SLE Draf ok
Transcript of SLE Draf ok
LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) merupakan penyakit inflamasi autoimun
kronis dengan etiologi yang belum diketahui serta manifestasi klinis, perjalanan
penyakit dan prognosis yang sangat beragam. Penyakit ini ditandai dengan adanya
autoantibadi dalam inti sel dan melibatkan banyak sistem organ tubuh. Penyakit ini
terutama menyerang wanita usia reproduksi dengan angka kematian yang cukup
tinggi. Faktor genetik, imunologik dan hormonal serta lingkungan diduga berperan
dalam patofisiologi LES.1,2
Patogenesis dan Etiologi
Etiopatologi LES di duga melibatkan interaksi yang kompleks dan
multifactorial antara variasi genetik dan faktor lingkungan. Interaksi antara seks,
status hormonal dan hipotalamus, hipofise adrenal (HPA) mempengaruhi kepekaan
dan ekspresi klinis LES.Gangguan mekanisme pengaturan imun seperti gangguan
pembersihan sel-sel apoptosis dan kompleks imun merupakan konstributor penting
dalam perkembangan penyakit ini. Hilangnya toleransi imun, meningkatnya beban
antigenic, bantuan sel T yang berlebihan, gangguan supresi sel B, dan peralihan sel T
helper 1 (Th1), ke Th2 menyebabkan hiperaktivitas sel B dan memproduksi
autoantibodi patogenik.
1
Mekanisme patogenesis LES merupakan interaksi dari gen tersangka dan
faktor lingkungan yang menyebabkan respon imun abnormal. Respon tersebut
meliputi (1) Aktivasi imunitas innate (sel dendritik) oleh CpG DNA, DNA pada
kompleks imun, dan RNA pada protein self-antigen; (2) penurunan ambang aktivasi
dari sel imun adaptif (limfosit spesifik antigen T dan B); regulasi dan inhibisi inefektif
dari CD4+ dan CD8+ sel T; pengurangan bersihan sel apoptosis dan kompleks imun.
Self-antigen dapat dikenali oleh sistem imun pada permukaan sel apoptotik; sehingga
antigen, autoantibodi dan komplek imun menetap pada jangka waktu panjang,
menyebabkan inflamasi dan penyakit berkembang.3
Aktivasi imun dari sel yang bersirkulasi maupun melekat pada jaringan
disertai dengan pelepasan tumor necrosis factor (TNF) proinflamator, interferon tipe
1 dan 2 (IFNs), dan sitokin B stimulator limfosit (BLyS) dan interleukin (IL)-10.
Lupus T dan sel natural killer (NK) gagal memproduksi IL-2 dan transforming
growth factor(TGF) yang menginduksi regulasi CD4+ dan sel inhibisi CD8+. Akibat
abnormalitas ini adalah produksi dari antibodi patogenik dan kompleks imun.
Aktivasi komplemen dan sel imun menyebabkan pelepasan chemotaxin, sitokin,
chemokin, peptida vasoaktif dan enzim perusak. Pada inflamasi kronis, akumulasi
dari growth factor dan produk oksidasi kronis menyebabkan kerusakan jaringan
ireversibel pada glomerulus, paru dan jaringan lainnya.3
LES merupakan penyakit multigenik. Pada individu yang rentan, kombinasi
dari berbagai gen normal yang masing-masing berkontribusi terhadap sedikit respon
imun yang abnormal. Jika variasi tersebut terakumulasi maka akan timbul penyakit.
Defisiensi homozigot terhadap komponen komplemen C1q,C2,C4 merupakan
predisposisi kuat terjadinya LES. Beberapa gen mempengaruhi manifestasi klinis
penyakit (contohnya nefritis dipengaruhi oleh FcR 2A/3A, MBL, PDCD1; artritis dan
vaskulitis dipengaruhi MCP-1).3
Wanita lebih mudah terkena lupus karena memiliki respon antibodi yang lebih
tinggi. Wanita yang terekspos kontrasepsi yang mengandung esterogen resikonya
meningkat 1,2-2 kali lipat. Beberapa stimulus lingkungan dapat mempengaruhi SLE.
Paparan ultraviolet menyebabkan flare SLE pada hampir 70% pasien, virus Epstein
Barr mungkin merupakan agen infeksius yang dapat memicu SLE.1,3
2
Epidemiologi
Insiden tahunan SLE di Amerika serikat sebesar 5,1 per 100.000 penduduk,
sementara prevalensi SLE di Amerika dilaporkan 52 kasus per 100.000 penduduk,
dengan rasio gender wanita dan laki-laki antara 9-14:1.4 Belum terdapat data
epidemiologi SLE yang mencakup semua wilayah Indonesia. Data tahun 2002
diRSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, didapatkan 1.4% kasus SLE dari
totalkunjungan pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam, sementara di RS
Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 Pasien SLE atau 10.5% dari total pasien yang
berobat kepoliklinik reumatologi selama tahun 20102,3.
Manifestasi klinis SLE sangat luas, meliputi keterlibatan kulit dan mukosa,
sendi, darah, jantung, paru, ginjal, susunan saraf pusat (SSP) dan sistem imun.
Dilaporkan bahwa pada 1000 pasien SLE di Eropa yang diikuti selama 10 tahun,
manifestasi klinis terbanyak berturut-turut adalah artritis sebesar 48,1%, ruam malar
31,1%, nefropati 27,9%, fotosensitiviti 22,9%, keterlibatan neurologik 19,4% dan
demam 16,6% sedangkan manifestasi klinis yang jarang dijumpai adalah miositis
4,3%, ruam diskoid 7,8 %, anemia hemolitik 4,8%, dan lesi subkutaneus akut 6,7%2,3.
Gambaran klinis LES
Manifestasi secara umum
Pada kelainan autoimun yang bersifat sistemik ditemukan kelainan
konstitusional seperti mudah lelah, nafsu makan menurun, demam, penurunan berat
badan, hal ini merupakan gejala awal bahkan mungkin komlikasi dari penyakit.
Manifestasi kulit
Kelainan kulit merupakan kejadian yang paling sering pada LES sekitar 80-90
%, seperti : fotosensitif, ruam malar, lesi discoid, lesi mukokutan.
Manifestasi musculoskeletal
Artritis, myositis dan myalgia, ininjufa manifestasi yang paling banyak dari
LES mulai dari yang ringan sampai berat. Artritis pada LES tidak menimbulkan erosi
dan destruksi sendi walaupun sudah berlangsung lama.
3
Manifestasi Ginjal
Komplikasi pada ginjal merupakan komplikasi yang serius, sebab akan
menimbulkan morbiditas dan mortalitas. Hal penting pada nefritis lupus yaitu di
dapatkan proteinuria dan selinder urin. Diagnosis nefritis lupus umumnya di dasarkan
pada kriteria WHO berdasarkan gambaran histologis, lokasi dan tempat kompleks
imunnya. Dan yang terbaru mulai digunakan klasifikasi berdasarkan Perhimpunan
Ginjal International dan Renal Pathology Sociaty.
Manifestasi Neuropsikiatri
Manifestasi yang tersering adalah sakit kepala, gangguan psikiatri dan
gangguan kognitif.
Manifestasi hematologi.
Sitopenia termasuk didalamnya anemia, trombositopenia, leukopenia,
limfopenia sering terjadi pada penderita LES, Anemia pada LES bervariasi bisa
karena
Penyakit kronik, hemolitik, kehilangan darah, insufuisiensi ginjal, infeksi dan anemia
aplasia.
Manifestasi paru
Pada paru sering terjadi pleuritis , bisa yang lain yaitu pneumonitis lupus
biasanya gejala lebih berat demam, batuk, sesak, nyeri dada, dan hemoptysis.
Manifestasi kardiovaskular
Gangguan pericardium yaitu pericarditis ditandai dengan nyeri dada, sesak,
demam dan kelainan pada EKG.
Diagnosis LES
Batasan operasional diagnosis (klasik) LES yang dipakai dalam rekomendasi
ini, diartiakan sebagai terpenuhinya minimum kriteria (defenitif), atau banyak kritria
mengacu pada kriteria dari the American College of Rheumatology (ACR) revisi
tahun 1997.3,4 Namun, mengingat dinamisnya keluhan dan tanda SLE dan pada
4
kondisi tertentu seperti lupus nefritis, neuropskiatrik lupus (NPSLE) dimungkinkan
kriteria tersebut tidak terpenuhi.1,2
Kriteria Diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik
Kriteria Batasan
Ruam malar Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada
daerah malar dan cenderung tidak melibatkan lipat
nasolabial.
Ruam discoid Plak eritema menonjol dengan keratotik dan sumbatan
folikular. Pada SLE lanjut dapat ditemukan parut
atrofik
Fotosensitifitas Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal
terhadap sinar matahari, baik dari anamnesis pasien
atau yang dilihat oleh dokter pemeriksa.
Ulkus mulut Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan
dilihat oleh dokter pemeriksa.
Artritis Artritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih
sendi perifer, ditandai oleh nyeri tekan, bengkak atau
efusia.
Serositis
Pleuritis a. Riwayat nyeri pleuritik atau pleuritc friction rub
yang didengar oleh dokter pemeriksa atau terdapat
bukti efusi pleura.
Atau
Perikarditis b. Terbukti dengan rekaman EKG atau pericardial
friction rub atau terdapat bukti efusi perikardium.
Gangguan renal a. Proteinuria menetap >0.5 gram per hari atau >3+
bila tidak dilakukan pemeriksaan kuantitatif
atau
5
b. Silinder seluler : - dapat berupa silinder eritrosit,
hemoglobin, granular, tubular atau campuran.
Gangguan neurologi a. Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan
atau gangguan metabolic (misalnya uremia,
ketoasidosis, atau ketidak-seimbangan elektrolit).
atau
b. Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan
atau gangguan metabolic (misalnya uremia,
ketoasidosis, atau ketidak-seimbangan elektrolit).
Gangguan hematologik a. Anemia hemolitik dengan retikulosis
atau
b. Lekopenia <4.000/mm3 pada dua kali
pemeriksaan/lebih
atau
c. Limfopenia <1.500/mm3 pada dua kali
pemeriksaan/lebih
atau
d. Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa disebabkan
oleh obat-obatan
Gangguan imunologik a. Anti-DNA: antibodi terhadap native DNA dengan
titer yang abnormal
atau
b. Anti-Sm: terdapatnya antibodi terhadap antigen
nuklear Sm, atau
c. Temuan positif terhadap antibodi antifosfolipid
yang didasarkan atas:
1) Kadar serum antibodi antikardiolipin abnormal
baik IgG atau IgM,
2) Tes lupus antikoagulan positif menggunakan
metoda standard, atau
3) Hasil tes serologi positif palsu terhadap sifilis
sekurang-kurangnya selama 6 bulan dan
dikonfi rmasi dengan test imobilisasi
Treponema pallidum atau tes fluoresensi
6
absorpsi antibodi treponema.
Antibodi antinuklear
positif
(ANA)
Titer abnormal dari antibodi anti-nuklear berdasarkan
pemeriksaan imunofluoresensi atau pemeriksaan
setingkat pada setiap kurun waktu perjalan penyakit
tanpa keterlibatan obat yang diketahui berhubungan
dengan sindroma lupus yang diinduksi obat.
Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis SLE memiliki sensitivitas
85% dan spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA
positif, maka sangat mungkin SLE dan diagnosis bergantung pada pengamatan
klinis.1,2,3
Pilar Pengobatan Lupus Eritematosus Sistemik1
I. Edukasi dan konseling
II. Program rehabilitasi
III. Pengobatan medikamentosa
a. OAINS
b. Anti malaria
c. Steroid
d. Imunosupresan / Sitotoksik
e. Terapi lain
Pengobatan SLE Berdasarkan Aktivitas Penyakitnya1
Pengobatan SLE Ringan
Pilar pengobatan pada SLE ringan dijalankan secara bersamaan dan
berkesinambungan serta ditekankan pada beberapa hal yang penting agar tujuan di
atas tercapai, yaitu:
Obat-obatan penghilang nyeri seperti paracetamol 3 x 500 mg, bila diperlukan
Obat anti inflamasi non steroidal (OAINS), sesuai panduan diagnosis dan
pengelolaan nyeri dan inflamasi.
Glukokortikoid topikal untuk mengatasi ruam (gunakan preparat dengan
potensi ringan)
7
Klorokuin basa 3,5-4,0 mg/kg BB/hari (150-300 mg/hari) (1 tablet klorokuin
250 mg mengandung 150 mg klorokuin basa) catatan periksa mata pada saat
awal akan pemberian dan dilanjutkan setiap 3 bulan, sementara
hidroksiklorokuin dosis 5- 6,5 mg/kg BB/ hari (200-400 mg/hari) dan periksa
mata setiap 6-12 bulan. Kortikosteroid dosis rendah seperti prednison < 10 mg
/ hari atau yang setara.
Tabir surya: Gunakan tabir surya topikal dengan sun protection factor
sekurang-kurangnya 15 (SPF 15)
Pengobatan SLE Sedang
Pilar penatalaksanaan SLE sedang sama seperti pada SLE ringan kecuali pada
pengobatan. Pada SLE sedang diperlukan beberapa rejimen obat-obatan tertentu serta
mengikuti protokol pengobatan yang telah ada. Misal pada serosistis yang refrakter :
20 mg / hari prednison atau yang setara.
Pengobatan SLE Berat atau Mengancam Nyawa
Pilar pengobatan sama seperti pada SLE ringan kecuali pada penggunaan obat-
obatannya.Pada SLE berat atau yang mengancam nyawa diperlukan obat-obatan
sebagaimana tercantum di bawah ini.
Glukokortikoid Dosis Tinggi
Lupus nefritis, serebritis atau trombositopenia:40 – 60 mg / hari (1 mg/kBB)
prednison atau yang setara selama 4-6 minggu yang kemudian diturunkan
secara bertahap, dengan didahului pemberian metilprednisolon intra vena 500
mg sampai 1 g/ hari selama 3 hari bertutut-turut
Obat Imunosupresan atau Sitotoksik
Terdapat beberapa obat kelompok imunosupresan / sitotoksik yang
biasadigunakan pada SLE, yaitu azatioprin, siklofosfamid, metotreksat,
siklosporin, mikofenolat mofetil.Pada keadaan tertentu seperti lupus nefritis,
lupus serebritis, perdarahan paru atau sitopenia, seringkali diberikan gabungan
antara kortikosteroid dan imunosupresan / sitotoksik karena memberikan hasil
pengobatan yang lebih baik.
8
Gambar 1. Algoritma Penatalaksanaan Lupus Eritematosus Sistemik2
Prognosis
Pada tahun 1950, angka harapan hidup pasien LES hanya 50% setelah
didiagnosis, LES juga tidak dapat diprediksi dalam hal remisi dan eksaserbasi.
Sekarang prognosis LES semakin baik berupa usia harapan hidup, lamanya remisi
ataupun remisi lengkap, disebabkan diagnosis dini penyakit dengan pendekatan terapi
yang lebih baik. Angka harapan hidup pasien dengan LES adalah 90-95% pada dua
tahun, 82-90% pada lima tahun, 71- 80% pada 10 tahun, dan 63-75% pada 20 tahun.
Pasien meninggal karena aktivitas penyakit dan infeksi. Sekarang gangguan
kardiovaskular dan osteoporosis merupakan masalah.
Angka kesintasan lima tahun pada pasien LES di RSCM tahun 1990-2007
adalah 88%. Penyebab kematian yang terbanyak adalah infeksi (42,6%), keterlibatan
kardiopulmonal (14,8%), neuropsikiatri lupus (4,9%), dan nefritis lupus (3,3%).
ANEMIA APLASIA
9
Pendahuluan
Anemia aplastik merupakan kegagalan hemopoiesis yang relatif jarang
ditemukan namun berpotensi mengancam jiwa6. Definisi yang lain menyebutkan juga
bahwa Anemia aplastik didefinisikan sebagai pansitopenia yang disebabkan oleh
aplasia sumsum tulang, dan diklasifikasikan menjadi jenis primer dan sekunder 6
Ada pula yang mendukung Anemia aplastik merupakan gangguan
hematopoesis yang ditandai oleh penurunan produksi eritroid, mieloid dan
megakariosit dalam sumsum tulang dengan akibat adanya pansitopenia pada darah
tepi, serta tidak dijumpai adanya sistem keganasan hematopoitik ataupun kanker
metastatik yang menekan sumsum tulang7
Epidemiologi
Penyakit ini termasuk penyakit yang jarang dijumpai dinegara barat dengan
insiden 1-3/ 1 juta/tahun. Namun dinegara timur seperti Thailand, negara asia lainnya
seperti indonesia, Taiwan dan Cina insidennya lebih tinggi. Penelitian pada tahun
1991 diBangkok didapatkan 3.7/1 juta/tahun.7
Etiologi
Sebagian besar anemia aplastik (50-70%) penyebabnya bersifat idiopatik,
yaitu penyebabnya tidak diketahui dan awalnya spontan. Kesulitan dalam mencari
penyebab ini karena penyakit ini terjadi secara perlahan-lahan. Penyebab anemia
aplastik dapat dibedakan atas penyebab primer dan sekunder 8
Secara etiologik penyakit ini dapat dibagi menjadi 2 golongan besar yaitu:
Primer :
Fanconi
Non fanconi
Dyskeratosis kongenital
Sekunder
10
Akibat radiasi
Bahan kimia : Hidrokarbon siklik, insektisida (DDT), arsen organic
Obat-obatan : obat sitostatika, kloramfenikol, fenil butazon dll( Harisson,
2008)
Infeksi : infeksi virus hepatitis8
Patofisiologi :
1. kerusakan sel hematopoitik
2. kerusakan lingkungan mikro sumsum tulang
3. proses imunologik yang menekan hematopoisis7
Manifestasi klinis
Anemia aplastik mungkin muncul mendadak atau perlahan-lahan. Hitung jenis
darah menentukan manifestasi klinis. Anemia menyebabkan fatiq, dispnea dan
jantung berdebar-debar. Trombositopenia menyebabkan mudah memar dan
perdarahan mukosa. Neutropenia meningkatkan kerentana terhadap infeksi. Pasien
juga mungkin mengeluh sakit kepala dan demam.6
Anemia aplastik mungkin asimtomatik dan ditemukan pada pemeriksaan rutin
Keluhan yang dapat ditemukan sangat bervariasi. Pada tabel terlihat bahwa
pendarahan, lemah badan dan pusing merupakan keluhan yang paling sering
dikemukakan. 6
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan Laboraturium
a. Pemeriksaan Darah
Pada stadium awal penyakit, pansitopenia tidak selalu ditemukan. Anemia
yang terjadi bersifat normokrom normositer, tidak disertai dengan tanda-tanda
regenerasi. Adanya eritrosit muda atau leukosit muda dalam darah tepi menandakan
bukan anemia aplastik. Kadang-kadang pula dapat ditemukan makrositosis,
anisositosis, dan poikilositosis6
11
Jumlah granulosit ditemukan rendah. Pemeriksaan hitung jenis sel darah putih
menunjukkan penurunan jumlah neutrofil dan monosit. Limfositosis relatif terdapat
pada lebih dari 75% kasus. Jumlah neutrofil kurang dari 500/mm3 dan trombosit
kurang dari 20.000/mm3 menandakan anemia aplastik berat. Jumlah neutrofil kurang
dari 200/mm3 menandakan anemia aplastik sangat berat.9
Jumlah trombosit berkurang secara kuantitias sedang secara kualitas normal.
Perubahan kualitatif morfologi yang signifikan dari eritrosit, leukosit atau trombosit
bukan merupakan gambaran klasik anemia aplastik yang didapat (acquired aplastic
anemia).
b. Pemeriksaan sumsum tulang
Aspirasi sumsum tulang biasanya mengandung sejumlah spikula dengan
daerah yang kosong, dipenuhi lemak dan relatif sedikit sel hematopoiesis. Limfosit,
sel plasma, makrofag dan sel mast mungkin menyolok dan hal ini lebih menunjukkan
kekurangan sel-sel yang lain daripada menunjukkan peningkatan elemen-elemen ini.
Pada kebanyakan kasus gambaran partikel yang ditemukan sewaktu aspirasi adalah
hiposelular. Pada beberapa keadaan, beberapa spikula dapat ditemukan normoseluler
atau bahkan hiperseluler, akan tetapi megakariosit rendah.9
Diagnosis banding anemia yaitu dengan setiap kelainan yang ditandai dengan
pansitopenia perifer. Beberapa penyebab pansitopenia terlihat pada tabel
12
Penyebab Pansitopenia
Kelainan sumsum tulang
Anemia aplastik
Myelodisplasia
Leukemia akut
Myelofibrosis
Penyakit Infiltratif: limfoma, myeloma, carcinoma, hairy cell leukemia
Anemia megaloblastik
Kelainan bukan sumsum tulang
Hipersplenisme
Sistemik lupus eritematosus
Infeksi: tuberculosis, AIDS, leishmaniasis, brucellosis
Pansitopenia dengan normoselular sumsum tulang biasanya disebabkan oleh
LES, infeksi atau hipersplenisme. Selularitas sumsum tulang yang normoselular jelas
membedakannya dengan anemia aplastik.10
Pengobatan
Pengobatan spesifik aplasia sumsum tulang terdiri dari tiga pilihan yaitu
transplantasi stem sel allogenik, kombinasi terapi imunosupresif (ATG, siklosporin
dan metilprednisolon) atau pemberian dosis tinggi siklofosfamid.6
Pengobatan Suportif
Bila terapat keluhan akibat anemia, diberikan transfusi eritrosit berupa packed
red cells sampai kadar hemoglobin 7-8 g% atau lebih pada orang tua dan pasien
dengan penyakit kardiovaskular.6
Resiko pendarahan meningkat bila trombosis kurang dari 20.000/mm3.
Transfusi trombosit diberikan bila terdapat pendarahan atau kadar trombosit dibawah
20.000/mm3 sebagai profilaksis.
SINDROMA NEFROTIK
Pendahuluan
Sindrom nefrotik (SN) adalah merupakan patognomonik penyakit glomerular
yang ditandai oleh proteinuria masif (lebih dari 3,5 g/1,73 m2 luas permukaan tubuh
per hari), hipoalbuminemia (kurang dari 3 g/dl), edema anasarka, hiperlipidemia,
lipiduria, hiperkoagulabilitaspada umumnya fungsi ginjal pada pasien SN masih
normal.11,13
Klasifikasi dan penyebab SN
SN primer meliputi : nefropati lesi minimal,nefropati membranosa, glomerulo-
sklerosis fokal segmental, glomerulonefritis membrano-proliferatif.12,15,16
SN sekunder : penyakit infeksi, keganasan, obat-obatan, penyakit multisistem
dan jaringan ikat (Lupus eritomatosus sistemik), reaksi alergi, penyakit
metabolik, penyakit herediter-familial, toksin, transplantasi ginjal, trombosis
vena renalis, stenosis arteri renalis, obesitas massif. 11,12
13
Klasifikasi Sindroma nefrotik berdasarkan respon pengobatan :
Remisi: proteinuria (-) atau trace (proteinuria < 4 mg/m2 LPB/jam atau ratio protein/kreatinin < 0.2 mg/mg) 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu
Relaps: proteinuria ≥ 2+ (proteinuria ≥ 40 mg/m2 LPB/jam atau ratio protein/kreatinin > 2 mg/mg) 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu
Sindrom nefrotik relaps jarang: SN relaps < 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah respons awal atau < 4 kali per tahun
Sindrom nefrotik relaps sering (frequent relaps): SN relaps ≥ 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah respons awal atau ≥ 4 kali dalam periode 1 tahun
Diagnosis
Diagnosis SN dibuat berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan
laboratorium berupa proteinuri masif (> 3,5 g/1,73 m2 luas permukaan tubuh/hari),
hipoalbuminemi (<3 g/dl), edema, hiperlipidemi, lipiduri dan hiperkoagulabilitas.2,11
Pemeriksaan tambahan seperti venografi diperlukan untuk menegakkan diagnosis
trombosis vena yang dapat terjadi akibat hiperkoagulabilitas. Pada SN primer untuk
menentukan jenis kelainan histopatologi ginjal yang menentukan prognosis dan
respon terhadap terapi, diperlukan biopsi ginjal.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan SN meliputi terapi spesifik untuk kelainan dasar ginjal atau
penyakit penyebab (pada SN sekunder), mengurangi atau menghilangkan proteinuria,
memperbaiki hipoalbuminemi serta mencegah dan mengatasi penyulit.
Giordano dkk memberikan diet protein 0,6 g/kgbb./hari ditambah dengan jumlah
gram protein sesuai jumlah proteinuri hasilnya proteinuri berkurang, kadar albumin
darah meningkat dan kadar fibrinogen menurun. Untuk mengurangi edema diberikan
diet rendah garam (1-2 gram natrium/hari) disertai diuretik (furosemid 40 mg/hari
atau golongan tiazid).Hiperlipidemi pada SN belum secra meyakinkan meningkatkan
penyakit kardiovaskular, tapi perlu mengontrol keadaaan ni dengan memberikan statin
seperti simvastatin, lovastatin untuk menurunkan kadar kolesterol, HDL, trigliserida
dan meningkatkan HDL.
14
ILUSTRASI KASUS
Telah dirawat seorang pasien perempuan usia 23 tahun di bagian Penyakit Dalam
RSUP Dr. M. Djamil Padang sejak tanggal 8 april 2015 dengan :
Keluhan utama : (auto dan allo anamnesis)
Pucat pucat meningkat sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit
Riwayat Penyakit sekarang
Pucat-pucat meningkat sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit, awalnya
pasien mengalami perdarahan haid memanjang sejak 3 bulan yang lalu selama 2
bulan, mengganti duk 2-3 kali sehari, pasien sedah berobat ke bidan dan diberi
obat makan saja, kemudian pasien tidak berobat lagi, sejak 15 hari yang lalu
pasien berobat ke RSUD karena semakin pucat, dan pasien dirawat serta ditambah
darah 6 kantong, setelah itu pasien pulang karena, karena dikatakan darah sudah
cukup. Setelah 1 minggu kemudian pasien kontrol ke poli rsud, setelah di periksa
laboratorium, darah pasien kurang, dan di rujuk ke RSUP untuk mencari penyebab
penyakit selanjutnya.
Bercak merah di wajah sejak 4 bulan yang lalu, awalnya kecil di pipi kiri dan
kanan semakin lama semakin meluas, bercak pada muka bertambah merah jika
terkena matahari dan terasa pedih.
Nyeri pada sendi sejak 3 bulan sebelum masuk rumah sakit, nyeri terasa di sendi
siku , sendi lutut dan tulang belakang
Sembab pada tungkai dan wajah dirasakan sejak 3 bulan yang lalu, terutama pada
pagi hari dan sembab berkurang sore hari, sembab semakin meningkat sejak 1
minggu sebelum masuk rumah sakit
Berat badan menurun disadari pasien sejak 3 bulan sebelum masuk rumah sakit
lebih kurang 4 kg.
15
Badan terasa letih lesu sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit
Rambut rontok di rasakan pasien sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit.
Buang air kecil keruh dan berbuih di sadari pasien sejak 15 hari yang lalu,
bercampur pasir tidak ada, bercampur darah tidak ada, jumlah nya seperti biasa.
Nafsu makan berkurang sejak 15 hari yang lalu
Sariawan pada bibir atas sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit, sebelumnya
pasien sering mengalami sariawan berulang.
Bercak kecil, menebal dan berwarnah merah pada jari jempol kiri sejak 1 minggu
yang lalu.
Bercak merah pada kedua daun telinga baru di sadari pasien sejak 2 hari yang lalu,
Bercak bercak kebiruan pada kulit tidak ada
Batuk batuk tidak ada
Nyeri dada tidak ada
Sesak nafas tidak ada
Sakit pinggang tidak ada
Perdarahan hidung, gusi dan tempat lain tidak ada
Buang air besar tidak ada keluhan
Pasien pernah sembab seluruh badan sejak 5 tahun yang lalu, dan pasien
mengkonsumsi obat selama 1 tahun, obatnya kecil warna hijau dan kuning,pasien
tidak tahu nama obatnya, dan di makan sebanyak 12 tablet sehari dan setelah 6
bulan obat mulai dikurangi, sampai tidak lagi minum obat atas persetujuan dokter
dan sembab tidak ada lagi.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat alergi sebelumnya tidak ada
Riwayat sakit gula tidak ada
Riwayat tekanan darah tinggi tidak ada
Riwayat sakit jantung
Riwayat sakit kuning tidak ada
Riwayat sakit tumor sebelumnya tidak ada.
Riwayat Keluarga
Tidak ada keluarga yang menderita penyakit seperti ini
16
Riwayat Pekerjaan, Sosial, Ekonomi, Kejiwaan
Pasien seorang ibu rumah tangga, mempunyai 1 orang anak berumur 2 tahun.
Riwayat terkena radiasi tidak ada
Riwayat terpapar pestisida tidak ada
Riwayat sek bebas tidak ada
Pemeriksaan umum :
Keadaaan umum : sedang
Kesadaran : CMC
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 88x/menit, teratur, pengisian cukup
Nafas : 20 x/menit
Suhu : 37,2 C
Keadaan gizi : normal
Tinggi badan : 150 kg
Berat badan : 42 kg
Edema : +
Anemis : +
Ikterus : -
BMI : 18,7 kg/m2 (normal)
Pemeriksaan fisik :
Kulit : wajah : ruam malar (+)
Turgor kembali normal
Kelenjar getah Bening : Tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening leher,
supraklavikular, axila, inguinal, dan femoral
Kepala : Normocephal, benjolan (-)
Rambut : hitam , mudah rontok
Mata : Konjungtiva anemis (+) , sklera ikterik (-)
Reflek cahaya +/+, diameter pupil 3 mm/ 3 mm
Telinga : aurikula normal, bercak merah di daun telinga kiri dan
kanan
Hidung : deviasi septum (-)
17
Tenggorokan : Tonsil T1-T1, faring tidak hiperemis
Gigi dan Mulut : carries (+), kandidiasis oral (-), atrofi papil lidah (-)
Bibir : stomatitis di bibir atas
Leher : JVP 5-2 cmH2O, trakhea ditengah, kelenjar tiroid
tidak
membesar
Paru :
Paru depan
Inspeksi : simetris kanan dan kiri dalam keadaan statis dan
dinamis
Palpasi : fremitus kanan sama dengan kiri
Perkusi : sonor
Auskultasi : vesicular, ronki -/-, wheezing -/-
Paru belakang
Inspeksi : simetris kanan dan kiri dalam keadaan statis
dandinamis
Palpasi : fremitus kanan sama dengan kiri
Perkusi : sonor, peranjakan paru 2 jari
Auskultasi : vesicular, ronki -/-, wheezing -/
Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba 1 jari me dial LMCS RIC V, tidak
kuat angkat
Perkusi : batas kanan LSD, batas atas RIC II, batas kiri 1 jari
medial LMCS RIC V, pinggang jantung (+)
Auskultasi : bunyi jantung murni reguler, M1> M2, P2< A2,
bising (-)
Abdomen
Inspeksi : tidak tampak membuncit
Palpasi : Hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus (+) normal
18
Punggung : CVA : nyeri tekan dan nyeri ketok tidak ada
Alat kelamin : rambut pubis normal
Anggota gerak : Reflek fisiologis +/+, Reflek patologis -/-, edema +/+
Laboratorium :
Hb : 6,8 g/dl
Ht : 20 %
Leukosit : 2100 /mm3
Trombosit :17.000/mm
LED : 140 mm/jam
Hitung jenis : 0/0/5/78/17/0
Gambaran darah tepi :
Eritrosit : anisositosis, normokrom
Leukosit : jumlah kurang
Trombosit : jumlah cukup, morfologi normal
Urinalisa :
Protein urine : +++
Glukosa : -
Bilirubin : negatif
Leukosit : 1-2 / LPB
Eritrosit : 20-25 /LPB
Urobilinogen : positif
Feces rutin
Warna : coklat
Konsistensi : lunak
Leukosit : 1-2 /LPB
Eritrosit : 0-1/LPB
Benzidin tes : (-)
Kesan : Anemia, leukopenia, trombositopenia, peningkatan LED, proteinuria
EKG
Irama : sinus - T inverted (-)
HR : 105 x /1’ - ST elevasi (-)
Aksis : normal - ST depresi (-)
19
Gel P : normal - Q patologis(-)
PR interval : 0,2 detik - SV1 + RV6 < 35 mm
QRS komplek : 0,04 detik - R/S di V1 < 1
MASALAH
Pansitopenia
Ruam malar
Fotosensitifitas
Atralgia
Proteinuria
DIAGNOSIS KERJA
Pansitopenia ec anemia aplasia ec lupus eritomatosus sistemik
Sindroma nefrotik relaps ec Lupus eritomatosus sistemik
TERAPI
Istirahat/ diet SN RG II
PEMERIKSAAN ANJURAN
Darah perifer lengkap (MCV, MCH, MCHC, Retikulosit)
Faal hepar (SGOT.SGPT, albumin, globulin)
Fungsi ginjal (ureum, kreatinin)
Elektrolit (Natrium, Kalium, klorida, kalsium)
Profil lipid (Kolesterol total, trigliserida, HDL, LDL)
Faal hemostasis (PT/APTT)
Protein urin 24 jam
Rontgen thorak
USG Ginjal
ANA tes
20
Anti ds DNA
FOLLOW UP
Tanggal 9 April 2015
S : Mata sembab (+), nyeri pada sendi siku dan sendi lutut (+), pucat (+), bercak
merah pada wajah (+), kaki sembab (+), perdarahan (-)
O :
KU Kesadaran TD F.Nd Fr. nafas Suhu
Sedang CMC 120/70 mmhg 82 x/menit 18 x/menit 37,1 0C
Hasil laboratorium :
MCV : 86 fL
MCH : 29 pg
MCHC : 34 %
Retikulosit : 0,2 %
Natrium : 127 mmol/L
Kalium : 4 mmol/L
Klorida : 108 mmol/L
Kalsium : 5,9 mg/dl
Albumin : 1,3 g/dl
Globulin : 2,7 g/dl
SGOT : 31 u/l
SGPT : 13 u/l
Ureum : 45 mg/dl
Kreatinin : 1,5 mg/dl
Kolesterol tot. : 276 mg/dl
HDL : 16 mg/dl
LDL : 117 mg/dl
Trigliserida : 618 mg/dl
Kesan : Hiponatremia, hipokalsemia, hipoalbuminemia, dislipidemia
Sikap : transfusi albumin 20 % 100 cc
Inj Ca Glukonas 1 x 2 mg
KONSUL KONSULTAN ALERGI IMUNOLOGI
Kesan : Lupus eritomatosus sistemik dengan pansitopenia dan nefritis lupus
Anjuran : Cek Ana profile dan Anti ds DNA
Inj methyl prednisolone 2 x 125 mg (3 hari)
Lansoprazol 1 x 30 mg
Asam folat 1 x 5 mg
21
Osteocal 1 x 1000 mg
KONSUL KONSULTAN HEMATOONKOLOGI MEDIK
Kesan : Pansitopenia ec anemia aplasia
Anjuran : Bone marrow punction
Transfusi trombosit 10 unit
Tanggal 10 April 2015
S : Sembab mulai berkurang, nyeri sendi sudah berkurang, pucat (+), demam (-)
O :
KU Kesadaran TD F.Nd Fr. nafas Suhu
Sedang CMC 110/70 mmhg 84 x/menit 18 x/menit 36,9 0C
Trombosit setelah transfusi : 20.000/mm3
Protein urin /24 jam : 7 mg/34 jam
Kesan : Trombositopenia, peningkatan jumlah protein urin
KONSUL KONSULTAN REMATOLOGI
Kesan : Lupus eritomatosus sistemik dengan pansitopenia dan nefritis lupus
Anjuran : Cek anti ds DNA
Methil prednisolone 16 – 8 – 8 mg
Paracetamol 4 x 500 mg
Lansoprazol 1 x 30 mg
KONSUL KONSULTAN GINJAL HIPERTENSI
Kesan : Sindroma nefrotik relaps ec lupus eritomatosus sistemik
Anjuran : Diet protein 0,8 mg/kg BB + protein yang hilang /24 jam
Kortikosteroid 0,8 mg/kg BB
Koreksi albumin sampai > 2,5
Inj Ca Glukonas 2 x 1 amp
Catopril 3 x 6, 25 mg
22
Simvastatin 1 x 20 mg
Furosemide 1 x 40 mg
Cek protein urin 24 jam
Cek PT/APTT
USG Ginjal
Balance cairan
Tanggal 13 April 2015
S : Bercak merah mulai kehitaman, sembab mulai berkurang, nyeri sendi sudah
berkurang, pucat (+)
O :
KU Kesadaran TD F.Nd Fr. nafas Suhu
Sedang CMC 120/70 mmhg 82 x/menit 18 x/menit 37,1 0C
Hasil labor :
Hasil albumin setelah transfusi : 1,9 mg/dl
PT : 8 detik
APTT : 48,8 detik
Kesan : hipoalbuminemia, hiperkoagulasi
Sikap : Transfusi albumin 20 % 100 cc
Ro Foto Thoraks :
Kesan : suspek efusi pleura bilateral
Sikap : Konsul Konsultan Pulmonologi
23
Tanggal 14 April 2015
S : Sembab mulai berkurang, nyeri sendi sudah berkurang, pucat (+)
O :
KU Kesadaran TD F.Nd Fr. nafas Suhu
Sedang CMC 120/80 mmhg 78 x/menit 18 x/menit 37,1 0C
Hasil labor :
Anti ds DNA : 376,03 IU/ml (N: < 100 IU/ml)
Ana profile : Ribosomal p protein (+++) , PCNA (+)
Hasil BMP : Sesuai dengan gambaran anemia aplasia
Hasil USG Ginjal : Sonogram ginjal sesuai gambaran proses akut pada ginjal
Sikap : Konsul ulang Konsultan Alergi Imunologi
Konsul ulang Konsultan Rematologi
Konsul ulang Konsultan Ginjal hematologi
Konsul ulang Konsultan Hematoonkologi medi
KONSUL KONSULTAN PULMONOLOGI
Kesan : Efusi pleura minimal ec Lupus eritomatosus sistemik
Anjuran : Tidak perlu di punksi pleura
KONSUL KONSULTAN ALERGI IMUNOLOGI
Kesan : Lupus eritomatosus sistemik dengan pansitopenia
Anjuran : Terapi di lanjutkan
24
KONSUL KONSULTAN REMATOLOGI
Kesan : Lupus eritomatosus sistemik dengan pansitopenia
Anjuran : Terapi dilanjutkan
KONSUL KONSULTAN HEMATOONKOLOGI MEDIK
Kesan : Pansitopenia ec Anemia aplasia
Hiperkoagulasi
Anjuran : Lanjutkan pemberian inj methyl prednisolon
Hari ke 4 : 2 X 125 mg
Hari ke 5 : 1 x 125 mg
Lanjutkan metil prednisolon 0,8 mg/kg BB
Telusuri penyebab anemia aplasia sekunder
Cek D dimer
Tunda pemberian heparin karena trombositopenia
Tanggal 15 April 2015
S : Sembab mulai berkurang, nyeri sendi (+) sudah berkurang, pucat (+)
O :
KU Kesadaran TD F.Nd Fr. nafas Suhu
Sedang CMC 110/70 mmhg 72 x/menit 18 x/menit 37,1 0C
Tanggal 16 April 2015
S : Sembab mulai berkurang, nyeri sendi (+) sudah berkurang, pucat (+)
O :
KU Kesadaran TD F.Nd Fr. nafas Suhu
Sedang CMC 100/70 mmhg 80 x/menit 20 x/menit 36,6 0C
Hasil labor :
Hasil albumin : 2,3 mg/dl
Calsium : 7,2 mg/dl
25
Kesan : hipoalbuminemia dan hipokalsemia perbaikan
Sikap : Transfusi albumin 20 % 100 cc
Tanggal 17 April 2015
S : Sembab mulai berkurang, nyeri sendi (+) sudah berkurang, pucat (+),
perdarahan (-)
O :
KU Kesadaran TD F.Nd Fr. nafas Suhu
Sedang CMC 120/70 mmhg 78 x/menit 20 x/menit 36,6 0C
Hasil labor :
D dimer : 9135,85 ng/ml
Kesan : peningkatan hasil d dmer
Sikap : pemberian heparin di tunda karena trombositopenia
DISKUSI
Telah dirawat seorang pasien perempuan umur 23 tahun dengan diagnosis:
1. Pansitopenia ec anemia aplasia ec lupus eritomatosus sistemik
2. Sindroma nefrotik relaps ec lupus eritomatosus sistemik
Pada pasien ini kita tegakkan pansitopenia ec anemia aplasia karena dari anamnesa
ditemukan pucat, badan letih lesu, dari pemeriksaan fisik ditemukan konjungtiva
anemis, dan dari laboratorium ditemukan anemia, leukopeni dan trombositopeni, dari
pemeriksaan darah lengkap di dapatkan gambaran anemia normositik normokrom
dengan retikulosit normal, pada pasien dilakukan BMP di dapatkan gambaran sesuai
dengan gambaran anemia aplasia, dari hasil ini kita menegakkan pansitopenia ec
anemia aplasia ec lupus eritomatosus sistemik. Anemia aplasia pada pasien ini bisa
saja primer idiopatik tidak berhubungan dengan penyakit LES dan bisa saja sekunder
karena sebab lain seperti infeksi, terpapar insektisida, radiasi ataupun obat obatan.
Dari infeksi virus B dan C telah kita telusuri dan hasilnya negatif. Karena saat ini
26
timbulnya bersamaan dengan munculan LES maka kita lebih memikirkan ini bagian
dari kelainan hematologi karena LES. Dari literatur kelainan hematologi yang banyak
di jumpai pada LES adalah anemia hemolitik, tapi dari beberapa literatur ada
munculan anemia aplasia. Pasien ini kita beri terapi dengan pulse dose steroid yaitu
methyl prednisolone selama lima hari dengan tape ring off, dan dilanjutkan dengan
methyl prednisolone 0,8 mg /kg BB/hari.
Pasien ini kita tegakkan diagnosis lupus eritomatosus sistemik dari anamnesa
ditemukan bercak kemerahan di wajah dan bertambah merah jika terkena sinar
matahari, sariawan yang sering muncul hilang timbul, nyeri sendi, rambut rontok, dari
pemeriksaan fisik, ditemukan ruam malar pada wajah, stomatitis, dari laboratorium di
dapatkan proteinuria yang menunjukan sudah ada gangguan pada ginjal, pada rontgen
thoraks di temukan efusi pleura minimal, dan setelah dilakukan pemeriksaan
imunologi di dapatkan ANA tes positif, anti ds DNA 376,03 IU/ml dari data ini sudah
dapat di tegakkan diagnosa LES, berdasarkan kriteria dari ACR revisi tahun 1997.
Jika dijumpai 4 atau lebih dari kriteria tersebut diagnosis LES memiliki sensitivitas 85
% dan spesifisitas 95 %. Sedangkan bila hanya 3 dan ANA positif maka sangat
mungkin LES dan diagnosis bergantung pada pengamatan klinis.
Manifestasi klinis LES sangat beragam dan sering kali tidak dikenali pada
keadaan awal sebagai penyakit LES. Hal ini dapat terjadi karena manifestasi LES
seringkali terjadi tidak bersamaan dan sering tidak disadarai. Seseorang dapat saja
selama beberapa lama mengeluhkan nyeri sendi yang berpindah-pindah tanpa adanya
keluhan lain kemudian diikuti oleh manifestasi klinis lainnya seperti bercak merah di
wajah, fotosensitivitas, dan pada akhirnya akan memenuhi kriteria LES.
Pada pasien ini ditegakkan sindroma nefrotik relaps ec LES. Pada pasien ini
ditemui sembab pada mata terutama pagi hari dan berkurang pada siang hari, sembab
juga ditemukan pada tungkai, dan pada pasien 5 tahun yang lalu, pernah bengkak di
seluruh badan dan berobat ke rumah sakit daerah di beri obat tapi paien tidak tahu
obatnya, dari deskripsi obat yang diceritakan kita memperkirakan pasien
mengkonsumsi prednisone selama 1 tahun, dan bengkak sudah berkurang dan pasien
telah berhenti makan obatnya. Dari hasil pemeriksaan sekarang di temui hipoalbumin
yaitu 1,3 mg/dl, hiperkolesterol dan hipertrigliserida, proteinuria (+++), dan protein
urin 7 gr/24 jam dan dari USG Ginjal di dapatkan sonogram ginjal sesuai dengan
proses akut pada ginjal, dari data ini kita menyimpulkan pasien dengan sindroma
27
nefrotik relaps. Sindroma nefrotik pada pasien ini timbul kembali di duga karena
Lupus eritomatosus yang baru terdiagnosa saat ini. Pada pasien ini kita beri terapi
diet rendah garam dan diet protein 0,8 mg /kg BB ditambah dengan protein yang lolos
melalui urin selama 24 jam, methil prednisone 0,8 mg/kgBB, captopril 3 x 6,25 mg,
statin 1 x 20 mg, dan di pantau keseimbangan cairan selama 24 jam.
Penatalaksanaan pada pasien ini secara keseluruhan untuk LES adalah terapi
farmakologis dan non farmaklogis. Terapi non farmakologis berupa cukup istirahat,
hindari kelelahan, menggunaakan tabir surya SPF 30% jika keluar rumah, baju yang
lebih tertutup, memakai topi atau payung jika bepergian atau berada di tempat
terbuka.Terapi farmakologis yaitu steroid (metilprednisolon) 0,8 mg / kg BB/ hari.
Pada pasien perlu di berikan edukasi mengingat pasien masih usia subur dan
telah mempunyai suami, jika pasien ingin hamil di anjurkan sekurang-kurangnya 6
bulan setelah aktivitas penyakitnya terkendali atau dalam keadaan remisi total. Hal ini
untuk mengurangi kekambuhan lupus saat hamil. Tapi pada pasien dengan nefritis
lupus jangka waktunya lebih lama sampai 12 bulan remisi total.
Untuk pemakaian kontrasepsi pada pasien ini sangat terbatas, kontrasepsi oral
merupakan pilihan bagi penderita yang kondisi stabil tanpa sindrom antiphospolipid
sindrom.
28
DAFTAR PUSTAKA
1. Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia Untuk Diagnosis dan
Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik, 2011
2. Kasjmir Y, dkk ” Diagnosis dan pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik”
dalam Buku Ajar Penyakit dalam Edisi VI jilid II, Penerbit IPD FKUI, Jakarta
Indonesia, 2014, hal 3360-3383.
3. Tutuncu ZN, Kalunian KC. The Definition and clasification of systemic lupus
erythematosus.In: Wallace DJ, Hahn BH, editors. Duboi’s lupus erythematosus.
7th ed. Philadelphia. Lippincott William & Wilkins; 2007:16-19
4. Soeroso juwono, Yuliasih. Sistemik lupus eritomatosus (SLE), dalam Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam FKUNAIR Surabaya, 2007, hal 235-241.
5. Hahn BH. Disorders of Immune-Mediated Cell Injury. In: Fauci AS, Braunwald
E, editors. Harrison's Rheumatology. 2nd Edition. Philadelphia. McGraw-Hill;
2010 : 66-69
6. Aghe NS. Aplastic Anemia, myelodisplasia, and related bone marrowfailure
syndromes. In : Kasper DL, Fauci AS, et al (eds). Harrison’s Principle of Internal
29
Medicine. 16th ed. New York: Mc hill, 2009: 617-25.
7. Bakta IM. Buku Panduan Hematologi ringkas.Jakarta: Pusat penerbitan
departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2006
8. Salonder H. Maciejewski J. The Pathophysiology of Acquired Aplastic Anemia.
Available in URL: HYPERLINK http://content.nejm.org/cgi/content/fill/336/19/
9. Harrison EC, The Incidence of Underlying Pathology in Pancytopenia. Available
in URL: HYPERLINK http://www.jpmi.org/org_detail.asp
10. Bevra H, et all.American Collage of Rhematology Guidelines for Screening,
treatment, and Menagement of Lupus nephritis. Arthritis care and Research. Vol
64, 2012: 797-808
30