persetujuan ujian disertasi - Universitas Brawijaya
-
Upload
khangminh22 -
Category
Documents
-
view
0 -
download
0
Transcript of persetujuan ujian disertasi - Universitas Brawijaya
ii
PERSETUJUAN UJIAN DISERTASI
Judul:
KEBIJAKAN FORMULASI PENGATURAN KETENTUAN
PELAKSANAAN DIVERSI DI LUAR SISTEM PERADILAN
PIDANA ANAK DALAM RANGKA PERLINDUNGAN DAN
KESEJAHTERAAN ANAK
Oleh:
Erny Herlin Setyorini, SH., MH
NIM: 117010100111021
Menyetujui,
Promotor,
Prof. Dr. Made Sadhi Astuti, S.H.,M.S
NIP. 19411222 197302 2 001
Ko-promotor 1 Ko-promotor 2
Prof. Dr. Koesno Adi, S.H., M.S Dr. Nurini Aprilianda, S.H.,M.H
NIP.19440728 197603 1 002 NIP. 19760429 200212 2 001
Mengetahui,
Ketua
Program Studi Doktor Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Brawijaya
Prof. Dr. Sudarsono, S.H.,M.S
NIP. 19510825197903100
iii
JUDUL DISERTASI :
KEBIJAKAN FORMULASI PENGATURAN KETENTUAN
PELAKSANAAN DIVERSI DI LUAR SISTEM PERADILAN PIDANA
ANAK DALAM RANGKA PERLINDUNGAN DAN KESEJAHTERAAN
ANAK
NAMA MAHASISWA : ERNY HERLIN SETYORINI
NIM : 117010100111021
PROGRAM STUDI : ILMU HUKUM
BIDANG ILMU : HUKUM PIDANA
KOMISI PROMOTOR :
PROMOTOR : PROF. DR. MADE SADHI ASTUTI, SH., M.S
KO-PROMOTOR I : PROF. DR. KOESNO ADI, SH., MS
KO-PROMOTOR II : DR. NURINI APRILIANDA, SH., MH
MAJELIS PENGUJI :
DOSEN PENGUJI 1 : PROF. DR. SUDARSONO, SH., MS
DOSEN PENGUJI 2 : PROF. MASRUCHIN RUBA’I, SH., MS
DOSEN PENGUJI 3 : DR. ISMAIL NAVIANTO, SH., MH
DOSEN PENGUJI 4 : DR. BAMBANG SUDJITO, SH., MH
DOSEN PENGUJI 5 : DR. BAMBANG SUGIRI, SH., MH
DOSEN PENGUJI TAMU : DR. SARWIRINI, SH., MS
TANGGAL UJIAN TERTUTUP : 19 DESEMBER 2014
TANGGAL UJIAN TERBUKA : 20 JANUARI 2015
TA
iv
PERNYATAAN ORISINALITAS
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa sepanjang
sepengetahuan saya, di dalam Naskah Disertasi ini tidak terdapat karya
ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar
akademik di suatu perguruan tinggi, dan tidak terdapat karya atau pendapat
yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara
tertulis dikutip dalam naskah ini dan disebutkan dalam sumber kutipan dan
daftar pustaka.
Apabila ternyata di dalam naskah ini dapat dibuktikan terdapat
unsur-unsur plagiasi, saya bersedia disertasi ini digugurkan dan gelar
akademik yang telah saya peroleh (Doktor) dibatalkan, serta diproses
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Undang-
undang Nomor 20 Tahun 2003, Pasal 25 ayat (2) dan Pasal 70).
Malang, 20 Januari 2015
Mahasiswa,
Erny Herlin Setyorini
NIM: 117010100111021
v
RINGKASAN
Erny Herlin Setyorini, Program Studi Doktor Ilmu Hukum, Fakultas Hukum
Universitas Brawijaya Malang, Tahun 2011. Kebijakan Formulasi Pengaturan
Ketentuan Pelaksanaan Diversi Di Luar Sistem Peradilan Pidana Anak Dalam
Rangka Perlindungan Dan Kesejahteraan Anak. Promotor : Prof. Dr. Made Sadhi
Astuti, S.H., M.S; Ko Promotors : Prof. Dr. Koesno Adi, S.H., M.S dan Dr. Nurini
Aprilianda, S.H.,M.H.
Anak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan
hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Dengan peran
anak yang penting ini, maka hak anak telah secara tegas dinyatakan dalam
konstitusi, bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan
berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Pasal
28 B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun
1945). Dalam proses tumbuh kembang, ada kalanya anak-anak terlibat dalam
masalah hukum, diantaranya adalah melakukan tindak pidana. Diversi diakui
secara internasional sebagai cara penyelesaian perkara anak yang dapat
memberikan perlindungan hukum terhadap anak karena dapat menghindarkan
anak dari stigma sebagai akibat proses peradilan pidana anak. Diversi diatur
dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak, namun demikian diversi yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU SPP Anak
dilaksanakan di luar dan di dalam sistem peradilan pidana anak, yaitu
dilaksanakan oleh penyidik, penuntut umum, dan hakim pengadilan negeri.
Pelaksanaan diversi di dalam sistem peradilan pidana anak akan menimbulkan
stigma sehingga kesejahteraan anak tidak tercapai.
Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang diatur di
dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak, dan dalam
Konvensi Hak Anak (Convention on the Right of the Child). Perlindungan
terhadap anak yang berkonflik dengan hukum tertuang dalam Peraturan-Peraturan
Minimum Standar Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Administrasi Peradilan
Anak, diantaranya bertujuan akan mengutamakan kesejahteraan anak dan akan
memastikan bahwa reaksi apapun terhadap pelanggar-pelanggar hukum anak akan
selalu sepadan dengan keadaan-keadaan baik pada pelanggar-pelanggar
hukumnya maupun pelanggaran hukumnya.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah : (a) bagaimana dasar filosofi
kebijakan formulasi pengaturan ketentuan pelaksanaan diversi di luar sistem
peradilan pidana anak di masa yang akan datang dalam rangka perlindungan dan
kesejahteraan anak ? (b) Bagaimana kebijakan formulasi pengaturan ketentuan
pelaksanaan diversi yang mencerminkan prinsip perlindungan dan kesejahteraan
bagi anak yang berkonflik dengan hukum di masa yang akan datang ?
Tujuan penelitian dalam disertasi ini adalah : 1) mengkaji, menguji, dan
menganalisis serta menemukan bagaimana dasar filosofi kebijakan formulasi
pengaturan ketentuan pelaksanaan diversi di luar sistem peradilan pidana anak di
vi
masa yang akan datang dalam rangka perlindungan dan kesejahteraan anak; 2)
mengkaji dan menganalisis bagaimana kebijakan formulasi pengaturan ketentuan
pelaksanaan diversi yang mencerminkan prinsip perlindungan dan kesejahteraan
bagi anak yang berkonflik dengan hukum di masa yang akan datang.
Kerangka dasar teoritis meliputi, teori perlindungan HAM, teori
perlindungan anak, teori keadilan, teori labeling, dan teori kebijakan formulasi.
Adapun kerangka konsep penelitian dalam disertasi ini meliputi konsep
kebijakan formulasi, konsep diversi, konsep sistem peradilan pidana anak, konsep
perlindungan anak, dan konsep kesejahteraan anak.
Penelitian disertasi ini adalah penelitian hukum normatif, yang dilakukan
dengan cara meneliti bahan pustaka, yang merupakan data sekunder dan disebut
juga penelitian hukum kepustakaan. Sehingga pendekatan yang dilakukan adalah
pendekatan undang-undang (statute approach), studi dokumen, dan pendekatan
komparatif atau perbandingan (comparative approach). Berdasarkan hasil
penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut :
Hasil penelitian pertama, bahwa dasar filosofi beberapa ketentuan
internasional, ketentuan peraturan perundang-undangan nasional, dasar filosofi
pendapat para ahli hukum tentang peradilan anak yang mengandung asas
persamaan hak, asas keadilan, asas bebas dari rasa takut, asas perlindungan, asas
kesejahteraan, dan aturan diterapkan sesuai budaya negara serta asas kepentingan
terbaik bagi anak (the best interest of the child) dapat digunakan sebagai konsep
dasar filosofi kebijakan formulasi pengaturan ketentuan pelaksanaan diversi di
luar sistem peradilan pidana anak di masa yang akan datang dalam rangka
perlindungan dan kesejahteraan anak. Hasil penelitian kedua, bahwa beberapa
ketentuan internasional, peraturan perundang-undangan negara bagian Australia,
kondisi penanganan anak yang berkonflik dengan hukum di lokasi penelitian, dan
mekanisme pelaksanaan diversi di luar sistem peradilan anak di beberapa negara
bagian Australia dapat dijadikan konsep kebijakan formulasi pengaturan
ketentuan pelaksanaan diversi yang mencerminkan prinsip perlindungan dan
kesejahteraan anak yang berkonflik dengan hukum di masa yang akan datang.
Pengaturan ketentuan pelaksanaan diversi di luar sistem peradilan pidana
di masa yang akan datang seyogyanya dilakukan pembaharuan (legal reform).
Penulis mengajukan suatu konsep untuk di masa yang akan datang (ius
constituendum) pengaturan norma pelaksanaan diversi di luar sistem peradilan
pidana anak, yang didasarkan pada : a) ketentuan yuridis, seperti dasar filosofi
beberapa ketentuan internasional, ketentuan-ketentuan internasional, peraturan
perundang-undangan di negara-negara bagian Australia, UU Perlindungan Anak,
dan UU Kesejahteraan Anak; b) teori perlindungan HAM menurut Marzuki
Darusman dan Muladi, teori perlindungan anak menurut Hadi Supeno, teori
keadilan “justice as fairness” menurut John Rawls, dan teori labeling menurut
Lemert serta reintegratif shamming menurut Braitwait; c) pertimbangan
sosiologis; dan d) filosofi Pancasila. Adapun konsep yang diajukan oleh penulis
dalam rangka pembaharuan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak di masa yang akan datang adalah sebagai berikut:
vii
a) Yang memiliki kewajiban untuk melaksanakan diversi di luar sistem peradilan
pidana anak adalah polisi, karenanya penuntut umum dan hakim dikeluarkan
dari kewajiban untuk melaksanakan diversi;
b) Diversi dilaksanakan untuk anak yang baru pertama kali melakukan tindak
pidana;
c) Jenis-jenis tindak pidana yang dapat ditangani dengan pelaksanaan diversi
adalah tindak pidana yang ancaman hukumannya di bawah 7 (tujuh) tahun; d)
diversi dilaksanakan dengan teguran/peringatan (informal), peringatan
(formal), dan musyawarah keluarga (family conferencing).
viii
SUMMARY
Children are an integral part of human survival and the survival of a
nation. With this important role of the child, then the child rights has expressly
stated in the Constitution, that every child has the right to live, grow and develop,
and is entitled to protection from violence and discrimination (Article 28 B (2) of
the Constitution of the Unitary Republic of Indonesia 1945). In the growth
process, there are times when children are involved in legal matters, such as
committing a crime. Diversion is recognized internationally as a way of settling
disputes children who can provide legal protection to children because it can
prevent children from stigma as a result of juvenile criminal justice process.
Diversion regulated in Law No. 11 of 2012 on the Criminal Justice System Child,
however diversion provided for in Article 7 paragraph (1) of the Children SPP
carried out and in the criminal justice system of children, which is carried out by
investigators, prosecutors, and district court judges. Implementation of diversion
in the criminal justice system so that the child will stigmatizing the child's welfare
is not reached.
Children's rights are part of human rights set forth in the United Nations
Convention on the Rights of the Child, and the Convention on the Rights of the
Child (Convention on the Rights of the Child). The protection of children in
conflict with the law set out in the Standard Minimum Rules of the United Nations
Concerning the Administration of Juvenile Justice, among other aims will
prioritize the welfare of the child and will ensure that any reaction to the law of
child offenders will always be commensurate with the circumstances of both the
offenders law or legal violation.
Problems in this study are: (a) how the basic philosophy of setting provisions for
the implementation of policy formulation diversion outside the criminal justice
system in the future in the context of child protection and welfare of children? (b)
What provisions for the implementation of policy formulation diversion
arrangements that reflect the principles of the protection and welfare of children
in conflict with the law in the future ?
The aim of research in this dissertation are: 1) examine, test, and analyze
and discover how the basic philosophy of setting provisions for the
implementation of policy formulation diversion outside the criminal justice system
in the future in the context of child protection and welfare of children; 2) examine
and analyze how policy formulation diversion arrangements that reflect the
ix
provisions of the implementation of the principle of the protection and welfare of
children in conflict with the law in the future.
Basic theoretical framework covers, the theory of human rights protection,
child protection theory, equity theory, labeling theory, and the theory of policy
formulation.
The conceptual framework of research in this dissertation includes the concept of
policy formulation, the concept of diversion, the concept of juvenile criminal
justice system, the concept of child protection and child welfare concept.
This dissertation research is normative legal research, which is done by
examining the library materials, which are also known as secondary data and
legal research literature. So the approach taken is to approach the law (statute
approach), the study documents, and comparative approaches or comparison
(comparative approach). Based on the results of the study can be summarized as
follows:
The results of the first study, that the basic philosophy of some provisions,
the provisions of national legislation, and the basic philosophy of the opinions of
jurists on juvenile justice which contains the principle of equality, fairness, the
principle of freedom from fear, the principle of the protection, welfare principles,
rules are applied in accordance culture of the country, and the best interest of the
child principle can be used as the basic concept of the philosophy of policy
formulation diversion implementing provisions setting out the criminal justice
system in the future in the context of child protection and child welfare. The
results of the second study, that some provisions, the legislation states of
Australia, the conditions of handling children in conflict with the law in the study
area, and implementation mechanism diversion outside the criminal justice system
in some states children Australia can be used as the concept of policy formulation
diversion arrangements that reflect the provisions of the implementation of the
principle of the protection and welfare of children in conflict with the law in the
future that will come.
Setting provisions for the implementation of diversion outside the criminal
justice system in the future should be reform (legal reform).
The author proposes a concept for the future (ius constituendum) setting norms
implementation of diversion outside the criminal justice system of children, which
is based on: a) the juridical provisions, such as the basic philosophy of some
provisions, international regulations, legislation in the states of Australia, the
Child Protection Act, and the Child Welfare Act; b) the theory of human rights
protection by Marzuki and Muladi, theories of child protection according to Hadi
Supeno, equity theory "justice as fairness" by John Rawls, and labeling theory by
Lemert and reintegratif shamming by Braitwait; c) sociological considerations;
and d) the philosophy of Pancasila. The concept proposed by the author in order
x
to reform Act No. 11 of 2012 on the Criminal Justice System Children in the
future are as follows:
a) Who has the obligation to carry out the diversion of juvenile criminal justice
system is the police, prosecutors and judges therefore excluded from the
obligation to implement diversion;
b) Diversion conducted for children who first committed the crime;
c) The types of offenses dealt with the implementation of diversion is a criminal
offense that carries a minimum sentence under the 7 (seven) years; d) diversion
carried out with a warning, caution, and family conferencing.
xi
UCAPAN TERIMA KASIH
Alhamdulillahirrobil’alamin. Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena
limpahan kasih sayang, rahmat, karunia, taufiq, hidayah dan atas ijin-Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi dengan judul: “Kebijakan
Formulasi Pengaturan Ketentuan Pelaksanaan Diversi di Luar Sistem Peradilan
Pidana Anak dalam Rangka Perlindungan dan Kesejahteraan Anak”. Penulisan
disertasi ini, merupakan salah satu bentuk upaya untuk ikut berkontribusi dalam
pengembangan ilmu, khususnya Ilmu Hukum, yaitu menangani perkara anak yang
berkonflik dengan hukum dengan melaksanakan diversi di luar sistem peradilan
pidana anak untuk mewujudkan perlindungan dan kesejahteraan anak. Secara
maksimal penulis telah berusaha untuk menyusun disertasi ini memenuhi kualitas,
baik dari substansi maupun segi yang lainnya. Oleh sebab itu, penulis selalu
mengharapkan masukan-masukan, kritikan yang sifatnya membangun demi untuk
lebih berbobotnya disertasi ini sehingga mampu memberikan manfaat yang luas
bagi penulis khususnya, dan secara umum untuk anak-anak yang berkonflik
dengan hukum serta masyarakat.
Pada kesempatan ini, dengan tulus dan ikhlas penulis menyampaikan
terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya sebagai wujud apresiasi
penulis kepada semua pihak yang telah memberikan kontribusi, baik berupa
semangat, bimbingan, sumbangan pemikiran, dan pengorbanan yang tidak ternilai
harganya sehingga penulis mampu menyelesaikan studi pada Program Doktor
Ilmu Hukum di Universitas Brawijaya Malang. Untuk itu, perkenankan penulis
menyampaikan ucapan terima kasih yang setulusnya dan semoga Allah SWT
senantiasa memberikan perlindungan, berkah, rahmat, kesehatan, kebahagian,
kesuksesan serta kemudahan kepada yang terhormat:
1. Prof. Dr. Made Sadhi Astuti, S.H., M.S dalam kapasitas selaku Promotor
dalam penulisan disertasi ini atas kesabaran, kearifan, ketulusan hati dan
kewibawaan Beliau sebagai ilmuwan dalam memotivasi, memberikan spirit
serta koreksi untuk disertasi dengan sangat cermat demi penyelesaian dan
penyempurnaan disertasi ini. Motivasi yang selalu Beliau berikan kepada
penulis menjadi semangat untuk segera menyelesaikan studi;
2. Prof. Dr.Sudarsono, S.H.,M.S dalam kapasitasnya selaku Ketua Program
Studi Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, atas
segala fasilitas yang diberikan selama perkuliahan dan atas bantuan Beliau
dalam pelaksanaan tahap demi tahap yang harus dilalui dalam menempuh
studi program doktor;
3. Prof. Dr. Koesno Adi, S.H.,M.S, dalam kapasitasnya sebagai Ko-Promotor I,
atas bimbingan, arahan dengan penuh kesabaran serta motivasi yang tiada
henti untuk menyelesaikan disertasi ini;
4. Dr. Nurini Aprilianda, S.H.,M.H, selaku Ko-promotor II, atas bimbingan,
motivasi yang terus-menerus untuk penulis agar tetap membuat suatu
program kapan disertasi akan diselesaikan. Beliau juga banyak memberikan
xii
materi serta informasi berkaitan dengan tema disertasi sebagai bahan
pendukung disertasi;
5. Dewan Penguji Proposal Disertasi, Prof. Dr. Sudarsono, S.H., M.S; Prof. Dr.
I Nyoman Nurjaya, S.H., M.H; Prof. Masruchin Ruba‟i, S.H., M.S; Dr.
Bambang Sugiri, S.H., M.H, yang telah memberikan bimbingan dan arahan;
6. Dr. Ismail Navianto, S.H., M.H, yang telah bersedia meluangkan waktu
dengan ikhlas untuk menjadi Tim penguji disertasi ini;
7. Dr. Bambang Sudjito, S.H., M.H, yang telah bersedia meluangkan waktu
dengan ikhlas untuk menjadi Tim penguji disertasi ini;
8. Bapak/Ibu Dosen Pengajar Doktor Ilmu Hukum Universitas Brawijaya : Prof.
Dr. Made Sadhi Astuti, S.H, M.S; Prof. Dr. Koesno Adi, S.H., M.S; Prof. Dr.
I Nyoman Nurjaya, S.H., M.H; Prof. Dr. Isrok, S.H., M.S; Dr. M. Ridwan,
S.H., M.S; Dr. Bambang Winarno, S.H., M.H; Dr. Lucky Endrawati, S.H.,
M.H, Dr. Rachmad Budiono, S.H., M.H; Prof. A. Mukhtie Fajar, S.H., M.S;
Dr. Jasim Hamidi, S.H., M.H; Prof. Masruchin Ruba‟i, S.H., M.S yang telah
mengajarkan dan memberikan ilmu sehingga dapat mengantarkan dan
membuka wawasan keilmuan penulis dalam menemukan hakikat ilmu
pengetahuan;
9. Dr. Sihabudin, S.H.,M.H., dalam kapasitasnya sebagai Dekan Fakultas
Hukum Universitas Brawijaya Malang, yang telah memberikan banyak
kemudahan pada penulis untuk mengikuti pendidikan Program Doktor Ilmu
Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang;
10. Rektor Universitas Brawijaya Malang, yang telah memberikan kesempatan
kepada penulis untuk mengikuti pendidikan Program Doktor Ilmu Hukum
pada Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang;
11. Seluruh Staf pada Fakutas Hukum Universitas Brawijaya Malang yang selalu
siap membantu segala keperluan administrasi penulis selama menempuh
pendidikan;
12. Bapak Ketua Yayasan Harapan Utama Surabaya Indonesia, Prof. Dr. Eman E.
Ramelan, S.H., M.S, yang telah memberikan kesempatan serta ijin untuk
penulis dalam menempuh studi pada Program Doktor lmu Hukum Universitas
Brawijaya Malang;
13. Bapak Rektor Universitas Kartini Surabaya, periode 2009-2013, Prof. Dr.
Hendratno Darmosewoyo, S.H., M.M, atas kebijaksanaannya dengan
memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh studi pada
Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Brawijaya Malang;
14. Bapak Rektor Universitas Kartini Surabaya, periode 2013-2017, Dr. Broto
Suwiryo, SH., M.Hum, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis
untuk menempuh studi pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas
Brawijaya Malang;
15. Seluruh teman-teman Dosen Fakultas Hukum Universitas Kartini Surabaya,
Ibu Poernomowati, S.H., M.M., M.H sekaligus sebagai Wakil Dekan Fakultas
Hukum yang banyak membantu penulis untuk melaksanakan tugas,
memberikan support demi terselesaikannya disertasi ini; Ibu Erniati Effendy,
S.H., M.Hum; Ibu Dyah Larasati, S.H., M.H; juga tidak lupa penulis
sampaikan ucapan terimakasih yang tiada terhingga kepada Mas S. Nurcholis,
xiii
SPd.I, S.H., M.H yang telah banyak membantu penulis untuk melaksanakan
tugas-tugas fakultas, membantu dalam proses menyelesaikan studi,
memberikan support yang tiada henti demi untuk terselesaikannya disertasi
ini;
16. Suamiku Drs. Sugito, M.M, yang kini juga tengah menempuh studi pada
Program Doktor Ilmu Managemen Pendidikan Universitas Negeri Surabaya,
atas dukungannya yang penuh sejak awal penulis mempunyai keinginan dan
harapan untuk menempuh studi pada Program Doktor Ilmu Hukum
Universitas Brawijaya Malang;
17. Anak-anakku yang tercinta, tersayang, terkasih, Fandika Hakim Nurreza dan
Mella Shafira Dian Afifah, yang dengan penuh kerelaan, keikhlasan penulis
sering tinggalkan demi melaksanakan tugas maupun saat penulis menempuh
studi pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Brawijaya Malang;
18. Doa khusus dan terima kasih yang tak terhingga penulis persembahkan
kepada kedua orang tua penulis, Ayahanda Soehadi Moortojo (Alm.) yang
pada saat penulis menempuh studi dalam kondisi sakit hingga pada akhirnya
dipanggil kehadirat-Nya. Ayahanda selalu memberikan support serta doa
tulus ikhlas agar penulis terus bersekolah yang setinggi-tingginya, kuat
menghadapi segala terpaan hidup, terimakasih ayah...semoga ayah damai di
sisi-Nya. Aamiin YRA. Ibunda Siti Chalimah yang dengan segenap jerih
payah, kasih sayang, ridho dan untaian doa yang senantiasa dipanjatkan untuk
anak-anaknya, mampu memberikan semangat serta kekuatan yang luar biasa
kepada penulis sehingga penulis dapat mencapai jenjang pendidikan tertinggi
seperti sekarang ini;
19. Terimakasih juga untuk saudara-saudaraku tersayang dan keluarga, Yuswo
Bagus Handoko, S.E; Welly Bagus Widyatmojo, S.T; Yossy Bagus Maharto,
Amd. Kep; Ratna Puspita Ratri, Amd. Kep., Amd. Keb., dan Bastian Sapta
Yoga, S.E semoga semuanya selalu sehat, bahagia dan sukses;
20. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada para guru yang telah berjasa
besar dalam mendidik dan menanamkan ilmu bagi penulis di SDN Jatisari I
Geger Madiun; SMPN 1 Geger Madiun; SMAN I Geger Madiun; Bapak/Ibu
Dosen di Fakultas Hukum Univesitas Brawijaya Malang, pada saat penulis
menempuh studi jenjang Strata 1, Bapak/Ibu Dosen di Magister Ilmu Hukum
Universitas Tujuh Belas Agustus 1945 Surabaya, atas semua ilmu,
pencerahan serta wawasannya;
21. Teman-teman Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum
Universitas Brawijaya Malang angkatan 2011 yang tidak dapat penulis sebut
satu persatu, yang selalu saling memberikan dukungan dan motivasi dengan
sikap yang penuh kekeluargaan. Secara khusus untuk teman seperjuangan,
sahabat dekat, Dr. Vieta Imelda Cornelis, S.H., M.Hum, semoga ke depan
kita akan lebih dan lebih sukses lagi;
22. Semua pihak yang turut membantu, memberikan support, mendoakan
penulis...terimakasih semuanya, semoga Allah SWT membalasnya dengan
kebaikan-kebaikan yang berlimpah. Aamiin Yaa Robbal „Aalamiin…
xiv
Semoga Allah SWT senantiasa menganugerahkan limpahan Rahmat dan
Berkah-Nya atas segala bantuan, bimbingan, perhatian serta dorongan yang telah
diberikan semua pihak. Hanya ucapan ”jazakumullah khairan katsiran. Aamiin
Allahumma aamiin”, yang mampu penulis sampaikan. Semoga hasil penelitian ini
mampu memberi manfaat yang luas bagi masyarakat, bangsa dan negara.
Malang, 20 Januari 2015
Penulis,
Erny Herlin Setyorini, S.H., M.H
xv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO :
Indahnya kebersamaan merupakan salah satu kunci meraih kesuksesan
PERSEMBAHAN :
Karya ini dipersembahkan untuk :
Bangsa dan Negara
Almamater
Ytc. Ayahanda Soehadi Moortojo (Alm.) dan
Ibunda Siti Chalimah
Ytc. Ayah Mertua Sastrowiryo Dawi (Alm.) dan Ibu Yatmi (Almh.)
Ytc. Suamiku Drs. Sugito, M.M
Anak-anakku tersayang :
Fandika Hakim Nurreza dan Mella Shafira Dian Afifah.
xvi
RIWAYAT HIDUP
Erny Herlin Setyorini, lahir di Madiun pada 13 Oktober 1968 adalah anak
pertama dari enam bersaudara dari pasangan Soehadi Moortojo (Alm.) dan Siti
Chalimah. Alamat tinggal di Komplek Perumahan Bendul Merisi Selatan, Jalan
Bendul Merisi Selatan IV/77 Surabaya. Riwayat pendidikan: Sekolah Dasar
(SDN) Jatisari I Geger Madiun, tamat tahun 1981; Sekolah Lanjutan Tingkat
Pertama (SLTPN) I Dolopo Madiun tamat tahun 1984, Sekolah Menengah Atas
(SMAN) I Geger Madiun tamat tahun 1987. Mendapatkan Gelar Sarjana Hukum
dari Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang tahun 1991, Magister Ilmu
Hukum Pascasarjana Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya tahun 2008, dan
Doktor Ilmu Hukum pada PDIH Universitas Brawijaya Malang pada tanggal 20
Januari tahun 2015. Ketiga gelar akademik tersebut diraih dengan Predikat
Cumlaude.
Setelah menyelesaikan pendidikan S1, sejak tahun 1993 hingga sekarang
aktif menjadi Tenaga Pengajar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Kartini
Surabaya; tahun 2011 sampai dengan sekarang menjadi tenaga Pengajar pada
Fakultas Hukum UPN “Veteran” Jawa Timur. Selain itu, sejak 2010-sekarang
juga sebagai Wakil Ketua LAPH (Lembaga Advokasi dan Pengembangan
Hukum) Universitas Kartini Surabaya. Pengalaman dalam jabatan Struktural
sebagai Wakil Dekan Fakultas Hukum sejak tahun 2009-2010; selanjutnya
sebagai Dekan Fakultas Hukum sejak 2010-sekarang.
Pengalaman publikasi ilmiah dalam 3 tahun terakhir: Tinjauan Yuridis
Tindak Pidana Pemalsuan Surat, jurnal Inrichting Recht tahun 2013; Tindak
Pidana Pornografi Menurut Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang
Pornografi, jurnal Inrichting Recht tahun 2013; Tindakan Kontrol Pada Penyidik
dan Penuntut Umum Lewat Lembaga Pra Peradilan, jurnal Inrichting Recht tahun
2014; dan Pelaksanaan Pembuktian Tindak Pidana Pemerkosaan (Studi Kasus
Perkosaan di PN Surabaya), jurnal Inrichting Recht tahun 2014.
Selanjutnya, pengalaman publikasi ilmiah yang lain (jurnal internasional):
The Philosophical Basis For The Formulation Of The Stipulation Of Diversion
Implementation Outside Criminal Justice System Within The Frame of Child
Protection And Welfare (IISTE: Journal of Law, Policy, and Globalization
diterbitkan pada Edisi 30 bulan Oktober tahun 2014); dan The Formulation Policy
For The Regulation On The Implementation Of Diversion Which Reflects The
Priciples Of Protection And Welfare For Children Conflicting Against The Law In
The Future (IISTE: Journal of Law, Policy, and Globalization diterbitkan pada
Edisi 32 bulan Desember tahun 2014).
xvii
KATA PENGANTAR
Puji syukur sedalam-dalamnya kehadirat Allah SWT karena atas
bimbingan, kemurahan, dan ridho-Nya sehingga penyusunan disertasi yang
berjudul “Kebijakan Formulasi Pengaturan Ketentuan Pelaksanaan Diversi di
Luar Sistem Peradilan Pidana Anak dalam Rangka Perlindungan dan
Kesejahteraan Anak” dapat terselesaikan dengan baik sesuai dengan waktu yang
telah penulis rencanakan.
Penulis berharap disertasi ini dapat memberikan kontribusi yang secara
teoritis memberikan sumbangan pemikiran yang bermanfaat untuk
mengembangkan ilmu hukum khususnya hukum peradilan anak mengenai
penanganan perkara anak yang berkonflik dengan hukum dengan melaksanakan
diversi di luar sistem peradilan pidana anak. Secara praktis, penelitian disertasi ini
bisa dijadikan rujukan bagi pengambil kebijakan di bidang legislatif
(pembaharuan undang-undang sistem peradilan pidana anak) sehingga ke depan
mampu memberikan perlindungan dan kesejahteraan bagi anak yang berkonflik
dengan hukum.
Penulis berharap adanya masukan-masukan serta kritikan yang sifatnya
membangun demi lebih baiknya disertasi ini.
Malang, 20 Januari 2015
Penulis,
Erny Herlin Setyorini, S.H., M.H
xviii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...................................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................................ ii
PERNYATAAN ORISINALITAS DISERTASI .......................................................... iii
MAJELIS PENGUJI DISERTASI ................................................................................ iv
RINGKASAN ................................................................................................................ v
SUMMARY ................................................................................................................. viii
UCAPAN TERIMA KASIH ......................................................................................... xi
MOTTO DAN PERSEMBAHAN………………………………………………xv
RIWAYAT HIDUP……………………………………………………………..xvi
KATA PENGANTAR ................................................................................................. xvii
DAFTAR ISI............................................................................................................... xviii
DAFTAR TABEL ........................................................................................................ xxi
DAFTAR BAGAN DAN RAGAAN ........................................................................... xxii
DAFTAR SINGKATAN ............................................................................................ xxiii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ............................................................................. 25
1.3. Tujuan Penelitian .............................................................................. 25
1.4. Manfaat Penelitian ............................................................................ 26
1.5. Originalitas Penelitian Disertasi ........................................................ 27
1.6. Desain Penelitian ............................................................................... 32
1.7. Metode Penelitian ............................................................................. 33
1.8. Sistematika Penulisan ........................................................................ 43
BAB II KERANGKA TEORITIK DAN KERANGKA KONSEPTUAL.. ............ 44
2.1 Kerangka Teoritik ............................................................................. 45
xix
2.1.1 Teori Perlindungan Hak Asasi Manusia .................................... 45
2.1.2 Teori Perlindungan Anak .......................................................... 55
2.1.3 Teori Keadilan ........................................................................ 61
2.1.4 Teori Labeling (Labeling Theory) .......................................... 78
2.1.5 Teori Kebijakan Formulaasi .................................................... 89
2.2 Kerangka Konseptual .......................................................................... 98
2.2.1 Konsep Kebijakan Formulasi .................................................. 98
2.2.2. Konsep Diversi ....................................................................... 104
2.2.3. Konsep Sistem Peradilan Pidana Anak ................................... 119
2.2.4. Konsep Perlindungan Anak ....................................................... 140
2.2.5. Konsep Kesejahteraan Anak ................................................... 151
BAB III DASAR FILOSOFI KEBIJAKAN FORMULASI PENGATURAN
KETENTUAN PELAKSANAAN DIVERSI DI LUAR SISTEM
PERADILAN PIDANA ANAK DI MASA YANG AKAN DATANG
DALAM RANGKA PERLINDUNGAN DAN KESEJAHTERAAN ANAK
.................................................................................... 155
3.1. Dasar Filosofi Beberapa Ketentuan Internasional dan Peraturan
Perundang-undangan Nasional........................................... 156
3.1.1. Ketentuan-Ketentuan Internasional............................ 156
3.1.2. Peraturan Perundang-undangan Nasional……...……...167
3.2. Dasar Filosofi Peradilan Anak Menurut Para Ahli ................. 179
3.3. Asas Kepentingan Terbaik Bagi Anak (The Best Interest of the
Child)........................................................................ 185
xx
3.4. Konsep ke Depan Tentang Dasar Filosofi Kebijakan Formulasi
Pengaturan Ketentuan Pelaksanaan Diversi di Luar Sistem Peradilan
Pidana Anak dalam Rangka Perlindungan dan Kesejahteraan
Anak...................................................... 186
BAB IV KEBIJAKAN FORMULASI PENGATURAN KETENTUAN
PELAKSANAAN DIVERSI YANG MENCERMINKAN PRINSIP
PERLINDUNGAN DAN KESEJAHTERAAN BAGI ANAK YANG
BERKONFLIK DENGAN HUKUM DI MASA YANG AKAN
DATANG............................................................................... ................... 198
4.1. Pengaturan Ketentuan Pelaksanaan Diversi Di Luar Sistem Peradilan
Pidana Anak Menurut Ketentuan Internasional dan
Nasional.......................................................................... .................. 199
4.2. Pengaturan Ketentuan Pelaksanaan Diversi di Luar Sistem Peradilan
Pidana Anak Menurut Peraturan Perundang-undangan Beberapa
Negara.............................................................. ................................. 223
4.3. Kondisi Penanganan Anak yang Berkonflik dengan Hukum Pada Tingkat
Penyidikan di Polrestabes Surabaya dan di Kepolisian Daerah Jawa
Timur (Polda Jatim).............................................264
4.4. Mekanisme Pelaksanaan Diversi..............................................293
4.5. Konsep Usulan Perumusan Untuk Masa Yang Akan Datang....297
BAB V PENUTUP..........................................................................................307
5.1. Simpulan...................................................................................307
5.2. Saran........................................................................................309
DAFTAR PUSTAKA
xxi
DAFTAR TABEL
NO JUDUL HLM
1 Orisinalitas Penelitian 26
2 Desain Penelitian 31
3 Dasar Filosofi di dalam Preamble UDHR 156
4 Dasar Filosofi di dalam Preamble CRC 160
5 Dasar Filosofi di dalam Fundamental Perspectives The Beijing Rules 163
6 Dasar filosofi di dalam Beberapa Ketentuan Internasional 165
7 Dasar Filosofi di dalam Pembukaan UUD NKRI Tahun 1945 167
8 Dasar Filosofi di Dalam Konsiderans UU HAM 168
9 Dasar filosofi di dalam Konsiderans UU Kesejahteraan Anak 170
10 Dasar Filosofi di dalam Konsiderans UU Perlindungan Anak 172
11 Dasar Filosofi di dalam Konsiderans UU Pengadilan Anak 173
12 Dasar Filosofi di dalam Naskah Akademik UU SPP Anak 175
13 Dasar Filosofi di dalam Konsiderans UU SPP Anak 176
14 Dasar Filosofi di Dalam Konsiderans Beberapa Peraturan Perundang-undangan Nasional
177
15 Dasar Filosofi Peradilan Anak Menurut Walker 178
16 Dasar Filosofi Peradilan Anak Menurut Mardjono Reksodipoetro 179
17 Dasar Filosofi Peradilan Anak Menurut Sudikno Mertokusumo 180
18 Dasar Filosofi Peradilan Anak Menurut Setya Wahyudi 181
19 Dasar Filosofi Peradilan Anak Menurut Barda Nawawi Arief 182
20 Dasar Filosofi Peradilan Anak Menurut Satjipto Rahardjo 182
21 Dasar Filosofi Peradilan Anak Menurut Para Ahli 183
22 Ketentuan Convention on the Rights of the Child (CRC) yang mengatur Pelaksanaan Diversi di Luar Sistem Peradilan Pidana Anak
201
23 Ketentuan The Beijing Rules yang mengatur Pelaksanaan Diversi di Luar Sistem Peradilan Pidana Anak 204
24 Ketentuan The Riyadh Guidelines yang mengatur Pelaksanaan Diversi di Luar Sistem Peradilan Pidana Anak
207
25 Ketentuan The Tokyo Rules yang mengatur Pelaksanaan Diversi di luar Sistem Peradilan Pidana Anak 209
26 Beberapa Ketentuan Internasional yang Mengatur Pelaksanaan Diversi di Luar Sistem Peradilan Pidana Anak
211
27 Tujuan Pelaksanaan Diversi Menurut Beberapa Ketentuan Internasional 215
28 Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Menurut UU SPP Anak
220
29 Pelaksanaan Diversi di Luar Sistem Peradilan Pidana Anak di Negara South Australia 228
30 Pelaksanaan Diversi di Luar Sistem Peradilan Pidana Anak di Negara Western Australia 235
31 Pelaksanaan Diversi di Luar Sistem Peradilan Pidana Anak di Negara Queensland, Australia 240
32 Pelaksanaan Diversi di Luar Sistem Peradilan Pidana Anak di Negara Tasmania, Australia 246
33 Pelaksanaan Diversi di Luar Sistem Peradilan Pidana Anak di Negara New South Wales, Australia 256
34 Pelaksanaan Diversi Menurut UU SPP Anak 257
35 Pelaksanaan Diversi di Luar Sistem Peradilan Pidana Anak Menurut Peraturan Perundang-undangan Beberapa Negara Bagian Australia dan UU SPP Anak di Indonesia
259
36 Jenis dan Jumlah Perkara Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum Menurut data Polrestabes Surabaya Tahun 2010-2013
263
37 Jenis dan Jumlah Perkara Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum Menurut data Polrestabes Surabaya Tahun 2010-2013 yang Diselesaikan Secara Kekeluargaan/Damai atau Non-Litigasi
264
38 Jenis dan Jumlah Perkara Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum Menurut data Polda Jatim Tahun 2009-2013
265
39 Jenis dan Jumlah Perkara Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum Menurut data Polda Jawa Timur Tahun 2009-2013 yang Diselesaikan Secara Kekeluargaan/Damai atau Non-Litigasi
267
40 Mekanisme Pelaksanaan Diversi di luar SPP Anak, Uraian Jenis Pelanggaran dan Sanksi di Beberapa Negara Bagian Australia
287
41 Proses pelaksanaan diversi menurut UU SPP Anak 289
xxii
DAFTAR BAGAN DAN RAGAAN
NO. JUDUL HLM
1 Desain Penelitian 31
2 Kerangka Teori 96
3 Alur Pelaksanaan Penyelesaian Secara
Musyawarah/Kekeluargaan Terhadap Anak Yang Berkonflik
Dengan Hukum Di Polrestabes Surabaya
269
4 Alur Pelaksanaan Diversi Di luar Sistem Peradilan Pidana anak
di Masa yang Akan Datang
308
xxiii
DAFTAR SINGKATAN
AKH : Anak yang Berkonfik dengan Hukum.
CRC : Convention on the Rights of the Child.
CCM : Crime Control Model.
DPM : Due Process Model.
Ditreskrimum : Direktorat Reserse Kriminal Umum.
F-PDIP : Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.
HAM : Hak Asasi Manusia.
ICPR : International on Civil and Political Rights.
Kabareskrim : Kepala Badan Reserse dan Kriminal.
KHA : Konvensi Hak Anak.
Keppres : Keputusan Presiden.
KUHP : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
KUHAP : Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
KPAI : Komisi Perlindungan Anak Indonesia.
LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat.
MK : Mahkamah Konstitusi.
NSW : New South Wales.
No. Pol : Nomor Polisi.
Polda Jatim : Kepolisian Daerah Jawa Timur.
Polrestabes : Kepolisian Resort Kota Besar.
Ps : Pasal.
PBB : Perserikatan Bangsa-Bangsa.
RUU : Rancangan Undang-Undang.
SPP Anak : Sistem Peradilan Pidana Anak.
Sec. : Section.
SCCC : Surabaya Children Crisis Center.
TR : Telegram Rahasia.
UU : Undang-Undang.
UDHR : Universal Declaration of Human Right.
UUD NKRI : Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
UU SPP Anak : Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak. YLBHI : Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia.
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang
memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Berbicara mengenai
anak sangatlah penting karena anak merupakan potensi nasib manusia di hari
mendatang, dialah yang ikut berperan menentukan sejarah bangsa sekaligus
cermin sikap hidup bangsa pada masa mendatang.1 Anak sebagai bagian generasi
muda merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan merupakan sumber
daya manusia bagi pembangunan nasional ke depan.2 Oleh karena itu diperlukan
pembinaan secara terus menerus demi kelangsungan hidup, pertumbuhan dan
perkembangan fisik, mental dan sosial serta perlindungan dari segala
kemungkinan yang membahayakan atau merusak masa depan anak. Berangkat
dari pemikiran tersebut, kepentingan dalam rangka tumbuh kembang anak
seyogyanya memperoleh prioritas utama. Sayangnya, tidak semua anak
mempunyai kesempatan yang sama dalam merealisasikan harapan dan
aspirasinya. Banyak diantara mereka yang beresiko tinggi untuk dapat tumbuh
dan berkembang secara sehat, mendapatkan pendidikan yang terbaik karena
1Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2005),
hlm. 5. 2Ediwarman, “Peradilan Anak di persimpangan Jalan Dalam Perspektif
Victimology (Belajar dari Kasus Raju)”, Volume 18 Nomor 1, (Pekan Baru: Jurnal
Mahkamah, April 2006), hlm. 8.
1
2
keluarga yang miskin, orang tua bermasalah, diperlakukan salah, ditinggal orang
tua, sehingga tidak dapat menikmati hidup secara layak.3
Situasi dan kondisi sosial sangat berpengaruh terhadap kejiwaan dan
perilaku seorang anak. Apalagi saat ini, modernisasi yang berlangsung sangat
cepat, pendidikan yang mahal, media elektronik yang terakses tanpa batas dan
pengawasan orang tua yang minim karena sibuk bekerja berdampak sangat serius
terhadap anak. Pada situasi dan kondisi yang abnormal itu, anak-anak seringkali
menghadapi kasus hukum karena perbuatannya. Mereka disangka, didakwa
bahkan tidak sedikit dari mereka yang dinyatakan bersalah melanggar hukum
pidana dan dijatuhi hukuman penjara.4 Penjara telah memberikan stigma dan
labelisasi abadi kepada seorang anak sehingga harapan pengembalian mental
moral anak sulit tercapai karena labelisasi tersebut akan menempatkan status anak
di tengah masyarakat.5
Sebagai contoh, dapat dikemukakan dalam “Kisah Soka Dalam Penjara
Dewasa” sebagaimana berikut ini:
...Soka (14 tahun), pelajar sekolah sebuah MTs di Kabupaten Magelang
menerima sangkaan yang tidak main-main. Atas informasi dari temannya
yang sudah ditangkap polisi beberapa hari sebelumnya, dia disangkakan
telah menjadi pengguna dan pengedar narkoba (ekstasi). Sebutir pil ekstasi
yang ditemukan polisi yang entah darimana datangnya menjadi alat bukti
untuk menjerat Soka dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun. Tak
peduli dia pelajar dan seorang anak.
Protes orang tua, aktivis perlindungan anak, LSM, seniman, dan tokoh-tokoh
masyarakat tidak dipedulikan polisi. Berjam-jam dia diperiksa dan disidik
dengan penuh penyiksaan. Setiap penyangkalan atas tuduhan, artinya
3Ibid.
4Anak yang Berkonflik dengan Hukum, http://www.docstoc.com/.../ANAK-
YANG-BERKONFLIK-DENGAN-HUKUM, diakses tanggal 1 Oktober 2010.
5Hadi Supeno, Kriminalisasi Anak Tawaran Gagasan Radikal Peradilan Anak
Tanpa Pemidanaan, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2010), hlm. 186
3
gencetan kaki dengan kursi, atau sundutan rokok, atau jambakan rambut,
atau pukulan pada tubuhnya dengan sepatu polisi yang berbau menyengat.
Jadilah penjara Magelang sebagai tempat tinggalnya. Pengadilan memvonis
hukuman penjara 6 bulan... Untunglah waktu tak henti berganti. Soka
akhirnya keluar dari penjara. Namun siksaan belum berakhir karena sekolah
dan masyarakat seakan-akan menusukkan pedang penglihatan dengan satu
tuduhan: “Kau narapidana!”... Akhirnya Soka dikirim ke Jepang.
Meneruskan sekolah di negeri yang dalam hukumnya menghindari
pemidanaan anak....6.
Contoh kasus Soka di atas menjadi bukti nyata bahwa sekolah dan
masyarakat telah memberikan stigma terhadap Soka serta menolaknya untuk
melanjutkan sekolah dan masuk kembali dalam lingkungan masyarakatnya.
Sejak anak ditangkap, diperiksa oleh polisi sebagai penyidik pada tahap
penyidikan, ia diberi nama/label sebagai tersangka; pada tahap pemeriksaan di
pengadilan diberi nama/label sebagai terdakwa; dan pada saat menjalani pidana
diberi nama/label sebagai anak pidana. Ini menunjukkan bahwa sejak
penangkapan merupakan langkah awal dari proses labeling.
Negara Indonesia sudah selayaknya memberikan perhatian terhadap
perlindungan anak karena amanat Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan
Republik Indonesia Tahun 1945 (untuk selanjutnya disebut UUD NKRI 1945).
Hal ini sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 28 B ayat (2) yang menyatakan
bahwa “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang,
serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
Pada tanggal 20 Nopember 1989, PBB mengesahkan Konvensi Hak-hak
Anak (selanjutnya disebut KHA) atau Convention on the Rights of The Child
(selanjutnya disebut CRC) untuk memberikan perlindungan terhadap anak dan
6
Sebagaimana diceritakan Ayah Soka kepada Hadi Supeno, dalam Hadi Supeno,
Op.cit., hlm. 185-186.
4
menegakkan hak-hak anak di seluruh dunia dan mulai mempunyai kekuatan
memaksa (entered in to force) pada tanggal 2 September 1990. Konvensi ini telah
diratifikasi oleh semua negara di dunia, kecuali Somalia dan Amerika Serikat.
Melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1990
tanggal 25 Agustus 1990, Indonesia meratifikasi KHA. Konvensi Hak Anak
merupakan perjanjian antara beberapa negara. Sebagai negara yang telah
meratifikasi KHA meletakkan KHA sebagai salah satu sumber hukum dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan anak.7 Ini
berarti seluruh anak Indonesia tanpa terkecuali memiliki hak untuk mendapatkan
perlindungan dari negara, termasuk di dalamnya anak yang berhadapan dengan
hukum baik dalam posisi sebagai pelaku, korban maupun saksi.8
Pada tahun 2002, pemerintah mengesahkan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4235, selanjutnya disebut UU Perlindungan Anak).
Undang-Undang Perlindungan Anak juga merupakan bagian dari amanat KHA
atau CRC. Pasal 13 ayat (1) UU Perlindungan Anak, menyatakan bahwa:
“Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali atau pihak lain
manapun yang bertanggungjawab atas pengasuhan berhak mendapat
perlindungan dari perlakuan:
a. diskriminasi;
b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
c. penelantaran;
d. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;
7Nonot Suryono, “Implementasi Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 Terhadap
Anak Konflik Hukum (AKH) dalam Kasus Berita Acara Penolakan Bantuan Hukum”,
SCCC (Surabaya Children Crisis Center), Makalah disampaikan pada Seminar Sehari
Fakultas Hukum Universitas Kartini, Surabaya, 10 Maret 2012), hlm. 1. 8Ibid., hlm. 2.
5
e. Ketidakadilan; dan
f. Perlakuan salah lainnya”.
Pasal 59 UU Perlindungan Anak menyatakan bahwa:
“Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan
bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak
dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari
kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi
dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban
penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya
(napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban
kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat dan anak
korban perlakuan salah dan penelantaran”.
Selanjutnya, Article 2.2 CRC menyatakan:
“States parties shall take all appropriate measures to ensure that the child is
protected against all forms of discrimination or punishment on the basis of
the status, activities, expressed opinions, or beliefs of the child’s parents,
legal guardians, or family members”. (Terjemahan bebas: negara-negara
peserta akan mengambil semua langkah yang layak untuk menjamin bahwa
anak dilindungi terhadap semua bentuk diskriminasi atau hukuman
berdasarkan kedudukan, kegiatan, pendapat yang dinyatakan, atau keyakinan
orang tua anak, wali, atau anggota-anggota keluarga anak).
Sebelumnya, Indonesia telah membentuk Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1979 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3143, selanjutnya disebut UU Kesejahteraan Anak).
Pasal 1 angka 1 huruf a UU Kesejahteraan Anak, menyatakan bahwa
“Kesejahteraan anak adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan anak yang
dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik secara
rohani, jasmani maupun sosial. Kemudian Pasal 2 ayat (3) UU Kesejahteraan
Anak dengan tegas merumuskan bahwa “Anak berhak atas pemeliharaan dan
perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan”.
6
Selanjutnya, berkaitan dengan perlindungan terhadap anak yang berkonflik
dengan hukum, Pasal 6 UU Kesejahteraan Anak menyatakan:
(1) Anak yang mengalami masalah kelakuan diberi pelayanan dan asuhan
yang bertujuan menolongnya guna mengatasi hambatan yang terjadi
dalam masa pertumbuhan dan perkembangannya;
(2) Pelayanan dan asuhan, sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1), juga
diberikan kepada anak yang telah dinyatakan bersalah melakukan
pelanggaran hukum berdasarkan keputusan hakim.
Pada tanggal 3 Januari 1997 pemerintah bersama-sama Dewan Perwakilan
Rakyat mengesahkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 tahun 1997
tentang Pengadilan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997
Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3668,
selanjutnya disebut UU Pengadilan Anak). Dalam Konsiderans UU Pengadilan
Anak, dinyatakan bahwa tujuan penyelenggaraan sistem peradilan pidana anak di
Indonesia, untuk pembinaan dan memberikan perlindungan terhadap anak, yaitu
agar anak tetap terjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial
secara utuh, serasi, selaras dan seimbang.9
Sementara itu, menurut Paulus Hadisuprapto pertimbangan utama
diundangkannya UU Pengadilan Anak:
Pertimbangan utama diundangkannya UU Pengadilan Anak antara lain
ialah kehendak pemerintah untuk mewujudkan suatu penanganan anak
yang terlibat tindak pidana secara lebih baik daripada yang terdahulu dan
penanganannya memperhatikan kepentingan anak, sehingga anak sebagai
pelaku tindak pidana tidak dirugikan secara fisik maupun mentalnya.10
9
Lihat Konsideran “Menimbang” dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak. 10
Paulus Hadisuprapto, Peradilan Restoratif: Model Peradilan Anak Indonesia
Masa Datang, Pidato Pengukuhan Guru Besar Universitas Diponegoro, hlm. 9.
(Selanjutnya disebut Paulus Hadisuprapto I).
7
Penempatan kata “anak” dalam Peradilan anak menunjukkan batasan atas
perkara yang ditangani oleh Badan Peradilan, yaitu perkara anak yang berhadapan
dengan hukum. Proses mewujudkan keadilan berupa rangkaian tindakan yang
dilakukan oleh badan-badan peradilan disesuaikan dengan bentuk-bentuk serta
kebutuhan anak. Peradilan pidana anak diselenggarakan dengan memperhatikan
kesejahteraan anak. Kesejahteraan anak penting karena:
a. Anak adalah potensi serta penerus cita-cita bangsa yang landasannya
telah diletakkan oleh generasi sebelumnya;
b. Agar setiap anak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia
perlu mendapat kesempatan untuk tumbuh, berkembang secara wajar;
c. Bahwa di dalam masyarakat terdapat anak-anak yang mengalami
hambatan kesejahteraan rohani, jasmani, sosial, dan ekonomi;
d. Anak belum mampu memelihara dirinya;
e. Bahwa menghilangkan hambatan tersebut hanya akan dapat dilaksanakan
dan diperoleh apabila usaha kesejahteraan anak terjamin.11
Dalam perkembangannya, UU Pengadilan Anak sudah tidak sesuai lagi
dengan kebutuhan hukum dalam masyarakat dan belum secara komprehensif
memberikan perlindungan khusus kepada anak yang berhadapan dengan hukum.12
Kritik-kritik terhadap penyelenggaraan sistem peradilan pidana anak masih saja
terus mengalir. Banyak kalangan menyatakan penyelenggaraan sistem peradilan
pidana anak dalam implementasinya masih jauh dari keinginan untuk dapat
mendukung mewujudkan tujuan kesejahteraan anak dan kepentingan terbaik
anak.13
Beberapa penelitian tentang pelaksanaan peradilan pidana anak terdapat
11
Agung Wahyono dan Siti Rahayu, Tinjauan Tentang Peradilan Anak di
Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 1993), hlm. 39. 12
http://www.depkumham.go.id/berita-utama/1078-rancangan-undang-undang-
tentang-sistem-peradilan-pidana-anak-disahkan-di-rapat-paripurna-dpr-ri, diakses tanggal
5 Juli 2012.
13Setya Wahyudi, Implementasi Ide Diversi Dalam Pembaruan Sistem Peradilan
Pidana Anak di Indonesia, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2011), hlm. 3
8
fakta bahwa proses peradilan pidana bagi anak menimbulkan dampak negatif pada
anak, yaitu timbulnya stigma atau label yang menempatkan status anak di tengah
masyarakat sebagai mantan narapidana. Label tersebut dapat mengakibatkan
kenakalan anak berlanjut pada masa yang akan datang.14
Pidana penjara
merugikan perkembangan jiwa anak di masa yang akan datang, hal ini
sebagaimana dikemukakan Setya Wahyudi bahwa:
Pidana penjara bagi anak menunjukkan adanya kecenderungan bersifat
merugikan perkembangan jiwa anak di masa mendatang. Saat ini
mayoritas anak yang berkonflik dengan hukum, terutama yang dibawa ke
sistem peradilan pidana, hakim menjatuhkan pidana tetap perampasan
kemerdekaan. Jika anak-anak berada di dalam penjara, hak-hak mereka
yang dijamin UU Perlindungan Anak banyak yang tidak terpenuhi. Selain
itu dengan adanya keterbatasan jumlah rumah tahanan dan Lembaga
Pemasyarakatan (Lapas) Anak, maka anak-anak sering digabung dengan
tahanan dewasa.15
Hasil penelitian Paulus Hadisuprapto yang dilakukan di dua kota besar di
wilayah Jawa Tengah, khususnya di Kotamadia “Siera” dan “Sigma”,
mengemukakan beberapa kelemahan praktik penerapan UU Pengadilan Anak di
masyakarat, antara lain:
1. Implementasi UU Pengadilan Anak dalam penanganan kasus-kasus
anak cenderung membekaskan stigma atas diri anak, mulai dari cara
penanganan anak di tingkat penyidikan, penuntutan, persidangan di
pengadilan hingga pelaksanaan pembinaan. Kesemuanya menunjukkan
indikator yang berupa stigmatisasi anak, dan sudah barang tentu hal ini
akan sangat merugikan perkembangan jiwa anak di masa yang akan
datang. Kajian kriminologi mengisyaratkan bahwa stigmatisasi akan
membekas pada diri anak (terjadi “selfprophecy process”) dan sangat
potensial sebagai faktor kriminogen-anak akan mengulangi perbuatan
kenakalannya lagi di masyarakat;
14
Riza Alifianto Kurniawan, “Asas Ultimum Remedium Dalam Pemidanaan
Anak Nakal”, http://www.journal.lib.unair.ac.id/index.php/YRD/article/download,
diakses tanggal 3 Maret 2012.
15Ibid.
9
2. Meskipun UU Pengadilan Anak secara normatif sedikit banyak telah
memberikan rambu-rambu penanganan anak pelaku delinkuen,
ternyata dalam pelaksanaannya tidak terwujud. Sebaliknya penanganan
anak justru cenderung membekaskan stigma pada diri anak dan pada
gilirannya akan menjadi faktor pendorong bagi anak-anak itu untuk
mengulangi perbuatannya lagi di masyarakat di masa datang.16
Selanjutnya, pada tanggal 30 Juli 2012, Pemerintah mengesahkan Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan
Pidana Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 153,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5332, selanjutnya
disebut UU SPP Anak), sebagai pengganti UU Pengadilan Anak, yang masih akan
diberlakukan 2 (dua) tahun kemudian.
Pembentukan UU SPP Anak juga dilatarbelakangi bahwa setelah melihat
kenyataan di Indonesia jumlah anak yang berkonflik dengan hukum setiap
tahunnya mengalami peningkatan. Menurut data yang dihimpun Suara Merdeka,
pada tahun 2010/2011, sekitar 7.000 lebih anak yang berhadapan dengan hukum,
6.726 anak sudah divonis, selebihnya dalam proses. Sementara pada tahun
2008/2009, ada sekitar 4 ribu anak.17
Berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (untuk selanjutnya
disebut KPAI), Indonesia merupakan negara yang paling banyak memidanakan
anak, yaitu sudah ada sebanyak 6.000 anak yang dipidanakan sampai Juli 2009.
Sementara itu, sebanyak 3.800 anak diantaranya mendekam di Lembaga
16
Paulus Hadisuprapto I, Op.cit., hlm. 22-23. 17
Jazuli, “Perlindungan Anak Jangan Sekadar Teori”,
http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2012/01/16/106930/Jazuli-
Perlindungan-Anak-Jangan-Sekadar-Teori, diakses tanggal 16 Januari 2012
10
Pemasyarakatan (Lapas).18
Selanjutnya, pada tahun 2011 tercatat 6.271 anak yang
ditahan di 16 Lapas yang tersebar di Indonesia. Dari 32 anak yang diwawancara
KPAI, 16 anak mengaku mengalami penganiayaan selama proses penyidikan di
kepolisian.19
Menurut data di Kepolisian Resort Kota Besar (Polrestabes) Surabaya, kasus anak
juga mengalami peningkatan. Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA)
Polrestabes Surabaya hingga 21 Desember 2013 mencatat sejumlah 86 kasus yang
melibatkan anak. Jumlah itu naik 10 kasus dari tahun 2012 sebanyak 76 kasus.20
Proses peradilan pidana anak yang terjadi selama ini tidak mampu
memberikan hasil yang memuaskan bagi kesejahteraan anak dan bahkan terlihat
masih cenderung represif dengan banyaknya putusan hakim yang menjatuhkan
pidana penjara kepada anak.21
Tingginya kasus anak yang harus berakhir di
penjara, tidak sebanding dengan keberhasilan model pemenjaraan dalam menekan
tingkat kriminalitas pada anak. Fakta menunjukkan, bahwa dengan pemenjaraan
tidak mampu menekan angka kriminalitas yang dilakukan oleh anak-anak. Bahkan
muncul beberapa kritikan, diantaranya, pertama, penjara tidak mampu
mengurangi jumlah kriminalitas, kedua, penjara melahirkan residivisme, ketiga,
18Tim KPAI: Indonesia Negara Terbanyak Memidana Anak. Kompas, 16 Juli
2009.
19KPAI, KPAI Bertekad Hapuskan Pemenjaraan Anak,
http:www.tempo.co/read/news/2012/01/13/063377143/KPAI-Bertekad-Hapuskan-
Pemenjaraan-Anak, diakses tanggal 22/01/2013.
20http://regional.kompas.com/read/2013/12/21/1309181/Jumlah.Anak.Berkonflik.
Hukum.di.Surabaya.Meningkat, diakses tanggal 21 Desember 2013.
21
Muhammad Aenur Rosyid, Alternatif Model Penanganan Anak Yang Berkonflik
dengan Hukum Melalui Family Group Conferencing (Analisis Yuridis Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak).
Tesis Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya
Malang, 2013, hlm. 3.
11
penjara tidak pernah gagal melahirkan perilaku yang menyimpang, keempat,
penjara melahirkan label residivis bagi anak-anak. Hal itu juga sering dianggap
bahwa penjara adalah “sekolah kriminal” yang lebih canggih.22
Pada usia muda,
beberapa anak yang berkonflik dengan hukum telah menjadi residivis. Kondisi ini
menyebabkan seorang anak pasca trauma akan tumbuh dengan dendam dan tidak
percaya pada nilai-nilai sosial. Berbagai upaya penanganan anak yang berkonflik
dengan hukum, yang seringkali berakhir di penjara tentunya menjadi perhatian
yang cukup besar menyangkut hak-hak anak.23
Fenomena di atas menunjukkan bahwa penanganan terhadap pelaku tindak pidana
anak oleh aparat penegak hukum melalui jalur penal yang selama ini berlangsung,
cenderung merugikan masa depan anak... Anak-anak yang terlibat dalam proses
peradilan pidana memperoleh perlakuan yang buruk bahkan dalam beberapa hal
telah diperlakukan lebih buruk bila dibandingkan dengan orang dewasa yang
berada dalam situasi yang sama. Mayoritas dari anak yang melakukan tindak
pidana mengalami tindak kekerasan selama dalam proses peradilan pidana.24
Keadaan tersebut bukan saja sangat memprihatinkan, namun sangat
mengkhawatirkan karena hal itu menggambarkan bahwa sesungguhnya
penanganan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum belum benar-benar
mencerminkan perlindungan anak. Perlakuan terhadap anak yang berkonflik
dengan hukum seringkali bersifat sangat represif. Proses peradilan terhadap anak
22Ibid.
23Yanuar Firda Wismayanti, Model Penanganan Anak Berkonflik Hukum, jurnal
“informasi” Vol. III No. 3 September-Oktober 2007, hlm. 42.
24
Koesno Adi, Kebijakan Kriminal dalam Sistem Peradilan Pidana yang
Berorientasi pada kepentingan Terbaik Bagi Anak, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru
Besar dalam bidang Ilmu Hukum Universitas Brawijaya Malang, 2009.(Selanjutnya
disebut Koesno Adi I).
12
seringkali kehilangan makna essensinya sebagai mekanisme yang harus berakhir
dengan upaya untuk melindungi kepentingan terbaik bagi anak (the best interest
of the child) dan menampilkan dirinya sebagai mekanisme yang hanya
berorientasi pada penegakan hukum secara formal dan tidak berorientasi pada
kepentingan anak.25
Perhatian khusus terhadap anak yang berkonflik dengan hukum dimulai
dari hukum acara pidana yang berlaku terhadap anak. Hukum acara pidana anak
mengatur kewajiban dan hak bagi anak yang dituangkan dalam Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3258, selanjutnya disebut KUHAP)
secara umum dan secara khusus dalam UU SPP Anak.
Apabila UU SPP Anak tidak mengatur secara khusus hak-hak anak yang
berkonflik dengan hukum, maka hak-hak tersangka dan terdakwa yang diatur
dalam Pasal 50-68 KUHAP masih tetap berlaku bagi Anak. Demikian juga,
ketentuan beracara dalam KUHAP berlaku juga dalam acara peradilan pidana
anak, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini (Pasal 16 UU SPP Anak).
Pengadilan Anak termasuk pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan
peradilan umum.26
Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b
UU SPP Anak bahwa “Persidangan Anak dilakukan oleh pengadilan di
lingkungan peradilan umum”.
25Ibid., hlm. 6. 26
Marlina, “Penerapan Konsep Diversi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana
Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak”, Jurnal Equality, Vol. 13 No. 1 Februari 2008,
hlm. 105. (Selanjutnya disebut Marlina I).
13
Sejak anak melakukan tindak pidana, perdebatan mengenai cara terbaik
untuk mencari jalan keluarnya terus menerus dilakukan. Untuk melakukan
perlindungan terhadap anak dari pengaruh proses formal sistem peradilan pidana
maka timbul pemikiran manusia atau para ahli hukum dan demi kemanusiaan
untuk membuat aturan formal tindakan mengeluarkan (remove) seorang anak yang
melakukan pelanggaran hukum atau melakukan tindak pidana dari proses
peradilan pidana dengan memberikan alternatif lain yang dianggap lebih baik
untuk anak.27
Diversi saat ini dianggap sebagai proses yang telah diakui secara
internasional sebagai cara terbaik dan paling efektif dalam menangani anak yang
berkonflik dengan hukum. Pemikiran tentang diversi pada awalnya muncul karena
anak yang berkonflik dengan hukum dipengaruhi beberapa faktor lain di luar diri
anak seperti pergaulan, pendidikan, teman bermain dan sebagainya. Pelaksanaan
diversi juga dilatarbelakangi keinginan menghindari efek negatif terhadap jiwa
dan perkembangan anak oleh keterlibatannya dengan sistem peradilan pidana.
Alasan dasarnya yaitu pengadilan akan memberikan stigma terhadap anak atas
tindakan yang dilakukannya, sehingga lebih baik menghindarkannya keluar sistem
peradilan pidana.28
Diversi sangat penting untuk diperhatikan dalam penanganan anak yang
berkonflik dengan hukum. Diversi dapat menghindarkan anak dari stigma yang
lazimnya terjadi dalam proses pemidanaan anak lewat sistem peradilan pidana
anak. Dari sisi perlindungan kepentingan terbaik bagi anak, keberadaan diversi
27
Marlina, Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice dalam Hukum
Pidana, (Medan: USU Press, 2010), hlm. 1 (Selanjutnya disebut Marlina II). 28Ibid., hlm. 11.
14
sangat diperlukan, karena melalui diversi kemungkinan penuntutan pidana gugur,
rekor anak sebagai bekas terdakwa tidak ada, dan dengan sendirinya stigma atas
diri anak juga tidak terjadi.29
Orang menjadi penjahat bukan karena melanggar peraturan perundang-undangan,
melainkan karena ia ditetapkan demikian oleh penguasa. Tindakan penangkapan
merupakan langkah awal dari proses labeling, dan labeling merupakan suatu
proses yang melakukan identifikasi dengan citra sebagai devian dan subkultur
serta menghasilkan rejection of the rejector.30
Selain itu, diversi juga dilakukan dengan alasan untuk memberikan suatu
kesempatan kepada pelanggar hukum agar menjadi orang yang baik kembali
melalui jalur non formal dengan melibatkan sumber daya masyarakat. Diversi
berupaya memberikan keadilan kepada kasus anak yang telah terlanjur melakukan
tindak pidana sampai kepada aparat penegak hukum sebagai pihak penegak
hukum.31
Penerapan diversi ini didasarkan pada pemikiran bahwa:
1. Anak adalah sosok yang belum matang baik secara fisik maupun
psikis;
2. Anak terhindar dari proses hukum lebih lanjut;
3. Anak tidak mengerti betul tentang kesalahan yang dilakukannya;
4. Anak mudah dibina daripada orang dewasa;
5. Penjara dan penghukuman adalah sekolah kriminal;
6. Penjara dan penghukuman merupakan stigma, labelisasi seumur hidup
yang dapat menghancurkan masa depan anak;
7. Anak sangat tergantung pada orang lain baik secara ekonomi maupun
sosial;
8. Anak adalah pewaris bangsa dan penerus masa depan kita;
29Paulus Hadisuprapto, Delinkuensi Anak: Pemahaman dan Penanggulangannya,
(Malang: Bayumedia Publishing, 2008), hlm. 131. (Selanjutnya disebut Paulus II). 30
Romli Atmasasmita, Kepenjaraan: Dalam Suatu Bunga Rampai, (Bandung:
Armico, 1983), hlm. 50. (Selanjutnya disebut Romli Atmasasmita I). 31
Romli Atmasasmita I, Op.cit., hlm. 15.
15
9. Generasi penerus yang berkualitas tidak dilahirkan dibalik jeruji;
10. Hukuman adalah jalan terakhir.32
Dalam UU SPP Anak diatur tentang diversi, Pasal 1 angka 7 UU SPP
Anak mengatur pengertian diversi, bahwa “Diversi adalah pengalihan
penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar
peradilan pidana”.
Pelaksanaan diversi oleh aparat penegak hukum didasari oleh kewenangan aparat
penegak hukum yang disebut discretion atau „diskresi‟.33
Diskresi adalah
wewenang dari aparat penegak hukum yang menangani kasus tindak pidana untuk
mengambil tindakan meneruskan perkara atau menghentikan perkara mengambil
tindakan tertentu sesuai dengan kebijakannya.34
Lahirnya kewenangan diskresi
pada kepolisian didasarkan pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2
Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4168, selanjutnya disebut UU Polri), Pasal 18 ayat (1) dan (2).
Pasal 18 UU Polri :
(1) Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik
Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat
bertindak menurut penilaiannya sendiri;
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya
dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan
memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik
Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
32
Riza Nizarli, “Keadilan Restoratif Sebagai Upaya Perlindungan Terbaik Bagi
Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum”, Disampaikan pada Seminar Penyelesaian
Kasus Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum Secara Diversi dan Restorative Justice
Kerjasama AJRC dengan Mahupiki, Banda Aceh 31 Maret 2009. 33Ibid., hlm. 2. 34
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia.
16
Kepolisian Republik Indonesia sebenarnya telah membekali penyidik anak
dengan Telegram Rahasia Kabareskrim Polri Nomor: TR/1124/IX/2006 dan
Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia, Menteri Hukum dan HAM Republik
Indonesia, Menteri Sosial Republik Indonesia, dan Menteri Negara Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia pada tanggal 22
Desember 2009. Telegram Rahasia (TR) tersebut berisi tentang pedoman
penyelenggaraan diversi dalam perkara anak. Salah satu alasan dikeluarkannya
TR tersebut adalah masih adanya kecenderungan penyelesaian perkara anak
dengan menggunakan proses formal dan masih sangat miskinnya kreativitas
dalam mencari alternatif penyelesaian perkara anak di luar jalur formal.35
Lebih lanjut, dalam TR tersebut ditegaskan bahwa untuk merealisasikan
hal tersebut di atas, jajaran Polri berpedoman pada hal-hal sebagai berikut:
1. Kewenangan diskresi kepolisian, yaitu Pasal 18 UU Polri;
2. Prinsip diversi yang terdapat dalam Konvensi Hak-Hak Anak;
3. Dasar hukum penerapan diversi, yaitu Pasal 16 ayat (1) UU Polri;
4. Sedapat mungkin mengembangkan prinsip diversi dalam model
restorative justice agar anak terhindar dari trauma psikologis dan
stigmatisasi serta dampak buruk lainnya sebagai akses penegakan
hukum formal/pengadilan;
5. Penahanan terhadap anak merupakan ultimum remedium dan
pelaksanaannya harus dipisahkan dari tahanan dewasa.36
Sedangkan dalam Keputusan Bersama tersebut, salah satu bunyi kesepakatannya
bahwa “Penyidik melakukan upaya penanganan perkara anak yang melakukan
tindak pidana dengan pendekatan keadilan restoratif untuk kepentingan terbaik
35
Butir BBB Telegram Rahasia Kabareskrim Polri Nomor: TR/1124/XI/2006,
dalam Nurini Aprilianda, Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Sebagai Upaya
Pencegahan Stigmatisasi Anak, Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum Pascasarjana
Universitas Airlangga, Surabaya, 2011, hlm. 242. 36Ibid., hlm. 243.
17
bagi anak wajib melibatkan Balai Pemasyarakatan, orang tua, dan atau keluarga
korban dan pelaku tindak pidana serta tokoh masyarakat setempat”.
Polri dinilai tidak/belum professional dan proporsional dalam praktek
karena belum memperlihatkan sensitivitas terhadap dampak psikologis yang
timbul akibat proses hukum serta belum berorientasi pada kepentingan terbaik
anak sebagai prioritas pertimbangan dan acuan dalam mengambil keputusan
ketika menangani kasus anak yang berkonflik dengan hukum. Hal yang
ditemukan dalam praktek antara lain:
1. Terhadap anak sebagai pelaku, ditemukan praktek mencukur rambut
kepala anak dengan tidak memperhatikan kepatutan dan estetika,
mengambil uang/ barang milik anak padahal uang/barang tersebut
tidak berhubungan dengan perkara,... memberi hukuman fisik,
menelanjangi, menganiaya, membentak, menempatkan anak dalam
satu kamar dengan tahanan dewasa, mempublikasikan anak kepada
media, dan lain-lain.37
2. Terhadap anak sebagai korban, tidak digunakan Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagai pasal
pokok yang menjadi dasar dalam menegakkan hak-hak anak sebagai
korban serta masih mempublikasikan gambar anak, identitas anak
beserta keluarganya.38
Lebih jauh anak yang berkonflik dengan hukum juga berpotensi menjadi korban
penyalahgunaan kekuasaan oleh individu-individu yang berada dalam institusi-
institusi penegak hukum.39
Telegram dan Kesepakatan Bersama tersebut hanyalah himbauan saja, belum
menjadi payung hukum dalam menangani anak yang berkonflik dengan hukum
37
http://www.repositery.usu.ac.id/bitstream/123456789/17751/3/chapterII.pdf,
diakses tanggal 14 Mei 2013. 38Ibid. 39
Yayasan Pemantau Hak Anak, Childrens Human Rights Foundation, “Anak
Berhadapan Dengan Hukum Dalam Perspektif Hukum Hak Asasi Manusia
Internasional”, http://www.ypha.or.id/web/wp-content/upsloads/2011/04/anak-yang-
berhadapan-dengan-hukum-dalam-perspektif-hukum-ham-internasional3.pdf, diakses
tanggal 10 Januari 2013.
18
sehingga dalam praktiknya polisi boleh tidak mengindahkan kebijakan-kebijakan
tersebut.
Sebagai payung hukum terhadap anak yang berkonflik dengan hukum,
maka dalam UU SPP Anak di Indonesia diatur tentang diversi sebagaimana
dinyatakan dalam Bab II, Pasal 6 sampai dengan Pasal 15.
Pasal 7 UU SPP Anak:
(1) Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di
pengadilan negeri wajib diupayakan Diversi.
(2) Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam hal
tindak pidana yang dilakukan:
a. diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan
b. bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
Pasal 8 UU SPP Anak :
(1) Proses Diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan
anak dan orang tua/walinya, korban dan/atau orang tua/walinya,
Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional
berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif.
(2) Dalam hal diperlukan, musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat melibatkan Tenaga Kesejahteraan Sosial, dan/atau
masyarakat.
(3) Proses Diversi wajib memperhatikan:
a. kepentingan korban;
b. kesejahteraan dan tanggung jawab anak;
c. penghindaran stigma negatif;
d. penghindaran pembalasan;
e. keharmonisan masyarakat; dan
f. kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU SPP Anak tersebut di atas
bahwa pelaksanaan diversi menurut UU SPP Anak dapat dilakukan pada tahap
penyidikan, penuntutan dan di pengadilan sebagai berikut:
1. Pada tahap penyidikan melalui jalur non formal atau di luar sistem
peradilan pidana anak;
19
2. Setelah anak menjalani proses peradilan formal pada tahap penuntutan;
3. Setelah anak menjalani proses peradilan formal pada tahap pemeriksaan
perkara anak di pengadilan negeri.
Sebagai perbandingan dengan negara lain yang mengatur mengenai
pelaksanaan diversi di luar sistem peradilan anak antara lain adalah negara
Australia.
Pelaksanaan diversi di Australia dapat menjadi gambaran keberhasilan penerapan
fungsi aparat penegak hukum, yaitu polisi dalam menangani masalah anak yang
berkonflik dengan hukum yang dilaksanakan sejak awal proses, yaitu melalui
mekanisme memperingatkan (police caution) dan family group conferences.40
Hal ini diungkapkan sebagai berikut:
Diversion is an important aspect of many criminal justice systems
throughout the world. Australia is no exception. Young people suspected of
offences are increasingly being diverted from formal court adjudication
through mechanisms such as cautioning and family group conferences. 41
(Terjemahan bebas: Diversi merupakan aspek penting dari banyak sistem
peradilan pidana di seluruh dunia. Australia tidak terkecuali. Anak yang
diduga melakukan pelanggaran semakin sering dialihkan dari ajudikasi
pengadilan formal melalui mekanisme seperti memperingatkan dan
musyawarah kelompok keluarga).
Pada mekanisme police caution terdapat dua, yaitu informal caution dan
formal caution. Informal caution diatur dalam Section 6 Young Offenders Act
1993. Informal caution oleh polisi dilaksanakan jika seorang anak telah mengakui
atas tindak pidana ringan yang dilakukannya dan tidak perlu dilakukan pencatatan
di administrasi kepolisian. Bila anak melakukan tindak pidana yang lebih serius
40“Children's Involvement In Criminal Justice Processes”, http://
www.alrc.gov.au/publication/18-childrens-involvement-with-legal-aid, criminal-justice-
processes/diversion, diakses tanggal 5 April 2013 41Ibid.
20
maka dilaksanakan formal caution sebagaimana diatur dalam Section 8 (1) Young
Offenders Act 1993.
Selanjutnya, selain informal dan formal caution ada mekanisme lain dalam
menangani anak yang berkonflik dengan hukum untuk tindak pidana yang serius
yakni family conferencing. Hal ini sebagaimana diatur dalam Division 3 (Part 9,
10, 11, dan 12) South Australia Young Offenders Act 1993.
South Australia Young Offenders Act 1993, Part 11:
Family conference, how constituted:
(1) A family conference consists of:
(a) a Youth Justice Co-ordinator (who will chair the conference); and
(b) the youth; and
(c) such of the persons invited to attend the conference as attend in
response to that invitation; and
(d) a representative of the Commissioner of Police.
(2) A family conference should act if possible by consensus of the youth
and such of the persons invited to attend the conference as attend in
response to that invitation.
(3) A decision by a family conference is not however to be regarded as
validly made unless the youth and the representative of the
Commissioner of Police concur in the decision.
(4) A youth is entitled to be advised by a legal practitioner at a family
conference.
(5) If a family conference fails to reach a decision, the Youth Justice Co-
ordinator must refer the matter to the Court and the Court may decide
any question, and exercise any power, that could have been decided or
exercised by the family conference. 42
(Terjemahan bebas: Bagaimana Musyawarah Kelompok Keluarga
dibentuk:
(1) Sebuah musyawarah keluarga ini terdiri dari :
(a) Seorang Koordinator Keadilan Anak (yang akan memimpin
musyawarah), dan
(b) Anak, dan
42Government of South Australia Attorney-General’s Department, South
Australian Legislation, “South Australia Young Offenders Act 1993”, http://
www.legislation.sa.gov.au/LZ/C/A/Young Offenders Act
1993/Current/1993.57.UN.PDF, diakses tanggal 5 April 2013.
21
(c) Demikian juga orang-orang yang terkait dihadirkan untuk
memperhatikan musyawarah itu dan memberikan pendapatnya,
dan
(d) Wakil dari Komisaris Polisi
(2) Suatu musyawarah keluarga jika memungkinkan harus dilaksanakan
berdasarkan kesepakatan dari Anak dan demikian juga orang-orang
yang terkait dihadirkan dalam musyawarah itu hadir untuk
memberikan pendapatnya.
(3) Suatu keputusan musyawarah keluarga dianggap tidak sah untuk
dilaksanakan kecuali Anak dan perwakilan dari Komisaris Polisi
menyetujui keputusan itu.
(4) Seorang Anak berhak atas pembelaan oleh seorang praktisi hukum
pada musyawarah keluarga.
(5) Jika sebuah musyawarah keluarga gagal mencapai keputusan,
Koordinator Keadilan Anak harus merujuk hal tersebut kepada
Pengadilan dan Pengadilan berdasarkan kewenangannya dapat
memutuskan beberapa hal, dan beberapa latihan, yang dapat
diputuskan atau dilaksanakan oleh musyawarah keluarga.
Selanjutnya, South Australia Young Offenders Act 1993, Part 12:
Powers of family conference:
(1) A family conference has the following powers :
(a) the conference may administer a formal caution against further
offending;
(b) the conference may require the youth to enter into an undertaking to
pay compensation to the victim of the offence;
(c) the conference may require the youth to enter into an undertaking to
carry out a specified period (not exceeding 300 hours) of community
service;
(d) the conference may require the youth to enter into an undertaking to
apologise to the victim of the offence or to do anything else that may
be appropriate in the circumstances of the case.
(2) In exercising powers under this section, the family conference must have
regard to sentences imposed for comparable offences by the Court.
(3) If a formal caution is administered, the caution must be put in writing
and acknowledged in writing by the youth.
(4) An undertaking will have a maximum duration of 12 months.
(5) If a youth enters into an undertaking to pay compensation, a copy of the
undertaking must be filed with the Registrar and payments of
compensation must be made to the Registrar who will disburse the
compensation to the victims named in the undertaking.
(6) If a youth enters into an undertaking to carry out community service, a
copy of the undertaking must be filed with the Registrar.
(7) If a youth enters into an undertaking under this section to apologise to
the victim of the offence, the apology must be made in the presence of an
22
adult person approved by the family conference or a Youth Justice Co-
ordinator.
(8) If a youth:
(a) fails to attend at the time appointed for a family conference; or
(b) does not comply with a requirement of the family conference; or
(c) does not comply with an undertaking under this section, a police
officer may lay a charge before the Court for the offence in relation
to which the conference was convened.
(9) A charge may be laid under subsection (8) even though a period of
limitation relating to the commencement of proceeding for the relevant
offence has expired, but the charge must be laid not more than 12 months
after the expiration of that period of limitation.
(10) If :
(a) a youth is cautioned, and no further requirements are made of the
youth, under this section; or
(b) all requirements made of the youth under this section (including
obligations arising from an undertaking given by the youth) are
complied with, the youth is not liable to be prosecuted for the
offence.
(11) If a family conference deals with an offence under this Division, the
Youth Justice Co-ordinator must:
(a) ask the victim of the offence whether he or she wishes to be informed
of the identity of the offender and how the offence has been dealt
with; and
(b) if the victim indicates that he or she does wish to have that
information-give the victim that information. 43
(Terjemahan bebas: Kekuasaan musyawarah keluarga:
(1) Sebuah musyawarah keluarga memiliki kekuasaan sebagai berikut:
(a) musyawarah dapat memberikan peringatan resmi terhadap
pelanggaran selanjutnya;
(b) musyawarah mungkin memerlukan Anak untuk ikut terlibat
dalam usaha menentukan pembayaran kompensasi kepada
korban pelanggaran;
(c) musyawarah mungkin memerlukan Anak untuk terlibat dalam
usaha untuk melaksanakan pelayanan masyarakat dalam jangka
waktu tertentu (tidak melebihi 300 jam);
(d) musyawarah mungkin memerlukan Anak untuk terlibat dalam
hal meminta maaf kepada korban pelanggaran atau melakukan
hal lain yang mungkin sesuai dengan keadaan kasus ini.
(2) Dalam melaksanakan kekuasaan ini, musyawarah keluarga harus
menjatuhkan putusan yang dikenakan untuk pelanggaran sebanding
dengan keputusan Pengadilan.
(3) Jika peringatan formal diberikan, harus dilakukan dengan hati-hati
dan secara tertulis diakui oleh Anak.
43Ibid.
23
(4) Pelaksanaannya akan memerlukan durasi/waktu maksimal 12 bulan.
(5) Jika seorang Anak memutuskan untuk membayar kompensasi, maka
salinan pembayaran tersebut harus diajukan kepada Panitera dan
pembayaran kompensasi harus dibuat oleh Panitera yang akan
memproses kompensasi untuk korban sekaligus pelaksanaannya.
(6) Jika Anak terlibat dalam usaha untuk melaksanakan pelayanan
masyarakat, maka salinan usaha tersebut harus diajukan kepada
Panitera.
(7) Jika seorang Anak terlibat dalam usaha untuk meminta maaf kepada
korban pelanggaran, maka permintaan maaf harus dilakukan di
hadapan orang dewasa dan disetujui oleh musyawarah keluarga atau
Koordinator Keadilan Anak.
(8) Jika seorang Anak:
(a) tidak hadir pada waktu yang ditentukan untuk musyawarah
keluarga; atau
(b) tidak sesuai dengan persyaratan dari musyawarah keluarga; atau
(c) tidak sesuai dengan usaha ini, maka seorang polisi dapat
menyelesaikan tuduhan pelanggaran dimana musyawarah
dilaksanakan berkaitan dengan pelanggaran sebelum perkara
masuk ke Pengadilan.
(9) Tuduhan pelanggaran sebagaimana dalam ayat (8) meskipun batas
waktu yang ditentukan sesuai dengan dimulainya pelanggaran telah
berakhir, maka biaya harus diselesaikan tidak lebih dari 12 bulan
setelah batas berakhirnya periode tersebut.
(10) Jika:
(a) seorang anak diperingatkan, dan dalam hal ini tidak ada
persyaratan lebih lanjut terhadap Anak; atau
(b) semua persyaratan yang dibuat untuk anak dalam hal ini
(termasuk kewajiban yang timbul dari suatu usaha yang
dilakukan oleh anak) ditaati, maka anak tidak dituntut
bertanggung jawab atas pelanggaran tersebut.
(11) Jika musyawarah keluarga memutuskan terdapat pelanggaran di
bawah Divisi ini, maka Koordinator Keadilan Anak harus:
(a) mengatakan pada korban pelanggaran, apakah dia ingin
diberitahu tentang identitas pelaku dan bagaimana pelanggaran
telah ditangani; dan
(b) jika korban menunjukkan bahwa ia memang ingin memperoleh
informasi, maka informasi tersebut akan diberikan kepada
korban).
Berdasarkan South Australia Young Offenders Act 1993, Part 11 dan Part
12 tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa diversi di negara Australia
dilaksanakan sebelum Anak diproses melalui sistem peradilan anak.
24
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, diversi adalah pengalihan
penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar
peradilan pidana. Berdasar pada pengertian diversi tersebut seyogyanya diversi
dilaksanakan sejak awal sebelum perkara anak yang berkonflik dengan hukum
masuk ke dalam sistem peradilan pidana anak. Diversi yang dilaksanakan dalam
setiap tahapan sistem peradilan tidak akan mampu menghindarkan stigma
terhadap anak karena stigma terhadap anak yang berkonflik dengan hukum
dimulai sejak anak berurusan dengan penyidik. Hal ini sejalan dengan pendapat
Lundman, bahwa “...tindakan penangkapan merupakan langkah awal dari proses
labeling....”44
.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasar pada latar belakang tersebut di atas penulis tertarik untuk
mengangkat judul tentang “Kebijakan Formulasi Pengaturan Ketentuan
Pelaksanaan Diversi Di luar Sistem Peradilan Pidana Anak Dalam Rangka
Perlindungan dan Kesejahteraan Anak”, dengan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana dasar filosofi kebijakan formulasi pengaturan ketentuan
pelaksanaan diversi di luar sistem peradilan pidana anak di masa yang akan
datang dalam rangka perlindungan dan kesejahteraan anak ?
44
Richard J. Lundman, Prevention and Control of Juvenile Delinquency, (New
York: Oxford University Press, 1993), hlm. 90.
25
2. Bagaimana kebijakan formulasi pengaturan ketentuan pelaksanaan diversi
yang mencerminkan prinsip perlindungan dan kesejahteraan bagi anak yang
berkonflik dengan hukum di masa yang akan datang ?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka
penelitian ini bertujuan:
1. Untuk mengkaji, menguji, dan menganalisis serta menemukan bagaimana
dasar filosofi kebijakan formulasi pengaturan ketentuan pelaksanaan
diversi di luar sistem peradilan pidana anak di masa yang akan datang
dalam rangka perlindungan dan kesejahteraan anak;
2. Untuk mengkaji dan menganalisis bagaimana kebijakan formulasi
pengaturan ketentuan pelaksanaan diversi yang mencerminkan prinsip
perlindungan dan kesejahteraan bagi anak yang berkonflik dengan hukum
di masa yang akan datang.
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian disertasi ini dapat dikemukakan
sebagai berikut :
a. Manfaat Teoritis
1. Dapat memberikan manfaat untuk pengembangan ilmu hukum pidana
anak;
26
2. Dapat memberikan kerangka dasar teoritik bagi para penegak hukum
dalam menentukan mengapa ketentuan pelaksanaan diversi dalam UU SPP
Anak merupakan bagian dari sistem peradilan pidana anak.
b. Manfaat Praktis
1. Memberikan masukan kepada para legislatif agar dalam merumuskan
peraturan perundang-undangan, khususnya perundang-undangan tentang
anak, disesuaikan dengan prinsip-prinsip dasar, landasan teoritik serta rasa
keadilan yang berlaku dalam hukum pidana anak di Indonesia dengan
mengingat bahwa tujuan peradilan anak adalah untuk kepentingan terbaik
bagi anak (the best interest of the child);
2. Memberikan masukan kepada aparat penegak hukum dalam memeriksa,
mengadili dan memutus perkara anak, yaitu hakim atau para hakim, agar
dalam melaksanakan tugasnya harus mendasarkan pada aspek legal, sosial
dan moral atau filosofis justice;
1.5. Orisinalitas Penelitian Disertasi
Berdasarkan pengamatan belum banyak penelitian sejenis yang berkaitan
dengan topik disertasi ini, terutama mengenai “Kebijakan Formulasi Pengaturan
Ketentuan Pelaksanaan Diversi Di luar Sistem Peradilan Pidana Anak Dalam
Rangka Perlindungan dan Kesejahteraan Anak”, untuk memperoleh gelar
akademik. Dalam sub bab ini dikemukakan mengenai beberapa penelitian yang
pernah dilakukan yang memiliki obyek kajian sejenis namun dengan undang-
27
undang yang berbeda, dengan pokok bahasan yang berbeda pula dengan topik
penelitian disertasi ini.
Kesatu, Penelitian disertasi yang dilakukan oleh Muhammad Ali pada
tahun 1997, permasalahan pokok (tema sentral) dalam disertasi ini adalah apakah
Kausening Polisi sebagai suatu diskresi dalam penyidikan anak delinkuen dapat
dikembangkan menjadi norma hukum pidana anak/tertulis di Indonesia. 45
Kedua, penelitian disertasi dari Paulus Hadisuprapto pada tahun 2003,
yang menjadi permasalahan dalam penelitiannya adalah kecenderungan perilaku
delinkuensi anak di masyarakat mendorong munculnya pemikiran-pemikiran
akademik untuk menemukan alternatif penanggulangannya, menanggulangi
kejahatan pada umumnya dan perilaku delinkuensi anak pada khususnya, yang
kemudian mengarah pada Kebijakan Kriminal “Criminal Policy”. 46
Ketiga, penelitian disertasi Arif Gosita pada tahun 2003, dalam
penelitiannya mengemukakan permasalahan hukum bahwa berdasarkan
pengamatan yang dilakukan oleh peneliti, sejak zaman pemerintahan Hindia
Belanda hingga saat ini, di Indonesia masih belum ada peraturan perundang-
undangan yang mengatur tentang pemberian sanksi alternatif wajib belajar dan
berkarya di luar lembaga pemasyarakatan untuk anak pidana. 47
45
Muhammad Ali, Pengembangan Kausening Polisi Sebagai Diskresi Dalam
Penyidikan Anak Delinkuen Di Indonesia, Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum
Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 1997. 46
Paulus Hadisuprapto, Pemberlakuan Malu Reintegratif Sebagai Sarana
Nonpenal Penanggulangan Perilaku Delinkuensi Anak (Studi Kasus di Semarang dan
Surakarta), Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Diponegoro,
Semarang, 2003. (Selanjutnya disebut Paulus III). 47
Arif Gosita, Sanksi Alternatif Sebagai Fokus Pembinaan Anak Pidana Saran
Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum
Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 2003. (Selanjutnya disebut Arif Gosita I).
28
Keempat, penelitian disertasi Nurini Aprilianda pada tahun 2011.48
Namun
demikian, dalam disertasi tersebut juga tidak memfokuskan pada Kebijakan
Formulasi Pengaturan Ketentuan Pelaksanaan Diversi di luar Sistem Peradilan
Pidana Anak dalam Rangka Perlindungan dan Kesejahteraan Anak tapi berfokus
pada Diversi Sebagai Upaya Pencegahan Stigmatisasi Anak dalam Sistem
Peradilan Pidana Anak.
Berdasarkan hasil penelusuran terhadap beberapa hasil penelitian
sebelumnya sebagaimana telah diuraikan di atas, walaupun topik yang dikaji
sama, yaitu masalah anak yang berkonflik dengan hukum tapi tidak membahas
masalah Kebijakan Formulasi Pengaturan Ketentuan Pelaksanaan Diversi di luar
Sistem Peradilan Pidana Anak dalam Rangka Perlindungan dan Kesejahteraan
Anak. Hal ini sebagaimana terlihat dalam tabel di bawah ini:
48Nurini Aprilianda, Loc.cit.
29
Tabel 1
Penelitian Terdahulu
No Peneliti Jenis/ Tahun
Judul Isu Hukum
1 Muhammad Ali
Disertasi/ 1997
Pengembangan Kausening Polisi Sebagai Diskresi dalam Penyidikan Anak Delinkuen di Indonesia.
1. Langkah-langkah apa saja yang dilakukan oleh Polisi dalam menghadapi anak delinkuen?
2. Apakah di antara langkah-langkah Polisi tersebut ada yang dapat digolongkan dalam kategori sebagai kausening Polisi ?
3. Apakah kausening Polisi lebih efektif dalam memperbaiki perilaku anak delinkuen daripada putusan hakim ?
4. Apakah kausening Polisi itu dapat dikembangkan menjadi norma hukum pidana tertulis di Indonesia ?
2 Paulus Hadi Suprapto
Disertasi/ 2003
Pemberian Malu Reintegratif Sebagai Sarana Nonpenal Penanggulangan Perilaku Delinkuensi Anak (Studi Kasus di Semarang dan Surakarta).
1. Bagaimanakah praktik penanganan kasus-kasus delinkuensi anak dengan sarana penal di Semarang dan Surakarta?
2. Sampai seberapa jauh “Pemberian Malu Reintegratif” dapat dipertimbangkan sebagai bentuk konkrit jalur nonpenal dalam penanggulangan perilaku delinkuensi anak di Semarang dan Surakarta ?
3. Model penyelesaian konflik apakah yang dapat dikembangkan dari “Pemberian Malu Reintegratif” dalam rangka penanggulangan kasus-kasus delinkuensi anak di Semarang dan Surakarta ?
3 Arif Gosita Disertasi/ 2003
Sanksi Alternatif Sebagai Fokus Pembinaan Anak Pidana Sarana Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia.
1. Tindakan pembaharuan apa saja yang harus dilakukan dalam rangka pelaksanaan sanksi alternatif wajib belajar dan berkarya di luar LAPAS ?
2. Peraturan perundang-undangan mana saja yang harus dikoreksi dan diperbaharui agar dapat mendukung pelaksanaan sanksi alternatif wajib belajar dan berkarya di luar LAPAS bagi anak pidana ? Siapa saja yang bertanggungjawab atas adanya pembaharuan pembinaan anak pidana dengan penerapan sanksi alternatif wajib belajar dan berkarya di luar LAPAS ?
4 Nurini Aprilianda
Disertasi/ 2011
Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Sebagai Upaya Pencegahan Stigmatisasi Anak
1. Apakah implikasi dari sistem peradilan pidana anak membekaskan stigmatisasi bagi anak nakal ?
2. Apakah faktor-faktor yuridis kriminologis yang menyebabkan terjadinya stigmatisasi pelaku anak dalam sistem peradilan pidana anak ?
3. Apakah konsep diversi dapat digunakan sebagai upaya alternatif pencegahan stigmatisasi pelaku anak dalam sistem peradilan pidana ?
30
Sementara itu, judul dan isu hukum yang diteliti dalam penelitian disertasi ini
dapat terlihat dalam tabel 2 berikut ini:
Tabel 2
Rencana Penelitian
No Peneliti Jenis Judul Isu Hukum
1 Erny
Herlin
Setyorini
Disertasi Kebijakan
Formulasi
Pengaturan
Ketentuan
Pelaksanaan
Diversi di luar
Sistem
Peradilan
Pidana Anak
dalam Rangka
Perlindungan
dan
Kesejahteraan
Anak
1. Bagaimana dasar filosofi kebijakan
formulasi pengaturan ketentuan
pelaksanaan diversi di luar sistem
peradilan pidana anak di masa yang
akan datang dalam rangka
perlindungan dan kesejahteraan
anak?
2. Bagaimana kebijakan formulasi
pengaturan ketentuan pelaksanaan
diversi yang mencerminkan prinsip
perlindungan dan kesejahteraan bagi
anak yang berkonflik dengan hukum
di masa yang akan datang ?
Dengan membandingkan tabel 1 dan 2 di atas, maka penelitian yang
dilakukan peneliti mempunyai perbedaan dengan penelitian terdahulu meskipun
topiknya sama tentang hukum pidana anak, sehingga orisinalitas penelitian pada
disertasi ini dapat dipertanggungjawabkan secara akademik dan keilmuan.
31
1.6. Desain Penelitian (Bagan 1)
Judul : Kebijakan Formulasi Pengaturan Ketentuan Pelaksanaan Diversi Di luar Sistem Peradilan Pidana
Anak Dalam Rangka Perlindungan dan Kesejahteraan Anak
Latar Belakang :
Filsafati : Pelaksanaan diversi di dalam SPP Anak akan merampas hak-hak anak sehingga kesejahteraan anak tidak
tercapai.
Yuridis : UU SPP Anak mengatur tentang pelaksanaan diversi di luar maupun di dalam SPP Anak
Sosiologis : Pelaksanaan diversi di dalam Sistem Peradilan Pidana Anak (tahap penuntutan maupun tahap
pemeriksaan di pengadilan akan menimbulkan stigma sehingga dapat mematikan masa depan anak.
Rumusan Masalah 1 : Bagaimana dasar filosofi
kebijakan formulasi pengaturan ketentuan
pelaksanaan diversi di luar sistem peradilan pidana
anak di masa yang akan datang dalam rangka
perlindungan dan kesejahteraan anak ?
Rumusan Masalah 2 : Bagaimana kebijakan formulasi
pengaturan ketentuan pelaksanaan diversi yang
mencerminkan prinsip perlindungan dan kesejahteraan
bagi anak yang berkonflik dengan hukum di masa yang
akan datang ?
T. HAM (Marzuki Darusman dan Muladi).
T. Labeling (Lemert & Reintegratif Shaming dari Braithwait), T. Perlind. Anak (Hadi Supeno), T, Keadilan (John Rawls), dan T. Kebijakan Formulasi (G.Peter Hoefnagels; Barda Nawawi Arief & Muladi)
Metode Penelitian
Yuridis Normatif
Pendekatan UU (statute approach)
Studi dokumen
Pendekatan Perbandingan
Theory
Kesimpulan dan Rekomendasi
Kerangka Konseptual :
1. Konsep Kebijakan Formulasi
2. Konsep Diversi
3. Konsep Sistem Peradilan Pidana Anak
4. Konsep Perlindungan Anak
5. Konsep Kesejahteraan Anak
6. Konsep Sistem Peradilan Pidana Anak
7
Hasil dan Pembahasan
32
1.7. Metode Penelitian
1.7.1. Tipe/Jenis Penelitian
Metode penelitian hukum menurut jenisnya dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris.49
Penelitian yang berjudul “Kebijakan Formulasi Pengaturan Ketentuan
Pelaksanaan Diversi di luar Sistem Peradilan Pidana Anak dalam Rangka
Perlindungan dan Kesejahteraan Anak”, merupakan penelitian hukum normatif,
maka yang dilakukan adalah dengan cara meneliti bahan pustaka atau bahan
hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
Menurut Soerjono Soekanto, menyebutkan bahwa penelitian hukum
normatif mencakup:
(1) Penelitian terhadap asas-asas hukum;
(2) Penelitian terhadap sistematika hukum;
(3) Penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum;
(4) Penelitian terhadap sejarah hukum; dan
(5) Penelitian perbandingan hukum.50
1.7.2. Pendekatan Masalah
Untuk memperoleh bahan hukum yang akurat dan menyeluruh serta
untuk memperoleh hasil jawaban atas pokok permasalahan yang diteliti, maka
penelitian ini mempergunakan pendekatan sebagai berikut:
1. Pendekatan undang-undang (Statute Approach);
2. Studi dokumen;
49
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika,
1991), hlm. 13. 50
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-PRESS, 1986),
hlm. 51.
33
3. Pendekatan perbandingan (Comparative approach).
Penelitian dengan judul “Kebijakan Formulasi Pengaturan Ketentuan
Pelaksanaan Diversi Di luar Sistem Peradilan Pidana Anak Dalam Rangka
Perlindungan dan Kesejahteraan Anak”, menggunakan pendekatan undang-
undang. Suatu penelitian normatif tentu harus menggunakan pendekatan
perundang-undangan, karena yang diteliti adalah berbagai aturan hukum yang
menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian.51
Untuk itu hukum harus
dipandang sebagai sistem tertutup (closed logical system), artinya peraturan dapat
dideduksi dari peraturan perundang-undangan tanpa perlu meminta bimbingan
dari norma sosial, politik dan moral, yang memiliki sifat-sifat sebagai berikut:
a. Comprehensive, artinya norma-norma hukum yang ada di dalamnya
terkait antara satu dengan yang lainnya secara logis;
b. All-inclusive, bahwa kumpulan norma hukum tersebut cukup mampu
menampung permasalahan hukum yang ada, sehingga tidak ada
kekurangan hukum;
c. Systematic, bahwa disamping bertautan antara satu dengan yang lain,
norma-norma hukum tersebut juga tersusun secara hierarkhis.52
Pendekatan undang-undang dilakukan dengan menelaah semua undang-
undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang
ditangani.53
Hal ini dilakukan dengan menganalisis ketentuan hukum dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun
1997 tentang Pengadilan Anak, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4
51
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang:
Bayumedia Publishing, 2005), hlm. 302.
52
Harjono, Penelitian Hukum Pada Kajian Hukum Murni, Diktat Perkuliahan
Untuk Program Magister Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, hlm. 3, dalam: Johny
Ibrahim, Op.cit, hlm. 303. 53
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 93.
34
Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),
dan Peraturan Perundang-undangan lain yang ada keterkaitannya dengan tema
penelitian disertasi ini.
Studi dokumen dilakukan dengan mempelajari dokumen-dokumen, yaitu
kasus-kasus anak yang berkonflik dengan hukum, yang berhasil diselesaikan di
luar jalur hukum. Studi dokumen ini dilakukan di Kepolisian Daerah Jawa Timur
dan di Polrestabes Surabaya. Pemilihan kota Surabaya dilatarbelakangi oleh suatu
alasan bahwa Surabaya adalah kota terbesar kedua di Indonesia, disini kenakalan
anak mendapat perhatian khusus, sehingga tindak kejahatan yang berupa
kenakalan anak menjadi signifikan secara nasional karena kejahatannya relatif
meningkat (disertasi ini, bab 1 latar belakang masalah).
Pendekatan perbandingan. Pendekatan perbandingan dilakukan dengan
cara membandingkan undang-undang suatu negara dengan undang-undang dari
satu atau lebih negara lain mengenai hal yang sama.54
Pentingnya pendekatan
perbandingan dalam ilmu hukum karena dalam bidang hukum tidak
memungkinkan dilakukan suatu eksperimen sebagaimana dalam ilmu empiris.
Pendekatan ini digunakan untuk membandingkan salah satu lembaga hukum
(legal institution) dari sistem hukum yang satu dengan lembaga hukum (yang
kurang lebih sama dalam sistem hukumnya) lainnya. Dari perbandingan tersebut
dapat ditemukan unsur-unsur persamaan dan perbedaan kedua sistem hukum itu.
54
Peter Mahmud Marzuki, Op.cit., hlm. 95.
35
Persamaan-persamaan akan menunjukkan inti dari lembaga hukum yang
diselidiki, sedangkan perbedaan-perbedaan disebabkan oleh adanya perbedaan
iklim, suasana dari sejarah masing-masing bangsa yang bersangkutan dengan
sistem hukum yang berbeda.55
Menurut Sunaryati Hartono, dengan melakukan perbandingan hukum
akan dapat ditarik kesimpulan bahwa:
1. Kebutuhan-kebutuhan yang universal atau sama akan menimbulkan cara-cara
yang sama pula; dan
2. Kebutuhan-kebutuhan khusus berdasarkan perbedaan suasana dan sejarah itu
menimbulkan cara-cara yang berbeda pula.56
Perbandingan hukum memiliki dimensi empiris yang dapat digunakan
sebagai ilmu bantu (hulp wetenschap) untuk keperluan analisis dan eksplanasi
terhadap hukum. Dalam disertasi ini menggunakan komparasi makro, yaitu
perbandingan isi aturan hukum negara lain dan lembaga internasional baik berupa
konvensi maupun resolusi yang spesifik dengan aturan hukum yang diteliti, atau
dapat juga dalam rangka mengisi kekosongan dan menambah kekurangan dalam
hukum positif. Hal demikian hanya dapat dilakukan terhadap unsur-unsur yang
dapat dibandingkan (tertium comparationis) dengan bahan hukum yang menjadi
fokus penelitian. Perbandingan hukum dapat berfungsi sebagai ilmu bantu
terhadap dogmatik hukum, dalam arti dipertimbangkan pengaturan dan
55
Johny Ibrahim, Op.cit. hlm. 313.
56Sunaryati Hartono, Kapita Selekta Perbandingan Hukum, (Malang: Citra
Aditya Bakti, 1991), hlm. 1-2.
36
penyelesaian-penyelesaian tertentu dari tatanan hukum lain dan menilai
kecukupan (adequate) mereka untuk hukum sendiri.
Dalam disertasi ini memfokuskan perbandingan peraturan perundang-
undangan yang secara khusus berkaitan dengan ketentuan pelaksanaan diversi di
luar SPP Anak untuk menangani perkara anak yang berkonflik dengan hukum
dengan resolusi-resolusi internasional yang juga memuat dan menguraikan
tentang ketentuan pelaksanaan diversi di luar SPP Anak terutama Convention on
the Rights of the Child (CRC), United Nations Standart Minimum Rules for the
Administration of Juvenile Justice (untuk selanjutya disebut The Beijing Rules),
United Nations Guidelines for the Prevention of Juvenile Delinquency (untuk
selanjutya disebut The Riyadh Guidelines), dan United Nations Standart Minimum
Rules for Non Custodial Measures (untuk selanjutnya disebut The Tokyo Rules)
serta beberapa negara yang telah mengatur ketentuan pelaksanaan diversi di luar
SPP Anak sebagai pembanding, seperti negara-negara bagian Australia. Alasan
mengapa dipilih negara-negara bagian Australia sebagai studi perbandingan
karena negara Australia merupakan negara yang paling maju dalam pelaksanaan
diversi untuk menangani anak yang berkonflik dengan hukum.57
Negara-negara
bagian Australia juga telah memiliki peraturan perundang-undangan tentang
sistem peradilan anak yang mengatur ketentuan pelaksanaan diversi di luar sistem
peradilan anak. Hal ini sebagaimana di Indonesia, yang juga mengatur peradilan
pidana anak dalam undang-undang secara khusus, yaitu UU SPP Anak.
57
Nurini Aprilianda, Op.cit., hlm. 208.
37
1.7.3. Sumber Bahan Hukum
Penelitian ini metode pendekatannya disesuaikan dengan jenis penelitian
yang dilakukan. Penelitian dengan pendekatan hukum normatif (legal research)
yang merupakan penelitian kepustakaan, yaitu penelitian terhadap data sekunder,
yang berupa bahan hukum.58
Pemilihan terhadap jenis penelitian ini didasarkan pada pertimbangan bahwa yang
menjadi fokus penelitian adalah kebijakan legislatif yang berupa peraturan
perundang-undangan, khususnya UU SPP Anak berkaitan dengan pengaturan
ketentuan pelaksanaan diversi dalam rangka perlindungan dan kesejahteraan anak
yang berkonflik dengan hukum.
Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, berdasarkan kekuatan
mengikatnya bahan hukum terdiri atas: bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder, dan bahan hukum tersier.59
Oleh karena itu dalam penelitian yuridis
normatif, data sekunder yang berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder
maupun bahan hukum tertier merupakan data yang utama. Agar semua masalah
yang telah dirumuskan dapat dipecahkan dengan baik maka untuk melengkapinya
diperlukan juga data primer.
A. Bahan Hukum Primer :
Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, dan
terdiri dari: norma dasar atau kaidah dasar, yaitu Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945, Peraturan Dasar, Peraturan perundang-undangan, bahan hukum yang
58Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu
Tinjauan Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 28.
59Ibid., hlm. 15
38
tidak dikodifikasikan, yurisprodensi, traktat, dan bahan hukum dari zaman
penjajahan yang hingga kini masih berlaku, seperti Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (untuk selanjutnya disebut KUHP).60
Bahan hukum primer yang diperlukan dalam penelitian ini adalah:
1. Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia
Tahun 1945;
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 tentang
Peraturan Hukum Pidana (selanjutnya disingkat KUHP);
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana, terkait ketentuan khusus beracara bagi anak
yang berkonflik dengan hukum;
4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak;
5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak;
6. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak;
7. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak;
8. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia;
60Ibid., hlm. 13
39
9. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman;
10. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2004 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang
Peradilan Umum;
11. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia;
12. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan;
13. Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan
Convention on The Rights of The Child (Konvensi Hak-Hak Anak).
Ketentuan Internasional:
1. Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia (Universal
Declaration of Human Rights), Resolusi Nomor 217 A (III) tanggal
10 Desember 1948;
2. Konvensi tentang Hak-hak Anak (Convention on The Rights of the
Child), Resolusi Nomor 109 tahun 1990;
3. United Nations Guidelines for the Prevention of Juvenile
Delinquency (The Riyadh Guidelines);
4. United Nations Standart Minimum Rules for the Administration of
Juvenile Justice (The Beijing Rules);
5. United Nations Standart Minimum Rules for Non Custodial
Measures (The Tokyo Rules);
40
6. South Australia Young Offenders Act 1993;
7. Western Australia Young Offender Act 1994;
8. Queensland Juvenile Justice Act 1992;
9. Tasmania Youth Justice Act 1997;
10. New South Wales Young Offenders Act 1997.
A. Bahan Hukum Sekunder:
Bahan hukum sekunder memberikan penjelasan mengenai bahan hukum
primer, misalnya rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil
karya dari kalangan hukum, dan seterusnya.
Bahan hukum sekunder dalam disertasi ini terdiri dari:
1. Naskah Akademik Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11
Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak;
2. Risalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak;
3. Studi dokumen tentang anak yang berkonflik dengan hukum yang
terdapat di Kepolisian Daerah Jawa Timur dan Kepolisian Resort Kota
Besar Surabaya. Studi dokumen ini sifatnya sebagai supporting data
yang menggambarkan kondisi penanganan anak yang berkonflik
dengan hukum saat ini di tingkat penyidikan.
B. Bahan Hukum Tersier:
Bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,
contohnya kamus, ensiklopedia, indeks komulatif dan seterusnya.
41
Bahan hukum tersier dalam disertasi ini terdiri atas:
1. Literatur yang berkaitan dengan Anak yang berkonflik dengan hukum;
2. Jurnal ilmiah;
3. Tulisan Ilmiah di Internet;
4. Kamus Bahasa Indonesia;
5. Kamus Hukum;
6. Kamus Istilah Hukum;
7. Black’s Law Dictionary.
1.7.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Bahan hukum sekunder berupa bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder dan bahan non hukum yang berkaitan dengan penelitian ini diperoleh
melalui studi dokumentasi (kepustakaan) yang dilakukan dengan cara:
1. Inventarisasi hukum positif.
2. Inventarisir teori hukum dan pendapat ahli hukum.
3. Bahan-bahan hukum yang diperoleh dari hasil penelitian dicatat dengan
menggunakan kartu (card system), kemudian kartu-kartu tersebut
dikumpulkan dan disusun, serta dikelompokkan sesuai dengan pokok
permasalahan yang diteliti.
1.7.5. Analisis Bahan Hukum
Bahan hukum yang diperoleh dari studi kepustakaan kemudian
dianalisis dengan menggunakan analisis penafsiran hukum dan disajikan dalam
bentuk kualitatif, artinya tidak menggunakan rumusan-rumusan statistik
dan/atau matematik.
42
1.7.6. Tahapan Penelitian
Langkah-langkah yang diperlukan dalam tahapan penelitian ini meliputi:
a. Penelusuran kepustakaan;
b. Menginventarisasi tentang pemikiran teoritik, asas-asas umum dan aspek
filsafati pada hukum positif.
1.8. Sistematika Penulisan
Penulisan Disertasi ini disusun dalam 5 (lima) bab, dengan sistematika
sebagai berikut :
Bab I Pendahuluan, pada bab ini memuat latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, orisinalitas penelitian, desain
penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II, menguraikan tentang kerangka teoritik dan kerangka konseptual
yang dibangun dan terbagi dalam dua sub judul. Kerangka teoritik terdiri dari
beberapa teori yang dijadikan sebagai pisau analisis pembahasan, yaitu teori
perlindungan HAM, teori perlindungan anak, teori keadilan, teori labeling, dan
teori kebijakan formulasi. Selanjutnya, kerangka konseptual terdiri dari konsep
kebijakan formulasi, konsep diversi, konsep sistem peradilan pidana anak, konsep
perlindungan anak, dan konsep kesejahteraan anak.
Bab III, menguraikan tentang hasil dan analisis penelitian yang merupakan
jawaban atas rumusan masalah pertama, yaitu membahas tentang bagaimana dasar
filosofi kebijakan formulasi pengaturan ketentuan pelaksanaan diversi di luar
43
sistem peradilan pidana anak di masa yang akan datang dalam rangka
perlindungan dan kesejahteraan anak.
Bab IV, menguraikan tentang hasil dan analisis penelitian yang merupakan
jawaban atas rumusan masalah yang kedua, yaitu membahas tentang bagaimana
kebijakan formulasi pengaturan ketentuan pelaksanaan diversi yang
mencerminkan prinsip perlindungan dan kesejahteraan bagi anak yang berkonflik
dengan hukum di masa yang akan datang.
Bab V, merupakan bab penutup yang memuat kesimpulan dan beberapa
rekomendasi yang relevan dengan tema disertasi.
44
BAB II
KERANGKA TEORITIK DAN KERANGKA KONSEPTUAL
2.1. Kerangka Teoritik
Dalam menganalisis permasalahan di atas, penulis mempergunakan
pendekatan melalui beberapa teori, yaitu terdiri dari teori perlindungan HAM,
teori perlindungan anak, teori keadilan, teori labeling, dan teori kebijakan
formulasi.
2.1.1. Teori Perlindungan Hak Asasi Manusia
Istilah hak-hak asasi manusia dalam beberapa bahasa asing dikenal dengan
sebutan sebagai berikut: droit de l‟home (Perancis), yang berarti hak manusia,
human right (Inggris), dan menselijke rechten (Belanda), yang dalam bahasa
Indonesia disalin menjadi hak-hak kemanusiaan atau hak-hak asasi manusia.61
Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang mengemban tugas
mengelola dan memelihara alam semesta dengan penuh ketaqwaan dan penuh
tanggung jawab untuk kesejahteraan umat manusia, oleh pencipta-Nya
dianugerahi hak asasi untuk menjamin keberadaan harkat dan martabat kemuliaan
dirinya serta keharmonisan lingkungannya.
Secara harfiah hak asasi manusia ialah hak yang dimiliki oleh seseorang
karena orang itu adalah manusia.62
Hak asasi ini bersifat universal, merata dan
tidak dapat dialihkan kepada orang lain. Hak asasi dimiliki oleh seluruh umat
61
Subandi Al Marsudi, Pancasila dan UUD‟45 dalam Paradigma Reformasi,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 83.
62
Djaali, Pudji Muljono, M. Said Saile, dan Ramly, Hak Asasi Manusia (Suatu
Tinjauan Teoritis dan Aplikasi), (Restu Agung, 2003), hlm. 1
44
45
manusia secara universal. Seseorang tidak akan pernah kehilangan hak asasinya
karena orang itu tidak akan mungkin berhenti sebagai manusia, walaupun ada
kemungkinan ia menerima perlakuan yang tidak manusiawi.63
Penegakan HAM sangat penting artinya dalam rangka membangun masyarakat
dunia yang beradab, terutama pada negara-negara dimana masyarakatnya sebagian
sudah tidak mempedulikan masyarakat lainnya. Masyarakat beradab adalah
masyarakat yang dalam kehidupannya selalu mengedepankan, menghormati dan
menghargai nilai-nilai kemanusiaan baik secara individual maupun secara
kelompok.
Berkaitan dengan penegakan HAM yang merupakan hak-hak yang
melekat pada manusia yang mencerminkan martabatnya, maka HAM hendaknya
memperoleh jaminan hukum, sebab hak-haknya dapat efektif apabila hak-hak itu
dapat dilindungi hukum. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Muladi:
Melindungi hak-hak dapat terjamin, apabila hak-hak itu merupakan bagian
dari hukum, yang memuat prosedur hukum untuk melindungi hak-hak
tersebut. Hukum pada dasarnya merupakan pencerminan dari HAM,
sehingga hukum itu mengandung keadilan atau tidak, ditentukan oleh
HAM yang dikandung dan diatur dan dijamin oleh hukum itu. Hukum
tidak lagi dilihat sebagai refleksi kekuasaan semata-mata, tetapi juga harus
memancarkan perlindungan terhadap hak-hak warga negara.64
Hukum berlandaskan pada nilai-nilai kemanusiaan yang mencerminkan
norma-norma yang menghormati martabat manusia dan mengakui HAM. Teknis
perumusan HAM di dalam undang-undang pada umumnya bersifat motivatif
untuk landasan bekerjanya para petugas hukum. Hak asasi manusia tidak selalu
63Ibid., hlm 1-2.
64Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, 1995), hlm. 45.
46
dirumuskan secara khusus, tetapi implisit tersimpul dalam pasal-pasal undang-
undang sesuai dengan jiwa yang terkandung dalam konsiderans dan penjelasan
undang-undang.65
Hak asasi manusia merupakan alat untuk memungkinkan warga
masyarakat dengan bebas mengembangkan bakatnya untuk penunaian tugasnya
dengan baik.66
Selanjutnya, berkaitan dengan Hak Asasi Manusia, A. Gunawan Setiardja
mengemukakan:
1) Definisi yuridis HAM menunjuk pada HAM yang dikodifikasikan
dalam naskah atau dokumen yang secara hukum mengikat baik dalam
konstitusi nasional maupun dalam perjanjian internasional;
2) Definisi politis HAM, yang merujuk pada pengertian politik, yaitu
proses dinamis dalam arti luas berkembangnya masyarakat suatu
masyarakat tertentu. Termasuk di dalamnya keputusan-keputusan yang
diambil dalam rangka kebijaksanaan pemerintah dalam upaya-upaya
mengorganisir sarana-sarana atau sumber-sumber untuk mencapai
tujuan tersebut. Hukum merupakan salah satu hasil terpenting dari
proses politik, hukum berakar dalam keadaan politik konkret
masyarakat;
3) Definisi moral HAM yang menunjuk pada dimensi normatif HAM.
Makna etis HAM menyangkut justru problem esensial, klaim individual
harus diakui sebagai hak-hak yuridis atau hak-hak politik. Pengertian
klaim etis, tuntutan etis mengandung di dalamnya suatu pandangan
teoritis mengenai landasan norma-norma etis.67
Pendirian bangsa Indonesia mengenai HAM berlandaskan pada Sila II
Pancasila: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, yang dijiwai dan dilandasi oleh
sila-sila lainnya. Maksudnya adalah HAM itu harus:
1) Sesuai dengan kodrat manusia. Menurut kodratnya, manusia itu adalah
makhluk pribadi sekaligus makhluk sosial;
65
Bambang Poernomo, Pandangan Terhadap Asas-Asas Umum Hukum Acara
Pidana, (Yogyakarta: Liberty, 1982), hlm. 10-11. 66
Sri Widoyati Soekito, Anak dan Wanita Dalam Hukum, (Jakarta: LP3ES, 1983),
hlm. 76. 67
A. Gunawan Setiardja, Hak-hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi
Pancasila, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hlm. 89-90.
47
2) HAM harus dihargai dan dijunjung tinggi secara adil. Maksudnya
memperlakukan tiap manusia sesuai dengan martabat kemanusiaannya;
3) Tidak tanpa arti adanya istilah “dan beradab”. Maksudnya ialah HAM
yang diterima dan dijunjung tinggi itu tidak tanpa batas. Batasnya
adalah:
a. penggunaan HAM itu harus dapat dipertanggungjawabkan di hadapan
Tuhan Yang Maha Kuasa (Sila I);
b. harus meningkatkan persatuan dan kesatuan bangsa (Sila III);
c. harus tetap dalam suasana dan iklim yang demokratis (Sila IV);
d. harus menunjang kesejahteraan umum (Sila V);
e. dapat dibatasi oleh tujuan-tujuan negara, yaitu untuk melindungi
segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia; untuk
memajukan kesejahteraan umum; untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa; ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.68
Teori universalisme merupakan teori klasik mengenai hak asasi manusia
yang bertumpu pada pemikiran teori hukum alam. Berdasarkan teori hukum alam,
pemikiran yang berkaitan dengan hak asasi manusia meliputi:
a. Hak asasi manusia dimiliki secara alami oleh setiap orang berdasarkan
pemikiran bahwa seseorang dilahirkan sebagai manusia yang memiliki
kebebasan;
b. Hak asasi manusia bisa dilakukan secara universal kepada setiap orang
tanpa memandang lokasi geografisnya;
c. Hak asasi manusia tidak membutuhkan tindakan atau program dari
pihak lain, apakah mereka individu, kelompok atau pemerintah.69
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa memproklamirkan Pernyataan
Sedunia tentang Hak Asasi Manusia itu sebagai tolok ukur umum hasil usaha
sebagai rakyat dan bangsa dan menyerukan semua anggota dan semua bangsa agar
memajukan dan menjamin pengakuan dan pematuhan hak-hak dan kebebasan
68
Marzuki Darusman, “Hak-hak Asasi Manusia dan Supremasi Hukum”, Dalam
Majalah Hukum Pro Justitia Tahun XVII Nomor 4 Oktober 1999, (Bandung: FH Unpar),
hlm.6. 69
Harifni A. Tumpa, Peluang dan Tantangan Eksistensi Pengadilan HAM di
Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm. 45-46.
48
yang termasuk dalam pernyataan tersebut. Meskipun bukan merupakan perjanjian,
namun semua anggota PBB secara moral berkewajiban menerapkannya.70
Klaim HAM atas keberlakuan secara universal mengatakan bahwa yang
memiliki hak-hak itu adalah manusia sebagai manusia, jadi sejauh ia termasuk
spesies homo sapiens, dan bukan karena ciri-ciri tertentu yang dimilikinya. Paham
HAM mengatakan bahwa manusia karena ia manusia dan wajib diperlakukan
dengan cara-cara tertentu. Semua perbedaan antara manusia: pria, wanita,
perbedaan dalam hal ras, kedudukan, kekayaan, pandangan dan kepercayaan,
perbedaan kualitas moral, sehat atau sakit dan lain-lain tidak dapat mendasari
perbedaan-perbedaan dalam hal HAM. Landasan HAM itu adalah landasan yang
langsung dan yang pertama yaitu kodrat manusia dan landasan yang kedua dan
yang lebih dalam yaitu Tuhan sendiri, yang menciptakan manusia.71
Hak-hak asasi manusia diakui sebagai bagian humanisasi hidup yang telah
mulai tergantung sejak manusia menjadi sadar tentang tempatnya dan tugasnya di
dunia ini. Oleh karena hak asasi dianggap sebagai fundamental yang di atasnya,
seluruh organisasi hidup bersama harus dibangun. Hak-hak asasi dibagi dalam dua
jenis, yaitu:
1. Hak asasi individual, yaitu hak untuk hidup dan perkembangan hidup
seperti hak kebebasan batin, hak atas nama baik, hak atas kebebasan
agama, dan sebagainya. Hak-hak dasar ini disusun terutama demi
perlindungan pribadi manusia terhadap kekuasaan negara;
2. Hak asasi sebagai makhluk sosial yang dibagi dalam hak-hak ekonomi,
sosial, dan kultural.72
70
Zuhdi Achmad, “HAM Dalam Undang-Undang Dasar 1945”,
http://www.zuhdiachmad.blogspot.com/2010/05/ham-dalam-undang-undang-1945.html,
diakses tanggal 17 Mei 2010. 71
Maidin Gultom, Op.cit., hlm. 9. 72
Abdul Ghofur Anshari, Filsafat Hukum, (Yogyakarta: Gajah Mada University
Press, 2005), hlm. 112.
49
Sementara itu, menurut Zuhdi Ahmad, ada tiga hak asasi manusia yang
paling fundamental atau pokok, yaitu:
a. hak hidup (life);
b. hak kebebasan (liberty);
c. hak memiliki (property).73
Ketiga hak tersebut merupakan hak yang fundamental dalam kehidupan sehari-
hari. Adapun macam-macam hak asasi manusia dapat digolongkan sebagai
berikut:
a. hak asasi pribadi, yaitu hak asasi yang berhubungan dengan kehidupan
pribadi manusia. Contohnya: hak beragama, hak menentukan jalan
hidup, dan hak bicara;
b. hak asasi politik, yaitu yang berhubungan dengan kehidupan politik.
Contohnya : hak mengeluarkan pendapat, hak ikut serta dalam pemilu,
hak berorganisasi;
c. hak asasi ekonomi, yaitu hak yang berhubungan dengan kegiatan
perekonomian. Contohnya: hak memiliki barang, menjual barang,
mendirikan perusahaan, dan lain-lain;
d. hak asasi budaya, yaitu hak yang berhubungan dengan kehidupan
bermasyarakat. Contohnya: hak mendapat pendidikan, hak mendapat
pekerjaan, dan lain-lain;
e. hak kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, yaitu hak
yang berkaitan dengan kehidupan hukum dan pemerintahan.
Contohnya: hak mendapatkan perlindungan hukum, hak untuk
diperlakukan secara adil, hak menjadi pejabat pemerintah, dan lain-lain;
f. hak untuk diperlakukan sama dalam tata cara pengadilan. Contohnya:
dalam penyelidikan, dalam penahanan, dalam penyitaan, dan lain-lain.74
Secara filosofis, berbagai dokumen hak-hak asasi manusia terlihat adanya
perbedaan muatan nilai dan orientasi. Negara Inggris menekankan pada
pembatasan kekuasaan raja, di Amerika Serikat mengutamakan kebebasan
individu, di Perancis memprioritaskan egalitarianisme persamaan kedudukan
73Ibid. 74Ibid.
50
hukum, dan di Rusia tidak diperkenalkan hak individu tapi hanya mengakui hak
sosial. Sementara itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa merangkum berbagai nilai dan
orientasi karena Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia di badan dunia ini sebagai
kesepakatan berbagai negara setelah mengalami revolusi Perang Dunia II, yang
menelorkan pengakuan prinsip kebebasan perseorangan, kekuasaan hukum dan
demokrasi sebagaimana diformulasikan dalam Preamble Atlantic Charter 1945.75
Dokumen dan kesaksian sejarah menunjukkan bahwa setiap terjadi krisis
hak asasi manusia selalu muncul revolusi atau gejolak sosial. Seperti halnya krisis
hak asasi manusia di negara-negara komunis tahun 1990 yang menghancurkan
tembok Berlin dan penghancuran patung-patung tokoh mereka yang sebelumnya
dipuja-puja. Rangkaian sejarah tersebut menunjukkan bahwa hak asasi manusia
merupakan konstitusi kehidupan, karena hak asasi manusia merupakan prasarat
yang harus ada dalam setiap kehidupan manusia dan merupakan bekal bagi setiap
insan untuk dapat hidup sesuai dengan fitrah kemanusiaannya.76
Pembahasan teori tentang konsepsi HAM pada dasarnya dapat dipetakan
dalam tiga ranah atau bidang yang berbeda:
1. Ranah filsafati (termasuk etika) yang pembahasannya lebih bersifat
abstrak;
2. Ranah yuridis yang membahas hak asasi manusia dari segi hukum mulai
dari yang bersifat deklaratif sampai dengan yang bersifat imperatif atau
konstitutif;
3. Ranah praktis aplikatif yang pembahasannya sering bersifat politis.77
75
Artidjo Alkostar, “Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Penegakan Hukum
Dewasa Ini”, Makalah disampaikan dalam rangka Dies Natalis UII ke 51 Universitas
Islam Indonesia, Yogyakarta, 1993, hlm. 3. 76
Bambang Sutiyoso, Reformasi Keadilan dan Penegakan Hukum di Indonesia,
(Yogyakarta: UII Press, 2010), hlm. 169. 77
Ade Didik Irawan, “Dinamika Perkembangan Teori Dan Filsafat Hukum Hak
Asasi Manusia”, http://www.kuliahhukumonline.blogspot.com/2012/09/dinamika-
perkembangan-teori-dan.html, diakses tanggal 3 September 2012.
51
Dalam kepustakaan filsafat ilmu hukum dan ilmu politik, istilah hak asasi
manusia (human right) sering pula disebut sebagai hak-hak dasar (basic right)
atau hak-hak fundamental (fundamental right), hak-hak moral (moral right) atau
hak-hak alamiah (natural right). Hak asasi manusia yang sering dibedakan dengan
hak hukum yang merupakan hak warga negara yang diberikan oleh negara atau
oleh hukum positif (legal right).
Hal ini sebagaimana dikemukakan Michael freedman bahwa:
It is commonplace to distinguish human rights from legal right human
rights are the rights that human being have simply because they are
human being legal right are the rights that human being or other legal
persons have because the law say so.78
(Terjemahan bebas: Ini merupakan
hal yang biasa untuk membedakan hak asasi manusia dari hukum hak asasi
manusia adalah hak yang manusia miliki karena mereka manusia dan
menjadi hak hukum adalah hak-hak bahwa manusia atau badan hukum
lainnya memiliki karena hukum mengatakan demikian).
Sementara itu, Ade Didik Irawan mengemukakan bahwa:
Tidak ada definisi atau rumusan tunggal yang telah disepakati oleh para
penstudi hak asasi manusia dalam studi ilmu hukum, politik, filsafat dan
hubungan internasional tentang apa yang dimaksud hak asasi manusia
suatu yang wajar karena hak asasi manusia telah dipahami dan dibahas
dari berbagai sudut pandang yang berbeda-beda walau demikian
pengertian awal tentang hak asasi manusia didominasi oleh wacana
filsafat. Salah satu konsepsi hak asasi manusia yang sering digunakan
dalam berbagai instrumen hak asasi manusia berasal dari revolusi Amerika
dan Perancis yaitu hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki
manusia semata-mata karena ia manusia.79
Hak asasi manusia secara kodrati bersifat inhern universal dan tidak dapat
dicabut. Hak-hak tersebut dimiliki oleh individu semata-mata karena martabatnya
78
Michael freedman dalam Ade Didik Irawan, Loc.cit. 79
Ade Didik Irawan, Loc.cit.
52
sebagai manusia dan bukan karena mereka adalah warga negara dari suatu negara.
Franz Magnis Suseno menyatakan bahwa:
Hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia berdasarkan
martabatnya sebagai manusia dan bukan karena pemberian masyarakat
atau negara, dengan kata lain HAM dimiliki manusia bukan berdasarkan
hukum positif yang berlaku tetapi berdasarkan martabatnya sebagai
manusia. Dalam konsepsi hak asasi manusia di atas terkandung makna
bahwa hak asasi manusia tidak dapat dihapuskan atau dinyatakan tidak
berlaku oleh negara. Konsepsi-konsepsi hak asasi manusia yang
dikemukakan di atas bukanlah satu-satunya konsepsi hak asasi manusia
yang diterima oleh semua kalangan, tampaknya konsepsi-konsepsi hak
asasi manusia tersebut dipengaruhi oleh doktrin hukum kodrati dan hak-
hak kodrati.80
John Lock, Hugo De Grout, J.J Rousseau dan Imanuel Kant
mengemukakan bahwa “Sebuah hak asasi manusia bersifat ada serta melekat
pada diri seseorang manusia karena kodratnya sebagai manusia”.81
Oleh karena HAM itu bersifat kodrati, sebenarnya ia tidak memerlukan legitimasi
yuridis untuk pemberlakuannya dalam suatu sistem hukum nasional maupun
internasional. Sekalipun tidak ada perlindungan dan jaminan konstitusional
terhadap HAM, hak itu tetap eksis dalam setiap diri manusia. Gagasan HAM yang
bersifat teistik ini diakui kebenarannya sebagai nilai yang paling hakiki dalam
kehidupan manusia. Namun karena sebagian besar tata kehidupan manusia
bersifat sekuler dan positivistik, maka eksistensi HAM memerlukan landasan
yuridis untuk diberlakukan dalam mengatur kehidupan manusia.82
80Ibid. 81
Aditya Hendrasena, “Teori Dalam Hukum Dan Ham Yang Berlaku Di
Indonesia”, http://www.adityahendrasena.blogspot.com/2012/04/teori-ham-dalam-
indonesia.html, diakses tanggal 4 April 2012 82
Salman Luthan, “Proyeksi Harmonisasi Konvensi Menentang Penyiksaan
Dengan Hukum Pidana Nasional”, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional
Kerjasama Departemen Hukum Internasional-Fakultas Hukum Universitas Islam
Indonesia dengan ELSAM, Yogyakarta, 1995.
53
Anak yang telah dilahirkan, maka hak atas hidup dan hak merdeka sebagai
hak dasar dan kebebasan dasar tidak dapat dilenyapkan atau dihilangkan, tetapi
dilindungi dan diperluas hak atas hidup dan hak merdeka tersebut. Hak asasi anak
tersebut merupakan bagian dari hak asasi manusia yang mendapat jaminan dan
perlindungan hukum baik Hukum Nasional seperti yang termuat dalam dalam
Undang-Undang Dasar NKRI 1945, Undang-Undang HAM telah mencantumkan
tentang hak anak, pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab orang tua, keluarga,
masyarakat, pemerintah dan negara untuk memberikan perlindungan pada anak.
Undang-Undang Perlindungan Anak, baik itu perlindungan anak secara umum
maupun perlindungan anak secara khusus atau perlindungan anak yang berkonflik
dengan hukum, maupun Hukum Internasional seperti Universal Declaration of
Human Right (untuk selanjutnya disebut UDHR) dan Internasional on Civil and
Political Rights (untuk selanjutnya disebut ICPR).83
Nilai anak yang kemudian dijadikan norma universal adalah anak juga
dilihat sebagai manusia utuh, yang oleh karenanya memiliki hak asasi yang
dilindungi. Pandangan ini menuntut orang dewasa (orang tua biologis,
pemerintah, masyarakat) bertanggungjawab penuh terhadap setiap anak yang lahir
di dunia, entah dari siapapun, dan di belahan bumi manapun. Perlindungan anak
merupakan bagian dari pelaksanaan hak asasi manusia.84
83
Bambang Sukamto, “Diktat Hukum Perlindungan Anak”,
http://setanon.blogspot.com/2010/03/diktat-hukum-perlindungan-anak.html, diakses
tanggal 3 Maret 2010.
84
Bambang Sukamto, Hukum Perlindungan Anak,
http://setanon.blogspot.com/2010/03/hukum-perlindungan-anak.html, diakses tanggal 3
Maret 2010
54
Hak asasi manusia adalah hak yang memang sudah melekat pada setiap
manusia, sebagai anugerah Tuhan yang Maha Esa. Hak asasi manusia dilindungi
oleh negara hukum, yang salah satu unsurnya mensyaratkan adanya perlindungan
terhadap hak asasi manusia. Hal ini sejalan dengan teori HAM yang dikemukakan
oleh Marzuki Darusman, bahwa HAM itu hendaknya: sesuai dengan kodrat
manusia. Menurut kodratnya, manusia itu adalah makhluk pribadi sekaligus
makhluk sosial; HAM harus dihargai dan dijunjung tinggi secara adil. Maksudnya
memperlakukan tiap manusia sesuai dengan martabat kemanusiaannya....
Selanjutnya, Muladi mengemukakan bahwa melindungi hak-hak dapat terjamin
bila hak-hak itu merupakan bagian dari hukum karena hukum merupakan
pencerminan dari HAM, sehingga hukum itu mengandung keadilan atau tidak,
ditentukan oleh HAM yang dikandung dan diatur dan dijamin oleh hukum itu....
Berdasarkan uraian tersebut di atas maka teori perlindungan HAM yang
dikemukakan oleh Marzuki Darusman dan Muladi dapat digunakan sebagai pisau
analisis untuk menyelesaikan permasalahan yang pertama, yaitu bagaimana dasar
filosofi kebijakan formulasi pengaturan ketentuan pelaksanaan diversi di luar
sistem peradilan pidana anak di masa yang akan datang dalam rangka
perlindungan dan kesejahteraan anak.
2.1.2. Teori Perlindungan Anak
Penggunaan teori perlindungan anak sebagai pisau analisis pada disertasi
ini, didasarkan pada bagian judul yang dirumuskan sebagai perlindungan anak,
dan diharapkan dengan penggunaan teori ini dapat diperoleh landasan teoritis
55
dalam menganalisis, memperbaharui, dan mengembangkan hukum dalam upaya
melindungi hak-hak anak.
Apeldoorn menyebutkan bahwa tujuan hukum ialah mengatur pergaulan hidup
secara damai, yang lebih lanjut menyatakan bahwa:
Doel van hetrecht is een vreedzame ordening va sameleving. Het recht wil
de vrede...den vrede onder de mensen bewaam het recht door bepalde
menselijke belangen (materiele zowel als ideelen eer, rijheid, leven,
vermogenenz. Tegen benaling te beschermen. 85
(Terjemahan bebas: Tujuan hukum adalah mengatur masyarakat secara
damai. Hukum menghendaki perdamaian...perdamaian diantara manusia
dipertahankan oleh hukum dengan melindungi kepentingan-kepentingan
manusia tertentu (baik materiil maupun ideal), kehormatan, kemerdekaan,
jiwa, harta benda, dan sebagainya terhadap yang merugikannya).
Menurut Sudigno Mertokusumo, bahwa hukum berfungsi sebagai
pelindung kepentingan manusia harus dilaksanakan secara normal dan damai tapi
dapat terjadi juga karena pelanggaran hukum. Pelanggaran hukum terjadi ketika
subyek hukum tertentu tidak menjalankan kewajiban yang seharusnya dijalankan
atau karena melanggar hak-hak subyek hukum lain. Subyek hukum yang
dilanggar hak-haknya harus mendapatkan perlindungan hukum.86
Sudarto menyatakan bahwa tujuan utama perlindungan hukum adalah
mewujudkan kesejahteraan anak disamping kepentingan masyarakat. Namun
Sudarto tetap berpendapat bahwa kepentingan anak tidak boleh dikorbankan demi
kepentingan masyarakat. Dua asas penting yang harus diperhatikan adalah asas
memajukan kesejahteraan anak (the promotion of the well being of the juvenile)
dan prinsip proporsionalitas (the pinciple of proporsionalitas). Sasaran pertama
85
L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, diterjemahkan oleh Oetarid
Sadino, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1980), hlm. 23. 86
Sudigno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta:
Liberty, 1996), hlm. 140.
56
ini merupakan fokus utama dalam sistem hukum yang menangani pelanggaran
anak-anak, khususnya dalam sistem hukum yang mengikuti model peradilan
pidana harus lebih menekankan atau mengutamakan kesejahteraan anak.
Ditegaskan pula bahwa prinsip ini berarti menolak prinsip penggunaan sanksi
yang semata-mata bersifat pidana atau yang semata-mata bersifat menghukum
(the avoidance of merely punitive sanctions). Sedangkan sasaran kedua, yaitu
prinsip yang merupakan alat untuk mengekang penggunaan sanksi yang bersifat
menghukum dalam arti membalas semata-mata (just desort). Walaupun
penekanan pada permasalahan kesejahteraan anak, namun perlu dicatat pendapat
Paul W. Tappan yang menyatakan bahwa Peradilan Anak janganlah semata-mata
berfungsi sebagai suatu pengadilan pidana untuk anak dan tidak pula harus
berfungsi semata-mata sebagai lembaga sosial (the Juvenile Court should not
function merely as a criminal court for children, not should it function merely as a
social agency).87
Disamping mengutamakan kepentingan anak, juga
memperhatikan kepentingan masyarakat.
Anak sebagai makhluk Allah SWT dan juga sebagai makhluk sosial sejak
dalam kandungan sampai dilahirkan mempunyai hak atas hidup dan merdeka serta
mendapat perlindungan baik dari orang tua, keluarga, masyarakat, bangsa dan
negara. Oleh karena itu tidak ada seorang manusiapun atau pihak yang boleh
merampas hak atas hidup dan merdeka tersebut. Bila anak tersebut masih dalam
kandungan orang tua dan orang tua tersebut selalu berusaha untuk menggugurkan
87
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1981), hlm. 140.
57
anaknya dalam kandungannya, maka orang tua tersebut akan diproses hukum
untuk mempertanggung jawabkan perbuatan yang melanggar hukum tersebut.88
Masalah perlindungan hukum bagi anak merupakan salah satu cara untuk
melindungi tunas bangsa di masa depan. Perlindungan hukum terhadap anak
menyangkut semua aturan hukum yang berlaku. Perlindungan ini penting karena
anak merupakan bagian masyarakat yang mempunyai keterbatasan secara fisik
dan mentalnya. Masa kanak-kanak adalah ketika seorang pribadi tumbuh dan
berkembang mencapai kedewasaan diri dan akan melewati peristiwa-peristiwa
yang positif dan negatif, tetapi semuanya akan membekali seorang anak untuk
menjadi dewasa. Sebagai suatu proses, dia tidak selayaknya menanggung
hukuman berat sampai pemenjaraan karena efeknya adalah pematian masa depan
anak.89
Oleh karena itu, anak memerlukan perlindungan dan perawatan khusus. Mereka
merupakan golongan lemah, yang kerapkali tidak dapat membela diri dan sangat
peka terhadap penyalahgunaan dan penelantaran terhadap dirinya.90
Bismar Siregar, sebagaimana dikutip oleh Kusumah, dan dikutip lagi oleh Made
Sadhi Astuti, menulis tentang aspek hukum perlindungan anak, lebih ditekankan
pada hak-hak anak bukan kepada kewajiban anak, karena anak secara hukum
belum dibebani kewajiban dan tidak dituntut pertanggungjawaban.91
88
Bambang Sukamto, “Diktat Hukum Perlindungan Anak”,
http://setanon.blogspot.com/2010/03/diktat-hukum-perlindungan-anak.html, diakses
tanggal 3 Maret 2010. 89
Hadi Supeno, Op.cit., hlm. 183. 90
Made Sadhi Astuti, Hukum Pidana Anak dan Perlindungan Anak, (Malang:
UMM Press, 2002), hlm. 21. (Selanjutnya disebut Made Sadhi Astuti I). 91Ibid., hlm. 5.
58
Aspek hukum perlindungan anak secara luas mencakup hukum pidana,
hukum acara, hukum tata negara, dan hukum perdata.
M. Nasir Djamil mengemukakan bahwa “Anak bukanlah untuk dihukum
melainkan harus diberikan bimbingan dan pembinaan, sehingga bisa tumbuh dan
berkembang sebagai anak normal yang sehat dan cerdas seutuhnya.92
Senada dengan M. Nasir Djamil adalah Hadi Supeno, yang menyatakan bahwa:
Pada masa tumbuh kembang anak sedang memenuhi kewajiban dan
memperoleh haknya untuk belajar. Pemenjaraan akan merampas hak
belajar anak karena selama proses peradilan menuju pemenjaraan dapat
dipastikan anak mengalami gangguan dalam belajar. Walaupun kelak di
Lapas anak diadakan kegiatan belajar mengajar, hal itu lebih kepada
pengajaran ilmu pengetahuan semata. Belajar yang sesungguhnya, yakni
berinteraksi dan berkomunikasi dengan teman sebaya dalam suasana
kegembiraan untuk saling berimajinasi dan berobsesi merajut bangunan
masa depan, tidak ada lagi. Pengajaran yang ada sangatlah kering karena
semuanya berada dalam suasana pengurungan dalam arti lahir dan batin.
Pemenjaraan juga akan mengganggu tumbuh kembang anak karena ragam
menu makanan yang tidak memenuhi standar gizi....93
Isu mengenai perkembangan anak menjadi salah satu hal yang penting
didiskusikan. Tak hanya disitu, negara sebagai tempat berlindung warganya harus
memberikan regulasi jaminan perlindungan bagi anak. Seiring berkembangnya
teknologi informasi yang sulit dibendung, ditambah iklim demokrasi yang
menjamin kebebasan pers, maka berbagai macam isu sangatlah mudah sampai
kepada publik, untuk kemudian ramai-ramai....94
92
M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum, Catatan Pembahasan UU
Sistem Peradilan Pidana Anak (UU-SPPA), (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm. 1-2. 93
Hadi Supeno, Op.cit., hlm. 183. 94Ibid.
59
Sementara itu, Peter Newel, seorang expert dalam perlindungan anak,
mengemukakan beberapa alasan subjektif dari sisi keberadaan anak, sehingga
anak membutuhkan perlindungan, antara lain :
a) Biaya pemulihan (recovery) akibat kegagalan dalam memberikan
perlindungan anak sangat tinggi. Jauh lebih tinggi daripada biaya yang
dikeluarkan jika anak-anak memperoleh perlindungan;
b) Anak-anak sangat berpengaruh langsung dan berjangka panjang atas
perbuatan (action) ataupun tidak adanya/dilakukannya perbuatan (un-
action) dari pemerintah dan kelompok lainnya;
c) Anak-anak selalu mengalami pemisahan atau kesenjangan dalam
pemberian pelayanan publik;
d) Anak-anak tidak mempunyai hak suara, dan tidak mempunyai kekuatan
lobi untuk mempengaruhi agenda kebijakan pemerintah;
e) Anak-anak pada banyak keadaan tidak dapat mengakses perlindungan
dan penataan hak-hak anak; dan
f) Anak-anak lebih beresiko dalam eksploitasi dan penyalahgunaan. 95
Pandangan dan pemikiran tentang perlindungan anak sekarang telah menjadi
bahan-bahan kajian akademis dan perdebatan politis karena banyak pihak
menyadari persoalan perlindungan anak merupakan persoalan serius. Berbicara
perlindungan anak bukan sekedar bicara anak dalam kajian psikologis, pedagogis,
atau sosiologis, lebih dari itu semua, bicara soal perlindungan anak berarti bicara
soal kelangsungan hidup sebuah komunitas, berbicara tentang rancang bangun
sosial masa depan.96
Masa kanak-kanak adalah ketika seorang pribadi tumbuh dan berkembang
mencapai kedewasaan diri. Pada saat itu, akan melewati peristiwa-peristiwa yang
positif dan negatif yang akan membekali anak menjadi dewasa. Sebagai suatu
95
Peter Newel, “Taking Children Seriously, A Proposal For Children’s Rights
Commisioner,” (London: Colouste Gulbenkian Foundation), p. 1, dalam Hadi Supeno,
Op.cit., hlm. 30. 96
Hadi Supeno, Loc.cit.
60
proses, dia tidak selayaknya menanggung hukuman berat sampai pemenjaraan
karena efeknya adalah pematian masa depan anak.
Berdasarkan uraian tersebut di atas maka teori perlindungan anak yang
dikemukakan Hadi Supeno digunakan sebagai pisau analisis untuk menyelesaikan
permasalahan kedua, yaitu bagaimana kebijakan formulasi pengaturan ketentuan
pelaksanaan diversi yang mencerminkan prinsip perlindungan dan kesejahteraan
bagi anak yang berkonflik dengan hukum di masa yang akan datang.
2.1.3. Teori Keadilan
Konsep tentang keadilan telah menjadi wacana yang berkembang dinamis
seiring dengan berjalannya waktu. Perkembangan pembicaraan keadilan telah
cukup lama dimulai dari waktu ke waktu, sejak jaman Yunani misalnya Socrates,
Aristoteles, dan Plato telah memberikan kontribusi pemikiran mereka tentang
keadilan.
Keadilan memang dapat dirumuskan secara sederhana sebagai tolok ukur
untuk dipakai dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang di bawah ini dikutip
berbagai perumusan mengenai keadilan, sebagai berikut:
1. Ulpianus, keadilan adalah kemauan yang bersifat tetap dan terus
menerus untuk memberikan kepada setiap orang apa yang semestinya
untuknya (Iustitia est constans et perpetua voluntas ius suum cuique
tribuendi);
2. Menurut Aristoteles, keadilan adalah suatu kebijakan politik yang
aturan-aturannya menjadi dasar dari peraturan negara atau aturan-
aturan ini merupakan ukuran tentang apa yang hak. Orang harus
mengendalikan diri dari pleonexia, yaitu memperoleh keuntungan bagi
diri sendiri dengan cara merebut apa yang merupakan kepunyaan
orang lain, atau menolak apa yang seharusnya diberikan kepada orang
lain. Aristoteles mendekati masalah keadilan dari segi persamaan.
Asas ini menghendaki agar sumber daya di dunia ini diberikan atas
61
asas persamaan kepada anggota-anggota masyarakat atau negara.
Hukum hendaknya menjaga agar pembagian yang demikian
senantiasa terjamin dan dilindungi dari perkosaan-perkosaan
terhadapnya. Dalam hubungan ini ia membedakan antara lain keadilan
distributif dan korektif. Keadilan distributif menyangkut persoalan
pembagian barang-barang dan kehormatan kepada masing-masing
orang sesuai dengan tempatnya dalam masyarakat. Ia menghendaki
agar orang-orang yang mempunyai kedudukan sama memperleh
perlakuan yang sama pula di hadapan hukum. Keadilan ini menjadi
model dari rumusan Romawi yang klasik sebagaimana dibuat oleh
Ulpianus, yaitu Honeste vivere, alterum non leadre, suum euique
tribure, hidup secara terhormat tidak mengganggu orang di
sekelilingmu, memberikan kepada setiap orang bagiannya. Keadilan
korektif memberikan ukuran bagi menjalankan hukum sehari-hari,
yang harus mempunyai standar umum guna memperbaiki
(memulihkan) konsekuensi dari suatu tindakan yang dilakukan orang
dalam hubungan satu sama lain. Pidana memperbaiki yang telah
dilakukan oleh kejahatan, pemulihan memperbaiki kesalahan perdata,
ganti rugi mengembalikan keuntungan yang diperoleh secara salah.
Standar tersebut harus diterapkan tanpa melihat orang lain semuanya
harus tunduk kepada standar yang obyektif. Kedua-duanya mengikuti
asas persamaan yang dikatakan bahwa harus ada persamaan dalam
bagian yang diterima oleh orang-orang, oleh karena rasio dari yang
dibagi harus sama dengan rasio dari orang-orangnya. Sebab apabila
orang-orangnya tidak sama maka di situ tidak akan ada bagian yang
sama pula; maka apabila orang-orang yang sama tidak menerima
bagian yang sama, timbullah sengketa dan pengaduan;
3. Menurut Justinian, keadilan adalah kebajikan yang memberi hasil,
bahwa setiap orang mendapat apa yang merupakan bagiannya;
4. Menurut Herbert Spencer, setiap orang bebas untuk menentukan apa
yang akan dilakukannya asal tidak melanggar kebebasan yang sama
dari orang lain;
5. Menurut Roscoe Pound dilihat dalam hasil-hasil konkrit yang bisa
diberikan kepada masyarakat. Ia melihat bahwa hasil yang diperoleh
itu hendaknya berupa pemuasan kebutuhan, dan menghindari
perbenturan antara manusia dalam menikmati sumber-sumber daya,
singkatnya social engeneering yang makin efektif;
6. Menurut Nelson, tidak ada arti lain bagi keadilan kecuali persamaan
pribadi;
7. Menurut John Salmond, norma keadilan menentukan ruang lingkup
dari kemerdekaan individual, sehingga dengan demikian membatasi
kemerdekan individu di dalam batas-batas sesuai dengan
kesejahteraan umat manusia;
8. Menurut Hans Kelsen, keadilan adalah suatu tertib sosial tertentu yang
di bawah lindungannya usaha untuk mencari kebenaran bisa
berkembang dengan subur. Karena itu keadilan adalah keadilan
62
kemerdekaan, keadilan perdamaian, keadilan demokrasi dan keadilan
toleransi.97
Pemikiran mengenai adanya keadilan menyebabkan kehidupan hukum itu
mempunyai dinamika. Hukum positif, yaitu hukum yang dibuat dan dijalankan
dalam suatu wilayah tertentu senantiasa dihadapkan dengan tuntutan keadilan,
sehingga menimbulkan kehidupan hukum yang selalu dinamis.98
Oleh karena itu
kehidupan hukum tidak akan pernah final, melainkan selalu merupakan
perjuangan. Hal ini karena ada hukum yang dianggap ideal, maka konsep keadilan
dalam kehidupan hukum positif yang berlaku sekarang, senantiasa diuji oleh
hukum yang dianggap ideal tersebut. Setiap pembicaraan mengenai hukum, maka
senantiasa tidak akan dilepaskan dengan pembicaraan mengenai keadilan. Lebih
lanjut, Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa membicarakan hukum adalah
membicarakan hubungan antar manusia. Membicarakan hubungan antar manusia
adalah membicarakan keadilan. Dengan demikian, setiap pembicaraan mengenai
hukum, jelas atau samar-samar, senantiasa merupakan pembicaraan mengenai
keadilan pula.99
Keadilan hanya bisa dipahami jika ia diposisikan sebagai keadaan yang
hendak diwujudkan oleh hukum. Upaya untuk mewujudkan keadilan dalam
hukum tersebut merupakan proses yang dinamis yang memakan banyak waktu.
97
Satjipto Rahardjo, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya, (Jakarta:
Genta Publishing, 2009), hlm. 14. 98Ibid., hlm. 159. 99Ibid.
63
Upaya ini seringkali juga didominasi oleh kekuatan-kekuatan yang bertarung
dalam kerangka umum tatanan politik untuk mengaktualisasikannya.100
Ruti G. Teitel, telah mengembangkan sebuah konsep baru tentang keadilan
transisi, dimana dalam penjelasannya disebutkan:
Praktik transisional selama setengah abad terakhir menunjukkan bahwa
selalu terdapat masalah peradilan yang ditimbulkan dari pergeseran norma
paradigmatik yang mencirikan transisi. Kompromi terhadap keadilan ini
memberikan batasan sekaligus memungkinkan pelaksanaan kekuasaan
penghukuman dalam transisi. Meskipun terdapat ekspansi dramatik dalam
pertanggungjawaban pidana dalam tingkat abstrak, pelaksanaannya masih
tertinggal jauh. Praktek suksesor menunjukkan suatu pola penyelidikan
pidana yang dilanjutkan proses pengadilan, namun dengan sanksi yang
ringan atau tidak ada sama sekali. Sementara, hukuman secara umum
dieksploitasikan sebagai praktek tunggal yang mencakup proses penentuan
dan penghukuman kesalahan, dalam sanksi pidana transisional, elemen-
elemen penentu dan pemberian sanksi menjadi terpisah satu sama lain.
Proses pidana parsial yang menyusul, yang dikenal sebagai sanksi
“terbatas” adalah yang membedakan peradilan pidana dalam masa
transisi.101
Thomas membedakan antara keadilan distributif, keadilan tukar menukar,
dan keadilan legal (iustitia distributiva, iustitia commutative, iustitia legalis),
dengan penjelasan sebagai berikut:
1. Keadilan distributif menyangkut hal-hal umum, seperti jabatan, pajak,
dan sebagainya. Hal ini harus dibagi menurut kesamaan geometris;
2. Keadilan tukar menukar menyangkut barang yang ditukar antara
pribadi, seperti: jual beli, dan sebagainya. Ukurannya bersifat
aritmetis. Tentang keadilan balas dendam (ius vindicatia) tidak
dibicarakan Thomas secara eksplisit. Kiranya keadilan ini termasuk
keadilan tukar menukar;
3. Keadilan legal menyangkut keseluruhan hukum sehingga dapat
dikatakan bahwa kedua keadilan tadi terkandung dalam keadilan legal
100
Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, (Bandung: Nuansa
dan Nusamedia, 2004), hlm. 239. 101
Ruti G. Teitel, Keadilan Transisi Sebuah Tinjauan Komprehensif, (Jakarta:
Elsam), hlm. 59.
64
ini. Epikeia juga termasuk keadilan legal, disamakan dengan
pandangan yang bijaksana atas perkara-perkara hukum.102
Keadilan legal ini menuntut supaya orang tunduk pada semua undang-
undang, oleh karena undang-undang itu menyatakan kepentingan umum sehingga
mentaati hukum adalah sama dengan bersikap baik dalam segala hal, maka
keadilan legal disebut juga keadilan umum (ius generalis).103
Menurut Ulpianus, keadilan adalah Justitia est perpetua et contants
valuntas jus suum cuique tribuendi, bahwa keadilan adalah suatu keinginan yang
terus menerus dan tetap untuk memberikan kepada orang apa yang menjadi
haknya. Hal itu berarti bahwa keadilan harus senantiasa mempertimbangkan
kepentingan yang terlibat di dalamnya.104
Sementara itu, Frans Magnis Suseno berpendapat bahwa tuntutan akan keadilan
itu mempunyai dua arti, yaitu dalam arti formal, bahwa keadilan menurut hukum
harus berlaku umum, sedangkan dalam arti material, hukum dituntut agar sesuai
mungkin dengan cita-cita keadilan dalam masyarakat.105
Kepastian hukum
pertama-tama berarti kepastian dalam pelaksanaannya. Maksudnya bahwa hukum
yang resmi diperundangkan dilaksanakan oleh negara.106
Kepastian hukum berarti
bahwa setiap orang dapat menuntut agar hukum dilaksanakan dan tuntutan itu
pasti dipenuhi dan setiap pelanggaran hukum akan ditindak dan dikenakan sanksi
menurut hukum juga.
102Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta:
Kanisius, 1986), hlm. 43. 103Ibid. 104
Peter Mahmud Marzuki, Op.cit., hlm. 59. 105
Frans Magnis Suseno, Etika Politik Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan
Modern, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1999), hlm. 81. 106Ibid., hlm. 79.
65
Menurut John Rawls, dalam bukunya A Theory of Justice, keadilan adalah
kebajikan utama dalam institusi sosial, sebagaimana kebenaran dalam sistem
pemikiran. Suatu teori betapapun elegan dan ekonomisnya, harus ditolak atau
direvisi jika ia tidak benar. Demikian juga hukum dan institusi, tidak peduli
betapapun efisien dan rapinya, harus direformasi atau dihapuskan jika tidak
adil.107
Pandangan John Rawls tersebut tampak menunjukkan kepada kita tentang
keutamaan keadilan yang akan mengatur masyarakat agar tertata dengan baik.
Bertolak dari itu, Rawls ingin membangun sebuah teori keadilan yang
mampu menegakkan keadilan sosial dan sekaligus dapat dipertanggungjawabkan
secara obyektif, khususnya dalam perspektif demokrasi. Teori keadilan dianggap
memadai apabila dibentuk dengan pendekatan kontrak, dimana prinsip-prinsip
keadilan yang dipilih sebagai pegangan bersama merupakan hasil kesepakatan
bersama dari semua pihak yang bebas, rasional dan sederajad yang disebut Rawls
sebagai Justice as Fairness. Dengan demikian Rawls menekankan pentingnya
melihat keadilan sebagai “kebajikan utama” yang harus dipegang teguh sekaligus
menjadi semangat dasar pelbagai lembaga sosial dasar suatu masyarakat.108
Menurut Rawls, suatu konsep keadilan hanya secara efektif mengatur masyarakat
apabila konsep keadilan tersebut dapat diterima secara umum. Oleh karena itulah,
teori keadilan yang bersifat kontrak yang menjamin kepentingan semua pihak
secara fair.109
107
John Rawls, A Theory of Justice, Penerjemah Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo,
Teori Keadilan Dasar-dasar Filsafat Politik untuk mewujudkan Kesejahteraan Sosial
dalam Negara, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 3-4.
108Andre Ata Ulan, Keadilan dan Demokrasi, Telaah Filsafat Politik John Rawls,
(Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 23
109Ibid.
66
John Rawls mengatakan bahwa kepentingan utama keadilan adalah (1)
jaminan stabilitas hidup manusia, dan (2) keseimbangan antara kehidupan pribadi
dan kehidupan bersama. Rawls mempercayai bahwa struktur masyarakat ideal
yang adil adalah struktur dasar masyarakat yang asali dimana hak-hak dasar,
kebebasan, kekuasaan, kewibawaan, kesempatan, pendapatan, dan kesejahteraan
terpenuhi.110
Kategori struktur masyarakat ideal ini digunakan untuk:
1. menilai apakah institusi-institusi sosial yang ada telah adil atau tidak;
2. melakukan koreksi atas ketidakadilan sosial.111
Selanjutnya, Rawls berpendapat bahwa yang menyebabkan ketidak-adilan
adalah situasi sosial sehingga perlu diperiksa kembali, mana prinsip-prinsip
keadilan yang dapat digunakan untuk membentuk situasi masyarakat yang baik.
Koreksi atas ketidak-adilan dilakukan dengan cara mengembalikan (call for
redress) masyarakat pada posisi asali (people on original position). Dalam posisi
dasar inilah kemudian dibuat persetujuan asli (original agreement) antar anggota
masyarakat secara sederajad.112
Ada tiga syarat supaya manusia dapat sampai pada posisi asali, yaitu:
1. Diandaikan bahwa tidak diketahui, manakah posisi yang akan diraih
seorang pribadi tertentu di kemudian hari. Tidak diketahui manakah
bakatnya, intelegensinya, kesehatannya, kekayaannya, dan aspek sosial
yang lain.
2. Diandaikan bahwa prinsip-prinsip keadilan dipilih secara konsisten
untuk memegang pilihannya tersebut.
3. Diandaikan bahwa tiap-tiap orang suka mengejar kepentingan individu
dan baru kemudian kepentingan umum. Ini adalah kecenderugan alami
110Ibid., hlm. 26-28.
111John Rawls, Op.cit., hlm. 65-136.
112Ibid.
67
manusia yang harus diperhatikan dalam menemukan prinsip-prinsip
keadilan.113
Dalam menciptakan keadilan, prinsip utama yang digunakan adalah:
1. Kebebasan yang sama sebesar-besarnya, asalkan tetap menguntungkan
semua pihak;
2. Prinsip ketidaksamaan yang digunakan untuk keuntungan bagi yang
paling lemah.114
Prinsip ini merupakan gabungan dari prinsip perbedaan dan persamaan yang adil
atas kesempatan. Secara keseluruhan berarti ada tiga prinsip untuk mencari
keadilan, yaitu:
1. Kebebasan yang sebesar-besarnya sebagai prioritas.
2. Perbedaan.
3. Persamaan yang adil atas kesempatan.
Perkembangan berikutnya, restorative justice merupakan suatu model
pendekatan yang muncul dalam upaya penyelesaian perkara pidana. Berbeda
dengan pendekatan yang dipakai pada sistem peradilan pidana konvensional,
pendekatan ini menitikberatkan pada adanya partisipasi langsung dari pelaku,
korban, dan masyarakat dalam proses penyelesaian perkara pidana. Terlepas dari
kenyataan bahwa pendekatan ini masih diperdebatkan secara teoritis, tapi
pandangan ini pada kenyataannya berkembang dan banyak mempengaruhi
113Ibid., hlm. 144-226. 114
Ibid.
68
kebijakan hukum dan praktik di berbagai negara, seperti New Zealand,115
dan
Australia.116
Restorative justice merupakan bentuk keadilan yang dikembangkan oleh
Howard Zehr, seorang guru besar Sosiologi dan Keadilan Restoratif, Program
Transformasi Konflik, Eastern Mennonite University, Horrisonburg. Howard Zehr
mengemukakan bahwa:
Restorative justice is a process to involve to the extent possible, those who
have a stake in a specific offense and to collectively identify and address
harms, needs, and obligation, in order to heal and put things as
possible”.117
(Terjemahan bebas: Keadilan restoratif adalah proses untuk
melibatkan sejauh mungkin orang-orang yang memiliki kepentingan dalam
pelanggaran tertentu dan untuk bersama-sama mengidentifikasi masalah
yang merugikan, yang merupakan kebutuhan dan kewajiban untuk
memulihkan dan meletakkan sesuatu seperti semula).
Selanjutnya, Mark Umbreit mengemukakan bahwa:
Restorative justice provides as verry different framework for understanding
and responding to crime. Crime in understood as harm to individuals and
communities, rather than the simply a violation of abstract laws against the
state. Those most directly affected by crime-victims, community members
and offenders-are therefore encouraged to play an active role in the justice
process. Rather than the current focus on offender punishment, restoration
of the emotional and material losses resulting from crime is far more
important.118
(Terjemahan bebas: Keadilan restoratif menyediakan kerangka
115
Pada tahun 1989 di New Zealand ditetapkan undang-undang yang memuat
ketentuan mengenai “Family Group Conference” disingkat FGC yang menangani tindak
pidana anak, pemeliharaan (pengasuhan), dan perlindungan anak. Pranata baru ini
mendapat inspirasi dari praktek peradilan suku Maori.
116
Polisi di kota kecil Wagga Wagga di New South Wales melakukan suatu
eksperimen. Eksperimen polisi di Wagga Wagga dipengaruhi tidak saja oleh FGC New
Zealand tapi oleh teori “reintegrative Shaming” dari John Braithwaite. Waggga Wagga
model dengan cepat meluas ke berbagai negara terutama di Kerajaan Inggris Raya.
117
Howard Zeir, The Little Book of Restorative Justice, (PA: Good Books, 2002),
p. 37.
118Mark Umbreit, “Avoding the Marginnalization and „McDonaldization‟ of
Victim-offender mediation: A Case Study in Moving Toward the Mainstream” in
Restorative Juvenile Justice Repairing the Harm of Youth Crime”, edited by Gordon
Bazemore and Lode Walgrave Monsey, (New York: Criminal Justice Press, 1999), p.
213.
69
kerja yang sangat berbeda untuk memahami dan merespon kejahatan.
Kejahatan dipahami sebagai kerugian bagi individu dan masyarakat, bukan
hanya pelanggaran hukum negara yang sifatnya abstrak. Mereka yang
terkena dampak kejahatan secara langsung, yaitu korban, anggota
masyarakat, dan pelaku, karena itu didorong untuk berperan aktif dalam
proses peradilan. Saat ini pemulihan kerugian emosional dan material yang
timbul jauh lebih penting daripada hukuman untuk pelaku).
Dalam Handbook on Restorative Justice Programmes disebutkan bahwa
“Restorative justice is an approach to problem solving that, in its various forms,
involves the victim, the offender, their social networks, justice agencies an
community.119
(Terjemahan bebas: Restorative justice adalah sebuah pendekatan
untuk pemecahan masalah dalam berbagai bentuk, melibatkan korban, pelaku,
jaringan sosial, lembaga-lembaga keadilan dan masyarakat).
Menurut Muladi secara rinci Restorative Justice Model mempunyai
beberapa karakteristik yaitu :
a. Kejahatan dirumuskan sebagai pelanggaran seorang terhadap orang lain
dan diakui sebagai konflik;
b. Titik perhatian pada pemecahan masalah pertanggungjawaban dan
kewajiban pada masa depan;
c. Sifat normatif dibangun atas dasar dialog dan negosiasi;
d. Restitusi sebagai sarana perbaikan para pihak, rekonsiliasi dan restorasi
sebagai tujuan utama;
e. Keadilan dirumuskan sebagai hubungan-hubungan hak, dinilai atas
dasar hasil;
f. Sasaran perhatian pada perbaikan kerugian sosial;
g. Masyarakat merupakan fasilitator di dalam proses restoratif;
h. Peran korban dan pelaku tindak pidana diakui, baik dalam masalah
maupun penyelesaian hak-hak dan kebutuhan korban. Pelaku tindak
pidana didorong untuk bertanggung jawab;
i. Pertanggungjawaban si pelaku dirumuskan sebagai dampak pemahaman
terhadap perbuatan dan untuk membantu memutuskan yang terbaik;
j. Tindak pidana dipahami dalam konteks menyeluruh, moral, sosial dan
ekonomis; dan
119United Nations, Handbook on Restorative Justice Programmes, (New York:
United Nations Publication, 2006), p. 6.
70
k. Stigma dapat dihapus melalui tindakan restoratif.120
Restorative justice mengembalikan konflik kepada pihak-pihak yang
paling terkena pengaruh yaitu korban, pelaku dan kepentingan komunitas mereka
dan memberikan keutamaan pada kepentingan-kepentingan mereka. Restorative
justice juga menekankan pada hak asasi manusia dan kebutuhan untuk mengenali
dampak dari ketidakadilan sosial dan dalam cara-cara yang sederhana untuk
mengembalikan mereka daripada secara sederhana memberikan pelaku keadilan
formal atau hukum dan korban tidak mendapatkan keadilan apapun. Kemudian
restorative justice juga mengupayakan untuk merestore keamanan korban,
penghormatan pribadi, martabat, dan yang lebih penting adalah sense of
control.121
Secara konseptual, restorative justice berisi gagasan-gagasan dan prinsip-
prinsip sebagai berikut:
a. Membangun partisipasi bersama antara pelaku, korban dan kelompok
masyarakat menyelesaikan suatu peristiwa atau tindak pidana.
Menempatkan pelaku, korban, dan masyarakat sebagai “stakeholders”
yang bekerjasama dan langsung berusaha menemukan penyelesaian
yang dipandang adil bagi semua pihak (win-win solution);
b. Mendorong pelaku bertanggungjawab terhadap korban atas peristiwa
atau tindak pidana yang telah menimbulkan cedera atau kerugian
terhadap korban. Selanjutnya membangun tanggung jawab tidak
mengulangi lagi perbuatan pidana yang pernah dilakukannya;
c. Menempatkan peristiwa atau tindak pidana tidak terutama sebagai suatu
bentuk pelanggaran hukum, melainkan sebagai pelanggaran oleh
seseorang (sekelompok orang) terhadap seseorang (sekelompok orang).
Karena itu sudah semestinya pelaku diarahkan pada
pertanggungjawaban terhadap korban, bukan mengutamakan
pertanggungjawaban hukum;
120
Muladi, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, 1995), hlm. 90. 121
“Perkembangan Teori Pemidanaan”,
http://www.alienjustitia.blogspot.com/p/perkembangan-teori-pemidanaan.html, diakses
tanggal 2 Januari 2013.
71
d. Mendorong menyelesaikan suatu peristiwa atau tindak pidana dengan
cara-cara yang lebih informal dan personal, daripada penyelesaian
dengan cara-cara beracara yang formal (kaku) dan impersonal.122
Landasan filosofis restorative justice adalah perbaikan keadaan korban,
memaafkan perbuatan pelaku dan keikhlasan korban serta mengembalikan pelaku
pada masyarakat. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Consedine berikut
ini:
We need to discover a philosophy that moves from punishment to
reconcilitiation, from vengeance against offender to healing for victims,
from negativity and destructiveness to healing, forgiveness and mercy.
That philosophical base is restorative juctice. A positive philoshopy that
embraces a wide range of human emotions, including healing, forgiveness,
mercy and reconciliation, as well as sanction where appropriate, has
much to offer. 123
(Terjemahan bebas: Kita perlu menemukan sebuah filosofi yang bergerak
dari hukuman untuk rekonsiliasi, dari balas dendam terhadap pelaku untuk
pemulihan bagi korban, dari negatif dan destruktif untuk pemulihan,
pengampunan dan belas kasihan. Itulah dasar filosofis keadilan restoratif.
Sebuah filosofi positif yang mencakup berbagai emosi manusia, termasuk
pemulihan, pengampunan, dan rekonsiliasi serta sanksi jika diperlukan,
yang menawarkan banyak hal).
Restorative justice merupakan konsep yang penting untuk diaplikasikan
melalui proses nyata. Untuk dapat menyatakan bahwa proses tersebut merupakan
proses restoratif, maka ciri dari proses yang menggunakan pendekatan restorative
justice, sebagai berikut:
1. Fleksibilitas respon dari lingkungan baik terhadap tindak pidana yang
terjadi, pelaku maupun korban, bersifat individual dan harus dilihat
kasus perkasus;
2. Respon yang diberikan atas perkara yang terjadi mencerminkan
perhatian yang mendalam dan persamaan perlakuan dan mendorong
hubungan yang harmonis antar warga masyarakat untuk menghilangkan
kerusakan akibat tindak pidana;
122Eva Achjani Zulfa, Op.cit., hlm. 7.
123Jim Consedine, Restorative Justice Healing The Effects of Crime, (New
Zealand: Ploughshares Publication, 2003), p. 11.
72
3. Merupakan alternatif penyelesaian perkara di luar maupun dengan
dengan menggunakan sistem peradilan pidana formal yang berlaku dan
mencegah stigma negatif yang timbul pada diri pelaku akibat proses
tersebut. Pendekatan restoratif ini dapat menggunakan hukum pidana
sebagai upaya penyelesaiannya baik dalam proses maupun pada jenis
sanksi yang dijatuhkan;
4. Pendekatan ini juga melingkupi usaha-usaha untuk memecahkan
masalah yang terjadi dan menyelesaikan segala konflik yang timbul;
5. Pendekatan restoratif ini merupakan usaha yang ditujukan untuk
menghilangkan rasa bersalah pelaku dan merupakan media bagi usaha
memenuhi kebutuhan korban;
6. Pendekatan ini harus disertai usaha mendorong pelaku mendapat
koreksi dan masukan bagi perubahan perilakunya dan mendorong
pelaku bertanggungjawab melalui perbuatan-perbuatan yang berarti;
7. Fleksibilitas dan variabel yang digunakan dalam pendekatan dengan
menggunakan paradigma ini dapat diadopsi dari lingkungan, tradisi
hukum yang hidup dalam masyarakat serta prinsip dan filosofi yang
dianut dalam sistem hukum nasional.124
Menurut Kittiyarah, terdapat enam prinsip pokok sebagai kerangka kerja
restorative justice, yaitu:
1. Perbuatan (tindak) pidana merupakan peristiwa manusiawi dalam wujud
pelanggaran hubungan sosial baik bersifat pribadi maupun terhadap
pihak lain. Perbuatan (tindak) pidana tidak semata-mata pelanggaran
hukum negara tapi pelanggaran terhadap orang;
2. Tujuan peradilan adalah untuk sejauh mungkin memperbaiki kerusakan
dan memulihkan hubungan, baik terhadap individu maupun masyarakat
ke keadaan semula;
3. Korban harus mempunyai kesempatan memilih ambil bagian ke dalam
proses. Keikutsertaan dapat dalam bentuk informasi dan dialog dengan
pelaku, penyelesaian timbal balik dengan pelaku menyangkut restitusi
(kompensasi), pengurangan rasa takut, meningkatnya rasa aman (rasa
tenteram), tumbuhnya harapan baru, dan lain-lain;
4. Pelaku diberi kesempatan menerima tanggungjawab dan kewajiban
terhadap korban dan masyarakat pada umumnya. Keikutsertaan dapat
dalam bentuk menentukan kewajiban, berhadapan langsung dengan
korban, memahami dampak perbuatan, dan lain-lain;
5. Masyarakat sekeliling (setempat) dan sumber-sumbernya harus
mengutarakan berbagai keperluan korban dan pelaku, termasuk
pencegahan pelanggaran;
124 Eva Achjani Zulfa, Op,cit., hlm 88-89.
73
6. Sistem peradilan pidana formal harus menjamin korban dan pelaku
terlibat dalam hal yang mengikat semua peserta tanpa sesuatu paksaan,
termasuk melakukan monitoring.125
Restorative justice sebagai konsep pemidanaan bermaksud menemukan
jalan menegakkan sistem pemidanaan yang lebih adil dan berimbang. Misalnya,
antara kepentingan pelaku dan korban. Sistem pemidanaan yang berlaku saat ini
kurang memperhatikan kepentingan korban. Selain kepentingan korban, dalam
konsep restoratif justice menyangkut juga kepentingan pelaku dan kewajiban
pelaku, yaitu agar pelaku kembali menjadi warga yang bertanggungjawab, baik
terhadap korban, keluarganya (seperti orang tuanya), dan masyarakat
sekelilingnya.
Sementara itu Satjipto Raharjo berpendapat bahwa “Hukum bukanlah
sekedar logika semata karena lebih dari itu hukum merupakan ilmu sebenarnya,
juga melihat adanya kaitan dengan hal-hal di belakang hukum”.126
Keinginan
untuk melihat logika sosial daripada logika hukum atau perundang-undangan,
yang seharusnya selalu dimaknai sehingga selalu up to date. Dengan kata lain
hukum selalu bergerak dan menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat.
Selanjutnya, berkaitan dengan keadilan terhadap anak, John Rawls
mengemukakan bahwa “Tahap pertama dalam urutan perkembangan moral
disebut sebagai moralitas otoritas (morality of otority)”.127
Ketika aspek-aspek
tertentu dari moralitas ini dipertahankan pada tahap berikutnya untuk keperluan
125
Kittipong Kittiyarah, “Restorative Justice: Thai Experience”, (UNAFEI,
Series, No. 63, 2004), p. 28. 126
Turiman, Memahami Hukum Progresif Satjipto Rahardjo Dalam Paradigma
“Thawaf” (Sebuah Komtemplasi Bagaimana Mewujudkan Teori Hukum yang Membumi/Grounded Theory Meng-Indonesia), Dikutip dari Disertasi Program Doktor
Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Diponorogo, 2010, hlm. 2. 127
John Rawls, Op.cit., hlm. 602.
74
khusus, kita dapat menganggap moralitas otoritas dalam bentuk primitifnya yaitu
pada masa kanak-kanak. Hal ini diungkapkan sebagai berikut:
“…Bahwa struktur dasar dari masyarakat yang tertata termasuk keluarga
dalam bentuk tertentu, dan karenanya anak itu pertama kalinya menjadi
subjek dari kekuasaan absah orang tuanya. Tentu saja, dalam penyelidikan
yang lebih luas, institusi keluarga bisa jadi dipertanyakan, dan rencana-
rencana lain mungkin memang terbukti lebih baik. Tapi kiranya pendapat
tentang moralitas otoritas, jika perlu bisa disesuaikan agar cocok dengan
berbagai skema yang berbeda ini. Dalam setiap kesempatan adalah
kekhasan keadaan anak bahwa ia bukan berada dalam posisi untuk menilai
keabsahan ajaran-ajaran dan perintah yang ditujukan padanya oleh mereka
yang dalam kekuasaan, dalam kasus ini adalah orang tuanya. Ia tidak
mempunyai pengetahuan dan juga pemahaman, yang menjadi dasar
baginya untuk menentang bimbingan orang tuanya. Bahkan, anak-anak
tidak mempunyai konsep dasar kebenaran sama sekali, dan ini baru akan
diperolehnya belakangan. Karenanya, ia tidak bisa mempunyai alasan
untuk meragukan kepatutan perintah-perintah orang tuanya.…”128
Hal ini sejalan dengan pendapat Maidin Gultom, bahwa “Memelihara
kelangsungan hidup anak adalah tanggung jawab orang tua, yang tidak boleh
diabaikan”.129
Lebih lanjut lagi, John Rawls mengemukakan bahwa “Moralitas otoritas
anak itu bersifat primitif karena sebagian besarnya terdiri dari sekumpulan ajaran-
ajaran, dan ia tidak bisa memahami skema kebenaran dan keadilan yang lebih
besar, yang di dalamnya aturan-aturan yang ditujukan padanya bisa
dibenarkan”.130
Sementara itu, menurut Hadi Supeno, pengertian keadilan bagi anak yang
berkonflik dengan hukum adalah dipastikannya semua anak untuk memperoleh
layanan dan perlindungan secara optimal dari sistem peradilan dan proses
128Ibid. 129
Maidin Gultom, Op.cit., hlm. 1 130
John Rawls, Op.cit., hlm. 607.
75
hukum.131
Targetnya adalah norma-norma, prinsip, dan standar hak-hak anak
secara penuh diaplikasikan untuk semua anak tanpa kecuali, baik anak yang
berhadapan dengan hukum maupun anak yang berkonflik dengan hukum.132
Satu kenyataan bahwa hambatan akses terhadap keadilan bagi anak justru sering
datang dari masyarakat itu sendiri, yang menyebabkan perilaku birokrasi dan
aparat penegak hukum memperoleh legitimasi dalam memperlakukan anak-anak
yang berkonflik dengan hukum.133
Menurut Made Sadhi Astuti, hak-hak anak sebaiknya dipahami sebagai suatu
perwujudan adanya keadilan. Keadilan adalah suatu kondisi dimana setiap anak
dapat melaksanakan hak dan kewajibannya secara seimbang, serta dapat
mengembangkan mereka seutuhnya agar dapat berbudi luhur.134
Hak-hak anak
berhubungan erat dengan kewajibannya, tanggungjawabnya, ini bergantung pada
situasi, kondisi mental, fisik, dan sosialnya. Oleh karena itu, tuntutan-tuntutan
terhadapnya harus dipertautkan dengan kemampuannya pada usia tertentu.
Melaksanakan kewajiban tertentu adalah juga hak seorang anak pada hakekatnya,
seperti belajar, membantu orang tua dan membela negara. Oleh karena itu,
pemahaman mengenai hak dan kewajiban seorang anak harus dikembangkan
sedini mungkin.135
Berdasarkan prinsip dasar perlindungan anak serta elaborasi
dari beberapa ketentuan internasional, prinsip keadilan bagi anak menurut Hadi
Supeno dapat dibagi dalam 13 (tiga belas) :
131
Hadi Supeno, Op.cit., hlm. 89.
132Ibid. 133Ibid. 134
Made Sadhi Astuti I, Op.cit., hlm. 22. 135Ibid., hlm. 23
76
(1) pelaku kenakalan anak adalah korban; (2) setiap anak berhak agar
kepentingan terbaiknya dijadikan sebagai pertimbangan utama; (3) tidak
mengganggu tumbuh kembang anak; (4) setiap anak berhak untuk
diperlakukan adil dan setara, bebas dari segala bentuk diskriminasi; (5)
setiap anak berhak mengekspresikan pandangan mereka dan didengar
pendapatnya; (6) setiap anak berhak dilindungi dari perlakuan salah,
kekerasan, dan eksploitasi; (7) setiap anak berhak diperlakukan dengan
kasih sayang dan penghargaan akan harkat dan martabat sebagai manusia
yang sedang tumbuh kembang; (8) Setiap anak berhak atas jaminan
kepastian hukum; (9) program pencegahan kenakalan remaja dan
pencegahan terhadap perlakuan salah, kekerasan, dan eksploitasi secara
umum harus menjadi bagian utama dari sistem peradilan anak; (10)
perenggutan kebebasan dalam bentuk apapun harus selalu digunakan
hanya sebagai upaya terakhir dan apabila terpaksa dilakukan hanya untuk
jangka waktu yang paling singkat; (11) perhatian khusus harus diberikan
kepada kelompok paling rentan dari anak, seperti anak korban konflik
bersenjata, anak di daerah konflik sosial, anak di daerah bencana, anak
tanpa pengasuh utama, anak dari kelompok minoritas, anak yang cacat,
anak yang terimbas migrasi, dan anak yang terinfeksi HIV/AIDS; (12)
pendekatan peka gender harus diambil di setiap langkah. Stigmasi dan
kerentanan khas yang dialami anak perempuan dalam sistem peradilan
harus diakui sebagai sebuah problem nyata yang banyak berkaitan
dengan status dan peran gendernya sebagai anak perempuan; (13)
mengembangkan perspektif futuristis dengan meniadakan penjara
anak.136
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka teori keadilan “justice as
fairness” yang dikemukakan oleh John Rawls dapat digunakan untuk
menganalisis permasalahan kedua disertasi ini, yaitu bagaimana kebijakan
formulasi pengaturan ketentuan pelaksanaan diversi yang mencerminkan prinsip
perlindungan dan kesejahteraan bagi anak yang berkonflik dengan hukum di masa
yang akan datang. Bahwa keadilan dianggap memadai apabila dibentuk dengan
136Hadi Supeno, Op.cit., hlm. 90-91. Tiga belas prinsip ini dikembangkan oleh
Hadi Supeno dari hasil kajian Pokja Akses Terhadap Keadilan Bappenas serta diskusinya
dengan para anggota Pokja Juvenile Justice Reform in Indonesia sebanyak sepuluh item
dan pendapat Hadi Supeno tiga item, yaitu pelaku adalah korban, kepentingan terbaik
bagi anak, dan pendekatan futuristis tidak ada penjara bagi anak. Prinsip yang terakhir
masih belum memperoleh kesepahaman dengan teman-teman diskusi di Pokja tersebut,
tetapi di lingkungan KPAI relatif sudah satu persepsi bahwa ke depan memang tidak ada
pemenjaraan anak.
77
pendekatan kontrak, dimana prinsip-prinsip keadilan yang dipilih sebagai
pegangan bersama merupakan hasil kesepakatan bersama dari semua pihak yang
bebas, rasional dan sederajat, yang disebut Rawls sebagai Justice as Fairness.
Prinsip utama yang digunakan untuk menciptakan keadilan adalah kebebasan
yang sama sebesar-besarnya, asalkan tetap menguntungkan semua pihak dan
prinsip ketidaksamaan yang digunakan untuk keuntungan pihak yang lemah.
2.1.4. Teori Labeling (Labeling Theory)
Teori labeling sudah cukup lama dikenal, yang lebih suka menggunakan
istilah deviance daripada istilah criminality. Dibandingkan dengan teori lainnya,
teori labeling mempunyai beberapa spesifikasi, yaitu:
1. Teori labeling merupakan cabang dari teori terdahulu, namun teori ini
menggunakan perspektif baru dalam kajian terhadap kejahatan dan
penjahat;
2. Teori labeling menggunakan metode baru untuk mengetahui adanya
kejahatan dengan menggunakan self report study, yaitu interview
terhadap pelaku kejahatan yang tidak tertangkap atau tidak diketahui
polisi.137
Kajian terhadap teori labeling menekankan pada dua aspek, yaitu:
1. Menjelaskan tentang mengapa dan bagaimana orang-orang tertentu
diberi cap atau label;
2. Pengaruh atau efek dari label sebagai suatu konsekuensi penyimpangan
tingkah laku.138
137
S. Maronie, “Teori Labeling (Kriminologi)”,
http://www.zriefmaronie.blogspot.com/2012/05/teori-labeling-kriminologi.html, diakses
tanggal 17 Mei 2012. 138
Lilik Mulyadi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Kriminologi dan Viktimologi,
(Jakarta: Djambatan, 2004), hlm. 102.
78
Lemert dan Becker menulis, bahwa perlu dipilih permasalahan bagaimana
menjelaskan mengapa seseorang mendapatkan label demikian dan akibat dari
label itu terhadap perilaku berikutnya dari devian.139
Menurut Lemert, teori labeling membedakan devian primer dan devian sekunder.
Devian primer adalah merupakan suatu perbuatan yang melawan hukum.
Sedangkan devian sekunder adalah suatu proses dimana orang lain bereaksi
terhadap akibat atau implikasi dari devian primer.140
Lebih lanjut, Lemert mengemukakan:
...account for the emergence of delinquency is to be taken literally, most
delinquents who have been processed through the juvenile system of
correction either detention, court appearance, or institutionalization
should reach the stage of secondary deviance. The latter is characterized
by the juvenile‟s realization that there is no use in changing his behavior
patterns since others have already determined that he is „no good‟. Thus,
he may as well continue with his already-defined negative behavior.141
Menurut Lemert bahwa perhitungan untuk delinkuensi yang timbul
ditangani secara harfiah, karena sebagian besar kenakalan yang diproses melalui
sistem peradilan berupa penahanan, adanya sidang atau diinstitusionalkan, sampai
pada tahap devian sekunder. Yang disebut terakhir dicirikan oleh realisasi anak
bahwa tidak ada gunanya mengubah pola tingkah lakunya sejak ia ditentukan
sebagai orang yang tidak baik. Jadi ini secara berlanjut dinyatakan sebagai
bertingkah laku negatif.142
139
Edwin M. Schur, Radical Non-Intervention Rethinking The Delinquency
Problem, Englewood Cliffts, (New Jersey: Prentice-Hall, 1973), Inc., p. 25.
140Ibid., p. 25-26.
141Paul C. Friday and V. Lorne Stewart (Eds), Youth Crime and Juvenile Justice,
(Published in Corporation with the American Society of Criminology, 1977), p. 40.
142Made Sadhi Astuti, Pemidanaan Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak
Pidana, (Malang : IKIP Malang, 1997), hlm.74. (disebut Made Sadhi Astuti II).
79
Tahap devian sekunder terjadi hanya setelah berhubungan dengan secara resmi
dengan petugas hukum. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Gofman, bahwa
“A Secondary deviance stage occurs, then, only after official contact with a legal
agency has taken place, after which a delinquent role is supposed to be assumed
on a full-time basis”.143
Menurut Made Sadhi Astuti, untuk menekan terjadinya tahap devian
sekunder, maka dalam menangani kenakalan anak sebaiknya dengan cara
kekeluargaan. Penanganan kenakalan anak secara resmi dengan petugas hukum
merupakan hal yang sangat tidak bijaksana. Hal ini sebaiknya dilakukan setelah
tidak ada cara lain yang lebih bijaksana. Jadi penanganan langsung oleh petugas
hukum terhadap kenakalan anak merupakan pilihan terakhir.144
Satu langkah penting dalam proses pembentukan pada tingkah laku devian adalah
pengalaman disebut dan diimplikasikan sebagai seorang yang berperilaku
menyimpang karena mempunyai akibat penting secara sosial bagi yang
bersangkutan.
Hal ini sebagaimana dikemukakan Becker, bahwa:
“One of the most crucial steps in the process of building a stable pattern of
deviant behavior is likely to be experience of being caught and publicity labelled
as a deviant has important consequences for one‟s further social paticipation and
self-image.”145
143
Paul C. Friday and V. Lorne Stewart (Eds), Op.cit., p. 40.
144Made Sadhi Astuti II, Op.cit., hlm. 75.
145Steven Box, Deviance, Reality and Society, (New York, Sidney, Toronto: Holt,
Rinehart and Winston Ltd, 1981), p. 211-212.
80
Sedangkan menurut Matza:
Gross exclution withers the possibility of ancillary identities...and... as the
competition ancillary status is reduced, the deviant identity may come to
be controlling for the subject too... the subject need hardly collaborate for
the appropriate lesson to be drawn. All that reallly matters is that
occasions and circles which sustain competing identities be inaccessible to
him... If he suffers the misfortune of being grossly excluded from all
occasions promising the temptation of theft, his provisional identity as
thief recieves considerable affirmation.146
Matza menggambarkan tentang dinamika sosial secara psikologis, dengan sosial
identitas yang utama dan dengan implikasi dihancurkan.147
Menurut Made Sadhi Astuti bahwa “Sejak perilaku seseorang diberi cap atau
nama tertentu yaitu cap jahat atau devian oleh masyarakat, maka sejak itu identitas
sosial utama orang tersebut melekat padanya. Identitas sosial yang telah melekat
pada orang tersebut akan menghancurkan masa depan dan semua karier selama
hidup yang dijalaninya”.148
Sejalan dengan Made Sadhi Astuti, Syaifudin mengemukakan bahwa
perilaku seseorang yang dipengaruhi oleh stigma dalam prosesnya akan
berdampak sebagai berikut:
1. Stigma menjadi perhatian orang terhadap diri yang dikenakan stigma,
akibatnya stigma tersebut melekat padanya;
2. Stigma membawa pengaruh terhadap diri yang diberi stigma sehingga ia
berperilaku seperti yang distigmakan itu, hal inilah yang menjadikan ia
dikenal sebagai “karir kriminal”, dan penjahat “profesional”.149
Reaksi masyarakat terhadap suatu perilaku seseorang dapat menimbulkan
perilaku jahat pada orang tersebut.
146
Ibid., p. 25.
147Made Sadhi Astuti II, Op,cit., hlm. 76.
148Ibid.
149
Syaifudin, Materi Dasar Studi Tentang Kejahatan, (Banjarmasin: Lambung
Mangkurat University Press, 1995), hlm. 97.
81
Dengan demikian, memberikan label kriminal kepada seorang anak pada
akhirnya dapat menyesatkan anak sehingga anak tersebut mulai memperlakukan
dirinya sendiri seperti label yang telah diberikan itu.
Selanjutnya, terkait dengan masalah kejahatan yang dilakukan, Edwin M.
Lemert, membedakan tiga bentuk penyimpangan, yaitu:
1. Individual deviation, dimana timbulnya penyimpangan diakibatkan oleh
tekanan psikis dari dalam;
2. Situational deviation, sebagai hasil stress atau tekanan dari keadaan; dan
3. Systematic deviation, sebagai pola-pola perilaku kejahatan terorganisir
dalam sub-sub kultur atau sistem tingkah laku.150
Terdapat banyak cara dimana pemberian label itu dapat menentukan batas
bersama dengan perilaku kriminal telah dijadikan teori, misalnya pemberian label
memberikan pengaruhnya melalui perkembangan imajinasi sendiri yang
negatif.151
Teori label berangkat dari anggapan bahwa penyimpangan (deviance) merupakan
pengertian yang relatif. Penyimpangan timbul karena adanya reaksi dari pihak lain
yang berupa pelabelan pelaku penyimpangan dan penyimpangan perilaku tertentu.
Oleh karena itu apabila dibandingkan dengan teori tentang kejahatan pada
umumnya, teori label menggeser fokus perhatian studinya dari perilaku
penyimpangan (deviance) dan perilakunya menuju perilaku dari mereka-mereka
yang memberikan label dan memberikan reaksi pada pihak lain sebagai pelaku
penyimpangan. Reaksi sosial (societal reactions) menjadi obyek analisis, asal
150
Edwin M. Lemert, Human Deviance, Social Problems, and Social Control
(Englewood Cliffs, N.J.: Prentice-Hall, 1967), p. 17. 151
Soedjono Dirdjosisworo, Sinopsis Kriminologi Indonesia, (Bandung: Mandar
Maju, 1994), hlm. 125-126.
82
mula dan dampak reaksi sosial dilihat sebagai permasalahan pokok yang harus
dikaji teori sosiologi tentang kejahatan.152
Berkaitan dengan stigma, pada tahun 1989, John Braithwaite, sebagaimana
dikutip oleh Nurini Aprilianda, mengenalkan teori tentang Crime, Shame and
Reintegration. Braithwaite menggambarkan shaming sebagai suatu proses
mengekspresikan ketidaksetujuan yang memiliki maksud atau dampak
menggunakan kesedihan dalam diri orang yang direndahkan/dipermalukan dan
atau tuduhan oleh orang lain yang tahu tentang penghinaan tersebut.153
Braithwaite membagi shaming dalam dua jenis, yaitu stigmatisasi (ketika
merendahkan membawa perasaan penyimpang dalam diri orang yang
dipermalukan) dan reintegrasi (ketika orang yang melakukan penghinaan
menjamin bahwa mereka menjaga ikatan dengan orang yang dipermalukan).154
Braithwaite mengemukakan sebagai berikut :
If the labeling perspective is to be the stimulus to testable propositions
with any hope of consistent empirical support, then a strategy is required
for predictiing the circumstances where labeling will be counterproductive
and where it will actually reduce crime. This is the challenge that the
theory reintegrative shaming) sets out to meet, reintegrative shaming is
conceived as labeling that reduces crime, stigmatization as criminogenic
labeling... While tolerance of diversity is important for avoiding the
exesses of counterproductive cracking down on petty deviance, intolerance
of diversity is also critical for crime control. Societies imbued with the
ideology of labeling theory will be excessively aphathetic about nontrivial
crime; to be effective againts crime, societies need to be interventionist in
a communitarian sense, to be intolerant of crime in a way that is both
spiteful and forgiving. One of the great contribution of labeling theory, ...
is in showing how stigmatization fosters subculture formation.155
(Terjemahan bebas: Jika perspektif labeling menjadi stimulus untuk dasar
152
Paulus Hadisuprapto III, Op.cit., hlm. 82.
153
Nurini Aprilianda, Op.cit., hlm. 62.
154Ibid.
155
John Braithwaite, Shame, Crime and Reintegration, (Cambridge: Cambridge
University Press, 1989), p. 18-26.
83
pengujian dengan harapan dan dukungan pengalaman yang konsisten,
maka strategi diperlukan untuk memprediksi keadaan dimana label
akan...dan dimana itu akan benar-benar mengurangi kejahatan. Ini adalah
tantangan bahwa teori mempermalukan menetapkan suatu penemuan,
mempermalukan dipahami sebagai label untuk mengurangi kejahatan,
stigmatisasi sebagai bentuk label kejahatan... sedangkan toleransi atas
keanekaragaman penting untuk menghindari ekses dari kontraproduktif
menindak penyimpangan kecil, intoleransi keanekaragaman juga penting
sebagai sarana mengontrol kejahatan. Masyarakat yang dijiwai dengan
ideologi teori pelabelan akan berlebihan dalam memandang mengenai
kejahatan untuk menjadi efektif terhadap resiko kejahatan, masyarakat
harus intervensi dalam arti komunitarian, menjadi toleran terhadap
kejahatan dengan cara yang baik, pemaaf, dan tidak dendam. Salah satu
kontribusi yang besar dari teori pelabelan, ...adalah dalam menunjukkan
bagaimana stigmatisasi mendorong pembentukan subkultur).
Reintegrative shaming muncul ketika pelaku malu saat ia mengetahui
bahwa apa yang mereka lakukan adalah salah tetapi mereka tetap diperbolehkan
masuk kembali dalam kelompoknya. Argumen inti teori Braithwaite adalah
reintegrative shaming mengarah pada tingkat kejahatan yang lebih rendah,
sebaliknya stigmatisasi merendahkan mengarah pada tingkat kejahatan yang lebih
tinggi, seperti dikemukakan Braithwait berikut ini:
The privotal theory in Crime, Shame and Reintegration is reintegrative
shaming. According to the theory, societies have lower crime rates if they
communicate shame about crime effectively.156
(Terjemahan bebas:
Perhatian utama dari shaming theory adalah Reintegrative shaming.
Menurut teori tersebut, masyarakat akan mempunyai angka rata-rata
kejahatan yang rendah bila mereka menerapkan shaming secara efektif
dalam menangani kejahatan).
Selanjutnya, berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh
Martina Rini S. Tasmin, dalam teori labeling ada satu pemikiran dasar, dimana
pemikiran tersebut menyatakan “Seseorang yang diberi label sebagai seseorang
156
John Braithwaite (II), Shame and Criminal Justice, Hein Online-42 Canadian
J. Criminology July 2000, diakses di Wolongong 5 November 2009, p. 21, dalam Nurini
Aprilianda, Op.cit., hlm. 62.
84
yang devian dan diperlakukan seperti orang yang devian maka akan menjadi
devian”.157
Selanjutnya Howard S. Becker, mengemukakan bahwa:
Social groups create deviance by making rules whose infractions
constitute deviance, and by applying those rules to particular people and
labeling them as outsiders. From this point of view, deviance is not a
quality of the act a person commits, but rather a consequence of the
application by others of rules and sanctions to an „offender‟. The deviant
is one to whom the label has successfully been applied; deviant behavior is
behavior that people so label.158
(Terjemahan bebas: Kelompok
masyarakat dalam mengatasi pelanggaran adalah dengan membuat aturan
tentang pelanggaran dan penyimpangan, dan dengan menerapkan aturan-
aturan itu terhadap orang-orang tertentu mengeluarkan mereka dari label.
Dari sudut pandang ini, penyimpangan bukan dilihat dari kualitas aturan
dan sanksi yang dikenakan terhadap seorang 'pelanggar’. Penyimpang
merupakan salah satu kepada siapa label telah berhasil diterapkan, perilaku
menyimpang adalah perilaku orang yang sama seperti labelnya).
Lebih lanjut, Qotrin Nida Az mengemukakan banyak ahli yang setuju,
bahwa:
Bagaimana seseorang memandang dan merasakan dirinya sendiri akan
menjadi dasar orang tersebut beradaptasi sepanjang hidupnya. Anak yang
memandang dirinya baik akan mendekati orang lain dengan rasa percaya
dan memandang dunia sebagai tempat yang aman, dan kebutuhan-
kebutuhannya akan terpenuhi. Sementara anak yang merasa dirinya tidak
berharga, tidak dicintai akan cenderung memilih jalan yang mudah, tidak
berani mengambil resiko dan tetap saja tidak berprestasi. Anak yang diberi
label negatif dan mengiyakan label tersebut bagi dirinya, cenderung
bertindak sesuai dengan label yang melekat pada dirinya. Dengan dia
bertindak sesuai labelnya, orang akan memperlakukan dia juga sesuai
labelnya. Hal ini menjadi siklus melingkar yang berulang-ulang dan
semakin saling menguatkan terus menerus.159
Bagi para remaja, pengalaman mendapatkan label memicu pemikiran
bahwa dirinya ditolak dan kemudian dibarengi oleh sikap penolakan yang
157
Qotrin Nida Az, Teori Labeling PI, Qotrinnidaaz.blogspot.com/2010/03/teori-
labelling-pi.html, diakses tanggal 24 Maret 2010.
158
Howard S. Becker, Outsiders; Studies in the Sociology of Deviance, (New
York: Free Press, 1963), p. 9. 159
Qotrin Nida Az, Loc.cit.
85
sesungguhnya dapat menghancurkan kemampuan berinteraksi, mengurangi rasa
harga diri, dan berpengaruh negatif terhadap kinerja seseorang dalam kehidupan
sosial dan kehidupan kerjanya.160
Oleh sebab itu, sangat penting untuk merasa
bahwa dirinya berharga dan dicintai. Perasaan ini ditemukan olehnya lewat respon
orang-orang di sekitarnya. Kalau respon orang di sekitarnya positif tentunya tidak
perlu dicemaskan akibatnya. Tetapi, apabila orang di sekitar anak tersebut tidak
dapat menahan diri sehingga menunjukkan respon negatif seputar anak tersebut,
maka tanpa disadari hal-hal yang dikatakan, sikap dan responnya, masuk dalam
hati dan pikiran seorang anak dan berpengaruh dalam kehidupannya, terutama
dalam pembentukan identitas anak tersebut.161
Pelabelan terhadap seseorang terjadi pada saat ketika melakukan aksi,
siapa yang melakukan dan siapa korbannya serta persepsi masyarakat terhadap
konsekuensi aksinya. Apabila dijabarkan, secara gradual asumsi dasar teori
labeling meliputi aspek-aspek:
1. Tidak ada satupun perbuatan yang pada dasarnya bersifat kriminal;
2. Perumusan kejahatan dilakukan oleh kelompok yang bersifat dominan
atau kelompok berkuasa;
3. Penerapan aturan tentang kejahatan dilakukan untuk kepentingan pihak
yang berkuasa;
4. Orang tidak menjadi penjahat karena melanggar hukum tetapi karena
ditetapkan demikian oleh penguasa;
5. Pada dasarnya semua orang pernah melakukan kejahatan sehingga tidak
patut jika dibuat secara kategori, yaitu jahat dan orang tidak jahat.162
Menurut aliran ini, kejahatan terbentuk karena aturan-aturan lingkungan,
sifat individualistik, serta reaksi masyarakat terhadap kejahatan. Karena adanya
160Ibid. 161Ibid. 162
S. Maronie, Loc.cit.
86
reaksi masyarakat terhadap suatu perilaku, maka dapat menimbulkan suatu
perilaku yang jahat. Pemberian sifat label merupakan penyebab seseorang menjadi
jahat. Ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam proses pemberian label:
1. Adanya label akan menimbulkan perhatian masyarakat terhadap orang
yang diberi label. Hal ini akan menyebabkan masyarakat di sekitarnya
memperhatikan terus menerus orang yang diberi label tersebut, maka
hal ini menurut kami akan terbentuk attachment partial;
2. Adanya label, mungkin akan diterima oleh individu tersebut dan
berusaha menjalankan sebagaimana label yang diletakkan pada dirinya.
Khusus teori labeling dalam pendekatannya untuk mengetahui faktor-
faktor penyebab terjadinya kejahatan dapat dibedakan dalam dua
bagian, pertama persoalan tentang bagaimana dan mengapa seseorang
memperoleh cap atau label, dan kedua efek labeling terhadap
penyimpangan tingkah laku berikutnya.163
Menurut Lundman, penerapan diversi pada anak didasarkan dan banyak
dipengaruhi oleh labeling theory.164
Perkara Anak yang diselesaikan di luar jalur
peradilan formal akan menghindarkan anak dari cap atau labeling dari masyarakat.
Menurut Labeling Theory, kenakalan anak dapat muncul karena adanya stigma
“nakal” dari orang tua, tetangga, teman sepergaulan, saudara, guru, atau
masyarakatnya bahkan putusan pengadilan. Berkaitan dengan hal ini, ada tiga
proposisi teori labeling yang dapat dikaitkan dengan penerapan sistem peradilan
anak, yaitu:
a. Seseorang menjadi penjahat bukan karena melanggar peraturan
perundang-undangan, melainkan karena ia ditetapkan demikian oleh
penguasa;
b. Tindakan penangkapan merupakan langkah awal dari proses labeling;
c. Labeling merupakan suatu proses yang melakukan identifikasi dengan
citra sebagai devian dan subkultur serta menghasilkan rejection of the
rejector.165
163Ibid.
164
Richard J. Lundman, Op.cit., hlm. 90. 165
Romli Atmasasmita, Op.cit., hlm. 50.
87
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pemberian status tahanan anak,
tersangka anak, terdakwa anak, anak pidana, atau anak negara melalui sistem
peradilan anak dapat menjadi label bagi anak. Label tersebut dapat mengakibatkan
kenakalan anak berlanjut pada masa yang akan datang.166
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka teori labeling dari Lemert dan
teori reintegrative shaming, dapat digunakan sebagai pisau analisis untuk
menyelesaikan permasalahan yang kedua dalam disertasi ini, yaitu bagaimana
kebijakan formulasi pengaturan ketentuan pelaksanaan diversi yang
mencerminkan prinsip perlindungan dan kesejahteraan bagi anak yang berkonflik
dengan hukum di masa yang akan datang. Menurut Lemert, perhitungan untuk
delinkuensi yang timbul ditangani secara harfiah, karena sebagian besar kenakalan
yang diproses melalui sistem peradilan berupa penahanan, adanya sidang atau
diinstitusionalkan, sampai pada tahap devian sekunder. Pada tahap devian
sekunder ini, maka terhadap anak tidak ada gunanya mengubah pola tingkah
lakunya sejak ia ditentukan sebagai orang yang tidak baik dan secara berlanjut
dinyatakan sebagai bertingkah laku negatif. Sementara itu menurut Braithwaite,
pelaku merasa malu saat ia mengetahui bahwa apa yang dilakukan adalah salah
tetapi pelaku masih tetap diperbolehkan masuk kembali dalam kelompoknya.
Harapan dari Reintegrative shaming adalah pelaku akan bertanggungjawab atas
perbuatan yang dilakukan dan tidak akan mengulangi kejahatan lagi.
166
Riza Alifianto Kurniawan, Asas Ultimum Remedium Dalam Pemidanaan Anak
Nakal, http:www.journal.lib.unair.ac.id/index.php/YRD/article/download.
88
2.1.5. Teori Kebijakan Formulasi
Kebijakan legislatif merupakan kebijakan (policy) dalam menetapkan dan
merumuskan sesuatu di dalam peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu,
sering juga kebijakan legislatif disebut dengan istilah “kebijakan formulatif”.167
Kebijakan formulasi merupakan tahap paling strategis dari keseluruhan proses
operasionalisasi/fungsionalisasi dan konkretisasi hukum pidana. Formulasi
kebijakan sebagai bagian dalam proses kebijakan publik merupakan tahap yang
paling krusial karena implementasi dan evaluasi kebijakan hanya dapat
dilaksanakan apabila tahap formulasi kebijakan telah selesai, disamping itu
kegagalan suatu kebijakan atau program dalam mencapai tujuan-tujuannya
sebagian besar bersumber pada ketidaksempurnaan pengolahan tahap
formulasi.168
Tjokroamidjojo, mengemukakan bahwa “Policy formulation sama dengan
pembentukan kebijakan merupakan serangkaian tindakan pemilihan berbagai
alternatif yang dilakukan secara terus menerus dan tidak pernah selesai, dalam hal
ini di dalamnya termasuk pembuatan keputusan”.169
Lebih jauh tentang proses
pembuatan kebijakan negara (public), Udoji merumuskan bahwa pembuatan
kebijakan negara sebagai:
“The whole process of articulating and defining problems, formulating
possible solutions into political demands into the political systems, seeking
167
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan
Penyusunan Konsep KUHP Baru, (Semarang: Prenada Media Group, 2011), hlm. 213. 168
Wibowo (1994), “Tentang Kebijakan Public, Catatan Kuliah Tentang Segala
Yang Berkaitan Dengan Teori Kebijakan Public: Formulasi Kebijakan publik”,
http://kebijakan publik12.blogspot.com/2012/06, diakses tanggal 1 Juni 2012. 169
Tjokroamidjojo (Islamy, 1991), hlm. 24, Loc.cit.
89
sanctions or legitimation of the preferred course of action, legitimation
and implementation, monitoring and review (feedback).170
(Terjemahan bebas: Seluruh proses mengartikulasikan dan mendefinisikan
masalah, merumuskan solusi yang mungkin menjadi tuntutan politik ke
dalam sistem politik, mencari sanksi atau legitimasi dari program pilihan
tindakan, legitimasi dan implementasi, monitoring dan review (umpan
balik)).
Tahap-tahap tersebut mencerminkan aktifitas yang terus berlangsung yang terjadi
sepanjang waktu. Setiap tahap berhubungan dengan tahap berikutnya, dan tahap
terakhir (penilaian kebijakan) dikaitkan dengan tahap pertama (penyusunan
agenda) atau tahap di tengah dalam aktifitas yang tidak linear.
Pemerintah sebagai penyelenggara kehidupan bernegara memberikan
perlindungan dan kesejahteraan kepada masyarakat. Untuk itu, pemerintah
melakukan berbagai upaya kebijakan yang dituangkan dalam program
pembangunan nasional. Kebijakan pemerintah untuk melaksanakan pembangunan
nasional terangkum dalam kebijakan sosial (social policy). Kebijakan sosial
memuat kebijakan politik, ekonomi, hukum, pertahanan keamanan, pengolahan
sumber daya alam, kesehatan, lingkungan kehidupan, dan sebagainya. Kebijakan-
kebijakan tersebut berpengaruh pada peningkatan kualitas kehidupan
masyarakat.171
Kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy) merupakan bagian
dari kebijakan sosial (social policy) termasuk di dalamnya kebijakan legislatif
(legislative policy). Kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) adalah
bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy). Pelaksanaan
kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy) terhadap penanggulangan
170
Udoji, Loc.cit 171
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.cit., hlm. 150.
90
kejahatan melibatkan semua komponen yang termuat dalam suatu sistem hukum
(legal system). Dalam upaya penanggulangan kejahatan, maka pertama-tama perlu
ada pola dan strategi yang dapat dijadikan acuan. Dalam kaitan ini maka perlu
dilakukan dengan pendekatan kebijakan, dalam arti ada keterpaduan antara politik
criminal dan politik social serta keterpaduan antara upaya penanggulangan secara
penal, yaitu dengan cara menggunakan hukum (pidana) maupun pendekatan non
penal (cara lain selain menggunakan hukum pidana, yaitu yang lebih bersifat
kuratif dan preventif).172
Peter Hoefnagels mengemukakan bahwa:
Criminal policy as a science of policy is part of a larger policy: the law
enforcement policy. This makes it understandable that administrative and
civil law occupy the same place in the diagram as non-criminal legal
crime prevention.173
(Terjemahan bebas: Kebijakan kriminal sebagai ilmu
kebijakan adalah bagian dari kebijakan yang lebih besar, yaitu: kebijakan
penegakan hukum. Hal ini menjadi dimengerti bahwa hukum administrasi
dan perdata menempati tempat yang sama dalam diagram sebagai
pencegahan kejahatan hukum non-kriminal).
Lebih lanjut, Peter Hoefnagels mengemukakan:
The main division of the diagram is therefore into: science and
application. This follows from the social, serving nature of criminology.
Criminal policy is also manifest as science and as application. The
legislative and enforcement policy is in turn part of social policy. The
sama distinction is found in criminal statistic: application creates the
material for the statistics which the science of statistics subsequently
analyzes.174
(Terjemahan bebas: Oleh karena itu, divisi utama diagram
adalah menjadi ilmu pengetahuan dan aplikasi. Ini mengikuti masyarakat,
yang secara alami melayani kriminologi. Kebijakan kriminal juga
bermanifestasi sebagai ilmu pengetahuan dan sebagai aplikasi. Kebijakan
172
Usman, Penanggulangan Kejahatan dalam Perspektif Kebijakan Hukum
Pidana, (Universitas Jambi: Fakultas Hukum), http://www.infodiknas.com/106
penanggulangan-kejahatan-dalam-perspektif-kebijakan-hukum-pidana, diakses tanggal 9
Oktober 2011.
173G. Peter Hoefnagels, The Other Side of Criminology An Inversion of the
Concept of Crime, (Holland: Kluwer-Deventer, 1972), p. 57.
174Ibid.
91
legislatif dan penegakan hukum pada gilirannya merupakan bagian dari
kebijakan sosial. Perbedaan yang sama ditemukan dalam statistik kriminal,
bahwa aplikasi menciptakan bahan untuk statistik yang kemudian menjadi
analisis ilmu statistik).
Oleh sebab itu, diperlukan keterlibatan masyarakat dalam kebijakan
penanggulangan kejahatan (criminal policy) karena kebijakan penanggulangan
merupakan usaha yang rasional dari masyarakat sebagai reaksi terhadap
kejahatan. Sementara itu, menurut Mannheim, mengemukakan bahwa:
Criminal policy is a policy of designiting human behavior as crime. Some
sociologists have objections to a concept of crime derived from law,
because they consider certain classifications to be incorrect and because
they deem certain criminal laws unjust”.175
(Terjemahan bebas: Kebijakan
kriminal adalah kebijakan yang menunjukkan perilaku manusia sebagai
kejahatan. Beberapa sosiolog memiliki keberatan terhadap konsep
kejahatan yang berasal dari hukum, karena mereka menganggap klasifikasi
tertentu menjadi tidak benar dan karena mereka anggap hukum pidana
tertentu yang tidak adil).
Lebih lanjut, Peter Hoefnagels mengemukakan bahwa kebijakan kriminal
(criminal policy) dapat ditempuh dengan tiga cara, yaitu:
1. Influencing views of society on crime, and punishment, yaitu
mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan
pemidanaan lewat media massa;
2. Criminal law application (practical criminology), yaitu penerapan
hukum pidana;
3. Prevention without punishment, yaitu pencegahan tanpa hukuman.176
Penggunaan hukum pidana sebagai sarana penanggulangan kejahatan
memang tidak dapat dipandang sebagai satu-satunya sarana yang berdiri sendiri,
sebab hal ini barulah satu sisi saja dalam politik criminal. Pada hakekatnya
kegiatan tersebut bagian dari politik social yang lebih luas. Oleh karena itu jika
175Mannheim, Comparative Criminology, A Textbook”, Vols. I and II, (London:
2nd impression), 1966, dalam G. Pieter Hoefnagels, Op.cit., p. 100. 176Ibid., hlm. 56.
92
ingin menggunakan hukum pidana sebagai salah satu sarana untuk menanggulangi
kejahatan harus diperhatikan kaitannya secara integral antara politik criminal
dengan politik social, dan integralitas antara sarana penal dan non penal.177
Dalam
formulasi kebijakan hukum pidana terdapat dua masalah sentral yang harus
ditentukan, yaitu :
a. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana;
b. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar.178
Kebijakan legislatif merupakan langkah awal di dalam penanggulangan
kejahatan secara fungsional dapat dilihat sebagai bagian dari perencanaan dan
mekanisme penanggulangan kejahatan, yang dituangkan ke dalam perundang-
undangan yang meliputi:
a. perencanaan atau kebijakan tentang perbuatan apa yang dilarang;
b. perencanaan atau kebijakan tentang sanksi apa yang dapat dikenakan
terhadap pelakunya (baik berupa pidana atau tindakan);
c. perencanaan atau kebijakan tentang prosedur atau mekanisme sistem
peradilan pidana dalam rangka penegakan hukum pidana.179
Kebijakan formulasi berkaitan dengan pembaharuan hukum pidana, karena
pada hakekatnya pembaharuan hukum pidana adalah bagian dari kebijakan hukum
pidana yang merupakan bagian dari penegakan hukum pidana, kebijakan kriminal
dan kebijakan sosial dalam rangka untuk melindungi masyarakat dan mencapai
kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan formulasi adalah kebijakan dalam merumuskan sesuatu dalam
suatu bentuk perundang-undangan. Kebijakan formulasi menurut Barda Nawawi
177
Barda Nawawi Arief dan Muladi, dalam Usman, Loc.cit 178
Barda Nawawi Arief, Op.cit., hal. 35. 179
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.cit., hlm. 198
93
Arief adalah “Suatu perencanaan atau program dari pembuat undang-undang
mengenai apa yang akan dilakukan dalam menghadapi problema tertentu dan cara
bagaimana melakukan atau melaksanakan sesuatu yang telah direncanakan atau
diprogramkan itu”.180
Kebijakan formulasi merupakan awal dari perencanaan dalam usaha untuk
menaggulangi kejahatan, maka wajar apabila kebijakan formulasi merupakan
bagian dari kebijakan kriminal yang secara fungsional dapat dilihat sebagai bagian
dan prosedur usaha menanggulangi kejahatan. Secara garis besar, perencanaan
atau kebijakan penanggulangan kejahatan yang dituangkan dalam perundang-
undangan menurut Barda Nawawi Arief meliputi:
a. perencanaan atau kebijakan tentang perbuatan-perbuatan terlarang apa
yang akan ditanggulangi karena dipandang membahayakan atau
merugikan;
b. perencanaan/kebijakan tentang sanksi apa yang dapat dibuat dikenakan
terhadap pelaku perbuatan yang dilarang itu (baik berupa pidana atau
tindakan) dan sistem penerapannya;
c. perencanaan/kebijakan tentang prosedur atau mekanisme sistem peradilan
pidana dalam rangka penegakan hukum pidana.181
Pembaharuan hukum pidana anak merupakan bagian dari kebijakan
formulasi hukum pidana, yang pada hakekatnya mengandung makna suatu upaya
untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana anak yang sesuai
dengan nilai-nilai sentral sosiopolitik, sosiofilosofis, dan sosiokultural masyarakat
Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan
penegakan hukum di Indonesia.182
180Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam..., Op.cit., hlm. 63.
181Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori dan Kebijakan..., Op.cit., hlm. 198.
182
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana;
Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 25.
94
Dalam pembaharuan hukum pidana dilakukan dengan pendekatan sistemik,
yaitu suatu pendekatan yang menyeluruh dan integral. Pendekatan sistemik dalam
pembaharuan hukum pidana anak untuk membentuk atau mewujudkan UU SPP
Anak baru dengan menempatkan UU SPP Anak sebagai pokok atau bahan yang
diperbaharui, dengan melihat kepada instrumen nasional, yaitu Pancasila, UUD
NKRI 1945, dan peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan dengan anak
serta melihat pula ketentuan internasional. Selanjutnya, subyek pembaharuan yang
terlibat adalah lembaga legislatif, supra stuktur adalah pemerintah (partner dalam
mekanisme pembuatan undang-undang), infra struktur yakni aspirasi masyarakat,
aspirasi kepakaran dan aspirasi internasional.183
Berdasar atas uraian di atas, dalam disertasi ini penulis menggunakan teori
kebijakan formulasi G. Pieter Hoefnagels, Barda Nawawi Arief dan Muladi
digunakan sebagai pisau analisis untuk menyelesaikan permasalahan yang kedua,
yaitu bagaimana kebijakan formulasi pengaturan ketentuan pelaksanaan diversi di
luar sistem peradilan pidana anak dalam rangka perlindungan dan kesejahteraan
bagi anak yang berkonflik dengan hukum di masa yang akan datang.
Kebijakan legislatif dan penegakan hukum merupakan bagian dari kebijakan
sosial. Oleh sebab itu, diperlukan keterlibatan masyarakat dalam kebijakan
penanggulangan kejahatan (criminal policy) karena kebijakan penanggulangan
merupakan usaha yang rasional dari masyarakat sebagai reaksi terhadap
kejahatan. Dalam kaitan ini maka perlu dilakukan dengan pendekatan kebijakan,
183
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori dan Kebijakan..., Op.cit., hlm. 115.
95
dalam arti ada keterpaduan antara politik criminal dan politik social, upaya
penanggulangan kejahatan secara penal maupun pendekatan non penal.
Untuk mempermudah pemahaman kerangka teori yang digunakan dalam
penelitian ini, sekaligus untuk mengetahui keterkaitan antara teori-teori dengan
konteks rumusan masalah maka dibuat bagan sebagai berikut :
96
BAGAN 2
KERANGKA TEORITIK
Metode Penelitian Penelitian Hukum Normatif : 1. Pendekatan UU (pendekatan normatif) 2. Studi dokumen 3. Pendekatan perbandingan.
Latar Belakang
Problem Sosiologis : Pelaksanaan diversi di dalam Sistem Peradilan Pidana Anak akan menimbulkan
label sehingga akan mematikan masa depan anak.
Problem Filsafati : Pelaksanaan diversi di dalam Sistem Peradilan Pidana Anak akan merampas hak-
hak anak sehingga kesejahteraan anak tidak tercapai.
Problem Yuridis : Dlm UU SPP Anak diatur pengertian diversi (Ps 1 angka 7) tetapi terdapat ketidaksesuaian pengertian karena diversi juga dilaksanakan di dalam SPP Anak pada tahap penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan (Ps 7 ayat 1).
Rumusan Masalah 1 : Bagaimana
dasar filosofis kebijakan formulasi
pengaturan ketentuan pelaksanaan
diversi di luar SPP Anak di masa yang
akan datang dlm rangka perlindungan
dan kesejahteraan anak ?
Rumusan Masalah 2 : Bagaimana kebijakan
formulasi pengaturan ketentuan pelaksanaan
diversi yang mencerminkan prinsip
perlindungan dan kesejahteraan bagi anak yang
berkonflik dengan hukum di masa yang akan
datang ?
T. Perlind. HAM
(Marzuki
Darusman dan
Muladi)
Applied Theory :
- T. Labeling (Lemert) dan Reintegratif Shaming
(Braithwait); T. Perlindungan Anak (Hadi Supeno), T.
Keadilan justice as fairness, dan T. Kebijakan Formulasi (G.
Pieter Hoefnagels, Barda Nawawi Arif dan Muladi)
Manfaat Penelitian : 1. Manfaat Teoritis 2. Manfaat Praktis
Hasil & Pembahasan :
1. Implikasi pentingnya dasar filosofis kebijakan
formulasi pengaturan ketentuan pelaksanaan diversi
di luar SPP Anak di masa yang akan datang dalam
rangka perlindungan dan kesejahteraan anak.
2. Kebijakan formulasi pengaturan ketentuan
pelaksanaan diversi yang mencerminkan prinsip
perlindungan dan kesejahteraan bagi anak yg
berkonflik dengan hukum di masa yang akan datang.
PENUTUP : 1. Kesimpulan 2. Rekomendasi
97
2.2. Kerangka Konseptual
2.2.1. Konsep Kebijakan Formulasi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan kebijakan
adalah rangkaian konsep pokok dan asas yang menjadi garis besar dalam
pelaksanaan suatu pekerjaan.184
Selanjutnya, formulasi adalah rumusan dalam
bentuk yang tetap.185
Kebijakan formulasi pidana merupakan unsur dari kebijakan
pidana selain kebijakan yudikatif/kebijakan yudisial dan kebijakan
eksekutif/administrasi.
Tujuan dari perumusan suatu sanksi pidana tidak dapat dilepaskan dari
tujuan kebijakan pidana dalam arti keseluruhannya, yaitu perlindungan
masyarakat untuk mencapai kesejahteraan. Mengenai tahap perumusan sanksi
pidana, Barda Nawawi menyebutnya dengan “tahap penetapan pidana”, harus
merupakan tahap perencanaan yang strategis di bidang pemidanaan. Oleh karena
tahap ini diharapkan dapat memberi arah pada tahap-tahap yaitu tahap penerapan
pidana dan tahap pelaksanaan pidana. Ketiga tahapan tersebut merupakan jalinan
satu mata rantai yang saling berkaitan dalam satu sistem sedangkan setiap
perencanaan di dalamnya mengandung suatu kebijakan memilih dan menetapkan
berbagai alternatif.186
Oleh karena mengandung suatu kebijakan memilih dan
menetapkan berbagai alternatif, maka didasarkan pada pertimbangan rasional.
Kebijakan formulasi atau kebijakan legislasi atau kebijakan hukum pidana
adalah terminologi yang dipakai secara bergantian, kadang-kadang dipakai
184
Umi Chulsum dan Windy Novia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Surabaya:
KASHIKO, 2006), hlm. 124. 185Ibid., hlm. 229. 186
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan
Penanggulangan Kejahatan, (Jakarta: Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 75.
98
kebijakan hukum pidana (kebijakan legislasi), kadangkala dipakai kebijakan
formulasi, namun pada hakekatnya pengertian antara keduanya adalah sama.
Konsep kebijakan hukum pidana tidaklah lepas dari akar kata yang bertitik
tolak pada pengertian “kebijakan politik”, “politik hukum” dan “hukum pidana”
sehingga dapat dirumuskan definisi secara istilah dalam pemaknaannya.
Sebagaimana dikemukakan Barda Nawawi, bahwa “Pengertian kebijakan hukum
pidana menurut bahasa berpangkal pada istilah kebijakan, yang berarti pula
„policy‟ menurut bahasa Inggris, atau „politiek‟ menurut bahasa Belanda”.
Selanjutnya, istilah kebijakan hukum pidana dapat pula disebut “politik hukum
pidana” dan dalam kepustakaan asing istilah kebijakan hukum pidana sering
dikenal dengan berbagai istilah diantaranya “penal policy”, “criminal law policy”
atau “strafrechtspolitiek”.187
Pengertian politik hukum adalah gabungan dari dua kata, yaitu politik dan
hukum. Pengertian politik memiliki pengertian, yaitu politik sebagai ilmu (science
politics) berarti suatu rangkaian asas, prinsip, cara/alat yang digunakan untuk
mencapai tujuan tertentu; dan politik sebagai seni/art (kebijakan/policy) yang
berarti penggunaan pertimbangan tertentu yang lebih menjamin terlaksananya
kegiatan usaha, cita-cita atau keinginan/keadaan yang dikehendaki, policy secara
gramatikal dimaknai “a guide for action” (petunjuk untuk melakukan
aksi/kegiatan).188
187
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan
Penyusunan Konsep KUHP Baru, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), hlm.
22. (Selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief I). 188
HM. Wahyudin Husein dan H. Hufron, Hukum, Politik & Kepentingan,
(Yogyakarta: Laksbang Pressindo, 2008), hlm. 12
99
Pengertian hukum pidana menurut Sudarto adalah keseluruhan peraturan
yang isinya memuat aturan-aturan hukum yang mengingatkan kepada perbuatan-
perbuatan yang menjadi syarat tertentu suatu akibat yang berupa pidana.189
Selanjutnya, Sudarto menjelaskan bahwa terdapat dua fungsi hukum pidana yaitu
fungsi umum dan fungsi khusus. Fungsi umum hukum pidana tidak berbeda
dengan fungsi hukum pada umumnya yakni mengatur tata kehidupan dalam
masyarakat atau menyelenggarakan tata kehidupan dalam masyarakat, sedangkan
fungsi khusus hukum pidana ialah untuk melindungi kepentingan hukum (nyawa,
badan, kehormatan, harta, kemerdekaan) dari perbuatan yang memperkosanya
dengan sanksi yang berupa pidana.
Secara etimologis kebijakan hukum pidana dapat dipahami sebagai suatu
rangkaian asas, prinsip, cara atau alat yang digunakan untuk mencapai tujuan
hukum pidana atau pertimbangan tertentu yang dianggap lebih menjamin
terlaksananya kegiatan, cita-cita atau tujuan hukum pidana.
Definisi politik hukum pidana tidak terlepas dengan pengertian politik
hukum yang secara substansinya adalah sama karena politik hukum pidana
merupakan bagian dari politik hukum. Menurut Satjipto Rahardjo, politik hukum
didefinisikan sebagai aktifitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk
mencapai suatu tujuan sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat. Sehubungan
dengan hal tersebut, terdapat beberapa pertanyaan yang timbul dalam studi politik
hukum, yaitu:
1) tujuan apa yang hendak dicapai dengan sistem hukum yang ada;
189
Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat: Kajian Terhadap
Pembaharuan Hukum Pidana, (Bandung: Sinar Baru, 1983), hlm. 30.
100
2) cara-cara apa dan mana yang dirasa paling baik untuk bisa dipakai
mencapai tujuan tersebut;
3) kapan waktunya hukum itu perlu diubah dan melalui cara-cara
bagaimana perubahan itu sebaiknya dilakukan;
4) dapatkah dirumuskan suatu pola yang baku dan mapan yang bisa
membantu kita memutuskan proses pemilihan tujuan serta cara-cara
untuk mencapai tujuan tersebut secara baik.190
Menurut Abdul Manan, politik hukum adalah kebijakan dasar
penyelenggara negara dalam bidang hukum yang akan, sedang dan telah berlaku,
yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai
tujuan-tujuan yang dicita-citakan. Selanjutnya, menurut Abdul Manan terdapat
lima agenda yang ditekankan dalam politik hukum nasional, yaitu :
1) masalah kebijakan dasar yang meliputi konsep dan letak;
2) penyelenggara negara pembentuk kebijakan tersebut;
3) materi hukum yang meliputi yang akan, sedang dan telah berlaku;
4) proses pembentukan hukum; dan
5) tujuan politik hukum nasional.191
Melaksanakan politik hukum pidana menurut Barda Nawawi Arief, berarti
mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang
paling baik, dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna dan juga usaha
mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan
dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang, dalam arti
lain politik hukum pidana merupakan bagian dari politik hukum yang
190
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1996), hlm.
189. (Selanjutnya disebut Satjipto Rahardjo II). 191
Abdul Manan, Hukum dan politik, (Jakarta: Prenada Media Group, 2006), hlm.
104.
101
mengandung arti bagaimana mengusahakan atau membuat rumusan suatu
peraturan perundang-undangan pidana yang baik.192
Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief, tujuan akhir kebijakan kriminal
ialah perlindungan masyarakat dan untuk mencapai tujuan utamanya yang sering
disebut :
a. Kebahagiaan masyarakat (happiness of citizens);
b. Kehidupan kultur yang sehat dan menyegarkan (a wholesome and
cultural living);
c. Kesejahteraan masyarakat (social welfare);
d. Atau untuk mencapai keseimbangan (equality).193
Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa penegakan hukum pidana merupakan
bagian politik kriminal yang merupakan bagian integral dari kebijakan untuk
mencapai kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan formulasi merupakan awal dari perencanaan dalam usaha untuk
menanggulangi kejahatan, maka wajar apabila kebijakan formulasi merupakan
bagian dari kebijakan kriminal untuk usaha menanggulangi kejahatan.
Menurut Barda Nawawi Arief, kebijakan penanggulangan kejahatan yang
dituangkan dalam perundang-undangan meliputi:
a. Perencanaan atau kebijakan tentang perbuatan-perbuatan terlarang apa
yang akan ditanggulangi karena dipandang membahayakan atau
merugikan;
b. Perencanaan/kebijakan tentang sanksi apa yang dapat dibuat dikenakan
terhadap pelaku perbuatan yang dilarang itu (baik berupa pidana atau
tindakan) dan sistem penerapannya;
c. Perencanaan/kebijakan tentang prosedur atau mekanisme sistem
peradilan pidana dalam rangka penegkan hukum pidana.194
192
Barda Nawawi Arief I, Op.cit, hlm. 23. 193
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana,
(Bandung: Alumni, 2005), hlm. 158. 194Ibid., hlm. 198.
102
Mengingat pentingnya suatu kebijakan formulasi dalam usaha
penanggulangan kejahatan, maka formulasi tersebut harus dibuat sebaik mungkin
agar tidak menimbulkan masalah bagi pelaksanaan tahap-tahap selanjutnya.
Menurut pendapat Montesquieu, gagasan pembuatan hukum (pembuatan undang-
undang atau kebijakan formulasi) yang baik adalah:
1. Gaya hendaknya padat dan sederhana. Kalimat-kalimat yang muluk dan
retorik hanya merupakan hal yang berlebihan dan menyesatkan;
2. Istilah-istilah yang dipilih, hendaknya sedapat mungkin bersifat mutlak
dan tidak relatif sehingga mempersempit kemungkinan untuk adanya
perbedaan pendapat;
3. Hendaknya membatasi diri pada hal-hal yang aktual, menghindari
penggunaan perumpamaan atau bersifat hipotesis;
4. Hendaknya jangan rumit, sebab dibuat untuk orang kebanyakan; jangan
membenamkan orang ke dalam persoalan logika, tetapi sekedar bisa
dijangkau oleh penalaran orang kebanyakan;
5. Janganlah masalah pokok yang dikemukakan dikaburkan oleh
penggunaan perkecualian, pembatasan atau modifikasi, kecuali memang
benar-benar diperlukan;
6. Jangan berupa penalaran (argumentative); berbahaya sekali memberikan
alasan yang rinci tentang masalah yang diatur, sebab hal itu hanya akan
membuka pintu perdebatan;
7. Di atas semua itu, isinya hendaknya dipikirkan secara masak terlebih
dahulu serta janganlah membingungkan pemikiran serta rasa keadilan
biasa dan bagaimana umumnya sesuatu itu berjalan secara alami, sebab
hukum yang lemah tidak perlu dan tidak adil akan menyebabkan
keseluruhan sistem perundang-undangan menjadi ambruk dan merusak
kewibawaan negara. 195
Kebijakan formulasi berkaitan dengan pembaharuan hukum pidana, karena
pada hakekatnya pembaharuan hukum pidana adalah bagian dari kebijakan hukum
pidana yang merupakan bagian dari penegakan hukum pidana, kebijakan kriminal
dan kebijakan sosial dalam rangka untuk melindungi masyarakat dan mencapai
kesejahteraan masyarakat.
195
Satjipto Rahardjo II, Op.cit., hlm. 180.
103
Berdasarkan atas uraian tersebut di atas, dalam disertasi ini yang penulis
maksud dengan kebijakan formulasi adalah yang dikemukakan oleh Satjipto
Raharjo, yaitu rangkaian konsep yang menjadi dasar untuk merumuskan dalam
bentuk yang tetap tentang: 1) tujuan apa yang hendak dicapai dengan sistem
hukum yang ada; 2) cara-cara apa dan mana yang dirasa paling baik untuk bisa
dipakai mencapai tujuan tersebut; 3) kapan waktunya hukum itu perlu diubah dan
melalui cara-cara bagaimana perubahan itu sebaiknya dilakukan; 4) dapatkah
dirumuskan suatu pola yang baku dan mapan yang bisa membantu kita
memutuskan proses pemilihan tujuan serta cara-cara untuk mencapai tujuan
tersebut secara baik.
2.2.2. Konsep Diversi
Beberapa masalah dan kondisi sosial yang merupakan faktor kondusif
penyebab timbulnya kejahatan, jelas merupakan masalah yang tidak dapat diatasi
semata-mata lewat jalur penal. Oleh karena itu harus ditunjang oleh jalur non
penal, yaitu lewat jalur diversi. Kata diversi berasal dari bahasa Inggris
“Diversion”, menjadi istilah diversi.196
Diversi adalah pengalihan penanganan
kasus-kasus seseorang, misalnya seorang anak yang diduga telah melakukan
tindak pidana.197
Sementara itu, menurut Marlina, Diversi adalah sebuah
196Panduan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan Republik Indonesia, 2005, Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia
Yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan istilah, (Bandung: Pustaka
Setia, Cetakan Ke VII, hlm. 84-87.
197
Tanya Jawab Hukum dan Kode Etik, Apa sih Beda Antara Diskresi dan
Diversi, http://www.id.answers.yahoo.com/question/index?qid, diakses tanggal 4 Oktober
2009.
104
tindakan atau perlakuan untuk mengalihkan atau menempatkan ke luar pelaku
tindak pidana anak dari sistem peradilan pidana.198
Menurut sejarah perkembangan hukum pidana, kata “diversion”
pertama kali dikemukakan sebagai kosa kata pada laporan pelaksanaan
peradilan anak yang disampaikan Presiden Komisi Pidana (Presiden‟s Crime
Commision) Australia di Amerika Serikat pada tahun 1960.199
Sebelum dikemukakannya istilah diversi, praktek pelaksanaan yang
berbentuk seperti diversi telah ada sebelum tahun 1960 ditandai dengan
berdirinya peradilan anak (children‟s courts) sebelum abad ke-19, yaitu
diversi dari sistem peradilan pidana formal dan formalisasi polisi untuk
melakukan peringatan (police cautioning). Prakteknya telah berjalan di
negara bagian Queensland pada tahun 1963.200
Menurut Jack E. Bynum dalam bukunya Juvenile Delinquency a Sociological
Approach, mengemukakan bahwa:
198
Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, (Bandung: Refika Aditya,
2009), hlm. 31. (Selanjutnya disebut Marlina IV). 199
C. Cunnen and R. White, Juvenile Justice : An Australian Erspective, (Oxford:
Oxford University Press, 1995, p. 247), Dikutip dari buku Kenneht Folk, Early
Intervention: Diversion and Youth Conferencing, A National Review of Current
Approach to Diverting Juvenile from the Criminal Justice System (Canbera : Australia
Government Attorney-general’s Departement, Commonwealth of Australia, 2003),
dikutip dari Marlina, “Penerapan Konsep Diversi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana
Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak”, Jurnal Equality, Vol. 13 No.1 Februari 2008, hlm.
96, http: www.repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18420/l/equ-feb 2008-13(5)-pdf,
diakses pada tanggal 5 April 2013. 200
D. Challinger, Police Action and the Prevention of Juvenile Delinquency, In A.
Borowski and JM. Murray (eds.) Juvenile Delinquency in Australia, (NSW : Methuen
Australia, p. 290-302), yang dikutip dari Kennecht Folk, dalam Marlina, Op.cit., hlm. 32.
105
“Diversion is “an attempt to divert, or channel out, youthful offenders from
the juvenile justice system”. 201
(Terjemahan bebas: diversi adalah sebuah
tindakan atau perlakuan untuk mengalihkan atau menempatkan pelaku tindak
pidana anak keluar dari sistem peradilan pidana).
Diversi merupakan kebijakan yang dilakukan untuk menghindarkan pelaku
dari sistem peradilan formal. Diversi dilakukan untuk memberikan
perlindungan dan rehabilitasi (protection and rehabilitation) kepada pelaku
sebagai upaya untuk mencegah anak menjadi pelaku kriminal dewasa.202
Diversi didasarkan pada kenyataan bahwa proses peradilan pidana terhadap
anak pelaku tindak pidana melalui sistem peradilan pidana lebih banyak
menimbulkan bahaya daripada kebaikan. Alasan dasarnya yaitu pengadilan
akan memberikan stigmatisasi terhadap anak atas tindakan yang
dilakukannya seperti anak dianggap jahat, sehingga lebih baik untuk
menghindarkannya ke luar sistem peradilan pidana.203
Diversi merupakan kebijakan yang dilakukan untuk menghindarkan anak
sebagai pelaku tindak pidana dari sistem peradilan pidana formal yang berdampak
negatif. Menurut Siegel, dampak negatif dari sistem peradilan anak ada beberapa
hal, yaitu:
a. Sistem peradilan anak yang digelar secara formal dapat menciptakan
suatu citra anak yang nakal. Perlakuan bagi anak pada tahapan-tahapan
dalam sistem peradilan anak, memperlakukan anak sebagai anak nakal
201
Jack E. Bynum dan William E. Thomson, Juvenile Delinquency a Sociological
Approach, (Boston : Allyn and Bacon A Peason Education Company), 2002, p. 430. 202
Marlina IV, Op.cit., hlm. 22 203
Randall G. Shelden, Detention Diversion Advocacy : An Evaluation,
(Washington DC U.S : Departement of Justice), p. 1, dikutip dari Marina, Op.cit,, hlm.
97.
106
sehingga mereka memandang diri mereka sebagai anak yang nakal dan
membuat mereka untuk lebih berbuat delinkuen;
b. Sistem peradilan pidana meletakkan stigma pada anak. Lingkungan
sekitar anak akan berhati-hati terhadap anak yang telah memiliki stigma
dan hal tersebut menyebabkan lingkungan sekitarnya bersikap ragu-
ragu dalam membantu proses peralihan anak menuju kedewasaan
sehingga memperpanjang keterlibatan anak dalam perbuatan
delinkuen.204
Oleh karena dampak negatif tersebut, maka diversi sebagai alternatif penyelesaian
pengalihan perkara yang dilakukan secara informal di luar proses peradilan formal
merupakan metode yang paling efektif untuk mencegah dan mengontrol
kenakalan anak.205
Menurut Richard J. Lundman, sebagaimana dikutip Paulus Hadisuprapto,
mengemukakan bahwa dampak negatif dari proses penanganan anak delinkuen
melalui sistem peradilan pidana anak adalah:
First, juvenile justice system processing provides juveniles with a
delinquent self-image. Whereas prior to arrest and intake, most juvenile
offenders see themselves as basically good kids who shoplift overpriced
items from big stores that can easily afford the loss, or as one of many out
for an innocent Friday night of group-based beer and fun, arrested
juvenile sent to intake are treated as if they are delinquent. Being treated
as delinquent causes some adolescents to view themselves as delinquent
and invites more rather than less delinquency.
Second, juvenile justive system processing stigmatizes juveniles in the eyes
of significant others. School teachers, police officers, and potential
employers are understandably wary of juveniles with formal records of
delinquency. So too, with potential friends, lovers, spouses. Although a
formal record is not automatically or uniformly stigmatizing, delinquent
labels causes at least some of the important people around a juvenile to
hesitate in assisting in the transition to adulthoud and prolongs
involvement in delinquency.
204
Larry J. Siegel, Juvenile Delinquency, (United State Of America: Wadswort,
1986), p. 89-90. 205Ibid.
107
Diversion away from formal juvenile justice system processing to be the
most effective method of preventing and controlling delinquency. 206
(Terjemahan bebas: Pertama, proses sistem peradilan anak menyelesaikan
kenakalan anak dengan ciri khas tersendiri. Bahwa sebelum penangkapan
dan penahanan, sebagian besar pelanggar remaja/anak mereka pada
dasarnya tampak sebagai anak-anak baik, mengambil barang-barang
mahal dari toko-toko besar yang menurut mereka dapat dengan mudah
membayar kerugian, atau kebanyakan salah satu kelompok yang
bersenang-senang dan minum bir keluar pada Jumat malam, remaja yang
tak bersalah ditangkap dikirim ke penahanan diperlakukan seolah-olah
mereka sebagai anak nakal. Diperlakukan sebagai anak nakal
menyebabkan beberapa anak untuk melihat diri mereka sebagai anak nakal
dan menyebabkan mereka mengulangi kembali lebih daripada sekedar
kenakalan.
Kedua, proses sistem peradilan anak merupakan sistem yang membuat
stigma anak-anak di mata orang lain yang signifikan. Guru-guru sekolah,
polisi, dan pengusaha potensial dapat mengerti dan waspada terhadap anak
dengan catatan formal kenakalan. Demikian juga, dengan teman-teman
yang potensial, kekasih, pasangan. Meskipun catatan formal tidak secara
otomatis atau seragam membuat stigma, setidaknya label kenalakan
menyebabkan beberapa dari orang-orang penting di sekitar anak ragu-ragu
untuk membantu dalam masa transisi menuju kedewasaan dan
memperpanjang keterlibatan dalam kenakalan.
Pengalihan dari proses formal sistem peradilan anak menjadi metode yang
paling efektif untuk mencegah dan mengendalikan kenakalan).
Diversi dilakukan untuk memberikan perlindungan dan rehabilitasi (protection
and rehabilitation) kepada pelaku sebagai upaya untuk mencegah anak menjadi
pelaku kriminal dewasa.207
Prinsip utama pelaksanaan konsep diversi yaitu tindakan persuatif atau
pendekatan dan pemberian kesempatan kepada pelaku untuk berubah. Petugas
harus menunjukkan pentingnya ketaatan kepada hukum dengan cara pendekatan
persuatif dan menghindarkan penangkapan dengan menggunakan kekerasan dan
206
Richard J. Lundman, Prevention and Control of Juvenile Delinquency, (New
York: Oxford University Press, 1993), p. 18, 89, 90 dalam Paulus Hadisuprapto, Op.cit.,
hlm. 122. 207Ibid., hlm. 22.
108
pemaksaan untuk melaksanakan diversi. Penggunaan kekerasan akan membawa
kepada sifat keterpaksaan sebagai hasil dari penegakan hukum.
Diversi sebagai usaha mengajak masyarakat untuk taat dan menegakkan hukum
dengan tetap mempertimbangkan rasa keadilan sebagai prioritas utama disamping
pemberian kesempatan kepada pelaku memperbaiki diri. Diversi tidak bertujuan
untuk mengabaikan hukum dan keadilan, akan tetapi diversi merupakan cara baru
menegakkan keadilan dalam masyarakat.208
Menurut Setya Wahyudi tujuan diversi adalah:
a. Diversi bertujuan untuk lebih melihat kepentingan perlindungan
anak, yaitu menghindari stigma dan efek negatif proses peradilan;
b. Diversi bertujuan untuk menciptakan perdamaian antara pelaku
dan korban dengan cara memberikan ganti kerugian ataupun
dengan permintaan maaf dan dianggap tidak ada konflik lagi, serta
penyesalan dan pelaku tidak akan mengulangi perbuatan jahatnya;
c. Program-program diversi dapat berupa: cukup dengan pemberian
peringatan, pembinaan keterampilan, bimbingan ataupun konseling
(pemberian nasihat);
d. Pelaksanaan program diversi harus mendapatkan persetujuan
dengan orang tua, anak yang bersangkutan dengan menandatangani
persetujuan program diversi tersebut;
e. Kasus-kasus yang ditangani dengan melaksanakan diversi biasanya
kasus yang tidak berat dan tidak membahayakan masyarakat, dan
ada kedekatan hubungan antara pelaku dan korban;
f. Apabila kasus ditangani dengan pelaksanaan diversi maka kasus
ditutup dan tidak ada pencatatan kejahatan pada diri anak. Namun
demikian jika program diversi gagal maka menjadikan alasan kasus
akan dilanjutkan pada proses peradilan.209
Selanjutnya, terdapat tiga jenis pelaksanaan program diversi yaitu:
(1) Pelaksanaan kontrol secara sosial (social control orientation), yaitu
aparat penegak hukum menyerahkan pelaku dalam tanggungjawab
pengawasan atau pengamatan masyarakat, dengan ketaatan pada
persetujuan atau peringatan yang diberikan. Pelaku menerima
208Ibid.
209
Setya Wahyudi, Op.cit., hlm. 127-128.
109
tanggung jawab atas perbuatannya dan tidak diharapkan adanya
kesempatan kedua kali bagi pelaku oleh masyarakat;
(2) Pelayanan sosial oleh masyarakat terhadap pelaku (social service
orientation), yaitu melaksanakan fungsi untuk mengawasi,
mencampuri, memperbaiki dan menyediakan pelayanan pada pelaku
dan keluarganya. Masyarakat dapat mencampuri keluarga pelaku
untuk memberikan perbaikan atau pelayanan;
(3) Menuju proses restorative justice atau perundingan (balanced or
restorative justice orientation), yaitu melindungi masyarakat,
memberi kesempatan pelaku bertanggungjawab langsung pada korban
dan masyarakat dan membuat kesepakatan bersama antara korban
pelaku dan masyarakat. Pelaksanaannya semua pihak yang terkait
dipertemukan untuk bersama-sama mencapai kesepakatan tindakan
pada pelaku.210
Beberapa pengertian diversi maupun program-program diversi, menurut
beberapa pendapat ahli hukum, sebagai berikut:
1) Diversion as program and practices which are employed for young
people who have initial contact with the police, but are diversted
from the traditional juvenile justice processes before children‟s
court adjudication.211
(Terjemahan bebas: Diversi adalah suatu program dan latihan-
latihan yang mana diajarkan bagi anak-anak yang mempunyai
urusan dengan polisi, sebagai pengalihan dari proses peradilan
anak seperti biasanya sebelum diajukan ke pemeriksaan
pengadilan).
2) Diversion is a program designed out of the court system.212
(Terjemahan bebas: Diversi adalah suatu program yang dibuat
untuk melindungi pelaku-pelaku tindak pidana keluar dari sistem
peradilan).
3) The diversion program is a voluntary alternative to the formal
court process for most first time offending youth. 213
(Terjemahan bebas: Program diversi adalah suatu program yang
dilakukan secara sukarela sebagai alternatif atau pengganti proses
pemeriksaan pengadilan, yang ditujukan khususnya kepada pelaku
anak yang pertama kali melakukan tindak pidana).
4) The juvenile diversion program is an innovative national model,
which works with certain first-time juvenile offenders and their
210
Peter C. Kratcoski, Correctional Counseling and Treatment, (USA: Waveland
Press Inc., 2004), p. 160.
211
Kenneth Polk dalam Setya Wahyudi, Loc.cit.
212
Cuming County Diversion, http://www.co.cuming.ne.us/diversion.html>
213
Setya Wahyudi,Op.cit., 127-128.
110
families by offering an alternative to court process.214
(Terjemahan bebas: Suatu program diversi bagi anak adalah suatu
model inovatif nasional, berupa kegiatan-kegiatan yang harus
dikerjakan bagi pelaku anak pertama kali melakukan tindak
pidana tertentu bersama dengan keluarga mereka sebagai
pengganti proses peradilan).
Berkaitan dengan program diversi Setya Wahyudi mengemukakan bahwa:
Program diversi dapat sebagai sarana penyelesaian konflik dalam bentuk
perdamaian ataupun pemberian restitusi korban. Dalam hal ini, bentuk
pembebanan ganti rugi secara damai kepada korban. Dengan pemberian
ganti rugi kepada korban maka hal ini sebagai beban atas akibat
perbuatannya dan pihak korban mendapatkan haknya untuk dipulihkan
kembali kerugiannya dengan pemberian ganti rugi, atau setidaknya korban
dapat dikurangi penderitaannya. Rasa keadilan dapat timbul dengan
pembebanan ganti rugi dan pengurangan penderitaan bahkan penghilangan
penderitaan korban dengan pemberian ganti rugi tersebut.215
Pelaksanaan diversi oleh aparat penegak hukum didasari oleh kewenangan
aparat penegak hukum yang disebut discretion atau dalam bahasa Indonesia
disebut diskresi. Menurut Kamus Hukum, diskresi berarti kebebasan mengambil
keputusan dalam setiap situasi yang dihadapi menurut pendapatnya sendiri.216
S. Prajudi Admosudirjo mendefinisikan diskresi, discretion (Inggris),
discretionair (Perancis), freies ermessen (Jerman) sebagai kebebasan bertindak
atau mengambil keputusan dari para pejabat administrasi negara yang berwenang
dan berwajib menurut pendapat sendiri.217
Diskresi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak adalah kebijakan Penyidik
Anak dalam menetapkan suatu perkara anak nakal, tidak dilanjutkan
pemeriksaannya dengan pertimbangan hukum yang sesuai dengan peraturan
214Ibid.
215Setya Wahyudi, Op.cit., hal. 88.
216
JCT Simorangkir dkk, Kamus Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 38.
217
S. Prajudi Atmosudirjo, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1994), hlm. 82.
111
perundang-undangan dan demi kepentingan terbaik bagi anak.218
Dalam perkara
anak nakal adakalanya sudah dilakukan pendekatan kekeluargaan, atau perkara
tersebut sumir dan jika dilanjutkan justru tidak efektif dan merugikan kepentingan
anak. Oleh karena itu, untuk kepentingan terbaik bagi anak dan mendukung
penyelesaian dengan pendekatan keadilan restoratif, maka penyidik berwenang
mengeluarkan diskresi.219
Hal ini sebagaimana diatur dalam TR Kabareskrim POLRI No. Pol.:
TR/1124/XI/2006 tgl 16 Nopember 2002, angka 5 yang menyatakan bahwa
“Sedapat mungkin mengembangkan prinsip diversi dalam model restorative
justice dalam memproses kasus anak”.
Masyarakat atau lingkungan mempunyai pengaruh yang lebih besar dalam
pembentukan hukum dibanding dengan pengakuan yang diberikan hukum pada
masyarakat dan lingkungan. Keadaan ini terjadi karena tidak ada konsensus yang
dilakukan terhadap masyarakat pada pengesahan suatu aturan hukum, akan tetapi
secara pasti lingkungan atau masyarakat dapat memaksa atau mendesak polisi dan
agen-agen peradilan pidana yang tidak melakukan diskresi terhadap laporan atau
laporan kriminal. Usaha ini membawa aparat penegak hukum melakukan diskresi
atau di Amerika Serikat sering disebut dengan istilah deinstitutionalization dari
sistem peradilan pidana formal.220
218Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak, hlm. 48
219
M. Nasir Djamil, Loc.cit.
220Ibid., hlm. 21.
112
Pada tahun 1986, Jerome Stumphauzer memberikan kesimpulan tentang
pentingnya deinstitutionalization terhadap anak yang berhadapan dengan hukum
untuk menghindarkan anak menjadi penjahat, bahwa:
“A worse social learning program could not be designed : remove the
youth from the very society to which he must learn to adapt, expose him to
hundreds of criminal peer models and to criminal behaviors he hasn‟t
learned (yet), and use punishment as the only learning principle to change
behavior. 221
(Terjemahan bebas: program pembelajaran sosial yang buruk tidak
seharusnya kita lakukan dengan cara seperti memindahkan anak dari
tempat sosialnya yang baik ke tempat yang mana dia harus belajar untuk
beradaptasi, mengarahkannya pada pertemanan dengan banyak jenis
perilaku kriminal yang belum dipelajarinya sebelumnya, dan
menggunakan hukuman/pidana sebagai prinsip pembelajaran untuk
mengubah perilaku anak tersebut).
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, dalam UU SPP Anak, diskresi diberikan
kepada Penyidik untuk bisa mengupayakan diversi.
Hal ini sebagaimana dinyatakan Pasal 29 UU SPP Anak:
(1) Penyidik wajib mengupayakan Diversi dalam waktu paling lama 7
(tujuh) hari setelah penyidikan dimulai.
(2) Proses Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah dimulainya Diversi.
(3) Dalam hal proses Diversi berhasil mencapai kesepakatan, Penyidik
menyampaikan berita acara Diversi beserta Kesepakatan Diversi
kepada ketua pengadilan negeri untuk dibuat penetapan.
(4) Dalam hal Diversi gagal, Penyidik wajib melanjutkan penyidikan dan
melimpahkan perkara ke Penuntut Umum dengan melampirkan berita
acara Diversi dan laporan penelitian kemasyarakatan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 29 UU SPP Anak tersebut di atas, maka
kewajiban Penyidik untuk mengupayakan diversi merupakan bentuk dari diskresi
terikat, karena upaya diversi bisa berhasil dan bisa juga tidak berhasil.
221
Jack E. Bynum, Williem E. Thomson, Juvenile Delinquency a Sociological
Approach, (Boston: A person Education Acompany, 5th ed, 2002), p. 428.
113
Pemberian diskresi terikat kepada Penyidik merupakan bentuk amanah undang-
undang agar Penyidik selaku pegawai negara dapat mempergunakan sarana yang
ada dan melihat situasi yang terjadi dalam rangka penyelesaian anak yang
berkonflik dengan hukum sehingga prinsip perlindungan anak dapat terwujud. Hal
ini juga dapat dilihat dalam Pasal 42 yang memberikan diskresi terikat kepada
Penuntut Umum, kemudian Pasal 52 ayat (2) juga memberikan diskresi terikat
kepada Hakim.222
Oleh karena itu, tidak semua perkara anak yang melakukan tindak pidana harus
diselesaikan melalui jalur peradilan formal, tapi dapat memberikan alternatif
dengan penyelesaian melalui diversi sebagai bentuk perlindungan bagi anak.
Pengertian diversi menurut Commentary Rule 11 The Beijing Rules adalah sebagai
berikut:
Commentary Rule 11:
Diversion involving removal from criminal justice processing and,
frequently, redirection to community support services, is commonly
practised on a formal and informal basis in many legal systems. This
practice serves to hinder the negative effects of subsequent proceedings in
juvenile justice administration (for example the stigma of conviction and
sentence). In many cases, non-intervention would be the best response.
Thus, diversion at the outset and without referral to alternative (social)
services may be the optimal response. This is especially the case where the
offence is of a non-serious nature and where the family, the school or
other informal social control institutions have already reacted, or are
likely to react, in an appropriate and constructive manner. (Terjemahan
bebas: Diversi merupakan proses melimpahkan perkara anak dari
sistem peradilan pidana kepada sistem informal, seperti
mengembalikan kepada lembaga sosial masyarakat, baik pemerintah
negara maupun non pemerintah. Tindakan ini dilakukan untuk
menghindari efek negatif dari proses berikutnya dalam administrasi
peradilan anak (misalnya stigma dari putusan dan hukuman). Pada
banyak kasus, non-intervensi akan menjadi respon terbaik. Dengan
222Ibid., hlm. 136-137.
114
demikian, diversi pada permulaan dengan rujukan ke alternatif (sosial)
mungkin merupakan layanan yang mendapat respon optimal. Hal ini
terutama terjadi dimana pelanggaran bersifat tidak serius dan dimana
keluarga, sekolah atau lembaga kontrol sosial informal lainnya telah
bereaksi, atau cenderung bereaksi, dengan cara yang tepat dan
konstruktif).
Berdasarkan Commentary Rule 11 The Beijing Rules di atas dapat
dijelaskan bahwa:
1. diversi merupakan proses melimpahkan perkara anak dari sistem peradilan
pidana kepada sistem informal, seperti mengembalikan kepada lembaga
sosial masyarakat, baik pemerintah negara maupun non pemerintah;
2. diversi dilakukan untuk menghindari efek negatif dari proses berikutnya
dalam administrasi peradilan anak, misalnya stigma dari putusan dan
hukuman sehingga tidak mempengaruhi perkembangan mental anak;
3. dengan melaksanakan diversi di luar sistem peradilan, pada banyak kasus,
non-intervensi akan menjadi respon terbaik;
4. diversi yang dilakukan sejak awal sebelum anak diproses dalam sistem
peradilan pidana anak, yaitu dengan rujukan ke alternatif (sosial) mungkin
merupakan layanan yang mendapat respon optimal. Hal ini terutama
terjadi dimana pelanggaran bersifat tidak serius dan dimana keluarga,
sekolah dan lingkungan masyarakatnya sendiri turut memberikan dukungan
serta dapat bersikap dengan sewajarnya (tidak membesar-besarkan masalah);
5. pelaksanaan diversi harus memperoleh persetujuan anak dan orang tua atau
walinya terhadap langkah-langkah diversi yang disarankan. Namun demikian,
persetujuan ini tidak boleh ada pemaksaan dan intimidasi sehingga Anak
merasa tertekan, misalnya ditekan agar menyetujui program-program diversi.
115
Diversi dalam penanganan anak yang berkonflik dengan hukum
memperoleh legitimasi dalam The Beijing Rules, khususnya dalam Rule 11.1-
11.4:
Rule 11.1:
Consideration shall be given, wherever appropriate, to dealing with
juvenile offenders without resorting to formal trial by the competent
authority, referred to in rule 14.1 below. (Terjemahan bebas:
Pertimbangan harus diberikan jika memungkinkan, untuk menangani para
pelaku remaja/anak tanpa ke pengadilan formal oleh pejabat yang
berwenang, sebagaimana dimaksud dalam aturan 14.1 di bawah ini).
Rule 11.2:
The police, the prosecution or other agencies dealing with juvenile cases
shall be empowered to dispose of such cases, at their discretion, without
recourse to formal hearings, in accordance with the criteria laid down for
that purpose in the respective legal system and also in accordance with the
principles contained in these Rules.
(Terjemahan bebas: Polisi, jaksa atau lembaga lain yang berhubungan
dengan kasus-kasus remaja/anak harus diberdayakan untuk mendisposisi
kasus tersebut, pada kebijaksanaan mereka, tanpa melakukan pemeriksaan
formal, sesuai dengan kriteria yang ditetapkan untuk tujuan itu dalam
sistem hukum masing-masing dan juga sesuai dengan prinsip-prinsip yang
terkandung dalam Aturan ini).
Rule 11.3:
Any diversion involving referral to appropriate community or other
services shall require the consent of the juvenile, or her or his parents or
guardian, provided that such decision to refer a case shall be subject to
review by a competent authority, upon application. (Terjemahan bebas:
Setiap pengalihan memerlukan keterlibatan masyarakat yang tepat atau
layanan lainnya harus mendapatkan persetujuan dari remaja/anak, atau
korban atau orang tua atau walinya, asalkan keputusan tersebut untuk
merujuk pada kasus yang harus ditinjau oleh pejabat yang berwenang,
melalui permohonan).
Rule 11.4:
In order to facilitate the discretionary disposition of juvenile cases, efforts
shall be made to provide for community programmes, such as temporary
supervision and guidance, restitution, and compensation of victims.
(Terjemahan bebas: Dalam rangka memfasilitasi disposisi diskresi kasus
116
remaja, upaya harus dilakukan untuk menyediakan program-program
masyarakat, seperti pengawasan dan bimbingan sementara, restitusi, dan
kompensasi kepada korban).
Di Indonesia, istilah diversi pernah dimunculkan dalam perumusan
hasil seminar nasional peradilan anak yang diselenggarakan oleh Fakultas
Hukum Universitas Padjajaran Bandung tanggal 5 Oktober 1996. Dalam
perumusan hasil seminar tersebut tentang hal-hal yang disepakati, antara lain
“Diversi”, yaitu kemungkinan hakim menghentikan atau mengalihkan/tidak
meneruskan pemeriksaan perkara dan pemeriksaan terhadap anak selama
proses pemeriksaan di muka sidang.223
Sementara itu dalam Naskah Akademik RUU Sistem Peradilan Pidana
Anak, diversi adalah suatu pengalihan penyelesaian kasus-kasus anak yang
diduga melakukan tindak pidana tertentu dari proses pidana formal ke
penyelesaian damai antara tersangka/terdakwa/pelaku tindak pidana dengan
korban yang difasilitasi oleh keluarga dan/atau masyarakat, Pembimbing
Kemasyarakatan Anak, Polisi, Jaksa atau Hakim.224
Oleh karena itu tidak semua perkara anak yang berkonfl ik dengan
hukum harus diselesaikan melalui jalur peradilan formal, dan memberikan
alternatif bagi penyelesaian dengan pendekatan keadilan restoratif, maka atas
perkara anak yang berkonflik dengan hukum dapat dilakukan diversi demi
kepentingan terbaik bagi anak dan dengan mempertimbangkan keadilan bagi
korban.225
223
Romli Atmasasmita, dalam Setyo Wahyudi, Op.cit., hlm. 58. 224
Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak, hlm. 48. 225
M. Nasir Djamil, Op.cit., hlm. 137.
117
Pada pembahasan di tingkat Panja, baik pemerintah maupun fraksi -fraksi
menyatakan sepakat dengan ide diversi yang merupakan salah satu
implementasi keadilan restoratif, mulai dari tingkat penyidikan, penuntutan,
dan pemeriksaan perkara di pengadilan. Hal ini menjadi politik hukum
bersama antara pemerintah dan DPR dalam memberikan upaya terbaik bagi
anak yang berkonflik dengan hukum.226
Menurut UU SPP Anak, diversi adalah pengalihan penyelesaian
perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana
(Pasal 1 angka 7 UU SPP Anak).
Apabila kasus yang menimpa pelaku anak tidak dapat dilakukan
diversi, maka terhadap pelaku anak tersebut akan ditangani oleh pengadilan,
sesuai dengan prinsip-prinsip yang adil dan hal tersebut hanya merupakan
alternatif yang terakhir.
Rule 14.1:
Where the case of a juvenile offender has not been diverted (under rule
11), she or he shall be dealt with by the competent authority (court,
tribunal, board, council, etc.) according to the principles of a fair and just
trial. (Terjemahan bebas: Apabila kasus pelanggar remaja/anak belum
dialihkan (dibawah Aturan 11), maka pelaku remaja/anak atau korban
akan ditangani oleh pejabat yang berwenang (pengadilan, tribunal/tempat
mengadili suatu perkara, komisi, majelis, dan sebagainya) sesuai dengan
prinsip-prinsip peradilan yang jujur dan adil.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka konsep diversi yang dimaksud
dalam disertasi ini adalah konsep diversi sebagaimana dinyatakan dalam
Commentary Rule 11 The Beijing Rules, bahwa diversi merupakan proses
melimpahkan perkara anak dari sistem peradilan pidana kepada sistem
226
Ibid.
118
informal, seperti mengembalikan kepada lembaga sosial masyarakat, baik
pemerintah negara maupun non pemerintah.
2.2.3. Konsep Sistem Peradilan Pidana Anak
Sebelum menjelaskan tentang sistem peradilan pidana anak, terlebih
dahulu penulis akan memberikan pengertian atau definisi sistem peradilan pidana.
Sistem berasal dari bahasa Latin (systema) dan bahasa Yunani (sustema) adalah
suatu kesatuan yang terdiri dari komponen atau elemen yang dihubungkan
bersama untuk memudahkan aliran informasi, materi atau energi untuk mencapai
suatu tujuan.227
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, sistem adalah perangkat
unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas.228
Sistem juga merupakan kesatuan bagian-bagian yang saling berhubungan yang
berada dalam suatu wilayah serta memiliki item-item penggerak.
Sistem peradilan pidana (criminal justice system) menunjukkan
mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar
pendekatan sistem.
Menurut Muladi, sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network)
peradilan yang menggunakan hukum pidana materiil, hukum pidana formil
maupun hukum pelaksanaan pidana.229
Secara sederhana, sistem peradilan pidana
dapat dipahami sebagai suatu usaha untuk menjawab pertanyaan, apa tugas
hukum pidana di masyarakat dan bukan sekedar bagaimana hukum pidana di
227
Wikipedia, http://id.m.wikipedia.org/wiki/Sistem 228
Umi Chulsum dan Windy Novia, Op.cit., hlm. 626. 229
Sistem Peradilan Pidana Indonesia,
http://www.images.dahwirpane.multiplycontent.com/attachme, diakses tanggal 4 Februari
2013.
119
dalam undang-undang serta bagaimana hakim menerapkannya. Sementara itu,
Romli Atmasasmita, membedakan antara pengertian “criminal justice process”
dan “criminal justice system”.230
Pengertian “criminal justice process” adalah setiap tahap dari suatu putusan yang
menghadapkan seorang tersangka ke dalam proses yang membawanya kepada
penentuan pidana baginya, sedangkan pengertian “criminal justice system” adalah
interkoneksi antara keputusan dari setiap instansi yang terlibat dalam proses
peradilan pidana.
Menurut Herbert Packer, proses peradilan pidana adalah :
The criminal process is seen as a screening process in which each
successive stage...pre arrest investigation, arrest, post arrest investigation,
preparation for trial, trial or entry of plea, conviction,
disposition...involves a series of routinized operations whose success is
gauged primarily by their tendency to pass the case along to a successful
conclusion.231
(Terjemahan bebas: Proses pidana dipandang sebagai proses
penyaringan di mana setiap tahapan ... pra penyelidikan penangkapan,
penangkapan, pemeriksaan pasca penangkapan, persiapan untuk sidang,
percobaan atau masuknya permohonan, keyakinan, disposisi ... melibatkan
serangkaian operasi yang dirutinkan dan keberhasilan diukur terutama oleh
kecenderungan mereka untuk lolos dari kasus ini dan membawa
kesuksesan....).
Sistem peradilan pidana Indonesia berlangsung melalui tiga komponen
dasar sistem, yaitu:
1. substansi
merupakan hasil atau produk sistem termasuk Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
2. struktur
yaitu lembaga-lembaga dalam sistem hukum yang terdiri dari Kepolisian,
Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Kemasyarakatan;
230
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Perspektif Eksistensialisme dan
Abolisionisme, (Bandung: Bina Cipta, 1996), hlm. 14.
231Herbert L. Packer, The Limits of The Criminal Sanction (Stanford, Cal.: Stanford
University Press, 1968), p. 159.
120
3. kultur
yaitu bagaimana sebetulnya sistem tersebut akan diberdayakan, dengan
kata lain kultur adalah merupakan penggerak dari sistem peradilan pidana
anak.232
Hal ini sejalan dengan pendapat Saut Pandiangan, bahwa “Dalam sistem peradilan
pidana, akan sulit berkembang dan menjalankan tugasnya dengan baik tanpa
adanya dukungan dan sinkronisasi dengan lembaga atau pihak lainnya”.233
Sinkronisasi dalam sistem peradilan pidana sendiri harus disinkronkan dengan
tiga sinkronisasi, yaitu sinkronisasi substansi, struktural, dan kultural. Ketiga pilar
ini, harus tetap seiring dan sinkron dalam sistem peradilan pidana untuk dapat
menjalankan sebuah sistem peradilan pidana yang benar-benar terpadu.234
Selanjutnya Muladi mengemukakan bahwa terhadap komponen-komponen
sistem peradilan pidana adalah subsistem peradilan pidana, yaitu : lembaga
kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan dan bahkan dapat
ditambahkan disini lembaga penasehat hukum dan masyarakat.235
Remington dan Ohlin, sebagaimana dikutip oleh Romli Atmasasmita
mengemukakan bahwa:
“Criminal justice system” dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan
sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana, dan peradilan
pidana sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan
perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku
sosial. Pengertian sistem itu sendiri mengandung implikasi suatu proses
232
Romli Atmasasmita, Loc.cit 233
Saut Pandiangan, “Sinkronisasi Sistem Peradilan Pidana Terpadu”,
http://www.penalstudyclub.wordpress.com/2009/05/29/sinkronisasi-sistem-peradilan-
pidana-terpadu, diakses tanggal 29 Mei 2009. 234Ibid. 235
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, 1995), hlm. 16.
121
interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk
memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasannya.236
Berdasar pada pendapat Remington dan Ohlin dapat disimpulkan bahwa
criminal justice sytem (sistem peradilan pidana) terdiri dari sistem mekanisme
administrasi peradilan pidana dan peradilan pidana sebagai suatu sistem
merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik
administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial.
Mardjono, memberikan batasan bahwa yang dimaksud dengan sistem
peradilan pidana adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-
lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan pemasyarakatan.237
Lebih lanjut,
Mardjono mengemukakan bahwa “Sistem peradilan pidana (criminal justice
system) adalah suatu sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi
masalah kejahatan. Menanggulangi diartikan sebagai mengendalikan kejahatan
agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat”.238
Selanjutnya dikemukakan bahwa tujuan sistem peradilan pidana adalah :
a. mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan;
b. menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa
keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana;
236Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2010), hlm. 2. 237
Mardjono Reksodipoetro, “Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat kepada
kejahatan dan penegakan hukum dalam batas-batas toleransi”, Pidato Pengukuhan
Penerimaan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Jakarta: 1993. 238
Mardjono Reksodipoetro, “Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Peran Penegak
Hukum Melawan Kejahatan), dikutip dari Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan
Pidana”, 1994, hlm. 84-85.
122
c. mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak
mengulangi kejahatannya.239
Bertitik tolak dari tujuan tersebut, Mardjono mengemukakan bahwa empat
komponen dalam sistem peradilan pidana (kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan
lembaga pemasyarakatan) diharapkan dapat bekerja sama dan dapat membentuk
suatu “integrated criminal justice system” (sistem peradilan pidana yang
menyatu).
Berkaitan dengan sistem peradilan pidana, terdapat dua model sistem
peradilan pidana, yaitu: Crime Control Model (CCM) dan Due Process Model
(DPM), yaitu :
Due process model is mentioned in the fifth (where it is applied to the
federal government) and Fourteenth Amandements (where it is applied to
the states) of the U.S. Constitutions. It is usually divided into both
substantive an procedural areas. The substantive aspects are generally
used to determine whether a statute is fair, reasonable, and an
appropriate use of the legal power of the legislature. The concept of
substantive due process was used extensively in the 1930s and 1940s to
invalidate minimum wage standarts, price-fixing, and employment
retriction statutes. Today it is used more sparingly; for example, it may be
employed to hold that criminal statutes dealing with dicorderly conduct,
capital punishment, or a ban on pornography may be unconstitutional
because they are arbitary or unreasonable.240
(Terjemahan bebas: Due proses model sebagaimana disebutkan dalam
amandemen kelima (dimana ia diterapkan pada pemerintah federal) dan
keempat belas (dimana ia diterapkan pada negara) dari Konstitusi AS. Hal
ini biasanya dibagi menjadi dua substantif suatu daerah prosedural. Aspek
substantif umumnya digunakan untuk menentukan apakah undang-undang
yang adil, wajar, dan penggunaan yang tepat dari kekuatan hukum
legislatif. Konsep proses hukum substantif digunakan secara luas pada
1930-an dan 1940-an untuk membatalkan standart upah minimum,
penetapan harga, dan ketetapan retriction kerja. Hari ini digunakan lebih
hemat, misalnya, dapat digunakan sebagai pedoman bahwa undang-
239Ibid.
240Larry J. Siegel, Criminology, Third Edition, (New York: West Publising
Company ST. Paul Los Angeles San Fransisco, 1989), p. 402.
123
undang pidana yang berhubungan dengan perilaku menyimpang, hukuman
mati, atau larangan pornografi mungkin tidak konstitusional karena
tindakan mereka sewenang-wenang atau tidak masuk akal).
Sedangkan Crime Control Model (CCM) adalah :
Those embracing the crime control model believe that the overriding
purpose of the justice system is protection of the public, deterrence of
criminal behavior, and incapatitation of known criminals. Those who
espouse its principles view the justice system as a barrier between
destructive criminal elements and conventional society. Speedy and
efficient justice, unencumbered by legal red tape and followed by
punishment designed to fit the crime, is the goal of crime control. The
means to achieve this goal must be available, including increasing the size
of police forces, maximizing the use of discretion, building more prisons,
using the death penalty, and reducing legal controls on the justice system
such as the exclusionary rule.241
(Terjemahan bebas: Mereka menggabungkan model crime control dan
yakin bahwa tujuan utama dari sistem peradilan adalah perlindungan
masyarakat, pencegahan perilaku kriminal, dan menampung penjahat yang
dikenal. Mereka yang mendukung prinsip-prinsip melihat sistem peradilan
sebagai penghalang antara unsur-unsur kriminal yang merusak dan
masyarakat konvensional. Keadilan yang cepat dan efisien, tidak terbebani
oleh birokrasi hukum dan diikuti oleh hukuman yang dirancang untuk
menangani kejahatan, adalah tujuan dari pengendalian kejahatan. Cara
untuk mencapai tujuan ini harus tersedia, termasuk meningkatkan jumlah
pasukan polisi, memaksimalkan penggunaan kebijaksanaan, membangun
lebih banyak penjara, menggunakan hukuman mati, dan mengurangi
kontrol hukum pada sistem peradilan seperti aturan yang eksklusif).
Sedangkan mengenai batas dari sanksi pidana (the limits of the criminal
sanction), Herbert L. Packer menyatakan bahwa:
According to Packer, the due process model combines elements of liberal-
positivitist criminology with the legal concept of procedural fairness for
the accused. Those who adhere to due process principles believe in
individualized justice, treatment, and rehabilitation of the offender. If
discretion exist in the criminal justice system, it should be used to evaluate
the treatment needs of the offender. Most importantly, the civil rights of
the accused should be protected at all possible costs. This means practices
such as strict scrutiny of police search and interrogation procedures,
review of sentencing policies, and development of prisoners‟ rights”.242
241Ibid., p. 406.
242
Herbert L. Packer, Op.cit., p. 410.
124
(Terjemahan bebas: Menurut Packer, due proses model karena
memadukan unsur-unsur liberal-positivitis kriminologi dengan konsep
hukum keadilan prosedural untuk terdakwa. Mereka yang mematuhi
prinsip-prinsip due proses percaya pada keadilan individual, pengobatan,
dan rehabilitasi pelaku. Jika kebijaksanaan ada dalam sistem peradilan
pidana, harus digunakan untuk mengevaluasi kebutuhan pengobatan
pelaku. Yang paling penting, hak-hak sipil terdakwa harus dilindungi dan
difasilitasi sedemikian mungkin. Ini berarti praktek-praktek seperti
pengawasan yang ketat dari pencarian polisi dan prosedur interogasi,
review kebijakan hukuman, dan pengembangan hak-hak tahanan).
Dengan demikian, secara tegas dapat dikatakan bahwa CCM dan DPM
merupakan sebuah konsep ideal dari Herbert L. Packer, bahwa polarisasi
pendekatan normatif ke dalam sistem peradilan pidana tersebut tidak bersifat
mutlak, sehingga operasionalisasi kedua model ini dilandasi asumsi-asumsi yang
sama yaitu:
(1) penetapan suatu tindakan sebagai tindakan pidana harus lebih dahulu
ditetapkan jauh sebelum proses identitifikasi dan kontak dengan
seorang tersangka pelaku kejahatan atau asas “ex post facto law” atau
asas undang-undang tidak berlaku surut. Aparatur penegak hukum
atau law enforcement agencies tidak diperkenankan menyimpang dari
asas tersebut;
(2) diakui kewenangan yang terbatas pada aparatur negara hukum untuk
melakukan tindakan penyidikan dan penangkapan terhadap seorang
tersangka pelaku kejahatan;
(3) seorang pelaku kejahatan adalah subjek hukum yang harus dilindungi
dan berhak atas peradilan yang jujur dan tidak memihak.243
Berdasar pada uraian tersebut di atas, ternyata terdapat asumsi-asumsi
yang sama antara CCM dan DPM. Akan tetapi, walaupun terdapat asumsi yang
sama antara CCM dan DPM bukan berarti tidak terdapat perbedaan dari aspek
nilai-nilai yang menjadi landasan kerja kedua model tersebut, mekanisme, dan
tipologi yang dianutnya.
Adapun 5 (lima) nilai-nilai yang melandasi CCM adalah:
243
Romli Atmasasmita, Op.cit., hlm. 19.
125
1. Tindakan represif terhadap suatu tindakan kriminal adalah fungsi
terpenting dari proses peradilan;
2. Efisiensi penegak hukum untuk menyeleksi tersangka, penetapan
kesalahannya dan perlindungan hak tersangka dari proses peradilan;
3. Proses penegakan hukum berlandaskan prinsip cepat (speedy) dan
tuntas (finalty) dan model yang dapat mendukung bersifat model
administratif;
4. Bertumpu pada empiris yaitu asas “praduga bersalah” atau
“presumption of guilt”;
5. Proses penegakan hukum bertitik tolak pada fakta administratif yang
akan membawa muara pada pembebasan seorang tersangka dari
penuntutan atau kesediaan tersangka mengaku bersalah atau “plea of
guilt”.244
Sedangkan 6 (enam) karakteristik DPM adalah:
1. Bahwa model ini mengutamakan “formal-adjudicative” dan “adversary
fact-findings” sehingga model ini menolak informal “fact finding process”;
2. Model ini menekankan penegakan (preventive measures) dan menghapus
sejauh mungkin kesalahan mekanisme administrasi peradilan;
3. Model ini bertitik tolak dari nilai yang bersifat legal guilt;
4. Gagasan persamaan di depan hukum diutamakan;
5. DPM lebih mengutamakan kesusilaan dan kegunaan sanksi pidana
(criminal sanction);
6. DPM menganggap proses peradilan sebagai coercive (menekan),
restricting (membatasi), dan merendahkan martabat (demianing) sehingga
proses peradilan harus dikendalikan agar dapat dicegah penggunaannya
sampai titik optimum karena kekuasaan cenderung disalahgunakan atau
memiliki potensi untuk menempatkan individu pada kekuasaan yang
koersif dari negara.245
Berikutnya CCM dan DPM tidak lain merupakan suatu “dicision making”,
bahwa CCM merupakan pengambilan keputusan yang mengutamakan “excessive
leniency”, sedangkan DPM mengutamakan ketetapan dan persamaan tapi di lain
pihak mulai mengemukakan kelemahan-kelemahan CCM dan DPM. Adapun
kelemahan CCM tidak cocok karena model ini berpandangan tindakan bersifat
represif sebagai terpenting dalam melaksanakan proses peradilan pidana,
244
Muladi, Op.cit., hlm. 5. 245Ibid.
126
sedangkan DPM tidak sepenuhnya menguntungkan, karena bersifat “anti-
authoritarian values”.246
Oleh karena itu, menurut Muladi model sistem peradilan pidana yang
cocok bagi Indonesia adalah model yang mengacu kepada “daad-dader
strafrecht”, yaitu model keseimbangan kepentingan yang memperhatikan pelbagai
kepentingan yang harus dilindungi hukum pidana yaitu kepentingan negara,
kepentingan individu, kepentingan pelaku tindak pidana, dan kepentingan korban
kejahatan.247
Selain daripada itu, landasan penegak hukum dalam sistem peradilan
pidana adalah:
1. Pendekatan yang manusiawi, yaitu menegakkan hukum dengan cara yang
manusiawi, menjunjung tinggi human dignity. Hal ini mewajibkan para
penegak hukum melakukan pemeriksaan dengan cara pendeteksian yang
ilmiah atau dengan metode “scientific crime detection”, yakni cara
pemeriksaan tindak pidana berlandaskan kematangan ilmiah.
Menjauhkan diri dari cara pemeriksaan konvensional dalam bentuk
tangkap dulu dan peras pengakuan dengan jalan pemeriksaan fisik dan
mental. Sudah saatnya para penegak hukum mengasah jiwa, perasaan,
dan penampilan serta gaya mereka dibekali dengan kehalusan budi nurani
yang tanggap atas rasa keadilan atau “sense of justice”.
2. Memahami rasa tanggung jawab, hal ini sangat penting disadari para
penegak hukum, sebab yang mereka hadapi adalah manusia sebagaimana
dirinya sendiri, yakni manusia yang memiliki jiwa dan perasaan. Sudah
semestinya para penegak hukum merenungkan arti tanggung jawab
dalam menangani setiap manusia yang dihadapkan kepadanya ketebalan
rasa tanggung jawab atau sense of responsibility yang mesti dimiliki oleh
setiap pribadi para penegak hukum harus mempunyai dimensi
pertanggungjawaban terhadap diri sendiri, pertanggungjawaban kepada
masyarakat serta pertanggungjawaban kepada Tuhan Yang Maha Esa. 248
246Ibid. 247Ibid. 248
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,
(Jakarta: Pustaka Kartini, 1993), hlm. 5-6.
127
Selanjutnya, menurut Siegel dapat disimpulkan bahwa komponen sistem
peradilan pidana:
Criminal justice refers to the formal processes and institutions that have
been established to apprehend, try, punish, and treat law violators. The
major components of the criminal justice system are the police, courts, and
correctional agencies. Police maintain public order, deter crime, and
apprehend law violators. The courts are charged with determining the
criminal liability of accused offenders brought before them and with
dispending fair and effective sanctions to those found guilty of crime...249
(Terjemahan bebas: Peradilan pidana mengacu pada proses formal dan
lembaga yang telah dibentuk untuk menangkap, menangani, menghukum,
dan memperlakukan pelanggar hukum. Komponen utama dari sistem
peradilan pidana adalah polisi, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan.
Polisi menjaga ketertiban umum, mencegah kejahatan, dan menangkap
pelanggar hukum. Pengadilan dibebankan dengan menentukan tanggung
jawab pidana pelanggar terdakwa dibawa ke hadapan mereka dan dengan
menjatuhkan sanksi yang adil dan efektif kepada yang terbukti bersalah
atas kejahatan ....).
Berbicara tentang sistem peradilan pidana anak adalah menjadi titik
permulaan anak yang berkonflik dengan hukum. Istilah sistem peradilan pidana
menggambarkan suatu proses hukum yang diterapkan pada seseorang yang
melakukan tindak pidana atau melanggar ketentuan hukum pidana. Dalam kata
“sistem peradilan pidana anak”, terdapat istilah “sistem peradilan pidana” dan
istilah “anak”. Dengan demikian istilah sistem peradilan pidana anak
dipergunakan untuk menggambarkan sistem peradilan pidana yang
dikonstruksikan pada anak.250
Kata anak dalam frasa sistem peradilan pidana anak
mesti dicantumkan karena untuk membedakan dengan sistem peradilan dewasa.
249Larry J. Siegels, Op.cit., p. 414.
250 Inter-Parliamentary Union & UNICEF, Improving the Protection of Children
in Conflict with the Law in South Asia: A regional parliamentary guide on juvenile
justice, UNICEF ROSA, 2006, (diambil oleh Yayasan Pemantau Hak Anak, Children’s
Human Rights Foundation, Anak Berhadapan Dengan Hukum Dalam Perspektif Hukum
128
Mengacu pada keempat komponen sistem peradilan pidana tersebut di atas
dan mengkaitkannya dengan perlindungan hukum bagi Anak, maka kekhususan
sistem peradilan pidana anak harus mencakup keempat komponen sistem
peradilan pidana. Kekhususan ini untuk menegaskan bahwa hukum yang
mengatur anak yang berkonflik dengan hukum merupakan rezim hukum tersendiri
(sui generis), oleh karena substansi hukum yang mendasarinya harus bersifat lex
spesialis.
Mengadili adalah merupakan pergulatan dan permasalahan kemanusiaan
yang terkait erat dengan perasaan, hati nurani dan keadilan. Sebagai permasalahan
kemanusiaan tentunya pengembangan hak-hak anak dalam peradilan pidana
sangat diperlukan karena hal ini merupakan jaminan prosedural pengawasan dasar
terhadap perlindungan anak. Jaminan-jaminan prosedural yang mendasar harus
dijamin pada tiap tahap proses peradilan anak.251
Peradilan pidana adalah suatu proses yuridis dimana harus ada kesempatan orang
berdiskusi, untuk dapat memperjuangkan pendirian tertentu mengemukakan
kepentingan oleh berbagai pihak, mempertimbangkannya dimana suatu putusan
diambil mempunyai motivasi tertentu.252
Tujuan penyelenggaraan sistem peradilan pidana anak (juvenile justice)
tidak semata-mata bertujuan untuk menjatuhkan sanksi pidana bagi anak pelaku
tindak pidana, tetapi lebih difokuskan pada dasar pemikiran bahwa penjatuhan
sanksi tersebut sebagai sarana mendukung mewujudkan kesejahteraan terhadap
HAM Internasional), http://www.ypha.or.id/web/wp-content/uploads/2011/04/Anak-
yang-Berhadapan-dengan-Hukum-dalam-Perspektif-Hukum-HAM-Internasional3.pdf,
diakses tanggal 2 Januari 2012. 251
Made Sadhi Astuti I, Op.cit., hlm. 22. 252Ibid.
129
Anak. Dasar pemikiran atau titik tolak prinsip ini, merupakan ciri khas
penyelenggaraan sistem peradilan pidana anak.253
Sementara itu Gordon Bazemore, sebagaimana dikutip Setya Wahyudi dan
dikutip lagi oleh M. Nasir Djamil, menyatakan bahwa tujuan sistem peradilan
pidana anak (SPP Anak) berbeda-beda, tergantung pada paradigma sistem
peradilan pidana anak yang dianut.254
Terdapat tiga paradigma peradilan anak
yang terkenal, yakni paradigma pembinaan individual (individual treatment
paradigm), paradigma retributif (retributive paradigm), dan paradigma restoratif
(restorative paradigm).255
Tujuan SPP Anak dengan paradigma pembinaan individual, yang dipentingkan
adalah penekanan pada permasalahan yang dihadapi pelaku, bukan pada
perbuatan/kerugian yang diakibatkan. Tanggung jawab ini terletak pada tanggung
jawab sistem dalam memenuhi kebutuhan pelaku. Penjatuhan sanksi dalam sistem
peradilan pidana anak dengan paradigma pembinaan individual, adalah tidak
relevan, insidental dan secara umum tak layak.256
Tujuan SPP Anak dengan paradigma retributif ditentukan pada saat pelaku telah
dijatuhi pidana. Tujuan penjatuhan sanksi tercapai dilihat dengan kenyataan
apakah pelaku telah dijatuhi pidana dan dengan pemidanaan yang tepat, pasti,
setimpal serta adil. Bentuk pemidanaan berupa penyekapan, pengawasan
elektronik, sanksi punitif, denda, dan fee.257
253
Muladi dan Barda Nawawi Arif, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,
(Bandung: Alumni, 1992), hlm. 114-115. 254
M. Nasir Djamil, Op.cit., hlm. 45.
255Ibid.
256Ibid.
257Ibid., hlm. 46.
130
Selanjutnya, tujuan SPP Anak dengan paradigma restoratif, bahwa di dalam
mencapai tujuan penjatuhan sanksi, maka diikutsertakan korban untuk berhak
aktif terlibat dalam proses peradilan. Indikator pencapaian tujuan penjatuhan
sanksi tercapai dengan dilihat pada apakah korban telah direstorasi, kepuasan
korban, besar ganti rugi, kesadaran pelaku atas perbuatannya, jumlah kesepakatan
perbaikan yang dibuat, kualitas pelayanan kerja dan keseluruhan proses yang
terjadi.258
Berkaitan dengan upaya memberikan perlindungan hukum terhadap anak
yang berkonflik dengan hukum, sistem peradilan pidana anak harus dimaknai
secara luas, ia tidak hanya dimaknai hanya sekedar penanganan anak yang
melakukan tindak pidana semata. Namun sistem peradilan pidana anak harus juga
dimaknai mencakup akar permasalahan (root causes) mengapa anak melakukan
tindak pidana dan upaya pencegahannya. Lebih jauh, ruang lingkup sistem
peradilan pidana anak mencakup banyak ragam dan kompleksitas isu mulai dari
anak melakukan kontak pertama dengan polisi, proses peradilan, kondisi tahanan,
dan reintegrasi sosial, termasuk pelaku-pelaku dalam proses tersebut.259
Dalam upaya membangun rezim hukum anak yang berhadapan dengan
hukum, terdapat 4 (empat) fondasi KHA yang relevan untuk
mengimplementasikan praktik peradilan pidana anak, yakni:
1. prinsip non diskriminasi (without discrimination), diatur dalam Pasal 2 KHA;
2. prinsip yang terbaik bagi anak (the best interest of the child), diatur dalam Pasal
3 ayat (1) KHA;
258Ibid., hlm. 46-47.
259
Muladi dan Barda Nawawi Arif, Op.cit., hlm. 114-115.
131
3. prinsip hak atas hidup, kelangsungan, dan perkembangan (the rights to life,
survival, and development), diatur dalam Pasal 6 ayat (2) KHA; dan
4. prinsip penghargaan terhadap anak (respect for the views of the child), diatur
dalam Pasal 12 ayat (1) KHA.
Sejalan dengan kerangka fundamental dari KHA tersebut di atas, maka
tujuan dari bekerjanya sistem peradilan pidana anak pada dasarnya ditujukan
untuk membangun sistem peradilan yang adil dan ramah terhadap anak (fair and
humane). Adapun karakteristik sistem peradilan pidana anak yang adil dan ramah
terhadap anak, meliputi:
a. berlandaskan hak anak;
b. menerapkan prinsip keadilan restoratif;
c. menempatkan kepentingan terbaik bagi anak sebagai acuan pertama dan
utama;
d. fokus pada pencegahan sebagai tujuan utama;
e. menjadikan sanksi penahan sebagai alternatif terakhir (the last resort)
dan jika memungkinkan menahan anak dalam waktu yang sesingkat-
singkatnya;
f. prinsip proporsionalitas;
g. menekankan rehabilitasi dan reintegrasi;
h. melakukan Intervensi secara layak dan tepat waktu;
i. prosedur khusus untuk memberikan perlindungan terhadap hak anak.260
Menurut Pasal 1 angka 1 UU SPP Anak UU SPP Anak, sistem peradilan
pidana anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang
berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap
pembimbingan setelah menjalani pidana. Anak yang berhadapan dengan hukum
adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak
pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana (Pasal 1 angka 2 UU SPP
260
Hangama Anwari, Justice for The Children: The situation for children in
conflict with the law in Afghanistan, UNICEF and AIHRC, tanpa tahun, Loc.cit.
132
Anak). Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut Anak
adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun tetapi belum berumur 18
(delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana (Pasal 1 angka 3 UU
SPP Anak). Dengan demikian berdasar pada ketentuan Pasal 1 angka 3 UU SPP
Anak, terhadap Anak yang dapat diproses dalam persidangan anak adalah anak
yang telah berumur 12 (dua belas) tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun,
yang diduga melakukan tindak pidana.
Selanjutnya, dalam hal tindak pidana dilakukan oleh Anak sebelum genap
berumur 18 (delapan belas) tahun dan diajukan ke sidang pengadilan setelah Anak
yang bersangkutan melampaui batas umur 18 (delapan belas) tahun, tetapi belum
mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, Anak tetap diajukan ke sidang anak
(Pasal 20 UU SPP Anak).
Usia pertanggungjawaban tindak pidana merujuk pada usia seseorang
dianggap memiliki kemampuan untuk menilai (kapasitas untuk membedakan
benar atau salah) dan dapat memikul tanggung jawab atas tindak pidana yang
dilakukannya. Dalam kaitan ini, terdapat 2 (dua) isu yakni: (i) usia di mana
seorang anak dianggap memiliki kapasitas mental untuk melakukan tindak pidana;
dan (ii) usia dimana anak dianggap layak untuk memikul tanggung jawab
terhadap penuntutan dan sanksi formal atas tindak pidana yang dilakukannya.261
Hal ini sesuai dengan Article 40.1 CRC.
Article 40.1 CRC:
States Parties recognize the right of every child alleged as, accused of, or
recognized as having infringed the penal law to be treated in a manner
261
www.africanchildforum.org/Documents/age_of_cri_response.pdf
133
consistent with the promotion of the child's sense of dignity and worth,
which reinforces the child's respect for the human rights and fundamental
freedoms of others and which takes into account the child's age and the
desirability of promoting the child's reintegration and the child's assuming
a constructive role in society.
(Terjemahan bebas: Negara-negara pihak mengakui hak setiap anak yang
dinyatakan sebagai, dituduh, atau dinyatakan telah melanggar hukum
pidana untuk diperlakukan dengan cara yang konsisten dengan pengertian
anak tentang martabat dan nilai, yang memperkuat kembali penghormatan
anak terhadap hak asasi manusia dan kebebasan dasar orang lain dengan
memperhatikan umur anak dan keinginan untuk meningkatkan reintegrasi
anak dan peran anak yang konstruktif dalam masyarakat).
Selanjutnya, dalam hal penahanan anak terdapat kriteria persyaratan yang
berbeda dengan UU Pengadilan Anak, sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal
32 UU SPP Anak.
Pasal 32 UU SPP Anak menyatakan:
(1) Penahanan terhadap Anak tidak boleh dilakukan dalam hal Anak
memperoleh jaminan dari orang tua/Wali dan/atau lembaga bahwa
Anak tidak akan melarikan diri, tidak akan menghilangkan atau
merusak barang bukti, dan/atau tidak akan mengulangi tindak pidana;
(2) Penahanan terhadap Anak hanya dapat dilakukan dengan syarat
sebagai berikut:
a. Anak telah berumur 14 (empat belas) tahun atau lebih; dan
b. diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 7
(tujuh) tahun atau lebih;
(3) Syarat penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus
dinyatakan secara tegas dalam surat perintah penahanan;
(4) Selama Anak ditahan, kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial Anak
harus tetap dipenuhi;
(5) Untuk melindungi keamanan Anak, dapat dilakukan penempatan Anak
di LPKS.
Selanjutnya dalam hubungannya dengan pemidanaan, Pasal 69 UU SPP
Anak menyatakan:
(1) Anak hanya dapat dijatuhi pidana atau dikenai tindakan berdasarkan ketentuan
dalam undang-undang ini;
(2) Anak yang belum berusia 14 tahun hanya dapat dikenai tindakan.
134
Sistem peradilan pidana anak dilaksanakan berdasarkan asas:
a. Perlindungan;
b. Keadilan;
c. Nondiskriminasi;
d. kepentingan terbaik bagi anak;
e. Kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak;
g. Pembinaan dan pembimbingan anak;
h. proporsional;
i. perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir; dan
j. penghindaran pembalasan (Pasal 2 UU SPP Anak).
Dalam Penjelasan Pasal 2 huruf a, yang dimaksud dengan “perlindungan”,
meliputi kegiatan yang bersifat langsung dan tidak langsung dari tindakan yang
membahayakan anak secara fisik dan/atau psikis. Kemudian yang dimaksud
dengan “keadilan” adalah bahwa setiap penyelesaian perkara anak harus
mencerminkan rasa keadilan bagi anak (Penjelasan Pasal 2 huruf b). Yang
dimaksud dengan “nondiskriminasi” adalah tidak adanya perlakuan yang berbeda
didasarkan pada suku, agama, ras, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak,
urutan kelahiran anak, serta kondisi fisik dan/atau mental (Penjelasan Pasal 2
huruf c). Berkaitan dengan asas nondiskriminasi, ada hak anak untuk tidak
diperlakukan secara diskriminasi, yaitu diatur dalam Penjelasan Umum UU SPP
Anak menyatakan bahwa “Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari
keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara.
Dalam konstitusi Indonesia, anak memiliki peran strategis yang secara tegas
dinyatakan bahwa negara menjamin hak setiap anak atas kelangsungan hidup,
tumbuh dan berkembang serta perlindungan atas kekerasan dan diskriminasi. Oleh
135
karena itu, kepentingan terbaik bagi anak patut dihayati sebagai kepentingan
terbaik bagi kelangsungan hidup umat manusia....”262
Yang dimaksud dengan “kepentingan terbaik bagi anak” adalah segala
pengambilan keputusan harus selalu mempertimbangkan kelangsungan hidup dan
tumbuh kembang anak (Penjelasan Pasal 2 huruf d). Yang dimaksud dengan
“penghargaan terhadap pendapat anak” adalah penghormatan atas hak anak untuk
berpartisipasi dan menyatakan pendapatnya dalam pengambilan keputusan,
terutama jika menyangkut hal yang mempengaruhi kehidupan anak (Penjelasan
Pasal 2 huruf e). Yang dimaksud dengan “kelangsungan hidup dan tumbuh
kembang anak” adalah hak asasi paling mendasar yang dilindungi oleh negara,
pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua (Penjelasan Pasal 2 huruf f).
Kemudian yang dimaksud dengan “pembinaan” adalah pemberian
tuntunan untuk meningkatkan kualitas ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
intelektual, sikap dan perilaku, pelatihan keterampilan, profesional, serta
kesehatan jasmani dan rohani anak, baik di dalam maupun di luar proses peradilan
pidana. Yang dimaksud dengan “pembimbingan” adalah pemberian tuntunan
untuk meningkatkan kualitas ketakwaan kepada Tuhan yang Maha Esa,
intelektual, sikap dan perilaku, pelatihan keterampilan, profesional, serta
kesehatan jasmani dan rohani klien pemasyarakatan (Penjelasan Pasal 2 huruf g).
Yang dimaksud dengan “proporsional” adalah segala perlakuan terhadap
anak harus memperhatikan batas keperluan, umur, dan kondisi anak (Penjelasan
Pasal 2 huruf h). Yang dimaksud dengan “perampasan kemerdekaan merupakan
262
Penjelasan Umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
136
upaya terakhir” adalah pada dasarnya anak tidak dapat dirampas kemerdekaannya,
kecuali terpaksa guna kepentingan penyelesaian perkara (Penjelasan Pasal 2 huruf
i). Yang dimaksud dengan “penghindaran pembalasan” adalah prinsip
menjauhkan upaya pembalasan dalam proses peradilan pidana (Penjelasan Pasal 2
huruf j).
Sistem peradilan pidana anak menurut UU SPP Anak wajib
mengutamakan pendekatan keadilan restoratif. Hal tersebut sebagaimana yang
dinyatakan dalam Pasal 5 UU SPP Anak, yang menyatakan bahwa:
(1) Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan
keadilan restoratif;
(2) Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi :
a. Penyidikan dan penuntutan pidana anak yang dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali
ditentukan lain dalam undang-undang ini;
b. Persidangan anak yang dilakukan oleh pengadilan di lingkungan
peradlan umum; dan
c. Pembinaan, pembimbingan, pengawasan, dan/atau pendampingan
selama proses pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelah
menjalani pidana atau tindakan;
d. Dalam sistem peradilan pidana anak sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf a dan huruf b wajib diupayakan diversi.
Pasal 7 UU SPP Anak menyatakan:
(1) Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemerikaan perkara Anak di
pengadilan negeri wajib diupayakan diversi;
(2) Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam hal
tindak pidana yang dilakukan :
a. Diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan
b. Bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
Berdasar pada ketentuan Pasal 7 UU SPP Anak, pada tingkat penyidikan,
penuntutan dan pemeriksaan perkara Anak di pengadilan negeri wajib diupayakan
137
diversi, akan tetapi dibatasi pada tindak pidana yang ancaman pidananya di bawah
7 (tujuh) tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
Sehubungan dengan adanya ketentuan untuk tindak pidana yang dapat
dilakukan diversi tersebut di atas, berarti ada tindak pidana yang tidak perlu
dilaksanakan diversi dan tindak pidana yang dilakukan oleh Anak yang harus
diselesaikan lewat jalur pengadilan.
Pasal 9 ayat (2) UU SPP Anak menyatakan:
Kesepakatan diversi harus mendapatkan persetujuan korban dan/atau keluarga
Anak korban serta kesediaan Anak dan keluarganya, kecuali untuk:
a. Tindak pidana yang berupa pelanggaran;
b. Tindak pidana ringan;
c. Tindak pidana tanpa korban; atau
d. Nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi
setempat.
Selanjutnya, untuk tindak pidana yang dilakukan Anak yang tidak dapat
dilakukan diversi atau harus dilanjutkan dengan proses peradilan pidana, selain
yang diatur dalam Pasal 7 UU SPP Anak adalah sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 13 UU SPP Anak, yang menyatakan bahwa:
“Proses peradilan pidana Anak dilanjutkan dalam hal:
a. Proses diversi tidak menghasilkan kesepakatan; atau
b. Kesepakatan diversi tidak dilaksanakan.
Ketentuan proses beracara dalam sistem peradilan pidana anak di
Indonesia, mengacu pada ketentuan umum, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP), selama UU SPP Anak tidak mengatur secara khusus.
Akan tetapi apabila UU SPP Anak mengatur secara khusus tentang proses
beracara bagi anak, maka ketentuan KUHAP dikesampingkan. Hal ini
138
sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 16 UU SPP Anak, bahwa “Ketentuan
beracara dalam Hukum Acara Pidana berlaku juga dalam acara peradilan pidana
anak, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini.
Berdasarkan uraian di atas, yang dimaksud konsep sistem peradilan pidana
anak dalam disertasi ini adalah konsep sistem peradilan pidana anak menurut
Pasal 1 angka 1 UU SPP Anak, bahwa sistem peradilan pidana anak adalah
keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum,
mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani
pidana. Sedangkan yang dimaksud konsep diversi adalah konsep diversi
sebagaimana dinyatakan dalam Commentary Rule 11 The Beijing Rules, bahwa
diversi merupakan proses melimpahkan perkara anak dari sistem peradilan
pidana kepada sistem informal, seperti mengembalikan kepada lembaga
sosial masyarakat, baik pemerintah negara maupun non pemerintah.
Dengan demikian yang dimaksud dengan konsep sistem peradilan anak
dan konsep diversi dalam disertasi ini adalah proses penyelesaian perkara anak
yang berhadapan dengan hukum, yang merupakan proses melimpahkan perkara
anak dari sistem peradilan pidana kepada sistem informal, seperti
mengembalikan kepada lembaga sosial masyarakat, baik pemerintah negara
maupun non pemerintah.
139
2.2.4. Konsep Perlindungan Anak
2.2.4.1. Konsep Perlindungan
Kata "perlindungan" bila berdiri sendiri tentu akan berbeda maknanya bila
disatukan dengan kata anak, yaitu menjadi perlindungan anak. Kata
“perlindungan” sangat bersentuhan dengan jaminan bahwa sesuatu yang
dilindungi akan terbebas dari hal yang membuat tidak nyaman, dari hal yang
membuat kerusakan.263
Dengan demikian, pada dasarnya anak harus dilindungi
karena anak mempunyai ketergantungan yang sangat tinggi terhadap seluruh
penyelenggara perlindungan anak yaitu orang tua, keluarga, masyarakat,
pemerintah dan negara. Sudah barang tentu masing-masing mempunyai peran dan
fungsinya yang berbeda, dimana secara keseluruhan, satu sama lain saling terkait
di bawah pengertian perlindungan sebagai payungnya.264
Perlindungan hukum merupakan gambaran dari bekerjanya fungsi hukum
untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum, yaitu keadilan, kemanfaatan, dan
kepastian hukum.265
Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang
diberikan kepada subyek hukum sesuai dengan aturan hukum, baik itu yang
bersifat preventif (pencegahan) maupun dalam bentuk yang bersifat represif
(pemaksaan), baik yang secara tertulis maupun tidak tertulis dalam rangka
menegakkan peraturan hukum.266
263
Anak Bersinar Bangsa Gemilang,
http://anakbersinar.com/news/detail/id/95/Perlindungan-Anak.html, diakses tanggal 6 Juli
2013. 264Ibid. 265
“Status Hukum Art In The Science of Law”, http://www.status
hukum.com/perlindungan-hukum.html, diakses tanggal 12 Maret 2012. 266Ibid.
140
Menurut Satjipto Rahardjo, perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman
kepada hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan tersebut
diberikan kepada masyarakat agar mereka dapat menikmati semua hak-hak yang
diberikan oleh hukum.267
Selanjutnya, Philipus M. Hadjon mengartikan
perlindungan hukum sebagai perlindungan akan harkat dan martabat, serta
pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum
berdasarkan ketentuan hukum dari kesewenangan.268
Perumusan prinsip-prinsip perlindungan hukum di Indonesia berlandaskan
pada Pancasila sebagai ideologi dan falsafah negara. Konsep perlindungan hukum
bagi rakyat di Barat bersumber pada konsep-konsep Rechtstaat dan Rule of Law.
Dengan menggunakan konsepsi Barat sebagai kerangka berfikir dengan landasan
pada Pancasila, prinsip perlindungan hukum di Indonesia adalah prinsip
pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang
bersumber pada Pancasila. Prinsip perlindungan hukum pada tindak pemerintah
bertumpu dan bersumber dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan
terhadap hak-hak asasi manusia karena menurut sejarahnya di Barat, lahirnya
konsep-konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi
manusia diarahkan kepada pembatasan-pembatasan dan peletakan kewajiban
masyarakat dan pemerintah.269
Tersangka sebagai pihak yang telah melakukan perbuatan hukum juga
memiliki hak atas perlindungan hukum yang berkaitan dengan hak-hak tersangka
267
Satjipto Rahardjo, Penyelenggaraan Keadilan dalam Masyarakat yang Sedang
Berubah. Artikel dalam Jurnal Masalah Hukum, 1993.
268
Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, (Surabaya:
Bina Ilmu, 1997), hlm. 1.
269Ibid., hlm. 38.
141
yang harus dipenuhi agar sesuai dengan prosedur pemeriksaan sebagaimana diatur
dalam peraturan perundang-undangan.270
Berdasarkan uraian di atas maka konsep perlindungan hukum yang
dimaksud dalam disertasi ini adalah konsep perlindungan hukum yang
dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon, yang mengartikan perlindungan hukum
sebagai perlindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap hak-hak
asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum berdasarkan ketentuan hukum
dari kesewenangan.
2.2.4.2. Konsep Anak
Menurut UU SPP Anak, yang dimaksud Anak yang Berhadapan dengan
Hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban
tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana (Pasal 1 angka 2 UU
SPP Anak). Berdasar pada ketentuan Pasal 1 angka 2 UU SPP Anak tersebut, ada
tiga pengertian dari Anak yang Berhadapan dengan Hukum, yaitu:
1. anak yang berkonflik dengan hukum;
2. anak yang menjadi korban tindak pidana;
3. anak yang menjadi saksi tindak pidana.
Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak
yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas)
tahun yang diduga melakukan tindak pidana (Pasal 1 angka 3 UU SPP Anak).
Menurut ketentuan Pasal 1 angka 3 UU SPP Anak terdapat 2 (dua) kriteria yang
dimaksud dengan anak yang berkonflik dengan hukum, yaitu:
270
“Status Hukum Art In The Science of Law”, Loc.cit.
142
1. telah mencapai umur 12 (dua belas) tahun tetapi belum mencapai umur 18
tahun;
2. yang diduga melakukan tindak pidana.
Anak yang menjadi korban tindak pidana yang selanjutnya disebut anak
korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang
mengalami penderitaan fisik, mental, dan/kerugian ekonomi yang disebabkan oleh
tindak pidana (Pasal 1 angka 4 UU SPP Anak). Selanjutnya, anak yang menjadi
saksi tindak pidana yang selanjutnya disebut Anak Saksi adalah anak yang belum
berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna
kepentingan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan
tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri.
Kriteria anak yang penulis maksud dalam disertasi ini adalah kriteria anak
sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 1 angka 3 UU SPP Anak, yaitu anak
yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas)
tahun yang diduga melakukan tindak pidana.
2.2.4.3 Konsep Perlindungan Anak
Perlindungan anak adalah segala usaha yang dilakukan untuk menciptakan
kondisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya demi
perkembangan dan pertumbuhan anak secara wajar baik fisik, mental, dan sosial.
Kegiatan perlindungan anak membawa akibat hukum, baik dalam kaitannya
143
dengan hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis.271
Oleh karena itu, hukum
merupakan jaminan bagi kegiatan perlindungan anak.
Perlindungan khusus terhadap anak diatur dalam dalam Principle 2 Declaration
of the Rights of the Child 1959 (Deklarasi Hak-hak Anak tahun 1959),
menyatakan:
The child shall enjoy special protection, and shall be given opportunities
and facilities, by law and by other means, to enable him to develop
physically, mentally, morally, spiritually and socially in a healthy and
normal manner and in conditions of freedom and dignity. In the enactment
of laws for this purpose, the best interest of the child shall be the
paramount consideration. (Terjemahan bebas: Anak harus memperoleh
perlindungan khusus, dan harus diberikan kesempatan dan fasilitas yang
dijamin oleh hukum dan sarana lain sehingga secara jasmani, mental,
akhlak, rohani dan sosial, mereka dapat berkembang dengan sehat dan
wajar dalam keadaan bebas dan bermartabat).
Yayasan Pemantau Hak Anak (Children Human Right: Foundation)
mengemukakan bahwa:
Pada prinsipnya, pendekatan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum
didasarkan atas 3 (tiga) faktor berikut ini:
1. anak diasumsikan belum mempunyai legal capacity untuk melakukan
tindak pidana mengingat kondisi dan sifatnya yang masih tergantung
pada orang dewasa, tingkat usia, perkembangan fisik, mental, moral,
dan spiritualnya belum matang;
2. anak-anak dianggap belum mengerti secara sungguh-sungguh atas
kesalahan yang mereka perbuat sehingga sudah sepantasnya diberi
pengurangan hukuman serta pembedaan pemberian hukuman bagi
anak-anak dengan orang dewasa atau bahkan dialihkan ke jalur non
yuridis;
3. bila dibandingkan dengan orang dewasa, anak-anak diyakini lebih
mudah dibina dan disadarkan.
Dengan demikian justru harus melakukan intervensi secara khusus
dalam rangka melindungi anak, bukan malah anak dihadapkan vis a vis
271
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan
Pidana Anak di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2006), hlm. 33.
144
dengan kekuasaan negara untuk mempertanggungjawabkan secara
pidana.272
Menurut Retnowulan Sutianto, perlindungan anak merupakan suatu bidang
pembangunan nasional. Melindungi anak adalah melindungi manusia, dan
membangun manusia seutuhnya. Hakekat pembangunan nasional adalah
pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berbudi luhur. Mengabaikan
masalah perlindungan anak berarti tidak akan memantapkan pembangunan
nasional. Akibat tidak adanya perlindungan anak akan menimbulkan
permasalahan sosial yang dapat mengganggu penegakan hukum, ketertiban,
keamanan, dan pembangunan nasional. Maka, ini berarti bahwa perlindungan
anak harus diusahakan apabila kita ingin mengusahakan pembangunan nasional
yang memuaskan.273
Perlindungan anak juga merupakan pembinaan generasi muda, yang
merupakan bagian integral dari pembangunan nasional dan juga menjadi sarana
guna mencapai tujuan pembangunan nasional, yaitu mencapai masyarakat adil dan
makmur serta aman dan sentosa berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Konseps
perlindungan anak meliputi ruang lingkup yang luas, dalam arti bahwa
perlindungan anak tidak hanya mengenai perlindungan atas jiwa dan raga si anak,
tetapi mencakup pula perlindungan atas semua hak serta kepentingannya yang
dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangan yang wajar, baik secara rohani,
jasmani, maupun sosialnya sehingga diharapkan anak Indonesia akan berkembang
272
Yayasan Pemantau Hak Anak (Children Human Rights: Foundation), Op.cit.,
hlm. 49.
273Romli Atmasasmita (ed), Peradilan Anak di Indonesia, (Bandung: Mandar
Maju, 1997), hlm. 166.
145
menjadi orang dewasa Indonesia yang mampu dan mau berkarya untuk mencapai
dan memelihara tujuan pembangunan nasional tersebut.274
Arif Gosita mengemukakan bahwa kepastian hukum perlu diusahakan
demi kelangsungan kegiatan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan
yang membawa akibat negatif yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan
perlindungan anak.275
Perlindungan anak dilaksanakan secara rasional,
bertanggungjawab dan bermanfaat yang mencerminkan suatu usaha yang efektif
dan efisien. Usaha perlindungan anak tidak boleh mengakibatkan matinya
inisiatif, kreatifitas, dan hal-hal lain yang menyebabkan ketergantungan kepada
orang lain dan berperilaku tak terkendali sehingga anak tidak memiliki
kemampuan dan kemauan menggunakan hak-haknya dan melaksanakan
kewajibannya.276
Berdasarkan hasil seminar perlindungan anak/remaja oleh Prayuana Pusat
tanggal 30 Mei 1977, terdapat dua perumusan tentang perlindungan anak, yaitu:
a) segala daya upaya yang dilakukan secara sadar oleh setiap orang
maupun lembaga pemerintahan dan swasta yang bertujuan
mengusahakan pengamanan, penguasaan, pemenuhan kesejahteraan
fisik, mental, dan sosial anak dan remaja yang sesuai dengan
kepentingan hak asasinya;
b) segala daya upaya bersama yang dilakukan secara sadar oleh
perorangan, keluarga, masyarakat, badan-badan pemerintah dan swasta
untuk pengamanan, pengadaan, dan pemenuhan kesejahteraan
rohaniah dan jasmaniah anak berusia 0-21 tahun, tidak dan belum
pernah nikah, sesuai dengan hak asasi dan kemampuannya agar dapat
mengembangkan dirinya sendiri. 277
274Wagiati Soetodjo, Op.cit., hlm. 62.
275Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, (Jakarta: Akademi Pressindo, 1989),
hlm. 19. 276
Maidin Gultom, Op.cit, hlm. 34. 277
Irma Setyowati Soemitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta: Bumi
Aksara, 1990), hlm. 14.
146
Perlindungan hukum terhadap anak mengandung dua dimensi pengertian hukum,
yaitu:
1. Dimensi hukum perdata
Secara umum hak-hak keperdataan anak diletakkan sebagai ketentuan
hukum formal dan materiil yang harus dilindungi oleh ketentuan
hukum dalam perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad)
terhadap anak, dimana anak tersebut karena usia (umur) yang belum
mencapai batas kedewasaan untuk bertindak sendiri sebagai subyek
hukum;
2. Dimensi hukum pidana
Yaitu meletakkan kepentingan hukum secara umum sebagai
perlindungan hak-hak anak dari kemampuan untuk menggunakan
upaya hukum terhadap bentuk tindak pidana (strafbaarfeit) yang
dilakukan oleh seorang dan atau anak itu sendiri baik ebagai korban
kejahatan (victim) maupun sebagai pelaku tindak pidana
(kindermoor).278
Undang-Undang Perlindungan Anak merupakan perangkat hukum yang
menjadi dasar pelaksanaan perlindungan hukum bagi anak baik perlindungan
hukum dalam dimensi hukum perdata maupun dalam dimensi hukum pidana.
Menurut Pasal 1 angka 2 UU Perlindungan Anak dinyatakan bahwa
“Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak
dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dapat, dan berpartisipasi,
secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
Perlindungan anak diusahakan oleh setiap orang baik orang tua, keluarga,
masyarakat, pemerintah maupun negara. Pasal 20 UU Perlindungan Anak
menyatakan bahwa “Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua
berkewajiban dan bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan perlindungan
anak”.
278
Maulana Hassan Waddong, Op.cit., hlm. 45-46.
147
Kewajiban dan tanggung jawab negara dan pemerintah dalam usaha
perlindungan anak diatur dalam UU Perlindungan Anak, yaitu:
a. menghormati dan menjamin hak setiap anak tanpa membedakan suku,
agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status
hukum anak, urutan kelahiran anak dan kondisi fisik dan/atau mental
(Pasal 21);
b. memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan
perlindungan anak (Pasal 22);
c. menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan
memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali atau orang lain yang
secara umum bertanggungjawab terhadap anak dan mengawasi
penyelenggaraan perlindungan anak (Pasal 23);
d. menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan
pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kesejahteran anak (Pasal 24).
Maidin Gultom mengemukakan bahwa “Perlindungan anak bermanfaat
bagi anak dan orang tuanya serta pemerintahnya, maka koordinasi kerjasama
perlindungan anak perlu diadakan dalam rangka mencegah ketidakseimbangan
kegiatan perlindungan anak secara keseluruhan”.279
Dasar pelaksanaan perlindungan anak adalah:
1) Dasar filosofis
Pancasila sebagai dasar kegiatan dalam berbagai bidang kehidupan
keluarga, bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa, serta dasar filosofis
pelaksanaan perlindungan anak.
2) Dasar Etis
Pelaksanaan perlindungan anak harus sesuai dengan etika profesi yang
berkaitan, untuk mencegah perilaku menyimpang dalam pelaksanaan
kewenangan, kekuasaan, dan kekuatan dalam pelaksanaan perlindungan
anak.
3) Dasar Yuridis
Pelaksanaan perlindungan anak harus didasarkan pada Undang-Undang
Dasar 1945 dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya yang
berlaku. Penerapan dasar yuridis ini harus secara integratif, yaitu
279
Maidin Gultom, Op.cit., hlm. 35.
148
penerapan terpadu menyangkut peraturan perundang-undangan dari
berbagai bidang hukum yang berkaitan.280
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Abdul Hakim Garuda Nusantara
mengemukakan bahwa “Masalah perlindungan hukum bagi anak-anak merupakan
satu sisi pendekatan untuk melindungi anak-anak Indonesia. Masalahnya tidak
semata-mata bisa didekati secara yuridis, tetapi perlu pendekatan lebih luas, yaitu
ekonomi, sosial, budaya”.281
Perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum diatur dalam
Pasal 66 UU HAM, yaitu :
1) Setiap anak berhak untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan,
penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi;
2) Hukuman mati atau hukuman seumur hidup tidak dapat dijatuhkan
untuk pelaku tindak pidana yang masih anak;
3) Setiap anak berhak untuk tidak dirampas kebebasannya secara
melawan hukum;
4) Penangkapan, penahanan, atau pidana penjara anak hanya boleh
dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat
dilaksanakan sebagai upaya terakhir;
5) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak mendapatkan
perlakuan secara manusiawi dan dengan memperhatikan kebutuhan
pengembangan pribadi sesuai dengan usianya dan harus dipisahkan
dari orang dewasa, kecuali demi kepentingannya;
6) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak memperoleh bantuan
hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya
hukum yang berlaku;
7) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk membela diri
dan memperoleh keadilan di depan Pengadilan Anak yang objektif
dan tidak memihak dalam sidang yang tertutup untuk umum.
Dasar hukum pelaksanaan perlindungan anak di Indonesia, mengacu
kepada peraturan perundang-undangan nasional dan internasional. Dasar hukum
280
Arif Gosita, “Aspek Hukum Perlindungan Anak dan Konvensi Hak-Hak
Anak”, Era Hukum, Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum No.4/Th.V/April 1999, (Jakarta: Fakultas
Hukum Tarumanagara, 1999), hlm. 264-265. 281
Abdul Hakim Garuda Nusantara, “Prospek Perlindungan Anak”, Makalah
disampaikan pada Seminar Perlindungan Hak-hak Anak, Jakarta 1986), dalam Maidin
Gultom, Op.cit, hlm. 35.
149
nasional yang utama adalah Undang-Undang Perlindungan Anak, yang berisi
antara lain tentang definisi anak, tujuan perlindungan anak, hak-hak anak,
kewajiban negara, masyarakat dan keluarga.
Perlindungan hukum terhadap anak yang berkonflik dengan hukum, juga diatur
dalam Pasal 64 UU Perlindungan Anak.
Pasal 64 menyatakan:
(1) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 meliputi anak yang berkonflik
dengan hukum dan anak korban tindak pidana, merupakan kewajiban
dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat;
(2) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui:
a. perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan
hak-hak anak;
b. penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini;
c. penyediaan sarana dan prasarana khusus;
d. penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi
anak;
e. pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan
anak yang berhadapan dengan hukum;
f. pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan
orang tua atau keluarga; dan
g. perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan
untuk menghindari labelisasi.
Perlindungan hukum terhadap anak merupakan upaya yang ditujukan
untuk mencegah agar anak tidak mengalami perlakuan yang diskriminatif atau
perlakuan salah (child abused) baik secara langsung maupun tidak langsung
dalam rangka menjamin kelangsungan hidup, tumbuh dan perkembangan anak
secara wajar, baik fisik maupun mental dan sosial.282
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka konsep perlindungan anak yang
penulis maksud dalam disertasi ini adalah konsep perlindungan anak yang diatur
282
KPAI, Loc.cit.
150
dalam Pasal 1 angka 2 UU Perlindungan Anak menyatakan bahwa “Perlindungan
anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-
haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal
sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi”.
2.2.5. Konsep Kesejahteraan Anak
Sebelum menguraikan konsep kesejahteraan anak, terlebih dulu akan
dikemukakan mengenai konsep kesejahteraan.
Kesejahteraan berasal dari kata dasar “sejahtera”, yang berarti aman sentosa dan
makmur.283
Konsep kesejahteraan menurut Nasikun, dapat dirumuskan sebagai “Padanan
makna dari konsep martabat manusia yang dapat dilihat dari empat indikator,
yaitu: (1) rasa aman (security); (2) kesejahteraan (welfare); (3) kebebasan
(freedom); dan (4) jati diri (identity)”.284
Menurut Undang-Undang Nomor 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial,
menyatakan bahwa “Kesejahteraan Sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan
material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu
mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya”.
Permasalahan kesejahteraan sosial yang berkembang dewasa ini menunjukkan
bahwa ada warga negara yang belum terpenuhi hak atas kebutuhan dasarnya
283
Umi Chulsum dan Windy Novia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Surabaya,
Khasiko, 2006), hlm. 602.
284
Nasikun, Urbanisasi dan Kemiskinan di Dunia Ketiga, (Yogyakarta: PT Tiara
Wacana, 1996), perencanaan kota.blogspot.com/2012/01.../beberapa-konsep-tentang-
kesejahteraan.html?m=1
151
secara layak karena belum memperoleh pelayanan sosial dari negara. Akibatnya,
masih ada warga negara yang mengalami hambatan pelaksanaan fungsi sosial
sehingga tidak dapat menjalani kehidupan secara layak dan bermartabat.285
Menurut Pasal 1 angka 1 huruf a UU Kesejahteraan Anak, menyatakan
bahwa “Kesejahteraan anak adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan anak
yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik
secara rohani, jasmani maupun sosial”. Kemudian Pasal 1 angka 1 huruf b
menyatakan bahwa “Usaha Kesejahteraan anak adalah usaha kesejahteraan sosial
yang ditujukan untuk menjamin terwujudnya kesejahteraan anak terutama
terpenuhinya kebutuhan pokok anak”.
Berkaitan dengan perlindungan dan kesejahteraan terhadap anak yang berkonflik
dengan hukum, Article 3.2 CRC atau KHA menyatakan :
States parties undertake to ensure the child such protection and care as is
necessary for his or her well-being, taking into account the rights and
duties of his or her parents, legal guardians, or other individuals legally
responsible for him or her, and, to this end, shall take all appropriate
legislative and administrative measures. (Terjemahan bebas: Negara-
negara pihak harus menjamin perlindungan anak dan kepedulian seperti
yang diperlukan untuknya kesejahteraan, dengan memperhatikan hak dan
kewajiban orang tuanya, wali atau orang lain yang bertanggung jawab
secara hukum baginya, dan untuk tujuan ini, harus mengambil semua
tindakan legislatif dan administratif yang layak).
Berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (2) KHA di atas dapat dijelaskan
bahwa negara-negara pihak harus menjamin perlindungan anak dan kepedulian
terhadap anak seperti yang diperlukan oleh anak, yaitu berupa kesejahteraan,
dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tuanya, wali atau orang lain
285Ibid.
152
yang bertanggung jawab secara hukum terhadap anak, dan untuk tujuan ini, harus
mengambil semua tindakan legislatif dan administratif yang layak.
Selanjutnya, Rule 5.1 The Beijing Rules menyatakan:
The Juvenile justice system shall emphasize the well-being of the juvenile
and shall ensure that any reaction to juvenile offenders shall always be in
proportion to the circumstances of both the offenders and the other.
(Terjemahan bebas: Sistem peradilan anak harus menekankan
kesejahteraan anak dan harus memastikan bahwa setiap reaksi terhadap
pelaku anak harus selalu sebanding dengan dua keadaan, yaitu pelaku dan
pelanggaran).
Berdasarkan Rule 5.1 The Beijing Rules di atas dapat disarikan bahwa
sistem peradilan anak harus menitikberatkan pada kesejahteraan anak dan
memastikan bahwa setiap reaksi terhadap anak yang berkonflik dengan hukum
harus selalu sebanding dengan dua keadaan, yaitu antara pelaku dan pelanggaran
yang dilakukan.
Komitmen negara terhadap perlindungan dan kesejahteraan anak
sesungguhnya telah ada sejak berdirinya negara ini. Hal itu dapat dilihat dalam
konstitusi dasar kita.286
Pada Pembukaan UUD NKRI tahun 1945 disebutkan
bahwa tujuan didirikannya negara ini antara lain untuk memajukan kesejahteraan
umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Secara implisit, kata kesejahteraan
umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa didominasi konotasi anak karena
mencerdaskan kehidupan bangsa, khususnya, dilakukan melalui proses
pendidikan, dimana ruang-ruang belajar pada umumnya berisi anak-anak dari
segala usia.287
Anak secara eksplisit disebutkan dalam Pasal 34 pada bagian
286
Hadi Supeno, Op.cit., hlm. 42 287Ibid.
153
batang tubuh yang menyatakan bahwa “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara
oleh negara”.
Implementasi komitmen negara tersebut tampak direalisasikan secara lebih
konsisten ketika tahun 1979 Pemerintah Indonesia mengintroduksi UU
Kesejahteraan Anak, bersamaan dengan penetapan tahun 1979 sebagai “Tahun
Anak Internasional”. Dalam keadaan yang membahayakan, anaklah yang
pertama-tama berhak mendapat pertolongan, bantuan, dan perlindungan (Pasal 3
UU Kesejahteraan Anak).
Dalam hubungannya dengan anak yang berkonflik dengan hukum, Pasal 6 UU
Kesejahteraan Anak menyatakan:
(1) Anak yang mengalami masalah kelakuan diberi pelayanan dan asuhan
yang bertujuan menolongnya guna mengatasi hambatan yang terjadi
dalam masa pertumbuhan dan perkembangannya.
(2) Pelayanan dan asuhan, sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1), juga
diberikan kepada anak yang telah dinyatakan bersalah melakukan
pelanggaran hukum berdasarkan keputusan hakim.
Selanjutnya, Pasal 11 UU Kesejahteraan Anak menyatakan bahwa :
(1) Usaha kesejahteraan anak terdiri atas usaha pembinaan, pengembangan,
pencegahan, dan rehabilitasi.
(2) Usaha kesejahteraan anak dilakukan oleh pemerintah dan atau
masyarakat.
(3) Usaha kesejahteraan anak yang dilakukan oleh pemerintah dan atau
masyarakat dilaksanakan baik di dalam maupun di luar panti.
(4) Pemerintah mengadakan pengarahan, bimbingan, bantuan, dan
pengawasan terhadap usaha kesejahteraan anak yang dilakukan oleh
masyarakat.
(5) Pelaksanaan usaha kesejahteraan anak sebagai termaktub dalam ayat (1),
(2), (3) dan (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Dalam Penjelasan Umum UU Kesejahteraan Anak secara umum
dinyatakan bahwa :
154
Suatu bangsa dalam membangun dan mengurus rumah tangganya harus
mampu membentuk dan membina suatu tata penghidupan serta
kepribadiannya. Usaha ini merupakan suatu usaha yang terus menerus,
dari generasi ke generasi. Untuk menjamin usaha tersebut, perlu setiap
generasi dibekali oleh generasi yang terdahulu dengan kehendak,
kesediaan, dan kemampuan serta keterampilan untuk melaksanakan tugas
itu. Hal ini hanya akan dapat tercapai bila generasi muda selaku generasi
penerus mampu memiliki dan menghayati falsafah hidup bangsa. Untuk itu
perlu diusahakan agar generasi muda memiliki pola perilaku yang sesuai
dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Guna mencapai
maksud tersebut diperlukan usaha-usaha pembinaan, pemeliharaan, dan
peningkatan kesejahteraan anak....288
Berdasarkan uraian di atas, maka konsep kesejahteraan anak yang
dimaksud dalam disertasi ini adalah konsep kesejahteraan anak menurut Pasal 1
angka 1 huruf a UU Kesejahteraan Anak, bahwa “Kesejahteraan anak adalah
suatu tata kehidupan dan penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan
dan perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani maupun sosial”.
288
Penjelasan Umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979
tentang Kesejahteraan Anak.
155
BAB III
DASAR FILOSOFI KEBIJAKAN FORMULASI PENGATURAN
KETENTUAN PELAKSANAAN DIVERSI DI LUAR SISTEM
PERADILAN PIDANA ANAK DI MASA YANG AKAN DATANG DALAM
RANGKA PERLINDUNGAN DAN KESEJAHTERAAN ANAK
3.1. Dasar Filosofi Beberapa Ketentuan Internasional dan Peraturan
Perundang-undangan Nasional
Berkaitan dengan dasar filosofi beberapa ketentuan internasional dan
beberapa peraturan perundang-undangan nasional yang berkaitan dengan
perlindungan dan kesejahteraan anak dikemukakan sebagai berikut:
3.1.1. Ketentuan-Ketentuan Internasional
1. Preamble Universal Declaration of Human Rights (UDHR)
Dalam UDHR, pada Preamble (Mukadimah), alinea pertama dan kedua
dinyatakan bahwa:
Whereas recognition of the inherent dignity and of the equal and
inalienable rights of all members of the human family is the foundation of
freedom, justice and peace in the world;
(Terjemahan bebas: Menimbang bahwa pengakuan atas martabat alamiah
dan hak-hak yang sama dan mutlak dari semua anggota keluarga manusia
adalah dasar kemerdekaan, keadilan dan perdamaian dunia;
Whereas disregard and contempt for human rights have resulted in
barbarous acts which have outraged the conscience of mankind, and the
advent of a world in which human beings shall enjoy freedom of speech
and belief and freedom from fear and want has been proclaimed as the
highest aspiration of the common people, ....
(Terjemahan bebas: Menimbang bahwa mengabaikan dan melanggar hak
asasi manusia telah mengakibatkan tindakan biadab yang bertentangan
dengan hati nurani umat manusia, dan munculnya sebuah dunia dimana
manusia akan menikmati kebebasan berbicara dan berkeyakinan dan
155
156
kebebasan dari rasa takut dan ini telah dicanangkan sebagai aspirasi yang
tertinggi dari seluruh rakyat,....
Dasar filosofi di dalam Preamble UDHR di atas dapat disajikan pada tabel
3 berikut ini:
Tabel 3
Dasar Filosofi di dalam Preamble UDHR
Ketentuan
Internasional
Asas Persamaan
Hak Asas Keadilan
Asas Bebas dari
Rasa Takut
Preamble UDHR Alinea 1 :
...pengakuan atas
martabat alamiah
dan hak-hak yang
sama dan mutlak....
Alinea 1 :
...keadilan....
Alinea 2 :
...kebebasan dari
rasa takut....
Sumber: Bahan Hukum Primer, diolah.
Berdasarkan tabel 3 di atas dapat dijelaskan bahwa di dalam Pembukaan
UDHR terkandung asas persamaan hak, asas keadilan, dan asas bebas dari rasa takut.
2. Dalam Preamble CRC atau Mukadimah KHA:
The states parties to the present convention. (Negara-negara
peserta/penandatangan konvensi);
Considering that, in accordance with the principles proclaimed in the
Charter of the United Nations, recognition of the inherent dignity and of
the equal and inalienable rights of all members of the human family is the
foundation of freedom, justice and peace in the world. (Terjemahan bebas:
Menimbang bahwa, sesuai dengan prinsip-prinsip yang diproklamirkan
dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, pengakuan atas martabat yang
melekat dan hak-hak yang sama dan mutlak dari semua anggota keluarga
manusia adalah dasar kemerdekaan, keadilan, dan perdamaian dunia);
Bearing in mind that the peoples of the United Nations have, in the
Charter, reaffirmed their faith in fundamental human rights and in the
157
dignity and worth of the human person, and have determined to promote
social progress and better standards of life in larger freedom.
(Terjemahan bebas: Mengingat bahwa bangsa-bangsa dalam Perserikatan
Bangsa-Bangsa telah menegaskan lagi dalam Piagam itu keyakinan
mereka pada hak-hak asasi manusia, dan pada harkat dan martabat
manusia, dan bertekat meningkatkan kemajuan sosial dan taraf kehidupan
dalam kemerdekaan yang lebih luas);
Recognizing that the United Nations has, in the Universal Declaration of
Human Rights and in the International Covenants on Human Rights,
proclaimed and agreed that everyone is entitled to all the rights and
freedoms set forth therein, without distinction of any kind, such as race,
colour, sex, language, religion, political or other opinion, national or
social origin, property, birth or other status. (Terjemahan bebas:
Menyadari bahwa Peserikatan Bangsa-Bangsa, dalam hak-hak asasi
manusia sedunia dan dalam perjanjian-perjanjian internasionl hak-hak
asasi manusia, telah menyatakan dan menyetujui bahwa setiap orang
berhak atas seluruh hak dan kemerdekaan yang dinyatakan di dalamnya
tanpa perbedaan dalam bentuk apapun, seperti perbedaan ras, warna kulit,
jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik dan pandangan lain, asal
usul bangsa dan sosial, harta kekayaan, kelahiran dan status lain);
Recalling that, in the Universal Declaration of Human Rights, the United
Nations has proclaimed that childhood is entitled to special care and
assistance. (Terjemahan bebas: Mengingat bahwa, dalam hak-hak asasi
manusia sedunia, Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menyatakan bahwa
anak-anak berhak atas perawatan dan bantuan khusus);
Convinced that the family, as the fundamental group of society and the
natural environment for the growth and well-being of all its members and
particularly children, should be afforded the necessary protection and
assistance so that it can fully assume its responsibilities within the
community. (Terjemahan bebas: Meyakini bahwa, keluarga sebagai
kelompok inti dari masyarakat dan sebagai lingkungan yang alami bagi
pertumbuhan dan kesejahteraan seluruh anggotanya khususnya anak-anak,
harus diberi perlindungan dan bantuan yang diperlukan agar keluarga
mampu mengemban tanggungjawabnya dalam masyarakat);
Recognizing that the child, for the full and harmonious development of his
or her personality, should grow up in a family environment, in an
atmosphere of happiness, love and understanding. (Terjemahan bebas:
Menyadari bahwa, anak demi pengembangan kepribadiannya secara penuh
dan serasi, harus tumbuh dalam suatu lingkungan keluarga, dalam iklim
kebahagiaan, cinta kasih dan pengertian);
158
Considering that the child should be fully prepared to live an individual
life in society, and brought up in the spirit of the ideals proclaimed in the
Charter of the United Nations, and in particular in the spirit of peace,
dignity, tolerance, freedom, equality and solidarity.
(Terjemahan bebas: Menimbang bahwa, anak harus dipersiapkan untuk
hidup dalam suatu kehidupan individu dalam masyarakat dan dibesarkan
dalam semangat cita-cita yang diproklamirkan dalam Piagam Perserikatan
Bangsa-Bangsa, dan khususnya dalam semangat perdamaian, martabat,
toleransi, kesetaraan, kebebasan, dan solidaritas);
Bearing in mind that the need to extend particular care to the child has
been stated in the Geneva Declaration of the Rights of the Child of 1924
and in the Declaration of the Rights of the Child adopted by the General
Assembly on 20 November 1959 and recognized in the Universal
Declaration of Human Rights, in the International Covenant on Civil and
Political Rights (in particular in articles 23 and 24), in the International
Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (in particular in article
10) and in the statutes and relevant instruments of specialized agencies
and international organizations concerned with the welfare of children.
(Terjemahan bebas: Mengingat bahwa perlunya memberi perawatan
khusus bagi anak telah dinyatakan dalam Jenewa tentang Hak-Hak Anak
tahun 1924 dan dalam Hak-Hak Anak yang disetujui Majelis Umum PBB
pada tahun 1959 dan diakui dalam Deklarasi Universal tentang Hak-Hak
Asasi Manusia, dalam Perjanjian Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan
Politik (khususnya Pasal 23 dan 24), dalam Perjanjian Internasional
tentang Hak-Hak Ekonomi Sosial dan Budaya (khususnya Pasal 10) dan
dalam ketentuan-ketentuan dan perangkat-perangkat yang terkait dan
badan-badan khusus dan organisasi-organisasi internasional yang
berkepentingan dengan kesejahteraan anak);
Bearing in mind that, as indicated in the Declaration of the Rights of the
Child, "the child, by reason of his physical and mental immaturity, needs
special safeguards and care, including appropriate legal protection,
before as well as after birth". (Terjemahan bebas: Mengingat bahwa,
sebagaimana yang dinyatakan dalam Deklarasi Hak-Hak Anak, “anak,
karena ketidakmatangan fisik dan mentalnya, membutuhkan perlindungan
dan perawatan khusus, termasuk perlindungan hukum yang layak, sebelum
dan sesudah lahir”);
Recalling the provisions of the Declaration on Social and Legal Principles
relating to the Protection and Welfare of Children, with Special Reference
to Foster Placement and Adoption Nationally and Internationally; the
United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of
Juvenile Justice (The Beijing Rules); and the Declaration on the
Protection of Women and Children in Emergency and Armed Conflict.
159
(Terjemahan bebas: Mengingat ketentuan-ketentuan tentang Prinsip-
prinsip sosial dan hukum yang terkait dengan perlindungan dan
kesejahteraan anak, dengan rujukan khusus pada pengangkatan anak dan
adopsi secara nasional maupun internasinal, ketentuan-ketentuan minimum
PBB yang baku bagi pelaksanaan Peradilan Anak (ketentuan-ketentuan
Beijing), dan deklarasi tentang perlindungan terhadap wanita dan anak-
anak dalam keadaan darurat dan konflik bersenjata);
Recognizing that, in all countries in the world, there are children living in
exceptionally difficult conditions, and that such children need special
consideration. (Terjemahan bebas: Mengakui bahwa, di semua negara di
dunia, terdapat anak-anak yang hidup dalam keadaan yang sangat sulit,
dan bahwa anak-anak seperti itu membutuhkan perhatian khusus);
Taking due account of the importance of the traditions and cultural values
of each people for the protection and harmonious development of the
child. (Terjemahan bebas: Memperhatikan pentingnya nilai-nilai tradisi
dan budaya dan setiap bangsa bagi perlindungan dan pengembangan anak
yang serasi);
Recognizing the importance of international co-operation for improving
the living conditions of children in every country, in particular in the
developing countries. (Terjemahan bebas: Mengakui pentingnya kerjasama
internasional untuk meningkatkan kondisi kehidupan anak di setiap
negara, khususnya di negara-negara berkembang).
Dasar filosofi di dalam Preamble CRC di atas dapat disajikan pada tabel 4
berikut ini:
160
Tabel 4
Dasar Filosofi di dalam Preamble CRC
Ketentuan
Internasional
Asas Perlin-
dungan
Asas Persamaan
Hak Asas Keadilan Asas Kebebasan Asas Kesejahteraan
Preamble CRC - Alinea 9 :
...karena
ketidak-
matangan
fisik dan
mentalnya,
membu-
tuhkan...
perlindungan
hukum...
- Alinea 10:
...per-
lindungan...ter
hadap anak-
anak.
- Alinea 11:
...dalam
keadaan yang
sangat sulit,...
mem-
butuhkan
perhatian
khusus...
- Alinea 12:
...perlin-
dungan dan
pengem-
bangan yang
serasi...
- Alinea 12:
...me-
ningkatkan
kondisi
kehidupan
anak....
- Alinea 1:
...pengakuan
atas martabat
yang melekat
dan hak-hak
yang sama
dan mutlak....
- Alinea 3 :
...berhak atas
seluruh hak
dan kemer-
dekaan yang
dinyatakan di
dalamnya
tanpa
perbedaan
dalam bentuk
apapun....
- Alinea 7 :
...semangat
perdamaian,
martabat,
toleransi,
kesetaraan....
- Alinea 1:
...keadilan
dan
perdamaian
dunia.
- Alinea 1:
...dasar
kemerdekaan..
..
- Alinea 2 :
...kemerde-
kaan yang
lebih luas....
- Alinea 7 :
...kebebasan dan
solidaritas.
- Alinea 5:
...pertumbuhan
dan kesejahteraan
seluruh
anggotanya
khususnya anak-
anak....
- Alinea 8:
...berkepentingan
dengan
kesejahteraan....
- Alinea 10 :
...kesejahteraan
anak....
Sumber: Bahan Hukum Primer, diolah.
Berdasarkan tabel 4 di atas dapat dijelaskan bahwa di dalam Preamble
CRC terkandung asas persamaan hak, asas keadilan, asas kebebasan, asas
perlindungan, dan asas kesejahteraan.
Selanjutnya, dari konsiderans di atas dapat dikemukakan bahwa sesuai dengan
prinsip-prinsip yang diproklamirkan dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa,
161
sebagai dasar kemerdekaan, keadilan, dan perdamaian dunia adalah adanya
pengakuan atas martabat yang melekat dan hak-hak yang sama dan mutlak dari
semua anggota manusia. Dengan demikian, anak-anak dipersiapkan untuk hidup
dalam masyarakat dan dibesarkan dalam semangat cita-cita yang diproklamirkan
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, yaitu dalam semangat perdamaian, martabat,
toleransi, kesetaraan, kebebasan, dan solidaritas.
Pernyataan di atas lebih menegaskan bagaimana pentingnya anak-anak,
demi pengembangan sepenuhnya dan keharmonisan dari kepribadiannya, maka
anak-anak tumbuh dalam lingkungan keluarga, dalam iklim kebahagiaan, cinta
kasih dan pengertian.
3. United Nations Standart Minimum Rules for the Administration of Juvenile
Justice (The Beijing Rules)
Dalam the Beijing Rules, tidak disebutkan tentang konsiderans, namun
demikian diatur tentang Fundamental Perspectives, yang dinyatakan dalam Rule
1, sebagai berikut:
1.1 Member States shall seek, in conformity with their respective general
interest, to further the well, being of the juvenile and her or his family.
(Terjemahan bebas: Negara-negara anggota wajib berusaha, sesuai
dengan kepentingan masing-masing secara umum, untuk memajukan
kesejahteraan anak dan dia (perempuan) atau keluarganya).
1.2 Member States shall endeavour to develop conditions that will ensure for
the juvenile a meaningful life in the community, which, during that
period in life when she or he is most susceptible to deviant behavior, will
foster a process of personal development and education that is as free
from crime and delinquency as possible. (Terjemahan bebas: Negara-
negara anggota wajib berusaha untuk mengembangkan kondisi yang
akan menjamin kehidupan anak yang bermakna di masyarakat, yang
162
selama waktu hidup ketika dia paling rentan terhadap perilaku
menyimpang, akan menumbuhkan proses pengembangan pribadi dan
pendidikan yang bebas dari kejahatan dan kenakalan).
1.3 Sufficient attention shall be given to positive measures that involve the
full mobilization of all possible resources, including the family,
volunteers and other community groups, as well as schools and other
community institutions, for the purpose of promoting the well being of
the juvenile, with a view to reducing the need for intervention under the
law, and of effectively, fairly and humanely dealing with the juvenile in
conflict with the law. (Terjemahan bebas: Perhatian yang cukup harus
diberikan kepada langkah-langkah positif yang melibatkan mobilisasi
penuh dari semua sumber daya, termasuk keluarga, relawan, dan
kelompok masyarakat lainnya, serta sekolah-sekolah dan lembaga
masyarakat lainnya, untuk tujuan mempromosikan kesejahteraan dari
anak, dengan maksud untuk mengurangi kebutuhan intervensi di bawah
hukum secara efektif, adil, dan manusiawi berkaitan dengan anak yang
berkonflik dengan hukum).
1.4 Juvenile justice shall be conceived as an integral part of the national
development process of each country, within a comprehensive framework
of social justice for all juveniles, thus, at the same time, contributing to
the protection of the young and the maintenance of a peaceful order in
society. (Terjemahan bebas: Keadilan anak harus dipahami sebagai
bagian integral dari proses pembangunan nasional masing-masing
negara, dalam kerangka kerja yang komprehensif yang berkeadilan sosial
bagi anak, dengan demikian, pada saat yang sama, memberikan
kontribusi bagi perlindungan anak dan pemeliharaan perdamaian dan
ketertiban dalam masyarakat).
1.5 These Rules shall be implemented in the context of economic, social and
cultural conditions prevaling in each Member State. (Terjemahan bebas:
Aturan ini harus diterapkan dalam konteks kondisi ekonomi, sosial dan
budaya yang berlaku di masing-masing negara anggota).
1.6 Juvenile justice services shall be systematically developed and
coordinated with a view to improving and sustaining the competence of
personnel involved in the services, including their methods, approaches
and attitudes. (Terjemahan bebas: Keadilan anak harus dikembangkan
secara sistematis dan terkoordinasi dengan maksud untuk meningkatkan
163
dan mempertahankan kompetensi personil yang terlibat dalam layanan,
termasuk metode, pendekatan, dan sikap mereka).
Dasar filosofi di dalam Fundamental Perspectives The Beijing Rules di
atas dapat disajikan pada tabel 5 berikut ini:
Tabel 5
Dasar Filosofi di dalam Fundamental Perspectives The Beijing Rules
Ketentuan
Internasional
Asas
Perlindungan
Asas
Keadilan
Asas
Kesejahteraan
Aturan
diterapkan
sesuai
dengan
budaya
negara
Fundamental
Perspectives
The Beijing
Rules
- Dalam 1.2 :
...ketika dia
paling rentan
terhadap
perilaku
menyimpang...
.
- Dalam 1.4 :
...memberikan
kontribusi bagi
perlindungan
anak....
- Dalam 1.4 :
Keadilan anak...
sebagai bagian
integral dari
proses
pembangunan...
yang
berkeadilan
sosial bagi
anak,....
- Dalam 1.6 :
Keadilan anak
harus
dikembangkan...
.
- Dalam 1.1 :
Negara-
negara
anggota
wajib
berusaha,...
untuk
memajukan
kesejahtera-
an anak....
- Dalam 1.3 :
...melibatkan
mobilisasi
penuh dari
semua
sumber
daya,...tujuan
mempromo-
sikan kesejahtera-
an anak.
Dalam 1.5:
Aturan ini
harus
diterapkan
dalam
konteks
kondisi
ekonomi,
sosial dan
budaya
yang
berlaku
di....
Sumber : Bahan Hukum Primer, diolah.
Berdasarkan tabel 5 di atas dapat dijelaskan bahwa di dalam
Fundamental Perspectives The Beijing Rules terkandung asas keadilan, asas
164
perlindungan, asas kesejahteraan, dan aturan diterapkan sesuai dengan budaya
negara.
Selanjutnya dalam komentar-komentar Fundamental Perspectives The
Beijing Rules dinyatakan sebagai berikut :
Aturan-aturan 1.1-1.3, menunjukkan peran penting bahwa kebijakan sosial yang
konstruktif untuk anak akan bekerja, antara lain dalam pencegahan kejahatan dan
kenakalan anak. Aturan 1.4 mendefinisikan peradilan anak sebagai bagian integral
dari keadilan sosial bagi anak, sedangkan aturan 1.6 mengacu pada perlunya terus
menerus meningkatkan peradilan anak dengan mengembangkan kebijakan sosial
yang progresif bagi anak pada umumnya dengan perbaikan yang konsisten.
Secara umum, substansi yang dinyatakan dalam Fundamental Perspektif
The Beijing Rules, menurut penulis dapat menjadi suatu dasar pengaturan
pelaksanaan diversi di luar sistem peradilan pidana anak untuk perlindungan dan
kesejahteraan bagi anak yang berkonflik dengan hukum.
Dasar filosofi di dalam beberapa ketentuan internasional (Preamble
UDHR, Preamble CRC, dan Fundamental Perspektif The Beijing Rules) di atas
dapat disajikan pada tabel 6 berikut ini :
165
Tabel 6
Dasar filosofi di dalam Beberapa Ketentuan Internasional
No
Ketentuan
Internasio-
nal
Asas
Persamaan
Hak
Asas
Keadilan
Asas
Bebas
dari Rasa
Takut
Asas
Perlin-
dungan
Asas
Kesejah-
teraan
Aturan
diterapkan
sesuai
dengan
budaya
negara
1 Preamble
Universal
Declaration
of Human
Rights
V
V
V
_
_
_
2 Preamble
Convention
on the
Rights of
the Child
V
V
V
V
V
_
3 Fundamen-
tal Perspec-
tives
The Beijing
Rules
_
V
_
V
V
V
Sumber: Bahan Hukum Primer, diolah.
Berdasarkan tabel 6 di atas dapat dijelaskan bahwa di dalam beberapa
ketentuan internasional terkandung asas :
1. Di dalam Pembukaan UDHR terkandung asas-asas persamaan hak, keadilan,
dan bebas dari rasa takut, namun tidak terkandung asas-asas perlindungan,
kesejahteraan, dan aturan diterapkan sesuai dengan budaya negara.
2. Di dalam Pembukaan CRC terkandung asas-asas persamaan hak, keadilan,
bebas dari rasa takut, perlindungan, dan kesejahteraan, namun tidak terkandung
asas aturan diterapkan sesuai dengan budaya negara.
3. Sedangkan di dalam ketentuan Fundamental Perspectives The Beijing Rules
terkandung asas-asas keadilan, perlindungan, kesejahteraan dan aturan
166
diterapkan sesuai dengan budaya negara, namun tidak terkandung asas-asas
persamaan hak dan bebas dari rasa takut.
3.1.2. Peraturan Perundang-undangan Nasional
1. Dalam UUD NKRI Tahun 1945
Dalam UUD NKRI Tahun 1945, penulis kemukakan alinea pertama
sampai dengan alinea keempat Pembukaan UUD NKRI Tahun 1945 yang
mengatur tentang tujuan nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang
rumusannya sebagai berikut :
Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh
sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak
sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.
Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah
kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan
rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia,
yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.
Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh
keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka
rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.
Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia
yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan
rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan
yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta
dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dasar filosofi di dalam Pembukaan UUD NKRI Tahun 1945 di atas dapat
disajikan pada tabel 7 berikut ini:
167
Tabel 7
Dasar Filosofi di dalam Pembukaan UUD NKRI Tahun 1945
Peraturan
Perundang-
undangan
Asas
Persamaan
Hak
Asas
Keadilan
Asas
Perlindung-
an
Asas
Kesejahter-
an
Pembukaan
UUD NKRI
Tahun 1945
Alinea 1 :
...sesungguh-
nya
kemerdekaan
itu ialah hak
segala
bangsa....
Alinea 1 :
...perikema-
nusiaan dan
perikeadilan
Alinea 2 :
...berdaulat,
adil dan
makmur
Alinea 4 :
...perdamaian
abadi dan
keadilan
sosial,...ke-
manusiaan
yang adil dan
beradab...
mewujudkan
suatu
keadilan
sosial....
Alinea 4 :
...membentu
k suatu
pemerintah
negara
Indonesia
yang
melindungi
segenap
bangsa
Indonesia
dan seluruh
tumpah
darah
Indonesia....
Alinea 4 :
...untuk
memajukan
kesejahteraa
n umum,....
Sumber :Bahan Hukum Primer, diolah.
Berdasarkan tabel 7 di atas dapat dijelaskan bahwa di dalam Pembukaan
UUD NKRI Tahun 1945 terkandung asas persamaan hak, asas keadilan, asas
perlindungan, dan asas kesejahteraan.
2. Dalam Konsiderans UU HAM
Dalam Konsiderans Undang-Undang HAM, dinyatakan:
a. bahwa manusia, sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang
mengemban tugas mengelola dan memelihara alam semesta dengan
penuh ketaqwaan dan penuh tanggung jawab untuk kesejahteraan umat
manusia, oleh pencipta-Nya dianugerahi hak asasi untuk menjamin
168
keberadaan harkat dan martabat kemuliaan dirinya serta keharmonisan
lingkungannya;
b. bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati
melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena
itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh
diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun;
c. bahwa selain hak asasi manusia, manusia juga mempunyai kewajiban
dasar antara manusia yang satu terhadap yang lain dan terhadap
masyarakat secara keseluruhan dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara;
d. bahwa bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa
mengemban tanggung jawab moral dan hukum untuk menjunjung
tinggi dan melaksanakan Deklarasi Universal tentang Hak Asasi
Manusia yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta
berbagai instrumen internasional lainnya mengenai hak asasi manusia
yang telah diterima oleh negara Republik Indonesia;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf
a, b, c, d, dalam rangka melaksanakan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998
tentang Hak Asasi Manusia, perlu membentuk Undang-undang tentang
Hak Asasi Manusia.
Dasar filosofi di dalam Konsiderans UU HAM di atas dapat disajikan pada
tabel 8 berikut ini :
Tabel 8
Dasar Filosofi di Dalam Konsiderans UU HAM
Peraturan Perundang-
undangan Asas Perlindungan Asas Kesejahteraan
Konsiderans UU
HAM
Huruf a :
...hak asasi untuk menjamin
keberadaan harkat dan martabat
kemuliaan dirinya serta
keharmonisan lingkungannya
Huruf b :
...oleh karena itu harus
dilindungi, dihormati,
dipertahankan....
Huruf a :
...untuk
kesejahteraan umat
manusia,....
Sumber: Bahan Hukum Primer, diolah.
Berdasarkan tabel 8 di atas dapat dijelaskan bahwa di dalam Konsiderans
UU HAM terkandung asas perlindungan dan asas kesejahteraan.
169
3. Dalam Konsiderans UU Kesejahteraan Anak
Dalam UU Kesejahteraan Anak, pada bagian menimbang atau
konsideransnya dinyatakan :
a. bahwa anak adalah potensi serta penerus cita-cita bangsa yang dasar-
dasarnya telah diletakkan oleh generasi sebelumnya;
b. bahwa agar setiap anak mampu memikul tanggungjawab tersebut, maka
ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan
berkembang dengan wajar baik secara rohani, jasmani maupun sosial;
c. bahwa di dalam masyarakat terdapat pula anak-anak yang mengalami
hambatan kesejahteraan rohani, jasmani, sosial dan ekonomi;
d. bahwa pemeliharaan kesejahteraan anak belum dapat dilaksanakan oleh
anak sendiri;
e. bahwa kesempatan, pemeliharaan dan usaha menghilangkan hambatan
tersebut hanya akan dapat dilaksanakan dan diperoleh bilamana usaha
kesejahteraan anak terjamin;
f. bahwa untuk mencapai maksud tersebut perlu menyusun Undang-
undang yang mengatur kesejahteraan anak.
Dasar filosofi di dalam Konsiderans UU Kesejahteraan Anak di atas dapat
disajikan pada tabel 9 berikut ini :
170
Tabel 9
Dasar filosofi di dalam Konsiderans UU Kesejahteraan Anak
Peraturan Perundang-
undangan Asas Keadilan Asas Kesejahteraan
Konsiderans UU
Kesejahteraan Anak
- Huruf b :
...perlu mendapat
kesempatan yang
seluas-luasnya
untuk tumbuh
dan berkembang
dengan wajar
baik secara
rohani, jasmani
maupun sosial.
- Huruf c :
...terdapat pula anak-anak yang
mengalami hambatan
kesejahteraan rohani, jasmani,
sosial dan ekonomi.
- Huruf d :
...pemeliharaan kesejahteraan
anak belum dapat dilaksanakan
oleh anak sendiri....
- Huruf e :
...usaha menghilangkan
hambatan tersebut hanya akan
dapat dilaksanakan dan
diperoleh bilamana usaha
kesejahteraan anak terjamin....
- Huruf f :
...perlu menyusun Undang-
undang yang mengatur
kesejahteraan anak....
Sumber: Bahan Hukum Primer, diolah.
Berdasarkan tabel 9 di atas dapat dijelaskan bahwa di dalam Konsiderans
UU Kesejahteraan Anak hanya terkandung asas keadilan dan asas kesejahteraan.
Senada dengan kehendak UU Kesejahteraan Anak, maka:
a. anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan, bimbingan
berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam
asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar;
b. orang tua yang pertama-tama bertanggung jawab atas terwujudnya
kesejahteraan anak baik secara rokhani, jasmani maupun sosial;
c. Anak yang mengalami masalah kelakuan diberi pelayanan dan asuhan
yang bertujuan menolongnya guna mengatasi hambatan yang terjadi
dalam masa pertumbuhan dan perkembangannya. Pelayanan dan asuhan
juga diberikan kepada anak yang telah dinyatakan bersalah melakukan
pelanggaran hukum berdasarkan keputusan hakim;
171
d. usaha kesejahteraan anak terdiri atas usaha pembinaan, pengembangan,
pencegahan, dan rehabilitasi dilakukan oleh pemerintah dan atau
masyarakat.289
4. Dalam Konsiderans UU Perlindungan Anak
Dalam Konsiderans UU Perlindungan Anak dinyatakan bahwa :
a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kesejahteraan
tiap-tiap warga negaranya, termasuk perlindungan terhadap hak anak
yang merupakan hak asasi manusia;
b. bahwa anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang
dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya;
c. bahwa anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita
perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan
sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara
pada masa depan;
d. bahwa agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut,
maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh
dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan
berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk
mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap
pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi;
e. bahwa untuk mewujudkan perlindungan dan kesejahteraan anak
diperlukan dukungan kelembagaan dan peraturan perundang-undangan
yang dapat menjamin pelaksanaannya;
f. bahwa berbagai undang-undang hanya mengatur hal-hal tertentu
mengenai anak dan secara khusus belum mengatur keseluruhan aspek
yang berkaitan dengan perlindungan anak.
Dasar filosofi di dalam Konsiderans UU Perlindungan Anak di atas dapat
disajikan pada tabel 10 berikut ini:
289
Setya Wahyudi, Op.cit., hlm. 225.
172
Tabel 10
Dasar Filosofi di dalam Konsiderans UU Perlindungan Anak
Peraturan
Perundang-
undangan
Asas
Perlindungan
Asas
Kesejahteraan
Konsiderans
UU
Perlindungan
Anak
Huruf a :
...perlindungan terhadap hak anak
yang merupakan hak asasi
manusia....
Huruf c :
...memiliki peran yang strategis
yang menjamin kelangsungan
eksistensi bangsa dan negara pada
masa depan.
Huruf d :
...perlu dilakukan upaya
perlindungan....
Huruf e :
...untuk mewujudkan
perlindungan...diperlukan
dukungan kelembagaan dan
peraturan perundang-undangan....
Huruf f :
...berbagai undang-undang hanya
mengatur hal-hal tertentu mengenai
anak dan secara khusus belum
mengatur keseluruhan aspek yang
berkaitan dengan perlindungan
anak....
Huruf a :
...menjamin
kesejahteraan tiap-tiap
warga negaranya,....
Huruf d :
... untuk mewujudkan
kesejahteraan anak
dengan memberikan
jaminan terhadap
pemenuhan hak-haknya
Huruf e :
...kesejahteraan anak
diperlukan dukungan
kelembagaan dan
peraturan perundang-
undangan yang dapat
menjamin
pelaksanaannya....
Sumber: Bahan Hukum Primer, diolah.
Berdasarkan tabel 10 di atas dapat dijelaskan bahwa di dalam Konsiderans
UU Perlindungan Anak hanya terkandung asas perlindungan dan asas
kesejahteraan.
173
5. Dalam Konsiderans UU Pengadilan Anak
Dalam Konsiderans UU Pengadilan Anak, pada huruf a dan c dinyatakan
bahwa:
a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu
sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita
perjuangan bangsa, yang memiliki peranan strategis dan mempunyai
ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam
rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan
sosial secara utuh, serasi, selaras, dan seimbang;
b. bahwa untuk melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan
terhadap anak, diperlukan dukungan, baik yang menyangkut
kelembagaan maupun perangkat hukum yang lebih mantap dan
memadai, oleh karena itu ketentuan mengenai penyelenggaraan
pengadilan bagi anak perlu dilakukan secara khusus.
Dasar filosofi di dalam Konsiderans UU Pengadilan Anak di atas dapat
disajikan pada tabel 11 berikut ini:
Tabel 11
Dasar Filosofi di dalam Konsiderans UU Pengadilan Anak
Peraturan
Perundang-
undangan
Asas
Perlindungan
Konsiderans UU
Pengadilan Anak
Huruf a :
...memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka
menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental,
dan sosial secara utuh, serasi, selaras, dan seimbang.
Huruf b :
...untuk melaksanakan pembinaan dan memberikan
perlindungan terhadap anak, diperlukan dukungan, baik
yang menyangkut kelembagaan maupun perangkat hukum
yang lebih mantap dan memadai....
Sumber: Bahan Hukum Primer, diolah.
Berdasarkan tabel 11 di atas dapat dijelaskan bahwa di dalam Konsiderans
UU Pengadilan Anak hanya terkandung asas perlindungan.
174
6. Dalam Naskah Akademik UU SPP Anak
Dalam latar belakang Naskah Akademik UU SPP Anak, dinyatakan bahwa :
Dalam rangka mewujudkan sumber daya manusia Indonesia yang
berkualitas dan mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan
persatuan bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945,
pembinaan terhadap anak yang diduga melakukan suatu tindak pidana
perlu dilakukan secara terus menerus demi kelangsungan hidup,
pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial serta
perlindungan dari segala kemungkinan yang akan membahayakan
anak sebagai generasi penerus bangsa di masa depan....
Dalam menghadapi dan menanggulangi berbagai perbuatan dan
tingkah laku anak yang diduga melakukan tindak pidana, perlu
dipertimbangkan kedudukan anak dengan segala ciri dan sifatnya yang
khas. Walaupun anak telah dapat menentukan sendiri langkah
perbuatannya berdasarkan pikiran, perasaan, dan kehendaknya, tetapi
keadaan sekitarnya dapat mempengaruhi perilakunya. Oleh karena itu,
dalam menghadapi masalah anak yang diduga melakukan suatu tindak
pidana, orang tua dan masyarakat sekelilingnya seharusnya lebih
bertanggungjawab terhadap pembinaan, pendidikan, dan
pengembangan perilaku anak tersebut.
...Dan yang paling mendasar dalam Rancangan Undang-Undang ini
adalah pengaturan secara tegas mengenai Restorative Justice dan
diversi. Pengaturan mengenai diversi dimaksudkan antara lain untuk
menghindari atau menjauhkan anak dari proses peradilan. Hal ini
antara lain bertujuan untuk menghindari stigmatisasi terhadap anak
yang diduga melakukan tindak pidana, sehingga diharapkan anak
dapat kembali ke dalam lingkungan sosialnya secara wajar. Oleh
karena itu sangat diperlukan peran serta semua pihak dalam rangka
mewujudkan hal tersebut....
Dasar filosofi di dalam Naskah Akademik UU SPP Anak di atas dapat
disajikan pada tabel 12 berikut ini:
175
Tabel 12
Dasar Filosofi di dalam Naskah Akademik UU SPP Anak
Peraturan
Perundang-
undangan
Asas
Perlindungan
Naskah Akademik
UU SPP Anak
Alinea 1 :
...pembinaan terhadap anak yang diduga melakukan
suatu tindak pidana perlu dilakukan secara terus
menerus demi kelangsungan hidup, pertumbuhan dan
perkembangan fisik, mental dan sosial serta
perlindungan dari segala kemungkinan yang akan
membahayakan anak....
Sumber: Bahan Hukum Primer, diolah.
Berdasarkan tabel 12 di atas dapat dijelaskan bahwa di dalam Naskah
Akademik UU SPP Anak terkandung asas perlindungan.
7. Dalam Konsiderans UU SPP Anak
Dalam Konsiderans UU SPP Anak dinyatakan bahwa :
a. bahwa anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa
yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya;
b. bahwa untuk menjaga harkat dan martabatnya, anak berhak
mendapatkan perlindungan khusus, terutama perlindungan hukum
dalam sistem peradilan;
c. bahwa Indonesia sebagai Negara Pihak dalam Konvensi Hak-Hak
Anak (Convention on the Rights of the Child) yang mengatur prinsip
perlindungan hukum terhadap anak mempunyai kewajiban untuk
memberikan perlindungan khusus terhadap anak yang berhadapan
dengan hukum;
d. bahwa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan
hukum masyarakat karena belum secara komprehensif memberikan
perlindungan kepada anak yang berhadapan dengan hukum sehingga
perlu diganti dengan undang-undang baru;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf
a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu membentuk Undang-Undang
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Dasar filosofi di dalam Konsiderans UU SPP Anak di atas dapat disajikan
pada tabel 13 berikut ini :
176
Tabel 13
Dasar Filosofi di dalam Konsiderans UU SPP Anak
Peraturan Perundang-
undangan
Asas
Perlindungan
Konsiderans
UU SPP Anak
Huruf b :
...anak berhak mendapatkan perlindungan khusus,
terutama perlindungan hukum dalam sistem
peradilan.
Huruf c :
...kewajiban untuk memberikan perlindungan khusus
terhadap anak yang berhadapan dengan hukum....
Huruf d :
...belum secara komprehensif memberikan
perlindungan kepada anak yang berhadapan dengan
hukum sehingga perlu diganti dengan undang-undang
baru....
Sumber: Bahan Hukum Primer, diolah.
Berdasarkan tabel 13 di atas dapat dijelaskan bahwa di dalam Konsiderans
UU SPP Anak hanya terkandung asas perlindungan.
Berdasarkan uraian dasar filosofi beberapa konsiderans peraturan
perundang-undangan nasional (Pembukaan UUD NKRI Tahun 1945, Konsiderans
UU HAM, Konsiderans UU Kesejahteraan Anak, Konsiderans UU Perlindungan
Anak, Konsiderans UU Pengadilan Anak, Naskah Akademik UU SPP Anak, dan
Konsiderans UU SPP Anak) di atas, maka dapat disajikan dalam tabel 14 berikut
ini:
177
Tabel 14
Dasar Filosofi di Dalam Konsiderans Beberapa
Peraturan Perundang-undangan Nasional
No Peraturan Perundang-
undangan
Asas
Persamaan
Hak
Asas
Keadilan
Asas
Perlindungan
Asas
Kesejahteraan
1 Pembukaan UUD NKRI
Tahun 1945 V V V V
2 Konsiderans
UU HAM - - V V
3 Konsiderans UU
Kesejahteraan Anak - V - V
4 Konsiderans UU
Perlindungan Anak - - V V
5 Konsiderans UU Pengadilan
Anak - - V -
6 Naskah Akademik UU SPP
Anak - - V -
7 Konsiderans UU SPP Anak - - V -
Sumber : Bahan Hukum Primer, diolah.
Berdasarkan tabel 14 di atas dapat dijelaskan bahwa di dalam beberapa
peraturan perundang-undangan nasional terkandung asas :
1. Di dalam Pembukaan UUD NKRI Tahun 1945 terkandung asas-asas persamaan
hak, keadilan, perlindungan, dan kesejahteraan.
2. Di dalam Konsiderans UU HAM terkandung asas-asas perlindungan dan
kesejahteraan, namun tidak terkandung asas-asas persamaan hak dan keadilan.
3. Di dalam Konsiderans UU Kesejahteraan Anak terkandung asas-asas keadilan
dan kesejahteraan, namun tidak terkandung asas-asas persamaan hak dan
perlindungan.
4. Di dalam Konsiderans UU Perlindungan Anak terkandung asas-asas
perlindungan dan kesejahteraan, namun tidak terkandung asas-asas persamaan
hak dan keadilan.
178
5. Di dalam Konsiderans UU Pengadilan Anak terkandung asas perlindungan,
namun tidak terkandung asas-asas persamaan hak, keadilan, dan kesejahteraan.
6. Di dalam Naskah Akademik UU SPP Anak terkandung asas perlindungan,
namun tidak terkandung asas-asas persamaan hak, keadilan dan kesejahteraan.
7. Di dalam Konsiderans UU SPP Anak hanya terkandung asas perlindungan,
namun tidak terkandung asas-asas persamaan hak, keadilan, dan kesejahteraan.
3.2. Dasar Filosofi Peradilan Anak Menurut Para Ahli
1. Walker mengemukakan bahwa:
Diversi dilakukan dengan alasan untuk memberikan suatu kesempatan
kepada pelanggar hukum agar menjadi orang yang baik kembali melalui
jalur non formal dengan melibatkan sumber daya masyarakat. Diversi
berupaya memberikan keadilan kepada kasus anak yang telah terlanjur
melakukan tindak pidana sampai kepada aparat penegak hukum. Kedua
keadilan tersebut dipaparkan melalui sebuah penelitian terhadap keadaan
dan situasi untuk memperoleh sanksi atau tindakan yang tepat
(appropriate treatment).290
Dasar Filosofi Peradilan Anak Menurut Walker di atas dapat disajikan
pada tabel 15 berikut ini:
Tabel 15
Dasar Filosofi Peradilan Anak Menurut Walker
Nama Ahli Hukum Asas Keadilan
Walker ...Diversi berupaya memberikan keadilan kepada
kasus anak....
Sumber: Bahan Hukum Sekunder, diolah.
290
Walker, Training The System The Control of Discretion in Criminal Justice
1950-1990, (New York: Oxford University Press, 1993), p. 1-2.
179
Berdasarkan tabel 15 di atas dapat dijelaskan bahwa dalam pendapat
Walker terkandung asas keadilan.
2. Mardjono Reksodipoetro mengemukakan bahwa “Tidak semua perkara
(termasuk anak) harus diproses lewat hukum namun dapat diselesaikan di luar
pengadilan pada waktu perkara masih dalam tahap penyidikan, misalnya
melalui mediator, denda administratif, pembinaan, anak diserahkan kepada
orang tuanya untuk memperoleh perlindungan dengan memberikan peringatan
keras.291
Dasar Filosofi Peradilan Anak Menurut Mardjono Reksodipoetro di atas
dapat disajikan pada tabel 16 berikut ini:
Tabel 16
Dasar Filosofi Peradilan Anak Menurut Mardjono Reksodipoetro
Nama Ahli Hukum Asas Perlindungan
Mardjono Reksodipoetro ...anak diserahkan kepada orang tuanya untuk
memperoleh perlindungan....
Sumber: Bahan Hukum Sekunder, diolah.
Berdasarkan tabel 16 di atas dapat dijelaskan bahwa dalam pendapat
Mardjono Reksodipoetro terkandung asas perlindungan.
3. Sudikno Mertokusumo mengemukakan bahwa:
Tujuan peradilan (maksudnya pengadilan anak) bukan semata-mata hanya
menyatakan terbukti tidaknya suatu peristiwa konkrit dan kemudian
menjatuhkan putusan saja, melainkan menyelesaikan perkara. Putusan itu
harus menuntaskan perkara, jangan sampai putusan itu tidak dapat
dilaksanakan atau menimbulkan perkara atau masalah baru. Mengingat
291Mardjono Reksodipoetro, Bungai Rampai Permasalahan dalam Sistem
Peradilan Pidana, (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum d/h
Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 1994), hlm. 36.
180
bahwa anak harus mendapat perlindungan dan oleh karena itu perlu
mendapat perhatian dan perlakuan khusus pula maka dalam peradilan anak
ini, hendaknya janganlah dititikberatkan kepada terbukti tidaknya
perbuatan atau pelanggaran yang dilakukan si anak semata-mata, tetapi
harus lebih diperhatikan dan dipertimbangkan latar belakang dan sebab-
sebab serta motivasi pelanggaran atau perbuatan yang dilakukan oleh si
anak dan apa kemungkinan akibat putusan itu bagi si anak demi hari depan
si anak....292
.
Dasar Filosofi Peradilan Anak Menurut Sudikno Mertokusumo di atas
dapat disajikan pada tabel 17 berikut ini:
Tabel 17
Dasar Filosofi Peradilan Anak Menurut Sudikno Mertokusumo
Nama Ahli Hukum Asas Perlindungan
Sudikno Mertokusumo ...Mengingat bahwa anak harus mendapat
perlindungan....
Sumber: Bahan Hukum Sekunder, diolah.
Berdasarkan tabel 17 di atas dapat dijelaskan bahwa dalam pendapat
Sudikno Mertokusumo terkandung asas perlindungan.
4. Setya Wahyudi mengemukakan bahwa:
Ide dasar pemikiran tujuan implementasi ide diversi adalah untuk
perlindungan anak pelaku tindak pidana, menghindari pengaruh negatif
proses formal sistem peradilan pidana anak bagi beberapa pelaku anak
tertentu, karena penyelesaian proses formal melalui sistem peradilan
pidana anak akan memungkinkan lebih melukai pelaku anak....Kebijakan
alternatif ini dianggap sebagai langkah yang paling tepat dan akan
memberikan hasil optimal terutama dalam kasus-kasus dimana si pelaku
melakukan tindak pidana yang tergolong ringan atau tidak serius dan dari
pihak keluarga, sekolah, dan lingkungan masyarakatnya sendiri turut
memberikan dukungan dan dapat bersikap dengan sewajarnya (tidak
membesar-besarkan masalah)....293
292
Sudikno Mertokusumo, “Kedudukan dan Wewenang Peradilan Anak dalam
Sistem Peradilan di Indonesia”, dalam Romli Atmasasmita, Peradilan Anak di Indonesia,
(Bandung: Mandar Maju, 1997), hlm. 51.
293
Setya Wahyudi, Op.cit., hlm. 85.
181
Dasar filosofi peradilan anak menurut Setya Wahyudi di atas dapat
disajikan pada tabel 18 berikut ini:
Tabel 18
Dasar Filosofi Peradilan Anak Menurut Setya Wahyudi
Nama Ahli Hukum Asas Perlindungan
Setya Wahyudi ...diversi adalah untuk perlindungan anak pelaku
tindak pidana....
Sumber: Bahan Hukum Sekunder, diolah.
Berdasarkan tabel 18 di atas dapat dijelaskan bahwa dalam pendapat Setya
Wahyudi terkandung asas perlindungan.
5. Barda Nawawi Arief
Mengemukakan bahwa:
Penyelenggaraan peradilan anak memerlukan pendekatan khusus, perhatian
khusus, pertimbangan khusus, pelayanan dan perlakuan/perawatan khusus
serta perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum dan
peradilan... Untuk itu, sejauh mungkin menghindari proses hukum yang
semata-mata bersifat menghukum, yang bersifat degradasi mental dan
penurunan semangat (discourragement), serta menghindari proses
stigmatisasi yang dapat menghambat proses perkembangan kematangan dan
kemandirian anak dalam arti wajar.294
Dasar Filosofi Peradilan Anak Menurut Barda Nawawi Arief di atas dapat
disajikan pada tabel 19 berikut ini:
294
Muladi dan Barda Nawawi Arif, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,
(Bandung: Alumni, 1992), hlm. 114-115.
182
Tabel 19
Dasar Filosofi Peradilan Anak Menurut Barda Nawawi Arief
Nama Ahli Hukum Asas Perlindungan
Barda Nawawi Arief Penyelenggaraan peradilan anak memerlukan...
perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan
dengan hukum dan peradilan....
Sumber: Bahan Hukum Sekunder, diolah.
Berdasarkan tabel 19 di atas dapat dijelaskan bahwa dalam pendapat Barda
Nawawi Arief terkandung asas perlindungan
6. Menurut Satjipto Raharjo, khususnya untuk tindak pidana anak perlu ada
tindakan lain dalam menangani hal tersebut. Peradilan anak yang
mengedepankan perlindungan dan rehabilitasi terhadap anak sebagai orang
yang masih mempunyai sejumlah keterbatasan dibandingkan dengan orang
dewasa.295
Dasar Filosofi Peradilan Anak Satjipto Rahardjo di atas dapat disajikan
pada tabel 20 berikut ini :
Tabel 20
Dasar Filosofi Peradilan Anak Menurut Satjipto Rahardjo
Nama Ahli Hukum Asas Perlindungan
Satjipto Rahardjo ...Peradilan anak yang mengedepankan
perlindungan dan rehabilitasi terhadap anak....
Sumber: Bahan Hukum Sekunder, diolah.
Berdasarkan tabel 20 di atas dapat dijelaskan bahwa dalam pendapat Barda
Nawawi Arief terkandung asas perlindungan.
295Satjipto Rahardjo, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya, (Jakarta:
Genta Publishing, 2009), hlm. 14.
183
Dasar filosofi peradilan anak menurut para ahli di atas dapat disajikan
pada tabel 21 berikut ini:
Tabel 21
Dasar Filosofi Peradilan Anak Menurut Para Ahli
No Nama Ahli Hukum Asas Perlindungan Asas Keadilan
1 Walker - V
2 Mardjono Reksodipoetro V -
3 Sudikno Mertokusumo V -
4 Setya Wahyudi V -
5 Barda Nawawi Arief V -
6 Satjipto Rahardjo V -
Sumber: Bahan Hukum Sekunder, diolah.
Berdasarkan tabel 21 di atas dapat dijelaskan bahwa dalam pendapat
beberapa ahli hukum terkandung asas perlindungan dan asas keadilan.
Beberapa pendapat di atas memperkuat ketentuan internasional dan peraturan
perundang-undangan di negara-negara bagian Australia bahwa terdapat dasar
filosofi penanganan perkara anak yang berkonflik dengan hukum dengan
pelaksanaan diversi di luar SPP Anak.
3.3. Asas Kepentingan Terbaik Bagi Anak (The Best Interest of The Child)
Asas kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of the child)
tercantum dalam CRC atau KHA yang merupakan perjanjian yang mengikat
184
secara yuridis dan politis diantara berbagai negara yang mengatur hal-hal yang
berhubungan dengan anak. Konvensi yang telah disetujui oleh Majelis Umum
Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 20 Nopember 1989 dan telah
diratifikasi oleh pemerintah Indonesia sebagai negara peserta melalui Keputusan
Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1990 tanggal 25 Agustus 1990.
Konvensi hak-hak anak adalah sebuah konvensi internasional yang
mengatur hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan kultural anak-anak. Negara-
negara yang meratifikasi konvensi ini terikat untuk melaksanakannya sesuai
dengan hukum internasional.296
Konvensi ini merumuskan prinsip-prinsip hak
anak yang ditujukan untuk melindungi hak-hak anak. Salah satu prinsip dalam
KHA yang berkaitan dengan pelaksanaan diversi sebagai wujud perlindungan
hukum bagi anak adalah dianutnya prinsip kepentingan terbaik bagi anak (the best
interest of the child) sebagaimana disebutkan dalam Article 3.1 CRC, bahwa :
In all actions concerning children, whether undertaken by public or
private social welfare institutions, courts of law, administrative authorities
or legislative bodies, the best interests of the child shall be a primary
considerations. (Terjemahan bebas: Dalam semua tindakan yang
menyangkut anak, baik yang dilakukan oleh masyarakat atau swasta,
lembaga kesejahteraan sosial, pengadilan hukum, penguasa administratif
atau badan legislatif, kepentingan terbaik bagi anak harus menjadi
pertimbangan utama).
Ketentuan tersebut meminta negara dan pemerintah serta badan-badan
publik dan privat memastikan dampak terhadap anak-anak atas semua tindakan
mereka, yang tentunya menjamin bahwa prinsip the best interest of the child
296
Anonim (f), http://id.wikipedia.org/wiki/Konvensi_Hak-Hak_Anak, diakses
pada tanggal 27 Nopember 2012, hlm. 1
185
menjadi pertimbangan utama, memberikan prioritas yang lebih baik bagi anak-
anak dan membangun masyarakat yang ramah anak (child friendly-society).297
3.4. Konsep ke Depan Tentang Dasar Filosofi Kebijakan Formulasi
Pengaturan Ketentuan Pelaksanaan Diversi di Luar Sistem Peradilan
Pidana Anak dalam Rangka Perlindungan dan Kesejahteraan Anak
Berdasarkan hasil penelitian sebagai jawaban permasalahan nomor 1 (satu)
dengan mengkaji sejumlah bahan hukum antara lain konsiderans beberapa
ketentuan internasional, peraturan perundang-undangan di Indonesia dan pendapat
para ahli hukum, memperkuat adanya konsep dasar filosofi kebijakan formulasi
pengaturan ketentuan pelaksanaan diversi di luar sistem peradilan pidana anak
dalam rangka perlindungan dan kesejahteraan anak. Hal demikian akan dipakai
sebagai bahan amandemen UU SPP Anak untuk masa depan.
Dari tabel 14 di atas dapat diketahui bahwa dasar filosofi UU SPPAnak
hanya mengandung asas perlindungan, sebagaimana dimuat dalam konsiderans
UU tersebut. Hal ini tentu sulit untuk memberikan yang terbaik bagi anak (the
best interest of the child) dalam rangka tercapainya kesejahteraan bagi anak.
Karenanya penulis mengajukan konsep ke depan mengenai dasar filosofi
kebijakan formulasi pengaturan ketentuan pelaksanaan diversi di luar SPP Anak
dalam rangka perlindungan dan kesejahteraan anak. Seyogyanya UU SPP Anak
menggunakan konsep asas-asas yang di dalamnya terkandung nilai-nilai, yakni
297
Muhammad Joni, Hak-Hak Anak Dalam UU Perlindungan Anak dan Konvensi
PBB tentang Hak Anak: Beberapa Isu Hukum Keluarga, (Jakarta: Komisi Nasional
Perlindungan Anak, tanpa tahun), hlm. 5.
186
konsiderans beberapa ketentuan internasional, konsiderans peraturan perundang-
undangan nasional yang berkaitan dengan perlindungan dan kesejahteraan anak,
serta dasar filosofi pendapat para ahli hukum tentang peradilan anak, yang
mengandung beberapa asas, yaitu: asas persamaan hak, asas keadilan, asas bebas
dari rasa takut, asas perlindungan, asas kesejahteraan dan aturan diterapkan sesuai
dengan budaya negara. Selain itu, asas kepentingan terbaik bagi anak (the best
interest of the child) hendaknya juga menjadi konsep dasar filosofi kebijakan
formulasi pengaturan ketentuan pelaksanaan diversi di luar SPP Anak dalam
rangka perlindungan dan kesejahteraan anak.
Konsep tersebut diajukan dengan suatu dasar pemikiran dan pertimbangan sebagai
berikut:
1) Berdasarkan acuan yuridis dari konsep yang penulis ajukan adalah diatur dalam
konsiderans beberapa ketentuan internasional dan peraturan perundang-
undangan nasional, yaitu:
- Asas persamaan hak
Terkandung dalam Preamble Universal Declaration of Human Rights, alinea
1; Preamble Convention on the Rights of the Child (CRC) atau Mukadimah
Konvensi Hak Anak (KHA), alinea 1, alinea 3, dan alinea 7 dan Pembukaan
UUD NKRI tahun 1945 alinea 1 menentukan adanya pengakuan atas
martabat serta hak-hak yang sama dan setara.
187
- Asas Keadilan
Terkandung dalam Preamble Universal Declaration of Human Rights, alinea
1; Preamble Convention on the Rights of the Child (CRC) atau Mukadimah
Konvensi Hak Anak (KHA), alinea 1; Fundamental Perspectives United
Nations Standart Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice
(The Beijing Rules), angka 1.4, angka 1.6; Pembukaan UUD NKRI, alinea 1,
2 dan 4; Konsiderans UU Kesejahteraan Anak, huruf b, dan pendapat Walker
tentang peradilan anak menentukan bahwa keadilan anak merupakan bagian
integral dari proses pembangunan bangsa sehingga anak perlu mendapat
kesempatan yang luas untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar baik
jasmani, rokhani maupun sosial.
- Asas bebas dari rasa takut
Terkandung dalam Preamble Universal Declaration of Human Rights, alinea
2; Preamble Convention on the Rights of the Child (CRC) atau Mukadimah
Konvensi Hak Anak (KHA), alinea 1, alinea 2, alinea 7 menentukan bebas dari
rasa takut, kemerdekaan dan solidaritas.
- Asas Perlindungan
Terkandung dalam Preamble Convention on the Rights of the Child (CRC) atau
Mukadimah Konvensi Hak Anak (KHA), alinea 9, alinea 10, 11 dan 12;
Fundamental Perspectives United Nations Standart Minimum Rules for the
Administration of Juvenile Justice (The Beijing Rules) angka 1.2 dan 1.4;
Pembukaan UUD NKRI tahun 1945, alinea 4; Konsiderans UU HAM huruf a
dan b; Konsiderans UU Perlindungan Anak, huruf a, c, d, e dan f; Konsiderans
188
UU Pengadilan Anak, huruf a dan b; Naskah Akademik UU SPP Anak, huruf b
dan c; Konsiderans UU SPP Anak, huruf b dan c serta doktrin dari Mardjono
Reksodipoetro, Sudikno Mertokusumo, Setya Wahyudi, Barda Nawawi Arief
dan Satjipto Rahardjo tentang peradilan anak menentukan karena
ketidakmatangan fisik dan mentalnya, anak paling rentan terhadap perilaku
menyimpang maka ia membutuhkan perlindungan dan perlakuan khusus dalam
peradilan anak.
- Asas Kesejahteraan
Terkandung dalam Preamble Convention on the Rights of the Child (CRC) atau
Mukadimah Konvensi Hak Anak (KHA) alinea 5, 8 dan 10; Fundamental
Perspectives United Nations Standart Minimum Rules for the Administration of
Juvenile Justice (The Beijing Rules) angka 1.1 dan 1.3; Pembukaan UUD
NKRI Tahun 1945, alinea 4; Konsiderans UU HAM, huruf a; Konsiderans UU
Kesejahteraan Anak, huruf c, d, e dan f; Konsiderans UU Perlindungan Anak,
huruf a menentukan negara wajib berusaha memajukan dan menjamin
kesejahteraan anak karena kesejahteraan anak belum dapat dilaksanakan oleh
anak sendiri.
- Aturan diterapkan sesuai dengan budaya negara
Terkandung dalam Fundamental Perspectives United Nations Standart
Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (The Beijing Rules),
angka 1.5 menentukan aturan harus diterapkan sesuai dengan budaya negara.
Selain itu, sebagai acuan yuridis dapat dijadikan sebagai pertimbangan adalah :
189
- Asas Kepentingan Terbaik Bagi Anak (The Best Interest of The Child),
merupakan prinsip hak anak yang ditujukan untuk melindungi hak-hak anak
maka kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of the child) harus
menjadi pertimbangan utama.
2) Bila ditinjau dari kajian teoritik, sebagai pisau analisis permasalahan disertasi
ini, dipergunakan sebagai landasan teori adalah teori perlindungan HAM dari
Marzuki Darusman dan Muladi.
- Teori perlindungan HAM yang dikembangkan oleh Marzuki Darusman
bahwa HAM itu harus sesuai dengan kodrat manusia baik sebagai makhluk
pribadi maupun makhluk sosial sehingga HAM harus dihargai dan
dijunjung tinggi secara adil yakni memperlakukan tiap manusia sesuai
dengan martabat kemanusiaannya.
Sebagai makhluk pribadi, anak yang berkonflik dengan hukum seyogyanya
diperlakukan secara manusiawi sesuai dengan harkat dan martabatnya
meskipun anak telah melakukan tindak pidana.
Menurut Abdul Ghofur Anshari, sebagai makhluk pribadi, manusia
mempunyai hak untuk hidup dan berkembang seperti hak kebebasan batin,
hak atas nama baik, dan sebagainya. Hak-hak dasar ini disusun utamanya
adalah untuk perlindungan pribadi manusia terhadap kekuasaan yang
dimiliki negara (sub bab 2.1.1 disertasi ini). Dalam hal ini, anak yang
berkonflik dengan hukum juga memiliki hak atas kebebasan batin yakni
bebas dari rasa takut akibat proses peradilan pidana sehingga untuk
memberikan perlindungan dari rasa takut maka sebaiknya ia dijauhkan dari
190
proses peradilan pidana. Anak yang berkonflik dengan hukum juga
memiliki hak atas nama baik. Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa
pelaksanaan diversi di dalam SPP Anak akan menimbulkan stigma,
karenanya dapat menyebabkan nama baik anak menjadi tercemar sehingga
untuk memberikan perlindungan hak asasi atas nama baik maka penanganan
anak yang berkonflik dengan hukum dilakukan dengan melaksanakan
diversi di luar SPP Anak.
Hak asasi sebagai makhluk sosial antara lain terdiri dari hak sosial, hak asasi
budaya, hak kesamaan dalam hukum dan pemerintahan (sub bab 2.1.1
disertasi ini). Dalam kaitannya dengan hak sosial, maka anak tetap berhak
untuk berinteraksi dalam masyarakatnya, hidup dengan layak, dihargai dan
dijunjung tinggi. Hak asasi budaya antara lain adalah hak untuk
mendapatkan pendidikan. Pada masa tumbuh kembang, anak sedang
memenuhi kewajiban dan memenuhi haknya untuk belajar. Belajar yang
sesungguhya yakni berinteraksi dengan teman sebaya dalam suasana
gembira, berimajinasi dan berobsesi merajut masa depan (sub bab 2.1.2
disertasi ini), maka agar anak tidak mengalami hambatan dalam
melaksanakan pendidikan, lebih baik ia ditangani dengan pelaksanaan
diversi di luar SPP Anak. Menyangkut hak kesamaan dalam hukum dan
pemerintahan, maka anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum,
hak untuk diperlakukan secara adil.
- Konsep perlindungan HAM menurut Muladi, agar HAM yang merupakan
hak-hak yang melekat pada manusia yang mencerminkan martabatnya dapat
191
ditegakkan, maka HAM hendaknya memperoleh jaminan hukum, sebab
hak-hak itu dapat efektif bila dilindungi hukum (sub bab 2.1.1 disertasi ini).
- Berkaitan dengan hak anak sebagai hak asasi anak, dalam Deklarasi Jenewa
tentang hak-hak anak diatur sebagai berikut:
1. The child must be given the means requisite for its normal development,
both materially and spiritually. (Terjemahan bebas: Anak harus diberi
sarana yang diperlukan untuk perkembangannya secara normal, baik
material maupun spiritual);
2. The child that is hungry must be fed, the child that is sick must be nursed,
the child that is backward must be helped, the delinquent child must be
reclaimed, and the orphan and the waif must be sheltered and succored.
(Terjemahan bebas: Anak yang lapar harus diberi makan, anak yang sakit
harus dirawat, anak yang terbelakang harus dibantu, anak nakal harus
diperbaiki kembali, anak yatim dan anak terlantar harus dilindungi serta
diberikan bantuan apabila mengalami kesulitan);
3. The child must be the first to receive relief in times of distress.
(Terjemahan bebas: Anak harus menjadi yang pertama untuk menerima
bantuan pada saat kesulitan);
4. The child must be brought up in the consciousness that its talents must be
devoted to the service of fellow men. (Terjemahan bebas: Anak harus
dibesarkan dengan kesadaran bahwa dirinya berguna bagi sesama
manusia).
Nilai anak yang dijadikan norma universal adalah anak juga sebagai manusia
yang utuh, yang memiliki hak asasi yang harus dilindungi. Pandangan ini
menuntut orang dewasa termasuk pemerintah untuk memberikan perlindungan.
Utamanya, pemerintah bertanggung jawab penuh terhadap setiap anak yang
lahir di dunia karena perlindungan anak adalah bagian dari pelaksanaan hak
asasi manusia.
3) Filosofi Pancasila, Indonesia sebagai negara hukum yang berfalsafah pada
Pancasila yang terdiri dari Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil
dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, Keadilan sosial bagi
192
seluruh rakyat Indonesia. Kelima sila ini adalah satu kesatuan yang bulat dan
mengikat satu dengan lainnya secara utuh. Bahwa pengaturan ketentuan
pelaksanaan diversi di luar SPP Anak tidak bertentangan dengan Pancasila,
dalam hal ini dapat dilihat dalam kajian masing-masing sila, sebagai berikut:
- Dalam sila yang pertama yakni Ketuhanan Yang Maha Esa.
- Butir 2: manusia Indonesia percaya dan takwa terhadapTuhan Yang Maha
Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing
menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.298
Dalam hal ini, berkaitan dengan anak, QS. Al-Furqan ayat 74 menyatakan
bahwa:
“Dan orang-orang yang berkata: ya Tuhan kami, anugerahkan kepada kami
isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan
jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa”.
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyatakan bahwa:
Keturunan atau anak menjadi qurrota a’yun (penyenang hati) apabila ia
tumbuh menjadi anak yang taat kepada Allah, tekun beribadah,
menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya, menjauhkan segala apa yang
dilarang dan diharamkan-Nya (terjemahan singkat tafsir Ibnu Katsir Jilid
VI, hlm. 36). Jadi hanya anak yang menjalankan ajaran agama dengan baik
dan memiliki akhlaqul karimah yang dapat menjadi qurrota a’yun. Anak
qurrota a’yun dikonstruksi oleh bangunan keagamaan yang baik sehingga
hanya dapat diwujudkan dengan jalan mendekatkan anak dengan
memberikan pendidikan agama yang baik kepada anak-anak. Tanpa hal itu
anak qurrota a’yun selamanya akan tetap menggantung dalam alam cita
dan tidak akan pernah membumi dalam alam fakta.299
298
http://achmadbahri.blogspot.com/2012/11/45-butir-nilai-pedoman-
penghayatan-dan.html, diakses tanggal 24 Nopember 2012.
299Muhammad Abani, “Anak Cerdas Dunia Akherat”,
http://salama.blogspot.com/.../anak-qurrota-a’yun, diakses tanggal 2 Juni 2007.
193
Pengaturan ketentuan pelaksanaan diversi di luar SPP Anak tentu tidak
bertentangan dengan kepribadian bangsa yang percaya, beriman dan bertaqwa
terhadap Tuhan Yang Maha Esa, karena bangsa yang beriman terhadap Tuhan
Yang Maha Esa menganggap bahwa anak merupakan amanah dari Tuhan bagi
orang tuanya sehingga orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk
mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak,
menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya
melalui pendidikan agama sehingga anak-anaknya menjadi anak yang baik,
shalih/shalihah sebagaimana disebut anak qurrota a’yun. Karenanya, anak
yang berkonflik dengan hukum lebih baik dalam asuhan dan bimbingan orang
tuanya agar menjadi anak seperti yang diharapkan yakni anak qurrota a’yun.
- Pengaturan ketentuan pelaksanaan diversi di luar SPP Anak tentu tidak
bertentangan dengan sila Kemanusiaan yang adil dan beradab.
- Butir 1: mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan
martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
- Butir 2: mengakui persamaan derajat, persamaan hak, dan kewajiban asasi
setiap manusia, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama,
kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan
sebagainya.
- Butir 3: mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia.
- Butir 4: mengembangkan sikap saling tenggang rasa dan tepa selira.
- Butir 5: mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang lain.
- Butir 6: menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
- Butir 7: gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
- Butir 8: berani membela kebenaran dan keadilan.
- Butir 9: bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat
manusia.300
300
http://achmadbahri.blogspot.com/2012/11/45-butir-nilai-pedoman-
penghayatan-dan.html, diakses tanggal 24 Nopember 2012.
194
Pengaturan ketentuan pelaksanaan diversi di luar SPP Anak berarti menghargai
nilai-nilai kemanusiaan yaitu melindungi kepentingan bersama antara anak
yang berkonflik dengan hukum dengan anak korban melalui sikap saling
mencintai sesama manusia, tenggang rasa dan tepa selira, tidak semena-mena
terhadap orang lain, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sehingga
hubungan mereka dan keluarga masing-masing akan tetap terjalin dengan baik.
- Pengaturan ketentuan pelaksanaan diversi di luar SPP Anak juga sesuai dengan
sila Persatuan Indonesia.
- Butir 1 : mampu menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan
keselamatan bangsa dan negara sebagai kepentingan bersama di
atas kepentingan pribadi dan golongan.
- Butir 2 : sanggup dan rela berkorban untuk kepentingan negara dan bangsa
apabila diperlukan.
- Butir 5 : memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial.301
Pengaturan ketentuan pelaksanaan diversi di luar SPP Anak berarti menciptakan
persatuan dan kesatuan bangsa, perdamaian, dan keadilan sosial yang
menganggap bahwa anak sebagai generasi penerus bangsa, maka diperlukan
adanya generasi yang tidak terpecah belah serta menghilangkan konflik antar anak
maupun para orang tua anak.
- Pengaturan ketentuan pelaksanaan diversi di luar SPP Anak juga tidak
bertentangan dengan sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan.
- Butir 1 : sebagai warga negara dan warga masyarakat, setiap manusia
Indonesia mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang
sama.
301
Ibid.
195
- Butir 3 : mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk
kepentingan bersama.
- Butir 4 : musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat
kekeluargaan.
- Butir 5 : menghormati dan menjunjung tinggi setiap keputusan yang
dicapai sebagai hasil musyawarah.
- Butir 6 : dengan iktikad baik dan rasa tanggungjawab menerima dan
melaksanakan hasil keputusan musyawarah.
- Butir 7 : di dalam musyawarah diutamakan kepentingan bersama di atas
kepentingan pribadi dan golongan.
- Butir 8 : musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan
hati nurani yang luhur.
- Butir 9 : keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan
secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung
tinggi harkat dan martabat manusia, nilai-nilai kebenaran dan
keadilan, mengutamakan persatuan dan kesatuan demi
kepentingan bersama.302
Pengaturan ketentuan pelaksanaan diversi di luar SPP Anak berarti
mengutamakan musyawarah untuk mufakat yang dilakukan dengan akal sehat dan
sesuai dengan hati nurani yang luhur, kekeluargaan, menjunjung tinggi harkat dan
martabat manusia, nilai-nilai kebenaran dan keadilan serta mengutamakan
kepentingan bersama. Nilai-nilai musyawarah untuk mencapai mufakat
diperlakukan dalam perlindungan anak, karena dalam aspek perlindungan hak
anak terdapat pengakuan hak anak tentang penghargaan terhadap pendapat anak
(respect for the views of the child). Penghargaan terhadap pendapat anak adalah
bahwa pendapat anak terutama jika menyangkut hal-hal yang mempengaruhi
kehidupannya, perlu diperhatikan dalam setiap pengambilan keputusan. Dalam hal
pelaksanaan diversi di luar sistem peradilan pidana anak maka penghargaan
terhadap pendapat anak perlu diperhatikan. Pasal 9 ayat (2) UU SPP Anak
302
Ibid.
196
menyebutkan bahwa dalam pelaksanaan diversi mensyaratkan adanya persetujuan
korban dan/ atau orang tuanya serta kesediaan anak dan keluarganya, kecuali
untuk....Hal ini berarti tidak ada paksaan, baik terhadap anak yang berkonflik
dengan hukum maupun anak korban dalam pelaksanaan diversi di luar SPP Anak.
- Pengaturan ketentuan pelaksanaan diversi di luar SPP Anak juga tidak
bertentangan dengan sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
- Butir 1 : mengembangkan perbuatan yang luhur, yang mencerminkan sikap
dan suasana kekeluargaan dan gotong royong;
- Butir 2 : mengembangkan sikap adil terhadap sesama;
- Butir 4 : menghormati hak orang lain;
- Butir 11: suka melakukan kegiatan dalam rangka mewujudkan kemajuan
yang merata dan berkeadilan sosial.303
Pengaturan ketentuan pelaksanaan diversi di luar sistem peradilan pidana anak
berarti mengembangkan perbuatan yang luhur bagi anak yang berkonflik dengan
hukum maupun korban, nilai kekeluargaan, gotong royong, adil terhadap sesama,
dan menghormati hak orang lain.
Sementara itu, Kaelan berpendapat bahwa ideologi Pancasila bersifat
terbuka, bahwa:
Pancasila sebagai suatu ideologi yang tidak bersifat kaku dan tertutup,
namun bersifat terbuka, untuk senantiasa bersifat aktual, dinamis,
antisipatif, untuk selalu menyesuaikan perkembangan jaman. Keterbukaan
ideologi Pancasila bukan berarti mengubah nilai-nilai dasar Pancasila,
namun mengeksplisitkan wawasan secara konkrit untuk memecahkan
masalah-masalah baru dan aktual. Nilai-nilai dasar sila-sila Pancasila yang
bersifat tetap, tetapi penjabaran dan realisasinya senantiasa dieksplisitkan
secara dinamis, terbuka, dan senantiasa mengikuti perkembangan jaman.
Dengan kata lain, Pancasila dalam menerima pengaruh budaya asing
dengan jalan menolak nilai-nilai yang bertentangan dengan substansi
Pancasila, yaitu : ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan
303
Ibid.
197
keadilan sosial serta akan menerima nilai-nilai budaya yang tidak
bertentangan dengan nilai-nilai dasar Pancasila tersebut.304
Lebih lanjut Kaelan menyatakan bahwa:
...Pancasila dapat menerima diversi atau pengalihan pemeriksaan perkara
anak yang berkonflik dengan hukum, yang merupakan ide dari luar
Indonesia, berdasar melihat tujuan, manfaat dan cara-cara program diversi
yang dilaksanakan dalam rangka perlindungan anak, tentunya tidaklah
bertentangan dengan nilai-nilai dasar Pancasila, yaitu ketuhanan,
kemanusiaan, persatuan, musyawarah dan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.305
Berkaitan dengan pendapat Kaelan di atas, penulis berpendapat bahwa ideologi
Pancasila sebagai ideologi terbuka, maka tidak keberatan untuk menerima
pelaksanaan diversi di luar SPP Anak karena pelaksanaan diversi di luar sistem
peradilan anak dapat memenuhi nilai-nilai Ketuhanan, Kemanusiaan,
Persatuan, Musyawarah dan Keadilan Sosial.
304
Kaelan, Filsafat Pancasila Pandangan Hidup Bangsa Indonesia, (Yogyakarta:
Paradigma, 2002), hlm. 58-59.
305Ibid., hlm. 94-95.
198
BAB IV
KEBIJAKAN FORMULASI PENGATURAN KETENTUAN
PELAKSANAAN DIVERSI YANG MENCERMINKAN PRINSIP
PERLINDUNGAN DAN KESEJAHTERAAN BAGI ANAK YANG
BERKONFLIK DENGAN HUKUM
DI MASA YANG AKAN DATANG
4.1. Pengaturan Ketentuan Pelaksanaan Diversi Di Luar Sistem Peradilan
Pidana Anak Menurut Ketentuan Internasional dan Nasional
Pengaturan ketentuan pelaksanaan diversi di luar sistem peradilan pidana
anak dalam penyelesaian perkara anak yang berkonflik dengan hukum dapat
ditemukan dalam beberapa ketentuan internasional dan nasional yang berkaitan
dengan perlindungan hukum bagi anak yang berkonflik dengan hukum.
Di bawah ini akan diuraikan beberapa pengaturan ketentuan pelaksanaan
diversi di luar sistem peradilan pidana anak yang terdapat dalam ketentuan
internasional dan nasional, yaitu:
4.1.1. Ketentuan Internasional
Terdapat beberapa ketentuan internasional yang mengatur mengenai
pelaksanaan diversi di luar sistem peradilan pidana anak, yaitu:
198
199
4.1.1.1. Convention on The Rights of The Child (CRC), Adopted by the General
Assembly of the United Nations on 20 November 1989, yang telah
diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia yang dituangkan dalam
Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990.
Menurut CRC, secara konkrit ketentuan yang memberikan arah kebijakan dalam
pelaksanaan diversi adalah sebagaimana dinyatakan dalam Article 40 CRC atau
KHA, yaitu:
Article 40.1 CRC:
States parties recognize the right of every child alleged as,accused of, or
recognized as having infringed the penal law to be treated in a manner
consistent with the promotion of the child’s respect for the human rights
and fundamental freedoms of others and which takesfreedoms of others
and which takes into account the child’s assuming a constructive role in
society. (Terjemahan bebas: Negara mengakui hak setiap anak yang
dinyatakan sebagai tertuduh, atau yang diakui telah melanggar hukum
pidana, untuk diperlakukan dengan cara yang sesuai dengan harkat dan
martabat anak, sehingga pada anak tertanam rasa menghormati terhadap
hak-hak asasi manusia dan kebebasan orang lain, dengan memperhatikan
umur anak serta keinginan untuk meningkatkan reintegrasi anak agar dapat
kembali lagi dan mempunyai peran yang konstruktif di masyarakat).
Ketentuan tersebut menyatakan bahwa setiap anak yang dituduh, dituntut
atau dinyatakan telah melakukan tindak pidana diperlakukan dengan cara-cara:
a. yang sesuai dengan kemajuan pemahaman anak tentang harkat dan
martabatnya;
b. yang memperkuat penghargaan atau penghormatan anak pada hak-hak
asasi dan kebebasan orang lain;
c. mempertimbangkan usia anak dan keinginan untuk memajukan atau
mengembangkan pengintegrasian kembali anak serta mengembangkan
harapan anak akan perannya yang konstruktif di masyarakat.306
Selanjutnya, Article 40.3 CRC menyatakan:
306Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijaksanaan Penegakan dan
Pengembangan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005), hlm. 180-181.
200
States parties shall seek to promote the establishment of laws,
procedures, authorities and institutions specifically applicable to
children alleged as, accused of, or recognized as having infringed the
penal law, and, in particular:
a) The establishment of a minimum age below which children shall be
presumed not to have the capacity to infringe the penal law;
b) Whenever appropriate and desirable, measures for dealing with such
children without resorting to judicial proceedings, providing that
human rights and legal safeguards are fully respected. A variety
disposition, such as care, guidance and supervision orders;
counselling; probation; foster care; education and vocational
training programmes and other alternatives to intitutional care shall
be available to ensure that children are dealt with in a manner
appropriate to their well-being and proportionate both to their
circumstances and the offence.
(Terjemahan bebas: Negara pihak wajib berupaya untuk
mempromosikan pembentukan hukum, prosedur, otoritas dan
institusi yang khusus menangani anak-anak yang diduga, dituduh,
atau diakui telah melanggar hukum, khususnya hukum pidana:
a) Penetapan usia minimum di bawah dimana anak akan dianggap
tidak memiliki kemampuan untuk melanggar hukum pidana;
b) Pada setiap waktu yang tepat dan diinginkan, langkah-langkah
untuk menangani anak-anak semacam itu tanpa menggunakan
proses peradilan, menjamin bahwa hak asasi manusia dan
perlindungan hukum dihormati sepenuhnya. Berbagai disposisi,
seperti perintah perawatan, bimbingan dan supervisi, bimbingan
masa percobaan, anak asuh, pendidikan dan program-program
pelatihan kejuruan dan alternatif lain untuk perawatan
kelembagaan harus tersedia untuk menjamin bahwa anak-anak
ditangani dengan cara yang sesuai dengan kondisi mereka dengan
baik serta proporsional sesuai dengan pelanggaran yang
dilakukan).
Ketentuan tersebut di atas menjelaskan bahwa negara pihak wajib berupaya
mempromosikan pembentukan hukum, prosedur, otoritas dan lembaga-lembaga
yang khusus menangani anak-anak yang diduga, dituduh, atau diakui telah
melanggar hukum, khususnya hukum pidana, tanpa menggunakan jalur
pengadilan dengan tetap menghormati hak-hak asasi manusia dan memberikan
perlindungan hukum sepenuhnya. Negara menentukan batas usia minimum,
dimana anak akan dianggap tidak memiliki kemampuan untuk melanggar hukum.
201
Ada berbagai disposisi yang dapat dilakukan, seperti perintah perawatan,
bimbingan dan supervisi, bimbingan masa percobaan, anak asuh, pendidikan dan
program-program pelatihan kejuruan dan alternatif lain untuk perawatan
kelembagaan harus tersedia untuk menjamin bahwa anak-anak ditangani dengan
cara yang sesuai dengan kondisi mereka dengan baik serta proporsional sesuai
dengan pelanggaran yang dilakukan.
Ketentuan Convention on the Rights of the Child (CRC) yang mengatur
pelaksanaan diversi di luar sistem peradilan pidana anak di atas dapat disajikan
pada tabel 22 berikut ini :
202
Tabel 22
Ketentuan Convention on the Rights of the Child (CRC) yang mengatur
Pelaksanaan Diversi di Luar Sistem Peradilan Pidana Anak
Ketentuan
Internasional
Dasar
Hukum
Ketentuan
Diversi
Jenis
Pelanggaran/
Tindak
Pidana
Tujuan
Diversi
Lembaga/
Pejabat yang
Menangani
Pelaksanaan
Diversi
Convention
on the Rights
of the Child
Article
40.3 b
...langkah-
langkah
untuk
menangani
anak-anak...
tanpa
mengguna-
kan proses
peradilan....
- Tidak
ditentukan
Article 40.3
b:
- Menjamin
hak asasi
manusia
dan
perlindun
gan
hukum
- ...anak-
anak
ditangani
dengan
cara yang
sesuai
dengan
kondisi
mereka
dan
proporsio-
nal.
Tidak
menentukan
secara tegas
Sumber: Bahan Hukum Primer, diolah.
Berdasarkan tabel 22 di atas dapat dijelaskan bahwa dalam Convention on the
Rights of the Child, Article 40. 3b:
1. ketentuan diversi: langkah-langkah untuk menangani anak-anak tanpa
menggunakan proses peradilan;
2. jenis pelanggaran/tindak pidana yang dapat ditangani dengan diversi: tidak
ditentukan;
203
3. tujuan pelaksanaan diversi: untuk menjamin hak asasi manusia, perlindungan
hukum dan anak-anak ditangani sesuai dengan kondisi mereka dan
proporsional;
4. lembaga/pejabat yang menangani pelaksanaan diversi: tidak menentukan secara
tegas.
Berdasarkan tabel 22 di atas dapat diketahui bahwa KHA mengatur diversi
dalam Pasal 40 ayat (3) huruf b, hal ini berarti bahwa KHA memberikan peluang
bagi negara-negara peserta konvensi untuk menangani perkara anak yang
berkonflik dengan hukum dengan melaksanakan diversi meskipun tidak
menentukan secara tegas lembaga/pejabat yang melaksanakan diversi.
4.1.1.2 United Nations Standard Minimum Rules for Administration of Juvenile
Justice (The Beijing Rules)
The Beijing Rules merupakan aturan PBB yang mengatur tentang
pelaksanaan proses peradilan pidana bagi anak yang berkonflik dengan hukum.
Aturan ini disahkan dengan resolusi Sidang Umum PBB No. 40/33 tanggal 29
November 1985. Ketentuan yang mengatur tentang pelaksanaan diversi terdapat
dalam Rule 11 sebagaimana telah disebutkan dalam konsep diversi pada Bab II
disertasi ini. Ketentuan ini mengatur tentang diversi yang merupakan suatu upaya
pengalihan penanganan anak yang berkonflik dengan hukum dari proses formal ke
proses informal dengan syarat atau kriteria yang telah ditentukan. Kewenangan
untuk melaksanakan diversi tersebut dapat dilakukan pada setiap tingkatan
pemeriksaan, yaitu pada tahap penyidikan oleh kepolisian, tahap penuntutan oleh
penuntut umum, dan pada tahap pemeriksaan di persidangan oleh hakim.
204
Pelaksanaan diversi ini harus mendapatkan persetujuan dari pelaku dan atau orang
tua pelaku, korban dan atau orang tua korban.
Selanjutnya, ketentuan mengenai diversi juga diatur dalam Commentary
Rule 11 The Beijing Rules, sebagaimana telah dikemukakan pada Bab II Disertasi
ini mengenai Konsep Diversi, bahwa diversi merupakan proses melimpahkan
perkara anak dari sistem peradilan pidana kepada sistem informal, seperti
mengembalikan kepada lembaga sosial masyarakat, baik pemerintah negara
maupun non pemerintah. Tindakan ini dilakukan untuk menghindari efek
negatif dari proses berikutnya dalam administrasi peradilan anak (misalnya
stigma dari putusan hakim dan hukuman). Hal ini terutama terjadi dimana
pelanggaran bersifat tidak serius dan dimana keluarga, sekolah atau lembaga
kontrol sosial informal lainnya telah bereaksi, atau cenderung bereaksi,
dengan cara yang tepat dan konstruktif.
Diversi dalam Rule 17.4 the Beijing Rules, dinyatakan bahwa “The
competent authority shall have the power to discontinue the proceedings at any
time”. (Terjemahan bebas: Pejabat yang berwenang mempunyai kekuasaan untuk
tidak melanjutkan proses pada setiap saat). Selanjutnya, Commentary Rule 17.4
menyatakan bahwa:
“The power to discontinue the proceedings at any time (Rule 17.4) is a
characteristic inherent in the handling of juvenile offenders as opposed to
adults. At any time, circumstances may become known to the competent
authority which would make a complete cessation of the intervention
appear to be the best disposition of the case’’. (Terjemahan bebas:
Kekuasaan untuk tidak melanjutkan proses setiap saat (aturan 17.4)
merupakan karakteristik yang melekat dalam penanganan anak pelanggar
yang berbeda dengan pelanggar dewasa. Setiap saat, situasi bisa menjadi
diketahui oleh pejabat yang berwenang yang akan menghentikan intervensi
sepenuhnya tampaknya merupakan disposisi terbaik kasus ini).
205
Berdasarkan komentar Rule 17.4, dapat dijelaskan bahwa pejabat memiliki
kewenangan melaksanakan diversi didasarkan pada ciri atau karakteristik yang
melekat dalam menangani pelanggar anak yang berbeda dengan pelanggar
dewasa. Pada setiap saat, keadaan-keadaan tertentu dapat diketahui oleh pihak
berwenang yang akan menghentikan sepenuhnya intervensi sebagai pernyataan
keputusan yang terbaik terhadap perkara itu.
Ketentuan United Nations Standard Minimum Rules for Administration of
Juvenile Justice - The Beijing Rules yang mengatur pelaksanaan diversi di luar
sistem peradilan pidana anak di atas dapat disajikan pada tabel 23 berikut ini:
Tabel 23
Ketentuan The Beijing Rules yang mengatur Pelaksanaan Diversi
di Luar Sistem Peradilan Pidana Anak
Ketentuan Internasio-
nal
Dasar Hukum
Ketentuan Diversi
Jenis Pelanggara/
Tindak Pidana
Tujuan Diversi
Lembaga/ Pejabat yang Menangani Pelaksanaan
Diversi United Nations Standard Minimum Rules for Administra-tion of Juvenile Justice - The Beijing Rules
Rule 17.4
...kekuasaan untuk tidak melanjutkan proses setiap saat....
Commentary Rule 11 : - pelanggaran
tidak serius.
- Commentary Rule 11 : Menghindari efek negatif dari proses berikutnya... misalnya stigma....
Rule 11.2 : - Polisi, jaksa
atau lembaga lain.
Sumber: Bahan Hukum Primer, diolah.
Berdasarkan tabel 23 di atas dapat dijelaskan bahwa dalam The Beijing
Rules, mengatur:
1. ketentuan diversi: kekuasaan untuk tidak melanjutkan proses setiap saat;
206
2. jenis pelanggaran/tindak pidana yang dapat ditangani dengan diversi:
pelanggaran tidak serius;
3. tujuan pelaksanaan diversi: menghindari efek negatif dari proses berikutnya,
misalnya stigma;
4. lembaga/pejabat yang menangani pelaksanaan diversi: polisi, jaksa atau
lembaga lainnya.
Berdasarkan tabel 23 di atas dapat diketahui bahwa The Beijing Rules
mengatur diversi dalam Rule 17.4, hal ini berarti bahwa The Beijing Rules
memberikan peluang bagi negara-negara untuk menangani perkara anak yang
berkonflik dengan hukum dengan melaksanakan diversi dan lembaga/pejabat yang
melaksanakan diversi diatur dalam Rule 11.2, yaitu polisi, jaksa atau lembaga
lainnya.
4.1.1.3 United Nations Guidelines for the Prevention of Juvenile Delinquency
(The Riyadh Guidelines).
The Riyadh Guidelines merupakan ketentuan internasional yang berisi
pedoman dalam rangka pencegahan anak yang berkonflik dengan hukum yang
disahkan melalui resolusi PBB Nomor 45/112 tanggal 14 Desember 1990.
Rule 56 The Riyadh Guidelines mengatur tentang tujuan diversi, yang menyatakan
bahwa:
In order to prevent further stigmatization, vigtimization and
criminalization of young persons, legislation should be enacted to ensure
that any conduct not considered an offence or not penalized if committed
by an adult is not considered an offence and not penalized if commited by
a young person.
(Terjemahan bebas: Untuk mencegah stigmatisasi, viktimisasi dan
kriminalisasi anak lebih lanjut, maka undang-undang harus diberlakukan
207
untuk memastikan bahwa setiap perilaku tidak dianggap sebagai
pelanggaran atau tidak diberikan sanksi dengan persetujuan anak).
Rule 56 The Riyadh Guidelines di atas menentukan bahwa untuk
mencegah stigmatisasi, viktimisasi dan kriminalisasi anak lebih lanjut, maka
undang-undang harus diberlakukan untuk memastikan bahwa setiap perilaku tidak
dianggap sebagai pelanggaran atau tidak diberikan sanksi jika hal itu disetujui
oleh anak.
Selanjutnya, ketentuan yang mengatur tentang pelaksanaan diversi di luar sistem
peradilan pidana anak adalah sebagaimana tercantum dalam Rule 58 The Riyadh
Guidelines:
Law enforcement and other relevant personnel, of both sexes, should be
trained to respond to the special needs of young persons and should be
familiar with and use, to the maximum extent possible, programmes and
referral possibilities for the diversion of young persons from the justice
system. (Terjemahan bebas: Penegak hukum dan aparat terkait lainnya
harus dilatih untuk respon terhadap kebutuhan khusus dari anak dengan
lebih mengenal anak dengan menggunakan semaksimal mungkin program
dan kemungkinan rujukan untuk mengalihkan anak dari sistem peradilan).
Berdasar atas ketentuan di atas, dapat dijelaskan bahwa penegak hukum
dan aparat terkait lainnya harus dilatih untuk lebih respon terhadap kebutuhan
khusus anak dengan lebih mengenal anak serta semaksimal mungkin mengalihkan
proses penyelesaian perkara anak dari sistem peradilan pidana.
Ketentuan United Nations Guidelines for the Prevention of Juvenile
Delinquency (The Riyadh Guidelines) yang mengatur pelaksanaan diversi di luar
sistem peradilan pidana anak di atas dapat disajikan pada tabel 24 berikut ini:
208
Tabel 24
Ketentuan United Nations Guidelines for the Prevention of Juvenile Delinquency
(The Riyadh Guidelines) yang mengatur Pelaksanaan Diversi
di Luar Sistem Peradilan Pidana Anak
Ketentuan
Internasional
Dasar
Hukum
Ketentuan
Diversi
Jenis
Pelanggaran/
Tindak Pidana
Tujuan Diversi
Lembaga/Pe-
jabat yang
Menangani
Pelaksanaan
Diversi
United
Nations
Guidelines
for the
Prevention of
Juvenile
Delinquency
(the Riyadh
Guidelines)
Rule 56
dan
Rule 58
- Rule 58 :
...mengalih-
kan anak dari
sistem
peradilan....
- Tidak
ditentukan
Rule 56 :
- Untuk
mencegah
stigmatisasi,
viktimisasi
dan
kriminalisasi
lebih lanjut....
Tidak
menentukan
secara tegas
Sumber: Bahan Hukum Primer, diolah.
Berdasarkan tabel 24 di atas dapat dijelaskan bahwa dalam The Riyadh
Guidelines, mengatur:
1. ketentuan diversi: mengalihkan anak dari sistem peradilan;
2. jenis pelanggaran/tindak pidana yang dapat ditangani dengan diversi: tidak
ditentukan;
3. tujuan pelaksanaan diversi: Untuk mencegah stigmatisasi, viktimisasi dan
kriminalisasi lebih lanjut;
4. lembaga/pejabat yang menangani pelaksanaan diversi: tidak menentukan secara
tegas.
Berdasarkan tabel 24 di atas dapat diketahui bahwa The Riyadh Guidelines
mengatur diversi dalam Rule 58, hal ini berarti bahwa The Riyadh Guidelines
memberikan peluang bagi negara-negara peserta konvensi untuk menangani
perkara anak yang berkonflik dengan hukum dengan melaksanakan diversi,
209
namun demikian lembaga/pejabat yang melaksanakan diversi tidak ditentukan
secara tegas.
4.1.1.4 United Nations Standard Minimum Rules for Non-Custodial Measures
(The Tokyo Rules)
The Tokyo Rules merupakan aturan PBB yang berisi tentang prinsip-
prinsip dasar untuk mendorong penggunaan tindakan-tindakan non-custodial
(perampasan kemerdekaan), serta perlindungan minimum untuk orang-orang yang
dijatuhi pidana selain penjara. Aturan ini juga dimaksudkan untuk mendorong
keterlibatan masyarakat yang lebih besar dalam pengelolaan peradilan pidana,
khususnya dalam perbaikan pelaku tindak pidana, serta untuk menanamkan rasa
tanggung jawab pelaku terhadap masyarakat. Aturan yang terdapat dalam the
Tokyo Rules yang berkaitan dengan pelaksanaan diversi adalah sebagaimana
disebutkan dalam Rule 5, yang menyatakan :
Where appropriate and compatible with the legal system, the police, the
prosecution service or other agencies dealing with criminal cases should
be empowered to discharge the offender if they consider that it is not
necessary to proceed with the case for the protection of society, crime
prevention or the promotion of respect for the law and the rights of
victims. For the purpose of the deciding upon the appropriateness of
dischange or determination of proceedings, a set of established criteria
shall be developed within each legal system. For minor cases the
prosecutor may impose sultable non-custodial measures, as appropriate.
(Terjemahan bebas: Bila diperlukan dan cocok dengan sistem hukum,
maka polisi, kejaksaan atau lembaga lain yang menangani perkara pidana
harus diberdayakan untuk mengalihkan pelaku jika mereka menganggap
bahwa tidak perlu untuk melanjutkan dengan alasan perlindungan
masyarakat, pencegahan kejahatan atau demi menghormati hukum dan
hak-hak korban. Untuk tujuan memutus pengalihan atau penentuan
proses, seperangkat kriteria yang ditetapkan harus dikembangkan dalam
setiap sistem hukum. Untuk kasus-kasus kecil jaksa dapat menerapkan
tindakan non-custodial yang cocok atau sesuai).
210
Ketentuan internasional di atas secara tegas memberikan kewenangan
kepada negara-negara peserta yang telah meratifikasi konvensi-konvensi
internasional yang berkaitan dengan anak untuk mewujudkan perlindungan
hukum bagi anak yang berkonflik dengan hukum dengan memperhatikan
kepentingan terbaik bagi anak, khususnya kepentingan pertumbuhan dan
perkembangan anak secara fisik, mental, dan sosial. Lebih konkrit lagi, ketentuan
di atas menyatakan bahwa sedapat mungkin anak yang berkonflik dengan hukum
dapat diselesaikan tanpa menggunakan jalur hukum atau di luar sistem peradilan
pidana anak.
Ketentuan The Tokyo Rules yang mengatur pelaksanaan diversi di luar
sistem peradilan pidana anak di atas dapat disajikan pada tabel 25 berikut ini:
Tabel 25
Ketentuan The Tokyo Rules yang mengatur Pelaksanaan Diversi
di luar Sistem Peradilan Pidana Anak
Ketentuan
Internasional
Dasar
Hukum
Ketentuan
Diversi
Jenis
Pelanggaran/
Tindak
Pidana
Tujuan
Diversi
Lembaga/Pejabat
yang Menangani
Pelaksanaan
Diversi
United Nations
Standard
Minimum
Rules for Non-
Custodial
Measures (the
Tokyo Rules).
Rule 5 Untuk
mengalihkan
pelaku...jika
mereka
menganggap
bahwa tidak
perlu untuk
melanjutkan....
Kasus-kasus
kecil
Rule 5:
Perlindungan
masyarakat,
pencegahan
kejahatan atau
demi
menghormati
hukum dan
hak-hak
korban.
Rule 5 :
Polisi, kejaksaan
atau lembaga
lainnya
Sumber : Bahan Hukum Primer, diolah.
Berdasarkan tabel 25 di atas dapat dijelaskan bahwa dalam the Tokyo
Rules, Rule 5 mengatur:
211
1. ketentuan diversi : untuk mengalihkan pelaku jika mereka menganggap bahwa
tidak perlu untuk melanjutkan;
2. jenis pelanggaran/tindak pidana yang dapat ditangani dengan diversi : kasus-
kasus kecil;
3. tujuan pelaksanaan diversi : perlindungan masyarakat, pencegahan kejahatan
atau demi menghormati hukum dan hak-hak korban;
4. lembaga/pejabat yang menangani pelaksanaan diversi : polisi, kejaksaan atau
lembaga lainnya.
Berdasarkan tabel 25 di atas dapat diketahui bahwa the Tokyo Rules juga
mengatur diversi dalam Rule 5, hal ini berarti bahwa the Tokyo Rules memberikan
peluang untuk menangani perkara anak yang berkonflik dengan hukum dengan
melaksanakan diversi jika mereka menganggap bahwa tidak perlu untuk
melanjutkan dengan tujuan untuk melindungi kepentingan masyarakat, mencegah
terjadinya tindak pidana, demi menghormati hukum dan hak-hak korban.
Lembaga/pejabat yang melaksanakan diversi yaitu polisi, kejaksaan atau lembaga
lainnya.
Berdasarkan uraian di atas, maka beberapa ketentuan internasional yang
mengatur pelaksanaan diversi di luar sistem peradilan pidana anak, dapat
disajikan pada tabel 26 berikut ini:
212
Tabel 26
Beberapa Ketentuan Internasional yang Mengatur Pelaksanaan Diversi
di Luar Sistem Peradilan Pidana Anak
No
Keten-tuan
Inter-nasio-
nal
Dasar Hukum
Ketentuan Diversi Jenis
Pelanggaran/ tindak pidana
Lembaga/Pejabat yg menangani Pelaksanaan
Diversi
Langkah-langkah untuk mena-ngani
anak-anak tanpa
menggu-nakan proses
peradilan....
Ke-kuasaan untuk tidak
melan-jutkan proses setiap saat....
... ru-jukan untuk meng-alih-kan anak dari
sistem per-
adilan
Ti-dak di-
tentukan
Pe-lang-garan
ringan, kasus- kasus kecil
Po-lisi
Polisi, jaksa,
penegak hukum lainnya
Pene-gak
hukum lain-nya
Tidak diten- tukan secara tegas
1 CRC/
KHA
Pasal 40
ayat (3)
huruf b
V - - V - - - - V
2 The
Bei-
jing
Rules
Commen-
tary Rule
17.4 - V
-
- V - V - -
3 The
Riyadh
Guide-
lines
Rule 56
dan Rule
58 - -
V
- - - - V -
4 The
Tokyo
Rules
Rule 5
- - V - V - V - -
Sumber: Bahan hukum primer, diolah.
Berdasarkan beberapa ketentuan internasional yang mengatur ketentuan
pelaksanaan diversi untuk menangani anak yang berkonflik dengan hukum tabel
26 di atas, maka dapat dijelaskan bahwa:
1. Convention on the Rights of the Child (Konvensi Hak Anak), mengatur
ketentuan pelaksanaan diversi di luar sistem peradilan pidana anak. Namun
demikian, tidak ditentukan secara tegas jenis pelanggaran/tindak pidana yang
213
dilakukan oleh anak yang dapat ditangani dengan pelaksanaan diversi dan tidak
menentukan secara tegas lembaga/pejabat yg menangani pelaksanaan
diversi.
2. United Nations Standard Minimum Rules for Administration of Juvenile
Justice (the Beijing Rules) mengatur ketentuan pelaksanaan diversi di luar
sistem peradilan pidana anak, mengatur secara tegas bahwa diversi
dilaksanakan oleh polisi di luar sistem peradilan pidana, jaksa atau penegak
hukum lainnya. Mengatur jenis pelanggaran/ tindak pidana yang dilakukan
oleh anak dengan pelaksanaan diversi di luar sistem peradilan pidana anak,
yaitu pelanggaran tidak serius.
3. United Nations Guidelines for the Prevention of Juvenile Delinquency (the
Riyadh Guidelines).
The Riyadh Guidelines juga mengatur ketentuan pelaksanaan diversi di luar
sistem peradilan pidana anak. Namun demikian, jenis pelanggaran/ tindak
pidana yang dilakukan oleh anak yang dapat ditangani dengan pelaksanaan
diversi tidak ditentukan secara tegas dan mengatur bahwa diversi dilaksanakan
oleh penegak hukum lainnya.
4. United Nations Standard Minimum Rules for Non-Custodial Measures (the
Tokyo Rules).
The Tokyo Rules juga mengatur ketentuan pelaksanaan diversi di luar sistem
peradilan pidana anak, dan mengatur secara tegas bahwa diversi dilaksanakan
oleh polisi di luar sistem peradilan pidana, jaksa atau lembaga lainnya.
214
Mengatur jenis pelanggaran/ tindak pidana yang dilakukan oleh anak yang
dapat ditangani dengan pelaksanaan diversi yaitu kasus-kasus kecil.
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa beberapa ketentuan
internasional mengatur ketentuan pelaksanaan diversi di luar SPP Anak. Jenis
pelanggaran/tindak pidana yang dilakukan anak yang dapat ditangani dengan
melaksanakan diversi adalah pelanggaran ringan (menurut the Beijing Rules dan
the Tokyo Rules). Dalam CRC dan the Riyadh Guidelines tidak menentukan secara
tegas jenis pelanggaran/tindak pidana yang dapat ditangani dengan melaksanakan
diversi. Lembaga/pejabat yang melaksanakan diversi, dalam CRC juga tidak
ditentukan secara tegas, demikian juga the Riyadh Guidelines juga tidak
menentukan secara tegas tapi hanya ditentukan bahwa lembaga yang
melaksanakan diversi adalah aparat penegak hukum lainnya. Dalam the Beijing
Rules dan the Tokyo Rules menentukan bahwa lembaga atau pejabat yang
melaksanakan diversi adalah polisi, jaksa dan penegak hukum lainnya.
Menurut Penjelasan Pasal 49 ayat (3) huruf i Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan bahwa “Yang
dimaksud dengan „penegak hukum lain‟ antara lain kejaksaan, kepolisian, dan
pengadilan. Dengan demikian dapat diketahui bahwa dalam the Beijing Rules, the
Riyadh Guidelines dan the Tokyo Rules, lembaga/pejabat yang berwenang
melaksanakan diversi adalah polisi, jaksa dan hakim.
Beberapa ketentuan internasional di atas juga mengatur mengenai tujuan
pelaksanaan diversi yang berbeda-beda, yaitu:
1. Menurut CRC, sebagaimana diatur dalam Article 40.3 huruf b :
215
- agar hak asasi manusia dan perlindungan hukum dihormati sepenuhnya;
- untuk menjamin bahwa anak-anak ditangani dengan cara yang sesuai dengan
kondisi mereka dengan baik serta proporsional sesuai dengan pelanggaran
yang dilakukan.
2. Menurut the Beijing Rules, sebagaimana diatur dalam Commentary Rule 11:
- menghindari efek negatif dari proses berikutnya dalam administrasi peradilan
anak, misalnya stigma dari putusan hakim dan hukuman.
3. Menurut the Riyadh Guidelines, sebagaimana diatur dalam Rule 56:
- Untuk mencegah stigmatisasi, viktimisasi dan kriminalisasi lebih lanjut.
4. Menurut the Tokyo Rules, sebagaimana diatur dalam Rule 5:
- Untuk perlindungan masyarakat, pencegahan kejahatan atau demi
menghormati hukum dan hak-hak korban.
Tujuan pelaksanaan diversi menurut beberapa ketentuan internasional di
atas, dapat disajikan pada tabel 27 berikut ini:
216
Tabel 27
Tujuan Pelaksanaan Diversi Menurut Beberapa Ketentuan Internasional
No Ketentuan
Internasional
Dasar
Hukum Tujuan Diversi
1 CRC Article 40.3
huruf b
- ...hak asasi manusia... perlindungan
hukum dihormati sepenuhya;
- ...anak-anak ditangani... sesuai dengan
kondisi mereka... proporsional sesuai
dengan pelanggaran yang dilakukan.
2 The Beijing
Rules
Commentary
Rule 11
- menghindari efek negatif dari proses
berikutnya dalam administrasi
peradilan anak...stigma....
3 The Riyadh
Guidelines
Rule 56 - mencegah stigmatisasi, viktimisasi...
kriminalisasi lebih lanjut;
4 The Tokyo
Rules
Rule 5 - ...perlindungan masyarakat, pencegahan
kejahatan...menghormati hukum dan
hak-hak korban.
Sumber: Bahan Hukum Primer, diolah.
Dengan demikian, berdasar atas uraian di atas dan berpijak pada tujuan
pelaksanaan diversi maka pelaksanaan diversi di luar sistem peradilan pidana anak
hendaknya dilaksanakan sejak awal anak mendapat masalah hukum (di
penyidikan) sehingga anak dapat terhindar dari stigma.
4.1.2. Ketentuan Nasional
Ketentuan nasional yang mengatur mengenai diversi terdapat dalam UU
SPP Anak, yang diatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 15.
217
Pengertian diversi yang diatur dalam Pasal 1 angka 7 UU SPP Anak,
adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke
proses di luar peradilan pidana. Oleh karena itu, tidak semua perkara anak yang
berkonflik dengan hukum harus diselesaikan melalui jalur peradilan formal tapi
memberikan alternatif bagi penyelesaian non formal atau di luar sistem peradilan
pidana demi perlindungan dan kesejahteraan anak agar anak terhindar dari stigma
akibat proses peradilan pidana.
Mengenai tujuan diversi diatur dalam Pasal 6 UU SPP Anak, sebagaimana
berikut ini:
Diversi bertujuan:
a. mencapai perdamaian antara korban dan Anak;
b. menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan;
c. menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan;
d. mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan
e. menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak.
Dalam Pasal 7 ayat (1) UU SPP Anak dinyatakan bahwa “Pada tingkat
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri wajib
diupayakan diversi”.
Oleh karena itu, menurut Pasal 7 ayat (1) UU SPP Anak, pelaksanaan diversi
dalam sistem peradilan pidana anak dilakukan pada tahap penyidikan, diversi
tahap penuntutan dan diversi tahap pemeriksaan perkara anak di pengadilan
negeri. Tindak pidana yang wajib diupayakan diversi adalah tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun dan bukan merupakan
pengulangan tindak pidana. Batasan tindak pidana yang diancam dengan pidana
218
penjara di bawah 7 (tujuh) tahun ini penting, mengingat bila ancaman hukuman
lebih dari 7 (tujuh) tahun maka tergolong pada tindak pidana berat.307
Menurut Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf a UU SPP Anak, dinyatakan
bahwa “Ketentuan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun mengacu pada Hukum
Pidana”. Selanjutnya, dalam ayat (2) huruf b dinyatakan bahwa “Pengulangan
tindak pidana dalam ketentuan ini merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh
anak, baik tindak pidana sejenis maupun tidak sejenis, termasuk tindak pidana
yang diselesaikan melalui diversi”. Dengan demikian, anak tersebut baru pertama
kali melakukan tindak pidana.
Sebagaimana telah dikemukakan pada Bab I, mengenai proses diversi
diatur dalam Pasal 8 UU SPP Anak. Menurut ketentuan Pasal 8 UU SPP Anak,
proses diversi dilakukan dengan cara musyawarah yang melibatkan para pihak,
yaitu: anak dan orang tua/walinya, korban dan orang tua/walinya, Pembimbing
Kemasyarakatan, dan Pekerja Profesional, serta masyarakat. Menurut Penjelasan
Pasal 8 ayat (1) bahwa “Orang tua dan wali korban dilibatkan dalam proses
diversi dalam hal korban adalah anak”. Selanjutnya, dalam ayat (2) dinyatakan
bahwa “Yang dimaksud dengan „masyarakat‟ antara lain tokoh agama, guru, dan
tokoh masyarakat”.
307
Dalam Risalah UU SPP Anak, Pada Pembahasan di Panja, F-PDIP
mendefinisikan tindak pidana berat bagi anak adalah 5 (lima) tahun. Menurut F-PDIP
pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun sangat lama dalam ukuran seorang anak,
karena dapat mengganggu pertumbuhan fisik anak. Setelah dijelaskan bahwa ukuran
ancaman pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun sesuai dengan KUHP, apalagi
menyangkut ancaman pidana bagi anak, maka ancaman pidana paling lama 7 (tujuh)
tahun lebih menguntungkan bagi anak, maka disepakati sesuai dengan usulan pemerintah.
219
Pasal 9 UU SPP Anak, menyatakan:
(1) Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam melakukan diversi harus
mempertimbangkan:
a. kategori tindak pidana;
b. umur anak;
c. hasil penelitian kemasyarakatan dari Bapas; dan
d. dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat.
(2) Kesepakatan diversi harus mendapatkan persetujuan korban dan/atau
keluarga Anak korban serta kesediaan Anak dan keluarganya, kecuali
untuk:
a. tindak pidana yang berupa pelanggaran;
b. tindak pidana ringan;
c. tindak pidana tanpa korban; atau
d. nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi
setempat.
Menurut Penjelasan Pasal 9 ayat (1) huruf a, dinyatakan bahwa “Ketentuan
ini merupakan indikator bahwa semakin rendah ancaman pidana semakin tinggi
prioritas diversi. Diversi tidak dimaksudkan untuk dilaksanakan terhadap pelaku
tindak pidana yang serius, misalnya pembunuhan, pemerkosaan, pengedar
narkotika, dan terorisme, yang diancam pidana di atas 7 (tujuh) tahun”.
Selanjutnya, dalam Penjelasan Pasal 9 ayat (1) huruf b, dinyatakan bahwa “Umur
anak dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk menentukan prioritas pemberian
diversi dan semakin muda umur anak semakin tinggi prioritas diversi”. Kemudian,
dalam Penjelasan Pasal 9 ayat (2) dinyatakan bahwa “Ketentuan mengenai
‟persetujuan keluarga anak korban‟ dimaksudkan dalam hal korban adalah anak di
bawah umur”.
Ketentuan di atas merupakan pedoman yang dapat dijadikan pertimbangan
oleh penegak hukum dalam hal mengimplementasikan pelaksanaan diversi dalam
menangani anak yang berkonflik dengan hukum, bahwa :
220
1. semakin rendah ancaman pidana, maka semakin tinggi anak memperoleh
prioritas pelaksanaan diversi;
2. diversi tidak dimaksudkan untuk dilaksanakan terhadap pelaku tindak pidana
yang serius, seperti pembunuhan, pemerkosaan, pengedar narkoba, dan
terorisme, yang diancam pidana di atas 7 (tujuh) tahun;
3. umur anak dalam ketentuan tersebut dimaksudkan untuk menentukan prioritas
pelaksanaan diversi dan semakin muda umur anak, maka semakin tinggi
prioritas pelaksanaan diversi;
4. ketentuan mengenai persetujuan keluarga anak korban dimaksudkan dalam hal
korban adalah anak di bawah umur.
Pasal 10 UU SPP Anak menyatakan bahwa:
(1) Kesepakatan diversi untuk menyelesaikan tindak pidana yang berupa
pelanggaran, tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban, atau nilai
kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dapat dilakukan oleh
penyidik bersama pelaku dan/atau keluarganya, Pembimbing
Kemasyarakatan, serta dapat melibatkan tokoh masyarakat;
(2) Kesepakatan diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
penyidik atas rekomendasi Pembimbing Kemasyarakatan dapat
berbentuk:
a. pengembalian kerugian dalam hal ada korban;
b. rehabilitasi medis dan psikososial;
c. penyerahan kembali kepada orang tua/wali;
d. keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan
atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau
e. pelayanan masyarakat paling lama 3 (tiga) bulan.
Ketentuan dalam Pasal 10 UU SPP Anak di atas mengatur tentang
kesepakatan diversi untuk menyelesaikan tindak pidana tertentu, yaitu :
1. yang berupa pelanggaran, tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban,
atau nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi
221
setempat, dapat dilakukan oleh penyidik bersama dengan pelaku dan/atau
keluarganya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan tokoh masyarakat;
2. kesepakatan tersebut dilakukan oleh penyidik atas rekomendasi dari
pembimbing kemasyarakatan;
3. selain itu juga diatur tentang bentuk-bentuk dari sanksi yang dapat dituangkan
dalam kesepakatan.
Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang mengatur pelaksanaan
diversi dalam sistem peradilan pidana anak di atas dapat disajikan pada tabel 28
berikut ini :
Tabel 28
Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak
Menurut UU SPP Anak
Nama
Negara
Peraturan
Perundang-
undangan/
Dasar
Hukum
Ketentu-
an
Diversi
Jenis
Pelanggaran/
Tindak
Pidana
Tujuan Diversi
Lembaga/
Pejabat yang
Menangani
Pelaksanaan
Diversi
Indonesia
UU SPP
Anak Pasal
7 ayat (1)
dan (2)
- Pada
tingkat
penyi-
dikan,
penun-
tutan,
dan
peme-
riksaan
perkara
anak di
penga-
dilan
negeri
wajib
diupaya-
kan
diversi
a. Tindak
pidana
yang
ancaman
pidana-
nya di
bawah 7
(tujuh)
tahun;
b. bukan
merupa-
kan
pengu-
langan
tindak
pidana.
a. Mencapai
perdamaian antara
korban dan anak;
b. menyelesaikan
perkara anak di luar
proses peradilan;
c. menghindar-kan
anak dari
perampasan
kemerdekaan;
d.mendorong
masyarakat untuk
berpartisipasi;
e.menanamkan rasa
tanggung jawab
kepada anak.
Polisi, jaksa,
dan hakim
pengadilan
negeri
Sumber : Bahan Hukum Primer, diolah.
222
Berdasarkan tabel 28 di atas dapat dijelaskan bahwa dalam UU SPP Anak
mengatur:
1. pelaksanaan diversi di luar sistem peradilan pidana anak dan di dalam sistem
peradilan pidana anak, Pasal 7 ayat (1) dan (2) ;
2. jenis tindak pidana yang dapat ditangani dengan diversi adalah tindak pidana
yang ancaman pidananya di bawah 7 (tujuh) tahun dan bukan merupakan
pengulangan tindak pidana;
3. mengatur tentang tujuan pelaksanaan diversi;
4. menentukan secara tegas lembaga/pejabat yang menangani pelaksanaan diversi
yaitu polisi, jaksa dan hakim pengadilan negeri.
4.2. Pengaturan Ketentuan Pelaksanaan Diversi di Luar Sistem Peradilan
Pidana Anak Menurut Peraturan Perundang-undangan Beberapa
Negara
Mengenai pelaksanaan diversi di luar sistem peradilan pidana anak untuk
menangani anak yang berkonflik dengan hukum, dapat dipelajari melalui
ketentuan pelaksanaan diversi di negara-negara lain yang telah terlebih dahulu
mengatur pelaksanaan diversi di luar sistem peradilan pidana. Hal ini bertujuan
sebagai bahan perbandingan untuk lebih menyempurnakan pengaturan ketentuan
pelaksanaan diversi dalam UU SPP Anak di negara kita. Selain itu, melalui kajian
komparasi ini dapat diketahui, apakah pelaksanaan diversi di luar sistem peradilan
pidana anak telah diimplementasikan dalam proses peradilan anak di negara-
223
negara asing dan dalam hal ini negara Indonesia perlu adaptasi sebagai bahan
untuk harmonisasi dengan negara-negara lain tersebut.
Berikut ini dikemukakan pengaturan pelaksanaan diversi di negara-negara
bagian Australia:
4.2.1. Pengaturan Diversi di Negara Bagian South Australia, Australia
Salah satu negara bagian di Australia, yaitu South Australia merupakan
negara bagian yang melaksanakan diversi untuk menangani anak yang berkonflik
dengan hukum. Bahkan South Australia sejak tahun 1972 telah melaksanakan
diversi sehingga negara bagian itu dijadikan inovator dalam peradilan pidana anak
bagi negara-negara bagian lainnya di Australia.308
Dasar hukum pelaksanaan diversi di South Australia diatur dalam Young
Offenders Act, 1993. Pada Section 3 (1) Young Offenders Act, 1993 dinyatakan
bahwa:
“The object of this Act is to secure for youths who offend againts the
criminal law the care, correction and guidance necessary for their
development into responsible and useful members of the community and
the proper realisation of their potential”. (Terjemahan bebas: Tujuan
undang-undang ini adalah untuk melindungi anak yang berkonflik dengan
hukum, dengan melakukan perawatan, koreksi dan bimbingan yang
diperlukan untuk perkembangan mereka menjadi anggota masyarakat yang
berguna dan potensi mereka terealisasikan dengan tepat).
Menurut Section 3 (1) Young Offenders Act, 1993 di atas, tujuan dari UU
ini adalah untuk melindungi anak yang berkonflik dengan hukum, melakukan
perawatan, koreksi dan bimbingan yang diperlukan untuk perkembangan mereka
menjadi anggota masyarakat yang berguna dan potensi mereka terealisasikan
dengan tepat.
308Ibid.
224
Young Offenders Act 1993 tersebut tidak menentukan secara tegas tentang
syarat-syarat yang dapat menjadi pertimbangan bagi polisi untuk memutuskan
diberlakukannya diversi pada perkara anak. Dengan demikian, polisi memiliki
tanggung jawab untuk menentukan proses selanjutnya maupun mengurangi dan
mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana oleh anak yang dibuat dalam
bentuk perjanjian baik pada tahap police caution maupun pada tahap family
conferences.309
Pelaksanaan diversi di South Australia dilakukan sejak awal proses dengan
menerapkan police caution dan family conferencing. Pada tahap police caution
terdapat dua jenis, yaitu informal caution dan formal caution. Informal caution
diatur dalam Section 6 Young Offenders Act 1993, yang menyatakan bahwa:
1. If a youth admits the commision of a minor offence, and a police
officer is of the oponion that the matter does not warrant any formal
action under this Act, the officer may informally caution the youth
against further offending and proceed no further againts the youth;
2. If a the youth is formally cautioned under this section, no further
proceedings may be taken against youth for the offence in relation to
which the youth was cautioned;
3. No official record is to be kept of an informal caution.
(Terjemahan bebas:
1. jika seorang anak telah mengakui pelanggaran ringan yang dilakukan,
maka polisi dapat memberikan peringatan informal di bawah undang-
undang ini, polisi boleh memberikan peringatan informal kepada anak
dan tidak memproses anak lebih lanjut;
2. jika seorang anak secara formal diperingatkan di bawah bagian ini,
maka tidak ada proses lebih lanjut bagi anak atas pelanggaran
berkaitan dengan peringatan terhadap anak;
3. kantor (polisi) tidak perlu mencatat peringatan informal.
Ketentuan di atas menjelaskan bahwa jika seorang anak telah mengakui
atas tindak pidana ringan yang dilakukannya, maka polisi dapat memberikan
309Ibid., hlm. 211.
225
peringatan informal (secara lisan). Dengan pemberian peringatan tersebut, maka
tindak pidana yang dilakukannya telah selesai dan peringatan itu tidak perlu
dicatat dalam catatan kepolisian. Sedangkan formal caution diatur dalam Section
8 (1) Young Offenders Act 1993, yang berbunyi:
If a police officer decides to deal with a minor offence under this Division ,
the officer may administer a formal caution against further offending and
axercise any one or more of the following powers:
(a) the officer may require the youth to enter into an undertaking to pay
compensation to the victim of the offence;
(b) the officer may require the youth to enter an undertaking to carry out a
specified period (not exceending 75 hours) of community servise;
(c) the officer may require the youth to enter an undertaking to apologise the
victim of the offence or to do anything else that may be appropriate in
the circumstances of the case.
(Terjemahan bebas: Jika petugas polisi memutuskan untuk menangani
pelanggaran ringan di bawah devisi ini, maka petugas boleh memberikan
peringatan formal terhadap pelanggaran dan berwenang memberikan salah
satu atau beberapa hal berikut ini:
(a) petugas boleh memutuskan terhadap anak untuk membayar ganti rugi
kepada korban pelanggaran;
(b) petugas boleh memutuskan terhadap anak untuk memberikan
pelayanan kepada masyarakat dalam jangka waktu tertentu (tidak
lebih dari 75 jam);
(c) petugas boleh memutuskan terhadap anak untuk meminta maaf kepada
korban pelanggaran atau melakukan hal lain yang disesuaikan dengan
keadaan kasus ini.
Berdasarkan ketentuan di atas dapat dijelaskan bahwa bentuk formal
caution terdiri dari:
a. pembayaran kompensasi atau ganti rugi kepada korban pelanggaran;
b. memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam jangka waktu tertentu (tidak
lebih dari 75 jam);
c. permintaan maaf kepada korban pelanggaran atau melakukan hal lain yang
disesuaikan dengan keadaan kasus.
226
Berkaitan dengan permintaan maaf terhadap korban pelanggaran, polisi
dapat meminta anak yang telah melakukan pelanggaran untuk minta maaf kepada
korban di hadapan orang dewasa dan disetujui oleh polisi. Hal ini sebagaimana
diatur dalam Section 8 (5) Young Offenders Act 1993, yang menyatakan bahwa:
If a youth enters into an undertaking under this section to apologise to the
victim of the offence, the apology must be made in the presence of an adult
person approved by a police officer. (Terjemahan bebas: Jika anak
termasuk di bawah bagian ini untuk meminta maaf kepada korban
pelanggaran, maka permintaan maaf harus dilakukan di hadapan orang
dewasa dan disetujui oleh seorang petugas polisi).
Selanjutnya, mekanisme pemberian formal caution oleh polisi ini diatur
dalam Section 8 Young Offenders Act 1993, yang menyatakan bahwa:
If a formal caution is to be administered :
(a) the police officer must explain to the youth the nature of the caution and
the fact that evidence of the caution may, if the youth is subsequently
dealt with for an offence, be treated as evidence of commussion of the
offence in respect of which the caution is administered; and
(b) the caution must, if practicable, be administered in the presence of :
(i) a guardian of the youth; or
(ii) if a guardian is not avaible-an adult person nominated by the youth
who has had a close association with the youth or has been
counselling, advisting or aiding the youth; and
(c) the caution must be put in writing and acknowledged in writing by the
youth.
(Terjemahan bebas: Jika peringatan formal diberikan :
(a) petugas polisi harus menjelaskan kepada anak mengenai sifat peringatan
dan peringatan itu akan dicatat oleh petugas sebagai bukti, jika anak
melakukan pelanggaran lagi, maka berdasarkan bukti tersebut
pelanggaran akan diproses;
(b) peringatan harus dilakukan, diadministrasikan dan disampaikan kepada:
(i) wali anak; atau
(ii) jika wali tidak ada, maka ditawarkan kepada anak untuk mengajukan
orang dewasa yang memiliki hubungan dekat dengan anak tersebut
atau yang mampu membimbing, menasehati atau membantu anak; dan
(c) peringatan harus dituangkan secara tertulis dan diakui secara tertulis
oleh anak.
227
Berdasarkan Section 8 Young Offenders Act 1993 di atas dapat dijelaskan
bahwa polisi memberikan formal caution kepada anak dengan menjelaskan sifat
peringatan, dimana peringatan itu nantinya akan dicatat dalam catatan kepolisian
dan menjadi bukti. Jika anak melakukan pelanggaran lagi, maka terhadap perkara
anak tersebut tidak lagi diselesaikan melalui formal caution tetapi langsung
diselesaikan melalui peradilan. Peringatan ini dimungkinkan pula dalam bentuk :
a. menyerahkan anak kepada walinya;
b. atau jika walinya tidak ada ditawarkan kepada anak yang bersangkutan untuk
mengajukan wali yang masih memiliki hubungan darah;
c. bimbingan konseling.
Formal caution yang telah diberikan polisi kepada pelaku dituangkan
dalam sebuah surat yang ditanda tangani oleh polisi, pelaku dan jika ada orang tua
atau wali dari pelaku. Formal caution berlaku paling lama 3 bulan. Ketentuan ini
sebagaimana diatur dalam Section 8 (6) Young Offenders Act 1993 yang berbunyi:
If a youth enters into an undertaking under this section:
(a) the undertaking must be signed by the youth, a repsentative of the
commisioner of police, and, if practicable, by the youth’s parents or
guardians; and
(b) the undertaking will have a maximum duration of three month.
(Terjemahan bebas: Jika anak masuk dalam bagian ini :
(a) Peringatan formal harus ditandatangani oleh anak, komisaris polisi, dan
jika memungkinkan oleh orang tua anak atau walinya; dan
(b) Peringatan formal mempunyai jangka waktu maksimal tiga bulan.
Peringatan formal dilaksanakan dalam bentuk family conferences, dimana
polisi dapat menentukan sanksi kepada anak berupa meminta maaf pada korban,
membayar kompensasi pada korban dan menempatkan pelaku untuk memberikan
pelayanan kepada masyarakat dalam jangka waktu tertentu (tidak melebihi 300
228
jam) sesuai kesepakatan antara pelaku dengan korban. Hal ini sebagaimana yang
diatur dalam Section 12 (1) Young Offenders Act 1993, yang berbunyi:
A family conference has the following powers:
(a) The conference may administer a formal caution against further offence;
(b) The conference may require the youth to enter into a undertaking to pay
compensation to the victim of the offence;
(c) The conference may require the youth to enter into an undertaking to
carry out a specified period (not exceeding 300 hours) of community
service;
(d) The conference may require the youth to enter into an undertaking to
apologise to the victim of the offence or to do anything else that may be
appropriate in the circumstances of the case.
(Terjemahan bebas: Sebuah konferensi keluarga memiliki kekuasaan sebagai
berikut:
(a) Konferensi dapat memberikan peringatan formal terhadap pelanggaran
selanjutnya;
(b) Konferensi dapat memutuskan anak yang terbukti melakukan pelanggaran
untuk membayar kompensasi kepada korban pelanggaran;
(c) Konferensi dapat memutuskan anak untuk memberikan pelayanan kepada
masyarakat dalam jangka waktu tertentu (tidak melebihi 300 jam);
(d) Konferensi dapat memutuskan anak untuk meminta maaf kepada korban
pelanggaran atau melakukan hal yang lain sesuai dengan keadaan kasus
ini.
Permintaan maaf kepada korban dalam family conferences ini juga harus
dilakukan dihadapan orang yang telah ditunjuk oleh para pihak dalam family
conferences. Hal ini sebagaimana diatur dalam Section 12 (7) Young offenders Act
1993, yang berbunyi:
“If a youth enters into an undertaking under this section to apologise to the
victim of the offence, the apology must be made in the presence of an adult
person approved by the family conference or a Youth Co-ordinator”.
(Terjemahan bebas: Jika anak masuk dalam bagian ini, maka permintaan
maaf kepada korban pelanggaran harus dilakukan di hadapan orang yang
ditunjuk oleh para pihak dalam konferensi keluarga).
Apabila dalam proses police caution dan proses family conferences tidak
berhasil, maka perkara anak tersebut diteruskan pada proses peradilan anak
melalui Youth Court (Pengadilan Anak). Hal ini dilakukan apabila perkara anak
229
tersebut memang harus ditangani oleh pengadilan dan menurut pendapat polisi
tidak memenuhi syarat untuk ditangani oleh petugas atau konferensi keluarga
karena anak mengulangi melakukan pelanggaran atau keadaan lain yang
menjengkelkan. Sebagaimana dinyatakan dalam Section 7.4 Young Offender Act
1993, bahwa:
A charge may only be laid :
(a) if the youth requires the matter to be dealt with by the Court; or
(b) if, in the opinion of the police officer, the matter cannot be adequately
dealt with by the officer or a family conference because of the youth's
repeated offending or some other circumstance of aggravation.
(Terjemahan bebas: Sejumlah biaya hanya dapat dibayarkan:
(a) jika anak memerlukan hal yang harus ditangani oleh Pengadilan; atau
(b) jika, menurut pendapat polisi, hal tersebut tidak dapat memenuhi syarat
ditangani oleh petugas atau konferensi keluarga karena pemuda tersebut
mengulangi pelanggaran atau keadaan lain yang menjengkelkan.
Pelaksanaan Diversi di luar Sistem Peradilan Pidana Anak di Negara
South Australia di atas dapat disajikan pada tabel 29 berikut ini:
Tabel 29
Pelaksanaan Diversi di Luar Sistem Peradilan Pidana Anak
di Negara South Australia
Nama Negara
Peraturan Perundang-undangan
Ketentuan Diversi
Jenis Pelanggaran/
Tindak Pidana Tujuan Diversi
Lembaga/ Pejabat yang Menangani Pelaksanaan
Diversi South Austra-lia
Young Offenders Act 1993
- Section 6.1: ...tidak
memproses anak lebih lanjut....
- Section 8.1: ...pelanggaran
ringan....
- Section 3.1 : ...melindungi anak yang berkonflik dengan hukum, melakukan perawatan, koreksi... bimbingan.... untuk perkembang-an mereka... potensi mereka terealisasikan dengan tepat.
- Section 6 : Polisi
Sumber : Bahan Hukum Primer, diolah.
230
Berdasarkan tabel 29 di atas dapat dijelaskan bahwa :
1. ketentuan diversi, diatur dalam Section 6.1 Young Offenders Act 1993, yaitu
...tidak memproses anak lebih lanjut;
2. jenis pelanggaran/tindak pidana yang dapat ditangani dengan diversi adalah
pelanggaran ringan (Section 8.1);
3. tujuan pelaksanaan diversi adalah perlindungan masyarakat, pencegahan
kejahatan atau demi menghormati hukum dan hak-hak korban;
4. lembaga/pejabat yang menangani pelaksanaan diversi yaitu polisi.
4.2.2. Negara Bagian Western Australia
Pelaksanaan diversi di negara Western Australia diatur dalam Young
Offenders Act 1994, ketentuan yang menyatakan bahwa terhadap anak yang
berkonflik dengan hukum dapat diselesaikan melalui diversi tercantum dalam
Section 7 huruf g Young Offenders Act 1994, yang berbunyi :
Consideration should be given, when dealing with a young person for an
offence, to the possibility of taking measures other than judicial
proceedings for the offence if the circumstances of the case and the
background of the alleged offender make it appropriate to dispose of the
matter in that way and it would not jeopardise the protection of the
community to do so. (Terjemahan bebas: Pertimbangan harus diberikan,
ketika berhadapan dengan anak yang melakukan pelanggaran, untuk
kemungkinan mengambil langkah-langkah lain selain proses pengadilan,
jika kasus tersebut merupakan pelanggaran dengan mempelajari latar
belakang pelanggar lebih tepat untuk menghentikan masalah ini dan tidak
akan membahayakan perlindungan masyarakat).
Ketentuan Section 7 huruf g Young Offenders Act 1994 di atas
menjelaskan bahwa harus ada pertimbangan yang diberikan ketika menangani
anak yang berkonflik dengan hukum, dengan kemungkinan mengambil langkah-
langkah yang lain selain proses pengadilan jika kasus tersebut berupa pelanggaran
231
dengan mempelajari latar belakang anak, bila memungkinkan maka lebih tepat
untuk menghentikan masalah itu asalkan tidak membahayakan perlindungan
masyarakat.
Menurut Schedules 1 dan 2 yang tercantum dalam Section 22 (3)Young
Offenders Act 1994, memberikan syarat bahwa tindak pidana yang tidak dapat
diselesaikan melalui diversi adalah tindak pidana kekerasan serius seperti
pembunuhan, kekerasan seksual, kecelakaan yang menyebabkan kematian.310
Pelaksanaan diversi oleh kepolisian dalam Young Offenders Act 1994, diatur
dalam Part 2 Division 1 dengan judul Cautioning, yaitu :
a. Section 22A : Purpose of this Division
The purpose of this Division is to set up a way of diverting a child who
commits an offence from the courts’ criminal justice system by allowing
a police to administer a caution to the young person instead of starting
a proceeding for the offence. (Terjemahan bebas: Tujuan divisi ini
adalah untuk mengatur cara mengalihkan anak yang melakukan
pelanggaran dari sistem peradilan pidana yang memungkinkan polisi
untuk memberikan peringatan kepada anak, bukan untuk memproses
pelanggaran).
Ketentuan di atas menjelaskan tentang tujuan dari diversi adalah
memberikan kewenangan kepada polisi untuk mengatur cara mengalihkan seorang
anak yang berkonflik dengan hukum dari sistem peradilan pidana ke luar sistem
peradilan pidana, yang salah satunya melalui peringatan (caution) kepada anak
yang berkonflik dengan hukum dan tidak memproses pelanggaran.
b. Section 22B : Police officer to consider alternatives to court proceedings
A police officer, before starting a proceeding againts a young person for an
offence, must first consider whether in all the circumstances it would be more
appropriate :
310Ibid., hlm. 214.
232
a. to take no action; or
b. administer a caution to the young person.
(Terjemahan bebas: Seorang polisi, sebelum memulai proses anak yang
melakukan pelanggaran, terlebih dahulu harus mempertimbangkan apakah
dalam semua keadaan akan lebih tepat :
a. untuk tidak melakukan tindakan; atau
b. memberikan peringatan kepada anak.
Ketentuan di atas menjelaskan bahwa polisi sebelum memulai proses anak
yang berkonflik dengan hukum, terlebih dahulu harus mempertimbangkan
langkah apa yang lebih tepat untuk dilakukan, apakah akan melakukan tindakan
atau memberikan peringatan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum.
c. Section 22: Cautions may be given except for Schedule 1 or 2 offences:
(1) Where circumstances arise in which a member of the police force
could charge a young person with the commission of an offence, the
member of the police force may, having regard to the circumstances,
caution the person instead of laying a charge;
(2) The caution may be given orally or in writing;
(3) Subsection (1) does not allow a member of the police force to caution
a person instead of laying a charge if the offence is a schedule 1
offence or a schedule 2 offence;
(4) If a caution is given any admission made by the person cautioned at or
about the time the caution is given is not admissible in civil or other
proceedings as evidence of any matter to which the caution refers.
(Terjemahan bebas: Peringatan dapat diberikan kecuali untuk pelanggaran
yang terdapat dalam Schedule 1 dan 2:
(1) Dalam keadaan tertentu maka anggota kepolisian dapat menetapkan
komisi (ganti rugi) terhadap anak yang melakukan pelanggaran, setelah
mempertimbangkan keadaan tertentu, peringatan tidak dapat diganti
dengan ganti rugi;
(2) Peringatan dapat diberikan secara lisan atau tertulis;
(3) Ayat (1) tidak memungkinkan bagi anggota kepolisian memberikan
peringatan kepada orang untuk membayar ganti rugi sebagai pengganti
pelanggaran sebagaimana diatur dalam Schedule 1 dan 2;
(4) Bila peringatan diberikan disertai pengakuan yang dibuat anak dan pada
waktu peringatan diberikan tidak dilakukan proses atau lainnya maka
sebagai bukti mengacu pada peringatan itu.
233
Ketentuan di atas menjelaskan bahwa polisi tidak boleh memberikan
peringatan untuk jenis pelanggaran yang terdapat dalam Schedules 1 dan 2 Young
Offenders Act 1994. Jenis peringatan yang diberikan kepada anak yang pertama
kali melakukan pelanggaran adalah peringatan secara lisan atau tertulis.
Peringatan tersebut didokumentasikan sebagai bukti jika anak yang bersangkutan
melakukan pelanggaran lagi, maka penyelesaiannya tidak dapat dilakukan melalui
peringatan.
d. Section 23A: Caution Certificate to be Given
(1) If a caution is administered to a young person for an offence, the
police officer who administered the caution must give the young
person a certificate in a form approved by the Commissioner
(2) The certificate must state :
a. that a caution was administered to the young person; and
b. the young person’s name; and
c. the substance of the offence; and
d. the police officer’s name and rank; and
e. the place where the caution was issued; and
f. the names of all persons present when the caution was issued; and
g. the nature and effect of a caution; and
h. a description of any thing seized by the police officer in relation to
the offence.
(Terjemahan bebas: Diberikan Sertifikat Peringatan:
(1) Jika peringatan untuk anak yang melakukan pelanggaran
didokumentasikan, maka petugas polisi yang mendokumentasikan
peringatan memberikan sertifikat kepada anak dalam bentuk yang
disetujui oleh Komisaris.
(2) Sertifikat harus menyatakan:
a. peringatan didokumentasikan untuk anak;
b. nama anak;
c. substansi pelanggaran;
d. nama petugas polisi dan kepangkatan; dan
e. tempat dimana peringatan itu diberikan; dan
f. nama-nama orang yang hadir ketika peringatan diberikan; dan
g. sifat dan akibat dari peringatan; dan
h. uraian dari sesuatu hal yang disita oleh petugas polisi yang berkaitan
dengan pelanggaran).
234
Ketentuan di atas menjelaskan tentang bentuk surat peringatan yang
dikeluarkan oleh polisi. Polisi memberikan surat peringatan kepada anak yang
berkonflik dengan hukum dalam bentuk sertifikat dengan persetujuan Komisaris.
Dalam surat peringatan yang berbentuk sertifikat tersebut harus menyatakan :
a. peringatan didokumentasikan untuk anak;
b. nama anak;
c. substansi pelanggaran;
d. nama petugas polisi dan kepangkatan;
e. tempat dimana peringatan itu diberikan;
f. nama-nama orang yang hadir ketika peringatan diberikan;
g. sifat dan akibat dari peringatan; dan
h. uraian dari sesuatu hal yang disita oleh petugas polisi yang berkaitan dengan
pelanggaran.
Section 26 Young Offenders Act 1994, menyatakan bahwa:
Release of young person under arrest :
(1) If a young person has been arrested for an offence and the matter is
referred for consideration by a juvenile justice team, the young person
is to be released as soon as is practicable.
(2) A young person who has been arrested for an offence is not to be held
in custody by reason only of the need to decide whether or not to refer
the matter for consideration by a juvenile justice team but the powers
in regard to admission to bail may be exercised from time to time until
the decision is made.
(Terjemahan bebas: Pelepasan anak di bawah tahanan
(1) Jika anak telah ditangkap karena pelanggaran dan perkaranya dirujuk
untuk dipertimbangkan oleh tim peradilan anak, proses perkara anak
mungkin akan segera dapat dilaksanakan.
(2) Seorang anak yang telah ditangkap karena pelanggaran tidak akan
ditahan hanya dengan alasan demi kepentingan untuk memutuskan
apakah merujuk hal tersebut atau tidak untuk dipertimbangkan oleh tim
peradilan anak tetapi adanya kekuatan untuk menyelamatkan mungkin
dilakukan dari waktu ke waktu sampai keputusan dibuat.
235
Pelaksanaan diversi terhadap anak yang berkonflik dengan hukum
diberlakukan untuk anak yang baru pertama kali melakukan tindak pidana. Hal ini
sebagaimana dinyatakan dalam Section 29 Young Offenders Act 1994 :
First offenders usually should be referred to a team :
(1) The discretion given by Section 27 or 28 is to be exercised in favour of
referring the matter to a juvenile justice team if the young person has
not previously offended against the law.
(2) A young person is not to be taken to have previously offended against
the law merely because he or she :
(a) has been cautioned under Section 22;
(b) has accepted responsibility for the act or omission constituting the
offence under Section 25(4); or
(c) has agreed to comply or has complied with the terms specified by a
juvenile justice team for disposing of a matter under Section 32.
(Terjemahan bebas: Pelanggar pertama biasanya harus dirujuk ke tim:
(1) Diskresi diberikan oleh Bagian 27 atau 28 akan dilaksanakan dengan
cara merujuk hal tersebut kepada tim peradilan anak jika
anak sebelumnya belum pernah melakukan pelanggaran/perbuatan
melawan hukum.
(2) Seorang anak tidak harus diputus telah melakukan
pelanggaran/perbuatan melawan hukum hanya karena sebelumnya dia:
(a) telah diperingatkan menurut Bagian 22;
(b) telah menerima tanggung jawab atas tindakan atau kelalaian
yang merupakan pelanggaran menurut Pasal 25 (4); atau
(c) telah setuju untuk mematuhi atau telah memenuhi persyaratan
yang ditentukan oleh tim peradilan anak untuk mengalihkan
sebuah masalah di bawah Bagian 32.
Dengan demikian, berdasar ketentuan Section 29 Young Offenders Act
1994 diatas, maka perkara anak yang berkonflik dengan hukum dapat dialihkan
ke luar sistem peradilan anak bila sebelumnya anak belum pernah melakukan
pelanggaran, menurut Bagian 22 dan bila anak setuju perkaranya dialihkan.
Pelaksanaan diversi di luar sistem peradilan anak di Negara Western
Australia di atas dapat disajikan pada tabel 30 berikut ini :
236
Tabel 30
Pelaksanaan Diversi di Luar Sistem Peradilan Pidana Anak
di Negara Western Australia
Nama
Negara
Peraturan
Perundang-
undangan/
Dasar
Hukum
Ketentuan
Diversi
Jenis
Pelanggaran/
Tindak Pidana
Tujuan Diversi
Lembaga/
Pejabat yang
Menangani
Pelaksanaan
Diversi
Western
Australia
Young
Offenders
Act 1994,
Section 7.g,
22.A.
Section 7.g :
...mengambil
langkah-
langkah lain
selain proses
pengadilan....
Section 7.g :
Pelanggaran
ringan
Section 22.A :
- Mengatur cara
mengalihkan
anak yang
melakukan
pelanggaran dari
sistem peradilan
pidana dan
bukan untuk
memulai proses
pelanggaran....
Section 22.A :
Polisi
Sumber : Bahan Hukum Primer, diolah.
Berdasarkan tabel 30 di atas dapat dijelaskan bahwa :
1. ketentuan diversi, diatur dalam Section 7.g : mengambil langkah-langkah lain
selain proses pengadilan;
2. jenis pelanggaran/tindak pidana yang dapat ditangani dengan diversi adalah
pelanggaran ringan;
3. tujuan pelaksanaan diversi adalah mengatur cara mengalihkan anak yang
melakukan pelanggaran dari sistem peradilan pidana dan bukan memulai
proses untuk pelanggaran;
4. lembaga/pejabat yang menangani pelaksanaan diversi yaitu polisi.
237
4.2.3. Negara Bagian Queensland, Australia
Diversi di Queensland diatur dalam Queensland Juvenile Justice Act 1992,
namun secara khusus program diversi diatur dalam aturan yang dibuat oleh
lembaga kepolisian di Queensland. Salah satu bentuk pelaksanaan diversi oleh
kepolisian di Queensland adalah melalui Police Caution yang didasarkan pada
diskresi dalam common law system. Diskresi memberikan suatu kebebasan bagi
polisi untuk menentukan apakah terhadap seseorang yang melakukan suatu tindak
pidana akan diproses menurut hukum yang berlaku atau tidak.311
Tujuan dari caution diatur dalam Section 14 Juvenile Justice Act 1992,
yaitu :
The purpose of this division is to set up way of diverting a child who
commits an offence from the courts’ criminal justice system by allowing a
police officer to administer a caution to the child instead of bringing the
child before a court for the offence. (Terjemahan bebas: Tujuan divisi ini
adalah untuk mengatur cara mengalihkan anak yang melakukan
pelanggaran dari sistem peradilan pidana dengan menghimbau petugas
polisi untuk memberikan peringatan kepada anak dan tidak meneruskan
pelanggaran anak ke pengadilan).
Tujuan dari caution adalah untuk mengalihkan penyelesaian anak yang
berkonflik dengan hukum dari proses pengadilan. Sistem peradilan ini
memungkinkan polisi untuk memberikan peringatan sehingga anak yang
berkonflik dengan hukum tidak perlu dilanjutkan ke pengadilan.
Mekanisme caution sebagaimana diatur dalam Section 18 Juvenile Justice
Act 1992, sebagai berikut :
311Nurini Aprilianda, Op.cit., hlm. 219-220.
238
Section 18 Juvenile Justice Act 1992 :
(1) A police officer who administers, or requests the administration of, a
caution to a child must take steps to ensure that the child and the
person present under section 16 (2) understand the purpose, nature
and effect of the caution;
(2) The steps that can be taken include, for example :
(a) personally explaining these matters to the child; and
(b) having some person with training or experience in the cautioning;
(c) having an interpreter or other person able to communicate
effectively with the child give the explanation; and
(d) supplying an explanatory note in English or another language.
(Terjemahan bebas :
(1) Seorang polisi yang mengurus atau yang mengawasi peringatan
untuk anak harus mengambil langkah-langkah untuk memastikan
bahwa anak dan orang yang hadir menurut Pasal 16 ayat (2)
memahami tujuan, sifat dan efek dari peringatan tersebut;
(2) Langkah-langkah yang dapat diambil termasuk, misalnya :
(a) secara pribadi menjelaskan hal ini kepada anak; dan
(b) memiliki petugas yang terlatih atau berpengalaman dalam
memberikan penjelasan tentang peringatan kepada anak; dan
(c) memiliki seorang penerjemah atau orang lain yang dapat
berkomunikasi secara efektif memberikan penjelasan kepada
anak; dan
(d) menyediakan sebuah penjelasan dalam bahasa Inggris atau
bahasa lain).
Berdasarkan ketentuan di atas, maka prosedur caution yang dilakukan oleh
polisi diiringi dengan penjelasan tentang tujuan, jenis dan dampak dari pemberian
caution. Langkah-langkah yang dapat diambil dapat berupa menjelaskan kepada
anak tentang masalah yang dihadapinya, memberikan pelatihan, dan menyediakan
penerjemah. Caution dapat berupa permohonan maaf dari pelaku kepada korban.
Police caution dapat diberikan kepada anak dengan syarat-syarat
sebagaimana disebutkan dalam Section 16, yaitu :
(1) A police officer may administer a caution to a child for an offence only
if the child:
a. admits committing the offence to the police officer; and
b. consents to being cautioned
239
(2) A police officer who administers a caution, or who requests the
administration of a caution under section 17, must, if practicable,
arrange to be present at the administration of the caution :
(a) an adult chosen by the child; or
(b) a parent of the child or a person chosen by a parent of the child;
(3) The commissioner of the police service may authorise a police officer
who the commissioner considers has sufficient training or experience
(authorized officer) to administer cautions;
(4) If a police officer administering a caution is not an authorised officer,
the caution must be administered in the presence of an authorised
officer.
(Terjemahan bebas:
(1) Seorang petugas polisi dapat memberikan peringatan kepada anak yang
melakukan pelanggaran, hanya jika anak :
(a) mengakui melakukan tindak pidana ke polisi; dan
(b) setuju dengan peringatan.
(2) Seorang polisi yang mendokumentasikan peringatan atau yang
merekomendasi dokumen peringatan berdasarkan Pasal 17, jika
memungkinkan menghadirkan :
(a) orang dewasa yang dipilih oleh anak; atau
(b) orang tua dari anak atau orang yang dipilih oleh orang tua dari anak;
(3) Komisaris kepolisian dapat mengizinkan seorang perwira polisi yang
komisaris menganggap memiliki pelatihan yang cukup atau pengalaman
(pejabat yang berwenang) untuk mengurus peringatan;
(4) Jika seorang polisi pengawas peringatan bukanlah pejabat yang
berwenang, peringatan harus diberikan di hadapan pejabat yang
berwenang).
Menurut ketentuan di atas, polisi dapat memberikan peringatan kepada
anak yang berkonfik dengan hukum jika anak telah mengakui perbuatannya dan
menyetujui peringatan tersebut. Selain itu, diatur juga tentang pejabat yang
melakukan pengawasan atas peringatan yang diberikan kepada anak. Pengawas
tersebut dapat berasal dari kepolisian atau dapat juga di luar kepolisian seperti
orang tua anak atau orang dewasa yang dipilih oleh anak atau yang dipilih oleh
orang tua anak.
Caution pada keadaan normal hanya diberikan pada anak yang baru
pertama kali melakukan tindak pidana. Caution merupakan tindakan formal yang
240
diambil oleh polisi yang telah terlatih. Proses tersebut meliputi diskusi antara
polisi dengan lembaga pemerhati anak dan secara terpisah juga dilakukan
pemanggilan terhadap anak dan orang tua anak. Hal ini penting sekali dilakukan
untuk menggali informasi tentang perilaku anak. Anak yang telah diberi
peringatan dicatat dalam sistem informasi kepolisian. Bila anak melakukan tindak
pidana lagi, catatan tersebut menjadi dasar bagi polisi untuk menentukan sikap
selanjutnya.312
Selain formal caution di Queensland dikenal juga informal caution.
Informal caution ini diberikan kepada anak yang melakukan perilaku
menyimpang di jalanan dan pelanggaran lalu lintas yang ringan. Informal caution
tidak dicatat dalam sistem informasi kepolisian dan orang tua tidak dilibatkan
dalam penyelesaian masalah ini.313
Bila police caution tidak berhasil dilaksanakan, maka perkara anak akan
ditangani oleh Youth justice conferences, sebagaimana diatur dalam Section 30
Juvenile Justice Act 1992 berikut ini :
Object of part and explanation :
(1) The object of this part is to establish a youth justice conference process
for a child who admits committing an offence to a police officer or after
a finding of guilt for an offence is made against the child before a court.
(2) The process allows the child, a victim of the offence and other concerned
persons to consider or deal with the offence in a way benefiting all
concerned.
(3) The process includes the following basic steps :
(a) a police officer or court refers the offence to a youth justice
conference;
(b) a convenor convenes the conference between the child and other
concerned persons;
312Ibid., hlm. 221
313Ibid.
241
(c) at the conference the offence is discussed and an agreement made
on what must be done because of the offence....
(Terjemahan bebas: Obyek bagian dan penjelasan :
(1) Objek bagian ini adalah untuk membangun keadilan anak.
Proses konferensi untuk anak yang mengakui melakukan suatu
pelanggaran kepada polisi atau setelah mengakui kesalahan atas
pelanggaran yang dilakukan terhadap anak sebelum proses di
pengadilan.
(2) Proses ini memungkinkan anak, korban dari pelanggaran dan orang
lain yang bersangkutan untuk mempertimbangkan atau berurusan
dengan pelanggaran dengan menggunakan cara yang
menguntungkan semua pihak.
(3) Proses ini meliputi langkah seperti berikut :
(a) seorang polisi atau pengadilan menangani pelanggaran yang
dilakukan anak melalui konferensi keadilan;
(b) convenor melaksanakan sidang dalam konferensi antara anak
dan orang-orang terkait lainnya;
(c) pelanggaran dibahas di konferensi dan perjanjian dibuat berdasar
atas apa yang harus dilakukan sehubungan dengan
pelanggaran....
Pelaksanaan diversi di luar sistem peradilan pidana anak di negara
Queensland, Australia di atas dapat disajikan pada tabel 31 berikut ini :
Tabel 31
Pelaksanaan Diversi di Luar Sistem Peradilan Pidana Anak
di Negara Queensland, Australia
Nama
Negara
Peraturan
Perundang-
undangan/
Dasar
Hukum
Ketentuan
Diversi
Jenis
Pelanggaran/
Tindak
Pidana
Tujuan
Diversi
Lembaga/
Pejabat yang
Menangani
Pelaksanaan
Diversi
Queensland,
Australia
Juvenile
Justice Act
1992,
Section 14,
16, 30.
Section 14 :
...mengalihkan
anak yang
melakukan
pelanggaran
dari sistem
peradilan
pidana....
Section 16 :
pelanggar-
an ringan
Section 30 :
...memba-
ngun
keadilan
anak....
Section 14 :
...polisi....
Sumber : Bahan Hukum Primer, diolah.
242
Berdasarkan tabel 31 di atas dapat dijelaskan bahwa :
1. ketentuan diversi, diatur dalam Section 14 : mengalihkan anak yang melakukan
pelanggaran dari sistem peradilan pidana;
2. jenis pelanggaran/tindak pidana yang dapat ditangani dengan diversi adalah
pelanggaran ringan;
3. tujuan pelaksanaan diversi adalah untuk membangun keadilan anak;
4. lembaga/pejabat yang menangani pelaksanaan diversi yaitu polisi.
4.2.4. Negara Bagian Tasmania, Australia
Penanganan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum diatur dalam
Youth Justice Act 1997 yang mengizinkan polisi melakukan diskresi langsung
terhadap pelaku anak dengan memberikan peringatan informal (nasehat),
peringatan formal (tertulis), peringatan melalui pertemuan, pertemuan dengan
anggota masyarakat conferencing melalui proses diversi atau diteruskan ke
pengadilan.314
Peringatan informal (nasehat) diatur dalam Section 8 Youth Justice Act
1997 yang berbunyi :
(1) If a youth admits the commission of an offence and a police officer is
of the opinion that the matter does not warrant any formal action
under this act, the officer may informally caution the youth againts
further offending and proceed no further againts the youth;
(2) If a youth is informally cautioned under this section, no further
proceedings may be taken againts the youth for the offence in relation
to which the youth was cautioned.
(Terjemahan bebas:
(1) Jika anak mengakui terjadinya pelanggaran dan petugas polisi
berpendapat bahwa masalah ini tidak menimbulkan reaksi formal di
bawah undang-undang ini, maka petugas boleh memberikan
314
Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia: Pengembangan Konsep Diversi
dan Restorative Justice, hlm. 164-165.
243
peringatan informal kepada anak yang melakukan pelanggaran dan
tidak memproses anak lebih lanjut;
(2) Jika anak diperingatkan secara informal di bawah undang-undang ini,
pelanggaran anak tidak diproses lebih lanjut dalam hubungannya
dengan hal ini yang mana anak telah diperingatkan).
Peringatan lisan diberikan jika anak mengakui pelanggaran yang
dilakukannya dan polisi tidak memproses perkara anak lebih lanjut tapi
menghentikannya.
Selanjutnya, peringatan formal (tertulis) diatur dalam Section 10 Youth Justice Act
1997 berikut ini :
(1) A formal caution againts further offending is to be administered to the
youth by an authorised police officer;
(2) If an authorised police officer administers a formal caution againts
further offending, the officer may also require the youth to enter into
one or more of the following undertakings :
(a) an undertaking to pay compensation, in the manner specified in the
undertaking, for :
(i) loss of or damage to offence-affected property; and
(ii) injury suffered, expenses incurred or other loss suffered by
the victim of the offence; and
(iii) injury suffered, expenses incurred or other lost suffered by
any other person by reason of the offence;
(b) an undertaking to make restitution of offence-affected property;
(c) an undertaking to perform a specified period (not exceeding 35
hours) of community service which is for the benefit of the victim of
the offence;
(d) an undertaking to apologise to the victim of the offence;
(e) an undertaking to do anything else that may be appropriate in the
circumstances of the case;
(3) If a formal caution is to be administered in respect of an offence, the
authorised police officer must explain to the youth :
(a) the nature of the caution; and
(b) that the administering of the caution may be treated as evidence of
commision of the offence by a police officer, community conference
or court if the youth has to be dealt with for a subsequent offence.
(Terjemahan bebas :
(1) Peringatan resmi diberikan oleh polisi untuk pelanggaran lebih lanjut;
(2) Jika seorang polisi yang berwenang memberi peringatan resmi
terhadap pelanggaran lebih lanjut, petugas dapat memasukkan anak ke
dalam satu atau lebih dari usaha berikut:
244
(a) Suatu usaha untuk membayar ganti rugi, dengan cara yang
ditentukan secara khusus, untuk :
(i) kehilangan atau kerusakan atas tindak pidana terhadap harta
benda; dan
(ii) luka yang diderita, biaya yang dikeluarkan atau kerugian lain
yang diderita oleh korban pelanggaran; dan
(iii) luka yang diderita, biaya yang dikeluarkan atau kerugian lain
yang diderita oleh orang lain dengan alasan akibat
pelanggaran;
(b) suatu usaha untuk membuat perbaikan terhadap harta benda akibat
pelanggaran;
(c) suatu usaha untuk melakukan pelayanan masyarakat dalam jangka
waktu tertentu (tidak lebih dari 35 jam) untuk kepentingan korban
pelanggaran;
(d) suatu usaha untuk meminta maaf kepada korban pelanggaran;
(e) suatu usaha untuk melakukan hal lain yang mungkin sesuai dengan
keadaan kasus ini;
(3) Jika peringatan formal diberikan terkait dengan pelanggaran, polisi
yang berwenang harus menjelaskan kepada anak :
(a) sifat peringatan tersebut; dan
(b) bahwa pemberian peringatan tersebut dapat diberlakukan sebagai
bukti pelanggaran oleh seorang polisi, konferensi masyarakat atau
pengadilan jika anak harus ditangani untuk tindak pidana
berikutnya).
Pemberian peringatan tertulis di atas dapat diberikan kepada anak yang
melakukan pelanggaran lebih lanjut dalam bentuk ganti rugi, restitusi, pelayanan
masyarakat, permintaan maaf dan bentuk lainnya yang disesuaikan dengan kasus
yang terjadi. Dalam pemberian peringatan tersebut, polisi menjelaskan sifat
peringatan dan kedudukan peringatan yang dapat dijadikan bukti oleh polisi,
musyawarah keluarga, dan pengadilan jika anak mengulangi tindak pidana lagi.
Polisi juga dapat menyerahkan anak kepada penanganan secara formal jika
mereka yakin bahwa permasalahan yang terjadi cukup serius, seperti :
pembunuhan, percobaan pembunuhan, pelanggaran konsumsi alkohol dan
keselamatan di jalan raya maka pengadilan yang mengadili. Selain itu, untuk
pelanggaran diputuskan dengan diskresi oleh polisi. Biasanya peringatan formal
245
diberikan oleh anggota polisi yang dipercaya menangani anak. Peringatan
diberikan dengan menghadirkan orang tua anak di kantor polisi atau polisi
langsung datang ke rumah anak tersebut. Selanjutnya, dipertimbangkan secara
restorative justice apakah lebih berat kerusakan dan kerugian dibanding sisi
pelanggaran hukumnya. Peringatan yang terperinci terhadap pelaku anak dicatat
dalam catatan pelaku (sebagai arsip) yang mana catatan ini akan dilakukan
penghapusan setelah 5 (lima) tahun.315
Di negara bagian Tasmania, polisi Tasmania berkomitmen untuk objek dan
tujuan dari Youth Justice Act 1997 dan sadar akan pentingnya peran polisi sebagai
gatekeeper. Hal ini sebagaimana diungkapkan berikut :
A police officer may refer a young person to court if offence is denied, the
young person chooses court or where the matter is prescribed in the Act
or is of a serious nature. A court may decide to refer the young person to a
community conference in some circumstances.
The importance of Tasmania Police’s role as gatekeeper is recognised by
the Commissioner of Police who has directed that each district appoint a
Youth Justice.
Coordinator to review all decisions made by police officers with regard to
the tier of justice selected. The circumstances of each particular case will
always govern that review process but the policy is to divert young people
from court. A recent example that is not dissimilar from that spoken about
in Dr Graycar’s keynote address involved a youth who had stabbed
another youth six times puncturing a lung. The incident had occurred after
both had gotten off a school bus.
The offence was admitted and the investigating officers submitted a court
file as the matter fell within the serious category although wounding is not
an offence prescribed in the Act that a youth must go to court for.
The review noted, first offender, supportive family, severe lacerations to
offenders own hand caused by folding blade and suggestive of offender
losing control, a history of bullying by victim towards the offender who felt
inadequate and unable to physically defend himself. The review considered
probable court outcomes and a decision was made to refer the matter to a
community conference.
315Ibid., hlm. 165.
246
Tasmania Police are committed to the objects and aims of the Youth
Justice Act 1997 and are aware of the importance of our role as
gatekeeper.316
(Terjemahan bebas: Seorang polisi dapat merujuk anak ke pengadilan jika
peringatan ditolak, dan anak memilih penanganan lewat pengadilan atau
dimana masalah ini diatur dalam undang-undang atau yang bersifat serius.
Pengadilan dapat memutuskan untuk merujuk anak pada sebuah konferensi
masyarakat dalam beberapa keadaan. Pentingnya peran Kepolisian
Tasmania sebagai gatekeeper diakui oleh Komisaris Polisi yang telah
mengarahkan bahwa setiap kabupaten menunjuk Koordinator Keadilan
Anak untuk meninjau semua keputusan yang dibuat oleh polisi
sehubungan dengan tingkat keadilan yang dipilih. Keadaan setiap kasus
tertentu akan selalu mengatur bahwa proses peninjauan kebijakan ini
adalah untuk mengalihkan anak-anak dari pengadilan. Contoh terbaru yang
tidak berbeda dari yang dibicarakan dalam pidato Dr Graycar yang
melibatkan pemuda yang telah menikam pemuda lain dengan enam kali
menusuk paru-parunya. Insiden itu terjadi setelah keduanya sudah keluar
dari bus sekolah. Kejahatan tersebut diproses dan petugas menyelidiki
serta mengajukan berkas ke pengadilan dan perkara termasuk dalam
kategori serius meskipun melukai bukan merupakan pelanggaran seperti
yang ditentukan dalam UU bahwa anak harus ditangani oleh pengadilan.
Tinjauan tersebut mencatat, pelaku pertama, keluarga mendukung, luka
parah pada tangan pelaku sendiri yang disebabkan oleh pisau dan sugestif
pelaku kehilangan kontrol, sejarah kekerasan oleh korban terhadap pelaku
yang merasa tidak mampu secara fisik berkali-kali membela diri.
Kemungkinan hasil review pengadilan menganggap keputusan dibuat
untuk merujuk hal tersebut kepada sebuah konferensi masyarakat. Polisi
Tasmania berkomitmen untuk objek dan tujuan dari Youth Justice Act
1997 dan sadar akan pentingnya peran kami sebagai gatekeeper).
Contoh kasus sebagaimana dikemukakan dalam pidato Dr Graycar di atas
menunjukkan betapa pentingnya peran polisi sebagai gatekeeper di negara bagian
Tasmania. Tindak pidana yang dilakukan anak diproses karena perkara termasuk
316This paper was presented at the conference: Children, Young People and Their
Communities: The Future is in our Hands, held 27-28 March 2001 at Launceston
Tramsheds Complex, Launceston, Tasmania. This paper was downloaded from:
http://www.aic.gov.au/conferences/cypc/ This document, prepared by the Legislative
Counsel Office, is an office consolidation of this Act, current to May 30, 2012. It is
intended forinformation and reference purposes only.
This document is not the official version of the Act. The Act and the amendments as
printed under the authority of theQueen’s Printer for the province should be consulted to
determine the uthoritative statement of the law.
247
dalam kategori serius meskipun melukai bukan merupakan pelanggaran seperti
yang ditentukan dalam UU bahwa anak harus ditangani pengadilan. Polisi
mengajukan berkas ke pengadilan. Pelaku dan keluarga juga mendukung,
meskipun pelaku mengalami luka parah pada tangannya sendiri yang disebabkan
oleh pisau dan sugestif pelaku yang kehilangan kontrol, juga oleh korban yang
merasa tidak mampu secara fisik membela diri. Hasil review pengadilan
memutuskan untuk merujuk hal tersebut pada konferensi masyarakat. Dalam
kasus ini menunjukkan bahwa Polisi Tasmania berkomitmen untuk objek dan
tujuan Youth Justice Act dan peran polisi sebagai gatekeeper sehingga anak yang
berkonflik dengan hukum terhindar dari efek negatif proses formal sistem
peradilan pidana.
Pelaksanaan diversi di luar sistem peradilan pidana anak di negara
Tasmania, Australia di atas dapat disajikan pada tabel 32 berikut ini:
248
Tabel 32
Pelaksanaan Diversi di Luar Sistem Peradilan Pidana Anak
di Negara Tasmania, Australia
Nama
Negara
Peraturan
Perundang-
undangan/
Dasar
Hukum
Ketentuan
Diversi
Jenis
Pelanggaran/
Tindak
Pidana
Tujuan
Diversi
Lembaga/
Pejabat yang
Menangani
Pelaksanaan
Diversi
Tasmania
Youth
Justice Act
1997,
Section 8,
dan 10
Section 8 :
...memberikan
peringatan
kepada anak
yang
melakukan
pelanggaran
...tidak
memproses
anak lebih
lanjut....
Section 8 :
pelanggaran
ringan
Menghindari
labeling yang
disebabkan
oleh efek-
efek negatif
sistem
peradilan
pidana anak
Section 8 :
Polisi
Sumber : Bahan Hukum Primer, diolah.
Berdasarkan tabel 32 di atas dapat dijelaskan bahwa :
1. ketentuan diversi, diatur dalam Section 8: memberikan peringatan kepada
anak yang melakukan pelanggaran, tidak memproses anak lebih lanjut;
2. jenis pelanggaran/tindak pidana yang dapat ditangani dengan melaksanakan
diversi adalah pelanggaran ringan;
3. tujuan pelaksanaan diversi adalah untuk menghindari labeling yang disebabkan
oleh efek-efek negatif sistem peradilan pidana anak;
4. lembaga/pejabat yang menangani pelaksanaan diversi yaitu polisi.
4.2.5. Negara Bagian New South Wales, Australia
Lahirnya Young Offenders Act 1997 (NSW) melalui proses legislasi
Parlemen pada bulan Juni 1997 dan menjadi efektif pada tanggal 6 April 1998
menjadi perbaikan bagi sistem penanganan pelanggar anak di New South Wales.
249
Young Offender Act 1997 (NSW) mengubah cara kerja polisi agar tidak langsung
menangani pelanggaran anak pada sistem peradilan anak. Namun secara aktif
berusaha menangani anak pelaku pelanggaran dengan bentuk-bentuk alternatif
penyelesaian pelanggaran anak.
Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Part 1 Introduction Young Offenders Act
1997 sebagai berikut :
The Act provides a system of diversionary measures as alternatives to
court proceedings for children who commit certain offences. These
diversionary measures follow a hierarchy of informal police warnings,
formal police cautions, and youth justice conferences.
(Terjemahan bebas: Undang-undang ini menetapkan sistem tindakan
pengalihan sebagai alternatif dari proses pengadilan bagi anak-anak yang
melakukan pelanggaran tertentu. Langkah-langkah pengalihan mengikuti
tahap peringatan informal yaitu teguran, peringatan formal polisi dan
konferensi keadilan anak).
Selanjutnya dalam Section 3 Young Offenders Act 1997 dinyatakan:
The objects of the Act include:
Establishing a scheme that sets out an alternative process to court
proceedings providing an efficient and direct response to the commission
by children of certain offences, and dealing with young offenders in a way
that enables a community-based negotiated response, emphasises
restitution and acceptance of responsibility by the offender, and meets the
needs of victims and offenders.
(Terjemahan bebas :
Obyek UU ini meliputi:
Membangun rencana yang menetapkan alternatif untuk memproses anak
keluar dari proses pengadilan, memberikan respon yang efisien dan
langsung ke komisi anak dari pelanggaran tertentu, dan berurusan dengan
pelanggar anak dengan cara yang memungkinkan untuk mendapat respon
dan persetujuan masyarakat, menekankan perbaikan dan penerimaan
tanggung jawab oleh pelaku, dan memenuhi kebutuhan korban dan
pelanggar).
Adapun tujuan konferensi keluarga dalam penanganan pelanggar anak adalah
sebagai berikut :
250
1. Membuat anak yang berkonflik dengan hukum bertanggung jawab atas
tindakan mereka dan untuk mendorong keluarga dan masyarakat
berbagi tanggung jawab;
2. Memperkuat hak-hak korban dan memperbaiki beberapa kerusakan yang
disebabkan oleh kejahatan;
3. Melibatkan korban dan keluarga mereka dalam proses pengambilan
keputusan konferensi;
4. Membuat sistem peradilan anak lebih tanggap terhadap keadaan
individu;
5. Mengurangi waktu dan biaya dalam sistem peradilan anak;
6. Mengurangi biaya perawatan anak yang terlalu banyak dalam tahanan;
7. Meningkatkan kepercayaan publik dalam sistem peradilan anak;
8. Menghindari stigma negatif terhadap anak yang berkonflik dengan
hukum akibat proses formal sistem peradilan anak.317
Dalam Young Offenders Act 1997, penanganan terhadap anak yang
berkonflik dengan hukum didasarkan pada empat hal sesuai dengan keseriusan
pelanggaran, tingkat kekerasan yang terjadi, kerugian yang timbul akibat
perbuatan pelaku dan sikap anak atas pelanggaran yaitu apakah anak yang
berkonflik dengan hukum mengakui/tidak atas pelanggaran yang dilakukan.
Ada beberapa tahap cara penanganan terhadap anak yang berkonflik
hukum di New South Wales, sebagaimana diatur dalam Young Offenders Act
1997:
1. Teguran (warning)
Young Offenders Act 1997, Part 3 mengatur tentang Warnings, pada
Section 13, menyatakan bahwa “A warning may be given for a summary offence
covered by this Act, other than an offence prescribed by the regulations for the
purpose of this section”. (Terjemahan bebas: Suatu pelanggaran yang dapat
diberikan teguran adalah pelanggaran ringan yang diatur oleh undang-undang ini,
selain itu pelanggaran lain yang ditentukan oleh peraturan untuk tujuan bagian
317http://stage6.pbworks.com/f/Young+Offenders+Act.pdf
251
ini). Teguran berlaku untuk pelanggaran ringan, seperti masuk tanpa izin atau
pelanggaran lalu lintas, dimana tidak ada kekerasan atau hal lain yang ditentukan
oleh bagian ini.318
Menurut Section 14 Young Offenders Act 1997, teguran tidak
diberlakukan untuk pelanggaran yang berupa kekerasan. Teguran dapat
disampaikan di tempat anak itu membuat pelanggaran. Teguran diberikan tanpa
meminta anak mengakui pelanggaran yang dilakukannya. Polisi harus mengambil
langkah untuk memastikan bahwa anak memahami tujuan, sifat dan efek teguran.
Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Young Offender Act 1997, Section 16
bahwa : “An investigating official who gives a warning to a child must take steps
to ensure that the child understands the purpose, nature and effect of the
warning”.319
(Terjemahan bebas: Polisi yang memberi teguran kepada anak harus
mengambil langkah yang pasti terhadap anak untuk memahami tujuan, sifat dan
akibat dari teguran).
Aparat kepolisian harus mengidentifikasi identitas pelanggar dan
Komando Local Area (sejenis Polsek) mereka, menginformasikan kepada anak
bahwa mereka menerima teguran dari undang-undang dan mencatat nama pelaku
anak, alamat dan tanggal lahir. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalamYoung
Offender Act 1997, Section 14 dan Section 18.320
Young Offender Act 1997, Section 14 :
Entitlement to be dealt with by warning :
318
Setya Wahyudi, Op.cit., hlm. 189.
319Young Offender Act 1997 Section 16, NSW legislation website
http://www.legislation.nsw.gov.au.ezproxy.uow.edu.au/fragview/inforce/act+54+1997...,
1/12/2009
320Young Offender Act 1997 Section 14 dan 18, Loc.cit.
252
(1) A child who has committed or is alleged to have committed an offence in
respect of which a warning may be given is entitled to be dealt with by
warning;
(2) Despite subsection (1), the child is not entitled to be dealt with by warning
if:
(a) the circumstances of the offence involve violence, or
(b) in the opinion of the investigating official, it is more appropriate to
deal with it by another means because it is not in the interests of justice
for the matter to be dealt with by warning.
(3) A child is not precluded from being given a warning merely because the
child has previously committed offences or been dealt with under this
Act.
(4) If an investigating official is of the opinion that it is not in the interests of
justice to deal with a matter by warning a child and that it is appropriate
to deal with it by other means, the investigating official must consider
whether to deal with the matter under Part 4 or to refer it to a specialist
youth officer under section 21 (2) for consideration of whether action
should be taken under Part 5.
(Terjemahan bebas: Hak untuk ditangani dengan teguran:
(1) Anak yang telah melakukan atau diduga telah melakukan pelanggaran
dimana teguran dapat diberikan karena pelanggar anak berhak ditangani
dengan teguran;
(2) Perkecualian (ayat 1), anak tidak berhak ditangani dengan teguran jika:
(a) keadaan pelanggaran termasuk kekerasan;
(b) menurut pendapat penyidik, lebih tepat untuk menangani hal itu
dengan cara lain karena tidak mencerminkan keadilan bila masalah itu
ditangani dengan teguran;
(3) Anak tidak dilarang diberi teguran hanya karena sebelumnya anak telah
melakukan pelanggaran atau telah ditangani sesuai dengan undang-
undang ini;
(4) Jika pejabat yang menyelidiki berpendapat bahwa bila dengan teguran
untuk menangani pelanggaran anak tidak mencerminkan keadilan maka
tepat untuk mengatasinya dengan cara lain, pejabat yang menyelidiki
harus mempertimbangkan apakah akan menangani dengan berdasar pada
Bagian 4 atau merujuk pada petugas khusus anak menurut Pasal 21 ayat
(2) untuk mempertimbangkan apakah tindakan harus diambil sesuai
dengan Bagian 5).
Young Offender Act 1997, Section 18 :
Offences for which warning may be given :
A caution may be given for an offence covered by this Act, other than an
offence prescribed by the regulations for the purposes of this section.
(Terjemahan bebas: Pelanggaran ditangani dengan teguran.
253
Peringatan dapat diberikan untuk pelanggaran yang dicakup oleh undang-
undang ini, selain pelanggaran yang ditentukan oleh peraturan untuk
tujuan ini).
2. Peringatan (caution)
Berlaku untuk pelanggaran yang lebih serius, seperti memiliki obat
terlarang, kerusakan properti dan mencuri.321
Untuk menerima sebuah peringatan,
anak harus mengakui pelanggaran dan setuju untuk dinasehati. Hal ini
sebagaimana diatur dalamYoung Offender Act 1997, Section 19 :
Conditions required to be able to give caution :
A formal police caution against further offending may be arranged and
given in relation to an offence to a child who is alleged to have committed
the offence, if:
(a) the offence is one for which a caution may be given; and
(b) the child admits the offence; and
(c) the child consents to the giving of the caution; and
(d) the child is entitled to be given a caution.
(Terjemahan bebas: Kondisi yang diperlukan untuk dapat memberikan
peringatan:
Peringatan resmi polisi terhadap pelanggaran berikutnya dapat diatur dan
diberikan dalam kaitannya dengan pelanggaran untuk anak yang diduga
telah melakukan pelanggaran tersebut; jika:
(a) pelanggaran adalah salah satu yang dapat ditangani dengan diberikan
peringatan;
(b) anak mengakui pelanggaran;
(c) persetujuan anak untuk diberikan peringatan;
(d) anak berhak untuk diberikan peringatan).
Peringatan yang diberikan oleh polisi khusus anak yang berbasis di setiap
Komando Daerah Lokal (di kantor polisi dimana anak berdomisili). Peringatan
diberikan setelah polisi memberitahukan kapan peringatan akan dilakukan.
Peringatan diberikan tidak lebih dari 21 hari setelah pemberitahuan peringatan
diberikan.
321
Setya Wahyudi, Op.cit., hlm. 190.
254
Di Australia, polisi mempunyai kewenangan untuk melaksanakan diversi
dalam menangani anak yang berkonflik dengan hukum. Kewenangan polisi untuk
melaksanakan diversi ini, menurut Kate Warner dengan pertimbangan :
1. Avoiding adverse effects of labelling which exposure to the juvenile
justice system can cause);
2. Doubts about efficacy of measures available for young offenders).322
(Terjemahan bebas:
1. Untuk menghindari labeling yang disebabkan oleh efek-efek negatif
sistem peradilan pidana anak);
2. Adanya keragu-raguan akan keefektifan dari perlakuan-perlakuan
terhadap pelanggar anak).
Berdasar atas dua pertimbangan di atas, lebih lanjut Kate Warner
mengemukakan bahwa “Police have traditionally had the discretion to formally
caution young offenders rather than prosecute”.323
(Terjemahan bebas: Polisi
mempunyai tradisi menggunakan diskresi untuk memberikan peringatan formal
kepada pelanggar anak daripada mengusut).
3. Konferensi Keluarga (Family Conferencing)
Untuk menanggulangi pelanggaran yang serius oleh anak dilakukan
dengan menggelar Konferensi Keluarga. Jenis-jenis pelanggaran yang biasa
dibahas dalam konferensi keluarga adalah penganiayaan, pencurian mobil, dan
pengrusakan properti.324
Anak harus mengakui pelanggaran tersebut di hadapan
orang dewasa yang bertanggung jawab dan menyetujui konferensi. Konferensi
dilakukan tidak kurang dari 10 hari dan tidak lebih dari 21 hari setelah
pemberitahuan konferensi diberikan. Penentuan tempat konferensi tergantung
322
Kate Warner, Juveniles in the Criminal Justice System, dalam George
Zdenkowski, Chris Ronald, Mark Richardson (Ed.), The Criminal Justice System Volume
Two, (Sydney and London: Pluto Press, 1987), hlm. 185.
323Ibid.
324 Setya Wahyudi, Op.cit., hlm. 191.
255
pada kesepakatan peserta (tidak boleh dilakukan di kantor polisi, pengadilan
ataupun di kantor departemen kehakiman). Konferensi dapat dilakukan dalam
tahanan jika pelaku berada dalam tahanan.
Konferensi keluarga melibatkan korban, pelaku, keluarga korban dan
keluarga pelaku, polisi khusus anak, tokoh masyarakat, pengacara dan pihak
terkait yang dimediasi oleh seorang convenor konferensi. Prinsip dari konferensi
keluarga adalah menciptakan anak bertanggung jawab atas pelanggaran yang
dilakukan, memperkuat kelompok keluarga, memberikan dukungan kepada anak
agar berperilaku yang mandiri, meningkatkan hak-hak korban dalam proses
peradilan anak. Hal ini sebagaimana diatur dalam Section 34.1 huruf a Young
Offender Act 1997, sebagai berikut :
(1) The principles that are to guide the operation of this Part and persons
exercising functions under this Part, are as follows :
(a) The principle that measures for dealing with children who are
alleged to have
committed offences are to be designed so as :
(i) to promote acceptance by the child concerned of
responsibility for his or her own behaviour, and
(ii) to strengthen the family or family group of the child
concerned, and
(iii) to provide the child concerned with developmental and
support services that will enable the child to overcome the
offending behaviour and become a fully autonomous
individual; and
(iv) to enhance the rights and place of victims in the juvenile
justice process; and
(v) to be culturally appropriate, wherever possible; and
(vi) to have due regard to the interests of any victim.
(Terjemahan bebas :
(1) Prinsip-prinsip yang memandu dari operasi bagian ini dan
orang-orang yang menjalankan fungsi di bawah bagian ini
adalah sebagai berikut :
(a) prinsip yang mengukur untuk menangani anak-anak yang
diduga telah melakukan pelanggaran harus dirancang
sedemikian rupa :
256
(i) untuk mempromosikan penerimaan oleh anak yang
bersangkutan dari tanggung jawab sendiri;
(ii) untuk memperkuat kelompok keluarga atau keluarga
dari anak yang bersangkutan;
(iii) untuk memberikan anak yang bersangkutan dengan
layanan perkembangan dan dukungan yang akan
memungkinkan anak untuk mengatasi perilaku yang
menyinggung dan sepenuhnya menjadi individu yang
mandiri;
(iv) untuk meningkatkan hak-hak dan tempat korban dalam
proses peradilan anak;
(v) sedapat mungkin sesuai dengan budaya;
(vi) memperhatikan kepentingan apapun dari korban.
Tujuan dari konferensi ini adalah agar pelanggar berani bertanggung jawab
atas tindakan mereka, membuat perubahan dalam beberapa cara untuk korban, dan
mengembangkan dengan cara yang positif dan pertanggung jawabannya dapat
diterima secara sosial. Hal ini sebagaimana diatur dalam Young offenders Act,
Section 34.2 dan Section 34.3 berikut ini :
34.2. The purpose of a conference is to make decisions and
recommendations about, and to determine an outcome plan in
respect of, the child who is the subject of the conference.
34.3. In reaching decisions at a conference, the participants are to have
regard to the principles set out in this section and the following
matters :
(a) the need to deal with children in a way that reflects their rights,
needs and abilities and provides opportunities for development;
(b) the need to hold children accountable for offending behaviour;
(c) the need to encourage children to accept responsibility for
offending behaviour;
(d) the need to empower families and victims in making decisions
about a child’s offending behaviour;
(e) the need to make reparation to any victim.
(Terjemahan bebas:
3.4.2. Tujuan konferensi adalah untuk membuat keputusan dan rekomendasi
serta menentukan hasil konferensi yang berhubungan dengan anak
sebagai subyek;
3.4.3. Dalam mencapai keputusan konferensi, peserta memperhatikan
prinsip-prinsip yang ditetapkan dalam bagian ini, sebagai berikut:
257
(a) kebutuhan untuk menangani anak dengan cara yang
mencerminkan hak-hak mereka, kebutuhan, dan kemampuan
untuk memberikan kesempatan pengembangan;
(b) kebutuhan untuk menciptakan anak bertanggung jawab atas
perilaku menyimpang;
(c) kebutuhan untuk mendorong anak menerima tanggung jawab
atas perilaku menyimpang;
(d) kebutuhan untuk memberdayakan keluarga dan korban dalam
membuat keputusan tentang perilaku menyimpang anak;
(e) kebutuhan untuk memberikan perawatan kepada korban.
Rencana hasil konferensi dapat berupa permintaan maaf kepada korban,
penggantian kerugian yang diderita korban, atau persetujuan untuk mengikuti
program-program tertentu. Pelaksanaan rencana hasil diawasi oleh administrator
konferensi. Jika rencana hasil gagal dilaksanakan dan telah melewati batas yang
ditentukan, administrator konferensi melalui convenor konferensi dapat
mengembalikan perkara ini kepada pihak yang merujuk sebelumnya. Hal ini dapat
diteruskan untuk diproses di pengadilan anak.
Pelaksanaan Diversi di Luar Sistem Peradilan Pidana Anak di Negara New South
Wales, Australia di atas dapat disajikan pada tabel 33 berikut ini :
258
Tabel 33
Pelaksanaan Diversi di Luar Sistem Peradilan Pidana Anak
di Negara New South Wales, Australia
Nama
Negara
Peraturan
Perundang-
undangan/
Dasar
Hukum
Ketentuan
Diversi
Jenis
Pelanggaran/
Tindak Pidana
Tujuan
Diversi
Lembaga/
Pejabat yang
Menangani
Pelaksanaan
Diversi
New
South
Wales
Young
Offenders
Act 1997,
Section 3,
13, 14.
Section 3 :
...alternatif
untuk
memproses
anak keluar
dari proses
pengadilan...
Section 13:
...pelanggaran
ringan...pe-
langgaran
lain yang
ditentukan
UU bagian
ini;
Section 3 :
...perbaikan
dan
penerimaan
tanggung
jawab oleh
pelaku...
memenuhi
kebutuhan
korban dan
pelanggar...
Section 14 :
Polisi
Sumber : Bahan Hukum Primer, diolah.
Berdasarkan tabel 33 di atas dapat dijelaskan bahwa:
1. ketentuan diversi, diatur dalam Section 3: alternatif untuk memproses anak
keluar dari proses pengadilan;
2. jenis pelanggaran/tindak pidana yang dapat ditangani dengan melaksanakan
diversi adalah pelanggaran ringan dan pelanggaran lain yang ditentukan UU
bagian ini;
3. tujuan pelaksanaan diversi adalah perbaikan dan penerimaan tanggung jawab
oleh pelaku, memenuhi kebutuhan korban dan pelanggar;
4. lembaga/pejabat yang menangani pelaksanaan diversi yaitu polisi.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa dalam UU SPP Anak,
diversi dilaksanakan baik di luar SPP Anak maupun di dalam SPP Anak.
Pelaksanaan diversi menurut UU SPP Anak dapat disajikan pada tabel 34 berikut
ini:
259
Tabel 34
Pelaksanaan Diversi Menurut UU SPP Anak
Nama Nega-
ra
Peraturan Perundang-undangan/
Dasar Hukum
Ketentuan Diversi
Jenis Pelanggaran/
Tindak Pidana
Tujuan Diversi
Lembaga/ Pejabat yang Menangani Pelaksanaan
Diversi Indo-nesia
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak
Pasal 7 ayat (1) : ...wajib
diupayakan diversi.
Pasal 7 ayat (2) : ...a. diancam
dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun...
Pasal 6 : a.mencapai perdamaian
antara korban dan anak; b.menyelesaikan perkara
anak di luar proses peradilan;
c.menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan;
d.mendorong masyarakat untuk berpartisipasi;
e.menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.
Pasal 7 ayat (1) : ...penyidikan, penuntutan, ...pengadilan negeri...
Sumber : Bahan Hukum Primer, diolah.
Berdasarkan tabel 34 di atas dapat dijelaskan bahwa :
1. ketentuan diversi, diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU SPP Anak : wajib
diupayakan diversi;
2. jenis pelanggaran/tindak pidana yang dapat ditangani dengan melaksanakan
diversi adalah tindak pidana yang ancaman hukumannya di bawah 7 (tujuh)
tahun;
3. tujuan pelaksanaan diversi adalah :
a. mencapai perdamaian antara korban dan anak;
b. menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan;
c. menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan;
d. mendorong masyarakat untuk berpartisipasi;
e. menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.
260
4. lembaga/pejabat yang menangani pelaksanaan diversi yaitu penyidik, penuntut
umum, dan hakim.
Pelaksanaan diversi di luar SPP Anak menurut peraturan perundang-
undangan beberapa negara dan UU SPP Anak di Indonesia di atas dapat disajikan
pada tabel 35 berikut ini:
261
Tabel 35
Pelaksanaan Diversi di Luar Sistem Peradilan Pidana Anak
Menurut Peraturan Perundang-undangan Beberapa Negara Bagian Australia
dan UU SPP Anak di Indonesia
No
Negara,
Nama Pe-
raturan Per-UU-
an
Dasar Hukum
Ketentuan Diversi
Jenis
Pelanggaran/
Tindak Pidana
Lembaga/
Pejabat yang
menangani
Pelaksanaan Diversi
Sec.6.1:
...tidak mem-
proses
anak
lebih lanjut....
Sec. 7.g:
... me-
ngambil
lang-kah-
langkah
lain
selain proses
penga-
dilan.
Sec.14 : ...me-
ngalih-kan
anak yang
melaku-kan
pelang-
garan dari
sistem peradilan
pidana
...
Sec.3 : ...al-
ternatif
untuk
mem-proses
anak
keluar
dari proses
pengadi-
an....
Ps. 7
ayat
(1) : ...wa-
jib
diupa-
yakan diversi
Pelang-
garan kecil,
pelang-
garan
ringan,
tindak pidana
yang
an-
caman hu-
kum-
annya
di bawah
7
(tujuh)
tahun.
Po-
lisi
Polisi,
Penun-tut
Umum
dan
Hakim
1 South
Australia, Young
Offenders
Act 1993
Sec. 8.1,
Sec. 6
V _ _
_
_
V
_
V _
2 Western
Australia
Young Offender
Act 1994,
Sec. 7.g,
Sec.
22A.
_
V _ _
_ V _
V
_
3 Queens-
land
Australia,
Juvenile Justice
Act 1992
Sec. 16,
Sec. 14.
_ _ V _
_
V _ V _
4 Tasmania,
Youth
Justice
Act 1997
Sec.8
V _ _ _
_
V _ V _
5 New
South Wales,
Young
Offenders
Act 1997
Sec.13S
ec. 14
_
_
_
V
_
V _
V
_
6 Indonesia,
UU SPP Anak
Ps. 7
ayat (1), (2) dan
Ps. 6
_ _ _ _ V _ V _
V
Sumber : Bahan Hukum Primer, diolah.
262
Berdasarkan pada tabel 35 di atas, dapat dijelaskan bahwa meskipun pelaksanaan
diversi di masing-masing negara bagian di Australia berbeda-beda, namun
beberapa negara bagian di atas menekankan pentingnya peran polisi sebagai
gatekeepers dalam pelaksanaan diversi di luar sistem peradilan pidana anak.
Di Negara Bagian South Australia, Western Australia, Queensland
Australia, Tasmania, dan New South Wales, polisi memiliki kewenangan untuk
memberikan peringatan (caution) terhadap anak yang berkonflik dengan hukum,
baik berupa informal maupun formal caution. Hal ini didasarkan atas beberapa
pertimbangan, yaitu disesuaikan dengan tingkat berat ringannya tindak pidana
yang dilakukan oleh anak yang berkonflik dengan hukum dan berapa kali anak
melakukan tindak pidana. Peringatan dapat diberikan secara langsung berdasarkan
undang-undang yang khusus mengatur tentang anak, seperti : South Australia,
Western Australia, Queensland, Tasmania, dan New South Wales (NSW).
Selanjutnya, mengenai tujuan pelaksanaan diversi di Australia mengacu pada
Commentary Rule 11 The Beijing Rules, yaitu untuk menghindarkan anak dari
pengaruh negatif sistem peradilan pidana bagi masa depan anak.325
Negara Indonesia, dalam Pasal 7 ayat (1) UU SPP Anak menentukan
bahwa yang wajib melaksanakan diversi adalah penyidik, penuntut umum, dan
hakim pengadilan negeri. Mengenai jenis tindak pidana yang dapat ditangani
dengan pelaksanaan diversi adalah tindak pidana yang ancaman hukumannya di
bawah 7 (tujuh) tahun.
325Nurini Aprilianda, Op.cit., hlm. 223-224.
263
4.3. Kondisi Penanganan Anak yang Berkonflik dengan Hukum Pada
Tingkat Penyidikan di Polrestabes Surabaya dan di Kepolisian Daerah
Jawa Timur (Polda Jatim)
4.3.1. Jenis dan Jumlah Perkara Anak yang Berkonflik dengan Hukum di
Polrestabes Surabaya dan Polda Jatim
Institusi kepolisian merupakan institusi negara yang pertama kali
melakukan intervensi terhadap anak yang berkonflik dengan hukum.
Penangkapan, penahanan, penyelidikan, dan penyidikan merupakan kewenangan
kepolisian untuk menegakkan sistem peradilan pidana anak. Dalam menjalankan
tugasnya kepolisian diberikan kewenangan diskresi (discretionary power).
Kewenangan diskresi adalah kewenangan legal dimana kepolisian berhak untuk
meneruskan atau tidak meneruskan suatu perkara. Berdasarkan kewenangan ini
pula kepolisian dapat mengalihkan (diversion) terhadap suatu perkara anak
sehingga anak tidak perlu berhadapan dengan penyelesaian pengadilan pidana
secara formal.326
Namun demikian, jika melihat angka statistik kriminal
kepolisian terdapat lebih dari 11.344 anak yang berusia 0 – 17 tahun (6,45% dari
total pelaku kejahatan berdasar usia) yang disangka sebagai pelaku tindak pidana
sepanjang tahun 2000, maka dapat dinyatakan bahwa kewenangan diskresi ini
tidak pernah maksimal dipergunakan polisi untuk menangani perkara anak.327
Fakta ini menunjukkan bahwa kepolisian belum maksimal menggunakan
326
Purnianti, Mamik Sri Supatmi, dan Ni Made Martini Tinduk, Analisa Situasi
Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice System) di Indonesia, (UNICEF:
Indonesia, 2003), hlm. 74 327Ibid., hlm. 1
264
kewenangan diskresinya dalam menangani perkara anak yang berkonflik dengan
hukum.
Dalam UU Polri, berkaitan dengan penanganan perkara anak yang
berkonflik dengan hukum, tidak ada pasal-pasal yang secara khusus mengatur
kewenangan diskresi. Bahkan dalam undang-undang ini tidak ada ketentuan yang
secara khusus mengatur tindakan dan metode untuk menangani anak yang
berkonflik dengan hukum. Pasal 16 ayat (1) UU Polri menyatakan bahwa “Dalam
rangka menyelenggarakan tugas dalam bidang proses pidana, Kepolisian Negara
Republik Indonesia berwenang untuk : a. melakukan penangkapan, penahanan,
penggeledahan; ... h. mengadakan penghentian penyidikan”. Selanjutnya Pasal 18
ayat (1) UU Polri menyatakan bahwa “Untuk kepentingan umum pejabat
Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri”. Ketentuan tersebut
dapat menjadi acuan bagi polisi untuk mengambil tindakan diskresi, namun
penggunaan kewenangan ini belum jelas ditujukan dalam menangani perkara apa
saja dan tidak hanya dikhususkan untuk anak yang berkonflik dengan hukum.
Hasil penelitian di lokasi penelitian, jenis dan jumlah perkara anak yang
berkonflik dengan hukum di Polrestabes Surabaya dapat disajikan pada tabel 36
berikut ini:
265
Tabel 36
Jenis dan Jumlah Perkara Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum Menurut data
Polrestabes Surabaya Tahun 2010-2013
No Jenis Perkara Jumlah Pasal yang Dilanggar Prosentase
1 Pencabulan 46 Pasal 290 ayat (2), (3) KUHP 26,44%
2 Membawa
lari
18 Pasal 332 KUHP jo. Pasal 80
ayat (1) UU Perlindungan Anak
10,34%
3 Persetubuhan 100 - 57,47%
4 Penganiayaan
anak
9 Pasal 352 ayat (1) KUHP jo.
Pasal 80 ayat (1) UU
Perlindungan Anak
5,17%
5 Trafficking 1 Pasal 83 UU Perlindungan
Anak
0,58%
Jumlah 174 - 100%
Sumber: Bahan Hukum Sekunder (dokumen dari Polrestabes Surabaya, 2014),
diolah.
Berdasarkan tabel 36 di atas dapat dijelaskan bahwa dalam kurun waktu
antara tahun 2010-2013, tercatat 174 perkara. Jenis perkara yang terbanyak adalah
persetubuhan sebanyak 100 perkara anak (57,47%), pencabulan sebanyak 46
perkara anak (26,44%), membawa lari sebanyak 18 perkara anak (10,34%),
penganiayaan anak sebanyak 9 perkara anak ((5,17%), dan trafficking sebanyak 1
perkara anak (0,58)%. Jumlah perkara anak di Polrestabes Surabaya secara
keseluruhan mulai tahun 2010-2013 terdapat 174 perkara anak. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa tindak pidana persetubuhan paling mendominasi, yaitu
berjumlah 100 perkara anak. Dari jumlah tersebut tidak semua perkara ditangani
melalui sistem peradilan pidana anak tapi beberapa diantaranya diselesaikan
secara kekeluargaan/damai atau non-litigasi.
266
Jenis dan jumlah perkara anak yang berkonflik dengan hukum menurut
data Polrestabes Surabaya tahun 2010-2013 yang diselesaikan secara
kekeluargaan/damai atau non-litigasi dapat disajikan pada tabel 37 berikut ini:
Tabel 37
Jenis dan Jumlah Perkara Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum Menurut data
Polrestabes Surabaya Tahun 2010-2013 yang Diselesaikan Secara
Kekeluargaan/Damai atau Non-Litigasi.
No Jenis perkara Jumlah Pasal yang dilanggar Prosentase
1 Pencabulan 20 Pasal 290 ayat (2), (3) KUHP 37,73%
2 Membawa lari
perempuan
10 Pasal 332 KUHP jo. Pasal 80
ayat (1) UU Perlindungan
Anak
18,87%
3 Persetubuhan 21 - 39,62%
4 Penganiayaan
anak
1 Pasal 352 ayat (1) KUHP jo.
Pasal 80 ayat (1) UU
Perlindungan Anak
1,89%
5 Traficking 1 Pasal 83 UU Perlindungan
Anak
1,89%
Jumlah 53 100%
Sumber: Bahan Hukum Sekunder (dokumen dari Polrestabes Surabaya, 2014),
diolah.
Pada tabel 37 di atas dapat dijelaskan bahwa dalam kurun waktu antara
tahun 2010-2013 tercatat 53 perkara yang berhasil diselesaikan secara
kekeluargaan/damai atau non-litigasi. Perkara-perkara anak yang diselesaikan
secara kekeluargaan/damai atau non-litigasi terdiri dari tindak pidana pencabulan
sebanyak 20 perkara (37,73%), membawa lari perempuan sebanyak 10 perkara
(18,87%), persetubuhan sebanyak 21 perkara (39,62%), penganiayaan anak
267
sebanyak 1 perkara (1,89%), dan trafficking sebanyak 1 perkara (1,89%). Pada
tahap penyidikan, untuk jenis perkara yang lain, belum pernah dilakukan
penyelesaian secara kekeluargaan.
Selanjutnya, jumlah perkara anak di Polda Jatim secara keseluruhan mulai
tahun 2009-2013 terdapat 1.005 perkara anak, terdiri dari 13 jenis perkara anak.
Jenis dan jumlah perkara anak yang berkonflik dengan hukum berdasarkan data di
Polda Jatim, dapat disajikan pada tabel 38 berikut ini :
Tabel 38
Jenis dan Jumlah Perkara Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum Menurut data
Polda Jatim Tahun 2009-2013
No Jenis Perkara Jumlah Pasal Prosentase 1 Pencabulan 106 Pasal 290 ayat (2), (3) KUHP 10,54% 2 Membawa lari 35 Pasal 332 KUHP jo. Pasal 80
ayat (1) UU Perlindungan Anak
3,48%
3 Persetubuhan 411 - 40,89% 4 Penganiayaan anak 125 Pasal 352 ayat (1) KUHP 12,43% 5 Pemerkosaan 6 Pasal 285 KUHP jo. Pasal
81 ayat (1) UU Perlindungan Anak
0,59%
6 Pengeroyokan 55 Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP
5,47%
7 Pencurian dengan pemberatan
134 Pasal 363 ayat (3) KUHP 13,33%
8 Pencurian dengan kekerasan
16 Pasal 365 ayat (1) KUHP 1,59%
9 Pencurian biasa 80 Pasal 262 KUHP 7,96% 10 Pembunuhan 4 Pasal 338 KUHP 0,39% 11 Pengrusakan barang 6 Pasal 406 ayat (1) KUHP 0,59% 12 Pemerasan dengan
ancaman 6 Pasal 368 ayat (1) KUHP 0,59%
13 Kekerasan terhadap anak
21 Pasal 351 KUHP jo. Pasal 80 ayat (1) UU Perlindungan Anak
2,08%
Jumlah 1.005 - 100%
Sumber: Bahan Hukum Sekunder (dokumen dari Polda Jatim 2014), diolah.
268
Berdasarkan tabel 38 di atas dapat dijelaskan bahwa dalam kurun waktu
antara tahun 2009-2013, tercatat 1005 perkara. Jenis-jenis perkaranya adalah
persetubuhan sebanyak 411 perkara anak (40.89%), pencabulan sebanyak 106
perkara anak (10.54%), membawa lari sebanyak 35 perkara anak (3.48%),
penganiayaan anak sebanyak 125 perkara anak (12.43%), pemerkosaan sebanyak
6 perkara anak (0.59)%, pengeroyokan sebanyak 55 perkara anak (5.47)%,
pencurian dengan pemberatan sebanyak 134 perkara anak (13.33%), pencurian
dengan kekerasan sebanyak 16 perkara anak (1.59)%, pencurian biasa sebanyak
80 perkara anak (7.96)%, pembunuhan sebanyak 4 perkara anak (0.39)%,
pengerusakan barang sebanyak 6 perkara anak (0.59)%, pemerasan dengan
pengancaman sebanyak 6 perkara anak (0.59)% dan kekerasan terhadap anak
sebanyak 21 perkara anak (2.08)%. Dengan demikian dapat dibaca pada tabel 37
di atas bahwa tindak pidana persetubuhan paling mendominasi, yaitu berjumlah
411 perkara anak. Dari jumlah tersebut tidak semua perkara ditangani melalui
sistem peradilan pidana anak tapi ada yang berhasil diselesaikan secara
kekeluargaan/damai atau non-litigasi, yaitu persetubuhan sebanyak 2 perkara anak
dan pencabulan (Pasal 290 ayat (2), (3) KUHP) sebanyak 1 perkara anak.
Jenis dan jumlah perkara anak yang berkonflik dengan hukum menurut
data Polda Jatim tahun 2009-2013 yang diselesaikan secara kekeluargaan/damai
atau non-litigasi dapat disajikan pada tabel 39 berikut ini :
269
Tabel 39
Jenis dan Jumlah Perkara Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum Menurut data
Polda Jawa Timur Tahun 2009-2013 yang Diselesaikan Secara
Kekeluargaan/Damai atau Non-Litigasi
No Jenis Perkara Jumlah Pasal Prosentase
1 Persetubuhan 2 - 66.66%
2 Pencabulan 1 Pasal 290 ayat (2), (3) KUHP 33.33%
Jumlah 3 - 100%
Sumber: Bahan Hukum Sekunder (dokumen dari Polda Jatim, 2014), diolah.
Berdasarkan tabel 38 di atas dapat dijelaskan bahwa dari 1.005 perkara
anak di Polda Jatim, hanya ada tiga perkara anak yang berhasil diselesaikan secara
kekeluargaan/damai yaitu persetubuhan 2 perkara anak (66.66%) dan pencabulan
1 perkara anak (33.33%). Tiga perkara anak yang berhasil diselesaikan secara
kekeluargaan/damai tersebut terjadi pada tahun 2014.
Menurut keterangan Yasintha Ma‟u, dalam pelaksanaan penyelesaian
perkara secara kekeluargaan/damai, penyidik memberi kesempatan kepada para
pihak yang hadir (korban/orang tua korban, pelaku dan orang tua pelaku,
pembimbing kemasyarakatan, tokoh masyarakat, tokoh agama) untuk
memberikan pendapatnya mengenai perkara yang terjadi. Bila tindak pidana itu
terjadi di sekolah, maka dalam proses musyawarah menghadirkan guru untuk
memberikan keterangan. Musyawarah dilakukan secara tertutup di ruang khusus
Remaja, Anak, dan Wanita (Renakta) Ditreskrim Kepolisian Daerah Jawa
Timur.328
328
Wawancara dengan Yasintha Ma‟u, Penyidik Anak, Kepolisian Daerah Jawa
Timur, Februari 2014.
270
Penyidikan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum masih terikat
dengan UU Pengadilan Anak, sehingga kegiatan penyelidikan dan penyidikan
yang dilakukan oleh penyidik anak tetap berpedoman pada UU Pengadilan Anak
tersebut. Pengamatan dalam praktek diketahui bahwa sebenarnya penyidik
berkeinginan juga untuk tidak selalu melimpahkan perkara anak yang berkonflik
dengan hukum ke kejaksaan. Penyidik berkeinginan untuk tidak meneruskan
perkara anak bila pihak pelaku dan atau keluarganya, pihak korban dan atau
keluarganya, pihak ketiga (seperti Lembaga Swadaya Masyarakat pemerhati
masalah anak) menghendaki dan mengajukan permohonan kepada penyidik untuk
menunda ataupun menghentikan pemeriksaan perkara anak yang berkonflik
dengan hukum. Tanpa ada permohonan dan penjaminan dari pihak-pihak lain
(pihak korban maupun Lembaga Swadaya Masyarakat), maka penyidik tidak akan
menghentikan perkara tersebut. Peran penyidik disini hanya sebagai mediator.329
Adapun alur pelaksanaan penyelesaian secara musyawarah/kekeluargaan
terhadap anak yang berkonflik dengan hukum di Polrestabes Surabaya, dapat
disajikan pada bagan 3 berikut ini :
329Ibid.
271
Bagan 3
Sumber : Bahan Hukum Sekunder (dokumen dari Polrestabes Surabaya, 2014),
diolah.
Berdasarkan bagan 3 di atas dapat dijelaskan bahwa setelah ada laporan
dari masyarakat tentang dugaan terjadinya tindak pidana atau dalam hal anak
tertangkap tangan sedang melakukan tindak pidana oleh polisi, maka selanjutnya
penyelidik akan melakukan penyelidikan. Setelah barang dan alat bukti dirasa
cukup, maka ditingkatkan menjadi penyidikan. Namun demikian, penyidik
terlebih dulu akan menangani perkara anak di luar proses formal, dengan tahapan
sebagai berikut : penyidik melakukan koordinasi dengan pelapor, anak dan orang
tua/walinya, korban dan orang tua/walinya, Tokoh masyarakat/Tokoh agama,
Pemerintah Kota (Bapemas), Dinas Pendidikan, lembaga Swadaya Masyarakat.
Selanjutnya, penyidik mengundang para pihak tersebut secara resmi untuk datang
Pelapor/Tertangkap tangan
Ter Penyidik Anak
Proses Musyawarah:
Penyidik anak, pelaku
(anak) dan orang
tua/wali, korban
dan/atau orang
tua/wali, Tokoh
Masyarakat/Tokoh
Agama, Pemerintah
Kota (Bapemas),
Dinas Sosial, Dinas
Pendidikan, LSM.
Anak
Penyidik
membuat
akta
kesepa-
katan
perdamai-
an
Gelar
Perkara
Penyidik
mengeluarkan
Surat
Penghentian
Penyidikan
(SP3)
Limpahkan
perkara ke
Kejaksaan
272
ke Polrestabes Surabaya untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi. Bila
dalam berkoordinasi dengan para pihak tersebut tercapai kesepakatan perdamaian,
maka penyidik akan membuat akta kesepakatan perdamaian. Dengan adanya akta
kesepakatan perdamaian, maka menjadi dasar bagi penyidik untuk
menyelenggarakan gelar perkara dan membuat rekomendasi/kesimpulan gelar
perkara. Dari hasil gelar perkara, ada dua kemungkinan, yaitu penyidik akan
mengeluarkan Surat Penghentian Penyidikan (SP3) ataukah penyidik akan
melanjutkan perkara anak yang berkonflik dengan hukum dengan melimpahkan
berkas perkara ke kejaksaan. Bila penyidik mengeluarkan SP3 maka perkara anak
dihentikan (selesai).
Beberapa perkara anak yang diselesaikan dengan musyawarah/kekeluargaan di
Polrestabes Surabaya (nama pelaku, korban, dan para pihak dalam perkara di
bawah ini adalah bukan nama yang sebenarnya).
1. a. Nama perdamaian : Musyawarah.
b. Nomor surat dan waktu perdamaian : -, 19 Agustus 2013.
c. Jenis perkara : Membawa lari anak dibawah umur, Pasal 332 KUHP
jo. Pasal 80 ayat (1) UU Perlindungan Anak.
d. Nama pelaku : Eric Pratama, 17 tahun.
e. Nama korban : Dewi Kartika, 13 tahun.
f. Nama para pihak yang menandatangani perdamaian serta posisinya:
1. Sunarto, 40 tahun sebagai Pelapor.
2. Jamilah 36 tahun sebagai Orang tua.
3. Eric Pratama, 17 tahun sebagai Terlapor.
273
4. Mu‟adi, 47 tahun sebagai orang tua Terlapor.
5. Sutiyah, 44 tahun sebagai orang tua Terlapor.
6. Sambari, 23 tahun sebagai kakak Terlapor.
7. Moh. Makmun, S.Pd.I, 38 tahun sebagai Tokoh Masyarakat.
8. Salamun, 43 tahun sebagai Ketua RT.
g. Isi perdamaian:
Hasil yang diperoleh dari pertemuan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Kedua pihak (pihak Pelapor dan Terlapor) berhasil mencapai kesepakatan/
musyawarah;
2. Pihak Pelapor menyatakan tidak akan menuntut Terlapor untuk diproses
secara hukum pidana, dengan ketentuan:
a. Terlapor meminta maaf kepada pelapor/korban;
b. Terlapor berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya baik kepada
korban maupun orang lain;
c. pihak Pelapor/Korban meminta agar Terlapor dididik/dibina di Pondok
Pesantren selama 12 bulan;
d. orang tua Terlapor menyerahkan uang kompensasi kepada Korban
sebesar Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) diserahkan hari ini juga kepada
orang tua Pelapor/ Korban;
e. pihak Korban meminta agar hubungan emosional/sosial antara keluarga
korban, keluarga Terlapor dan lingkungan masyarakat setempat kembali
seperti sediakala.
274
h. Tahapan perdamaian :
1. Pertemuan musyawarah dilaksanakan di Polrestabes Surabaya, yang
dihadiri oleh para pihak, sebagaimana tersebut di atas.
2. Dalam pertemuan tersebut disepakati oleh para pihak tentang apa saja yang
harus dilakukan oleh pihak Terlapor dan/atau keluarganya.
3. Dalam pelaksanaan musyawarah tersebut di atas tercapai kesepakatan,
selanjutnya Penyidik membuat akta kesepakatan perdamaian yang
kemudian ditandatangani oleh para pihak.
4. Selanjutnya penyidik melaksanakan Gelar Perkara.
5. Penyidik mengeluarkan Surat Penghentian Penyidikan (SP3), maka perkara
anak dihentikan.
2. a. Nama perdamaian : Musyawarah.
b. Nomor surat dan waktu perdamaian : -, 22 Agustus 2013.
c. Jenis perkara : Tindak Pidana Pencabulan dan atau Persetubuhan anak
dibawah umur, Pasal 290 ayat (2), (3) KUHP.
d. Nama pelaku : Aldo Virnando, 17 tahun.
e. Nama korban : Sulistiawati, 10 tahun.
f. Nama para pihak yang menandatangani perdamaian serta posisinya:
1. Munari, 41 tahun sebagai Pelapor.
2. Shofi, 37 tahun sebagai Orang tua.
3. Aldo Virnando, 17 tahun sebagai Terlapor.
4. Rosianto, 46 tahun sebagai Orang tua Terlapor.
5. Tuhfah, 43 tahun sebagai Orang tua Terlapor.
275
6. Muhammad Fahri, 39 tahun sebagai Tokoh Masyarakat.
7. Suwantoyo, 41 tahun sebagai ketua RT.
g. Isi perdamaian:
Hasil yang didapat dari pertemuan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Kedua pihak (pihak Pelapor dan Terlapor) berhasil mencapai kesepakatan/
musyawarah;
2. Pihak Pelapor menyatakan tidak akan menuntut Terlapor untuk diproses
secara hukum pidana, dengan ketentuan:
a. Terlapor meminta maaf kepada Pelapor/Korban dan keluarganya;
b. Terlapor berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya baik kepada
Korban atau orang lain;
c. pihak Pelapor/Korban meminta agar Terlapor dididik/dibina dengan
sebaik-baiknya oleh orang tua Terlapor;
d. Orang tua Terlapor menyerahkan uang kompensasi sebagai bentuk ganti
rugi kepada Korban sebesar Rp 1.300.000,- (satu juta tiga ratus ribu
rupiah) diserahkan hari ini juga kepada orang tua Pelapor/Korban;
e. pihak Korban meminta agar hubungan emosional/sosial antara keluarga
korban, keluarga Terlapor dan lingkungan masyarakat setempat kembali
seperti sediakala.
h. Tahapan perdamaian:
1. Pertemuan musyawarah dilaksanakan pada tanggal 22 Agustus 2013 di
Polrestabes Surabaya, yang dihadiri oleh para pihak, sebagaimana tersebut
di atas.
276
2. Dalam pertemuan tersebut bertujuan mencapai kesepakatan bersama.
3. Penyidik membuat akta kesepakatan perdamaian yang kemudian
ditandatangani oleh para pihak.
4. Penyidik melaksanakan Gelar Perkara.
5. Penyidik mengeluarkan Surat Penghentian Penyidikan (SP3), maka perkara
anak dihentikan.
3. a. Nama perdamaian : upaya diversi.
b. Nomor surat dan waktu perdamaian : 4 September 2012.
c. Jenis perkara : Tindak Pidana Penganiayaan anak dibawah umur, Pasal
352 ayat (1) KUHP jo. Pasal 80 ayat (1) UU
Perlindungan Anak.
d. Nama pelaku : Basuki Crisnandy, 15 tahun.
e. Nama korban : Nur Aini,12 tahun.
f. Nama para pihak yang menandatangani perdamaian serta posisinya:
1. Sumarlan, 45 tahun sebagai Pelapor.
2. Ida Emilda, 41 tahun sebagai Orang tua.
3. Basuki Crisnandy, 15 tahun sebagai Terlapor.
4. Sujatmiko, 45 tahun sebagai Orang tua Terlapor.
5. Sri Utari, 43 tahun sebagai Orang tua Terlapor.
6. Ahmad Khoiruddin, 36 tahun sebagai Paman Terlapor.
7. Muhamad Mahrus, S.Ag, 44 tahun sebagai Tokoh Agama.
8. Pujianto, 50 tahun sebagai Tokoh Masyarakat.
9. Munarman, 48 tahun sebagai ketua RT.
277
g. Isi perdamaian:
Hasil yang didapat dari pertemuan adalah sebagai berikut:
1. Kedua pihak (pihak Pelapor dan Terlapor) berhasil mencapai kesepakatan/
musyawarah;
2. Pihak Pelapor menyatakan tidak akan menuntut Terlapor untuk diproses
secara hukum pidana, dengan ketentuan:
a. Terlapor meminta maaf kepada Pelapor/Korban dan keluarganya;
b. Terlapor berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya baik kepada
Korban atau orang lain;
c. pihak Pelapor/Korban meminta agar Terlapor berperilaku yang baik dan
dibina orang tuanya dengan lebih baik;
d. orang tua Terlapor menyerahkan uang kompensasi kepada Korban
sebesar Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) dan harus diserahkan hari ini
juga kepada orang tua Pelapor/ Korban;
e. pihak Korban meminta agar hubungan emosional/sosial antara keluarga
Korban, keluarga Terlapor dan lingkungan masyarakat setempat kembali
seperti sediakala;
h. Tahapan perdamaian:
1. Pertemuan musyawarah dilaksanakan pada tanggal 4 September 2012 di
Polrestabes Surabaya, yang dihadiri oleh para pihak, sebagaimana tersebut
di atas.
2. Dalam pertemuan tersebut bertujuan mencapai kesepakatan bersama.
278
3. Penyidik membuat akta kesepakatan perdamaian yang kemudian
ditandatangani oleh para pihak.
4. Penyidik melaksanakan Gelar Perkara.
5. Penyidik mengeluarkan Surat Penghentian Penyidikan (SP3), maka perkara
anak dihentikan.
4. a. Nama perdamaian : perdamaian/musyawarah.
b. Nomor surat dan waktu perdamaian : 5 Nopember 2013.
c. Jenis perkara : Tindak Pidana Traficking anak dibawah umur, Pasal
83 UU Perlindungan Anak.
d. Nama pelaku : Wahyono, 17 tahun.
e. Nama korban : Siska,14 tahun.
f. Nama para pihak yang menandatangani perdamaian serta posisinya:
1. Fahruddin, 48 tahun sebagai Pelapor.
2. Ummi Kulsum, 43 tahun sebagai Orang tua.
3. Wahyono, 17 tahun sebagai Terlapor.
4. Hartono, 46 tahun sebagai orang tua Terlapor.
5. Wulandari, 44 tahun sebagai orang tua Terlapor.
6. Mujianto, 40 tahun sebagai paman Terlapor.
7. Ahmad Jais, S.Ag, 45 tahun sebagai Tokoh Agama.
8. Maryanto, 55 tahun sebagai Tokoh Masyarakat.
9. Badri, 44 tahun sebagai ketua RT.
g. Isi perdamaian:
Hasil yang didapat dari pertemuan adalah sebagai berikut:
279
1. Kedua pihak (pihak Pelapor dan Terlapor) berhasil mencapai kesepakatan/
musyawarah;
2. Pihak Pelapor menyatakan tidak akan menuntut terlapor untuk diproses
secara hukum pidana, dengan ketentuan:
a. Terlapor meminta maaf kepada Pelapor/Korban dan keluarganya;
b. Terlapor berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya baik kepada
Korban atau orang lain;
c. Pihak Pelapor /Korban meminta agar Terlapor berperilaku yang baik dan
dibina orang tuanya dengan lebih baik;
d. Orang tua Terlapor menyerahkan uang kompensasi kepada Korban
sebesar Rp 1.200.000,- (satu juta dua ratus ribu rupiah) dan harus
diserahkan hari ini juga kepada orang tua Pelapor/Korban;
e. pihak Korban meminta agar hubungan emosional/sosial antara keluarga
korban, keluarga Terlapor dan lingkungan masyarakat setempat kembali
baik seperti sediakala.
h. Tahapan perdamaian:
1. Pertemuan musyawarah dilaksanakan pada tanggal 5 Nopember 2013, di
Polrestabes Surabaya, yang dihadiri oleh para pihak, sebagaimana tersebut
di atas.
2. Dalam pertemuan tersebut bertujuan mencapai kesepakatan bersama.
3. Penyidik membuat akta kesepakatan perdamaian yang kemudian
ditandatangani oleh para pihak.
4. Penyidik melaksanakan Gelar Perkara.
280
5. Penyidik mengeluarkan Surat Penghentian Penyidikan (SP3), maka perkara
anak dihentikan.
Selanjutnya, beberapa perkara anak yang berhasil diselesaikan dengan
melaksanakan diversi di Polda Jawa Timur adalah sebagai berikut:
1. a. Nama perdamaian : upaya diversi.
b. Nomor surat dan waktu perdamaian : -, 30 Januari 2014.
c. Jenis perkara : Tindak Pidana Pencabulan dan atau Persetubuhan
anak dibawah umur, Pasal 290 ayat (2), (3) KUHP.
d. Nama pelaku : Aditya Kurniawan, 15 tahun
e. Nama korban : Sri Esti Lestari, 12 tahun
f. Nama para pihak yang menandatangani perdamaian serta posisinya:
1. Siswono, 38 tahun sebagai Pelapor;
2. Yuli Astutik, 38 tahun sebagai Orang tua;
3. Aditya Kurniawan, 15 tahun sebagai Terlapor;
4. Sukari, 50 tahun sebagai Terlapor;
5. Rugiati, 49 tahun sebagai orang tua Terlapor;
6. Rudianto, 24 tahun sebagai kakak Terlapor;
7. Abd. Manaf., S. Ag, 57 tahun sebagai Tokoh Masyarakat;
8. Liman, 39 tahun sebagai ketua RT.
g. Isi perdamaian:
Hasil yang didapat dari pertemuan tersebut adalah sebagai berikut:
1. kedua pihak (pihak Pelapor dan Terlapor) berhasil mencapai kesepakatan/
musyawarah;
281
2. pihak Pelapor menyatakan tidak akan menuntut Terlapor untuk diproses
secara hukum pidana, dengan ketentuan:
a. Terlapor meminta maaf kepada Pelapor/Korban;
b. Terlapor berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya baik kepada
Korban atau orang lain;
c. pihak Pelapor/Korban meminta agar Terlapor dididik/dibina di Pondok
Pesantren selama 5 tahun;
d. orang tua Terlapor menyerahkan uang kompensasi kepada Korban sebesar
Rp 300.000,- (Tiga Ratus Ribu Rupiah) diserahkan hari ini juga kepada
orang tua Pelapor/Korban;
e. pihak Korban meminta agar hubungan emosional/sosial antara keluarga
korban, keluarga Terlapor dan lingkungan masyarakat setempat kembali
seperti sediakala.
h. Tahapan perdamaian:
1. Pertemuan musyawarah dilaksanakan pada tanggal 30 Januari 2014 di
Polda Jatim, yang dihadiri oleh para pihak, sebagaimana tersebut di atas.
2. Dalam pertemuan tersebut disepakati oleh para pihak tentang apa saja yang
harus dilakukan oleh pihak Terlapor dan atau keluarganya.
3. Dalam pelaksanaan musyawarah tersebut di atas tercapai kesepakatan,
selanjutnya Penyidik membuat akta kesepakatan perdamaian yang
kemudian ditandatangani oleh para pihak.
4. Selanjutnya penyidik melaksanakan Gelar Perkara.
282
5. Penyidik mengeluarkan Surat Penghentian Penyidikan (SP3), maka perkara
anak dihentikan.
2. a. Nama perdamaian : upaya diversi.
b. Nomor surat dan waktu perdamaian : -, 5 Februari 2014.
c. Jenis perkara : Tindak Pidana Pencabulan dan atau Persetubuhan anak
dibawah umur, Pasal 290 ayat (2), (3) KUHP.
d. Nama pelaku : Viko Juliansyah, 17 tahun.
e. Nama korban : Endang Kusumawati, 10 tahun.
f. Nama para pihak yang menandatangani perdamaian serta posisinya:
1. Suyanto, 40 tahun sebagai Pelapor;
2. Amiyanti, 39 tahun sebagai Orang tua;
3. Viko Juliansyah, 17 tahun sebagai Terlapor;
4. Rahmanto, 50 tahun sebagai Orang tua Terlapor;
5. Tatik Sriati, 49 tahun sebagai Orang tua Terlapor;
7. Faisal Supriyanto, 37 tahun sebagai Tokoh Masyarakat;
8. Hariyanto, 41 tahun sebagai ketua RT.
g. Isi perdamaian:
Hasil yang didapat dari pertemuan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Kedua pihak (pihak Pelapor dan Terlapor) berhasil mencapai kesepakatan/
musyawarah;
2. Pihak Pelapor menyatakan tidak akan menuntut Terlapor untuk diproses
secara hukum pidana, dengan ketentuan:
a. Terlapor meminta maaf kepada Pelapor/Korban dan keluarganya;
283
b. Terlapor berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya baik kepada
Korban atau orang lain;
c. Pihak Pelapor/Korban meminta agar Terlapor dididik/dibina dengan
sebaik-baiknya oleh orang tua Terlapor;
d. Orang tua Terlapor menyerahkan uang kompensasi sebagai bentuk ganti
rugi kepada Korban sebesar Rp 500.000,- (lima ratus ribu rupiah)
diserahkan hari ini juga kepada orang tua Pelapor/ Korban;
e. Pihak Korban meminta agar hubungan emosional/sosial antara keluarga
Korban, keluarga Terlapor dan lingkungan masyarakat setempat kembali
seperti sediakala;
h. Tahapan perdamaian:
1. Pertemuan musyawarah dilaksanakan pada tanggal 5 Februari 2014 di
Polda Jatim, yang dihadiri oleh para pihak, sebagaimana tersebut di atas.
2. Dalam pertemuan tersebut bertujuan mencapai kesepakatan bersama.
3. Penyidik membuat akta kesepakatan perdamaian yang kemudian
ditandatangani oleh para pihak.
4. Penyidik melaksanakan Gelar Perkara.
5. Penyidik mengeluarkan Surat Penghentian Penyidikan (SP3), maka perkara
anak dihentikan.
3. a. Nama perdamaian : upaya diversi.
b. Nomor surat dan waktu perdamaian : -, 2 Maret 2014.
c. Jenis perkara : Tindak Pidana Pencabulan dan atau Persetubuhan anak
dibawah umur, Pasal 290 ayat (2), (3) KUHP.
284
d. Nama pelaku : Adrian Maulana Bakti, 16 tahun.
e. Nama korban : Dewi Adriyani Cynthia, 12 tahun.
f. Nama para pihak yang menandatangani perdamaian serta posisinya:
1. Adi Purwoko, 45 tahun sebagai Pelapor.
2. Ety Kustantri, 40 tahun sebagai Orang tua.
3. Adrian Maulana Bakti , 16 tahun sebagai Terlapor.
4. Budianto, 50 tahun sebagai Orang tua Terlapor.
5. Tatik Sriati, 47 tahun sebagai Orang tua Terlapor.
6. Sumantri, 34 tahun sebagai Paman Terlapor.
7. Mukminin, 47 tahun sebagai Tokoh Agama.
8. Sudarmadji, 52 tahun sebagai Tokoh Masyarakat.
9. Sugiman, 45 tahun sebagai ketua RT.
g. Isi perdamaian:
Hasil yang didapat dari pertemuan adalah sebagai berikut:
1. Kedua pihak (pihak Pelapor dan Terlapor) berhasil mencapai kesepakatan/
musyawarah;
2. Pihak Pelapor menyatakan tidak akan menuntut Terlapor untuk diproses
secara hukum pidana, dengan ketentuan:
a. Terlapor meminta maaf kepada Pelapor/Korban dan keluarganya;
b. Terlapor berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya baik kepada
Korban atau orang lain;
c. pihak Pelapor /Korban meminta agar Terlapor berperilaku yang baik dan
dibina orang tuanya dengan lebih baik;
285
d. orang tua Terlapor menyerahkan uang kompensasi kepada korban sebesar
Rp 650.000,- (enam ratus lima puluh ribu rupiah) dan harus diserahkan
hari ini juga kepada orang tua Pelapor/ Korban;
e. pihak Korban meminta agar hubungan emosional/sosial antara keluarga
Korban, keluarga Terlapor dan lingkungan masyarakat setempat kembali
seperti sediakala.
h. Tahapan perdamaian:
1. Pertemuan musyawarah dilaksanakan pada tanggal 2 Maret 2014 di Polda
Jatim, yang dihadiri oleh para pihak, sebagaimana tersebut di atas.
2. Dalam pertemuan tersebut bertujuan mencapai kesepakatan bersama.
3. Penyidik membuat akta kesepakatan perdamaian yang kemudian
ditandatangani oleh para pihak.
4. Penyidik melaksanakan Gelar Perkara.
5. Penyidik mengeluarkan Surat Penghentian Penyidikan (SP3), maka perkara
anak dihentikan.
Adapun tahap-tahap penyelesaian perkara dengan upaya
diversi/musyawarah di Polda Jawa Timur adalah sebagai berikut:
1. Penyidik mempelajari perkara anak terlebih dahulu termasuk ancaman
hukumannya. Hal ini penyidik mengacu pada ketentuan syarat untuk dapat
dilaksanakan diversi sebagaimana tercantum dalam Pasal 7 ayat (2) UU SPP
Anak;
286
2. Penyidik mengundang kedua belah pihak (Anak dan/atau orang tua/keluarga-
nya, korban dan/atau orang tua/keluarganya, Bapas yang mendampingi anak,
tokoh msyarakat, tokoh agama dan pengacara);
3. Adanya persetujuan dari Anak dan/atau orang tuanya dengan Korban dan/atau
orang tua korban untuk dilaksanakannya upaya diversi/musyawarah;
4. Anak harus benar-benar menyadari kesalahannya dan meminta maaf pada
Korban;
5. Jika tercapai perdamaian maka penyidik membuat berita acara diversi;
6. Penyidik melakukan Gelar Perkara.
Bila UU SPP Anak sudah diberlakukan maka setelah tercapai perdamaian,
penyidik membuat berita acara diversi untuk kemudian dimintakan penetapan
pengadilan. Setelah ada penetapan pengadilan maka dilaksanakan gelar perkara
untuk menghentikan penyidikan. Dengan demikian perkara anak berhenti sampai
tingkat penyidikan saja.330
Pada proses perdamaian untuk menyelesaikan perkara anak yang
berkonflik dengan hukum, anak korban seringkali tidak dihadirkan. Hal ini
bertujuan agar anak korban tidak mengalami trauma atas kejadian yang telah
menimpanya.331
Dari hasil penelitian tersebut dapat diketahui bahwa perkara-perkara anak
yang dapat ditangani dengan upaya diversi/musyawarah di Polda Jawa Timur
maupun di Polrestabes adalah pencabulan, membawa lari perempuan,
persetubuhan, penganiayaan ringan, traficking dan persetubuhan. Peran penyidik
330
Wawancara dengan Yasintha Ma‟u, Loc.cit
331Ibid.
287
dalam menangani perkara anak melalui upaya diversi/musyawarah adalah sebagai
mediator sehingga berhasil selesai dengan perdamaian atau gagal adalah
diserahkan pada para pihak yang berperkara.
4.3.2. Sejumlah Tindak Pidana Yang Dapat Diselesaikan Dengan
Perdamaian/Kekeluargaan/Upaya Diversi di Polda Jatim dan
Polrestabes Surabaya
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Polda Jatim, jumlah
perkara anak antara tahun 2009-2013 secara keseluruhan ada 1005 perkara (tabel
38). Dari jumlah tersebut, menurut Yashinta Ma‟u dan berdasarkan data yang
diperoleh di lokasi penelitian, perkara anak di Polda yang berhasil diselesaikan
dengan upaya diversi adalah 3 (tiga) perkara, terdiri dari 2 perkara persetubuhan
dan 1 perkara pencabulan.
Selanjutnya, jumlah perkara anak di Polrestabes Surabaya antara tahun
2010-2013 secara keseluruhan ada 174 perkara (tabel 36). Dari jumlah tersebut,
menurut keterangan Suratmi dan berdasarkan data yang diperoleh di lokasi
penelitian, perkara anak di Polrestabes yang berhasil diselesaikan dengan
perdamaian/kekeluargaan ada 53 (tabel 37) perkara, terdiri dari 20 perkara
pencabulan, 10 perkara membawa lari perempuan, 21 perkara persetubuhan, 1
perkara penganiayaan, dan 1 lagi perkara traficking.
Berdasarkan keterangan Yashinta Ma‟u, ada beberapa alasan mengapa di
Polda Jatim hanya ada 3 perkara anak yang diselesaikan dengan upaya diversi :
- melihat jenis tindak pidana, ancaman hukuman dan akibat yang ditimbulkan;
- tidak tercapainya kesepakatan untuk berdamai.
288
Dalam menangani anak yang berkonflik dengan hukum, peran penyidik adalah
sebagai mediator sehingga berhasil tidaknya perkara anak diselesaikan dengan
upaya diversi, diserahkan pada hasil kesepakatan para pihak yang berperkara.
- Alasan secara yuridis karena ketentuan diversi dalam UU SPP Anak belum
diberlakukan.
Dengan demikian, jenis tindak pidana yang berhasil diselesaikan dengan
perdamaian/kekeluargaan/upaya diversi di lokasi penelitian yakni di Polda Jatim
dan Polrestabes adalah persetubuhan, pencabulan, membawa lari perempuan,
penganiayaan, dan trafickking.
4.4. Mekanisme Pelaksanaan Diversi
4.4.1. Mekanisme Pelaksanaan Diversi di Negara-Negara Bagian Australia
Sebagaimana telah diuraikan di atas, beberapa negara bagian Australia
melaksanakan diversi di luar SPP Anak dengan beberapa mekanisme. Ketentuan
mengenai mekanisme pelaksanaan diversi di luar SPP Anak, uraian jenis
pelanggaran yang dapat ditangani dengan pelaksanaan diversi, jenis sanksi di
beberapa negara bagian Australia, dapat disajikan pada tabel 40 di bawah ini:
289
Tabel 40 Mekanisme Pelaksanaan Diversi di luar SPP Anak, Uraian Jenis Pelanggaran dan Sanksi di Beberapa Negara Bagian Australia
No
Nama Negara
Peraturan Per-UU-
an
Mekanisme pelaksanaan diversi Uraian jenis-jenis pelanggaran yang dapat ditangani dengan
pelaksanaan diversi Jenis sanksi
1 South Australia, Young Offenders Act 1993
Section 6 : - Police caution : - Informal caution : anak mengakui pelanggaran yang dilakukan,
polisi tidak memproses anak lebih lanjut dan polisi tidak perlu mencatat peringatan informal.
Section 8 (1) : - Formal caution : dicatat di kepolisian, disampaikan kepada wali
anak, dan sebagai bukti. Section 12 (1) : - Family conferences : - Jika dengan caution tidak berhasil diselesaikan maka perkara
anak ditangani dengan Family conferences. Section 7.4 : - Bila dengan Family conferences tidak berhasil juga, maka perkara
anak tersebut diteruskan pada proses peradilan anak
Section 8.1 : Pelanggaran ringan
Section 6 : - tidak mencatat peringatan informal - tidak ditentukan sanksinya Section 8 (1) : - Formal caution : - pembayaran kompensasi/ganti rugi pada
korban; - pelayanan pada masyarakat (tidak lebih dari
75 jam); - permintaan maaf kepada korban. - Section 12 (1) : Family conferences : - permintaan maaf pada korban; - membayar kompensasi pada korban; - memberikan pelayanan pada masyarakat tidak lebih dari 300 jam sesuai kesepakatan pelaku dengan korban.
2 Western Australia, Young Offenders Act 1994
Section 22 : - Peringatan (caution) lisan dan tertulis - anak mengakui pelanggaran yang dilakukan, peringatan dicatat
di kepolisian dan anak diberikan sertifikat peringatan sebagai bukti bila melakukan pelanggaran lagi maka tidak bisa diberikan peringatan lagi tapi perkara anak akan diproses;
Section 26 : - Juvenile justice team (team peradilan anak)
- Sec. 7.g : Pelanggaran ringan - Sec. 22 (3), schedule 1 dan 2: tindak pidana yang tidak dapat diselesaikan melalui diversi adalah tindak pidana kekerasan serius seperti pembunuhan, kekerasan seksual, kecelakaan yang menyebabkan kematian
Section 22 : - membayar ganti rugi kepada korban
pelanggaran
3 Queensland Australia (Juvenile Justice Act 1992)
Section 14 : - police caution : - informal caution : - caution tidak termasuk dalam catatan kriminal anak. Section 16 : - formal caution : - anak mengakui pelanggaran yang dilakukan; - anak setuju untuk diberikan peringatan; - prosedur caution, yaitu dengan memberikan penjelasan kepada
anak tentang tujuan, jenis dan pengaruh pemberian caution Section 30 : - Bila dengan police caution tidak berhasil, maka perkara anak
diselesaikan melalui Youth justice conferences.
Section 14 : Pelanggaran ringan
Section 16 : permohonan maaf kepada korban
4 Tasmania (Youth Justice Act 1997)
Section 8 : - Peringatan informal: anak mengakui pelanggaran, tidak dicatat di
kepolisian; Section 10 : - Peringatan formal: Section 10 : - melalui konferensi masyarakat
- Section 8 : Pelanggaran ringan
Section 10 : - memberi ganti rugi kepada korban; - restitusi; - pelayanan kepada korban (tidak lebih dari 35
jam); - meminta maaf kepada korban; - melakukan hal lain sesuai dengan keadaan
kasus.
5 New South Wales (Young Offenders Act 1997)
Section 13 : - teguran (warning): untuk pelanggaran ringan, tanpa pengakuan
anak, tujuan teguran agar anak memahami tujuan, sifat dan efek teguran, dilakukan pencatatan di kepolisian;
Section 19 : - peringatan (caution):
ada pengakuan anak, ada persetujuan anak, anak berhak diberikan peringatan, peringatan diberikan untuk waktu tidak lebih dari 21 hari.
Section 34.1 huruf a : - Family Conferences
- Sec. 13 : pelanggaran ringan - Sec. 19 : untuk pelanggaran lebih serius.
Section 34.2 dan 34.3 : - membuat keputusan dan rekomendasi,
menentukan hasil konferensi.... - ...memperhatikan prinsip-prinsip yang
ditetapkan dalam bagian ini : ...menciptakan anak bertanggungjawab atas
perilaku menyimpang....
Sumber: Bahan Hukum Primer, diolah.
290
Berdasar tabel 40 di atas dapat dijelaskan bahwa mekanisme pelaksanaan diversi
di negara-negara bagian Australia pada dasarnya adalah sama, hanya istilahnya
yang berbeda. Mekanismenya adalah dengan pemberian caution (peringatan), baik
informal caution maupun formal caution. New South Wales menggunakan
mekanisme pelaksanaan diversi dengan istilah warning (teguran), peringatan
(caution), dan family conferencing (musyawarah keluarga). Warning (teguran)
diberikan untuk pelanggaran ringan, sesuai dengan yang ditentukan oleh undang-
undang, seperti pelanggaran lalu lintas, masuk tanpa ijin. Caution (peringatan)
diberlakukan untuk pelanggaran yang lebih serius, seperti memiliki obat terlarang,
kerusakan properti, dan mencuri.
Family conferencing diberlakukan untuk pelanggaran serius, seperti
penganiayaan, pencurian mobil, dan pengrusakan properti.
4.4.2. Pelaksanaan Diversi Menurut UU SPP Anak
Dalam UU SPP Anak belum diatur mengenai mekanisme pelaksanaan
diversi. Pasal 8 UU SPP Anak hanya mengatur tentang proses diversi yang
dilaksanakan dengan musyawarah, yang melibatkan: anak dan orang tua/walinya,
pembimbing kemasyarakatan, pekerja sosial kemasyarakatan, tenaga
kesejahteraan sosial dan masyarakat (bila diperlukan).
Proses pelaksanaan diversi menurut Pasal 8 UU SPP Anak, dapat disajikan
pada tabel 41 berikut ini :
291
Tabel 41
Proses pelaksanaan diversi menurut UU SPP Anak
No
Nama
Negara,
Peraturan
Per-UU-an
Proses
pelaksanaan
diversi
Uraian jenis-jenis
pelanggaran yang
dapat ditangani
dengan
pelaksanaan
diversi
Jenis sanksi
1 Indonesia,
UU SPP
Anak
Pasal 8 :
Musyawarah
Pasal 7 ayat (2) :
Tindak pidana
yang ancaman
hukumannya di
bawah 7 (tujuh)
tahun.
Pasal 10 ayat (2) :
a. pengembalian kerugian
dalam hal ada korban;
b. rehabilitasi medis dan
psikososial;
c. penyerahan kembali kepada
orang tua/wali;
d. keikutsertaan dalam
pendidikan atau pelatihan di
lembaga pendidikan atau
LPKS paling lama 3 (tiga)
bulan; atau
e. pelayanan masyarakat paling
lama 3 (tiga) bulan.
Sumber : Bahan Hukum Primer, diolah.
Berdasar tabel 41 di atas dapat dijelaskan bahwa dalam UU SPP Anak
tidak mengatur tentang mekanisme pelaksanaan diversi di luar SPP Anak tapi
hanya mengatur tentang proses diversi.
4.5. Konsep Usulan Perumusan Untuk Masa Yang Akan Datang
Sebagaimana telah dipaparkan dalam disertasi ini bahwa dalam UU SPP
Anak diatur mengenai diversi tapi diversi yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU
SPP Anak, diversi dilaksanakan oleh penyidik, penuntut umum, dan hakim
pengadilan negeri. Ini berarti diversi dilaksanakan baik di luar maupun di dalam
SPP Anak. Berikut ini rumusan Pasal 7 UU SPP Anak :
292
Pasal 7 :
(1) Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak di
pengadilan negeri wajib diupayakan Diversi.
(2) Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam hal
tindak pidana yang dilakukan:
a. diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan
b. bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
Bila diversi dilaksanakan di dalam SPP Anak maka akan menimbulkan
stigma sehingga kesejahteraan anak tidak akan tercapai. Karenanya, penulis
mengajukan suatu konsep untuk di masa yang akan datang (ius constituendum)
tentang pengaturan norma, yaitu :
Konsep Rumusan Pasal 7 UU SPP Anak (ide) :
(1) Sebelum proses penyidikan dimulai maka penyidik anak wajib
mengupayakan pelaksanaan diversi;
(2) Diversi dilaksanakan dengan memberikan teguran, peringatan, dan
musyawarah keluarga;
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di atas dilaksanakan
sesuai dengan berat ringannya tindak pidana yang dilakukan anak;
(4) Diversi dengan teguran dilaksanakan untuk jenis pelanggaran ringan dan
tindak pidana lain yang ditentukan dalam UU ini;
(5) Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), (2), (3), dan (4)
dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan:
a. Diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun;
b. Bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
(6) Jika perkara anak tidak berhasil ditangani dengan pelaksanaan diversi
(sebagaimana dimaksud pada ayat 2 di atas), maka perkara anak akan
diproses melalui sistem peradilan pidana anak.
Berkaitan dengan usulan konsep rumusan Pasal 7 UU SPP Anak di masa
yang akan datang tersebut di atas, ada beberapa hal yang perlu diberikan
penjelasan, sebagai berikut:
a. Jenis Sanksi
293
Berdasarkan ancaman pidananya di bawah 7 (tujuh) tahun sesuai dengan
ketentuan pelaksanaan diversi dalam UU SPP Anak.
Dari tindak pidana yang diancam pidana dibawah 7 (tujuh) tahun
diklasifikasikan oleh penulis dan dibagi dengan kategori tindak pidana ringan,
lebih serius, dan serius.
Contoh :
Untuk anak yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana di
bawah 7 (tujuh) tahun dapat dilaksanakan diversi di luar SPP Anak:
a. tindak pidana ringan, maka ancaman pidananya kurang dari 3 (tiga) bulan;
b. tindak pidana lebih serius, maka ancaman pidananya 3 (tiga) bulan sampai
dengan 1 (satu) tahun;
c. tindak pidana serius, maka ancaman pidananya 1 (satu) sampai 7 (tujuh)
tahun.
b. Mekanisme Pelaksanaan Diversi
(1) Mekanisme teguran/ peringatan (informal) diberlakukan untuk tindak
pidana ringan. Peringatan informal oleh polisi dilaksanakan jika anak telah
mengakui tindak pidana yang dilakukan, tidak dilakukan pencatatan di
administrasi kepolisian, dan polisi tidak memproses perkara anak lebih
lanjut/dihentikan. Pada mekanisme teguran/peringatan (informal) ini, tidak
ditentukan jenis sanksinya (Section 6 Young Offenders Act 1993).
(2) Mekanisme peringatan (peringatan formal) diberlakukan untuk tindak
pidana yang lebih serius.
Dalam mekanisme peringatan ini, syaratnya adalah :
294
- anak mengakui tindak pidana yang telah dilakukan, dicatat di administrasi
kepolisian sebagai bukti dan disampaikan kepada wali anak (Section 8.1
Young Offenders Act 1993);
- anak setuju untuk ditangani dengan peringatan, dan anak diberikan
sertifikat peringatan sebagai bukti bila melakukan tindak pidana lagi
maka ia tidak bisa diberikan peringatan lagi tapi perkara anak akan
diproses (Western Australia, Young Offenders Act 1994).
Sanksinya berupa :
- pembayaran kompensasi/ganti rugi pada korban;
- pelayanan pada masyarakat (tidak lebih dari 75 jam);
- permintaan maaf kepada korban ((Section 8.1 Young Offenders Act
1993);
- sanksi dapat juga diberikan sesuai dengan ketentuan adat yang berlaku;
- pelaksanaannya memerlukan waktu maksimal 6 bulan;
- sanksi yang diberikan adalah proporsional.
(3) Mekanisme musyawarah keluarga diberlakukan untuk tindak pidana
serius, yaitu jenis tindak pidana yang ancaman pidananya 1 (satu) sampai
7 (tujuh) tahun.
Untuk mekanisme musyawarah keluarga dalam UU SPP Anak, penulis
mengajukan konsep:
- musyawarah keluarga memerlukan persetujuan anak dan anak korban;
- anak ikut terlibat untuk menentukan pembayaran kompensasi kepada
korban;
295
- anak memberikan pelayanan masyarakat dalam jangka waktu tertentu
(tidak lebih dari 300 jam);
- dilakukan secara tertulis dan diakui oleh anak;
- bila anak meminta maaf kepada korban maka harus dilakukan di
hadapan orang dewasa dan disetujui oleh musyawarah keluarga;
- sanksi dapat juga diberikan sesuai dengan ketentuan adat yang berlaku;
- pelaksanaannya memerlukan waktu maksimal 12 bulan;
- jika anak tidak hadir pada musyawarah keluarga; atau tidak sesuai
dengan persyaratan dari musyawarah keluarga; maka seorang polisi
dapat menyelesaikan tuduhan tindak pidana dimana musyawarah
dilaksanakan sebelum perkara masuk ke Pengadilan.
- meskipun batas waktu yang ditentukan sesuai dengan dimulainya tindak
pidana telah berakhir, maka biaya harus diselesaikan tidak lebih dari 12
bulan setelah batas berakhirnya periode tersebut;
- sanksi yang diberikan adalah proporsional;
- jika semua persyaratan yang dibuat untuk anak ditaati, maka perkara
anak dihentikan/tidak diproses lebih lanjut;
- jika semua persyaratan yang dibuat untuk anak tidak ditaati, maka
perkara anak akan diproses dalam sistem peradilan pidana anak.
Penjelasan mengenai mekanisme pelaksanaan diversi di luar SPP
Anak di atas, penulis mengusulkan untuk dapat dimasukkan dalam :
a. Penjelasan UU SPP Anak (di masa yang akan datang); atau
296
b. Peraturan Pemerintah.
Dengan konsep Pasal 7 UU SPP Anak di atas, yang mengeluarkan kewajiban
Penuntut Umum dan Hakim Pengadilan Negeri untuk melaksanakan diversi maka
mengakibatkan perubahan norma pasal-pasal lain yang berkaitan dengan
kewenangan Penuntut Umum dan Hakim Pengadilan Negeri. Pasal-pasal yang
akan direvisi adalah Pasal 9 ayat (1), Pasal 42, dan Pasal 52 UU SPP Anak.
Pasal 9 ayat (1) UU SPP Anak:
(1) Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam melakukan Diversi harus
mempertimbangkan:
a. kategori tindak pidana;
b. umur Anak;
c. hasil penelitian kemasyarakatan dari Bapas; dan
d. dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat.
Konsep Usulan Rumusan :
Pasal 9 ayat (1) UU SPP Anak :
(1) Penyidik dalam melaksanakan Diversi wajib mempertimbangkan:
a. kategori tindak pidana;
b. umur Anak;
c. hasil penelitian kemasyarakatan dari Bapas; dan
d. dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat.
Pasal 42 UU SPP Anak :
(1) Penuntut Umum wajib mengupayakan Diversi paling lama 7 (tujuh)
hari setelah menerima berkas perkara dari Penyidik.
(2) Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan paling lama
30 (tiga puluh) hari.
(3) Dalam hal proses Diversi berhasil mencapai kesepakatan, Penuntut
Umum menyampaikan berita acara Diversi beserta kesepakatan
Diversi kepada ketua pengadilan negeri untuk dibuat penetapan.
(4) Dalam hal Diversi gagal, Penuntut Umum wajib menyampaikan berita
acara Diversi dan melimpahkan perkara ke pengadilan dengan
melampirkan laporan hasil penelitian kemasyarakatan.
297
Sebagai konsep ke depan untuk menghentikan perkara anak di kepolisian
dalam pelaksanaan diversi, maka dikeluarkan kewajiban Penuntut Umum untuk
melaksanakan diversi, dengan demikian ketentuan ayat (1), (2), (3) Pasal 42 UU
SPP Anak dihapuskan. Konsep rumusan ke depan sebagai berikut :
Konsep usulan rumusan :
Pasal 42 UU SPP Anak :
Dalam hal Diversi gagal dilaksanakan oleh Penyidik, maka Penuntut Umum wajib
menyampaikan berita acara Diversi dan melimpahkan perkara ke pengadilan
dengan melampirkan laporan hasil penelitian kemasyarakatan.
Pasal 52 UU SPP Anak
(1) Ketua pengadilan wajib menetapkan Hakim atau majelis hakim untuk
menangani perkara Anak paling lama 3 (tiga) hari setelah menerima
berkas perkara dari Penuntut Umum.
(2) Hakim wajib mengupayakan Diversi paling lama 7 (tujuh) hari setelah
ditetapkan oleh ketua pengadilan negeri sebagai Hakim.
(3) Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan paling lama
30 (tiga puluh) hari.
(4) Proses Diversi dapat dilaksanakan di ruang mediasi pengadilan negeri.
(5) Dalam hal proses Diversi berhasil mencapai kesepakatan, Hakim
menyampaikan berita acara Diversi beserta kesepakatan Diversi
kepada ketua pengadilan negeri untuk dibuat penetapan.
(6) Dalam hal Diversi tidak berhasil dilaksanakan, perkara dilanjutkan ke
tahap persidangan.
Sebagai konsep ke depan untuk menghentikan perkara anak di kepolisian
dengan pelaksanaan diversi, maka dikeluarkan kewajiban Hakim untuk
melaksanakan diversi, dengan demikian ketentuan ayat (2), (3), (4), dan (5) Pasal
52 UU SPP Anak dihapuskan.
298
Konsep rumusan Pasal 52 UU SPP Anak ke depan sebagai berikut :
(1) Dalam hal diversi tidak berhasil dilaksanakan oleh penyidik, maka perkara
dilanjutkan ke tahap persidangan.
(2) Ketua pengadilan wajib menetapkan hakim atau majelis hakim untuk
menangani perkara anak paling lama 3 (tiga) hari setelah menerima berkas
perkara dari Penuntut Umum.
Konsep di atas diajukan dengan suatu dasar pemikiran dan pertimbangan sebagai
berikut :
1. Berdasarkan acuan yuridis dari konsep yang diajukan adalah diatur dalam :
1) Acuan Yuridis Tentang Pelaksanaan Diversi Di luar Sistem Peradilan
Pidana Anak Menurut Ketentuan Internasional:
- Convention on The Rights of The Child (CRC), Adopted by the General
Assembly of the United Nations on 20 November 1989, Article 40.3 huruf
b; Peraturan Dasar Minimum PBB untuk Pelaksanaan Peradilan Anak
(United Nations Standard Minimum Rules for Administration of Juvenile
Justice - The Beijing Rules), Commentary Rule 17.4; United Nations
Guidelines for the Prevention of Juvenile Delinquency (the Riyadh
Guidelines), Rule 58; United Nations Standard Minimum Rules for Non-
Custodial Measures (The Tokyo Rules), Rule 5, yang pada pokoknya
menentukan tentang langkah-langkah untuk menangani perkara anak tanpa
menggunakan proses peradilan dengan kemungkinan rujukan untuk
mengalihkan anak dari sistem peradilan.
Beberapa ketentuan internasional di atas memberikan peluang bagi negara-
negara anggota untuk menangani anak yang berkonflik dengan hukum
dengan pelaksanaan diversi diluar SPP Anak.
299
2) Acuan Yuridis tentang Pelaksanaan Diversi Di luar Sistem Peradilan Pidana
Anak Menurut Ketentuan Beberapa Negara Bagian Australia:
- South Australia diatur dalam Young Offenders Act 1993, Section 6.1;
Western Australia diatur dalam Young Offenders Act 1994, Section 7.g;
Northern Territory diatur dalam Police Administration Act; Queensland
Australia diatur dalam Juvenile Justice Act 1992 Section 14; Tasmania ,
diatur dalam Youth Justice Act 1997, Section 8; New South Wales, diatur
dalam Youth Justice Act 1997 Section 3, yang pada pokoknya
menentukan tentang polisi mengalihkan anak yang melakukan
pelanggaran dari sistem peradilan pidana dengan tidak memproses anak
lebih lanjut.
Beberapa peraturan perundang-undangan di negara-negara bagian
Australia di atas mengatur ketentuan pelaksanaan diversi di luar SPP
Anak oleh polisi untuk menangani anak yang berkonflik dengan hukum.
3) Acuan Yuridis tentang Pelaksanaan Diversi Menurut Undang-Undang
Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia:
Pasal 7 ayat (1) : Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan
perkara anak di pengadilan negeri wajib diupayakan diversi.
Ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU SPP Anak di atas mengatur tentang
pelaksanaan diversi, baik di luar maupun di dalam sistem peradilan
pidana anak.
4) Berdasarkan Kondisi Penanganan Anak yang Berkonflik dengan Hukum
di Polrestabes Surabaya dan di Polda Jawa Timur
300
- Penanganan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum di
Polrestabes Surabaya dan di Polda Jawa Timur sudah dilakukan
dengan pelaksanaan diversi di luar sistem peradilan pidana anak (sub
bab 4.3 disertasi ini).
2) Acuan Yuridis tentang Tahap Pelaksanaan Diversi Di luar Sistem Peradilan
Pidana Anak di Beberapa Negara Bagian Australia.
1) Peringatan informal
- South Australia dalam Young Offenders Act 1993, Section 6 : ...polisi
dapat memberikan peringatan informal....
- Western Australia dalam Young Offenders Act 1994, Section 22A :
...memungkinkan polisi untuk memberikan peringatan pada anak....
- Queensland dalam Juvenile Justice Act 1992, Section 14 :
...menghimbau polisi untuk memberikan peringatan pada anak....
- Tasmania dalam Youth Justice Act 1997 Section 8 : ... petugas boleh
memberikan peringatan informal....
- New South Wales dalam Young Offenders Act 1997 Section 13:
...pelanggaran yang dapat diberikan teguran adalah pelanggaran
ringan....
2) Peringatan formal
- South Australia dalam Young Offenders Act 1993, Section 8 (1): ...polisi
dapat memberikan peringatan formal....
- Western Australia dalamYoung Offenders Act 1994, Section 22 : ...
peringatan dapat diberikan secara... tertulis....
301
- Queensland dalam Juvenile Justice Act 1992, Section 14:
...menghimbau petugas polisi untuk memberikan peringatan pada
anak....
- Tasmania dalam Youth Justice Act 1997 Section 10 : ... jika peringatan
formal diberikan...polisi menjelaskan pada anak..
- New South Wales dalam Young Offenders Act 1997 Section 19:
...peringatan resmi polisi pada pelanggaran berikutnya....
3) Konferensi:
- South Australia dalam Young Offenders Act 1993, Section 11 dan 12
(1): ...family conferencing...dapat memberikan peringatan formal....
- Western Australia dalamYoung Offenders Act 1994, Section 23 A.2
huruf f: ...nama-nama orang yang hadir ketika peringatan
diberikan....
- Queensland dalam Juvenile Justice Act 1992, Section 30 (1) : ...proses
konferensi untuk anak yang melakukan pelanggaran....
- Tasmania dalam Youth Justice Act 1997, Section 10 (2) : ...jika seorang
polisi memberi peringatan resmi....
- New South Wales dalam Young Offenders Act 1997 Section 34.2 :
...tujuan konferensi adalah untuk membuat keputusan dan
rekomendasi...menentukan hasil konferensi yang berhubungan dengan
anak....
2. Bila ditinjau dari kajian teoritik, sebagai pisau analisis permasalahan disertasi
ini, yang dipergunakan sebagai landasan teori, yakni teori labeling (labeling
302
theory) yang dikemukakan oleh Lemert dan Reintegratif Shaming oleh
Braitwaite, teori perlindungan anak dari Hadi Supeno, teori keadilan justice as
fairness dari John Rawls serta teori kebijakan formulasi dari G. Peter
Hoefnagels, Barda Nawawi Arief dan Muladi. Menurut Lemert, sebagian
besar kenakalan yang diproses melalui sistem peradilan berupa penahanan,
adanya sidang atau diinstitusionalkan akan sampai pada tahap devian sekunder.
Pada tahap devian sekunder ini, maka terhadap anak tidak ada gunanya
mengubah pola tingkah lakunya sejak ia ditentukan sebagai orang yang tidak
baik dan secara berlanjut dinyatakan sebagai bertingkah laku negatif (sub-bab
2.1.4 disertasi ini). Dalam hal ini adalah terhadap anak yang berkonflik dengan
hukum, maka tidak ada gunanya mengubah pola tingkah lakunya sejak ia
ditentukan sebagai orang yang tidak baik, karenanya penanganan perkara anak
lebih baik dilakukan sejak awal, yakni dengan melaksanakan diversi di luar
SPP Anak.
- Selain menghindarkan anak dari stigma, diversi juga bertujuan mendorong
anak untuk menjadi anggota masyarakat yang bertanggungjawab. Hal ini diatur
dalam Pasal 6 UU SPP Anak, yaitu untuk menanamkan rasa tanggungjawab
pada anak. Karenanya teori reintegratif shamming dari Braithwaite juga
digunakan untuk menganalisis permasalahan disertasi ini.
- Dalam teori reintegrative shaming, pelaku merasa malu saat ia mengetahui
bahwa perbuatan yang telah dilakukan adalah salah tetapi pelaku masih tetap
diperbolehkan masuk kembali dalam kelompoknya. Harapan dari Reintegrative
shaming adalah pelaku akan bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan
303
dan tidak akan mengulangi kejahatan lagi. Dalam hal ini adalah anak yang
berkonflik dengan hukum, sebagai pihak yang bersalah maka salah satu bentuk
sanksinya adalah meminta maaf kepada korban di hadapan orang-orang
dewasa, maka anak akan merasa dipermalukan. Harapannya, akan
menumbuhkan rasa tanggungjawab pada anak karena telah mengakui
kesalahan dan meminta maaf pada korban serta berjanji tidak akan mengulangi
perbuatannya baik pada korban maupun orang lain (sub bab 4.4 disertasi ini,
tentang kondisi penanganan anak di Polrestabes dan Polda Jawa Timur).
- Hadi Supeno mengemukakan masa kanak-kanak adalah ketika seorang pribadi
tumbuh dan berkembang mencapai kedewasaan diri. Pada saat itu, akan
melewati peristiwa-peristiwa yang positif dan negatif yang akan membekali
anak menjadi dewasa. Sebagai suatu proses, dia tidak selayaknya menanggung
hukuman berat sampai pemenjaraan karena efeknya adalah pematian masa
depan anak (sub bab 2.1.2 disertasi ini). Karenanya pada masa anak mengalami
proses tumbuh kembang selayaknya mereka mendapatkan perlindungan dari
orang tuanya, masyarakat maupun pemerintah. Terhadap anak yang berkonflik
dengan hukum tidak diproses melalui sistem peradilan pidana anak tapi
seyogyanya ditangani dengan pelaksanaan diversi di luar SPP Anak.
- Teori keadilan justice as fairness dari John Rawls menyatakan bahwa keadilan
dianggap memadai bila dibentuk dengan pendekatan kontrak, prinsip keadilan
yang dipilih sebagai pegangan bersama merupakan hasil kesepakatan bersama
dari semua pihak yang bebas, rasional dan sederajat. Prinsip utama keadilan
adalah kebebasan yang sama sebesar-besarnya, asalkan tetap menguntungkan
304
semua pihak, dan prinsip ketidaksamaan yang digunakan untuk keuntungan
pihak yang paling lemah. Dalam hal ini adalah terhadap anak yang berkonflik
dengan hukum sebagai pihak yang lemah untuk mendapatkan keadilan. Dengan
pelaksanaan diversi di luar SPP Anak melalui tahap teguran, peringatan, dan
musyawarah keluarga menurut penulis dapat menciptakan keadilan bagi anak
karena asas proporsional terpenuhi. Anak yang berkonflik dengan hukum akan
ditangani berdasarkan tahap sesuai dengan tindak pidana yang dilakukan.
- Teori kebijakan formulasi dari G. Peter Hoefnagels, Barda Nawawi Arief dan
Muladi menyatakan bahwa kebijakan legislatif dan penegakan hukum
merupakan bagian dari kebijakan sosial. Untuk menangani anak yang
berkonflik dengan hukum perlu dilakukan dengan pendekatan kebijakan, dalam
arti ada keterpaduan antara politik kriminal dengan politik sosial dan upaya
penanggulangan kejahatan dengan pendekatan non penal.
3. Pertimbangan Sosiologis
Berdasarkan pendapat para ahli hukum, maka dapat dijadikan acuan sebagai
dasar untuk mendukung temuan dan pikiran dalam penelitian disertasi tentang
kebijakan formulasi pengaturan ketentuan pelaksanaan diversi di luar SPP
Anak untuk perlindungan dan kesejahteraan anak, antara lain adalah:
a. Sudigno Mertokusumo mengatakan bahwa hukum berfungsi sebagai
pelindung kepentingan manusia harus dilaksanakan secara normal dan
damai (sub bab 2.1.2 disertasi ini). Artinya bahwa dari pendekatan
sosiologis dapat diketahui bahwa fungsi hukum adalah untuk melindungi
kepentingan manusia yang dilaksanakan secara normal dan damai.
305
Pelaksanaan diversi di luar SPP Anak adalah bentuk penanganan perkara
yang menghasilkan perdamaian antara pelaku dan korban, keluarga
mereka masing-masing serta memulihkan kondisi masyarakat pada
keadaan semula. Diversi dilaksanakan dengan menghadirkan para pihak,
yaitu anak dan/atau keluarganya, anak korban dan/atau keluarganya, tokoh
masyarakat, tokoh agama, dan lain sebagainya.
b. Sudarto mengatakan bahwa tujuan utama perlindungan hukum adalah
mewujudkan kesejahteraan anak disamping kepentingan masyarakat,
namun demikian kepentingan anak tidak boleh dikorbankan demi
kepentingan masyarakat (sub bab 2.1.2 disertasi ini). Hal ini berarti
kepentingan anak dan kepentingan masyarakat sama-sama mendapatkan
perlindungan. Artinya, dengan pelaksanaan diversi di luar SPP Anak untuk
menangani anak yang berkonflik dengan hukum berarti antara kepentingan
anak untuk tetap mendapatkan perlindungan dan kesejahteraan dapat
terwujud, demikian juga kepentingan masyarakat juga tetap dilindungi.
c. M. Nasir Djamil mengatakan bahwa anak bukan untuk dihukum melainkan
harus diberikan bimbingan dan pembinaan, sehingga bisa tumbuh normal,
sehat dan cerdas seutuhya (sub bab 2.1.2 disertasi ini). Artinya,
penanganan anak yang berkonflik dengan hukum di dalam SPP Anak akan
menimbulkan stigma sehingga kesejahteraan anak tidak tercapai. Bila
demikian, maka anak tidak bisa tumbuh normal, sehat dan cerdas. Untuk
itulah, diperlukan penanganan pelaksanaan diversi di luar SPP Anak agar
anak dapat dikembalikan kepada orang tua atau keluarganya sehingga
306
dapat diberikan bimbingan dan pembinaan agar ia tumbuh secara normal,
sehat dan cerdas secara utuh.
4) Pertimbangan Filosofis
Bangsa Indonesia berdasarkan Pancasila, mempunyai nilai-nilai sosial budaya
yang amat tinggi dan memperhatikan keselarasan, keseimbangan antara
kehidupan individu dengan masyarakat juga mengayomi orang yang tersesat
dengan memberi bimbingan dan pembinaan.332
Dalam hal ini, anak yang
berkonflik dengan hukum adalah sebagai orang yang tersesat karena
melakukan tindak pidana maka lebih baik diayomi dibawah bimbingan dan
pembinaan orang tuanya.
332
Made Sadhi Astuti, Pemidanaan..., Op.cit., hlm. 87.
307
BAB V
PENUTUP
5.1. Simpulan
Berdasarkan pembahasan dari hasil penelitian dalam disertasi ini, dapat
disimpulkan sebagai berikut :
5.1.1. Dasar filosofi kebijakan formulasi pengaturan ketentuan pelaksanaan
diversi di luar sistem peradilan pidana anak di masa yang akan datang
dalam rangka perlindungan dan kesejahteraan anak meliputi beberapa hal
berikut ini :
- asas persamaan hak, asas keadilan, asas bebas dari rasa takut, asas
perlindungan, asas kesejahteraan, dan aturan diterapkan sesuai dengan
budaya negara.
Asas-asas di atas terkandung dalam konsiderans beberapa ketentuan
internasional tentang anak, konsiderans beberapa peraturan perundang-
undangan nasional tentang anak, dan dasar filosofi peradilan anak
menurut pendapat para sarjana. Selain itu juga asas kepentingan terbaik
bagi anak (the best interest of the child) yang diatur dalam KHA.
5.1.2. Kebijakan formulasi pengaturan ketentuan pelaksanaan diversi yang
mencerminkan prinsip perlindungan dan kesejahteraan bagi anak yang
berkonflik dengan hukum di masa yang akan datang didasarkan atas :
307
308
a. Beberapa ketentuan internasional tentang anak, yang pada intinya
memberikan peluang bagi negara-negara anggota untuk menangani
anak yang berkonflik dengan hukum di luar SPP Anak;
b. Beberapa peraturan perundang-undangan negara bagian Australia yang
mengatur pelaksanaan diversi di luar SPP Anak;
c. Kondisi penanganan anak yang berkonflik dengan hukum dengan
melaksanakan diversi di luar SPP Anak dalam praktek;
d. Mekanisme pelaksanaan diversi di luar SPP Anak di beberapa negara
bagian Australia.
Hal- hal yang perlu diperhatikan dalam formulasi UU SPP Anak terkait
dengan ketentuan pelaksanaan diversi di luar SPP Anak adalah sebagai
berikut:
a. Polisi selaku penyidik sebagai garda terdepan dalam perkara anak
memiliki kewajiban untuk melaksanakan diversi.
b. Untuk menghindari pengaruh negatif dari stigmatisasi terhadap
anak, maka penuntut umum dan hakim perlu dikeluarkan dari
kewajiban untuk melaksanakan diversi.
c. Pelaksanaan diversi dilakukan dengan mekanisme:
1. Teguran/peringatan (informal), berlaku untuk tindak pidana
ringan;
2. Peringatan (formal), berlaku untuk tindak pidana yang lebih
serius;
309
3. Musyawarah keluarga, berlaku untuk tindak pidana serius.
Musyawarah keluarga melibatkan: anak dan/atau keluarganya,
korban dan/atau keluarganya, tokoh masyarakat, tokoh agama,
guru (bila tindak pidana terjadi di sekolah), advokat/pengacara,
pembimbing kemasyarakatan atau LSM yang peduli masalah
anak, dan polisi anak sebagai mediator.
5.2. Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dalam disertasi ini,
beberapa hal yang disarankan adalah berikut ini :
a. Perlu diadakan perubahan terhadap UU SPP Anak terutama terkait dengan
diversi yang meliputi:
1. Pengertian diversi yang diatur dalam Pasal 1 angka 7 UU SPP Anak
hendaknya diselaraskan dengan pengertian diversi sebagaimana
tercantum dalam Commentary Rule 11 The Beijing Rules, bahwa
diversi merupakan proses melimpahkan perkara anak dari sistem
peradilan pidana kepada sistem informal, seperti
mengembalikan kepada lembaga sosial masyarakat, baik
pemerintah negara maupun non pemerintah.
2. Perlu menambahkan pengacara (advokat) sebagai para pihak yang
terlibat dalam proses diversi (Pasal 8 UU SPP Anak) untuk
musyawarah yang mendampingi Anak.
310
3. Dalam rangka mengisi kekosongan hukum perlu diadakan
penambahan dalam Pasal 7 ayat (1) UU SPP Anak tentang
mekanisme pelaksanaan diversi dengan :
a. Teguran/peringatan (informal);
b. Peringatan (formal);
c. musyawarah keluarga.
b. Perlu diadakan perubahan alur penanganan perkara anak dengan
pelaksanaan diversi di luar SPP Anak di masa yang akan datang dalam
rangka perlindungan dan kesejahteraan anak yang disajikan berikut ini:
Bagan 4
311
c. Perubahan ketentuan diversi dalam UU SPPA hendaknya mengacu pada
prinsip-prinsip yang terkandung dalam instrumen internasional disesuaikan
dengan kebutuhan dan kondisi sosial budaya di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Hasil Penelitian :
Apeldoorn, L.J. van. Pengantar Ilmu Huku. diterjemahkan oleh Oetarid Sadino,
Jakarta: Pradnya Paramita, 1980.
Abdul Ghofur Anshari. Filsafat Hukum. Yogyakarta: Gajah Mada University
Press, 2005.
Abdul Manan. Hukum dan politik. Jakarta: Prenada Media Group, 2006.
Abintoro Prakoso. Diskresi Pada Tahap Penyidikan Dalam Mewujudkan
Perlindungan Hukum Bagi Anak Nakal. Disertasi Program Doktor Ilmu
Hukum Pascasarjana Universitas Brawijaya. Malang, 2010.
Agung Wahyono dan Siti Rahayu. Tinjauan Tentang Peradilan Anak di
Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 1993.
Agus Yudha Hernoko. Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak
Komersial. Yogyakarta: Laksbang Mediatama, 2008.
A. Gunawan Setiardja. Hak-hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila.
Yogyakarta: Kanisius, 1993.
Arif Gosita. Masalah Perlindungan Anak. Jakarta: Akademi Pressindo, 1989.
____________. Sanksi Alternatif Sebagai Fokus Pembinaan Anak Pidana Saran
Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia. Disertasi Program Doktor Ilmu
Hukum Pascasarjana Universitas Indonesia. Jakarta, 2003.
Bambang Poernomo. Pandangan Terhadap Asas-Asas Umum Hukum Acara
Pidana. Yogyakarta: Liberty, 1982.
Bambang Sutiyoso. Reformasi Keadilan dan Penegakan Hukum di Indonesia.
Yogyakarta: UII Press, 2010.
Bambang Waluyo. Penelitian Hukum Dalam Praktek. Jakarta: Sinar Grafika,
1991.
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan
Penyusunan Konsep KUHP Baru. Semarang: Prenada Media Group, 2011),
hlm. 213.
_______________. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan
Kejahatan. Jakarta: Citra Aditya Bakti, 2001.
Becker, Howard S. Outsiders : Studies in the Sociology of Deviance. New York:
Free Press, 1963.
Box, Steven Deviance. Reality and Society, New York, Sidney, Toronto: Holt,
Rinehart and Winston Ltd, 1981.
Braithwaite, John, Shame, Crime and Reintegration, Cambridge: Cambridge
University Press, 1989.
Bynum, Jack E. dan Thomson, William E. Juvenile Delinquency a Sociological
Approach. Boston: Allyn and Bacon A Peason Education Company, 2002.
Consedine, Jim. Restorative Justice Healing The Effects of Crime. New Zealand:
Ploughshares Publication, 2003.
Cunnen, C. and White, R. Juvenile Justice : An Australian Erspective. Oxford:
Oxford University Press, 1995.
Challinger, D. Police Action and the Prevention of Juvenile Delinquency, In A.
Borowski and JM. Murray (eds.) Juvenile Delinquency in Australia. NSW:
Methuen Australia.
Danto, Bruce L. “Approaches to the Violent Criminal, International Journal of
Offender Theraphy and Comparative Criminology”, 1979.
Djaali Pudji Muljono, M. Said Saile, dan Ramly. Hak Asasi Manusia (Suatu
Tinjauan Teoritis dan Aplikasi). Jakarta: Restu Agung, 2003.
Erikson, K.T. Notes on Sociology of Deviance, Social Problems, 1962.
Frans Magnis Suseno. Etika Politik Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan
Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999. Dikutip dari Kennecht
Folk, dikutip dari Marlina.
Friedrich Carl Joachim. Filsafat Hukum Perspektif Historis. Bandung: Nuansa
dan Nusamedia, 2004.
Frans Magnis Suseno. Etika Politik Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan
Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999.
Folk, Kenneht. Early Intervention: Diversion and Youth Conferencing, A national
review of current approach to diverting juvenile from the criminal justice
system. Australia: Canberra, Commonwealth of Australia. Government
Attorney-general’s Departement, 2003.
George Zdenkowski, Chris Ronald, Mark Richardson (Ed.). The Criminal Justice
System Volume Two. Sydney and London: Pluto Press, 1987.
Hangama Anwari. Justice for The Children: The situation for children in conflict
with the law in Afghanistan. UNICEF and AIHRC, tanpa tahun.
Hoefnagels, G. Peter. The Other Side of Criminology An Inversion of the Concept
of Crime. Holland: Kluwer-Deventer, 1972.
Harifni A. Tumpa. Peluang dan Tantangan Eksistensi Pengadilan HAM di
Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010.
Huijbers Theo. Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah. Yogyakarta: Kanisius,
1986.
HM. Wahyudin Husein dan H. Hufron. Hukum, Politik & Kepentingan.
Yogyakarta: Laksbang Pressindo, 2008.
Irma Setyowati Soemitro. Aspek Hukum Perlindungan Anak. Jakarta: Bumi
Aksara, 1990.
JCT Simorangkir dkk. Kamus Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
Johnny Ibrahim. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang:
Bayumedia Publishing, 2005.
Kaelan. Filsafat Pancasila Pandangan Hidup Bangsa Indonesia. Yogyakarta:
Paradigma, 2002.
Koesno Adi. Diversi Sebagai Alternatif Penanggulangan Tindak Pidana
Narkotika oleh Anak. Malang: UMM Press, 2009.
__________. Kebijakan Kriminal dalam Sistem Peradilan Pidana yang
Berorientasi pada kepentingan Terbaik Bagi Anak. Pidato Pengukuhan
Jabatan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Hukum Universitas Brawijaya.
Malang, 2009.
Kratcoski, Peter C. Correctional Counseling and Treatment. USA: Waveland
Press Inc., 2004.
Kittipong Kittiyarah, “Restorative Justice: Thai Experience”, UNAFEI, Series,
No. 63, 2004.
Lemert, E.M. Human Deviance, Social Problems and Social Control. New York:
Prentice-Hall, 1967.
Lilik Mulyadi. Kapita Selekta Hukum Pidana, Kriminologi dan Viktimologi.
Jakarta: Djambatan, 2004.
Lundman, Richard J. Prevention and Control of Juvenile Delinquency. New
York: Oxford University Press, 1993.
Made Sadhi Astuti. Pemidanaan Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana.
Malang : IKIP Malang, 1997.
_______________. Hukum Pidana Anak dan Perlindungan Anak. Malang: UMM
Press, 2002.
M. Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP.
Jakarta: Pustaka Kartini, 1993.
Maidin Gultom. Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan
Pidana Anak di Indonesia. Bandung: Refika Aditama, 2006.
_______________.Hukum Pidana Anak dan Perlindungan Anak. Malang:
Penerbit Universitas Negeri Malang, 2003.
Marlina. “Diversi dan Restorative Justice sebagai Alternatif Perlindungan
terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum”. Medan: Pusat Kajian
dan Perlindungan Anak, 2007.
____________. Peradilan Pidana Anak di Indonesia. Bandung: Refika Aditama,
2009.
____________. Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice dalam Hukum
Pidana. Medan: USU Press, 2010.
M. Nasir Djamil. Anak Bukan Untuk Dihukum, Catatan Pembahasan UU Sistem
Peradilan Pidana Anak (UU-SPPA). Jakarta: Sinar Grafika, 2013.
Muhammad Aenur Rosyid. Alternatif Model Penanganan Anak Yang Berkonflik
dengan Hukum Melalui Family Group Conferencing (Analisis Yuridis
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak). Tesis Program Studi Magister Ilmu Hukum
Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. Malang, 2013.
Muhammad Ali. Pengembangan Kausening Polisi Sebagai Diskresi Dalam
Penyidikan Anak Delinkuen Di Indonesia. Disertasi Program Doktor Ilmu
Hukum Pascasarjana Universitas Airlangga. Surabaya, 1997.
Muhammad Joni. Hak-Hak Anak Dalam UU Perlindungan Anak dan Konvensi
PBB tentang Hak Anak: Beberapa Isu Hukum Keluarga. Jakarta: Komisi
Nasional Perlindungan Anak, tanpa tahun.
Muladi. Kapita Selekta Hukum Pidana. Semarang: Universitas Diponegoro, 1995.
________dan Barda Nawawi Arif. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana.
Bandung: Alumni, 1992.
_________dan Barda Nawawi Arief. Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung:
Alumni, 2005.
M. Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP.
Jakarta: Pustaka Kartini, 1993.
Mannheim. Comparative Criminology. A Textbook”. Vols. I and II. London: 2nd
impression, 1966.
Mardjono Reksodipoetro. “Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat kepada
kejahatan dan penegakan hukum dalam batas-batas toleransi)”. Pidato
Pengukuhan Penerimaan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum
pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia,
1993.
_____________. “Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Peran Penegak Hukum
Melawan Kejahatan)”. dikutip dari Hak Asasi Manusia dalam Sistem
Peradilan Pidana, 1994.
_______________. Bungai Rampai Permasalahan dalam Sistem Peradilan
Pidana. Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum d/h
Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 1994.
Purnianti, Mamik Sri Supatmi, dan Ni Made Martini Tinduk. Analisa Situasi
Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice System) di Indonesia.
UNICEF: Indonesia, 2003.
Nurini Aprilianda. Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Sebagai Upaya
Pencegahan Stigmatisasi Anak. Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum
Pascasarjana Universitas Airlangga. Surabaya, 2011.
Panduan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan Republik Indonesia. Pedoman Umum Ejaan Bahasa
Indonesia Yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan istilah.
Cetakan Ke VII. Bandung: Pustaka Setia, 2005.
Packer, Herbert L. The Limit of the Criminal Sanction. California: Stanford
University Press, 1968.
Paulus Hadisuprapto. Delinkuensi Anak: Pemahaman dan Penanggulangannya.
Malang: Bayumedia Publishing, 2008.
__________________. Pemberlakuan Malu Reintegratif Sebagai Sarana
Nonpenal Penanggulangan Perilaku Delinkuensi Anak (Studi Kasus di
Semarang dan Surakarta). Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum
Pascasarjana Universitas Diponegoro. Semarang, 2003.
Paul C. Friday and V. Lorne Stewart (Eds). Youth Crime and Juvenile Justice.
Published in Corporation with the American Society of Criminology, 1977.
Peter Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana, 2007.
Philipus M. Hadjon. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia. Surabaya: Bina
Ilmu, 1997.
Rawls, John. A Theory of Justice, Penerjemah Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo,
Teori Keadilan Dasar-dasar Filsafat Politik untuk mewujudkan
Kesejahteraan Sosial dalam Negara. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Romli Atmasasmita. Kepenjaraan: Dalam Suatu Bunga Rampai. Bandung:
Armico, 1983.
_________________. Sistem Peradilan Pidana, Perspektif Eksistensialisme dan
Abolisionisme. Bandung: Bina Cipta, 1996.
__________________(ed). Peradilan Anak di Indonesia. Bandung: Mandar Maju,
1997.
Satjipto Rahardjo. Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya. Jakarta:
Genta Publishing, 2009.
_______________. Penyelenggaraan Keadilan dalam Masyarakat yang Sedang
Berubah. Artikel dalam Jurnal Masalah Hukum, 1993.
____________. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1996.
Setya Wahyudi. Implementasi Ide Diversi Dalam Pembaruan Sistem Peradilan
Pidana Anak di Indonesia. Yogyakarta: Genta Publishing, 2011.
Schur, Edwin M. Radical Non-Intervention Rethinking The Delinquency Problem,
Englewood Cliffts. New Jersey: Prentice-Hall, 1973.
Shelden, Randall, G. Detention Diversion Advocacy: An Evaluation. Washington
DC U.S: Departement of Justice.
Siegel, Larry J. Juvenile Delinquency. United State Of America: Wadswort, 1986.
S. Prajudi Atmosudirjo. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Ghalia Indonesia,
1994.
Soedjono Dirdjosisworo. Sinopsis Kriminologi Indonesia. Bandung: Mandar
Maju, 1994.
Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-PRESS, 1986.
_______________dan Sri Mamudji.Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan
Singkat. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007.
Sri Widoyati Soekito. Anak dan Wanita Dalam Hukum. Jakarta: LP3ES, 1983.
Subandi Al Marsudi. Pancasila dan UUD‟45 dalam Paradigma Reformasi.
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001.
Sudigno Mertokusumo. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty,
1996.
Sudarto. Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung: Alumni, 1981.
Sunaryati Hartono. Kapita Selekta Perbandingan Hukum, Malang: Citra Aditya
Bakti, 1991.
Syaifudin, Materi Dasar Studi Tentang Kejahatan, Banjarmasin: Lambung
Mangkurat University Press, 1995.
Tannenbaum, Frank. Crime and the Community. New York: Columbia University
Press, 1938.
Teitel, Ruti G. Keadilan Transisi Sebuah Tinjauan Komprehensif. Jakarta: Elsam.
Tanpa Tahun.
Turiman. Memahami Hukum Progresif Satjipto Rahardjo Dalam Paradigma
“Thawaf” (Sebuah Komtemplasi Bagaimana Mewujudkan Teori Hukum
yang Membumi/Grounded Theory Meng-Indonesia). Dikutip dari Disertasi
Program Doktor Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Diponorogo, 2010.
Ulan, Andre Ata. Keadilan dan Demokrasi, Telaah Filsafat Politik John Rawls.
Kanisius: Yogyakarta, 2001.
Umbreit, Mark.“Avoding the Marginnalization and „McDonaldization‟ of Victim-
offender mediation: A Case Study in Moving Toward the Mainstream” in
Restorative Juvenile Justice Repairing the Harm of Youth Crime”, edited by
Gordon Bazemore and Lode Walgrave Monsey. New York: Criminal
Justice Press, 1999.
Umi Chulsum dan Windy Novia. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Surabaya:
KASHIKO, 2006.
United Nations. Handbook on Restorative Justice Programmes. New York:
United Nations Publication, 2006.
Wagiati Soetodjo. Hukum Pidana Anak. Bandung: Refika Aditama, 2005.
Walker. Training The System The Control of Discretion in Criminal Justice 1950-
1990. New York: Oxford University Press, 1993.
Zeir, Howard. The Little Book of Restorative Justice. PA: Good Books, 2002.
Makalah dan Jurnal :
Abdul Hakim Garuda Nusantara. “Prospek Perlindungan Anak”. Makalah
disampaikan pada Seminar Perlindungan Hak-hak Anak. Jakarta, 1986.
Arif Gosita. “Aspek Hukum Perlindungan Anak dan Konvensi Hak-Hak Anak”.
Era Hukum. Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum No.4/Th.V/April 1999. Jakarta:
Fakultas Hukum Tarumanagara, 1999.
Artidjo Alkostar. “Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Penegakan Hukum
Dewasa Ini”. Makalah disampaikan dalam rangka Dies Natalis UII ke 51
Universitas Islam Indonesia. Yogyakarta, 1993.
Danto, Bruce L. “Approaches to the Violent Criminal, International Journal of
Offender Theraphy and Comparative Criminology”, 1979.
Ediwarman. “Peradilan Anak di persimpangan Jalan Dalam Perspektif
Victimology (Belajar dari Kasus Raju)”. Volume 18 Nomor 1. Pekan Baru :
Jurnal Mahkamah, April 2006.
Maher, Gerry. “Age and Criminal Responsibility, Ohio State Journal of Criminal
Law”, Vol 2: 493.
Marlina. “Penerapan Konsep Diversi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana
Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak”. Jurnal Equality. Vol. 13 No. 1
Februari 2008.
Marzuki Darusman, “Hak-hak Asasi Manusia dan Supremasi Hukum”, Majalah
Hukum Pro Justitia Tahun XVII Nomor 4 Oktober. Bandung: FH Unpar,
1999.
Newel, Peter. “Taking Children Seriously, A Proposal For Children’s Rights
Commisioner,” London: Colouste Gulbenkian Foundation.
Nonot Suryono. “Implementasi Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 Terhadap
Anak Konflik Hukum (AKH) dalam Kasus Berita Acara Penolakan Bantuan
Hukum”, SCCC (Surabaya Children Crisis Center). Makalah disampaikan
pada Seminar Sehari Fakultas Hukum Universitas Kartini. Surabaya, 10
Maret 2012.
Salman Luthan. “Proyeksi Harmonisasi Konvensi Menentang Penyiksaan Dengan
Hukum Pidana Nasional”. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional
Kerjasama Departemen Hukum Internasional – Fakultas Hukum Universitas
Islam Indonesia dengan ELSAM. Yogyakarta, 1995.
Tim KPAI: Indonesia Negara Terbanyak Memidana Anak. Kompas, 16 Juli 2009.
Yanuar Firda Wismayanti. Model Penanganan Anak Berkonflik Hukum. Jurnal
“Informasi” Vol. III No. 3 September-Oktober 2007, hlm. 42.
Internet :
Anak Bersinar Bangsa Gemilang,
http://anakbersinar.com/news/detail/id/95/Perlindungan-Anak.html, 06/07/
2013.
Ade Didik Irawan. “Dinamika Perkembangan Teori Dan Filsafat Hukum Hak
Asasi Manusia”.
http://www.kuliahhukumonline.blogspot.com/2012/09/dinamika-
perkembangan-teori-dan.html. 03/09/2012.
Aditya Hendrasena. “Teori Dalam Hukum Dan Ham Yang Berlaku Di Indonesia”.
http://www.adityahendrasena.blogspot.com/2012/04/teori-ham-dalam-
indonesia.html. 04/04/ 2012.
Bambang Sukamto. “Diktat Hukum Perlindungan Anak. diakses tanggal 3 Maret
2010.Children's Involvement In Criminal Justice Processes”. http ://
www.alrc.gov.au/publication/18-childrens-involvement-with-legal-aid.
criminal-justice-processes/diversion. 05/04/ 2013.
Braithwaite, John (II). Shame and Criminal Justice. Hein Online-42 Canadian J.
Criminology July 2000. Wolongong. 05/11/2009.
C. Cunnen and R. White. Juvenile Justice : An Australian Erspective, (Oxford :
Oxford University Press, 1995, page 247). Dikutip dari buku Kenneht Folk.
Early Intervention : Diversion and Youth Conferencing, A National Review
of Current Approach to Diverting Juvenile from the Criminal Justice System
(Canbera : Australia Government Attorney-general’s Departement.
Commonwealth of Australia, 2003). dikutip dari Marlina. “Penerapan
Konsep Diversi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Dalam Sistem
Peradilan Pidana Anak”. Jurnal Equality. Vol. 13 No.1 Februari 2008, hlm.
96. http : www.repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18420/l/equ-feb
2008-13(5)-pdf. 05/04/2013.
Government of South Australia Attorney-General’s Department. South Australian
Legislation. “South Australia Young Offenders Act 1993”. http ://
www.legislation.sa.gov.au/LZ/C/A/Young Offenders Act
1993/Current/1993.57.UN.pdf. 05/04/2013.
http://boyyendratamin.blogspot.com/2013/03/mk-nyatakan-ancaman-pidana-
terhadap.html. Putusan Nomor 110/PUU-X/2012. 28/03/2013.
http://www.depkumham.go.id/berita-utama/1078-rancangan-undang-undang-
tentang-sistem-peradilan-pidana-anak-disahkan-di-rapat-paripurna-dpr-ri.
5/06/2012.
http://www.repositery.usu.ac.id/bitstream/123456789/17751/3/chapterII.pdf.14/05
/2013.
http://www.tempo.co/read/news/2012/01/13/063377143/KPAI-Bertekad-
Hapuskan-Pemenjaraan-Anak, diakses tanggal 22/01/2013.
IDLO (International Development Law Organization). Harian Serambi Indonesia.
Sabtu. 21 April 2007. http:www.idlo.int/bandaacehawareness.html.,
11/05/2013.
Jazuli, “Perlindungan Anak Jangan Sekadar Teori”.
http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2012/01/16/106930/
Jazuli-Perlindungan-Anak-Jangan-Sekadar-Teori. 16/01/2012.
Justice For Children Detention,
www.unicef.org/spanish/protection/files/justice_for_children_detention.pdf,
19/02/2013.
Masnur Marzuki. Menata Ulang Konstitusi. Berharap pada SBY ?
http://masnurmarzuki.blogspot.com/2012/04/menata-ulang-konstitusi-
berharap-pada.html. 20/04/ 2012.
“Perkembangan Teori Pemidanaan”.
http://www.alienjustitia.blogspot.com/p/perkembangan-teori-
pemidanaan.html. 2/01/2013.
Qotrin Nida Az. “Teori Labeling PI”. Qotrinnidaaz.blogspot.com/2010/03/teori-
labelling-pi.html. 24/03/2010.
“Restorative Justice”. http://www.restorativejustice.org/leading/zehr. 3/12/2012.
Rico Afrido. “Panja RUU SPPA Dinilai Tak Peka”.
http://www.post.indah.web.id/panja-ruu-sppa-dinilai tak peka. 31/01/2012.
Riza Alifianto Kurniawan. “Asas Ultimum Remedium Dalam Pemidanaan Anak
Nakal”.http://www.journal.lib.unair.ac.id/index.php/YRD/article/download,
3/03/2012.
Riza Nizarli. “Keadilan Restoratif Justice Sebagai Upaya Perlindungan Terbaik
Bagi Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum”. Disampaikan pada Seminar
Penyelesaian Kasus Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum Secara Diversi
dan Restorative Justice Kerjasama AJRC dengan Mahupiki. Banda Aceh.
31/03/2009.
Santi Kusumaningrum. “Penggunaan Diversi untuk Anak yang Berhadapan
dengan Hukum” (Dikembangkan dari Laporan yang disusun oleh Chris
Graveson) http://Santi Kusumaningrum-diversion-guidelines_adopted-from-
chris-report.pdf.
Saut Pandiangan. “Sinkronisasi Sistem Peradilan Pidana Terpadu”,
http://www.penalstudyclub.wordpress.com/2009/05/29/sinkronisasi-sistem-
peradilan-pidana-terpadu. 29/05/2009.
“Seponering Sebagai Jalan Keadilan Restoratif”.
http://ahok.org/berita/pemikiran/seponering-sebagai-jalan-keadilan-
restoratif, diakses tanggal 6/11/ 2011.
“Sistem Peradilan Pidana Indonesia”.
http://www.images.dahwirpane.multiplycontent.com/attachme. 4/02/2013.
S. Maronie. “Teori Labeling (Kriminologi)”.
http://www.zriefmaronie.blogspot.com/2012/05/teori-labeling-
kriminologi.html. 17/05/2012.
“Status Hukum Art In The Science of Law”. http://www.status
hukum.com/perlindungan-hukum.html, 12 /03/2012.
Tanya Jawab Hukum dan Kode Etik. Apa sih Beda Antara Diskresi dan Diversi.
http://www.id.answers.yahoo.com/question/index? qid, 04/10/2009.
Yayasan Pemantau Hak Anak. Childrens Human Rights Foundation, “Anak
Berhadapan Dengan Hukum Dalam Perspektif Hukum Hak Asasi Manusia
Internasional”. http://www.ypha.or.id/web/wp-
content/upsloads/2011/04/anak-yang-berhadapan-dengan-hukum-dalam-
perspektif-hukum-ham-internasional3.pdf, 10/01/2013.
Zuhdi Achmad, “HAM Dalam Undang-Undang Dasar 1945”,
http://www.zuhdiachmad.blogspot.com/2010/05/ham-dalam-undang-
undang-1945.html,17/05/2010.
Peraturan Perundang-undangan :
Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan
Hukum Pidana.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan
Anak.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan
Tindak Pidana Ringan.
Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on
The Rights of The Child (Konvensi Hak-Hak Anak).