentuk novel filsafat seperti

yang dihasilkan Ibn Tufayl (w. 581 H), dengan novel filosofisnya Hai Ibn Yaqzān,

28 ia secara

konsisten mencari solusi bagi keterhubungan filsafat dan agama. Dengan sungguh-sungguh

Ibn Tufayl berusaha membuktikan bahwa rasionalitas filsafat tidaklah bertentangan dengan

spritualitas wahyu. Novel filsafat ini tidak memberi pengaruh yang besar karena bahasa dan

metode pemaparannya tidak mampu dipahami oleh semua kalangan. Kendatipun demikian,

Hay Ibn Yaqzān memberi dua metode untuk sampai kepada pengetahuan: (1) metode rasional

dan (2) metode kasyf. Dalam novelnya tersebut, kedua metode ini dikombinasikan oleh Ibn

Tufayl dan dipraktikkan secara bersamaan: mengumpulkan materialitas pengetahuan dengan

panca indera, menyimpulkannya, membuat kategorisasi universal dan partikular berdasarkan

akal, dan kemudian mencari esensi dan penjiwaan terhadap pengetahuan dengan metode

kasyf. 29

Sedangkan Ibn Masarrah, dalam membangun argumen titik temu filsafat dan agama,

menyimpulkan bahwa wahyu dan akal adalah dua jalan atau dua metode dalam mencapai

pengetahuan yang hakiki (Tuhan). Kedua metode ini dibedakan dalam tata kerja: (1) Wahyu

dimulai dari Allah yang turun sampai ke alam, sedangkan (2) akal sebaliknya bermula dari

27

‘Abd al-Maqsūd, Al-Taufīq, hlm.8. 28

Hay Ibn Yaqzān telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris pada abad ke-17; mengisahkan seorang manusia bisa mencapai pengetahuan terhadap Allah walau dilahirkan sendirian di satu pulau terpencil yang tidak dihuni oleh suatu masyarakat. Kisah ini bermula dari penerapan rasionalitas dan berakhir dengan pandangan tentang olah jiwa melalui kasyf. ‘Abbās ‘Aqqād, Ibn Rusyd, (Kairo: Dār al-Ma‘ārif, tt), hlm.15.

29Muhammad ‘Atīf al-‘Irāqī, Qissah al-Nizā‘ bayna al-Dīn wa al-Falsafah, (Kairo: Maktabah Misr, tt.), hlm.

268-269.

10

bawah untuk sampai ke derajat hakikat pengetahuan yang tertinggi. Di sinilah pertemuan

keduanya dalam menangkap hakikat tertinggi yang mesti diketahui oleh manusia: metode

wahyu yang transform ke bawah dan akal yang secara vertikal menuju ke atas. Ibn Masarrah

mengatakan: “setiap sesuatu yang diciptakan merupakan objek pemikiran. Allah telah

membebaskan manusia untuk berpikir memperhatikan langit dan bumi seperti dimaksudkan

oleh wahyu yang dibawa kenabian; bahwa alam yang teratur dan berpasang-pasangan ini

tidak diciptakan secara sia-sia.” Ibn Masarrah kemudian sampai pada kesimpulan premisnya

terhadap orang-orang yang berpikir: “Mereka mendapat gambaran berdasarkan pencermatan

terhadap suatu objek pengetahuan dan memutuskan apakah pengetahuan itu valid sesuai

dengan proses ta‘bīr, kemudian diperkuat secara demonstratif untuk mendatangkan

keyakinan, maka hatipun semakin kuat terhadap hakikat keimanan.”30

Jadi, filsafat dan

agama jika dilihat dari tujuannya, tetap tidak bertentangan.

Usaha paling besar untuk mengharmonisasi filsafat dan agama dapat dilihat dari apa

yang dilakukan oleh Ibn Rusyd, yang secara khusus menulis satu buku berjudul Fasl al-

Maqāl fī mā bayna al-Syarī‘ah wa al-Hikmah min al-Ittisāl. Buku ini secara kuat

merefleksikan kekuatan argumen mengenai pertautan antara syara„ dan akal, sebagai

pertautan antara filsafat atau hikmah dengan syari„at yang kemudian diteruskannya secara

terperinci dalam kitabnya Al-Kasyf ‘an Manāhij al-Adillah fī ‘Aqā’id al-Millah. Tulisan

khusus ini kemudian, tidak hanya digunakan pencinta filsafat di Andalus, tetapi juga di Timur

Islam, sehingga boleh dikatakan tidak satupun filosof Muslim melakukan pembelaan filosofis

sekuat apa yang telah dilakukan Ibn Rusyd.

D. POSISI FILSAFAT MENURUT SYARI‘AT

Sebelum sampai kepada analisis mengenai argumen-argumen Ibn Rusyd tentang pembuktian

eksistensi Tuhan melalui piranti rasio, maka terlebih dahulu akan dipaparkan pandangan

umum Ibn Rusyd tentang posisi filsafat menurut syari„at dalam pola hubungan antara filsafat

dan Agama, sebagaimana dikatakan Madjid Fakhrī, merupakan isu penting filsafat Islam

sejak masa al-Kindī, yang telah menghasut para teolog untuk menyerang para filosof dan

telah menciptakan bayangan hitam di atas seluruh upaya pemilsafatan di negara-negara

Muslim.31

30

‘Atīf al-‘Irāqī, Al-Nuz‘ah, hlm. 12-13. 31

Madjīd Fakhrī, A History of Islamic Philosophy, (New York: Columbia University Press, 1983), hlm.276-277.

11

Salah satu aspek argumentatif yang menjadi starting point argumen tentang

harmonisasi antara agama dan filsafat, bahwa Ibn Rusyd mempercayai apa yang disebut

sebagai kesatuan seluruh kebenaran, yang merupakan jalan paling valid di mana para filosof

bisa menjustifikasi aktivitas filsafat mereka dan meredakan amarah para teolog, dan

memuaskan kehendak pemikiran pada koherensi internal seorang filosof Muslim.32

Proses

tindak lanjut postulat tersebut, bahwa kebenaran filosofis yang dihasilkan melalui

penyelidikan rasional, pada dasarnya sama dengan kebenaran agama yang didasarkan oleh

wahyu.33

Dalam hal ini, Ibn Rusyd mulai dengan menyimpulkan dan menganalisis tujuan

utama dari syari„at. Menurutnya, tujuan syari„at adalah mengajarkan ilmu yang benar dan

amal yang benar pula. Ilmu yang benar adalah pengetahuan tentang pengenalan kepada Allah

yang Maha Suci dan Maha Tinggi, pengenalan terhadap segala yang “ada” berdasarkan

realitasnya. Terutama wujud mulya di antara segala wujud itu, dan pengenalan kepada pahala

dan siksa ukhrawi. Adapun amal yang benar menurut Ibn Rusyd, adalah melakukan

perbuatan-perbuatan yang dapat membawa kepada kebahagiaan dan menjauhi semua

aktivitas yang mempunyai konsekuensi penderitaan. Sedangkan pengetahuan tentang semua

perbuatan ini disebut sebagai pengetahuan praktis (al-‘ilm al-‘amalī).34

Perbuatan-perbuatan ini dapat dibagi ke dalam dua bagian: Pertama, perbuatan-

perbuatan fisik yang sifatnya lahiriah. Ilmu pengetahuan mengenai tingkah laku inilah yang

dinamakan ilmu fikih (yurisprudensi); Kedua, perbuatan-perbuatan yang sifatnya psikis-

spritual, seperti rasa syukur, sabar dan aktivitas tindak moral lainnya yang dianjurkan atau

dilarang oleh syari„at. Pengetahuan mengenai perbuatan-perbuatan ini dinamakan zuhd

(asketisme) dan ilmu-ilmu akhirat. Ke arah ilmu pengetahuan jenis inilah Abu Hāmid al-

Ghazālī memfokuskan diri dalam kitab Ihyā’ ‘Ulūm al-Dīn.35

Jika tujuan utama syari„at adalah mengajarkan ilmu yang benar dan amal yang benar

pula, maka oleh para ulama kalām dan filosof, pembelajaran tentang syari„at terdiri dari dua

bagian: (1) yang berkenaan dengan pembentukan konsep (tasawwur) dan (2) yang berkenaan

dengan pembuktian kebenaran konsep tersebut (tasdīq).

32

Madjīd Fakhrī, A History, hlm. 177. 33

M. E. Marmura (ed.), Islamic Theology and Philosophy, (Albany: State University of New York Press, 1984), hlm. 192.

34Ibn Rusyd, Fasl al-Maqāl fīmā bayna al- Hikmah wa al-Syarī`ah min al-Ittisāl, ed. M. Imārah, (Kairo: Dār

al-Ma‘ārif, 1972), hlm. 54. 35

Ibn Rusyd, Fasl al-Maqāl, hlm. 55.

12

Dalam pembentukan konsep, metode-metode dibangun melalui dua cara: Pertama,

melaui objek itu sendiri, atau kedua, melalui objek lain yang semisal. Sedangkan metode

yang bisa dipergunakan manusia untuk melakukan pembuktian ada tiga macam: (1) metode

burhāniyyah (demonstrasi) (2) metode jadaliyyah (dialektik) dan (3) metode khat tābiyyah

(retorika).36

Tetapi harus disadari, tidak semua orang memiliki kapasitas untuk menyerap

argumen-argumen burhānī. Terhadap argumen-argumen jadalī saja sudah ada batasan –

artinya tidak semua orang mampu memahaminya- apalagi argumen-argumen demonstrasi

atau burhāniyyah. Bagi orang yang berbakat sekalipun, terasa sulit dan memerlukan waktu

panjang untuk menguasainya. Oleh karena hal-hal di atas, dan mengingat syari„at sendiri

mempunyai tujuan untuk mengajar semua orang tanpa istithnā’, maka sudah seharusnya

syari„at mencakup semua metode pembuktian kebenaran (tasdīq) maupun metode

pembuktian konsep (tasawwur).

Metode-metode pembuktian kebenaran tersebut ada yang secara umum

dikonsumsikan bagi kelompok besar manusia (orang awam) -sebagai sarana untuk menerima

kebenaran- yaitu metode retorik (khattābiyyah), dan metode dialektik (jadaliyyah). Dalam

hal ini, metode retorik lebih umum jika dibandingkan dengan metode dialektik. Ada pula

metode pembuktian kebenaran yang secara spesifik dikonsumsikan bagi sekelompok kecil

manusia, yaitu metode demontrasi (burhāniyyah).

Karena tujuan utama syari„at memberikan porsi perhatian terbesar kepada kelompok

luas atau kelompok mayoritas umat - walau tidak dengan melupakan perhatian khusus kepada

orang-orang tertentu - maka sebahagian besar metode yang paling sering diungkapkan dalam

syari„at adalah metode-metode yang secara umum menjadi milik atau diperuntukkan kepada

kelompok mayoritas manusia dalam pembentukan konsep dan pembuktian kebenaran mereka

sendiri.37

Dalam konteks syari„at, metode-metode ini terbagi menjadi empat kategori:

Pertama, metode yang sekalipun bersifat umum, namun sekaligus bersifat khusus

juga dalam pembentukan konsep dan pembuktian kebenarannya, yakni, metode yang bersifat

yaqīnī (dipastikan kebenarannya) dalam pembentukan konsep maupun pembuktian

kebenarannya, meskipun dalam bentuk retorik atau dealiktik. Inilah jenis sillogisme (al-

maqāyis) yang mencapai tingkat kepastian, sekalipun premis-premis yang diketengahkannya

bersifat masyhūr (benar karena dukungan pendapat umum) atau mazmūm (benar karena

dugaan atau opini umum). Konklusi-konklusinya diambil dari dirinya sendiri secara

36

Ibn Rusyd, Fasl al-Maqāl, hlm.55. 37

Ibn Rusyd, Tahāfut al-Tahāfut, jil. I, ed. Sulaiman Dunia, (Kairo: Dār al-Ma‘ārif, 1968), hlm.26.

13

langsung, bukan dari perumpamaan-perumpamaannya. Argumen-argumen syari„at semacam

ini tidak membutuhkan takwil lagi.

Kedua, metode-metode yang premis-premisnya, sekalipun bersifat masyhūr atau

mazmūm, namun kebenarannya mencapai tingkat pasti (yaqīnī). Metode ini konklusinya

diambil dari perumpamaan-perumpamaan bagi objek-objek yang menjadi tujuannya.

Konklusi-konklusi ini terbuka untuk ditafsirkan.

Ketiga, metode yang konklusinya berupa objek-objek yang hendak disimpulkan itu

sendiri, sedangkan premis-premisnya bersifat masyhūr atau mazmūm, tanpa membuka

kemungkinan untuk mencapai tingkat yaqīnī, kategori ini konklusinya tidak membutuhkan

takwil, sekalipun seringkali takwil terjadi pada premis-premisnya.

Keempat, metode yang premis-premisnya bersifat masyhūr atau mazmūm, tanpa

membuka kemungkinan untuk mencapai tingkat yaqīnī, dan konklusi-konklusinya berupa

perumpamaan-perumpamaan bagi objek-objek yang dituju. Bagi orang- tertentu, metode ini

harus ditakwilkan. Sedangkan bagi kebanyakan orang, harus diartikan menurut makna

lahiriahnya saja.38

Secara global, semua kategori di atas mempunyai indikator kemungkinan untuk

penakwilan, namun penafsiran atau takwil tidak mungkin dilakukan kecuali dengan metode

demonstrasi (burhāniyyah). Dalam hal ini menurut Ibn Rusyd, menjadi kewajiban orang-

orang tertentu (al-khawwās) untuk memberikan takwil terhadapnya, sedangkan bagi

kebanyakan orang (jumhūr) berkewajiban untuk memahaminya sesuai dengan makna

lahiriahnya belaka, baik dalam pembentukan konsep (tasawwur) maupun pembuktian

kebenaran (tasdīq), karena memang kapasitas-kapabilitas mereka belum mencapai tingkat

demonstratif.

Mereka yang mendalami syari„at kadang-kadang terdorong untuk melakukan takwil

karena keunggulan salah satu metode umum atas metode metode lainnya dalam kebenaran.

Hal ini terjadi apabila pembuktian melalui takwil lebih memuaskan dari pemahaman secara

lahiriah. Berbagai contoh takwil semacam ini bisa saja menjadi kewajiban yang harus

dilakukan oleh mereka yang mempunyai kemampuan penalaran retorik apabila telah

mencapai tingkat kemampuan dialektik. Dalam kategori inilah dapat dimasukkan takwil-

takwil yang dilakukan kaum Asy„ariyyah dan Mu„tazilah, namun dalam banyak hal,

argumen-argumen Mu„tazilah lebih tepat dijadikan pegangan.

38

Ibn Rusyd, Fasl al-Maqāl, 56-57.

14

Adapun orang-orang kebanyakan (jumhūr), yang memang kapasitas kemampuan

mereka tidak melebihi argumen retorik, hanya berkewajiban memahami makna lahiriahnya.

Mereka ini sama sekali tidak boleh mengenal takwil apapun, karena kemampuan mereka

tidak akan sampai kepada pemahaman di atasnya, dan bisa berimplikasi negatif bagi

heterogenitas pemahaman yang ada, karena ketika orang awam menemukan argumen-

argumen yang lebih tinggi dan tidak mampu menyelaminya, akan menimbulkan fitnah dan

praduga terhadap argumen itu sendiri. Maka Ibn Rusyd menyesalkan apa yang dilakukan oleh

al-Ghazālī dan para teolog yang menyebarkan hasil pemikiran dan penalaran mereka untuk

konsumsi umum.39

Jika dianalisis, terdapat keanehan, karena pada dasarnya, al-Ghazālī

memahami keragaman tingkat intelektualitas umat, bahkan dalam kitab Al-Qistās al-

Mustaqīm al-Ghazālī secara jelas membedakan tingkatan pemahaman keagamaan sebagai

„Awwām, Khawwās, Khawwās al-khawwās.40

Hal ini sekaligus menjadi indikator kelemahan

metodologis al-Ghazālī dalam pembelajaran syari„at dan pemikiran keagamaan. Ia

mengetahui devergensi ummat Islam secara teoritis, namun pada tahap praksis metodologis

menolak klasifikasi teoritis yang ia bangun sendiri.

Secara normatif, syara„ telah mengisyaratkan kemestian penelitian dengan akal

terhadap keseluruhan mawjūdāt dengan membuat i„tibār, dan i‘tibār itu pada tingkat dasar

tidak lebih dari mengambil kesimpulan dari sesuatu yang majhūl dari suatu yang telah

diketahui dan mengekspresikannya sebagai qiyās. Maka dengan qiyās kita bisa menjadikan

penelitian kita terhadap mawjūdāt secara rasional, artinya, penelitian yang dianjurkan oleh

syara„ adalah untuk menyempurnakan rangkaian penelitian dengan rangkaian qiyās yang

disebut sebagai proses burhān. 41

Secara konklusif, syara„ telah secara jelas mewajibkan untuk mengetahui Allah dan

segala ciptaannya dengan proses burhān, maka, merupakan hal urgen bagi siapapun yang

ingin mengetahui Allah dan keseluruhan ciptaannya secara burhān, harus terlebih dahulu

untuk mengetahui jenis-jenis burhān dan syarat-syaratnya, yang akan membedakan antara

qiyās burhānī, qiyās jadalī dan qiyās khattābī serta qiyās sofistik. Apa yang bisa disebut

qiyās dan apa yang tidak. Hal ini tidak mungkin dicapai tanpa mengetahui terlebih dahulu

berbagai unsur dari susunan qiyās, yakni: premis-premis dan berbagai macamnya.

Seperti ahli fikih misalnya, dapat menyimpulkan –berdasarkan perintah agama untuk

tafaqquh atau mendalami pengetahuan dalam hukum Islam- adanya kewajiban mengetahui

39

Ibn Rusyd, Tahāfut hlm.28. 40

Ibn Rusyd, Tahāfut, hlm. 29. 41

Mahmūd ‘Alī Sabīh (Ed.), Falsafah Ibn Rusyd; Fasl al-Maqāl wa al-Kasyf ‘an Manāhij al-Adillah, cet. II, (Kairo: al-Matba‘ah al-Mahmūdiyyah al-Tijāriyyah, 1935), hlm.10.

15

sillogisme fikih (al-maqāyis al-fiqhiyyah) dalam berbagai bentuknya, mana yang benar-benar

qiyās dan mana yang bukan. Demikian pula bagi seseorang yang ingin mengenal Tuhan,

harus menyimpulkan –perintah untuk meneliti segala yang wujud- adanya kewajiban

mengetahui analogi rasional dan berbagai bentuknya. Jika seorang ahli fikih bisa melakukan

takwil, seberapa besar ahli burhān memiliki kapabilitas takwil?42

Ibn Rusyd menegaskan,

seorang filosof lebih berhak untuk membuat analogi, karena apabila seorang ahli fikih

menyimpulkan dari ayat al-Qur‟ān “maka berpikirlah hai orang-orang yang berakal budi”

sebagai adanya kewajiban mengetahui qiyās fikih, maka para filosofpun seharusnya lebih

berhak untuk mengambil kesimpulan adanya kewajiban mengetahui analogi rasional dalam

rangka mengetahui Allah. Proses penalaran rasional semacam ini tidak dapat dikatakan

sebagai bid‘ah, hanya karena tidak ditemui pada generasi Muslim pertama.

Al-Qur‟ān sendiri memotivasi pengkajian terhadap sesuatu secara rasional (Q.59:2;

7:184). Maka oleh Ibn Rusyd disimpulkan bahwa “kebenaran tidak dapat menentang

kebenaran,” dan oleh karena itu, adalah sah untuk “menyatukan apa yang telah diterima oleh

akal (ma‘qūl) dan hal hal yang ditunjukkan oleh wahyu (manqūl).”43

Untuk melengkapi ini,

Ibn Rusyd mengambil perbedaan yang digambarkan oleh ahli mistik antara makna jelas dan

makna batin dengan penafsiran alegoris (takwil) sebagai suatu akibat yang wajar. Sunguhpun,

penafsiran itu sendiri masih dalam kerangka rasionalitas, dan secara sederhana bertujuan

menghindarkan ketidak-salihan dan bid‘ah yang lahir dari faham anthropomorphisme. Proses

penakwilan itu sendiri (1) hanya mungkin jika kata-kata dari teks tersebut jika diletakkan

dalam pengertian literalnya, tidak mempunyai makna yang jelas. Kemudian, beberapa dogma

yang dikemukakan ini tidak menampilkan masalah linguistik, dengan demikian jauh di luar

komentar literalnya; (2) harus mengikuti dengan tepat aturan-aturan normal bahasa Arab

mengenai metafora, dan (3) penerapannya bergantung baik pada tingkatan intelektualitas dari

orang-orang yang terlibat maupun pada tipe metafora yang dipersoalkan. Jika ide yang

diungkapkan dengan citra yang sulit dipahami, maka penafsiran hanya diperkenankan kepada

pribadi-pribadi yang terdidik. Jika hal itu mudah untuk dipahami, setiap orang wajib

mempelajarinya.

F. METODE TAKWIL SEBAGAI JALAN HARMONISASI

Ayat-ayat yang mengandung tasybīh (anthropomorphism) yang banyak terdapat dalam al-

Qur‟ān, memang telah sejak awal menimbulkan problem mengenai kesatuan kebenaran

42

‘Abbās al-‘Aqqād, Ibn Rusyd, hlm.61. 43

Ibn Rusyd, Fasl, hlm.33.

16

antara filsafat dan agama. Seperti isyarat-isyarat al-Qur‟ān tentang “persemayaman Tuhan di

atas singgasana” (Q.7:54; 20:5) dan dapatnya Tuhan dilihat pada hari kiamat (Q.75:23),

untuk menyebut dua contoh penting dari ayat-ayat yang mengandung tasybīh ini, telah

mendorong para mutakallimūn yang cenderung menggunakan metode-metode rasional sejak

zaman Wasīl bin Atta‟ (w. 748) untuk melakukan penakwilan terhadap ayat-ayat ini

dengan tetap mempertahankan immaterialitas Tuhan tanpa mengorbankan kandungan

intelektualnya secara umum. Atas dasar itu para ulama kalām dari golongan Mu„tazilah dan

penerus-penerusnya menakwilkan persemayaman (istiwā’) sebagai simbol dari

kemenyendirian (transendensi) Tuhan dalam memiliki kekuasaan, dan “melihat wajah

Tuhan” (beatific vision) sebagai perlambangan kasyf Sufi, demikian selanjutnya. Sedangkan

ahli-ahli hadīth dan tafsir dari golongan literalis, seperti Imam Malik (w.790) dan Imam

Ahmad (w. 855), tidak merasa terganggu oleh adanya ayat-ayat yang mengandung tasybīh

(anthropomorphism), dengan keimanan yang bersifat mutlak terhadap kesucian nas-nas

al-Qur‟ān mereka puas menerima kebenaran ayat-ayat tanpa reserve.44

Sikap kaum literalis ini tidak memuaskan bagi kalangan ulama-ulama kalām yang

menggunakan metode rasional, dan filosof. Ibn Rusyd yang juga tidak diragukan

keimanannya yakin betul terhadap kesatuan kebenaran sebagai proposisi aksiomatis.

Proposisi aksiomatis ini tidak hanya mengandung keharusan penakwilan,45

tetapi juga

mengandung kesetaraan filsafat dan syari„at atau akal dan wahyu sebagai sumber primer

kebenaran orisinil. Di antara persyaratan takwil adalah, bahwa al-Qur‟ān yang diperuntukkan

kepada seluruh umat manusia dalam tiga tingkatan intelektualitas harus menggunakan tiga

metode yang telah disebutkan (burhāniyyah-jadaliyyah-khattābiyyah), setiap lapisan

mencapai tingkatan pembenaran (tasdīq) yang khusus bagi mereka dan dituntut demi

kebahagiaan anggota-anggota masing-masing lapisan tersebut. Hal ini menurut Ibn Rusyd

adalah pertanda kebijaksanaan Allah yang berbicara kepada manusia melalui tingkat

kemampuannya.46

Takwil pada tingkat yang lebih tinggi tidak boleh disebarkan dalam lapisan

masyarakat yang tingkat kemampuan pemahamannya rendah, sebab bisa menimbulkan fitnah

dan menanam bibit perselisihan ummat. Ibn Rusyd menyatakan berulangkali bahwa orang-

orang awam cukup memahami ayat-ayat al-Qur‟ān menurut makna lahirnya

44

Asghar Ali Engineer, Islam dan Pembebasan, terj. Khairus Salim, (Jakarta: LKIS, 1993), hlm.34-35. 45

Makna takwil adalah makna yang dimunculkan dari pengertian suatu lafaz (kata) yang keluar dari konotasinya yang hakiki (real/substansial) kepada makna majaz (metafora/essensial) dengan suatu cara yang tidak melanggar tata bahasa Arab dalam membuat metafora. Ibn Rusyd, Fasl al-Maqāl, hlm.33.

46Ibn Rusyd, Fasl al-Maqāl, hlm.9.

17

Ibn Rusyd melihat bahwa takwil menjadi sesuatu yang mutlak dibutuhkan bagi para

ilmuan rasional, jauh lebih mendesak dibandingkan para ahli hukum sendiri. Sebab

menurutnya, para ilmuan rasional lebih memiliki kapasitas dan lebih refresentatif untuk

melakukan takwil, di samping faktor-faktor yang mengharuskan mereka untuk

menempuhnya, yang tidak dapat dibandingkan dengan faktor yang mendorong para ahli

hukum dalam konteks ini.

Ibn Rusyd menyatakan bahwa metode takwil adalah satu-satunya jalan keluar untuk

menghilangkan segala bentuk konflik yang muncul dalam pemahaman agama. Pertentangan

antara makna-makna lahiriah (tekstual) pada sebagian agama dengan realitas objektif yang

dicapai melalui proses penalaran para ilmuan rasional dan mereka yang aktif dalam

berfilsafat. Maka, ia memastikan betapa refresentatifnya metode penalaran atau takwil ini

dipraktikkan pada setiap kasus yang memperlihatkan fenomena pertentangan dengan

konklusi-konklusi burhān.

Pengertian takwil yang didefinisikan oleh Ibn Rusyd adalah “mengeluarkan makna

konotatif suatu lafaz dari konotasi rielnya kepada konotasi metaforiknya tanpa melanggar

tradisi orang Arab dalam membuat metafora.”47

Hal ini dilakukan, misalnya dengan

menyebutkan sesuatu yang lain yang menyerupainya, atau menjadi sebab atau akibatnya, atau

menjadi komperasinya. Adapun „illah yang mengharuskan pemakaian takwil atau penalaran

bagi ilmuan rasional jauh lebih banyak dari alasan yang mendorong para ahli fikih untuk

melakukannya. Hal ini selaras dengan perbedaan antara jenis qiyās (analogi) yang ada pada

masing-masing pihak. Kalau memang diperbolehkan seorang ahli fikih untuk

mempergunakan qiyās zannī dalam melakukan takwil, maka langkah lebih refresentatif bagi

seorang pemilik metode burhān untuk mempergunakannya, karena ia memiliki qiyās yaqīnī.

Ibn Rusyd memastikan bahwa konklusi apapun yang dihasilkan oleh metode burhān

(demonstrasi) apabila bertentangan dengan makna lahir teks syari„at, maka makna lahir teks

tersebut menjadi terbuka untuk menerima penakwilan menurut tradisi penakwilan bahasa

Arab yang ada. Dan keyakinan akan kebenarannya semakin bertambah apabila seorang

menekuni dan menguji pernyataan ini, lalu menjadikannya sebagai sarana pencapaian untuk

mengintegrasikan hal-hal yang rasional dan wahyu. Rusyd juga menyatakan, makna lahir

apapun juga yang terdapat di dalam teks syari„at secara lahiriah bertentangan dengan suatu

makna yang disimpulkan oleh metode burhān, kemudian makna lahir syari„at itu diteliti dan

ditela„ah semua bagian dan partikelnya, maka pada teks-teks syari„at itu sendiri akan

47

Ibn Rusyd, Fasl al-Maqāl, hlm.32.

18

didapatkan kesimpulan-kesimpulan yang secara lahiriah mendukung adanya proses

penakwilan semacam ini, atau minimal tidak ada penolakan terhadap takwil. Karena

kenyataan inilah maka kaum Muslimin berijmak atau bersepakat tanpa kecuali, bahwa pada

dasarnya tidak ada kewajiban untuk memahami makna lafaz syari„at kepada makna lahiriah

seluruhnya atau mencerabut semua lafaz dari makna tekstualnya. Mereka juga berselisih

mengenai mana antara lafaz-lafaz itu yang menerima takwil dan mana yang tidak.

Yang menyebabkan syari„at itu sendiri mengandung makna lahir (eksoteris) dan

makna batin (esoteris), disebabkan adanya keaneka-ragaman kapasitas penalaran manusia dan

perbedaan karakteristik mereka dalam menerima atau membuktikan kebenaran. Dan mengapa

syari„at sendiri membawa makna-makna tekstual yang kelihatannya saling bertentangan?,

oleh Ibn Rusyd, hal itu adalah untuk menarik perhatian kaum intelektual yang mendalam

ilmunya (al-rāsikhūn fi al-‘ilm) agar melakukan penakwilan yang menggabungkan makna-

makna tekstual yang tampaknya bertentangan tersebut. Makna inilah yang diisyaratkan oleh

Allah sebagai: “Ialah yang menurunkan kepadamu (Muhammad) sebuah kitab suci, di

dalamnya ada ayat-ayat muhkamāt, dan yang lainnya mutasyābihāt”48

Jika seseorang mengatakan bahwa sesungguhnya dalam syari„at sendiri terdapat hal-

hal yang oleh umat Islam telah disepakati untuk diartikan secara tekstual, ada yang

membutuhkan takwil, dan ada juga yang masih diperselisihkan antara makna takwil dan

makna tekstual. Lalu bolehkah metode burhān diterapkan untuk menakwilkan hal-hal yang

telah disepakati untuk diartikan secara tekstual? atau mengartikan secara tekstual hal-hal

yang telah mereka sepakati untuk ditakwilkan?

Ibn Rusyd menjawab pertanyaan ini dengan menyatakan: “Kalau memang ijmak

tersebut terjadi melalui proses yang pasti dan meyakinkan, maka cara-cara di atas tidak boleh

dilakukan. Tetapi kalau memang ijmak terjadi melalui proses yang tidak pasti dan

meyakinkan, maka boleh saja cara-cara di atas dilakukan.”49

Sejarah sendiri mengungkapkan bahwa banyak ulama generasi pertama yang

berpendapat bahwa syari„at memang mengandung makna eksoteris dan makna esoteris. Dan

bagi mereka yang berkemampuan kurang memadai dalam memahami makna-makna itu, tidak

diharuskan mempelajarinya. Dalam hal ini, contohnya adalah berita yang diriwayatkan oleh

Bukhāri dari sahabat „Alī bin Abi Tālib, bahwa Allah berkata: “Berbicaralah kepada manusia

berdasarkan kapasitas pengetahuan mereka. Apakah kalian ingin agar Allah dan Rasulnya

48

Al-Qur’ān; ‘Ali ‘Imrān: hlm.7. 49

Ibn Rusyd, Fasl al-maqāl, hlm.34.

19

didustakan orang?” Demikian pula riwayat lain yang disampaikan oleh sekelompok orang-

orang salaf.50

Karena itu, bagaimana mungkin dapat dibayangkan adanya ijmak mengenai satu

permasalahan teoritik yang benar-benar sampai ke masa yang jauh sesudahnya. Padahal tidak

ada dalam sejarah, di mana para ulamanya, tidak seorang pun berpendapat bahwa dalam

syari„at itu sendiri sebenarnya tidak perlu diketahui maknanya secara esensial. Sebaliknya

berbeda dengan yang terjadi di bidang amaliah (praktis-aplikatif). Semua orang berpendapat

tentang perlunya suatu kesepahaman umum untuk menyebarluaskannya kepada semua

kalangan secara sama. Untuk meyakinkan telah terjadinya ijmak dalam hal ini, sudah cukup

apabila beredar luas, dan tidak ada informasi yang menyatakan terjadi perselisihan dalam

masalah tersebut. Cara seperti ini adalah memadai bagi terjadinya ijmak dalam hal-hal yang

bersifat amaliah, tapi tidak demikian terhadap hal-hal yang bersifat teoritik.

Kompetensi Ibn Rusyd dalam membicarakan takwil beserta partikularisasinya

berkaitan dengan upayanya untuk menerapkan kaedah dan metode ini terhadap isu sentral

yang menjadi ajang konflik antara para filosof dan mutakallimūn. Jadi ketika menyinggung

bahwa kaum Asy„arī dan Mu„tazilī melakukan takwil sebagian teks syari„at, juga ketika ia

menukilkan al-Ghazālī yang dalam kitabnya Faisal al-Tafriqah bayna al-Islām wa al-

Zindīqiyyah berbicara mengenai lima tingkatan wujud: dhātī (esensi) hissī (inderawi)

khayyālī (imaginatif), „aqlī (rasional) dan syabahī (metaforik), dengan semua ini seolah-olah

Ibn Rusyd ingin mengatakan bahwa yang urgen bukanlah sah atau tidaknya melakukakan

takwil ataukah bersifat wajib, juga bukan pada jumlah tingkatan wujud yang menyebabkan

kafir tidaknya seseorang, yang misalnya menerima kebenaran berita-berita ukhrawi menurut

satu tingkatan tertentu.

Proses penakwilan menurut Ibn Rusyd adalah memunculkan pengertian suatu lafaz

dari konotasi rielnya untuk mendapatkan konotasi metaforiknya. Proses penakwilan juga

dalam koridor tradisi gramatika dan kultur filologi masyarakat Arab dalam membuat

ungkapan-ungkapan yang bersifat metaforik. Misalnya, menyebutkan sesuatu dengan sebutan

tertentu lainnya karena adanya faktor kemiripan atau menjadi sebab atau akibatnya, atau

sesuatu tersebut menjadi bandingannya, atau faktor-faktor lain yang diuraikan secara rinci

dalam pembahasan dan berbagai ungkapan metaforik.51

Jika dilihat dari terminologi di atas, akan timbul suatu kesimpulan: Apabila ahli fikih

banyak mempraktikkan cara takwil seperti ini dalam hukum-hukum syari„at, dan

50

Ibn Rusyd, Fasl al-Maqāl, hlm.35. 51

Ibn Rusyd, Fasl al-Maqāl, hlm.32.

20

mutakallimūn melakukan takwil dalam merasionalisasikan eksistensi Allah, maka sebenarnya

jauh lebih patut bagi ahli ilmu burhān untuk menempuh cara-cara takwil semacam itu.

Logikanya, seorang ahli fikih dan ahli kalam hanya memiliki qiyās zannī (sifatnya perkiraan

belaka), sedangkan seorang filosof yang „ārif memiliki qiyās yaqīnī.

E. POSOSI STRATEGIS AGAMA DAN FILSAFAT

Setelah membangun konsep harmonisasi antara filsafat dan agama, dengan membuat

argumen-argumen yang bisa membenarkan filsafat dari kacamata sudut syari„at, yang

melahirkan konklusi bahwa agama Islam tidak menentang filsafat, bahkan secara metaforik

justru mengharuskan adanya kegiatan-kegiatan yang bersifat filosofis dan argumentatif.

Berdasarkan konklusi tersebut, maka argumen-argumen filosofis berdasarkan objek-objek

bahasannyapun tidak ditentang oleh agama Islam. Untuk seterusnya akan dipaparkan

pemikiran filosofis Ibn Rusyd tentang persoalan fundamental dalam filsafat yang juga

menjadi fokus utama dalam agama dan pemikiran keagamaan, yaitu: Tuhan.

Ibn Rusyd tidak hanya menunjukkan bahwa filsafat dan agama itu selaras, tetapi ia

juga, seperti yang dikatakan Oliver Leaman: “Mencoba menetapkan posisi yang jauh lebih

kuat, bahwa agama membutuhkan filsafat.”52

Jika fungsi filsafat tidak lain merupakan

penyelidikan terhadap mawjūdāt yang mengarah pada pembuktian eksistensi sang Pencipta

(al-Sāni‘), maka syari„at menganjurkan penyelidikan seperti itu.”53

Dengan kata lain, “jika

studi teleologis tentang dunia semesta adalah filsafat, dan jika syari„at memerintahkan studi

seperti itu, maka syari„at membutuhkan filsafat.”54

Premis-premis di atas bahkan secara

substansial mengandung pesan etis yang jauh kedepan, bahwa agama juga tidak bertentangan

dengan sains, sebagaimana kemudian hari John Hedley Brooke menyimpulkan bahwa agama

dan sains tidak akan bertentangan.55

Dengan kepercayaan yang konsisten bahwa filsafat tidak pernah akan bertentangan

dengan agama, bahkan agama membutuhkan filsafat, Ibn Rusyd lalu membangun argumen

rasional untuk membuktikan adanya Tuhan, dengan menggunakan apa yang ia sebut sebagai

metode rasional yang sesuai dengan al-Qur‟ān.

52

Oliver Leaman, An Introduction to Islamic Philosophy, (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), hlm.170.

53Ibn Rusyd, Fasl al-Maqāl, hlm.2.

54Leaman, An-Introduction, hlm.170.

55John Hedley Brooke, Science and Religion; Some Historical Perspectives, (Cambridge: Cambridge

University Press, 1991), hlm.18-19.

21

Sebagaimana terlihat, Ibn Tufayl di sejumlah tahap-tahap awal pemikirannya,

membuat kebingungan pembacanya dengan Hay Ibn Yaqzān dengan mencangkok sebuah

pandangan baru yang sama sekali asing –yaitu pandangan illuminisme sebagai kombinasi

rasionalisme. Sementara, Ibn Rusyd mengambil pandangan rasionalisme dan menolak segala

bentuk pengakuan untuk mentransendenkannya, memandang analisis atas pemikiran itu

sebagai puncak tertingginya. Kendati sedikit banyak dipengaruhi oleh Ibn Tumart yang

mengajukan pembuktian tentang Tuhan secara tradisional dan sederhana: “Pernyataan

tentang betapa pentingnya keberadaan Sang Pencipta.”56

Dalam analisisnya tentang gagasan

penciptaan, Ibn Rusyd seperti halnya Ibn Tumart, memulai dari pengalaman tetapi

menyaringnya sedemikian rupa analisis-analisis yang berada di seputar lingkaran gagasan-

gagasan itu sendiri: a) Pengalaman tentang keberadaan makhluk-makhluk hidup yang

memberikan kesaksian adanya eksistensi Tuhan dan membenarkan pentingnya makhluk; b)

kesimpulan dari eksistensi sesuatu yang diciptakan menunjukkan adanya Sang Pencipta.

Dari konklusi di atas, Ibn Rusyd, seperti dikatakan oleh Dominique Urvoy, seakan-

akan ingin memperkenalkan suatu perspektif “ilmiah” dalam merasionalisasi eksistensi

Tuhan, yakni, agar ada pengetahuan yang pasti tentang eksistensi Tuhan dan substansi dari

segala sesuatu. Pada masalah ini, Ibn Rusyd berbeda dari apa yang telah dicapai oleh

Descartes maupun Spinoza yang memakai pendekatan rasional spekulatif. Ia mengelaborasi

pernyataan tentang keyakinannya pada tingkat rasional dengan membedakan dua macam

pengetahuan dari dua pembuktian yang sama (melalui Tuhan dan “ide” tentang

penciptaan).57

G. SIMPULAN

Kebenaran pada dasarnya dapat dipertemukan secara metodologis-epistemologis, karena pada

hakikatnya kebenaran adalah satu. Jika ada pemahaman tentang wahyu agama yang berbeda

dengan pandangan yang dihasilkan oleh akal, maka pemahaman terhadap wahyu tersebut

dapat disesuaikan dengan pandangan yang dihasilkan oleh akal budi.

Secara sepintas terlihat Ibn Rusyd, kendati ingin menselaraskan antara agama dan

filsafat, ia tidak terlepas dari pretensi dan kompetensinya sebagai pembela eksistensi filsafat

yang pada waktu dan spektrum yang bersamaan berada dalam tekanan kelompok yang anti

filsafat, yang menguasai sebahagian besar “kebenaran” dan “pembenaran” agama. Indikator

56

Dominique Urvoy, Perjalanan Intelektual Ibn Rusyd, terj. Achmad Syahid, (Surabaya: Risalah Gusti, 2000), hlm.120.

57Lihat Urvoy, Perjalanan Intelektual, hlm.120.

22

ini semakin jelas ketika Ibn Rusyd membuat klasifikasi yang bersifat gradatif bagi kebenaran-

kebenaran yang ada tentang agama. Ibn Rusyd membuat tiga gradasi pembenaran dalam

kebenaran agama sekaligus membedakan tingkatan pemahaman keagamaan. ia meletakkan

kebenaran filsafat yang menggunakan logika pembuktian deduktif yang ia sebut sebagai

metode burhāni (tingkatan burhāniyyah) sebagai tingkatan pembenaran tertinggi dalam

agama di atas tingkatan-tingkatan lainnya seperti khattābiyyah dan jadaliyyah.

Jika dilihat dari dimensi yang berbeda, analisis terhadap pemikiran-pemikiran Ibn

Rusyd tentang kesatuan kebenaran yang diwujudkannya dalam penyatuan kebenaran, dengan

membuat klasifikasi pembenaran berdasarkan tingkatan kapasitas pemahaman keagamaan

kaum Muslimīn, secara substansial akan menemukan titik simpul. Karena pada dasarnya,

pemahaman seseorang terhadap agama pada tingkatan tertentu tidak akan terlepas dari fungsi

akalnya terhadap sumber wahyu. Tanpa akal seseorang tidak akan dapat menerima kebenaran

agama, kendatipun dalam tingkatan “rasional” yang rendah. Hal ini menunjukkan bahwa

hubungan kebenaran rasio dan agama tidak akan pernah bertentangan, yang bisa bertentangan

adalah pemahaman manusia terhadap isi kandungan yang di bawa oleh wahyu. Hal demikian

mengindikasikan, bahwa pada dasarnya yang berbeda adalah proses dan hasil rasionalisasi

tersebut. Untuk mengatasi hal tersebut maka dibuat tolak ukur yang bisa mengatasi masing-

masing pembenaran tersebut yang disepakati sebagai ukuran tertinggi dalam proses

rasionalisasi.

Pada sisi lain, secara ontologis, masing-masing kebenaran tersebut bersumber dari

kebenaran yang satu, yaitu Allah. Tidak bisa dibenarkan jika ada kebenaran yang saling

bertentangan secara substansial, karena sebenarnya masing-masing memiliki sumber yang

sama. Yang menjadi masalah adalah, bahwa kebenaran yang berasal dari sumber yang satu

tersebut ditangkap oleh banyak sumber dan piranti yang berbeda secara kualitatif dan

kuantitatif. Maka, hasilnyapun punya kemungkinan untuk berbeda. Untuk menyelesaikan

kemungkinan perbedaan tersebut dibuat suatu tolak ukur yang paling tinggi yaitu takwil

burhān. Artinya, Ibn Rusyd pada akhirnya tetap menjadikan metode burhān yang

menggunakan aspek-aspek ‘aqlī menjadi ukuran tertinggi pembenaran.

23

BIBLIOGRAFI

Ibn Rusyd, Tahāfut al-Tahāfut, jil. I, ed. Sulaimān Dunia, (Kairo: Dār al-Ma„ārif, 1968). 9;

Raīs Syāril Halwī, Mawsū‘ah A‘lām al-Falsafah al-‘Arab wa al-Ajānib, jil. I,

Beirūt: Dār al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1992

Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Ibn Rusyd (Averroes; Filosuf Islam Terbesar di

Barat), Jakarta: Bulan Bintang, 1965

Barnes & Nobel, New American Encyclopedia, jil. II. New York: Grolier, 1991

Muhammad „Atīf al-„Irāqī, Al-Nuz‘ah al-‘Aqliyyah fī Falsafah Ibn Rusyd. Kairo: Dār al-

Ma„ārif, 1967

Halwi, Mawsū‘ah, jil. II, 277-283

M.A.H. Abū Ridah (ed.), Risālat al-Kindī al-Falsafīyyah, jil. I, (Kairo: Dār al-Fikr al-„Arabī,

1950

Muhammad Lutfī Jam„ah, Tārīkh Falāsifat al-Islam fī al-Masyriq wa al-Maghrib. Beirut: Al-

Kutub al-„Ilmiyyah, tt

Ibn Rusyd, Fasl al-Maqāl fī mā bayna al-Hikmah wa al-Syarī‘ah al-Ittisāl, ed. M. „Imārah,

Kairo: Dār al-Ma„ārif, 1972

„Ābid al-Jābirī, Bunyah al-‘Aql al-‘Arabī, cet. III, Beirūt: al-Markaz al-Thaqāfī al-„Arabī,

1993

Dominique Urvoy, Perjalanan Intelektual Ibn Rusyd, terj. Achmad Syahid. Surabaya: Risalah

Gusti, 2000

W. Montgomery Watt, Islam dan Peradaban Dunia, cet. II, terj. Hendro Prasetyo. Jakarta:

Gramedia, 1997

Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat. Yogyakarta:

Kanisius, 1994

Gary E. Kessler, Philosophy of Religion: Toward a Global Perspective. Toronto: Wadsworth

Publishing Company, 1

W. Montgomery Watt, Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam, terj. Umar Basalim. Jakarta:

P3M, 1979

„Abd al-Maqsūd „abd al-Ghanī Abdul Maqsūd, Al-Tauīīq bayna al-Dīn wa al-Falsafah; ‘Inda

Falāsifah al-Islām fī al-Andalus. Kairo: Maktabah al-Zuharā‟, 1993

„Abbās „Aqqād, Ibn Rusyd. Kairo: Dār al-Ma„ārif, tt

Muhammad „Atīf al-„Irāqī, Qissah al-Nizā‘ bayna al-Dīn wa al-Falsafah. Kairo: Maktabah

Misr, tt.

Madjīd Fakhrī, A History of Islamic Philosophy. New York: Columbia University Press, 1983

M. E. Marmura (ed.). Islamic Theology and Philosophy. Albany: State University of New

York Press, 1984

Ibn Rusyd, Fasl al-Maqāl fīmā bayna al- Hikmah wa al-Syarī`ah min al-Ittisāl, ed. M.

Imārah. Kairo: Dār al-Ma„ārif, 1972

Ibn Rusyd, Tahāfut al-Tahāfut, jil. I, ed. Sulaiman Dunia. Kairo: Dār al-Ma„ārif, 1968

Mahmūd „Alī Sabīh (Ed.), Falsafah Ibn Rusyd; Fasl al-Maqāl wa al-Kasyf ‘an Manāhij al-

Adillah, cet. II. Kairo: al-Matba„ah al-Mahmūdiyyah al-Tijāriyyah, 1935

Asghar Ali Engineer, Islam dan Pembebasan, terj. Khairus Salim, (Jakarta: LKIS, 1993).

Oliver Leaman, An Introduction to Islamic Philosophy. Cambridge: Cambridge University

Press, 1985

John Hedley Brooke, Science and Religion; Some Historical Perspectives. Cambridge:

Cambridge University Press, 1991

Dominique Urvoy, Perjalanan Intelektual Ibn Rusyd, terj. Achmad Syahid. Surabaya: Risalah

Gusti, 2000

24