Draf Skripsi Beno

36
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra adalah fenomena kemanusiaan yang kompleks, ada peristiwa suka, duka, dan peristiwa hidup lainnya.Semua itu merupakan hasil ciptaan manusia yang ditujukkan untuk manusia, berisikan tentang kehidupan manusia, memberikan gambaran kehidupan dengan segala aspek kehidupannya. Semi (1993 : 8) mengatakan bahwa karya sastra merupakan hasil kreativitas pengarang yang menggunakan manusia dan segala macam segi kehidupannya sebagai objek kajiannya. Dalam hal ini, pengarang memegang peranan yang cukup penting untuk pengembangan sebuah karya satra karena pengaranglah yang mempunyai ide dan kreativitas untuk menghasilkan sebuah karya sastra. Sejurus dengan pendapat di atas, bisa dikatakan bahwa karya sastra merupakan proses kreasi seorang pengarang melalui daya imajinatifnya yang kemudian dituangkan ke dalam bentuk karya. Hasilnyapun bisa

Transcript of Draf Skripsi Beno

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Karya sastra adalah fenomena kemanusiaan yang

kompleks, ada peristiwa suka, duka, dan peristiwa hidup

lainnya.Semua itu merupakan hasil ciptaan manusia yang

ditujukkan untuk manusia, berisikan tentang kehidupan

manusia, memberikan gambaran kehidupan dengan segala

aspek kehidupannya. Semi (1993 : 8) mengatakan bahwa

karya sastra merupakan hasil kreativitas pengarang yang

menggunakan manusia dan segala macam segi kehidupannya

sebagai objek kajiannya. Dalam hal ini, pengarang

memegang peranan yang cukup penting untuk pengembangan

sebuah karya satra karena pengaranglah yang mempunyai ide

dan kreativitas untuk menghasilkan sebuah karya sastra.

Sejurus dengan pendapat di atas, bisa dikatakan

bahwa karya sastra merupakan proses kreasi seorang

pengarang melalui daya imajinatifnya yang kemudian

dituangkan ke dalam bentuk karya. Hasilnyapun bisa

berbentuk karya sastra tulisan dan karya sastra lisan.

Seperti yang dikatakan Siswantoro ( 2004 : 23) bahwa

karya sastra tidak sekedar lahir dari dunia yang kosong

melainkan karya lahir dari proses penyerapan realita

pengalaman manusia. Akhirnya kita bisa tahu, bahwa karya

satra lahir karena adanya kreativitas pengarang dalam

membaca kondisi sosial yang tengah tejadi di sekitanya

yang kemudian dituangkan ke dalam karyanya.

Menurut ragamnya, karya sastra sendiri dibedakan

menjadi tiga, yaitu prosa, puisi, dan drama.Berkaitan

dengan prosa fiksi sendiri, karya sastra kemudian dibagi

menjadi dua, yaitu cerita pendek (cerpen) dan novel, di

mana persoalan yang disodorkan pengarang tidak terlepas

dari pengalaman kehidupan manusia sehari-hari. Hanya saja

dalam penyampaiannya, pengarang sering mengemasnya dengan

gaya yang berbeda-beda sesuai dengan gayanya sendiri dan

selalu memuat pesan-pesan moral bagi kehidupan manusia.

Hal ini bisa kita lihat dalam pendapat yang disampaikan

oleh Siswantoro berikut ini.

Novel dan cerpen sebagai bentuk sastra meruapakan jagad

realita yang didalamnya terjadi peristiwa dan perilaku yang

dialami dan diperbuat menusia (tokoh).Realita sosial, realita

psikologis, realita religious merupakan tema-tema yang

sering muncul ketika berbicara tentang novel, misalnya

kehadiran fenomena kejiwaan tertentu yang dialami tokoh

ketika merespon atau bereaksi terhadap diri dan

lingkungan. Fenomena psikologis yang hadir di dalam fiksi

memiliki arti kalau pembaca memberi interpretasi, dan ini

berarti pembaca memiliki bekal teori tentang psikologi yang

memadai (Siswantoro, 2004 : 32).

Sebagaimana kita tahu, bahwa manusia hidup dengan

berbagai macam aktivitas dalam berinteraksi dengan sesama

dan lingkungan sekitarnya. Aktivitas dan tingkah laku

yang dilakukan manusia ini sering menimbulkan berbagai

persoalan hidup akibat dri adanya gesekan sosial antara

kepentingan individunya dengan orang lain. Permasalahan

hidup manusia ini sendiri akhirnya membuat manusia

mengalami penyimpangan yang berbentuk konflik. Menurut

Meredith dan Fitzgerald (dalam Nurgiyantoro, 1995 : 112)

konflik ini sendiri adalah sesuatu yang tidak

menyenangkan, yang terjadi dan dialami oleh tokoh-tokph

dalam karya sastra.

Konflik itu sendiri sangat mempengaruhi kehidupan

manusia, terutama pada pikiran, perasaan, dan tingkah

laku seseorang. Pembawaan yang mencakup pikiran,

perasaan, dan tingkah laku manusia merupakan karakter

dari seseorang yang menampilkan bagaimana cara ia

beradaptasi dan berkompromi dalam kehidupan. Hal ini

menurut Santrock (1998 : 434) disebut sebagai

kepribadian. Keterkaitan antara kepribadian dan konflik

sangatlah erat karena konflik yang dialami oleh seseorang

bisa mengubah kepribadian seseorang tersebut, bila ia

tidak bisa mengendalikan diri dan kperibadiannya

tersebut. Hal ini tentu saja akan berdampak pada

kehidupan seseorang, baik pribadi maupun kehidupan

sosialnya. Dengan mengalami konflik, seseorang akan

dicoba dalam hal mengambil sebuah keputusan. Tentu saja

keputusan yang akan diambil akan menentukan kehidupan

orang tersebut di masa-masa selanjutnya. Oleh karena itu,

kepribadian orang tersebut sangat menentukan bagaimana ia

di masa selanjutnya. Apakah ia ingin menyerah pada

keadaan dan hidup mengikuti situasi yang ada atau ia

berani keluar dari konflik dengan mengambil sebuah

keputusan yang tepat.

Novel Narcissus und Goldmund dipilih oleh penulis karena

novel ini sangat menarik untuk dibaca, di mana novel ini

menceritakan tentang seorang pemudabernama Goldmund, yang

merasa sangat tidak puas dengan kehidupan yang sedang ia

jalani. Ia merasa bahwa kehidupan yang sedang ia jalani

tidak sesuai dengan dirinya dan jika tetap ia jalani, itu

hanya akan sia-sia. Konflik inilah yang akhirnya membaut

Goldmund membuat suatu kepurtusan yang cukup berani. Ia

memutuskan untuk pergi dari kehidupan keluarga dan

sekolahnya untuk mencari tahu tentang siapa dia dan

bagaimana kepribadiannya yang sesungguhnya,yang mana

dalam perjalanannya itu banyak konflik lain yang ia temui

di dalamnya. Konflik dan kepribadian tokoh Goldmund

inilah yang membuat penulis sangat tertarik untuk

menelitinya.

Novel berbahasa jerman ini telah diterjemahkan ke

dalam berbagai bahasa, salah satunya ke dalam bahasa

Indonesia.Selain itu novel ini ditulis dengan bahasa yang

indah dan puitis, di mana pengarang benar-benar

memperhatikan pemilihan kata dalam penulisan novel ini

dan penuh dengan makna hidup (Hesse, 1974:122).Novel yang

ditulis pada tahun 1930 ini merupakan salah satu karya

terbaik Herman Hesse dan menjadi karya sastra klasik

(Hesse, 1974:122).

1.2 Batasan Masalah

Penelitian ini hanya dibatasi pada tokoh Goldmund

yang menjadi tokoh paling sering muncul dan yang konflik

dalam novel Narcissus und Goldmund karya Hermann Hesse.

1.3 Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah bentuk kepribadian tokoh Goldmund

yang digambarkan dalam novel Narcissus und Goldmund

karyaHermann Hesse ?

2. Konflik apa sajakah yang dialami tokoh Goldmund

dalam novel Narcissus und Goldmund ?

1.4 Tujuan Penelitian

1. Mendeskripsikan bentuk kepribaadian tokoh

Goldmund yang digambarkan dalam novel Narcissus

und Goldmund karyaHermann Hesse.

2. Mendeskripsikan tentang konflik yang dialami

oleh tokoh Goldmund dalam novel Narcissus und

Goldmund karya Hermann Hesse.

1.5 Manfaat Penelitian

Penulis berharap tentunya dari penelitian ini,

pembaca bisa lebih mengetahui tentang bagaimna bentuk

kepribadiannya dan bisa mengatasi segala macam bentuk

konflik yang sedang ia hadapi dengan baik tanpa harus

merusak hubungannya dengan orang lain. Tentu hal ini

sangat diperlukan dalam hidup bermasyarakat. Dan juga

penulis berharap, dengan adanya penelitian ini akan

semakin mendorong minat pembaca untuk lebih menikmati

(dalam hal ini membaca) karya-karya satra, karena dengan

itu pengetahuan pembaca akan semakin luas, terutama

tentang karya sastra jerman.

1.6 Definisi Istilah

1. Novel : Jagad realita yang di dalamnya

terjadi peristiwa dan perilaku yang dialami dan

diperbuat tokoh (manusia). Realita sosial, realita

psikologis, realita religious merupakan tema-tema yang

sering muncul ketika berbicara tentang novel, misalnya

kehadiran fenomena kejiwaan tertentu yang dialami tokoh

ketika merespon atau bereaksi terhadap diri dan

lingkungan. Fenomena psikologis yang hadir di dalam fiksi

memiliki arti kalau pembaca memberi interpretasi, dan ini

berarti pembaca memiliki bekal teori tentang psikologi

yang memadai (Siswantoro, 2004 : 32).

2. Kepribadian : Totalitas karakteristik individual,

terutama yang berhubungan dengan orang lain (Lynn Wilcox,

2012 : 265)

3. Konflik : Suatu yang tidak menyenangkan yang

terjadi dan dialami oleh tokoh-tokoh dalam karya sastra,

Meredith dan Fitzgerald (dalam Nurgiyantoro, 1995 : 112).

4. Penokohan : Bagaimana cara pengarang

menggambarkan dan mengembangkan watak-watak tokoh dalam

sebuah cerita (Ester, 1990 : 27).

1.7

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Novel

Sudjiman (1988 : 11) mengatakan bahwa karya sastra

menurut ragamnya dibedakan atas prosa, puisi, dan drama.

Prosa itu sendiri adalah jenis karya sastra yang berupa

cerita rekaan.Berdasarkan panjang dan pendek sebuah

cerita, prosa dibedakan menjadi novel, cerpen dan roman.

Dalam hal ini, novel itu mempunyai arti karangan prosa

yang panjang dan mengandung rangkaian cerita kehidupan

seseorang dengan orang disekelilingnya dengan menonjolkan

watak dan sifat setiap pelaku (KBBI, 2001 : 778).

Adapun menurut Nurgiyantoro (2000 : 3) bahwa novel

merupakan sebuah cerita, yang mana didalamnya terkandung

maksud-maksud untuk memberikan hiburan bernilai kepada

pembaca di samping bertujuan estetik. Melalui cerita

inilah pembaca dapat merasakan adanya kenikmatan

tersendiri dan mendapatkan pemahaman mengenai berbagai

masalah kehidupan yang ditawarkan oleh pengarang. Oleh

karena itu, daya tarik inilah yang pertama-tama akan

memotivasi orang untuk membaca karya sastranya.

Selain beberapa pendapat di atas, terdapat pula

sebuah pendapat dari Virginia wolf (dalam Sudjiman

1992:72) yang menyatakan bahwa novel adalah sebuah bentuk

eksplorasi atau sebuah kronologis kehidupan,

menggambarkan, dan melukiskan dalam bentuk tertentu,

pengaruh, ikatan, hasil, kehancuran atau tercapainya

gerak-gerik manusia. Dapat dikatakan bahwa sesuatu yang

telah dituangkan pengarang ke dalam bentuk fiksi

merupakan hasil dan proses dari sebuah perenungan

kehidupan. Permasalahan dan pengalaman hidup yang

disoroti dan diungkapkan sampai hal sekecil-kecilnya

merupakan inti kehiudpan yang disoroti di dalam novel.

Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan

bahwa novel adalah sebuah rangkaian cerita mengenai

kehidupan seseorang dengan orang disekelilingnya oleh

hasil imajinasi pengarang dan bertujuan untuk memberikan

hiburan bagi pembacanya.Tetapi di samping sebagai

hiburan, juga terimplisit tujuan memberikan pengalaman

yang berharga kepada pembaca, atau paling tidak mengajak

untuk meresapi dan merenungkan secara lebih tentang

permasalahan yang di kemukakan (Nurgiyantoro, 2002:19).

2.2 Konsep Tokoh dan Penokohan

Istilah tokoh dan penokohan menunjuk pada pengertian

yang berbeda.Istilah tokoh menunjuk pada orangnya, pelaku

cerita.Penokohan dan karakteristik menunjuk pada

penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak-watak

tertentu dalam sebuah cerita.

Tokoh adalah salah satu unsur yang penting dalam

suatu novel atau cerita rekaan.Menurut Sudjiman (1988:

16) tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa

atau berlakuan di dalam berbagai peristiwa cerita.Tokoh

pada umumnya berwujud manusia, tetapi dapat juga berwujud

binatang atau benda yang diinsankan.Menurut Abrams (dalam

Nurgiyantoro 1995:165) tokoh cerita merupakan orang-orang

yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama

oleh pembaca kualitas moral dan kecenderungan

kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam

ucapan dan dilakukan dalam tindakan.Adapun Menurut

Aminudin (2002: 79) tokoh adalah pelaku yang mengemban

peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa itu mampu

menjalin suatu cerita.

Tokoh dalam cerita menawarkan kesepkatan untuk

pembaca mengamati sifat dasar manusia yang rumit dan

beragam.Hal ini memungkinkan para pembaca mengetahui,

memahami, dan mempelajari bagaimana tokoh tersebut.

Berdasarkan pengertian di atas dapat dikatakan bahwa

tokoh cerita adalah individu rekaan yang mempunyai watak

dan perilaku tertentu sebagai pelaku yang mengalami

peristiwa dalam cerita.Dan dapat disimpulkan pula bahwa

dengan memahami tokoh yang ada di dalam sebuah karya

fiksi, kita dapat memahami pribadi seseorang dalam

kehidupan kita.

Memahami karya sastra, novel dalam hal ini memang

diperlukan pemahaman terhadap tokoh, karena orang dapat

menelusuri cerita dengan mengikuti setiap gerak laku

tokoh cerita (Semi, 1993:39).Sama halnya dengan tokoh,

penokohan juga merupakan salah satu hal yang amat penting

kehadirannya dalam sebuah karya fiksi dan bahkan

menentukan (Semi, 1993:36).

Penokohan dan perwatakan sangat erat kaitannya.

Penokohan berhubungan dengan cara pengarang menentukan

dan memilih tokoh-tokohnya serta memberi nama tokoh

tersebut, sedangkan perwatakan berhubungan dengan

bagaimana watak tokoh-tokoh tersebut. Menurut Jones dalam

Nurgiyantoro (1995:165) penokohan adalah pelukisan

gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan

dalam sebuah cerita. Sama seperti Best (1982:91) yang

menyatakan bahwa: “ Dorstellung(Schillderung) einer

Gestalt in ihrer als unverwechselbar ungesehenen

Eigenant. Maksudnya bahwa penokohan adalah suatu gambaran

atau pelukisan dari seorang tokoh dengan sifatnya.Menurut

Sudjiman (1988:22) watak adalah kualitas nalar dan jiwa

tokoh yang membedakannya dengan tokoh lain. Penyajian

watak tokoh dan penciptaan citra tokoh ini yang disebut

penokohan.

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat

dikatakan bahwa penokohan adalah penggambaran atau

pelukisan mengenai tokoh cerita baik lahirnya maupun

batinnya oleh seorang pengarang. Menurut Nurgiyantoro

(1995:194-210) ada dua penggambaran perwatakan dalam

prosa fiksi yaitu sebagai berikut:

1. Secara Eksplositori

Teknik eksplositori sering juga disebut sebagai

teknik analitis, yaitu pelukisan tokoh cerita dilakukan

dengan memberikan diskripsi, uraian, atau penjelasan

secara langsung.Tokoh cerita hadir dan dihadirkan oleh

pengarang ke hadapan pembaca secara tidak berbelit-belit,

melainkan begitu saja dan langsung disertai deskripsi

kediriannya yang mungkin berupa sikap, sifat, watak,

tingkah laku atau bahkan ciri fisiknya.

2. Secara dramatik

Penampilan tokoh cerita dalan teknik dramatik

dilakukan secara tidak langsung.Artinya, pengarang tidak

mendeskripsikan secara eksplisit sifat dan sikap serta

tingkah laku tokoh.Pengarang membiarkan para tokoh cerita

untuk menunjukkan kediriannya sendiri melalui berbagai

aktivitas yang dilakukan, baik secara verbal lewat kata

maupun nonverbal lewat tindakan atau tingkah laku dan

juga melalui peristiwa yang terjadi.

Perrine(1993:84)menyatakan dalam menampilkan

tokohnya pengarang menggunakan 2 cara yaitu langsung dan

tak langsung. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut:

authors present their characters either directly or

indirectly. In direct presentation they tell us straight out, by

exposition or analysis, what the characters are like, or have

someone else in the story what they are like. In indirect

presentation the authors show us the characters in action;

we infer that they are like from what they think or say do”

( pengarang dalam menampilkan tokoh-tokohnya,

menggunakan du cara yakni secara langsung dan tidak

langsung. Dengan cara langsung, pengarang

memberitahukan kepada pembaca langsung seperti papa

tokoh tersebut. Secara tak langsung, pengarang

menunjukkan kepada pembaca dalam tindakan;dan dari

tindakannya pembaca mengambil kesimpulan seperti apa

tokoh itu dari apa yang dipikirkan, dikatakan, dan

dilakukannya.)

Berdasarkan pendapat di atas dapat dikatakan

bahwa penokohan dapat diwujudkan dengan cara

langsung dan cara tidak langsung. Secara langsung

berarti pengarang secara langsung mengungkap watak

tokoh dalam ceritanya.Sedangkan secara tidak

langsung, pengarang hanya menampilkan pikiran-

pikiran, ide-ide, pandangan hidup, perbuatan,

keadaan fisik, dan ucapan-ucapannya dalam sebuah

cerita.Dengan demikian penggambaran watak secara

tidak langsung pembacalah yang menyimpulkan watak

tokoh dalam cerita yang dibacanya.

2.3 Pendekatan Psikologi Sastra

Psikologi sastra adalah telaah karya sastra yang

diyakini mencerminkan proses dari aktivitas kejiwaan.

Pendekatan psikologi sastra bertolak dari asumsi bahwa

karya sastra selalu membahas peristiwa kehidupan

manusia.Manusia selalu memperlihatkan perilaku

beragam.Dapat disimpulkan bahwa penelitian psikologi

sastra adalah suatu disiplin ilmu yang memandang karya

sastra sebagai suatu karya satra yang memuat peristiwa–

peristiwa kehidupan manusia yang diperankan oleh tokoh-

tokoh imajiner.

Ditinjau dari segi ilmu bahasa, psikologi berasal

dari kata Psyche yang berarti jiwa dan Logos yang berarti

ilmu atau pengetahuan. Karena itu kata psikologi sering

diartikan sebagai ilmu jiwa (Walgito, 2004 : 7).

Selanjutnya, Walgito mengemukakan bahwa psikologi

merupakan ilmu yang mempelajari dan menyelidiki aktivitas

dan tingkah laku manusia.Aktivitas dan tingkah laku

tersebut merupakan manifestasi kehidupan jiwa.Jadi, jiwa

manusia terdiri dari dua alam, yaitu alam sadar

(kesadaran) dan alam tak sadar (ketidak sadaran). Kedua

alam tersebut tidak hanya saling menyesuaikan, tapi alam

sadar menyesuaikan terhadap dunia luar, sedangkan alam

tak sadar menyesuaikan terhadap dunia dalam

(batin).Sedangkan sastra adalah ungkapan jiwa dan wakil

jiwa lewat bahasa sehingga dapat diartikan bahwa sastra

tidak mampu melepaskan diri dari aspek psikis. Jiwa pula

yang berkecamuk dalam sastra. Pendek kata, memasuki

sastra akan terkait dengan psikologi karya itu. Inilah

awal kehadiran psikologi dalam penelitian sastra

(Endraswara, 2008 : 86).

Psikologi dan karya sastra memiliki hubungan

fungsional, yakni sama-sama berguna untuk sarana

mempelajari keadaan kejiwaan orang lain. Hanya

perbedaannya, gejala kejiwaan yang ada dalam karya sastra

adalah gejala-gejala kejiwaan dari manusia-manusia

imajiner, sedangkan dalam psikologi adalah manusia-

manusia riil.Namun, keduanya saling melengkapi dan saling

mengisi untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam

terhadap kejiwaan manusia, karena terdapat kemungkinan

apayang tertangkap oleh pengarang tidak mampu diamati

oleh psikolog ataupun sebaliknya. Titik temu keduanya

dapat digabung menjadi psikologi sastra (Endraswara, 2008

: 88).

Dasar pemikiran yang dapat diwajarkan mengapa sastra

harus memanfaatkan psikologi adalah karena sastra

dianggap sebagai aktivitas dan ekspresi manusia (Atmaja,

1986 : 63). Karya sastra merekam gejala kejiwaan yang

terungkap lewat perilaku tokoh. Perilaku ini menjadi

fakta atau data empiris yang harus dimunculkan oleh

pembaca ataupun peneliti sastra dengan syarat memiliki

teori-teori psikologi yang memadai (Siswantoro, 2004 :

34)

Hubungan antara psikologi dengan sastra itu sendiri

sebenarnya telah lama ada, semenjak usia ilmu itu

sendiri. Akan tetapi penggunaan psikologi sebagai sebuah

pendekatan dalam penelitian sastra belum lama dilakukan.

Menurut Robert Downs (dalam Abdurrahman, 2003 : 1), bahwa

psikologi itu sendiri bekerja pada suatu wilayah yang

gelap, mistik dan paling peka terhadap bukti-bukti

ilmiah. Dan wilayah yang gelap itu memang ada pada

manusia, dari wilayah yang gelap itulah kemudian muncul

perilaku serta aktifitas yang beragam, termasuk perilaku

baik, buruk, kreatif, bersastra dan lain-lain.

Menurut Harjana ( 1991: 60) pendekatan psikologi

sastra dapat diartikan sebagai suatu cara analisis

berdasarkan sudut pandang psikologi dan bertolak dari

asumsi bahwa karya sastra selalu saja membahas tentang

peristiwa kehidupan manusia yang merupakan pancaran dalam

menghayati dan mensikapi kehidupan. Disini fungsi

psikologi itu sendiri adalah melakukan penjelajahan

kedalam batin jiwa yang dilakukan terhadap tokoh-tokoh

yang terdapat dalam karya sastra dan untuk mengetahui

lebih jauh tentang seluk-beluk tindakan manusia dan

responnya terhadap tindakan lainnya.

Psikologi sastra merupakan cabang ilmu sastra dari

sudut psikologi.Perhatian diarahkan kepada pengarang dan

pembaca (sebagai psikologi komunikasi) atau kepada teks

sastra itu sendiri.Rene Wellek dan Austin Warren (dalam

Melani Buadianta, 1990: 90) menyatakan bahwa istilah

psikologi sastra mempunyai empat kemungkman

pengertian.Yang pertama adalah studi psikologi pengarang

sebagai tipe atau sebagai pribadi. Yang kedua adalah

studi proses kreatif. Yang ketiga adalah studi tipe

hukum-hukum psikologi yang diterapkan pada karya sastra,

dan yang keempat adalah mempelajari dampak sastra pada

pembaca atau disebut psikologi pembaca.

Dari pengertian di atas dapat dikatakan bahwa empat

model dalam psikologi sastra meliputi (1) pengarang, (2)

proses kreatif (3) karya sastra, dan (4) pembaca.

Psikologi sastra dengan demikian memiliki tiga gejala

utama, yaitu pengarang, karya sastra dan pembaca. Fokus

psikologi dalam psikologi karya sastra pada pengarang dan

karya sastra, dibandingkan dengan pembaca. Untuk

memahaminya harus dilihat bahwa pendekatan terhadap

pengarang merupakan pemahaman atas ekspresi kesenimannya,

karya sastra mengacu pada objektivitas karya, dan pembaca

mengacu pada pragmatisme.

Merujuk dari berbagai pendapat di atas, dapat

disimpulkan bahwa psikologi sastra merupakan perilaku

kejiwaan tokoh yang terdapat dalam karya sastra, dalam

kasus ini adalah tokoh yang terdapat dalam novel Narcissus

und Goldmund karya Hermann Hesse. Penelitian yang akan

dilakukan ini memilih aspek-aspek yang terdapat dalam

ilmu psikologi dengan penerapannya pada karya sastra.

Aspek ini menekankan pada kepribadian dan konflik yang

ditinjau dari pandangan psikologis.

2.4 Psikologi Kepribadian

Penelitian ini menggunakan teori kepribadian dari

Carl Gustav Jung.Beliau adalah seorang psikiater

berkebangsaan Swiss yang semula dipandang orang sebagai

pewaris teori psikoanalisa Sigmund Freud, kemudian

memisahkan diri dari Freud.C.G.Jung memiliki pendapat

yang berbeda dengan Freud tentang kepribadian dan

pandangan tersebut yang membuat Jung memisahkan diri dari

psikoanalisa Freud.

Roger menyatakan bahwa : “….Der Mensch setzt sich im Kindes-

und Jugendalter mit seiner Umwelt auseinander, und die hierbei erlebten

Wahrnehmungen, Eindrücke und Erlebnisse beeinflussen die Entwicklung des

Selbstkonzeptes. Es kann sowohl ein negatives als auch ein positives

Selbstkonzept entwickelt werden. ( Manusia memiliki kemampuan

dalam diri sendiri untuk mengerti diri, menentukan hidup,

dan menangani masalah-masalah psikisnya asalkan konselor

menciptakan kondisi yang dapat mempermudah perkembangan

individu untuk aktualisasi diri. Sehingga hal ini dapat

memberikan dampak pada konsep diri yang negatif dan juga

positif).

Hampir senada dengan Roger, Hans Eysenck menyatakan

bahwa : “Der Charakter eines Menschen bezeichnet das mehr oder weniger

stabile und dauerhafte System seines konativen Verhaltens (des Willens); sein

Temperament das mehr oder weniger stabile und dauerhafte System seines

affektiven Verhaltens (der Emotion oder des Gefühls); sein Intellekt das mehr

oder weniger stabile und dauerhafte System seines kognitiven Verhaltens (der

Intelligenz); sein Körperbau das mehr oder weniger stabile System seiner

physischen Gestalt und neuroendokrinen (hormonalen) Ausstattung” (Eysenck,

1970, S. 2).( karakter seorang manusia ditentukan dari krang

lebihnya kestabilan dan system yang permanen dari segi

pengendalian (kerelaan), temperamennya yang kurang lebih

stabil dan system yang permanen dari segi afektifnya

(Emosi atau perasaan); inteligensinya yang kurang lebih

stabil dan system yang permanen dari segi kognitif

(inteligensi); anatominya yang kurang lebih stabil dari

system pembentuk psikologinya dan peralatan

“neuroendokrinen” ( hormon)).

Jung (dalam Alwisol, 2004 : 48) menyatakan bahwa

kepribadian atau psyche adalah mencakup keseluruhan

pikiran, perasaan, dan tingkah laku; kesadaran dan

ketidak sadaran. Kepribadian membimbing orang untuk

menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial dan lingkungan

fisik.Sejak awal kehidupan, kepribadian adalah kesatuan

atau berpotensi membentuk suatu kesatuan.Ketika

mengembangkan kepribadian, orang harus berusaha

mempertahankan kesatuan dan harmoni antar semua elemen

kepribadian.

Kepribadian disusun oleh sejumlah system yang

beroperasi dalam tiga tingkat kesadaran, yaitu Ego, yang

beroperasi pada tingkat sadar; Kompleks beroperasi pada

tingkat taksadar pribadi; dan arkhetipe yang beroperasi

pada tingkat taksadar kolektif. Di samping sistem-sistem

yang terikat dengan daerahoperasinya masing-masing,

terdapat sikap (introvert-ekstrovert) dan fungsi

(pikiran-perasaan-persepsi-intuisi) yang beroperasi pada

semua tingkat kesadaran (Alwisol, 2004 : 48).

Begitu pula halnya tokoh fiktif dalam suatu cerita,

dapat disamakan kepribadiannya sebagai tokoh di dalam

novel.Pribadi seseorang sering berubah sehingga ada usaha

untuk mendidik pribadi anak sejak dini.Untuk mengetahui

watak seseorang, dapat dilihat melalui sifat, tindakan,

dan pernyataan yang tampak dalam kehidupan sehari-hari.

Sesuai dengan pendapat Sumadi Suryabrata yang membagi

kepribadian menjadi dua tipe, yaitu :

A. Manusia bertipe introverts

Manusia tipe ini dipengaruhi oleh dunia subjektif,

yaitu dunia di dalam dirinya sendiri.Orientasinya

terutama tertuju ke dalam pikiran, perasaan, serta

tindakan-tindakannya sendiri ditentukan oleh factor

subjektif.Penyesuaian dengan dunia luar kurang baik,

jiwanya tertutup, sukar bergaul, sukar berhubungan dengan

orang lain, kurang dapat menarik hati orang lain, tetapi

penyesuain dengan hatinya sendiri sangat baik. Bahayanya

tipe ini apabila jarak dengan dunia objektifnya terlalu

jauh, sehingga seseorang bias lepas dari dunia

objektifnya.

Ciri-ciri dari manusia tipe introverts antara lain

pendiam, di mana tidak suka banyak bicara. Menarik diri

adalah sifat yang dimiliki oleh seorang introverts yang

selalu ingin menyendiri dan kurang menyukai keramaian,

penakut, menahan diri ( menahan diri dari suatu

keinginan, puas dengan dirinya sendiri), kaku atau kurang

fleksibel terhadap suatu yang baru dikenalnya karena

kurang banyak mengenal dunia luar. Bijaksana adalah sifat

yang tepat dalam mengambil keputusan dengan

mempertimbangkan segala kemungkinan dengan keputusan yang

diambilnya, dan teliti adalah mengerjakan sesuatu dengan

sepenuhnya untuk mendapatkan hasil yang sempurna

(Suryabrata, 2007 : 162).

B. Manusia bertipe ekstroverts

Manusia tipe ini lebih dipengaruhi oleh dunia

objektifnya yaitu dunia luar dirinya.Orientasinya tertuju

keluar dari pikiran, perasaan, serta tindakan-tindakannya

ditentukan oleh lingkungannya, baik lingkungan sosial

maupun non-sosial.

Ciri-ciri orang bertipe ekstroverts adalah bersikap

positif terhadap masyarakat. Sifat ini menunjukan bahwa

masyarakat merupakan tempat yang tepat untuk

berinteraksi, hatinya terbuka artinya terbuka terhadap

hal-hal baru tanpa adanya rasa canggung, mudah bergaul

artinya dapat dengan mudah berinteraksi dengan orang

lain, menarik perhatian, bergantung terhadap kelompok,

tidak teliti artinya terburu-buru tanpa adanya pemikiran

matang, mudah berubah adalah sifat mudah merubah suatu

pendirian karena pengaruh dari luar, dan agresif artinya

cepat mengambil tindakan dalam suatu permasalahan

(Suryabrata, 2007 : 162).

2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepribadian

Menurut Walgito ( 2004 : 44-45), kepribadian dapat

dibentuk oleh beberapa faktor. Diantaranya sebagai

berikut:

A. Faktor Endogen

Faktor endogen adalah faktor atau sifat yang dibawa

oleh individu sejak dalam kandungan. Jadi, faktor

endogen merupakan faktor keturunan atau bawaan yang

bersifat kejiwaan baik keadaan jasmani, pikiran,

perasaan, dan kemauan. Maka tidak mengherankan apabila

faktor endogen yang dibawa oleh individu mempunyai sifat

seperti orang tuanya

B. Faktor Eksogen

Factor eksogen adalah factor yang dating dari luar

diri individu.Factor ini meliputi pengalaman, pendidikan,

dan alam sekitar.Pada umumnya, pengaruh lingkungan

bersifat pasif, dalam arti bahwa lingkungan tidak

memberikan suatu paksaan terhadap individu, lingkungan

memberikan kesempatan kepada individu.Manfaat dari

kesempatan yang diberikan tergantung pada individu yang

bersangkutan, tidak demikian dengan pendidikan.Pendidikan

dijalankan dengan penuh kesadaran untuk mengembangkan

potensi atau bakat yang ada pada individu sesuai dengan

tujuan pendidikan.Dengan demikian, pendidikan lebih

bersifat aktif, penuh tanggung jawab dan mengarahkan

individu ke suatu tujuan tertentu.Sekalipun lingkungan

tidak bersifat memaksa, namun tidak dapat dipungkiri

bahwa peranan lingkungan cukup besar dalam perjalanan

hidup individu.

2.5 Konflik

Konflik timbul dalam situasi di mana terdapat dua

atau lebih kebutuhan, harapan, keinginan, dan tujuan yang

tidak bersesuaian saling bersaing kemudian menyebabkan

salah satu organism merasa ditarik kea rah dua jurusan

yang berbeda sekaligus, dan menimbulkan perasaan yang

sangat tidak enak (Davidoff, 1991 : 178).

Selanjutnya Davidoff mengemukakan bahwa konflik

dapat terjadi di dalam diri individu ataupun di luar

individu, bergantung pada pilihan yang diambil. Untuk

itu, Davidoff membagi konflik ke dalam dua jenis, yaitu :

A. Konflik Internal (di dalam individu)

Konflik ini terjadi apabila tujuan-tujuan saling

bertentangan berada dalam diri individu itu sendiri.

Misalnya saja, seseorang yang lahir dan dibesarkan oleh

suatu keluarga yang sangat puritan (yang sangat

mementingkan kesucian diri, tabu terhadap hal-hal yang

bersifat seksual, disiplin kuat) mungkin merasa

terperangkap antara dorongan seksual yang kuat dan norma

atau moral yang dianutnya selama ini (Davidoff, 1991 :

178).

B. Konflik Eksternal (di luar individu)

Konflik ini terjadi apabila terdapat dua atau lebih

pilihan (option) berada diluar individu yang mengalami

konflik. Misalnya, pada suatu malam tertentu anda

barangkali mengalami kesulitan untuk memilih dua

kegiatan: katakana saja, menonton pertunjukan konser yang

terkenal ataukah menyaksikan pertandingan basket yang

juga menarik (Davidoff, 1991 : 178).

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian

ini adalah metode kualitatif deskriptif, yang artinya

data yang dianalisis dan hasil analisisnya berbentuk

deskripsi fenomena, tidak berupa angka-angka koefisien

tentang hubungan antar-variabel.Data yang terkumpul

berbentuk kata-kata atau gambar, bukan angka-angka.

Tulisan hasil penelitian berisi kutipan-kutipan dari

kumpulan data untuk memberikan ilustrasi dan menjadi

materi laporan (Aminnudin, 1990 : 16). Hal-hal yang perlu

dipaparkan dalam penelitian ini meliputi objek

penelitian, sumber data, teknik pengumpulan data, dan

teknik analisis data.

3.2.1 Data dan Sumber Data

3.2.1 Data

Data yang dikumpulkan dalam analisa deskriptif

berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka. Hal ini

disebabkan oleh adanya penerapan metode kualitatif

(Moleong, 2002 : 6). Data dalam penelitian ini berupa

kutipan kata-kata, penggalan kalimat-kalimat, klausa,

frasa atau paragraf dalam novel Narcissus und Goldmund

karya Hermann Hesse yang berkaitan dengan penelitian.

3.2.2 Sumber Data

Lofland (dalam Maleong, 1996: 112) menyatakan bahwa

sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-

kata dan tindakan selebihnya adalah kata tambahan,

seperti dokumen, hasil simak data dan hasil transkripsi

data untuk acuan penelitian. Sumber data dalam penelitian

ini adalah novel Narcissus und Goldmund karya Hermann Hesse

yang diterbitkan oleh penerbit Fischer verlag tahun 1930

dengan tebal 320 halaman dan terjemahannya berjudul Narcissus

dan Goldmund yang diterbitkan oleh penerbit Baca tahun 2012

dengan tebal 426 halaman.

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam

penelitian ini adalah teknik pustaka dan teknik

dokumentasi. Teknik pustaka berarti dalam pengumpulan

data penelitian terlebih dahulu membaca teori-teori yang

berkaitan dengan masalah penelitian untuk dapat

menentukan data-data yang sesuai dan akan dijadikan

landasan dalam penelitian ini.

Sumber data penelitian berupa novel Narcissus und

Goldmund karya Hermann Hesse. Hal ini didukung pendapat

Arikunto (1998 : 114) bahwa teknik dokumentasi dilakukan

apabila dokumen merupakan sumber data, isi catatan

berfungsi sebagai objek atau variabel penelitian.

3.4 Teknik Analisis Data

Langkah-langkah yang dugunakan dalam menganalisis data,

adalah:

1. Membaca dan memahami novel Narcissus und Goldmund karya

Hermann Hesse

2. Menemukan data yang berbentuk kata, kalimat, klausa, atau

frasa mengenai kepribadian dan konflik dari tokoh

Goldmund dalam novel Narcissus und Goldmund karya Hermann

Hesse

3. Menggarisbawahi kata, kalimat, klausa, atau frasa

mengenai kepribadian dan konflik dari tokoh Goldmund

dalam novel Narcissus und Goldmund karya Hermann Hesse

4. Mengelompokkan kata, kalimat klausa, atau frasa yang

menggambarkan kepribadian dan konflik dari tokoh Goldmund

dalam novel Narcissus und Goldmund karya Hermann Hess ke

dalam kategori masing-masing (dalam hal ini kategori

kepribadian dan konflik)

5. Mendiskripsikan data yang telah dianalisis

6. Mengambil kesimpulan berdasarkan hasil yang diperoleh

sesuai dengan deskripsi

SINOPSIS

Tokoh Goldmund dalamNarcissus und Goldmund digambarkan

sebagai seorang anak yang baik, pandai, selalu mudah

bergaul, dan mempunyai rasa ingin tahu yang besar. Tapi

dibalik semuanya itu, ternyata ia sangat penasaran akan

rasa kasih sayang dari seorang ibu. Hal ini dikarenakan

Goldmund dibesarkan tanpa ibu.Pemikiran yang selama ini

dianutnya lebih kepada doktrin yang selama ini

didaptkannya dari ayahnya sendiri. Ayahnyalah yang

menginkan Goldmund untuk bersekolah di sekolah keagamaan

karena dengan itu ia bisa melupakan hasrat duniawinya itu

dan lebih focus untuk melayani Tuhan. Akan tetapi,

Goldmund selalu merasa kurang akan pengetahuan mengenai

hakikat hidup, yang mana ia tidak puas dengan ajaran-

ajaran Kristen yang diajarkan di lingkungan sekolahnya.

Meninggalkan guru dan sahabat yang sangat dikasihinya

adalah pilihan hidupnya untuk memenuhi rasa

dahaganya.Adapun alasan itu muncul dari dalam hatinya,

yang merupakan panggilan jiwanya.Dengan dimulainya

perjalanan Goldmund untuk menemukan jawaban dari

pertanyaan yang selama ini meresahkan hatinya tentang

arti dari kebahagiaan, jati diri, dan kasih sayang

seorang ibu dilakukannya selama bertahun-tahun. Pada saat

itu, Goldmund mengalami berbagai macam peristiwa yang

tampak dari perjalanan yang ditempuhnya tersebut, mulai

dari menjadi pengkhotbah, seniman, bertemu dengan Niklaus

sang Master, berkelut dengan cinta, nafsu, materi,

kekayaan, dan kesengsaraan. Kepribadian Goldmund yang

sangat pandai dalam menempatkan diri dengan dunia luar

ditambah kecakapannya sebagai murid sekolah keagamaan

membuatnya mudah untuk diterima oleh masyarakat yang

ditemuinya di sepanjang perjalanannya. Akan tetapi,

dibalik itu semua, tidak sedikit konflik yang ia temui di

sana, baik itu konflik batin maupun konflik dengan orang

lain. Dan sedikit demi sedikit waktu mulai merubah

kepribadiannya sampai-sampai ia merasa bahwa kehidupannya

adalah untuk hal duniawi saja. Akhirnya, dengan bantuan

teman lama yang tidak sengaja bertemu dengannya,

Goldmundpun mulai menemukan arti dari apa yang ia cari

selama ini, yaitu kebahagiaan, jati diri, dan kasih

sayang.