DISERTASI - DIAH SULASTRI DEWI.pdf

362

Transcript of DISERTASI - DIAH SULASTRI DEWI.pdf

PERNY ATAAN KEASLIAN PENELITIAN

PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM

PASCASAR.JANA UNIVERSITAS.JAYABAYA

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

I. Karya tulis disertasi ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk mendapatkan gelar akademik Magister atau Doktor, baik di Universitas Jayabaya maupun di perguruan tinggi lainnya.

2. Karya tulis ini murni gagasan, rumusan dan penelitian saya sendiri, tanpa

bantuan pihak lain, kecuali arahan Tim Promotor dan para penguji.

3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang Ielah ditulis atau

dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka.

4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila dikemudian hari terdapat penyimpangan dan ketidak benaran dalam pernyataan ini, maka saya berscdia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah diperoleh karena karya tulis ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma yang berlaku di Perguruan Tinggi ini.

Jakarta, Februari 2017

Y~.nq membuat pemyataan

iv

Judul

Kata Kunci

ABSTRAK

Mediasi Penal dalam Sislem Peradilan Pidana Anak

Di Indonesia

: Mediasi Penal, Sistem Peradilan Pidana Anak

Anak memiliki peran strategis sebagai penerus cita-<:ita dan perjuangan masa depan bangsa, sehingga wajib mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana juga Ielah diamanatkan dalam konstitusi. Komitmen perlindungan lerhadap anak Ielah diatur dalam Undang-Undang No, II Tahun 2012 Tahun tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) yang mewajibkan diversi dalam setiap tahapan dengan syaral pelaku diancam dengan ancaman dibawah 7 tahun dan bukan pengulangan, Namun, terdapat kekosongan hukum karena UU SPPA belum mengakomodir Anak pelaku yang diancam hukuman 7 tahun atau keatas. Padahal idealnya perlindungan anak berhadapan dengan hukum (ABH)melalui pendekatan keadilan restoratif haruslah diberikan kepada seluruh ABH. Begitupula terhadap korban Anak yang belum terlindungi hakuya dalam perkara Anak pelaku yang berumur 12 sampai dengan 14 tahun hanya dapal dijatuhi pulusan berupa tindakan.

Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana konsep mediasi penal dalam sistem peradilan pidana anak di Indonesia dan bagaimana pengaturan proses mediasi pecal dalam sistem peradilan pidana anak di Indonesia Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teori keadilan sebagai grand theoryuntuk mengkaji konsep keadilan yang menekankan pada keseimbangan bagi seluruh pihak, teori tujuan pemidanaan sebagai middle range theoryuntuk menjelaskan pergeseran paradigma dari keadilan retributif kepada keadilan restoratif, dan mediasi penal sebagai applied theoryuntuk menjadi referensi dalam menemukan konsep dan pengaturan mengenai model dan proses mediasi penal yang paling ideal untuk diterapkan dalam sistem peradilan pidana anak. Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis nonnatif.

Dari hasH penelitian dapat diperoleh kesimpulan,pada perspektif filosofiseksistensi mediasi penal mengandung nilai keadilan dan pada perspektif sosiologis mengandung nilai kemanfaatan. Eksistensi mediasi penal merupakan pengejawatan keadilan restoratif sama dengan upaya diversi yang telah diatur secara nonnalif dalam Sistem Peradilan Pidana Anak yang mengandung asas keseimbangan (win·win so/ulion). Mediasi penal penting diterapkan dalam sistem peradilan pidana anak karena mediasi penal memberikan ruang untuk bermusyawarah atau berundingbagi anak yang diduga melakukan tindak pidana yang diancam hukuman 7 (tujuh) tahun alan keatas. Mediasi penal juga dapat memberikan ruang untuk bermusyawarah/ berunding bagi korban dan masyarakal dengan pelaku anak yang berumur 12 sampai dengan dibawah 14 tahun yang hanya dapal dijatuhi putusan berupa lindakan.Model mediasi penal yang paling ideal dilerapkan di Indonesia adalah kombinasi model Victim Offender Mediation dan model Family and Community Conference. Dengan tujuan mencari solusi yang dapat memulihkan pelaku, korban, serta masyarakal secara seimbang dengan mengutamakan pendekatan keadilanresloratifProses mediasi penal yang akan diatur dalam hukum acara Sistem Peradi!an Pidana Anak dapal dilakukan dari tahap penyidikan, penuntutan,dan persidangan. Proses mediasi diawali dengan pembukaan oleh mediator, tahap pembahasan permasalahan, dan tahap akhir menyusun kesepakatan mediasi. Hasil kesepakatan mediasi dijadikan pertimbangan dalam tuntutan Pemmtut Umum dan putusan Hakim berupa tind.akan.

v

ABSTRACT

Title Penal Mediation in Juvenile Justice System in Indonesia.

Keywords Penal mediaJion,juveni/e justice system.

As the successor of ideals for the nation future, child have a strategic role, making it mandatory to obtain protection from violence and discrimination as well as mandated in the constitution. Commitment to child protection has been regulated in Law No. JJ of 2012 on Juvenile Justice Systems were obliging diversion in every stage on condition that the perpetrator threatened with punishment below 7 years and not a repetition. However, there is a legal void because the Act of JIIVenile Justice Systems do not accommodate a child offender is punishable by

se:ven years or more. Though ideally the child protection dealing with law through a restorative

justice approach should be given to all children were dealing with law. Similarly, to the child

victims who have not protected their rights in the case of child offenders aged 12 to /4 years can

only be sentenced to a verdict in the form of actiom.

In this study, researchers used the theory of justice as a grand theory to reviewing the

concept ofjustice that emphasizes the balance for all parties, the theory of objective of sentencing as a middle range theory to explain the paradigm shift away from the retributive justice to the restorative justice and mediation penal as applied range theory to be a reference in finding

concepts and arrangemenls regarding models, as well as the penal mediation process is most ideal to be applied in the juvenile justice system. The method used in this research is normative

juridical.

The conclusion of this study, in the philosophical perspective that existence of penal mediation to conJoin values of justice and the sociological perspective contain values of

expediency. The existence of penal mediation is the personification of restorative justice equal to diversion efforts that have been regulated normatively in juvenile justice system which contains the

principle of balance (win-win solutions). Penal mediation is importanl to be implemented in the juvenile justice system because the penal mediation can provide space for deliberation or

negotiate for the child who is suspected committing a criminal act which carries a penalty of 7 (seven) years or over. Penal mediation could also provide space for deliberation/negotiate for the

victims and society by child offenders· aged 12 to under 14 years thaJ can only he sentenced to a

verdict in the form of action. Penal media/ion modelthaJ the most ideal applied in Indonesia is the

combination of models that is victim a/fonder mediation and the family and community conftrence.

With the aim of finding a solution that can recover the perpetrators, victims. and communities

equally with emphasis on restorative justice approach Penal mediation process to be set in the procedural law of juvenile justice system can be done from the stage of investigation, prosecution

and .trial. The mediation process begins with the opening by a mediator, the discussion stage of

problems. and the final stages of compose the mediation agreement. The results of the mediation

agreement taken into consideration in the demands of Public Prosecutions and the Judge's verdict in the form of oction.

vi

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah dan puji syukur kehadirat ALLAH SWT yang telah

memberikan hidayah dan karunia-NY A hingga penulisan disertasi ini dapat

diselesaikan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Doktor llmu Hukum Pascasatjana Universitas Jayabaya Jakarta.

Penyelesaian disertasi ini terlaksana dengan jasa-jasa baik dari semua pihak

yang membantu Penu!is dalam menyelesaikan studi doktoral ini dan sudah

sepatutnya Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya

yang Penulis persembahkan kepada :

I. Ketua Yayasan Perguruan Tinggi Jayabaya Jakarta;

2. Yang terhormat dan amat terpelajar Prof. Dr. H. Amir Santoso, M.Soc., selaku

Rektor Universitas Jayabaya Jakarta;

3. Yang terhormat dan amat terpelajar Letnan Jendral TN! (Pum) Prof. Dr. H.

Syarifudin Tippe, S.IP., M.Si, selaku Direktur Program Pascasatjana

Universitas Jayabaya Jakarta;

4. Yang terhormat dan amat terpel~ar Prof. Dr. JH. Sinaulan, S.H., M.Ag., M.Sc

selaku Ketua Program Doktor lhnu Hukum Pascasatjana Universitas Jayabaya

Jakarta;

5. Yang terhormat dan amat terpelajar, Prof. Dr. Suryajaya, SH. MH, selaku

Promotor, yang dengan keahlian Beliau telah banyak memberikan motivasi,

membantu, memperhatikan, dan meluangkan waktu untuk mengarahkan

Penulis;

iv

6. Yang terhonnat dan terpelajar Dr. Lilik Mulyadi, S.H., M.H, selaku Co­

Promotor I yang dengan keikhlasannya telah mengarahakan materi dan

metode analisis dalam penelitian ini sehingga dapat mencapai sasaran yang

ingin dimunculkan dalam penelitian ini;

7. Yang terhonnat dan terpelajar Dr. Yanto, S.H., M.H, selaku Co-Promotor 2,

yang telah banyak memberikan masukan secara substansial dalam disertasi ini;

8. Yang terhonnat dan terpelajarProf. Dr. H.R.T. Sri Soemantri M., S.H. (Aim),

selaku Penguji materi disertasi yang telah banyak memberikan masukan secara

substansial dalam disertasi ini;

9. Yang terhonnat dan terpelajar Dr. Ramlani Lina S., S.H., M.M. selaku

Penguji materi disertasi yang telah banyak memberikan masukan secara

substansial dalam disertasi ini;

10. Yang terhonnat dan terpelajar Dr. Ismail Rumadan., S.H., M.H. selaku

Penguji materi disertasi yang telah banyak memberikan masukan secara

substansial dalam disertasi ini;

II. Yang terhonnat Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Bpk. Prof. Dr.

Hatta Ali, S.H.M.H., yang telah memberikan izin pada penulis untuk

melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

12. Seluruh Stafpengajar Program Doktor Ilmu Hukum dan juga Stafadministrasi

Pascasarjana Universitas Jayabaya;

13. Kepada Ibunda dan Ayahanda tercinta Hj. Fatimah Hanum (Almh) dan R.

Wahyu Supangkatserta mertua tercinta Hasan Bin Pungut (Aim) dan

Nurbayaniyang telah memotivasi, mendukung, dan mendoakan Penulis;

v

14. Kepada Suami tercinta, Hazuardi, SEdan anak-anak tersayang, Suhadi Putra

Wijaya, SH, MH beserta Istri Drg. Arifa Pediarahma, Ayu Widya Suharti,

SH., M.Kn beserta suami Mohammad Irmansyah, SH, M. Reza Winata, SH

Wena Dinanti, SH beserta suami Rifki Pradipta Fajri, SH serta Tri Pujiati, SH

semoga menjadi pemacu semangat ananda semua untuk terns menuntut ilmu;

15. Kepada Sahabat Penulis, Artha Theresia Silalahi, SH., MH, Dr. Abdullah,

SH., MH, Dr. Multiningdyah Elly Mariani, SH., M.Hum, Dr. Fatahillah A.

Syukur, SH., LLM, Dr. Jonlar Purba, SH., MH, Dr. Hasbi Hasan, MA dan

Putri Kusuma Amanda, SH., MH yang tak hentinya telah memberikan

semangat dan motivasi untuk menyelesaikan penelitian ini;

16. Seluruh rekan-rekan satu angkatan Program Doktor Ilmu Hukurn Universitas

Jayabaya Jakarta;

Dari segi substansi disertasi ini masih jauh dari kata sempurna, hal ini

dikarenakan keterbatasan ilmu pengetahuan yang Penulis miliki, dan untuk itu

Penulis sangat mengharapkan masukan dan saran-saran untuk perbaikan

selanjutnya.

Akhirnya Penulis berharap semoga disertasi ini dapat bermanfaat bagi

perkembangan pendidikan hukum pada umumnya dan sistem peradilan pidana

anak khususnya.

Jakarta, Februari 2017

Penulis

DIAH SULASTRI DEWI

vi

DAFI'ARISI

HALAMAN COVER ................................................................................. .

LEMBAR PERSETUJUAN KETUA PROGRAM .................................... ii

LEMBAR PERSETUJUAN PROMOTOR ................................................ iii

PERNYATAAN ORISINALITAS .............................................................. iv

ABSTRAKS ................................................................................................ v

ABSTRACT................................................................................................. vi

KATA PENGANTAR ....................................................... ,........................ vn

DAIT AR lSI ... ..... ........................... .. ......... ..... .. ..... .... ............ .... ........... ...... X

Bab I Pendahuluan

A. Latar Belakang ..................................................................... .

B. Rumusan Masalah.................................................................. 29

C. Tujuan Penelitian ....... ............................................................ 29

D. Kegunaan Penelitian .............................................................. 29

E. Kerangka Pemikiran........ .......... ... .. ... . . ........ .. . .. . .. .... .. . .. .. ..... ... 30

F. Metode Penelitian .................................................................. 39

Bab II Keadilan Restoratif dalam Sistem Peradilan Pidana Anak

X

A. Teori Keadilan .................................. .......... ... ....................... 44

B. Teori Tujuan Pemidanaan ...................................................... 51

C. Teori Mediasi Penal............................................................... 61

D. Pengertian Keadilan Restoratif.......................... ..................... 67

E. Pengertian, Kedudukan, Hak, dan Kewaj iban Anak .. . . . . . . .. . . . .. 91

H. Pengertian Mediasi Penal....................................................... 109

BAB III Mediasi Penal dalam Sistem Peradilan Pidana Anak

A. Mediasi Penal dengan Pendekatan Keadilan Restoratif dalam

Sistem Peradilan Pidana Anak ............................................... 142

B. Perbandingan Penerapan Mediasi Penal di Negara Lain......... 189

C. Perbandingan Mediasi dengan Diversi dalam Undang-

Undang Sistem Peradilan Pidana Anak .................................. 207

D. Implementasi Mediasi Penal dalam Beberapa Putusan

Perkara Pidana Anak.............................................................. 218

BAB IV Konsep dan Pengaturan Mediasi Penal dalam Sistem Peradilan

PidanaAnak

A. Konsep Mediasi Penal dalam Sistem Peradilan Pidana

Anak di Indonesia..................................................... 245

B. Pengaturan Proses Mediasi Penal dalam Sistem Peradilan

Pi dana Anak di Indonesia............................................. 288

xi

dflGIH lVAV it\I~ W.LNO

V)NlSfid W.LNO

O££ ····················································································· ~m.rns ·a

6Z£ ························································ ····················UllJndUf!S:l)J ·v

GLOSSARY

ABH = Anak Bennasalah dengan Hukum

ADR = Alternative Dispute Resolution

AS = Amerika Serikat

BPHN = Badan Pembinaan Hukum Nasional

CCM = Crime Control Model

DPM = Due Process Model

DPR = Dewan Perwakilan Rakyat

Drt = Darurat

EU = Europe Union

FHUI = Fakultas Hukum Universitas Indonesia

FH UNAIR = Fakultas Hukum Universitas Air Langga

FH UNDIP = Fakultas Hukum Universitas Diponegoro

GST = General System Theory

HAM = Hak Asasi Manusia

HIR = Herziene Indonesiche Reglement

ICCPR = International Covenant on Civil and Political Rights

JPU = Jaksa Penuntut Umum

KAPOLRI = Kepala Polisi Republik Indonesia

KUHAP = Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

KUHP = Kitab Undang-undang Hukum Pidana

KUHPerd = Kitab Undang-undang Hukum Perdata

LAP AS = Lembaga Pemasyarakat

xiii

LN = Lembara Negara

LSM = Lembaga Swadaya Masyarakat

MA = Mahkamah Agung

MH = Magister Hukum

PBB = Perserikatan Bangsa-Bangsa

PERMA = Peraturan Mahkamah Agung

PKBAPAS = Pendamping Kemasyarakatan Badan Pemasyarakatan

PN = Pengadilan Negeri

PNS = Pegawai Negeri Sipil

POLRJ = Polisi Republik Indonesia

pp = Peraturan Pemerintah

PPNS = Penyidik Pegawai Negeri Sipil

PT = Pengadilan Tinggi

PU = Penuntut Umum

RBG = Rechts Reglement Voor De Buiten Gewesten

Rl = Republik Indonesia

RJS = Republik Indonesia Serikat

RKUHAP = Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

RKUHP = Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana

SEMA UI = Senat Mahasiswa Universitas Indonesia

SEMA = Surat Edaran Mahkamah Agung

SPPA = Sistem Peradilan Pi dana Anak

SPP = Sistem Peradilan Pidana

SP3 = Surat Penghentian Penyidikan

xiv

AX

glmJlun-guepun

Ul!l!llUllU:ld Ul!!JU:lqgU:ld 111!Slllnd:l)lll!IDS

nn

UDIS

BABI

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang dilahirkan ke

muka bumi dalam keadaan yang suci dan bersih secara lahir maupun batin.

Anak tersebut kemudian tumbuh menjadi baik atau tidak, bukan hanya atas

dasar kemauan diri sendiri, namun juga dipengaruhi lingkungan dim ana anak

tersebut dibesarkan. Bahkan anak yang baru lahir digambarkan oleh John

Locke, sebagai sehelai kertas putih belum bertulis.1Kertas tersebut dapat

ditulis sesuai dengan kehendak penulisnya.William Stem berpendapat bahwa

pembawaan dan lingkungan sama pentingnya karena kedua-duanya sama

berpengaruh terhadap pertumbuhan karakter anak.Z Oleh karena itu,

pembentukan tingkah laku dan kepribadian seseorang anak merupakan hasil

perpaduan dari pembawaan yang dibawanya dan lingkungan dimana dia

tumbuh dan dibesarkannya.

Masa anak-anak juga merupakanperiode yang rentan karena anak

memilikikeadaan psikologis yang masih labil, tidak independen, dan mudah

terpengaruh oleh situasi dan lingkungan ekstemal. Tindakan yang dilakukan

anak tidak muncul sepenuhnya dari kesadaran anak itu sendiri, tetapi lebih

besar sebagian di antaranya berasal dari faktor di luar dirinya,seperti karena

pengaruh, persuasi, tekanan, atau paksaan dari pihak lain, bisa dari sesama

ternan atau dari orang dewasa. Dengan demikian, konsekuensi tindakan

1M. Arifin, Filsafat Pendidikan Hukum Jakarta: Bina Aksara, 1987, him. 161-.162 2Zakiyah Daradjat dkk, flmu Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta: 1992, him. 51

1

perbuatan seorang anak itu tidak seutuhnya dapat dipertanggung jawabkan

pada anak itu sendiri. Termasuk tindakan anak dalam berbuat kenakalan atau

suatu perbuatan yang melanggar hukum, karena anak bukanlah pelaku murni,

akan tetapi adalah korban.

Anak yang bermasalah dengan hukum (children in conflict with the

law) secara sederhanadapat dikatakansebagai anak yang disangka, dituduh

atau diakui sebagai telah melanggar undang-undang hukum pidana.Menurut

hukurn nasional, berdasarkan Pasal I angka 3 Undang-Undang Nornor II

Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mendefinisikannya

sebagai Anak yang Berkonflik dengan Hukurn, yaitu Anak yang telah

berumur 12 (dua betas) tahun tetapi belum berumur 18 (delapan betas) tahun

yang diduga melakukan tindak pidana. Sedangkan di dalam hukum

internasional, Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile

Justice atau yang dikenal dengan Beijing Rules mendefinisikannya

sebagaijuvenile offinder yaitu sebagai berikut:a child or young person who is

alleged to have committed or who has been found to have committed an

offince.3 (Teljemahan bebas: seorang anak atau orang muda yang diduga

telah melakukan atau yang telah ditemukantelah melakukan suatu

pelanggaran).

Negara-negara di dunia termasuk Indonesia telah meratifikasi

Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) pada tahun 1990

dengan dilengkapi instrumen internasional petunjuk secara umum dan khusus,

yaitu: Petunjuk Umum tediri dari: Peraturan Standar Minimum bagi

3 Myles Ritchie, Children In "Especially Difficult Circumstances··: Children Living On The Street. Can Their Special Needs Be Met Through Specific Legal Pravisioning? Consultative Paper Prepared For The South African Law Commission, 1999, him. 12-14

2

Perlakuan terhadap Narapidana, tanggal 13 Mei 1977; Pedoman Tingkah

Laku Petugas Penegak Hukum, Resolusi Majelis Umum tanggal 17 Desember

1979; Prinsip Perlindungan Semua Orang dalam Penahanan atau Penjara,

Resolusi Majelis Umum tanggal 9 Desember 1988;Sedangkan Petunjuk

Khusus:Beijing Rules; Peraturan Standar Minimum Perserikatan Bangsa­

Bangsa tentang Administrasi Pengadilan bagi Anak (United Nations Standard

Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice) tanggal 29

November 1985; The Tokyo Rules, Peraturan Standar Minimum Perserikatan

BangsaBangsa tentang Upaya Non-Penahanan pada tanggal 14 Desember

1990; Riyadh Guidelines, Pedoman Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang

Pencegahan Kenakalan Anak (United Nations Guidelines for the Prevention

of Juvenile Delinquency) tanggal 14 Desember 1990; dan Peraturan

Perserikatan Bangsa-Bangsa bagi Perlindungan Anak yang Kehilangan

Kebebasannya, tahun 1990.

Berdasarkan Peraturan Standar Minimum Perserikatan Bangsa-Bangsa

tentang Administrasi Pengadilan Bagi Anak (Beijing Rules) memberikan

perlindungan maksimal terhadap masa depan anak karena mengandung asas:

l. Kepentingan terbaik untuk anak adalah prioritas; 2. Peradilan pidana sebisa

mungkin dihindarkan; 3. Segala bentuk intervensi seminimal mungkin

dilakukan; 4. Polisi, jaksa, hakim, dan aparat penegak hukum lainnya sebisa

mungkin menggunakan kebijakanldiskresi dalam menangani anak; 5.

Kriminalisasi dan penghukuman anak harus dihindarkan kecuali teljadi

kerusakan yang serius terhadap anak atau orang lain; dan 6. Bantuan hukum

harus segera diberikan tanpa biaya.

3

Menurut Wanjku Kaime-Atterhog dinyatakan bahwa dalam perspektif

Konvensi Hak Anak:/ KHA (Convention on The Rights of The Child/CRC),

anak yang bermasalah dengan hukum dikategorikan sebagai anak dalam

situasi khusus (children in need of special protection/CNSP):4 "UNICEF

menyebut anak dalam kelompok ini sebagai children in especially difficult

circumstances" (CEDC) karena kebutuhan-kebutuhannya tidak terpenuhi,

rentan mengalami tindak kekerasan, berada di luar lingkungan keluarga

(berada pada lingkup otoritas institusi negara), membutuhkan proteksi berupa

regulasi khusus, dan membutuhkan perlindungan dan keamanan diri.

Kebutuhan-kebutuhan ini tidak dapat dipenuhi karena anak tersebut tidak

mendapatkan perlindungan dan perawatan yang layak dari orang dewasa yang

berada di lingkungan tempat di mana anak biasanya menjalani hidup."

Konvensi negara-negara di dunia tersebut mencerminkan paradigma

baru untuk menghindari peradilan pidana anak. Restorative justice

(selanjutnya diteijemahkan menjadi keadilan restoratif dalam buku ini) adalah

altematif yang populer di berbagai belahan dunia untuk penanganan anak

yang bermasalah dengan hukum karena menawarkan solusi yang

komprehensif dan efektie Keadilan restoratif bertujuan untuk

memberdayakan para korban, pelaku, keluarga, dan masyarakat untuk

memperbaiki suatu perbuatan melawan hukum, dengan menggunakan

4Wanjku Kaime-Atterh5g, The Social Con/ext of Children in Especially Difficult Circumstances (CEDC}, ESCAP HRD Course on Psychosocial and Medical Services for Sexually Abused and Sexually Exploited Children and Youth, 2005, hbn. 1-6, 7

5Gordon Bazemore dan Mara Schiff, Juvenile Justice Reform and Restorative Justice: Building Theory and Policy from Practice, Will an Publishing, Oregon, 2005, hlm.5

4

kesadaran dan keinsafan sebagai landasan untuk: memperbaiki kehidupan

bermasyarakat. 6

Konstitusi Republik Indonesia pada Pasal 18 B ayat (2) Undang-

Undang DasarTahun 1945 telah mengamanatkan bahwa; "Setiap anak berhak

atas keberlangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas

per/indungan dari kekerasaan dan diskriminasi." Selanjutnya dalam tataran

norma hukum yang lebih kongkrit Pasal 20 Undang-Undang Nomor 35

Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No 23 Tahun 2002

tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa Negara, Pemerintah,

Masyarakat, Keluarga, dan Orang Tua atau Wali berkewajiban dan

bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak. Untuk itulah

dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011 tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak tidak hanya mengatur anak yang berkontlik dengan hukum,

tetapi juga mengatur anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang

menjadi saksi tindak pidana yang disebut dengan anak yang berhadapan

dengan hukum (ABH).

Realita yang teijadi di Indonesia saat ini,menunjukan belum dapat

terwujudnya perlindungan terhadap anak khususnya anak berhadapan dengan

hukum (ABH) secara optimai.Secara statistik, jurnlah anak Indonesia yang

diajukan ke pengadilan atas suatu kejahatan setiap tahunnya semakin

meningkat. Pada umumnya mereka tidak rnendapatkan dukungan dari

pengacara maupun dinas sosial. Sehingga tidaklah mengherankan, kalau

sembilan dari sepuluh anak yang bermasalah hukum ini akhimya dijebloskan

6George Pavlich, "Towards an Ethics of Restorative Justice", dalam Restorative Justice and The Law, ed Walgrave, L., Willan Publishing, Oregon, 2002, hlm.l.

5

ke penjara atau rumah tahanan. Lebih menyedihkan lagi, sebagian besar anak-

anak ini berada di dalam lembaga penahanan dan pemenjaraan untuk orang­

orang dewasa dan pemuda.7 Peningkatan jumlah anak-anak yang ditahan

tersebut, tidak termasuk anak-anak yang ditahan dalam kantor polisi seperti di

Polsek, Pokes, Polda dan Mabes. Kondisi ini tentu saja sangat

memprihatinkan, karena banyak anak-anak yang hams berhadapan dengan

proses peradilan. Keberadaan anak-anak dalam tempat penahanan dan

pemenjaraan bersama orang-orang yang lebih dewasa, menempatkan anak­

anak pada situasi rawan menjadi korban berbagai tindak kekerasan. 8

Selain itu, perlakuan terhadap anak yang diduga melakukan tindak

pidana seringkalibersifat sangat represif. Proses peradilan terhadap anak

seringkali kehilanganrnaknaessensinya sebagai mekanisme yang harus

berakhir dengan upaya untuk melindungikepentingan terbaik bagi anak (the

best interest of child). Proses peradilan pidana anakseringkali menampilkan

dirinya sebagai mekanisme yang hanya berorientasi padapenegakan hukum

secara formal dan tidak berorientasi pada kepentingan anak.9

Perlakuan-perlakuan yang cenderung membekaskan stigma atas diri

anaklebih mengedepan dibandingkan perlakuan aparat penegak hukum

yangmencerminkan . perlindungan .hak-hak anak. yang melakukan tindak

pidana. Anak yangterlibat dalam proses peradilan pidana memperoleh

perlakuan yang buruk bahkan dalam beberapa hal telah diperlakukan lebih

7 Steven Allen, dalam Pumianti, Ni Made Martini Tinduk, et.aH, Ana/isa Situasi Sistem Peradi/an Pidana Anak (Juvenile Justice System) di Indonesia. UNICEF, Indonesia, 2003, him. 1-2

8 Judth Enew, Difficult Circumstances:Some Reflections on "Street Children" in Africa, Children, Youth and Environments 13(1), Spring 2003, him. 7- 8

9Koesno Adi, Kebijakan Kriminal dalam Sistem Peradilan Pidana yang Berorientwi pada Kepentingan Terbaik Bagi Anak, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam bidang llmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, 2009, him. 6

6

buruk hila dibandingkan dengan orang dewasa yang berada dalam situasi

yang sama. Mayoritas dari anak yang melakukan tindak pidana mengalami

tindak kekerasan selama dalam proses peradilan pidana. 10

Berdasarkan data dari Sistem Database Pemasyarakatan Kementerian

Hukum dan HAM di tahun 2014, jumlah data anak yang didiversi adalah

1.312 orang, yang memperoleh putusan anak kembali ke orang tua adalah 493

orang, putusan anak berupa tindakan diserahkan ke Panti sosial lainnya

adalah 169 orang, dan yang dijatuhi putusan pidana beijumlah 3.000 orang.

Di tahun 2015 datajumlah anak yang didiversi adalah beijumlah 3.734 orang,

yang memperoleh putusan anak dikembalikan ke orang tua adalah 386 orang,

selanjutnya yang memperoleh putusan diserahkan ke Panti Sosial/ lainnya

adalah beijumlah 227 orang, dan dijatuhi putusan pidana beijumlah 2.226

orang. Tahun 2016 data anak yang berhasil didiversi beijumlah 3.449 orang,

yang memperoleh putusan anak kembali ke orang tua berjumlah 358 orang,

selanjutnya yang memperoleh putusan diserahkan ke panti social! lainya 485

orang, dan dijatuhi putusan pidana 2.342 orang.

Dari data diatas, walaupun dari tahun 2014 sampai dengan tahun 2016

jumlah anak yang didiversi mengalami peningkatan dan jumlah anak yang

dijatuhi putusan pidana menunjukan. peningkatan, namun jumlah anak yang

dijatuhi hukuman berupa tindakan sangat minim dan jauh lebih rendah dari

jumlah anak yang diputus pidana penjara. Hal ini menunjukan bahwa temyata

masih banyak anak Indonesia yang berada di dalam jeruji besi. ldealnya,

pemenjaraan adalah pilihan terakhir (The Last Resort) bagi ABH karena di

10Jbid, him. 8

7

dalam penjara bukan proses pembelajaran mental yang mereka dapatkan, tapi

malah pembelajaran tindak kriminal dari narapidana yang lebih dewasa.

Fenomena di atas menunjukkan bahwa penanganan terhadap anak

sebagai pelaku tindak pidana oleh aparat penegak hukum melalui proses

peradilan yang selama ini berlangsung cenderung merugikan masa depan

anak. Keadaan tersebut bukan saja sangat memprihatinkan, namun sangat

mengkhawatirkan karena hal itu menggambarkan bahwa sesungguhnya

penanganan terhadap anak yang diduga melakukan tindak pidana belum

benar-benar mencenninkan perlindungan anak. Anak-anak selama dalam

proses pemeriksaan (mulai dari kepolisian, kejaksaan sampai pengadilan)

merasa kurang dihargai, perlakuan-perlakuan para petugas cenderung

membekaskan citra negatif dalam benak mereka (stigmatisasi). Perlakuan

petugas yang demikian itu, membuat anak-anak merasa ditangani oleh

petugas hukum yang kurang memahamimasalahmereka sebagai anak.

Persayaratan adanya profesionalisme penegak hukum di bidanganak

tidak dipenuhi.Persyaratan formal lebih dikedepankan daripada

persyaratansubstansial dalam penunjukan penegak hukum khusus anak.

Legitimasi merekasebagai penegak hukum di bidang anak hanya semata-mata

didasarkan atas SuraWenunjJJkan sebagai. Polisi Khusus Anak, Jaksa Khusus

Anak, Hakim Khusus Anak,dan bukannya persyaratan substansial seperti

yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang

Pengadilan Anak (UUPA), 11 yang telah digantidengan Undang-Undang

Nomor ll Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA).

11Paulus Hadisuprapto, Peradilan Restotarif: Model Peradilan Anak Indonesia Masa DaJang, Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Kriminologi pada Fakullas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 18 Februari 2006, him. 22.

8

Padahal melalui UUPA diharapkan petugas yang bertindaksebagai penyidik,

penuntut umum, dan hakim benar-benar menguasai dan memahamimasalah

anak, sehingga dalam proses penanganannya tidak menimbulkan

gangguanbaik secara fisik maupun mental terhadap masa depan anak.

Berpedoman pada The United Nations Standard Minimum Rulesfor

Administration of Juvenile Justice - the Beijing Rules (Peraturan Standar

Minimum PBBuntuk Pelaksanaan Peradilan Anak - Peraturan Beijing),

yangdisahkan melaluiResolusi Majelis PBB No. 40/33 Tanggal 29 November

1985, tujuan dariperadilan anak sebagaimana disebutkan dalam Rule 5.1

adalah "The juvenile justicesystem shall emphasize the well-being of the

juvenile and shall ensure that any reaction to juvenileoffinders shall always

be in proporlion to the circumstances of both the offinders and

theoffence ".Maksud dari pengaturan tersebut adalah bahwa sistem peradilan

anak harus lebih menekankan padakesejahteraan anak dan harus dipastikan

bahwa seluruh penanganan terhadap anakharus selalu sesuai dengan keadaan,

baik keadaan dari pelaku maupun keadaan daripelanggaran/kejahatan.

Sebagaimana yang dikemukakan mengenai bentuk perlindungan

terhadap anak yang bermasalah dengan hukum, bahwa dipandang dari segi

perbuatan sesungguhnya tidak ada perbedaan antara tindak pidana yang

dilakukan anak dengan tindak pidana yang dilakukan orang dewasa. Hal yang

dapat membedakan diantara keduanya terletak pada pelakunya itu sendiri.

Perbedaan tersebut menyangkut kepada persoalan motivasi atas tindak pidana

yang dilakukannya. Karena pada umumnya tindak pidana yang dilakukan

oleh anak bukan didasarkan kepada motif yang jahat (evil will/evil mind),

9

malca anak yang melakukan penyimpangan dari nonna-nonna social, terhadap

mereka para ahli kemasyarakat lebih setuju untuk memberikan pengertian

sebagai "anak nakal" atau dengan istilah "juvenale delinquency". Dengan

istilah tersebut terhadapnya dapat terhindar dari golongan yang dikategorikan

sebagai penjahat (criminal).

Kejahatan itu sendiri dilihat dari konsep yuridis, berarti tingkah laku

manusia yang dapat dihukum berdasarkan hukum pidana. Namun, kejahatan

juga bukan hanya suatu gejala hukum. Para ahli kriminologi berpendapat

bahwa walaupun terdapat klasifikasi kejahatan, 12 tetapi klasifikasi tersebut

sesungguhnya menimbulkan ketidakadilan terhadap mereka yang dianggap

bersalah melakukan kejahatan dan melemahkan stigma atas kejahatan serius,

sehingga membawa kepada usaha-usaha untuk menyusun k:lasifikasi barn

tentang pelanggaran terhadap hukum pidana. Mereka berpendapat bahwa bagi

kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak dan remaja, dipergunakan istilah

"delinquency". Istilah ini mencenninkan perasaan keadilan masyarakat bahwa

perlu ada perbedaan pertimbangan bagi pelanggaran yang dilakukan anak-

anak atau remaja dibandingkan yang dilakukan oleh orang dewasa. 13

Dasar pelaksanaan perlindungan anak adalah:

12Dalam sistem hukum Common Law yang berlaku di lnggris, secara klasik dikenal adanya pengklasifikasian antara kejahatan berat (felonies), kejahatan ringan (misdemeanors), dan kejahatan terhadap keamanan negara (treason). adapun memrrut Criminal Act 1977, kejahatan diklasifikasikan ke dalam: kejahatan berat (offences treab/e only on indicm~en) yang diadili di Pengadilan Crown C(}IJrl dengan sistem Jury, kejahatan ringan (offences treob/e only Summarily) yang diadili di Pengadilan Magistrate Court tanpa Jury, dan kejahatan yang digolongkan ke dalam perbuatan pelanggaran (offences treob/e either way). (Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana. Mandar Maju, Bandung, 1996). Dalam hukum pidana Prancis dikenal klasifikasi ke dalam: Crimes, De/its, clan Conlravenlions. Hukum Pidana Jerman mengenal klasiftkasi kejahatan ke dalam: Verbrechen, Vergehen, dan Ubertretugen. Adanya pengklasifikasian tersebut didasarkan atas berat ringannya hukuman yang dapat dijatuhkan terhadap si pelaku, dengan konsekwensi bahwa terlepas dari persoalan adanya sedikit perbedaan prinsip antara kejahatan serius dan pelanSlfaran kecil menurut hukum pidana

3Romli Atmasasmita, Bunga Rampai Kriminologi, Rajawali, Jakarta, 1984, him. 31-33.

10

I. dasar filosofis; Pancasila, yang merupakan dasar atas segala kegiatan dalam berbagai bidang kehidupan keluarga, bermasyarakat, bemegara, dan berbangsa serta dasar filosofis pelaksanaan perlindungan anak.

2. dasar etis; pelaksanaan perlindungan anak harus sesuai dengan etika profesi yang berkaitan, untuk mencegah perilaku menyimpang dalam pelaksanaan kewenangan, kekuasaan dan kekuatan dalam pelaksanaan perlindungan anak.

3. dasar yuridis, pelaksanaan perlindungan anak harus didasarkan pada UUD 1945 dan berbagai peraturan perundang-undangan lain yang berlaku. Penerapan dasar yuridis ini harus secara integratif yaitu penerapan terpadu menyangkut peraturan perundang-undangan dari berbagai bidang hukum yang berkaitan.

Dalam tataran bentuk perlindungan yang harus diberikan terhadap

seorang anak yang berhadapan dengan hukum saat ini telah teijadi tumpang

tindih an tara Perma Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan

Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak yang khususnya pada Pasal 3

mewajibkan hakim melakukan musyawarah diversi terhadap dakwaan yang

ancaman hukumannya dibawah 7 (tujuh) tahun atau diatas 7 (tujuh) tahun

( dakwaan altematif, subsideritas, dan komulatif). Di sisi lain, Pemerintah

Nomor 65 Tahun 2015 dalam Pasal 3 hanya mewajibkan diversi terhadap

ancaman dibawah 7 (tujuh) tahun, sehingga mnimbulkan multitafsir dan

dualism pelaksanaan oleh Aparat Penegak Hukum khususnya hakim. Untuk

itu, Jaksa Agung telah mengirim surat kepada Ketua Mahkamah Agung

untuk melakukan peninjauan kembali terhadap Perma Nomor 4 Tahun 2014.

Menurut Maidin Gultom perlindungan hukum anak tidak boleh

dilakukan secara berlebihan dan memperhatikan dampaknya terhadap

Iingkungan maupun diri anak itu sendiri, sehingga usaha perlindungan yang

dilakukan tidak berdampak negatif. Perlindungan anak dilaksanakan rasional

bertanggung jawab dan bermanfaat yang mencerminkan suatu usaha yang

II

efektif dan efisien. 14

Di negara-negara yang telah memiliki dan menerapkan hukum pidana

secara khusus untuk anak, penggunaan istilah khusus bagi pelaku anak diakui

sebagai dasar psikologis. Anak yang melakukan pelanggaran bukan

merupakan orang-orang jahat, melainkan anak-anak nakal saja (juvenile

delinquency). Dasar ini merupakan basil riset puluhan tahun dari ilmu

psikologi.15

Secara etimologis, istilah juvenile delinquency berasal dari bahasa

latinjuvenils yang artinya anak-anak, anak muda, ciri karakteristik pada masa

muda, sifatsifat khas pada periode remaja; dan delinquere yang berarti

terabaikan, mengabaikan. Kemudian diperluas artinya menjadi jahat, asocial,

kriminal, pelanggar aturan, pembuat ribut, pengacau, teroris, tidak dapat

diperbaiki lagi, durjana, dursila, dan lain-lain. Dengan demikian, juvenile

delinquency adalah perilaku jahat/dursila atau kejahatan!kenakalan anak-anak

muda; merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada anak-anak dan

remaja yang disebabkan oleh suatu bentuk pengabaian sosial, sehingga

mereka itu mengembangkan bentuk tingkah laku yang menyimpang. 16

Thong Tj ip Nio, seorang mantan hakim khusus pada Pengadilan Negeri

Istimewa Jakarta untuk perkara pidana, menyatakan bahwa apakah artinya "a

juvenile delinquency", hal ini tidak mempunyai suatu definisi yang tetap,

definisi itu tergantung dari sudut mana memandang problem ini. Seorang

sosiolog akan memberikan definisi yang berlainan dengan seorang srujana

14 Maidin Gultom. Op.Cit, him. 34. 15 D.Y. Alta, Pokok-Pokok Pelaksanaan Sidang Perkora Anak di Pengadilan Negeri Dalam

Daerah Hukum Pengadilan Tinggi Jakarta, Bina Cipta, Jakarta, 1979, him. 43. 16 Kartini Kartono, Pato/ogi Sosial 2 Kenako/an Remaja, Rajawali, Jakarta, 1992, him. 7

12

hukum, begitu juga undang-undang diberbagai negara mempunyai ketentuan

yang berlainan, apakah yang disebut suatujuvenile delinquency. 17

Menurut Simanjuntak, suatu perbuatan itu disebut delinquency jika

perbuatan-perbuatan tersebut bertentangan dengan norma-norma yang ada

dalam masyarakat di mana ia hidup, suatu perbuatan yang anti sosial yang di

dalamnya terkandung unsurunsur antinormatif. 18 Dalam uraian lain,

dijelaskan bahwa juvenile delinquency adalah perbuatan dan tingkah laku

perkosaan terhadap norma hukum pidana dan pelanggaran-pelanggaran

kesusilaan yang dilakukan oleh anak berumur di bawah 21 tahun, yang

termasuk dalam yuridiksi pengadilan anak. 19

Menurut Paul Moedikdo, semua perbuatan dari orang dewasa

merupakan kejahatan, bagi anak-anak merupakan delinquency. Jadi, semua

tindakan yang dilarang oleh hukum pidana, seperti pencurian, penganiayaan,

dan sebagainya?0 Pemyataan tersebut sejalan dengan apa yang dikemukakan

Bimo Walgito bahwa juvenile delinquency adalah tiap perbuatan yang jika

dilakukan oleh orang dewasa, maka perbuatan itu merupakan kejahatan?1

Kusumanto Setyonegoro, berpendapat delinquency adalah tingkah laku

individu yang bertentangan dengan syarat-syarat dan pendapat umum yang

dianggap sebagai acceptable oleh sesuatu lingkungan masyarakat atau hukum

yang berlaku di suatu masyarakat yang berkebudayaan tertentu. Jika individu

itu masih anak-anak, maka sering tingkah laku yang serupa itu disebut dengan

17 Laporan Hasa Survei Fakultas Hukum UNPAD tentang Peradilan Anak 18 Simanjuntak, Pengantar Kriminologi dan Sosiologi, Tarsito, Bandung, 1977, hlm. 295 19 B. Simanjuntak, Latar Belakang Kenakalan Remaja, Alumni, Bandung, 1984, hlm. 47 20lbid, hlm. 50 21 Bimo Walgito, Kenakolan Anak (Juvenile Delinquency) Yogyakarta: Yayasan Penerbit

Fakultas Psikologi UGM, 1982, him. 2

13

1953

istilah tingkah laku yang sukar atau nakal (behavior problem). Jika ia berusia

adolesant atau preadolesant, maka tingkah laku itu sekarang disebut

delinquency (delinquent behavior), dan jika terang-terangan melawan hukum

disebut kriminal (criminal behavior).

Walaupun banyak definisi yang dikemukakan, istilah juvenile

delinquncy belum terdapat keseragaman dalam bahasa Indonesia. Beberapa

istilah yang dikenal antara lain adalah kenakalan anak, kenakalan remaja,

kenakalan pemuda, delikuensi anak, dan tuna sosial. Kesulitan untuk

memberikan istilah juvenile delinquency dihadapi juga di beberapa Negara

Asia dan Negara Timur Jauh. Dalam penelitian, perbandingan hukum tentang

juvenile delinquency yang dibatasi terhadap tujuh negara-negara di Asia dan

Timur Jauh, yaitu Burma, Ceylon, India, Jepang, Pakistan, Philipina, dan

Thailand. Dalam peraturan perundang-undangan negara-negara tersebut tidak

diberikan definisi apa yang dimaksud dengan istilah juvenile delinquency,

tetapi berdasarkan kebiasaan diartikan bukan sebagai orang dewasa. Umur

dari juvenile delinquency serta sifat dari pelanggaran yang dilakukan, oleh

karena berbagai pertimbangan penting diakui sebagai definisi dari juvenile

delinquency. 22

Di .beberapa negara Asia Timur Jauh dalam mengartikan juvenile

delinquency menitikberatkan kepada aspek umur dan sifat dari perbuatan

yang dilakukannya. Dengan demik:ian, pengertian juvenile delinquency

terbatas pada perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh mereka yang

tergolong kepada kelompok kepada young person.

22 United Nation, Comparative on Juvenile Delinquency, Part IV, Asia and The Far East,

14

Task Force on Juvenile Delinquency of the President's Commission on

Law Enforcement and Administration of Justice, 1967, memberikan batasan,

sebagai berikut: Juvenile delinquency, comprises of children alleged to have

commited an offence that if commited by an adult would be a crime. It also

comprises cases of children alleged to have violated specific ordinance or

regulatory law that apply only to children.

Resolusi PBB 40/33 tentang Standard Minimum Rules for the

Administration of Juvenile Justice (SMRJJ) dalamRule 22 menetapkan

babwa: A juvenile a child or young person who, under the respective legal

system, may be delt with for an offince in a manner which is different from an

adult. An offince is any behaviour (act or commission) that is punishable by

law under the respective legal system. A juvenile offinder is a child or young

person who is alleged to have commited or who has been found to have

committed an offence.

Sedangkan dalam konteks pengaturan nonna hukum di Indonesia, Pasal

angka 2 Undang-Undang No. II Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak menyatakan bahwa, "Anak yang berhadapan dengan hukum

adalah .anak. yang berkontlik dengan hukum, anak yang menjadi korban

tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana." Untuk itu,

berpijak pada apa yang telah diuraikan di atas, sebagai pegangan dalam kajian

ini, istilah perilaku delinquent anak dapat dikonsepsikan sebagai seseorang

yang memiliki batas usia antara 12-18 tahun yang melakukan tindak pidana

atau perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan

15

perundang---undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan

berlaku dalam masyarakat.

Hal tersebut sejalan dengan apa yang diuraikan tentang perilaku

delinquent anak sebagai perwujudan criminal offonces dan status offonces.

Criminal offences diartikan sebagai perilaku delinquent anak yang merupakan

tindak pidana jika dilakukan oleh orang dewasa. Adapun status offences,

adalah perilaku delinquent anak yang erat kaitannya dengan statusnya sebagai

anak. Perilaku-perilaku tersebut pada umumnya tidak dikategorikan sebagai

suatu tindak pidana jika dilakukan oleh orang dewasa. Sebagai contoh, pergi

meninggalkan rumah tanpa izin orang tua, membolos sekolah, melawan

terhadap orang tua, mengkonsumsi minuman beralkohol dan lain sebagainya.

Perluasan pengertian delinquency, dengan memasukkan status offonces,

merupakan konsekuensi dari asas parent patriae. Asas yang berarti negara

berhak mengambil alih peran orang tua jika temyata orang tua, wali, atau

pengasuhnya tidak menjalankan perannya sebagai orang tua?3Kenakalan

anak memang diperlukan dalam upaya anak mencari jati diri. Namun, ada

batas-batas yang harus dipatuhi sehingga suatu kenakalan masih relevan

untuk digunakan sebagai wahana menentukan atau mencari identitas diri (self

identification). Jika batas-batas itu dilanggar, maka perbuatan tersebut masuk

ke dalam ranah hukum pidana.

Banyak pakar mengungkapkan bahwa faktor-faktor terjadinya

kenakalan anak karena expectation gap atau tidak ada persesuaian antara cita-

cita dengan sarana yang dapat menunjang tercapainya cita-cita tersebut.

23 Paulus Hadisuprapto, "Pemberian Malu Integratif sebagai Sarana Non-Penal Penanggulangan Perilaku Delinkuensi Anak," Disertasi Doktor, Ilmu Hukum, UNDIP, 2003, him. 30.

16

Secara teoritis upaya penanggulangan masalah kejahatan termasuk perilaku

kenakalan anak sebagai suatu fenomena sosial. Sesungguhnya, titik berat

terarah kepada mengungkapkan faktor-faktor korelasi terhadap gejala

kenakalan anak sebagai faktor kriminogen. Pembahasan masalah tersebut

merupakan ruang lingkup dari pembahasan kriminologi.24

Kriminologi dalam mengkaji objek studinya tentang kejahatan

dipengarubi oleh pemikiranlparadigma klasik, positif, dan pemikiran kritis.

AI iran pemikiran klasik, berpijak dari asumsi bahwa manusia sesungguhnya

memiliki kehendak bebas (free will/free choice). Perilaku manusia

sepenuhnya dipengaruhi oleh akal dan pikirannya (indeterminisme), kejahatan

merupakan basil pilihan bebas seseorang setelah memperhitungkan secara

rasional untung ruginya melakukan kejahatan. Kriminologi dalam konteks

pemikiran ini mengarahkan kajian pada upaya perumusan pola dan pengujian

sistem hukuman yang dipandang paling efektif untuk meminimalkan

teJjadinya kejahatan dalam masyarakat (penologi).

Aliran pemikiran positif, berpijak dari asumsi bahwa manusia tidak

mempunyai kehendak bebas (determinisme), tetapi dipengaruhi oleh faktor-

faktor di luar kontrolnya. Perilaku manusia merupakan wujud dari pengaruh

faktor-faktor tersebut, yaitu faktor biologi, psikis dan sosio-kulturalnya

Kejahatan merupakan perilaku manusia yang dipengaruhi oleh faktor-faktor

fisik, psikis dan sosiokulturalnya. Kajian kriminologi dalam konteks ini

terarah pada k~ian tentang faktor-faktor teJjadinya kejahatan (Etiologi

Kriminal).

24 Kriminologi (teoritis atau mumi) adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya. Lihat Bonger, Pengantar tentang Kriminologi. PT. Pembangunan (Pustaka SaJjana), Tanpa tempat, 1995, him. 19

17

Aliran pemikiran kritis, berpijak dari asumsi bahwa perilaku manusia

tidak hanya ditentukan oleh kondisi-kondisi fisik, psikis, maupun sosio­

kulturalnya, tetapi juga ditentukan oleh peranan individu dalam memaknai,

menafsirkan, menanggapi setelah is berinteraksi dengan kondisi-kondisi

bersangkutan. Kejahatan merupakan keberhasilan masyarakat dalam

memberikan reaksi perbuatan tertentu sebagai kejahatan dan pelakunya

sebagai penjahat. Pemikiran seperti ini mengarah kepada kajian proses yang

mempengaruhi pada pembentukan undang-undang yang menjadikannya

perbuatan tertentu sebagai kejahatan, serta proses bekeijanya hukum pidana.

Proses-proses yang menjadikan perbuatan tertentu dan pelakunya sebagai

penjahat (sosiologi hukum pidana)?5

Dalam masalah delinquency anak, teori-teori kriminologi yang

bertujuan mencari faktor-faktor sebab akibat (faktor etiologi) secara umum

dapat dikelompokan ke dalam dua pendekatan, yaitu, pendekatan psikologis

dan pendekatan sosiologis. Pendekatan psikologis pada dasamya berusaha

mencari jawaban atas pertanyaan: Bagaimana kepribadian seseorang

berinteraksi dengan keadaan lingkungan sehingga menghasilkan tingkah laku

delinquent. Hal ini berkaitan dengan teori-teori motivasi. Pertanyaan tentang

pengalaman-pengalaman apakah pada seseorang akan menimbutkan

kepribadian yang lebih cenderung pada tingkah laku delinquent. Hal ini

berkaitan dengan teori-teori perkembangan kepribadian. Teori-teori dengan

pendekatan psikologis ini banyak dipergunakan dalam menganalisa data

nyata dari studi kasus.

25l.S. Susanto, Kejahatan Korporasi, Badan Penerbit UNDIP, Semarang, 1995, him. 6-13

18

Pendekatan sosiologis pada dasarnya berusaha mencari jawaban atas

pertanyaan: B ilamana kita bandingkan sis! em sosial yang satu dengan yang

lain, maka bagaimanakab dapat diterangkan perbedaan yang ada mengenai

tingkah laku delinquent dalam sistem-sistem sosial tersebut. Teori dengan

pendekatan sosiologis ini banyak dipergunakan dalam menganalisa data nyata

dari studi delinquency anak sebagai gejala sosial (social phenomenon).26

Teori-teori dengan pendekatan sosiologis pada dasamya sangat

menentang pendapat babwa tingkab laku melanggar norma itu disebabkan

oleh "kelainan" atau "kemunduran" biologi atau psikologi dari pelaku. Teori

sosiologis ini berpendapat bahwa tingkab laku melanggar norma dipelajari

sebagaimana tingkab laku lain dipelajari oleh orang normal. Dengan

demikian, tekanannya pada pengetahuan dan pengertian mengenai "proses

belajar" anak delinquent. Dalam pikiran ini, tingkah laku melanggar norma

dipelajari seseorang dari kebudayaan- kebudayaan dengan bentuk-bentuk

tingkah laku yang mendukung pelanggaran norma.

Sebagai bentuk perlindungan terhadap kepentingan anak lebih lanjut

dalam konteks anak yang berhadapan dengan hukum dalam pelaksanaan

proses peradilan pidana, terdapat larangan dan pembatasan untuk melakukan

tindakan sebagai berikut:27 diskriminasi,28 melakukan penyiksaan, 29 dan

menjatuhkan hukuman mati.30 Bahkan negara dibebani kewajiban untuk

26J.E. Sahetapy dan B. Mardjono Reksodiputro, Paradok dalom Kriminologi, Rajawali Press, Jakarta, 1989, hlm.47

27 Ibid, him. 129-130. 28 Pasal 2 ayat (1), Pasal26 29 Pasal 7 30 Pasal 4 ayat (2), Pasal 6 ayat ( 1-6)

19

melakukan tindakan-tindakan berikut: memperlakukan secara manusiaw~31

menyamakan kedudukan di muka hukum,32 menerapkan asas praduga tidak

bersalah, 33 menjamin proses peradilan pidana yang efektif dan imparsial/4

dan menerapkan asas retroaktie5Ketentuan-ketentuan ini dapat dielaborasi

dan diinterprestasikan dengan merujuk pada ketentuan Hukum Hak Asasi

Manusia Internasional lain guna melihat kewajiban negara lebih jauh dalam

menghargai, melindungi, dan memenuhi hak asasi seseorang yang tengah

menghadapi proses hukum.

Rangkaian proses hukum bagi orang yang dituduh melakukan tindak

pidana akan rnelalui tahapan penyelidikan, tahapan penyidikan, tahapan

penuntutan, tahapan persidangan, dan tahapan menjalani eksekusi. Instrumen

tersebut termanifestasi dalam perangkat hukum pidana. Padahal negara secara

defmitif berpotensi melakukan pelanggaran hak asasi manusia, oleh karena

itu dapat pula dikatakan keseluruhan rangkaian tersebut berpotensi pula

melanggar hak asasi manusia.36

Konteks anak yang berhadapan dengan hukum, patut untuk dihindari

dari proses pemidanaan yang konvensional. Pendekatan lain dalam proses

penyelesaian anak yang berhadap dengan hukum dapat dilakukan atas dasar

pertimbangan perlindungan terhadap kepentingan dan hak anak.Semua negara

di dunia menganggap persoalan perlindungan terhadap anak pelaku tindak

pidana merupakan hal yang penting karena anak merupakan generasi penerus

31 Pasal 10 ayat (I) 32 Pasal 14 ayat (I) 33 Pasal 14 ayat (2) 34 Pasal 14 35 Pasal 15 36 Samuel Gultom, Mengadili Korban : Praktek Pembenaran Terhadap Kekerasan Negara,

Jakarta, Elsam, 2003, hlm. 7-8

20

bangsa dimasa depan. Oleh karena itu negara-negara di dunia berpikir untuk

mencari bentuk alternatif penyelesaian yang terbaik untuk anak. Secara

internasional, telah lahir konvensi internasional yang mengatur pelaksanakan

peradilan anak dan menjadi standar perlakuan terhadap anak yang berada

dalam sistem peradilan pidana

Berkaitan dengan hal tersebut, maka ada satu model penyelesaian

perkara pidana anak tanpa harus melalui proses peradilan, sebagaimana yang

terdapat dalam Rule. II The Beijing Rules yang berbunyi :

11.1 Consideration shall be given, wherever appropriate, to dealing with juvenile offenders without resorting to formal trial by the competent authority, referred to in rule 14.1 below; (Terjemahan bebas: Pertimbangan harus diberikan kapan saja diperlukan untuk menangani anak tanpa harus menyerahkannya pada pengadilan formal oleh lembaga yang betwenang, seperti yang diatur dalam aturan 14.1 dibawah).

11.2 The police, the prosecution or other agencies dealing with juvenile cases shall be empowered to dispose of such cases, at their discretion, without recourse to formal hearings, in accordance with the criteria laid down for that purpose in the respective legal system and also in accordance with the principles contained in these Rules; (Teijemahan bebas: Pihak kepolisian, kejaksaan atau lembaga-lembaga lain yang menangani tindak pidana yang dilakukan oleh anak harus diberikan wewenang untuk menyelesaikan perkara-perkara tersebut atas dasar keputusan yang mereka ambit tanpa harus menyerahkannya kepada persidangan formal sesuai dengan kriteria yang diberikan untuk tujuan tersebut dalam sistem hukum masing-masing serta sesuai dengan prinsip-prinsip yang termuat dalam Aturan ini).

11.3 Any diversion involving referral to appropriate community or other services shall require the consent of the juvenile, or her or his parents or guardian, provided that such decision to refer a case shall be subject to review by a competent authority, upon application; {Teijemahan bebas: Setiap pengalihan yang berupa rujukan kepada layanan mayarakat yang tepa! dan layanan lainnya harus mendapatkan persetujuan dari anak tersebut, atau orangtua atau pengasuhnya, dengan syarat bahwa pada saat dilaksanakan, keputusan itu bisa ditinjau kembali oleh pejabat yang betwenang).

11.4 In order to facilitate the discretionary disposition of juvenile cases, efforts shall be made to provide for community programmes, such as temporary supervision and guidance, restitution, and compensation of victims.

21

(Teijemahan bebas: Dalam rangka memfasilitasi kebijakan melepaskan anak, harus dilakukan upaya-upaya untuk melengkapi program-program masyarakat, seperti pengawasan dan bimbingan sementara, ganti rugi dan kompensasi bagi para korban).

Atas dasar ketentuan tersebut, Indonesia telah melakukan upaya

memberikan perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum

antara lain dengan meratifikasi dan mengundangkan konvensi intemasional

tentang hak anak yaitu Convention on the Rights of the Child (Konvensi Hak

Anak) sebagai Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, dan lebih lanjut

melengkapinya dengan mengesahkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002

tentang Perlindungan Anak (dan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002), serta

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

ManusiaKetentuan tersebut antara lain memberikan perlindungan terhadap

anak yaitu hak untuk mendapatkan perlindungan dari tindakan kekerasan, hak

memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum, tindakan penahanan

merupakan upaya terakhir, hak mendapatkan bantuan hukum, hak anak untuk

tidak dihukum mali dan hukuman seumur hidup.

Berbagai ketentuan secara normatif sebagai mana dijelaskan diatas

terkait dengan perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum

pada tataran pelaksanaan peradilan pidana saat ini masih belum memberikan

perlindungan terhadap anak pelaku tindak pidana secara maksimal, antara lain

adanya tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat hukum dalam

menangani kasus anak, belum adanya upaya untuk mengalihkan penyelesaian

secara informal yang memperhatikan kepentingan semua pihak-pihak yang

terlibat dalam proses penyelesaian tindak pidana. Bentuk pelaksanaan

22

perlindungan dilakukan berdasarkan kebijakan aparat penegak hukum dengan

mempertimbangkan prinsip kepentingan terbaik untuk anak (the best interest

of the child).31 Tindakan perlindungan yang dilakukan bertujuan untuk

menghindarkan anak dari proses penahanan, dan implikasi negatif dari proses

peradilan pidana. Institusi kepolisian merupakan institusi negara yang

pertama kali melakukan intervensi terhadap anak yang berkonflik dengan

hukum. Penangkapan, penahanan, penyelidikan, dan penyidikan merupakan

kewenangan kepolisian untuk menegakkan sistem peradilan pidana anak.

Bentuk konkrit dari perlindungan terhadap anak yang berhadap

dengan masalah hukum karena melakukan tindak pidana dalam ketentuan

Pasal 5 ayat (I) Undang-Undang Nomor I I Tahun 20I2 yang menyebutkan

bahwa "Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan

keadilan restoratif'. Keadilan restoratif (restorative justice)merupakan usaha

untuk mencari penyelesaian konflik secara damai di luar pengadilan. Khusus

untuk anak yang bermasalah dengan hukum, restorative justice penting untuk

diterapkan karena faktor psikologi anak harus diperhatikan. Terdapat empat

kriteria kasus anak yang bermasalah dengan hukum yang dapat diselesaikan

dengan model restorative justice. Pertama, kasus itu tidak mengorbankan

kepentingan umum dan bukan pelanggaran lalu lintas. Kedua, anak itu baru

pertama kali melakukan kenakalan dan bukan residivis. Ketiga, kasus itu

bukan kasus yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, luka berat, atau

cacat seumur hidup; dan keempat, kasus tersebut bukan merupakan kejahatan

kesusilaan yang serius yang menyangkut kehormatan.38

37 Yoram Dinstein, Loc. Cit. 38 Manheim, Herman, Comperative Criminology, Boston New York,, 1985, him. 56-57.

23

Secara fungsional, pendekatan restorative justice dalam sistem peradilan

pidana memiliki kekuatan yang mampu memulihkan hubungan antar pihak

yang menjadi pelaku dan yang menjadi korban.J uga mencegah adanya

permusuhan lebih mendalam antar pihak dan mendorong rekonsiliasi antara

pihak pelaku dan korban secara sukarela. Kekuatan lain ialah mendorong

adanya partisipasi warga masyarakat lainnya misalnya anggota keluarga atau

tetangga, serta menekankan pentingnya peran korban dalam suatu proses

menuju keadilan.39 Dalam konteks inilah korban dan masyarakat dapat secara

leluasa memainkan peranan penting dalam menyelesaikan konflik dengan

pelaku, serta mengembalikan harmonisasi pasca teijadinya kejahatan.

Pengimplementasian dari paradigma restorative justice ini, maka

dibentuklah sistem yang akan memulihkan pelaku, korban, dan pihak-pihak

terkait, yang akan menyelesaikan masalah konflik anak berhadapan dengan

hukum diluar sistem pengadilan (non litigasi), yaitu melalui diversi. Pasal 5

ayat (3)UU Nomor II Tahun 2012 menyebutkan bahwa: Dalam Sistem

Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan

huruf b wajib diupayakan diversi.Lebih lanjut proses diversi sendiri, menurut

Pasal 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012, bertujuan untuk: a)

mencapai perdamaian antara korban dan anak; b) menyelesaikan perkara anak

di luar proses peradilan; c) menghindarkan anak dari perampasan

kemerdekaan; d) mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan e)

menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak. Oleh karena itu, pada tingkat

39 Siswanto Sunarso, Viktimologi Dalam Sis/em Peradilan Pidona, Jakarta, Sinar Grnfika, 2012, hlm.l57

24

penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri,

wajib diupayakan diversi

Dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang Undang No 11 Tahun 2012

tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur tentang diversi yang

dinyatakan, "Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara

Anak di pengadilan negeri wajib diupayakan Diversi." Sedangkan dalam ayat

(2}, "Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam hal

tindak pidana yang dilakukan: a. diancam dengan pidana penjara di bawah 7

(tujuh) tahun; dan b. bukan merupakan pengulangan tindak pidana.

Lebih lanjut Pasal 8 ayat (1) Undang Undang No 11 Tahun 2012

tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur, "Proses diversi dilakukan

melalui musyawarah dengan melibatkan anak dan orang tua/walinya, korban

dan!atau orang tua/walinya, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial

professional berdasarkan pendekatan keadilan restoratif." Sedangkan ayat (2),

"Selanjutnya proses diversi yang dilakukan wajib memperhatikan:

kepentingan korban; kesejahteraan dan tanggung jawab anak; penghindaran

stigma negatif; penghindaran pembalasan; keharmonisan anak; dan kepatutan,

kesusilaan, dan ketertiban umurn."

Namun konsep diversi ini. kerap tidak berhasil dilakukan baik pada

tingkat polisi maupun di tingkat penuntutan.Ketidakberhasilan konsep diversi

ini disebabkan ada beberapa faktor, terutama faktor yang terkait dengan

pemahaman aparat penegak hukurn terhadap konsep diversi itu

sendiri.Kemudian dalam tataran pelaksanaannya belurn ada acuan secara

praktis mengenai format dan mekanisme musyawarah yang dilakukan antara

25

para pihak. Selain itu, pihak yang bertanggung jawab dalam penyelesaian

melalui musyawarah ini belum dipabami oleh aparat penegak hukum,

sehingga ketentuan terkait dengan kewajiban diversi ini belum terlaksana

secara efektif untuk melindungi hak anak.

Permasalaban lainnya dari konsep diversi ini adalah batasan syarat

untuk dapat menerapkan diversi hanya untuk tindak pidana yang dilakukan

oleh anak diancam dengan pidana penjara di bawab 7 (tujuh) tabun dan bukan

merupakan pengulangan tindak pidana.Padabal ada kemungkinan anak yang

melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 7 (tujuh tabun) atau

diatas 7 (tujuh tabun) juga hams diberikan ruang bermusyawarah dengan

pendekatan keadilan restoratif.Untuk itu perlu diberikan mekanisme

membuka forum yang dapat memulihkan pelaku, korban, dan

mayarakatdalam proses persidangan (litigasi) untuk mengetahui kemauan dari

para pihak. Hal ini akan menjadi pertimbangan hakim untuk memberikan

putusan yang dapat mencerminkan keadilan yang memulihkan bagi seluruh

pihak.

Pelaksanaan Diversi lebih lanjut diatur dalam Peraturan Mahkmab

Agung No. 4 Tabun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam

Sistem Peradilan Pidana Anak. Dalam Pasal 3 mewajibkan hakim melakukan

musyawarab diversi terhadap dakwaan yang ancaman hukumannya dibawab

7 (tujuh) tabun atau diatas 7 (tujuh) tabun (dakwaan altematif, subsideritas,

dan komulatif). Akan tetapi pengaturan dalam Peraturan Pemerintab No. 65

Tahun 2015 pada Pasal 3 hanya mewajibkan diversi terhadap ancaman

dibawab 7 (tujuh) tabun. Perbedaan substansi pengaturan dari kedua

26

pengaturan itu telah menimbulkan multi tafsir dan dualisme pelaksanaan oleh

Aparat Penegak Hukum khususnya hakim. Selain itu, Jaksa Agung telah

mengirim sura! kepada Ketua Mahkamah Agung untuk melakukan

peninjauan kembali terhadap Perma Nomor 4 Tahun 2014. Namun, sampai

saat ini Mahkamah Agung berpandangan bahwa Perma No. 4 Tahun 2014

tetap harus mengatur untuk melindungi hak anak bukan hanya yang didakwa

dibawah 7 (tujuh) tahun, tapi juga anak yang didakwa 7 (tujuh) tahun atau

keatas karena dakwaannya bukan dakwaan tunggal saja yang dilimpahkan ke

pengadilan.

Disamping hal tersebut, dalam ketentuan Pasal 69 ayat (2) Undang­

Undang No. II Tahun 20I2 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mengatur

bahwa, "Anak yang belum berusia 14 (empat belas) tahun hanya dapat

dikenai tindakan", atau dalam kata lain pelaku Anak yang berusia 12 (dua

belas) sampai dengan dibawah 14 (empat belas) tahun tidak dapat dijatuhi

pidana penjara. Permasalahannya Anak tersebut yang melakukan kejahatan

yang diancam 7 (tujuh) tahun atau ke atas tidak dapat dilakukan diversi,

sehingga hanya melalui hukum acara pidana formal. Jadi beium ada prosedur

yang mengakomodir pemulihan bagi hak korban Anak dan masyarakat, maka

terdapatlah kekosongan mekanisme hukum. Padahal ruang lingkup ABH

sebagaimana diatur dalam Pasal I ayat (2), bukan saja melindungi pelaku,

namun juga termasuk korban dan saksi anak.

Berdasarkan fenomena yang teljadi di dunia, salah satu mekanisme

yang dikenal untuk menyelesaikan perkara pidana anak adalah mediasi penal.

Mediasi penal merupakan salah satu bentuk altematif penyelesaian sengketa

27

di luar pengadilan yang biasa dikenal dengan istilah ADR (Alternative

Dispute Resolution). Meskipun ADR pada umumnya digunakan di

lingkungan kasus-kasus perdata, tidak untuk kasus-kasus pidana. Juga

berdasarkan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia saat ini (hukum

positif), pada prinsipnya kasus pidana tidak dapat diselesaikan di luar

pengadilan, Namun, dalam hal-hal tertentu, dimungkinkan adanya

penyelesaian kasus pidana di luar pengadilan sebagaimana pengaturan diversi

dalam sistem peradilan pidana anak yang mengedepankan keadilan restoratif

melalui musyawarah.

Namun yang menjadi Permasalahan di Indonesia adalah konsep

mediasi penal tersebut belurn diatur secara formal dalam ketentuan hukurn

acara pidana, bahkan secara khusus belum diatur juga dalam Undang-Undang

Perlindungan Anak, maupun Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Untuk itu menarik untuk dikaji urgensi dan pelaksanaan mediasi penal

terhadap penyelesaian kasus anak yang berhadapan dengan hukum dalam

konteks sistem peradilan pidana anak di Indonesia. Sebab dalam tataran

pelaksanaannya, terutama pada tingkat pengadilan belum ada suatu model

yang ideal dan mengikat para aparat enegak hukum (penyidik, penuntut

umum atau hakim) untuk penyelesaian kasus anak yang berhadapan dengan

hukum melalui mediasi. Oleh karena itu peneliti memilih judul kajian:

"Mediasi Penal Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia".

28

B. Rumusao Masalah

Berdasarkan urain dari latar belakang masalah tersebut di atas dapat

diidentifikasi beberapa permasalahan yang hendak dikaji lebih lanjut dalam

disertasi ini adalah sebagai berikut:

l. Bagaimana konsep mediasi penal dalam sistem peradilan pidana anak di

Indonesia?

2. Bagaimana pengaturan proses mediasi penal dalam sistem peradilan

pidana anak di Indonesia?

C. Tujuao Peoelitiao

Berdasarkan identifikasi masalah tersebut di atas, maka tujuan

peneitian ini adalah:

I. Mengkaji konsep mediasi penal dalam sistem peradilan pidana anak di

Indonesia.

2. Mengkaj i pengaturan proses mediasi penal dalam sistem peradilan pi dana

anak di Indonesia.

D. Kegunaao Peoeiitiao

Penelitian ioi diharapkan dapat memberikan konstribusi baik secara

teoritis maupun praktik sebagai berikut:

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi kontribusi

pemikiran dalam memperkaya khazanah pengembangan ilmu hokum,

khususnya bagi pengembangan ilmu hokum pidana yang terkait dengan

penerapan mediasi penal dalam sistem peradilan pidana anak.

29

2. Sementara itu, kegunaan secara praktis, penelitian ini diharapkan

memberikan kontribusi pemikiran dan langkah-Iangkah praktis kepada

pihak yang terlibat, khususnya Polisi, Jaksa, dan Hakim, sebagai aparat

penegak hukum dalam menangani perkara pidana anak yang berhadapan

dengan hukum agar lebih mengedepankan pendekatan keadilan restoratif,

atau keadilan yang proporsional dan profesional untuk tercipta kepastian

hukum dan keadilan yang memulihkan secara seimbang bagi para pihak.

E. Kerangka Pemikiran

Grand Range Theorydalam penulisan disertasi ini menggunakan Teori

Keadilan. Dalam The Encyclopedia Americana, pengertian keadilan adalah

(a) "the cotestant and perpetual disposition to render every man his due"

(kecenderungan yang tetap dan kekal untuk memberikan kepada setiap orang

haknya); (b) "the end of civil society" (tujuan dari masyarakat, man usia); (c)

"the righ to obtain a hearing and decision by a court which is free of

prejudice and improper influence" (hak memperoleh suatu pemeriksaan dan

keputusan oleh badan pengadilan yang bebas dari prasangka dan pengaruh

yang tak selayaknya); (d) "all recognized equitable rights as well as technical

legal right" (semua"hak wajar yang diakui maupun hak-hak menurut hukum

dalam arti teknis); (e) "the dictate of right according to the consent of

mankind generally" (suatu kebenaran menurut persetujuan dari umat manusia

pada umumnya); (f) "conformity with the principles of integrity, restitude,

30

and just dealing" (persesuaian dengan asas-asas keutuhan watak, kejujuran,

dan perlakuan adi1)40

Keadilan adalah penghargaan terhadap setiap orang menurut harkat

dan martabatnya sebagai pribadi dan dalam hubungannya dengan segala

sesuatu yang ada di luar pribadinya.Secara analitis, keadilan dapat dibagi

dalam komponen prosedural dan substantif, atau keadilan formil dan keadilan

materiiL Komponen prosedural atau keadilan formil, berhubungan dengan

gaya suatu sistem hukum; seperti "rule of law " dan negara hukum

(rechsstaat), sedangkan komponen substantif atau keadilan materiil

menyangkut hak-hak sosial, yang menandai penataan politik, ekonomi di

dalam masyarakat. 41

Hakim dapat memainkan peranan yang besar dalam mempertegas dan

memberlakukan rasa keadilan itu, sebagaimana yang dapat dia cerminkan

dalam keputusan-keputusan pengadilan. Rasa keadilan yang merata adalah

soko guru dari konsep the rule of law. Sebaliknya jika terdapat kesenjangan

yang berarti antara rasa keadilan yang hidup dalam diri hakirn dan rasa

keadilan masyarakat, terdapat juga risiko bahwa kepercayaan masyarakat

kepada hakim berkurang. Semakin besar kesenjangan antara rasa keadilan

hakim dan rasa - keadilan masyarakat,. semakin besar juga tingkat

ketidakperdulianmasyarakat terhadap hukum, dan juga sumber dari

berkembangnya kebiasaan untuk main hakim sendiri yang pada akhimya akan

bermuara dalam anarki. Prinsip fundamental keadilan adalah pengakuan

40 The Liang Gie, Teori-teori Keadi/an, Sumbangan Bahan untuk Pemahaman Pancasila, Yogyakarta: Super, 1979, hlm. 17-18

41 Mulyana W. Kusumah, Hukum dan Hak-hak Asasi Manusia, Suatu Pemahaman Kritis, Bandung: Alumni, 1981, him. 53-54

31

bahwa semua manusia memiliki martabat yang sama, dengan hak-hak dan

kewaj iban-kewaj iban fundamental yang sama, tanpa dibeda-bedakan atas

jenis kelamin, wama kulit, suku, agama, atau status sosialnya

Cara menegakkan hukum dan keadilan selengkapnya telah ditentukan

pedoman tata cara pelaksanaan dan asas-asas prinsip hukumnya dalam

KUHP, Undang-undang Nomor II Tahun 2012 dan peraturan lain yang

menyangkut Hukum Acara Pidana. Arti dari peradilan yang adil adalah lebih

jauh dari sekedar penerapan hukum atau perundang-undangan secara formal.

Dalam pengertian peradilan yang adil ini terkandung penghargaan akan hak

kemerdekaan seseorang warga negara. Meskipun seorang warga negara

adalah telah melakukan suatu perbuatan yang terce Ia ( dalam hal ini tindak

pidana), hak-haknya sebagai warga negara tidaklah sama sekali hapus/hilang.

Peradilan yang adil "due proces of law" dalam pengertian yang benar,

berintikan perlindungan terhadap kebebasan warga negara, adalah tonggak

utama sistem peradilan pidana dalam negara hukum42• Peradilan yang adil

mencakup sekurang-kurangnya:(a) perlindungan terhadap tindakan

sewenang-wenang dari pejabat negara; (b) bahwa pengadilanlah yang berhak

menentukan salah tidaknya terdakwa; (c) bahwa sidang pengadilan harus

terbuka (tidak boJeh bersifatrahasia.kecuali sidang anak dan sidang tentang

kesusilaan); (d) bahwa tersangka atau terdakwa harus diberikan jaminan-

jaminan untuk dapat membela diri sepenuh-penuhnya.43

Sedangkan Middle Range Theory yang digunakan adalah teori Tujuan

Pemidanaan.Ketika berbicara keadilan dan ditemukan di dalamnya adanya

42 Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia do/am Sistem Peradilan Pidana. Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian UI, 1994, him. 32-33

43 Ibid, him. 37

32

prinsip restoratif yang mengembalikan keadaan dari tidak adil menjadi adil,

maka jelas apa yang diungkapkan M. Arief Amrullah dalam konsep hukum

pidana yang berorientasi pada perbuatan pidana, pelaku dan korban (Daad

Daader Slachto.ffer Stra.frecht) itu sangat penting untuk memastikan sistem

hukum pidana yang adil. Untuk itu, dalam konsep yang diajukan ini

memasukan sistem restorative justice yang di dalamnya memastikan setiap

pengembalian harus mendapat reward yang setimpal yaitu berupa

pengurangan langsung pada beban sanksi pidananya.

Sebelumnya penulis hendak mengingatkan kembali, bahwa walaupun

sistem dengan nama Restorative Justice ini muncul sebagai turunan dari teori

utilitarisme dan tujuan pemidanaan relatif Bentham, fakta sejarah

meperlihatkan bahwa sistem pidana yang berprinsip yang sama dengan sistem

Restorative Justice sudah lama ada dan diterapkan pada sistemsistem yang

pada prinsipnya adalah sistem tujuan pemidanaan retributif.

Paling tidak pada saat Aristoteles prinsip yang melandasi Restorative

Justice sudah ada.Di sini penulis mengajukan suatu konsep yang bersifat

majemuk terhadap konsep tujuan pemidanaan yang mengabungkan sistem

Restorative Justice sebagai konsep pemikiran Guga mewakili kubu teori

relatif-Bentham) dengan teori .tujuan pemidanaan retributif dengan poin-poin

pemikiran sebagai berikut:

a. Semua tindak pidana pada akhimya merupakan kerugian negara (atau masyarakat);

b. Korban menitipkan kerugian yang teijadi oleh tindak kejahatan kepada negara dalam bentuk pelaporan untuk diproses walaupun belum tentu dalam prosesnya nanti kerugian ini dikembalikan utuh kepada korban;

c. Tanggung jawab terhadap perbuatan pi dana jatuh pada pelakunya sehingga tentang mengapa pelaku dijatuhi hukuman pidana adalah

33

menggunakan teori retributif: pemidanaan ada karena perbuatannya sendiri- dari Teori kebebasan berkehendak;

d. Tujuan pemidanaan secara teori gabungan harus bisa menerima bahwa tujuan pemidanaan adalah: secara primer sebagai bentuk pertanggungjawaban pelaku terhadap kerugian atau hutangnya pada negara atau masyarakat, dan secara sekunder sebagai alasan tindakan prefensi (atau preventif) agar kejahatan yang sama tidak terjadi kembali; baik oleh pelakunya kembali (Special Deterren) atau orang-orang lain (General Deterrent)atausecara keseluruhan secara sekunder sebagai alasan preventif dan deteren;

e. Sedang perlakuan proses pemidanaan harus menggunakan teori relatif yang bertujuan merehabilitasi yang 'mengusahakan' terpidana bisa kembali lagi ke masyarakat; dan dalam kondisi yang terestorasi (Expiation Theory- penebusan dosa);

f. Disini pelaku tindak pidana dinyatakan sebagai orang berhutang pada negara yang ditimbulkan dari suatu perbuatan yang tercela;

g. Hutang dan karena timbulnya hutang tersebut adalah perbuatan yang tercela sehingga memberi hak pada negara untuk mencabut hak-hak dalam hidupnya terutama kemerdekaannya, hal ini juga perlu karena ketika dalam terjepit hutang seperti demikian; manusia sering terdorong untuk melakukan kejahatan lain sebagai upaya singkat menyelesaikan masalah hutangnya (sebagai alasan sesuai teori Social Defence);

Dengan teori Restorative Justice sistem pidana (konsep baru: konsep

penulis) mengutamakan upaya pengembalian kerugian yang tercipta;

a. Dalam sistem ini, masyarakat diikat dalam suatu kontrak sosial yang menyatakan jika seseorang berbuat tindak pidana sehingga menciptakan kerugian ekonomis dan sosial pada negara dan oleh karena itu memberikan wewenang pada negara untuk mencabut hak­hak dasarnya sampai terbayamya hutang yang tersisa;

b. Berbeda dengan Bentham yang mengungkapkan ide pemidanaan sebagai pembebanan pada negara, penulis berpendapat untuk merestorasi pelaku harus mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan yang berlaku di Juai: seperti. hak untuk bekerja dan dipekerjakan sehingga 'berguna', disini pemidanaan disamakan sebagai terikat kontrak kerja dengan syarat pencabutan beberapa hak dasar;

c. Jadi supaya adil, jumlah hutang yang tersisa dan penjatuhan lama pemidanaan harus memiliki korelasi bergaris lurus;

d. Suatu sistem Restorative Justice yang memastikan keuntungan pelaku atau terpidana untuk mengembalikan kerugian korban secara langsung karena lebih menguntungkan daripada opsi pidananya.

Adapun Applied Theory dalam penelitian disertasi ini adalah mediasi

penal sebagai altematif penyelesaian perkara pidana anak.Mediasi penal

34

merupakan alternatif penyelesaian konflik antara pelaku dan korban tindak

pidana yang diharapkan dapat mengembalikan keseimbangan kepentingan

terutama korban yang telab dirugikan akibat perbuatan pelaku tindak pidana.

Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Altematif

Penyelesaian Sengketa mengatur adanya mediasi narnun tidak mengatur

untuk diterapkan pada perkara pidana. 44

Terdapat beberapa alasan penggunaan mediasi pidana dapat

diterapkan dalarn sistem hukum pidana Indonesia. Per.arna, penyelesaian

perkara pidana melalui mekanisme penegakan hukum, menimbulkan

penumpukan perkara yang belum dapat diselesaikan, baik di tingkat

penyidikan, penuntutan dan peradilan.

Adapun gagasan yang dimunculkan adalab Community Corrections

sebagai bagian dari pendekatan treatment. 45Kedua, me ski pun upaya

penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagai alternatif penyelesaian

perkara pidana, pada kasus-kasus pidana di Indonesia tidak dikenal, namun

menurut Barda Nawawi Arief,46 untuk perkara-perkara tertentu penyelesaian

perkara pidana berdasarkan perundang-undangan hukum pidana yang berlaku

saat ini dapat diselesaikan di luar pengadilan, antara lain sebagaimana diatur

dalarn KUHP: ..

44 Barda Nawawi Arief, Aspek Kebijakan Mediasi Penal dalam Penye/esaian Sengketa di Luar Pengadilan. Makalah, Seminar Nasoinal Pertanggungjawaban Hukum Korporasi dalam Konteks Good Corporate Governance, Program Doktor llmu Hukum Universitas Diponegoro, Jakarta: Inter Continental Hotel, 27 Maret 2007, him. 1-2

"Etta Morgan-Sharp dan Robert T. Sigler, "Sentencing into the Twenty-First Century: Sentence Enhancement and Life Without Parole", dalam Roslyn Muraskin dan Albert R Roberts, Visions for Change: Crime and Justice in The Twenty-First Century, New jersey: Prentice-Hall, I 996, him. 238

"i!arda Nawawi Arief, "Mediasi Pidana (Penal Mediation) dalam Penyelesaian Sengketa/ Masalah Perbankan Beraspek Pidana di Luar Pengadilan", dalam Paulus Hadisuprapto, el al., Kapil a SelekJa Hukum: Menyambut Dies Nata/is Ke-50 Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 2007, hlm.B-14

35

"Dalam hal delik yang dilakukan berupa pelanggaran yang hanya diancam dengan pidana denda. Menurut Pasal 82 KUHP, kewenanganlhak menuntut delik pelanggaran itu hapus, apabila terdakwa telah membayar denda maksimum untuk delik pelanggaran itu dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan kalau penuntutan telah dilakukan. Ketentuan dalam Pasal 82 KUHP ini dikenal dengan istilah "ciflwop" atau "pembayaran denda damai" yang merupakan salah satu alasan penghapusan pi dana."

Selain itu untuk tindak pidana yang dilakukan oleh anak dapat pula

dilakukan penyelesaian di luar pengadilan, yaitu sebagaimana diatur dalam

ketentuan Pasal 5 yang menyatakan:47

I. Sistem peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan keadilan restoratif

2. Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (I) meliputi: a. Penyidikan dan penuntutan pidana anak yang dilaksanakan sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini

b. Pesidangan anak yang dilakukan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum;

c. Pembinaan, pembimbingan, pengawasan, dan!atau pendampingan selama proses pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelah menjalani pidana atau tindakan.

3. Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hurufa dan hurufb wajib diupayakan diversi Selanjutnya dalam Pasal6 mengatur tentang diversi yang bertujuan:

a. Mencapai perdamaian antara korban dan anak; b. Menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan; c. Menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan;

. d. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; e. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.

Ketiga, mediasi pidana dalam praktek penegakan hukum banyak

dilakukan terutama dalam delik aduan. Praktek mediasi yang dilakukan

dengan melibatkan kepolisian ini dapat dibenarkan oleh Roeslan Saleh, yang

41ibid

36

menyatakan:48

"Tidak semua perbuatan yang telab sampai pada pihak kepolisian diteruskan ke Jaksa atau Pengadilan ... banyak hal diselesaikan menggunakan perantara polisi ... penyelesaian yang demikian banyak pula faedahnya ... maka sesuatu yang tidak begitu perlu untuk diperkarakan akan dapat diatasi dan konflik-konflik akan dapat dilenyapkan dengan sempurna."

Upaya penanggulangan kenakalan anak paling "trep" bila dilandasi

pemahaman yang memadai tentang faktor-faktor korelasional kriminogen

perilaku kenakalan anak. Banyak teori ditawarkan dalam upaya memabami

sebab-sebab teijadinya perilaku kenakalan anak, dalam kesempatan ini hanya

dikemukakan salab satu saja, teori yang mengetengabkan sebab teijadinya

perilaku kenakalan anak. Teori Kontrol Sosial dari Travis Hirschi, teori ini

cukup populer sehingga banyak pakar kriminologi anak menggunakan teori

ini sebagai pisau analisis, gejala kenakalan anak di dalam berbagai konteks

masyarakat di mana pakar kriminologi itu berkarya.

Hirchi melandaskan pada pertanyaan yang berbeda dalam

mengetengahkan penjelasan mengapa anak-anak terlibat kenakalan. Pakar

kriminologi anak pada lazimnya berangkat dari pertanyaan dasar, "mengapa

seorang anak melakukan kejabatan?", sementara Hirchi berangkat dari

pertanyaan dasar, "mengapa seseorang anak patuh norma?". Pijakan dasar

bukan pada "perilaku penyimpangan anak", melainkan pada "kepatuhan anak

pada norma". Kajian-kl\iian lalu berkembang dan terfokus pada variabel-

variabel yang melatarbelakangi kepatuhan anak pada norma, yang disebutnya

"Ikatan Sosial" (Social Bound). Formula Hirchi, "semakin anak terikat

dengan masyarakatnya, kecil kecenderungannya terlibat kenakalan,

48 Roeslan Saleh, Suatu Reorientasi da/am Hukum Pidana, Jakarta: Aksara Baru, 1983, him. 34

37

sebaliknya bila ikatan anak dengan masyarakatnya lemah atau terputus, maka

anak akan bebas melakukan kenakalan".

Pintu masuk seorang anak menjadi perilaku kenakalan adalah lemah

atau terputusnya ikatan sosial anak (attachment, commitment, involvement

dan beliefs) maka tinggi kecenderungan anak untuk tidak patuh nonna

melakukan kenakalan. Pintu pertama, bila kemudian ditanggapi secara tak

proporsional, dan melahirkan stigma, maka besar kemungkinan anak

mengulangi lagi perbuatan kenakalannya di masyarakat pada masa datang

"self folfiling process" anak berusaha menyesuaikan "gelar'' yang

diterimanya sebagai akibat disproporsionalitas perlakuan yang diterimanya

dalam masyarakat ( dapat juga dilahirkan oleh perangkat penegak hukum

lewat sistem peradilan pidana Proses pengidentiftkasian anak sesuai gelar

barunya (pelaku kenakalan) seeing disebut sebagai "secondary deviance".

Konstatasi ini bila kemudian dikaitkan dengan penanganan Raju

dalam hal tertentu akan menjadikan pribadi Raju terkoyak dan

mengidentifikasikan dirinya seperti perlakuan yang dialami Raju dalam

proses peradilan pidana selama ini. Hal inilah yang rasanya perlu diperhatikan

dan memperoleh perhatian sebagai salah satu upaya perlindungan hukum

anak-anak yang bennasalah dengan hukum dalam hal ini sebagai pelaku

kenakalan anak. 49

49 Paulus Hadisuprapto, Peradi/an Resloratif Model Alternatif Perlindungan Hukum Anak do/am Perspeklif Hulatm Nasional dan lnternasional,(makalah) disampaikan dalam pembahasan mengenai peradllan restoratif justice di Indonesia, Semarang: FH Universitas Diponegoro, 2000, hlm.4

38

F. Metodologi Penelitian

Metode penelitian hukurn pada dasamya adalah suatu proses

sistematis dan terencana untuk menemukan aturan-aturan hukum, prinsip-

prinsip hukum, serta doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang

dibadapi secara konstektual. Penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan

argumentasi secara rasional, teori atau konsep baru sebagai prekripsi dalam

menyelesaikan masalah yang dihadapi. 50

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah,

metode pendekatan yuridis-normatif, yaitu metode dalam hukum normatif

dengan mempelajari dan mengkaji asas-asas hukum khususnya kaidah-kaidah

hukum positif yang berasal dari bahan-bahan kepustakaan yang ada, dari

peraturan perundang-undangan serta ketentuan-ketentuan hukum terutama

yang berkaitan dengan pelaksanaan Mediasi Penal Dalam Sistem Peradilan

Pidana Anak Di Indonesia.

Pada prinsipnya penelitian dengan pendekatan yuridis normative ini

sumber utama yang digunakan adalah data sekunder atau bahan pustaka.51

Data sekunder dimaksud meliputi bahan ·hukum primer, bahan hukurn

sekunder dan bahan hukum tertier. Dengan demikian penelitian ini juga

merupakan upaya untuk menemukanhukum in concreto yang bertujuan untuk

menemukan hukum yang sesuai dan yang akan diterapkan dalam suatu

permasalahan tertentu, 52 terutama yang berkaitan dengan aspek penyelesaian

Mediasi Penal Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Di Indonesia. Sarna

50 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Predana Media, Jakarta, 2005, him. 35 51 Soerjono Sukanto, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo

Persada, Jakarta, 1995, him. 13 52Ronny HaniUjo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Juri Metri, Ghalia

Indonesia, Jakarta, 1990, him. 22.

39

halnya dengan penelitian hukum terapan. Menurut Bagir Manan, penelitian

hukum terapan adalah suatu penelitian yang bertujuan untuk menjawab

masalah hukum atau yang berkaitan dengan hukum dalam suatu keadaan

yang konkrit. Lapangan penelitian terapan di bidang hukum yang dipilih

adalah penelitian normatif (yaitu penelitian terhadap kaidah hukum positif

dan asas hukum), yang berupa penelitian evaluasi hukum.53 Penelitian

evaluasi terhadap hukum positif ini dilakukan dengan cara kesesuaian dengan

kaedah hukum lain, atau dengan asas-asas hukum yang diakui dalam sistem

yang ada. Selanjutnya analisis dilakukan berdasarkan atau berpedoman pada

peraturan prundang-undangan dan pendapat para ahli. Oleh karena itu la!jian

ini lebih mendekat kepada kajian terapan hukum sebagaiman yang

diungkapan oleh Bagir Manan.

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis,54 yaitu bertujun untuk

memperoleh suatu uraian atau gambaran umum yang menyeluruh dan

sistematis, serta menguraikan keadaan ataupun fakta hukum yang ada, yaitu

tentang aspek penyelesaian mediasi penal dalam sistem peradilan pidana

anak di Indonesia. Kemudian gambaran umum tersebut dianalisis dengan

berlandaskan pada aturan perundang-undangan serta pendapat para ahli

dengan . tujuan untuk mendapatkan jawaban atas permasalahan yang

teridentifikasi dalam kajian ini.

53 Bagir Manan, Penelitian Hukum Nonnatif adalah penelitian terhadap kaidah dan asas hukum, Lihat Jwnal Puslitbangkum, Nomor Perdana: I - 1999, Lembaga Penelitian Perkembangan Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, 1999, him. 9.

" Sunaryati Hartono, Pene/itian Hukum di Indonesia pado A bad ke-20, Alumni, Bandung, 1994, him. 120. Lihat pula Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia (UI Press), Jakarta, 1986, him. 9-10.

40

Pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan untuk

mendapatkan data yang berbentuk dokumen atau tulisan, melalui penelusuran

peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen maupun literatur-Iiteratur

ilmiah dan penelitian para ahli dan pakar yang sesuai dengan obyek dan

permasalahan yang diteliti. Pengumpulan data sekunder sebagai data utama,

yang meliputi:55

a. Bahan Hukum Primer, yang terdiri dari peraturan perundang-undangan,

terutama yang berkaitan erat dengan masalah mediasi penal, sistem

peradilan pidana anak, masalah keadilan restoratit; serta pcraturan lain

yang terkait dengan permasalahan perlindungan terhadap anak yang

berhadapan dengan masalah hukum.

b. Bahan Hukum Sekunder, berupa tulisan-tulisan ilmiah dari pakar, yang

terdiri dari Iiteratur-literatur, makalah-makalah, jurnal ilrniah dan hasil­

hasil penelitian yang terkait dengan pokok permasalahan yang diteliti.

c. Bahan Hukum Tertier, berupa bahan-bahan yang bersifat menunjang

bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum, kamus bahasa,

artikel-artikel pada surat kabar, majalah serta internet.

Studi lapangan (field research) juga dilakukan untuk mendapatkan

data primer sebagai data pendukung, dimana pengumpulan data primer

dilakukan dengan wawancara, dengan terlebih dabulu melakukan penentuan

kelompok pihak-pihak yang dijadikan sumber informasi berdasarkan

kewenagan, pengetabuan, pengalaman, dan pemabaman.

55 Soerjono Sukanto, Penelitian Hukum Norma/if Op.cit., hlm. 52

41

Terhadap bahan-bahan hukum dan perbandingan konstruksi hukum

dari beberapa konsep hukum yang relevan dengan kaj ian ini. Untuk bahan

hukum primer, analisis dilakukan dengan menelaah dasar ontologis dan ratio

/egis(mengapa ada ketentuan ini)42 dari ketentuan perundang-undangan untuk

menangkap kandungan filosofis yang menjiwai adanya undang-undang

tersebut.

Data sekunder dianalisis dengan menggunakan metode analisis

kualitatif normatif, yaitu dengan cara melakukan penafsiran, korelasi dan

perbandingan terhadap bahan-bahan hukum dan perbandingan konstruksi

hukum dari beberapa konsep hukum yang relevan dengan kajian ini.

Penarikan kesimpulan dari hasil penelitian yang sudah terkumpul

dilakukan dengan metode analisis normatif kualitatif.43 Normatif karena

penelitian ini bertitik tolak dari peraturan perundang-undangan yang ada

sebagai hukum positif. Kualitatif karena merupakan analisis data yang berasal

dari informasi-informasi hasil wawancara yang diuraikan oleh responden,

yang disajikan secara diskriptif.

Untuk memperoleh bahan hukum primer, sekunder dan tertier, pengurnpulan

bahan dilakukan di beberapa lokas~ meliputi;

l.. Perpustakaan Mahkamah Agung Republik Indonesia

2. Pengadilan Negeri Cibinong dan Pengadilan Negeri Bandung;

3. Kejaksaan Negeri Cibinong;

4. Kepolisian Resor Bogor;

42 Apabila dasar ontologis dan landasan filosolis berkaitan dengan suatu undang-undang secara keseluruhan, ratio legis berkenaan dengan salab satu ketentuan darsuatu undang-undang yang diacu dalam menjawab isu hukum yang dihadapi peneliti.

43 Maria S. W. Sumardjono, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, Fakultas Hukum Universitas Gaja Mada, Yogyakarta, 1989, him. 25.

42

5. Balai Pemasyarakatan Bogor;

6. Melakukan studi banding di beberapa negara seperti Australia dan

Thailand.

Penelitian lapangan dilakukan pada sumber data yang akan diperoleh

dari para responden yang dianggap mengerti dan memahami permasalahan

yang akan diteliti, yaitu:

1. Ketua Pengadilan Negeri Bandung;

2. Kepala Kejaksaan Nege1i Cibinong;

3. Kepala Polisi Resor Cibinong;

4. Kepala Badan Pemasyarakatan Bogor; dan

5. Pemerhati Anak Ibu Erna Sofwan Sjukrie, SH.

43

BABD

KEADILAN RESTORATIF DALAM SISTEM PERADILAN

PIDANAANAK

A. Teori Keadilan

John Rawls menyebutkan bahwa setiap orang dapat memiliki konsep

keadilan yang berbeda dengan konsep orang lain. Dalam keadaan-keadaan

tertentu, orang-orang yang memiliki konsep keadilan yang berbeda bisa saja

sepakat untuk memberikan penilaian tentang adil tidaknya suatu tindakan.

Misalnya, apabila pemerintah menerapkan pemberantasan korupsi secara

menyeluruh kepada setiap orang yang terlibat tanpa pandang jabatannya.

Pada saat itu, seluruh kelompok masyarakat (misalnya, kelompok

berlandaskan agama, maupun kelompok pengusaha!bisnis) sepakat

memberikan penilaian "adil" bagi pemerintah. Kesepakatan dari orang-orang

yang memiliki latar belakang berbeda dapat teJjadi karena konsep "keadilan"

dibiarkan menjadi konsep yang terbuka terhadap penafsiran. 56

Setiap manusia, memiliki nilai-nilai keadilan yang melekat dan

merupakan hasil olah spiritual atau jiwanya.57 Bagi hakim sebagai penegak

hukum, keadilan yang bersifat spiritual diwujudkan melalui hukum yang

berfungsi sebagai alat, sebagai cara dan keluaran (output) dalam suatu

sengketa hukum. Keadilan yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah

56 John Rawls, A Theory of Justice, Harvard University Press Cambridge, 1995, him. 3. 57Sebagaimana dikatakan oleh Benyamin N. Cardozo: " ... justice itself ... may mean

different things to different minds and aJ differenJ times ... (keadilan sendiri dapat diartikan berbeda untuk pikiran yang berbeda dan waktu yang berbeda)". Lihat Benyamin N. Cardozo, the Growth of the Law, Universal Law Publishing, New Delhi, 2006, hlm. 86.

44

interaksi antara Teori Keadilan dan Hukum, bagaimana keduanya saling

mempengaruhi, terkait satu dengan lainnya, akan diuraikan di bawah ini.

Konsep keadilan adalah teori utama dalam filsafat dan sama pentingnya

dengan pengertian hukum itu sendiri. Keadilan juga merupakan wacana

ilmiah yang umum mengenai kehidupan publik yang dipahami setiap orang

secara intuitif. Konsep tersebut, seperti keberadaan atau kebenaran, akan

selalu dipahami orang. Kita dapat memberikan contoh dari ketidakadilan,

tetapi ketika dihadapkan pada pertanyaan langsung yang abstrak mengenai

apakah sebenarnya keadilan itu, maka akan sulit untuk mengetahui dari mana

memulainya.

Satu hal yang membuat jelas adalah bahwa keadilan, sebagai konsep

moral yang mendasar, dapat didefinisikan dalam konteks yang melibatkan

kesadaran, rutinitas dan pengertian moral. Penderitaan yang disebabkan oleh

badai, gempa dan bencana alam tidak dapat dikatakan sebagai suatu

ketidakadilan. Hal yang mungkin dapat dikatakan sebagai ketidakadilan

adalah kegagalan untuk melepaskan diri dari penderitaan tersebut. Keadilan

adalah suatu masalah di mana tidak hanya terdapat unsur kesadaran tetapi

juga suatu aktivitas yang mempunyai tujuan. Aktivitas tersebut bisa

merupakan keberadaan dari sesuatu yang alami, seperti aparatur hukum dan

kerajaan, atau sesuatu yang supranatural, misalnya kemarahan atau kebaikan

Tuhan, adanya tujuan yang disadari merupakan kondisi yang penting dalam

membicarakan keadilan.

45

Radbruch menyatakan bahwa keadilan hams dianggap sebagai salah

satu komponen dari ide hukum. 58 Komponen yang Iainnya lagi adalah

fmalitas dan kepastian.59 Hukum dan keadilan sebagi dua sisi dari suatu mata

uang. Jika keadilan digambarkan sebagai materi dan hukum sebagai "bentuk",

maka nilai keadilan adalah materi yang hams mengisi bentuk hukurn.

Sedangkan hukurn rnerupakan bentuk yang harus melindungi nilai keadilan.

dengan demikian, keadilan memiliki sifat nonnatif sekaligus konstitutif bagi

hukum. Keadilan bersifat normatif bagi hukum karena berfungsi sebagai

prasyarat transendental yang rnendasari tiap hukum yang bennartabal

Keadilan menjadi landasan moral hukum dan sekaligus tolok ukur sistem

hukurn positif. Dengan kata lain, keadilan selalu menjadi pangkal hukum.

Tanpa keadilan, sebuah aturan tidak pantas disebut sebagai hukum.60 Sejalan

dengan Rawls yang rnengatakan betapapun bagus dan efisiennya suatu

hukum, tetapijika ia tidak adil, maka hukum itu harus diganti.61

Apabila suatu tata hukum tidak adil, maka tata hukum yang tidak adil

itu hanya dapat ditentukan oleh suatu lembaga khusus, yakni suatu pengadilan

yang ditunjuk untuk itu. Jika menurut pandangan pengadilan temyata terdapat

suatu tata hukurn yang tidak adil, rnaka undang-undang tersebut harus

58Radbruch, G., RechJphi/osophie, Koehler: Stutgart, 1973, him. 164. ,.Menurut Radhbruch, aspek keadilan menunjuk pada kesamaan hak di depan hukum.

Aspek finalitas menunjuk kepada tujuan keadilan memajukan kebaikan dalam hidup manusia. Sedangkan aspek kepastian menunjuk pada jaminan babwa hukum (yang mengandung keadilan dan finalitas) harus dapat berfungsi sebagai peraturan yang benar-benar ditaati. Bandingkan pandangan Radhbruch ini dengan pendapat Bagir Manan yang mengatakan babwa suatu putusan pengadilan wajib menggunakan pertimbangan keadilan dan rnanfaat putusannya. Walaupun demikian, hakim tetap memutus berdasarkan hukum. Lihat Bagir Manan, Suatu Tinjauan Terhadap Kekuasaan Kehakiman Indonesia Da/am Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2000, Jakarta: Mahkarnah Agung Rl, 2005, him. 60.

60Bemard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, dan Markus Y. Rage, Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruangdan Generasi, CV. Kita, Surabaya, 2006, him. 106.

61 John Rawls, Op.cit . ., him. 3.

46

dipandang sebagai bukan hukum dan tidak berlaku. 62 Dalam praktik,

pengadilan tidak mempunyai wewenang untuk menyatakan suatu ketentuan

hukum tidak berlaku karena alasan ketentuan hukum tersebut tidak adil. Akan

tetapi kewenangan tersebut boleh dijalankan oleh Pengadilan (khususnya

Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung) secara terbatas, hanya dengan

alasan kepastian hukum, yakni suatu ketentuan hukum tidak boleh

bertentangan dengan ketentuan hukum yang sifat atau secara hirarki lebih

tinggi.

Keadilan bukan merupakan tujuan hukum. Karena hukum harus dapat

mewujudkan keadilan atau dengan kata lain, konkretisasi keadilan dilakukan

melalui hukum. dengan demikian pemahaman mengenai keadilan secara

konkret dapat dilihat dari pemahaman terhadap hukum. Sebagaimana

keadilan bersifat subjektif yang diwujudkan oleh hukum yang bersifat

subjektif pula, maka hukum merupakan instrumen sosial yang mengikuti

perkembangan masyarakatnya.

Konsep bahwa keadilan adalah keadilan hukum sebagaimana terungkap

dalam doktrin ilmu hukum: Fiat justitia, ruat coelum (biarlah keadilan

dilaksanakan, sekalipun lagit akan runtuh; let justice be done, though the

heavens should fall). Setiap hakim atau pengadilan diharapkan memberikan

keadilan berdasarkan hukum yang berlaku sekalipun langit akan runtuh.

Dalam kata-kata Lord Denning: if justice is done, the heavens should not fall.

They should rejoice Qika keadilan dilaksanakan, langit tidak akan runtuh.

Langit akan bergembira).

62Theo Huijbers, Filsqfat Hukum, Kanisius, Yogyakarta, 2005, hlm. 73.

47

Mempersamakan antara keadilan dan peraturan hukum adalah cara

paling mudah untuk memahami keadilan. Peraturan hukum dipergunakan

untuk mempromosikan keadilan melalui 2 (dua) cara: pertama, peraturan

hukum memperkenalkan sejumlah norma moral sebagai norma hukum dan

menetapkan norma dalam sistem hukum sebagai sistem keadilan. Kedua,

sistem keadilan dibentuk melalui sejumlah lembaga yang ditetapkan oleh

peraturan hukum untuk:

I) menjalankan dan menegakkan peraturan hukum untuk memperoleh

keadilan;

2) memilah dan menyajikan kepada pengambil keputusan adanya bentuk-

bentuk lain pelanggaran hukum;

3) memutuskan kapan telah teJjadi pelanggaran hukum dan apakah

sanksinya;

4) menjalankan isi putusan yang sudah ada.63

Dengan kata lain, hukum berperan dalam pencapaian keadilan melalui 4

(empat) cara praktis, yaitu melalui:

I) penentuan struktur lembaga keadilan dan sistemnya;

2) penetuan peraturan substantif yang akan dilaksanakan oleh sistem

keadilan;

3) penentuan peraturan prosedural yang harus diikuti selama masa

pelaksanaan peraturan substantif;

63 Myren mengatakan: "Law is used to promote justice in two ways: it recognize some moral rules as legal rules and it establishes subunits of legal systems as justice systems. Justice systems are made up of agencies established or promoted by law to administer and enforce legal rules that promote justice; to screen out some and present to decision-makers other cases of viola/ion of those legal ntles; to decide whether the alleged violations actually occureed and what sanction should be imposed; and to implement the decisions so made". Lihat Richard A. Myren, Low and Justice, An Introduction., Brooks/Cole Publishing, Pacific Groove, 1988, him. 31.

48

4) penentuan mekanisme di mana akuntabilitas orang-orang yang bekelja

pada institusi keadilan tersebut dapat diketahui oleh masyarakat.

Pengertian keadilan sama dengan pengertian hukum sebagaimana

dikemukakan di atas oleh Richard A. Myren, mewakili pemikiran-pemikiran

umum yang setiap hari dapat kita temukan dalam masyarakat melalui istilah-

istilah seperti: "Mahkamah Agung sebagai benteng terakhir keadilan", atau

istilah orang yang berperkara di pengadilan disebut sebagai: "pencari

keadilan". Bahkan mewakili suatu pandangan bahwa "hakim adalah pemberi

keadilan".

Keadilan dapat teljadi jika keadilan dilaksanakan berdasarkan

hukurn.64 Keadilan terwujud terutama selama suatu masyarakat beljalan

mengikuti aturan. Konsep keadilan ini merupakan konsep yang paling tua.

Tetapi, Cicero juga mengingatkan: "The more laws, the less justice"

(semakin banyak hukum, semakin kurang keadilan), sebab keadilan

seharusnya menjadi dasar bagi hukum. Sedangkan, rasio adalah dasar dari

pencarian keadilan. Kondisi kekuasaan negara yang menggunakan hukum

untuk menekan masyarakat telah menjadi latar belakang pandangan Cicero.

Apa yang bagi pemerintah dipandang sangat adil, justru bagi masyarakat

menjadi sangat tidak adil (extreme justice is extreme injustice). 65

"'Bagir Manan mengatakan bahwa sekalipun hakim harus mempertimbangkan keadilan dan manfaat, namun setiap putusan harus dibuat berdasarkan hukum, inilah makna "keadilan hukum dan kebenaran hukum". Lihat bagir Manan, Suatu Tirifauan ... op.cit., him. 60-61.

65Dikutip dari <http://www.geocities.com/rational_argumentator/Cicero.hbnl>, Gary M. Galles, Cicero on Justice, Law, and liberty", A. Journal for Western Man Issue XXX January 26, 2005. Cicero adalah pemikir yang hidup lebih dari 2000 tahun yang lalu. Ia merupakan salah satu pemikir yang memberikan pengaruh paling penting dibalik revolusi Amerika. Ia menjadi simbol bagi orang yang melawan tindakan sewenang-wenang pemerintah. Pikiran-pikirannya mengenai keadilan, hukum dan kemerdekaan dapat ditemukan dalam berbagai dokumen awal pembentukan negara Amerika Serikat.

49

Selain teori keadilan John Rawls yang merupakan Grand Theory

maka digunakan juga teori hukum yang berkeadilan dan bermartabat

sebagaimana menurut Teguh Prasetyo yang menyatakan sebagai pengayom

masyarakat, hukum pidana harus memberikan keadilan dan bermartabat bagi

masyarakat. Tanpa rasa keadilan dan martabat di hadapan masyarakat, maka

hukum pidana hanya sebagai macan kertas yang tidak dapat diaplikasikan

dalam kehidupan masyarakat.

Teori hukum yang berkeadilan sejalan dengan pendapat Gustav

Radbruch yang menyatakan bahwa cita hukum tidak lain dari pada keadilan.

Persoalan keadilan bukan merupakan persoalan matematis klasik, melainkan

persoalan yang berkembang seiring dengan peradaban masyarakat dan

intelektual manusia. Bentuk keadilan dapat saja berubah tetapi esensi

keadilan selalu ada dalam kehidupan manusia dan hidup bermasyarakat.

Keadilan itu sendiri tidak lepas dari aspek sosiologis dalam kehidupan

masyarakat karena keadilan itu tumbuh dan berkembang dalam lingkungan

masyarakat. 66

Lebih lanjut tujuan hukum itu sendiri, menurut Gustav Radbruch

adalah keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Dalam mewujudkan

tujuan hukum Gustav Radbruch menyatakan perlu digunakan asas prioritas

dari tiga nilai dasar yang menjadi tujuan hukum. Hal ini disebabkan karena

dalam realitasnya, keadilan hukum sering berbenturan dengan kemanfaatan

dan kepastian hukum dan begitupun sebaliknya. Diantara tiga nilai dasar

tujuan hukum tersebut, pada saat teJjadi benturan, maka mesti ada yang

66 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2008, hlm. 23

50

dikorbankan. Untuk itu, asas prioritas yang digunakan oleh Gustav Radbruch

harus dilaksanakan dengan urutan sebagai berikut: keadilan hukum,

kemanfaatan hukum, dan kepastian hukum. 67

B ila dikaitkan dengan sanksi pi dana, dalam setiap masyarakat ada

sebuah hukum universal bahwa keadilan merupakan sifat yang harus selalu

melekat pada sanksi pidana. Setiap sanksi pidana harus mampu menganut

prinsip keadilan yang berlaku di masyarakat sehingga masyarakat

diperlakukan secara adil. Jika suatu sanksi pidana menjalankan suatu orde

yang membuat mayoritas rakyatnya merasa. diposisikan secara tidak adil,

maka bisa dipastikan masyarakat akan menolak sanksi pidana tersebut.

Sanksi pidana yang berkeadilan tersebut juga harus didukung oleh

sanksi pidana yang bermartabat, yaitu sanksi pidana yang memperhatikan

filosofis masyarakat tersebut sehingga masyarakat akan menghormati sanksi

pidana dimana sanksi pidana tersebut menjadi bermartabat di

masyarakat.Teori ini digunakan untuk melihat nilai keadilan dalam

pembaharuan sanksi pidana dan agar pembaharuan sanksi sanksi pidana

menghasilkan sanksi pidana yang bermartabat, yaitu budaya taat hukum, baik

oleh masyarakat, aparat maupun Pemerintah sesuai dengan nilai-nilai yang

berkembang di masyarakat.

B. Teori Tujuao Pemidaoaao

Tujuan pidana dan tujuan hukum pidana adalah dua hal yang berbeda

Kendatipun demikian, tujuan pidana tidak terlepas dari aliran dalam hukum

67Heather Leawoods, Gustw Radbroch: An Extraordinary Legal Philosopher, Wanshington University Press, Journal of Law and Policy, Vol. 2, 2000, him. 495

51

pidana. Jika aliran-aliran dalam hukum pidana yang mendasari tujuan pidana

terdiri dari aliran ldasik, aliran modern dan aliran neo-klasik, maka tujuan

pidana secara garis besar juga terbagi menjadi tiga, yakni teori absolut, teori

relatif dan teori gabungan. Akan tetapi dalam perkembangannya selain ketiga

teori tesebut ada juga teori-teori kontemporer tentang tujuan pidana.

I. Teori Absolut

Teori absolut labir pada aliran klasik dalam hukum pidana.

Menurut teori ini pembalasan adalab legitimasi pemidanaan". Negara

berhak menjatuhkan pidana karena penjabat telab melakukan penyerangan

dan perkosaan pada hak dan kepentingan hukum yang telab dilindungi68•

Vos dalam Leerboeknya berkomentar, "De absolute theorieen, die vooral

tegen het eind det I Be eeuw opkomen, zoeken de rechtsgrond van de strqf

in de begane misdaad: die misdaad op zich zelf is voldoende grond om de

dader to bestraffen. ... " (Teori absolut, terutama bermunculan pada akhir

abad ke-18, mencari dasar hukum pemidanaan terhadap kejahatan:

kejabatan itu sendiri dilihat sebagai dasar dipidananya pelaku)69.

Selanjutnya teori absolut atau teori pembalasan yang menjadi dasar

pijakan aliran ldasik tediri dari atas pembalasan subjektif dan pembalasan

objektif. Vos menyatakan, "Subjectieve verge/ding is verge/ding van de

schuld van de dader, verge/ding naar mate van het verwijt, ... ; objectieve

verge/ding is verge/ding naar mate van dat, wat de dader door zijn

toedoen .... "(Pembalasan subjektif adalah pembalasan kesalaban pelaku,

pembalasan terhadap pelaku yang tercela .... ; pembalasan objektif adalab

68 Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Bagian I, PT Raja Grafmdo Persada Jakarta, 2007, him. 157

69 H.B. Vos. Op.Cit., him. 10

52

pembalasan terhadap perbuatan, perbuatan apa yang telah di lakukan oleh

pelaku .. -)'0•

Penganut teori absolut ini antara lain adalah Imannuel Kant, Hegel,

Herbart dan Julius Stahl. Pendapat Kant, pidana adalah etik; praktisnya

adalah suatu ketidakadilan, oleh karena itu kejahatan harus dipidana (de

straf als eis van ethiek; de practische rede eist onvoorwaardelijk, dat op

het misdrijf de straf volgt). Menurut Hegel, kejahatan adalah pengingkaran

terhadap hukum, kejahatan tidak nyata keberadaannya, dengan penjatuhan

pidana kejahatannya dihapus (de misdaad is een negatie van het rechl, dat

wezenlijk is; de misdaad heeft dus slecht een schijnbestaan, dat dan weer

door de straf wordt opgeheven).

Sedangkan Herbert menyatakan, kejahatan yang tidak dibalas tidak

disenangi. Tuntutan yang harus dipenuhi bahwa pelaku mengalami

beratnya nestapa seperti ia mengakibatkan orang lain menderita (de

overgolden misdaad mishaagt. Het is dus een eis van aesthetische

noodwendigheid, dat de dader een gelijk quantum teed ondervindt als hij

heeft doen lijden ). Sementara Stahl mengemukakan bahwa pidana adalah

keadilan Tuhan. Penguasa sebagai wakil Tuhan di dunia harus

memberlakukan keadilan Tuhan di dunia (de .. straf als eis van Goddel{jke

gerechtigheid. De overheid als vertegenwoordigster van God op aarde

heeft die goddelijke gerechligheid tot gelding to brengen ).

Berdasarkan apa yang dikemukakan oleh Kant, Hegel, Herbart dan

Stahl, menurut Remmelink sebenamya pemikiran-pemikiran mereka yang

70 Ibid. him. 11

53

digolongkan ke dalam teori absolut ini berbeda antara satu dengan yang

lain. Kesamaan yang mempertautkan mereka adalah pandangan bahwa

syarat dan pembenaran penjatuhan pidana tercakup di dalam kejahatan itu

sendiri, terlepas dari pandangan absolut terhadap pidana71• Masih men urut

Remmelink, sebenarnya teori absolut yang menjadi ciri aliran klasik sudah

dikembangkan pada zaman kuno. Seneca dengan merujuk pada ajaran

filsufYunani, Plato, menyatakan: nemo prudens punit, quia peccatum, sed

ne peccetur (seorang bijak tidak menghukum karena dilakukannya dosa,

melainkan agar tidak lagi terjadi dosa). Upaya mencegah kejahatan

dilakukan dengan membuat takut sehingga hukum pidana kuno kemudian

mengembangkan sanksi pidana yang begitu kejam dan pelaksanaannya

dilakukan di depan umum dengan memberi peringatan pada masyarakat

luas72•

2. Teori Relatif

Jika teori absolut menyatakan bahwa tujuan pidana sebagai

pembalasan, maka teori relatif mencari dasar pernidanaan adalah

penegakan ketertiban masyarakat dan tujuan pidana untuk mencegah

kejahatan ( .... relatieve theoriee ,deze zoe ken de rechtsgrond van de straf in

de handhaving der maatschappelijke orde en bijgevolg is het doe/ der straf

preventie der misdaad)73• Teori relatifjuga disebut sebagai teori relasi atau

teori tujuan. Hal ini karena relasi antara ketidakadilan dan pidana bukanlah

hubungan secara apriori. Hubungan antara keduanya dikaitkan dengan

71 Jan Remmelink, Hukum Pidana, Komenlar Atas Pasal-pasa/ Terpenting Da/am Kitab Undang-undang hukum Pidana Be/anda dan Padangantrya Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indanesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003. him. 600

12Ibid, him. 605 73 H.B. Vos. Op. Cit., him. 13

54

tujuan yang hendak dicapai pidana, yaitu perlindungan kebendaan hukum

dan penangkal ketidakadilan ( .... tussen onrecht en straf bestaat hier niet

dat aprioristische begrijpsverband. Hun relatie ligt in lets daarbuiten, in

het met de straf te bereiken doe/, de bescherming der rechtsgoederen, het

afweren van onrecht .... )74·

Pencegahan terhadap kejahatan pada dasarnya dibagi menjadi

pencegahan umum dan pencegahan khusus. Adanya penjatuhan pidana

secara umum agar setiap orang tidak lagi melakukan kejahatan ( .... de

generale-preventie-gedachte wi/ de straf doen dienen om in het a/gemeen

ieder van het begaan van delicten terug te houden. ... )75• Prevensi umum

untuk mencegah teljadinya kejahatan oleh von Feuerbach dikenal dengan

istilah teori psychologischezwang atau paksaan psikologis. Artinya, adanya

pidana yang dijatuhkan terhadap seseorang yang melakukan kejahatan

akan memberikan rasa takut kepada orang lain untuk tidak berbuat jahat.

Oleh karena itu menurut von Feuerbach, sanksi pidana yang diancamkan

terhadap perbuatan yang dilarang harus tertulis dalam undang-undang

sehingga mengurungkan niat orang untuk berbuat jahat.

Th. W. van Veen dalam disertasinya dengan judul "Generale

Preventie" menyatakan ada tiga. fungsi pencegahan urn urn. Pertama,

menjaga atau menegakkan wibawa penguasa, terutama dalam perumusan

perbuatan pidana yang berkaitan dengan wibawa pemerintah, seperti

kejahatan terhadap penguasa umum. Kedua, menjaga atau menegakkan

norma hukum.Ketiga, pembentukan norma untuk menggarisbawahi

74 Hazewinkel Suringa, Op. Cit., him. 499 75 H.B. Vos, Op.Cit., him. 13

55

pandangan bahwa perbuatanperbuatan tertentu dianggap asusila dan oleh

karena itu tidak diperbolehkan 76•

Prevensi khusus ditujukan terhadap pelaku kejahatan yang telah

dijatuhi pidana sehingga tidak lagi mengulangi perbuatannya. Menurut van

Hamel" sebagai penganut teori relatif berupa prevensi khusus - bersama-

sarna dengan Frank von Liszt, pidana bertujuan untuk menakutkan atau

memperbaiki atau melenyapkan jika tidak bisa lagi diperbaiki ( ... dit doe/

kon worden bereikt door cifschrikking, hetzij door verbetering hetzij door

onschndelijkmaking/4•

3) Teori Gabungan

Puniendis nemo est ultrameritum, intra merili vera modum magis

aut minus peccate puniuntur pro uti/ita/e. Demikian Groritius atau Hugo

de Groot yang menyatakan bahwa penderitaan memang sesuatu yang

sewajarnya ditanggung pelaku kejahatan, namun dalam batasan apa yang

layak ditanggung pelaku tersebut kemanfaatan sosial akan menetapkan

berat ringannya derita yang layak dijatuhkan. Hal ini bertolak dari suatu

adagium yang berbunyi natura ipsa dictat, ut qui malum fecit, malum ferat

yang berarti kodrat mengajarkan bahwa siapa yang berbuat kejahatan,

maka akan terkena derita. Akan tetapi, tidak hanya penderitaan semata

sebagai suatu pembalasan tetapijuga ketertiban masyarakat77•

Vos secara tegas menyatakan bahwa selain teori absolut dan teori

relatif juga terdapat kelompok ketiga yang disebut teori gabungan. Di sini

76 Jan Remme link, Op. Cit .• him. 607 77 Jan Remmelink, Op.Cit .• hlm. 611

56

terdapat suatu kombinasi antara pembalasan dan ketertiban masyarakat

" ... de derde groep, de verenigingstheorieen. Hier vindt men een

combinotie van de gedachten der verge/ding en der bescherming van de

maatschoppelijke orde). Masih menurut Vos, selain titik berat pada

pembalasan, maksud dari sifat pembalasan itu dibutuhkan untuk

melindungi ketertiban hukum ( ... men kan als uitgangspunt de verge/ding

nemen en deze dan beperken in die zin, dat niet verder mag worden

gegaan dan voor de hondhaving der rechtsorde nodig is)". Sebagai

penganut teori gabungan, Vos menyatakan titik berat yang sama pada

pidana adalab pembalasan dan perlindungan masyarakat ( .... dat de straf

tegelijk voldoet en aan de eis van verge/ding en aan die der

maatschappelijke bescherming)78. Dengan demikian, Vos memberi bobot

yang sama antara pembalasan dan perlindungan masyarakat.

Penganut teori gabungan lainnya adalah Zevenbergen, seorang ahli

hukum pidana Jerman. Zevenbergen lebih menitikberatkan pada

pembalasan, namun bertujuan melindungi tertib hukum, karena respek

terhadap hukum dan penguasa ( ... dat het wezen der straf verge/ding is,

maar het doe/ bescherming der rechtsorde, omdat namelijk door de strqf

het respect voor recht en overheid hersteld en behouden word/) 79 Masih

menurut Zevenbergen, pada hakikatnya pidana adalah suatu ultimum

remedium.

Penganut teori gabungan yang lebih menitikberatkan perlindungan

masyarakat daripada pembalasan adalah Simons. Menurutnya, prevensi

78 H.B. Vos, Op.Cit., him. 18 79 Ibid, him. 17

57

umum terletak pada pidana yang diancamkan, dan subsider -----.sifat dari

pidana terhadap pelaku- prevensi khusus, menakutkan, memperbaiki dan

melenyapkan ( ... degenerale prevenJie, in de strajbedreiging gelegen, en

subsidiair waar de strajbedreiging blijkbaar voor de dader niet voldoende

was-speciale preventie, bestaande in qfschrikking, verbetering en

onschadelijkmakinl0J.

4) Teori Kontemporer

Selain teori absolut, teori relatif dan teori gabungan sebagai tujuan

pi dana, dalam perkem bangannya terdapat teori-teori baru yang penulis

sebut sebagai teori kontemporer. Bila dikaji lebih mendalam,

sesungguhnya teori-teori kontemporer ini berasal dari ketiga teori tersebut

di atas dengan beberapa modifl.kasi. Wayne R. Lafave menyebutkan salah

satu tujuan pidana adalah sebagai deterrence effect atau efek jera agar

pelaku kejahatan tidak lagi mengulangi perbuatannya. Demikian juga

pidana bertujuan sebagai edukasi kepada masyarakat mengenai mana

perbuatan yang baik dan mana perbuatan yang buruk81• Tujuan pidana

sebagai deterrence effoct pada hakikatnya sama dengan teori relatif terkait

dengan prevensi khusus.

Masih menurut Lafave, tujuan pidana yang lain ad alah rehabilitasi.

Artinya, pelaku kejahatan harus diperbaiki ke arab yang lebih baik, agar

ketika kembali ke masyarakat is dapat diterima oleh komunitasnya dan

tidak lagi mengulangi perbuatan jabal Sebenamya tujuan pidana sebagai

rehabilitasi bukanlah hal barn. Thomas Aquinas dari sudut pandang

80 Ibid. him. 18 81 Wayne R. Lafave, Principle Of Criminal Law, West A Thomson Reuters Business, 2010,

hlm.25

58

Katolik sudah memisahkan antara poenae ut poenae (pidana sebagai

pidana) dengan poenae ut medicine (pidana sebagai obat)82• Menurut

Aquinas, tatkala negara menjatuhkan pidana dengan daya keija

pengobatan, maka perlu diberikan perhatian terhadap prevensi umum dan

prevensi khusus (poenae praesentis vitae magis sunt medicinales quam

retributative/3. Hemat penulis, teori rehabilitasi juga tidak terlepas dari

teori relatif yang berkaitan dengan prevensi. Pidana sebagai obat yang

dikemukakan Aquinas adalah dalam rangka memperbaiki terpidana agar

ketika kembali ke masyarakat tidak lagi mengulangi perbuatannya

sebagaimana tujuan prevensi khusus.

Selanjutnya menurut Lafave, pidana juga bertujuan sebagai

pengendalian sosial. Artinya, pelaku kejahatan diisolasi agar tindakan

berbahaya yang dilakukannya tidak merugikan masyarakat84• Tegasnya,

masyarakat harus dilindungi dari tindakan jahat pelaku. Terkait fungsi

pengendali sosial pada awal abad ke-20 telah dikemukakan oleh Adolphe

Prins seorang ahli pidana Belgia. Menurut Prins, pidana dalam konteks

pembelaan masyarakat harus sebanding dengan seberapa jauh pelaku

mengancam ketertiban dan keamanan masyarakat (Ia defense sociale et les

transformations du. droit penal). PascaPerang Dunia II, ajaran Prins

dilanjutkan oleh Marc Ancel, Anggota Cour de Cassation Perancis dengan

teori defense sociale nouvelle (gerakan sosial baru). Menurut Ancel, tujuan

pidana adalah melindungi tatanan masyarakat dengan tekanan pada

resosialisasi atau pemasyarakatan kembali dengan penegakan hukum yang

82 Hazewinkel Suringa, Op. Cit, hlm. 505 83 Jan Remmelink, Op.Cit., hlm. 612 84 Wayne R. Lafave, Op.Cit., hlm. 26

59

tidak menitikberatkan hanya pada yuridis formal tetapi juga bernuansa

sosial. Masih menurut Ancel, pentingnya individualisasi pidana dalam

penjatuhannya dengan fokus pada tanggung jawab manusia sebagai

individu yang juga adalah makhluk sosial85.

Terakhir menurut Lafave, pidana bertujuan untuk memulihkan

keadilan yang dikenal dengan istilah restorative justice atau keadilan

restoratif6• Restorative justice dipahami sebagai bentuk pendekatan

penyelesaian perkara menurut hukum pidana dengan melibatkan pelaku

kejahatan, korban, keluarga korban atau pelaku dan pihak lain yang terkait

untuk mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pada

pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan pembalasan87• Istilah

keadilan restoratif berasal dari Albert Eglash pada tahun 1977, yang

mencoba untuk membedakan tiga bentuk peradilan pidana, masing-masing

adalah retributive justice, distributive justice dan restorative justice.

Menurut Eglash, fokus retributive justice adalah menghukum pelaku atas

kejahatan yang telah dilakukan olehnya. Sedangkan distributive justice

memiliki tujuan rehabilitasi pelaku. Sementara restorative justice pada

dasarnya adalah prinsip restitusi dengan cara melibatkan korban dan

pelaku dalam proses yang bertujuan untuk mengamankan reparasi bagi

korban dan rehabilitasi pelaku.

85 Jan Remmelink, Op. Cit .. him. 613-614 86 Wayne R. Lafave, Op.Cit., him. 25 87 Eva Achjani Zulfa, Konsep Dasar Restorative Justice, disampaikan daiam acara

Pelatihan Hukum Pidana Dan Kriminologi "Asas-Asas Hukum Pidana Dan Kriminologi Serta Perkembangan Dewasa lni", Ketjasama Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dengan Masyarakat Hukum Pi dana Dan Kriminologi, Yogyakarta, 23-27 Februari 2014, him. I

60

Marshall sebagaimana yang dikutip oleh Antony Duff;

mendefmisikan keadilan restoratif sebagai suatu proses para pihak yang

terlibat dalam sebuah kejahatan secara bersama-sama menyelesaikan

dengan cara mengatasi tindakan tersebut dan implikasinya di masa yang

akan datang. Tujuan dari keadilan restoratif menurut van Ness adalah

untuk memulihkan kembali keamanan masyarakat korban dan pelaku yang

telah menyelesaikan konflik mereka88• M. Kay Harris yang mengutip

pendapat Braithwaite dan Strang memberikan dua pengertian keadilan

restoratif. Pertama, keadilan restoratif sebagai konsep proses yaitu

mempertemukan para pihak yang terlibat dalam sebuah kejahatan untuk

mengutarakan penderitaan yang telah mereka alami dan menentukan apa

yang harus dilakukan untuk memulihkan keadaan. Kedua, keadilan

restoratif sebagai konsep nilai yakni mengandung nilai - nilai yang berbeda

dari keadilan biasa karena menitikberatkan pada pemulihan dan bukan

penghukuman.

C. Teori Mediasi Penal

Sebelum membahas mengenai teori mediasi penal terlebih dahulu

diurakan mengenai munculnya teori teljadinya sengketa adalah oleh

kebutuhan dasar manusia.

Teori kebutuhan manusia berasumsi bahwa penyebab terjadinya

sengketa adalah oleh kebutuhan dasar manusia, baik fisik, mental, dan sosial

yang tidak terpenuhi atau dihalangi. Keamanan, identitas, pengakuan,

88 James Dignan, Understanding Victims and Restorative justice, Open University Press, 2005, him. 94

61

partisipasi, dan otonomi sering merupakan inti pembicaraan. Sasaran yang

ingin dicapai teori ini adalab:

I. membantu pihak-pihak yang mengalami sengketa untuk mengidentifikasi

dan mengupayakan bersama kebutuhan mereka yang tidak terpenuhi, dan

menghasi!kan pilihan-pilihan untuk memenuhi kebutuhankebutuhan itu;

dan

2. agar pihak-pihak yang mengalami sengketa mencapai kesepakatan untuk

memenuhi kebutuhan dasar semua pihak.

Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin mengemukakan sebuab teori

tentang penyelesaian sengketa. Kedua abli ini mengemukakan sebuah teori,

yang disebut dengan teori strategi penyelesaian sengketa. Ada lima strategi

dalam penyelesaian sengketa, sebagaimana disajikan berikut ini.

"Pertama, contending (bertanding), yaitu mencoba menerapkan suatu solusi yang lebih disukai oleh salah satu pihak atas pihak lainnya. Kedua, yielding (mengalah), yaitu menurunkan aspirasi sendiri dan bersedia menerima kurang dari yang sebetulnya diinginkan. Ketiga, problem solving (pemecahan masa!ah), yaitu mencari a[tematif yang memuaskan aspirasi kedua belah pihak. Keempat, with drawing (menarik diri), yaitu memilih meninggalkan situasi sengketa, baik secara fisik maupun psikologis. Kelima, inaction (diam), yaitu tidak melakukan apa-apa" .89

Ahli antropologi hukum juga mengemukakan pendapatnya tentang

cara-cara penyelesaian sengketa yang terjadi dalam masyarakat, baik dalam

masyarakat modem maupun tradisional. Laura Nader dan Harry F. Todd Jr.,

mengemukakan tujuh cara penyelesaian sengketa dalam masyarakat. Ketujuh

cara itu, meliputi:

I. lumping it (membiarkan saja); 2. avoidance (mengelak);

89 Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin, K01rflik Sosial. Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004, him. 4-6

62

3. coercion (paksaan); 4. negotiation (perundingan); 5. mediation (mediasi); 6. arbitration (arbitrase); dan 7. adjudication (peradilan)".90

Membiarkan saja atau lumping it, yaitu pihak yang merasakan

perlakuan yang tidak adil, gaga! dalam upaya untuk menekankan tuntutannya

Dia mengambil keputusan untuk mengabaikan saja masalah atau isu yang

menimbulkan tuntutannya dan dia meneruskan hubungan-hubungannya

dengan pihak yang dirasakan merugikannya. lni dilakukan karena berbagai

kemungkinan seperti kurangnya faktor informasi mengenai bagaimana proses

mengajukan keluhan itu ke peradilan, kurangnya akses ke lembaga peradilan

atau sengaja tidak diproses ke peradilan karena diperkirakan bahwa

kerugiannya lebih besar dari keuntungannya ( dari arti mater iii maupun

kejiwaan).

Mengelak (avoidance), yaitu pihak yang merasa dirugikan, memilih

untuk mengurangi hubungan-hubungan dengan pihak yang merugikannya

atau untuk sama sekali menghentikan hubungan tersebut. Misalnya, dalam

hubungan bisnis, hal semacam ini bisa teljadi. Dengan mengelak, maka isu

yang menimbulkan keluhan dielakkan saja. Berbeda dengan pemecahan

pertama, di mana hubungan-hubungan berlangsung terus, isunya saja yang

dianggap selesai. Dalam hal bentuk kedua ini, pihak yang dirugikan

mengelakkannya. Pada bentuk satu hubungan-hubungan tetap diteruskan,

pada bentuk kedua hubungan-hubungan dapat dihentikan untuk sebagian atau

untuk keseluruhan.

90 Laura Nader dan Harry F. Todd Jr, The Disputing Process Law in Ten Societies, New York: Columbia University Press, 1978, him. 9-11.

63

Paksaan (coercion), satu pihak memaksakan pemecahan kepada pihak

lain. Ini bersifat unilateral. Tindakan yang bersifat memaksakan ini atau

ancaman untuk menggunakan kekerasan, pada umumnya mengurangi

kemungkinan penyelesaian secara damai.

Perundingan (negotiation), yaitu dua pihak yang berhadapan

merupakan para pengambil keputusan. Pemecahan dari masalah yang

dihadapi dilakukan oleh mereka berdua, mereka sepakat tanpa adanya pihak

ketiga yang mencampurinya. Kedua belah pihak berupaya untuk saling

meyakinkan, jadi mereka membuat aturan mereka sendiri dan tidak

memecahkannya dengan bertitik tolak dari aturan-aturan yang ada.

Mediasi (mediation), yaitu pihak ketiga yang membantu kedua belah

pihak yang berselisih pendapat untuk menemukan kesepakatan. Pihak ketiga

ini dapat ditentukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa, atau

ditunjukkan oleh yang berwenang untuk itu. Apakah mediator hasil pilihan

kedua pihak, atau karena ditunjuk oleh orang yang mempunyai kekuasaan,

kedua pihak yang bersengketa harus setuju bahwa jasa-jasa dari seorang

mediator akan digunakan dalam upaya mencari pemecahan. Dalam

masyarakat-masyarakat kecil (paguyuban) bisa sljja tokoh-tokoh yang

berperan sebagai mediator juga berperan sebagai arbitrator dan sebagai

hakim.

Arbitrase, yaitu dua belah pihak yang bersengketa sepakat untuk

meminta perantara pihak ketiga, arbitrator, dan sejak semula telah setuju

bahwa mereka akan menerima keputusan dari arbitrator itu. Peradilan

(adjudication), yaitu pihak ketiga mempunyai wewenang untuk mencampuri

64

pemecahan masalah, lepas dari keinginan para pihak bersengketa. Pihak

ketiga itu juga berhak membuat keputusan dan menegakkan keputusan itu

artinya berupaya bahwa keputusan dilaksanakan.91

Ketujuh cara ini, dapat dibagi menjadi tiga cara penyelesaian

sengketa, yaitu tradisiona~ AD R, dan pengadilan. Yang termasuk cara

tradisional adalah membiarkan saja atau lumping it, mengelak (avoidance)

dan paksaan. Ketiga cara ini tidak ditemukan dalam peraturan perundang-

undangan. Yang termasuk dalam penyelesaian dengan menggunakan ADR

adalah perundingan (negotiation), mediasi, dan arbitrase. Ketiga cara ini

terdapat dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999. Penyelesaian

sengketa melalui pengadilan dikenal dalam hukum acara.

Untuk memberikan gambaran penyelesaian dengan menerapkan

metode mediasi maka peneliti akan mengangkat beberapa tipe metode atau

model mediasi yang menjadi acuan dalam penyelesaian anak yang

bermasalah dengan hukum. Adapun keempat type f model mediasi adalah

sebagai berikut:

I. Model penyelesaian (Settlement Model atau Compromise/2

a. Mediasi dimaksudkan guna mendekatkan perbedaan nilai tawar atas suatu kesepakatan.

b. Mediator hanya terfokus pada permasalahan atau posisi yang dinyatakan para pihak.

c. Fungsi mediator adalah menentukan posisi "bottom-line" para pihak dan melakukan berbagai pendekatan untuk mendorong para pihak mencapai titik kompromi.

d. Biasanya mediator adalah orang yang memiliki status yang tinggi dan model ini tidak menekankan kepada keahlian dalam proses atau teknik mediasi.

91 T.O. Ihromi, Antropo/ogi Hukum: Sebuah Bunga Rampai, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1993, him. 2!0-212

92 Said Faisal, Mediasi (makalah) dalam Prosiding him. 50 lihatjuga Denaldy Mauna dalam Mediator's Skill Reframing and Questioning in Practice, him. 153

65

2. Model fasilitasi (Facilitative Model) a. Memberikan fasilitas dan mengarahkan pada pihak-pihak yang

berperkara agar sedapat mungkin menyelesaikan sendiri masalah b. Mediator mengarahkan para pihak dari positional negotiation ke

interest based negotiation yang mengarah ke penyelesaian yang saling menguntungkan. Penekanan lebih ditujukan kepada kebutuhan dan kepentingan para pihak yang berselisih.

c. Mediator mengarahkan para pihak untuk lebih kreatif dalam mencari altematif penyelesaian.

d. Mediator perlu memahami proses dan teknik mediator tanpa harus ahli dalam bidang yang diperselisihkan.

e. Kelebihannya adalah para pihak ketika selesai sengketa akan merasa puas, karena yang diangkat adalah kepentingannya dan bukan sekedar hal yang dipersengketakan saja.

f. Kekuranganya adalah waktu yang dibutuhkan menjadi lebih lama, g. Prosesnya lebih terstruktur.

3. Therapeutic a. Fokus pada penyelesaian yang komprehensif tidak terbatas hanya pada

penyelesaian sengketa tapi juga rekonsiliasi an tara para pihak. b. Yang diharapkan adalah selesainya sengketa dan juga para pihak

benar-benar menjadi baik/tetap berhubungan baik. c. Proses negosiasi yang mengarah ke pengambilan keputusan tidak akan

dimulai, sebelum masalah emosional antara para pihak yang berselisih diselesaikan.

d. Fungsi mediator adalah untuk mendiagnosa penyebab konflik dan menanganinya berdasarkan aspek psikologis dan emosional hingga para pihak yang berselisih dapat memperbaiki dan meningkatkan kembali hubungan mereka

e. Mediator diharapkan memiliki kecakapan dalam "counseling" dan juga proses serta teknik mediasi.

f. Penekannya lebih ke terapi, baik tahapan pre-mediasi atau kelanjutannya dalam proses mediasi.

g. Biasanya digunakan dalam ;;amily dispute (sengketa keluarga) seperti perceraian, perwalian anak. 3

4. Eva/uative94

a. Court annexed lebih berfokus ke evaluative model. b. Para pihak datang dan mengharapkan mediator akan memberikan

semacam pemahaman bahwa apabila kasus ini terns berlangsung, maka siapa yang akan menang dan siapa yang akan kalah.

c. Lebih berfokus pada hak dan kewajiban. d. Mediator biasanya ahli pada bidangnya atau ahli dalam bidang hukum

karena pendekatan yang difokuskan adalah pada hak. Disini mediator cenderung memberi jalan keluar dan informasi bidang hukum (legal

93 Jacqueline M Nolan Haley, Alternative Dispute Resolution in a Nutshell St Paul, Minn, 2001, him 75

94 Said Faisal, ibid, him. 51

66

information) guna mengarah ke suatu hasil akhir yang pantas. e. memberikan saran atau nasihat kepada para pihak berupa

nasihat-nasihat hukum dalam proses mediasi, bisa juga menjadi semacam tempat dimana para pihak hadir dan ada semacam draft keputusan dari mediator atau semacam jalan keluar yang diberikan oleh mediator.

£ Kelemahannya adalah para pihak akan merasa tidak memiliki basil kesepakatan yang ditandatangani bersama.

Silbey dan Mary telah membagi dua jenis atau model mediasi yaitu:

jenis tawar-menawar (bargaining style) atau jenis menolong (theurapetic

style). Jenis pertama adalah pendekatan pragmatis yang terfokus pada

penyelesaian masalah dan langsung ke pokok masalah. Sementara jenis

theurapetic style lebih menekankan pada konteks emosional dan terfokus

pada proses komunikasi kedua belah pihak.95

D. Pengertian Keadilan Restoratif

"Restorative Justice" atau sering diterjemahkan sebagai keadilan

restoratif,96 merupakan suatu model pendekatan yang muncul dalam era tahun

1960-an dalam upaya penyelesaian perkara pidana. Berbeda dengan

pendekatan yang dipakai pada sistem peradilan pidana konvensional,

pendekatan ini menitikberatkan pada adanya partisipasi langsung pelaku,

korban dan masyarakat dalam proses penyelesaian perkara pidana. Terlepas

dari kenyataan bahwa pendekatan ini masih diperdebatkan secara teoretis,

akan tetapi pandangan ini pada kenyataannya berkembang dan banyak

mempengaruhi kebijakan hukum dan praktik di berbagai negara.

95 Jaqualine M. Nolan Haley, op.cit., him. 76 96Jstilah ini dipergunakan UNICEF dalam seminar lnternasional yang digelar di Jakarta

pada tahun 2002 dan diberbagai seminar maupun tulisan, para penulis lazim menggunakan istilah ini, Misalnya Diah D. Yanti, Diversi dan Keadilan Resforatif Dalam Penanganan Kasus Anak yang Berkonflik dengan Hukum di Lampung.

67

Penanganan perkara pidana dengan pendekatan keadilan restoratif

menawarkan pandangan dan pendekatan berbeda dalam memahami dan

menangani suatu tindak pidana. Dalam pandangan keadilan restoratif makna

tindak pidana pada dasamya sama seperti pandangan hukum pidana pada

umumnya yaitu serangan terhadap individu dan masyarakat serta hubungan

kemasyarakatan. 97 Akan tetapi dalam pendekatan keadilan restoratif, korban

utama atas terjadinya suatu tindak pidana bukanlah negara, sebagaimana

dalam sistem peradilan pidana yang sekarang ada.98 Oleh karenanya

kejahatan menciptakan kewajiban untuk membenahi rusaknya hubungan

akibat terjadinya suatu tindak pidana.99 Sementara keadilan dimaknai sebagai

proses pencarian pemecahan masalah yang terjadi atas suatu perkara pidana

dimana keterlibatan korban, masyarakat dan pelaku menjadi penting dalam

usaha perbaikan, rekonsiliasi dan penjaminan keberlangsungan usaha

perbaikan tersebut. 100

Pendekatan keadilan restoratif diasumsikan sebagai pergeseran paling

mutakhir dari berbagai model dan mekanisme yang bekerja dalam sistem

peradilan pidana dalam menangani perkara-perkara pidana pada saat ini. PBB

melalui Basic principles yang telah digariskannya menilai bahwa pendekatan

keadilan restoratif adalah pendekatan yang dapat dipakai dalam sistem

97Dalam kenyataannya perubahan ini tidak lepas dari pandangan ilmu kriminologi yang melihat adanya perkembangan dalam melihat pelaku tindak pidana, pendefinisian tindak pidana serta respon yang terjadi alas suatu tindak pidana. Meskipun tidak dapat dinyatakan bahwa pandangan kriminologi baru adalah serupa dengan pandangan keadilan restoratif, akan tetapi tidak dapat dipur.gkiri bahwa kehadiran keduanya berdarnpak pada perubahan paradigma sebagai akibat perkembangan pemikiran ini. Koesriani Siswosoebroto, , PendekaJan Baro dalam Kriminologi, Penerbit Universitas Trisakti. Jakarta, 2009

98/bid 99Crime is a violation of people and relationships ... It creaJes obligations to make things

right.Ibid. 100Jbid

68

peradilan pidana yang rasional. Hal ini sejalan dengan pandangan G. P.

Hoefnagels yang menyatakan bahwa politik kriminil harus rasional (a

rational total of the responses to crime). 101Pendekatan keadilan restoratif

merupakan suatu paradigma yang dapat dipakai sebagai bingkai dari strategi

penanganan perkara pidana yang bertujuan menjawab ketidakpuasan atas

bekeljanya sistem peradilan pidana yang ada saat ini.

Keadilan Restoratif adalah sebuah konsep pemikiran yang merespon

pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan pada

kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisihkan dengan

mekanisme yang bekeJja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini.

Di pihak lain, keadilan restoratif juga merupakan suatu kerangka berfikir

yang barn yang dapat digunakan dalam merespon suatu tindak pidana bagi

penegak dan pekelja hukum. Beberapa definisi tentang keadilan restoratif:

a. Dignan: Restorative justice is a new framework for responding to wrongdoing and conflict that is rapidly gaining acceptance and support by educational, legal, social work, and counseling professionals and community groups. 102 Restorative justice is a valued-based approach to responding to wrongdoing and conflict, with a balanced focus on the gerson harmed, the person causing the harm, and the affocted community. 3

b. Mark Umbreit: Restorative justice provides a very different framework for understanding and responding to crime. Crime is understood as harm to individuals and communities, rather than simply a violation of abstract laws against the state. Those most directly affected by crime - victims, community members and offonders - are therefore encouraged to play on active role in the justice process. Rather than the current focus on offonder punishment, restoration of the emotional and material losses resulting from crime is for more important. 104

101Barda Nawawi, Op. Cit. 102Jhid 103ibid 104Mark Umbreit, "Avoiding the Marginalization and 'McDonaldizotion' of Victim-Offonder

mediation: A Case Study in Moving Toward the Mainstream" in Restorative Juvenile Justice

69

c. Braithwaite: "On (the prosedural} view, restorative justice is a process that brings keadilan together all stakeholder affected by some harm. That has been done . .. These stakehorlders meet in a circle to discuss how they have been affocted by the harm and come to some agreement as to what should be done to right any wrongs suffered . . .. Restorative justice is about healing (restorative) than hurting. 105

d. Howard Zehr: Viewed through a restorative justice lens, "crime is a violation of people and relationships. It creates obligations to make things right. Justice involves the victim, the offender, and the community in a search for solutions which promote repair, reconciliation, and reassurance. "106

e. Burt Soloway and Joe Hudson: A definition of restorative justice includes the following fundamental elements:

"first, crime is viewed primarily as a conflict between individuals that results in injuries to victims, communities, and the offenders themselves; second, the aim of the criminal justice process should be to create peace in communities by reconciling the parties and repairing the injuries caused by the dispute; third, the criminal justice process should facilitate active participation by the victims, offenders, and their communities in order to find solutions to the conflict. "107

Tidak mudah memberikan definisi bagi pendekatan keadilan restoratif

ini, mengingat banyaknya variasi model dan bentuk yang berkembang dalam

penerapannya. Karenanya banyak terminologi yang digunakan untuk

menggambarkan aliran keadilan restoratif ini antara lain "communitarian

justice (keadilan komunitarian), positive justice (keadilan positif), relational

justice (keadilan relasional), reparative justice (keadilan reparatif) dan

community justice (keadilan masyarakat) serta communitarian

justice "J08Terminologi yang dipakai untuk menyebut "communitarian

Repairing the Harm of Youth Crime, edited by Gordon Bazemore and Lode Walgrave. Monsey, NY: Criminal Justice Press, 1999, him. 213

105John Braitwaite, Crime Shame and Reintegration. Op.Cil. 1""Howard Zebr, 1990, Changing Lenses: A New Focus for Crime and Justice, Scottdale,

Pennsylvania; Wolerloo, Ontario: Herold Press, 1990, hlm.181. 107Burt Galaway and Joe Hudson, Criminal Justice, Restitution and Reconciliation,

Monsey, NY: Criminal Justice Press, 1990, him. 2 108Miers, Op Cit, him. 88.

70

justice" berasal dari teori komunitarian yang berkembang di Eropa saat ini.109

Paham individualis yang selama ini lekat dengan dunia barat, berangsur-

angsur ditinggalkan sejalan dengan kesadaran peran masyarakat terhadap

perkembangan kehidupan seseorang. Pandangan-pandangan tersebut

menempatkan keadilan restoratif pada posisi yang mengusung lembaga

musyawarah sebagai upaya yang dapat dilakukan dalam mencari jalan terbaik

atas suatu pemecahan masalah yang timbul akibat dilakukannya suatu tindak

pi dana.

Banyak penulis menganggap keadilan restoratif bukanlah konsep yang

barn. Keberadaannya barangkali sama tuanya dengan hukum pidana itu

sendiri. Bahkan beribu tahun, upaya penanganan perkara pidana, pendekatan

justru ditempatkan sebagai mekanisme utama bagi penanganan tindak pidana.

Marc Levin menyatakan bahwa pendekatan yang dulu dinyatakan sebagai

usang, kuno dan tradisional kini j ustru dinyatakan sebagai pendekatan yang

progresif. 110 Hooker menjadi menggambarkan unsur-unsur universal yang

menjadi dasar hukum adat serta sistemnya sebagai berikut:

(a) The distribution of obligation is often a function of an actual or putative genealogical relationship;

(b) The community, wether de fined on a genealogical or a territorial basis, almost always has a greater right over fond distribution than the individual possesor or occupies;

(c) The institution of tolong menolong and gotong-royong exemplifY the individual's subjection to a common set the obligations;

(d) ... all the a dots posit the preservation of harmony between the community and nature. 11 r

109/bid 11~arc Levin, Restorative justice in Texas: Past, Present and Future, Texas: Texas Public

Policy Foundation, him. 5-7 ditelusur melalui www.TexasPolicy.com pada langgal 3 Februari 2008.

111!. Gede A.B.Wiranata, Hukum Adat Indonesia Perkembangan Dari Masa Ke Masa, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, him. 60

71

Konsep hukum adat Indonesia sebagai wadah dari institusi peradilan

adat juga memiliki konsep yang dapat digambarkan sebagai akar dari keadilan

restoratif. Di Indonesia, karakteristik dari hukum adat di tiap daerah pada

umumnya amat mendukung penerapan keadilan restoratif. Hal ini dapat

dilihat dari ciri-dri umum hukum adat Indonesia, pandangan terhadap

pelanggaran adat/delik adat serta model dan cara penyelesaian yang

ditawarkannya.

Supomo mendeskripsikan ciri umum tersebut sebagai berikut: (a) corak religius yang menempatkan hukum adat sebagai bentuk kesatuan

batin masyarakat dalam suatu persekutuan (komunal); (b) sifitt komunal dari hukum adat menempatkan individu sebagai orang

yang terikat dengan masyarakat Seorang individu sosok yang bebas dalam segala laku karena ia dibatasi oleh batasan-batasan norma yang telah diterapkan baginya;

(c) tujuan dari persekutuan masyarakat adalah memelihara keseimbangan lahir batin antara individu, golongan dan lingkungan hidupnya (levemilieu). Tujuan ini pada dasamya diemban oleh masing-masing individu anggotanya demi mencapai tujuan dari persekutuan;

(d) tujuan memelihara keseirnbangan-keseimbangan lahir batin berangkat dari pandangan atas ketertiban yang ada dalam alam semesta (kosmos), dimana ketertiban masyarakat merupakan berjalan kembali seperti biasa. 112

Pada dekade 1970-1980-an permasalahan korban tersebut menjadi dasar

reorientasi sistem peradilan pidana dan mulai muncul tuntutan supaya sistem

peradilan juga memperhatikan kepentingan korban kejahatan yang kemudian

menjadi gerakan intemasional untuk memberdayakan korban dalam prosedur

pidana. Puncaknya adalah disetujuinya Dek:larasi PBB 1985 Nomor 40/43

tanggal 29 Nopember 1985 tentang Declaration of Basic Principles of Justice

112Poin-poin ini di sarikan dari tulisan Supomo dalam Supomo, Hubungan lndividu dan Masyarakat Dalam Hukum Ada/, Cet. 2, 1970, Jakarta: Pradnya Paramita dan Pidato Dies Natal is Universitas ~jab Mada pada 17 Maret 1947 yang dibukukan dalarn Supomo, 1947, Kedudukan Hukum Adat Dikemudian Hari, Cet. 2, Jakarta: Kebangsaan Pustaka Rakyat

72

for Victims of Crime and Abuse of Power. /J3Deklarasi PBB merupakan

bentuk kepedulian nyata masyarakat intemasional terhadap nasib korban

kejahatan dan korban penyalahgunaan kekuasaan. Dilihat dari sudut proses

pembentukannya, deklarasi tersebut merupakan puncak keberhasilan gerakan

korban berskala regional dan intemasionaL dan dilihat dari sudut PBB,

deklarasi tersebut mengikat negara anggotanya dan menjadi bahan masukan

untuk melakukan pembaruan hukum pidana pada masing-masing negara

anggota. 114

Deklarasi PBB tahun 1985 kemudian menjadi trend dalam pembaruan

hukum pidana yang memperhatikan kepentingan korban dalam

penyelenggaraan sistem peradilan pidana Di sarnping itu, deklarasi tersebut

Ielah menempatkan masalah korban kejahatan menjadi persoalan dasar

kehidupan manusia dan kemanusiaan yang memerlukan perhatian masyarakat

dan Negara dan persoalan peradilan pidana juga ditujukan pada kepercayaan,

perlindungan dan kompensasi korban.

Atas dasar falsafah ini, secara objektif persoalannya bukan beratnya

pemidanaan sebagai bentuk pelampiasan balas dendam terhadap pelanggar,

tetapi untuk memperbaiki atau mengganti kerugian atau luka-luka yang

diderita yang disebabkan oleh kejahatan. Roger Matthews mengatakan:

"The growth of what has been refored to as the "victim movement" and the emergence of victim support has dramatically changed the orientation of analysis and intervention. It has modified the criminal justice agenda and altered tradisional w~s of thinking about crime and crime contro/". 115

1 13Trisno Rahardjo, Mediasi Pidana Dalam Sistem Peradi/an Pidana Suatu Kajian Perbandingan dan Penerapanrrya di Indonesia, Yogyakarta: UMJ dan Litera, 2011, him. 27.

114Ibid n5Roger Matthews, "Crime Preventation, Disorder and Victimization: Some Recent

Western Experiences". International Journal oft he Sociology of Law, Junil994, him. 95.

73

Perspektif restoratif memandang kejahatan, meskipun kejahatan

dilakukan juga melanggar hukum pidana, aspek yang lebih penting bukan

perbuatan pelanggarannya tetapi proses kerugian atau viktimisasi kepada

korban kejahatan, masyarakat dan sebenamya juga melanggar kepentingan

pelanggar itu sendiri.

Suatu pelanggaran hukum pidana dipahami sebagai konflik antar

individu yang menimbulkan kerugian kepada korban, masyarakat dan

pelanggar sendiri. Di antara ketiga kelompok tersebut, kepentingan korban

kejahatan sebagai bagian yang utama, karena kejahatan utamanya adalah

melanggar hak korban. 116

Tony F. Marshall menggambarkannya hubungan terse but di atas dalam

sistem peradilan pidana 117 bahwa secara historis, restorative justice

memperoleh inspirasi dari "commnity justice" (peradilan a tau keadilan

masyarakat) yang masih dipergunakan pada beberapa budaya masyarakat

non-Barat, khususnya masyarakat adat (indigenous population). Dalam

perkembangannya, konsep restorative justice dipengaruhi oleh pemikiran

mengenai persamaan dan hubungan masyarakat. Meski inspirasinya tidak

datang dari budaya masyarakat Indonesia, namun pola-pola restorative justice

tertanam dalam beberapa tradisi masyarakat adat di Indonesia.

Dalam Black's Law Dictionary ditegaskan bahwa restorative justice

merupakan sanksi altematif atas kejahatan yang memfokuskan pada

perbaikan atas perbuatan yang membahayakan, mempertemukan kebutuhan

116Andrew Ashworth, Victim Impact StatemenJs and Sentencing, The Criminal Law Review, August, 1993, him. 25.

117Tony F. Marshall, Restorative Ju slice An Overview. A report by the Home Office Research Development and Statistics Directorate, him. 5.

74

korban dan meminta pertanggungjawaban pelaku atas tindakannya. Keadilan

restoratif ini menggunakan pendekatan keseimbangan, menghasilkan

disposisi yang membatasi dengan memusatkan pada tanggung jawab pelaku

dan memberikan bantuan pada korban. Pelaku mungkin diperintahkan untuk

memberi ganti kerugian (restitusi), untuk melakukan pelayanan pada

masyarakat, atau membuat perubahan dalam beberapa cara atas perintah

(putusan) pengadilan.

"an alternative delinquency sanction that focuses on repairing the harm done, meeting the victim's need, and holding the o.ffonder responsible for his or her actions. Restorative justice sanctions use a balanced approach, producing the least restrictive disposition while stressing the o.ffonder's accountability and providing relief to the victim. The o.ffonder may be ordered to make restitution, to peiform communi~[ service, or to make amends in some other way that the court orders". 11

Dalam salah satu ensiklopedia online, dikatakan bahwa Restorative

justice (atau seringjuga disebut "reparative justice") atau secara istilah dalam

bahasa Indonesia dapat diteljemahkan dengan "peradilan atau keadilan

restoratif atau reparatif' merupakan suatu pendekatan untuk peradilan yang

berfokus pada kebutuhan para korban dan pelaku, serta masyarakat yang

terlibat, bukan memuaskan prinsip-prinsip hukum abstrak atau menghukum

pelaku. Korban mengambil peran aktif dalam proses, sementara pelaku

didorong untuk mengambil tanggung jawab atas tindakan mereka, "untuk

memperbaiki kerugian yang telah mereka lakukan dengan meminta maaf,

mengembalikan uang yang dicuri, atau pelayanan masyarakat. Restorative

melibatkan baik korban maupun pelaku dan berfokus pada kebutuhan mereka

secara pribadi.

118Bryan A. Gamer, ed., Black's Law Dictionary. Eight Edition. United State of America: West, a Thomson Business, 2004, him. 1340.

75

Selain itu, ia menyediakan bantuan bagi pelaku untuk mengbindari

pelanggaran di masa datang. Hal ini didasarkan pada sebuab teori keadilan

yang menganggap kejabatan dan pelanggaran merupakan pelanggaran

terhadap individu atau masyarakat, bukan negara. Keadilan restoratif yang

menumbuhkan dialog antara korban dan pelaku menunjukkan tingkat

tertinggi kepuasan korban dan akuntabilitas pelaku.

"an approach to justice that focuses on the needs of the victims and the offenders, as well as the involved community, instead of satisfying abstract legal principles or punishing the offender. Victims take an active role in the process, while offenders are encouraged to take responsibility for their actions, "to repair the harm they've done-by apologizing, returning stolen money, or community service". Restorative justice involves both victim and offender and focuses on their personal needs, In addition, it provides help for the offender in order to avoid future offences. It is based on a theory of justice that comiders crime and wrongdoing to be an offence against an individual or community, rather than the state. Restorative justice that fosters dialogue between victim and offender shows the highest rates of victim satisfaction and offender accountability". 119

Sedangkan dalam pengaturan di Indonesia, pada Pasal I angka 6 UU

No. 12 tabun 2011 tentang Siste Peradilan Pidana Anak, mendefinisikan

bahwa "Keadilan Restoratif adalab penyelesaian perkara tindak pidana

dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelakulkorban, dan pihak lain

yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan

menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan

pembalasan."

Berdasarkan definisi-definisi diatas dapat diambil pengertian babwa

restorative justice merupakan desain peradilan pidana yang memperhatikan

kepentingan atau kebutuhan korban, keluarga, dan masyarakat yang

119http://www.en.wikioedia.org. diunduh tanggal8 April2012, pk. 21.10 wib.

76

terpengaruh atas dasar pertanggungjawaban pelaku tindak pidana. Sehingga,

peradilan pidana bukan semata-mata bertujuan menghukum atau meminta

pertanggungjawaban pelaku, namun kebutuhan atau kepentingan korban

mendapatkan perhatian yang seimbang dalam proses peradilan yang dapat

dikukuhkan melalui putusan pengadilan.

1. Bentuk Proses Restorative Justice

Keadilan restoratif memiliki beberapa bentuk proses sebagaimana diterapkan diberbagai negara, di antaranya: ( I) mediasi pelaku-korban (victim-offender mediation), (2) pertemuan kelompok keluarga (family group conferencing), (3) pertemuan restoratif (restorative coriferencing), (4) dewan peradilan masyarakat (commnity restorative boardY), (5) lingkaran restoratif a tau sistem restoratif (restorative circles or restorative systems). 120

Mediasi pelaku-korban (victim-offender mediation) atau disebut

dialog/pertemuan/rekonsiliasi pelaku-korban biasanya dilakukan

pertemuan antara pelaku dan korban, yang menghadirkan mediator

terlatih. Dalam area perkara pidana, model atau teknik ini digunakan baik

kasus-kasus kecil untuk mengurangi penumpukan perkara, maupun kasus-

kasus serius untuk memfasilitasi pengampunan dan proses penyembuhan

yang lebih mendalam, baik untuk korban maupun pelaku. Data

internasional menunjukkan bahwa teknik ini berhasil di terapkan di

Australia, New Zeland, Kanada, dan Belanda dalam berbagai konteks,

yang meliputi sistem peradilan anak dan berhasil menurunkan

residivisme. 121

120 Undang Mangapol, Penerapan Restorative Justice da/am Proses Peradilan Pidana di Indonesia, UNISBA, Bandung, 2012, him. 328

121Peter Cane dan Herbert M. Kritzer, Cane, ed., The ()>ford Handbook of Empirical Legal Research, Oxford: Oxford University Press, 2010, him. 611.

77

Pertemuan kelompok keluarga (family group conforencing)

merupakan lingkaran partisipan yang lebih luas daripada mediasi pelaku­

korban, yaitu menambah orang yang dikaitkan dengan pihak-pihak utama,

seperti melibatkan ternan, keluarga, dan profesional. Teknik ini

merupakan sistem paling tepat untuk kasus-kasus kenakalan anak, seperti

di Kolumbia, Australia dan·New Zeland.122 Di Kolumbia (British

Columbia) model ini dipergunakan dalam konteks untuk kesejahteraan

anak. Proses ini didesain untuk menawarkan perencanaan dan

pembentukan putusan yang kooperatif dan untuk membangun kembali

jaringan kerja dukungan keluarga. Model ini mengandung pengertian: (a)

fasilitasi untuk melibatkan keluarga anak, keluarga besar, dan anggota

masyarakat lainnya dalam pembentukan putusan terhadap masalah

kesejahteraan anak, (b) memberi alternatif non-adversarial pada

pengadilan untuk membuat perencanaan dalam situasi perlindungan anak,

(c) dapat digunakan untuk mendorong putusan, namun tidak terbatas

pada, penempatan perawatan, perencanaan tetap, dan penyatuan anak

dengan keluarganya, (d) menentukan keluarga yang memilih pertemuan

dengan koordinator yang tidak memihak untuk mengoordinasi dan

memfasilitasi pertemuan, (e) memberL hak ada keluarga untuk menolak

pertemuan, mendukung pengadilan, mediasi atau proses alternatif

penyelesaian lainnya.

Pertemuan restoratif (restorative conferencing) juga melibatkan

partisipan yang lebih luas ketimbang mediasi pelaku-korban, sebagai

122Lihatjuga Trisno Rahardjo, Op.Cit., hlm. 47-50.

78

respon terhadap kenakalan anak Ouvenile crime). Teknik ini bersifat

volunter (sukarela), yang terdiri dari pelaku, korban, keluarga para pihak

dan ternan, untuk mencapai konsekuensi dan restitusi (ganti kerugian).

Model ini dapat digunakan pada setiap tahap proses peradilan pidana,

tetapi biasanya digunakan relatif awal. Sebagai contoh pada beberapa

yurisdiksi, polisi telah mengembangkan program ini sebagai altematif

untuk penangkapan dan rujukan ke sistem peradilan formal pidana.

Model ini dikembangkan di Selandai Baru. Pada tahun 1989,

"Children Young Person and Family Act" menciptakan altematif barn

untuk menanggapi kejahatan rem~a dan persoalan perlindungan anak

dengan menempatkan lebih banyak otoritas pengambilan keputusan di

tangan keluarga dan masyarakat. Proses ini memiliki akar dalam praktek­

praktek tradisional dalam tradisi Maori. Sejak diperkenalkan di Selandia

Baru, model ini telah diterapkan di Australia, Amerika Serikat, lnggris

dan Wales dan Kanada. 123

Dewan peradilan masyarakat(community restorative boards) atau

yang disebut Komite Peradilan Masyarakat (community justice

committees) di Kanada atau panel untuk rujukan (Referal Order Panels)

seperti di Inggris dan Wales, bentuknya merupakan kelompok kecil (small

group), dipersiapkan melalui pelatihan intensif, yang dilakukan

masyarakat, sebagai pertemuan tatap-muka face-to:face meeting). Hakim

dapat memerintahkan pelaku untuk terlibat, polisi dapat merujuk sebelum

menetapkan status, atau mereka dapat menempuh di luar sistem hukum.

123Lihat Trisno Rahardjo, Ibid, him. 50.

79

"Model ini sekaligus merupakan contoh: non-adversarial decision­

making practices" (praktik pengambilan putusan non-adversarial) yang

diinspirasi oleh perspektif keadilan masyarakat atau restorative. Karakter

model ini di antaranya: (I) dimasukkannya anggota masyarakat dalam

proses peradilan, (2) pemulihan penderitaan akibat kejahatan, (3)

reintegrasi pelaku ke dalam masyarakat.

Lingkaran atau sistem restoratif(restorative circles or restorative

systems), pendekatan ini melibatkan banyak lingkaran partisipan yang

lebih luas daripada pertemuan pelaku-korban yang konvensional, seperti

dilakukan di Brazil, Jerman, Amerika, dan Inggris, yang dimulai dengan

membangun sistem restoratif di lingkungan a tau sekolah tern pat lingkaran

(lingkungan restoratif) akan diselenggarakan. Di Hawai, Huikahi

Restorative Circles mengizinkan terpidana bertemu dengan keluarga dan

ternan-ternan dalam suatu proses kelompok (group proces) untuk

mendukung transisi balik pada masyarakat. Pertemuan secara khusus

diarahkan pada kebutuhan untuk rekonsiliasi dengan korban kejahatan.

2. Mendinamisasi Restorative Justice dengan Cara Progresif

Ketiadaan aturan atau ketentuan hukum yang mendasari tindakan

penyidikan, penuntutan, maupun .pembentukan putusan pengadilan dari

sudut pandang positivisme hukum merupakan pembenaran yang tidak

berdasar hukum dan karenanya tidak dapat dipertahankan, kendati

memiliki dasar moral. Seperti diungkapkan oleh Hart bahwa "Moral

80

judgement camwt be established or defended by rational argument;

evidence or proof'. 124

Hal ini berarti fungsionalisasi konsep restorative justice dalam

praktik peradilan pidana tanpa didukung oleh hukum positif baik hukum

pidana formal atau substantif (hukum acara) merupakan praktik "moral

judgement". Hal tersebut tentu dapat dikatakan bertentangan dengan

prinsip atau asas·legalitas yang sangat berpengaruh dalam hukum pidana.

Konsep hukum seperti itu dapat dikatakan beiWatak legalistik, yang

pada gilirannya sangat lambat mengakomodasi dinamika masyarakl!t,

seperti tuntutan restorative justice. Sebab, dalam pandangan legisme atau

positivisme, undang-undang kerap sekali dianggap sebagai benda yang

keramat. Ia dianggap sebagai suatu sistem yang logis bagi penerapan dan

penyelesaian seluruh perkara karena sifatnya yang rasional. Teori

rasionalitas sistem hukum pada abad ke-19 ditunjukkan dengan istilah

"ideenjurisprudenz". 125

Lambatnya akomodasi dinamika sosial oleh hukum, tennasuk dalam

kasus restorative justice mengakibatkan kesenjangan antara hukum dan

masyarakatnya. Sehingga, kasus pencurian kakao oleh mbok Minah di

Banyumas, kasus dugaan pencurian celana. dalam dan bra (BH) oleh

Samsu Alam yang telah diputus oleh PN Jakarta Timur tidak perlu harus

sampai berlanjut ke pengadilan apabila sejak penyidikan sudah diterapkan

model restorative justice.

12"M.R. Zafer, M.R. Zafer, Jurisprodence an Outline, lntemational Law Book Services, Kualalumpur, 1994, him. 5.

125Y esmil Anwar dan Adang, Sistem Peradilan Pidana, Konsep, Komponen & Pelaksanaannya dolam Penegakan Hukum di Indonesia, Widya Padjadjaran, Bandung, 2009, him. 19.

81

Hambatan-hambatan yang muncul dari bekeljanya hukum yang

legalistik bisa diatasi apabila, seperti dikatakan oleh Karl Renner, yaitu

kesediaan untuk membuka klep-klep sehingga hukum mampu

mengakomodasi dinamika dalam masyarakat. Inilah yang dimaksud oleh

Renner, pada saat ia mengatakan agar hukum itu dibiarkan mencari dan

menemukan jalannya sendiri secara progresif, "the development of the law

grodually works out what is socially reasonable". Dengan kearifan yang

demikian itu, maka hukum tidak perlu selalu tertatih-tatih sibuk membuat

undang-undang baru, oleh karena tanpa membuat yang bam pun, praksis

hukum yang progresif bisa menjadi penyalur atau kanalisasi dinamika

masyarakat.t26

Dimulai dari asumsi dasar bahwa hukum adalah untuk manusia,

hukum progresif mempunyai tujuan besar berupa kesejahteraan dan

kebahagiaan manusia, sehingga hukum selalu berada dalam status "law in

the making". Hukum tidak ada untuk dirinya sendiri dan tidak bersifat

fmaL 127

Cara berhukum yang progresif dalam proses peradilan pidana bukan

ihwal mudah sebab penyidik, penuntut umum, atau hakim dalam konteks

sistem peradilan pidana .Indonesia terbiasa, bahkan telah menjadi kultur

hukum, dengan paradigma "rule-bound" atau "bound by the rules';

khususnya terikat pada hukum negara. Sedangkan hukum progresif

memilih "pembebasan" dari ikatan-ikatan norma hukum negara yang

126Satjipto Rahardjo, Op.Cit., him. 47. 127Sa~ipto Rahardjo, "Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan", dalam "Jumal

Hukum Progresif', Program Doktor llmu Hukum, Universitas Diponegoro, Semarang, 2005, hlm. 16.

82

membelenggu. Munurut Satjipto Rahardjo128 pembebasan-pembebasan

merupakan hal yang biasa dalam praktik hukum di dunia. Apabila kita

mengamati sejarah, kita mencatat pembebasan-pembebasan yang

dilakukan oleh suatu bangsa terhadap asas-asas yang dianggap

membelenggunya, sehingga menghambat pencapaian tujuan yang

dikehendaki.

Untuk dapat menerapkan konsep restorative justice dalam proses

peradilan pidana di Indonesia, maka upaya untuk membebaskan diri dari

norma atau prinsip dalam hukum pidana Nasional yang membelenggu

menjadi keniscayaan. Artinya, norma maupun prinsip yang tidak

membelenggu tetap dapat mendasari proses-proses meskipun dengan

pemaknaan yang sejalan dengan penerimaan konsep restorative justice.

Bersamaan dengan ini, maka pembentukan hukum untuk proses peradilan

pidana yang beiWatak restoratif menjadi terbuka sebagai konsekuensi

pembebasan dari belenggu untuk mencapai kesejahteraan dan

kebahagiaan manusia atau dalam konteks restorative justice untuk

mencapai harmoni kehidupan masyarakat. Hal ini dapat dikatakan

berhukum dengan mendasarkan pada pertimbangan nilai praktis, yang

sepenuhnya sangat. bergantung pada pilihan bebas personal berdasarkan

pada·kepentingan pencapaian harmoni dalam kehidupan masyarakat

setelah teijadinya kejahatan.

Penerapan konsep restorative justice yang belum didukung penuh

oleh kekuatan peraturan perundang-undangan, sebenarnya merupakan

128Satjipro Rahardjo, Ibid, him. 14.

83

bentuk yang disebut, dengan meminjam istilah yang dipakai Lauren B.

Edelman, Sally Riggs Fuller, dan Iona Mara-Drita, "manajerialisasi

hukum" (manageria/ization of law), menyatakan bahwa:

"Legal rules tend to be filtered through a set of manageriallemes chiefly designed to encourage smooth employment relation and high productivity. Thus, as legal ideas move into managerial and organizational arenas, law tends to become "managerialized', or progressively irifUsedwith managerial values". 129

(Aturan hukum cenderung disaring melalui serangkaian lensa manajerial terutama dirancang untuk mendorong hubungan kelja yang halus dan produktivitas yang tinggi. Dengan demikian, ide-ide hukum pindah karena manajemen dan organisasi, sehingga hukum cenderung menjadi "managerialized," atau semakin diresapi dengan nilai-nilai manajerial").

Itu berarti penerapan konsep restorative justice sangat bergantung pada

kapasitas managerial dalam masing-masing tingkatan institusi. Dalam me-

manage proses peradilan, di satu tingkatan, baik di tingkat penyidikan

atau penuntutan sebagai contoh, bisa terjadi kesenjangan pemahaman

antara penyidik atau penuntut umum di tingkat bawah dengan kebijakan

pimpinan dalam penanganan perkara pidana

3. Restorative Justice dalam Konteks Penyidikan

Polisi adalah gerbang (gatekeepers) dari sistem peradilan pidana.

Seperti dikatakan Donald Black, perannya sebagai penyelidik dan

penyidik tindak pidana, menempatkan polisi berhubungan dengan

sebagian besar tindak pidana umum atau biasa (ordinary or common

crimes). Sebagian besar polisi bekerja reaktif daripada proaktif, dengan

sangat bergantung pada warga masyarakat untuk mengadu atau melapor

129Lauren B. Edelman, Sally Riggs Fuller, dan lona Mara-Drita Edelman, Lauren B., Fuller, Sally Riggs, dan Mara-Drita, lona, May 2001, "Diversity Rhetoric and the Manageridlization of Law", dalam American Journal of Sociology, Volume 106, Number 6, 1589-1641, 2001, hlm. 1599

84

alas dugaan teljadinya tindak pidana.130 Dengan bukti-bukti cukup,

berdasarkan hukum acara pidana (KUHAP), polisi selaku penyidik

melimpahkan perkara ke Kejaksaan untuk dilakukan penuntutan.

Pertanyaan penting dalam hal ini, yaitu mungkinkah polisi selaku

penyidik menerapkan proses-proses restorative justice? Hal ini terutama

terkait dengan kewenangan penyidik untuk mencari keterangan,

melakukan penangkapan dan tindakan lain yang diperlukan, penahanan

atau menghentikan penyidikan. Sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat

(I) KUHAP (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana) jo. Undang-Undang Polri

(Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara

Republik Indonesia), wewenang penyidik meliputi:

a. menerima laporan atau pengaduan tentang adanya tindak pidana; b. melakukan tindakan pertama pada saat di tern pat kejadian; c. menyuruh berhenti tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri

tersangka; d. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; f. mengambil sidik jari dan memotret seseorang; g. memanggil seseorang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka

atau saksi; h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan

pemeriksaan perkara; 1. mengadakan penghentian penyid ikan; j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab.

Seperti diungkapkan di alas, dalam cara berpikir normatif-

positivistik, di Indonesia belum terdapat perundang-undangan khusus atau

ketentuan khusus yang mengatur mengenai restorative justice dalam

130Shary L. Roach Anleu, 2010, hlm. 152.

85

proses penyidikan, semisal untuk kenakalan anak (juvenile delinquency),

sebagaimana di negara negara tersebut di atas.

Perubahan model penyidikan dari yang bersifat semata-mata punitif

(menghukum) ke arah restoratif (pemulihan pelaku maupun korban)

merupakan perubahan lebih dari sekadar teknik, namun kultur penyidikan.

Oleh karena itu, membutuhkan proses panjang untuk adaptasi, yang

tampaknya tidak dapat ditunda-tunda. Sebagai contoh, skema melibatkan

korban (victims' participation scheme) dalam proses penyelidikan atau

penyidikan bukan hal mudah karena menuntut peruhahan dari pola-pola

yang biasa "tertutup" menjadi lebih "terbuka". Bel urn lagi persoalan,

partisipasi korban (victims' participation) itu sendiri sulit untuk

didefinisikan, artinya sampai batas apa partisipasi itu dimungkinkan,

meskipun secara keseluruhan potensial memberi manfat restoratif,

terutama pemulihan dan rehabilitasi korban.

4. Restorative Justice dalam Konteks Pennntntan

Penuntutan sebagai subsistem dari sistem peradilan pidana, memiliki

posisi strategis pula dalam merealisasikan konsep restorative justice.

Secara urn urn restorative justice terkait dengan setiap tahap pelaksanaan

kewenangan kejaksaan untuk melakukan penahanan, prapenuntutan,

penyusunan dakwaan dan tuntutan pidana, serta upaya hukum. Kondisi

paling ekstrim atas peran yang dapat dimainkan oleh kejaksaan dalam

implementasi restorative justice, yaitu mengalihkan (to divert) penuntutan

untuk mencapai penyelesaian perkara di luar pengadilan pada kasus-kasus

tertentu. Diversi (pengalihan) penuntutan itu sendiri telah menjadi

86

kecenderungan luas dalam refonnasi hukum pidana dalam sistem

peradilan pidana di berbagai negara. Diversi dapat berupa pembebasan

bersyarat (conditional discharge), penyederhanan prosedur (simplified

procedure), dan dekriminalisasi perilaku tertentu (decriminalization of

certain conduct). Hal-hal ini tidak diatur secara eksplisit dalam KUHAP

(Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana), kecuali penghentian

penuntutan.

Implementasi restorative justice tentu membutuhkan kreativitas

kejaksaan Oaksa penuntut umum) untuk mengembangkan program­

program restoratif, sehingga dapat meminimalisir penyelesaian perkara di

pengadilan. Dalam konteks itu, kejaksaan dituntut untuk mendayagunakan

atau membangun strategi-strategi atau pendekatan-pendekatan yang

berorientasi pada masalah {problem-oriented approach). Hal ini bukan

persoalan mudah sebab menggeser paradigma kejaksaan yang selama ini

dianggap sebagai "case processors" (pemroses kasus) menjadi "problem

solvers" (penyelesaian kasus), yang melibatkan masyarakat (communty

involvement). Jaksa penuntut umum selama ini justru cenderung untuk

meneruskan penyelesaian kasus melalui proses peradilan pidana yang

fonnal untuk memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum

tetap daripada menyelesaikan dengan model-model restoratif.

Dengan restorative justice, pola-pola tradisional seperti itu harus

dilihat sebagai altematif penyelesaian problem sosial, yang muncul

sebagai kejahatan atau tindak pidana yang bersentuhan dengan

kepentingan korban, keluarganya a tau masyarakat yang terpengaruh.

87

Sehingga, ketika proses peradilan dalam bingkai penuntutan, tidak dapat

memenuhi kepentingan korban, keluarga dan masyarakat yang

terpengaruh atas kejahatan, maka kreativitas ke arah penerapan model

restorative justice menjadi keniscayaan, meski dari teleskop hukum acara

pidana belum memperoleh justiflkasi.

Seperti dikutip oleh Luhut M.P. Pangaribuan, di Skotlandia penuntutan bisa diakhiri dengan "prosecutor fine", yaitu "the victim and the person responsible for the crime are brought together and, if the mediation is successful, the public prosecutor's office can decide not to pursue prosecution" (korban dan pelaku kejahatan secara bersama-sama melakukan mediasi dan apabila berhasil, jaksa penuntut umum dapat memutuskan untuk tidak melakukan penuntutan). Bahkan kemudian diperluas dengan penggunaan mediasi. Demikian pula di Perancis, sejak tahun 1993, seperti dikatakan oleh Chaterine Elliot dan Catherine Vernon bahwa "public prosecutors often in practice seek to apply intermediatery solution". Alasan yang dipergunakan, seperti dikatakan oleh Davies, Croall dan Tyrer, yaitu "role of prosecutor is not to seek a conviction at all costs: they should prosecute not persecute" (peran penuntut bukan berusaha men;-;alahkan dengan segala cara: mereka menuntut, bukan menganiaya).1 1

Di samping persoalan tradisi sistem peradilan pidana; hambatan

institusional kejaksaan menjadi variabel keberhasilan atau k.egagalan

implementasi restorative justice di tingkatan penuntutan ketika seperti

dinyatakan oleh Yudi Kristiana132 bahwa pelaksanaan tugas dan

kewenangan kejaksaan dilaksanakan dengan pendekatan birokratis,

sentralistik dan sistem komando serta pertanggungjawaban hierarkhis.

Keputusan pimpinan kejaksaan sebagai bentuk pengendalian tahap

penuntutan, pada tingkatan birokrasi yang memiliki jarak jauh dengan

realitas kasus dapat mendistorsi penyelesaian kasus dalam konteks

131Luhut M.P. Pangaribuan, Lay Judges & Hakim Ad Hoc, Suatu Srudi Teoritis Mengenai Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Fakultas Hukum Pascasarjana Universitas Indonesia dan Papas Sinar Sinanti, Jakarta, 2009, him. 156-157.

132Yudi Kristiana, Menuju Kejaksaan Progresif. Studi Tentang Petryelidikan, Petryidikan, dan Penuntutan Tindak Pidana, LSHP- Indonesia, Yogyakarta,2009, him. 125.

88

restorative justice, seperti dilakukan atau tidak diversi penuntutan dalam

kasus delinkuensi anak atau kekerasan dalam rumah tangga (domestic

violence). Terlebih ketika kriteria diversi itu tidak ditentukan dalam

peraturan perundang-undangan atau kebijakan kejaksaan secara umum.

Oleh karena itu, perubahan dari dalam melalui kebijakan Jaksa Agung

menjadi faktor penting fungsionalisasi restoratif justice, sampai KUHAP

memberi dasar eksplisit.

5. Restorative Justice dalam Konteks Pemeriksaan Sidang Pengadilan

Pemeriksaan sidang pengadilan dalam perkara pidana di Indonesia

berdasar Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) atau

hukum acara pidana khusus tidak didesain untuk menyelesaikan perkara

secara interpersonal. Desain yang dibangun dalam sistem peradilan pidana

di Indonesia, yaitu pengadilan berfungsi untuk menentukan apakah

hukum pidana Ielah dilanggar dan apabila dilanggar, maka pelaku dijatuhi

pidana; atau apabila tidak dilanggar, maka terdakwa dibebaskan atau

dilepaskan dari segala tuntutan. Peran pengadilan yang tradisional seperti

itu jelas berbeda, bahkan berseberangan dengan konsep restorative justice

yang bermaksud mengembalikan keseimbangan dalam hubungan sosial di

samping hasil proses peradilan, yaitu kompromi yang dapat diterima

secara timbal batik antara korban, masyarakat dan pelaku tindak pidana

atau kejahatan. Dengan ungkapan lain, secara tradisional berwatak

"ajudikatif', konsep restoratifmenawarkan model "negosiasi".

Atas dasar hal itu, maka pertanyaan yang perlu diajukan, yaitu

apakah peran pengadilan dan hakim dalam mengembangkan dan

89

mengimplementasikan inisiasi restorative justice?133. Sebelum

mendiskusikan peran hakim itu, dibutuhkan perubahan ke dalam

paradigma bahwa hukum acara pidana yang mengatur prosedur

pemeriksaan di tingkatan pengadilan, dapat disimpangi untuk kepentingan

restorative justice. Paradigma ini jelas menunjukkan pembebasan dari

hukum acara pidana yang selama ini menjadi batasan pemeriksaan sidang

pengadilan.

Restorative justice yang menganut prinsip berbeda dengan

pemeriksaan sidang pengadilan menjadi permasalahan paling jelas pada

tingkatan ini. Dalam konteks sistem peradilan pidana Indonesia,

ketentuan-ketentuan mengenai "keterbukaan" sudah sangat tegas danjelas

diatur dalam KUHAP, yang diderivasi dari prinsip "pemeriksaan sidang

pengadilan terbuka untuk umum". Sementara itu, model pertemuan

(conforence, meeting) dari restorative justice Iazimnya disusun secara

pribadi (private setting), sehingga persoalannya bagaimana hakim dan

penasihat hukum menilai babwa kepentingan masing-masing pihak

dihormati.

Secara Iebih luas, hal ini berkaitan dengan kemampuan hakim untuk

mendesain model pertemuan di antara para pihak dalam suatu forum yang

bukan bersifat "pemeriksaan sidang pengadilan untuk perkara pidana

Dalam konteks Indonesia, berhubungan juga dengan aktivitas yang

mungkin dapat dilakukan hakim untuk mendesain model pertemuan di

luar kelaziman sebagaimana telah diatur dalam KUHAP. Pengalaman

133Undang Mangapol, Op. Cit., him. 335

90

Indonesia atas mediasi yang diintegrasikan dengan pengadilan (court

connected mediation) dalam perkara-perkara perdata masih belum

menunjukkan hasil yang memuaskan. Oleh karena itu; introduksi

restorative justice pada tingkatan pengadilan tanpa didasari kriteria

hukum yang jelas tentu menjadi persoalan sendiri di samping persoalan

utama di atas. Model restorative justice di tingkatan pemeriksaan

pengadilan hakikatnya memberi kesempatan pada para pihak untuk

menyelesaikan melalui model-model "conference" yang harmonis bagi

korban, pelaku dan masyarakat. Sehingga, hakim dituntut untuk

menggunakan strategi atau me-manage penyelesaian perkara pidana itu

dengan memilih dan menawarkan model altematifyang sesuai.

E. Pengertian, Kedudukan, Hak, dan Kewajiban Anak

1. Pengertian Anak

Anak dalam pemaknaan yang umum mendapat perhatian tidak saja

dalam bidang ilmu pengetahuan (the body of knowledge), tetapi dapat

ditelaah dari sisi pandang sentralistis kehidupan. Seperti agama, hukum

dan sosiologi menjadikan pengertian anak semakin rasional dan aktual

dalam lingkungan sosia1.134 Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun

2012 Pasal l ayat (4) dijelaskan bahwa : "anak yang menjadi korban

tindak pidana yang selaf1iutnya disebut anak korban adalah anak yang

belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan

fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak

134 Maulana Hassan Wadong, Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, Crasindo, Jakarta, 2000, him I

91

pidana, dan dalam ketentuan ayat (5) dijelaskan bahwa: "anak yang

menjadi saksi tindak pidana yang selanjutnya disebut anak saksi adalah

anak yang belum berumur 18 (delapan betas) tahun yang dapat

memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan

pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang

didengar, dilihat, dan /atau dialaminya sendiri.

Menurut Arief Gosita dan F achri Bey, yang dimaksud anak nakal

yaitu anak yang berusia antara 8-18 tahun yang melakukan hal-hal tersebut

dibawah:

I. Melakukan tindak pi dana; 2. Yang tidak dapat diatur dan tidak taat kepada orang tua atau wali atau

pengasuh; 3. Sering meninggalkan rumah tanpa izin atau sepengetahuan orang tua

atau wali atau pengasuh; 4. Bergaul dengan penjahat-penjahat atau orang-orang yang tidak

bermoral dan anak mengetahui tentang itu; 5. Kerap kali mengunjungi tempat-tempat yang terlarang bagi anak; 6. Sering menggunakan kata-kata kotor, 7. Melakukan perbuatan yang mempunyai akibat yang tidak baik bagi

perkembangan pribadi secara sosial, rohani dan jasmani anak tersebut. 135

Pengertian anak menurut Undang-Undang Dasar Tahun 1945, oleh

Irma Setyowati Soemitro, dijabarkan sebagai berikut :

"Ketentuan UUD 1945 ditegaskan pengaturan dengan dikeluarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak yang berarti pengertian anak yaitu: seorang anak harus memperoleh hak-hak yang kemudian hak-hak tersebut dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar baik secara harfiah, jasmaniah, maupun sosial. Atau anak juga berhak atas Relayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosia1."1 6

135 Kumpufan Kufiah Hukum Perfindungan Anal<, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003, hlm49

136 Maulana Hassan Wadong. Op.cit., him 18

92

Hukum Perdata nasional memberikan pengertian sendiri tentang

anak dengan istilah "belum dewasa" dan mereka yang berada dalam

pengasuhan orang tua dan perwalian. 137 Seperti dalam Pasal 330 KUH

Perdata mengatakan bahwa orang belum dewasa adalah mereka yang

belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak lebih

dahulu telah menikah. 138 Pengertian yang dimaksud sama halnya dengan

pengaturan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor I Tahun 1974

tentang Perkawinan, Yurisprudensi, Hukum Adat, dan Hukurn Islam.

Pengertian tentang anak diletakkan sama makna dengan mereka yang

belum dewasa, dan seseorang yang belum mencapai usia batas legitimasi

huknm (21 tahun) sebagai subjek hukum atau layaknya subjek hukum

normal yang ditentukan oleh perundang-undangan.139

Pada Pasal 7 ayat (I) Undang-Undang Nomor I Tahun 1974

mengenai Perkawinan mengatakan, seorang pria hanya diizinkan kawin

apabila telah mencapai usia 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita

telah mencapai 16 (enam belas) tahun. Penyimpangan atas hal tersebut

hanya dapat dimintakan dispensasi kepada Pengadilan Negeri. Namun

disayangkan, dalam prakteknya terdapat kesulitan menentukan usia ini,

sebab tidak semua orang mempunyai Akta Kelahiran atau Surat Kenai

Lahir. Akibatnya adakalanya menentukan usia ini dipergunakan Rapor,

Surat Baptis atau Surat Keterangan dari Kepala Desa atau Lurah saja

Karenanya kadang kala terdapat kejanggalan, anak berbadan besar lengkap

dengan kumis dan jenggotnya tapi menurut keterangan usia masih muda.

137 Ibid, him 19 138 Darwan Prinst, Op.cil., him 3 139 Maulana Hassan Wadong, Op.cit., him 19

93

Bahkan terkadang orang yang terlibat kasus pidana membuat keterangan

dia masih anak-anak, sementara usia sudah dewasa dan sudah kawin. 140

Pengertian anak dalam ruang lingkup Hukum Tata Negara memiliki

makna yang tidak jauh berbeda dengan makna yang ditetapkan oleh

Undang-Undang Dasar 1945, dan dalam pengertian politik maupun dari

pengertian hukum perdata. Sedangkan pengertian anak menurut ketentuan

hukum tata negara itu sendiri dapat meliputi hak-hak orang tua yang

menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan atau ABRI!TNI seperti :

a hak untuk memperoleh tunjangan;

b. hak untuk memperoleh akses, tunjangan kepegawaian, dan lain-lain.141

Pengertian anak menurut Hukum Pidana lebih mengutamakan

pemahaman terhadap hak-hak anak yang harus dilindungi, karena secara

kodrat memiliki substansi yang lemah (kurang) dan dalam sistem hukum

dipandang sebagai subyek hukum yang dicangkokkan dari bentuk

pertanggungjawaban, sebagaimana layaknya seorang subjek hukum yang

normal. Pengertian ini menimbulkan aspek hukum positif terhadap proses

normalisasi anak dari perilaku menyimpang (kejahatan dan pelanggaran

pidana) untuk membentuk kepribadian dan tanggung jawab yang akhimya

anak tersebut berhak atas kesejahteraan yang layak dan masa depan yang

lebih baik.142

Dalam KUH Pidana Pasal 45 mendefinisikan anak yang belum

dewasa apabila belum berumur 16 (enam belas) tahun. Oleh karena itu,

apabila ia tersangkut dalam perkara pidana, hakim boleh memerintahkan

1.w Darwan Prinst, Loc.cil. 141 Maulana Hassan Wadong, Op.cit., him 23 142lbid, him. I

94

supaya si tersalah itu dikembalikan kepada orang tuanya; walinya atau

pemeliharanya dengan tidak dikenakan suatu hukuman. Atau

memerintahkannya supaya diserahkan kepada pemerintah dengan tidak

dikenakan sesuatu hukuman. 143

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

juga memberikan pengertian mengenai anak pada Pasal I ayat (2) yang

berbunyi: "Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua

puluh satu) tahun dan belum pernah kawin". Sedangkan pada Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan tidak memberikan

pengertian anak secara umum, namun pada Pasal I ayat (8)nya langsung

memberikan pengertian mengenai anak didik pemasyarakatan yang terdiri

dari:

a. Anak Pidana yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) Anak paling lama sampai umur 18 (delapan belas) tahun;

b. Anak Negara yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan diserahkan pada negara untuk dididik dan ditempatkan di LAP AS Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun;

c. Anak Sipil yaitu anak yang atas permintaan orang tua atau walinya memperoleh penetapan pengadilan untuk di didik di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun.144

Sesuai pembagian pengertian anak didik pemasyarakatan tersebut

maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian anak sesuai Undang-

Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan adalah seseorang

yang masih dibawah dan sampai dengan umur 18 tahun dan belum pernah

menikah. Hal tersebut juga didasarkan atas ketentuan dalam LAP AS Anak

bahwa hanya menampung narapidana dengan batas usia maksimal 18

143 Darwan Prinst, Loc-cit. 144 Hadi Setia Tunggal, Undang-Undang Pemasyarakatan beserta PeraJuran

Pelaksanaanrl)la, Harvarindo, Jakarta, 2000, him 8

95

tahun, apabila narapidana telah melewati usia tersebut maka ia harus

dipindahkan ke LAPAS Pemuda. Namun pada kenyataannya kapasitas

LAP AS Pemuda hanya bisa menampung 700 orang, sedangkan narapidana

yang ada mencapai 1300 orang, maka diberi toleransi kepada LAPAS

Anak untuk menampung sampai usia maksimal 21 tahun.

Undang-Undang Pokok Perburuhan (Undang-Undang Nomor 12

Tabun 1948) memberikan defmisinya sendiri mengenai anak. Pada Pasal 1

ayat (l) dijelaskan bahwa anak adalah orang laki-lak:i atau perempuan

berumur 14 (empat belas) tahun ke bawah.145Selain pengertian yang

diberikan oleh peraturan perundang-undangan tersebut diatas, terdapat pula

beberapa pengertian tentang anak yang dapat dikhususkan menjadi :

I. Pengertian Religius atau Agama

Pandangan anak dalam pengertian relegius akan dibangun sesuai

dengan pandangan Islam yang mempermudah untuk melakukan kajian

sesuai dengan konsep-konsep AI Quran dan Hadist Nabi Muhanunad

SAW. Islam memandang pengertian anak sebagai suatu yang mulia

kedudukannya. Anak memiliki atau mendapat kedudukan yang

istimewa dalam Nash AI Quran dan AI Hadist. Oleh karena itu seorang

anak dalam pengertian Islam harus diperlakukan secara manusiawi dan

diberi pendidikan, pengajaran, ketrampilan dari akhlak mulkarimah

agar anak tersebut kelak akan bertanggung jawab dalam

mensosialisasikan diri untuk memenuhi kebutuhan hidup di masa depan

145 Darwan Prinst, Loc.cit.

96

yang kondusif. Masalah anak dalam pandangan AI Quran menjadi

tanggungan kedua orang tua. 146

2. Pengertian Anak dari Aspek Sosiologis

Anak sebagai mahluk sosial ciptaan Allah SWT yang senantiasa

berinteraksi dengan lingkungan masyarakat bangsa dan negara. Dalam

aspek sosiologis ini kedudukan anak diposisikan sebagai kelompok

sosial yang berstatus lebih rendah dari masyarakat di lingkungan tempat

berinteraksi. Status sosial yang dimaksud ditujukan pada kemampuan

untuk meneJjemahkan ilmu dan teknologi sebagai ukuran interaksi yang

dibentuk dari esensi-esensi kemampuan komunikasi sosial yang berada

dalam skala paling rendah. Hal tersebut sebenarnya lebih mengarahkan

pada perlindungan kodrati anak karena keterbatasan-keterbatasan yang

dimiliki oleh sang anak sebagai wujud untuk berekspresi sebagaimana

orang dewasa. Faktor keterbatasan kemampuan dikarenakan anak

berada pada proses pertumbuhan, proses belajar dan proses sosialisasi

dari akibat usia yang belum dewasa yang disebabkan kemampuan daya

nalar (akal) dan kondisi fisik dalam pertumbuhan atau mental spiritual

yang berada di bawah kelompok orang dewasa. 147

3. Pengertian Ekonomi

Status anak sering dikelompokkan pada golongan yang non produktif.

Jika terdapat kemampuan ekonomi yang persuasif dalam kelompok

anak, kemampuan tersebut dikarenakan anak mengalami transformasi

146 Maulana Hassan Wadong, Op.cit., him 10 147 Ibid, him. 12

97

finansial yang disebabkan dari teJjadinya interaksi dalam lingk:ungan

keluarga yang berdasarkan nilai kemanusiaan. Pengertian anak dalam

bidang ekonomi adalah elemen yang mendasar untuk menciptakan

kesejahteraan anak ke dalam suatu konsep normatif, agar status anak

tidak menjadi korban (victim) dari ketidakmampuan ekonomi keluarga,

masyarakat, bangsa dan negara. Namun, kesejahteraan anak diperoleh

dan faktor internal dari anak itu sendiri maupun faktor eksternal dari

keluarga anak itu.148

2. Kedudukan Anak

Pengertian-pengertian mengenai anak seperti yang telah disebutkan

sebelumnya dapat membantu memahami kedudukan anak yang

sebenamya. Dalam masyarakat, kedudukan anak pada hakikatnya

memiliki makna dari sub-subsistem hukum yang ada dalam lingk:ungan

perundang-undangan dan subsistem sosial kemasyarakatan yang universal,

disamping sistem kodifikasi dan uniflkasi hukum yang telah pula

membawa dampak yang positif terhadap anak, yang dijabarkan secara

transparan pada beberapa peraturan perundang-undangan, Hukum Anak

dalam lapangan pekeJjaan dan kewarganegaraan. Kedudukan anak dalam

lingkungan hukum sebagai subyek hukum ditentukan dari bentuk dan

sistem hukum terhadap anak sebagai kelompok masyarakat yang berada di

dalam status hukum dan tergolong tidak mampu atau di bawah umur

menurut penjelasan Undang-Undang. Tidak mampu disini karena

kedudukan akal dan pertumbuhan fisik yang sedang berkembang dalam

'"Ibid. him. 13

98

diri anak yang bersangkutan. Oleh karena itu, sudah menjadi kewenangan

sistem hukum nasional Indonesia untuk meletakkan hak-hak anak sebagai

suatu supremacy of law terhadap perbuatan hukum dari anak dengan hak­

hak dan kewajiban-kewajiban yang timbul secara kodrati. 149

Apabila dilihat dari bidang politik, sangat sulit untuk menjabarkan

kedudukan anak melalui pola ilmu pengetahuan. Hal tersebut dikarenakan

adanya eliminasi kegiatan politik yang semakin menjelajahi dimensi usia

dari warga masyarakat. Meluasnya kehidupan politik semakin

membangkitkan kekuatan kelompok-kelompok sosial yang berusia muda

untuk berpartisipasi secara terbuka. Akan tetapi, tetap ada esensi yang

mendasar pada kelompok anak yang kemudian dijadikan sebagai subyek

dalam diplomasi politik dari elite-elite politik baik partai maupun

pemerintahan dari bangsa dan negara yang meletakkan anak sebagai

tern pat issue bargaining politik yang kondusif. 150

Kedudukan anak pun dapat diperhatikan dari beberapa

pengelompokan bidang hukum, seperti :151

a. Menurut Undang-Undang Dasar 1945

Kedudukan anak yang ditetapkan menurut UUD 1945 terdapat dalam

kebijaksanaan Pasal. 34 .. Yang menjadi esensi dasar kedudukan anak

yaitu anak adalah subjek hukum dari subjek hukum nasional, yang

harus dilindungi, dipelihara dan dibina untuk mencapai kesejahteraan

anak. Disini pemerintah dan masyarakat lebih bertanggung jawab

terhadap masalah sosial yuridis dan politik yang ada pada seorang anak.

149 Ibid hlm2 150fbid,,hlm 14 151Ibid, him 17

99

b. Menurut Hukum Perdata

Pasal 330 ayat (I) Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHP)

mendudukkan status anak: "Belum Dewasa adalah mereka yang belum

mencapai umur genap 21 tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin".

Sedangkan dalam ayat (3)nya disebutkan "Mereka yang belum dewasa

dan tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah

perwalian atas dasar dan dengan cara sebagaimana teratur dalam bagian

ke tiga, ke empat, ke lima dan ke enam bab ini". Kedudukan dalam

hukum perdata ini menunjukkan pada hak-hak anak dan kewajiban­

kewajiban anak yang memiliki kekuatan hukum secara formal maupun

secara material.

c. Menurut Hukum Pidana

Kedudukan anak dalam lapangan hukum pidana diletakkan dalam

pengertian anak yang bermakna penafsiran hukum secara negatif.

Dalam arti seorang anak yang berstatus sebagai subjek hukum yang

seharusnya bertanggung jawab terhadap pidana (strafbaar foit) yang

dilakukan oleh anak itu sendiri, ternyata kedudukan sebagai seorang

anak yang berada dalam usia belum dewasa diletakkan sebagai

seseorang yang mempunyai hak-hak khusus.dan perlu untuk mendapat

perlindungan khusus menurut ketentuan hukum yang berlaku.

Selain itu, kedudukan anak dalam pengertian pidana dapat pula

dijelaskan dalam peraturan perundang-undangan dengan menggunakan

beberapa pengertian seperti dalam Pasal I ayat (8) Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Pasal 1 ayat (2)

100

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Peradilan Pidana Anak.

Dalam kedudukan yang demikian, status anak sebagai seseorang yang

kehilangan hak-hak kemerdekaan akibat dari hukum pidana, berhak

untuk mendapat perlakuan istimewa yang ditetapkan oleh ketentuan

hukum pidana itu sendiri sebagai kelompok subjek hukum yang

dipandang belum dewasa. Pada hakikatnya, kedudukan status anak

daiam pengertian hukum pidana meliputi dimensi-dimensi pengertian

sebagai berikut :152

I. Ketidakmampuan untuk pertanggungjawaban tindak pidana;

2. Pengembalian hak-hak anak dengan jalan mensubstitusikan hak-hak

anak yang timbul dari lapangan hukum keperdataan dan tata negara

dengan maksud untuk mensejahterakan anak;

3. Rehabilitasi, yaitu anak berhak untuk mendapat proses perbaikan

mental spiritual akibat tindakan hukum pidana yang dilakukan anak

itu sendiri;

4. Hak-hak untuk menerima peiayanan dan asuhan;

5. Hak-hak dalam proses hukum acara pidana

d. Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia (Hukum. Tata Negara)

Kedudukan anak adalah sebagaimana yang telah ditetapkan dengan

undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya.

Kedudukan tersebut sangat bergantung pada status orang tua,

152 Ibid, him 22

101

keanggotaan dalam keluarga atau juga disebut kedudukan yang

diberikan oleh ketentuan perundang-undangan.

e. Menurut Undang-Undang Nomor I Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok

Perkawinan

Masalah kedudukan anak diatur dalam Bab IX Pasal 42 sampai dengan

Pasal 47. Pasal-pasal tersebut mengatur mengenai kedudukan anak

dalam perkawinan yang sah. Seperti dalam Pasal 42 yang mengatakan

bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan di dalam atau sebagai

akibat perkawinan yang sah. Sementara perkawinan yang sah itu adalah

perkawinan yang memenuhi syarat yang diatur dalam Pasal 2 Undang­

Undang Pokok-Pokok Perkawinan, yaitu perkawinan yang sah adalah

perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan

kepercayaannya, serta dicatatkan menurut peraturan perundang­

undangan yang berlaku. 153 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa

kedudukan anak dalam Undang-undang Pokok-Pokok Perkawinan

tersebut lebih berdasarkan pada perkawinan yang sah kedua orang

tuanya. Sebab sebagaimana diatur dalam Pasal 43 ayat (2) Undang­

Undang Pokok-Pokok Perkawinan, apabila anak tersebut lahir diluar

pemikahan yang sah,-maka kedudukannya akan diatur dalam Peraturan

Pemerintah.

3. Hak-hak dan Kewajiban Anak

Setelah melihat pengertian dan kedudukan anak seperti yang telah

diuraikan diatas, beberapa diantaranya secara langsung mencantumkan

153 Darwan Prinst, Op.cit., h1m 88

102

mengenai hak-hak anak. Hak anak dapat dibangun dengan pengertian hak

secara umum ke dalam pengertian sebagai berikut: "Hak anak adalah

sesuatu kehendak yang dimiliki oleh anak yang dilengkapi dengan

kekuatan (macht) dan yang diberikan oleh sistem hukum atau tertib hukum

kepada anak yang bersangkutan". Dapat dilihat secara jelas apa saja yang

menjadi hak dari anak, untuk lebih jelasnya perlu diuraikan kembali

mengenai hak-hak anak tersebut, yaitu:

a Hak-hak anak yang mutlak dalam dimensi akidah pandangan kehidupan

agama Islam, terdiri dari:

I) Hak untuk melindungi anak ketika masih berada dalam kandungan

atau rahim (Q.S. AI Baqarah ayat 233);

2) Hak untuk disusui selama dua tahun (Q.S. AI Baqarah ayat 233);

3) Hak untuk diberi pendidikan, ajaran, pembinaan, tuntutan dan akhlak

yang benar (Q.S. Mujaadalah ayat II);

4) Hak untuk mewarisi harta kekayaan milik kedua orang tuanya (Q.S.

An Nisa ayat 2, 6 dan I 0);

5) Hak untuk mendapatkan nafkah orang tuanya (Q.S. Qashash ayat

20).154

b. Undang-Undang. Nomor 4 Tahun. I 979 tentang Kesejahteraan Anak.

Dalam undang-undang ini hak anak diatur dalam tujuh pasal pada Bab

II. Namun secara garis besar dapat disimpulkan bahwa anak berhak atas

pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun

sesudah dilahirkan, perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat

154 Maulana Hassan Wadong, Op.cit., him 11

I03

membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan

yang tidak wajar. Hak-hak tersebut termasuk pula didalamnya

klasifikasi hak anak untuk dinafkahi, dididik untuk melakukan kegiatan

produktivitas yang wajar, sehat dan tidak bertentangan dengan hak asasi

anak.l55

c. Menurut Hukum Pidana

Pakar Pidana Bismar Siregar dan Abdul Hakim Garuda Nusantara

menyebutkan bahwa:

"Hukum harus menitikberatkan pada hak anak pada umumnya, dan dalam proses peradilan pidana pada khususnya akan disoroti sebagai social study dari anak-anak yang melakukan tindak pidana (delikuensi anak) sehingga dapat dikaji secara individual latar belakang dan sebab-sebab pelanggaran pidananya." 156

Dengan demikian hak anak dalam hukum pidana yaitu untuk

mendapatkan hak-haknya secara umum, dianggap sebagai individu

yang utuh, dengan tidak terlepas untuk tetap menganggap bahwa anak

tersebut adalah suatu penelitian yang tetap harus diteliti secara seksama

mengenai alasan dan penyebab melakukan suatu pelanggaran

pidananya. Disini berarti terdapat hak istimewa dari anak, seperti yang

diatur dalam Pasal45, 46 dan 47 KUHPidana

d. Deklarasi Hak Asasi Anak (Declaration on the Rights of the Chid- 20

November 1959)

1. Hak untuk memperoleh perlindungan khusus dan memperoleh

kesempatan yang dijamin oleh hukum;

2. Kesempatan dan fasilitas untuk berkembang, sehat, wajar, dan bebas;

1"Ihid, hlm 14 100lbid, him 21

104

3. Hak untuk memiliki nama dan kebangsaan atau ketentuan

kevvarganegaraan;

4. Mendapat jaminan sosial: gizi, perumahan, rekreasi, pelayanan,

kesehatan, pendidikan, dan peravvatan. Pelayanan khusus untuk yang

cacat;

5. Tumbuh, berkembang dan dibesarkan dalam suasana kasih sayang,

pengertian dan rasa aman;

6. Hak untuk didahulukan dalam perlindungan;

7. Hak untuk dibesarkan dalam penuh toleransi, persahabatan antar

bangsa, perdamaian dan persaudaraan semesta;

8. Hak untuk mendapatkan pertolongan dan perlindungan dari

penindasan rezim, penyia-nyiaan dan kekejaman, diskriminasi rasial,

agama maupun diskriminasi lainnya. 157

e. Hak Asasi Anak yang berhubungan dengan proses peradilan.

Hak-hak anak yang terdapat dalam proses advokasi dan Hukum

Perlindungan Anak dapat dikelompokkan ke dalam ketentuan-ketentuan

Hukum Acara Pidana (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981),

Ketentuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Pengadilan

Pidana Anak dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang

Pemasyarakatan, yang meliputi prinsip-prinsip proses peradilan sebagai

berikut:

(1) Hak yang diperoleh sebelum sidang peradilan 1.1. anak sebagai tersangka 1.2. anak sebagai korban kejahatan 1.3. anak sebagai saksi dalam pemeriksaan tersangka

151Kumpulan Kuliah Hukum Perlindungan Anak, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2003, hlm 22

105

(2} Hak yang diperoleh selama persidangan 2.1. anak sebagai pelaku kejahatan (terdakwa) 2.2. anak sebagai korban kejahatan 2.3. anak sebagai saksi dalam suatu bentuk kejahatan

(3} Hak yang diperoleh sete1ah persidangan (terhukum) 3.1. anak sebagai pelaku kejahatan yang dihukum pengadilan

(terdakwa) 3.2. anak sebagai anggota lembaga pemasyarakatan anak 3.3. anak sebagai anggota rumah asuh partikelir 3.4. anak sebagai terhukum yang dikembalikan kepada orang

tuanya.Iss f. Hak Asasi Anak menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia

Hak-hak asasi anak da1am undang-undang ini hampir seluruhnya telah

diadopsi pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak. Hanya beberapa saja yang tidak secara eksplisit

diadopsi oleh Undang-Undang Perlindungan Anak tersebut, yaitu :

I. Hak untuk mencari, menerima dan memberikan informasi;

2. Hak perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual,

penculikan, perdagangan anak dan dari penyalahgunaan narkotika,

psikotropika dan zat adiktif lainnya;

3. Hak tidak dapat dijatuhi hukuman mati atau hukuman seumur hidup;

4. Hak penangkapan, penahanan atau pidana penjara hanya sebagai

upaya terakhir. 159

g. Hak Anak berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak

1. Hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskrirninasi. Hak ini sesuai

158 Maulana Hassan Wadong, Op.cit., him 36 159 Darwan Prins!, Op.cil., him 145

106

dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal28 B ayat (2) dan prinsip-prinsip pokok yang tercantum dalam Konvensi Hak Anak.

2. Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status

kewarganegaraan. 3. Hak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi

sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan

orang tua. 4. Hak untuk mengetahui orang tuanya. 5. Hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial

sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual dan sosial. 6. Hak mendapat pendidikan dan pengajaran. 7. Hak menyatakan dan didengar pendapatnya.

8. Hak istirahat dan memanfaatkan waktu luang. 9. Hak anak penyandang cacat untuk memperoleh rehabilitasi,

bantuan sosia~ dan pemeliharaan taraf kesejabteraan sosial. l 0. Berhak mendapat perlindungan Setiap anak selama dalam

pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain manapun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan :

a. Diskriminasi; b. Eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;

Misalnya tindakan atau perbuatan memperalat, memanfaatkan atau memeras anak untuk memperoleh keuntungan pribadi, keluarga, atau golongan;

c. Penelantaran; d. Kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan; e. Ketidakadilan f. Perlakuan salah lainnya, seperti tindakan pelecehan atau

perbuatan tidak senonoh kepada anak. II. Hak diasuh orang tuanya 12. Hak memperoleh perlindungan dari :

a. Penyalahgunaan dalam kegiatan politik;

b. Pelibatan dalam sengketa bersenjata; c. Perlibatan dalam kerusuhan sosial; d. Pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan;

e. Pelibatan dalam peperangan. 13. Hak memperoleh perlindungan dari penganiayaan, penyiksaan atau

penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi. 14. Hak memperoleh kebebasan 15. Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara sesuai dengan

hak yang berlaku

16. Hak anak yang dirampas kebebasannya

!07

Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk : a. Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya

dipisahkan dari orang dewasa; b. Memperoleh bantuan hukum atau bantuan bantuan lainnya

secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan

c. Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang ob~ktif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk urn urn. 1

Dari seluruh hak-hak anak seperti yang telah disebutkan diatas,

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

dalam Pasal 19 mengatur pula mengenai kewajiban-kewajiban yang

harus dipenuhi oleh seorang anak, yaitu:

I. Wajib menghormati orang tua, wali dan guru;

2. Wajib mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi ternan;

3. Mencintai tanah air, bangsa dan negara;

4. Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan

5. Melaksanakan etika dan akhlak yang mulia. 161

Berdasarkan RUU KUHP Tahun 2015 Bagian IV Pidana Dan Tuntutan

Bagi Anak Paragraf I Pidana Anak dalam ketentuan:

Pasal115 (1) Anak yang be1um mencapai umur 12 (dua be1as) tahun melakukan

tindak pidana tidak dapat dipertanggungjawabkan. (2) Pidana dan tindakan bagi anak hanya berlaku bagi orang yang

berumur antara 12 (dua belas) tahun dan 18 (delapan betas) tahun yang melakukan tindak pidana.

Pasal 116 (1) Dengan memperhatikan ketentuan mengenai tujuan dan pedoman

pemidanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 dan Pasal 56, demi kepentingan terbaik bagi anak, pemeriksaan di depan pengadilan dapat ditunda atau dihentikan setelah mendengar pertimbangan penyidik, penuntut umum, dan petugas kemasyarakatan.

160lbid, him 150 161 Ibid, him 155

108

(2) Penundaan a tau penghentian pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (I) disertai dengan syarat: a. anak tidak akan melakukan tindak pidana; dan/atau b. anak dalam waktu tertentu harus mengganti semua atau sebagian

kerugian yang ditimbulkan akibat perbuatannya. Pasal I I 7 (I) Setiap penyidik, penuntut umum, dan hakirn dalam memeriksa

anak wajib mengupayakan diversi. (2) Diversi sebagaimana dimaksud pada aya.t (I) dilaksanakan dalam

hal tindak pidana yang dilakukan: a diancam dengan: pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan b. bukan merupakan pengulangan tindak pidana.

Pasal II8 (!) Pelaksanaan diversi wajib memperhatikan:

a kepentingan korban; b. kesejahteraan dan tanggung jawab anak; c. penghindaran stigma negatif; d. penghindaran pembalasan; e. keharmonisan masyarakat; dan f. kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.

(2) Kesepakatan diversi harus mendapatkan persetujuan korban dan!atau keluarga anak korban serta kesediaan anak dan keluarganya, kecuali untuk: a. tindak pidana yang diancam dengan pidana denda Kategori I; b. tindak pidana ringan; c. tindak pidana tanpa korban; atau d. nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah m1mmum

provinsi setempat. Pasal119 Ketentuan mengenai pemberatan pidana sebagaiinana dimaksud dalam Pasal 14I dan Pasal I42, tidak berlaku terhadap anak yang melakukan pengulangan tindak pidana. Pasal I20 Dalam hal anak yang belum berumur 12 (dua belas) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, penyidik, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial profesional mengambil keputusan untuk: _ a. menyerahkannya kembali kepada orang tua!wali; atau mengikut

sertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di instansi pemerintah atau Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial di instansi yang menangani bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah, paling lama 6 (enam) bulan.

H. Pengertian Mediasi Penal

Mediasi pidana menurut Martin Wright adalah: "a process in which

I09

victim(s) and offender(s) communicate with the help of an impartial third

party, either directly (face-to face) or indirectly via the third party, enabling

victim(s) to express their needs andfoelings and offender(s) to accept and act

on their responsibilities." ("Suatu proses di mana korban dan pelaku

kejahatan sating bertemu dan berkomunikasi dengan bantuan pihak ketiga

baik secara langsung atau secara tidak langsung dengan menggunakan pihak

ketiga sebagai penghubung, memudabkan korban untuk mengekspresikan apa

yang menjadi kebutuhan dan perasaannya dan juga memungkinkan pelaku

menerima dan bertanggungjawab atas perbuatannya".)162

Mediasi pidana dalam Explanatory Memorandum to the Council of

Europe Recommendation tentang Mediation in Penal Matters sebagaimana

tertuang dalam Mediation in Penal Matters, Recommendation No. R (99) 19

adopted by the Committee of Ministers of the Council of Frolic oil September

1999, mendefinisikan mediasi pidana sebagai proses di mana korban dan

pelaku kejahatan dimungkinkan secara sukarela, untuk berpartisipasi secara

aktif dalam penyelesaian masalah mereka akibat dari perbuatan pidana yang

dilakukan pelaku tindak pidana dengan melibatkan pihak ketiga atau

mediator.

Mediasi pidana menjadi perhatian yang luas sebagaimana tampak

dalam rekomendasi yang disampaikan dalam kongres Perserikatan Bangsa-

Bangsa tentang The Prevention of Crime And The Treatment of Offenders dan

konferensi Intemasional. Dokumen penunjang Kongres Perserikatan Bangsa-

Bangsa ke-9 Tahun 1995 yang berkaitan dengan manajemen peradilan

162 Martin Wright sebagaimana dikutip oleh Marc Groenhuijsen, Victim-Offender­Mediation: Lagal And Procedural Sqfeguards Experiments And Legislation In Some European Jurisdictions, Leuven, Oktober !999, him. I

110

pidana. Negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa perlu

mempertimbangkan privatizing some law enforcement and justice fonctrons

dan alternative dispute resolution. Anjuran ini dikemukakan untuk mengatasi

problem kelebihan muatan atau penumpukan perkara di pengadilan.

Deklarasi Wina yang dihasilkan Kongres Perserikatan Bangsa Bangsa

ke-1 0 Tahun 2000 khusus ten tang upaya perlindungan kepada korban

kejahatan, perlu diupayakan pengaturan prosedur mediasi dan peradilan

restoratif. Ecosoc telah menerima Resolusi 2002112 mengenai Baric

Principles on the Use Restorative Justice Programmes in Criminal Matters

pada tanggal24 Juli 2002,didalamnyajuga mencakup masalah mediasi163•

Komisi para Menteri Dewan Eropa, The Committee of Ministers of

The Council of Europe, telah menerima Recommendation No. R (99) tentang

Mediation in Penal Matters, pada tanggal 15 September 1999 yang

selanjutnya dikeluarkan The EU Council Framework Decision tentang

kedudukan korban di dalam proses pidana, EU 200 1/220/JBZ, yang mengatur

pula tentang mediasi, pada 15 Maret 200 ! 164•

International Penal Reform Conforence yang diselenggarakan di

Royal Holloway College, University of London, pada 13-17 April 1999

mengemukakan salah satu dari agenda baru pembaharuan hukum pidana ialah

perlunya memperkaya sistem peradilan formal dengan sistem mekanisme

informal dalam penyelesaian sengketa yang sesuai dengan standar Hak Asasi

163 Barda Nawawi Arief, "Mediasi Pidana (Penal Mediation) dalam Penye/esaian Sengketa!MasalahPerbankan Beraspek Pidana di Luar Pengadilan", dalam Paulus Hadisuprapto, el al., Kapita Se/ekJa Hukum: Menyambut Dies NaJalis Ke-50 Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 2007, him. 17

164/bid

lll

Manusia 165•

Mediasi menurut Kamus lstilah Hukum Belanda Indonesia Fockema

Andreae menyatakan sebagai berikut :166Mediatie adalah jasa-jasa baik,

mediasi, perantaraan didalam pergaulan hukum antar bangsa. Jasa-jasa baik

tidak mengikat. Artibrage, bans offices. Mediasi menurut Hendry Campbell

Black's MA menyatakan bahwa: "mediation, private, informal dispute

resolution process in which a neutral third person, the mediator, helps

disputing parties to reach an agreement. The mediator has no power to

impose a decision on the parties. See also alternative dispute resolution:

Arbitation Consoliation. 167

Adapun pengertian konflik dan penyelesaian konflik dalam hukum

pidana adalah konflik adalah pertentangan atau percekcokan168. Achrnad Ali

yang mungutip pandangan Schuyt menyatakan konflik adalah:

"Setiap situasi di mana dua atau lebih pihak yang memperjuangkan tujuan-tujuan pokok tertentu dari masing-masing pihak, saling memberikan tekanan dan satu sama lain gaga! mencapai satu pendapat dan masing-masing pihak saling berusaha untuk mempeJjuangkan secara sadar tujuan-tujuan pokok mereka."169

Sela~utnya Chris Mitchell mengartikan konflik sebagai "hubungan

antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki atau

165Ibid 166 N.E. Algra; H.R. W. Gokkel; Saleh Adiwinata, DH; A. Teloeki; H. Burhanoeddin, St

Batoeta, Kamus lstilah Hukum Foclrema Andreae, Alwnni, Bandung, 1972, him. 293 167 Hendry Campbell, Black's Low Dictionary, St. Paul, Minn West Publishing Co. New

York, 1990, him. 981 168 WJS Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia. Balai Pustaka, Jakarta, 1976,

him. 519 Lihat pula Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta, him. 587.

169 Achmad Ali, Sosiologi Hukum Kajian Empiris Terhadap Penga.dilan, BPIBLAM, Jakarta, 1998, hal60

112

merasa memiliki, sasaran-sasaran yang tidak sejalan"170• Mediasi pidana

adalah suatu proses di mana korban dan pelaku kejahatan saling bertemu dan

berkomunikasi dengan bantuan pihak ketiga baik secara langsung atau secara

tidak langsung dengan menggunakan pihak ketiga sebagai penghubung,

memudahkan korban untuk mengekspresikan apa yang menjadi kebutuhan

dan perasaannya dan juga memungkinkan pelaku menerima dan bertanggung

jawab atas perbuatannya.

Restorative Justice menekankan pengertian kejahatan sebagai

tindakan yang melawan individu atau masyarakat bukan sebagai bentuk

pelanggaran kepada Negara. Korban memainkan peran utarna dan menerima

restitusi dati pelaku kejahatan. Adapun penegakan hukum merupakan faktor

yang harus diperhatikan dalam hal penegakan peraturan perundang-undangan

antara lain sebagai berikut:

I) faktor hukum atau peraturan perundang-undangan.

2) faktor aparat penegak hukumnya, yakni pihak-pihak terlibat dalam

peroses pembuatan dan penerapan hukumnya, yang berkaitan dengan

masalah mentalitas.

3) faktor sarana atau fasilitas yang mendukung proses penegakan hukum.

4) faktor masyarakat, yakni lingkungan sosial di mana hukum tersebut

berlaku atau diterapkan; berhubungan dengan kesadaran dan kepatuhan

hukum yang merefleksi perilaku masyarakat

5) faktor kebudayaan, yakni hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan

pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

17° Chris Mitchell, dalam Simon Fisher el. a/., Menge/o/a KOtif/ik: Keterampilan dan Strategi untuk Bertindak, The British Council Indonesia, Jakarta, 1998, him. 4.

113

Menjadi suatu kenyataan bahwa kelima faktor tersebut saling

berpengaruh, berkaitan dan saling menentukan agar penegakan hukum atas

pidana, dapat diterima di tengah masyarakat. Probabilitas dalam realitas

hukum dimungkinkan bahwa peraturan perundang-undangan sudah memadai,

namun penegak hukum tidak profesiona~ yang mengakibatkan kegagalan.

Kemungkinan yang lain dapat teijadi undang-undang dan penegak hukum

sudah baik, namun sarana atau kesadaran masyarakat kurang, mengakibatkan

penegakan hukum akan tidak optimal dilaksanakan, demikian seterusnya.

Kelima faktor pemecahan hukum, temyata faktor penegak hukurn dianggap

yang dominan.171 Organ/penegak hukum yang menjadi operator hukum dalam

law enforcement. Pendapat Herman Manheim dalam bukunya beijudul

Criminal Justice and Social reconstruction mengatakan :

"it is not the formula that decide the issue but the men who have to apply the

formula". Betapapun baiknya perangkat perundang-undangan j ika para

penegaknya berwatak buruk maka hasilnya akan buruk pula". 172

Barda Nawawi Arief menjelaskan perkembangan dan latarbelakang

munculnya ide mediasi penal sebagai pilihan penyelesaian perkara pidana

yang terintegrasi dalam sistem peradilan pidana. Perkembangan tersebut

dapat dilihat dalam:

I. Kongres PBB ke-9 tahun 1995 dalam dokumen penunjang yang berkaitan

dengan manajemen peradilan pidana mengungkapkan perlunya semua

negara mempertimbangkan ''privatizingsomelaw enforcement and justice

171 Soerjono Soekanto, Faktor-jaktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1983, him. 14

172 A. Hamzah, Reformasi Penegakan Hukum. Pidato pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Daiam flmu Hukum, Pada Fakuitas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta, 23 Juli 1998, him. 5

114

jUnctions" dan "alternative dispute resolution!ADR" (berupa mediasi,

konsiliasi, restitusi,dan kompensasi) dalam sistem peradilan pidana.

Khusus mengenai ADR, dikemukakan dalam dokumen itu sebagai berikut:

"The techniques of mediation, consiliation and arbitration, which have been dtn~elop in the civil law environment, may well be more widely applicable in crimina/law. For example, it is possible that' some of the serious problem sthat complex and lengthy cases involving fraud antiwhite-collar crime pose for courts could by reduced, if no/entirely eliminated, by applying principles developed inconciliationand arbitration hearings. In particular, if the accused isacorporation or business entity rather than anindividual person, the fUndamental aim of the court hearing mustbenot to impose punishment but to achitn~e an out come that is in the interest of society asa whole and to reduce the probability of recidivism. "

2. Laporan Kongres PBB ke 9 tahun 1995 tentang The Prevention of Crime

and the Treatment of Offenders mengemukakan:

a Untuk mengatasi problem kelebihan muatan (penumpukan perkara) di

pengadilan, para peserta kongres menekankan pada upaya pelepasan

bersyarat, mediasi, restitusi,dan kompensasi, kbususnya untuk pelaku

pemula dan pelaku muda (dalam laporan No.ll2).

b. Ms.Toulemonde (Menteri Kehakiman Perancis) mengemukakan

mediasi penal (penal mediation) sebagai suatu altematif penuntutan

yang memberikan kemungkinan penyelesaian negosiasi antara pelaku

tindak pidana dengan korban (dalam laporan No.319).

c. Dalam Konferensi Intemasional Reformasi Pidana (International Penal

Reform Conference) yang diselenggarakan di Royal Holloway

College,University of London, pada tanggal 13-17 April 1999,

dikemukakan, bahwa salah satu unsur kunci dari agenda baru

pembaharuan hukum pidana (the key elements of a new agenda for

115

penal reform) ialah perlunya memperkaya sistem peradilan formal

dengan sistem atau mekanisme informal dalam penyelesaian sengk:eta

yang sesuai dengan standar-standar hak asasi manusia (the need to

enrich the formal judicial system with informa/,locally based, dispute

resolution mechanisms which meet human rights standards).

Mediasi penal pertama kali dikenal di Kitchener, Ontario, Kanada

pada tahun 1974. Program ini kemudian menyebar ke Amerika Serikat,

lnggris, dan negara lain di Eropa. Di Amerika Serikat, mediasi penal

pertama kali dipraktikkan di Elkhart, Indiana dan di lnggris oleh The

Exeter Youth Support Team pada tahun 1979. Setelah itu, program mediasi

penal tersebar ke banyak negara di dunia.Yang perkembangannya paling

subur adalah dinegara-negara Eropa.

Semakin maraknya penggunaan mediasi penal sebagai altematif

sistem peradilan pidana untuk menangani ABH adalah karena keunggulan-

keunggulan yang ditawarkan oleh mediasi sebagai pilihan penyelesaian

sengketa, seperti fleksibilitas, kecepatan, rendahnya biaya, dan kekuasaan

yang dimiliki oleh para pihak untuk menentukan proses dan kesepakatan

yang diinginkan.Umbreit173 seorang profesor,pionir, dan pakar mediasi

penal dari Amerika Serikat,menawarkan definisi mediasi penal,yaitu:

"A process that gives victims of property crimes orminorassaults the opportunity to meet the perpetrators of these crimes in as afoand structured setting, with the goal of holding the offenders directly accountable while providing important assistance and compensation to the victims. Assisted by a trained mediator, the victim is able to let the offender know how the crime affected him or her, receive answers

173Mark Umbreit, "Introduction: Restorative Justice Through Victim Offender Mediation",dalam The Handbookof Victim Qffender Mediation: An Essential Guideto Practice and Research, ed Umbreit, M., Jossey-Bass, San Fransisco, 2001, hlm.xxxviii.

116

to questions, and be directly involved indeveloping a restitution plan for the offonder to be accountable for the loss or damage caused "

(Terjemahan bebas: Proses yang memberikan kesempatan kepada korban pencurian dan tindak pidana ringan untuk bertemu pelaku dalam suasana yang aman yang terstruktur, dengan tujuan meminta pelaku langsung bertanggungjawab sambil menyediakan bantuan dan kompensasi untuk korban. Dengan dibantu seorang mediator yang ahl~ korban mampu memberitahu pelaku bagaimana kejahatan yang dilakukan mempengaruhi hidupnya, mendapatkanjawaban, dan secara langsung terlibat dalam membuat rencana restitusi sebagai bentuk pertanggung jawaban pelaku terhadap kerugian atau kerusakan yang ditimbulkan.)

Mediasi penal bisa digunakan untuk menangani perkara yang

dilakukan orang dewasa maupun anak-anak. Barda Nawawi

Arief 74menjelaskan bahwa metode ini melibatkan berbagai pihak yang

bertemu dengan dihadiri oleh mediator yang ditunjuk. Mediator dapat

berasal dari pejabat formal, mediator independen, atau kombinasi. Mediasi

ini dapat diadakan pada setiap tahapan proses, baik pada tahap kebijakan

polisi, tahap penuntutan, tahap pemidanaan, atau setelah pemidanaan.

Model ini ada yang diterapkan untuk semua tipe pelaku tindak pidana, atau

khusus untuk anak; atau untuk tipe tindak pidana tertentu (misal

pengutilan, perampokan, dan tindak kekerasan). Selain itu, bisa ditujukan

pada pelaku anak, pelaku pemula, juga untuk delik-delik berat atau bahkan

residivis.

Penggunaan mediasi penal sebagai altematif peradilan pi dana anak

dalam penanganan ABH terbilang barn karena biasanya mediasi penal

digunakan untuk menangani tindak pidana pencurian dan tindak pidana

ringan lainnya. Namun seiring perkembangan zaman dan kebutuhan

174 Bar<la Nawawi Arief, Mediasi Pena/:Penyelesaian Perkara Pidana di Luar Pengadilan. Artikel dalam http:/lbardanawawi.wordpress.com/2009/12/27/mediasi-penal­penyelesaian-perkara·pidana-di luar pengadilan/ 2009, diakses pada tanggal24 Maret 2011. hlm.8.

l!7

korban, mediasi penal juga dipakai untuk menyelesaikan tindak pidana

berat seperti pemerkosaan dan pembunuhan. 175 Banyak program mediasi

penal dibuat untuk menghindarkan ( diversi) ABH dari penjara untuk

mendapatkan pilihan mekanisme yang lebih murah, cepat, dan lebih ringan

hukumannya. 176

Mediasi penal sebagai alternatif sistem peradilan saat ini sangat

diperlukan, karena:

a Diharapkan dapat mengurangi penumpukan perkara.

b. Merupakan salab satu proses penyelesaian sengketa yang dianggap

lebih cepat, murah, dan sederhana

c. Dapat memberikan akses seluas mungkin kepada para pihak yang

bersengketa untuk memperoleh keadilan.

d. Memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam

penyelesaian sengketa di samping proses menjatuhkan pemidanaan.

Stefanie Trankle menyatakan hakikat mediasi penal dikembangkan

dengan bertolak dari ide dan prinsip kerja (working principles) sebagai

berikut: m

a Penanganan konflik (Conflict Handling/Koriflikbearbeitung): Tugas mediator adalah membuat para pihak melupakan kerangka hukum dan

mendorong mereka terlibat dalam proses komunikasi. Hal ini didasarkan pada ide, babwa kejabatan telah menimbulkan konflik

175 RodneyA.EIIis dan Karen M.Sowers,Juvenile Justice Practice: Across Disciplinary Approach to lntervenJion, Wadsworth, Belmon~ 2001, hlm.205.

176 Mark Umbreit dan Robert B.Coates,"The Impact of Victim Offender Mediation:Two Decades of Research", dalam The Handbook of Victim Offender Mediation, ed Umbrei~ M.,Jossey- Bass, San Fransisco, 200!,hlm.l69.

177 Stefanie Trank.le, The Tension between Judicial Control and Autonomy in Victim­Offender Mediation- a Microsociologica/ Study of a Paraoxisal Procedure Based on Examples of the Mediation Process in Germany and France, http://www.uscrim. mpg.de/forschlkrirnltraenkle_ e.ttml. dalam: Barda Nawawi Arief, Mediasi Penal Pe"Yelesaian. .. , Ibid, him. 5-6

118

interpersonal. Konflik itulah yang dituju oleh proses mediasi.

b. Berorientasi pada proses (Process Orientation; Prozessorientierung): Mediasi penal lebih berorientasi pada kualitas proses daripada hasil, yaitu: menyadarkan pelaku tindak pidana akan kesalahannya, kebutuhan-kebutuhan konflik terpecahkan, ketenangan korban dari rasa takut, dan sebagainya.

c. Proses informal (Informal Proceeding-Informalitat): Mediasi penal merupakan suatu proses yang informal, tidak bersifat birokratis, menghindari prosedur hukurn yang ketat.

d. Ada patisipasi aktif dan otonom pada pihak (Active and Autonomous Participation-Parteiautonomie/Subjektivierung): Para pihak (pelaku dan korban) tidak dilihat sebagai objek dari prosedur hukum pidana, tetapi lebih sebagai subjek yang mempunyai tanggung jawab pribadi dan kemampuan untuk berbuat. Mereka diharapkan berbuat atas kehendaknya sendiri.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh berbagai kalangan

akademisi terhadap penyelesaian konflik dalam masyarakat di Indonesia,

pada dasamya budaya untuk penyelesaian secara musyawarah atau konsiliasi

merupakan nilai yangbanyak dianut oleh masyarakat di Indonesia. Berbagai

suku bangsa di Indonesia mempunyai budaya penyelesaian konflik secara

damai, misalnya masyarakat Jawa, Lampung, Bali, Sumatra Selatan, Lombok,

Papua, Sulawesi Barat dan masyarakat Sulawesi Selatan178•

Penyelesaian konflik secara musyawarah untuk secepat mungkin

diadakan perdamaian berkembang sebagai hukum adat. Perkembangan

selanjutnya dari hukum adat pada suku bangsa di Indonesia khususnya

terhadap penyelesaian konflik melalui musyawarah memiliki berbagai

kesamaan yaitu konflik diarahkan pada harmonisasi atau kerukunan dalam

masyarakat serta tidak memperuncing keadaan, dengan sedapat mungkin

178 Ahmad Hasan, "Perryelesaian Sengketa Mela/ui Upaya (Non-Litigasi) Menurut Peraturan Perundang-Undangan11 daJam Jurna/ AI-Banjari, Vol5, No.9, Januari-Juni 2007, him. 5.

119

menjaga suasana perdamaian179•

Penyelesaian-penyelesaian konflik yang dilakukan melalui

mekanisme hukum adat baik untuk perkara perdata maupun perkara pidana.

Berbeda dengan hukum pidana barat, tujuan hukum pidana adat adalah

memulihkan keseimbangan hukum yangmenjadi tujuan segala reaksi atau

koreksi adat sedangkan tujuan untuk memperbaiki orang yang salah, orang

yang melanggar hukum, sebagai salah satu dasar yangterdapat pada sistem

hukum pidana barat, tidak terdapat pada sistem hukum adat.180

Penyelesaian konflik secara musyawarah guna mencapai penyelesaian

antara pelaku dan korban tindak pidana sebagian besar masyarakat di

Indonesia yang umumnya beragama Islam, banyak memperoleh pengaruh

dari hukum Islam. Konflik-konflik dalam masyarakat banyak dimintakan

penyelesaiannya kepada tokoh masyarakat, dan umumnya pada daerah-daerah

yang pengaruh hukum Islamnya kuat, seperti di Aceh, Sumatra Barat, dan

Jawa maka para tokoh masyarakat atau adat di dalamnya termasuk para

tokohtokoh agama. Penyelesaian konflik yang diselesaikan oleh tokoh-tokoh

agama Islam umumnya dilakukan dengan pendekatan musyawarah. Menurut

Hazairin penyelesaian yang dilakukan oleh tokoh agama Islam vang

dilakukan secara terus-menerus sehingga menjadi tradisi membentuk hukum

adat dalam masyarakat tersebut, dalam hal ini adalah hukum Islam yang telah

dipraktekkan selama berabad-abad semenjak Islam dipeluk oleh masyarakat

179 Sudargo Gautama, "Penye/esaian Sengketa Secara A/ternatif(ADR)," dalam Hendarmin Djarab, et al, (Editor), Prospek dan Pelaksanaan Arbitrase di Indonesia Mengenang Aim. Prof Dr. Komar Kanlaahnatjja, S.H, LL.M, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001, him. 124.

180 IbiO: him. 180

120

Indonesia. 181

Budaya musyawarah, sebagai sistem nilai yang dihayati oleh

masyarakat Indonesia, merupakan semangat untuk masing-masing pihak yang

berunding di dalam musyawarah tersebut untuk menyelesaikan konflik

misalnya, akan berupaya mengurangi pendiriannya sehingga dapat dicapai

titik temu yang menguntungkan bagi semua pihak, yang berujung pada

mufakat. Suatu musyawarah memerlukan tokoh yang dihormati untuk

memimpin musyawarah dapat mencapai mufakat tersebut. Apa yang

diputuskan dalam musyawarah guna menyelesaikan konflik tersebut secara

perlahan-lahan berkembang menjadi hukum adat.182

Marc Galanter menyatakan pencarian keadilan tidak hanya didapatkan

di ruang pengadilan akan tetapi juga terdapat di luar ruang pengadilan.183

Penyelesaian konflik antara pelaku dan korban tindak pidana tidak hanya

diselesaikan dalam sistem peradilan pidana sebagai penyelesaian formal akan

tetapi dalam masyarakat Indonesia penyelesaian secara hukum adat juga

menjadi cara penyelesaian konflik. Hukum Adat adalah hukum asli Indonesia

yang tidak tertulis atau tidak tertuang di dalam bentuk perundang-undangan

Republik Indonesia dan disana-sini mengandung unsur agama.184

Berdasarkan rekomendasi Dewan Eropa Nomor R (99) 19 tentang

Mediation in Penal Matters sebagaimana termuat dalam Explanatory

181 Hazairin dalam Siti Juwariyah, Potret Mediasi dolam Islam, dalam http://www. badilag.net, diakses 20 Desember 2009.

182 Adi Sulistiyo, Mengembangkan Paradigma Non-Litigasi di Indonesia, Surakarta: Sebelas Maret University Press, 2006, him. 367-369

183 Marc. Galanter, Keadi/an di Berbagai Ruangan: Lembaga Peradi/an, Penalaan Masyarakat serta Hukum Rakyat dalam T.O. Ihromi (Penyunting), Antropologi Hukum sebuah Bunga Rampai, Yayasan Obor, Jakarta, 1993, him. 81

184 Rumusan Hulrum Adat yang dihasilkan dalam seminar hukum adat dan pembinaan hulrum nasional di Yogyakarta 15-17 Januari 1975 dalam Imam Sudiyat, Peran Pendidikan dolam Pembangunan Hukum Nasional Ber/andaskan Hukum Adat. Yogyakarta: Liberty, 1980, him. I.

121

memorandum, terdapat salah satu model mediasi pidana adalah traditional

village or tribunal moots, menurut model ini, seluruh masyarakat bertemu

untuk mencegah konflik kejahatan di antara warganya. Model ini telah ada

sebelum terbentuknya hukum barat. Karena karakteristik model ini lebih tepa!

diterapkan pada masyarakat gemeinschaft, 185maka sampai saat ini masih

diterapkan di negara-negara berkembang khususnya di daerah pedesaan.

Penyelesaian dengan pendekatan model ini senantiasa diarahkan untuk

memberikan keuntungan bagi masyarakat secara luas. Meskipun ·model ini

tampaknya tidak tepat untuk diterapkan pada masyarakat moderen atau

masyarakat dengan pola kehidupan perkotaan, akan tetapi model ini telah

banyak memberikan kontribusi dan inspirasi bagi model mediasi modem. 186

Penyelesaian konflik perlu memperhatikan hukum adat yang berlaku

di masyaralr.at. Sebab jika hukum adat masih sangat kuat dipertahankan

dalam masyarakat maka mekanisme hukum adat akan menjadi faktor

penentu

keberhasilan penyelesaian konflik. Van Vollenhoven sebagaimana

dikutip oleh Sudiman Kartohadiprodjo menyatakan:

"Jika penguasa memutuskan akan mempertahankan hukum adat, padahal hukum itu sudah surut. Maka penetapan itu akan tiada guna. Sebaliknya, seandainya telah ditetapkan dari atas bahwa hukum adat harus diganti, sedangkan rakyat masih menaatinya, maka Hakim Negara sekalipun akan tidak berdaya menghadapinya.187

Sedangkan Soerrjono Soekanto menyatakan "hukum adat yang masih

185 Masyarakat gemeinschaft adalah bentuk kehidupan bersama dimana anggota-anggotanya diikat oleh hubungan batin yang murni dan bersifat alamiah serta bersifat kekal. Lihat Soerjono Soekanto,. So.siologi Suatu Penganlar, Jakarta: Rajawali Pers, 1986, him. 119.

186 Rekomendasi Dewan Eropa NoR (99) 19, op. cit 187 Sudiman Kartohadiprodjo, Hukum Nasiona/, Beberapa Catalan, Bandung: Binacipta,

1971, hlm.8.

122

berlaku merupakan bagian dari hukum yang hidup ... hukum yang hidup

merupakan bagian dari hukum nasional dan menjadi tujuan untuk dicapai,

karena hukum yang hidup berlaku secara yuridis, sosiologis maupun

filosofis. 188

Apabila teijadi peristiwa pelanggaran pidana adat maka yang dilihat

bukan semata-mata perbuatan dan akibatrlya, tetapi, juga dilihat apa yang

menjadi Jatar belakang dan siapa pelakunya. Dengan alam pikiran demikian,

maka dalam cara mencari penyelesaian dan melakukan tindakan hukum

terhadap suatu peristiwa menjadi berbeda-beda.189

Penyelesaian Perkara Pidana Melalui Mediasi di Beberapa Suku Adat

Indonesia:

a. Mediasi Pada Masyarakat Adat Banjar

Adat badamai adalah salah satu bentuk penyelesaian sengketa yang

lazim dilakukan oleh masyarakat Banjar. Adat badamai bermakna sebagai

hasil proses perembukan atau musyawarah dalam pembahasan bersama

dengan maksud mencapai suatu keputusan sebagai penyelesaian dari suatu

masalah.190 Putusan Badamai yang dihasilkan melalui mekanisme

musyawarah merupakan upaya alternatif dalam mencari jalan keluar guna

memecahkan persoalan yang teljadi dalam masyarakat. Masyarakat Baqjar

berkecenderungan menyelesaikan sengketa melalui adat badamai. Adat

badamai diakui efektif dalam penyelesaian pertikaian atau sengketa.

188 Soerjono Soekanto, "Pembahasan dalam Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukwn Nasionaf' dalam Imam Sudiya~ Peran Pendidikan hlm.S.

189 Hilman Hadikusuma, Hukum Pidana Adat. Bandung: Alumni, hlm.l3 190 Jebar Hafif, Kamus Bahasa Banjar, Banjarmasin: Universitas Lambung Mangkurat

Perss, 1999, him. 32.

123

Sekaligus untuk menghilangkan perasaan dendam.

Adat badamai merupakan istilah bagi penyelesaian sengketa baik

yang bersifat keperdataan maupun pidana. Adat badamai dalam penyelesaian

sengketa pidana disebutjuga dengan istilah Baparbaik dan Bapatut. 191

Menurut hasil penelitian Ahmad Bahruni dari data kecelakaan lalu

Iintas yang teljadi di Banjarmasin selama tahun 1995-2000 teljadi sebanyak

43 perkara kecelakaan lalu lintas. Sebanyak 25 perkara lalu lintas

diselesaikan secara badamai. Inisiatif penyelesaian diambil dari pihak pelaku

atau keluarganya sebanyak 17 kasus, inisiatif diambil oleh pihak korban atau

keluarganya sebanyak 5 kasus, dan inisiatif dilakukan oleh pihak kepolisian

bersama keluarga korban sebanyak 3 kasus. 192

Melalui perundingan badamai maka dicapai kesepakatan secara

umum dapat dibagi menjadi tiga yaitu: 193

I) Korban mendapat bantuan biaya perawatan atau pengobatan, terdapat pada I 5 kasus. 194

2) Korban meninggal dunia, menda~at santunan berupa uang duka dari pihak penabrak, terdapat pada 6 kasus. 1 5

3) Korban mendapat bantuan biaya perbaikan kendaraan dan biaya perawatan, terdapat pada 4 kasus.

b. Mediasi Pada Masyarakat Adat Dayak Kalimantan Tengah

Dalam ketentuan Peraturan Daerah Kotawaringin Timur Nomor 15

191 Ahmadi Hasan, Penyelesaian Sengketa Hukum Berdasarkan Adat Badamai pada Masyarakat Banjar dalam Kerangka Sistem Hukum Nasional, Diserlasi, Pascasarjana FH VII, 2007 him. 117

192 Ahmad Bahruni, "Penye/esaian Tindak Pelanggaran La/u.-Lintas Secara Keke/uargaan, sebuah Tinjauan Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif', dalam Ahmad Hasan, Penye/esaian Sengketa Hukum Berdasarkan Ada/ Badamai pada Masyarakat Ba,Yar da/am Kerangka Hukum Nasional, Disertasi, Pascasaijana 83 Program Doktor Ilmu Hukum, Universitas Islam Indonesia, 2007, him. 299

193ibid 194 Biaya perawatan atau pengobatan sesuai dengan kesepakatan badamai mulai dari

Rpl50.000,00 195 Biaya uang duka sesuai dengan kesepakatan badamai paling besar Rp 7.500.000,00

124

Tahun 2001 tentang Kedemangan dan Peraturan Daerah Pulang Pisau Nomor

II Tahun 2003 tentang Pembentukan Kelembagaan dan Pemberdayaan Adat

Dayak, mengharuskan setiap kedamangan harus mempunyai seorang demang

sebagai pemimpin. 196 Demang dan let adat-nya membentuk sebuah Dewan

Adat. 197

Tugas utama demang antara lain mengawasi penerapan hukum ada!

dan memelihara institusi-institusi ada! menyelesaikan perselisihan dan

pelanggaran hukum ada! memberi nasihat kepada pemerintah setempat yang

berkaitan dengan hukum adat melestarikan dan mengembangkan kebudayaan

penduduk asli mempromosikan nilai-nilai budaya Dayak.198

Berdasarkan tugas tersebut maka Adat harus menjadi tempat pertama

bagi resolusi damai. Damang mempunyai otoritas untuk menyelesaikan baik

kasus perdata maupun pidana. Keputusan adat dianggap "mengikat" pada

pihak-pihak yang terlibat, namun putusan tersebut hanya menjadi

"pertimbangan" bagi aparat hukum jika suatu sengketa diproses di sistem

formal. Artinya keputusan secara adat tidak mencegah tindakan hukum

formal. Pengadilan bebas mengabaikan basil resolusi secara adat.

Perkara pembunuhan di Palangkaraya, diselesaikan melalui mediasi,

salah satu motivasi pelaku tindak pidana menggunakan hukum ada! adalah

mengurangi hukuman pe~ara yang dijatubkan oleh pengadilan. 199 Selain itu

196 Tidak perlu ada keterkaitan dengan batas administratif, namun dalam praktek sebuah kedamangan biasanya mencakup wilayah kecamatan. Di bawah damang pada tingkat desa atau kelurahan ada perangkatnya, yang dikenal sebagai mantir atau let adat. Di atas damang, pada tingkat kabupaten terdapat Koordinator Adat Wilayah, yang dipilih dari para damang sendiri.

197 Peri Umar Farouk, dkk., "Kembali ke Masa Depan: Otonomi Daerah dan Kebangkitan Ada/ yang 1ldak Pasti." him. 4<http://www.justiceforthepoor.or.id/ documents/ publikasi/vja­kalteng.~t>, diakses 17 Oktober 2007, 11:00 WIB.

1 lbidhlm. 5 199 lbid,hlm. I

125

dimaksudkan pula untuk memelihara kerukunan sosial, dan mediasi juga

dianggap lebih murah dan lebih pasti dalam menyelesaikan konflik antara

pelaku dan korban tindak pidana.200

Ketentuan hukum adat mencakup baik kasus perdata remeh walaupun

tindak pidana berat seperti pembunuhan dan perkosaan. Di bawah hukum

adat, jika kedua belah pihak rela, semua masalah dapat diselesaikan dengan

damai melalui konsiliasi.

Ketua Dewan Adat Kabupaten Kotawaringin Timur menjelaskan

proses yang ia terapkan, yangsecara umum menggambarkan proses resolusi

sengketa, baik secara adat maupun non-adat di Kalimantan Tengah?01

a. Keluhan/keberatan diterima dalam bentuk tertulis atau lisan b. Biaya perkara sekitar Rp I 00,000 dibayarkan kepadanya oleh pelapor. Ini

mencakup makanan ringan untuk acara "persidangan" dan biaya operasional.

c. Kemudian damang akan menelaah kasus, memeriksanya dahulu dengan kepala desa/let adat (jika ada) untuk melihat apakah upaya-upaya resolusi telah dilakukan di tingkat desa.

d. Maka damang memanggil pihak-pihak yang terlibat dan saksisaksi ke rumahnya untuk "persidangan".

e. Damang akan mengajukan sebuah resolusi atau membailtu memediasi untuk mencapai kompromi. Jika pihak-pihak sepakat, hasil kesepakatan akan dicatat dan ditandatangani. Jika tidak, maka mereka biasanya akan merujuk masalah itu ke sistem peradilan.

f. Jika ditetapkan denda berupa uang atau kompensasi, I 0% dari jumlah denda dibayarkan kepada damang sebagai biaya perkara.

g. Kesepakatan tertulis diberikan juga kepada let adat atau kepala desa sebagai alat untuk memastikan ditaatinya kesepakatan tersebut.

Selain damang, di tingkat desa, berdasarkan rasa hormat serta

popularitas pribadinya, kepala desa acap dilibatkan untuk menyelesaikan

perselisihan. Sebagaimana diamati seorang penghulu. Masalah pidana ringan

yangdapat diselesaikan dengan perdamaian biasanya dirujuk kepada ketua

2C>Ofbid,hlm. 2 201 !bid him. 7

126

RTIRW, kepala adat atau kepala desa.202

c. Mediasi Pada Masyarakat Adat Aceh

Di Aceh proses penyelesaian adat dapat berbeda-beda di masing­

masing kabupaten atau daerah akan tetapi terdapat kesamaan cara atau

metode dalam penyelesaian sengketa. Secara umum setiap kasus akan

diajukan kepada geudtik, yang terlebih dahulu akan mendorong para pihak

untuk membahas persoalan tersebut mencapai kompromi melalui

musyawarah. Apabila para pihak tidak mencapai kompromi barulah geuchik

dan para tetua gampong lainnya akan berusaha untuk menegosiasikan

kesepakatan, dan membantu para pihak untuk mencapai kesepakatan

bersama. Keterangan saksi diperlukan untuk membenarkan fakta, untuk itu

kejujuran para pihak sangat penting untuk mencapai hasil penyelesaian yang

adil.

Dalam bidang pidana ketentuan tentang qisas dan diyat disesuaikan

dengan adat aceh. Penyesuaian ini misalnya sebagai berikut seratus onta

dipahami sama dengan seratus ekor kerbau atau lembu, dan di dalam

kenyataan hukum qisas tidak pemah dijatuhkan karena keluarga korban

selalu memberikan pemaafan. Jumlah diyat walaupun pada dasarnya diakui

seratus ekor lembu untuk pembunuhan sengaja, di dalam kenyataan sehari­

hari pada umurnnya dapat disetujui hanya dengan membayar beberapa ekor

kerbau. Mengenai ta'zir dijatuhkan melalui musyawarah pimpinan gampong,

jarang yang sampai pada mahkamah yang waktu itu hanya ada pada tingkat

pemerintahan uleebalang dan ibu kota kerajaan. Hukurnan denda atau ganti

202/bid,hlm. 10

127

rugi pengakuan bersalah dan meminta maaf secara resmi di muka umum,

dicambuk dan diusir dari gampong merupakan bentuk-bentuk

hukumannya. 203

Empat pola penyelesaian konflik dalam tradisi masyarakat gampong

di Aceh yaitu di'iet, sayam, suloeh dan peumat jaroe. Pola ini merupakan

pola penyelesaian konflik yangmenggunakan kerangka adat dan syari'at. 204

Penyelesaian konflik dengan pola di'iet ditujukan untuk

menghilangkan dendam dan rasa permusuhan berkepanjangan antara para

pihak bertikai yang telah mengakibatkan kekerasan dan bahkan pembunuhan.

Penyelesaian konflik yang teJjadi dalam komunitas masyarakat gampong,

baik yang bersifat individual atau internal keluarga, antar individu maupun

antar kelompok, melalui bingkai adat dan agama, temyata dapat membawa

kepada kedamaian yang a bad i dan permanen. 205

Penyelesaian konflik melalui mekanisme di'iet, dilakukan pada

penyelesaian kasus pembunuhan. Di'iet diwujudkan melalui kompensasi

yangdibayarkan oleh pelaku pidana kepada korban atau ahli waris korban

dalam kasus pembunuhan. Keuchik, teunglcu meunasah dan tetua gampong

termasuk pemangku adat biasanya bertindak sebagai fasilitator, negosiator

dan mediator dalam penyelesaian konflik melalui mekanisme di'iet. Mereka

inilah yangmelakukan pembicaraan-pembicaraan awal dengan ahli waris

korban dan pelaku pidana atau ahli warisnya. Pelibatan keluarga besar dari

203 Al Yasa' Abubakar, "Islam. Hukum dan Masyarakut di Aceh Tajdid Syari'al Dalam Negara Bangsa", Seminar: First International Co'!forence of Aceh and Indian Ocean Studies, penyelenggara Asia Risearch Institute, National University of Singapore and Rehabilitation and Construction Executing Agency for Aceh and Nias (BRR), Banda Aceh, Indonesia. 24-27 Februari 2007, him 3

204 Syahrizal dan Agustina Arida, "Po/a Penyelesaian Konj/ik dalam Tradisi Masyarakut GampOnf! Aceh", Jurnal Seumikec, Volume II, 2006, Aceh Institute, him. 7.

20'5ibid

128

para pihak menjadi sangat penting dalam pembicaraan tersebut, karena untuk

menghindari dendam di kemudian hari?06

Keuchik, teungku meunasah dan tetuagampong memulai proses

pemeriksaan kepada pelaku tindak pidana untuk dapat mengukur tingkat maaf

yang diberikan oleh korban atau ahli waris korban. Jika pemaafan telah

diberikan, maka para pemangku adat atau tetua gampong mengkompromikan

atau bermusyawarah dengan pelaku atau ahli warisnya tentang jumlah di'iet

yang harus dibayarkan oleh pelaku pidana.207

Selanjutnya, pelaku pidana atau keluarganya memberikan sesuatu,

biasanya emas, kepada keluarga korban dan menyembelih hewan berupa sapi

atau kerbau yang diprakarsai oleh imuem mukim, geuchik, dan teungku

meunasah. Biasanya pembayaran di'iet dilakukan dengan suatu upacara adat

yang didalamnya terdiri atas kegiatan peusijuee08dan peumat

jaroe. 209Keterlibatan institusi adat dan budaya dalam penyelesaian kasus

pidana, bertujuan untuk menghilangkan dendam antara para pihak

yangbertikai. 21 o

Tempat upacara pembayaran di'iet biasanya digelar di meunasah, atau

di rumah korban atau diselenggarakan di tempat lain tergantung kesepakatan

206ibid 207ibid 208 Perangkat peusijuek berupa: nasi ketan kuning, keiapa gongseng gula merah (ue mierah),

ayam panggang, lurnpce (tepung yang Ielah diaduk dengan guia merah yang digongseng), daun senijuek, daun iiaiang (naleung samboe), padi dicampur beras, air tepung/ air bunga, air putih, air cuci Iangan dan kemenyan. Untuk penyelesaian kasus pembunuhan ditambah lagi dengan kain putih dan pedang/rencong di daiam sarung. Bahkan di beberapa daerah tertentu ditambah lagi dengan ~mberian nang sokitar 2 juta sampai 5 juta rupiah.

2 Peuniat jaroe, berjabat tangan. Dalam proses peumaJ jaroe, pihak yang menfasilitasi mengucapkan kata-kata khusus seperti: "Nyoe kaseb oh no dan bek na deundam /e. Nyoe heujeul keujalinan silaturrahmi, karena nyan ajaran agama geutanyoe" yang artinya: Masalah ini cukup di sini dan jangan diperpanjang iagi. Bersaiaman ini diharapkan menjadi awal dari jaiinan silaturrahmi antara anda berdua, sebab iru ajaran agama kita

210ibid

129

para pihak yangterlibal Penyelesaian konflik melalui mekanisme sayam

dilakukan pada penyelesaian kasus di luar pembunuhan seperti penganiayaan,

atau pertengkaran yang menyebabkan luka, sehingga mengalimya darah.

Sarna dengan di'iet, sayam juga menggunakan mekanisme kompensasi namun

kompensasi yang diberikan berupa kambing atau yang setara dengan itu? 11

Filosofi sayam bagi masyarakat Aceh bersumber dari adagium yang

sudah dikenal lama yaitu" luka disipat, darah disukat". Makna adagium ini

adalah luka akibat penganiayaan atau kekerasan harus diperhitungkan,

demikian pula dengan tumpahnya darah juga harus diperhitungkan.

Pandangan ini mengindikasikan bahwa masyarakat Aceh betul-betul

memberikan penghargaan dan perlindungan yang tinggi terhadap tubuh

manusia, sebagai ciptaan Allah. Sayam merupakan bentuk kompensasi yang

bertujuan untuk melindungi dan memberikan penghormatan terhadap ciptaan

Allah berupa tubuh manusia. Sarna halnya dengan di'iet, prosesi sayam

dilaksanakan setelah para pihak yang bersengketa atau bertikai dihubungi

oleh keuchik dan teungku meunasah. Apabila kedua pihak telah bersepakat

baru prosesi sayam dilaksanakan di rumah korban atau di meunasah.

Mengingat sayam hanya ditujukan kepada tindak pidana yang bersifat ringan,

namun menimbulkan luka atau keluar darah, maka peralatan dan bahan

prosesi yang harus disiapkan oleh pelaku atau ahli warisnya sama dengan

di'iet, namun jumlahnya yang berbeda.212

Penyelesaian konflik melalui mekanisme Suloh, merupakan pola

penyelesaian konflik bukan hanya untuk kasus pi dana, tetapi juga untuk kasus

211ihid 212ibid

130

perdata atau sengketa dalam rumah tangga. Bahkan suloh merupakan dasar

dari mekanisme penyelesaian konflik melalui di'iet dan snyam jika

pengakhiran konflik diwujudkan dalam islah.

Penyelesaian kasus melalui peuniat jaroe, merupakan bagian dari

penyelesaian konflik dalam bentuk di'iet, sayam, suloeh. Pada mekanisme

peumat jaroe umumnya digunakan untuk menyelesaikan kasus-kasus sangat

ringan. Biasanya langsung dilakukan setelah teJjadi konflik oleh para tetua

adat yangmenguasai daerah tertentu, tanpa sampai kepada keuchik atau

teungku meunasah. Penyelesaian seperti ini biasanya untuk dan cukup dengan

bersalam-salaman (peumat jaroe). 213

Bentuk aktivitas adat dan budaya yangmelekat pada di'iet, sayam dan

suloeh adalah peusijuek dan peumat jaroe (sating berjabat tangan). Kedua

institusi ini memegang peranan penting dalam menjalin rasa persaudaraan

(ukhuwah) an tara para pihak yang bersengketa?14

d. Penyelesaian Perkara Pidana melalui Mediasi Masyarakat Adat Ambon

Perkara pidana ringan seperti perkelahian antar pemuda di lingkungan

atau penganiayaan ringan dapat diselesaikan secara informal oleh komunitas

setempat, Raja atau kepala desa mempunyai posisi sentral serta memiliki

peranan dan pengaruh yang.besar dalam penyelesaian sengketa informal. Raja

menengahi dan membantu menyelesaikan berbagai persoalan dan kasus yang

ada di masyarakat. Raja pula yang berhubungan dan berkoordinasi dengan

ZIJibid 214 Masyarakat Aceh menganggap belum sempurnanya penyelesaian konflik tanpa ada

prosesi peusijuek danpeumal jaroe. Oleh karenanya Upacara peumat jaroe disaksikan oleh banyak orang yang diundang pada acara kenduri dan peusijuek. Urutan kegiatan adalah peusijuek, peumat jaroe dan makan bersama (kenduri).

131

pihak kepolisian dalam kasus-kasus pidana ringan atau sengketa tanah.215

Di komunitas Maluku, Raja dikenal sebagai pihak pemutus akbir

dalam kasus atau sengketa yang sulit ditangani.216 Kepala Dusun juga

bertindak sebagai mediator dalam sengketa perdata dan pidana ringan.

Namun pada umumnya, penyelesaian sengketa mulai di tingkat yang terendah

yakni melalui kepala soa dan ketua RTIRW pada wilayah yanglebih urban

seperti kota Ambon, kepala dusun kemudian Raja.

Tujuan utama penyelesaian sengketa secara informal adalah untuk

menjaga kel)armonisan dan pemulihan relasi antara masyarakat dan agar

penyelesaian kasus yang ada dapat mengbemat biaya dan waktu para pihak

yang bersengketa. Sayangnya, walaupun menjadi pilihan utama, mekanisme

informal ini belum meqjadi bagian yang terintegrasi dari mekanisme atau

sistem hukum yang didukung oleh pemerintah secara sungguh-sungguh.

Dalam keseharian dan dalam penyelesaian sengketa, seorang Raja

dibantu oleh semacam dewan yang disebut sebagai "Saniri" di mana Raja

sekaligus menjadi anggotanya. Apabila ada kasus yang diajukan kepada pihak

Raja, maka Saniri akan memberikan dukungan baik dalam melakukan

investigasi maupun dalam musyawarah yang dilakukan. Namun sebagian

besar keputusan dan kata akbir tetap berada di tangan Raja.

Adapun urutan proses penyelesaian sengketa di tingkat komunitas

215 Peri Umar Farouk, et al., "Mekanisme Penye/esaian Sengketa Informal di Kabupaten Buru, Kola Ambon don Kabupalen Maluku Tengah", <http://www.justiceforthepoor.or.id/ documents/ publikasi/vja-ambonpdf>, diakses 17 Oktober 2007, II: 10

216 Pengertian raja dalam hukum adat Maluku adalah orang yang memimpin suatu Negeri atau Desa baik yang menduduki jabatan tersebut turun-menurun maupun dipilih secara Demokrads. Peri Urnar Farouk, et al., "Mekanisme Perryelesaian Sengkela ... 11 Ibid

132

sebagian besar mengikuti alur berikue17

I. Pengaduan masuk ke pihak aktor penyelesai sengketa (misalnya Raja, tokoh agama atau tokoh masyarakat). Di tingkat desa atau Negeri, ada juga kasus yang diajukan ke Saniri Negeri terlebih dahulu sebelum diajukan ke pihak Raja.

2. Apabila kasus adalah pidana berat, maka diajukan ke pihak Kepolisian; 3. Para pihak dipanggil dan diwawancara dalam suatu pertemuan terbuka.

Untuk tingkat desa/negeri, biasanya juga dihadiri oleh Saniri Negeri; 4. Raja/ tokoh agama/ tokoh masyarakat kemudian menganalisa kasus dan

hasil wawancara; 5. Untuk kasus tanah, Raja akan meminta bantuan pihak Saniri terutama

dalam melakukan investigasi; 6. Raja memanggil para pihak untuk mengambil putusan sekaligus

bemegosiasi mengenai sanksi nya. Apabila para pihak sepakat dengan hasilnya, maka biasanya ditulis suatu Berita Acara sederhana yang ditandatangani oleh para pihak;

7. Apabila para pihak tidak puas terhadap proses penyelesaian yang ada, maka mereka dapat menempub jalur pengadilan.

Proses penyelesaian dilakukan berdasarkan kesepakatan para pihak

korban dan pelaku, hal ini ditegaskan oleh Raja Hative Kecil: "Kita harus

minta persetujuan dari pihak korban". Hal yang sama juga disampaikan oleh

Raja Asilulu, "Raja tidak bertindak seperti pengadilan, kita menggunakan

pendekatan kekeluargaan. Namun himbauan saya jarang yang tidak dipatuhi

oleh para pihak yang bersengketa.218

Raja berperan menjadi pendamai pihak yang bersengketa. Dengan

demikian, harapannya setelah para pihak pergi dari rumah negeri atau rumah

Raja, tempat di mana. musyawarah dilakukan, maka komunitas setempat

menjadi damai kembali. Dengan perkataan lain, kondisi komunitas

yangterganggu akibat sengketa yangteljadi, kini telah dipulihkan.

Kasus Perkelahian akibat pelemparan mobil angkot di Dusun Rubua -

Desa Sepa, P. Seram - Kab. Maluku Tengah Kasus teljadi pada bulan

217 Peri Umar Farouk, et al., Op.cit. 218ibid

133

Desember 2003, bermula dari pemuda Ruhua yang pergi memetik cengkeh

tapi oleh masyarakat Desa Haya para pemuda tersebut disangka sebagai

anggota masyarakat Tehoru. Sejak dulu masyarakat Haya punya masalah

dengan masyarakat Tehoru. Orang Haya juga menduga bahwa Halue adalah

orang Tehoru. Orang Haya sempat memukuli dan melempari orang-orang

Ruhua yang memetik cengkeh ini. Untuk itu, Halue dan kawan-kawan

membalas dengan menghentikan mobil angkot atau angkutan kota yang

dimiliki oleh orang Haya dan melempari kacanya dengan batu sampai pecah

berantakan. Akibatnya orang Haya melaporkan persoalan ini ke pihak

kepolisian. 219

Selanjutnya pihak polisi memfasilitasi musyawarah untuk

menyelesaikan persoalan ini. Di kantor polisijuga hadir Bapak Raja Sepa dan

Sekretaris Desa. Bapak Raja memberikan nasihat untuk menyelesaikan kasus

ini. di ujung musyawarah, para pihak diminta untuk membayar denda dan

membuat surat pernyataan damai. Halue diminta membayar 500 ribu rupiah

sebagai bentuk ganti rugi kaca mobil yang telah dipecahkan.220

Kasus perkelahian antara tetangga di Desa Tamilou, P. Seram - Kab.

Maluku Tengah, Kasus bermula ketika seorang ayah yang kedua anaknya

meninggal secara berturut-turut. Si ayah menduga bahwa tetangga sebelahnya

mempunyai andil atas kematian anaknya. Ia menganggap si tetangga memiliki

ilmu hitam sehingga menyebabkan kematian atas anaknya.221

Kasus sempat dibawa ke pihak Polisi, namun ditarik kembali oleh

aparat desa karena dianggap masih bisa diselesaikan sendiri. Musyawarah

219ibid 220ibid 22 libid

134

diadakan oleh pihak desa dan para pihak diminta membuat pemyataan damai.

Pihak yangmenuduh diminta untuk memberikan I bal kain putih ke pihak

mesjid.222

e. Mediasi Pada Masyarakat Adat Lombok Utara

Masyarakat Lombok Utara memiliki kepemimpinan adat yang dikenal

sebagai adat Wet Tu Telu. Namun semenjak dikeluarkannya Undang-undang

Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah serta Undang-undang

Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa kepemimpinan adat Wet Tu

Telu kehilangan eksistensinya.223

Inisiatif untuk mengembalikan eksistensi Wet Tu Telu, muncul seiring

dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang

Pemerintahan Desa, yakni dengan terbentuknya Persekutuan Masyarakat

Adat Lombok Utara atau Perekat Omharn Mereka mendeklarasikan

keberadaannya di pertemuan besar (gundem) ke-5 tokoh-tokoh kepala desa

dari 25 desa di Lombok, tanggal 9 Desember 1999 di Desa Becingah,

Kacamatan Bayan, Kabupaten Utara Lombok Barat.224

Awalnya gerakan Perekat Ombara ini merupakan wadah keprihatinan

beberapa tokoh kepala desa yang memiliki kasus sama berkenaan dengan

degradasi_. ekosistem hutan, yang diakibatkan eksploitasi perusahaan

pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Pertemuan-pertemuan

selanjutnya, tidak saja hanya membicarakan masalah degradasi lingkungan,

222ibid 223 Peri Umar Farouk dkk., "Wet Tu Telu: Peluang Membangun Peradilan di Tingkat

Desa", <http://www.justiceforthepoor.ar .id/documents/publikasi/vja-ntb.pdf.> diakses I 7 Oktober 2007,Il:I5 WIB.l7 Ibid

224lbid Upaya penyelesaikan sengketa oleh masyarakat adat selaku mediator ada yang memformalkan menjadi bagian dari struktur pemerintahan di desa dan mengakuinya secara informal, yakni tanpa memasukk:annya dalam struktur pemerintahan desa.

135

melainkan berkembang ke wacana revitalisasi adat budaya. Termasuk di

dalamnya memunculkan upaya pembentukan model penyelesaian sengketa di

luar institusi formal hukum yang dihadapi masyarakat. 225

Berkenaan dengan prosesnya, penyelesaian sengketa di tingkat

masyarakat belum ada aturan ketat tertentu. Meski diupayakan relevan

dengan hierarki pemerintahan di desa yangdiurutkan mulai yang terbawah

dari RT/RW kemudian Dusun lalu Desa, namun pendekatan langsung ke

tingkat yang lebih tinggi sangat terbuka, akan tetapi selalu ada himbauan

terlebih dahulu untuk menyelesaikannya di tingkat yang lebih rendah, RT/

R W atau Dusun?26

Kasus-kasus yang ditangani antara lain perkelahian atau

pengeroyokan, hamil luar nikah, pemidangan (ape!) kepada istri orang dan

perzinahan. Umumnya perkara dilaporkan oleh pelaku pada kasus

perkelahian atau pengeroyokan agar tidak teJjadi balas dendam. Sedangkan

pada kasus yang berhubungan dengan pergaulan laki-laki perempuan, inisiatif

berasal dari Ketua RT/RW, pemuka masyarakat seperti penghulu, kiyai, atau

mangku adat, atau tokoh pemuda. Pengaduan/laporan bisa diberikan secara

I. ,. 227 tertu 1s maupun 1san.

Penggalian informasi dari pihak pertama Pada kesempatan

yangpertama informasi digali dari pengadu/pelapor atau orang yang diketahui

mempunyai kasus. Di kesempatan ini, pihak yang diakses seperti RT/RW,

Kadus, Kades, mempunyai hak diskresi untuk melibatkan orang lain atau

225 Ibid him. 8 226/bid him. 9. Biasanya yangdatang adalah orang yang berhubungan langsung dengan

kasus, dengan didampingi oleh keluarganya atau yang dianggap sesepuh keluarga yang bersan~kutan

"227ibid

136

tidak, terutama anggota Krama-nya(penghulu dan niangku adat) untuk

mendengarkan keterangan pendahuluan. Pada kasus-kasus tertentu ada yang

coba diselesaikan sendiri oleh RT/ RW, Kadus, Kades tanpa melibatkan

majelis yang lebih besar.

Penggalian informasi dari pihak lainnya atau pihak lawan dilakukan,

kesempatan berikutnya, selang satu sampai tiga hari, mediator penyelesai

sengketa mengundang pihak lain dalam kasus yang ditangani untuk didengar

keterangan serta informasinya. Di kesempatan ini pihak yang diundang

ditanyakan balik tentang versi dan konfmnasi sebagaimana

pengaduan/laporan orang pertama.

Penggalian informasi dari saksi Bilamana terdapat saksi atau pihak-

pihak lain yang bisa menguatkan posisi kasus yangsedang ditangani, maka

para saksi ini pun diundang untuk didengar keterangannya. Proses berkenaan

dengan saksi sendiri bisa juga teljadi pada saat menggali keterangan dari

pengadu/pelapor, saat mana para pengadu/pelapor membawa serta mereka

dalam rangka menguatkan keterangannya.228

Mempertemukan para pihak menggemukkan secara terbuka

persoalannya dan didengar langsung pihak lawannya. Di sesi ini juga bisa

teljadi tany~awab, sating mengkonfirmasi, bahkan saling silang pendapat Di

sesi ini juga semua kalangan yang berkaitan langsung dengan kejadian,

seperti saksi, dihadirkan dan mengemukakan apa yang disaksikannya.

Pertemuan para pihak ini lebih terfokus pada tuntutan yangdikehendaki satu

pihak kepada pihak lainnya. Mediator akan memperhatikan layak tidaknya

228 Karolus Kopong Medan, Peradi/an Relwnsi/iatif Konstruktif Penye/esaian Kasus Kriminal Menuru/ Tradisi Masyarakat Lamaholot, di Flores NTT; Disertasi, PDIH Undip, 2006, hlm. 240.

137

sebuah tuntutan satu pihak dipenuhi pihak lainnya.

Pendekatan pertama para aktor memposisikan diri terlebih dahulu

sebagai orang yang meminta kesepakatan pihak satu dari tuntutan pihak

lainnya. Dia bertindak laksana negosiator atau konsiliator,

mengkomunikasikan atau menawarkan kehendak pihak yang menuntut untuk

dipenuhi oleh pihak lainnya. Perkara-perkara kriminal ringan, dapat

diselesaikan cepat. seperti perkelahian, pencurian. Pada perkara-perkara

tersebut polisi menyerahkan terlebih dulu penyelesaian kepada kepala Tokoh

Adat lingkungan.

f. Mediasi Masyarakat Adat Lamaholot di Flores Nusa Tenggara Timur

Masyarakat Lamaholot berpandangan untuk bisa menyelesaikan

dengan baik kasus-kasus sengketa krimina~ institusi adat me/a sareka

difungsikan untuk memperbaiki relasi sosial yangrusak antara pihak229.Proses

ritual adat perdamaian me/a sareka yaitu para pihak melakukan getun liko

petin pepa atau pemisahan para pihak, karena ada konflik maka harus

dipisahkan sehingga mereka yang berkonflik tidak boleh bertemu dan makan

bersama jika dilanggar maka akan terkena risiko adat yaitu sakit, celaka atau

meninggal230•

Ritual herun haban, acara untuk mempertemukan para pihak dan

diakhiri dalam Bua Behin atau deklarasi hidup dalam damai, melalui makan

minum bersama menandakan konflik telah hilang antara pelaku dan

korban231 .Soba Sewalet ajakan damai, mediator adat dipilih dari orangorang

yang mempunyai pengaruh besar dalam suku atau kampung Pada pertikaian

229lbidhlm. 295·2% 230ibid 231 lbid

138

antar kampung maka tokoh adat yang akan menjadi mediator adalah tokoh

adat netral yang tidak terlibat dalam perkelahian. Mediator akan

mengupayakan gencatan senjata (leba rekat leu) menghasilkan peijanjian adat

(nayu baya) agar dinamika masyarakat tidak terganggu232.Uku loyak gatu

gatan atau rekonstruksi kebenaran, pelaku tindak pidana berbicara dari hati

ke hati untuk merekonstruksi kebenaran, pihak yang merasa paling

bersalah wajib metnohon kepada korban untuk melakukan perdamaian233•

Selanjutnya baik pelaku . dan korban untuk menghapus segala

kesalahan yang dilakukan oleh para pihak maka baik pelaku dan korban

melakukan ritual adat haput ele kirin. Selanjutnya dilakukan ritual haput

nuhuka bohok weweka untuk menghapus segala kesalahan yang dilakukan

melalui kata-kata. Puncaknya dilakukan melalui me/a sareka yaitu menuju

dunia baru penuh damai sebagai puncak ritual.234•

Penyelesaian konflik antara pelaku tindak pidana dan korban tindak

pidana dalam masyarakat adat di Indonesia, sebagaimana terdapat dalam

masyarakat adat Banjar, masyarakat adat Dayak di Kalimantan Tengah,

masyarakat adat Aceh, masyarakat adat Ambon, masyarakat adat Lombok

Utara, masyarakat adat Lamaholot di Flores Nusa Tenggara Timur,

menu~ukkan kesamaan bentuk yaitu adanya upaya perdamaian dan

mengakhiri konflik dengan melibatkan pihak ketiga yang merupakan bentuk

pendekatan mediasi pidana yang dikenal sebagai Traditional village or tribal

moots. Traditional village or tribal nzoots. Penyelesaian Hukum Adat melalui

upaya perdamaian tersebut dapat menjadi dasar bagi program mediasi

232fbidh1m. 301. 233 !bid him. 303. 234lbidhlm. 306.

139

modern, tennasuk untuk mediasi pidana yang dapat dituangkan dalam

peraturan perundang-undangan.

Sedangkan pengertian mediasi dalam konteks hukum perdata dapat

merujuk pada Peraturan Mahkamah Agung No. I Tahun 2016 tentang

Prosedur Mediasi di Pengadilan menyatakan, Mediasi adalah cara

penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh

kesepakatan Para Pihak dengan dibantu oleh Mediator.

Berdasarkan uraian literatur dari doktrin ahli, konvensi intemasional,

hukum agama, hukum adat, dan hukum nasional diatas, maka definisi mediasi

penal yang dimaksud peneliti dalam disertasi ini adalah penyelesaian perkara

pidana melalui perundingan/ musyawarah dengan bantuan mediator yang

netral, melibatkan pelaku, orang tua, korban dan perwakilan masyarakat

untuk memperoleh kesepakatandengan tujuan memulihkan pelaku, korban

dan masyarakat secara seimbang.

140

BABIII

MEDIASI PENAL DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

A. Mediasi Penal Dengan Pendekatan Restorative Justicedalam Sistem

Peradilan Pidana Anak

Mediasi pidana tidak terdapat dalam sistem peradilan pidana

Indonesia saat ini, jika ada hanyalah merupakan bentuk penyelesaian di luar

pengadilan yang diatur oleh kedua belah pihak. Menurut Andi Hamzah,

Indonesia tidak menganut seperti pada beberapa negara baik seperti Amerika

Serikat, Eropa, maupun beberapa negara Asia, akan tetapi seiring dengan

upaya pemerintah untuk mengoptimalkan penyelesaian perkara pada tingkat

awal maka kepada kedua belah pihak yang hadir pada proses penyelidikan,

penyidikan sebelum proses penuntutan pada persidangan, dianjurkan untuk

melakukan mediasi atau lebih dikenal saat ini restorative justice.

Di Indonesia karakteristik dari hukum adat ditiap daerah amat

mendudukung penerapan restorative justice, yaitu kerelaan dan partisipasi

dari korban, pelaku, dan masyarakat dalam melakukan perbaikan atas tindak

pidana yang teijadi. Dengan adanya sanksi-sanksi sebagai bentuk restitusi

dapat berupa;235

a. Penggantian kerugian immaterial b. Pembayaran uang adat kepada orang yang terkena sebagai

pengganti kerugian rohani. c. Permintaan maaf d. Pengasingan dari masyarakat serta meletakkan orang di luar tata

hukum dengan sanksi pembatasan hak nya sebagai anggota masyarakat adat.

235 Eva Achjani Zulfa, Op.cil, him. 71

141

Sebagai contoh mekanisme penyelesaian melalui mediasi dengan

pendekatan restorative justice antara lain;

a. Penyelesaian antara pribadi, keluarga, atau lingkungan;

b. Penyelesaian dengan mediator kepala kerabat atau kepala adat.

Oleh karena itu restorative justice dapat dimasukkan dalam sistem

peradilan pidana Indonesia guna menyelesaikan kasus-kasus hukum pidana

pada umumnya dan khususnya kasus-kasus dalam tindak pidana terhadap

anak. Menurut Remington dan Ohlin mengemukakan, bahwa criminal justice

system dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap

mekanisme administrasi peradilan pidana, dan peradilan pidana sebagai suatu

sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan,

praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengertian sistem itu

sendiri mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan

secara rasional dan dengan cara efisien untuk memberikan hasil tertentu

dengan segala keterbatasannya.236Mardjono memberikan batasan pengertian

sistem peradilan pidana adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk

menanggulangi masalah kejahatan. Menanggulangi diartikan sebagai

mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi

masyarakat.237

Sistem hukum secara garis besar dibagi menjadi dua yaitu sistem

hukum Anglo Saxon dan sistem Kontinental. Kedua sistem hukum ini

memiliki perbedaan yang cukup besar pada pembangunan sistem peradilan

236 Romli Atmasasmita, Sis/em Peradilan Pidana: Perspektif Eksistensia/isme dan Abo/isionisme, Bandung: Bina Cipta, !996, him. 14

237 Mardjono Reksodipoetro, "Sis/em Peradilan Pidana lndonesia:Peran Penegak Hukum Melawan Kejahotan", daiam Hak Asmi Manusia do/am Sis/em Peradilan Pidana, i994, him. 84-85.

142

pidananya, akibat perbedaan akar falsafah dan politik yang melatar­

belakanginya.238

Walaupun kedua sistem tersebut dibangun dalam semangat liberalisme

namun pendekatan yangdiambil berbeda.239 Sistem Anglo Saxon

memperlihatkan ide individualisme dan desentralisasi mengutamakan

keadilan serta perlindungan hak individu yang sangat tinggi. Sedangkan

Sistem Kontinental bersandar prinsip keseragaman, organisasi birokratik,

sentralisasi serta menekankan pengembangan secara pada sistem hukum acara

yang memadai, untuk memastikan fakta, agar dicapai keputusan yang adil

perkara. 240

Sistem peradilan pidana Anglo Saxon dan Eropa Kontinental,

memunculkan metode penemuan fakta yang pada dasarnya berbeda yaitu

metoda akuisitor pada Anglo Saxon dan inkuisitor pada Eropa Kontinental.

Masing-masing metode tumbuh dalam sejarah penerapan hukum acara pidana

dalam kurun waktu yang lama dan mapan pada masyarakat yang

bersangkutan. Jadi sistem akuisitor yangcocok di Amerika belum tentu efektif

untuk digunakan di Eropa Daratan, demikian pula sebaliknya?41

Terdapat berbagai teori berkaitan dengan sistem peradilan pidana

(criminal justice system). Ada yang menggunakan pendekatan dikotomi dan

238 Soedjono Dirdjosisworo, Filsafat Peradilan Pidana dan Perbandingan Hukum, Bandung: Armico, 1984, hlm. 27.

239 Sistem Anglo Saxon dibangun dengan semangat liberalisme Inggris dengan adanya pembatasan kekuasaan penguasa (Raja) melalui kemandirian badan peradilan. Sedangkan sistem Kontinental dibangun dengan semangat liberalisme Eropa daratan yang membatasi kekuasaan penguasa (Raja) melalui lembaga legislatif (badan perundang-undangan).

240 Soedjono Dirdjosisworo, Op. Cit. 241 /bid, hlm. 37-38

143

atau pendekatan trikotomi.242

Pendekatan dikotomi umumnya digunakan oleh teori hukum pidana di

Amerika Serikat. Adalah Herbert Packer, seorang ahli hukum dari Universitas

Stanford, dengan pendekatan normatif yang berorientasi pada nilai-nilai

praktis dalam melaksanakan mekanisme proses peradilan pidana.243

Terdapat data model dalam pendekatan dikotomi. Pertama, crime

control model, pemberantasan kejahatan merupakan fungsi terpenting dan

harus diwujudkan dari suatu proses peradilan pidana, sehingga perhatian

utama harus ditujukan pada efisiensi proses peradilan pidana. Titik tekan pada

model ini adalah efektifitas yaitu kecepatan dan kepastian. Pembuktian

kesalahan tersangka sudah diperoleh di dalam proses pemeriksaan oleh

petugas kepolisian. Presumption of guilty digunakan untuk mempercepat

pemrosesan tersangka atau terdakwa ke sidang pengadilan.244 Nilai-ni!ai yang

melandasi crime control model adalah:245

I . tindakan represif terhadap suatu tindakan kriminal merupakan fungsi terpenting dari suatu proses peradilan;

2. perhatian utama harus ditujukan kepada efisiensi dari suatu penegakan hukum untuk menyeleksi tersangka, menetapkan kesalahannya dan menjamin atau melindungi hak tersangka dalam proses peradilan;

3. proses kriminal penegakan hukum harus dilaksanakan berlandaskan prinsip cepat dan tuntas, dan model yang dapat mendukung proses penegakan hukum tersebut adalah model administratif dan merupakan model manajerial;

4. asas praduga bersalah akan menyebabkan sistem ini dilaksanakan secara efisien;

5. proses penegakan hukum harus menitikberatkan kepada kualitas temuan­temuan fakta administratif, oleh karena temuan tersebut akan membawa ke arah: I) Pembebasan seorang tersangka dari penuntutan, atau 2) Kesediaan tersangka menyatakan dirinya bersalah.

242 Romli Atmasasmita, Kapita Se/ekta Hukum Pidnna dnn Kriminologi, Bandung: Mandar Maju, 1995, him. 137.

243ibid 244 Ibid, him. 138 245 Romli Atmasasmita, "Sistem .. ", Op.Cit., him. 19

144

Kedua, due process model, model ini menekankan seluruh temuan-

temuan fakta dari suatu kasus, yang harus diperoleh melalui prosedur formal

yangsudah ditetapkan oleh undang-undang. Setiap prosedur adalah penting

dan tidak boleh diabaikan, melalui suatu tahapan pemeriksaan yangketat

mulai dari penyidikan, penangkapan, penahanan dan peradilan serta adanya

suatu reaksi untuk setiap tahap pemeriksaan, maka dapat diharapkan seorang

tersangka yangnyata-nyata tidak bersalah akan dapat memperoleh kebebasan

dari tuduhan melakukan kejahatan. Presumption of innocence merupakan

tulang punggung model ini?46 Adapun nilai-nilai yang melandasi due process

model adalah?47

I. mengutamakan, formal-adjudicative dan adversary fact findings, hal ini berarti dalam setiap kasus tersangka harus diajukan ke muka pengadilan yang tidak memihak dan diperiksa sesudah tersangka memperoleh hak yangpenuh untuk mengajukan pembelaannya;

2. menekankan pada pencegahan dan menghapuskan sejauh mungkin kesalahan mekanisme administrasi peradilan;

3. proses peradilan harus dikendalikan agar dapat dicegah penggunaannya sampai pada titik optimum karena kekuasaan cenderung disalahgunakan atau memilih potensi untuk menempatkan individu pada kekuasaan yang koersif dari negara;

4. memegang teguh doktrin legal audit, yaitu: a. seorang dianggap bersalah apabila penetapan kesalahannya dilakukan

secara prosedural dan dilakukan oleh mereka yang memiliki kewenangan untuk tugas itu;

b. seseorang tidak dapat dianggap bersalah sekalipun kenyataan akan memberatkan jika perlindungan hukum yang diberikan undang-undang kepada orang yangbersangkutan tidak efektif. Penetapan kesalahan seseorang hanya dapat dilakukan oleh pengadilan yangtidak memihak;

5. gagasan persamaan di muka hukum lebih diutamakan; 6. lebih mengutamakan kesusilaan dan kegunaan sanksi pidana.

Konsep due process model, sangat menjunjung tinggi supremasi

hukum, dalam perkara pidana tidak seorang pun berada dan menempatkan

246 Romli Atmasasmita, "Kapila ... ", Op. Cit., hlm.138. 247 Romli Atmasasmita, "Sistem ... ", Op. Cit, him. 20.

145

diri di atas hukum. Setiap penegakan hukum harus seusai dengan persyaratan

konstitusional, harus mentaati hukum, serta harus menghormati:248

I. The right of self incrimination. Tidak seorang pun dapat dipaksa menjadi saksi yangmemberatkan dirinya dalam suatu tindak pidana.

2. Dilarang mencabut, menghilangkan hak hidup, kemerdekaan, atau harta benda tanpa sesuai dengan ketentuan hukum acara.

3. Setiap orang harus "terjamin hak terhadap diri, kediaman, surat-surat atas pemeriksaan dan penyitaan yang tidak beralasan.

4. Hak konfrontasi dalam bentuk pemeriksaan silang dengan orang yang menuduh atau melaporkan.

5. Hak memperoleh pemeriksaan yangcepat. 6. Hak perlindungan yangsama dan perlakuan yangsama dalam hukum. 7. Hak mendapat bantuan penasihat hukum.

Pendekatan trikotomi, diperkenalkan Denis Szabo, Direktur the

International Centre for Comparative Criminology, the University of

Montreal, Canada dalam Konperensi UNAFEI di Fuchu, Tokyo, Jepang

Desember 1982.249

Terdapat tiga model dalam pendekatan trikotomi. Pertama, medical

model, pendekatan ini berawal dari ajaran Lombroso, yang menyatakan

penjahat merupakan seorang yang memiliki kepribadian yangmenyimpang,

dan disebut sebagai orang yang sakit. Oleh karena itu sistem peradilan pidana

harus menjadi terapi, sehingga pelaku kejahatan menjadi manusia yang

normal. Pemikiran ini diperkuat oleh teori social defonce, yang dikemukakan

oleh Grammatica yang menyatakan hukum perlindungan sosial harus

menggantikan hukum pidana yang ada sekarang dalam tulisan berjudul La

Iotta contra Ia pena sehingga seorang individu pelaku tindak pidana

diintegrasikan kembali dalam masyarakat bukan diberi pidana terhadap

248 M. Yahya Harahap, Op. Cit., him. 95-96. 249 Romli Atmasasmita, "Kapita .. " Op. Cit., him. 139;

146

perbuatannya, 250 dan diperbaharui oleh Marc Ancel251

Kedua, justice model, model ini melakukan pendekatan pada masalah-

masalah kesusilaan, kemasyarakatan dan norma-norma hukum serta

pengaruh-pengaruh sistem peradilan pidana. Pendekatan justice model

diperkenalkan oleh Norval Morris, dengan suatu pemikiran yang bertitik tolak

pada mekanisme peradilan dan perubahan-perubahan penghukuman. Model

ini melakuan reevaluasi terhadap hasil-hasil dari administrasi peradilan

pidana dan memberikan perhatian khusus pada sanksi pidana, moral dan

social cost untuk mencapai tujuan pencegahan dan perlindungan atas

masyarakat dari kejahatan.252

Ketiga, model gabungan dari preventive model dan justice

model. Model ini menitikberatkan pada kompensasi atas korban-korban

kejahatan. Dasar pemikiran model ini menempatkan negara selain sebagai

pemberantas kejahatan dan perlindungan masyarakat juga hams memberikan

Jamman sosial kepada seorang korban kejahatan, sama halnya dengan

jaminan sosial yang diperoleh dari pendapatan negara dari sektor pajak.

Melalui pendekatan model ini sistem peradilan pidana harus

mempertimbangkan faktor financial-accountability. 253

Kontinental mulai dikenal model ketiga sistem peradilan pidana yang

disebut model kekeluargaan (Family Model), yang diperkenalkan oleh John

Griffith. Model ini merupakan reaksi terhadap adversary model, yang

dipandang tidak menguntungkan. Model kekeluargaan menempatkan pelaku

250 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legis/ali/ dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Semarang: BP Undip, 1994, him. 19.

251 Romli Atmasasmita, Loc. Cit. 252ibid 253 Ibid, him. 140

147

tindak pidana tidak sebagai musuh masyarakat, melainkan dipandang sebagai

anggota keluarga yang harus dimarahi guna mengendalikan kontrol

pribadinya, tetapi tidak boleh ditolak atau diasingkan. Semua dilandasi oleh

semangat cinta kasih?54

Sedangkan sistem peradilan pidana terpadu yang terdiri dari sistem

peradilan pidana dan peradilan pidana terpadu.

1. Sistem Peradilan Pidana

Sistem Peradilan Pidana (SPP) atau dikenal dengan Criminal

Justice System pada hakikatnya identik dengan sistem penegakan hukum

pidana (SPHP). Sistem "penegakan hukum" pada dasarnya merupakan

"sistem kekuasaanlkewenangan menegakkan hukum ini dapat diidentikkan

pula dengan istilah "kekuasaan kehakiman", oleh karena itu, SPP atau

SPHP pada hakikatnya juga identik dengan "Sistem Kekuasaan

Kehakiman di Bidang Hukum Pidana" (SKK-HP).

Sistem peradilan pidana menjadi komponen penting dalam

pencapaian tujuan hukum. Karena begitu pentingnya kedudukan SPP,

Daniel S. Lev menyebutkan:

"Dimana nilai-nilai dan mitos-mitos cultural menekankan pada cara-cara pengaturan serta hubungan sosial politik yang tidak bertolak dari .wilayah hukum otonom, maka sebagai akibatnya disitu lembaga-lembaga hukum akan kurang dapat mengembangkan kekuasaannya yang mandiri seperti yang dimilikinya di negara-negara Eropa dan Arnerika Serikat. Tampilnya kekuasaan-kekuasaan birokrasi yang perkasa sekalipun, yang merupakan unsur-unsur esensial bagi adanya sistem hukum yang kuat, tak akan menciptakan suatu tanggapan umum yang positif terhadap beketjanya hukum, terutama apabila misalnya nilai-nilai patrimonial juga tetap bercokol dengan kuat"

254 Muladi, Hak Asasi Manusia, Po/itik dan Sistem Peradilan Pidana, Semarang: BP Undip, 1997, hlm.l82.

148

Pendekatan SPP tidak menggunakan perspektif nonnative,

melainkan perspektif manajemen dalam peradilan pidana, yang

menekankan sating hubungan dari masing-masing usur lembaga penegak

hukum, bagaimana mekanisme bekerjanya dan pengaruh dari masing-

masing yang berperan dalam penegakan hukum tersebut sekaligus dampak

dari keseluruhan hasil penegakan hukum itu, dengan demikian pendekatan

sistem lebih diutamakan. Sesuai dengan resolusi PBB tentang "The

Prevention of the Crime and the Treatmen of Offenders "ke-8 yang

diselenggarakan di Havana, Cuba tahun 1990. Resolusi butir 19 tentang

manajemen peradilan pidana dan pengembangan kebijakan pidana

(management of criminal justice and development of sentencing policies)

sebagai berikut:

a. Only if criminal justice system is well managed can rational change be made to improve the situation.

b. In-adequate management of the criminal justice system can result in certain practices, such as long delays before trial, that may create injustice for person whose cases are being processed by the system.

c. Satisfactory relations between difforent agencies of the criminal justice system can contribute to effoctive allocation of resources.

Pendekatan sistem dalam peradilan pidana menurut Romli

Atmasasmita adalah sebagai berikut:

a. Titik berat pada koordinasi dan sinkronisasi. komponen peradilan pidana (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan).

b. Pengawasan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh komponen peradilan pidana.

c. Efektivitas sistem penanggulangan kejahatan lebih utama dari efisiensi penyelesaian perkara.

d. Penggunaan hukum sebagai instrument untuk menetapkan the administration ofjustice.

Sistem peradilan pidana yang disusun atas dasar prinsip birokrasi

modern sebagaimana dikemukakan oleh Weber tersebut, yang dipertalikan

149

dengan Hukum Acara Pidana yang dikenal dengan KUHAP (Undang­

Undang Nom or 8 Tahun 1981 ). Sub-sistem peradilan pi dana dalam

penanganan tindak pidana korupsi, sudah barangtentu juga harus dapat

dikembalikan pada tujuan dan fungsi hukum. Namun demikian hukum

acara pidana tidak mengatur bagaimana mekanisme internal birokrasi

subsistem peradilan pidana tersebut bekerja.

Masing-masing subsistem peradilan memilik:i aturan tersendiri.

Kepolisian memiliki Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang

Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kejaksaan memiliki Undang­

Undang Nomor 16 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Pengadilan

memiliki Undang-Undang Nomor Nomor 5 tahun 2004 jo Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor

Nom or 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Demikian juga dengan

advokad dan lembaga pemasyarakat.

Kejaksaan sebagai bagian dari subsistem peradilan pidana, dalam

penanganan TPK memiliki kekhususan yaitu tidak hanya sebagai lembaga

penuntutan tetapi juga sebagai lembaga penyidik. Bagaimana struktur

organisasi, bagaimana bekerjanya masing-masing struktur organisasi

kejaksaan, tidak .diatur secara detail dalam. Undang-Undang Kejaksaan

tetapi diatur dalam peraturan yang lain baik berupa Keputusan Presiden

maupun peraturan internal kejaksaan yang Keputusan Jaksa Agung dan

Surat Edaran Jaksa Agung.

150

2. Sistem Peradilan Pidana Terpadn

MenW1!1 Barda Nawawi Ariet; sistem kekuasaan menegakkan

hukum pidana atau sistem kekuasaan kehakiman di bidang hukum pidana

diwujudkan/diimplementasikan dalam 4 (em pat) sub-sis tern, yaitu:

a Kekuasaan "penyidikan" ( oleh badanllembaga penyidik); b. Kekuasaan "penuntutan" (oleh badan!lembaga penuntut umum); c. Kekuasaan "mengadili dan menjatuhkan putusanlpidana" ( oleh badan

pengadilan), dan d. Kekuasaan"pelaksaanan putusanlpidana" ( oleh badan/aparat pelaksana/

eksekusi).

Keempat sub-sistem peradilan pidana yaitu sub-sistem penyidikan,

sub-sistem penuntutan, sub-sistem pengadilan dan sub-sistem pelaksana

putusan sebagaimana tersebut di alas, merupakan satu kesatuan sistem

penegakan hukum pidana yang integral atau sering dikenal dengan istilah

Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Integrated Criminal Justice System).

Namun demikian sangat disayangkan, konsep sistem peradilan pidana

terpadu belum tercermin dalam masing-masing sub-sistem peradilan.

Dalam konteks sistem peradilan pidana yang terpadu, terdapat 2 ( dua)

persoalan mendasar dan sangat sangat krusial tetapi belum mendapatkan

perhatian yang serius (1) kecenderungan teljadi fragmentasi di antara sub-

sistem sub-sistem peradilan pidana; (2) tidak semua sub-sistem peradilan

memiliki independensi.

Identifikasi terhadap timbul penyebab persoalan tersebut

setidaknya bersumber pada dua hal, (I) belum adanya Undang-Undang

paying yang mengintegrasikan masing-masing sub-sistem peradilan ke

dalam satu sistem tertentu; (2) Pemaknaan kekuasaan kehakiman yang

hanya terbatas pada kekuasaan kehakiman dalam arti sempit.

151

Pertama, belum ada undang-undang payung sebagaimana yang

teijadi saat in~ bahwa masing-masing sub-sistem peradilan pidana diatur

dalam Undang-Undang sendiri. Setiapkali lahir Undang-Undang yang

mengatur salah satu sub-sistem peradilan pidana, lebih berorientasi pada

kemantapan eksistensi sub-sistem peradilan tersebut, dan pada saat yang

bersamaan seolah-olah teijadi fragmentasi karena tidak berorientasi pada

sistem peradilan pidana yang terintegrasi, sehingga dalam sistem peradilan

pidana tidak dijumpai otoritas yang terintegrasi, antara satu sub-sistem

dengan sub-sistem yang lain. Perlu adanya ketentuan yang mengatur

tentang sistem peradilan pidana yang terintegrasi mulai dari sub-sistem

penyidikan, penuntutan, pengadilan dan pelaksana pidana, atau yang

disebut dengan undang-undang payung atau umbrella act.

Kedua, pemaknaan kekuasaan kehakiman yang hanya terbatas pada

kekuasaan kehakiman dalam arti sempit. Untuk dapat memahami

kekuasaan kehakiman secara komprehensif, perlu ditelusuri mulai dari

ketentuan yang terdapat dalam konstitusi. Namun demikian, perlu

mendapatkan catatan tersendiri bahwa pengertian kekuasaan kehakiman

diliat dari konstitusi, menampakkan adanya kemunduran atau penyempitan

makna. Penyempitan makna ini dapat dilihat dari pengertian kekuasaan

kehakiman sebelum amandemen dan sesudah terjadinya amandemen.

Sebelum amandemen, ketentuan yang mengatur tentang kekuasaan

kehakiman terdapat dalam Pasal24 ayat (I) berbunyi:

"Kekuasaan kehaldman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehaldman menurut Undang-Undang". Selanjutnya dalam penjelasan disebutkan bahwa:

!52

"Kekuasaan kehaldman ialah kekuasaan yang merdeka, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah ".

Memperhatikan rumusan Pasal 24 ayat ( 1) berikut penjelasannya,

Barda Nawawi Ariefmenyatakan bahwa:

"UUD'45 pada awalnya tidak memberikan baJasan pengertian mengenai apa yang dimaksud dengan 'kekuasaan kehakiman '. Pasal 24 UUD'45 (asli sebelum amandemen) hanya menegaskan badan mana yang diserahi tugaslwewenang untuk melakukan atau melaksanakan kekuasaan kehakiman (yaitu diserahkan kepada Mahkamah Agung dan badan kehakiman lainnya menurut UU). Demikian pula 'pe,Yelasan pasal 24' (sebelum amandemen) tidak memberikan batasan pengertian mengenai kekuasaan kehakiman, tetapi hanya menegaskan sifat/ kedudukan/ eksistensi dari kekuasaan kehakiman. yaitu sebagai kekuasaan yang merdeka dan mandiri (terlepas dari pengaruhlintervensi kekuasaan pemerintah) ".

Hakim Komisaris ( di Be Ianda sebagai Rechter Commisaris dan

Perancis sebagai Judge d'instruction) berperan proaktif sebelwn adanya

pelaksanaan upaya pakasa dari penyelidik/penyidik/ penuntut berupa

penangkapan, penahanan, penyitaan alat bukti, penggeledahan badan,

pemasukan tempat tinggal atau tempat lainnya bahkan penentuan cukup

atau tidaknya suatu bukti diajukan dalam suatu proses peradilan pidana.

Mengenai cukup tidaknya suatu bukti ini dimaksudkan sebagai salah satu

cara untuk melakukan minimalisasi arus perkara (pidana) dalam proses

peradilan pidana.

Ada dua hal pokok dalam pembahasan ini, pertama mengenai

makna dari kata "advokat", dan kedua adalah pengertian dari Sistem

Peradilan Pidana itu sendiri. Rwnusan kata "advokat" ini dapat ditemukan

pada Rechtterlijke Organisatie (RO), yaitu aturan mengenai Susunan

Kehakirnan dan Kebijaksanaan Mengadili.

153

Sebagaimana telah dijelaskan secara umum adanya perbedaan

antara makna advokat, penasehat hukum dan konsultan hukum. Penasehat

hukum dan Konsultan hukum memiliki persamaan makna, di antara

keduanya, yaitu kedua peranan profesi itu lebih bersifat pasif dengan cara

melakukan atau memberikan nasehat-nasehat berkenaan dengan hukum,

baik dikemukakan secara lisan maupun tulisan yang sifatnya lebih banyak

pada pengertian realitas sebagai "non-ligasi (non/it)".

Maka Advokat jauh lebih luas dari kedua profesi sebelumnya.

Advokat dapat melakukan pemberian nasehat-nasehat hukum (pasif), juga

melakukan pembelaan di hadapan peradilan (litigasi) maupun tindakan-

tindakan penyelesaian altematif, seperti di Amerika Serikat yang dikenal

sebagai Alternatif Dispute Resolution (ADR) melalui produk semacam

mediator. negosiator ataupun maupun arbitrator, 255 yang memiliki bentuk

kegiatan yang aktif.

Di negara-negara persemakmuran (commonwealth)256 dengan ciri

sistem Anglo Saxon, para pembela ini dikenal dengan nama "Barrister"

dan "Solicitor". Barrister bertugas memberikan nasehat (hukum)

mengenai perkara-perkara yang akan dilakukan di pengadilan oleh

Solicitor. Hanya para Barrister yang berhak melakukan tugas-tugas

peradilan, baik nasehat maupun pembelaan, di lingkungan peradilan tinggi

(High Court), sedangkan Solicitor melakukan tugas yang sama pada

lingkungan Country Court maupun Magister Court.

255Luhut MP Pangaribuan, AdvokaJ dan Contempol of Court: Suatu Proses di Depan Dewa Kehormatan Profesi. Cetakan I. Jakarta: Djambatan, 1996, hlm. 2.

2560p.cit, hlm. 2

!54

Fungsi hakim dalam sistem peradilan pidana selalu menjadi titik

simpul karena itu hakim selalu ikut "mengontrol dalam arti menilai apa

yang dilakukan oleh instansi-instansi yang ada dalam sistem yang

menangani perkara sebelumnya sesuai kewenangan masing-masing yakni

kepolisian dan kejaksaan. Dalam fase pra-ajudikasi hakim mengawasi

penyidikan dalam bentuk kedudukan sebagai magistrate atau justice of the

piece dimana hakim yang akan menilai apakah adanya probable cause

dugaan adanya tindak pidana dan adanya reasonablesness dalam

melakukan penahanan oleh penyidik betul adanya.

Penyidik (Belanda: "opsporing", Inggris: "investigation'') dan

Pendakwaan (Inggris: "prosecution") atau Penuntutan (Be Ianda:

"vervolging ') adalah kewenangan negara untuk menegakkan hukum (to

enforce the law). Adapun alat negara penegak hukum (law

enforcementagencies) adalah instansi pemerintah : Kepolisian dan Instansi

pemerintah Kejaksaan.257

Beberapa "kekeliruan" di Indonesia, ingin di "luruskan" disini :258

l. Alat penegak hukum (milik Negara) adalah hanya instansi Kepolisian dan instansi Kejaksaan. Keliru menyebut Pengadilan, Advokat, Notaris dan Instansi Pemasyarakatan Narapidana sebagai "penegak hukum" (law enforcement agencies). Kita harus dapat membedakan antara pengertian harfiah, bahasa, dengan makna suatu konsep (concept). Penggunaan istilah "aparat" (yang dipakai di surat kabar) juga kurang tepat, karena berasal dari istilah partai komunis Rusia "apparatchik"

2. Instansi Kepolisian dan instansi Kejaksaan adalah bagian dari Kekuasaan Eksekutif (pemerintah ), dan bukan Kekuasaan Yudikatif (kekuasaan kehakiman). Pengertian (kewenangan) Kepolisian "dan "(kewenangan) Kejaksaan" yang independen, hanya berarti bebas interensi (politik) untuk kasus", tetapi bukan berati "bebas pengaruh

257 Mardjono Reksidipuro, Kewenangan Penyidikan dan PendakwaanlpenunJutan (Makalah) di sampaikan dalam seminar Hukum Nasional tanggal 9 September 2009 di Hotel J.W. Marriot Jakarta, 2009, him. 6

258/bid, him. 10

!55

politik Kabinet" ( dengan Presiden sebagai Kepala Pemerintah, Kapolri dan Jaksa Agung sebagai pembantu Presiden, setingkat Menteri, tunduk kepada politik/kebijakan kabinet); apakah Kapolri harus duduk dalam (sidang) kabinet (setara menteri) adalah kebijaksaan politik, bukan hukum.

3. Kepolisian dan kejaksaan harus bekeijasama dalam proses SPP, secara "in tandem" (keduanya bekeljasama secara erat). Bagian, Kepolisian yang mempunyai wewenang penyidikan, sebagai ahli dengan wewenang upaya paksa yang diberi undang-undang, hanya "Divisi Reserse Kriminal (Reskrim)" (Bel: de rechterlijke politie, Ing: criminal investigation division - CID) dan kalau divisi ini dahulu dinamakan "hulp-magistraat" (magistrat-pembantu), jangan merasa ''terhina", ini sekedar "istilah" dan bukan untuk merendahkan Kepolisian, seperti juga ada istilah "magistral - duduk" (hakim) dan "magistral berdiri" (penuntut umum). Mungkin tidak akan merasa ''terhina" kalau pejabat reskrim dinamakan sebagai "magistrat-pendamping";

4. Tidak c dikenal "monopoli" wewenang kepolisian (police powers), karena publik juga punya wewenang kepolisian (terutama dalam hal ''tertangkap tangan"), begitu pula : instansi imigrasi, instansi Bea Cukai, instansi Pajak, dan instansi-instansi lain yang ditentukan oleh undang-undang. Tidak pula dikenal "monopoli" wewenang pendakwaan (procecutorial powers). Dalam KUHAP untuk tindak pidana ringan, kepolisian dapat mendakwa di pengadilan. Di luar negeri dikenal adanya ''private prosecutor" (disamping "state/public prosecutor'') atau "special prosecutor" ( dalam hal tersangka/terdakwa adalah hakim, menteri atau presiden). Di Inggris ''prosecution "diserahkan oleh Directorate of Prosecution kepada Advokat Swasta (Barrister).

5. Perbedaan wewenang kepolisian dengan wewenang penuntut umumlkejaksaan, harus dilihat dalam pengertian "division of powers" (pembagian kewenangan) dan bukan "separation of powers" (pemisahan kewenangan). Tujuan pembagian kewenangan ini adalah untuk "saling mengawasi" (check and balances). Saling mengawasi dalam kewenangan berimbang, dengan tujuan sinergi ( disinilah letak pengertian SPP Terpadu)

Kekuasaan- kehakiman berasal dari teijemahan istilah (konsep)

Belanda "rechterlijke macht" (rechter : hakim, rechterlijke, kehakiman).

Dalam konsep "kekuasaan kehakiman" ini tercakup pengertian "judicial

power" oleh "the Judiciary" (jajaran hakim pengadilan), tetapi juga dari

"officers of the court" (pejabat pengadilan lainnya). Siapa yang lain ini?

Menurut saya antara lain: the judicial police" (Indonesia : Polisi

156

kehakiman atau Reserse, sebagai "pendamping magistral berdiri/penuntut

umum", dan Jaksa I PU sebagai magistral berdiri, "officers of the court",

para advokat ketika mereka "memakai toganya" (melaksanakan

kewenangan "membela perkara pidana") dan Panitera/Panitera pengganti.

Dalam kedudukan dan kewenangan penuntut urn urn sebagai "officer of the

court", dia dapat "memerintah kegiatan" (direct the activities) dari

"judicial police. " Karena itu:259

I. Instansi Kepolisian memang bukan bagian dari bab kekuasaan kehakiman UUD/Konstitusi kita. Instansi kepolisian masuk dalam Bab lain (Bab kekuasaan eksekutif). Namun, kewenangan kepolisian kehakimanlkewenangan reserse sebagai "judicial police" ada di dalam kekuasaan kehakiman. Karena itu pula, kepala Reserse pada Kepolisian berada secara administratif di bawah Kapolri, tetapi secara fungsional di bawah "officer of the court": yaitu Penuntut Urn urn (Jaksa Agung) dan Majelis Hakim (Pengadilan) yang sedang bersidang memeriksa perkara yang bersangkutan.

2. Instansi Kejaksaan(Agung) adalah bagian dari pemerintahan (kekuasaan eksekutif), seperti juga instansi Kepolisian. Akan tetapi kewenangan pendakwaan {prosecutorial powers)/penuntutan (vervolging) adalah sebagai "officer of the court" dan karena itu masuk dalam kekuasaan kehakiman, dan merupakan wakil publik bersama dengan polisi-reserse, mewakili kekuasaan negara (publik) membuktikan teljadinya tindak-pidana, adanya kesalahan terdakwa dan menuntut hukuman (tetapi juga, bila tidak cukup bukti membatalkan dakwaan dan hukuman). Didalam bahan pustaka, maka bilamana dibicarakan tentang reformasi "judiciary", yang dimaksud adalah reformasi hakim dan penuntut umum (judges and prosecutors). Dan secara logika tentunya juga reformasi polisi kehakiman/reserse

3. Advokat adalah .. organisasi swasta {private), tetapi begitu mereka berperan sebagai "pembela", baik dalam tahap pra-adyudikasi (penyidikan), maupun dalam tahap adyudikasi {pendakwaan di pengadilan), mereka adalah bagian pula dari "kekuasaan kehakirnan". Mereka disebut sebagai " "counsel of the court" ataupun juga "officer of the court'. Di Inggris, advokat (barrister) dapat bertindak mewakili publik (negara) mendakwa di pengadilan, sedangkan di Belanda, advokat dapat diangkat (sementara) sebagai hakim (rechter). Kekeliruan desain KUHAP 1981 adalah karena mengarah pada peng"kotak-kotak"an. Ini salah satu basil "kompromi" pada waktu

259/bid, him. 6

157

pembentukannya

Sejak dikeluarkan pedoman pelaksanaan KUHAP oleh S.K.

Menteri Kehakiman 1982 telah mulai terlihat masalah pengertian

pelaksanaan putusan itu mempunyai arti eksekusi yang sempit ataukah

eksekusi yang luas sehubugnan dengan ketentuan Pasal 277, Pasal 278

KUHAP. Pengertian pelaksanaan putusan yang demikian itu, karena

hukum acara belum mengembangkan bagian hukum pelaksanaan pidana

dalam arti strafoollstrecungsrecht (die Vollstreckung und der Vollzug)

yang cenderung semata-mata masuk wilayah badang eksekutif diluar

ketentuan wewenang badan yudikatif dalam lingkup Hukum Acara Pidana.

Dipandang dari sudut pengikut aliran hukum kritis yang rasional

tentang kehidupan hukum dalam masyarakat sebagian hukum sebagai

kenyataan sosial, maka kekosongan hukum dan ketidakjelasan rumusan

KUHAP itu tidak tertutup pintu bagi pengisian hukum atau

penyempumaan hukum melalui pendekatan doktrin hukum sebagaimana

telah dikembangkan oleh ilmu hukum. Peluang luas untuk mengisi

kekosongan dan penyempumaan rumusan Undang-Undang dapat

diupayakan melalui integrasi serta koordinasi tugas yang dikembangkan

dari sinkr.onisasi struktur hukum oleh kelompok aparat the administration

of criminal justice system, terutama dari Hakim Pengadilan atau

Mahkamah Agung memegang peranan penting, tanpa mengurangi

kemungkinan peran aparat lainnya dalam sistem peradilan pidana yang

dimungkinkan aparat dari badan koordinasi semacam Mahkejapol dengan

158

batasan wewenang yang ditentukan secara limittatif demi kepentingan

kebutuhan hukum masyarakat.

Pokok pikiran tentang hukum pelaksanaan putusan pengadilan dan

hal-hal yang terkait dari dalam KUHAP perlu diadakan peninjauan

kembali, yaitu mengenae60:

I. Jenis-jenis Putusan dan Penetapan; 2. Tidak hadirnya Terdakwa dalam Pengadilan; 3. Menunggu Putusan Grasi yang sementara itu terhukum berada diluar

tahanan; 4. Hak mencabut pemyataan untuk menerima atau menolak Putusan

Hakim oleh Terdakwa; 5. Lamanya Salin an Surat Putusan Pengadilan yang sementara diganti

dengan Surat Petikan Putusan Pengadilan akan mempersulit pihak­pihak untuk menyusun memori upaya hukum;

6. Batas waktu pelelangan barang bukti yang dirampas atau tidak ada pelelangan barang bukti itu;

7. Biaya perkara yang dibebankan kepada Terhukum dan kemungkinan pelelangan barang miliknya;

8. Tenggang waktu penahanan yang habis berlakunya bertepatan dengan waktu putusan Hakim;

9. Lembaga Rupbasan yang belum terperinci aturannya mengenai pengorganisasian dan pembiayaan;

l 0. Tanggungjawab dari pinjaman dari instansi lain; II. Pembentukan tim tetap dari perkara koneksitas.

Peninjauan kembali bersifat penyempumaan isi peraturan KUHAP

dari kesebalasan masalah itu perlu terobosan dalam menumbuhkan

kemanfaatan sistem peradilan pidana beserta dengan doktrin kepustakaan

hukum.- Salah satu terobosan yang telah dilakukan dengan wewenang

Sura! Edaran/Fatwa Mahkamah Agung dan dalam hal tertentu wewenang

Mahkamah Agung, Kehakiman, Kejaksaan, Polisi (makehjapol) akan

bermanfaat daripada menunggu perubahan dengan amandemenlsuplemen

Undang-Undang baru, kecuali bagi aliran legisme.

260 Mardjono Reksodipuro, Ibid, him. 7

!59

Mengenai gugatan pihak ketiga dalam perkara pidana khusus dan

masalah penekalan keterlibatan terdakwa/tersangka dalam kejahatan

intemasional atau transnasional, memerlukan pertimbangan dasar hak

asasi manusia dan konvensi intemasional. Kasus gugatan pihak ketiga

dalam perkara pidana khusus menjadi bagian dari hukum acara pidana

khusus eksepsional tidak dapat dimasukkan dalam aturan hukum acara

pidana umum, karena memang mengandung doktrin penyimpangan

hukum. Sedangkan dalam hallarangan orang untuk melakukan peijalanan

keluar negeri terutama berstatus orang asing juga perlu pertimbangan dari

konvensi intemasional dan deklarasi Hak Asasi Manusia.

Ketidakpedulian terhadap yang tidak jelas kekosongan undang-

undang hukum acara, bukanlah sekedar hanya membiarkan ketidakjelasan

hukum tetapi akan berakibat lanjut pada penempatan posisi peradilan

pidana dalam lingkaran problem sosial dengan alasan:

I. Jalannya peradilan pidana tidak terkontrol yang potensial tumbuhnya penyalahgunaan wewenang (fundamental uncontrollability of criminal justice system);

2. Peradilan pidana menjadi fakto kriminogen dan/atau viktimogen yang termasuk melalui jalur kondisi undang-undang yang kurang baik;

3. Perundang-undangan peradilan pidana menjadi disfungsional yang menumbuhkan semakin besar ketidakpercayaan dan keefektifannya;

4. Semakin banyak kelemahan peraturan undang-undang akan semakin ... memudarkan kebijakan peradilan pidana untuk mencapai tujuan social

civilization dan social welfare dalam kehidupan bermasyarakat.

Usaha yang positif penyelenggaraan panel diskusi antara aparat

(the administration of criminal justice system) bersama akademisi, akan

dapat membantu pemecahan masalah hukum untuk memperlancar fungsi

positif dari hakekat sistem peradilan pidana. Perkembangan ilmu

pengetahuan tumbuh kecenderungan berpikir maju yang antara lain telah

160

membedakan dengan tajam antara institusi peradilan pidana dan institusi

peradilan pidana dan institusi pengadilan yang akan memutus perkara

pi dana.

Proses perkara pidana terdapat kecenderungan dapat diputus dan

berakhir pada tingkat peradilan pidana hanya sampai tahap penyelesaian di

kepolisian atau di kejaksaan, apabila perkembangan penegakan hukum

telah mengikuti fungsi kontrol negatif bagi perkara tertentu, berdaarkan

pertirnbangan "utility" untuk pemanfaatan hukum yang efektif, praktis dan

rational.

Penegakan hukum dengan control negatif dianggap sebagai jalan

keluar dari Pengadilan "The wedding cake model" yaitu suatu kenyataan

diperadilan pidana akan terdapat disparatis yang besar bagi perkara oleh

Hakim yang berbeda dan sering tidak konsisten putusanya.261

Keputusan yang mengandung disparatis dan sering tidak konsisten

itu akan dapat mengundang sorotan dari ilmu filsafat yang mengamati

masalah keadilan relatif, dari ilmu sosial yang mengamati masalah utilitas,

dan dari psikologi yang mengamati masalah "behavioural and human

relation".

Keputusan Pengadilan untuk setiap perkara pidana (control positij)

masih menjadi pendapat umum bahwa "Sentecing is almost universally

viewed as the apex of the criminal justice process, the culmination of

protrected investigatory, prosecutorial, defimse, administrative, and fact-

261 Bambang Poemomo, Proses Pengambilan Kepu1usan dalam Perkara Pidana di Pengadilan, Jakarta: Kumpulan Kuliah Program S2 FH Jayabaya, 2010, him. 48

161

finding efforf62• Standar profesi dari putusan Pengadilan untuk setiap

penerapan hukum dan sanksi hukum yang berdasarkan ilmu pengetahuan

hukum yang telah berkembang maju (penal law reform) dari segala

perubahan pembaharuan dalam sistem hukum yang terbuka terhadap basil

perkembangan ilmu-ilmu pengetahuan yang relevan.

Ajaran pembaharuan hukum pidana materiil membawa wawasan

luas tentang integritas ilmu hukum pidana yang baik di masa depan.

Apabila tidak mengikuti ajaran hukum pidana yang maju, maka seringkali

menambah banyak putusan Pengadilan yang keliru sesat dan sulit untuk

diperbaiki dengan membawa korban bagi orang yang terlibat perkara

pidana, termasuk keluarga dan lingkungan masyarakat Peradilan pidana

seringkali sesat ketika mengajukan perkara maupun dalam menjatuhkan

putusan. Bukan lagi mustahil para ahli psikologi menaruh perhatian

terhadap proses pengambilan keputusan dalam perkara pidana di

Pengadilan. Aspek psikologi cukup banyak didalam perkembangan maju

hukum pidana dan putusan pengadilan dalam perkara pidana?63

Hukum pidana baik pada masa perubahan yang masih pada tingkat

ajaran klasik maupun perubahan yang masuk tingkat modem banyak

dipengaruhi oleh faktor perubahan ekonomi, sosial, politik dan legal

system. Salah satu dalil yang menonjol bahwa hukum pidana (materiel dan

formi[) modem harus berdasarkan kemanusiaan dan perikemanusiaan.

Aspek basil kemajuan psikologi yang memasuki hukum pidana

materiel yang berpandangan maju, tercermin pada doktrin bahwa

262Jbid; 263 Ibid, him. 48

162

perrnasalahan dasar hukum terletak dari pemisahan antara "perbuatan

pidana dan pertanggungjawaban pidana" yang berakar dari asas legalitas

hukum pidana dan asas tiada pidana tanpa kesalahan. Pola pikir tentang

masalah dasar hukum pidana tersebut belum dimaklumi arti pentingnya

oleh para ahli hukum yang teljebak pada pandangan yuridis-norrnatif

belaka.264

Di bidang pembaharuan hukum pidana forrnil (hukum acara

pidana) untuk menyelenggarakan proses pembuktian perkara perlu

dokumen 4 sistem pembuktian untuk kasus per kasus dan 2 pola konsep

pemeriksaan "crime control model" dan "due process model" bagi

kepentingan petugas sesuai dengan tipe kejahatan dan kepentingan perkara

yang bersangkutan. Sistem pembuktian yang menghubungkan antara

"keyakinan dan alat bukti" sedemikian rupa baik masing-masing berdiri

sendiri maupun penggabungan itu harus menjadi dasar sikap Hakim untuk

memutus perkara.

Kedua doktrin dari pembaharuan hukum pidana dan hukum acara

pidana tidak dapat dikesampingkan untuk mendapatkan bobot/mutu

peradilan yang baik dalam rangka proses pengambilan keputusan dalam

perkara pidana di Pengadilan. Di luar doktrin tersebut masih terdapat

perkembangan doktrin baru dari kecenderungan pembaharuan peradilan

pidana melalui pendekatan sistematik berdasarkan kesepakatan

internasional melalui kongres internasional yang diselenggarakan oleh

Perserikatan Bangsa-Bangsa maupun oleh organisasi profesi internasional

264 Ibid, him. 49

163

yang berhubungan dengan "criminal justice system" dan "criminal

policy".

Hukum positif di Indonesia belum tercennin secara eksplisit dalam

peraturan undang-undang tentang aspek-aspek pembaharuan hukum yang

telah berkembang tumbuh untuk penyelenggaraan peradilan pidana yang

menyebabkan semakin terbuka sorotan tajam terhadap basil penuntutan

perkara maupun putusan perkara di pengadilan yang masih kurang

mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan baru. Sorotan itu datang dari

berbagai bidang ilmu yang factual sehingga menghasilkan kemajuan

hukurn yang berorientasi pada kenyataan (foitelijke strafochtswetenschap)

tidak semata-mata ilmu hukum yang normative saja (normatieve

strafrechtswetenschap) dengan salah satu contoh bahwa psikologi forensic

sangat penting. !sue kontempori yang sekarang menantang adalah:265

"At the same time, the amount of sophisticated research into crime and the criminal justice system has increased dramatically. Because of these developments it now should be possible to take a realistic look at various crime control policies that have been developed and implemented by numerous criminal justice institutions.

Menurut kepustakaan hukum yang dimaksud proses pengambilan

keputusan dalam perkara pidana di Pengadilan dapat diartikan sempit

maupun yang luas. Dalam arti sempit apabila mengacu pada ketentuan

Pasal 183 KUHAP yaitu sejak pemeriksaan selesai dan sidang ditunda

selanjutnya diadakan sidang tertutup para majelis hakim, sedangkan yang

luas sejak sidang dibuka sampai keputusan.

265 Ibid, him. 50

164

Dalam musyawarah majelis Hakim tennuda mulai lebih dahulu

untuk menyampaikan mengenai pendapat dan penilaian terhadap pelkara

yang bersangkutan, diteruskan oleh Hakim yang tua (senior) berdasalkan

hasil pemeriksaan sidang dan surat dakwaan dari penuntut umum.

Substansi musyawarah itu mengenai (1) syarat fonnil tentang surat

dakwaan dan kewenangan pengadilan, dan selanjutnya (2) perbuatan mana

yang dianggap terbukti dan alat bukti apa yang menyertai, (3) keadaan

Terdakwa dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang dituduhkan,

dan (4) apabila sampai terbukti maka ditentukan hukum yang pantas serta

adil bagi Terdakwa. Hasil musyawarah agar diperoleh dengan mufakat

bulat dan jika tidak mungkin diambul dengan suara terbanyak dan

pendapat yang paling menguntungkan bagi Terdakwa. Pada tingkat

musyawarah tersebut harus diusahakan kedua doktrin hukum pidana

dikembangkan dalam aplikasi hukum terlebih dahulu. Sudah barang tentu

pengembangan aplikasi hukum dalam perkara pidana dapat diterapkan

"ilmu pengetahuan yang relevan" untuk memperoleh putusan yang

memenuhi standar profesi di Pengadilan.

Apabila putusan pengadilan diartikan luas merupakan suatu hal

yang sangat menarik bahwa peradilan pidana di muka sidang itu "terlibat

banyak orang" (human relation) yang terdiri dari:

a. Terdakwa; b. Saksi-saksi; c. Penuntut Umum; d. Pembela!Pengacara; e. Hakim dan pegawai sebagai petugas ; f. Petugas lain; g. Pengunjung yang menghadiri sidang terbuka untuk umum tennasuk

para wartawan.

165

Dipandang dari sudut Terdakwa dan pihak-pihak lain tersebut

ternyata sangat penting dukungan aspek "behavior/social behavioural

sciences" untuk memperoleh putusan yang tepat guna dan berhasil guna

bagi kepentingan hukum yang pasti, adil dan manfaat (patut) sesuai

dengan pandangan berbagai ilmu pengetahuan hukum dan jurisprudence.

Pertirnbangan ilmu pengetahuan dari Hakim yang luas dari aspek

non yuridis yang disunting sedemikian rupa untuk memantapkan

kebenaran fakta dan hukum me!Uadi dasar putusan penerapan hukum yang

baik dan berbobot agar tidak tetjadi "kesesatan Hakim" (Rechterl!ike

Dwaling). Dalam putusan Hakim tidak menjatuhkan pidana perlu

didukung pertimbangan yang luas, dan jika putusan menjatuhkan pidanan

semakin luas lagi dasar pertimbangan karena menyangkut "human

relation" sebagai dimaksudkan dalam "crimina/policy".

Hukum pidana materil maupun hukum pidana formil telah

mengalami era reformasi perubahan dalam arti "penal reform" dan

penegakan hukum di tingkat Pengadilan juga mengalami perubahan

dengan pendekatan sistematik melalui konsep sistem peradilan pidana

terpadu (the integrated criminal justice system) dan konsep "treatment of

offender", sehingga proses perkara pi dana dan proses keputusan di

Pengadilan harus dapat memperoleh justifikasi berdasarkan kemajuan ilmu

pengetahuan, oleh karena hukum dalam jurisprudence perlu mendapat

tempat untuk menyelesaikan perkara pidana dari awal pemeriksaan

perkara sampai pada putusan perkara di peradilan pidana.

166

Bersamaan dengan konsepsi demokrasi sebagai gagasan untuk

membatasi kekuasaan sebagaimana konsep penelitian disertasi, maka

kemudian berkembang pemikiran bagaimana pewadahan nonnative dari

gagasan. Hans Kelsen merupakan salah satu saijana yang serius

memberikan jawaban untuk gagasan kebebasan sebagai dasar pembeda

antara otokrasi dan demokrasi dalam kaitan dengan pembuatan aturan

hukum?66 Pandangan Kelsen tersebut merupakan segi nonnative konsepsi

demokrasi karena melihat kebebasan dalam kaitan dengan pembentukan

aturan hukum. Kerangka kebebasan positif dan kebebasan negatif di atas,

maka demokrasi yuristik ini dapat digolongkan ke dalam 2 model

demokrasi, yaitu demokrasi konstitusional dan demokrasi partisipatoris.

Kebebasan dalam konsep negatif yang mengagungkan kebebasan individu

dan menolak segala pembatasan kebebasan telah melahirkan demokrasi

konstitusional, sedangkan konsep kebebasan dalam pengertian positif yang

menekankan kesamaan defl\iat untuk menggali potensi diri melahirkan

demokrasi partisipatoris.

Demokrasi konstitusional sebagai model yang menekankan kepada

lembaga perwakilan dan prosedur konstitusi, dengan kompetisi bebas yang

membuka peluang teijadi perubahan konstitusional secara berkelanjutan.

Perubahan tersebut dilaksanakan lewat pemilihan umum yang melahirkan

lembaga perwakilan rakyat, dalam pengelolaan Negara berlaku aturan

mayoritas, dan aspek procedural sehingga mengabaikan moral. Hal ini

sejajar dengan ekonomi pasar bebas atau laissez-faire yang meyakini

266 Hans Kelsen, General Theory of Law ond State, New York: Russel & Russel, 1973, hlm.l29

167

26

tangan tersembunyi dalam mengatur mekanisme kebebasan. Demokrasi

konstitusional menghendaki "Negara minimal" yang memberikan

kebebasan penuh kepada individu dengan cara membatasi kekuasaan

Negara sebanyak mungkin. Konsep demokrasi ini dikenal sebagai Negara

Hukum Formal atau Negara Jaga Malam.267

Perumusan yuridis tentang gagasan konstitusionalisme dicapai

pada abad ke- I 9 dan akhir abad ke-20 yang ditandai dengan pemberian

istilah Rechtsstaat ( diberikan oleh ahli-ahli hukum Eropa Kontinental)

atau Rule of Law (diberikan oleh ahli Anglo Saxon). Rechtsstaat atau Rule

of Law yang di Indonesia diteljemahkan sebagai "Negara Hukum"268 ini

berkembang dengan warna dan ciri-ciri tersendiri.

Frederich Julius Stahl dari kalangan ahli Eropa Barat Kontinental

memberikan ciri-ciri Rechtstaat sebagai berikut: (a) hak asasi manusia; (b)

pemisahan atau pembagian kekuasaan; (c) pemerintahan berdasarkan

peraturan-peraturan (Wetmatigheid van bestuur); dan (d) peradilan

administrasi dalam perselisihan.Z69

Sementara itu, A.V. Dicey, seorang ahli dari kalangan Anglo

Saxon memberikan ciri Rule of Law sebagai berikut : (a) supremasi hukum

dalam arti tidak boleh ada kesewenang-wenangan sehingga seseorang

hanya boleh dihukum jika melanggar hukum; (b) kedudukan yang sama di

depan hukum bagi rakyat biasa maupun bagi pejabat; dan (c) jaminan hak

asasi manusia oleh undang-undang dan keputusan-keputusan

267 AriefBudiman, Negara Jaga Malam dalam Demokrasi, Yogyakarta: FH UII, 1997, him.

268 lsmail Sunny, Mencari Keadi/an, Jakarta: Ghalia, 1982, him. 123 269 Oemar Seno Adjl, Prasarana Seminar Ketatanegaraan UUD 1945, Jakarta: Seruling

Mas, 1966, him. 24

168

pengadilan, 270 sehingga semakin terlihat betapa peranan pemerintah hanya

sedikit sebab ada dalil "pemerintahan yang palng sedikit yang paling baik"

sehingga karena sifatnya yang pasif dan tunduk kepada kemauan rakyat

yang liberalistic, maka dikenal sebagai "Negara jaga malam"

(Nachtwachterstaat). Ruang gerak pemerintah sangat sempit dan bukan

saja di lapangan politik, akan tetapijuga dalam lapangan ekonomi dikuasai

datil laissez faire, laissez aller (keadaan ekonomi Negara akan sehat jika

setiap manusia dibiarkan mengurus kepentingan ekonomi masing-masing).

Ditinjau dari sudut politik, Nachtwachterstaat mempunyai tugas primer

untuk menjamin dan melindungi kedudukan ekonomi dari mereka yang

menguasai alat-alat pemerintahan.211

Konsep demokrasi konstitusional dan Negara hukum formal di atas

menjelang pertengahan abad ke-20 mulai digugat. Menurut Miriam

Budiardjo, faktor pendorong ekses-ekses negative dalam industrialisasi

dan kapitalisme, faham sosialisme yang menginginkan pembagian

kekuasaan secara merata dan kemenangan beberapa partai sosialis di

Eropa.212 Berpijak kepada pemikiran Rousseau, John Stuart Mill, dan

Marxisme, pada tahun 1960-an dan 1970-an berkembang suatu pemikiran

barn mengenai demokrasi yang dikenal sebagai demokrasi partisipatoris.

Model demokrasi ini memandang tidak hanya berurusan dengan legal

formal dan sistem peiWakilan saja, tetapi lebih dari itu mempunyai tujuan

moral untuk membantu pengembangan hidup manusia, bernilai sebagai

270 M. Mahfud MD, Politik Hukum KetaJanegaraan Indonesia, Jakarta: Radjawali Press, 2001, him. 23

271 E. Utrech~ Pengantar Tala Hukum Indonesia, Jakarta: Pradnya Paramita, 2002, him. 21 272 Miriam Budiardjo, Dasar-dasar I/mu Po/itik, Jakarta: Gramedia, 1993, him. 59

169

alat peningkatan kapasitas manusia agar terbentuk masyarakat demokratik

sebagai hasil dari peningkatan tersebut dan sebagai alat pengembangan

kemudian.

Model demokrasi ini bersesuaian dengan kebebasan positif karena

mempunyai tujuan moral untuk persamaan kebebasan dan realisasi diri.

Demokrasi partisipatoris lebih menekankan kepada partisipasi aktif

warganegara secara berkelanjutan dan bukan hanya secara periodic dalam

pemilu, proses politik, dan ketatanegaraan saja, yang melahirkan prinsip

"pemerintahan oleh orang banyak" sebagaimana terkandung di dalam

definisi demokrasi yang sesungguhnya.

Dalam skala yang lebih luas, seiring dengan populasi dan luas

wilayah menjadi bertambah, bentuk demokrasi langsung dilengkapi

dengan institusi pokok demokrasi konstitusional, termasuk lembaga

perwakilan, sistem kepartaian yang kompetitif, dan pemilihan umum

secara periodik, agar demokrasi partisipatoris dapat berlangsung secara

wajar. Model demokrasi partisipatoris jelas bukan penegasan demokrasi

konstitusional, melainkan lebih merupakan pendalaman atau peningkatan

kualitas atas model demokrasi sebelum agar tidak bersifat elitis.

Di sisi lain, gagasan bahwa pemerintahan dilarang campur Iangan

dalam urusan warganegara di bidang social maupun ekonomi bergeser

kearah gagasan baru bahwa pemerintah harus bertanggung jawab atas

kesejahteraan rakyat, maka pemerintah tidak boleh bersifat pasif atau

hanya sebagai "penjaga malam" melainkan harus aktif melaksanakan

upaya-upaya untuk membangun kesejahteraan masyarakat dengan cara

170

mengatur kehidupan ekonomi dan social. Peran yang demikian besar

mendorong pertumbuhan birokrasi pemerintah, dengan kala lain, fungsi

"zorgen" membawa akibat kekuasaan pemerintah seolah-olah tidak

terbatas asalkan kekuasan tersebut ditujukan untuk mewujudkan

kesejahteraan masyarakat.273 Pengertian dan makna kesejahteraan

masyarakat ini diidentikkan dengan kepentingan umum, bahwa pemerintah

dapat berbuat apa saja. Kepentingan umum menghalalkan segala cara.274

Kekuasaan pemerintah ini semakin membengkak tidak terbendung

dibarengi faktor-faktor sebagai berikut:275

1. Dalam mencampuri aspek kehidupan masyarakat yang diwujudkan dalam bentuk pengaturan dan perizinan, pemerintah meninggalkan metode pendekatan sosial (social approach method), dan hanya menggunakan satu macam pendekatan saja. Dengan hanya menggunakan pendekatan keamanan (security approach method), kebebasan pemerintah untuk mencampuri aspek kehidupan masyarakat tidak terbatas, yang berarti akan membelenggu kebebasan individu.

2. Hukum yang berbentuk peraturan perundang-undangan yang digunakan sebagai aturan permainan dalam hidup bernegara itu bersifat paradoks. Peraturan perundang-undangan yang demikian akan berorientasi kepada keadilan dan kebenaran menurut penguasa, yang berarti sulit untuk menjamin perlindungan hukum yang berbobot yang diberikan kepada masyarakat; dan

3. Sistem paternalisme yang berakar kuat pada kehidupan masyarakat. Dengan kuatnya sistem ini, hubungan antara penguasa dan masyarakat merupakan hubungan antar patroon dan client.Patroon dapat dan berhak memaksakan kehendaknya kepada client dan apa yang diperbuat oleh patroon pasti selalu baik.

Pembesaran peranan pemerintah yang membesar sering dianggap

konsekuensi alas pertumbuhan dan perkembangan yang semak:in kompleks

dari suatu masyarakat yang membuat permintaan jasa pelayanan semakin

besar. Huntington, menyatakan bahwa pembangunan ekonomi hanya dapat

273 Feisal Tam in, Reformasi Birokrasi, Ana/isis Pendayagunaan Aparatur Negara, Jakarta: Belantika, 2004, him. 173

274 Muchsan, Peradilan Administrasi Negara, Yogyakarta: Liberty, 1981, him. !06 215ibid

171

dilakukan dengan baik jika terdapat tingkat kestabilan dan ketertiban

politik yang mapan. Berbeda dengan di negara-negara baru (developing

countries) pembangunan politik dalam bentuk mobilisasi dan yang cepat

justru akan menimbulkan kekacauan dan pertikaian politik. Jaminan

stabilitas politik sebagai prasyarat pembangunan ekonomi yang

berorientasi pada pertumbuhan, maka dimulailah dilakukan serangkaian

usaha untuk menyehatkan dan memodemisasikan birokrasi pemerintahan

sebagai instrumen penting negara yang akan menopang dan memperlancar

usaha-usaha pembangunan ekonomi tersebut.

Gagasan baru tersebut membawa cakupan demokrasi kepada hal

yang lebih luas yaitu demokrasi ekonomi dan sosial terutama harus

mampu mengatasi ketidakmerataan distribusi kekayaan di kalangan rakyat.

Ide ini sering disebut sebagai "Negara Kesejahteraan" (Welfarestate) atau

Negara Hukum Material dengan ciri-ciri yang berbeda dengan Negara

Hukum Formal. Pencirian yang dilakukan oleh para sarjana seperti Stahl

dan Dicey ditinjau ulang sehingga mampu menggambarkan substansi yang

lebih luas.

Negara kesejahteraan dikembangkan dalam konteks ekonomi pasar

(market economy) dan dalam hubungannya dengan sistem ekonomi

campuran (mixed economy). Peranan negara dalam konsep negara

kesejahteraan memodifikasikan berbagai kekuatan pasar (to modifY the

play of market forces). 276 Perlu pengendalian dan pembatasan terhadap

kekuatan-kekuatan pasar tersebutuntuk mengatasi unsur-unsur negatif

276 Donald J. Moon, (ed)Responsibility Rights and Welfare, Colorado, 1988, him. 22

172

yang tidak diharapkan sebagai basil atau akibat kekuatan-kekuatan pasar

tersebut. Menurut Goodin, campur tangan negara dalam negara

kesejahteraan tersebut merupakan "campur tangan publik dalam mengatur

pasar'' (a public inJervention in privat marcel economy)/77 untuk

menciptakan kesejahteraan umum (promiting public welfare) dan

memaksimumkan kesejahteraan sosial (to maximize social welfare)

sehingga memperkecil dampak kegagalan pasar (market failure) terhadap

masyarakat karena moral hazarddan penggunaan yang keliru terhadap

berbagai sumber daya (misallocation of resources).

Konsep negara kesejahteraan bermula dari gagasan yang muncul

dalam Beveridge Report berisi dari laporan Beveridge, seorang anggota

parlemen Inggris yang mengusulkan keterlibatan negara di bidang

ekonomi atas yang berhubungan dengan pemerataan pendapatan

masyarakat atau kesejahteraan sosial sejak manusia dilahirkan sampai mati

ifrom the cradle to the grave), lapangan kelja, pengawasan atas upah

pekelja oleh pemerintah, dan usaha dalam bidang pendidikan. Gagasan

tersebut kemudian diterima di berbagai negara Inggris, Jerman, dan

Am erika Serikat. 278 Meskipun konsep negara kesejahteraan tersebut mulai

digugat dan wacana reformasi gagasan tersebut terus bergulir, namun

dewasa ini konsep negara kesejahteraan masih tetap digunakan di negara

Inggris dan Arnerika Serikat. Dalam hubungan dengan pasar bebas, konsep

negara kesejahteraan juga tetap relevan guna menjadi acuan bagi analisa

277 lbid, him. 24-33 278 Muchsan, op.cit., him. I

173

terhadap berbagai kebijakan publik di bidang regulasi ekonomi yang

dianggap sebagai intervensi pemerintah untuk menjaga kemurnian pasar.

Perspektif yang lain, Sri Rejeki Hartono berpendapat bahwa asas

campur tangan negara terhadap kegiatan ekonomi merupakan salah satu

dari 3 asas yang dibutuhkan untuk pembinaan citra hukum. Dua asas yang

lain yaitu asas keseimbangan dan asas pengawasan publik.279 Kegiatan

ekonomi yang terjadi di dalam masyarakat membutuhkan campur tangan

negara mengingat tujuan dasar dari kegiatan ekonomi untuk mencari

keuntungan. Sasaran tersebut mendorong timbul berbagai penyimpangan

bahkan kecurangan yang dapat merugikan pihak-pihak tertentu, bahkan

semua pihak. Campur tangan negara terhadap kegiatan ekonomi secara

umum untuk hubungan hukum yang teijadi dan tetap dalam batas-batas

keseimbangan kepentingan semua pihak. Campur tangan negara dengan

demikian bertujuan untuk menjaga kepentingan semua pihak dalam

masyarakat, melindungi kepentingan produsen dan konsumen, dan

melindungi kepentingan negara dan kepentingan umum, terhadap

kepentingan perusahaan dan pribadi?80

Peranan pemerintah yang lebih luas dan tidak lagi pasif.

International Comissiqn of Jurist pada konferensi di Bangkok tahun 1965

menekankan bahwa di samping hak-hak politik bagi rakyat harus diakui

pula hak-hak sosial dan ekonomi sehingga perlu dibentuk dasar-dasar

standar sosial ekonomi. Dirumuskan juga bahwa pemerintahan demokratis

di bawah We/fares tate mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : (I)

279 Sri Redjeki Hartono, Kapita Se/ekla Hukum Ekonomi, Bandung: Mandar Madju, 2000, him. 13

""Ibid, him. 15

174

Perlindungan konstitusional, artinya selain menjamin hak-hak individu

konstitusi juga harus menentukan prosedur untuk memperoleh

perlindungan hak-hak yang dijamin; (2) Badan Kehakiman yang bebas dan

tidak memihak; (3) Pemilihan urn urn yang bebas; ( 4) Kebebasan

manyatakan pendapat; (5) Kebebasan berserikatlberorganisasi dan

beroposisi; dan (6) Pendidikan kewarganegaraan.

Menjadi jelas bahwa ada pengakuan tentang perlu perluasan tugas

pemerintah agar menjadi lebih aktif. Pemerintah dalam negara hukum

modem diberi tugas membangun kesejahteraan umum dalam berbagai

lapangan dengan konsekuensi pemberian kemerdekaan kepada

administrasi negara dalam menjalankan. Pemerintah dalam rangka

diberikan kemerdekaan untuk bertindak menurut inisiatif sendiri dan tidak

selalu atas usul parlemen.

Kepada administrasi negara diberikan Freies Ermessen untuk

pouvoir discretionaire, kemerdekaan yang dimiliki oleh pemerintah untuk

turut serta dalam kehidupan sosial dan kekuasaan hak selalu terikat kepada

produk legislasi parlemen. Freus Ermessen berasal dati bahasa Jerman dan

diturunkan dati kala frei dan freire yang arti bebas, merdeka, dan tidak

terikat, lepas, dan orang bebas. Ermessen mengandung arti

mempertimbangkan, menilai, menduga, penilaian, pertimbangan, bebas

menilai, bebas menduga, dan bebas mengambil keputusan." Selain itu,

istilah tersebut sepadan dengan discretionaire yang artinya menurut

kebijaksanaan dan sebagai kata sifat berarti, menurut wewenang atau

kekuasaan yang tidak atau tidak seluruhnya terikat dengan undang-undang.

175

Menurut Prajudi Atmosudirjo, diskresi artinya pejabat atau

penguasa negara tidak boleh menolak men gam bil keputusan dengan alasan

"tidak ada peraturannya" dan oleh karena itu, diberi kekuasaan untuk

mengambil keputusan menurut pendapat sendiri asalkan tidak melanggar

asas yurikditas dan asas legalitas.281 Senada dengan pendapat tersebut

Sjahran Basah mengatakan bahwa diperlakukannya freies Ermessen oleh

administrasi negara dimungkinkan oleh hukum agar dapat bertindak atas

inisiatif sendiri terutama dalam penyelesaian persoalan-persoalan penting

yang timbul tiba-tiba Dalam hal demikian, administrasi negara terpaksa

bertindak cepat dan membuat penyelesaian, namun keputusan-keputusan

yang diambil untuk menyelesaikan masalah-masalah itu harus dapat

dipertanggung-jawabkan.282 Sehubungan dengan hal ini, Hans J. Wolf

mengatakan bahwafreies Ermessen tidak boleh diartikan secara berlebihan

seakan-akan badan atau pejabat administrasi negara boleh bertindak

sewenang-wenang atau tanpa dasar dan dengan dasar-dasar yang tidak

jelas ataupun dengan pertimbangan yang individual subjektif. Sebagai

implikasi diberikan freies Ennessen kepada administrasi negara, maka

administrasi negara memiliki pouvoir discretionaire dan oleh karena itu

dapat bertindak sebagai vrijbestuur. Ada 3 implikasi yang timbul di bidang

legislasi, yaitu adanya hak inisiatif (membuat peraturan yang sedel"l\iat

dengan undang-undang tanpa persetujuan parlemen meskipun daya

lakunya dibatasi kurun waktu tertentu), hak delegasi (membuat peraturan

281 Prajudi Admosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1981, him. 185

282 Sjahran Basha, Op.cit., him. 126.

176

yang derajatnya di bawah undang-undang) dan droit function (menafsirkan

sendiri aturan-aturan yang masih bersifat enunsiatif).

Paham negara hukum tidak dapat dipisahkan dengan paham

kerakYatan sebab pada hukum yang mengatur dan membatasi kekuasaan

negara atau pemerintah diartikan sebagai hukum yang dibuat atas dasar

kekuasaan atau kedaulatan raeyat. Begitu eratnya hubungan antara paham

negara hukum dengan paham kedaulatan rakYat sehingga ada sebutan

negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat).283

Salah satu asas penting dari negara hukum adalah asas legalitas.

Substansi dari asas legalitas tersebut adalah menghendaki agar setiap

tindakan badan/pejabat administrasi berdasarkan undang-undang. Tanpa

dasar undang-undang, badan/pejabat administrasi negara tidak berwenang

melakukan suatu tindakan yang dapat mengubah atau mempengaruhi

keadaan hukum warga masyarakat. Asas legalitas berkaitan erat dengan

gagasan demokrasi dan gagasan negara hukum. Gagasan demokrasi

menuntut agar setiap bentuk undang-undang dan berbagai keputusan

mendapatkan persetujuan dari wakil rakYat dan lebih banyak

memperhatikan kepentingan raeyat. Gagasan negara hukum menuntut agar

penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan harus didasarkan kepada

undang-undang dan memberikan jaminan terhadap hak-hak dasar raeyat

yang tertuang di dalam undang-undang. Menurut Sjahran Basah, asas

legalitas berarti upaya mewujudkan duet integral secara harmonis antara

paham kedaulatan hukum dengan kedaulatan raeyat berdasarkan prinsip

283 Bagir Manan, Hubungan Antar Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Jakarta: Sinar Harapan, 1994, him. 167

177

monodualistis selaku pilar-pilar yang bersifat konstitutif84. Penerapan asas

legalitas, menurut Indroharto yang dikutip oleh Ni'matul Huda akan

menunjang keberlakuan kepastian hukum dan kesamaan perlakuan.

Dalam konteks ini, secara operasional muncul perdebatan perihal

eksistensi undang-undang atau peraturan perundang-undangan pada

umumnya, sebagai salah satu subsistem hukum, berhubungan dengan

politik. Dalam praktik kerapkali politik melakukan intervensi atas

pembuatan dan pelaksanaan hukum sehingga menimbulkan pertanyaan

manakah antara hukum dan politik yang lebih supreme dan sejauh mana

pengaruh politik terhadap hukum. Jika dilakukan pengkajian tentang

hubungan kasualitas antara hukum dan politik, minimal ada 3 (tiga)

macam jawaban, pertama, hukum determinan atas politik, dalam arti,

bahwa kegiatan-kegiatan politik harus diatur dan harus tunduk kepada

aturan-aturan hukum, kedua, politik determinan atas hukum, karena

hukum merupakan hasil atau kristalisasi kehendak-kehendak politik yang

saling berinteraksi dan bahkan bersaingan. Dan ketiga, politik dan hukum

sebagai subsistem kemasyarakatan berada pada posisi sederajat

determinasi seimbang antara yang satu dengan yang lain, karena meskipun

hukum merupakan produk keputusan politik tetapi begitu hukum ada,

maka semua kegiatan politik harus tunduk kepada aturan-aturan hukum.

Jawaban atas pertanyaan tersebut tentang mana yang lebih

determinan di antara pertama dan kedua, tentu sangat ditentukan oleh

sudut pandang masing-masing ahli. Kaum idealis yang lebih berdiri pada

284 Sjahran Basha, Op.Cil., hlm. 201.

178

sudut das sol/en mengatakan bahwa hukum harus mampu mengendalikan

dan merekayasa perkembangan masyarakat, termasuk kehidupan politik.

Sebagai keinginan tentu wajar, jika ada upaya untuk meletakkan hukum

sebagai penentu arab peijalanan masyarakat karena dengan itu fungsi

hukum untuk menjamin ketertiban dan melindungi kepentingan

masyarakat akan menjadi lebih relevan.

Menurut Afan Gaffar, hukum tidaklah berada dalam keadaan yang

vakum, akan tetapi merupakan entitas yang berada pada suatu environment

di mana antara hukum dengan environment tersebut terjadi hubungan yang

kait mengait Akan tetapi tampaknya hukum merupakan produk berbagai

elemen, terrnasuk di dalamnya elemen politik, ekonomi, sosial, budaya,

dan sistem nilainya, dan agama. Oleh karena itu ekosistem hukum banyak

tergantung kepada faktor-faktor yang berada di luar hukum. Jadi, hukum

bukan sesuatu yang supreme. Adanya hukum karena adanya kepentingan

politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lain-lain285 .Mana yang paling banyak

terlibat di dalam pembentukan agenda sebelum keluarnya sebuah

rancangan undang-undang, Afan Gaffar membuat perbandingan286• Di

negara-negara yang tingkat demokratisnya rendah sekali, yang terlibat di

dalam pembentukan hukum, para elit utama di negara itu. Kalau di regime

yang sosialistis pemimpin partai ditambah sejumlah tokoh militer,

sedangkan di negara yang nonsosialistik para top birokrat, pemimpin

militer, dan pengusaha kaya. Orientasi hukum tentu saja bersifat elitis dan

selalu saja melindungi dan membela kepentingan mereka sendiri. Di

285 Afan GafTar, Pembangunan Hukum don Demokrasi, Yogyakarta: UTI Pres, 1992, him. 104

,,. Ibid, hlm. I 08

179

samping itu, karakteristik Jain yang menonjol sangat konservatif dan

rumusan-rumusan aturan (wardings) seringkali bersifat jumbuh sehingga

terbuka untuk mengadakan interpretasi baru dengan peraturan lebih Janjut

dan harap diperhatikan bahwa interpretasi yang paling kuat datang dari

penguasa

Sebaliknya, dalam pemerintahan yang demokratis, pelbagai macam

lembaga terlibat di dalam agenda pembentukan hukum. Keterlibatan

masyarakat sangat tinggi karena diakui pluralisme politik di mana

kelompok-kelompok dalam masyarakat baik yang tergabw1g di dalam

partai politik ataupun tidak (pressure group, interest group, mass media,

dan lain-lain), termasuk Jembaga swadaya masyarakat, oleh karena itu

produk hukumnya bersifat populis yang sangat berbeda dengan elitis di

dalam regime tidak demokratis. Hukum yang dikembangkan bersifat

progressive dan memberikan space yang sedikit kepada pihak eksekutif

untuk memberikan interpretasi lebih lanjut dari suatu peraturan.

Di dalam sistem politik, para pengambil keputusan selalu

mempertimbangkan masukan berupa tuntutan dari kelompok-kelompok

kepentingan dan dukungan masyarakat yang percaya pada legitimasi.

Setelah melewati proses konversi, mereka merumuskan keluaran berupa

keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan, antara lain dalam bentuk

yang utama, yaitu berupa pelbagai hukum dan kebijakan umum. Apabila

ingin berkembang maka sebuah sistem politik harus memiliki mekanisme

untuk menyerap umpan balik, ditegaskan bahwa "hukum" dan "politik

hukum" (legal policy) merupakan produk dari sistem politik. Dengan

180

demikian nampak bahwa warna dan kualitas hukum yang berlaku dalam

masyarakat akan tergantung pada warna dan kualitas sistem politik yang

berlaku. 287

Politik hukum tidak lebih merupakan perumusan kebijakan-

kebijakan yang mempengaruhi pelaksanaan serta pengembangan hukum

sebagai pengejawantahan dari konstitusi. Secara teoritik, di samping

dilengkapi dengan kekuasaan yang represif, pemerintah juga mengemban

kewajiban konstitutif dalam arti kewajiban untuk melakukan tindakan-

tindakan yang mendorong pelaksanaan konstitusi. Sudah pada saat

terbentuknya pemerintahan, pemerintah itu menerima pekeijaan rumah

untuk secara aktif mengupayakan pelaksanaan konstitusi. Dalam negara

modern upaya itu dilaksanakan dengan cara-cara administrasi negara yang

mencakup kegiatan legislasi dan regulasi yang terencana sedemikian rupa

sehingga menciptakan perangkat undang-undang dan peraturan-peraturan

yang sesuai dengan konstitusi.

Menurut Budiono Kusumohamidjojo suatu politik hukum yang

berantakan pada tahap pertama akan menghasilkan kaidah-kaidah hukum

dalam bentuk undang-undang dan peraturan-peraturan yang simpang siur

dan tidak jelas sampai pada tahap pelaksanaan. Kesimpangsiuran itu pada

tahap kedua akan membiasakan orang untuk melakukan by pass di segala

tahapan pemerintahan. Kebiasaan itu akan mendorong orang untuk

melakukan spekulasi hukum dengan berpegang kepada pomeo "Jika tidak

jelas hukumnya, maka bolehlah kaidahnya." Spekulasi hukum yang

287 Muladi, Demokratisasi Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta: Habibie Centre, 2002, him. 259

181

semakin meluas dan mengantarkan masyarakat kepada tahap berikut,

berupa keadaan tanpa kepastian hukum. Jika negara tidak memiliki

kepastian hukum, maka akan sulit sekali menampilkan diri sebagai negara

hukum.

Uraian di atas menegaskan hukum sebagai dependent variable dan

politik sebagai independent variable. Dalam masa transisi, dari suatu

rezim otoriter menuju rezim demokratis teljadi pergeseran nilai yang

mengakibatkan hukurn mempunyai "fungsi ganda" (dual function). Proses

politisasi hukurn tetap teljadi oleh rezim baru yang reformis dan

demokratis, di mana hukurn digunakan untuk membongkar dan

mempengaruhi agar tatanan sosial menjadi demokratis, yang sekaligus

memfungsikan hukum sebagai independent variable terhadap kehidupan

sosial politik.

Berkaitan dengan fungsi hukum ini, banyak buku mengenai filsafat

hukum membahas tentang keadilan dan kepastian hukum sebagai target

utama yang hendak dicapai oleh manusia melalui pelaksanaan hukurn.

Kenyataan memperlihatkan bahwa perdebatan untuk memperoleh jawaban

bagi pertanyaan mengenai apa yang adil dan apa yang tidak adil semakin

l!lma m.enjadi semakin rumit, seiring dengan kebutuhan hidup manusia

serta semakin terbatas pemenuhan sumber daya yang diperlukan.

Penyelenggara kepastian hukum banyak tergantung dari struktur

organisasi penegak hukurn serta konsistensi dalam cara kerj a dari orang­

orang yang mendukung.

182

Selagi para srujana hukum berdiskusi semakin intim tentang esensi

dari keadilan, organisasi penegak hukum justru tidak memperoleh kedua­

duanya, bahkan juga tidak sekedar suatu ketertiban umum yang minimaL

NaJar hukum itu dibiarkan, jika dibiarkan mengembara akan membawa

konsekuensi disintegrasi sosial yang bermuara dalam anarkis, di balik itu

melalui hukum manusia hendak menghindarkan diri dari anarki, seperti

yang dikatakan oleh Franz-Magnis Suseno bahwa fungsi hukum yang

paling dasar mencegah bahwa konflik kepentingan itu dipecahkan dalam

konflik terbuka, maka hukum merupakan sarana pemecahan konflik yang

rasional, karena tidak berdasarkan fakta kekuatan-kekuatan alamiah belaka

melainkan menurut kriteria obyektif yang berlaku umum. Pemahaman

tentang keadilan memang bukan saja belum tercapai dengan ketertiban

umum, karena keadilan memang lebih dari sekedar ketertiban, melainkan

juga keadilan itu bekeJja lebih sebagai prinsip prosedur daripada substansi.

3. Komponen Sistem Peradilan Pidana

Mardjono Reksodipoetro memberikan batasan bahwa, komponen

dalam sistem peradilan pidana adalah kepolisian, kejaksaan, pengadilan

dan lembaga pemasyarakatan. Namun apabila sistem peradilan pidana

dilihat sebagai suatu instrumen dari kebijakan kriminal, maka termasuk

dalam komponen sistem peradilan pidana adalah pembuat undang-undang.

Karena pembuat undang-undang adalah penentu arah kebijakan hukum

pidana dan hukum pelaksanaan pidana yanghendak ditempuh dan

sekaligus menjadi tujuan dari penegakan hukum.288 Selanjutnya secara

288 Romli Atmasasmita, "Sistem ... " Op. cit., him. 24.

183

singkat akan dijelaskan tugas dari masing-masing komponen sistem

peradilan pidana sebagaimana pandangan Mardjono Reksodipoetro,

sebagai berikut:

a. Kepolisian

Kepolisian merupakan satu-satunya organisasi yang berhadapan

langsung berkaitan dengan penanggulangan kejahatan dalam

masyarakat Agar kepolisian dapat menjalankan fungsinya dengan baik,

maka perlu ada transparansi tugas-tugas penegak hukum, sehingga

hukum dapat ditegak.kan dan keadilan dapat dicapai tanpa pengorbanan

semua hak masyarakat yang seharusnya dilindungi. Status kepolisian

dalam sistem peradilan pidana secara internasional diakui, yakni dalam

Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa V (kelima) tahun 1975 mengenai

the prevention of crime and the treatment of offenders, khususnya

dalam membicarakan masalah the emerging rules of the police and

other law enforcement agencies yang menegaskan "it was recognized

that the police were a component of the larger system of criminal

justice which operated against criminality. "28~

b. Kejaksaan

Jaksa sebagai bagian dari sistem peradilan pidana berdasarkan

Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa VIII (kedelapan) tentang

Pencegahan Kejahatan dan Perlakuan terhadap orang yang Bersalah di

Havana, Kuba, 27 Agustus sampai 7 September 1990, memiliki peranan

289 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan Semarang: Program Magister Ilmu Hukum Undip, 2000, him. 45-46

184

sebagai berikut:290

I) Jabatan jaksa harus dipisahkan dengan tegas dari fungsi-fungsi kehakiman;

2) Jaksa harus menjalankan peran aktif dalam proses persidangan pidana, termasuk lembaga kejaksaan, dan apabila diberi wewenang oleh hukum atau sesuai dengan kebiasaan setempat, dalam menyelidiki kejahatan, pengawasan atas legalitas dari penyelidikan ini, penyelidikan atas pelaksanaan keputusan pengadilan serta pelaksanaan fungsi-fungsi lain sebagai wakil dari kepentingan urn urn;

3) Jaksa, sesuai dengan hukum, akan melaksanakan kewajiban mereka secara jujur, konsisten dan cepat, dan menghormati serta melindungi martabat kemanusiaan dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, dan dengan demikian memastikan proses dengan semestinya dan berfungsinya sistem peradilan pidana dengan lancar;

4) Jaksa dalam melaksanakan tugas, akan selalu melaksanakan fungsi tanpa memihak dan menghindari segala macam diskriminasi politik, sosial, agama, ras, budaya, jenis kelamin atau jenis-jenis diskriminasi lainnya; melindungi kepentingan umum, bertindak dengan obyektif, memperhitungkan dengan seksama posisi dari tertuduh dan korban, dan menaruh perhatian pada semua keadaan terkait, tanpa memandang apakah keadaan itu menguntungkan atau merugikan orang yang tertuduh; meJUaga hal-hal yang mereka kuasai sebagai rahasia, kecuali kalau pelaksanaan kewajiban atau kebutuhan akan keadilan masyarakat sebaliknya; mempertimbangkan pandangan dan kekuatiran para korban ketika kepentingan pribadi mereka terkena.

5) jaksa tidak akan memprakarsai atau melanjutkan penuntutan, atau akan melakukan setiap usaha untuk meneruskan proses persidangan, apabila suatu penyelidikan yang tidak memihak memperlihatkan bahwa tuduhan itu tidak benar;

6) jaksa akan memberikan perhatian yang semestinya kepada penuntutan atas kejahatan yang dilakukan oleh pejabat publik, seperti korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, apabila diberi wewe­nang oleh hukum atau sesuai dengan kebiasaan setempat;

7) jaksa yang menguasai bukti terhadap para tertuduh yang diketahui atas dasar yang masuk akal diperoleh lewat cara yang tidak sah, berasal dari pelanggaran berat terhadap hak asasi tertuduh, jaksa harus menolak untuk menggunakan bukti tersebut.

c. Pengadilan

290 ELSAM, Dimensi-dimensi HAM pada Administrasi keadi/an, (Jakarta: Elsam, 2000), him. 61-62

185

Pengadilan sebagai tempat pembuktian terhadap perbuatan

pidana yang dituduhkan kepada terdakwa. Perserikatan Bangsa-Bangsa

telah menyepakati prinsip-prinsip dasar tentang kemandirian peradilan

pada Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa VII (k:etujuh) tentang

Pencegahan Kejahatan dan Perlakuan terhadap Pelaku Kejahatan, yang

diselenggarakan di Milan dari tanggal 26 Agustus sampai 6 September

1985 dan disahkan dengan Resolusi Majelis Umum 40/32 tanggal 29

Nopember 1985, dan 40/146 tanggall3 Desember 1985, yaitu:291

I) kemandirian peradilan harus dijamin oleh negara; 2) peradilan harus memutus perkara yang diajukan kepadanya secara

adi~ atas dasar fakta-fakta dan perundang-undangan; 3) peradilan harus memiliki semua yuridiksi berkaitan dengan semua

pokok masalah yangbersifat hukum; 4) tidak boleh ada campur tangan apa pun yangtidak pantas atau tidak

diperlukan terhadap proses peradilan; 5) setiap orang berwenang diadili dalam persidangan biasa, yang

menggunakan prosedur-prosedur hukum yang sudah mapan; 6) prinsip kemandirian peradilan berhak dan mewajibkan peradilan

untuk menjamin bahwa hukum peradilan dilakukan dengan adil dan bahwa hak-hak para pihak dihormati;

7) kewajiban setiap negara anggota untuk menyediakan sumber-sumber yang memadai guna memungkinkan peradilan melaksanakan fungsi­fungsinya dengan tepat.

Selain kemandirian lembaga peradilan untuk membentuk

peradilan yang berwibawa dalam konteks sistem peradilan pidana,

maka hal-hal yang juga perlu diperhatikan adalah:292

I) Asas-asas dasar prosedural kewenangan untuk menangani tindak pidana merupakan kewenangan negara.

2) Asas-asas prosesual: setiap perorangan dan lembaga baik publik maupun privat harus bekerjasama dengan pengadilan apabila diminta; penundaan yang tidak beralasan harus dihindari.

3) Hak-hak terdakwa: harus didampingi penasihat hukum sejak pemeriksaan pendahuluan kecuali yang bersangkutan menolak; hak

291Ibid, hlm. 51-52. 292 Muladi, Op.Cit, him. 217-218

186

untuk didampingi peneljemah apahila diperlukan; Iarangan penggunaan kekerasan, ancaman, iming-iming dan sebagainya untuk memperoleh pengakuan; perlu sanksi kriminal atau disiplin yang tegas bagi para penegak hukum yang melanggar asas-asas

4) peradilan; bukti-bukti yang diperoleh secara tidak sah harus ditolak oleh pengadilan; bantuan hukum yang dipilih secara bebas harus pula dimungkinkan pada setiap tahap peradilan pidana, termasuk pada saat yang bersangkutan harus menjalani pidananya; kerahasiaan komunikasi antara terdakwa dan penasihat hukumnya teljamin.

4) Hak -hak korban kejahatan, bantu an yang d iperlukan mengatasi akibat-akibat yangdialaminya.

harus mendapatkan pelayanan dan dalam memperoleh keadilan dan negatif akibat tindak pidana

5) Kewaj iban negara, untuk menyelenggarakan latihan-latihan terpadu untuk menghasilakan penegak hukum yang profesional.

d. Lembaga Pemasyarakatan

Lembaga pemasyarakatan merupakan bagian akhir dari proses

sistem peradilan pidana. Beberapa Kongres Perserikatan Bangsa-

. Bangsa tentang Prevention of Crime and the Treatment of Offenders,

sejak tahun 1955, sudah mengakui, bahwa, masalah perlakuan terhadap

narapidana, merupakan masalah intemasional, dan sekaligus, telah

menetapkan, standar minimum rules for the treatment of prisoners.

4. Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang

KUHAP telah memberikan pendekatan sistem pada peradilan pidana di

Indonesia adalah pendekatan yang mempergunakan segenap unsur terlibat

didalamnya sebagai suatu kesatuan dan saling berhubungan dan saling

mempengaruhi satu sama lain, yaitu polisi, jaksa, pengadilan, dan

lembaga pemasyarakatan.Sistem peradilan pidana Indonesia memiliki 10

(sepuluh) asas sebagai berikut:

187

a perlakuan yang sama di muka hukum, tanpa diskriminasi apa pun; b. praduga tidak bersalah; c. hak untuk memperoleh kompensasi dan rehabilitasi; d. hak untuk memperoleh bantuan hukum; e. hak kehadiran terdakwa di muka pengadilan; f. peradilan yang bebas dan dilakukan dengan cepat dan sederhana; g. peradilan yang terbuka untuk umum; h. pelanggaran terhadap hak-hak warga negara harus didasarkan pada

undang-undang dan dilakukan dengan surat perintah; i. hak seorang tersangka untuk diberitahu tentang persangkaan dan

pendakwaan terhadapnya; dan j. kewajiban pengadilan untuk mengendalikan pelaksanaan

putusannya.

Setiap komponen sistem peradilan pidana di Indonesia telah diatur

dengan undang-undang yang terpisah-pisah. Kelemahan terbesar dari

peraturan perundang-undangan yang disusun secara terpisah-pisah

berdampak pada kinerja penegakan hukum, karena masing-masing

komponen lebih menitik- beratkan pada kepentingan instansi atau mef\iadi

instansi sentris. Kondisi ini menunjukkan sitem peradilan pidana di

Indonesia belum sepenuhnya berjalan dengan baik. Untuk itu perlu

pemikiran membangun sistem peradilan pidana di Indonesia.

B. Perbandingan Penerapan Mediasi Penal di Negara Lain

Dalam perkembangannya di dunia, mediasi penal dikenal dengan

berbagai istilah. Terminologi yang paling banyak dikenal adalah victim-

offender nedialion (mediasi antara korban dan pelaku). Namun sebenarnya

terminologi yang paling awal dikenalistilah victim-offonder reconciliation

program. 293Jstilah ini kemudian tidak banyak dipakai karena banyak pakar

293 Secara teori, memang banyak kemiripan antara mediasi dan konsiliasi, bahkan banyak pakar ADR (Alternative Dispute Resolutior berpendapat tidak ada perbedaan di antara keduanya Kalaupun ada perbedaan hanyalab peran konsiliator yang lebih besar (directive)dibandingkan mediator

188

yang menganggap penggunaan istilah rekonsiliasi tidak cocok karena terlalu

agamis dan tidakrnenggambarkan proses perdamaian.294Apalagi umumnya

antara korban dan pelaku tidak mempunyai hubungan (baik kekeluargaan

maupun pertemanan) sama sekali ketika suatu tindak kriminal terjadi. Oleh

karena itu istilah rekonsiliasi yang menggambarkan perdamaian kembali

antara kedua pihak yang sebelumnya mempunyai hubungan menjadi tidak

tepat.

Kemudian dikenal pula istilah victim offender meetings dan victim

offender conftrencing. lstilah penal mediation juga dipakai karena mediasi

digunakan untuk mendamaikan perkara pidana, bukan perkara perdata yang

biasanya menjadi fungsi mediasi. Di Belanda, mediasi penal dikenal dengan

istilah strajbemiddeling dan di Prancis istilah yang dikenal adalah de

mediation penale.

Mediasi penal pertama kali dikenal di Kitchener, Ontario, Kanada

pada tahun 1974. Kemudian program ini menyebar ke Amerika Serikat,

Jnggris, dan negara-negara lain di Eropa. Di Amerika Serikat, mediasi penal

pertama kali dipraktikkan di Elkhart Indiana dan di lnggris oleh The Exeter

Youth Support Team pada tahun 1979. Setelah itu, program mediasi penal

tersebar ke banyak negara di dunia, dan yang paling subur adalah di negara-

negara Eropa. Perkembangan program mediasi penal di dunia terlihat pada

Tabel berikut:295

294 Mark Umbreit, Robert B. Coates dan Betty Voss, "Victim-Offender Mediation: An Evolving Evidence Based Practice" dalam Handbook of Restorative Justice: A Global Perspective, eels Sullivan, D. dan Tifft, L., Routledge, New York, 2006, him. 52-62

295 M. Umbreit, "Introduction: Restorative Justice Through Victim Offender Mediation" da lam The Handbook of Victim Offender Mediation: An Essential Guide to Practice and Research, ed Umbreit, M., Jossey-Bass, San Fransisco, 2001, him. xlv

189

No Negara Jumlah Program

I Australia 5 2 Austria 17 3 Belgia 31 4 Kanada 26 5 Denmark 5 6 Finlandia 175 7 Prancis !59 8 Jerman 450 9 I tali a 4 10 Belanda 2 I! Selandia Baru Ada dalam setiap yurisdiksi 12 Norwegia 41 l3 Polandia 5 14 Afrika Selatan I 15 Swedia 50 16 lnggris 46 17 Amerika Serikat 302

Total 1.319 I

Berdasarkan Tabel tersebut, bab ini akan mengambil contoh beberapa

negara yang telah berhasil menerapkan mediasi penal dalam menangani

perkara ABH yang terintegrasi ke dalam sistem peradilan pidana mereka.

Indonesia dapat belajar dari pengalaman mereka, mencari dasar hukum bagi

pelaksanaannya, dan hila memungkinkan mengadopsi sistem dan mekanisme

yang cocok dengan kondisi Indonesia. Amerika Serikat dipilih karena negara

ini adalah salah satu pemrakarsa pelaksanaan mediasi penal perkara ABH di

dunia Beberapa negara di Eropa dipilih karena di kawasan ini mediasi penal

mengalami perkembangan sangat pesat dan beberapa di antaranya Ielah

memiliki perangkat peraturan sebagai dasar hukum dalam sistem peradilan

pidana mereka. Negara Eropa yang dipilih adalah Swedia dan Norwegia

Selain itu, perkembangan mediasi penal dan keadilan restoratif di dua negara

di Asia, yaitu Thailand dan Jepang, juga akan sedikit dibahas.

190

l. Mediasi Penal di Amerika Serikat

Sebagaimana Ielah disampaikan sebelumnya, mediasi penal dalam

menangani perkara ABH pertama kali diterapkan di Elkhart, negara bagian

Indiana, Amerika Serikat. lnisiatif pelaksanaan metode penyelesaian

sengketa altematif di negara ini dilakukan oleh Komunitas Gereja

Mennonite yang bertujuan untuk menyembuhkan luka dan mengembalikan

hubungan baik para pihak dan masyarakat luas.

Mediasi penal di Amerika Serikat sepenuhnya bersifat

kesukarelaan para pihak. Dari 289 program mediasi penal yang

teridentifikasi pada tahun 2000, 45% digunakan untuk menangani perkara

ABH. Jenis tindak kriminal yang paling banyak dimediasi adalah

vandalisme, penyerangan ringan, pencurian dan perampokan, dan sedikit

jumlah kejahatan berat. Umbreit dan Armour96 melakukan penelitian

tentang perkembangan pelaksanaan mediasi penal di seluruh negara bagian

di Amerika Serikat, baik yang bersifat komunitas maupun yang terintegrasi

dengan sistem peradilan pidana. Dari 50 negara bagian, ada 23 yang

mempunyai landasan hukum yang terintegrasi dengan sistem peradilan

pidana yang terdiri dari adanya peraturan dasar tentang mediasi penal,

adanya peraturan khusus untuk mediasi, dan program yang bersifat

komprehensif untuk mediasi penal.

2% Mark Umbreit dan Mearilyn Peterson Armour, Restorative Justice Dialogue: An

Essential Guide for Research and Practice, Springer Publishing, New York, 2010, him. 116-117

191

Perkembangan mediasi penal di Amerika

Ada Ada

Ada Tidak ada/ peraturan

peraturan peraturan Program

N sedik:it yang dasar

secara komprehen penyebutan memungkink

tentangmedia khusus sifuntuk

0 peraturanmedia andialog untuk mediasi

si si penal korban

penal mediasi penal

dan pelaku penal I Connecticut Alaska Alabama Arkansas Delaware

2 District of Florida Arizona Louisiana Indiana

Columbia

3 Georgia Illinois California Minnesota Kansas

4 Hawaii Maine Colorado Ohio Montana

5 Idaho New York Iowa Oklahoma Nebraska

6 Kentucky Vermont Missouri Texas Oregon

7 - North Maryland Virginia Tennesse

Carolina

8 Massachusetts Washington

9 Michigan - Wisconsin - -10 Mississippi - - - -

I I Nevada - - - -

12 New - - - -

Hampshire

13 New Jersey - - - -

14 New Mexico - - - -15 North Dakota - - - -

16 Pennsylvania - - - -

17 Rhode Island - - - -

18 South Carolina - - - -19 South Dakota - - - -

i

1 20 Utah - - - -' ; 21 West Virginia - - - -

22 Wyoming - - - -

192

Umbreit dan Armour juga menyatakan walaupun ada negara bagian

yang tidak mempunyai peraturan tentang mediasi penal, bukan berarti

mekanisme tersebut tidak dipakai. Mediasi penal biasa digunakan di level

komunitas dan bahkan menempati urutan tertinggi (43%) dibandingkan

dengan pemakaian oleh lembaga penegak hukum (33%) dan komunitas gereja

(23%).

Kebanyakan program mediasi penal di Amerika Serikat menggunakan

sukarelawan dari masyarakat sebagai mediator. Biasanya mediator dibantu

oleh seorang co-mediator yang membantu jalannya proses mediasi dengan

membagi peran dan tanggung jawab,terutarna ketika menghadapi kasus yang

kompleks. Program mediasi penal bisa dilaksanakan melalui beberapa jalur

rujukan, yaitu:

I. Langsung dari polisi sebelum laporan didaftarkan.

2. Setelah polisi membuat laporan, namun sebelum masuk ke pengadilan

sebagai diversi dari kejaksaan.

3. Setelah menerima atau menemukan pemyataan bersalah sebelum jatuhnya

putusan.

4. Setelah jatuhnya putusan.

Program mediasi penal di negara ini lebih banyak menerima rujukan

setelah pengakuan formal bersalah dari pelaku di pengadilan. Beberapa

program juga menerima kasus yang dirujuk sebelum pengakuan formal

bersalah sebagai upaya untukmenunda penuntutan. Kasus yang paling banyak

ditangani mediasi penal adalah vandalisme, penyerangan ringan, pencurian,

dan perampokan. Aparat penegak hukum menggunakan beberapa kriteria

sebagai dasar melakukan rujukan, yaitu:

a. Jenis kejahatan, yaitu tindak kriminal terhadap properly berupa

193

perampokan, pencurian, vandalisme, dan penyerangan ringan. b. Pengakuan bersalah dari pelaku. c. Kerugian yang bisa diidentifikasi dan adanya kebutuhan untuk restitusi. d. Pelaku tidak boleh mempunyai lebih dari dua hukuman dari vonis

kejahatan sebelumnya. e. Tidak ada masalah kesehatan mental yang berat. f. Tidak ada masalah perilaku kekerasan yang berat.

Umbreit dan Armour"97 juga meneliti efektivitas pemakaian mediasi penal sebagai altematif sistem peradilan pidana dari berbagai aspek, yaitu: I. Partisipasi para pihak

Dalam aspek ini, para pihak memperlihatkan tingkat keikutsertaan yang tinggi, yaitu 40-60%, bahkan ada yang mencapai 90%.

2. Alasan partisipasi Hampir sebagian besar (91 %) para pihak merasa bahwa keikutsertaan mereka dalam proses mediasi penal adalah sukarela, tanpa paksaan sama sekali.

3. Kepuasan para pihak 8 dari 10 para pihak (baik korban maupun pelaku) merasa pugs terhadap proses dan kesepakatan yang dihasilkan dari mekanisme mediasi penal.

4. Keadilan Lebih dari 80% para pihak merasa proses dan kesepakatan mediasi penal adil bagi kedua belah pihak.

5. Restitusi dan perbaikan kerusakan Sekitar 90% kasus berhasil mencapai kesepakatan yang terdiri dari beberapajenis restitusi, yaitu:

a. Kompensasi langsung pada korban. b. Pelayanan pada masyarakat. c. Bekerja untuk korban. d. Bentuk/kreasi Jain yang disepakati oleh korban dan pelaku. e. Permintaan maaf, yang biasanya digabungkan dengan bentuk

restitusi lain tersebut di atas. 6. Residivisme

Sebagai tujuan jangka panjang, mediasi penal telah berhasil menekan pengulangan tindak kejahatan yang dilakukan (residivisme) dibandingkan dengan pemakaian sistem peradilan pidana biasa.

7. Biaya Pemakaian mediasi penal secara dramatis telah mengurangi biaya perkara.

8. Pelaksanaan mediasi penal juga mengalami beberapa hambatan yang disebabkan oleh keterbatasan dana dan minimnya jumlah rujukan.

2. Mediasi Penal di Eropa

Hampir bersamaan dengan pelaksanaan mediasi penal di Kanada

""Ibid, him. 128-134

194

dan Amerika Serikat, eksperimen program mediasi penal juga mulai

diterapkan di beberapa negara Eropa. Mestitz298 menyatakan bahwa

mediasi penal di Negara Uni Eropa digunakan dengan tujuan sebagai alat

untuk:

a. Memberdayakan korban.

b. Mengurangi peran negara dan memberdayakan masyarakat sipil.

c. Membuat warga negara berpartisipasi dalapi administrasi peradilan.

d. Mengurangi biaya dan tunggakan perkara dalam sistem peradilan

pidana.

Mestitz juga melakukan penelitian mengenai perkembangan

program mediasi penal di negara-negara Eropa sejak pertama kali

eksperimen dilakukan dalam pilot project hingga implementasi

peraturan/undang-undang untuk menjadi landasan hukum yang terintegrasi

ke dalam sistem peradilan pidana. Perkembangan interval waktu tersebut

dapat dilihat dalam Tabel berikut.

Tabel

Interval waktu penyelenggaraan mediasi penal sejak pilot projecthingga

keluarnya peraturan

Tahun

No Negara Tahun Pilot Keluarnya Interval

Project Peraturan Waktu Mediasi Penal

1. Austria 1984 1988 4

2. Belgia/Walloon 1984 (tidak ada

Tidak ada peraturan)

298 Anna Mestitz, "A Comparative Perspective on Vic..iim~OffemJer Mediation with Youth Offenders Throughout Europe", dalam Victim-Offender Mediation with Youth Offenders in Europe, eds Mestitz, A dan Ghetti, S., Springer, Dordrecht, 2005, hlm. 5

!95

3. Belgia/Flanders 1987 sda sda

4. Tnggris dan Wales 1983 sda sda

sda 5. Findlandia 1983 sda

H

6. Prancis 1984 1993 9

7. Jerman 1984 1990 6

8. Irlandia 1999 2001* 2

9. Italia 1995 (tidak ada

Tidakada peraturan)

10. Luxembourg 1997 sda sda

11. Belanda 1990 sda sda

12. Norwegia 1981 1991 10

13. Polandia 1995 1997 2

14. Spanyoi/Catalonia 1990 2001 10

15. Swedia 1987 2002 15

Berdasarkan tabel tersebut, terlihat 3 (tiga) negara mempunyai

rentang waktu paling lama, yaitu: Swedia ( 15 tahun) serta Norwegia dan

Spanyol (masing-masing 10 tahun). Rentang waktu yang panjang ini

tentunya cukup membuat tiga negara ini mendapatkan pengalaman baik

positif maupun negatif, dalam pengintegrasian mediasi penal ke dalam

sistem peradilan pidana. Oleh karena mediasi. penal di Spanyol baru

sebatas diterapkan di Provinsi Catalonia dan belum berlaku secara

nasional, maka pengalaman Swedia dan Norwegia yang akan diulas lebih

lanjut untuk belajar dari sejarah program mediasi penal mereka.

a. Swedia

Perkembangan mediasi penal di Swedia diprakarsai oleh

masyarakat lokal pada akhir tahun 1980-an tanpa campur tangan

!96

negara sama sekali. Pada tahun I 988, berdiri sebuah lembaga nasional

yaitu Asosiasi Mediasi Swedia yang bertujuan mengembangkan dan

menyebarkan penggunaan mediasi sebagai metode resolusi konflik di

negara ini. Fokus utama organisasi ini adalah penggunaan mediasi

penal untuk menangani perkara ABH. Batasan umur ABH yang bisa

dimediasi di Swedia adalah 15-18 tahun, namun tidak mengecualikan

umur yang sedikit lebih muda atau tua Bila tindak kriminal dilakukan

oleh anak berusia di bawah I 5 tahun, biasanya dirujuk ke Iembaga

sosial.

Mediator di negara ini juga tidak disyaratkan berasal dari

kalangan profesional tertentu, namun tergantung pada kasus yang

dihadapi. Yang dianggap lebih penting untuk diperhatikan adalah

imparsialitas mediator dan keahlian yang baik dengan m~ngikuti

pelatihan yang memadai. Dalam praktiknya, mayoritas mediator

adalah pekeJja sosial yang menerima rujukan dari kepolisian dan

kejaksaan. Mereka wajib melaporkan basil proses mediasi penal ke

polisi dan jaksa sebelum investigasi ditutup. Jika mediasi dilakukan

sebelum jatuhnya putusan oleh pengadilan, maka mediator wajib

melaporkannya pada kejaksaan untuk menghentikan proses peradilan.

Mediasi biasa dilakukan di tempat yang netral seperti di kantor

lembaga sosial, sekolah, atau balai rakyat.

Momentum bersejarah dalam pelaksanaan mediasi penal

diSwedia adalah dikeluarkannya Undang-Undang Mediasi Penal

(Victim-Offender Mediation Act) pada tahun 2002. Pada tahun yang

197

sama, pemerintah mendirikan National Council for Crime Prevention

untuk mengurus administrasi dan implementasi mediasi penal di

negara mt. Beberapa peraturan yang terkait dengan mediasi penal

adalah:

l. Victim-Offender Mediation Act 2002 yang mengatur persyaratankasus untuk bisa dimediasi, yaitu: a. Hanya berlaku untuk mediasi penal yang diorganisasi oleh

pemerintah pusat atau daerah. b. Pelaku telah mengaku bersalah. c. Tindak kriminal tersebut telah dilaporkan pada polisi. d. Para pihak secara sukarela mengikuti proses mediasi. e. Mediator telah berkonsultasi dengan aparat penegak hukum

sesuai dengan tahapan kasus yang dihadapi. 2. Law on Special Provisions concerning Young Offenders tahun 1964

yang berisikan ketentuan bila ada tindak kriminal yang dilakukan anak berusia di bawah 18 tahun maka hams ditangani segera dan membuka kemungkinan mediasi penal.

3. The Social Services Act tahun 200 I yang menjelaskan tanggung jawab pemerintah daerah untuk menyelenggarakan mediasi penal di daerahnya.

4. The Secrecy Act tahun 1980 yang menyatakan bahwa semua informasi personal dalam proses mediasi bersifat rahasia.

5. The Swedish Penal Code tahun 1962 yang menyebutkan bahwa pengadilan harus membuka kemungkinan pemberian sanksi yang lebih ringan kepada ABH, di antaranya dengan mediasi penal.

6. Rekomendasi No. R (99) 19 Komite Menteri Uni Eropa untuk negara anggota yang menjelaskan prinsip umum mediasi penal

Menurut Wahlin"', secara umum tidak ada batasan jenis kasus

yang bisa ditangani mediasi. Namun, kejahatan yang tidak ada korban

dan kekerasan sesuai dianggap. tidak cocok untuk dimediasi. Pada

tahun 2003, ada 12.971 tindak kriminal yang dilakukan ABH. Dari

jumlah tersebut, hanya 411 kasus yang dirujuk untuk mediasi dan

mencapai tingkat keberhasilan 74%. Jenis kasus yang paling banyak

dimediasi adalah pencurian di tempat belanja, penyerangan, dan

vandalisme. Sedikitnya kasus yang dirujuk untuk mediasi, menurut

198

Wahlin, karena tidak diwajibkannya dan tidak terintegrasinya mediasi

penal dalam sistem pemberian sanksi di negara ini. Walaupun sudah

ada peraturan yang menjadi landasan hukum pelaksanaan mediasi

penal serta pemerintah juga berkeinginan untuk menerapkannya,

sampai saat ini belum ada ketentuan yang mewajibkan mediasi penal.

b. Norwegia

Program pilot project mediasi penal untuk menangani perkara

ABH di negara ini pertama kali dilakukan pada tahun 1980 di bawah

administrasi Kementerian Urusan Sosial. Perkembangan mediasi

penal ini dipengaruhi oleh terbitnya tulisan Nils Christie, seorang

pakar kriminologi Norwegia, beljudul Conflict as Propertyyang

kemudian menjadi salah satu bahan rujukan penting bagi

perkembangan konsep keadilan restoratif di dunia. Dalam artikel

tersebut Christie berpendapat bahwa kontlik yang terjadi antara

korban dan pelaku telah dicuri oleh aparat penegak hukum dan negara.

Ia mengusulkan untuk membuat altematif dari sistem peradilan pidana

yang bisa membuat para pihak terlibat secara aktif untuk mencari

solusi permasalahan mereka sendiri (mediasi penal).

Mediasi penal. untuk perkara ABH ditujukan pada pelaku

anak berusia 15-18 tahun. Hal ini ditegaskan dalam amendemen

peraturanpada tahun 1991 yang sebelumnya mengatur Batas umur

minirnum14 tahun. Oleh karena tidak ada pengadilan khusus untuk

anak dinegara ini, maka mediasi penal untuk perkara ABH adalah

bagian darisistem peradilan pidana secara umum. Keadaan ini

199

menyebabkarunediasi penal juga bisa dipakai untuk menyelesaikan

tindak kriminalyang dilakukan oleh orang dewasa. Namun dalam

praktiknya, yangpaling banyak dimediasi adalah pelaku anak. Kasus

tindak pi-dana yang dimediasi bisa dirujuk oleh jaksa pada level

kepolisian, petugas masa percobaan, dan pengadilan kepada Lembaga

Mediasi.'36 Keputusan untuk mengikuti proses mediasi penal harus

berdasarkan kesukarelaan pihak korban dan pelaku.

Perangkat hukum yang mengatur mediasi penal di N orwegia

terlihat komprehensif karena terdapat dalam peraturan selevel

denganundang-undang dan peraturan pelaksana. Dasar hukum

pemberlakuan mediasi penal dalam sistem peradilan pidana Norwegia

terdapat pada ketentuan berikut:

a. Undang-Undang No. 3 Tahun 1991 tentang Mediasi dan Konsiliasi yang Diadakan oleh Lembaga Mediasi dan Konsiliasi.

b. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang diamendemen tahun 2003 pada Pasal 53 yang secara eksplisit menyatakan mediasi sebagai kondisi khusus untuk menunda persidangan kasus.

c. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Tahun 1998, Pasal 67 ayat 4 dan Pasal 71 butir a yang memberikan kewenangan kepada polisi dan jaksa untuk melakukan diskresi merujuk kasus untuk dimediasi jika pelaku mengaku bersa1ah dalam suatu tindak pi dana.

d. Parliamentary Bill (1989-1990) tentang pendirian Lembaga Mediasi Nasional.

e. Surat Edaran J(ejaksaan talJUn 1993 yang menyatakan kasus yang bisa dimediasi adalah tindak pidana pencurian, vandalisme, pencurian, dan kekerasan ringan (minor assaults). Karban dalam kasus tersebutjuga harus ada!teridentiflkasi untuk bisa dimediasi.

f. Surat Keputusan Menteri Kehakiman tentang mediasi dan kon­siliasi.

g. Peraturan pelaksana lainnya.

Siri Kemeny menyatakan bahwa masuknya mediasi penal ke

dalam sistem peradilan pidana berdasarkan landasan hukum yang kuat

200

mengakibatkan keuntungan dan kerugian. Aspek yang meng-

untungkan adalah sejak awal undang-undang menyatakan pemerintah

bertanggung jawab terhadap pendanaan program mediasi penal. Hal

ini menjamin kontinuitas program dengan lancar. Namun ada dua

kerugian yang ditimbulkan yaitu:

I. Surat Edaran Kejaksaan tahun 1993 tentang pembatasan kasus

yang bisa dimediasi mengakibatkan hanya kasus ringan!minor

yang bisa dimediasi, sementara kasus berat tetap tidak bisa

dimediasi.

2. Mediasi tidak bisa dilaksanakan dalam setiap tahapan proses

peradilan pidana karena hanya sampai sebelum persidangan

perkara.

Dalam Parliamentary Bill ( 1989-1990) ten tang pendirian

Lembaga Mediasi Nasional dinyatakan beberapa prinsip yang

mendasari penerapan mediasi penal dalam sistem peradilan pidana

Norwegia, yaitu:

a. Memperkuat kemampuan masyarakat lokal dalam mencari solusi sengketa untuk mengembalikan konfiik kepada para pihak tanpa melemahkan pengamanan hukum.

b. Diversifikasi pilihan penyelesaian sengketa da1am sistem peradilan pidana.

c. Penanganan perkara yang cepat dan sederhana. d. Respons yang cepat dan konkret terhadap pelaku. e. Respons yang bersifat mendidik. f. Keikutsertaan para pihak da1am menye1esaikan sengketa. g. Menemukan solusi individual. h. Berkontribusi terhadap resolusi yang nyata terhadap konflik. i. Memberikan perhatian kepada korban, termasuk kemungkinan

untuk mendapat kompensasi dengan cepat.

Siri Kemeny melakukan penelitian tentang perkembangan pe-

201

laksanaan mediasi penal di Norwegia. Pada tahun 200 I ada 5.520

tindak pidana ABH yang ditangani oleh Lembaga Mediasi. Dati total

kasus tersebut, 91% berhasil mencapai kesepakatan dalam bentuk:

kompensasi uang (41%), kerja (21%), rekonsiliasi (21%), kompensasi

uang dan kerja (7%), dan bentuk kesepakatan lain (10%). Jenis kasus

yang paling banyak terjadi adalah vandalisme, pencurian di tempat

belanja, dan kekerasan fisik.

Yang paling banyak menjadi mediator adalah orang yang ber­

pendidikan tinggi, seperti guru, pengacara, pekerja sosial, dan

pensiunan polisi. Jarang sekali orang yang berpendidikan rendah

mendaftarkan diri menjadi mediator di Lembaga Mediasi walaupun

tidak ada ketentuan yang mengatur persyaratan untuk menjadi

mediator. Setelah mendaftar, talon mediator wajib mengikuti pelatihan

dasar selama 4 (empat) hari yang lebih banyak berisi keahlian praktis

dalam menghadapi segala macam situasi mediasi kasus. Mediator di

Norwegia berasal dari orang kebanyakan dan melakukan tugas sebagai

sukarelawan dengan bayaran tidak memadai. Oleh karena itu biasanya

mereka mempunyai pekerjaan tetap selain menjadi sukarelawan

mediator

3. Mediasi Penal di Asia

Ada beberapa negara di kawasan ini yang sudah lama

mempraktikkan mediasi sebagai salah satu model keadilan restoratif yang

memang sesuai dengan kearifan lokal dalam menyelesaikan sengketa.

Jepang adalah negara Asia yang terkenal dengan pemakaian konsep

202

keadilan restoratif sejak John Braithwaite mengambilnya sebagai contoh

negara dalam pemikirannya yang terkenal, Reintegrative Shaming.

Keadilan restoratif menjadi dasar dari sistem peradilan pidana negara ini.

Banyak tindak kriminal yang diselesaikan di Jepang dengan diawali

pengakuan bersalah, diikuti dengan permintaan maaf dan usaha perbaikan,

baik berupa restituasi maupun bentuk lain. Dengan melakukan hal

tersebut, tidak hanya pelaku yang melepaskan beban psikologis karena

telah melakukan perbuatan yang salah tetapi juga keluarga dan masyarakat

luas. Mediasi telah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Jepang

dalam menyelesaikan sengketa, baik perdata maupun pidana.

Di kawasan Asia Tenggara sudah ada beberapa negara yang telah

mendirikan Mediasi di Pengadilan (Court-annexed mediation), di

antaranya Filipina, Malaysia, dan Thailand. Di Filipina mediasi pengadilan

hanya dipakai untuk menyelesaikan perkara perdata. Di Malaysia mediasi

juga dipakai untuk mencari kesepakatan dalam kasus perdata, walaupun

ada sedikit yang terkait dengan yurisdiksi mediasi penal yaitu mediasi

antara korban dan pelaku kecelakaan lalu-lintas.

Di Thailand, selain perkembangan mediasi perdata, dua model

keadilan restoratif yaitu Family Group Conferencing dan mediasi penal

mengalami perkembangan yang menggembirakan. Alasan yang

mendorong negara ini memakai keadilan restoratif adalah membludaknya

tahanan di luar kapasitas penjara karena kebijakan ketat dalam memerangi

kejahatan narkoba Keadilan restoratif model Family Group Conferencing

cocok dengan budaya Thailand karena itu mulai dipakai dalam menangani

203

ABH sejak tahun 2003. Efektivitas mekanisme ini segera terlihat. Menurut

penelitian Liebmann, dari 11.538 kasus yang ditangani dengan mekanisme

ini sejak tahun 2003 sampai dengan tahun 2006, hanya 3% ABH yang

mengulangi kejahatan. Bandingkan dengan persentase 1519% ketika

diselesaikan melalui pengadilan.

Pada tahun 2004, Probation Services Thailand memulai proyek

keadilan restoratif di I I kantor mereka yang kemudian berkembang pesat

menjadi 96 kantor dengan menyediakan dua sampai tiga mediator di setiap

kantor .cabang. Untuk model keadilan restoratif berbentuk mediasi penal,

Thailand telah mengadopsinya ke dalam sistem peradilan pidana secara

luas, yaitu untuk semua usia (anak dan dewasa) serta mengakomodasi

ban yak jenis kasus pidana. Perkembangan mediasi penal di Thailand akan

diulas berikut ini.

Mediasi perkara perdata sudah terintegrasi pada sistem peradilan

perdata di Thailand sejak tahun 1994 di Pengadilan Perdata Bangkok.

Setelah program ini mendapat sambutan yang baik dengan ditandai

banyaknya kasus yang dimediasi dan berhasil mencapai kesepakatan,

maka program mediasi di pengadilan didirikan di seluruh pengadilan

Thailand pad a tahun 2003.

Perkembangan mediasi penal di negara ini diawali pada tahun

2007. Pada tahun tersebut, terjadi amendemen Administration Regulation

Act yang menekankan pemakaian mediasi dalam perkara perdata dan

mulai mendayagunakan mediasi penal. Amendemen ini masih terbatas

pada satu kategori yaitu kasus kriminal gabungan (compound case) dengan

204

pengecualian kejahatan seksual. Berdasarkan peraturan baru ini, jika

mediasi penal berhasil mencapai kesepakatan dan pelaku melaksanakan

kewajiban restitusi maka kasus tersebut akan terhindar dari sistem

peradilan pidana. Peraturan baru ini juga memberdayakan kepala daerah

lokal dan sekretarisnya untuk meqjadi mediator. Mediasi penal yang

dilakukan harus berdasarkan kesukarelaan para pihak, yaitu korban dan

pelaku.

Hukum acara perdata Thailand juga memberikan kewenangan

kepada hakim untuk memediasi perkara perdata pada setiap tahap

(sebelum atau pada saat persidangan dimulai) sebelum jatuhnya putusan.

Walaupun hukum acara baru sebatas memediasi perkara perdata, dalam

praktiknya hakim juga memediasi perkara pidana sebatas kejahatan

terhadap property (pencurian, perampokan, vandalisme) dan penipuan

penerbitan cek kosong. ltu pun harus didaftarkan oleh para pihak sendiri

ke pengadilan, bukan kasus yang didaftarkan oleh kejaksaan. Alasannya

adalah kasus tersebut bisa segera dicabut langsung dari dokumentasi

pengadilan bila tercapai kesepakatan antara korban dan pelakum.

Mediasi penal mengalami perkembangan yang signiflkan ketika

Criminal Procedure Code diamendemen pada tahun 2004 yang

menegaskan hak korban berdasarkan konstitusi untuk mendapatkan

kompensasi dari pelaku. Karban dapat mengajukan permohonan kepada

hakim untuk memerintahkan pelaku membayar kompensasi tersebut.

Hakim kemudian dapat mempertemukan kedua belah pihak untuk

menegosiasikan basil yang dapat disepakati bersama.

205

Tanpa ada batasan kasus kriminal yang bisa dimediasi dalam

amendemen peraturan ini, kecuali untuk kasus KDRT (Kekerasan Dalam

Rumah Tangga), maka banyak pengadilan yang dalam praktiknya

mengeluarkan surat edaran agar hakim mencoba melakukan mediasi penal

terhadap kasus kriminal yang dihadapi. Walaupun tujuan darimedisai

penal di sini adalah untuk menegosiasikan jumlah kompensasi, banyak

kasus yang mempertemukan korban dan pelaku membahas hal-hal di luar

isu kompensasi seperti pengaruh tindakan yang dilakukan terhadap korban,

- rasa pertanggungjawaban pelaku, dan proses penyembuhan.

Saat ini di Thailand ada perkembangan baru dalam penerapan

mediasi penal. Kepolisian negara ini telah mencoba mengusulkan

peraturan yang memungkinkan pemakaian mediasi penal dalam dalam

proses investigasi. Menurut usulan peraturan ini, polisi bisa menjadi

mediator antara korban dan pelaku. Beberapa syarat yang harus dipenuhi

untuk terlaksananya mediasi penal dalam tahap ini adalah: kasus kriminal

gabungan, tindak kriminal terhadap property, dan kasus yang ancaman

pidana kurang dari 5 (lima) tahun. Apabila tercapai kesepakatan, maka

tidak perlu masuk ke pengadilan.

C. Perbandingan Mediasi Penal dengan Diversi dalam Undang-nndang

Sistem Peradilan Pidana Anak

Diversi mulai dikenal sejak tahun 1985 dengan disepakatinya

pertemuan di Beijing yang melahirkan United Nations Standard Minimum

Rules for the Administration of Juvenile Justice (The Beijing Rules). Salah

206

satu standar dalam diversi mengacu pada Article 5 Beijing Rules yang

menyatakan: "The juvenile justice ~ystem shall emphasize the well-being of

the juvenile and shall ensure that any reaction to juvenile offenders shall

always be in proportion to the circumstances of both the offenders and the

offence". Article ini memberikan suatu himbauan seyogyanya sistem

peradilan anak harus memperhatikan kebutuhan dan kepentingan anak serta

memastikan bahwa setiap tindakan yang dilakukan terhadap pelaku anak

bersifat proporsional. Beijing Rules juga memberikan suatu definisi tentang

diversi yakni remaja atau anak yang menurut sistem hukum setiap negara,

dapat diperlakukan atas suatu pelanggaran hukum dengan cara yang berbeda

dari perlakuan terhadap orang dewasa. Pada intinya, Beijing Rules

memberikan kewenangan kepada aparat penegak hukum untuk mengambil

tindakan pengalihan pemeriksaan formal yang kemudian dikenal sebagai

diversi.

Di samping itu, instrumen hukum yang paling sering dirujuk adalah

Article 37 Convention on the Rights of the Child (CRC) yang menyatakan

bahwa: "No child shall be deprived of her or his liberty unlawjtilly or

arbitrarily. The arrest, detention or imprisonment of a child shall he in

conformity with the law and shall be used only as a measure of last resort

and far the shariesi appropriate period of time". Pasal ini pada prinsipnya

sangat tidak menyetujui adanya penangkapan, penahanan atau pidana penjara

di mana upaya terse but dapat dilakukan hanya sebagai primum remedium atau

upaya yang sangat terakhir. Sebaiknya anak dijauhkan dan dihindarkan dari

207

adanya perampasan kemerdekaan yang seringkali juga merampas hak-haknya

sebagai anak.

Pasal lain yang menguatkan hal tersebut ialah Article 40 ayat I CRC

yang pada intinya menyatakan agar anak yang bermasalah dengan hukum

dihormati hak dan martabatnya dan agar perlakuan terhadap anak dilakukan

dengan mengingat usia anak serta reintegrasi sosial anak. Selain Beijing Rules

dan CRC, beberapa instrumen internasional yang juga menghindarkan anak

dari pidana perampasan kemerdekaan adalah UN Standard Minimum Rules

for Non-Custodial Measures (dikenal dengan Tokyo Rules), The Beijing

Rules, The Riyadh Guidelines, dan UN Rules for the Protection of Juveniles

Deprived of Their Liberty. Semua instrumen tersebut memuat klausul tentang

pentingnya menghindarkan anak-anak yang berkonflik dengan hukum dari

adanya pidana perampasan kemerdekaan sebagai bentuk perlindungan

terhadap hak-hak anak. Negara-negara yang telah melaksanakan Diversi

• Aturan hukum tentang diversi

FIJI • Digunakan rekonsiliasi dan sedang dikembangkan model musyawarah kelompok keluarga

• Konsiliasi dan mediasi sering digunakan

• UU Peradilan Anak tentang Restratif Justice (2003) termasuk mediasi, konsiliasi, dan

FILIP INA musyawarah kelompok keluarga sebagai alternatif selain pengadilan

• Dalam UU tersebut juga disebutkan bahwa diversi dapat dilaksanakan pada tingkat desa, polisi, dan kejaksaan

PAPUA NEW UU Diversi berlaku 1991 GUINEA

REPUBLIK LAOS • Mediasi paling sering digunakan

• Re-edukasi ada dalam Hukum Adat

THAILAND • Konsiliasi dan mediasi sering digunakan

• Rencana penyusunan UU Peradilan Anak

208

tennasuk musyawarah kelompok keluarga

TIMOR TIMUR • Mediasi dalam Hukum Adat

• Gereja biasa terlibat dalam proses diversi

Munculnya ide diversi bennula pada suatu pemikiran tentang

pemberian kewenangan kepada aparat penegak hukum untuk mengambil

tindakan-tindakan kebijakan dalam menangani atau menyelesaikan masalah

pelanggaran anak dengan tidak mengambil jalan formal antara lain

mengbentikan atau tidak meneruskanlmelepaskan dari proses peradilan

pidana atau mengembalikan/ menyerahkan kepada orang tua, ma~yarakat dan

bcntuk-bentuk kegiatan pelayanan sosiallainnya. Melalui diversi, maka tidak

setiap perkara pidana yang pelakunya adalah anak secara otomatis langsung

masuk dalam sistem peradilan pidana. Harus diupayakan suatu penyelesaian

konflik melalui forum yang disebut sebagai mediasi penal. Mediasi penal

sendiri merupakan salah satu bentuk altematif penyelesaian sengketa di luar

pengadilan (dikenal dengan istilah ADR atau Altemative Di,pute Resoluiion).

Adapun pengertian Diversi adalah pengalihan penanganan kasus-

kasus anak yang diduga telah melakukan tindak pidana dari proses formal

dengan atau tanpa syarat. Prinsip yang terdapat dalam pelaksanaan program

diversi adalah proses pemidanaan tidak akan diteruskan bagi seorang anak

jika ada alternatif penyelesaian lain untuk perkaranya, kecuali menyangkut

kepentingan umum. Di samping itu prinsip yang lain dalam program diversi

ini ialah hanya digunakan terhadap anak yang mengakui bahwa ia telah

melakukan suatu kesalahan, dan tidak boleh ada pemaksaan di samping itu

pemenjaraan tidak dapat menjadi bagian dari diversi, karena struktur dan

mekanisme diversi tidak mengijinkan pencabutan kebebasan dalam segala

209

bentuk. Penerapan diversi dapat dilakukan dalam semua tingkatan

pemeriksaan yaitu dari penyidikan, penuntutan, pemeriksaan disidang

pengadilan sampai pada tahap pelaksanaan putusan. Penerapan ini

dimaksudkan untuk mengurangi dampak negatif keterlibatan anak dalam

proses peradilan tersebut.

Di bawah ini adalah skema diversi:

Peringatan Informal

Restitusi

DIVERSI

Mediasi ----7 Restorative Justice

Program diversi memberi keuntungan pada masyarakat dalam

penanganan awal cepat terhadap perilaku menyimpang seorang anak.

Penanganan awal ini juga menghemat biaya yang selama ini merupakan

beban yang dikeluarkan oleh kepolisian setempat. Manfaat pelaksanaan

program diversi adalah:

I. Membantu anak-anak belajar dari kesalahannya melalui intervensi sesegera mungkin;

2. Memperbaiki kerugian baik fisik, psikis maupun materi karena kejadian tersebut, baik kepada korban maupun keluarganya dan masyarakat ;

3. Keijasama dengan pihak orang tua ataupun wali; 4. Melengkapi dan membangkitkan anak untuk belajar membuat keputusan

yang bertanggung jawab; 5. Diupayakan untuk dapat memberikan restitusi pada korban; 6. Membuat anak bertanggung jawab atas perbuatannya dan memberikan

kesempatan untuk mempelajari akibat dan dampak yang ditimbulkan akibat perbuatannya;

7. Memberikan pilihan bagi pelaku untuk tidak mendapatkan stigma dari masyarakat;

8. Mengurangi beban anggaran dalam proses pengadilan dan lembaga pemasyarakatan;

9. Pencegahan terhadap teijadinya residivis anak.

210

bentuk. Penerapan diversi dapat dilakukan dalam semua tingkatan

pemeriksaan yaitu dari penyidikan, penuntutan, pemeriksaan disidang

pengadilan sampai pada tahap pelaksanaan putusan. Penerapan ini

dimaksudkan untuk mengurangi dampak negatif keterlibatan anak dalam

proses peradilan tersebut.

Di bawah ini adalah skema diversi:

Peringalml Informal Restitusi

DIVERS I

Mediasi -----t Restorative Justice

Program diversi memberi keuntungan pada masyarakat dalam

penanganan awal cepat terhadap perilaku menyimpang seorang anak.

Penanganan awal ini juga menghemat biaya yang selama ini merupakan

beban yang dikeluarkan oleh kepolisian setempat. Manfaat pelaksanaan

program diversi adalah:

1. Membantu anak-anak belajar dari kesalahannya melalui intervensi sesegera mungkin;

2. Memperbaiki kerugian baik fisik, psikis maupun materi karena kejadian terse but, baik kepada korban maupun keluarganya dan masyarakat ;

3. Kerjasama dengan pihak orang tua ataupun wali; 4. Melengkapi dan membangkitkan anak untuk belajar membuat keputusan

yang bertanggung jawab; 5. Diupayakan untuk dapat memberikan restitusi pada korban; 6. Membuat anak bertanggung jawab atas perbuatannya dan memberikan

kesempatan untuk mempelajari akibat dan dampak yang ditimbulkan akibat perbuatannya;

7. Memberikan pilihan bagi pelaku untuk tidak mendapatkan stigma dari masyarakat;

8. Mengurangi beban anggaran dalam proses pengadilan dan lembaga pemasyarakatan;

9. Pencegahan terhadap teljadinya residivis anak.

210

Oleh karena itu, diversi khususnya melalui konsep Restorative Justice

menjadi suatu pertimbangan yang sangat penting dalam menyelesaikan

perkara pidana yang dilakukan oleh anak. Berdasarkan Pasal 40 Konvensi

Hak Anak, negara diwajihkan untuk mengkaji dan menetapkan undang-

undang yang dapat diterapkan secara khusus terhadap anak-anak yang

disangka, dituduh, atau diakui telah melanggar ketentuan-ketentuan hukum

pidana, agar menyediakan langkah-langkah penanganan tanpa melalui

pengenaan tindakan hukum.

Beberapa faktor yang dapat menjadi bahan pertimbangan dalam

pelaksanaan diversi adalah:

I. Sifat dan kondisi perbuatan; 2. Pelanggaran yang sebelumnya dilakukan; 3. Derajat keterlibatan anak dalam kasus; 4. Sikap anak terhadap perbuatan tersebut; 5. Reaks! orang tua dan/atau keluarga anak terhadap perbuatan tersebut; 6. Dampak perbuatan terhadap korban; 7. Pandangan hakim tentang latar belakang dan penyebab perbuatan

tersebut.

Dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 ada

upaya untuk menyelesaian tindak pidana anak diluar jalur penal atau non

penal yaitu penyelesaian diversi dilakukan dengan musyawarah dengan

melibatkan beberapa pihak baik pelaku, korban, keluarga, masyarakat, dan

lain lain dengan pendekatan restorative justice. Hal ini sebagaimana diatur

dalam Pasal 8 ayat (I) dan ayat (2) Undang-undang Nomor II Tahun 2012

yang mengatur bahwa:

(I) proses diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan anak

dan orang tua atau wali, korban dan!atau orang tua/walinya, pembimbing

kemasyarakatan, dan pekerja sosial profesional berdasarkan pendekatan

211

keadilan restoratif;

(2) dalam hal diperlukan, musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (I)

dapat melibatkan tenaga kesejahteraan sosial, dan/atau masyarakat.

Dengan ketentuan diatas, maka penerapan diversi dalam penyelesaian

setiap perkara dengan pelaku anak-anak merupakan kewajiban bagi para

aparat penegak hukum di setiap proses mulai dari tahap penyidikan,

penuntutan sampai tahap di pengadilan.

Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (I) dan Pasal 7 UU

SPPA. Dalam Pasal 5 ayat (I) disebutkan bahwa Sistem Peradilan Pidana

Anak wajib mengutamakan pendekatan Keadilan Restoratif. Keadilan

restoratif yang dimaksud dalam UU SPPA adalah kewajiban melaksanakan

Diversi. Sedangkan dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor II Tahun 2012

diatur bahwa:

(I) Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak di

pengadilan negeri wajib diupayakan diversi". (2) "Diversi sebagaimana

dimaksud pada ayat (I) dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang

dilakukan:

a) diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan

b) bukan merupakan pengulangan tindak pidana".

Berdasarkan ketentuan Pasal 7 UU SPPA sebagaimana disebutkan,

bahwa Diversi hanya dapat dilaksanakan kepada anak yang diancam dengan

pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun, dan bukan merupakan pengulangan

tindak pidana (residive). Bahkan sebelum memutuskan nntuk melakukan

proses diversi, penyidik, penuntut umurn dan hakim harus

212

mempertimbangkan faktor-faktor sebagaimana yang diatur dalam Pasal9 ayat

(I) Undang-undang Nomor II Tahun 2012 yaitu (a) kategori tindak pidana;

(b) umur anak; (c) basil penelitian kemasyarakatan dan Bapas; dan (d)

dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat.

Hal ini sangat perlu diperbatikan untuk memperkecil potensi

pemaksaan dan intimidasi pada semua tahap proses diversi. Karena seorang

anak tidak boleb merasa tertekan atau ditekan agar menyetujui program-

program diversi. Sebingga dalam proses diversi wajib diperbatikan:"

I) kepentingan korban;

2) kesejahteraan dan tanggungjawab anak;

3) penghindaran stigma negatif;

4) penghindaran pembalasan;

5) keharmonisan masyarakat; dan

6) kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum?99

Kesepakatan Diversi barus mendapatkan persetujuan korban dan!atau

keluarga Anak Karban serta kesediaan Anak dan keluarganya, kecuali untuk

tindak pidana yang berupa pelanggaran, tindak pidana ringan, tindak pidana

tanpa korban, atau nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum

provinsi setempat.30° Kesepakatan diversi untuk menyelesaikan tindak pidana

sebagaimana dimaksud diatas dapat dilakukan oleb penyidik bersama dengan

pelaku danlatau keluarganya, pembimbing kemasyarakatan, serta dapat

melibatkan tokob masyarakat.301 Adapun basil kesepakatan diversi tersebut

dapat berbentuk: (I) perdamaian dengan atau tanpa ganti kerugian; (2)

299 Pasa18 ayat (3) UU No. II Tahun 2012 300 Pasal 9 ayat (2) UU No. II Tahun 2012 301 Pasal 10 ayat (I) UU No. 11 Tahun 2012

213

penyerahan kembali kepada orang tua/wali; (3) keikutsertaan dalam

pendidikan atau pelatihan lembaga pendidikan atau pelatihan di lembaga

pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; (4) pelayanan

masyarakat. 302

Setelah teljadi kesepakatan antara pihak yaitu pelaku dan korban,

maka selanjutnya kesepakatan diversi jersebut dituangkan dalam penetapan

diversi yang ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri setempat. Hal ini

sebagaimana yang diatur dalam Pasal 12 Undang-undang Nomor II Tahun

2012 yang menyebutkan bahwa.

I. Hasil kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dituangkan dalam bentuk kesepakatan Diversi.

2. Hasil kesepakatan Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (I) disampaikan o1eh atasan 1angsung pejabat yang bertanggungjawab di setiap tingkat pemeriksaan ke pengadilan negeri sesuai dengan daerah hukumnya dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak kesepakatan dicapai untuk memperoleh penetapan.

3. Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari terhitung sejak diterimanya kesepakatan Diversi.

4. Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada Pembimbing Kemasyarakatan, Penyidik, Penuntut Umum, atau Hakim dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari sejak ditetapkan.

5. Setelah menerima penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Penyidik menerbitkan penetapan penghentian pendidikan atau Penuntut Umum menerbitkan penetapan penghentian penuntutan.

Ketentuan diatas khususnya ayat (2) jelas bahwa basil Diversi harus

disampaikan oleh atasan langsung yang bertanggung jawab disetiap tingkat

pemeriksaan (artinya dalam proses penyidikan, penuntutan maupun

pemeriksaan dipersidangan) kepada Pengadilan Negeri untuk diterbitkan

Penetapan dan secara institusional pejabat yang berwenang menerbitkan

Penetapan adalah Ketua Pengadilan Negeri didaerah hukumnya.

302 Pasal ll UU No. ll Tahun 2012

214

Dalam tingkat penyidikan dan penuntutan, Penyidik dan Penuntut

Umum harus menyampaikan hasil diversi kepada Ketua Pengadilan Negeri

yang untuk selanjutnya Ketua Pengadilan Negeri akan menerbitkan penetapan

dan berdasarkan penetapan tersebut, maka Penyidik akan menerbitkan

penetapan penghentian penyidikan, sedangkan Penuntut Umum akan

menerbitkan penetapan penghentian penuntutan.

Peneliti juga mengidentifikasi perbandingan antara proses diversi

yang telah diatur dalam UU No. II tahun 2012 dengan konsep mediasi penal

berdasarkan praktik yang akan diatur selanjutnya, antara lain:

Perbedaan Diversi dengan Mediasi Penal

No Kriteria Diversi Mediasi Penal

I Ancaman - 7 (tujuh) tahun kebawah\ - 7 (tujuh) tahun atau keatas

Hukuman - Bukan Pengulangan - Diutamakan kualifikasi

ringan

2 Pelaksana Fasilitator/ Wakil Fasilitator Mediator/Wakil Mediator

3 Fungsi F asilitator berperan secara Mediator berperan secara aktif

Pelaksana pas if dengan memberikan wacana,

nasihat dan membantu mencari

altematif solusi

4 Mekanisme - Dilaksanakan oleh - Penyidik dilakukan setelah

Penyidik, Penuntut BAP, Penuntut Umum

Umum, Pengadilan dilakukan pada saat

pelimpahan berkas perkara

tahap dua, sedangkan di

215

pengadilan mediasi

dilakukan setelah

pemeriksaan anak (pelaku)

sebelum pembacaan

tuntutan.

- Dialihkan keluar Sistem - Terintegrasi dalam hukum

Peradilan Pidana Anak acara Sistem Peradilan

(non penal) Pidana Anak (penal)

5 Hasil Diserahkan kepada Ketua Hasil kesepakatan mediasi

I

Kesepakatan Pengadilan untuk ditingkat penyidikan dan

mendapatkan penetapan penuntutan serta di Pengadilan

diversi. menjadi pertimbangan dalam

tuntutan dan putusan. I

6 Keluaran Apabila isi kesepakatan Kesepakatan mediasi

(Output) diversi telah dilaksanakan dipertimbangkan dalam

berdasarkan laporan PK tuntutan untuk menuntut

BAPAS maka ditingkat berupa tindakan dan

penyidikan , dikeluarkan dipertimbangkan dalam

SP3, ditingkat Penuntutan putusan berupa tindakan atau

dikeluarkan SKP2, dan di pidana yang seringan-

tingkat pengadilan ringannya (pidana bersyarat)

dikeluarkan perintah kasuistis.

penghentian Penuntutan.

216

Persamaan Diversi dengan Mediasi Penal

No Kriteria Diversi Mediasi Penal

I Tujuan - Memulihkan Pelaku, - Memulihkan Pelaku,

Korban, dan Masyarakat Korban, dan Masyarakat

2. Asas - Musyawarah mufakat - Musyawarah mufakat

3. Pihak-pihak - Korban, Pelaku, Korban, - Korban, Pelaku, Korban,

dan Perwak:ilan dan Perwak:ilan Masyarakat

Masyarakat

--

D. IMPLEMENTASI MEDIAS! PENAL DALAM BEBERAPA PUTUSAN

PERKARA PIDANA ANAK

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan 2 (dua) putusan

sebagai bahan penelitian dengan mengacu pada putusan Pengadilan Negeri

Cibinong.

I. Putusan Pengad ilan Negeri Cibinong No. 128/Pid .SUS/20 14/PN .Cbn

Dalam Putusan tersebut, hakim menyatakan terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam

ketentuan Pasal 310 ayat (4) dan ayat (2) UU Rl No. 22 Tahun 2009 tentang

Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sebagaimana didakwa oleh Penuntut Umum

yang didukung oleh bukti-bukti yang terungkap di persidangan.

Hakim mendasarkan putusannya tersebut dengan telah mempertimbangkan

rekomendasi dari BAP AS berik"llt,

Sebelum menjatuhkan putusan, hakim Pengadilan Negeri Cibinong telah memperhatikan Laporan Hasil Penelitian Kemasyaraakatan atas nama AT. Setelah PK BAP AS mendengar keterangan keluarga korban, saksi korban dan Terdakwa juga an tara keluarga Terdakwa

217

I

dan keluarga korban telab dilakukan musyawarab (mediasi penal) di ruang mediasi dan telab labir Kesepakatan Perdamaian untuk sating memaafkan dan tidak ada keberatan dalam penyelesaian secara musyawarah dengan tujuan untuk melindungi hak anak sebagai generasi bangsa supaya Terdakwa yang masih berusia anak dapat mewujudkan cita-citanya apabila Terdakwa masih ingin melanjutkan sekolah, maka Pembimbing Kemasyarakatan BAPAS merubab rekomendasi dipersidangan agar Terdakwa dikembalikan kepada orangtuanya dibawah pengawasan BAPAS hingga dewasa.303

Selain itu Hakim juga temyata memperhatikan konvensi Intemasional,

Hakim juga mempertimbangkan salah satu Negara yang meratifikasi konvensi Hak-Hak Anak (Convention on The Rights of The Child) tahun 1990, dengban Keppres No. 36 Tabun 1990, maka Negara Republik Indonesia mempunyai kewajiban untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam pasal­pasa!nya, khusunya yang mengatur pemidanaan terhadap Anak bermasalab hukum berdasarkan acara persidangan, dengan pendekatan "Restorative Justice" yang menitik beratkan pada pemulihan kondisi, baik dari segi kejiwaan, tumbuh kembang anak serta kehidupan dan demi kepentingan terbaik baik bagi anak serta masa depan anak sebagai generasi penerus cita-cita bangsa. Sagai implementasi dari konvensi hak-hak anak yang Ielah diratifikasi oleh Negara Republik Indonesia tersebut Ielah lahir Undang­Undang No. 23 Tabun 2002 Tetang Perlindungan Anak dan Ielah diamanatkan pula dalam Pasal 16 ayat (3) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak bahwa penangkapan, penabanan atau Pidana Penjara Anak hanya dapat dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai Upaya Terakhir (The Last Resort), hal ini Ielah pula dipertegas oleh Prof. Dr. Bagir Manan, SH. MCL (mantan Ketua Mahkamah Agung RI) yang menyatakan bahwa "Pemidanaan Anak agar dihindarkan dari Penjara Anak''?04

Hakim juga memperhatikan Sural Keputusan bersama yang Ielah di buat

oleh beberapa instansi terkait,

Babwa dengan memperhatikan pula amanat Sural Keputusan Bersama Ketua MA-RI,Jaksa Agung RI,Kapolri,Menteri Hukum dan Ham RI,Menteri Sosial RI,Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, No.I66/KMA/SKBIXII/2009tanggal 22/12/2009 tentang Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum melalui pendekatan Restorative J ustice,maka HakinJ telah men gambit

303Putusan No. 128/Pid.SUS/2014/PN.Cbn, him. 22 304ibid, him. 24

218

langkah-langkah rrlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan Hukum.30

Mediasi yang telah dilakukan oleh beberapa pihak telah menghasilkan

surat Peryataan Bersama yang berisi antara lain,

Para pihak sepakat dan menyadari kecelakaan tersebut adalah sebagai musibah. Pihak Terdakwa telah memberikan santunan kepada istri mkorban berupa uang tunai dengan jumlah keseluruhan Rp. 6.425.000. Pihak istri korban yang meninggal menerima kesepakatan dengan pihak dan memohon untuk pihak Kepolisian tidak melanjutkan perkara kecelakaan lalu lintas ini kepada pihak Kejaksaan dan pihak Pengadilan dan diselesaikan secara kekeluargaan. Pihak Terdakwa memberikan bantuan pengobatan dan perawatan yang sejumlah Rp. 2.200.000. dan tidak akan menuntut secara hukum baik pidana maupun perdata. Terdakwa juga telah mengakui, menyesal, bahkan telah meminta maaf kepada pihak keluarga almarhum dan kepada korban dan tidak akan menguiklangi lagi perbuatan yang sangat merugikan orang dan akan selalu berhati-hati, Terdakwa ingin menjadi anak yang sukses dan ingin melanjutkan sekolah lagi, dan akan kembali tinggal dengan kakak kandungnya yang telah berjanji di ruang mediasi bahwa akan menanggung biaya sekolah Terdakwa.306

Akhirnya Hakim memberikan hukuman dengan menjatuhkan tindakan

terhadap Tcrdakwa AT untuk dikcmbalikan kcpada orangtualwalinya

dibawah pengawasan BAPAS Kelas II Bogor sampai dengan Terdakwa

dewasa.

2. Putusan Pengadilan Negeri Cibinong No. 140/PN/Sus/2013/PN.Cbn.

Putusan dengan inisial Anak yang Berkonflik dengan I-lukum INL

didakwa oleh Kejaksaan Negeri Cibinong terhadap perbuatan melanggar

ketentuan Pasal 372 KUH Pidanayang diancam pidana dalam Pasal 378

KUHPidana.

305ibid, him. 25. "

16ibid, him. 26

219

Hakim dalam putusannya telah secara tegas mempertimbangkan mengenai

keadilan restoratif dengan menyampaikan bahwa,

Restorative Justice adalah suatu penyelesaian sengketa secara adil yang melibatkan pelaku, korban, keluarga mereka dan pihak lain yang terkait dalam suatu tindak pidana secata bersama-sama mencari penyelesaian tindak pidana tersebut dan implikasinya dengan menekankan pemulihan bukan pembalasan. Selain itu, penangkapan, penahanan atau pidana peqjara anak hanya dapat dilakukan abita sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai Upaya Terakhir (The Last Resort)307

Hakim juga memperhatikan hasil kesepatakan hasi Forum Mediasi yang

menyepakati beberapa hal berikut,

Ibu kandung Terdakwa telah mendatangi pihak keluarga korban dan telah meminta maaf kepada keluarga korban atas kelakuan Terdakwa. Pihak korban tidak akan menuntut atau memperpanjang perkara yang sedang diperiksa di Pengadilan Negeri Cibinong dan selanjutnya mempersilahkabn proses hukum dan menyerahkan sepenuhnya keputusan kepada Hakim. Pihak keluarga Terdakwa dengan ini akan memberikan bantuan biaya yang sudah keluarga korban keluarkan dalam mengurus perkara ini dengan kemampuan dari pihak keluarga Terdakwa yaitu sebesar Rp.l.200.000dan pihak pihak keluarga korban dengan ikhlas akan menerimanya. Pihak lbu Terdakwa merasa menyesal karena tidak bisa mendidik anaknya dan beljanji akan segera mendidik dan memperhatikan anaknya tersebut dengan penuh kasih sayang. Terungkap pula bahwa Terdakwa saat ini mengandung/hamil 4 bulan dan akhimya laki­laki yang menghamili Terdakwa bertanggungjawab, sehingga saat ini Terdakwa telah menikah dengan laki-laki yang menghamilinya. 308

Dalam putusan tersebut, hakim memberikan putusan bahwa, Terhadap dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang didukung dengan bukti-bukti yang terungkap di persidangan, kemudian hakim menyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 372 KUH Pidana dan Pasal 378 KUH Pidana, maka dalam putusannya menyatakan INL bersalah melakukan tindak pidana penggelapan; menjatuhkan tindakan INL mengembalikan kepada orang tuanya I walinya di bawah

307Putusan Pengadiian Negeri Cibinong No. 140/PN/Sus/2013/PN.Cbn., him. 23 308ibid, him. 24

220

pengawasan BAPAS kelas II Bogor sampai dengan terdakwa dewasa; memerintahkan barang bukti dikembalikan kepada saksi; dan menghukum terdakwa untuk membayar perkara sebesar Rp. 1.000.309

Terhadap putusan PN Cibinong tersebut, kemudian Jaksa Penuntut Umum

menyataka.t1 banding dengan dasar pertimbangan Hakim telah memutuskan

dan menghukum terdakwa dengan mengembalikan kepada orang tua

terdakwa dibawah pengawasan BAPAS Kelas II Bogor sampai dengan

terdakwa dawasa. Dalam putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat No.

389/Pid.Sus/2013/PT. Bdg menyatakan menolak dan bahkan mengukuhkan

Putusan PN. Cibinong dengan alasan bahwa perbuatan yang dilakuka.t! oleh

Anak yang Berkonflik dengan Hukum telah memenuhi unsur-unsur

sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 372 KUH Pidana dan Pasal 378

telah terbukti.

Undang-Undang No.I I tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana

menuntut rcorientasi tujuan pemidanaan yang berdampak pada bekerjanya

Sistem Peradilan Pi dana Anak. Dirumuskannya tujuan "restorative justice"

dan mekanisme diversi yang diakui sebagai mekanisme penanganan pidana

yang dilakukan oleh anak menuntut kinelja sub sistem peradilan pidana

mengubah orientasinya. Betapa tidak bila mengacu pada tujuan bekeljanya

sistem radilan pidana maka penggunaan pendekatan restorative sebagai tujuan

pemidanaan menyebabkan bekeljanya sistem ini harus keluar dari "track-

nya11•

Membandingkan pencapaian tujuan pemidanaan dengan menggunakan

pendekatan keadilan restoratif dengan sistem peradilan pidana yang ada pada

'09ibid, him 27.

221

saat ini sungguh menunjukkan suatu hal yang sangat berbeda. Disatu pihak

otoritas negara yang penuh atas pemidanaan melahirkan sistem peradilan

pidana yang hanya berorientasi pada penyelesaian perkara pidana lewat satu

jalur yaitu melalui proses peradilan pidana. Sementara keadilan restoratif,

dengan paradigma yang dikembangkannya membuka peluang adanya

alternatif penyelesaian perkara pidana melalui jalur lain diluar sistem

peradilan pidana, antara lain jalur mediasi dan rekonsiliasi secara langsung,

bebas dan mandiri dalam menentukan model penyelesaian perkara pidana

yang dianggap paling baik dan adil.310 Dengan pendekatan ini, maka

penyelesaian perkara pidana tidak lagi menjadi monopoli negara melainkan

juga menjadl bagian dari kewenangan masing-masing individu untuk meneari

mekanisme dan solusi terbaik atas masalah yang dihadapinya.

Membandingkan pendekatan keadilan restoratif dengan sistem peradil-

an pidana yang ada pada saat ini sungguh menunjukkan suatu hal yang

bertolak belakang. Disatu pihak otoritas negara yang penuh atas pemidanaan

melahirkan sistem peradilan pidana yang hanya berorientasi pada

penyelesaian perkara pidana Iewat satu jalur yaitu melalui proses peradilan

pidana. Sementara keadilan restoratif, dengan paradigma yang

dikembangkannya membuka peluang adanya alternatif penyelesaian perkara

pidana melalui jalur lain diluar sistem peradilan pidana, antara lain jalur

mediasi dan rekonsiliasi secara Iangsung, bebas dan mandiri dalam

menentukan model penyelesaian perkara pidana yang dianggap paling baik

310 Antonius Cahyadi menyatak:an bahwa konstruksi pemikiran ini san gat nyata dalarn lindale pidana kekerasan dalam rumah tangga, ketika lindale pidana terjadi dalam rumah tangga di mana pelaku dan korban terikat oleh hubungan perkawinan. Antonius Cahyadi., Namun legitimasi terhadap kasus-kasus KDRT menjadi tidale ada karena peraturan perundang-undangan belum memberikan kemungkinan penanganan perkara ini diluar Sistem Peradilan Pidana. Antonius Cahyadi Runtuhnya Sekat Perdata dan Pidana: Studi Peradilan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan., Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008.

222

dan adil. Dengan pendekatan ini, maka penyelesaian perkara pidana tidak lagi

menjadi monopoli negara melainkan juga menjadi bagian dari kewenangan

masing-masing individu untuk meneari mekanisme dan solusi terbaik atas

masalah yang dihadapinya.Ketentuan dalam UU SPPA pada dasarnya hanya

merupakan pengukuhan atas sistem hukum yang selama ini hidup dan

mengakar pada masyarakat.

Di Indonesia, paradigma yang ditawarkan oleh keadilan restoratif dalam

prakteknya bukan merupakan hal yang sama sekali baru. Praktek

penyelesaian sengketa non adversary atau di luar proses peradilan pidana,

dalam kenyataannya sudah diterapkan masyarakat sebagai cerminan dari

lembaga musyawarah mufakat yang menjadi bagian dari filosofis bangsa

Indonesia. Realita menunjukkan bahwa penyelesaian suatu konflik didalam

masyarakat Indonesia, meskipun merupakan suatu pelanggaran perundang­

undangan pidana, tidak selalu berakhir di pengadilan. Kasus-kasus ringan

seperti kenakalan anak, pencurian ringan, bahkan sampai pada penganiayaan

dan perkosaan ternyata juga dapat diselesaikan melalui lewat lembaga

musyawarah ini dengan atau tanpa melibatkan petugas terkait. Tak jarang kita

mendengar peran aparat seperti ketua rukun tetangga (R T) a tau rukun warga

(R W) atau kepala dusun atau kepala kampung menjadi penentu dari

penyelesaian perkara-perkara dimaksud. Melalui lembaga-lembaga dimaksud

maka peran Negara sebagai mediator atau fasilitator justru dengan baik

dimainkan oleh lembaga-lembaga ini dibandingkan dengan otoritas lembaga

dalam sub sistem peradilan pidana seperti polis~ jaksa atau bahkan hakim

yang kerap hanya memainkan peran sebagai lembaga pengadilan dan

eksekutor/pelaksana hukuman yang kadang menganggap tidak perlu

mempertanyakan apakah putusannya rela memberikan keadilan pada pelaku

223

dan korban atau tidak.

UU SPPA meneoba membangun suatu sistem yang mampu

memberikan dasar hukum yang lebih kokoh atas mekanisme hukum yang ada

dengan mewadahinya dengan suatu mekanisme dalam ketentuan perundang-

undangan. Ini merupakan jalan keluar bagi mekanisme yang rela bekelja

dalam masyarakat dengan melibatkan penegak hukum sebagai bagian dari

bekerjanya sistem ini. Adapun perubahan orientasi dan tujuan pemidanaan

dapat tergambar dari matriks berikut:

Retributive Justice Restitutive Restorative Justice Justice

Menekankan keadilan Menekankan Menekankan keadilan pada pad a pembalasan keadilan perbaikan/pemulihan keadaan. Anak di posisi sebagai pemberian Berorientasi pada korban objek Penyelesaian ganti rugi Memberikan kesempatan pada berrnasalah hukum pelaku untuk mengungkapkan tidak seimbang rasa sesalnya pada korban dan

sekaligus bertanggungjawab. Memberikan kesempatan kepada pelaku dan korban untuk bertemu untuk mengurangi perrnusuhan dan kebencian. Mengembalikan keseimbangan dalam masyarakat Melibatkan anggota masyarakat . dalam uoava oemulihan.

Dalam Undang-undang ini keadilan restoratif dimaknai sebagai

penyelesaian perkiira tiridak pidana dengan melibatkan pelaku, korban,

keluarga pelaku!korban dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama

mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada

keadan semula dan bukan pembalasan?11 Berdasarkan Pasal I angka 6 UU

SPPA disebutkan bahwa Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara

311Pasal5 UU 11/2012

224

tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan

pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil

dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan

pembalasan.

Sebagaimana diamanatkan dalam Standart Minimum Rules for the

Administration of Juvenile Justice (SMR-JJ)atau yang lebih dikenal dengan

Beijing Rule, bahwa dipandang penting adanya jaminan bagi aparat penegak

hukum untuk mengarnbil tindakan-tindakan kebijaksanaan dalarn menangani

atau menyelesaikan masalah dan kejahatan yang melibatkan anak, dengan

tidak mengarnbil jalan formal, seperti menghentikan atau tidak meneruskan

melalui proses peradilan pidanaatau mengembalikan/ menyerahkan kepada

masyarakat atau orang tua dan bentuk-bentuk kegiatan pelayanan sosial

lainnya. Tindakan-tindakan Kebijaksanaan tersebut ditegaskan dalam Rule

11.1 dan 11.2 SMR-JJ (Beijing Rule) di bawah judul Diversion.

Diversi pada hakikatnya juga mempunyai tujuan agar anak terhindar

dari dampak negatif penerapan pidana. Diversi juga mempunyai esensi tetap

menjarnin anak turnbuh dan berkembang baik secara fisik maupun mental.

Dengan demikian, maka juga dapat dikatakan, bahwa pada dasarnya diversi

mempunyai relevansi dengan tujuan pemidanaan terhadap anak. Relevansi

antara diversi dengan tujuan pemidanaan bagi anak nampak dalam hal-hal

sebagai berikut:

1. Diversi sebagai pengalihan proses dari proses yustisial menuju proses non

yustisial bertujuan menghindarkan anak dari penerapan hukum pidana

yang seringkali memberikan pengalarnan yang pahit berupa stigmatisasi

225

berkepanjangan, dehumanisasi dan menghindarkan anak dari kemungkinan

terjadinya prisonisasi yang menjadi sarana transfer kejahatan terhadap

anak. Demikian juga tujuan pemidanaan bagi anak adalah untuk tetap

memberikan jaminan kepada anak agar tumbuh dan berkembang baik

secara fisik maupun secara mental.

2. Perampasan kemerdekaan terhadap anak, baik dalam bentuk pidana

penjara maupun dalam bentuk perampasan yang lain melalui mekanisme

peradilan pidana memberikan pengalaman yang traumatis terhadap anak,

sehingga anak terganggu perkembangan dan pertumbuhan j iwanya.

Pengalaman pahit bersentuhan dengan dunia peradilan akan menjadi

bayangbayang gelap kehidupan anak yang tidak mudah untuk dilupakan.

3. Apabila ditinjau secara teoretis dari konsep tentang tujuan pemidanaan,

maka pengalihan proses dari proses yustisial menuju proses non yustisial

terhadap anak yang melakukan penyalahgunaan narkotika akan terlihat

relevansinya sebagai berikut.

a. Secara umum tujuan pemidanaan pada hakikatnya terdiri dari upaya

untuk melindungi masyarkat di satu sisi dan melindungi individu

(pelaku) di sisi yang lain312• Relevansi pengalihan proses dari proses

yustisial.. menuju proses non yustisial dalam penanggulangan

penyalahgunaan narkotika oleh anak terhadap dua aspek pokok tujuan

pemidanaan tersebut, yaitu aspek perlindungan masyarakat dan aspek

perlindungan individu dapat dijelaskan sebagai berikut:

I) Dengan pengalihan tersebut, maka anak akan terhindar dari

312 Barda Nawawi Arief, Op.Cit .• him. 94.

226

penerapan hukum pidana yang dalam banyak teori telah didalilkan

sebagai salah satu faktor kriminogen. Dampak negatif penerapan

hukum pidana, termasuk kepada anak, akan melahirkan stigmatisasi

maupun dehumanisasi yang justru dapat menjadi faktor kriminogen.

Dengan demikian, maka menghindarkan anak dari penerapan hukum

pidana (depenalisasi) justru dapat menghindarkan adanya faktor

kriminogen, berarti juga menghindarkan anak dari kemungkinan

menjadi jahat kembali (residivis), oleh karenanya juga berarti

menghindarkan masyarakat dari kemungkinan menjadi korban ak:ibat

kejahatan.

2) Dengan pengalihan tersebut juga akan memberikan dua keuntungan

sekaligus terhadap individu anak. Pertama, dengan pengalihan

tersebut anak akan tetap dapat melakukan komunikasi dengan

lingkungannya, sehingga dengan demikian anak tidak perlu lagi

melakukan readaptasi sosial pasca teijadinya kejahatan. Kedua,

dengan pengalihan itu juga anak akan terhindar dari kemungkinan

dampak negatif prisonisasi yang seringkali merupakan sarana "trans­

fer" kejahatan.

b. Dalam perkembangannya, hukum pidana juga perlu memperhatikan

korban kejahatan. Orientasi hukum pidana yang hanya cenderung pada

persoalan perbuatan (pidana) dan pelaku (daad-dader strafrecht) telah

melahirkan konstruksi hukum pidana yang tidak respec terhadap

korban. Padahal dalam konteks, anak sebagai orang yang melakukan

penyalahgunaan narkotika, ia tidak dapat semata-mata dilihat sebagai

227

pelaku, tetapi ia juga harus dilihat sebagai korban yang membutuhkan

prioritas pengentasan dari ketergantungannya dengan narkotika.

c. Pengalihan proses dari proses yustisial menuju proses non yustisialjuga

sangat relevan dengan falsafah pemidanaan yang dianut pada umumnya

yaitu falsafah pembinaan (philosopy treatment). Dengan demikian,

pengalihan proses dari yustisial menuju proses non yustisial juga

mempunyai relevansi dengan transformasi konseptual dalam sistem

pidana dan pemidanaan yang teJjadi di dunia pada umumnya dari

konsepsi retribusi ke arab konsepsi reformasi313•

BekeJjanya lembaga peradilan dalam proses peradilan pidana

berlandaskan pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.

Proses peradilan pidana berdasarkan KUHAP sangat berfokus pada pelaku

tindak pidana, baik mengenai kedudukannya sejak tersangka sampai menjadi

terpidana maupun hak-haknya sebagai tersangka atau pun terdakwa sangat

dilindungi oleh KUHAP, sehingga dapat dikatakan bahwa proses peradilan

pidana sesuai KUHAP adalah Offender Minded/Offender Oriented Criminal

Justice Process. Oleh karena sangat berfokus pada kepentingan pelaku tindak

pidana maka kepentingan korban (victim's interests) tidak mendapat tempat di

dalam KUHAP. KUHP sebenarnya telah mengatur kepentingan korban untuk

memperoleh ganti kerugian kepada pelaku melalui keputusan hakim yang

berupa pidana bersyarat, di mana mengganti kerugian kepada korban

dijadikan sebagai syarat khususnya. Namun demikian karena hanya sebagai

syarat khusus dari pidana bersyarat maka seringkali tidak diterapkan oleh

313 Jimly Asshiddiqie, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia: Studi tentang Bentuk­Bentuk Pidana Dalam Tradisi /<lqh dan Re/avansinya Bagi Usaha Pembaharuan KUHP Nasional, Penerbit Angkasa Bandung, 1996, him. 167.

228

hakim dalam menjatuhkan pidana bersyarat, sehingga tidak efektif

pelaksanaannya.

Dewasa ini perkembangan intemasional dalam konsep peradilan pidana

dan prosedur penanganan kasus pidana di beberapa negara telah dikenal

adanya mediasi penal (penal mediation, mediation penali; mediation in

criminal matters, Victim - Offender Mediation) yang merupakan bagian dari

sistem peradilan pidana. Mediasi yang sebelumnya hanya dikenal dalam

hukum perdata, telah sering digunakan di beberapa negara untuk

menyelesaikan perkara-perkara pidana. Mediasi penal merupakan bentuk

perwujudan dari konsep restorative justice, yang hendak memulihkan hak-

hak korban. Dalam mediasi penal penyelesaian kasus pidana dilakukan tanpa

melalui proses peradilan pidana formaVtradisional karena itu dikenal sebagai

Penal Mediation atau Victim- Offonder Mediation (YOM), Offender-victim

Arrangement (OVA), atau Mediation in Criminal Matters, atau dalam bahasa

Jerman Der Aujlergerichtliche Talausgleich" (ATA314) dan dalam istilah

Prancis disebut "de mediation penale". Tiiter Opfer-Ausgleich (TOA).

Dalam penanganan kasus pidana, sekilas mediasi penal hampir sama

dengan yang kita kenai diskresi (discretion) yang dimiliki oleh lembaga

sistem _peradilan pidana kita, seperti kepolisian dan kejaksaan untuk

menyaring kasus-kasus yang masuk untuk tidak meneruskan sebagian kasus

tertentu melalui proses peradilan pidana. Namun demikian terdapat esensi

yang berbeda dengan sistem diskresi tersebut. Mediasi penal lebih

mengedepankan kepentingan pelaku tindak pidana dan sekaligus kepentingan

314 Ui Austria terdiri dari ATA-J (Ariflergerichllicher Talausgleichfur Jugendliche) untuk anak, dan ATA-E (Aujlergerichtlicher Talausg/eichfor Erwachsene) untuk orang dewasa.

229

korban, sehingga tercapai win win solution yang menguntungkan pelaku

tindak pidana dan korbannya. Dalam mediasi penal korban dipertemukan

secara langsung dengan pelaku tindak pidana dan dapat mengemukakan

tuntutannya sehingga dihasilkan perdamaian para pihak. Melalui mediasi

penal proses penanganan perkara dilakukan dengan transparan sehingga dapat

mengurangi permainan kotor yang seringkali teijadi dalam proses peradilan

pidana tradisional.

Mediasi penal telah dilakukan negara-negara oleh antara lain Amerika,

Kanada, San Fransisco, Italia, Belgia, Austria, Prancis, dan Jerman. Jika

digali beberapa daerah di Indonesia di mana peradilan adat masih

dipertahankan keberadaannya seperti di Papua, Bali, dan Aceh melalui

peradilan pidana adat praktik mediasi penal diterapkan dalam menyelesaikan

perkara pidana. Namun demikian sebagai sebuah lembaga penyelesaian

perkara pidana, mediasi penal belum populer dilakukan dalam menyelesaikan

perkara pidana sebagai bagian dari proses peradilan pidana di Indonesia

Sementara itu dengan masih digunakannya peradilan pidana tradisional,

proses peradilan dilakukan dalam proses yang panjang, melalui tahapan­

tahapan pemeriksaan dari pemeriksaan di tingkat kepolisian, kejaksaan dan

pengadilan. Dengan tahap-tahap pemeriksaan tersebut, maka diperlukan

waktu yang panjang, biaya dan tenaga yang besar untuk satu kasuslperkara

pidana. Keadaan seperti ini menyebabkan timbulnya beban penumpukkan

perkara pidana bagi lembaga pengadilan.

Mengingat banyaknya keuntungan yang ada pada mediasi penal,

sebagaimana telah dipraktikan di beberapa negara, maka diperlukan upaya

230

berupa kajian untuk menerapkan mediasi penal dalam proses peradilan pidana

Indonesia sebagai bagian dari sistem peradilan pidana di Jndonesia.Mediasi

penal merupakan salah satu bentuk dari pelaksanaan restorative justice, yaitu

konsep yang memandang kejahatan secara lebih luas. Konsep ini memandang

bahwa kejahatan atau tindak pidana bukanlah hanya sekadar urusan pelaku

tindak pidana dengan negara yang mewakili korban, dan meninggalkan

proses penyelesaiannya hanya kepada pelaku dan negara (Jaksa penuntut

umum). Restorative justice menuntut proses peradilan pidana untuk

memberikan pemenuhan kepentingan-kepentingan korban sebagai pihak yang

dirugikan akibat perbuatan pelaku. Sehingga diperlukan pergeseran

paradigma dalam pemidanaan untuk menempatkan mediasi penal sebagai

bagian dari sistem peradilan pidana.

Mediasi penal menurut European Forum For Victim Service

digambarkan sebagai process which involves contact between the victim and

the offender, either directly or through the mediator. The process of

mediation is generally regarded as part of the broader issue of restorative

justice. 315Sementara itu Undang-Undang Acara Pidana di Belgia the Belgian

Law of 22 June 2005 menggambarkan mediation in criminal matter"as a -

process that allows people involved in a conflict to have voluntary, active

participation in a fully confidential process for solving difficulties that arise

from a criminal offence, with the help of a neutral third person and based on

a certain methodology. The goal of mediation is to facilitate communication

315Stalement On The Position Of The Victim Within The Process Of Mediation, the Executive Committee of the Europea 11 Forum for Victim Services, November 2003.

231

and to help parties to come to an agreement by themselves concerning

pacification and res tara lion."

Kecenderungan dalam perkembangan hukum pidana dan pemidanaan

serta pembaharuan peradilan pidana baik dalam teori maupun praktik, lebih

dikembangkan bentuk rekonsiliasi atau mediasi dalam penyelesaian perkara

pidana. Hal ini mengingat secara etik, tren ini bersandar pada asas

pertanggung jawaban individu, dalam hukum pidana substantive, dengan

mengacu pada pengambilan pertanggungjawaban pelaku terhadap sanksi

pidananya, dalam hukum pelaksanaan sanksi. Metode altematif resolusi

kesepakatan ini juga memberikan lebih besar kepentingan korban dan

membuat ruang bagi manajemen konflik rasional. Mengingat pandangan etik

pula sebuah reaksi terhadap sebuah tindak pidana adalah sebuah kejahatan

tersendiri, tapi tidak diperlukan timbulnya kerugian atau luka baru terhadap

pelaku tindak pidana.316

Ide yang mendasari mediasi penal adalah menyatukan pihak-pihak yang

menginginkan untuk merekonstruksi model peradilan pidana yang sangat

panjang dengan model resolusi, yang akan memperkuat posisi korban dan

mencari altematif pidana, serta mencari cara untuk mengurangi kerugian dan

beban berat pada sistem peradilan pidana mengingat sistem ini lebih efektif

dan efisien?17

316oieter Rossner, Mediation as a Basic Element ofCrimeContro/: Theoretical and Empirical Comments, www.buffalo university journal.

317Recommendalion No. R (99) 19. (the Committee of Ministers of the Council of Europe) 15 September 1999.

232

Mediasi pidana yang dikembangkan itu bertolak dari ide dan prinsip

kelja (working principles) sebagai berikut.318

a. Penanganan konflik (Conflict Hand/ing!Konf/iktbearbeitung): Tugas mediator adalah membuat para pihak melupakan kerangka hukum dan mendorong mereka terlibat dalam proses komunikasi. Hal ini didasarkan pada ide, bahwa kejahatan telah menimbulkan konflik interpersonal. Konflik itulah yang dituju oleh proses mediasi.

b. Berorientasi pada proses (Process Orientation; Prozessorientie­rung): Mediasi penal lebih berorientasi pad a kualitas proses daripada hasil, yaitu: menyadarkan pelaku tindak pidana akan kesalahannya, kebutuhan-kebutuhan konflik terpecahkan, ketenangan korban dari rasa takut sehingga mediasi penal dapat dikatakan menyelesaikan perkara secara menyeluruh.

c. Proses informal (!'!formal Proceeding- Iriforma/itiit): Mediasi penal merupakan suatu proses yang informal, tidak bersifat birokratis, menghindari prosedur hukum yang ketat.

d. Ada partisipasi aktif dan otonom para pihak (Active and Autonomous Participation- Parteiautonomie/Subjektivierung) Para pihak (pelaku dan korban) tidak dilihat sebagai objek dari prosedur hukum pidana, tetapi lebih sebagai subjek yang mempunyai tanggung jawab pribadi dan kemampuan untuk berbuat. Mereka diharapkan berbuat atas kehendaknya sendiri, dengan suka rela dalam menyelesaikan perkara pidananya

Sementara itu European Forum For Victim Service memberikan Guiding

Principles dalam mediasi sebagai berikue 19:

a. Mediation requires the ii1Volvement of the victim and it is therefore important that their interests are considered fully;

b. Mediation processes should only be used with free and informed consent of the parties and the parties should be able to 1-vithdraw consent at any time;

c. Victim/ offender mediation in criminal cases is different from similar processes of mediation in other areas of life- the mediation process must include the offinder accepting responsibility for his act and the acknowledgement of the adverse consequences of the crime for the victim;

d. It is vital that the mediator and everyone ii1Volved in the mediation process has received appropriate training on the special issues

318Stefanie Trankle, The Tension between Judicial Control and Autonomy in Victim­Offender Mediation-a Microsocio/ogica/ Study of a Paradoxical Procedure Based on Exomp/es of the Mediation Process in Germany and France, http:ffwww.iuscrim.mpg.de/ orschlkrimf traenkle e.htrnl.

3~Statement On The Position Of The Victim Within The Process Of Mediation, the Executive Committee oft he European Forum for Victim Senvices, November 2003.

233

concerning victims of crime which will be relevant to the mediation process.

Berdasarkan pengalaman dalam praktik mediasi penal yang

dikembangkan di North Carolina yang pelaksanaannya didasarkan pada G.S.

7 A-38.30 and the Supreme Court's Rules Implementing Mediation in Matters

Pending In District Criminal Court, alasan-alasan dipilihnya mediasi karena

beberapa keuntungan yang dinyatakan sebagai berikue20:

There are many reasons why you should consider mediation. Mediation is usually less stressfUl and time consuming than a trial. You will not have to take the stand and testifY, nor will you have to bring witnesses. You don't even need a lawyer. Mediation offers you and the other party(ies) the opportunity to be in control of the outcome of your dispute. Some research indicates that people are more likely to follow through on agreements that they make as opposed to ones forced upon them by a court. lf you arc a defendant, a successfUl mediation may mean thot you can avoid a criminal record and more expensive fines and costs. lf you are a complaining witness, an opportunity to sit down with others involved in the dispute and work out your conflicts may provide more satisfaction than a judge's verdict. Sometimes mediation can help bring people together. lf those involved in a dispute are relatives, neighbors, or were once friends, talking about and working through conflict can often be an important first step in repairing damaged relationships. People may be angry or hurt when they come to mediation and the mediator(s) will try to help everyone understand the differing perspectives of those involved in the conflict. When underlying causes of a conflict are broughJ to light, people ofterz settle the case at hand and also learn how to avoid fUture conflicts.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan keuntungan-

keuntungan mediasi penal adalah sebagai berikut :

a. Keuntungan mediasi bagi korban, tekanan berkurang dibanding jika berperkara di pengadilan, tidak perlu membawa saksi, tidak perlu menyewa pengacara, dan mendapat kesempatan untuk mengkontrol hasilnya;

b. Bagi pelaku tindak pidana dapat diuntungkan karena terhindar dari pemidanaan, catatan kejahatan, atau denda dan biaya-biaya perkara yang lebih besar;

32° Frequently Asked Questioru about Criminal District Court MediaJion, www. nmnc. orglpg 1. cfm.

234

c. Mediasi juga dapat mempererat atau mempersatukan kembali hubungan an tar tetangga, ternan, dan saudara jika para pihak yang terlibat termasuk di dalamnya dengan kesepakatan damai dan pembayaran ganti kerugian, serta memberikan pelajaran bagi pelaku untuk menghindari konflik di masa mendatang.

Dalam "Explanatory memorandum" dari Rekomendasi Dewan Eropa

No. R (99) 19 tentang "Mediation in Penal Matters': dikemukakan beberapa

model mediasi penal sebagai berikut'l21:

a. Model "informal mediation"

1) Model ini dilaksanakan oleh personil peradilan pi dana (criminal justice

personnel) dalam tugas normalnya, yaitu dapat dilakukan oleh JPU

(Jaksa Penuntut Umum) dengan mengundang para pihak untuk

melakukan penyelesaian informal dengan tujuan tidak melanjutkan

penuntutan apabila tercapai kesepakatan. Mediator dapat dilakukan oleh

pekelja sosial atau pejabat pengawas (probation officer) atau pejabat

polisi atau Hakim.

2) Jenis intervensi informal ini sudah biasa dalam seluruh sistem hukum.

b. Model "Traditional village or tribal moots"

Menurut model ini seluruh masyarakat bertemu untuk memecahkan

konflik pidana di antara warganya.

I) Model ini ada di beberapa negara yang kurang maju dan di wilayah

pedesaan/pedalaman;

2) Model ini lebih memilih keuntungan bagi masyarakat luas;

3) Model ini mendahului hukum barat dan telah memberi inspirasi bagi

kebanyakan program-program mediasi modern. Program mediasi

321Barda Nawawi Arief, Makalah Aspek Kebijakan Mediasi Penal Dalam Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan, Materi Perkuliahan Program Doktoral.

235

modem sering mencoba memperkenalkan berbagai keuntungan dari

pertemuan suku (tribal moots) dalam bentuk yang disesuaikan dengan

struktur masyarakat modem dan hak-hak individu yang diakui menurut

hukum.

c. Model "victim-offender mediation"

I) Mediasi antara korban dan pelaku merupakan model yang paling

sering ada dalam pikiran orang;

2) Model ini melibatkan berbagai pihak yang bertemu dengan dihadiri

oleh mediator yang ditunjuk. Banyak variasi dari model ini.

Mediatomya dapat berasal dari pejabat formal, mediator independen,

atau kombinasi;

3) Mediasi ini dapat diadakan pada setiap tahapan proses, baik pada tahap

pemeriksaan di kepolisian, tahap penuntutan, tahap pemidanaan atau

setelah pemidanaan;

4) Model ini ada yang diterapkan untuk semua tipe pelaku tindak pidana,

ada yang khusus untuk pelaku anak, ada yang untuk tipe tindak pidana

tertentu (misal pengutilan, perampokan dan tindak kekerasan). Ada

yang terutama ditujukan pada pelaku anak, pelaku pemula, namun ada

juga untuk delik-delik berat dan bahkan untuk residivis.

d. Model "Reparation negotiation programmes"

I) Model ini semata-mata untuk menaksir/menilai kompensasi atau

perbaikan yang harus dibayar oleh pelaku tindak pidana kepada

korban, biasanya pada saat pemeriksaan di pengadilan.

236

2) Program ini tidak berhubungan dengan rekonsiliasi antara para pihak,

tetapi hanya berkaitan dengan perencanaan perbaikan materiel.

3) Dalam model ini pelaku tindak pi dana dapat dikenakan program keija

agar dapat menyimpan uang untuk membayar ganti rugilkompensasi.

e. Model "Community panels or courts"

Model ini merupakan program untuk membelokkan kasus pidana dari

penuntutan atau peradilan pada prosedur masyarakat yang lebih fleksibel

dan informal dan sering melibatkan unsur mediasi atau negosiasi.

f. Model "Family and community group conferences"

I) Model ini telah dikembangkan di Australia dan New Zealand, yang

melibatkan partisipasi masyarakat dalam Sistem Peradilan Pidana.

Tidak hanya melibatkan korban dan pelaku tindak pidana, tetapi juga

keluarga pelaku dan warga masyarakat lainnya, pejabat tertentu

(seperti polisi dan hakim anak) dan para pendukung korban.

2) Pelaku dan keluarganya diharapkan menghasilkan kesepakatan yang

komprehensif dan memuaskan korban serta dapat membantu untuk

menjaga si pelaku keluar dari kesusahan/persoalan berikutnya.

Dalam teori restorative justice keberadaan dan kedudukan korban

diakui dan korban dilibatkan dalam proses yang akan memberikan hasil

berupa pemulihan atau perbaikan alas kerugian yang dideritanya sebagai

akibat perbuatan pelaku, biasanya proses ini dilakukan melalui mediasi penaL

237

Konsep restorative justice merupakan konsep yang memperbaiki

peradilan pidana tradisional dengan keuntungan dan pergeseran konsep

sebagai berikuf22:

I) it views criminal acts more comprehensively: rather than defining crime only as lawbreaking, it recognizes that offenders harm victims, communities and even themselves.

2) it involves more parties: rather than giving key roles only to government and the offinder, it includes victims and communities as well.

3) it measures success diffirently: rather than measuring how much punishment has been inflicted, it measures how much harm has been repaired or prevented

4) it recognizes the importance of community involvement and initiative in responding to and reducing crime, rather than leaving the problem of crime to the government alone.

Restorative justice adalab konsep penyelesaian masalab-masalab

kejabatan secara lebih menyeluruh, hal ini dapat dilihat dari program-program

dalam proses penyelesaian perkara pidana berdasarkan konsep restorative

justice yang berupa323:

I) victim-offender reconciliation/mediation programs use trained mediators to bring victims and their offenders together in order to discuss the crime, its ciftermath, and the steps needed to make things right.

(Program rekonsiliasi/mediasi Korban dan Pelaku dengan menggunakan mediator yang terlatih untuk bersama-sama korban dan pelaku melakukan diskusi tentang kejabatan yang menimpanya, dan kejadian setelabnya (akibat kejabatan) serta tabap-tabap yang diperlukan untuk memulihkan keadaan).

2) conferencing programs are similar to victim-offinder reconciliation! mediation, but diffir in that they involve not only the offinder and victim, but also their family members and community representatives.

(Program Konferensi adalab sama dengan rekonsiliasi/mediasi antara korban-pelaku, tetapi bedanya yang terlibat di sini bukan hanya pelaku dan korban akan tetapi juga para anggota keluarga mereka dan perwakilan-perwakilan masyarakat).

322RJ. Library Online, Restorative Justice. 323 Loc. Cit.

238

3) victim-offinder panels bring together groups of unrelated victims and offinders, linked by a common kind of crime but not by the particular crimes that have involved the others.

(Panel Karban-Pelaku bersarna-sarna dengan kelompok yang tidak ada hubungan dengan korban dan pelaku, dihubungkan rasa yang sama terhadap kejahatan tetapi tidak pada kejahatan yang melibatkan mereka ).

4) victim assistance programs provide services to crime victims as they recoi'cr jrL 'lll the crime and proceed through the criminal justice process.

(Program bantuan korban menyediakan pelayanan kepada korban kejahatan sarnpai mereka pulih dari akibat kejahatan dan dihasilkan melalui proses peradilan pidana.

5) prisoner assistance programs provide services to offenders while they are in prison and on their release .

(Program bantuan Terpidana menyediakan jasa layanan kepada para terpidana selama mereka di penjara dan pada saat pembebasan mereka)

6) community crime prevention programs reduce crime by addressing its underlying causes.

(Program pencegahan kejahatan oleh Masyarakat mengurangi kejahatan dengan menitikberatkan pada penyebab-penyebabnya).

Praktik mediasi penal dalarn menyelesaikan perkara pidana tertentu, baik

yang dilakukan oleh sebagian anggota masyarakat dengan cara perdamaian

antara pelaku dan korban yang diakhiri dengan pembayaran ganti kerugian

kepada korban (Penal mediation out of court) maupun dalam penyelesaian

perkara pidana pada tahap-tahap proses peradilan pidana yang kesepakatan

dan pembayaran ganti kerugiannya dari pelaku kepada korban hanya dijadikan

sebagai pertimbangan yang meringankan tuntutan pidana dan penjatuhan

pidana (Penal mediation within court).

Pada tahap penyidikan, utamanya dalarn perkara lalu lintas seperti dalam

kecelakaan lalu lintas, apabila hanya menimbulkan kerugian yang kecil atau

luka yang kecil biasanya diselesaikan dengan mediasi di antara pelaku dan

korban, dan pihak kepolisian sebagai saksi atas kesepakatan yang dicapai,

239

perkara tidak diteruskan atas dasar kesepakatan bersama antara pelaku dan

korban. Namun demikian jika kecelakaan akibat kelalaian tersebut

menimbulkan kerugian yang besar seperti, nyawa maka mediasi tidak dapat

dilakukan, adapun pembayaran ganti kerugian berupa biaya rumah sakit dan

penguburan jenazah korban hanya sebagai salah satu pertimbangan

yang·nantinya digunakan oleh hakim dalam menjatuhkan putusan kepada

terdakwa. Dengan demikian kesepakatan mengganti kerugian tidak

menghapuskan tindak pidananya, karena pelaku tetap saja disidik dan diproses

dalam sistem peradilan pidana.

Pada delik aduan yang proses penyidikannya didasarkan pada pengaduan

korban, di sini dimungkinkan untuk adanya mediasi penal, baik sebelum

dilakukannya pengaduan sehingga korban tidak jadi mengajukan pengaduan,

maupun jika pengaduan telah dibuat oleh korban, akan tetapi korban masih

mempunyai kesempatan untuk menarik pengaduannya. Di sini pun peran

polisi bukan sebagai mediator, melainkan hanya sebagai saksi yang

menyaksikan diselesaikannya perkara pidana tersebut melalui kesepakatan

d . 324 per amman.

Sementara itu pada tahap penuntutan, dimungkinkan dilakukannya

mediasi penal sebelum dilakukannya penuntutan. Dalam mediasi ini pihak

korban dapat meminta ganti kerugian kepada pelaku, namun demikian apabila

teljadi kesepakatan dari pihak korban dan pelaku untuk mengganti kerugian,

kesepakatannya tidak menghilangkan penuntutan, sehingga proses peradilan

tetap beljalan sebagaimana mestinya, dan kesepakatan ganti kerugian hanya

324Kompol Suharyanto, Bagian Reserse Polda Jawa Tengah.

240

bersifat sebagai pertimbangan jaksa dalam mengadakan penuntutan, keputusan

tetap di Iangan hakim. Mediasi penal di sini hanya bersifat memperingan

tuntutan, oleh karena belum ada undang-undang yang mengatur pelaksanaan

mediasi beserta kekuatan hukum dari akte kesepakatan hasil mediasi penal.

Jadi, pelaku tetap dipidana akan tetapi pidananya diperingan. Sementara itu

dalam menangani kasus tindak pidana yang masuk ke dalam katagori delik

biasa, seperti kasus-kasus yang mengandung unsur kelalaian seperti dalam

Pasal 359 KUHP (karena kelalaiannya menyebabkan matinya orang lain),

serta dalam tindak pidana terhadap harta benda seperti Pasal 372 KUHP

tentang penggelapan dan Pasal 378 tentang penipuan yang biasanya antara

korban dan pelaku sudah sating mengenal, maka dapat dilakukan mediasi

penal di mana korban dapat meminta ganti kerugian kepada pelaku dengan

sebuah akta kesepakatan bahwa telah dilakukan pembayaran ganti kerugian

kepada korban. Namun demikian meskipun telah dilakukan kesepakatan

mengganti kerugian kepada korban, proses penuntutan terhadap pelaku tindak

pidana tetap dilakukan, dengan alasan kejaksaan beketja berdasarkan aturan

nonnatifnya, selama belum ada aturan yang mengatur kedudukan mediasi

penal dalam penuntutan berarti kasus tetap diproses, namun karena telah

dilakukan pembayaran ganti kerugian, alasan tersebut hanya menjadi salah

satu alasan pertimbangan Jaksa Penuntut untuk memperingan maksimum

tuntutannya. 325

Pengalaman praktik mediasi penal oleh hakim tidak pemah dilakukan,

oleh karena tidak ada peraturan nonnatif yang mengatumya, biasanya hal-hal

325Monang Pardede, Aspidum Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah, Wawancara tanggal 25 Oktober 2009.

241

yang menyangkut kesepakatan para pelaku dan korban ada pada tingkat

penyidikan dan penuntutan, hakim hanya memberikan keputusan dengan

mempertimbangkan hal-hal yang dikemukakan dalam surat dakwaan yang

salah satunya kesepakatan yang dicapai melalui mediasi sebelum perkara

dilimpahkan ke pengadilan.

Mediasi penal sebenamya telah dikenal dalam penyelesaian delik-delik

adat di beberapa daerah adat di Indonesia. RUU KUHP mengakomodasi

berlakunya hukum yang hidup dengan menuangkannya di dalam Pasal I ayat

3. Dalam hukum pidana adat penyelesaian konflik pidana didasarkan pada

kearifan lokal, yang bersifat kekeluargaan, oleh karena tindak pidana tidak

dipandang sebagai urusan individu dengan individu, melainkan sebagai urusan

antar suku dari pelaku maupun pihak korban, sehingga penyelesaiannya pun

diupayakan dengan cara yang tidak merusak keselarasan hubungan an tar suku,

antara lain dilakukan dengan cara "mediasi" untuk menghasilkan kesepakatan

perdamaian para pihak bersengketa.

Dengan melihat telah banyaknya praktik mediasi penal dalam 0

menyelesaikan perkara pidana baik dengan mekanisme yang tidak terlembaga

maupun dengan mekanisme yang terlembaga seperti dalam peradilan adat,

menunjukkan adanya kebutuhan masyarakaL untuk adanya mediasi penal

sebagai altematif dalam menyelesaikan perkara pidana untuk menghindari

kesulitan yang ada dalam proses peradilan pidana.

Mediasi penal selain dalam hukum adat di Indonesia, juga sudah dikenal

dalam hukum Islam yaitu /s/ah.Ishlah merupakan norma dasar di dalam

menghadapi setiap sengketa yang teijadi antara orang-orang yang beriman.

242

Sumber teori ishlah adalah surat al-hujurat ayat 9 dan I 0. Berdasarkan ayat 9

surat al-hujurat (wa in thaifatani mina/ mu 'minina iqtata/uu faashlihu) bahwa

sengketa yang terjadi antara orang yang beriman harus diselesaikan dengan

ishlah. Oleh karena itu, menurut al-Quran ishlah merupakan haq Allah yang

bersifattaa'budi yang harus dita'ati oleh orang mu'min ketika menghadapi

sengketa, sedangkan haq insaniah-nya adalah teknis melaksanakan ishlah baik

berupa metode, syarat dan kewenangan dalam forum ishlah. Diperingatkan

oleh al-Quran bahwa perintah ishlah (faaslihu) itu bukan hanya ditujukan

kepada orang!lembaga yang berwenang mengadakan ishlah melainkan juga

menjadi kewajiban para pihak yang berperkara. Hal ini ditegaskan di dalam

surat al-hujurat ayat I 0, "Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara

Maka damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan

takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat''. Di dalam hokum

Islam apabila pihak korban Ielah memaafkan pelaku, maka pidana dihapuskan.

243

BABIV

KONSEP DAN PENGATURAN MEDIASI PENAL DALAM

SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

A. Konsep Mediasi Penal dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia

Perubahan paradigrna tentang keadilan dalarn hukum pidana

merupakan fenomena yang sudah mendunia dewasa ini. Masyarakat

internasional semakin menyadari dan menyepakati bahwa perlu ada

perubahan pola pikir yang radikal dalarn menangani pennasalahan ABH.

Sistem peradilan anak yang sekarang berlandaskan pada keadilan retributif

dan restitutif hanya memberikan wewenang kepada negara yang

didelegasikan pada aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim, dan sipir

penjara). Pelaku (ABH) dan korbannya sedikit sekali mendapat kesempatan

untuk menyarnpaikan versi keadilan yang mereka inginkan. Negara yang

menentukan derajat keadilan bagi korban dengan memberikan hukuman

penjara pada pelaku. Tak heran, tindak kriminal yang dilakukan ABH

semakin meningkat karena di penjara merekajustru mendapat tarnbahan ilmu

untuk melakukan kejahatan dan kemudian merekrut anak lain untuk

mengikutinya.

Jim Consedine, salah seorang pelopor keadilan restoratif dari New

Zealand, berpendapat konsep keadilan retributif dan restitutif yang

berlandaskan hukuman, balas dendam terhadap pelaku, pengasingan, dan

perusakan harus digantikan oleh keadilan restoratif yang berdasarkan

244

rekonsiliasi, pemulihan korban, integrasi dalam masyarakat, pemaafan, dan

pengampunan.326

Peachey27 menambahkan penjelasan perbedaan antara ketiga

paradigma tersebut dalam label berikut ini:

No Perbedaan Restitusi Retributif Restorasi 1 Landasan Memperbaiki Mencapai Pemberian maaf

filosofi kesalahan dengan keadilan dengan sebagai dasar mengganti atau memberi memperbaiki memperbarui balasan alas hubungan

de rita/ saki! antarrnanusia yang ditimbulkan

2 Cara Korban menerima Pelaku dijatuhi Pelaku menyesali ganti rugi hukuman yang perbuatan, beljanji

setimpal a tau tidak mengulangi lebih berat (dengan

memberikan ganti rugi bila diperlukan)

3 Fokl!S_ _ __ _Korban _ Pelaku Korban dan pelaku

Bila kita lihat perbandingan ketiga paradigma keadilan tersebut,maka

keadilan restoratif menawarkan solusi yang k'hih komprehensi f bagi korban

dan pelaku mulai dari penyadaran perbuatan, pemyataan maaf, pemulihan

korban, dan pemberian ganti rugi bila diperlukan. Hal ini tidak terdapat pada

pada nilai-nilai paradigma keadilan retributif dan restitutif.

Umbreif28 kemudian menekankan nilai-nilai yang membeddkcin

keadilan restoratif dengan paradigma keadilan lain sebagai berikut:

I. Keadilan restoratif lebih peduli terhadap pemulihan korban dan komunitas

326 Jim Conscdine, RestoraJive Justice: Healing the Effects of Crime. Ploughshares Publica­tions, Lyttelton, 1995, him. 11

327 Dean E. Peachey, "Restitution, Reconciliation, Retribution: Identifying the Fonns of Justice People Desire", dalam RestoraJive Justice on Trial: Pitfalls and Potentials of Victim Offender Mediation-International Research Perspectives, eds Messmer, Hand Otto, H.U., Kluwer Academic Publishers, Dordrecht, 1992, him. 552-553

328Mark Umbreit, "Introduction: Restorative Justice Through Victim Offender Mediation", dalarn The Handbook of Victim Offender Media/ion: An Essential Guide to Practice and Research, Jessey-Bass, San Fransisco, 2001, him. xxviiiMxxix.

245

daripada hukuman terhadap pelaku. 2. Keadilan restoratif meningkatkan peran korban dalam proses peradilan

pidana melalui peningkatan keterlibatan, masukan, dan pelayanan. 3. Keadilan restoratif mensyaratkan pelaku untuk secara langsung

mempertanggungjawabkan perbuatannya kepada korban atau komunitas. 4. Keadilan restoratif mendorong seluruh komunitas untuk terlibat dalam

pemulihan korban dan pelaku. 5. Keadilan restoratif menyadaritanggung jawab komunitasterhadap kondisi

sosial yang berpengaruh terhadap perbuatan pelaku.

Nilai-nilai keadilan restoratif memberikan perhatian yang sama

terhadap korban dan pelaku. Otoritas untuk menentukan rasa keadilan ada di

tangan para pihak, bukan pada negara. Mereka tidak mau lagi menjadi korban

kedua kali ketika negara menentukan derajat keadilan yang tidak sesuai

dengan keinginan mereka seperti dalam keadilan retributif dan restitutif.

1. Keadilan Restoratif sebagai Alternatif PeradilanAnak

Jim Consedine329 yang juga menjabat sebagai penasihat spiritual

Lembaga Pemasyarakatan Anak di New Zealand melihat dan terlibat

secara langsung akibat buruk dari penjara terhadap masa depan anak. Oleh

karena itu, dia mendorong penyelesaian berdasarkan keadilan restoratif

yang meminimalkan peran negara dan berfokus pada pemulihan korban

dan pelaku. Consedine mendefinisikan keadilan restoratif sebagai berikut:

"Crime is no longer defined as an attack on the stage but rather an offence by one person against another. It is based on recognition of the humanity of both offender and victim. The goal of the restorative process is to heal the wounds of every person q!Jected by the offence, including the victim and the offender. Options are explored that focus on repairing the damage. " (Tindak kriminal tidak lagi dianggap sebagai serangan terhadap negara,tapi kejahatan yang dilakukan seseorang terhadap orang lain. Keadilan restoratif berlandaskan pada kemanusiaan kedua belah pihak, pelaku dan korban. Proses restoratif bertujuan untuk memulihkan luka semua pihak yang disebabkan oleh kejahatan yang dilakukan. Altematif solusi dieksplorasi dengan berfokus untuk

329 Jim Consedine, Restorative Justice: Healing the Effects of Crime. Ploughshares Publications, Lytelton, 1995, him. 158

246

memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan).

Definisi keadilan restoratif yang diberikan Consedine mempunyai

kesamaan dengan pengertian keadilan restoratifi:nenurut Undang- Undang

No II Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak adalah:

I. Suatu penyelesaian secara adil, 2. Melibatkan:

a. Pelaku, b. Korban, c. Keluarga mereka, d. Dan pihak-pihak lain yang terkait dalam suatu tindak pidana.

3. Secara bersama-sama mencari penyelesaian, 4. Terhadap tindak pidana (tertentu) tersebut dan implikasinya, 5. Dengan menekankan pemulihan kembali kepada keadaan semula

Supeno330 membedakan pengertian keadilan restoratif dari segi

penggunaan paradigma tersebut pada kasus ABH. Ia menggunakan istilah

keadilan restoratif sejati yang menampiksama sekali pemidanaan terhadap

anak, apa pun alasannya. Sepanjang dia belum berusia 18 tahun, dia tidak

boleh dipidanakan dan hanya boleh dikenai tindakan. Oleh karena proses

peradilan restoratif diakhiri dengan tindakan, bukan pemidanaan, tidak ada

pengadilan anak melalui pengadilan yang dikenal selama ini. Selain itu,

ada juga keadilan restoratif sebagai salah satu metode dari berbagai

metode pemidanaan anak yang hanya digunakan untuk kasus-kasus yang

sangat ringan. Pemidanaan terhadap anak masih bisa diterima, dengan

persyaratan beratnya kenakalan yang dilakukan anak dan usia pelaku.

Sejarah keadilan restoratif diawali pada awal tahun 1970-an ketika

mediasi penal pertama kali dipraktikkan di Kitchener, Ontario, Kanada.

Secara teori, konsep keadilan restoratif yang disinergikandengan sistem

330 Hadi Supeno, Kriminalisasi Anak: Tawaran Gagasan Radikal Peradi/an Anak Tanpa Pemidanann, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2010, him. 216

247

peradilan pidana dikembangkan oleh John Braithwaite, seorang profesor

kriminologi dari National University of Australia. Pada tahun 1989, dia

menerbitkan sebuah buku berjudul Crime, Shame, and Reintegration yang

kemudian menjadi teks klasik keadilan restoratif.

Pengembangan konsep keadilan restoratif berdasarkan pemikiran

John Braithwaite ini bersinergi dengan penerapan keadilan restoratif yang

dikembangkan di Amerika Serikat, lnggris, dan Australia. Braithwaite331

menyatakan keadilan restoratif mendorong reintegrasi dan menghindari

stigmatisasi; memelihara rasa tanggung jawab, penyesalan, restitusi, dan

pemaafan; dan menolak hukuman penjara dan bentuk pengasingan lain.

Salah satu babak baru yang penting dalam penerapan keadilan

restoratif adalah Vienna Declaration on Crime and Justice yang

mendorong pengembangan kebijakan, prosedur, dan program keadilan

restoratif yang menghormati sepenuhnya hak-hak, kebutuhan, dan

kepentingan korban, pelaku, masyarakat, dan semua pihak yang terkait.

Deklarasi ini dicetuskan pada kongres yang dihadiri oleh perwakilan dari

119 negara pada tanggal 17 April 2000.

Deklarasi yang disepakati secara aklamasi oleh seluruh perwakilan

negara peserta itu memutuskan untuk mengambil tindakan yang lebih

efektif dalam memerangi tindak kriminal. Setelah itu, pada bulan Agustus

2002 Dewan ECOSOC (Economic Social Council) PBB menetapkan

resolusi yang mengimbau negara anggota agar menerapkan program

keadilan restoratif dan memanfaatkan Prinsip Dasar Penggunaan Keadilan

331John Braithwaite, Resolving Crime in the Community: Restorative Justice Reforms in New Zealand and Australia. Paper presented at the "Resolving Crime in the Community: Mediation in Criminal Justice", 1994, hlm. 8

248

Restoratif dalam Kasus Kriminal (Basic Principles on the use of

Restoarative Justice Programmes in Criminal Matters).

Pada tahun 2005, Deklarasi PBB ke-11 tentang Pencegahan

Kejahatan dan Pembinaan Narapidana (Prevention of Crimes

andTreatment of Offenders) mengimbau negara anggota untuk mengakui

pentingnya mengembangkan kebijakan, prosedur, dan program keadilan

restoratif yang merupakan alternatif penuntutan tindak pi dana.

Dalam pelaksanaannya, keadilan restoratifdilandasi oleh beberapa

prinsip, yaitu:

I. Membangun partisipasi bersama antara pelaku, korban, dan kelompok masyarakat dalam menyelesaikan suatu peristiwa atau tindak pidana. Menempatkan pelaku, korban, dan masyarakat sebagai "stakeholders" yang bekerja bersama dan langsung berusaha menemukan penyelesaian yang dipandang adil bagi semua pihak (win-win solution).

2. Mendorong pelaku/anak bertanggung jawab terhadap korban atas peristiwa atau tindak pidana yang Ielah menimbulkan cedera atau kerugian pada korban. Selanjutnya membangun tanggung jawab untuk tidak mengulangi lagi perbuatan pidana yang pemah dilakukannya

3. Menempatkan peristiwa atau tindak pidana tidak terutama sebagai suatu bentuk pelanggaran antarindividu yaitu hukum, melainkan sebagai pelanggaran oleh seseorang (sekelompok orang) terhadap seseorang (sekelompok orang). Oleh karena itu, sudah semestinya pelaku diarahkan pada pertanggungjawaban terhadap korban, bukan mengutamakan pertanggungjawaban hukum (legal formal).

4. Mendorong menyelesaikan suatu peristiwa atau tindak pidana dengan cara-cara yang lebih informal dan personal, daripada penyelesaian dengan cara-cara beracara yang formal di pengadilan (kaku) dan inpersonal

Prinsip-prinsip tersebut hampir sama dengan prinsip dasar keadilan

restoratif yang dijelaskan oleh Bazemore dan O'Brien, yaitu:332

I. Memperbaiki kerusakan yang timbul dari suatu tindak pidana untuk menyembuhkan korban, pelaku, dan masyarakat.

2. Melibatkan seluruh pihak secara aktif dalam proses pencarian keadilan

332Gordon Bazemore dan Sarah O'Brien "The Quest for a Restorative Model of Rehabilitation: Theory-for-Practice and Practice-for-Theory", dalam Restorative Justice and the Law, ed Walgrave, L., Willan Publishing, Oregon, 2001, him. 42-43

249

sejak awal dan secara penuh. 3. Mentransfonnasi peranan dan hubungan antara masyarakat dan

pemerintah.

Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, maka kita dapat memaknai

bahwa penerapan keadilan restoratif memakai pendekatan:

I. Respons yang lentur terhadap kejahatan, pelaku, dan korban yang memungkinkan penyelesaian kasus secara individual (tidak diajukan ke pengadilan secara fonnal).

2. Respons atas kejahatan dengan tetap mempertahankan harkat dan marta bat setiap orang, mem ban gun sating pengertian dan hannonis melalui pemulihan korban, pelakn, dan masyarakat.

3. Mengurangi dampak stigmatisasi bagi pelaku. 4. Dapat dilakukan sejalan dengan mekanisme tradisional yang masih

dipertahankan (penyelesaian secara adat setempat). 5. Pemecahan masalah dan sekaligus menemukan akar konflik 6. Memperhatikan kerugian dan kebutuhan korban. 7. Mendorong pelaku untuk melihat lebih dalam mengenai sebab dan

akibat perbuatannya, menyadarinya, dan bertanggungjawab atas kerugian tersebut.

8. Dapat disesuaikan dengan tradisi hukum, asas dan filosofi setempat, dan sistem hukum nasional.

9. Sangat tepat untuk kasus yang melibatkan anak di bawah umur dengan menempatkan peran masyarakat pada tempat yang penting, bukan hanya untuk mengatasi masalah yang bersangkutan, tapi juga untuk mencegah terjadinya kembali tindak pidana di masa depan.

Dengan pendekatan keadilan restoratif di atas, maka penerapan

dalam penanganan ABH sebenamya sangat sederhana. Dalam Family

Conference yang diadakan di New Zealand, John Braithwaite

mengusulkan penerapan unsur-unsur keadilan restoratif dalam

menyelesaikan perkara antara korban dan pelaku, yaitu dengan cara:

I. Menyelenggarakan pertemuan yang mengundang korban, pelaku, dan keluarga yang mendukung mereka.

2. Memberikan kesempatan kepada semua pihakuntukmenceritakan bagaimana kejahatan yang telah teljadi dan mengusulkan solusi atau rencana aksi.

3. Setelah pelaku dan keluarganya mendengarkan pendapat pihak lain, beri mereka kesempatan untuk mengusulkan solusi akhir yang dapat disetujui oleh semua pihak yang hadir.

4. Awasi pelaksanaan dari proposal tersebut, terutama yang berkaitan

250

dengan kompensasi untuk korban.

2. Syarat Penerapan Keadilan Restoratif

Dalam konteks peradilan pidana anak di Indonesia sekarang ini,

ada beberapa faktor yang menjadi pertimbangan dalam memutuskan

apakab sebuah penanganan kasus ABH memerlukan pendekatan keadilan

restoratif atau tidak. Syarat-syarat penerapan keadilan restoratif tersebut

adalah:

a. Syarat pada diri pelaku

Pada syarat ini terkait beberapa faktor, yaitu:

I) Usia anak.

2) Ancaman hukuman (maksimum 7 tahun).

3) Pelaku mengakui kesalahan dan menyesali perbuatannya.

4) Persetujuan korban dan keluarga.

5) Tingkat seringnya pelaku melakukan pidana (residiv).

b. Sifat dan jumlab pelanggaran yang pernab dilaknkan sebelumnya

(residiv)

Jika sebelumnya anak pemah melakukan pelanggaran hukum

ringan, keadilan restoratif hams tetap menjadi pertimbangan. Kesulitan

untuk memberikan keadilan restoratif akan muncul ketika menemukan

catatan bahwa anak sering melakukan perbuatan pelanggaran hukum

(residivis). Langkah selanjutnya hams diambil dengan sangat berhati­

hati dan melalui pemikiran rna-tang, demi kepentingan terbaik bagi

anak.

c. Penyelasan dan pengakuan anak/pelaku terbadap tindak pidana

251

I) J ika anak mengakui dan menyesali perbuatannya, maka hal ini menjadi sebuah pertimbangan positif untuk dapat menangani dengan pendekatan keadilan restoratif.

2) Pengakuan atas perbuatan tidak boleh didapatkan dengan ancaman atau bujukan atas imbalan, misalnya dengan mengatakan, "Kalau kamu mengaku nanti akan diberi keadilan restoratif."

3) Keadilan restoratif tidak dapat dipertimbangkan kalau anak tidak mengakui perbuatannya. ·

Apabila anak tidak mengakui perbuatannya dan di dalam proses

persidangan hakim berkeyakinan semua unsur pasal yang didakwakan

tidak terbukti menurut hukum, maka dalam putusannya hakim

menyatakan anak tersebut bebas (vrijspraak) dan dipulihkan nama

baiknya. Dengan demikian hal ini bukan menjadi area restorative

justice.

d. Dampak perbuatan terhadap korban

Korban akan menginginkan respons yang berbeda-beda pada

keadaan yang hampir sama karena setiap kejahatan memberikan

dampak yang berbeda dan situasi yang unik bagi korban. Kalau

kejahatan berdampak sangat serius pada korban, misalnya luka berat

dan korban tidak dapat memaafkan pelaku, meskipun pelaku/anak

tidak bermaksud demikian, maka keadilan restoratif mungkin tidak

dapat menjadi pilihan.

Pelaku meminta maaf pada korban juga bisa menjadi alasan

penting untuk dasar penggunaan keadilan restoratif, yakni dengan cara:

I) Usul yang diberikan untuk melakukan perbaikan pemulihan

keadaan adalah kesediaan pelaku/anak minta maafkepada korban.

2) Perbaikan pemulihan keadaan (to restore) yang dilakukan untuk

252

mengganti kerugian yang diakibatkan oleh pelakulanak adalah

dengan memberikan restitusi untuk kerugian financial dan/atau

harta benda. Pelaku/anak harus memberikan biaya perbaikan bila

terdapat kerusakan dan mengembalikan barang yang diambil.

Apabila tidak memungkinkan, maka harus ada penggantian harga

atas barang tersebut, termasuk juga penggantian atas nilai

sentimentil barang. Selain itu, dengan permintaan maaf pelakulanak

terhadap korban menunjukkan pelaku/anak mau bertanggung jawab

atas perbuatannya. Permintaan maaf dapat dilakukan melalui surat

atau secara langsung kepada korban.

3) Persetujuan korban tentang metode penanganan yang ditawarkan.

Harus ada persetujuan dari korban dalam proses keadilan

restoratif agar persetujuan korban mengenai dampak perbuatan

pelaku/anak turut dipertimbangkan. Korban biasanya merasa

khawatir sehingga sulit menerima proses keadilan restoratif. Untuk

itu, penanganan yang dilakukan harus pantas dan proporsional antara

perbuatan pelaku/anak dengan dampak yang dialami korban.

e. Silmp keluarga pelaku/anak tersebut

Dukungan dari orangtua dan keluarga sangat penting agar

keadilan restoratif dapat berhasil. Jika keluarga berusaha menutup­

nutupi perbuatan anak, maka akan sulit mengimplementasikan rencana

keadilan restoratif yang efektif. Keluarga mungkin merasa malu atas

tindakan anak tersebut sehingga tidak mau memberikan dukungan

kepada anak, tetapi keadilan restoratif tetap harus dilakukan untuk

253

memberikan support kepada anak. Pelanggaranpelanggaran yang sering

dilakukan pelaku/anak juga akan membentuk persepsi negatif

orangtua!keluarga, namun mereka juga dapat menyambut baik

kemungkinan keadilan restoratif untuk membantu orangtua!keluarga

dan pelaku!anak tersebut.

3. Kelemahan Keadilan Restoratif

Di tengah segala keunggulan dalam menangani perrnasalahan

ABH, keadilan restoratif juga memiliki kelemahan. Van Ness333

berpendapat bahwa proses keadilan restoratif berpotensi melanggar hak-

hak anak yang telah diakui masyarakat internasional dalam Beijing Rules.

Penulis merangkum beberapa hak yang berpotensi dilanggar

tersebut dalam konteks Indonesia, yaitu:

a. Hak untuk mendapatkan pengakuan dan perlindungan hukum

Keadilan restoratif bisa mendiskriminasi para pihak, baik korban

maupun pelaku. Dalam budaya patriarki yang kental seperti di

Indonesia, korban perempuan bisa dianggap memancing terjadinya

sebuah tindak pidana (misalnya pemerkosaan) atau pelaku laki-laki

dikenai hukuman yang lebih ringan karena dianggap sebagai kenakalan

wajar seorang anak laki-laki.

b. Hak bebas dari penyiksaan, kekejaman, dan hukuman yang tidak

manusiawi

Walaupun keadilan restoratif juga bertujuan melindungi pelaku dari

333 Daniel van Ness, "Legal Issues of Restorative Justice", dalam Restoralive Juvenile Justice: Repairing/he Harm of Youth Crime, eds Bazemore, G dan Walgrave, L., Criminal Justice Press, New York, 1999, him. 266-270.

254

stigma negatif dalam kerangka rehabilitasi, namun para aparat penegak

keadilan restoratif bisa !alai dalam menjalankan program restoratif.

Kelalaian ini bisa menimbulkan rasa malu pada pelaku. Kelalaian ini

adalah salah satu bentuk perlakuan yang tidak manusiawi.

c. Hakatas praduga tak bersalah

Salah satu syarat bagi pelaku untuk dapat menghindari peradilan

pidana (penjara) dengan menempuh proses keadilan restoratif adalah

pengakuan bersalah atas tindakan dan bertanggung jawab terhadap

perbuatan tersebut Hal ini bisa melanggar hak atas praduga tak

bersalah pelaku. Cara untuk mengatasi masalah ini adalah mediasi

penal sebagai salah satu bentuk keadilan restoratifharus dapat menjaga

prinsip kerahasiaan hingga semua hal yang disampaikan tidak bisa

dijadikan alat bukti di pengadilan.

d. Hak mendapatkan pengadilan yang adil

Keadilan restoratifbisa mengabaikan hal ini karena pelaku sudah

dianggap bersalah ketika memilih proses keadilan restoratif.

e. Hak didampingi penasihat

Keadilan restoratif adalah sebuah proses informal hingga kehadiran

seorang pengacara tidak diharapkan karena dianggap memformalisasi

dan menghambat jalannya proses restorasi.

4. Bentuk Keadilan Restoratif

Dalam praktiknya di Indonesia dewasa ini, keadilan restoratif

dapat diterapkan dalam beberapa bentuk, yaitu:

255

a. Musyawarah kelompok keluarga

Dalam musyawarah kelompok keluarga, perlu diperhatikan:

I) Kehadiran pihak-pihak terkait, meliputi: korban, pelaku, keluarga

pelaku, dan orang-orang penting lain yang perlu datang, siapa saja

yang dirugikan oleh perbuatan pelaku/ anak

2) Pihak lain yang perlu dihadirkan, antara lain pihak yang mendukung

korban ( dipersiapkan oleh korban); pihak yang mendukung pelaku

(dipersiapkan oleh pelaku dan keluarga pelaku).

3) Hal-hal lain yang perlu diperhatikan, antara lain: memberikan

informasi kepada para pihak mengenai adanya pertemuan;

4) mendapatkan informasi dari para pihak yang akan membantu

memfasilitasi pertemuan; dan menentukan tempat, ruang, dan

pengaturan tempat duduk dalam pertemuan tersebut.

b. Pelayanan di masyarakat

Pelayanan yang bersifat pemulihan dapat dilakukan oleh lembaga­

lembaga dan organisasi independen peduli anak yang bergerak di

bidang perlindungan anak, dalam rangka mewujudkan tatanan

kehidupan yang mampu mencegah terjadinya pelanggaran terhadap hak

anak dan pelanggaran yang dilakukan oleh pelakul anak. Dalam kasus

anak sebagai korban maupun pelaku dapat diterapkan nilai-nilai

keadilan restoratif untuk pemulihan korban serta memberikan

pendampingan psikologis bagi korban dan pelaku.

c. Di setiap tahapan sistem peradilan

Pada setiap tahapan sistem peradilan mulai dari penyidikan, penuntutan,

256

hingga proses persidangan wajib dilakukan diversi melalui forum

musyawarah/mediasi dengan tujuan pemulihan bagi pelaku, korban, dan

masyarakat.

Stephenson, Giller, dan Brown334 berpendapat ada 4 ( empat)

bentuk keadilan restoratif. Semua bentuk tersebut mempunyai tujuan yang

sama yaitu memperbaiki tindakan kejahatan dengan menyeimbangkan

kepentingan ABH, korban, dan komunitas. Keempat bentuk keadilan

restoratif tersebut adalah:

a. Mediasi penal (victim-offender mediation)

Sebuah proses dengan dibantu pihak ketiga yang netral dan imparsial,

membantu korban dan pelaku untuk berkomunikasi satu sama lain

dengan harapan dapat mencapai sebuah kesepakatan.

Mediasi dapat terjadi secara langsung di mana korban dan pelaku hadir

bersama; atau secara tidak langsung di mana korban dan pelaku tidak

sating bertemu dengan difasilitasi oleh mediator (shuttle mediation).

b. Restorative conference

Hampir sama dengan mediasi penal, yang membedakan hanyalah peran

mediator sebagai pemandu diskusi, adanya naskah pemandu, dan

hadimya pihak selain pelaku dan korban (yaitu keluarga dari masing-

masing pihak).

c. Family group conferencing

Keluarga kedua belah pihak (pelaku dan korban) membuat sebuah

rencana aksi (action plan) berdasarkan informasi dari pelaku, korban,

334 Martin Stephenson, Henry Giller dan Sally Brown, Effective Practice in Youth Justice, Willan Publishing, Portland 2007, hlm. 163-166.

257

dan kalangan profesional yang membantu. Rencana aksi itu bertujuan

membahas konsekuensi dari tindakan yang telah dilakukan dan

pencegahan agar hal tersebut tidak terulang kembali.

d. Community panel meetings

Pertemuan yang dihadiri oleh tokoh masyarakat, pelaku, korban (bila

mau), dan orangtua pelaku untuk untuk mencapai sebuah kesepakatan

perbaikan kesalahan.

Daly and Immarigeon335 menambahkan bentuk-bentuk keadilan

restoratif yang berkembang di dunia, terutama di Amerika Serikat dan

Kanada, selain yang telah disebutkan di atas, yaitu:

a. Hak tahanan dan altematif selain penjara

Bentuk keadilan restoratif ini berkembang sekitar tahun 1970 ketika

penjara mengalami ledakan penghuni. Berkembang kesadaran bahwa

tahanan adalah korban dari penyingkiran sosial masyarakat dan

dikriminasi, karena itu mereka juga harus diberi hak untuk kern bali ke

masyarakat dan hams ada altematif selain penjara.

b. Pilihan penyelesaian sengketa

Berkembang pertengahan tahun 1970, ditandai dengan gerakan untuk

memakai proses yang lebih informal dan turut melibatkan masyarakat.

Alternatif penyelesaian sengketa difokuskan pada negosiasi, pertemuan

korban-pelaku, dan berkurangnya peran para profesional hukum.

c. Advokasi korban

Keadilan restoratif ini melakukan advokasi untuk korban tindakan

335 Kathleen Daly dan Russ lnunarigeon, "The Past, Presen~ and Future of Restorative Justice: Some Critical Reflections", dalam Contemporary Justice Review. 1(1). 1998, hlm. 24-26.

258

kriminal k:arena mereka kurang bisa bersuara dalam proses peradilan

pidana.

d. Justice circle

Muncul di Kanada sekitar tahun 1980-an, yaitu proses mencapai

konsensus berdasarkan kerangka komprehensif yang tidak hanya

melibatkan korban dan pelaku, tetapi juga keluarga mereka dan

masyarakat.

Penggunaan hukum pidana sebagai sarana penanggulangan

kejahatan, oleh k:arenanya juga termasuk di dalarnnya penggunaan hukum

pidana sebagai sarana penanggulangan penyalahgunaan narkotika, sedang

mendapat sorotan tajam. Efektifitas penggunaan hukum pidana sebagai

sarana penanggulangan kejahatan menjadi perdebatan konseptual yang

panjang. Meski perdebatan koseptual itu masih melahirkan pro dan kontra

terhadap penggunaan hukum pidana sebagai sarana penanggulangan

kejahatan, namun dalam konteks ini upaya untuk mencari altematif di luar

hukum pidana sebagai sarana penanggulangan kejahatan juga patut

mendapatkan perhatian. Dalam tulisan ini dianut pandangan, bahwa

penggunaan hukum pidana sebagai sarana penanggulangan kejahatan tidak

dapat dinisbikan, dengan pengertian penggunaannya tetap harus bersifat

subsider. Artinya, sepanjang penggunaan sarana di luar hukum pidana

dipandang lebih efektif, maka penggunaan hukum pidana sedapat mungkin

dihindarkan. Selain itu, apabila (hukum) pidana akan digunakan sebagai

sarana untuk mencapai manusia Indonesia seutuhnya, maka pendekatan

humanistic harus pula diperhatikan. Hal ini penting tidak hanya karena

259

kejahatan itu pada hakikatnya merupakan masalah kemanusiaan, tetapi

juga karena pada hakikatnya hukum pidana itu sendiri mengandung unsur

penderitaan yang dapat menyerang kepentingan atau nilai yang paling

berharga bagi kehidupan manusia336• Karenanya penggunaan hukum

pidana sebagai sarana penanggulangan kejahatan tidak dapat dinisbikan,

bahkan penggunaannya harus diintegrasikan dengan sarana di luar hukum

pidana.

Secara konseptual, penanggulangan kejahatan dapat dilakukan baik

dengan menggunakan sarana hukum pidana (sanma penal) maupun sarana

lain di luar hukum pidana (sarana non penal)337.Penggunaan hukum pidana

sebagai sarana penanggulangan kejahatan diorientasikan untuk

penanggulangan setelah kejahatan teijadi. Sedang penanggulangan

kejahatan melalui sarana non penal diorientasikan pada upaya mencegah

terjadinya kejahatan. Jadi, penanggulangan kejahatan melalui sarana non

penal diorientasikan pada upaya sebelum kejahatan terjadi.

Dengan konstruksi pemikiran yang demikian, dapat dikemukakan,

bahwa upaya penanggulangan dengan menggunakan sarana hukum pidana

lebih bersifat korektif, sedangkan upaya penanggulangan kejahatan dengan

menggunakan sarana non hukum pidana lebih bersifat caUYatif.Pengaturan

penyelesaian perkara di luar pengadilan melalui mediasi penal

sebagaimana konteks di atas diatur secara parsial, terbatas dan gradasi

pengaturannya diatur pada level di bawah undang-undang. Akan tetapi,

336 Bania Nawai Arief, Kebijakan Legis/aJif da/am Penanggu/angan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang 1994, him. 41.

337 Paulus Hadisuprapto, Pemberian Malu Reintegratif sebagai sarana non penal Penanggulangan Perilaku Delinkuensi Anak (Studi Kasus di Semarang dan Surakarta), Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro Semarang, 2002, him. 21.

260

dalam batas pengaturan ditingkat undang-undang, untuk perkara pidana

pada asasnya tidak dapat diselesaikan di luar pengadilan, walaupun dalam

hal-hal tertentu, dimungkinkan ada penyelesaian perkara pidana di luar

pengadilan akan tetapi tidak termasuk ruang lingkup mediasi penal.

Dalam hal terjadi kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)

sebagaimana ketentuan Pasal I ayat 7, Pasal 76 ayat 1, Pasal 89 ayat 4 dan

Pasal 96 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia yang diberi kewenangan kepada Komnas HAM untuk melakukan

mediasi dalam kasus pelanggaran HAM. Aspek ini sifatnya hanya bersifat

parsial, karena tidaka ada ketentuan secara tegas menyatakan bahwa semua

kasus pelanggaran HAM dapat dilakukan mediasi oleh Komnas HAM,

karena ketentuan Pasal 89 ayat (4) menentukan bahwa Komnas HAM

dapat juga hanya memberi saran kepada para pihak untuk menyelesaikan

sengketa melalui pengadilan, atau hanya memberi rekomendasi kepada

pemerintah atau DPR untuk ditindaklanjuti penyelesaiannya. Selain itu,

juga ketentuan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tidak mengatur

secara tegas yang menyatakan bahwa akibat adanya mediasi Komnas

HAM itu dapat menghapuskan penuntutan atau pemidanaan, tetapi

berdasarkan Pasal 96 ayat (3) hanya ditentukan bahwa, "keputusan mediasi

mengikat acara hukum dan berlaku sebagai alat bukti yang sah". 338

Upaya mengalihkan proses dari proses yustisial menuju proses non

yustisial dalam penanggulangan penyalahgunaan narkotika oleh anak, pada

dasamya merupakan upaya untuk menyelesaikan penyalahgunaan

338 Lilik Mulyadi, Mediasi Penal da/am Sistem Peradilan Pidano Indonesia, Alumni, Bandung, 2015, him. 40-42

261

narkotika yang dilakukan oleh anak ke luar jalur hukum pidana. Artinya,

pengalihan proses dari proses yustisial menuju proses non yustisial dalam

penanggulangan penyalahgunaan narkotika yang dilakukan anak, pada

dasarnya adalah upaya untuk menghindarkan anak dari penerapan hukum

pidana.

Upaya menghindarkan anak dari penerapan hukum pidana tidak saja

bertolak dari kenyataan, bahwa dampak negatif penerapan sanksi pidana

terhadap anak justru akan mempengaruhi jiwa anak yang bersifat sangat

kompleks, tetapi upaya menghindarkan anak dari 'penerapan hukum pidana

juga bertolak dari pemikiran, bahwa hukum pidana pada hakikatnya

mempunyai keterbatasan kemampuan dalam penanggulangan kejahatan,

termasuk keterbatasan dalam penanggulangan terhadap penyalahgunaan

narkotika. Sebagai bahan ilustrasi berikut ini dikemukakan pandangan para

ahli hukum tentang keterbatasan kemampuan hukum pidana dalam

penanggulangan kejahatan seperti berikut:

I. Rubin menyatakan, bahwa pemidanaan (apapun hakikatnya, apakah dimaksudkan untuk menghukum atau untuk memperbaiki) sedikit atau tidak mempunyai pengaruh terhadap masalah kejahatan.

2. Schultz menyatakan, bahwa naik turunnya kejahatan di suatu negara tidaklah berhubungan dengan perubahan-perubahan di dalam hukumnya atau kecenderungan-kecenderungan dalam putusan-putusan pengadilan, tetapi berhubungan dengan bekeijanya atau berfungsinya perubahan-perubahan kultural yang besar dalam kehidupan masyarakat.

3) Johanes Andenaes menyatakan, bahwa bekeijanya hukum pidana selamanya harus dilihat dari keseluruhan konteks kulturalnya. Ada saling pengaruh antara hukum dengan faktorfaktor lain yang membentuk sikap dan tindakan kita.

4) WolfMiddendoifmenyatakan, bahwa sangatlah sulit untuk melakukan evaluasi terhadap efektifitas dari general de terence karena mekanisme pencegahan (deterence) itu tidak diketahui. Kita tidak dapat mengetahui hubungan yang sesungguhnya antara sebab dan akibat. Orang mungkin melakukan kejahatan atau mungkin mengulanginya

262

lagi tanpa hubungan dengan ada tidaknya undang-undang atau pidana yang dijatuhkan. Sarana-sarana kontrol sosial lainnya, seperti kekuasaan orang tua, kebiasaan-kebiasaan atau agama mungkin dapat mencegah perbuatan yang sama kuatnya dengan ketakutan orang pada pidana.

5) Donald R Taft dan Ralph W. England pernah juga menyatakan, bahwa efektifitas hukum pidana tidak dapat diukur secara akurat. Hukum hanya merupakan salah satu sarana kontrol sosiaL Kebiasaan, keyakinan, agama, dukungan dan pencelaan kelompok, penekanan dari kelompok-kelompok interest dan pengaruh dari pendapat umum merupakan sarana-sarana yang lebih efisien dalam mengatur tingkahlaku manusia dari pada sanksi hukum.

6) R Hood dan R. Sparks menyatakan, bahwa beberapa aspek lain dari general prevention seperti reinforcing social values, strengthening conscience, allevating fear dan providing a sence of communal security sulit untuk diteliti.339

Beberapa pandangan ahli hukum tentang keterbatasan kemampuan

hukum pidana seperti tersebut di atas mengisyaratkan, bahwa hukum

pidana tidak memberikan jaminan terhadap penanggulangan kejahatan.

Tidak ada jaminan, bahwa dengan digunakannya hukum pidana tidak

terjadi lagi kejahatan di dalam masyarakat.Bertolak dari pandangan ahli

hukum tersebut di atas juga tersimpul, bahwa kemampuan hukum pidana

sebagai sarana hukum pidana bisa jadi juga sama dengan sarana lain di

luar hukum pidana seperti agama, kepercayaan, keyakinan

maupunkebiasaan.Dengan demikian menurut hemat peneliti, maka

penggunaan hukum pidana sebagai sarana penanggulangan kejahatan

masih diperdebatkan efektifitasnya, padahal dampak negatifuya juga

demikian jelas, apalagi diberlakukan terhadap anak.

Di dalam konsideran bagian menimbang huruf a sebagai landasan

filosofis Undang-Undang Nomor II tahun 2012 tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak dinyatakan, bahwa anak adalah bagian dari generasi muda

339Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, him. 41-42.

263

sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan amanah dan

karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki harkat dan martabat sebagai

manusia seutuhnya.

Sementara pada bagian menimbang huruf b dinyatakan bahwa

untuk menjaga harkat dan martabatnya, anak berhak mendapatkan

perlindungan khusus, terutama perlindungan hukum dalam sistem

peradilan. Kemudian, pada bagian menimbang huruf c menyatakan bahwa

Indonesia sebagai negara pihak dalam konvensi Hak-Hak Anak

(Convention on the rights of the Child) yang mengatur prinsip

perlindungan hukum terhadap anak mempunyai kewajiban untnk

memberikan perlindungan hukum terhadap anak yang mempunyai

kewajiban untuk memberikan perlindungan khusus terhadap anak yang

berhadapan dengan hukum.

Bertolak dari konsiderans Undang-Undang Nomor IITahun 2012

Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak tersebut tersimpul, bahwa tujuan

pemidanaan bagi anak yang ditempuh melalui mekanisme Undang­

Undang Nomor II Tahun 2012 adalah dalam rangka untuk memberikan

pembinaan dan perlindungan kepada kepentingan anak untuk menjamin

pertum buhan dan perkembangan baik fisik maupun mentalnya.

Stephenson, Giller, dan Brown berpendapat ada 4 ( empat) bentuk

keadilan restoratif. Semua bentuk tersebut mempunyai tujuan yang sama

yaitu memperbaiki tindakan kejahatan dengan menyeimbangkan

kepentingan ABH, korban, dan komunitas. Keempat bentuk keadilan

restoratif tersebut adalah: a Victim-offonder mediation; b. Restorative

264

conference; c. Family group conferencing; dan d.Community panel

meetings. 340

Mengkaj i konsep mediasi penal yang berlandaskan keadilan

restoratif tidak dapat dilepaskan dari literatur mengenai konsep mediasi

secara umum itu sendiri. Mediasi pada dasamya merupakan bentuk

penyelesaian sengketa. Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin

mengemukakan sebuab teori tentang penyelesaian sengketa. Ada lima

strategi dalam penyelesaian sengketa, sebagaimana disajikan berikut

ini.Pertama, contending (benanding), yaitu mencoba menerapkan suatu

solusi yang lebih disukai oleh salah satu pihak atas pihak lainnya.Kedua,

yielding (mengalah), yaitu menurunkan aspirasi sendiri dan bersedia

menerima kurang dari yang sebetulnya diinginkan.Ketiga, problem solving

(pemecahan masalah), yaitu mencari altematif yang memuaskan aspirasi

kedua belah pihak.Keempat, with drawing (menarik diri), yaitu memilih

meninggalkan situasi sengketa, baik secara fisik maupun

psikologis.Kelima, inaction (diam), yaitu tidak melakukan apa-apa.341

Sepemikiran dengan itu, Laura Nader dan Harry F. Todd Jr.,

mengemukakan tujuh cara penyelesaian sengketa dalam masyarakat.

Ketujuh cara itu, melipilti: Pertama, lumping it (membiarkan saja);

Kedua,avoidance (mengelak); Ketiga, coercion (paksaan); Keempat,

negotiation (perundingan); Kelima, mediation (mediasi); Keenam,

340 Martin Stephenson, Henry Giller dan Sally Brown, Effective Practice in Youth Justice, Willan Publishing, Portland 2007, him. 163-166.

341 Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin, Konjlik Sosia/, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004, him. 4-6

265

arbitration (arbitrase); dan Ketujuh, adjudication (peradilan).342

Konsep mediasi juga dapat dilihat dari model mediasi secara

umum,sebagaimana disampaikan Denaldy Mauna bahwa model mediasi

antara Iain:343

I. Model penyelesaian (Settlement Model atau Compromise)

a. Mediasi dimaksudkan guna mendekatkan perbedaan nilai

tawar atas suatu kesepakatan.

b. Mediator hanya terfokus pada Permasalahan atau posisi

yang dinyatakan para pihak.

c. Fungsi mediator adalah menentukan posisi "bottom-line"

para pihak dan melakukan berbagai pendekatan untuk

mendorong para pihak mencapai titik kompromi.

d. Biasanya mediator adalah orang yang memiliki status yang

tinggi dan model ini tidak menekankan kepada keahlian

dalam proses atau teknik mediasi.

2. Model fasilitasi (Facilitative Model)

a. Memberikan fasilitas dan mengarahkan pada pihak-pihak

yang berperkara agar sedapat mungkin menyelesaikan

sendiri masalah

b. Mediator mengarahkan para pihak dari positional

negotiation ke interest based negotiation yang mengarah ke

penyelesaian yang saling menguntungkan. Penekanan lebih

342 Laura Nader dan Harry F. Todd Jr, The Disputing Process Law in Ten Societies, New York: Columbia University Press, 1978, him. 9-11.

343 Said Faisal, Mediasi (makalah) dalam Prosiding him. 50 lihat juga Denaldy Mauna dalam Mediator's Skill Reframing and Questioning in Practice, him. 153

266

ditujukan kepada kebutuhan dan kepentingan para pihak

yang berselisih.

c. Mediator mengarahkan para pihak untuk lebih kreatif dalam

mencari alternatif penyelesaian.

d. Mediator perlu memahami proses dan teknik mediator

tanpa harus ahli dalam bidang yang diperselisihkan.

e. Kelebihannya adalah para pihak ketika selesai sengketa

akan merasa puas, karena yang diangkat adalah

kepentingannya dan bukan sekedar hal yang

dipersengketakan saja.

f. Kekuranganya adalah waktu yang dibutuhkan menjadi lebih

lama,

g. Prosesnya lebih terstruktur.

3. Evaluative

a. Court annexed lebih berfokus ke evaluative model.

b. Para pihak datang dan mengharapkan mediator akan

memberikan semacam pemahaman bahwa apabila kasus ini

terus berlangsung, maka siapa yang akan menang dan siapa

yang akan kalah.

c. Lebih berfokus pada hak dan kewajiban.

d. Mediator biasanya ahli pada bidangnya atau ahli dalam

bidang hukum karena pendekatan yang difokuskan adalah

pada hak. Disini mediator cenderung memberi jalan keluar

dan informasi bidang hukum (legal information) guna

267

mengarab ke suatu basil akhir yang pantas.

e. memberikan saran atau nasibat kepada para pibak berupa

nasibat-nasibat bukum dalam proses mediasi, bisa juga

menjadi semacam tempat dimana para pibak badir dan ada

semacam draft keputusan dari mediator atau semacam jalan

keluar yang diberikan oleb mediator.

f. Kelemabannya adalah para pibak akan merasa tidak

memiliki basil kesepakatan yang ditandatangani bersama.

Selain itu juga- ada pendapat dari Jacqueline M Nolan Haley

mengenai model mediasi yaitu Therapeutic:344

a. Fokus pa-da penyelesaian yang komprebensif tidak terbatas

banya pada penyelesaian sengketa tapi juga rekonsiliasi

antara para pihak.

b. Yang diharapkan adalab selesainya sengketa dan juga para

pihak benar-benar menjadi baik/tetap berbubungan baik.

c. Proses negosiasi yang mengarah ke pengambilan keputusan

tidak akan dimulai, sebelum masalab emosional antara para

pihak yang berselisih diselesaikan.

d. Fungsi mediator adalah untuk mendiagnosa penyebab

konflik dan menanganinya berdasarkan aspek psikologis

dan emosional hingga para pihak yang berselisih dapat

memperbaiki dan meningkatkan kembali hubungan mereka.

e. Mediator dibarapkan memiliki kecakapan dalam

344 Jacqueline M Nolan Haley, Alternative Dispute Resolution in a Nutshell St Paul, Minn, 2001, him 75

268

"counseling" dan juga proses serta teknik mediasi.

f. Penekannya lebih ke terapi, baik tahapan pre-mediasi atau

kelanjutannya dalam proses mediasi.

g. Biasanya digunakan dalam family dispute (sengketa

keluarga) seperti perceraian, perwalian anak.

Pendapat lain dikemukakan oleh Silbey dan Mary yang membagi

dua jenis atau model mediasi yaitu: jenis tawar-menawar (bargaining

style) atau jenis menolong (theurapetic style). Jenis pertama adalah

pendekatan pragmatis yang terfokus pada penyelesaian masalah dan

langsung ke pokok masalah. Sementara jenis theurapetic style lebih

menekankan pada konteks emosional dan terfokus pada proses komunikasi

kedua belah pihak.345

Berdasarkan konsep mediasi secara umum sebagaimana telah

dibahas diatas, berkembanglah praktik mediasi yang diterapkan dalam

peradilan pidana khususnya perkara yang melibatkan anak yaitu mediasi

penal. Dalam perkembangannya di dunia, mediasi penal dikenal dengan

berbagai istilah, terminologi yang paling banyak dikenal adalah victim­

offinder mediation (mediasi antara korban dan pelaku). Namun

sebenarnya terminologi yang paling awal dikenal istilah victim-offender

reconciliation program. Kemudian dikenal pula istilah victim offinder

meetings dan victim offinder conferencing. Istilah penal mediation juga

dipakai karena mediasi digunakan untuk mendamaikan perkara pidana,

345 Ibid hlm. 76

269

bukan perkara perdata yang biasanya menjadi fungsi mediasi. 346

Dalam "Explanatory memorandum" dari Rekomendasi Dewan

Eropa No. R (99) 19 tentang "Mediation in Penal Matters", dikemukakan

beberapa model mediasi penal sebagai berikuf47:

a. Model"informal mediation"

l) Model ini dilaksanakan oleh person if peradilan pidana

(criminal justice personnel) dalam tugas normalnya, yaitu

dapat dilakukan oleh JPU (Jaksa Penuntut Umum) dengan

mengundang para pihak untuk melakukan penyelesaian

informal dengan tujuan tidak melanjutkan penuntutan

apabila tercapai kesepakatan. Mediator dapat dilakukan

oleh pekelja sosial atau pejabat pengawas (probation

officer) atau pejabat polisi atau Hakim.

2) Jenis intervensi informal ini sudah biasa dalam seluruh

sistem hukum.

b. Model"Traditional village or tribal moots"

Menurut model ini seluruh masyarakat bertemu untuk

memecahkan konflik pidana di antara warganya.

l) Model ini ada di beberapa negara yang kurang maju dan di

wilayah pedesaan/pedalaman;

2) Model ini lebih memilih keuntungan bagi masyarakat luas;

346 Mark Umbreit, Robert B. Coates dao Betty Voss, "Victim-Offender Mediation: An Evolving Evidence Based Practice" dalam Handbook of Restorative Justice: A Global Perspective, eds Sullivan, D. dan Tifft, L., Routledge, New York, 2006, him. 52-62

'47Barda Nawawi Arief, Makalah Aspek Kebijakan Mediasi Penal Dalarn Penyelesaian

Sengketa Di Luar Pengadilan, Materi Perkuliahan Program Doktoral.

270

3) Model ini mendahului hukum barat dan telah memberi

inspirasi bagi kebanyakan program-program mediasi

modem. Program mediasi modem sering mencoba

memperkenalkan berbagai keuntungan dari pertemuan suku

(tribal moots) dalam bentuk yang disesuaikan dengan

struktur masyarakat modem dan hak-hak individu yang

diakui menurut hukum.

c. Model "victim-offender mediation"

-J.) Mediasi antara korban dan pelaku merupakan model yang

paling sering ada dalam pikiran orang;

2) Model ini melibatkan berbagai pihak yang bertemu dengan

dihadiri oleh mediator yang ditunjuk. Banyak variasi dari

model ini. Mediatomya dapat berasal dari pejabat formal,

mediator independen, atau kombinasi;

3) Mediasi ini dapat diadakan pada setiap tahapan proses, baik

pada tahap pemeriksaan di kepolisian, tahap penuntutan,

tahap pemidanaan atau setelah pemidanaan;

4) Model ini ada yang diterapkan untuk semua tipe pelaku

tindak pidana, ada yang khusus untuk pelaku anak, ada

yang untuk tipe tindak pidana tertentu (misal pengutilan,

perampokan dan tindak kekerasan). Ada yang terutama

ditujukan pada pelaku anak, pelaku pemula, namun ada

juga untuk delik-delik berat dan bahkan untuk residivis.

d. Model "Reparation negotiation programmes"

271

I) Model ini semata-mata untuk menaksir/menilai kompensasi

atau perbaikan yang harus dibayar oleh pelaku tindak

pidana kepada korban, biasanya pada saat pemeriksaan di

pengadilan.

2) Program ini tidak berhubungan dengan rekonsiliasi antara

para pihak, tetapi hanya berkaitan dengan perencanaan

perbaikan materiel.

3) Dalam model ini pelaku tindak pidana dapat dikenakan

program kerja agar dapat menyimpan uang untuk

membayar ganti rugifkompensasi.

e. Model "Community panels or courts"

Model ini merupakan program untuk membelokkan kasus pidana

dari penuntutan atau peradilan pada prosedur masyarakat yang lebih

fleksibel dan informal dan sering melibatkan unsur mediasi atau negosiasi.

f. Model "Family and community group conferences"

I) Model ini telah dikembangkan di Australia dan New

Zealand, yang meiibatkan partisipasi masyarakat dalam

Sistem Peradilan Pidana. Tidak hanya melibatkan korban

dan pelaku tindak pidana, tetapi juga keluarga pelaku dan

warga masyarakat lainnya, pejabat tertentu (seperti polisi

dan hakim anak) dan para pendukung korban.

2) Pelaku dan keluarganya diharapkan menghasilkan

kesepakatan yang komprehensif dan memuaskan korban

272

serta dapat membantu untuk menjaga si pelaku keluar dari

kesusahan/persoalan berikutnya.

Secara hitoris, mediasi penal pertama kali dikenal di Kitchener,

Ontario, Kanada pada tahun 1974. Kemudian program ini menyebar ke

Amerika Serikat, Inggris, dan negara-negara lain di Eropa. Di Amerika

Serikat, mediasi penal pertama kali dipraktikkan di Elkhart Indiana dan di

Inggris oleh The Exeter Youth Support Team pada tahun 1979. Setelah itu,

program mediasi penal tersebar ke banyak negara di dunia, dan yang

paling subur adalah di negara-negara Eropa. Perkembangan program

mediasi penal di dunia terlihat pada Tabel berikut:348

No Negara Jumlah Program

I Australia 5 2 Austria 17 3 Belgia 31 4 Kanada 26 5 Denmark 5 6 Finlandia 175 7 Prancis 159 8 Jennan 450 9 Italia 4 10 Belanda 2 11 Selandia Bam Ada dalam setiap

yurisdiksi 12 Norwegia 41 13 Polandia 5

. 14 Afrika Selatan 1 15 Swedia 50 16 lnggris 46 17 Am erika 302

Serikat Total 1.319

348 Mark Umbreit, "Introduction: Restorative Justice lbrough Victim Offender Mediation" da lam The Handbook of Victim Offender Media/ion: An Essential Guide /o Practice and Research, ed Umbreit, M., Jossey-Bass, San Fransisco, 2001, him. xlv

273

Berdasarkan Tabel tersebut, akan diambil contoh beberapa negara

yang telah berhasil menerapkan mediasi penal dalam menangani perkara

ABH yang terintegrasi ke dalam sistem peradilan pidana mereka.

Komparasi model mediasi penal dalam praktik beberapa Negara di dunia

akan merujuk bentuk keadilan restoratif yaitu Victim-offender mediation,

Restorative conforence, Family group conferencing,Community panel

meetings, dan Restorative circles or restorative system. 349

Mediasi pelaku-korban (victim-offender mediation) atau disebut

_ dialog/pertemuan/rekonsiliasi pelaku-korban biasanya dilakukan

pertemuan antara pelaku dan korban, yang menghadirkan mediator terlatih.

Dalam area perkara pidana, model atau teknik ini digunakan baik kasus-

kasus kecil untuk mengurangi penumpukan perkara, maupun kasus-kasus

serius untuk memfasilitasi pengampunan dan proses penyembuhan yang

lebih mendalam, baik untuk korban maupun pelaku. Data internasional

menunjukkan bahwa teknik ini berhasil di terapkan di Australia, New

Zeland, Kanada, dan Belanda dalam berbagai konteks, yang meliputi

sistem peradilan anak dan berhasil menurunkan residivisme. 350

Pertemuan kelompok keluarga (family group conferencing)

merupakan lingkaran partisipan yang lebih luas daripada mediasi pelaku-

korban, yaitu menambah orang yang dikaitkan dengan pihak -pihak uta rna,

seperti melibatkan ternan, keluarga, dan profesional. Teknik ini merupakan

sistem paling tepat untuk kasus-kasus kenakalan anak, seperti di

349 Undang Mangapol, Penerapan Restorative Justice dalam Proses Peradilan Pidana di Indonesia, UNISBA, Bandung, 2012, him. 328

""Peter Cane dan Herbert M. Kritzer, Cane, ed., The Oxford Handbook of Empirical Legal Research, Oxford: Oxford University Press, 2010, him. 611.

274

Kolurnbia, Australia dan·New Zeland.351 Di Kolumbia (British Columbia)

model ini dipergunakan dalam konteks untuk kesejahteraan anak. Proses

ini didesain untuk menawarkan perencanaan dan pembentukan putusan

yang kooperatif dan untuk membangun kembali jaringan kerja dukungan

keluarga. Model ini mengandung pengertian: (a) fasilitasi untuk

melibatkan keluarga anak, keluarga besar, dan anggota masyarakat lainnya

dalam pembentukan putusan terhadap masalah kesejahteraan anak, (b)

memberi alternatif non-adversarial pada pengadilan untuk membuat

perencanaan dalam situasi perlindungan anak, (c) dapat digunakan untuk

mendorong putusan, namun tidak terbatas pada, penempatan perawatan,

perencanaan tetap, dan penyatuan anak dengan keluarganya, (d)

menentukan keluarga yang memilih pertemuan dengan koordinator yang

tidak memihak untuk mengoordinasi dan memfasilitasi pertemuan, (e)

memberi hak ada keluarga untuk menolak pertemuan, mendukung

pengadilan, mediasi a tau proses altematif penyelesaian lainnya.

Pertemuan restoratif (restorative conferencing) juga melibatkan

partisipan yang lebih luas ketimbang mediasi pelaku-korban, sebagai

respon terhadap kenakalan anak (juvenile crime). Teknik: ini bersifat

volunter (sukarela), yang terdiri dari pelaku, korban, keluarga para pihak

dan ternan, untuk mencapai konsekuensi dan restitusi (ganti kerugian).

Model ini dapat digunakan pada setiap tahap proses peradilan pidana,

tetapi biasanya digunakan relatif awal. Sebagai contoh pada beberapa

yurisdiksi, polisi Ielah mengembangkan program ini sebagai alternatif

351Lihatjuga Trisno Rahardjo, Op.Cit., him. 47-50.

275

untuk penangkapan dan rujukan ke sistem peradilan fonnal pidana. Sejak

diperkenalkan di Selandia Baru, model ini telah diterapkan di Australia,

Amerika Serikat, Inggris dan Wales dan Kanada.352

Dewan peradilan masyarakat(communily restorative boards) atau

yang disebut Komite Peradilan Masyarakat (community justice

committees) di Kanada atau panel untuk rujukan (Referal Order Panels)

seperti di Inggris dan Wales, bentuknya merupakan kelompok kecil (small

group), dipersiapkan melalui pelatihan intensif, yang dilakukan

masyarakat, sebagai pertemuan tatap-muka face-to:face meeting}. Hakim

dapat memerintahkan pelaku untuk terlibat, polisi dapat merujuk sebelum

menetapkan status, atau mereka dapat menempuh di luar sistem hukum.

"Model ini sekaligus merupakan contoh: non-adversarial decision-making

practices" (praktik pengambilan putusan non-adversarial) yang diinspirasi

oleh perspektif keadilan masyarakat atau restorative. Karakter model ini

di antaranya: (I) dimasukkannya anggota masyarakat dalam proses

peradilan, (2) pemulihan penderitaan akibat kejahatan, (3) reintegrasi

pelaku ke dalam masyarakat.

Lingkaran atau sistem restoratif (restorative circles or restorative

systems), pendekatan ini melibatkan banyak lingkaran partisipan yang

lebih luas daripada pertemuan pelaku-korban yang konvensional, seperti

dilakukan di Brazil, Jennan, Amerika, dan Inggris, yang dimulai dengan

membangun sistem restoratif di lingkungan atau sekolah tempat lingkaran

(lingkungan restoratif) akan diselenggarakan. Di Hawai, Huikahi

352Lihat Trisno Rahardjo, Ibid, him. 50.

276

Restorative Circles mengizinkan terpidana bertemu dengan keluarga dan

ternan-ternan dalam suatu proses kelompok (group proces) untuk

mendukung transisi balik pada masyarakat. Pertemuan secara khusus

diarahkan pada kebutuhan untuk rekonsiliasi dengan korban kejahatan.

Selanjutnya peneliti juga akan mengkaji dari perkembangan

mediasi penal dan keadilan restoratif di Negara Asia yaitu Thailand dan

Jepang. Jepang adalah negara Asia yang terkenal dengan pemakaian

konsep keadilan restoratif sejak John Braithwaite mengambilnya sebagai

contoh negara dalam pemikirannya yang terkenal, Reintegrative Shaming.

Keadilan restoratif menjadi dasar dari sistem peradilan pidana negara ini.

Banyak tindak kriminal yang diselesaikan di Jepang dengan diawali

pengakuan bersalah, diikuti dengan permintaan maaf dan usaha perbaikan,

baik berupa restituasi maupun bentuk lain. Dengan melakukan hal

tersebut, tidak hanya pelaku yang melepaskan beban psikologis karena

telah melakukan perbuatan yang salah tetapi juga keluarga dan masyarakat

luas. Mediasi telah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Jepang

dalam menyelesaikan sengketa, baik perdata maupun pidana.353

Di Thailand, selain perkembangan mediasi perdata, dua model

keadilan restoratif yaitu Family Group Conferencing dan mediasi penal

mengalami perkembangan yang menggembirakan. Alasan yang

mendorong negara ini memakai keadilan restoratif adalah membludaknya

tahanan di luar kapasitas penjara karena kebijakan ketat dalam memerangi

kejahatan narkoba. Keadilan restoratif model Family Group Conferencing

353 D.S. Dewi dan Fatahillah, Op. Cit, him. 166.

277

cocok dengan budaya Thailand karena itu mulai dipakai dalam menangani

ABH sejak tahun 2003. Efek:tivitas mekanisme ini segera terlihat. Menurut

penelitian Liebmann, dari 11.538 kasus yang ditangani dengan mekanisme

ini sejak tahun 2003 sampai dengan tahun 2006, hanya 3% ABH yang

mengulangi kejahatan?54

Pada tahun 2004, Probation Services Thailand memulai proyek

keadilan restoratif di II kantor mereka yang kemudian berkembang pesat

menjadi 96 kantor dengan menyediakan dua sampai tiga mediator di setiap

kantor cabang. Untuk model keadilan restoratif berbentuk mediasi penal,

Thailand telah mengadopsinya ke dalam sistem peradilan pidana secara

luas, yaitu untuk semua usia (anak dan dewasa) serta mengakomodasi

banyak jenis kasus pidana.

Indonesia dapat belajar dari pengalaman mereka, mencari dasar

hukum bagi pelaksanaannya, dan bila memungkinkan mengadopsi sistem

dan mekanisme yang cocok dengan kondisi Indonesia. Beberapa negara di

Eropa dipilih karena di kawasan ini mediasi penal mengalami

perkembangan sangat pesat dan beberapa di antaranya telah memiliki

perangkat peraturan sebagai dasar hukum dalam sistem peradilan pidana

mereka. Sedangkan di negara Asia juga telah berkembang prak:tik mediasi

penal dan menunjukan keberhasilan mengurangi tingkat kejahatan yang

dilakukan oleh anak.

Beralih dari perbandingan dengan Negara lain sebagaimana telah

diuraikan diatas. Peneliti juga akan mengaitkan konsep mediasi penal

"'Ibid, him. 167.

278

dengan praktik hukum adat di Indonesia. Berdasarkan penelitian yang

dilakukan oleh berbagai kalangan akademisi terhadap penyelesaian konflik

dalam masyarakat di Indonesia, pada dasamya budaya untuk penyelesaian

secara musyawarah atau konsiliasi merupakan nilai yangbanyak dianut

oleh masyarakat di Indonesia. Berbagai suku bangsa di Indonesia

mempunyai budaya penyelesaian konflik secara damai, misalnya

masyarakat Jawa, Lampung, Bali, Sumatra Selatan, Lombok, Papua,

Sulawesi Barat dan masyarakat Sulawesi Selatan. 355

Penyelesaian konflik secara musyawarah untuk secepat mungkin

diadakan perdamaian berkembang sebagai hukum adat. Perkembangan

selanjutnya dari hukum adat pada suku bangsa di Indonesia khususnya

terhadap penyelesaian konflik melalui musyawarah memiliki berbagai

kesamaan yaitu konflik diarahkan pada harmonisasi atau kerukunan dalam

masyarakat serta tidak memperuncing keadaan, dengan sedapat mungkin

menjaga suasana perdamaian.356

Penyelesaian-penyelesaian konflik yang dilakukan melalui

mekanisme hukum adat baik untuk perkara perdata maupun perkara

pidana. Berbeda dengan hukum pidana barat, tujuan hukum pidana adat

adalah memulihkan keseimbangan hukum yangme~adi tujuan segala

reaksi atau koreksi adat sedangkan tujuan untuk memperbaiki orang yang

"' Ahmad Hasan, "Penyelesaian Sengketa Melalui Upaya (Non-Litigasi) Menurut Peraturan Perundang-UntkJngan" dalam Jurnal Al-Banjari, Vol5, No. 9, Januari-Juni 2007, him. 5.

356 Sudargo Gautama, "Penye/esaian Sengketa Secara Alternatif(ADR)," dalam Hendannin Djarab, et al, (Editor), Prospek dan Pelak.sanaan Arbitrase di Indonesia Mengenang Aim. Prof Dr. Komar Kantaatmadja, S.H., LL.M, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001, him. 124.

279

salah, orang yang melanggar hukum, sebagai salah satu dasar yangterdapat

pada sistem hukum pidana barat, tidak terdapat pada sistem hukum adat.357

Budaya musyawarah, sebagai sistem nilai yang dihayati oleh

masyarakat Indonesia, merupakan semangat untuk masing-masing pihak

yang berunding di dalam musyawarah tersebut untuk menyelesaikan

konflik misalnya, akan berupaya mengurangi pendiriannya sehingga dapat

dicapai titik temu yang menguntungkan bagi semua pihak, yang berujung

pada mufakat. Suatu musyawarah memerlukan tokoh yang dihonnati

untuk memimpin musyawarah dapat mencapai mufakat tersebut. Apa yang

diputuskan dalam musyawarah guna menyelesaikan konflik tersebut secara

perlahan-lahan berkembang menjadi hukum adat.358

Marc Galanter menyatakan pencarian keadilan tidak hanya

didapatkan di ruang pengadilan akan tetapi juga terdapat di luar ruang

pengadilan.359 Penyelesaian konflik antara pelaku dan korban tindak

pidana tidak hanya diselesaikan dalam sistem peradilan pidana sebagai

penyelesaian fonnal akan tetapi dalam masyarakat Indonesia penyelesaian

secara hukum adat juga menjadi cara penyelesaian konflik. Hukum Adat

adalah hukum asli Indonesia yang tidak tertulis atau tidak tertuang di

dalam bentuk perundang-undangan Republik Indonesia dan mengandung

unsur agama 360

351Ibi4hlm. 180 358 Adi Sulistiyo, Mengembangkan Paradigma Non-Litigasi di lndonesia, Surakarta:

Sebelas Maret University Press, 2006, him. 367-369 359 Marc. Galanter, Keadilan di Berbagai Ruangan: Lembaga Peradi/an, Penataan

Masyarakat serta Hukum Rakyat dalam T.O. Ihromi (Penyunting), Antropologi Hukum sebuah Bunga Rampai, Yayasan Ohor, Jakarta, 1993, him. 81

360 Rumusan Hukum Adat yang dihasilkan dalam seminar hukum adat dan pembinaan hukum nasional di Yogyakarta 15-17 Januari 1975 dalarn Imam Sudiyat, Peran Pendidikan dalam Pembangunan Hukum Nasional Ber/andaskan Hukum Adat, Yogyakarta: Liberty, 1980, him. I.

280

Selain hukum adat, konsep mediasi dalam hukum pidana juga

dikenal dalam hukum agama khususnya agamas Islam yang biasa disebut

Jslah. Penyelesaian kontlik secara musyawarah guna mencapai

penyelesaian antara pelaku dan korban tindak pidana sebagian besar

masyarakat di Indonesia yang umumnya beragama Islam, banyak

memperoleh pengaruh dari hukum Islam. Konfiik-konflik dalam

masyarakat banyak dimintakan penyelesaiannya kepada tokoh masyarakat,

dan umumnya pada daerah-daerah yang pengaruh hukum Islamnya kuat,

seperti di Aceh, Sumatra Barat, dan Jawa maka para tokoh masyarakat

atau adat di dalamnya termasuk para tokohtokoh agama. Penyelesaian

konflik yang diselesaikan oleh tokoh-tokoh agama Islam umumnya

dilakukan dengan pendekatan musyawarah. Menurut Hazairin

penyelesaian yang dilakukan oleh tokoh agama Islam yang dilakukan

secara terus-menerus sehingga menjadi tradisi membentuk hukum adat

dalam masyarakat tersebut, dalam hal ini adalah hukum Islam yang telah

dipraktekkan selama berabad-abad semenjak Islam dipeluk oleh

masyarakat Indonesia. 361

Berdasarkan konsep-konsep mediasi penal yang terdapat dalam

komparasi hukum di negara lain, hukum adat, dan hukum Islam,

selanjutnya akan ditelaah konsep mediasi penal dari beberapa doktrin.

Mediasi penal bisa digunakan untuk menangani perkara yang dilakukan

orang dewasa maupun anak. Barda Nawawi Arief menjelaskan bahwa

metode ini melibatkan berbagai pihak yang bertemu dengan dihadiri oleh

361 Hazairin dalam Siti Juwariyah, Polrel Mediasi dalam Islam, dalam http://www. badilag.ne~ diakses 20 Desember 2009.

281

mediator yang ditunjuk. Mediator dapat berasal dari pejabat formal,

mediator independen, atau kombinasi. Mediasi ini dapat diadakan pada

setiap tahapan proses, baik pada tahap kebijakan polisi, tahap penuntutan,

tahap pemidanaan, atau setelah pemidanaan. Model ini ada yang

diterapkan untuk semua tipe pelaku tindak pidana, atau khusus untuk anak;

atau untuk tipe tindak pidana tertentu (misal pengutilan, perampokan, dan

tindak kekerasan). Selain itu, bisa ditujukan pada pelaku anak, pelaku

pemula, juga untuk delik-delik berat atau bahkan residivis?62

Penggunaan mediasi penal sebagai altematif peradila11 pidana

anak dalam penanganan ABH terbilang baru karena biasanya mediasi

penal digunakan untuk menangani tindak pidana pencurian dan tindak

pidana ringan lainnya. Namun seiring perkembangan zaman dan

kebutuhan korban, mediasi penal juga dipakai untuk menyelesaikan tindak

pi dana be rat seperti pemerkosaan dan pembunuhan. 363 Banyak program

mediasi penal dibuat untuk menghindarkan (diversi) ABH dari penjara

untuk mendapatkan pilihan mekanisme yang lebih murah, cepat, dan lebih

. hku 364 nngan u mannya.

Beberapa pandangan ahli hukum tentang keterbatasan

kemampuan hukum pidana seperti tersebut di atas mengisyaratkan, bahwa

hukum pidana tidak memberikan jaminan terhadap penanggulangan

362 Bar<la Nawawi Arief, Mediasi Penai:PeiT)'elesaian Perkara Pidana di Luar Pengadi/an. Artikel dalam htto://bardanawawi.wordpress.com/2009/12127/mediasi-oenal­penyclesaian-perkara-pidana-di luar pengadilan/2009, diakses pada tanggal24 Maret 2011. hlm.8.

363 RodneyA.Eilis dan Karen M.Sowers,Juvenile Justice Practice: Across Disciplinary Approach to Inrervention, Wadsworth, Belmont, 2001, hlm.205.

364 Mark Umbreit dan Robert B.Coates, "The Impact of Victim Offender Mediation:Two Decades of Research", dalarn The Handbook of Victim Offender Mediation, ed Umbreit, M.,Jossey- Bass, San Fransisco, 2001,hlm.l69.

282

kejahatan. Tidak ada jaminan, bahwa dengan digunakannya hukurn pidana

tidak terjadi lagi kejahatan di dalam masyarakat.Rubin menyatakan, bahwa

pemidanaan (apapun hakikatnya, apakah dimaksudkan untuk menghukum

atau untuk memperbaiki) sedikit atau tidak mempunyai pengaruh terhadap

masalah kejahatan. Sedangkan Schultz menyatakan, bahwa naik turunnya

kejahatan di suatu negara tidaklah berhubungan dengan perubahan-

perubahan di dalam hukumnya atau kecenderungan-kecenderungan dalam

putusan-putusan pengadilan, tetapi berhubungan dengan bekeljanya atau

berfungsinya perubahan-perubahan kultural yang besar dalam kehidupan

masyarakat. 365

Umbreit dan Annour juga meneliti efektivitas pemakaian mediasi

penal sebagai altematif sistem peradilan pidana dari berbagai aspek,

yaitu?66

I. Partisipasi para pihak Dalam aspek ini, para pihak memperlihatkan tingkat keikutsertaan yang tinggi, yaitu 40-60%, bahkan ada yang mencapai 90%.

2. Alasan partisipasi Hampir sebagian besar (91 %) para pihak merasa bahwa keikutsertaan mereka dalam proses mediasi penal adalah sukarela, tanpa paksaan sama sekali.

3. Kepuasan para pihak 8 dari I 0 para pihak (baik korban maupun pelaku) merasa pugs terhadap proses dan kesepakatan yang dihasilkan dari mekanisme mediasi penal.

4. Keadilan Lebih dari 80% para pihak merasa proses dan kesepakatan mediasi penal adil bagi kedua belah pihak.

5. Restitusi dan perbaikan kerusakan Sekitar 90% kasus berhasil mencapai kesepakatan yang terdiri dari beberapa jenis restitusi, yaitu: a. Kompensasi langsung pada korban. b. Pelayanan pada masyarakat.

365Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan don Pengembangan Hukwn Pidona, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, him. 41-42.

366Ibid, him. 128-134

283

c. Bekeija untuk korban. d. Bentuk!kreasi lain yang disepakati oleh korban dan pelaku. e. Pennintaan maaf, yang biasanya digabungkan dengan bentuk

restitusi lain tersebut di atas. 6. Residivisme

Sebagai tujuan jangka panjang, mediasi penal telah berhasil menekan pengulangan tindak kejahatan yang dilakukan (resi­divisme) dibandingkan dengan pemakaian sistem peradilan pidana biasa.

7. Biaya Pemakaian mediasi penal secara dramatis telah mengurangi biaya perkara.

8. Pelaksanaan mediasi penal juga mengalami beberapa hambatan yang disebabkan oleh keterbatasan dana dan minimnya jumlah rujukan.

Dalam yuridis nonnatif yang berlaku di Indonesia saat ini,

pengaturan mengenai Sistem Peradilan Pidana Anak diatur dalam Undang-

Undang No. 11 Tahun 2012. Di dalam konsideran bagian menimbang

huruf a sebagai landasan filosofis Undang-Undang Nomor II tahun 2012

tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dinyatakan, bahwa anak adalah

bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang

merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki

harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Sementara pada bagian

menimbang huruf b dinyatakan bahwa untuk menjaga harkat dan

martabatnya, anak berhak mendapatkan perlindungan khusus, terutama

perlindungan hukum dalam sistem peradilan. Kemudian, pada bagian

menimbang huruf c menyatakan bahwa Indonesia sebagai negara pihak

dalam konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the rights of the Child)

yang mengatur prinsip perlindungan hukum terhadap anak mempunyai

kewajiban untuk memberikan perlindungan hukum terhadap anak yang

mempunyai kewajiban untuk memberikan perlindungan khusus terhadap

284

anak yang berhadapan dengan hukum.

Secara konseptual mediasi penal belum diatur dalam hukum acara

pi dana maupun dalam Undang-Undang No. II tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak. Pengaturan tentang penyelesaian perkara pidana

anak diluar pengadilan hanya melalui musyawarah di dalam acara diversi.

Jadi masih terdapat kekosongan hukum terhadap anak yang melakukan

dugaan perbuatan pidana yang tidak termasuk dalam syarat diversi yaitu

ancaman maksimal dibawah 7 (tujuh) tahun. Sedangkan untuk yang 7

(tujuh) tahun dan keatas bel urn terakomodir. Untuk .itulah, melalui konsep

mediasi penal akan dapat mengakomodir perlindungan anak 7 (tujuh)

tahun dan keatas dengan tetap berlandaskan keadilan restoratif.

Kekurangan hukum normatif tersebut dan pengaturan mediasi penal akan

dibahas pada bagian selanjutnya.

Berdasarkan seluruh uraian diatas, konsep mediasi penal dalam

Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia merupakan fenomena hukum

pidana yang membawa implikasi diterapkannya dimensi bersifat publik ke

dalam hukum privat. Pada dimensi mediasi penal ini yang dicapai

bukanlah keadilan formal (formal justice), melainkan keadilan substantif

(substantive justice). Pada perspektif filosofis, eksistensi mediasi penal

mengandung asas diterapkannya solusi "menang-menang" (win-win) dan

bukan berakhir dengan situasi "kalah-kalah" (lose-lose) atau "menang­

kalah" (win-lose).

Konsep mediasi penal sebagai alternatif sistem peradilan anak di

Indonesia saat ini sangat diperlukan, karena:

285

a. Diharapkan dapat mengurangi penumpukan perkara.

b. Merupakan salab satu proses penyelesaian sengketa yang

dianggap lebih cepat, murab, dan sederhana.

c. Dapat memberikan akses seluas mungkin kepada para pihak

yang bersengketa untuk memperoleh keadilan.

d. Memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan

dalam penyelesaian sengketa di samping proses menjatuhkan

pemidanaan.

Berdasarkan praktik di beberapa negara dan didasarkan doktrin

model mediasi penal yang disampaikan oleh Rekomendasi Dewan Eropa,

maka konsep mediasi penal yang sesuai untuk diterapkan di Indonesia

adalah kombinasi Victim Ojfrnder Medation dan Family and Community

Group Conforence. Hal ini dilandaskan pemikiran bahwa model Mediasi

Pelaku dan Korban (Victim Offender Mediation) yang melibatkan berbagai

pihak bertemu dengan dihadiri oleh mediator yang ditunjuk. Mediatomya

dapat berasal dari pejabat formal, mediator independen, atau kombinasi.

Mediasi ini dapat diadakan pada setiap tahapan proses, baik pada tahap

pemeriksaan di kepolisian, tabap penuntutan, tabap pemidanaan atau

setelah pemidanaan. Namun, model tersebut haruslab dikombinasikan

dengan model Konferensi Orang tua dan Perwakilan Masyarakat (Family

and Community Group Conference) karena norma hukum Sistem

Peradilan Pidana Anak di Indonesia mengutamakan kewajiban pendekatan

keadilan restoratif yang mana mengharuskan pelibatan semua pihak

termasuk keluarga dan masyarakat. Selain itu, juga berkaitan erat dengan

286

budaya hukum (legal culture) dan kearifan lokal (local wisdom) yang

berkembang di Indonesia.

B. Pengaturan Mediasi Penal yang diterapkan dalam Sistem Peradilan

Pidana Anak di Indonesia

Pengaturan mengenai peradilan pidana anak di Indonesia saat ini

diatur dalam Undang-Undang No. II Tahun 2012 tetang Sistem Peradilan

Pidana Anak, Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 20 I 5 tentang Pedoman

Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang Belum Berumur I2

Tahun, dan Peraturan Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2014 tentang

Pedoman Pelaksaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak. Namun,

belum terdapat pengaturan yang secara eksplisit mengatur mengenai

mediasi penal sebagai pengejawantahan keadilan restoratif. Meskipun,

secara tersirat telah ada ketentuan dalam Pasal 8 UU No II Tahun 2012

tentang Sistem Peradilan Pidana Anak yang mewajibkan diversi dalam

setiap tingkatan penyidikan, penuntutan dan pengadilan melalui

musyawarah.

Pasal I angka I Undang-Undang No. II tahun 2012 tentang

Sistem Peradilan Pidana Anak .menyatakan bahwa, "Sistem Peradilan

Pidana Anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara Anak yang

berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap

pembimbingan setelah menjalani pidana." Sedangkan Pasal 5

menyebutkan, "Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan

pendekatan keadilan restoratif'. Norma hukurn ini menunjukan perubahan

287

paradigma keadilan yang semula keadilan retributif (pembalasan) telah

bergeser kepada keadilan restoratif (pemulihan) bagi anak sebagai pelaku,

korban, dan masyarakat. Berarti keseluruhan pelaksanaan Sistem Peradilan

Pidana Anak di Indonesia mulai dari tahap penyelidikan, penyidikan,

penuntutan, persidangan dan pasca putusan saat ini harus berlandaskan

paradigma keadilan restoratif.

Berdasarkan Pasal 7 ayat (I) Undang-undang Nomor 11 Tahun

2012 diatur bahwa, "Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan

pemeriksaan perkara Anak di pengadilan negeri wajib diupayakan

diversi." Sedangkan ayat (2) mengatur bahwa, "Diversi dilaksanakan

dalam hal tindak pidana yang dilakukan: diancam dengan pidana penjara

di bawah 7 (tujuh) tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak

pidana". Pasal 7 UU SPPA sebagaimana disebutkan, bahwa Diversi hanya

dapat dilaksanakan kepada anak yang diancam dengan pidana penjara di

bawah 7 (tujuh) tahun, dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana

(residive). Bahkan sebelum memutuskan untuk melakukan proses diversi,

penyidik, penuntut umum dan hakim harus mempertimbangkan faktor­

faktor sebagaimana yang diatur dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-undang

Nomor 11 Tahun 2012 yaitu (a) kategori tindak pidana; (b) umur anak; (c)

basil penelitian kemasyarakatan dan Bapas; dan (d) dukungan lingkungan

keluarga dan masyarakat.

Lebih Ian jut merujuk pada Pasal 8 ayat (I) Undang-undang

Nom or II Tahun 2012 yang mengatur bahwa, "Proses diversi dilakukan

melalui musyawarah dengan melibatkan anak dan orang tua atau wali,

288

korban dan/atau orang tualwalinya, pembimbing kemasyarakatan, dan

pekelja sosial profesional berdasarkan pendekatan keadilan restoratif." dan

ayat (2) "Dalam hal diperlukan, musyawarah dapat melibatkan tenaga

kesejahteraan sosial, dan/atau masyarakat." Dengan ketentuan diatas,

maka penerapan diversi dalam penyelesaian setiap perkara dengan pelaku

anak merupakan kewajiban bagi para aparat penegak hukum di setiap

proses mulai dari tahap penyidikan, penuntutan sampai tahap pengadilan.

Hal ini sangat perlu diperhatikan untuk memperkecil potensi

pemaksaan dan intimidasi pada semua tahap diversi. Karena seorang anak

tidak boleh merasa tertekan atau ditekan agar menyetujui program­

program diversi. Sehingga dalam proses diversi wajib diperhatikan

sebagaimana diatur Pasal 8 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2012, "kepentingan

korban;kesejahteraan dan tanggungjawab anak;penghindaran stigma

negatif;penghindaran pembalasan;keharmonisan masyarakat;

dankepatutan, kesusilaan, dan ketertiban urn urn."

Kesepakatan Diversi harus mendapatkan persetujuan korban

dan/atau keluarga Anak Korban serta kesediaan Anak dan keluarganya,

kecuali untuk tindak pidana yang berupa pelanggaran, tindak pidana

ringan, tindak .pidana tanpa. korban. atau nilai kerugian korban tidak lebih

dari nilai upah minimum provinsi setempat sebagaimana diatur Pasal 9

ayat (2) UU No. 11 Tahun 2012. Kesepakatan diversi sebagaimana diatur

Pasal 10 ayat (!) UU No. II Tahun 2012 menyatakan untuk

menyelesaikan tindak pidana sebagaimana dimaksud diatas dapat

dilakukan oleh penyidik bersama dengan pelaku dan/atau keluarganya,

289

pembimbing kemasyarakatan, serta dapat melibatkan tokoh masyarakat

AdapunPasal II UU No. II Tahun 2012 menegaskan bahwa hasil

kesepakatan diversi tersebut dapat berbentuk: (I) perdamaian dengan atau

tanpa ganti kerugian; (2) penyerahan kembali kepada orang tua/wali; (3)

keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan lembaga pendidikan atau

pelatihan di lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; (4)

pelayanan masyarakat.

Hasil kesepakatan diversi disetiap tahapan diserahkan kepada

Ketua Pengadilan Negeri setempat untuk memperoleh penetapan.

Selanjutnya setelah menerima penetapan (penyidik anak, penuntut umum

anak, dan hakim anak) atas laporan dari PK Bapas sebagai pengawas yang

melaporkan bahwa pihak-pihak telah melaksanakan isi kesepaktan diversi,

maka penyidik menerbitkan penetapan pengehentian penyidikan I penuntut

umum menerbitkan penetapan pengehentian penyidikan sebagaimana

diatur dalam Pasal 12 UU No. 12 tahun 20 II.

Berdasarkan uraian tersebut, sebenarnya saat ini di Indonesia telah

mengenal penanganan ABH dengan diversi melalui musyawarah antara

pelaku, korban, dan masyarakat. Namun masih dilaksanakan di luar Sistem

Peradilan. Pidana Anak (non penal), Akan tetapi, diversi hanya masih

mengakomodir anak sebagai pelaku yang diancam hukuman dibawah 7

(tujuh) tabun. Untuk itulah dengan adanya konsep dan pengaturan mediasi

penal akan mengakomodir pelaku anak yang diancam hukuman 7 (tujub)

tabun atau keatas. Selain itu, mediasi penal juga akan memberikan ruang

untuk bermusyawarah/ berunding bagi korban dan masyarakat dengan

290

pelaku anak yang berumur 12 sampai dengan dibawah 14 tahun yang juga

belum diakomodir dalam diversi apabila ancaman hukumannya 7 (tujuh)

tahun atau keatas. Padahal pelaku anak tersebut hanya dapat dihukum

berupa tindakan, untuk melindungi hak korban, maka diakomodir juga

melalui mediasi penal.

Pengaturan tentang peradilan pidana anak lebih lanjut diatur

dalam Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2015 tentang Pedoman

Pelaksaan Diversi dan Penanganan Anak yang Belum Berumur 12 Tahun.

PP ini terdiri dari 7 (tujuh) Bab dan 92 Pasal yang mengatur mengenai

Ketentuan Umum, Pedoman Pelaksanaan Proses Diversi; Tala Cara dan

Koordinasi Pelaksanaan Diversi; serta Penanganan Anak Yang Bel urn

Berumur 12 (Dua Belas) Tahun, Ketentuan Peralihan, dan Ketentuan

Penutup.

PP No. 65 Tahun 2015 menyatakan bahwa pihak yang terlibat

dalam diversi antara lain: a. Penyidik I Penuntut Umum I Hakim (sesuai

tahapan); b. Anak dan/atau orang tua!Walinya; c. korban atau Anak

Karban dan/atau orang tua/Walinya; d. Pembimbing Kemasyarakatan; dan

e. Pekerja Sosial Profesional. Dalam hal dikehendaki oleh Anak dan/atau

orang tua/Wali,. pelaksanaan musyawarah Diversi dapat melibatkan

masyarakat yang terdiri alas: a. tokoh agama;b. guru; c. tokoh masyarakat;

d. Pendamping; dan/atau e. Advokat atau Pemberi Bantuan Hukum. Ketika

tidak terdapat Pekeija Sosial Profesional, keterwakilan Pekeija Sosial

Profesional dapat digantikan oleh Tenaga Kesejahteraan Sosial.

PP No. 65 Tahun 2015 juga ini menjelaskan lebih rinci

291

pelaksanaan diversi disetiap tingkatan dipimpin oleh fasilitator dari

masing-masing tahap yang didampingi oleh wakil fasilitator dari petugas

pembimbing kemasyarakatan. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 16

(I), "Musyawarah Diversi dipimpin oleh Penyidik sebagai fasilitator dan

Pembimbing Kemasyarakatan sebagai wakil fasilitator." Pasal 34 (I)

Musyawarah Diversi,"dipimpin oleh Penuntut Umum sebagai fasilitator

dan Pembimbing Kemasyarakatan sebagai wakil fasilitator." Pasal 52 (I)

Musyawarah Diversi, "dipimpin oleh Hakim sebagai fasilitator dan

Pembimbing Kemasyarakatan sebagai wakil fasilitator."

Pasal 6 ayat (3) PP No. 65 Tahun 2015 mengatur, "Hasil

kesepakatan Diversi dapat berbentuk, antara lain: a. perdamaian dengan

atau tanpa ganti kerugian; b. penyerahan kembali kepada orang tua/Wali;

c. keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan

atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau d. pelayanan masyarakat."

Sedangkan Kesepakatan Diversi tanpa persetujuan korban dan/atau

keluarga Anak Korban sebagaimana diatur dalam Pasal 7, dapat

berbentuk: "a. pengembalian kerugian dalam hal ada korban; b. rehabilitasi

medis dan psikososial; c. penyerahan kembali kepada orang tua/Wali; d.

keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan atau

LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau e. pelayanan masyarakat paling

lama 3 (tiga) bulan." Menurut Pasal 9 ayat (!), Hasil kesepakatan Diversi

dituangkan dalam bentuk Surat Kesepakatan Diversi." Lalu ayat (2),

"Hasil kesepakatan Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (I) harus

ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri di wilayah tempat terjadinya

292

perkara atau di wilayah tempal kesepakatan Diversi dibuat."

Sebelum disahkanya PP No. 65 tahun 2015, sebenarnya

Mahkamah Agung dalam rangka mengisi kekosongan hukum Ielah

mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2014 tentang

Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak.

Selanjutnya, secara substansial Perma No. 4 Tahun 2014 terdiri dari 5

(lima) Bab yang mengatur tentang Kelentuan Umum, Kewajiban Diversi,

Pelaksanaan Diversi Di Pengadilan, Kelentuan Peralihan dan Kelentuan

Penulup.

Pada dasarnya, sesuai konleks di atas sebagai fungsi memenuhi

kekosongan dan penegakan hukum untuk praktik penyelenggaraan

pemerintahan dan sislem peraturan perundang-undangan in casu

berdasarkan konsiderans menimbang huruf b Per RI Nom or 4 Tahun 2014

disebulkan bahwa Undang-undang Nomor I 1 Tahun 2012 lentang Sistem

Peradilan Pidana Anak belum mengatur secara jelas tentang tata cara dan

tahapan Diversi.

Pasal 3 Perma No. 4 Tahun 20 I 4 mengatur bahwa, "Hakim wajib

mengupayakan Diversi dalam hal Anak didakwa melakukan tidak pidana

yang diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun dan

didakwa pula dengan lindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 7

(tujuh) tahun alau lebih dalam bentuk sural dakwaan subsidaritas,

altemalif, kumulatif maupun kombinasi (gabungan)"

Berdasarkan uraian normalif diatas, ditemukan inkonsistensi atau

dualisme pegaturan yaitu Pasal 3 Perma No. 4 Tahun 2014 yang

293

mewajibkan hakim melakukan musyawarah diversi terhadap dakwaan

yang ancaman hukumannya dibawah 7 (tujuh) tahun atau diatas 7 (tujuh)

tahun ( dakwaan alternatif, subsideritas, dan komulatif). Di sisi lain,

Pemerintah No. 65 Tahun 2015 dalam Pasal 3 hanya mewaj ibkan diversi

terhadap ancaman dibawah 7 (tujuh) tahun. Hal ini mengakibatkan

multitafsir pelaksanaan oleh Aparat Penegak Hukum khususnya hakim.

Selain itu, Jaksa Agung telah mengirim sura! kepada Ketua Mahkamah

Agung untuk melakukan peniqjauan kembali terhadap Perma No.4 Tahun

2014. Namun, sampai saat ini Mahkamah Agung berpandangan bahwa

Perma No. 4 Tahun 2014 tetap harus mengatur untuk melindungi hak anak

yang dakwaanya bukan tunggal.

Hal inilah yang juga menjadi urgensi ditawarkanya konsep

mediasi penal dalam sistem peradilan pidana anak yaitu sebagai upaya

untuk mengharmonisasi Pasal 3 Perma No.4 Tahun 2014 dan Pasal 3 PP

No. 65 Tahun 2015. lntegrasi konsep mediasi penal bertujuan untuk

mengakomodir kekosongan hukum yaitu terhadap anak yang diancam 7

(tujuh) tahun atau keatas belum terakomodir akibat dua peraturan yang

berbeda tersebut.

. Berbeda dengan . normatif sebagaimana yang telah diuraikan

diatas, dalam praktik empiris sebenarnya terobosan mediasi penal sebagai

instrumen keadilan restoratif sudah pernah dilakukan oleh hakim, penuntut

umum, dan penyidik dalam beberapa kasus di Indonesia. lmplementasi

tersebut namun masih dilakukan diluar sistem peradilan pidana anak dan

hasilnya tidak mengikat untuk menjadi pertimbangan penuntut umum

294

dalam menunutut maupun hakim dalam memutus. Peneliti sebagai praktisi

telah membuktikan sendiri pelaksanan praktik mediasi penal yang

dilakukan di lima pengadilan negeri yang merupakan tempat peneliti

pernah dan sedang bertugas sebagai hakim anak dan hakim mediator.

Pengadilan tersebut yaitu di Pengadilan Negeri Bandung, Pengadilan

Negeri Jakarta Barat, Pengadilan Negeri Stabat, Pengadilan Negeri

Cibinong dan Pengadilan Negeri Bale Bandung dan Pengadilan Negeri

Bandung khususnya dalam Putusan Pengadilan Negeri Cibinong No.

128/Pid.SUSI2014 /PN.Cbn dan Putusan Pengadilan Negeri Cibinong

No.I40/PNISus/2013/PN.Cbn.Untuk memberikan uraian yang

komprehensif tentang praktik mediasi penal yang akan diatur, peneliti

akan mengkaji dan menawarkan pengaturan dariberbagai aspek, yaitu:

Syarat, tempat dan waktu pelaksanaan, mediator, para pihak, proses, dan

basil kesepakatan.

1. Syarat Mediasi Penal

Pengaturan syarat mediasi penal menurut pendapat peneliti dilakukan

di penyidikan, penuntutan, dan pengadilan yakni apabila:

l. Pelaku mengakui perbuatannya (sebagai syarat utama), beijanji tidak

mengulangi dan bertanggung jawab atas perbuatannya.

2. Korban berkeinginan memaafkan dan bersedia untuk melakukan

perundingan.

3. Perwakilan masyarakat mendukung dilakukan perundingan

4. Kualifikasi perkara ringan.

Bila semua syarat itu terpenuhi, maka penyidik I penuntut umum I

295

hakim melaksanakan proses mediasi.

2. Waktu dan Tempat Mediasi Penal

Pengaturan waktu pelaksanaan mediasi penal dilaksanakan dalam

tahap penyidikan, penuntutan, dan persidangan. Pada tahap penyidikan

mediasi penal dilakukan setelah pemeriksaan korban, saksi, dan pelaku

dilaksanakan di ruang mediasi unit PPA (Perlindungan Perempuan dan

Anak). Sedangkan dalam tahap penuntutan, mediasi penal dilakukan pada

pelimpahan berkas tahap dua di ruang mediasi Kejaksaan. Untuk

pelaksanaan di pengadilan dilakukan setelah proses pemeriksaan korban,

saksi, bukti, dan pelaku, sebelum proses pembacaan tuntutan apabila telah

memenuhi syarat-syarat pelaksanan mediasi penal, dilaksanakan di ruang

mediasi pengadilan.

Dalam praktik pelaksanaan mediasi penal di pengadilan negeri,

jangka waktu yang dibutuhkan dalam menangani perkara ABH tidak sama/

tetap, namun tergantung pada beberapa faktor, yaitu:

a Berat/ringannya (kompleksitas) tindak pidana yang dilakukan.

b. Adanya korban dalam tindakan kriminal tersebut. Misalnya, mediasi

kasus narkoba yang korban secara langsung adalah si pelaku sendiri

(dan masyarakat-secara tidak langsung) akan berlangsung lebih cepat

dibandingkan mediasi kasus kejahatan seksual di mana ada orang

lain yang menjadi korban.

c. Jumlah para pihak (baik korban atau pelaku) yang terlibat.

d. Itikad baik dan keija sama para pihak.

Waktu adalah faktor penting yang dapat menentukan keberhasilan

296

proses mediasi penaL Mediator harus memberikan waktu yang cukup

kepada korban karena pada awalnya mereka bisa mempunyai perasaan

untuk membalas dendam (baik secara fisik atau melalui putusan

pengadilan), kehilangan kepercayaan, atau merasa dikhianati oleh

komunitas dan perlindungan hukum, serta ingin meninggalkan lingkungan

yang tidak aman bagi mereka. 367 Dengan waktu yang cukup, korban akan

meraih kembali ketenangan serta kepercayaan terhadap diri sendiri dan

orang lain hingga siap untuk berhadapan dengan pelaku di dalam proses

mediasi.

Proses mediasi penal di pengadilan dilakukan di ruang khusus

untuk mediasi. Belum ada pengaturan mengenai ruang khusus untuk

mediasi perkara pidana anak, sehingga hakim yang ingin melaksanakan

mediasi sebagai implementasi keadilan restoratif dapat memakai ruang

mediasi perdata.368 Fasilitas yang harus disediakan dalam ruang mediasi

adalah ruangan yang nyaman dengan perabotan yang dapat membuat

suasana kekeluargaan, antara lain: meja bundar, kursi, papan tulis (white

board), AC, dan lukisan-lukisan yang dapat menimbulkan suasana nyaman

dan kekeluargaan.

Mark- -Umbreit dan Jean Greenwood menekankan pentingnya

penataan ruang mediasi untuk menciptakan suasana yang kondunsif untuk

367 Sylvie Dongier dan Denis van Doosselaere, 11Approaching Mediation in Juvenile Court Rationale and Methodological Aspects", dalam Restorative Justice on Trial: Pitfalls and Potentials of Victim Offender Mediation-International Research Perspectives, eds Messmer, H. dan Otto, H.U., Kluwer Academic Publishers, Dordrecht, 1992, him. 504-505.

368 Setiap Pengadilan Negeri (dan Pengadilao Agama) di seluruh Indonesia mengupayakan adanya sebuab ruangan khusus untuk mediasi setelab prosedur ini diwajibkao untuk menyelesaikao perkara perdata. Walaupun demikian, setiap pengadilan memiliki fasilitas yang berbeda. Ruang mediasi ini juga bisa dipakai untuk mediasi penal dalam menangani perkara ABH.

297

melangsungkan proses mediasi. Mediator perlu hadir lebih awal untuk

mempersiapkan ruangan yang tenang dan tersendiri agar tidak terganggu

suara dari luar. Pengaturan tempat duduk secara fisik juga penting karena

dapat mempengaruhi jalannya proses mediasi. Mediator seharusnya

menata ruangan dan tempat duduk yang dapat membuat para pihak merasa

aman dan nyaman, kecuali ada permintaan khusus dari para pihak yang

masuk aka!. 369

3. Mediator Mediasi Penal

Mediator dalam penanganan perkara ABH adalah hakim yang

bertugas di Pengadilan Negeri, terutama hakim anak yang secara khusus

memang ditugaskan oleh Ketua Pengadilan Negeri dan ditetapkan oleh

Ketua Mahkamah Agung RI yang berwenang melakukan sidang anak.

Ketika bertugas menjadi mediator, hakim anak didampingi oleh jaksa anak

dan PK Bapas sebagai co-mediator. Hal ini sesuai dengan pendapat

Umbreit dan Greenwood yang menjelaskan pertimbangan penting dalam

tahap mediasi ini adalah apakah perlu menggunakan co-mediator untuk

membantu mediator, khususnya dalam kasus yang rum it. 370

Untuk menjadi aparat penegak hukum anak (penyidik anak,

penuntut umum anak, hakim anak) harus dipenuhi, yaitu: telah

berpengalaman sebagai hakim di Pengadilan Negeri dan mempunyai

369 Mark Umbreit dan Jean Greenwood, "The Mediation Process: Phases and Tasks", dalam The Handbook of Victim Offender Mediation: An Essential Guide to Practice and Research, ed Umbrei~ M., Jossey-Bass, San Fransisco, 2001, him. 48-49

370 Mark Umbreit dan Jean Greenwood, "The Mediation Process: Phases and Tasks", dalam The Handbook of Victim Offender Media/ion: An Essential Guide to Practice and Research, ed Umbrei~ M., Jossey-Bass, San Fransisco, 2001, him. 47.

298

minat, perhatian, dedikasi, dan memahami masalah anak,371serta hams

mengikuti pendidikan dan pelatihan secara terpadu sesuai dengan

ketentuan UU No. 11 Tahun 2012. Ketika melakukan mediasi penal dalam

perkara ABH, hakim mempunyai kewenangan untuk tidak harus selalu

memenjarakan setiap kali ada anak melakukan tindak pidana (kasuistis).

Tidak seperti mediasi dalam perkara perdata di Pengadilan Negeri

atau Pengadilan Agama yang mewajibkan mediator (terutama kalangan

non-hakim) untuk mengikuti pelatihan sertifikasi mediator terlebih dahulu,

mediator yang menangani perkara ABH tidak harus bersertiftkat mediator

terlebih dahulu. Walaupun tidak perlu mengikuti pelatihan sertiftkasi,

mediator seyogyanya memiliki keahlian I pengetahuan yang memadai

dalam menangani perkara ABH di forum mediasi penal, di antaranya:

1. Mempunyai wawasan tentang anak.

2. Berperan netral.

3. Bersikap sabar.

4. Tidak mudah terpancing emosi.

5. Dapat membangun kepercayaan para pihak.

6. Dapat membangun komunikasi para pihak.

7. Dapat menggali kepentingan tersembunyi baik pelaku maupun

korban.

8. Membantu para pihak untuk mencari altematif solusi bagi pelaku,

korban, dan masyarakat dengan tujuan pemulihan untuk pelaku,

korban, dan masyarakat secara seimbang.

371 Ibid, Pasal 10

299

Gronfor meJtielaskan urgensi pelatihan mediasi bagi mediator anak

agar mempunyai kemampuan mendengar, bersikap netral, berpikiran

terbuka, serta ketenangan dan keberanian untuk mengambil tindakan.372

Umbreit menambahkan penjelasan mengenai beberapa sifat yang

seharusnya dimiliki oleh seorang mediator dalam menangani perkara

ABH, yaitu:373

a. Keahlian berkomunikasi yang bailc, terutama dalam mendengarkan

secara refleksif dan asertif.

b. Keahlian bernegosiasi dan memecahkan masalah.

c. Kemampuan untuk melakukan kepemimpinan yang tepa!.

d. Keahlian berorganisasi yang baik.

e. Berkomitmen terhadap filosofi dan teknik penyelesaian sengketa

tanpa kekerasan.

f. Kemampuan untuk memahami dan bekerja dengan sistem

peradilan pidana.

Dengan memiliki keahlian tersebut, mediator dapat menjalankan

tugasnya dengan baik. Mediator yang tidak memiliki cukup keahlian dan

pengalaman akan mengalami kesulitan dalam melaksanakan mediasi

perkara ABH karena kekhususan dan kompleksitas kasus ini, apalagi kalau

tidak didukung dengan persiapan yang cukup.

Peran mediator sangat penting dalam mempersiapkan korban dan

372 Martti Gronfors, 11 Mediation: A Romantic [deal or a Workable Altemativen, dalam Restorative Justice on Trial: Pitfalls and Potentials of Victim Offender Mediation-lnlernationa/ Research Perspectives, eds Messmer, H dan Otto, H.U., Kluwer Academic Publishers, Dordrecht, 1992, him. 425.

m Mark Umbreit, Victim Meets Offender: The Impact of Restorative Justice and Media/ion, Willow Tree Press, New York, 1994, him. 150.

300

pelaku sebelum memasuki proses mediasi penal agar mereka mendapatkan

cukup informasi dan mempunyai harapan yang realistis.374 Bila persiapan

dilakukan dengan baik, para pihak akan percaya bahwa mediasi penal

memberikan kesempatan pada mereka untuk memecahkan masalah yang

mereka hadapi dan mediator hanya membantu untuk mencapai

kesepakatan yang memuaskan semua pihak.375 Selain itu, mediator juga

hams berhati-hati dalam memilih atau mengundang pihak-pihak yang

berguna untuk membuat proses mediasi beijalan lancar, bukan malah

mengganggu.376

Ketika menjalankan fungsinya dalam proses mediasi penal, mediator

berperan secara aktif dengan memberikan wacana, nasihat, dan altematif

solusi. Peran ini sesuai dengan pendapat Fulton377 yang menyatakan

bahwa jenis mediator aktif adalah mediator yang turut membantu

pengembangan penyelesaian sengketa, bukan seperti mediator pasif yang

hanya berfungsi sebagai fasilitator. Umbreit and Armour78 menyatakan

bahwa mediator bertindak paling aktif ketika mempersiapkan para pihak

dalam menghadapi sesi-sesi mediasi penal dan ketika membuat sebuah

kesepakatan.

Peran mediator yang aktif dalam memediasi perkara ABH di

374 Milt Carroll, "Implementational Issues: Considering The Options for Victoria", dalam Family Conferencing and Juvenile Justice: The Way Forward or Misplaced Optimism?, eds Alder, C dan Wundernitz, J., Australian Institute of Criminology, Canberra, 1994, him. 177

375 Mark Umbreit dan Mearilyn Peterson Annour, Restorative Justice Dialogue: An Essential Guide for Research and Practice, Springer Publishing, New York, 20 I 0, him. 128

376 Martin Wright, "Victim/Offender Conferencing: The Need for Safeguards", dalam Restorative Justice for Juveniles: Potentialities, Risks, and Problems. ed Walgrave, L., Leuven Univernitr, Press, Leuven, 1998, him. 80

37 Maxwell J. Fulton, Commercial Alternative Dispute Resolution, The Law Book, Sydney, 1989, him. 75

378 Mark Umbreit dan Mearilyn Peterson Annour, Restorative Justice Dialogue: An Essential Guide for Research and Practice, Springer Publishing, New York, 2010, him. 128.

301

Indonesia ini banyak menjurus kepada dominannya keikutsertaan mediator

dalam setiap tahapan proses mediasi, sejak dimulainya mediasi hingga

perancangan kesepakatan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:

a. Jenis kasus yang dimediasi adalah kasus pidana yang sedikit banyak

memerlukan intervensi dari mediator.

b. Jabatan yang melekat pada mediator sebagai hakim anak di

pengadilansebagai perwakilan negara dalam membantu mencapai

kesepakatan yang sesuai dengan hukum pidana positif.

c. Kebiasaan hakim memutus (to adjudicate) dalam setiap perkara di

pengadilan, hingga tidak terbiasa untuk sekadar memfasilitasi proses

mediasi (to facilitate).

d. Ekspektasi dari para pihak yang memang mengharapkan mediator

sebagai orang yang mempunyai wibawa, otoritas, pengetahuan, dan

pengalaman lebih banyak untuk membantu memberikan nasihat atau

bahkan putusan yang terbaik dan memuaskan semua pihak.

Dominannya peran mediator ini disebut juga sebagai directive

mediator. Para pakar mediasi berbeda pendapat mengenai sejauh mana

seorang mediator bisa melakukan intervensi. Bila kita melihat mediasi

yang dilakukan negara-negara Barat, maka boleh dikatakan para pihaklah

yang memiliki kewenangan untuk menentukan proses dan kesepakatan

yang mereka inginkan. Mediator hanya berfungsi sebagai fasilitator yang

membantu para pihak untuk menciptakan suasana mediasi yang

konstruktif hingga bisa mencapai kesepakatan yang memuaskan semua

302

pihak.379

Sebaliknya, dalam perspektif negara-negara di Asia, mediator

memiliki kewenangan yang lebih besar untuk memberikan nasihat atau

bahkan putusan dalam sebuah kasus, hila diinginkan oleh para pihak yang

terlibat. Hal ini karena mediator yang ditunjuk oleh prinsipal adalah orang

dihormati atau dituakan yang memiliki pengalaman, kebijakan, dan

pengetahuan hidup lebih lugs untuk memberikan solusi pennasalahan yang

dihadapi. 380 Namun dari semua pendapat pakar tersebut, ada sebuah

kesepakatan bahwa mediator tidak boleh memiliki kckuasaan untuk

memutuskarena tidak akan berbeda dengan peran seorang arbiter dalam

proses arbitrase.

Sesuai dengan sifat mediasi penal sebagai pengejawantahan

keadilan restoratif, model mediasi yang digunakan adalah pendekatan

transformatif 81 di mana para pihak terlibat secara aktif untuk menentukan

bagaimana menyelesaikan sengketa yang dapat mencapai keadilan

menurut kehendak mereka menuju perubahan sikap dan kondisi hidup

korban dan pelaku ke arab yang lebih baik (transfonnasi). Keluarga dan

masyarakatjuga diharapkan ikut ter-transfonnasi dalam model mediasi ini.

Profesor John Paul Lederach, seorang pakar mediasi dan mediator

intemasional dari Amerika Serikat, mendukung penyelesaian konflik

379 Hilary Astor dan Christine Chinkin, Dispute Resolution in Australia 2" ed, Butterworths, Sydney, 2002. L. Boulle, Mediation: Principles, Process, Practice 2nd ed., Butterworths, New South Wales, 2005. C.W Moore, The Mediation Process: Practical Strategies for Resolving Conflict 3' ed., Jossey-Bass, San Fransisco, 2003.

380Joel Lee dan Teh Hwee Hwee, 11The Quest for an Asian Perspective on Med.iation 11 dalam An Asian Perspective on Mediation, eds Lee, J dan Hwee, T., Academy Publishing, Singapore, 2009

381 Linda·Fisher dan Mieke Brandon, Mediating with Families: Making The Difference, Prentice Hall, New South Wales, 2002, him. 14.

303

No I

2.

3.

4.

5.

6.

melalui pendekatan transfonnatif dibandingkan resolusi konflik karena

memiliki beberapa keunggulan seperti terlihat dalam Tabel berikue82

Tabel Perbandingan cara pandang resolusi konflik dengan

transfonnasi konflik

Aspek Resolusi Konflik Transformasi Konflik Pertanyaan kunci Bagaimana kita Bagaimana kita mengakhiri

mengakhiri sesuatu yang sesuatu yang merusak dan tidak kita inginkan membangun yang

diinginkan? Fokus Berpusat pad a is if Berpusat pada hubungan

substansi perkara (relationship-centered) (content-cantered)

Tujuan Menghasilkan Membangun proses kesepakatan dan solusi perubahan yang konstruktif, untuk masalah yang termasuk solusi yang cepat. dihadapi.

Perkembangan Dibangun berdasarkan Menganggap masalah yang proses hubungan singkat para dihadapi sebagai

pihak pada gejala kesempatan untuk konflik. menanggapi gejala konflik

dan pemberlakuan sistem. Jangka waktu Solusi jangka pendek Solusi jangka menengah

untuk mengatasi dan panjang. masalah.

Pandangan Berdasarkan kebutuhan Menganggap konflik: terhadap konflik untuk menurunkan sebagai dinamika hubungan

Skala kon flik. untuk mencapai perubahan konstruktif.

Berdasarkan perbedaan cara pandang inilah Lederach lebih

memilih penggunaan terminologi conflict transformation dibandingkan

conflict resolution atau conflict management. Selanjutnya, Lederach

menawarkan pengertian dari transformasi konflik, yaitu: 383

"Conflict transformation is to envision and respond to the ebb and flow of social conflict as lifo-giving opportunities for creating

382John Paul Lederach, The Little Book of Conflict Transformation, Good Books, PhiladeiEhia, 2003, him. 33

3 Ibid, him. 22

304

constructive change processes that reduce violence, increase justice in direct interaction and social structures, and respond to real-lifo problems in human relationships." "Transfonnasi konflik memandang dan menanggapi alur konflik sosial sebagai kesempatan yang diberikan kehidupan untuk menciptakan proses perubahan yang konstruktif yang mengurangi kekerasan, meningkatkan rasa keadilan dengan cara interaksi langsung dan struktur sosial, dan menanggapi masalah hidup yang nyata dalam hubungan antannanusia."

Transfonnasi konflik merupakan pendekatan yang lebih cocok

dalam menangani perkara ABH dengan beberapa alasan: transfonnasi

konflik tidak hanya ingin mengakhiri kerusakan akibat perbuatan pelaku,

tetapi juga memperbaiki luka sesuai keinginan para pihak; melibatkan

semua pihak secara langsung dalam penyelesaian masalah; dan bertujuan

jangka panjang untuk melindungi tidak hanya kepentingan korban dan

pelaku, tetapi juga kepentingan keluarga dan masyarakat secara luas.

Dalam melaksanakan perkara ABH, mediator wajib melihat dan

menganalisis semua aspek yang melingkupi perkara tersebut secara

komprehensif (holistic), tidak sekadar fakta hukum yang terjadi (linear).

Hal ini sangat penting untuk nnencapai proses mediasi dan kesepakatan

yang baik , langgeng, dan memuaskan semua pihak.

Analisis semua aspek secara komprehensif akan berdampak pada

pengambilan putusan hakirn. Fakta maupun Jatar belakang kejadian

perbuatan anak menjadi pertirnbangan hakim dalam memberikan altematif

solusi kepada pihak-pihak yang bennusyawarah. Hal ini berbeda dengan

mediasi perkara perdata di mana mediator tidak membahas materi pokok

perkara, tetapi mengawali dengan mengidentifikasi masalah sehingga

dalam perkara perdata tidak ada pembahasan benar salahnya para pihak.

305

Dalarn perkara pidana anak, hakim sudah mengetahui fakta-fakta yang

terungkap di persidangan dan latar belakang teJjadinya peristiwa pidana

anak dari Laporan Penelitian Kemasyarakatan (Litmas) yang disampaikan

oleh PK Bapas di awal persidangan. Hakim juga dapat menanyakan

langsung dalarn persidangan, sehingga pada saat mediasi hakim lebih

mudah mengungkap hal-hal yang tersembunyi dari kepentingan para

pihak.

Keterlibatan perwakilan masyarakat secara kasuistis juga meru­

pakan aspek yang harus dipertimbangkan oleh mediator. Kalau pelaku

masih berstatus siswa, maka mediator harus mendengar keterangan dari

guru atau wali kelas tentang perilaku anak di sekolah. Keterangan dari

Ketua RTIRW dan Kepala Desa juga perlu didengar untuk mendapat

gambaran tentang perilaku anak di rumah/tempat tinggalnya. Jadi,

referensi dari perwakilan masyarakat juga masuk dalam proses mediasi

penal dan berpengaruh terhadap putusan yang perlu diambil atau

kesepakatan yang ingin dicapai.

Mediator perlu menggunakan taktik khusus dalam melaksanakan

perkara ABH karena menjadi mediator perkara pidana anak sangat berbeda

dengan menjadi mediator untuk perkara perdata. Hal ini karena dalarn

pelaksanaannya seorang mediator perkara pidana anak harus dapat

memulihkan pelaku, korban, dan lingkungan masyarakat sesuai prinsip

keadilan restoratif. Oleh karena itu mediator harus dapat memaharni

kejiwaan atau psikologi anak untuk menggali dan mengungkap hal-hal

yang tersembunyi dari pelaku maupun korban. Penanganan anak tentu

306

sangat berbeda dengan penanganan orang dewasa, sebagaimana juga diatur

secara lex specialis di dalam Undang-undang Nomor I I Tahun 2012

tentang Pengadilan Pidana Anak.

Dalam memediasi perkara ABH, isu gender juga memainkan pe­

ranan penting. Penulis berpendapat, perempuan lebih cocok menjadi

mediator dalam penanganan ABH, namun tidakmenutup kemungkinan

bagi laki-Iaki menjadi mediator tersebut karena penekanan dalam Undang­

Undang Pengadilan Anak bukanlah terhadap jenis kelamin tetapi dedikasi

sensitif terhadap anak. Dalam praktiknya Unit Pelayanan Perempuan dan

Anak (UP2A) di Kepolisian didominasi oleh polisi wanita, sementara di

kejaksaan maupun pengadilan berimbang antara laki-laki dan perempuan.

Dalam penanganan ABH lebih baik dominan perempuan karena memiliki

sentuhan keibuan, kesabaran, dan ekspresi kasih sayang yang lebih

memungkinkan menyentuh kalbu pelaku, korban, dan masyarakat.

Menurut pendapat penulis, PK Bapas sebagai pendamping anak

sejak awal penyidikan hingga proses persidangan juga dapat bertindak

sebagai mediator atau co-mediator di setiap tahap proses peradilan. Pasal

65 UU No. I I tahun 20I2 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

menyebutkan tugas PK Bapas yaitu:

a Membuat laporan penelitian kemasyarakatan untuk kepentingan

Diversi melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan

terhadap anak selama proses diversi dan pelaksanaan kesepakatan,

termasuk melaporkannya kepada pengadilan apabila Diversi tidak

dilaksanakan.

307

b. Membuat laporan peneliotian kemasyrakatan untuk kepentingan

penyidikan, penuntutan, dan persidangan dalam perkara Anak, baik

dalam maupun di luar sidang termasuk di dalam LPAS dan LPKA;

c. Menentukan program perawatan Anak LPAS dan Pembinaan Anak

di LPKA bersama dengan petugas pemasyarakatan lainnya;

d. Melakukan pendampingan, pembimbingan dan pengawasan terhadap

Anak yang berdasarkan putusan pengadilan dijatuhi pidana atau

dikenai tindakan, dan;

e. Melakukan pendampingan, pembimbingan, dan pengawasan

terhadap anak yang memperoleh asimilasi, pembebasan bersyarat,

cuti menjelang bebas dan cuti bersyarat.

Informasi yang diberikan PK Bapas melalui laporan penelitian

kemasyarakatan sangat diperlukan sebagai pertimbangan hakim untuk

memutus perkara sesuai dengan ketentuan Pasal60ayat (3)Undang-undang

Nomor II tahun 20 12. Apabi Ia hakim tidak mempertimbangkan laporan

Litmas dari PK Bapas, maka putusan hakim batal demi hukum. Dengan

demikian penulis berpendapat bahwa keberadaan PK Bapas dalam proses

persidangan maupun proses mediasi penal sangat membantu hakim untuk

mendapatkan informasi dilapangan, baik mengenai lingkungan tempat

tinggal pelaku, korban, maupun lingkungan masyarakat, untuk mendorong

tercapainya pemulihan bagi pelaku, korban, dan masyarakat.

4. Para Pihak Mediasi Penal

Secara umum, dalam proses mediasi perkara perdata di pengadilan

para pihak yang hadir adalah yang terkait secara langsung, yaitu penggugat

308

dan tergugat. Hal ini sesuai dengan prinsip dasar kerahasiaan mediasi yang

harus dijaga. Namun dalam proses mediasi penal, para pihak yang hadir

tidak hanya yang terlibat secara langsung, tetapi juga aparat penegak

hukum dan pihak lain yang turut berperan agar perkara dapat diselesaikan

secara tuntas dan komprehensif. Kondisi ini sesuai dengan pendapat

Liebman384 yang menyatakan "victim-offender mediation is most usually

undertaken with one victim and one offender, although both may bring

supporters. But it can also be done with large numbers (multi-party

mediation)."

Dalam praktik mediasi penal di pengadilan Indonesia, para pihak

yang ikut terlibat dalam proses mediasi adalah:

1) Mediator: Penyidik anak I Penuntut Hukum anak I Hakim anak.

2) Co-mediator: Petugas kemasyarakatan BAPAS.

3) Pelaku anak.

4) Orangtua pelaku anak.

5) Karban I anak bersama orang tua korban

6) Pekelja Sosial Profesional (PEKSOS)

7) Penasihat hukum anak.

8) Perwak:ilan masyarakatlkasuistis (RT I R WI kepala desa I guru I

tokoh agama I tokoh masyarakat I LSM anak).

Prinsip dasar proses mediasi mensyaratkan adanya keseimbangan

kekuatan385 dari para pihak agar mediasi dapat beljalan lancar dan

384 Marian Liebmann, Restorative Justice: How It Works, Jessica Kingsley Publishers, London, 2007, him. 74

385 Yang dimaksud dengan kekuatan di sini mencakup banyak aspek, seperti jabatan yang dimiliki, kesetaraan pendidikan!pengetahuanlinformasi, kekayaan, gender, dan lain-lain

309

menghasilkan kesepakatan yang menguntungkan semua pihak. Namun,

ketidakseimbangan kekuatan (imbalance of power) dalam proses mediasi

penal sering muncul, terutama dalam kasus yang melibatkan adanya

korban. 386 Hal ini teljadi karena pihak keluarga korban merasa berhak

menuntut ganti rugi atau tindakan retributif lain untuk memuaskan

perasaan ingin membalas dendam terhadap perbuatan pelaku. Pelaku

merasa terpojok dan sulit mengutarakan perasaan dan kepentingannya.

Dalam banyak kasus lain, korban juga mengalami rasa tertekan dan malu

untuk mengutarakan kern bali akibat. dari perbuatan yang dideritanya

kepada banyak orang. Rasa malu ini menyebabkan sulitnya penyampaian

kepentingan yang mereka inginkan.

Maddocks387 berpendapat senada mengenai rumitnya masalah

keseimbangan kekuata.n dalam proses mediasi penal. Hal ini karena

perbuatan salah yang dilakukan dari satu pihak terhadap pihak lain

mengakibatkan para pihakmenjadi berkumpul bersama. Korban terlihat

mempunyai posisi tawar (bargaining power) lebih tinggi karena mereka

tidak harus memberikan apa-apa (nothing to lose). Pelaku terlihat harus

selalu memberi karena terancam sanksi yang lebih berat hila mediasi tidak

mencapai kesepakatan yang memuaskan korban. Korban juga bisa merasa

tidak punya kekuatan disebabkan perasaan tidak mampu mencegah

kejahatan sedari awal atau karena ada hubungan social diantara keduanya

di masyarakat. Dalam hal ini, mediator sangat dibutuhkan untuk

386 Bukan dalam kasus yang hanya merugikan pelaku secara langsung seperti dalam kasus narkoba

387 Shane C. Maddocks, Victim/Offender Media/ion in The South Australian Juvenile Justice System, South Australian Institute of Technology, Adelaide, 1990, him. 63·64

310

meminimalisasi ketidakseimbangan dari para pihak agar mediasi dapat

beljalan Iancar.

5. ProsesMediasi

Sebagaimana ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana dan ketentuan acara sidang dalam Undang-undang Nomor ll tahun

2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, urutan pemeriksaan perkara

anak adalab sebagai berikut:

a Pada hari sidang yang telab ditentukan, Penuntut Umum

menghadapkan terdakwa anak, selanjutnya disidangkan dalam ruang

sidang khusus anak dengan pemeriksaan tertntup untuk urn urn.

b. Setelab hakim menanyakan identitas terdakwa, selanjutnya atas

perintah hakim petugas PK Bapas membacakan laporan penelitian

kemasyarakatan

c. Atas perintah Hakim Anak, Penuntut Umurn Anak mernbacakan

dakwaan.

d. Apabila penasihat hukurn Anak tidak rnengajuk:an eksepsilkeberatan

atas dakwaan jaksa penuntut urnurn, rnaka dilanjutkan dengan

perneriksaan saksi-saksi dan alas bukti yang di~ukan jaksa penuntut

urnurn anak ke persidangan.

e. Hakim mendengarkan keterangan Anak. Selanjutnya, apabila hakirn

berkeyakinan semua unsuryang didakwakan penuntut umum telab

terbukti dan Anak rnengakui perbuatannya, sedangkan saksi korban

atas pertanyaan hakirn berkeinginan untuk rnemaafkan Anak, maka

kriteria dari keadilan restoratiftelab terpenuhi yaitu :

311

1) Perkara kualifikasi ringan.

2) Anak telah mengakui perbuatannya.

3) Saksi korban berkeinginan memaafkan.

4) Perwakilan masyarakat mendukung dan tidak berkeberatan untuk

ikut berm usyawarah.

f. Selanjutnya hakim memberikan kesempatan kepada para pihak untuk

melakukan musyawarah di ruang mediasi didampingi oleh pihak-pihak

yang terkait. Persidangan ditunda untuk acara tuntutan dan hakim

mengimbau para pihak untuk melaksanakan pertemuan di ruang

mediasi.

Musyawarah di ruang mediasi ini bertujuan untuk mendapat akses

keadilan bagi pelaku, korban, dan masyarakat. Sebelum menjatuhkan

putusan berupa tindakan, hakim dapat terlebih dahulu mempertemukan

Anaklpelaku/orangtua, korbanlorangtua, dan perwakilan masyarakat agar

hakim dapat melakukan pendekatan keadilan restoratif untuk mewujudkan

putusan yang bukan saja mempertimbangkan legal justice akan tetapi juga

memperhatikan moral justice dan social justice agar tercapai

keseimbangan dalam masyarakat pasca putusan hakim.

Dalam pertemuan pertama mediasi penal, mediator membuka

proses tersebut dengan menyampaikan maksud dan tujuan pertemuan

mediasi sebagai implementasi dari keadilan restoratif. Disampaikan pula

bahwa tujuan pokok pertemuan mediasi adalah untuk mencari solusi yang

adil dengan menekankan kepada pemulihan bagi pelaku anak, korban, dan

masyarakat secara seimbang, serta menyambung silaturahim antara

312

korban, pelaku, dan keluarga agar tidak ada rasa dendam di kemudian hari.

Penekanannya di sini adalah pemulihan pelaku agar menjadi pembelajaran

dan pelaku tidak mengulangi perbuatannya.

Sebelum memulai proses mediasi penal, mediator menyampaikan

beberapa hal mengenai aturan main (ground rules) yang hams disepakati

dan dipatuhi oleh semua pihak yang terlibat agar proses mediasi dapat

beljalan dengan lancar. Aturan main tersebut berisi:

a. Semua informasi penting akan disampaikan untuk didiskusikan

bersama.

b. lnformasi yang bersifat pribadi boleh disimpan/dirahasiakan.

c. Mendengar orang lain.

d. Tidak boleh ada tuduhan, hinaan, atau interupsi ketika ada pihak yang

berbicara.

e. Semua pihak harus mengendalikan emosi.

f. Jika diperlukan, mediator dapat melakukan kaukus (pertemuan terpisah)

dengan salah satu pihak dalam proses mediasi.

g. Setiap pihak berhak untuk mundur dari proses mediasi, tapi harus

menjelaskan alasan dan memberikan waktu yang cukup bagi pihak lain

untuk memberikan komentar.

h. Kesepakatan yang tercapai dibuat secara tertulis dan harus dihormati.

Setelah membuka mediasi dan para pihak menyepakati aturan main

tersebut, maka tahapan mediasi penal di pengadilan dalam menyelesaikan

perkara ABH adalah sebagai berikut:

a. Semua pihak yang hadir diharapkan menciptakan suasana akrab dan

313

kekeluargaan ( dalam bentuk lingkaran).

b. Pertemuan diawali dengan ritual khusus (sesuai budaya dan kondisi

yang dihadapi) untuk mengangkat semangat kebersamaan serta

mendukung ketulusan dan keterbukaan.

c. Setiap orang memperkenalkan diri seraya menjelaskan alasan

kehadiran dalam pertemuan.

d. Mediator memulai dengan menanyakan pada pelaku tentang apa yang

ia rasakan ketika dan sesudah melakukan perbuatan tersebut, serta

menanyakan pula apa yang dirasakan orangtua pelaku.

e. Mediator kemudian menanyakan pada korban tentang apa yang ia

rasakan ketika dan sesudah perbuatan tersebut teijadi, serta

menanyakan pula apa yang dirasakan orangtua korban (apabila korban

adalah anak).

f. Mediator menanyakan kepada perwakilan komunitas masyarakat,

bagaimana perilaku pelaku sebelum dan sesudah melakukan perbuatan

pidana dan mengaitkan dengan Jatar belakang teljadinya peristiwa

pidana dari laporan litmas PK Bapas.

g. Mediator bertanya kepada pihak lain yang hadir tentang pe­

. __ ngalaman/pendapatmerekamengenai perbuatan yang teljadi.

h. Mediator kemudian bertanya bagaimana mencapai keadilan yang

memuaskan dalam situasi yang teljadi dan bertanya kepada

pelaku/orangtua dan korban/orangtua tentang apa yang menjadi

harapan masing-masing.

i. Apabila mencapai kesepakatan, maka kesepakatan itu dibuat secara

314

tertulis dan ditandatangani oleh pelakulkeluarga, korban/ keluarga, dan

pihak lain yang hadir.

J. Proses mediasi berakhir dengan ritual khusus.

k. Apabila diperlukan, mediatordapat melakukan kaukus (pertemuan

terpisah) atas persetujuan para pihak.

Umbreit dan Armoufl88 menyatakan bahwa tidak seperti proses

mediasi umum yang mengutamakan tercapainya kesepakatan (settlement

driven), proses mediasi penal berfokus pada terciptanya dialog antara

korban dan pelaku (dialogue driven). Penekanannya terletak pada

pemulihan korban, tanggung jawab pelaku, dan perbaikan atas kerusakan

yang ditimbulkan. Liebmann389 membagi proses mediasi penal menjadi

dua tahap, yaitu:

1. Pertemuan terpisah (separate meetings):

Bertemu dengan korban dan pelaku secara terpisah untuk melihat

kemungkinan melakukan mediasi.

Jika memungkinkan, dilakukan persiapan untuk mempertemukan

para pihak secara langsung, termasuk mendiskusikan aturan main

(ground rules).

2. Pertemuan bersama Ooint meeting):

Pernyataan pembukaan, pengenalan, dan aturan main.

Setiap pihak menyampaikan cerita mereka tanpa interupsi.

Saling bertukar pertanyaan.

388 Mark Umbreit dan Mearilyn Peterson Armour, Restorative Justice Dialogue: An Essential Guide for Research and Practice. Springer Publishing, New York, 2010, him. 128

389 Mariam Liebmann, Restorative Justice: How It Works, Jessica Kingsley Publisher, London, 2007, him. 73-74

315

Mulai membangun kesepakatanjika memungkinkan.

Penulisan kesepakatan.

Penutupan dan mengatur tindak lanjut.

Penjelasan penutup dari mediator.

5. Kesepakatan

Apabila mediasi penal yang dilakukan dalam menangani perkara

ABH berhasil mencapai titik temu, maka dibuat kesepakatan perdamaian

antara pelaku/orangtua, korban/orangtua, dan saksi-saksi yang terdiri dari

perwakilan masyarakat (guru, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan

penasihat hukum), dan mediator (terdiri dari PK Bapas, jaksa anak, dan

hakim anak) yang ditandatangani oleh pihak-pihak terkait. Dalam mediasi

penal kasus ABH, mediator perlu menyampaikan ke pada para pihak

bahwa orangtua mereka juga harus setuj u dengan butir-butir kesepakatan

yang dicapai untuk memastikan kemampuan ABH memenuhinya.390

Peneliti juga mengidentifikasi perbandingan antara proses diversi

yang telah diatur dalam UU No. II tahun 2012 dengan konsep mediasi

penal berdasarkan praktik yang akan diatur selanjutnya, antara lain:

Perbedaan Diversi dengan Mediasi Penal

No Kriteria Diversi Mediasi Penal

I Ancaman - 7 (tujuh) tahun kebawah\ - 7 (tujuh) tahun atau

Hukuman - Bukan Pengulangan keatas

390 Mark Umbreit dan Jean Greenwood, 'The Mediation Process: Phases and Tasks" dalan he Handbook of Victim Offender Medialion: An &sential Guide to Practice and Research. ec Jmbreit, M., Jossey-Bass, San Fransisco, 2001, him. 42.

316

- Diutamakan kualifikasi

ringan

2 Pelaksana Fasilitator/ Wakil Fasilitator Mediator!Wakil Mediator

3 Fungsi Fasilitator berperan secara Mediator berperan secara

Pelaksana pas if aktif dengan memberikan

wacana, nasihat dan

membantu mencari

altematif solusi

4 Mekanisme - Dilaksanakan oleh - Penyidik dilakukan

Penyidik, Penuntut setelah BAP, Penuntut

Umum, Pengadilan Umum dilakukan pada

saat pelimpahan berkas

perkara tahap dua,

sedangkan di pengadilan

mediasi dilakukan

setelah pemeriksaan

anak (pelaku) sebelum

pembacaan tuntutan.

-- · Dialihkan keluar Sistem - Terintegrasi dalam

Peradilan Pidana Anak hukum acara Sistem

(non penal) Peradilan Pidana Anak

(penal)

5 Hasil Diserahkan kepada Ketua Hasil kesepakatan mediasi

Kesepakatan Pengadilan untuk ditingkat penyidikan dan

317

mendapatkan penetapan penuntutan serta di

diversi. Pengadilan menjadi

pertimbangan dalam

tuntutan dan putusan.

6 Keluaran Apabila isi kesepakatan Kesepakatan mediasi

(Output) diversi telah dilaksanakan dipertimbangkan dalam

berdasarkan laporan PK tuntutan untuk menuntut

BAPAS maka ditingkat berupa tindakan dan

--- penyidikan , dike\uarkan dipertimbangkan dalam

SP3, ditingkat Penuntutan putusan berupa tindakan

dikeluarkan SKP2, dan di atau pidana yang seringan-

tingkat pengadilan ringannya (pidana

dike\uarkan perintah bersyarat) kasuistis.

penghentian Penuntutan.

--

Persamaan Diversi dengan Mediasi Penal

No Kriteria Diversi Mediasi Penal

I Tujuan - Memulihkan Pelaku, - Memulihkan Pelaku,

- -Korban, dan Masyarakat Korban, dan Masyarakat

2. Asas - Musyawarah mufakat - Musyawarah mufakat

3. Pihak-pihak - Korban, Pelaku, Korban, - Korban, Pelaku, Korban,

dan Perwakilan dan Perwakilan

Masyarakat Masyarakat

318

Dalam persidangan yang akan datang, PK Bapas diharap dapat

melaporkan basil pertemuan mediasi. Apabila mediasi berhasil

menandatangani kesepakatan perdamaian o leb para pibak, maka PK Bapas

membacakan basil kesepakatan tersebut di persidangan yang telab -

ditentukan oleb bakim. Selanjutnya basil kesepakatan perdamaian

diberikan kepada jaksa penuntut umum untuk mengajukan rencana

tuntutan. Hasil kesepakatan perdamaian juga dilampirkan dalam pledoi

penasihat bukum anak dan dilampirkan pula dalam berkas perkara sebagai

bahan pertimbangan bakirn untuk memutus perkara pidana tersebul

Dengan keberbasilan mediasi yang bertujuan pemulihan bagi

pelaku dan korban, diharapkan tuntutan dan putusan adalah berupa

tindakan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Pengadilan Anak.391

PK Bapas juga bisa berfungsi sebagai pembimbing dan pengawas sesuai

ketentuan Undang-Undang Pengadilan Anak392 dan Undang-Undang

Pemasyarakatan.393 Keberhasilan musyawarah dalam mediasi penal

Sebagai instrumen keadilan restoratif tidak berakibat dihentikannya proses

peradilan bagi anak, namun banya berdampak kepada tuntutan jaksa

penuntut umum maupun putusan bakim yaitu berupa tindakan.

Pengaturan . mengenai syarat, tempat dan waktu pelaksanaan,

mediator, para pibak, proses, dan basil kesepakatan mediasi penal

sebagaimana yang telah dijelaskan diatas kedepannya hams diatur menjadi

bagian dalam bukum acara Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia.

391 Pasa16 ayat 3 hurufc dane Undang-Undang No.12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan 392 Pasal 34, ibid 393 Pasal 6 ayat 3 huruf c dan e Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang

Pemasyarakatan.

319

Dalam praktiknya, kegagalan mediasi penal untuk mencapai

kesepakatan dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu:

I. Pihak korban dan keluarganya tidak mau dipulihkan dan tidak mau

meminta sejumlah ganti rugi dan syarat-syarat lain karena memiliki rasa

dendam sehingga korban menginginkan tenlakwa dijatuhi pidana

penjara.

2. Kegagalan ini bisa teljadi karena ada pengaruh dari luar seperti desakan

keluarga besar korban atau tekanan masyarakat.

3. Pelaku sudah mengaku tetapi tidak sanggup memenuhi permintaan

korban dan keluarganya, misalnya dalam bentuk sejumlah ganti rugi.

Setelah menguraikan pembahasan pengaturan normatif mengenai

Sistem Peradilan Pidana Anak dan praktik mediasi penal di Indonesia.

Peneliti selanjutnya akan menganalisis dengan teori dan konsep yang

berkaitan. Grand theory dalam penelitian ini di mana peneliti

menggunakan teori keadilan oleh John Rawls yang menyatakan pada

dasarnya keadilan merupakan prinsip dari kebijakan rasional yang

diaplikasikan untuk konsepsi jumlah dari kesejahteraan seluruh kelompok

dalam masyarakat. Untuk mencapa\ keadilan, maka rasional j ika seseorang

memaksakan .pemenuhan keinginannya sesuai dengan prinsip kegunaan.

Prinsip keadilan dipilih karena mengadopsi ide yang lebih realistis

dalam menyusun aturan sosial di atas prinsip saling menguntungkan, yang

akan meningkatkan efektifitas kerja sama sosial. Dalam konsepsi keadilan

sebagai kewajaran (justice of fairness), ditemukan kumpulan prinsip­

prinsip yang saling berhubungan untuk mengidentifikasi pertimbangan-

320

pertimbangan yang relevan dan menentukan keseimbangan. Justice of

fairness lebih memiliki ide yang lebih umum dan lebih pasti, karena

prinsip-prinsip keadilan (principles of justice) sudah dipilih dan sudah

diketahui umum. Hal ini berbeda dengan prinsip kegunaan (principle of

utility), dimana makna konsep keadilan diambil dari keseimbangan yang

tepat antara tuntutan-tuntutan persaingan. Prinsip kegunaan dapat dilihat

dari 2 (dua) sisi.

I. bahwa masyarakat yang teratur merupakan pola dari kelja sama

untuk memperoleh keuntungan timbal batik yang diatur oleh

prinsip-prinsip yang dapat dipilih dalam situasi awal sebagai

sesuatu yang wajar.

2. sebagai efesiensi administrasi dari sumber-sumber sosial untuk

memaksimalkan kepuasan dari sistem dari keinginan yang

dikonstruksikan oleh pengamat yang netral.

John Rawls menyatakan bahwa keadilan pada dasamya sebagai

kebaikan utama dari hadimya institusi-institusi sosial (social institutions).

Namun kebaikan bagi seluruh masyarakat tidak dapat mengesampingkan

atau mengganggu rasa keadilan dari setiap orang yang telah memperoleh

rasa .keadilan, khususnya masyarakat yang lemah. Dengan demikian harus

terdapat keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan

bersama. Untuk menghindari teljadinya benturan antara kepentingan

pribadi dengan kepentingan bersama tersebut diperlukan adanya ketentuan

hukum yang mengatumya.

Dalam kehidupan di masyarakat, keadilan berusaha untuk

321

memposisikan adanya situasi yang sama dan secara antara setiap individu,

serta tidak ada pihak yang memiliki posisi yang lebih tinggi antara satu

dengan yang lainnya, sehingga kedudukan para pihak dalam suatu

perjanjian harus sama dan seimbang. Menurut John Rawls, kondisi ini

sebagai "posisi original" yang bertumpu pada pengertian ekulibrium

reflektif dengan didasari oleh ciri rasionalitas (rationality), kebebasan,

(freedom), dan persamaan (equality) gun a mengatur struktur dasar

masyarakat (basic structure of society). Orang akan sampai pada suatu

peijanjian original (original agreement) mengenai prinsip keadilan jika

persyaratannya dipenuhi. Salah satu persyaratan yang hams dipenuhi yaitu

keadilan yang dipilih harus berdasarkan kesepakatan yang telah ditetapkan

bersama oleh para pihak, sehingga menghasilkanjustice as fairness. Teori

keadilan yang bersifat kontrak ini akan menjamin kepentingan semua

pihak secara fair. Dengan demikian seluruh gagasan John Rawls mengenai

keadilan dan berbagai implikasinya dalam penataan sosial politik dan

ekonomi harus ditempatkan dan dimengerti dalam perspektif kontrak.

Pendikotomian antara keadilan yang menekankan pada prosedur

dengan keadilan yang menekankan pada basil tidak akan mendatangkan

.dampak positif bagi upaya menciptakan keadilan itu sendiri.

Pendistribusian sumberdaya yang dari sisi prosedur sudah dilaksanakan

secara layak, memberi kebebasan, dan memberi kedudukan yang sama

tidak akan mempunyai makna apapun jika hasilnya dinilai tidak adil oleh

masyarakat. Oleh karenanya baik dari segi prosedur maupun hasil,

pendistribusian sumberdaya barns dinilai adil oleh masyarakat.

322

Konsep keadilan dari pemikiran John Rawls sebagaimana

dijelaskan diatas berkaitan dengan penarapan mediasi penal yang

melandaskan pada keadilan restoratif. John Rawls menyatakan prinsip

keadilan menyusun aturan sosial di atas prinsip sating menguntungkan

yang akan meningkatkan efektifitas kelja sama sosial. Salah satu

persyaratan yang hams dipenuhi yaitu keadilan yang dipilih hams

berdasarkan kesepakatan yang telah ditetapkan bersama oleh para pihak,

sehingga menghasilkan keadilan sebagai kewajaran (justice as fairness)

untuk mengidentifikasi pertimbangan-pertimbangan yang relevan dan

menentukan keseimbangan. Eksistensi mediasi penal menciptakan

keadilan yang sating menguntungkan antara pelaku, korban, dan

masyarakat, sehingga tercapailah keadilan sebagai kewajaran yang

seimbang bagi para pihak.

Analisa selanjutnya akan dikaitkan dengan middle range theory

yang menggunakan teori tujuan pemidanaan. Negara mempunyai

kedudukan yang sangat penting dalam menjamin keamanan dan ketertiban

dalam masyarakat. Salah satu alat untuk menjamin hal itu, yaitu adanya

ketentuan hukum pidana yang memberikan kepastian hukum dan keadilan

bagi masyarakat. Namun, tidak selamanya ketentuan dapat dilaksanakan,

karena banyak masyarakat yang melanggar ketentuan yang tercantum di

dalam KUHP. Sehingga, para pelaku yang melanggar ketentuan itu dapat

dikenakan hukuman atau sanksi pidana. Sanksi pidana yang dijatuhkan itu,

disesuaikan dengan berat atau ringannya perbuatan pidana yang dilakukan

oleh pelaku. Yang menjadi pertanyaan kini, mengapa negara menjatuhkan

323

sanksi pidana kepada pelaku, apakah karena ada unsur pembalasan,

menakut-nakuti seseorang dari melaksanakan perbuatan jahat, dan lain­

lain.

Teori-teori yang mengkaji dan menganalisis tentang mengapa

negara menjatuhkan sanksi pidana kepada pelaku disebut dengan teori

pemidanaan. Teori pemidanaan, yang dalam bahasa Inggrisnya disebut

dengan theory of punishment, sedangkan dalam bahasa Belanda, disebut

dengan theorie van de straf berkaitan erat dengan penjatuhan pidana

kepada pelaku yang melanggar peraturan perundang-undangan yang

berlaku. Dengan adanya pandangan bahwa tindak pidana bukan semata­

mata sebagai pelanggaran terhadap hukum negara tetapi juga merupakan

perbuatan yang menimbulkan kerugian bagi masyarakat khususnya korban

yang langsung merasakannya, maka mudah dipahami

pertanggungjawabannya bukan ditujukan kepada negara tetapi lebih

dipusatkan kepada korban sebagai bentuk pertanggungjawaban yang harus

ditebus melalui pemberian ganti rugi bagi si korban dan bukan kepada

negara.

Wayne R. Lafave yang menyebutkan salah satu tujuan pidana

adalah sebagai deterrence effict atau efek jera agar pelaku kejahatan tidak

lagi mengulangi perbuatannya. Demikian juga pidana bertujuan sebagai

edukasi kepada masyarakat mengenai mana perbuatan yang baik dan mana

perbuatan yang buruk. Tujuan pidana sebagai deterrence effect pada

hakikatnya sama dengan teori relatif terkait dengan prevensi khusus.

Tujuan pidana yang lain adalah rehabilitasi. Artinya, pelaku kejahatan

324

harus diperbaiki ke arah yang lebih baik, agar ketika kembali ke

masyarakat dapat diterima oleh komunitasnya dan tidak lagi mengulangi

perbuatan jahat. Selanjutnya menurut Lafave, pidana juga bertujuan

sebagai pengendalian sosial. Artinya, pelaku kejahatan diisolasi agar

tindakan berbahaya yang dilakukannya tidak merugikan masyarakat.

Terakhir menurut Lafave, pidana bertujuan untuk memulihkan keadilan

yang dikenal dengan istilah restorative justice atau keadilan restoratif.

Tujuan pemidanaan sebagaimana yang telah disampaikan oleh

Wayne R. Lafave diatas tentunya sejalan dengan konsep Restorative

Justice yang merupakan pendekatan penyelesaian perkara menurut hukum

pidana yang melibatkan pelaku kejahatan, korban, keluarga korban atau

pelaku dan pihak lain yang terkait untuk mencari penyelesaian yang adil

dengan menekankan pada pemulihan kembali pada keadaan semula dan

bukan pembalasan. Untuk itu dapat dikatakan bahwa tujuan pemidanaan

sebagaimana yang disampaikan oleh Lafave tersebut juga sejalan pula

dengan konsep mediasi penal yang dilandaskan pada keadilan restoratif.

Sedangkan kajian berdasarkan applied theory menggunakan teori

dan konsep mediasi penal. Penanggulangan tindak pidana melalui jalur

penal lebih menitikberatkan pada sifat represif (penindakan atau

pemberantasan atau penumpasan sesudah kejahatan teijadi, sedangkan

jalur nonpenal lebih menitik beratkan pada sifat preventif

(pencegahan/penangkalan dan pencegahan) sebelum kejahatan teijadi.

Jalur non penal adalah jalur penanggulangan tindak pidana dan

penaggulangan terhadap dampak yang muncul dari tindak pidana.

325

Konsep mediasi penal yang peneliti jadikan dasar kajian adalah

pandangan yang disampaikan oleh Stefanie Trankle yang menyatakan

prinsip kerja (working principles) mediasi penal sebagai berikut:

a. Penanganan konflik (Conflict Handling! Konf/ikbearbeitung):

Tugas mediator adalah membuat para pihak melupakan

kerangka hukum dan mendorong mereka terlibat dalam

proses komunikasi. Hal ini didasarkan pada ide, bahwa

kej ahatan telah menimbulkan konflik interpersonal. Kon-{iik

itulah yang dituju oleh proses mediasi.

b. Berorientasi pada proses (Process Orientation; Prozess­

orientierung): Mediasi penal lebih berorientasi pada kualitas

proses dari pada basil, yaitu: menyadarkan pelaku tindak

pidana akan kesalahannya, kebutuhan-kebutuhan konflik

terpecahkan, ketenangan korban dari rasa takut, dan

sebagainya.

c. Proses informal (Informal Proceeding-Informa/itat): Mediasi

penal merupakan suatu proses yang informal, tidak bersifat

birokratis, menghindari prosedur hukum yang ketat.

d. Ada patisipasi aktif dan otonom pada pihak (Active and

Autonomous Participation Parteiautonomie

/Subjektivieruxg): Para pihak (pelaku dan korban) tidak

dilihat sebagai objek dari prosedur hukum pidana, tetapi lebih

sebagai subjek yang mempunyai tanggung jawab pribadi dan

kemam-opuan untuk berbuat. Mereka diharapkan berbuat atas

326

kehendaknya sendiri.

Prinsip kelja itulah yang nantinya akan menjadi prinsip yang harus

dilaksanakan oleh para pihak dalam melaksanakan mediasi penal. Namun

berdasarkan pengalaman peneliti sebagaimana telah diuraikan pada bagian

praktik mediasi penal, terdapat satu prinsip lagi yang seharusnya

diterapkan dalam mediasi penal yaitu pelibatan perwakilan masyarakat

untuk bersama-sama korban dan pelaku mencari penyelesaian yang adil

dengan menekankan pada pemulihan sebagaimana pengejawantahan

paradigma keadilan restoratif. Pemikiran peneliti ini akan melengkapi

konsep mediasi penal yang disampaikan oleh Stefanie Trankle yang hanya

menekankan pelibatan pastisipasi aktif dari pihak korban dan pelaku.

327

A. Kesimpulan

BABV

PENUTUP

Berdasarkan pada pembahasan dalam penelitian ini, maka peneliti

berkesimpulan sebagai berikut:

I. Mediasi penal merupakan perkembangan baru dalam ranah hukum pidana

yang membawa implikasi diterapkannya dimensi bersifat publik ke dalam

ranah hukum privat. Pada perspektif filosofis eksistensi mediasi penal

mengandung nilai keadilan dan pada perspektif sosiologis mengandung nilai

kemanfaatan. Eksistensi mediasi penal merupakan pengejawantahan keadilan

restoratif sama dengan upaya diversi yang telah diatur secara normatif dalam

Sistem Peradilan Pidana Anak yang mengandung asas keseimbangan (win-win

solution). Mediasi penal penting diterapkan dalam sistem peradilan pidana

anak karena mediasi penal memberikan ruang untuk bermusyawarah atau

berundingbagi anak yang diduga melakukan tindak pidana yang diancam

hukuman 7 (tujuh) tahun atau keatas. Mediasi penal juga dapat memberikan

ruang untuk bermusyawarahl berunding bagi korban dan masyarakat dengan

pelaku anak yang berumur 12 sampai dengan dibawah 14 tahun yang hanya

dapat dijatuhi putusan berupa tindakan. Model mediasi penal yang paling ideal

diterapkan di Indonesia adalah kombinasi model Victim Offender Mediation

dan model Family and Community Conference. Dengan tujuan mencari solusi

yang dapat memulihkan pelaku, korban, serta masyarakat secara seimbang

dengan mengutamakan pendekatan keadilanrestoratif.

328

2. Pengaturan proses mediasi penal yang diterapkan dalam sistem peradilan

pidana anak dapat dilakukan dari tahap penyidikan penuntutan, dan

pengadilan dengan memenuhi syarat-syarat antara lain pelaku mengakui

perbuatannya, berjanji tidak mengulangi, meminta maaf kepada korban dan

bertanggung jawab, sebaliknya korban bersedia menerima permohonan maaf

dan bersedia melakukan musyawarah atau perundingan, sedangkan perwakilan

masyarakat mendukung untuk dilakukan musyawarah, syarat kbusus mediasi

penal diutamakan perkara kualifikasi ringan. Proses mediasi diawali dengan

pembukaan oleh mediator, tahap pembahasan Permasalahan, tahap akhir

menyusun kesepakatan mediasi dan seluruh pihak yang hadir menandatangani

kesepakatan mediasi. Hasil kesepakatan mediasi dijadikan pertimbangan

dalam tuntutan Penuntut Umum dan putusan Hakim yang berupa tindakan.

B. Saran

Saran yang dapat disampaikan dari basil analisis di atas adalah:

I. Perlu adanya perubahan Undang-Undang No II Tahun 2012 Tentang

Sistem Peradilan Pidana Anak kbususnya tentang batasan ancaman dalam

Pasal 7 tentang syarat diversi ditambah dengan pengaturan perkara anak

yang ancaman hukuman 7 (tujuh) tahun atau 7 (tujuh) tahun keatas

dengan kualifikasi ringan dapat dilaksanakan konsep mediasi penal yang

diterapkan dalam Sistem Peradilan Pidana Anak.

2. Perlu dilakukan perubahan terhadap Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4

Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem

Peradilan Pidana Anak, kbususnya Pasal 3 yang bertentangan dengan

329

syarat diversi pada Pasal 3 (2) PP Nom or 65 Tahun 2015 tentang

Pedoman Pelaksanaan Diversi Anak yang Belum Berumur 12 (dua betas)

tahun. Agar di dalam revisi Perma diatur tentang pelaksanaan konsep

mediasi penal yang dapat mengakomodir perlindungan terhadap anak yang

dilimpahkan dengan dakwaan bukan tunggal dengan ancaman 7 (tujuh)

tahun atau ke atas.

330

DAFTAR PUSTAKA

Buku

A, Bryan Garner, ed .. Black's Law Dictionary, Eight Edition. United State of America: West, a Thomson Business. 2004.

A, Gede B.Wiranata, Hukum Adat Indonesia Perkembangan Dari Masa Ke Masa, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. 2005.

Achjani, Eva Zulfa. Pergeseran Paradigma Pemidanaan. Bandung: Lubuk Agung, 2011.

Adi, Koesno. Kebijakan Kriminal dalam Sistem Peradilan Pidana yang Berorientasi pada

Kepentingan Terbaik Bagi Anak. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar daiam bidang

llmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Maiang, 2009.

Adrnosudirdjo, Prajudi. Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Ghaiia Indonesia, 198.

Agus, Muhari Santoso. Paradigma Baru Hukum Pidana. Maiang: Averroes Press. 2002.

Allen, Steven. daiam Purnianti, Ni Made Martini Tinduk, et.ail, Analisa Situasi Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice System) di Indonesia, UNICEF, Indonesia, 2003.

Algra, NE H.R. W. Gokkel; Saleh Adiwinata, DH; A Teloeki; H. Burhanoeddin, St. Batoeta.

Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae, Alumni, Bandung, 1972.

Ali, Mahrus. Menggugat Dominasi Hukum Negara Berdasarkan Perkara Carok Berdasarkan

Niai-Nilai Budaya Masyarakat Madura. Yogyakarta: Rangkang Indonesia, 2009.

Ali, Ahmad. Sosiologi Hukum Kajian Empiris Terhadap Pengadilan. Jakarta: BPIBLAM. 1998

Andrisman, Tri. Mediasi Penal. Jakarta: PT Rienika Cipta. 2010.

Anwar, Yesrnil. dan Adang, Sistem Peradilan Pidana, Konsep, Komponen & Pelaksanaannya dalam Penegakan Hukum di Indonesia, Widya Padjadjaran, Bandung, 2009.

Arifm, M . Filsafat Pendidikan likm Jakarta: Bina Aksara, 1987.

A, Richard, Myren, Law and Justice, An Introduction,, Brooks/Cole Publishing, Pacific Groove. 1988.

A, Rodney Ellis dan Karen M.Sowers,Juvenile Justice Practice: Across Disciplinary Approach to Intervention, Wadsworth, Belmont. 2001.

Asshiddiqie, Jimly. Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia: Studi tentang Bentuk-Bentuk Pidana Dalam Tradisi Fiqh dan Relavansinya Bagi Usaha Pembaharuan KUHP Nasional. Bandung: Penerbit Angkasa. 1996.

Astor, Hilary dan Christine Chinkin, Dispute Resolution in Australia 2" ed. Sydney: Butterworths. 2002.

Atmasasmita, Romly. Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi. Bandung: Penerbit

Mandar Maju, 1995.

Atmasasmita, Romly. Sistem Peradilan Pidana Kontemporer. Jakarta: Kencana Prenada Media

Grup. 2010.

Atmasasmita, Romli. Perbandingan Hukum Pidana. Bandung: Mandar Maju. 1996.

Atmasasmita, Romli. Sistem Peradilan Pidana: Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, Bandung: Bina Cipta. 1996.

Bazemore, Gordon dan Sarah O'Brien "The Quest for a Restorative Model of Rehabilitation: Theory-for-Practice and Practice-for-Theory", dalarn Restorative Justice and the Law, ed Walgrave, L., Willan Publishing, Oregon. 2001

Bill, Shaw dan Wolfe, Art, The Structure of Legal Environment :Law, Ethics, and Business, PWS-KENT Publishing Company, Boston, 1991

Black, Donald. Sociological Justice. Oxford University Press. 1989.

Braithwaite, John. Restorative Justice & Responsive Regulation, Oxford University Press,

England. 2002.

Boulle, L. Mediation: Principles, Process, Practice 2nd ed., Butterworths, New South Wales, 2005. C. W Moore, The Mediation Process: Practical Strategies for Resolving Conflict 3' ed., Jossey-Bass. San Fransisco. 2003.

Budiardjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Grarnedia. 1993.

Budiman, Arif. Negara Jaga Malam dalam Demokrasi, Yogyakarta: FH UII. 1997.

Cahyadi, Antonius. Runtuhnya Sekat Perdata dan Pidana: Studi Peradilan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008.

Campbell, Hendry. Black's Low Dictionary, St. Paul. New York: Minn West Publishing Co. 1990.

Cane, Peter dan Herbert M. Kritzer, Cane, ed., The Oxford Handbook of Empirical Legal Research, Oxford: Oxford University Press. 2010.

Carroll, Milt "Implementational Issues: Considering The Options for Victoria", dalarn Family Conferencing and Juvenile Justice: The Way Forward or Misplaced Optimism?, eds Alder, C dan Wundersitz, J., Australian Institute of Criminology, Canberra, 1994

Chazawi, Adam. Pelajaran Hukum Pidana, Bagian I. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2007.

Consedine, Jim. Restorative Justice: Healing the Efficts of Crime. Lyttelton : Ploughshares Publications, 1995.

C, Shane Maddocks, Victim/Offender Mediation in The South Australian Juvenile Justice System, South Australian Institute of Technology, Adelaide. 1990.

Daradjat, Zakiyah, dkk. flmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. 1992.

Daly, Kathleen dan Russ Immarigeon. The Past, Present, and Future of Restorative Justice :

Some Critical Rejlection,dalam Contemporary Justice Review I (1), 1998.

Darmodiharjo, Darji dan Shidarta, Pokok-polwk Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indanesia. Jakarta: Gramedia 2004.

Dewi, DS dan Fatahillah A. Syukur. Mediasi Penal: Penerapan Restorative Justice di

Pengadilan Anak Indonesia. Depok: Indie Publishing. 2011.

Dinstein, Yoram. HakAtas Hidup, Keutuhan Jasmani, dan Kebebasan, dalam Hak Sipil dan

Dirdjosisworo, Soedjono, Filsafat Peradilan Pidana dan Perbandingan Hukum, Bandung: Arrnico, 1984.

Diijosisworo, Soedjono. Pengantar flmu Hukum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2010.

Dvannes. Restorative Justice Briefing Paper-2.Centre for Justice & Reconciliation, November

2008.

E, Dean Peachey, "Restitution, Reconciliation, Retribution: Identifying the Forms of Justice People Desire", dalam" Restorative Justice on Trial: Pitfalls and Potentials of Victim Offender Mediation-International Research Perspectives, eds Messmer, H and Otto, H.U., Kluwer Academic Publishers, Dordrecht. 1992.

ELSAM. Dimensi-dimensi HAM pada Administrasi keadilan, Jakarta: Elsam. 2000.

Erwin , Muhammad. dan Amrullah Arpan. Filsafat Hukum Mencari Hakikat Hukum. Palembang : Penerbit UNSRI. 2001.

Enew, Judt. Difficult Circumstances:Some Reflections on "Street Children" in Africa, Children,

Youth and Environments 13(1 ). Spring 2003.

F, George Cole, Criminal Justice, Law & Politic, 4th Edition. California: Brooks/Cole Publishing Company Monterey. 1984.

Galaway, Burt and Joe Hudson. Criminal Justice, Restitution and Reconciliation, Monsey, NY: Criminal Justice Press. 1990.

G, Dean Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin, Konflik Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004.

Gopaster, Gary. Negosiasi dan Mediasi : Sebuah Pedoman Negosiasi dan Penyelesaian Sengketa

Melalui Negosiasi. Jakarta: Elips Projek. 1993.

Gultom, Samuel. Mengadili Karban : Praktek Pembenaran Terhadap Kekerasan Negara,

Jakarta: Elsam. 2003.

Hamzah, Andi. Terminologi Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafik:a. 2009.

Hamzah, Andi. Hukum Pidana Ekonomi. Jakarta: Airlangga. 1983.

Hanitijo, Ronny Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Juri Metri. Jakarta: Ghalia

Indonesia, 1990.

Hartono, Sunaryati. Penelitian Hukum di Indonesia pada Abad ke-20. Bandung: Alumni. 1994.

Hanitijo, Ronny Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Juri Metri, Jakarta: Ghalia Indonesia. 1990.

Hassan, Maulana Wadong, Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, Crasindo, Jakarta, 2000

Herman, Manheim. Comperative Criminology, Boston New York, 1985.

Huijbers, Theo. Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta, 2005.

Huijbers,Theo. Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta: Kanisius. 1988.

Ihromi, TO Antropologi Hukum: Sebuah Bunga Rampai. Jakarta Yayasan Obor Indonesia. Jakarta, 1993.

James, Rachel. Filsafat Moral. Kanisius, Yogyakarta, 2004.

J, Maxwell Fulton, Commercial Alternative Dispute Resolution. The Law Book, Sydney. 1989.

Joachim, Carl Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis. Bandung: Nuansa dan Nusamedia. 2004.

Kaime, Wanjku -Atterhog. The Social Context of Children in Especially Difficult Circumstances

(CEDC), ESCAP HRD Course on Psychosocial and Medical Services for Sexually

Abused and Sexually Exploited Children and Youth, 2005.

Kartono, Kartini. Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja. Jakarta: Rajawali. 1992.

Kelana, Momo. Memahami Undang-Undang Kepolisian: Latar Belakang dan Komentar Pasal

demi Pasal. Jakarta: PTIK Press. 2002.

Ke1sen, Hans. General Theory of Law and Stat. New York: Russel & Russel. 1973.

Kristiana, Yudi. Menuju Kejaksaan Progresif, Studi Tentang Penyelidikan, Penyidikan, dan Penuntutan TindakPidana, Yogyakarta: LSHP- Indonesia,. 2009.

Liang, The Gie. Teori-teori Keadilan, Sumbangan Bahan untuk Pemahaman Pancasila,Yogyakarta: Super. 1979.

Lee, Joel. dan Teh Hwee Hwee, "The Quest for an Asian Perspective on Mediation" dalarn An Asian Perspective on Mediation, eds Lee, J dan Hwee, T. Singapore: Academy Publishing. 2009.

L, Bernard. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, dan Markus Y. Hage, Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, CV. Kita, Surabaya, 2006.

Liebmann, Mariam. Restorative Justice: How It Works, Jessica Kingsley Publisher, London, 2007.

L, Herbert Packer. The Limits of the Criminal Sanction. California: Stanford University Press.

1968.

Made, I Widnyana. Bunga Rampai Pembangunan Hukum Indonesia. Bandung: Eresco. 1995.

Made, Ni Martini Tinduk, et.all. Analisa Situasi Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice

System) di Indonesia, UNICEF, Indonesia, 2003.

Mabfud., MMD. Politik Hukum Ketatanegaraan Indonesia, Jakarta: Radjawali Press. 2001.

Mahmud, Peter Marzuki. Penelitian Hukum. Jakarta: Predana Media. 2005.

Manan, Bagir. Hubungan Antar Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945, Jakarta: Sinar Harapan, 1994.

Manan, Bagir. Suatu Tinjauan Terhadap Kekuasaan Kehakiman Indonesia Dalam Undang­Undang Nomor 4 Tahun 2000, Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2005.

Manan, Bagir. Restorative Justice (Suatu Perkenalan),dalam Rejleksi Dinamika Hukum

Rangkaian Pemikiran dalam Dekade Terakhir, Jakarta: Perum Percetakan Negara Rl.

2008.

Mangapol, Undang. Penerapan Restorative Justice dalam Proses Peradilan Pidana di Indonesia. Bandung: UNISBA, 2012.

Mansyur, Ridwan, Mediasi Penal Terhadap Perkara Pidana KDRT (Kekerasan Dalam Rumah

Tangga). Jakarta: Yayasan Gema Yustisia Indonesia 2010.

Margono, Suyud. Alternative Dispute Resolution dan Arbitrase: Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, Jakarta : Ghalia Indonesia. 2000.

Mas, Marwan. Pengantar llmu Hukum. Jakarta : Ghalia Indonesia. 2004.

M, Jacqueline Nolan Haley, Alternative Dispute Resolution in a Nutshell St Paul: Minn. 2001.

Mitchell, Chris. dalam Simon Fisher et. al., Mengelola Konjlik: Keterampilan dan Strategi untuk Bertindak, Jakarta: The British Council Indonesia. 1998.

Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum; Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty. 2005.

Mertokusumo, Sudikno. Penemuan Hukum. Yogyakarta : Universitas Atma Jaya Yogyak:arta.

2010.

Moon, Donald. (ed)Responsibility Rights and Welfare, Colorado. 1988.

MP, Luhut Pangaribuan, Advokat dan Contempot of Court: Suatu Proses di Depan Dewa

Kehormatan Profosi. Cetakan I. Jakarta: Djambatan. 1996.

M.P, LuhutPangaribuan, Lay Judges & Hakim Ad Hoc, Suatu Srudi Teoritis Mengenai Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Fakultas Hukwn Pascasarjana Universitas Indonesia dan Papas Sinar Sinanti, Jakarta, 2009.

Muhammad, Rusli. Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Y ogyakarta : UII Press. 2011.

Muchsan, Peradilan Administrasi Negara, Yogyakarta: Liberty, 1981

Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung: Penerbit Alumni. 2002.

Muladi. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang: Badan Penerbit Universitas

Diponegoro. 1995.

Mu1yadi, Lilik. Wajah Sistem Peradilan Pidana Anak Indonesia Bandung: PT. Alumni. 2014.

Mulyadi, Lilik. Mediasi Penal dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Bandung : Alumni. 2015

Muraskin, Roslyn dan Albert R. Roberts, Visions for Change: Crime and Justice in The Twenty­First Centwy, New jersey: Prentice-Hall. 1996.

Nawawi, Barda Arief. Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. 1994.

Nawawi, Barda Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana. Bandung : Citra Aditya Bakti. 1998.

Nawawi Barda Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Semarang: Program Magister Ilmu Hukum Undip. 2000.

Nawawi, Barda Arief. Mediasi Penal Penyelesaian Perkara Di Luar Pengadilan. Semarang:

Pustaka Magister 2010.

N, Bunyarnin Cardozo. The Growth of the Law. New Delhi: Universal Law Publishing. 2006.

Noor, NA Muhammad. Proses Hukum Bagi Orang yang Didakwa Melakukan Kejahatan, dalam

Hak Sipil dan Politik: Esai-Esai Pilihan, Ifdhal Kasim (Editor). Jakarta: Elsam. 2001.

Notohamidjojo, Demi Keadilan dan Kemanusiaan, Gunung Mulia, Jakarta, 1975

Paul, John Lederach, The Little Book of Conflict Transformation. Philadelphia, : Good Books. 2003.

Poernomo, Bambang. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985.

Poernorno, Bambang. Proses Pengambilan Keputusan dalam Perkara Pidana di Pengadilan, Jakarta: Kumpulan Kuliah Program S2 FH Jayabaya. 2010.

Poerwadanninta,, WJS. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Balai Pustaka, Jakarta, 1976

Radbruch, G., Rechtphilosophie, Koehler: Stutgart. 1973.

Rahardjo, Satjipto. Sisi-sisi Lain Hukum di Indonesia. Jakarta: Kornpas. 2003.

Rahardjo, Satjipto. Membedah Hukum Progresif. Jakarta: Kompas. 2007.

Rahardjo, Satjipto. Biarkan Hukum Mengalir. Jakarta: Kompas. 2007.

Rahardjo, Satjipto. Penegakan Hukum Progresif. Jakarta: Kompas. 2010.

Rasjidi, Lili dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum. Bandung: Mandar Maju. 2007.

Rawls, John. A Theory of Justice, Cambridge, Massachusetts: The Belknap Press of Harvard University Press. 1971 .

Rawls, John. A Theory of Justice. Cambridge: Harvard University Press. 1995.

R, John Boatright, Ethics and the Conduct of Business, 5th Edition, Upper Saddle River: Pearson Education. 2007 .

Redjeki, Sri Hartono, Kapita Selekta Hukum Ekonomi, Bandung: Mandar Madju, 2000

Reksodipoetro, Mardjono. "Sistem Peradilan Pidana Indonesia:Peran Penegak Hukum Melawan Kejahatan", dalam Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana, Jakarta: Pusat Pelayanan dan Pengabdian UI. 1994

Reksodiputro, Maijono. Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana. Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian UI. 1994.

Remmelink, Jan. Hukum Pidana, Komentar At as Pasal-pasal Terpenting Dalam Kitab Undang­undang hukum Pidana Belanda dan Padangannya Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia. Jakarta. : Gramedia Pustaka Utarna. 2003

Ritchie, Myles. Children In "Especially Difficult Circumstances": Children Living On The

Street. Can Their Special Needs Be Met Through Specific Legal Provisioning?

Consultative Paper Prepared For The South African Law Commission. 1999.

Rizky, Rudi (ed), Refleksi Dinamika Hukum (Rangkaian Pemikiran dalam Dekade Terakhir),

Perum Percetakan Negara Indonesia, Jakarta, 2008.

Sage!, Irene Grande. Restorative Justice in the Netherlands, Specific Programme Criminal

Justice European Commission, Final National Report of The Netherlands. 2013.

Sahetapy, JE dan B. Mardjono Reksodiputro, Paradok dalom Kriminologi. Jakarta: Rajawali Press 1989.

Rahardjo, Trisno. Mediasi Pidana Dalam Sistem Peradilan Pidana Suatu Kajian Perbandingan dan Penerapannya di Indonesia, Yogyakarta: UM1 dan Litera. 2011.

Roes1an Saleh, Suatu Reorientasi dalam Huk:um Pidana, Jakarta: Aksara Barn. 1983.

R, Wayne Lafave, Principle Of Criminal Law, West A Thomson Reuters Business. 2010.

Salman, Otje. Filsafat Huk:um (Perkembangan dan Dinamika Masalah), Bandung: Refika

Aditarna 2010.

Setia, Hadi Tunggal, Undang-Undang Pemasyarakatan beserta Peraturan Pelaksanaannya. Jakarta: Harvarindo. 2000.

Setiawan, Guntur. Implementasi Da/am Birokrasi Pembangunan. Jakarta : Cipta K.arya. 2004.

Siswosoebroto, Koesriani. Pendekatan Baru dalam Kriminologi. Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti. 2009.

Simanjuntak, B. Latar Belakang Kenakalan Remaja. Bandung: Alumni. 1984.

SW Maria W. Sumardjono, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian. Yogyakarta : Fakultas

Hukum Universitas Gaja Mada. 1989.

Soehuddin, Sistem Sanksi Dalam Huk:um Pidana, Ide Dasar Double Track System Dan

Impelementasinya, Jakarta: Raja Grafmdo Persada. 2003.

Stephenson, Matin Henry Giller, dan Sally Brown, Effective Practice in Youth Justice, Willan

Publishing, Portland. 2007.

Sukanto, Soeijono. Penelitian Huk:um Normatif, Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: Raja Grafindo

Persada

Stephenson, Martin, Henry Giller dan Sally Brown, Effective Practice in Youth Justice, Willan Publishing, Portland 2007

Sunarso, Siswanto. Viktimologi Dalam Sistem Peradilan Pidana. Jakarta: Sinar Grafika, 2012.

Sunny, Ismail. Mencari Keadilan. Jakarta: Ghalia 1982.

Supeno, Hadi. Kriminalisasi Anak: Tawaran Gagasan Radikal Peradilan Anak Tanpa Pemidanaan. Jakarta: Grarnedia Pustaka Utarna. 2010.

Susanto, IS. Kejahatan Korporasi. Semarang: Badan Penerbit UNDIP. 1995.

Tamin, Feisal. Reformasi Birokrasi, Ana/isis Pendayagunaan Aparatur Negara. Jakarta: Belantika 2004 .

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta

Tonry, Michael. Sentencing Matters, Oxford University Press, New York. 1996.

Umbreit, Mark. Victim Meets Offender: The Impact of Restorative Justice and Mediation, Willow Tree Press, New York, 1994.

Umbreit, Mark, "Avoiding the Marginalization and 'McDonaldizotion' of Victim-Offonder mediation: A Case Study in Moving Toward the Mainstream" in Restorative Juvenile Justice Repairing the Harm of Youth Crime, edited by Gordon Bazemore and Lode Walgrave. Monsey, NY: Criminal Justice Press, 1999.

Umbreit, M. "Introduction: Restorative Justice Through Victim Offender Mediation" da lam The Handbook of Victim Offender Mediation: An Essential Guide to Practice and Research, Jossey-Bass, San Fransisco. 2001.

Umbreit, Mark and Robert B. Coates dan Betty Voss, "Victim-Offender Mediation: An Evolving Evidence Based Practice" dalam Handbook of Restorative Justice: A Global Perspective, eds Sullivan, D. dan Tifft, L., Routledge, New York, 2006.

Umbreit, Mark dan Mearilyn Peterson Armour, Restorative Justice Dialogue: An Essential Guide for Research and Practice, Springer Publishing, New York, 2010.

United Nation, Comparative on Juvenile Delinquency, Part IV, Asia and The Far East. 1953.

UNO DC. Handbook on Restorative Justice Programmes. Criminal Justice Handbook Series, UN

New York, Vienna, 2006.

Usman, Nurdin. Konteks Implementasi Berbasis Kurikulum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

2002.

Utrecht, E. Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II, Penerbit Universitas Bandung. 1965.

Utrecht, E. Pengantar Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Pradnya Pararnita. 2002.

Wahid, Eriyantouw. Keadilan Restorative Justice dan Peradilan Konvensional Dalam Hukum

Pidona. Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti. 2009.

Wahyudi, Setya. Implementasi Ide Diversi Dalam Pembaharuan Sistem Peradilan Anak di Indonesia, Y ogyakarta: Genta Publishing. 2011.

Walgito, Bimo. Kenakalan Anak (Juvenile Delinquency) Yogyakarta: Yayasan Penerbit Fakultas Wanjku Kaime-AtterhOg, The Social Context of Children in Especially Difficult Circumstances (CEDC), ESCAP HRD Course on Psychosocial and Medical Services for Sexually Abused and Sexually Exploited Children and Youth, 2005

Widiartana, G Viktimologi Perspektif Karban Dalam Penanggulangan Kejahatan. Yogyakarta:

Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta. 2013.

Wright, Martin, "Victim/Offender Conferencing: The Need for Safeguards", dalam Restorative Justice for Juveniles: Potentialities, Risks, and Problems, ed Walgrave, L., Leuven University Press, Leuven, 1998.

W.Mulyana, Kusumah, Hukum dan Hak-hak Asasi Manusia, Suatu Pemahaman Kritis,

Bandung:AJunnU, 1981

Zafer, M.R, Jurisprudence an Outline. Kualalumpur : International Law Book Services. 1994.

Zehr, Howard & AJi Gohar. The Little Book of Restorative Justice. Good Books. Pennyslvania.

2003.

Maka1ah dan Jnrnal

Adi, Koesno. Kebijakan Kriminal dalam Sistem Peradilan Pidana yang Berorientasi pada Kepentingan Terbaik Bagi Anak, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam bidang Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, 2009.

Braithwaite, Jhon. Resolving Crime in the Community: Restorative Justice Reforms in New Zealand and Australia, Paper presented at the "Resolving Crime in the Community: Mediation in Criminal Justice". 1994 .

Fisher, Linda dan Mieke Brandon, Mediating with Families: Making The Difference, Prentice Hall, New South Wales. 2002.

Hadisuprapto, Paulus. Peradilan Restotarif: Model Peradilan Anak Indonesia Masa Datang,

Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Bidang Kriminologi pada Fakultas Hukum

Universitas Diponegoro, Semarang, 18 Februari 2006.

Hamzah, Reformasi Penegakan Hukum, Pidato pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Dalam Ilmu Hukum, Pada Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta, 23 Juli 1998

Herlina, Apong Restorative Justice, Jurnal Kriminologi Indonesia, Vol.3 No. III September

2004.

Kartayasa, Mansyur. Restorative Justice dan Prospeknya Dalam Kebijakan Legislasi, Makalah

yang disampaikan pada seminar Nasional Peran Hakim Dalam Meningkatkan

Profesionalisme Menrgu Peradilan yang Agung, Diselenggarakan IKAID dalam rangka

Ulang Tahun IKAHI ke-59, 25 April2012.

Komariah, Emong Saparadjaja. Keadilan Restoratif dalam Putusan Mahkamah Agung,

Makalah yang dipresentasikan dalam rangka Seminar IKAHI pada tanggal25 April2012

di Hotel Mercure Ancol Jakarta

Levin, Marc. Restorative justice in Texas: Past, Present and Future, Texas: Texas Public Policy

Foundation, him. 5-7 ditelusur melalui www.TexasPolicy.com pada tanggal 3 Februari

2008

Muladi, Restorative Justice Dalam Sistem Peradilan Pidana, Makalah yang disampaikan pada

Seminar Nasional "Peran Hakim dalam Meningkatkan Profesionalisme Menuju Peradilan

yang Agung", Diselenggarakan IKAHI dalam rangka Ulang Tahun IKAHI ke-59

Tanggal25 April2012.

Muladi dan Barda Nawawi, Ruang Lingkup Penegakan Hukum Pidnna dnlam Konteks Politik

Kriminal, makalah yang disampaikan dalam seminar Kriminologi yang diselenggarakan

o1eh Fakultas Hukum Universitas Diponegoro di Semarang, Tanggal 11-13 November

1986.

Mulyadi, Lilik. "Penyelesaian Perkara Di Luar Pengadilan Melalui Dimensi Mediasi Penal

(Penal Mediation) Dalam Sistem Peradilan Pidnna. Pengkajian Asas, Norma, Teori dan

Praktek:', Makalah ini dipresentasikan dalam rangka Penelitian untuk wilayah Pengadilan

Tinggi Palangkaraya, Mataram, Jambi dan Semarang diselenggarakan Badan Penelitian

dan Pengembangan dan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan Mahkamah

Agung RT (Badan Litbang Diklat Kumdil MARl) pada bulan April-Mei Tahun 2011.

Mulyadi, Lilik. Mediasi Penal Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia: Pengkajian Asas,

Norma, Teori, dan Praktik, Makalah Seminar hasil penelitian tentang Mediasi Penal

Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, yang diselenggarakan oleh Pusat Penelitian

dan Pengembangan Hukum dan Peradilan Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah

Agung Rl, pada tanggal 26 Oktober 2011, di Hotel Alita Pecenongan, Jakarta Pusat

Nawawi, Barda Arief, Mediasi Penal Dalam Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan,

Makalah yang disampaikan dalam Seminar Nasional Pertanggung jawaban Hukum

korporasi dalam Konteks Good Corporate Governance Tanggal 27 Maret 2007.

Nawawi, Bada Arief, Aspek Kebijakan Mediasi Penal dalam Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan. Makalah, Seminar Nasoinal Pertanggungjawaban Hukum Korporasi dalam Konteks Good Corporate Governance, Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Jakarta: Inter Continental Hotel, 27 Maret 2007

Nawawi, Barda Arief, Makalah Aspek Kebijakan Mediasi Penal Dalam Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan, Materi Perkuliahan Program Doktoral.

Nawawi, Barda Arief, Mediasi Penal:Penyelesaian Perkara Pidnna di Luar Pengadilan. Artikel

dalam http:/lbardanawawi.wordpress.com/2009/12/27/mediasi-penal-penyelesaian-perkara-pidana-di luar pengadilan/2009, diakses pada tanggal24 Maret 2011

Polk, Kenneth. Juvenile Diversion in Australia: a National Review, Paper Presented at the Juvenile Justice: From lesson of the Past to a Road Map for the Future Conference Convected by the Auatralian Institut of Criminology in Conjunction with the NSW

Departement of Juvenile of Justice and held in Sidney, 1-2 December 2003.

Priyatno, Dwidja. Pemindanaan untuk Anak dalam Konsep Rancangan KUHP (dalam Kerangka

Restorative Justice), Lembaga Advokasi Hak Anak (LARA), Edisi VIIINolume

III, Bandung, 2007, him. 9.

Rahardjo, Satjipto. Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan, Jurnal Hukum Progresif,

edisi April2005, vol. 1, No. 1, UNDIP, Semarang, 2005.

Rahardjo, Satjipto. Konsep dan Karakteristik Hukum Progresif, Makalah dalam Seminar

Nasional Hukum Progresif I, Diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Diponegoro

beke!jasarna dengan Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro dan Fakultas

Hukum Universitas Trisakti, Jakarta dan Semarang, 15 Desember 2007.

Supomo, Hubungan lndividu dan Masyarakat Dalam Hukum Adat, Cet. 2, 1970, Jakarta: Pradnya Pararnita dan Pidato Dies Natal is Universitas Gajah Mada pada 17 Maret 1947

Surbakti, Natangsa. Mediasi Penal Sebagai Terobosan Alternatif Perlindungan Hak Korban

Tindak Pidana, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 14, Universitas Muhammadiyah Surakarta,

2011.

Tim KPAI :Indonesia Negara Terbanyak Memidana Anak. Kompas, 16 Juli 2009. Dalam,

Achmad Ratomi, Prosedur Pelaksanaan Diversi pada Tahap Penyidikan dalam

Penyelesaian Tindak Pidana yang Dilakukan oleh Anak. Fakultas Hukum Universitas

Lambung Mangkurat, Makalah, tth.

United Nation, Comparative on Juvenile Delinquency, Part IV, Asia and The Far East, 1953

Utomo, Setyo, . Sistem Pemidanaan Dalam Hukum Pidana Yang Berbasis Restorative Justice, Makalah disampaikan dalam kegiatan Focus Group Discussion (FGD) tentang "Politik Perumusan Ancaman Pidana Dalam Undang-Undang Diluar KUHP", diselenggarakan oleh Pusat Perencanalin Pembangunan Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Departement Hukum dan HAM. di Jakarta, tanggal 21 Oktober 2010

William, Mark Baker, "Repairing The Breach and Reconciling the Discondant: Mediation in The Criminal Justice System", North Carolina Law Review, No. 72 Tahun 1984

·-

Media Internet

Stefanie Triinkle, The Tension between Judicial Control and Autonomy in Victim-Offender

Media-tion - a Microsociological Study of a Paradoxical Procedure Based on Examples

of the Mediation Process in Germany and France, http://www.

iuscrim.mpg.de/forschlkrim/traenkle _ e.html.

sfin.jura.uni-sb.de/archives/images/mediation-en%5B I %5D.doc.

Keadilan Restorasi, Sumber: http://www.negarahukum.com/hukum/keadilan-restorasi.html,

diakes pada tanggal 9 Januari 2014.

Kejaksaan Agung Akan Revisi Juknis Penuntutan Anak, Sumber:

htto://www.tribunnews.com/2012/0I/20/kejaksaan-agung-akan-revisi-juknis-penuntutan­

anak, diakses pada tanggal 9 Januari 2014.

Sistem Database Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM

http://smslap.ditjenpas.go.id/public/arl/current/monthly/year/20 14/month/9 diakses tanggal 7 Oktober 2016

Peraturan Perundang-Undangan

Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi Hak Anak (the

Convention on the Rights of the Child)

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesi 1945.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan AlternatifPenyelesaian Sengketa

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2012 tentang Perlindungan Anak

Undang-Undang Nomor II Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2002

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (K.UHP)

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

DAFI'AR RIWAYAT HIDUP

I. Nama : Hj. Diah Sulastri Dewi, SH., MH

Tempatffgl. Lahir : Medan, 2 April1961

Alamat Rumah : Jl. Cijaura Girang I No 14 Kei.Sekejati Kec. Buah Datu Bandung

Alamat Kantor : Jl. LL. RE Martadinata No 74-80 Bandung Jawa Barat

Peketjaan : Hakim Pegawai Negeri Sipil

Jabatan : Wakil Ketua Pengadilan Negeri Kelas 1A Kbusus Ban dung

Pangkat/Gol : IV C Pembina Utama Muda

Status Perkawinan : Kawin

Suami : Hazuardi, SE

Anak I. Suhadi Putra Wijaya, SH, MH

2. Ayu Widya Suharti, SH., M.Kn

3. Muhammad Reza Winata, SH

It. Pendidikan

• Sekolah Dasar Negeri No. 35 Gajah Mada di Medan tamat tahun 1973

• Sekolah Menengah Tingkat Pertama Negeri I Medan di Medan, tamat tahun 1976

• Sekolah MenengahAtas No 2 Medan di Medan tamat tahun 1979/1980

• Fakultas HukumUniversitas Islam Sumatera Utara (UISU) (S.I) di Medan , tamat tahun 1989 (Judul Skripsi:GugatanDinyatakanTidakDapatDiterima (NO))

• Pascasarjana SekolahTinggi Ilmu Hukum ffiLAM (82) di Jakarta, tamattahun 2005 (Judu!Tesis : Perlindungan Terhadap Anak Nakai Dalam Penerapan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak)

ill. Riwayat Pekerjaan CPNS/ PNS Pengadilan Tinggi Medan (1982-1987) PaniteraPengganti Pengadilan Tinggi Medan (198 CaJon Hakim Pengadilan Negeri Jakarta PusatKelas lA Khusus (1992· 1996) Hakim PengadilanNegeri Sumber Kelas 2A (Tahun 1996-2000) Hakim Pengadilan Negeri Bale Bandung Kelas I A( Tahun 2000-2004) Hakim Pengadilan Negeri Bandung Kelas lA Khusus (Tahun 2004-2007) Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat Kelas lA {Tahun 2007-2008) Wakil Ketua Pengadilan Negeri Stabat Kelas 2A (Tahun 2009-2010) Ketua Pengadilan Negeri Stabat Kelas 2A (Tahun 201 0-2012) Wakil Ketua Pengadilan Negeri Cibinong Kelas IB (Tahun 2012-2014) Ketua Pengadilan Negeri Cibinong Kelas IB {Tahun 2014 -2015) Wakil Ketua Pengadilan Negeri Bale Bandung Kelas lA (Tahun 2015-20160 Wakil Ketua Pengadilan Negeri Ke1as lA Khusus Bandung (Tahun 20 16· Sekarang)

IV. Pengalaman

PengalamanDalamNegeri

1. Aktif sebagai pembicara dalam Seminar, Workshop, Diskusi Jlmiah, Lokakarya, Antara lain tentang :

o Penyelesaian Sengketa Melalui Mediasi di Pengadilan. o Sosialisasi PERMA No. I Tahun 2008 Tentang Prosedur

Mediasi di Pengadilan. o Dosen Tamu di Universitas Indonesia dan Universitas

Sumatera Utara o Sosialisasi mengenai Keberhasilan Mediasi di Pengadilan.

2. Trainer Pelatihan Sertifikasi Mediator yang diselenggarakan oleh PUSDIKLAT MA RI, IICT, PMN, UNPAR, USU,UMSU.

3. Staff Pengajar Mediasi PenaV Restorative Justice Dik:lat CaJon Hakim Mahkamah Agung RI, Staff Pengajar Diklat Kejaksaan Agung RI, Staff Pegajar Diklat Kementerian Sosial, dan Diklat Kementerian Hukum dan HAM.

4. Anggota POKJA MEDIAS! pada MA RI

Pengalaman Lnar Negeri

I. Mediation Training System di Osaka dan Tokyo kerjasama MA Rl dan JICAI Ministry of Justice Japan.

2. Study Banding Sistem Mediasi di Perancis dan Belanda 3. Study Banding Sistem Mediasi di Singapore kerjasama BISMAC dengan

Singapore Mediation Centre. 4. Konferensi lnternasional Assosiasi Mediator Asian di Kuala Lumpur. 5. Konferensi International Mediator Se-Asia Paciflk di Bangkok. 6. Training of Trainers Perlindungan dan Penanganan Saksi, Korban Anak

dan Pelaku Anak Se- Asia Pasifik di United Nation Bangkok (UNICEF, UNOCD, TIJ)

7. Macau symposioum " Toward of well-beingof the child through! the hague Child abduction and protection of children convention an Asia­Pasific Symposioum.