persetujuan ujian disertasi - Universitas Brawijaya

346
ii PERSETUJUAN UJIAN DISERTASI Judul: KEBIJAKAN FORMULASI PENGATURAN KETENTUAN PELAKSANAAN DIVERSI DI LUAR SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DALAM RANGKA PERLINDUNGAN DAN KESEJAHTERAAN ANAK Oleh: Erny Herlin Setyorini, SH., MH NIM: 117010100111021 Menyetujui, Promotor, Prof. Dr. Made Sadhi Astuti, S.H.,M.S NIP. 19411222 197302 2 001 Ko-promotor 1 Ko-promotor 2 Prof. Dr. Koesno Adi, S.H., M.S Dr. Nurini Aprilianda, S.H.,M.H NIP.19440728 197603 1 002 NIP. 19760429 200212 2 001 Mengetahui, Ketua Program Studi Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Prof. Dr. Sudarsono, S.H.,M.S NIP. 19510825197903100

Transcript of persetujuan ujian disertasi - Universitas Brawijaya

ii

PERSETUJUAN UJIAN DISERTASI

Judul:

KEBIJAKAN FORMULASI PENGATURAN KETENTUAN

PELAKSANAAN DIVERSI DI LUAR SISTEM PERADILAN

PIDANA ANAK DALAM RANGKA PERLINDUNGAN DAN

KESEJAHTERAAN ANAK

Oleh:

Erny Herlin Setyorini, SH., MH

NIM: 117010100111021

Menyetujui,

Promotor,

Prof. Dr. Made Sadhi Astuti, S.H.,M.S

NIP. 19411222 197302 2 001

Ko-promotor 1 Ko-promotor 2

Prof. Dr. Koesno Adi, S.H., M.S Dr. Nurini Aprilianda, S.H.,M.H

NIP.19440728 197603 1 002 NIP. 19760429 200212 2 001

Mengetahui,

Ketua

Program Studi Doktor Ilmu Hukum

Fakultas Hukum Universitas Brawijaya

Prof. Dr. Sudarsono, S.H.,M.S

NIP. 19510825197903100

iii

JUDUL DISERTASI :

KEBIJAKAN FORMULASI PENGATURAN KETENTUAN

PELAKSANAAN DIVERSI DI LUAR SISTEM PERADILAN PIDANA

ANAK DALAM RANGKA PERLINDUNGAN DAN KESEJAHTERAAN

ANAK

NAMA MAHASISWA : ERNY HERLIN SETYORINI

NIM : 117010100111021

PROGRAM STUDI : ILMU HUKUM

BIDANG ILMU : HUKUM PIDANA

KOMISI PROMOTOR :

PROMOTOR : PROF. DR. MADE SADHI ASTUTI, SH., M.S

KO-PROMOTOR I : PROF. DR. KOESNO ADI, SH., MS

KO-PROMOTOR II : DR. NURINI APRILIANDA, SH., MH

MAJELIS PENGUJI :

DOSEN PENGUJI 1 : PROF. DR. SUDARSONO, SH., MS

DOSEN PENGUJI 2 : PROF. MASRUCHIN RUBA’I, SH., MS

DOSEN PENGUJI 3 : DR. ISMAIL NAVIANTO, SH., MH

DOSEN PENGUJI 4 : DR. BAMBANG SUDJITO, SH., MH

DOSEN PENGUJI 5 : DR. BAMBANG SUGIRI, SH., MH

DOSEN PENGUJI TAMU : DR. SARWIRINI, SH., MS

TANGGAL UJIAN TERTUTUP : 19 DESEMBER 2014

TANGGAL UJIAN TERBUKA : 20 JANUARI 2015

TA

iv

PERNYATAAN ORISINALITAS

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa sepanjang

sepengetahuan saya, di dalam Naskah Disertasi ini tidak terdapat karya

ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar

akademik di suatu perguruan tinggi, dan tidak terdapat karya atau pendapat

yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara

tertulis dikutip dalam naskah ini dan disebutkan dalam sumber kutipan dan

daftar pustaka.

Apabila ternyata di dalam naskah ini dapat dibuktikan terdapat

unsur-unsur plagiasi, saya bersedia disertasi ini digugurkan dan gelar

akademik yang telah saya peroleh (Doktor) dibatalkan, serta diproses

sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Undang-

undang Nomor 20 Tahun 2003, Pasal 25 ayat (2) dan Pasal 70).

Malang, 20 Januari 2015

Mahasiswa,

Erny Herlin Setyorini

NIM: 117010100111021

v

RINGKASAN

Erny Herlin Setyorini, Program Studi Doktor Ilmu Hukum, Fakultas Hukum

Universitas Brawijaya Malang, Tahun 2011. Kebijakan Formulasi Pengaturan

Ketentuan Pelaksanaan Diversi Di Luar Sistem Peradilan Pidana Anak Dalam

Rangka Perlindungan Dan Kesejahteraan Anak. Promotor : Prof. Dr. Made Sadhi

Astuti, S.H., M.S; Ko Promotors : Prof. Dr. Koesno Adi, S.H., M.S dan Dr. Nurini

Aprilianda, S.H.,M.H.

Anak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan

hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Dengan peran

anak yang penting ini, maka hak anak telah secara tegas dinyatakan dalam

konstitusi, bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan

berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Pasal

28 B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun

1945). Dalam proses tumbuh kembang, ada kalanya anak-anak terlibat dalam

masalah hukum, diantaranya adalah melakukan tindak pidana. Diversi diakui

secara internasional sebagai cara penyelesaian perkara anak yang dapat

memberikan perlindungan hukum terhadap anak karena dapat menghindarkan

anak dari stigma sebagai akibat proses peradilan pidana anak. Diversi diatur

dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana

Anak, namun demikian diversi yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU SPP Anak

dilaksanakan di luar dan di dalam sistem peradilan pidana anak, yaitu

dilaksanakan oleh penyidik, penuntut umum, dan hakim pengadilan negeri.

Pelaksanaan diversi di dalam sistem peradilan pidana anak akan menimbulkan

stigma sehingga kesejahteraan anak tidak tercapai.

Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang diatur di

dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak, dan dalam

Konvensi Hak Anak (Convention on the Right of the Child). Perlindungan

terhadap anak yang berkonflik dengan hukum tertuang dalam Peraturan-Peraturan

Minimum Standar Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Administrasi Peradilan

Anak, diantaranya bertujuan akan mengutamakan kesejahteraan anak dan akan

memastikan bahwa reaksi apapun terhadap pelanggar-pelanggar hukum anak akan

selalu sepadan dengan keadaan-keadaan baik pada pelanggar-pelanggar

hukumnya maupun pelanggaran hukumnya.

Permasalahan dalam penelitian ini adalah : (a) bagaimana dasar filosofi

kebijakan formulasi pengaturan ketentuan pelaksanaan diversi di luar sistem

peradilan pidana anak di masa yang akan datang dalam rangka perlindungan dan

kesejahteraan anak ? (b) Bagaimana kebijakan formulasi pengaturan ketentuan

pelaksanaan diversi yang mencerminkan prinsip perlindungan dan kesejahteraan

bagi anak yang berkonflik dengan hukum di masa yang akan datang ?

Tujuan penelitian dalam disertasi ini adalah : 1) mengkaji, menguji, dan

menganalisis serta menemukan bagaimana dasar filosofi kebijakan formulasi

pengaturan ketentuan pelaksanaan diversi di luar sistem peradilan pidana anak di

vi

masa yang akan datang dalam rangka perlindungan dan kesejahteraan anak; 2)

mengkaji dan menganalisis bagaimana kebijakan formulasi pengaturan ketentuan

pelaksanaan diversi yang mencerminkan prinsip perlindungan dan kesejahteraan

bagi anak yang berkonflik dengan hukum di masa yang akan datang.

Kerangka dasar teoritis meliputi, teori perlindungan HAM, teori

perlindungan anak, teori keadilan, teori labeling, dan teori kebijakan formulasi.

Adapun kerangka konsep penelitian dalam disertasi ini meliputi konsep

kebijakan formulasi, konsep diversi, konsep sistem peradilan pidana anak, konsep

perlindungan anak, dan konsep kesejahteraan anak.

Penelitian disertasi ini adalah penelitian hukum normatif, yang dilakukan

dengan cara meneliti bahan pustaka, yang merupakan data sekunder dan disebut

juga penelitian hukum kepustakaan. Sehingga pendekatan yang dilakukan adalah

pendekatan undang-undang (statute approach), studi dokumen, dan pendekatan

komparatif atau perbandingan (comparative approach). Berdasarkan hasil

penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut :

Hasil penelitian pertama, bahwa dasar filosofi beberapa ketentuan

internasional, ketentuan peraturan perundang-undangan nasional, dasar filosofi

pendapat para ahli hukum tentang peradilan anak yang mengandung asas

persamaan hak, asas keadilan, asas bebas dari rasa takut, asas perlindungan, asas

kesejahteraan, dan aturan diterapkan sesuai budaya negara serta asas kepentingan

terbaik bagi anak (the best interest of the child) dapat digunakan sebagai konsep

dasar filosofi kebijakan formulasi pengaturan ketentuan pelaksanaan diversi di

luar sistem peradilan pidana anak di masa yang akan datang dalam rangka

perlindungan dan kesejahteraan anak. Hasil penelitian kedua, bahwa beberapa

ketentuan internasional, peraturan perundang-undangan negara bagian Australia,

kondisi penanganan anak yang berkonflik dengan hukum di lokasi penelitian, dan

mekanisme pelaksanaan diversi di luar sistem peradilan anak di beberapa negara

bagian Australia dapat dijadikan konsep kebijakan formulasi pengaturan

ketentuan pelaksanaan diversi yang mencerminkan prinsip perlindungan dan

kesejahteraan anak yang berkonflik dengan hukum di masa yang akan datang.

Pengaturan ketentuan pelaksanaan diversi di luar sistem peradilan pidana

di masa yang akan datang seyogyanya dilakukan pembaharuan (legal reform).

Penulis mengajukan suatu konsep untuk di masa yang akan datang (ius

constituendum) pengaturan norma pelaksanaan diversi di luar sistem peradilan

pidana anak, yang didasarkan pada : a) ketentuan yuridis, seperti dasar filosofi

beberapa ketentuan internasional, ketentuan-ketentuan internasional, peraturan

perundang-undangan di negara-negara bagian Australia, UU Perlindungan Anak,

dan UU Kesejahteraan Anak; b) teori perlindungan HAM menurut Marzuki

Darusman dan Muladi, teori perlindungan anak menurut Hadi Supeno, teori

keadilan “justice as fairness” menurut John Rawls, dan teori labeling menurut

Lemert serta reintegratif shamming menurut Braitwait; c) pertimbangan

sosiologis; dan d) filosofi Pancasila. Adapun konsep yang diajukan oleh penulis

dalam rangka pembaharuan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang

Sistem Peradilan Pidana Anak di masa yang akan datang adalah sebagai berikut:

vii

a) Yang memiliki kewajiban untuk melaksanakan diversi di luar sistem peradilan

pidana anak adalah polisi, karenanya penuntut umum dan hakim dikeluarkan

dari kewajiban untuk melaksanakan diversi;

b) Diversi dilaksanakan untuk anak yang baru pertama kali melakukan tindak

pidana;

c) Jenis-jenis tindak pidana yang dapat ditangani dengan pelaksanaan diversi

adalah tindak pidana yang ancaman hukumannya di bawah 7 (tujuh) tahun; d)

diversi dilaksanakan dengan teguran/peringatan (informal), peringatan

(formal), dan musyawarah keluarga (family conferencing).

viii

SUMMARY

Children are an integral part of human survival and the survival of a

nation. With this important role of the child, then the child rights has expressly

stated in the Constitution, that every child has the right to live, grow and develop,

and is entitled to protection from violence and discrimination (Article 28 B (2) of

the Constitution of the Unitary Republic of Indonesia 1945). In the growth

process, there are times when children are involved in legal matters, such as

committing a crime. Diversion is recognized internationally as a way of settling

disputes children who can provide legal protection to children because it can

prevent children from stigma as a result of juvenile criminal justice process.

Diversion regulated in Law No. 11 of 2012 on the Criminal Justice System Child,

however diversion provided for in Article 7 paragraph (1) of the Children SPP

carried out and in the criminal justice system of children, which is carried out by

investigators, prosecutors, and district court judges. Implementation of diversion

in the criminal justice system so that the child will stigmatizing the child's welfare

is not reached.

Children's rights are part of human rights set forth in the United Nations

Convention on the Rights of the Child, and the Convention on the Rights of the

Child (Convention on the Rights of the Child). The protection of children in

conflict with the law set out in the Standard Minimum Rules of the United Nations

Concerning the Administration of Juvenile Justice, among other aims will

prioritize the welfare of the child and will ensure that any reaction to the law of

child offenders will always be commensurate with the circumstances of both the

offenders law or legal violation.

Problems in this study are: (a) how the basic philosophy of setting provisions for

the implementation of policy formulation diversion outside the criminal justice

system in the future in the context of child protection and welfare of children? (b)

What provisions for the implementation of policy formulation diversion

arrangements that reflect the principles of the protection and welfare of children

in conflict with the law in the future ?

The aim of research in this dissertation are: 1) examine, test, and analyze

and discover how the basic philosophy of setting provisions for the

implementation of policy formulation diversion outside the criminal justice system

in the future in the context of child protection and welfare of children; 2) examine

and analyze how policy formulation diversion arrangements that reflect the

ix

provisions of the implementation of the principle of the protection and welfare of

children in conflict with the law in the future.

Basic theoretical framework covers, the theory of human rights protection,

child protection theory, equity theory, labeling theory, and the theory of policy

formulation.

The conceptual framework of research in this dissertation includes the concept of

policy formulation, the concept of diversion, the concept of juvenile criminal

justice system, the concept of child protection and child welfare concept.

This dissertation research is normative legal research, which is done by

examining the library materials, which are also known as secondary data and

legal research literature. So the approach taken is to approach the law (statute

approach), the study documents, and comparative approaches or comparison

(comparative approach). Based on the results of the study can be summarized as

follows:

The results of the first study, that the basic philosophy of some provisions,

the provisions of national legislation, and the basic philosophy of the opinions of

jurists on juvenile justice which contains the principle of equality, fairness, the

principle of freedom from fear, the principle of the protection, welfare principles,

rules are applied in accordance culture of the country, and the best interest of the

child principle can be used as the basic concept of the philosophy of policy

formulation diversion implementing provisions setting out the criminal justice

system in the future in the context of child protection and child welfare. The

results of the second study, that some provisions, the legislation states of

Australia, the conditions of handling children in conflict with the law in the study

area, and implementation mechanism diversion outside the criminal justice system

in some states children Australia can be used as the concept of policy formulation

diversion arrangements that reflect the provisions of the implementation of the

principle of the protection and welfare of children in conflict with the law in the

future that will come.

Setting provisions for the implementation of diversion outside the criminal

justice system in the future should be reform (legal reform).

The author proposes a concept for the future (ius constituendum) setting norms

implementation of diversion outside the criminal justice system of children, which

is based on: a) the juridical provisions, such as the basic philosophy of some

provisions, international regulations, legislation in the states of Australia, the

Child Protection Act, and the Child Welfare Act; b) the theory of human rights

protection by Marzuki and Muladi, theories of child protection according to Hadi

Supeno, equity theory "justice as fairness" by John Rawls, and labeling theory by

Lemert and reintegratif shamming by Braitwait; c) sociological considerations;

and d) the philosophy of Pancasila. The concept proposed by the author in order

x

to reform Act No. 11 of 2012 on the Criminal Justice System Children in the

future are as follows:

a) Who has the obligation to carry out the diversion of juvenile criminal justice

system is the police, prosecutors and judges therefore excluded from the

obligation to implement diversion;

b) Diversion conducted for children who first committed the crime;

c) The types of offenses dealt with the implementation of diversion is a criminal

offense that carries a minimum sentence under the 7 (seven) years; d) diversion

carried out with a warning, caution, and family conferencing.

xi

UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillahirrobil’alamin. Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena

limpahan kasih sayang, rahmat, karunia, taufiq, hidayah dan atas ijin-Nya,

sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi dengan judul: “Kebijakan

Formulasi Pengaturan Ketentuan Pelaksanaan Diversi di Luar Sistem Peradilan

Pidana Anak dalam Rangka Perlindungan dan Kesejahteraan Anak”. Penulisan

disertasi ini, merupakan salah satu bentuk upaya untuk ikut berkontribusi dalam

pengembangan ilmu, khususnya Ilmu Hukum, yaitu menangani perkara anak yang

berkonflik dengan hukum dengan melaksanakan diversi di luar sistem peradilan

pidana anak untuk mewujudkan perlindungan dan kesejahteraan anak. Secara

maksimal penulis telah berusaha untuk menyusun disertasi ini memenuhi kualitas,

baik dari substansi maupun segi yang lainnya. Oleh sebab itu, penulis selalu

mengharapkan masukan-masukan, kritikan yang sifatnya membangun demi untuk

lebih berbobotnya disertasi ini sehingga mampu memberikan manfaat yang luas

bagi penulis khususnya, dan secara umum untuk anak-anak yang berkonflik

dengan hukum serta masyarakat.

Pada kesempatan ini, dengan tulus dan ikhlas penulis menyampaikan

terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya sebagai wujud apresiasi

penulis kepada semua pihak yang telah memberikan kontribusi, baik berupa

semangat, bimbingan, sumbangan pemikiran, dan pengorbanan yang tidak ternilai

harganya sehingga penulis mampu menyelesaikan studi pada Program Doktor

Ilmu Hukum di Universitas Brawijaya Malang. Untuk itu, perkenankan penulis

menyampaikan ucapan terima kasih yang setulusnya dan semoga Allah SWT

senantiasa memberikan perlindungan, berkah, rahmat, kesehatan, kebahagian,

kesuksesan serta kemudahan kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. Made Sadhi Astuti, S.H., M.S dalam kapasitas selaku Promotor

dalam penulisan disertasi ini atas kesabaran, kearifan, ketulusan hati dan

kewibawaan Beliau sebagai ilmuwan dalam memotivasi, memberikan spirit

serta koreksi untuk disertasi dengan sangat cermat demi penyelesaian dan

penyempurnaan disertasi ini. Motivasi yang selalu Beliau berikan kepada

penulis menjadi semangat untuk segera menyelesaikan studi;

2. Prof. Dr.Sudarsono, S.H.,M.S dalam kapasitasnya selaku Ketua Program

Studi Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, atas

segala fasilitas yang diberikan selama perkuliahan dan atas bantuan Beliau

dalam pelaksanaan tahap demi tahap yang harus dilalui dalam menempuh

studi program doktor;

3. Prof. Dr. Koesno Adi, S.H.,M.S, dalam kapasitasnya sebagai Ko-Promotor I,

atas bimbingan, arahan dengan penuh kesabaran serta motivasi yang tiada

henti untuk menyelesaikan disertasi ini;

4. Dr. Nurini Aprilianda, S.H.,M.H, selaku Ko-promotor II, atas bimbingan,

motivasi yang terus-menerus untuk penulis agar tetap membuat suatu

program kapan disertasi akan diselesaikan. Beliau juga banyak memberikan

xii

materi serta informasi berkaitan dengan tema disertasi sebagai bahan

pendukung disertasi;

5. Dewan Penguji Proposal Disertasi, Prof. Dr. Sudarsono, S.H., M.S; Prof. Dr.

I Nyoman Nurjaya, S.H., M.H; Prof. Masruchin Ruba‟i, S.H., M.S; Dr.

Bambang Sugiri, S.H., M.H, yang telah memberikan bimbingan dan arahan;

6. Dr. Ismail Navianto, S.H., M.H, yang telah bersedia meluangkan waktu

dengan ikhlas untuk menjadi Tim penguji disertasi ini;

7. Dr. Bambang Sudjito, S.H., M.H, yang telah bersedia meluangkan waktu

dengan ikhlas untuk menjadi Tim penguji disertasi ini;

8. Bapak/Ibu Dosen Pengajar Doktor Ilmu Hukum Universitas Brawijaya : Prof.

Dr. Made Sadhi Astuti, S.H, M.S; Prof. Dr. Koesno Adi, S.H., M.S; Prof. Dr.

I Nyoman Nurjaya, S.H., M.H; Prof. Dr. Isrok, S.H., M.S; Dr. M. Ridwan,

S.H., M.S; Dr. Bambang Winarno, S.H., M.H; Dr. Lucky Endrawati, S.H.,

M.H, Dr. Rachmad Budiono, S.H., M.H; Prof. A. Mukhtie Fajar, S.H., M.S;

Dr. Jasim Hamidi, S.H., M.H; Prof. Masruchin Ruba‟i, S.H., M.S yang telah

mengajarkan dan memberikan ilmu sehingga dapat mengantarkan dan

membuka wawasan keilmuan penulis dalam menemukan hakikat ilmu

pengetahuan;

9. Dr. Sihabudin, S.H.,M.H., dalam kapasitasnya sebagai Dekan Fakultas

Hukum Universitas Brawijaya Malang, yang telah memberikan banyak

kemudahan pada penulis untuk mengikuti pendidikan Program Doktor Ilmu

Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang;

10. Rektor Universitas Brawijaya Malang, yang telah memberikan kesempatan

kepada penulis untuk mengikuti pendidikan Program Doktor Ilmu Hukum

pada Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang;

11. Seluruh Staf pada Fakutas Hukum Universitas Brawijaya Malang yang selalu

siap membantu segala keperluan administrasi penulis selama menempuh

pendidikan;

12. Bapak Ketua Yayasan Harapan Utama Surabaya Indonesia, Prof. Dr. Eman E.

Ramelan, S.H., M.S, yang telah memberikan kesempatan serta ijin untuk

penulis dalam menempuh studi pada Program Doktor lmu Hukum Universitas

Brawijaya Malang;

13. Bapak Rektor Universitas Kartini Surabaya, periode 2009-2013, Prof. Dr.

Hendratno Darmosewoyo, S.H., M.M, atas kebijaksanaannya dengan

memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh studi pada

Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Brawijaya Malang;

14. Bapak Rektor Universitas Kartini Surabaya, periode 2013-2017, Dr. Broto

Suwiryo, SH., M.Hum, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis

untuk menempuh studi pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas

Brawijaya Malang;

15. Seluruh teman-teman Dosen Fakultas Hukum Universitas Kartini Surabaya,

Ibu Poernomowati, S.H., M.M., M.H sekaligus sebagai Wakil Dekan Fakultas

Hukum yang banyak membantu penulis untuk melaksanakan tugas,

memberikan support demi terselesaikannya disertasi ini; Ibu Erniati Effendy,

S.H., M.Hum; Ibu Dyah Larasati, S.H., M.H; juga tidak lupa penulis

sampaikan ucapan terimakasih yang tiada terhingga kepada Mas S. Nurcholis,

xiii

SPd.I, S.H., M.H yang telah banyak membantu penulis untuk melaksanakan

tugas-tugas fakultas, membantu dalam proses menyelesaikan studi,

memberikan support yang tiada henti demi untuk terselesaikannya disertasi

ini;

16. Suamiku Drs. Sugito, M.M, yang kini juga tengah menempuh studi pada

Program Doktor Ilmu Managemen Pendidikan Universitas Negeri Surabaya,

atas dukungannya yang penuh sejak awal penulis mempunyai keinginan dan

harapan untuk menempuh studi pada Program Doktor Ilmu Hukum

Universitas Brawijaya Malang;

17. Anak-anakku yang tercinta, tersayang, terkasih, Fandika Hakim Nurreza dan

Mella Shafira Dian Afifah, yang dengan penuh kerelaan, keikhlasan penulis

sering tinggalkan demi melaksanakan tugas maupun saat penulis menempuh

studi pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Brawijaya Malang;

18. Doa khusus dan terima kasih yang tak terhingga penulis persembahkan

kepada kedua orang tua penulis, Ayahanda Soehadi Moortojo (Alm.) yang

pada saat penulis menempuh studi dalam kondisi sakit hingga pada akhirnya

dipanggil kehadirat-Nya. Ayahanda selalu memberikan support serta doa

tulus ikhlas agar penulis terus bersekolah yang setinggi-tingginya, kuat

menghadapi segala terpaan hidup, terimakasih ayah...semoga ayah damai di

sisi-Nya. Aamiin YRA. Ibunda Siti Chalimah yang dengan segenap jerih

payah, kasih sayang, ridho dan untaian doa yang senantiasa dipanjatkan untuk

anak-anaknya, mampu memberikan semangat serta kekuatan yang luar biasa

kepada penulis sehingga penulis dapat mencapai jenjang pendidikan tertinggi

seperti sekarang ini;

19. Terimakasih juga untuk saudara-saudaraku tersayang dan keluarga, Yuswo

Bagus Handoko, S.E; Welly Bagus Widyatmojo, S.T; Yossy Bagus Maharto,

Amd. Kep; Ratna Puspita Ratri, Amd. Kep., Amd. Keb., dan Bastian Sapta

Yoga, S.E semoga semuanya selalu sehat, bahagia dan sukses;

20. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada para guru yang telah berjasa

besar dalam mendidik dan menanamkan ilmu bagi penulis di SDN Jatisari I

Geger Madiun; SMPN 1 Geger Madiun; SMAN I Geger Madiun; Bapak/Ibu

Dosen di Fakultas Hukum Univesitas Brawijaya Malang, pada saat penulis

menempuh studi jenjang Strata 1, Bapak/Ibu Dosen di Magister Ilmu Hukum

Universitas Tujuh Belas Agustus 1945 Surabaya, atas semua ilmu,

pencerahan serta wawasannya;

21. Teman-teman Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Universitas Brawijaya Malang angkatan 2011 yang tidak dapat penulis sebut

satu persatu, yang selalu saling memberikan dukungan dan motivasi dengan

sikap yang penuh kekeluargaan. Secara khusus untuk teman seperjuangan,

sahabat dekat, Dr. Vieta Imelda Cornelis, S.H., M.Hum, semoga ke depan

kita akan lebih dan lebih sukses lagi;

22. Semua pihak yang turut membantu, memberikan support, mendoakan

penulis...terimakasih semuanya, semoga Allah SWT membalasnya dengan

kebaikan-kebaikan yang berlimpah. Aamiin Yaa Robbal „Aalamiin…

xiv

Semoga Allah SWT senantiasa menganugerahkan limpahan Rahmat dan

Berkah-Nya atas segala bantuan, bimbingan, perhatian serta dorongan yang telah

diberikan semua pihak. Hanya ucapan ”jazakumullah khairan katsiran. Aamiin

Allahumma aamiin”, yang mampu penulis sampaikan. Semoga hasil penelitian ini

mampu memberi manfaat yang luas bagi masyarakat, bangsa dan negara.

Malang, 20 Januari 2015

Penulis,

Erny Herlin Setyorini, S.H., M.H

xv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO :

Indahnya kebersamaan merupakan salah satu kunci meraih kesuksesan

PERSEMBAHAN :

Karya ini dipersembahkan untuk :

Bangsa dan Negara

Almamater

Ytc. Ayahanda Soehadi Moortojo (Alm.) dan

Ibunda Siti Chalimah

Ytc. Ayah Mertua Sastrowiryo Dawi (Alm.) dan Ibu Yatmi (Almh.)

Ytc. Suamiku Drs. Sugito, M.M

Anak-anakku tersayang :

Fandika Hakim Nurreza dan Mella Shafira Dian Afifah.

xvi

RIWAYAT HIDUP

Erny Herlin Setyorini, lahir di Madiun pada 13 Oktober 1968 adalah anak

pertama dari enam bersaudara dari pasangan Soehadi Moortojo (Alm.) dan Siti

Chalimah. Alamat tinggal di Komplek Perumahan Bendul Merisi Selatan, Jalan

Bendul Merisi Selatan IV/77 Surabaya. Riwayat pendidikan: Sekolah Dasar

(SDN) Jatisari I Geger Madiun, tamat tahun 1981; Sekolah Lanjutan Tingkat

Pertama (SLTPN) I Dolopo Madiun tamat tahun 1984, Sekolah Menengah Atas

(SMAN) I Geger Madiun tamat tahun 1987. Mendapatkan Gelar Sarjana Hukum

dari Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang tahun 1991, Magister Ilmu

Hukum Pascasarjana Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya tahun 2008, dan

Doktor Ilmu Hukum pada PDIH Universitas Brawijaya Malang pada tanggal 20

Januari tahun 2015. Ketiga gelar akademik tersebut diraih dengan Predikat

Cumlaude.

Setelah menyelesaikan pendidikan S1, sejak tahun 1993 hingga sekarang

aktif menjadi Tenaga Pengajar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Kartini

Surabaya; tahun 2011 sampai dengan sekarang menjadi tenaga Pengajar pada

Fakultas Hukum UPN “Veteran” Jawa Timur. Selain itu, sejak 2010-sekarang

juga sebagai Wakil Ketua LAPH (Lembaga Advokasi dan Pengembangan

Hukum) Universitas Kartini Surabaya. Pengalaman dalam jabatan Struktural

sebagai Wakil Dekan Fakultas Hukum sejak tahun 2009-2010; selanjutnya

sebagai Dekan Fakultas Hukum sejak 2010-sekarang.

Pengalaman publikasi ilmiah dalam 3 tahun terakhir: Tinjauan Yuridis

Tindak Pidana Pemalsuan Surat, jurnal Inrichting Recht tahun 2013; Tindak

Pidana Pornografi Menurut Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang

Pornografi, jurnal Inrichting Recht tahun 2013; Tindakan Kontrol Pada Penyidik

dan Penuntut Umum Lewat Lembaga Pra Peradilan, jurnal Inrichting Recht tahun

2014; dan Pelaksanaan Pembuktian Tindak Pidana Pemerkosaan (Studi Kasus

Perkosaan di PN Surabaya), jurnal Inrichting Recht tahun 2014.

Selanjutnya, pengalaman publikasi ilmiah yang lain (jurnal internasional):

The Philosophical Basis For The Formulation Of The Stipulation Of Diversion

Implementation Outside Criminal Justice System Within The Frame of Child

Protection And Welfare (IISTE: Journal of Law, Policy, and Globalization

diterbitkan pada Edisi 30 bulan Oktober tahun 2014); dan The Formulation Policy

For The Regulation On The Implementation Of Diversion Which Reflects The

Priciples Of Protection And Welfare For Children Conflicting Against The Law In

The Future (IISTE: Journal of Law, Policy, and Globalization diterbitkan pada

Edisi 32 bulan Desember tahun 2014).

xvii

KATA PENGANTAR

Puji syukur sedalam-dalamnya kehadirat Allah SWT karena atas

bimbingan, kemurahan, dan ridho-Nya sehingga penyusunan disertasi yang

berjudul “Kebijakan Formulasi Pengaturan Ketentuan Pelaksanaan Diversi di

Luar Sistem Peradilan Pidana Anak dalam Rangka Perlindungan dan

Kesejahteraan Anak” dapat terselesaikan dengan baik sesuai dengan waktu yang

telah penulis rencanakan.

Penulis berharap disertasi ini dapat memberikan kontribusi yang secara

teoritis memberikan sumbangan pemikiran yang bermanfaat untuk

mengembangkan ilmu hukum khususnya hukum peradilan anak mengenai

penanganan perkara anak yang berkonflik dengan hukum dengan melaksanakan

diversi di luar sistem peradilan pidana anak. Secara praktis, penelitian disertasi ini

bisa dijadikan rujukan bagi pengambil kebijakan di bidang legislatif

(pembaharuan undang-undang sistem peradilan pidana anak) sehingga ke depan

mampu memberikan perlindungan dan kesejahteraan bagi anak yang berkonflik

dengan hukum.

Penulis berharap adanya masukan-masukan serta kritikan yang sifatnya

membangun demi lebih baiknya disertasi ini.

Malang, 20 Januari 2015

Penulis,

Erny Herlin Setyorini, S.H., M.H

xviii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...................................................................................................... i

HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................................ ii

PERNYATAAN ORISINALITAS DISERTASI .......................................................... iii

MAJELIS PENGUJI DISERTASI ................................................................................ iv

RINGKASAN ................................................................................................................ v

SUMMARY ................................................................................................................. viii

UCAPAN TERIMA KASIH ......................................................................................... xi

MOTTO DAN PERSEMBAHAN………………………………………………xv

RIWAYAT HIDUP……………………………………………………………..xvi

KATA PENGANTAR ................................................................................................. xvii

DAFTAR ISI............................................................................................................... xviii

DAFTAR TABEL ........................................................................................................ xxi

DAFTAR BAGAN DAN RAGAAN ........................................................................... xxii

DAFTAR SINGKATAN ............................................................................................ xxiii

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

1.1. Latar Belakang Masalah ..................................................................... 1

1.2. Rumusan Masalah ............................................................................. 25

1.3. Tujuan Penelitian .............................................................................. 25

1.4. Manfaat Penelitian ............................................................................ 26

1.5. Originalitas Penelitian Disertasi ........................................................ 27

1.6. Desain Penelitian ............................................................................... 32

1.7. Metode Penelitian ............................................................................. 33

1.8. Sistematika Penulisan ........................................................................ 43

BAB II KERANGKA TEORITIK DAN KERANGKA KONSEPTUAL.. ............ 44

2.1 Kerangka Teoritik ............................................................................. 45

xix

2.1.1 Teori Perlindungan Hak Asasi Manusia .................................... 45

2.1.2 Teori Perlindungan Anak .......................................................... 55

2.1.3 Teori Keadilan ........................................................................ 61

2.1.4 Teori Labeling (Labeling Theory) .......................................... 78

2.1.5 Teori Kebijakan Formulaasi .................................................... 89

2.2 Kerangka Konseptual .......................................................................... 98

2.2.1 Konsep Kebijakan Formulasi .................................................. 98

2.2.2. Konsep Diversi ....................................................................... 104

2.2.3. Konsep Sistem Peradilan Pidana Anak ................................... 119

2.2.4. Konsep Perlindungan Anak ....................................................... 140

2.2.5. Konsep Kesejahteraan Anak ................................................... 151

BAB III DASAR FILOSOFI KEBIJAKAN FORMULASI PENGATURAN

KETENTUAN PELAKSANAAN DIVERSI DI LUAR SISTEM

PERADILAN PIDANA ANAK DI MASA YANG AKAN DATANG

DALAM RANGKA PERLINDUNGAN DAN KESEJAHTERAAN ANAK

.................................................................................... 155

3.1. Dasar Filosofi Beberapa Ketentuan Internasional dan Peraturan

Perundang-undangan Nasional........................................... 156

3.1.1. Ketentuan-Ketentuan Internasional............................ 156

3.1.2. Peraturan Perundang-undangan Nasional……...……...167

3.2. Dasar Filosofi Peradilan Anak Menurut Para Ahli ................. 179

3.3. Asas Kepentingan Terbaik Bagi Anak (The Best Interest of the

Child)........................................................................ 185

xx

3.4. Konsep ke Depan Tentang Dasar Filosofi Kebijakan Formulasi

Pengaturan Ketentuan Pelaksanaan Diversi di Luar Sistem Peradilan

Pidana Anak dalam Rangka Perlindungan dan Kesejahteraan

Anak...................................................... 186

BAB IV KEBIJAKAN FORMULASI PENGATURAN KETENTUAN

PELAKSANAAN DIVERSI YANG MENCERMINKAN PRINSIP

PERLINDUNGAN DAN KESEJAHTERAAN BAGI ANAK YANG

BERKONFLIK DENGAN HUKUM DI MASA YANG AKAN

DATANG............................................................................... ................... 198

4.1. Pengaturan Ketentuan Pelaksanaan Diversi Di Luar Sistem Peradilan

Pidana Anak Menurut Ketentuan Internasional dan

Nasional.......................................................................... .................. 199

4.2. Pengaturan Ketentuan Pelaksanaan Diversi di Luar Sistem Peradilan

Pidana Anak Menurut Peraturan Perundang-undangan Beberapa

Negara.............................................................. ................................. 223

4.3. Kondisi Penanganan Anak yang Berkonflik dengan Hukum Pada Tingkat

Penyidikan di Polrestabes Surabaya dan di Kepolisian Daerah Jawa

Timur (Polda Jatim).............................................264

4.4. Mekanisme Pelaksanaan Diversi..............................................293

4.5. Konsep Usulan Perumusan Untuk Masa Yang Akan Datang....297

BAB V PENUTUP..........................................................................................307

5.1. Simpulan...................................................................................307

5.2. Saran........................................................................................309

DAFTAR PUSTAKA

xxi

DAFTAR TABEL

NO JUDUL HLM

1 Orisinalitas Penelitian 26

2 Desain Penelitian 31

3 Dasar Filosofi di dalam Preamble UDHR 156

4 Dasar Filosofi di dalam Preamble CRC 160

5 Dasar Filosofi di dalam Fundamental Perspectives The Beijing Rules 163

6 Dasar filosofi di dalam Beberapa Ketentuan Internasional 165

7 Dasar Filosofi di dalam Pembukaan UUD NKRI Tahun 1945 167

8 Dasar Filosofi di Dalam Konsiderans UU HAM 168

9 Dasar filosofi di dalam Konsiderans UU Kesejahteraan Anak 170

10 Dasar Filosofi di dalam Konsiderans UU Perlindungan Anak 172

11 Dasar Filosofi di dalam Konsiderans UU Pengadilan Anak 173

12 Dasar Filosofi di dalam Naskah Akademik UU SPP Anak 175

13 Dasar Filosofi di dalam Konsiderans UU SPP Anak 176

14 Dasar Filosofi di Dalam Konsiderans Beberapa Peraturan Perundang-undangan Nasional

177

15 Dasar Filosofi Peradilan Anak Menurut Walker 178

16 Dasar Filosofi Peradilan Anak Menurut Mardjono Reksodipoetro 179

17 Dasar Filosofi Peradilan Anak Menurut Sudikno Mertokusumo 180

18 Dasar Filosofi Peradilan Anak Menurut Setya Wahyudi 181

19 Dasar Filosofi Peradilan Anak Menurut Barda Nawawi Arief 182

20 Dasar Filosofi Peradilan Anak Menurut Satjipto Rahardjo 182

21 Dasar Filosofi Peradilan Anak Menurut Para Ahli 183

22 Ketentuan Convention on the Rights of the Child (CRC) yang mengatur Pelaksanaan Diversi di Luar Sistem Peradilan Pidana Anak

201

23 Ketentuan The Beijing Rules yang mengatur Pelaksanaan Diversi di Luar Sistem Peradilan Pidana Anak 204

24 Ketentuan The Riyadh Guidelines yang mengatur Pelaksanaan Diversi di Luar Sistem Peradilan Pidana Anak

207

25 Ketentuan The Tokyo Rules yang mengatur Pelaksanaan Diversi di luar Sistem Peradilan Pidana Anak 209

26 Beberapa Ketentuan Internasional yang Mengatur Pelaksanaan Diversi di Luar Sistem Peradilan Pidana Anak

211

27 Tujuan Pelaksanaan Diversi Menurut Beberapa Ketentuan Internasional 215

28 Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Menurut UU SPP Anak

220

29 Pelaksanaan Diversi di Luar Sistem Peradilan Pidana Anak di Negara South Australia 228

30 Pelaksanaan Diversi di Luar Sistem Peradilan Pidana Anak di Negara Western Australia 235

31 Pelaksanaan Diversi di Luar Sistem Peradilan Pidana Anak di Negara Queensland, Australia 240

32 Pelaksanaan Diversi di Luar Sistem Peradilan Pidana Anak di Negara Tasmania, Australia 246

33 Pelaksanaan Diversi di Luar Sistem Peradilan Pidana Anak di Negara New South Wales, Australia 256

34 Pelaksanaan Diversi Menurut UU SPP Anak 257

35 Pelaksanaan Diversi di Luar Sistem Peradilan Pidana Anak Menurut Peraturan Perundang-undangan Beberapa Negara Bagian Australia dan UU SPP Anak di Indonesia

259

36 Jenis dan Jumlah Perkara Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum Menurut data Polrestabes Surabaya Tahun 2010-2013

263

37 Jenis dan Jumlah Perkara Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum Menurut data Polrestabes Surabaya Tahun 2010-2013 yang Diselesaikan Secara Kekeluargaan/Damai atau Non-Litigasi

264

38 Jenis dan Jumlah Perkara Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum Menurut data Polda Jatim Tahun 2009-2013

265

39 Jenis dan Jumlah Perkara Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum Menurut data Polda Jawa Timur Tahun 2009-2013 yang Diselesaikan Secara Kekeluargaan/Damai atau Non-Litigasi

267

40 Mekanisme Pelaksanaan Diversi di luar SPP Anak, Uraian Jenis Pelanggaran dan Sanksi di Beberapa Negara Bagian Australia

287

41 Proses pelaksanaan diversi menurut UU SPP Anak 289

xxii

DAFTAR BAGAN DAN RAGAAN

NO. JUDUL HLM

1 Desain Penelitian 31

2 Kerangka Teori 96

3 Alur Pelaksanaan Penyelesaian Secara

Musyawarah/Kekeluargaan Terhadap Anak Yang Berkonflik

Dengan Hukum Di Polrestabes Surabaya

269

4 Alur Pelaksanaan Diversi Di luar Sistem Peradilan Pidana anak

di Masa yang Akan Datang

308

xxiii

DAFTAR SINGKATAN

AKH : Anak yang Berkonfik dengan Hukum.

CRC : Convention on the Rights of the Child.

CCM : Crime Control Model.

DPM : Due Process Model.

Ditreskrimum : Direktorat Reserse Kriminal Umum.

F-PDIP : Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.

HAM : Hak Asasi Manusia.

ICPR : International on Civil and Political Rights.

Kabareskrim : Kepala Badan Reserse dan Kriminal.

KHA : Konvensi Hak Anak.

Keppres : Keputusan Presiden.

KUHP : Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

KUHAP : Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

KPAI : Komisi Perlindungan Anak Indonesia.

LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat.

MK : Mahkamah Konstitusi.

NSW : New South Wales.

No. Pol : Nomor Polisi.

Polda Jatim : Kepolisian Daerah Jawa Timur.

Polrestabes : Kepolisian Resort Kota Besar.

Ps : Pasal.

PBB : Perserikatan Bangsa-Bangsa.

RUU : Rancangan Undang-Undang.

SPP Anak : Sistem Peradilan Pidana Anak.

Sec. : Section.

SCCC : Surabaya Children Crisis Center.

TR : Telegram Rahasia.

UU : Undang-Undang.

UDHR : Universal Declaration of Human Right.

UUD NKRI : Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik

Indonesia.

UU SPP Anak : Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak. YLBHI : Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia.

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang

memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Berbicara mengenai

anak sangatlah penting karena anak merupakan potensi nasib manusia di hari

mendatang, dialah yang ikut berperan menentukan sejarah bangsa sekaligus

cermin sikap hidup bangsa pada masa mendatang.1 Anak sebagai bagian generasi

muda merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa dan merupakan sumber

daya manusia bagi pembangunan nasional ke depan.2 Oleh karena itu diperlukan

pembinaan secara terus menerus demi kelangsungan hidup, pertumbuhan dan

perkembangan fisik, mental dan sosial serta perlindungan dari segala

kemungkinan yang membahayakan atau merusak masa depan anak. Berangkat

dari pemikiran tersebut, kepentingan dalam rangka tumbuh kembang anak

seyogyanya memperoleh prioritas utama. Sayangnya, tidak semua anak

mempunyai kesempatan yang sama dalam merealisasikan harapan dan

aspirasinya. Banyak diantara mereka yang beresiko tinggi untuk dapat tumbuh

dan berkembang secara sehat, mendapatkan pendidikan yang terbaik karena

1Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2005),

hlm. 5. 2Ediwarman, “Peradilan Anak di persimpangan Jalan Dalam Perspektif

Victimology (Belajar dari Kasus Raju)”, Volume 18 Nomor 1, (Pekan Baru: Jurnal

Mahkamah, April 2006), hlm. 8.

1

2

keluarga yang miskin, orang tua bermasalah, diperlakukan salah, ditinggal orang

tua, sehingga tidak dapat menikmati hidup secara layak.3

Situasi dan kondisi sosial sangat berpengaruh terhadap kejiwaan dan

perilaku seorang anak. Apalagi saat ini, modernisasi yang berlangsung sangat

cepat, pendidikan yang mahal, media elektronik yang terakses tanpa batas dan

pengawasan orang tua yang minim karena sibuk bekerja berdampak sangat serius

terhadap anak. Pada situasi dan kondisi yang abnormal itu, anak-anak seringkali

menghadapi kasus hukum karena perbuatannya. Mereka disangka, didakwa

bahkan tidak sedikit dari mereka yang dinyatakan bersalah melanggar hukum

pidana dan dijatuhi hukuman penjara.4 Penjara telah memberikan stigma dan

labelisasi abadi kepada seorang anak sehingga harapan pengembalian mental

moral anak sulit tercapai karena labelisasi tersebut akan menempatkan status anak

di tengah masyarakat.5

Sebagai contoh, dapat dikemukakan dalam “Kisah Soka Dalam Penjara

Dewasa” sebagaimana berikut ini:

...Soka (14 tahun), pelajar sekolah sebuah MTs di Kabupaten Magelang

menerima sangkaan yang tidak main-main. Atas informasi dari temannya

yang sudah ditangkap polisi beberapa hari sebelumnya, dia disangkakan

telah menjadi pengguna dan pengedar narkoba (ekstasi). Sebutir pil ekstasi

yang ditemukan polisi yang entah darimana datangnya menjadi alat bukti

untuk menjerat Soka dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun. Tak

peduli dia pelajar dan seorang anak.

Protes orang tua, aktivis perlindungan anak, LSM, seniman, dan tokoh-tokoh

masyarakat tidak dipedulikan polisi. Berjam-jam dia diperiksa dan disidik

dengan penuh penyiksaan. Setiap penyangkalan atas tuduhan, artinya

3Ibid.

4Anak yang Berkonflik dengan Hukum, http://www.docstoc.com/.../ANAK-

YANG-BERKONFLIK-DENGAN-HUKUM, diakses tanggal 1 Oktober 2010.

5Hadi Supeno, Kriminalisasi Anak Tawaran Gagasan Radikal Peradilan Anak

Tanpa Pemidanaan, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2010), hlm. 186

3

gencetan kaki dengan kursi, atau sundutan rokok, atau jambakan rambut,

atau pukulan pada tubuhnya dengan sepatu polisi yang berbau menyengat.

Jadilah penjara Magelang sebagai tempat tinggalnya. Pengadilan memvonis

hukuman penjara 6 bulan... Untunglah waktu tak henti berganti. Soka

akhirnya keluar dari penjara. Namun siksaan belum berakhir karena sekolah

dan masyarakat seakan-akan menusukkan pedang penglihatan dengan satu

tuduhan: “Kau narapidana!”... Akhirnya Soka dikirim ke Jepang.

Meneruskan sekolah di negeri yang dalam hukumnya menghindari

pemidanaan anak....6.

Contoh kasus Soka di atas menjadi bukti nyata bahwa sekolah dan

masyarakat telah memberikan stigma terhadap Soka serta menolaknya untuk

melanjutkan sekolah dan masuk kembali dalam lingkungan masyarakatnya.

Sejak anak ditangkap, diperiksa oleh polisi sebagai penyidik pada tahap

penyidikan, ia diberi nama/label sebagai tersangka; pada tahap pemeriksaan di

pengadilan diberi nama/label sebagai terdakwa; dan pada saat menjalani pidana

diberi nama/label sebagai anak pidana. Ini menunjukkan bahwa sejak

penangkapan merupakan langkah awal dari proses labeling.

Negara Indonesia sudah selayaknya memberikan perhatian terhadap

perlindungan anak karena amanat Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan

Republik Indonesia Tahun 1945 (untuk selanjutnya disebut UUD NKRI 1945).

Hal ini sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 28 B ayat (2) yang menyatakan

bahwa “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang,

serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.

Pada tanggal 20 Nopember 1989, PBB mengesahkan Konvensi Hak-hak

Anak (selanjutnya disebut KHA) atau Convention on the Rights of The Child

(selanjutnya disebut CRC) untuk memberikan perlindungan terhadap anak dan

6

Sebagaimana diceritakan Ayah Soka kepada Hadi Supeno, dalam Hadi Supeno,

Op.cit., hlm. 185-186.

4

menegakkan hak-hak anak di seluruh dunia dan mulai mempunyai kekuatan

memaksa (entered in to force) pada tanggal 2 September 1990. Konvensi ini telah

diratifikasi oleh semua negara di dunia, kecuali Somalia dan Amerika Serikat.

Melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1990

tanggal 25 Agustus 1990, Indonesia meratifikasi KHA. Konvensi Hak Anak

merupakan perjanjian antara beberapa negara. Sebagai negara yang telah

meratifikasi KHA meletakkan KHA sebagai salah satu sumber hukum dalam

pembentukan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan anak.7 Ini

berarti seluruh anak Indonesia tanpa terkecuali memiliki hak untuk mendapatkan

perlindungan dari negara, termasuk di dalamnya anak yang berhadapan dengan

hukum baik dalam posisi sebagai pelaku, korban maupun saksi.8

Pada tahun 2002, pemerintah mengesahkan Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 4235, selanjutnya disebut UU Perlindungan Anak).

Undang-Undang Perlindungan Anak juga merupakan bagian dari amanat KHA

atau CRC. Pasal 13 ayat (1) UU Perlindungan Anak, menyatakan bahwa:

“Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali atau pihak lain

manapun yang bertanggungjawab atas pengasuhan berhak mendapat

perlindungan dari perlakuan:

a. diskriminasi;

b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;

c. penelantaran;

d. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;

7Nonot Suryono, “Implementasi Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 Terhadap

Anak Konflik Hukum (AKH) dalam Kasus Berita Acara Penolakan Bantuan Hukum”,

SCCC (Surabaya Children Crisis Center), Makalah disampaikan pada Seminar Sehari

Fakultas Hukum Universitas Kartini, Surabaya, 10 Maret 2012), hlm. 1. 8Ibid., hlm. 2.

5

e. Ketidakadilan; dan

f. Perlakuan salah lainnya”.

Pasal 59 UU Perlindungan Anak menyatakan bahwa:

“Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan

bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak

dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari

kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi

dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban

penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya

(napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban

kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat dan anak

korban perlakuan salah dan penelantaran”.

Selanjutnya, Article 2.2 CRC menyatakan:

“States parties shall take all appropriate measures to ensure that the child is

protected against all forms of discrimination or punishment on the basis of

the status, activities, expressed opinions, or beliefs of the child’s parents,

legal guardians, or family members”. (Terjemahan bebas: negara-negara

peserta akan mengambil semua langkah yang layak untuk menjamin bahwa

anak dilindungi terhadap semua bentuk diskriminasi atau hukuman

berdasarkan kedudukan, kegiatan, pendapat yang dinyatakan, atau keyakinan

orang tua anak, wali, atau anggota-anggota keluarga anak).

Sebelumnya, Indonesia telah membentuk Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 1979 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 3143, selanjutnya disebut UU Kesejahteraan Anak).

Pasal 1 angka 1 huruf a UU Kesejahteraan Anak, menyatakan bahwa

“Kesejahteraan anak adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan anak yang

dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik secara

rohani, jasmani maupun sosial. Kemudian Pasal 2 ayat (3) UU Kesejahteraan

Anak dengan tegas merumuskan bahwa “Anak berhak atas pemeliharaan dan

perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan”.

6

Selanjutnya, berkaitan dengan perlindungan terhadap anak yang berkonflik

dengan hukum, Pasal 6 UU Kesejahteraan Anak menyatakan:

(1) Anak yang mengalami masalah kelakuan diberi pelayanan dan asuhan

yang bertujuan menolongnya guna mengatasi hambatan yang terjadi

dalam masa pertumbuhan dan perkembangannya;

(2) Pelayanan dan asuhan, sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1), juga

diberikan kepada anak yang telah dinyatakan bersalah melakukan

pelanggaran hukum berdasarkan keputusan hakim.

Pada tanggal 3 Januari 1997 pemerintah bersama-sama Dewan Perwakilan

Rakyat mengesahkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 tahun 1997

tentang Pengadilan Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997

Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3668,

selanjutnya disebut UU Pengadilan Anak). Dalam Konsiderans UU Pengadilan

Anak, dinyatakan bahwa tujuan penyelenggaraan sistem peradilan pidana anak di

Indonesia, untuk pembinaan dan memberikan perlindungan terhadap anak, yaitu

agar anak tetap terjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial

secara utuh, serasi, selaras dan seimbang.9

Sementara itu, menurut Paulus Hadisuprapto pertimbangan utama

diundangkannya UU Pengadilan Anak:

Pertimbangan utama diundangkannya UU Pengadilan Anak antara lain

ialah kehendak pemerintah untuk mewujudkan suatu penanganan anak

yang terlibat tindak pidana secara lebih baik daripada yang terdahulu dan

penanganannya memperhatikan kepentingan anak, sehingga anak sebagai

pelaku tindak pidana tidak dirugikan secara fisik maupun mentalnya.10

9

Lihat Konsideran “Menimbang” dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997

tentang Pengadilan Anak. 10

Paulus Hadisuprapto, Peradilan Restoratif: Model Peradilan Anak Indonesia

Masa Datang, Pidato Pengukuhan Guru Besar Universitas Diponegoro, hlm. 9.

(Selanjutnya disebut Paulus Hadisuprapto I).

7

Penempatan kata “anak” dalam Peradilan anak menunjukkan batasan atas

perkara yang ditangani oleh Badan Peradilan, yaitu perkara anak yang berhadapan

dengan hukum. Proses mewujudkan keadilan berupa rangkaian tindakan yang

dilakukan oleh badan-badan peradilan disesuaikan dengan bentuk-bentuk serta

kebutuhan anak. Peradilan pidana anak diselenggarakan dengan memperhatikan

kesejahteraan anak. Kesejahteraan anak penting karena:

a. Anak adalah potensi serta penerus cita-cita bangsa yang landasannya

telah diletakkan oleh generasi sebelumnya;

b. Agar setiap anak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia

perlu mendapat kesempatan untuk tumbuh, berkembang secara wajar;

c. Bahwa di dalam masyarakat terdapat anak-anak yang mengalami

hambatan kesejahteraan rohani, jasmani, sosial, dan ekonomi;

d. Anak belum mampu memelihara dirinya;

e. Bahwa menghilangkan hambatan tersebut hanya akan dapat dilaksanakan

dan diperoleh apabila usaha kesejahteraan anak terjamin.11

Dalam perkembangannya, UU Pengadilan Anak sudah tidak sesuai lagi

dengan kebutuhan hukum dalam masyarakat dan belum secara komprehensif

memberikan perlindungan khusus kepada anak yang berhadapan dengan hukum.12

Kritik-kritik terhadap penyelenggaraan sistem peradilan pidana anak masih saja

terus mengalir. Banyak kalangan menyatakan penyelenggaraan sistem peradilan

pidana anak dalam implementasinya masih jauh dari keinginan untuk dapat

mendukung mewujudkan tujuan kesejahteraan anak dan kepentingan terbaik

anak.13

Beberapa penelitian tentang pelaksanaan peradilan pidana anak terdapat

11

Agung Wahyono dan Siti Rahayu, Tinjauan Tentang Peradilan Anak di

Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 1993), hlm. 39. 12

http://www.depkumham.go.id/berita-utama/1078-rancangan-undang-undang-

tentang-sistem-peradilan-pidana-anak-disahkan-di-rapat-paripurna-dpr-ri, diakses tanggal

5 Juli 2012.

13Setya Wahyudi, Implementasi Ide Diversi Dalam Pembaruan Sistem Peradilan

Pidana Anak di Indonesia, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2011), hlm. 3

8

fakta bahwa proses peradilan pidana bagi anak menimbulkan dampak negatif pada

anak, yaitu timbulnya stigma atau label yang menempatkan status anak di tengah

masyarakat sebagai mantan narapidana. Label tersebut dapat mengakibatkan

kenakalan anak berlanjut pada masa yang akan datang.14

Pidana penjara

merugikan perkembangan jiwa anak di masa yang akan datang, hal ini

sebagaimana dikemukakan Setya Wahyudi bahwa:

Pidana penjara bagi anak menunjukkan adanya kecenderungan bersifat

merugikan perkembangan jiwa anak di masa mendatang. Saat ini

mayoritas anak yang berkonflik dengan hukum, terutama yang dibawa ke

sistem peradilan pidana, hakim menjatuhkan pidana tetap perampasan

kemerdekaan. Jika anak-anak berada di dalam penjara, hak-hak mereka

yang dijamin UU Perlindungan Anak banyak yang tidak terpenuhi. Selain

itu dengan adanya keterbatasan jumlah rumah tahanan dan Lembaga

Pemasyarakatan (Lapas) Anak, maka anak-anak sering digabung dengan

tahanan dewasa.15

Hasil penelitian Paulus Hadisuprapto yang dilakukan di dua kota besar di

wilayah Jawa Tengah, khususnya di Kotamadia “Siera” dan “Sigma”,

mengemukakan beberapa kelemahan praktik penerapan UU Pengadilan Anak di

masyakarat, antara lain:

1. Implementasi UU Pengadilan Anak dalam penanganan kasus-kasus

anak cenderung membekaskan stigma atas diri anak, mulai dari cara

penanganan anak di tingkat penyidikan, penuntutan, persidangan di

pengadilan hingga pelaksanaan pembinaan. Kesemuanya menunjukkan

indikator yang berupa stigmatisasi anak, dan sudah barang tentu hal ini

akan sangat merugikan perkembangan jiwa anak di masa yang akan

datang. Kajian kriminologi mengisyaratkan bahwa stigmatisasi akan

membekas pada diri anak (terjadi “selfprophecy process”) dan sangat

potensial sebagai faktor kriminogen-anak akan mengulangi perbuatan

kenakalannya lagi di masyarakat;

14

Riza Alifianto Kurniawan, “Asas Ultimum Remedium Dalam Pemidanaan

Anak Nakal”, http://www.journal.lib.unair.ac.id/index.php/YRD/article/download,

diakses tanggal 3 Maret 2012.

15Ibid.

9

2. Meskipun UU Pengadilan Anak secara normatif sedikit banyak telah

memberikan rambu-rambu penanganan anak pelaku delinkuen,

ternyata dalam pelaksanaannya tidak terwujud. Sebaliknya penanganan

anak justru cenderung membekaskan stigma pada diri anak dan pada

gilirannya akan menjadi faktor pendorong bagi anak-anak itu untuk

mengulangi perbuatannya lagi di masyarakat di masa datang.16

Selanjutnya, pada tanggal 30 Juli 2012, Pemerintah mengesahkan Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan

Pidana Anak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 153,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5332, selanjutnya

disebut UU SPP Anak), sebagai pengganti UU Pengadilan Anak, yang masih akan

diberlakukan 2 (dua) tahun kemudian.

Pembentukan UU SPP Anak juga dilatarbelakangi bahwa setelah melihat

kenyataan di Indonesia jumlah anak yang berkonflik dengan hukum setiap

tahunnya mengalami peningkatan. Menurut data yang dihimpun Suara Merdeka,

pada tahun 2010/2011, sekitar 7.000 lebih anak yang berhadapan dengan hukum,

6.726 anak sudah divonis, selebihnya dalam proses. Sementara pada tahun

2008/2009, ada sekitar 4 ribu anak.17

Berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (untuk selanjutnya

disebut KPAI), Indonesia merupakan negara yang paling banyak memidanakan

anak, yaitu sudah ada sebanyak 6.000 anak yang dipidanakan sampai Juli 2009.

Sementara itu, sebanyak 3.800 anak diantaranya mendekam di Lembaga

16

Paulus Hadisuprapto I, Op.cit., hlm. 22-23. 17

Jazuli, “Perlindungan Anak Jangan Sekadar Teori”,

http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2012/01/16/106930/Jazuli-

Perlindungan-Anak-Jangan-Sekadar-Teori, diakses tanggal 16 Januari 2012

10

Pemasyarakatan (Lapas).18

Selanjutnya, pada tahun 2011 tercatat 6.271 anak yang

ditahan di 16 Lapas yang tersebar di Indonesia. Dari 32 anak yang diwawancara

KPAI, 16 anak mengaku mengalami penganiayaan selama proses penyidikan di

kepolisian.19

Menurut data di Kepolisian Resort Kota Besar (Polrestabes) Surabaya, kasus anak

juga mengalami peningkatan. Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA)

Polrestabes Surabaya hingga 21 Desember 2013 mencatat sejumlah 86 kasus yang

melibatkan anak. Jumlah itu naik 10 kasus dari tahun 2012 sebanyak 76 kasus.20

Proses peradilan pidana anak yang terjadi selama ini tidak mampu

memberikan hasil yang memuaskan bagi kesejahteraan anak dan bahkan terlihat

masih cenderung represif dengan banyaknya putusan hakim yang menjatuhkan

pidana penjara kepada anak.21

Tingginya kasus anak yang harus berakhir di

penjara, tidak sebanding dengan keberhasilan model pemenjaraan dalam menekan

tingkat kriminalitas pada anak. Fakta menunjukkan, bahwa dengan pemenjaraan

tidak mampu menekan angka kriminalitas yang dilakukan oleh anak-anak. Bahkan

muncul beberapa kritikan, diantaranya, pertama, penjara tidak mampu

mengurangi jumlah kriminalitas, kedua, penjara melahirkan residivisme, ketiga,

18Tim KPAI: Indonesia Negara Terbanyak Memidana Anak. Kompas, 16 Juli

2009.

19KPAI, KPAI Bertekad Hapuskan Pemenjaraan Anak,

http:www.tempo.co/read/news/2012/01/13/063377143/KPAI-Bertekad-Hapuskan-

Pemenjaraan-Anak, diakses tanggal 22/01/2013.

20http://regional.kompas.com/read/2013/12/21/1309181/Jumlah.Anak.Berkonflik.

Hukum.di.Surabaya.Meningkat, diakses tanggal 21 Desember 2013.

21

Muhammad Aenur Rosyid, Alternatif Model Penanganan Anak Yang Berkonflik

dengan Hukum Melalui Family Group Conferencing (Analisis Yuridis Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak).

Tesis Program Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Brawijaya

Malang, 2013, hlm. 3.

11

penjara tidak pernah gagal melahirkan perilaku yang menyimpang, keempat,

penjara melahirkan label residivis bagi anak-anak. Hal itu juga sering dianggap

bahwa penjara adalah “sekolah kriminal” yang lebih canggih.22

Pada usia muda,

beberapa anak yang berkonflik dengan hukum telah menjadi residivis. Kondisi ini

menyebabkan seorang anak pasca trauma akan tumbuh dengan dendam dan tidak

percaya pada nilai-nilai sosial. Berbagai upaya penanganan anak yang berkonflik

dengan hukum, yang seringkali berakhir di penjara tentunya menjadi perhatian

yang cukup besar menyangkut hak-hak anak.23

Fenomena di atas menunjukkan bahwa penanganan terhadap pelaku tindak pidana

anak oleh aparat penegak hukum melalui jalur penal yang selama ini berlangsung,

cenderung merugikan masa depan anak... Anak-anak yang terlibat dalam proses

peradilan pidana memperoleh perlakuan yang buruk bahkan dalam beberapa hal

telah diperlakukan lebih buruk bila dibandingkan dengan orang dewasa yang

berada dalam situasi yang sama. Mayoritas dari anak yang melakukan tindak

pidana mengalami tindak kekerasan selama dalam proses peradilan pidana.24

Keadaan tersebut bukan saja sangat memprihatinkan, namun sangat

mengkhawatirkan karena hal itu menggambarkan bahwa sesungguhnya

penanganan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum belum benar-benar

mencerminkan perlindungan anak. Perlakuan terhadap anak yang berkonflik

dengan hukum seringkali bersifat sangat represif. Proses peradilan terhadap anak

22Ibid.

23Yanuar Firda Wismayanti, Model Penanganan Anak Berkonflik Hukum, jurnal

“informasi” Vol. III No. 3 September-Oktober 2007, hlm. 42.

24

Koesno Adi, Kebijakan Kriminal dalam Sistem Peradilan Pidana yang

Berorientasi pada kepentingan Terbaik Bagi Anak, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru

Besar dalam bidang Ilmu Hukum Universitas Brawijaya Malang, 2009.(Selanjutnya

disebut Koesno Adi I).

12

seringkali kehilangan makna essensinya sebagai mekanisme yang harus berakhir

dengan upaya untuk melindungi kepentingan terbaik bagi anak (the best interest

of the child) dan menampilkan dirinya sebagai mekanisme yang hanya

berorientasi pada penegakan hukum secara formal dan tidak berorientasi pada

kepentingan anak.25

Perhatian khusus terhadap anak yang berkonflik dengan hukum dimulai

dari hukum acara pidana yang berlaku terhadap anak. Hukum acara pidana anak

mengatur kewajiban dan hak bagi anak yang dituangkan dalam Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3258, selanjutnya disebut KUHAP)

secara umum dan secara khusus dalam UU SPP Anak.

Apabila UU SPP Anak tidak mengatur secara khusus hak-hak anak yang

berkonflik dengan hukum, maka hak-hak tersangka dan terdakwa yang diatur

dalam Pasal 50-68 KUHAP masih tetap berlaku bagi Anak. Demikian juga,

ketentuan beracara dalam KUHAP berlaku juga dalam acara peradilan pidana

anak, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini (Pasal 16 UU SPP Anak).

Pengadilan Anak termasuk pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan

peradilan umum.26

Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b

UU SPP Anak bahwa “Persidangan Anak dilakukan oleh pengadilan di

lingkungan peradilan umum”.

25Ibid., hlm. 6. 26

Marlina, “Penerapan Konsep Diversi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana

Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak”, Jurnal Equality, Vol. 13 No. 1 Februari 2008,

hlm. 105. (Selanjutnya disebut Marlina I).

13

Sejak anak melakukan tindak pidana, perdebatan mengenai cara terbaik

untuk mencari jalan keluarnya terus menerus dilakukan. Untuk melakukan

perlindungan terhadap anak dari pengaruh proses formal sistem peradilan pidana

maka timbul pemikiran manusia atau para ahli hukum dan demi kemanusiaan

untuk membuat aturan formal tindakan mengeluarkan (remove) seorang anak yang

melakukan pelanggaran hukum atau melakukan tindak pidana dari proses

peradilan pidana dengan memberikan alternatif lain yang dianggap lebih baik

untuk anak.27

Diversi saat ini dianggap sebagai proses yang telah diakui secara

internasional sebagai cara terbaik dan paling efektif dalam menangani anak yang

berkonflik dengan hukum. Pemikiran tentang diversi pada awalnya muncul karena

anak yang berkonflik dengan hukum dipengaruhi beberapa faktor lain di luar diri

anak seperti pergaulan, pendidikan, teman bermain dan sebagainya. Pelaksanaan

diversi juga dilatarbelakangi keinginan menghindari efek negatif terhadap jiwa

dan perkembangan anak oleh keterlibatannya dengan sistem peradilan pidana.

Alasan dasarnya yaitu pengadilan akan memberikan stigma terhadap anak atas

tindakan yang dilakukannya, sehingga lebih baik menghindarkannya keluar sistem

peradilan pidana.28

Diversi sangat penting untuk diperhatikan dalam penanganan anak yang

berkonflik dengan hukum. Diversi dapat menghindarkan anak dari stigma yang

lazimnya terjadi dalam proses pemidanaan anak lewat sistem peradilan pidana

anak. Dari sisi perlindungan kepentingan terbaik bagi anak, keberadaan diversi

27

Marlina, Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice dalam Hukum

Pidana, (Medan: USU Press, 2010), hlm. 1 (Selanjutnya disebut Marlina II). 28Ibid., hlm. 11.

14

sangat diperlukan, karena melalui diversi kemungkinan penuntutan pidana gugur,

rekor anak sebagai bekas terdakwa tidak ada, dan dengan sendirinya stigma atas

diri anak juga tidak terjadi.29

Orang menjadi penjahat bukan karena melanggar peraturan perundang-undangan,

melainkan karena ia ditetapkan demikian oleh penguasa. Tindakan penangkapan

merupakan langkah awal dari proses labeling, dan labeling merupakan suatu

proses yang melakukan identifikasi dengan citra sebagai devian dan subkultur

serta menghasilkan rejection of the rejector.30

Selain itu, diversi juga dilakukan dengan alasan untuk memberikan suatu

kesempatan kepada pelanggar hukum agar menjadi orang yang baik kembali

melalui jalur non formal dengan melibatkan sumber daya masyarakat. Diversi

berupaya memberikan keadilan kepada kasus anak yang telah terlanjur melakukan

tindak pidana sampai kepada aparat penegak hukum sebagai pihak penegak

hukum.31

Penerapan diversi ini didasarkan pada pemikiran bahwa:

1. Anak adalah sosok yang belum matang baik secara fisik maupun

psikis;

2. Anak terhindar dari proses hukum lebih lanjut;

3. Anak tidak mengerti betul tentang kesalahan yang dilakukannya;

4. Anak mudah dibina daripada orang dewasa;

5. Penjara dan penghukuman adalah sekolah kriminal;

6. Penjara dan penghukuman merupakan stigma, labelisasi seumur hidup

yang dapat menghancurkan masa depan anak;

7. Anak sangat tergantung pada orang lain baik secara ekonomi maupun

sosial;

8. Anak adalah pewaris bangsa dan penerus masa depan kita;

29Paulus Hadisuprapto, Delinkuensi Anak: Pemahaman dan Penanggulangannya,

(Malang: Bayumedia Publishing, 2008), hlm. 131. (Selanjutnya disebut Paulus II). 30

Romli Atmasasmita, Kepenjaraan: Dalam Suatu Bunga Rampai, (Bandung:

Armico, 1983), hlm. 50. (Selanjutnya disebut Romli Atmasasmita I). 31

Romli Atmasasmita I, Op.cit., hlm. 15.

15

9. Generasi penerus yang berkualitas tidak dilahirkan dibalik jeruji;

10. Hukuman adalah jalan terakhir.32

Dalam UU SPP Anak diatur tentang diversi, Pasal 1 angka 7 UU SPP

Anak mengatur pengertian diversi, bahwa “Diversi adalah pengalihan

penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar

peradilan pidana”.

Pelaksanaan diversi oleh aparat penegak hukum didasari oleh kewenangan aparat

penegak hukum yang disebut discretion atau „diskresi‟.33

Diskresi adalah

wewenang dari aparat penegak hukum yang menangani kasus tindak pidana untuk

mengambil tindakan meneruskan perkara atau menghentikan perkara mengambil

tindakan tertentu sesuai dengan kebijakannya.34

Lahirnya kewenangan diskresi

pada kepolisian didasarkan pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2

Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 4168, selanjutnya disebut UU Polri), Pasal 18 ayat (1) dan (2).

Pasal 18 UU Polri :

(1) Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik

Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat

bertindak menurut penilaiannya sendiri;

(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya

dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan

memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik

Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

32

Riza Nizarli, “Keadilan Restoratif Sebagai Upaya Perlindungan Terbaik Bagi

Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum”, Disampaikan pada Seminar Penyelesaian

Kasus Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum Secara Diversi dan Restorative Justice

Kerjasama AJRC dengan Mahupiki, Banda Aceh 31 Maret 2009. 33Ibid., hlm. 2. 34

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian

Negara Republik Indonesia.

16

Kepolisian Republik Indonesia sebenarnya telah membekali penyidik anak

dengan Telegram Rahasia Kabareskrim Polri Nomor: TR/1124/IX/2006 dan

Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Kepala

Kepolisian Negara Republik Indonesia, Menteri Hukum dan HAM Republik

Indonesia, Menteri Sosial Republik Indonesia, dan Menteri Negara Pemberdayaan

Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia pada tanggal 22

Desember 2009. Telegram Rahasia (TR) tersebut berisi tentang pedoman

penyelenggaraan diversi dalam perkara anak. Salah satu alasan dikeluarkannya

TR tersebut adalah masih adanya kecenderungan penyelesaian perkara anak

dengan menggunakan proses formal dan masih sangat miskinnya kreativitas

dalam mencari alternatif penyelesaian perkara anak di luar jalur formal.35

Lebih lanjut, dalam TR tersebut ditegaskan bahwa untuk merealisasikan

hal tersebut di atas, jajaran Polri berpedoman pada hal-hal sebagai berikut:

1. Kewenangan diskresi kepolisian, yaitu Pasal 18 UU Polri;

2. Prinsip diversi yang terdapat dalam Konvensi Hak-Hak Anak;

3. Dasar hukum penerapan diversi, yaitu Pasal 16 ayat (1) UU Polri;

4. Sedapat mungkin mengembangkan prinsip diversi dalam model

restorative justice agar anak terhindar dari trauma psikologis dan

stigmatisasi serta dampak buruk lainnya sebagai akses penegakan

hukum formal/pengadilan;

5. Penahanan terhadap anak merupakan ultimum remedium dan

pelaksanaannya harus dipisahkan dari tahanan dewasa.36

Sedangkan dalam Keputusan Bersama tersebut, salah satu bunyi kesepakatannya

bahwa “Penyidik melakukan upaya penanganan perkara anak yang melakukan

tindak pidana dengan pendekatan keadilan restoratif untuk kepentingan terbaik

35

Butir BBB Telegram Rahasia Kabareskrim Polri Nomor: TR/1124/XI/2006,

dalam Nurini Aprilianda, Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Sebagai Upaya

Pencegahan Stigmatisasi Anak, Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum Pascasarjana

Universitas Airlangga, Surabaya, 2011, hlm. 242. 36Ibid., hlm. 243.

17

bagi anak wajib melibatkan Balai Pemasyarakatan, orang tua, dan atau keluarga

korban dan pelaku tindak pidana serta tokoh masyarakat setempat”.

Polri dinilai tidak/belum professional dan proporsional dalam praktek

karena belum memperlihatkan sensitivitas terhadap dampak psikologis yang

timbul akibat proses hukum serta belum berorientasi pada kepentingan terbaik

anak sebagai prioritas pertimbangan dan acuan dalam mengambil keputusan

ketika menangani kasus anak yang berkonflik dengan hukum. Hal yang

ditemukan dalam praktek antara lain:

1. Terhadap anak sebagai pelaku, ditemukan praktek mencukur rambut

kepala anak dengan tidak memperhatikan kepatutan dan estetika,

mengambil uang/ barang milik anak padahal uang/barang tersebut

tidak berhubungan dengan perkara,... memberi hukuman fisik,

menelanjangi, menganiaya, membentak, menempatkan anak dalam

satu kamar dengan tahanan dewasa, mempublikasikan anak kepada

media, dan lain-lain.37

2. Terhadap anak sebagai korban, tidak digunakan Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagai pasal

pokok yang menjadi dasar dalam menegakkan hak-hak anak sebagai

korban serta masih mempublikasikan gambar anak, identitas anak

beserta keluarganya.38

Lebih jauh anak yang berkonflik dengan hukum juga berpotensi menjadi korban

penyalahgunaan kekuasaan oleh individu-individu yang berada dalam institusi-

institusi penegak hukum.39

Telegram dan Kesepakatan Bersama tersebut hanyalah himbauan saja, belum

menjadi payung hukum dalam menangani anak yang berkonflik dengan hukum

37

http://www.repositery.usu.ac.id/bitstream/123456789/17751/3/chapterII.pdf,

diakses tanggal 14 Mei 2013. 38Ibid. 39

Yayasan Pemantau Hak Anak, Childrens Human Rights Foundation, “Anak

Berhadapan Dengan Hukum Dalam Perspektif Hukum Hak Asasi Manusia

Internasional”, http://www.ypha.or.id/web/wp-content/upsloads/2011/04/anak-yang-

berhadapan-dengan-hukum-dalam-perspektif-hukum-ham-internasional3.pdf, diakses

tanggal 10 Januari 2013.

18

sehingga dalam praktiknya polisi boleh tidak mengindahkan kebijakan-kebijakan

tersebut.

Sebagai payung hukum terhadap anak yang berkonflik dengan hukum,

maka dalam UU SPP Anak di Indonesia diatur tentang diversi sebagaimana

dinyatakan dalam Bab II, Pasal 6 sampai dengan Pasal 15.

Pasal 7 UU SPP Anak:

(1) Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di

pengadilan negeri wajib diupayakan Diversi.

(2) Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam hal

tindak pidana yang dilakukan:

a. diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan

b. bukan merupakan pengulangan tindak pidana.

Pasal 8 UU SPP Anak :

(1) Proses Diversi dilakukan melalui musyawarah dengan melibatkan

anak dan orang tua/walinya, korban dan/atau orang tua/walinya,

Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional

berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif.

(2) Dalam hal diperlukan, musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) dapat melibatkan Tenaga Kesejahteraan Sosial, dan/atau

masyarakat.

(3) Proses Diversi wajib memperhatikan:

a. kepentingan korban;

b. kesejahteraan dan tanggung jawab anak;

c. penghindaran stigma negatif;

d. penghindaran pembalasan;

e. keharmonisan masyarakat; dan

f. kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.

Berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU SPP Anak tersebut di atas

bahwa pelaksanaan diversi menurut UU SPP Anak dapat dilakukan pada tahap

penyidikan, penuntutan dan di pengadilan sebagai berikut:

1. Pada tahap penyidikan melalui jalur non formal atau di luar sistem

peradilan pidana anak;

19

2. Setelah anak menjalani proses peradilan formal pada tahap penuntutan;

3. Setelah anak menjalani proses peradilan formal pada tahap pemeriksaan

perkara anak di pengadilan negeri.

Sebagai perbandingan dengan negara lain yang mengatur mengenai

pelaksanaan diversi di luar sistem peradilan anak antara lain adalah negara

Australia.

Pelaksanaan diversi di Australia dapat menjadi gambaran keberhasilan penerapan

fungsi aparat penegak hukum, yaitu polisi dalam menangani masalah anak yang

berkonflik dengan hukum yang dilaksanakan sejak awal proses, yaitu melalui

mekanisme memperingatkan (police caution) dan family group conferences.40

Hal ini diungkapkan sebagai berikut:

Diversion is an important aspect of many criminal justice systems

throughout the world. Australia is no exception. Young people suspected of

offences are increasingly being diverted from formal court adjudication

through mechanisms such as cautioning and family group conferences. 41

(Terjemahan bebas: Diversi merupakan aspek penting dari banyak sistem

peradilan pidana di seluruh dunia. Australia tidak terkecuali. Anak yang

diduga melakukan pelanggaran semakin sering dialihkan dari ajudikasi

pengadilan formal melalui mekanisme seperti memperingatkan dan

musyawarah kelompok keluarga).

Pada mekanisme police caution terdapat dua, yaitu informal caution dan

formal caution. Informal caution diatur dalam Section 6 Young Offenders Act

1993. Informal caution oleh polisi dilaksanakan jika seorang anak telah mengakui

atas tindak pidana ringan yang dilakukannya dan tidak perlu dilakukan pencatatan

di administrasi kepolisian. Bila anak melakukan tindak pidana yang lebih serius

40“Children's Involvement In Criminal Justice Processes”, http://

www.alrc.gov.au/publication/18-childrens-involvement-with-legal-aid, criminal-justice-

processes/diversion, diakses tanggal 5 April 2013 41Ibid.

20

maka dilaksanakan formal caution sebagaimana diatur dalam Section 8 (1) Young

Offenders Act 1993.

Selanjutnya, selain informal dan formal caution ada mekanisme lain dalam

menangani anak yang berkonflik dengan hukum untuk tindak pidana yang serius

yakni family conferencing. Hal ini sebagaimana diatur dalam Division 3 (Part 9,

10, 11, dan 12) South Australia Young Offenders Act 1993.

South Australia Young Offenders Act 1993, Part 11:

Family conference, how constituted:

(1) A family conference consists of:

(a) a Youth Justice Co-ordinator (who will chair the conference); and

(b) the youth; and

(c) such of the persons invited to attend the conference as attend in

response to that invitation; and

(d) a representative of the Commissioner of Police.

(2) A family conference should act if possible by consensus of the youth

and such of the persons invited to attend the conference as attend in

response to that invitation.

(3) A decision by a family conference is not however to be regarded as

validly made unless the youth and the representative of the

Commissioner of Police concur in the decision.

(4) A youth is entitled to be advised by a legal practitioner at a family

conference.

(5) If a family conference fails to reach a decision, the Youth Justice Co-

ordinator must refer the matter to the Court and the Court may decide

any question, and exercise any power, that could have been decided or

exercised by the family conference. 42

(Terjemahan bebas: Bagaimana Musyawarah Kelompok Keluarga

dibentuk:

(1) Sebuah musyawarah keluarga ini terdiri dari :

(a) Seorang Koordinator Keadilan Anak (yang akan memimpin

musyawarah), dan

(b) Anak, dan

42Government of South Australia Attorney-General’s Department, South

Australian Legislation, “South Australia Young Offenders Act 1993”, http://

www.legislation.sa.gov.au/LZ/C/A/Young Offenders Act

1993/Current/1993.57.UN.PDF, diakses tanggal 5 April 2013.

21

(c) Demikian juga orang-orang yang terkait dihadirkan untuk

memperhatikan musyawarah itu dan memberikan pendapatnya,

dan

(d) Wakil dari Komisaris Polisi

(2) Suatu musyawarah keluarga jika memungkinkan harus dilaksanakan

berdasarkan kesepakatan dari Anak dan demikian juga orang-orang

yang terkait dihadirkan dalam musyawarah itu hadir untuk

memberikan pendapatnya.

(3) Suatu keputusan musyawarah keluarga dianggap tidak sah untuk

dilaksanakan kecuali Anak dan perwakilan dari Komisaris Polisi

menyetujui keputusan itu.

(4) Seorang Anak berhak atas pembelaan oleh seorang praktisi hukum

pada musyawarah keluarga.

(5) Jika sebuah musyawarah keluarga gagal mencapai keputusan,

Koordinator Keadilan Anak harus merujuk hal tersebut kepada

Pengadilan dan Pengadilan berdasarkan kewenangannya dapat

memutuskan beberapa hal, dan beberapa latihan, yang dapat

diputuskan atau dilaksanakan oleh musyawarah keluarga.

Selanjutnya, South Australia Young Offenders Act 1993, Part 12:

Powers of family conference:

(1) A family conference has the following powers :

(a) the conference may administer a formal caution against further

offending;

(b) the conference may require the youth to enter into an undertaking to

pay compensation to the victim of the offence;

(c) the conference may require the youth to enter into an undertaking to

carry out a specified period (not exceeding 300 hours) of community

service;

(d) the conference may require the youth to enter into an undertaking to

apologise to the victim of the offence or to do anything else that may

be appropriate in the circumstances of the case.

(2) In exercising powers under this section, the family conference must have

regard to sentences imposed for comparable offences by the Court.

(3) If a formal caution is administered, the caution must be put in writing

and acknowledged in writing by the youth.

(4) An undertaking will have a maximum duration of 12 months.

(5) If a youth enters into an undertaking to pay compensation, a copy of the

undertaking must be filed with the Registrar and payments of

compensation must be made to the Registrar who will disburse the

compensation to the victims named in the undertaking.

(6) If a youth enters into an undertaking to carry out community service, a

copy of the undertaking must be filed with the Registrar.

(7) If a youth enters into an undertaking under this section to apologise to

the victim of the offence, the apology must be made in the presence of an

22

adult person approved by the family conference or a Youth Justice Co-

ordinator.

(8) If a youth:

(a) fails to attend at the time appointed for a family conference; or

(b) does not comply with a requirement of the family conference; or

(c) does not comply with an undertaking under this section, a police

officer may lay a charge before the Court for the offence in relation

to which the conference was convened.

(9) A charge may be laid under subsection (8) even though a period of

limitation relating to the commencement of proceeding for the relevant

offence has expired, but the charge must be laid not more than 12 months

after the expiration of that period of limitation.

(10) If :

(a) a youth is cautioned, and no further requirements are made of the

youth, under this section; or

(b) all requirements made of the youth under this section (including

obligations arising from an undertaking given by the youth) are

complied with, the youth is not liable to be prosecuted for the

offence.

(11) If a family conference deals with an offence under this Division, the

Youth Justice Co-ordinator must:

(a) ask the victim of the offence whether he or she wishes to be informed

of the identity of the offender and how the offence has been dealt

with; and

(b) if the victim indicates that he or she does wish to have that

information-give the victim that information. 43

(Terjemahan bebas: Kekuasaan musyawarah keluarga:

(1) Sebuah musyawarah keluarga memiliki kekuasaan sebagai berikut:

(a) musyawarah dapat memberikan peringatan resmi terhadap

pelanggaran selanjutnya;

(b) musyawarah mungkin memerlukan Anak untuk ikut terlibat

dalam usaha menentukan pembayaran kompensasi kepada

korban pelanggaran;

(c) musyawarah mungkin memerlukan Anak untuk terlibat dalam

usaha untuk melaksanakan pelayanan masyarakat dalam jangka

waktu tertentu (tidak melebihi 300 jam);

(d) musyawarah mungkin memerlukan Anak untuk terlibat dalam

hal meminta maaf kepada korban pelanggaran atau melakukan

hal lain yang mungkin sesuai dengan keadaan kasus ini.

(2) Dalam melaksanakan kekuasaan ini, musyawarah keluarga harus

menjatuhkan putusan yang dikenakan untuk pelanggaran sebanding

dengan keputusan Pengadilan.

(3) Jika peringatan formal diberikan, harus dilakukan dengan hati-hati

dan secara tertulis diakui oleh Anak.

43Ibid.

23

(4) Pelaksanaannya akan memerlukan durasi/waktu maksimal 12 bulan.

(5) Jika seorang Anak memutuskan untuk membayar kompensasi, maka

salinan pembayaran tersebut harus diajukan kepada Panitera dan

pembayaran kompensasi harus dibuat oleh Panitera yang akan

memproses kompensasi untuk korban sekaligus pelaksanaannya.

(6) Jika Anak terlibat dalam usaha untuk melaksanakan pelayanan

masyarakat, maka salinan usaha tersebut harus diajukan kepada

Panitera.

(7) Jika seorang Anak terlibat dalam usaha untuk meminta maaf kepada

korban pelanggaran, maka permintaan maaf harus dilakukan di

hadapan orang dewasa dan disetujui oleh musyawarah keluarga atau

Koordinator Keadilan Anak.

(8) Jika seorang Anak:

(a) tidak hadir pada waktu yang ditentukan untuk musyawarah

keluarga; atau

(b) tidak sesuai dengan persyaratan dari musyawarah keluarga; atau

(c) tidak sesuai dengan usaha ini, maka seorang polisi dapat

menyelesaikan tuduhan pelanggaran dimana musyawarah

dilaksanakan berkaitan dengan pelanggaran sebelum perkara

masuk ke Pengadilan.

(9) Tuduhan pelanggaran sebagaimana dalam ayat (8) meskipun batas

waktu yang ditentukan sesuai dengan dimulainya pelanggaran telah

berakhir, maka biaya harus diselesaikan tidak lebih dari 12 bulan

setelah batas berakhirnya periode tersebut.

(10) Jika:

(a) seorang anak diperingatkan, dan dalam hal ini tidak ada

persyaratan lebih lanjut terhadap Anak; atau

(b) semua persyaratan yang dibuat untuk anak dalam hal ini

(termasuk kewajiban yang timbul dari suatu usaha yang

dilakukan oleh anak) ditaati, maka anak tidak dituntut

bertanggung jawab atas pelanggaran tersebut.

(11) Jika musyawarah keluarga memutuskan terdapat pelanggaran di

bawah Divisi ini, maka Koordinator Keadilan Anak harus:

(a) mengatakan pada korban pelanggaran, apakah dia ingin

diberitahu tentang identitas pelaku dan bagaimana pelanggaran

telah ditangani; dan

(b) jika korban menunjukkan bahwa ia memang ingin memperoleh

informasi, maka informasi tersebut akan diberikan kepada

korban).

Berdasarkan South Australia Young Offenders Act 1993, Part 11 dan Part

12 tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa diversi di negara Australia

dilaksanakan sebelum Anak diproses melalui sistem peradilan anak.

24

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, diversi adalah pengalihan

penyelesaian perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar

peradilan pidana. Berdasar pada pengertian diversi tersebut seyogyanya diversi

dilaksanakan sejak awal sebelum perkara anak yang berkonflik dengan hukum

masuk ke dalam sistem peradilan pidana anak. Diversi yang dilaksanakan dalam

setiap tahapan sistem peradilan tidak akan mampu menghindarkan stigma

terhadap anak karena stigma terhadap anak yang berkonflik dengan hukum

dimulai sejak anak berurusan dengan penyidik. Hal ini sejalan dengan pendapat

Lundman, bahwa “...tindakan penangkapan merupakan langkah awal dari proses

labeling....”44

.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasar pada latar belakang tersebut di atas penulis tertarik untuk

mengangkat judul tentang “Kebijakan Formulasi Pengaturan Ketentuan

Pelaksanaan Diversi Di luar Sistem Peradilan Pidana Anak Dalam Rangka

Perlindungan dan Kesejahteraan Anak”, dengan rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana dasar filosofi kebijakan formulasi pengaturan ketentuan

pelaksanaan diversi di luar sistem peradilan pidana anak di masa yang akan

datang dalam rangka perlindungan dan kesejahteraan anak ?

44

Richard J. Lundman, Prevention and Control of Juvenile Delinquency, (New

York: Oxford University Press, 1993), hlm. 90.

25

2. Bagaimana kebijakan formulasi pengaturan ketentuan pelaksanaan diversi

yang mencerminkan prinsip perlindungan dan kesejahteraan bagi anak yang

berkonflik dengan hukum di masa yang akan datang ?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka

penelitian ini bertujuan:

1. Untuk mengkaji, menguji, dan menganalisis serta menemukan bagaimana

dasar filosofi kebijakan formulasi pengaturan ketentuan pelaksanaan

diversi di luar sistem peradilan pidana anak di masa yang akan datang

dalam rangka perlindungan dan kesejahteraan anak;

2. Untuk mengkaji dan menganalisis bagaimana kebijakan formulasi

pengaturan ketentuan pelaksanaan diversi yang mencerminkan prinsip

perlindungan dan kesejahteraan bagi anak yang berkonflik dengan hukum

di masa yang akan datang.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian disertasi ini dapat dikemukakan

sebagai berikut :

a. Manfaat Teoritis

1. Dapat memberikan manfaat untuk pengembangan ilmu hukum pidana

anak;

26

2. Dapat memberikan kerangka dasar teoritik bagi para penegak hukum

dalam menentukan mengapa ketentuan pelaksanaan diversi dalam UU SPP

Anak merupakan bagian dari sistem peradilan pidana anak.

b. Manfaat Praktis

1. Memberikan masukan kepada para legislatif agar dalam merumuskan

peraturan perundang-undangan, khususnya perundang-undangan tentang

anak, disesuaikan dengan prinsip-prinsip dasar, landasan teoritik serta rasa

keadilan yang berlaku dalam hukum pidana anak di Indonesia dengan

mengingat bahwa tujuan peradilan anak adalah untuk kepentingan terbaik

bagi anak (the best interest of the child);

2. Memberikan masukan kepada aparat penegak hukum dalam memeriksa,

mengadili dan memutus perkara anak, yaitu hakim atau para hakim, agar

dalam melaksanakan tugasnya harus mendasarkan pada aspek legal, sosial

dan moral atau filosofis justice;

1.5. Orisinalitas Penelitian Disertasi

Berdasarkan pengamatan belum banyak penelitian sejenis yang berkaitan

dengan topik disertasi ini, terutama mengenai “Kebijakan Formulasi Pengaturan

Ketentuan Pelaksanaan Diversi Di luar Sistem Peradilan Pidana Anak Dalam

Rangka Perlindungan dan Kesejahteraan Anak”, untuk memperoleh gelar

akademik. Dalam sub bab ini dikemukakan mengenai beberapa penelitian yang

pernah dilakukan yang memiliki obyek kajian sejenis namun dengan undang-

27

undang yang berbeda, dengan pokok bahasan yang berbeda pula dengan topik

penelitian disertasi ini.

Kesatu, Penelitian disertasi yang dilakukan oleh Muhammad Ali pada

tahun 1997, permasalahan pokok (tema sentral) dalam disertasi ini adalah apakah

Kausening Polisi sebagai suatu diskresi dalam penyidikan anak delinkuen dapat

dikembangkan menjadi norma hukum pidana anak/tertulis di Indonesia. 45

Kedua, penelitian disertasi dari Paulus Hadisuprapto pada tahun 2003,

yang menjadi permasalahan dalam penelitiannya adalah kecenderungan perilaku

delinkuensi anak di masyarakat mendorong munculnya pemikiran-pemikiran

akademik untuk menemukan alternatif penanggulangannya, menanggulangi

kejahatan pada umumnya dan perilaku delinkuensi anak pada khususnya, yang

kemudian mengarah pada Kebijakan Kriminal “Criminal Policy”. 46

Ketiga, penelitian disertasi Arif Gosita pada tahun 2003, dalam

penelitiannya mengemukakan permasalahan hukum bahwa berdasarkan

pengamatan yang dilakukan oleh peneliti, sejak zaman pemerintahan Hindia

Belanda hingga saat ini, di Indonesia masih belum ada peraturan perundang-

undangan yang mengatur tentang pemberian sanksi alternatif wajib belajar dan

berkarya di luar lembaga pemasyarakatan untuk anak pidana. 47

45

Muhammad Ali, Pengembangan Kausening Polisi Sebagai Diskresi Dalam

Penyidikan Anak Delinkuen Di Indonesia, Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum

Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 1997. 46

Paulus Hadisuprapto, Pemberlakuan Malu Reintegratif Sebagai Sarana

Nonpenal Penanggulangan Perilaku Delinkuensi Anak (Studi Kasus di Semarang dan

Surakarta), Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Diponegoro,

Semarang, 2003. (Selanjutnya disebut Paulus III). 47

Arif Gosita, Sanksi Alternatif Sebagai Fokus Pembinaan Anak Pidana Saran

Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum

Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 2003. (Selanjutnya disebut Arif Gosita I).

28

Keempat, penelitian disertasi Nurini Aprilianda pada tahun 2011.48

Namun

demikian, dalam disertasi tersebut juga tidak memfokuskan pada Kebijakan

Formulasi Pengaturan Ketentuan Pelaksanaan Diversi di luar Sistem Peradilan

Pidana Anak dalam Rangka Perlindungan dan Kesejahteraan Anak tapi berfokus

pada Diversi Sebagai Upaya Pencegahan Stigmatisasi Anak dalam Sistem

Peradilan Pidana Anak.

Berdasarkan hasil penelusuran terhadap beberapa hasil penelitian

sebelumnya sebagaimana telah diuraikan di atas, walaupun topik yang dikaji

sama, yaitu masalah anak yang berkonflik dengan hukum tapi tidak membahas

masalah Kebijakan Formulasi Pengaturan Ketentuan Pelaksanaan Diversi di luar

Sistem Peradilan Pidana Anak dalam Rangka Perlindungan dan Kesejahteraan

Anak. Hal ini sebagaimana terlihat dalam tabel di bawah ini:

48Nurini Aprilianda, Loc.cit.

29

Tabel 1

Penelitian Terdahulu

No Peneliti Jenis/ Tahun

Judul Isu Hukum

1 Muhammad Ali

Disertasi/ 1997

Pengembangan Kausening Polisi Sebagai Diskresi dalam Penyidikan Anak Delinkuen di Indonesia.

1. Langkah-langkah apa saja yang dilakukan oleh Polisi dalam menghadapi anak delinkuen?

2. Apakah di antara langkah-langkah Polisi tersebut ada yang dapat digolongkan dalam kategori sebagai kausening Polisi ?

3. Apakah kausening Polisi lebih efektif dalam memperbaiki perilaku anak delinkuen daripada putusan hakim ?

4. Apakah kausening Polisi itu dapat dikembangkan menjadi norma hukum pidana tertulis di Indonesia ?

2 Paulus Hadi Suprapto

Disertasi/ 2003

Pemberian Malu Reintegratif Sebagai Sarana Nonpenal Penanggulangan Perilaku Delinkuensi Anak (Studi Kasus di Semarang dan Surakarta).

1. Bagaimanakah praktik penanganan kasus-kasus delinkuensi anak dengan sarana penal di Semarang dan Surakarta?

2. Sampai seberapa jauh “Pemberian Malu Reintegratif” dapat dipertimbangkan sebagai bentuk konkrit jalur nonpenal dalam penanggulangan perilaku delinkuensi anak di Semarang dan Surakarta ?

3. Model penyelesaian konflik apakah yang dapat dikembangkan dari “Pemberian Malu Reintegratif” dalam rangka penanggulangan kasus-kasus delinkuensi anak di Semarang dan Surakarta ?

3 Arif Gosita Disertasi/ 2003

Sanksi Alternatif Sebagai Fokus Pembinaan Anak Pidana Sarana Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia.

1. Tindakan pembaharuan apa saja yang harus dilakukan dalam rangka pelaksanaan sanksi alternatif wajib belajar dan berkarya di luar LAPAS ?

2. Peraturan perundang-undangan mana saja yang harus dikoreksi dan diperbaharui agar dapat mendukung pelaksanaan sanksi alternatif wajib belajar dan berkarya di luar LAPAS bagi anak pidana ? Siapa saja yang bertanggungjawab atas adanya pembaharuan pembinaan anak pidana dengan penerapan sanksi alternatif wajib belajar dan berkarya di luar LAPAS ?

4 Nurini Aprilianda

Disertasi/ 2011

Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Sebagai Upaya Pencegahan Stigmatisasi Anak

1. Apakah implikasi dari sistem peradilan pidana anak membekaskan stigmatisasi bagi anak nakal ?

2. Apakah faktor-faktor yuridis kriminologis yang menyebabkan terjadinya stigmatisasi pelaku anak dalam sistem peradilan pidana anak ?

3. Apakah konsep diversi dapat digunakan sebagai upaya alternatif pencegahan stigmatisasi pelaku anak dalam sistem peradilan pidana ?

30

Sementara itu, judul dan isu hukum yang diteliti dalam penelitian disertasi ini

dapat terlihat dalam tabel 2 berikut ini:

Tabel 2

Rencana Penelitian

No Peneliti Jenis Judul Isu Hukum

1 Erny

Herlin

Setyorini

Disertasi Kebijakan

Formulasi

Pengaturan

Ketentuan

Pelaksanaan

Diversi di luar

Sistem

Peradilan

Pidana Anak

dalam Rangka

Perlindungan

dan

Kesejahteraan

Anak

1. Bagaimana dasar filosofi kebijakan

formulasi pengaturan ketentuan

pelaksanaan diversi di luar sistem

peradilan pidana anak di masa yang

akan datang dalam rangka

perlindungan dan kesejahteraan

anak?

2. Bagaimana kebijakan formulasi

pengaturan ketentuan pelaksanaan

diversi yang mencerminkan prinsip

perlindungan dan kesejahteraan bagi

anak yang berkonflik dengan hukum

di masa yang akan datang ?

Dengan membandingkan tabel 1 dan 2 di atas, maka penelitian yang

dilakukan peneliti mempunyai perbedaan dengan penelitian terdahulu meskipun

topiknya sama tentang hukum pidana anak, sehingga orisinalitas penelitian pada

disertasi ini dapat dipertanggungjawabkan secara akademik dan keilmuan.

31

1.6. Desain Penelitian (Bagan 1)

Judul : Kebijakan Formulasi Pengaturan Ketentuan Pelaksanaan Diversi Di luar Sistem Peradilan Pidana

Anak Dalam Rangka Perlindungan dan Kesejahteraan Anak

Latar Belakang :

Filsafati : Pelaksanaan diversi di dalam SPP Anak akan merampas hak-hak anak sehingga kesejahteraan anak tidak

tercapai.

Yuridis : UU SPP Anak mengatur tentang pelaksanaan diversi di luar maupun di dalam SPP Anak

Sosiologis : Pelaksanaan diversi di dalam Sistem Peradilan Pidana Anak (tahap penuntutan maupun tahap

pemeriksaan di pengadilan akan menimbulkan stigma sehingga dapat mematikan masa depan anak.

Rumusan Masalah 1 : Bagaimana dasar filosofi

kebijakan formulasi pengaturan ketentuan

pelaksanaan diversi di luar sistem peradilan pidana

anak di masa yang akan datang dalam rangka

perlindungan dan kesejahteraan anak ?

Rumusan Masalah 2 : Bagaimana kebijakan formulasi

pengaturan ketentuan pelaksanaan diversi yang

mencerminkan prinsip perlindungan dan kesejahteraan

bagi anak yang berkonflik dengan hukum di masa yang

akan datang ?

T. HAM (Marzuki Darusman dan Muladi).

T. Labeling (Lemert & Reintegratif Shaming dari Braithwait), T. Perlind. Anak (Hadi Supeno), T, Keadilan (John Rawls), dan T. Kebijakan Formulasi (G.Peter Hoefnagels; Barda Nawawi Arief & Muladi)

Metode Penelitian

Yuridis Normatif

Pendekatan UU (statute approach)

Studi dokumen

Pendekatan Perbandingan

Theory

Kesimpulan dan Rekomendasi

Kerangka Konseptual :

1. Konsep Kebijakan Formulasi

2. Konsep Diversi

3. Konsep Sistem Peradilan Pidana Anak

4. Konsep Perlindungan Anak

5. Konsep Kesejahteraan Anak

6. Konsep Sistem Peradilan Pidana Anak

7

Hasil dan Pembahasan

32

1.7. Metode Penelitian

1.7.1. Tipe/Jenis Penelitian

Metode penelitian hukum menurut jenisnya dapat dibedakan menjadi

dua, yaitu penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris.49

Penelitian yang berjudul “Kebijakan Formulasi Pengaturan Ketentuan

Pelaksanaan Diversi di luar Sistem Peradilan Pidana Anak dalam Rangka

Perlindungan dan Kesejahteraan Anak”, merupakan penelitian hukum normatif,

maka yang dilakukan adalah dengan cara meneliti bahan pustaka atau bahan

hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

Menurut Soerjono Soekanto, menyebutkan bahwa penelitian hukum

normatif mencakup:

(1) Penelitian terhadap asas-asas hukum;

(2) Penelitian terhadap sistematika hukum;

(3) Penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum;

(4) Penelitian terhadap sejarah hukum; dan

(5) Penelitian perbandingan hukum.50

1.7.2. Pendekatan Masalah

Untuk memperoleh bahan hukum yang akurat dan menyeluruh serta

untuk memperoleh hasil jawaban atas pokok permasalahan yang diteliti, maka

penelitian ini mempergunakan pendekatan sebagai berikut:

1. Pendekatan undang-undang (Statute Approach);

2. Studi dokumen;

49

Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika,

1991), hlm. 13. 50

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-PRESS, 1986),

hlm. 51.

33

3. Pendekatan perbandingan (Comparative approach).

Penelitian dengan judul “Kebijakan Formulasi Pengaturan Ketentuan

Pelaksanaan Diversi Di luar Sistem Peradilan Pidana Anak Dalam Rangka

Perlindungan dan Kesejahteraan Anak”, menggunakan pendekatan undang-

undang. Suatu penelitian normatif tentu harus menggunakan pendekatan

perundang-undangan, karena yang diteliti adalah berbagai aturan hukum yang

menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian.51

Untuk itu hukum harus

dipandang sebagai sistem tertutup (closed logical system), artinya peraturan dapat

dideduksi dari peraturan perundang-undangan tanpa perlu meminta bimbingan

dari norma sosial, politik dan moral, yang memiliki sifat-sifat sebagai berikut:

a. Comprehensive, artinya norma-norma hukum yang ada di dalamnya

terkait antara satu dengan yang lainnya secara logis;

b. All-inclusive, bahwa kumpulan norma hukum tersebut cukup mampu

menampung permasalahan hukum yang ada, sehingga tidak ada

kekurangan hukum;

c. Systematic, bahwa disamping bertautan antara satu dengan yang lain,

norma-norma hukum tersebut juga tersusun secara hierarkhis.52

Pendekatan undang-undang dilakukan dengan menelaah semua undang-

undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang

ditangani.53

Hal ini dilakukan dengan menganalisis ketentuan hukum dalam

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun

1997 tentang Pengadilan Anak, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4

51

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang:

Bayumedia Publishing, 2005), hlm. 302.

52

Harjono, Penelitian Hukum Pada Kajian Hukum Murni, Diktat Perkuliahan

Untuk Program Magister Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, hlm. 3, dalam: Johny

Ibrahim, Op.cit, hlm. 303. 53

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 93.

34

Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),

dan Peraturan Perundang-undangan lain yang ada keterkaitannya dengan tema

penelitian disertasi ini.

Studi dokumen dilakukan dengan mempelajari dokumen-dokumen, yaitu

kasus-kasus anak yang berkonflik dengan hukum, yang berhasil diselesaikan di

luar jalur hukum. Studi dokumen ini dilakukan di Kepolisian Daerah Jawa Timur

dan di Polrestabes Surabaya. Pemilihan kota Surabaya dilatarbelakangi oleh suatu

alasan bahwa Surabaya adalah kota terbesar kedua di Indonesia, disini kenakalan

anak mendapat perhatian khusus, sehingga tindak kejahatan yang berupa

kenakalan anak menjadi signifikan secara nasional karena kejahatannya relatif

meningkat (disertasi ini, bab 1 latar belakang masalah).

Pendekatan perbandingan. Pendekatan perbandingan dilakukan dengan

cara membandingkan undang-undang suatu negara dengan undang-undang dari

satu atau lebih negara lain mengenai hal yang sama.54

Pentingnya pendekatan

perbandingan dalam ilmu hukum karena dalam bidang hukum tidak

memungkinkan dilakukan suatu eksperimen sebagaimana dalam ilmu empiris.

Pendekatan ini digunakan untuk membandingkan salah satu lembaga hukum

(legal institution) dari sistem hukum yang satu dengan lembaga hukum (yang

kurang lebih sama dalam sistem hukumnya) lainnya. Dari perbandingan tersebut

dapat ditemukan unsur-unsur persamaan dan perbedaan kedua sistem hukum itu.

54

Peter Mahmud Marzuki, Op.cit., hlm. 95.

35

Persamaan-persamaan akan menunjukkan inti dari lembaga hukum yang

diselidiki, sedangkan perbedaan-perbedaan disebabkan oleh adanya perbedaan

iklim, suasana dari sejarah masing-masing bangsa yang bersangkutan dengan

sistem hukum yang berbeda.55

Menurut Sunaryati Hartono, dengan melakukan perbandingan hukum

akan dapat ditarik kesimpulan bahwa:

1. Kebutuhan-kebutuhan yang universal atau sama akan menimbulkan cara-cara

yang sama pula; dan

2. Kebutuhan-kebutuhan khusus berdasarkan perbedaan suasana dan sejarah itu

menimbulkan cara-cara yang berbeda pula.56

Perbandingan hukum memiliki dimensi empiris yang dapat digunakan

sebagai ilmu bantu (hulp wetenschap) untuk keperluan analisis dan eksplanasi

terhadap hukum. Dalam disertasi ini menggunakan komparasi makro, yaitu

perbandingan isi aturan hukum negara lain dan lembaga internasional baik berupa

konvensi maupun resolusi yang spesifik dengan aturan hukum yang diteliti, atau

dapat juga dalam rangka mengisi kekosongan dan menambah kekurangan dalam

hukum positif. Hal demikian hanya dapat dilakukan terhadap unsur-unsur yang

dapat dibandingkan (tertium comparationis) dengan bahan hukum yang menjadi

fokus penelitian. Perbandingan hukum dapat berfungsi sebagai ilmu bantu

terhadap dogmatik hukum, dalam arti dipertimbangkan pengaturan dan

55

Johny Ibrahim, Op.cit. hlm. 313.

56Sunaryati Hartono, Kapita Selekta Perbandingan Hukum, (Malang: Citra

Aditya Bakti, 1991), hlm. 1-2.

36

penyelesaian-penyelesaian tertentu dari tatanan hukum lain dan menilai

kecukupan (adequate) mereka untuk hukum sendiri.

Dalam disertasi ini memfokuskan perbandingan peraturan perundang-

undangan yang secara khusus berkaitan dengan ketentuan pelaksanaan diversi di

luar SPP Anak untuk menangani perkara anak yang berkonflik dengan hukum

dengan resolusi-resolusi internasional yang juga memuat dan menguraikan

tentang ketentuan pelaksanaan diversi di luar SPP Anak terutama Convention on

the Rights of the Child (CRC), United Nations Standart Minimum Rules for the

Administration of Juvenile Justice (untuk selanjutya disebut The Beijing Rules),

United Nations Guidelines for the Prevention of Juvenile Delinquency (untuk

selanjutya disebut The Riyadh Guidelines), dan United Nations Standart Minimum

Rules for Non Custodial Measures (untuk selanjutnya disebut The Tokyo Rules)

serta beberapa negara yang telah mengatur ketentuan pelaksanaan diversi di luar

SPP Anak sebagai pembanding, seperti negara-negara bagian Australia. Alasan

mengapa dipilih negara-negara bagian Australia sebagai studi perbandingan

karena negara Australia merupakan negara yang paling maju dalam pelaksanaan

diversi untuk menangani anak yang berkonflik dengan hukum.57

Negara-negara

bagian Australia juga telah memiliki peraturan perundang-undangan tentang

sistem peradilan anak yang mengatur ketentuan pelaksanaan diversi di luar sistem

peradilan anak. Hal ini sebagaimana di Indonesia, yang juga mengatur peradilan

pidana anak dalam undang-undang secara khusus, yaitu UU SPP Anak.

57

Nurini Aprilianda, Op.cit., hlm. 208.

37

1.7.3. Sumber Bahan Hukum

Penelitian ini metode pendekatannya disesuaikan dengan jenis penelitian

yang dilakukan. Penelitian dengan pendekatan hukum normatif (legal research)

yang merupakan penelitian kepustakaan, yaitu penelitian terhadap data sekunder,

yang berupa bahan hukum.58

Pemilihan terhadap jenis penelitian ini didasarkan pada pertimbangan bahwa yang

menjadi fokus penelitian adalah kebijakan legislatif yang berupa peraturan

perundang-undangan, khususnya UU SPP Anak berkaitan dengan pengaturan

ketentuan pelaksanaan diversi dalam rangka perlindungan dan kesejahteraan anak

yang berkonflik dengan hukum.

Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, berdasarkan kekuatan

mengikatnya bahan hukum terdiri atas: bahan hukum primer, bahan hukum

sekunder, dan bahan hukum tersier.59

Oleh karena itu dalam penelitian yuridis

normatif, data sekunder yang berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder

maupun bahan hukum tertier merupakan data yang utama. Agar semua masalah

yang telah dirumuskan dapat dipecahkan dengan baik maka untuk melengkapinya

diperlukan juga data primer.

A. Bahan Hukum Primer :

Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, dan

terdiri dari: norma dasar atau kaidah dasar, yaitu Pembukaan Undang-Undang

Dasar 1945, Peraturan Dasar, Peraturan perundang-undangan, bahan hukum yang

58Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu

Tinjauan Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 28.

59Ibid., hlm. 15

38

tidak dikodifikasikan, yurisprodensi, traktat, dan bahan hukum dari zaman

penjajahan yang hingga kini masih berlaku, seperti Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana (untuk selanjutnya disebut KUHP).60

Bahan hukum primer yang diperlukan dalam penelitian ini adalah:

1. Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia

Tahun 1945;

2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 tentang

Peraturan Hukum Pidana (selanjutnya disingkat KUHP);

3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang

Hukum Acara Pidana, terkait ketentuan khusus beracara bagi anak

yang berkonflik dengan hukum;

4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 tentang

Pengadilan Anak;

5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012

tentang Sistem Peradilan Pidana Anak;

6. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 tentang

Kesejahteraan Anak;

7. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002

tentang Perlindungan Anak;

8. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999

tentang Hak Asasi Manusia;

60Ibid., hlm. 13

39

9. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009

tentang Kekuasaan Kehakiman;

10. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2004 tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang

Peradilan Umum;

11. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang

Kepolisian Negara Republik Indonesia;

12. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang

Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan;

13. Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan

Convention on The Rights of The Child (Konvensi Hak-Hak Anak).

Ketentuan Internasional:

1. Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia (Universal

Declaration of Human Rights), Resolusi Nomor 217 A (III) tanggal

10 Desember 1948;

2. Konvensi tentang Hak-hak Anak (Convention on The Rights of the

Child), Resolusi Nomor 109 tahun 1990;

3. United Nations Guidelines for the Prevention of Juvenile

Delinquency (The Riyadh Guidelines);

4. United Nations Standart Minimum Rules for the Administration of

Juvenile Justice (The Beijing Rules);

5. United Nations Standart Minimum Rules for Non Custodial

Measures (The Tokyo Rules);

40

6. South Australia Young Offenders Act 1993;

7. Western Australia Young Offender Act 1994;

8. Queensland Juvenile Justice Act 1992;

9. Tasmania Youth Justice Act 1997;

10. New South Wales Young Offenders Act 1997.

A. Bahan Hukum Sekunder:

Bahan hukum sekunder memberikan penjelasan mengenai bahan hukum

primer, misalnya rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil

karya dari kalangan hukum, dan seterusnya.

Bahan hukum sekunder dalam disertasi ini terdiri dari:

1. Naskah Akademik Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11

Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak;

2. Risalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012

tentang Sistem Peradilan Pidana Anak;

3. Studi dokumen tentang anak yang berkonflik dengan hukum yang

terdapat di Kepolisian Daerah Jawa Timur dan Kepolisian Resort Kota

Besar Surabaya. Studi dokumen ini sifatnya sebagai supporting data

yang menggambarkan kondisi penanganan anak yang berkonflik

dengan hukum saat ini di tingkat penyidikan.

B. Bahan Hukum Tersier:

Bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,

contohnya kamus, ensiklopedia, indeks komulatif dan seterusnya.

41

Bahan hukum tersier dalam disertasi ini terdiri atas:

1. Literatur yang berkaitan dengan Anak yang berkonflik dengan hukum;

2. Jurnal ilmiah;

3. Tulisan Ilmiah di Internet;

4. Kamus Bahasa Indonesia;

5. Kamus Hukum;

6. Kamus Istilah Hukum;

7. Black’s Law Dictionary.

1.7.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Bahan hukum sekunder berupa bahan hukum primer, bahan hukum

sekunder dan bahan non hukum yang berkaitan dengan penelitian ini diperoleh

melalui studi dokumentasi (kepustakaan) yang dilakukan dengan cara:

1. Inventarisasi hukum positif.

2. Inventarisir teori hukum dan pendapat ahli hukum.

3. Bahan-bahan hukum yang diperoleh dari hasil penelitian dicatat dengan

menggunakan kartu (card system), kemudian kartu-kartu tersebut

dikumpulkan dan disusun, serta dikelompokkan sesuai dengan pokok

permasalahan yang diteliti.

1.7.5. Analisis Bahan Hukum

Bahan hukum yang diperoleh dari studi kepustakaan kemudian

dianalisis dengan menggunakan analisis penafsiran hukum dan disajikan dalam

bentuk kualitatif, artinya tidak menggunakan rumusan-rumusan statistik

dan/atau matematik.

42

1.7.6. Tahapan Penelitian

Langkah-langkah yang diperlukan dalam tahapan penelitian ini meliputi:

a. Penelusuran kepustakaan;

b. Menginventarisasi tentang pemikiran teoritik, asas-asas umum dan aspek

filsafati pada hukum positif.

1.8. Sistematika Penulisan

Penulisan Disertasi ini disusun dalam 5 (lima) bab, dengan sistematika

sebagai berikut :

Bab I Pendahuluan, pada bab ini memuat latar belakang masalah, rumusan

masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, orisinalitas penelitian, desain

penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II, menguraikan tentang kerangka teoritik dan kerangka konseptual

yang dibangun dan terbagi dalam dua sub judul. Kerangka teoritik terdiri dari

beberapa teori yang dijadikan sebagai pisau analisis pembahasan, yaitu teori

perlindungan HAM, teori perlindungan anak, teori keadilan, teori labeling, dan

teori kebijakan formulasi. Selanjutnya, kerangka konseptual terdiri dari konsep

kebijakan formulasi, konsep diversi, konsep sistem peradilan pidana anak, konsep

perlindungan anak, dan konsep kesejahteraan anak.

Bab III, menguraikan tentang hasil dan analisis penelitian yang merupakan

jawaban atas rumusan masalah pertama, yaitu membahas tentang bagaimana dasar

filosofi kebijakan formulasi pengaturan ketentuan pelaksanaan diversi di luar

43

sistem peradilan pidana anak di masa yang akan datang dalam rangka

perlindungan dan kesejahteraan anak.

Bab IV, menguraikan tentang hasil dan analisis penelitian yang merupakan

jawaban atas rumusan masalah yang kedua, yaitu membahas tentang bagaimana

kebijakan formulasi pengaturan ketentuan pelaksanaan diversi yang

mencerminkan prinsip perlindungan dan kesejahteraan bagi anak yang berkonflik

dengan hukum di masa yang akan datang.

Bab V, merupakan bab penutup yang memuat kesimpulan dan beberapa

rekomendasi yang relevan dengan tema disertasi.

44

BAB II

KERANGKA TEORITIK DAN KERANGKA KONSEPTUAL

2.1. Kerangka Teoritik

Dalam menganalisis permasalahan di atas, penulis mempergunakan

pendekatan melalui beberapa teori, yaitu terdiri dari teori perlindungan HAM,

teori perlindungan anak, teori keadilan, teori labeling, dan teori kebijakan

formulasi.

2.1.1. Teori Perlindungan Hak Asasi Manusia

Istilah hak-hak asasi manusia dalam beberapa bahasa asing dikenal dengan

sebutan sebagai berikut: droit de l‟home (Perancis), yang berarti hak manusia,

human right (Inggris), dan menselijke rechten (Belanda), yang dalam bahasa

Indonesia disalin menjadi hak-hak kemanusiaan atau hak-hak asasi manusia.61

Manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang mengemban tugas

mengelola dan memelihara alam semesta dengan penuh ketaqwaan dan penuh

tanggung jawab untuk kesejahteraan umat manusia, oleh pencipta-Nya

dianugerahi hak asasi untuk menjamin keberadaan harkat dan martabat kemuliaan

dirinya serta keharmonisan lingkungannya.

Secara harfiah hak asasi manusia ialah hak yang dimiliki oleh seseorang

karena orang itu adalah manusia.62

Hak asasi ini bersifat universal, merata dan

tidak dapat dialihkan kepada orang lain. Hak asasi dimiliki oleh seluruh umat

61

Subandi Al Marsudi, Pancasila dan UUD‟45 dalam Paradigma Reformasi,

(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 83.

62

Djaali, Pudji Muljono, M. Said Saile, dan Ramly, Hak Asasi Manusia (Suatu

Tinjauan Teoritis dan Aplikasi), (Restu Agung, 2003), hlm. 1

44

45

manusia secara universal. Seseorang tidak akan pernah kehilangan hak asasinya

karena orang itu tidak akan mungkin berhenti sebagai manusia, walaupun ada

kemungkinan ia menerima perlakuan yang tidak manusiawi.63

Penegakan HAM sangat penting artinya dalam rangka membangun masyarakat

dunia yang beradab, terutama pada negara-negara dimana masyarakatnya sebagian

sudah tidak mempedulikan masyarakat lainnya. Masyarakat beradab adalah

masyarakat yang dalam kehidupannya selalu mengedepankan, menghormati dan

menghargai nilai-nilai kemanusiaan baik secara individual maupun secara

kelompok.

Berkaitan dengan penegakan HAM yang merupakan hak-hak yang

melekat pada manusia yang mencerminkan martabatnya, maka HAM hendaknya

memperoleh jaminan hukum, sebab hak-haknya dapat efektif apabila hak-hak itu

dapat dilindungi hukum. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Muladi:

Melindungi hak-hak dapat terjamin, apabila hak-hak itu merupakan bagian

dari hukum, yang memuat prosedur hukum untuk melindungi hak-hak

tersebut. Hukum pada dasarnya merupakan pencerminan dari HAM,

sehingga hukum itu mengandung keadilan atau tidak, ditentukan oleh

HAM yang dikandung dan diatur dan dijamin oleh hukum itu. Hukum

tidak lagi dilihat sebagai refleksi kekuasaan semata-mata, tetapi juga harus

memancarkan perlindungan terhadap hak-hak warga negara.64

Hukum berlandaskan pada nilai-nilai kemanusiaan yang mencerminkan

norma-norma yang menghormati martabat manusia dan mengakui HAM. Teknis

perumusan HAM di dalam undang-undang pada umumnya bersifat motivatif

untuk landasan bekerjanya para petugas hukum. Hak asasi manusia tidak selalu

63Ibid., hlm 1-2.

64Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit

Universitas Diponegoro, 1995), hlm. 45.

46

dirumuskan secara khusus, tetapi implisit tersimpul dalam pasal-pasal undang-

undang sesuai dengan jiwa yang terkandung dalam konsiderans dan penjelasan

undang-undang.65

Hak asasi manusia merupakan alat untuk memungkinkan warga

masyarakat dengan bebas mengembangkan bakatnya untuk penunaian tugasnya

dengan baik.66

Selanjutnya, berkaitan dengan Hak Asasi Manusia, A. Gunawan Setiardja

mengemukakan:

1) Definisi yuridis HAM menunjuk pada HAM yang dikodifikasikan

dalam naskah atau dokumen yang secara hukum mengikat baik dalam

konstitusi nasional maupun dalam perjanjian internasional;

2) Definisi politis HAM, yang merujuk pada pengertian politik, yaitu

proses dinamis dalam arti luas berkembangnya masyarakat suatu

masyarakat tertentu. Termasuk di dalamnya keputusan-keputusan yang

diambil dalam rangka kebijaksanaan pemerintah dalam upaya-upaya

mengorganisir sarana-sarana atau sumber-sumber untuk mencapai

tujuan tersebut. Hukum merupakan salah satu hasil terpenting dari

proses politik, hukum berakar dalam keadaan politik konkret

masyarakat;

3) Definisi moral HAM yang menunjuk pada dimensi normatif HAM.

Makna etis HAM menyangkut justru problem esensial, klaim individual

harus diakui sebagai hak-hak yuridis atau hak-hak politik. Pengertian

klaim etis, tuntutan etis mengandung di dalamnya suatu pandangan

teoritis mengenai landasan norma-norma etis.67

Pendirian bangsa Indonesia mengenai HAM berlandaskan pada Sila II

Pancasila: Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, yang dijiwai dan dilandasi oleh

sila-sila lainnya. Maksudnya adalah HAM itu harus:

1) Sesuai dengan kodrat manusia. Menurut kodratnya, manusia itu adalah

makhluk pribadi sekaligus makhluk sosial;

65

Bambang Poernomo, Pandangan Terhadap Asas-Asas Umum Hukum Acara

Pidana, (Yogyakarta: Liberty, 1982), hlm. 10-11. 66

Sri Widoyati Soekito, Anak dan Wanita Dalam Hukum, (Jakarta: LP3ES, 1983),

hlm. 76. 67

A. Gunawan Setiardja, Hak-hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi

Pancasila, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hlm. 89-90.

47

2) HAM harus dihargai dan dijunjung tinggi secara adil. Maksudnya

memperlakukan tiap manusia sesuai dengan martabat kemanusiaannya;

3) Tidak tanpa arti adanya istilah “dan beradab”. Maksudnya ialah HAM

yang diterima dan dijunjung tinggi itu tidak tanpa batas. Batasnya

adalah:

a. penggunaan HAM itu harus dapat dipertanggungjawabkan di hadapan

Tuhan Yang Maha Kuasa (Sila I);

b. harus meningkatkan persatuan dan kesatuan bangsa (Sila III);

c. harus tetap dalam suasana dan iklim yang demokratis (Sila IV);

d. harus menunjang kesejahteraan umum (Sila V);

e. dapat dibatasi oleh tujuan-tujuan negara, yaitu untuk melindungi

segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia; untuk

memajukan kesejahteraan umum; untuk mencerdaskan kehidupan

bangsa; ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan

kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.68

Teori universalisme merupakan teori klasik mengenai hak asasi manusia

yang bertumpu pada pemikiran teori hukum alam. Berdasarkan teori hukum alam,

pemikiran yang berkaitan dengan hak asasi manusia meliputi:

a. Hak asasi manusia dimiliki secara alami oleh setiap orang berdasarkan

pemikiran bahwa seseorang dilahirkan sebagai manusia yang memiliki

kebebasan;

b. Hak asasi manusia bisa dilakukan secara universal kepada setiap orang

tanpa memandang lokasi geografisnya;

c. Hak asasi manusia tidak membutuhkan tindakan atau program dari

pihak lain, apakah mereka individu, kelompok atau pemerintah.69

Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa memproklamirkan Pernyataan

Sedunia tentang Hak Asasi Manusia itu sebagai tolok ukur umum hasil usaha

sebagai rakyat dan bangsa dan menyerukan semua anggota dan semua bangsa agar

memajukan dan menjamin pengakuan dan pematuhan hak-hak dan kebebasan

68

Marzuki Darusman, “Hak-hak Asasi Manusia dan Supremasi Hukum”, Dalam

Majalah Hukum Pro Justitia Tahun XVII Nomor 4 Oktober 1999, (Bandung: FH Unpar),

hlm.6. 69

Harifni A. Tumpa, Peluang dan Tantangan Eksistensi Pengadilan HAM di

Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), hlm. 45-46.

48

yang termasuk dalam pernyataan tersebut. Meskipun bukan merupakan perjanjian,

namun semua anggota PBB secara moral berkewajiban menerapkannya.70

Klaim HAM atas keberlakuan secara universal mengatakan bahwa yang

memiliki hak-hak itu adalah manusia sebagai manusia, jadi sejauh ia termasuk

spesies homo sapiens, dan bukan karena ciri-ciri tertentu yang dimilikinya. Paham

HAM mengatakan bahwa manusia karena ia manusia dan wajib diperlakukan

dengan cara-cara tertentu. Semua perbedaan antara manusia: pria, wanita,

perbedaan dalam hal ras, kedudukan, kekayaan, pandangan dan kepercayaan,

perbedaan kualitas moral, sehat atau sakit dan lain-lain tidak dapat mendasari

perbedaan-perbedaan dalam hal HAM. Landasan HAM itu adalah landasan yang

langsung dan yang pertama yaitu kodrat manusia dan landasan yang kedua dan

yang lebih dalam yaitu Tuhan sendiri, yang menciptakan manusia.71

Hak-hak asasi manusia diakui sebagai bagian humanisasi hidup yang telah

mulai tergantung sejak manusia menjadi sadar tentang tempatnya dan tugasnya di

dunia ini. Oleh karena hak asasi dianggap sebagai fundamental yang di atasnya,

seluruh organisasi hidup bersama harus dibangun. Hak-hak asasi dibagi dalam dua

jenis, yaitu:

1. Hak asasi individual, yaitu hak untuk hidup dan perkembangan hidup

seperti hak kebebasan batin, hak atas nama baik, hak atas kebebasan

agama, dan sebagainya. Hak-hak dasar ini disusun terutama demi

perlindungan pribadi manusia terhadap kekuasaan negara;

2. Hak asasi sebagai makhluk sosial yang dibagi dalam hak-hak ekonomi,

sosial, dan kultural.72

70

Zuhdi Achmad, “HAM Dalam Undang-Undang Dasar 1945”,

http://www.zuhdiachmad.blogspot.com/2010/05/ham-dalam-undang-undang-1945.html,

diakses tanggal 17 Mei 2010. 71

Maidin Gultom, Op.cit., hlm. 9. 72

Abdul Ghofur Anshari, Filsafat Hukum, (Yogyakarta: Gajah Mada University

Press, 2005), hlm. 112.

49

Sementara itu, menurut Zuhdi Ahmad, ada tiga hak asasi manusia yang

paling fundamental atau pokok, yaitu:

a. hak hidup (life);

b. hak kebebasan (liberty);

c. hak memiliki (property).73

Ketiga hak tersebut merupakan hak yang fundamental dalam kehidupan sehari-

hari. Adapun macam-macam hak asasi manusia dapat digolongkan sebagai

berikut:

a. hak asasi pribadi, yaitu hak asasi yang berhubungan dengan kehidupan

pribadi manusia. Contohnya: hak beragama, hak menentukan jalan

hidup, dan hak bicara;

b. hak asasi politik, yaitu yang berhubungan dengan kehidupan politik.

Contohnya : hak mengeluarkan pendapat, hak ikut serta dalam pemilu,

hak berorganisasi;

c. hak asasi ekonomi, yaitu hak yang berhubungan dengan kegiatan

perekonomian. Contohnya: hak memiliki barang, menjual barang,

mendirikan perusahaan, dan lain-lain;

d. hak asasi budaya, yaitu hak yang berhubungan dengan kehidupan

bermasyarakat. Contohnya: hak mendapat pendidikan, hak mendapat

pekerjaan, dan lain-lain;

e. hak kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, yaitu hak

yang berkaitan dengan kehidupan hukum dan pemerintahan.

Contohnya: hak mendapatkan perlindungan hukum, hak untuk

diperlakukan secara adil, hak menjadi pejabat pemerintah, dan lain-lain;

f. hak untuk diperlakukan sama dalam tata cara pengadilan. Contohnya:

dalam penyelidikan, dalam penahanan, dalam penyitaan, dan lain-lain.74

Secara filosofis, berbagai dokumen hak-hak asasi manusia terlihat adanya

perbedaan muatan nilai dan orientasi. Negara Inggris menekankan pada

pembatasan kekuasaan raja, di Amerika Serikat mengutamakan kebebasan

individu, di Perancis memprioritaskan egalitarianisme persamaan kedudukan

73Ibid. 74Ibid.

50

hukum, dan di Rusia tidak diperkenalkan hak individu tapi hanya mengakui hak

sosial. Sementara itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa merangkum berbagai nilai dan

orientasi karena Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia di badan dunia ini sebagai

kesepakatan berbagai negara setelah mengalami revolusi Perang Dunia II, yang

menelorkan pengakuan prinsip kebebasan perseorangan, kekuasaan hukum dan

demokrasi sebagaimana diformulasikan dalam Preamble Atlantic Charter 1945.75

Dokumen dan kesaksian sejarah menunjukkan bahwa setiap terjadi krisis

hak asasi manusia selalu muncul revolusi atau gejolak sosial. Seperti halnya krisis

hak asasi manusia di negara-negara komunis tahun 1990 yang menghancurkan

tembok Berlin dan penghancuran patung-patung tokoh mereka yang sebelumnya

dipuja-puja. Rangkaian sejarah tersebut menunjukkan bahwa hak asasi manusia

merupakan konstitusi kehidupan, karena hak asasi manusia merupakan prasarat

yang harus ada dalam setiap kehidupan manusia dan merupakan bekal bagi setiap

insan untuk dapat hidup sesuai dengan fitrah kemanusiaannya.76

Pembahasan teori tentang konsepsi HAM pada dasarnya dapat dipetakan

dalam tiga ranah atau bidang yang berbeda:

1. Ranah filsafati (termasuk etika) yang pembahasannya lebih bersifat

abstrak;

2. Ranah yuridis yang membahas hak asasi manusia dari segi hukum mulai

dari yang bersifat deklaratif sampai dengan yang bersifat imperatif atau

konstitutif;

3. Ranah praktis aplikatif yang pembahasannya sering bersifat politis.77

75

Artidjo Alkostar, “Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Penegakan Hukum

Dewasa Ini”, Makalah disampaikan dalam rangka Dies Natalis UII ke 51 Universitas

Islam Indonesia, Yogyakarta, 1993, hlm. 3. 76

Bambang Sutiyoso, Reformasi Keadilan dan Penegakan Hukum di Indonesia,

(Yogyakarta: UII Press, 2010), hlm. 169. 77

Ade Didik Irawan, “Dinamika Perkembangan Teori Dan Filsafat Hukum Hak

Asasi Manusia”, http://www.kuliahhukumonline.blogspot.com/2012/09/dinamika-

perkembangan-teori-dan.html, diakses tanggal 3 September 2012.

51

Dalam kepustakaan filsafat ilmu hukum dan ilmu politik, istilah hak asasi

manusia (human right) sering pula disebut sebagai hak-hak dasar (basic right)

atau hak-hak fundamental (fundamental right), hak-hak moral (moral right) atau

hak-hak alamiah (natural right). Hak asasi manusia yang sering dibedakan dengan

hak hukum yang merupakan hak warga negara yang diberikan oleh negara atau

oleh hukum positif (legal right).

Hal ini sebagaimana dikemukakan Michael freedman bahwa:

It is commonplace to distinguish human rights from legal right human

rights are the rights that human being have simply because they are

human being legal right are the rights that human being or other legal

persons have because the law say so.78

(Terjemahan bebas: Ini merupakan

hal yang biasa untuk membedakan hak asasi manusia dari hukum hak asasi

manusia adalah hak yang manusia miliki karena mereka manusia dan

menjadi hak hukum adalah hak-hak bahwa manusia atau badan hukum

lainnya memiliki karena hukum mengatakan demikian).

Sementara itu, Ade Didik Irawan mengemukakan bahwa:

Tidak ada definisi atau rumusan tunggal yang telah disepakati oleh para

penstudi hak asasi manusia dalam studi ilmu hukum, politik, filsafat dan

hubungan internasional tentang apa yang dimaksud hak asasi manusia

suatu yang wajar karena hak asasi manusia telah dipahami dan dibahas

dari berbagai sudut pandang yang berbeda-beda walau demikian

pengertian awal tentang hak asasi manusia didominasi oleh wacana

filsafat. Salah satu konsepsi hak asasi manusia yang sering digunakan

dalam berbagai instrumen hak asasi manusia berasal dari revolusi Amerika

dan Perancis yaitu hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki

manusia semata-mata karena ia manusia.79

Hak asasi manusia secara kodrati bersifat inhern universal dan tidak dapat

dicabut. Hak-hak tersebut dimiliki oleh individu semata-mata karena martabatnya

78

Michael freedman dalam Ade Didik Irawan, Loc.cit. 79

Ade Didik Irawan, Loc.cit.

52

sebagai manusia dan bukan karena mereka adalah warga negara dari suatu negara.

Franz Magnis Suseno menyatakan bahwa:

Hak Asasi Manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia berdasarkan

martabatnya sebagai manusia dan bukan karena pemberian masyarakat

atau negara, dengan kata lain HAM dimiliki manusia bukan berdasarkan

hukum positif yang berlaku tetapi berdasarkan martabatnya sebagai

manusia. Dalam konsepsi hak asasi manusia di atas terkandung makna

bahwa hak asasi manusia tidak dapat dihapuskan atau dinyatakan tidak

berlaku oleh negara. Konsepsi-konsepsi hak asasi manusia yang

dikemukakan di atas bukanlah satu-satunya konsepsi hak asasi manusia

yang diterima oleh semua kalangan, tampaknya konsepsi-konsepsi hak

asasi manusia tersebut dipengaruhi oleh doktrin hukum kodrati dan hak-

hak kodrati.80

John Lock, Hugo De Grout, J.J Rousseau dan Imanuel Kant

mengemukakan bahwa “Sebuah hak asasi manusia bersifat ada serta melekat

pada diri seseorang manusia karena kodratnya sebagai manusia”.81

Oleh karena HAM itu bersifat kodrati, sebenarnya ia tidak memerlukan legitimasi

yuridis untuk pemberlakuannya dalam suatu sistem hukum nasional maupun

internasional. Sekalipun tidak ada perlindungan dan jaminan konstitusional

terhadap HAM, hak itu tetap eksis dalam setiap diri manusia. Gagasan HAM yang

bersifat teistik ini diakui kebenarannya sebagai nilai yang paling hakiki dalam

kehidupan manusia. Namun karena sebagian besar tata kehidupan manusia

bersifat sekuler dan positivistik, maka eksistensi HAM memerlukan landasan

yuridis untuk diberlakukan dalam mengatur kehidupan manusia.82

80Ibid. 81

Aditya Hendrasena, “Teori Dalam Hukum Dan Ham Yang Berlaku Di

Indonesia”, http://www.adityahendrasena.blogspot.com/2012/04/teori-ham-dalam-

indonesia.html, diakses tanggal 4 April 2012 82

Salman Luthan, “Proyeksi Harmonisasi Konvensi Menentang Penyiksaan

Dengan Hukum Pidana Nasional”, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional

Kerjasama Departemen Hukum Internasional-Fakultas Hukum Universitas Islam

Indonesia dengan ELSAM, Yogyakarta, 1995.

53

Anak yang telah dilahirkan, maka hak atas hidup dan hak merdeka sebagai

hak dasar dan kebebasan dasar tidak dapat dilenyapkan atau dihilangkan, tetapi

dilindungi dan diperluas hak atas hidup dan hak merdeka tersebut. Hak asasi anak

tersebut merupakan bagian dari hak asasi manusia yang mendapat jaminan dan

perlindungan hukum baik Hukum Nasional seperti yang termuat dalam dalam

Undang-Undang Dasar NKRI 1945, Undang-Undang HAM telah mencantumkan

tentang hak anak, pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab orang tua, keluarga,

masyarakat, pemerintah dan negara untuk memberikan perlindungan pada anak.

Undang-Undang Perlindungan Anak, baik itu perlindungan anak secara umum

maupun perlindungan anak secara khusus atau perlindungan anak yang berkonflik

dengan hukum, maupun Hukum Internasional seperti Universal Declaration of

Human Right (untuk selanjutnya disebut UDHR) dan Internasional on Civil and

Political Rights (untuk selanjutnya disebut ICPR).83

Nilai anak yang kemudian dijadikan norma universal adalah anak juga

dilihat sebagai manusia utuh, yang oleh karenanya memiliki hak asasi yang

dilindungi. Pandangan ini menuntut orang dewasa (orang tua biologis,

pemerintah, masyarakat) bertanggungjawab penuh terhadap setiap anak yang lahir

di dunia, entah dari siapapun, dan di belahan bumi manapun. Perlindungan anak

merupakan bagian dari pelaksanaan hak asasi manusia.84

83

Bambang Sukamto, “Diktat Hukum Perlindungan Anak”,

http://setanon.blogspot.com/2010/03/diktat-hukum-perlindungan-anak.html, diakses

tanggal 3 Maret 2010.

84

Bambang Sukamto, Hukum Perlindungan Anak,

http://setanon.blogspot.com/2010/03/hukum-perlindungan-anak.html, diakses tanggal 3

Maret 2010

54

Hak asasi manusia adalah hak yang memang sudah melekat pada setiap

manusia, sebagai anugerah Tuhan yang Maha Esa. Hak asasi manusia dilindungi

oleh negara hukum, yang salah satu unsurnya mensyaratkan adanya perlindungan

terhadap hak asasi manusia. Hal ini sejalan dengan teori HAM yang dikemukakan

oleh Marzuki Darusman, bahwa HAM itu hendaknya: sesuai dengan kodrat

manusia. Menurut kodratnya, manusia itu adalah makhluk pribadi sekaligus

makhluk sosial; HAM harus dihargai dan dijunjung tinggi secara adil. Maksudnya

memperlakukan tiap manusia sesuai dengan martabat kemanusiaannya....

Selanjutnya, Muladi mengemukakan bahwa melindungi hak-hak dapat terjamin

bila hak-hak itu merupakan bagian dari hukum karena hukum merupakan

pencerminan dari HAM, sehingga hukum itu mengandung keadilan atau tidak,

ditentukan oleh HAM yang dikandung dan diatur dan dijamin oleh hukum itu....

Berdasarkan uraian tersebut di atas maka teori perlindungan HAM yang

dikemukakan oleh Marzuki Darusman dan Muladi dapat digunakan sebagai pisau

analisis untuk menyelesaikan permasalahan yang pertama, yaitu bagaimana dasar

filosofi kebijakan formulasi pengaturan ketentuan pelaksanaan diversi di luar

sistem peradilan pidana anak di masa yang akan datang dalam rangka

perlindungan dan kesejahteraan anak.

2.1.2. Teori Perlindungan Anak

Penggunaan teori perlindungan anak sebagai pisau analisis pada disertasi

ini, didasarkan pada bagian judul yang dirumuskan sebagai perlindungan anak,

dan diharapkan dengan penggunaan teori ini dapat diperoleh landasan teoritis

55

dalam menganalisis, memperbaharui, dan mengembangkan hukum dalam upaya

melindungi hak-hak anak.

Apeldoorn menyebutkan bahwa tujuan hukum ialah mengatur pergaulan hidup

secara damai, yang lebih lanjut menyatakan bahwa:

Doel van hetrecht is een vreedzame ordening va sameleving. Het recht wil

de vrede...den vrede onder de mensen bewaam het recht door bepalde

menselijke belangen (materiele zowel als ideelen eer, rijheid, leven,

vermogenenz. Tegen benaling te beschermen. 85

(Terjemahan bebas: Tujuan hukum adalah mengatur masyarakat secara

damai. Hukum menghendaki perdamaian...perdamaian diantara manusia

dipertahankan oleh hukum dengan melindungi kepentingan-kepentingan

manusia tertentu (baik materiil maupun ideal), kehormatan, kemerdekaan,

jiwa, harta benda, dan sebagainya terhadap yang merugikannya).

Menurut Sudigno Mertokusumo, bahwa hukum berfungsi sebagai

pelindung kepentingan manusia harus dilaksanakan secara normal dan damai tapi

dapat terjadi juga karena pelanggaran hukum. Pelanggaran hukum terjadi ketika

subyek hukum tertentu tidak menjalankan kewajiban yang seharusnya dijalankan

atau karena melanggar hak-hak subyek hukum lain. Subyek hukum yang

dilanggar hak-haknya harus mendapatkan perlindungan hukum.86

Sudarto menyatakan bahwa tujuan utama perlindungan hukum adalah

mewujudkan kesejahteraan anak disamping kepentingan masyarakat. Namun

Sudarto tetap berpendapat bahwa kepentingan anak tidak boleh dikorbankan demi

kepentingan masyarakat. Dua asas penting yang harus diperhatikan adalah asas

memajukan kesejahteraan anak (the promotion of the well being of the juvenile)

dan prinsip proporsionalitas (the pinciple of proporsionalitas). Sasaran pertama

85

L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, diterjemahkan oleh Oetarid

Sadino, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1980), hlm. 23. 86

Sudigno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta:

Liberty, 1996), hlm. 140.

56

ini merupakan fokus utama dalam sistem hukum yang menangani pelanggaran

anak-anak, khususnya dalam sistem hukum yang mengikuti model peradilan

pidana harus lebih menekankan atau mengutamakan kesejahteraan anak.

Ditegaskan pula bahwa prinsip ini berarti menolak prinsip penggunaan sanksi

yang semata-mata bersifat pidana atau yang semata-mata bersifat menghukum

(the avoidance of merely punitive sanctions). Sedangkan sasaran kedua, yaitu

prinsip yang merupakan alat untuk mengekang penggunaan sanksi yang bersifat

menghukum dalam arti membalas semata-mata (just desort). Walaupun

penekanan pada permasalahan kesejahteraan anak, namun perlu dicatat pendapat

Paul W. Tappan yang menyatakan bahwa Peradilan Anak janganlah semata-mata

berfungsi sebagai suatu pengadilan pidana untuk anak dan tidak pula harus

berfungsi semata-mata sebagai lembaga sosial (the Juvenile Court should not

function merely as a criminal court for children, not should it function merely as a

social agency).87

Disamping mengutamakan kepentingan anak, juga

memperhatikan kepentingan masyarakat.

Anak sebagai makhluk Allah SWT dan juga sebagai makhluk sosial sejak

dalam kandungan sampai dilahirkan mempunyai hak atas hidup dan merdeka serta

mendapat perlindungan baik dari orang tua, keluarga, masyarakat, bangsa dan

negara. Oleh karena itu tidak ada seorang manusiapun atau pihak yang boleh

merampas hak atas hidup dan merdeka tersebut. Bila anak tersebut masih dalam

kandungan orang tua dan orang tua tersebut selalu berusaha untuk menggugurkan

87

Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1981), hlm. 140.

57

anaknya dalam kandungannya, maka orang tua tersebut akan diproses hukum

untuk mempertanggung jawabkan perbuatan yang melanggar hukum tersebut.88

Masalah perlindungan hukum bagi anak merupakan salah satu cara untuk

melindungi tunas bangsa di masa depan. Perlindungan hukum terhadap anak

menyangkut semua aturan hukum yang berlaku. Perlindungan ini penting karena

anak merupakan bagian masyarakat yang mempunyai keterbatasan secara fisik

dan mentalnya. Masa kanak-kanak adalah ketika seorang pribadi tumbuh dan

berkembang mencapai kedewasaan diri dan akan melewati peristiwa-peristiwa

yang positif dan negatif, tetapi semuanya akan membekali seorang anak untuk

menjadi dewasa. Sebagai suatu proses, dia tidak selayaknya menanggung

hukuman berat sampai pemenjaraan karena efeknya adalah pematian masa depan

anak.89

Oleh karena itu, anak memerlukan perlindungan dan perawatan khusus. Mereka

merupakan golongan lemah, yang kerapkali tidak dapat membela diri dan sangat

peka terhadap penyalahgunaan dan penelantaran terhadap dirinya.90

Bismar Siregar, sebagaimana dikutip oleh Kusumah, dan dikutip lagi oleh Made

Sadhi Astuti, menulis tentang aspek hukum perlindungan anak, lebih ditekankan

pada hak-hak anak bukan kepada kewajiban anak, karena anak secara hukum

belum dibebani kewajiban dan tidak dituntut pertanggungjawaban.91

88

Bambang Sukamto, “Diktat Hukum Perlindungan Anak”,

http://setanon.blogspot.com/2010/03/diktat-hukum-perlindungan-anak.html, diakses

tanggal 3 Maret 2010. 89

Hadi Supeno, Op.cit., hlm. 183. 90

Made Sadhi Astuti, Hukum Pidana Anak dan Perlindungan Anak, (Malang:

UMM Press, 2002), hlm. 21. (Selanjutnya disebut Made Sadhi Astuti I). 91Ibid., hlm. 5.

58

Aspek hukum perlindungan anak secara luas mencakup hukum pidana,

hukum acara, hukum tata negara, dan hukum perdata.

M. Nasir Djamil mengemukakan bahwa “Anak bukanlah untuk dihukum

melainkan harus diberikan bimbingan dan pembinaan, sehingga bisa tumbuh dan

berkembang sebagai anak normal yang sehat dan cerdas seutuhnya.92

Senada dengan M. Nasir Djamil adalah Hadi Supeno, yang menyatakan bahwa:

Pada masa tumbuh kembang anak sedang memenuhi kewajiban dan

memperoleh haknya untuk belajar. Pemenjaraan akan merampas hak

belajar anak karena selama proses peradilan menuju pemenjaraan dapat

dipastikan anak mengalami gangguan dalam belajar. Walaupun kelak di

Lapas anak diadakan kegiatan belajar mengajar, hal itu lebih kepada

pengajaran ilmu pengetahuan semata. Belajar yang sesungguhnya, yakni

berinteraksi dan berkomunikasi dengan teman sebaya dalam suasana

kegembiraan untuk saling berimajinasi dan berobsesi merajut bangunan

masa depan, tidak ada lagi. Pengajaran yang ada sangatlah kering karena

semuanya berada dalam suasana pengurungan dalam arti lahir dan batin.

Pemenjaraan juga akan mengganggu tumbuh kembang anak karena ragam

menu makanan yang tidak memenuhi standar gizi....93

Isu mengenai perkembangan anak menjadi salah satu hal yang penting

didiskusikan. Tak hanya disitu, negara sebagai tempat berlindung warganya harus

memberikan regulasi jaminan perlindungan bagi anak. Seiring berkembangnya

teknologi informasi yang sulit dibendung, ditambah iklim demokrasi yang

menjamin kebebasan pers, maka berbagai macam isu sangatlah mudah sampai

kepada publik, untuk kemudian ramai-ramai....94

92

M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum, Catatan Pembahasan UU

Sistem Peradilan Pidana Anak (UU-SPPA), (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm. 1-2. 93

Hadi Supeno, Op.cit., hlm. 183. 94Ibid.

59

Sementara itu, Peter Newel, seorang expert dalam perlindungan anak,

mengemukakan beberapa alasan subjektif dari sisi keberadaan anak, sehingga

anak membutuhkan perlindungan, antara lain :

a) Biaya pemulihan (recovery) akibat kegagalan dalam memberikan

perlindungan anak sangat tinggi. Jauh lebih tinggi daripada biaya yang

dikeluarkan jika anak-anak memperoleh perlindungan;

b) Anak-anak sangat berpengaruh langsung dan berjangka panjang atas

perbuatan (action) ataupun tidak adanya/dilakukannya perbuatan (un-

action) dari pemerintah dan kelompok lainnya;

c) Anak-anak selalu mengalami pemisahan atau kesenjangan dalam

pemberian pelayanan publik;

d) Anak-anak tidak mempunyai hak suara, dan tidak mempunyai kekuatan

lobi untuk mempengaruhi agenda kebijakan pemerintah;

e) Anak-anak pada banyak keadaan tidak dapat mengakses perlindungan

dan penataan hak-hak anak; dan

f) Anak-anak lebih beresiko dalam eksploitasi dan penyalahgunaan. 95

Pandangan dan pemikiran tentang perlindungan anak sekarang telah menjadi

bahan-bahan kajian akademis dan perdebatan politis karena banyak pihak

menyadari persoalan perlindungan anak merupakan persoalan serius. Berbicara

perlindungan anak bukan sekedar bicara anak dalam kajian psikologis, pedagogis,

atau sosiologis, lebih dari itu semua, bicara soal perlindungan anak berarti bicara

soal kelangsungan hidup sebuah komunitas, berbicara tentang rancang bangun

sosial masa depan.96

Masa kanak-kanak adalah ketika seorang pribadi tumbuh dan berkembang

mencapai kedewasaan diri. Pada saat itu, akan melewati peristiwa-peristiwa yang

positif dan negatif yang akan membekali anak menjadi dewasa. Sebagai suatu

95

Peter Newel, “Taking Children Seriously, A Proposal For Children’s Rights

Commisioner,” (London: Colouste Gulbenkian Foundation), p. 1, dalam Hadi Supeno,

Op.cit., hlm. 30. 96

Hadi Supeno, Loc.cit.

60

proses, dia tidak selayaknya menanggung hukuman berat sampai pemenjaraan

karena efeknya adalah pematian masa depan anak.

Berdasarkan uraian tersebut di atas maka teori perlindungan anak yang

dikemukakan Hadi Supeno digunakan sebagai pisau analisis untuk menyelesaikan

permasalahan kedua, yaitu bagaimana kebijakan formulasi pengaturan ketentuan

pelaksanaan diversi yang mencerminkan prinsip perlindungan dan kesejahteraan

bagi anak yang berkonflik dengan hukum di masa yang akan datang.

2.1.3. Teori Keadilan

Konsep tentang keadilan telah menjadi wacana yang berkembang dinamis

seiring dengan berjalannya waktu. Perkembangan pembicaraan keadilan telah

cukup lama dimulai dari waktu ke waktu, sejak jaman Yunani misalnya Socrates,

Aristoteles, dan Plato telah memberikan kontribusi pemikiran mereka tentang

keadilan.

Keadilan memang dapat dirumuskan secara sederhana sebagai tolok ukur

untuk dipakai dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang di bawah ini dikutip

berbagai perumusan mengenai keadilan, sebagai berikut:

1. Ulpianus, keadilan adalah kemauan yang bersifat tetap dan terus

menerus untuk memberikan kepada setiap orang apa yang semestinya

untuknya (Iustitia est constans et perpetua voluntas ius suum cuique

tribuendi);

2. Menurut Aristoteles, keadilan adalah suatu kebijakan politik yang

aturan-aturannya menjadi dasar dari peraturan negara atau aturan-

aturan ini merupakan ukuran tentang apa yang hak. Orang harus

mengendalikan diri dari pleonexia, yaitu memperoleh keuntungan bagi

diri sendiri dengan cara merebut apa yang merupakan kepunyaan

orang lain, atau menolak apa yang seharusnya diberikan kepada orang

lain. Aristoteles mendekati masalah keadilan dari segi persamaan.

Asas ini menghendaki agar sumber daya di dunia ini diberikan atas

61

asas persamaan kepada anggota-anggota masyarakat atau negara.

Hukum hendaknya menjaga agar pembagian yang demikian

senantiasa terjamin dan dilindungi dari perkosaan-perkosaan

terhadapnya. Dalam hubungan ini ia membedakan antara lain keadilan

distributif dan korektif. Keadilan distributif menyangkut persoalan

pembagian barang-barang dan kehormatan kepada masing-masing

orang sesuai dengan tempatnya dalam masyarakat. Ia menghendaki

agar orang-orang yang mempunyai kedudukan sama memperleh

perlakuan yang sama pula di hadapan hukum. Keadilan ini menjadi

model dari rumusan Romawi yang klasik sebagaimana dibuat oleh

Ulpianus, yaitu Honeste vivere, alterum non leadre, suum euique

tribure, hidup secara terhormat tidak mengganggu orang di

sekelilingmu, memberikan kepada setiap orang bagiannya. Keadilan

korektif memberikan ukuran bagi menjalankan hukum sehari-hari,

yang harus mempunyai standar umum guna memperbaiki

(memulihkan) konsekuensi dari suatu tindakan yang dilakukan orang

dalam hubungan satu sama lain. Pidana memperbaiki yang telah

dilakukan oleh kejahatan, pemulihan memperbaiki kesalahan perdata,

ganti rugi mengembalikan keuntungan yang diperoleh secara salah.

Standar tersebut harus diterapkan tanpa melihat orang lain semuanya

harus tunduk kepada standar yang obyektif. Kedua-duanya mengikuti

asas persamaan yang dikatakan bahwa harus ada persamaan dalam

bagian yang diterima oleh orang-orang, oleh karena rasio dari yang

dibagi harus sama dengan rasio dari orang-orangnya. Sebab apabila

orang-orangnya tidak sama maka di situ tidak akan ada bagian yang

sama pula; maka apabila orang-orang yang sama tidak menerima

bagian yang sama, timbullah sengketa dan pengaduan;

3. Menurut Justinian, keadilan adalah kebajikan yang memberi hasil,

bahwa setiap orang mendapat apa yang merupakan bagiannya;

4. Menurut Herbert Spencer, setiap orang bebas untuk menentukan apa

yang akan dilakukannya asal tidak melanggar kebebasan yang sama

dari orang lain;

5. Menurut Roscoe Pound dilihat dalam hasil-hasil konkrit yang bisa

diberikan kepada masyarakat. Ia melihat bahwa hasil yang diperoleh

itu hendaknya berupa pemuasan kebutuhan, dan menghindari

perbenturan antara manusia dalam menikmati sumber-sumber daya,

singkatnya social engeneering yang makin efektif;

6. Menurut Nelson, tidak ada arti lain bagi keadilan kecuali persamaan

pribadi;

7. Menurut John Salmond, norma keadilan menentukan ruang lingkup

dari kemerdekaan individual, sehingga dengan demikian membatasi

kemerdekan individu di dalam batas-batas sesuai dengan

kesejahteraan umat manusia;

8. Menurut Hans Kelsen, keadilan adalah suatu tertib sosial tertentu yang

di bawah lindungannya usaha untuk mencari kebenaran bisa

berkembang dengan subur. Karena itu keadilan adalah keadilan

62

kemerdekaan, keadilan perdamaian, keadilan demokrasi dan keadilan

toleransi.97

Pemikiran mengenai adanya keadilan menyebabkan kehidupan hukum itu

mempunyai dinamika. Hukum positif, yaitu hukum yang dibuat dan dijalankan

dalam suatu wilayah tertentu senantiasa dihadapkan dengan tuntutan keadilan,

sehingga menimbulkan kehidupan hukum yang selalu dinamis.98

Oleh karena itu

kehidupan hukum tidak akan pernah final, melainkan selalu merupakan

perjuangan. Hal ini karena ada hukum yang dianggap ideal, maka konsep keadilan

dalam kehidupan hukum positif yang berlaku sekarang, senantiasa diuji oleh

hukum yang dianggap ideal tersebut. Setiap pembicaraan mengenai hukum, maka

senantiasa tidak akan dilepaskan dengan pembicaraan mengenai keadilan. Lebih

lanjut, Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa membicarakan hukum adalah

membicarakan hubungan antar manusia. Membicarakan hubungan antar manusia

adalah membicarakan keadilan. Dengan demikian, setiap pembicaraan mengenai

hukum, jelas atau samar-samar, senantiasa merupakan pembicaraan mengenai

keadilan pula.99

Keadilan hanya bisa dipahami jika ia diposisikan sebagai keadaan yang

hendak diwujudkan oleh hukum. Upaya untuk mewujudkan keadilan dalam

hukum tersebut merupakan proses yang dinamis yang memakan banyak waktu.

97

Satjipto Rahardjo, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya, (Jakarta:

Genta Publishing, 2009), hlm. 14. 98Ibid., hlm. 159. 99Ibid.

63

Upaya ini seringkali juga didominasi oleh kekuatan-kekuatan yang bertarung

dalam kerangka umum tatanan politik untuk mengaktualisasikannya.100

Ruti G. Teitel, telah mengembangkan sebuah konsep baru tentang keadilan

transisi, dimana dalam penjelasannya disebutkan:

Praktik transisional selama setengah abad terakhir menunjukkan bahwa

selalu terdapat masalah peradilan yang ditimbulkan dari pergeseran norma

paradigmatik yang mencirikan transisi. Kompromi terhadap keadilan ini

memberikan batasan sekaligus memungkinkan pelaksanaan kekuasaan

penghukuman dalam transisi. Meskipun terdapat ekspansi dramatik dalam

pertanggungjawaban pidana dalam tingkat abstrak, pelaksanaannya masih

tertinggal jauh. Praktek suksesor menunjukkan suatu pola penyelidikan

pidana yang dilanjutkan proses pengadilan, namun dengan sanksi yang

ringan atau tidak ada sama sekali. Sementara, hukuman secara umum

dieksploitasikan sebagai praktek tunggal yang mencakup proses penentuan

dan penghukuman kesalahan, dalam sanksi pidana transisional, elemen-

elemen penentu dan pemberian sanksi menjadi terpisah satu sama lain.

Proses pidana parsial yang menyusul, yang dikenal sebagai sanksi

“terbatas” adalah yang membedakan peradilan pidana dalam masa

transisi.101

Thomas membedakan antara keadilan distributif, keadilan tukar menukar,

dan keadilan legal (iustitia distributiva, iustitia commutative, iustitia legalis),

dengan penjelasan sebagai berikut:

1. Keadilan distributif menyangkut hal-hal umum, seperti jabatan, pajak,

dan sebagainya. Hal ini harus dibagi menurut kesamaan geometris;

2. Keadilan tukar menukar menyangkut barang yang ditukar antara

pribadi, seperti: jual beli, dan sebagainya. Ukurannya bersifat

aritmetis. Tentang keadilan balas dendam (ius vindicatia) tidak

dibicarakan Thomas secara eksplisit. Kiranya keadilan ini termasuk

keadilan tukar menukar;

3. Keadilan legal menyangkut keseluruhan hukum sehingga dapat

dikatakan bahwa kedua keadilan tadi terkandung dalam keadilan legal

100

Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, (Bandung: Nuansa

dan Nusamedia, 2004), hlm. 239. 101

Ruti G. Teitel, Keadilan Transisi Sebuah Tinjauan Komprehensif, (Jakarta:

Elsam), hlm. 59.

64

ini. Epikeia juga termasuk keadilan legal, disamakan dengan

pandangan yang bijaksana atas perkara-perkara hukum.102

Keadilan legal ini menuntut supaya orang tunduk pada semua undang-

undang, oleh karena undang-undang itu menyatakan kepentingan umum sehingga

mentaati hukum adalah sama dengan bersikap baik dalam segala hal, maka

keadilan legal disebut juga keadilan umum (ius generalis).103

Menurut Ulpianus, keadilan adalah Justitia est perpetua et contants

valuntas jus suum cuique tribuendi, bahwa keadilan adalah suatu keinginan yang

terus menerus dan tetap untuk memberikan kepada orang apa yang menjadi

haknya. Hal itu berarti bahwa keadilan harus senantiasa mempertimbangkan

kepentingan yang terlibat di dalamnya.104

Sementara itu, Frans Magnis Suseno berpendapat bahwa tuntutan akan keadilan

itu mempunyai dua arti, yaitu dalam arti formal, bahwa keadilan menurut hukum

harus berlaku umum, sedangkan dalam arti material, hukum dituntut agar sesuai

mungkin dengan cita-cita keadilan dalam masyarakat.105

Kepastian hukum

pertama-tama berarti kepastian dalam pelaksanaannya. Maksudnya bahwa hukum

yang resmi diperundangkan dilaksanakan oleh negara.106

Kepastian hukum berarti

bahwa setiap orang dapat menuntut agar hukum dilaksanakan dan tuntutan itu

pasti dipenuhi dan setiap pelanggaran hukum akan ditindak dan dikenakan sanksi

menurut hukum juga.

102Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta:

Kanisius, 1986), hlm. 43. 103Ibid. 104

Peter Mahmud Marzuki, Op.cit., hlm. 59. 105

Frans Magnis Suseno, Etika Politik Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan

Modern, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1999), hlm. 81. 106Ibid., hlm. 79.

65

Menurut John Rawls, dalam bukunya A Theory of Justice, keadilan adalah

kebajikan utama dalam institusi sosial, sebagaimana kebenaran dalam sistem

pemikiran. Suatu teori betapapun elegan dan ekonomisnya, harus ditolak atau

direvisi jika ia tidak benar. Demikian juga hukum dan institusi, tidak peduli

betapapun efisien dan rapinya, harus direformasi atau dihapuskan jika tidak

adil.107

Pandangan John Rawls tersebut tampak menunjukkan kepada kita tentang

keutamaan keadilan yang akan mengatur masyarakat agar tertata dengan baik.

Bertolak dari itu, Rawls ingin membangun sebuah teori keadilan yang

mampu menegakkan keadilan sosial dan sekaligus dapat dipertanggungjawabkan

secara obyektif, khususnya dalam perspektif demokrasi. Teori keadilan dianggap

memadai apabila dibentuk dengan pendekatan kontrak, dimana prinsip-prinsip

keadilan yang dipilih sebagai pegangan bersama merupakan hasil kesepakatan

bersama dari semua pihak yang bebas, rasional dan sederajad yang disebut Rawls

sebagai Justice as Fairness. Dengan demikian Rawls menekankan pentingnya

melihat keadilan sebagai “kebajikan utama” yang harus dipegang teguh sekaligus

menjadi semangat dasar pelbagai lembaga sosial dasar suatu masyarakat.108

Menurut Rawls, suatu konsep keadilan hanya secara efektif mengatur masyarakat

apabila konsep keadilan tersebut dapat diterima secara umum. Oleh karena itulah,

teori keadilan yang bersifat kontrak yang menjamin kepentingan semua pihak

secara fair.109

107

John Rawls, A Theory of Justice, Penerjemah Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo,

Teori Keadilan Dasar-dasar Filsafat Politik untuk mewujudkan Kesejahteraan Sosial

dalam Negara, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 3-4.

108Andre Ata Ulan, Keadilan dan Demokrasi, Telaah Filsafat Politik John Rawls,

(Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 23

109Ibid.

66

John Rawls mengatakan bahwa kepentingan utama keadilan adalah (1)

jaminan stabilitas hidup manusia, dan (2) keseimbangan antara kehidupan pribadi

dan kehidupan bersama. Rawls mempercayai bahwa struktur masyarakat ideal

yang adil adalah struktur dasar masyarakat yang asali dimana hak-hak dasar,

kebebasan, kekuasaan, kewibawaan, kesempatan, pendapatan, dan kesejahteraan

terpenuhi.110

Kategori struktur masyarakat ideal ini digunakan untuk:

1. menilai apakah institusi-institusi sosial yang ada telah adil atau tidak;

2. melakukan koreksi atas ketidakadilan sosial.111

Selanjutnya, Rawls berpendapat bahwa yang menyebabkan ketidak-adilan

adalah situasi sosial sehingga perlu diperiksa kembali, mana prinsip-prinsip

keadilan yang dapat digunakan untuk membentuk situasi masyarakat yang baik.

Koreksi atas ketidak-adilan dilakukan dengan cara mengembalikan (call for

redress) masyarakat pada posisi asali (people on original position). Dalam posisi

dasar inilah kemudian dibuat persetujuan asli (original agreement) antar anggota

masyarakat secara sederajad.112

Ada tiga syarat supaya manusia dapat sampai pada posisi asali, yaitu:

1. Diandaikan bahwa tidak diketahui, manakah posisi yang akan diraih

seorang pribadi tertentu di kemudian hari. Tidak diketahui manakah

bakatnya, intelegensinya, kesehatannya, kekayaannya, dan aspek sosial

yang lain.

2. Diandaikan bahwa prinsip-prinsip keadilan dipilih secara konsisten

untuk memegang pilihannya tersebut.

3. Diandaikan bahwa tiap-tiap orang suka mengejar kepentingan individu

dan baru kemudian kepentingan umum. Ini adalah kecenderugan alami

110Ibid., hlm. 26-28.

111John Rawls, Op.cit., hlm. 65-136.

112Ibid.

67

manusia yang harus diperhatikan dalam menemukan prinsip-prinsip

keadilan.113

Dalam menciptakan keadilan, prinsip utama yang digunakan adalah:

1. Kebebasan yang sama sebesar-besarnya, asalkan tetap menguntungkan

semua pihak;

2. Prinsip ketidaksamaan yang digunakan untuk keuntungan bagi yang

paling lemah.114

Prinsip ini merupakan gabungan dari prinsip perbedaan dan persamaan yang adil

atas kesempatan. Secara keseluruhan berarti ada tiga prinsip untuk mencari

keadilan, yaitu:

1. Kebebasan yang sebesar-besarnya sebagai prioritas.

2. Perbedaan.

3. Persamaan yang adil atas kesempatan.

Perkembangan berikutnya, restorative justice merupakan suatu model

pendekatan yang muncul dalam upaya penyelesaian perkara pidana. Berbeda

dengan pendekatan yang dipakai pada sistem peradilan pidana konvensional,

pendekatan ini menitikberatkan pada adanya partisipasi langsung dari pelaku,

korban, dan masyarakat dalam proses penyelesaian perkara pidana. Terlepas dari

kenyataan bahwa pendekatan ini masih diperdebatkan secara teoritis, tapi

pandangan ini pada kenyataannya berkembang dan banyak mempengaruhi

113Ibid., hlm. 144-226. 114

Ibid.

68

kebijakan hukum dan praktik di berbagai negara, seperti New Zealand,115

dan

Australia.116

Restorative justice merupakan bentuk keadilan yang dikembangkan oleh

Howard Zehr, seorang guru besar Sosiologi dan Keadilan Restoratif, Program

Transformasi Konflik, Eastern Mennonite University, Horrisonburg. Howard Zehr

mengemukakan bahwa:

Restorative justice is a process to involve to the extent possible, those who

have a stake in a specific offense and to collectively identify and address

harms, needs, and obligation, in order to heal and put things as

possible”.117

(Terjemahan bebas: Keadilan restoratif adalah proses untuk

melibatkan sejauh mungkin orang-orang yang memiliki kepentingan dalam

pelanggaran tertentu dan untuk bersama-sama mengidentifikasi masalah

yang merugikan, yang merupakan kebutuhan dan kewajiban untuk

memulihkan dan meletakkan sesuatu seperti semula).

Selanjutnya, Mark Umbreit mengemukakan bahwa:

Restorative justice provides as verry different framework for understanding

and responding to crime. Crime in understood as harm to individuals and

communities, rather than the simply a violation of abstract laws against the

state. Those most directly affected by crime-victims, community members

and offenders-are therefore encouraged to play an active role in the justice

process. Rather than the current focus on offender punishment, restoration

of the emotional and material losses resulting from crime is far more

important.118

(Terjemahan bebas: Keadilan restoratif menyediakan kerangka

115

Pada tahun 1989 di New Zealand ditetapkan undang-undang yang memuat

ketentuan mengenai “Family Group Conference” disingkat FGC yang menangani tindak

pidana anak, pemeliharaan (pengasuhan), dan perlindungan anak. Pranata baru ini

mendapat inspirasi dari praktek peradilan suku Maori.

116

Polisi di kota kecil Wagga Wagga di New South Wales melakukan suatu

eksperimen. Eksperimen polisi di Wagga Wagga dipengaruhi tidak saja oleh FGC New

Zealand tapi oleh teori “reintegrative Shaming” dari John Braithwaite. Waggga Wagga

model dengan cepat meluas ke berbagai negara terutama di Kerajaan Inggris Raya.

117

Howard Zeir, The Little Book of Restorative Justice, (PA: Good Books, 2002),

p. 37.

118Mark Umbreit, “Avoding the Marginnalization and „McDonaldization‟ of

Victim-offender mediation: A Case Study in Moving Toward the Mainstream” in

Restorative Juvenile Justice Repairing the Harm of Youth Crime”, edited by Gordon

Bazemore and Lode Walgrave Monsey, (New York: Criminal Justice Press, 1999), p.

213.

69

kerja yang sangat berbeda untuk memahami dan merespon kejahatan.

Kejahatan dipahami sebagai kerugian bagi individu dan masyarakat, bukan

hanya pelanggaran hukum negara yang sifatnya abstrak. Mereka yang

terkena dampak kejahatan secara langsung, yaitu korban, anggota

masyarakat, dan pelaku, karena itu didorong untuk berperan aktif dalam

proses peradilan. Saat ini pemulihan kerugian emosional dan material yang

timbul jauh lebih penting daripada hukuman untuk pelaku).

Dalam Handbook on Restorative Justice Programmes disebutkan bahwa

“Restorative justice is an approach to problem solving that, in its various forms,

involves the victim, the offender, their social networks, justice agencies an

community.119

(Terjemahan bebas: Restorative justice adalah sebuah pendekatan

untuk pemecahan masalah dalam berbagai bentuk, melibatkan korban, pelaku,

jaringan sosial, lembaga-lembaga keadilan dan masyarakat).

Menurut Muladi secara rinci Restorative Justice Model mempunyai

beberapa karakteristik yaitu :

a. Kejahatan dirumuskan sebagai pelanggaran seorang terhadap orang lain

dan diakui sebagai konflik;

b. Titik perhatian pada pemecahan masalah pertanggungjawaban dan

kewajiban pada masa depan;

c. Sifat normatif dibangun atas dasar dialog dan negosiasi;

d. Restitusi sebagai sarana perbaikan para pihak, rekonsiliasi dan restorasi

sebagai tujuan utama;

e. Keadilan dirumuskan sebagai hubungan-hubungan hak, dinilai atas

dasar hasil;

f. Sasaran perhatian pada perbaikan kerugian sosial;

g. Masyarakat merupakan fasilitator di dalam proses restoratif;

h. Peran korban dan pelaku tindak pidana diakui, baik dalam masalah

maupun penyelesaian hak-hak dan kebutuhan korban. Pelaku tindak

pidana didorong untuk bertanggung jawab;

i. Pertanggungjawaban si pelaku dirumuskan sebagai dampak pemahaman

terhadap perbuatan dan untuk membantu memutuskan yang terbaik;

j. Tindak pidana dipahami dalam konteks menyeluruh, moral, sosial dan

ekonomis; dan

119United Nations, Handbook on Restorative Justice Programmes, (New York:

United Nations Publication, 2006), p. 6.

70

k. Stigma dapat dihapus melalui tindakan restoratif.120

Restorative justice mengembalikan konflik kepada pihak-pihak yang

paling terkena pengaruh yaitu korban, pelaku dan kepentingan komunitas mereka

dan memberikan keutamaan pada kepentingan-kepentingan mereka. Restorative

justice juga menekankan pada hak asasi manusia dan kebutuhan untuk mengenali

dampak dari ketidakadilan sosial dan dalam cara-cara yang sederhana untuk

mengembalikan mereka daripada secara sederhana memberikan pelaku keadilan

formal atau hukum dan korban tidak mendapatkan keadilan apapun. Kemudian

restorative justice juga mengupayakan untuk merestore keamanan korban,

penghormatan pribadi, martabat, dan yang lebih penting adalah sense of

control.121

Secara konseptual, restorative justice berisi gagasan-gagasan dan prinsip-

prinsip sebagai berikut:

a. Membangun partisipasi bersama antara pelaku, korban dan kelompok

masyarakat menyelesaikan suatu peristiwa atau tindak pidana.

Menempatkan pelaku, korban, dan masyarakat sebagai “stakeholders”

yang bekerjasama dan langsung berusaha menemukan penyelesaian

yang dipandang adil bagi semua pihak (win-win solution);

b. Mendorong pelaku bertanggungjawab terhadap korban atas peristiwa

atau tindak pidana yang telah menimbulkan cedera atau kerugian

terhadap korban. Selanjutnya membangun tanggung jawab tidak

mengulangi lagi perbuatan pidana yang pernah dilakukannya;

c. Menempatkan peristiwa atau tindak pidana tidak terutama sebagai suatu

bentuk pelanggaran hukum, melainkan sebagai pelanggaran oleh

seseorang (sekelompok orang) terhadap seseorang (sekelompok orang).

Karena itu sudah semestinya pelaku diarahkan pada

pertanggungjawaban terhadap korban, bukan mengutamakan

pertanggungjawaban hukum;

120

Muladi, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Semarang: Badan Penerbit Universitas

Diponegoro, 1995), hlm. 90. 121

“Perkembangan Teori Pemidanaan”,

http://www.alienjustitia.blogspot.com/p/perkembangan-teori-pemidanaan.html, diakses

tanggal 2 Januari 2013.

71

d. Mendorong menyelesaikan suatu peristiwa atau tindak pidana dengan

cara-cara yang lebih informal dan personal, daripada penyelesaian

dengan cara-cara beracara yang formal (kaku) dan impersonal.122

Landasan filosofis restorative justice adalah perbaikan keadaan korban,

memaafkan perbuatan pelaku dan keikhlasan korban serta mengembalikan pelaku

pada masyarakat. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Consedine berikut

ini:

We need to discover a philosophy that moves from punishment to

reconcilitiation, from vengeance against offender to healing for victims,

from negativity and destructiveness to healing, forgiveness and mercy.

That philosophical base is restorative juctice. A positive philoshopy that

embraces a wide range of human emotions, including healing, forgiveness,

mercy and reconciliation, as well as sanction where appropriate, has

much to offer. 123

(Terjemahan bebas: Kita perlu menemukan sebuah filosofi yang bergerak

dari hukuman untuk rekonsiliasi, dari balas dendam terhadap pelaku untuk

pemulihan bagi korban, dari negatif dan destruktif untuk pemulihan,

pengampunan dan belas kasihan. Itulah dasar filosofis keadilan restoratif.

Sebuah filosofi positif yang mencakup berbagai emosi manusia, termasuk

pemulihan, pengampunan, dan rekonsiliasi serta sanksi jika diperlukan,

yang menawarkan banyak hal).

Restorative justice merupakan konsep yang penting untuk diaplikasikan

melalui proses nyata. Untuk dapat menyatakan bahwa proses tersebut merupakan

proses restoratif, maka ciri dari proses yang menggunakan pendekatan restorative

justice, sebagai berikut:

1. Fleksibilitas respon dari lingkungan baik terhadap tindak pidana yang

terjadi, pelaku maupun korban, bersifat individual dan harus dilihat

kasus perkasus;

2. Respon yang diberikan atas perkara yang terjadi mencerminkan

perhatian yang mendalam dan persamaan perlakuan dan mendorong

hubungan yang harmonis antar warga masyarakat untuk menghilangkan

kerusakan akibat tindak pidana;

122Eva Achjani Zulfa, Op.cit., hlm. 7.

123Jim Consedine, Restorative Justice Healing The Effects of Crime, (New

Zealand: Ploughshares Publication, 2003), p. 11.

72

3. Merupakan alternatif penyelesaian perkara di luar maupun dengan

dengan menggunakan sistem peradilan pidana formal yang berlaku dan

mencegah stigma negatif yang timbul pada diri pelaku akibat proses

tersebut. Pendekatan restoratif ini dapat menggunakan hukum pidana

sebagai upaya penyelesaiannya baik dalam proses maupun pada jenis

sanksi yang dijatuhkan;

4. Pendekatan ini juga melingkupi usaha-usaha untuk memecahkan

masalah yang terjadi dan menyelesaikan segala konflik yang timbul;

5. Pendekatan restoratif ini merupakan usaha yang ditujukan untuk

menghilangkan rasa bersalah pelaku dan merupakan media bagi usaha

memenuhi kebutuhan korban;

6. Pendekatan ini harus disertai usaha mendorong pelaku mendapat

koreksi dan masukan bagi perubahan perilakunya dan mendorong

pelaku bertanggungjawab melalui perbuatan-perbuatan yang berarti;

7. Fleksibilitas dan variabel yang digunakan dalam pendekatan dengan

menggunakan paradigma ini dapat diadopsi dari lingkungan, tradisi

hukum yang hidup dalam masyarakat serta prinsip dan filosofi yang

dianut dalam sistem hukum nasional.124

Menurut Kittiyarah, terdapat enam prinsip pokok sebagai kerangka kerja

restorative justice, yaitu:

1. Perbuatan (tindak) pidana merupakan peristiwa manusiawi dalam wujud

pelanggaran hubungan sosial baik bersifat pribadi maupun terhadap

pihak lain. Perbuatan (tindak) pidana tidak semata-mata pelanggaran

hukum negara tapi pelanggaran terhadap orang;

2. Tujuan peradilan adalah untuk sejauh mungkin memperbaiki kerusakan

dan memulihkan hubungan, baik terhadap individu maupun masyarakat

ke keadaan semula;

3. Korban harus mempunyai kesempatan memilih ambil bagian ke dalam

proses. Keikutsertaan dapat dalam bentuk informasi dan dialog dengan

pelaku, penyelesaian timbal balik dengan pelaku menyangkut restitusi

(kompensasi), pengurangan rasa takut, meningkatnya rasa aman (rasa

tenteram), tumbuhnya harapan baru, dan lain-lain;

4. Pelaku diberi kesempatan menerima tanggungjawab dan kewajiban

terhadap korban dan masyarakat pada umumnya. Keikutsertaan dapat

dalam bentuk menentukan kewajiban, berhadapan langsung dengan

korban, memahami dampak perbuatan, dan lain-lain;

5. Masyarakat sekeliling (setempat) dan sumber-sumbernya harus

mengutarakan berbagai keperluan korban dan pelaku, termasuk

pencegahan pelanggaran;

124 Eva Achjani Zulfa, Op,cit., hlm 88-89.

73

6. Sistem peradilan pidana formal harus menjamin korban dan pelaku

terlibat dalam hal yang mengikat semua peserta tanpa sesuatu paksaan,

termasuk melakukan monitoring.125

Restorative justice sebagai konsep pemidanaan bermaksud menemukan

jalan menegakkan sistem pemidanaan yang lebih adil dan berimbang. Misalnya,

antara kepentingan pelaku dan korban. Sistem pemidanaan yang berlaku saat ini

kurang memperhatikan kepentingan korban. Selain kepentingan korban, dalam

konsep restoratif justice menyangkut juga kepentingan pelaku dan kewajiban

pelaku, yaitu agar pelaku kembali menjadi warga yang bertanggungjawab, baik

terhadap korban, keluarganya (seperti orang tuanya), dan masyarakat

sekelilingnya.

Sementara itu Satjipto Raharjo berpendapat bahwa “Hukum bukanlah

sekedar logika semata karena lebih dari itu hukum merupakan ilmu sebenarnya,

juga melihat adanya kaitan dengan hal-hal di belakang hukum”.126

Keinginan

untuk melihat logika sosial daripada logika hukum atau perundang-undangan,

yang seharusnya selalu dimaknai sehingga selalu up to date. Dengan kata lain

hukum selalu bergerak dan menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat.

Selanjutnya, berkaitan dengan keadilan terhadap anak, John Rawls

mengemukakan bahwa “Tahap pertama dalam urutan perkembangan moral

disebut sebagai moralitas otoritas (morality of otority)”.127

Ketika aspek-aspek

tertentu dari moralitas ini dipertahankan pada tahap berikutnya untuk keperluan

125

Kittipong Kittiyarah, “Restorative Justice: Thai Experience”, (UNAFEI,

Series, No. 63, 2004), p. 28. 126

Turiman, Memahami Hukum Progresif Satjipto Rahardjo Dalam Paradigma

“Thawaf” (Sebuah Komtemplasi Bagaimana Mewujudkan Teori Hukum yang Membumi/Grounded Theory Meng-Indonesia), Dikutip dari Disertasi Program Doktor

Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Diponorogo, 2010, hlm. 2. 127

John Rawls, Op.cit., hlm. 602.

74

khusus, kita dapat menganggap moralitas otoritas dalam bentuk primitifnya yaitu

pada masa kanak-kanak. Hal ini diungkapkan sebagai berikut:

“…Bahwa struktur dasar dari masyarakat yang tertata termasuk keluarga

dalam bentuk tertentu, dan karenanya anak itu pertama kalinya menjadi

subjek dari kekuasaan absah orang tuanya. Tentu saja, dalam penyelidikan

yang lebih luas, institusi keluarga bisa jadi dipertanyakan, dan rencana-

rencana lain mungkin memang terbukti lebih baik. Tapi kiranya pendapat

tentang moralitas otoritas, jika perlu bisa disesuaikan agar cocok dengan

berbagai skema yang berbeda ini. Dalam setiap kesempatan adalah

kekhasan keadaan anak bahwa ia bukan berada dalam posisi untuk menilai

keabsahan ajaran-ajaran dan perintah yang ditujukan padanya oleh mereka

yang dalam kekuasaan, dalam kasus ini adalah orang tuanya. Ia tidak

mempunyai pengetahuan dan juga pemahaman, yang menjadi dasar

baginya untuk menentang bimbingan orang tuanya. Bahkan, anak-anak

tidak mempunyai konsep dasar kebenaran sama sekali, dan ini baru akan

diperolehnya belakangan. Karenanya, ia tidak bisa mempunyai alasan

untuk meragukan kepatutan perintah-perintah orang tuanya.…”128

Hal ini sejalan dengan pendapat Maidin Gultom, bahwa “Memelihara

kelangsungan hidup anak adalah tanggung jawab orang tua, yang tidak boleh

diabaikan”.129

Lebih lanjut lagi, John Rawls mengemukakan bahwa “Moralitas otoritas

anak itu bersifat primitif karena sebagian besarnya terdiri dari sekumpulan ajaran-

ajaran, dan ia tidak bisa memahami skema kebenaran dan keadilan yang lebih

besar, yang di dalamnya aturan-aturan yang ditujukan padanya bisa

dibenarkan”.130

Sementara itu, menurut Hadi Supeno, pengertian keadilan bagi anak yang

berkonflik dengan hukum adalah dipastikannya semua anak untuk memperoleh

layanan dan perlindungan secara optimal dari sistem peradilan dan proses

128Ibid. 129

Maidin Gultom, Op.cit., hlm. 1 130

John Rawls, Op.cit., hlm. 607.

75

hukum.131

Targetnya adalah norma-norma, prinsip, dan standar hak-hak anak

secara penuh diaplikasikan untuk semua anak tanpa kecuali, baik anak yang

berhadapan dengan hukum maupun anak yang berkonflik dengan hukum.132

Satu kenyataan bahwa hambatan akses terhadap keadilan bagi anak justru sering

datang dari masyarakat itu sendiri, yang menyebabkan perilaku birokrasi dan

aparat penegak hukum memperoleh legitimasi dalam memperlakukan anak-anak

yang berkonflik dengan hukum.133

Menurut Made Sadhi Astuti, hak-hak anak sebaiknya dipahami sebagai suatu

perwujudan adanya keadilan. Keadilan adalah suatu kondisi dimana setiap anak

dapat melaksanakan hak dan kewajibannya secara seimbang, serta dapat

mengembangkan mereka seutuhnya agar dapat berbudi luhur.134

Hak-hak anak

berhubungan erat dengan kewajibannya, tanggungjawabnya, ini bergantung pada

situasi, kondisi mental, fisik, dan sosialnya. Oleh karena itu, tuntutan-tuntutan

terhadapnya harus dipertautkan dengan kemampuannya pada usia tertentu.

Melaksanakan kewajiban tertentu adalah juga hak seorang anak pada hakekatnya,

seperti belajar, membantu orang tua dan membela negara. Oleh karena itu,

pemahaman mengenai hak dan kewajiban seorang anak harus dikembangkan

sedini mungkin.135

Berdasarkan prinsip dasar perlindungan anak serta elaborasi

dari beberapa ketentuan internasional, prinsip keadilan bagi anak menurut Hadi

Supeno dapat dibagi dalam 13 (tiga belas) :

131

Hadi Supeno, Op.cit., hlm. 89.

132Ibid. 133Ibid. 134

Made Sadhi Astuti I, Op.cit., hlm. 22. 135Ibid., hlm. 23

76

(1) pelaku kenakalan anak adalah korban; (2) setiap anak berhak agar

kepentingan terbaiknya dijadikan sebagai pertimbangan utama; (3) tidak

mengganggu tumbuh kembang anak; (4) setiap anak berhak untuk

diperlakukan adil dan setara, bebas dari segala bentuk diskriminasi; (5)

setiap anak berhak mengekspresikan pandangan mereka dan didengar

pendapatnya; (6) setiap anak berhak dilindungi dari perlakuan salah,

kekerasan, dan eksploitasi; (7) setiap anak berhak diperlakukan dengan

kasih sayang dan penghargaan akan harkat dan martabat sebagai manusia

yang sedang tumbuh kembang; (8) Setiap anak berhak atas jaminan

kepastian hukum; (9) program pencegahan kenakalan remaja dan

pencegahan terhadap perlakuan salah, kekerasan, dan eksploitasi secara

umum harus menjadi bagian utama dari sistem peradilan anak; (10)

perenggutan kebebasan dalam bentuk apapun harus selalu digunakan

hanya sebagai upaya terakhir dan apabila terpaksa dilakukan hanya untuk

jangka waktu yang paling singkat; (11) perhatian khusus harus diberikan

kepada kelompok paling rentan dari anak, seperti anak korban konflik

bersenjata, anak di daerah konflik sosial, anak di daerah bencana, anak

tanpa pengasuh utama, anak dari kelompok minoritas, anak yang cacat,

anak yang terimbas migrasi, dan anak yang terinfeksi HIV/AIDS; (12)

pendekatan peka gender harus diambil di setiap langkah. Stigmasi dan

kerentanan khas yang dialami anak perempuan dalam sistem peradilan

harus diakui sebagai sebuah problem nyata yang banyak berkaitan

dengan status dan peran gendernya sebagai anak perempuan; (13)

mengembangkan perspektif futuristis dengan meniadakan penjara

anak.136

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka teori keadilan “justice as

fairness” yang dikemukakan oleh John Rawls dapat digunakan untuk

menganalisis permasalahan kedua disertasi ini, yaitu bagaimana kebijakan

formulasi pengaturan ketentuan pelaksanaan diversi yang mencerminkan prinsip

perlindungan dan kesejahteraan bagi anak yang berkonflik dengan hukum di masa

yang akan datang. Bahwa keadilan dianggap memadai apabila dibentuk dengan

136Hadi Supeno, Op.cit., hlm. 90-91. Tiga belas prinsip ini dikembangkan oleh

Hadi Supeno dari hasil kajian Pokja Akses Terhadap Keadilan Bappenas serta diskusinya

dengan para anggota Pokja Juvenile Justice Reform in Indonesia sebanyak sepuluh item

dan pendapat Hadi Supeno tiga item, yaitu pelaku adalah korban, kepentingan terbaik

bagi anak, dan pendekatan futuristis tidak ada penjara bagi anak. Prinsip yang terakhir

masih belum memperoleh kesepahaman dengan teman-teman diskusi di Pokja tersebut,

tetapi di lingkungan KPAI relatif sudah satu persepsi bahwa ke depan memang tidak ada

pemenjaraan anak.

77

pendekatan kontrak, dimana prinsip-prinsip keadilan yang dipilih sebagai

pegangan bersama merupakan hasil kesepakatan bersama dari semua pihak yang

bebas, rasional dan sederajat, yang disebut Rawls sebagai Justice as Fairness.

Prinsip utama yang digunakan untuk menciptakan keadilan adalah kebebasan

yang sama sebesar-besarnya, asalkan tetap menguntungkan semua pihak dan

prinsip ketidaksamaan yang digunakan untuk keuntungan pihak yang lemah.

2.1.4. Teori Labeling (Labeling Theory)

Teori labeling sudah cukup lama dikenal, yang lebih suka menggunakan

istilah deviance daripada istilah criminality. Dibandingkan dengan teori lainnya,

teori labeling mempunyai beberapa spesifikasi, yaitu:

1. Teori labeling merupakan cabang dari teori terdahulu, namun teori ini

menggunakan perspektif baru dalam kajian terhadap kejahatan dan

penjahat;

2. Teori labeling menggunakan metode baru untuk mengetahui adanya

kejahatan dengan menggunakan self report study, yaitu interview

terhadap pelaku kejahatan yang tidak tertangkap atau tidak diketahui

polisi.137

Kajian terhadap teori labeling menekankan pada dua aspek, yaitu:

1. Menjelaskan tentang mengapa dan bagaimana orang-orang tertentu

diberi cap atau label;

2. Pengaruh atau efek dari label sebagai suatu konsekuensi penyimpangan

tingkah laku.138

137

S. Maronie, “Teori Labeling (Kriminologi)”,

http://www.zriefmaronie.blogspot.com/2012/05/teori-labeling-kriminologi.html, diakses

tanggal 17 Mei 2012. 138

Lilik Mulyadi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Kriminologi dan Viktimologi,

(Jakarta: Djambatan, 2004), hlm. 102.

78

Lemert dan Becker menulis, bahwa perlu dipilih permasalahan bagaimana

menjelaskan mengapa seseorang mendapatkan label demikian dan akibat dari

label itu terhadap perilaku berikutnya dari devian.139

Menurut Lemert, teori labeling membedakan devian primer dan devian sekunder.

Devian primer adalah merupakan suatu perbuatan yang melawan hukum.

Sedangkan devian sekunder adalah suatu proses dimana orang lain bereaksi

terhadap akibat atau implikasi dari devian primer.140

Lebih lanjut, Lemert mengemukakan:

...account for the emergence of delinquency is to be taken literally, most

delinquents who have been processed through the juvenile system of

correction either detention, court appearance, or institutionalization

should reach the stage of secondary deviance. The latter is characterized

by the juvenile‟s realization that there is no use in changing his behavior

patterns since others have already determined that he is „no good‟. Thus,

he may as well continue with his already-defined negative behavior.141

Menurut Lemert bahwa perhitungan untuk delinkuensi yang timbul

ditangani secara harfiah, karena sebagian besar kenakalan yang diproses melalui

sistem peradilan berupa penahanan, adanya sidang atau diinstitusionalkan, sampai

pada tahap devian sekunder. Yang disebut terakhir dicirikan oleh realisasi anak

bahwa tidak ada gunanya mengubah pola tingkah lakunya sejak ia ditentukan

sebagai orang yang tidak baik. Jadi ini secara berlanjut dinyatakan sebagai

bertingkah laku negatif.142

139

Edwin M. Schur, Radical Non-Intervention Rethinking The Delinquency

Problem, Englewood Cliffts, (New Jersey: Prentice-Hall, 1973), Inc., p. 25.

140Ibid., p. 25-26.

141Paul C. Friday and V. Lorne Stewart (Eds), Youth Crime and Juvenile Justice,

(Published in Corporation with the American Society of Criminology, 1977), p. 40.

142Made Sadhi Astuti, Pemidanaan Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak

Pidana, (Malang : IKIP Malang, 1997), hlm.74. (disebut Made Sadhi Astuti II).

79

Tahap devian sekunder terjadi hanya setelah berhubungan dengan secara resmi

dengan petugas hukum. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Gofman, bahwa

“A Secondary deviance stage occurs, then, only after official contact with a legal

agency has taken place, after which a delinquent role is supposed to be assumed

on a full-time basis”.143

Menurut Made Sadhi Astuti, untuk menekan terjadinya tahap devian

sekunder, maka dalam menangani kenakalan anak sebaiknya dengan cara

kekeluargaan. Penanganan kenakalan anak secara resmi dengan petugas hukum

merupakan hal yang sangat tidak bijaksana. Hal ini sebaiknya dilakukan setelah

tidak ada cara lain yang lebih bijaksana. Jadi penanganan langsung oleh petugas

hukum terhadap kenakalan anak merupakan pilihan terakhir.144

Satu langkah penting dalam proses pembentukan pada tingkah laku devian adalah

pengalaman disebut dan diimplikasikan sebagai seorang yang berperilaku

menyimpang karena mempunyai akibat penting secara sosial bagi yang

bersangkutan.

Hal ini sebagaimana dikemukakan Becker, bahwa:

“One of the most crucial steps in the process of building a stable pattern of

deviant behavior is likely to be experience of being caught and publicity labelled

as a deviant has important consequences for one‟s further social paticipation and

self-image.”145

143

Paul C. Friday and V. Lorne Stewart (Eds), Op.cit., p. 40.

144Made Sadhi Astuti II, Op.cit., hlm. 75.

145Steven Box, Deviance, Reality and Society, (New York, Sidney, Toronto: Holt,

Rinehart and Winston Ltd, 1981), p. 211-212.

80

Sedangkan menurut Matza:

Gross exclution withers the possibility of ancillary identities...and... as the

competition ancillary status is reduced, the deviant identity may come to

be controlling for the subject too... the subject need hardly collaborate for

the appropriate lesson to be drawn. All that reallly matters is that

occasions and circles which sustain competing identities be inaccessible to

him... If he suffers the misfortune of being grossly excluded from all

occasions promising the temptation of theft, his provisional identity as

thief recieves considerable affirmation.146

Matza menggambarkan tentang dinamika sosial secara psikologis, dengan sosial

identitas yang utama dan dengan implikasi dihancurkan.147

Menurut Made Sadhi Astuti bahwa “Sejak perilaku seseorang diberi cap atau

nama tertentu yaitu cap jahat atau devian oleh masyarakat, maka sejak itu identitas

sosial utama orang tersebut melekat padanya. Identitas sosial yang telah melekat

pada orang tersebut akan menghancurkan masa depan dan semua karier selama

hidup yang dijalaninya”.148

Sejalan dengan Made Sadhi Astuti, Syaifudin mengemukakan bahwa

perilaku seseorang yang dipengaruhi oleh stigma dalam prosesnya akan

berdampak sebagai berikut:

1. Stigma menjadi perhatian orang terhadap diri yang dikenakan stigma,

akibatnya stigma tersebut melekat padanya;

2. Stigma membawa pengaruh terhadap diri yang diberi stigma sehingga ia

berperilaku seperti yang distigmakan itu, hal inilah yang menjadikan ia

dikenal sebagai “karir kriminal”, dan penjahat “profesional”.149

Reaksi masyarakat terhadap suatu perilaku seseorang dapat menimbulkan

perilaku jahat pada orang tersebut.

146

Ibid., p. 25.

147Made Sadhi Astuti II, Op,cit., hlm. 76.

148Ibid.

149

Syaifudin, Materi Dasar Studi Tentang Kejahatan, (Banjarmasin: Lambung

Mangkurat University Press, 1995), hlm. 97.

81

Dengan demikian, memberikan label kriminal kepada seorang anak pada

akhirnya dapat menyesatkan anak sehingga anak tersebut mulai memperlakukan

dirinya sendiri seperti label yang telah diberikan itu.

Selanjutnya, terkait dengan masalah kejahatan yang dilakukan, Edwin M.

Lemert, membedakan tiga bentuk penyimpangan, yaitu:

1. Individual deviation, dimana timbulnya penyimpangan diakibatkan oleh

tekanan psikis dari dalam;

2. Situational deviation, sebagai hasil stress atau tekanan dari keadaan; dan

3. Systematic deviation, sebagai pola-pola perilaku kejahatan terorganisir

dalam sub-sub kultur atau sistem tingkah laku.150

Terdapat banyak cara dimana pemberian label itu dapat menentukan batas

bersama dengan perilaku kriminal telah dijadikan teori, misalnya pemberian label

memberikan pengaruhnya melalui perkembangan imajinasi sendiri yang

negatif.151

Teori label berangkat dari anggapan bahwa penyimpangan (deviance) merupakan

pengertian yang relatif. Penyimpangan timbul karena adanya reaksi dari pihak lain

yang berupa pelabelan pelaku penyimpangan dan penyimpangan perilaku tertentu.

Oleh karena itu apabila dibandingkan dengan teori tentang kejahatan pada

umumnya, teori label menggeser fokus perhatian studinya dari perilaku

penyimpangan (deviance) dan perilakunya menuju perilaku dari mereka-mereka

yang memberikan label dan memberikan reaksi pada pihak lain sebagai pelaku

penyimpangan. Reaksi sosial (societal reactions) menjadi obyek analisis, asal

150

Edwin M. Lemert, Human Deviance, Social Problems, and Social Control

(Englewood Cliffs, N.J.: Prentice-Hall, 1967), p. 17. 151

Soedjono Dirdjosisworo, Sinopsis Kriminologi Indonesia, (Bandung: Mandar

Maju, 1994), hlm. 125-126.

82

mula dan dampak reaksi sosial dilihat sebagai permasalahan pokok yang harus

dikaji teori sosiologi tentang kejahatan.152

Berkaitan dengan stigma, pada tahun 1989, John Braithwaite, sebagaimana

dikutip oleh Nurini Aprilianda, mengenalkan teori tentang Crime, Shame and

Reintegration. Braithwaite menggambarkan shaming sebagai suatu proses

mengekspresikan ketidaksetujuan yang memiliki maksud atau dampak

menggunakan kesedihan dalam diri orang yang direndahkan/dipermalukan dan

atau tuduhan oleh orang lain yang tahu tentang penghinaan tersebut.153

Braithwaite membagi shaming dalam dua jenis, yaitu stigmatisasi (ketika

merendahkan membawa perasaan penyimpang dalam diri orang yang

dipermalukan) dan reintegrasi (ketika orang yang melakukan penghinaan

menjamin bahwa mereka menjaga ikatan dengan orang yang dipermalukan).154

Braithwaite mengemukakan sebagai berikut :

If the labeling perspective is to be the stimulus to testable propositions

with any hope of consistent empirical support, then a strategy is required

for predictiing the circumstances where labeling will be counterproductive

and where it will actually reduce crime. This is the challenge that the

theory reintegrative shaming) sets out to meet, reintegrative shaming is

conceived as labeling that reduces crime, stigmatization as criminogenic

labeling... While tolerance of diversity is important for avoiding the

exesses of counterproductive cracking down on petty deviance, intolerance

of diversity is also critical for crime control. Societies imbued with the

ideology of labeling theory will be excessively aphathetic about nontrivial

crime; to be effective againts crime, societies need to be interventionist in

a communitarian sense, to be intolerant of crime in a way that is both

spiteful and forgiving. One of the great contribution of labeling theory, ...

is in showing how stigmatization fosters subculture formation.155

(Terjemahan bebas: Jika perspektif labeling menjadi stimulus untuk dasar

152

Paulus Hadisuprapto III, Op.cit., hlm. 82.

153

Nurini Aprilianda, Op.cit., hlm. 62.

154Ibid.

155

John Braithwaite, Shame, Crime and Reintegration, (Cambridge: Cambridge

University Press, 1989), p. 18-26.

83

pengujian dengan harapan dan dukungan pengalaman yang konsisten,

maka strategi diperlukan untuk memprediksi keadaan dimana label

akan...dan dimana itu akan benar-benar mengurangi kejahatan. Ini adalah

tantangan bahwa teori mempermalukan menetapkan suatu penemuan,

mempermalukan dipahami sebagai label untuk mengurangi kejahatan,

stigmatisasi sebagai bentuk label kejahatan... sedangkan toleransi atas

keanekaragaman penting untuk menghindari ekses dari kontraproduktif

menindak penyimpangan kecil, intoleransi keanekaragaman juga penting

sebagai sarana mengontrol kejahatan. Masyarakat yang dijiwai dengan

ideologi teori pelabelan akan berlebihan dalam memandang mengenai

kejahatan untuk menjadi efektif terhadap resiko kejahatan, masyarakat

harus intervensi dalam arti komunitarian, menjadi toleran terhadap

kejahatan dengan cara yang baik, pemaaf, dan tidak dendam. Salah satu

kontribusi yang besar dari teori pelabelan, ...adalah dalam menunjukkan

bagaimana stigmatisasi mendorong pembentukan subkultur).

Reintegrative shaming muncul ketika pelaku malu saat ia mengetahui

bahwa apa yang mereka lakukan adalah salah tetapi mereka tetap diperbolehkan

masuk kembali dalam kelompoknya. Argumen inti teori Braithwaite adalah

reintegrative shaming mengarah pada tingkat kejahatan yang lebih rendah,

sebaliknya stigmatisasi merendahkan mengarah pada tingkat kejahatan yang lebih

tinggi, seperti dikemukakan Braithwait berikut ini:

The privotal theory in Crime, Shame and Reintegration is reintegrative

shaming. According to the theory, societies have lower crime rates if they

communicate shame about crime effectively.156

(Terjemahan bebas:

Perhatian utama dari shaming theory adalah Reintegrative shaming.

Menurut teori tersebut, masyarakat akan mempunyai angka rata-rata

kejahatan yang rendah bila mereka menerapkan shaming secara efektif

dalam menangani kejahatan).

Selanjutnya, berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh

Martina Rini S. Tasmin, dalam teori labeling ada satu pemikiran dasar, dimana

pemikiran tersebut menyatakan “Seseorang yang diberi label sebagai seseorang

156

John Braithwaite (II), Shame and Criminal Justice, Hein Online-42 Canadian

J. Criminology July 2000, diakses di Wolongong 5 November 2009, p. 21, dalam Nurini

Aprilianda, Op.cit., hlm. 62.

84

yang devian dan diperlakukan seperti orang yang devian maka akan menjadi

devian”.157

Selanjutnya Howard S. Becker, mengemukakan bahwa:

Social groups create deviance by making rules whose infractions

constitute deviance, and by applying those rules to particular people and

labeling them as outsiders. From this point of view, deviance is not a

quality of the act a person commits, but rather a consequence of the

application by others of rules and sanctions to an „offender‟. The deviant

is one to whom the label has successfully been applied; deviant behavior is

behavior that people so label.158

(Terjemahan bebas: Kelompok

masyarakat dalam mengatasi pelanggaran adalah dengan membuat aturan

tentang pelanggaran dan penyimpangan, dan dengan menerapkan aturan-

aturan itu terhadap orang-orang tertentu mengeluarkan mereka dari label.

Dari sudut pandang ini, penyimpangan bukan dilihat dari kualitas aturan

dan sanksi yang dikenakan terhadap seorang 'pelanggar’. Penyimpang

merupakan salah satu kepada siapa label telah berhasil diterapkan, perilaku

menyimpang adalah perilaku orang yang sama seperti labelnya).

Lebih lanjut, Qotrin Nida Az mengemukakan banyak ahli yang setuju,

bahwa:

Bagaimana seseorang memandang dan merasakan dirinya sendiri akan

menjadi dasar orang tersebut beradaptasi sepanjang hidupnya. Anak yang

memandang dirinya baik akan mendekati orang lain dengan rasa percaya

dan memandang dunia sebagai tempat yang aman, dan kebutuhan-

kebutuhannya akan terpenuhi. Sementara anak yang merasa dirinya tidak

berharga, tidak dicintai akan cenderung memilih jalan yang mudah, tidak

berani mengambil resiko dan tetap saja tidak berprestasi. Anak yang diberi

label negatif dan mengiyakan label tersebut bagi dirinya, cenderung

bertindak sesuai dengan label yang melekat pada dirinya. Dengan dia

bertindak sesuai labelnya, orang akan memperlakukan dia juga sesuai

labelnya. Hal ini menjadi siklus melingkar yang berulang-ulang dan

semakin saling menguatkan terus menerus.159

Bagi para remaja, pengalaman mendapatkan label memicu pemikiran

bahwa dirinya ditolak dan kemudian dibarengi oleh sikap penolakan yang

157

Qotrin Nida Az, Teori Labeling PI, Qotrinnidaaz.blogspot.com/2010/03/teori-

labelling-pi.html, diakses tanggal 24 Maret 2010.

158

Howard S. Becker, Outsiders; Studies in the Sociology of Deviance, (New

York: Free Press, 1963), p. 9. 159

Qotrin Nida Az, Loc.cit.

85

sesungguhnya dapat menghancurkan kemampuan berinteraksi, mengurangi rasa

harga diri, dan berpengaruh negatif terhadap kinerja seseorang dalam kehidupan

sosial dan kehidupan kerjanya.160

Oleh sebab itu, sangat penting untuk merasa

bahwa dirinya berharga dan dicintai. Perasaan ini ditemukan olehnya lewat respon

orang-orang di sekitarnya. Kalau respon orang di sekitarnya positif tentunya tidak

perlu dicemaskan akibatnya. Tetapi, apabila orang di sekitar anak tersebut tidak

dapat menahan diri sehingga menunjukkan respon negatif seputar anak tersebut,

maka tanpa disadari hal-hal yang dikatakan, sikap dan responnya, masuk dalam

hati dan pikiran seorang anak dan berpengaruh dalam kehidupannya, terutama

dalam pembentukan identitas anak tersebut.161

Pelabelan terhadap seseorang terjadi pada saat ketika melakukan aksi,

siapa yang melakukan dan siapa korbannya serta persepsi masyarakat terhadap

konsekuensi aksinya. Apabila dijabarkan, secara gradual asumsi dasar teori

labeling meliputi aspek-aspek:

1. Tidak ada satupun perbuatan yang pada dasarnya bersifat kriminal;

2. Perumusan kejahatan dilakukan oleh kelompok yang bersifat dominan

atau kelompok berkuasa;

3. Penerapan aturan tentang kejahatan dilakukan untuk kepentingan pihak

yang berkuasa;

4. Orang tidak menjadi penjahat karena melanggar hukum tetapi karena

ditetapkan demikian oleh penguasa;

5. Pada dasarnya semua orang pernah melakukan kejahatan sehingga tidak

patut jika dibuat secara kategori, yaitu jahat dan orang tidak jahat.162

Menurut aliran ini, kejahatan terbentuk karena aturan-aturan lingkungan,

sifat individualistik, serta reaksi masyarakat terhadap kejahatan. Karena adanya

160Ibid. 161Ibid. 162

S. Maronie, Loc.cit.

86

reaksi masyarakat terhadap suatu perilaku, maka dapat menimbulkan suatu

perilaku yang jahat. Pemberian sifat label merupakan penyebab seseorang menjadi

jahat. Ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam proses pemberian label:

1. Adanya label akan menimbulkan perhatian masyarakat terhadap orang

yang diberi label. Hal ini akan menyebabkan masyarakat di sekitarnya

memperhatikan terus menerus orang yang diberi label tersebut, maka

hal ini menurut kami akan terbentuk attachment partial;

2. Adanya label, mungkin akan diterima oleh individu tersebut dan

berusaha menjalankan sebagaimana label yang diletakkan pada dirinya.

Khusus teori labeling dalam pendekatannya untuk mengetahui faktor-

faktor penyebab terjadinya kejahatan dapat dibedakan dalam dua

bagian, pertama persoalan tentang bagaimana dan mengapa seseorang

memperoleh cap atau label, dan kedua efek labeling terhadap

penyimpangan tingkah laku berikutnya.163

Menurut Lundman, penerapan diversi pada anak didasarkan dan banyak

dipengaruhi oleh labeling theory.164

Perkara Anak yang diselesaikan di luar jalur

peradilan formal akan menghindarkan anak dari cap atau labeling dari masyarakat.

Menurut Labeling Theory, kenakalan anak dapat muncul karena adanya stigma

“nakal” dari orang tua, tetangga, teman sepergaulan, saudara, guru, atau

masyarakatnya bahkan putusan pengadilan. Berkaitan dengan hal ini, ada tiga

proposisi teori labeling yang dapat dikaitkan dengan penerapan sistem peradilan

anak, yaitu:

a. Seseorang menjadi penjahat bukan karena melanggar peraturan

perundang-undangan, melainkan karena ia ditetapkan demikian oleh

penguasa;

b. Tindakan penangkapan merupakan langkah awal dari proses labeling;

c. Labeling merupakan suatu proses yang melakukan identifikasi dengan

citra sebagai devian dan subkultur serta menghasilkan rejection of the

rejector.165

163Ibid.

164

Richard J. Lundman, Op.cit., hlm. 90. 165

Romli Atmasasmita, Op.cit., hlm. 50.

87

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pemberian status tahanan anak,

tersangka anak, terdakwa anak, anak pidana, atau anak negara melalui sistem

peradilan anak dapat menjadi label bagi anak. Label tersebut dapat mengakibatkan

kenakalan anak berlanjut pada masa yang akan datang.166

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka teori labeling dari Lemert dan

teori reintegrative shaming, dapat digunakan sebagai pisau analisis untuk

menyelesaikan permasalahan yang kedua dalam disertasi ini, yaitu bagaimana

kebijakan formulasi pengaturan ketentuan pelaksanaan diversi yang

mencerminkan prinsip perlindungan dan kesejahteraan bagi anak yang berkonflik

dengan hukum di masa yang akan datang. Menurut Lemert, perhitungan untuk

delinkuensi yang timbul ditangani secara harfiah, karena sebagian besar kenakalan

yang diproses melalui sistem peradilan berupa penahanan, adanya sidang atau

diinstitusionalkan, sampai pada tahap devian sekunder. Pada tahap devian

sekunder ini, maka terhadap anak tidak ada gunanya mengubah pola tingkah

lakunya sejak ia ditentukan sebagai orang yang tidak baik dan secara berlanjut

dinyatakan sebagai bertingkah laku negatif. Sementara itu menurut Braithwaite,

pelaku merasa malu saat ia mengetahui bahwa apa yang dilakukan adalah salah

tetapi pelaku masih tetap diperbolehkan masuk kembali dalam kelompoknya.

Harapan dari Reintegrative shaming adalah pelaku akan bertanggungjawab atas

perbuatan yang dilakukan dan tidak akan mengulangi kejahatan lagi.

166

Riza Alifianto Kurniawan, Asas Ultimum Remedium Dalam Pemidanaan Anak

Nakal, http:www.journal.lib.unair.ac.id/index.php/YRD/article/download.

88

2.1.5. Teori Kebijakan Formulasi

Kebijakan legislatif merupakan kebijakan (policy) dalam menetapkan dan

merumuskan sesuatu di dalam peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu,

sering juga kebijakan legislatif disebut dengan istilah “kebijakan formulatif”.167

Kebijakan formulasi merupakan tahap paling strategis dari keseluruhan proses

operasionalisasi/fungsionalisasi dan konkretisasi hukum pidana. Formulasi

kebijakan sebagai bagian dalam proses kebijakan publik merupakan tahap yang

paling krusial karena implementasi dan evaluasi kebijakan hanya dapat

dilaksanakan apabila tahap formulasi kebijakan telah selesai, disamping itu

kegagalan suatu kebijakan atau program dalam mencapai tujuan-tujuannya

sebagian besar bersumber pada ketidaksempurnaan pengolahan tahap

formulasi.168

Tjokroamidjojo, mengemukakan bahwa “Policy formulation sama dengan

pembentukan kebijakan merupakan serangkaian tindakan pemilihan berbagai

alternatif yang dilakukan secara terus menerus dan tidak pernah selesai, dalam hal

ini di dalamnya termasuk pembuatan keputusan”.169

Lebih jauh tentang proses

pembuatan kebijakan negara (public), Udoji merumuskan bahwa pembuatan

kebijakan negara sebagai:

“The whole process of articulating and defining problems, formulating

possible solutions into political demands into the political systems, seeking

167

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan

Penyusunan Konsep KUHP Baru, (Semarang: Prenada Media Group, 2011), hlm. 213. 168

Wibowo (1994), “Tentang Kebijakan Public, Catatan Kuliah Tentang Segala

Yang Berkaitan Dengan Teori Kebijakan Public: Formulasi Kebijakan publik”,

http://kebijakan publik12.blogspot.com/2012/06, diakses tanggal 1 Juni 2012. 169

Tjokroamidjojo (Islamy, 1991), hlm. 24, Loc.cit.

89

sanctions or legitimation of the preferred course of action, legitimation

and implementation, monitoring and review (feedback).170

(Terjemahan bebas: Seluruh proses mengartikulasikan dan mendefinisikan

masalah, merumuskan solusi yang mungkin menjadi tuntutan politik ke

dalam sistem politik, mencari sanksi atau legitimasi dari program pilihan

tindakan, legitimasi dan implementasi, monitoring dan review (umpan

balik)).

Tahap-tahap tersebut mencerminkan aktifitas yang terus berlangsung yang terjadi

sepanjang waktu. Setiap tahap berhubungan dengan tahap berikutnya, dan tahap

terakhir (penilaian kebijakan) dikaitkan dengan tahap pertama (penyusunan

agenda) atau tahap di tengah dalam aktifitas yang tidak linear.

Pemerintah sebagai penyelenggara kehidupan bernegara memberikan

perlindungan dan kesejahteraan kepada masyarakat. Untuk itu, pemerintah

melakukan berbagai upaya kebijakan yang dituangkan dalam program

pembangunan nasional. Kebijakan pemerintah untuk melaksanakan pembangunan

nasional terangkum dalam kebijakan sosial (social policy). Kebijakan sosial

memuat kebijakan politik, ekonomi, hukum, pertahanan keamanan, pengolahan

sumber daya alam, kesehatan, lingkungan kehidupan, dan sebagainya. Kebijakan-

kebijakan tersebut berpengaruh pada peningkatan kualitas kehidupan

masyarakat.171

Kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy) merupakan bagian

dari kebijakan sosial (social policy) termasuk di dalamnya kebijakan legislatif

(legislative policy). Kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) adalah

bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy). Pelaksanaan

kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy) terhadap penanggulangan

170

Udoji, Loc.cit 171

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.cit., hlm. 150.

90

kejahatan melibatkan semua komponen yang termuat dalam suatu sistem hukum

(legal system). Dalam upaya penanggulangan kejahatan, maka pertama-tama perlu

ada pola dan strategi yang dapat dijadikan acuan. Dalam kaitan ini maka perlu

dilakukan dengan pendekatan kebijakan, dalam arti ada keterpaduan antara politik

criminal dan politik social serta keterpaduan antara upaya penanggulangan secara

penal, yaitu dengan cara menggunakan hukum (pidana) maupun pendekatan non

penal (cara lain selain menggunakan hukum pidana, yaitu yang lebih bersifat

kuratif dan preventif).172

Peter Hoefnagels mengemukakan bahwa:

Criminal policy as a science of policy is part of a larger policy: the law

enforcement policy. This makes it understandable that administrative and

civil law occupy the same place in the diagram as non-criminal legal

crime prevention.173

(Terjemahan bebas: Kebijakan kriminal sebagai ilmu

kebijakan adalah bagian dari kebijakan yang lebih besar, yaitu: kebijakan

penegakan hukum. Hal ini menjadi dimengerti bahwa hukum administrasi

dan perdata menempati tempat yang sama dalam diagram sebagai

pencegahan kejahatan hukum non-kriminal).

Lebih lanjut, Peter Hoefnagels mengemukakan:

The main division of the diagram is therefore into: science and

application. This follows from the social, serving nature of criminology.

Criminal policy is also manifest as science and as application. The

legislative and enforcement policy is in turn part of social policy. The

sama distinction is found in criminal statistic: application creates the

material for the statistics which the science of statistics subsequently

analyzes.174

(Terjemahan bebas: Oleh karena itu, divisi utama diagram

adalah menjadi ilmu pengetahuan dan aplikasi. Ini mengikuti masyarakat,

yang secara alami melayani kriminologi. Kebijakan kriminal juga

bermanifestasi sebagai ilmu pengetahuan dan sebagai aplikasi. Kebijakan

172

Usman, Penanggulangan Kejahatan dalam Perspektif Kebijakan Hukum

Pidana, (Universitas Jambi: Fakultas Hukum), http://www.infodiknas.com/106

penanggulangan-kejahatan-dalam-perspektif-kebijakan-hukum-pidana, diakses tanggal 9

Oktober 2011.

173G. Peter Hoefnagels, The Other Side of Criminology An Inversion of the

Concept of Crime, (Holland: Kluwer-Deventer, 1972), p. 57.

174Ibid.

91

legislatif dan penegakan hukum pada gilirannya merupakan bagian dari

kebijakan sosial. Perbedaan yang sama ditemukan dalam statistik kriminal,

bahwa aplikasi menciptakan bahan untuk statistik yang kemudian menjadi

analisis ilmu statistik).

Oleh sebab itu, diperlukan keterlibatan masyarakat dalam kebijakan

penanggulangan kejahatan (criminal policy) karena kebijakan penanggulangan

merupakan usaha yang rasional dari masyarakat sebagai reaksi terhadap

kejahatan. Sementara itu, menurut Mannheim, mengemukakan bahwa:

Criminal policy is a policy of designiting human behavior as crime. Some

sociologists have objections to a concept of crime derived from law,

because they consider certain classifications to be incorrect and because

they deem certain criminal laws unjust”.175

(Terjemahan bebas: Kebijakan

kriminal adalah kebijakan yang menunjukkan perilaku manusia sebagai

kejahatan. Beberapa sosiolog memiliki keberatan terhadap konsep

kejahatan yang berasal dari hukum, karena mereka menganggap klasifikasi

tertentu menjadi tidak benar dan karena mereka anggap hukum pidana

tertentu yang tidak adil).

Lebih lanjut, Peter Hoefnagels mengemukakan bahwa kebijakan kriminal

(criminal policy) dapat ditempuh dengan tiga cara, yaitu:

1. Influencing views of society on crime, and punishment, yaitu

mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan

pemidanaan lewat media massa;

2. Criminal law application (practical criminology), yaitu penerapan

hukum pidana;

3. Prevention without punishment, yaitu pencegahan tanpa hukuman.176

Penggunaan hukum pidana sebagai sarana penanggulangan kejahatan

memang tidak dapat dipandang sebagai satu-satunya sarana yang berdiri sendiri,

sebab hal ini barulah satu sisi saja dalam politik criminal. Pada hakekatnya

kegiatan tersebut bagian dari politik social yang lebih luas. Oleh karena itu jika

175Mannheim, Comparative Criminology, A Textbook”, Vols. I and II, (London:

2nd impression), 1966, dalam G. Pieter Hoefnagels, Op.cit., p. 100. 176Ibid., hlm. 56.

92

ingin menggunakan hukum pidana sebagai salah satu sarana untuk menanggulangi

kejahatan harus diperhatikan kaitannya secara integral antara politik criminal

dengan politik social, dan integralitas antara sarana penal dan non penal.177

Dalam

formulasi kebijakan hukum pidana terdapat dua masalah sentral yang harus

ditentukan, yaitu :

a. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana;

b. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar.178

Kebijakan legislatif merupakan langkah awal di dalam penanggulangan

kejahatan secara fungsional dapat dilihat sebagai bagian dari perencanaan dan

mekanisme penanggulangan kejahatan, yang dituangkan ke dalam perundang-

undangan yang meliputi:

a. perencanaan atau kebijakan tentang perbuatan apa yang dilarang;

b. perencanaan atau kebijakan tentang sanksi apa yang dapat dikenakan

terhadap pelakunya (baik berupa pidana atau tindakan);

c. perencanaan atau kebijakan tentang prosedur atau mekanisme sistem

peradilan pidana dalam rangka penegakan hukum pidana.179

Kebijakan formulasi berkaitan dengan pembaharuan hukum pidana, karena

pada hakekatnya pembaharuan hukum pidana adalah bagian dari kebijakan hukum

pidana yang merupakan bagian dari penegakan hukum pidana, kebijakan kriminal

dan kebijakan sosial dalam rangka untuk melindungi masyarakat dan mencapai

kesejahteraan masyarakat.

Kebijakan formulasi adalah kebijakan dalam merumuskan sesuatu dalam

suatu bentuk perundang-undangan. Kebijakan formulasi menurut Barda Nawawi

177

Barda Nawawi Arief dan Muladi, dalam Usman, Loc.cit 178

Barda Nawawi Arief, Op.cit., hal. 35. 179

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.cit., hlm. 198

93

Arief adalah “Suatu perencanaan atau program dari pembuat undang-undang

mengenai apa yang akan dilakukan dalam menghadapi problema tertentu dan cara

bagaimana melakukan atau melaksanakan sesuatu yang telah direncanakan atau

diprogramkan itu”.180

Kebijakan formulasi merupakan awal dari perencanaan dalam usaha untuk

menaggulangi kejahatan, maka wajar apabila kebijakan formulasi merupakan

bagian dari kebijakan kriminal yang secara fungsional dapat dilihat sebagai bagian

dan prosedur usaha menanggulangi kejahatan. Secara garis besar, perencanaan

atau kebijakan penanggulangan kejahatan yang dituangkan dalam perundang-

undangan menurut Barda Nawawi Arief meliputi:

a. perencanaan atau kebijakan tentang perbuatan-perbuatan terlarang apa

yang akan ditanggulangi karena dipandang membahayakan atau

merugikan;

b. perencanaan/kebijakan tentang sanksi apa yang dapat dibuat dikenakan

terhadap pelaku perbuatan yang dilarang itu (baik berupa pidana atau

tindakan) dan sistem penerapannya;

c. perencanaan/kebijakan tentang prosedur atau mekanisme sistem peradilan

pidana dalam rangka penegakan hukum pidana.181

Pembaharuan hukum pidana anak merupakan bagian dari kebijakan

formulasi hukum pidana, yang pada hakekatnya mengandung makna suatu upaya

untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana anak yang sesuai

dengan nilai-nilai sentral sosiopolitik, sosiofilosofis, dan sosiokultural masyarakat

Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan

penegakan hukum di Indonesia.182

180Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam..., Op.cit., hlm. 63.

181Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori dan Kebijakan..., Op.cit., hlm. 198.

182

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana;

Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 25.

94

Dalam pembaharuan hukum pidana dilakukan dengan pendekatan sistemik,

yaitu suatu pendekatan yang menyeluruh dan integral. Pendekatan sistemik dalam

pembaharuan hukum pidana anak untuk membentuk atau mewujudkan UU SPP

Anak baru dengan menempatkan UU SPP Anak sebagai pokok atau bahan yang

diperbaharui, dengan melihat kepada instrumen nasional, yaitu Pancasila, UUD

NKRI 1945, dan peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan dengan anak

serta melihat pula ketentuan internasional. Selanjutnya, subyek pembaharuan yang

terlibat adalah lembaga legislatif, supra stuktur adalah pemerintah (partner dalam

mekanisme pembuatan undang-undang), infra struktur yakni aspirasi masyarakat,

aspirasi kepakaran dan aspirasi internasional.183

Berdasar atas uraian di atas, dalam disertasi ini penulis menggunakan teori

kebijakan formulasi G. Pieter Hoefnagels, Barda Nawawi Arief dan Muladi

digunakan sebagai pisau analisis untuk menyelesaikan permasalahan yang kedua,

yaitu bagaimana kebijakan formulasi pengaturan ketentuan pelaksanaan diversi di

luar sistem peradilan pidana anak dalam rangka perlindungan dan kesejahteraan

bagi anak yang berkonflik dengan hukum di masa yang akan datang.

Kebijakan legislatif dan penegakan hukum merupakan bagian dari kebijakan

sosial. Oleh sebab itu, diperlukan keterlibatan masyarakat dalam kebijakan

penanggulangan kejahatan (criminal policy) karena kebijakan penanggulangan

merupakan usaha yang rasional dari masyarakat sebagai reaksi terhadap

kejahatan. Dalam kaitan ini maka perlu dilakukan dengan pendekatan kebijakan,

183

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori dan Kebijakan..., Op.cit., hlm. 115.

95

dalam arti ada keterpaduan antara politik criminal dan politik social, upaya

penanggulangan kejahatan secara penal maupun pendekatan non penal.

Untuk mempermudah pemahaman kerangka teori yang digunakan dalam

penelitian ini, sekaligus untuk mengetahui keterkaitan antara teori-teori dengan

konteks rumusan masalah maka dibuat bagan sebagai berikut :

96

BAGAN 2

KERANGKA TEORITIK

Metode Penelitian Penelitian Hukum Normatif : 1. Pendekatan UU (pendekatan normatif) 2. Studi dokumen 3. Pendekatan perbandingan.

Latar Belakang

Problem Sosiologis : Pelaksanaan diversi di dalam Sistem Peradilan Pidana Anak akan menimbulkan

label sehingga akan mematikan masa depan anak.

Problem Filsafati : Pelaksanaan diversi di dalam Sistem Peradilan Pidana Anak akan merampas hak-

hak anak sehingga kesejahteraan anak tidak tercapai.

Problem Yuridis : Dlm UU SPP Anak diatur pengertian diversi (Ps 1 angka 7) tetapi terdapat ketidaksesuaian pengertian karena diversi juga dilaksanakan di dalam SPP Anak pada tahap penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan (Ps 7 ayat 1).

Rumusan Masalah 1 : Bagaimana

dasar filosofis kebijakan formulasi

pengaturan ketentuan pelaksanaan

diversi di luar SPP Anak di masa yang

akan datang dlm rangka perlindungan

dan kesejahteraan anak ?

Rumusan Masalah 2 : Bagaimana kebijakan

formulasi pengaturan ketentuan pelaksanaan

diversi yang mencerminkan prinsip

perlindungan dan kesejahteraan bagi anak yang

berkonflik dengan hukum di masa yang akan

datang ?

T. Perlind. HAM

(Marzuki

Darusman dan

Muladi)

Applied Theory :

- T. Labeling (Lemert) dan Reintegratif Shaming

(Braithwait); T. Perlindungan Anak (Hadi Supeno), T.

Keadilan justice as fairness, dan T. Kebijakan Formulasi (G.

Pieter Hoefnagels, Barda Nawawi Arif dan Muladi)

Manfaat Penelitian : 1. Manfaat Teoritis 2. Manfaat Praktis

Hasil & Pembahasan :

1. Implikasi pentingnya dasar filosofis kebijakan

formulasi pengaturan ketentuan pelaksanaan diversi

di luar SPP Anak di masa yang akan datang dalam

rangka perlindungan dan kesejahteraan anak.

2. Kebijakan formulasi pengaturan ketentuan

pelaksanaan diversi yang mencerminkan prinsip

perlindungan dan kesejahteraan bagi anak yg

berkonflik dengan hukum di masa yang akan datang.

PENUTUP : 1. Kesimpulan 2. Rekomendasi

97

2.2. Kerangka Konseptual

2.2.1. Konsep Kebijakan Formulasi

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan kebijakan

adalah rangkaian konsep pokok dan asas yang menjadi garis besar dalam

pelaksanaan suatu pekerjaan.184

Selanjutnya, formulasi adalah rumusan dalam

bentuk yang tetap.185

Kebijakan formulasi pidana merupakan unsur dari kebijakan

pidana selain kebijakan yudikatif/kebijakan yudisial dan kebijakan

eksekutif/administrasi.

Tujuan dari perumusan suatu sanksi pidana tidak dapat dilepaskan dari

tujuan kebijakan pidana dalam arti keseluruhannya, yaitu perlindungan

masyarakat untuk mencapai kesejahteraan. Mengenai tahap perumusan sanksi

pidana, Barda Nawawi menyebutnya dengan “tahap penetapan pidana”, harus

merupakan tahap perencanaan yang strategis di bidang pemidanaan. Oleh karena

tahap ini diharapkan dapat memberi arah pada tahap-tahap yaitu tahap penerapan

pidana dan tahap pelaksanaan pidana. Ketiga tahapan tersebut merupakan jalinan

satu mata rantai yang saling berkaitan dalam satu sistem sedangkan setiap

perencanaan di dalamnya mengandung suatu kebijakan memilih dan menetapkan

berbagai alternatif.186

Oleh karena mengandung suatu kebijakan memilih dan

menetapkan berbagai alternatif, maka didasarkan pada pertimbangan rasional.

Kebijakan formulasi atau kebijakan legislasi atau kebijakan hukum pidana

adalah terminologi yang dipakai secara bergantian, kadang-kadang dipakai

184

Umi Chulsum dan Windy Novia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Surabaya:

KASHIKO, 2006), hlm. 124. 185Ibid., hlm. 229. 186

Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan

Penanggulangan Kejahatan, (Jakarta: Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 75.

98

kebijakan hukum pidana (kebijakan legislasi), kadangkala dipakai kebijakan

formulasi, namun pada hakekatnya pengertian antara keduanya adalah sama.

Konsep kebijakan hukum pidana tidaklah lepas dari akar kata yang bertitik

tolak pada pengertian “kebijakan politik”, “politik hukum” dan “hukum pidana”

sehingga dapat dirumuskan definisi secara istilah dalam pemaknaannya.

Sebagaimana dikemukakan Barda Nawawi, bahwa “Pengertian kebijakan hukum

pidana menurut bahasa berpangkal pada istilah kebijakan, yang berarti pula

„policy‟ menurut bahasa Inggris, atau „politiek‟ menurut bahasa Belanda”.

Selanjutnya, istilah kebijakan hukum pidana dapat pula disebut “politik hukum

pidana” dan dalam kepustakaan asing istilah kebijakan hukum pidana sering

dikenal dengan berbagai istilah diantaranya “penal policy”, “criminal law policy”

atau “strafrechtspolitiek”.187

Pengertian politik hukum adalah gabungan dari dua kata, yaitu politik dan

hukum. Pengertian politik memiliki pengertian, yaitu politik sebagai ilmu (science

politics) berarti suatu rangkaian asas, prinsip, cara/alat yang digunakan untuk

mencapai tujuan tertentu; dan politik sebagai seni/art (kebijakan/policy) yang

berarti penggunaan pertimbangan tertentu yang lebih menjamin terlaksananya

kegiatan usaha, cita-cita atau keinginan/keadaan yang dikehendaki, policy secara

gramatikal dimaknai “a guide for action” (petunjuk untuk melakukan

aksi/kegiatan).188

187

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan

Penyusunan Konsep KUHP Baru, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), hlm.

22. (Selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief I). 188

HM. Wahyudin Husein dan H. Hufron, Hukum, Politik & Kepentingan,

(Yogyakarta: Laksbang Pressindo, 2008), hlm. 12

99

Pengertian hukum pidana menurut Sudarto adalah keseluruhan peraturan

yang isinya memuat aturan-aturan hukum yang mengingatkan kepada perbuatan-

perbuatan yang menjadi syarat tertentu suatu akibat yang berupa pidana.189

Selanjutnya, Sudarto menjelaskan bahwa terdapat dua fungsi hukum pidana yaitu

fungsi umum dan fungsi khusus. Fungsi umum hukum pidana tidak berbeda

dengan fungsi hukum pada umumnya yakni mengatur tata kehidupan dalam

masyarakat atau menyelenggarakan tata kehidupan dalam masyarakat, sedangkan

fungsi khusus hukum pidana ialah untuk melindungi kepentingan hukum (nyawa,

badan, kehormatan, harta, kemerdekaan) dari perbuatan yang memperkosanya

dengan sanksi yang berupa pidana.

Secara etimologis kebijakan hukum pidana dapat dipahami sebagai suatu

rangkaian asas, prinsip, cara atau alat yang digunakan untuk mencapai tujuan

hukum pidana atau pertimbangan tertentu yang dianggap lebih menjamin

terlaksananya kegiatan, cita-cita atau tujuan hukum pidana.

Definisi politik hukum pidana tidak terlepas dengan pengertian politik

hukum yang secara substansinya adalah sama karena politik hukum pidana

merupakan bagian dari politik hukum. Menurut Satjipto Rahardjo, politik hukum

didefinisikan sebagai aktifitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk

mencapai suatu tujuan sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat. Sehubungan

dengan hal tersebut, terdapat beberapa pertanyaan yang timbul dalam studi politik

hukum, yaitu:

1) tujuan apa yang hendak dicapai dengan sistem hukum yang ada;

189

Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat: Kajian Terhadap

Pembaharuan Hukum Pidana, (Bandung: Sinar Baru, 1983), hlm. 30.

100

2) cara-cara apa dan mana yang dirasa paling baik untuk bisa dipakai

mencapai tujuan tersebut;

3) kapan waktunya hukum itu perlu diubah dan melalui cara-cara

bagaimana perubahan itu sebaiknya dilakukan;

4) dapatkah dirumuskan suatu pola yang baku dan mapan yang bisa

membantu kita memutuskan proses pemilihan tujuan serta cara-cara

untuk mencapai tujuan tersebut secara baik.190

Menurut Abdul Manan, politik hukum adalah kebijakan dasar

penyelenggara negara dalam bidang hukum yang akan, sedang dan telah berlaku,

yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

tujuan-tujuan yang dicita-citakan. Selanjutnya, menurut Abdul Manan terdapat

lima agenda yang ditekankan dalam politik hukum nasional, yaitu :

1) masalah kebijakan dasar yang meliputi konsep dan letak;

2) penyelenggara negara pembentuk kebijakan tersebut;

3) materi hukum yang meliputi yang akan, sedang dan telah berlaku;

4) proses pembentukan hukum; dan

5) tujuan politik hukum nasional.191

Melaksanakan politik hukum pidana menurut Barda Nawawi Arief, berarti

mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang

paling baik, dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna dan juga usaha

mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan

dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang, dalam arti

lain politik hukum pidana merupakan bagian dari politik hukum yang

190

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1996), hlm.

189. (Selanjutnya disebut Satjipto Rahardjo II). 191

Abdul Manan, Hukum dan politik, (Jakarta: Prenada Media Group, 2006), hlm.

104.

101

mengandung arti bagaimana mengusahakan atau membuat rumusan suatu

peraturan perundang-undangan pidana yang baik.192

Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief, tujuan akhir kebijakan kriminal

ialah perlindungan masyarakat dan untuk mencapai tujuan utamanya yang sering

disebut :

a. Kebahagiaan masyarakat (happiness of citizens);

b. Kehidupan kultur yang sehat dan menyegarkan (a wholesome and

cultural living);

c. Kesejahteraan masyarakat (social welfare);

d. Atau untuk mencapai keseimbangan (equality).193

Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa penegakan hukum pidana merupakan

bagian politik kriminal yang merupakan bagian integral dari kebijakan untuk

mencapai kesejahteraan masyarakat.

Kebijakan formulasi merupakan awal dari perencanaan dalam usaha untuk

menanggulangi kejahatan, maka wajar apabila kebijakan formulasi merupakan

bagian dari kebijakan kriminal untuk usaha menanggulangi kejahatan.

Menurut Barda Nawawi Arief, kebijakan penanggulangan kejahatan yang

dituangkan dalam perundang-undangan meliputi:

a. Perencanaan atau kebijakan tentang perbuatan-perbuatan terlarang apa

yang akan ditanggulangi karena dipandang membahayakan atau

merugikan;

b. Perencanaan/kebijakan tentang sanksi apa yang dapat dibuat dikenakan

terhadap pelaku perbuatan yang dilarang itu (baik berupa pidana atau

tindakan) dan sistem penerapannya;

c. Perencanaan/kebijakan tentang prosedur atau mekanisme sistem

peradilan pidana dalam rangka penegkan hukum pidana.194

192

Barda Nawawi Arief I, Op.cit, hlm. 23. 193

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana,

(Bandung: Alumni, 2005), hlm. 158. 194Ibid., hlm. 198.

102

Mengingat pentingnya suatu kebijakan formulasi dalam usaha

penanggulangan kejahatan, maka formulasi tersebut harus dibuat sebaik mungkin

agar tidak menimbulkan masalah bagi pelaksanaan tahap-tahap selanjutnya.

Menurut pendapat Montesquieu, gagasan pembuatan hukum (pembuatan undang-

undang atau kebijakan formulasi) yang baik adalah:

1. Gaya hendaknya padat dan sederhana. Kalimat-kalimat yang muluk dan

retorik hanya merupakan hal yang berlebihan dan menyesatkan;

2. Istilah-istilah yang dipilih, hendaknya sedapat mungkin bersifat mutlak

dan tidak relatif sehingga mempersempit kemungkinan untuk adanya

perbedaan pendapat;

3. Hendaknya membatasi diri pada hal-hal yang aktual, menghindari

penggunaan perumpamaan atau bersifat hipotesis;

4. Hendaknya jangan rumit, sebab dibuat untuk orang kebanyakan; jangan

membenamkan orang ke dalam persoalan logika, tetapi sekedar bisa

dijangkau oleh penalaran orang kebanyakan;

5. Janganlah masalah pokok yang dikemukakan dikaburkan oleh

penggunaan perkecualian, pembatasan atau modifikasi, kecuali memang

benar-benar diperlukan;

6. Jangan berupa penalaran (argumentative); berbahaya sekali memberikan

alasan yang rinci tentang masalah yang diatur, sebab hal itu hanya akan

membuka pintu perdebatan;

7. Di atas semua itu, isinya hendaknya dipikirkan secara masak terlebih

dahulu serta janganlah membingungkan pemikiran serta rasa keadilan

biasa dan bagaimana umumnya sesuatu itu berjalan secara alami, sebab

hukum yang lemah tidak perlu dan tidak adil akan menyebabkan

keseluruhan sistem perundang-undangan menjadi ambruk dan merusak

kewibawaan negara. 195

Kebijakan formulasi berkaitan dengan pembaharuan hukum pidana, karena

pada hakekatnya pembaharuan hukum pidana adalah bagian dari kebijakan hukum

pidana yang merupakan bagian dari penegakan hukum pidana, kebijakan kriminal

dan kebijakan sosial dalam rangka untuk melindungi masyarakat dan mencapai

kesejahteraan masyarakat.

195

Satjipto Rahardjo II, Op.cit., hlm. 180.

103

Berdasarkan atas uraian tersebut di atas, dalam disertasi ini yang penulis

maksud dengan kebijakan formulasi adalah yang dikemukakan oleh Satjipto

Raharjo, yaitu rangkaian konsep yang menjadi dasar untuk merumuskan dalam

bentuk yang tetap tentang: 1) tujuan apa yang hendak dicapai dengan sistem

hukum yang ada; 2) cara-cara apa dan mana yang dirasa paling baik untuk bisa

dipakai mencapai tujuan tersebut; 3) kapan waktunya hukum itu perlu diubah dan

melalui cara-cara bagaimana perubahan itu sebaiknya dilakukan; 4) dapatkah

dirumuskan suatu pola yang baku dan mapan yang bisa membantu kita

memutuskan proses pemilihan tujuan serta cara-cara untuk mencapai tujuan

tersebut secara baik.

2.2.2. Konsep Diversi

Beberapa masalah dan kondisi sosial yang merupakan faktor kondusif

penyebab timbulnya kejahatan, jelas merupakan masalah yang tidak dapat diatasi

semata-mata lewat jalur penal. Oleh karena itu harus ditunjang oleh jalur non

penal, yaitu lewat jalur diversi. Kata diversi berasal dari bahasa Inggris

“Diversion”, menjadi istilah diversi.196

Diversi adalah pengalihan penanganan

kasus-kasus seseorang, misalnya seorang anak yang diduga telah melakukan

tindak pidana.197

Sementara itu, menurut Marlina, Diversi adalah sebuah

196Panduan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan

dan Kebudayaan Republik Indonesia, 2005, Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia

Yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan istilah, (Bandung: Pustaka

Setia, Cetakan Ke VII, hlm. 84-87.

197

Tanya Jawab Hukum dan Kode Etik, Apa sih Beda Antara Diskresi dan

Diversi, http://www.id.answers.yahoo.com/question/index?qid, diakses tanggal 4 Oktober

2009.

104

tindakan atau perlakuan untuk mengalihkan atau menempatkan ke luar pelaku

tindak pidana anak dari sistem peradilan pidana.198

Menurut sejarah perkembangan hukum pidana, kata “diversion”

pertama kali dikemukakan sebagai kosa kata pada laporan pelaksanaan

peradilan anak yang disampaikan Presiden Komisi Pidana (Presiden‟s Crime

Commision) Australia di Amerika Serikat pada tahun 1960.199

Sebelum dikemukakannya istilah diversi, praktek pelaksanaan yang

berbentuk seperti diversi telah ada sebelum tahun 1960 ditandai dengan

berdirinya peradilan anak (children‟s courts) sebelum abad ke-19, yaitu

diversi dari sistem peradilan pidana formal dan formalisasi polisi untuk

melakukan peringatan (police cautioning). Prakteknya telah berjalan di

negara bagian Queensland pada tahun 1963.200

Menurut Jack E. Bynum dalam bukunya Juvenile Delinquency a Sociological

Approach, mengemukakan bahwa:

198

Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, (Bandung: Refika Aditya,

2009), hlm. 31. (Selanjutnya disebut Marlina IV). 199

C. Cunnen and R. White, Juvenile Justice : An Australian Erspective, (Oxford:

Oxford University Press, 1995, p. 247), Dikutip dari buku Kenneht Folk, Early

Intervention: Diversion and Youth Conferencing, A National Review of Current

Approach to Diverting Juvenile from the Criminal Justice System (Canbera : Australia

Government Attorney-general’s Departement, Commonwealth of Australia, 2003),

dikutip dari Marlina, “Penerapan Konsep Diversi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana

Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak”, Jurnal Equality, Vol. 13 No.1 Februari 2008, hlm.

96, http: www.repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18420/l/equ-feb 2008-13(5)-pdf,

diakses pada tanggal 5 April 2013. 200

D. Challinger, Police Action and the Prevention of Juvenile Delinquency, In A.

Borowski and JM. Murray (eds.) Juvenile Delinquency in Australia, (NSW : Methuen

Australia, p. 290-302), yang dikutip dari Kennecht Folk, dalam Marlina, Op.cit., hlm. 32.

105

“Diversion is “an attempt to divert, or channel out, youthful offenders from

the juvenile justice system”. 201

(Terjemahan bebas: diversi adalah sebuah

tindakan atau perlakuan untuk mengalihkan atau menempatkan pelaku tindak

pidana anak keluar dari sistem peradilan pidana).

Diversi merupakan kebijakan yang dilakukan untuk menghindarkan pelaku

dari sistem peradilan formal. Diversi dilakukan untuk memberikan

perlindungan dan rehabilitasi (protection and rehabilitation) kepada pelaku

sebagai upaya untuk mencegah anak menjadi pelaku kriminal dewasa.202

Diversi didasarkan pada kenyataan bahwa proses peradilan pidana terhadap

anak pelaku tindak pidana melalui sistem peradilan pidana lebih banyak

menimbulkan bahaya daripada kebaikan. Alasan dasarnya yaitu pengadilan

akan memberikan stigmatisasi terhadap anak atas tindakan yang

dilakukannya seperti anak dianggap jahat, sehingga lebih baik untuk

menghindarkannya ke luar sistem peradilan pidana.203

Diversi merupakan kebijakan yang dilakukan untuk menghindarkan anak

sebagai pelaku tindak pidana dari sistem peradilan pidana formal yang berdampak

negatif. Menurut Siegel, dampak negatif dari sistem peradilan anak ada beberapa

hal, yaitu:

a. Sistem peradilan anak yang digelar secara formal dapat menciptakan

suatu citra anak yang nakal. Perlakuan bagi anak pada tahapan-tahapan

dalam sistem peradilan anak, memperlakukan anak sebagai anak nakal

201

Jack E. Bynum dan William E. Thomson, Juvenile Delinquency a Sociological

Approach, (Boston : Allyn and Bacon A Peason Education Company), 2002, p. 430. 202

Marlina IV, Op.cit., hlm. 22 203

Randall G. Shelden, Detention Diversion Advocacy : An Evaluation,

(Washington DC U.S : Departement of Justice), p. 1, dikutip dari Marina, Op.cit,, hlm.

97.

106

sehingga mereka memandang diri mereka sebagai anak yang nakal dan

membuat mereka untuk lebih berbuat delinkuen;

b. Sistem peradilan pidana meletakkan stigma pada anak. Lingkungan

sekitar anak akan berhati-hati terhadap anak yang telah memiliki stigma

dan hal tersebut menyebabkan lingkungan sekitarnya bersikap ragu-

ragu dalam membantu proses peralihan anak menuju kedewasaan

sehingga memperpanjang keterlibatan anak dalam perbuatan

delinkuen.204

Oleh karena dampak negatif tersebut, maka diversi sebagai alternatif penyelesaian

pengalihan perkara yang dilakukan secara informal di luar proses peradilan formal

merupakan metode yang paling efektif untuk mencegah dan mengontrol

kenakalan anak.205

Menurut Richard J. Lundman, sebagaimana dikutip Paulus Hadisuprapto,

mengemukakan bahwa dampak negatif dari proses penanganan anak delinkuen

melalui sistem peradilan pidana anak adalah:

First, juvenile justice system processing provides juveniles with a

delinquent self-image. Whereas prior to arrest and intake, most juvenile

offenders see themselves as basically good kids who shoplift overpriced

items from big stores that can easily afford the loss, or as one of many out

for an innocent Friday night of group-based beer and fun, arrested

juvenile sent to intake are treated as if they are delinquent. Being treated

as delinquent causes some adolescents to view themselves as delinquent

and invites more rather than less delinquency.

Second, juvenile justive system processing stigmatizes juveniles in the eyes

of significant others. School teachers, police officers, and potential

employers are understandably wary of juveniles with formal records of

delinquency. So too, with potential friends, lovers, spouses. Although a

formal record is not automatically or uniformly stigmatizing, delinquent

labels causes at least some of the important people around a juvenile to

hesitate in assisting in the transition to adulthoud and prolongs

involvement in delinquency.

204

Larry J. Siegel, Juvenile Delinquency, (United State Of America: Wadswort,

1986), p. 89-90. 205Ibid.

107

Diversion away from formal juvenile justice system processing to be the

most effective method of preventing and controlling delinquency. 206

(Terjemahan bebas: Pertama, proses sistem peradilan anak menyelesaikan

kenakalan anak dengan ciri khas tersendiri. Bahwa sebelum penangkapan

dan penahanan, sebagian besar pelanggar remaja/anak mereka pada

dasarnya tampak sebagai anak-anak baik, mengambil barang-barang

mahal dari toko-toko besar yang menurut mereka dapat dengan mudah

membayar kerugian, atau kebanyakan salah satu kelompok yang

bersenang-senang dan minum bir keluar pada Jumat malam, remaja yang

tak bersalah ditangkap dikirim ke penahanan diperlakukan seolah-olah

mereka sebagai anak nakal. Diperlakukan sebagai anak nakal

menyebabkan beberapa anak untuk melihat diri mereka sebagai anak nakal

dan menyebabkan mereka mengulangi kembali lebih daripada sekedar

kenakalan.

Kedua, proses sistem peradilan anak merupakan sistem yang membuat

stigma anak-anak di mata orang lain yang signifikan. Guru-guru sekolah,

polisi, dan pengusaha potensial dapat mengerti dan waspada terhadap anak

dengan catatan formal kenakalan. Demikian juga, dengan teman-teman

yang potensial, kekasih, pasangan. Meskipun catatan formal tidak secara

otomatis atau seragam membuat stigma, setidaknya label kenalakan

menyebabkan beberapa dari orang-orang penting di sekitar anak ragu-ragu

untuk membantu dalam masa transisi menuju kedewasaan dan

memperpanjang keterlibatan dalam kenakalan.

Pengalihan dari proses formal sistem peradilan anak menjadi metode yang

paling efektif untuk mencegah dan mengendalikan kenakalan).

Diversi dilakukan untuk memberikan perlindungan dan rehabilitasi (protection

and rehabilitation) kepada pelaku sebagai upaya untuk mencegah anak menjadi

pelaku kriminal dewasa.207

Prinsip utama pelaksanaan konsep diversi yaitu tindakan persuatif atau

pendekatan dan pemberian kesempatan kepada pelaku untuk berubah. Petugas

harus menunjukkan pentingnya ketaatan kepada hukum dengan cara pendekatan

persuatif dan menghindarkan penangkapan dengan menggunakan kekerasan dan

206

Richard J. Lundman, Prevention and Control of Juvenile Delinquency, (New

York: Oxford University Press, 1993), p. 18, 89, 90 dalam Paulus Hadisuprapto, Op.cit.,

hlm. 122. 207Ibid., hlm. 22.

108

pemaksaan untuk melaksanakan diversi. Penggunaan kekerasan akan membawa

kepada sifat keterpaksaan sebagai hasil dari penegakan hukum.

Diversi sebagai usaha mengajak masyarakat untuk taat dan menegakkan hukum

dengan tetap mempertimbangkan rasa keadilan sebagai prioritas utama disamping

pemberian kesempatan kepada pelaku memperbaiki diri. Diversi tidak bertujuan

untuk mengabaikan hukum dan keadilan, akan tetapi diversi merupakan cara baru

menegakkan keadilan dalam masyarakat.208

Menurut Setya Wahyudi tujuan diversi adalah:

a. Diversi bertujuan untuk lebih melihat kepentingan perlindungan

anak, yaitu menghindari stigma dan efek negatif proses peradilan;

b. Diversi bertujuan untuk menciptakan perdamaian antara pelaku

dan korban dengan cara memberikan ganti kerugian ataupun

dengan permintaan maaf dan dianggap tidak ada konflik lagi, serta

penyesalan dan pelaku tidak akan mengulangi perbuatan jahatnya;

c. Program-program diversi dapat berupa: cukup dengan pemberian

peringatan, pembinaan keterampilan, bimbingan ataupun konseling

(pemberian nasihat);

d. Pelaksanaan program diversi harus mendapatkan persetujuan

dengan orang tua, anak yang bersangkutan dengan menandatangani

persetujuan program diversi tersebut;

e. Kasus-kasus yang ditangani dengan melaksanakan diversi biasanya

kasus yang tidak berat dan tidak membahayakan masyarakat, dan

ada kedekatan hubungan antara pelaku dan korban;

f. Apabila kasus ditangani dengan pelaksanaan diversi maka kasus

ditutup dan tidak ada pencatatan kejahatan pada diri anak. Namun

demikian jika program diversi gagal maka menjadikan alasan kasus

akan dilanjutkan pada proses peradilan.209

Selanjutnya, terdapat tiga jenis pelaksanaan program diversi yaitu:

(1) Pelaksanaan kontrol secara sosial (social control orientation), yaitu

aparat penegak hukum menyerahkan pelaku dalam tanggungjawab

pengawasan atau pengamatan masyarakat, dengan ketaatan pada

persetujuan atau peringatan yang diberikan. Pelaku menerima

208Ibid.

209

Setya Wahyudi, Op.cit., hlm. 127-128.

109

tanggung jawab atas perbuatannya dan tidak diharapkan adanya

kesempatan kedua kali bagi pelaku oleh masyarakat;

(2) Pelayanan sosial oleh masyarakat terhadap pelaku (social service

orientation), yaitu melaksanakan fungsi untuk mengawasi,

mencampuri, memperbaiki dan menyediakan pelayanan pada pelaku

dan keluarganya. Masyarakat dapat mencampuri keluarga pelaku

untuk memberikan perbaikan atau pelayanan;

(3) Menuju proses restorative justice atau perundingan (balanced or

restorative justice orientation), yaitu melindungi masyarakat,

memberi kesempatan pelaku bertanggungjawab langsung pada korban

dan masyarakat dan membuat kesepakatan bersama antara korban

pelaku dan masyarakat. Pelaksanaannya semua pihak yang terkait

dipertemukan untuk bersama-sama mencapai kesepakatan tindakan

pada pelaku.210

Beberapa pengertian diversi maupun program-program diversi, menurut

beberapa pendapat ahli hukum, sebagai berikut:

1) Diversion as program and practices which are employed for young

people who have initial contact with the police, but are diversted

from the traditional juvenile justice processes before children‟s

court adjudication.211

(Terjemahan bebas: Diversi adalah suatu program dan latihan-

latihan yang mana diajarkan bagi anak-anak yang mempunyai

urusan dengan polisi, sebagai pengalihan dari proses peradilan

anak seperti biasanya sebelum diajukan ke pemeriksaan

pengadilan).

2) Diversion is a program designed out of the court system.212

(Terjemahan bebas: Diversi adalah suatu program yang dibuat

untuk melindungi pelaku-pelaku tindak pidana keluar dari sistem

peradilan).

3) The diversion program is a voluntary alternative to the formal

court process for most first time offending youth. 213

(Terjemahan bebas: Program diversi adalah suatu program yang

dilakukan secara sukarela sebagai alternatif atau pengganti proses

pemeriksaan pengadilan, yang ditujukan khususnya kepada pelaku

anak yang pertama kali melakukan tindak pidana).

4) The juvenile diversion program is an innovative national model,

which works with certain first-time juvenile offenders and their

210

Peter C. Kratcoski, Correctional Counseling and Treatment, (USA: Waveland

Press Inc., 2004), p. 160.

211

Kenneth Polk dalam Setya Wahyudi, Loc.cit.

212

Cuming County Diversion, http://www.co.cuming.ne.us/diversion.html>

213

Setya Wahyudi,Op.cit., 127-128.

110

families by offering an alternative to court process.214

(Terjemahan bebas: Suatu program diversi bagi anak adalah suatu

model inovatif nasional, berupa kegiatan-kegiatan yang harus

dikerjakan bagi pelaku anak pertama kali melakukan tindak

pidana tertentu bersama dengan keluarga mereka sebagai

pengganti proses peradilan).

Berkaitan dengan program diversi Setya Wahyudi mengemukakan bahwa:

Program diversi dapat sebagai sarana penyelesaian konflik dalam bentuk

perdamaian ataupun pemberian restitusi korban. Dalam hal ini, bentuk

pembebanan ganti rugi secara damai kepada korban. Dengan pemberian

ganti rugi kepada korban maka hal ini sebagai beban atas akibat

perbuatannya dan pihak korban mendapatkan haknya untuk dipulihkan

kembali kerugiannya dengan pemberian ganti rugi, atau setidaknya korban

dapat dikurangi penderitaannya. Rasa keadilan dapat timbul dengan

pembebanan ganti rugi dan pengurangan penderitaan bahkan penghilangan

penderitaan korban dengan pemberian ganti rugi tersebut.215

Pelaksanaan diversi oleh aparat penegak hukum didasari oleh kewenangan

aparat penegak hukum yang disebut discretion atau dalam bahasa Indonesia

disebut diskresi. Menurut Kamus Hukum, diskresi berarti kebebasan mengambil

keputusan dalam setiap situasi yang dihadapi menurut pendapatnya sendiri.216

S. Prajudi Admosudirjo mendefinisikan diskresi, discretion (Inggris),

discretionair (Perancis), freies ermessen (Jerman) sebagai kebebasan bertindak

atau mengambil keputusan dari para pejabat administrasi negara yang berwenang

dan berwajib menurut pendapat sendiri.217

Diskresi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak adalah kebijakan Penyidik

Anak dalam menetapkan suatu perkara anak nakal, tidak dilanjutkan

pemeriksaannya dengan pertimbangan hukum yang sesuai dengan peraturan

214Ibid.

215Setya Wahyudi, Op.cit., hal. 88.

216

JCT Simorangkir dkk, Kamus Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 38.

217

S. Prajudi Atmosudirjo, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta: Ghalia

Indonesia, 1994), hlm. 82.

111

perundang-undangan dan demi kepentingan terbaik bagi anak.218

Dalam perkara

anak nakal adakalanya sudah dilakukan pendekatan kekeluargaan, atau perkara

tersebut sumir dan jika dilanjutkan justru tidak efektif dan merugikan kepentingan

anak. Oleh karena itu, untuk kepentingan terbaik bagi anak dan mendukung

penyelesaian dengan pendekatan keadilan restoratif, maka penyidik berwenang

mengeluarkan diskresi.219

Hal ini sebagaimana diatur dalam TR Kabareskrim POLRI No. Pol.:

TR/1124/XI/2006 tgl 16 Nopember 2002, angka 5 yang menyatakan bahwa

“Sedapat mungkin mengembangkan prinsip diversi dalam model restorative

justice dalam memproses kasus anak”.

Masyarakat atau lingkungan mempunyai pengaruh yang lebih besar dalam

pembentukan hukum dibanding dengan pengakuan yang diberikan hukum pada

masyarakat dan lingkungan. Keadaan ini terjadi karena tidak ada konsensus yang

dilakukan terhadap masyarakat pada pengesahan suatu aturan hukum, akan tetapi

secara pasti lingkungan atau masyarakat dapat memaksa atau mendesak polisi dan

agen-agen peradilan pidana yang tidak melakukan diskresi terhadap laporan atau

laporan kriminal. Usaha ini membawa aparat penegak hukum melakukan diskresi

atau di Amerika Serikat sering disebut dengan istilah deinstitutionalization dari

sistem peradilan pidana formal.220

218Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang

Sistem Peradilan Pidana Anak, hlm. 48

219

M. Nasir Djamil, Loc.cit.

220Ibid., hlm. 21.

112

Pada tahun 1986, Jerome Stumphauzer memberikan kesimpulan tentang

pentingnya deinstitutionalization terhadap anak yang berhadapan dengan hukum

untuk menghindarkan anak menjadi penjahat, bahwa:

“A worse social learning program could not be designed : remove the

youth from the very society to which he must learn to adapt, expose him to

hundreds of criminal peer models and to criminal behaviors he hasn‟t

learned (yet), and use punishment as the only learning principle to change

behavior. 221

(Terjemahan bebas: program pembelajaran sosial yang buruk tidak

seharusnya kita lakukan dengan cara seperti memindahkan anak dari

tempat sosialnya yang baik ke tempat yang mana dia harus belajar untuk

beradaptasi, mengarahkannya pada pertemanan dengan banyak jenis

perilaku kriminal yang belum dipelajarinya sebelumnya, dan

menggunakan hukuman/pidana sebagai prinsip pembelajaran untuk

mengubah perilaku anak tersebut).

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, dalam UU SPP Anak, diskresi diberikan

kepada Penyidik untuk bisa mengupayakan diversi.

Hal ini sebagaimana dinyatakan Pasal 29 UU SPP Anak:

(1) Penyidik wajib mengupayakan Diversi dalam waktu paling lama 7

(tujuh) hari setelah penyidikan dimulai.

(2) Proses Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan

paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah dimulainya Diversi.

(3) Dalam hal proses Diversi berhasil mencapai kesepakatan, Penyidik

menyampaikan berita acara Diversi beserta Kesepakatan Diversi

kepada ketua pengadilan negeri untuk dibuat penetapan.

(4) Dalam hal Diversi gagal, Penyidik wajib melanjutkan penyidikan dan

melimpahkan perkara ke Penuntut Umum dengan melampirkan berita

acara Diversi dan laporan penelitian kemasyarakatan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 29 UU SPP Anak tersebut di atas, maka

kewajiban Penyidik untuk mengupayakan diversi merupakan bentuk dari diskresi

terikat, karena upaya diversi bisa berhasil dan bisa juga tidak berhasil.

221

Jack E. Bynum, Williem E. Thomson, Juvenile Delinquency a Sociological

Approach, (Boston: A person Education Acompany, 5th ed, 2002), p. 428.

113

Pemberian diskresi terikat kepada Penyidik merupakan bentuk amanah undang-

undang agar Penyidik selaku pegawai negara dapat mempergunakan sarana yang

ada dan melihat situasi yang terjadi dalam rangka penyelesaian anak yang

berkonflik dengan hukum sehingga prinsip perlindungan anak dapat terwujud. Hal

ini juga dapat dilihat dalam Pasal 42 yang memberikan diskresi terikat kepada

Penuntut Umum, kemudian Pasal 52 ayat (2) juga memberikan diskresi terikat

kepada Hakim.222

Oleh karena itu, tidak semua perkara anak yang melakukan tindak pidana harus

diselesaikan melalui jalur peradilan formal, tapi dapat memberikan alternatif

dengan penyelesaian melalui diversi sebagai bentuk perlindungan bagi anak.

Pengertian diversi menurut Commentary Rule 11 The Beijing Rules adalah sebagai

berikut:

Commentary Rule 11:

Diversion involving removal from criminal justice processing and,

frequently, redirection to community support services, is commonly

practised on a formal and informal basis in many legal systems. This

practice serves to hinder the negative effects of subsequent proceedings in

juvenile justice administration (for example the stigma of conviction and

sentence). In many cases, non-intervention would be the best response.

Thus, diversion at the outset and without referral to alternative (social)

services may be the optimal response. This is especially the case where the

offence is of a non-serious nature and where the family, the school or

other informal social control institutions have already reacted, or are

likely to react, in an appropriate and constructive manner. (Terjemahan

bebas: Diversi merupakan proses melimpahkan perkara anak dari

sistem peradilan pidana kepada sistem informal, seperti

mengembalikan kepada lembaga sosial masyarakat, baik pemerintah

negara maupun non pemerintah. Tindakan ini dilakukan untuk

menghindari efek negatif dari proses berikutnya dalam administrasi

peradilan anak (misalnya stigma dari putusan dan hukuman). Pada

banyak kasus, non-intervensi akan menjadi respon terbaik. Dengan

222Ibid., hlm. 136-137.

114

demikian, diversi pada permulaan dengan rujukan ke alternatif (sosial)

mungkin merupakan layanan yang mendapat respon optimal. Hal ini

terutama terjadi dimana pelanggaran bersifat tidak serius dan dimana

keluarga, sekolah atau lembaga kontrol sosial informal lainnya telah

bereaksi, atau cenderung bereaksi, dengan cara yang tepat dan

konstruktif).

Berdasarkan Commentary Rule 11 The Beijing Rules di atas dapat

dijelaskan bahwa:

1. diversi merupakan proses melimpahkan perkara anak dari sistem peradilan

pidana kepada sistem informal, seperti mengembalikan kepada lembaga

sosial masyarakat, baik pemerintah negara maupun non pemerintah;

2. diversi dilakukan untuk menghindari efek negatif dari proses berikutnya

dalam administrasi peradilan anak, misalnya stigma dari putusan dan

hukuman sehingga tidak mempengaruhi perkembangan mental anak;

3. dengan melaksanakan diversi di luar sistem peradilan, pada banyak kasus,

non-intervensi akan menjadi respon terbaik;

4. diversi yang dilakukan sejak awal sebelum anak diproses dalam sistem

peradilan pidana anak, yaitu dengan rujukan ke alternatif (sosial) mungkin

merupakan layanan yang mendapat respon optimal. Hal ini terutama

terjadi dimana pelanggaran bersifat tidak serius dan dimana keluarga,

sekolah dan lingkungan masyarakatnya sendiri turut memberikan dukungan

serta dapat bersikap dengan sewajarnya (tidak membesar-besarkan masalah);

5. pelaksanaan diversi harus memperoleh persetujuan anak dan orang tua atau

walinya terhadap langkah-langkah diversi yang disarankan. Namun demikian,

persetujuan ini tidak boleh ada pemaksaan dan intimidasi sehingga Anak

merasa tertekan, misalnya ditekan agar menyetujui program-program diversi.

115

Diversi dalam penanganan anak yang berkonflik dengan hukum

memperoleh legitimasi dalam The Beijing Rules, khususnya dalam Rule 11.1-

11.4:

Rule 11.1:

Consideration shall be given, wherever appropriate, to dealing with

juvenile offenders without resorting to formal trial by the competent

authority, referred to in rule 14.1 below. (Terjemahan bebas:

Pertimbangan harus diberikan jika memungkinkan, untuk menangani para

pelaku remaja/anak tanpa ke pengadilan formal oleh pejabat yang

berwenang, sebagaimana dimaksud dalam aturan 14.1 di bawah ini).

Rule 11.2:

The police, the prosecution or other agencies dealing with juvenile cases

shall be empowered to dispose of such cases, at their discretion, without

recourse to formal hearings, in accordance with the criteria laid down for

that purpose in the respective legal system and also in accordance with the

principles contained in these Rules.

(Terjemahan bebas: Polisi, jaksa atau lembaga lain yang berhubungan

dengan kasus-kasus remaja/anak harus diberdayakan untuk mendisposisi

kasus tersebut, pada kebijaksanaan mereka, tanpa melakukan pemeriksaan

formal, sesuai dengan kriteria yang ditetapkan untuk tujuan itu dalam

sistem hukum masing-masing dan juga sesuai dengan prinsip-prinsip yang

terkandung dalam Aturan ini).

Rule 11.3:

Any diversion involving referral to appropriate community or other

services shall require the consent of the juvenile, or her or his parents or

guardian, provided that such decision to refer a case shall be subject to

review by a competent authority, upon application. (Terjemahan bebas:

Setiap pengalihan memerlukan keterlibatan masyarakat yang tepat atau

layanan lainnya harus mendapatkan persetujuan dari remaja/anak, atau

korban atau orang tua atau walinya, asalkan keputusan tersebut untuk

merujuk pada kasus yang harus ditinjau oleh pejabat yang berwenang,

melalui permohonan).

Rule 11.4:

In order to facilitate the discretionary disposition of juvenile cases, efforts

shall be made to provide for community programmes, such as temporary

supervision and guidance, restitution, and compensation of victims.

(Terjemahan bebas: Dalam rangka memfasilitasi disposisi diskresi kasus

116

remaja, upaya harus dilakukan untuk menyediakan program-program

masyarakat, seperti pengawasan dan bimbingan sementara, restitusi, dan

kompensasi kepada korban).

Di Indonesia, istilah diversi pernah dimunculkan dalam perumusan

hasil seminar nasional peradilan anak yang diselenggarakan oleh Fakultas

Hukum Universitas Padjajaran Bandung tanggal 5 Oktober 1996. Dalam

perumusan hasil seminar tersebut tentang hal-hal yang disepakati, antara lain

“Diversi”, yaitu kemungkinan hakim menghentikan atau mengalihkan/tidak

meneruskan pemeriksaan perkara dan pemeriksaan terhadap anak selama

proses pemeriksaan di muka sidang.223

Sementara itu dalam Naskah Akademik RUU Sistem Peradilan Pidana

Anak, diversi adalah suatu pengalihan penyelesaian kasus-kasus anak yang

diduga melakukan tindak pidana tertentu dari proses pidana formal ke

penyelesaian damai antara tersangka/terdakwa/pelaku tindak pidana dengan

korban yang difasilitasi oleh keluarga dan/atau masyarakat, Pembimbing

Kemasyarakatan Anak, Polisi, Jaksa atau Hakim.224

Oleh karena itu tidak semua perkara anak yang berkonfl ik dengan

hukum harus diselesaikan melalui jalur peradilan formal, dan memberikan

alternatif bagi penyelesaian dengan pendekatan keadilan restoratif, maka atas

perkara anak yang berkonflik dengan hukum dapat dilakukan diversi demi

kepentingan terbaik bagi anak dan dengan mempertimbangkan keadilan bagi

korban.225

223

Romli Atmasasmita, dalam Setyo Wahyudi, Op.cit., hlm. 58. 224

Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak, hlm. 48. 225

M. Nasir Djamil, Op.cit., hlm. 137.

117

Pada pembahasan di tingkat Panja, baik pemerintah maupun fraksi -fraksi

menyatakan sepakat dengan ide diversi yang merupakan salah satu

implementasi keadilan restoratif, mulai dari tingkat penyidikan, penuntutan,

dan pemeriksaan perkara di pengadilan. Hal ini menjadi politik hukum

bersama antara pemerintah dan DPR dalam memberikan upaya terbaik bagi

anak yang berkonflik dengan hukum.226

Menurut UU SPP Anak, diversi adalah pengalihan penyelesaian

perkara Anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana

(Pasal 1 angka 7 UU SPP Anak).

Apabila kasus yang menimpa pelaku anak tidak dapat dilakukan

diversi, maka terhadap pelaku anak tersebut akan ditangani oleh pengadilan,

sesuai dengan prinsip-prinsip yang adil dan hal tersebut hanya merupakan

alternatif yang terakhir.

Rule 14.1:

Where the case of a juvenile offender has not been diverted (under rule

11), she or he shall be dealt with by the competent authority (court,

tribunal, board, council, etc.) according to the principles of a fair and just

trial. (Terjemahan bebas: Apabila kasus pelanggar remaja/anak belum

dialihkan (dibawah Aturan 11), maka pelaku remaja/anak atau korban

akan ditangani oleh pejabat yang berwenang (pengadilan, tribunal/tempat

mengadili suatu perkara, komisi, majelis, dan sebagainya) sesuai dengan

prinsip-prinsip peradilan yang jujur dan adil.

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka konsep diversi yang dimaksud

dalam disertasi ini adalah konsep diversi sebagaimana dinyatakan dalam

Commentary Rule 11 The Beijing Rules, bahwa diversi merupakan proses

melimpahkan perkara anak dari sistem peradilan pidana kepada sistem

226

Ibid.

118

informal, seperti mengembalikan kepada lembaga sosial masyarakat, baik

pemerintah negara maupun non pemerintah.

2.2.3. Konsep Sistem Peradilan Pidana Anak

Sebelum menjelaskan tentang sistem peradilan pidana anak, terlebih

dahulu penulis akan memberikan pengertian atau definisi sistem peradilan pidana.

Sistem berasal dari bahasa Latin (systema) dan bahasa Yunani (sustema) adalah

suatu kesatuan yang terdiri dari komponen atau elemen yang dihubungkan

bersama untuk memudahkan aliran informasi, materi atau energi untuk mencapai

suatu tujuan.227

Menurut kamus besar bahasa Indonesia, sistem adalah perangkat

unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas.228

Sistem juga merupakan kesatuan bagian-bagian yang saling berhubungan yang

berada dalam suatu wilayah serta memiliki item-item penggerak.

Sistem peradilan pidana (criminal justice system) menunjukkan

mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan mempergunakan dasar

pendekatan sistem.

Menurut Muladi, sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network)

peradilan yang menggunakan hukum pidana materiil, hukum pidana formil

maupun hukum pelaksanaan pidana.229

Secara sederhana, sistem peradilan pidana

dapat dipahami sebagai suatu usaha untuk menjawab pertanyaan, apa tugas

hukum pidana di masyarakat dan bukan sekedar bagaimana hukum pidana di

227

Wikipedia, http://id.m.wikipedia.org/wiki/Sistem 228

Umi Chulsum dan Windy Novia, Op.cit., hlm. 626. 229

Sistem Peradilan Pidana Indonesia,

http://www.images.dahwirpane.multiplycontent.com/attachme, diakses tanggal 4 Februari

2013.

119

dalam undang-undang serta bagaimana hakim menerapkannya. Sementara itu,

Romli Atmasasmita, membedakan antara pengertian “criminal justice process”

dan “criminal justice system”.230

Pengertian “criminal justice process” adalah setiap tahap dari suatu putusan yang

menghadapkan seorang tersangka ke dalam proses yang membawanya kepada

penentuan pidana baginya, sedangkan pengertian “criminal justice system” adalah

interkoneksi antara keputusan dari setiap instansi yang terlibat dalam proses

peradilan pidana.

Menurut Herbert Packer, proses peradilan pidana adalah :

The criminal process is seen as a screening process in which each

successive stage...pre arrest investigation, arrest, post arrest investigation,

preparation for trial, trial or entry of plea, conviction,

disposition...involves a series of routinized operations whose success is

gauged primarily by their tendency to pass the case along to a successful

conclusion.231

(Terjemahan bebas: Proses pidana dipandang sebagai proses

penyaringan di mana setiap tahapan ... pra penyelidikan penangkapan,

penangkapan, pemeriksaan pasca penangkapan, persiapan untuk sidang,

percobaan atau masuknya permohonan, keyakinan, disposisi ... melibatkan

serangkaian operasi yang dirutinkan dan keberhasilan diukur terutama oleh

kecenderungan mereka untuk lolos dari kasus ini dan membawa

kesuksesan....).

Sistem peradilan pidana Indonesia berlangsung melalui tiga komponen

dasar sistem, yaitu:

1. substansi

merupakan hasil atau produk sistem termasuk Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;

2. struktur

yaitu lembaga-lembaga dalam sistem hukum yang terdiri dari Kepolisian,

Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Kemasyarakatan;

230

Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Perspektif Eksistensialisme dan

Abolisionisme, (Bandung: Bina Cipta, 1996), hlm. 14.

231Herbert L. Packer, The Limits of The Criminal Sanction (Stanford, Cal.: Stanford

University Press, 1968), p. 159.

120

3. kultur

yaitu bagaimana sebetulnya sistem tersebut akan diberdayakan, dengan

kata lain kultur adalah merupakan penggerak dari sistem peradilan pidana

anak.232

Hal ini sejalan dengan pendapat Saut Pandiangan, bahwa “Dalam sistem peradilan

pidana, akan sulit berkembang dan menjalankan tugasnya dengan baik tanpa

adanya dukungan dan sinkronisasi dengan lembaga atau pihak lainnya”.233

Sinkronisasi dalam sistem peradilan pidana sendiri harus disinkronkan dengan

tiga sinkronisasi, yaitu sinkronisasi substansi, struktural, dan kultural. Ketiga pilar

ini, harus tetap seiring dan sinkron dalam sistem peradilan pidana untuk dapat

menjalankan sebuah sistem peradilan pidana yang benar-benar terpadu.234

Selanjutnya Muladi mengemukakan bahwa terhadap komponen-komponen

sistem peradilan pidana adalah subsistem peradilan pidana, yaitu : lembaga

kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan dan bahkan dapat

ditambahkan disini lembaga penasehat hukum dan masyarakat.235

Remington dan Ohlin, sebagaimana dikutip oleh Romli Atmasasmita

mengemukakan bahwa:

“Criminal justice system” dapat diartikan sebagai pemakaian pendekatan

sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana, dan peradilan

pidana sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan

perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku

sosial. Pengertian sistem itu sendiri mengandung implikasi suatu proses

232

Romli Atmasasmita, Loc.cit 233

Saut Pandiangan, “Sinkronisasi Sistem Peradilan Pidana Terpadu”,

http://www.penalstudyclub.wordpress.com/2009/05/29/sinkronisasi-sistem-peradilan-

pidana-terpadu, diakses tanggal 29 Mei 2009. 234Ibid. 235

Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit

Universitas Diponegoro, 1995), hlm. 16.

121

interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien untuk

memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasannya.236

Berdasar pada pendapat Remington dan Ohlin dapat disimpulkan bahwa

criminal justice sytem (sistem peradilan pidana) terdiri dari sistem mekanisme

administrasi peradilan pidana dan peradilan pidana sebagai suatu sistem

merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik

administrasi dan sikap atau tingkah laku sosial.

Mardjono, memberikan batasan bahwa yang dimaksud dengan sistem

peradilan pidana adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-

lembaga kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan pemasyarakatan.237

Lebih lanjut,

Mardjono mengemukakan bahwa “Sistem peradilan pidana (criminal justice

system) adalah suatu sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi

masalah kejahatan. Menanggulangi diartikan sebagai mengendalikan kejahatan

agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat”.238

Selanjutnya dikemukakan bahwa tujuan sistem peradilan pidana adalah :

a. mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan;

b. menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa

keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana;

236Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, (Jakarta: Kencana

Prenada Media Group, 2010), hlm. 2. 237

Mardjono Reksodipoetro, “Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat kepada

kejahatan dan penegakan hukum dalam batas-batas toleransi”, Pidato Pengukuhan

Penerimaan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Indonesia, Jakarta: 1993. 238

Mardjono Reksodipoetro, “Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Peran Penegak

Hukum Melawan Kejahatan), dikutip dari Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan

Pidana”, 1994, hlm. 84-85.

122

c. mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak

mengulangi kejahatannya.239

Bertitik tolak dari tujuan tersebut, Mardjono mengemukakan bahwa empat

komponen dalam sistem peradilan pidana (kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan

lembaga pemasyarakatan) diharapkan dapat bekerja sama dan dapat membentuk

suatu “integrated criminal justice system” (sistem peradilan pidana yang

menyatu).

Berkaitan dengan sistem peradilan pidana, terdapat dua model sistem

peradilan pidana, yaitu: Crime Control Model (CCM) dan Due Process Model

(DPM), yaitu :

Due process model is mentioned in the fifth (where it is applied to the

federal government) and Fourteenth Amandements (where it is applied to

the states) of the U.S. Constitutions. It is usually divided into both

substantive an procedural areas. The substantive aspects are generally

used to determine whether a statute is fair, reasonable, and an

appropriate use of the legal power of the legislature. The concept of

substantive due process was used extensively in the 1930s and 1940s to

invalidate minimum wage standarts, price-fixing, and employment

retriction statutes. Today it is used more sparingly; for example, it may be

employed to hold that criminal statutes dealing with dicorderly conduct,

capital punishment, or a ban on pornography may be unconstitutional

because they are arbitary or unreasonable.240

(Terjemahan bebas: Due proses model sebagaimana disebutkan dalam

amandemen kelima (dimana ia diterapkan pada pemerintah federal) dan

keempat belas (dimana ia diterapkan pada negara) dari Konstitusi AS. Hal

ini biasanya dibagi menjadi dua substantif suatu daerah prosedural. Aspek

substantif umumnya digunakan untuk menentukan apakah undang-undang

yang adil, wajar, dan penggunaan yang tepat dari kekuatan hukum

legislatif. Konsep proses hukum substantif digunakan secara luas pada

1930-an dan 1940-an untuk membatalkan standart upah minimum,

penetapan harga, dan ketetapan retriction kerja. Hari ini digunakan lebih

hemat, misalnya, dapat digunakan sebagai pedoman bahwa undang-

239Ibid.

240Larry J. Siegel, Criminology, Third Edition, (New York: West Publising

Company ST. Paul Los Angeles San Fransisco, 1989), p. 402.

123

undang pidana yang berhubungan dengan perilaku menyimpang, hukuman

mati, atau larangan pornografi mungkin tidak konstitusional karena

tindakan mereka sewenang-wenang atau tidak masuk akal).

Sedangkan Crime Control Model (CCM) adalah :

Those embracing the crime control model believe that the overriding

purpose of the justice system is protection of the public, deterrence of

criminal behavior, and incapatitation of known criminals. Those who

espouse its principles view the justice system as a barrier between

destructive criminal elements and conventional society. Speedy and

efficient justice, unencumbered by legal red tape and followed by

punishment designed to fit the crime, is the goal of crime control. The

means to achieve this goal must be available, including increasing the size

of police forces, maximizing the use of discretion, building more prisons,

using the death penalty, and reducing legal controls on the justice system

such as the exclusionary rule.241

(Terjemahan bebas: Mereka menggabungkan model crime control dan

yakin bahwa tujuan utama dari sistem peradilan adalah perlindungan

masyarakat, pencegahan perilaku kriminal, dan menampung penjahat yang

dikenal. Mereka yang mendukung prinsip-prinsip melihat sistem peradilan

sebagai penghalang antara unsur-unsur kriminal yang merusak dan

masyarakat konvensional. Keadilan yang cepat dan efisien, tidak terbebani

oleh birokrasi hukum dan diikuti oleh hukuman yang dirancang untuk

menangani kejahatan, adalah tujuan dari pengendalian kejahatan. Cara

untuk mencapai tujuan ini harus tersedia, termasuk meningkatkan jumlah

pasukan polisi, memaksimalkan penggunaan kebijaksanaan, membangun

lebih banyak penjara, menggunakan hukuman mati, dan mengurangi

kontrol hukum pada sistem peradilan seperti aturan yang eksklusif).

Sedangkan mengenai batas dari sanksi pidana (the limits of the criminal

sanction), Herbert L. Packer menyatakan bahwa:

According to Packer, the due process model combines elements of liberal-

positivitist criminology with the legal concept of procedural fairness for

the accused. Those who adhere to due process principles believe in

individualized justice, treatment, and rehabilitation of the offender. If

discretion exist in the criminal justice system, it should be used to evaluate

the treatment needs of the offender. Most importantly, the civil rights of

the accused should be protected at all possible costs. This means practices

such as strict scrutiny of police search and interrogation procedures,

review of sentencing policies, and development of prisoners‟ rights”.242

241Ibid., p. 406.

242

Herbert L. Packer, Op.cit., p. 410.

124

(Terjemahan bebas: Menurut Packer, due proses model karena

memadukan unsur-unsur liberal-positivitis kriminologi dengan konsep

hukum keadilan prosedural untuk terdakwa. Mereka yang mematuhi

prinsip-prinsip due proses percaya pada keadilan individual, pengobatan,

dan rehabilitasi pelaku. Jika kebijaksanaan ada dalam sistem peradilan

pidana, harus digunakan untuk mengevaluasi kebutuhan pengobatan

pelaku. Yang paling penting, hak-hak sipil terdakwa harus dilindungi dan

difasilitasi sedemikian mungkin. Ini berarti praktek-praktek seperti

pengawasan yang ketat dari pencarian polisi dan prosedur interogasi,

review kebijakan hukuman, dan pengembangan hak-hak tahanan).

Dengan demikian, secara tegas dapat dikatakan bahwa CCM dan DPM

merupakan sebuah konsep ideal dari Herbert L. Packer, bahwa polarisasi

pendekatan normatif ke dalam sistem peradilan pidana tersebut tidak bersifat

mutlak, sehingga operasionalisasi kedua model ini dilandasi asumsi-asumsi yang

sama yaitu:

(1) penetapan suatu tindakan sebagai tindakan pidana harus lebih dahulu

ditetapkan jauh sebelum proses identitifikasi dan kontak dengan

seorang tersangka pelaku kejahatan atau asas “ex post facto law” atau

asas undang-undang tidak berlaku surut. Aparatur penegak hukum

atau law enforcement agencies tidak diperkenankan menyimpang dari

asas tersebut;

(2) diakui kewenangan yang terbatas pada aparatur negara hukum untuk

melakukan tindakan penyidikan dan penangkapan terhadap seorang

tersangka pelaku kejahatan;

(3) seorang pelaku kejahatan adalah subjek hukum yang harus dilindungi

dan berhak atas peradilan yang jujur dan tidak memihak.243

Berdasar pada uraian tersebut di atas, ternyata terdapat asumsi-asumsi

yang sama antara CCM dan DPM. Akan tetapi, walaupun terdapat asumsi yang

sama antara CCM dan DPM bukan berarti tidak terdapat perbedaan dari aspek

nilai-nilai yang menjadi landasan kerja kedua model tersebut, mekanisme, dan

tipologi yang dianutnya.

Adapun 5 (lima) nilai-nilai yang melandasi CCM adalah:

243

Romli Atmasasmita, Op.cit., hlm. 19.

125

1. Tindakan represif terhadap suatu tindakan kriminal adalah fungsi

terpenting dari proses peradilan;

2. Efisiensi penegak hukum untuk menyeleksi tersangka, penetapan

kesalahannya dan perlindungan hak tersangka dari proses peradilan;

3. Proses penegakan hukum berlandaskan prinsip cepat (speedy) dan

tuntas (finalty) dan model yang dapat mendukung bersifat model

administratif;

4. Bertumpu pada empiris yaitu asas “praduga bersalah” atau

“presumption of guilt”;

5. Proses penegakan hukum bertitik tolak pada fakta administratif yang

akan membawa muara pada pembebasan seorang tersangka dari

penuntutan atau kesediaan tersangka mengaku bersalah atau “plea of

guilt”.244

Sedangkan 6 (enam) karakteristik DPM adalah:

1. Bahwa model ini mengutamakan “formal-adjudicative” dan “adversary

fact-findings” sehingga model ini menolak informal “fact finding process”;

2. Model ini menekankan penegakan (preventive measures) dan menghapus

sejauh mungkin kesalahan mekanisme administrasi peradilan;

3. Model ini bertitik tolak dari nilai yang bersifat legal guilt;

4. Gagasan persamaan di depan hukum diutamakan;

5. DPM lebih mengutamakan kesusilaan dan kegunaan sanksi pidana

(criminal sanction);

6. DPM menganggap proses peradilan sebagai coercive (menekan),

restricting (membatasi), dan merendahkan martabat (demianing) sehingga

proses peradilan harus dikendalikan agar dapat dicegah penggunaannya

sampai titik optimum karena kekuasaan cenderung disalahgunakan atau

memiliki potensi untuk menempatkan individu pada kekuasaan yang

koersif dari negara.245

Berikutnya CCM dan DPM tidak lain merupakan suatu “dicision making”,

bahwa CCM merupakan pengambilan keputusan yang mengutamakan “excessive

leniency”, sedangkan DPM mengutamakan ketetapan dan persamaan tapi di lain

pihak mulai mengemukakan kelemahan-kelemahan CCM dan DPM. Adapun

kelemahan CCM tidak cocok karena model ini berpandangan tindakan bersifat

represif sebagai terpenting dalam melaksanakan proses peradilan pidana,

244

Muladi, Op.cit., hlm. 5. 245Ibid.

126

sedangkan DPM tidak sepenuhnya menguntungkan, karena bersifat “anti-

authoritarian values”.246

Oleh karena itu, menurut Muladi model sistem peradilan pidana yang

cocok bagi Indonesia adalah model yang mengacu kepada “daad-dader

strafrecht”, yaitu model keseimbangan kepentingan yang memperhatikan pelbagai

kepentingan yang harus dilindungi hukum pidana yaitu kepentingan negara,

kepentingan individu, kepentingan pelaku tindak pidana, dan kepentingan korban

kejahatan.247

Selain daripada itu, landasan penegak hukum dalam sistem peradilan

pidana adalah:

1. Pendekatan yang manusiawi, yaitu menegakkan hukum dengan cara yang

manusiawi, menjunjung tinggi human dignity. Hal ini mewajibkan para

penegak hukum melakukan pemeriksaan dengan cara pendeteksian yang

ilmiah atau dengan metode “scientific crime detection”, yakni cara

pemeriksaan tindak pidana berlandaskan kematangan ilmiah.

Menjauhkan diri dari cara pemeriksaan konvensional dalam bentuk

tangkap dulu dan peras pengakuan dengan jalan pemeriksaan fisik dan

mental. Sudah saatnya para penegak hukum mengasah jiwa, perasaan,

dan penampilan serta gaya mereka dibekali dengan kehalusan budi nurani

yang tanggap atas rasa keadilan atau “sense of justice”.

2. Memahami rasa tanggung jawab, hal ini sangat penting disadari para

penegak hukum, sebab yang mereka hadapi adalah manusia sebagaimana

dirinya sendiri, yakni manusia yang memiliki jiwa dan perasaan. Sudah

semestinya para penegak hukum merenungkan arti tanggung jawab

dalam menangani setiap manusia yang dihadapkan kepadanya ketebalan

rasa tanggung jawab atau sense of responsibility yang mesti dimiliki oleh

setiap pribadi para penegak hukum harus mempunyai dimensi

pertanggungjawaban terhadap diri sendiri, pertanggungjawaban kepada

masyarakat serta pertanggungjawaban kepada Tuhan Yang Maha Esa. 248

246Ibid. 247Ibid. 248

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,

(Jakarta: Pustaka Kartini, 1993), hlm. 5-6.

127

Selanjutnya, menurut Siegel dapat disimpulkan bahwa komponen sistem

peradilan pidana:

Criminal justice refers to the formal processes and institutions that have

been established to apprehend, try, punish, and treat law violators. The

major components of the criminal justice system are the police, courts, and

correctional agencies. Police maintain public order, deter crime, and

apprehend law violators. The courts are charged with determining the

criminal liability of accused offenders brought before them and with

dispending fair and effective sanctions to those found guilty of crime...249

(Terjemahan bebas: Peradilan pidana mengacu pada proses formal dan

lembaga yang telah dibentuk untuk menangkap, menangani, menghukum,

dan memperlakukan pelanggar hukum. Komponen utama dari sistem

peradilan pidana adalah polisi, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan.

Polisi menjaga ketertiban umum, mencegah kejahatan, dan menangkap

pelanggar hukum. Pengadilan dibebankan dengan menentukan tanggung

jawab pidana pelanggar terdakwa dibawa ke hadapan mereka dan dengan

menjatuhkan sanksi yang adil dan efektif kepada yang terbukti bersalah

atas kejahatan ....).

Berbicara tentang sistem peradilan pidana anak adalah menjadi titik

permulaan anak yang berkonflik dengan hukum. Istilah sistem peradilan pidana

menggambarkan suatu proses hukum yang diterapkan pada seseorang yang

melakukan tindak pidana atau melanggar ketentuan hukum pidana. Dalam kata

“sistem peradilan pidana anak”, terdapat istilah “sistem peradilan pidana” dan

istilah “anak”. Dengan demikian istilah sistem peradilan pidana anak

dipergunakan untuk menggambarkan sistem peradilan pidana yang

dikonstruksikan pada anak.250

Kata anak dalam frasa sistem peradilan pidana anak

mesti dicantumkan karena untuk membedakan dengan sistem peradilan dewasa.

249Larry J. Siegels, Op.cit., p. 414.

250 Inter-Parliamentary Union & UNICEF, Improving the Protection of Children

in Conflict with the Law in South Asia: A regional parliamentary guide on juvenile

justice, UNICEF ROSA, 2006, (diambil oleh Yayasan Pemantau Hak Anak, Children’s

Human Rights Foundation, Anak Berhadapan Dengan Hukum Dalam Perspektif Hukum

128

Mengacu pada keempat komponen sistem peradilan pidana tersebut di atas

dan mengkaitkannya dengan perlindungan hukum bagi Anak, maka kekhususan

sistem peradilan pidana anak harus mencakup keempat komponen sistem

peradilan pidana. Kekhususan ini untuk menegaskan bahwa hukum yang

mengatur anak yang berkonflik dengan hukum merupakan rezim hukum tersendiri

(sui generis), oleh karena substansi hukum yang mendasarinya harus bersifat lex

spesialis.

Mengadili adalah merupakan pergulatan dan permasalahan kemanusiaan

yang terkait erat dengan perasaan, hati nurani dan keadilan. Sebagai permasalahan

kemanusiaan tentunya pengembangan hak-hak anak dalam peradilan pidana

sangat diperlukan karena hal ini merupakan jaminan prosedural pengawasan dasar

terhadap perlindungan anak. Jaminan-jaminan prosedural yang mendasar harus

dijamin pada tiap tahap proses peradilan anak.251

Peradilan pidana adalah suatu proses yuridis dimana harus ada kesempatan orang

berdiskusi, untuk dapat memperjuangkan pendirian tertentu mengemukakan

kepentingan oleh berbagai pihak, mempertimbangkannya dimana suatu putusan

diambil mempunyai motivasi tertentu.252

Tujuan penyelenggaraan sistem peradilan pidana anak (juvenile justice)

tidak semata-mata bertujuan untuk menjatuhkan sanksi pidana bagi anak pelaku

tindak pidana, tetapi lebih difokuskan pada dasar pemikiran bahwa penjatuhan

sanksi tersebut sebagai sarana mendukung mewujudkan kesejahteraan terhadap

HAM Internasional), http://www.ypha.or.id/web/wp-content/uploads/2011/04/Anak-

yang-Berhadapan-dengan-Hukum-dalam-Perspektif-Hukum-HAM-Internasional3.pdf,

diakses tanggal 2 Januari 2012. 251

Made Sadhi Astuti I, Op.cit., hlm. 22. 252Ibid.

129

Anak. Dasar pemikiran atau titik tolak prinsip ini, merupakan ciri khas

penyelenggaraan sistem peradilan pidana anak.253

Sementara itu Gordon Bazemore, sebagaimana dikutip Setya Wahyudi dan

dikutip lagi oleh M. Nasir Djamil, menyatakan bahwa tujuan sistem peradilan

pidana anak (SPP Anak) berbeda-beda, tergantung pada paradigma sistem

peradilan pidana anak yang dianut.254

Terdapat tiga paradigma peradilan anak

yang terkenal, yakni paradigma pembinaan individual (individual treatment

paradigm), paradigma retributif (retributive paradigm), dan paradigma restoratif

(restorative paradigm).255

Tujuan SPP Anak dengan paradigma pembinaan individual, yang dipentingkan

adalah penekanan pada permasalahan yang dihadapi pelaku, bukan pada

perbuatan/kerugian yang diakibatkan. Tanggung jawab ini terletak pada tanggung

jawab sistem dalam memenuhi kebutuhan pelaku. Penjatuhan sanksi dalam sistem

peradilan pidana anak dengan paradigma pembinaan individual, adalah tidak

relevan, insidental dan secara umum tak layak.256

Tujuan SPP Anak dengan paradigma retributif ditentukan pada saat pelaku telah

dijatuhi pidana. Tujuan penjatuhan sanksi tercapai dilihat dengan kenyataan

apakah pelaku telah dijatuhi pidana dan dengan pemidanaan yang tepat, pasti,

setimpal serta adil. Bentuk pemidanaan berupa penyekapan, pengawasan

elektronik, sanksi punitif, denda, dan fee.257

253

Muladi dan Barda Nawawi Arif, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,

(Bandung: Alumni, 1992), hlm. 114-115. 254

M. Nasir Djamil, Op.cit., hlm. 45.

255Ibid.

256Ibid.

257Ibid., hlm. 46.

130

Selanjutnya, tujuan SPP Anak dengan paradigma restoratif, bahwa di dalam

mencapai tujuan penjatuhan sanksi, maka diikutsertakan korban untuk berhak

aktif terlibat dalam proses peradilan. Indikator pencapaian tujuan penjatuhan

sanksi tercapai dengan dilihat pada apakah korban telah direstorasi, kepuasan

korban, besar ganti rugi, kesadaran pelaku atas perbuatannya, jumlah kesepakatan

perbaikan yang dibuat, kualitas pelayanan kerja dan keseluruhan proses yang

terjadi.258

Berkaitan dengan upaya memberikan perlindungan hukum terhadap anak

yang berkonflik dengan hukum, sistem peradilan pidana anak harus dimaknai

secara luas, ia tidak hanya dimaknai hanya sekedar penanganan anak yang

melakukan tindak pidana semata. Namun sistem peradilan pidana anak harus juga

dimaknai mencakup akar permasalahan (root causes) mengapa anak melakukan

tindak pidana dan upaya pencegahannya. Lebih jauh, ruang lingkup sistem

peradilan pidana anak mencakup banyak ragam dan kompleksitas isu mulai dari

anak melakukan kontak pertama dengan polisi, proses peradilan, kondisi tahanan,

dan reintegrasi sosial, termasuk pelaku-pelaku dalam proses tersebut.259

Dalam upaya membangun rezim hukum anak yang berhadapan dengan

hukum, terdapat 4 (empat) fondasi KHA yang relevan untuk

mengimplementasikan praktik peradilan pidana anak, yakni:

1. prinsip non diskriminasi (without discrimination), diatur dalam Pasal 2 KHA;

2. prinsip yang terbaik bagi anak (the best interest of the child), diatur dalam Pasal

3 ayat (1) KHA;

258Ibid., hlm. 46-47.

259

Muladi dan Barda Nawawi Arif, Op.cit., hlm. 114-115.

131

3. prinsip hak atas hidup, kelangsungan, dan perkembangan (the rights to life,

survival, and development), diatur dalam Pasal 6 ayat (2) KHA; dan

4. prinsip penghargaan terhadap anak (respect for the views of the child), diatur

dalam Pasal 12 ayat (1) KHA.

Sejalan dengan kerangka fundamental dari KHA tersebut di atas, maka

tujuan dari bekerjanya sistem peradilan pidana anak pada dasarnya ditujukan

untuk membangun sistem peradilan yang adil dan ramah terhadap anak (fair and

humane). Adapun karakteristik sistem peradilan pidana anak yang adil dan ramah

terhadap anak, meliputi:

a. berlandaskan hak anak;

b. menerapkan prinsip keadilan restoratif;

c. menempatkan kepentingan terbaik bagi anak sebagai acuan pertama dan

utama;

d. fokus pada pencegahan sebagai tujuan utama;

e. menjadikan sanksi penahan sebagai alternatif terakhir (the last resort)

dan jika memungkinkan menahan anak dalam waktu yang sesingkat-

singkatnya;

f. prinsip proporsionalitas;

g. menekankan rehabilitasi dan reintegrasi;

h. melakukan Intervensi secara layak dan tepat waktu;

i. prosedur khusus untuk memberikan perlindungan terhadap hak anak.260

Menurut Pasal 1 angka 1 UU SPP Anak UU SPP Anak, sistem peradilan

pidana anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang

berhadapan dengan hukum, mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap

pembimbingan setelah menjalani pidana. Anak yang berhadapan dengan hukum

adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak

pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana (Pasal 1 angka 2 UU SPP

260

Hangama Anwari, Justice for The Children: The situation for children in

conflict with the law in Afghanistan, UNICEF and AIHRC, tanpa tahun, Loc.cit.

132

Anak). Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut Anak

adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun tetapi belum berumur 18

(delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana (Pasal 1 angka 3 UU

SPP Anak). Dengan demikian berdasar pada ketentuan Pasal 1 angka 3 UU SPP

Anak, terhadap Anak yang dapat diproses dalam persidangan anak adalah anak

yang telah berumur 12 (dua belas) tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun,

yang diduga melakukan tindak pidana.

Selanjutnya, dalam hal tindak pidana dilakukan oleh Anak sebelum genap

berumur 18 (delapan belas) tahun dan diajukan ke sidang pengadilan setelah Anak

yang bersangkutan melampaui batas umur 18 (delapan belas) tahun, tetapi belum

mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, Anak tetap diajukan ke sidang anak

(Pasal 20 UU SPP Anak).

Usia pertanggungjawaban tindak pidana merujuk pada usia seseorang

dianggap memiliki kemampuan untuk menilai (kapasitas untuk membedakan

benar atau salah) dan dapat memikul tanggung jawab atas tindak pidana yang

dilakukannya. Dalam kaitan ini, terdapat 2 (dua) isu yakni: (i) usia di mana

seorang anak dianggap memiliki kapasitas mental untuk melakukan tindak pidana;

dan (ii) usia dimana anak dianggap layak untuk memikul tanggung jawab

terhadap penuntutan dan sanksi formal atas tindak pidana yang dilakukannya.261

Hal ini sesuai dengan Article 40.1 CRC.

Article 40.1 CRC:

States Parties recognize the right of every child alleged as, accused of, or

recognized as having infringed the penal law to be treated in a manner

261

www.africanchildforum.org/Documents/age_of_cri_response.pdf

133

consistent with the promotion of the child's sense of dignity and worth,

which reinforces the child's respect for the human rights and fundamental

freedoms of others and which takes into account the child's age and the

desirability of promoting the child's reintegration and the child's assuming

a constructive role in society.

(Terjemahan bebas: Negara-negara pihak mengakui hak setiap anak yang

dinyatakan sebagai, dituduh, atau dinyatakan telah melanggar hukum

pidana untuk diperlakukan dengan cara yang konsisten dengan pengertian

anak tentang martabat dan nilai, yang memperkuat kembali penghormatan

anak terhadap hak asasi manusia dan kebebasan dasar orang lain dengan

memperhatikan umur anak dan keinginan untuk meningkatkan reintegrasi

anak dan peran anak yang konstruktif dalam masyarakat).

Selanjutnya, dalam hal penahanan anak terdapat kriteria persyaratan yang

berbeda dengan UU Pengadilan Anak, sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal

32 UU SPP Anak.

Pasal 32 UU SPP Anak menyatakan:

(1) Penahanan terhadap Anak tidak boleh dilakukan dalam hal Anak

memperoleh jaminan dari orang tua/Wali dan/atau lembaga bahwa

Anak tidak akan melarikan diri, tidak akan menghilangkan atau

merusak barang bukti, dan/atau tidak akan mengulangi tindak pidana;

(2) Penahanan terhadap Anak hanya dapat dilakukan dengan syarat

sebagai berikut:

a. Anak telah berumur 14 (empat belas) tahun atau lebih; dan

b. diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara 7

(tujuh) tahun atau lebih;

(3) Syarat penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus

dinyatakan secara tegas dalam surat perintah penahanan;

(4) Selama Anak ditahan, kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial Anak

harus tetap dipenuhi;

(5) Untuk melindungi keamanan Anak, dapat dilakukan penempatan Anak

di LPKS.

Selanjutnya dalam hubungannya dengan pemidanaan, Pasal 69 UU SPP

Anak menyatakan:

(1) Anak hanya dapat dijatuhi pidana atau dikenai tindakan berdasarkan ketentuan

dalam undang-undang ini;

(2) Anak yang belum berusia 14 tahun hanya dapat dikenai tindakan.

134

Sistem peradilan pidana anak dilaksanakan berdasarkan asas:

a. Perlindungan;

b. Keadilan;

c. Nondiskriminasi;

d. kepentingan terbaik bagi anak;

e. Kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak;

g. Pembinaan dan pembimbingan anak;

h. proporsional;

i. perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir; dan

j. penghindaran pembalasan (Pasal 2 UU SPP Anak).

Dalam Penjelasan Pasal 2 huruf a, yang dimaksud dengan “perlindungan”,

meliputi kegiatan yang bersifat langsung dan tidak langsung dari tindakan yang

membahayakan anak secara fisik dan/atau psikis. Kemudian yang dimaksud

dengan “keadilan” adalah bahwa setiap penyelesaian perkara anak harus

mencerminkan rasa keadilan bagi anak (Penjelasan Pasal 2 huruf b). Yang

dimaksud dengan “nondiskriminasi” adalah tidak adanya perlakuan yang berbeda

didasarkan pada suku, agama, ras, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak,

urutan kelahiran anak, serta kondisi fisik dan/atau mental (Penjelasan Pasal 2

huruf c). Berkaitan dengan asas nondiskriminasi, ada hak anak untuk tidak

diperlakukan secara diskriminasi, yaitu diatur dalam Penjelasan Umum UU SPP

Anak menyatakan bahwa “Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari

keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara.

Dalam konstitusi Indonesia, anak memiliki peran strategis yang secara tegas

dinyatakan bahwa negara menjamin hak setiap anak atas kelangsungan hidup,

tumbuh dan berkembang serta perlindungan atas kekerasan dan diskriminasi. Oleh

135

karena itu, kepentingan terbaik bagi anak patut dihayati sebagai kepentingan

terbaik bagi kelangsungan hidup umat manusia....”262

Yang dimaksud dengan “kepentingan terbaik bagi anak” adalah segala

pengambilan keputusan harus selalu mempertimbangkan kelangsungan hidup dan

tumbuh kembang anak (Penjelasan Pasal 2 huruf d). Yang dimaksud dengan

“penghargaan terhadap pendapat anak” adalah penghormatan atas hak anak untuk

berpartisipasi dan menyatakan pendapatnya dalam pengambilan keputusan,

terutama jika menyangkut hal yang mempengaruhi kehidupan anak (Penjelasan

Pasal 2 huruf e). Yang dimaksud dengan “kelangsungan hidup dan tumbuh

kembang anak” adalah hak asasi paling mendasar yang dilindungi oleh negara,

pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua (Penjelasan Pasal 2 huruf f).

Kemudian yang dimaksud dengan “pembinaan” adalah pemberian

tuntunan untuk meningkatkan kualitas ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa,

intelektual, sikap dan perilaku, pelatihan keterampilan, profesional, serta

kesehatan jasmani dan rohani anak, baik di dalam maupun di luar proses peradilan

pidana. Yang dimaksud dengan “pembimbingan” adalah pemberian tuntunan

untuk meningkatkan kualitas ketakwaan kepada Tuhan yang Maha Esa,

intelektual, sikap dan perilaku, pelatihan keterampilan, profesional, serta

kesehatan jasmani dan rohani klien pemasyarakatan (Penjelasan Pasal 2 huruf g).

Yang dimaksud dengan “proporsional” adalah segala perlakuan terhadap

anak harus memperhatikan batas keperluan, umur, dan kondisi anak (Penjelasan

Pasal 2 huruf h). Yang dimaksud dengan “perampasan kemerdekaan merupakan

262

Penjelasan Umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2012

tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

136

upaya terakhir” adalah pada dasarnya anak tidak dapat dirampas kemerdekaannya,

kecuali terpaksa guna kepentingan penyelesaian perkara (Penjelasan Pasal 2 huruf

i). Yang dimaksud dengan “penghindaran pembalasan” adalah prinsip

menjauhkan upaya pembalasan dalam proses peradilan pidana (Penjelasan Pasal 2

huruf j).

Sistem peradilan pidana anak menurut UU SPP Anak wajib

mengutamakan pendekatan keadilan restoratif. Hal tersebut sebagaimana yang

dinyatakan dalam Pasal 5 UU SPP Anak, yang menyatakan bahwa:

(1) Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan

keadilan restoratif;

(2) Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

meliputi :

a. Penyidikan dan penuntutan pidana anak yang dilaksanakan sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali

ditentukan lain dalam undang-undang ini;

b. Persidangan anak yang dilakukan oleh pengadilan di lingkungan

peradlan umum; dan

c. Pembinaan, pembimbingan, pengawasan, dan/atau pendampingan

selama proses pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelah

menjalani pidana atau tindakan;

d. Dalam sistem peradilan pidana anak sebagaimana dimaksud pada

ayat (2) huruf a dan huruf b wajib diupayakan diversi.

Pasal 7 UU SPP Anak menyatakan:

(1) Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemerikaan perkara Anak di

pengadilan negeri wajib diupayakan diversi;

(2) Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam hal

tindak pidana yang dilakukan :

a. Diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan

b. Bukan merupakan pengulangan tindak pidana.

Berdasar pada ketentuan Pasal 7 UU SPP Anak, pada tingkat penyidikan,

penuntutan dan pemeriksaan perkara Anak di pengadilan negeri wajib diupayakan

137

diversi, akan tetapi dibatasi pada tindak pidana yang ancaman pidananya di bawah

7 (tujuh) tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana.

Sehubungan dengan adanya ketentuan untuk tindak pidana yang dapat

dilakukan diversi tersebut di atas, berarti ada tindak pidana yang tidak perlu

dilaksanakan diversi dan tindak pidana yang dilakukan oleh Anak yang harus

diselesaikan lewat jalur pengadilan.

Pasal 9 ayat (2) UU SPP Anak menyatakan:

Kesepakatan diversi harus mendapatkan persetujuan korban dan/atau keluarga

Anak korban serta kesediaan Anak dan keluarganya, kecuali untuk:

a. Tindak pidana yang berupa pelanggaran;

b. Tindak pidana ringan;

c. Tindak pidana tanpa korban; atau

d. Nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi

setempat.

Selanjutnya, untuk tindak pidana yang dilakukan Anak yang tidak dapat

dilakukan diversi atau harus dilanjutkan dengan proses peradilan pidana, selain

yang diatur dalam Pasal 7 UU SPP Anak adalah sebagaimana yang diatur dalam

Pasal 13 UU SPP Anak, yang menyatakan bahwa:

“Proses peradilan pidana Anak dilanjutkan dalam hal:

a. Proses diversi tidak menghasilkan kesepakatan; atau

b. Kesepakatan diversi tidak dilaksanakan.

Ketentuan proses beracara dalam sistem peradilan pidana anak di

Indonesia, mengacu pada ketentuan umum, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana (KUHAP), selama UU SPP Anak tidak mengatur secara khusus.

Akan tetapi apabila UU SPP Anak mengatur secara khusus tentang proses

beracara bagi anak, maka ketentuan KUHAP dikesampingkan. Hal ini

138

sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 16 UU SPP Anak, bahwa “Ketentuan

beracara dalam Hukum Acara Pidana berlaku juga dalam acara peradilan pidana

anak, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini.

Berdasarkan uraian di atas, yang dimaksud konsep sistem peradilan pidana

anak dalam disertasi ini adalah konsep sistem peradilan pidana anak menurut

Pasal 1 angka 1 UU SPP Anak, bahwa sistem peradilan pidana anak adalah

keseluruhan proses penyelesaian perkara anak yang berhadapan dengan hukum,

mulai tahap penyelidikan sampai dengan tahap pembimbingan setelah menjalani

pidana. Sedangkan yang dimaksud konsep diversi adalah konsep diversi

sebagaimana dinyatakan dalam Commentary Rule 11 The Beijing Rules, bahwa

diversi merupakan proses melimpahkan perkara anak dari sistem peradilan

pidana kepada sistem informal, seperti mengembalikan kepada lembaga

sosial masyarakat, baik pemerintah negara maupun non pemerintah.

Dengan demikian yang dimaksud dengan konsep sistem peradilan anak

dan konsep diversi dalam disertasi ini adalah proses penyelesaian perkara anak

yang berhadapan dengan hukum, yang merupakan proses melimpahkan perkara

anak dari sistem peradilan pidana kepada sistem informal, seperti

mengembalikan kepada lembaga sosial masyarakat, baik pemerintah negara

maupun non pemerintah.

139

2.2.4. Konsep Perlindungan Anak

2.2.4.1. Konsep Perlindungan

Kata "perlindungan" bila berdiri sendiri tentu akan berbeda maknanya bila

disatukan dengan kata anak, yaitu menjadi perlindungan anak. Kata

“perlindungan” sangat bersentuhan dengan jaminan bahwa sesuatu yang

dilindungi akan terbebas dari hal yang membuat tidak nyaman, dari hal yang

membuat kerusakan.263

Dengan demikian, pada dasarnya anak harus dilindungi

karena anak mempunyai ketergantungan yang sangat tinggi terhadap seluruh

penyelenggara perlindungan anak yaitu orang tua, keluarga, masyarakat,

pemerintah dan negara. Sudah barang tentu masing-masing mempunyai peran dan

fungsinya yang berbeda, dimana secara keseluruhan, satu sama lain saling terkait

di bawah pengertian perlindungan sebagai payungnya.264

Perlindungan hukum merupakan gambaran dari bekerjanya fungsi hukum

untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum, yaitu keadilan, kemanfaatan, dan

kepastian hukum.265

Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang

diberikan kepada subyek hukum sesuai dengan aturan hukum, baik itu yang

bersifat preventif (pencegahan) maupun dalam bentuk yang bersifat represif

(pemaksaan), baik yang secara tertulis maupun tidak tertulis dalam rangka

menegakkan peraturan hukum.266

263

Anak Bersinar Bangsa Gemilang,

http://anakbersinar.com/news/detail/id/95/Perlindungan-Anak.html, diakses tanggal 6 Juli

2013. 264Ibid. 265

“Status Hukum Art In The Science of Law”, http://www.status

hukum.com/perlindungan-hukum.html, diakses tanggal 12 Maret 2012. 266Ibid.

140

Menurut Satjipto Rahardjo, perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman

kepada hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan tersebut

diberikan kepada masyarakat agar mereka dapat menikmati semua hak-hak yang

diberikan oleh hukum.267

Selanjutnya, Philipus M. Hadjon mengartikan

perlindungan hukum sebagai perlindungan akan harkat dan martabat, serta

pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum

berdasarkan ketentuan hukum dari kesewenangan.268

Perumusan prinsip-prinsip perlindungan hukum di Indonesia berlandaskan

pada Pancasila sebagai ideologi dan falsafah negara. Konsep perlindungan hukum

bagi rakyat di Barat bersumber pada konsep-konsep Rechtstaat dan Rule of Law.

Dengan menggunakan konsepsi Barat sebagai kerangka berfikir dengan landasan

pada Pancasila, prinsip perlindungan hukum di Indonesia adalah prinsip

pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang

bersumber pada Pancasila. Prinsip perlindungan hukum pada tindak pemerintah

bertumpu dan bersumber dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan

terhadap hak-hak asasi manusia karena menurut sejarahnya di Barat, lahirnya

konsep-konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi

manusia diarahkan kepada pembatasan-pembatasan dan peletakan kewajiban

masyarakat dan pemerintah.269

Tersangka sebagai pihak yang telah melakukan perbuatan hukum juga

memiliki hak atas perlindungan hukum yang berkaitan dengan hak-hak tersangka

267

Satjipto Rahardjo, Penyelenggaraan Keadilan dalam Masyarakat yang Sedang

Berubah. Artikel dalam Jurnal Masalah Hukum, 1993.

268

Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, (Surabaya:

Bina Ilmu, 1997), hlm. 1.

269Ibid., hlm. 38.

141

yang harus dipenuhi agar sesuai dengan prosedur pemeriksaan sebagaimana diatur

dalam peraturan perundang-undangan.270

Berdasarkan uraian di atas maka konsep perlindungan hukum yang

dimaksud dalam disertasi ini adalah konsep perlindungan hukum yang

dikemukakan oleh Philipus M. Hadjon, yang mengartikan perlindungan hukum

sebagai perlindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap hak-hak

asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum berdasarkan ketentuan hukum

dari kesewenangan.

2.2.4.2. Konsep Anak

Menurut UU SPP Anak, yang dimaksud Anak yang Berhadapan dengan

Hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban

tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana (Pasal 1 angka 2 UU

SPP Anak). Berdasar pada ketentuan Pasal 1 angka 2 UU SPP Anak tersebut, ada

tiga pengertian dari Anak yang Berhadapan dengan Hukum, yaitu:

1. anak yang berkonflik dengan hukum;

2. anak yang menjadi korban tindak pidana;

3. anak yang menjadi saksi tindak pidana.

Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak

yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas)

tahun yang diduga melakukan tindak pidana (Pasal 1 angka 3 UU SPP Anak).

Menurut ketentuan Pasal 1 angka 3 UU SPP Anak terdapat 2 (dua) kriteria yang

dimaksud dengan anak yang berkonflik dengan hukum, yaitu:

270

“Status Hukum Art In The Science of Law”, Loc.cit.

142

1. telah mencapai umur 12 (dua belas) tahun tetapi belum mencapai umur 18

tahun;

2. yang diduga melakukan tindak pidana.

Anak yang menjadi korban tindak pidana yang selanjutnya disebut anak

korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang

mengalami penderitaan fisik, mental, dan/kerugian ekonomi yang disebabkan oleh

tindak pidana (Pasal 1 angka 4 UU SPP Anak). Selanjutnya, anak yang menjadi

saksi tindak pidana yang selanjutnya disebut Anak Saksi adalah anak yang belum

berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna

kepentingan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan

tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri.

Kriteria anak yang penulis maksud dalam disertasi ini adalah kriteria anak

sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 1 angka 3 UU SPP Anak, yaitu anak

yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas)

tahun yang diduga melakukan tindak pidana.

2.2.4.3 Konsep Perlindungan Anak

Perlindungan anak adalah segala usaha yang dilakukan untuk menciptakan

kondisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya demi

perkembangan dan pertumbuhan anak secara wajar baik fisik, mental, dan sosial.

Kegiatan perlindungan anak membawa akibat hukum, baik dalam kaitannya

143

dengan hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis.271

Oleh karena itu, hukum

merupakan jaminan bagi kegiatan perlindungan anak.

Perlindungan khusus terhadap anak diatur dalam dalam Principle 2 Declaration

of the Rights of the Child 1959 (Deklarasi Hak-hak Anak tahun 1959),

menyatakan:

The child shall enjoy special protection, and shall be given opportunities

and facilities, by law and by other means, to enable him to develop

physically, mentally, morally, spiritually and socially in a healthy and

normal manner and in conditions of freedom and dignity. In the enactment

of laws for this purpose, the best interest of the child shall be the

paramount consideration. (Terjemahan bebas: Anak harus memperoleh

perlindungan khusus, dan harus diberikan kesempatan dan fasilitas yang

dijamin oleh hukum dan sarana lain sehingga secara jasmani, mental,

akhlak, rohani dan sosial, mereka dapat berkembang dengan sehat dan

wajar dalam keadaan bebas dan bermartabat).

Yayasan Pemantau Hak Anak (Children Human Right: Foundation)

mengemukakan bahwa:

Pada prinsipnya, pendekatan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum

didasarkan atas 3 (tiga) faktor berikut ini:

1. anak diasumsikan belum mempunyai legal capacity untuk melakukan

tindak pidana mengingat kondisi dan sifatnya yang masih tergantung

pada orang dewasa, tingkat usia, perkembangan fisik, mental, moral,

dan spiritualnya belum matang;

2. anak-anak dianggap belum mengerti secara sungguh-sungguh atas

kesalahan yang mereka perbuat sehingga sudah sepantasnya diberi

pengurangan hukuman serta pembedaan pemberian hukuman bagi

anak-anak dengan orang dewasa atau bahkan dialihkan ke jalur non

yuridis;

3. bila dibandingkan dengan orang dewasa, anak-anak diyakini lebih

mudah dibina dan disadarkan.

Dengan demikian justru harus melakukan intervensi secara khusus

dalam rangka melindungi anak, bukan malah anak dihadapkan vis a vis

271

Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan

Pidana Anak di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2006), hlm. 33.

144

dengan kekuasaan negara untuk mempertanggungjawabkan secara

pidana.272

Menurut Retnowulan Sutianto, perlindungan anak merupakan suatu bidang

pembangunan nasional. Melindungi anak adalah melindungi manusia, dan

membangun manusia seutuhnya. Hakekat pembangunan nasional adalah

pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berbudi luhur. Mengabaikan

masalah perlindungan anak berarti tidak akan memantapkan pembangunan

nasional. Akibat tidak adanya perlindungan anak akan menimbulkan

permasalahan sosial yang dapat mengganggu penegakan hukum, ketertiban,

keamanan, dan pembangunan nasional. Maka, ini berarti bahwa perlindungan

anak harus diusahakan apabila kita ingin mengusahakan pembangunan nasional

yang memuaskan.273

Perlindungan anak juga merupakan pembinaan generasi muda, yang

merupakan bagian integral dari pembangunan nasional dan juga menjadi sarana

guna mencapai tujuan pembangunan nasional, yaitu mencapai masyarakat adil dan

makmur serta aman dan sentosa berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Konseps

perlindungan anak meliputi ruang lingkup yang luas, dalam arti bahwa

perlindungan anak tidak hanya mengenai perlindungan atas jiwa dan raga si anak,

tetapi mencakup pula perlindungan atas semua hak serta kepentingannya yang

dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangan yang wajar, baik secara rohani,

jasmani, maupun sosialnya sehingga diharapkan anak Indonesia akan berkembang

272

Yayasan Pemantau Hak Anak (Children Human Rights: Foundation), Op.cit.,

hlm. 49.

273Romli Atmasasmita (ed), Peradilan Anak di Indonesia, (Bandung: Mandar

Maju, 1997), hlm. 166.

145

menjadi orang dewasa Indonesia yang mampu dan mau berkarya untuk mencapai

dan memelihara tujuan pembangunan nasional tersebut.274

Arif Gosita mengemukakan bahwa kepastian hukum perlu diusahakan

demi kelangsungan kegiatan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan

yang membawa akibat negatif yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan

perlindungan anak.275

Perlindungan anak dilaksanakan secara rasional,

bertanggungjawab dan bermanfaat yang mencerminkan suatu usaha yang efektif

dan efisien. Usaha perlindungan anak tidak boleh mengakibatkan matinya

inisiatif, kreatifitas, dan hal-hal lain yang menyebabkan ketergantungan kepada

orang lain dan berperilaku tak terkendali sehingga anak tidak memiliki

kemampuan dan kemauan menggunakan hak-haknya dan melaksanakan

kewajibannya.276

Berdasarkan hasil seminar perlindungan anak/remaja oleh Prayuana Pusat

tanggal 30 Mei 1977, terdapat dua perumusan tentang perlindungan anak, yaitu:

a) segala daya upaya yang dilakukan secara sadar oleh setiap orang

maupun lembaga pemerintahan dan swasta yang bertujuan

mengusahakan pengamanan, penguasaan, pemenuhan kesejahteraan

fisik, mental, dan sosial anak dan remaja yang sesuai dengan

kepentingan hak asasinya;

b) segala daya upaya bersama yang dilakukan secara sadar oleh

perorangan, keluarga, masyarakat, badan-badan pemerintah dan swasta

untuk pengamanan, pengadaan, dan pemenuhan kesejahteraan

rohaniah dan jasmaniah anak berusia 0-21 tahun, tidak dan belum

pernah nikah, sesuai dengan hak asasi dan kemampuannya agar dapat

mengembangkan dirinya sendiri. 277

274Wagiati Soetodjo, Op.cit., hlm. 62.

275Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, (Jakarta: Akademi Pressindo, 1989),

hlm. 19. 276

Maidin Gultom, Op.cit, hlm. 34. 277

Irma Setyowati Soemitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta: Bumi

Aksara, 1990), hlm. 14.

146

Perlindungan hukum terhadap anak mengandung dua dimensi pengertian hukum,

yaitu:

1. Dimensi hukum perdata

Secara umum hak-hak keperdataan anak diletakkan sebagai ketentuan

hukum formal dan materiil yang harus dilindungi oleh ketentuan

hukum dalam perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad)

terhadap anak, dimana anak tersebut karena usia (umur) yang belum

mencapai batas kedewasaan untuk bertindak sendiri sebagai subyek

hukum;

2. Dimensi hukum pidana

Yaitu meletakkan kepentingan hukum secara umum sebagai

perlindungan hak-hak anak dari kemampuan untuk menggunakan

upaya hukum terhadap bentuk tindak pidana (strafbaarfeit) yang

dilakukan oleh seorang dan atau anak itu sendiri baik ebagai korban

kejahatan (victim) maupun sebagai pelaku tindak pidana

(kindermoor).278

Undang-Undang Perlindungan Anak merupakan perangkat hukum yang

menjadi dasar pelaksanaan perlindungan hukum bagi anak baik perlindungan

hukum dalam dimensi hukum perdata maupun dalam dimensi hukum pidana.

Menurut Pasal 1 angka 2 UU Perlindungan Anak dinyatakan bahwa

“Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak

dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dapat, dan berpartisipasi,

secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat

perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.

Perlindungan anak diusahakan oleh setiap orang baik orang tua, keluarga,

masyarakat, pemerintah maupun negara. Pasal 20 UU Perlindungan Anak

menyatakan bahwa “Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua

berkewajiban dan bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan perlindungan

anak”.

278

Maulana Hassan Waddong, Op.cit., hlm. 45-46.

147

Kewajiban dan tanggung jawab negara dan pemerintah dalam usaha

perlindungan anak diatur dalam UU Perlindungan Anak, yaitu:

a. menghormati dan menjamin hak setiap anak tanpa membedakan suku,

agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status

hukum anak, urutan kelahiran anak dan kondisi fisik dan/atau mental

(Pasal 21);

b. memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan

perlindungan anak (Pasal 22);

c. menjamin perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan

memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali atau orang lain yang

secara umum bertanggungjawab terhadap anak dan mengawasi

penyelenggaraan perlindungan anak (Pasal 23);

d. menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan

pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kesejahteran anak (Pasal 24).

Maidin Gultom mengemukakan bahwa “Perlindungan anak bermanfaat

bagi anak dan orang tuanya serta pemerintahnya, maka koordinasi kerjasama

perlindungan anak perlu diadakan dalam rangka mencegah ketidakseimbangan

kegiatan perlindungan anak secara keseluruhan”.279

Dasar pelaksanaan perlindungan anak adalah:

1) Dasar filosofis

Pancasila sebagai dasar kegiatan dalam berbagai bidang kehidupan

keluarga, bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa, serta dasar filosofis

pelaksanaan perlindungan anak.

2) Dasar Etis

Pelaksanaan perlindungan anak harus sesuai dengan etika profesi yang

berkaitan, untuk mencegah perilaku menyimpang dalam pelaksanaan

kewenangan, kekuasaan, dan kekuatan dalam pelaksanaan perlindungan

anak.

3) Dasar Yuridis

Pelaksanaan perlindungan anak harus didasarkan pada Undang-Undang

Dasar 1945 dan berbagai peraturan perundang-undangan lainnya yang

berlaku. Penerapan dasar yuridis ini harus secara integratif, yaitu

279

Maidin Gultom, Op.cit., hlm. 35.

148

penerapan terpadu menyangkut peraturan perundang-undangan dari

berbagai bidang hukum yang berkaitan.280

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Abdul Hakim Garuda Nusantara

mengemukakan bahwa “Masalah perlindungan hukum bagi anak-anak merupakan

satu sisi pendekatan untuk melindungi anak-anak Indonesia. Masalahnya tidak

semata-mata bisa didekati secara yuridis, tetapi perlu pendekatan lebih luas, yaitu

ekonomi, sosial, budaya”.281

Perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum diatur dalam

Pasal 66 UU HAM, yaitu :

1) Setiap anak berhak untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan,

penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi;

2) Hukuman mati atau hukuman seumur hidup tidak dapat dijatuhkan

untuk pelaku tindak pidana yang masih anak;

3) Setiap anak berhak untuk tidak dirampas kebebasannya secara

melawan hukum;

4) Penangkapan, penahanan, atau pidana penjara anak hanya boleh

dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat

dilaksanakan sebagai upaya terakhir;

5) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak mendapatkan

perlakuan secara manusiawi dan dengan memperhatikan kebutuhan

pengembangan pribadi sesuai dengan usianya dan harus dipisahkan

dari orang dewasa, kecuali demi kepentingannya;

6) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak memperoleh bantuan

hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya

hukum yang berlaku;

7) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk membela diri

dan memperoleh keadilan di depan Pengadilan Anak yang objektif

dan tidak memihak dalam sidang yang tertutup untuk umum.

Dasar hukum pelaksanaan perlindungan anak di Indonesia, mengacu

kepada peraturan perundang-undangan nasional dan internasional. Dasar hukum

280

Arif Gosita, “Aspek Hukum Perlindungan Anak dan Konvensi Hak-Hak

Anak”, Era Hukum, Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum No.4/Th.V/April 1999, (Jakarta: Fakultas

Hukum Tarumanagara, 1999), hlm. 264-265. 281

Abdul Hakim Garuda Nusantara, “Prospek Perlindungan Anak”, Makalah

disampaikan pada Seminar Perlindungan Hak-hak Anak, Jakarta 1986), dalam Maidin

Gultom, Op.cit, hlm. 35.

149

nasional yang utama adalah Undang-Undang Perlindungan Anak, yang berisi

antara lain tentang definisi anak, tujuan perlindungan anak, hak-hak anak,

kewajiban negara, masyarakat dan keluarga.

Perlindungan hukum terhadap anak yang berkonflik dengan hukum, juga diatur

dalam Pasal 64 UU Perlindungan Anak.

Pasal 64 menyatakan:

(1) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 meliputi anak yang berkonflik

dengan hukum dan anak korban tindak pidana, merupakan kewajiban

dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat;

(2) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui:

a. perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan

hak-hak anak;

b. penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini;

c. penyediaan sarana dan prasarana khusus;

d. penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi

anak;

e. pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan

anak yang berhadapan dengan hukum;

f. pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan

orang tua atau keluarga; dan

g. perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan

untuk menghindari labelisasi.

Perlindungan hukum terhadap anak merupakan upaya yang ditujukan

untuk mencegah agar anak tidak mengalami perlakuan yang diskriminatif atau

perlakuan salah (child abused) baik secara langsung maupun tidak langsung

dalam rangka menjamin kelangsungan hidup, tumbuh dan perkembangan anak

secara wajar, baik fisik maupun mental dan sosial.282

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka konsep perlindungan anak yang

penulis maksud dalam disertasi ini adalah konsep perlindungan anak yang diatur

282

KPAI, Loc.cit.

150

dalam Pasal 1 angka 2 UU Perlindungan Anak menyatakan bahwa “Perlindungan

anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-

haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal

sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari

kekerasan dan diskriminasi”.

2.2.5. Konsep Kesejahteraan Anak

Sebelum menguraikan konsep kesejahteraan anak, terlebih dulu akan

dikemukakan mengenai konsep kesejahteraan.

Kesejahteraan berasal dari kata dasar “sejahtera”, yang berarti aman sentosa dan

makmur.283

Konsep kesejahteraan menurut Nasikun, dapat dirumuskan sebagai “Padanan

makna dari konsep martabat manusia yang dapat dilihat dari empat indikator,

yaitu: (1) rasa aman (security); (2) kesejahteraan (welfare); (3) kebebasan

(freedom); dan (4) jati diri (identity)”.284

Menurut Undang-Undang Nomor 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial,

menyatakan bahwa “Kesejahteraan Sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan

material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu

mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya”.

Permasalahan kesejahteraan sosial yang berkembang dewasa ini menunjukkan

bahwa ada warga negara yang belum terpenuhi hak atas kebutuhan dasarnya

283

Umi Chulsum dan Windy Novia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Surabaya,

Khasiko, 2006), hlm. 602.

284

Nasikun, Urbanisasi dan Kemiskinan di Dunia Ketiga, (Yogyakarta: PT Tiara

Wacana, 1996), perencanaan kota.blogspot.com/2012/01.../beberapa-konsep-tentang-

kesejahteraan.html?m=1

151

secara layak karena belum memperoleh pelayanan sosial dari negara. Akibatnya,

masih ada warga negara yang mengalami hambatan pelaksanaan fungsi sosial

sehingga tidak dapat menjalani kehidupan secara layak dan bermartabat.285

Menurut Pasal 1 angka 1 huruf a UU Kesejahteraan Anak, menyatakan

bahwa “Kesejahteraan anak adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan anak

yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar, baik

secara rohani, jasmani maupun sosial”. Kemudian Pasal 1 angka 1 huruf b

menyatakan bahwa “Usaha Kesejahteraan anak adalah usaha kesejahteraan sosial

yang ditujukan untuk menjamin terwujudnya kesejahteraan anak terutama

terpenuhinya kebutuhan pokok anak”.

Berkaitan dengan perlindungan dan kesejahteraan terhadap anak yang berkonflik

dengan hukum, Article 3.2 CRC atau KHA menyatakan :

States parties undertake to ensure the child such protection and care as is

necessary for his or her well-being, taking into account the rights and

duties of his or her parents, legal guardians, or other individuals legally

responsible for him or her, and, to this end, shall take all appropriate

legislative and administrative measures. (Terjemahan bebas: Negara-

negara pihak harus menjamin perlindungan anak dan kepedulian seperti

yang diperlukan untuknya kesejahteraan, dengan memperhatikan hak dan

kewajiban orang tuanya, wali atau orang lain yang bertanggung jawab

secara hukum baginya, dan untuk tujuan ini, harus mengambil semua

tindakan legislatif dan administratif yang layak).

Berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (2) KHA di atas dapat dijelaskan

bahwa negara-negara pihak harus menjamin perlindungan anak dan kepedulian

terhadap anak seperti yang diperlukan oleh anak, yaitu berupa kesejahteraan,

dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tuanya, wali atau orang lain

285Ibid.

152

yang bertanggung jawab secara hukum terhadap anak, dan untuk tujuan ini, harus

mengambil semua tindakan legislatif dan administratif yang layak.

Selanjutnya, Rule 5.1 The Beijing Rules menyatakan:

The Juvenile justice system shall emphasize the well-being of the juvenile

and shall ensure that any reaction to juvenile offenders shall always be in

proportion to the circumstances of both the offenders and the other.

(Terjemahan bebas: Sistem peradilan anak harus menekankan

kesejahteraan anak dan harus memastikan bahwa setiap reaksi terhadap

pelaku anak harus selalu sebanding dengan dua keadaan, yaitu pelaku dan

pelanggaran).

Berdasarkan Rule 5.1 The Beijing Rules di atas dapat disarikan bahwa

sistem peradilan anak harus menitikberatkan pada kesejahteraan anak dan

memastikan bahwa setiap reaksi terhadap anak yang berkonflik dengan hukum

harus selalu sebanding dengan dua keadaan, yaitu antara pelaku dan pelanggaran

yang dilakukan.

Komitmen negara terhadap perlindungan dan kesejahteraan anak

sesungguhnya telah ada sejak berdirinya negara ini. Hal itu dapat dilihat dalam

konstitusi dasar kita.286

Pada Pembukaan UUD NKRI tahun 1945 disebutkan

bahwa tujuan didirikannya negara ini antara lain untuk memajukan kesejahteraan

umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Secara implisit, kata kesejahteraan

umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa didominasi konotasi anak karena

mencerdaskan kehidupan bangsa, khususnya, dilakukan melalui proses

pendidikan, dimana ruang-ruang belajar pada umumnya berisi anak-anak dari

segala usia.287

Anak secara eksplisit disebutkan dalam Pasal 34 pada bagian

286

Hadi Supeno, Op.cit., hlm. 42 287Ibid.

153

batang tubuh yang menyatakan bahwa “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara

oleh negara”.

Implementasi komitmen negara tersebut tampak direalisasikan secara lebih

konsisten ketika tahun 1979 Pemerintah Indonesia mengintroduksi UU

Kesejahteraan Anak, bersamaan dengan penetapan tahun 1979 sebagai “Tahun

Anak Internasional”. Dalam keadaan yang membahayakan, anaklah yang

pertama-tama berhak mendapat pertolongan, bantuan, dan perlindungan (Pasal 3

UU Kesejahteraan Anak).

Dalam hubungannya dengan anak yang berkonflik dengan hukum, Pasal 6 UU

Kesejahteraan Anak menyatakan:

(1) Anak yang mengalami masalah kelakuan diberi pelayanan dan asuhan

yang bertujuan menolongnya guna mengatasi hambatan yang terjadi

dalam masa pertumbuhan dan perkembangannya.

(2) Pelayanan dan asuhan, sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1), juga

diberikan kepada anak yang telah dinyatakan bersalah melakukan

pelanggaran hukum berdasarkan keputusan hakim.

Selanjutnya, Pasal 11 UU Kesejahteraan Anak menyatakan bahwa :

(1) Usaha kesejahteraan anak terdiri atas usaha pembinaan, pengembangan,

pencegahan, dan rehabilitasi.

(2) Usaha kesejahteraan anak dilakukan oleh pemerintah dan atau

masyarakat.

(3) Usaha kesejahteraan anak yang dilakukan oleh pemerintah dan atau

masyarakat dilaksanakan baik di dalam maupun di luar panti.

(4) Pemerintah mengadakan pengarahan, bimbingan, bantuan, dan

pengawasan terhadap usaha kesejahteraan anak yang dilakukan oleh

masyarakat.

(5) Pelaksanaan usaha kesejahteraan anak sebagai termaktub dalam ayat (1),

(2), (3) dan (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Dalam Penjelasan Umum UU Kesejahteraan Anak secara umum

dinyatakan bahwa :

154

Suatu bangsa dalam membangun dan mengurus rumah tangganya harus

mampu membentuk dan membina suatu tata penghidupan serta

kepribadiannya. Usaha ini merupakan suatu usaha yang terus menerus,

dari generasi ke generasi. Untuk menjamin usaha tersebut, perlu setiap

generasi dibekali oleh generasi yang terdahulu dengan kehendak,

kesediaan, dan kemampuan serta keterampilan untuk melaksanakan tugas

itu. Hal ini hanya akan dapat tercapai bila generasi muda selaku generasi

penerus mampu memiliki dan menghayati falsafah hidup bangsa. Untuk itu

perlu diusahakan agar generasi muda memiliki pola perilaku yang sesuai

dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Guna mencapai

maksud tersebut diperlukan usaha-usaha pembinaan, pemeliharaan, dan

peningkatan kesejahteraan anak....288

Berdasarkan uraian di atas, maka konsep kesejahteraan anak yang

dimaksud dalam disertasi ini adalah konsep kesejahteraan anak menurut Pasal 1

angka 1 huruf a UU Kesejahteraan Anak, bahwa “Kesejahteraan anak adalah

suatu tata kehidupan dan penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan

dan perkembangannya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani maupun sosial”.

288

Penjelasan Umum Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979

tentang Kesejahteraan Anak.

155

BAB III

DASAR FILOSOFI KEBIJAKAN FORMULASI PENGATURAN

KETENTUAN PELAKSANAAN DIVERSI DI LUAR SISTEM

PERADILAN PIDANA ANAK DI MASA YANG AKAN DATANG DALAM

RANGKA PERLINDUNGAN DAN KESEJAHTERAAN ANAK

3.1. Dasar Filosofi Beberapa Ketentuan Internasional dan Peraturan

Perundang-undangan Nasional

Berkaitan dengan dasar filosofi beberapa ketentuan internasional dan

beberapa peraturan perundang-undangan nasional yang berkaitan dengan

perlindungan dan kesejahteraan anak dikemukakan sebagai berikut:

3.1.1. Ketentuan-Ketentuan Internasional

1. Preamble Universal Declaration of Human Rights (UDHR)

Dalam UDHR, pada Preamble (Mukadimah), alinea pertama dan kedua

dinyatakan bahwa:

Whereas recognition of the inherent dignity and of the equal and

inalienable rights of all members of the human family is the foundation of

freedom, justice and peace in the world;

(Terjemahan bebas: Menimbang bahwa pengakuan atas martabat alamiah

dan hak-hak yang sama dan mutlak dari semua anggota keluarga manusia

adalah dasar kemerdekaan, keadilan dan perdamaian dunia;

Whereas disregard and contempt for human rights have resulted in

barbarous acts which have outraged the conscience of mankind, and the

advent of a world in which human beings shall enjoy freedom of speech

and belief and freedom from fear and want has been proclaimed as the

highest aspiration of the common people, ....

(Terjemahan bebas: Menimbang bahwa mengabaikan dan melanggar hak

asasi manusia telah mengakibatkan tindakan biadab yang bertentangan

dengan hati nurani umat manusia, dan munculnya sebuah dunia dimana

manusia akan menikmati kebebasan berbicara dan berkeyakinan dan

155

156

kebebasan dari rasa takut dan ini telah dicanangkan sebagai aspirasi yang

tertinggi dari seluruh rakyat,....

Dasar filosofi di dalam Preamble UDHR di atas dapat disajikan pada tabel

3 berikut ini:

Tabel 3

Dasar Filosofi di dalam Preamble UDHR

Ketentuan

Internasional

Asas Persamaan

Hak Asas Keadilan

Asas Bebas dari

Rasa Takut

Preamble UDHR Alinea 1 :

...pengakuan atas

martabat alamiah

dan hak-hak yang

sama dan mutlak....

Alinea 1 :

...keadilan....

Alinea 2 :

...kebebasan dari

rasa takut....

Sumber: Bahan Hukum Primer, diolah.

Berdasarkan tabel 3 di atas dapat dijelaskan bahwa di dalam Pembukaan

UDHR terkandung asas persamaan hak, asas keadilan, dan asas bebas dari rasa takut.

2. Dalam Preamble CRC atau Mukadimah KHA:

The states parties to the present convention. (Negara-negara

peserta/penandatangan konvensi);

Considering that, in accordance with the principles proclaimed in the

Charter of the United Nations, recognition of the inherent dignity and of

the equal and inalienable rights of all members of the human family is the

foundation of freedom, justice and peace in the world. (Terjemahan bebas:

Menimbang bahwa, sesuai dengan prinsip-prinsip yang diproklamirkan

dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, pengakuan atas martabat yang

melekat dan hak-hak yang sama dan mutlak dari semua anggota keluarga

manusia adalah dasar kemerdekaan, keadilan, dan perdamaian dunia);

Bearing in mind that the peoples of the United Nations have, in the

Charter, reaffirmed their faith in fundamental human rights and in the

157

dignity and worth of the human person, and have determined to promote

social progress and better standards of life in larger freedom.

(Terjemahan bebas: Mengingat bahwa bangsa-bangsa dalam Perserikatan

Bangsa-Bangsa telah menegaskan lagi dalam Piagam itu keyakinan

mereka pada hak-hak asasi manusia, dan pada harkat dan martabat

manusia, dan bertekat meningkatkan kemajuan sosial dan taraf kehidupan

dalam kemerdekaan yang lebih luas);

Recognizing that the United Nations has, in the Universal Declaration of

Human Rights and in the International Covenants on Human Rights,

proclaimed and agreed that everyone is entitled to all the rights and

freedoms set forth therein, without distinction of any kind, such as race,

colour, sex, language, religion, political or other opinion, national or

social origin, property, birth or other status. (Terjemahan bebas:

Menyadari bahwa Peserikatan Bangsa-Bangsa, dalam hak-hak asasi

manusia sedunia dan dalam perjanjian-perjanjian internasionl hak-hak

asasi manusia, telah menyatakan dan menyetujui bahwa setiap orang

berhak atas seluruh hak dan kemerdekaan yang dinyatakan di dalamnya

tanpa perbedaan dalam bentuk apapun, seperti perbedaan ras, warna kulit,

jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik dan pandangan lain, asal

usul bangsa dan sosial, harta kekayaan, kelahiran dan status lain);

Recalling that, in the Universal Declaration of Human Rights, the United

Nations has proclaimed that childhood is entitled to special care and

assistance. (Terjemahan bebas: Mengingat bahwa, dalam hak-hak asasi

manusia sedunia, Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menyatakan bahwa

anak-anak berhak atas perawatan dan bantuan khusus);

Convinced that the family, as the fundamental group of society and the

natural environment for the growth and well-being of all its members and

particularly children, should be afforded the necessary protection and

assistance so that it can fully assume its responsibilities within the

community. (Terjemahan bebas: Meyakini bahwa, keluarga sebagai

kelompok inti dari masyarakat dan sebagai lingkungan yang alami bagi

pertumbuhan dan kesejahteraan seluruh anggotanya khususnya anak-anak,

harus diberi perlindungan dan bantuan yang diperlukan agar keluarga

mampu mengemban tanggungjawabnya dalam masyarakat);

Recognizing that the child, for the full and harmonious development of his

or her personality, should grow up in a family environment, in an

atmosphere of happiness, love and understanding. (Terjemahan bebas:

Menyadari bahwa, anak demi pengembangan kepribadiannya secara penuh

dan serasi, harus tumbuh dalam suatu lingkungan keluarga, dalam iklim

kebahagiaan, cinta kasih dan pengertian);

158

Considering that the child should be fully prepared to live an individual

life in society, and brought up in the spirit of the ideals proclaimed in the

Charter of the United Nations, and in particular in the spirit of peace,

dignity, tolerance, freedom, equality and solidarity.

(Terjemahan bebas: Menimbang bahwa, anak harus dipersiapkan untuk

hidup dalam suatu kehidupan individu dalam masyarakat dan dibesarkan

dalam semangat cita-cita yang diproklamirkan dalam Piagam Perserikatan

Bangsa-Bangsa, dan khususnya dalam semangat perdamaian, martabat,

toleransi, kesetaraan, kebebasan, dan solidaritas);

Bearing in mind that the need to extend particular care to the child has

been stated in the Geneva Declaration of the Rights of the Child of 1924

and in the Declaration of the Rights of the Child adopted by the General

Assembly on 20 November 1959 and recognized in the Universal

Declaration of Human Rights, in the International Covenant on Civil and

Political Rights (in particular in articles 23 and 24), in the International

Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (in particular in article

10) and in the statutes and relevant instruments of specialized agencies

and international organizations concerned with the welfare of children.

(Terjemahan bebas: Mengingat bahwa perlunya memberi perawatan

khusus bagi anak telah dinyatakan dalam Jenewa tentang Hak-Hak Anak

tahun 1924 dan dalam Hak-Hak Anak yang disetujui Majelis Umum PBB

pada tahun 1959 dan diakui dalam Deklarasi Universal tentang Hak-Hak

Asasi Manusia, dalam Perjanjian Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan

Politik (khususnya Pasal 23 dan 24), dalam Perjanjian Internasional

tentang Hak-Hak Ekonomi Sosial dan Budaya (khususnya Pasal 10) dan

dalam ketentuan-ketentuan dan perangkat-perangkat yang terkait dan

badan-badan khusus dan organisasi-organisasi internasional yang

berkepentingan dengan kesejahteraan anak);

Bearing in mind that, as indicated in the Declaration of the Rights of the

Child, "the child, by reason of his physical and mental immaturity, needs

special safeguards and care, including appropriate legal protection,

before as well as after birth". (Terjemahan bebas: Mengingat bahwa,

sebagaimana yang dinyatakan dalam Deklarasi Hak-Hak Anak, “anak,

karena ketidakmatangan fisik dan mentalnya, membutuhkan perlindungan

dan perawatan khusus, termasuk perlindungan hukum yang layak, sebelum

dan sesudah lahir”);

Recalling the provisions of the Declaration on Social and Legal Principles

relating to the Protection and Welfare of Children, with Special Reference

to Foster Placement and Adoption Nationally and Internationally; the

United Nations Standard Minimum Rules for the Administration of

Juvenile Justice (The Beijing Rules); and the Declaration on the

Protection of Women and Children in Emergency and Armed Conflict.

159

(Terjemahan bebas: Mengingat ketentuan-ketentuan tentang Prinsip-

prinsip sosial dan hukum yang terkait dengan perlindungan dan

kesejahteraan anak, dengan rujukan khusus pada pengangkatan anak dan

adopsi secara nasional maupun internasinal, ketentuan-ketentuan minimum

PBB yang baku bagi pelaksanaan Peradilan Anak (ketentuan-ketentuan

Beijing), dan deklarasi tentang perlindungan terhadap wanita dan anak-

anak dalam keadaan darurat dan konflik bersenjata);

Recognizing that, in all countries in the world, there are children living in

exceptionally difficult conditions, and that such children need special

consideration. (Terjemahan bebas: Mengakui bahwa, di semua negara di

dunia, terdapat anak-anak yang hidup dalam keadaan yang sangat sulit,

dan bahwa anak-anak seperti itu membutuhkan perhatian khusus);

Taking due account of the importance of the traditions and cultural values

of each people for the protection and harmonious development of the

child. (Terjemahan bebas: Memperhatikan pentingnya nilai-nilai tradisi

dan budaya dan setiap bangsa bagi perlindungan dan pengembangan anak

yang serasi);

Recognizing the importance of international co-operation for improving

the living conditions of children in every country, in particular in the

developing countries. (Terjemahan bebas: Mengakui pentingnya kerjasama

internasional untuk meningkatkan kondisi kehidupan anak di setiap

negara, khususnya di negara-negara berkembang).

Dasar filosofi di dalam Preamble CRC di atas dapat disajikan pada tabel 4

berikut ini:

160

Tabel 4

Dasar Filosofi di dalam Preamble CRC

Ketentuan

Internasional

Asas Perlin-

dungan

Asas Persamaan

Hak Asas Keadilan Asas Kebebasan Asas Kesejahteraan

Preamble CRC - Alinea 9 :

...karena

ketidak-

matangan

fisik dan

mentalnya,

membu-

tuhkan...

perlindungan

hukum...

- Alinea 10:

...per-

lindungan...ter

hadap anak-

anak.

- Alinea 11:

...dalam

keadaan yang

sangat sulit,...

mem-

butuhkan

perhatian

khusus...

- Alinea 12:

...perlin-

dungan dan

pengem-

bangan yang

serasi...

- Alinea 12:

...me-

ningkatkan

kondisi

kehidupan

anak....

- Alinea 1:

...pengakuan

atas martabat

yang melekat

dan hak-hak

yang sama

dan mutlak....

- Alinea 3 :

...berhak atas

seluruh hak

dan kemer-

dekaan yang

dinyatakan di

dalamnya

tanpa

perbedaan

dalam bentuk

apapun....

- Alinea 7 :

...semangat

perdamaian,

martabat,

toleransi,

kesetaraan....

- Alinea 1:

...keadilan

dan

perdamaian

dunia.

- Alinea 1:

...dasar

kemerdekaan..

..

- Alinea 2 :

...kemerde-

kaan yang

lebih luas....

- Alinea 7 :

...kebebasan dan

solidaritas.

- Alinea 5:

...pertumbuhan

dan kesejahteraan

seluruh

anggotanya

khususnya anak-

anak....

- Alinea 8:

...berkepentingan

dengan

kesejahteraan....

- Alinea 10 :

...kesejahteraan

anak....

Sumber: Bahan Hukum Primer, diolah.

Berdasarkan tabel 4 di atas dapat dijelaskan bahwa di dalam Preamble

CRC terkandung asas persamaan hak, asas keadilan, asas kebebasan, asas

perlindungan, dan asas kesejahteraan.

Selanjutnya, dari konsiderans di atas dapat dikemukakan bahwa sesuai dengan

prinsip-prinsip yang diproklamirkan dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa,

161

sebagai dasar kemerdekaan, keadilan, dan perdamaian dunia adalah adanya

pengakuan atas martabat yang melekat dan hak-hak yang sama dan mutlak dari

semua anggota manusia. Dengan demikian, anak-anak dipersiapkan untuk hidup

dalam masyarakat dan dibesarkan dalam semangat cita-cita yang diproklamirkan

Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, yaitu dalam semangat perdamaian, martabat,

toleransi, kesetaraan, kebebasan, dan solidaritas.

Pernyataan di atas lebih menegaskan bagaimana pentingnya anak-anak,

demi pengembangan sepenuhnya dan keharmonisan dari kepribadiannya, maka

anak-anak tumbuh dalam lingkungan keluarga, dalam iklim kebahagiaan, cinta

kasih dan pengertian.

3. United Nations Standart Minimum Rules for the Administration of Juvenile

Justice (The Beijing Rules)

Dalam the Beijing Rules, tidak disebutkan tentang konsiderans, namun

demikian diatur tentang Fundamental Perspectives, yang dinyatakan dalam Rule

1, sebagai berikut:

1.1 Member States shall seek, in conformity with their respective general

interest, to further the well, being of the juvenile and her or his family.

(Terjemahan bebas: Negara-negara anggota wajib berusaha, sesuai

dengan kepentingan masing-masing secara umum, untuk memajukan

kesejahteraan anak dan dia (perempuan) atau keluarganya).

1.2 Member States shall endeavour to develop conditions that will ensure for

the juvenile a meaningful life in the community, which, during that

period in life when she or he is most susceptible to deviant behavior, will

foster a process of personal development and education that is as free

from crime and delinquency as possible. (Terjemahan bebas: Negara-

negara anggota wajib berusaha untuk mengembangkan kondisi yang

akan menjamin kehidupan anak yang bermakna di masyarakat, yang

162

selama waktu hidup ketika dia paling rentan terhadap perilaku

menyimpang, akan menumbuhkan proses pengembangan pribadi dan

pendidikan yang bebas dari kejahatan dan kenakalan).

1.3 Sufficient attention shall be given to positive measures that involve the

full mobilization of all possible resources, including the family,

volunteers and other community groups, as well as schools and other

community institutions, for the purpose of promoting the well being of

the juvenile, with a view to reducing the need for intervention under the

law, and of effectively, fairly and humanely dealing with the juvenile in

conflict with the law. (Terjemahan bebas: Perhatian yang cukup harus

diberikan kepada langkah-langkah positif yang melibatkan mobilisasi

penuh dari semua sumber daya, termasuk keluarga, relawan, dan

kelompok masyarakat lainnya, serta sekolah-sekolah dan lembaga

masyarakat lainnya, untuk tujuan mempromosikan kesejahteraan dari

anak, dengan maksud untuk mengurangi kebutuhan intervensi di bawah

hukum secara efektif, adil, dan manusiawi berkaitan dengan anak yang

berkonflik dengan hukum).

1.4 Juvenile justice shall be conceived as an integral part of the national

development process of each country, within a comprehensive framework

of social justice for all juveniles, thus, at the same time, contributing to

the protection of the young and the maintenance of a peaceful order in

society. (Terjemahan bebas: Keadilan anak harus dipahami sebagai

bagian integral dari proses pembangunan nasional masing-masing

negara, dalam kerangka kerja yang komprehensif yang berkeadilan sosial

bagi anak, dengan demikian, pada saat yang sama, memberikan

kontribusi bagi perlindungan anak dan pemeliharaan perdamaian dan

ketertiban dalam masyarakat).

1.5 These Rules shall be implemented in the context of economic, social and

cultural conditions prevaling in each Member State. (Terjemahan bebas:

Aturan ini harus diterapkan dalam konteks kondisi ekonomi, sosial dan

budaya yang berlaku di masing-masing negara anggota).

1.6 Juvenile justice services shall be systematically developed and

coordinated with a view to improving and sustaining the competence of

personnel involved in the services, including their methods, approaches

and attitudes. (Terjemahan bebas: Keadilan anak harus dikembangkan

secara sistematis dan terkoordinasi dengan maksud untuk meningkatkan

163

dan mempertahankan kompetensi personil yang terlibat dalam layanan,

termasuk metode, pendekatan, dan sikap mereka).

Dasar filosofi di dalam Fundamental Perspectives The Beijing Rules di

atas dapat disajikan pada tabel 5 berikut ini:

Tabel 5

Dasar Filosofi di dalam Fundamental Perspectives The Beijing Rules

Ketentuan

Internasional

Asas

Perlindungan

Asas

Keadilan

Asas

Kesejahteraan

Aturan

diterapkan

sesuai

dengan

budaya

negara

Fundamental

Perspectives

The Beijing

Rules

- Dalam 1.2 :

...ketika dia

paling rentan

terhadap

perilaku

menyimpang...

.

- Dalam 1.4 :

...memberikan

kontribusi bagi

perlindungan

anak....

- Dalam 1.4 :

Keadilan anak...

sebagai bagian

integral dari

proses

pembangunan...

yang

berkeadilan

sosial bagi

anak,....

- Dalam 1.6 :

Keadilan anak

harus

dikembangkan...

.

- Dalam 1.1 :

Negara-

negara

anggota

wajib

berusaha,...

untuk

memajukan

kesejahtera-

an anak....

- Dalam 1.3 :

...melibatkan

mobilisasi

penuh dari

semua

sumber

daya,...tujuan

mempromo-

sikan kesejahtera-

an anak.

Dalam 1.5:

Aturan ini

harus

diterapkan

dalam

konteks

kondisi

ekonomi,

sosial dan

budaya

yang

berlaku

di....

Sumber : Bahan Hukum Primer, diolah.

Berdasarkan tabel 5 di atas dapat dijelaskan bahwa di dalam

Fundamental Perspectives The Beijing Rules terkandung asas keadilan, asas

164

perlindungan, asas kesejahteraan, dan aturan diterapkan sesuai dengan budaya

negara.

Selanjutnya dalam komentar-komentar Fundamental Perspectives The

Beijing Rules dinyatakan sebagai berikut :

Aturan-aturan 1.1-1.3, menunjukkan peran penting bahwa kebijakan sosial yang

konstruktif untuk anak akan bekerja, antara lain dalam pencegahan kejahatan dan

kenakalan anak. Aturan 1.4 mendefinisikan peradilan anak sebagai bagian integral

dari keadilan sosial bagi anak, sedangkan aturan 1.6 mengacu pada perlunya terus

menerus meningkatkan peradilan anak dengan mengembangkan kebijakan sosial

yang progresif bagi anak pada umumnya dengan perbaikan yang konsisten.

Secara umum, substansi yang dinyatakan dalam Fundamental Perspektif

The Beijing Rules, menurut penulis dapat menjadi suatu dasar pengaturan

pelaksanaan diversi di luar sistem peradilan pidana anak untuk perlindungan dan

kesejahteraan bagi anak yang berkonflik dengan hukum.

Dasar filosofi di dalam beberapa ketentuan internasional (Preamble

UDHR, Preamble CRC, dan Fundamental Perspektif The Beijing Rules) di atas

dapat disajikan pada tabel 6 berikut ini :

165

Tabel 6

Dasar filosofi di dalam Beberapa Ketentuan Internasional

No

Ketentuan

Internasio-

nal

Asas

Persamaan

Hak

Asas

Keadilan

Asas

Bebas

dari Rasa

Takut

Asas

Perlin-

dungan

Asas

Kesejah-

teraan

Aturan

diterapkan

sesuai

dengan

budaya

negara

1 Preamble

Universal

Declaration

of Human

Rights

V

V

V

_

_

_

2 Preamble

Convention

on the

Rights of

the Child

V

V

V

V

V

_

3 Fundamen-

tal Perspec-

tives

The Beijing

Rules

_

V

_

V

V

V

Sumber: Bahan Hukum Primer, diolah.

Berdasarkan tabel 6 di atas dapat dijelaskan bahwa di dalam beberapa

ketentuan internasional terkandung asas :

1. Di dalam Pembukaan UDHR terkandung asas-asas persamaan hak, keadilan,

dan bebas dari rasa takut, namun tidak terkandung asas-asas perlindungan,

kesejahteraan, dan aturan diterapkan sesuai dengan budaya negara.

2. Di dalam Pembukaan CRC terkandung asas-asas persamaan hak, keadilan,

bebas dari rasa takut, perlindungan, dan kesejahteraan, namun tidak terkandung

asas aturan diterapkan sesuai dengan budaya negara.

3. Sedangkan di dalam ketentuan Fundamental Perspectives The Beijing Rules

terkandung asas-asas keadilan, perlindungan, kesejahteraan dan aturan

166

diterapkan sesuai dengan budaya negara, namun tidak terkandung asas-asas

persamaan hak dan bebas dari rasa takut.

3.1.2. Peraturan Perundang-undangan Nasional

1. Dalam UUD NKRI Tahun 1945

Dalam UUD NKRI Tahun 1945, penulis kemukakan alinea pertama

sampai dengan alinea keempat Pembukaan UUD NKRI Tahun 1945 yang

mengatur tentang tujuan nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang

rumusannya sebagai berikut :

Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh

sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak

sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.

Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah

kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan

rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia,

yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.

Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh

keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka

rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara

Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah

darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,

mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia

yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan

rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan

yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin

oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta

dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dasar filosofi di dalam Pembukaan UUD NKRI Tahun 1945 di atas dapat

disajikan pada tabel 7 berikut ini:

167

Tabel 7

Dasar Filosofi di dalam Pembukaan UUD NKRI Tahun 1945

Peraturan

Perundang-

undangan

Asas

Persamaan

Hak

Asas

Keadilan

Asas

Perlindung-

an

Asas

Kesejahter-

an

Pembukaan

UUD NKRI

Tahun 1945

Alinea 1 :

...sesungguh-

nya

kemerdekaan

itu ialah hak

segala

bangsa....

Alinea 1 :

...perikema-

nusiaan dan

perikeadilan

Alinea 2 :

...berdaulat,

adil dan

makmur

Alinea 4 :

...perdamaian

abadi dan

keadilan

sosial,...ke-

manusiaan

yang adil dan

beradab...

mewujudkan

suatu

keadilan

sosial....

Alinea 4 :

...membentu

k suatu

pemerintah

negara

Indonesia

yang

melindungi

segenap

bangsa

Indonesia

dan seluruh

tumpah

darah

Indonesia....

Alinea 4 :

...untuk

memajukan

kesejahteraa

n umum,....

Sumber :Bahan Hukum Primer, diolah.

Berdasarkan tabel 7 di atas dapat dijelaskan bahwa di dalam Pembukaan

UUD NKRI Tahun 1945 terkandung asas persamaan hak, asas keadilan, asas

perlindungan, dan asas kesejahteraan.

2. Dalam Konsiderans UU HAM

Dalam Konsiderans Undang-Undang HAM, dinyatakan:

a. bahwa manusia, sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang

mengemban tugas mengelola dan memelihara alam semesta dengan

penuh ketaqwaan dan penuh tanggung jawab untuk kesejahteraan umat

manusia, oleh pencipta-Nya dianugerahi hak asasi untuk menjamin

168

keberadaan harkat dan martabat kemuliaan dirinya serta keharmonisan

lingkungannya;

b. bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati

melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena

itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh

diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun;

c. bahwa selain hak asasi manusia, manusia juga mempunyai kewajiban

dasar antara manusia yang satu terhadap yang lain dan terhadap

masyarakat secara keseluruhan dalam kehidupan bermasyarakat,

berbangsa dan bernegara;

d. bahwa bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa

mengemban tanggung jawab moral dan hukum untuk menjunjung

tinggi dan melaksanakan Deklarasi Universal tentang Hak Asasi

Manusia yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta

berbagai instrumen internasional lainnya mengenai hak asasi manusia

yang telah diterima oleh negara Republik Indonesia;

e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf

a, b, c, d, dalam rangka melaksanakan Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998

tentang Hak Asasi Manusia, perlu membentuk Undang-undang tentang

Hak Asasi Manusia.

Dasar filosofi di dalam Konsiderans UU HAM di atas dapat disajikan pada

tabel 8 berikut ini :

Tabel 8

Dasar Filosofi di Dalam Konsiderans UU HAM

Peraturan Perundang-

undangan Asas Perlindungan Asas Kesejahteraan

Konsiderans UU

HAM

Huruf a :

...hak asasi untuk menjamin

keberadaan harkat dan martabat

kemuliaan dirinya serta

keharmonisan lingkungannya

Huruf b :

...oleh karena itu harus

dilindungi, dihormati,

dipertahankan....

Huruf a :

...untuk

kesejahteraan umat

manusia,....

Sumber: Bahan Hukum Primer, diolah.

Berdasarkan tabel 8 di atas dapat dijelaskan bahwa di dalam Konsiderans

UU HAM terkandung asas perlindungan dan asas kesejahteraan.

169

3. Dalam Konsiderans UU Kesejahteraan Anak

Dalam UU Kesejahteraan Anak, pada bagian menimbang atau

konsideransnya dinyatakan :

a. bahwa anak adalah potensi serta penerus cita-cita bangsa yang dasar-

dasarnya telah diletakkan oleh generasi sebelumnya;

b. bahwa agar setiap anak mampu memikul tanggungjawab tersebut, maka

ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan

berkembang dengan wajar baik secara rohani, jasmani maupun sosial;

c. bahwa di dalam masyarakat terdapat pula anak-anak yang mengalami

hambatan kesejahteraan rohani, jasmani, sosial dan ekonomi;

d. bahwa pemeliharaan kesejahteraan anak belum dapat dilaksanakan oleh

anak sendiri;

e. bahwa kesempatan, pemeliharaan dan usaha menghilangkan hambatan

tersebut hanya akan dapat dilaksanakan dan diperoleh bilamana usaha

kesejahteraan anak terjamin;

f. bahwa untuk mencapai maksud tersebut perlu menyusun Undang-

undang yang mengatur kesejahteraan anak.

Dasar filosofi di dalam Konsiderans UU Kesejahteraan Anak di atas dapat

disajikan pada tabel 9 berikut ini :

170

Tabel 9

Dasar filosofi di dalam Konsiderans UU Kesejahteraan Anak

Peraturan Perundang-

undangan Asas Keadilan Asas Kesejahteraan

Konsiderans UU

Kesejahteraan Anak

- Huruf b :

...perlu mendapat

kesempatan yang

seluas-luasnya

untuk tumbuh

dan berkembang

dengan wajar

baik secara

rohani, jasmani

maupun sosial.

- Huruf c :

...terdapat pula anak-anak yang

mengalami hambatan

kesejahteraan rohani, jasmani,

sosial dan ekonomi.

- Huruf d :

...pemeliharaan kesejahteraan

anak belum dapat dilaksanakan

oleh anak sendiri....

- Huruf e :

...usaha menghilangkan

hambatan tersebut hanya akan

dapat dilaksanakan dan

diperoleh bilamana usaha

kesejahteraan anak terjamin....

- Huruf f :

...perlu menyusun Undang-

undang yang mengatur

kesejahteraan anak....

Sumber: Bahan Hukum Primer, diolah.

Berdasarkan tabel 9 di atas dapat dijelaskan bahwa di dalam Konsiderans

UU Kesejahteraan Anak hanya terkandung asas keadilan dan asas kesejahteraan.

Senada dengan kehendak UU Kesejahteraan Anak, maka:

a. anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan, bimbingan

berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam

asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar;

b. orang tua yang pertama-tama bertanggung jawab atas terwujudnya

kesejahteraan anak baik secara rokhani, jasmani maupun sosial;

c. Anak yang mengalami masalah kelakuan diberi pelayanan dan asuhan

yang bertujuan menolongnya guna mengatasi hambatan yang terjadi

dalam masa pertumbuhan dan perkembangannya. Pelayanan dan asuhan

juga diberikan kepada anak yang telah dinyatakan bersalah melakukan

pelanggaran hukum berdasarkan keputusan hakim;

171

d. usaha kesejahteraan anak terdiri atas usaha pembinaan, pengembangan,

pencegahan, dan rehabilitasi dilakukan oleh pemerintah dan atau

masyarakat.289

4. Dalam Konsiderans UU Perlindungan Anak

Dalam Konsiderans UU Perlindungan Anak dinyatakan bahwa :

a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kesejahteraan

tiap-tiap warga negaranya, termasuk perlindungan terhadap hak anak

yang merupakan hak asasi manusia;

b. bahwa anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang

dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya;

c. bahwa anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita

perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan

sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara

pada masa depan;

d. bahwa agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab tersebut,

maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh

dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial, dan

berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan serta untuk

mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap

pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi;

e. bahwa untuk mewujudkan perlindungan dan kesejahteraan anak

diperlukan dukungan kelembagaan dan peraturan perundang-undangan

yang dapat menjamin pelaksanaannya;

f. bahwa berbagai undang-undang hanya mengatur hal-hal tertentu

mengenai anak dan secara khusus belum mengatur keseluruhan aspek

yang berkaitan dengan perlindungan anak.

Dasar filosofi di dalam Konsiderans UU Perlindungan Anak di atas dapat

disajikan pada tabel 10 berikut ini:

289

Setya Wahyudi, Op.cit., hlm. 225.

172

Tabel 10

Dasar Filosofi di dalam Konsiderans UU Perlindungan Anak

Peraturan

Perundang-

undangan

Asas

Perlindungan

Asas

Kesejahteraan

Konsiderans

UU

Perlindungan

Anak

Huruf a :

...perlindungan terhadap hak anak

yang merupakan hak asasi

manusia....

Huruf c :

...memiliki peran yang strategis

yang menjamin kelangsungan

eksistensi bangsa dan negara pada

masa depan.

Huruf d :

...perlu dilakukan upaya

perlindungan....

Huruf e :

...untuk mewujudkan

perlindungan...diperlukan

dukungan kelembagaan dan

peraturan perundang-undangan....

Huruf f :

...berbagai undang-undang hanya

mengatur hal-hal tertentu mengenai

anak dan secara khusus belum

mengatur keseluruhan aspek yang

berkaitan dengan perlindungan

anak....

Huruf a :

...menjamin

kesejahteraan tiap-tiap

warga negaranya,....

Huruf d :

... untuk mewujudkan

kesejahteraan anak

dengan memberikan

jaminan terhadap

pemenuhan hak-haknya

Huruf e :

...kesejahteraan anak

diperlukan dukungan

kelembagaan dan

peraturan perundang-

undangan yang dapat

menjamin

pelaksanaannya....

Sumber: Bahan Hukum Primer, diolah.

Berdasarkan tabel 10 di atas dapat dijelaskan bahwa di dalam Konsiderans

UU Perlindungan Anak hanya terkandung asas perlindungan dan asas

kesejahteraan.

173

5. Dalam Konsiderans UU Pengadilan Anak

Dalam Konsiderans UU Pengadilan Anak, pada huruf a dan c dinyatakan

bahwa:

a. bahwa anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu

sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita

perjuangan bangsa, yang memiliki peranan strategis dan mempunyai

ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam

rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan

sosial secara utuh, serasi, selaras, dan seimbang;

b. bahwa untuk melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan

terhadap anak, diperlukan dukungan, baik yang menyangkut

kelembagaan maupun perangkat hukum yang lebih mantap dan

memadai, oleh karena itu ketentuan mengenai penyelenggaraan

pengadilan bagi anak perlu dilakukan secara khusus.

Dasar filosofi di dalam Konsiderans UU Pengadilan Anak di atas dapat

disajikan pada tabel 11 berikut ini:

Tabel 11

Dasar Filosofi di dalam Konsiderans UU Pengadilan Anak

Peraturan

Perundang-

undangan

Asas

Perlindungan

Konsiderans UU

Pengadilan Anak

Huruf a :

...memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka

menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental,

dan sosial secara utuh, serasi, selaras, dan seimbang.

Huruf b :

...untuk melaksanakan pembinaan dan memberikan

perlindungan terhadap anak, diperlukan dukungan, baik

yang menyangkut kelembagaan maupun perangkat hukum

yang lebih mantap dan memadai....

Sumber: Bahan Hukum Primer, diolah.

Berdasarkan tabel 11 di atas dapat dijelaskan bahwa di dalam Konsiderans

UU Pengadilan Anak hanya terkandung asas perlindungan.

174

6. Dalam Naskah Akademik UU SPP Anak

Dalam latar belakang Naskah Akademik UU SPP Anak, dinyatakan bahwa :

Dalam rangka mewujudkan sumber daya manusia Indonesia yang

berkualitas dan mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan

persatuan bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia

yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945,

pembinaan terhadap anak yang diduga melakukan suatu tindak pidana

perlu dilakukan secara terus menerus demi kelangsungan hidup,

pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial serta

perlindungan dari segala kemungkinan yang akan membahayakan

anak sebagai generasi penerus bangsa di masa depan....

Dalam menghadapi dan menanggulangi berbagai perbuatan dan

tingkah laku anak yang diduga melakukan tindak pidana, perlu

dipertimbangkan kedudukan anak dengan segala ciri dan sifatnya yang

khas. Walaupun anak telah dapat menentukan sendiri langkah

perbuatannya berdasarkan pikiran, perasaan, dan kehendaknya, tetapi

keadaan sekitarnya dapat mempengaruhi perilakunya. Oleh karena itu,

dalam menghadapi masalah anak yang diduga melakukan suatu tindak

pidana, orang tua dan masyarakat sekelilingnya seharusnya lebih

bertanggungjawab terhadap pembinaan, pendidikan, dan

pengembangan perilaku anak tersebut.

...Dan yang paling mendasar dalam Rancangan Undang-Undang ini

adalah pengaturan secara tegas mengenai Restorative Justice dan

diversi. Pengaturan mengenai diversi dimaksudkan antara lain untuk

menghindari atau menjauhkan anak dari proses peradilan. Hal ini

antara lain bertujuan untuk menghindari stigmatisasi terhadap anak

yang diduga melakukan tindak pidana, sehingga diharapkan anak

dapat kembali ke dalam lingkungan sosialnya secara wajar. Oleh

karena itu sangat diperlukan peran serta semua pihak dalam rangka

mewujudkan hal tersebut....

Dasar filosofi di dalam Naskah Akademik UU SPP Anak di atas dapat

disajikan pada tabel 12 berikut ini:

175

Tabel 12

Dasar Filosofi di dalam Naskah Akademik UU SPP Anak

Peraturan

Perundang-

undangan

Asas

Perlindungan

Naskah Akademik

UU SPP Anak

Alinea 1 :

...pembinaan terhadap anak yang diduga melakukan

suatu tindak pidana perlu dilakukan secara terus

menerus demi kelangsungan hidup, pertumbuhan dan

perkembangan fisik, mental dan sosial serta

perlindungan dari segala kemungkinan yang akan

membahayakan anak....

Sumber: Bahan Hukum Primer, diolah.

Berdasarkan tabel 12 di atas dapat dijelaskan bahwa di dalam Naskah

Akademik UU SPP Anak terkandung asas perlindungan.

7. Dalam Konsiderans UU SPP Anak

Dalam Konsiderans UU SPP Anak dinyatakan bahwa :

a. bahwa anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa

yang memiliki harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya;

b. bahwa untuk menjaga harkat dan martabatnya, anak berhak

mendapatkan perlindungan khusus, terutama perlindungan hukum

dalam sistem peradilan;

c. bahwa Indonesia sebagai Negara Pihak dalam Konvensi Hak-Hak

Anak (Convention on the Rights of the Child) yang mengatur prinsip

perlindungan hukum terhadap anak mempunyai kewajiban untuk

memberikan perlindungan khusus terhadap anak yang berhadapan

dengan hukum;

d. bahwa Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan

Anak sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kebutuhan

hukum masyarakat karena belum secara komprehensif memberikan

perlindungan kepada anak yang berhadapan dengan hukum sehingga

perlu diganti dengan undang-undang baru;

e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf

a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu membentuk Undang-Undang

tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Dasar filosofi di dalam Konsiderans UU SPP Anak di atas dapat disajikan

pada tabel 13 berikut ini :

176

Tabel 13

Dasar Filosofi di dalam Konsiderans UU SPP Anak

Peraturan Perundang-

undangan

Asas

Perlindungan

Konsiderans

UU SPP Anak

Huruf b :

...anak berhak mendapatkan perlindungan khusus,

terutama perlindungan hukum dalam sistem

peradilan.

Huruf c :

...kewajiban untuk memberikan perlindungan khusus

terhadap anak yang berhadapan dengan hukum....

Huruf d :

...belum secara komprehensif memberikan

perlindungan kepada anak yang berhadapan dengan

hukum sehingga perlu diganti dengan undang-undang

baru....

Sumber: Bahan Hukum Primer, diolah.

Berdasarkan tabel 13 di atas dapat dijelaskan bahwa di dalam Konsiderans

UU SPP Anak hanya terkandung asas perlindungan.

Berdasarkan uraian dasar filosofi beberapa konsiderans peraturan

perundang-undangan nasional (Pembukaan UUD NKRI Tahun 1945, Konsiderans

UU HAM, Konsiderans UU Kesejahteraan Anak, Konsiderans UU Perlindungan

Anak, Konsiderans UU Pengadilan Anak, Naskah Akademik UU SPP Anak, dan

Konsiderans UU SPP Anak) di atas, maka dapat disajikan dalam tabel 14 berikut

ini:

177

Tabel 14

Dasar Filosofi di Dalam Konsiderans Beberapa

Peraturan Perundang-undangan Nasional

No Peraturan Perundang-

undangan

Asas

Persamaan

Hak

Asas

Keadilan

Asas

Perlindungan

Asas

Kesejahteraan

1 Pembukaan UUD NKRI

Tahun 1945 V V V V

2 Konsiderans

UU HAM - - V V

3 Konsiderans UU

Kesejahteraan Anak - V - V

4 Konsiderans UU

Perlindungan Anak - - V V

5 Konsiderans UU Pengadilan

Anak - - V -

6 Naskah Akademik UU SPP

Anak - - V -

7 Konsiderans UU SPP Anak - - V -

Sumber : Bahan Hukum Primer, diolah.

Berdasarkan tabel 14 di atas dapat dijelaskan bahwa di dalam beberapa

peraturan perundang-undangan nasional terkandung asas :

1. Di dalam Pembukaan UUD NKRI Tahun 1945 terkandung asas-asas persamaan

hak, keadilan, perlindungan, dan kesejahteraan.

2. Di dalam Konsiderans UU HAM terkandung asas-asas perlindungan dan

kesejahteraan, namun tidak terkandung asas-asas persamaan hak dan keadilan.

3. Di dalam Konsiderans UU Kesejahteraan Anak terkandung asas-asas keadilan

dan kesejahteraan, namun tidak terkandung asas-asas persamaan hak dan

perlindungan.

4. Di dalam Konsiderans UU Perlindungan Anak terkandung asas-asas

perlindungan dan kesejahteraan, namun tidak terkandung asas-asas persamaan

hak dan keadilan.

178

5. Di dalam Konsiderans UU Pengadilan Anak terkandung asas perlindungan,

namun tidak terkandung asas-asas persamaan hak, keadilan, dan kesejahteraan.

6. Di dalam Naskah Akademik UU SPP Anak terkandung asas perlindungan,

namun tidak terkandung asas-asas persamaan hak, keadilan dan kesejahteraan.

7. Di dalam Konsiderans UU SPP Anak hanya terkandung asas perlindungan,

namun tidak terkandung asas-asas persamaan hak, keadilan, dan kesejahteraan.

3.2. Dasar Filosofi Peradilan Anak Menurut Para Ahli

1. Walker mengemukakan bahwa:

Diversi dilakukan dengan alasan untuk memberikan suatu kesempatan

kepada pelanggar hukum agar menjadi orang yang baik kembali melalui

jalur non formal dengan melibatkan sumber daya masyarakat. Diversi

berupaya memberikan keadilan kepada kasus anak yang telah terlanjur

melakukan tindak pidana sampai kepada aparat penegak hukum. Kedua

keadilan tersebut dipaparkan melalui sebuah penelitian terhadap keadaan

dan situasi untuk memperoleh sanksi atau tindakan yang tepat

(appropriate treatment).290

Dasar Filosofi Peradilan Anak Menurut Walker di atas dapat disajikan

pada tabel 15 berikut ini:

Tabel 15

Dasar Filosofi Peradilan Anak Menurut Walker

Nama Ahli Hukum Asas Keadilan

Walker ...Diversi berupaya memberikan keadilan kepada

kasus anak....

Sumber: Bahan Hukum Sekunder, diolah.

290

Walker, Training The System The Control of Discretion in Criminal Justice

1950-1990, (New York: Oxford University Press, 1993), p. 1-2.

179

Berdasarkan tabel 15 di atas dapat dijelaskan bahwa dalam pendapat

Walker terkandung asas keadilan.

2. Mardjono Reksodipoetro mengemukakan bahwa “Tidak semua perkara

(termasuk anak) harus diproses lewat hukum namun dapat diselesaikan di luar

pengadilan pada waktu perkara masih dalam tahap penyidikan, misalnya

melalui mediator, denda administratif, pembinaan, anak diserahkan kepada

orang tuanya untuk memperoleh perlindungan dengan memberikan peringatan

keras.291

Dasar Filosofi Peradilan Anak Menurut Mardjono Reksodipoetro di atas

dapat disajikan pada tabel 16 berikut ini:

Tabel 16

Dasar Filosofi Peradilan Anak Menurut Mardjono Reksodipoetro

Nama Ahli Hukum Asas Perlindungan

Mardjono Reksodipoetro ...anak diserahkan kepada orang tuanya untuk

memperoleh perlindungan....

Sumber: Bahan Hukum Sekunder, diolah.

Berdasarkan tabel 16 di atas dapat dijelaskan bahwa dalam pendapat

Mardjono Reksodipoetro terkandung asas perlindungan.

3. Sudikno Mertokusumo mengemukakan bahwa:

Tujuan peradilan (maksudnya pengadilan anak) bukan semata-mata hanya

menyatakan terbukti tidaknya suatu peristiwa konkrit dan kemudian

menjatuhkan putusan saja, melainkan menyelesaikan perkara. Putusan itu

harus menuntaskan perkara, jangan sampai putusan itu tidak dapat

dilaksanakan atau menimbulkan perkara atau masalah baru. Mengingat

291Mardjono Reksodipoetro, Bungai Rampai Permasalahan dalam Sistem

Peradilan Pidana, (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum d/h

Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 1994), hlm. 36.

180

bahwa anak harus mendapat perlindungan dan oleh karena itu perlu

mendapat perhatian dan perlakuan khusus pula maka dalam peradilan anak

ini, hendaknya janganlah dititikberatkan kepada terbukti tidaknya

perbuatan atau pelanggaran yang dilakukan si anak semata-mata, tetapi

harus lebih diperhatikan dan dipertimbangkan latar belakang dan sebab-

sebab serta motivasi pelanggaran atau perbuatan yang dilakukan oleh si

anak dan apa kemungkinan akibat putusan itu bagi si anak demi hari depan

si anak....292

.

Dasar Filosofi Peradilan Anak Menurut Sudikno Mertokusumo di atas

dapat disajikan pada tabel 17 berikut ini:

Tabel 17

Dasar Filosofi Peradilan Anak Menurut Sudikno Mertokusumo

Nama Ahli Hukum Asas Perlindungan

Sudikno Mertokusumo ...Mengingat bahwa anak harus mendapat

perlindungan....

Sumber: Bahan Hukum Sekunder, diolah.

Berdasarkan tabel 17 di atas dapat dijelaskan bahwa dalam pendapat

Sudikno Mertokusumo terkandung asas perlindungan.

4. Setya Wahyudi mengemukakan bahwa:

Ide dasar pemikiran tujuan implementasi ide diversi adalah untuk

perlindungan anak pelaku tindak pidana, menghindari pengaruh negatif

proses formal sistem peradilan pidana anak bagi beberapa pelaku anak

tertentu, karena penyelesaian proses formal melalui sistem peradilan

pidana anak akan memungkinkan lebih melukai pelaku anak....Kebijakan

alternatif ini dianggap sebagai langkah yang paling tepat dan akan

memberikan hasil optimal terutama dalam kasus-kasus dimana si pelaku

melakukan tindak pidana yang tergolong ringan atau tidak serius dan dari

pihak keluarga, sekolah, dan lingkungan masyarakatnya sendiri turut

memberikan dukungan dan dapat bersikap dengan sewajarnya (tidak

membesar-besarkan masalah)....293

292

Sudikno Mertokusumo, “Kedudukan dan Wewenang Peradilan Anak dalam

Sistem Peradilan di Indonesia”, dalam Romli Atmasasmita, Peradilan Anak di Indonesia,

(Bandung: Mandar Maju, 1997), hlm. 51.

293

Setya Wahyudi, Op.cit., hlm. 85.

181

Dasar filosofi peradilan anak menurut Setya Wahyudi di atas dapat

disajikan pada tabel 18 berikut ini:

Tabel 18

Dasar Filosofi Peradilan Anak Menurut Setya Wahyudi

Nama Ahli Hukum Asas Perlindungan

Setya Wahyudi ...diversi adalah untuk perlindungan anak pelaku

tindak pidana....

Sumber: Bahan Hukum Sekunder, diolah.

Berdasarkan tabel 18 di atas dapat dijelaskan bahwa dalam pendapat Setya

Wahyudi terkandung asas perlindungan.

5. Barda Nawawi Arief

Mengemukakan bahwa:

Penyelenggaraan peradilan anak memerlukan pendekatan khusus, perhatian

khusus, pertimbangan khusus, pelayanan dan perlakuan/perawatan khusus

serta perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum dan

peradilan... Untuk itu, sejauh mungkin menghindari proses hukum yang

semata-mata bersifat menghukum, yang bersifat degradasi mental dan

penurunan semangat (discourragement), serta menghindari proses

stigmatisasi yang dapat menghambat proses perkembangan kematangan dan

kemandirian anak dalam arti wajar.294

Dasar Filosofi Peradilan Anak Menurut Barda Nawawi Arief di atas dapat

disajikan pada tabel 19 berikut ini:

294

Muladi dan Barda Nawawi Arif, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,

(Bandung: Alumni, 1992), hlm. 114-115.

182

Tabel 19

Dasar Filosofi Peradilan Anak Menurut Barda Nawawi Arief

Nama Ahli Hukum Asas Perlindungan

Barda Nawawi Arief Penyelenggaraan peradilan anak memerlukan...

perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan

dengan hukum dan peradilan....

Sumber: Bahan Hukum Sekunder, diolah.

Berdasarkan tabel 19 di atas dapat dijelaskan bahwa dalam pendapat Barda

Nawawi Arief terkandung asas perlindungan

6. Menurut Satjipto Raharjo, khususnya untuk tindak pidana anak perlu ada

tindakan lain dalam menangani hal tersebut. Peradilan anak yang

mengedepankan perlindungan dan rehabilitasi terhadap anak sebagai orang

yang masih mempunyai sejumlah keterbatasan dibandingkan dengan orang

dewasa.295

Dasar Filosofi Peradilan Anak Satjipto Rahardjo di atas dapat disajikan

pada tabel 20 berikut ini :

Tabel 20

Dasar Filosofi Peradilan Anak Menurut Satjipto Rahardjo

Nama Ahli Hukum Asas Perlindungan

Satjipto Rahardjo ...Peradilan anak yang mengedepankan

perlindungan dan rehabilitasi terhadap anak....

Sumber: Bahan Hukum Sekunder, diolah.

Berdasarkan tabel 20 di atas dapat dijelaskan bahwa dalam pendapat Barda

Nawawi Arief terkandung asas perlindungan.

295Satjipto Rahardjo, Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya, (Jakarta:

Genta Publishing, 2009), hlm. 14.

183

Dasar filosofi peradilan anak menurut para ahli di atas dapat disajikan

pada tabel 21 berikut ini:

Tabel 21

Dasar Filosofi Peradilan Anak Menurut Para Ahli

No Nama Ahli Hukum Asas Perlindungan Asas Keadilan

1 Walker - V

2 Mardjono Reksodipoetro V -

3 Sudikno Mertokusumo V -

4 Setya Wahyudi V -

5 Barda Nawawi Arief V -

6 Satjipto Rahardjo V -

Sumber: Bahan Hukum Sekunder, diolah.

Berdasarkan tabel 21 di atas dapat dijelaskan bahwa dalam pendapat

beberapa ahli hukum terkandung asas perlindungan dan asas keadilan.

Beberapa pendapat di atas memperkuat ketentuan internasional dan peraturan

perundang-undangan di negara-negara bagian Australia bahwa terdapat dasar

filosofi penanganan perkara anak yang berkonflik dengan hukum dengan

pelaksanaan diversi di luar SPP Anak.

3.3. Asas Kepentingan Terbaik Bagi Anak (The Best Interest of The Child)

Asas kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of the child)

tercantum dalam CRC atau KHA yang merupakan perjanjian yang mengikat

184

secara yuridis dan politis diantara berbagai negara yang mengatur hal-hal yang

berhubungan dengan anak. Konvensi yang telah disetujui oleh Majelis Umum

Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 20 Nopember 1989 dan telah

diratifikasi oleh pemerintah Indonesia sebagai negara peserta melalui Keputusan

Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1990 tanggal 25 Agustus 1990.

Konvensi hak-hak anak adalah sebuah konvensi internasional yang

mengatur hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan kultural anak-anak. Negara-

negara yang meratifikasi konvensi ini terikat untuk melaksanakannya sesuai

dengan hukum internasional.296

Konvensi ini merumuskan prinsip-prinsip hak

anak yang ditujukan untuk melindungi hak-hak anak. Salah satu prinsip dalam

KHA yang berkaitan dengan pelaksanaan diversi sebagai wujud perlindungan

hukum bagi anak adalah dianutnya prinsip kepentingan terbaik bagi anak (the best

interest of the child) sebagaimana disebutkan dalam Article 3.1 CRC, bahwa :

In all actions concerning children, whether undertaken by public or

private social welfare institutions, courts of law, administrative authorities

or legislative bodies, the best interests of the child shall be a primary

considerations. (Terjemahan bebas: Dalam semua tindakan yang

menyangkut anak, baik yang dilakukan oleh masyarakat atau swasta,

lembaga kesejahteraan sosial, pengadilan hukum, penguasa administratif

atau badan legislatif, kepentingan terbaik bagi anak harus menjadi

pertimbangan utama).

Ketentuan tersebut meminta negara dan pemerintah serta badan-badan

publik dan privat memastikan dampak terhadap anak-anak atas semua tindakan

mereka, yang tentunya menjamin bahwa prinsip the best interest of the child

296

Anonim (f), http://id.wikipedia.org/wiki/Konvensi_Hak-Hak_Anak, diakses

pada tanggal 27 Nopember 2012, hlm. 1

185

menjadi pertimbangan utama, memberikan prioritas yang lebih baik bagi anak-

anak dan membangun masyarakat yang ramah anak (child friendly-society).297

3.4. Konsep ke Depan Tentang Dasar Filosofi Kebijakan Formulasi

Pengaturan Ketentuan Pelaksanaan Diversi di Luar Sistem Peradilan

Pidana Anak dalam Rangka Perlindungan dan Kesejahteraan Anak

Berdasarkan hasil penelitian sebagai jawaban permasalahan nomor 1 (satu)

dengan mengkaji sejumlah bahan hukum antara lain konsiderans beberapa

ketentuan internasional, peraturan perundang-undangan di Indonesia dan pendapat

para ahli hukum, memperkuat adanya konsep dasar filosofi kebijakan formulasi

pengaturan ketentuan pelaksanaan diversi di luar sistem peradilan pidana anak

dalam rangka perlindungan dan kesejahteraan anak. Hal demikian akan dipakai

sebagai bahan amandemen UU SPP Anak untuk masa depan.

Dari tabel 14 di atas dapat diketahui bahwa dasar filosofi UU SPPAnak

hanya mengandung asas perlindungan, sebagaimana dimuat dalam konsiderans

UU tersebut. Hal ini tentu sulit untuk memberikan yang terbaik bagi anak (the

best interest of the child) dalam rangka tercapainya kesejahteraan bagi anak.

Karenanya penulis mengajukan konsep ke depan mengenai dasar filosofi

kebijakan formulasi pengaturan ketentuan pelaksanaan diversi di luar SPP Anak

dalam rangka perlindungan dan kesejahteraan anak. Seyogyanya UU SPP Anak

menggunakan konsep asas-asas yang di dalamnya terkandung nilai-nilai, yakni

297

Muhammad Joni, Hak-Hak Anak Dalam UU Perlindungan Anak dan Konvensi

PBB tentang Hak Anak: Beberapa Isu Hukum Keluarga, (Jakarta: Komisi Nasional

Perlindungan Anak, tanpa tahun), hlm. 5.

186

konsiderans beberapa ketentuan internasional, konsiderans peraturan perundang-

undangan nasional yang berkaitan dengan perlindungan dan kesejahteraan anak,

serta dasar filosofi pendapat para ahli hukum tentang peradilan anak, yang

mengandung beberapa asas, yaitu: asas persamaan hak, asas keadilan, asas bebas

dari rasa takut, asas perlindungan, asas kesejahteraan dan aturan diterapkan sesuai

dengan budaya negara. Selain itu, asas kepentingan terbaik bagi anak (the best

interest of the child) hendaknya juga menjadi konsep dasar filosofi kebijakan

formulasi pengaturan ketentuan pelaksanaan diversi di luar SPP Anak dalam

rangka perlindungan dan kesejahteraan anak.

Konsep tersebut diajukan dengan suatu dasar pemikiran dan pertimbangan sebagai

berikut:

1) Berdasarkan acuan yuridis dari konsep yang penulis ajukan adalah diatur dalam

konsiderans beberapa ketentuan internasional dan peraturan perundang-

undangan nasional, yaitu:

- Asas persamaan hak

Terkandung dalam Preamble Universal Declaration of Human Rights, alinea

1; Preamble Convention on the Rights of the Child (CRC) atau Mukadimah

Konvensi Hak Anak (KHA), alinea 1, alinea 3, dan alinea 7 dan Pembukaan

UUD NKRI tahun 1945 alinea 1 menentukan adanya pengakuan atas

martabat serta hak-hak yang sama dan setara.

187

- Asas Keadilan

Terkandung dalam Preamble Universal Declaration of Human Rights, alinea

1; Preamble Convention on the Rights of the Child (CRC) atau Mukadimah

Konvensi Hak Anak (KHA), alinea 1; Fundamental Perspectives United

Nations Standart Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice

(The Beijing Rules), angka 1.4, angka 1.6; Pembukaan UUD NKRI, alinea 1,

2 dan 4; Konsiderans UU Kesejahteraan Anak, huruf b, dan pendapat Walker

tentang peradilan anak menentukan bahwa keadilan anak merupakan bagian

integral dari proses pembangunan bangsa sehingga anak perlu mendapat

kesempatan yang luas untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar baik

jasmani, rokhani maupun sosial.

- Asas bebas dari rasa takut

Terkandung dalam Preamble Universal Declaration of Human Rights, alinea

2; Preamble Convention on the Rights of the Child (CRC) atau Mukadimah

Konvensi Hak Anak (KHA), alinea 1, alinea 2, alinea 7 menentukan bebas dari

rasa takut, kemerdekaan dan solidaritas.

- Asas Perlindungan

Terkandung dalam Preamble Convention on the Rights of the Child (CRC) atau

Mukadimah Konvensi Hak Anak (KHA), alinea 9, alinea 10, 11 dan 12;

Fundamental Perspectives United Nations Standart Minimum Rules for the

Administration of Juvenile Justice (The Beijing Rules) angka 1.2 dan 1.4;

Pembukaan UUD NKRI tahun 1945, alinea 4; Konsiderans UU HAM huruf a

dan b; Konsiderans UU Perlindungan Anak, huruf a, c, d, e dan f; Konsiderans

188

UU Pengadilan Anak, huruf a dan b; Naskah Akademik UU SPP Anak, huruf b

dan c; Konsiderans UU SPP Anak, huruf b dan c serta doktrin dari Mardjono

Reksodipoetro, Sudikno Mertokusumo, Setya Wahyudi, Barda Nawawi Arief

dan Satjipto Rahardjo tentang peradilan anak menentukan karena

ketidakmatangan fisik dan mentalnya, anak paling rentan terhadap perilaku

menyimpang maka ia membutuhkan perlindungan dan perlakuan khusus dalam

peradilan anak.

- Asas Kesejahteraan

Terkandung dalam Preamble Convention on the Rights of the Child (CRC) atau

Mukadimah Konvensi Hak Anak (KHA) alinea 5, 8 dan 10; Fundamental

Perspectives United Nations Standart Minimum Rules for the Administration of

Juvenile Justice (The Beijing Rules) angka 1.1 dan 1.3; Pembukaan UUD

NKRI Tahun 1945, alinea 4; Konsiderans UU HAM, huruf a; Konsiderans UU

Kesejahteraan Anak, huruf c, d, e dan f; Konsiderans UU Perlindungan Anak,

huruf a menentukan negara wajib berusaha memajukan dan menjamin

kesejahteraan anak karena kesejahteraan anak belum dapat dilaksanakan oleh

anak sendiri.

- Aturan diterapkan sesuai dengan budaya negara

Terkandung dalam Fundamental Perspectives United Nations Standart

Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice (The Beijing Rules),

angka 1.5 menentukan aturan harus diterapkan sesuai dengan budaya negara.

Selain itu, sebagai acuan yuridis dapat dijadikan sebagai pertimbangan adalah :

189

- Asas Kepentingan Terbaik Bagi Anak (The Best Interest of The Child),

merupakan prinsip hak anak yang ditujukan untuk melindungi hak-hak anak

maka kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of the child) harus

menjadi pertimbangan utama.

2) Bila ditinjau dari kajian teoritik, sebagai pisau analisis permasalahan disertasi

ini, dipergunakan sebagai landasan teori adalah teori perlindungan HAM dari

Marzuki Darusman dan Muladi.

- Teori perlindungan HAM yang dikembangkan oleh Marzuki Darusman

bahwa HAM itu harus sesuai dengan kodrat manusia baik sebagai makhluk

pribadi maupun makhluk sosial sehingga HAM harus dihargai dan

dijunjung tinggi secara adil yakni memperlakukan tiap manusia sesuai

dengan martabat kemanusiaannya.

Sebagai makhluk pribadi, anak yang berkonflik dengan hukum seyogyanya

diperlakukan secara manusiawi sesuai dengan harkat dan martabatnya

meskipun anak telah melakukan tindak pidana.

Menurut Abdul Ghofur Anshari, sebagai makhluk pribadi, manusia

mempunyai hak untuk hidup dan berkembang seperti hak kebebasan batin,

hak atas nama baik, dan sebagainya. Hak-hak dasar ini disusun utamanya

adalah untuk perlindungan pribadi manusia terhadap kekuasaan yang

dimiliki negara (sub bab 2.1.1 disertasi ini). Dalam hal ini, anak yang

berkonflik dengan hukum juga memiliki hak atas kebebasan batin yakni

bebas dari rasa takut akibat proses peradilan pidana sehingga untuk

memberikan perlindungan dari rasa takut maka sebaiknya ia dijauhkan dari

190

proses peradilan pidana. Anak yang berkonflik dengan hukum juga

memiliki hak atas nama baik. Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa

pelaksanaan diversi di dalam SPP Anak akan menimbulkan stigma,

karenanya dapat menyebabkan nama baik anak menjadi tercemar sehingga

untuk memberikan perlindungan hak asasi atas nama baik maka penanganan

anak yang berkonflik dengan hukum dilakukan dengan melaksanakan

diversi di luar SPP Anak.

Hak asasi sebagai makhluk sosial antara lain terdiri dari hak sosial, hak asasi

budaya, hak kesamaan dalam hukum dan pemerintahan (sub bab 2.1.1

disertasi ini). Dalam kaitannya dengan hak sosial, maka anak tetap berhak

untuk berinteraksi dalam masyarakatnya, hidup dengan layak, dihargai dan

dijunjung tinggi. Hak asasi budaya antara lain adalah hak untuk

mendapatkan pendidikan. Pada masa tumbuh kembang, anak sedang

memenuhi kewajiban dan memenuhi haknya untuk belajar. Belajar yang

sesungguhya yakni berinteraksi dengan teman sebaya dalam suasana

gembira, berimajinasi dan berobsesi merajut masa depan (sub bab 2.1.2

disertasi ini), maka agar anak tidak mengalami hambatan dalam

melaksanakan pendidikan, lebih baik ia ditangani dengan pelaksanaan

diversi di luar SPP Anak. Menyangkut hak kesamaan dalam hukum dan

pemerintahan, maka anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum,

hak untuk diperlakukan secara adil.

- Konsep perlindungan HAM menurut Muladi, agar HAM yang merupakan

hak-hak yang melekat pada manusia yang mencerminkan martabatnya dapat

191

ditegakkan, maka HAM hendaknya memperoleh jaminan hukum, sebab

hak-hak itu dapat efektif bila dilindungi hukum (sub bab 2.1.1 disertasi ini).

- Berkaitan dengan hak anak sebagai hak asasi anak, dalam Deklarasi Jenewa

tentang hak-hak anak diatur sebagai berikut:

1. The child must be given the means requisite for its normal development,

both materially and spiritually. (Terjemahan bebas: Anak harus diberi

sarana yang diperlukan untuk perkembangannya secara normal, baik

material maupun spiritual);

2. The child that is hungry must be fed, the child that is sick must be nursed,

the child that is backward must be helped, the delinquent child must be

reclaimed, and the orphan and the waif must be sheltered and succored.

(Terjemahan bebas: Anak yang lapar harus diberi makan, anak yang sakit

harus dirawat, anak yang terbelakang harus dibantu, anak nakal harus

diperbaiki kembali, anak yatim dan anak terlantar harus dilindungi serta

diberikan bantuan apabila mengalami kesulitan);

3. The child must be the first to receive relief in times of distress.

(Terjemahan bebas: Anak harus menjadi yang pertama untuk menerima

bantuan pada saat kesulitan);

4. The child must be brought up in the consciousness that its talents must be

devoted to the service of fellow men. (Terjemahan bebas: Anak harus

dibesarkan dengan kesadaran bahwa dirinya berguna bagi sesama

manusia).

Nilai anak yang dijadikan norma universal adalah anak juga sebagai manusia

yang utuh, yang memiliki hak asasi yang harus dilindungi. Pandangan ini

menuntut orang dewasa termasuk pemerintah untuk memberikan perlindungan.

Utamanya, pemerintah bertanggung jawab penuh terhadap setiap anak yang

lahir di dunia karena perlindungan anak adalah bagian dari pelaksanaan hak

asasi manusia.

3) Filosofi Pancasila, Indonesia sebagai negara hukum yang berfalsafah pada

Pancasila yang terdiri dari Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil

dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat

kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, Keadilan sosial bagi

192

seluruh rakyat Indonesia. Kelima sila ini adalah satu kesatuan yang bulat dan

mengikat satu dengan lainnya secara utuh. Bahwa pengaturan ketentuan

pelaksanaan diversi di luar SPP Anak tidak bertentangan dengan Pancasila,

dalam hal ini dapat dilihat dalam kajian masing-masing sila, sebagai berikut:

- Dalam sila yang pertama yakni Ketuhanan Yang Maha Esa.

- Butir 2: manusia Indonesia percaya dan takwa terhadapTuhan Yang Maha

Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing

menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.298

Dalam hal ini, berkaitan dengan anak, QS. Al-Furqan ayat 74 menyatakan

bahwa:

“Dan orang-orang yang berkata: ya Tuhan kami, anugerahkan kepada kami

isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan

jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa”.

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyatakan bahwa:

Keturunan atau anak menjadi qurrota a’yun (penyenang hati) apabila ia

tumbuh menjadi anak yang taat kepada Allah, tekun beribadah,

menjalankan perintah Allah dan Rasul-Nya, menjauhkan segala apa yang

dilarang dan diharamkan-Nya (terjemahan singkat tafsir Ibnu Katsir Jilid

VI, hlm. 36). Jadi hanya anak yang menjalankan ajaran agama dengan baik

dan memiliki akhlaqul karimah yang dapat menjadi qurrota a’yun. Anak

qurrota a’yun dikonstruksi oleh bangunan keagamaan yang baik sehingga

hanya dapat diwujudkan dengan jalan mendekatkan anak dengan

memberikan pendidikan agama yang baik kepada anak-anak. Tanpa hal itu

anak qurrota a’yun selamanya akan tetap menggantung dalam alam cita

dan tidak akan pernah membumi dalam alam fakta.299

298

http://achmadbahri.blogspot.com/2012/11/45-butir-nilai-pedoman-

penghayatan-dan.html, diakses tanggal 24 Nopember 2012.

299Muhammad Abani, “Anak Cerdas Dunia Akherat”,

http://salama.blogspot.com/.../anak-qurrota-a’yun, diakses tanggal 2 Juni 2007.

193

Pengaturan ketentuan pelaksanaan diversi di luar SPP Anak tentu tidak

bertentangan dengan kepribadian bangsa yang percaya, beriman dan bertaqwa

terhadap Tuhan Yang Maha Esa, karena bangsa yang beriman terhadap Tuhan

Yang Maha Esa menganggap bahwa anak merupakan amanah dari Tuhan bagi

orang tuanya sehingga orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk

mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak,

menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya

melalui pendidikan agama sehingga anak-anaknya menjadi anak yang baik,

shalih/shalihah sebagaimana disebut anak qurrota a’yun. Karenanya, anak

yang berkonflik dengan hukum lebih baik dalam asuhan dan bimbingan orang

tuanya agar menjadi anak seperti yang diharapkan yakni anak qurrota a’yun.

- Pengaturan ketentuan pelaksanaan diversi di luar SPP Anak tentu tidak

bertentangan dengan sila Kemanusiaan yang adil dan beradab.

- Butir 1: mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan

martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.

- Butir 2: mengakui persamaan derajat, persamaan hak, dan kewajiban asasi

setiap manusia, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama,

kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan

sebagainya.

- Butir 3: mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia.

- Butir 4: mengembangkan sikap saling tenggang rasa dan tepa selira.

- Butir 5: mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang lain.

- Butir 6: menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

- Butir 7: gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.

- Butir 8: berani membela kebenaran dan keadilan.

- Butir 9: bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat

manusia.300

300

http://achmadbahri.blogspot.com/2012/11/45-butir-nilai-pedoman-

penghayatan-dan.html, diakses tanggal 24 Nopember 2012.

194

Pengaturan ketentuan pelaksanaan diversi di luar SPP Anak berarti menghargai

nilai-nilai kemanusiaan yaitu melindungi kepentingan bersama antara anak

yang berkonflik dengan hukum dengan anak korban melalui sikap saling

mencintai sesama manusia, tenggang rasa dan tepa selira, tidak semena-mena

terhadap orang lain, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sehingga

hubungan mereka dan keluarga masing-masing akan tetap terjalin dengan baik.

- Pengaturan ketentuan pelaksanaan diversi di luar SPP Anak juga sesuai dengan

sila Persatuan Indonesia.

- Butir 1 : mampu menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan

keselamatan bangsa dan negara sebagai kepentingan bersama di

atas kepentingan pribadi dan golongan.

- Butir 2 : sanggup dan rela berkorban untuk kepentingan negara dan bangsa

apabila diperlukan.

- Butir 5 : memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,

perdamaian abadi, dan keadilan sosial.301

Pengaturan ketentuan pelaksanaan diversi di luar SPP Anak berarti menciptakan

persatuan dan kesatuan bangsa, perdamaian, dan keadilan sosial yang

menganggap bahwa anak sebagai generasi penerus bangsa, maka diperlukan

adanya generasi yang tidak terpecah belah serta menghilangkan konflik antar anak

maupun para orang tua anak.

- Pengaturan ketentuan pelaksanaan diversi di luar SPP Anak juga tidak

bertentangan dengan sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan

dalam permusyawaratan/perwakilan.

- Butir 1 : sebagai warga negara dan warga masyarakat, setiap manusia

Indonesia mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang

sama.

301

Ibid.

195

- Butir 3 : mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk

kepentingan bersama.

- Butir 4 : musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat

kekeluargaan.

- Butir 5 : menghormati dan menjunjung tinggi setiap keputusan yang

dicapai sebagai hasil musyawarah.

- Butir 6 : dengan iktikad baik dan rasa tanggungjawab menerima dan

melaksanakan hasil keputusan musyawarah.

- Butir 7 : di dalam musyawarah diutamakan kepentingan bersama di atas

kepentingan pribadi dan golongan.

- Butir 8 : musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan

hati nurani yang luhur.

- Butir 9 : keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan

secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung

tinggi harkat dan martabat manusia, nilai-nilai kebenaran dan

keadilan, mengutamakan persatuan dan kesatuan demi

kepentingan bersama.302

Pengaturan ketentuan pelaksanaan diversi di luar SPP Anak berarti

mengutamakan musyawarah untuk mufakat yang dilakukan dengan akal sehat dan

sesuai dengan hati nurani yang luhur, kekeluargaan, menjunjung tinggi harkat dan

martabat manusia, nilai-nilai kebenaran dan keadilan serta mengutamakan

kepentingan bersama. Nilai-nilai musyawarah untuk mencapai mufakat

diperlakukan dalam perlindungan anak, karena dalam aspek perlindungan hak

anak terdapat pengakuan hak anak tentang penghargaan terhadap pendapat anak

(respect for the views of the child). Penghargaan terhadap pendapat anak adalah

bahwa pendapat anak terutama jika menyangkut hal-hal yang mempengaruhi

kehidupannya, perlu diperhatikan dalam setiap pengambilan keputusan. Dalam hal

pelaksanaan diversi di luar sistem peradilan pidana anak maka penghargaan

terhadap pendapat anak perlu diperhatikan. Pasal 9 ayat (2) UU SPP Anak

302

Ibid.

196

menyebutkan bahwa dalam pelaksanaan diversi mensyaratkan adanya persetujuan

korban dan/ atau orang tuanya serta kesediaan anak dan keluarganya, kecuali

untuk....Hal ini berarti tidak ada paksaan, baik terhadap anak yang berkonflik

dengan hukum maupun anak korban dalam pelaksanaan diversi di luar SPP Anak.

- Pengaturan ketentuan pelaksanaan diversi di luar SPP Anak juga tidak

bertentangan dengan sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

- Butir 1 : mengembangkan perbuatan yang luhur, yang mencerminkan sikap

dan suasana kekeluargaan dan gotong royong;

- Butir 2 : mengembangkan sikap adil terhadap sesama;

- Butir 4 : menghormati hak orang lain;

- Butir 11: suka melakukan kegiatan dalam rangka mewujudkan kemajuan

yang merata dan berkeadilan sosial.303

Pengaturan ketentuan pelaksanaan diversi di luar sistem peradilan pidana anak

berarti mengembangkan perbuatan yang luhur bagi anak yang berkonflik dengan

hukum maupun korban, nilai kekeluargaan, gotong royong, adil terhadap sesama,

dan menghormati hak orang lain.

Sementara itu, Kaelan berpendapat bahwa ideologi Pancasila bersifat

terbuka, bahwa:

Pancasila sebagai suatu ideologi yang tidak bersifat kaku dan tertutup,

namun bersifat terbuka, untuk senantiasa bersifat aktual, dinamis,

antisipatif, untuk selalu menyesuaikan perkembangan jaman. Keterbukaan

ideologi Pancasila bukan berarti mengubah nilai-nilai dasar Pancasila,

namun mengeksplisitkan wawasan secara konkrit untuk memecahkan

masalah-masalah baru dan aktual. Nilai-nilai dasar sila-sila Pancasila yang

bersifat tetap, tetapi penjabaran dan realisasinya senantiasa dieksplisitkan

secara dinamis, terbuka, dan senantiasa mengikuti perkembangan jaman.

Dengan kata lain, Pancasila dalam menerima pengaruh budaya asing

dengan jalan menolak nilai-nilai yang bertentangan dengan substansi

Pancasila, yaitu : ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan

303

Ibid.

197

keadilan sosial serta akan menerima nilai-nilai budaya yang tidak

bertentangan dengan nilai-nilai dasar Pancasila tersebut.304

Lebih lanjut Kaelan menyatakan bahwa:

...Pancasila dapat menerima diversi atau pengalihan pemeriksaan perkara

anak yang berkonflik dengan hukum, yang merupakan ide dari luar

Indonesia, berdasar melihat tujuan, manfaat dan cara-cara program diversi

yang dilaksanakan dalam rangka perlindungan anak, tentunya tidaklah

bertentangan dengan nilai-nilai dasar Pancasila, yaitu ketuhanan,

kemanusiaan, persatuan, musyawarah dan keadilan sosial bagi seluruh

rakyat Indonesia.305

Berkaitan dengan pendapat Kaelan di atas, penulis berpendapat bahwa ideologi

Pancasila sebagai ideologi terbuka, maka tidak keberatan untuk menerima

pelaksanaan diversi di luar SPP Anak karena pelaksanaan diversi di luar sistem

peradilan anak dapat memenuhi nilai-nilai Ketuhanan, Kemanusiaan,

Persatuan, Musyawarah dan Keadilan Sosial.

304

Kaelan, Filsafat Pancasila Pandangan Hidup Bangsa Indonesia, (Yogyakarta:

Paradigma, 2002), hlm. 58-59.

305Ibid., hlm. 94-95.

198

BAB IV

KEBIJAKAN FORMULASI PENGATURAN KETENTUAN

PELAKSANAAN DIVERSI YANG MENCERMINKAN PRINSIP

PERLINDUNGAN DAN KESEJAHTERAAN BAGI ANAK YANG

BERKONFLIK DENGAN HUKUM

DI MASA YANG AKAN DATANG

4.1. Pengaturan Ketentuan Pelaksanaan Diversi Di Luar Sistem Peradilan

Pidana Anak Menurut Ketentuan Internasional dan Nasional

Pengaturan ketentuan pelaksanaan diversi di luar sistem peradilan pidana

anak dalam penyelesaian perkara anak yang berkonflik dengan hukum dapat

ditemukan dalam beberapa ketentuan internasional dan nasional yang berkaitan

dengan perlindungan hukum bagi anak yang berkonflik dengan hukum.

Di bawah ini akan diuraikan beberapa pengaturan ketentuan pelaksanaan

diversi di luar sistem peradilan pidana anak yang terdapat dalam ketentuan

internasional dan nasional, yaitu:

4.1.1. Ketentuan Internasional

Terdapat beberapa ketentuan internasional yang mengatur mengenai

pelaksanaan diversi di luar sistem peradilan pidana anak, yaitu:

198

199

4.1.1.1. Convention on The Rights of The Child (CRC), Adopted by the General

Assembly of the United Nations on 20 November 1989, yang telah

diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia yang dituangkan dalam

Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990.

Menurut CRC, secara konkrit ketentuan yang memberikan arah kebijakan dalam

pelaksanaan diversi adalah sebagaimana dinyatakan dalam Article 40 CRC atau

KHA, yaitu:

Article 40.1 CRC:

States parties recognize the right of every child alleged as,accused of, or

recognized as having infringed the penal law to be treated in a manner

consistent with the promotion of the child’s respect for the human rights

and fundamental freedoms of others and which takesfreedoms of others

and which takes into account the child’s assuming a constructive role in

society. (Terjemahan bebas: Negara mengakui hak setiap anak yang

dinyatakan sebagai tertuduh, atau yang diakui telah melanggar hukum

pidana, untuk diperlakukan dengan cara yang sesuai dengan harkat dan

martabat anak, sehingga pada anak tertanam rasa menghormati terhadap

hak-hak asasi manusia dan kebebasan orang lain, dengan memperhatikan

umur anak serta keinginan untuk meningkatkan reintegrasi anak agar dapat

kembali lagi dan mempunyai peran yang konstruktif di masyarakat).

Ketentuan tersebut menyatakan bahwa setiap anak yang dituduh, dituntut

atau dinyatakan telah melakukan tindak pidana diperlakukan dengan cara-cara:

a. yang sesuai dengan kemajuan pemahaman anak tentang harkat dan

martabatnya;

b. yang memperkuat penghargaan atau penghormatan anak pada hak-hak

asasi dan kebebasan orang lain;

c. mempertimbangkan usia anak dan keinginan untuk memajukan atau

mengembangkan pengintegrasian kembali anak serta mengembangkan

harapan anak akan perannya yang konstruktif di masyarakat.306

Selanjutnya, Article 40.3 CRC menyatakan:

306Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijaksanaan Penegakan dan

Pengembangan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005), hlm. 180-181.

200

States parties shall seek to promote the establishment of laws,

procedures, authorities and institutions specifically applicable to

children alleged as, accused of, or recognized as having infringed the

penal law, and, in particular:

a) The establishment of a minimum age below which children shall be

presumed not to have the capacity to infringe the penal law;

b) Whenever appropriate and desirable, measures for dealing with such

children without resorting to judicial proceedings, providing that

human rights and legal safeguards are fully respected. A variety

disposition, such as care, guidance and supervision orders;

counselling; probation; foster care; education and vocational

training programmes and other alternatives to intitutional care shall

be available to ensure that children are dealt with in a manner

appropriate to their well-being and proportionate both to their

circumstances and the offence.

(Terjemahan bebas: Negara pihak wajib berupaya untuk

mempromosikan pembentukan hukum, prosedur, otoritas dan

institusi yang khusus menangani anak-anak yang diduga, dituduh,

atau diakui telah melanggar hukum, khususnya hukum pidana:

a) Penetapan usia minimum di bawah dimana anak akan dianggap

tidak memiliki kemampuan untuk melanggar hukum pidana;

b) Pada setiap waktu yang tepat dan diinginkan, langkah-langkah

untuk menangani anak-anak semacam itu tanpa menggunakan

proses peradilan, menjamin bahwa hak asasi manusia dan

perlindungan hukum dihormati sepenuhnya. Berbagai disposisi,

seperti perintah perawatan, bimbingan dan supervisi, bimbingan

masa percobaan, anak asuh, pendidikan dan program-program

pelatihan kejuruan dan alternatif lain untuk perawatan

kelembagaan harus tersedia untuk menjamin bahwa anak-anak

ditangani dengan cara yang sesuai dengan kondisi mereka dengan

baik serta proporsional sesuai dengan pelanggaran yang

dilakukan).

Ketentuan tersebut di atas menjelaskan bahwa negara pihak wajib berupaya

mempromosikan pembentukan hukum, prosedur, otoritas dan lembaga-lembaga

yang khusus menangani anak-anak yang diduga, dituduh, atau diakui telah

melanggar hukum, khususnya hukum pidana, tanpa menggunakan jalur

pengadilan dengan tetap menghormati hak-hak asasi manusia dan memberikan

perlindungan hukum sepenuhnya. Negara menentukan batas usia minimum,

dimana anak akan dianggap tidak memiliki kemampuan untuk melanggar hukum.

201

Ada berbagai disposisi yang dapat dilakukan, seperti perintah perawatan,

bimbingan dan supervisi, bimbingan masa percobaan, anak asuh, pendidikan dan

program-program pelatihan kejuruan dan alternatif lain untuk perawatan

kelembagaan harus tersedia untuk menjamin bahwa anak-anak ditangani dengan

cara yang sesuai dengan kondisi mereka dengan baik serta proporsional sesuai

dengan pelanggaran yang dilakukan.

Ketentuan Convention on the Rights of the Child (CRC) yang mengatur

pelaksanaan diversi di luar sistem peradilan pidana anak di atas dapat disajikan

pada tabel 22 berikut ini :

202

Tabel 22

Ketentuan Convention on the Rights of the Child (CRC) yang mengatur

Pelaksanaan Diversi di Luar Sistem Peradilan Pidana Anak

Ketentuan

Internasional

Dasar

Hukum

Ketentuan

Diversi

Jenis

Pelanggaran/

Tindak

Pidana

Tujuan

Diversi

Lembaga/

Pejabat yang

Menangani

Pelaksanaan

Diversi

Convention

on the Rights

of the Child

Article

40.3 b

...langkah-

langkah

untuk

menangani

anak-anak...

tanpa

mengguna-

kan proses

peradilan....

- Tidak

ditentukan

Article 40.3

b:

- Menjamin

hak asasi

manusia

dan

perlindun

gan

hukum

- ...anak-

anak

ditangani

dengan

cara yang

sesuai

dengan

kondisi

mereka

dan

proporsio-

nal.

Tidak

menentukan

secara tegas

Sumber: Bahan Hukum Primer, diolah.

Berdasarkan tabel 22 di atas dapat dijelaskan bahwa dalam Convention on the

Rights of the Child, Article 40. 3b:

1. ketentuan diversi: langkah-langkah untuk menangani anak-anak tanpa

menggunakan proses peradilan;

2. jenis pelanggaran/tindak pidana yang dapat ditangani dengan diversi: tidak

ditentukan;

203

3. tujuan pelaksanaan diversi: untuk menjamin hak asasi manusia, perlindungan

hukum dan anak-anak ditangani sesuai dengan kondisi mereka dan

proporsional;

4. lembaga/pejabat yang menangani pelaksanaan diversi: tidak menentukan secara

tegas.

Berdasarkan tabel 22 di atas dapat diketahui bahwa KHA mengatur diversi

dalam Pasal 40 ayat (3) huruf b, hal ini berarti bahwa KHA memberikan peluang

bagi negara-negara peserta konvensi untuk menangani perkara anak yang

berkonflik dengan hukum dengan melaksanakan diversi meskipun tidak

menentukan secara tegas lembaga/pejabat yang melaksanakan diversi.

4.1.1.2 United Nations Standard Minimum Rules for Administration of Juvenile

Justice (The Beijing Rules)

The Beijing Rules merupakan aturan PBB yang mengatur tentang

pelaksanaan proses peradilan pidana bagi anak yang berkonflik dengan hukum.

Aturan ini disahkan dengan resolusi Sidang Umum PBB No. 40/33 tanggal 29

November 1985. Ketentuan yang mengatur tentang pelaksanaan diversi terdapat

dalam Rule 11 sebagaimana telah disebutkan dalam konsep diversi pada Bab II

disertasi ini. Ketentuan ini mengatur tentang diversi yang merupakan suatu upaya

pengalihan penanganan anak yang berkonflik dengan hukum dari proses formal ke

proses informal dengan syarat atau kriteria yang telah ditentukan. Kewenangan

untuk melaksanakan diversi tersebut dapat dilakukan pada setiap tingkatan

pemeriksaan, yaitu pada tahap penyidikan oleh kepolisian, tahap penuntutan oleh

penuntut umum, dan pada tahap pemeriksaan di persidangan oleh hakim.

204

Pelaksanaan diversi ini harus mendapatkan persetujuan dari pelaku dan atau orang

tua pelaku, korban dan atau orang tua korban.

Selanjutnya, ketentuan mengenai diversi juga diatur dalam Commentary

Rule 11 The Beijing Rules, sebagaimana telah dikemukakan pada Bab II Disertasi

ini mengenai Konsep Diversi, bahwa diversi merupakan proses melimpahkan

perkara anak dari sistem peradilan pidana kepada sistem informal, seperti

mengembalikan kepada lembaga sosial masyarakat, baik pemerintah negara

maupun non pemerintah. Tindakan ini dilakukan untuk menghindari efek

negatif dari proses berikutnya dalam administrasi peradilan anak (misalnya

stigma dari putusan hakim dan hukuman). Hal ini terutama terjadi dimana

pelanggaran bersifat tidak serius dan dimana keluarga, sekolah atau lembaga

kontrol sosial informal lainnya telah bereaksi, atau cenderung bereaksi,

dengan cara yang tepat dan konstruktif.

Diversi dalam Rule 17.4 the Beijing Rules, dinyatakan bahwa “The

competent authority shall have the power to discontinue the proceedings at any

time”. (Terjemahan bebas: Pejabat yang berwenang mempunyai kekuasaan untuk

tidak melanjutkan proses pada setiap saat). Selanjutnya, Commentary Rule 17.4

menyatakan bahwa:

“The power to discontinue the proceedings at any time (Rule 17.4) is a

characteristic inherent in the handling of juvenile offenders as opposed to

adults. At any time, circumstances may become known to the competent

authority which would make a complete cessation of the intervention

appear to be the best disposition of the case’’. (Terjemahan bebas:

Kekuasaan untuk tidak melanjutkan proses setiap saat (aturan 17.4)

merupakan karakteristik yang melekat dalam penanganan anak pelanggar

yang berbeda dengan pelanggar dewasa. Setiap saat, situasi bisa menjadi

diketahui oleh pejabat yang berwenang yang akan menghentikan intervensi

sepenuhnya tampaknya merupakan disposisi terbaik kasus ini).

205

Berdasarkan komentar Rule 17.4, dapat dijelaskan bahwa pejabat memiliki

kewenangan melaksanakan diversi didasarkan pada ciri atau karakteristik yang

melekat dalam menangani pelanggar anak yang berbeda dengan pelanggar

dewasa. Pada setiap saat, keadaan-keadaan tertentu dapat diketahui oleh pihak

berwenang yang akan menghentikan sepenuhnya intervensi sebagai pernyataan

keputusan yang terbaik terhadap perkara itu.

Ketentuan United Nations Standard Minimum Rules for Administration of

Juvenile Justice - The Beijing Rules yang mengatur pelaksanaan diversi di luar

sistem peradilan pidana anak di atas dapat disajikan pada tabel 23 berikut ini:

Tabel 23

Ketentuan The Beijing Rules yang mengatur Pelaksanaan Diversi

di Luar Sistem Peradilan Pidana Anak

Ketentuan Internasio-

nal

Dasar Hukum

Ketentuan Diversi

Jenis Pelanggara/

Tindak Pidana

Tujuan Diversi

Lembaga/ Pejabat yang Menangani Pelaksanaan

Diversi United Nations Standard Minimum Rules for Administra-tion of Juvenile Justice - The Beijing Rules

Rule 17.4

...kekuasaan untuk tidak melanjutkan proses setiap saat....

Commentary Rule 11 : - pelanggaran

tidak serius.

- Commentary Rule 11 : Menghindari efek negatif dari proses berikutnya... misalnya stigma....

Rule 11.2 : - Polisi, jaksa

atau lembaga lain.

Sumber: Bahan Hukum Primer, diolah.

Berdasarkan tabel 23 di atas dapat dijelaskan bahwa dalam The Beijing

Rules, mengatur:

1. ketentuan diversi: kekuasaan untuk tidak melanjutkan proses setiap saat;

206

2. jenis pelanggaran/tindak pidana yang dapat ditangani dengan diversi:

pelanggaran tidak serius;

3. tujuan pelaksanaan diversi: menghindari efek negatif dari proses berikutnya,

misalnya stigma;

4. lembaga/pejabat yang menangani pelaksanaan diversi: polisi, jaksa atau

lembaga lainnya.

Berdasarkan tabel 23 di atas dapat diketahui bahwa The Beijing Rules

mengatur diversi dalam Rule 17.4, hal ini berarti bahwa The Beijing Rules

memberikan peluang bagi negara-negara untuk menangani perkara anak yang

berkonflik dengan hukum dengan melaksanakan diversi dan lembaga/pejabat yang

melaksanakan diversi diatur dalam Rule 11.2, yaitu polisi, jaksa atau lembaga

lainnya.

4.1.1.3 United Nations Guidelines for the Prevention of Juvenile Delinquency

(The Riyadh Guidelines).

The Riyadh Guidelines merupakan ketentuan internasional yang berisi

pedoman dalam rangka pencegahan anak yang berkonflik dengan hukum yang

disahkan melalui resolusi PBB Nomor 45/112 tanggal 14 Desember 1990.

Rule 56 The Riyadh Guidelines mengatur tentang tujuan diversi, yang menyatakan

bahwa:

In order to prevent further stigmatization, vigtimization and

criminalization of young persons, legislation should be enacted to ensure

that any conduct not considered an offence or not penalized if committed

by an adult is not considered an offence and not penalized if commited by

a young person.

(Terjemahan bebas: Untuk mencegah stigmatisasi, viktimisasi dan

kriminalisasi anak lebih lanjut, maka undang-undang harus diberlakukan

207

untuk memastikan bahwa setiap perilaku tidak dianggap sebagai

pelanggaran atau tidak diberikan sanksi dengan persetujuan anak).

Rule 56 The Riyadh Guidelines di atas menentukan bahwa untuk

mencegah stigmatisasi, viktimisasi dan kriminalisasi anak lebih lanjut, maka

undang-undang harus diberlakukan untuk memastikan bahwa setiap perilaku tidak

dianggap sebagai pelanggaran atau tidak diberikan sanksi jika hal itu disetujui

oleh anak.

Selanjutnya, ketentuan yang mengatur tentang pelaksanaan diversi di luar sistem

peradilan pidana anak adalah sebagaimana tercantum dalam Rule 58 The Riyadh

Guidelines:

Law enforcement and other relevant personnel, of both sexes, should be

trained to respond to the special needs of young persons and should be

familiar with and use, to the maximum extent possible, programmes and

referral possibilities for the diversion of young persons from the justice

system. (Terjemahan bebas: Penegak hukum dan aparat terkait lainnya

harus dilatih untuk respon terhadap kebutuhan khusus dari anak dengan

lebih mengenal anak dengan menggunakan semaksimal mungkin program

dan kemungkinan rujukan untuk mengalihkan anak dari sistem peradilan).

Berdasar atas ketentuan di atas, dapat dijelaskan bahwa penegak hukum

dan aparat terkait lainnya harus dilatih untuk lebih respon terhadap kebutuhan

khusus anak dengan lebih mengenal anak serta semaksimal mungkin mengalihkan

proses penyelesaian perkara anak dari sistem peradilan pidana.

Ketentuan United Nations Guidelines for the Prevention of Juvenile

Delinquency (The Riyadh Guidelines) yang mengatur pelaksanaan diversi di luar

sistem peradilan pidana anak di atas dapat disajikan pada tabel 24 berikut ini:

208

Tabel 24

Ketentuan United Nations Guidelines for the Prevention of Juvenile Delinquency

(The Riyadh Guidelines) yang mengatur Pelaksanaan Diversi

di Luar Sistem Peradilan Pidana Anak

Ketentuan

Internasional

Dasar

Hukum

Ketentuan

Diversi

Jenis

Pelanggaran/

Tindak Pidana

Tujuan Diversi

Lembaga/Pe-

jabat yang

Menangani

Pelaksanaan

Diversi

United

Nations

Guidelines

for the

Prevention of

Juvenile

Delinquency

(the Riyadh

Guidelines)

Rule 56

dan

Rule 58

- Rule 58 :

...mengalih-

kan anak dari

sistem

peradilan....

- Tidak

ditentukan

Rule 56 :

- Untuk

mencegah

stigmatisasi,

viktimisasi

dan

kriminalisasi

lebih lanjut....

Tidak

menentukan

secara tegas

Sumber: Bahan Hukum Primer, diolah.

Berdasarkan tabel 24 di atas dapat dijelaskan bahwa dalam The Riyadh

Guidelines, mengatur:

1. ketentuan diversi: mengalihkan anak dari sistem peradilan;

2. jenis pelanggaran/tindak pidana yang dapat ditangani dengan diversi: tidak

ditentukan;

3. tujuan pelaksanaan diversi: Untuk mencegah stigmatisasi, viktimisasi dan

kriminalisasi lebih lanjut;

4. lembaga/pejabat yang menangani pelaksanaan diversi: tidak menentukan secara

tegas.

Berdasarkan tabel 24 di atas dapat diketahui bahwa The Riyadh Guidelines

mengatur diversi dalam Rule 58, hal ini berarti bahwa The Riyadh Guidelines

memberikan peluang bagi negara-negara peserta konvensi untuk menangani

perkara anak yang berkonflik dengan hukum dengan melaksanakan diversi,

209

namun demikian lembaga/pejabat yang melaksanakan diversi tidak ditentukan

secara tegas.

4.1.1.4 United Nations Standard Minimum Rules for Non-Custodial Measures

(The Tokyo Rules)

The Tokyo Rules merupakan aturan PBB yang berisi tentang prinsip-

prinsip dasar untuk mendorong penggunaan tindakan-tindakan non-custodial

(perampasan kemerdekaan), serta perlindungan minimum untuk orang-orang yang

dijatuhi pidana selain penjara. Aturan ini juga dimaksudkan untuk mendorong

keterlibatan masyarakat yang lebih besar dalam pengelolaan peradilan pidana,

khususnya dalam perbaikan pelaku tindak pidana, serta untuk menanamkan rasa

tanggung jawab pelaku terhadap masyarakat. Aturan yang terdapat dalam the

Tokyo Rules yang berkaitan dengan pelaksanaan diversi adalah sebagaimana

disebutkan dalam Rule 5, yang menyatakan :

Where appropriate and compatible with the legal system, the police, the

prosecution service or other agencies dealing with criminal cases should

be empowered to discharge the offender if they consider that it is not

necessary to proceed with the case for the protection of society, crime

prevention or the promotion of respect for the law and the rights of

victims. For the purpose of the deciding upon the appropriateness of

dischange or determination of proceedings, a set of established criteria

shall be developed within each legal system. For minor cases the

prosecutor may impose sultable non-custodial measures, as appropriate.

(Terjemahan bebas: Bila diperlukan dan cocok dengan sistem hukum,

maka polisi, kejaksaan atau lembaga lain yang menangani perkara pidana

harus diberdayakan untuk mengalihkan pelaku jika mereka menganggap

bahwa tidak perlu untuk melanjutkan dengan alasan perlindungan

masyarakat, pencegahan kejahatan atau demi menghormati hukum dan

hak-hak korban. Untuk tujuan memutus pengalihan atau penentuan

proses, seperangkat kriteria yang ditetapkan harus dikembangkan dalam

setiap sistem hukum. Untuk kasus-kasus kecil jaksa dapat menerapkan

tindakan non-custodial yang cocok atau sesuai).

210

Ketentuan internasional di atas secara tegas memberikan kewenangan

kepada negara-negara peserta yang telah meratifikasi konvensi-konvensi

internasional yang berkaitan dengan anak untuk mewujudkan perlindungan

hukum bagi anak yang berkonflik dengan hukum dengan memperhatikan

kepentingan terbaik bagi anak, khususnya kepentingan pertumbuhan dan

perkembangan anak secara fisik, mental, dan sosial. Lebih konkrit lagi, ketentuan

di atas menyatakan bahwa sedapat mungkin anak yang berkonflik dengan hukum

dapat diselesaikan tanpa menggunakan jalur hukum atau di luar sistem peradilan

pidana anak.

Ketentuan The Tokyo Rules yang mengatur pelaksanaan diversi di luar

sistem peradilan pidana anak di atas dapat disajikan pada tabel 25 berikut ini:

Tabel 25

Ketentuan The Tokyo Rules yang mengatur Pelaksanaan Diversi

di luar Sistem Peradilan Pidana Anak

Ketentuan

Internasional

Dasar

Hukum

Ketentuan

Diversi

Jenis

Pelanggaran/

Tindak

Pidana

Tujuan

Diversi

Lembaga/Pejabat

yang Menangani

Pelaksanaan

Diversi

United Nations

Standard

Minimum

Rules for Non-

Custodial

Measures (the

Tokyo Rules).

Rule 5 Untuk

mengalihkan

pelaku...jika

mereka

menganggap

bahwa tidak

perlu untuk

melanjutkan....

Kasus-kasus

kecil

Rule 5:

Perlindungan

masyarakat,

pencegahan

kejahatan atau

demi

menghormati

hukum dan

hak-hak

korban.

Rule 5 :

Polisi, kejaksaan

atau lembaga

lainnya

Sumber : Bahan Hukum Primer, diolah.

Berdasarkan tabel 25 di atas dapat dijelaskan bahwa dalam the Tokyo

Rules, Rule 5 mengatur:

211

1. ketentuan diversi : untuk mengalihkan pelaku jika mereka menganggap bahwa

tidak perlu untuk melanjutkan;

2. jenis pelanggaran/tindak pidana yang dapat ditangani dengan diversi : kasus-

kasus kecil;

3. tujuan pelaksanaan diversi : perlindungan masyarakat, pencegahan kejahatan

atau demi menghormati hukum dan hak-hak korban;

4. lembaga/pejabat yang menangani pelaksanaan diversi : polisi, kejaksaan atau

lembaga lainnya.

Berdasarkan tabel 25 di atas dapat diketahui bahwa the Tokyo Rules juga

mengatur diversi dalam Rule 5, hal ini berarti bahwa the Tokyo Rules memberikan

peluang untuk menangani perkara anak yang berkonflik dengan hukum dengan

melaksanakan diversi jika mereka menganggap bahwa tidak perlu untuk

melanjutkan dengan tujuan untuk melindungi kepentingan masyarakat, mencegah

terjadinya tindak pidana, demi menghormati hukum dan hak-hak korban.

Lembaga/pejabat yang melaksanakan diversi yaitu polisi, kejaksaan atau lembaga

lainnya.

Berdasarkan uraian di atas, maka beberapa ketentuan internasional yang

mengatur pelaksanaan diversi di luar sistem peradilan pidana anak, dapat

disajikan pada tabel 26 berikut ini:

212

Tabel 26

Beberapa Ketentuan Internasional yang Mengatur Pelaksanaan Diversi

di Luar Sistem Peradilan Pidana Anak

No

Keten-tuan

Inter-nasio-

nal

Dasar Hukum

Ketentuan Diversi Jenis

Pelanggaran/ tindak pidana

Lembaga/Pejabat yg menangani Pelaksanaan

Diversi

Langkah-langkah untuk mena-ngani

anak-anak tanpa

menggu-nakan proses

peradilan....

Ke-kuasaan untuk tidak

melan-jutkan proses setiap saat....

... ru-jukan untuk meng-alih-kan anak dari

sistem per-

adilan

Ti-dak di-

tentukan

Pe-lang-garan

ringan, kasus- kasus kecil

Po-lisi

Polisi, jaksa,

penegak hukum lainnya

Pene-gak

hukum lain-nya

Tidak diten- tukan secara tegas

1 CRC/

KHA

Pasal 40

ayat (3)

huruf b

V - - V - - - - V

2 The

Bei-

jing

Rules

Commen-

tary Rule

17.4 - V

-

- V - V - -

3 The

Riyadh

Guide-

lines

Rule 56

dan Rule

58 - -

V

- - - - V -

4 The

Tokyo

Rules

Rule 5

- - V - V - V - -

Sumber: Bahan hukum primer, diolah.

Berdasarkan beberapa ketentuan internasional yang mengatur ketentuan

pelaksanaan diversi untuk menangani anak yang berkonflik dengan hukum tabel

26 di atas, maka dapat dijelaskan bahwa:

1. Convention on the Rights of the Child (Konvensi Hak Anak), mengatur

ketentuan pelaksanaan diversi di luar sistem peradilan pidana anak. Namun

demikian, tidak ditentukan secara tegas jenis pelanggaran/tindak pidana yang

213

dilakukan oleh anak yang dapat ditangani dengan pelaksanaan diversi dan tidak

menentukan secara tegas lembaga/pejabat yg menangani pelaksanaan

diversi.

2. United Nations Standard Minimum Rules for Administration of Juvenile

Justice (the Beijing Rules) mengatur ketentuan pelaksanaan diversi di luar

sistem peradilan pidana anak, mengatur secara tegas bahwa diversi

dilaksanakan oleh polisi di luar sistem peradilan pidana, jaksa atau penegak

hukum lainnya. Mengatur jenis pelanggaran/ tindak pidana yang dilakukan

oleh anak dengan pelaksanaan diversi di luar sistem peradilan pidana anak,

yaitu pelanggaran tidak serius.

3. United Nations Guidelines for the Prevention of Juvenile Delinquency (the

Riyadh Guidelines).

The Riyadh Guidelines juga mengatur ketentuan pelaksanaan diversi di luar

sistem peradilan pidana anak. Namun demikian, jenis pelanggaran/ tindak

pidana yang dilakukan oleh anak yang dapat ditangani dengan pelaksanaan

diversi tidak ditentukan secara tegas dan mengatur bahwa diversi dilaksanakan

oleh penegak hukum lainnya.

4. United Nations Standard Minimum Rules for Non-Custodial Measures (the

Tokyo Rules).

The Tokyo Rules juga mengatur ketentuan pelaksanaan diversi di luar sistem

peradilan pidana anak, dan mengatur secara tegas bahwa diversi dilaksanakan

oleh polisi di luar sistem peradilan pidana, jaksa atau lembaga lainnya.

214

Mengatur jenis pelanggaran/ tindak pidana yang dilakukan oleh anak yang

dapat ditangani dengan pelaksanaan diversi yaitu kasus-kasus kecil.

Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa beberapa ketentuan

internasional mengatur ketentuan pelaksanaan diversi di luar SPP Anak. Jenis

pelanggaran/tindak pidana yang dilakukan anak yang dapat ditangani dengan

melaksanakan diversi adalah pelanggaran ringan (menurut the Beijing Rules dan

the Tokyo Rules). Dalam CRC dan the Riyadh Guidelines tidak menentukan secara

tegas jenis pelanggaran/tindak pidana yang dapat ditangani dengan melaksanakan

diversi. Lembaga/pejabat yang melaksanakan diversi, dalam CRC juga tidak

ditentukan secara tegas, demikian juga the Riyadh Guidelines juga tidak

menentukan secara tegas tapi hanya ditentukan bahwa lembaga yang

melaksanakan diversi adalah aparat penegak hukum lainnya. Dalam the Beijing

Rules dan the Tokyo Rules menentukan bahwa lembaga atau pejabat yang

melaksanakan diversi adalah polisi, jaksa dan penegak hukum lainnya.

Menurut Penjelasan Pasal 49 ayat (3) huruf i Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan bahwa “Yang

dimaksud dengan „penegak hukum lain‟ antara lain kejaksaan, kepolisian, dan

pengadilan. Dengan demikian dapat diketahui bahwa dalam the Beijing Rules, the

Riyadh Guidelines dan the Tokyo Rules, lembaga/pejabat yang berwenang

melaksanakan diversi adalah polisi, jaksa dan hakim.

Beberapa ketentuan internasional di atas juga mengatur mengenai tujuan

pelaksanaan diversi yang berbeda-beda, yaitu:

1. Menurut CRC, sebagaimana diatur dalam Article 40.3 huruf b :

215

- agar hak asasi manusia dan perlindungan hukum dihormati sepenuhnya;

- untuk menjamin bahwa anak-anak ditangani dengan cara yang sesuai dengan

kondisi mereka dengan baik serta proporsional sesuai dengan pelanggaran

yang dilakukan.

2. Menurut the Beijing Rules, sebagaimana diatur dalam Commentary Rule 11:

- menghindari efek negatif dari proses berikutnya dalam administrasi peradilan

anak, misalnya stigma dari putusan hakim dan hukuman.

3. Menurut the Riyadh Guidelines, sebagaimana diatur dalam Rule 56:

- Untuk mencegah stigmatisasi, viktimisasi dan kriminalisasi lebih lanjut.

4. Menurut the Tokyo Rules, sebagaimana diatur dalam Rule 5:

- Untuk perlindungan masyarakat, pencegahan kejahatan atau demi

menghormati hukum dan hak-hak korban.

Tujuan pelaksanaan diversi menurut beberapa ketentuan internasional di

atas, dapat disajikan pada tabel 27 berikut ini:

216

Tabel 27

Tujuan Pelaksanaan Diversi Menurut Beberapa Ketentuan Internasional

No Ketentuan

Internasional

Dasar

Hukum Tujuan Diversi

1 CRC Article 40.3

huruf b

- ...hak asasi manusia... perlindungan

hukum dihormati sepenuhya;

- ...anak-anak ditangani... sesuai dengan

kondisi mereka... proporsional sesuai

dengan pelanggaran yang dilakukan.

2 The Beijing

Rules

Commentary

Rule 11

- menghindari efek negatif dari proses

berikutnya dalam administrasi

peradilan anak...stigma....

3 The Riyadh

Guidelines

Rule 56 - mencegah stigmatisasi, viktimisasi...

kriminalisasi lebih lanjut;

4 The Tokyo

Rules

Rule 5 - ...perlindungan masyarakat, pencegahan

kejahatan...menghormati hukum dan

hak-hak korban.

Sumber: Bahan Hukum Primer, diolah.

Dengan demikian, berdasar atas uraian di atas dan berpijak pada tujuan

pelaksanaan diversi maka pelaksanaan diversi di luar sistem peradilan pidana anak

hendaknya dilaksanakan sejak awal anak mendapat masalah hukum (di

penyidikan) sehingga anak dapat terhindar dari stigma.

4.1.2. Ketentuan Nasional

Ketentuan nasional yang mengatur mengenai diversi terdapat dalam UU

SPP Anak, yang diatur dalam Pasal 6 sampai dengan Pasal 15.

217

Pengertian diversi yang diatur dalam Pasal 1 angka 7 UU SPP Anak,

adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke

proses di luar peradilan pidana. Oleh karena itu, tidak semua perkara anak yang

berkonflik dengan hukum harus diselesaikan melalui jalur peradilan formal tapi

memberikan alternatif bagi penyelesaian non formal atau di luar sistem peradilan

pidana demi perlindungan dan kesejahteraan anak agar anak terhindar dari stigma

akibat proses peradilan pidana.

Mengenai tujuan diversi diatur dalam Pasal 6 UU SPP Anak, sebagaimana

berikut ini:

Diversi bertujuan:

a. mencapai perdamaian antara korban dan Anak;

b. menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan;

c. menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan;

d. mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan

e. menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak.

Dalam Pasal 7 ayat (1) UU SPP Anak dinyatakan bahwa “Pada tingkat

penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri wajib

diupayakan diversi”.

Oleh karena itu, menurut Pasal 7 ayat (1) UU SPP Anak, pelaksanaan diversi

dalam sistem peradilan pidana anak dilakukan pada tahap penyidikan, diversi

tahap penuntutan dan diversi tahap pemeriksaan perkara anak di pengadilan

negeri. Tindak pidana yang wajib diupayakan diversi adalah tindak pidana yang

diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun dan bukan merupakan

pengulangan tindak pidana. Batasan tindak pidana yang diancam dengan pidana

218

penjara di bawah 7 (tujuh) tahun ini penting, mengingat bila ancaman hukuman

lebih dari 7 (tujuh) tahun maka tergolong pada tindak pidana berat.307

Menurut Penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf a UU SPP Anak, dinyatakan

bahwa “Ketentuan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun mengacu pada Hukum

Pidana”. Selanjutnya, dalam ayat (2) huruf b dinyatakan bahwa “Pengulangan

tindak pidana dalam ketentuan ini merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh

anak, baik tindak pidana sejenis maupun tidak sejenis, termasuk tindak pidana

yang diselesaikan melalui diversi”. Dengan demikian, anak tersebut baru pertama

kali melakukan tindak pidana.

Sebagaimana telah dikemukakan pada Bab I, mengenai proses diversi

diatur dalam Pasal 8 UU SPP Anak. Menurut ketentuan Pasal 8 UU SPP Anak,

proses diversi dilakukan dengan cara musyawarah yang melibatkan para pihak,

yaitu: anak dan orang tua/walinya, korban dan orang tua/walinya, Pembimbing

Kemasyarakatan, dan Pekerja Profesional, serta masyarakat. Menurut Penjelasan

Pasal 8 ayat (1) bahwa “Orang tua dan wali korban dilibatkan dalam proses

diversi dalam hal korban adalah anak”. Selanjutnya, dalam ayat (2) dinyatakan

bahwa “Yang dimaksud dengan „masyarakat‟ antara lain tokoh agama, guru, dan

tokoh masyarakat”.

307

Dalam Risalah UU SPP Anak, Pada Pembahasan di Panja, F-PDIP

mendefinisikan tindak pidana berat bagi anak adalah 5 (lima) tahun. Menurut F-PDIP

pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun sangat lama dalam ukuran seorang anak,

karena dapat mengganggu pertumbuhan fisik anak. Setelah dijelaskan bahwa ukuran

ancaman pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun sesuai dengan KUHP, apalagi

menyangkut ancaman pidana bagi anak, maka ancaman pidana paling lama 7 (tujuh)

tahun lebih menguntungkan bagi anak, maka disepakati sesuai dengan usulan pemerintah.

219

Pasal 9 UU SPP Anak, menyatakan:

(1) Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam melakukan diversi harus

mempertimbangkan:

a. kategori tindak pidana;

b. umur anak;

c. hasil penelitian kemasyarakatan dari Bapas; dan

d. dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat.

(2) Kesepakatan diversi harus mendapatkan persetujuan korban dan/atau

keluarga Anak korban serta kesediaan Anak dan keluarganya, kecuali

untuk:

a. tindak pidana yang berupa pelanggaran;

b. tindak pidana ringan;

c. tindak pidana tanpa korban; atau

d. nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi

setempat.

Menurut Penjelasan Pasal 9 ayat (1) huruf a, dinyatakan bahwa “Ketentuan

ini merupakan indikator bahwa semakin rendah ancaman pidana semakin tinggi

prioritas diversi. Diversi tidak dimaksudkan untuk dilaksanakan terhadap pelaku

tindak pidana yang serius, misalnya pembunuhan, pemerkosaan, pengedar

narkotika, dan terorisme, yang diancam pidana di atas 7 (tujuh) tahun”.

Selanjutnya, dalam Penjelasan Pasal 9 ayat (1) huruf b, dinyatakan bahwa “Umur

anak dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk menentukan prioritas pemberian

diversi dan semakin muda umur anak semakin tinggi prioritas diversi”. Kemudian,

dalam Penjelasan Pasal 9 ayat (2) dinyatakan bahwa “Ketentuan mengenai

‟persetujuan keluarga anak korban‟ dimaksudkan dalam hal korban adalah anak di

bawah umur”.

Ketentuan di atas merupakan pedoman yang dapat dijadikan pertimbangan

oleh penegak hukum dalam hal mengimplementasikan pelaksanaan diversi dalam

menangani anak yang berkonflik dengan hukum, bahwa :

220

1. semakin rendah ancaman pidana, maka semakin tinggi anak memperoleh

prioritas pelaksanaan diversi;

2. diversi tidak dimaksudkan untuk dilaksanakan terhadap pelaku tindak pidana

yang serius, seperti pembunuhan, pemerkosaan, pengedar narkoba, dan

terorisme, yang diancam pidana di atas 7 (tujuh) tahun;

3. umur anak dalam ketentuan tersebut dimaksudkan untuk menentukan prioritas

pelaksanaan diversi dan semakin muda umur anak, maka semakin tinggi

prioritas pelaksanaan diversi;

4. ketentuan mengenai persetujuan keluarga anak korban dimaksudkan dalam hal

korban adalah anak di bawah umur.

Pasal 10 UU SPP Anak menyatakan bahwa:

(1) Kesepakatan diversi untuk menyelesaikan tindak pidana yang berupa

pelanggaran, tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban, atau nilai

kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi setempat

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) dapat dilakukan oleh

penyidik bersama pelaku dan/atau keluarganya, Pembimbing

Kemasyarakatan, serta dapat melibatkan tokoh masyarakat;

(2) Kesepakatan diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh

penyidik atas rekomendasi Pembimbing Kemasyarakatan dapat

berbentuk:

a. pengembalian kerugian dalam hal ada korban;

b. rehabilitasi medis dan psikososial;

c. penyerahan kembali kepada orang tua/wali;

d. keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan

atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan; atau

e. pelayanan masyarakat paling lama 3 (tiga) bulan.

Ketentuan dalam Pasal 10 UU SPP Anak di atas mengatur tentang

kesepakatan diversi untuk menyelesaikan tindak pidana tertentu, yaitu :

1. yang berupa pelanggaran, tindak pidana ringan, tindak pidana tanpa korban,

atau nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah minimum provinsi

221

setempat, dapat dilakukan oleh penyidik bersama dengan pelaku dan/atau

keluarganya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan tokoh masyarakat;

2. kesepakatan tersebut dilakukan oleh penyidik atas rekomendasi dari

pembimbing kemasyarakatan;

3. selain itu juga diatur tentang bentuk-bentuk dari sanksi yang dapat dituangkan

dalam kesepakatan.

Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak, yang mengatur pelaksanaan

diversi dalam sistem peradilan pidana anak di atas dapat disajikan pada tabel 28

berikut ini :

Tabel 28

Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak

Menurut UU SPP Anak

Nama

Negara

Peraturan

Perundang-

undangan/

Dasar

Hukum

Ketentu-

an

Diversi

Jenis

Pelanggaran/

Tindak

Pidana

Tujuan Diversi

Lembaga/

Pejabat yang

Menangani

Pelaksanaan

Diversi

Indonesia

UU SPP

Anak Pasal

7 ayat (1)

dan (2)

- Pada

tingkat

penyi-

dikan,

penun-

tutan,

dan

peme-

riksaan

perkara

anak di

penga-

dilan

negeri

wajib

diupaya-

kan

diversi

a. Tindak

pidana

yang

ancaman

pidana-

nya di

bawah 7

(tujuh)

tahun;

b. bukan

merupa-

kan

pengu-

langan

tindak

pidana.

a. Mencapai

perdamaian antara

korban dan anak;

b. menyelesaikan

perkara anak di luar

proses peradilan;

c. menghindar-kan

anak dari

perampasan

kemerdekaan;

d.mendorong

masyarakat untuk

berpartisipasi;

e.menanamkan rasa

tanggung jawab

kepada anak.

Polisi, jaksa,

dan hakim

pengadilan

negeri

Sumber : Bahan Hukum Primer, diolah.

222

Berdasarkan tabel 28 di atas dapat dijelaskan bahwa dalam UU SPP Anak

mengatur:

1. pelaksanaan diversi di luar sistem peradilan pidana anak dan di dalam sistem

peradilan pidana anak, Pasal 7 ayat (1) dan (2) ;

2. jenis tindak pidana yang dapat ditangani dengan diversi adalah tindak pidana

yang ancaman pidananya di bawah 7 (tujuh) tahun dan bukan merupakan

pengulangan tindak pidana;

3. mengatur tentang tujuan pelaksanaan diversi;

4. menentukan secara tegas lembaga/pejabat yang menangani pelaksanaan diversi

yaitu polisi, jaksa dan hakim pengadilan negeri.

4.2. Pengaturan Ketentuan Pelaksanaan Diversi di Luar Sistem Peradilan

Pidana Anak Menurut Peraturan Perundang-undangan Beberapa

Negara

Mengenai pelaksanaan diversi di luar sistem peradilan pidana anak untuk

menangani anak yang berkonflik dengan hukum, dapat dipelajari melalui

ketentuan pelaksanaan diversi di negara-negara lain yang telah terlebih dahulu

mengatur pelaksanaan diversi di luar sistem peradilan pidana. Hal ini bertujuan

sebagai bahan perbandingan untuk lebih menyempurnakan pengaturan ketentuan

pelaksanaan diversi dalam UU SPP Anak di negara kita. Selain itu, melalui kajian

komparasi ini dapat diketahui, apakah pelaksanaan diversi di luar sistem peradilan

pidana anak telah diimplementasikan dalam proses peradilan anak di negara-

223

negara asing dan dalam hal ini negara Indonesia perlu adaptasi sebagai bahan

untuk harmonisasi dengan negara-negara lain tersebut.

Berikut ini dikemukakan pengaturan pelaksanaan diversi di negara-negara

bagian Australia:

4.2.1. Pengaturan Diversi di Negara Bagian South Australia, Australia

Salah satu negara bagian di Australia, yaitu South Australia merupakan

negara bagian yang melaksanakan diversi untuk menangani anak yang berkonflik

dengan hukum. Bahkan South Australia sejak tahun 1972 telah melaksanakan

diversi sehingga negara bagian itu dijadikan inovator dalam peradilan pidana anak

bagi negara-negara bagian lainnya di Australia.308

Dasar hukum pelaksanaan diversi di South Australia diatur dalam Young

Offenders Act, 1993. Pada Section 3 (1) Young Offenders Act, 1993 dinyatakan

bahwa:

“The object of this Act is to secure for youths who offend againts the

criminal law the care, correction and guidance necessary for their

development into responsible and useful members of the community and

the proper realisation of their potential”. (Terjemahan bebas: Tujuan

undang-undang ini adalah untuk melindungi anak yang berkonflik dengan

hukum, dengan melakukan perawatan, koreksi dan bimbingan yang

diperlukan untuk perkembangan mereka menjadi anggota masyarakat yang

berguna dan potensi mereka terealisasikan dengan tepat).

Menurut Section 3 (1) Young Offenders Act, 1993 di atas, tujuan dari UU

ini adalah untuk melindungi anak yang berkonflik dengan hukum, melakukan

perawatan, koreksi dan bimbingan yang diperlukan untuk perkembangan mereka

menjadi anggota masyarakat yang berguna dan potensi mereka terealisasikan

dengan tepat.

308Ibid.

224

Young Offenders Act 1993 tersebut tidak menentukan secara tegas tentang

syarat-syarat yang dapat menjadi pertimbangan bagi polisi untuk memutuskan

diberlakukannya diversi pada perkara anak. Dengan demikian, polisi memiliki

tanggung jawab untuk menentukan proses selanjutnya maupun mengurangi dan

mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana oleh anak yang dibuat dalam

bentuk perjanjian baik pada tahap police caution maupun pada tahap family

conferences.309

Pelaksanaan diversi di South Australia dilakukan sejak awal proses dengan

menerapkan police caution dan family conferencing. Pada tahap police caution

terdapat dua jenis, yaitu informal caution dan formal caution. Informal caution

diatur dalam Section 6 Young Offenders Act 1993, yang menyatakan bahwa:

1. If a youth admits the commision of a minor offence, and a police

officer is of the oponion that the matter does not warrant any formal

action under this Act, the officer may informally caution the youth

against further offending and proceed no further againts the youth;

2. If a the youth is formally cautioned under this section, no further

proceedings may be taken against youth for the offence in relation to

which the youth was cautioned;

3. No official record is to be kept of an informal caution.

(Terjemahan bebas:

1. jika seorang anak telah mengakui pelanggaran ringan yang dilakukan,

maka polisi dapat memberikan peringatan informal di bawah undang-

undang ini, polisi boleh memberikan peringatan informal kepada anak

dan tidak memproses anak lebih lanjut;

2. jika seorang anak secara formal diperingatkan di bawah bagian ini,

maka tidak ada proses lebih lanjut bagi anak atas pelanggaran

berkaitan dengan peringatan terhadap anak;

3. kantor (polisi) tidak perlu mencatat peringatan informal.

Ketentuan di atas menjelaskan bahwa jika seorang anak telah mengakui

atas tindak pidana ringan yang dilakukannya, maka polisi dapat memberikan

309Ibid., hlm. 211.

225

peringatan informal (secara lisan). Dengan pemberian peringatan tersebut, maka

tindak pidana yang dilakukannya telah selesai dan peringatan itu tidak perlu

dicatat dalam catatan kepolisian. Sedangkan formal caution diatur dalam Section

8 (1) Young Offenders Act 1993, yang berbunyi:

If a police officer decides to deal with a minor offence under this Division ,

the officer may administer a formal caution against further offending and

axercise any one or more of the following powers:

(a) the officer may require the youth to enter into an undertaking to pay

compensation to the victim of the offence;

(b) the officer may require the youth to enter an undertaking to carry out a

specified period (not exceending 75 hours) of community servise;

(c) the officer may require the youth to enter an undertaking to apologise the

victim of the offence or to do anything else that may be appropriate in

the circumstances of the case.

(Terjemahan bebas: Jika petugas polisi memutuskan untuk menangani

pelanggaran ringan di bawah devisi ini, maka petugas boleh memberikan

peringatan formal terhadap pelanggaran dan berwenang memberikan salah

satu atau beberapa hal berikut ini:

(a) petugas boleh memutuskan terhadap anak untuk membayar ganti rugi

kepada korban pelanggaran;

(b) petugas boleh memutuskan terhadap anak untuk memberikan

pelayanan kepada masyarakat dalam jangka waktu tertentu (tidak

lebih dari 75 jam);

(c) petugas boleh memutuskan terhadap anak untuk meminta maaf kepada

korban pelanggaran atau melakukan hal lain yang disesuaikan dengan

keadaan kasus ini.

Berdasarkan ketentuan di atas dapat dijelaskan bahwa bentuk formal

caution terdiri dari:

a. pembayaran kompensasi atau ganti rugi kepada korban pelanggaran;

b. memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam jangka waktu tertentu (tidak

lebih dari 75 jam);

c. permintaan maaf kepada korban pelanggaran atau melakukan hal lain yang

disesuaikan dengan keadaan kasus.

226

Berkaitan dengan permintaan maaf terhadap korban pelanggaran, polisi

dapat meminta anak yang telah melakukan pelanggaran untuk minta maaf kepada

korban di hadapan orang dewasa dan disetujui oleh polisi. Hal ini sebagaimana

diatur dalam Section 8 (5) Young Offenders Act 1993, yang menyatakan bahwa:

If a youth enters into an undertaking under this section to apologise to the

victim of the offence, the apology must be made in the presence of an adult

person approved by a police officer. (Terjemahan bebas: Jika anak

termasuk di bawah bagian ini untuk meminta maaf kepada korban

pelanggaran, maka permintaan maaf harus dilakukan di hadapan orang

dewasa dan disetujui oleh seorang petugas polisi).

Selanjutnya, mekanisme pemberian formal caution oleh polisi ini diatur

dalam Section 8 Young Offenders Act 1993, yang menyatakan bahwa:

If a formal caution is to be administered :

(a) the police officer must explain to the youth the nature of the caution and

the fact that evidence of the caution may, if the youth is subsequently

dealt with for an offence, be treated as evidence of commussion of the

offence in respect of which the caution is administered; and

(b) the caution must, if practicable, be administered in the presence of :

(i) a guardian of the youth; or

(ii) if a guardian is not avaible-an adult person nominated by the youth

who has had a close association with the youth or has been

counselling, advisting or aiding the youth; and

(c) the caution must be put in writing and acknowledged in writing by the

youth.

(Terjemahan bebas: Jika peringatan formal diberikan :

(a) petugas polisi harus menjelaskan kepada anak mengenai sifat peringatan

dan peringatan itu akan dicatat oleh petugas sebagai bukti, jika anak

melakukan pelanggaran lagi, maka berdasarkan bukti tersebut

pelanggaran akan diproses;

(b) peringatan harus dilakukan, diadministrasikan dan disampaikan kepada:

(i) wali anak; atau

(ii) jika wali tidak ada, maka ditawarkan kepada anak untuk mengajukan

orang dewasa yang memiliki hubungan dekat dengan anak tersebut

atau yang mampu membimbing, menasehati atau membantu anak; dan

(c) peringatan harus dituangkan secara tertulis dan diakui secara tertulis

oleh anak.

227

Berdasarkan Section 8 Young Offenders Act 1993 di atas dapat dijelaskan

bahwa polisi memberikan formal caution kepada anak dengan menjelaskan sifat

peringatan, dimana peringatan itu nantinya akan dicatat dalam catatan kepolisian

dan menjadi bukti. Jika anak melakukan pelanggaran lagi, maka terhadap perkara

anak tersebut tidak lagi diselesaikan melalui formal caution tetapi langsung

diselesaikan melalui peradilan. Peringatan ini dimungkinkan pula dalam bentuk :

a. menyerahkan anak kepada walinya;

b. atau jika walinya tidak ada ditawarkan kepada anak yang bersangkutan untuk

mengajukan wali yang masih memiliki hubungan darah;

c. bimbingan konseling.

Formal caution yang telah diberikan polisi kepada pelaku dituangkan

dalam sebuah surat yang ditanda tangani oleh polisi, pelaku dan jika ada orang tua

atau wali dari pelaku. Formal caution berlaku paling lama 3 bulan. Ketentuan ini

sebagaimana diatur dalam Section 8 (6) Young Offenders Act 1993 yang berbunyi:

If a youth enters into an undertaking under this section:

(a) the undertaking must be signed by the youth, a repsentative of the

commisioner of police, and, if practicable, by the youth’s parents or

guardians; and

(b) the undertaking will have a maximum duration of three month.

(Terjemahan bebas: Jika anak masuk dalam bagian ini :

(a) Peringatan formal harus ditandatangani oleh anak, komisaris polisi, dan

jika memungkinkan oleh orang tua anak atau walinya; dan

(b) Peringatan formal mempunyai jangka waktu maksimal tiga bulan.

Peringatan formal dilaksanakan dalam bentuk family conferences, dimana

polisi dapat menentukan sanksi kepada anak berupa meminta maaf pada korban,

membayar kompensasi pada korban dan menempatkan pelaku untuk memberikan

pelayanan kepada masyarakat dalam jangka waktu tertentu (tidak melebihi 300

228

jam) sesuai kesepakatan antara pelaku dengan korban. Hal ini sebagaimana yang

diatur dalam Section 12 (1) Young Offenders Act 1993, yang berbunyi:

A family conference has the following powers:

(a) The conference may administer a formal caution against further offence;

(b) The conference may require the youth to enter into a undertaking to pay

compensation to the victim of the offence;

(c) The conference may require the youth to enter into an undertaking to

carry out a specified period (not exceeding 300 hours) of community

service;

(d) The conference may require the youth to enter into an undertaking to

apologise to the victim of the offence or to do anything else that may be

appropriate in the circumstances of the case.

(Terjemahan bebas: Sebuah konferensi keluarga memiliki kekuasaan sebagai

berikut:

(a) Konferensi dapat memberikan peringatan formal terhadap pelanggaran

selanjutnya;

(b) Konferensi dapat memutuskan anak yang terbukti melakukan pelanggaran

untuk membayar kompensasi kepada korban pelanggaran;

(c) Konferensi dapat memutuskan anak untuk memberikan pelayanan kepada

masyarakat dalam jangka waktu tertentu (tidak melebihi 300 jam);

(d) Konferensi dapat memutuskan anak untuk meminta maaf kepada korban

pelanggaran atau melakukan hal yang lain sesuai dengan keadaan kasus

ini.

Permintaan maaf kepada korban dalam family conferences ini juga harus

dilakukan dihadapan orang yang telah ditunjuk oleh para pihak dalam family

conferences. Hal ini sebagaimana diatur dalam Section 12 (7) Young offenders Act

1993, yang berbunyi:

“If a youth enters into an undertaking under this section to apologise to the

victim of the offence, the apology must be made in the presence of an adult

person approved by the family conference or a Youth Co-ordinator”.

(Terjemahan bebas: Jika anak masuk dalam bagian ini, maka permintaan

maaf kepada korban pelanggaran harus dilakukan di hadapan orang yang

ditunjuk oleh para pihak dalam konferensi keluarga).

Apabila dalam proses police caution dan proses family conferences tidak

berhasil, maka perkara anak tersebut diteruskan pada proses peradilan anak

melalui Youth Court (Pengadilan Anak). Hal ini dilakukan apabila perkara anak

229

tersebut memang harus ditangani oleh pengadilan dan menurut pendapat polisi

tidak memenuhi syarat untuk ditangani oleh petugas atau konferensi keluarga

karena anak mengulangi melakukan pelanggaran atau keadaan lain yang

menjengkelkan. Sebagaimana dinyatakan dalam Section 7.4 Young Offender Act

1993, bahwa:

A charge may only be laid :

(a) if the youth requires the matter to be dealt with by the Court; or

(b) if, in the opinion of the police officer, the matter cannot be adequately

dealt with by the officer or a family conference because of the youth's

repeated offending or some other circumstance of aggravation.

(Terjemahan bebas: Sejumlah biaya hanya dapat dibayarkan:

(a) jika anak memerlukan hal yang harus ditangani oleh Pengadilan; atau

(b) jika, menurut pendapat polisi, hal tersebut tidak dapat memenuhi syarat

ditangani oleh petugas atau konferensi keluarga karena pemuda tersebut

mengulangi pelanggaran atau keadaan lain yang menjengkelkan.

Pelaksanaan Diversi di luar Sistem Peradilan Pidana Anak di Negara

South Australia di atas dapat disajikan pada tabel 29 berikut ini:

Tabel 29

Pelaksanaan Diversi di Luar Sistem Peradilan Pidana Anak

di Negara South Australia

Nama Negara

Peraturan Perundang-undangan

Ketentuan Diversi

Jenis Pelanggaran/

Tindak Pidana Tujuan Diversi

Lembaga/ Pejabat yang Menangani Pelaksanaan

Diversi South Austra-lia

Young Offenders Act 1993

- Section 6.1: ...tidak

memproses anak lebih lanjut....

- Section 8.1: ...pelanggaran

ringan....

- Section 3.1 : ...melindungi anak yang berkonflik dengan hukum, melakukan perawatan, koreksi... bimbingan.... untuk perkembang-an mereka... potensi mereka terealisasikan dengan tepat.

- Section 6 : Polisi

Sumber : Bahan Hukum Primer, diolah.

230

Berdasarkan tabel 29 di atas dapat dijelaskan bahwa :

1. ketentuan diversi, diatur dalam Section 6.1 Young Offenders Act 1993, yaitu

...tidak memproses anak lebih lanjut;

2. jenis pelanggaran/tindak pidana yang dapat ditangani dengan diversi adalah

pelanggaran ringan (Section 8.1);

3. tujuan pelaksanaan diversi adalah perlindungan masyarakat, pencegahan

kejahatan atau demi menghormati hukum dan hak-hak korban;

4. lembaga/pejabat yang menangani pelaksanaan diversi yaitu polisi.

4.2.2. Negara Bagian Western Australia

Pelaksanaan diversi di negara Western Australia diatur dalam Young

Offenders Act 1994, ketentuan yang menyatakan bahwa terhadap anak yang

berkonflik dengan hukum dapat diselesaikan melalui diversi tercantum dalam

Section 7 huruf g Young Offenders Act 1994, yang berbunyi :

Consideration should be given, when dealing with a young person for an

offence, to the possibility of taking measures other than judicial

proceedings for the offence if the circumstances of the case and the

background of the alleged offender make it appropriate to dispose of the

matter in that way and it would not jeopardise the protection of the

community to do so. (Terjemahan bebas: Pertimbangan harus diberikan,

ketika berhadapan dengan anak yang melakukan pelanggaran, untuk

kemungkinan mengambil langkah-langkah lain selain proses pengadilan,

jika kasus tersebut merupakan pelanggaran dengan mempelajari latar

belakang pelanggar lebih tepat untuk menghentikan masalah ini dan tidak

akan membahayakan perlindungan masyarakat).

Ketentuan Section 7 huruf g Young Offenders Act 1994 di atas

menjelaskan bahwa harus ada pertimbangan yang diberikan ketika menangani

anak yang berkonflik dengan hukum, dengan kemungkinan mengambil langkah-

langkah yang lain selain proses pengadilan jika kasus tersebut berupa pelanggaran

231

dengan mempelajari latar belakang anak, bila memungkinkan maka lebih tepat

untuk menghentikan masalah itu asalkan tidak membahayakan perlindungan

masyarakat.

Menurut Schedules 1 dan 2 yang tercantum dalam Section 22 (3)Young

Offenders Act 1994, memberikan syarat bahwa tindak pidana yang tidak dapat

diselesaikan melalui diversi adalah tindak pidana kekerasan serius seperti

pembunuhan, kekerasan seksual, kecelakaan yang menyebabkan kematian.310

Pelaksanaan diversi oleh kepolisian dalam Young Offenders Act 1994, diatur

dalam Part 2 Division 1 dengan judul Cautioning, yaitu :

a. Section 22A : Purpose of this Division

The purpose of this Division is to set up a way of diverting a child who

commits an offence from the courts’ criminal justice system by allowing

a police to administer a caution to the young person instead of starting

a proceeding for the offence. (Terjemahan bebas: Tujuan divisi ini

adalah untuk mengatur cara mengalihkan anak yang melakukan

pelanggaran dari sistem peradilan pidana yang memungkinkan polisi

untuk memberikan peringatan kepada anak, bukan untuk memproses

pelanggaran).

Ketentuan di atas menjelaskan tentang tujuan dari diversi adalah

memberikan kewenangan kepada polisi untuk mengatur cara mengalihkan seorang

anak yang berkonflik dengan hukum dari sistem peradilan pidana ke luar sistem

peradilan pidana, yang salah satunya melalui peringatan (caution) kepada anak

yang berkonflik dengan hukum dan tidak memproses pelanggaran.

b. Section 22B : Police officer to consider alternatives to court proceedings

A police officer, before starting a proceeding againts a young person for an

offence, must first consider whether in all the circumstances it would be more

appropriate :

310Ibid., hlm. 214.

232

a. to take no action; or

b. administer a caution to the young person.

(Terjemahan bebas: Seorang polisi, sebelum memulai proses anak yang

melakukan pelanggaran, terlebih dahulu harus mempertimbangkan apakah

dalam semua keadaan akan lebih tepat :

a. untuk tidak melakukan tindakan; atau

b. memberikan peringatan kepada anak.

Ketentuan di atas menjelaskan bahwa polisi sebelum memulai proses anak

yang berkonflik dengan hukum, terlebih dahulu harus mempertimbangkan

langkah apa yang lebih tepat untuk dilakukan, apakah akan melakukan tindakan

atau memberikan peringatan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum.

c. Section 22: Cautions may be given except for Schedule 1 or 2 offences:

(1) Where circumstances arise in which a member of the police force

could charge a young person with the commission of an offence, the

member of the police force may, having regard to the circumstances,

caution the person instead of laying a charge;

(2) The caution may be given orally or in writing;

(3) Subsection (1) does not allow a member of the police force to caution

a person instead of laying a charge if the offence is a schedule 1

offence or a schedule 2 offence;

(4) If a caution is given any admission made by the person cautioned at or

about the time the caution is given is not admissible in civil or other

proceedings as evidence of any matter to which the caution refers.

(Terjemahan bebas: Peringatan dapat diberikan kecuali untuk pelanggaran

yang terdapat dalam Schedule 1 dan 2:

(1) Dalam keadaan tertentu maka anggota kepolisian dapat menetapkan

komisi (ganti rugi) terhadap anak yang melakukan pelanggaran, setelah

mempertimbangkan keadaan tertentu, peringatan tidak dapat diganti

dengan ganti rugi;

(2) Peringatan dapat diberikan secara lisan atau tertulis;

(3) Ayat (1) tidak memungkinkan bagi anggota kepolisian memberikan

peringatan kepada orang untuk membayar ganti rugi sebagai pengganti

pelanggaran sebagaimana diatur dalam Schedule 1 dan 2;

(4) Bila peringatan diberikan disertai pengakuan yang dibuat anak dan pada

waktu peringatan diberikan tidak dilakukan proses atau lainnya maka

sebagai bukti mengacu pada peringatan itu.

233

Ketentuan di atas menjelaskan bahwa polisi tidak boleh memberikan

peringatan untuk jenis pelanggaran yang terdapat dalam Schedules 1 dan 2 Young

Offenders Act 1994. Jenis peringatan yang diberikan kepada anak yang pertama

kali melakukan pelanggaran adalah peringatan secara lisan atau tertulis.

Peringatan tersebut didokumentasikan sebagai bukti jika anak yang bersangkutan

melakukan pelanggaran lagi, maka penyelesaiannya tidak dapat dilakukan melalui

peringatan.

d. Section 23A: Caution Certificate to be Given

(1) If a caution is administered to a young person for an offence, the

police officer who administered the caution must give the young

person a certificate in a form approved by the Commissioner

(2) The certificate must state :

a. that a caution was administered to the young person; and

b. the young person’s name; and

c. the substance of the offence; and

d. the police officer’s name and rank; and

e. the place where the caution was issued; and

f. the names of all persons present when the caution was issued; and

g. the nature and effect of a caution; and

h. a description of any thing seized by the police officer in relation to

the offence.

(Terjemahan bebas: Diberikan Sertifikat Peringatan:

(1) Jika peringatan untuk anak yang melakukan pelanggaran

didokumentasikan, maka petugas polisi yang mendokumentasikan

peringatan memberikan sertifikat kepada anak dalam bentuk yang

disetujui oleh Komisaris.

(2) Sertifikat harus menyatakan:

a. peringatan didokumentasikan untuk anak;

b. nama anak;

c. substansi pelanggaran;

d. nama petugas polisi dan kepangkatan; dan

e. tempat dimana peringatan itu diberikan; dan

f. nama-nama orang yang hadir ketika peringatan diberikan; dan

g. sifat dan akibat dari peringatan; dan

h. uraian dari sesuatu hal yang disita oleh petugas polisi yang berkaitan

dengan pelanggaran).

234

Ketentuan di atas menjelaskan tentang bentuk surat peringatan yang

dikeluarkan oleh polisi. Polisi memberikan surat peringatan kepada anak yang

berkonflik dengan hukum dalam bentuk sertifikat dengan persetujuan Komisaris.

Dalam surat peringatan yang berbentuk sertifikat tersebut harus menyatakan :

a. peringatan didokumentasikan untuk anak;

b. nama anak;

c. substansi pelanggaran;

d. nama petugas polisi dan kepangkatan;

e. tempat dimana peringatan itu diberikan;

f. nama-nama orang yang hadir ketika peringatan diberikan;

g. sifat dan akibat dari peringatan; dan

h. uraian dari sesuatu hal yang disita oleh petugas polisi yang berkaitan dengan

pelanggaran.

Section 26 Young Offenders Act 1994, menyatakan bahwa:

Release of young person under arrest :

(1) If a young person has been arrested for an offence and the matter is

referred for consideration by a juvenile justice team, the young person

is to be released as soon as is practicable.

(2) A young person who has been arrested for an offence is not to be held

in custody by reason only of the need to decide whether or not to refer

the matter for consideration by a juvenile justice team but the powers

in regard to admission to bail may be exercised from time to time until

the decision is made.

(Terjemahan bebas: Pelepasan anak di bawah tahanan

(1) Jika anak telah ditangkap karena pelanggaran dan perkaranya dirujuk

untuk dipertimbangkan oleh tim peradilan anak, proses perkara anak

mungkin akan segera dapat dilaksanakan.

(2) Seorang anak yang telah ditangkap karena pelanggaran tidak akan

ditahan hanya dengan alasan demi kepentingan untuk memutuskan

apakah merujuk hal tersebut atau tidak untuk dipertimbangkan oleh tim

peradilan anak tetapi adanya kekuatan untuk menyelamatkan mungkin

dilakukan dari waktu ke waktu sampai keputusan dibuat.

235

Pelaksanaan diversi terhadap anak yang berkonflik dengan hukum

diberlakukan untuk anak yang baru pertama kali melakukan tindak pidana. Hal ini

sebagaimana dinyatakan dalam Section 29 Young Offenders Act 1994 :

First offenders usually should be referred to a team :

(1) The discretion given by Section 27 or 28 is to be exercised in favour of

referring the matter to a juvenile justice team if the young person has

not previously offended against the law.

(2) A young person is not to be taken to have previously offended against

the law merely because he or she :

(a) has been cautioned under Section 22;

(b) has accepted responsibility for the act or omission constituting the

offence under Section 25(4); or

(c) has agreed to comply or has complied with the terms specified by a

juvenile justice team for disposing of a matter under Section 32.

(Terjemahan bebas: Pelanggar pertama biasanya harus dirujuk ke tim:

(1) Diskresi diberikan oleh Bagian 27 atau 28 akan dilaksanakan dengan

cara merujuk hal tersebut kepada tim peradilan anak jika

anak sebelumnya belum pernah melakukan pelanggaran/perbuatan

melawan hukum.

(2) Seorang anak tidak harus diputus telah melakukan

pelanggaran/perbuatan melawan hukum hanya karena sebelumnya dia:

(a) telah diperingatkan menurut Bagian 22;

(b) telah menerima tanggung jawab atas tindakan atau kelalaian

yang merupakan pelanggaran menurut Pasal 25 (4); atau

(c) telah setuju untuk mematuhi atau telah memenuhi persyaratan

yang ditentukan oleh tim peradilan anak untuk mengalihkan

sebuah masalah di bawah Bagian 32.

Dengan demikian, berdasar ketentuan Section 29 Young Offenders Act

1994 diatas, maka perkara anak yang berkonflik dengan hukum dapat dialihkan

ke luar sistem peradilan anak bila sebelumnya anak belum pernah melakukan

pelanggaran, menurut Bagian 22 dan bila anak setuju perkaranya dialihkan.

Pelaksanaan diversi di luar sistem peradilan anak di Negara Western

Australia di atas dapat disajikan pada tabel 30 berikut ini :

236

Tabel 30

Pelaksanaan Diversi di Luar Sistem Peradilan Pidana Anak

di Negara Western Australia

Nama

Negara

Peraturan

Perundang-

undangan/

Dasar

Hukum

Ketentuan

Diversi

Jenis

Pelanggaran/

Tindak Pidana

Tujuan Diversi

Lembaga/

Pejabat yang

Menangani

Pelaksanaan

Diversi

Western

Australia

Young

Offenders

Act 1994,

Section 7.g,

22.A.

Section 7.g :

...mengambil

langkah-

langkah lain

selain proses

pengadilan....

Section 7.g :

Pelanggaran

ringan

Section 22.A :

- Mengatur cara

mengalihkan

anak yang

melakukan

pelanggaran dari

sistem peradilan

pidana dan

bukan untuk

memulai proses

pelanggaran....

Section 22.A :

Polisi

Sumber : Bahan Hukum Primer, diolah.

Berdasarkan tabel 30 di atas dapat dijelaskan bahwa :

1. ketentuan diversi, diatur dalam Section 7.g : mengambil langkah-langkah lain

selain proses pengadilan;

2. jenis pelanggaran/tindak pidana yang dapat ditangani dengan diversi adalah

pelanggaran ringan;

3. tujuan pelaksanaan diversi adalah mengatur cara mengalihkan anak yang

melakukan pelanggaran dari sistem peradilan pidana dan bukan memulai

proses untuk pelanggaran;

4. lembaga/pejabat yang menangani pelaksanaan diversi yaitu polisi.

237

4.2.3. Negara Bagian Queensland, Australia

Diversi di Queensland diatur dalam Queensland Juvenile Justice Act 1992,

namun secara khusus program diversi diatur dalam aturan yang dibuat oleh

lembaga kepolisian di Queensland. Salah satu bentuk pelaksanaan diversi oleh

kepolisian di Queensland adalah melalui Police Caution yang didasarkan pada

diskresi dalam common law system. Diskresi memberikan suatu kebebasan bagi

polisi untuk menentukan apakah terhadap seseorang yang melakukan suatu tindak

pidana akan diproses menurut hukum yang berlaku atau tidak.311

Tujuan dari caution diatur dalam Section 14 Juvenile Justice Act 1992,

yaitu :

The purpose of this division is to set up way of diverting a child who

commits an offence from the courts’ criminal justice system by allowing a

police officer to administer a caution to the child instead of bringing the

child before a court for the offence. (Terjemahan bebas: Tujuan divisi ini

adalah untuk mengatur cara mengalihkan anak yang melakukan

pelanggaran dari sistem peradilan pidana dengan menghimbau petugas

polisi untuk memberikan peringatan kepada anak dan tidak meneruskan

pelanggaran anak ke pengadilan).

Tujuan dari caution adalah untuk mengalihkan penyelesaian anak yang

berkonflik dengan hukum dari proses pengadilan. Sistem peradilan ini

memungkinkan polisi untuk memberikan peringatan sehingga anak yang

berkonflik dengan hukum tidak perlu dilanjutkan ke pengadilan.

Mekanisme caution sebagaimana diatur dalam Section 18 Juvenile Justice

Act 1992, sebagai berikut :

311Nurini Aprilianda, Op.cit., hlm. 219-220.

238

Section 18 Juvenile Justice Act 1992 :

(1) A police officer who administers, or requests the administration of, a

caution to a child must take steps to ensure that the child and the

person present under section 16 (2) understand the purpose, nature

and effect of the caution;

(2) The steps that can be taken include, for example :

(a) personally explaining these matters to the child; and

(b) having some person with training or experience in the cautioning;

(c) having an interpreter or other person able to communicate

effectively with the child give the explanation; and

(d) supplying an explanatory note in English or another language.

(Terjemahan bebas :

(1) Seorang polisi yang mengurus atau yang mengawasi peringatan

untuk anak harus mengambil langkah-langkah untuk memastikan

bahwa anak dan orang yang hadir menurut Pasal 16 ayat (2)

memahami tujuan, sifat dan efek dari peringatan tersebut;

(2) Langkah-langkah yang dapat diambil termasuk, misalnya :

(a) secara pribadi menjelaskan hal ini kepada anak; dan

(b) memiliki petugas yang terlatih atau berpengalaman dalam

memberikan penjelasan tentang peringatan kepada anak; dan

(c) memiliki seorang penerjemah atau orang lain yang dapat

berkomunikasi secara efektif memberikan penjelasan kepada

anak; dan

(d) menyediakan sebuah penjelasan dalam bahasa Inggris atau

bahasa lain).

Berdasarkan ketentuan di atas, maka prosedur caution yang dilakukan oleh

polisi diiringi dengan penjelasan tentang tujuan, jenis dan dampak dari pemberian

caution. Langkah-langkah yang dapat diambil dapat berupa menjelaskan kepada

anak tentang masalah yang dihadapinya, memberikan pelatihan, dan menyediakan

penerjemah. Caution dapat berupa permohonan maaf dari pelaku kepada korban.

Police caution dapat diberikan kepada anak dengan syarat-syarat

sebagaimana disebutkan dalam Section 16, yaitu :

(1) A police officer may administer a caution to a child for an offence only

if the child:

a. admits committing the offence to the police officer; and

b. consents to being cautioned

239

(2) A police officer who administers a caution, or who requests the

administration of a caution under section 17, must, if practicable,

arrange to be present at the administration of the caution :

(a) an adult chosen by the child; or

(b) a parent of the child or a person chosen by a parent of the child;

(3) The commissioner of the police service may authorise a police officer

who the commissioner considers has sufficient training or experience

(authorized officer) to administer cautions;

(4) If a police officer administering a caution is not an authorised officer,

the caution must be administered in the presence of an authorised

officer.

(Terjemahan bebas:

(1) Seorang petugas polisi dapat memberikan peringatan kepada anak yang

melakukan pelanggaran, hanya jika anak :

(a) mengakui melakukan tindak pidana ke polisi; dan

(b) setuju dengan peringatan.

(2) Seorang polisi yang mendokumentasikan peringatan atau yang

merekomendasi dokumen peringatan berdasarkan Pasal 17, jika

memungkinkan menghadirkan :

(a) orang dewasa yang dipilih oleh anak; atau

(b) orang tua dari anak atau orang yang dipilih oleh orang tua dari anak;

(3) Komisaris kepolisian dapat mengizinkan seorang perwira polisi yang

komisaris menganggap memiliki pelatihan yang cukup atau pengalaman

(pejabat yang berwenang) untuk mengurus peringatan;

(4) Jika seorang polisi pengawas peringatan bukanlah pejabat yang

berwenang, peringatan harus diberikan di hadapan pejabat yang

berwenang).

Menurut ketentuan di atas, polisi dapat memberikan peringatan kepada

anak yang berkonfik dengan hukum jika anak telah mengakui perbuatannya dan

menyetujui peringatan tersebut. Selain itu, diatur juga tentang pejabat yang

melakukan pengawasan atas peringatan yang diberikan kepada anak. Pengawas

tersebut dapat berasal dari kepolisian atau dapat juga di luar kepolisian seperti

orang tua anak atau orang dewasa yang dipilih oleh anak atau yang dipilih oleh

orang tua anak.

Caution pada keadaan normal hanya diberikan pada anak yang baru

pertama kali melakukan tindak pidana. Caution merupakan tindakan formal yang

240

diambil oleh polisi yang telah terlatih. Proses tersebut meliputi diskusi antara

polisi dengan lembaga pemerhati anak dan secara terpisah juga dilakukan

pemanggilan terhadap anak dan orang tua anak. Hal ini penting sekali dilakukan

untuk menggali informasi tentang perilaku anak. Anak yang telah diberi

peringatan dicatat dalam sistem informasi kepolisian. Bila anak melakukan tindak

pidana lagi, catatan tersebut menjadi dasar bagi polisi untuk menentukan sikap

selanjutnya.312

Selain formal caution di Queensland dikenal juga informal caution.

Informal caution ini diberikan kepada anak yang melakukan perilaku

menyimpang di jalanan dan pelanggaran lalu lintas yang ringan. Informal caution

tidak dicatat dalam sistem informasi kepolisian dan orang tua tidak dilibatkan

dalam penyelesaian masalah ini.313

Bila police caution tidak berhasil dilaksanakan, maka perkara anak akan

ditangani oleh Youth justice conferences, sebagaimana diatur dalam Section 30

Juvenile Justice Act 1992 berikut ini :

Object of part and explanation :

(1) The object of this part is to establish a youth justice conference process

for a child who admits committing an offence to a police officer or after

a finding of guilt for an offence is made against the child before a court.

(2) The process allows the child, a victim of the offence and other concerned

persons to consider or deal with the offence in a way benefiting all

concerned.

(3) The process includes the following basic steps :

(a) a police officer or court refers the offence to a youth justice

conference;

(b) a convenor convenes the conference between the child and other

concerned persons;

312Ibid., hlm. 221

313Ibid.

241

(c) at the conference the offence is discussed and an agreement made

on what must be done because of the offence....

(Terjemahan bebas: Obyek bagian dan penjelasan :

(1) Objek bagian ini adalah untuk membangun keadilan anak.

Proses konferensi untuk anak yang mengakui melakukan suatu

pelanggaran kepada polisi atau setelah mengakui kesalahan atas

pelanggaran yang dilakukan terhadap anak sebelum proses di

pengadilan.

(2) Proses ini memungkinkan anak, korban dari pelanggaran dan orang

lain yang bersangkutan untuk mempertimbangkan atau berurusan

dengan pelanggaran dengan menggunakan cara yang

menguntungkan semua pihak.

(3) Proses ini meliputi langkah seperti berikut :

(a) seorang polisi atau pengadilan menangani pelanggaran yang

dilakukan anak melalui konferensi keadilan;

(b) convenor melaksanakan sidang dalam konferensi antara anak

dan orang-orang terkait lainnya;

(c) pelanggaran dibahas di konferensi dan perjanjian dibuat berdasar

atas apa yang harus dilakukan sehubungan dengan

pelanggaran....

Pelaksanaan diversi di luar sistem peradilan pidana anak di negara

Queensland, Australia di atas dapat disajikan pada tabel 31 berikut ini :

Tabel 31

Pelaksanaan Diversi di Luar Sistem Peradilan Pidana Anak

di Negara Queensland, Australia

Nama

Negara

Peraturan

Perundang-

undangan/

Dasar

Hukum

Ketentuan

Diversi

Jenis

Pelanggaran/

Tindak

Pidana

Tujuan

Diversi

Lembaga/

Pejabat yang

Menangani

Pelaksanaan

Diversi

Queensland,

Australia

Juvenile

Justice Act

1992,

Section 14,

16, 30.

Section 14 :

...mengalihkan

anak yang

melakukan

pelanggaran

dari sistem

peradilan

pidana....

Section 16 :

pelanggar-

an ringan

Section 30 :

...memba-

ngun

keadilan

anak....

Section 14 :

...polisi....

Sumber : Bahan Hukum Primer, diolah.

242

Berdasarkan tabel 31 di atas dapat dijelaskan bahwa :

1. ketentuan diversi, diatur dalam Section 14 : mengalihkan anak yang melakukan

pelanggaran dari sistem peradilan pidana;

2. jenis pelanggaran/tindak pidana yang dapat ditangani dengan diversi adalah

pelanggaran ringan;

3. tujuan pelaksanaan diversi adalah untuk membangun keadilan anak;

4. lembaga/pejabat yang menangani pelaksanaan diversi yaitu polisi.

4.2.4. Negara Bagian Tasmania, Australia

Penanganan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum diatur dalam

Youth Justice Act 1997 yang mengizinkan polisi melakukan diskresi langsung

terhadap pelaku anak dengan memberikan peringatan informal (nasehat),

peringatan formal (tertulis), peringatan melalui pertemuan, pertemuan dengan

anggota masyarakat conferencing melalui proses diversi atau diteruskan ke

pengadilan.314

Peringatan informal (nasehat) diatur dalam Section 8 Youth Justice Act

1997 yang berbunyi :

(1) If a youth admits the commission of an offence and a police officer is

of the opinion that the matter does not warrant any formal action

under this act, the officer may informally caution the youth againts

further offending and proceed no further againts the youth;

(2) If a youth is informally cautioned under this section, no further

proceedings may be taken againts the youth for the offence in relation

to which the youth was cautioned.

(Terjemahan bebas:

(1) Jika anak mengakui terjadinya pelanggaran dan petugas polisi

berpendapat bahwa masalah ini tidak menimbulkan reaksi formal di

bawah undang-undang ini, maka petugas boleh memberikan

314

Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia: Pengembangan Konsep Diversi

dan Restorative Justice, hlm. 164-165.

243

peringatan informal kepada anak yang melakukan pelanggaran dan

tidak memproses anak lebih lanjut;

(2) Jika anak diperingatkan secara informal di bawah undang-undang ini,

pelanggaran anak tidak diproses lebih lanjut dalam hubungannya

dengan hal ini yang mana anak telah diperingatkan).

Peringatan lisan diberikan jika anak mengakui pelanggaran yang

dilakukannya dan polisi tidak memproses perkara anak lebih lanjut tapi

menghentikannya.

Selanjutnya, peringatan formal (tertulis) diatur dalam Section 10 Youth Justice Act

1997 berikut ini :

(1) A formal caution againts further offending is to be administered to the

youth by an authorised police officer;

(2) If an authorised police officer administers a formal caution againts

further offending, the officer may also require the youth to enter into

one or more of the following undertakings :

(a) an undertaking to pay compensation, in the manner specified in the

undertaking, for :

(i) loss of or damage to offence-affected property; and

(ii) injury suffered, expenses incurred or other loss suffered by

the victim of the offence; and

(iii) injury suffered, expenses incurred or other lost suffered by

any other person by reason of the offence;

(b) an undertaking to make restitution of offence-affected property;

(c) an undertaking to perform a specified period (not exceeding 35

hours) of community service which is for the benefit of the victim of

the offence;

(d) an undertaking to apologise to the victim of the offence;

(e) an undertaking to do anything else that may be appropriate in the

circumstances of the case;

(3) If a formal caution is to be administered in respect of an offence, the

authorised police officer must explain to the youth :

(a) the nature of the caution; and

(b) that the administering of the caution may be treated as evidence of

commision of the offence by a police officer, community conference

or court if the youth has to be dealt with for a subsequent offence.

(Terjemahan bebas :

(1) Peringatan resmi diberikan oleh polisi untuk pelanggaran lebih lanjut;

(2) Jika seorang polisi yang berwenang memberi peringatan resmi

terhadap pelanggaran lebih lanjut, petugas dapat memasukkan anak ke

dalam satu atau lebih dari usaha berikut:

244

(a) Suatu usaha untuk membayar ganti rugi, dengan cara yang

ditentukan secara khusus, untuk :

(i) kehilangan atau kerusakan atas tindak pidana terhadap harta

benda; dan

(ii) luka yang diderita, biaya yang dikeluarkan atau kerugian lain

yang diderita oleh korban pelanggaran; dan

(iii) luka yang diderita, biaya yang dikeluarkan atau kerugian lain

yang diderita oleh orang lain dengan alasan akibat

pelanggaran;

(b) suatu usaha untuk membuat perbaikan terhadap harta benda akibat

pelanggaran;

(c) suatu usaha untuk melakukan pelayanan masyarakat dalam jangka

waktu tertentu (tidak lebih dari 35 jam) untuk kepentingan korban

pelanggaran;

(d) suatu usaha untuk meminta maaf kepada korban pelanggaran;

(e) suatu usaha untuk melakukan hal lain yang mungkin sesuai dengan

keadaan kasus ini;

(3) Jika peringatan formal diberikan terkait dengan pelanggaran, polisi

yang berwenang harus menjelaskan kepada anak :

(a) sifat peringatan tersebut; dan

(b) bahwa pemberian peringatan tersebut dapat diberlakukan sebagai

bukti pelanggaran oleh seorang polisi, konferensi masyarakat atau

pengadilan jika anak harus ditangani untuk tindak pidana

berikutnya).

Pemberian peringatan tertulis di atas dapat diberikan kepada anak yang

melakukan pelanggaran lebih lanjut dalam bentuk ganti rugi, restitusi, pelayanan

masyarakat, permintaan maaf dan bentuk lainnya yang disesuaikan dengan kasus

yang terjadi. Dalam pemberian peringatan tersebut, polisi menjelaskan sifat

peringatan dan kedudukan peringatan yang dapat dijadikan bukti oleh polisi,

musyawarah keluarga, dan pengadilan jika anak mengulangi tindak pidana lagi.

Polisi juga dapat menyerahkan anak kepada penanganan secara formal jika

mereka yakin bahwa permasalahan yang terjadi cukup serius, seperti :

pembunuhan, percobaan pembunuhan, pelanggaran konsumsi alkohol dan

keselamatan di jalan raya maka pengadilan yang mengadili. Selain itu, untuk

pelanggaran diputuskan dengan diskresi oleh polisi. Biasanya peringatan formal

245

diberikan oleh anggota polisi yang dipercaya menangani anak. Peringatan

diberikan dengan menghadirkan orang tua anak di kantor polisi atau polisi

langsung datang ke rumah anak tersebut. Selanjutnya, dipertimbangkan secara

restorative justice apakah lebih berat kerusakan dan kerugian dibanding sisi

pelanggaran hukumnya. Peringatan yang terperinci terhadap pelaku anak dicatat

dalam catatan pelaku (sebagai arsip) yang mana catatan ini akan dilakukan

penghapusan setelah 5 (lima) tahun.315

Di negara bagian Tasmania, polisi Tasmania berkomitmen untuk objek dan

tujuan dari Youth Justice Act 1997 dan sadar akan pentingnya peran polisi sebagai

gatekeeper. Hal ini sebagaimana diungkapkan berikut :

A police officer may refer a young person to court if offence is denied, the

young person chooses court or where the matter is prescribed in the Act

or is of a serious nature. A court may decide to refer the young person to a

community conference in some circumstances.

The importance of Tasmania Police’s role as gatekeeper is recognised by

the Commissioner of Police who has directed that each district appoint a

Youth Justice.

Coordinator to review all decisions made by police officers with regard to

the tier of justice selected. The circumstances of each particular case will

always govern that review process but the policy is to divert young people

from court. A recent example that is not dissimilar from that spoken about

in Dr Graycar’s keynote address involved a youth who had stabbed

another youth six times puncturing a lung. The incident had occurred after

both had gotten off a school bus.

The offence was admitted and the investigating officers submitted a court

file as the matter fell within the serious category although wounding is not

an offence prescribed in the Act that a youth must go to court for.

The review noted, first offender, supportive family, severe lacerations to

offenders own hand caused by folding blade and suggestive of offender

losing control, a history of bullying by victim towards the offender who felt

inadequate and unable to physically defend himself. The review considered

probable court outcomes and a decision was made to refer the matter to a

community conference.

315Ibid., hlm. 165.

246

Tasmania Police are committed to the objects and aims of the Youth

Justice Act 1997 and are aware of the importance of our role as

gatekeeper.316

(Terjemahan bebas: Seorang polisi dapat merujuk anak ke pengadilan jika

peringatan ditolak, dan anak memilih penanganan lewat pengadilan atau

dimana masalah ini diatur dalam undang-undang atau yang bersifat serius.

Pengadilan dapat memutuskan untuk merujuk anak pada sebuah konferensi

masyarakat dalam beberapa keadaan. Pentingnya peran Kepolisian

Tasmania sebagai gatekeeper diakui oleh Komisaris Polisi yang telah

mengarahkan bahwa setiap kabupaten menunjuk Koordinator Keadilan

Anak untuk meninjau semua keputusan yang dibuat oleh polisi

sehubungan dengan tingkat keadilan yang dipilih. Keadaan setiap kasus

tertentu akan selalu mengatur bahwa proses peninjauan kebijakan ini

adalah untuk mengalihkan anak-anak dari pengadilan. Contoh terbaru yang

tidak berbeda dari yang dibicarakan dalam pidato Dr Graycar yang

melibatkan pemuda yang telah menikam pemuda lain dengan enam kali

menusuk paru-parunya. Insiden itu terjadi setelah keduanya sudah keluar

dari bus sekolah. Kejahatan tersebut diproses dan petugas menyelidiki

serta mengajukan berkas ke pengadilan dan perkara termasuk dalam

kategori serius meskipun melukai bukan merupakan pelanggaran seperti

yang ditentukan dalam UU bahwa anak harus ditangani oleh pengadilan.

Tinjauan tersebut mencatat, pelaku pertama, keluarga mendukung, luka

parah pada tangan pelaku sendiri yang disebabkan oleh pisau dan sugestif

pelaku kehilangan kontrol, sejarah kekerasan oleh korban terhadap pelaku

yang merasa tidak mampu secara fisik berkali-kali membela diri.

Kemungkinan hasil review pengadilan menganggap keputusan dibuat

untuk merujuk hal tersebut kepada sebuah konferensi masyarakat. Polisi

Tasmania berkomitmen untuk objek dan tujuan dari Youth Justice Act

1997 dan sadar akan pentingnya peran kami sebagai gatekeeper).

Contoh kasus sebagaimana dikemukakan dalam pidato Dr Graycar di atas

menunjukkan betapa pentingnya peran polisi sebagai gatekeeper di negara bagian

Tasmania. Tindak pidana yang dilakukan anak diproses karena perkara termasuk

316This paper was presented at the conference: Children, Young People and Their

Communities: The Future is in our Hands, held 27-28 March 2001 at Launceston

Tramsheds Complex, Launceston, Tasmania. This paper was downloaded from:

http://www.aic.gov.au/conferences/cypc/ This document, prepared by the Legislative

Counsel Office, is an office consolidation of this Act, current to May 30, 2012. It is

intended forinformation and reference purposes only.

This document is not the official version of the Act. The Act and the amendments as

printed under the authority of theQueen’s Printer for the province should be consulted to

determine the uthoritative statement of the law.

247

dalam kategori serius meskipun melukai bukan merupakan pelanggaran seperti

yang ditentukan dalam UU bahwa anak harus ditangani pengadilan. Polisi

mengajukan berkas ke pengadilan. Pelaku dan keluarga juga mendukung,

meskipun pelaku mengalami luka parah pada tangannya sendiri yang disebabkan

oleh pisau dan sugestif pelaku yang kehilangan kontrol, juga oleh korban yang

merasa tidak mampu secara fisik membela diri. Hasil review pengadilan

memutuskan untuk merujuk hal tersebut pada konferensi masyarakat. Dalam

kasus ini menunjukkan bahwa Polisi Tasmania berkomitmen untuk objek dan

tujuan Youth Justice Act dan peran polisi sebagai gatekeeper sehingga anak yang

berkonflik dengan hukum terhindar dari efek negatif proses formal sistem

peradilan pidana.

Pelaksanaan diversi di luar sistem peradilan pidana anak di negara

Tasmania, Australia di atas dapat disajikan pada tabel 32 berikut ini:

248

Tabel 32

Pelaksanaan Diversi di Luar Sistem Peradilan Pidana Anak

di Negara Tasmania, Australia

Nama

Negara

Peraturan

Perundang-

undangan/

Dasar

Hukum

Ketentuan

Diversi

Jenis

Pelanggaran/

Tindak

Pidana

Tujuan

Diversi

Lembaga/

Pejabat yang

Menangani

Pelaksanaan

Diversi

Tasmania

Youth

Justice Act

1997,

Section 8,

dan 10

Section 8 :

...memberikan

peringatan

kepada anak

yang

melakukan

pelanggaran

...tidak

memproses

anak lebih

lanjut....

Section 8 :

pelanggaran

ringan

Menghindari

labeling yang

disebabkan

oleh efek-

efek negatif

sistem

peradilan

pidana anak

Section 8 :

Polisi

Sumber : Bahan Hukum Primer, diolah.

Berdasarkan tabel 32 di atas dapat dijelaskan bahwa :

1. ketentuan diversi, diatur dalam Section 8: memberikan peringatan kepada

anak yang melakukan pelanggaran, tidak memproses anak lebih lanjut;

2. jenis pelanggaran/tindak pidana yang dapat ditangani dengan melaksanakan

diversi adalah pelanggaran ringan;

3. tujuan pelaksanaan diversi adalah untuk menghindari labeling yang disebabkan

oleh efek-efek negatif sistem peradilan pidana anak;

4. lembaga/pejabat yang menangani pelaksanaan diversi yaitu polisi.

4.2.5. Negara Bagian New South Wales, Australia

Lahirnya Young Offenders Act 1997 (NSW) melalui proses legislasi

Parlemen pada bulan Juni 1997 dan menjadi efektif pada tanggal 6 April 1998

menjadi perbaikan bagi sistem penanganan pelanggar anak di New South Wales.

249

Young Offender Act 1997 (NSW) mengubah cara kerja polisi agar tidak langsung

menangani pelanggaran anak pada sistem peradilan anak. Namun secara aktif

berusaha menangani anak pelaku pelanggaran dengan bentuk-bentuk alternatif

penyelesaian pelanggaran anak.

Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Part 1 Introduction Young Offenders Act

1997 sebagai berikut :

The Act provides a system of diversionary measures as alternatives to

court proceedings for children who commit certain offences. These

diversionary measures follow a hierarchy of informal police warnings,

formal police cautions, and youth justice conferences.

(Terjemahan bebas: Undang-undang ini menetapkan sistem tindakan

pengalihan sebagai alternatif dari proses pengadilan bagi anak-anak yang

melakukan pelanggaran tertentu. Langkah-langkah pengalihan mengikuti

tahap peringatan informal yaitu teguran, peringatan formal polisi dan

konferensi keadilan anak).

Selanjutnya dalam Section 3 Young Offenders Act 1997 dinyatakan:

The objects of the Act include:

Establishing a scheme that sets out an alternative process to court

proceedings providing an efficient and direct response to the commission

by children of certain offences, and dealing with young offenders in a way

that enables a community-based negotiated response, emphasises

restitution and acceptance of responsibility by the offender, and meets the

needs of victims and offenders.

(Terjemahan bebas :

Obyek UU ini meliputi:

Membangun rencana yang menetapkan alternatif untuk memproses anak

keluar dari proses pengadilan, memberikan respon yang efisien dan

langsung ke komisi anak dari pelanggaran tertentu, dan berurusan dengan

pelanggar anak dengan cara yang memungkinkan untuk mendapat respon

dan persetujuan masyarakat, menekankan perbaikan dan penerimaan

tanggung jawab oleh pelaku, dan memenuhi kebutuhan korban dan

pelanggar).

Adapun tujuan konferensi keluarga dalam penanganan pelanggar anak adalah

sebagai berikut :

250

1. Membuat anak yang berkonflik dengan hukum bertanggung jawab atas

tindakan mereka dan untuk mendorong keluarga dan masyarakat

berbagi tanggung jawab;

2. Memperkuat hak-hak korban dan memperbaiki beberapa kerusakan yang

disebabkan oleh kejahatan;

3. Melibatkan korban dan keluarga mereka dalam proses pengambilan

keputusan konferensi;

4. Membuat sistem peradilan anak lebih tanggap terhadap keadaan

individu;

5. Mengurangi waktu dan biaya dalam sistem peradilan anak;

6. Mengurangi biaya perawatan anak yang terlalu banyak dalam tahanan;

7. Meningkatkan kepercayaan publik dalam sistem peradilan anak;

8. Menghindari stigma negatif terhadap anak yang berkonflik dengan

hukum akibat proses formal sistem peradilan anak.317

Dalam Young Offenders Act 1997, penanganan terhadap anak yang

berkonflik dengan hukum didasarkan pada empat hal sesuai dengan keseriusan

pelanggaran, tingkat kekerasan yang terjadi, kerugian yang timbul akibat

perbuatan pelaku dan sikap anak atas pelanggaran yaitu apakah anak yang

berkonflik dengan hukum mengakui/tidak atas pelanggaran yang dilakukan.

Ada beberapa tahap cara penanganan terhadap anak yang berkonflik

hukum di New South Wales, sebagaimana diatur dalam Young Offenders Act

1997:

1. Teguran (warning)

Young Offenders Act 1997, Part 3 mengatur tentang Warnings, pada

Section 13, menyatakan bahwa “A warning may be given for a summary offence

covered by this Act, other than an offence prescribed by the regulations for the

purpose of this section”. (Terjemahan bebas: Suatu pelanggaran yang dapat

diberikan teguran adalah pelanggaran ringan yang diatur oleh undang-undang ini,

selain itu pelanggaran lain yang ditentukan oleh peraturan untuk tujuan bagian

317http://stage6.pbworks.com/f/Young+Offenders+Act.pdf

251

ini). Teguran berlaku untuk pelanggaran ringan, seperti masuk tanpa izin atau

pelanggaran lalu lintas, dimana tidak ada kekerasan atau hal lain yang ditentukan

oleh bagian ini.318

Menurut Section 14 Young Offenders Act 1997, teguran tidak

diberlakukan untuk pelanggaran yang berupa kekerasan. Teguran dapat

disampaikan di tempat anak itu membuat pelanggaran. Teguran diberikan tanpa

meminta anak mengakui pelanggaran yang dilakukannya. Polisi harus mengambil

langkah untuk memastikan bahwa anak memahami tujuan, sifat dan efek teguran.

Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Young Offender Act 1997, Section 16

bahwa : “An investigating official who gives a warning to a child must take steps

to ensure that the child understands the purpose, nature and effect of the

warning”.319

(Terjemahan bebas: Polisi yang memberi teguran kepada anak harus

mengambil langkah yang pasti terhadap anak untuk memahami tujuan, sifat dan

akibat dari teguran).

Aparat kepolisian harus mengidentifikasi identitas pelanggar dan

Komando Local Area (sejenis Polsek) mereka, menginformasikan kepada anak

bahwa mereka menerima teguran dari undang-undang dan mencatat nama pelaku

anak, alamat dan tanggal lahir. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalamYoung

Offender Act 1997, Section 14 dan Section 18.320

Young Offender Act 1997, Section 14 :

Entitlement to be dealt with by warning :

318

Setya Wahyudi, Op.cit., hlm. 189.

319Young Offender Act 1997 Section 16, NSW legislation website

http://www.legislation.nsw.gov.au.ezproxy.uow.edu.au/fragview/inforce/act+54+1997...,

1/12/2009

320Young Offender Act 1997 Section 14 dan 18, Loc.cit.

252

(1) A child who has committed or is alleged to have committed an offence in

respect of which a warning may be given is entitled to be dealt with by

warning;

(2) Despite subsection (1), the child is not entitled to be dealt with by warning

if:

(a) the circumstances of the offence involve violence, or

(b) in the opinion of the investigating official, it is more appropriate to

deal with it by another means because it is not in the interests of justice

for the matter to be dealt with by warning.

(3) A child is not precluded from being given a warning merely because the

child has previously committed offences or been dealt with under this

Act.

(4) If an investigating official is of the opinion that it is not in the interests of

justice to deal with a matter by warning a child and that it is appropriate

to deal with it by other means, the investigating official must consider

whether to deal with the matter under Part 4 or to refer it to a specialist

youth officer under section 21 (2) for consideration of whether action

should be taken under Part 5.

(Terjemahan bebas: Hak untuk ditangani dengan teguran:

(1) Anak yang telah melakukan atau diduga telah melakukan pelanggaran

dimana teguran dapat diberikan karena pelanggar anak berhak ditangani

dengan teguran;

(2) Perkecualian (ayat 1), anak tidak berhak ditangani dengan teguran jika:

(a) keadaan pelanggaran termasuk kekerasan;

(b) menurut pendapat penyidik, lebih tepat untuk menangani hal itu

dengan cara lain karena tidak mencerminkan keadilan bila masalah itu

ditangani dengan teguran;

(3) Anak tidak dilarang diberi teguran hanya karena sebelumnya anak telah

melakukan pelanggaran atau telah ditangani sesuai dengan undang-

undang ini;

(4) Jika pejabat yang menyelidiki berpendapat bahwa bila dengan teguran

untuk menangani pelanggaran anak tidak mencerminkan keadilan maka

tepat untuk mengatasinya dengan cara lain, pejabat yang menyelidiki

harus mempertimbangkan apakah akan menangani dengan berdasar pada

Bagian 4 atau merujuk pada petugas khusus anak menurut Pasal 21 ayat

(2) untuk mempertimbangkan apakah tindakan harus diambil sesuai

dengan Bagian 5).

Young Offender Act 1997, Section 18 :

Offences for which warning may be given :

A caution may be given for an offence covered by this Act, other than an

offence prescribed by the regulations for the purposes of this section.

(Terjemahan bebas: Pelanggaran ditangani dengan teguran.

253

Peringatan dapat diberikan untuk pelanggaran yang dicakup oleh undang-

undang ini, selain pelanggaran yang ditentukan oleh peraturan untuk

tujuan ini).

2. Peringatan (caution)

Berlaku untuk pelanggaran yang lebih serius, seperti memiliki obat

terlarang, kerusakan properti dan mencuri.321

Untuk menerima sebuah peringatan,

anak harus mengakui pelanggaran dan setuju untuk dinasehati. Hal ini

sebagaimana diatur dalamYoung Offender Act 1997, Section 19 :

Conditions required to be able to give caution :

A formal police caution against further offending may be arranged and

given in relation to an offence to a child who is alleged to have committed

the offence, if:

(a) the offence is one for which a caution may be given; and

(b) the child admits the offence; and

(c) the child consents to the giving of the caution; and

(d) the child is entitled to be given a caution.

(Terjemahan bebas: Kondisi yang diperlukan untuk dapat memberikan

peringatan:

Peringatan resmi polisi terhadap pelanggaran berikutnya dapat diatur dan

diberikan dalam kaitannya dengan pelanggaran untuk anak yang diduga

telah melakukan pelanggaran tersebut; jika:

(a) pelanggaran adalah salah satu yang dapat ditangani dengan diberikan

peringatan;

(b) anak mengakui pelanggaran;

(c) persetujuan anak untuk diberikan peringatan;

(d) anak berhak untuk diberikan peringatan).

Peringatan yang diberikan oleh polisi khusus anak yang berbasis di setiap

Komando Daerah Lokal (di kantor polisi dimana anak berdomisili). Peringatan

diberikan setelah polisi memberitahukan kapan peringatan akan dilakukan.

Peringatan diberikan tidak lebih dari 21 hari setelah pemberitahuan peringatan

diberikan.

321

Setya Wahyudi, Op.cit., hlm. 190.

254

Di Australia, polisi mempunyai kewenangan untuk melaksanakan diversi

dalam menangani anak yang berkonflik dengan hukum. Kewenangan polisi untuk

melaksanakan diversi ini, menurut Kate Warner dengan pertimbangan :

1. Avoiding adverse effects of labelling which exposure to the juvenile

justice system can cause);

2. Doubts about efficacy of measures available for young offenders).322

(Terjemahan bebas:

1. Untuk menghindari labeling yang disebabkan oleh efek-efek negatif

sistem peradilan pidana anak);

2. Adanya keragu-raguan akan keefektifan dari perlakuan-perlakuan

terhadap pelanggar anak).

Berdasar atas dua pertimbangan di atas, lebih lanjut Kate Warner

mengemukakan bahwa “Police have traditionally had the discretion to formally

caution young offenders rather than prosecute”.323

(Terjemahan bebas: Polisi

mempunyai tradisi menggunakan diskresi untuk memberikan peringatan formal

kepada pelanggar anak daripada mengusut).

3. Konferensi Keluarga (Family Conferencing)

Untuk menanggulangi pelanggaran yang serius oleh anak dilakukan

dengan menggelar Konferensi Keluarga. Jenis-jenis pelanggaran yang biasa

dibahas dalam konferensi keluarga adalah penganiayaan, pencurian mobil, dan

pengrusakan properti.324

Anak harus mengakui pelanggaran tersebut di hadapan

orang dewasa yang bertanggung jawab dan menyetujui konferensi. Konferensi

dilakukan tidak kurang dari 10 hari dan tidak lebih dari 21 hari setelah

pemberitahuan konferensi diberikan. Penentuan tempat konferensi tergantung

322

Kate Warner, Juveniles in the Criminal Justice System, dalam George

Zdenkowski, Chris Ronald, Mark Richardson (Ed.), The Criminal Justice System Volume

Two, (Sydney and London: Pluto Press, 1987), hlm. 185.

323Ibid.

324 Setya Wahyudi, Op.cit., hlm. 191.

255

pada kesepakatan peserta (tidak boleh dilakukan di kantor polisi, pengadilan

ataupun di kantor departemen kehakiman). Konferensi dapat dilakukan dalam

tahanan jika pelaku berada dalam tahanan.

Konferensi keluarga melibatkan korban, pelaku, keluarga korban dan

keluarga pelaku, polisi khusus anak, tokoh masyarakat, pengacara dan pihak

terkait yang dimediasi oleh seorang convenor konferensi. Prinsip dari konferensi

keluarga adalah menciptakan anak bertanggung jawab atas pelanggaran yang

dilakukan, memperkuat kelompok keluarga, memberikan dukungan kepada anak

agar berperilaku yang mandiri, meningkatkan hak-hak korban dalam proses

peradilan anak. Hal ini sebagaimana diatur dalam Section 34.1 huruf a Young

Offender Act 1997, sebagai berikut :

(1) The principles that are to guide the operation of this Part and persons

exercising functions under this Part, are as follows :

(a) The principle that measures for dealing with children who are

alleged to have

committed offences are to be designed so as :

(i) to promote acceptance by the child concerned of

responsibility for his or her own behaviour, and

(ii) to strengthen the family or family group of the child

concerned, and

(iii) to provide the child concerned with developmental and

support services that will enable the child to overcome the

offending behaviour and become a fully autonomous

individual; and

(iv) to enhance the rights and place of victims in the juvenile

justice process; and

(v) to be culturally appropriate, wherever possible; and

(vi) to have due regard to the interests of any victim.

(Terjemahan bebas :

(1) Prinsip-prinsip yang memandu dari operasi bagian ini dan

orang-orang yang menjalankan fungsi di bawah bagian ini

adalah sebagai berikut :

(a) prinsip yang mengukur untuk menangani anak-anak yang

diduga telah melakukan pelanggaran harus dirancang

sedemikian rupa :

256

(i) untuk mempromosikan penerimaan oleh anak yang

bersangkutan dari tanggung jawab sendiri;

(ii) untuk memperkuat kelompok keluarga atau keluarga

dari anak yang bersangkutan;

(iii) untuk memberikan anak yang bersangkutan dengan

layanan perkembangan dan dukungan yang akan

memungkinkan anak untuk mengatasi perilaku yang

menyinggung dan sepenuhnya menjadi individu yang

mandiri;

(iv) untuk meningkatkan hak-hak dan tempat korban dalam

proses peradilan anak;

(v) sedapat mungkin sesuai dengan budaya;

(vi) memperhatikan kepentingan apapun dari korban.

Tujuan dari konferensi ini adalah agar pelanggar berani bertanggung jawab

atas tindakan mereka, membuat perubahan dalam beberapa cara untuk korban, dan

mengembangkan dengan cara yang positif dan pertanggung jawabannya dapat

diterima secara sosial. Hal ini sebagaimana diatur dalam Young offenders Act,

Section 34.2 dan Section 34.3 berikut ini :

34.2. The purpose of a conference is to make decisions and

recommendations about, and to determine an outcome plan in

respect of, the child who is the subject of the conference.

34.3. In reaching decisions at a conference, the participants are to have

regard to the principles set out in this section and the following

matters :

(a) the need to deal with children in a way that reflects their rights,

needs and abilities and provides opportunities for development;

(b) the need to hold children accountable for offending behaviour;

(c) the need to encourage children to accept responsibility for

offending behaviour;

(d) the need to empower families and victims in making decisions

about a child’s offending behaviour;

(e) the need to make reparation to any victim.

(Terjemahan bebas:

3.4.2. Tujuan konferensi adalah untuk membuat keputusan dan rekomendasi

serta menentukan hasil konferensi yang berhubungan dengan anak

sebagai subyek;

3.4.3. Dalam mencapai keputusan konferensi, peserta memperhatikan

prinsip-prinsip yang ditetapkan dalam bagian ini, sebagai berikut:

257

(a) kebutuhan untuk menangani anak dengan cara yang

mencerminkan hak-hak mereka, kebutuhan, dan kemampuan

untuk memberikan kesempatan pengembangan;

(b) kebutuhan untuk menciptakan anak bertanggung jawab atas

perilaku menyimpang;

(c) kebutuhan untuk mendorong anak menerima tanggung jawab

atas perilaku menyimpang;

(d) kebutuhan untuk memberdayakan keluarga dan korban dalam

membuat keputusan tentang perilaku menyimpang anak;

(e) kebutuhan untuk memberikan perawatan kepada korban.

Rencana hasil konferensi dapat berupa permintaan maaf kepada korban,

penggantian kerugian yang diderita korban, atau persetujuan untuk mengikuti

program-program tertentu. Pelaksanaan rencana hasil diawasi oleh administrator

konferensi. Jika rencana hasil gagal dilaksanakan dan telah melewati batas yang

ditentukan, administrator konferensi melalui convenor konferensi dapat

mengembalikan perkara ini kepada pihak yang merujuk sebelumnya. Hal ini dapat

diteruskan untuk diproses di pengadilan anak.

Pelaksanaan Diversi di Luar Sistem Peradilan Pidana Anak di Negara New South

Wales, Australia di atas dapat disajikan pada tabel 33 berikut ini :

258

Tabel 33

Pelaksanaan Diversi di Luar Sistem Peradilan Pidana Anak

di Negara New South Wales, Australia

Nama

Negara

Peraturan

Perundang-

undangan/

Dasar

Hukum

Ketentuan

Diversi

Jenis

Pelanggaran/

Tindak Pidana

Tujuan

Diversi

Lembaga/

Pejabat yang

Menangani

Pelaksanaan

Diversi

New

South

Wales

Young

Offenders

Act 1997,

Section 3,

13, 14.

Section 3 :

...alternatif

untuk

memproses

anak keluar

dari proses

pengadilan...

Section 13:

...pelanggaran

ringan...pe-

langgaran

lain yang

ditentukan

UU bagian

ini;

Section 3 :

...perbaikan

dan

penerimaan

tanggung

jawab oleh

pelaku...

memenuhi

kebutuhan

korban dan

pelanggar...

Section 14 :

Polisi

Sumber : Bahan Hukum Primer, diolah.

Berdasarkan tabel 33 di atas dapat dijelaskan bahwa:

1. ketentuan diversi, diatur dalam Section 3: alternatif untuk memproses anak

keluar dari proses pengadilan;

2. jenis pelanggaran/tindak pidana yang dapat ditangani dengan melaksanakan

diversi adalah pelanggaran ringan dan pelanggaran lain yang ditentukan UU

bagian ini;

3. tujuan pelaksanaan diversi adalah perbaikan dan penerimaan tanggung jawab

oleh pelaku, memenuhi kebutuhan korban dan pelanggar;

4. lembaga/pejabat yang menangani pelaksanaan diversi yaitu polisi.

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa dalam UU SPP Anak,

diversi dilaksanakan baik di luar SPP Anak maupun di dalam SPP Anak.

Pelaksanaan diversi menurut UU SPP Anak dapat disajikan pada tabel 34 berikut

ini:

259

Tabel 34

Pelaksanaan Diversi Menurut UU SPP Anak

Nama Nega-

ra

Peraturan Perundang-undangan/

Dasar Hukum

Ketentuan Diversi

Jenis Pelanggaran/

Tindak Pidana

Tujuan Diversi

Lembaga/ Pejabat yang Menangani Pelaksanaan

Diversi Indo-nesia

Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

Pasal 7 ayat (1) : ...wajib

diupayakan diversi.

Pasal 7 ayat (2) : ...a. diancam

dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun...

Pasal 6 : a.mencapai perdamaian

antara korban dan anak; b.menyelesaikan perkara

anak di luar proses peradilan;

c.menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan;

d.mendorong masyarakat untuk berpartisipasi;

e.menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.

Pasal 7 ayat (1) : ...penyidikan, penuntutan, ...pengadilan negeri...

Sumber : Bahan Hukum Primer, diolah.

Berdasarkan tabel 34 di atas dapat dijelaskan bahwa :

1. ketentuan diversi, diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU SPP Anak : wajib

diupayakan diversi;

2. jenis pelanggaran/tindak pidana yang dapat ditangani dengan melaksanakan

diversi adalah tindak pidana yang ancaman hukumannya di bawah 7 (tujuh)

tahun;

3. tujuan pelaksanaan diversi adalah :

a. mencapai perdamaian antara korban dan anak;

b. menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan;

c. menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan;

d. mendorong masyarakat untuk berpartisipasi;

e. menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.

260

4. lembaga/pejabat yang menangani pelaksanaan diversi yaitu penyidik, penuntut

umum, dan hakim.

Pelaksanaan diversi di luar SPP Anak menurut peraturan perundang-

undangan beberapa negara dan UU SPP Anak di Indonesia di atas dapat disajikan

pada tabel 35 berikut ini:

261

Tabel 35

Pelaksanaan Diversi di Luar Sistem Peradilan Pidana Anak

Menurut Peraturan Perundang-undangan Beberapa Negara Bagian Australia

dan UU SPP Anak di Indonesia

No

Negara,

Nama Pe-

raturan Per-UU-

an

Dasar Hukum

Ketentuan Diversi

Jenis

Pelanggaran/

Tindak Pidana

Lembaga/

Pejabat yang

menangani

Pelaksanaan Diversi

Sec.6.1:

...tidak mem-

proses

anak

lebih lanjut....

Sec. 7.g:

... me-

ngambil

lang-kah-

langkah

lain

selain proses

penga-

dilan.

Sec.14 : ...me-

ngalih-kan

anak yang

melaku-kan

pelang-

garan dari

sistem peradilan

pidana

...

Sec.3 : ...al-

ternatif

untuk

mem-proses

anak

keluar

dari proses

pengadi-

an....

Ps. 7

ayat

(1) : ...wa-

jib

diupa-

yakan diversi

Pelang-

garan kecil,

pelang-

garan

ringan,

tindak pidana

yang

an-

caman hu-

kum-

annya

di bawah

7

(tujuh)

tahun.

Po-

lisi

Polisi,

Penun-tut

Umum

dan

Hakim

1 South

Australia, Young

Offenders

Act 1993

Sec. 8.1,

Sec. 6

V _ _

_

_

V

_

V _

2 Western

Australia

Young Offender

Act 1994,

Sec. 7.g,

Sec.

22A.

_

V _ _

_ V _

V

_

3 Queens-

land

Australia,

Juvenile Justice

Act 1992

Sec. 16,

Sec. 14.

_ _ V _

_

V _ V _

4 Tasmania,

Youth

Justice

Act 1997

Sec.8

V _ _ _

_

V _ V _

5 New

South Wales,

Young

Offenders

Act 1997

Sec.13S

ec. 14

_

_

_

V

_

V _

V

_

6 Indonesia,

UU SPP Anak

Ps. 7

ayat (1), (2) dan

Ps. 6

_ _ _ _ V _ V _

V

Sumber : Bahan Hukum Primer, diolah.

262

Berdasarkan pada tabel 35 di atas, dapat dijelaskan bahwa meskipun pelaksanaan

diversi di masing-masing negara bagian di Australia berbeda-beda, namun

beberapa negara bagian di atas menekankan pentingnya peran polisi sebagai

gatekeepers dalam pelaksanaan diversi di luar sistem peradilan pidana anak.

Di Negara Bagian South Australia, Western Australia, Queensland

Australia, Tasmania, dan New South Wales, polisi memiliki kewenangan untuk

memberikan peringatan (caution) terhadap anak yang berkonflik dengan hukum,

baik berupa informal maupun formal caution. Hal ini didasarkan atas beberapa

pertimbangan, yaitu disesuaikan dengan tingkat berat ringannya tindak pidana

yang dilakukan oleh anak yang berkonflik dengan hukum dan berapa kali anak

melakukan tindak pidana. Peringatan dapat diberikan secara langsung berdasarkan

undang-undang yang khusus mengatur tentang anak, seperti : South Australia,

Western Australia, Queensland, Tasmania, dan New South Wales (NSW).

Selanjutnya, mengenai tujuan pelaksanaan diversi di Australia mengacu pada

Commentary Rule 11 The Beijing Rules, yaitu untuk menghindarkan anak dari

pengaruh negatif sistem peradilan pidana bagi masa depan anak.325

Negara Indonesia, dalam Pasal 7 ayat (1) UU SPP Anak menentukan

bahwa yang wajib melaksanakan diversi adalah penyidik, penuntut umum, dan

hakim pengadilan negeri. Mengenai jenis tindak pidana yang dapat ditangani

dengan pelaksanaan diversi adalah tindak pidana yang ancaman hukumannya di

bawah 7 (tujuh) tahun.

325Nurini Aprilianda, Op.cit., hlm. 223-224.

263

4.3. Kondisi Penanganan Anak yang Berkonflik dengan Hukum Pada

Tingkat Penyidikan di Polrestabes Surabaya dan di Kepolisian Daerah

Jawa Timur (Polda Jatim)

4.3.1. Jenis dan Jumlah Perkara Anak yang Berkonflik dengan Hukum di

Polrestabes Surabaya dan Polda Jatim

Institusi kepolisian merupakan institusi negara yang pertama kali

melakukan intervensi terhadap anak yang berkonflik dengan hukum.

Penangkapan, penahanan, penyelidikan, dan penyidikan merupakan kewenangan

kepolisian untuk menegakkan sistem peradilan pidana anak. Dalam menjalankan

tugasnya kepolisian diberikan kewenangan diskresi (discretionary power).

Kewenangan diskresi adalah kewenangan legal dimana kepolisian berhak untuk

meneruskan atau tidak meneruskan suatu perkara. Berdasarkan kewenangan ini

pula kepolisian dapat mengalihkan (diversion) terhadap suatu perkara anak

sehingga anak tidak perlu berhadapan dengan penyelesaian pengadilan pidana

secara formal.326

Namun demikian, jika melihat angka statistik kriminal

kepolisian terdapat lebih dari 11.344 anak yang berusia 0 – 17 tahun (6,45% dari

total pelaku kejahatan berdasar usia) yang disangka sebagai pelaku tindak pidana

sepanjang tahun 2000, maka dapat dinyatakan bahwa kewenangan diskresi ini

tidak pernah maksimal dipergunakan polisi untuk menangani perkara anak.327

Fakta ini menunjukkan bahwa kepolisian belum maksimal menggunakan

326

Purnianti, Mamik Sri Supatmi, dan Ni Made Martini Tinduk, Analisa Situasi

Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice System) di Indonesia, (UNICEF:

Indonesia, 2003), hlm. 74 327Ibid., hlm. 1

264

kewenangan diskresinya dalam menangani perkara anak yang berkonflik dengan

hukum.

Dalam UU Polri, berkaitan dengan penanganan perkara anak yang

berkonflik dengan hukum, tidak ada pasal-pasal yang secara khusus mengatur

kewenangan diskresi. Bahkan dalam undang-undang ini tidak ada ketentuan yang

secara khusus mengatur tindakan dan metode untuk menangani anak yang

berkonflik dengan hukum. Pasal 16 ayat (1) UU Polri menyatakan bahwa “Dalam

rangka menyelenggarakan tugas dalam bidang proses pidana, Kepolisian Negara

Republik Indonesia berwenang untuk : a. melakukan penangkapan, penahanan,

penggeledahan; ... h. mengadakan penghentian penyidikan”. Selanjutnya Pasal 18

ayat (1) UU Polri menyatakan bahwa “Untuk kepentingan umum pejabat

Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan

wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri”. Ketentuan tersebut

dapat menjadi acuan bagi polisi untuk mengambil tindakan diskresi, namun

penggunaan kewenangan ini belum jelas ditujukan dalam menangani perkara apa

saja dan tidak hanya dikhususkan untuk anak yang berkonflik dengan hukum.

Hasil penelitian di lokasi penelitian, jenis dan jumlah perkara anak yang

berkonflik dengan hukum di Polrestabes Surabaya dapat disajikan pada tabel 36

berikut ini:

265

Tabel 36

Jenis dan Jumlah Perkara Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum Menurut data

Polrestabes Surabaya Tahun 2010-2013

No Jenis Perkara Jumlah Pasal yang Dilanggar Prosentase

1 Pencabulan 46 Pasal 290 ayat (2), (3) KUHP 26,44%

2 Membawa

lari

18 Pasal 332 KUHP jo. Pasal 80

ayat (1) UU Perlindungan Anak

10,34%

3 Persetubuhan 100 - 57,47%

4 Penganiayaan

anak

9 Pasal 352 ayat (1) KUHP jo.

Pasal 80 ayat (1) UU

Perlindungan Anak

5,17%

5 Trafficking 1 Pasal 83 UU Perlindungan

Anak

0,58%

Jumlah 174 - 100%

Sumber: Bahan Hukum Sekunder (dokumen dari Polrestabes Surabaya, 2014),

diolah.

Berdasarkan tabel 36 di atas dapat dijelaskan bahwa dalam kurun waktu

antara tahun 2010-2013, tercatat 174 perkara. Jenis perkara yang terbanyak adalah

persetubuhan sebanyak 100 perkara anak (57,47%), pencabulan sebanyak 46

perkara anak (26,44%), membawa lari sebanyak 18 perkara anak (10,34%),

penganiayaan anak sebanyak 9 perkara anak ((5,17%), dan trafficking sebanyak 1

perkara anak (0,58)%. Jumlah perkara anak di Polrestabes Surabaya secara

keseluruhan mulai tahun 2010-2013 terdapat 174 perkara anak. Dengan demikian

dapat disimpulkan bahwa tindak pidana persetubuhan paling mendominasi, yaitu

berjumlah 100 perkara anak. Dari jumlah tersebut tidak semua perkara ditangani

melalui sistem peradilan pidana anak tapi beberapa diantaranya diselesaikan

secara kekeluargaan/damai atau non-litigasi.

266

Jenis dan jumlah perkara anak yang berkonflik dengan hukum menurut

data Polrestabes Surabaya tahun 2010-2013 yang diselesaikan secara

kekeluargaan/damai atau non-litigasi dapat disajikan pada tabel 37 berikut ini:

Tabel 37

Jenis dan Jumlah Perkara Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum Menurut data

Polrestabes Surabaya Tahun 2010-2013 yang Diselesaikan Secara

Kekeluargaan/Damai atau Non-Litigasi.

No Jenis perkara Jumlah Pasal yang dilanggar Prosentase

1 Pencabulan 20 Pasal 290 ayat (2), (3) KUHP 37,73%

2 Membawa lari

perempuan

10 Pasal 332 KUHP jo. Pasal 80

ayat (1) UU Perlindungan

Anak

18,87%

3 Persetubuhan 21 - 39,62%

4 Penganiayaan

anak

1 Pasal 352 ayat (1) KUHP jo.

Pasal 80 ayat (1) UU

Perlindungan Anak

1,89%

5 Traficking 1 Pasal 83 UU Perlindungan

Anak

1,89%

Jumlah 53 100%

Sumber: Bahan Hukum Sekunder (dokumen dari Polrestabes Surabaya, 2014),

diolah.

Pada tabel 37 di atas dapat dijelaskan bahwa dalam kurun waktu antara

tahun 2010-2013 tercatat 53 perkara yang berhasil diselesaikan secara

kekeluargaan/damai atau non-litigasi. Perkara-perkara anak yang diselesaikan

secara kekeluargaan/damai atau non-litigasi terdiri dari tindak pidana pencabulan

sebanyak 20 perkara (37,73%), membawa lari perempuan sebanyak 10 perkara

(18,87%), persetubuhan sebanyak 21 perkara (39,62%), penganiayaan anak

267

sebanyak 1 perkara (1,89%), dan trafficking sebanyak 1 perkara (1,89%). Pada

tahap penyidikan, untuk jenis perkara yang lain, belum pernah dilakukan

penyelesaian secara kekeluargaan.

Selanjutnya, jumlah perkara anak di Polda Jatim secara keseluruhan mulai

tahun 2009-2013 terdapat 1.005 perkara anak, terdiri dari 13 jenis perkara anak.

Jenis dan jumlah perkara anak yang berkonflik dengan hukum berdasarkan data di

Polda Jatim, dapat disajikan pada tabel 38 berikut ini :

Tabel 38

Jenis dan Jumlah Perkara Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum Menurut data

Polda Jatim Tahun 2009-2013

No Jenis Perkara Jumlah Pasal Prosentase 1 Pencabulan 106 Pasal 290 ayat (2), (3) KUHP 10,54% 2 Membawa lari 35 Pasal 332 KUHP jo. Pasal 80

ayat (1) UU Perlindungan Anak

3,48%

3 Persetubuhan 411 - 40,89% 4 Penganiayaan anak 125 Pasal 352 ayat (1) KUHP 12,43% 5 Pemerkosaan 6 Pasal 285 KUHP jo. Pasal

81 ayat (1) UU Perlindungan Anak

0,59%

6 Pengeroyokan 55 Pasal 170 ayat (2) ke-1 KUHP

5,47%

7 Pencurian dengan pemberatan

134 Pasal 363 ayat (3) KUHP 13,33%

8 Pencurian dengan kekerasan

16 Pasal 365 ayat (1) KUHP 1,59%

9 Pencurian biasa 80 Pasal 262 KUHP 7,96% 10 Pembunuhan 4 Pasal 338 KUHP 0,39% 11 Pengrusakan barang 6 Pasal 406 ayat (1) KUHP 0,59% 12 Pemerasan dengan

ancaman 6 Pasal 368 ayat (1) KUHP 0,59%

13 Kekerasan terhadap anak

21 Pasal 351 KUHP jo. Pasal 80 ayat (1) UU Perlindungan Anak

2,08%

Jumlah 1.005 - 100%

Sumber: Bahan Hukum Sekunder (dokumen dari Polda Jatim 2014), diolah.

268

Berdasarkan tabel 38 di atas dapat dijelaskan bahwa dalam kurun waktu

antara tahun 2009-2013, tercatat 1005 perkara. Jenis-jenis perkaranya adalah

persetubuhan sebanyak 411 perkara anak (40.89%), pencabulan sebanyak 106

perkara anak (10.54%), membawa lari sebanyak 35 perkara anak (3.48%),

penganiayaan anak sebanyak 125 perkara anak (12.43%), pemerkosaan sebanyak

6 perkara anak (0.59)%, pengeroyokan sebanyak 55 perkara anak (5.47)%,

pencurian dengan pemberatan sebanyak 134 perkara anak (13.33%), pencurian

dengan kekerasan sebanyak 16 perkara anak (1.59)%, pencurian biasa sebanyak

80 perkara anak (7.96)%, pembunuhan sebanyak 4 perkara anak (0.39)%,

pengerusakan barang sebanyak 6 perkara anak (0.59)%, pemerasan dengan

pengancaman sebanyak 6 perkara anak (0.59)% dan kekerasan terhadap anak

sebanyak 21 perkara anak (2.08)%. Dengan demikian dapat dibaca pada tabel 37

di atas bahwa tindak pidana persetubuhan paling mendominasi, yaitu berjumlah

411 perkara anak. Dari jumlah tersebut tidak semua perkara ditangani melalui

sistem peradilan pidana anak tapi ada yang berhasil diselesaikan secara

kekeluargaan/damai atau non-litigasi, yaitu persetubuhan sebanyak 2 perkara anak

dan pencabulan (Pasal 290 ayat (2), (3) KUHP) sebanyak 1 perkara anak.

Jenis dan jumlah perkara anak yang berkonflik dengan hukum menurut

data Polda Jatim tahun 2009-2013 yang diselesaikan secara kekeluargaan/damai

atau non-litigasi dapat disajikan pada tabel 39 berikut ini :

269

Tabel 39

Jenis dan Jumlah Perkara Anak Yang Berkonflik Dengan Hukum Menurut data

Polda Jawa Timur Tahun 2009-2013 yang Diselesaikan Secara

Kekeluargaan/Damai atau Non-Litigasi

No Jenis Perkara Jumlah Pasal Prosentase

1 Persetubuhan 2 - 66.66%

2 Pencabulan 1 Pasal 290 ayat (2), (3) KUHP 33.33%

Jumlah 3 - 100%

Sumber: Bahan Hukum Sekunder (dokumen dari Polda Jatim, 2014), diolah.

Berdasarkan tabel 38 di atas dapat dijelaskan bahwa dari 1.005 perkara

anak di Polda Jatim, hanya ada tiga perkara anak yang berhasil diselesaikan secara

kekeluargaan/damai yaitu persetubuhan 2 perkara anak (66.66%) dan pencabulan

1 perkara anak (33.33%). Tiga perkara anak yang berhasil diselesaikan secara

kekeluargaan/damai tersebut terjadi pada tahun 2014.

Menurut keterangan Yasintha Ma‟u, dalam pelaksanaan penyelesaian

perkara secara kekeluargaan/damai, penyidik memberi kesempatan kepada para

pihak yang hadir (korban/orang tua korban, pelaku dan orang tua pelaku,

pembimbing kemasyarakatan, tokoh masyarakat, tokoh agama) untuk

memberikan pendapatnya mengenai perkara yang terjadi. Bila tindak pidana itu

terjadi di sekolah, maka dalam proses musyawarah menghadirkan guru untuk

memberikan keterangan. Musyawarah dilakukan secara tertutup di ruang khusus

Remaja, Anak, dan Wanita (Renakta) Ditreskrim Kepolisian Daerah Jawa

Timur.328

328

Wawancara dengan Yasintha Ma‟u, Penyidik Anak, Kepolisian Daerah Jawa

Timur, Februari 2014.

270

Penyidikan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum masih terikat

dengan UU Pengadilan Anak, sehingga kegiatan penyelidikan dan penyidikan

yang dilakukan oleh penyidik anak tetap berpedoman pada UU Pengadilan Anak

tersebut. Pengamatan dalam praktek diketahui bahwa sebenarnya penyidik

berkeinginan juga untuk tidak selalu melimpahkan perkara anak yang berkonflik

dengan hukum ke kejaksaan. Penyidik berkeinginan untuk tidak meneruskan

perkara anak bila pihak pelaku dan atau keluarganya, pihak korban dan atau

keluarganya, pihak ketiga (seperti Lembaga Swadaya Masyarakat pemerhati

masalah anak) menghendaki dan mengajukan permohonan kepada penyidik untuk

menunda ataupun menghentikan pemeriksaan perkara anak yang berkonflik

dengan hukum. Tanpa ada permohonan dan penjaminan dari pihak-pihak lain

(pihak korban maupun Lembaga Swadaya Masyarakat), maka penyidik tidak akan

menghentikan perkara tersebut. Peran penyidik disini hanya sebagai mediator.329

Adapun alur pelaksanaan penyelesaian secara musyawarah/kekeluargaan

terhadap anak yang berkonflik dengan hukum di Polrestabes Surabaya, dapat

disajikan pada bagan 3 berikut ini :

329Ibid.

271

Bagan 3

Sumber : Bahan Hukum Sekunder (dokumen dari Polrestabes Surabaya, 2014),

diolah.

Berdasarkan bagan 3 di atas dapat dijelaskan bahwa setelah ada laporan

dari masyarakat tentang dugaan terjadinya tindak pidana atau dalam hal anak

tertangkap tangan sedang melakukan tindak pidana oleh polisi, maka selanjutnya

penyelidik akan melakukan penyelidikan. Setelah barang dan alat bukti dirasa

cukup, maka ditingkatkan menjadi penyidikan. Namun demikian, penyidik

terlebih dulu akan menangani perkara anak di luar proses formal, dengan tahapan

sebagai berikut : penyidik melakukan koordinasi dengan pelapor, anak dan orang

tua/walinya, korban dan orang tua/walinya, Tokoh masyarakat/Tokoh agama,

Pemerintah Kota (Bapemas), Dinas Pendidikan, lembaga Swadaya Masyarakat.

Selanjutnya, penyidik mengundang para pihak tersebut secara resmi untuk datang

Pelapor/Tertangkap tangan

Ter Penyidik Anak

Proses Musyawarah:

Penyidik anak, pelaku

(anak) dan orang

tua/wali, korban

dan/atau orang

tua/wali, Tokoh

Masyarakat/Tokoh

Agama, Pemerintah

Kota (Bapemas),

Dinas Sosial, Dinas

Pendidikan, LSM.

Anak

Penyidik

membuat

akta

kesepa-

katan

perdamai-

an

Gelar

Perkara

Penyidik

mengeluarkan

Surat

Penghentian

Penyidikan

(SP3)

Limpahkan

perkara ke

Kejaksaan

272

ke Polrestabes Surabaya untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi. Bila

dalam berkoordinasi dengan para pihak tersebut tercapai kesepakatan perdamaian,

maka penyidik akan membuat akta kesepakatan perdamaian. Dengan adanya akta

kesepakatan perdamaian, maka menjadi dasar bagi penyidik untuk

menyelenggarakan gelar perkara dan membuat rekomendasi/kesimpulan gelar

perkara. Dari hasil gelar perkara, ada dua kemungkinan, yaitu penyidik akan

mengeluarkan Surat Penghentian Penyidikan (SP3) ataukah penyidik akan

melanjutkan perkara anak yang berkonflik dengan hukum dengan melimpahkan

berkas perkara ke kejaksaan. Bila penyidik mengeluarkan SP3 maka perkara anak

dihentikan (selesai).

Beberapa perkara anak yang diselesaikan dengan musyawarah/kekeluargaan di

Polrestabes Surabaya (nama pelaku, korban, dan para pihak dalam perkara di

bawah ini adalah bukan nama yang sebenarnya).

1. a. Nama perdamaian : Musyawarah.

b. Nomor surat dan waktu perdamaian : -, 19 Agustus 2013.

c. Jenis perkara : Membawa lari anak dibawah umur, Pasal 332 KUHP

jo. Pasal 80 ayat (1) UU Perlindungan Anak.

d. Nama pelaku : Eric Pratama, 17 tahun.

e. Nama korban : Dewi Kartika, 13 tahun.

f. Nama para pihak yang menandatangani perdamaian serta posisinya:

1. Sunarto, 40 tahun sebagai Pelapor.

2. Jamilah 36 tahun sebagai Orang tua.

3. Eric Pratama, 17 tahun sebagai Terlapor.

273

4. Mu‟adi, 47 tahun sebagai orang tua Terlapor.

5. Sutiyah, 44 tahun sebagai orang tua Terlapor.

6. Sambari, 23 tahun sebagai kakak Terlapor.

7. Moh. Makmun, S.Pd.I, 38 tahun sebagai Tokoh Masyarakat.

8. Salamun, 43 tahun sebagai Ketua RT.

g. Isi perdamaian:

Hasil yang diperoleh dari pertemuan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Kedua pihak (pihak Pelapor dan Terlapor) berhasil mencapai kesepakatan/

musyawarah;

2. Pihak Pelapor menyatakan tidak akan menuntut Terlapor untuk diproses

secara hukum pidana, dengan ketentuan:

a. Terlapor meminta maaf kepada pelapor/korban;

b. Terlapor berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya baik kepada

korban maupun orang lain;

c. pihak Pelapor/Korban meminta agar Terlapor dididik/dibina di Pondok

Pesantren selama 12 bulan;

d. orang tua Terlapor menyerahkan uang kompensasi kepada Korban

sebesar Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) diserahkan hari ini juga kepada

orang tua Pelapor/ Korban;

e. pihak Korban meminta agar hubungan emosional/sosial antara keluarga

korban, keluarga Terlapor dan lingkungan masyarakat setempat kembali

seperti sediakala.

274

h. Tahapan perdamaian :

1. Pertemuan musyawarah dilaksanakan di Polrestabes Surabaya, yang

dihadiri oleh para pihak, sebagaimana tersebut di atas.

2. Dalam pertemuan tersebut disepakati oleh para pihak tentang apa saja yang

harus dilakukan oleh pihak Terlapor dan/atau keluarganya.

3. Dalam pelaksanaan musyawarah tersebut di atas tercapai kesepakatan,

selanjutnya Penyidik membuat akta kesepakatan perdamaian yang

kemudian ditandatangani oleh para pihak.

4. Selanjutnya penyidik melaksanakan Gelar Perkara.

5. Penyidik mengeluarkan Surat Penghentian Penyidikan (SP3), maka perkara

anak dihentikan.

2. a. Nama perdamaian : Musyawarah.

b. Nomor surat dan waktu perdamaian : -, 22 Agustus 2013.

c. Jenis perkara : Tindak Pidana Pencabulan dan atau Persetubuhan anak

dibawah umur, Pasal 290 ayat (2), (3) KUHP.

d. Nama pelaku : Aldo Virnando, 17 tahun.

e. Nama korban : Sulistiawati, 10 tahun.

f. Nama para pihak yang menandatangani perdamaian serta posisinya:

1. Munari, 41 tahun sebagai Pelapor.

2. Shofi, 37 tahun sebagai Orang tua.

3. Aldo Virnando, 17 tahun sebagai Terlapor.

4. Rosianto, 46 tahun sebagai Orang tua Terlapor.

5. Tuhfah, 43 tahun sebagai Orang tua Terlapor.

275

6. Muhammad Fahri, 39 tahun sebagai Tokoh Masyarakat.

7. Suwantoyo, 41 tahun sebagai ketua RT.

g. Isi perdamaian:

Hasil yang didapat dari pertemuan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Kedua pihak (pihak Pelapor dan Terlapor) berhasil mencapai kesepakatan/

musyawarah;

2. Pihak Pelapor menyatakan tidak akan menuntut Terlapor untuk diproses

secara hukum pidana, dengan ketentuan:

a. Terlapor meminta maaf kepada Pelapor/Korban dan keluarganya;

b. Terlapor berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya baik kepada

Korban atau orang lain;

c. pihak Pelapor/Korban meminta agar Terlapor dididik/dibina dengan

sebaik-baiknya oleh orang tua Terlapor;

d. Orang tua Terlapor menyerahkan uang kompensasi sebagai bentuk ganti

rugi kepada Korban sebesar Rp 1.300.000,- (satu juta tiga ratus ribu

rupiah) diserahkan hari ini juga kepada orang tua Pelapor/Korban;

e. pihak Korban meminta agar hubungan emosional/sosial antara keluarga

korban, keluarga Terlapor dan lingkungan masyarakat setempat kembali

seperti sediakala.

h. Tahapan perdamaian:

1. Pertemuan musyawarah dilaksanakan pada tanggal 22 Agustus 2013 di

Polrestabes Surabaya, yang dihadiri oleh para pihak, sebagaimana tersebut

di atas.

276

2. Dalam pertemuan tersebut bertujuan mencapai kesepakatan bersama.

3. Penyidik membuat akta kesepakatan perdamaian yang kemudian

ditandatangani oleh para pihak.

4. Penyidik melaksanakan Gelar Perkara.

5. Penyidik mengeluarkan Surat Penghentian Penyidikan (SP3), maka perkara

anak dihentikan.

3. a. Nama perdamaian : upaya diversi.

b. Nomor surat dan waktu perdamaian : 4 September 2012.

c. Jenis perkara : Tindak Pidana Penganiayaan anak dibawah umur, Pasal

352 ayat (1) KUHP jo. Pasal 80 ayat (1) UU

Perlindungan Anak.

d. Nama pelaku : Basuki Crisnandy, 15 tahun.

e. Nama korban : Nur Aini,12 tahun.

f. Nama para pihak yang menandatangani perdamaian serta posisinya:

1. Sumarlan, 45 tahun sebagai Pelapor.

2. Ida Emilda, 41 tahun sebagai Orang tua.

3. Basuki Crisnandy, 15 tahun sebagai Terlapor.

4. Sujatmiko, 45 tahun sebagai Orang tua Terlapor.

5. Sri Utari, 43 tahun sebagai Orang tua Terlapor.

6. Ahmad Khoiruddin, 36 tahun sebagai Paman Terlapor.

7. Muhamad Mahrus, S.Ag, 44 tahun sebagai Tokoh Agama.

8. Pujianto, 50 tahun sebagai Tokoh Masyarakat.

9. Munarman, 48 tahun sebagai ketua RT.

277

g. Isi perdamaian:

Hasil yang didapat dari pertemuan adalah sebagai berikut:

1. Kedua pihak (pihak Pelapor dan Terlapor) berhasil mencapai kesepakatan/

musyawarah;

2. Pihak Pelapor menyatakan tidak akan menuntut Terlapor untuk diproses

secara hukum pidana, dengan ketentuan:

a. Terlapor meminta maaf kepada Pelapor/Korban dan keluarganya;

b. Terlapor berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya baik kepada

Korban atau orang lain;

c. pihak Pelapor/Korban meminta agar Terlapor berperilaku yang baik dan

dibina orang tuanya dengan lebih baik;

d. orang tua Terlapor menyerahkan uang kompensasi kepada Korban

sebesar Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) dan harus diserahkan hari ini

juga kepada orang tua Pelapor/ Korban;

e. pihak Korban meminta agar hubungan emosional/sosial antara keluarga

Korban, keluarga Terlapor dan lingkungan masyarakat setempat kembali

seperti sediakala;

h. Tahapan perdamaian:

1. Pertemuan musyawarah dilaksanakan pada tanggal 4 September 2012 di

Polrestabes Surabaya, yang dihadiri oleh para pihak, sebagaimana tersebut

di atas.

2. Dalam pertemuan tersebut bertujuan mencapai kesepakatan bersama.

278

3. Penyidik membuat akta kesepakatan perdamaian yang kemudian

ditandatangani oleh para pihak.

4. Penyidik melaksanakan Gelar Perkara.

5. Penyidik mengeluarkan Surat Penghentian Penyidikan (SP3), maka perkara

anak dihentikan.

4. a. Nama perdamaian : perdamaian/musyawarah.

b. Nomor surat dan waktu perdamaian : 5 Nopember 2013.

c. Jenis perkara : Tindak Pidana Traficking anak dibawah umur, Pasal

83 UU Perlindungan Anak.

d. Nama pelaku : Wahyono, 17 tahun.

e. Nama korban : Siska,14 tahun.

f. Nama para pihak yang menandatangani perdamaian serta posisinya:

1. Fahruddin, 48 tahun sebagai Pelapor.

2. Ummi Kulsum, 43 tahun sebagai Orang tua.

3. Wahyono, 17 tahun sebagai Terlapor.

4. Hartono, 46 tahun sebagai orang tua Terlapor.

5. Wulandari, 44 tahun sebagai orang tua Terlapor.

6. Mujianto, 40 tahun sebagai paman Terlapor.

7. Ahmad Jais, S.Ag, 45 tahun sebagai Tokoh Agama.

8. Maryanto, 55 tahun sebagai Tokoh Masyarakat.

9. Badri, 44 tahun sebagai ketua RT.

g. Isi perdamaian:

Hasil yang didapat dari pertemuan adalah sebagai berikut:

279

1. Kedua pihak (pihak Pelapor dan Terlapor) berhasil mencapai kesepakatan/

musyawarah;

2. Pihak Pelapor menyatakan tidak akan menuntut terlapor untuk diproses

secara hukum pidana, dengan ketentuan:

a. Terlapor meminta maaf kepada Pelapor/Korban dan keluarganya;

b. Terlapor berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya baik kepada

Korban atau orang lain;

c. Pihak Pelapor /Korban meminta agar Terlapor berperilaku yang baik dan

dibina orang tuanya dengan lebih baik;

d. Orang tua Terlapor menyerahkan uang kompensasi kepada Korban

sebesar Rp 1.200.000,- (satu juta dua ratus ribu rupiah) dan harus

diserahkan hari ini juga kepada orang tua Pelapor/Korban;

e. pihak Korban meminta agar hubungan emosional/sosial antara keluarga

korban, keluarga Terlapor dan lingkungan masyarakat setempat kembali

baik seperti sediakala.

h. Tahapan perdamaian:

1. Pertemuan musyawarah dilaksanakan pada tanggal 5 Nopember 2013, di

Polrestabes Surabaya, yang dihadiri oleh para pihak, sebagaimana tersebut

di atas.

2. Dalam pertemuan tersebut bertujuan mencapai kesepakatan bersama.

3. Penyidik membuat akta kesepakatan perdamaian yang kemudian

ditandatangani oleh para pihak.

4. Penyidik melaksanakan Gelar Perkara.

280

5. Penyidik mengeluarkan Surat Penghentian Penyidikan (SP3), maka perkara

anak dihentikan.

Selanjutnya, beberapa perkara anak yang berhasil diselesaikan dengan

melaksanakan diversi di Polda Jawa Timur adalah sebagai berikut:

1. a. Nama perdamaian : upaya diversi.

b. Nomor surat dan waktu perdamaian : -, 30 Januari 2014.

c. Jenis perkara : Tindak Pidana Pencabulan dan atau Persetubuhan

anak dibawah umur, Pasal 290 ayat (2), (3) KUHP.

d. Nama pelaku : Aditya Kurniawan, 15 tahun

e. Nama korban : Sri Esti Lestari, 12 tahun

f. Nama para pihak yang menandatangani perdamaian serta posisinya:

1. Siswono, 38 tahun sebagai Pelapor;

2. Yuli Astutik, 38 tahun sebagai Orang tua;

3. Aditya Kurniawan, 15 tahun sebagai Terlapor;

4. Sukari, 50 tahun sebagai Terlapor;

5. Rugiati, 49 tahun sebagai orang tua Terlapor;

6. Rudianto, 24 tahun sebagai kakak Terlapor;

7. Abd. Manaf., S. Ag, 57 tahun sebagai Tokoh Masyarakat;

8. Liman, 39 tahun sebagai ketua RT.

g. Isi perdamaian:

Hasil yang didapat dari pertemuan tersebut adalah sebagai berikut:

1. kedua pihak (pihak Pelapor dan Terlapor) berhasil mencapai kesepakatan/

musyawarah;

281

2. pihak Pelapor menyatakan tidak akan menuntut Terlapor untuk diproses

secara hukum pidana, dengan ketentuan:

a. Terlapor meminta maaf kepada Pelapor/Korban;

b. Terlapor berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya baik kepada

Korban atau orang lain;

c. pihak Pelapor/Korban meminta agar Terlapor dididik/dibina di Pondok

Pesantren selama 5 tahun;

d. orang tua Terlapor menyerahkan uang kompensasi kepada Korban sebesar

Rp 300.000,- (Tiga Ratus Ribu Rupiah) diserahkan hari ini juga kepada

orang tua Pelapor/Korban;

e. pihak Korban meminta agar hubungan emosional/sosial antara keluarga

korban, keluarga Terlapor dan lingkungan masyarakat setempat kembali

seperti sediakala.

h. Tahapan perdamaian:

1. Pertemuan musyawarah dilaksanakan pada tanggal 30 Januari 2014 di

Polda Jatim, yang dihadiri oleh para pihak, sebagaimana tersebut di atas.

2. Dalam pertemuan tersebut disepakati oleh para pihak tentang apa saja yang

harus dilakukan oleh pihak Terlapor dan atau keluarganya.

3. Dalam pelaksanaan musyawarah tersebut di atas tercapai kesepakatan,

selanjutnya Penyidik membuat akta kesepakatan perdamaian yang

kemudian ditandatangani oleh para pihak.

4. Selanjutnya penyidik melaksanakan Gelar Perkara.

282

5. Penyidik mengeluarkan Surat Penghentian Penyidikan (SP3), maka perkara

anak dihentikan.

2. a. Nama perdamaian : upaya diversi.

b. Nomor surat dan waktu perdamaian : -, 5 Februari 2014.

c. Jenis perkara : Tindak Pidana Pencabulan dan atau Persetubuhan anak

dibawah umur, Pasal 290 ayat (2), (3) KUHP.

d. Nama pelaku : Viko Juliansyah, 17 tahun.

e. Nama korban : Endang Kusumawati, 10 tahun.

f. Nama para pihak yang menandatangani perdamaian serta posisinya:

1. Suyanto, 40 tahun sebagai Pelapor;

2. Amiyanti, 39 tahun sebagai Orang tua;

3. Viko Juliansyah, 17 tahun sebagai Terlapor;

4. Rahmanto, 50 tahun sebagai Orang tua Terlapor;

5. Tatik Sriati, 49 tahun sebagai Orang tua Terlapor;

7. Faisal Supriyanto, 37 tahun sebagai Tokoh Masyarakat;

8. Hariyanto, 41 tahun sebagai ketua RT.

g. Isi perdamaian:

Hasil yang didapat dari pertemuan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Kedua pihak (pihak Pelapor dan Terlapor) berhasil mencapai kesepakatan/

musyawarah;

2. Pihak Pelapor menyatakan tidak akan menuntut Terlapor untuk diproses

secara hukum pidana, dengan ketentuan:

a. Terlapor meminta maaf kepada Pelapor/Korban dan keluarganya;

283

b. Terlapor berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya baik kepada

Korban atau orang lain;

c. Pihak Pelapor/Korban meminta agar Terlapor dididik/dibina dengan

sebaik-baiknya oleh orang tua Terlapor;

d. Orang tua Terlapor menyerahkan uang kompensasi sebagai bentuk ganti

rugi kepada Korban sebesar Rp 500.000,- (lima ratus ribu rupiah)

diserahkan hari ini juga kepada orang tua Pelapor/ Korban;

e. Pihak Korban meminta agar hubungan emosional/sosial antara keluarga

Korban, keluarga Terlapor dan lingkungan masyarakat setempat kembali

seperti sediakala;

h. Tahapan perdamaian:

1. Pertemuan musyawarah dilaksanakan pada tanggal 5 Februari 2014 di

Polda Jatim, yang dihadiri oleh para pihak, sebagaimana tersebut di atas.

2. Dalam pertemuan tersebut bertujuan mencapai kesepakatan bersama.

3. Penyidik membuat akta kesepakatan perdamaian yang kemudian

ditandatangani oleh para pihak.

4. Penyidik melaksanakan Gelar Perkara.

5. Penyidik mengeluarkan Surat Penghentian Penyidikan (SP3), maka perkara

anak dihentikan.

3. a. Nama perdamaian : upaya diversi.

b. Nomor surat dan waktu perdamaian : -, 2 Maret 2014.

c. Jenis perkara : Tindak Pidana Pencabulan dan atau Persetubuhan anak

dibawah umur, Pasal 290 ayat (2), (3) KUHP.

284

d. Nama pelaku : Adrian Maulana Bakti, 16 tahun.

e. Nama korban : Dewi Adriyani Cynthia, 12 tahun.

f. Nama para pihak yang menandatangani perdamaian serta posisinya:

1. Adi Purwoko, 45 tahun sebagai Pelapor.

2. Ety Kustantri, 40 tahun sebagai Orang tua.

3. Adrian Maulana Bakti , 16 tahun sebagai Terlapor.

4. Budianto, 50 tahun sebagai Orang tua Terlapor.

5. Tatik Sriati, 47 tahun sebagai Orang tua Terlapor.

6. Sumantri, 34 tahun sebagai Paman Terlapor.

7. Mukminin, 47 tahun sebagai Tokoh Agama.

8. Sudarmadji, 52 tahun sebagai Tokoh Masyarakat.

9. Sugiman, 45 tahun sebagai ketua RT.

g. Isi perdamaian:

Hasil yang didapat dari pertemuan adalah sebagai berikut:

1. Kedua pihak (pihak Pelapor dan Terlapor) berhasil mencapai kesepakatan/

musyawarah;

2. Pihak Pelapor menyatakan tidak akan menuntut Terlapor untuk diproses

secara hukum pidana, dengan ketentuan:

a. Terlapor meminta maaf kepada Pelapor/Korban dan keluarganya;

b. Terlapor berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya baik kepada

Korban atau orang lain;

c. pihak Pelapor /Korban meminta agar Terlapor berperilaku yang baik dan

dibina orang tuanya dengan lebih baik;

285

d. orang tua Terlapor menyerahkan uang kompensasi kepada korban sebesar

Rp 650.000,- (enam ratus lima puluh ribu rupiah) dan harus diserahkan

hari ini juga kepada orang tua Pelapor/ Korban;

e. pihak Korban meminta agar hubungan emosional/sosial antara keluarga

Korban, keluarga Terlapor dan lingkungan masyarakat setempat kembali

seperti sediakala.

h. Tahapan perdamaian:

1. Pertemuan musyawarah dilaksanakan pada tanggal 2 Maret 2014 di Polda

Jatim, yang dihadiri oleh para pihak, sebagaimana tersebut di atas.

2. Dalam pertemuan tersebut bertujuan mencapai kesepakatan bersama.

3. Penyidik membuat akta kesepakatan perdamaian yang kemudian

ditandatangani oleh para pihak.

4. Penyidik melaksanakan Gelar Perkara.

5. Penyidik mengeluarkan Surat Penghentian Penyidikan (SP3), maka perkara

anak dihentikan.

Adapun tahap-tahap penyelesaian perkara dengan upaya

diversi/musyawarah di Polda Jawa Timur adalah sebagai berikut:

1. Penyidik mempelajari perkara anak terlebih dahulu termasuk ancaman

hukumannya. Hal ini penyidik mengacu pada ketentuan syarat untuk dapat

dilaksanakan diversi sebagaimana tercantum dalam Pasal 7 ayat (2) UU SPP

Anak;

286

2. Penyidik mengundang kedua belah pihak (Anak dan/atau orang tua/keluarga-

nya, korban dan/atau orang tua/keluarganya, Bapas yang mendampingi anak,

tokoh msyarakat, tokoh agama dan pengacara);

3. Adanya persetujuan dari Anak dan/atau orang tuanya dengan Korban dan/atau

orang tua korban untuk dilaksanakannya upaya diversi/musyawarah;

4. Anak harus benar-benar menyadari kesalahannya dan meminta maaf pada

Korban;

5. Jika tercapai perdamaian maka penyidik membuat berita acara diversi;

6. Penyidik melakukan Gelar Perkara.

Bila UU SPP Anak sudah diberlakukan maka setelah tercapai perdamaian,

penyidik membuat berita acara diversi untuk kemudian dimintakan penetapan

pengadilan. Setelah ada penetapan pengadilan maka dilaksanakan gelar perkara

untuk menghentikan penyidikan. Dengan demikian perkara anak berhenti sampai

tingkat penyidikan saja.330

Pada proses perdamaian untuk menyelesaikan perkara anak yang

berkonflik dengan hukum, anak korban seringkali tidak dihadirkan. Hal ini

bertujuan agar anak korban tidak mengalami trauma atas kejadian yang telah

menimpanya.331

Dari hasil penelitian tersebut dapat diketahui bahwa perkara-perkara anak

yang dapat ditangani dengan upaya diversi/musyawarah di Polda Jawa Timur

maupun di Polrestabes adalah pencabulan, membawa lari perempuan,

persetubuhan, penganiayaan ringan, traficking dan persetubuhan. Peran penyidik

330

Wawancara dengan Yasintha Ma‟u, Loc.cit

331Ibid.

287

dalam menangani perkara anak melalui upaya diversi/musyawarah adalah sebagai

mediator sehingga berhasil selesai dengan perdamaian atau gagal adalah

diserahkan pada para pihak yang berperkara.

4.3.2. Sejumlah Tindak Pidana Yang Dapat Diselesaikan Dengan

Perdamaian/Kekeluargaan/Upaya Diversi di Polda Jatim dan

Polrestabes Surabaya

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Polda Jatim, jumlah

perkara anak antara tahun 2009-2013 secara keseluruhan ada 1005 perkara (tabel

38). Dari jumlah tersebut, menurut Yashinta Ma‟u dan berdasarkan data yang

diperoleh di lokasi penelitian, perkara anak di Polda yang berhasil diselesaikan

dengan upaya diversi adalah 3 (tiga) perkara, terdiri dari 2 perkara persetubuhan

dan 1 perkara pencabulan.

Selanjutnya, jumlah perkara anak di Polrestabes Surabaya antara tahun

2010-2013 secara keseluruhan ada 174 perkara (tabel 36). Dari jumlah tersebut,

menurut keterangan Suratmi dan berdasarkan data yang diperoleh di lokasi

penelitian, perkara anak di Polrestabes yang berhasil diselesaikan dengan

perdamaian/kekeluargaan ada 53 (tabel 37) perkara, terdiri dari 20 perkara

pencabulan, 10 perkara membawa lari perempuan, 21 perkara persetubuhan, 1

perkara penganiayaan, dan 1 lagi perkara traficking.

Berdasarkan keterangan Yashinta Ma‟u, ada beberapa alasan mengapa di

Polda Jatim hanya ada 3 perkara anak yang diselesaikan dengan upaya diversi :

- melihat jenis tindak pidana, ancaman hukuman dan akibat yang ditimbulkan;

- tidak tercapainya kesepakatan untuk berdamai.

288

Dalam menangani anak yang berkonflik dengan hukum, peran penyidik adalah

sebagai mediator sehingga berhasil tidaknya perkara anak diselesaikan dengan

upaya diversi, diserahkan pada hasil kesepakatan para pihak yang berperkara.

- Alasan secara yuridis karena ketentuan diversi dalam UU SPP Anak belum

diberlakukan.

Dengan demikian, jenis tindak pidana yang berhasil diselesaikan dengan

perdamaian/kekeluargaan/upaya diversi di lokasi penelitian yakni di Polda Jatim

dan Polrestabes adalah persetubuhan, pencabulan, membawa lari perempuan,

penganiayaan, dan trafickking.

4.4. Mekanisme Pelaksanaan Diversi

4.4.1. Mekanisme Pelaksanaan Diversi di Negara-Negara Bagian Australia

Sebagaimana telah diuraikan di atas, beberapa negara bagian Australia

melaksanakan diversi di luar SPP Anak dengan beberapa mekanisme. Ketentuan

mengenai mekanisme pelaksanaan diversi di luar SPP Anak, uraian jenis

pelanggaran yang dapat ditangani dengan pelaksanaan diversi, jenis sanksi di

beberapa negara bagian Australia, dapat disajikan pada tabel 40 di bawah ini:

289

Tabel 40 Mekanisme Pelaksanaan Diversi di luar SPP Anak, Uraian Jenis Pelanggaran dan Sanksi di Beberapa Negara Bagian Australia

No

Nama Negara

Peraturan Per-UU-

an

Mekanisme pelaksanaan diversi Uraian jenis-jenis pelanggaran yang dapat ditangani dengan

pelaksanaan diversi Jenis sanksi

1 South Australia, Young Offenders Act 1993

Section 6 : - Police caution : - Informal caution : anak mengakui pelanggaran yang dilakukan,

polisi tidak memproses anak lebih lanjut dan polisi tidak perlu mencatat peringatan informal.

Section 8 (1) : - Formal caution : dicatat di kepolisian, disampaikan kepada wali

anak, dan sebagai bukti. Section 12 (1) : - Family conferences : - Jika dengan caution tidak berhasil diselesaikan maka perkara

anak ditangani dengan Family conferences. Section 7.4 : - Bila dengan Family conferences tidak berhasil juga, maka perkara

anak tersebut diteruskan pada proses peradilan anak

Section 8.1 : Pelanggaran ringan

Section 6 : - tidak mencatat peringatan informal - tidak ditentukan sanksinya Section 8 (1) : - Formal caution : - pembayaran kompensasi/ganti rugi pada

korban; - pelayanan pada masyarakat (tidak lebih dari

75 jam); - permintaan maaf kepada korban. - Section 12 (1) : Family conferences : - permintaan maaf pada korban; - membayar kompensasi pada korban; - memberikan pelayanan pada masyarakat tidak lebih dari 300 jam sesuai kesepakatan pelaku dengan korban.

2 Western Australia, Young Offenders Act 1994

Section 22 : - Peringatan (caution) lisan dan tertulis - anak mengakui pelanggaran yang dilakukan, peringatan dicatat

di kepolisian dan anak diberikan sertifikat peringatan sebagai bukti bila melakukan pelanggaran lagi maka tidak bisa diberikan peringatan lagi tapi perkara anak akan diproses;

Section 26 : - Juvenile justice team (team peradilan anak)

- Sec. 7.g : Pelanggaran ringan - Sec. 22 (3), schedule 1 dan 2: tindak pidana yang tidak dapat diselesaikan melalui diversi adalah tindak pidana kekerasan serius seperti pembunuhan, kekerasan seksual, kecelakaan yang menyebabkan kematian

Section 22 : - membayar ganti rugi kepada korban

pelanggaran

3 Queensland Australia (Juvenile Justice Act 1992)

Section 14 : - police caution : - informal caution : - caution tidak termasuk dalam catatan kriminal anak. Section 16 : - formal caution : - anak mengakui pelanggaran yang dilakukan; - anak setuju untuk diberikan peringatan; - prosedur caution, yaitu dengan memberikan penjelasan kepada

anak tentang tujuan, jenis dan pengaruh pemberian caution Section 30 : - Bila dengan police caution tidak berhasil, maka perkara anak

diselesaikan melalui Youth justice conferences.

Section 14 : Pelanggaran ringan

Section 16 : permohonan maaf kepada korban

4 Tasmania (Youth Justice Act 1997)

Section 8 : - Peringatan informal: anak mengakui pelanggaran, tidak dicatat di

kepolisian; Section 10 : - Peringatan formal: Section 10 : - melalui konferensi masyarakat

- Section 8 : Pelanggaran ringan

Section 10 : - memberi ganti rugi kepada korban; - restitusi; - pelayanan kepada korban (tidak lebih dari 35

jam); - meminta maaf kepada korban; - melakukan hal lain sesuai dengan keadaan

kasus.

5 New South Wales (Young Offenders Act 1997)

Section 13 : - teguran (warning): untuk pelanggaran ringan, tanpa pengakuan

anak, tujuan teguran agar anak memahami tujuan, sifat dan efek teguran, dilakukan pencatatan di kepolisian;

Section 19 : - peringatan (caution):

ada pengakuan anak, ada persetujuan anak, anak berhak diberikan peringatan, peringatan diberikan untuk waktu tidak lebih dari 21 hari.

Section 34.1 huruf a : - Family Conferences

- Sec. 13 : pelanggaran ringan - Sec. 19 : untuk pelanggaran lebih serius.

Section 34.2 dan 34.3 : - membuat keputusan dan rekomendasi,

menentukan hasil konferensi.... - ...memperhatikan prinsip-prinsip yang

ditetapkan dalam bagian ini : ...menciptakan anak bertanggungjawab atas

perilaku menyimpang....

Sumber: Bahan Hukum Primer, diolah.

290

Berdasar tabel 40 di atas dapat dijelaskan bahwa mekanisme pelaksanaan diversi

di negara-negara bagian Australia pada dasarnya adalah sama, hanya istilahnya

yang berbeda. Mekanismenya adalah dengan pemberian caution (peringatan), baik

informal caution maupun formal caution. New South Wales menggunakan

mekanisme pelaksanaan diversi dengan istilah warning (teguran), peringatan

(caution), dan family conferencing (musyawarah keluarga). Warning (teguran)

diberikan untuk pelanggaran ringan, sesuai dengan yang ditentukan oleh undang-

undang, seperti pelanggaran lalu lintas, masuk tanpa ijin. Caution (peringatan)

diberlakukan untuk pelanggaran yang lebih serius, seperti memiliki obat terlarang,

kerusakan properti, dan mencuri.

Family conferencing diberlakukan untuk pelanggaran serius, seperti

penganiayaan, pencurian mobil, dan pengrusakan properti.

4.4.2. Pelaksanaan Diversi Menurut UU SPP Anak

Dalam UU SPP Anak belum diatur mengenai mekanisme pelaksanaan

diversi. Pasal 8 UU SPP Anak hanya mengatur tentang proses diversi yang

dilaksanakan dengan musyawarah, yang melibatkan: anak dan orang tua/walinya,

pembimbing kemasyarakatan, pekerja sosial kemasyarakatan, tenaga

kesejahteraan sosial dan masyarakat (bila diperlukan).

Proses pelaksanaan diversi menurut Pasal 8 UU SPP Anak, dapat disajikan

pada tabel 41 berikut ini :

291

Tabel 41

Proses pelaksanaan diversi menurut UU SPP Anak

No

Nama

Negara,

Peraturan

Per-UU-an

Proses

pelaksanaan

diversi

Uraian jenis-jenis

pelanggaran yang

dapat ditangani

dengan

pelaksanaan

diversi

Jenis sanksi

1 Indonesia,

UU SPP

Anak

Pasal 8 :

Musyawarah

Pasal 7 ayat (2) :

Tindak pidana

yang ancaman

hukumannya di

bawah 7 (tujuh)

tahun.

Pasal 10 ayat (2) :

a. pengembalian kerugian

dalam hal ada korban;

b. rehabilitasi medis dan

psikososial;

c. penyerahan kembali kepada

orang tua/wali;

d. keikutsertaan dalam

pendidikan atau pelatihan di

lembaga pendidikan atau

LPKS paling lama 3 (tiga)

bulan; atau

e. pelayanan masyarakat paling

lama 3 (tiga) bulan.

Sumber : Bahan Hukum Primer, diolah.

Berdasar tabel 41 di atas dapat dijelaskan bahwa dalam UU SPP Anak

tidak mengatur tentang mekanisme pelaksanaan diversi di luar SPP Anak tapi

hanya mengatur tentang proses diversi.

4.5. Konsep Usulan Perumusan Untuk Masa Yang Akan Datang

Sebagaimana telah dipaparkan dalam disertasi ini bahwa dalam UU SPP

Anak diatur mengenai diversi tapi diversi yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) UU

SPP Anak, diversi dilaksanakan oleh penyidik, penuntut umum, dan hakim

pengadilan negeri. Ini berarti diversi dilaksanakan baik di luar maupun di dalam

SPP Anak. Berikut ini rumusan Pasal 7 UU SPP Anak :

292

Pasal 7 :

(1) Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak di

pengadilan negeri wajib diupayakan Diversi.

(2) Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam hal

tindak pidana yang dilakukan:

a. diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan

b. bukan merupakan pengulangan tindak pidana.

Bila diversi dilaksanakan di dalam SPP Anak maka akan menimbulkan

stigma sehingga kesejahteraan anak tidak akan tercapai. Karenanya, penulis

mengajukan suatu konsep untuk di masa yang akan datang (ius constituendum)

tentang pengaturan norma, yaitu :

Konsep Rumusan Pasal 7 UU SPP Anak (ide) :

(1) Sebelum proses penyidikan dimulai maka penyidik anak wajib

mengupayakan pelaksanaan diversi;

(2) Diversi dilaksanakan dengan memberikan teguran, peringatan, dan

musyawarah keluarga;

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di atas dilaksanakan

sesuai dengan berat ringannya tindak pidana yang dilakukan anak;

(4) Diversi dengan teguran dilaksanakan untuk jenis pelanggaran ringan dan

tindak pidana lain yang ditentukan dalam UU ini;

(5) Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), (2), (3), dan (4)

dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan:

a. Diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun;

b. Bukan merupakan pengulangan tindak pidana.

(6) Jika perkara anak tidak berhasil ditangani dengan pelaksanaan diversi

(sebagaimana dimaksud pada ayat 2 di atas), maka perkara anak akan

diproses melalui sistem peradilan pidana anak.

Berkaitan dengan usulan konsep rumusan Pasal 7 UU SPP Anak di masa

yang akan datang tersebut di atas, ada beberapa hal yang perlu diberikan

penjelasan, sebagai berikut:

a. Jenis Sanksi

293

Berdasarkan ancaman pidananya di bawah 7 (tujuh) tahun sesuai dengan

ketentuan pelaksanaan diversi dalam UU SPP Anak.

Dari tindak pidana yang diancam pidana dibawah 7 (tujuh) tahun

diklasifikasikan oleh penulis dan dibagi dengan kategori tindak pidana ringan,

lebih serius, dan serius.

Contoh :

Untuk anak yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana di

bawah 7 (tujuh) tahun dapat dilaksanakan diversi di luar SPP Anak:

a. tindak pidana ringan, maka ancaman pidananya kurang dari 3 (tiga) bulan;

b. tindak pidana lebih serius, maka ancaman pidananya 3 (tiga) bulan sampai

dengan 1 (satu) tahun;

c. tindak pidana serius, maka ancaman pidananya 1 (satu) sampai 7 (tujuh)

tahun.

b. Mekanisme Pelaksanaan Diversi

(1) Mekanisme teguran/ peringatan (informal) diberlakukan untuk tindak

pidana ringan. Peringatan informal oleh polisi dilaksanakan jika anak telah

mengakui tindak pidana yang dilakukan, tidak dilakukan pencatatan di

administrasi kepolisian, dan polisi tidak memproses perkara anak lebih

lanjut/dihentikan. Pada mekanisme teguran/peringatan (informal) ini, tidak

ditentukan jenis sanksinya (Section 6 Young Offenders Act 1993).

(2) Mekanisme peringatan (peringatan formal) diberlakukan untuk tindak

pidana yang lebih serius.

Dalam mekanisme peringatan ini, syaratnya adalah :

294

- anak mengakui tindak pidana yang telah dilakukan, dicatat di administrasi

kepolisian sebagai bukti dan disampaikan kepada wali anak (Section 8.1

Young Offenders Act 1993);

- anak setuju untuk ditangani dengan peringatan, dan anak diberikan

sertifikat peringatan sebagai bukti bila melakukan tindak pidana lagi

maka ia tidak bisa diberikan peringatan lagi tapi perkara anak akan

diproses (Western Australia, Young Offenders Act 1994).

Sanksinya berupa :

- pembayaran kompensasi/ganti rugi pada korban;

- pelayanan pada masyarakat (tidak lebih dari 75 jam);

- permintaan maaf kepada korban ((Section 8.1 Young Offenders Act

1993);

- sanksi dapat juga diberikan sesuai dengan ketentuan adat yang berlaku;

- pelaksanaannya memerlukan waktu maksimal 6 bulan;

- sanksi yang diberikan adalah proporsional.

(3) Mekanisme musyawarah keluarga diberlakukan untuk tindak pidana

serius, yaitu jenis tindak pidana yang ancaman pidananya 1 (satu) sampai

7 (tujuh) tahun.

Untuk mekanisme musyawarah keluarga dalam UU SPP Anak, penulis

mengajukan konsep:

- musyawarah keluarga memerlukan persetujuan anak dan anak korban;

- anak ikut terlibat untuk menentukan pembayaran kompensasi kepada

korban;

295

- anak memberikan pelayanan masyarakat dalam jangka waktu tertentu

(tidak lebih dari 300 jam);

- dilakukan secara tertulis dan diakui oleh anak;

- bila anak meminta maaf kepada korban maka harus dilakukan di

hadapan orang dewasa dan disetujui oleh musyawarah keluarga;

- sanksi dapat juga diberikan sesuai dengan ketentuan adat yang berlaku;

- pelaksanaannya memerlukan waktu maksimal 12 bulan;

- jika anak tidak hadir pada musyawarah keluarga; atau tidak sesuai

dengan persyaratan dari musyawarah keluarga; maka seorang polisi

dapat menyelesaikan tuduhan tindak pidana dimana musyawarah

dilaksanakan sebelum perkara masuk ke Pengadilan.

- meskipun batas waktu yang ditentukan sesuai dengan dimulainya tindak

pidana telah berakhir, maka biaya harus diselesaikan tidak lebih dari 12

bulan setelah batas berakhirnya periode tersebut;

- sanksi yang diberikan adalah proporsional;

- jika semua persyaratan yang dibuat untuk anak ditaati, maka perkara

anak dihentikan/tidak diproses lebih lanjut;

- jika semua persyaratan yang dibuat untuk anak tidak ditaati, maka

perkara anak akan diproses dalam sistem peradilan pidana anak.

Penjelasan mengenai mekanisme pelaksanaan diversi di luar SPP

Anak di atas, penulis mengusulkan untuk dapat dimasukkan dalam :

a. Penjelasan UU SPP Anak (di masa yang akan datang); atau

296

b. Peraturan Pemerintah.

Dengan konsep Pasal 7 UU SPP Anak di atas, yang mengeluarkan kewajiban

Penuntut Umum dan Hakim Pengadilan Negeri untuk melaksanakan diversi maka

mengakibatkan perubahan norma pasal-pasal lain yang berkaitan dengan

kewenangan Penuntut Umum dan Hakim Pengadilan Negeri. Pasal-pasal yang

akan direvisi adalah Pasal 9 ayat (1), Pasal 42, dan Pasal 52 UU SPP Anak.

Pasal 9 ayat (1) UU SPP Anak:

(1) Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam melakukan Diversi harus

mempertimbangkan:

a. kategori tindak pidana;

b. umur Anak;

c. hasil penelitian kemasyarakatan dari Bapas; dan

d. dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat.

Konsep Usulan Rumusan :

Pasal 9 ayat (1) UU SPP Anak :

(1) Penyidik dalam melaksanakan Diversi wajib mempertimbangkan:

a. kategori tindak pidana;

b. umur Anak;

c. hasil penelitian kemasyarakatan dari Bapas; dan

d. dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat.

Pasal 42 UU SPP Anak :

(1) Penuntut Umum wajib mengupayakan Diversi paling lama 7 (tujuh)

hari setelah menerima berkas perkara dari Penyidik.

(2) Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan paling lama

30 (tiga puluh) hari.

(3) Dalam hal proses Diversi berhasil mencapai kesepakatan, Penuntut

Umum menyampaikan berita acara Diversi beserta kesepakatan

Diversi kepada ketua pengadilan negeri untuk dibuat penetapan.

(4) Dalam hal Diversi gagal, Penuntut Umum wajib menyampaikan berita

acara Diversi dan melimpahkan perkara ke pengadilan dengan

melampirkan laporan hasil penelitian kemasyarakatan.

297

Sebagai konsep ke depan untuk menghentikan perkara anak di kepolisian

dalam pelaksanaan diversi, maka dikeluarkan kewajiban Penuntut Umum untuk

melaksanakan diversi, dengan demikian ketentuan ayat (1), (2), (3) Pasal 42 UU

SPP Anak dihapuskan. Konsep rumusan ke depan sebagai berikut :

Konsep usulan rumusan :

Pasal 42 UU SPP Anak :

Dalam hal Diversi gagal dilaksanakan oleh Penyidik, maka Penuntut Umum wajib

menyampaikan berita acara Diversi dan melimpahkan perkara ke pengadilan

dengan melampirkan laporan hasil penelitian kemasyarakatan.

Pasal 52 UU SPP Anak

(1) Ketua pengadilan wajib menetapkan Hakim atau majelis hakim untuk

menangani perkara Anak paling lama 3 (tiga) hari setelah menerima

berkas perkara dari Penuntut Umum.

(2) Hakim wajib mengupayakan Diversi paling lama 7 (tujuh) hari setelah

ditetapkan oleh ketua pengadilan negeri sebagai Hakim.

(3) Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan paling lama

30 (tiga puluh) hari.

(4) Proses Diversi dapat dilaksanakan di ruang mediasi pengadilan negeri.

(5) Dalam hal proses Diversi berhasil mencapai kesepakatan, Hakim

menyampaikan berita acara Diversi beserta kesepakatan Diversi

kepada ketua pengadilan negeri untuk dibuat penetapan.

(6) Dalam hal Diversi tidak berhasil dilaksanakan, perkara dilanjutkan ke

tahap persidangan.

Sebagai konsep ke depan untuk menghentikan perkara anak di kepolisian

dengan pelaksanaan diversi, maka dikeluarkan kewajiban Hakim untuk

melaksanakan diversi, dengan demikian ketentuan ayat (2), (3), (4), dan (5) Pasal

52 UU SPP Anak dihapuskan.

298

Konsep rumusan Pasal 52 UU SPP Anak ke depan sebagai berikut :

(1) Dalam hal diversi tidak berhasil dilaksanakan oleh penyidik, maka perkara

dilanjutkan ke tahap persidangan.

(2) Ketua pengadilan wajib menetapkan hakim atau majelis hakim untuk

menangani perkara anak paling lama 3 (tiga) hari setelah menerima berkas

perkara dari Penuntut Umum.

Konsep di atas diajukan dengan suatu dasar pemikiran dan pertimbangan sebagai

berikut :

1. Berdasarkan acuan yuridis dari konsep yang diajukan adalah diatur dalam :

1) Acuan Yuridis Tentang Pelaksanaan Diversi Di luar Sistem Peradilan

Pidana Anak Menurut Ketentuan Internasional:

- Convention on The Rights of The Child (CRC), Adopted by the General

Assembly of the United Nations on 20 November 1989, Article 40.3 huruf

b; Peraturan Dasar Minimum PBB untuk Pelaksanaan Peradilan Anak

(United Nations Standard Minimum Rules for Administration of Juvenile

Justice - The Beijing Rules), Commentary Rule 17.4; United Nations

Guidelines for the Prevention of Juvenile Delinquency (the Riyadh

Guidelines), Rule 58; United Nations Standard Minimum Rules for Non-

Custodial Measures (The Tokyo Rules), Rule 5, yang pada pokoknya

menentukan tentang langkah-langkah untuk menangani perkara anak tanpa

menggunakan proses peradilan dengan kemungkinan rujukan untuk

mengalihkan anak dari sistem peradilan.

Beberapa ketentuan internasional di atas memberikan peluang bagi negara-

negara anggota untuk menangani anak yang berkonflik dengan hukum

dengan pelaksanaan diversi diluar SPP Anak.

299

2) Acuan Yuridis tentang Pelaksanaan Diversi Di luar Sistem Peradilan Pidana

Anak Menurut Ketentuan Beberapa Negara Bagian Australia:

- South Australia diatur dalam Young Offenders Act 1993, Section 6.1;

Western Australia diatur dalam Young Offenders Act 1994, Section 7.g;

Northern Territory diatur dalam Police Administration Act; Queensland

Australia diatur dalam Juvenile Justice Act 1992 Section 14; Tasmania ,

diatur dalam Youth Justice Act 1997, Section 8; New South Wales, diatur

dalam Youth Justice Act 1997 Section 3, yang pada pokoknya

menentukan tentang polisi mengalihkan anak yang melakukan

pelanggaran dari sistem peradilan pidana dengan tidak memproses anak

lebih lanjut.

Beberapa peraturan perundang-undangan di negara-negara bagian

Australia di atas mengatur ketentuan pelaksanaan diversi di luar SPP

Anak oleh polisi untuk menangani anak yang berkonflik dengan hukum.

3) Acuan Yuridis tentang Pelaksanaan Diversi Menurut Undang-Undang

Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia:

Pasal 7 ayat (1) : Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan

perkara anak di pengadilan negeri wajib diupayakan diversi.

Ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU SPP Anak di atas mengatur tentang

pelaksanaan diversi, baik di luar maupun di dalam sistem peradilan

pidana anak.

4) Berdasarkan Kondisi Penanganan Anak yang Berkonflik dengan Hukum

di Polrestabes Surabaya dan di Polda Jawa Timur

300

- Penanganan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum di

Polrestabes Surabaya dan di Polda Jawa Timur sudah dilakukan

dengan pelaksanaan diversi di luar sistem peradilan pidana anak (sub

bab 4.3 disertasi ini).

2) Acuan Yuridis tentang Tahap Pelaksanaan Diversi Di luar Sistem Peradilan

Pidana Anak di Beberapa Negara Bagian Australia.

1) Peringatan informal

- South Australia dalam Young Offenders Act 1993, Section 6 : ...polisi

dapat memberikan peringatan informal....

- Western Australia dalam Young Offenders Act 1994, Section 22A :

...memungkinkan polisi untuk memberikan peringatan pada anak....

- Queensland dalam Juvenile Justice Act 1992, Section 14 :

...menghimbau polisi untuk memberikan peringatan pada anak....

- Tasmania dalam Youth Justice Act 1997 Section 8 : ... petugas boleh

memberikan peringatan informal....

- New South Wales dalam Young Offenders Act 1997 Section 13:

...pelanggaran yang dapat diberikan teguran adalah pelanggaran

ringan....

2) Peringatan formal

- South Australia dalam Young Offenders Act 1993, Section 8 (1): ...polisi

dapat memberikan peringatan formal....

- Western Australia dalamYoung Offenders Act 1994, Section 22 : ...

peringatan dapat diberikan secara... tertulis....

301

- Queensland dalam Juvenile Justice Act 1992, Section 14:

...menghimbau petugas polisi untuk memberikan peringatan pada

anak....

- Tasmania dalam Youth Justice Act 1997 Section 10 : ... jika peringatan

formal diberikan...polisi menjelaskan pada anak..

- New South Wales dalam Young Offenders Act 1997 Section 19:

...peringatan resmi polisi pada pelanggaran berikutnya....

3) Konferensi:

- South Australia dalam Young Offenders Act 1993, Section 11 dan 12

(1): ...family conferencing...dapat memberikan peringatan formal....

- Western Australia dalamYoung Offenders Act 1994, Section 23 A.2

huruf f: ...nama-nama orang yang hadir ketika peringatan

diberikan....

- Queensland dalam Juvenile Justice Act 1992, Section 30 (1) : ...proses

konferensi untuk anak yang melakukan pelanggaran....

- Tasmania dalam Youth Justice Act 1997, Section 10 (2) : ...jika seorang

polisi memberi peringatan resmi....

- New South Wales dalam Young Offenders Act 1997 Section 34.2 :

...tujuan konferensi adalah untuk membuat keputusan dan

rekomendasi...menentukan hasil konferensi yang berhubungan dengan

anak....

2. Bila ditinjau dari kajian teoritik, sebagai pisau analisis permasalahan disertasi

ini, yang dipergunakan sebagai landasan teori, yakni teori labeling (labeling

302

theory) yang dikemukakan oleh Lemert dan Reintegratif Shaming oleh

Braitwaite, teori perlindungan anak dari Hadi Supeno, teori keadilan justice as

fairness dari John Rawls serta teori kebijakan formulasi dari G. Peter

Hoefnagels, Barda Nawawi Arief dan Muladi. Menurut Lemert, sebagian

besar kenakalan yang diproses melalui sistem peradilan berupa penahanan,

adanya sidang atau diinstitusionalkan akan sampai pada tahap devian sekunder.

Pada tahap devian sekunder ini, maka terhadap anak tidak ada gunanya

mengubah pola tingkah lakunya sejak ia ditentukan sebagai orang yang tidak

baik dan secara berlanjut dinyatakan sebagai bertingkah laku negatif (sub-bab

2.1.4 disertasi ini). Dalam hal ini adalah terhadap anak yang berkonflik dengan

hukum, maka tidak ada gunanya mengubah pola tingkah lakunya sejak ia

ditentukan sebagai orang yang tidak baik, karenanya penanganan perkara anak

lebih baik dilakukan sejak awal, yakni dengan melaksanakan diversi di luar

SPP Anak.

- Selain menghindarkan anak dari stigma, diversi juga bertujuan mendorong

anak untuk menjadi anggota masyarakat yang bertanggungjawab. Hal ini diatur

dalam Pasal 6 UU SPP Anak, yaitu untuk menanamkan rasa tanggungjawab

pada anak. Karenanya teori reintegratif shamming dari Braithwaite juga

digunakan untuk menganalisis permasalahan disertasi ini.

- Dalam teori reintegrative shaming, pelaku merasa malu saat ia mengetahui

bahwa perbuatan yang telah dilakukan adalah salah tetapi pelaku masih tetap

diperbolehkan masuk kembali dalam kelompoknya. Harapan dari Reintegrative

shaming adalah pelaku akan bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan

303

dan tidak akan mengulangi kejahatan lagi. Dalam hal ini adalah anak yang

berkonflik dengan hukum, sebagai pihak yang bersalah maka salah satu bentuk

sanksinya adalah meminta maaf kepada korban di hadapan orang-orang

dewasa, maka anak akan merasa dipermalukan. Harapannya, akan

menumbuhkan rasa tanggungjawab pada anak karena telah mengakui

kesalahan dan meminta maaf pada korban serta berjanji tidak akan mengulangi

perbuatannya baik pada korban maupun orang lain (sub bab 4.4 disertasi ini,

tentang kondisi penanganan anak di Polrestabes dan Polda Jawa Timur).

- Hadi Supeno mengemukakan masa kanak-kanak adalah ketika seorang pribadi

tumbuh dan berkembang mencapai kedewasaan diri. Pada saat itu, akan

melewati peristiwa-peristiwa yang positif dan negatif yang akan membekali

anak menjadi dewasa. Sebagai suatu proses, dia tidak selayaknya menanggung

hukuman berat sampai pemenjaraan karena efeknya adalah pematian masa

depan anak (sub bab 2.1.2 disertasi ini). Karenanya pada masa anak mengalami

proses tumbuh kembang selayaknya mereka mendapatkan perlindungan dari

orang tuanya, masyarakat maupun pemerintah. Terhadap anak yang berkonflik

dengan hukum tidak diproses melalui sistem peradilan pidana anak tapi

seyogyanya ditangani dengan pelaksanaan diversi di luar SPP Anak.

- Teori keadilan justice as fairness dari John Rawls menyatakan bahwa keadilan

dianggap memadai bila dibentuk dengan pendekatan kontrak, prinsip keadilan

yang dipilih sebagai pegangan bersama merupakan hasil kesepakatan bersama

dari semua pihak yang bebas, rasional dan sederajat. Prinsip utama keadilan

adalah kebebasan yang sama sebesar-besarnya, asalkan tetap menguntungkan

304

semua pihak, dan prinsip ketidaksamaan yang digunakan untuk keuntungan

pihak yang paling lemah. Dalam hal ini adalah terhadap anak yang berkonflik

dengan hukum sebagai pihak yang lemah untuk mendapatkan keadilan. Dengan

pelaksanaan diversi di luar SPP Anak melalui tahap teguran, peringatan, dan

musyawarah keluarga menurut penulis dapat menciptakan keadilan bagi anak

karena asas proporsional terpenuhi. Anak yang berkonflik dengan hukum akan

ditangani berdasarkan tahap sesuai dengan tindak pidana yang dilakukan.

- Teori kebijakan formulasi dari G. Peter Hoefnagels, Barda Nawawi Arief dan

Muladi menyatakan bahwa kebijakan legislatif dan penegakan hukum

merupakan bagian dari kebijakan sosial. Untuk menangani anak yang

berkonflik dengan hukum perlu dilakukan dengan pendekatan kebijakan, dalam

arti ada keterpaduan antara politik kriminal dengan politik sosial dan upaya

penanggulangan kejahatan dengan pendekatan non penal.

3. Pertimbangan Sosiologis

Berdasarkan pendapat para ahli hukum, maka dapat dijadikan acuan sebagai

dasar untuk mendukung temuan dan pikiran dalam penelitian disertasi tentang

kebijakan formulasi pengaturan ketentuan pelaksanaan diversi di luar SPP

Anak untuk perlindungan dan kesejahteraan anak, antara lain adalah:

a. Sudigno Mertokusumo mengatakan bahwa hukum berfungsi sebagai

pelindung kepentingan manusia harus dilaksanakan secara normal dan

damai (sub bab 2.1.2 disertasi ini). Artinya bahwa dari pendekatan

sosiologis dapat diketahui bahwa fungsi hukum adalah untuk melindungi

kepentingan manusia yang dilaksanakan secara normal dan damai.

305

Pelaksanaan diversi di luar SPP Anak adalah bentuk penanganan perkara

yang menghasilkan perdamaian antara pelaku dan korban, keluarga

mereka masing-masing serta memulihkan kondisi masyarakat pada

keadaan semula. Diversi dilaksanakan dengan menghadirkan para pihak,

yaitu anak dan/atau keluarganya, anak korban dan/atau keluarganya, tokoh

masyarakat, tokoh agama, dan lain sebagainya.

b. Sudarto mengatakan bahwa tujuan utama perlindungan hukum adalah

mewujudkan kesejahteraan anak disamping kepentingan masyarakat,

namun demikian kepentingan anak tidak boleh dikorbankan demi

kepentingan masyarakat (sub bab 2.1.2 disertasi ini). Hal ini berarti

kepentingan anak dan kepentingan masyarakat sama-sama mendapatkan

perlindungan. Artinya, dengan pelaksanaan diversi di luar SPP Anak untuk

menangani anak yang berkonflik dengan hukum berarti antara kepentingan

anak untuk tetap mendapatkan perlindungan dan kesejahteraan dapat

terwujud, demikian juga kepentingan masyarakat juga tetap dilindungi.

c. M. Nasir Djamil mengatakan bahwa anak bukan untuk dihukum melainkan

harus diberikan bimbingan dan pembinaan, sehingga bisa tumbuh normal,

sehat dan cerdas seutuhya (sub bab 2.1.2 disertasi ini). Artinya,

penanganan anak yang berkonflik dengan hukum di dalam SPP Anak akan

menimbulkan stigma sehingga kesejahteraan anak tidak tercapai. Bila

demikian, maka anak tidak bisa tumbuh normal, sehat dan cerdas. Untuk

itulah, diperlukan penanganan pelaksanaan diversi di luar SPP Anak agar

anak dapat dikembalikan kepada orang tua atau keluarganya sehingga

306

dapat diberikan bimbingan dan pembinaan agar ia tumbuh secara normal,

sehat dan cerdas secara utuh.

4) Pertimbangan Filosofis

Bangsa Indonesia berdasarkan Pancasila, mempunyai nilai-nilai sosial budaya

yang amat tinggi dan memperhatikan keselarasan, keseimbangan antara

kehidupan individu dengan masyarakat juga mengayomi orang yang tersesat

dengan memberi bimbingan dan pembinaan.332

Dalam hal ini, anak yang

berkonflik dengan hukum adalah sebagai orang yang tersesat karena

melakukan tindak pidana maka lebih baik diayomi dibawah bimbingan dan

pembinaan orang tuanya.

332

Made Sadhi Astuti, Pemidanaan..., Op.cit., hlm. 87.

307

BAB V

PENUTUP

5.1. Simpulan

Berdasarkan pembahasan dari hasil penelitian dalam disertasi ini, dapat

disimpulkan sebagai berikut :

5.1.1. Dasar filosofi kebijakan formulasi pengaturan ketentuan pelaksanaan

diversi di luar sistem peradilan pidana anak di masa yang akan datang

dalam rangka perlindungan dan kesejahteraan anak meliputi beberapa hal

berikut ini :

- asas persamaan hak, asas keadilan, asas bebas dari rasa takut, asas

perlindungan, asas kesejahteraan, dan aturan diterapkan sesuai dengan

budaya negara.

Asas-asas di atas terkandung dalam konsiderans beberapa ketentuan

internasional tentang anak, konsiderans beberapa peraturan perundang-

undangan nasional tentang anak, dan dasar filosofi peradilan anak

menurut pendapat para sarjana. Selain itu juga asas kepentingan terbaik

bagi anak (the best interest of the child) yang diatur dalam KHA.

5.1.2. Kebijakan formulasi pengaturan ketentuan pelaksanaan diversi yang

mencerminkan prinsip perlindungan dan kesejahteraan bagi anak yang

berkonflik dengan hukum di masa yang akan datang didasarkan atas :

307

308

a. Beberapa ketentuan internasional tentang anak, yang pada intinya

memberikan peluang bagi negara-negara anggota untuk menangani

anak yang berkonflik dengan hukum di luar SPP Anak;

b. Beberapa peraturan perundang-undangan negara bagian Australia yang

mengatur pelaksanaan diversi di luar SPP Anak;

c. Kondisi penanganan anak yang berkonflik dengan hukum dengan

melaksanakan diversi di luar SPP Anak dalam praktek;

d. Mekanisme pelaksanaan diversi di luar SPP Anak di beberapa negara

bagian Australia.

Hal- hal yang perlu diperhatikan dalam formulasi UU SPP Anak terkait

dengan ketentuan pelaksanaan diversi di luar SPP Anak adalah sebagai

berikut:

a. Polisi selaku penyidik sebagai garda terdepan dalam perkara anak

memiliki kewajiban untuk melaksanakan diversi.

b. Untuk menghindari pengaruh negatif dari stigmatisasi terhadap

anak, maka penuntut umum dan hakim perlu dikeluarkan dari

kewajiban untuk melaksanakan diversi.

c. Pelaksanaan diversi dilakukan dengan mekanisme:

1. Teguran/peringatan (informal), berlaku untuk tindak pidana

ringan;

2. Peringatan (formal), berlaku untuk tindak pidana yang lebih

serius;

309

3. Musyawarah keluarga, berlaku untuk tindak pidana serius.

Musyawarah keluarga melibatkan: anak dan/atau keluarganya,

korban dan/atau keluarganya, tokoh masyarakat, tokoh agama,

guru (bila tindak pidana terjadi di sekolah), advokat/pengacara,

pembimbing kemasyarakatan atau LSM yang peduli masalah

anak, dan polisi anak sebagai mediator.

5.2. Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dalam disertasi ini,

beberapa hal yang disarankan adalah berikut ini :

a. Perlu diadakan perubahan terhadap UU SPP Anak terutama terkait dengan

diversi yang meliputi:

1. Pengertian diversi yang diatur dalam Pasal 1 angka 7 UU SPP Anak

hendaknya diselaraskan dengan pengertian diversi sebagaimana

tercantum dalam Commentary Rule 11 The Beijing Rules, bahwa

diversi merupakan proses melimpahkan perkara anak dari sistem

peradilan pidana kepada sistem informal, seperti

mengembalikan kepada lembaga sosial masyarakat, baik

pemerintah negara maupun non pemerintah.

2. Perlu menambahkan pengacara (advokat) sebagai para pihak yang

terlibat dalam proses diversi (Pasal 8 UU SPP Anak) untuk

musyawarah yang mendampingi Anak.

310

3. Dalam rangka mengisi kekosongan hukum perlu diadakan

penambahan dalam Pasal 7 ayat (1) UU SPP Anak tentang

mekanisme pelaksanaan diversi dengan :

a. Teguran/peringatan (informal);

b. Peringatan (formal);

c. musyawarah keluarga.

b. Perlu diadakan perubahan alur penanganan perkara anak dengan

pelaksanaan diversi di luar SPP Anak di masa yang akan datang dalam

rangka perlindungan dan kesejahteraan anak yang disajikan berikut ini:

Bagan 4

311

c. Perubahan ketentuan diversi dalam UU SPPA hendaknya mengacu pada

prinsip-prinsip yang terkandung dalam instrumen internasional disesuaikan

dengan kebutuhan dan kondisi sosial budaya di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Buku dan Hasil Penelitian :

Apeldoorn, L.J. van. Pengantar Ilmu Huku. diterjemahkan oleh Oetarid Sadino,

Jakarta: Pradnya Paramita, 1980.

Abdul Ghofur Anshari. Filsafat Hukum. Yogyakarta: Gajah Mada University

Press, 2005.

Abdul Manan. Hukum dan politik. Jakarta: Prenada Media Group, 2006.

Abintoro Prakoso. Diskresi Pada Tahap Penyidikan Dalam Mewujudkan

Perlindungan Hukum Bagi Anak Nakal. Disertasi Program Doktor Ilmu

Hukum Pascasarjana Universitas Brawijaya. Malang, 2010.

Agung Wahyono dan Siti Rahayu. Tinjauan Tentang Peradilan Anak di

Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 1993.

Agus Yudha Hernoko. Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak

Komersial. Yogyakarta: Laksbang Mediatama, 2008.

A. Gunawan Setiardja. Hak-hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila.

Yogyakarta: Kanisius, 1993.

Arif Gosita. Masalah Perlindungan Anak. Jakarta: Akademi Pressindo, 1989.

____________. Sanksi Alternatif Sebagai Fokus Pembinaan Anak Pidana Saran

Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia. Disertasi Program Doktor Ilmu

Hukum Pascasarjana Universitas Indonesia. Jakarta, 2003.

Bambang Poernomo. Pandangan Terhadap Asas-Asas Umum Hukum Acara

Pidana. Yogyakarta: Liberty, 1982.

Bambang Sutiyoso. Reformasi Keadilan dan Penegakan Hukum di Indonesia.

Yogyakarta: UII Press, 2010.

Bambang Waluyo. Penelitian Hukum Dalam Praktek. Jakarta: Sinar Grafika,

1991.

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan

Penyusunan Konsep KUHP Baru. Semarang: Prenada Media Group, 2011),

hlm. 213.

_______________. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan

Kejahatan. Jakarta: Citra Aditya Bakti, 2001.

Becker, Howard S. Outsiders : Studies in the Sociology of Deviance. New York:

Free Press, 1963.

Box, Steven Deviance. Reality and Society, New York, Sidney, Toronto: Holt,

Rinehart and Winston Ltd, 1981.

Braithwaite, John, Shame, Crime and Reintegration, Cambridge: Cambridge

University Press, 1989.

Bynum, Jack E. dan Thomson, William E. Juvenile Delinquency a Sociological

Approach. Boston: Allyn and Bacon A Peason Education Company, 2002.

Consedine, Jim. Restorative Justice Healing The Effects of Crime. New Zealand:

Ploughshares Publication, 2003.

Cunnen, C. and White, R. Juvenile Justice : An Australian Erspective. Oxford:

Oxford University Press, 1995.

Challinger, D. Police Action and the Prevention of Juvenile Delinquency, In A.

Borowski and JM. Murray (eds.) Juvenile Delinquency in Australia. NSW:

Methuen Australia.

Danto, Bruce L. “Approaches to the Violent Criminal, International Journal of

Offender Theraphy and Comparative Criminology”, 1979.

Djaali Pudji Muljono, M. Said Saile, dan Ramly. Hak Asasi Manusia (Suatu

Tinjauan Teoritis dan Aplikasi). Jakarta: Restu Agung, 2003.

Erikson, K.T. Notes on Sociology of Deviance, Social Problems, 1962.

Frans Magnis Suseno. Etika Politik Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan

Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999. Dikutip dari Kennecht

Folk, dikutip dari Marlina.

Friedrich Carl Joachim. Filsafat Hukum Perspektif Historis. Bandung: Nuansa

dan Nusamedia, 2004.

Frans Magnis Suseno. Etika Politik Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan

Modern. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999.

Folk, Kenneht. Early Intervention: Diversion and Youth Conferencing, A national

review of current approach to diverting juvenile from the criminal justice

system. Australia: Canberra, Commonwealth of Australia. Government

Attorney-general’s Departement, 2003.

George Zdenkowski, Chris Ronald, Mark Richardson (Ed.). The Criminal Justice

System Volume Two. Sydney and London: Pluto Press, 1987.

Hangama Anwari. Justice for The Children: The situation for children in conflict

with the law in Afghanistan. UNICEF and AIHRC, tanpa tahun.

Hoefnagels, G. Peter. The Other Side of Criminology An Inversion of the Concept

of Crime. Holland: Kluwer-Deventer, 1972.

Harifni A. Tumpa. Peluang dan Tantangan Eksistensi Pengadilan HAM di

Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010.

Huijbers Theo. Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah. Yogyakarta: Kanisius,

1986.

HM. Wahyudin Husein dan H. Hufron. Hukum, Politik & Kepentingan.

Yogyakarta: Laksbang Pressindo, 2008.

Irma Setyowati Soemitro. Aspek Hukum Perlindungan Anak. Jakarta: Bumi

Aksara, 1990.

JCT Simorangkir dkk. Kamus Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2008.

Johnny Ibrahim. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang:

Bayumedia Publishing, 2005.

Kaelan. Filsafat Pancasila Pandangan Hidup Bangsa Indonesia. Yogyakarta:

Paradigma, 2002.

Koesno Adi. Diversi Sebagai Alternatif Penanggulangan Tindak Pidana

Narkotika oleh Anak. Malang: UMM Press, 2009.

__________. Kebijakan Kriminal dalam Sistem Peradilan Pidana yang

Berorientasi pada kepentingan Terbaik Bagi Anak. Pidato Pengukuhan

Jabatan Guru Besar dalam Bidang Ilmu Hukum Universitas Brawijaya.

Malang, 2009.

Kratcoski, Peter C. Correctional Counseling and Treatment. USA: Waveland

Press Inc., 2004.

Kittipong Kittiyarah, “Restorative Justice: Thai Experience”, UNAFEI, Series,

No. 63, 2004.

Lemert, E.M. Human Deviance, Social Problems and Social Control. New York:

Prentice-Hall, 1967.

Lilik Mulyadi. Kapita Selekta Hukum Pidana, Kriminologi dan Viktimologi.

Jakarta: Djambatan, 2004.

Lundman, Richard J. Prevention and Control of Juvenile Delinquency. New

York: Oxford University Press, 1993.

Made Sadhi Astuti. Pemidanaan Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana.

Malang : IKIP Malang, 1997.

_______________. Hukum Pidana Anak dan Perlindungan Anak. Malang: UMM

Press, 2002.

M. Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP.

Jakarta: Pustaka Kartini, 1993.

Maidin Gultom. Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan

Pidana Anak di Indonesia. Bandung: Refika Aditama, 2006.

_______________.Hukum Pidana Anak dan Perlindungan Anak. Malang:

Penerbit Universitas Negeri Malang, 2003.

Marlina. “Diversi dan Restorative Justice sebagai Alternatif Perlindungan

terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum”. Medan: Pusat Kajian

dan Perlindungan Anak, 2007.

____________. Peradilan Pidana Anak di Indonesia. Bandung: Refika Aditama,

2009.

____________. Pengantar Konsep Diversi dan Restorative Justice dalam Hukum

Pidana. Medan: USU Press, 2010.

M. Nasir Djamil. Anak Bukan Untuk Dihukum, Catatan Pembahasan UU Sistem

Peradilan Pidana Anak (UU-SPPA). Jakarta: Sinar Grafika, 2013.

Muhammad Aenur Rosyid. Alternatif Model Penanganan Anak Yang Berkonflik

dengan Hukum Melalui Family Group Conferencing (Analisis Yuridis

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak). Tesis Program Studi Magister Ilmu Hukum

Fakultas Hukum Universitas Brawijaya. Malang, 2013.

Muhammad Ali. Pengembangan Kausening Polisi Sebagai Diskresi Dalam

Penyidikan Anak Delinkuen Di Indonesia. Disertasi Program Doktor Ilmu

Hukum Pascasarjana Universitas Airlangga. Surabaya, 1997.

Muhammad Joni. Hak-Hak Anak Dalam UU Perlindungan Anak dan Konvensi

PBB tentang Hak Anak: Beberapa Isu Hukum Keluarga. Jakarta: Komisi

Nasional Perlindungan Anak, tanpa tahun.

Muladi. Kapita Selekta Hukum Pidana. Semarang: Universitas Diponegoro, 1995.

________dan Barda Nawawi Arif. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana.

Bandung: Alumni, 1992.

_________dan Barda Nawawi Arief. Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Bandung:

Alumni, 2005.

M. Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP.

Jakarta: Pustaka Kartini, 1993.

Mannheim. Comparative Criminology. A Textbook”. Vols. I and II. London: 2nd

impression, 1966.

Mardjono Reksodipoetro. “Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat kepada

kejahatan dan penegakan hukum dalam batas-batas toleransi)”. Pidato

Pengukuhan Penerimaan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum

pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia,

1993.

_____________. “Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Peran Penegak Hukum

Melawan Kejahatan)”. dikutip dari Hak Asasi Manusia dalam Sistem

Peradilan Pidana, 1994.

_______________. Bungai Rampai Permasalahan dalam Sistem Peradilan

Pidana. Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum d/h

Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 1994.

Purnianti, Mamik Sri Supatmi, dan Ni Made Martini Tinduk. Analisa Situasi

Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice System) di Indonesia.

UNICEF: Indonesia, 2003.

Nurini Aprilianda. Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak Sebagai Upaya

Pencegahan Stigmatisasi Anak. Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum

Pascasarjana Universitas Airlangga. Surabaya, 2011.

Panduan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Departemen Pendidikan

dan Kebudayaan Republik Indonesia. Pedoman Umum Ejaan Bahasa

Indonesia Yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan istilah.

Cetakan Ke VII. Bandung: Pustaka Setia, 2005.

Packer, Herbert L. The Limit of the Criminal Sanction. California: Stanford

University Press, 1968.

Paulus Hadisuprapto. Delinkuensi Anak: Pemahaman dan Penanggulangannya.

Malang: Bayumedia Publishing, 2008.

__________________. Pemberlakuan Malu Reintegratif Sebagai Sarana

Nonpenal Penanggulangan Perilaku Delinkuensi Anak (Studi Kasus di

Semarang dan Surakarta). Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum

Pascasarjana Universitas Diponegoro. Semarang, 2003.

Paul C. Friday and V. Lorne Stewart (Eds). Youth Crime and Juvenile Justice.

Published in Corporation with the American Society of Criminology, 1977.

Peter Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana, 2007.

Philipus M. Hadjon. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia. Surabaya: Bina

Ilmu, 1997.

Rawls, John. A Theory of Justice, Penerjemah Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo,

Teori Keadilan Dasar-dasar Filsafat Politik untuk mewujudkan

Kesejahteraan Sosial dalam Negara. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.

Romli Atmasasmita. Kepenjaraan: Dalam Suatu Bunga Rampai. Bandung:

Armico, 1983.

_________________. Sistem Peradilan Pidana, Perspektif Eksistensialisme dan

Abolisionisme. Bandung: Bina Cipta, 1996.

__________________(ed). Peradilan Anak di Indonesia. Bandung: Mandar Maju,

1997.

Satjipto Rahardjo. Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya. Jakarta:

Genta Publishing, 2009.

_______________. Penyelenggaraan Keadilan dalam Masyarakat yang Sedang

Berubah. Artikel dalam Jurnal Masalah Hukum, 1993.

____________. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bhakti, 1996.

Setya Wahyudi. Implementasi Ide Diversi Dalam Pembaruan Sistem Peradilan

Pidana Anak di Indonesia. Yogyakarta: Genta Publishing, 2011.

Schur, Edwin M. Radical Non-Intervention Rethinking The Delinquency Problem,

Englewood Cliffts. New Jersey: Prentice-Hall, 1973.

Shelden, Randall, G. Detention Diversion Advocacy: An Evaluation. Washington

DC U.S: Departement of Justice.

Siegel, Larry J. Juvenile Delinquency. United State Of America: Wadswort, 1986.

S. Prajudi Atmosudirjo. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Ghalia Indonesia,

1994.

Soedjono Dirdjosisworo. Sinopsis Kriminologi Indonesia. Bandung: Mandar

Maju, 1994.

Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI-PRESS, 1986.

_______________dan Sri Mamudji.Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan

Singkat. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007.

Sri Widoyati Soekito. Anak dan Wanita Dalam Hukum. Jakarta: LP3ES, 1983.

Subandi Al Marsudi. Pancasila dan UUD‟45 dalam Paradigma Reformasi.

Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001.

Sudigno Mertokusumo. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty,

1996.

Sudarto. Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung: Alumni, 1981.

Sunaryati Hartono. Kapita Selekta Perbandingan Hukum, Malang: Citra Aditya

Bakti, 1991.

Syaifudin, Materi Dasar Studi Tentang Kejahatan, Banjarmasin: Lambung

Mangkurat University Press, 1995.

Tannenbaum, Frank. Crime and the Community. New York: Columbia University

Press, 1938.

Teitel, Ruti G. Keadilan Transisi Sebuah Tinjauan Komprehensif. Jakarta: Elsam.

Tanpa Tahun.

Turiman. Memahami Hukum Progresif Satjipto Rahardjo Dalam Paradigma

“Thawaf” (Sebuah Komtemplasi Bagaimana Mewujudkan Teori Hukum

yang Membumi/Grounded Theory Meng-Indonesia). Dikutip dari Disertasi

Program Doktor Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Diponorogo, 2010.

Ulan, Andre Ata. Keadilan dan Demokrasi, Telaah Filsafat Politik John Rawls.

Kanisius: Yogyakarta, 2001.

Umbreit, Mark.“Avoding the Marginnalization and „McDonaldization‟ of Victim-

offender mediation: A Case Study in Moving Toward the Mainstream” in

Restorative Juvenile Justice Repairing the Harm of Youth Crime”, edited by

Gordon Bazemore and Lode Walgrave Monsey. New York: Criminal

Justice Press, 1999.

Umi Chulsum dan Windy Novia. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Surabaya:

KASHIKO, 2006.

United Nations. Handbook on Restorative Justice Programmes. New York:

United Nations Publication, 2006.

Wagiati Soetodjo. Hukum Pidana Anak. Bandung: Refika Aditama, 2005.

Walker. Training The System The Control of Discretion in Criminal Justice 1950-

1990. New York: Oxford University Press, 1993.

Zeir, Howard. The Little Book of Restorative Justice. PA: Good Books, 2002.

Makalah dan Jurnal :

Abdul Hakim Garuda Nusantara. “Prospek Perlindungan Anak”. Makalah

disampaikan pada Seminar Perlindungan Hak-hak Anak. Jakarta, 1986.

Arif Gosita. “Aspek Hukum Perlindungan Anak dan Konvensi Hak-Hak Anak”.

Era Hukum. Jurnal Ilmiah Ilmu Hukum No.4/Th.V/April 1999. Jakarta:

Fakultas Hukum Tarumanagara, 1999.

Artidjo Alkostar. “Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Penegakan Hukum

Dewasa Ini”. Makalah disampaikan dalam rangka Dies Natalis UII ke 51

Universitas Islam Indonesia. Yogyakarta, 1993.

Danto, Bruce L. “Approaches to the Violent Criminal, International Journal of

Offender Theraphy and Comparative Criminology”, 1979.

Ediwarman. “Peradilan Anak di persimpangan Jalan Dalam Perspektif

Victimology (Belajar dari Kasus Raju)”. Volume 18 Nomor 1. Pekan Baru :

Jurnal Mahkamah, April 2006.

Maher, Gerry. “Age and Criminal Responsibility, Ohio State Journal of Criminal

Law”, Vol 2: 493.

Marlina. “Penerapan Konsep Diversi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana

Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak”. Jurnal Equality. Vol. 13 No. 1

Februari 2008.

Marzuki Darusman, “Hak-hak Asasi Manusia dan Supremasi Hukum”, Majalah

Hukum Pro Justitia Tahun XVII Nomor 4 Oktober. Bandung: FH Unpar,

1999.

Newel, Peter. “Taking Children Seriously, A Proposal For Children’s Rights

Commisioner,” London: Colouste Gulbenkian Foundation.

Nonot Suryono. “Implementasi Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 Terhadap

Anak Konflik Hukum (AKH) dalam Kasus Berita Acara Penolakan Bantuan

Hukum”, SCCC (Surabaya Children Crisis Center). Makalah disampaikan

pada Seminar Sehari Fakultas Hukum Universitas Kartini. Surabaya, 10

Maret 2012.

Salman Luthan. “Proyeksi Harmonisasi Konvensi Menentang Penyiksaan Dengan

Hukum Pidana Nasional”. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional

Kerjasama Departemen Hukum Internasional – Fakultas Hukum Universitas

Islam Indonesia dengan ELSAM. Yogyakarta, 1995.

Tim KPAI: Indonesia Negara Terbanyak Memidana Anak. Kompas, 16 Juli 2009.

Yanuar Firda Wismayanti. Model Penanganan Anak Berkonflik Hukum. Jurnal

“Informasi” Vol. III No. 3 September-Oktober 2007, hlm. 42.

Internet :

Anak Bersinar Bangsa Gemilang,

http://anakbersinar.com/news/detail/id/95/Perlindungan-Anak.html, 06/07/

2013.

Ade Didik Irawan. “Dinamika Perkembangan Teori Dan Filsafat Hukum Hak

Asasi Manusia”.

http://www.kuliahhukumonline.blogspot.com/2012/09/dinamika-

perkembangan-teori-dan.html. 03/09/2012.

Aditya Hendrasena. “Teori Dalam Hukum Dan Ham Yang Berlaku Di Indonesia”.

http://www.adityahendrasena.blogspot.com/2012/04/teori-ham-dalam-

indonesia.html. 04/04/ 2012.

Bambang Sukamto. “Diktat Hukum Perlindungan Anak. diakses tanggal 3 Maret

2010.Children's Involvement In Criminal Justice Processes”. http ://

www.alrc.gov.au/publication/18-childrens-involvement-with-legal-aid.

criminal-justice-processes/diversion. 05/04/ 2013.

Braithwaite, John (II). Shame and Criminal Justice. Hein Online-42 Canadian J.

Criminology July 2000. Wolongong. 05/11/2009.

C. Cunnen and R. White. Juvenile Justice : An Australian Erspective, (Oxford :

Oxford University Press, 1995, page 247). Dikutip dari buku Kenneht Folk.

Early Intervention : Diversion and Youth Conferencing, A National Review

of Current Approach to Diverting Juvenile from the Criminal Justice System

(Canbera : Australia Government Attorney-general’s Departement.

Commonwealth of Australia, 2003). dikutip dari Marlina. “Penerapan

Konsep Diversi Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Dalam Sistem

Peradilan Pidana Anak”. Jurnal Equality. Vol. 13 No.1 Februari 2008, hlm.

96. http : www.repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/18420/l/equ-feb

2008-13(5)-pdf. 05/04/2013.

Government of South Australia Attorney-General’s Department. South Australian

Legislation. “South Australia Young Offenders Act 1993”. http ://

www.legislation.sa.gov.au/LZ/C/A/Young Offenders Act

1993/Current/1993.57.UN.pdf. 05/04/2013.

http://boyyendratamin.blogspot.com/2013/03/mk-nyatakan-ancaman-pidana-

terhadap.html. Putusan Nomor 110/PUU-X/2012. 28/03/2013.

http://www.depkumham.go.id/berita-utama/1078-rancangan-undang-undang-

tentang-sistem-peradilan-pidana-anak-disahkan-di-rapat-paripurna-dpr-ri.

5/06/2012.

http://www.repositery.usu.ac.id/bitstream/123456789/17751/3/chapterII.pdf.14/05

/2013.

http://www.tempo.co/read/news/2012/01/13/063377143/KPAI-Bertekad-

Hapuskan-Pemenjaraan-Anak, diakses tanggal 22/01/2013.

IDLO (International Development Law Organization). Harian Serambi Indonesia.

Sabtu. 21 April 2007. http:www.idlo.int/bandaacehawareness.html.,

11/05/2013.

Jazuli, “Perlindungan Anak Jangan Sekadar Teori”.

http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2012/01/16/106930/

Jazuli-Perlindungan-Anak-Jangan-Sekadar-Teori. 16/01/2012.

Justice For Children Detention,

www.unicef.org/spanish/protection/files/justice_for_children_detention.pdf,

19/02/2013.

Masnur Marzuki. Menata Ulang Konstitusi. Berharap pada SBY ?

http://masnurmarzuki.blogspot.com/2012/04/menata-ulang-konstitusi-

berharap-pada.html. 20/04/ 2012.

“Perkembangan Teori Pemidanaan”.

http://www.alienjustitia.blogspot.com/p/perkembangan-teori-

pemidanaan.html. 2/01/2013.

Qotrin Nida Az. “Teori Labeling PI”. Qotrinnidaaz.blogspot.com/2010/03/teori-

labelling-pi.html. 24/03/2010.

“Restorative Justice”. http://www.restorativejustice.org/leading/zehr. 3/12/2012.

Rico Afrido. “Panja RUU SPPA Dinilai Tak Peka”.

http://www.post.indah.web.id/panja-ruu-sppa-dinilai tak peka. 31/01/2012.

Riza Alifianto Kurniawan. “Asas Ultimum Remedium Dalam Pemidanaan Anak

Nakal”.http://www.journal.lib.unair.ac.id/index.php/YRD/article/download,

3/03/2012.

Riza Nizarli. “Keadilan Restoratif Justice Sebagai Upaya Perlindungan Terbaik

Bagi Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum”. Disampaikan pada Seminar

Penyelesaian Kasus Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum Secara Diversi

dan Restorative Justice Kerjasama AJRC dengan Mahupiki. Banda Aceh.

31/03/2009.

Santi Kusumaningrum. “Penggunaan Diversi untuk Anak yang Berhadapan

dengan Hukum” (Dikembangkan dari Laporan yang disusun oleh Chris

Graveson) http://Santi Kusumaningrum-diversion-guidelines_adopted-from-

chris-report.pdf.

Saut Pandiangan. “Sinkronisasi Sistem Peradilan Pidana Terpadu”,

http://www.penalstudyclub.wordpress.com/2009/05/29/sinkronisasi-sistem-

peradilan-pidana-terpadu. 29/05/2009.

“Seponering Sebagai Jalan Keadilan Restoratif”.

http://ahok.org/berita/pemikiran/seponering-sebagai-jalan-keadilan-

restoratif, diakses tanggal 6/11/ 2011.

“Sistem Peradilan Pidana Indonesia”.

http://www.images.dahwirpane.multiplycontent.com/attachme. 4/02/2013.

S. Maronie. “Teori Labeling (Kriminologi)”.

http://www.zriefmaronie.blogspot.com/2012/05/teori-labeling-

kriminologi.html. 17/05/2012.

“Status Hukum Art In The Science of Law”. http://www.status

hukum.com/perlindungan-hukum.html, 12 /03/2012.

Tanya Jawab Hukum dan Kode Etik. Apa sih Beda Antara Diskresi dan Diversi.

http://www.id.answers.yahoo.com/question/index? qid, 04/10/2009.

Yayasan Pemantau Hak Anak. Childrens Human Rights Foundation, “Anak

Berhadapan Dengan Hukum Dalam Perspektif Hukum Hak Asasi Manusia

Internasional”. http://www.ypha.or.id/web/wp-

content/upsloads/2011/04/anak-yang-berhadapan-dengan-hukum-dalam-

perspektif-hukum-ham-internasional3.pdf, 10/01/2013.

Zuhdi Achmad, “HAM Dalam Undang-Undang Dasar 1945”,

http://www.zuhdiachmad.blogspot.com/2010/05/ham-dalam-undang-

undang-1945.html,17/05/2010.

Peraturan Perundang-undangan :

Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan

Hukum Pidana.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan

Anak.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan

Anak.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan

atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian

Negara Republik Indonesia.

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan

Tindak Pidana Ringan.

Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on

The Rights of The Child (Konvensi Hak-Hak Anak).