EDDY NAJMUDDIN - FUF.pdf

166
RESPON GERAKAN ISLAM CI

Transcript of EDDY NAJMUDDIN - FUF.pdf

ResponGeRakan

IslamCI

ResponGeRakan

IslamCInta

Terhadap Ideologi Keagamaandi Kalangan Generasi Milenial

Eddy Najmuddin

PustakaPedia

ResPon GeRakan Islam CIntaterhadap Ideologi keagamaandi kalangan Generasi milenial

eddy najmuddin

Copyright (c) 2018 oleh Eddy NajmuddinHak cipta dilindungi undang-undang

Penata aksara: Zuhri ASPerancang sampul: Adi Irawan

Diterbitkan oleh PustakaPediaJl. Mawar No.A1Pisangan, Ciputat Timur, Tangerang Selatan 15419Call: 0813 1459 3735SMS/WA: 0818 636 480Email: [email protected]: www.pustakapedia.com

Cetakan I, Agustus 2018

ISBN: 978-602-6719-74-4

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak CiptaLingkup Hak Cipta Pasal 2:1. Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk

mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan Pidana Pasal 72:1. Barangsiapa dengan sengaja atau tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara ma sing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (sa tu juta rupiah), atau pi dana penjara paling lama 7(tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana di mak sud pa da ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda pa ling ba nyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Persembahan cinta untuk ibunda Hj. Nadyatul Munawaroh Aqdhiwijaya,

ayahanda H. Abdul Rohim Hasan dan adik perempuan satu-satunya,

drg. Firda Bilma Assyfa Fauziah, atas ketulusan dan dorongan cinta-kasih mereka,

saya termotivasi untuk sunguh-sungguh dalam berbagai hal kebaikan.

vii

Gerakan Islam Cinta menjadi jawaban atas kegelisahan penulis belakangan ini terhadap persoalan agama dan

milenial. Hasil diskusi penulis dengan beberapa rekan peneliti dari Universitas Indonesia pada pertengahan tahun 2014 menyimpulkan bahwa generasi milenial kian bersemangat dalam beragama, namun disaat yang sama muncul kekhawatiran terhadap sikap keberagamaan mereka yang cenderung radikal dan ekstrim.

Pada akhir tahun 2014, di tengah obrolan santai bersama para peneliti dari Youth Studies Institute dan Universitas Gadjah Mada Jogjakarta penulis mendapati penyebab rentannya generasi milenial terseret ideologi radikalisme dan terorime. Banyak faktor yang menjadi penyebabnya, namun dua diantaranya yang paling menonjol adalah karena kurang dipromosikannya konten agama yang damai dan kurang ditampilkannya figur-figur teladan yang berjiwa damai.

Mendapati kenyataan demikian, bagi penulis Gerakan Islam Cinta kini menjadi oase di tengah sahara pemikiran dan

Kata Pengantar

G e r a k a n i s l a m c i n t a

viii

perilaku keberagamaan yang demikian nomos atau law (fiqh) oriented bahkan cenderung radikal dan ekstrim. Gerakan Islam Cinta menempati posisi “tengah”, menjadi “jembatan” pertemuan dan dialog antar mazhab (Sunni-Syiah), NU-Muhammadiyah, bahkan menjadi ruang pertemuan dan dialog antaragama dan keyakinan (interfaith dialogue). Inilah yang sejujurnya diharapkan milenial. Generasi muda, sebagaimana dikatakan Yusuf Qardhawi adalah belahan jiwa, harapan bangsa ini, dan masa depan umat. Perlu untuk masuk ke dalam relung terdalam generasi milenial melalui pintu cinta dan kasih sayang. Bukan melalui pintu tuduhan dan ketakaburan terhadap mereka. Di tengah zaman milenial yang berkelimpahan (sains dan teknologi) dan kegalauan ini, para milenial harus berupaya meluruskan pandangan dan pikiran mereka, sehingga mereka mampu mengetahui agama secara mendalam dan memahaminya berdasarkan keterangan yang nyata. Dalam konteks demikian, gagasan Gerakan Islam Cinta dapat menjadi salah satu solusi untuk membangun kerukunan umat beragama.

Dengan demikian, penulis panjatkan syukur kepada Allah Swt, Sang Maha Cinta, yang hanya karena limpahan Cinta-Nya, penulis dapat dipertemukan dengan Gerakan Islam Cinta hingga dapat kemudian tertarik mengangkatnya sebagai objek penelitian, alhamdulillah, penulis dapat menyelesaikan tulisan dalam buku ini dengan tepat waktu— yang sebenarnya merupakan tesis di Pascasarjana Program Studi Studi Agama-Agama di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan konsentrasi yang sejak lama diminati penulis “Kerukunan Umat Beragama”.

K a T a P e n g a n T a R

ix

Penulisan buku ini—yang merupakan tesis sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Agama (MA) Program Studi Agama-Agama Konsentrasi Kerukunan Umat Beragama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta—sebagai persembahan cinta penulis untuk ibunda Hj. Nadyatul Munawaroh Aqdhiwijaya, ayahanda H. Abdul Rohim Hasan dan adik perempuan satu-satunya, drg. Firda Bilma Assyfa Fauziah, yang atas ketulusan dan dorongan cinta-kasih mereka, penulis termotivasi untuk sunguh-sungguh dalam berbagai hal kebaikan.

Dan dalam penyelesaian tesis yang kemudian dibukukan ini, penulis menyadari terdapat banyak pihak yang secara sukarelawan membantu dan mendukung penyelesaiannya. Dari lubuk hati terdalam, penulis menyampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada: Rektor, Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A.—yang pertama kali—dalam salah satu tulisan artikelnya berjudul “Model Pendidikan Abad Ke-21” menginspirasi penulis sehingga dapat mengangkat tema terkait generasi milenial sebagai populasi masyarakat yang memiliki pengaruh di abad ini.

Kepada Ketua Program Magister, Dr. Atiyatul Ulya, M.Ag., Sekretaris, Maulana, M.Ag dan Staf Program Magister, Toto Tohari, M.Ag, dan seluruh Civitas Akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang dengan segala kebijakan dan kebijaksanaannya menghantarkan penulis hingga meraih capaian sekarang ini. Kepada Dosen pembimbing, Dr. H. M. Amin Nurdin, M.A., dan Dr. Media Zainul Bahri, M.A., yang sejak masa penulisan proposal tesis hingga penulisan tesis ini berakhir, dengan penuh kesabaran dan ketulusan, beliau

G e r a k a n i s l a m c i n t a

x

membimbing dan mengarahkan penulis untuk dapat menulis tesis ini dengan baik dan lancar. Dan Guru Besar Studi Agama-Agama; Prof. Dr. Masri Mansoer, M.A., Prof. Dr. Ihsan Tanggok, M.Si., Prof. Dr. Ridwan Lubis, M.Ag., Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer, M.Ag, Prof. Dr. Zainun Kamal, M.Ag, yang telah banyak membimbing dan mencerahkan penulis dalam berbagai hal, semoga ilmu yang telah beliau curahkan dapat diamalkan dengan baik oleh penulis.

Penulis juga sampaikan terima kasih tak terhingga kepada keluarga tercinta; Ibunda Hj. Nadyatul Munawaroh Aqdhiwijaya, Ayahanda H. Abdul Rohim Hasan, Almarhum Abah KH. M. Abyadi Aqdhiwijaya dan almarhumah Ibu Hj. Taslimah Mahmud—yang meskipun telah tiada, sesungguhnya capaian ini (juga) berkat doa dan harapan mereka. Allahummaghfirlahum warhamhum wa’afihim wa’fuanhum. Kakak-kakak penulis; Rabiahtul Adawiyah, M.Si, Maulani, M.Si, Yetty Yulifah, S.Kom, Iwan Gunawan Rustandi, S.Sos, Neneng Musniyah, M.Pd, Ono Sutarna, S.Pd., Yudi Syarifuddin, ST, Annisa Ramadani, S.Kom, Ahmad Sofyan Hadi, ST, Amellya Hidayat, S.Pd, Rizal Hendrawan, M.E.Sy., Adik tersayang penulis; drg. Firda Bilma Assyfa Fauziah, dan keponakan-keponakan; Adzkarullah Ramadhansyah Pratama Putra; Adzkyatul Qotrunnada Aulia Putri; Chantika Rahma Agustina; Neng Ayla Faristka Amelia; Keysha Nabila Shidqi; Deeandhra Najwa Kadzahra; Rezky Nadir Al-Syuja; Raffi Imam Haidar. Atas cinta, kasih sayang dan dukungan yang tak pernah ada habisnya.

Rasa terima kasih penulis kepada Pendiri Gerakan Islam Cinta, Dr. Haidar Bagir, Dewan Pembina; Prof. Dr. Komaruddin

K a T a P e n g a n T a R

xi

Hidayat, Prof. Dr. Moch. Mahfud MD, Prof. Dr. Alwi Shihab, KH. Mustofa Bisri, Ketua Gerakan Islam Cinta sekaligus mentor penulis, Irfan Amalee, MA, dan seluruh Deklarator Gerakan Islam Cinta, atas inspirasi dan motivasi terhadap gagasan dan pemikiran yang menyejukkan milenial. Kawan-kawan Mizan Publika (Mizan Group) atas setiap dukungan dan karyanya yang selalu menginspirasi penulis.

Kepada Gerakan Islam Cinta, Peace Generation, Compassionate Action Indonesia, Youth Studies Institute, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) atas ruang dan waktu yang telah diberikan kepada penulis untuk belajar dan bekerja bersama dalam mewujudkan kedamaian dan kepemudaan ideal. Para pegiat studi keislaman, kebhinekaan, perdamaian dan kepemudaan; Dr. Zulfan Taufik, MA.Hum., Bunda Nia Sjarifuddin, Azam Bahtiar, MA., Ali Bin Zed, MA., Dian Makruf, MA.Hum., Taufik Hidayatullah, S.IP., Cakra Yudi Putra, S.E., Ahmad Muhibi, S.Ud, Wasil, S.Th.I., Muhammad Hussein, Darmawan, S.Ag., Giffari Adhitia, Siti Nadya Fariha, Muhammad Ammar Wibowo, Kevin Dea Putra, yang melulu mempertanyakan ‘kapan tesis selesai?’, dan telah menjadi teman diskusi terbaik selama proses penulisan tesis ini. Kepada CRCS (Center for Religious and Cross-cultural Studies) Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Jogjakarta; Dr. Zainal Abidin Bagir, Dr. Samsul Maarif, Dr. Muhammad Iqbal Ahnaf, Subandri Simbolon, MA, atas kesempatan melakukan riset bersama-sama terhadap keberagaman di Jawa Barat.

G e r a k a n i s l a m c i n t a

xii

Kepada CDCC (Center for Dialogue and Cooperation among Civilations) di Jakarta, Religions for Peace di New York, dan KAIICID (King Abdullah bin Abdul Aziz International Centre for Interreligious and Intercultural Dialogue) di Wina, atas kepercayaannya kepada penulis melakukan riset selama setahun tentang kerukunan umat beragama di bidang interfaith dialogue dan pendidikan interreligius sehingga mendukung penulis memperoleh pendalaman materi dan pengalaman mengenai konsentrasi penulis di perkuliahan, yaitu konsentrasi Kerukunan Umat Beragama. Lazuardi Birru dan Universitas Indonesia yang telah memberikan banyak kepercayaan kepada penulis untuk terus mengembangkan studi kepemudaan dan perdamaian di tanah air. Tercatat sejak tahun 2012, penulis dipercaya untuk melakukan riset dan pengembangan SDM muda di hampir semua provinsi Indonesia melalui program Youth Research and Training bertemakan “Inspiring Future Leader for Peace”. Dan pada akhirnya, penulis persembahkan juga karya sederhana ini untuk para milenial, semoga kita semua dapat menampilkan wajah agama yang kita cintai, dengan keramahan, bukan kemarahan.

xiii

Isi Buku

PenGantaR vii

PenDaHUlUan 1PotRet GeneRasI mIlenIal 19

A. Definisi dan Karakteristik Generasi Milenial 19B. Karakter Khas Generasi Milenial 24C. Tantangan dan Peluang Generasi Milenial dalam

Keberagamaan29

CoRak IDeoloGI keaGamaan mIlenIal 39A. Generasi Milenial Menjadi Sasaran Utama

Kelompok Radikal47

B. Model Ideologi Radikalisme Atas Nama Agama 53C. Memaknai Agama dan Beragama yang Sesung-

guhnya75

GeRakan Islam CInta memPRomosIkan Islam seBaGaI aGama CInta

A. Sejarah Pendirian dan Perkembangan Gerakan Islam Cinta

87

G e r a k a n i s l a m c i n t a

xiv

B. Penyebaran, Pengaruh dan Posisi Gerakan Islam Cinta

99C. Makna dan Tanda Cinta 118D. Dampak Kegiatan Gerakan Islam Cinta 127

Kesimpulan 135Daftar Pustaka 137Tentang Penulis 149

1

Sejumlah aksi radikalisme1 dan terorisme2 di Indonesia bahkan dunia—sebagian besar—dilakukan oleh mereka

yang mengaku beragama Islam dan tak jarang melibatkan kalangan milenial3 sebagai pelakunya.4 Mereka mengklaim

1 Merujuk pada beberapa studi menunjukkan adanya hubungan yang erat antara radikalisme dan terorisme, di mana radikalisme dan terorisme yang dibiarkan tumbuh potensial akan memberikan kesempatan dan peluang bagi terjadinya berbagai aksi terorisme. Oleh karena itu, kerentanan terhadap radikalisme berbasis sosial keagamaan dapat menjadi humus yang baik bagi tumbuh subur dan berkembangnya terorisme. Lihat: Dhyah Madya Ruth SN, ed., Partisipasi Masyarakat dalam Memutus Mata Rantai Radikalisme dan Terorisme (Jakarta: Lazuardi Birru, 2010), h. 13.

2 Menurut Walter Reich, terorisme adalah “a strategy of violence designed to promote desired outcomes by instilling fear in the public at large” (suatu strategi kekerasan yang dirancang untuk meningkatkan hasil-hasil yang diinginkaan, dengan cara menanamkan ketakutan di kalangan masyarakat umum) Lihat: A.M. Hendropriyono, Terorisme Fundamentalis Kristen,Yahudi dan Islam (Jakarta: Kompas Penerbit Buku, 2009), h. 26.

3 Istilah milenial (dalam bahasa Inggris disebut millennial), dapat disebut generasi Y, pemuda, kaum muda, kawula muda dan remaja digunakan secara bergantian dalam naskah untuk merujuk pada pengertian yang sama sebagai padanan dari milenial (youth).

4 Pada tahun 2011, terdapat survei yang dinisiasi oleh guru besar sosiologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bambang Pranowo, hasil survei tersebut

Pendahuluan

G e r a k a n i s l a m c i n t a

2

bahwa perbuatan mereka merupakan jihad fi sabilillah dan ada kecenderungan untuk mereduksi pengertian radikalisme dan terorisme seolah-olah identik dengan Islam.5

Indonesia sebagai Negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam6 dan sebagai Negara berpenduduk Islam terbesar di dunia juga seringkali dituduh sebagai sarang radikalisme dan terorisme. Hal ini ditandai dengan beberapa peristiwa radikalisme dan terorisme, mulai dari (1) bom di Masjid Istiqlal, Jakarta pada bulan April 1999; (2) bom di Kedubes Filipina serta Kedubes Malaysia di Jakarta pada bulan Agustus 2000; (3) simultaneously bombing yang disebar di 15

menunjukkan sebanyak 48,9% dari 1.000 pelajar di Jakarta bersedia melakukan aksi kekerasan untuk merespon masalah moral atau isu-isu keagamaan. Bahkan, terdapat 63% responden yang bersedia terlibat dalam aksi penyegelan rumah ibadah agama lain. Menariknya, survei ini tidak dilakukan di sekolah berlatar belakang Islam, namun justru dilakukan di sekolah umum, yaitu SMP dan SMA di 10 kawasan di sekitar Jakarta, dengan komposisi 59 sekolah swasta dan 41 sekolah negeri. lihat: https://www.rappler.com/indonesia/143823-wahid-institute-11-juta-orang-indonesia-kekerasan-agama diakses pada tanggal 10 Oktober 2017, pukul 11.00 WIB.

5 Intensitas perbincangan wacana jihad kian meningkat dan terus berkembang terutama setelah peristiwa 11 September 2001 yang menimpa gedung WTC di New York. Sejak saat itu, asosiasi jihad dengan kekerasan dan terorisme semakin lekat. Islam yang merupakan pemilik istilah jihad turut mendapat stigma negatif—Lihat: Imam Taufiq, Al-quran Bukan Kitab Teror; Membangun Perdamaian Berbasis Al-Quran (Jogjakarta: Bentang Pustaka, 2016), h. 13.

6 Indonesia memiliki sekitar 220 juta penduduk muslim dari 250 juta penduduk Indonesia, dikatakan oleh Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo sebagai potensi dan kekuatan Indonesia. Lihat: http://khazanah.republika.co.id/berita/duniaislam/islamnusantara/17/07/21/otg5qz-jokowi-penduduk-muslim-potensi-dan-kekuatan-indonesia, diakses pada tanggal 10 Oktober 2017, pukul 17.00 WIB.

P e n d a H u l u a n

3

gereja di beberapa kota antara lain Medan, Batam, Pekanbaru, Jakarta, Bandung, dan Mojokerto pada tanggal 24 Desember 2000; (4) bom di gereja HKBP dan Santa Anna, Jakarta pada bulan Juli 2001; (5) bom di Plaza Atrium Senen, Jakarta pada bulan Agustus 2001; (6) bom bunuh diri yang meledak di Paddy’s Bar dan Sari Club (Bom Bali I) pada bulan Oktober 2002; (7) peledakan bom bunuh diri di Hotel J.W. Marriot, Jakarta pada bulan Agustus 2003; (8) peledakan bom mobil dengan sasaran Kedutaan Australia di Jakarta pada bulan September 2004; (9) bom bunuh diri di Menega Café, Nyoman Café dan Raja’s Bar (Bom Bali II) pada tahun 2005; (10) bom bunuh diri kembali meledak di J.W. Marriot dan Ritz Carlton, Jakarta pada tahun 2009; (11) pelatihan para militer oleh teroris di kawasan pegunungan Jalin, Jhonto, Propinsi Nangroe Aceh Darussalam pada bulan Februari 2010; (12) perampokan Bank CIMB Niaga Cabang Medan, Sumatera Utara untuk pendanaan aksi terorisme (fa’i) pada bulan Agustus 2010; (13) paket bom buku yang dikirimkan kepada Ulil Abshar Abdalla, Gorries Mere, Ahmad Dhani, Yapto Suryosumarno, serta satu paket bom yang ditemukan di perumahan Kota Wisata, Cibubur pada bulan Maret 2011; (14) bom bunuh diri di Masjid Adz-Zikro Cirebon yang dianggap sebagai masjid dhirar; dan (15) rencana peledakan 100 kg bom pada saat perayaan Paskah di gereja Christ Catedral, Serpong, Provinsi Banten, yang diletakan berdekatan dengan jalur pipa gas yang terhubung dengan pabrik di sekitarnya. Beruntung, aparat keamanan dapat mencegah terjadinya rencana peledakan bom

G e r a k a n i s l a m c i n t a

4

di lokasi tersebut.7 Dari peristiwa tersebut terdapat banyak korban jiwa, korban luka-luka, bahkan tidak sedikit korban serangan tersebut mengalami cacat permanen pada tubuhnya.8 Serangan radikalisme dan terorisme juga bukan hanya melukai perasaan para korban, tetapi juga keluarga korban. Janda-janda baru terlahir, begitu pula anak-anak yatim baru. Korban selamat maupun keluarga korban sangat mungkin mengalami trauma yang berat akibat serangan radikalisme dan terorisme tersebut.

Fenomena radikalisme atas nama agama menjadi renungan dan pertanyaan besar dari berbagai kalangan. Radikalisme9 kerap memicu polemik serta pro-kontra ditengah masyarakat. Masih ada masyarakat yang memandang seolah-olah peristiwa radikalisme atas nama agama adalah kejadian atau kondisi yang sengaja diciptakan dan direkayasa oleh pihak-pihak tertentu. Namun disisi lain banyak pula masyarakat termasuk kalangan milenial yang merasa galau, resah dan bertanya-tanya mengapa gerakan radikal, ekstrim dan teroris berbasis keagamaan kian

7 Dhyah Madya Ruth SN, Terorisme: Kapankah Usai? Rekomendasi dan Catatan Kritis untuk UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (Jakarta: Lazuardi Birru, 2011), h. 6-7.

8 Sarlito Wirawan Sarwono, Terorisme di Indonesia dalam Tinjauan Psikologi (Ciputat: Alvabet, 2012), h. 140.

9 Penelitian Lazuardi Birru dan LSI tahun 2010 memberikan pengertian radikalisme sebagai tindakan dan atau sikap atas paham yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip kehidupan berbangsa yang menjunjung tinggi sikap toleran dan terbuka terhadap sesame warga yang majemuk dari latar belakang primordialnya yang dijamin keberadaannya oleh konstitusi, atau yang bertumpu pada prinsip-prinsip kemanusiaan. Lihat: Dhyah Madya Ruth SN, ed., Memutus Mata Rantai Radikalisme dan Terorisme (Jakarta: Lazuardi Birru, 2010), h. 6.

P e n d a H u l u a n

5

merebak. Menurut Yusuf Qardhawi ada beberapa penyebab dan pembangkit radikalisme, ektrimisme dan terorisme atas nama agama diantaranya adalah lemahnya pandangan terhadap hakikat agama.10 Radikalisme dan terorisme11 merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban yang bertentangan dengan ajaran agama.12 Secara prinsip, agama manapun—termasuk Islam—tidak mengajarkan penggunaan kekerasan sebagai landasan perjuangan.13

10 Yusuf Qardhawi, Islam Jalan Tengah; Menjauhi Sikap Berlebihan dalam Beragama (Bandung: Mizan, 2017). h. 62.

11 Azyumardi Azra, dalam bukunya berjudul Pergolakan Politik Islam, menjelaskan terkait akar sejarah radikalisme di dalam Islam. Menurutunya gerakan kaum Khawarij dianggap sebagai akar prinsip-prinsip radikal dan ekstrim klasik di dalam Islam. Mereka mempunyai semboyan “la h{ukmah illa Allah” yang dipahami dari surat al-Maidah ayat 44. Selengkapnya: Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam (Bandung: Mizan, 1999), h. 112-113.

12 A.M. Fatwa, Menghadirkan Moderatisme Melawan Terorisme (Jakarta: Mizan Publika 2006), h. 7.

13 Dalam doktrin Kristen, Yesus secara tegas menyuarakan dan memproklamirkan di dalam ajarannya yaitu menebarkan cinta-kasih dan kedamaian. Sebagaimana yang terekam dalam perjanjian baru “...kasihilah sesamamu manusia, seperti diri mu sendiri...” (Matius 5: 44). Dalam ayat lain dikatakan “Saudara-saudaraku yang kekasih, marilah kita saling mengasihi, sebab kasih itu berasal dari Allah: dan setiap orang yang mengasihi, lahir dari Allah dan mengenal Allah. Barang siapa yang tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih”. (Yohanes 4: 7-8). Lebih lanjut, di dalam tradisi Buddhisme terdapat doktrin Dana yaitu memberi, sifat kedermawanan yang menginginkan kesejahteraan semua makhluk. Sila yaitu aturan-aturan moral dan disiplin. Ksanti yaitu menerima dengan sabar. Menerima penderitaan hidup sebagaimana adanya. Jalan yang diri sejati adalah menerima, memaafkan dan sikap toleransi. Prajna yaitu kebijaksanaan (wisdom) dan kebebasan (freedom). Lihat: Matius Ali, Filsafat Timur: Sebuah Pengantar Hinduisme dan Buddhisme (Jakarta: Sanggar Luxor, 2013), h. 138-139.

G e r a k a n i s l a m c i n t a

6

Agama sejatinya harus dialami sebagai jalan dan penjamin keselamatan, cinta, dan perdamaian, bukan justru menjadi alasan bagi kehancuran dan kemalangan umat manusia. Karena agama, manusia saling mencinta. Tetapi atas nama agama pula, manusia bisa saling membunuh dan menghancurkan. Kenyataan bahwa agama sebagai fenomena kemanusiaan universal. Tak dapat dipungkiri, agama meresap ke semua aspek kehidupan.14 Upaya untuk menguraikan secara intelektual peran agama dalam menjustifikasi perdamaian dan nirkekerasan menjadi lebih menantang.15 Agama dikatakan memiliki kekuatan paling dahsyat dan berpengaruh di muka bumi ini tak terkecuali bagi kalangan milenial. Sepanjang sejarah, gagasan dan komitmen keagamaan telah mengilhami setiap individu dan kaum beriman menanggalkan semua kepentingan pribadi yang sempit, hanya demi tercapainya nilai dan kebenaran yang lebih tinggi. Fakta sejarah menunjukkan bahwa cinta kasih, pengorbanan diri, dan pengabdian kepada orang lain seringkali berakar begitu mendalam pada pandangan dunia keagamaan. Pada saat yang sama, sejarah

14 Berbagai peristiwa dunia belakangan ini diwarnai oleh kekerasan yang dilakukan oleh kelompok agama tertentu. Islamic State di Timur Tengah, Boko Haram dan Lord’s Resistance Army di Afrika, ekstremis Budha dan Hindu di Myanmar dan India. Ini memunculkan pandangan populer bahwa agama adalah sumber kekerasan dan bertanggung jawab atas rentetan terorisme yang kian kerap terjadi. Lihat: Karen Armstrong, Fields of Blood-Mengurai Sejarah Hubungan Agama dan Kekerasan (Mizan, Jakarta: 2016), h. 516.

15 Chaiwat Satha Anand, “Barangsiapa Memelihara Kehidupan…” Esai-essai tentang Nirkekerasan dan Kewajiban Islam (Jakarta: Pusad, 2015), h. 198.

P e n d a H u l u a n

7

dengan jelas menunjukkan bahwa agama seringkali dikaitkan dengan contoh terburuk perilaku manusia.16

Persoalan agama—yang demikian kompleks—telah banyak dikaji dan diteliti oleh para ahli, dengan menggunakan beragam pendekatan dan metodologi, baik yang bersifat teologis normatif17 maupun yang bersifat antropologis-empirik historis18 sehingga telah menghasilkan beragam perspektif

16 “Religion is arguably the most powerful and pervasive force on earth. Throughout history religious ideas and commitments have inspired individuals and communities of faith to transcend narrow self-interest in pursuit of higher values and truths. The record of history shows that noble acts of love, self-sacrifice, andservice to others are frequently rooted in deeply held religious worldviews. At the same time, history clearly shows that religion has often been linked directly to the worst examples of human behavior.” Selengkapnya: Charless Kimball, When Religion Become Evil, (Harper Collins e-Book), h. 1.

17 Pendekatan teologis normatif, karena sifatnya yang partikularistik dan menuntut komitmen dan dedikasi individu terhadap agamanya, cenderung akan melahirkan kesimpulan yang bersifat eksklusif dan sering intoleran terhadap agama lain, sehingga oleh para pengamat studi agama, pendekatan ini dianggap kurang kondusif dalam mengantarkan pemeluk agama tertentu dalam melihat rumah tangga pemeluk agama lain secara bersahabat sejuk dan ramah. Lihat: M. Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas? (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 29-30.

18 Pendekatan antopologis empirik historis, disamping dinamika dan jasanya yang sedemikian besar dalam memajukan studi agama, tetapi karena sifat keilmuannya yang empiris historis, acapkali telah jauh melewati batas kewenangannya. Teori-teori tentang agama yang muncul dari pendekatan sosiologis dan psikologis misalnya, mengarah pada perspektif yang bersifat projeksionis, yakni suatu cara telaah yang melihat normativistiknya dan tercabut dari nuansa keahliannya. Seyyed Hossein Nasr, merupakan salah seorang pemikir Muslim yang menolak pendekatan empiric historis terhadap realitas keberagamaan manusia. Lihat—Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and The Sacred (Lahore: Suhall Academy, 1988): h. 75-95. Lihat juga: Nasr, Filsafat Perennial: Perspektif Alternatif untuk Studi Agama, Ulumul Quran Vol. II No. 3 (1992): h. 86-95.

G e r a k a n i s l a m c i n t a

8

tentang agama yang sedemikian dinamik, kaya dan—terkadang—menantang. Namun demikian karena sifatnya yang partikularistik reduksionis dan sampai batas telah melampaui batas kewenangannya, perspektif - perspektif tersebut telah melahirkan berbagai macam bentuk ketidakpuasan, sehingga dalam perjalanan-nya para ahli berusaha mewujudkan pendekatan lain dalam studi agama. Pendekatan ini kemudian dikenal dengan istilah fenomenologi.19

Dalam fenomenologi agama, sebagaimana terungkap oleh Rudolph Otto20 disebutkan ada dua situasi pertemuan

19 Aplikasi pendekatan fenomenologi dalam studi agama, dapat dilihat dalam karya Max Scheler (1874-1928), on the Eternal in Man dan Formalism in Ethics and Non Formal Ethics of Values, yang menjelaskan gambaran tentang pendekatan deskriptif dan komparatif dalam fenomenologi sekaligus pernyataanya bahwa fenomenologi bukan disiplin ilmu yang normatif, Rudolf Otto (1869-1937), yang memberikan kontribusi tentang dua metodologi yang saling bergantung dalam fenomenologi yakni pendekatan pengalaman (exsperiential approach) dan pendekatan anti reduksionism. Juga dapat dilihat karya Gerardus van der Leeuw (1890-1950), Phenomenologie der Religion, yang berisi tentang hermeneutika dan verstehen; C. Jouco Bleeker (1898-1983), yang menyatakan bahwa fenomenologi agama merupakan kombinasi sikap kritis dan deskripsi yang akurat dari suatu fenomena religius yang terdiri dari tiga dimensi yakni theoria (esensi keberagamaan), logos (aturan obyektif kitab suci) dan entelecheia (kehidupan keagamaan aktual yang dinamis); Mircea Eliade (1907-1986), yang sedemikian kental menggaris bawahi dalam agama mesti terdapat dimensi sacred-transcend dan profane historical relative serta pada pemikiran Ninian Smart (1927-2001) yang berkonsentrasi pada dua pendekatan dominan dalam fenomenologi agama yakni etnosentris-normatif dan normatif filosofis. Lihat: Douglas Allen, “Phenomenology of Religion”, dalam The Routledge Companion to The Study of Religion, John. R. Hinnells, ed., (London and New York: Routledge, 2005), h. 191-196.

20 Robbin Miney, The Work of Rudolf Otto and Its Relevance to Religious and its Relevance To Religius Education in Britain at The Present Time (Durham University:1993), h. 56—Rudolf Otto adalah seorang teolog Lutheran

P e n d a H u l u a n

9

manusia dengan Tuhannya. Dalam situasi pertama, Tuhan tampil sebagai suatu “misteri yang menggetarkan”(mysterium tremendum). Pada situasi lainnya, Tuhan hadir sebagai misteri yang memesonakan (mysterium fascinans).21 Para ahli seperti Van der Leuw22 memandang Islam dan agama Yahudi sebagai mewakili situasi yang pertama—yaitu mysterium tremendum—dan mekonfirmasi situasi yang kedua—yang didominasi cinta—untuk kekristenan. Namun, para ahli esoterisme Islam (spiritualitas Islam atau tasawuf) seperti Ibn ‘Arabi,23 Annemerie Schimmel,24 melihat Islam sebagai agama yang

Jerman terkemuka, filsuf, dan religius komparatif. Dia dianggap sebagai salah satu ilmuwan agama yang paling berpengaruh pada awal abad ke 20 dan paling dikenal karena konsepnya tentang numinous.

21 Haidar Bagir, Buku Saku Tasawuf (Jakarta: Mizan, 2005), h. 6. 22 Gerardus van der Leeuw adalah seorang sejarawan dan filsuf agama

Belanda. Dia terkenal karena karyanya Religion in Essence and Manifestation: A Study in Phenomenology, sebuah aplikasi fenomenologi filosofis terhadap agama.

23 Lewat puisi karya Ibn ‘Arabi, menegaskannya sebagai penganut paham keagamaan yang berlandaskan cinta; “Kalbuku kini sanggup memuat segala wujud: ia padang rumput bagi rusa-rusa, dan biara bagi rahib-rahib Nasrani. Kuil bagi berhala-berhala, [Ka’bah para peziarah], [lembaran Taurat], dan kitab al-Qur’an, Ku ikuti agama Cinta; jalan apa yang diambil unta-unta cinta, maka itulah agamaku dan imanku. Lihat: Muhammad Hasan Khalil, Islam dan Keselamatan Pemeluk Agama Lain (Bandung: Mizan, 2016), h.100.

24 Mendiang Annamerie Schimmel, dalam salah satu di Universitas Harvard di tahun 2002, pernah menyatakan bahwa Islam biasanya diperlakukan dengan agak buruk dan sembrono, karena sebagian sejarawan agama dan mayoritas orang pada umumnya lebih melihatnya sebagai agama primitive yang melulu berhubungan dengan hukum. Namun mengutip pendekatan beberapa ahli fenomenologi agama, antara lain Gerard van Der Leeuw, Schimmel menunjukkan bahwa sesungguhnya Islam adalah sebuah agama yang tak kurang berorientasikan Cinta-Kasih. Selengkapnya: Haidar Bagir, Islam Tuhan, Islam Manusia, Agama dan

G e r a k a n i s l a m c i n t a

10

tak kurang mempromosikan orientasi cinta—eros25oriented—dalam hubungan antara manusia dan Tuhannya. Bahkan dalam hal ini, Islam justru lebih memujikan orientasi cinta daripada orientasi yang didominasi rasa takut.26

Dalam kajian khazanah pemikiran Islam klasik, sesungguhnya juga telah mengenal kedua situasi pertemuan manusia dengan Tuhannya ini. Yakni, aspek kedahsyatan yang menggetarkan (Jalal) dan aspek keindahan yang memesonakan (Jamal).27 Namun—khususnya selama abad-abad modernistik belakangan ini—kaum muslim seperti lupa pada sisi esoterik agama mereka yang melihat hubungan manusia Tuhan sebagai kecintaan makhluk kepada keindahan—memesonakan—Sang Khalik. Maka jadilah Islam, seperti diungkapkan oleh ahli fenomenologi agama itu, sebagai suatu agama yang secara eksoteris melulu berorientasi nomos (hukum) dan kering dari orientasi cinta. Padahal—seperti terungkap oleh Cendekiawan Muslim Haidar Bagir—Tuhannya Islam adalah Tuhan Kasih-Sayang (al-Rahman, al-Rahim) yang menyatakan

Spiritualitas di Zaman Kacau (Jakarta: Mizan, 2017), h. 231.25 Menurut pengertian Yunani, eros artinya adalah “devine madness”,

namun penerjemahannya di dalam agama Yunani adalah dengan praktek prostitusi dalam kuil-kuil mereka, di mana manusia seolah-olah dijadikan alat untuk memancing kegairahan “devine madness” tersebut. Maka makna eros harus dimurnikan, jika dikembalikan ke makna aslinya, yang dalam konteks rohani mengacu kepada suatu pengalaman puncak dari keberadaan kita manusia, yaitu persatuan dengan Tuhan, keinginan yang telah tertanam dalam diri manusia. Selengkapnya: http//www.katalositas.org/eros-philia-agape, diunduh pada 10 Oktober 2017, pukul 12.00 WIB.

26 Haidar Bagir, Buku Saku Tasawuf (Jakarta: Mizan, 2005), h. 7.27 Haidar Bagir, Buku Saku Tasawuf.....h. 7.

P e n d a H u l u a n

11

bahwa Kasih Sayang-Nya meliputi apa saja, dan menundukkan murka-Nya. Nabinya Islam adalah nabi yang disebut Tuhan sebagai berakhlak agung karena cinta dan kasih-sayangnya kepada manusia. Maka, para ahli bahkan menyatakan bahwa sesungguhnya Tuhan menciptakan manusia—karena cinta—hanya agar manusia itu belajar kembali mencintai-Nya. Dan mencintai-Nya, seperti diungkap dalam berbagai ajaran-Nya dan ajaran Nabi-Nya, hanya mungkin diwujudkan ke dalam kecintaan kepada manusia—yang oleh Tuhan sendiri tak kurang disebut sebagai kerabat-Nya.28

Kenyataan belakangan ini, paradigma pemahaman Islam sebagai agama cinta ini seperti tenggelam di bawah hiruk-pikuk radikalisme dan terorisme yang seolah terjadi di mana-mana. Yang lebih mengkhawatirkan, kesemuanya ini ditempatkan di bawah tajuk jihad fi sabilillah.29 Akibatnya, bukan saja citra Islam menjadi jelek dan rusak, di dalam kalangan Islam sendiri muncul kelompok-kelompok yang memiliki aspirasi pemaksaan pendapat dan kehendak, tak jarang dengan menghalalkan kekerasan.30 Gejala seperti ini terasa makin mengkhawatirkan sehubungan dengan adanya kecenderungan

28 Naskah atau teks Pidato Haidar Bagir, dalam pendirian Gerakan Islam Cinta pada 20 Januari 2012 di Kemang Jakarta Selatan bersama lebih dari 40 tokoh lainnya yang berinisiatif mendirikan organisasi bernama Gerakan Islam Cinta (GIC).

29 Laporan Setara Institute pada tahun 2012 mengabarkan bahwa aksi bom Bali dan lain-lain di Indonesia adalah jihad fi sabilillah. Lihat: Ismail Hasani dan Bonar Tigor Naipospos, Dari Radikalisme Menuju Terorisme–Studi Relasi dan Transformasi Organisasi Islam Radikal di Jawa & D.I Yogyakarta (Jakarta: Setara Institute, 2012).

30 Laporan Setara Institute pada tahun 2012.

G e r a k a n i s l a m c i n t a

12

menguatnya kelompok-kelompok radikal yang jika dibiarkan, gejala tersebut akan dapat menjadi ancaman yang serius bagi keutuhan dan kerukunan bangsa. Kenyataannya—sampai dengan sekarang ini—Indonesia tak bebas dari ancaman tersebut.

Agama yang sejatinya memiliki kesan sebagai sumber persatuan, kini seolah berubah menjadi sumber perpecahan dan kalangan milenial—ditengah usianya yang masih rentan—tak luput dari serangan ideologi tersebut. Generasi milenial—yang sekarang ini semakin menjadi perbincangan akrab ditengah masyarakat—dipandang potensial menjadi konektor atau penghubung perdamaian, ikut mengembalikan dan mempromosikan citra Islam sebagai agama cinta. Namun demikian, generasi milenial juga seringkali dianggap kelompok yang sangat rentan terhadap serangan pola pikir dan penyebaran faham radikalisme dan terorisme.31

Secara kuantitatif, generasi milenial merupakan kelompok masyarakat dengan jumlah luar biasa banyak,32 lebih dari

31 Lihat:http://www.antaranews.com/berita/594978/kalangan-muda-rentan-penyebaran-paham-radikal-terorisme di akses pada 21 September 2017, pukul 19.47 WIB.

32 Data yang dirilis PBB menunjukkan bahwa usia remaja merupakan kelompok usia paling banyak oleh hampir semua negara: “according to the State of the World report released in 2003, one-fifth of the world’s population is between the ages of 10 and 19. Country specific data is also vital to understand recent demographics trends. For example, in Kosovo, one-half of the population is aged under 20; in Nothern Ireland, 40% of the population is under 24; 37% in South Africa is under 15 and 19.3% is aged 15-24). In Gaza and the West Bank, over 50% of the population is under 15. And in the Middle East generally, more than 40% of the population is under 15. In Guatemala 20.3% of the population is aged 15-24 and in

P e n d a H u l u a n

13

33 persen penduduk Indonesia adalah penduduk muda yang berusia 15-34 tahun, bahkan untuk daerah perkotaan seperti DKI Jakarta penduduk mudanya bisa mencapai lebih dari 40 persen.33 Persebaran jumlah generasi muda di Pulau Jawa berdasarkan catatan Youth Studies Institute pada tahun 2015 menempati posisi pertama dengan persentase 57,94 persen. Kemudian pada konteks global, jumlah penduduk usia muda di bawah 35 tahun di wilayah ASEAN mencapai sekitar 60 persen.34 Mereka inilah yang kemudian dikenal sebagai generasi milenial atau generasi Y yang disebut-sebut sebagai generasi yang unik dan mahir menggunakan teknologi komunikasi dengan berbagai media.

Perkembangan teknologi digital telah mempengaruhi generasi milenial secara signifikan. Sehingga para milenial dengan mudah dan lancar mencari informasi dari belahan dunia manapun. Generasi milenial mampu menerima berbagai informasi dari banyak sumber, dari kesemuaan itu, yang mengkhawatirkan, tak semua informasi yang disebarkan benar dan tak jarang informasi yang diterima oleh milenial mengandung provokasi radikalisme, terorisme, intoleransi,

Siera Leone 19% is aged 15-25, and the percentage is on the rise.” Lihat: Siobhan, McEvoy-Levy, Youth as Social and Political Agents: Issues in Post-settlement Peace Building. Joan B. Kroc Institute for International Peace Studies, University of Notre Dame (2001), 7-8. Sebagaimana dikutip oleh Suprapto, Prakarsa Perdamaian Pemuda Lintas Iman; Konflik Kekerasan Sosial dan Peacebuilding (Ciputat: Onglam Books, 2017), h. 4.

33 Hasanuddin Ali, Lilik Purwandi, Indonesia 2020: The Urban Middle-Class Millennial (Jakarta: Alvara Research Center, 2016), h. 9.

34 Selengkapnya: http://www.youthstudiesinstitute.co, diakses pada tanggal 5 Februari 2018, pukul 17.15 WIB.

G e r a k a n i s l a m c i n t a

14

dan kebencian. Laporan Direktur Informasi Badan Intelegen Negara (BIN) di penghujung tahun 2016, menyebutkan bahwa saat ini tercatat ada 46 ribu akun Twitter dan 4800 website radikal yang terafiliasi dengan ISIS di Indonesia, dan generasi milenial masih menjadi sasaran utama kelompok teroris. Dari puluhan ribu akun Twitter tersebut, juga dimanfaatkan untuk melakukan perekrutan. Sehingga, meski hanya direkrut melalui media sosial seperti Twitter, seseorang yang sudah terpengaruh ideologi radikalisme dan terorisme itu rela melakukan bom bunuh diri.35 Penelitian Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menyebutkan, benih radikalisme di kalangan milenial Indonesia sampai dalam tahap mengkhawatirkan. Sebanyak 6,12 persen setuju bahwa pengeboman yang dilakukan Amrozi CS karena merupakan perintah agama.36 Generasi milenial sebagaimana kelompok masyarakat yang lain seperti anak-anak dan perempuan merupakan kelompok yang rentan terhadap kekerasan. Generasi milenial kerap menjadi korban dari serangkaian konflik kekerasan, baik kekerasan langsung, budaya, maupun kekerasan struktural. Kenyataan tersebut dicatat oleh Siobhan McEvoy-Levy, sebagaimana dikutip oleh Suprapto:

“Young people (and women) tend to be the shock absorbers of social change and are profoundly affected by the different

35 Wawancara Eksklusif CNN Indonesia dengan Direktur Informasi BIN-RI, Pada tanggal 11 Desember 2016. Lihat: https://youtu.be/QufeVZk2MQs diunduh pada tanggal 22 Oktober 2017, pukul 22.00 WIB.

36 Lihat:http://www.antaranews.com/berita/640511/khofifah-wanti-wanti-penyebaran-radikalisme sasar-pelajar-mahasiswa. Diakses pada tanggal 21 September 2017 pukul 20.12 WIB.

P e n d a H u l u a n

15

forms of violence-direct, cultural and structural (Galtung 1969)- that persist and evolue in the post-accord period.”37

Rentannya kalangan milenial terhadap pengaruh propaganda radikalisme dan terorisme mengatasnamakan agama, telah menjadi perhatian banyak pihak. Jika diperhatikan, banyak faktor yang menyebabkan generasi milenial terseret ke dalam tindakan radikalisme dan terorisme atas nama agama, diantaranya; mulai dari kemiskinan, kurang dipromosikannya ajaran-ajaran agama yang damai, gencarnya infiltrasi kelompok radikal, lemahnya semangat kebangsaan, kurangnya pendidikan kewarganegaraan, kurangnya keteladanan, dan tergerus-nya nilai kearifan lokal oleh arus modernitas negatif. Apapun faktor yang melatarbelakangi mereka, adalah tugas bersama untuk membentengi mereka dari ancaman radikalisme dan terorisme berbasis keagamaan. Generasi milenial sangat berpotensi “mengguncangkan dunia” dengan sesuatu yang produktif, konstruktif, dan transformatif, namun sebaliknya pula dapat sangat destruktif dan anarkis.

Berdasar pada realita di atas, menurut penulis perlu mendapat perhatian dari para pemuka atau tokoh agama Islam agar dapat gencar memberikan penjelasan tentang radikalisme, terorisme, dan jihad menurut Islam termasuk bahaya keikutsertaan generasi muda dalam aktivitas tersebut. Pemuka agama memiliki peran penting dalam mencegah penafsiran-

37 Suprapto, Prakarsa Perdamaian Pemuda Lintas Iman: Konflik, Kekerasan Sosial, dan Peacebuilding (Mataram Medation Center, Jakarta: 2017), h. 28, lihat juga: Siobhan McEvoy-Levy, Children,Youth and Peacebuilding. Critical Issues in Peace and Conflict Studies: Theory, Practice and Pedagogy (2011), h.159-176.

G e r a k a n i s l a m c i n t a

16

penafsiran keagamaan yang dapat mengacu kearah radikalisme dan terorisme. Di atas pundak pemuka agama terletak kewajiban untuk mensosialisakan konsep moderasi yang menghindari sikap ektrim atau berlebihan dalam kedua sisinya, guna menciptakan masyarakat penengah dan adil, atau dalam bahasa al-Quran disebut Ummatan Wasathan (QS 2: 143).38 Menurut penulis, penyelesaian permasalahan radikalisme dan terorisme atas nama agama sudah dalam tahap urgent, harus dipikirkan konsep yang tepat dalam memecahkan masalah-masalah tersebut. Pemecahan permasalahan radikalisme dan terorisme memerlukan pendekatan yang komprehensif dan lintas sektoral. Bukan hanya refresif (hard approach) dari aparat keamanan saja, melainkan harus dilakukan dengan menggunakan cara-cara yang persuasif dan humanis dari seluruh elemen bangsa. Sinergi para tokoh masyarakat, tokoh pendidikan, tokoh agama, organisasi sosial kemasyarakatan, organisasi keagamaan, lembaga pendidikan, lembaga swadaya masyarakat (LSM), media massa dan masyarakat secara umum dalam setiap rencana aksi dan solusi juga sangat diperlukan. Menurut penulis partisipasi masyarakat dalam penyelesaian ini menjadi penting.

Belakangan, muncul insiatif dari para tokoh, cendekiawan muslim, seniman, budayawan, dan penulis Indonesia mendirikan organisasi sosial keagamaan disebut “Gerakan Islam Cinta (GIC)”. Organisasi ini didirikan sebagai respon kalangan muslim moderat terhadap maraknya kasus intoleransi, radikalisme

38 Alwi Shihab, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama (Jakarta: Mizan, 1998), h. 149.

P e n d a H u l u a n

17

dan terorisme mengatasnamakan agama—dalam hal ini agama Islam. Kehadiran Gerakan Islam Cinta disambut positif oleh masyarakat. Gerakan Islam Cinta Jakarta aktif melakukan kegiatan preventif, edukatif dan kreatif bagi masyarakat tak terkecuali kalangan generasi milenial—disebut dengan Generasi Islam Cinta (Gen IC)—dengan topik-topik yang terkait dengan pengembangan orientasi cinta dalam agama Islam.

Berkaitan dengan relasi sosial di masyarakat, keberadaan Gerakan Islam Cinta menempati posisi strategis. Gerakan Islam Cinta aktif mengembangkan kegiatan-kegiatan keislaman yang sejuk dan damai, dalam rangka ikut serta mewujudkan cinta kasih dan kerukunan dalam kehidupan masyarakat. Dalam perspektif sosiologis, kehadiran Gerakan Islam Cinta ini merupakan hal positif. Kehadiran organisasi ini—meskipun masih jauh dari konsepsi ideal—menyumbang integrasi sosial khususnya dikalangan generasi milenial. Ditingkat internal, keberadaan Gerakan Islam Cinta dapat menjadi pengikat (bonding) semua anggota yang berlatar belakang sama. Sedangkan di tingkat eksternal, organisasi ini dapat menjembatani (bridging) atau menghubungkan masyarakat yang berbeda-beda.39

39 Putnam menyebut adanya dua jenis ikatan kewargaan; bonding (mengikat) dan bridging (menjembatani). Atau menurut Varshney ikatan intrakomunal dan ikatan interkomunal. Penjelasan lebih lanjut tentang bonding dan bridging, lihat; Roger V. Patulny dan Gunnar Lind Haase Swendsen, Exploring the Social Capital Grid: Bonding, Bridging, Qualitative, Quantitative, International Journal of Sociology and Social Capital and Poverty. Dalam Sunder Ramaswamy, ed., Social Capital and Economic Development: Well-being in Developing Countries (Cheltenham, UK: Edward Elgar, 2002), h. 133.

19

A. Definisi dan Karakteristik Generasi Milenial

Istilah generasi milenial40 tengah menjadi perbincangan masyarakat dunia, tak terkecuali masyarakat Indonesia. Generasi milenial lahir sebagai penanda millennium baru, yaitu millennia 21.41 Di Indonesia, generasi milenial disebut-sebut sebagai kelompok demografi potensial, berpengaruh dan menjadi aset paling berharga bagi masa depan Indonesia.42 Pada tahun 2020, generasi milenial Indonesia berada pada usia produktif yaitu antara 20 - 40 tahun, maka dapat dipastikan

40 Generasi milenial—sebagaimana telah disebutkan dalam bab sebelum-nya—dapat disebut generasi muda, pemuda, kaum muda dan kawula muda digunakan secara bergantian dalam naskah untuk merujuk pada pengertian yang sama sebagai padanan dari milenials (youth).

41 Destiana Rahmawati, Millennials and I-Generation Life (Jogjakarta, Laksana: 2018), h. 19.

42 Lebih dari 33% penduduk Indonesia tahun 2015 adalah penduduk muda yang berusia 15–34 tahun, bahkan untuk daerah perkotaaan seperti DKI Jakarta penduduk mudanya bisa mencapai lebih dari 40%. Mereka inilah yang kemudian dikenal sebagai generasi milenials. Lihat: Hasanudin Ali & Lilik Purwandi, Indonesia 2020: The Urban Middle-Class Millennials (Jakarta: PT. Alvara Strategi Indonesia, 2014), h. 9.

Potret Generasi Milenial

G e r a k a n i s l a m c i n t a

20

bahwa generasi milenial menjadi tulang punggung dan penentu arah Indonesia diberbagai bidang43—jika berkualitas, populasi milenial akan menjadi bonus demografi (demographic dividend),44 tetapi jika sebaliknya (tidak berkualitas), kaum milenial justru akan menjadi bencana demografi (demographic disaster)45 bagi Indonesia.

Adalah dua pakar sejarawan asal Amerika Serikat, William Strauss46 dan Neil Howe47 menciptakan istilah milenial dalam

43 Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk Indonesia usia 20 tahun hingga 40 tahun di tahun 2020 diduga berjumlah 83 juta jiwa atau 34 % dari total penduduk Indonesia yang mencapai 271 juta jiwa. Proporsi tersebut lebih besar dari proporsi generasi X yang sebesar 53 juta jiwa (20%) maupun generasi baby boomer yang hanya tinggal 35 juta jiwa (13%) saja. Lihat selengkapnya; http//www.youthstudiesinstitute.co diakses pada tanggal 23 September 2017.

44 Bonus demografi adalah ketika jumlah penduduk usia produktif lebih besar dibanding dengan usia non-produktif. Penduduk usia produktif adalah penduduk yang mampu bekerja dan menghasilkan uang. Menurut BPS, penduduk usia produktif berada pada rentang usia 15-64 tahun, sedangkan penduduk nonproduktif merupakan penduduk yang menjadi beban dan harus ditangung oleh penduduk usia produktif karena mereka belum mampu atau sudah tidak mampu lagi bekerja dan menghasilkan uang. Lihat: Hasanuddin Ali, dkk, Milenial Nusantara, Pahami Karakternya, Rebut Simpatinya (Jakarta, Gramedia:2018), h. 28.

45 Muhammad Nuh, Menyemai Kreator Peradaban; Renungan tentang Pendidikan, Agama, dan Budaya (Jakarta: Zaman, 2013), h. 16.

46 William Strauss (1947-2007) adalah seorang penulis, sejarawan, dramawan, direktur teater, dan dosen Amerika. Ia dikenal lewat karya tulisnya dengan Neil Howe pada generasi sosial dan untuk teori generasi Strauss Howe. Selengkapnya: https://en.wikipedia.org /wiki/William_Straus diakses pada tanggal 27 Oktober 2017, pukul 18.35 WIB.

47 Neil Howe (lahir 21 Oktober 1951) adalah seorang penulis, sejarawan dan konsultan Amerika. Terkenal lewat karyanya dengan William Strauss pada generasi sosial mengenai siklus pembangkitan teori dalam sejarah Amerika. Howe saat ini menjabat sebagai managing director demografi di Hedgeye dan dia adalah presiden Saeculum Research

P o T R e T g e n e R a s i M i l e n i a l

21

bukunya berjudul Generations: The History of America’s Future,1584 to 2069.48Generasi milenial atau generasi Y juga akrab disebut generation me atau echo boomers adalah mereka yang lahir pada 1980-2000, generasi milenial tergolong usia muda—mereka dapat disebut generasi muda, pemuda, kaum muda dan kawula muda—yang dicirikan sebagai generasi yang unik (unique generation) dan dengan karakteristik yang berbeda dengan generasi lain. Keunikan generasi milenial dibanding generasi sebelumnya, telah disebutkan oleh Pew Research Center, bahwa yang menonjol dari generasi milenial—dibanding dengan generasi sebelumnya—adalah soal penggunaan teknologi, milenial banyak dipengaruhi oleh munculnya fenomena teknologi berupa smartphone atau handphone meluasnya jaringan internet dan munculnya jejaring media sosial (social media)—melalui internet, para milenial berusaha untuk selalu terkoneksi di manapun. Eksistensi dan kelas sosial ikut ditentukan dari jumlah follower dan like, latah hashtag di media sosial, bersama dengan semua hal kekinian lain yang membuat generasi X tak sanggup mengejarnya—ketiga hal tersebut, tak dapat dipungkiri telah banyak mempengaruhi pola pikir dan perilaku para milenial.49

and Life Course Associates, perusahaan konsultan yang didirikannya dengan Strauss untuk menerapkan teori penggabungan Strauss-Howe. Dia juga merupakan associate senior di Pusat Inisiatif Penuaan Global Strategis dan Internasional, dan penasihat senior untuk Koalisi Concord. Selengkapnya, Lihat: https://en.wikipedia.org /wiki/Neil_ diakses pada tanggal 15 November 2017, pukul 15.00 WIB.

48 Inilah Penjelasan Milenials, lihat: https://www.youtube.com-/ watch?v diunduh pada tanggal 17 Oktober 2017, Pukul 16. 39 WIB.

49 Lihat:http://www.republika.co.id/berita/koran/inovasi/16/12/26/

G e r a k a n i s l a m c i n t a

22

Selain teknologi, yang menjadi trend dikalangan milenial adalah budaya musik. Menurut laporan Listen Up: Music & the Multicultural Consumer, generasi milenial juga lebih mungkin menghadiri konser dan festival musik, masing-masing dari mereka bahkan rela menghabiskan 50 dolar untuk musik setiap tahunnya. Tidak hanya aspek ekonomi, generasi milenial juga sering memberikan dukungan nyata terhadap musisi idolanya, hampir 48 persen dari mereka akan “menyukai” postingan Facebook dari para musisi dan band dan 43 persen dari mereka juga akan membagi postingan melalui Facebook, Twitter, email dan media digital lainnya. Sementara 37 persen akan memberikan komentar di Facebook, 37 persen akan membagikan playlist musik, 31 persen me-repost dan 26 persen me-retweet musik dan 53 persen dari popularitas milenial di bawah usia 35 tahun akan menggunakan media sosial dan teknologi untuk berhubungan dengan artis-artis mereka. Dalam survei yang dilakukan oleh Ypulse.com terhadap 1.000 konsumen usia 13-32 tahun, hampir 76 persen mengatakan bahwa mereka mendengarkan musik beberapa kali sehari, 80 persen dari mereka mengatakan musik adalah bagian penting dalam hidup mereka, sementara 70 persen dari mereka mengatakan tidak bisa berhenti mendengarkan musik selama satu minggu. Sebanyak 60 persen dari mereka juga dilaporkan mendengarkan musik setiap hari, 84 persen mengatakan mereka hanya mendengarkan salah satu genre

ois64613-mengenal-generasi-millennial diunduh pada 17 Oktober 2017, Pukul 17.00 WIB.

P o T R e T g e n e R a s i M i l e n i a l

23

yang spesifik, dan 82 persen dari mereka mengatakan tidak hanya mendengarkan satu genre.50

Teknologi informasi modern sekarang ini benar-benar “berbicara” secara dekat dalam kehidupan sehari-hari milenial. Namun, sayangnya selama ini masih banyak yang berpandangan milenial bahkan di cap “arogan” dan tidak pandai bersosialisasi di alam nyata akibat teknologi—misalnya, sibuk berkutik dengan smartphone di setiap kesempatan—sekalipun kebiasaan tersebut tak berlaku selalu negatif. Sebagaimana diungkap oleh Raegan Hedley, seorang milenial yang tinggal di Winnipeg Canada, berpendapat bahwa persepsi seperti itu tidak sepenuhnya benar. Menurutnya, milenial bukannya tidak mau bersosialisasi, tetapi terkadang adanya pekerjaan yang menuntut mereka untuk mengguna-kan smartphone agar tetap bisa aktif bekerja dimanapun. Dan pernyataan tersebut semakin kuat dengan yang diungkapkan pakar teknologi, Darren Mak. Menurutnya, banyak para milenial memiliki etika, tidak di semua tempat dan kondisi mereka selalu menggunakan teknologi informasi seperti smartphone. Bagi milenial, teknologi informasi dibutuhkan untuk tetap terhubung dengan pekerjaan dan keluarga jika mereka berada jauh dari rumah atau kantor.

Selain itu, keberadaan smartphone sebagai teknologi informasi modern sangat memudahkan para milenial dalam membangun karir. Namun demikian, tak hanya soal karir atau komunikasi, hadirnya teknologi yang semakin canggih

50 www.tirto.id/https://tirto.id/memahami-selera-musik-milenial- artikel ini diakses pada tanggal 25 November 2017, pukul 19.00 WIB.

G e r a k a n i s l a m c i n t a

24

memudahkan gaya hidup milenial dalam lingkup lain.51 Penggunaan internet di kalangan milenial jauh lebih tinggi dibanding dengan generasi X. Komposisi addicted user pada generasi milenial lebih besar jika dibanding dengan generasi X. Apabila melihat trend penggunaan internet menurut usia, maka terlihat makin muda usia makin tinggi konsumsi internetnya. Dengan demikian, internet sudah menjadi kebutuhan pokok bagi generasi milenial untuk komunikasi dan aktualisasi diri.52 Mereka sangat mudah dalam mencari informasi, dan hal ini sangat berpengaruh terhadap pola pikir yang penuh ide-ide visioner dan inovatif untuk melahirkan generasi yang memiliki pengetahuan dan penguasaan IPTEK.53

B. Karakter Khas Generasi Milenial

Generasi milenial memiliki karakteristik yang khas.54 Setidaknya, ada tiga karakteristik yang menonjol pada generasi milenial, diantaranya; Pertama, adalah kreatif (creative). Generasi milenial adalah generasi yang biasa berpikir out of the box, kaya akan ide dan gagasan serta mampu mengkomunikasikan ide dan gagasan itu dengan cemerlang. Kedua, adalah koneksi/jaringan (connected). Generasi milenial

51 www.tirto.id-https://tirto.id/memahami-selera-musik-milenial- artikel ini diakses pada tanggal 25 November 2017, pukul 19.00 WIB.

52 www.tirto.id-https://tirto.id/memahami-selera-musik-milenial- artikel ini diakses pada tanggal 25 November 2017, pukul 19.00 WIB.

53 Destiana Rahmawati, Millennials and I-Generation Life (Jogjakarta, Laksana:2018), h. 15.

54 Destiana Rahmawati, Millennials and I-Generation Life....,h. 20.

P o T R e T g e n e R a s i M i l e n i a l

25

adalah pribadi-pribadi yang pandai bersosialisasi terutama dalam komunitas yang mereka ikuti, para milenial juga aktif berselancar di media sosial dan internet. Generasi Milenial sangat fasih menggunakan Facebook, Twitter, Fath, Instagram dan yang lainnya. Media sosial (social media) dan internet sudah menjadi kebutuhan para milenial. Ketiga, adalah kepercayaan diri (confidence). Generasi milenial memiliki kepercayaan diri, berani mengemukakan pendapat dan tidak sungkan-sungkan berdebat didepan publik. Karakter tersebut terkonfirmasi jika kita melihat generasi milenial tak sungkan-sungkan berdebat melalui media sosial. Gaya belajar milenial adalah berbasis indra—misalnya visual, audio dan lainnya, yang berhubungan dengan kepribadian dan bakat. Kehidupan sehari-hari milenial yang sudah akrab dengan teknologi menjadikan cara belajar mereka lebih interaktif. Diantaranya melalui kerjasama tim (team work), pengalaman (experiences), kolaborasi (colaboration) dan kelompok berpikir, mandiri, serta terstruktur. Generasi milenial merupakan kelompok yang selalu ingin tahu, agresif, dan penuh percaya diri. Selain itu, milenial juga diidentikan dengan musltitasking sehingga mereka dapat tumbuh dengan kemampuan yang lebih baik untuk memproses beberapa aliran informasi pada waktu yang sama.55 Apabila dibandingkan antar generasi—dapat dilihat pada Tabel—memberikan gambaran tentang perbedaan antara generasi milenial dengan generasi lainnya56—dalam bagian ini,

55 Destiana Rahmawati, Millennials....., h. 21-22.56 Irving Luntungan, dkk, Strategi Pengelolaan Generasi Y di Industri

Perbankan, Jurnal Manajemen Teknologi, Vol.13, No. 2, 2014, h. 221.

G e r a k a n i s l a m c i n t a

26

penulis juga menambahkan generasi Z (gen Z), yaitu generasi digital yang lahir setelah generasi milenial, sebagai berikut:

Veterans Baby Boomers

Gen-X Gen Y Gen Z

Periode 1922-1945 1946-1964 1956-1979 1980-2000 1995-2010

Peris-tiwa Utama

Great deres-sion; 2nd world

war

Perang dingin,

kemakmu-ran

Hak Asasi Manusia,

per-sa-maan

hak wanita

Iraq dan teluk; jatuhn-ya komunis,

revolusi internet

Teknologi modern yang

semakin canggih

Work-place-traits

Strong work ethic, respect,

otoritas

Orien-tasi tim, optimis,

loyal, hard working

Practical, pesimis, worklife, balance,

teknis, in-dependen, beradap-

tasi

Keper-cayaan diri,

multi-tasking, inde-penden

Multitask-ing, lebih mandiri,

indivi-dualis

Gaya Kepemi-mpinan

Military, chain of

command

Influ-en-cing,

mento-ring

Practi-cal, goal oriented

Flexible, lack of social grace

Toleran, respect,

non-verbal

Motivasi Peng-har-gaan atas

penga-laman, ketekunan, kesetiaan

Ke-mam-puan,

bonus, insentif,

kontri-busi

Time-off as incentive

Higher position, mon-

etary gains, lower need for social approval

Prioritas mengem-

bangkan diri

Learning style Classroom, on the job training

Class-room in-

Technol-ogy focus, mentors

Creative thinking,

visual

Fullmusicin-stan, to the

point

tabel. Perbandingan karakter dan peristiwa berpengaruh antar generasi

Namun demikian, citra milenial tidak selalu baik. Rhenald Kasali yang dalam banyak tulisannya seringkali menjelaskan

P o T R e T g e n e R a s i M i l e n i a l

27

tentang milenial.57 Ia memberikan pandangan berbeda dan menarik tentang milenial.58 Menurutnya, generasi milenial dijuluki sebagai generasi stroberi (strawberry generation) karena “mudah busuk” layaknya stroberi.59 Karakter milenial tidak tahan banting menghadapi tekanan sosial ataupun pekerjaan. Generasi milenial—pada umumnya—lahir dari para orangtua yang jauh lebih sejahtera dari generasi-generasi sebelumnya. Rhenald Kasali menggambarkan generasi ini sebagai populasi yang manja, mudah marah, gampang berputus asa, lantas menyerah sebelum mencapai apa yang diinginkan.

57 Rhenald adalah seorang dosen. Sebelumnnya, ia juga sempat bekerja sebagai staf pemasaran dan wartawan di Kompas Gramedia. Karier mengajarnya dimulai di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Selain itu, ia menjadi dosen terbang di Program Magister Manajemen Universitas Sam Ratulangi, Universitas Tanjung Pura, Universitas Udayana, Universitas Lampung, dan lainnya. Pada 4 Juli 2009, Rhenald dinobatkan menjadi guru besar Ilmu Manajemen di Universitas Indonesia. Saat pengukuhannya sebagai guru besar, Rhenald membawakan orasi ilmiah berjudul “Keluar dari Krisis: Membangun Kekuatan Baru Melalui Core Belief dan Tata Nilai.” Selain menjadi pengajar dan konsultan manajemen, pada tahun 2007, Rhenald juga membangun Yayasan Rumah Perubahan. Yayasan ini berdiri dengan tujuan untuk menjadikan Indonesia lebih baik melalui misi perubahan. Ide awal membangun yayasan ini mucul akibat buku “Change!”, buku tulisannya sendiri, yang diterbitkan pada tahun 2005. Aktivitas lainnya, ia juga pernah terlibat sebagai anggota tim panitia seleksi di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), menjadi Kepala Badan Pengembangan Ekspor Nasional (BPEN), anggota Dewan Juri Penghargaan Export Pemerintah Indonesia (Primaniyarta), dan juga tim juri pemilihan Puteri Indonesia. Lihat: https://www.viva.co.id/siapa/read/271-rhenald-kasali- diakses pada tanggal 25 Oktober 2017, pukul 19.00 WIB.

58 Litbang Kompas, Harian Kompas, terbit pada hari Sabtu, 2 September 2017. h. 25.

59 Litbang Kompas, Harian Kompas..... h. 25.

G e r a k a n i s l a m c i n t a

28

Karakter tersebut terbentuk karena proteksi berlebihan seiring pertumbuhan kemakmuran orangtua milenial.

Generasi milenial dibesarkan menyerupai prekondisi yang dibutuhkan untuk menghasilkan buah stroberi, yakni lingkungan yang lebih terproteksi dan terawat dibandingkan dengan tanaman buah lainnya. Oleh karenanya, Rhenald Kasali menegaskan akan pentingnya penjelasan yang utuh dan bimbingan terhadap milenial—kepada milenial harus diingatkan bahwa hidup itu pada dasarnya adalah tantangan, untuk menghadapinya, dibutuhkan manusia-manusia yang terlatih secara mental, bukan malah menghindari tantangan, sehingga butuh daya juang untuk menghadapi tantangan, bukan sekadar ditatap dan diratapi—harus diberi tantangan dan biasa menghadapi kegagalan. Mereka merupakan generasi muda yang harus mampu menjadi populasi mayoritas yang penuh gagasan kreatif dan tahan banting sehingga tidak menjadi generasi yang “lembek” dan gampang putus asa.60 Dengan demikian, penulis merasa sangat penting untuk memahami dan memperkuat peran para milenial melalui peningkatan kapasitas dan kualitas mereka sebagai sosok yang berpengetahuan (knowledge), berketerampilan (creativity) dan berintegritas (integrity)—sebagai upaya menyiapkan mereka agar menjadi generasi yang menguntungkan yaitu sebagai bonus demografi (demographic dividend). Terlebih daya saing dunia yang semakin tinggi—pusat pertaruhannya ada pada kualitas sumber daya manusia. Dalam konteks Indonesia, tumpuan dan prioritas peningkatan kualitas sumber daya

60 Litbang Kompas, Harian Kompas..... h. 25.

P o T R e T g e n e R a s i M i l e n i a l

29

manusia itu terletak pada sumber daya muda61—yaitu generasi milenial.

C. Tantangan dan Peluang Generasi Milenial dalam Keberagamaan

Setiap zaman memiliki tantangan masing-masing, dan pada saat yang sama cara penyelesaiannya pun berbeda. Dengan demikian, generasi milenial dituntut memiliki prinsip berupa moralitas, wawasan pengetahuan, optimis, konsisten dengan pendiriannya dan keberanian untuk memperjuangkan kedamaian. Di zaman yang didominasi oleh teknologi dan sains ini, tantangannya adalah bagaimana para milenial dapat menggunakan kemajuan sains dan teknologi ini dengan akhlak.62 Ada ungkapan populer dari penyair kenamaan Mesir, Ahmad Syauqi:

“Eksistensi masyarakat ditentukan oleh tegaknya moral, bila moral runtuh, kepunahan mereka tiba.”63

61 Yudi Latif, Memudakan Kembali Indonesia; Reinventing Indonesia; Menemukan Kembali Masa Depan Bangsa (Jakarta: Mizan, 2008), h. 174.

62 Merujuk pada asal usul kata akhlak, diketahui bahwa ia terambil dari Bahasa Arab yaitu akhlaq. Kata ini merupakan bentuk jamak dari kata khuluq yang pada mulanya bermakna ukuran, latihan dan kebiasaan. Dari makna pertama (ukuran) lahir kata makhluk, yakni ciptaan yang mempunyai ukuran; serta dari makna kedua (latihan) dan ketiga (kebiasaan) lahir sesuatu—positif maupun negatif. Batu yang licin dinamai khalqa’ karena ia berkali-kali disentuh oleh sesuatu, juga kata khalaq yang berarti usang karena telah berkali-kali lagi terbiasa digunakan. Selengkapnya, lihat: M. Quraish Shihab, Yang Hilang dari Kita Akhlak (Jakarta: Lentera Hati, 2016), h. 3.

63 M. Quraish Shihab, Yang Hilang dari Kita Akhlak......h. 18.

G e r a k a n i s l a m c i n t a

30

Kata akhlak, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan dengan budi pekerti, kelakuan. Sedangkan moral diartikannya sebagai ajaran tentang baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dan sebagainya. Akhlak juga diartikannya dengan kondisi mental yang membuat orang tetap berani, bersemangat, bergairah, berdisiplin dan sebagainya, sebagaimana ia juga dipahami dalam arti isi hati atau keadaan perasaan, sebagaimana terungkap dalam perbuatan. Sedang etika diartikannya dengan ilmu tentang apa yang baik apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak).64 Para pakar mengaitkan kebutuhan manusia pada akhlak luhur sebagai keniscayaan dari kedudukan manusia sebagai makhluk sosial. Nilai-nilai akhlak di samping merupakan hiasan dan kesempurnaan pribadi seseorang, nilai-nilai itu juga diperlukan oleh masyarakat demi mencapai kesempurnaan masyarakat. Semakin luhur akhlak seseorang, maka semakin mantab kebahagiaannya, demikian juga dengan masyarakat, semakin kompak anggota-anggotanya secara bersama-sama melaksanakan nilai-nilai akhlak yang mereka sepakati, maka semakin bahagia masyarakat itu.65

Melihat zaman sains dan teknologi yang kian canggih, sejatinya, Islam menyambut baik segala perkembangan yang terjadi di zaman milenial ini. Sebagai agama yang humanis dan universal, Islam tertantang untuk bisa merespons problem-problem sosial. Islam bukan penghambat perkembangan, ia

64 M. Quraish Shihab, Yang Hilang dari Kita Akhlak (Jakarta: Lentera Hati, 2016), h. 3.

65 . Quraish Shihab, Yang Hilang dari Kita Akhlak.....,h. 3.

P o T R e T g e n e R a s i M i l e n i a l

31

harus kompatibel dengan zaman, bahkan sebagai pemandu moral etika perkem-bangan zaman.66 Menurut Quraish Shihab—dalam bidang sains dan teknologi—bukan hanya menyambut baik, tetapi Islam mendukung dan menganjurkan perubahan dalam bidang tersebut merupakan penyempurnaan dari apa yang sebelumnya ada.67 Perubahan-perubahan tersebut adalah hasil dari kemajauan ilmu pengetahuan dan teknologi. Islam sangat menganjurkan pengembangan ilmu dan teknologi, bahkan membuka diri untuk menerima yang baik dalam kedua bidang tersebut dari siapa pun—walau non-muslim—dan kapanpun.68

Kebutuhan dan aktivitas yang serba cepat menuntut para milenial untuk tidak lepas dari perkembangan teknologi.69 Teknologi menawarkan banyak kemudahan dalam menjalankan aktivitas sehari-hari termasuk dalam pencarian informasi konten-konten Islam yang kemudian bisa mempengaruhi pemikiran dan perilaku kaum milenial. Dengan kecanggihan teknologi yang dimiliki para milenial sekarang ini, seperti yang diungkap oleh Karen Armstrong70, yaitu dapat

66 Nasaruddin Umar, Deradikalisasi Pemahaman Al-Quran dan Hadis (Jakarta: Quanta, 2014), h. 383.

67 M. Quraish Shihab, Logika Agama (Jakarta: Lentera Hati, 2017), h. 26.68 M. Quraish Shihab, Logika Agama.....h. 26.69 Lihat;https://www.acerid.com/2017/11/pengaruh-teknologi-terhadap-

milenial di akses pada tanggal 25 November 2017, pukul 17.00 WIB. 70 Pada Februari 2008, Karen Armstrong mendapat penghargaan dari TED

(Technology, Entertainment, Design). Di antara penerima penghargaan itu adalah mantan Presiden AS Bill Clinton, Ilmuan E.O Wilson dan Koki Inggris Jamie Oliver. Dalam acara penyerahan penghargaan itu, Karen menyebutkan satu harapan agar TED membantunya menyebarkan Charter

G e r a k a n i s l a m c i n t a

32

membangun komunikasi global yang di dalamnya semua orang dapat hidup bersama dalam sikap saling menghormati. Seperti yang disebutkan dalam kaidah emas: “Jangan perlakukan orang lain dengan cara yang tidak Anda inginkan untuk diri Anda sendiri”—dalam bentuk positif: “Selalu perlakukan orang lain sebagaimana yang Anda inginkan untuk diri Anda sendiri.”71 Oleh karenanya, di tengah derasnya arus informasi sekarang ini, hendaknya tidak membuat generasi milenial mudah terprovokasi oleh berita-berita hoax, tidak mudah mengkafirkan, dan tidak juga bangga dengan kekerasan, dari sinilah pentingnya pemeliharaan semangat tabayyun dalam diri milenial. Istilah tabayyun (check and recheck) cukup populer dalam masyarakat. Dewasa ini, check and recheck dibutuhkan untuk mengkonfirmasi kebenaran sebuah berita. Al-Quran melukiskan:

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatan kamu itu.” (QS. al-Hujurat 49: 6).

Fakta menarik diungkap oleh Deklarator Gerakan Islam Cinta Mochtar Pabottingi bahwa fenomena meningkatnya

for Compassion (Piagam Belas Kasih) yang bertujuan mengembalikan belas kasih sebagi inti kehidupan religious dan moral. Catatan muka, Compassion; 12 Langkah Menuju Hidup Berbelas Kasih, (Jakarta: Mizan, 2012).

71 Karen Armstrong, dalam prakata Harapan untuk Sebuah Dunia yang Lebih Baik, berjudul; Compassion; 12 Langkah Menuju Hidup Berbelas Kasih (Jakarta: Mizan, 2012), h. 10.

P o T R e T g e n e R a s i M i l e n i a l

33

arus informasi palsu atau hoax meresahkan banyak orang—apalagi kelompok milenial. Hoax merajalela karena kemiskinan membaca. Kekurangan bacaan akhirnya menganggap setiap kalimat yang diterima adalah kebenaran. Tidak memeriksa lebih, apalagi kalau itu dari kelompok yang sama. Orang yang tingkat literasinya baik tidak akan langsung mengiyakan sebuah informasi sebab, mereka mempunyai kebiasaan untuk membaca utuh, bukan hanya penggalan demi penggalan, dalam menyikapi sebuah permasalahan, pola penyelesainnya juga akan lebih komprehensif.72 Maka masyarakat utamanya generasi muda dapat bersama-sama memerangi hoax dan harus mulai terbiasa membangun tradisi tabayyun.

Dalam hal keagamaan, generasi milenial berpeluang untuk terus mengembangkan Islam moderat, yaitu paham keagamaan yang sesungguhnya dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia. Dalam wacana keberagamaan saat ini istilah moderat adalah kata yang menghipnotis. Islam moderat , misalnya, dimaknai sebagai Islam yang anti-kekerasan dan anti-terorisme. Islam moderat identik dengan Islam yang bersahabat, tidak ektrem kanan dan tidak ekstrem kiri.73 Menurut Deklarator Gerakan Islam Cinta Azyumardi Azra dan Din Syamsuddin sebagaimana dikutip oleh Ahmad Najib Burhani mengatakan bahwa istilah “Islam moderat” memiliki padanan dengan istilah bahasa Arab ummatan wasathan atau

72 Laporan Gerakan Islam Cinta pada kegiatan Peacetival (Peace Festival) Makassar, 6-12 Februari 2017.

73 Ahmad Najib Burhani, Muhammadiyah Berkemajuan (Bandung: Mizan, 2016), h. 82.

G e r a k a n i s l a m c i n t a

34

al-din al-wasath (QS. 2:13) yang berarti “golongan atau agama tengah”, tidak ekstrem. Bagi Ali Syariati, pembaru Islam di Iran, dan Buya Hamka, tokoh muhammadiyah, al-din al-wasath berarti Islam berada ditengah antara esoterisme Kristiani dan eksoterisme Yahudi.74

Lebih lanjut, Najib menjelaskan bahwa dalam konteks percaturan global saat ini, dan juga konteks lokal Indonesia, menjadi Muslim moderat barangkali menjadi pilihan yang pas dan “aman”. Dalam konteks ini, Najib menggarisbawahi bahwa wasath atau moderat mesti dimaknai sebagai center atau heart, agama yang menjadi pusat dan jantung peradaban.75 Islam moderat bisa menjadi solusi bagi negara multikultural seperti Indonesia. Jika perbedaan dapat dikelola dengan baik maka akan menjadi kekuatan besar bangsa ini, karena inti dari wasathiyyah Islam adalah memanusiakan dan memuliakan manusia.

Cendekiawan Muslim Dawam Rahardjo yang juga peduli terhadap perkembangan dan kemajuan generasi muda, memberikan solusi agar generasi masa depan memiliki sikap dan perilaku beragama lebih teduh dan ramah, menurutnya diperlukan pembaruan cara keberagamaan baru di masa sekarang dan mendatang, diantaranya; pertama, agama tidak lagi menitikberatkan iman atau akidah, melainkan perilaku atau moral (Akhlaq al-Karimah). Kedua, komunikasi antar penganut agama tidak perlu disertai dengan klaim eksklusif kebenaran, melainkan koeksistensi kebenaran atau kebenaran

74 Ahmad Najib Burhani, Muhammadiyah Berkemajuan.....h. 82.75 Ahmad Najib Burhani, Muhammadiyah Berkemajuan.....h. 83.

P o T R e T g e n e R a s i M i l e n i a l

35

yang plural. Ketiga, dakwah agama jangan menekankan kuantitas pengikut, melainkan kualitas keberagamaan dan pembinaan komunitas. Keempat, dalam persaingan antar agama prinsip “tujuan menghalalkan cara” harus ditinggalkan. Tujuan yang benar harus dicapai dengan cara yang benar pula. Kelima, pelaksanaan ajaran agama tidak memerlukan bantuan kekuasaan yang memaksa dalam hal negara.76 Jika agama masih ingin memiliki masa depan, perubahan cara keberagamaan di atas perlu dipertimbangkan serius. Jika tidak, ramalan Sam Haris, yaitu berakhirnya iman, perlu diperhatikan secara serius. Tetapi, menurut Sam Haris sendiri, agama formal yang melembaga sekarang, memang tidak memiliki masa depan. Dan jika melihat Eropa sekarang, agama formal yang melembaga akan mengalami transformasi besar (great transformation) menjadi seperti yang diramalkan oleh Sapdo Palon Noyo Genggong, yaitu agama budi atau agama moral atau meminjam istilah Hans Kung, seorang pastor Katolik Jerman, etika global (global ethics). Agama seperti itu mengimplikasikan makna agama tanpa iman kepada Tuhan (religion without faith) atau agama tanpa Tuhan (religion without God). Disini, indikator religiusitas bukan lagi iman kepada Tuhan, atau ketaatan beribadah, melainkan moralitas atau perilaku dalam berkomunikasi dengan sesama manusia dan alam. Orang yang berkawan dengan alam atau hidup ramah dan damai umpamanya, dapat disebut religious.77

76 Dawam Rahardjo, Merayakan Kemajemukan Kebebasan dan Kebangsaan (Jakarta: Kencana, 2010), h. 378.

77 Dawam Rahardjo, Merayakan Kemajemukan.....h. 378

G e r a k a n i s l a m c i n t a

36

Dalam perspektif filsuf muslim Jerman, F. Schuon, dan filsuf Seyyed Hossein Nasr, agama masa depan adalah agama perennial. Agama perennial lahir jika agama-agama bertemu pada tingkat esensial atau hakikat. Artinya, syariat tidak lagi merupakan inti agama seperti sekarang ini. Dalam istilah para sufi muslim, terlahir kesatuan agama-agama (Wahdah al-Adyan). Dalam praktik sufi, agama adalah proses transendensi mengatasi agama-agama formal dalam upaya memahami jati diri. Apabila seseorang telah mengenal dirinya, ia akan bertemu dengan Tuhan (man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu).78 Dalam pengertian agama seperti itu, orang tidak perlu mengklaim kebenaran. Agama juga tidak perlu didakwahkan, apalagi dengan menggunakan pedang. Dengan perkataan lain, agama tidak memerlukan institusi negara karena tidak perlu perlindungan dari ancaman. Dalam pertemuan agama itu tidak perlu ada persaingan, apalagi perjuangan antar-agama. Agama-agama telah mengalami perdamaian (Dar al-Salam) atau dalam bahasa Kristen manusia telah memasuki Kerajaan Tuhan yang aman dan damai. Dalam pengertian Islam, agama-agama telah terislamkan. Dalam keadaan seperti ini, agama tidak lagi bisa dimanfaatkan atau dimanipulasikan untuk kepentingan individu dan kelompok. Dalam perspektif seperti itu, agama sepertinya akan mengalami transformasi menjadi spiritualisme.79

78 Dawam Rahardjo, Merayakan Kemajemukan..... h. 379.79 Dawam Rahardjo, Merayakan Kemajemukan.....h. 379

P o T R e T g e n e R a s i M i l e n i a l

37

Hal lain yang perlu dilakukan oleh para milenial—bahkan inilah yang utama dalam hal keagamaan—adalah bagaimana para milenial dapat menghadirkan agama, kembali sesuai dengan tujuan utamanya (Maqasid al-Syari’ah). Terkait tentang Maqasid al-Syari’ah tidak terlepas pada pembahasan teori al-Maslahah. Teori al-Maslahah yang menjadi inti dari Maqasid al-Syari’ah ini salah satunya diusung oleh Abu Ishaq as-Syathibi80 Menurut Komaruddin Hidayat, dalam wacana keislaman dikenal lima prinsip pokok kehadiran agama, yaitu untuk menghormati dan melindungi kebutuhan pranata nilai dan spiritual (Hifdzu al-Din), hak hidup (Hifdzu al-Nafs), hak properti (Hifdzu al-Mal), kehormatan atau martabat (Hifdzu al-A’radh) dan mengatur autentitas keturunan (Hifdzu al-Nasab). Prinsip-prinsip inilah yang kemudian dideklarasikan sebagai The Universal Declaration of Human Right pada 1948 oleh PBB. Bila dicermati sesungguhnya substansi dan esensi ajaran agama

80 Abu Ishaq as-Syathibi ialah salah seorang faqih yang gagasannya menyuguhkan sumbangan berharga bagi perumusan konsepsi hukum di kalangan kaum modernis Islam. dua karya utamanya dalam bidang ini al-Muwafaqat dan al-I’tisam, merupakan bukti historis yang menggambarkan keterlibatannya dalam perumusan metodologi hukum Islam yang berpijak di atas tuntutan perubahan sosial. Namun patut disayangkan pergumulan pemikiran Abu Ishaq as-Syathibi tidak banyak diketahui. Abu Ishaq as-Syathibi berupaya merekontruksi metodologi hukum Islam berkepedulian sosial sebagai jembatan kesenjangan antara kejumudan sejarah pemikiran hukum kontemporer dengan periode-periode pertengahan dari masa taklid. Kalau boleh disebut sebagai kontribusi sebagaimana kesimpulan Khalid Ma’ud, kontribusi Abu Ishaq as-Syathibi yang paling besar bukan pada kemapanan metodologi fiqihnya, melainkan pada keberaniannya menerobos status qou para fuqaha menghadapi problem-problem baru dan mendobrak sikap simplitis. Lihat: Nasaruddin Umar, Deradikalisasi Pemahaman al-Quran dan Hadis (Jakarta: Quanta, 2014), h.50.

G e r a k a n i s l a m c i n t a

38

memberikan kemaslahatan kepada kemanusiaan (al-Maslahah al-Mursalah).81 Akhirnya, apa pun, secara psikologis, agama harus dihadirkan sebagai pelita, penerang bagi kehidupan, sehingga setiap pemeluk agama memperoleh penerangan, pencerahan, dan ketenangan dalam kehidupannya.82

81 Komaruddin Hidayat, Agama Punya Seribu Nyawa (Jakarta: Noura Books, 2012), h. 27.

82 Komaruddin Hidayat, Agama Punya Seribu Nyawa….., h. 27.

39

Generasi milenial kian fenomenal. Keberadaan milenial menjadi unsur penentu yang pada akhirnya akan

menciptakan wajah Islam di masa depan—Islam kini memiliki pemeluk tidak kurang dari satu miliar yang tersebar di berbagai belahan dunia, mereka bermukim sedikitnya di negara bangsa yang merentang mulai dari Maroko kawasan Samudera Atlantik, di sebelah barat hingga Indonesia di kawasan Samudra Fasifik di sebelah timur, dari Asia Tengah dan Himalaya di utara hingga Afrika Selatan dan Samudra Hindia.83 Ini merupakan capaian luar biasa, selama 15 abad dan salah satu pencapainnya melalui kegigihan dan sikap toleran bagi para pelakunya.84 Islam dipeluk berdasarkan sikap persuasif, menarik simpati, tidak memaksa, memberi kebebasan berbuat dan berkehendak termasuk berkeyakinan.

83 Nurkholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1994), h. 197.

84 Nurkholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban….., 197.

Corak IdeologiKeagamaan Generasi

Milenial

G e r a k a n i s l a m c i n t a

40

Secara umum kaum muda hidup di tengah-tengah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berpengaruh sangat mendalam, cepat dan mendasar. Hal ini dapat mempermudah kehidupan sehari-hari yang dirasakan secara langsung oleh mereka. Kaum muda ini, di satu sisi, hidup di tengah-tengah pengaruh filsafat kontemporer yang di antaranya ada yang mendiskreditkan metafisika dan etika serta menyatakan bahwa setiap ucapan yang tidak bernilai. Dan, di sisi lain, mereka merasakan bahwa agama tidak mampu memberikan pengaruh langsung dalam kehidupan mereka, serta apa yang dikemukakannya tidak dapat dibuktikan oleh fakta.85

Fase milenial (usia muda) merupakan masa pencarian makna hidup dan jati diri, penulis menyebutkan pada bab sebelumnya, bahwa dalam proses pencarian jati diri itu generasi milenial seringkali dihadapkan dalam keadaan “labil”86—sehingga, mereka seringkali rentan terhadap pengaruh apapun termasuk pengaruh propaganda radikalisme dan terorisme atas nama agama. Generasi milenial bak pisau bermata dua. Ia berpotensi mengguncangkan dunia dengan sesuatu yang produktif, konstruktif, dan transformatif; namun sebaliknya pula dapat sangat destruktif dan anarkis.87 Di zaman digital

85 M.Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Jakarta: Mizan, 2013), h. 591-592.

86 Labil adalah kondisi di saat seseorang mudah berubah keadaan perasaan dan kejiwaannya, dari sedih berubah menjadi marah, sering marah-marah dikarenakan sesuatu yang tidak jelas, dan sikap-sikap lainnya. Sifat labil ini biasanya dimiliki oleh anak yang tergolong muda. Lihat: https://id.wikipedia.org/wiki/Labil diakses pada tanggal 3 November 2017, pukul 17.25 WIB.

87 Wawancara dengan Zulfan Taufik, Gen Islam Cinta Jakarta dan Ketua Youth Studies Institute (Lembaga Studi Kepemudaan).

K e a g a M a a n g e n e R a s i M i l e n i a l

41

ini, agama oleh milenial cenderung difahami sebagai hal yang sensitif namun pada saat yang sama diyakini sebagai hal yang dapat mendorong mereka menjadi pribadi yang progresif.88 Pandangan keagamaan kaum muda khususnya muslim di Indonesia dalam penelitian Center for The Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menunjukkan semakin kuatnya pandangan-pandangan tekstual-literal seiring dengan tren umum yang terjadi di Indonesia, meminjam istilah Martin Van Bruinessen, lebih cenderung konservatif.89 Dinamika politik nasional dan gencarnya pelbagai isu di media sosial juga turut memberikan banyak pengaruh bagi kaum muda dalam mempersepsikan keislaman generasi milenial. Mereka (generasi milenial) terpelajar yang melakukan proses pencarian jati diri dan perluasan wawasan senantiasa bersikap hati-hati. Mereka lebih memilih merujuk ajaran yang bersifat tekstual sebagai pegangan daripada melakukan reinterpretasi dan kontekstualisasi. Meskipun untuk itu, mereka kerap menunujukkan sikap yang mendua, dalam arti kadang terlihat terbuka dan pada saat yang sama menunjukkan literalisme yang kuat.90

Generasi milenial merupakan bagian dari kaum muda (youth) yang sedang berhadapan dengan kompetisi yang semakin ketat untuk mendapatkan pekerjaan.

88 Wawancara dengan Dian Makruf, Gen Islam Cinta Jakarta dan Pegiat Studi Gender dan Kepemudaan.

89 Chaider S. Bamualim, ed., Kaum Muda Muslim Milenial: Konservatisme, Hibridasi Identitas, dan Tantangan Radikalisme (Ciputat: CRCS, 2018), h. 79.

90 Chaider S. Bamualim, ed., Kaum Muda Muslim Milenial: Konservatisme, Hibridasi Identitas....., h. 80.

G e r a k a n i s l a m c i n t a

42

Ketidaktersediaan lapangan kerja secara memadai menyebabkan tingginya angka pengangguran di kalangan kaum muda dan hal ini membuat banyak diantara mereka frustasi.91 Karena ketidakjelasan dan ketidakmapanan status, sebagian kaum muda terdorong untuk mengklaim “ruang” dalam proses interkasi sosial yang sangat kompleks dengan mengibarkan politik identitas. Dalam situasi serba tidak pasti, generasi milenial harus berhadapan langsung dengan ekspansi ideologi Islamis (islamisme) yang datang menawarkan harapan dan mimpi tentang perubahan. Dibangun diatas narasi yang menekankan pentingnya semangat kembali kepada dasar-dasar fundamental Islam dan keteladanan generasi awal, ia berusaha membuat jarak dan demarkasi antara Islam dengan dunia terbuka (open society) yang digambarkan penuh dosa-dosa bid’ah, syirik dan kekafiran. Kegagalan melakukan hal ini dipandang sebagai hal utama yang bertanggung jawab di balik keterpurukan umat Islam berhadapan dengan dominasi politik, ekonomi, dan budaya sekuler Barat. Khilafah didengungkan sebagai kunci untuk mengembalikan kejayaan Islam. Meskipun bersifat utopis, ideologi Islamis ternyata memiliki daya tarik, terutama karena kemampuannya menawarkan pembacaan yang ‘koheren’ dan ‘solutif ’ atas berbagai persoalan kekinian serta mengartikulasi rasa ketidakadilan dan membingkai semangat perlawanan terhadap kemapanan.92

91 Noorhaidi Hasan, ed., Literatur Keislaman Generasi Milenial: Transmisi, Aprosiasi, dan Kontestasi (Jogjakarta: Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Press, 2018), h. 11.

92 Noorhaidi Hasan, ed., Literatur Keislaman Generasi Milenial: Transmisi, Aprosiasi, dan Kontestas.....,h. 11

K e a g a M a a n g e n e R a s i M i l e n i a l

43

Pengaruh ilmu pengetahuan dan teknologi informasi modern yang sedemikian besar berbeda dengan pengembangan agama yang mengunakan bahasa “asing” atau kurang dikenal oleh kebanyakan kaum muda. Selain itu, usaha pengajaran agama tidak dapat didasarkan pada penginderaan, tetapi melalui pemikiran atau keyakinan dengan menggunakan contoh-contoh, penerangan, kiasan, atau cerita-cerita yang bersifat ajaib. Dari sini muncul semacam jurang pemisah antara penguasaan atau—paling tidak—kekaguman kaum muda kepada ilmu pengetahuan yang selalu mempertajam pikiran demi mencapai pembuktian dan kepada agama yang diwakili para ulama.93 Dalam pandangan Quraish Shihab, jurang pemisah itu sebenarnya tidak perlu ada bila—satu pihak—ulama bersedia meninjau kembali cara atau bahasa serta ide dan penafsiran-penafsiran terdahulu yang tidak relevan lagi dengan perkembangan ilmu pengetahuan, dan—di lain pihak—kaum muda menyadari bahwa sistem ilmu, khususnya bersifat empiris, rasional, dan kualitatif, adalah sistem analisis dan analisis kembali dalam lapangan deskriptif.94

Sementara ini berlangsung, Quraish Shihab menghimbau harus segera difahami bahwa kehidupan tidak berhenti hanya pada deskripsi atau pemahaman semata-mata, tetapi harus melampauinya hingga sampai ke batas jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan “mengapa ia demikian?”—suatu pertanyaan yang bersifat interpretatif, filosofis, bahkan

93 M.Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Jakarta: Mizan, 2013), h. 592.

94 M.Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran;....., h. 592.

G e r a k a n i s l a m c i n t a

44

metafisis, yang kesemuanya hanya dapat di jawab oleh agama. Tetapi, apakah orang-orang yang mewarisi Kitab Suci bersedia dan mampu untuk menjawabnya? Kalau tidak, maka terjadilah apa yang diuraikan oleh Abdul Kadir Audah dalam bukunya yang menjelaskan keadaan masyarakat Islam secara umum, Al-Islam bayn Jahi Abna’ihi wa ‘Ajzi ‘Ulama’ihi (Islam berada di tengah-tengah kebodohan putra-putrinya dan kelumpuhan para ulamanya).95 Generasi muda, sebagaimana dikatakan Yusuf Qardhawi adalah belahan jiwa, harapan bangsa ini, dan masa depan umat.96 Perlu untuk masuk ke dalam relung terdalam generasi milenial melalui pintu cinta dan kasih sayang. Bukan melalui pintu tuduhan dan ketakaburan terhadap mereka. Di tengah zaman milenial yang berkelimpahan (sains dan teknologi) dan kegalauan ini, para milenial harus berupaya meluruskan pandangan dan pikiran mereka, sehingga mereka mampu mengetahui agama secara mendalam dan memahaminya berdasarkan keterangan yang nyata.

Keberkelimpahan dan kemajuan sains dan teknologi, menurut Pendiri Gerakan Islam Cinta, Haidar Bagir, yang pada awalnya diharapkan dapat menjadi penopang kebahagiaan hidup umat—terlebih kalangan milenial yang memang mendominasi dan piawai dalam penggunaannya—justru malah meninggalkan kehampaan psikologis dan spiritual karena hanya menegaskan kenyataan bahwa—setelah semua berkelimpahan itu tercapai—kebahagiaan hidup tak dapat

95 M.Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran;....., h. 593. 96 Yusuf Qardhawi, Islam Jalan Tengah Menjauhi Sikap Berlebihan dalam

Beragama (Jakarta: Mizan, 2017), h. 147.

K e a g a M a a n g e n e R a s i M i l e n i a l

45

ditemukan di situ.97 Dan generasi milenial yang senyatanya adalah pengguna keberlimpahan dan kemajuan sains dan teknologi tersebut seringkali merasakan kegalauan dan keterpurukan.

Kekuatan arus informasi yang semakin deras—termasuk derasnya pemikiran dan paham agama yang ekstrim dan radikal—yang disebut Haidar Bagir sebagai information spill over (peluberan informasi) akibat digdayanya teknologi informasi yang merupakan pilar era informasi dan globalisasi, menyebabkan para milenial mengalami kebingungan dan keapatisan terhadap agama. Agama yang seharusnya bisa menenangkan sekaligus mencerahkan kehidupan milenial, namun kenyataannya—ditampilkan oleh sebagian orang yang terkesan mendominasi di zaman ini—justru meresahkan dan menjenuhkan.

Oleh karenanya, sudah menjadi tugas agamawan dan pemikir keagamaan moderat untuk menawarkan suatu paham atau penafsiran keagamaan yang mampu menjadi tandingan pemahaman sempit kaum fundamentalis dan radikal (khususnya kepada milenial, sebagai generasi penerus).98 Haidar Bagir juga mengungkapkan bahwa sejenis pemahaman keagamaan yang bersifat mistik (sufistik) kiranya merupakan alternatif yang paling efektif terlebih ditengah situasi dan kondisi sekarang ini. Sebagaimana telah diketahui, bahwa

97 Haidar Bagir, Islam Tuhan Islam Manusia; Agama dan Spiritualitas di Zaman Kacau (Jakarta: Mizan, 2017), h. 43.

98 Haidar Bagir, Islam Tuhan Islam Manusia; Agama dan Spiritualitas di Zaman Kaca,.....,h. 45.

G e r a k a n i s l a m c i n t a

46

Islam memiliki sejarah panjang di Indonesia. Intelektual muda, Hasanuddin Ali berpandangan bahwa corak Islam saat ini sedikit banyak dipengaruhi oleh Era Reformasi. Euforia reformasi memberikan kebebasan bagi aliran pemikiran Islam untuk masuk ke Indonesia. Era reformasi telah membuka keran bagi aliran Islam, khususnya aliran Islam dari Timur Tengah.99 Setelah keran reformasi dibuka, warna Islam yang sebelumnya toleran sedikit demi sedikit mulai berubah. Hal ini tidak lepas dari peran aliran Islam transnasional, khususnya Wahabi. Aliran keagamaan Wahabi cenderung kaku. Mereka tidak segan untuk membid’ahkan, bahkan mengkafirkan, sesama muslim. Pembacaan ulama Wahabi terhadap teks-teks Islam cenderung bersifat tekstual, bukan secara kontekstual seperti yang diajarkan oleh ulama di lingkungan NU dan Muhammadiyah, serta ormas-ormas Islam yang sudah lama berdiri di Indonesia seperti Al-Irsyad dan Nahdlatul Wathan. Dengan demikian, kehadiran Wahabi di Indonesia tentunya sedikit memberikan warna bagi pemikiran Islam di masyarakat. Kelompok tersebut cukup banyak menyasar generasi milenial terdidik. Cukup banyak kampus yang kemudian mengikuti pemikiran mereka. Biasanya yang terpengaruh adalah mereka yang tidak dibekali cukup pemahaman agama dan yang sedang bersemangat belajar agama100—dalam konteks ini, adalah agama Islam.

99 Hasanuddin Ali, dkk, Milenial Nusantara; Pahami Karakternya, Rebut Simpatinya (Jakarta: Gramedia, 2017), h. 175.

100 Hasanuddin Ali, dkk, Milenial Nusantara; Pahami Karakternya, Rebut Simpatinya......, h.176.

K e a g a M a a n g e n e R a s i M i l e n i a l

47

A. Generasi Milenial Menjadi Sasaran Utama Kelompok Radikal

Kasus kekerasan atas nama agama masih terus membidik milenial. Mereka menjadi sasaran utama kelompok radikal, ekstrimis dan teroris. Zuly Qodir dalam penelitiannya menginformasikan, elemen masyarakat yang paling potensial, dijadikan sasaran utama oleh kelompok radikal adalah golongan melenial (kaum muda) yang berumur enam belas sampai sembilan belas tahun, setingkat SMA dan mahasiswa baru di Indonesia. Sekolah dan kampus merupakan lumbung potensial sebagai pintu masuk penyebaran gerakan tersebut apalagi jika didukung oleh modal sosial yang memadai dapat menumbuhkan prilaku radikalisme.101

Senada dengan laporan di atas, Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LAKIP), memberikan gambaran yang memperkuat dugaan radikalisme, ektrimisme, hingga terorisme membidik generasi milenial. Menurutnya, ketika ditanyakan kepada mereka di 100 sekolah di Jabodetabek, dengan 590 guru, tentang apakah bersedia terlibat dalam aksi kekerasan?. Hasilnya sebanyak 48,0 % menjawab mendukung. Ketika ditanya apakah Noordin M. Top itu dapat dibenarkan? Sebanyak 14,2% siswa menyatakan dapat membenarkan. Ketika ditanyakan dengan petanyaan apakah setuju dengan pemberlakuan syariat Islam, sebanyak 84,8% menjawab setuju. Sementara ketika ditanya apakah pancasila masih

101 Muhammad Abdullah Darraz, ed., Reformulasi Ajaran Jihad: Jihad Khilafa dan Terorisme (Bandung: Mizan, 2017), h. 316.

G e r a k a n i s l a m c i n t a

48

relevan sebagai dasar negara, sebanyak 26 % menjawab tidak relevan.102

Keterangan di atas semakin menunjukan bahwa bidikan gerakan kekerasan yang mengatasnamakan agama gencar menyasar kaum muda. Dalam pendahuluan, sebagaimana berkaitan dengan hal di atas, penulis jelaskan bahwa Laporan Direktur Informasi Badan Intelegen Negara (BIN) di penghujung tahun 2016, menyebutkan bahwa saat ini tercatat ada 46 ribu akun Twitter dan 4800 website radikal yang terafiliasi dengan ISIS di Indonesia, dan generasi milenial masih menjadi sasaran utama kelompok teroris. Dari puluhan ribu akun Twitter tersebut, juga dimanfaat-kan untuk melakukan perekrutan. Sehingga, meski hanya direkrut melalui media sosial seperti Twitter, seseorang yang sudah terpengaruh ideologi radikalisme dan terorisme itu rela melakukan bom bunuh diri.103 Yang terkini, penelitian Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) menyebutkan, benih radikalisme di kalangan milenial Indonesia dalam tahap mengkhawatirkan. Sebanyak 6,12 persen setuju bahwa pengeboman yang dilakukan Amrozi CS karena merupakan perintah agama.104

102 Ibid.,h.318. Lihat juga: Bambang Pranowo dkk. Laporan Penelitian Kehidupan Keagamaan di Jabodetabek, LAKIP, 2011.

103 Wawancara Eksklusif CNN Indonesia dengan Direktur Informasi (BIN), pada tanggal 11 Desember 2016. Lihat selengapnya: https://youtu.be/QufeVZk2MQs, diakses pada tanggal 22 Oktober 2017, pukul 23.00 WIB.

104 Lihat:http://www.antaranews.com/berita/640511/khofifah-wanti-wanti-penyebaran-radikalisme sasar-pelajar-mahasiswa. Diunduh pada tanggal 21 September 2017, pukul 20.12 WIB.

K e a g a M a a n g e n e R a s i M i l e n i a l

49

Kondisi seperti ini patut menjadi perhatian bersama, semua pihak hendaknya ikut serta membendung gerakan kekerasan mengatasnamakan agama. Jika hal ini dibiarkan, maka kedepan masa depan negeri ini pun akan suram. Para sosiolog sepakat bahwa; youth is agent of social change.105 Ada beberapa faktor yang memungkinkan munculnya radikalisme dan kemudian mengarah pada tindakan terorisme di kalangan kaum muda dalam beragama; faktor tersebut adalah; pertama, soal mental health. Michael McCullough dan Timothy Smith (2003), dalam Religion and Health: Depressive Symptoms and Mortality as Case Studies, melaporkan106 bahwa kesehatan mental yang ada pada diri kaum muda sebagai posisi yang sangat rentan, sehingga kaum muda gampang mengalami guncangan jiwa (depression) yang disebabkan oleh berbagai faktor dalam hidup. Guncangan jiwa (depression) muncul karena kekagetan akan datangnya kegagalan hidup, kebahagiaan yang tidak dapat diraih, dan kebosanan.

Kedua, faktor ekonomi yang timpang. Kesenjangan ekonomi yang selama ini akan dengan mudah menciptakan kemarahan sosial. Hal ini diungkap oleh Mohammad Zoelfan Tadjoeddin, yang dikutip oleh Dian Yanuardy, ia mengatakan:

“…routine violence may be a consequence of growth and globalization…it tends to occur spontaneously and sporadically

105 Muhammad Abdullah Darraz, ed., Reformulasi Ajaran Jihad: Jihad Khilafa dan Terorisme (Bandung: Mizan, 2017), h. 365.

106 Michael McCullough dan Timothy Smith (2003), dalam Religion and Health: Depressive Symptoms and Mortality as Case Studies,2003. Sebagaimana dikutip oleh Muhammad Abdullah Darraz, ed. Reformulasi Ajaran Jihad: Jihad Khilafa dan Terorisme (Bandung: Mizan, 2017), h. 325.

G e r a k a n i s l a m c i n t a

50

without being led by any organized gang. It also does not lead to captute of any one’s possession…In general, routine violence can be a manifestation of frustration by the lower socio-economic segment of society rather than the greed of those involved”.107

Tajoeddin melihat kekerasan rutin yang umumnya dilakukan kalangan anak muda ini merupakan konsekuensi dari pertumbuhan dan globalisasi.108 Dalam bahasa kaum sosiolog, kesenjangan ekonomi akan menciptakan social greavences (kegalauan dan kecemburuan sosial) atas masyarakat yang mendapatkan kelimpahan ekonomi, apalagi jika kelimpahan ekonomi didapatkan dengan cara yang tidak transparan, dengan cara korupsi, memalak uang negara, melakukan penyuapan, dan melakukan penggelapan pajak misalnya. Maka social greavences akan dengan gampang muncul dan dan kemudian terorgani-sasikan dalam masyarakat. Penjelasan sosiologis tentang keterbelakangan ekonomi akan memunculkan protes kelas sosial antara kaum “kere” dengan kaum kaya raya atau berjuis. Tradisi semacam ini telah lama dikenal dalam kajian sosiologi ketika Kal Marx mengintrodusir adanya perang kelas

107 “...Kekerasan rutin dapat menjadi konsekuensi dari pertumbuhan dan globalisasi ... hal itu cenderung terjadi secara spontan dan sporadis tanpa dipimpin oleh kelompok terorganisir manapun. Hal ini juga tidak mengarah pada penangkapan kepemilikan seseorang ... Secara umum, Kekerasan rutin bisa menjadi manifestasi frustrasi oleh segmen sosial ekonomi masyarakat yang lebih rendah daripada keserakahan orang-orang yang terlibat.” Lihat: Dian Yanuardy, How “Routine” is Routine Violence? Memahami Proses-proses yang Kompleks di Indonesia (Jakarta: Institut Titian Perdamaian, 2011), h. 61-62.

108 Suprapto, Prakarsa Perdamaian Pemuda Lintas Iman; Konflik Kekerasan Sosial dan Peacebuilding (Ciputat: Onglam Books, 2017), h. 24.

K e a g a M a a n g e n e R a s i M i l e n i a l

51

sosial dalam masyarakat industri yang menguasai sumber-sumber ekonomi, sementara kelas kere (rakyat jelata) hanya menjadi buruh pabrik yang dieksploitasi tenaganya, sementara pendapatannya tidak mendukung untuk memerintah kebutuhan hidupnya. Oleh sebab itu, perang kelas sosial sebenarnya menjadi bagian dari perang religious economics yang selama ini dikenal dalam tradisi kapitalistik yang diduga keras menimbulkan ketidakadilan ekonomi. Jika ketidakadilan ini terus berlangsung dan menimpa sebagian masyarakat kecil, dan mereka mentransformasikan pada generasi muda, maka dengan mudah akan menggerakkan untuk melakukan perlawanan atas ketidakadilan ekonomi yang sistematik.

Ketiga, kondisi sosial politik, yang berpengaruh pada adanya perubahan perilaku dan bentuk organisasi keagamaan. Peter Beyyer, sosiolog kenamaan abad ini memberikan penjelasan bahwa sekarang dan mendatang karena perubahan kebijakan politik dunia., sebagai bagian dari politik globalisasi akan menyembulkan perubahan-perubahan dalam pola (bentuk) dari sikap keagamaan dan pengorganisasian keagamaan. Petter Beyyer melaporkan109 bahwa ke depan akan terjadi persemaian (proliferation of religious organization in society) yang berhubungan keyakinan dan perilaku keagamaan masyarakat karena politik dunia berubah drastis. Perubahan-perubahan masyarakat akan berpengaruh pada sikap dan pandangan keagamaan seseorang dan kelompok dalam

109 Petter Beyyer, dalam social Form of Religion in Contemporary Society, 2003 sebagaimana dikutip oleh Muhammad Abdullah Darraz, ed., Reformulasi Ajaran Jihad: Jihad Khilafa dan Terorisme (Bandung: Mizan, 2017), h. 328.

G e r a k a n i s l a m c i n t a

52

menyikapi globalisasi yang kadang tidak menguntungkan kelompok yang lebih besar, tetapi menguntungkan kelompok kecil sebagai pemilik modal besar dan pembuat kebijakan global. Keempat, Religius commitment, dari pemahaman keagamaan. Di tengah banyaknya persoalan serius yang menimpa bangsa ini, soal kepastian-kepastian orang dan kelompok dalam hidup menjadi tuntunan yang nyaris selalu hadir. Agama tidak bisa dilihat dari perspektif antara profan dan sakral. Tidak ada yang profan dalam agama. Karena itu, dukungan pemahaman atas yang sakral selalu mendapat pengikut yang cukup pesat di tengah masyarakat yang galau (greavences). Terdapat banyak alasan mengapa orang menghendaki kepastian-kepastian dalam hidup.

B. Model Ideologi Radikalisme Atas Nama Agama

Sejumlah aksi radikalisme dan terorisme atas nama agama yang terjadi belakangan ini menegaskan bahwa dunia belum aman dari ancaman bahaya tersebut. Dunia dibuat seolah mencekam dan diliputi oleh perasaan cemas, takut, khawatir, dan tidak aman. Bagaimana tidak, terorisme bergerak tidak mengenal objek, tempat, waktu, dan keadaan. Karena tidak mampu melawan negara, mereka lampiaskan terror kepada masyarakat tak berdosa atas nama agama.110 Radikalisme dan terorisme berkembang menjadi bahaya laten tidak kunjung usai. Kelompok-kelompok underground (clandestine) yang

110 Muhammad Abdullah Darraz, ed., Jihad, Khilafah, dan Terorisme (Jakarta: Mizan, 2017), h. 57.

K e a g a M a a n g e n e R a s i M i l e n i a l

53

terkait dengan radikalisme dan terorisme seolah mulai mulai menggurita hingga berbagai lapisan masyarakat, mulai dari level sosial dan pendidikan rendah hingga tinggi. Siapapun menjadi potensial terkait gerakan terstruktur ini, karena propaganda dan indoktrinasi yang dilakukan atas nama agama.111 Sejatinya, agama merupakan pandangan hidup (worldview) yang memang dicari oleh setiap manusia agar memiliki kehidupan menjadi lebih berarti. Namun apabila kemudian kaidah-kaidah agama diplesetkan menjadi legitimasi atas berbagai aksi kekerasan, khususnya terorisme, maka sudah sepatutnya negara sudah sepatutnya negara bertindak tegas dan melindungi setiap warga negaranya. Untuk itu, dibutuhkan kerangka strategi yang komprehensif dan kuat dalam pemberantasan terorisme. Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menyusun “High-Level Panel on Threats, Challenges, and Change” , yang didalamnya terdapat enam bidang kejahatan112 yang memerlukan paradigma baru dalam penanggulangannya. Salah satunya adalah terorisme.113

111 Dhyah Madya Ruth SN, Terorisme Kapankah Usai? Rekomendasi dan Catatan Kritis untuk UU Pemberatasan Tindak Pidana Terorisme (Jakarta: Lazuardi Birru, 2011), h. 8-9.

112 Enam kejahatan tersebut adalah: (1) Economic and Social Threats, including poverty, infectious disease and environmental degradation; (2) ilnter-state conflict; (3) internal conflict, including civil war, genocide, and other large-scale atrocities; (4) nuclear, radiological, chemical and biological weapons; (5) terrorism; (6) transnational organized crime. Lihat: Dhyah Madya Ruth SN, Terorisme Kapankah Usai? Rekomendasi dan Catatan Kritis untuk UU Pemberatasan Tindak Pidana Terorisme (Jakarta: Lazuardi Birru, 2011), h. 9.

113 Pada tahun 2006 PBB mengeluarkan Resolusi 60/288 yang berisi tentang UN Global Terrorism Strategy dimana terdapat 4 pilar strategi global pemberantasan terorisme yang meliputi (1) pencegahan

G e r a k a n i s l a m c i n t a

54

Ujaran Kebencian dan Kebebasan Beragama

Dengan segala kecanggihan teknologi informasi di zaman milenial ini, telah memungkinkan generasi milenial saling mendekat, sehingga dapat terkoneksi, berbagi dan bekerjasama untuk menata dunia baru yang dimiliki dan dijaga bersama oleh mereka. Zaman milenial yang identik dengan kemajuan teknologi informasi ini, digambarkan Haidar Bagir sebagai zaman “kacau”, ia menjelaskan114 ada buku berjudul The Medium is The Massage karya Marshall McLuhan, menurutnya buku tersebut telah berhasil mengubah cara pandang orang tentang kedahsyatan media dalam membentuk cara hidup masyarakat. Dibukunya, Marshall McLuhan memperingatkan pembacanya tentang masa depan umat manusia yang akan berubah disebabkan penemuan media audiovisual. Menurut Haidar, sepintas seperti tak ada yang aneh dalam edisi infografis buku McLuhan yang disinggung diatas. The Medium is the Massage. Medium adalah pesannya. Meski konon awalnya

kondisi kondusif penyebaran terorisme; (2) langkah pencegahan dan memerangi terorisme; (3) peningkatan kapasitas negara-negara anggota untuk mencegah dan memberantas terorisme serta penguatan peran sistem PBB; dan (4) penegakan hak asasi manusia bagi semua pihak dan penegakan rule of law sebagai dasar pemberantasan terorisme. Selengkapnya: Dhyah Madya Ruth SN, Terorisme Kapankah Usai? Rekomendasi dan Catatan Kritis untuk UU Pemberatasan Tindak Pidana Terorisme (Jakarta: Lazuardi Birru, 2012), h. 9.

114 Penjelasan tersebut disampaikan pada pertemuan para tokoh Deklarator dan pernyataan pers Gerakan Islam Cinta 2016, di Mahakam pada tanggal 4 Februari 2016, pukul 10.00-13.00 WIB. Yang kemudian dimasukkan oleh Haidar Bagir dalam pembahasan karya terbarunya, buku “Islam Tuhan Islam Manusia: Agama dan Spiritualitas di Zaman Kacau”.

K e a g a M a a n g e n e R a s i M i l e n i a l

55

adalah kesalahan perancang sampul dalam mengeja judul, McLuhan justru meminta agar bukunya itu tetap menggunakan kata “massage” ketimbang “message” yang merupakan gagasan asli buku tersebut. Haidar menjelaskan, sebagaimana kata “massage” bisa dibaca sebagai “mess age” (zaman kacau), kata “massage” sendiri sebagai suatu kesatuan bermakna “pijatan” selain juga bisa dibaca “mass age”. Informasi telah dikemas dengan suatu cara yang begitu memikat sehingga orang-orang tergoda dan terhanyut (baca: tersihir) olehnya. Dilihat sebagai konsep-konsep yang berada dalam satu kesatuan, pesan (message) telah minyihir (me-massage) orang—boleh jadi dalam suatu cara yang manipulative sekaligus negative sehingga melahirkan zaman yang penuh kekacauan (mess age).

Pengamatan McLuhan di atas, diungkap oleh Haidar Bagir menjadi relevan di zaman ini, dibanding saat buku itu ditulis dan diterbitkan, yaitu sekitar tahun 1960 Masehi. Di saat media sudah menjadi digital, serta cara pencarian dan penyebaran informasi telah menjadi jauh lebih mudah, lebih cepat, dan aksesibel-bahkan amat “menggoda” untuk semua orang, sehingga terasa zaman sekarang ini menjadi lebih “kacau”. Sebelum karya McLuhan, ungkap Haidar, tak sedikit penelitian dan pengamatan dibuat orang untuk menunjukan bahwa “luberan informasi” (information spill over) telah membuat orang mengalami disorientasi. Terlalu banyak informasi, justru menyebabkan orang semakin kebingungan, rentan hilangnya kedalaman, dan lahirnya generasi baru pengguna internet yang, oleh Nicholas Carr, disebut sebagai “Orang-orang Dangkal” (The Shallows), yang terbiasa menyantap informasi instan

G e r a k a n i s l a m c i n t a

56

dan tanpa kedalaman. Hal tersebut sangat relevan dengan pernyataan Mochtar Pabottingi—yang penyataannya telah penulis suguhkan pada bab sebelumnya—bahwa kekacauan zaman ini disebabkan karena kemiskinan membaca utuh atau kurang kedalaman, akibatnya pemahamannya, seperti yang telah disebutkan, yaitu menjadi the shallows, dangkal.

Persoalan yang kian marak dan meresahkan dewasa ini adalah—salah satunya—ujaran kebencian (hate speech), yang semakin merajalela, terutama di media sosial (social media). Menurut Salesforce Rypple, dua pertiga pengguna media sosial mempunyai persepsi positif terhadap keberadaan Facebook dan Twitter, ini merupakan modal sosial yang berharga guna medorong transformasi nilai-nilai toleransi, anti-kekerasan, dan solidaritas kemanusiaan di kalangan generasi muda melalui media internet. Tak bisa dimungkiri, media sosial memiliki kapasitas untuk menjadi kekuatan perubahan sosial alternatif.115 Pada kenyataannya, kelompok-kelompok penebar kebencian dan berhaluan garis keras lebih mampu mengonsolidasikan isu-isunya melalui media internet ketimbang kelompok-kelompok moderat. Dengan mudah, generasi milenial menemukan berbagai bentuk hate speech khususnya yang terkait dengan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Ujaran kebencian (hate speech)—sebagaimana disebutkan dalam Surat Edaran (SE) Kapolri No SE/06/X/2015—terdapat tujuh bentuk, diantaranya; penghinaan, pencemaran nama baik,

115 Fajar Riza Ul Haq, Membela Islam Membela Kemanusiaan (Jakarta: Mizan, 2017), h. 119-120.

K e a g a M a a n g e n e R a s i M i l e n i a l

57

penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut, dan menyebarkan berita bohong (hoax).116 Semua tindakan tersebut memiliki tujuan atau berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan atau konflik sosial. Ujaran kebencian—seperti yang disebutkan dalam Surat Edaran kepolisian—yaitu bertujuan untuk menghasut dan menyulut kebencian terhadap individu dan atau kelompok masyarakat/komunitas berbeda dalam aspek: suku, agama, ajaran keagamaan, keyakinan atau kepercayaan, ras, antar-golongan, warna kulit, etnis, gender, difabel, dan orientasi seksual. Hate speech yang dimaksud bisa tersampaikan melalui berbagai media, antara lain: orasi kegiatan kampanye [politik], spanduk atau banner, jejaring media sosial, penyampaian pendapat di muka umum (demonstrasi), ceramah keagamaan, media massa cetak maupun elektronik, dan pamphlet.

Banyak ayat al-Qur’an juga melarang penyebaran kebencian seperti “Sesungguhnya orang-orang Mukmin adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu, dan bertaqwalah kepada Allah, supaya kamu mendapat

116 Kapolri Jenderal Badrodin Haiti menandatangani Surat Edaran (SE) Kapolri No SE/06/X/2015 pada 8 Oktober 2015. Menghadapi ujaran kebencian (hate speech), Polisi Republik Indonesia (POLRI) menetapkan prosedur penanganan. Jika tindakan preventif sudah dilakukan namun masalah tetap belum terselesaikan, penyelesaian dilakukan melalui penegakan hukum sesuai KUHP, UU No 1/2008 tentang ITE, UU No 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, UU No 7/2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, dan Peraturan Kapolri No 8/2013 tentang Teknis Penanganan Konflik Sosial.Selengkapnya:http://nasional.kompas.com/read/2015/11/06/07423391/Pro.Kontra.Surat.Edaran.Hate.Speech.dan.Jawaban.Kapolri Diakses pada tanggal 2 Februari 2018, pukul 20.00 WIB.

G e r a k a n i s l a m c i n t a

58

rahmat.” (QS.Al-Hujurat {49}:10). Ayat lain mengatakan “Dan berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (pada masa jahiliyah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara, sedangkan (ketika itu) kamu berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari sana. Demikianlah, Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk” (QS. Ali Imran 3: 103). Bahkan Allah mengutuk manusia yang mengujar kebencian dan tidak mau bersatu dengan azab yang besar, sebagaimana firman-Nya:“Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang bercerai berai dan berselisih setelah sampai kepada mereka keterangan yang jelas. Dan mereka itulah orang-orang yang mendapat azab yang berat”(QS. Ali Imran 3: 105).

Islam adalah agama yang memberi hak kepada individu untuk menyatakan segala hal atau pendapat, dengan catatan, asalkan ujaran itu tidak berupa penistaan (blasphemy), fitnah, penghinaan atau pernyataan yang menimbulkan kerusakan, permusuhan, dan penghilangan nyawa. Islam mendorong kebebasan berekspresi lewat pernyataan arif dan bijak, nasihat dan tausiyah yang baik dengan keramahan, bukan kemarahan. Kebebasan berekspresi dalam kebebasan beragama mesti dijaga bersamaan dengan penguatan rasa tanggungjawab. Karena itu, penggunaan kebebasan berekspresi untuk menista penganut agama lain justru merupakan tindak pelanggaran terhadap kebebasan bereskspresi dan kebebasan beragama.117

117 Dikutip dari resonasi Azyumardi Azra, yang dipresentasikan di

K e a g a M a a n g e n e R a s i M i l e n i a l

59

Muhammad Saw, berbicara di Arafah, tidak lama sebelum wafatnya;

“Allah telah membuat kalian bersaudara satu sama lain, jadi janganlah terpecah belah. Seorang Arab tidak memiliki kelebihan atas bukan-Arab, demikian pula bukan-Arab atas Arab, dan tidak pula orang berkulit putih memiliki keunggulan atas orang berkulit gelap, atau orang berkulit gelap atas orang berkulit putih.”118

Perbuatan ujaran kebencian apabila tidak ditangani dengan serius, akan berpotensi menimbulkan tindakan diskriminasi dan kekerasan. Ujaran kebencian juga sering terdengar dari mimbar agama, baik khutbah maupun pengajian—Indonesia merupakan negara dengan jumlah masjid terbanyak di dunia, data Dewan Masjid Indonesia (DMI) pada tahun 2014 menunjukkan terdapat 800 ribu masjid di wilayah Indonesia.119 Selain itu, masjid juga merupakan pusat kegiatan komunitas kaum muslimin, tempat bersosialisasi, dan tempat kembali mensucikan dan mendekatkan diri kepada Sang Khalik. Sejatinya, masjid berperan untuk menyebarkan Islam sebagai agama yang damai (Salam), welas asih, dan cinta (Rahmah) bukan sebaliknya. Masjid adalah pusat kegiatan komunitas kaum muslimin, tempat bersosialisasi, dan tempat

Seminar Hasil Penelitian “Hate Speech dan Penangannya oleh Polri dan Pemerintah Daerah (PEMDA) di Indonesia”, dan diselenggarakan oleh CSRC (Center for The Study of Religion and Culture) dan The Asia Foundation.

118 Adam Lebor, A Heart Turned East; Pergulatan Muslim di Barat Antara Identitas dan Integritas (Jakarta: Mizan, 2009), h. I.

119 Laporan Gerakan Islam Cinta Tahun 2015.

G e r a k a n i s l a m c i n t a

60

kembali mensucikan dan mendekatkan diri kepada Sang Khalik. Khutbah Jumat atau forum mimbar lainnya di masjid adalah forum yang sakral dan sangat penting untuk menyampaikan pesan-pesan Islam, dan Khatib atau Da’i merupakan guardian of faith yang mencegah agama dari penyimpangan distorsi dan salah pengertian di kalangan umat—Menurut pengamatan Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta bahwa tidak jarang khatib atau penceramah menyampaikan ujaran kebencian dengan menista kelompok lain baik intra maupun antar-agama, menuduh orang, kelompok atau aliran lain sebagai thagut dan sesat.120 Padahal, eksistensi para Khatib atau Da’i sejatinya sebagai inisiator gerakan moral dalam mewujudkan kedamaian bukan kekacauan. Mereka yang memberikan ujaran kebencian dalam ceramah dan khutbahnya telah menyalahgunakan kebebasan berceramah agama di Indonesia.

Sementara itu, Azyumardi Azra mengatakan bahwa negeri ini adalah ‘surga’ karena untuk berceramah tidak diperlukan izin; padahal di hampir seluruh negara berpenduduk mayoritas Muslim lain orang tidak boleh memberi ceramah dan khutbah kecuali punya surat izin atau sertifikat dari lembaga resmi. Hampir semua negara di dunia—termasuk yang paling bebas seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat—memiliki UU atau peraturan lain tentang penanganan ujaran

120 Disampaikan oleh Irfan Abu Bakar pada Seminar Hasil Penelitian bertemakan “Hate Speech dan penanganannya oleh POLRI dan Pemerintah Daerah (PEMDA) di Indonesia”, diselenggarakan oleh CSRC UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan The Asia Foundation di Gedung Syahida Inn, pada Selasa, 9 Juli 2016.

K e a g a M a a n g e n e R a s i M i l e n i a l

61

kebencian. Uni Eropa misalnya menerbitkan manual tentang ujaran kebencian; Anne Weber, Manual of Hate Speech (2011). Manual ini bertujuan memberikan panduan kepada para pejabat pemerintah, ahli, aktivis LSM dan masyarakat tentang kasus ujaran kebencian dalam kaitannya dengan kebebasan berekspresi. Azyumardi Azra juga menjelaskan tentang kebebasan berekspresi dan kebebasan beragama (hurriyat al-ta’bir atau hurriyat al-ra’y) termasuk yang dijamin dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) Kebebasan berekspresi merupakan prasyarat kebebasan beragama.121 Tetapi masalahnya apakah kebebasan berekspresi harus berarti kebebasan liar tidak bertanggungjawab yang justru digunakan untuk penyiaran ujaran kebencian? Karena itu masalahnya adalah bagaimana kebebasan berekspresi dapat diwujudkan secara bertanggungjawab. Kebebasan berekspresi dan kebebasan beragama bukan tanpa batas. Dalam kebebasan berekspresi dan kebebasan beragama terdapat hak orang lain untuk tidak dinista dengan berbagai bentuk ujaran kebencian.

Konflik dan Kekerasan Atas Nama Agama

Ada ungkapan;“There can be no peace among the nations without peace among religions; no peace among the religions without dialogue among the religions.” Tidak akan ada perdamaian

121 Dikutip dari resonasi Azyumardi Azra, yang dipresentasikan di Seminar Hasil Penelitian “Hate Speech dan Penangannya oleh Polri dan Pemerintah Daerah (PEMDA) di Indonesia”, dan diselenggarakan oleh CSRC (Center for The Study of Religion and Culture) dan The Asia Foundation di Gedung Syahida Inn, pada Selasa, 9 Juli 2016.

G e r a k a n i s l a m c i n t a

62

diantara negara-negara tanpa ada perdamaian diantara agama-agama, dan tidak akan ada perdamaian diantara agama-agama tanpa dialog antar agama-agama,122 demikian yang diungkap oleh seorang pakar kajian agama-agama, Hang Kung. Ujaran Kung ini, terasa makin relevan manakala kreadibilitas agama sebagai kekuatan yang mendorong perdamaian sedang berada dalam ujian yang mungkin paling berat sepanjang sejarah kemanusiaan. Memasuki abad millennium, yaitu abad ke 21 sejumlah peristiwa konflik dan kekerasan atas nama agama terjadi, hal tersebut ditandai dengan insiden di 9/11 di New York, perang di Irak, domino konflik kekerasan di Timur Tengah dalam konteks “Arab Spring”, Islamofobia yang antara lain direpresentasikan oleh insiden kartun Nabi di Denmark, film Fitna oleh Theo van Gogh di Belanda, karikatur majalah Charlie Hebdo di Perancis, sampai kampanye anti-Islam oleh kandidat presiden Donald Trump di Amerika Serikat, isu keragaman tetap digunakan untuk memobilasi manusia ke kearah perseteruan dan konflik kekerasan.123 Dalam konteks Indonesia, ketegangan sampai konflik kekerasan bernuansa agama juga punya banyak contoh, dari pembakaran masjid di Tolikara-Papua sampai penghancuran gereja di Singkil Aceh, dari pengusiran dan pembunuhan warga Ahmadiyah dan Syiah oleh mayoritas Sunni sampai diskriminasi kelompok-kelompok agama dan keyakinan minoritas oleh mayoritas di berbagai daerah.

122 Eddy Aqdhiwijaya, dkk, Pendidikan Interreligius Non-Formal (Jakarta: CDCC, 2016), h. vi.

123 Din Syamsuddin, dalam Kata Pengantar, Eddy Aqdhiwijaya, dkk, Pendidikan Interreligius Non-Formal (Jakarta: CDCC, 2016), h. iii.

K e a g a M a a n g e n e R a s i M i l e n i a l

63

Dari beberapa contoh konflik dan kekerasan atas nama agama di atas, menimbulkan kesan bahwa agama memiliki wajah yang paradoks. Hal ini dijelaskan Sindhunata, dalam pengantarnya atas buku versi terjemahan dari When Religion Becomes Evil, karya Charles Kimball. Menurutnya, akan ada situasi yang paradoks di saat kita membicarakan tentang agama. Sejatinya, agama menawarkan jalan keselamatan, mengajarkan cinta dan jalan kebahagiaan manusia. Tetapi, realita yang terjadi sekarang justru menampilkan hal yang sebaliknya. Agama malah seringkali dilabeli dengan sifat kekerasan, kerusuhan, dan permusuhan. Ketika Kimball mengomentari pembajakan pesawat yang berujung pada hancurnya dua menara dari gedung World Trade Center (WTC), pada 2001, dia mengatakan:

“Tragedi 11 September 2001 seakan datang sebagai pesan dan sasmita awal, bahwa agama bakal membawa permusuhan dan kekerasan, dan atas nama agama, orang seakan-akan diperbolehkan untuk meniadakan sesamanya. Kini,atas nama agama, orang bisa saling menghancurkan”.124

Melalui pernyataan di atas, dapat dipahami bahwa konflik dan kekerasan atas nama agama dapat berdampak pada rusaknya atmosfir perdamaian dan keharmonisan. Pada umumnya, agama dikaitkan dengan aspek keyakinan kepada Tuhan sebagai sumber kebenaran mutlak. Yang kemudian menjadi dasar mutlak atas penilaian sah dan tidaknya suatu hal.

124 Shindunata, dalam Kata Pengantar, Charless Kimball, Kala Agama menjadi Bencana (Bandung: Mizan, 2003), h. 13.

G e r a k a n i s l a m c i n t a

64

Oleh Karena itu, pemahaman tertentu seseorang atas agama yang diyakininya dapat memotivasinya untuk melakukan suatu hal sebagai suatu perwujudan yang ia pikir harus dan benar. Hal demikian berimplikasi bahwa mengakarnya kesadaran seseorang dalam memahami pesan-pesan agamanya, dapat menjadi faktor penentu untuk memilih tindakan kekerasan, atau tindakan penuh cinta.

Suprapto berpendapat sebagian orang kerap menyamakan istilah konflik dengan kekerasan. Padahal, keduanya memiliki pengertian yang berbeda. Konflik merupakan fakta sosial yang selalu ada mengiringi relasi antarindividu yang wujudnya tidak selalu dalam bentuk kekerasan. Kekerasan hanyalah salah satu bentuk konflik yang bertransformasi menjadi sebuah kondisi yang bersifat destruktif. Suprapto menjelaskan dengan mengutip pendapat Johan Galtung yang mendeskripsikan konflik sebagai berikut:

“Conflict is a complex human phenomenon and should by no means be confused with violence”. Violence is to harm and hurt the body, mind andlor spirit of someone, including self; by verbal andlor physical means (including body language). Violence leaves behind trauma, those traces, very difficult to remove, often indelible of the violence, on body, mind and spirit. Violence as an expression of contempt and hatred, “Lack of respect” to put it mildly, and to be violated is an experience of humiliation. The harm and hurt on the mind and the spirit may leave the most important trauma.125

125 Konflik merupakan fenomena manusia yang kompleks. Konflik tidak harus diidentikkan dengan kekerasan. Kekerasan adalah tindakan membahayakan dan menyakiti tubuh, baik secara verbal maupun psikis

K e a g a M a a n g e n e R a s i M i l e n i a l

65

Secara konseptual, konflik (conflict) adalah hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki, atau mereka menganggap memiliki tujuan yang bertentangan. Sedangkan kekerasan (violence) meliputi tindakan, kata-kata dan sikap, struktur atau sistem yang menyebabkan kerusakan fisik, psikis, dan lingkungan, dan atau menyebabkan kemungkinan orang untuk mengembangkan potensinya.126 Konflik merupakan sesuatu kenyataaan hidup yang tidak dapat dielakan, bahkan seringkali bersifat kreatif. Konflik terjadi ketika orang mengejar sasaran yang bertentangan. Ketidaksesuain konflik biasanya dapat diatasi tanpa dengan memunculkan kekerasan. Sedangkan agama yang memiliki fungsi ambivalen. Di satu sisi, ia berfungsi sebagai social cement yang dapat merekatkan hubungan individu maupun kelompok yang memiliki latarbelakang etnik, Bahasa dan kelas sosial ekonomi yang berbeda. Agama mampu berperan sebagai alat membangun solidaritas sekaligus loyalitas yang tinggi bagi para pemeluknya. Di sisi lain, agama juga mampu menjadi faktor signifikan bagi munculnya konflik

(termasuk melalui bahasa tubuh). Dampaknya, kekerasan meninggalkan trauma yang tak mudah unutk dihilangkan, dan sering memunculkan kekerasan berikutnya bagi tubuh, pikiran dan jiwa. Kekerasan sebagai sebuah ekspresi penghinaan dan kebencian, kurangnya rasa hormat merupakan sebuah pengalaman yang merendahkan. Tindakan menyakiti pikiran dan kejiwaan sangat mungkin meninggalkan trauma psikis yang mendalam. Selengkapnya: Suprapto, Prakarsa Perdamaian Pemuda Lintas Iman: Konflik Kekerasan Sosial, dan Peacebuilding, (Ciputat: Onglam Books, 2017), h. 21-22.

126 Jamil M, Mukhsin, Mengelola Konflik Membangun Damai: Teori, Stategi, dan Implementasi Resolusi Konflik (Semarang, WMC-Walisongo Mediation Centre: 2007), h. 6.

G e r a k a n i s l a m c i n t a

66

sosial yang luar biasa implikasinya karena melibatkan sisi yang paling dalam emosi manusia. Secara prinsip, siapapun yang mengaku dirinya beragama tentunya dapat menolak kekerasan dalam bentuk apapun. Said Aqil Siradj dengan tegas mengatakan bahwa tidak ada kekerasan dalam agama dan tidak ada agama dalam kekerasan.127 Agama harus secara tegas menolak tekanan, ancaman, paksaan, apalagi kekerasan. Orang beragama hanya kredibel apabila hatinya bersih dari rasa benci, dendam, agresivitas, mata gelap. Dan orang beragama harus rendah hati.128

Huston Smith, penulis Why Religion Matters, secara langsung menantang mereka yang mendefinisikan agama begitu sempit

127 Pernyataan tersebut diungkapkan oleh Said Aqil Siradj dalam Seminar Nasional yang diikuti penulis di Auditorium Harun Nasution UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada Rabu, 9 Januari 2013, pukul 11.00 WIB.

128 Franz Magnis Suseno mengungkapkan bahwa tak ada yang lebih menelanjangi kebohongan seseorang daripada kalau ia bicara tentang Tuhan dengan arogan, sombong, dengan menghina mereka yang berbeda. Kalau kita dekat dengan Tuhan, mestinya kita merasakan betapa kita sendiri tidak memadai. Hidup kita, pengertian kita tentang agama kita sendiri semuanya itu sangat terbatas. Kita tidak mempunyai mata Tuhan. Dan karena itu kita rendah hati dan baik hati. Terhadap mereka pun yang tidak kita mengerti kita tetap baik hati. Barangkali Tuhan lebih dekat mereka daripada yang kita kira sendiri. Di dunia yang penuh kekerasan, kemiskinan, keadaan putus asa, penuh orang-orang yang harus lari dan mengungsi, dunia penuh kekejaman, dimana ada orang kurang makan—perlu agama-agama menjadi rahmatan lil alamin. Justru dengan membawa diri tidak sombong, melainkan dengan rendah hati, senantiasa dalam kesadaran bahwa kita sendiri tidak memadai, bahkan terhadap apa yang kita Imani sendiri. Kalau kita menjadi kubu yang menolak kekerasan, sekaligus rendah hati, kita dalam segala keterbatasan akan menjadi sinar harapan bagi banyak orang yang hampr tanpa harapan. Selengkapnya, lihat: Franz Magnis-Suseno, Agama, Kebangsaan dan Kebangsaan: Nurcholish Madjid dan Kemanusiaan, (Jakarta, PUSAD Paramadina: 2014),h. 18.

K e a g a M a a n g e n e R a s i M i l e n i a l

67

dan kemudian menolaknya. Berlawanan dengan mereka yang percaya bahwa agama itu masalah, Smith menyatakan krisis utama yang kita hadapi di abad ke-21 (milenial) adalah krisis spiritual.129 Dalam kehidupan keagamaan, di era milenial dapat disaksikan adanya kebutuhan yang besar akan agama dan spiritualisme, bahkan, menurut Haidar Bagir, kebutuhan spiritualisme di negara-negara maju sudah lama terasa, dibandingkan dengan negara-negara berkembang.130 Di Amerika Serikat dan Eropa, karya-karya Jalaluddin Rumi, sufi Persia abad ke 13, yang di cetak atau berbentuk digital menjadi bestseller. Pada tahun 2015, Gerakan Islam Cinta Jakarta meluncurkan buku pertamanya berjudul Belajar Hidup dari Rumi juga mendapat sambutan baik dari masyarakat terutama kalangan milenial hingga menjadi bestseller.131

Lantas, mengapa agama dianggap potensial menjadi sumber konflik dan bencana sepanjang waktu dan di mana saja? Seorang sarjana berusia milenial dari Universitas Wales, Finlandia, menuliskan sebuah makalah yang disampaikan pada

129 Charles Kimball, Kala Agama Jadi Bencana, (Jakarta: Mizan, 2003), h. 56.130 Di Amerika Serikat, misalnya, kebutuhan akan spiritualisme itu sudah

kuat terasa sejak tahun 1960 an. Sebuah majalah terkemuka di Amerika Serikat, TIME, beberapa tahun lalu melaporkan adanya kecenderungan pada masyarakat Amerika Serikat untuk kembali kepada Tuhan. Majalah itu, berdasarkan hasil polling yang mereka buat, mengatakan bahwa saat ini lebih banyak orang (AS) yang berdoa ketimbang berolah raga, pergi ke bioskop, ataupun berhubungan seks. Kecenderungan akan spiritualisme itupun makin lama makin meningkat. Selengkapnya; Haidar Bagir, Buku Saku Tasawuf (Jakarta: Mizan,2005), h. 24.

131 Disampaikan oleh Haidar Bagir, dalam peluncuran Buku Islam Cinta berjudul “Mereguk Cinta Rumi” di Galeri Indonesia Kaya, Grand Indonesia Jakarta Pusat, pada Kamis, 31 Maret 2016, Pukul 20.00 WIB.

G e r a k a n i s l a m c i n t a

68

Konperensi ke-18 International Peace and Research Association di Tampere, Finlandia. Ia menegaskan bahwa sebagian konflik bersenjata masa kini didasarkan pada asumsi “filosofis” yang mendasari keunggulan dan jati diri. Karena pengikut setiap agama membenarkan eksistensinya dengan memandang agamanya lebih unggul ketimbang sistem-sistem kepercayaan lain, dan karena hal itu bagian dari “hakikat agama”, maka ini menjadikan kekerasan tidak saja dimungkinkan, tetapi juga tidak dapat di hindari.” Dia kemudian menekankan bahwa “agama” menurut definisinya sendiri, tidak cocok (dengan perdamaian), dan karena itu perdamaian merupakan kemustahilan selama ada agama.132

Menurut Azyumardi Azra hampir dipastikan sebah-sebab yang melatarbelakangi lahirnya gerakan radikalisme dan terorisme atas nama agama sangatlah kompleks ada beragam faktor yang yang melibatkan, dimulai dengan faktor politik, ekonomi dan pada tingkat tertentu, ajaran dan interpretasi tertentu tentang agama. Lebih lanjut Azra menyatakan dalam kebanyakan kasus faktor politik merupakan penyebab paling terpenting, Jika ditinjau kembali kasus-kasus yang terjadi di Indonesia seperti Bom Bali I (2002), bom mariot Jakarta (2003), Bom Kuningan Jakarta (2004) dan Bom Bali II (2004), tampak jelas bahwa politik baik domestik ataupun

132 J. Petter Larsson, “Wholly Justified War: An Analysis of the Relationship between Religion and War in the Contemporary World,” Makalah disampaikan pada Commission on International Conflicts, 18th General IPRA Conference, Tampere, Finlandia, 5-9 Agustus, 2000. Sebagaimana dikutip oleh Chaiwat Satha-Anand, Barangsiapa Memelihara Kehidupan…”Esai-esai tentang Nirkekerasan dan Kewajiban Islam (Jakarta: Pusad Paramadina, 2015), h.197-198.

K e a g a M a a n g e n e R a s i M i l e n i a l

69

internasional menjadi sebab utama terorisme. Pada tingkat domestik, para pelaku pengebomam mendapatkan dorongan dari arahan dan kebencian mereka terhadap sistem politik Indonesia yang dianggap tidak Islami. Khusus berlaku ketika Megawati Soekarna Putri menjadi presiden Republik Indonesia; sebab mereka percaya bahwa seorang perempuan dilarang menjadi presiden (imam) sebuah negara yang mayoritas besar berpenduduk muslim.133 Seorang pakar perbandingan agama Karen Armstrong menyebutkan bahwa golongan radikal, ekstrimis dan teroris telah membajak Islam, sebagaimana telah berlangsung secara berkala pada agama Kristen, Hindu dan agama-agama lain sepanjang sejarah. Ia menambahkan bahwa masalah utamanya adalah karena para ektrimis, tidak mengetahui tentang keyakinan mereka sendiri.134 Berdasarkan penelitian Lazuardi Birru pada tahun 2010, terdapat dua jenis aktor pendukung gerakan radikalisme, yaitu partisan aktif dan simpatisan pasif. Partisan aktif akan turun langsung ke lapangan untuk mengeksekusi tindakan radikalisme, baik berupa pengrusakan ataupun bom bunuh diri. Sedangkan simpatisan pasif tidak selalu terjun ke lapangan melainkan mendukung nilai-nilai dan pergerakan terorisme tanpa terlihat jelas oleh kacamata publik.135 Tindakan radikalisme

133 Bernard Adeney dan Risakotta, ed., Mengelola Keragaman di Indonesia: Agama dan Isu-isu globalisasi; Kekerasan Gender dan Bencana di Indonesia (Bandung: Mizan, 2015), h. 208.

134 Dhyah Madya Ruth SN, ed., Memutus Mata Rantai Radikalisme dan Terorisme (Jakarta: Lazuardi Birru, 2010), h. 22.

135 Dhyah Madya Ruth SN, ed., Memutus Mata Rantai Radikalisme dan Terorisme….. h. ,28.

G e r a k a n i s l a m c i n t a

70

dan terorisme tidak akan bisa sepenuhnya hilang di Indonesia selama masih ada simpatisan pasif yang mendukung gerakan terorisme secara sembunyi-sembunyi seperti menyebarkan paham dan falsafah dalam forum-forum tertutup, dan menjaga nilia-nilai radikalisme agar tidak mati. Juga, akan susah untuk mencium gelagat persebaran ideologi oleh kelompok ini, karena sifat, perilaku dan penampakkannya yang tidak terlalu menonjol di masyarakat.

Perihal terjadinya gerakan kekerasan yang mengatasnama-kan Agama, Syafii Maarif menyebutnya sebagai “Teologi Maut” Menurutnya mereka memiliki keberanian mati karena tidak berani untuk hidup.136 Kemudian muncul sebuah pertanyaan mengapa orang mudah terlibat dalam “parade kebiadaban” ini. Faktor teologis tentu menjadi akar persoalan radikalisme dan terorisme hingga terus berkembang bahkan tak pernah padam hingga di zaman milenial ini. Kekeliruan dalam menginterpretasikan dan mengamalkan beberapa doktrin kunci seperti konsep Jihad, Hijrah, Khilafah, Bay’ah, Qis}a>s} dan Shahid juga bagian doktrin Islam yang sering mereka maknai secara “sesat” dan keliru. Selain faktor teologis, faktor ketimpangan dan ketidak adilan ekonomi politik dunia. Dalam impitan kekuatan ekonomi politik global, kelompok global ini mengandalkan kekerasan sebagai mata pencarian mereka.137

136 Muhammad Abdullah Darraz, ed. Reformulasi Ajaran Jihad: Jihad Khilafah dan Terorisme (Bandung: Mizan, 2017), h.19.

137 Muhammad Abdullah Darraz, ed. Reformulasi Ajaran Jihad: Jihad Khilafah dan Terorisme......h. 21.

K e a g a M a a n g e n e R a s i M i l e n i a l

71

Analisis lebih mendalam diberikan oleh Dawam Rahardjo yang mengurai kemungkinan agama menjadi sumber konflik, diantaranya, disebabkan; Pertama, agama, terutama agama Semit atau agama Ibrahim—yang menamakan dirinya sebagai “agama langit”—menekankan pada iman atau akidah yang tidak bisa dikompromikan. Bahkan agama diyakini tidak bisa didialogkan. Kedua, akidah itu selalu mengklaim kebenaran absolut yang eksklusif. Ketiga, agama terbesar didunia, Kriten dan Islam adalah agama dakwah atau evangelist yang bertujuan memperoleh pengikut yang sebanyak-banyaknya. Keempat, dua agama itu cenderung berprinsip tujuan menghalalkan cara (the end justify the means), misalnya dalam kasus bom. Artinya, jika tujuan itu dinilai benar, cara apapun telah disucikan oleh tujuan itu, termasuk penggunaan kekerasan, kalau perlu berperang demi mempertahankan akidah. Kelima, dalam mencapai tujuan atau mempertahankan diri, agama pada umumnya meminta bantuan kekuasaan dan negara. Itulah, maka di dalam islamisme diyakini prinsip kesatuan agama dan negara. Dalam kasus formalisasi syariat, negara diperlukan untuk melaksanakan syariat sebagai hukum positif yang sifatnya memaksa.138

Dalam bukunya, The End of Faith, Sam Haris mengungkapkan bahwa sejarah agama-agama khususnya agama Semit atau agama Ibrahim yang menamakan dirinya Agama Langit itu adalah sejarah konflik, peperangan, dan pertumpahan darah. Tetapi pada abad ke-21 (milenial), wajah yang sama mewarnai

138 Dawam Rahardjo, Merayakan Kemajemukan Kebebasan dan Kebangsaan (Jakarta: Kencana, 2010), h. 377.

G e r a k a n i s l a m c i n t a

72

agama-agama lain, misalnya konflik antara penganut agama Hindu dan Buddha, antara Hindu dan Islam, serta antara Buddha dan Islam. Justru itulah gejala kebangkitan agama-agama yang dimaksud oleh John Naisbitt. Bahkan, konflik internal antara mazhab Sunni dan Syiah, antara Sunni dan Ahmadiyah. Di sini, agama bukan lagi rahmat sebagaimana diklaim oleh semua agama, tetapi telah menjadi bencana seperti kata kimley. Sumber pokoknya adalah klaim eksklusif kebenaran iman atau akidah. Memang dalam berbagai kasus konflik dan peperangan dilatarbelakangi kepentingan ekonomi dan politik, misalnya di Indonesia, kasus konflik Ambon dan Maluku. Dalam kasus tersebut, agama adalah sumber legitimasi yang dimanfaatkan demi kepentingan politik maupun ekonomi. Tetapi, mengapa agama begitu mudah dimanfaatkan? Karena agama itu mengandung fanatisme dan masing-masing merasa benar dan dibantu Tuhan masing-masing.139

Karena itu, konflik agama atau antar-penganut agama dan konflik yang melibatkan agama selalu sulit dicarikan penyelesaiannya. Ini sangat kentara dalam kasus konflik Poso. Hal ini disebabkan karena konflik antar-pemeluk agama itu selalu melahirkan dendam karena terjadinya kekejaman, bahkan ketika konflik kepentingan ekonomi dan politik sudah memperoleh solusinya yang adil. Selain itu perbedaan iman atau keyakinan itu sulit dikompromikan, sedangkan pertentangan kepentingan ekonomi dan politik dapat dinegoisasikan. Apalagi sekarang sudah dikembangkan teori-teori conflict resolution dalam penelitian peace-research. Tetapi metode itu

139 Dawam Rahardjo, Merayakan Kemajemukan.....,h. 375.

K e a g a M a a n g e n e R a s i M i l e n i a l

73

belum bisa diaplikasikan untuk mencari penyelesaian yang damai dan adil dalam konflik agama, karena iman itu tidak bisa dikompromikan. Bahkan, dialog antar-iman saja masih belom bisa diterima oleh semua pemeluk agama, karena bagi mereka iman atau akidah itu tidak bisa didialogkan. Itulah masalahnya ketika agama telah menjadi bencana.

Penyelesaian masalah agama yang telah menjadi bencana, dewasa ini lebih sulit dan lebih rumit lagi, karena berbagai konflik kepentingan ekonomi dan politik diberbagai belahan dunia itu telah melibatkan agama. Konflik kepentingan ekonomi dan politik itu selalu dibarengi dengan konflik antar-pemeluk agama. Dalam soal pandangan Islam terhadap kekerasan dan terorisme, sikap Gus Dur, sangat jelas: mengecam keras dan mengutuk penggunaan kekerasan oleh sejumlah kelompok Islam radikal.140 Menurut Gus Dur, Satu-satunya alasan penggunaan kekerasan yang bisa ditolerir oleh Islam adalah jika kaum Muslim diusir dari tempat tinggal mereka (idza ukhriju min diyarihim). Ini pun masih diperdebatkan oleh sebagian ulama. Menurut Gus Dur, lahirnya kelompok-kelompok Islam garis kera atau radikal tersebut tidak bisa dipisahkan dari dua sebab.141 Pertama, para penganut Islam garis keras tersebut mengalami semacam kekecewaan dan alienasi karena “ketertinggalan” ummat Islam terhadap kemajuan barat dan penetrasi budayanya dengan segala eksesnya.

140 Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita; Agama Masyarakat Negara Demokrasi (Jakarta: The Wahid Foundation, 2006), h. xxviii.

141 Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda,....., h. xxviii.

G e r a k a n i s l a m c i n t a

74

Karena ketidakmampuan mereka untuk mengimbangi dampak materialistis budaya Barat. Kedua, kemunculan kelompok-kelompok Islam garis keras itu tidak terlepas dari karena adanya pendangkalan agama dari kalangan ummat Islam sendiri, khususnya angkatan mudanya. Pendangkalan itu terjadi karena mereka yang terpengaruh atau terlibat dalam geraka Islam radikal atau garis keras umumnya terdiri dari mereka yang belatar belakang pendidikan ilmu-ilmu eksakta dan ekonomi. Latar belakang seperti ini menyebabkan fikiran mereka penuh dengan hitungan-hitungan matemaik dan ekonomis yang rasional dan tidak ada waktu untuk mengkaji Islam secara mendalam. Mereka mencukupkan diri dengan interpretasi keagamaan yang didasarkan pada pemahaman secara literal atau tekstual. Bacaan atau hafalan mereka terhadap ayat-ayat suci Al Qur’an dan Hadits dalam jumlah besar memang mengagumkan. Tetapi pemahaman mereka terhadap substansi ajaran Islam lemah karena tanpa mempelajari pelbagai penafsiran yang ada, kaidah-kaidah ushul fiqh, maupun variasi pemahaman terhadap teks-teks yang ada.

Pandangan Gus Dur tersebut, sebenarnya tertuju kepada kelompok-kelompok yang dalam sosiologi agama bisa dikategorikan sebagai neo-fundamentalisme. Ini mengingatkan saya pada analisis Fazlur Rahman yang juga dikutip oleh Cak Nur terhadap kebangkitan Neo-fundamentalis Islam. Fazlur Rahman menilai, keberadaan neo-fundamentalisme Islam di berbagai negeri Muslim, sebenarnya bukanlah memberikan alternative atau tawaran yang baik bagi masa depan Islam itu sendiri. Ini karena neo-fundamentalisme sebenarnya

K e a g a M a a n g e n e R a s i M i l e n i a l

75

mengidap penyakit yang cukup berbahaya, yakni mendorong kearah pemiskinan intelektual karena pandangan-pandangan literal dan tekstual yang tidak memberikan apresiasi terhadap kekayaan khasanah ke-Islaman klasik yang kaya dengan alternative pemikiran. Selain itu, Rahman menilai kelompok neo-fundamentalis umumnya memiliki pemahaman yang superfisial, anti intelektual dan pemikirannya tidak bersumber dari ruh Al Qur’an dan budaya intelektual tradisional Islam. Bagaimanapun pengamatan Gus Dur dan Fazlur Rahman itu layak untuk dipertimbangkan.142

C. Memaknai Agama dan Beragama yang Sesungguhnya

Agama yang merupakan institusi sosial yang paling kuno dalam sejarah kehidupan manusia. Meski sering dituduh sebagai sumber banyak konflik dan peperangan antarmanusia, agama senantiasa hadir sebagai obat luka kala manusia dirundung luka; agama ibarat pelita hati yang membimbing manusia mengarungi samudra kehidupan yang penuh tantangan. Memang, pada zaman sekarang sebagian orang mencaci dan membenci agama karena dianggap sebagai sumber pertikaian, dan eksistensinya pun telah disaingi oleh Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) modern. Namun demikian, pada kenyataannya penduduk dunia—terlebih kalangan milenial—tetap memerlukan agama dan meyakini adanya Tuhan. Apalagi di Indonesia, di mana negara tidak memberi ruang

142 Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda,....., h. xxviii.

G e r a k a n i s l a m c i n t a

76

pada warganya yang tidak beragama dan tidak percaya pada Tuhan. Orang memilih agama, tetapi tidak bebas untuk tidak beragama sehingga identitas agama dicantumkan dalam kartu tanda penduduk serta dokumen lain.143 Berkaitan dengan pembahasan ini, Pembina Gerakan Islam Cinta, Gus Mus (panggilan akrab Mustofa Bisri) menuangkannya dalam puisi, berjudul “Ketika Agama Kehilangan Tuhan”:

Dulu agama menghancurkan berhala. Kini agama jadi berhala. Tak kenal Tuhannya, yang penting agamanya. Dulu orang berhenti membunuh sebab agama. Sekarang orang saling membunuh karena agama. Dulu orang saling mengasihi karena beragama. Kini orang saling membenci karena beragama. Agama tak pernah berubah ajarannya dari dulu,Tuhannya pun tak pernah berubah dari dulu. Lalu yang berubah apanya? Manusianya?.Dulu orang belajar agama sebagai modal, untuk mempelajari ilmu lainnya. Sekarang orang malas belajar ilmu lainnya, maunya belajar agama saja. Dulu pemimpin agama dipilih berdasarkan kepintarannya, yang paling cerdas di antara orang-orang lainnya. Sekarang orang yang paling dungu yang tidak bisa bersaing dengan orang-orang lainnya, dikirim untuk belajar jadi pemimpin agama.Dulu para siswa diajarkan untuk harus belajar giat dan berdoa untuk bisa menempuh ujian. Sekarang siswa malas belajar, tapi sesaat sebelum ujian berdoa paling kencang, karena diajarkan pemimpin agamanya untuk berdoa supaya lulus. Dulu agama mempererat hubungan manusia

143 Komaruddin Hidayat, dalam Prolog Penulis, Agama Punya Seribu Nyawa (Jakarta: Noura, 2012), h. xvii.

K e a g a M a a n g e n e R a s i M i l e n i a l

77

dengan Tuhan. Sekarang manusia jauh dari Tuhan karena terlalu sibuk dengan urusan-urusan agama. Dulu agama ditempuh untuk mencari Wajah Tuhan. Sekarang agama ditempuh untuk cari muka di hadapan Tuhan.Esensi beragama telah dilupakan. Agama kini hanya komoditi yang menguntungkan pelaku bisnis berbasis agama, karena semua yang berbau agama telah didewa-dewakan, takkan pernah dianggap salah, tak pernah ditolak, dan jadi keperluan pokok melebihi sandang, pangan, papan. Agama jadi hobi, tren, dan bahkan pelarian karena tak tahu lagi mesti mengerjakan apa. Agama kini diper-Tuhankan, sedang Tuhan itu sendiri dikesampingkan. Agama dulu memuja Tuhan. Agama kini menghujat Tuhan. Nama Tuhan dijual, diperdagangkan, dijaminkan, dijadikan murahan, oleh orang-orang yang merusak, membunuh, sambil meneriakkan nama Tuhan. Tuhan mana yang mengajarkan tuk membunuh? Tuhan mana yang mengajarkan tuk membenci? Tapi manusia membunuh, membenci, mengintimidasi, merusak, sambil dengan bangga meneriakkan nama Tuhan, berpikir bahwa Tuhan sedang disenangkan ketika ia menumpahkan darah manusia lainnya. Agama dijadikan senjata untuk menghabisi manusia lainnya. Dan tanpa disadari manusia sedang merusak reputasi Tuhan, dan sedang mengubur Tuhan dalam-dalam di balik gundukan ayat-ayat dan aturan agama.144

144 Mustofa Bisri (Gus Mus), Ketika Agama Kehilangan Tuhan, lihat:http://www.republika.co.id/berita/kolom/wacana/18/02/14/p44dom396-ketika-agama-kehilangan-tuhan, diunduh pada tanggal 12 Februari 2018, pukul 15.00 WIB.

G e r a k a n i s l a m c i n t a

78

Sebagaimana puisi Gus Mus di atas, kata agama (religion)145 menampilkan sejumlah citra, gagasan, praktik, keyakinan, dan pengalaman—sebagian lagi positif, sebagian lagi negatif.146 Kata agama juga menampilkan gambaran prilaku destruktif atau bahkan menjengkelkan. Asumsi tentang agama kini meliputi tindak kekerasan yang berakar pada intoleransi atau penyalahgunaan kekuasaan. Pandangan kita tentang agama kini banyak mengalami perubahan. Hal ini sebagian, karena kita memiliki cara pandang yang sangat berbeda dengan cara pandang generasi sebelumnya. Semua agama, termasuk Islam mengajarkan perdamaian dan anti kekerasan.147 Namun ironisnya, sejarah penyebaran dan perkembangan agama selalu saja disertai kekerasan. Ketika hadir, Islam sesungguhnya

145 Setidaknya ada tiga kata yang sering diterjemahkan secara berdekatan menjadi agama, yaitu Millah, Din, dan Syariah. Tiga kata tersebut digunakan untuk mendeskripsikan millah Ibrahim. Untuk itu, uraian mengenai makna tiga kata tersebut sangat penting, sehingga diharapkan pengertian millah Ibrahim didapatkan. Makna dasar dari millah, din, dan syariah adalah al-Thariqah (“jalan”). Akan tetapi dalam penggunaannya, ketiga kata tersebut memiliki makna yang berbeda. Kata Millah merupakan bentuk tunggal dari kata Millah. Menurut Djaka Soetapa, kata millah dari Bahasa Arab yang dalam Al-Quran berarti Din. Menurut Raghib al-Isfahani, Millah berarti Din, yakni sesuatu yang diisyaratkan Allah bagi hamba-Nya melalui risalah yang dibawa oleh para nabi-Nya agar mereka dapat berkomunikasi atau berhubungan dengan Allah. Sementara menurut Quraish Shihab, kata Millah sering dipersamakan dengan Din, karena agama adalah tuntunan-tuntunan yang disampaikan Allah SWT. bagaikan sesuatu yang diimlakan atau ditulis, sehingga sama sepenuhnya dengan apa yang disampaikan itu. Selengkapnya: Waryono Abdul Ghafur, Persaudaraan Agama-Agama Millah Ibrahim dalam Tafsir Al-Mizan (Jakarta: Mizan, 2016), h. 43.

146 Charles Kimball, Kala Agama Jadi Bencana (Jakarta: Mizan, 2003), h. 24-25.147 Komaruddin Hidayat, Agama Punya Seribu Nyawa, (Jakarta: Noura

Books, 2012), h. 149.

K e a g a M a a n g e n e R a s i M i l e n i a l

79

membawa ajaran yang bersifat universal, yang tidak hanya diperuntukkan bagi bangsa Arab saat itu. Tetapi juga bagi bangsa-bangsa lain.

“Agama” adalah satu kata yang sangat mudah diucapkan dan mudah juga untuk menjelaskan maksudnya (khususnya bagi orang awam), tetapi sangat sulit memberikan batasan (definisi) yang tepat—lebih-lebih bagi para pakar. Hal ini disebabkan, antara lain, dalam menjelaskan sesuatu secara ilmiah (dalam arti mendifinisikannya), mengharuskan adanya rumusan yang mampu menghimpun semua unsur yang didefinisikan dan sekaligus mengeluarkan segala yang tidak termasuk unsurnya. Kemudahan yang dialami oleh orang awam disebabkan ole cara mereka dalam merasakan agama dan perasaan itulah yang mereka lukiskan. Jhon Locke misalnya, pada akhirnya berkesimpulan bahwa:

“Agama bersifat khusus, sangat pribadi, sumbernya adalah jiwaku dan mustahil bagi orang lain memberi petunjuk kepadaku jika jiwaku sendiri tidak memberi tahu kepadaku”148

Sementara itu, Deklarator Gerakan Islam Cinta, Nasaruddin Umar mendefinisikan agama (din) sebagai seperangkat keyakinan dan amalan yang bersumber dari wahyu, yang dipilih dengan kesadaran, untuk meraih kebahagiaan di dunia dan keselamatan di akhirat.149 Sedangkan John D. Caputo cenderung

148 Komaruddin Hidayat, Agama Punya Seribu Nyawa,.....h. 149.149 Nasaruddin Umar, dalam Kata Pengantar, Imam Taufiq, Al-Qur’an bukan

Kitab Teror (Yogyakarta: Bentang, 2016), h. xv.

G e r a k a n i s l a m c i n t a

80

memahami agama sebagai oase praktik etis dan narasi religius yang merupakan modus dari cara mengasihi Allah dengan sifatnya yang khas, tanpa klaim kepemilikan eksklusif akan “Kebenaran”.150 Caputo menambahkan, bahwa pada abad pertengahan, agama disebut sebagai suatu “keutamaan”, ia bukan dipahami sebagai suatu badan atau komunitas tertentu yang memiliki kantor pusat di Makkah, ataupun di Vatikan misalnya. “Agama yang benar” pada masa itu diartikan sebagai “keutamaan” untuk menjadi sungguh-sungguh religius, sungguh-sungguh mengasihi Allah, dan bukan mengenai adanya suatu agama yang benar, agama kami-melawan-agama kalian. 151 Sedangkan, makna beragama (Tadayyun) menurut Nasaruddin Umar adalah memperkenalkan nilai-nilai ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari, baik secara pribadi, anggota keluarga, maupun masyarakat.152 Nasaruddin meyakini bahwa orang yang beragama kuat dapat diukur melalui konsistensinya dalam melaksanakan ajaran agamanya di dalam kehidupan masyarakat. Adapun yang menjadi salah satu tugas orang yang beragama adalah menciptakan persatuan, dalam pengertian mendamaikan pihak yang bertikai, dengan mencari kesepahaman dan kesepakatan damai.153

150 John. D. Caputo, Agama Cinta, Agama Masa Depan (Bandung: Mizan, 2013), h. 136.

151 John. D. Caputo, Agama Cinta, Agama Masa Depan, h. 140.152 Nasaruddin Umar, dalam Kata Pengantar, Imam Taufiq, Al-Qur’an bukan

Kitab Teror, h. xv.153 Nasaruddin Umar, dalam Kata Pengantar, Imam Taufiq, Al-Qur’an bukan

Kitab Teror, h. xvi.

K e a g a M a a n g e n e R a s i M i l e n i a l

81

Berkaitan dengan pengertian tersebut, Caputo nampaknya memiliki pemahaman yang sejalan tentang beragama. Menurutnya, keberagamaan yang sejati adalah mengasihi Allah, yang terwujud dalam bentuk suatu kegelisahan akan realita kehidupan yang melibatkan resiko kehilangan. Dengan demikian, keberagamaan menurutnya terwujud dalam sikap yang mulia, seperti melayani para janda, yatim piatu, dan orang asing di jalan-jalan yang kumuh dan daerah yang paling berbahaya, tanpa terperangkap dalam klaim atas suatu statemen Ilahi yang istimewa yang dibuat untuk (agama)-mu. Mengutip salah satu ayat dalam Injil, Caputo menyebutkan, “Allah adalah kasih, dan siapa yang tinggal di dalam kasih tinggal di dalam Allah, dan Allah di dalam mereka.” (1 Yoh 4: 16).154 Berkaitan dengan ini, ada kisah dari seorang penyair kenamaan, Jalaluddin Rumi;

“Alkisah, Rumi pernah menceritakan dalam Matsnawi-nya tentang seorang Raja yang gemar membunuh orang-orang Kristen dan wazirnya. Raja tersebut adalah seorang Yahudi, yang karena kefanatikannya, ia membunuh orang-orang Kristen. Walau ketika itu adalah masa Nabi Isa, sedangkan Nabi Isa dan Nabi Musa adalah satu jiwa, tetapi karena matanya juling, raja itu melihatnya sebagai dua orang yang berbeda. Suatu hari seorang guru berkata kepada seorang muridnya yang bermata juling untuk mengambil sebuah botol, namun muridnya malah melihat dua buah botol. Guru itu mengatakan kepadanya untuk berhenti menjulingkan matanya dan memintanya untuk memecahkan sebuah botol.

154 John. D. Caputo, Agama Cinta, Agama Masa Depan, h. 142.

G e r a k a n i s l a m c i n t a

82

Kemudian ia memecahkannya, dan setelah itu tidak ada lagi botol yang tersisa. Dari kisah tersebut, Rumi menjelaskan bahwa kemarahan dan berahi, kepentingan diri sendiri dan penyuapan terhadap seorang hakim telah menyebabkan mata menjadi juling. Alhasil, Raja Yahudi menjadi juling karena membunuh ribuan orang Kristen dan mengklaim sebagai pelindung agama Musa.155

Pelajaran yang Rumi ajarkan dari kisah di atas, dapat disimpulkan dengan penjelasan Caputo dalam bukunya “Agama Cinta; Agama Masa Depan”, bahwa dalam beragama, manusia harus mewaspadai dirinya dari ekstrimisme dan kegilaan ketika orang beriman terngiang dalam kepala mereka bahwa “Kami”—Yahudi atau Kristen, Hindu atau Muslim, atau siapa pun—telah dianugerahi hak istimewa dan akses langsung kepada Tuhan yang tidak ada pada agama yang lain; atau bahwa “kami” dikasihi oleh Allah dengan cara yang khusus sehingga Allah tidak dapat membuat diri-Nya memiliki perasaan kepada orang lain, atau bahwa “Kami” telah dianugerahi keuntungan tertentu oleh Allah yang tidak dianugerahkan-Nya kepada orang lain.156 Ahmad Syafii Maarif mengatakan, tumbuhnya sikap eksklusif yang demikian dalam sebuah masyarakat bersumber dari ketidakdewasaan masyarakat secara psiko-emosional. Mereka umumnya menganggap perbedaan sebagai permusuhan, padahal kekuatan yang pernah melahirkan peradaban-peradaban besar justru didorong oleh perbedaan

155 Sayed G. Safavi, Struktur dan Makna Matsnawi Rumi (Jakarta: Mizan, 2005), h. 91.

156 John. D. Caputo, Agama Cinta, Agama Masa Depan, h.140.

K e a g a M a a n g e n e R a s i M i l e n i a l

83

pandangan dalam melihat sesuatu. Syafii Maarif menyebutkan bahwa gesekan pendapat jika didialogkan secara dewasa akan melahirkan rumusan pandangan yang lebih kuat dan komprehensif. Dengan demikian, orang tidak selaiknya merasa selalu ada di pihak yang paling benar, sebelum pendapatnya diuji melalui dialog yang sehat dalam suasana toleransi dan terbuka.157

Sebagaimana yang disebutkan Caputo dan Maarif, dapat disimpulkan bahwa sikap monopoli kebenaran yang enggan memberi peluang serupa kepada pihak lain untuk berbeda akan menjadi sumber kekacauan dalam masyarakat. Intensitas kekacauan ini bisa berskala luas, begitu syahwat kekuasaan masuk ke dalamnya. Hal demikian persis sebagaimana yang telah Rumi ungkapkan dalam kisah yang telah diuraikan di atas. Menyikapi agama sebagai modus mengenal Tuhan, Ibn ‘Arabi158 dengan teori manifestasi (Tajalli) menyatakan bahwa

157 Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan (Bandung: Mizan, 2009), h. 189.

158 Gelar “Mahaguru” (al-Syaikh al-Akbar) tersematkan kepada Abu Bakr Muhammad ibn ‘Ali, lebih dikenal luas sebagai Muhyi al-Din Ibn ‘Arabi (w. 638/1240M). Terlahir dari keluarga elite pada 460H/1165M di Kota Murcia, Andalusia (wilayah Iberia Muslim) dan dibesarkan di Sevilla sejak usia enam tahun, dia telah mendapat keistimewaan bertemu para cendikiawan masyhur dan menimba berbagai macam ilmu langsung di bawah bimbingan mereka, termasuk seorang filsuf terkenal Ibn Rusyd (Averoes, w. 595H/1198M) sebagaimana dia tulis, belum tumbuh jenggot maupun kumis, ia mengalami sebuah peristiwa mistis yang mengubah kehidupannya sejak saat itu. Dia lantas menarik diri dari masyarakat dan mulai menerima “iluminasi” (atau “penyingkapan”) istimewa. Dalam visinya, dia bertemu Nabi Isa, yang menyuruhnya mengenyahkan segala kepemilikan duniawi. Belum lama peristiwa itu berselang, dia bertemu lagi dengan Nabi Isa, kali ini ditemani Nabi Musa dan Nabi Muhammad. Ketiga pendiri agama Abrahamik itu

G e r a k a n i s l a m c i n t a

84

“Tuhan adalah semua”. Dengan demikian, siapa pun, pada taraf tertentu, adalah “mengetahui Tuhan”, karena menurut teori Tajalli, objek-objek yang mereka saksikan itu (termasuk diri mereka sendiri) adalah pengejawantahan dari nama-nama Ilahi. Bagi Ibn ‘Arabi, karena nama-nama-Nya ada di dalam setiap konseptualisasi pikiran manusia, maka setiap iman apapun itu, adalah benar dan bermakna. Ibn ‘Arabi mengatakan bahwa bagi siapapun yang telah mampu mengaktualisasi nama-nama Ilahi yang bersemayam di dalam fitrahnya sebagai manusia, maka ia telah dianugerahi sebuah pandangan yang inklusif tentang semua agama, akidah, sekte, dan doktrin mengenai Tuhan, dan tiada satu pun dari semua itu yang dianggap keliru atau sia-sia, karena Ibn ‘Arabi berkeyakinan bahwa Tuhan “Tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya tanpa hikmah” (QS. 38:27). Dan,

dikatakan telah menerima Ibn ‘Arabi dibawah perlindungan mereka. Merasa terdorong melakukan rihlah ke arah timur, dia pun akhirnya menuju Makkah dan tiba di sana pada 598H/1202M. Ia lantas begitu tergerak oleh pengalaman yang dialaminya di Ka’bah dan menggiring dirinya mengarang apa yang kemudian menjadi magnum opus-nya, al-Futuhat al-Makkiyyah (Pembukaan Mekah), sebuah kita tebal berjilid-jilid yang berisi pemaparan luas dan mendalam tentang doktrin sufismenya. Pada 620H/1223M, dia menetapkan di Syria, kota di mana dia merampungkan sekaligus merevisi Futuhat. Di sanalah dia menulis sebuah karya berpengaruh lainnya (sekalipun lebih pendek), yaitu Fushush al-Hikam (Wadah Kebijaksanaan), yang dia yakini didikte langsung dari Nabi lewat mimpi dan berisi paparan rinci tentang hikmah atau kebijaksanaan menurut ajaran 27 nabi, dimulai dari Adam hingga Muhammad. Dengan ratusan karya yang ia tulis tentang bermacam tema, tidak heran bila Ibn ‘Arabi dikenal luas sebagai paling produktif dari semua penulis sufi. Dari semua karyanya, hanya Futuhat dan Fusus yang membangkitkan reaksi paling besar, baik dari pendukung maupun penantang. Lihat: Muhammad Hassan Khalil, Islam dan Keselamatan Pemeluk Agama Lain (Bandung: Mizan, 2016), h. 93-94.

K e a g a M a a n g e n e R a s i M i l e n i a l

85

karena segala sesuatu—termasuk semua agama dan sistem pemikiran—mencerminkan suatu aspek Ilahi, maka mereka juga menggiring ke arah Tuhan. Sebagaimana ditegaskan sendiri dalam Quran, “Kepada Allah-lah segala urusan kembali” (QS. 57:5) dan “semua akan kembali kepada-Nya.” (QS. 5: 18).159

Pada akhirnya, dengan mengambil pengertian Caputo, agama-agama merupakan aneka cara yang khas untuk mengenal dan mengasihi Allah. Menurutnya, semua orang yang mengasihi lahir dari Allah dan mengenal Allah; sehingga akan terlalu banyak jika dimuat dan dihitung.160 Sikap merasa paling benar adalah sebuah keangkuhan yang tidak bisa dimaafkan. Keangkuhan bukanlah sifat orang yang beriman maupun beragama secara autentik, melainkan mewarisi sifat iblis yang merasa bangga dengan asal-usulnya. Ia menambahkan, bahwa sesungguhnya yang menjadi musuh keragaman adalah mereka yang ingin memonopoli kebenaran, dan jika perlu, Tuhan “diperalatnya”.161 Secara tegas, Nasaruddin Umar menyatakan bahwa tak ada satupun agama yang mengajarkan kekerasan bagi para penganutnya.162

159 Muhammad Hasan Khalil, Islam dan Keselamatan Pemeluk Agama Lain (Bandung: Mizan, 2016), h. 97.

160 John. D. Caputo, Agama Cinta, Agama Masa Depan, h. 139.161 Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam bingkai Keindonesiaan dan

Kemanusiaan, h. 206.162 Pernyataan tersebut disampaikan oleh Nasaruddin Umar dalam

peluncuran buku Islam Cinta berjudul Mereguk Cinta Rumi pada perayaan Islamic Book Fair, 5 Maret 2016, di Istora Senayan.

G e r a k a n i s l a m c i n t a

88

muslim Indonesia164—Syafii Maarif, menyebut Haidar Bagir adalah pemikir Muslim yang tidak henti-hentinya bersuara melalui gagasan-gagasan reflektifnya yang segar dengan menguak sisi-sisi yang peka sekalipun dalam khazanah pemikiran Islam. Semuanya ini dilakukannya agar umat Muslim mengembangkan kultur lapang dada dalam menyikapi perbedaan pandangan. Sikap mengafirkan seseorang dalam lingkungan agama yang sama mendapat sorotan tajam darinya. Kemudian Gus Mus (panggilan akrab Mustofa Bisri) pun turut mengungkapkan, Haidar Bagir adalah pembaca dan pengamat zaman dan dinamika manusia di dalamnya, melalui hati dan pikiran serta bimbingan wahyu yang mengejawantah dalam perilaku teladan Rasul al-Rahmah, Nabi Muhammad Saw165—

sebagai Board Member of Global Compassionate Council bersama Karen Amstrong yang berbasis di New York Amerika Serikat, menjadi dosen di beberapa Universitas, dll. Selengkapnya; Haidar Bagir, Islam Tuhan Islam Manusia; Agama dan Spiritualitas di Zaman Kacau (Jakarta: Mizan, 2017), h. 287-288.

164 Gerakan Islam Cinta dideklarasikan oleh 40 tokoh muslim Indonesia, diantaranya: Prof. Dr.Azyumardi Azra; Prof. Dr. Amin Abdullah; Prof. Dr. Syafi’i Maarif, MA; Prof. Dr. Komaruddin Hidayat; Prof. Dr. Mochtar Pabottingi; Prof. Dr. KH. Said Agil Siraj; Prof. Dr. Din Syamsudin; Prof. Dr. Jimly As-Shiddiqie; Prof. Dr. Mahfud MD; Prof. Dr. Nasaruddin Umar; Dr. Haidar Bagir; Anies Baswedan, Ph.D; KH. Mustofa Bisri; Emha Ainun Najib; Yudi Latif, Ph.D; Dr. Karlina Supelli; Putut Widjanarko, Ph.D; Zainal Abidin Bagir, Ph.D; Irfan Amalee; Jusuf Sutanto; Seto Mulyadi; Abdillah Toha; Ahmad Rifa’i Hasan, Ph.D; Hanung Bramantyo; Salman Aristo; Oki Setiana Dewi; Ratih Sanggarwati; Asma Nadia; Reza Rahardian; Candra Malik; Dedi Soetomo; Surya Saputra; Chintya Lamusu; Ahmad Fuadi; Andrea Hirata, dll. Selengkapnya: https://www.islamcinta.co diakses pada tanggal 11 Januari 2018, pukul 09.00 WIB.

165 Buya Syafii Maarif (Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif) dan Gus Mus (KH. Mustofa Bisri) merupakan dua tokoh diantara para tokoh lainnya yang mendukung dan mendeklarasikan inisiasi berdirinya Gerakan Islam

g e R a Ka n i s l a M C i n Ta : M e M P R o M o s i Ka n i s l a M s e B ag a i ag a M a C i n Ta

89

GIC didirikan pada tanggal 20 Januari 2012, di Jakarta, sebagai upaya mengembalikan pemahaman (atau dapat dikatakan untuk mengingatkan kembali) kaum muslimin bahwa puncak keberagamaan itu adalah kepemilikan cinta-kasih kepada sesama makhluk-Nya.166 GIC adalah respons kalangan muslim moderat terhadap maraknya kasus intoleransi, kekerasan, dan terorisme mengatasnamakan agama.167

Pendirian Gerakan Islam Cinta, tak lepas dari pemikiran Haidar Bagir—sebagai yang mengawali inisiasi berdirinya organisasi tersebut dan para tokoh pendukung yang memiliki paham keagamaan moderat. Haidar Bagir menjelaskan168 yang melatarbelakangi pendirian GIC, menurutnya bermula pada tahun 2002, Annemerie Schimmel, dalam salah satu ceramahnya di Universitas Harvard, pernah menyatakan bahwa Islam biasanya diperlakukan dengan agak buruk dan “semberono”, karena sebagian besar sejarawan agama dan mayoritas orang pada umumnya lebih melihatnya sebagai agama primitif

Cinta. Pernyataan tersebut— tentang sosok Haidar Bagir disampaikan pada (peluncuran) buku karya Haidar Bagir berjudul “Islam Tuhan Islam Manusia; Agama dan Spiritualitas di Zaman Kacau” (Jakarta: Mizan, 2017).

166 Haidar Bagir mengungkapkan pernyataan ini sambil mengisahkan pengalamannya menjadi narasumber di tengah komunitas Muslim New Zealand, ia sampaikan ini pada Kajian Islam Cinta di Jakarta pada 9 Maret 2015.

167 Wawancara dengan Ketua Gerakan Islam Cinta, Irfan Amalee di Jakarta.168 Haidar Bagir, menuangkan kerangka pemikiran pendirian Gerakan

Islam Cinta dalam sebuah teks pidato pada awal peresmiannya—yaitu, pada 20 Januari 2012 di Jakarta, yang kemudian teks tersebut menjadi sub-bab dalam buku terbarunya berjudul “Mempromosikan Islam Cinta”. Lihat: Haidar Bagir, Islam Tuhan Islam Manusia; Agama dan Spiritualitas di Zaman Kacau (Jakarta: Mizan, 2017), h. 231.

G e r a k a n i s l a m c i n t a

90

yang melulu berhubungan dengan hukum. Namun, dengan mengutip pendekatan beberapa ahli fenomenologi agama—antara lain; Gerard van Der Leeuw, Annemerie Schimmel—Haidar Bagir menunjukkan bahwa sesungguhnya Islam adalah agama yang tak kurang berorientasikan cinta-kasih. Hal serupa ditegaskan oleh deklarator Gerakan Islam Cinta, Mustofa Bisri (Gus Mus) yang menyatakan Islam disebut Din al-Rahmah (agama kasih sayang). 169

Selanjutnya—sebagaimana telah dikutip oleh penulis, dalam bab sebelumnya—dijelaskan oleh Haidar bahwa Tuhannya Islam adalah Tuhan Kasih-sayang yang menyatakan bahwa “Kasih-sayang-Ku meliputi apa saja”...dan menundukkan murka-Ku’. Dalam ayat “Bismi-Allahi-Rahmanir-Rahim” yang menjadi pembuka surat pertama dan semua surah dalam al-Qur’an—kecuali dalam salah satu surat al-Taubah, yang di dalamnya ayat -bismillah ditempatkan di tengah surat—Tuhan menyebut dirinya dengan Allah—yakni asma: penggabung (al-Asma’ al-Jami’) dari kesemua Asma’-nya—lalu menisbahkan kepadanya dua kata sifat yang sama-sama berakar dari kata “rahmah” (bermakna kasih sayang). Yakni, al-Rahman al-Rahim: Yang menyayangi seluruh makhluk-Nya tanpa terkecuali dengan memberinya semua bekal yang memungkinkannya hidup berbahagia, dan pada saat yang sama, Ia memberikan kasih-sayang khusus berupa petunjuk kepada manusia yang mau menapaki jalan-Nya (karena memang petunjuk-Nya hanya ada di jalan-Nya). Bahkan, menurut Haidar, bukan hanya

169 Lihat: https://www.islamcinta.co diakses pada tanggal 11 Januari 2018, pukul 09.00 WIB.

g e R a Ka n i s l a M C i n Ta : M e M P R o M o s i Ka n i s l a M s e B ag a i ag a M a C i n Ta

91

Tuhannya, Nabinya Islam pun adalah nabi yang disebut Tuhan sebagai berakhlak agung karena cinta dan kasih sayangnya kepada manusia, dalam kata lain disebut Nabi al-Rahmah, atau Nabi kasih sayang.170

Atas semua itu, Haidar menyatakan, ada dalam salah satu penggalan sabda Nabi, yang dikutip oleh Imam Ghazali di dalam Ihya’ al-Ulum al-Din, dikatakan bahwa: «Cinta adalah asas (ajaran agama)-ku.” Dalam al-Qur’an sendiri terdapat lebih dari 20 (dua puluh) kata yang maknanya termasuk sebagai salah satu rumpun makna cinta. Imam Ja’far al-Sadiq, yang mengatakan: “Apalagi agama itu kalau bukan cinta?!..Agama itu cinta dan cinta itu agama. Islam, dikatakan Haidar Bagir, memang bukannya tak memiliki aspek “keras”. Namun, aspek ini selalu dibawahkan kepada aspek kasih-sayang ini. Dalam sebuah hadis disabdakan bahwa, di antara orang-orang yang akan diberi naungan oleh Allah ketika tak ada lagi naungan, adalah “orang-orang yang mencinta karena Allah dan membenci karena Allah.” Ajaran yang sama juga terkandung dalam hadis Imam Ja’far yang dikutip di atas. Tetapi, jika rahmat-Nya meliputi segala, dan kasih sayang-Nya menaklukkan murka-Nya, maka mudah dipahami bahwa bahkan kebencian itu merupakan perpanjangan dari kasih sayang. Seperti ter-kandung dalam perkataan Nabi Ibrahim yang disitir al-Qur’an, kebencian dan permusuhan diarahkan kepada sifat atau perbuatan buruk orang, bukan kepada orang atau pelakunya sendiri. Kenyataannya, setiap muslim punya

170 Haidar Bagir, Islam Tuhan Islam Manusia; Agama dan Spiritualitas di Zaman Kacau (Jakarta: Mizan, 2017), h. 231.

G e r a k a n i s l a m c i n t a

92

kewajiban berdakwah, mengajak orang kepada Tuhan, kepada kebaikan.171

Lantas, mungkinkah seseorang mau mengajak orang kepada Tuhan dan kebaikan jika dia membenci—dalam makna menginginkan keburukan—orang tersebut?. Akhirnya, tak sulit bagi yang teliti untuk memahami ajaran al-Qur’an bahwa perang atau kekerasan dalam Islam hanya legitimate jika ada agresi, atau penindasan, sementara jalan untuk menyelesaikannya secara damai sudah sama sekali tertutup. Begitu pun, perang dan kekerasan segera kehilangan legitimasinya begitu musuh—oleh sebab keadaan terdesak atau sebab lain—bersedia melakukan perundingan dan penyelesaian damai. Haidar menyatakan bahwa meskipun Islam melulu diperkenalkan dengan aspek hukum bahkan politik, sejatinya alpha-omeganya Islam adalah cinta dan kasih sayang. Dan hal ini telah terangkum dalam sebuah hadis qudsi tentang asal-muasal primordial penciptaan alam-semesta, yang di dalamnya Allah, Sang Pencipta sendiri berfirman: “Dulu aku (cuma sendiri sebagai) khazanah tersembunyi. Aku rindu (ah}babtu, aku cinta) dikenali. Maka kuciptakan ciptaan agar aku dikenal..”. Alam tercipta karena kerinduan dan cinta. Maka cinta pun ada di mana-mana—di antariksa tinggi, dalam diri manusia hingga hewan bersel satu, maupun dalam batu-batuan di pelosok bumi—kapan saja—setiap detik sejak azali hingga keabadian—menjadi ikatan yang tak pernah melemah

171 Penjelasan Haidar Bagir dalam catatan kerangka pendirian GIC,Selengkapnya;www.islamcinta.co:https://www.islamcinta.co/singlepost/2018/02/07/islam-agama-cinta diakses pada tanggal 23 Februari 2018, pukul 19.00 WIB.

g e R a Ka n i s l a M C i n Ta : M e M P R o M o s i Ka n i s l a M s e B ag a i ag a M a C i n Ta

93

di antara semua unsur penciptaan: Antara tuhan dan alam, antara Tuhan dan manusia, antara manusia dan manusia, dan antara manusia dan unsur-unsur alam selebihnya.172

Haidar juga berpendapat, entah karena kesalahpahaman kaum Muslim sendiri, atau pun karena penyalahfahaman oleh pihak-pihak lain, paradigma pemahaman Islam sebagai agama kasih-sayang ini seperti tenggelam di bawah hiruk-pikuk peperangan dan kekerasan yang seolah terjadi di mana-mana di dunia Islam. Yang lebih parah, kesemuanya ini ditempatkan di bawah tajuk “Jihad”, yang dipahami sebagai perang sabil, betapa pun kekeliruan pemahaman terhadap gagasan jihad ini sudah sedapat mungkin dicoba diluruskan sebagai jauh lebih luas ketimbang sekadar perang (Qital).173

Dan bahwa jihad perang (disebut sebagai “jihad kecil”oleh Nabi) tak boleh dilandasi nafsu dan kebencian dan oleh karenanya, ia hanya dibolehkan bagi orang yang sudah berhasil dalam “jihad agung (al-Jihad al-Akbar)” berupa perang melawan hawa nafsu/egoisme. Agar dengan demikian perang pun dilandasi cinta: cinta kepada kemanusiaan. Akibat kesalahpahaman ini, bukan saja citra Islam menjadi rusak, melainkan di dalam kalangan Islam sendiri muncul kelompok-kelompok yang memiliki aspirasi pemaksaan pendapat dan kehendak, tak jarang dengan menghalalkan kekerasan. Belakangan, gejala seperti ini terasa makin mengkhawatirkan sehubungan dengan adanya kecenderungan

172 Haidar Bagir, Islam Tuhan Islam Manusia; Agama dan Spiritualitas di Zaman Kacau (Jakarta: Mizan, 2017), h. 231.

173 Haidar Bagir, Islam Tuhan Islam Manusia.....,h. 231.

G e r a k a n i s l a m c i n t a

94

menguatnya kelompok-kelompok yang melintasi batas-batas negara dan bangsa. Jika dibiarkan, gejala ini akan dapat menjadi ancaman yang serius bagi keutuhan dan kerukunan bangsa. Dan sebagimana disaksikan, kenyataannya Indonesia belum bebas dari ancaman tersebut. Setiap pengamat yang teliti tak akan bisa gagal melihat bahwa gejala radikalisme yang berakal pada ekstremisme, kebencian, dan aspirasi kekerasan sudah menampakkan tanda-tandanya di negeri ini.174

Maka, jika masyarakat tak mengambil insiatif untuk segera meluruskan hal ini, dikhawatirkan negeri Indonesia pun tak akan dapat menbebaskan diri dari gejala konflik dan kekerasan sektarian atau keagamaan yang sekarang telah merundung berbagai negeri lain dan terbukti menyengsarakan rakyatnya. Sebagai salah satu bentuk upaya masyarakat itu, Haidar Bagir dan tokoh-tokoh bangsa lainnya berinisiatif untuk mendirikan sebuah organisasi yang disebut “Gerakan Islam Cinta”. Sengaja dipergunakan kata Gerakan, untuk menegaskan niat bahwa, betapa pun akan menjadikan cinta sebagai basis setiap kegiatannya, organisasi ini akan bersikap aktif dalam melancarkan upaya-upaya, baik dalam mewujudkan pergeseran paradigma dalam memahami dan menghayati Islam, maupun dalam mengambil langkah-langkah mewujudkan cinta kasih dalam kehidupan kemasyarakatan, khususnya di negeri tercinta, Indonesia.175

Sehubungan dengan adanya Gerakan Islam Cinta, sejumlah tokoh, menyatakan dukungannya terhadap organisasi ini,

174 Haidar Bagir, Islam Tuhan Islam Manusia.....,h. 231. 175 Haidar Bagir, Islam Tuhan Islam Manusia.....,h. 231.

g e R a Ka n i s l a M C i n Ta : M e M P R o M o s i Ka n i s l a M s e B ag a i ag a M a C i n Ta

95

diantaranya; Menteri Agama RI, Lukman Hakim Saefuddin mendukung bahkan mengapresiasi Gerakan Islam Cinta untuk terus sampaikan pesan damai Islam kepada masyarakat luas.176 Cendekiawan Muslim Komaruddin Hidayat menyatakan bahwa Gerakan Islam Cinta memberikan pesan bahwa Islam sangat pro-perdamaian, kemanusiaan, dan peradaban.177 Selain itu, Imam Besar Masjid Istiqlal, Nasaruddin Umar juga memberikan pandangannya terhadap organisasi gerakan ini, ia mengungkapkan bahwa dunia Islam dalam dua dekade terakhir seringkali menampilkan perilaku kebencian yang berlebihan, seperti yang dilakukan para teroris, yang rela mengorbankan sekian banyak nyawa yang tak berdosa dalam memeprjuangkan ide-idenya. Padahal, atas nama apapun, kepada siapapun, dan untuk kepentingan apapun, kekerasan tidak pernah dibenarkan menjadi alternatif solusi oleh Nabi Muhammad Saw. Al-Qur’an bahkan melarang seseorang mengorbankan atau mencelakakan diri sendiri untuk mencapai tujuan, semulia apapun tujuan itu, sebagaimana ditegaskan: “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S. al- Baqarah/2:195). Ayat lain juga menegaskan:”Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak

176 Laporan Gerakan Islam Cinta Tahun 2016.177 Pernyataan tersebut disampaikan oleh Nasaruddin Umar dalam

peluncuran buku Islam Cinta berjudul Mereguk Cinta Rumi pada perayaan Islamic Book Fair, 5 Maret 2016, di Istora Senayan Jakarta. Acara tersebut diselenggarakan oleh Mizan bekerjasama dengan Gerakan Islam Cinta.

G e r a k a n i s l a m c i n t a

96

adil.” (Q.S. al-Maidah/5:8).178 Oleh karenanya Gerakan Islam Cinta berisi ajakan kelembutan, kedamaian, kehalusan, dan harmoni. Alwi Shihab pun mengatakan Gerakan Islam Cinta didirikan untuk mensosialisakan ajaran Islam yang penuh cinta dan kasih sayang.179

Dalam perkembangannya, Gerakan Islam Cinta bertempat di Cirendeu Raya, perbatasan antara dua kota metropolitan, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta dengan Kota Tangerang Selatan, Banten—sebelum bertempat di Cirendeu Raya, GIC sempat menempati sekretariat di daerah Cilandak dan Cinere, namun karena lokasi tersebut kurang strategis, pada tahun 2016 memutuskan pindah ke Cirendeu Raya.180 Daerah tersebut merupakan kawasan strategis, dekat dengan wilayah Depok, terjangkau dengan akses transportasi Parung Bogor, dan Tangerang. sehingga memudahkan para pendukungnya—terutama dari kelompok milenial (dalam keanggotaan GIC untuk usia milenial disebut kelompok Generasi Islam Cinta/Gen-IC) yang bermukim di kawasan Jabodetabek—untuk berkunjung, bertemu dan berdiskusi mengenai hal-hal yang up to date, terlebih mengikuti kegiatan-

178 https://www.islamcinta.co/singlepost/2018/06/26/MEWUJUDKAN-ISLAM-CINTA, diakses pada tanggal 22 Juni 2018, Pukul 22.00 WIB.

179 Disampaikan oleh Alwi Shihab pada peluncuran film Gerakan Islam Cinta berjudul Ayat-Ayat Adinda di Hotel Alia Cikini Jakarta Pusat, pada 20 Januari 2015, pukul 15.00 WIB.

180 Sekretariat Gerakan Islam Cinta, di Kawasan Cirendeu Plaza, Jalan Cirendeu Raya No. 20.

g e R a Ka n i s l a M C i n Ta : M e M P R o M o s i Ka n i s l a M s e B ag a i ag a M a C i n Ta

97

kegiatan Gerakan Islam Cinta Jakarta—seperti akan dijelaskan di sub-judul berikutnya.181

Tercatat, sepanjang pendiriannya, Gerakan Islam Cinta Jakarta telah berhasil menyelenggarakan program-program—yang tidak hanya bersifat preventif, edukatif, tetapi juga kreatif—seperti; Festival Islam Cinta (2015) yang dihadiri lebih dari 2000 peserta, dengan mengangkat tema “Islam Itu Ramah bukan Marah” kegiatan tersebut diselenggarakan oleh Gen-IC di UIN Jakarta, turut hadir dalam kegiatan tersebut, Pendiri Gerakan Islam Cinta; Haidar Bagir, Dewan Pembina; Mahfud MD, Alwi Shihab, Komaruddin Hidayat, Ahmad Syafii Maarif, Jajaran Pengurus dan Deklarator; Irfan Amalee, Anies Baswedan, Zaskia Adya Mecca, Ratih Sang, Candra Malik, Putut Widjanarko, Yana Julio, Dik Doang, Hikmat Darmawan, Garin Nugroho, dan lainnya. Dalam festival tersebut, Syafii Maarif mengajarkan perdamaian, keamanan, dan cinta-kasih. Kelompok-kelompok radikal merupakan kelompok kecil yang terdiri atas orang-orang yang terasingkan atau terpinggirkan. Kelompok tersebut memiliki kekuatan karena kelompok Islam moderat cenderung diam. Kelompok radikal memahami Islam sebagi agama yang “menghukum” orang lain. Padahal, inti ajaran Islam bertumpu pada kasih dan cinta.182 Selain itu, GIC Jakarta juga aktif menyelenggarakan diskusi, bedah buku, seminar, nobar (nonton bareng) dalam Forum Islam

181 Wawancara dengan Irfan Amalee, Ketua Gerakan Islam Cinta. 182 Harian Kompas, Festival Islam Cinta; Kembangkan Ajaran Islam yang

Ramah, terbit tanggal 4 Juni 2015.

G e r a k a n i s l a m c i n t a

98

Cinta, pelatihan (pengenalan) Sembilan Nilai Islam Cinta dan pertemuan-pertemuan lainnya.183

Anggota Gerakan Islam Cinta—yang sudah terdata—tidak kurang dari 3000 orang dari jumlah seluruhnya sebanyak 8347 orang yang tersebar di wilayah Indonesia, bahkan beberapa dari manca negara184 Terdapat 80 persen—dari jumlah tersebut—berusia milenial (1980-2000) dan dari yang sudah terdaftar, sebanyak 60 persen berprofesi sebagai pelajar/ mahasiswa.185 Mereka secara aktif mengikuti kegiatan-kegiatan (bentuk kegiatan-kegiatan Gerakan Islam Cinta akan dijabarkan di sub-judul berikutnya) yang diselenggarakan oleh Gerakan Islam Cinta, bahkan diantaranya ada yang menginisiasi sendiri kegiatan serupa di lingkungannya, seperti Kajian Islam Cinta dan lain-lain. Gerakan Islam Cinta di Jakarta terus aktif mengajak masyarakat, apalagi kalangan milenial, untuk sama-sama mengembalikan citra Islam sebagai agama cinta yang menyampaikan kesejukan dan kedamaian. Agar dapat difahami dengan baik, Gerakan Islam Cinta merekomendasikan anggotanya untuk dapat mempelajari dan menyebarluaskan konten-konten Islam Cinta yang bersumber dari buku-buku Islam Cinta, artikel, makalah, film, video singkat, dan

183 Wawancara Ketua Gerakan Islam Cinta, Irfan Amalee di Jakarta. 184 Laporan Gerakan Islam Cinta, pada tahun 2016 menunjukkan 80%

pendukungnya beranggotakan milenial yang berprofesi sebagai pelajar/mahasiswa dan pekerja sebagai wiraswasta dan atau PNS, hal ini disampaikan pada Forum Islam Cinta, tanggal 4 Januari 2018, pukul 10.00 WIB.

185 Laporan Gerakan Islam Cinta, pada tahun 2016.

g e R a Ka n i s l a M C i n Ta : M e M P R o M o s i Ka n i s l a M s e B ag a i ag a M a C i n Ta

99

rujukan-rujukan lainnya.186 Budayawan Sufi, Candra Malik mengungkapkan bahwa Gerakan Islam Cinta memberi energi sekaligus inspirasi bagi bagi generasi muda masa kini, GIC memberikan pesan penting, bahwa generasi muda perlu bergerak untuk membawa pesan perdamaian.187

B. Penyebaran, Pengaruh dan Posisi Gerakan Islam Cinta

Lahirnya Gerakan Islam Cinta didasari dengan cinta, menurut Haidar Bagir, sebenarnya semua agama, bukan hanya Islam, alpha-omega nya itu cinta. Bermula dari cinta dan berakhir pada cinta. Dan bukan agama kalau bukan cinta.188 Munculnya ide Gerakan Islam Cinta, yaitu ketika banyak peristiwa kekerasan yang mengatasnama-kan agama. Apalagi sekarang ini, banyak praktik keberagamaan antitesis dari makna agama yang dipahami. Padahal agama itu dari A sampai Z-nya adalah cinta.189

Keberadaan Gerakan Islam Cinta menempati posisi strategis—sebagaimana disebutkan oleh penulis pada bab

186 Wawancara dengan Irfan Amalee, Ketua Gerakan Islam Cinta. 187 Selangkapnya:http://www.dutaislam.com/2016/02/islam-memberi-

energi-dan-inspirasi.html di akses pada tanggal 27 Februari 2018, pukul 21.00 WIB.

188 Selengkapnya:https://islamindonesia.id/berita/wawancara-bukan-agama -kalau-bukan-cinta.htm diakses pada 12 Januari 2018, pukul 22.00 WIB.

189 Pernyataan ini disampaikan dalam Bincang-Bincang Buku Islam Cinta “Belajar Hidup dari Rumi” yang diselenggarakan oleh Mizan bekerjasama dengan Gerakan Islam Cinta di Plaza Senayan Jakarta, pada tanggal 17 September 2015, pukul 16.00 WIB.

G e r a k a n i s l a m c i n t a

100

terdahulu—GIC aktif mengembangkan kegiatan-kegiatan keislaman yang sejuk dan damai, dalam rangka ikut serta mewujudkan cinta kasih dan kerukunan dalam kehidupan masyakat. Dalam perspektif sosiologis, kehadiran Gerakan Islam Cinta ini merupakan hal positif. Kehadiran organisasi ini—meskipun masih jauh dari konsepsi ideal—menyumbang integrasi sosial khususnya dikalangan generasi milenial. Ditingkat internal, keberadaan organisasi ini dapat menjadi pengikat (bonding) semua anggota yang berlatar belakang sama. Sedangkan di tingkat eksternal, organisasi ini dapat menjembatani (bridging) atau menghubungkan masyakat yang berbeda-beda. Berdasarkan pengamatan penulis, penyebaran tentang keberadaan organisasi ini, cukup cepat tersebar luas di wilayah Indonesia. Bahkan, sudah tersebar hingga ke New Zealand, London-Inggris—buku Islam Cinta berjudul “Risalah Cinta dan Kebahagiaan” karya Haidar Bagir diterbitkan oleh penerbit Inggris-Kube Publishing, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, berjudul “Islam: The Faith of Love and Happiness”, buku tersebut mendapat respons positif dari pembacanya, hingga kemudian diluncurkan di Universitas Oxford.190 Di Malaysia, buku Islam Cinta berjudul “Belajar Hidup dari Rumi” diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris-Melayu dengan judul “love Like Rumi”. Capaian tersebut, tentu tidak lepas dari pengaruh figur Haidar Bagir, dan para tokoh lainnya yang dengan gencar mempromosikan konten-konten

190 Selengkapnya:https://islamindonesia.id/berita/di-london-buku-karya-haidar-bagir-tentang-islam-diluncurkan.htm. Diakses pada tanggal 11 Januari 2017, pukul 10.00 WIB.

g e R a Ka n i s l a M C i n Ta : M e M P R o M o s i Ka n i s l a M s e B ag a i ag a M a C i n Ta

101

yang diusung oleh Gerakan Islam Cinta dalam kegiatan ilmiah dan yang lainnya—dalam bentuk diskusi, seminar, dan bentuk-bentuk pertemuan lain dengan topik-topik yang terkait dengan pengembangan orientasi cinta dalam Islam.

Selain itu, pengaruh publikasi media juga sangat mendukung penyebaran Gerakan Islam Cinta kepada masyarakat, terutama di Jakarta. Tahun 2015, koran harian Kompas menampilkan pemberitaan dengan sangat baik tentang salah satu program unggulan GIC, yaitu Festival Islam Cinta, di kolom berita tersebut, tercantum “Festival Islam Cinta; Kembangkan Ajaran Agama yang Ramah”. Di festival tahun berikutnya, secara jelas mencatumkan kalimat ajakan “Berserulah, Islam itu Cinta...” isi pemberitaannya tidak hanya menampilkan capaian yang diraih, namun informasi konten dari para narasumber dan dampaknya pun tersampaikan—Bahkan, tidak hanya Kompas, koran harian lain seperti Republika, Tempo, Sindo, juga turut menampilkan hal serupa, tak terkecuali media-media online dan media sosial; Twitter, Intagram, Facebook. Selain itu, Gerakan Islam Cinta didukung juga dengan pemberitaan media TV diantaranya; Net TV; dalam program Indonesia Morning Show, Trans TV; dalam program CNN Indonesia, TVRI, Berita Satu, I-News, TV One; dalam Kabar Petang, Kompas TV; Kompas Update, Metro TV; dalam program Metro News, dan masih banyak lagi. Dukungan pun datang dari kalangan selebritas ternama, seperti Zaskia Adya Mecca, Surya Saputra, Hanung Bramantyo, Salman Aristo, Asma Nadia, Reza Rahardian, Ratih Sang, dan lainnya, yang turut serta menjadi “magnet” dan ikut mempengaruhi kelompok milenial dan masyarakat lainnya

G e r a k a n i s l a m c i n t a

102

untuk ikut terlibat dan mendukung penyebaran inti ajaran Islam, yaitu; cinta. Zaskia Adya Mecca menyatakan bahwa Gerakan Islam Cinta adalah wadah untuk meyebarluaskan ajaran Islam yang sejuk dan damai.191

Dengan demikian—terlebih di tengah situasi keberagamaan yang seringkali meresahkan belakangan ini—kehadiran Gerakan Islam Cinta, menjadi oase di tengah sahara pemikiran dan perilaku keberagamaan yang demikian nomos atau law (fiqh) oriented. Gerakan Islam Cinta menempati posisi “tengah”, menjadi “jembatan” pertemuan dan dialog antar mazhab (Sunni-Syiah), NU-Muhammadiyah, bahkan menjadi ruang pertemuan dan dialog terhadap non-Muslim.192 Haidar Bagir, menjelaskan bahwa pada prinsipnya Gerakan Islam Cinta mengajak umat beragama terutama kaum muslimin untuk mengedepankan cinta, dan tidak boleh benci kepada siapapun—bahkan terhadap penjahat, penindas, tidak boleh membenci—Ia selalu menegaskan bahwa “Islam—bahkan agama apapun—tidak menyisakan ruang sedidkitpun untuk kebencian” sekalipun begitu, bukan berarti Gerakan Islam Cinta melarang untuk “menghukum”, menghukum terhadap perilaku kejahatan, kerusakan dan lainnya diperbolehkan asal bukan dengan motif kebencian, tetapi dengan motif kecintaan. Dalam terbitan FAQ (Frequently Asked Question) Gerakan Islam

191 Pernyataan tersebut disampaikan oleh Zaskia Adya Mecca dalam Seminar Islam Cinta pada tanggal 3 Juni 2015 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

192 Penyataan ini, diungkapkan Irfan Amalee, pada program talkshow Tempo TV dan siaran RDK pada tanggal 11 Maret 2015 di Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

g e R a Ka n i s l a M C i n Ta : M e M P R o M o s i Ka n i s l a M s e B ag a i ag a M a C i n Ta

103

Cinta atau pertanyaan yang sering diajukan tentang Gerakan Islam Cinta, diantaranya adalah yang berkaitan dengan hal di atas, yaitu;

Pertanyaan: Islam Cinta berpendapat bahwa tidak boleh membenci siapapun, meskipun penjahat atau penindas. Apakah itu berarti menurut perspektif Islam Cinta kita harus diam saja melihat kejahatan dan penindasan seperti itu? Atau kalau pun boleh berupaya mengatasinya atau melawannya, kita tetap tak boleh menggunakan kekerasan?.

Jawaban: Tentu kejahatan harus ditahan dan dihentikan. Penindasan harus diatasi, kalau tak bisa dengan damai, dengan kekuatan (kekerasan). Kalau tak bisa dibuat paham dan menghentikan kejahatannya dengan damai, maka kita harus melawan, menaklukkan; kalau harus menghukum, maka hukumlah. Tapi dorongannya tetap cinta.193

Melalui FAQ tersebut, Gerakan Islam Cinta memberikan penegasan bahwa seorang muslim atau seorang yang beragama tidak boleh memiliki kebencian kepada siapapun. hal ini tentu tidak mudah, butuh proses, dan perlu melatih diri. Gerakan Islam Cinta memberikan pejelasan, cara melatih diri kita agar tak punya kebencian kepada siapa pun, bahkan kepada orang-orang jahat, berikut jawabannya:

193 Selengkapnya:https://www.islamcinta.co/singlepost/2018/02/07/FAQ-Frequently-Asked-Question-TentangGerakan-Islam-Cinta diakses pada tanggal 8 Februari 2018, pukul 21.00 WIB.

G e r a k a n i s l a m c i n t a

104

“Cara umumnya adalah terus bermujahadah, mendidik hati kita untuk siap mencintai siapa pun. Pasti ini akan jadi perjuangan keras seumur hidup. Jihad akbar. Tapi mengembangkan cinta kepada semua makhluk Allah itulah esensi agama. Bahkan itulah agama, semua-nya. Halid diin illal hubb? «Apalagi agama itu kalau bukan cinta?» kata Imam Ja’far al-Shadiq. Versi lain yang lebih lengkap dari hadis menjelaskan, yang artinya; yakni cinta karena Allah dan benci karena Allah. Apa makna benci karena Allah? Benci kepada perbuatan orang sambil memiliki keinginan menjadi-kan makhluk-Nya lebih baik. Dalam sebuah hadis Qudsi, Allah Swt memfirmankan bahwa “Kasih-sayang-Ku menaklukkan murka-Ku?” -Dengan kata lain, murka-Nya adalah bagian dari Kasih-sayang-Nya. Ada ucapan Dalai Lama yang menyadarkan kita bahwa semua orang butuh cinta. Kata Dalai Lama: Penjahat itu manusia juga. Rentan kepada penderitaan. Dia ingin bahagia seperti kita, dan takut menderita seperti kita juga. Hanya caranya untuk meraih kebahagiaan dan menghindari kesengsaraan keliru. Maka tugas kita membantu dia mendapatkan kebahagiaan dengan cara yang benar. Kata Bunda Theresa: “The most terrible poverty is loneliness, and the feeling of being unloved. Kemiskinan yang paling buruk adalah kesepian dan perasaan tak dicintai. Kesepian karena tak punya siapa-siapa, atau tak dipunyai siapa-siapa bisa membuat orang jadi psikopat, penjahat, dan teroris. Itulah temuan berbagai riset. Terorisme banyak didorong rasa termar-jinalisasikan pelakunya dari masyarakat. Fraternitas (persaudaraan) yang ditawarkan kelompok-kelompok ekstrem terasa sangat

g e R a Ka n i s l a M C i n Ta : M e M P R o M o s i Ka n i s l a M s e B ag a i ag a M a C i n Ta

105

menarik dan, akhirnya, efektif. Bukan berarti, sekali lagi, dengan pemahaman itu kita membenarkan dan tak menghalangi kejahatan-kejahatan seperti itu. Tapi, seperti disebutkan di atas, apa pun yang kita lakukan, harus berdasar cinta.”194

Dengan demikian, mengutip rangkaian hadis yang dijalin oleh Syaikh Yusuf al-Makassari, Haidar Bagir mengungkapkan, “agama adalah mengenal Allah (Ma’rifatullah). Mengenal Allah adalah berlaku dengan akhlak (yang baik). Akhlak yang baik adalah menghubungkan tali kasih sayang (silaturahim). Dan silaturahim adalah memasukkan rasa bahagia kepada sesama kita.195 Hadis ini menegaskan bahwa inti keberagamaan seseorang adalah menghubungkan tali kasih sayang, yang berarti memasukkan rasa bahagia ke dalam hati sesama makhluk-Nya, baik Muslim maupun non-Muslim. Cinta adalah sumber dari keinginan untuk memberikan kebaikan—yang mendatangkan kebaha-giaan—kepada yang dicintai. Sebagian ulama, menurut Haidar, mendeskripsikan cinta sebagai dorongan untuk selalu memberi.196 Ditegaskan oleh Quraish Shihab, cinta mengudang dan mendorong pencinta melakukan aktivitas terpuji. Cintalah yang melahirkan gerak positif.197

194 Selengkapnya:https://www.islamcinta.co/singlepost/2018/02/07/FAQ-Frequently-Asked-Question-TentangGerakan-Islam-Cinta diakses pada tanggal 8 Februari 2018, pukul 21.00 WIB.

195 Haidar Bagir, Risalah Cinta dan Kebahagiaan (Jakarta: Mizan, 2016), h.3.196 Haidar Bagir, Risalah Cinta dan Kebahagiaa…..,h.4.197 Lihat: https://twitter.com/G_IslamCinta,diakses pada tanggal 2 Februari

2018, pukul 17.45 WIB.

G e r a k a n i s l a m c i n t a

106

Islam adalah Agama Cinta

Kata Islam, seakar dengan kata salam (damai).198 Itu berarti ajaran Islam bercirikan kedamaian, yakni damai dengan Allah dan dengan makhluk-Nya—baik manusia, binatang, tumbuhan, maupun alam semesta—dan tentu saja damai pula dengan diri sendiri karena bagaimana dapat memberi kedamaian kepada pihak lain kalau yang bermaksud memberi tidak memiliki apa yang ingin diberikannya.199 Antara kata salam, Islam, dan Muslim sudah umum di kenal. Salam berarti “kedamaian, kesejahteraan”; kata ini berasal dari akar kata yang sama dengan kata Ibrani shalom.200 Orang Yahudi Israel secara tradisional menyapa orang dengan kata shalom; orang Arab menyapa orang dengan suatu frasa yang serupa, salam alaikum (damai bersamamu). Istilah Islam secara literal berarti “pasrah kepada Tuhan” dan “Kedamaian”.201 Menurut Deklarator Gerakan Islam Cinta Prof. Nasaruddin Umar menjelaskan bahwa dalam sebuah riwayat disandarkan kepada Nabi dikatakan, jika keseluruhan Al-Quran dipadatkan maka pemadatannya ialah surah Al-

198 M. Quraish Shihab, Kumpulan 101 Kultum Tentang Islam; Akidah, Akhlak, Fiqih, Tasawuf, Kehidupan Setelah Kematian (Jakarta: Lentera Hati, 2016), h. 7.

199 M. Quraish Shihab, Kumpulan 101 Kultum…..,h. 7.200 Beverly Milton-Edwards, Islamic Politics in Palestine (London: IB Tauris,

1996), 163. Buku ini menempatkan gerakan Islam dalam konteks sejarah 55 tahun terakhir. Lihat juga Ziad Abu-Amr, Islamic Fundamentalism in the West Bank and Gaza (Bloomington: Indiana University Press, 1994), sebagaimana dikutip oleh Charles Kimball, Kala Agama Jadi Bencana (Jakarta: Mizan, 2003), h. 292.

201 Charles Kimball, Kala Agama Jadi Bencana (Jakarta: Mizan, 2003), h. 292.

g e R a Ka n i s l a M C i n Ta : M e M P R o M o s i Ka n i s l a M s e B ag a i ag a M a C i n Ta

107

Fatihah, yang terdiri atas tujuh ayat. Jika dipadatkan lagi maka pemadatannya terletak pada ayat pertamanya: Biismi Allah al-Rahman al-Rahim (Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang). Jika dipadatkan lagi maka pemadatannya terletak pada dua kata terakhir: Al-Rahman dan al-Rahim, yang berasal dari akar kata yang sama, yaitu rahima berarti cinta. Dengan demikian, jika keseluruhan ayat Al-Qur’an yang teradiri atas 6.666 ayat dipadatkan menjadi satu kata maka kata itu ialah cinta. Dengan demikian, cinta adalah mahkota Al-Qur’an. Cinta juga merupakan sifat utama (umm al-shifah) Allah Swt di antara sekian banyak sifat-Nya yang lain.202

Lebih lanjut Nasaruddin Umar mengatakan jika kita hendak mengikuti sifat dan akhlak Allah Swt, seperti diserukan Nabi Muhammad Saw: Takhallaqu bi akhlaq Allah (berakhlaklah sebagaimana akhlaknya Allah), maka utamakanlah sifat-sifat cinta di dalam diri. Cinta paling tinggi (the saint lover) ialah ketika cinta sudah tidak mengenal obyek dan keadaan (unconditional love). Yang paling berat untuk dicapai ialah mewujudkan cinta Ilahi (divine love).Tahapnya paling awal bagaimana mewujudkan suasana dan perasaan cinta (in-loving). Mengatakan perkataan: I love you kepada sang kekasih hati jauh lebih mudah ketimbang mengatakan: I am in loving you (saya berada dalam suasana cinta kepadamu). Yang pertama masih ada obyek cinta di luar diri, sedangkan yang

202 https://www.islamcinta.co/singlepost/2018/06/26/MEWUJUDKAN-ISLAM-CINTA, diakses pada tanggal 23 Juni 2018, pukul 22.00 WIB.

G e r a k a n i s l a m c i n t a

108

kedua mengisyaratkan segala sesuatu menjadi obyek cinta (in loving to them).203

Gagasan ini terkait dengan pandangan bahwa kepatuhan kepada kehendak Tuhan akan menghasilkan kedamaian. Orang-orang yang menyerahkan diri mereka demi ketaatan kepada Tuhan disebut “Muslim”; mereka adalah orang-orang yang damai bersama makhluk.204 Dengan kata lain, menjadi muslim berarti menjadi juru damai, yaitu seorang yang secara terus menerus berupaya mencari jalan untuk mengatasi konflik dan memelihara keinginan baik untuk kehidupan bersama yang damai. Tuhan menghendaki kita untuk hidup dalam kedamaian dan harmoni dalam ciptaan-Nya. Sebagamana ungkapan pakar: “To be a Muslim is to be a peace maker, one who constanly seeks to mitigate conflicts and nurtures goodwill for peaceful co-existence. God wants us to live in peace and harmony with his creation”.205 Yusuf Qardhawi dengan penuh cinta dan kebijaksanaan, ia mengatakan:

“Dalam diri para pemuda, kudapati Islam yang “baru” dan “hidup”, bukan seperti Islam kita yang “usang” dan “mati”. Iman yang bergelora dan hangat, bukan seperti iman kita yang beku dan dingin berasal dari warisan nenek moyang.

203 https://www.islamcinta.co/singlepost/2018/06/26/MEWUJUDKAN-ISLAM-CINTA, diakses pada tanggal 23 Juni 2018, pukul 22.00 WIB

204 Charles Kimball, Kala Agama Jadi Bencana,…..h. 292.205 L i h a t : w w w . f o u n d a t i o n f o r p l u r a l i s m e . c o m /

WorldMuslimCongressArticles/Mission-Statement.asp. Sebagaimana dikutip oleh J. B Banawiratma, Zainal Abidin Bagir, etc, Dialog Antar Umat Beragama; Gagasan dan Praktik di Indonesia (Jakarta: Mizan, 2010), h. 31-32.

g e R a Ka n i s l a M C i n Ta : M e M P R o M o s i Ka n i s l a M s e B ag a i ag a M a C i n Ta

109

Kemauan yang keras dalam berbuat kebaikan, bukan seperti kemauan kita yang terbius. Ku dapati pada mereka jiwa-jiwa yang penuh rasa takut dan cinta kepada Allah SWT.”206

Generasi milenial—sebagaimana pandangan Yusuf Qardawi diatas—adalah kelompok umat yang baik, dalam al-Qur’an disebutkan juga ciri-ciri umat yang baik itu, antara lain adalah umat pertengahan (Ummatan Washatan), yaitu umat yang adil, seimbang dan karena itu moderat.207 Keseimbangan akan menciptakan harmoni (QS. Ali Imran: 110), sikap pertengahan itulah yang akan menjamin keamanan karena adanya kesalingpercayaan antar manusia (mutual trust) yang menjadi perekat manusia untuk bersatu yang menjadi modal sosial (sosial capital) suatu bangsa. Oleh sebab itu, walaupun Allah menciptakan pluralitas sebagai Sunah Allah, tetapi ia menginginkan persatuan (al-Ummah al-Wahidah) yang tidak berpecah belah dan saling bertentangan. Inilah yang sebenarnya dimaksud dengan Bhineka Tunggal Ika, beragam tetapi merupakan kesatuan. Masyarakat yang memiliki saling kepercayaan itu akan menghasilkan masyarakat yang damai Dar al-Salam atau Dar al-Islam dan balada amina (negara yang aman). Itulah visi yang dikehendaki oleh gerakan masyarakat madani, yaitu menjadi umat yang unggul, karena berorientasi kepada nilai-nilai kebajikan (al-khair) yang dilaksanakan

206 Yusuf Qardhawi, Islam Jalan Tengah Menjauhi Sikap Berlebihan dalam Beragama (Jakarta: Mizan, 2017), h. 143.

207 Dawam Rahardjo, Merayakan Kemajemukan Kebebasan dan Kebangsaan (Jakarta: Kencana, 2010), h. 177.

G e r a k a n i s l a m c i n t a

110

menciptakan yang baik dan mencegah dan menghilangkan keburukan (amar ma’ruf nahi munkar).208

Sehubungan dengan milenial, Pembina Gerakan Islam Cinta, Alwi Shihab209 menegaskan, generasi muda yang diharapkan masa depan adalah mereka yang dapat menampilkan wajah Islam yang rah}mah (cinta) dan sala>m (damai).210 Kepada generasi muda, Alwi Shihab juga mengingatkan bahwa inti ajaran Islam adalah cinta. Ajaran cinta dalam Islam bukanlah hal baru, cinta adalah otentik ajaran Islam. Dengan demikian, penulis meyakini bahwa Generasi milenial yang memiliki rasa cinta dan damai yang kemudian dapat merawat dan menjaga keutuhan negeri ini. Bagaimanapun masa depan bangsa ini berada di tangan mereka, generasi muda. Tak dapat dibayangkan betapa suram masa depan negeri ini jika kelak yang menjadi pemimpin negeri ini adalah generasi muda yang memiliki pandangan dan prilaku ekstrem dan radikal. Kebhinekaan bangsa Indonesia dapat terancam. Jika hal ini tak segera dibendung, bukan tidak mungkin kedepan akan semakin tumbuh dan berkembang gerakan-gerakan kekerasan.

Maka dengan segala keunikan dan keistimewaannya, sudah sepatutnya sikap kita terhadap milenial, adalah memberikan

208 Dawam Rahardjo, Merayakan Kemajemukan.....,h. 177209 Alwi Shihab merupakan salah satu tokoh muslim Indonesia yang ikut

mendeklarasikan Gerakan Islam Cinta bersama dengan tokoh-tokoh muslim lainnya di Jakarta, saat ini Alwi Shihab sebagai Dewan Pembina Gerakan Islam Cinta.

210 Seminar Islam Cinta yang bertemakan“Membendung Radikalisme dan Terorisme dengan Islam Cinta”, dalam rangkaian Festival Islam Cinta 2015 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, pada Rabu, 3 Juni 2015.

g e R a Ka n i s l a M C i n Ta : M e M P R o M o s i Ka n i s l a M s e B ag a i ag a M a C i n Ta

111

perlakuan penuh kasih-sayang dan kesaudaraan yang lembut sembari membuat mereka merasakan dirinya sebagai bagian dari kita dan kitapun bagian dari mereka.211 Misi Islam adalah sebagai “Rahmat bagi alam semesta”—sebagaimana telah berulang dikatakan dari masa ke masa.212 Menurut Deklarator Gerakan Islam Cinta Ahmad Syafii Maarif, rasa kemanusiaan (sense of humanity) adalah pintu masuk yang pertama dalam Islam. Ia menegaskan bahwa, seluruh umat manusia, siapa pun mereka, pada hakikatnya adalah sahabat. Kalau pun permusuhan berlaku, maka tetap harus diselesaikan dalam bingkai kemanusiaan secara adil dan berada Berkaitan dengan hal tersebut, al-Qur’an beberapa kali menyinggung interaksi sosial yang harmonis dalam kerangka agama; baik intern dan ekstern umat beragama. Adapun pola interaksi yang diajarkan al-Qur’an menurutnya berorientasi membangun perdamaian, dan bukannya memicu konflik. Sebagaimana firman Allah:

“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada meme-rangimu karena agama dan tidak pula (mengusir) kamu dari negerimu. Sesungguhnya, Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusir-mu. Dan barangsiapa menjadikan mereka

211 Yusuf Qardhawi, Islam Jalan Tengah Menjauhi Sikap Berlebihan dalam Beragama (Jakarta: Mizan, 2017), h. 141.

212 Ahmad Syafii Maarif, Islam dalam bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan (Jakarta: Mizan, 2016), h. 210.

G e r a k a n i s l a m c i n t a

112

sebagai kawan, mereka itulah orang-orang yang lalim. (QS. Al-Mumtahanah: 8)213

Dalam hal ini, semestinya—khususnya umat Islam—menyadari bahwa ajaran Muhammad Saw berorientasi kepada usaha persatuan kemanusiaan. Sebagaimana firman Allah Swt:

“Wahai seluruh manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu (berasal) dari seorang lelaki dan seorang perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal (bantu membantu). Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat: 13).

Kendati demikian, persatuan yang diajarkan Muhammad Saw tidak berarti meleburkan perbedaan, melainkan tetap menghormatinya: karena setiap kelompok telah memilih jalan dan tatanan hidup mereka, sehingga mereka harus berlomba mencapai prestasi kebajikan, sebagaimana firman Allah dalam ayat berikut:

“Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat saja, tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepada-mu. Maka berlomba-lombalah berbuat kebaikan. (QS. Al-Maidah: 48)214

213 Imam Taufiq, Al-Qur’an bukan Kitab Teror (Jakarta: Noura, 2016), h. 199.

214 Alwi Shihab, Islam Inklusif (Bandung: Mizan, 1998), h. 334.

g e R a Ka n i s l a M C i n Ta : M e M P R o M o s i Ka n i s l a M s e B ag a i ag a M a C i n Ta

113

Di samping itu, Pembina Gerakan Islam Cinta Alwi Shihab juga menegaskan bahwa kaum Muslim pun ditugasi untuk mengusahakan perbaikan antar manusia (QS 4:114), dan menjadi penengah yang adil untuk menjadi saksi dan patron-patron hidup di tengah-tengah umat manusia. Ia menambahkan, manusia juga dituntut untuk berlaku adil terhadap siapa pun, sebagaimana dalam firmannya:

“Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum menjadikanmu tidak berlaku adil.” (QS. Al-Maidah: 8)215

Dalam pandangan Ali Syariati,216 seorang Muslim yang tercerahkan harus membebaskan dan membimbing masyarakat, menciptakan cinta dan keyakinan, kedinamisan, dan memberikan kesadaran ke dalam hati dan pikiran masyarakat, serta mengingatkan mereka akan berbagai bahaya yang muncul akibat unsur kebodohan, kejahatan, dan kebobrokan masa kini.217Allah Swt menyebutkan dalam al-

215 Alwi Shihab, Islam Inklusif…., h. 335.216 Ali Syariati tiada henti berusaha menanamkan nilai-nilainya telah

dirusak melalui berbagai metode yang paling saintifik dan teknis. Dengan penuh semangat ia berusaha ia memperkenalkan kembali al-Quran dan sejarah Islam kepada pemuda, agar bisa menemukan jati dirinya pada seluruh dimensi kemanusiaan, dan melawan segala bentuk kekuatan sosial yang merusak. Ali Syariati menulis banyak sekali buku. Dalam semua tulisannya ia berusaha menyajikan potret Islam yang sejati dan jelas. Ia sangat yakin, bahwa jika kalangan intelektual dan generasi baru menyadari kebenaran dari agamnya, maka segala upaya untuk melakukan perubahan sosial akan berhasil. Selengkapnya, lihat; Ali Syariati, Makna Haji (Jakarta: Zahra, 2014), h. 11.

217 Zulfan Taufik, Dialektika Islam dan Humanisme; Pembacaan Ali Shari’ati (Ciputat: Onglam Books, 2015), h. 168.

G e r a k a n i s l a m c i n t a

114

Qur’an ciri-ciri kelompok manusia yang tidak disukai-Nya. Mahmud al-Ghurab dalam hal ini mengelompokkannya sebagai berikut:

1. Kelompok orang yang berbuat kerusakan (al-Mufsidun). “Sesungguhnya Allah tidak mencintai orang-orang yang merusak” (QS. Al-Qasas:17). “Dan Allah tidak menyukai kerusakan” (QS. Al-Baqarah: 205). Menurut al-Ghurab, lawan kata dari kerusakan (Fasad) adalah kebaikan (Salah}), dan inti meninggalkan kerusakan adalah berbuat kebaikan.

2. Kelompok orang yang sombong dan membanggakan diri (al-Farihun). “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri” (QS. Al-Qasash: 76), “Sesungguhnya Allah tidak menyukai setiap orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Luqman: 76).

3. Kelompok orang yang berbuat kezaliman (al-Zalimun), “Allah tidak mencintai orang-orang yang Zalim.” (QS. Al-Shura’: 40).

4. Kelompok orang yang berbuat berlebihan (al-Musrifun), “Allah tidak mencintai orang-orang yang berlebihan” (QS. Al-An’am: 141).

5. Kelompok orang yang berbicara buruk (al-Jahirun bi al-Su’ min al-Qawl), “Allah tidak menyukai ucapan buruk, (yang diucapkan) dengan terus terang.” (QS. An-Nisa: 148).

6. Kelompok orang yang melampaui batas (al-Mu’tadun), “Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-Baqarah: 190).

g e R a Ka n i s l a M C i n Ta : M e M P R o M o s i Ka n i s l a M s e B ag a i ag a M a C i n Ta

115

Namun, setelah turunnya seluruh ayat-ayat tersebut, kemudian Allah Swt menganugerahkan rasa cinta kepada manusia dalam banyak hal, sebagaimana firman-Nya:

“Tetapi Allah menjadikan kamu ‘cinta’ kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu menghiasi dalam hatimu.” (QS. Al-Hujurat:7). 218

Dari penjelasan di atas, pada hakikatnya etika Islam adalah bermuatan spiritual dan berlandaskan kesantunan serta kerendahan hati. Kesantunan dan kerendahan hati itu tercermin pada penghormatan terhadap berbagai nama dan sifat Tuhan, dan kerendahan hati dalam pengertian penegasan tiap individu bahwa sifat-sifat ini hanya milik Tuhan. Adapun kesantunan terhadap sifat-sifat Tuhan juga termasuk pengakuan akan sifat-Nya yang hirarkis, seperti belas kasih mendahului kemurkaan; pengetahuan mendahului tindakan, dan lain sebagainya.219

Islam bukanlah sebuah kelompok atau komunitas yang eksklusif, melainkan agama yang universal. Sejak awal, ia menyebutkan bahwa Islam menawarkan makna yang adaptable-universal. Pembuktian akan universalitas Islam ia tumpukan pada analisisnya bahwa Tuhan pada mulanya memerintahkan Ibrahim untuk tunduk dan patuh (Aslim), lalu Ibrahim menjawab: “Aku tunduk dan patuh (Aslamtu) kepada Tuhan semesta alam.” (QS. Al-Baqarah: 131). Karena itu, Ibrahim

218 Mahmud Mahmud al-Ghurab, Semesta Cinta Ibnu ‘Arabi, h. 5.219 Ali A. Allawi, Krisis Peradaban Islam (Bandung: Mizan, 2009), h. 418.

G e r a k a n i s l a m c i n t a

116

berwasiat kepada anak-anaknya—demikian juga Yakub, agar mengikuti jejak Ibrahim—supaya mereka tidak meninggalkan dunia ini (mati) melainkan dalam keadaan tunduk kepada Tuhan (Muslimun); itulah agama yang benar, agama yang telah dipilih oleh Allah untuk mereka. Karena itu kepada umat yang mengikuti al-Qur’an, diperintahkan untuk membuat kesaksian atas kesetiaan mereka bagi agama tersebut: 220 Firman Allah:

“Katakanlah: Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub, dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhanya. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya (lahu muslimun). (QS. Al-Baqarah: 136).

Dengan alasan universalitas Islam ini, maka tidak ada lagi alasan untuk bersikap intoleran terhadap perbedaan keyakinan agama. Islam telah menyediakan tiga alasan kuat untuk menolak tindakan intoleransi maupun kekerasan terhadap yang lain. Pertama, adalah pandangan Islam tentang manusia dan agama. Al-Quran menjelaskan bahwa manusia adalah mahluk yang diciptakan dengan bentuk yang paling sempurna. Kesempurnaan tersebut disebabkan oleh anugerah moral dan akal pikiran. Oleh karenanya, setiap manusia, muslim atau nonmuslim, memiliki fitrah agama (Din al-Fitrah) sebagai bentuk kesadaran terhadap Tuhan yang wajib disembah. Mengutip pernyataan Ismail al-Faruqi,

220 M.Yudhie Haryono, Memaafkan Islam (Jakarta: Kalam Nusantara, 2006), h. 35.

g e R a Ka n i s l a M C i n Ta : M e M P R o M o s i Ka n i s l a M s e B ag a i ag a M a C i n Ta

117

bahwa penemuan Islam terhadap Din al-Fithrah menjadi pijakan agama historis menuju arah pembangunan hubungan antarumat beragama lebih baik. Oleh karena itu, setiap umat beragama yang berbeda merupakan saudara dalam persaudaraan keagamaan universal, karena masing-masing agama pada hakikatnya bermuara pada Din al-Fitrah.221 Kedua, al-Qur’an melarang sikap tertutup (eksklusif) yang cenderung mencerminkan sifat komunitas Yahudi dan Nasrani yang dihadapi nabi dahulu kala. Eksklusivitas mereka bertumpu pada beberapa hal, yaitu: (a) Anggapan sebagai kekasih Tuhan dan menafikan yang lain, (b) klaim suci, (c) klaim sebagai anak dan kekasih Tuhan, (d) klaim bahwa kehidupan akhirat khusus untuk mereka, (e) hanya Yahudi yang masuk surga, (f) siksa neraka hanya mereka alami sebentar saja, dan (g) hanya menjadi Yahudi akan mendapatkan keselamatan. Kecaman al-Qur’an terhadap Yahudi dan Nasrani hakikatnya bukan karena alasan agama, melainkan karena manipulasi (Tahrif) ajaran agama yang dilakukan umat Yahudi dan Nasrani itu sendiri. Ketiga, ajaran tauhid di dalam Islam tidak terbatas hanya pada pengakuan, melainkan juga membutuhkan tindakan/ praktik dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, tauhid yang benar akan tercermin dalam amal saleh di masyarakat sosial. Sementara, tindakan sosial merupakan cermin tauhid yang tidak benar.222 Dengan demikian, cinta adalah kekuatan

221 Imam Taufiq, Al-Qur’an bukan Kitab Teror, h. 202.222 Imam Taufiq, Al-Qur’an bukan Kitab Teror, h. h. 203.

G e r a k a n i s l a m c i n t a

118

terbesar yang tidak bisa dihadang oleh apapun.223 Cinta adalah otentik ajaran Islam.224

B. Makna dan Tanda Cinta

Pendiri Gerakan Islam Cinta, Haidar Bagir, dengan merujuk pada pandangan al-Qusyairi, penulis Risalah, menyampaikan bahwa cinta (Hubb) bermakna kasih sayang yang paling murni. Sebagaimana orang Arab mengatakan habab al-asnan untuk menunjukkan orang yang giginya putih murni. Penulis Kashf al-Mahbub, Al-Hujwiri mengatakan bahwa hubb boleh jadi berasal dari habb yang bermakna benih. Hubb bermakna demikian karena ia bersemayam di benih-benih hati, tetap tak tergoyah sebagaimana benih tetap berada di tanah dan menjadi sumber kehidupan meski hujan-badai menerpa dan panas matahari membakar. Hubb juga disebut demikian karena kata itu berasal dari hibbah yang berarti benih tanaman. Cinta disebut hubb karena sebagaimana hibbah adalah benih tanaman, ia adalah benih kehidupan.225 Jika merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata cinta antara lain diartikan suka sekali, sayang benar, terpikat, merindukan, dan lain-lain.226Dalam

223 Selengkapnya:http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/15/06/03/ diakses pada tanggal 28 Februari 2018 pukul 22.00 WIB.

224 Selengkapnya:http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/15/06/03/npcp7m-uin-jakarta-gelar-festival-islam-cinta diakses pada tanggal 7 Februari 2017. Pukul 20.00 WIB.

225 Haidar Bagir, Apa itu Cinta? Selengkapnya: https://www.islamcinta.co//apa-itu-cinta-?, diakses pada 14 Oktober 2017, pukul 07.00 WIB.

226 M. Quraish Shihab, Perempuan (Jakarta: Lentera Hati,2015), h. 90.

g e R a Ka n i s l a M C i n Ta : M e M P R o M o s i Ka n i s l a M s e B ag a i ag a M a C i n Ta

119

bahasa Arab, terdapat banyak sekali kosakata yang digunakan untuk menunjuk cinta sesuai dengan tingkat kekuatan dan pengaruhnya pada diri pencinta.

Namun, secara umum kata yang paling banyak digunakan al-Quran untuk menunjuk cinta adalah kata hubb. Kata ini terulang dalam al-Quran, dengan berbagai bentuknya, sebanyak 93 kali. Ulama besar kenamaan, Jalaluddin Abdurrahman al-Suyuti, mempunyai analisis yang menarik tentang kata cinta. Menurutnya, hubb/cinta dalam bahasa Arab terdiri dari dua huruf, yaitu ha’ dan ba’. Pemilihan kedua huruf ini mempunyai dasar filosofis yang dalam. Huruf ha’ terucapkan melalui akhir kerongkongan yang merupakan sumber suara. Tempat keluar itu tidak jauh dari jantung/hati yang merupakan sumber cinta, sedangkan huruf ba’ lahir dari pertemuan dua bibir yang merupakan akhir tempat keluarnya suara. Dengan demikian, kata hubb menghimpun awal dan akhir sekaligus mengisyaratkan bahwa cinta adalah awal perasaan yang berlanjut hingga akhirnya.

Selanjutnya, Haidar Bagir berpandangan bahwa cinta tak bisa didefinisikan.227 sejalan dengan pendapat Rumi, yang mengatakan bahwa cinta itu terlalu besar, sehingga ia tak bisa didefinisikan. Bagaimana cinta mau didefinisikan jika sesungguhnya seluruh wujud dan kehidupan ini adalah cinta. Tak ada dalam kehidupan ini yang bisa mendifinisikan cinta. Justru cinta itulah yang mendifinisikan kehidupan. Meski kata

227 Haidar Bagir, Apa itu Cinta?, Lihat: www.islamcintaco https://www.islamcinta.co/single-post/2016/10/21/apa-itu-cinta-? diakses pada 14 Oktober 2017, pukul 10.00 WIB.

G e r a k a n i s l a m c i n t a

120

“definisi” di sini menurut Haidar Bagir sama sekali tidak tepat. Karena, alih-alih membatasi, cinta yang meliputi kehidupan ini tak punya batas. Bagaimana punya batas jika sesungguhnya cinta sebenarnya adalah (bersumber dari) Tuhan itu sendiri. Rumi mengatakan:

“Cinta adalah rasa yang melampui batas. Maka dikatakan bahwa cinta adalah sifat Sejati Tuhan. Cinta jadi sifat hamba hanya sebagai turunan dari itu. …Ketahuilah bahwa cabang-cabang Cinta ada dalam Keabadian, tanpa awal; akarnya juga ada dalam keabadian, tanpa akhir. …Orang menyebut-Mu Cinta, aku menyebut-Mu Sultan Cinta.”

“Jika aku harus melanjutkan penjelasanku tentang Cinta, maka akan berlalu serratus (kematian dan) kebangkitan sebelum aku menyelesaikannya.”

Maka, dalam keterbatasan itu, Jalaluddin Rumi mengakui ketakberdayaannya untuk mengungkapkan cinta:

“Apapun yang aku katakan untuk menjelaskan dan memerikan cinta, itu Cuma membuatku dicekam rasa malu… Cinta tak dapat ditampung dalam kata-kata yang kitta ucapkan atau kita dengar: Cinta adalah samudera, yang kedalamannya tak dapat diukur… apakah kau kan menghitung jumlah tetesan samudra? Di hadapan Sang Samudra, tujuh lautan bukanlah apa-apa.”228

228 Haidar Bagir, Apa itu Cinta?, Lihat: www.islamcintaco https://www.islamcinta.co/single-post/2016/10/21/apa-itu-cinta-? diakses pada 14 Oktober 2017, pukul 10.00 WIB.

g e R a Ka n i s l a M C i n Ta : M e M P R o M o s i Ka n i s l a M s e B ag a i ag a M a C i n Ta

121

Sementara itu, Mahmud al-Ghurab mengungkap-kan bahwa cinta itu buta dan tuli. Cinta tidak memberikan kebebasan kepada sang pencinta. Karena cinta, sang pencinta menjadi tuli dari segala yang didengar kecuali ucapan kekasihnya, pun karena cinta, sang pencinta menjadi bisu untuk mengungkapkan apapun selain menyebut nama kekasihnya. Cinta membuat pencinta menutup hati dari siapapun selain cinta untuk kekasihnya. Jika bukan demikian halnya, maka ia tak bisa disebut cinta.229 Jika ditinjau dari sudut pandang psikologi, Benedek menjelaskan bahwa cinta bersifat tidak statis atau pun absolut. Perasaan cinta menurutnya seringkali dihantui oleh tujuan-tujuan yang saling berbenturan yang jika dapat disatukan akan menghasilkan rasa damai, rasa syukur, serta sikap saling menghormati satu salam lain, sebagai pengganti gairah jasmani (hasrat) yang berangsur-angsur menghilang.230 Ia menambahkan bahwa cinta bermakna pengorbanan kepribadian yang merujuk pada kekasihnya sebagai perbandingannya. Adapun fase akut dalam mencinta ia namakan dengan cinta romantis, yakni terwujud dalam sikap rendah diri kepada sang kekasih.231

Cinta mampu melahirkan kesantunan.232 Hanyalah orang yang santun yang dapat mencintai, dan cintalah yang membuat mereka santun. Muhammad Sa’id Ramadhan al-

229 Mahmud al-Ghurab, Semesta Cinta Ibnu ‘Arabi (Surabaya: Nusantara Press, 2015), h. 47.

230 Therese Benedek, dalam Psikodinamika Cinta, A.M. Krich, ed., Anatomi Cinta (Depok: Komunitas Bambu, 2009), h. 165.

231 Therese Benedek, dalam Psikodinamika Cinta,.....h. 172.232 Therese Benedek, dalam Psikodinamika Cinta,..... h. 50.

G e r a k a n i s l a m c i n t a

122

Buthy menjelas-kan bahwa ruh manusia selama hidupnya akan senantiasa cenderung bergerak menuju yang ia cintai. Disposisi yang tak bisa lenyap dari diri manusia ini disebabkan oleh peristiwa perjanjian yang terjadi jauh sebelum manusia diturunkan ke dunia, yakni peristiwa penyandaran antara ruh dan Tuhan yang dicintainya, ketika Tuhan bertanya kepada mereka “Apakah aku Tuhanmu?”, dan mereka menjawab, “Ya, Engkau Tuhan kami”.233 Perjanjian itu kemudian membuat ruh senantiasa merindu kepada dunianya yang luhur dan masa lalunya yang telah direkam dalam al-Qur’an dalam bentuk pernyataan Allah kepada mereka. Ruh mencari Zat Yang Maha Agung dan Yang Maha Esa yang ia ketahui sejak dulu.234 Hasrat semacam inilah yang disebut dengan cinta, dalam pengertian khusus, cinta menurut kaum sufi.

Cinta dalam pandangan kaum sufi, menurut Deklarator Gerakan Islam Cinta Said Aqil Siradj, adalah tingkatan (cinta) tertingi, yang merupakan kencen-derungan yang tumbuh dalam jiwa manusia terhadap sesuatu yang lebih tinggi dan lebih sempurna dari dirinya, baik keindahan, kebenaran, maupun kebaikan yang dikandungnya.235 Said Aqil mengungkapkan;

Cinta adalah kehidupan, kala hilang dari jiwa seseorang, ia bagaikan hidup dalam kematian. Cinta adalah cahaya, kala

233 Muhammad Said Ramadhan al-Buthy, Kitab Cinta, Menyelami Bahasa Klasik Sang Pencipta (Jakarta: Mizan, 2009), h. 38-39.

234 Muhammad Said Ramadhan al-Buthy, Kitab Cinta,.....h. 39.235 Said Aqil Siradj, dalam Kata Pengantar, Muhammad Said Ramadhan

al-Buthy, Kitab Cinta, Menyelami Bahasa Klasik Sang Pencipta (Jakarta: Mizan, 2009), h. ix.

g e R a Ka n i s l a M C i n Ta : M e M P R o M o s i Ka n i s l a M s e B ag a i ag a M a C i n Ta

123

cinta hilang dari hati seseorang, ia bagaikan berada dalam kegelapan. Cinta laksana obat penawar, kala tak ada cinta, hati akan di timpa penyakit. Cinta laksana obat penawar.236

Bagi kaum sufi, cinta merupakan “jaringan murni”—yang memiliki kaitan erat dengan penciptaan—di jagat ini dan merupakan rahasia di antara rahasia-rahasia-Nya. Kaum sufi melihat cinta sebagai unsur yang paling dasar dalam penciptaan alam, dan sebagai penyebab paling dominan dalam penciptaan makhluk.237 Tahapan perkembangan cinta manusia berdasarkan pandangan Rumi, sebagai berikut: Pertama, cinta manusia dalam memuja segala hal, yaitu orang, wanita, uang, pangkat, tanah, dan lain sebagainya. Kedua, adalah tahapan berikutnya dimana manusia memuja Tuhan. Dan tahapan terakhir adalah, cinta mistis, yakni ketika seseorang tak mengatakan bahwa ia memuja Tuhan atau pun tidak. Karena dalam tahapan ini, Tuhan sudah dirasakan dan dialami sentuhan-Nya secara personal dan spiritual.238 Begitulah kaum sufi dalam mencinta. Kemudian Deklarator Gerakan Islam Cinta, Goenawan Mohamad meyakini bahwa cinta yang sesungguhnya dalam pandangan Sufi tak akan bisa hidup dengan perhitungan untung-rugi, tak bisa dipakai dalam siasat politik, juga tak bisa

236 Said Aqil Siradj, Kata Pengantar, Memahami Cinta dalam Petunjuk Al-Quran,—Muhammad Said Ramadhan Al-Buthy, Kitab Cinta: Menyelami Bahasa Kasih Sang Pencipta (Jakarta: Mizan, 2009), h. v.

237 Ida Nursida, Puisi Cinta dalam Sastra Sufi, (Serang: Laksita Indonesia, 2016), h. 105.

238 Abdul Hadi WM, dalam Kata Pengantar, Haidar Bagir, Belajar Hidup dari Rumi, Serpihan-serpihan Puisi Penerang Jiwa (Mizan: Jakarta, 2015), h. xxviii.

G e r a k a n i s l a m c i n t a

124

menerima doktrin yang membekukan pikiran dan perasaan, doktrin yang ampuh untuk mengukuhkan kekuasaan. Cinta berani lepas dari itu semua. Ia mengembara, mencari terus menerus, mencoba mencari misteri yang dihadirkan Tuhan.239 Kaum sufi melihat cinta sebagai undang-undang yang mengatur eksistensi, di samping sebagai sebab dari eksistensi jagat raya ini. Cinta adalah sulaman yang membentangkan kehidupan yang bercorak kemuliaan. Karena bagi kaum sufi, manusia telah diciptakan Tuhan dengan kekhususan cinta-Nya kepada mereka.240

Cinta sebagai peringkat keruhanian tertinggi dan terpenting dalam dunia Sufi. Bagaimanapun, menurutnya, cinta adalah satu-satunya hal yang mampu mengungkapan kedekatan hubungan antara seorang sufi dengan Tuhannya. Namun demikian, cinta yang kaum sufi rasakan bukan sekedar cinta biasa, melainkan cinta altruis pada yang dicintainya. Cinta yang demikian persis sebagaimana yang digambarkan oleh Jalaluddin Rumi (1207 M) dalam puisi-puisinya, bahwa seorang pencinta Tuhan, dalam cintanya tidak akan mengatasnamakan dirinya sendiri dalam setiap munajatnya. Demikian pula hal nya dengan Rabi’ah al-Adawiyah (w. 764 M), setiap bait puisinya, menurut Nursida, begitu bermandikan cahaya cinta, yang meliputi cinta (Uns) seorang pencinta dan

239 Goenawan Mohamad, dalam Kata Pengantar, Haidar Bagir, Mereguk Cinta Rumi, Serpihan-serpihan Puisi Pelembut Jiwa (Mizan: Jakarta, 2015), h. xxiv.

240 Ida Nursida, Puisi Cinta dalam Sastra Sufi, h. 106.

g e R a Ka n i s l a M C i n Ta : M e M P R o M o s i Ka n i s l a M s e B ag a i ag a M a C i n Ta

125

yang dicintainya, kerinduan (Shauq), kecenderungan hati (Mahabbah), ketulusan, dan kesabaran (Sabr).241

Kemudian, apa tanda-tanda cinta?, Haidar Bagir menjelaskan dengan mengutip sabda Nabi: “perumpamaan orang-orang yang beriman dalam hal mengekspresikan rasa saling cinta, saling mewujudkan cinta, dan saling merasakan cinta adalah seperti satu tubuh yang ketika satu anggota tubuh itu ada yang mengeluh, maka seluruh tubuh merasa mengaduh dengan terus jaga tidak bisa tidur dan merasa panas.” (HR. Muslim). Dalam kesempatan lain, Nabi mengajarkan bahwa orang yang sedang jatuh cinta banyak mengingat dan menyebut orang yang dicintainya (man ah}abba shaian kathura zikruhu). Orang juga bisa diperbudak dengan cintanya (man ahabba shai’an fa huwa ‘abduhu). Kata Nabi lagi, ciri cinta sejati ada tiga: (1) lebih suka berbicara dengan yang dicintai dibanding dengan yang lain, (2) lebih suka berkumpul dengan yang dicintai dibanding dengan yang lain, dan (3) lebih suka mengikuti kemauan yang dicintai dibanding kemauan orang lain dan atau diri sendiri. Akhirnya, begitu dahsyatnya cinta sehingga—seperti dikatakan kaum ‘ulama’—cinta meruntuhkan kesombongan dan membuat penderitanya tak segan merendahkan diri, merupakan sumber kekuatan dan pemusatan perhatian yang tak terbagi, melembutkan hati menghilangkan pamrih pribadi, serta menjadikan orang dermawan dan penuh pemaafan.242

241 Ida Nursida, Puisi Cinta dalam Sastra Sufi, h. 5.242 Haidar Bagir, Apa itu Cinta?, Selengkapnya, lihat: www.islamcinta.

cohttps://www.islamcinta.co/singlepost/2016/10/21/apa-itu-cinta-?, diakses pada 14 Oktober 2017, pukul 07.00 WIB.

G e r a k a n i s l a m c i n t a

126

Lebih lanjut Deklarator Gerakan Islam Cinta, Nasaruddin Umar mengatakan bahwa jika cinta sudah terpatri di sekujur badan, jiwa, dan pikiran, maka vibrasinya akan menghapus semua kebencian kepada siapapun. Sebagai manifestasinya dalam kehidupan, begitu bertemu dengan seseorang, ia tersenyum, sebagai ungkapan dan tanda rasa cinta. Rabi’ah al-‘Adawiyah, seorang sufi perempuan, pernah ditanya seseorang: “Apakah engkau tidak membenci Iblis?” Dijawab: “Cinta sudah memenuhi seluruh relung-relung tubuhku sehingga tidak ada lagi ruang untuk membenci siapapun termasuk Iblis”. Imam Syafi’i pernah “dikerjai” oleh seorang tukang jahit saat memesan pembuatan baju. Lengan kanan bajunya dibuat lebih gombrang dibanding lengan kirinya yang kecil dan sempit. Imam Syafi’i bukannya komplain atau marah kepada tukang jahit itu, malah berterima kasih. Kata Imam Syafi’i, “Kebetulan, saya suka menulis dan lengan kanan yang lebih longgar ini memudahkan saya untuk menulis sebab lebih leluasa bergerak. Terima kasih anda memahami profesi saya”. Indah hidup ini kalau tidak ada benci. Ini bukan berarti kita harus menahan marah atau tidak boleh marah. Yang kita lakukan adalah bagaimana menjadikan diri ini penuh cinta sehingga potensi kemarahan kita berkurang, kalau perlu hilang samasekali. Kita punya hak untuk marah, dan itu harus diungkapkan dengan proporsional. Pribadi pemarah akan melahirkan umat pemarah. Umat pemarah tidak sejalan dengan umat yang diidealkan Nabi.243

243 https://www.islamcinta.co/singlepost/2018/06/26/MEWUJUDKAN-ISLAM-CINTA, diakses pada tanggal 23 Juni 2018, pukul 22.00 WIB.

g e R a Ka n i s l a M C i n Ta : M e M P R o M o s i Ka n i s l a M s e B ag a i ag a M a C i n Ta

127

C. Dampak Kegiatan Gerakan Islam Cinta

Penyelesaian permasalahan radikalisme dan terorisme atas nama agama sudah dalam tahap urgent. Oleh karenanya, harus dipikirkan konsep yang tepat dalam memecahkan masalah-masalah tersebut—sebagaimana dipaparkan penulis pada pendahuluan—pemecahan permasalahan radikalisme dan terorisme memerlukan pendekatan yang komprehensif dan lintas sektoral. Bukan hanya refresif (hard approach) dari aparat keamanan saja, melainkan harus dilakukan dengan menggunakan cara-cara yang persuasif dan humanis dari seluruh elemen bangsa. Interaksi sosial dalam bentuk “soft power” yang diimplementasikan dalam gerakan disengagement dan deradikalisasi, terbilang cukup sukses untuk menetlalisir radikalisme di Indonesia.244

Merespon terhadap sejumlah kasus radikalisme dan terorisme, termasuk maraknya hate speech dan hoax di dunia maya, dalam pernyataan pers-nya245 pada awal tahun 2016, Gerakan Islam Cinta mengungkap fakta menarik, yang menyatakan bahwa dunia maya kini menjadi mimbar bebas, bukan hanya bebas berpendapat, tetapi juga bebas saling mencaci dan menghujat hingga berdampak pada perpecahan umat. Internet sebagai media komunikasi yang seharusnya

244 Dhyah Madya Ruth SN, Memutus Mata Rantai Terorisme (Jakarta: Lazuardi Birru, 2010), h. 29.

245 Pernyataan Pers Gerakan Islam Cinta 2016, disampaikan oleh Irfan Amalee yang kini menjabat sebagai ketua Gerakan Islam Cinta di Mahakam, Jakarta Selatan, pada tanggal 4 Februari 2016, pukul 10.00-13.00 WIB bersama pendiri, pembina, dan deklarator Gerakan Islam Cinta.

G e r a k a n i s l a m c i n t a

128

membangun koneksi antarmanusia malah justru sebaliknya, menjadi pemecah belah.246 Ketua Gerakan Islam Cinta, Irfan Amalee memberikan pemahaman, informasi yang bersifat pemecah belah seperti racun yang menjalar. Pada tahap awal akan menumbuhkan fanatisme golongan atau kelompok agama, dan lain-lain. Setiap kelompok akan memproduksi informasi yang menguatkan supremasi mereka dan menganggap rendah kelompok lain. Ditahap ini informasi tersebut berhasil membentuk benteng segregasi. Masyarakat terkotak-kotak di benteng tertutup. Akibatnya, mereka tidak lagi bisa saling melihat dengan jernih, lalu setiap kelompok akan saling berprasangka dan menduga-duga. Setelah itu, stereotype akan tumbuh subur di mana-mana.

Apabila ditelusuri lebih jauh, masyarakat di zaman ini lebih percaya pada asumsi dan “malas” melakukan konfirmasi. Saling curiga dan prasangka bukan hanya terjadi antar dua kelompok yang bersengketa, tapi juga antar tetangga bahkan di dalam rumah tangga. Jika sudah tak saling percaya, maka setiap orang akan menandai (labelling). Dengan demikian, maka setiap orang dengan mudah mengenali siapa yang harus “dihabisi”. Tinggal menunggu api-api kecil, maka konflik besar

246 Pemanfaatan internet yang tidak sehat masih menjadi persoalan di Indonesia. Di luar pornografi, internet tidak sehat ini juga jamak dimanfaatkan untuk menyebarluaskan konten negatif yang cenderung memecah belah.

Lihat:https://kominfo.go.id/content/detail/11794/penggunan-internet-tidak-sehat-masih-jadi-masalah/0/sorotan_media diakses pada tanggal 8 Februari 2018, pukul 19.00 WIB.

g e R a Ka n i s l a M C i n Ta : M e M P R o M o s i Ka n i s l a M s e B ag a i ag a M a C i n Ta

129

akan meledak—seperti kasus di Ambon dan Poso.247 Menurut Amalee, semua kekerasan pada umumnya mengalami tahap-tahap di atas. Awalnya dari informasi kebencian. Secara bertahap, racun informasi tersebut dapat menghilangkan trust. Saat trust sudah hilang dalam masyarakat, antarsahabat bisa saling “membabat”, bahkan sebuah negara bisa porak-poranda jika warga dan pemimpinnya sudah tak saling percaya, seperti kasus di Yugoslavia.248

Berdasarkan hal tersebut, Gerakan Islam Cinta mengajak masyarakat utamanya kelompok milenial yang mendominasi pengguna jaringan internet, untuk segera menyadari situasi ini dan melakukan aksi-aksi nyata, sekecil apapun, diantaranya; tidak ikut mereproduksi dan menyebarkan informasi yang memecah belah. Mampu bersikap kritis dan bijak terhadap informasi. Jika tidak mampu memproduksi konten-konten positif, maka diharapkan kepada milenial tidak ikut mereproduksi konten negatif. Selain itu, tidak terjebak dalam polemik yang sengaja diciptakan di dunia maya untuk memperjelas segregasi kelompok pro dan kontra. Generasi milenial diharapkan dapat memproduksi konten-

247 Lihat:http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/politik-poso-konflik-islamkristen-warga-keturunan-santoso-dan-tibo,diakses pada tanggal 25 Januari 2018, pukul 10.00 WIB.

248 Kasus Yugoslavia memang menunjukkan fakta menyedihkan. Dalam kasus Yugoslavia, disebutkan para petinggi negara mencari bantuan dari para pelaku kejahatan selama masa konflik kekerasan di negeri itu. Pelaku kejahatan diminta melakukan aksi bersenjata dan penyebaran teror. Tujuan dari pelibatan ini adalah untuk memberi kesan bahwa pemimpin politik negeri itu bukan pelakunya. Selengkapnya, lihat:http://edukasi.kompas.com/read/2013/03/28/martabat.manusia.dan.negara. diakses pada tanggal 25 Januari 2018, pukul 13.00 WIB.

G e r a k a n i s l a m c i n t a

130

konten yang bermuatan cinta dan persatuan. Hal tersebut bisa menjadi counter terhadap konten yang bersifat kebencian. Menurut Simmon Wiesental Center, jumlah website yang berisi kebencian mencapai 11.500 pada tahun 2010, meningkat 20% dari tahun sebelumnya.249 Diperlukan lebih banyak konten website yang berisi cinta agar racun kebencian di dunia maya bisa dinetralkan. Kepada milenial juga penting memiliki critical thinking dan menumbuhkan tradisi tabayyun. Seberbahaya apapun racun informasi, tidak akan berfungsi jika setiap individu memiliki benteng pertahanan dalam diri yang disebut kemampuan literasi dan critical thinking. Agama Islam, ajaran pertamanya adalah iqra. Sejarah Islam adalah sejarah literasi. Bangsa ini dibangun oleh founding fathers yang cinta buku.250

Bersama seruan di atas, Gerakan Islam Cinta melakukan upaya-upaya untuk terus mempromosikan pesan cinta dan damai Islam melalui beberapa kegiatan sebagai berikut:

Menerbitkan serial buku dan bentuk-bentuk penerbitan lainnya, baik cetak maupun digital dan online, yang menggarisbawahi sifat ajaran Islam sebagai agama cinta. Sejak tahun 2015 GIC telah memproduksi delapan buku Islam Cinta, diantaranya: Belajar Hidup dari Rumi (2015) (telah diterbitkan oleh penebit Malaysia, dengan judul “Love Like Rumi” di tahun yang sama); Semesta Cinta: Pengantar Kepada Pemikiran Ibn ‘Arabi (2015), Risalah Cinta dan Kebahagiaan (2015), buku ini

249 Lihat: http://www.wiesenthal.com/site/pp.asp diakses pada tanggal 25 Januari 2018, pukul 14.30 WIB.

250 Irfan Amalee, Islam itu Ramah bukan Marah (Jakarta: Noura, 2017), h. 180.

g e R a Ka n i s l a M C i n Ta : M e M P R o M o s i Ka n i s l a M s e B ag a i ag a M a C i n Ta

131

diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, dan diterbitkan oleh Kube Publishing, London-Inggris, dengan judul “Islam: The Faith of Love Happiness” dan diluncurkan di Oxford University (2016); Mereguk Cinta Rumi (2016); Muara Cinta: Menyiapkan Hati Menerima Pancaran Cinta-Nya (2016); Islam itu Ramah bukan Marah (2017); Islam Mengasihi bukan Membenci (2017). Dengan penerbitan buku-buku tersebut, Gerakan Islam Cinta sebenarnya, ingin mendekatkan sosok inspiratif seperti Ibn ‘Arabi dan Jalaluddin Rumi termasuk kehadiran para tokoh yang menjadi pelopor GIC kepada milenial, sehingga mudah dijangkau oleh mereka. GIC berharap generasi milenial dapat terinspirasi dari sosok-sosok tersebut sehingga dapat memiliki prilaku yang damai.251 Selain itu, sebagai salah satu upaya Gerakan Islam Cinta dalam mencegah meluasnya penyebaran ideologi radikalisme dan terorisme terutama dikalangan generasi milenials. Gerakan Islam Cinta menangkal radikalisme dan terorisme dengan buku.252

Mengadakan berbagai kegiatan ilmiah dan yang lainnya dalam bentuk diskusi atau bincang-bincang, seminar, festival, konser musik, pelatihan dan bentuk-bentuk pertemuan lainnya dengan topik-topik yang terkait dengan pengembangan orientasi cinta agama Islam. Tercatat: Bincang-Bincang Buku Islam Cinta di adakan secara berkala, di Plaza Senayan, Grand Indonesia, Kampus, dan tempat-tempat lainnya yang strategis (2015-2017), Festival Islam Cinta dengan mengusung tema perdamaian berhasil dilaksanakan di lima kampus Indonesia

251 Wawancara dengan Haidar Bagir, Pendiri Gerakan Islam Cinta.252 Laporan Gerakan Islam Cinta Tahun 2016.

G e r a k a n i s l a m c i n t a

132

(UIN Jogjakarta (2013), Salman ITB (2014), UIN Jakarta (2015), UIN Malang (2016), UIN Bandung (2017). Seminar dan pelatihan “Sembilan Nilai Islam Cinta” bagi para guru Pendidikan Agama Islam (PAI), guru Madrasah, Rohis, Khatib dan Da’i. Program pelatihan Khatib dan Da’i bertujuan meningkatkan kapasitas para Da’i dan Khatib agar ceramah-ceramah mereka tidak saja berfokus pada tema-tema ritual, tapi juga berisi tema yang lebih luas dan menarik mencakup berbagai permasalahan riil untuk memperbaiki karakter bangsa dan umat.253

Mengambil langkah langkah untuk me-counter, dengan cara-cara yang bijaksana, kecenderungan radikalisme, takfirisme (faham pengafiran), syi’ar atau ujuran kebencian (hate speech ), dan kekerasan serta tindakan main hakim sendiri atas nama Islam di negeri kita, dengan memanfaatkan berbagai medium, termasuk media audiovisual, online dan offline, medium digital, dan sebagainya. Tercatat, bersama sineas muda Hanung Bramantyo dan Salman Aristo Gerakan Islam Cinta telah merencanakan produksi lima film layar lebar berjudul; Ayat-Ayat Adinda, Mencari Hilal, Film Keluarga Navis, Wahyu Bola, dan Dengan Nama Tuhan. Dua film diantaranya; Ayat-Ayat Adinda dan Mencari Hilal telah di produksi pada pertengahan tahun 2015. Dampak dari pemutaran film tersebut, Film Gerakan Islam Cinta berjudul; Mencari Hilal, meraih tujuh nominasi sebagai: (1) Film Terbaik, (2) Sutradara Terbaik, (3) Aktor Utama Terbaik, (4) Penulis Skenario Terbaik, (5) Penata Musik Terbaik, (6) Pengarah Artistik Terbaik, (7)

253 Irfan Amalee, Islam itu Ramah bukan Marah, (Jakarta: Noura, 2017), h. 161.

g e R a Ka n i s l a M C i n Ta : M e M P R o M o s i Ka n i s l a M s e B ag a i ag a M a C i n Ta

133

Penyunting Gambar Terbaik. Sedangkan, Dalam Indonesian Movie Actor Awards 2016, Film Islam Cinta “Mencari Hilal’ meraih sembilan dari empat belas nominasi. Diantaranya; (1) Pemeran Pria Utama Terfavorit, (2) Pemeran Pria Pendukung Tervaforit, (3) Pemeran Wanita Pendukung Terfavorit, (4) Film Terfavorit,(5) Pemeran Pria Utama Terbaik, (6)Pemeran Pria Pendukung Terbaik, (7) Pemeran Wanita, Pendukung Terbaik, (8) Pasangan Terbaik, (9) Ensemble Terbaik. Selain itu, GIC memproduksi Mini Album bertajuk Semesta Cinta dan Tausiah Cinta, selama bulan Ramadan dan disiarkan di 30 radio seluruh Indonesia sejak tahun 2015 dan seterusnya, aktif di media sosial dan webstite.

Melakukan advokasi antiradikalisme, takfirisme, dan kekerasan serta tindakan main hakim sendiri kepada pemerintah, media massa, atau pun pihak-pihak lain yang terkait, di dalam negeri maupun di luar negeri, agar mengambil langkah-langkah tegas tapi, pada saat yang sama, tidak melanggar demokrasi dan kebebasan. Sehubungan dengan hal ini, GIC menyelenggarakan program FGD—dan tak jarang disaat bersamaan dilakukan juga konferensi pers—bersama para tokoh, cendekiawan, pejabat terkait, organisasi-organisasi keagamaan, perdamaian, kepemudaan dan lainnya.

Melakukan aksi-aksi nyata filantropik di lapangan untuk membantu masyarakat yang membutuhkan di berbagai bidang kehidupan. Termasuk, upaya-upaya pengentasan dhu’afa dari kemiskinan, perbaikan kualitas pendidikan anak-anak dari keluarga dhu’afa, dan sebagainya. Sejak berdiri hingga sekarang ini, GIC bekerjasama dengan Amal Khair Yasmin, yaitu suatu

G e r a k a n i s l a m c i n t a

134

lembaga nirlaba yang identik dengan “social enterprise” dengan berbagai unit usaha yang memiliki tujuan untuk membiayai program-program sosial, seperti, bantuan beasiswa untuk siswa yang tidak mampu, pembangunan sekolah gratis untuk anak-anak dhuafa, terapi bagi anak berkebutuhan khusus (special need) dan lain-lain.

Kegiatan-kegiatan tersebut merupakan upaya preventif, edukatif dan kreatif yang dilakukan oleh Gerakan Islam Cinta Jakarta sebagai respons terhadap maraknya ideologi pro-kekerasan atas nama agama di kalangan milenial. Sekaligus sebagai bagian dari kampanye untuk mengajak generasi muda aktif dalam menyebarkan gagasan kebaikan. Hal tersebut, sebagaimana yang dipesankan Haidar Bagir kepada generasi milenial agar “berani” berbicara, menulis, dan menyebarluaskan gagasan tentang Islam yang sejuk, damai, dan penuh cinta ke masyarakat luas. Haidar juga mengingatkan bahwa jumlah kelompok radikal yang melakukan tindak kekerasan itu sedikit, namun mereka “berteriak” lantang sehingga menjadi seolah-olah besar dan mendominasi. Dibandingkan dengan jumlah kelompok damai yang senyatanya berjumlah lebih besar, tetapi karena banyak yang memilih diam, sehingga terkesan sedikit atau minoritas.254

254 Selengkapnya:http://www.dutaislam.com/2016/02/is-lam-memberi-energi-dan-inspirasi.html di akses pada tanggal 25 Januari 2018, pukul 23.00 WIB.

135

Beberapa hal yang menjadi kesimpulan penulis diantaranya, Gerakan Islam Cinta telah memberikan respon yang sangat

baik bagi perkembangan dan kemajuan generasi milenial Indonesia, khususnya di Jakarta. Langkah atau upaya kongkrit pro-milenial, oleh Gerakan Islam Cinta telah dibuktikannya dalam bentuk nyata, seperti menerbitkan buku-buku dengan desain visual kreatif, memproduksi film-film layar lebar, mini album, menyelenggarakan festival, konser puisi dan musik, talkshow, aktif di media sosial, dan lain-lain, yang kesemuaan itu menunjukkan komitmen dan perhatian Gerakan Islam Cinta terhadap generasi masa depan negeri ini dan bertujuan agar generasi milenial terbebas dari bahaya radikalisme, ekstrimisme, dan terorisme.

Sesuai hasil yang ditemukan oleh penulis, beberapa hal yang menjadi saran lanjutan dari penelitian ini adalah: Pertama, Bagi generasi milenial, Gerakan Islam Cinta telah menjadi oase di tengah sahara pemikiran dan perilaku keberagamaan yang demikian nomos atau law (fiqh) oriented. Gerakan Islam Cinta

Kesimpulan

G e r a k a n i s l a m c i n t a

136

menempati posisi “tengah”, menjadi “jembatan” pertemuan dan dialog antar mazhab (Sunni-Syiah), NU-Muhammadiyah, bahkan menjadi ruang pertemuan dan dialog terhadap non-Muslim. Inilah yang sejujurnya diharapkan milenial. Dalam konteks demikian, gagasan Gerakan Islam Cinta dapat menjadi salah satu solusi untuk membangun kerukunan umat beragama. Kedua, Agar upaya-upaya yang dilakukan Gerakan Islam Cinta dapat terus berkelanjutan. Perlu adanya peran serta dan dukungan yang lebih luas, mulai dari pemerintah sebagai pengambil kebijakan baik di tingkat pusat maupun daerah, para cendekiawan, akademisi, seniman, budayawan, penulis, mahasiswa atau pelajar dan elemen masyarakat lainnya. Ketiga, Mengingat pentingnya kajian mengenai kepemudaan (milenial) dan keberagamaan, terlebih dalam konteks generasi muda dan keberagamaan di Jakarta, Indonesia—yang masih menghadapi banyak tantangan, maka penulis mengharap adanya penelitian-penelitian lanjutan yang mengkaji dan mengedepankan aspek praksis nilai-nilai Islam Cinta dalam kehidupan milenial. Dengan begitu, dampak riil yang dapat dilakukan oleh milenial Jakarta, Indonesia.

137

Buku-Buku

Abdullah, M. Amin. Studi Agama Normativitas atau Historisitas?, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.

Abdul Ghafur, Waryono. Persaudaraan Agama-Agama Millah Ibrahim dalam Tafsir Al-Mizan. Jakarta: Mizan, 2016.

Abdullah Darraz, Muhammad ed., Formulasi Ajaran Islam: Jihad, Khilafah dan Terorisme, Bandung: Mizan, 2017.

Abu-Amr, Ziad. Islamic Fundamentalism in the West Bank and Gaza, Bloomington: Indiana University Press, 1994.

Adeney, Bernand dan Risakotta, ed. Mengelola Keragaman di Indonesia: Agama dan Isu-isu globalisasi, Kekerasan Gender dan Bencana di Indonesia, Bandung: Mizan, 2015.

Ali, Hasanuddin, dkk, Milenial Nusantara; Pahami Karakternya, Rebut Simpatinya, Jakarta: Gramedia, 2017.

Ali, Hasanuddin, Cha Lilik Purwandi. Indonesia 2020: The Urban Middle-Class Milenial, Jakarta: Alvara Research Center, 2016.

Daftar Pustaka

G e r a k a n i s l a m c i n t a

138

Ali, Matius. Filsafat Timur: Sebuah Pengantar Hinduisme dan Buddhisme, Jakarta: Sanggar LUXOR, 2013.

Ali, Mukti. Islam Mazhab Cinta, Cara Sufi Memandang Dunia, Bandung: Mizan, 2015.

Allawi, Ali A. Krisis Peradaban Islam, Bandung: Mizan, 2009.

Amalee, Irfan. Islam itu Ramah bukan Marah, Jakarta: Noura, 2017.

Aqdhiwijaya, Eddy. dkk, Pendidikan Interreligius Non-Formal, Jakarta: CDCC, 2016.

Aritonang. Jan S. Sejarah Perjumpaan Kristen dan Indonesia. Jakarta: Gunung Mulia, 2015.

Armstrong, Karen. dalam prakata Harapan untuk Sebuah Dunia yang Lebih Baik, Compassion; 12 Langkah Menuju Hidup Berbelas Kasih, Jakarta: Mizan, 2012.

_______Fields of Blood-Mengurai Sejarah Hubungan Agama dan Kekerasan. Jakarta: Mizan, 2016.

Azra, Azyumardi. Pergolakan Politik Islam, Bandung: Mizan, 1999.

Bagir, Haidar. Buku Saku Tasawuf, Jakarta: Mizan, 2005.

_______ Islam Tuhan Islam Manusia; Agama dan Spiritualitas di Zaman Kacau. Jakarta: Mizan, 2017.

_______ Mereguk Cinta Rumi, Jakarta:Mizan, 2015.

_______ Risalah Cinta dan Kebahagiaan. Jakarta: Mizan, 2016.

D. Caputo, John. Agama Cinta, Agama Masa Depan, Bandung: Mizan, 2013.

d a f T a R P u s T a K a

139

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1995, Edisi ke-2, Cet. Ke-4.

Fatwa, A. M. Menghadirkan Moderatisme Melawan Terorisme, Mizan; Jakarta: 2006.

Haryono, M. Yudhie. Meaafkan Islam. Jakarta: Kalam Nusantara, 2006.

Hasan Khalil, Muhammad. Islam dan Keselamatan Pemeluk Agama Lain, Bandung: Mizan, 2016.

Hasan, Hasan ed. Literatur Keislaman Generasi Milenial: Transmisi, Aprosiasi, dan Kontestasi. Jogjakarta: Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Press, 2018.

Hasani Ismail dan Bonar Tigor Naipospos. Dari Radikalisme Menuju Terorisme–Studi Relasi dan Transformasi Organisasi Islam Radikal di Jawa & D.I Yogyakarta, Jakarta: Setara Institute, 2012.

Hendropriyono, A. M. Terorisme Fundamentalis Kristen,Yahudi dan Islam, Jakarta: Kompas, 2009.

Hidayat, Komaruddin. Agama Punya Seribu Nyawa, Jakarta: Noura Books, 2012.

Hossein Nasr, Seyyed. Knowledge and The Sacred, Lahore: Suhall Academy, 1988.

J Moleong, Lexy. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2012.

J. B Banawiratma, Zainal Abidin Bagir. Dialog Antar Umat Beragama; Gagasan dan Praktik di Indonesia, Jakarta: Mizan, 2010.

G e r a k a n i s l a m c i n t a

140

Kimball Charles. Kala Agama Jadi Bencana, Jakarta: Mizan, 2003.

_______ When Religion Become Evil, Harper-Collins e-Book.

Lebor, Adam. A Heart Turned East; Pergulatan Muslim di Barat Antara Identitas dan Integritas, Jakarta: Mizan, 2009.

Latif, Yudi. Memudakan Kembali Indonesia; Reinventing Indonesia; Menemukan Kembali Masa Depan Bangsa, Jakarta: Mizan, 2008.

Maarif, Nurul H. Islam Mengasihi bukan Membenci, Bandung: Mizan, 2017.

Madjid, Nurkholish. Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1994.

Madya Ruth SN, Dhyah. Partisipasi Masyarakat dalam Memutus Mata Rantai Radikalisme dan Terorisme, Jakarta: Lazuardi Birru, 2010.

Magnis-Suseno,Franz. Agama, Kebangsaan dan Kebangsaan: Nurcholish Madjid dan Kemanusiaan, Jakarta: PUSAD, 2014.

Mahmud al-Ghurab, Mahmud. Semesta Cinta; Pengantar Kepada Pemikiran Ibnu ‘Arabi, Jakarta: Mizan, 2016.

Miney, Robbin. The Work of Rudolf Otto and Its Relevance to Religious and its Relevance To Religius Education in Britain at The Present Time, Durham University:1993.

McEvoy-Levy, Siobhan. Children, Youth and Peacebuilding.” Critical Issues in Peace and Conflict Studies: Theory, Practice and Pedagogy: 2011.

d a f T a R P u s T a K a

141

M. Henslin, James. Sosiologi dengan Pendekatan Membumi, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006.

M. Mukhsin, Jamil. Mengelola Konflik Membangun Damai: Teori, Stategi, dan Implementasi Resolusi Konflik, Semarang: Walisongo Mediation Centre: 2007.

Nursida, Ida. Puisi Cinta dalam Sastra Sufi, Serang: Laksita Indonesia, 2016.

Nuh, Muhammad. Menyemai Kreator Peradaban; Renungan tentang Pendidikan, Agama dan Budaya, Jakarta: Zaman, 2013.

Pranowo, Bambang. Dkk., Laporan Penelitian Kehidupan Keagamaan di Jabodetabek, LAKIP, 2011.

Rahardjo, Dawam. Merayakan Kemajemukan Kebebasan dan Kebangsaan, Jakarta: Kencana, 2010.

Rahmawati, Destiana. Milenials and I-Generation Life. Jogjakarta: Laksana, 2018.

R. Hinnells, John. ed. The Routledge Companion to The Study of Religion, London and New York: Routledge, 2005.

Rahardjo, Dawam. Merayakan Kemajemukan Kebebasan dan Kebangsaan, Jakarta: Kencana, 2010.

Ramaswamy, ed. Social Capital and Economic Development: Well-being in Developing Countries. Cheltenham, UK: Edward Elgar, 2002.

Satha-Anand, Chaiwat. Barangsiapa Memelihara Kehidupan: Esai-esai tentang Nirkekerasan dan Kewajiban Islam, Jakarta: Pusad Paramadina, 2015.

G e r a k a n i s l a m c i n t a

142

_______Barangsiapa Memelihara Kehidupa: Esai-essai tentang Nirkekerasan dan Kewajiban Islam, Jakarta: Pusad, 2015.

Safavi, Sayed G. Struktur dan Makna Matsnawi Rumi, Jakarta: Mizan, 2005.

Said Ramadhan al-Buthy, Muhammad. Kitab Cinta, Menyelami Bahasa Klasik Sang Pencipta, Jakarta: Mizan, 2009.

Shihab, Alwi. Islam Inklusif, Bandung: Mizan, 1998.

_______ Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, Jakarta: Mizan, 1998.

Shihab, M. Quraish. Kumpulan 101 Kultum Tentang Islam; Akidah, Akhlak, Fiqih, Tasawuf, Kehidupan Setelah Kematia,. Jakarta: Lentera Hati, 2016.

_______ Logika Agama, Jakarta: Lentera Hati, 2016.

_______ Yang Hilang dari Kita Akhlak, Jakarta: Lentera Hati, 2016

_______ Membumikan Al-Quran; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Jakarta: Mizan, 2013.

Suprapto. Prakarsa Perdamaian Pemuda Lintas Iman: Konflik, Kekerasan Sosial, dan Peacebuilding, Mataram Medation Center, Jakarta: 2017.

Sri Ahimsa-Putra, Heddy. Fenomenologi Agama: Pendekatan Fenomenologi untuk Memahami Agama, Jogjakarta: Walisongo, 2012.

Syafii Maarif, Ahmad. Islam dalam bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan, Jakarta: Mizan, 2016.

d a f T a R P u s T a K a

143

_______Islam dalam bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan, Bandung: Mizan, 2009.

Syariati, Ali A. Makna Haji. Jakarta: Zahra, 2014.

S. Bamualim, Chaider. Kaum Muda Muslim Milenial, Konservatisme, Hibradasi Identitas, dan Tantangan Radikalisme, Ciputat: CRCS, 2018.

Taufiq, Imam. Al-quran Bukan Kitab Teror-Membangun Perdamaian Berbasis Al-Quran, Jogjakarta: Bentang Pustaka. 2016.

_______ Al-Qur’an bukan Kitab Teror, Jakarta: Noura, 2016.

Taufik, Zulfan. Dialektika Islam dan Humanisme; Pembacaan Ali Shari’ati, Ciputat: Onglam Books, 2015.

Umar, Nasaruddin. Deradikalisasi Pemahaman al-Quran dan Hadis. Jakarta: Quanta, 2014.

Qardhawi, Yusuf. Islam Jalan Tengah Menjauhi Sikap Berlebihan dalam Beragama. Jakarta: Mizan, 2017.

Wahid, Abdurrahman. Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi, Jakarta: The Wahid Foundation, 2006.

W. Arnold, Thomas. The Preaching of Islam, penj, Nawawi Rambe. Jakarta: Widjaya, 1981.

Jurnal dan Surat Kabar

Asa Berger, Athur. Media and Communcation: Research Methods, London: Sage Publications, 2000.

G e r a k a n i s l a m c i n t a

144

Allen, Douglas. Phenomenology of Religion; The Routledge Companion to The Study of Religion, London and New York: Routledge, 2005.

Harian Kompas, Festival Islam Cinta; Kembangkan AJaran Islam yang Ramah, terbit tanggal 4 Juni 2015

Hossein Nasr, Seyyed. Knowledge and The Sacred, Lahore: Suhall Academy, 1988.

Milton-Edwards, Beverly. Islamic Politics in Palestine, London: IB Tauris, 1996.

Litbang Kompas Harian Kompas, terbit pada hari Sabtu, 2 September 2017.

Luntungan, Irving. Strategi Pengelolaan Generasi Y di Industri Perbankan, Jurnal Manajemen Teknologi Vol.13, No. 2, 2014.

Nasr, Filsafat Perennial: Perspektif Alternatif untuk Studi Agama, Ulumul Quran Vol. II No. 3, 1992.

Nasr, Filsafat Perennial: Perspektif Alternatif untuk Studi Agama, Ulumul Quran, Vol. II, No. 3. 1992.

Ramaswamy, Roger. ed. Social Capital and Economic Development: Well-being in Developing Countries. International Journal of Sociology and Social Capital and Poverty, UK: Edward Elgar, 2002.

V. Patulny, Roger dan Gunnar Lind Haase Swendsen. Exploring the Social Capital Grid: Bonding, Bridging, Qualitative, Chelten- ham, UK: Edward Elgar, 2002.

d a f T a R P u s T a K a

145

Situs-Situs

https://www.rappler.com/indonesia/143823-wahid-institute-11-juta-orang-indonesia-kekerasan-agama diakses pada tanggal 10 Oktober 2017, pukul 11.00 WIB.

http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/17/07/21/otg5qz-jokowi-penduduk-muslim-potensi-dan-kekuatan-indonesia diakses pada tanggal 10 Oktober 2017, pukul 17.00 WIB.

https//www.katalositas.org/eros-philia-agape,diunduh pada 10 Oktober 2017, pukul 12.00 WIB.

http://www.antaranews.com/berita/594978/kalangan-muda-rentan-penyebaran-paham-radikal-terorisme di akses pada 21 September 2017, pukul 19.47 WIB.

http://www.youthstudiesinstitute.co, diakses pada tanggal 5 Februari 2018, pukul 17.15 WIB.

https://youtu.be/QufeVZk2MQs diunduh pada tanggal 22 Oktober 2017, pukul 22.00 WIB.

http://www.antaranews.com/berita/640511/khofifah-wanti-wanti-penyebaran-radikalisme-sasar-pelajar-mahasiswa. Diakses pada tanggal 21 September 2017 pukul 20.12 WIB.

https://en.wikipedia.org /wiki/William_Straus diakses pada tanggal 27 Oktober 2017, pukul 18.35 WIB.

https://en.wikipedia.org /wiki/Neil_ diakses pada tanggal 15 November 2017, pukul 15.00 WIB.

https://www.youtube.com-/ watch?v diunduh pada tanggal 17 Oktober 2017, Pukul 16. 39 WIB.

G e r a k a n i s l a m c i n t a

146

http://www.republika.co.id/berita/koran/inovasi/16/12/26/ois64613-mengenal-generasi-millennial diunduh pada 17 Oktober 2017, Pukul 17.00 WIB.

https://tirto.id/memahami-selera-musik-milenial- artikel ini diakses pada tanggal 25 November 2017, pukul 19.00 WIB.

https://www.viva.co.id/siapa/read/271-rhenald-kasali- diakses pada tanggal 25 Oktober 2017, pukul 19.00 WIB.

https://id.wikipedia.org/wiki/Labil diakses pada tanggal 3 November 2017, pukul 17.25 WIB.

https://www.acerid.com/2017/11/pengaruh-teknologi-terhadap-milenial di akses pada tanggal 25 November 2017, pukul 17.00 WIB.

http://nasional.kompas.com/read/2015/11/06/07423391/Pro.Kontra.Surat.Edaran.Hate.Speech.dan.Jawaban.Kapolri. Diakses pada tanggal 2 Februari 2018, pukul 20.00 WIB.

https://youtu.be/QufeVZk2MQs, diakses pada tanggal 22 Oktober 2017, pukul 23.00 WIB.

http://www.antaranews.com/berita/640511/khofifah-wanti-wanti-penyebaran-radikalisme-sasar-pelajar-mahasiswa. Diunduh pada tanggal 21 September 2017, pukul 20.12 WIB.

https://www.islamcinta.co diakses pada tanggal 11 Januari 2018, pukul 09.00 WIB.

https://www.islamcinta.co/single-post/2018/02/07/islam-agama-cinta diakses pada tanggal 23 Februari 2018, pukul 19.00 WIB.

d a f T a R P u s T a K a

147

http://www.dutaislam.com/2016/02/islam-memberi-energi-dan-inspirasi.html di akses pada tanggal 27 Februari 2018, pukul 21.00 WIB.

http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/15/06/03/ diakses pada tanggal 28 Februari 2018 pukul 22.00 WIB.

http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/15/06/03/npcp7m-uin-jakarta-gelar-festival-islam-cinta diakses pada tanggal 7 Februari 2017. Pukul 20.00 WIB.

https://www.islamcinta.co/single-post/2016/10/21/apa-itu-cinta-?, diakses pada 14 Oktober 2017, pukul 10.00 WIB.

https://www.islamcinta.co/single-post/2016/10/21/apa-itu-cinta-?, diakses pada 14 Oktober 2017, pukul 07.00 WIB.

https://islamindonesia.id/berita/wawancara-bukan-agama -kalau-bukan-cinta.htm diakses pada 12 Januari 2018, pukul 22.00 WIB.

https://islamindonesia.id/berita/di-london-buku-

karya-haidar-bagir-tentang-islam-diluncurkan.htm. diakses pada tanggal 11 Januari 2017, pukul 10.00 WIB.

https://www.islamcinta.co/single-post/2018/02/07/FAQ- Frequently-Asked-Question-Tentang-Gerakan-Islam-Cinta diakses pada tanggal 8 Februari 2018, pukul 21.00 WIB.

https://twitter.com/G_IslamCinta, diakses pada tanggal 2 Februari 2018, pukul 17.45 WIB.

G e r a k a n i s l a m c i n t a

148

https://kominfo.go.id/content/detail/11794/penggunan-internet-tidak-sehat-masih-jadi-masalah/0/sorotan_media diakses pada tanggal 8 Februari 2018, pukul 19.00 WIB.

http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/politik-poso-konflik-islamkristen-warga-keturunan-santoso-dan-tibo diakses pada tanggal 25 Januari 2018, pukul 10.00 WIB.

http://edukasi.kompas.com/read/2013/03/28/ martabat.manusia.dan.negara. diakses pada tanggal 25 Januari 2018, pukul 13.00 WIB.

http://www.wiesenthal.com/site/pp.asp diakses pada tanggal 25 Januari 2018, pukul 14.30 WIB.

http://www.dutaislam.com/2016/02/islam-memberi-energi-dan-inspirasi.html di akses pada tanggal 25 Januari 2018, pukul 23.00 WIB.

https://nasional.kompas.com/read/2011/10/02/20394476/pertikaian.di.Ambon.Bukan.konflik.agama.

https://www.is lamcinta.co/singlepost/2018/06/26/MEWUJUDKAN-ISLAM-CINTA, diakses pada tanggal 22 Juni 2018, Pukul 22.00 WIB.

Wawancara dan Laporan Kegiatan GIC

Wawancara dengan Haidar Bagir, Pendiri Gerakan Islam Cinta.

Wawancara dengan Irfan Amalee, Ketua Gerakan Islam Cinta.

Wawancara dengan Perwakilan Gen Islam Cinta Zulfan Taufik dan Dian Makruf.

Laporan Gerakan Islam Cinta, tahun 2015, 2016, 20

149

Nama lengkapnya, Eddy Najmuddin Aqdhiwijaya atau lebih dikenal dengan nama Eddy Aqdhiwijaya, lahir di Tangerang pada tanggal 19 Maret 1990. Nama belakangnya “Aqdhiwijaya” diambil dari nama kakeknya, ia sangat menyukai nama tersebut karena baginya memiliki pesan positif dan mendalam. Sejak kecil ia dibiasakan hidup mandiri oleh kedua orangtuanya H. Abdul Rohim Hasan dan Hj. Nadyatul Munawaroh Aqdhiwijaya. Dari keduanya, ia diajarkan tujuh prinsip hidup yang harus dimiliki olehnya, yaitu; ketulusan, kejujuran, kesederhanaan, keberanian, kemandirian, keda-maian, dan kebahagiaan. Ketujuh prinsip hidup yang diajarkan ayah dan ibunya itu selalu ia bawa kemana-mana dan menjadi prinsipnya dalam menjalani bahtera kehidupan.

Dalam perjalanannya ia berkesempatan belajar langsung dengan Cendekiawan Muslim Haidar Bagir di Mizan dan para tokoh di Gerakan Islam Cinta yang memperkenalkannya pada banyak hal, terutama dalam hal-hal yang substantif, inklusif dan progresif. Dari sosok Haidar Bagir, ia juga didekatkan

Tentang Penulis

G e r a k a n i s l a m c i n t a

150

pada pemikiran Islam Ibn ‘Arabi (Futuhat al-Makiyyah), Jalaluddin Rumi (Mastnawi) dan Annemarie Shimmel (Mystical Dimensions of Islam) yang dalam banyak karyanya dengan gencar mempromosikan Islam sebagai agama cinta (love/eros oriented). Dalam studi perdamaian dan kepemudaan (peace and youth studies), ia juga belajar secara masif dari tokoh muda Irfan Amalee yang berhasil memperkenalkannya, bahkan melibat-kannya secara aktif tentang model pengajaran pendidikan perdamaian yang unik dan kreatif bagi kalangan muda.

Karena kecintaannya terhadap hal-hal tersebut, mem-bawa nya pada sejumlah capaian, diantaranya; (1) Terlibat aktif dalam kajian, penelitian dan pengembangan studi keislaman dan kepe-mudaan yang diselenggarakan oleh sejumlah lembaga, organisasi dan komunitas di dalam maupun luar negeri; (2) Terlibat aktif dalam kegiatan Youth for Peace bertajuk “Inspiring Future Leader for Peace” yang bertujuan untuk mem-promosikan pesan persaudaraan dan perdamaian dikalangan generasi muda di Papua, NTB, NTT, Banten, Jakarta, Jawa Barat, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa Timur dan Jawa Tengah melalui berbagai program edukatif, preventif dan kreatif; (3) Terlibat aktif dalam sejumlah organisasi dan komunitas kepemudaan dan perdamaian yang berkembang di dalam maupun luar negeri; (4) Terpilih menjadi peneliti dan penulis pendidikan interreligius termuda oleh CDCC Jakarta-Indonesia, Religions for Peace New York-USA, dan KAIICID Wina-Austria; (5)Terpilih mendapatkan pendidikan kebangsaan dan keindonesiaan oleh LEMHANNAS RI; (6)

T e n T a n g P e n u l i s

151

Terpilih menjadi tim Compassion Action Network International Chapter Indonesia; (7) Mendapatkan kepercayaan menjadi tim dan fasilitator Peace Generation Indonesia; (8) Ikut mendirikan lembaga studi kepemudaan (Youth Studies Institute) di Jakarta, gagasannya tentang tujuh prinsip generasi muda, oleh peneliti kampus terkemuka di Amerika Serikat diapresiasi dan didukung agar bermanfaat dan berdampak luas bagi generasi muda; (9) Terlibat aktif dalam program-program sosial pengentasan kemiskinan melalui jalur pendidikan bagi Yatim dan Dhuafa yang dipelopori oleh Yayasan Manusia Indonesia (Yasmin) di Jakarta; (10) Terpilih menjadi anggota Asian Muslim Action Network Indonesia dan ia juga seringkali diundang untuk menjadi pembicara atau narasumber terkait isu-isu keagamaan, perdamaian dan kepemudaan diberbagai forum diskusi, pelatihan, seminar dan lain-lain.

Beberapa karya tulisnya yang telah dipublikasikan antara lain, bertemakan: Inspiring Future Leader for Peace, part I (2012); dan part II (2013); Youth for Peace (2013); Imam for Peace (2013); Indonesian Youth Role in Preventing Pro-Violence Ideology (2014); Pemuda dan Ancaman Kekerasan Atas Nama Agama (2013); Merayakan Masa Muda (2015); Pendidikan yang Memanusiakan Manusia (2015); Islam Itu Agama Cinta (2016); Pendidikan Interreligius (2016); Jihad Anak Muda (2016); Pemuda Anti Hoax (2017) dan lain-lain.