DISERTASI - Digilib UIN Sunan Ampel Surabaya

330
i RESTORATIVE JUSTICE DALAM HUKUM PIDANA ISLAM PERSPEKTIF FILSAFAT HUKUM ISLAM DISERTASI Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Doktor dalam Program Studi Studi Islam pada Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya Oleh: Ahmad Agus Ramdlany NIM. F03417059 PASCASARJANA PROGRAM DOKTOR PRODI DIRASAH ISLAMIYAH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA 2021

Transcript of DISERTASI - Digilib UIN Sunan Ampel Surabaya

i

RESTORATIVE JUSTICE DALAM HUKUM PIDANA ISLAM

PERSPEKTIF FILSAFAT HUKUM ISLAM

DISERTASI

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Doktor

dalam Program Studi Studi Islam pada Pascasarjana UIN Sunan Ampel

Surabaya

Oleh:

Ahmad Agus Ramdlany

NIM. F03417059

PASCASARJANA

PROGRAM DOKTOR PRODI DIRASAH ISLAMIYAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

2021

ii

ii

iii

iii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS Sebagai sivitas akademika UIN Sunan Ampel Surabaya, yang bertanda tangan di bawah ini, saya:

Nama : AHMAD AGUS RAMDLANY

NIM : F03417059

Fakultas/Jurusan : PASCASARJANA/ DIRASAH ISLAMIYAH (STUDI ISLAM)

E-mail address : [email protected] Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Perpustakaan UIN Sunan Ampel Surabaya, Hak Bebas Royalti Non-Eksklusif atas karya ilmiah : Sekripsi Tesis Desertasi Lain-lain (karya Ilmiyah) yang berjudul : beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan Hak Bebas Royalti Non-Ekslusif ini Perpustakaan UIN Sunan Ampel Surabaya berhak menyimpan, mengalih-media/format-kan, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data (database), mendistribusikannya, dan menampilkan/mempublikasikannya di Internet atau media lain secara fulltext untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan atau penerbit yang bersangkutan. Saya bersedia untuk menanggung secara pribadi, tanpa melibatkan pihak Perpustakaan UIN Sunan Ampel Surabaya, segala bentuk tuntutan hukum yang timbul atas pelanggaran Hak Cipta dalam karya ilmiah saya ini. Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya. Surabaya

Penulis

(AHMAD AGUS RAMDLANY )

KEMENTERIAN AGAMA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

PERPUSTAKAAN

Jl. Jend. A. Yani 117 Surabaya 60237 Telp. 031-8431972 Fax.031-8413300

E-Mail: [email protected]

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

vi

vi

ABSTRAK

Judul : Restorative Justice Dalam Hukum Pidana Islam Perspektif

Filsafat Hukum Islam

Penulis : Ahmad Agus Ramdlany

Promotor : Prof. Dr. KH. Ahmad Zahro, MA.

Prof. Dr. KH. Ahmad Imam Mawardi, MA.

Kata Kunci : Restorative Justice, Filsafat Hukum Islam.

Disertasi ini mengkaji tentang keadilan restoratif yang ada dalam hukum

pidana Islam dilihat dari persepektif filsafat hukum Islam. Pertanyaan yang

diajukan dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimanakah sudut pandang filsafat

hukum Islam tentang Restorative Justice dalam hukum pidana Islam? (2)

Bagaimanakah posisi hukum pidana Islam dalam pembaruan hukum pidana

nasional Indonesia? (3) Bagaimanakah konstruksi pendekatan restorative justice

dalam hukum pidana Islam terhadap pembaruan hukum pidana nasional

Indonesia?

Penelitian ini bersifat Normatif dengan menggunakan statue approach

dan conseptual approach. Bahan pustaka merupakan data dasar yang disebut

sebagai data sekunder. Dengan menggunakan teori dekonstruksi shariahnya an-

Naiem dan teori Za>wajir dari Ibra>hi>m Hosen, penelitian ini menghasilkan temuan,

Pertama; keadilan restoratif dalam hukum pidana Islam dikenal dengan istilah al ‘afwu dan Islah. Perbuatan memaafkan dan perdamaian dari korban atau

keluarganya dipandang sebagai suatu yang lebih baik. Korban mendapat

perbaikan dari sanksi yang dijatuhkan, serta ada peranan korban dalam sistem dan

proses peradilan pidana. Kedua; Hukum pidana Islam sangat menganjurkan

penyelesaian perkara dengan cara perdamaian. Penerapan restorative justice telah

berkembang di masyarakat, baik di desa maupun perkotaaan. Ketiga; Nilai-nilai

keadilan restoratif memberikan perhatian yang sama terhadap korban dan pelaku.

Otoritas untuk menentukan rasa keadilan ada di tangan para pihak, terutama

korban bukan pada negara.

Restorative Justice dalam hukum pidana Islam dapat berimplikasi pada

efektifitas penegakan hukum di Indonesia. Kejahatan akan berkurang, penjara

tidak akan over capacity serta terciptanya keamanan dan ketentraman dalam

masyarakat. Penyerapan nilai-nilai hukum pidana Islam dilakukan melalui proses

objektifikasi istilah-istilah teknis dan bentuk-bentuk hukuman dari hukum pidana

Islam. Dengan metode ini, diharapkan hukum pidana Islam secara subtansial-

kontekstual tetap menjadi bagian dari jiwa pembaruan hukum pidana Indonesia,

meskipun secara formal-tekstual tidak nampak di permukaan, sesuai dengan

kaidah, “Ma laa yudraku kulluhu, la yutraku kulluhu” (sesuatu yang tidak

mungkin terwujud seluruhnya, tidak boleh ditinggalkan (yang terpenting

didalamnya) seluruhnya”.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

vii

vii

ABSTRACT

Title : Restorative Justice of Islamic Criminal Law in Islamic Legal

Philosophy

Perspective

Author : Ahmad Agus Ramdlany

Advisor : Prof. Dr. KH. Ahmad Zahro, MA.

Prof. Dr. KH. Ahmad Imam Mawardi, MA.

Keywords : Restorative Justice, Islamic law Philosophy

This dissertation examines restorative justice existing in Islamic criminal

law from the perspective of Islamic legal philosophy. The questions raised in this

study are (1) how is the perspective of Islamic law philosophy regarding

restorative justice in Islamic criminal law? (2) how is the position of Islamic

criminal law in the renewal of Indonesian‟s national criminal law? (3) how is the

construction of restorative justice in Islamic criminal law towards the renewal of

Indonesian‟s national criminal law?

This research is normative by using a statue approach and a conceptual

approach. Literature review is basic data which is referred to as secondary data.

By using an-Naiem's shariah deconstruction theory and the Za>wajir theory from

Ibra>hi>m Hosen, this study produces some findings. First; Restorative justice in

Islamic criminal law is known as al 'afwu and Islah. The act of forgiveness and

peace from the victim or his family is seen as something better. The victims

receive refinement from the sanctions imposed, and there is a role of victims in

the criminal justice system and process. Second; Islamic criminal law strongly

encourages settlement of cases in a peaceful manner. The application of

restorative justice has developed in the community, both in villages and cities.

Third; Restorative justice values give equal attention to victims and offenders.

The authority to determine the sense of justice rests with the parties, especially the

victims, not the state.

Restorative Justice in Islamic criminal law can have implications for the

effectiveness of law enforcement in Indonesia. Crime will be reduced, prisons will

be not over capacity and security and peace in society will exist. The absorption of

the values of Islamic criminal law is carried out through a process of objectifying

technical terms and forms of punishment from Islamic criminal law. With this

method, it is hoped that substantially-contextually Islamic criminal law will

remain to be part of the spirit of Indonesian criminal law renewal, although

formally-textually it does not appear on the surface, in accordance with the rule,

"Ma laa yudraku kulluhu, la yutraku kulluhu" (something that may not be realized

entirely, should not be abandoned (the most important is in it) entirely ".

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

viii

viii

ملخص : العدالت الخصالغت ف القانن الضنائ اإلسالم عالمض

فلسفت الخشرع االسالم. من منظر

: أعمد أغس رمضان بقلم

: األسخاذ الدكخر كاى الغاس أعمد زىرا المشرف

الماصسخر

األسخاذ الدكخر كاى الغاس أعمد إمام مارد :

السالما عدالت الخصالغت، فلسفت الخشرع الكلماث المفخاعت : ال

العدالت الخصالغت ف القانن الضنائ اإلسالم من منظر فلسفت ىذه الدراست حبغذ عن

( 1الخشرع االسالم. حخمزل األسئلت المطرعت ف ىذه الدراست ف رالرت أمر ى: )

كف كان حناقش فلسفت الخشرع االسالم عن العدالت الخصالغت ف القانن الضنائ

غنائ اإلسالم ف حار حضدد القانن الضنائ ( كف كان مقف القانن ال2اإلسالم؟ )

( كف كانج بنت نيش العضالت الخصالغت ف القانن الضنائ 3لضميرت إندنسا؟ )

اإلسالم نغ حضدد القانن الضنائ لضميرت إندنسا؟

اناث ى الب ماد المكخبت .ىذا البغذ المعار باسخخدام نيش الخمارل النيش الخفاىم

االساست الخ حسم بالباناث الزانت. باسخخدام نظرت حفكك الشرعت للنعم نظرت

فقد أشارث نخائش ىذا البغذ إل رالد نقاط ميمت، ى: أال، لقد الزاصر إلبراىم عسن،

اإلسالم بمصطلظ العف ن الضنائ اشخيرث عدالت الخصالغت ف مصطلظ القان

الذ أح من قبل مضن علو أ عائلخو أزك أفعال خبر العف االصالط. فعاالصالط

ىناك در للضغاا ف ،غصل الضغاا عل حغسن من العقباث المفرضتأطبيا.

عذ القانن الضنائ االسالم عل حخمت القضاا رانا، ظام العدالت الضنائت إصراءاحيا.ن

المضخمع ساء أكان مدنيم الت الخصالغت ف سطالعد حطرث. فقد بطرقت الصلظ

. رالزا، فقد أطلقج القم الافرة من العدالت الخصالغت عنات مخسات نغ كال قريمأ

الضانبن الضان المضن علو. فالغق ف حعن العدالت مفض إل أد الضانبن، لسج

.حقع عل الدلت

عالت حنفذ الغكم ف إندنسا، ن الضنائ االسالم حؤرر إل فالعدالت الخصالغت ف القان

قبضت ، ف طاقخيا صبظ المضخمع ف االمن السالمسخنقص الضرمت لن حفرط السضن

قم الغكم الضنائ االسالم حعمل عن طرق مضعت المصطلغاث الخقن ىئاث العقبت

لغكم الضنائ االسالم قت، رص أن كن امن الغكم الضنائ االسالم. بيذه الطر

نصا -غم أن شكلانائ ف إندنسا، رمن حضدد الغكم الضصر اما مق-مضعا

رك كلو" ما ال درك كلو ال خالظير، مطابق مع القاعدة "

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

xi

xi

DAFTAR ISI

Halaman Sampul........................................................................................ i

Halaman Pernyataan Keaslian Karya Ilmiah............................................. ii

Halaman Persetujuan Pembimbing............................................................ iii

Pedoman Transliterasi…………………………………………………….. iv

Motto.......................................................................................................... v

Abstrak Indonesia………………………………………………..……...... vi

Abstrak Inggris….………………………………………………..……...... vii

Abstrak Arab……..………………………………………………..…….... viii

Kata Pengantar…………………………………………………..….......... x

Daftar Isi………………………………………………………………...... xii

BAB I PENDAHULUAN………………………………………………. 1

A. Latar Belakang………………………………………………………. 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah………………………………….... 8

1. Identifikasi masalah ...................................................................... 8

2. Batasan masalah .............................................................................. 9

3. Rumusan Masalah ........................................................................... 9

C. Tujuan Penelitian…………………………………………………….. 10

D. Kegunaan Penelitian.……………………………………………….... 10

E. Kerangka Konseptual…………………………………....…………… 11

F. Studi Terdahulu…………………………………....…………………. 29

G. Pendekatan dan Metode Penelitian ………………………………….. 32

H. Sistematika Pembahasan…………………………………....……….. 41

BAB II KEADILAN DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT HUKUM

ISLAM…………………………………....……………………. 43

A. Filsafat Hukum Islam……………..………………………………….. 43

1. Pengertian Filsafat Hukum Islam……………………………… 43

2. Prinsip-Prinsip Dasar Filsafat Hukum Islam………………….. 58

3. Konsep Filsafat Hukum Islam…………………………………. 63

B. Keadilan Menurut Filsafat Hukum Islam ……………………………. 69

1. Pengertian Keadilan…………………………………………… 69

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

xii

xii

2. Konsep Keadilan Dalam Islam………………………………… 74

3. Bentuk-Bentuk Keadilan Dalam Islam………………………… 80

4. Keadilan Dalam Pandangan Filosof Islam…………………….. 91

C. Keadilan Menurut Filsafat Hukum Umum……………………………. 104

1. Konsep Keadilan…………..……………………….…………... 104

2. Bentuk-Bentuk Keadilan …………………………….………... 112

3. Keadilan dan Hak Asasi Manusia (HAM)….…….…………… 119

BAB III RESTORATIVE JUSTICE DAN HUKUM PIDANA

ISLAM …………………………………………….……...……. 126

A. Restorative Justice ……………………………………………..……… 126

1. Pengertian Restorative Justice…………………………………. 127

2. Konsep Restorative Justice…………………………………….. 135

3. Restorative Justice dan Hak Asasi Manusia……………………. 142

B. Hukum Pidana Islam……………………………………………..…..… 148

1. Pengertian Hukum Pidana Islam…………………..………..... 148

2. Asas-Asas Dalam Hukum Pidana Islam……………………… 157

3. Pertanggungjawaban Pidana Dalam Hukum Pidana Islam…… 166

C. Restorative Justice Dalam Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana

Nasional Indonesia……………………………………………………. 179

1. Fleksibilitas Hukum Pidana Islam…………………………….. 179

2. Restorative Justice Dalam Hukum Pidana Indonesia…………. 194

BAB IV PRESPEKTIF FILSAFAT HUKUM ISLAM TENTANG

RESTORATIVE JUSTICE …………………………………….. 211

A. Sudut Pandang Filsafat Hukum Islam Tentang Restorative Justice

dalam Hukum Pidana Islam …………..…………………………….…. 211

1. Keadilan Restorative Dalam Hukum Pidana Islam …………… 212

2. Efektivitas Restorative Justice Dalam Penyelesaian Tindak

Pidana …………………………………………………………. 218

3. Konsep Al-„Afwu (Pemaafan) Dalam Hukum Pidana Islam…... 230

4. Pembaharuan Hukum Pidana Islam Dalam Pembangunan

Hukum Pidana Nasional……………………………………….. 238

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

xiii

xiii

B. Konstruksi Pendekatan Restorative Justice Hukum Pidana Islam

Dalam Pembaharuan Hukum Pidana Nasional………………….…….. 245

1. Ijtihad Umar Bin Khattab……………………………………… 246

2. Beberapa Pendekatan Dalam Pembaharuan Hukum Pidana

Nasional……………………………………………………….. 252

3. Prospek Pendekatan Restorative Hukum Pidana Islam

Dalam Pembaharuan Hukum Pidana nasional………………… 271

C. Restorative Justice Dalam Kebijakan Pembaharuan Hukum Pidana

Nasional……………………………………………………………….. 277

1. Transformasi Restorative Justice Hukum Pidana Islam Bagi

Pembaharuan Hukum Pidana Nasional……………………….. 278

2. Restorative Justice dan Peradilan di Indonesia……………….. 282

3. Praktik Restorative Justice Arab Saudi dan Prancis .................. 292

BAB V PENUTUP…………..………….………………………………. 304

A. Kesimpulan…………….………………………………….………….. 304

B. Implikasi Teoritik……..………………………….…………………… 305

C. Keterbatasan Penelitian……………………………………………….. 306

D. Rekomendasi………………………………………………………….. 307

DAFTAR KEPUSTAKAAN….…………………………………………. 309

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ketika kemerdekaan bangsa Indonesia diproklamasikan oleh Bung Karno

pada 17 agustus 1945,1 maka sejak saat itu, bangsa Indonesia mempunyai

keinginan untuk memiliki produk hukum sendiri, mengganti hukum peninggalan

Belanda. Berbagai kegiatan ilmiah yang berskala lokal maupun nasional guna

merumuskan pembentukan hukum nasional telah dilakukan, baik oleh pemerintah

maupun oleh lembaga pendidikan tinggi. Para pakar hukum pun banyak yang

telah mengusulkan tentang profil hukum pidana nasional ke depan.

Pemerintah Indonesia juga telah berupaya membuat hukum pidana

nasional produk sendiri dengan menyusun Rancangan Undang-undang Hukum

Pidana (RUU KUHP) yang hingga sekarang belum final dan terus dilakukan

perbaikan. Pembangunan sistem hukum tidak bisa lepas dari politik hukum. Arah

politik hukum di Indonesia dalam pembangunan hukum cakupannya

menyederhanakan pada daftar rencana materi hukum yang akan dibuat. Rencana

pembangunan materi hukum termuat di dalam Program Legislasi Nasional yang

disusun oleh Dewan Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah.2

1 Proklamasi kemerdekaan Indonesia dilaksanakan pada hari jum‟at, 17 agustus 1945 tahun

masehi, atau tanggal 17 agustus 2605 menurut tahun jepang, yang dibacakan oleh Soekarno

dengan didampingi oleh Drs. Mohammad Hatta bertempat di jalan pegangsaan timur 56 Jakarta

pusat. Http://id.m.wikipedia.org./2019/02/Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. 2 Program legislasi nasional (Prolegnas) adalah instrumen perencanaan program pembentukan

Undang-undang yang disusun secara terencana, terpadu dan sistematis. Penyusunan Prolegnas di

lingkungan DPR dilakukan dengan mempertimbangkan usulan dari fraksi, komisi, anggota DPR,

DPD, dan/atau masyarakat. Hal ini Sesuai dengan amanat dalam Undang-undang No. 12 Tahun

2011 tentang Pembentukan Perundang-undangan. https//id.m.wikipedia.org. 2019/02/Program

Legislasi Nasional 2015-2019.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

2

Hukum pidana Islam sebagai bagian dari hukum Islam penting untuk

diperhitungkan sebagai sumber pembangunan hukum pidana nasional. Secara

faktual hukum Islam telah menjadi hukum yang hidup (the living law)3 dalam

masyarakat Indonesia sejak masuknya Islam ke Nusantara. Hukum pidana Islam

dapat diserap sebagai sumber materiil dalam pembangunan hukum pidana

nasional meskipun tidak semuanya. Untuk ketentuan tindak pidana pembunuhan

dan pelukaan atau penganiayaan dapat diserap delik maupun sanksinya. Sanksi

ganti kerugian (diyat) yang di dalamnya ada proses perdamaian lebih sesuai

dengan kesadaran hukum masyarakat Indonesia, terlebih jika dilihat dalam konten

masyarakat Indonesia yang dikenal pemaaf, mengedepankan kekeluargaan dan

musyarawarah dalam menyelesaikan sengketa. Banyak kasus hukum, khususnya

yang dalam KUHP disebut sebagai kelalaian sehingga menyebabkan nyawa orang

lain hilang, yang dapat diselesaikan secara kekeluargaan dengan mengganti

kerugian. Penyelesaian tindak pidana menghilangkan nyawa orang lain dengan

cara perdamaian adalah mirip dengan ketentuan qis{a>s{-diyat dalam hukum pidana

Islam. Hal ini mengindikasikan bahwa hukum pidana Islam telah membentuk

kesadaran hukum masyarakat.

Sistem pemidanaan yang berlaku di Indonesia saat ini hanya berorientasi

pada pelaku, sehingga jika diterapkan untuk tindak pidana terhadap nyawa orang

lain, tidak memberikan keadilan kepada korban atau keluarganya. Seiring

berkembangnya wacana global tentang perlunya pendekatan restorative justice,

3 Martin Kryger menyatakan bahwa “law as a tradition” bahwa hukum adalah produk budaya (law

as a product of culture). Karenanya, perkembangan budaya selalu diikuti dengan perkembangan

hukum atau sebaliknya, hukum berkembang dan tumbuh seiring dengan pertumbuhan dan

perkembangan budaya masyarakatnya. Hal itu menandakan bahwa hukum tidak dapat dilepaskan

dari perkembangan masyarakat. Tidak heran apabila Ronald Dworkin menyatakan bahwa

masyarakat merupakan fabric of rules, bahwa masyarakat yang berbudaya selalu menghasilkan

hukumnya sesuai dengan tipe, jenis dan budaya masing-masing.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

3

maka pendekatan tersebut perlu diatur dalam RUU KUHP. Pendekatan restorative

justice memberikan perhatian dan perlindungan terhadap korban atau keluarganya.

Pelaku tindak pidana dapat bertanggung jawab atas perbuatannya dan mengganti

kerugian, korban atau keluarganya memaafkan serta menerima ganti kerugian, dan

hubungan ke depan dapat dipulihkan. Hal ini juga ada kemiripan dengan

ketentuan qis{as{-diyat dalam hukum pidana Islam. Pidana qis{a>s{ (setimpal) dan

diyat (ganti rugi) menjadi hak korban atau ahli warisnya, sehingga dapat

memberikan amnesti (pemaafan) kepada pelaku. Apabila memaafkan, gugurlah

pidana qis{a>s{ diganti dengan diyat (ganti rugi), bahkan tanpa diyat sama sekali.

Ketentuan qis{a>s{-diyat berorientasi pada perhatian dan perlindungan pada korban,

dan penyelesaiannya melalui perdamaian atau pemaafan (is{la>h{/al afwu {).

Dalam penegakan hukum, kelemahan mendasar adalah terabaikannya hak

korban kejahatan dalam proses penanganan perkara pidana maupun akibat yang

harus ditanggung oleh korban kejahatan karena perlindungan hukum terhadap

korban kejahatan tidak mendapat pengaturan yang memadai.4 Hal ini dapat dilihat

dalarn KUHAP, sedikit sekali pasal-pasal yang membahas tentang korban,

pernbahasannyapun tidak fokus terhadap eksistensi korban tindak pidana,

rnelainkan hanya sebagai warga negara biasa yang rnernpunyai hak yang sarna

dengan warga negara lain. Terlihat dengan bermacam istilah yang digunakan

dalam menunjuk seorang korban.5

Korban kejahatan yang pada dasarnya merupakan pihak yang paling

menderita dalam suatu tindak pidana, justru tidak memperoleh perlindungan

4 Sidik Sunaryo, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Malang: UMM Pres, 2005), 2. 5 Ada beberapa Istilah lain yang menunjuk terhadap korban, antara lain terdapat dalam Pasal

80-81 KUHAP: pihak yang berkepentingan, Pasal 98-99: pihak yang dirugikan dan Pasal 108:

Pengadu atau pelapor.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

4

sebanyak yang diberikan oleh undang-undang kepada pelaku kejahatan.

Akibatnya, pada saat pelaku kejahatan telah dijatuhi sanksi pidana oleh

pengadilan, kondisi korban kejahatan seperti tidak dipedulikan sama sekali.

Padahal masalah keadilan dan penghormatan hak asasi manusia tidak hanya

berlaku terhadap pelaku kejahatan saja, tetapi juga korban kejahatan.6

Dalam kaitan pemeriksaan suatu tindak pidana, sering kali korban hanya

diposisikan sebagai pemberi kesaksian, sebagai pelapor dalam proses penyidikan,

dan sebagai sumber informasi, atau sebagai salah satu kunci penyelesaian perkara.

Sebaliknya, pada saat korban tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagai saksi

di persidangan, ia dikenakan sanksi. Perlindungan hukurn terhadap korban selama

ini baru mencapai taraf keadilan prosedural,7 belum mencapai cita-cita dan

keinginan dari tujuan hukum yang sebenarnya yakni keadilan substansial.8

Padahal eksistensi korban dalam suatu pelanggaran terhadap hukum pidana

menjadi bagian integral dari sistem peradilan pidana. Hal ini berimplikasi

terhadap harus diakuinya kepentingan korban. Untuk itu diperlukan

pemberdayaan posisi korban dalam sistem peradilan pidana sebagai upaya

perlindungan hukum secara substansial.

6 Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Guhom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan

Antara Norma dan Realita, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), 24. 7 Keadilan yang mengacu pada bunyi undang-undang saja, Thomas Aquino menyatakan bahwa

keadilan prosedural adalah keadilan yang berhubungan dengan proses dan kelayakan prosedur-

prosedur yang digunakan untuk mengalokasikan kepentingan-kepentingan organisasi. 2019/02.

www.suaramerdeka.com. Keadilan prosedural adalah hasil persetujuan melalui prosedur tertentu

dan mempunyai sasaran utama peraturan, hukum, ataupun undang-undang. Prosedur ini tidak

bisa lepas dari upaya legitimasi tindakan, Keadilan yang lahir hanya karena melaksanakan

kaedah formil dan materil peraturan perundang-undangan, 2019/02. www.kompas.com. 8 Keadilan yang berhubungan dengan objek legislasi hukum positif yang terkandung di dalam

setiap bentuk hukum yang berlaku. Dengan keadilan substansif setiap bentuk hukum yang

berlaku pada dasarnya merupakan manifestasi ikatan yurisdiksi dan mendistribusikan beban atas

dasar kesamaan yang proporsional. 2019/02. http://books.google.co.id, Keadilan yang lebih

mendekatkan diri dan mendengar jeritan korban.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

5

Dalam penanganan perkara pidana, kepentingan korban sudah saatnya

untuk diberikan perhatian khusus, selain sebagai saksi yang mengetahui terjadinya

suatu kejahatan juga karena kedudukan korban sebagai subjek hukum yang

memiliki kedudukan sederajat di depan hukum (equality before the law).

Kedudukan korban yang tidak mendapat tempat dalam proses peradilan pidana

dikarenakan sistem peradilan pidana yang berlaku sekarang menganut keadilan

retributif (retributive justice), penyelesaian perkara hanya semata-mata ditujukan

untuk menjatuhkan sanksi kepada pelaku kejahatan tanpa mempertimbangkan

aspek kerugian yang diderita korban. Penjatuhan sanksi semata-mata untuk

pembalasan terhadap pelaku tanpa memulihkan kerugian yang diderita oleh

korban.

Ketentuan-ketentuan dalam hukum pidana Islam seperti qis{a>s{-diyat secara

filosofis lebih menjanjikan dapat memberikan manfaat dan kepastian keadilan

sebagaimana tujuan utama dalam hukum pidana. Menurut hukum yang berlaku di

Indonesia, yang berhak melaksanakan proses pemidanaan adalah penguasa,

korban tidak dilibatkan. Akibat korban tidak dilibatkan, dalam pelaksanaan pidana

banyak menimbulkan masalah bagi korban, misalnya korban merasa tidak

mendapat perlindungan dari Negara dan tidak puas karena kerugian yang diderita

korban tidak tergantikan. Untuk tindak pidana menghilangkan nyawa orang

lain/penganiayaan, proses hukum tanpa melibatkan korban atau keluarganya tentu

tidak akan memberikan keadilan kepada korban atau keluarganya.

Keadilan yang dituju hanyalah keadilan yang diciptakan dan menurut

ukuran penguasa, yang tentu saja tidak sama dengan keadilan menurut korban.

Model pemidanaan demikian perlu untuk dikaji kembali. Sebab untuk tindak

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

6

pidana terhadap nyawa, keadilan tidak dapat terwujud tanpa memperhatikan

korban atau keluarganya, dan harmoni dalam masyarakat tidak dapat

dikembalikan. Penyelesaian perkara pidana yang lebih adil adalah dengan cara

melibatkan semua orang yang terkait dengan tindak pidana tersebut. Model seperti

ini di Indonesia telah dikenal dan dipraktekkan oleh masyarakat, yaitu

musyawarah mufakat, yang dalam hukum pidana Islam berlaku untuk tindak

pidana qis{a>s{-diyat melalui perdamaian atau pemaafan (is{la>h{/al afwu{) dan mirip

dengan pendekatan restorative justice yang saat ini menjadi wacana global untuk

diterapkan dalam menyelesaikan perkara pidana.

Dalam kenyataanya di masyarakat, praktek perdamaian antara korban dan

pelaku tindak pidana banyak dilakukan tidak hanya dalam pelanggaran terharap

ketentuan adat tetapi dalam tindak pidana pada umumnya. Penyelesaian konflik

dengan jalan damai merupakan nilai kultural yang dimiliki masyarakat Indonesia

seperti dinyatakan oleh Daniel S. Lev yang dikutip oleh Wukir Prayitno bahwa

budaya hukum di Indonesia dalam menyelesaikan konflik mempunyai

karakteristik tersendiri disebabkan oleh nilai-nilai tertentu. Kompromi dan

perdamaian merupakan nilai-nilai yang mendapat dukungan kuat dari masyakarat,

mempertahankan perdamaian merupakan suatu usaha terpuji sehingga dalam

menyelesaikan konflik terwujud dalam bentuk pemilihan kompromi, terutama

dalam masyarakat Jawa dan Bali.9

Restorative justice atau is{la>h{ memiliki landasan filosofis dan teologis yang

mengarah pada pemulihan harkat dan martabat semua pihak yang terlibat,

mengganti suasana konflik dengan perdamaian, menghapus hujat menghujat

9 Wukir Prayitno, Modernisme Hukum Berwawasan Indonesia, (CV. Agung, Semarang, 1991), 21.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

7

dengan pemaafan, menghentikan tuntut menuntut dan salah menyalahkan.

Klarifikasi yang diinginkan adalah tidak melalui meja pengadilan,

melainkan melalui meja perdamaian dan perundingan.10

Restorative justice

atau is{la>h{ adalah pilihan yang secara sadar ditempuh oleh korban dan pelaku

untuk mencapai cara-cara terbaik sesuai dengan keyakinannya terhadap kejahatan

yang terjadi. Dalam hal ini, Is{la>h{ { merupakan pilihan yang menjadi hak preogratif

dari korban maupun ahli warisnya.11

Penyelesaian perkara tindak pidana melalui Restorative justice atau Is{la>h{

juga tertera dalam hukum Islam, hal ini dapat kita lihat dari beberapa nas{ yang

dijadikan landasan is{la>h{ {, antara lain surat Al-Hujurat ayat 10:

صإ أ ف وة خ إ ون ن ؤم م ل اا نم م ك وي خ أ ي واب ح رحون ل ت م لمك ع ل وااللمه ت مق وا

Artinya : “Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. sebab itu

damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah

terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.”

Serta dalam surat Al-Baqarah ayat 224:

ي ب وا ح ل ص وت وا ق ت م وت روا ب ت ن أ م ك ن ا لي ة رض ع اللمه وا ل تع ول لنماس ايم ل ع يع س واللمه

Artinya : “Jangahlah kamu jadikan (nama) Alla>h dalam sumpahmu

sebagai penghalang untuk berbuat kebajikan, bertakwa dan mengadakan is{lah{ di

antara manusia. dan Alla>h Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Proses Restorative justice atau is{la>h{ terjadi karena adanya perspektif yang

berubah dari korban dalam menyikapi peristiwa yang terjadi. Perubahan

perspektif ini menyebabkan cara penyelesaian yang ditempuh pun berubah

10 A. Yani Wahid, Is{lah{, resolusi konflik untuk rekonsiliasi, Kompas, 16 Maret 2001. 11 Tim Penyusun Artikel dari lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) berjudul

Monitoring pengadilan HAM AD HOC Tanjung Priok., Artikel ini didapat memalui akses

internet pada tanggal 22 Maret 2019.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

8

tergantung kondisi dan keinginan korban. Penyelesaian Tindak pidana melalui

Restorative justice atau is{la>h{ memang merupakan jalan keluar yang sangat baik,

namun pada kenyataanya, penyelesaian secara Restorative justice atau is{la>h{ tak

selalu bisa menghentikan penyelidikan perkara dalam hukum positif oleh sebab

yang diatur oleh hukum. Namun, berbeda halnya dalam hukum pidana Islam,

Restorative justice atau Is{la>h{ merupakan jalan yang sangat baik dan bisa

dilakukan sebelum adanya keputusan dari hakim. Maka untuk menjawab

problematika tersebut, penulis tertarik untuk menulis disertasi dengan judul

Restorative Justice Dalam Hukum Pidana Islam Perspektif Filsafat Hukum

Islam.

B. Identifikasi dan Batasan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang masalah tersebut di atas, terdapat beberapa persoalan

pokok yang dapat diidentifikasi, diantaranya yaitu:

a. Hukum Islam telah menjadi hukum yang hidup (the living law) dalam

masyarakat Indonesia sejak masuknya Islam ke Nusantara. Kaitannya

dengan pembaharuan hukum pidana nasional, hukum pidana Islam

sebagai bagian dari hukum Islam, penting untuk diperhitungkan sebagai

sumber pembaharuan hukum pidana nasional.

b. Hukum pidana Islam dapat diserap sebagai sumber materiil dalam

pembangunan hukum pidana nasional meskipun tidak semuanya. Untuk

ketentuan tindak pidana pembunuhan dan pelukaan atau penganiayaan

dapat diserap delik maupun sanksinya.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

9

c. Sanksi ganti kerugian (diyat ) yang di dalamnya ada proses perdamaian

(s}ulh{), lebih sesuai kesadaran hukum masyarakat Indonesia. Apalagi

masyarakat Indonesia dikenal pemaaf, mengedepankan kekeluargaan dan

musyarawarah dalam menyelesaikan sengketa.

2. Batasan Masalah

Penelitian ini memfokuskan pada urgensi dan eksistensi dua pokok

masalah, yaitu:

a. Perspektif filsafat hukum Islam terhadap restorative justice dalam hukum

pidana Islam sebagai bahan hukum dalam upaya pembaruan hukum pidana

di Indonesia;

b. Relasi hukum pidana Islam dan hukum pidana Nasional, dalam hal ini

hukum pidana Islam sebagai bagian dari hukum Islam yang sudah berlaku

dan dilaksanakan, dalam kehidupan masyarakat Indonesia;

c. Menyuguhkan kontribusi dan strategi nilai-nilai Restorative Justice dalam

hukum pidana Islam terhadap jiwa dan nafas pembaharuan hukum pidana

Nasional.

3. Rumusan Masalah

Dari seluruh penjelasan pada latar belakang, identifikasi masalah dan

batasan masalah, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah sudut pandang filsafat hukum Islam tentang Restorative

Justice dalam hukum pidana Islam?

2. Bagaimanakah posisi hukum pidana Islam dalam pembaruan hukum

pidana nasional Indonesia?

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

10

3. Bagaimanakan konstruksi pendekatan restorative justice dalam hukum

pidana Islam terhadap pembaruan hukum pidana nasional Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk menemukan relasi filsafat hukum Islam dengan Restorative justice

dalam hukum pidana Islam sebagai bagian dari hukum Islam yang hidup

dan dilaksanakan di Indonesia.

2. Untuk menemukan bentuk-bentuk relasi hukum pidana Islam dengan

hukum pidana nasional Indonesia.

3. Untuk menemukan kontribusi yang diberikan oleh hukum pidana Islam

terhadap pembaharuan hukum pidana nasional Indonesia, sehingga

hukum pidana Islam sebagai hukum yang hidup di masyarakat, nilai-

nilainya dapat diterima dan dilaksanakan dalam hukum pidana nasional

Indonesia.

D. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini dibagi menjadi dua kategori yaitu; kegunaan

teoritis dan kegunaan praksis. Adapun penjelasannya di bawah ini:

1. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai sumbangan

pemikiran dan wawasan teoritis mengenai kajian urgensi Restorative Justice

dalam Hukum Pidana Islam kaitannya dengan pembaharuan hukum pidana

Nasional kita.

2. Kegunaan Praksis

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

11

Secara praktis hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai sumbangan

wawasan bagi berbagai pihak, diantaranya:

a. Bagi Praktisi Akademisi; penelitian ini dapat digunakan sebagai

sumbangan wawasan keilmuan tentang kajian urgensi Restorative

Justice dalam Hukum Pidana Islam;

b. Bagi Praktisi Penyusun Pembaharauan Hukum Pidana Indonesia;

penelitian ini dapat dijadikan sebagai wawasan keilmuan mengenai

alat untuk mengukur dan berkontribusi dalam efektifitas penggunaan

Restorative Justice dalam pidana Islam;

c. Bagi praktisi sosial ataupun masyarakat, hasil penelitian ini dapat

digunakan sebagai sumbangan wawasan dalam rangka pemahaman

dan pemetaan hubungan nilai-nilai hukum pidana Islam dengan

penegakan hukum yang efektif dan efisien di masyarakat.

E. Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual adalah sebuah bentuk kerangka berfikir yang dapat

dipakai sebagai pendekatan untuk memecahkan masalah. Umumnya kerangka

konseptual ini menggunakan pendekatan ilmiah agar memperoleh hasil yang tepat

dan sistematis. Dalam penelitian ini terdapat beberapa konsep yang perlu

mendapatkan penjelasan lebih detail diantaranya sebagai berikut:

1. Restorative Justice.

Restorative justice menurut pandangan para filolosofis dan ahli hukum

adalah as a philosophy, a process, an idea, a theory and an intervention (sebagai

filsafat, proses, gagasan, teori, dan intervensi). Restorative justice adalah

peradilan yang menekankan perbaikan atas kerugian yang disebabkan atau terkait

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

12

dengan tindak pidana. Restorative justice dilakukan melalui proses kooperatif

yang melibatkan semua pihak (stakeholders).12

Restorative justice is a theory of justice that emphasizes repairing the

harm caused or revealed by criminal behaviour. It is best accomplished

through cooperative processes that include all stakeholders.13

(Restorative

justice adalah teori tentang keadilan yang menekankan pada perbaikan

akan kerusakan yang disebabkan atau ditunjukkan oleh perilaku jahat. Ini

adalah cara terbaik untuk menyelesaikan masalah, melalui proses kerja

sama yang melibatkan semua pihak).

Definisi yang dikemukakan oleh Dignan sebagai berikut:

Restorative justice is a valued based approach to responding to

wrongdoing and conflict, with a balanced focus on the person harmed, the

person causing the harm, and the affected community.14

(Keadilan

restoratif adalah pendekatan berbasis nilai untuk menyelesaikan masalah

dan konflik, dengan fokus keseimbangan antara orang yang dirugikan,

orang yang menyebabkan kerusakan, dan masyarakat yang terkena

dampak).

Restorative justice merupakan alternatif atau cara lain peradilan criminal

dengan mengedepankan pendekatan integrasi pelaku di satu sisi dan korban/

masyarakat di lain sisi sebagai satu kesatuan untuk mencari solusi serta kembali

pada pola hubungan baik dalam masyarakat. Kata kunci dari restorative justice

adalah empowerment bahkan empowerment ini adalah jantungnya restoratif (the

heart of the restorative ideology), oleh karena itu restorative justice

keberhasilannya ditentukan oleh pemberdayaan ini.15

12 Mereka yang berpendapat seperti ini antara lain Braith-waite, Umbreit and Cary, Richardson,

Umbreit and Coates, Graef, dan Du Pont. Lihat dalam Darrell Fox, Social Welfare and

Restorative Justice, Journal Kriminologija Socijalna Integracija Year 2009 Vol 17 Issue 1

Pagesrecord No. 55-68, 2009, (London Metropolitan University Department of Applied Social

Sciences), 56. 13

lihat dalam http://152.118.58.226 - Powered by Mambo Open Source Generated; 2019/02/21. 14 lihat dalam http://152.118.58.226 - Powered by Mambo Open Source Generated; 2019/02/2. 15 C. Barton, Empowerment and Retribution ini Criminal Justice. In: H. Strang, J. Braitwaite (eds),

Restorative Justice: Philosophy to Practice. Journal TEMIDA Mart 2011. Aldershot: Ashgate/

Dartmouth, 55-76.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

13

Dalam konsep tradisional, korban diharapkan untuk tetap diam, menerima

dan tidak ikut campur dalam proses pidana. Secara fundamental ide restorative

justice hendak mengatur kembali peran korban, dari semula yang pasif menunggu

dan melihat bagaimana sistem peradilan pidana menangani kejahatan, diarahkan

untuk berubah dengan cara diberdayakan, sehingga korban mempunyai hak

pribadi untuk berpartisipasi secara aktif dalam proses pidana. Dalam literatur

tentang restorative justice, dikatakan bahwa “empowerment” berkaitan dengan

pihak-pihak dalam perkara pidana (korban, pelaku dan masyarakat).16

Para sarjana

memaknainya sebagai berikut:

“…..has described empowerment as the action of meeting, discussing and

resolving criminal justice matters in order to meet material and emotional

needs. To him, empowerment is the power for people to choose between

the different alternatives that are available to resolve one‟s own matter.

The option to make such decisions should be present during the whole

process”.17

(.......pemberdayaan digambarkan sebagai tindakan bertemu,

mendiskusikan dan menyelesaikan masalah peradilan pidana untuk

memenuhi kebutuhan materiil dan emosional. Pemberdayaan adalah

kekuatan bagi orang untuk memilih di antara berbagai alternatif yang

tersedia untuk menyelesaikan masalah sendiri. Pilihan untuk membuat

keputusan seperti itu, harus ada dalam seluruh proses”).

Kongkritnya, empowerment atau pemberdayaan dalam konteks restorative

justice adalah proses pertemuan dalam hal ini antara pelaku dengan korban atau

masyarakat untuk membahas dan secara aktif berpartisipasi dalam penyelesaian

masalah pidana (resolution of the criminal matter). Hal ini merupakan alternatif

atau pilihan lain dari pengaruh respon terhadap kejahatan.

Respon terhadap kejahatan yang semula dilakukan dengan menggelar

peradilan pidana oleh negara untuk mencari kesalahan pelaku, kemudian diikuti

dengan pengenaan sanksi guna mencela dan mengenakan penderitaan atau nestapa

16 Ketiga pihak tersebut oleh Mc Cold dikatakan sebagai stakeholder perkara pidana. 17 Lihat berbagai definisi lainnya dalam Ivo Aertsen, et.al, Restorative Justice and the Active

Victim: Exploring the Concept of Empowerment, Journal TEMIDA, Mart 2011, 8-9.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

14

kepadanya yang pada prinsipnya adalah pengasingan/disintegrasi. Restorative

justice justru sebaliknya mengusung falsafah intergrasi yang solutif, masing-

masing pihak berperan aktif untuk menyelesaikan masalah. Oleh karena itu

konsep restorative justice bisa dibilang mengintegrasikan prinsip musyawarah

dalam penyelesaian perkara pidana.

Konsep teori restorative justice menawarkan jawaban atas isu-isu penting

dalam penyelesaian perkara pidana, yaitu: pertama, kritik terhadap sistem

peradilan pidana yang tidak memberikan kesempatan khususnya bagi korban

(criminal justice system that disempowers individual); kedua, menghilangkan

konflik khususnya antara pelaku dengan korban dan masyarakat (taking away the

conflict from them); ketiga, fakta bahwa perasaan ketidakberdayaan yang dialami

sebagai akibat dari tindak pidana harus diatasi untuk mencapai perbaikan (in order

to achieve reparation).18

Praktik dan program restorative justice tercermin pada tujuannya yang

menyikapi tindak pidana dengan: pertama, identifying and taking steps to repair

harm (mengidentifikasi dan mengambil langkah-langkah untuk memperbaiki

kerugian/kerusakan); kedua, involving all stakeholders (melibatkan semua pihak

yang berkepentingan) dan; ketiga, transforming the traditional relationship

between communities and their governments in responding to crime.

Transforming the traditional relationship yaitu transformasi dari pola dimana

masyarakat dan negara menghadapi pelaku dengan pengenaan sanksi pidana

18 Lihat berbagai definisi lainnya dalam Ivo Aertsen, et.al, Restorative Justice and the Active

Victim: Exploring the Concept of Empowerment, Journal TEMIDA, Mart 2011; 8-9.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

15

menjadi pola hubungan kooperatif antara pelaku di satu sisi dengan masyarakat/

korban dalam menyelesaikan masalah akibat kejahatan.19

Peradilan restoratif dalam hal ini merubah paradigma dari pola berhadap-

hadapan antara pelaku dengan korban dan negara menjadi pola kooperatif atau

integrasi, persoalannnya adalah kejahatan yang dilakukan sebagai tindak pidana

oleh pelaku adalah kejahatan terhadap individu atau masyarakat bukan terhadap

negara, sehingga akan sangat baik sekali kalau penyelesaiannya adalah dilakukan

oleh pihak-pihak yang berperkara, tidak semata-mata diserahkan atau diselesaikan

oleh negara begitu saja.

Restorative Justice is commonly known as a theory of criminal justice that

fo-cuses on crime as an act by an offender against another individual or

community rather than the state.20

(Keadilan Restoratif umumnya dikenal

sebagai teori peradilan pidana yang berfokus pada kejahatan sebagai

tindakan oleh pelaku terhadap individu atau komunitas lain dari negara).

Keadilan dalam restorative justice mengharuskan untuk adanya upaya

memulihkan/mengembalikan kerugian atau akibat yang ditimbulkan oleh tindak

pidana, dan pelaku dalam hal ini diberi kesempatan untuk dilibatkan dalam upaya

pemulihan tersebut, semua itu dalam rangka memelihara ketertiban masyarakat

dan memelihara perdamaian yang adil. Dengan kata lain ketiga prinsip tersebut

mengandung unsur-unsur sebagai berikut; Pertama, justice requires that we work

to restore those who ha-ve been injured (keadilan menuntut kita bekerja untuk

memulihkan mereka yang terluka); kedua, those most directly involved an affected

19 McCold and Wachtel, Restorative practices, The International Institute for Restorative

Practices (IIRP), New York: Criminal Justice Press & Amsterdam: Kugler Publications Journal,

Vol. 85-101, 2003, 7. 20 Lihat pula pendapat Jarem Sawatsky sebagai berikut: The criminal justice system never asks

what the victim needs, what the offender needs or what the immediate community needs. It

focuses on what the state needs at the exclusion of other‟s „needs. It is interested in assessing

guilt and handing out punishment.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

16

by crime should have the opportunity to participate fully in the response if they

wish (mereka yang terlibat dan terkena dampak kejahatan harus memiliki

kesempatan untuk berpartisipasi sepenuhnya dalam respons jika mereka mau);

dan ketiga, government‟s role is to preserve a just public order, and the

community is to build and maintain a just peace (peran pemerintah adalah untuk

memelihara ketertiban umum, keadilan dan kedamaian dalam kehidupan

masyarakat).21

Justice Peace dalam restorative justice ditempuh dengan restorative

conferencing yaitu mempertemukan antara pelaku, korban dan masyarakat untuk

mencari atau memutuskan cara yang terbaik mengatasi dampak atau akibat dari

kejahatan (decide how best to repair the harm). Selain itu pertemuan (confe-

rencing) juga dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada korban untuk

menghadapi pelaku guna mengungkapkan perasaannya, menanyakan sesuatu dan

menyampaikan keinginannya; pelaku dapat mendengar langsung bagaimana

perilakunya atau perbuatannya telah menimbulkan dampak/kerugian pada orang

lain pelaku kemudian dapat meminta maaf dengan memperbaiki kerusakan atau

kerugian dari akibat perbuatannya, memperbaiki kesalahan dan menyetujui ganti

rugi keuangan atau melakukan pekerjaan pelayanan.22

Memahami restorative justice pastinya akan menemukan semangat lebih

pada penyelesaian masalah antara para pihak dalam hubungan sosial daripada

mengedepankan penerapan aturan/hukum yang menghadapkan pelaku dengan

aparat pemerintah. Adapun semangat yang terkandung di dalamnya meliputi:

21 Lihat Wikipedia, the free encyclopedia http://en.wiki-pedia.org/wiki/Restorative justice;

2019/02/21. 22 Bandingkan dengan O Connell, 1998 & Morris and Max-well, 2001, Restorative or Community

Conferencing, The IIRP, 17

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

17

search solutions (mencari solusi); repair (memperbaiki); reconciliation

(perdamaian); dan the rebuilding of relationships (membangun kembali

hubungan). Marc Levin menyatakan bahwa pendekatan yang dulu dinyatakan

sebagai usang, kuno dan tradisional kini justru dinyatakan sebagai pendekatan

yang progresif.23

2. Hukum Pidana Islam

Hukum Pidana Islam sering disebut dalam fiqh dengan istilah jina>yat atau

jari>mah. Jina>ya>t dalam istilah hukum sering disebut dengan delik atau tindak

pidana. Jina>yah merupakan bentuk verbal noun dari kata jana>. Secara etimologi

jana> berarti berbuat dosa atau salah, sedangkan jina>yah diartikan perbuatan dosa

atau perbuatan salah. Secara terminologi kata jina>ya>t mempunyai beberapa

pengertian, seperti yang diungkapkan oleh „Abd al-Qa>dir ‘Awdah bahwa jina>ya>t

adalah perbuatan yang dilarang oleh syara baik perbuatan itu mengenai jiwa, harta

benda, atau lainnya.24

Menurut A. Jazuli, pada dasarnya pengertian dari istilah Jina>ya>h mengacu

kepada hasil perbuatan seseorang. Biasanya pengertian tersebut terbatas pada

perbuatan yang dilarang. Di kalangan fuqah{a’, perkataan jina>ya>t berarti perbuatan

perbuatan yang dilarang oleh syara‟. Meskipun demikian, pada umunya fuqah{a’

menggunakan istilah tersebut hanya untuk perbuatan perbuatan yang terlarang

menurut syara. Meskipun demikian, pada umumnya fuqah{a‟ menggunakan istilah

tersebut hanya untuk perbuatan perbuatan yang mengancam keselamatan jiwa,

23 Marc Levin, Restorative justice in Texas: Past, Present and Future, (Texas: Texas Public Policy

Foundation, 2005), 5-7. www.TexasPolicy.com 2019/02/21. 24 Abd al-Qa>dir Audah, al-Tasyri> al-Jina>’i> al-Isla>mi>;Muqa>ranan bi al-Qa>nu>n al-Wadh’i>, Jilid I,

Beiru>t: Muasasah al-Risa>lah Litiba’>ah wa al-Nasyr wa al-Tauzi>, 1992, 79-99.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

18

seperti pemukulan, pembunuhan dan sebagainya. Selain itu, terdapat fuqah{a’ yang

membatasi istilah jina>ya>t kepada perbuatan perbuatan yang diancam dengan

hukuman hudu>d dan qis{a>s{, tidak temasuk perbuatan yang diancam dengan ta’zi >r.

Istilah lain yang sepadan dengan istilah jina>ya>t adalah jari>mah{, yaitu larangan-

larangan syara‟ yang diancam Allah dengan hukuman h{ad atau ta’zi >r.25 Secara

umum, pengertian jina>ya>t sama dengan hukum Pidana pada hukum positif, yaitu

hukum yang mengatur perbuatan yang yang berkaitan dengan jiwa atau anggota

badan, seperti membunuh, melukai dan lain sebagainya. jari>mah{ (kejahatan)

dalam Hukum Pidana Islam (jina>ya>t) meliputi, jari>mah{ hu>dud, qis{{a>s}, diyat dan

ta’zi >r.26

Macam macam tindak pidana (jari>mah) dalam Islam dilihat dari berat

ringannya hukuman dibagi menjadi tiga, yaitu hudu>d, qis{as{ diyat dan ta’zi >r.27

a. Ja>rimah >’ H}udu>d.

Jari>mah >’ hudu>d yaitu perbuatan melanggar hukum yang jenis dan ancaman

hukumannya ditentukan oleh nas{ yaitu hukuman had (hak Allah). Hukuman had

yang dimaksud tidak mempunyai batas terendah dan tertinggi serta tidak bisa

dihapuskan oleh perorangan (si korban atau walinya) atau masyarakat yang

mewakili (ulil amri). Para ulama sepakat bahwa yang menjadi kategori dalam

ja>rimah hudu>d ada tujuh, yaitu zina, menuduh zina (qadzf), mencuri (sirq),

perampok dan penyamun (hira>bah), minum-minuman keras (syurbah), dan murtad

(riddah).

25 Ahmad Jazuli, Fiqh jinayah, (PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Cetakan I, 1999), 21. 26 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), 35. 27 Abd al-Qa>dir Audah, al-Tasyri>’ al-Jina>’i ‘al-Isla>mi>; Muqa>ranan bi al-Qa>nu>n al-Wad{’i>, Jilid I,

Beirut: Muasasah al-Risa>lah Litiba>’ah wa al-Nas{ir wa al-Tauzi>, 1992, 79-99.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

19

Jari>mah hudu>d bisa berpindah menjadi ja>rimah ta’zi >r bila ada syubha>t,

baik itu shubhat fi>> al-fi‘li, fi>> al-fa>‘il, maupun fi> al-mah{al. Demikian juga bila

jari>mah hudu>d tidak memenuhi syarat, seperti percobaan pencurian dan percobaan

pembunuhan. Bentuk lain dari jari>mah ta’zi >r adalah kejahatan yang bentuknya

ditentukan oleh ulil amri sesuai dengan nilai nilai, prinsip-prinsip dan tujuan

syari‟ah, seperti peraturan lalu lintas, pemeliharaan lingkungan hidup, memberi

sanksi kepada aparat pemerintah yang tidak disiplin dan lain lain. Kejahatan

hudu>d adalah kejahatan yang paling serius dan berat dalam Hukum Pidana Islam.

Ia adalah kejahatan terhadap kepentingan publik, tetapi bukan berarti tidak

mempengaruhi kepentingan pribadi sama sekali, namun terutama sekali berkaitan

dengan hak Allah. Kejahatan ini diancam dengan hukuman had. Sementara qis{as{

berada pada posisi diantara hudu>d dan ta’zi >r dalam hal beratnya hukuman. Ta’zi >r

sendiri merupakan hukuman paling ringan diantara jenis-jenis hukuman yang lain.

b. Jari>mah Qis{a>s{-Diyat .

Jari>mah qis{a>s{-diyat yaitu perbuatan yang diancam dengan hukuman qis{as{

dan diyat . Baik qis{as{ maupun diyat merupakan hukuman yang telah ditentukan

batasannya, tidak ada batas terendah dan tertinggi tetapi menjadi hak perorangan

(si korban dan walinya), ini berbeda dengan hukuman had yang menjadi hak

Allah semata. Penerapan hukuman qis{as{-diyat ada beberapa kemungkinan,

seperti hukuman qis{as{ bisa berubah menjadi hukuman, hukuman diyat apabila

dimaafkan akan menjadi hapus. Yang termasuk dalam kategori jarimah qis{as{

diyat antara lain pembunuhan sengaja (qotl amd), pembunuhan semi sengaja

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

20

(qotl sibh amd), pembunuhan keliru (qotl khat {a>‘), penganiayaan sengaja

(jarh‘amd) dan penganiayaan salah (jarh khat {a‘).28

Dalam Islam pemberlakuan hukuman mati terhadap pelaku pembunuhan

sengaja tidak bersifat mutlak, karena jika dimaafkan oleh keluarga korban dia

hanya diberi hukuman untuk membayar diyat yaitu denda senilai 100 onta. Di

dalam Hukum Pidana Islam, diyat merupakan hukuman pengganti („uqu>bah

badaliah) dari hukuman mati yang merupakan hukuman asli (‘uqu>bah as{liyah)

dengan syarat adanya pemberian maaf dari keluarganya. Keberadaan uqubah

dalam Islam, yang berfungsi sebagai pencegah, telah disebutkan dalam al-Qur‟an:

ون ق ت م ت م لمك ع ل اب ب الل ول اأ ي اة ي ح اص ص ق ال ف م ك ول

Artinya : “Dan dalam qis{as{ itu ada (jaminan kelangsungan) hidup

bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertaqwa.” (al-Baqarah:

179).

c. Jari>mah Ta’zi >r.

Secara bahasa ta‘zi>r merupakan mas{dar (kata dasar) dari „azzaro yang

berarti menolak dan mencegah kejahatan, juga berarti menguatkan, memuliakan,

membantu. Ta‘zi>r juga berarti hukuman yang berupa memberi pelajaran. Disebut

dengan ta‘zi>r, karena hukuman tersebut sebenarnya menghalangi si terhukum

untuk tidak kembali kepada jarimah atau dengan kata lain membuatnya jera.

Sementara para fuqaha mengartikan ta‘zi>r dengan hukuman yang tidak ditentukan

oleh al Qur‟an dan hadits yang berkaitan dengan kejahatan yang melanggar hak

Allah dan hak hamba yang berfungsi untuk memberi pelajaran kepada si terhukum

28

Abd al-Qa>dir ‘Audah, al-Tasyri> al-Jina>’i al-Isla>mi>; Muqa>ranan bi al-Qa>nu>n al-Wad{’i>, Jilid I,

Beirut: Muasasah al-Risa>lah Litiba>’ah wa al-Nas{ir wa al-Tauzi>’,1992, 87.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

21

dan mencegahnya untuk tidak mengulangi kejahatan serupa. Ta‘zi>r sering juga

disamakan oleh fuqaha> dengan hukuman terhadap setiap maksiyat yang tidak

diancam dengan hukuman had atau kaffa>ra>t.29

Ta‘zi>r adalah hukuman yang tidak ditentukan oleh al Qur‟an dan hadits

yang berkaitan dengan kejahatan yang melanggar hak Alla>h dan hak hamba yang

berfungsi untuk memberi pelajaran kepada si terhukum dan mencegahnya untuk

tidak mengulangi kejahatan serupa. Penentuan jenis pidana ta‘zi>r ini diserahkan

sepenuhnya kepada penguasa sesuai dengan kemaslahatan manusia. Alla>h SWT

telah menetapkan hukum-hukum uqu>bah (pidana, sanksi, dan pelanggaran) dalam

peraturan Islam sebagai pencegah dan penebus. Sebagai pencegah, karena ia

berfungsi mencegah manusia dari tindakan kriminal; dan sebagai penebus, karena

ia berfungsi menebus dosa seorang muslim dari azab Allah di hari kiamat.30

Demikian pula halnya dengan hukuman-hukuman lainnya, sebagai bentuk

pencegahan terjadinya kriminalitas yang merajalela.31

Bisa dikatakan pula, bahwa ta‘zi>r adalah suatu jari>mah yang diancam

dengan hukuman ta‘zi>r (selain had dan qis{as{-diyat ). Pelaksanaan hukuman

ta‘zi>r, baik yang jenis larangannya ditentukan oleh nas atau tidak, baik perbuatan

itu menyangkut hak Allah atau hak perorangan, hukumannya diserahkan

sepenuhnya kepada penguasa. Hukuman dalam jari>mah ta‘zi>r tidak ditentukan

ukurannya atau kadarnya, artinya untuk menentukan batas terendah dan tertinggi

diserahkan sepenuhnya kepada hakim (penguasa). Dengan demikian, syari‟ah

29 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), 45. 30 Ahmad Jazuli, Fiqh jinayah, (PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Cetakan I, 1999), 21. 31

Musthafa Abdullah, dkk. Intisari Hukum Pidana, (Jakarta; Ghalia Indonesia, 1983), 123.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

22

mendelegasikan kepada hakim untuk menentukan bentuk dan hukuman kepada

pelaku jari>mah.

Jenis sanksinya secara penuh ada pada wewenang penguasa demi

terealiasinya kemaslahatan umat. Dalam hal ini unsur akhlak menjadi

pertimbangan paling utama. Misalnya pelanggaran terhadap lingkungan hidup,

lalu lintas, dan pelanggaran-pelanggaran lalu lintas lainnya. Dalam penetapan

jarimah ta‘zi>r prinsip utama yang mejadi acuan penguasa adalah menjaga

kepentingan umum dan melindungi setiap anggota masyarakat dari kemadhorotan

(bahaya). Disamping itu, penegakan jarimah ta‘zi>r harus sesuai dengan prinsip

syar‘i (nas{).32

3. Maqa>s}id Shari>’ah

Sesuai dengan latar belakang, batasan masalah dan rumusan masalah,

maka penelitian ini mempertimbangkan beberapa teori dengan mengambil

pendekatan maqa>s}id (fisafat hukum Islam). Maqa>s}id Shari>’ah merupakan kajian

yang mempunyai posisi sentral dalam ijtihad kaum muslimin pada setiap masa,

termasuk di masa mendatang. Maqa>s}id Shari>’ah merupakan kajian ijtiha>diyah

yaitu menampakkan hukum yang tidak ada nas{ (dalil) dalam Al-Qur‟an maupun

hadits. Setiap mujtahid dari berbagai bidang keilmuan wajib hukumnya untuk

mengetahuinya karena Maqa>s}id Shari>’ah bertujuan untuk mencari tahu dasar

landasan atau sebab mengapa hukum itu diturunkan. Seorang muslim yang

menegakkan maqa>s{id, berarti telah menciptakan keselamatan dan kesejahteraan

pada ruang-ruang privat maupun publik yang disebut maslahat. Maslahat berarti

bermanfaat bagi banyak orang. Dengan kata lain, menjaga maslahat berarti

32

Ahmad Jazuli, Fiqh jinayah, (PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Cetakan I, 1999), 21.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

23

melindungi kepentingan publik atau kepentingan umum dari tindakan seseorang

atau sekelompok orang yang hendak membawa kerusakan.

Konsep maqa>s{id sendiri dikembangkan sejak abad ke-12 oleh Abdul

Ha>mid Al-Ghaza>li>33

(wafat 1.111 M) melalui penjagaan atau perlindungan lima

aspek fundamental seorang manusia, yakni: a. Melindungi agama, b. Melindungi

akal, c. Melindungi badan/jiwa, d. Melindungi keturunan dan e. Melindungi harta.

Kemudian, konsep Maqa>s{id mengalami revisi dan pengembangan lebih lanjut

pada abad ke-14 oleh Ibnu Taimiyah (wafat 1.328 M) dan kemudian

dikembangkan lagi oleh muridnya, yaitu Al-Sya>tibi> (wafat 1.388 M) menjadi

landasan filosofi hukum Islam yang baru34

. Al-Sya>tibi dalam kitab al-Muwa>faqat

fi> us{u>li al-syari>‘ah menjelaskan bahwa Maqa>s}id Shari>’ah dibagi menjadi tiga

kategori, yaitu d{aru>riyya>t (hak primer), ha>jiyya>t (hak sekunder) dan tah{si>niyya>t

(hak suplementer).35

Pertama, D{aru>riyya>t; terdiri atas segala sesuatu yang mendasar dan

esensial terjaganya kepentingan dunia dan akhirat. D{aru>riyya>t adalah adalah

segala sesuatu yang bila tidak tersedia akan menyebabkan rusaknya kehidupan.36

Adapun lima aspek perlindungan fundamental kehidupan manusia yang

dikembangkan Al-Ghazali tersebut di atas termasuk dalam kategori ini. Kedua,

Ha>jiyya>t; yaitu segala sesuatu yang sangat penting bagi perlindungan hak yang

dimaksud, tapi tidak mencapai darurat. Dalam arti bila pemenuhannya tidak bisa

33 Al-Ghazali, al-Mustasfa min „Ilm al-Ushul, Juz I (Beirut: Da>r al-Fikr, tt), 287. 34

Halim Rane. The Relevance of a Maqasid Approach For Political Islam Post Arab Revolutions,

(Journal of Law and Religion, Vol. XXVIII, 2013), 493-494. 35 Abu> Isha>k As-Sya>tibi>. al-Muwa>faqa>t fi Us}u>li al-Syar>i’ah, Beiru>t: (Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah.

2004), 221. 36

Ibid.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

24

terpenuhi, maka hak dasarnya masih bisa terlindungi, meski sangat lemah.37

Contoh yang termasuk dalam perlindungan kategori ini adalah seperti menjaga

hubungan kekerabatan, menghormat hak tetangga, kewajiban memenuhi

perjanjian yang telah disepakati dan mencegah kerusakan lingkungan.38

Ketiga,

tah{si>niyya>t; dapat dimaknai sebagai hal-hal yang tidak mendesak dan sangat tidak

penting bagi perlindungan hak. Namun jika terpenuhi, tah{s>iniyya>t akan

menyempurnakan pelaksanaan hak-hak yang lain.39

Contoh yang termasuk dalam

perlindungan kategori ini adalah persamaan hak politik dan kesetaraan gender.

Pembaharuan secara sederhana mengandung pengertian upaya melakukan

perbaikan dari kondisi yang kurang baik menuju ke arah yang lebih baik. Menurut

pengertian ini pembaharuan (reform)40

semakna dengan pembangunan.

Sedangkan hukum pidana nasional merupakan bagian sistem hukum nasional

yang memuat peraturan-peraturan yang mengandung keharusan dan larangan

terhadap pelanggarnya yang diancam dengan hukuman berupa siksa badan.41

Hukum pidana nasional adalah hukum yang didasarkan pada landasan ideologi

dan konstitusi negara, yakni Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara

Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945)42

yang berlaku secara nasional.

Pembaharuan hukum pidana merupakan suatu proses memperbarui hukum positif

yang saat ini berlaku. Prosesnya hingga saat ini masih berlangsung yang dikemas

melalui legislasi. Memiliki hukum pidana produk sendiri bagi bangsa Indonesia

37

Ibid, 222. 38

Halim Rane. The Relevance of a Maqa>s{id Approach For Political Islam Post Arab

Revolutions, (Journal of Law and Religion, Vol. XXVIII, 2013), 493-494,. 39

Abu Isha>k As Sya>tibi>. al-Muwa>faqat fi> Ushul al-Syari>’ah, Beiru>t: (Da>r al-Kutub al-Ilmiyah.

2004), 223. 40

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana; Perkembangan Penyusunan

Konsep KUHP Baru, (Jakarta: Kencana, 2010), 28-29. 41

P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Sinar Baru, 1999), 2. 42

M. Sularno, Syari‟at Islam dan Upaya Pembentukan Hukum Positif di Indonesia, (Jurnal al-

Mawardi, Edisi XVI, 2006), 215.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

25

merupakan upaya menampakkan jati diri bangsa sesuai dengan harapan dan cita-

cita kemerdekaan. Tujuannya untuk melindungi segenap bangsa Indonesia

berdasarkan Pancasila. Hal ini merupakan garis kebijakan umum yang menjadi

landasan dan tujuan politik hukum di Indonesia.43

Teori prasarat fungsional (imperatif-fungsional) Talcott Parsons dan

pengembangannya oleh pemikir lain dapat menjelaskan tentang urgensi

pembaharuan hukum serta tujuannya yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia.

Parsons merumuskan bahwa masyarakat mencakup sebuah sistem yang luas dan

elemen-elemennya mengisi empat fungsi dasarnya yaitu adaptasi (Adaptation),

melanjutkan tujuan (Goal), integrasi (Integration) dan memelihara norma-norma

(Laten Pattern Maintenance) atau pendekatan AGIL. AGIL yang dikembangkan

Parsons merupakan nomoteknis dalam mempertimbangkan fungsi-fungsi sistem

sosial. Masing-masing fungsi ini terkait dengan sebuah sub sistem. Sub sistem

ekonomi bertujuan untuk melakukan adaptasi; sub sistem politik bertanggung

jawab memberi definisi tujuan akhir; sub sistem kultural (agama dan sekolah)

bertugas untuk mendefinisikan dan memelihara norma-norma dan nilai; sub-

sistem sosial (termasuk hukum) bertugas sebagai integrasi sosial.44

Parsons

menempatkan hukum sebagai salah satu sub-sistem dalam sistem sosial yang lebih

besar. Hukum menunjuk pada aturan-aturan sebagai aturan main bersama (rule of

the game).

Harry C. Bredemeier mengembangkan teori yang dirumuskan Parsons

tersebut. Hukum menurut Bredemeier dapat digunakan sebagai pengintegrasi

sosial di dalam masyarakat. Keserasian antara warga masyarakat dengan norma

43 Qodri Abdillah Azizy, Membangun Integritas Bangsa, (Jakarta: Renaisan, 2004), 20-21. 44

Jonathan H. Turner, The Structure of Sociological Theory, (Homewood Illinois: The Dorsey

Press, 1975), 38.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

26

yang mengaturnya menciptakan suatu keserasian dalam hubungan di dalam

masyarakat yang bersangkutan.45

Menjadi hal yang tidak logis apabila hukum

pidana yang diberlakukan di Indonesia adalah hukum yang tidak sesuai dengan

norma-norma atau nilai-nilai yang yang dianut bangsa Indonesia. KUHP yang

merupakan peninggalan Belanda banyak yang tidak sesuai dengan nilai dan

budaya yang dianut bangsa Indonesia. Apabila hal ini terus dipaksakan berarti

terjadi ketidakserasian dalam hubungan bermasyarakat. Diperlukan hukum baru

yang sesuai dengan nilai yang dianut bangsa Indonesia yang dapat disebut hukum

Pancasila yang di dalamnya mengakomodasi hukum-hukum yang berasal dari

agama.

Pancasila sebagai dasar filsafat bangsa Indonesia perlu diimplementasikan

khususnya postulat moral kalimat Ketuhanan Yang Maha Esa dalam setiap usaha

pembangunan perundang-undangan nasional. Demikian halnya dalam

pembangunan hukum pidana nasional yang mendasarkan pandangannya terhadap

prinsip filsafat Pancasila, dalam pengejawantahannya harus dijiwai nilai-nilai

Pancasila termasuk keseimbangan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa yang

dapat digali dari hukum-hukum agama. Perlu dilakukan penggalian terhadap nilai-

nilai hukum agama yang merupakan hukum yang hidup dalam masyarakat

Indonesia. Hukum-hukum dari agama dapat dijadikan sumber dalam

pembangunan hukum pidana nasional.

Hukum Islam sebagai bagian dari ajaran agama Islam, dan sebagai salah

satu dari tiga sistem hukum yang berlaku di Indonesia, di samping hukum adat

dan hukum Barat, mempunyai kedudukan penting dan strategis dalam

45

Bernard L. Tanya, dkk., Teori Hukum; Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi,‟

(Yogyakarta: Genta Publishing, 2010), 152-153.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

27

pembangunan hukum pidana nasional. Sepanjang sejarah perjalanan hukum di

Indonesia, hukum Islam selalu memperteguh eksistensinya sebagai hukum tertulis

maupun tidak tertulis. Hukum Islam dalam pembangunan hukum nasional

mempunyai dua fungsi; 1) Sebagai hukum positif yang berlaku hanya bagi

pemeluk Islam saja.2)Sebagai ekspresi nilai-nilai yang akan berlaku bagi semua

warga Negara.46

Dari sisi pelaksanaannya, hukum Islam dapat digolongkan tiga macam;

1)Dapat dilaksanakan oleh individu secara langsung tanpa bantuan Negara, seperti

hukum-hukum di bidang peribadatan ritual. 2) Pelaksanaannya memerlukan

bantuan kekuasaan negara dalam kerangka administratif atau pelayanan, seperti

hukum keluarga. 3) Tidak mungkin dapat dilaksanakan kalau tidak ada campur

tangan negara, seperti hukum pidana.47

Hukum pidana Islam merupakan bagian dari hukum Islam yang membahas

tentang perbuatan-perbuatan manusia yang tidak boleh dilakukan (terlarang) dan

yang harus dilakukan, ancaman pidananya, dan pertanggungjawabannya.

Perbuatan-perbuatan yang termasuk tindak pidana menurut hukum pidana Islam

dapat berbeda penggolongan dan cara peninjauannya. Dilihat dari segi berat-

ringannya ancaman pidana, tindak pidana dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu

tindak pidana yang diancam pidana had (jari>mah hudu>d), tindak pidana yang

diancam pidana qis{as{-diyat (jari>mah qis{as{-diyat ) dan tindak pidana yang

diancam pidana ta‘zi>r (jari>mah ta‘zi>r). Ditinjau berdasarkan karakter khusus

tindak pidana, dapat dibagi menjadi tindak pidana masyarakat (jara>im al-jama>’ah),

46

Muhammad Julijanto, Implementasi Hukum Islam di Indonesia; Sebuah Perjuangan Politik

Konstitusionalisme, dalam Makalah Conference Procedings Annual International Conference on

Islamic Studies, (Mataram, September 2013), 78. 47 Syamsul Anwar, Studi Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: RM. Books, 2007), 14.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

28

tindak pidana perseorangan (jara>im al-afra>d), tindak pidana biasa (jara>im al-

adiyah) dan tindak pidana politik (jara>im as-siya>sah).48

Hukum Islam pernah diterapkan secara formal di Nusantara pada zaman

kerajaan-kerajaan Islam, hingga akhirnya dianulir oleh penjajah Belanda.

Sepanjang abad ke-19 di kalangan ahli hukum Hindia Belanda berkembang

pendapat bahwa di Indonesia berlaku hukum Islam seperti dikemukakan oleh

Salomon Keyzer (1823-1868) dan dikuatkan oleh Lodewijk Williem Christian van

den Berg (1845-1927). Menurut Berg, hukum mengikuti agama yang dianut

seseorang. Jika telah memeluk agama Islam, hukum Islamlah yang berlaku

baginya.49

Orang Islam Indonesia telah melakukan resepsi hukum Islam dalam

keseluruhan bidangnya sebagai satu kesatuan atau receptio in complex.

Hukum pidana Islam sangat penting untuk diperhitungkan dalam

pembangunan hukum pidana nasional sebagai sumber. Karena hukum pidana di

Indonesia menganut unifikasi, yakni hanya satu hukum, maka hukum pidana

Islam posisinya sebagai sumber materiil atau bahan yang disandingkan dengan

sumber atau bahan lain. Berbeda dengan hukum perdata khususnya hukum

keluarga yang menganut pluralisme hukum, hukum Islam di bidang perdata dapat

menjadi sumber formil. Sumber hukum materiil adalah sumber hukum yang

belum memiliki bentuk tertentu atau masih berupa bahan sehingga belum bisa

diterapkan. Sedangkan sumber hukum formil adalah sumber hukum yang telah

memiliki bentuk tertentu sehingga bisa langsung diterapkan.50

48

Abd al-Qa>dir Audah, al-Tasyri>’al-Jina>’i ‘al-Isla>mi>; Muqa>ranan bi al-Qa>nu>n al-Wad{’i>, Jilid I,

(Beiru>t: Muasasah al-Risa>lah Litiba>’ah wa al-Nasyr wa al-Tauzi’i, 1992), 79-99. 49

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam; Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di

Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet. ke-11, 2004), 242. 50

Moh. Mahfud MD, Politik Hukum dalam Perda Berbasis Syari„ah, dalam Jurnal Hukum, No. 1

Vol. 14, Januari 2007, 15.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

29

F. Studi Terdahulu

Studi tentang Restorative Justice dan Pidana Islam telah dilakukan oleh

beberapa peneliti sebelumnya. Dari beberapa karya tersebut, penjelasan secara

utuh dan holistik yang menggambarkan Restorative justice dalam Hukum Pidana

Islam Perspektif Filsafat Hukum Islam agaknya belum ditemukan. Namun

demikian, peneliti akan menguraikan karya-karya tersebut baik berupa desertasi,

buku, jurnal, maupun artikel ilmiah lainnya.

Pendekatan Restorative Justice dalam Pembangunan Hukum Pidana

Nasional Berbasis Ketentuan qis{as{-diyat dalam Hukum Pidana Islam,

merupakan Disertasi yang ditulis oleh Achmad Irwan Hamzami51

yang terdorong

untuk ikut memberikan sumbangan pemikiran tentang konsep profil hukum

pidana nasional ke depan dengan mengkontribusikan hukum pidana Islam.

Ketentuan-ketentuan dalam hukum pidana Islam seperti qis{as{-diyat secara

filosofis lebih menjanjikan dapat memberikan manfaat dan kepastian keadilan

sebagaimana tujuan utama dalam hukum pidana. Menurut hukum yang berlaku di

Indonesia, yang berhak melaksanakan proses pemidanaan adalah penguasa,

korban tidak dilibatkan. Akibat korban tidak dillibatkan, dalam pelaksanaan

pidana banyak menimbulkan masalah bagi korban, misalnya korban merasa tidak

mendapat perlindungan dari Negara dan tidak puas karena kerugian yang diderita

korban tidak tergantikan. Model pemidanaan demikian perlu untuk dikaji kembali.

Sebab untuk tindak pidana terhadap nyawa, keadilan tidak dapat terwujud tanpa

memperhatikan korban atau keluarganya, dan harmoni dalam masyarakat tidak

dapat dikembalikan.

51

Achmad Irwan Hamzami, Pendekatan Restorative Justice dalam Pembangunan Hukum Pidana

Nasional Berbasis Ketentuan Qis{a>s{-Diyat dalam Hukum Pidana Islam, (Semarang: PPs.

Universitas Diponegoro, Desertasi, 2015).

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

30

Penyelesaian perkara pidana yang lebih adil adalah dengan cara

melibatkan semua orang yang terkait dengan tindak pidana tersebut. Model seperti

ini di Indonesia telah dikenal dan dipraktekkan oleh masyarakat, yaitu

musyawarah mufakat, yang dalam hukum pidana Islam berlaku untuk tindak

pidana qis{as{-diyat melalui perdamaian atau pemaafan (is{la>h{/al afwu{) dan mirip

dengan pendekatan restorative justice yang saat ini menjadi wacana global untuk

diterapkan dalam menyelesaikan perkara pidana. Hanya saja tulisan ini terbatas

pada pendekatan qis{as{-diyat melalui perdamaian atau pemaafan (is{la>h{/al afwu {).

Kuat Puji Prayitno menyatakan bahwa Restorative justice merupakan

filsafat, proses, ide, teori dan intervensi, yang menekankan dalam memperbaiki

kerugian yang disebabkan atau diungkapkan oleh perilaku criminal. Proses ini

sangat kontras dengan cara standar menangani kejahatan yang dipandang sebagai

pelanggaran yang dilakukan terhadap Negara. Restorative Justice menemukan

pijakan dalam filosofi dasar dari sila keempat Pancasila, yaitu musyawarah

prioritas dalam pengambilan keputusan. Tujuan penyelesaian dengan Mediasi

Korban pelanggar adalah untuk memanusiakan sistem peradilan, keadilan yang

mampu menjawab apa kebutuhan yang sebenarnya dari korban, pelaku dan

masyarakat.

Kajian tentang Restorative Justice juga dapat ditelaah pada tulisan Ahmad

Ramzy52

pada tesis-nya yang berjudul Perdamaian Dalam Hukum Pidana Islam

Dan Penerapan Restorative Justice Dikaitkan Dengan Pembaruan Hukum Pidana

Di Indonesia. Tesis ini mengkaji tentang pendekatan metode perdamaian (s{ulh{).

Di dalam perdamaian (s{ulh{) baik korban atau walinya ataupun washinya

52

Ahmad Ramzy, Perdamaian Dalam Hukum Pidana Islam Dan Penerapan Restorative Justice

Dikaitkan Dengan Pembaruan Hukum Pidana Di Indonesia, (Jakarta: PPs. Universitas

Indonesia, Tesis, 2012).

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

31

(pemegang wasiat) diperbolehkan untuk mengadakan perdamaian dalam hal

penggantian hukuman dengan imbalan pengganti sama dengan diyat atau lebih

besar dari diyat. Restorative justice atau sering diterjemahkan sebagai keadilan

restoratif, merupakan suatu model pendekatan yang dalam upaya penyelesaian

perkara pidana. Pendekatan ini menitikberatkan pada adanya partisipasi langsung

pelaku, korban dan masyarakat dalam proses penyelesaian perkara pidana. Proses

penyelesaian perkara pidana melalui perdamaian sangat sesuai dengan ciri khas

bangsa Indonesia yaitu semangat musyawarah untuk setiap permasalahan pidana

dengan tujuan bahwa hukum pidana adalah ultimum remedium (obat terakhir)

bukan sebagai premium remedium (obat utama).

Kajian yang berkaitan dengan Disertasi ini, tentang Pidana Islam ditulis

juga oleh Ali Geno Berutu dalam Disertasi-nya yang berjudul Formalisasi Hukum

Pidana Islam di Indonesia (Analisis Kasus Penerapan Hukum Pidana Islam di

NAD). Penulis memaparkan seputar perdebatan syariah dalam negara disertai

pendapat para tokoh mengenai penerapan syariat,dijelaskan bahwa Islam adalah

ajaran yang lengkap dan sempurna yang mengatur seluruh kehidupan manusia.

Islam adalah agama yang tidak memisahkan antara agama dan dunia, inilah yang

dikenal dengan konsep Isla>m Di>n Wa ad-Daulah.

Untuk konteks negara Indonesia, ditinjau dari perspektif religio-politis,

syariat Islam dan negara adalah dua etnis yang sepanjang sejarah Indonesia

senantiasa selalu bergulat dengan pergumulan dan ketegangan abadi dalam

memposisikan relasi agama (syariat Islam) dan negara, anatara proyek

sekulerisasi, Islamisasi dan masyarakat. Penelitian ini fokus pada hukum pidana

Islam sebagai produk politik nasional secara umum dan produk hukum lokal, yang

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

32

lahir di Nangroe Aceh Darussalam. Formalisasi syariat Islam yang dimaksudkan

adalah upaya memasukkan syariat Islam ke dalam hukum Nasional. Produk

perundang-undangan local yang menjadi obyek penelitian adalah Qanun Nomor

12 Tahun 2003 tentang larangan Khamar. Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Maisir (perjudian) dan Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang larangan Khalwat.

Dalam hasil penelusuran penelitian terdahulu tersebut berupa disertasi,

tesis, artikel jurnal maupun bentuk karya lainnya mengandung berbagai kritik,

analisis dan deskripsi dari para peneliti. Lebih lanjut penelusuran ini akan

diperkaya dengan berbagai artikel tambahan seperti yang terdapat dalam website

yang ada kaitanya dengan tema penelitian ini. Sebagaimana telah dilakukan

penelusuran terkait dengan tema: Restorative Justice dalam Hukum Pidana

Islam Perspektif Filsafat Hukum Islam dapat diketahui secara jelas bahwa

penelitian ini adalah peneilitian yang bersifat aktual, khas, mengandung novelty,

dan secara spesifik belum ada pihak yang menelitinya.

G. Pendekatan dan Metode Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan maqa>s{id (pendekatan filsafat

hukum Islam). Dalam menentukan pendekatan dalam penelitian tersebut

didasarkan atas alasan metodologis yang berkaitan dengan tema penelitian ini

yaitu terkait wilayah masalah, sifat masalah dan perspektif kajian ini. Pertama,

pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan maqa>s{id, yaitu melihat

maksud dan tujuan dari hukum pidana Islam. Kedua, terkait dengan wilayah

masalah ini mencakup penelitian peraturan perundang-undangan dan penelitian

empirik. Dalam hal ini wilayah perundang-undangan dan wilayah empirik digali

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

33

dari berbagai sumber dan juga data di lapangan. Secara definitif pendekatan

maqa>s{id dapat dijelaskan sebagai berikut:

Sebuah sistem bisa tetap eksis manakala tetap menjaga atau

mempertahankan openness and self-renewal. Jasser Audah menawarkan dua

mekanisme dalam hukum Islam agar openness and self-renewal bisa terwujud.

Pertama, berubahnya sebuah hukum seiring dengan berubahnya cara pandang para

ahli hukum atau pengetahuannya tentang budaya. Kedua, philosophy keterbukaan

menawarkan diri sebagai mekanisme dari self-renewal dalam hukum Islam.53

Worldview adalah sebuah istilah yang sudah dikenal sejak seratus tahun

yang lalu dengan nama world outlook.54

Worldview adalah hasil atau produk dari

sekian jumlah faktor yang dapat membentuk seseorang memiliki pengetahuan

yang luas atau human cognition of the world. Worldview dihasilkan dari segala

sesuatu yang mengelilingi kita atau yang ada di sekitar kita, seperti agama,

lingkungan, politik, masyarakat, ekonomi, bahasa dan sebagainya.

Berdasarkan tradisi, dasar atau asas dari al-‘urf dalam teori hukum Islam,

sama halnya berinteraksi dengan dunia luar (interaction with the outside world).

Dalam kaidah yang diusung oleh Hanafiyyah menegaskan bahwa al-ma‘ru>fu

‘urfan ka al-masyru>t{i syart{an. Kaidah ini telah disepakati oleh berbagai macam

sekolah hukum untuk bisa diterapkan di berbagai ranah masalah yang berkaitan

dengan hukum, selama tidak ada nash yang menyinggung hal tersebut. Sebagai

contoh standar dalam hal ini, sebagaimana yang dikenalkan oleh buku-buku usul

dalam hukum Islam adalah, nilai mahar wanita, penggunaan mata uang di setiap

53

Jasser Audah, Maqa>s{id al- Syari’ah Falsafah Li al-Tasyri>‘ al-Isla>mi> (London: The International

Institute Of Islamic Thought, 2007), 8. 54

Jasser Audah, Maqasid As Philoshophy Of Islamic Law (London: The International Institute Of

Islamic Thought, 2008),193.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

34

Negara, mengenakan penutup kepala atau tidak, penggunaan secara umum

beberapa kalimat berbahasa arab dan sebagainya.55

Tujuan dibalik melibatkan urf

dalam menentukan hukum Islam adalah untuk mengakomodasi atau menampung

berbagai macam keadaan orang yang berbeda dengan tradisi orang arab, yang

mana seluruh syariat pada awalnya diturunkan dan ditujukan untuk mereka pada

waktu itu. Tetapi kenyataannya, implikasi praktis (al-‘at{ar al’amaliyyah) dari al-

‘urf dalam kajian fiqh telah benar-benar dibatasi.

2. Jenis Penelitian

Dalam penelitian Hukum, jenis penelitian ini masuk dalam kategori

penelitian Yuridis Normatif atau penelitian Hukum kepustakaan. Oleh karenanya

dalam penelitian ini bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam ilmu

penelitian digolongkan sebagai data sekunder.56

Penelitian ini disebut juga sebagai

penelitian kualitatif.57

Penelitian ini merupakan penelitian studi pustaka dan

menggunakan analisis deskriptif dalam menjelaskan relevansi sudut pandang

filsafat hukum Islam terhadap Restorative Justice dalam hukum pidana Islam.

Penelitian kualitatif tidak memakai alat ukur sebagaimana yang terdapat dalam

penelitian kuantitatif. Situasi dan kondisi lapangan juga bersifat alami, natural,

apa adanya dan tidak dibuat-buat.58

Kondisi dan situasi penelitian yang alami dan

natural merupakan salah satu ciri yang dominan dalam jenis penelitian ini, sebab

fakta yang dihadapi bersifat kompleks, dinamis dan variatif.

55

Mas’oud Ibnu Mu>sa> Flousi>, Madrasah al-Mutakallimi>n (Riya>dh: Maktabah al-Rush, 2004), 354. 56

Soekanto dan Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Rajawali,

2003), 23-24. 57

R. Bogdan dan Steven Taylor, Introduction to Qualitative Research Methods (John Wiley &

Sons, 1984), 42. 58

Pupu Saeful Rahmat, Penelitian Kualitatif‟, Equilibrium 5, no. 9 (2009), 8.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

35

Patton sebagaimana dikutip oleh Poerwandari menyebutkan bahwa desain

situasi alamiah dalam penelitian kualitatif merupakan studi yang berorientasi pada

penemuan (discovery oriented). Studi alamiah ini sangat berbeda dengan studi

eksperimental yang secara ideal diarahkan pada upaya peneliti untuk secara penuh

mengendalikan konteks penelitiannya.59

Ciri mendasar lain dalam penelitian

kualitatif selain data yang dikumpulkan bersifat alamiah, posisi peneliti sebagai

alat penelitian. Peran peneliti dalam penelitian kualitatif sangat strategis

mengingat posisi peneliti sebagai alat utama pengumpul data.

Adapun penentuan jenis penelitian ini disesuaikan dengan sifat alamiah

masalah penelitian yaitu persentuhan antara nilai-nilai Restorative Justice dalam

hukum pidana Islam dengan hukum pidana Nasional. Selanjutnya alasan

dipilihnya pendekatan kualitatif sebab penelitian ini bertujuan untuk memperoleh

gambaran atau deskripsi yang komprehensif yang terkait sudut pandang filsafat

hukum Islam tentang Restorative Justice dalam hukum pidana Islam dengan

kondisi efektifitas hukum pidana, kondisi aparat penegak hukum, serta peran serta

masyarakat. Adanya peran serta dan keterlibatan masyarakat yang berkaitan

dengan penerapan Restorative Justice dalam konsep hukum pidana Islam terhadap

pembaruan hukum pidana nasional, merupakan hal yang sangat penting untuk

terciptanya keadilan dan kepastian hukum.

3. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskripsi. Metode ini

disesuaikan dengan tujuan penelitian yang telah dijelaskan di bagian sebelumnya.

Metode deskripsi adalah metode penelitian dengan menggambarkan pada subjek

59

E. Kristi Poerwandari, Pendekatan Kualitatif Untuk Perilaku Manusia, 3rd

ed. (Jakarta: LPSP3,

2009), 44.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

36

penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat atau lainnya) yang berdasarkan fakta-

fakta yang tampak sebagaimana adanya.60

Adapun tujuan metode deskripsi ini

adalah untuk membuat deskripsi, gambaran, lukisan secara sistematis, faktual dan

akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang

diselidiki.61

Penentuan metode deskripsi ini didukung dengan alasan dan

penerapannya. Adapun alasan pemilihan metode ini disesuaikan dengan tujuan

penelitian, yaitu mendeskripsikan bentuk-bentuk dan kontribusi nilai-nilai

Restorative Justice dalam hukum pidana Islam dalam pembaruan hukum pidana

Nasional. Sedangkan penerapannya dengan cara menganalisis data-data kualitatif

lapangan, peneliti langsung terjun ke lapangan untuk memperoleh data-data yang

peneliti inginkan.

4. Bahan Hukum

Sumber Bahan Hukum sebagai epistemologi dalam penelitian menempati

urgensitas tinggi karena disinilah letak kekayaan Bahan Hukum yang akan

diperoleh sehingga bisa menghasilkan penelitian yang sempurna. Adapun sumber

Bahan Hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah; Bahan yang

dikumpulkan dalam penelitian ini berupa dokumentasi62

teks-teks Al-Qur‟an dan

Al-Hadits yang memuat pembahasan tersebut. Bahan hukum yang dimaksud

60

Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial (Yogyakarta: Gajah Mada University Press,

1991), 73-76. 61

Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998), 63. 62

Roni Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumentri (Jakarta; Ghalia

Indonesia,1990),12.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

37

dihimpun melalui telaah kepustakaan (library research) yang diklasifikasikan atas

sumber bahan hukum primer dan sumber bahan hukum sekunder.63

1. Sumber bahan hukum primer; Merupakan bahan hukum yang bersifat

autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer pada

penelitian ini diperoleh dari sumber utama dan pertama ialah al-Qur‟an

dan al-Hadits.

2. Sumber bahan hukum sekunder; Suatu bahan pustaka yang berisi

informasi tentang bahan hukum sekunder berupa buku-buku, jurnal,

majalah, naskah, dokumen dan sumber literature lainnya. Karena dalam

penelitian hukum normatif, bahan pustaka merupakan bahan hukum dasar

yang dalam ilmu penelitian digolongkan sebagai bahan hukum sekunder.64

Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang

bukan merupakan dokumen-dokumenn resmi. Publikasi tentang hukum

meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan

komentar-komentar atas putusan pengadilan.65

3. Sumber Bahan Hukum tersier; merupakan Bahan Hukum penunjang,

mencakup bahan-bahan yang memberikan penjelasan terhadap sumber

bahan hukum primer dan sumber bahan hukum sekunder, meliputi: kamus,

ensiklopedi dan lain- lain.66

63

Anton Bakker, Ahmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat. (Yogyakarta: Kanisisus,

1992). 64

Sarjono soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif‟ (Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada, 2006), 24. 65

Ibid, 141. 66

Amirudin dan Zainal Asikin,.. 30.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

38

5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Untuk menganalisa bahan hukum, Teknik yang digunakan dalam

penelitian ini adalah teknik kepustakaan (Library research). Dalam hal ini

berupaya mengumpulkan bahan hukum yang sesuai dengan obyek pembahasan,

serta yang memiliki keterkaitan pada penelitian yang dibahas yaitu mengenai

Restorative Justice dalam Hukum Pidana Islam Perspektif Filsafat Hukum Islam.

Untuk mengkaji permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, maka

bahan hukum yang didapatkan dari Al-Quran, hadits, kitab, buku, jurnal, artikel,

penelitian-penelitian, dan literatur yang terkumpul, kemudian dilakukan analisis

secara komperhensif sebagai upaya menemukan solusi yang terbaik terhadap

peran restorative justice yang ada dalam hukum pidana Islam.

6. Teknik Analisis

Penelitian ini merupakan penelitian normatif. Penelitian dengan

menggunakan pendekatan normatif lebih menekankan analisisnya pada proses

penyimpulan deduktif. Setelah peneliti mendapatkan bahan hukum dari sumber

Bahan hukum dan mengolah bahan hukum kemudian dianalisis dengan

pendekatan deduktif. Dalam menganalisa bahan hukum, peneliti menggunakan

metode komparatif, yaitu metode yang digunakan untuk menemukan persaman-

persamaan dan perbedaan-perbedaan tentang benda-benda, orang, prosedur kerja.

Dapat juga membandingkan kesamaan pandangan dan perubahan-perubahan

pandangan orang, grup, atau negara, terhadap kasus, terhadap orang, terhadap

peristiwa atau ide-ide.67

67

Ibid.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

39

7. Instrumen Penelitian

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini baik pada tahapan pertama,

mendapatkan data dasar sampai pada tahapan membandingkan, merupakan data

yang bersifat kualitatif. Oleh sebab itu instrumen utama dalam penelitian ini

adalah peneliti sendiri.68

Data tersebut didapatkan melalui observasi. Untuk

menjaga keobjektifan, pengamatan juga dilakukan oleh pihak-pihak yang

memanfaatkan lembar observasi. Untuk melengkapi data, akan dilakukan

wawancara dengan pihak-pihak terkait.69

Adapun jenis data penelitian ini meliputi dokumentasi data sekunder dari

berbagai buku, jurnal dan karya ilmiah. Rincian jenis data tersebut di ataranya

adalah:

a. Memahami makna dan nilai Restorative Justice dalam hukum pidana

Islam.

b. Relasi antara Restorative Justice dalam hukum pidana Islam terhadap

pembaharuan hukum pidana Nasional.

c. Sejarah hukum pidana Islam dan hukum Islam di Indonesia.

d. Faktor-faktor yang melatarbelakangi kontribusi hukum pidana Islam di

Indonesia.

e. Bentuk-bentuk kontribusi hukum pidana Islam di Indonesia.

8. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

68

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001),

175. 69

Nusa Putra, Research and Development, Penelitian dan Pengembangan: Suatu Pengantar,‟

(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011), 175-177.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

40

a. Mengumpulkan seluruh data hasil pengamatan berupa catatan

lapangan, dan catatan diskusi.

b. Melakukan analisis pertama untuk memilah data ke dalam beberapa

kategori.

c. Melakukan analisis kedua di dalam masing-masing kategori.

d. Melakukan proses sintesis yaitu mengolah keseluruhan data untuk

merumuskan kategori tersebut.

e. Pembuatan simpulan akhir.

Namun secara garis besar proses analisis data dilakukan melalui tiga

tahapan, yaitu (1) deskripsi. (2) formulasi.(3) Interpretasi. Jika digambarkan

sebagai berikut:

9. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data

Dalam proses menguji keabsahan data, peneliti menggunakan beberapa

teknik agar data dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya dengan cara

diantaranya adalah:

a. Ketekunan pengamatan. Ketekunan pengamatan adalah mencari

kedalaman data sehingga diadakan pengamatan yang teliti dengan

berkesinambungan sampai muncul perilaku yang diharapkan.

Data Reduction

Data Collection Data Display

Conclusion

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

41

b. Triangulasi. Teknik triangulasi yaitu pemeriksaan keabsahan data yang

memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data untuk keperluan pengecekan

atau sebagai pembanding terhadap data tersebut dan teknik triangulasi

yang paling banyak digunakan adalah dengan pemeriksaan melalui

sumber yang lainnya. Triangulasi dilakukan melalui wawancara,

observasi langsung dan observasi tidak langsung. Observasi tidak

langsung ini dimaksudkan dalam bentuk pengamatan atas beberapa

kelakukan dan kejadian yang kemudian dari hasil pengamatan tersebut

diambil benang merah yang menghubungkan di antara keduannya.

Teknik pengumpulan data yang digunakan akan melengkapi dalam

memperoleh data primer dan sekunder, observasi, dan interview.

H. Sistematika Pembahasan

Adapun sistematika pembahasan terdiri dari beberapa bab di antaranya

adalah: Bab I membahas tentang; (a) Latar belakang masalah latar belakang

masalah yang meliputi problem akademik, kebutuhan pemecahan ilmiah, urgensi

penelitian dan aktualisasi penelitian. (b) identifikasi dan batasan masalah meliputi

berbagai masalah penelitian yang muncul agar wilayah penelitian jelas dan

terarah. (c) rumusan masalah berguna untuk memperjelas persoalan penelitian. (d)

tujuan penelitian adalah untuk menjawab rumusan masalah. Adapun jawaban dari

rumusan masalah akan disajikan ke dalam bab II, bab III dan bab IV sesuai

dengan proporsi sistematikanya masing-masing. (e) kegunaan penelitian. (f)

kerangka teoritik,(g) penelitian terdahulu,(h) metode penelitian, (i) sistematika

pembahasan.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

42

Bab II membahas tentang isi konsep teoritis yang berkenaan dengan

masalah penelitian dan istilah-istilah konseptual yang terdapat di dalam kajian

perspektif filsafat hukum Islam tentang restorative justice dalam hukum pidana

Islam. Konsep teoritis ini digunakan sebagai wawasan konseptual tentang masalah

penelitian serta instrumen dalam memahami dan menganalisis data penelitian.

Adapun konsep tersebut merupakan kebutuhan langsung dalam kajian penelitian

sebagaimana penelitian-penelitian pada umumnya.

Bab III menjelaskan tentang hasil penelitian beserta analisisnya untuk

menjawab rumusan masalah. Bab ini akan menyajikan pemaparan secara

deskriptif tentang fakta Restorative justice yang ada dalam masyarakat.

Bab IV menjelaskan tentang analisis data dari jawaban rumusan masalah.

Pada bab ini, teori-teori yang dikemukakan pada bab II digunakan untuk

menganalisa kasus-kasus yang dipaparkan pada bab ini, sehingga bisa ditemukan

kesesuaian antara teori dan kasus yang ada.

Bab V berisi tentang penutup. Adapun di bab V ini disajikan kesimpulan

yang disertai dan dilengkapi mengenai penjelasan terhadap implikasi teori,

keterbatasan studi serta saran-saran untuk penelitian selanjutnya

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

43

BAB II

KEADILAN PERSPEKTIF FILSAFAT HUKUM ISLAM

A. Filsafat Hukum Islam

1. Pengertian Filsafat Hukum Islam

Para ahli mempunyai definisi yang sangat beragam mengenai apa itu

filsafat hukum Islam.70

Hal ini terjadi, karena filsafat hukumIslam dalam tradisi

keilmuan Islam merupakan disiplin baru. Dalam pembidangan ilmu keislaman

tradisional, filsafat hukum belum dikenal sekalipun dalam beberapa hal, ia

mempunyai kemiripan dengan usul fikih. Karena masih termasuk disiplin baru,

filsafat hukum Islam masih dalam proses pencarian bentuk bakunya. Ia tidak

seperti filsafat Islam yang sudah mempunyai bentuk baku.

Filsafat Hukum Islam adalah kajian filosofis tentang hakika hukum Islam,

sumber asal-muasal hukum Islam dan prinsip penerapannya serta fungsi dan

manfaat hukum Islam bagi kehidupan masyarakat yang melaksanakannya.71

Filsafat hukum Islam ialah filsafat yang diterapkan pada hukum Islam. Ia

merupakan filsafat yang diaplikasikan pada obyek tertentu, yaitu hukum Islam.

Karena itu filsafat hukum Islam adalah filsafat yang menganalisis hukum Islam

secara metodisdan sistematis sehinga mendapat keterangan yang mendasar, atau

menganalisis hukum secara ilmiah dengan filsafat sebagai alatnya.

70

Keragaman ini terjadi disebabkan masih ada perbedaan pendapat mengenai apakah

filsafat/falsafah sama dengan hikmah? Bagi kalangan yang menyamakan filsafat/falsafah sama

dengan hikmah, filsafat hukum Islam diidentikkan dengan ḥikmah al-aḥkām atau asrār al-aḥkām

(rahasia-rahasia hukum). Bagi kalangan yang membedakan filsafat dengan hikmah, mereka

mendefenisikan filsafat hukum Islam sebagai upaya pemikiran manusia secara maksimal untuk

memahami rahasia-rahasia dan tujuan-tujuan pensyariatan hukum Tuhan, dengan tidak

meragukan subtansi hukum Islam itu sendiri. Sementar hikmah didefenisikan sebagai anugerah

atau keutamaan yang ada di dalam nash, yang itu sudah digariskan oleh sang pembuat hukum:

Allah SWT. Lihat Ali> Ahmad al-Jurzāwῑ, Ḥikmah al-Tasyrῑ’ wa Falsafatuhu> (Bairu>t: Dār al-

Fikr, tth), I, 5-7. 71

Hasbi Ash-Shidieqie, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), 55.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

44

Menurut Azhar Basyir, Filsafat Hukum Islam adalah pemikiran secara

ilmiah, sistematis, dapat dipertanggung jawabkan dan radikal tentang hukum

Islam.72

Filsafat Hukum Islam merupakan anak sulung dari filsafat Islam. Dengan

rumusan lainFilsafat hukum Islam adalah pengetahuan tentang hakikat, rahasia,

dan tujuan Islam baik yang menyangkut materinya maupun proses penetapannya,

atau filsafat yang digunakan untuk memancarkan, menguatkan, danmemelihara

hukum Islam, sehingga sesuai dengan maksuddan tujuan Allah menetapkannya di

muka bumi yaitu untuk kesejahteraan umat manusia seluruhnya. Dengan filsafat

ini hukum Islam akan benar-benar cocok sepanjang masa di semesta alam

(saalihun likulli zaman wa makan).

Dari beberapa definisi yang dianggap representatif dan komprehensif dari

definisi yang diberikan oleh para ahli, maka penyusun mengambil pemahaman

bahwa, filsafat hukum Islam merupakan filsafat khusus yang objeknya tertentu,

yakni hukum Islam. Artinya filsafat hukum Islam adalah filsafat yang diterapkan

pada hukum Islam, dimana filsafat digunakan untuk menganalisis hukum Islam

secara metodis dan sistematis sehingga mendapat keterangan yang mendasar.73

Dengan rumusan lain, filsafat hukum Islam ialah pengetahuan tentang hakikat

(ontologi), metode (epistemologi), tujuan dan rahasia (aksiologi) tentang hukum

Islam, yang dilakukan secara ilmiah, sistematis, radikal dan dapat

dipertanggungjawabkan. Dengan menggunakan filsafat sebagai instrumen

analisis, maka filsafat hukum Islam tidak bisa lepas dari tiga komponen, yaitu: apa

ontologi hukum Islam; bagaimana epistemologi hukum Islam; serta aksiologi

hukum Islam.

72

Ahmad Azhar Basyir, Pokok-pokok Persoalan Filsafat Hukum Islam, (Yogyakarta: Perpustakaan

dan Penerbitan, FH UII, 1984), 2 73

Fathurrrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, ke-1 (Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1997), 37.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

45

Sebagai sebuah ilmu, filsafat hukum Islam mempunyai dua macam objek,

yaitu objek materiil (fῑ zāhirihi>) dan objek formal (fῑ bāt}inihi>).74 Objek

materiilnya adalah sesuatu yang dijadikan penyelidikan, analisis, dan penalaran.

Dalam hal ini yang menjadi objek mareriilnya adalah hukum Islam. Dengan kata

lain, hukum Islam diselidiki, dianalisis, dan dinalar dengan menggunakan

instrumen filsafat. Hukum Islam sebagai objek analisis, dan filsafat sebagai pisau

bedah analisisnya. Adapun objek formalnya adalah sudut pandang untuk

memahami objek materiil, yaitu ilmiah, menyeluruh (komprehensif), rasional,

radikal, sistematis dan dapat dipertanggung jawabkan tentang hukum Islam.

Artinya dalam mengkaji dan menganalisa hukum Islam, maka dilakukan dengan

cara-cara rasional, radikal, menyeluruh dan sistematis.

Secara garis besar filsafat hukum Islam mempunyai dua tugas utama:

tugas kritis, dan tugas konstruktif‟.75

Pertama, tugas kritis. Seperti diketahui,

filsafat adalah ilmu kritis.76

Tugas kritis dalam konteks hukum Islam adalah

mempertanyakan kembali paradigma-paradigma yang telah atau dianggap mapan

di dalam hukum Islam. Filsafat harus mengkritik jawaban-jawabanyang tidak

memadai, sekaligus ikut andil dalam mencari jawaban yang benar dan relevan.

Selain melakukankritik internal di dalam hukum, filsafat juga melakukan kritik

eksternal, yaitu kritik ideologi. Artinya, dalam proses penemuan atau

pembentukan hukum Islam jangan sampai ada bias-bias ideologi atau kepentingan

tertentu dari seorang ahli hukum.

Kedua, tugas konstruktif. Tugas konstruktif di sini adalah membina,

membangun, mempersatukan serta menyelaraskan cabang-cabang hukum Islam

74

Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, cet ke-12 (Jakarata: PT. Grafindo Parsada, 2013), 1. 75

Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam (Bandung: Piara, 1993), 21. 76

Franz Magnis Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis (Yogyakarta: Kanisius, 2013), 20.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

46

dalam satu kesatuan sistem hukum yang utuh dan tidak terpisahkan. Dengan kata

lain, filsafat berfungsi untuk mengkonstruks bangunan suatu hukum dalam hukum

Islam, baik itu dalam aspek ontologi, epistemologi serta aksiologinya menjadi satu

kesatuan yang utuh, sistematis, dan runut. Berikut akan kami paparkan uraian dari

ketiga instrument tersebut:

a. Ontologi Hukum Islam

Secara bahasa ontologi berasal dari bahasa Yunani, on sama dengan being,

dan logos sama dengan logic. Jadi ontologi adalah the theory of being qua being

(teori tentang keberadaan sebagai keberadaan).77

Objek telah ontologi adalah

sesuatu yang ada. Ia berupaya mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan,

menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua bentuknya.78

Dengan demikian, ontologi membahas tentang hakikat sesuatu. Dalam konteks

hukum, ontologi hukum merupakan penelitian tentang hakikat dari hukum.

Hakikat sama artinya dengan sebab terdalam dari adanya sesuatu.

Sebelum menjelaskan hakikat hukum Islam, maka di sini harus

diterangkan terlebih dahulu beberapa konsep yang berkaitan dengan hukum Islam.

Seperti diketahui, hukum Islam disebut dengan beberapa nama yang masing-

masing nama tersebut menggambarkan ciri dan karakteristik tertentu. Dengan

memahami nama-nama tersebut, kemudian bisa diketahui apa itu hakikat

(ontologi) hukum Islam. Nama-nama yang dimaksud adalah (1) syarī'ah, (2) fikih,

dan (3) hukum syar'ī.

77

Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu…., 132. 78

Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu: Positivisme, Post-Positivisme, dan Post-modernisme

(Yogyakarta: Rake Sarasin, 2012), 57.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

47

Pertama, syarī’ah/syir’ah yang secara leksikalmempunyai makna jalan

menuju ke mata air (mā yusrau’ ilā al-māi’),79 yang mempunyai konotasi

keselamatan. Sementara dalam terminologi, kata syarī’ah dipakai dalam dua

pengertian, yaitu dalam arti luas dan dalam arti sempit. Dalam pengertian luas

syarī’ah sama dengan al-dīn yaitu keseluruhan norma agama Islam yang meliputi

aspek doctrinal (aqīdah) dan aspek praktis („amaliyah). Dengan pengertian ini,

syariah adalah sebuah sistem normatif‟ Islam yang sangat komprehensif.80

Ia

mencakup persoalan akidah, hukum, doktrin, ritual, interaksi dan hubungan

internasional.

Sementara dalam arti sempit syariah hanya merujuk kepada aspek praktis

(„amaliyah), tingkah laku konkret manusia saja.81

Dengan demikian, ketika

disebut hukum Islam, maka yang dimaksud adalah syariah dalam arti sempit.

Syariah merupakan ketentuan-ketentuan universal yang terdapat dalam teks (nash)

al-Qur‟an dan Sunah. Dengan demikian syariah adalah kewenangan ilahi yang di

dalamnya tidak ada intervensi manusia. Dari sini, yang membuat syariah (syari‟)

adalah Allah SWT yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad.

Kedua, Fikih; yangmempunyai pengertian adanya intervensi nalar

manusia di dalamnya. Secara bahasa fikih adalah al-fahm,82

yakni pemahaman

yang mendalam mengenai sesuatu. Fikih adalah istilah lain yang digunakan untuk

menyebut hukum Islam. Sebagai sebuah istilah, fikih dipakai dalam dua arti:

Pertama, fikih dalam arti ilmu hukum, yang dalam bahasa Inggris disebut dengan

79

Ibnu Kaṡīr, Tafsīr Ibn Kaṡīr (Bairu>t: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2008), II, 61. 80

Abdullahi Ahmed An-Na‟im, Syariat Islam: Pandangan Muslim Liberal (Jakarta: Sembarani

Aksara Nusantara, 2003), 194. 81

Syamsul Anwar, Epistemologi Hukum Islam dalam Al-Mustasfa Min „Ilm Al-Usul Karya Al-

Gazzali [450-505 H / 1058-1111 M] (Yogyakarta: Disertasi, 2000),118-121. 82

Aṭhā bin Khalīl Abū Ar-Rastah, Taisīr al- Uṣūl ilā al- Uṣūl: Dirāsah fī Uṣūl al-Fiqh, cet. 3

(Bairut: Dārul Umat, 2000), 6.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

48

jurisprudence. Fikih ketika dimaknai sebagai ilmu hukum mempunyai pengertian

sebagai cabangstudi yang mengkaji hukum Islam. Kedua, istilah fikih dipakai

dalam arti hukum itu sendiri, atau paralel dengan law dalam bahasa Inggris.83

Di

sini, fikih dimaknai sebagai himpunan normaatau peraturan yang mengatur

tingkah laku konkret baik berasal dari al-Qur‟an, Sunnah, maupun dari hasil

ijtihad ahli hokum Islam.

Ketiga, Hukum Syar‟i Hukum berasal dari bahasa Arab yang secara

harfiah mempunyai arti yang beragam: keputusan, ketetapan, peraturan,

ketentuan, perintah, dekrit, dan norma.84

Sementara menurut para uṣūlliyyīn,

hukum syar‟i didefinisikan sebagai titah ilahi (khithābullah) yang tertuju kepada

perbuatan manusia yang berisi tuntutan, penetapan atau pemberianalternatif.85

Definisi tersebut mengandung dua hal, pertama, bahwa hukum itu adalah titah

ilahi yang tertuju kepada manusia sebagai subjek hukum menyangkut tingkah

lakunya. Kedua, bahwa hukum yang merupakan titah ilahi itu berisi tuntutan,

alternasi (pemberian pilihan, dan penetapan).

Dari ketiga konsep di atas, sebenarnya ada tiga unsur yang berperan dalam

hukum Islam, yaitu teks sebagai perwujudan dari wahyu Tuhan; akal atau nalar

dari seorang mujtahid; serta realitas yang hidup yang dihadapi, dimana hukum itu

akan diterapkan. Dengan demikian, menyatakan hukum Islam sebagai kumpulan

ketentuan Tuhan yang tertulis dalam teks-teks Al-Qur‟an dan Sunnah adalah

sebuah tindakan simplikasi. Hukum Islam, tidak lain adalah perpaduan wahyu

Tuhan dan pemikiran manusia di dalamnya. Akal manusia ketika dihadapkan

83

Aḥmād Musṭafā az-Zarqā’, Al-Fiqh al-Islāmī fī Ṣaubihi al-Jadīd (Bairut: Dār al-Fikr, 1967), I,

54-55. 84

Syamsul Anwar, Epistemologi Hukum Islam...,126. 85

Aṭhā bin Khalīl Abū Ar-Rastah, Taisīr al- Uṣūl ilā al- Uṣūl…, 9.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

49

dengan realitas yang hidup, yang berbeda dengan realitas yang dihadapi oleh

Nabi, berusaha mendialogkan itu dengan ketentuan-ketentuan teks (nash)wahyu.

Dari penjelasan di atas, bisa disimpulkan bahwa ontologi hukum Islam

adalah interelasi antara teks (nash/naqal), akal (ra’yu), dan realitas yang hidup

(waqā’i). Interelasi antara teks (nash), akal, dan realita, mempunyai dua bentuk

paradigma dalam sejarah hukum Islam. Yaitu antara paradigma struktural dan

paradigma fungsional.86

b. Epistemologi Hukum Islam

Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, epistem yang berarti

pengetahuan dan logos yang berarti perkataan, pikiran, ilmu, atau teori. Dengan

demikian, epistemologi dapat diartikan sebagai teori pengetahuan (theory of

knowledge). Sedangkan secara terminologi, epistemologi merupakan cabang

filsafat yang berkaitan dengan teori atau sumber pengetahuan, cara

mendapatkannya, serta tata cara menjadikan kebenaran menjadi sebuah

pengetahuan serta bagaimana pengetahuan itu diuji kebenarannya.87

Para ahli mengatakan ada tiga problematika yang dibahas dalam

epistemologi, yaitu a) sumber pengetahuan; b) metode untuk memperoleh

pengetahuan; dan c) validitas Pengetahuan.88

Maka ketika dikaitkan dengan

hukum Islam, epistemologi hukum Islam juga berbicara mengenai sumber hukum

Islam, metode penggalian hukum Islam, dan validitas hukum Islam. Berikut kami

86

Paradigma struktural sangat erat kaitannya dengan struktur, dimana dalam struktur tersebut teks

mempunyai posisi yang sangat penting, dan sangat mendominasi. Berbeda dengan paradigma

fungsional, dimana antara teks, nalar, dan realitas saling berdialog dan berdialektika. Lihat Al

Yasa Abubakar, Metode Istislahiah: Pemanfaatan Ilmu Pengetahuan dalam Ushul Fiqh, cet. ke-

1 (Jakarta: Kencana, 2016), 329. 87

J. Sudarminta, Epistemologi Dasar: Pengantar Filsafat Pengetahuan, cet ke-6 (Yogyakarta,

Kanisius, 2008), 18. 88

Ibid.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

50

uraikan di bawah ini:

1). Sumber Hukum Islam

Sumber hukum Islam merupakan terjemahan dari maṣādir al-aḥkām oleh

ulama fikih dan usul fikih klasik; atau al-adillah al-syar’iyyah oleh ulama

sekarang. Yang diartikan sebuah wadah yang merupakan tempat penggalian

norma-norma hukum dan ini hanya berlaku pada Al-Qur‟an dan Sunnah.89

Dalam

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata sumber mempunyai arti asal

sesuatu. Jadi, sumber hukum Islam dapat dipahami sebagai asal atau tempat

pengambilan hukum Islam.

Pertama, Al-Qur‟an adalah kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi

Muhammad dalam bahasa Arab dengan perantaraan malaikat Jibril, sebagai

hujjah (argumentasi) baginya dalam mendakwahkan kerasulannya dan sebagai

pedoman hidup bagi manusia yang dapat dipergunakan untuk mencari

kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat serta media ber-taqarrub kepada Allah

dengan membacanya.90

Dalam hukum Islam, al-Qur‟an adalah sumber dari segala

sumber hukum. Tidak ada perselisihan di antara kaum muslimin mengenai

kedudukan al-Qur‟an sebagai sumber utama dan pertama dalam hukum Islam.

Bukti yang menyatakan bahwa al-Qur‟an merupakan sumber dan dalil hukum

yang utama dan pokok adalah al-Qur‟an itu sendiri. Dalam merumuskan semua

hukum, jika menghendaki kemaslahatan dan keselamatan harus berpedoman

kepada al-Quran. Sebagai sumber, hukum dan undang-undang yang dibuat

manusia tidak boleh menyalahi kaidah-kaidah hukum al-Qur‟an.

89

Fathurrrahman Djamil…, 80. 90

Abdul Wahāb Khālla>f, Ilmu Uṣūl al-Fiqh (Indonesia: Haramain, 2004), 23.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

51

Kedua, Sunnah adalah suatu laporan mengena masa lalu, khususnya

laporan seputar Nabi, baik itu menyangkut perkataanya, perbuatannya, dan

persetujuan diam yang ditunjukinya (taqrīr).91

Selain al-Qur‟an, Sunnah adalah

salah satu sumber tempat penggalian hukum Islam. Selain sebagai sumber hukum,

al-Qur‟an juga berfungsi sebagai penguat terhadap teks, penjelas, penafsir,

mengkhususkan, serta membuat hukum baru, yang tidak ada dalam al-Qur‟an.92

Pertanyaan yang muncul dari segi epistemologi adalah mungkinkah kita

mengetahui masa lampau?93

Harus diakui, pengetahuan kita terhadap masa lalu

adalah pengetahuan yang terbatas. Dengan arti, tidak mungkin kita bisa

menghadirkan kembali masa lalu secara empiris, karena masa lalu itu telah hilang

dan lenyap. Sekalipun pengetahuan terhadap masa lalu sangat terbatas, bukan

berarti merelatifkan semua tentang masa lalu, yang nota-benenya Sunnah adalah

bagian dari masa lalu itu. Untuk itu, para uṣūlliyyi>n berpendapat pastilah ada dari

masa lalu itu yang bisa diketahui secara pasti. Atas dasar itu, mereka membedakan

pengetahuan masa lalu itu kepada pengetahuan yang bersifat pasti dan final

(qath’ī) dan pengetahuan yang bersifat tentatif dan relatif (zhannī).94

Dengan begitu, para uṣūlliyyīn berpendapat bahwa pengalaman inderawi

bukan satu-satunya sumber andalan pengetahuan.95

Menurut mereka kesaksian

atau laporan juga bisa dijadikan sumber dalam pengetahuan. Dalam pengetahuan

91

Muhammad Khuda>ri> Baek, Tārīkh al-Tasyrī‟ al-Islāmīy (ttp, Haramain, tth), 35. 92

Wahbah az-Zuhailīy, Al-Wajīz fī Uṣūl al-Fiqh (Damaskus: Dār al-Fikr, 1999), 37-39. 93

Syamsul Anwar…, 272. 94

Abdul Wahāb Khāllaf…,43. 95

Dalam epistemologi, ketika berbicara mengenai bagaimana cara memperoleh pengetahuan, ada

yang disebut aliran empirisme. Aliaran ini berpendapat bahwa sumber pengetahuan diperoleh

dengan perantara panca indra. Panca indra memperoleh kesan-kesan yang dialaminya di alam

nyata. Maka menurut empirisme, pengetahuan terdiri dari penyusunan dan pengaturan kesan-

kesan yang dialami oleh panca indra tersebut. Lihat Harun Nasution, Falsafat Agama, cet ke-9

(Jakarta: PT. Bulan Bintang, 2003), 8.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

52

sejarah umpamanya, kesaksian serangkaian orang yang disebut dengan rawi

dalam teori ‘ulūm al-ḥad>iṡ dan pembentukan sanad yang menghubungkan kita ke

masa lalu menjadi jembatan yang memungkinkan kita memiliki pengetahuan

tentang masa silamitu. Untuk itu dalam usul fikih, ketika membahas sunnah ada

dua kategori laporan: laporan mutawatir dan laporan ahad.96

Laporan mutawatir

merupakan laporan yang dialirkan melalui banyak jalur yang sedemikian rupa

sehingga tidak memungkinkan terjadinya persekongkolan dalam kebohongan.

Sementara laporan ahad (tunggal) adalah laporan yang disampaikan melalui satu

jalur atau lebih tetapi tidak mencapai derajat mutawatir. Laporan mutawatir secara

epistemologis menimbulkan pengetahuan (ilmu). Mutawatir sendiri berarti

bertubi-tubi atau beruntun (at-tatābu’). Jadi keberuntunan serta banyaknya jalur

dan sumber laporan tersebut menimbulkan kepastian tentang kebenaran isinya

(qaṭ‟ī). Laporan mutawatir merupakan laporan yang kebenaran isinya diketahui

berdasarkan laporan itu sendiri, tanpa tergantung kepada atau ditentukan oleh

verifikasi data. Adapun laporan ahad (tunggal) tidak menghasilkan pengetahuan

pasti (qaṭ‟ī), melainkan hanya menimbulkan pengetahuan tentatif (zhannī), dan ini

merupakan bagian terbesar dari laporan masa silam di seputar Nabi.97

2). Metode Penemuan Hukum Islam

Berdasar ontologi di atas, bahwa hukum Islam itu adalah interrelasi

antara teks, nalar, dan realita. Maka dalam hukum Islam, hukum itu tidak dibuat,

melainkan ditemukan, dan para mujtahid tidak menetapkan hukum, akan tetapi

96

Mayoritas ulama (jumhūr al-‘ulama>’) membagi Sunnah dilihat dari aspek sanadnya menjadi

dua: mutawatir dan ahad. Adapun klasifikasi yang dibuat oleh kalangan Hanafiyah membagi

Sunnah kepada tiga kelompok: mutawatir, masyhur, dan ahad. Masyhur dalam klasifikasi

Hanafiyah masuk kepada ahad dalam klasifikasi Jumhur. Lihat Wahbah az-Zuhaily, Uṣūl al-Fiqh

al-Islāmīy (Damaskus, Dār al-Fikr, 1986, I), 451. 97

Wahbah az-Zuhaily…, 451- 455.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

53

menemukan hukum.98

Untuk itu, metode penemuan hukum Islam atau dalam usul

fikih disebut dengan ṭarīqah istinbāṭ al-aḥkām dan ṭarīqah istidlāl al-aḥkām99

mempunyai tidak metode ijtihad: a) metode bayānī (linguistik); b) metode ta’lilī

„(kausasi), c) metode istiṣlāhī (teleologi).100

Tiga metode ini tidak menunjukkan

hierarki, melainkan hanya sekadar klasifikasi. Dengan demikian, tidak bisa

dikatakan bahwa metode yang pertama lebih baik dari metode yang kedua, atau

sebaliknya dan seterusnya. Tiga metode inilah yang dipergunakan dalam

menemukan dan membentuk peradaban fikih dari masa ke masa. Berikut kami

uraikan tentang ketiganya:

a). Metode Bayānī (Linguistik)

Metode ijtihad bayānī adalah upaya penemuan hukum melalui

interpretasi kebahasaan. Metode ini diidentikkan dengan penggunaan nalar ijtihad

yang lebih memprioritaskan redaksi teks dari pada substansi teks, sehingga

konsentrasi metode ini lebih berkutat di seputar penggalian pengertian makna

teks. Dalam bayānī, redaksi teks dalam hal ini teks-teks syariah yang berupa al-

Qur‟an dan Hadis adalah sesuatu yang final, kaidah-kaidah kebahasaan sangat

dominan di dalam metode ini. Dalam metode ini, fokus kajiannya diarahkan

kepada empat segi: a) bagaimana tingkat kejelasan pengertian makna teks hukum;

98

Syamsul Anwar…, 305. 99

Al Yasa Abu Bakar membedakan antara istinbāṭ al-aḥkām dan istidlāl al-aḥkām. Bahwa

istimbāth itu pemahaman dan penafsiran secara deduktif, sementara istidlāl adalah pemahaman

dan penafsiran secara induktif. Lihat Al Yasa Abubakar, Metode Istislahiah..., 1. 100

Para ahli hukum Islam modern membagi metode/penggalian hukum Islam menjadi tiga seperti

disebutkan di atas. Ada sebagian ahli yang mempunyai klasifikasi masing-masing; Muhammad

Abu Zahra membagi kepada dua metode: 1) metode literer (ṭuruq al-lafẓiyah), dan 2) metode

maknawiyah (ṭuruq ma‟nawiyah); Syamsul Anwar membagi kepada tiga metode: a) bayānī

(lingusitik), b) ta‟lîlî (dibagi kepada dua lagi: metode qiyasi dan metode istislahi), dan c) taufîqi

(sinkronisasi). Lihat Muhammad Abū Zahrah, Uṣūl al-Fiqh (Kairo: Dar al-fikr al-„Arabi, tth),

hlm. 115 dan Syamsul Anwār. Muzakkirah fī Uṣūl al-Fiqh II (Yogyakarta: Fakultas Syariah dan

Hukum UIN Suka, 2012), 13.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

54

b) pola-pola penunjukan kepada hukum yang dimaksud; c) luas sempitnya

cakupan pernyataan hukum; dan d) bentuk formula taklif dalam pernyataan

hukum.101

Dalam peradaban Islam, teks sangat penting peranannya.102

Metode ini

mempunyai kelemahan ketika dihadapkan dengan permasalahan-permasalahan

baru, yang dalam teks belum atau tidak diatur sama sekali. Seperti adagium yang

terkenal dari para ahli hukum Islam yang menyatakan bahwa teks-teks hukum itu

terbatas adanya, sementara kasus-kasus hukum tiada terbatas (an-nuṣuṣ

mutanāhiyah wa al-waqā‟i ghairu mutanāhiyah). Maka untuk menjembatani itu,

dalam hukum Islam ada namanya metode ta‟lîlî (kausasi).

b). Metode Ta’li>li> (Kausasi)

Metode ta’lili > adalah perluasan berlakunya hukum suatu kasus yang yang

ditegaskan di dalam nas kepada kasus baru berdasarkan causa legis (illat) yang

digali dari kasus nas kemudian diterapkan kepada kasus baru tersebut.103

Dalam

metode itu fokus kajiannya adalah subtansi teks, berupa illat. Illat itu sendiri

didefinisikan oleh para ahli sebagai suatu keadaan, yang relatif dapat diukur, dan

mengandung relevansi, kuat dugaan dialah yang menjadi alasan penetapan

hukum.104

Metode ini berdasarkan atas anggapan bahwa ketentuan-ketentuan yang

diturunkan oleh Allah terhadap manusia mempunyai alasan logis (nilai hukum)

dan hikmah yang dicapainya; Allah tidak mungkin menurunkan ketentuan-

101

Syamsul Anwār…, 14. 102

Nasr Ha>mid Abu >Zayd menyatakan bahwa; peradaban Arab Islam adalah peradaban teks. Inilah

salah satu yang membedakan hukum Islam dari hukum Barat. Hukum Barat menggali hukum

dari tingkah laku masyarakat, sementara hukum Islam selain mempertimbangkan tingkah laku

masyarakat, juga menggali hukum dari teks-teks sebagai kerangka rujukannya. Metode bayānī

dianggap sebagai metode yang paling awal dari dua metode lainnya, metode ini dipergunakan

oleh para mujtahid hingga abad pertengahan dalam merumuskan berbagai ketetapan hukum.

Lihat Nasr Ḥāmid Abū Zayd, Mafhūm al-Naṣ Dirāsah fī ‘Ulūm al-Qur’ān (Bairūt: Al-Markaj

as-Saqāfi al-„Arabī, 2000, cet. ke-5), 9. 103

Syamsul Anwar…, 342. 104

Wahbah az-Zuhaily…, 646.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

55

ketentuan secara sia-sia tanpa ada hikmah dibaliknya.105

c). Metode Istiṣlāhī (Teleologis)

Metode istiṣlāhī adalah metode penggalian hukum dengan bertumpu

pada prinsip-prinsip kemaslahatan yang disimpulkan dari al-Qur‟an dan Hadits.

Atau metode ini secara sederhana disebut sebagai metode yang dalam penggalian

hukum menjadikan tujuan hukum (maqāṣid as-syarī’ah) sebagai pertimbangan

utama.106

Dengan demikian, kemaslahatan umum merupakan tujuan dari hukum

Islam. Para ulama usul fikih mendefinisikan maslahat sebagai bentuk apresiasi

dari ketertiban hukum dalam rangka merealisasikan terwujudnya manfaat dan

menghindar dari kerusakan (min taḥqīq al-maslaḥah au jalbi maḍarrah). Akan

tetapi harus digarisbawahi bahwa tidak semua kemaslahatan dapat dijadikan

sebagai dasar penetapan hukum. Kemaslahatan yang sah dijadikan sebagai tujuan

dari penggalian hukum adalah kemaslahatan yang didukung oleh nash, dan selaras

dengan semangat syara‟ secara umum.107

3). Validitas Pengetahuan

Problem epistemologi yang terakhir adalah bagaimana pengetahuan itu

105

Ta‟lili (kausasi), merupakan metode dengan corak deduktif, dimana untuk menemukan hukum

baru (premis minor) harus berpatokan kepada premis umum, yaitu berupa hukum asal. Di sini

terjadi perbedaan antara Al-Ghaza>li> dan As-Sya>tibi>. Bagi Al-Ghaza>li>, premis minor (hukum

cabang) itu sifatnya pasif, karena dialah yang dicari status hukumnya. Ini bisa dimaklumi, karena

qiyas-nya Ghazali dipengaruhi oleh silogismenya Aristoteles. Sementara bagi Syatibi, premis

minor itu harus aktif, dia harus berdialektika dengan premis mayor. Lihat Syamsul Anwar,

Epistemologi Hukum Islam dalam Al-Mustasfa> Min ’Ilmi al-Us}u>l Karya Al- Ghazali [450-505 H

/ 1058-1111 M] (Yogyakarta: Disertasi, 2000), 118-121. 106

Syamsul Anwār…, 46-47. 107

Para ahli membagi maslahat itu kepada tiga kategori: Pertama, maslaḥah mu‟tabarah, yaitu

maslahat yang diakui legalitasnya dalam syariat, baik langsung maupun tidak langsung; Kedua,

maslaḥah mulghah, yaitu maslahat yang legalitasnya ditolak oleh syariat; dan Ketiga, maslaḥah

mursalah, yaitu maslahat yang tidak ada legalitasnya, apakah dia ditolak atau diterima oleh

syariat. Lihat Wahbah az-Zuhaily, Uṣūl al-Fiqh al-Islāmīy (Damaskus, Dār al-Fikr, 1986), II,

752-754.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

56

diuji kebenarannya. Sebenarnya ada banyak teori uji kebenaran dalam

epistemologi. Penulis hanya mengambi tiga dari teori-teori uji kebenaran tersebut

yaitu; teori kebenaran korespondensi, koherensi, dan otoritarianisme;

1. Teori kebenaran korespondensi adalah persesuaian antara apa yang

dikatakan dengan kenyataan atau realita. Suatu proposisi dikatakan

benar apabila proposisi itu saling bersesuaian dengan dunia kenyataan

yang diungkapkan dalam pernyataan itu, atau fakta yang menjadi objek

pengetahuan.108 Dalam konteks hukum, suatu hukum dikatakan benar

atau mempunyai validitas, ketika dia mempunyai korespondensi dengan

kenyataan atau realitas yang hidup yang dihadapi oleh masyarakat.

Hukum yang tidak punya relevansi dengan kondisi riil masyarakat pada

hakikatnya bukanlah hukum. Salah satu tokoh yang menggunakan ini

adalah Imam al-Syatibi.

2. Teori kebenaran koherensi adalah sesuatu dianggap benar ketika dia

mempunyai kesesuaian (koheren) atau keharmonisan dengan sesuatu

yang memiliki hierarki yang lebih tinggi.109 Hierarki yang lebih tinggi

di sini adalah berupa teks-teks, baik itu al-Qur‟an maupun Hadis. Ahli

hukum yang menggunakan ini adalah Imam al-Ghazali.

3. Teori kebenaran otoritarianisme adalah teori yang membuktikan telah

ada danterjadinya perilaku otoritarian dan despotik oleh seseorang atas

orang lain, baik karena didasarkan atas otoritas koersif maupun

persuasif.110 Kebenaran dalam teori ini didasarkan pada pemegang

otoritas.

c. Aksiologi Hukum Islam

Secara sederhana aksiologi adalah theory of value, teori tentang nilai.

Objek kajian aksiologi adalah apa nilai guna dari ilmu pengetahuan. Dalam

konteks hukum, ia merupakan wilayah yang membicarakan kegunaan hukum dan

nilai-nilai.111

Dengan demikian, pertanyaan yang mendasar dalam aksiologi, untuk

apa hukum itu dibuat? Apa nilai guna yang terkandung dalam pelaksanaan

108

Shofiyullah Mz, Epistemologi Ushul Fikih al-Syafi‟i (Yogyakarta,Cakrawala Media, 2010), 34. 109

Noeng Muhadjir…, 18. 110

Khaled Abou El Fadl membedakan antara being in authority (memangku otoritas) dengan being

an authority (memegang otoritas). Being in authority melahirkan otoritas yang berisifat koersif,

dimana kepatuhan terhadap seseorang berdasar pada posisi struktural dalam suatu institusi resmi

yang dimilikinya. Sementara being in authority melahirkan otoritas persuasif, dimana kepatuhan

terhadap seseorang kerena memiliki keahlian khusus. Lihat Shofiyullah Mz, Epistemologi Ushul

Fikih Al-Syafi‟i... 38-48. 111

Muhammad Erwin, Filsafat Hukum: Refleksi Kritis Terhadap Hukum dan Hukum Indonesia,

cet. ke-4 (Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2015), 175.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

57

hukum? Seberapa jauh hukum itu memberikan kemaslahatan?, dan lain-lain.

Hukum Islam bertujuan untuk menggapai kebahagiaan di dunia dan

akhirat. Karena tujuan adanya hukum Islam itu sendiri merupakan manifestasi dari

sifat raḥmān dan raḥīm (Maha Pengasih dan Maha Penyayang) Allah kepada

makhluk-Nya. Dan inti dari hukum Islam atau syariah adalah raḥmatan lil

‘ālamīn.112

Mengapa kemudian akhirat menjadi yang notabenenya merupakan

sesuatu yang bersifat eskatologi ikut menjadi tujuan dari hukum Islam? Hal ini

bisa dijawab, bahwa hukum Islam (syariah dalam arti sempit) tidak hanya memuat

kaidah-kaidah hukum an sich semata, tetapi meliputi juga kaidah-kaidah

keagamaan, kesusilaan, dan sosial.113

Tidak seperti hukum barat, yang

orientasinya hanya kepada nilai-nilai formal dan nilai-nilai non-formal dari hukum

itu sendiri.

1). Objek Kajian Filsafat Hukum Islam ada 5, yaitu:

a. Tentang Pembuat Hukum Islam (al-Hakim) yakni Allah SWT. Yang telah

menjadikan para nabi dan Rasul terutama nabi terakhir Muhammad SAW

yang menerima risalah-Nya berupa sumber ajaran Islam yang tertuang di

dalam kitab suci al-Quran. Dan keberadaan Muhammad SAW yang

eksistensinya yang mungkin ada (mumkinah al-Maujudah);

b. Tentang sumber ajaran hukum Islam, berkaitan dengan kalamullah yang

tertulis atau quraniyah dan yang tidak tertulis berupa semua karya cipta-

Nya atau ayat-ayat Kauniyah.

c. Tentang orang yang menjadi subjek atau objek dari kalam Ilahi yakni

orang Mukallaf, yang diperintah atau dilarang atau memiliki kebebasan

untuk memilih;

d. Tentang tujuan Hukum Islam sebagai landasan amaliyah para mukallaf

dan balasan-balasan berupa pahala dari pembawa perintah;

112

Fathurrrahman Djamil…, 15. 113

Hukum barat hanya berisi kaidah-kaidah hukum an-sich semata, yang didukung oleh sanksi

yang dapat ditegakkan secara paksa. Sementara hukum Islam selain berisi kaidah hukum juga

bisa berisi: kaidah agama, kesusilaan, dan sosial. Lihat Syamsul Anwar, Legal Drafting

Terhadap Materi Islam: Perspektif Hukum Islam, dalam Syamsul Anwar dkk, Ontologi

pemikiran Hukum Islam di Indonesia Antara Idealitas dan Realitas (Yogyakarta, Fak. Syariah

dan Hukum, UIN Suka, 2008), 214.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

58

e. Tentang metode yang digunakan para ulama dalam mengeluarkan dalil-

dalil dari sumber ajaran hukum Islam, yakni al-Quran dan al-Hadits serta

pendapat para sahabat yang dijadikan acuan dalam pengamalan.

Tujuan dari adanya hukum Islam adalah terciptanya kedamaian di dunia

dan kebahagiaan di akhirat. Tujuan dari hukum Islam tersebut merupakan

manifestasi dari sifat rahman dan rahim (maha pengasih dan maha penyayang)

allah kepada semua makhluk-nya. Rahmatan lil-alamin adalah inti syariah atau

hukum Islam. Dengan adanya syari‟ah tersebut dapat ditegakkan perdamaian di

muka bumi dengan pengaturan masyarakat yang memberikan keadilan kepada

semua orang.114

2. Prinsip-Prinsip Dasar Filsafat Hukum Islam

Untuk memahami, mengetahui, dan menggali filsafat hukum Islam115

diperlukan sebuah kerangka metodologi. Artinya, metodologi digunakan sebagai

rentetan dalam membangun suatu tatanan teori dalam hukum Islam bahkan

sampai membangun tatanan peraturan dalam pemikiran. Dalam hal ini,

metodologi yang digunakan ialah falsafah al-tasyri>‟ dan falsafah al-syari>’ah yang

dari dua pembagian ini dapat diketahui beberapa hikmah disyariatkannya hukum

(h}ikmah al-tasyri>‟) serta tujuan hukum dan rahasia-rahasia hukum (asra>r al-

ah}ka>m). Dua hal ini juga yang menjadi kerangka dasar dan platform dari

konstruksi hukum Islam.

Para ahli Ushul Fiqih, sebagaimana ahli Filsafat Hukum Islam, membagi

Filsafat Hukum Islam kepada dua rumusan, yaitu: Pertama, Falsafah al-tasyri>’

114

Juhaya S. Praja…, 15. 115

Lebih detailnya lihat dalam Syaiful Annas, Filsafat Hukum Islam Ibnu Rusyd dan Implikasinya

terhadap Hukum Keluarga: Studi Kitab Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, (karya

ilmiah tidak diterbitkan) (Yogyakarta: Universitas IslamNegeri Sunan Kalijaga, 2008).

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

59

(Objek Teoritis) adalah filsafat yang memancarkan, menguatkan, dan memelihara

hukum Islam atau filsafat yang membicarakan hakikat dan tujuan penetapan

hukum Islam.116

Kedua, Falsafah al-syari>’ah (Objek Praktis) adalah filsafat yang

diungkapkan dari materi hukum Islam, seperi ibadah, mu‘a>malah, jina>yah,

‘uqu>bah, dan sebagainya. Filsafat ini membicarakan tentang hakikat, rahasia,

kelebihan kebaikan, keindahan, dan kemaslahatan hukum Islam dibandingkan

dengan hukum yang lain.117

Falsafah tasyri>’ (Objek Teoritis) selanjutnya akan kita uraikan tentang

pembagiannya sebagai berikut:

a. Da>im ‘al-ahka>m (dasar-dasar hukum Islam);

b. Maba>di >’ al-ahka>m (prinsip-prinsip hukum Islam)‟

c. Us}u>l al-ahka>m (pokok-pokok hukum Islam) atau mashadir

al ahkam (sumber-sumber hukum Islam);

d. Maqa>s}id al-ahka>m (tujuan-tujuan hukum Islam);

e. Qawai>d al-ahka>m (kaidah-kaidah Hukum Islam).

Pertama, da’a>im ‘al-ah}ka>m al-Isla>m (dasar-dasar hukum Islam). Asas-

asas pembinaan hukum Islam yang dikatakan da’a>im al-tasyri>’ atau‘al-h}ukm

antara lain adalah:

a. Menghilangkan kesulitan (nafyu al-h}araj); b. Menyedikitkan beban (qillah al-takli>f); c. Membina hukum dengan menempuh jalan tadarruj (gradual). Artinya,

hukum tidak dilimpahkan sekaligus, akan tetapi satu demi satu atau tahap

demi tahap yang nantinya tidak “merasa berat” untuk melaksanakannya;

d. Seiring dengan kemaslahatan manusia. Pembinaan hukum memerhatikan

kemaslahatan masing-masing mereka sesuai dengan adat dan kebudayaan

mereka serta iklim yang menyelubunginya;

e. Syara yang menjadi sifat za>tiyyah Islam.

116

Dahlan Tamrin, Filsafat Hukum Islam (Malang: UIN Malang Press, 2007), 11. Lihat juga

dalam Ismail Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1999). 117

Dahlan Tamrin, Filsafat Hukum Islam…, 12.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

60

Dengan kerangka ini, kebanyakan hukumnya diturunkan secara mujmal

sehingga memberi lapangan luas kepada para mujtahid untuk berijtihad dan di sisi

lain memberikan bahan penyelidikan dan pemikiran dengan bebas dan supaya

hukum Islam itu menjadi elastis sesuai dengan tabiat perkembangan manusia yang

berangsur-angsur.

Kedua, maba>di’ al-ah}ka>m al-Isla>m (prinsip-prinsip hukum Islam). Titik

tolak atau prinsip-prinsip hukum Islam ialah:

a. Prinsip tauhid;

b. Prinsip masing-masing hamba berhubungan langsung dengan Allah;

c. Prinsip menghadapkan khita>b kepada akal;

d. Prinsip memagari akidah dengan akhlak (moral) yang utama sehingga

dapat mensucikan jiwa dan meluruskan kepribadian seseorang;

e. Prinsip menjadikan segala macam beban hukum demi untuk kebaikan jiwa

dan kesuciannya;

f. Prinsip mengawinkan agama dengan dunia dalam masalah hukum;

g. Prinsip persamaan. Hukum Islam menyamaratakan manusia dan tidak ada

perbedaan antara suatu bangsa dengan bangsa yang lain, antara individu

dengan individu yang lain;

h. Prinsip menyerahkan masalah ta’zi>r kepada pertimbangan penguasa atau

para hakim;

i. Prinsip tah}ki>m. Masalah tah}ki>m hanya dapat diperbolehkan dalam

masalah-masalah kehartaan;

j. Prinsip menyuruh ma‘ru>f dan mencegah munkar;

k. Prinsip toleransi (tasammuh);

l. Prinsip kemerdekaan; dan

m. Prinsip hidup bergotong-royong, jamin-menjamin kehidupan bersama,

bantu membantu antar sesama anggota masyarakat.

Ketiga, us}u>l al-ah}ka>m al-Isla>m (sumber-sumber hukum Islam atau pokok-

pokok hukum Islam) atau mas}a>dir al-ah}ka>m (sumber-sumber Hukum Islam).

Mengenai us}u>l al-ah}ka>m atau mas}a>dir al-ah}ka>m al-Isla>mi yang paling utama

adalah al-Qur‟an dan al-Sunnah yang tidak diragukan lagi ke-qat}’i-annya. Lalu

berkembang beberapa metode istinba>t} hukum Islam yang dijadikan pegangan

dalam menentukan sebuah hukum, meskipun beberapa metode hukum tersebut

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

61

masih dipertentangkan ulama, di antaranya ialah ijma>’, qiya>s, istih}sa>n, mas}lah}ah}

mursalah, istis}h}a>b,‘urf, saddud zari>’ah, syar‘u man qablana>, dan lain sebagainya.

Keempat, qawa>‘id ‘al-ah}ka>m al-Isla>m (kaidah-kaidah hukum Islam). Ini

adalah berupa kaidah-kaidah istinba>t} yaitu‟ amr, nahyu, „a>mm, kha>s}, mut}la>q,

muqayyad, mujmal, dan mufassar atau segala kaidah yang berhubungan dengan

kebahasaan, yang dipetik dari kaidah-kaidah bahasa Arab, uslub-uslub dan tarkib-

tarkib-nya. Kemudian kaidah fiqhiyyah, yaitu kaidah-kaidah kulliyyah yang digali

dari nas-}nas} al-Qur‟an, al-Hadis dan dari ru>h}al-syari’ah (jiwa syariat).118

Sedangkan kelima, maqa>s}id al-ah}ka>m al-Isla>m yang merupakan tujuan-tujuan

hukum yang karena tujuan-tujuan tersebut hukum disyariatkan dan diharuskan

bagi para mukallaf untuk menaatinya.

Falsafah al-syari>’ah (Objek Praktis) adalah filsafat yang diungkapkan

dari materi hukum Islam, seperi ibadah, mu‘a>malah,jina>yah, ‘uqu>bah, dan

sebagainya. Filsafat ini membicarakan tentang hakikat, rahasia, kelebihan

kebaikan, keindahan, dan kemaslahatan hukum Islam dibandingkan dengan

hukum yang lain.119

Menurut Hasbie as-Shiddiqie kajian yang komprehensif

dalam pembagian Falsafat Syari‟ah dapat dibagi dalam empat bagian yaitu:

a. Asra>r al-ahka>m (rahasia-rahasia hukum Islam);

b. Khasa>is al-ahka>m (cirri-ciri khas hukum islam);

c. Maha>sin al-ahka>m atau maza>ya> al-ahka>m (keutamaan- keutamaan

hukum Islam);

d. T}awa>bi’ al-ahka>m (karateristik hukum Islam).

Pertama, asra>r al-ah}ka>m al-Isla>mi (rahasia-rahasia hukum). Filsafat ini

merupakan bagian urgen dan patut diberikan perhatian, karena dengan filsafat ini

118

Hasbi Ash Shidieqy, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), 40-41. 119

Dahlan Tamrin, Filsafat Hukum Islam…, 12.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

62

kita akan mampu menanggapi rahasia/sirr dari perintah-perintah syara‟ dan

larangan-larangannya. Untuk memperdalam hal ini, perlu dilakukan kajian seperti:

a. Ah}daf al-ah}ka>m (tujuan-tujuan akhir Islam) yang merupakan salah satu

cara untuk memahami asra>r al-ah}ka>m. Dalam hal ini, terdapat dua jalan

yang perlu dipahami, yaitu‟illat hukum dan hikmah hukum. Untuk

memahami ini, para ulama berbeda pendapat terkait dengan apakah hukum

itu mempunyai „illat atau tidak, atau apakah hukum itu semuanya ma‘qu>l al-ma‘na atau ghairu ma‘qu>l al-ma‘na; dan;

b. Pandangan ulama dalam mengungkap rahasia hukum.

Kedua, khas}a>is} al-ah}ka>m al-Isla>mi (karakteristik hukum Islam) yang

terdiri dari:

a. Rabba>niyyah (ketuhanan), artinya Allah yang mengatur perjalanan hidup

dan kehidupan manusia agar dapat membina hubungan antar individu

maupun jamaah di atas landasan yang kokoh, jauh dari kekerdilan,

ekstremitas, hawa nafsu, dan pertentangan manusia;

b. insa>niyyah (kemanusiaan), Ciri kemanusiaan (humanisme) dalam

pandangan Islam tidak bertentangan dengan ciri rabba>niyyah, karena

takdir manusia memiliki kedudukan dalam pencapaian tujuan-tujuan Islam

yang begitu tinggi, yakni keberuntungan dan kebahagiaan manusia;

c. Syumu>l. Ke-syumul-an Islam, termasuk di dalamnya syari‟at (hukum),

berlaku di segala zaman, kehidupan, dan eksistensi manusia;

d. Waqi>’iyyah (realistis); Artinya, tidak mengabaikan konteks atau realitas

yang terjadi, yang ada pada setiap sesuatu yang dihalalkan atau

diharamkan; dan

e. Tana>suk (keteraturan), yakni bekerjanya semua individu dengan teratur

dan saling bersinergi untuk mencapai tujuan bersama, dengan tidak saling

benci dan menghancurkan.

Ketiga, mah}a>sin al-ah}ka>m al-Isla>mi (keutamaan hukum Islam). Pada

tataran ini, hukum Islam yang meliputi aspek kebutuhan masyarakat, memiliki

mah}a>sin atau keistimewaan-keistimewaan yang apabila diterapkan dalam

kehidupan masyarakat secara bersama-sama akan membentuk masyarakat yang

ideal, yakni masyarakat adil, kesetaraan, kebebasan, dan sebagainya.

Keempat, tabiat dan watak hukum Islam. Hukum Islam mempunyai watak

(tabiat) yang merupakan ketentuan-ketentuan yang tidak berubah-ubah. Watak

atau tabiat dan ciri khas tersebut adalah:

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

63

a. Taka>mul, artinya sempurna bentuknya dan tuntas;

b. Wasat}iyyah, yang berarti imbang harmonis, ifra>t dan tafri>t; dan

c. H{arakah, yang berarti bergerak dan berkembang, serta ber-tat}awwur

sesuai dengan perkembangan zaman.

3. Konsep Filsafat Hukum Islam

Salah satu langkah yang mendasari pemikiran maqashid syari'ah sebagai

instrumen menggali nilai keadilan hukum adalah ditetapkannya hukum Islam.

Maqa>s}id syari >’ah penting untuk dipelajari dan difahami, karena dengannya

wawasan kita tentang hukum Islam menjadi komprehensif. Seseorang tidak akan

mampu untuk menemukan hukum dalam menetapkan hukum Islam, sebelum ia

memahami secara benar, maksud dan tujuan Allah mengeluarkan perintah dan

larangan-Nya. Maqa>s}id syari>’ah adalah: tujuan yang menjadi target nash dan

hukum-hukum partikular untuk direalisasikan dalam kehidupan manusia, baik

berupa perintah, larangan, dan mubah. Untuk individu, keluarga, jamaah dan

umat.120

Tujuan hukum menurut al-Juwaini> ada tiga macam, yaitu primer,

sekunder, dan tersier. Pemikiran al-Juwaini> tersebut dikembangkan oleh muridnya

yakni al-Ghazali. Al-Ghazali menjelaskan maksud hukum dalam kaitannya

dengan pembahasan tema maslahat. Maslahat menurut al-Ghazali adalah

memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Kelima macam maslahat di

120

Menurut Yusuf Qardhawi, tujuan hukum dapat dicapai dengan beberapa cara, yaitu; Meneliti

setiap illat nash Al-Quran dan As-Sunnah. Meneliti, mengikuti, dan memikirkan hukum-hukum

partikular. Untuk kemudian menyatukan antara satu hukum dengan hukum yang lain, agar dari

penelitian ini kita dapat menemukan tujuan hukum yang menjadi maksud Allah dalam membuat

hukum-hukum tersebut. Lihat Yusuf Qardhawi…, 18.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

64

atas bagi al-Ghazali berada pada skala prioritas dan urutan yang berbeda jika

dilihat dari sisi tujuannya, yaitu peringkat primer, sekunder, dan tersier.121

Tujuan hukum bisa juga disebut dengan hikmah-hikmah dibalik hukum itu

sendiri. Karena dalam setiap hukum yang disyari‟atkan oleh Allah untuk

hambaNya pasti terdapat hikmah. Ada perbedaan pemahaman hikmah dan illat

hukum (motif penetapan hukum) yang disebutkan oleh para ahli ushul fikih dalam

bab qiyas dan didefinisikan dengan‚sifat yang jelas, tetap, dan sesuai dengan

hukum. ‛Illat sesuai dengan hukum, tetapi ia bukan tujuan dari hukum itu.122

„Illat

rukhsah ketika dalam perjalanan jauh baik dalam bentukjama‟-qashar atau

berbuka puasa pada bulan Ramadhan adalah perjalanan itu sendiri (safar), sedang

hikmah rukhsah karena adanya kesusahan yang dirasakan sewaktu dalam

perjelanan itu. Para ahli ushul fikih tidak menyatukan antara illat hukum dan

hikmah kerana hikmah sulit untuk ditetapkan. Contohnya; jika kesusahan itu i‟llat,

mungkin ada orang yang mengatakan saya tidak susah.

Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa tujuan hukum Islam adalah untuk

mewujudkan hamba dunia dan akhirat. Menurutnya, seluruh hukum itu

mengandung keadilan, rahmat, kemashlahatan dan Hikmah, jika keluar dari

keempat nilai yang dikandungnya, maka hukum tersebut tidak dapat dinamakan

Hukum Islam.123

Hal senada juga dikemukakan oleh al-Syatibi, Ia menegaskan

bahwa semua kewajiban diciptakan dalam rangka merealisasikan kemashlahatan

121

Muhammad Hashim Kamali, Shari‟ah Law: An Introduction, (Oxford: Oneworld Publications,

2008), 127. 122

Yusuf Qardhawi…, 18. 123

Ibn Qayyim, I‟la>m al-Muwaqi’i>n Rabb al-„’A>lami>n, (Beirut: Da>r al-Jayl, t.th.), Jilid III, 3.

lihat juga Izzuddi>n Ibn Abd al-sala>m, Qawa>id al-Ahka>m fi> Mas}a>lih al-Ana>m, (Bairut: Dar al-

Jail, t.thn), jilid II, 72. Wahbah Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986),

Jilid II, 1017.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

65

hamba. Tak satupun hukum Allah yang tidak mempunyai tujuan. Hukum yang

tidak mempunyai tujuan sama juga dengan taklif ma la yutaq‟ (membebankan

sesuatu yang tidak dapat dilaksanakan).124

Dalam rangka mewujudkan

kemashlahatan dunia dan akhirat itulah, maka para ulama Ushul Fiqh

merumuskan tujuan hukum Islam tersebut kedalam lima misi, semua misi ini

wajib dipelihara untuk melestarikan dan menjamin terwujudnya kemashlahatan.

Kelima misi (Maqa>s}id al-Syari >’ah/Maqa>s}id al-Khamsah) dimaksud adalah

memelihara agama, jiwa, aqal, keturunan dan harta.125

Untuk mewujudkan dan memelihara kelima unsur pokok itu, al-Syatibi

membagi kepada tiga tingkat, dharu>riya>t, hajiya>t dan tahsi>ni>ya>t. Pengelompokan

ini didasarkan pada kebutuhan dan skala prioritas. Urutan level ini secara

hirarkhis akan terlihat kepentingan dan siknifikansinya, manakala masing-masing

level satu sama lain saling bertentangan. Dalam konteks ini level dharu>riya>t

adalah memelihara kebutuhan yang bersifat esensial bagi kehidupan manusia. Bila

kebutuhan ini tidak terpenuhi akan mengancam eksistensi kelima tujuan diatas.

Sementara level hajiyya>t tidak mengancam hanya saja menimbulkan kesulitan

bagi manusia. Selanjutnya pada level tahsi>niyya>t, adalah kebutuhan yang

menunjang peningkatan martabat seseorang dalam masyarakat dan di hadapan

Allah Swt. Sebagai contoh, dalam memelihara unsur Agama, aspek dharu>riya>t

nya antara lain mendirikan Shalat, shalat merupakan aspek dharu>riya>t, keharusan

menghadap ke kiblat merupakan aspek hajiyyat, dan menutup aurat merupakan 124

Al- Syatiby, al-Muwa>faqa>t fi Usu>l al-Syari>’ah,‘(Kairo: Mu}stafa> Muhammad, t.th.), 150. lebih

lanjut tentang tujuan hukum Islam dapat dilihat dalam Fathi al-daraini, al-manahij al-Usuliyyah fi Ijtihadbi al-Ra‟yi fi al-Tasyri‟, (Damaskus: Dar al-Kitab al-Hadis, 1975), 28; Muhammad

Abu Zahrah, Usul al-Fiqh, (Mesir: Dar al-Fikri al-Arabi, 1958), 366; Muhammad Khalid

Mas‟ud,‘Islamic Legal Philosophiy, (Islamabad; Islamic Research institute, 1977), 223. 125

Ima>m Abi> Ha>mi>d Muhammad bin Muhammad al-Ghaza>li>, al-Mustasfa> min „Ilm al-Us>}u>l, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), 20.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

66

aspeks tahsiniyyat.126

Ketiga level ini, pada hakikatnya adalah berupaya untuk

memelihara kelima misi hukum Islam.

Pemikir dan ahli teori hukum Islam berikutnya yang secara khusus

membahas maqa>s}id syari'ah adalah Izzuddi>n ibn abd al-Sala>m dari kalangan

Syafi'iyah. Ia lebih banyak menekankan dan mengelaborasi konsep maslahat

secara hakiki dalam bentuk menolak keburukan dan menarik manfaat.

Menurutnya, maslahat keduniaan tidak dapat dilepaskan dari tiga tingkat urutan

skala prioritas, yaitu primer, sekunder, dan tersier. Lebih jauh lagi ia menjelaskan,

bahwa hukum harus bermuara pada terwujudnya maslahat manusia, baik di dunia

maupun di akhirat.127

Pembahasan maqa>s}id syari>'ah dilakukan al-Sya>tibi> secara khusus,

sistematis, dan jelas. Ia secara tegas mengatakan bahwa tujuan utama Allah

menetapkan hukum-Nya adalah untuk terwujudnya maslahat hidup manusia, baik

di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu, hukum harus mengarah pada dan

merealisasikan terwujudnya kemaslahatan. Doktrin maqa>s}id syari’ >ah adalah satu,

yaitu mashlahah atau kebaikan dan kesejahteraan umat manusia baik di dunia

maupun diakhirat. Oleh karena itu al-Sya>tibi> meletakkan posisi maslahat sebagai

illat hukum atau alasan pensyariatan hukum Islam.128

Pemikiran maslahat al-

Sya>tibi> ini tidak seberani gagasan at-Tu>fi>. Pandangan at-Tu>fi> mewakili

pandangan yang radikal dan liberal tentang maslahat. at-Tu>fi> berpendapat bahwa

126

Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid Syari‟ah menurut al-Syatibi, (Jakarta: Logos wacana

Ilmu, 1997), 72. 127

Yusuf Qardhawi…, 136. 128

Al-Syathibi menyebutkan ada tiga (3) syarat yang diperlukan untuk memahami maqashid

Syari‟ah. Ketiga syarat itu adalah: 1. Memiliki pengetahuan tentang Bahasa Arab: lafaz „am,

lafaz Khas,musytarak, haqiqat, majaz, dilalah lafaz, dan nasakh. 2. Memiliki pengetahuan

tentang Sunnah. 3. Mengetahui sebab-sebab turunnya Ayat. Lihat Al-Syatibiy, 2-3.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

67

prinsip maslahat dapat membatasi Quran, Sunnah dan konsensus jika penerapan

teks Qur‟an, Sunah dan konsensus itu akan menyusahkan manusia. Akan tetapi,

ruang lingkup dan bidang berlakunya maslahat at-Tu>fi> tersebut adalah hubungan

antar sesama manusia.129

Dalam menempatkan Illat sebagai maslahah an-Nabha>ni> berbeda dengan

al-Syatibi, An-Nabhani misalnya beliau dengan hati-hati menekankan berulang-

ulang, bahwa maslahat itu bukanlah „illat atau motif (al-ba>‘its) penetapan syariat,

melainkan hikmah, hasil (nati>jah), tujuan (gha>yah), atau akibat („aqi>bah) dari

penerapan syariat.130

Mengapa an-Nabhani mengatakan hikmah tidak dikatakan

„illat? Karena menurut ia nash ayat-ayat yang ada jika dilihat dari segi bentuknya

(shighat) tidaklah menunjukkan adanya „illat (al-‘illiyah), namun hanya

menunjukkan adanya sifat rahmat (maslahat) sebagai hasil penerapan syariat.

Misalnya firman Allah Swt dalam al-qur‟an Surat al-Isra (17) ayat 82 dan al-

Anbiya ayat 107 yang berbunyi:

يوم م ال ع ل ل رحة لم إ اك ن ل رس اأ

Artinya : “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi)

rahmat bagi semesta alam”. (QS: al-Anbiya‟: 107)

Menurut an-Nabha>ni>, ayat ini tidak mengandung shighat ta„lil (bentuk kata

yang menunjukkan „illat), misalnya dengan adanya lam ta‟lil. Jadi maksud ayat

ini, bahwa hasil (nati>jah) diutusnya Muhammad saw adalah akan menjadi rahmat

129

Muhammad Hashim Kamali…, 136-141. 130

Taqiyuddi>n an-Nabha>ni>, Asy-Syakhshiyah al-Isla>miyyah. Us}u>l al-Fiqh. (Al-Quds: Min

Mansyura>t Hizb at-Tahri>r. 1953), Juz, III, 359-360.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

68

bagi umat manusia. Artinya, adanya rahmat (maslahat) merupakan hasil

pelaksanaan syariat, bukan „illat dari penetapan syariat.

Untuk mewujudkan kemashlahatan itu, menurut Muhammad Sai>d

Ramadha>n al-Bu>t}i> ada lima kriteria yang harus dipenuhi, yaitu;

1. Memperiotaskan tujuan-tujuan Syara‟;

2. Tidak bertentangan dengan al Qur‟an;

3. Tidak bertentangan dengan al Sunnah;

4. Tidak bertentangan dengan prinsip qiyas karena qiyas merupakan salah

satu cara dalam menggali hukum yang intinya adalah untuk memberikan

kemashlahatan bagi mukallaf;

5. Memperhatikan kemashlahatan yang lebih besar.131

Kemudian bagaimana penerapan teori maqa>s}id Shari >’ah ini dalam

menemukan nilai keadilan? Dalam kaitan dengan hal tersebut tentu teori maqa>s}id

Shari>’ah harus mampu menemukan fakta-fakta yang sebenarnya melalui analisis

filosofis terhadap persoalan yang sedang dihadapi. Perumusan masalah dalam

proses penerapan hukum yang tepat dan benar perlu menjadi perhatian penting.

Menurut Taufik, mantan Hakim Agung/Mantan Wakil Ketua Mahkamah Agung

RI, apabila perumusan masalah dalam suatu perkara salah, maka proses

selanjutnya akan salah.132

Dalam merumuskan masalah yang perlu diperhatikan

adalah melakukan identifikasi terhadap masalah itu. Kemudian kategorisasi dalam

menentuan metode yang akan digunakan dalam menyelesaikan masalah, sehingga

nilai keadilan yang didealkan dapat tercapai.

Pada akhirnya, keadilan mengacu pada upaya hakim untuk menemukan

kebenaran dan memberikan hukum jika ada pelanggaran yang tidak ada aturan 131

Muhammad Sai>d Ramadha>n al-Bu>ti>, al-Dawa>bit al-Mashlahat fi al Syari>ah al-Isla>miyah,

(Beirut: Muassasah al-Risalah, 1977), 119-248. 132

Andi Syamsu Alam, Peningkatan Kualitas Putusan Hakim Peradilan Agama Tingkat Pertama

dan Tingkat Banding, dalam Majalah Varia Peradilan, (Jakarta: Ikatan Hakim Indonesia

(IKAHI), Tahun Ke XX No. 239 Agustus 2005), 41.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

69

tegasnya secara formal. Hal tersebut adalah bentuk dari keadilan prosedural.

Keadilan prosedural adalah aspek ekternal hukum, tempat keadilan substantif

direalisasikan. Tanpa adanya keadilan secara prosedural, keadilan substantif

hanya akan menjadi teori-teori yang tidak menyentuh realitas masyarakat.

Meskipun demikian, selain keadilan, nilai kepastian dan kemanfaatan hukum juga

penting untuk dipertimbangkan dalam penegakkan hukum.133

B. Keadilan Menurut Filsafat Hukum Islam

1. Pengertian Keadilan

Keadilan adalah salah satu kata yang memang susah untuk didefinisikan

secara komprehensif dan rinci, tetapi cuma dapat dirasakan dan dilihat dampaknya

secara nyata. Sama halnya dengan definisi hukum; sampai sekarang belum ada

orang yang mampu memberikan definisi yang lengkap dan memuaskan bagi

semua pihak. Walaupun definisi yang dikemukakan oleh seseorang dianggap

benar, tetapi orang lain dapat mengemukakan definisi lain yang juga dianggap

benar dan begitulah seterusnya. Masalah keadilan sejak dahulu telah menjadi

bahan kajian baik dikalangan ahli filsafat maupun dikalangan agamawan,

politikus maupun para pemikir atau ahli hukum. Namun apabila timbul pertanyaan

tetang keadilan, tidak bisa ditentukan ukuran apa yang digunakan untuk

menentukan sesuatu itu adil atau tidak.

133

Gustav Radbruch mengatakan bahwa hukum yang baik adalah ketika hukum tersebut memuat

nilai keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Sekalipun ketiganya merupakan nilai dasar

hukum, namun masing-masing nilai mempunyai tuntutan yang berbeda satu dengan yang

lainnya, sehingga ketiganya mempunyai potensi untuk saling bertentangan dan menyebabkan

adanya ketegangan antara ketiga nilai tersebut (Spannungs verhaltnis). Theo Huijbers, Filsafat

Hukum dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), 161.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

70

a. Definisi Keadilan

Secara etimologi keadilan berarti tidak berat sebelah atau menetapkan

sesuatu (hukum) dengan benar.134

Keadilan juga dapat dimaknai dengan tindakan

atau perlakukan yang seimbang dan sesuai dengan ketentuan, tidak membenarkan

yang salah dan tidak menyalahkan yang benar, walaupun menghadapi

konsekuensi-konsekuensi tertentu. Sedangkan secara terminologi keadilan adalah

tindakan, keputusan, perlakuan, dan sebagainya. yang adil, meliputi hal-hal

sebagai berikut:

1) Tidak melebihi atau mengurangi dari pada yang sewajarnya;

2) Tidak memihak dan memberi keputusan yang berat sebelah;

3) Sesuai dengan kemampuan, tingkatan atau kedudukan;

4) Berpihak atau berpegang kepada kebenaran;

5) Tidak sewenang-wenang.135

Keadilan adalah menyampaikan segala sesuatu yang menjadi haknya

sekaligus menjaga atau memelihara dan menjauhi yang bukan haknya sesuai

dengan kadar/ketentuan masing-masing haknya.136

Keadilan merupakan salah satu

tujuan hukum yang paling banyak dibicarakan sepanjang perjalanan filsafat

hukum. Tujuan hukum bukan hanya keadilan, tetapi juga untuk kepastian hukum

dan kemanfaatan. Dalam ajaran Islam, keadilan adalah ketetapan Allah bagi

134

Abi> al-Fadhl Jamaluddi>n Muhammad ibn Mukarram ibn Manzu>r al-Afriqi> al-Mis}ri>, (Lisa>n al-‘Arab, Jilid XI, Beiru>t: Da>r Sader), t.t.,.

135 Peter Salim dan Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Modern

English Press, 1991), 12. 136

Itulah yang dimaksud oleh firman Allah: “...dan Allah menyuruh kamu apabila menetapkan

hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil”, An-Nisa ayat (58). Lihat Sayid

Sabiq, Unsur-Unsur Dinamika Dalam Islam, (Terj. Haryono S. Yusuf), (Jakarta: Intermasa.

1981).

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

71

kosmos atau alam raya ciptaan-Nya. Keadilan adalah prinsip yang merupakan

hukum seluruh hajat raya. Oleh karenanya melanggar keadilan adalah melanggar

hukum kosmos dan dosa ketidakadilan akan mempunyai dampak kehancuran

tatanan masyarakat manusia. Oleh sebab itu segala tindakan manusia harus

memenuhi rasa keadilan, hal ini dalam rangka menjaga kelestarian kehidupan

umat manusia.

b. Keadilan dan Moralitas

Dalam al-Qur‟an perintah berlaku adil dikaitkan dengan taqwa

(ketakwaan). Berlaku adillah kamu! Itu lebih dekat kepada taqwa (Q.S. al-

Maidah: 8). Dalam ayat ini orang-orang Mukmin bahkan diingatkan untuk tetap

teguh menegakkan keadilan dan mereka sama sekali tidak boleh berbuat curang

meski terhadap orang-orang yang mereka benci. Dalam ayat yang lain dikatakan

bahwa keadilan mesti ditegakkan walaupun terhadap diri sendiri atau keluarga

dekat sekalipun. Hal ini sebagaimana yang terdapat dalam al-Qur‟an surat an-

Nisa‟: 135 dan al-An‟am: 152 yang berbunyi :

ى ل ع و ول لمه ل اء د ه ش ط س ق ال ب ي ومام ق وا ون ك وا ن آم ين لمذ ا ا ي ه أ ا ي و أ م ك س ف ن أي رب والق ن ي د ل وا ل ا

Namun untuk memahami tentang makna keadilan tidaklah semudah

membaca teks pengertian tentang keadilan yang diberikan oleh para pakar, karena

ketika berbicara tentang makna berarti sudah bergerak dalam tataran filosofis

yang perlu perenungan secara mendalam sampai pada hakikat yang paling

dalam.137

Terdapat dua rumusan tentang keadilan: Pertama, pandangan bahwa

yang dimaksudkan dengan keadilan itu ialah keserasian antara penggunaan hak

137

Angkasa, Filsafat Hukum, (Purwokerto: Universitas Jenderal Soedirman, 2010), 105.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

72

dan pelaksanaan kewajiban selaras dengan dalil‚ neraca hukum yakni‚ takaran hak

dan kewajiban. Kedua, pandangan para ahli hukum yang pada dasarnya

merumuskan bahwa keadilan itu adalah keserasian antara kepastian hukum dan

kesebandingan hukum.138

Keserasian antara penggunaan hak dan pelaksanaannya

berdasarkan dalil takaran hak adalah kewajiban:

a. Hak setiap orang itu besar kecilnya tergantung pada atau selaras dengan

besar kecil kewajibannya;

b. Dalam keadaan yang wajar, tidaklah benar kalau seseorang dapat

memperoleh haknya secara tidak selaras dengan kewajibannya atau tidak

pula selaras kalau seseorang itu dibebankan kewajiban yang tidak selaras

dengan haknya;

c. Tiada seorangpun dapat memperoleh haknya tanpa ia melaksanakan

kewajibannya, baik sebelum maupun sesudahnya, dan dengan demikian

pula sebaliknya tiada seorangpun yang dapat dibebankan kewajibannya

tanpa ia memperoleh haknya, baik sebelum maupun sesudahnya. Misalnya;

upah seorang pegawai tentunya diselaraskan dengan berat ringan

pekerjaannya.139

Dalam buku Philosophy of Islamic Law and Orientalists, Muslehuddin

menyitir pandangan Plato: "In his view, justice consists in a harmonious relation,

between thevarious parts of the social organism. Every citizen must do his duty in

his appointed place and do the thing for which his nature is best suited". Plato

dalam mengartikan keadilan, sangat dipengaruhi oleh cita-cita kolektivistik yang

memandang keadilan sebagai hubungan harmonis dengan berbagai organisme

sosial. Setiap warga negara harus melakukan tugasnya sesuai dengan posisi dan

sifat alamiahnya.140

138

A. Ridwan Halim, Pengantar Ilmu Hukum Dalam Tanya Jawab, (Jakarta: Ghalia Indonesia,

2005), 176. 139

Ibid., 177. 140

Muhammad Muslehuddin, Philosophy of Islamic Law and the Orientalists, (Delhi: Markaz

Maktabah Islamiyah, 1985), 42.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

73

Hegel menyatakan dalam Philosophy of Rightnya, bahwa keadilan

memiliki hubungan dengan solidaritas secara interdependensi. Artinya, keadilan

dan solidaritas tidak dapat dipisahkan satu sama lain, kehadiran yang satu selalu

sudah mengandaikan kehadiran yang lain. Keadilan merupakan realisasi dari

kebebasan individual, sedangkan solidaritas merupakan realisasi kebebasan pada

tataran sosial.141

Mendapat pengaruh dari Hegel maupun Kant, Habermas

mempostulatkan prinsip penghormatan yang sama, dan hak yang sama bagi

individu. Dari perspektif modernitas, menjadikan hak serta penghormatan yang

sama bagi individu sebagai postulat merupakan realisasi kebebasan subjektif dan

individualitas yang tidak dapat ditolak keberadaannya. Sedangkan tentang

solidaritas, Habermas berpendapat bahwa‚solidaritas mempostulatkan empati dan

perhatian bagi keberlangsungan lingkungan sosial masyarakat. Dengan kata lain,

solidaritas mengacu pada keberlangsungan ikatan anggota komunitas yang secara

intersubjektif menempati dunia kehidupan yang sama.142

Pandangan hegel diperkuat Habermas, bahwa keadilan dan solidaritas

adalah dua muka dari keping uang logam kehidupan sosial yang sama. Karena,

etika diskursus praksis komunikatif deliberatif diskursif, dan menawarkan

prosedur yang membuka kemungkinan bagi setiap orang untuk mempengaruhi

hasil konsensus dengan kesetujuan, maupun dengan ketidaksetujuan di satu sisi.

141

Hegel menyatakan bahwa; moralitas berfungsi untuk melindungi kebebasan di tataran subjektif,

maupun kebebasan di tataran sosial. Kebebasan subjektif, jika disintesakan dengan piranti

filosofis ala Kant, mempostulatkan rasa hormat dan hak yang sama. Sementara kebebasan di

tataran sosial mempostulatkan empati dan perhatian terhadap masyarakat sekitar dimana individu

itu hidup dan berkembang. Dengan kata lain, yang pertama mempostulatkan keadilan, yang

kedua mempostulatkan solidaritas. Keadilan dan solidaritas adalah elemen kehidupan sosial yang

tak terpisahkan. Lihat Bur Rasuanto, Keadilan Sosial: Pandangan Deontologis Rawls dan

Habermas, Dua Teori FilsafatPolitik Modern (Jakarta: Gramedia, tt), 150. 142

Jürgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Action, (Cambridge: MIT Press,

1990), 200.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

74

Di sisi lain, diskursus komunikatif juga tidak merusak ikatan sosial yang

merupakan latar belakang para partisipan diskursus, yang juga menyadari

keanggotaannya didalam suatu komunitas komunikasi yang tak terbatas.143

Aristoteles, adalah seorang filosof pertama kali yang merumuskan arti

keadilan. Ia mengatakan bahwa keadilan adalah memberikan kepada setiap orang

apa yang menjadi haknya (fiatjutitia bereat mundus). Selanjutnya dia membagi

keadilan dibagimenjadi dua bentuk yaitu: Pertama, keadilan distributif, adalah

keadilan yang ditentukan oleh pembuat undang-undang, distribusinya memuat

jasa, hak, dan kebaikan bagi anggota-anggota masyarakat menurut prinsip

kesamaan proporsional. Kedua, keadilan korektif, yaitu keadilan yang

menjamin,mengawasi dan memelihara distribusi ini melawan serangan-serangan

ilegal. Fungsi korektif keadilan pada prinsipnya diatur oleh hakim dan

menstabilkan kembali status quo dengan cara mengembalikan milik korban yang

bersangkutan atau dengan cara mengganti rugi atas miliknya yang hilang144

atau

kata lainnya keadilan distributif adalah keadilan berdasarkan besarnya jasa yang

diberikan, sedangkan keadilan korektif adalah keadilan berdasarkan persamaan

hak tanpa melihat besarnya jasa yang diberikan. Berdasarkan filsafat hukum

Aristoteles, inti dari filsafat hukum adalah hukum hanya bisa ditetapkan dalam

kaitannya dengan keadilan.145

143

Jürgen Habermas, Justification and Application: Remarks on Discourse Ethics, (Oxfords:

Polity Press, 1990), 1-2. 144

Dominikus Rato, Filsafat Hukum, Mencari, Menemukan, Dan Memahami Hukum, (Surabaya:

LaksBang Yustisia, Surabaya, 2010), 64. 145

Aristoteles mengartikan keadilan sangat dipengaruhi oleh unsur kepemilikan benda tertentu.

Keadilan ideal dalam pandangan Aristoteles adalah ketika semua unsur masyarakat mendapat

bagian yang sama dari semua benda yang ada di alam. Manusia oleh Aristoteles dipandang

sejajar dan mempunyai hak yang sama atas kepemilikan suatu barang (materi). Pandangan

Aristoteles tentang keadilan bisa didapatkan dalam karyanya nichomachean ethics, politics, dan

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

75

2. Konsep Keadilan Dalam Islam

Konsep keadilan melibatkan apa yang setimpal, setimbang, dan benar-

benarsepadan bagi tiap-tiap individu. Seluruh peristiwa terdapat maksud yang

lebih besar yang bekerja di balik scenario yang berkembang atas landasan spiritual

untuk kembali kepada Tuhan. Terdapat keadilan yang menyeluruh bagi

semua.Hukum, konstitusi, mahkamah agung, atau sistem keadilan buatan manusia

tidak ada yang dapat memberi keadilan semacam itu.146

Dengan kata lain, adil

merupakan unsur konstitutif segala pengertian tentang hukum.

Dalam Islam, keadilan merupakan salah satu asas yang harus dijunjung.

Allah sendiri mempunyai sifat Maha Adil (al-Adlu) yang harus dicontoh oleh

hamba-Nya. Bagi kebanyakan manusia, keadilan sosial adalah sebuah cita-cita

luhur. Bahkan setiap negara sering mencantumkan secara tegas tujuan berdirinya

negara tersebut di antaranya untuk menegakkan keadilan. Banyak ditemukan

perintah untuk menegakkan keadilan147

karena Islam menghendaki agar setiap

orang menikmati hak-haknya sebagai manusia dengan memperoleh pemenuhan

kebutuhan-kebutuhan dasarnya yakni terjaminnya keselamatan agamanya,

keselamatan dirinya (jiwa, raga, dan kehormatannya), keselamatan akalnya,

keselamatan harta bendanya, dan keselamatan nasab keturunannya. Sarana pokok

rethoric. LihatCarl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, (Bandung: Nuansa

dan Nusamedia, 2004), 239. 146

Saiyad Fareed Ahmad, Lima Tantangan Abadi Terhadap Agama dan Jawaban Islam

Terhadapnya, diterjemahkan dari God, Islam, Ethics, and the Skeptic Mind: A Study on Faith,

Religios Diversity, Ethics, and The Problem of Evil, (Bandung: Mizan Pustaka, 2008), 151. 147

Lihat dalam al-Qur'an surat Al-Hadid ayat 25, surat al-Nahl ayat 90, surat Yunus ayat 13, surat

al-Naml ayat 52, surat al-Israa ayat 16, surat al-Nisaa ayat 58, surat al-Maidah ayat 8, surat al-

A‟raf ayat 96.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

76

yang menjamin terlaksananya hal-hal tersebut adalah tegaknya keadilan (al-adl) di

dalam tatanan kehidupan masyarakat.148

Al-Qur'an menggunakan pengertian yang berbeda-beda bagi kata atau

istilah yang bersangkut-paut dengan keadilan. Istilah lain dari al-„adl adalah al-

qist, al-misl (sama bagian atau semisal). Secara terminologis, adil berarti

mempersamakan sesuatu dengan yang lain, baik dari segi nilai maupun dari segi

ukuran, sehingga sesuatu itu menjadi tidak berat sebelah dan tidak berbeda satu

sama lain. Adil juga berarti berpihak atau berpegang kepada kebenaran.149

Keadilan memiliki makna umum dan mempunyai makna khusus, meliputi

keadilan dalam bermuamalah, keadilan dalam hukum, keadilan dalam keuangan,

dan keadilan dalam hak-hak manusia.150

Terdapat beberapa istilah untuk

mengindikasikan kata al-adl.151 Beberapa sinonimnya adalah qisth,

152istiqa>mah,

wasath, nasib, hissa, mi>zan.153

Al-Adl berlawanan dengan jawar (ketidakadilan).

Terdapat beberapa sinonim jawar seperti zulm (kelaliman), tughya>n (tirani), dan

mayl (kecendrungan), inhira>f (penyimpangan). Secara bahasa, kata adl

diderivasidari kata „adala, yang berarti: pertama, bertindak lurus, mengubah atau

modifikasi; kedua, melarikan diri, berpaling dari satu (keburukan) ke perbuatan

yang baik; ketiga, seimbang atau sama, setara atau cocok, atau menyetarakan;154

keempat, menyeimbangkan, menimbang, menjadi seimbang. Istilah adl sebagai

148

Didin Hafidhuddin, Agar Layar Tetap Terkembang: Upaya Menyelamatkan Umat, Jakarta:

Gema Insani Press, 2006), 249. 149

Abdul Aziz Dahlan, et. all, (editor), Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 2, (Jakarta: PT Ichtiar Baru

Van Hoeve, 1997), 25. 150

Muhammad Dhiaduddin Rais, Teori Politik Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), Cet. I,

268. 151

Ahmad Lutfi Fathullah, Al-Qur‟an Al-Hadi, dalam Tafsir Jalalain tentang Adil, dalam surat

An-Nisa‟ (4) ayat 58. 152

Moh. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur'an: Tafsir Maudhu‟i…, 149. 153

Ibid. 154

Ibid., 74.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

77

kesetaraan atau keseimbangan digunakan dalam arti menyeimbangkan sesuatu

dengan yang lain.

Makna kata adl bisa berarti secara kualitatif maupun kuantitatif. Makna

yang pertama merujuk pada prinsip abstrak kesetaraan yang berarti kesetaraan di

hadapan hukum atau kepemilikian hak yang sama. Kalau dikatagorikan, ada

beberapa pengertian yang berkaitan dengan keadilan dalam al-Qur'an dari akar

kata 'adl itu, yaitu sesuatu yang benar, sikap yang tidak memihak, penjagaan hak-

hak seseorang dan cara yang tepat dalam mengambil keputusan Hendaknya kalian

menghukumi atau mengambil keputusan atas dasar keadilan.

Sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur‟an surah al-Hujurat ayat 10 yang

berbunyi :

م ك وي خ أ ي واب ح ل ص أ ف وة خ إ ون ن ؤم م ل اا نم رحون إ ت م لمك ع ل وااللمه ت مق وا

Artinya : “Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu

damaikanlah (perbaikilah hubungan.

Makna yang kedua menekankan prinsip keadilan distributif, mungkin

lebih tepat digunakan istilah nasib dan qisth (berbagi), qisthas dan mizan

(timbangan), dan taqwim (memperkuat). Keseimbangan, kesederhaaan, dan

kesahajaan mungkin terkandung dalam kata ta‟dil, qisth, dan washat. Kata ta‟dil

berarti menyesuaikan, mengungkapkan makna keseimbangan, sedangkan kata

yang qisth dan washat secara linguistika (kebahasaan) berarti tengah atau jalan

tengah antara dua ekstrem, dan dapat juga digunakan untuk pengertian moderat155

155

Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shohih al-Bukhari…, 985.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

78

atau jalan tengah.156

Kata adil juga diartikan tidak berat sebelah atau tidak

memihak, berpihak kepada kebenaran, dan sepatutnya atau tidak sewenang-

wenang.157

Dengan demikian, konsep keadilan yang merupakan prinsip kedua

setelah tauhid meliputi keadilan dalam berbagai hubungan, yaitu hubungan antara

individu dengan dirinya sendiri, hubungan antara individu dengan manusia dan

masyarakatnya, hubungan antara individu dengan hakim dan yang berperkara

serta hubungan-hubungan dengan berbagai pihak yang terkait.158

Keharusan berlaku adil pun harus dtegakkan dalam keluarga dan

masyarakat muslim itu sendiri, bahkan kepada orang kafir pun umat Islam

diperintahkan berlaku adil. Untuk keadilan sosial harus ditegakkan tanpa

membedakan karena kaya miskin, pejabat atau rakyat jelata, wanita atau pria,

mereka harus diperlakukan sama dan mendapat kesempatan yang sama.159

Senada

dengan itu, Sayyid Qutb menegaskan bahwa Islam tidak mengakui adanya

perbedaan-perbedaan yang digantungkan kepada tingkatan dan kedudukan.160

Kehidupan manusia dilengkapi tiga kebutuhan dasar yang tidak

terpisahkan, yaitu kebutuhan material, spiritual, dan intelektual. Ketiga kebutuhan

tersebut mutlak terpenuhi pada kadar yang telah ditentukan. Memenuhi kebutuhan

fisik dengan menelantarkan keperluan spiritual akan melahirkan sosok yang

kuat namun liar, seperti kuda liar yang akan menerjang ke kiri-kanan tanpa

aturan. Sebaliknya, memenuhi kebutuhan spiritual dengan menelantarkan hajat

156

Fuad Fachruddin, Agama dan Pendidikan Demokrasi, Pengalaman Muhammadiyah dan

Nahdlatul Ulama, 289. 157

Tim Penyusun, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), 12. 158

Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, (Tasikmalaya: Lathifah Press, 2009), 72. 159

Juhaya S. Praja…, 73. 160

Sayyid Qutb, Keadilan Sosial dalam Islam, dalam John J. Donohue dan John L. Esposito, Islam

dan Pembaharuan, Terj. Machnun Husein, (Jakarta: CV Rajawali, 1984), 224.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

79

material, juga melahirkan sosok yang saleh namun lemah. Kekuataan intelektual

semata juga melahirkan kelicikan yang hanya membahayakan diri dan

manusia di Keadilan adalah memperlakukan orang dengan cara yang,

seandainya engkau adalah rakyat dan orang lain adalah sultan, engkau akan

berpikir begitulah seharusnya engkau diperlakukan.161

Perintah melaksanakan keadilan banyak ditemukan secara eksplisit dalam

al-Qur'an. Ayat-ayat al-Qur'an menyuruh untuk berlaku adil dan Allah sendiri

menjadikan keadilan itu sebagai tujuan dari pemerintahan. Hadits-hadits Nabi

juga banyak yang menerangkan pentingnya menjalankan keadilan dalam

pemerintahan.162

Perintah berlaku adil ditujukan kepada setiap orang, tanpa

pandang bulu. Kemestian berlaku adil mesti ditegakkan di dalam keluarga dan

masyarakat Muslim, bahkan kepada orang kafir pun umat Islam diperintahkan

berlaku adil.163

Asas-asas menegakkan keadilan dalam Islam:

a. Kebebasan jiwa yang mutlak. Islam menjamin kebebasan jiwa dengan

kebebasan penuh, yang tidak hanya pada segi maknawi atau segi

ekonominya semata melainkan ditujukan pada dua segi itu secara

keseluruhan. Islam membebaskan jiwa dari bentuk perbudakan, berupa

kultus individu dan ketakutan terhadap kehidupan, rezeki dan kedudukan.

b. Persamaan kemanusiaan yang sempurna. Dalam Islam tidak ada

kemuliaan bagi orang yang berasal dari kaum bangsawan berdarah biru

dibanding dengan orang biasa. Islam datang untuk menyatakan kesatuan

jenis manusia, baik asal maupun tempat berpulangnya, hak dan

kewajibannya di hadapan undang-undang dan di hadapan Allah.164

Pada dasarnya, semua bidang kehidupan harus terjangkau oleh keadilan,

mulai dari keadilan terhadap diri sendiri dan keluarga terdekat, mulai dari

161

Antony Black, Pemikiran Politik Islam: Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini, diterjemahkan

dari The History of Islamic Political Thought: From The Prophet to the Present, (Jakarta:

Serambi Ilmu Semesta, 2006), Cet. I, 208. 162

Ahmad Shukri Mohd. Nain dan Rosman MD Yusoff…, 116. 163

Juhaya S. Praja…, 73. 164

Nuim Hidayat, Sayyid Quthb: Biografi dan Kejernihan Pemikirannya, (Jakarta: Gema Insani

Press, 2005), Cet. I, 34.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

80

keadilan terhadap diri sendiri dan keluarga terdekat, keadilan dalam bidang

hukum dan peradilan, keadilan dalam bidang ekonomi, bahkan keadilan dalam

bersikap terhadap musuh. Hukum-hukum yang diberlakukan terhadap masyarakat

haruslah merupakan penerjemahan dari rasa dan nilai-nilai keadilan tersebut.165

Keadilan merupakan sebuah prinsip yang teramat penting dan memiliki

kedudukan tinggi dalam Islam.166

Kata adil” digunakan dalam empat hal, yaitu

keseimbangan, persamaan dan nondiskriminasi, pemberian hak kepada pihak yang

berhak, dan pelimpahan wujud berdasarkan tingkat dan kelayakan. Keadilan ilahi

berarti bahwa setiap maujud mengambil wujud dan kesempurnaan wujudnya

sesuai dengan yang layak dan yang mungkin untuknya.167

Keadilan

diklasifikasikan ke dalam tiga macam, yaitu keadilan dalam bentuk perundang-

undangan (al-ada>lah al-qa>nu>niyyah), keadilan sosial (al-ada>lah al-ijtima>‟iyyah),

dan keadilan antar bangsa (al-ada>lah al-dauliyyah).168

Keadilan dalam Islam digantungkan kepada keadilan yang telah ditentukan

oleh Allah sendiri. Karena tidak mungkin manusia mengetahui keadilan itu secara

benar dan tepat. Di sini pun keimanan mendahului pengertian, karena telah

ditetapkan segala yang ditentukan oleh Allah SWT pasti adil.169

Apa pun sifatnya,

keadilan dalam Islam dirumuskan dengan berpegang teguh pada hukum ilahi atau

kehendak Allah SWT yang dirumuskan oleh para ulama untuk dijadikan hukum

165

Didin Hafidhuddin, Dakwah Aktual, (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), 214. 166

Pradana…, 49. 167

Murtadha Muthahhari, Keadilan Tuhan: Asas Pandangan Dunia Islam, (Jakarta: Mizan

Pustaka, 2009), 65. 168

Abu Yasid, Islam Akomodatif: Rekonstruksi Pemahaman Islam sebagaiAgama Universal,

(Yogyakarta: LKiS, 2004), 25-27. 169

Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia: Akar Sejarah, Hambatan dan

Implementasinya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), 46.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

81

dalam hidup bersama sebagai warga negara.170

Keadilan merupakan cita-cita

kolektivistik yang memandang keadilan sebagai hubungan harmonis dengan

berbagai organisme sosial. Setiap warga negara harus melakukan tugasnya sesuai

dengan posisi dan sifat alamiahnya.171

3. Bentuk-bentuk Keadilan Dalam Islam

a. Bentuk Keadilan

Keadilan pada dasarnya meliputi segala aspek kehidupan, namun

sangat sulit untuk menentukan batasannya. Ada beberapa bentuk keadilan

yang harus ditegakkan menurut Islam, secara garis besar dapat diungkapkan

sebagai berikut:

1) Keadilan dalam bentuk hubungan Khaliq dan makhluq.

Semua yang ada di alam ini bersumber dari kehendak Tuhan yang

mutlak. Ini merupakan kesatuan yang sempurna dan semua yang ada di

dalamnya terkait dan berjalan antara bagian yang satu dengan yang lainnya

sesuai dengan Sunnatullah. Oleh karena alam semesta ini satu kesatuan

yang sempurna bagian-bagiannya, sistem penciptaannya, sistem arahnya

dengan hukum perwujudannya yang keluar dari kehendak yang tunggal,

absolut dan sempurna maka ia sesuai dan mendukung bagi adanya

kehidupan yang mempunyai keadaan dan bentuk yang paling baik di

permukaan bumi ini.172

Alam ini diciptakan secara sempurna dan

170

Andrea Ata Ujan, Filsafat Hukum: Membangun Hukum, Membela Keadilan, (Yogyakarta:

Penerbit Kanisius, 2009), 42. 171

Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum: Sejarah, Aliran dan Pemaknaan, (Yogyakarta: Gadjah

Mada University Press, 2009), 47.

172

Sayyid Qutub, Keadilan Sosial Dalam Islam, (Bandung: Pustaka, 1989), 57.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

82

seimbang, sehingga tidak ditemukan kecacatan sedikitpun. Inilah makna

keadilan dalam pengertian yang lebih luas. Sedangkan kerusakan-

kerusakan yang terjadi pada alam semesta, tidak lain hanyalah akibat ulah

tangan manusia sendiri sebagaimana yang terdapat dalam al-Qur‟an surat

al-Rum ayat 41 yang berbunyi :173

ض ع ب م ه يق ذ ي ل النماس ي د ي أ ت ب س ك ا ب ر ح ب ل وا ر ب ل ا ف اد س ف ل ا ر ه ظ

ون ع رج ي م لمه ع وال ل م يع المذ

Dalam Islam, keadilan ilahi diabadikan dalam wahyu ilahi dan

kebijaksanaan Nabi yang disampaikan kepada umatnya. Wahyu, ditransmisikan

dalam firman Allah, yang ditemukan di dalam al-Qur'an, dan kebijaksanaan ilahi

itu diucapkan dengan kata-kata Nabi dan diumumkan sebagai sunnah. Ini dua

sumber tekstual yang tersedia sebagai bahan baku untuk hukum Islam dan

Keadilan.174

Ibnu Taimiyah mengemukakan tentang keadilan sebagai berikut:

Sesungguhnya manusia tidak berselisih pendapat, bahwa dampak

kezaliman itu sangatlah buruk, sedangkan dampak keadilan itu adalah

baik. Oleh karena itu, dituturkan, Allah menolong negara yang adil

walaupun negara itu kafir dan tidak akan menolong negara zalim,

walaupun negara itu Mukmin.175

Keadilan yang dimaksud merupakan keadilan yang bersifat syar‟i, yakni

istiqamah. Adil adalah semua hal yang ditunjukkan oleh Islam, yaitu al-Qur'an

dan al-Sunnah, baik dalam (hukum) muamalah yang berkaitan dengan sanksi

ataupun hukum-hukum lain. Secara umum apa yang dilarang oleh al-Qur'an dan al-

173

Lihat Sayid Sabiq, Unsur-Unsur Dinamika Dalam Islam, (Terj. Haryono S. Yusuf), (Jakarta:

Intermasa. 1981). 174

N. Hanif, Islamic Concept of Crime and Justice, (New Delhi: Sarup & Son, 1999), Cet. I,.

Pendahuluan. 175

Ibnu Taimiyah, Majmu‟ al-Fatawa, Juz VI, 322.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

83

Sunnah adalah kembali pada realisasi adil dan larangan untuk berlaku zalim, misalnya

makan harta yang bathil.176 Keadilan dan kebenaran atau kejujuran ini harus selalu

seiring sejalan dan merupakan dua hal yang tidak terpisahkan.177 Allah akan

menjunjung negara yang adil meskipun kafir dan tidak menjunjung negara yang tidak

adil sekalipun Muslim dan bahwa dunia akan dapat terus bertahan dengan keadilan

sekalipun kafir dan tidak akan bertahan dengan ketidakadilan sekalipun Islam.178

Penegakan keadilan ada yang cukup dengan petunjuk dari al-Qur'an dan neraca

keadilan (mizan), dan sebaliknya dengan kekuasaan (besi).

Imam al-Qurthubi memaknai keadilan bahwa setiap apa saja yang

diwajibkan baik berupa akidah Islam maupun hukum Islam179

Allah SWT

memerintahkan Rasul-Nya untuk menerapkan al-Qur'an serta menegakkan

keadilan, memerintahkan bertobat dan menjalankan syariat sebelum datang secara

tiba-tiba hari perhitungan (kiamat).180

Sedangkan al-Mawardi melihat sistem pajak

harus menerapkan keadilan baik kepada pembayar pajak maupun kepada bait al-

ma>l. Menuntut lebih dari adalah berlaku tidak adil terhadap hak rakyat,

sementarameminta lebih rendah juga tidak fair terhadap hak baitul mal.181

Keadilan komprehensip menanamkan rasa saling mencintai dan kasih sayang,

ketaatan kepada hukum, pembangunan negara, perluasan kekayaan, pertumbuhan

176

Ibnu Taimiyah, al-Siya>sah al-Syariiyyah, (Beiru>t: Da>r al-Ma‟arif ‘li al-Thiba>’ah wa al-Nasyr,

t.t.), 15. 177

Lihat Ali Abdul Halim Mahmud, Karakteristik Umat Terbaik: Telaah Manhaj, Akidah dan

Harakah,(Jakarta: Gema Insani Press, 1996), 256. 178

Ibnu Taimiyah, al-Hisbah, (1967), hal. 94. Lihat juga Umer Chapra, Masa Depan Ilmu

Ekonomi: Sebuah Tinjauan Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), 146. 179

al-Qurthu>bi>, al-Ja>mi‟ li Ahka>m al-Qur'a>n, (….), Juz X, hukum, 165. 180

al-Qurtu>bi>, al-Ja>mi’ li Ahka>m al-Qur’a>n, juz 17, 15. 181

Al-Mawardi>, al-Ahka>m al-Sult}a>niyyah, (1960), hal. 209.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

84

keturunan, dan kemanan kedaulatan, dan tidak ada unsur yang lebih cepat

menghancurkan dunia dan nurani manusia selain kezaliman.182

Mu‟tazilah mengusung keadilan, akal, kebebasan, dan kebijaksanaan atau

hikmah. Mutazilah dikenal dengan nama al-„Adliyyah. Wacana hikmah itu tidak

hanya merujuk pada prinsip keadilan Mu‟tazilah, tetapi juga merujuk pada prinsip

kebaikan dan keburukan rasional, kebebasan manusia, dan adanya tujuan-tujuan

tertentu dalam semua perbuatan ilahi.183

Mu‟tazilah percaya bahwa ada tindakan-

tindakan yang pada dasarnya adil dan ada tindakan-tindakan yang pada

hakikatnya tidak adil. Sebagai contoh, memberikan pahala untuk orang yang taat

dan menjatuhkan hukuman bagi pendosa merupakan suatu keadilan; dan Allah

Maha Adil, Dia memberikan pahala untuk orang yang taat dan menjatuhkan

hukuman bagi pendosa, dan mustahil Allah akan berbuat sebaliknya.

Keadilan Allah mengharuskan penciptaan manusia dengan diberi kuasa

dan kehendak selama ia terbebani kewajiban agama. Sehingga manusia mampu

menciptakan perbuatan-perbuatannya dan bertanggungjawab penuh atas

semuaperbuatannya, serta Allah tidak turut campur dalam segala tindakan

manusia.184

Mu‟tazilah cenderung memandang perbuatan Tuhan dari sudut

kepentingan dan kebaikan manusia, mereka mengatakan, bahwa masalah keadilan

erat hubungannya dengan hak. Keadilan diartikan memberi seseorang akan

haknya. Kata Tuhan adil mengandung arti bahwa segala perbuatan-Nya adalah

baik. Bahwa Ia tidak dapat berbuat buruk dan bahwa Ia tidak dapa mengabaikan

kewajiban-kewajiban-Nya terhadap manusia. Selanjutnya, keadilan juga

182

Umer Chapra, Masa Depan Ilmu Ekonomi: Sebuah Tinjauan Islam, (Jakarta: Gema Insani

Press, 2001), 57. 183

Murtadha Muthahhari, Keadilah Tuhan…, 23. 184

Ahmad Nahrawi Abdus Salam al-Indunisi, Ensiklopedia Imam Syafi‟i, diterjemahkan dari al-

Imam al-Syafi‟i „fi Mazhabihi al-Qadim wa al-Jadid, (Jakarta: Hikmah, 2008), Cet. I, 114.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

85

mengandung arti berbuat menurut semestinya serta sesuai dengan kepentingan

manusia dan memberi upah atau hukuman kepada manusia sejajar dengan corak

perbuatannya.185

Masalah keadilan186

ini dilihat dari sudut pandang manusia dan

mempunyai hubungan dengan hak dan kewajiban Tuhan. Bila al-„Adl

dihubungkan dengan hak berarti Tuhan bersifat baik, Tuhan tidak melupakan apa

yang wajib dikerjakan-Nya bagi manusia. Oleh karena itu Tuhan tidak bersifat

zhalim dalam memberikan hukuman, tidak meletakkan beban yang tak dapat

dipikul oleh manusia, dan memberikan upah kepada orang yang patuh pada-Nya,

serta memberi hukuman kepada orang yang menentang perintah-Nya.187

Bagi Ahlusunnah, sesuai dengan tendensi mereka untuk meninjau segala-

galanya dari sudut kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, keadilan diartikan

dengan menempatkan sesuatu pada tempat yang sebenarnya, yakni mempunyai

kekuasaan mutlak terhadap harta yang dimilikinya serta mempergunakannya

sesuai dengan kehendak dan pengetahuan pemilik. Keadilan mengandung arti

bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak terhadap makhluk-Nya dan dapat

berbuat sekehendak hati-Nya dalam kerajaan-Nya. Ketidakadilan berarti

menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya yaitu berkuasa mutlak terhadap hak

milik orang lain. Keadilan. Tuhan khusus dimaksudkan bagi kebijaksanaan Tuhan

185

Tsuroya Kiswati, Al-Juwaini: Peletak Dasar Teologi Rasional Dalam Islam, (Jakarta: Erlangga,

2007), 150. 186

Keadilan atau al-„Adil dalam teologi Mu‟tazilah mengandung dua makna. Pertama, keadilan

berarti perbuatan, maka setiap perbuatan baik yang dilakukan oleh pelakunya agar dapat

dimanfaatkan oleh orang lain. Dengan demikian, setiap perbuatan Allah dalam menciptakan

alam ini semuanya adil dalam arti perbuatan yang baik untuk dimanfaatkan. Kedua, keadilan

berarti pelaku perbuatan, berarti Allah tidak berbuat buruk atau jelek. Lihat Juhaya S. Praja,

Filsafat Hukum Islam, (Tasikmalaya: Lathifah Press, 2009), 75. 187

I. Nurol Aen, Relevansi Konsep al-Mushawwibat Dengan Dasar Teologi Mu‟tazilah (Studi

atas Pemikiran al-Qadhiy „Abd al-Jabbar), (Bandung: Gunung Djati Press, 1998), 54.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

86

menyiksa orang yang melanggar perintah-Nya.188

Asy‟ariyah menyatakan bahwa

Tuhan menciptakan perbuatan manusia dan manusia sendiri menjadi majbur

menghadapi persoalan yang rumit tentang keadilan.189

2) Keadilan dalam bentuk hubungan sesama makhluk

Keadilan yang harus diwujudkan dalam bentuk ini adalah refleksi dari

tugas kekhalifahan manusia di muka bumi. Manusia dituntut untuk saling

memperlakukan saudaranya dengan baik dan benar, penuh kasih sayang, saling

tolong menolong dan memiliki tenggang rasa, baik dalam kehidupan pribadi

maupun masyarakat. Tuntutan yang mendasar bagi manusia dalam masalah

kemasyarakatan adalah mewujudkan keseimbangan antara pemenuhan tuntutan

pribadi dan tuntutan kepentingan masyarakatannya atau kepentingan dan

kebutuhan bersama. Apabila seseorang membiarkan orang lain dalam kesusahan

dan tidak mengacuhkan kepentingan masyarakat, tetapi hanya mementingkan diri

sendiri maka sikap atau tindakan tersebut dapat dianggap sebagai suatu kezaliman.

Oleh karena itu, dalam hubungannya dengan sesama makhluk, maka

bentuk keadilan tersebut bisa termanivestasikan dalam kriteria sebagai berikut:

a. Keadilan dalam Pemerintahan; artinya berlaku adil dalam melaksanakan

kekuasaan menjamin kemantapan hukum yaitu menetapkan hukum di

antara manusia sesuai dengan ketentuan yang telah disahkan;

b. Keadilan dalam Peradilan. Seorang hakim wajib berlaku adil dan tidak

boleh berat sebelah, dengan memberikan :

1) kesempatan yang sama untuk menemuinya;

2) perhatian yang sama

3) tempat yang sama;

4) penetapan keputusan yang tidak berat sebelah.

188

Tsuroya Kiswati, Al-Juwaini: Peletak Dasar Teologi Rasional Dalam Islam, (Jakarta: Erlangga,

2007), 151. 189

Ibnu Rusy, Tujuh Perdebatan Utama Dalam Teologi Islam, (Jakarta: Erlangga, 2006), 57.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

87

c. Keadilan terhadap Semua Manusia. Berlaku adil terhadap semua orang

tanpa membeda-bedakan antara yang kuat dan yang lemah, kulit putih dan

hitam, Arab dan „ajam, Muslim dan non Muslim serta berkuasa dan rakyat.

Al-Qur'an melembagakan zakat untuk kesejahteraan masyarakat miskin.

Nabi, ketika ia datang ke Madinah, melembagakan sistem persaudaraan dimana

penduduk lokal bersama semua yang mereka miliki berbagi dengan para

pendatang dengan memberikan rumah, kekayaan dan sebagainya. Islam memiliki

penekanan yang luar biasa pada keadilan sosial dan ekonomi.190

Konsep Islam

tentang kehidupan, alam semesta dan manusia yang tercipta secara harmonis.

Allah telah menciptakan alam semesta, Dia Maha Tahu tentang keadaan manusia

secara sosial dan ekonomi. Oleh karena itu, Allah memberikan kerangka Islam

dimana kehidupan dapat berkembang dengan damai dan harmonis dengan

keadilan dan kesetaraan.191

Pemikiran dalam Islam tentang keadilan dari aspek sosio-politik yang

menyatakan bahwa keadilan seorang penguasa atau pejabat pemerintahan, dalam

segala sesuatu yang berkaitan dengan hak keuangan manusia, atau hak-hak yang

menjadi konsekuensi pekerjaannya akan membuat rakyatnya merasa aman dan

tenteram, meningkatkan etos kerja mereka, hingga meningkatkan dan

mempercepat laju pembangunan, memperbanyak harta benda dan kebaikan.192

Harta dan pekerjaan akan memperkuat negara dan mempertahankan

kesinambungan pemerintahan, sebaliknya tindakan yang aniaya terhadap harta

manusia atau penghinaan terhadap hak kepemilikan akan mebuat rakyat malas

190

Nimat Hafez Barazangi and Friends, Islamic Identity and the Struggle for Justice, (Florida:

University Press of Florida, 1996), 16. 191

Sayed Khatab, The Political Thought of Sayyid Qutb: The Teory of Jahiliyyah, (New York:

Routledge, 2006), 106. 192

Muhammad Dhiaduddin Rais, Teori Politik Islam…, 269.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

88

bekerja dan selanjutnya timbullah malaise ekonomi,193

karena mereka terkena

krisis kepercayaan. Kemudian terjadilah krisis ekonomi yang akan

menghancurkan pembangunan dan melemahkan negara.194

Keadilan merupakan

landasan pembangunan peradaban dan prinsip awal agama.195

Keadilan adalah

tujuan manusia dalam seluruh kepemimpinan dan pemerintahan, dan mereka yang

memegang suatu kepemimpinan dan bagi setiap Muslim.196

Keadilan sebagai suatu kewajiban bagi seorang muslim untuk

menegakkannya, baik pada tingkat individu maupun masyarakat dengan tujuan

menghapuskan semua bayangan ketidakadilan dari masyarakat, menciptakan

suatu keseimbangan dalam semua lini kehidupan dan membebaskannya dari

ektremitas dan ekses-ekses, sehingga memungkinkan semua sektor masyarakat

mendapatkan hak dan tanggung jawabnya.197

Keadilan sebagai hal yang penting

bagi kaum Muslim, bukan saja untuk menyambut seruan Islam kepada keadilan

sosial, melainkan juga untuk memahami sepenuhnya implikasinya yang

bermacam-macam.198

Di tengah peningkatan wakaf uang di kalangan masyarakat,

hendaknya dana yang dikumpulkan bermanfaat untuk meningkatkan keadilan

193

Malaise ekonomi dapat diartikan kelesuan ekonomi. Periode kelesuan ekonomi dan

pengangguran secara besar-besaran pada tahun 1929 hingga masa sebelum perang dunia II. Lihat

Ahmad Ifham Sholihin, Buku Pintar Ekonomi Syariah, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,

2010), 233. 194

Ibid., hal. 269. Al-Hurmuzan telah berkata kepada Umar ibn al-Khaththab ketika melihat Umar

tidur telentang di kebun, Kamu telah berlaku adil, merasa tenang, maka bisa tidur. Tidak ada

yang dapat cepat menghancurkan negara dan paling cepat merusak nurani rakyat kecuali

kelaliman. Karena tidak ada yang bisa mengatasinya dan memberhentikan tujuannya, semuanya

adalah kerusakan yang semakin lama semakin bertimbun menjadi besar. Sebagian hakim (bijak)

mengatakan, Keadilan adalah timbangan Allah yang telah diletakkan bagi makhluk-Nya dan

untuk mengukur kebenaran perbuatannya. 195

Ali Abdul Halim Mahmud, Fiqh Responsibilitas, Tanggung Jawab Muslim, 243. 196

Al-Nasa‟i meriwayatkan dengan sanad dari Abu Hurairah r.a., ia mengatakan bahwa Rasulullah

SAW bersabda; Imam itu adalah perisai yang dipertahankan (dibela) ia di bekalangnya, dan

berlindungdengannya, maka jika ia memerintah dengan takwa dan adil, maka itu adalah pahala

baginya, dan jika ia memerintah bukan dengannya, maka ia mendapatkan dosanya. Lihat

Muslim binHajjaj, Shohih Muslim…, 1296. 197

Umer Chapra, Masa Depan Ilmu Ekonomi…, 59. 198

Ibid.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

89

sosial.199

Konsep keadilan sosial dimaknai sebagai proses yang mengantarkan

masyarakat mencapai distribusi kekuasaan yang lebih setara dalam bidang politik,

ekonomi dan sosial.200

b. Azas-Azas Keadilan

Adapun azas-azas dalam menegakkan keadilan sebenarnya sangat banyak,

namun secara garis besar adalah sebagai berikut:

1. Kebebasan jiwa yang mutlak;

2. Persamaan manusia yang sempurna;

3. Jaminan sosial yang kuat.201

Dengan ketiga azas ini, jelas kelihatan bahwa manusia sebagai makhluk

ciptaan Tuhan yang dibekali dengan akal mempunyai kebebasan untuk memilih

sesuai dengan konsep dasar dan mempunyai posisi dan status yang sama dan akan

melahirkan suatu dinamika atau kekuatan yang dibentuk oleh nilai-nilai dasar

yang sesuai dengan konsep Islam. Kebebasan jiwa adalah kebebasan untuk hidup

dan mengekspresikan diri secara sempurna sebagai manusia yang memiliki budi,

rasa dan karsa. Setiap manusia bebas berkreativitas secara positif, yakni sejauh

tidak merusak hak-hak dan kebebasan orang lain. Di sinilah keadilan menjadi

amanat bersama umat manusia yang harus dijunjung tinggi oleh setiap individu.

Keadilan harus dilihat sebagai milik bersama dan atas dasar kebebasan yang

ditegakkan secara bersama-sama pula.

199

Azyumardi Azra, Dari Harvard Sampai Makkah, (Jakarta: Penerbit Republika, 2005), 18. 200

Hilman Latief, Melayani Umat: Filantropi Islam dan Ideologi Kesejahteraan Kaum

Modernis, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010), 37. 201

Abu A‟la al-Maududi, Prinsip-Prinsip Islam, (Bandung: al-Ma‟arif. al-Mishriy, 1983), 141.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

90

Keadilan sebagai hasil pokok tauhid atau keimanan kepada Allah SWT.

Karena itu, berbuat adil kepada apa pun dan siapa pun merupakan keharusan bagi

siapa saja dan kezaliman tidak boleh ditimpakan kepada apa pun dan siapa pun.202

Sebagian dari ajaran al-Qur'an adalah menegakkan keadilan dengan menggunakan

kekuasaan. Oleh karena itu, penegasan ajaran agama bisa dilakukan dengan

mushaf dan kekuasaan.203

Tidak perlu diragukan dan diperdebatkan lagi bahwa

Allah menyuruh berbuat adil atau Dia adalah Pelaku keadilan.204

c. Sarana Keadilan

Keadilan dalam Islam tidak hanya mencakup satu aspek kehidupan

manusia saja, tetapi semua aspek yang dibangun di atas tiang pokok yaitu hati

nurani yang ada dalam diri manusia (dhamir) dan pelaksanaan syari‟at secara

menyeluruh di lingkungan masyarakat. Kemudian Islam memadukan kekuatan

yang satu dengan yang lainnya sehingga dapat mengalir dalam hati yang dimiliki

manusia.205

Sarana yang diperlukan dalam mewujudkan keadilan itu pada garis

besarnya terdiri dari dua aspek yaitu :

1) Syari‟at, sebagai kesatuan konsepsional atau gagasan teoritis.;

2) Manusia, dengan hati nurani dan sikap mental (persepsinya) yang benar-

benar siap untuk melaksanakan konsepsi yang tersebut di atas.

Keadilan bermakna kesamaan (equality), untuk memperoleh kebebasan

dan kesempatan.206

Keadilan hukum menyangkut keseluruhan hukum, sehingga

dapat dikatakan bahwa keadilan distributif dan keadilan komutatif terkandung

202

Umer Chapra, Masa Depan Ilmu Ekonomi…, 57. 203

Ibnu Taimiyah, al-Siya>sah al-Syariyyah fi Isha>h al-Ra‟yi wa al-Ra‟iyyah, (Mesir: Da>r al-Kita>b

al-Arabi>, 1979), 26. 204

Murtadha Muthahhari, Keadilan Tuhan: Asas Pandangan Dunia Islam, (Jakarta: Mizan

Pustaka, 2009), 51. 205

Sayyid Qutub, Keadilan Sosial Dalam Islam, (Bandung: Pustaka, 1989), 200. 206

Ibid…, 46.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

91

dalam keadilan hukum. Di sinilah butuh keadilan seorang hakim meneliti berkas-

berkas yang masuk. Peganglah prinsip takwa dengan pakaian dan lidah yang

takwa, sebab hakim Muslim selalu dibantu oleh dua orang malaikat keadilan.207

Keadilan adalah bagian dari bukti ketakwaan tertinggi kepada Tuhan.208

Allah

menyuruh kepada umat Islam untuk menegakkan keadilan khususnya keadilan

sosial dalam bentuk pemerataan kesejahteraan dan kepedulian akan penderitaan

kaum fakir miskin.209

Sangat jelas Islam menaruh perhatian terhadap orang-orang

lemah (mustadh‟afiin) dan sebaliknya, kehancuran akan ditimpakan kepada kaum

muthrafiin, mereka yang kaya dan hidup bermewah-mewewahan.210

Keadilan

merupakan kemampuan menghormati semua orang tanpa memandang posisi

mereka dalam hidup atau relasi, memberikan setiap orang pelayanan yang

sama.211

Keadilan itu tidak selalu dapat diperoleh dengan mudah, namun harus

terus diupayakan agar dapat terwujud.212

Tidak mungkin suatu negara dapat membangun tanpa keadilan.

Penindasan akan mengakhiri pembangunan dan keberakhiran pembangunan akan

dicerminkan dalam kelumpuhan dan kehancuran negara. Penindasan memiliki

konotasi yang lebih luas. Siapa pun yan merampas hak milik orang lain,

memaksanya bekerja berlawanan dengan kemauannya, mendakwa mereka secara

207

Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta: Kanisius, 2011), Cet.

XVIII, 43. 208

Rasulullah SAW. bersabda: “Tiada seorang hakim dari kalangan hakim kaum Muslimin kecuali

selalu dibarengi dengan dua malaikat yang selalu membimbingnya ke arah masalah yangbenar

selama ia sendiri tidak menginginkan perkara selain yang benar itu. Bilamana ia sengaja

menghendaki perkara selain yang benar, maka kedua malaikat itu akan pergi darinya dan

menyerahkan dia ke hawa nafsunya sendiri”, (HR. Imam Thabrani melalui Imran r.a.). Lihat

Nasiruddin, Kisah Keadilan Para Pemimpin Islam, (Jakarta: Penerbit Republika, t.t.), 6. 209

Mohammad Monib, Islam dan Hak Asasi Manusia dalam Pandangan Nucholish Madjid,

(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), 198. 210

Ibid…, 200. 211

William J. Byron, The Power of Principles, (Yogyakarta: Kanisius, 2010), 122. 212

Maria S. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan: Antara Regulasi dan Implementasi, (Jakarta:

Kompas Media Nusantara, 2001), 176.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

92

tidak benar, atau menimpakan beban pada mereka tanpa ada justifikasi dari

syariat, ia adalahseorang penindas.213

Pembangunan tidak dapat dicapai, kecuali

dengan keadilan, dan keadilan merupakan tolak ukur yang dipakai Allah untuk

mengevaluasi manusia.214

Keadilan sebagai suatu isi pokok bagi semua aspek

kehidupan manusia dalam kerangka ajaran Islam.215

4. Keadilan dalam Pandangan Filosof Islam

Dalam perspektif Barat, hukum dan agama dipandang dua entitas yang

berbeda dan tidak ada keterkaitan satu dengan yang lainnya. Hal ini tentunya

berbeda ketika memahami hakikat hukum Islam. Negara dan hukum Islam

merupakan produk atau bagian (derivasi) dari Agama Islam itu sendiri. Ketiganya

adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan sebagai derivasi dari agama

Islam itu sendiri.216

Hukum Islam dipandang oleh para ahli sebagai hukum yang

berwatak ganda. Satu sisi dipandang abadi (tsawâbit ), sakral sebagai produk

Tuhan (wahyu).217

Namun, di sisi lain hukum Islam juga berwatak profan

(mutaghayyira>t) atau dinamis. Artinya, pada sisi lain hukum Islam juga

merupakan hasil kreasi manusia (ijtiha>d) dalam merespons dinamika kehidupan

manusia agar hukum Islam mampu menjawab perubahan.218

1). Pemikiran Abdullah Ahmad An-Naiem Tentang Keadilan

213

Umer Chapra, Masa Depan Ilmu Ekonomi…, 58. 214

M. Suyanto, 11 Rahasia Memulai Bisnis Tanpa Uang, 128. 215

Sayyid Quthb, Al-„Ada>lah al-Ijtima>iyyah fi al-Isla>m, (1949). Lihat juga Umer Chapra, Masa

Depan Ilmu Ekonomi…, 59. 216

Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari

Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, (Jakarta:

Bulan Bintang, 1992), 38. 217

Noel J. Coulson, Conflicts and Tensions in Islamic Jurisprudence, (Chicago: The University of

Chicago Press, 1969), 3. 218

Yu>suf al-Qaradha>wi>, al-Madkhal lî Dira>sah al-Syarî’ah, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2001), 22.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

93

Pembaharuan di dalam hukum Islam merupakan sebuah keniscayaan.

Gelora pembaharuan tersebut terus berjalan hingga kini. Salah satu pembaru

hukum Islam dari sarjana Muslim adalah Abdullah Ahmed An-Na‟im. Ia

menggagas pembaruannya dengan mengkritik teori dan praktik hukum Islam

tradisional (syariah historis). Khususnya masalah hukum perdata, hukum pidana,

hukum internasional, konstitusi Negara, hukum tata negara dan hak asasi

manusia.219

Pada dasarnya landasan berpijak dalam pemikiran An-Na‟im bertitik

tolak dari keharusan berlakunya hukum secara universal. Islam yang diagung-

agungkan sebagai agama universal, dalam kenyataannya tidak bisa diaplikasikan

secara universal.

Jika kelompok ulama perintis, seperti Umar bin Khattab melakukannya,

maka terbuka juga kesempatan bagi kaum Muslim kontemporer yang memiliki

kemampuan untuk melakukan formulasi ushul al-fiqh dan berhak melakukan

ijtihad sekalipun menyangkut masalah yang sudah diatur oleh teks al-Quran dan

Sunnah secara jelas dan rinci, sepanjang hasil ijtihad itu sesuai dengan esensi

tujuan risalah Islam.220

Ini juga terlihat pada perdebatan antara Abû Hanîfah yang

rasionalis dengan metode istihsa>n-nya dengan Imam Syâfiî yang tekstualis dengan

qiyâs-nya. Pada masa modern dilanjutkan dengan Hasan al-Turabi yang

melakukan pembaruan terhadap us}u>l al-fiqh tradisional.221

Perdebatan antara akal

dan wahyu dalam hukum Islam terus berlangsung. Berangkat dari realitas di atas,

219

Abdullah Ahmed al-Na‟im, Dekonstruksi Syariah: Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi

Manusia dan Hubungan Internasional dalam Islam, Ahmad Suaedy dan Amiruddin Arrani

(pent.), (Yogyakarta: LKiS, 1997). 220

Ibid…, 56-57. 221

Hasan al-Turabi, Fiqh Demokratis; dari Tradisionalisme Kolektif Menuju Modernisme Populis,

Abdul Haris dan ZaimulAm (pent.), (Bandung: Arasy, 2003), 51-73.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

94

maka An-Na‟im sebagai salah satu pembaru hukum Islam berkebangsaan Sudan

terpanggil untuk melakukan kritik secara internal dan eksternal.

Al-Na‟im telah berupaya melakukan pembaruan hukum Islam sejak di

Sudan. Tepatnya pada masa gurunya Mahmud Muhammad Tahâ. Al-Na‟im

terlibat langsung terhadap penyebaran ide dan gagasan pembaruan hukum Islam

yang diusung oleh Tahâ. Namun aktivitas ini terhenti ketika gurunya, Tahâ beserta

50 pengikutnya di penjara oleh rezim Ja‟far Numeiri. Termasuk al-Na‟im yang

turut dijebloskan selama 2,5 tahun. Mereka ditahan tanpa proses pengadilan

dengan dianggap melawan kebijakan pemerintah Numeiri yang memberlakukan

hukum Islam tradisional. Pada saat gurunya Tahâ dihukum mati pada rezim

Numeiri, akhir tahun 1984 al-Na‟im keluar dari Sudan. Hingga sekarang ia aktif

memberikan kuliah hukum Islam di berbagai negara termasuk di Indonesia.

Metode Pembaruan al-Na’im

Kebutuhan mendesak yang dihadapi umat Islam dewasa ini, menurut al-

Na‟im, adalah memperbarui syariah historis. Al-Na‟im memahami syariah dalam

pengertian yang lebih luas. Menurutnya, syariah tidak hanya hukum Islam. Karena

syariah harus meliputi norma etik dan sosial, teori politik dan konstitusional, juga

aturan-aturan hukum mengenai hukum perdata dan hukum publik. Karena itu,

menurut al-Na‟im, syariah adalah formulasi historis dan sistem menyeluruh untuk

membedakan dari reformasi sebuah hukum modern yang mungkin dilakukan.222

Dalam memahami syariah, al-Na‟im menyatakan bahwa syariah pada dasar­nya

222

Abdullah Ahmed al-Na‟im, Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights and

International Law, (Syracuse:Syracuse University Press, 1990), 20, 31 dan 32. Lihat juga

Dekonstruksi Syariah: Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia dan Hubungan

Internasional dalam Islam, Ahmad Suaedy dan Amiruddin Arrani (pent.), (Yogyakarta: LKiS,

1997), 27.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

95

merupakan hasil penafsiran yang berjalan, baik secara lambat, gradual maupun

spontan terhadap Alquran, dan juga hasil pengumpulan, verifikasi dan penafsiran

terhadap Sunnah selama tiga abad pertama.223

Al-Na‟im juga memasukan unsur-

unsur tafsir, ijtihad, fatwa ulama dan yurisprudensi sebagai bagian dari syariah.

Sebagaimana ungkapannya:

“Isi (pesan) Alquran dan Sunnah melahirkan dua level, yang pertama

merupakan periode awal Makkah, dan bagian berikutnya periode

Madinah. Pesan Makkah sebenarnya merupakan pesan abadi dan

fundamental dalam Islam, yang menekankan pemeliharaan martabat

seluruh umat manusia tanpa membedakan jenis kelamin, ras, keyakinan

keagamaan dan lainnya”.224

Karenanya al-Na‟im menggugat sakralisasi hasil pemahaman syariah

historis, terlebih ia menilai syariah, sudah tidak lagi memadai dan tidak adil,

padahal syariah dipandang umat Islam merupakan bagian dari keimanan.225

Al-

Na‟im lebih berpijak pada pemikiran postmodernisme. Ia menolak segala bentuk

otoritas dan menegaskan akan relatifitas syariah. Syariah dipandang sebagai

produk pikiran manusia yang diproyeksikan dari al-Quran dan Sunnah. Karena itu

syariah tidak bisa lepas dari pengaruh ruang, waktu, konteks historis, sosial dan

politik penafsirannya. Dengan demikian, syariah menjadi tidak suci terlebih kekal

dan representatif untuk segala ruang dan waktu. Al-Na‟immengandaikan betapa

manusia mempunyai kewenangan bebas, kemampuan mengakses, memahami dan

bergumul dengan al-Quran dan Sunnah. Gagasan Al-Na‟imsejatinya tidak jauh

berbeda dengan para pemikir sekuler lainnya semisal Ashmawi, Nasr Hamîd,

Syahrûr, Arkoun dan sebagainya.

223

Muhammad Dahlan, EpistemologiHukum Islam al-Na‟im, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008),

86. 224

Abdullah Ahmed al-Na‟im…, 52. 225

Ibid…, xiv.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

96

Al-Na‟im juga menyadari bahwa tidak mungkin mayoritas umat Islam

secara terus menerus menerima sekularisasi dalam kehidupan publik mereka

karena kaum sekularis modern. Di mana elit yang memaksakan pembaruan

mereka melalui kontrol struktur kekuasaan. Akibatnya masyarakat muslim yang

akhirnya mengetahui prinsip-prinsip syariah hanya di permukaan saja. Dengan

demikian maka pendekatan yang lebih baik menurut Al-Na‟im dengan

mempertimbangkan hukum publik syariah dan pengalaman historis umat Islam

dengan standar yang berlaku pada waktu syariah diterapkan dan berusaha

mengembangkan prinsip-prinsip Islam alternatif bagi hukum publik untuk

penerapan modern.226

Pemberlakuan syariah historis untuk zaman modern ini

hanya akan membawa kepada kelemahan hukum Islam dalam pandangan dunia.

Sebaliknya, ketentuan syariah mesti dipahami sesuai dengan konteks modern.

Oleh karena itu penafsiran ulang, bahkan penafsiran total, ketentuan-ketentuan

syariah dalam al-Quran dan Sunnah merupakan sebuah keniscayaan.

b. Teori Nasakh Terbalik al-Na’im

Dalam melakukan hukum publik Islam, Al-Na‟imberangkat dan

menggunakan teori gurunya Mahmoud Mohammed Tahâ yang dikenal dengan

teori nasakh atau teori “nasakh terbalik”. Teori ini sejatinya merupakan bentuk

upaya rekonstruksi dari metode nasakh227

yang sudah mapan dalam kajian us}u>l al-

226

Ibid…, 44. 227

Bahwasanya dalam al-Quran ada ayat yang hukum­nya muncul belakangan, maksudnya ayat

turunnya terlebih dahulu, kemudian hukum-hukum syariah dan fiqh yang terkandung di

dalamnya baru bisa diterapkan belakangan. Sehingga melahirkan metode nasakh. Termasuk

kesepakatan bahwa banyak ayat-ayat makkiyyah yang dihapus oleh ayat-ayat madâniyyah.

Terkait kategorisasi di atas, ada tiga pandangan ulama ushûl fiqh ketika mendiskusikan ayat-ayat

Makkiyyah dan Madâniyyah dengan pandangan sebagai berikut. Pertama, sebagian ulama

berpendapat bahwa ayat-ayat Makkiyah diturunkan sebelum Nabi Hijrah, sedang ayat-ayat

Madâniyyah diturunkan sesudah Hijrah. Kedua, sebagian ulama berpandangan bahwa ayat-ayat

Makkiyah adalah ayat-ayat yang diturunkan di kota Makkah, meski Nabi sudah hijrah. Ketiga,

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

97

fiqh. Karenanya, perlu interpretasi yang memadai agar semangat yang

dikandungnya dapat ditangkap.228

Sejatinya kajian mengenai teori nasakh sudah

lama dilakukan dalam keilmuan us}u>l al-fiqh tradisional. Mayoritas ulama us}u>l al-

fiqh membagi kajian nasakh menjaditiga kategori:

a) Dihapus teksnya namun hukumnya tetap;

b) Dihapus baik teks maupun hukumnya; dan

c) Dihapus hukum­nya namun teksnya tetap.229

Terkait dengan teorinya, al-Na‟im menyoroti pengertian yang ketiga,

yakni naskh al-h}ukm du>na tila>wah. Ketika menafsirkan ayat 106 Surat al-Baqarah

(2) yang berbunyi mâ nansakh min âyatin…, Al-Na‟immengikuti jejak gurunya

Tahâ, bahwa telah dihapuskan beberapa teks pra-Islam (risalah sebelum

Muhammad). Sedangkan kata-kata nunsihâ dimaknai dengan penundaan

pelaksanaan atau penerapan ayat tersebut. Selanjutnya, ungkapan na‟ti mitslihâ

aw bi khayrin minhâ ditafsirkan bahwa Allah akan mendatangkan ayat yang lebih

dekat kepada pemahaman masyarakat dan lebih sesuai dengan situasi mereka

ketimbang diartikan dengan makna ayat yang ditunda. Maksud utama dari “ayat

yang sepadan” adalah mengembalikan ayat yang sama ketika waktu

memungkinkan untuk menerapkannya. Dengan demikian, maka penghapusan

tersebut seakan-akan sesuai dengan kebutuhan situasi, dan ditunda sampai waktu

sebagian lagi ulama menentukan dari sisi isi dan tujuan ayat-ayat tersebut. Biasanya ayat-ayat

Makkiyyah diawali dengan redaksi “yâayyuha al-nas” sedangkan ayat-ayat Madâniyyah diawali

dengan yâ ayyuhal ladzîna âmanû. Lihat Manna al-Qathhan, Mabâhits fi „Ulum al-Qur‟an, (Ttp.:

Mansyûrat al-„Ashr al-Hadîts, t..t.), 56. 228

A. Luthfi Assyaukanie, Tipologi dan Wacana Pemikiran Arab Kontemporer, dalam Jurnal

Pemikiran Islam Paramadina, Vol. 1, No. 1, 1998. 229

Jalâluddin al-Suyûthi, al-Itqân fi Ulûm al-Qur‟ân, (Kairo: Dâr al-Turâts, 1967), 67-68.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

98

yang tepat bisa diterapkan hukum masing-masing, baik yang menjadi nâsikh

maupun mansûkh.230

Karena itu, metode yang ditempuh Al-Na‟im adalah, berdasar pada

bangunan periodesasi risalah yang dikenal periode Mekkah dan Madînah yang

harus dikaji ulang. Tanpa adanya pembedaan jenis kelamin, suku dan ras,

keyakinan keagamaan dan lain sebagainya.231

Pesan-pesan Mekkah diindikasikan

dengan adanya penegasan persamaaan antara laki-laki dan perempuan dan

kebebasan penuh untuk menentukan keimanan dalam beragama.232

Menurut al-

Na‟im, sebagaimana dikutip Syaukani, ayat-ayat yang lahir pada periode Mekkah

mempunyai karakteristik yang dibutuhkan umat Islam saat ini. Metode

reaktualisasi ini melalui jalur na>sikh wamansu>kh yang dalam tradisi keilmuan

us}u>l al-fiqh diakui sebagai jalan tengahuntuk memisah ketegangan antara dua atau

lebih ayat yang seakan-akan kontradiktif. Dengan demikian, maka reaktualisasi

ayat-ayat periode Mekkah sebenarnya didasarkan pada kebutuhan kondisi dan

situasi yang tidak lagi relevan dengan periode Madînah. Karenanya, ayat-ayat

periode Madinah tersebut di-mansukh oleh ayat-ayat periode Mekkah.233

Metodologi ini kemudian disebut evolusi syariat yaitu; tafsir modern dan

evolusioner terhadap al-Qur‟an. Secara ringkas evolusi syariat bisa dijelaskan

sebagai berikut:

230

Abdullah Ahmed al-Na‟im, Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights and

International Law, 58-60. Lihat juga Abdullah Ahmed al-Na‟im, Dekonstruksi Syariah: Wacana

Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia dan Hubungan Internasional dalam Islam, Ahmad Suaedy

dan Amiruddin Arrani (pent.), (Yogyakarta: LKiS, 1997). 231

Lihat Q.s. al-Baqarah [2]: 256, Q.s. Ali Imrân [3]: 64, Q.s. Yunus [10]: 99, dan al-Kahfi [18]:

29, tentang kebebasan beragama Q.s. al-Nisâ[ 4]: 1 dan al-Isrâ [17]: 70 tentang persamaan

martabat manusia tanpa menghiraukan agama atau jenis kelamin. 232

Abdullah Ahmed al-Na‟im…, 54. 233

Imam Syaukani, Rekontsruksi Epistemologi Hukum Islam Indonesia dan Relevansinya

Terhadap Pemabagunan Hukum Nasional, (Jakarta: Raja Grafindo Persada 2006), 142-44.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

99

a) Ia adalah suatu pengujian secara terbuka terhadap isi al-Quran dan as-

Sunnah yang melahirkan dua tingkat atau tahap risalah Islam, yaitu

periode awal Mekkah dan berikutnya Madinah;

b) Pesan Makkah bersifat abadi, fundamental dan universal; sedang pesan

Madinah sebaliknya;

c) Syariat historis menjadikan ayat-ayat Madinah sebagai basis legislasi

syariat dengan menasakh (menunda pelaksanaan) ayat-ayat Mekkah yang

belum bisa diaplikasikan;

d) Ayat-ayat Madinah saat ini tidak bisa diaplikasikan lagi karena

bertentangan dengan nilai-nilai modern;

e) Ayat-ayat Mekkah harus difungsikan kembali sebagai basis legislasi

syariat yang baru dengan menasakh ayat-ayat Madinah;

f) Di atas basis legislasi baru itu dibangun versi hukum publik Islam yang

sesuai dengan nilai-nilai modern yang tidak lain adalah pencapaian

masyarakat Barat saat ini.234

Dengan munculnya teori baru nasakh yang bangun oleh al-Na‟im, maka

hukum Islam akan lebih mudah untuk dikembangkan dalam konteks kekinian.

Sebab akan semakin jelas ayat-ayat mana saja yang akan digunakan dalam

konteks modern. Dari sini juga nampak bahwa sejatinya gagasan Al-Na‟imtetap

ingin mempunyai landasan yang otentik dalam melakukan pembaruannya, yakni

dengan tetap menjadikan Alquran sebagai korpus teks suci yang murni dan

tertutup. Dalam rangka upaya aktualisasi hukum Islam, Al-Na‟imberangkat dari

korpus tafsir (hasil kegiatan menafsirkan korpus pertama). Al-Na‟im tidak

mempertentangkan ayat-ayat yang ada, namun hanya mengkompromikannya

dengan konteks sosial.235

234

Mahmoud Mohamed Taha, Syariah Demokratik, judul asli, The Second Message of Islam,

terjemahan Nur Rachman, (Surabaya, Lembaga Studi Agama dan Demokrasi, 1996), cet. 1, 179-

189. 235

Teori nasakh al-Na‟im mirip dengan pandangan al-Marâghi ketika menafsirkan Surat al-

Baqarah [2]: 106. Menurut al-Marâghi, bahwa hukum diundangkan untuk kepentingan manusia

dan kepentingan manusia dapat berbeda, karena perbedaan waktu, lingkungan dan situasi. Jika

suatu hukum diundangkan dan pada waktu itu dirasakan kebutuhan akan adanya hukum itu,

kemudian kebutuhan itu tidak ada lagi, maka merupakan tindakan bijaksana dengan langkah

menghapus hukum tersebut dan menggantikannya dengan hukum yang lebih relevan dengan

kebutuhan. Lihat Tafsîr al-Marâghi, Volume I, (Bayrût: Dâr al-Fikr, t.t.), 187. Bandingkan juga

dengan tafsirnya Rasyîd Ridhâ dengan pandangannya terkait nasakh dalam Alquran. Ia

mengatakan bahwa sejatinya hukum itu berbeda karena perbedaan waktu, tempat dan situasi.

Apabila hukum yang diberlakukan pada saat itu karena sebuah kebutuhan, dan setelah kebutuhan

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

100

Dengan teori ini, nampaknya Al-Na‟imjuga melihat akan pentingnya

kesesuaian antara ayat dengan konteks kultural masyarakat. Dalam bahasa al-

Sya>t}ibi> dalam maqa>s}id al-syari>’ah adalah menegakan kemaslahatan, yakni selain

melihat qashd al-sya>ri’ (tujuan Allah) juga harus mempertimbangkan qashd al-

mukallaf. Dengan bahasa yang lebih lugas,suatu perintah yang menjadi

pembebanan (taklîf) harus dipahami oleh semua subjeknya, baik secara

kebahasaan maupun kultural. Sehingga pembebanan tersebut senantiasa selaras

dengan kemampuan (qudrah) mukallaf, semisal mengurangi kesulitan

(masyaqqah) dan menarik kemaslahatan.236

Menurut al-Na‟im pendekatan ini perlu dilakukan karena pesan-pesan

fundamental Islam itu terkandung dalam ayat-ayat makkiyyah, bukan

madaniyyah. Adapun praktek hukum dan politik yang ditetapkan dalam al-Qur‟an

dan Sunnah periode Madinah, menurutnya, tidak merefleksikan pesan ayat-ayat

makkiyyah. Berdasarkan hal itu tentu saja konsep al-Na‟im ini perlu dikritisi. Di

antaranya konsep nasakh bagi ulama klasik adalah jalan terakhir ketika ayat-ayat

itu kelihatan bertentangan (ta‟arudh) dan tidak bisa dikompromikan dengan jalan

lain. Jadi tidak bisa langsung dan asal menasakh ayat-ayat Makkiyyah dengan

ayat-ayat Madaniyyah. Apalagi model konsep nasakh-nya al-Na‟im yang

membalik proses nasakh, ayat yang turun lebih awal (makkiyyah) menasakh ayat

yang turun belakangan (madaniyyah). Ide-ide pembaruan yang dibawa oleh al-

Na‟im pada akhirnya berkesimpulan bahwa hukum Islam dalam segala

tersebut tidak dibutuhkan lagi, maka akan diganti dengan hukum yang lebih aplikatif dengan

kebutuhan waktu yang belakangan. Sayyid Rasyîd Ridhâ, Tafsîr al-Manâr, Volume I, (Bayrût:

Dâr al-Fikr, t.t.), 414. 236

Abu> Isha>q Ibra>hi>m ibn Mu>sa> al-Sya>t}ibi>, al-Muwa>faqa>t fi> Us}u>l al-Syari>’ah, Jilid II, (Beiru>t: Da>r

al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.), 20.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

101

dimensinya tidak dapat diubah hanya dalam bentuk reformasi hukum, tetapi harus

lebih jauh dari itu, yaitu dekonstruksi (merombak total) ketentuan syariah yang

sudah baku.

2. Filsafat Etika Mulla Shadra antara Paradigma Mistik dan Teologi

Persoalan etika atau moralitas selalu menarik untuk dikaji kapanpun atau

dalam kontek apapun. Tulisan ini membicarakan seorang filosof Muslim yang

memiliki kepedulian terhadap etika atau moralitas manusia, yaitu Mulla Shadra.

Filsafat moral yang ditawarkan oleh Mulla Shadra sering disebut dengan istilah

al-Hikmah al-Muta‟aliyah. Secara epistemologis al-Hikmah al-Muta‟aliyah

didasarkan pada tiga prinsip, yaitu pertama; intuisi intelektual (dzawaq atau

isyraaq), kedua; pembuktian rasional („aql atau istidlal), dan ketiga; syariat.

Dengan demikian, hikmah mengandung arti kebijaksanaan (wisdom) yang

diperoleh melalui pencerahan rohaniyah atau intuisi intelektual dan disajikan

dalam bentuk yang rasional dengan menggunakan argumen-argumen rasional.

Hikmah ini bukan hanya memberikan pencerahan kognitif, tetapi juga realisasi

yang mengubah wujud penerima pencerahan itu merealisasikan pengetahuan

sehingga terjadi transformasi wujud hanya dapat dicapai dengan mengikuti

syariat.

3. Abu> Mans}u>r al-Matu>ridi>

Sebagai seorang teolog mumpuni, al-Maturidi memiliki pandangan

tersendiri mengenai keadilan Tuhan. Layaknya teolog Muslim kebanyakan, dia

meyakini Tuhan adalah Maha Bijaksana dan karenanya segala kehendak yang

menjadi pilihanNya tidak akan pernah berbenturan dengan prinsip-prinsip

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

102

fundamental keadilan. Pada saat yang sama, dia juga dikatakan sebagai teolog

Sunni pertama yang menyuarakan teori pengetahuan dalam teologi Islam di mana

dalam penyebutan sumber pengetahuan itu digunakan istilah sam (tradisi) dan „aql

(akal).237

Padahal jika dibaca secara seksama, konsepsi al-Maturidi tentang teologi

memiliki keunikan serta kharakteristik tersendiri, seperti ketika ia

mengartikulasikan pemikiran-pemikiran yang tentunya berkaitan dengan

persoalan utama ketuhanan (teologi).

Sebuah masalah yang mulanya dimunculkan kalangan Mu‟tazilah238

ketika

mempertanyakan status (kedudukan) pelaku dosa besar apakah tetap mukmin

ataukah telah kafir yang pada gilirannya melahirkan ragam faksi teologi (firqah)

di tubuh umat Islam. Sebagaimana Murji‟ah dan Asy‟ariyah, Qadariyah dan

Jabariyah, Maturidiyah turut andil dalam membincangkan masalah ini, termasuk

mengenai ada tidaknya hubungan antara perbuatan manusia dan kehendak mutlak

Tuhan. Sejalannya pandangan al-Maturidi dengan kalangan Mu‟tazilah dalam hal

perbuatan manusia atau bahkan lebih dekat dengan pendapat kelompok

Asy‟ariyah mengenai sifat-sifat Tuhan, menjadi semacam indikator penting

bagaimana al-Maturidi memiliki posisi tersendiri di wilayah pemikiran kalam.

Karenanya, menjadi wajar jika Harun menyebut bahwa al-Maturidi tidak

sepenuhnya bersifat Asy‟ariyah atau menjadi lawan bagi Mu‟tazilah, tetapi berada

pada posisi di antara keduanya (pertengahan).239

Dia tidak selalu condong kepada

Mu‟tazilah, juga tidak pula selamanya mengaminkan pandangan-pandangan

Asy‟ariyah.

237

Masturin, Khazanah Intelektual…, 23. 238

Toshihiko Izutsu, God and Man in the Qur‟an: Semantics of the Qur‟anics Welthanschauung,

Kuala Lumpur: Islamic Book Trust. 2008. 239

Harun Nasution…, 34.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

103

Sekalipun pada gilirannya paham keagamaan ini (Maturidiyah) terbelah

menjadi dua haluan, yakni aliran Maturidiyah Bukhara dan Maturidiyah

Samarqand, hal itu tidak lantas menjadikan al-Maturidi sebagai pribadi memiliki

dualisme pandangan, terutama berkaitan dengan persoalan keadilan Tuhan.

Karenanya, menjadi penting untuk mengkonsepsikan pemikiran utuhnya

mengenai hal ini. Selain berupaya mendapatkan kemurnian pandangan dari al-

Maturidi sendiri, usaha yang demikian juga dalam rangka menempatkan al-

Maturidi pada posisi sejajar dengan al-Asy‟ari di ranah teologi. Jika ditelusuri

akar historis (genealogi) nya, sejatinya persoalan dimaksud menjadi di antara

agenda terpenting dari misi kenabian Muhammad s.a.w. Bahkan, jika boleh

dikatakan, merupakan esensi dari substansi utama Islam sendiri. Ini karena tujuan

dari diturunkannya Islam sebagai kiblat pemikiran dan keimanan manusia adalah

dalam rangka menciptakan umat terbaik (khairu ummatin) yang selain didasarkan

pada prinsip ke-Esa-an Tuhan (tauhid), juga berasaskan pada nilai kesetaraan dan

keadilan.240

Konsep keadilan Tuhan al-Maturidi didasarkan pada keyakinan bahwa

Tuhan Maha Adil dan Maha Bijaksana yang dapat dibuktikan lewat alam semesta.

Keadilan-Nya menurut al-Maturidi, adalah dengan tidak dimonopolinya perbuatan

di mana Dia memberi kebebasan berkehendak (masyi‟ah) kepada manusia dalam

menentukan pilihan atas perbuatannya. Adanya ruang memilih inilahyang

menjadikan wajar jika manusiaakan dikenai pertanggung jawaban: Sebuah

penilaian atas penggunaan daya (istita‟a) Tuhan pada dirinya. Sekalipun

demikian, kebebasan dimaksud bukan tanpa batasan. Manusia pada kodratnya

240

Karen Armstrong, 2002. Islam: A Short History, New York: Modern Library Paperback

Edition.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

104

tetaplah memiliki keterbutuhan akan Tuhan yang disebabkan keterbatasan

kemampuannya. Kenyataan ini dalam konsepsi Islam disebut sebagai kesadaran

ketersituasian manusia sebagai ciptaan dan khalifah-Nya (hamba).

Oleh karena Tuhan Maha Bijaksana, maka balasan atas kebaikan mestilah

berbeda ukurannya dari balasan atas dosa. Pahala boleh dilipat-gandakan, tetapi

tidak pada hukuman (siksa). Pada konteks ini, al-Maturidi juga meyakini jika

Tuhan tidak akan menyamakan siksaan yang akan diterima orang beriman

(Mukmin) dengan mereka yang ingkar (Kafir) sekalipun sama-sama berdosa.

Akhirnya, konsep keadilan Tuhan al-Maturidi dimaksudkan untuk bentuk

pengajaran terhadap manusia agar tidak menjadi hakim bagi tindakan dan

perbuatan sesamanya. Baik dan buruk dengan arti kesesuaiannya atau

ketidaksesuaiannya terhadap tabiat (selera) dan dalam arti sifat terpuji (kamāl)

atau sifat tercela (naqsh) adalah bersifat rasional („aqliy). Sedangkan (baik dan

buruk) dengan pengertian adanya konsekuensi pujian dan cacian seketika (di

dunia) dan konsekuensi (pahala dan) siksa kelak (di akhirat), adalah bersifat

syar„I.

C. Keadilan Menurut Filsafat Hukum Umum

1. Konsep Keadilan

Teori-teori yang mengkaji masalah keadilan secara mendalam telah

dilakukan sejak jaman Yunani kuno. Inti dari berbagai pemikiran filsafat itu

terdiri dari berbagai obyek yang dapat dibagi kedalam dua golongan. Pertama

obyek materia yaitu segala sesuatu yang ada atau yang mungkin ada, yakni

kesemestaan, baik yang konkrit alamiah maupun yang abstrak non material seperti

jiwa atau rohani termasuk juga nilai-nilai yang abstrak seperti nilai kebenaran,

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

105

nilai keadilan, hakekat demokrasi dan lain sebagainya. Kedua obyek forma yaitu

sudut pandang atau tujuan dari pemikiran dan penyelidikan atas obyek materia,

yakni mengerti sedalam-dalamnya, menemukan kebenaran atau hakekat dari

sesuatu yang diselidiki sebagai obyek material.241

a. Klasik

Teori-teori Hukum Alam sejak Socretes hingga Francois Geny, tetap

mempertahankan keadilan sebagai mahkota hukum. Teori Hukum Alam

mengutamakan “the search for justice”.242

Teori-teori ini menyangkut hak dan

kebebasan, peluang kekuasaan, pendapatan dan kemakmuran. Salah satu diantara

teori keadilan yang dimaksud antara lain teori keadilan dari Plato yang

menekankan pada harmoni atau keselarasan. Selanjutnya teori keadilan Aristoteles

dalam bukunya nicomachean ethics, kemudian teori keadilan sosial John Rawl

dalam bukunya a theory of justice dan teori hukum dan keadilan Hans Kelsen

dalam bukunya general theory of law and state. Berikut kami paparkan beberapa

teori tersebut:

1). Teori Keadilan Plato

Dalam konsep Plato tentang keadilan dikenal adanya keadilan individual

dan keadilan dalam negara. Untuk menemukan pengertian yang benar mengenai

keadilan individual, terlebih dahulu harus ditemukan sifat-sifat dasar dari keadilan

itu dalam negara, untuk itu Plato mengatakan: “let us enquire first what it is the

cities, then wewill examine it in the single man, looking for the likeness of the

241

Mohammad Nursyam, Penjabaran Filsafat Pancasila Dalam Filsafat Hukum. Sebagai

Landasan Pembinaan Hukum Nasional, Disertasi. (Surabaya: Universitas Airlangga 1998), 45. 242

Ibid, 24. Plato mendefinisikan keadilan sebagai thesupreme virtue of the good state, sedang

orang yang adil adalah the self diciplined man whosepassions are controlled by reason, Bagi

Plato keadilan tidak dihubungkan secara langsung dengan hukum. Baginya keadilan dan tata

hukum merupakan substansi umum dari suatu masyarakat yang membuat dan menjaga

kesatuannya.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

106

larger in the shape of the smaller”.243

Walaupun Plato mengatakan demikian,

bukan berarti bahwa keadilan individual identik dengan keadilan dalam negara.

Hanya saja Plato melihat bahwa keadilan timbul karena penyesuaian yang

memberi tempat yang selaras kepada bagian-bagian yang membentuk suatu

masyarakat. Keadilan terwujud dalam suatu masyarakat bilamana setiap anggota

melakukan secara baik menurut kemampuannya fungsi yang sesuai atau yang

selaras baginya.

Konsep keadilan Plato berdasar pada aliran filsafat idealisme, sedangkan

konsep keadilan Aristoteles bertolak dari aliran filsafat realisme. Filsafat Plato

mendasarkan diri pada alam ide yang bersifat mutlak dan abadi. Landasan

filsafatnya ialah percaya dan menerima sepenuhnya alam nyata sebagai

obyektifitas. Dalam pandangan filsafat ini alam nyata diterima sepenuhnya

sebagai suatu totalitas yang menjadi sumber dari segala apa yang ada.244

Alam

nyata tersusun dan bertalian secara hirarkis serta membentuk suatu totalitas yang

di dalamnya makna dan ketertiban dapat dicapai manusia melalui akal pikirannya.

Akal merupakan alat untuk mengetahui dan pengetahuan tersebut memberikan

norma-norma mengenai baik buruk yang berguna untuk manusia, seperti

dikatakan oleh Plato keadilan ialah susunan ketertiban dari orang-orang yang

menguasai diri sendiri.245

Sebaliknya Aristoteles menekankan filsafatnya pada

243

Plato mengatakan bahwa hukum dan undang-undang bukanlah semata-mata untuk memelihara

ketertiban dan menjaga stabilitas negara, akan tetapi yang paling pokok adalah untuk

membimbing masyarakat mencapai keutamaan, sehingga layak menjadi warga negara dari

negara yang ideal. Hukum dan undang-undang bersangkut paut erat dengan kehidupan moral

dari setiap warga masyarakat. Lihat The Liang Gie, Teori-teori Keadilan, (Yogyakarta: Sumber

Sukses. 1982), 22. 244

J.H. Rapar, Filsafat Politik Aristoteles, (Jakarta: Rajawali Press. 1993), 92. 245

Ibid.,102.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

107

kesadaran, maksudnya dalam pandangan Aristoteles titik sentralnya adalah

kesadaran yang ada pada subyek yang berpikir.

2). Teori Keadilan Aritoteles

Pandangan Aristoteles tentang keadilan bisa didapatkan dalam karyanya

nichomacheanethics, politics, dan rethoric. Spesifik dilihat dalam buku

nicomachean ethics, buku itu sepenuhnya ditujukan bagi keadilan, yang,

berdasarkan filsafat hukum Aristoteles, mesti dianggap sebagai inti dari filsafat

hukumnya, karena hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya dengan

keadilan.246

Aristoteles membagi Keadilan kedalam dua macam keadilan, keadilan

distributief dan keadilan commutatief. Keadilan distributif ialah keadilan yang

memberikan kepada tiap orang porsi menurut prestasinya. Keadilan yang

menuntut bahwa setiap orang mendapat apa yang menjadi haknya, jadi sifatnya

proporsional. Di sini yang dinilai adil adalah apabila setiap orang mendapatkan

apa yang menjadi haknya secara proporsional.

Sedangkan keadilan commutatief memberikan sama banyaknya kepada

setiap orang tanpa membeda-bedakan prestasinya, dalam hal ini berkaitan dengan

peranan tukar menukar barang dan jasa.247

Keadilan distributif menurut

Aristoteles berfokus pada distribusi, honor, kekayaan, dan barang-barang lain

yang sama-sama bisa didapatkan dalam masyarakat. Distribusi yang adil boleh

jadi merupakan distribusi yang sesuai dengan nilai kebaikannya, yakni nilainya

bagi masyarakat.248

Dari konstruksi konsep keadilan Aristoteles tersebut, dapat

246

L. J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, cetakan kedua puluh

enam, 1996), 11-12. 247

Carl Joachim Friedrich…, 25. 248

Pan Mohamad Faiz, Teori Keadilan John Rawls, dalam Jurnal Konstitusi, 2009, Volume 6

Nomor 1, 135.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

108

ditarik benang merah bahwa keadilan distributif merupakan tugas dari pemerintah

kepada warganya untuk menentukan apa yang dapat dituntut oleh warga negara

dalam negaranya. Konstruksi keadilan yang demikian ini membebankan

kewajiban bagi pembentuk Undang-undang untuk memperhatikannya dalam

merumuskan konsep keadilan kedalam suatu Undang-undang.

3). Teori Keadilan Hans Kelsen

Hans Kelsen dalam bukunya general theory of law and state,

berpandangan bahwa hukum sebagai tatanan sosial yang dapat dinyatakan adil

apabila dapat mengatur perbuatan manusia dengan cara yang memuaskan

sehingga dapat menemukan kebahagian didalamnya.249

Sebagai aliran positivisme

Hans Kelsen mengakui juga bahwa keadilan mutlak berasal dari alam, yakni lahir

dari hakikat suatu benda atau hakikat manusia, dari penalaran manusia atau

kehendak Tuhan.250

Doktrin hukum alam beranggapan bahwa ada suatu

keteraturan hubungan-hubungan manusia yang berbeda dari hukum positif, yang

lebih tinggi dan sepenuhnya sahih dan adil, karena berasal dari alam, dari

penalaran manusia atau kehendak Tuhan.251

Hans Kelsen mengakui juga

kebenaran dari hukum alam. Sehingga pemikirannya terhadap konsep keadilan

249

Hans Kelsen, General Theory of Law and State, diterjemahkan oleh Rasisul Muttaqien,

(Bandung: Nusa Media, 2011), 7. 250

Ibid, 9. Hans Kelsen mengemukakan keadilan sebagai pertimbangan nilai yang bersifat

subjektif. Walaupun suatu tatanan yang adil yang beranggapan bahwa suatu tatanan bukan

kebahagian setiap perorangan, melainkan kebahagian sebesar-besarnya bagi sebanyak mungkin

individu dalam arti kelompok, yakni terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan tertentu, yang oleh

penguasa atau pembuat hukum, dianggap sebagai kebutuhan-kebutuhan yang patut dipenuhi,

seperti kebutuhan sandang pangan dan papan. Tetapi kebutuhan-kebutuhan manusia yang

manakah yang patut diutamakan. Hal ini dapat dijawab dengan menggunakan pengetahuan

rasional, yang merupakan sebuah pertimbangan nilai, ditentukan oleh faktor-faktor emosional

dan oleh sebab itu bersifat subjektif. 251

Ibid, 14.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

109

menimbulkan dualisme antara hukum positif dan hukum alam.252

Lebih lanjut, ada

dua hal lagi tentang konsep keadilan yang dikemukakan oleh Hans Kelsen, yaitu:

1. Pertama, konsep keadilan dan perdamaian. Keadilan yang bersumber dari

cita-cita irasional. Keadilan dirasionalkan melalui pengetahuan yang dapat

berwujud suatu kepentingan-kepentingan yang pada akhirnya

menimbulkan suatu konflik kepentingan.;

2. Kedua, konsep keadilan dan legalitas. Untuk menegakkan diatas dasar

suatu yang kokoh dari suatu tananan sosial tertentu, menurut Hans Kelsen

pengertian “Keadilan” bermaknakan legalitas. Suatu peraturan umum

adalah “adil” jika ia bena-benar diterapkan, sementara itu suatu peraturan

umum adalah “tidak adil” jika diterapkan pada suatu kasus dan tidak

diterapkan pada kasus lain yang serupa.253

Konsep keadilan dan legalitas inilah yang diterapkan dalam hukum

nasional Indonesia, yang memaknai bahwa peraturan hukum nasional dapat

dijadikan sebagai payung hukum bagi peraturan-peraturan hukum nasional

lainnya sesuai tingkat dan derajatnya dan peraturan hukum itu memiliki daya ikat

terhadap materi yang dimuat dalam peraturan hukum tersebut.254

b. Modern

Konsep keadilan pada zaman modern diwarnai dengan berkembangnya

pemikiran-pemikiran tentang kebebasan, antara lain munculnya aliran liberalisme

yaitu suatu aliran yang tumbuh di dunia barat pada awal abab ke-XVII Masehi.

Aliran ini mendasarkan pada nilai-nilai dalam ajaran etika dari mazhab Stoa

khususnya individualisme, sanksi moral dan penggunaan akal. Dalam bidang

politik dianut konsepsi tentang pemerintahan demokrasi yang dapat menjamin

252

Ibid. Menurut Hans Kelsen dualisme antara hukum positif dan hukum alam menjadikan

karakteristik dari hukum alam mirip dengan dualisme metafisika tentang dunia realitas dan dunia

ide model Plato. Inti dari fislafat Plato ini adalah doktrinnya tentang dunia ide. Yang

mengandung karakteristik mendalam. Dunia dibagi menjadi dua bidang yang berbeda: yang

pertama adalah dunia kasat mata yang dapa itangkap melalui indera yang disebut realitas; yang

kedua dunia ide yang tidak tampak. 253

Ibid, 71. 254

Suhrawardi K. Lunis, Etika Profesi Hukum, (Jakarta: Cetakan Kedua, Sinar Grafika, 2000), 50.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

110

tercapainya kebebasan. Tradisi liberalisme sangat menekankan kemerdekaan

individu. Istilah liberalisme erat kaitannya dengan kebebasan, titik tolak pada

kebebasan merupakan garis utama dalam semua pemikiran liberal.255

Dalam

konteks kebebasan tersebut, di dalam konsepsi liberalisme terkandung cita

toleransi dan kebebasan hati nurani. Bagi kaum liberalis keadilan adalah

ketertiban dari kebebasan atau bahkan realisasi dari kebebasan itu sendiri.

Teori keadilan kaum liberalis dibangun di atas dua keyakinan. Pertama,

manusia menurut sifat dasarnya adalah makhluk moral. Kedua, ada aturan-aturan

yang berdiri sendiri yang harus dipatuhi manusia untuk mewujudkan dirinya

sebagai pelaku moral. Berdasarkan hal ini keadilan dipahami sebagai suatu

ketertiban rasional yang di dalamnya hukum alamiah ditaati dan sifat dasar

manusia diwujudkan. Berbeda dengan kaum liberal, penganut utilitarianisme

menolak digunakannya ide hukum alam dan suara akal dalam teori mereka.

Konsep keadilan pada aliran ini didasarkan pada asas kemanfaatan dan

kepentingan manusia. Keadilan mempunyai ciri sebagai suatu kebajikan yang

sepenuhnya ditentukan oleh kemanfaatannya, yaitu kemampuannya menghasilkan

kesenangan yang terbesar bagi orang banyak.

Teori ini dikritik oleh anti utilitarianisme yang dipelopori oleh Dworkin

dan Nozick. Menurut mereka utilitarianisme yang memperioritaskan

kesejahteraan mayoritas, menyebabkan minoritas atau individu-individu yang

prefensinya tidak diwakili oleh mayoritas di dalam suatu negara akan dihiraukan

dan sebagai akibatnya mereka dirugikan atau kehilangan hak-haknya.256

Bagi

penentang utilitrian, keadilan menolak argumen yang menyatakan bahwa

255

Lyman Tower Sargent, Ideologi-Ideologi Politik Kontemporer, (Jakarta: Erlangga. 1987), 63. 256

John Rawls, A Theory of Justice, (Massachussets: The Bellnap Press of Havard University

Press. 1971), 43.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

111

hilangnya kebebasan sebagian orang dapat dibenarkan atas asas manfaat yang

lebih besar yang dinikmati oleh orang-orang lain. oleh karena itu dalam suatu

masyarakat yang adil, kebebasan warganegara yang sederajat tetap tidak berubah,

hak-hak yang dijamin oleh keadilan tidak tunduk pada tawar-menawar politik

ataupun pada pertimbangan kepentingan sosial.257

Menurut Hampstead serangan Nozick terutama ditujukan kepada rumus

bahwa negara diperlukan atau merupakan alat terbaik untuk melakukan keadilan

distributif.258

Terhadap ini Nozick mengatakan bahwa bila tiap orang memegang

atau mempertahankan haknya yang diperoleh dengan sah, maka secara total

distribusi dari hak-hak itu juga adil. Dalam keadaan yang demikian sudah barang

tentu tidak ada tempat bagi negara melakukan campur tangan, apalagi memberi

rumusan-rumusan atau prinsip-prinsip yang harus dianut dalam distribusi hak

diantara warga negara. Negara cukup berfungsi sebagai penjaga malam, penjaga

terhadap usaha pencurian dan menjaga hal-hal lain yang berhubungan dengan

tindakan untuk mempertahankan hak-hak warga negara.

Dari sekian banyak pengertian dan teori-teori yang dikemukakan para ahli,

pada umumnya menyangkut mengenai hak dan kebebasan, peluang dan kekuasaan

pendapat dan kemakmuran. Berbagai definisi keadilan yang menunjuk pada hal di

atas antara lain dapat dilihat dari pengertian keadilan sebagai:

a. the constant and perpetual disposition torender every man his due;

257

Kritik Nozick terhadap utilitarianisme adalah bahwa utilitarianisme mengorbankan kebebasan

individu untuk kepentingan mayoritas, utilitarianisme tidak mempertimbangkan fakta bahwa

kehidupan seorang individu adalah satu-satunya kehidupan yang ia miliki. Kritik ini didasarkan

pada pandangan politik yang dianut Nozick yang menuntut suatu komitmen ontologis terhadap

moralitas dan organisasi sosial tertentu yang disebutnya dengan negara minimalis. Menurutnya

negara minimalis ini bukan hanya berdasarkan pada ajaran-ajaran moral tertentu, akan tetapi

negara itu juga merupakan ajaran moral. Lihat John Rawls, A Theory of Justice, (Massachussets:

The Bellnap Press of Havard University Press. 1971), 48. 258

Lord Lloyd of Hampstead & MDA Preeman, Introduction to Jurisprudence, (London: English

Language Book Society. Steven, 1985), 421.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

112

b. the end of civil society;

c. the right to obtain a hearing and decision by a court which is free of

prejudice and improper influence;

d. all recognized equitable rights as well as technical legal right;

e. the dictate of right according to the consent of mankind generally;

f. conformity with the principle of integrity, rectitude and just dealing.259

Pengertian yang sama dikemukakan oleh Rudolph Heimanson yang

mendefinisikan keadilan sebagai: redressing a wrong, finding a balance between

legitimate but conflicting interest.260

Definisi ini menggambarkan bahwa nilai

keadilan melekat pada tujuan hukum. Ide keadilan dicerminkan oleh keputusan

yang menentang dilakukannya hukuman yang kejam, melarang penghukuman

untuk kedua kalinya terhadap kesalahan yang sama. Teori lain yang menyatakan

bahwa keadilan melekat pada tujuan hukum dikemukakan oleh Tourtoulon yang

dengan tegas menyatakan “lex injusta non est lex” yaitu hukum yang tidak adil

bukanlah hukum. Sebaliknya ide keadilan itu menuntut pemberian kepada setiap

orang hak perlindungan dan pembelaan diri.261

2.Bentuk-bentuk Keadilan

Dalam bentuknya, keadilan itu tidak berarti semuanya harus sama, tetapi

saling memiliki keterkaitan satu sama lain. Keadilan adalah keseimbangan yang

harmonis antara berbagai hal yang merupakan elemen masyarakat dan kehidupan

individu-individu dalam masyarakat itu sendiri. Ada tiga bentuk keadilan menurut

fungsinya, yaitu keadilan distributif dan keadilan retributif dan keadilan

sosial;

259

The Encyclopedia Americana, Volume 16, (New York: Americana corporation, 1972), 263. 260

Rudolf Heimanson, Dictionary of Political Science and Law, (Dobbs Fery: Oceana Publication,

1967), 96. 261

Radbruch & Dabin. The Legal Philosophi, (New York: Harvard University Press, 1950), 22.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

113

a. Keadilan distributif

Keadilan distributif262

berarti memberikan barang-barang kepada setiap

orang sesuai dengan tuntutan yang adil, dan tuntutannya yang adil itu ditentukan

oleh status sosialnya yang sebagian tergantung kepada status yang diterimanya

dari nasib sejarah dalam alam dan masyarakat dan sebagian lagi diperolehnya dari

usaha-usaha sendiri dalam menggiatkan status dan potensi-potensinya.263

Terdapat

dua macam prinsip untuk keadilan distributif, yaitu prinsip formal dan prinsip

material. Prinsip formal dikemukakan oleh Aristoteles yang dirumuskan dengan

kalimat equals ought to be treated equally andunequals may be treated

unequally.264

Keadilan sangat dipengaruhi oleh unsur kepemilikan benda tertentu.

Keadilan ideal menurutnya adalah ketika semua unsur masyarakat mendapat

bagian yang sama dari semua benda yang ada di alam, karena manusia dipandang

sejajar dan mempunyai hak yang sama atas kepemilikan suatu barang.265

Keadilan distributif sudah terdapat pada zaman klasik, dan pada zaman

modern ini menjadi semakin urgen. Hal ini menyebabkan keadilan ini banyak

kesulitannya adalah karena menyangkut masalah berbagi. Persoalannya adalah,

bagaimana membagi hal-hal yang enak dan hal-hal yang tidak enak (benefits and

262

Keadilan distributif merupakan keadilan yang secara proporsional diterapkan dalam lapangan

hukum publik secara umum. Keadilan yang ditentukan oleh pembuat undang-undang,

distribusinya memuat jasa, hak, dan kebaikan bagi anggota-anggota masyarakat menurut prinsip

kesamaan proporsional. Lihat Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum…, 48. Distribusi berarti

pembagian barang, jasa, dan kesejahteraan secara merata. Keadilan distributif menyangkut hal-

hal umum, seperti jabatan, pajak, dan lain sebagainya. Hal-hal ini harus dibagi menurut

kesamaan geometris. Lihat Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah,

(Yogyakarta: Kanisius, 2011), Cet. XVIII, 43. 263

Anwar Harjono, Indonesia Kita: Pemikiran Berwawasan Iman-Islam, (Jakarta: Gema Insani

Press, 1995), 24. 264

Artinya: kasus-kasus yang sama harus diperlakukan dengan cara yang sama, sedangkan kasus-

kasus yang tidak sama boleh saja diperlakukan dengan cara tidak sama. Prinsip ini menolak

diskriminasi. Lihat Kees Bertens, Pengantar Etika Bisnis, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), 94. 265

Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum: Sejarah, Aliran dan Pemaknaan, (Yogyakarta: Gadjah

Mada University Press, 2009), 48.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

114

burdens) secara fair, sehingga tidak ada yang mendapat terlalu banyak dan tidak

ada yang mendapat kurang.266

Keadilan distributif dimaksudkan untuk mencegah

terjadinya proses konsentrasikekayaan267

dan menciptakan sirkulasi kekayaan

untuk menciptakan tujuan utama ekonomi yang sehat268

secara baik di masyarakat

agar tidak ada orang memonopolinya.269

Kemiskinan dan kelaparan bukanlah

semata-mata diakibatkan oleh kemalasan yang bersifat individual, akan tetapi juga

diakibatkan oleh ketimpangan struktur ekonomi dan sosial yang melahirkan

kesenjangan sehingga ajaran Islam sangat melarang kekayaan hanya terpusat dan

berputar di kalangan kelompok orang kaya.270

Prinsip-prinsip material keadilan distributif melengkapi prinsip formal.

Prinsip-prinsip material menunjuk kepada salah satu aspek relevan yang bisa

menjadi dasar untuk membagi dengan adil hal-hal yang dicari oleh pelbagai

orang. Kalau prinsip formal hanya ada satu, prinsip material ada beberapa.

Keadilan distributif terwujud, kalau diberikan kepada:

1. Kepada setiap orang bagian yang sama. Membagi dengan adil adalah

dengan membagi rata kepada semua orang yang berkepentingan diberi

bagian yang sama;

2. Kepada setiap orang sesuai dengan kebutuhan individualnya. Prinsip ini

menekankan bahwa keadilan sesuai dengan kebutuhan;

3. Kepada setiap orang sesuai dengan haknya. Hak merupakan hal yang

penting bagi keadilan pada umumnya;

4. Kepada setiap orang sesuai dengan usaha individualnya;

5. Kepada setiap orang sesuai dengan kontribusinya kepada masyarakat;

266

Antonius Atoshoki Gea, Relasi Dengan Sesama: Character Building II, (Jakarta: Elek Media

Komputindi, 2002), 324. 267

Sebagaimana firman Allah dalam al-Qur‟an surat al-Hasyr (59) ayat 7 yang berbunyi: “...

supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu ...”, Kerajaan

Saudi Arabia, al-Qur'an dan Terjemahnya, (Saudi Arabia: Mujamma‟ al-Malik Fahd li Thiba‟at

al-Mush-haf, 1423 H), 916. 268

Azyurmardi Azra, Berderma Untuk Semua: Wacana dan Praktik Filantropi Islam, (Jakarta:

Mizan, t.t.), 42. 269

Anwar Abbas, Bung Hatta dan Ekonomi Islam, (Jakarta: Kompas Media Nusanta, 2010), 172. 270

Didin Hafidhuddin Agar Layar Tetap Terkembang: Upaya Menyelamatkan Umat, (Jakarta:

Gema Insani Press, 2006), 265.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

115

6. Kepada setiap orang sesuai dengan jasanya.271

Kondisi sosial yang ada perlu dicermati dengan seksama agar pemilihan

prinsip keadilan distributif yang akan diterapkan dapat benar-benar menyelesaikan

masalah kesenjangan yang ada. Demikian pula, tujuan yang hendak dicapai perlu

diformulasikan secara tepat sehingga lebih mengena pada sasaran.272

b. Keadilan Retributif

Keadilan retributif merupakan suatu kondisi apabila seseorang mengurangi

status dan tuntutan keadilannya karena tidak memenuhi kewajiban atau karena

melakukan perbuatan yang bertentangan dengan tata tertib sosial dan alam, di

mana statusnya berakar. Keadilan Retributif yaitu suatu keadilan yang pada

prinsipnya diatur oleh hakim yang menjamin, mengawasi dan memelihara

distribusi ini dari serangan-serangan illegal. Fungsi korektif keadilan ini juga

mengestablishkan status quo dengan cara mengembalikan milik korban yang

bersangkutan atau dengan cara mengganti rugi hak yang hilang kepada

pemiliknya.273

Hukuman merupakan tujuan tersendiri yang ditentukan oleh keadilan

retributif ataukah implikasi negatif dari keadilan distributif yang ditentukannya

sendiri.274

Prinsip keadilan retributif tidak menjadi urusan privat, melainkan

terletak di tangan otoritas, yakni sistem yuridis, yang merupakan wakil dari

271

Kees Bertens, Pengantar Etika Bisnis…, 95- 96. 272

Faturochman, Keadilan Perspektif Psikologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 9. 273

Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis, terj. Yudian

Wahyudi Asmin, (Yogyakarta: Tiara Wacana. 1991), 36. 274

Anwar Harjono, Indonesia Kita: Pemikiran Berwawasan Iman-Islam, (Jakarta: Gema Insani

Press, 1995), 24. Keadilan retributif bisa diartikan memberi ganjaran atau hukuman yang

sepadan. Lihat Ayub Ranoh, Kepemimpinan Kharismatis: Tinjauan Teologis-Etis Atas

Kepemimpinan Sukarno, (Jakarta: Gunung Mulia, 2006), 192.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

116

masyarakat.275

Keadilan retributif dikatakan efektif bergantung kepada

masyarakat apakah mereka menganggapnya sebagai hukum yang merupakan

ganjaran yang setimpal. Jika terjadi sebaliknya, adalah munculnya argumen main

hakim sendiri, yaitu ancaman yang akan terjadi apabila keadilan retributif tidak

diterapkan oleh negara, yaitu bahwa publik/masyarakat akan mengambil alih

hukum ke dalam tangannya sendiri.276

Fungsi keadilan retributif merupakan

pembayaran kembali atas suatu tindakan pelanggaran hukum. Tujuan pemberian

hukuman untuk memuaskan tuntutan keadilan, untuk mengembalikan keadilan

yang telah dirusak, dan dalam arti luas untuk memenuhi tuntutan moral.277

Asas

manfaat dari keadilan retributif adalah demi membela hak.278

Jadi pemberian

hukuman adalah perbuatan yang adil.279

c. Keadilan Sosial

Keadilan sosial pada hakikatnya merupakan persoalan yuridis, karena

terwujudnya keadilan sosial itu sangat bergantung kepada produk legislasi dan

kebijakan pemerintah yang sensitif dan berpihak kepada kepentingan dan

kebutuhan rakyat merupakan instrumen utama dalam mewujudkan keadilan

sosial.280

Konsep keadilan sosial menyangkut tidak hanya pada sebagian saja

(particular), sedangkan konsep keadilan itu menyangkut hal yang menyeluruh,

Karena keadilan itu menyangkut banyak hal, antara lain:

275

Shindunata, Kambing Hitam: Teori Rene Girard, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2007), 111. 276

Todung Mulya Lubis dan Alexander Lay, Kontroversi Hukuman Mati: Perbedaan

Pendapat Hakim Konstitusi, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2009), 127-128. 277

E. Sumaryono, Etika danHukum: Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas,

(Yogyakarta: Kanisius, 2006), Cet. V, 86. 278

Andrea Ata Ujan, Filsafat Hukum: Membangun Hukum, Membela Keadilan, (Yogyakarta:

Penerbit Kanisius, 2009), 112. 279

E. Sumaryono, Etika Profesi Hukum…, 124. 280

Frans Hendra Winata, Suara Rakyat Hukum Tertinggi, (Jakarta: Kompas Media Nusantara,

2009), 9.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

117

1) Pemenuhan hak-hak seseorang, yaitu hak-hak individu;

2) Keadilan itu menyangkut prosedur;

3) Reward and punishment, artinya orang yang baik harus diberi penghargaan

dan orang yang jahat dijatuhi hukuman;

4) Sikap; yaitu sikap sosial dan sikap tidak sosial;

5) Pemberdayaan kaum yang lemah, tertindas, dan tertinggal;

6) Pembagian pendapatan atau kesejahteraan secara merata.

Keadilan sosial hanya menyangkut pada pemberdayaan yang lemah

tertindas dan tertinggal dan pembagian kesejahteraan pendapatan secara merata.281

Itulah keadilan yang tidak pandang bulu. Sebuah cermin keadilan yang tegak

karena dibarengi kekukuhan keimanan, masalah harus sesuai dengan hukum,

menghormati aparat hukum, dan juga setiap penegakan hukum memiliki

konsekuensi keimanan yang besar.282

Salah satu dari asas kehidupan

bermasyarakat adalah keadilan, sedangkan sikap berbuat baik yang melebihi

keadilan (seperti berbuat baik terhadap mereka yang bersalah) akan dapat

menggoyahkan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat.283

Keadilan harus

ditegakkan, kalau perlu dengan tindakan tegas. Al-Qur'an menggandengkan kata

timbangan (alat ukur yang adil) dengan kata besi yang digunakan sebagai senjata

sebagai isyarat bahwa senjata adalah salah satu cara atau alat untuk menegakkan

keadilan.284

Keadilan sosial merupakan cita-cita yang bisa dihampiri semakin

dekat, tapi tidak pernah bisa direalisasikan dengan sempurna. Di satu masyarakat,

keadilan sosial bisa terwujud jauh lebih baik daripada di masyarakat lain. Tetapi

281

Azyurmardi Azra, Berderma Untuk Semua…hal. Xxxiv. 282

Yusuf Burhanudin, Saat Tuhan Menyapa Hatimu, (Bandung: Mizania, 2007), Cet. I, 240. 283

Ibid. 284

Muhammad Quraish Shihab, Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan, (Jakarta:

Mizan Pustaka, 2007), 347.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

118

praktis tidak ada satu masyarakat pun di mana tidak ada masalah keadilan

sosial.285

Keadilan sosial merupakan keadilan yang sesuai dengan norma-norma dan

nilai-nilai operasional, selain dari norma dan nilai yang terkandung dalam

Undang-Undang, dimana masyarakat siap untuk menerimanya karena kebiasaan,

inersia,286

atau alasan lain. Berbeda dengan konsep keadilan yang idealis-ilahi,

alam atau rasional, keadilan sosial (sering digunakan untuk menyertakan keadilan

distributif) pada dasarnya berada dalam karakter, bahwa hal itu adalah produk dari

pengalaman dan kebiasaan manusia lebih dari dari alasan apapun.287

Berdasarkan

kriteria yang ada, keadilan dalam konsepsi Barat terbagi menjadi dua kriteria:

yaitu keadilan individual dan keadilan dalam negara.

1) Keadilan Individual, menurut Aristoteles adalah kebajikan pokok yang

harus menjadi keutamaan bagi tiga bagian jiwa manusia yang sekaligus

mengikat kesatuan dari ke tiga bagian jiwa itu. Keadilan individual itu

hanya dapat tercapai lewat penguasaan diri yang rasional, yang dapat

mengendalikan diri kepada dua bagian lainnya, yaitu bagian semangat atau

keberanian dan bagian keinginan atau nafsu. Oleh sebab itu dapatlah

dikatakan bahwa keadilan individual ialah berfungsinya kesadaran

seseorang di mana ia sanggup menguasai diri sesuai dengan panggilan

nuraninya yang ditentukan oleh bakat, kemampuan dan keterampilan.288

2) Keadilan Dalam Negara, Fakta menunjukkan bahwa manusia tidak dapat

memenuhi keinginan dan kebutuhannya yang begitu banyak, mereka lalu

sepakat untuk bekerja sama sesuai bakat dan kemampuan masing-masing

di suatu tempat yang dialami bersama dan selanjutnya lahirlah apa yang

disebut negara.

285

Kees Bertens, Pengantar Etika Bisnis…, 94. 286

Inersia dalam bidang politik artinya status quo. Status quo dalam ranah politik adalah

penolakan terhadap perubahan. Ditolak karena perubahan dianggap akan memakan waktu,

korban, tenaga, pikiran dan pengulangan yang belum tentu sama baiknya dengan keadaan

sekarang. Status quo juga dijadikan tameng buat para politisi untuk tidak mau kehilangan

keamanan finansial, kekuasaan dan penghormatan yang sudah sangat menyamankan diri dan

partai. http://nurulhabeeba.blogspot.com/2013/01/kosa-kata-inersia_7908.html, diunduh pada 23

Februari 2020. 287

N. Hanif, Islamic Concept of Crime and Justice, (New Delhi: Sarup & Son, 1999), Cet. I, 1. 288

J. H. Rapar, Filsafat Politik Plato, (Jakarta: Rajawali Pers, 1991), 85.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

119

Keadilan dalam negara akan tercapai apabila ketiga unsur dalam negara

dapat berfungsi sebagaimana mestinya: yaitu jika pembagian kerja diatur sesuai

dengan bakat, bidang keahlian dan keterampilan setiap warga negara. Jadi apabila

semua orang dan semua kelas dalam negara dapat berfungsi sebagaimana

mestinya dan kebutuhan serta keinginan manusia terpenuhi dan makmur, maka

dapat dikatakan bahwa ada keadilan dalam negara itu.289

3. Keadilan dan Hak Asasi Manusia (HAM)

Hidup dan kehidupan rnanusia merupakan takdir Allah Swt. Manusia tidak

dapat melepaskan diri dari segala ketetapan Allah. Takdir telah meletakkan

manusia dalam suatu proses, suatu rentetan keberadaan, urutan kejadian, tahapan-

tahapan kesempatan yang diberikan oleh Allah kepada manusia untuk berikhtiar

mempertahankan serta melestarikan hidup dan kehidupannya.290

Dalam

kehidupannya, manusia tidak hanya sebatas hidup, tapi ada beban taklif di

dalamnya yang meliputi hak dan kewajiban dalam seluruh proses kehidupannya.

HAM menjadi dua sisi mata uang yang satu sisi mengedepankan humanisme,

sementara sisi yang lain menakutkan bagi sebagian orang, terutama bagi

pengambil kebijakan. Argumentasi ini muncul karena ma-nusia memiliki hak-hak

alamiah (al-huquq al-thabi`iyah)291

sehingga manusia mempunyai kebebasan

alamiah (hurriyah) yang memunculkan kebebasan individu yang humanis.292

289

Ibid. 290

Sahal Mahfudh, Nuansa Fikih Sosial (Yogyakarta: LKiS, 2008), 1. 291

Mulhim Qurban, Qalaya al-Fikr al-Siyasi, fal Huquq al-Tabi‟iyah, (Beirut: al-Muassasah al-

Jamiiyah li al-Dirasah wa al-Nasyar al-Taquzi, tt), 60. 292

Ahmad Khalal Hamad, Hurriyah al Ra‟y fi al-Midan al-Siyasi fi Dzilli Mabda‟ al-Masyruriyah

Baths Muwarin fi al-Dimoqratiyah wa al-Islam (al-Wafa‟ li al-Thaba‟ahwa al-Nasyr wa al-

Tawzi‟ al-Mansurah, tt), 73.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

120

Sementara masyarakat adalah kumpulan individu yang merupakan

makhluk sosial yang memiliki perasaan, pemikiran dan peraturan,293

serta

kebutuhan jasmani. Interaksi ini akan berpeluang terjadinya perselisihan karena

kecenderungan manusia untuk memenuhi nalurinya (gharizah). Oleh karena itu,

dalam pembahasan ini mencoba mengurai tentang bagaimana perspektif Islam

tentang HAM dan HAM bagi umat Islam di Indonesia.

a. Konsep Hak Asasi Manusia (HAM)

HAM adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak dilahirkan,

yang merupakan anugerah Allah, berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu

gugat oleh siapa pun. Beberapa definisi tentang HAM :

1) HAM adalah hak-hak yang dimiliki manusia bukan karena diberikan

kepadanya oleh masyarakat, jadi bukan karena hukum positif yang

berlaku, melainkan berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Manusia

memilikinya karena ia manusia (Frans Magnis-Suseno);

2) HAM dan kebebasan-kebebasan fundamental adalah hak-hak indivi-dual

yang berasal dari kebutuhan-kebutuhan serta kapasitas manusia. (David

Beentham dan Kevin Boyle);

3) HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan

manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa yang merupakan

anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh

negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta

perlindungan harkat dan martabat manusia (Pasal 1 butir 1 UU no. 39 Th.

1999 tentang HAM dan pasal 1 butir 1 No.26 Th. 2000 tentang pengadilan

HAM).294

Dengan demikian bahwa pengertian hak asasi manusia itu sendiri adalah

hak dasar yang melekat pada individu sejak ia lahir secara kodrati yang diberikan

langsung oleh Tuhan Yang Maha Esa yang tidak dapat dirampas dan dicabut

keberadaannya. Dari beberapa definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa ciri

pokok hakikat HAM adalah:

293

Taqiyuddi al-Nabhani, Nizam al Islam (ttp, tp, 2001), 32. 294

Bambang Suteng, Pendidikan Kewarganegaraan (Jakarta: Erlangga, 2006), 102.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

121

1) HAM tidak perlu diberikan, dibeli maupun diwarisi. HAM adalah bagian

dari manusia secara otomatis;

2) HAM berlaku untuk semua orang tanpa memandang jenis kelamin, ras,

agama, etnis, pandangan politik atau asal usul sosial dan bangsa;

3) HAM tidak bisa dilanggar. Tidak seorang pun mempunyai hak untuk

membatasi atau melanggar hak orang lain. Orang tetap mampunyai HAM

walaupun sebuah negara membuat hukum yang tidak melindungi atau

melanggar HAM.295

Oleh karena itu, HAM bersifat universal yang artinya berlaku di mana

saja, untuk siapa saja, dan tidak dapat diambil siapapun. Hak-hak tersebut

dibutuhkan individu untuk melindungi diri dan martabat kema-nusiaan, juga

sebagai landasan moral dalam bergaul dengan sesama manusia. Meskipun

demikian bukan berarti manusia dengan hak-haknya dapat berbuat sesuka hatinya

ataupun seenaknya.

b. Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Perspektif Islam

Islam adalah agama yang universal dan komprehensif yang melingkupi

beberapa konsep. Konsep yang dimaksud yaitu aqidah, ibadah, dan muamalat

yang masing-masing memuat ajaran keimanan, aqidah, ibadah dan muamalat. Di

samping mengandung ajaran keimanan, juga mencakup dimensi ajaran agama

Islam yang dilandasi oleh ketentuan-ketentuan berupa syariat atau fikih.

Selanjutnya, di dalam Islam, menurut Abu al'Ala al-Maududi, ada dua konsep

tentang hak; Pertama, hak manusia atau huquq al-insan al-dharuriyyah; Kedua,

hak Allah atau huquq Allah.296

Kedua jenis hak tersebut tidak bisa dipisahkan.

Dan hal inilah yang membedakan antara konsep HAM menurut Islam dan HAM

menurut perspektif Barat.

295

Mansour Fakih, dkk., Menegakkan Keadilan dan Kemanusiaan: Pegangan untuk Membangun

Gerakan HAM, (Yogyakarta: Insist Press, 2003), 42. 296

Abu A`la Al Maududi, Hak Asasi Manusia dalam Islam (Jakarta: YAPI, 1998), 13.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

122

Dilihat dari tingkatannya ada tiga bentuk hak asasi manusia dalam Islam;

1. Hak darury (hak dasar). Sesuatu dianggap hak dasar apabila hak tersebut

dilanggar, bukan hanya membuat manusia sengsara, tetapi juga hilang

eksistensinya, bahkan hilang harkat kemanusiaannya. Sebagai misal, bila

hak hidup seseorang dilanggar, maka berarti orang itu mati;

2. Hak sekunder (hajy), yakni hak-hak yang bila tidak dipenuhi akan

berakibat pada hilangnya hak-hak elementer, misalnya, hak seseorang

untuk memperoleh sandang pangan yang layak, maka akan mengakibatkan

hilangnya hak hidup;

3. Hak tersier (tahsiny), yakni hak yang tingkatannya lebih rendah dari hak

primer dan sekunder.297

HAM dalam Islam sebenarnya bukan wacana asing, karena HAM dalam

Islam sudah ada 600 tahun sebelum Magna Charta298 dikumandangkan. Pandangan

ini diperkuat dengan pendapat Weeramantry sebagaimana dikutip Bambang Cipto

yang menyatakan bahwa pemikiran Islam mengenai hak-hak di bidang sosial,

ekonomi dan budaya telah jauh mendahului pemikiran Barat.299

Ajaran Islam

tentang HAM dapat dijumpai dalam sumber ajaran Islam itu sendiri yaitu al-

Qur‟an dan al-Hadits. Kedua sumber tersebut di samping sebagai sumber normatif

juga merupakan sumber ajaran praktis dalam kehidupan umat Islam. HAM dalam

Islam dimulai dengan beberapa peristiwa yang dapat dijelaskan sebagai berikut :

1) Piagam Madinah (al-Dustu>r al-Madi>nah). Adapun ajaran pokok dalam

Piagam Madinah itu adalah: Pertama, interaksi secara baik dengan

sesama, baik pemeluk Islam maupun non Muslim. Kedua, saling

membantu dalam menghadapi musuh bersama. Ketiga, membela mereka

yang teraniaya. Keempat, saling menasihati. Dan kelima menghormati

kebebasan beragama. Satu dasar itu yang telah diletakkan oleh Piagam

297

Masdar F. Mas‟udi, HAM dalam Islam, dalam Suparman Marzuki dan Sobirin Mallan,

Pendidikan Kewrganegaraan dan HAM, (Yogyakarta: UII Press, 2002). 298

Para pakar Eropa berpendapat bahwa lahirnya HAM di kawasan Eropa dimulai dengan lahirnya

Magna Charta yang antara lain memuat pandangan bahwa raja-raja yang tadinya memiliki

kekuasaan absolute (Raja yang menciptakan hukum, tapi dia sendiri tidak terikat dengan hukum

yang dibuatnya), menjadi dibatasi kekuasaannya dan mulai dapat diminta pertanggungjawaban di

muka hukum. Lahirnya Magna Charta ini kemudian diikuti oleh perkembangan yang lebih

konkret, dengan lahirnya Bill of Rights di Inggris pada tahun 1689. 299

Bambang Cipto, dkk. Pendidikan Kewarganegaraan: Menuju Kehidupan yang Demokratis dan

Berkeadaban, (Yogyakarta: LP3 UMY-The Asia Foundation, tt), 263.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

123

Madinah sebagai landasan bagi kehidupan bernegara untuk masyarakat

majemuk di Madinah;

2) Deklarasi Cairo (The Cairo Declaration) yang memuat ketentuan HAM

yakni hak persamaan dan kebebasan (QS. al-Isra: 70, al- Nisa: 58, 105,

107, 135 dan al-Mumtahanah: 8); hak hidup (QS. al-Maidah: 45 dan al-

Isra‟: 33); hak perlindungan diri (QS. al-Balad: 12 - 17, al-Taubah: 6); hak

kehormatan pribadi (QS. al-Taubah: 6); hak keluarga (QS. al-Baqarah:

221, al-Rum : 21, al-Nisa 1, al-Tahrim : 6); hak keseteraan wanita dan pria

(QS. al-Baqarah: 228 dan al-Hujurat: 13); hak anak dari orangtua (QS. al-

Baqarah: 233 dan surah al-Isra: 23-24). Selanjutnya, hak mendapatkan

pendidikan (QS. al-Taubah: 122, al-`Alaq: 1 - 5), hak kebebasan beragama

(QS. al-Kafirun: 1-6, al-Baqarah: 136 dan al-Kahfi: 29), hak kebebasan

mencari suaka (QS. al-Nisa: 97, al-Mumtahanah: 9), hak memperoleh

pekerjaan (QS. al-Taubah: 105, al-Baqarah : 286, al-Mulk : 15), hak

memperoleh perla-kuan yang sama (QS. al-Baqarah 275-278, al-Nisa 161,

Ali `Imran : 130), hak kepemilikan (QS. al-Baqarah : 29, al-Nisa : 29), dan

hak tahanan (QS. al-Mumtahanah : 8). Ayat-ayat tersebut yang secara

tematik dapat menjadi konsep-konsep utama al-Qur'an tentang HAM dapat

diperluas lagi.300

Dari gambaran di atas, baik deklarasi Madinah maupun deklarasi Cairo,

menunjukkan betapa besarnya perhatian Islam terhadap HAM yang dimulai sejak

Islam ada, sehingga Islam tidak membeda-bedakan latar belakang agama, suku,

budaya, strata sosial dan sebagainya. Namun dalam realitas pelaksanaannya,

HAM dipengaruhi oleh konsep HAM dari Barat yang berorientasi sekuler.

Sehingga menghadapi kenyataan semacam ini ada beberapa tanggapan dari

masyarakat muslim dunia tentang HAM, yaitu:

1. Menolak secara keseluruhan. Hal ini didasarkan pada keyakinan mereka

bahwa syariat bersifat sakral, independen dan sekaligus mengatasi kondisi

historis di mana dan kapan pertama kali diwahyukan dan dalam pandangan

mereka syariah merupakan pandangan hidup yang paling benar dan

sempurna. Karena itu, Islam harus membangun versi HAM-nya sendiri;

2. Menerima secara keseluruhan. Pendapat ini didasarkan pada pandangan

bahwa HAM PBB dan Perjanjian Internatsional merupakan hasil elaborasi

dan merupakan bagian khazanah kemanusiaan dan tidak perlu ada

justifikasi Islam terhadapnya;

3. Tanggapan yang bersifat ambigu yang mencerminkan adanyakeinginan

untuk tetap setia pada syari‟ah di satu sisi ada keinginan untuk

menghormati tatanan serta hukum-hukum internasional. Kelompok ini

300

Dede Rosyada, dkk., Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani (Jakarta: ICCE

UIN Syarif Hidayatullah, 2005), 221.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

124

meyakini bahwa, syari‟ah bersifat kekal, universal dan harus dijadikan

landasan hidup. Sementara HAM PBB dapat diakomodasi dengan

beberapa prasyarat.301

Secara prinsip, HAM dalam Islam mengacu pada al-dlaruriyat al-khamsah

atau yang disebut juga al-huquq al-insaniyah fi al-islam (hak-hak asasi manusia

dalam islam). Konsep itu mengandung lima hal pokok yang dikemukakan oleh

Imam al-Syathibi302

yang harus dijaga oleh setiap individu yaitu :

1. Menjaga agama (hifzd al-din). Alasan diwajibkannya berperang dan

berjihad,303 Islam menjaga hak dan kebebasan berkeyakinan dan

beribadah;

2. Menjaga jiwa (hifzd al-nafs). Alasan diwajibkannya hukum qis}a>s h,304

yang didasarkan pada QS. al-Baqarah:178-179) diantaranya menjaga

kemuliaan dan kebebasannya. Islam sangat menghormati jiwa;

3. Menjaga akal (hifzd al „aql). Alasan diharamkannya semua benda yang

memabukkan atau narkotika dan sejenisnya. Akal adalah sumber hikmah

atau pengetahuan, cahaya muara hati, sinar hidayah dan media

kebahagiaan manusia di dunia dan akhlirat. Dengan akalnya manusia bisa

menjalankan perannya sebagai khalifah fi al-ardl;

4. Menjaga harta (hifzd al-ma>l). Alasan qis}a>s untuk para pencuri dan

diharamkannya riba dan suap-menyuap, atau memakan harta orang lain

dengan cara bathil lainnya;

5. Menjaga keturunan (hifd al-nasl). Alasan diharamkannya zina305

dan

qazdaf.306

Dalam hal ini, Islam sangat menganjurkan pernikahan terhadap

mereka yang dianggap dan merasa sudah mampu untuk melakukannya

untuk menjaga keturunan, harta dan kehormatan.

301

Said Agil Husin al Munawar. Al-Qur‟an: Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki (Jakarta:

Ciputat Press, 2004), 298-299. 302

Ahmad al-Mursi Husain Jauhar, Maqashid Syariah, terj. Khikmawati (Jakarta: Amza,2009). 303

Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2001) Cet.I, Edisi 3, 473. 304

Secara etimologi qis}a>s h berarti meneliti, menyelidiki dengan seksama, memotong. Dari kata

terakhir ini kemudian dipahami bahwa qis}a>s h adalah persamaan antara tindak kejahatan

dengan sanksi; sanksi dengan ukuran yang setimpal yang telah ditetapkan oleh Allah, diwajibkan

sebagai hak bagi hamba, diturunkan bagi orang yang melakukan tindakan tertentu dan telah

memenuhi syarat serta rukunnya. Satu tindakan diberlakukan atas seorang pelaku, sepadan

dengan tindakan yang telah dilakukannya kepada si korban. Bisa dilihat di Musthafa Az Zarqa,

al-Madkhal li al-Fiqh al-„Am, Jilid I, 404. 305

Ulama mendefinisikan zina adalah hubungan seksual yang sempurna antara seorang laki-laki

dengan perempuan yang diinginkan (menggairahkan), tanpa akad pernikahan sah ataupun

pernikahan yang menyerupai sah. 306

Qadzaf adalah perbuatan menuduh seseorang melakukan Zina dengan tujuan mengatakan/

menunjukkan aib seseorang. Lihat I`a>natuth T}a>libi>n, Juz 4, 149. 306

Kahar Masyhur, “Membina Moral dan Akhlak”, (Jakarta: Kalam Mulia, 1985), 68.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

125

Kelima pokok dasar inilah yang harus dijaga oleh setiap umat islam

supaya menghasilkan tatanan kehidupan yang lebih manusiawi, berdasarkan atas

penghormatan individu atas individu, individu dengan masyarakat, masyarakat

dengan negara, dan komunitas agama dengan komunitas agama yang lainnya.

Pertanyaannya adalah apakah hukum-hukum yang ditetapkan Islam seperti qis}a>s,

diyat ,ta’zi >r‘ dan sebagainya itu bertentangan dengan HAM? Semua itu masuk

akal dan tidak perlu diperselisihkan. Bahwa pelaku kejahatan harus mendapatkan

balasan yang setimpal karena kejahatan yang diperbuatnya. Sanksi ini dijatuhkan

untuk orang yang melakukan kejahatan tertentu dan telah memenuhi syarat dan

rukunnya. Jadi dengan adanya hukuman ini maka akan memperkecil gerak

manusia untuk melakukan tindak pidana atau kejahatan.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

126

BAB III

RESTORATIVE JUSTICE DAN HUKUM PIDANA ISLAM

A. Restorative Justice

Perkembangan kesadaran masyarakat terhadap kebutuhan hukum sebagai

pranata kehidupan bermasyarakat memberikan pengaruh yang sangat kuat

terhadap perkembangan penerapan hukum pidana di Indonesia. Fenomena

menunjukkan munculnya berbagai kontroversi terhadap proses dan putusan sistem

peradilan pidana yang dianggap oleh sebagian pihak, tidak memenuhi rasa

keadilan masyarakat. Munculnya Konsep restorative justice yang dianggap

sebagai gagasan baru dalam sistem hukum pidana, pada dasarnya memiliki

metode dengan pola tradisional penyelesaian konflik dan kejatahan yang telah

hadir di berbagai kebudayaan sepanjang sejarah manusia.

Sistem hukum pidana di Indonesia memberikan ruang untuk diterapkannya

konsep restorative justice, yang secara substansial juga tidak bertentangan dengan

nilai-nilai hukum pidana Islam. Oleh karena itu, konsep restorative justice

dianggap sebagai konsep yang tepat dalam proses penyelesaian perkara pidana,

dan lebih efektif untuk dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat. Namun

demikian, konstruksi konsep keadilan restoratif perlu disesuaikan dengan sistem

penegakan hukum pidana di Indonesia yang menganut konsep keadilan restitutive

dalam pluralisme budaya.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

127

1. Pengertian Restorative Justice

Restorative justice dilihat banyak orang as a philosophy, a process, an

idea, a theory and an intervention.307

Restorative justice adalah peradilan yang

menekankan perbaikan atas kerugian yang disebabkan atau terkait dengan tindak

pidana. Restorativ justice dilakukan melalui proses kooperatif yang melibatkan

semua pihak (stakeholders).

“Restorative justice is a theory of justice that emphasizes repairing the harm caused or revealed by criminal behaviour. It is best accomplished through cooperative processes that include all stakeholders”.

308

Restorative justice merupakan alternatif atau cara lain peradilan kriminal

dengan mengedepankan pendekatan integrasi pelaku di satu sisi dan

korban/masyarakat di lain sisi sebagai satu kesatuan untuk mencari solusi serta

kembali pada pola hubungan baik dalam masyarakat. Restorative Justice atau

sering diterjemahkan sebagai keadilan restorasi, merupakan suatu model

pendekatan yang muncul dalam era tahun 1960-an dalam upaya penyelesaian

perkara pidana. Berbeda dengan pendekatan yang dipakai pada sistem peradilan

pidana konvensional, pendekatan ini menitikberatkan adanya partisipasi langsung

dari pelaku, korban dan masyarakat dalam proses penyelesaian perkara pidana.

Liebmann secara sederhana mengartikan restorative justice sebagai suatu

sistem hukum yang bertujuan untuk mengembalikan kesejahteraan korban, pelaku

dan masyarakat yang rusak oleh kejahatan, dan untuk mencegah pelanggaran atau

307

Darrell Fox, Social Welfare and Restorative Justice, Journal Kriminologija Socijalna

Integracija Year 2009 Vol 17 Issue 1 Pagesrecord No. 55-68, 2009, London Metropolitan

University Department of Applied Social Sciences, hal. 56. 308

lihat dalam http://152.118.58.226 - Powered by Mambo Open Source Generated: 7 Januari,

2020, 21:00.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

128

tindakan kejahatan lebih lanjut.309

Liebmann juga memberikan rumusan prinsip

dasar restorative justice sebagai berikut:

1. Memprioritaskan dukungan dan penyembuhan korban;

2. Pelakunpelanggaran bertanggung jawab atas apa yang mereka

lakukan;

3. Dialogaantara korban dengan pelaku untuk mencapai pemahaman;

4. Adasupaya untuk meletakkan secara benar kerugian yang

ditimbulkan;

5. Pelaku pelanggar harus memiliki kesadaran tentang bagaimana cara

menghindari kejahatan di masa depan;

6. Masyarakat sepatutnya ikut serta memberikan peran membantu

dalam mengintegrasikan dua belah pihak, baik korban maupun

pelaku.310

Penjelasan terhadap definisi restorative justice yang dikemukakan oleh

Toni F. Marshal dalam tulisannya “Restorative Justice an Overview”,311

dikembangkan oleh Susan Sharpe dalam bukunya “Restorative Justice a Vision

For Hearing and Change” yang mengungkapkan 5 prinsip kunci dari restorative

justice yaitu:

1. Adanya partisipasi penuh dan consensus;

2. Berusaha menyembuhkan kerusakan atau kerugian yang ada akibat

terjadinya tindak kejahatan;

3. Memberikan pertanggungjawaban langsung dari pelaku secara utuh;

4. Mencarikan penyatuan kembali kepada warga masyarakat yang terpecah

atau terpisah karena tindakan criminal;

5. Memberikan ketahanan kepada masyarakat agar dapat mencegah

terjadinya tindakan kriminal berikutnya.

309

Marian Liebmann, Restorative Justice, How it Work, (London and Philadelphia: Jessica

Kingsley Publishers, 2007), hal. 25. 310

Ibid. 311

Tony F. Marshall menyatakan: “Restorative Justice is a process whereby all the parties with a

stake in a particular offence come together to resolve collectively how to deal with the aftermath

of the offence and its implication for the future (restorative justice adalah sebuah proses di mana

para pihak yang berkepentingan dalam pelanggaran tertentu bertemu bersama untuk

menyelesaikan persoalan secara bersama-sama, bagaimana menyelesaikan akibat dari

pelanggaran tersebut demi kepentingan masa depan). Lihat Marian Liebmann, Restorative

Justice, How it Work, (London and Philadelphia: Jessica Kingsley Publishers, 2007), 25.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

129

Sementara itu, Marlina menyebutkan dalam bukunya bahwa konsep

restorative justice merupakan suatu proses penyelesaian tindakan pelanggaran

hukum yang terjadi dilakukan dengan membawa korban dan pelaku (tersangka)

bersama-sama duduk dalam satu pertemuan untuk dapat berbicara.312

Sebagaimana pendapat Marlina tersebut dapat dipahami bahwa penyelesaian suatu

kasus pidana melalui restorative justice pada dasarnya adalah penyelesaian

dengan bersama-sama dilakukan antara pelaku dan korban dalam sebuah forum.

Kata kunci dari restorative justice adalah empowerment/pemberdayaan,

bahkan empowerment ini adalah jantungnya restoratif oleh karena itu restorative

justice keberhasilannya ditentukan oleh pemberdayaan ini.313

Dalam konsep

tradisional, korban diharapkan untuk tetap diam, menerima dan tidak ikut campur

dalam proses pidana. Secara fundamental ide restorative justice hendak mengatur

kembali peran korban yang demikian itu, dari semula yang pasif menunggu dan

melihat bagaimana sistem peradilan pidana menangani kejahatan mereka,

diberdayakan sehingga korban mempunyai hak pribadi untuk berpartisipasi dalam

proses pidana. Dalam literatur tentang restorative justice, dikatakan bahwa

empowerment berkaitan dengan pihak-pihak dalam perkara pidana (korban,

pelaku dan masyarakat).314

Para sarjana memaknainya sebagai berikut:

“has described empowerment as the action of meeting, discussing and

resolving criminal justice matters in order to meet material and emotional

needs. To him, empowerment is the power for people to choose between

the different alternatives that are available to resolve one‟s own matter.

The option to make such decisions should be present during the whole

312

Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative

Justice, Cet I, (Bandung: Refika Aditama, 2009), 180. 313

C. Barton, Empowerment and Retribution ini Criminal Justice. In: H. Strang, J. Braitwaite

(eds), Restorative Justice: Philosophy to Practice Journal TEMIDA Mart 2011. Aldershot:

Ashgate/Dartmouth, 55-76. 314

Mc Cold menyebut ketiga pihak tersebut sebagai stakeholder perkara pidana.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

130

process.315

Artinya; Pemberdayaan dalam konteks restorative justice

adalah proses pertemuan dalam hal ini antara pelaku dengan korban atau

masyarakat untuk membahas dan secara aktif berpartisipasi dalam

penyelesaian masalah pidana. Hal ini merupakan alternatif atau pilihan lain dari pengaruh respon terhadap kejahatan”.

Pengertian tersebut menjelaskan bahwa dalam keadilan restoratif, yang

diutamakan bukanlah penjatuhan hukuman kepada pelaku pidana, melainkan

bagaimana pelaku dapat bertanggung jawab terhadap perbuatan pidana yang

dilakukan, serta bagaimana korban dapat memperoleh keadilan, hingga keadaan

dapat pulih seperti semula. Tujuan utama dari keadilan restoratif yaitu terciptanya

peradilan yang adil. Di samping itu, diharapkan para pihak, baik pelaku, korban,

maupun masyarakat berperan besar di dalamnya. Korban diharapkan memperoleh

kompensasi yang sesuai dan disepakati bersama dengan pelaku untuk mengganti

kerugian dan mengurangi penderitaan yang dialami.

Dalam restorative justice, pelaku harus bertanggung jawab penuh sehingga

diharapkan pelaku dapat menyadari kesalahannya. Terkait dengan tujuan

pemidanaan dengan konsep restorative justice, dapat dilihat beberapa pendapat

sarjana, yaitu Barda Nawawi Arief yang menyebutkan bahwa syarat pemidanaan

ada dua hal yang fundamental yaitu asas legalitas dan asas kesalahan, dengan kata

lain pemidanaan berhubungan erat dengan dengan pokok pikiran mengenai tindak

pidana dan pertanggungjawaban pidana.316

Andi Hamzah menyatakan bahwa

masalah penjatuhan pidana atau pemidanaan sangat penting dalam hukum pidana

dan peradilan pidana. Penjatuhan pidana atau pemidanaan merupakan konkretisasi

atau realisasi peraturan pidana dalam undang-undang yang merupakan suatu

315

Lihat berbagai definisi lainnya dalam Ivo Aertsen, et.al, Restorative Justice and the Active

Victim: Exploring the Concept of Empowerment, Journal TEMIDA, Mart 2011, 8-9. 316

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Cet. II, (Bandung: Citra Aditya

Bakti), 2002, hal. 88.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

131

abstrak.317

Kemudian hakim mempunyai kekuatan yang luar biasa dalam memilih

berapa lama pidana penjara yang akan dijatuhkan kepada terdakwa pada kasus

konkret.318

Konsep restorative justice menawarkan jawaban atas isu-isu penting

dalam penyelesaian perkara pidana, yaitu:

1. Kritik terhadap sistem peradilan pidana yang tidak/kurang memberikan

kesempatan khususnya bagi korban (criminal justice system that

disempowers individu);

2. Menghilangkan/mengurangi konflik, khususnya antara pelaku dengan

korban dan masyarakat (taking away the conflict from them);

3. Fakta bahwa perasaan ketidakberdayaan yang dialami, sebagai akibat dari

tindak pidana harus diatasi untuk mencapai perbaikan (in order to achieve

reparation).319

Praktik dan program restorative justice tercermin pada tujuannya yang

menyikapi tindak pidana dengan cara:

1. Identifying and taking steps to repair harm (mengidentifikasi dan

mengambil langkah-langkah untuk memperbaiki kerugian/kerusakan);

2. Involving all stakeholders (melibatkan semua pihak (pelaku, korban dan

mayarakat yang berkepentingan) dan;

3. Transforming the traditional relationship between communities and their

governments in responding to crime; yaitu transformasi dari pola dimana

masyarakat dan negara menghadapi pelaku dengan pengenaan sanksi

pidana menjadi pola hubungan kooperatif antara pelaku di satu sisi dengan

masyarakat/korban dalam menyelesaikan masalah akibat kejahatan.320

Peradilan restoratif dalam hal ini merubah paradigma dari pola berhadap-

hadapan antara pelaku dengan korban dan negara menjadi pola kooperatif atau

integrasi, persoalan kejahatan sebagai tindakan oleh pelaku terhadap individu atau

masyarakat bukan terhadap negara “Restorative Justice is commonly known as a

317

Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia dari Retribusi ke Reformasi, Cet. I,

(Jakarta: Pradnya Paramita, 1986), hal. 72. 318

Ibid. 319

Ibid. 320

McCold and Wachtel, Restorative practices, The Inter-national Institute for Restorative

Practices (IIRP), New York: Criminal Justice Press & Amsterdam: Kugler Publications Journal,

Vol. 85-101, 2003, 7.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

132

theory of criminal justice that focuses on crime as an act by an offender against

another individual or community rather than the state”.321

Ada beberapa prinsip

dasar yang menonjol dari restorative justice terkait hubungan antara kejahatan,

pelaku, korban, masyarakat dan negara, yaitu:

1. Kejahatan ditempatkan sebagai gejala yang menjadi bagian tindakan sosial

dan bukan sekedar pelanggaran hukum pidana;

2. Restorative Justice adalah teori peradilan pidana yang fokusnya pada

pandangan yang melihat bahwa kejahatan adalah sebagai tindakan oleh

pelaku terhadap orang lain atau masyarakat daripada terhadap negara. Jadi

lebih menekankan bagaimana hubungan/tanggungjawab pelaku (individu)

dalam menyelesaikan masalahnya dengan korban dan atau masyarakat;

3. Kejahatan dipandang sebagai tindakan yang merugikan orang dan

merusak hubungan sosial. Ini jelas berbeda dengan hukum pidana yang

telah menarik kejahatan sebagai masalah negara, hanya negara yang

berhak menghukum;

4. Munculnya ide restorative justice sebagai kritik atas penerapan sistem

peradilan pidana dengan pemenjaraan yang dianggap tidak efektif

menyelesaikan konflik sosial.

Konsep ini menawarkan bentuk penyelesaian berbagai kasus hukum yang

terjadi di luar proses peradilan pidana yang sudah ada, agar masyarakat tidak

hanya tergantung pada prosedur yang ada saat ini. Namun tetap mendapatkan

keadilan dan penyelesaian masalah terutama untuk korban sebagai pihak yang

paling dirugikan (menderita), di samping juga untuk pertanggungjawaban pelaku.

Salah satu bentuk solusi yang ditawarkan adalah proses penyelesaian dalam

konteks restorative justice (keadilan restoratif). Beberapa tipikal dari restorative

justice, antara lain:

1. Victim offender mediation (memediasi antara pelaku dan korban);

2. Conferencing (mempertemukan para pihak);

3. Circles (saling menunjang);

4. Victim assistance (membantu korban);

5. Exoffender assistance (membantu orang yang pernah melakukan

kejahatan);

321

Ibid.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

133

6. Restitution (memberi ganti rugi/menyembuhkan);

7. Community service (pelayanan masyarakat).322

Konsep restorative justice meliputi pemulihan hubungan antara pihak

korban dan pelaku. Pemulihan hubungan ini bisa didasarkan atas kesepakatan

bersama antara korban dan pelaku. Pihak korban dapat menyampaikan mengenai

kerugian yang dideritanya dan pelaku pun diberi kesempatan untuk menebusnya,

melalui mekanisme ganti rugi, perdamaian, kerja sosial, maupun kesepakatan-

kesepakatan lainnya. Hal ini menjadi penting, karena proses pemidanaan

konvensional tidak memberikan ruang kepada pihak yang terlibat, dalam hal ini

korban dan pelaku untuk berpartisipasi aktif dalam penyelesaian masalah mereka.

Partisipasi aktif dari masyarakat seakan tidak menjadi penting lagi,

semuanya hanya bermuara pada putusan pengadilan dalam bentuk pemidanaan

(punishment) tanpa melihat esensinya. Padahal, dalam suatu peradilan pidana

pihak-pihak yang berperan adalah penuntut umum, hakim, terdakwa, dan

penasehat hukum serta saksi-saksi. Pihak korban diwakili oleh penuntut umum

dan untuk menguatkan pembuktian lazimnya yang bersangkutan dijadikan saksi

(korban).323

Namun belumlah memberikan dampak atau manfaat yang nyata bagi

korban kejahatan. Beberapa negara sudah mulai memikirkan alternatif lain untuk

menyelesaikan konflik yang ada dalam masyarakat. Hal ini disebabkan karena

ketidakpuasan dan frustasi terhadap penerapan hukum pidana yang ada selama ini,

serta penerapan sistem peradilan pidana (Criminal Justice System) yang tidak

322

Marian Liebmann, Restorative Justice, How it Work, (London and Philadelphia: Jessica

Kingsley Publishers, 2007), 25. 323

Bambang Waluyo, Viktimologi Perlindungan Saksi dan Korban, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011),

8.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

134

memberikan keadilan bagi individu, perlindungan kepada korban, dan tidak

memberikan manfaat kepada masyarakat.

Konsep restorative justice juga dianggap sesuai dengan nilai-nilai

Pancasila yang merupakan sumber segala sumber hukum Indonesia serta

merupakan sistem hukum yang bersumber dan berakar pada berbagai sistem

hukum yang digunakan oleh masyarakat Indonesia, yang meliputi sistem hukum

Adat, dan sistem hukum Islam yang mengutamakan musyawarah dalam

penyelesaian masalah (konflik) yang terjadi antar sesama anggota masyarakat.

Satjipto Rahardjo mengatakan, penegakan hukum mengatur suatu usaha untuk

mewujudkan ide-ide dan konsep-konsep menjadi kenyataan. Penegakan hukum

adalah suatu proses mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan.

Yang disebut dengan keinginan-keinginan hukum di sini tidak lain adalah pikiran-

pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-

peraturan hukum itu. Pembicaraan mengenai proses penegakan hukum ini

menjangkau pula sampai kepada pembuat hukum. Perumusan pikiran-pikiran

pembuat undang-undang (hukum) yang dituangkan dalam peraturan hukum akan

turut menentukan bagaimana penegakan hukum itu dijalankan.324

Jadi, tidak bisa

dipisahkan begitu saja penegakan hukum dan pembuatan hukum.

Penegakan hukum harus menjamin adanya keadilan dan kepastian hukum,

agar setiap warga negara mematuhi hukum yang berlaku di dalam masyarakat.

Menurut Rudi Hartono, sejalan dengan asas restitution in integurm,325

bahwa

keseimbangan dalam masyarakat yang telah terganggu (karena tidak dilaksanakan

324

Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, (Jakarta: Badan

Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, 1993), 116. 325

Rudi Hartono, Kewenangan Kepolisian Menurut KUHAP Dalam Perspektif HAM, makalah

Semiloka: KUHAP dan Menuju Fair Trial Victim Protection. LBH Yogyakarta, 24 Juli 2013, 1.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

135

atau dilanggarnya suatu aturan hukum) harus dipulihkan ke keadaan semula,

untuk tujuan menciptakan suasana yang teratur, tertib, damai, dan aman, yang

merupakan jaminan bagi kelangsungan hidup manusia. Oleh karena itu, agar

perlindungan manusia (justiabelen) terlindungi, sesuai dengan adagium “fiat

justitia et pereat mundus” hukum harus ditegakkan walaupun langit runtuh, baik

dalam keadaan normal atau damai, atau pada saat terjadi pelanggaran hukum.

Tentunya, sebagai sebagai negara yang menganut sistem Eropa Kontinental,326

sedapat mungkin nilai-nilai dinyatakan dalam bentuk undang-undang, termasuk

dalam hal nilai dan kaidah penegakan hukum.

Restorative justice merupakan fenomena baru dalam penegakan hukum di

Indonesia, yang selama ini dianggap telah merusak keadilan masyarakat dan

dianggap jauh dari nilai-nilai Pancasila. Selama ini kita menyaksikan berbagai

kasus hukum yang terjadi mulai dari seorang nenek yang mencuri mangkok,

seorang nenek yang mencuri satu buah semangka, seorang anak yang mencuri

sandal jepit, seorang anak yang menuntut ibu kandungnya, dan berbagai masalah

hukum lainnya yang sebenarnya sepele dan ringan ataupun perbuatan-perbuatan

yang dikategorikan sebagai tindak pidana yang sebenarnya juga dapat diselesaikan

dengan konsep restorative justice tersebut.

2. Konsep Restorative Justice

Penegakan hukum bukanlah merupakan suatu kegiatan yang berdiri

sendiri, melainkan mempunyai hubungan timbal balik yang erat dengan

masyarakatnya. Struktur masyarakat memberikan pengaruh, baik berupa

326

Munir Fuady, Aliran Hukum Kritis, Paradigma Ketidakberdayaan Hukum, (Bandung: Citra

Aditya Bakti, 2003), 58-59.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

136

penyediaan sarana sosial yang memungkinkan penegakan hukum itu dijalankan,

maupun memberikan hambatan-hambatan yang menyebabkan ia tidak dapat

dijalankan atau kurang dapat dijalankan secara optimal.327

Ada tiga prinsip dasar untuk membentuk restorative justice, yaitu:328

1. There be a restoration to those who have been injured (Terjadi pemulihan

kepada mereka yang menderita kerugian akibat kejahatan);

2. The offender has an opportunity to be involved in the restoration if they

desire (Pelaku memiliki kesempatan untuk terlibat dalam pemulihan

keadaan (restorasi); dan

3. The court systems role is to preserve the public order and the communits

role is to preserve a just peace (Pengadilan berperan untuk menjaga

ketertiban umum dan masyarakat berperan untuk melestarikan perdamaian

yang adil).

Keadilan dalam restorative justice mengharuskan untuk adanya upaya

memulihkan/mengembalikan kerugian atau akibat yang ditimbulkan oleh tindak

pidana, dan pelaku dalam hal ini diberi kesempatan untuk dilibatkan dalam upaya

pemulihan tersebut, semua itu dalam rangka memelihara ketertiban masyarakat

dan memelihara perdamaian yang adil. Justice Peace dalam restorative justice

ditempuh dengan restorative conferencing yaitu mempertemukan antara pelaku,

korban dan masyarakat untuk mencari atau memutuskan cara yang terbaik

mengatasi dampak atau akibat dari kejahatan (decide how best to repair the

harm). Selain itu pertemuan (conferencing) juga dimaksudkan untuk memberi

kesempatan kepada korban untuk menghadapi pelaku guna mengungkapkan

perasaannya, menanyakan sesuatu dan menyampaikan keinginannya; pelaku dapat

mendengar langsung bagaimana perilakunya atau perbuatannya telah

menimbulkan dampak/kerugian pada orang lain; pelaku kemudian dapat meminta

maaf dengan memperbaiki kerusakan atau kerugian dari akibat perbuatannya,

327

Satjipto Rahardjo…, 30. 328

From Wikipedia, the free encyclopedia http://en.wiki-pedia.org/wiki/Restorative_justice.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

137

memperbaiki kesalahan dan menyetujui ganti rugi keuangan atau melakukan

pekerjaan pelayanan.329

Adapun semangat yang terkandung di dalamnya meliputi: search solutions

(mencari solusi); repair (memperbaiki); reconciliation (perdamaian); dan the

rebuilding of relationships (membangun kembali hubungan). Semangat

restorative justice itu kemudian memunculkan standar program sebagai berikut:

1. Encounter, yaitu menciptakan peluang bagi korban, pelaku dan anggota

masyarakat yang ingin melakukannya untuk bertemu membicarakan tindak

pidana dan bagaimana sesudahnya;

2. Amends, yaitu mengharapkan pelaku untuk mengambil langkah-langkah

guna memperbaiki kerugian yang telah disebabkannya termasuk

pemberian ganti rugi;

3. Reintegration, yaitu baik korban maupun pelaku sama-sama dipulihkan/

disembuhkan/diperbaiki, serta berkontribusi sebagai anggota masyarakat;

4. Inclusion, yaitu memberi kesempatan kepada para pihak yang terkait

dengan tindak pidana (all stakeholders) dapat berpartisipasi dalam mencari

pemecahan masalah.330

Di Amerika Utara, Australia, dan sebagian Eropa, keadilan restoratif sudah

diterapkan pada semua tahap proses peradilan pidana konvensional yaitu tahap

penyidikan dan penuntutan, tahap adjudikasi dan tahap eksekusi pemenjaraan.331

Dalam perkembangannya, pertumbuhan dan penyebaran keadilan restoratif

mendapat dukungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dalam Kongres Lima

Tahunan yang ke-5 di Jenewa tahun 1975, PBB mulai menaruh perhatian terhadap

ganti rugi bagi korban kejahatan, sebagai alternatif bagi peradilan pidana

retributif.

329

Morris and Max-well, 2001, Restorative or Community Conferencing, The IIRP, 17. 330

Lihat pula http://en.wikipedia.org/wiki/Restorative justice. Create opportunities for victims,

offenders and community members who want to do so to meet to discuss the crime and its

aftermath; Expect offenders to take steps to repair the harm they have caused including

restitution; that both victims and offenders are restored to whole, contributing members of

society; Provide opportunities for parties/that all stakeholders in a crime can participate in its

resolution. 331

Eriyantouw Wahid, Keadilan Restoratif dan Peradilan Konvensional dalam Hukum Pidana,

(Jakarta: Universitas Trisakti, 2009), 1.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

138

Konsep dan praktek keadilan restoratif ditemukan juga berasal dari praktek

pemeliharaan perdamaian yang digunakan suku bangsa Maori (penduduk asli

suku di Selandia Baru). Bilamana timbul konflik, praktek restoratif akan

menangani pihak pelaku, korban, dan para stakeholders.332

Bahkan Jeff Christian,

seorang pakar Lembaga Pemasyarakatan Internasional dari Kanada

mengemukakan bahwa sesungguhnya peradilan restoratif telah dipraktekkan

banyak masyarakat ribuan tahun yang lalu, jauh sebelum lahirnya hukum negara

yang formalitas seperti sekarang yang kemudian disebut hukum modern.333

Pada dasarnya restorative justice mengutamakan makna pertemuan antar

pihak berkepentingan dalam kejahatan dan periode sesudahnya. Seperti

dikemukakan oleh Achmad Ali yang mengutip pendapat Howard Zher seorang

perintis keadilan restoratif di Amerika Serikat, mengartikan restorative justice

adalah suatu proses yang melibatkan pihak-pihak yang berkepentingan dari

sebuah pelanggaran khusus dan secara bersama-sama mengidentifikasi kerugian

serta memenuhi kewajiban dan kebutuhan serta menempatkan perubahan sebagai

hak yang harus diterima.334

Adrianus Meliala mengutip pendapat Morrison

tentang restoratif adalah is a form of conflict resolution and seeks to make it clear

to offender that the behaviour id not condoned (welcomed), at the same time as

being supportive resfectful of the individual.335

Berdasarkan pendapat tersebut,

upaya penyelesaian konflik dan sekaligus penyembuhan antara pelaku dan korban

caranya adalah dengan mempertemukan atau mengenalkan pelaku dalam satu

332

Hadi Supeno, Kriminalisasi Anak, Tawaran Gagasan Radikal Peradilan Anak Tanpa

Pemidanaan, (Jakarta: Gramedia, 2010), 196. 333

Ibid. 334

Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence),

(Jakarta: Kencana Prenada Media, 2009), 247. 335

Adrianus Maliala, Restorative Justice dan Penegakan Hukum, Bahan Kuliah Mahasiswa PTIK

Ang 54/55, Jakarta, 2009.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

139

forum dengan korban ataupun keluarganya untuk menumbuhkan empati di kedua

belah pihak.

Dengan demikian, dalam penyelesaian konflik yang ditonjolkan bukan

menegaskan kesalahan pelanggar kemudian menjatuhkan sanksi pidana, tetapi

peran aktif pihak yang berkonflik melalui mediasi atau kompensasi terhadap

kerugian materiil dan immateriil dalam bentuk restitusi atau kompensasi dan

pemulihan keharmonisan hubungan kemanusiaan antar para pihak-pihak

(humanisasi). Van Ness, seperti dikutip oleh Mudzakir, mengatakan bahwa

keadilan restoratif (restorative justice) dicirikan dengan beberapa preposisi, yaitu:

a) Kejahatan adalah konflik antar individu yang mengakibatkan kerugian

pada korban, masyarakat, dan pelaku itu sendiri;

b) Tujuan yang harus dicapai dari proses peradilan pidana adalah melakukan

rekonsiliasi diantara pihak-pihak sambil saling memperbaiki kerugian

yang ditimbulkan oleh kejahatan; dan

c) Proses peradilan pidana harus memfasilitasi partisipasi aktif para korban,

pelanggar, dan masyarakat, tidak semestinya peradilan pidana didominasi

oleh negara dengan mengesampingkan lainnya.336

Berdasarkan pendapat tersebut, seyogyanya sistem peradilan pidana dapat

dilakukan dengan berbagai pendekatan-pendekatan yang tetap menegakan

keadilan baik bagi korban maupun pelaku kejahatan. Secara teoritis terdapat tiga

model yang menempatkan hubungan keadilan restoratif dengan sistem peradilan

pidana, yaitu:337

1. Sebagai bagian dari sistem peradilan pidana. Adalah masuk akal jika

keadilan restoratif sebagai suatu pemidanaan mengingat ciri dari

pemidanaan adalah memaksa, menderitakan seiring dengan timbulnya rasa

bersalah dan penyesalan dalam diri pelaku;

2. Di luar sistem peradilan pidana melalui lembaga/institusi lain di luar

sistem. Pandangan keadilan restoratif berbanding terbalik dengan sistem

336

Mudzakir, Viktimologi: Studi Kasus di Indonesia, makalah, pada Penataran Nasional Hukum

Pidana dan Kriminologi ke XI, Tahun 2005, Surabaya. 337

Eva Achjani Zulfa, Keadilan Restoratif di Indonesia (Studi tentang kemungkinan penerapan

pendekatan keadilan restoratif dalam praktek penegakan hukum pidana), Disertasi, pada

Universitas Indonesia, 2009, 180-183.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

140

peradilan pidana yaitu mengharamkan sifat keras dari hukum pidana”atau

disebut sebagai soft justice karenanya dia harus berada di luar sistem

peradilan pidana; dan

3. Tetap melibatkan pihak penegak hukum. Ini merupakan gambaran dari

sistem kuasi, pada dasarnya model penyelesaian ini dapat dijadikan dasar

dari strategi penanganan perkara pidana yang tujuannya diarahkan pada

kebaikan pelaku, korban, dan masyarakat.

Braithwaite mengemukakan konsep Shaming and Reintegration atau

reintegrative shaming adalah aspek inti dari teori restorative justice yaitu kaitan

dengan pelaku untuk membantu korban dan anggota masyarakat lain dalam

pertanggungjawaban mereka atas perilaku yang tidak bisa diterima. Reintegrative

shaming dimana pelaku menerima tanggung jawab atas tindakan mereka (malu)

dan berusaha untuk menebus kesalahan (reintegrasi) kepada korban dan terkadang

masyarakat.338

Cara yang ditempuh dalam peradilan restoratif jelas kontras

dengan penanganan tindak pidana yang selama ini dilakukan, sebagai

dikemukakan oleh Morris sebagai berikut:

This process is in stark contrast to the established way of addressing crime

which are seen as offences committed against the State, rather than on the

actual victim and community where it occurred. Restorative justice lebih

memposisikan para pihak secara bersama-sama daripada menempatkan

mereka terpisah, lebih menjalin kembali hubungan/harmoni daripada

memecah belah, lebih berupaya menciptakan keutuhan daripada terpecah

belah. Kebajikan dan prinsip panduan yang mengikuti dalam restorative

justice harus dilihat tidak secara linear atau hirarkis (yang merupakan cara

dari sistem modern) melainkan sebagai kesatuan dari bagian yang saling

berhubungan.339

Pelibatan ini terkait dengan tahapan-tahapan penegakan hukum pidana di

tingkat penyidikan, terutama dalam proses penegakan hukum kasus-kasus tertentu

di Indonesia berdasarkan pada berat ringannya pidana yang dilakukan, besar

kecilnya kerugian yang ditimbulkan, kondisi latar belakang dan motif pelaku,

338

John Brithwaite, Restorative Justice and Responsive Regulation, (University, Oxford, 2002). 339

Morris and Max-well, 2001, Restorative or Community Conferencing, The IIRP, 17.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

141

serta kondisi sosiologis masyarakat setempat. Lebih jauh lagi, apabila dilihat dari

pengaturan tentang restorative justice secara internasional, jelaslah bahwa

penggunaan restorative justice sebagai upaya penyelesaian perkara pidana, sudah

diakui secara internasional. Konsep ini juga sesuai dengan hukum yang hidup

dalam masyarakat Indonesia (hukum adat).

Di Indonesia sendiri, sebenarnya konsep restorative justice ini telah lama

dipraktekkan dalam masyarakat Indonesia, seperti masyarakat di Papua, Bali,

Toraja, Minangkabau, Kalimantan, Jawa Tengah, dan masyarakat komunitas lain

yang masih kuat memegang kebudayaan. Apabila terjadi suatu tindak pidana oleh

seseorang (termasuk perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh anak).

Dalam prakteknya penyelesaiannya dilakukan dalam pertemuan atau musyawarah

mufakat yang dihadiri oleh tokoh masyarakat, pelaku, korban (bila mau), dan

orang tua pelaku untuk mencapai sebuah kesepakatan untuk memperbaiki

kesalahan. Hal demikian sebenarnya merupakan nilai dan ciri dari falsafah bangsa

Indonesia yang tercantum dalam sila keempat Pancasila, yaitu musyarawah

mufakat.

Dengan demikian, restorative justice sebetulnya bukan hal yang baru bagi

masyarakat Indonesia. Dalam musyawarah mufakat bertujuan untuk mencapai

kedamaian, sehingga antara pelaku dan korban tidak ada dendam dan korban

dapat dipulihkan (direstor). Musyawarah mufakat dalam konteks restorative

justice bisa dilakukan dengan cara, antara lain: mediasi, pembayaran ganti rugi,

ataupun cara lain yang disepakati antara korban/keluarga korban dengan pelaku.

Pihak lain bisa ikut serta dalam masalah ini, misalnya polisi, pengacara atau tokoh

masyarakat sebagai penengah. Apabila penyelesaian ini tidak ada sepakat antara

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

142

korban/keluarga korban dengan pelaku, maka selanjutnya penyelesaian masalah

tersebut diproses secara mekanisme pengadilan yang ada (litigasi).

3. Restorative Justice dan Hak Asasi Manusia

a. Restorative Justice

Restorative Justice atau sering diterjemahkan sebagai keadilan restoratif

merupakan suatu model pendekatan yang muncul dalam era tahun 1960-an dalam

upaya penyelesaian perkara pidana. Berbeda dengan pendekatan yang dipakai

pada sistem peradilan pidana konvensional, pendekatan ini menitikberatkan

adanya partisipasi langsung dari pelaku, korban dan masyarakat dalam proses

penyelesaian perkara pidana. Terlepas dari kenyataan tersebut bahwa pendekatan

ini masih diperdebatkan secara teoritis, akan tetapi pandangan ini pada

kenyataannya berkembang dan banyak mempengaruhi kebijakan hukum dan

praktik di berbagai negara.340

Konsep dalam Restorative Justice menyangkut

kepentingan pelaku dan kewajiban pelaku yaitu agar pelaku kembali menjadi

warga yang bertanggung jawab baik terhadap korban, keluarganya dan

masyarakat sekelilingnya. Dengan kata lain, konsep ini mencerminkan cara

menyelesaikan perbuatan (tindak) pidana diluar proses peradilan atau sekurang-

kurangnya tidak sepenuhnya mengikuti acara peradilan pidana.341

Tujuan pemidanaan dalam Restorative Justice adalah untuk mengembalikan

pelaku menjadi warga yang baik dan bertanggungjawab. Beberapa contoh kasus

yang dapat diselesaikan secara Restorative Justice, kecelakaan lalu lintas yang

340

Adrianus Meliala, Power Point presentasi: Restorative Justice, Apa dan Bagaimana? www.adri

anusmeliala.com/files/kuliah/kul 19082009103919.ppt, diakses 15 Januari 2020. 341

Ibid. hal. 4.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

143

menyebabkan kematian korban terlihat bahwa pertemuan antara pelaku dan

keluarga korban dapat dilakukan sepanjang hal ini dapat difasilitasi oleh mediator.

Demikian juga pada kasus perkosaan, meskipun bukan gambaran utuh dari

penerapan pendekatan restorative baik pelaku dan keluarga korban, tetapi

keluarga pelaku dan keluarga korban dapat bertemu muka untuk sama-sama

mencapai suatu kesepakatan yaitu menikahkan putra putrinya. Tetapi dalam

kenyataan dilapangan hal tersebut sangat sulit untuk ditempuh, karena

kencenderungan manusia sulit untuk menerima suatu musibah, dan sulit

memaafkan si pelaku kejahatan tersebut.

Restorative Justice dapat digunakan dalam menjatuhkan suatu hukuman

atau sanksi, dimana tujuan pemidanaan haruslah untuk meringankan keluarga

yang ditinggalkan. Sebagai contoh, hukuman bagi si pelaku apabila korban adalah

seorang kepala keluarga yang memiliki seorang anak yang masih bersekolah di

sekolah dasar, hukuman dapat diberikan dengan menanggung biaya sekolah atau

hidup bagi anak yang ditinggalkan atau keluarganya, karena pada saat ayahnya

menjadi korban, maka tulang punggung keluarga hilang. Di negeri Belanda, Turki

dan berbagai Negara lain, perlindungan kepentingan korban telah terintegrasi

dalam sistem peradilan pidana, tidak perlu ada gugatan tersendiri.342

b. Hak Asasi Manusia (HAM).

Setiap manusia di dunia ini memiliki hak yang melekat tanpa pengecualian,

seperti hak untuk hidup, hak atas keamanan, hak bebas dari segala macam penindasan

dan lain-lain hak yang universal disebut Hak Asasi manusia (selanjutnya disebut

HAM). HAM telah menjadi issue yang mendunia disamping demokrasi dan

342

Ibid, 6.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

144

masalah lingkungan hidup, bahkan telah menjadi tuntutan yang sangat perlu

perhatian yang serius bagi Negara untuk menghormati, melindungi, membela dan

menjamin hak asasi warga negara dan penduduk tanpa diskriminasi.343

Sejarah

mencatat bahwa ide Bung Hatta ternyata diakomodasikan di dalam Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 UUD 45 yang disyahkan

dalam sidang PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945. Akomodasi tersebut

nampaknya merupakan kompromi agar tidak terjadi perdebatan yang

berkepanjangan yang akhirnya akan merintangi tercapainya rumusan konstitusi itu

sendiri agar Indonesia merdeka.344

Keputusan untuk memberikan tempat yang

terhormat bagi HAM dalam UUD 45 adalah merupakan keputusan politik yang

tepat dan visioner oleh para perumus konstitusi pada saat itu.

Jaminan terhadap Hak Asasi manusia memang harus dicantumkan secara

ekplisit dan luas cakupannya dalam konstitusi karena dalam prakteknya Negara

mudah tergelincir menindas HAM warganegaranya.345

Manusia menurut

kodratnya memiliki hak yang melekat tanpa pengecualian, seperti hak untuk

hidup, hak atas keamanan, hak bebas dari segala macam penindasan dan lain-lain

hak yang secara universal disebut HAM. HAM juga harus dijamin oleh Negara

terhadap setiap individu, baik warga negaranya maupun warga negara asing, tanpa

membedakan ras, bangsa, agama ataupun golongan tertentu. Setiap individu harus

dijamin haknya, karena itu HAM tidak dapat dicabut oleh siapapun termasuk

343

Deni Kamaludin Yusuf, Proses Legislasi UU no 39 Tahun 1999, Tentang Hak Asasi Manusia‟

(HAM), Knowledge Leader, Program Pascasarjana UIN SGD, Bandung, 2010. 344

Koesparmono Irsan, Hukum dan Hak Asasi Manusia (Jakarta: Yayasan Brata Bhakti, 2009), 2. 345

Jimly Assiddiqie, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia dari UUD 1945 sampai

dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002 (Jakarta: Prenada Media, 2005), vii.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

145

dirinya sendiri. Istilah HAM berarti hak tersebut ditentukan dalam hakikat

kemanusiaan dan demi kemanusiaan.346

Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia (HAM),

lahir dari suatu kenyataan dan tantangan reformasi hukum di Indonesia. UU ini

lahir dari sikap positif Pemerintah RI atas resolusi Komisi Tinggi HAM PBB

bahwa setiap negara anggota PBB berkewajiban melindungi hak-hak dasar warga

negaranya tanpa membeda-bedakan suku, bangsa, agama, bahasa, dan status sosial

lainnya. Hukum HAM lahir pada tanggal 10 Desember 1948 melalui sebuah

konsensus internasional pada Sidang Majelis Umum PBB (Universal Declaration

of Human Rights). Dalam perkembangannya UDHR diikuti hukum internasional

turunan lainnya, antara lain International Covenant on Civil and Political Rights

(ICCPR) dan International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights

(ICESCR), sebagai pedoman hukum internasional yang berkaitan dengan HAM.

Pandangan filosofis atas UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM adalah

sebagai berikut:

1) Secara ontologis setiap individu adalah orang yang bebas, ia memili hak-

hak dan kewajiban yang sama antara satu dengan yang lain dalam konteks

social;

2) Secara epistimologis, jaminan persamaan atas setiap hak-hak dasar

kemanusiaan berikut kewajiban-kewajiban yang melekat di dalamnya,

mesti dibatasi oleh hukum (hukum HAM);

3) Tujuan dibuatnya hukum HAM adalah sebagai hukum materiil yang

mengatur proses penegakan HAM di masyarakat.

346

Anton Beker, dalam St. Harum Pudjiarto, Hak Asasi Manusia kajian Filosofis dan

Implementasinya Dalam Hukum Pidana di Indonesia, (Atmajaya, Yogyakarta, 1999), 2.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

146

Berdasarkan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, pemerintah

berkewajiban menggaransi hak-hak dasar kemanusiaan warganya melalui sebuah

lembaga independen yang disebut Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas

HAM). Hal ini dapat kita lihat dalam konsideran UU HAM ini, bahwa hak asasi

manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia,

bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati,

dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun.

c. Konsep Penegakan Hukum Restorative Justice.

Secara konseptual, Restorative Justice berisi gagasan-gagasan dan prinsip-

prinsip seperti, membangun partisipasi bersama antara pelaku, korban, dan

kelompok masyarakat menyelesaikan suatu peristiwa atau tindak pidana.

Menempatkan pelaku, korban dan masyarkat sebagai “stakeholder” yang bekerja

bersama dan langsung berusaha menemukan penyelesaian yang dipandang adil

bagi semua pihak. Selain itu, untuk mendorong pelaku adalah untuk mendorong

pelaku bertanggung jawab terhadap korban atas peristiwa atau tindak pidana yang

telah menimbulkan cedera, atau kerugian terhadap korban, yang selanjutnya

membangun tanggung jawab tidak mengulangi lagi perbuatan pidana yang pernah

dilakukannya.

Keunggulan dari konsep Restorative Justice adalah: dari sisi korban akan

lebih mampu memberi atau memenuhi secara lebih baik kebutuhan dan rasa puas

dibandingkan dengan proses peradilan. Bagi pelaku; akan mendapatkan

kesempatan meraih kembali kehidupannya secara normal dan menjaga rasa

hormat masyarakat, serta kesempatan untuk bertaubat dan memperbaiki diri lagi.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

147

Selanjutnya dari pandangan sisi masyarakat, pelaku menjadi kurang berbahaya,

uang yang dipergunakan untuk melaksanakan pidana dapat dipakai untuk

melakukan tindakan preventif atau konstruksi lainnya.347

Terlepas dari aspek-aspek positif, tentu saja konsep ini juga akan menemui

kendala-kendala yang akan dihadapi apabila konsep ini diaplikasikan, kelemahan

dari Restorative Justice bahwa hanya dapat dijalankan pada pelaku yang

mengakui atau diketahui pasti sebagai pelaku. Bagi pelaku yang tidak mengakui

perbuatannya sulit sekali untuk dijalankan karena konsep ini memerlukan

kesadaran, tanggung jawab dan partisipasi dari pelaku. Selanjutnya dalam hal ini

pembuktian haruslah tetap dijalankan dan proses akan berlanjut pada sistem

peradilan pidana secara normal. Dilematis dari Restorative Justice akan timbul,

karena di Indonesia tujuan hukum masih belum jelas ditafsirkan, maka dari itu sifat

melawan hukum tidak akan hapus karena perdamaian. Tujuan penegakan hukum

yang sesungguhnya bukan menerapkan hukum, melainkan mencapai ketertiban,

kedamaian, ketentraman, dalam tatanan masyarakat yang harmonis dan adil.

Karena itu, seyogyanya penegak hukum benar-benar memperhatikan langkah-

langkah sosial yang ditempuh dalam menyelesaikan suatu pelanggaran hukum.

Setiap manusia didunia ini memiliki hak yang melekat tanpa pengecualian, seperti

hak untuk hidup, hak atas keamanan, hak bebas dari segala macam penindasan

dan lain-lain hak yang universal disebut Hak Asasi manusia (HAM).

Pendekatan ini masih banyak diperdebatkan secara teoritis, akan tetapi

pandangan ini pada kenyataannya berkembang dan banyak mempengaruhi

347

Garry Johnstone, Restorative Justice, (WP, 2002), 2.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

148

kebijakan hukum dan praktik di berbagai negara. Pro dan Kontra terhadap konsep

Restorative Justice masih terus bergulir sampai dengan tujuan pemidanaan dari

suatu pemberian sanksi hukuman kepada pelaku memiliki tujuan yang jelas.

Dalam Rancangan Undang-undang KUHP yang baru, disana dijelaskan bahwa

setiap kali hakim memutuskan suatu keputusan hukuman, haruslah dijelaskan

mengenai tujuan pemidanaan tersebut.

B. Hukum Pidana Islam.

1. Pengertian Hukum Pidana Islam.

Fikih Jinayah terdiri dari dua kata, yaitu Fikih dan Jinayah. Pengertian

fikih secara bahasa berasal dari lafal faqiha, yafqahu fiqhan, yang berarti

mengerti, paham. Pengertian fikih secara istilah yang dikemukakan oleh Abdul

Wahab Khallaf adalah ilmu tentang hukum-hukum syara praktis yang diambil

dari dalil-dalil yang terperinci. Atau fikih adalah himpunan hukum-hukum syara‟

yang bersifat praktis yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci.348

Adapun

jinayah menurut bahasa adalah nama bagi hasil perbuatan seseorang yang buruk

dan apa yang diusahakan. Pengertian Jinayah secara istilah fuqaha sebagaimana

yang dikemukakan oleh Abdul Qadir Audah adalah suatu istilah untuk perbuatan

yang dilarang oleh syara, baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta, atau

lainnya.349

Dalam konteks ini pengertian Jinayah sama dengan jarimah. Pengertian

jarimah sebagaimana dikemukakan oleh Imam Al Mawardi adalah perbuatan-

348

Abdul Waha>b Khalla>f, Ilmu Us}u>li Al-Fiqh, Ad Da>r Al Kuwaitiyah, cetakan VIII, 1968, hal. 11.

Sebagaimana dikutip dalam H.A. Djazuli, Fiqih Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan

dalam Islam), 7. 349

Abdul Qa>dir ‘Audah, At Tasyri> Al Jina>’iy Al Isla>mi>, Juz I, (Dar Al Kitab Al Araby, Beirut),

67.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

149

perbuatan yang dilarang oleh syara‟ yang diancam oleh Allah dengan hukuman

had atau ta‟zir.350

Apabila kedua kata tersebut digabungkan maka pengertian fikih jinayah itu

adalah ilmu tentang hukum syara‟ yang berkaitan dengan masalah perbuatan yang

dilarang (jarimah) dan hukumannya, yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci.

Pengertian fikih jinayah tersebut di ats sejalan dengan pengertian hukum pidana

menurut hukum positif. Bahwa hukum pidana adalah serangkaian peraturan yang

mengatur masalah tindak pidana dan hukumnya. Sedangkan pengertian hukuman

sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Qadir Audah adalah pembalasan yang

ditetapkan untuk kemaslahatan masyarakat, karena adanya pelanggaran atas

ketentuan-ketentuan syara‟.351

Adapun dalam pemakaiannya kata jinayah lebih mempunyai arti lebih

umum (luas), yaitu ditunjukan bagi segala sesuatu yang ada sangkut pautnya

dengan kejahatan manusia dan tidak ditujukan bagi satuan perbuatan dosa

tertentu. Oleh karena itu, pembahasan fikih yang memuat masalah-masalah

kejahatan, pelanggran yang dikerjakan manusia, dan hukuman yang diancamkan

kepada pelaku perbuatan disebut Fiqih Jinayah dan bukan istilah Fiqih Jarimah.352

Fikih Jinayah adalah ilmu tentang hukum syara‟ yang berkaitan dengan masalah

perbuatan yang dilarang (jarimah) dan hukumannya (uqubah), yang di ambil dari

dalil-dalil yang terperinci. Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa objek

350

Abu> Al- Hasan ‘Ali> ibn Muhammad Al-Maward>i, Al Ahka>m As Sult}a>niyah, Mustafa> Al Bab

Al Halabi>, Mesir, Cet- III, 1973, 219. 351

Abdul Qadir Audah…, Juz I, 609. 352

Rahmat Hakim.., 15.”

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

150

pembahasan Fikih Jinayah itu secara garis besar ada dua, yaitu jarimah atau tindak

pidana dan uqubah atau hukumannya.353

Istilah jarimah menurut arti bahasa adalah segala sesuatu yang dipandang

tidak baik, dibenci oleh manusia, karena bertentangan dengan keadilan, kebenaran

dan jalan yang lurus (agama). Sedangkan secara istilah, jarimah merupakan

perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara‟ yang diancam dengan hukuman

had atau takzir.354

Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa, hukum

pidana Islam adalah aturan hukum Islam yang berasal dari nash Alquran maupun

hadis tentang kriminalitas, disertai dengan hukuman ataupun tidak, baik

berkenaan dengan jiwa, agama, kehormatan, nasab, harta, maupun segala hal yang

bertentangan dengan kebenaran atau keadilan.

Suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai jarimah apabila telah

memenuhi dua unsur, yaitu unsur umum dan unsur khusus. Unsur umum dari

jarimah yaitu sebagai berikut:355

1. Unsur formil (rukun syar‟i), Unsur ini mensyaratkan adanya larangan

dalam syara‟ yang yang disertai hukuman terhadapnya; Artinya, suatu

perbuatan baru dianggap sebagai pelanggaran terhadap syariat apabila

pelanggarannya telah diatur dan ditetapkan ketentuannya. Ketentuan

tersebut mencakup ketentuan syariat yang telah ditetapkan Allah, maupun

ketentuan tentang pelanggaraan atau kejahatan yang dibuat oleh manusia;

2. Unsur materil (rukun maddi), Unsur ini mensyaratkan terwujudnya

perbuatan yang membentuk jarimah. Baik perbuatan itu berupa tindakan

nyata, maupun sikap untuk tidak berbuat. Unsur materil ini dapat diukur

dari niat pelaku, perbuatan pelaku, ataupun akibat yang ditimbulkan dari

perbuatan yang dilakukan oleh pelaku jarimah;

3. Unsur moril (rukun adabi), Unsur ini mensyaratkan kemampuan untuk

dimintai pertanggungjawaban dari diri pelaku, yakni pembuat adalah

seorang mukalaf. Mukalaf ialah seorang muslim yang telah akil balig

(cukup umur), yang dianggap mengetahui hukum dan mampu bertindak

353

Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam., Jakarta: Sinar Grafika, cet-

II, 2006, ix. 354

Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah, (Jakarta:

Sinar Grafika, 2004), 9. 355

Ahmad Hanafi, Azas-Azas Hukum Pidana Islam (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1986), 6.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

151

hukum, baik terkait dengan perintah Allah maupun larangan-

larangannya.356

Dengan demikian, suatu perbuatan dikategorikan sebagai jarimah apabila

perbuatan tersebut telah memenuhi ketiga unsur yaitu unsur formil (rukun maddi),

unsur materil (rukun maddi), dan unsur moril (rukun adabi). Namun demikian,

selain unsur umum yang harus terpenuhi, suatu jarimah perlu juga memenuhi

unsur-unsur khusus. Unsur khusus ialah unsur yang hanya terdapat pada jarimah

tertentu. Unsur ini sebagai ciri dan pembeda antara bentuk dan jenis jarimah satu

dengan lainnya. Di antara pembagian jarimah yang paling penting adalah

pembagian yang ditinjau dari segi hukumannya. Jarimah ditinjau dari segi

hukumannya terbagi kepada tiga bagian, yaitu jari>mah hudu>d, jari>mah qis}a>s}-

diyat dan jari>mah ta’zi >r:

a. Jari>mah Hudu>d.

Hudud adalah suatu perbuatan atau sikap untuk tidak berbuat yang

menurut nash, telah ditetapkan larangan atas keharamannya beserta

hukumannya.357

Jarimah hudud adalah jarimah yang diancam dengan hukuman

had. Hukuman had merupakan hukuman yang ketentuan jenis, macam dan

jumlahnya telah menjadi hak Tuhan. Hak Tuhan sebagaimana yang dikemukakan

oleh Mahmud Syaltut, yaitu suatu hak dari Allah yang manfaatnya kembali

kepada masyarakat dan tidak terbatas pada seseorang.358

356

Haliman, Hukum Pidana Islam Menurut Ajaran Ahlussunah Wal Jamaah, (Jakarta: Bulan

Bintang, 1968), 67. 357

Rokhmadi, Reaktualisasi Hukum Pidana Islam Kajian tentang Formulasi Sanksi Hukum

Pidana Islam (Semarang: Departemen Agama IAIN Walisongo, 2005), 22. 358

Ibid..., 23.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

152

Hukuman had tidak bisa dihapuskan oleh perseorangan (korban atau

walinya) atau masyarakat yang mewakili (ulil amri).359

Abdul Qadir Audah

mengatakan bahwa hukuman had adalah hukuman yang telah ditentukan oleh

syara‟ dan merupakan hak Allah. Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa

ciri khas jarimah hudud itu adalah sebagai berikut:

1. Hukumannya tertentu dan terbatas, dalam arti bahwa hukuman tersebut

telah ditentukan oleh syara dan tidak ada batas minimal dan maksimal;

2. Hukuman tersebut merupakan hak Allah semata-mata, atau kalau ada hak

manusia di samping hak Allah maka hak Allah yang lebih dominan.

Jarimah hudud ini ada tujuh macam, yaitu:

a) Jarimah zina;

b) Jarimah qadzaf;

c) Jarimah syurb al-khamr;

d) Jarimah pencurian;

e) Jarimah hirabah;

f) Jarimah riddah; dan

g) Jarimah pemberontakan (Al-Bagyu).

Dalam jari>mah zina, syurbul khamr, hira>bah, riddah, dan pemberontakan

yang dilanggar adalah hak Allah semata-mata. Sedangkan dalam jarimah

pencurian dan qadzaf (penuduhan zina) yang disinggung di samping hak Allah,

juga terdapat hak manusia (individu), akan tetapi hak Allah lebih menonjol.360

Jarimah hudud terbagi menjadi dua kategori yaitu:

1. Peraturan yang menjelaskan kepada manusia berhubungan dengan

makanan, minuman, perkawinan, perceraian, dan lain-lain yang

diperbolehkan dan yang dilarang;”

2. Hukuman-hukuman yang ditetapkan atau diputuskan agar dikenakan

kepada seseorang yang melakukan hal yang terlarang untuk dikerjakan.361

359

Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam (Jogjakarta: Logung Pustaka, 2004), 12. 360

Mahmud Syaltut mengatakan bahwa hak allah adalah suatu hak yang manfaatnya kembali

kepada masyarakat dan tidak tertentu bagi seseorang. Oleh karena hukuman had itu merupakan

hak Allah, maka hukuman tersebut tidak bisa digugurkan oleh perseorangan (orang yang menjadi

korban atau keluarganya) atau oleh masyarakat yang diwakili oleh negara. Lihat Makhrus

Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, (Jogjakarta: Logung Pustaka, 2004), 12. 361

Abdur Rahman, Tindak Pidana dalam Syariah Islam, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992), 6.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

153

b. Jari>mah Qis}a>s dan Diyat .

Menurut bahasa qis}a>s berasal dari kata qashsha-yaqushshu-qis}a>s han

yang berarti mengikuti dan menelusuri jejak kaki.362

Maksud mengikuti disini

yaitu mengikuti perbuatan si pelaku sebagai balasan atas perbuatannya. Lafal

qis}a>s merupakan bentuk mas}dar, adapun bentuk madhinya adalah qas}as}a yang

memiliki arti memotong. Menurut arti, qis}a>s adalah akibat yang sama yang

dikenakan kepada orang yang dengan sengaja menghilangkan jiwa atau melukai

atau menghilangkan anggota badan orang lain.363

Sanksi qis}a>s maupun sanksi yang berupa diyat , merupakan sanksi yang

telah ditentukan batasnya, tidak memiliki batas terendah maupun batas tertinggi.

Sanksi ini dapat dihapuskan apabila korban bisa memaafkan pelaku jarimah atau

dimaafkan oleh korban, wali atau ahli warisnya.364

Artinya, dalam kasus jarimah

qis}a>s dan diyat ini, korban atau ahli warisnya dapat memaafkan perbuatan

pelaku jarimah dengan meniadakan qis}a>s dan menggantinya dengan diyat atau

meniadakan diyat sama sekali. Baik qis}a>s maupun diyat kedua-duanya adalah

hukuman yang sudah ditentukan oleh syara‟. Perbedaannya dengan hukuman had

adalah bahwa hukuman had merupakan hak allah (hak masyarakat) yang diwakili

oleh negara, sedangkan qis}a>s dan diyat merupakan hak manusia (hak individu).

Adapun yang dimaksud dengan hak manusia sebagaimana yang dikemukakan

oleh Mahmu>d Syaltut adalah suatu hak yang manfaatnya kembali kepada orang

tertentu.

362

Ibid. 363

Rahmad Hakim, Hukum Pidana Islam (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000), 29. 364

Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1993), 8.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

154

Qis}a>s adalah hukuman pembalasan atas perbuatan, membunuh seorang

manusia atau menimbulkan kerusakan pada bagian tubuh korbannya atau

menonaktifkan salah satu dari organ-organ korban atau panca inderanya, maka

akan mendapatkan ancaman hukuman yang sama dengan orang yang disakitinya,

sebagai contoh yang disebutkan salah satu ayat didalam Al-Quran adalah hidup

diganti dengan hidup, mata diganti dengan mata, hidung diganti dengan hidung,

telinga diganti dengan telinga. Namun, qis}a>s ini tidak dapat dihindari yang adalah

hak pribadi. Korban atau keluarga mereka bisa memutuskan secara administrasi

akan menggunakan mekanisme tersebut atau tidak. Namun seiring perkembangan

zaman terdapat yurisprudensi yang mengembangkan teknik untuk menggantikan

qis}a>s , karena qis}a>s disini dijadikan Ultimum Remedium (penjatuhan hukum

pidana dijadikan sebagai upaya terakhir). Maka dari itu Konsiliasi dan

Pengampunan/maaf lebih diutamakan.365

Di samping itu, perbedaan yang lain adalah karena hukuman qis}a>s dan

diyat merupakan hak manusia maka hukuman tersebut bisa dimaafkan atau

digugurkan oleh korban dan keluarganya dengan adanya perdamaian atau

pengampuanan, sedangkan hukuman had tidak bisa dimaafkan atau digugurkan.

Dengan demikian maka ciri dari jarimah qis}a>s dan diyat itu adalah:

1) Hukumannya sudah tertentu dan terbatas, dalam arti sudah ditentukan oleh

syara‟ dan tidak ada batas minimal atau maksimal;

2) Hukuman tersebut merupakan hak perseoranagan (individu), dalam arti

bahwa korban atau keluarganya berhak memberikan pengampunan atau

melakukan perdamaian terhadap pelaku.

Jarimah qis}a>s h dan diyat ini hanya ada dua macam, yaitu pembunuhan

365

Mutaz M. Qafisheh, Restorative Justice in the Islamic Penal Law: A Contribution to the

Global System, International Journal of Criminal Justice Sciences, Vol 7 Issue 1 January-June

2012, 489.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

155

dan penganiayaan. Namun apabila diperluas, jumlahnya ada lima macam, yaitu:

1) Pembunuhan sengaja;

2) Pembunuhan menyerupai sengaja;

3) Pembunuhan karena kesalahan;

4) Penganiayaan sengaja; dan

5) Penganiayaan tidak sengaja.366

c. Jari>mah Ta’zi >r

Jari>mah Ta’zi>r adalah jarimah yang jenis dan macamnya tidak secara

tegas diatur dalam Al-Quran dan hadis. Sedangkan aturan dan sanksi jari>mah

ta’zi>r ditentukan oleh penguasa atau oleh hakim setempat melalui otoritas yang

diberi wewenang untuk kewenangan tersebut.367

Secara etimologis, lafal ta’zi>r

bermakna mencegah dan menolak, mendidik, mengagungkan dan menghormati,

membantunya, menguatkan dan menolong.368

Secara terminologi ta’zi>r yaitu

hukuman yang bersifat edukatif terhadap perbuatan dosa atau maksiat, yang

hukumannya masih belum diatur oleh syarak. Tujuan hukuman edukatif ditujukan

supaya pelaku dapat menyesali perbuatannya, sehingga di kemudian hari dapat

memperbaiki perilakunya, meninggalkan dan menghentikan jarimahnya untuk

tidak mengulanginya lagi.369

Beberapa definisi ta’zi>r menurut para ahli hukum

pidana Islam antara lain:370

1. Wahbah Zuhaili> memberikan definisi ta’zi>r sebagai hukuman yang

ditetapkan atas perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman had dan

tidak pula kafarat;

2. ‘Abdul Qa>dir ‘Audah memberikan pengertian ta’zi>r sebagai pengajaran

yang tidak diatur oleh hudud dan merupakan jenis sanksi yang

diberlakukan karena melakukan beberapa tindak pidana yang oleh syariat

tidak ditentukan dengan sebuah sanksi hukuman tertentu;

366

Ahmad Wardi Muslich..., Xi. 367

M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam (Jakarta: Amzah, 2016), 29. 368

Ahmad Wardi Muslich…, 18. 369

Ibid…, 248-249. 370

Mustofa Hasan, Hukum Pidana Islam Fiqh Jinayah Dilengkapi dengan Kajian Hukum Pidana

Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2013), 77.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

156

3. Mawardi memberikan pengertian ta’zi>r sebagai pengedukasian kepada

para pelaku dosa yang tidak diatur oleh hudud. Pemberian hukumannya

berbeda-beda disesuaikan dengan keadaan dosa dan pelakunya.

Menurutnya, ta’zi>r sama dengan hudud yaitu sebagai pengedukasian

dengan tujuan kesejahteraan dan untuk melaksanakan ancaman yang

jenisnya berbeda-beda sesuai dengan dosa yang dilakukan.371

Dalam menentukan hukuman tersebut, penguasa hanya menetapkan

hukuman secara global saja. Artinya pembuat undang-undang tidak menetapkan

hukuman untuk masing-masing jari>mah ta’zi >r, melainkan hanya menetapkan

sekumpulan hukuman, dari yang ringan sampai yang seberat-beratnya. Di

samping itu, dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa ciri khas jarimah ta’zi >r

adalah sebagai berikut;

1) Hukumannya tidak tertentu dan tidak terbatas. Artinya, hukuman tersebut

belum dikemukakan oleh syara‟ dan ada batas minimal dan maksimal;

2) Penentuan hukuman tersebut adalah hak penguasa (ulil amri).

Berbeda dengan jari>mah hudu>d dan qis}a>s maka jari>mah ta’zi >r “tidak

ditentukan banyaknya. Hal ini oleh karena yang termasuk jari>mah ta’zi >r “ini

adalah setiap perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman had dan qisa>s},

yang jumlahnya sangat banyak. Tujuan diberikannya hak penentuan jari>mah-

jari>mah ta’zi >r dan hukumannya kepada penguasa adalah agar mereka dapat

mengatur masyarakat dan memelihara kepentingan-kepentingannya, serta bisa

menghadapi dengan sebaik-baiknya setiap keadaan yang bersifat mendadak.

Ta’zi>r merupakan sanksi yang ditetapkan oleh penguasa berupa hukuman

edukasi atas pelanggaran dosa atau maksiat yang bentuk perbuatannya belum ada

ketentuannya, dan tidak termasuk dalam hukuman had maupun kafarat. Sanksi

371

Ibid…, 126.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

157

yang diberikan terhadap jari >mah ta’zi>r dapat berupa hukuman penjara, denda,

kurungan, maupun pencabutan hak-hak tertentu, seperti pemecatan dan

pelarangan untuk meninggalkan suatu tempat misalnya menjadi tahanan rumah

dan tahanan kota. Oleh karena sanksi takzir belum mempunyai batas-batas

hukuman tertentu, yang disebabkan kepastian hukumnya belum ditentukan oleh

syara‟, maka dalam memutuskan jenis dan ukuran sanksi terhadap jari >mah ta’zi>r,

seorang hakim harus melakukannya secara teliti dan memperhatikan petunjuk nas

karena menyangkut kemaslahatan umum.372

2. Asas-asas dalam Hukum Pidana Islam

Hukum Islam diturunkan untuk seluruh manusia, baik orang arab maupun

orang dari etnis lainnya, di barat maupun di timur. Hukum Islam diperuntukkan

bagi seluruh umat manusia yang berbeda-beda, berlainan kebiasaan, tradisi dan

sejarahnya. Hukum Islam adalah hukum bagi seluruh keluarga, kabilah,

masyarakat dan negara. Hukum Islam juga merupakan suatu hukum yang luhur

yang hanya mampu dibayangkan oleh para ahli hukum konvensional, tetapi tidak

bisa diciptakan oleh mereka. Hukum Islam lahir dengan sempurna, tidak ada

kekurangan di dalamnya; bersifat jami‟ (komprehensif), yakni menghukumi setiap

keadaan, dan mani‟, yaitu tidak ada keadaan yang luput dari hukumnya,

mencakup segala perkara individu, masyarakat dan negara. Berikut kami paparkan

asas-asas dasar yang berlaku dalam hukum pidana Islam, yaitu:373

372

M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah (Jakarta: Amzah, 2013), 140. 373

Asas-asas yang berlaku dalam hukum pidana Islam, yaitu; Asas Legalitas, Asas Tidak Berlaku

Surut, Asas Praduga Tak Bersalah, asas Tidak Sahnya Hukuman Karena Subhat, Asas Amar

Makruf Nahi Munkar, Asas territorial, Asas Material, Asas Moralitas. Lihat M. Nurul Irfan,

Hukum Pidana Islam (Jakarta: Amzah, 2016), 32.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

158

a. Asas Legalitas

Kata asas berasal dari bahasa Arab asasun yang berarti dasar atau prinsip,

sedangkan kata legalitas berasal dari bahasa latin yaitu lex (kata benda) yang

berarti undang-undang, atau dari kata jadian legalis yang berarti sah atau sesuai

dengan ketentuan undang-undang. Dengan demikian legalitas adalah keabsahan

sesuatu menurut undang-undang.374

Adapun istilah legalitas dalam syari‟at Islam

bisa ditemukan secara detail dalam berbagai ayat, yang secara substansional

menunjukkan adanya asas legalitas.375

Asas legalitas dipopulerkan melalui

ungkapan dalam bahasa latin: Nullum Deliktum Nulla Poena Sine Pravia Lege

Poenali (tiada delik tiada hukuman sebelum ada ketentuan terlebih dahulu). Asas

ini merupakan suatu jaminan dasar bagi kebebasan individu dengan memberi

batas aktivitas apa yang dilarang secara tepat dan jelas. Asas ini melindungi dari

penyalahgunaan kekuasaan atau keseweenang-wenangan hakim, menjamin

keamanan individu dengan informasi yang boleh dan yang dilarang.

Setiap orang harus diberi peringatan sebelumnya tentang perbuatan-

perbuatan yang dilarang dan hukumannya. Asas legalitas dalam Islam bukan

berdasarkan pada akal manusia, tetapi dari ketentuan Tuhan. Asas legalitas secara

jelas dianut dalam hukum Islam. Terbukti adanya beberapa ayat yang

menunjukkan asas legalitas tersebut. Allah tidak akan menjatuhkan hukuman pada

manusia dan tidak akan meminta pertanggungjawaban manusia sebelum adanya

penjelasan dan pemberitahuan dari Rasul-Nya. Kewajiban yang harus diemban

oleh umat manusia adalah kewajiban yang sesuai dengan kemampuan yang

374

Subekti dan Tjitrosudibyo, Kamus Hukum, (Pradnya Paramita,Jakarta, 1969), 63. 375

Abd Qa>dir Audah, At-Tasyri>’ al-Jina>i> al-Isla>mi>, Da>r al-Fikr, Beirut, t.t., 118.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

159

dimiliki, yaitu taklif yang sanggup di kerjakan. Dasar hukum asas legalitas dalam

Islam antara lain: Al-Qur‟an „surat Al-Isra‟ ayat (15):

ى د ت اه ن م ه س ف ن يل د ت ه ي ا نم إ ا ف ه ي ل ع ل ض ي ا نم إ ف لم ض ن وم وازرة زر ت ولرى خ أ نم وزر ك ا وم تم ح ي ب ذ ع ولام رس ث ع ب ن

Artinya: “Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), Maka

Sesungguhnya Dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan

Barangsiapa yang sesat Maka Sesungguhnya Dia tersesat bagi (kerugian) dirinya

sendiri. dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan

Kami tidak akan meng‟azab sebelum Kami mengutus seorang Rasul”.

Kaidah Fiqh: Artinya: “Tidak ada hukuman bagi tindakan manusia

sebelum adanya aturan”. Prinsip legalitas ini diterapkan paling tegas pada

kejahatan-kejahatan hudu>d. Pelanggarannya dihukum dengan sanksi hukum yang

pasti. Prinsip tersebut juga diterapkan bagi kejahatan qis}a>s} dan diyat dengan

diletakanya prosedur khusus dan sanksi yang sesuai. Jadi, tidak diragukan bahwa

prinsip ini berlaku sepenuhnya bagi kedua kategori diatas.376

Berdasarkan Asas

legalitas dan kaidah tidak ada hukuman bagi perbuatan mukallaf sebelum adanya

ketentuan nash,377

maka perbuatan mukalaf tidak bisa dikenai tuntutan atau

pertanggung jawaban pidana. Dengan demikian nash-nash dalam syari‟at Islam

belum berlaku sebelum diundangkan dan diketahui oleh orang banyak. Ketentuan

ini memberi pengertian hukum pidana Islam baru berlaku setelah adanya nash

yang mengundangkan.

376

Menurut Nagaty Sanad, asas legalitas dalam Islam yang berlaku bagi kejahatan ta‟zir adalah

yang paling fleksibel, dibandingkan dengan kedua katagori sebelumnya. Untuk menerapkan asas

legalitas ini, dalam hukum pidana Islam terdapat keseimbangan. Hukum Islam menjalankan asas

legalitas, tetapi juga melindungi kepentingan masyarakat. Ia menyeimbangkan hak-hak individu,

keluarga, dan masyarakat melalui katagorisasi kejahatan dan sanksinya. Lihat Ahmad Wardi

Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam., (Jakarta: Sinar Grafika, cet-II, 2006), ix. 377

Ibid…, 316.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

160

b. Asas Tidak Berlaku Surut;

Hukum pidana Islam tidak menganut sistem berlaku surut, artinya

sebelum adanya nas yang melarang perbuatan, maka tindakan mukallaf tidak bisa

dianggap sebagai suatu jarimah. Asas ini dalam perkembangannya melahirkan

kaidah.378

Tidak berlaku surut pada hukum pidana Islam. Penerapan hukum

pidana Islam yang menunjukkan tidak berlaku surut, berdasarkan Firman Allah

dalam surat An-Nisa‟ ayat (22):

ف ل س د ق ا م لم إ اء النس ن م م اؤك آب ح ك ن ا م وا ح ك ن ت ول ة ش اح ف ان ك نمه إيل ب س اء اوس ت ق وم

Artinya: “Dan janganlah kamu mengawini wanita-wanita yang telah dikawini

oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan

itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).”

Namun, dalam praktiknya ada beberapa jarimah yang diterapkan berlaku

surut, artinya perbuatan tersebut dianggap jarimah dan pelakunya dikenakan

hukuman walapun belum ada nas yang melarangnya. Alasan diterapkannya

pengecualian berlaku surut, karena pada jarimah-jarimah yang berat dan sangat

berbahaya apabila tidak diterapkan maka akan memunculkan kehebohan di

kalangan kaum muslimin. Adapun jarimah-jarimah yang diberlakukan surut

antara lain:

1) Jari>mah Qazf (menuduh Zina). Dasar hukumnya adalah firman Allah

dalam surat an-Nuur ayat (4);

ين والمذ ي ن ا ث م وه د ل اج ف اء د ه ش ة ع رب أ ب وا ت أ ي ل ثم ات ن ص ح م ل ا ون رم يا د ب أ ة اد ه ش م وال ل ب ق ت ول ة د ل ول ج ونوأ ق اس ف ل ا م ه ك ئ

Artinya “Mereka yang menuduh wanita-wanita terhormat, kemudian

mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka

dengan delapan puluh deraan, dan janganlah kamu terima persaksian

mereka untuk selama-lamanya”.

378

Ibid.., 319.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

161

Bahwa nas tersebut diturunkan sesudah terjadinya kedustaan terhadap diri

Aisyah.379

Dengan demikian nas tersebut mempunyai kekuatan berlaku

surut dengan pertimbangan demi ketenangan pada diri korban dan

mengembalikan nama baik mereka serta menghapuskan kesan buruk dari

orang banyak.380

2) Jari>mah Hira>bah (perampokan/begal). Dasar hukumnya adalah firma Allah

dalam surat al-Maidah ayat (33); “sesungguhnya balasan bagi orang-orang

yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka

bumi ialah agar mereka dibunuh, atau disalib, atau dipotong tangan dan

kaki secara bersilang atau diasingkan dari bumi, itu semua adalah balasan

bagi mereka di dunia dan di akhirat adalah siksa yang pedih.

Ayat ini turun sesudah terjadinya peristiwa pembantaian terhadap

pengembala unta. Akibat peristiwa tersebut dikenakan sanksi terhadap orang Bani

Ukl (Urainah) yang melakukan kejahatan perampasan harta dan membunuh

pengembala unta sebelum diturunkannya nas Al-qur‟an. Dalam kasus ini

tergambar bahwa hukum pidana Islam dalam jarimah tertentu mempunyai

kekuatan berlaku surut. Tujuan utama dari pemberlakuan surut adalah untuk

memelihara keamanan dan ketentraman masyarakat. Namun, berlakunya surut

tersebut, hanya terbatas pada jarimah-jarimah yang dinilai berbahaya dan sangat

mengganggu kepentingan umum.381

c. Asas Praduga Tak Bersalah;

Suatu konsekuensi yang tidak bisa dihindarkan dari asas legalitas adalah

asas praduga tak bersalah (presumption of innocence). Menurut asas ini, semua

perbuatan dianggap boleh, kecuali dinyatakan sebaliknya oleh suatu nas

hukum.382

Selanjutanya, setiap orang dianggap tidak bersalah untuk suatu

perbuatan jahat, kecuali dibuktikan kesalahannya pada suatu kejahatan tanpa ada

keraguan. Jika ada suatu keraguan yang beralasan muncul, seorang tertuduh harus

379

Kisah ini diambil dari kitab Lu‟Lu‟ wa al-Marjan, 173. 380

Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), 349. 381

Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), 59. 382

Ibid…, 60.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

162

dibebaskan. Konsep tersebut telah dilembagakan dalam hukum Islam, jauh

sebelum hukum pidana positif mengenalnya. Empat belas abad yang silam Nabi

Muhammad bersabda: Hindarkan bagi muslim hukuman hudud, kapan saja kamu

dapat menemukan jalan untuk membebaskannya. Jika imam salah, lebih baik

salah dalam membebaskan daripada salah dalam menghukum.383

d. Asas Tidak Sah-nya Hukuman Karena Subhat.

Berkaitan erat dengan asas praduga tak bersalah adalah batalnya hukuman

karena ada keraguan (doubt). Hadits Nabi secara jelas menyatakan: Hindarkan

hudu>d dalam keadaan ragu, lebih baik salah dalam membebaskan, daripada salah

dalam menghukum. Menurut ketentuan ini, putusan untuk menjatuhkan hukuman

harus dilakukan dengan keyakinan, tanpa adanya keraguan.384

Abd. Al-Qa>dir

‘Audah memberi contoh tentang keraguan ini dalam kasus pencurian. Misalnya

suatu kecurigaan mengenai pencurian kepemilikan harta bersama. Jika seseorang

mencuri sesuatu yang dia miliki bersama orang lain, hukuman had bagi pencurian

menjadi tidak valid, karena dalam kasus tersebut harta tidak secara khusus

dimiliki orang lain, tetapi melibatkan persangkaan adanya kepemilikan juga dari

pelaku perbuatan itu.385

e. Asas Amar Makruf Nahi Munkar

Menurut bahasa, amar makruf nahi munkar adalah menyuruh kepada

kebaikan, mencegah dari kejahatan. Amr: menyuruh, ma‟rûf: kebaikan, nahyi:

mencegah, munkar: kejahatan. Abul A‟la al-Maududi menjelaskan bahwa tujuan

383

At-Tirmizi, Sunan At-Tirmi>z>, (Mesir Da>r Al-Bab al-Halabi>, 1963) IV: 33. 384

Subhat adalah maa yusbihu sabit wa laisa bisabit; berarti bertentangan antara unsur formiil‟

dan materiilnya, atau segala hal yang tetap dianggap tidak tetap. Abd. Qadir Audah, at-Tasyri‟‟

al-Jinai.., I: 254. 385

Ibid.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

163

utama dari syariat ialah membangun kehidupan manusia di atas dasar ma‟rufat

(kebaikan-kebaikan) dan membersihkannya dari hal-hal yang maksiat dan

kejahatan-kejahatan.386

Menurut Maududi pengertian ma‟ruf dan munkar sebagai

Istilah ma‟rûfât (jamak dari ma‟rûf) menunjukkan semua kebaikan dan sifat-sifat

yang baik sepanjang masa diterima oleh hati nurani manusia sebagai suatu yang

baik. Istilah munkarât (jamak dari munkar) menunjukkan semua dosa dan

kejahatan sepanjang masa telah dikutuk oleh watak manusia sebagai suatu hal

yang jahat.387

Dalam filsafat hukum Islam dikenal istilah amar makruf sebagai fungsi

social engineering, sedang nahi munkar sebagai social control dalam kehidupan

penegakan hukum. Berdasar prinsip inilah di dalam hukum Islam dikenal adanya

istilah perintah dan larangan. Islam memberikan kebebasan bagi setiap

penganutnya baik kebebasan individu maupun kolektif, kebebasan berpikir,

kebebasan berserikat, kebebasan menyampaikan pendapat, kebebasan beragama,

kebebasan berpolitik, dan lain sebagainya.388

f. Asas territorial

Pada dasarnya syariat Islam bukan syariat regional atau kedaerahan

melainkan syariat yang bersifat universal dan internasional. Dalam hubungan

dengan lingkungan berlakunya peraturan pidana Islam, secara toritis para fuqaha

membagi dunia ini kepada dua bagian: Negeri Islam dan Negeri bukan Islam.

Kelompok negeri Islam adalah negeri negeri dimana hukum Islam nampak di

386

Rohidin, Pengantar Hukum Islam, (Lintang Rasi Aksara Books, Yogyakarta, 2016), 25. 387

M. Yunan Nasution, Pegangan Hidup (3), (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, Jakarta,

1981), 30-31. 388

Asmawi, Filsafat Hukum Islam, (Teras, Yogyakarta, 2009), 50.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

164

dalamnya, karena penguasanya adalah penguasa Islam. Juga termasuk dalam

kelompok ini, negeri dimana penduduknya yang beragama dapat menjalankan

hukum-hukum Islam. Penduduk negeri Islam dibagi menjadi dua bagian yaitu:

1. Penduduk muslim, yaitu penduduk yang memeluk dan percaya kepada

agama Islam;

2. Penduduk bukan muslim, yaitu mereka yang tinggal di negeri Islam tetapi

masih tetap dalam agama asal mereka, mereka ini terdiri dari dua bagian:

a. Kafir zimmi, yaitu mereka yang tidak memeluk agama Islam dan

tinggal di negara Islam, tetapi mereka tunduk kepada hukum dan

peraturan Islam berdasarkan perjanjian yang berlaku;

b. Kafir mu‟ahad atau musta‟man, yaitu mereka yang bukan penduduk

negeri Islam, tetapi tinggal di negeri Islam untuk sementara karena

suatu keperluan dan mereka tetap dalam agama asal asal mereka.

Mereka tunduk kepada hukum dan peraturan Islam berdaasarkan

perjanjian keamanan yang bersifat sementara.

3. Bagi orang musta‟min yaitu yang bertempat untuk sementara waktu di

negeri Islam, maka adakalanya jarimah yang diperbuatnya menyinggung

hak Tuhan, yakni hak masyarakat, seperti zina, mencuri dan sebagainya

atau menyinggung hak perseorangan seperti jarimah qis}a>s , qadzaf,

penggelapan, perampasan barang dan sebagainya;389

4. Menurut Imam asy-Syafi‟I, Imam Maliki, dan Imam Ahmad (jumhur)

berpendapat bahwa hukum Islam dapat diterapkan atas segala kejahatan

yang dilakukan di mana saja selama tempat tersebut masih termasuk

dalam daerah yuridiksi dar as-salam, baik pelakunya adalah seorang

muslim, dzimmiy maupun musta‟min. Ini berarti bahwa aturan-aturan

pidana tidak terikat oleh wilayah melainkan terikat oleh subyek hukum.390

Jadi setiap muslim tidak boleh melakukan tindakan-tindakan yang

dilarang atau meninggalkan hal-hal yang diperintahkan atau diwajibkan di

manapun ia berada.

Dapatlah disimpulkan bahwa jari>mah-jari>mah yang diperbuat di negeri

bukan Islam oleh penduduk negeri Islam (orang muslim atau dzimmi), dengan

merugikan orang bukan Islam (penduduk negeri bukan Islam) tidak dapat

dihukum, karena tidak adanya kekuasaan atas tempat terjadinya jarimah itu.

389

Ibid.., 96. 390

Abdul Qadir Audah.., 287.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

165

Demikian pula halnya apabila keadaan si korban seperti orang muslim yang

tertawan atau orang muslim yang pindah ke negeri Islam.391

g. Asas Material

Asas material hukum pidana Islam menyatakan bahwa tindak pidana ialah

segala yang dilarang oleh hukum, baik dalam bentuk tindakan yang dilarang

maupun tidak melakukan tindakan yang diperintahkan, yang diancam hukum (had

atau ta’zi >r). Berdasarkan atas asas material ini, sanksi hukum pidana Islam

mengenal dua macam: hudu>d dan. ta’zi>r. Hudu>d adalah sanksi hukum yang

kadarnya telah ditetapkan secara jelas berdasarkan teks atau nas, baik al-Qur‟an

maupun hadits. Sementara ta‟zi>r adalah sanksi hukum yang ketetapannya tidak

ditentukan, atau tidak jelas ketentuannya, baik dalam al-Qur‟an maupun hadits.

Oleh karena itu, dalam pelaksanaan asas material ini lahirlah kaidah hukum

pidana yang berbunyi: Hindarkanlah pelaksanaan hudud jika ada kesamaran

atau syubhat.

h. Asas Moralitas

Ada beberapa asas moral hukum pidana Islam:

1. Asas Adamul ‘Uzri yang menyatakan bahwa seseorang tidak diterima

pernyataannya bahwa ia tidak tahu hukum;

2. Asas Rufiul Qala>m yang menyatakan bahwa sanksi atas suatu tindak

pidana dapat dihapuskan karena alasan-alasan tertentu, yaitu karena

pelakunya di bawah umur, orang yang tertidur dan orang gila;

3. Asas al-Khath wa Nisya>n yang secara harfiah berarti kesalahan dan

kelupaan. Asas ini menyatakan bahwa seseorang tidak dapat dituntut

pertanggungan jawab atas tindakan pidananya jika ia dalam melakukan

tindakannya itu karena kesalahan atau karena kelupaan. Asas ini

didasarkan atas surat al-Baqarah: 286;

391

Ibid.., 98.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

166

4. Asas Suqu>t}’ ‘al-‘Uqu>bah yang secara harfiah berarti gugurnya hukuman.

Asas ini menyatakan bahwa sanksi hukum dapat gugur karena dua hal:

pertama, karena si pelaku dalam melaksanakan tindakannya melaksanakan

tugas. kedua, karena terpaksa. Pelaksanaan tugas dimaksud adalah seperti:

petugas eksekusi qis}a>s} (algojo), dokter yang melakukan operasi atau

pembedahan. Keadaan terpaksa yang dapat menghapuskan sanksi hukum

seperti: membunuh orang dengan alasan membela diri dan sebagainya.

3. Pertanggungjawaban Pidana dalam H. Pidana Islam.

Pertanggungan jawaban pidana dalam bahasa asing disebut sebagai teore

kenbaarheid, atau criminal responsibility, atau criminal liability. Maksudnya

adalah bahwa pertanggungjawaban pidana dimaksudkan untuk menentukan

apakah seseorang tersangka/terdakwa dipertanggungjawabkan atas suatu tindak

pidana (crime) yang terjadi atau tidak. Kemampuan tersebut memperlihatkan

kesalahan dari pelaku tindak pidana yang berbentuk kesengajaan atau kealpaan.

Artinya tindakan tersebut tercela dan tertuduh menyadari tindakan yang dilakukan

tersebut.392

Suatu tindakan tidak dipandang melawan hukum, sepanjang tidak ada

ketentuan hukum yang mengaturnya. Begitu pula, tiada pemaafan dari suatu

tindakan sepanjang tindakan itu secara hukum tidak dapat dinyatakan suatu

tindakan yang salah. Pengertian pertanggungjawaban pidana dalam Syari‟at Islam

adalah pembebanan seseorang dengan hasil (akibat) perbuatan (atau tidak ada

perbuatan) yang dikerjakannya dengan kemauan sendiri, di mana ia mengetahui

maksud-maksud dan akibat-akibat dari perbutannya itu.393

Begitu pula bagi orang

yang melakukan perbuatan melawan hukum sedangkan dia kerjakan dengan

kemauannya sendiri, namun dia tidak mengetahui maksud dari perbuatannya itu,

392

E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya,

(Jakarta: Storia Grafika, 2002), 250. 393

A. Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam , 119.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

167

seperti perbuatan yang dilakukan oleh anak kecil atau orang gila, maka

perbuatannya itu tidak dapat dimintakan pertanggungjawabannya.394

Apabila suatu tindakan dari seseorang itu harus dimintakan

pertanggungjawabannya, maka untuk dapat ditentukan pemidanaannya harus

diteliti dan dibuktikan bahwa:

1. Subjek harus sesuai dengan perumusan undang-undang;

2. Terdapat kesalahan pada petindak;

3. Tindakan itu bersifat melawan hukum;

4. Tindakan itu dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang

(dalam arti luas); dan

5. Dilakukannya tindakan itu sesuai dengan tempat, waktu dan keadaan-

keaadaan lainnya yang ditentukan dalam undang-undang.395

Pertanggungjawaban pidana dalam Syari‟at„Islam bisa terjadi, apabila

terpenuhi tiga asas/dasar, yaitu;

1. Adanya perbuatan yang dilarang/melawan hukum;

2. Perbuatan itu dikerjakan dengan kemauan sendiri; dan

3. Pelaku mengetahui akibat perbuatannya itu.

Jika ketiga asas tersebut terpenuhi, maka bagi seseorang yang melakukan

tindak pidana tersebut, terdapat pertanggungjawaban pidana. Bilamana salah satu

asas tersebut tidak ada, maka baginya tidak dikenakan pertanggungjawaban

pidana.396

Oleh karena itu, tidak ada pertanggungjawaban bagi kanak-kanak,

orang gila, orang dungu, orang yang sudah hilang kemauannya dan orang yang

dipaksa atau terpaksa.397

ستيقظ،وعنالصيبحتيبلغ،وعناجملنونحتيعقلرفعالقلمعنثلثة:عنالنائمحتي 394

Abdul Qadīr Audah, At-Tasyrī‟ al-Jinā‟i al-Islāmi, 392. 395

E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi.., 253. 396

Abdul Qādir, Audah.., 392. 397

A. Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam.., 119.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

168

Artinya: “Dihapuskan ketentuan dari tiga hal, dari orang yang tidur

hingga ia bangun, dari orang yang gila hingga ia sembuh, dan dari anak

kecil hingga ia dewasa” (H.R. Aḥmad, Abū Dāwud, Nasā‟i, Ibnu Mājah,

Ibnu Jarīr, Ḥākim dan Turmuẓi dari „Aisyah).398

Syari‟at Islam memberikan ketentuan bahwa pembebanan hukum itu hanya

berlaku bagi manusia yang masih hidup dan resiko perbuatan yang dilakukannya

harus dipertanggungjawabkan sendiri dan tidak ada pembebanan kepada orang

lain, sebagaimana yang terdapat pada ayat al-Qur‟an surat Fatir dan an-Najm yang

berbunyi :

وازرة زر ت رى ول خ أ ل وزر إ ة ل ق ث م دع ت ن ووإ ول ء ي ش ه ن م ل م ي ل ا ه حلرب ق ا ذ ان ك ة ل الصم وا ام ق وأ ب ي غ ال ب م رب مه ون يش ين المذ ر ذ ن ت ا نم إ ن وم

ى زكم ى ت زكم ت اي نم إ ف ه س ف ن يو ل ص م ال للمه ا ل إ

Pembebanan hukum berlaku hanya bagi subjek hukum, termasuk Badan

Hukum. Badan Hukum ini dianggap mempunyai hak-hak milik dan dapat

mengadakan tindakan-tindakan tertentu. Dengan demikian, apabila terjadi

perbuatan-perbuatan yang dilarang yang dilakukan oleh orang-orang yang

bertindak atas namanya, maka orang-orang (para pengurusnya) itulah yang

dibebani pertanggungjawaban pidana. Jadi, bukan syakhṣiyyah ma‟nawiyyah yang

bertanggung jawab melainkan syakhṣiyyah ḥaqīqiyyah.399

a. Unsur-unsur Pertanggungjawaban Pidana

Seseorang akan dimintai pertanggungjawaban pidana dikarenakan adanya

perbuatan maksiat atau perbuatan yang melawan hukum, yaitu mengerjakan suatu

398

Jalāludīin,, Abdurraḥmān bin Abī Bakr as-Sayuṭi, Al-Jāmi‟uṣ-Ṣagīr (Bairut: Dār al Fikr. t.th),

Juz 2, 24. 399

A. Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, 76.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

169

perbuatan yang syara‟ melarangnya, atau sebaliknya meninggalkan suatu

perbuatan yang syara‟ memerintahkannya. Namun demikian, perbuatan melawan

hukum itu menjadi sebab adanya pertanggungjawaban pidana, yang harus

terpenuhi dua syarat yaitu „al-idrāk‟ (mengetahui) dan „Ikhtiyār‟ (pilihan).

Bilamana salah satu syarat tidak ada, maka tidak ada pula pertanggungjawaban

pidana.400

Perbuatan melawan hukum itu sendiri bertingkat-tingkat, maka

pertanggungjawabannya pun bertingkat-bertingkat sesuai dengan tingkatan

perbuatan melawan hukum itu. Tingkatan-tingkatan tersebut disebabkan oleh

kejahatan seseorang yang erat kaitannya dengan qosad (niat)nya. Perbuatan yang

melawan hukum itu adakalanya disengaja dan adakalanya karena kekeliruan.

Perbuatan sengaja ini terbagi kepada dua bagian yaitu sengaja semata-mata (al-

amdi) dan menyerupai sengaja (Syibhu al-amdi). Sedangkan kekeliruan juga

terbagi kepada dua bagian yaitu keliru semata-mata (al-khaṭa‟) dan perbuatan

yang disamakan dengan kekeliruan (mā jarā majrā al-khaṭa‟).401

Tingkatan

pertanggungjawaban pidana itu;

1. Sengaja (al-amdi), yaitu pelaku tindak pidana berniat dengan secara sadar

dan sengaja untuk melakukan perbuatan yang melawan hukum atau

perbuatan yang dilarang. Orang yang meminum minuman keras, dan

demikian pula orang yang mencuri, sedangkan dengan perbuatannya itu

diniati dan benar-benar dilakukannya dengan sengaja. Bagitu pula dengan

tindak pidana pembunuhan yang dengan sengaja dilakukannya serta

dikehendaki akibatnya berupa kematian korban, maka baginya dikenakan

perrtanggungjawaban pidana.402

2. Menyerupai sengaja (Syibhu al-amdi), Perbuatan ini (Syibhu al-amdi )

hanya terdapat dalam jarīmah pembunuhan dan penganiayaan. Kedudukan

Syibhu al-amdi ini masih diperselisihkan oleh para Imam mazhab. Imam

Malik tidak mengenal istilah Syibhu al-amdi dalam jarīmah pembunuhan

400

Abdul Qadīr, Audah, At-Tasyrī‟ al-Jinā‟i al-Islāmi, 402. 401

Ibid.., 405. 402

Ibid.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

170

atau penganiayaan, lantaran dalam al-Qur‟ān hanya menyebutkan

pembunuhan sengaja (Qatlu al-amdi ) dan pembunuhan keliru (Qatlu al-

khaṭha‟). Pendapat ini diakui pula di kalangan mazhab Ahmad hanya

dipandang marjuh. Pengertian Syibhu al-amdi dalam pembunuhan adalah

bahwa dilakukannya perbuatan itu dengan maksud melawan hukum, tetapi

akibat dari perbuatan itu yang membawa kepada kematian bukan suatu

yang dikehendaki, hanya saja berdampak kepada matinya si korban.

3. Keliru (al-khaṭa‟); Pengertian keliru (al-khatha‟) adalah terjadinya suatu

perbuatan di luar kehendak pelaku dan tidak ada maksud untuk melawan

hukum. Kekeliruan ini adakalanya terdapat pada perbuatannya dan

adakalanya terdapat pada niatnya;

4. Keadaan yang disamakan dengan keliru (mā jarā majrā al-khaṭā); Ada

dua bentuk perbuatan yang yang disamakan dengan kekeliruan:

a) Pelaku sama sekali tidak bermaksud melakukan perbuatan yang

melawan hukum, tetapi perbuatan itu terjadi di luar pengetahuan

nya dan sebagai akibat kelalaiannya;

b) Pelaku menyebabkan terjadinya suatu perbuatan yang melawan

hukum, karena kelalaiannya tetapi tanpa dikehendakinya.

Pertanggungjawaban perbuatan pidana yang disamakan dengan kekeliruan

(mā jarā majrā al-khaṭā’) lebih ringan dari pada keliru, karena pelaku dalam

keadaan ini sama sekali tidak mempunyai maksud untuk melakukan tindak

pidana, melainkan tindak pidana itu terjadi semata-mata akibat kelalaiannya.403

b. Faktor Yang Mempengaruhi Pertanggungjawaban Pidana

Ada beberapa faktor yang berpengaruh dalam pertanggungjawaban pidana,

yaitu:

1. Tidak tahu;

2. Lupa;

3. Keliru; dan

4. Rela menjadi obyek jarimah atas pertanggungjawaban pidana.

Pertama, Faktor Tidak Tahu. Ketentuan yang berlaku dalam Syari‟at Islam

adalah pelaku tidak dihukum karena suatu perbuatan yang dilarang, kecuali ia

mengetahui dengan sempurna tentang dilarangnya perbuatan tersebut. Oleh karena

403

Ibid.., 407.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

171

itu, para fuqoha‟ menyatakan bahwa di negeri Islam tidak dapat diterima alasan

tidak mengetahui ketentuan-ketentuan hukum.404

Kedua, Faktor Lupa. Lupa ialah tidak tersilapnya sesuatu pada saat

dibutuhkan.“Lupa” selalu digandengkan dengan keliru. Dalam membicarakan

hukum lupa ini para fuqoha>‟ terbagi kepada dua golongan; Golongan pertama;

menyatakan bahwa lupa adalah alasan yang umum, baik dalam urusan ibadah

maupun urusan pidana. Mereka berpegang pada prinsip umum yang menyatakan

bahwa orang yang mengerjakan perbuatan yang dilarang karena lupa, ia tidak

berdosa dan dibebaskan dari hukuman. Seperti pada ayat; “Ya Tuhan Kami,

janganlah Engkau hukum Kami jika Kami lupa atau Kami tersalah.... (Q.S. Al

Baqarah: 286). Begitu juga dalam Hadis nabi Saw; “Dihapuskan ketentuan untuk

ummatku berupa kekeliruan, kelupaan dan keadaan dipaksa”(H.R. Ṭabrāni dari

Ṡaubān).405

Meskipun demikian ia tetap dikenakan pertanggungjawaban perdata.

Golongan kedua; menyatakan bahwa lupa hanya menjadi hapusnya hukuman

akhirat. Untuk hukuman-hukuman di dunia lupa tidak menjadi alasan hapusnya

hukuman sama sekali kecuali dalam hal-hal yang berhubungan dengan hak

Allah.406

Ketiga, Faktor Keliru. Pengertian keliru adalah terjadinya sesuatu di luar

kehendak pelaku. Jarīmah yang terjadi karena kekeliruan, pelaku melakukan

404

عفيلميتعناخلطأوالنسيان،ومااستكرهواعليه Para fuqoha dapat menerima alasan tidak tahu hukum dari orang yang hidup di pedalaman dan

tidak pernah bergaul dengan kaum muslimin lainnya, atau dari orang yang baru saja masuk Islam

dan tidak bertempat tinggal di kalangan kaum muslimin. Pemaafan terhadap orang-orang

tersebut bukan pengecualian melainkan ketetapan hukum Islam yang melarang memberikan

hukuman kepada orang yang tidak mengetahui larangan, sehingga pengetahuan itu diperolehnya.

Lihat A. Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, 139. 405

Jalāludīin, Abdurraḥmān bin Abī Bakr as-Sayuṭi, Al-Jāmi‟uṣ-Ṣagīr, Juz 2, (Bairut: Dār al Fikr,

t.th), 24. 406

Abdul Qadīr Audah, At-Tasyrī’ al-Jinā’i al-Islāmi, 438-439.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

172

perbuatan tersebut bukan karena niat atau kesengajaan, melainkan karena

kelalaian dan kekurang hati-hatian. Hanya saja yang membedakannya adalah segi

pertanggungjawabannya. Namun demikian, hapusnya pertanggungjawaban pidana

dari perbuatan keliru tidak berarti hapusnya pertanggungjawaban perdata,‟„karena

menurut Syari‟at“Islam jiwa dan harta mendapat jaminan keselamatan

(ma’ṣu>m).407

Keempat, Rela Menjadi Objek Jarīmah atas Pertanggungjawaban Pidana.

Menurut Syari‟at Islam, kerelaan dan persetujuan korban untuk menjadi objek

jarīmah tidak dapat mengubah sifat jarīmah itu (tetap dilarang) dan tidak

mempengaruhi pertanggungjawaban pidana, kecuali apabila kerelaan itu dapat

menghapuskan salah satu unsur jarīmah tersebut, Misalnya dalam jarīmah

pencurian, karena unsur pokoknya adalah mengambil harta milik orang lain tanpa

persetujuan, apabila pemilik harta tersebut menyetujui pengambilan hartanya,

pengambilan tersebut adalah mubah bukan jarīmah. Perbuatan yang berkaitan

dengan jarīmah itu ada tiga macam, yaitu;

1. Perbuatan langsung (al-muba>syarah);

2. Perbuatan sebab (as-sabab);dan

3. Perbuatan syarat (asy-syarṭ).408

Pemisahan antara ketiga macam perbuatan itu dipandang penting karena

untuk menentukan siapa pelaku yang sebenarnya dan mana yang bukan pelaku.

Perbuatan langsung (al-mubasyaraoh) adalah suatu perbuatan yang dilakukan

oleh pelaku dengan langsung tanpa ada perantara yang telah menimbulkan

407

A. Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, 141. 408

Abdul Qadīr Audah..., 450.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

173

jarīmah, dan sekaligus menjadi illat bagi jarīmah tersebut. Perbuatan sebab (as-

sabab) adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh pelaku secara tidak langsung

namun menggunakan media yang dapat menimbulkan terjadinya jarīmah, dan

perbuatan itu menjadi illat bagi jarīmah tersebut. Misalnya persaksian palsu atas

orang yang sebenarnya tidak bersalah bahwa ia telah melakukan pembunuhan.

Perbuatan syarat adalah suatu perbuatan yang tidak menimbulkan jarīmah dan

tidak menjadi illat-nya. Misalnya seseorang membuat sumur untuk keperluan

sehari-hari, tetapi kemudian digunakan oleh orang lain (orang kedua) untuk

menjerumuskan orang ketiga sehingga ia mati.

c. Hapusnya Pertanggungjawaban Pidana

Dasar peniadaan pidana dibagi atas dua kelompok yaitu yang tercantum di

dalam undang-undang dan yang terdapat diluar undang-undang diperkenalkan

oleh yurisprudensi dan doktrin. Undang-undang dalam arti material meliputi

Peraturan Pemerintah dan Peraturan yang lebih rendah lainnya, sedangkan dalam

hukum pidana Islam menjalankan ketentuan undang-undang itu, bukan semata-

mata undang-undang yang dibuat oleh Ulil Amri, melainkan undang-undang yang

bersumber dari Allah sebagai Syari‟at yang harus dipatuhi oleh umat Islam.

Secara konkrit perbuatan yang dapat menghapuskan pertanggungjawaban pidana

dalam hukum pidana Islam adalah;409

1. Menjalankan ketentuan syari‟at;

2. Menjalankan perintah jabatan;

3. Keadaan terpaksa;

4. Pembelaan diri;

5. Pemaafan;

6. Meninggalnya pelaku;

409

Haliman, Hukum Pidana Syāri ah Islam Menurut Ajaran Ahlussunah, (Jakarta: Bulan Bintang,

1970), Cet ke-1, 168.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

174

7. Tobat;

8. Kadaluarsa;

9. Pendidikan dan pengajaran;

10. Pengobatan;

11. Olah raga;

12. Hapusnya jaminan keselamatan;

13. Hilangnya anggota badan dan/atau meninggalnya pelaku.

Berikut akan kami uraikan alasan hapusnya pertanggungjawaban pidana

tersebut sebagai berikut:

Pertama, Menjalankan ketentuan Syari‟at. Kewajiban patuh kepada Allah,

Rasul dan Ulil Amri membawa konsekwensi kewajiban menegakkan

kepemimpinan Ulil Amri dan menegakkan hukum Syari‟at.410

Oleh sebab itu,

mendirikan suatu badan peradilan adalah fardhu dan harus dilaksanakan.411

Dalam

menyelesaikan suatu kasus hukum, maka perlu ada penegak hukum yakni hakim

yang bertugas memeriksa dan mengadili perkara yang diajukan kepadanya.

Hakim adalah orang yang diangkat oleh Ulil Amri untuk melaksanakan tugas

tersebut. Oleh karena itu, kaum muslimin berkewajiban taat kepada keputusan

hakim selaku Ulil Amri.412

Kedua, Karena perintah jabatan. Kewajiban taat kepada Ulil Amri (Q.S An-

Nisā‟: 5) bukan tanpa ada batas, karena taat kepada Ulil Amri itu bukan semata-

mata taat kepada penguasanya, melainkan taat kepada undang-undang Allah.

Pembatasan ketaatan kepada Ulil Amri ini didasarkan kepada hadis; “Tidak ada

ketaatan kepada seorang mahluk dalam hal-hal yang maksiat kepada Allah”

410

Ibid. 411

Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, (Jogjakarta: Logung Pustaka. 2004), Cet

ke-1, 58. 412

Ibid.., 59.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

175

(H.R. Aḥmad dan Ḥākim).413

Dalam hadis yang lain; “Tidak ada ketaatan kepada

seseorang dalam hal yang maksiat kepada Allah, ketaatan hanyalah dalam hal-

hal yang baik” (H.R. Bukhāri, Muslim, Abū Dāwūd dan Nasā‟i).414

Ketiga, Keadaan Terpaksa. Paksaan adalah suatu keadaan yang dilakukan

oleh seseorang untuk mempengaruhi orang lain agar ia melakukan apa yang

diinginkan olehnya (pemaksa) dengan menggunakan ancaman. Sebagai akibat dari

adanya ancaman itu pihak yang dipaksa tidak mempunyai pilihan lain kecuali

mengerjakan apa yang diinginkan oleh pihak yang memaksa415

Sehingga orang

tersebut lepas dari kerelaan dan tidak ada kemauan bebas dalam menentukan

pilihan.416

Keempat, Pembelaan diri. Siapa saja yang berperang di jalan Allah baik ia

membunuh atau dibunuh, ia akan memperoleh ganjaran akhirat berupa surga yang

nikmat. Ketentuan ini, menunjukkan bahwa orang yang membunuh di jalan Allah

adalah bukan merupakan tindak pidana dan karenanya perbuatan tersebut

dikecualikan dari hukuman.417

Orang yang mati atau terbunuh di medan perang

itu disebut mati syāhid dan orangnya disebut syāhid (Q.S. At-Taubah: 111).

Adapun syarat-syarat pembelaan diri adalah:

413

Jala>luddi>n Abdurrohma>n bin Abi> Bakr al-Sayut}i>, Al-Ja>mi’ aṣ-Sagi>r, 203. 414

Ibid.., 203. 415

A. Wardi Muslich...,119. 416

Suatu perbuatan dikatakan terpaksa apabila terpenuhi empat syarat, yaitu; Pertama, Ancaman

yang menyertai pemaksaan adalah berat sehingga dapat menghilangkan kerelaan, seperti

ancaman dibunuh, dipukul dengan pukulan yang berat, dikurung dalam waktu yang lama dan

sebagainya; Kedua, Ancaman harus seketika yang diduga kuat pasti terjadi, jika orang yang

dipaksa tidak melaksanakan keinginan si pemaksa; Ketiga, Orang yang memaksa mempunyai

kesanggupan (kemampuan) untuk melaksanakan ancamannya, meskipun dia bukan penguasa

atau petugas tertentu. Apabila orang yang memaksa tidak memiliki kemampuan untuk

mewujudkan ancamannya, dalam hal ini tidak ada paksaan; Keempat, Pada orang yang

menghadapi paksaan timbul dugaan kuat bahwa apa yang diancamkan padanya benar-benar akan

terjadi, kalau ia tidak memenuhi tuntutannya. Lihat Makhrus Munajat.., 63-64. 417

Muslim bin al Hajjāj al-Qusyairy al-Naisābūriy, Ṣaḥiḥ Muslim, (Semarang: Karya Thoha Putra.

t.th), Juz 1, 70.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

176

1. Adanya serangan atau tindakan melawan hukum, serangan itu harus

perbuatan jarīmah dan pelakunya tidak perlu dapat dimintai

pertanggungjawaban pidana;

2. Penyerangan harus terjadi seketika, artinya pembelaan baru terdapat

apabila benar-benar telah terjadi penyerangan atau diduga dengan kuat

akan terjadi;

3. Tidak ada jalan lain untuk mengelakan serangan kecuali harus menyerang;

4. Dalam penolakan serangan hanya kekuatan seperlunya yang boleh

dipakai, tidak berlebih-lebihan. Dalam hal pembelaaan yang melampaui

batas, tentu hal itu tidak dapat dikecualikan dari hukuman;418

5. Syubhāt. Abdul Qādir Audah mendefinisikan syubhāt adalah sesuatu yang

pada dasarnya tetap tetapi pada hakikatnya tidak tetap. Dalam kaitannya

dengan hukum pidana Islam, maka perbuatan itu dianggap secara formil

ada tetapi dari segi material tidak ada.419

Haliman mengemukakan bahwa

syubhāt itu berarti serupa, keserupaan, atau hal yang seakan-akan, yang

juga dapat berarti yang samar-samar.420

Kelima, Pema‟afan. Pada dasarnya pemaafan tidak dapat menggugurkan

hukuman bagi pelaku tindak pidana, namun sehubungan tindak pidana itu ada

yang berkaitan dengan hak Allah atau hak masyarakat dan hak perorangan, maka

ada pula pengecualian hukuman itu. Tindak pidana yang mendapatkan

pengeculaian hukuman itu, apabila tindak pidana itu berkaitan dengan hak

perorangan, terutama pada tindak pidana yang diancam dengan hukuman qiṣāṣ,

yakni tindak pidana pembunuhan dan penganiayaan baik dilakukan dengan

sengaja atau dilakukan dengan kekeliruan, (Q.S. Al Baqarah : 178).

ى ل ت ق ل ا ف اص ص ق ال م ك ي ل ع ب ت ك وا ن آم ين المذ ا ي ه أ ا ي د ب ع ل وا الر ب الرى ث والن د ب ع ل ا ى ب ث الن ع ب م ال ب اع ب ات ف ء ي ش يه خ أ ن م ه ل ي ف ع ن م ف روف

ان س ح إ ب ه ي ل إ ء ا د ذ وأ ورحة م ربك ن م يف تف ك ى ل د ت اع ن م ذ ف د ع ب ك ليم ل أ اب ذ ع ه ل ف

418

A. Hanafi…, 160-161. 419

Abdul Qadīr „Audah…, 209. 420

Haliman.., 195.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

177

Keenam, Meninggalnya si Pelaku. Meninggalnya si pelaku menjadi sebab

hapusnya sanksi hukum, meskipun tidak menghapuskan seluruhnya. Apabila

sanksi itu tidak berkaitan dengan pribadi si pelaku, maka kematiannya tidak

menyebabkan hapusnya hukuman ta,zīr itu, seperti sanksi denda, perampasan dan

pengrusakan hartanya, karena sanksi tersebut dapat dilaksanakan meskipun si

pelaku telah meninggal.421

Ketujuh, Tobat. Tobat bisa menghapuskan sanksi hukum baik jarīmah

yang dilakukan oleh si pelaku adalah jarīmah yang berhubungan dengan hak

Allah/hak masyarakat atau hak Adami/perorangan. Sedangkan bila berkaitan

dengan hak Adami harus ditambah dengan satu indikator lagi yaitu melepaskan

kezaliman yang dalam hal ini adalah minta maaf kepada korban.422

Kedelapan, Kadaluwarsa. Kadaluwarsa adalah lewatnya waktu tertentu

setelah terjadinya kejahatan atau setelah dijatuhkannya keputusan pengadilan

tanpa dilaksanakan hukuman.423

Apakah kadaluwarsa dapat menghapuskan

hukuman atau tidak. Menurut kebanyakan fuqoha tidak menghapuskan,

sedangkan fuqoha yang memakai prinsip kadaluwarsa tidak pula menganggapnya

sebagai faktor pembatalan hukuman bagi seluruh jarīmah. Untuk itu ada dua teori,

yaitu;

1) Suatu hukuman atau jarīmah tidak gugur dengan kadulawarsa, selama

hukuman atau jarīmah itu bukan jarīmah ta,zīr. Apabila jarīmah ta,zīr

berlaku prinsip kadulawarsa jika dipandang perlu oleh penguasa untuk

mewujudkan kemaslahatan umum. Teori ini dikemukakan oleh Imam

Malik, Syafi‟i dan Ahmad.

2) Mengakui adanya prinsip kadulawarsa untuk jarīmah ta,zīr, namun

mengakui adanya prinsip kadulawarsa untuk jarīmah qiṣāṣ-diyāt dan satu

421

Ibid.., 223-224. 422

Ibid.., 228. 423

Ibid.., 233.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

178

jarīmah hudūd yaitu qozaf. Teori ini pendapatnya Imam Abŭ Hanīfah dan

para muridnya.424

Alasan jumhur selain Imam Abŭ Hanīfah hukuman hudūd tidak hapus

dengan kadulawarsa antara lain:

1. Ulil Amri tidak memiliki hak untuk memaafkan dalam kasus jarīmah

hudūd, baik terhadap kesalahan maupun sanksinya;

2. Bahwa mengakhirkan pemberian persaksian itu sangat mungkin, baik

karena uzur atau gaibnya saksi had tidak hapus karena adanya

kemungkinan, sebab apabila had dapat hapus karena adanya berbagai

kemungkinan itu, maka menjadikan had itu tidak wajib;

3. Diriwayatkan dari Umar bahwa saksi yang menyaksikan kasus jarīmah

hudūd, kemudian tidak memberikan persaksian pada waktu itu, maka

persaksiannya meragukan.

Adapun mengenai batas waktu kadulawarasa, Imam Abŭ Hanīfah tidak

menentukan batas masa kadulawarsa dan hal ini diserahkan kepada hakim dengan

menimbang pada keadaan yang berbeda-beda. Dengan demikian, maka penguasa

negara bisa membuat batas masa kadulawarsa dan menolak setiap keterangan

(persaksian) yang diberikan sesudah lewat masa tersebut, jika alat-alat buktinya

berupa persaksian.425

Kesembilan, Pendidikan dan Pengajaran. Islam memberikan wewenang

kepada suami atas isterinya untuk memberikan pengajaran sebagai hukuman dari

perbuatan maksiat yang tidak dijatuhi hukuman had, seperti meninggalkan suami

tanpa sepengetahuan dan izinnya, terlalu konsumtif terhadap harta dan lain-

lainnya.426

Suami mempunyai hak untuk memberikan hukuman kepada istrinya,

manakala si istri tidak mentaati suami/nusuz berupa menasehati, meninggalkannya

di tempat tidur dan memukulnya (Q.S. An Nisa: 34).

424

A. Djazuli, Fiqh Jinayah Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, 234. 425

A. Hanafi.., 256-257. 426

A. Wardi Muslich.., 103.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

179

ى ل ع م ه ض ع ب اللمه ل ضم ف ا ب اء النس ى ل ع ون ومام ق ال الرج ن م وا ق ف ن أ ا وب ض ع ب والم م ان أ ق الات الصم ف اللمه ظ ف ح ا ب ب ي غ ل ل ات ظ اف ح ات ت ون تاف ت واللم

نم وه رب واض ع اج ض م ال ف نم روه ج واه نم وه ظ ع ف نم وزه ش وا ن غ ب ت ل ف م ك ن ع ط أ ن إ ف يل ب س نم ه ي ل يا ع ب ك يا ل ع ان ك اللمه نم إ

Kesepuluh, Pengobatan. Seorang dokter melakukan pengobatan kepada

pasien dengan tujuan agar pasien segera sembuh dari penyakit yang dideritanya,

dan upaya itu dilakukan sesuai dengan kewajiban profesionalnya. Seorang dokter

mempunyai kekuasaan dan kebebasan dalam melakukan pengobatan tersebut

sebagai konsekwensi logisnya, seorang dokter tidak dapat dituntut atau dikenakan

pertanggungjawaban pidana karena pekerjaannya dalam bidang pengobatan,

karena pelaksanaan suatu kewajiban tidak dibatasi dengan syarat keselamatan

objek, yaitu orang yang diobati.

Kesebelas, Olah Raga. Syari‟at Islam menjunjung tinggi dan membolehkan

jalan untuk menguatkan badan, menyegarkan pikiran dan membangkitan

keberanian serta kepahlawanan, melalui kegiatan olah raga seperti pacuan kuda,

panahan, tinju, angkat besi dan sebagainya.

Kedua belas, Hapusnya Jaminan Keselamatan. Hapusnya jaminan

keselamatan disini ialah bolehnya diambil tindakan terhadap jiwa seseorang atau

anggota-anggota badannya, sehingga dengan demikian ia bisa dibunuh atau

dilukai.427

Tindakan tersebut bisa diadakan apabila dasar-dasar adanya

keselamatan jiwa atau anggota badan telah hapus. Dasar-dasar tersebut ialah Iman

(Islam) dan jaminan keamanan sementara atau seumur hidup. Dengan demikian,

427

A. Hanafi.., 75.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

180

jaminan keselamatan bagi seseorang menjadi hapus, apabila ia keluar dari agama

Islam (murtad).

Ketiga belas, Hilangnya anggota badan dan atau meninggalnya si pembuat

jarīmah. Tobat dapat menggugurkan hukuman terutama pada kasus jarīmah

hirobah, meskipun Ulil Amri dibolehkan menjatuhkan hukuman ta‟zīr „bagi

pelaku hirobah ini demi kemaslahatan umum. Apabila si pelaku jarīmah

meninggal dunia, hukuman mati yang ditetapkan kepada si pelaku menjadi batal

pelaksanaannya karena si pelakunya meninggal dunia. Namun hukuman yang

berupa harta benda, diyāt dan perampasan harta dapat terus dilaksanakan.428

C. Restoratif Justice Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Indonesia

1. Fleksibilitas H. Pidana Islam

Penyelesaian perkara pidana melalui mekanisme melalui non formal,

seringkali dinilai lebih memuaskan karena lebih menguntungkan kedua belah

pihak. Mediasi Penal sebagai salah satu mekanisme diluar peradilan, acapkali

dipraktikan dan mendapat respon baik daripada penyelesaian melalui jalur

peradilan. Hal ini tidak lepas dari prinsip penyelesaian perkara yang mendasar

kepada prinsip musyawarah dalam Hukum Islam. Dalam hukum Islam, mediasi

bisa ditemukan dalam jarimah qisas-diyat , yang sebenarnya terbatas kepada

perkara tertentu saja. Mediasi tidak dikenal dalam hukum pidana modern, sudah

sepatutnya dijadikan alternatif penyelesaian perkara pidana. Hukum pidana Islam

mengenal adanya pemaafan, sebagai salah satu poin penting dalam keadilan

restoratif, khususnya dalam Jarimah qisas/diyat .

428 Abdul Qadīr Audah.., 772.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

181

a. Is}la>h (perdamaian) dalam Hukum Pidana Islam

Peraturan hidup dalam Islam telah ditetapkan melalui sumber hukum yang

mutlak, yaitu Al-Qur‟an sebagai sumber hukum pertama, As-Sunnah sebagai

sumber hukum kedua, ijma‟ ulama (konsensus) sebagai sumber hukum ketiga dan

qiyas (analogi hukum) sebagai hukum keempat. Sumber-sumber hukum Islam

tadi merupakan hierarki dalam sistem Hukum Islam. Hasby Ash-Shiddieqy

mengatakan bahwa hukum dan Islam mempunyai beberapa maziyah

keistimewaan dan beberapa mahsanah keindahan yang menyebabkan hukum

Islam menjadi hukum yang paling kaya, dan paling dapat memenuhi hajat

masyarakat.429

Konsep Is}la>h dikatakan banyak terjadi kemiripan dengan al’afwu, bahkan

ada beberapa ulama yang menyamakan antara islah dan al’afwu. Namun, ketika

menyimak pernyataan Shahrour mengenai sinonimitas dalam Al-Qur‟an, sejatinya

tidak ada sinonimitas dalam Al-Qur‟an. Anggapan adanya sinonimitas dalam Al-

Qur‟an akan memberi kemungkinan penggantian firman Allah dalam Kitab-Nya

yang mulia dan anggapan adanya tambahan-tambahan di dalamnya, di mana

pengabaiannya tidak akan merubah atau menambah kandungan maknanya

sedikitpun, dan terhadap hal ini sangat tidak mungkin terjadi bagi Allah yang

maha suci.430

Hal ini mengharuskan upaya pencarian perbedaan atau spesifikasi

makna ketika di dalam Al-Qur‟an disebutkan ada kata Is}la>h dan al‟afwu. Untuk

lebih jauh memahami pengertian ishlah secara utuh ada baiknya kita bandingkan

langsung dengan konsep al‟afwu.

429 T.M. hasby Ash-Shiddiqiey, Falsafah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), 119. 430 Muhammad Shahrour, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, Judul Asli: Nahwu Usul, Jadidah

Li al Fiqh al Islami, cet. I, (eLSAQ Press, 2004), 256-257.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

182

Is}la>h telah diserap menjadi satu kata dalam bahasa Indonesia yang berarti

perdamaian atau penyelesaian pertikaian secara damai.431

Dalam Kamus Besar

Bahasa Indonesia, damai dimaknai sebagai tidak ada perang, tidak ada kerusuhan,

aman, tentram, keadaan tidak bermusuhan. Sedangkan kata perdamaian dimaknai

sebagai penghentian permusuhan atau perselisihan. Mendamaikan dimaknai

mengusahakan agar kedua pihak berbaik kembali; merundingkan supaya ada

persesuaian; menenangkan.432

Sedangkan maaf dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia diartikan pembebasan seseorang dari hukuman karena suatu kesalahan;

ampun. Pemaafan diartikan proses, perbuatan, cara memaafkan, pengampunan.

Maaf sama dengan ampun.433

Mengacu pada kajian etimologis di atas maka dapat

kita tarik satu perbedaan secara makna bahasa antara islah dan al‟afwu, yaitu

bahwa islah adalah proses atau perdamaian itu sendiri, sedangkan al‟afwu adalah

memaafkan, yang dipersamakan dengan pengampunan.

Dalam Ensiklopedi Hukum Islam, Is}la>h merupakan tindakan

mendamaikan, memperbaiki, menghilangkan sengketa yang menjadi kewajiban

umat Islam baik personal maupun sosial. Penekanan Is}la>h ini lebih difokuskan

pada hubungan antar sesama umat manusia dalam rangka memenuhi kewajiban

kepada Allah SWT.434

Bahwa antara Is}la>h dan al‟afwu berbeda secara definisi

maupun konseptual. Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa is}la>h merupakan

satu proses penyelesaian perkara antar pihak yang dipilih oleh masing-masing

pihak tanpa paksaan atau diusahakan oleh pihak ketiga dan berakhir dengan

431 Pius A Partanto dan M. Dahlan Al Baeey, Kamus Ilmiah Populer, Arkola, Surabaya, 1994, 274. 432 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa

Indonesia, Cet. Ketiga, Jakarta Balai Pustaka, 2008, 30 dan 540. 433

Ibid,182-183. 434

Abdul Aziz Dahlan dkk.., 740.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

183

kesepakatan, sehingga tercipta perdamaian kedua belah pihak. Sedangkan

al‟afwu, adalah media penyelesaian perkara kejahatan qis}a>s dengan melepaskan

hak qis}a>s „dari korban kepada pelaku, yang masih memungkinkan di lakukan

qis}a>s .435

Dalam konteks jina>ya>t dan lebih khusus lagi persoalan pembunuhan,

secara implisit menarik satu garis pembeda antara al’afwu dan is}la>h dengan

melihat arti mana inisiatif kompensasi itu muncul. Jikalau inisiatif pemberian

kompensasi terhadap hukuman qisas tersebut berasal dari kedua belah pihak,

maka itu dikatakan is}la>h (perdamaian). Sedangkan jika inisiatif pemberian

kompensasi itu hanya berasal dari satu pihak saja (tepatnya pihak korban), maka

yang demikian itu masuk dalam kategori al‟afwu (pemaafan).436

Pembedaan

antara Is}la>h dan al‟afwu tersebut dapat dikatakan hanya pada tataran konsep saja,

sedangkan dalam praktek, sangat dimungkinkan terjadi persamaan teknis dalam

pelaksanaan antara is}la>h dan al’afwu sebagai satu metode penyelesaian suatu

jarimah. Bahwa Is}la>h merupakan konsep perdamaian secara umum untuk masalah

keluarga sampai pada masalah politik kenegaraan, dan mencakup pula dalam

bidang hukum pidana dengan menekankan pada hasil kesepakatan bersama.

Sedangkan al‟afwu merupakan satu konsep penyelesaian perkara praktis berupa

pemaafan dengan membebaskan pelaku dari tuntutan hukuman dengan

konsekuensi korban memiliki pilihan untuk meminta diyat (kompensasi) atau

tanpa kompensasi.437

435 Mahrus Ali, Syarif Nurhidayat, Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat In Court System & Out

Court System,Jakarta : Gratama Publishing, 2011, 290. 436 Abdul Qodir.., 774. 437 Mahrus Ali, Syarif Nurhidayat.., 292-293.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

184

Para ulama telah sepakat tentang dibolehkannya Is}la>h (perdamaian) dalam

qis}a>s}, sehingga dengan demikian qis}a>s menjadi gugur. Is}la>h (perdamaian) dalam

qis}a>s} ini boleh dengan meminta imbalan yang lebih besar dari pada diat, sama

dengan diat, atau lebih kecil dari diat. Juga boleh dengan cara tunai atau utang

(angsuran), dengan jenis diat atau selain jenis diat dengan syarat disetujui

(diterima) oleh pelaku.438

Disinilah sebenarnya aspek penting dalam hukum

pidana Islam, yaitu aspek restorative justice. Dalam hukum pidana Islam berlaku

hukum qis}a>s}-diyat, hukuman bagi pelakunya adalah setimpal sesuai perbuatannya

(qis}a>s) dan ini sesuai rasa keadilan korban. 439

Is}la>h (perdamaian) ini statusnya dengan pemaafan, baik dalam hak

pemilikannya, maupun dalam pengaruh atau akibat hukumnya, yaitu dapat

munggugurkan qis}a>s . Perbedaannya dengan pengampunan adalah pengampunan

itu pembebasan qis}a>s tanpa imbalan, sedangkan Is}la>h (perdamaian) adalah

pembebasan dengain imbalan. Memang dimungkinkan pemaafan dari qis}a>s

dengan imbalan diat, seperti dikemukakan Imam Syafi‟i dan Imam Ahmad,

namun menurut Hanafiyah dan Malikiyah, hal itu harus dengan persetujuan

pelaku, dan kalau demikian, hal itu harus dngan persetujuan pelaku, dan kalau

demikian, hal itu bukan pemaafan melainkan shulh (perdamaian).440

Orang yang

berhak memberikan memiliki dan memberikan pengampunan atau perdamaian

adalah orang yang memiliki hak qis}a>s . Menurut jumhur ulama yang terdiri atas

438 Ahmad Wardi Muslich.., 163. 439 Topo santoso mengatakan bahwa perbuatan memaafkan dan perdamaian dari korban/

keluarganya dipandang sebagai suatu yang lebih baik. Pihak pelaku bisa dijatuhi sanksi diyat

(yaitu sejumlah harta tertentu untuk korban dan keluarganya). Hal ini membawa kebaikan bagi

kedua belah pihak dan tidak ada lagi dendam antara kedua pihak itu. Pihak korban mendapat

perbaikan dari sanksi yang dijatuhkan, serta ada peranan korban dalam sistem dan proses

peradilan pidana. Lihat Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam: penegakan syariat

dalam wacana dan agenda, (Jakarta: Gema Insani Press, cet-1, 2003), 93. 440 Ahmad Wardi Muslich.., 163-164.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

185

Imam Abu Hanifah, Imam Syafi‟i dan Imam Ahmad pemilik qis}a>s adalah semua

ahli waris, baik zawil furu>d} maupun ashabah, laki-laki maupun perempuan

dengan syarat mereka itu akil dan baligh. Akan tetapi menurut Imam Malik,

pemilik hak qis}a>s adalah ashabah laki-laki yang paling dekat derajatnya dengan

korban dan perempuan yang mewaris dengan syarat-syarat tertentu mereka

adaalah mustahik (ahli waris) qis}a>s .441

Apabila mustahik qis}a>s itu hanya seorang diri, dan ia memberikan

pengampuanan atau melakukan perdamaian maka perdamaian dan

pengampunanan itu hukumnya sah dan menimbulkan akibat hukum. Dengan

demikian, pelaku bebas dari hukuman qis}a>s. Apabila wali korban (mustahik

qis}a>s) menuntut kompensasi dengan diyat, ia wajib membayar diyat atas

persetujuannya menurut Hanafiah dan Malikiyah, atau meskipun tanpa

persetujuannya menurut syafi‟iyah dan Hanabilah.442

Apabila mustahik qis}a>s

terdiri dari beberapa orang, dan salah seorang dari mereka melakukan perdamaian

atau memberikan pengampunan, hukuman qis}a>s h menjadi gugur, dan dengan

demikian pelaku bebas dari hukuman qis}a>s . Hal ini karena qis}a>s itu merupakan

satu kesatuan yang tidak bisa dibagi-bagi di antara ahli waris. Hanya saja untuk

pembebasan ini, Malikiyah memberikan persyaratan orang yang melakukan

perdamaian atau memberikan pengampunan itu sama derajatnya dengan ahli

waris (mustahik) yang lain, atau lebih tinggi. Dengan demikian, apabila yang

melakukan perdamaian atau memberikan pengampunan itu derajatnya kepada

pelaku lebih rendah daripada mustahik yang lain maka perdamaian atau

441 Abdul al-Qadir Audah, II.., 159. 442 Ahmad Wardi Muslich.., 162.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

186

pemaafannya itu tidak berlaku, dan pelaku belum bebas dari hukumannya

(qis}a>s).443

Apabila wali korban memberikan pengampunan, baik dari qis}a>s maupun

diat, pengampuanan tersebut hukumnya sah, dan pelaku bebas dari qis}a>s dan diat

yang kedua-duanya merupakan hak adami (individu). Akan tetapi, oleh karena di

dalam hukum qis}a>s itu terkandung dua hak, yaitu hak Allah (masyarakat) dan hak

manusia (individu), penguasa (negara) masih berwenang untuk menjatuhkan

hukuman ta‟zir. Pendapat ini dikemukakan oleh Hanafiyah dan Malikiyah.

Hukuman ta‟zir menurut malikiyah adalah penjara selama satu tahun dan jilid

(dera) sebanyak seratus kali. Akan tetapi menurut syafi‟iyah, hana>bilah, Isha>k,

dan Abu Tsaur, pelaku tidak perlu dikenakan hukuman ta’zi >r.444

b. Prinsip-Prinsip Is}la>h dalam Hukum Pidana Islam

Hukum merupakan petunjuk mengenai tingkah laku dan juga sebagai

perlengkapan masyarakat untuk menciptakan ketertiban. Hukum dapat dianggap

sebagai perangkat kerja sistem sosial yang melakukan tugasnya dengan

menentukan langkah-langkah yang harus dilakukan dalam mengatur hubungan

antarmanusia. Keadilan harus selalu dilibatkan dalam hubungan satu manusia

dengan manusia lainnya. Sebagai makhluk sosial, interaksi antar manusia tidak

dapat dimungkiri lagi. Dalam kehidupan bermasyarakat seseorang dapat menjadi

pemangsa bagi orang lain sehingga masyarakat dengan sistem sosial tertentu

harus memberikan aturan pada para anggotanya yang mengatur tentang hubungan

443 Abd Ar-Rahman Al-Jazairi, Al-Fiqh Ala Al-Madzahib al Al-Arba‟ah, juz V, Beirut: Dar Al-

fikr, 266. 444 Ibn Rusyd Al-Qurtubi, Bidayah Al-Mujtahid, Juz II, Beirut: Dar Al-Fikr, 303. Sebagaimana

dikutip dalam Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, 162.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

187

antarsesama. Berikut kami uraikan beberapa hal terkait prinsip-prinsip

perdamaian (Is}la>h) dalam hukum pidana Islam;

1. Pengungkapan Kebenaran; Is}la>h dalam Islam merupakan satu konsep

utuh dalam penyelesaian suatu perkara. Secara mendasar prinsip-prinsip

yang harus ada dalam proses islah antara lain; pertama, pengungkapan

kebenaran, kedua, adanya para pihak yang meliputi pihak yang berkonflik

yang dalam hal kejahatan harus ada korban dan pelaku, sedangkan pihak

yang lain adalah mediator, ketiga, islah merupakan proses sukarela tanpa

paksaan, dan keempat adalah keseimbangan hak dan kewajiban.445 Ishlah

merupakan satu proses perdamaian dimana peran infrmasi yang benar

sangat besar, yaitu dijadkan dasar untuk membuat satu kesepakatan oleh

masing-masing pihak.446

2. Para Pihak dalam Is}la>h; Para pihak dalam Is}la>h atau perdamaian dapat

diketahui dari al-Qur‟an surat Al-Hujurat ayat 9 yang berbunyi:

ا م ه ن ي واب ح ل ص أ واف ل ت ت ق ا ي ن ؤم م ل ا ن م ان ت ف ائ ط ن وإ

Ayat ini juga mengandung perintah kepada pihak ketiga, maka pada

dasarnya mediator sangat penting, bahkan ketika berposisi sebagai pihak

ketiga, menurut ayat tersebut, hukumnya wajib untuk mendamaikan.447

c. Pihak yang Berkonflik

Islam mengatur bahwa perdamaian hanya dapat dilakukan oleh para pihak

yang benar-benar memiliki kepentingan di dalamnya, para pihak yang benar-

benar memiliki kepentingan di dalamnya, dalam hal terjadinya kejahatan, yaitu

antara pihak-pihak pelaku dan korban. Hal ini dikarenakan islah adalah satu

proses kesepakatan antar pihak untuk mendapatkan satu kesepahaman sehinga

tidak lagi terjadi konflik berkepanjangan. Keberadaan pelaku dan korban secara

rinci juga ada syarat dan ketentuan khusus sebagai berikut :

445 Mahrus Ali, Syarif Nurhidayat.., 301-301. 446 Ibid.., 302. 447 Ibid.., 303.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

188

Korban, dalam konteks hukum Islam adalah korban secara langsung,

yaitu orang yang mendapat perlakuan kejahatan dari pelaku dan menderita

kerugian. Hal ini jelas diterangkan dalam al-Qur‟an surat al-Maidah (45);

س ف الن م نم أ ا يه ف م ه ي ل ع ا ن ب ت وك ن والذ ف الن ب ف والن ي ع ال ب ي ع ل وا س ف الن م ب اص ص ق والروح ن الس ب نم والس ن الذ ب ه ل ارة فم ك و ه ف ه ب ق دم ص ت ن م ف ن وم

ول أ ف اللمه زل ن أ ا ب م ونليك م الظمال م ه ك ئ

Artinya: “Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat)

bahwasannya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung

dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka

(pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, maka

melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya”.

Dalam ayat tersebut jelas, bahwa orang yang menderita secara langsung

itulah yang memiliki hak untuk menuntut atau tidak. Ketika kejahatan yang terjadi

berupa pembunuhan, maka korban yang paling dekat yiatu ahli warislah yag

memiliki hak untuk melakukan ishlah. Selain sebagai korban langsung, korban

yang dapat melakukan islah juga disyaratkan harus dalam keadaan dapat

bertanggung jawab dalam perbuatannya, yaitu bahwa dia sudah dewasa, tidak

dalam keadaan gila, atau dalam keadaan mabuk, atau dalam keadaan tertekan atau

terpaksa.448

Pelaku, dalam Is}la>h harus pelaku yang bertanggung jawab secara pribadi

dalam kejahatan yang telah dilakukannya, yaitu orang yang jika tidak ada Is}la>h

maka dialah yang akan mendapat hukuman sesuai ketentuan. Pelaku sebagai

448 Dalam proses islah, hanya korban secara langsung lah yang memiliki hakuntuk melakukan

islah, karena korban dalam kerangka publik hanya memiliki hak mendapat kedamaian dan bebas

dari rasa takut dan juga adanya jaminan keamanan. Dan bebas dari rasa takut dan juga adanya

jaminan keamanan. Sedangkan islah berarti selesainya perkara dengan damai, yang artinya telah

ada penginsafan baik dari pelaku maupun korban yang juga berdampak secara publik berupa

hilangnya ketakutan adanya kejahatan tersebut, dan berarti pula pulihnya kembali kedamaian

dalam masyarakat. Lihat Ahmad Djazuli, Fiqh Jinaiyah, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta

2000, 168.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

189

pihak dalam Is}la>h ini adalah orang yang telah jelas sebagai pelaku kejahatan yang

menyebabkan kerugian pada pihak korban, yang berarti pula harus ada

pembuktian atau pengungkapan kebenaran terlebih dahulu untuk menentukan

pelaku yang sebenarnya. Pelaku yang dapat menjadi pihak dalam Is}la>h adalah

yang dapat mempertanggungjawabkan perbuatan kejahatannya tersebut.

Mediator, Dasar yang paling tepat untuk melandasi hal ini adalah

sebagaimana yang dipaparkan dalam Al-Qur‟an bahwa Allah memerintahkan

untuk mendamaikan sebagaimana dalam surat Al-Hujurat ayat 9. Bahkan jika

dikaji lebih jauh, maka hukum adanya mediator mendekati wajib, karena secara

langsung diperintahkan dalam bentuk amar. Mediator disini adalah pihak yang

secara independen tanpa memihak kedua belah pihak untuk membantu

penyelesaian sengketa secara aktif. Jadi ada tidaknya mediator ditentukan

berdasar asa mas}lahah.449

Is}la>h mestinya harus dimediatori oleh hakim, karena jika tidak, maka tidak

memiliki daya pengikat dalam implementasi keputusan bersama nantinya. Islah

pada dasarnya adalah satu proses peradilan, bukan satu sistem di luar peradilan.

Sementara itu, Saamikh as Sayyid Jaad, sebagaimana dikutip oleh Abdul Kholiq,

mengungkapkan enam syarat dalam proses al ishlah wal‟afwu anil uqubah yang

dalam masyarakat umum dikenal sebagai rekonsiliasi. Syarat yang terakhir adalah

harus adanya legitimasi berupa putusan pengadilan agar executable.450

Dengan

449 Adi Sulityono, Mengembangkan Paradigma NonLitigasi di Indonesia, Surakarta: UNS Press,

2006, 401. 450 Enam Syarat yang diajukan oleh Saamikh Sayyid Jaad, yaitu: 1) pengampunan

diberikan oleh pihak yang memang berhak, 2) pihak yang memberikan pengampunan harus

cakap hokum (aqil dan baligh), 3) pengampunan tidak boleh atas dasar paksaan, 4)

pengampunan harus dengan kata-kata atau kalimat yang shorih (jelas), 5) pengampunan diikuti

pemberian ganti rugi (diyat) oleh pelaku kepada korban atau whli warisnya, dan 6)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

190

kata lain, hakim adalah sebagai pihak yang menguatkan saja atas hasil

perdamaian yang dilakukan para pihak sehingga dapat dipaksakan dalam

implementasinya.

Is}la>h merupakan proses mencari penyelesaian antara dua pihak yang

didalamnya terdapat muatan hak dan kewajiban yang seimbang. Dalam surat Al-

Hujurat ayat 9, jelas dinyatakan bahwa Is}la>h harus diselesaikan atau dilaksanakan

dengan adil, dalam arti kesepakatan yang diambil bersama tidak merugikan salah

satu pihak. Ini menunjukkan bahwa dalam Is}la>h konsistensi keseimbangan para

pihak sangat penting eksistensinya. Karena sifatnya konflik, maka masing-masing

memiliki versi kebenaran sehingga Is}la>h akan menyatukan pandangan mereka

dalam satu kerangka bersama sehingga dapat selesai tidak berkepanjangan. Dalam

hal suatu kejahatan dilakukan islah dengan cara kesepakatan pemaafan, maka

harus ada proporsionalitas antara hak dan kewajiban yang harus dijalankan.451

Islam mengingatkan bahwa dalam konteks masyarakat, dalam

menyelesaikan suatu persoalan yang timbul dalam masyarakat hendaknya dengan

konsep keadilan sosial juga, yaitu dengan meletakkan suatu pada tempatnya,

artinya menggunakan asas proporsionalitas. Memaafkan yang bersalah dan

memberikan bantuan kepada pemalas, disebut sebagai menggoyahkan sendi-sendi

pengampunan harus dilegitimasi oleh putusan pengadilan agar executable. Lihat dalam M.

Abdul Khaliq, Impunitas Kejahatan Masa Silam (Sebuah telaah Menurut Perspektif Hukum

Pidana Islam), Pointer diskusi disampaikan pada forum diskusi Bedah Buku Berjudul Menolak

Impunitas, diselenggarakan oleh LEM FH UII, pada tanggal 27 Februari 2006, 5. Sebagaimana

dikutip dalam Mahrus Ali, Syarif Nurhidayat, 307. 451 Menurut Qurais Shihab, adanya aturan mengenai pemaafan adalah keringanan dari Tuhan agar

tidak timbul dendam atau pembunuhan beruntun, dan hal ini juga merupakan rahmat dari Allah

bagi keluarga korban atau pelaku sekaligus. Bagi korban dilarang menuntut berlebih yang di luar

kemampuan pelaku, pelaku pun dilarang menunda-nunda pembayaran ganti rugi atau

mengurangi dari ganti rugi atau tebusan yang telah ditetapkan. Lihat M. Quraish Shihab, Tafsir

Al Mishbah..., 393.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

191

kehidupan masyarakat, karena hal itu sudah melebihi keadilan sosial itu.452

Relevansinya dalam pembahasan ini adalah bahwa maaf tidak begitu saja dapat

dijadikan satu metode ishlah, harus sangat selektif agar tidak melampaui nilai

keadilan yang itu menggoyahkan sendi kemasyarakatan, dan hanya akan

kontraproduktif terhadap pencapaian perdamaian itu sendiri. Dalam hukum

pidana Islam memberikan satu solusi dua arah yang seimbang dalam hal ishlah,

dengan satu tujuan perdamaian yang sejati, yaitu hilangnya beban dosa bagi

pelaku, dan hilangnya rasa derita dan dendam korban. Ishlah merupakan perintah

dari Allah yang harus diusahakan secara adil sebagai rahmat dari Allah SWT,

yang mencintai perdamaian.

d. Tindak Pidana yang dapat dilaksanakan Perdamaian

Kategorisasi tindak pidana dalam hukum pidana Islam yang dapat

dilakukannya perdamaian adalah qis}a>s. Tindak pidana ini berada di tengah antara

kejahatan hudud dan ta‟zir dalam hal beratnya. Kejahatan terhadap tubuh manusia

sengaja atau tidak sengaja. Ia terdiri dari apa yang dikenal dalam hukum pidana

modern sebagai kejahatan terhadap manusia (crimes againts persons) yaitu;

pembunuhan sengaja, pembunuhan menyerupai (semi) sengaja, pembunuhan

karena kesalahan dan penganiayaan. Berikut kami uraikan satu-persatu:

1. Pembunuhan Sengaja

Dari beberapa sumber di atas dapat dipahami bahwa terhadap jarimah

pembunuhan sengaja, pelaku dijatuhi pidana qis}a>s yaitu dibunuh kembali.

452 M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an Tafsir Maudhu‟I Atas Pelbagai Persoalan Umat,

Bandung: Mizan Cet.XI, 124-127.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

192

Ancaman qis}a>s ini dapat digugurkan atau diganti dengan diat (ganti kerugian)

manakala pihak keluarga korban dan pelaku melakukan perdamaian atau

memberikan maaf. Perdamaian tersebut dimaksudkan sebagai upaya memberikan

kesempatan untuk bertaubat dan meminta ampunan Allah dan diharapkan di masa

yang akan datang tidak mengulangi perbuatan serupa.

Bahwa unsur-unsur

pembunuhan sengaja itu ada tiga macam, yaitu sebagai berikut:

1. Korban yang dibunuh adalah manusia yang hidup. Salah satu unsur dari

pembunuhan sengaja adalah korban harus berupa manusia yang hidup;

2. Kematian adalah hasil dari perbuatan pelaku. Antara perbuatan dan

kematian terdapat hubungan sebab akibat. Yaitu bahwa kematian yang

terjadi merupakan akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh pelaku;

3. Pelaku tersebut menghendaki terjadinya kematian. Pembunuhan dianggap

sebagai pembunuhan sengaja apabila dalam diri pelaku terdapat niat untuk

membunuh korban, bukan hanya kesengajaan dalam perbuatannya saja.

Niat untuk membunuh inilah yang membedakan antara pembunuhan

sengaja dengan pembunuhan menyerupai sengaja.453

2. Pembunuhan Menyerupai (Semi) Sengaja

Berbeda halnya dengan pembunuhan sengaja, dalam pembunuhan

menyerupai (semi) sengaja (qoth’ul syhibhul-‘amd) menurut Hanafiyah seperti

dikutip oleh Abdul Qadir Audah adalah pembunuhan dimana pelaku sengaja

memukul korban dengan tongkat, cambuk, batu, tangan atau benda lain yang

mengakibatkan kematian.454

Unsur kesengajaan terlihat dalam kesengajaan

berbuat berupa perbuatan dan unsur kekeliruan terlihat dalam ketiadaan niat

membunuh. Menurut syafi‟iyah seperti juga dikutip oleh Abdul Qadir Audah,

pengertian pembunuhan menyerupai sengaja adalah suatu pembunuhan dimana

pelaku sengaja dalam perbuatan, tetapi keliru dalam pembunuhan.455

Pembunuhan

453 Ahmad Wardi Muslich.., 140-141. 454 Abd. Al-Qadir Audah, II.., 93. 455 Ibid.., 94.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

193

menyerupai sengaja, perbuatan memang dilakukan dengan sengaja, tetapi tidak

ada niat dalam diri pelaku untuk membunuh korban. Sebagai bukti tentang tidak

adanya niat membunuh tersebut dapat dilihat dari alat yang digunakan. Bahwa

unsur-unsur pembunuhan menyerupai sengaja itu ada tiga macam, yaitu:

1. Adanya perbuatan dari pelaku yang mengakibatkan kematian. Untuk

terpenuhinya unsur ini, disyaratkan bahwa pelaku melakukakn perbuatan

yang mengakibatkan kematian korban, baik berupa pemukulan, pelukaan

atau lainnya;

2. Adanya kesengajaan dalam melakukan perbuatan. Adanya kesengajaan

dari pelaku untuk melakukan perbuatan yang kemudian mengakibatkan

matinya korban, tetapi bukan kesengajaan membunuh;

3. Ketiga, kematian adalah akibat perbuatan pelaku. Antara perbuatan pelaku

dan kematian korban terdapat hubungan sebab akibat. Yaitu bahwa

kematian yang terjadi merupkan akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh

pelaku.456

3. Pembunuhan karena kesalahan (kealpaan)

Pembunuhan karena kesalahan sebagaimana dikemukakan oleh Sayid

Sabiq adalah apabila seorang mukalaf melakukan perbuatan yang dibolehkan

untuk dikerjakan, seperti menembak binatang buruan atau membidik suatu

sasaran, tetapi kemudian mengenai orang yang dijamin keselamatannya dan

membunuhnya.457

Sedangkan Wahbah Zuhaili definisi pembunuhan karena

kesalahan adalah pembunuhan yang terjadi tanpa maksud melawan hukum, baik

dalam perbuatannya maupun objeknya.458

Perbuatan yang sengaja dilakukan

sebenarnya adalah perbuatan mubah, tetapi karena kelalaian pelaku, dariperbuatan

mubah tersebut timbul suatu akibat yang dikategorikan sebagai tindak pidana.

456 Ahmad Wardi Muslich.., 142-143. 457 Sayid Sabiq.., 438. 458 Wahbah Zuhaili, VI.., 223.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

194

Dalam hal ini pelaku tetap dipersalahkan, karena ia lalai atau kurang hati-hati

sehingga mengakibatkan bilangnya nyawa orang lain.459

Kekeliruan dalam pembunuhan itu ada dua macam, yaitu: Pembunuhan

karena kekeliruan semata-mata dan pembunuhan yang disamakan dengan

kekeliruan Pembunuhan karena kekeliruan semata. Dalam kekeliruan yang

pertama, pelaku sadar dalam melakukan perbuatannya, tetapi ia tidak mempunyai

niat untuk mencelakai orang (korban). Dalam kekeliruan yang kedua, pelaku sama

sekali tidak menyadari perbuatannya dan tidak ada niat untuk mencelakai orang,

tetapi karena kelalaian dan kekurang hati-hatinya, perbuatannya itu

mengakibatkan hilangnya nayawa orang lain. Oleh karena itu, pelaku tetap

dibebani pertanggungjawaban pidana karena kurang hati-hatinya atau karena

kelalaiannya.

4. Tindak Pidana Penganiayaan

Tindak pidana atas selain jiwa atau penganiayaan adalah setiap perbuatan

menyakiti orang lain yang mengenai badannya, tetapi tidak sampai

menghilangkan nyawanya.460

Pengertian ini sejalan dengan definisi yang

dikemukakan oleh Wahbah Zuhaili, bahwa tindak pidana atas selain jiwa adalah

setiap tindakan melawan hukum atas badan manusia, baik berupa pemotongan

anggota badan, pelukaan, maupun pemukulan, sedangkan jiwa atau nyawa dan

459 Abdul Qadir Audah mendefinisikan kekeliruan dalam pembunuhan sebagai berikut: Pertama,‟

Pembunuhan karena kekeliruan semata-mata adalah suatu pembunuhan di mana pelaku sengaja

melakukan suatu perbuatan, tetapi tidak ada maksud untuk mengenai orang, melainkan terjadi

kekeliruan, baik dalam perbuatannya maupun dalam dugaannya. Kedua, Pembunuhan yang

dikategorikan kepada kekeliruan adalah suatu pembunuhan di mana pelaku tidak mempunyai

maksud untuk melakukan perbuatan dan tidak menghendaki akibatnya. Lihat Abd Al-Qadir

Audah II.., 104. 460 Abd Al-Qadir Audah, At-Tasyri‟ Al-Jinaiy Al-Islamiy, Juz II, Dar Al-Kitab Al-A‟rabi, Beirut,

tanpa tahun.., 204.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

195

hidupnya masih tetap tidak terganggu.461

Bahwa setiap permasalahan pidana tidak

harus berakhir dengan pidana penjara yang sebenarnya pelaku, korban dan

masyarakat telah menyelesaikan masalahnya dengan cara musyawarah mufakat

sehingga menghasilkan perdamaian. Hal ini penting mengingat istilah restorative

justice dapat menjadi prospek penyelesaian perkara dalam upaya kebijakan

penanggulangan kejahatan.

2. Restorative Justice Dalam Hukum Pidana Indonesia

Restorative justice bukanlah konsep yang baru, keberadaannya barangkali

sama tuanya dengan hukum pidana itu sendiri. Bahkan beribu tahun yang lalu,

upaya penanganan perkara pidana dengan pendekatan ini, justru ditempatkan

sebagai mekanisme utama bagi penanganan tindak pidana. Marc Levin

menyatakan bahwa pendekatan yang dulu dinyatakan sebagai usang, kuno dan

tradisional kini justru dinyatakan sebagai pendekatan yang progresif. Konsep

hukum adat Indonesia sebagai wadah dari institusi peradilan adat juga memiliki

konsep yang dapat digambarkan sebagai akar dari restorative justice. Di

Indonesia, karakteristik dari hukum adat di tiap daerah pada umumnya amat

mendukung penerapan restorative justice. Pelanggaran hukum adat merupakan:

1. Suatu peristiwa aksi dari para pihak dalam masyarakat;

2. Aksi itu menimbulkan gangguan keseimbangan;

3. Gangguan keseimbangan ini menimbulkan reaksi;

4. Reaksi yang timbul menjadikan terpeliharanya kembali atas gangguan

keseimbangan kepada keadaan semula.462

Unsur utama dari restorative justice yaitu kerelaan dan partisipasi dari

korban, pelaku dan masyarakat dalam melakukan perbaikan atas tindak pidana

461 Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Juz VI, Dar Al-Fikr, Damaskus, 1989, 331. 462 Sholeh Soeaidy dan Zulkhair, Dasar Hukum Perlindungan Anak, cet. ke-1, (Jakarta: CV.

Novindo Pustaka Mandiri, 2001), 22.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

196

yang terjadi juga merupakan ciri dari hukum adat. Pada kenyataan yang ada

dalam masyarakat Indonesia mengenai fungsionalisasi lembaga musyawarah

sebagai bagian dari mekanisme yang dipilih untuk menyelesaian perkara pidana.

Musyawarah baik yang diselenggarakan oleh pelaku dan korban sendiri, atau

dengan melibatkan institusi kepolisian atau kejaksaan, atau dengan melalui

lembaga adat memperlihatkan pola pikir masyarakat dalam melihat suatu

permasalahan yang muncul. Dalam konsep mediasi proses dialog dikenal sebagai

media komunikasi yang menjadi modal utama penyelenggaraan lembaga mediasi.

Keseluruhan proses itulah yang dapat ditemui dalam model penyelenggaraan

restorative justice, seperti:

a) Victim Offender Mediation (VOM). Mediasi antara pelaku dan korban

yaitu suatu forum yang mendorong adanya pertemuan antara pelaku dan

korban yang dibantu oleh mediator sebagai koordinator dan fasilitator

dalam pertemuan tersebut;

b) Conferencing yaitu suatu forum yang sama dengan VOM, namun dalam

bentuk ini terdapat perbedaan yaitu pelibatan penyelesaian bukan hanya

melibatkan pelaku dan korban langsung (primary victim), tetapi juga

korban tidak langsung (secondary victim), seperti keluarga atau kawan

dekat korban serta keluarga dan kawan dekat pelaku;

c) Circles, suatu model penerapan restorative justice yang pelibatannya

paling luas di bandingkan dengan dua bentuk sebelumnya, yaitu forum

yang bukan hanya korban, pelaku, keluarga atau mediator saja tapi juga

anggota masyarakat yang merasa berkepentingan dengan perkara

tersebut.463

Ketiga model tersebut, merupakan dasar dari bentuk penerapan pendekatan

restorative justice, yang pada dasarnya merupakan bentuk-bentuk yang menjadi

variasi dari model dialog yang merupakan pelaksanaan dari bentuk musyawarah

dan mufakat. Dari nilai dasar inilah restorative justice sebagai implementasi dari

nilai dasar yang ada dalam masyarakat Indonesia memiliki pondasi nilai yang

463 Gatot Supramono, Hukum Acara Pengadilan Anak, 170.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

197

kuat. Akan tetapi, penyelesaian model ini belum memiliki justifikasi perundang-

undangan yang jelas. Di bawah ini akan diuraikan mengenai hal-hal yang

mendukung diwujudkannya pendekatan restoratif hukum pidana Islam di

Indonesia, antara lain:

a. Undang-Undang yang Menggunakan Restorative Justice

Eksistensi proses restorative justice sebagai alternatif penyelesaian perkara

pidana sangat ditentukan oleh kesadaran dan pengetahuan masyarakat itu sendiri,

termasuk aparat penegak hukumnya. Pemahaman peradilan yang hanya

mengedepankan penerapan aturan membuktikan kesalahan pelaku dan lalu

menghukumnya tidak akan bisa menerima konsep ini. Baginya peradilan adalah

hak negara untuk mengenakan sanksi kepada warganya yang telah melanggar

aturan. Penjeraan dan atau rehabilitasi menjadi faktor yang sangat populis di

dalamnya, perhatian peradilan didominasi oleh kepentingan pelaku, masyarakat

dan negara. Laporan Kongres PBB ke-11 di Bangkok Thailand dalam Report of

the Eleventh United Nations Congress on Crime Prevention and Criminal Justice

Bangkok, 18-25 April 200, merumuskan bahwa:

“there was general agreement on the need for innovative approaches in

the administration of justice, including the use of alternatives to

imprisonment for minor offences, especially by first time offenders,

juvenile offenders and drug abusers, the use of restorative justice,

including mediation and conciliation, and the need to take into

consideration the rights of victims, in particular those of women and

children.464

Artinya: Terdapat kesepakatan umum tentang perlunya

pendekatan inovatif dalam administrasi peradilan, termasuk penggunaan

alternatif hukuman penjara untuk pelanggaran ringan, terutama oleh

pelaku yang pertama kali melakukan kejahatan, pelaku remaja dan

penyalahgunaan narkoba. Penggunaan keadilan restoratif, termasuk

464 Report of the Eleventh United Nations Congress on Crime Prevention and Criminal Justice

Bangkok, 18-25 April 2005: The main theme of the Eleventh Congress would be Synergies and

responses: strategic alliances in crime prevention and criminal justice.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

198

mediasi dan konsiliasi, serta pentingnya mempertimbangkan hak-hak

korban, khususnya para perempuan dan anak-anak”.

Begitu juga dalam Kongres PBB ke-12 di Brasil, Report of the Twelfth

United Nations Congress on Crime Prevention and Criminal Justice Salvador,

Brazil, 12-19 April 2010, juga merekomendasikan negara anggota untuk

mengevaluasi dan mengadakan pembaharuan kebijakan peradilan pidananya

dengan pengembangan strategi komprehensif, mengurangi penggunaan sanksi

penjara, dan meningkatkan penggunaan alternatif lain selain penjara termasuk

program restorative justice. Dunia internasional telah memberi guidelines on

criminal Justice tentang strategi pendekatan inovasi, komprehensif dan integral

dengan meningkatkan penggunaan program peradilan restoratif.

Dalam kebijakan nasional, ada Pancasila yang merupakan core philosopy

bangsa. Sebagai core philosopy, Pancasila merupakan sumber nilai bagi adanya

sistem hukum di Indonesia.465

Dalam sila ke-4 Pancasila: Kerakyatan Yang

Dipimpin Oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan

terkandung falsafah permusyawaratan atau musyawarah, makna yang terkandung

adalah: mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk

kepentingan bersama, dan menghormati setiap keputusan musyawarah, keputusan

yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan

Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, nilai-nilai

kebenaran dan keadilan mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan

bersama. Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi semangat kekeluargaan,

465 Kuat Puji Prayitno, Pancasila Sebagai Bintang Pemandu (Leitstern) dalam Pembinaan

Lembaga dan Pranata Hukum di Indonesia, Jurnal Media Hukum, Akreditasi:No.

26/DIKTI/Kep/2005 Vo. 14 No. 3, Yogyakarta, 2007, 152.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

199

sehingga kalau di breakdown falsafah musyawarah mengandung 5 (lima) prinsip

sebagai berikut:

1. Conferencing (bertemu untuk saling mendengar dan mengungkapkan

keinginan);

2. Search solutions (mencari solusi atau titik temu atas masalah yang sedang

dihadapi);

3. Reconciliation (berdamai dengan tanggungjawab masing-masing);

4. Repair (memperbaiki atas semua akibat yang timbul); dan

5. Circles (saling menunjang).466

Prinsip-prinsip ini persis seperti yang di butuhkan dan menjadi kata kunci

dalam restorative justice, sehingga secara ketatanegaraan restorative justice

menemukan dasar pijakannya dalam falsafah sila ke-4 Pancasila.467

Dasar pijakan

itu kalau diimplementasikan dalam pola penyelesaian perkara pidana mengandung

prinsip yang disebut dengan istilah VOC (Victim Offender Conferencing). Target

dalam pertemuan VOC (Victim Offender Conferencing) adalah mediasi atau VOM

(Victim Offender Mediation), yaitu kesempatan untuk berdamai dan saling

menyepakati perbaikan.

Umbreit dan Coates menyatakan bahwa tujuan penyelesaian perkara

dengan VOM adalah to humanize the justice system.468

Pendekatan dikatakan

lebih humanis karena berusaha mengeliminir beberapa masalah;

466 Ibid. 467 Sila kerakyatan ini, bisa disamakan dengan istilah Pinto sebagai Participative democracy in

Restorative Justice di mana korban, pelaku, dan masyarakat berperan penting dalam proses

pengambilan keputusan,. Lihat Pinto, 2005, Is Restorative Justice Possible in Brazil? Dalam

Daniel Achutti, 2011, The Strangers in Criminal Procedure: Restorative Justice as a Possibility

to Overcome the Simplicity of the Modern Paradigm of Criminal Justice, Journal: Oñati Socio

Legal Series, Vol. 1, No. 2, Brazil, 12. 468 Umbreit, Mark and Robert Coates dalam Mara F. Schiff, 1998, Restorative Justice

Interventions for Juvenile Offenders: A Research Agenda for the Next Decade, Online Journal,

Available: http://wcr.sonoma.edu/ v1n1/schiff.html.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

200

1. Tidak lagi mengasingkan hubungan dengan korban pasca proses peradilan

ke tempat sekunder sehingga konsekuensi kejahatan yang dialaminya

seolah tidak diperhatikan. Di sisi lain masuknya para pihak dalam

menyelesaikan masalah adalah significant part dan menjadi ciri khas

model restorative;

2. Secara efektif bertanggung jawab kepada korban atas pemulihan kerugian

material dan moral dan menyediakan berbagai kesempatan untuk dialog,

negosiasi, dan resolusi masalah;

3. Memberi rasa hormat terhadap martabat manusia (the respect for human

dignity), karena peradilan restoratif tidak terpisah dari model perlindungan

hak asasi manusia bahkan mereka berdua mencari kebaikan bersama (they

both seek a common good).

Ada perubahan paradigma mendasar atau redifinisi yang harus dilakukan,

yaitu cara kita memandang kejahatan hakikatnya sebagai masalah kemanusiaan

sehingga tidak melakukan pendekatan formalitas yang berlebihan (excessive

formality) dan hanya mencari kesalahan seseorang, akan tetapi berpikir untuk

memecahkan situasi/masalah, dan harus menyentuh sampai pada konteksnya,

dengan begitu respons kejahatan mestinya mencari solusi problema hubungan

kemanusiaan tadi (care for real people and relationships). Paradigma ini

menggeser anggapan selama ini dari kejahatan sebagai masalah negara menjadi

kejahatan sebagai masalah perorangan, oleh karena itu keadilan yang

diperjuangkan adalah yang mampu menjawab apa yang senyatanya dibutuhkan

korban, pelaku dan masyarakat (experienced within a context). Keadilan yang

demikian dikatakan sebagai“experiencing justice”.

Kaidah musyawarah (sila ke-4 Pancasila) dengan prinsip musyawarah

untuk mufakat yang diliputi semangat kekeluargaan mengandung esensi

experiencing justice. Hal ini sejalan dengan pemikiran yang dikemukakan oleh

Jarem Sawatsky pengkaji restorative justice yang bekerja di the Institute for

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

201

Justice and Peace building at Eastern Mennonite University in Virginia sebagai

berikut:

“Needs of victims, offenders and communities are central for Restorative

Justice. Justice is about participation. This has a huge implication for

justice. If needs are central then justice is always ad hoc. Justice must

respond and be experienced within a context. That means justice will look

different and be arrived at differently dependent on the needs, the culture,

the history, the future, and the people involved;469

Artinya: “Korban,

pelaku dan masyarakat butuh keadilan restoratif. Keadilan adalah tentang

partisipasi. Hal ini memiliki implikasi yang sangat besar bagi

keadilan. Jika kebutuhan merupakan inti, maka keadilan selalu bersifat ad

hoc (tidak tetap/permanen). Artinya; keadilan akan berbeda tergantung

pada kebutuhan, budaya, sejarah, masa depan, dan orang-orang yang

terlibat.

Perbedaan mendasar restorative justice dengan peradilan menurut hukum

acara KUHAP antara lain:

Peradilan KUHAP Peradilan Restoratif

1. Mendasarkan pada kejahatan 1. Menunjuk pada kekeliruan (eror)

Yang dilakukan; yang disebabkan karena pelang-

garan;

2. Menempatkan korban dalam

2

. Menempatkan korban pada posisi

kedudukan yang sentral; yang sekunder

3. Tujuannya berpusat pada gagasan

3. Dasar tujuannya memberi kepuasan

bagaimana menghukum yang ber yang dialami para pihak yg terlibat

salah dengan adil; dalam pelanggaran

4. Retributive Justice

4

. Restorative Justice

469 Jarem Sawatsky, Restorative value: Where Means And Ends Converge, Restorative Justice

Online Journal, Vol. IX, 2010, http://www.restorativejustice.org/arti-clesdb/articles/3681,

Manitoba, Canada, 12.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

202

5. Result in prison for the accused;

5

. Dialogue, negotiation,and resolution

6. Ditentukan oleh professional

6

. Ditentukan oleh para pihak dalam

hukum Conferencing

Sejalan dengan itu pula perlu kiranya kebijakan peradilan pidana

Indonesia mengambil langkah-langkah responsif, sinergis dan kombinatif yaitu

selain cara-cara peradilan berdasar KUHAP, ditempuh pula peradilan restorative

justice. Ketentuan dalam rambu-rambu kebijakan hukum nasional yang dapat

dijadikan sebagai sandaran peradilan restoratif antara lain sebagai berikut.

1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik

Indonesia (UU POLRI), merumuskan bahwa tugas pokok Kepolisian

Negara Republik Indonesia antara lain memberikan perlindungan,

pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat (Pasal 13 huruf c). Dalam

rangka menyelenggarakan tugasnya itu kepolisian berwenang

melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugasnya

(Pasal 15 ayat (2) huruf k), Berwenang untuk mengadakan tindakan lain

menurut hukum yang bertanggung jawab (Pasal 16 ayat (1) huruf l);

2) Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan (Pasal 8 ayat

(4)) menyebutkan bahwa jaksa dalam melaksanakan tugas dan

wewenangnya, senantiasa bertindak berdasarkan hukum dengan

mengindahkan norma-norma keagamaan, kesopanan, kesusilaan, serta

wajib menggali dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang hidup

dalam masyarakat, serta senantiasa menjaga kehormatan dan martabat

profesinya;

3) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,

Pasal 1 angka (1) adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan

berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, demi terselenggaranya Negara

Hukum Republik Indonesia. Pasal 50 ayat (1) berbunyi; segala putusan

pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut,

memuat pula pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang

bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk

mengadili. Serta pasal 5 ayat (1) menyatakan; Hakim wajib menggali,

mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup

dalam masyarakat;

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

203

4) LPSK adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan

perlindungan dan hak-hak lain kepada Saksi dan/atau korban sebagaimana

diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 (Tentang Perubahan

atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006) Tentang Perlindungan Saksi

dan Korban (UU LPSK). Ketentuan Pasal 7 UU LPSK menyatakan bahwa

Korban melalui LPSK, berhak mengajukan ke pengadilan berupa hak atas

restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak

pidana. Keputusan mengenai kompensasi dan restitusi diberikan oleh

pengadilan.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam kebijakan legislasi nasional yang

ada, restorative justice dalam penegakan hukum pidana in concreto dapat

dilakukan dengan berdasar pemikiran sebagai berikut:

1) Melalui kewenangan lembaga LPSK, atau Jaksa dan Hakim di pengadilan,

berdasar ketentuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang

Perlindungan Saksi dan Korban (UU LPSK), maupun PP Nomor 44 Tahun

2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan Kepada Saksi

dan Korban, akan tetapi sejak semula pendekatan yang digunakan adalah

proses restorative justice;

2) Menggunakan kaidah secondary rules yang memberi kewenangan kepada

aparat hukum (polisi, jaksa dan hakim) melakukan creation, extinction,

and alteration of primary rules. Creation, extinction, atau alteration itu

dengan proses restorative justice.

Kebijakan legislasi nasional dalam batas-batas tertentu memberi peluang

bagi penegak hukum untuk creation, extinction, atau alteration dalam

menegakkan hukum pidana. Sebagai perbandingan; di Hungaria sejak awal tahun

2007 materi peradilan dengan pendekatan restorative justice sudah efektif.

Restorative justice dengan mediasi tersedia untuk pelanggar baik dewasa dan

remaja jika kejahatannya adalah kejahatan terhadap orang, pelanggaran lalu lintas

atau kejahatan terhadap properti yang ancamannya tidak lebih dari lima tahun

penjara. Syarat lainnya adalah ada permintaan dari para pihak, tindak pidana itu

ada korbannya, pelaku telah mengaku bersalah, pelaku bukan pelaku yang biasa

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

204

melakukan kejahatan yang sama untuk kedua kalinya atau residivis, tidak ada

acara pidana yang tertunda terhadap pelaku pada saat kejahatan tersebut dilakukan

dan bukan tindak pidana yang menimbulkan kematian.470

Apabila dijumpai keadaan yang demikian itu maka jaksa dan juga hakim

punya keleluasaan (diskresi) untuk menentukan kasus diselesaikan dengan

mediasi/restorasi. Apabila hendak menggunakan diskresinya, mereka

membutuhkan pertimbangan faktor-faktor berikut:

1) Pelaku mengaku selama penyelidikan;

2) Pelaku telah setuju dan dapat memberi ganti rugi kepada korban untuk

kerusakan yang diakibatkan dari tindak pidana itu atau memberikan

bentuk lain dari restitusi;

3) Pelaku dan korban setuju untuk berpartisipasi dalam proses mediasi;

4) Mengingat sifat kejahatan, cara perbuatan tersebut dilakukan dan keadaan

pribadi pelaku sehingga proses pengadilan tidak diperlukan, atau ada

alasan substansial yang dipercaya bahwa pengadilan akan

mempertimbangkan penyesalan pelaku sebagai keadaan yg

meringankan.471

Di Indonesia dengan kewenangan seperti tertuang dalam Pasal 5 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,

sesungguhnya menempatkan penegak hukum sebagai seorang “judex mediator”

artinya ia harus dapat menjadi penghubung antara pihak yang bertikai.

Selanjutnya, dia juga harus dapat menjadi jembatan antara pihak-pihak tersebut

dengan masyarakat, serta dapat menimbang beragam kepentingan, norma, dan

nilai yang ada di dalam masyarakat itu.472

470 Borbála Fellegi, Building And Toning: An Analysis Of The Institutionalisation Of Mediation In

Penal Matters In Hungary, Journal TEMIDA, Mart 2011, 22. 471 Ibid. 472 Kuat Puji Prayitno, Rekonstruksi pemikiran Hukum Pidana yang Integral (Studi tentang

Penegakan Hukum Pidana in concreto oleh Hakim dalam Konteks Sistim Hukum Nasional),

Disertasi, Undip, Semarang, 2011, 395.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

205

b. Kasus-Kasus yang Bisa Memakai Restorative Justice

Semangat restorative justice dapat terlihat dalam beberapa perundang-

undangan diantaranya: Undang-undang Nomor 15 tahun 1995 tentang

Pemasyarakatan, Undang-undang Nomor 3 1997 tentang Pengadilan Anak,

Undang-undang Nornor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam

Rumah Tangga dan Rancangan KUHP 2005. Restorative justice lebih

menekankan kepada keterlibatan langsung pihak-pihak dan menuntut usaha kerja

sama dengan masyarakat serta pemerintah untuk menciptakan suatu lingkungan

yang harmonis sehingga korban dan pelaku dapat merekonsiliasi konflik mereka

dan menyelesaikan kerugian mereka dan dalam waktu yang bersamaan

menimbulkan rasa aman dalam masyarakat.473

Melalui pendekatan restorative

justice diharapkan pemulihan bagi korban dapat terealisasi, tujuan pemidanaan

bagi pelaku akan berhasil dan ketertiban masyarakat pun dapat tercapai.

Restorative justice rnerupakan salah satu aIternatif untuk mewujudkan keadilan

sesuai dengan tujuan hukum, Keadilan yang akan diperoleh semua pihak, baik

pelaku, korban maupun masyarakat.474

Pelaku direstorasi melalui sistem peradilan pidana sehingga mendorong

terjadinya perdamaian antara korban dan pelaku. Perdamaian itu dilakukan

melalui mediasi, pertemuan, program perbaikan ekonomi dan pendidikan

473 Mudzakkir.., 26. 474 Beberapa teori tentang tujuan hukum: pertama, Teori Etis; keadilan. Kedua, Teori Utilitas:

kebahagiaan. Ketiga, Teori Campuran: ketertiban. Pendapat lain; Mochtar Kusumaatmadja:

tujuan hukum adatah keadilan secara berbeda-beda (baik isi maupun ukurannya) menurut

masyarakat pada zamannya. Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto: tujuan hukum adalah

demi kedamaian hidup antar pribadi yang meliputi ketertiban ekstern antar pribadi dan

kctenangan intern pribadi. Lihat Esmi Warassih , Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, PT

Suryandaru Utruna, Semarang, 2005, 24-25.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

206

kejujuran.475

Dalam perdamaian yang dilakukan, korban dapat memberikan

masukan tentang keadilan apa yang hendak diperolehnya. Begitu juga pelaku bisa

melakukan hal-hal sebaliknya, misalnya dapat saja membayar ganti kerugian atas

penderitaan yang dialami oleh korban. Pemenuhan ganti rugi bagi korban bisa

berupa restitusi atau kompensasi. Sedangkan bagi pelaku, pidana yang diberikan

tidak hanya sebatas pidana penjara melainkan bisa berupa pidana kerja sosial,

sehingga akan lebih bermanfaat bagi pelaku dan masyarakat. Idealnya, dalam

restorative justice, pertemuan antara pihak pelaku dan korban harus pula

melibatkan pihak lain. Seperti masyarakat dengan dukungan dan perhatiannya.

Oleh karena itu perbedaan utama dengan retributive justice terletak pada

filosofinya yaitu kesepakatan yang menurut hukum tidak sampai melukai

kepentingan masyarakat atau dengan kata lain restorative justice dilakukan

dengan melalui hukum tanpa mencederai perasaan masyarakat.476

Pada saat ini, harapan tersebut bisa dilihat pada Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan

Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Peraturan

pemerintah (selanjutnya disebut PP) di atas bersinggungan dengan konsep

restorative justice yang dikemukakan sebelumnya, hal ini dapat dilihat dengan

diaturnya penyelenggaraan pemulihan korban KDRT yang melibatkan kerjasama

dengan berbagai pihak. Menurut PP ini pemulihan korban adalah segala upaya

475 Ibid.., 54. 476 Charles K.B. Barton, Restorative Justice (The Empowerment Model), (Sydney: Hawkins Press,

2003), 38.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

207

untuk penguatan korban kekerasan dalam rumah tangga agar lebih berdaya, baik

secara fisik maupun psikis.477

c. Kasus Pelanggaran Lalu Lintas Oleh Abdul Qadir Jailani (AQJ).

Kasus pelanggaran lalu lintas tak jarang mengakibatkan kecelakaan.478

Salah satu kasus pelanggaran lalu lintas yang melibatkan anak-anak adalah kasus

pelanggaran lalu lintas yang terjadi pada hari Minggu tanggal 8 September 2013

sekitar pukul 01.00 WIB, bertempat di Jalan Tol Jagorawi KM 08.400 A arah

selatan wilayah Jakarta Timur. Kejadian melibatkan kendaraan Mitsubhisi Lancer

Nopol B-80-SAL, dengan kendaraan Daihatsu Grand Max Nopol B-1347- UZJ,

dengan kendaraan Toyota Avanza Nopol B-1882-UZ. Diketahui bahwa

pengemudi kendaraan Mitsubhisi Lancer adalah Achmad Abdul Qadir Jaelani

berusia 13 tahun, Laki-laki, pekerjaan pelajar, tempat tinggal di Pinang Emas

VII/D4 RT8/3 Pondok Indah Jaksel. Pengemudi kendaraan Mitsubhisi Grand Max

teridentifikasi sebagai Nugroho Brury Laksono berusia 35 tahun, jenis kelamin

laki-laki, pekerjaan karyawan swasta, dan beralamat di Kampung Bendungan

Melayu Rt 006/01 Rawa Badak Selaran Koja, Jakut. Sedangkan pengemudi

kendaraan Toyota Avanza teridentifikasi sebagai Hendra Sasongko, laki-laki,

pekerjaan swasta, dan beralamat di Asrama Janang Ratmil RT02/02 Jakarta

Utara.479

Kecelakaan beruntun yang terjadi di Tol Jagorawi 8 September tersebut

menewaskan enam orang dan sembilan lainnya luka-luka ini, kecelakaan maut

477 Pasal I angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan

Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga. 478 Ferli Hidayat, Analisa Kasus Kecelakaan Lalu Lintas Dengan Tersangka Achmad Abdul Qadir

13 tahun. http://ferli1982.wordpress.com/2013/10/16/analisa-kasus-kecelakaan-lalu-lintas-dengan-tersangka-achmad-abdul-qadir-13thn/ artikel ini diakses pada 13 Oktober 2020.

479 Ibid.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

208

yang terjadi pada pukul 00:24 dini hari ini menjadikan Abdul Qodir Jaelani atau

yang akrab dipanggil Dul sebagai tersangka utama penyebab kecelakaan tersebut.

Anak bungsu musisi Ahmad Dhani yang mengendarai mobil sedan dengan plat

polisi B 80 SAL ini menabrak pagar pemisah dan masuk ke jalur berlawanan,

yang kemudian mobil yang dikendarainya menghantam mobil Avanza dan

Grandmax yang berisi 13 penumpang yang datang dari arah berlawanan. Peristiwa

yang terjadi di kilometer 8+200 ini terjadi ketika Dul memacu kendaraan dari arah

Cibubur menuju Jakarta. Tiba-tiba saja mobil yang dikemudikan Dul lepas

kendali dan menabrak pembatas jalan. Diduga mobil yang dikendarai Dul melaju

dengan kecepatan di atas 100 Km per jam.480

Lebih jelasnya, kronologis

pelanggaran lalu lintas yang berujung kecelakaan ini terjadi ketika Mobil

Mitsubishi Lancer B 80 SAL yang dikendarai oleh Dul datang dari arah selatan

menuju utara menabrak pagar tengah hingga melayang ke arah jalur berlawanan.

Mobil itu menghantam Daihatsu Grandmax B 1347 UZJ dan terdorong mengenai

Avanza B 1882 UZ. Akibat kecelakaan yang terjadi sekitar pukul 00.45 WIB.

Korban meninggal di TKP sebanyak 6 orang sedangkan 1 orang meninggal di

rumah sakit, jadi korban yang meninggal sebanyak 7 orang, dan 9 orang

mengalami luka-luka.481

Kasus kecelakaan maut ini menjadikan Dul sebagai tersangka, disebabkan

Dul lalai dan mengakibatkan tujuh korban tewas. Selain itu, Dul juga dijerat pasal

berlapis yaitu pasal 310 ayat 3 dan 4 UU no 22 tahun 2009 tentang lalu lintas,

serta pasal 105 tentang ketertiban, 106 tentang mengemudi dengan wajar dan

480

e-journal.aujy.ac.id/5676/2/KOM104242.pdf artikel ini diakses pada 13 Oktober 2020. 481 Ferli Hidayat, Analisa Kasus Kecelakaan…, diakses pada 13 Oktober 2020.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

209

berkonsentrasi, dan pasal 281 tentang kewajiban pengemudi memiliki SIM.482

Pasal 310 ayat 3 UULAJ No.22 tahun 2009: Setiap orang yang mengemudikan

kendaraan bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan lalu

lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4),

dipidana dengan penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak

Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).483

Pasal 310 ayat (4) yaitu: Dalam hal

kecelakaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang mengakibatkan orang lain

meninggal dunia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun

dan/atau denda paling banyak Rp.12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).484

Kasus pelanggaran lalu lintas yang dilakukan oleh Dul mengakibatkan

dirinya harus berhadapan dengan hukum. Menurut pasal 1 Undang-undang no.11

tahun 2012 tentang sistem peradilan anak, anak yang berhadapan dengan hukum

adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak

pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana.485

Jika ditinjau dari segi

yuridis, dul masih berumur 13 tahun yang dalam hal ini masih dalam kategori

anak anak. Namun dalam undang undang no 11 tahun 2012 tentang sistem

peradilan anak, anak dalam kasus anak yang berkonflik dengan hukum adalah

anak yang telah berumur 12 tahun dan di bawah 18 tahun yang diduga melakukan

tindak pidana. Perlindungan hukum kepada anak adalah upaya hukum terhadap

berbagai kebebasan dan hak anak (fundamental rights and freedom of children)

482 Ibid.

483 Undang-Undang No.22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. 484 Ibid. 485

Undang-Undang No.11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

210

serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak.486

Wagiati Soetodjo menyatakan bahwa pembentuk undang-undang telah

mempunyai ketegasan tentang usia berapa seseorang diartikan sebagai anak di

bawah umur, sehingga berhak mendapat keringanan hukuman demi menerapkan

perlakuan khusus bagi kepentingan psokologi anak.487

Dalam pasal 5 ayat 1 UU No.11 tahun 2012, sistem peradilan anak wajib

mengedepankan pendekatan kedilan restoratif. Untuk mewujudkan keadilan

restorative diperlukan pelibatan seluruh orang-orang yang punya kepentingan dari

suatu tindak pidana yakni pelaku, korban, keluarga korban serta masyarakat.

Untuk memastikan pelaku memikul tanggung jawab pemenuhan kompensasi baik

terhadap korban maupun masyakarat, atas dampak kejahatanya.488

Proses peradilan anak harus bertujuan pada terciptanya Keadilan

Restoratif, baik bagi Anak maupun bagi korban. Keadilan Restoratif merupakan

suatu proses diversi, yaitu semua pihak yang terlibat dalam suatu tindak pidana

tertentu bersama-sama mengatasi masalah serta menciptakan suatu kewajiban

untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban,

anak, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk memperbaiki, rekonsiliasi, dan

menenteramkan hati yang tidak berdasarkan pembalasan.489

Berdasarkan pasal 6

UU No.11 tahun 2012, diversi bertujuan untuk mencapai perdamaian antara

korban dan anak, menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan,

486

Muhammad Rajab Ali, Tinjauan Yuridis Terhadap Kelalaian Yang Menyebabkan Kematian‟

Yang Dilakukan Oleh Anak, Makasar: Fakultas Hukum Universitas Hasanudin Makasar, 2012, 4. 487

Wagiati Soetodjo, Hukum Pidana Anak, Bandung: Refika Aditama, 2006, 5. 488

Aqsa Alghifarri, Mengawal perlindungan Anak Berhadapan Dengan Hukum, Jakarta: LBH

Jakarta, 2012, 21. 489

Penjelasan UU No.11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

211

menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan, mendorong masyarakat

untuk berpartisipasi, serta menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.490

Dalam sistem peradilan anak, skema yang dijalankan adalah setelah

terjadinya tindak pidana, kemudian dilakukan penyelidikan dan penyidikan oleh

petugas, setelah itu dilakukanya disversi yang melibatkan pihak anak, korban,

keluarga atau wali anak, serta penyidik atas rekomendasi lembaga

kemasyarakatan.491

Kesepakatan disversi dapat berbentuk pengembalian kerugian

dalam hal ada korban, rehabilitasi medis dan psikososial, penyerahan kembali

kepada orang tua atau wali, keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di

lembaga pendidikan atau LPKS paling lama 3 bulan; atau pelayanan masyarakat

paling lama 3 bulan. Namun apabila diversi tidak menyelesaikan perkara, maka

proses peradilan pidana bagi anak dapat dilanjutkan/dilaksanakan dengan Acara

Peradilan Anak di persidanagan. Batas umur 12 (dua belas) tahun bagi Anak

untuk dapat diajukan ke sidang anak didasarkan pada pertimbangan sosiologis,

psikologis, dan pedagogis bahwa anak yang belum mencapai umur 12 (dua belas)

tahun dianggap belum dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya.173

490

UU No.11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak. 491 Aqsa Alghifarri, Mengawal.., 46.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

212

BAB IV

PERSPEKTIF FILSAFAT HUKUM ISLAM TENTANG

RESTORATIVE JUSTICE

A. Sudut Pandang Filsafat Hukum Islam Tentang Restorative Justice dalam

Hukum Pidana Islam

Keadilan adalah norma kehidupan yang didambakan oleh setiap orang

dalam tatanan kehidupan sosial mereka. Lembaga sosial yang bernama negara

maupun lembaga dan organisasi internasional yang menghimpun negara-negara

nampaknya mempunyai visi dan misi yang sama terhadap keadilan, walaupun

persepsi dan konsepsi mereka barangkali berbeda dalam masalah tersebut.

Keadilan merupakan konsep yang relatif. Skala keadian sangat beragam antara

satu negara dengan negara lain, dan masing-masing skala keadilan itu

didefinisikan dan ditetapkan oleh masyarakat sesuai dengan tatanan sosial

masyarakat yang bersangkutan.

Tujuan utama dari keadilan restoratif yaitu terciptanya peradilan yang adil.

Di samping itu, diharapkan para pihak, baik pelaku, korban, maupun masyarakat

berperan besar di dalamnya. Korban diharapkan memperoleh kompensasi yang

sesuai dan disepakati bersama dengan pelaku untuk mengganti kerugian dan

mengurangi penderitaan yang dialami. Dalam restorativejustice, pelaku harus

bertanggung jawab penuh sehingga diharapkan pelaku dapat menyadari

kesalahannya.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

213

1. Keadilan Restoratif dalam Hukum Pidana Islam

Nilai lebih dari keadilan restorative adalah kejahatan dipandang sebagai

bagian dari tindakan sosial atau pelanggaran terhadap individu,tidak hanya

sebagai pelanggaran pidana terhadap negara. Keadilan restoratif menempatkan

nilai yang lebih tinggi dalam keterlibatan para pihak. Keadilan restorative

menekankan pada kebutuhan untuk mengenal dampak dari ketidak adilan sosial

dalam cara-cara sederhana, dari pada memberikan pelaku keadilan formal

sedangkan korban tidak mendapatkan keadilan apapun. Jika melihat pada ulasan

sebelumnya, akan ditemukan beberapa point penting yang menjadi mindide dari

keadilan restoratif. Keadilan restoratif secara aktif ikut melibatkan korban dan

keluarga dalam penyelesaian kasus pidana. Dalam kontekshukum pidana Islam,

keterlibatan korban tindak pidana (pengakuan hakkorban) dengan tegas

terakomodir dalam diyat ,492

Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur‟an Al-

Baqarah (2):178-179:493

ى ل ت ق ل ا ف اص ص ق ال م ك ي ل ع ب ت ك وا ن آم ين المذ ا ي ه أ ا ي د ب ع ل وا الر ب الرث والن د ب ع ل ا ى ى ب ث الن ب روف ع م ال ب اع ب ات ف ء ي ش يه خ أ ن م ه ل ي ف ع ن م ف

ان س ح إ ب ه ي ل إ ء ا د ذ وأ ورحة م ربك ن م يف تف ك ى ل د ت اع ن م ذ ف د ع ب ك ليم ل أ اب ذ ع ه ل ف

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash

berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang

merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa

yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan)

mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar

(diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). Yang demikian

492

Ima>m Al-Mawardi>, Al-Ahka>m As-Sult}a>niyyah alih bahasa Fadli Bahri, cet ke-3, (Jakarta:

Da>rul Falah, 2007), 365. Lihat juga Abdul Qādir Awdah, at- Tasyri’ al-Jinā’i al-Islāmi:

Muqāranan bi al-Qānun al-Wa’i Jilid I, (Bairut: Dār al- Kātib al-Arabi, t.t.), 204. Ibnu

Qayyim Al-Jauyiyah, Panduan Hukum Islamalih bahasa Asep Saefullah FM dan Kamaluddin’

Sa’adiyatuharamain, cet. ke-2, (Jakarta; Pustaka Azam, 2000), 95. 493

Al-Baqarah (2):178-179.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

214

itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa

yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.494

Dan

dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang

yang berakal, supaya kamu bertakwa”.

Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ketika Islam hamper

disyariatkan, pada jaman Jahiliyah ada dua suku bangsa Arab berperang satu sama

lainnya. Di antara mereka ada yang terbunuh dan yang luka-luka, bahkan mereka

membunuh hamba sahaya dan wanita. Mereka belum sempat membalas dendam

karena mereka masuk Islam. Masing-masing menyombongkan dirinya dengan

jumlah pasukan dan kekayaannya dan bersumpah tidak ridlo apabila hamba-

hamba sahaya yang terbunuh itu tidak diganti dengan orang merdeka, wanita

diganti dengan pria. Maka turunlah ayat tersebut di atas yang menegaskan hukum

qisas.495

Para ulama secara tegas menyebutkan bahwa hak dalam pidana Islam

terbagi atas hak Allah dan hak manusia. Abdul Qadir Awdah menjelaskan bahwa

terkadang ada dua hak dalam satu tindak pidana. Terdapat perbuatan yang

menyentuh hak-hak individu, namun hak masyarakat lebih dominan di dalamnya

seperti: qazaf. Terdapat juga perbuatan lain yang menyentuh hak masyarakat,

tetapi hak individu lebih besar dibandingkan hak masyarakat seperti:

pembunuhan.496

Meskipun Awdah kemudian menegaskan kembali bahwa setiap

494

Qishaash ialah mengambil pembalasan yang sama. Qishaash itu tidak dilakukan, bila yang

membunuh mendapat kema'afan dari ahli waris yang terbunuh yaitu dengan membayar diat

(ganti rugi) yang wajar. Pembayaran diat diminta dengan baik, umpamanya dengan tidak

mendesak yang membunuh, dan yang membunuh hendaklah membayarnya dengan baik,

umpamanya tidak menangguh-nangguhkannya. Bila ahli waris si korban sesudah Tuhan

menjelaskan hukum-hukum ini, membunuh yang bukan si pembunuh, atau membunuh si

pembunuh setelah menerima diat, maka terhadapnya di dunia diambil qishaash dan di akhirat dia

mendapat siksa yang pedih. 495

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Sa'id bin Jubair. Lihat Sayyid Sabiq,

Fikih Sunnah, Jilid 10.., 28. 496

Abdul Qadir Awdah, Ensiklopedia Hukum Islam Jilid II, alih bahasa Tim Tsalisah, (Bogor:

Karisma Ilmu, 2007), 204.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

215

perbuatan yang menyentuh hak manusia pada dasarnya juga mengandung hak

Allah didalamnya (hak masyarakat).497

Awdah menegaskan bahwa hak individu dalam hukum pidana tidak serta

merta menjadi hak individul secara murni. Batalnya hukuman qisas dalam

pembunuhan sengaja dan diyat dalam pembunuhan tersalah mengakibatkan

diperbolehkan untuk menggantinya dengan ta‟zir. Sehingga, pasca pemaafan yang

diberikan oleh korban/keluarga, penguasa dapat menjatuhkanhukuman ta‟zir

kepada pelaku dengan memperhatikan kondisi pelaku. Pemahaman tersebut di

atas, menunjukkan bahwa Islam lebih dahulu memahami konsep victim oriented

jauh sebelum para ahli hukum pidana Barat mencetuskan keadilan restoratif. Islam

tidak hanya memaknai tindak pidana sebagai pelanggaran terhadap negara dan

offender oriented, melainkan Islam melihat dari tataran yang lebih kompleks.

Pidana dipahami juga sebagai pelanggaran terhadap kepentingan individu atau

victimoriented. Bahkan pernyataan yang kemudian dipertegas oleh Awdah,

penulis lebih melihatnya sejalan dengan pemahaman keadilan restoratif. Berikut

ini penjelesannya:

Dalam pengaturan hukum pidana modern terhadap korban kejahatan

dikenal dua model, yaitu model hak-hak prosedural dan model pelayanan.498

Sepintas model hak-hak prosedural dalam hukum pidana modern akan terlihat

sejalan dengan qisas-diyat . Asumsi ini disimpulkan berdasarkan pemahaman

model hak prosedural yang memberikan peran aktif korban dalam jalannya proses

497

Ibid.., 236-237. 498

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana (Bandung: Alumni,

1992), 79-84.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

216

peradilan. Model ini melihat korban sebagai subjek yang harus diberikan hak-hak

yuridis yang luas untuk menuntut dan mengejar kepentingan-kepentingannya.

Lain halnya dengan model pelayanan, penekanan diletakkan pada perlunya

diciptakan standar-standar baku bagi pembinaan korban kejahatan yang dapat

digunakan oleh aparat penegak hukum, seperti pemberian kompensasi sebagai

sanksi pidana restitutif. Dalam padangan Muladi dan Barda Nawawi Arief,

keduanya lebih cenderung memilih model pelayanan sebagai model yang ideal.

Hal tersebut didasari pada pertimbangan akan resiko penggunaan model hak

prosedural bagi sistem pidana secara keseluruhan, khususnya pada peluang

timbulnya konflik antara kepentingan individu dan kepentingan umum.

Penerapan kebijakan non penal dalam Islam, telah lama diterapkan pada

jarimah qisas-diyat (tindak pidana pembunuhan dan penganiayaan), yang mana

dalam hukum pidana Indonesia dikategorikan sebagai pidana berat yang tidak bisa

dilakukan upaya damai. As-Sayid Sabiq berkomentar, bahwa ketentuan Al-

Baqarah (2):178-179 yang berkaitan dengan hukum qisas-diyat mengandung

beberapa pemikiran:

1. Qis}a>s merupakan bentuk koreksi hukum jahiliyah yang diskriminatif.

2. Hukum alternatif, yaitu qisas, diyat , atau pemaafan.

3. Adanya keringanan dan kemudahan dari Allah tentang penerapan hukum

qis}a>s .

4. Adanya sistem rekonsiliasi antara para pihak yang bersangkutan (korban

atau wali dan pelaku).

5. Qis}a>s menjamin keterlangsungan hidup manusia dengan aman. Qis}a>s

juga menjadi pencegah agar orang lain takut melakukan tindak pidana

pembunuhan mengingat hukumannya yang berat.499

Merujuk pada pendapat tersebut, jelas menunjukkan diyat sebagai hukum

alternatif, adanya proses pemaafan, proses perdamaian dan upaya rekonsiliasi

499

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid 10, alih bahasa H. A. Ali, cet ke-7, (Bandung: Al ma‟arif,

1995), 26-29.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

217

antar para pihak. Hal tersebut sejalan dengan ide pokok keadilan restoratif.

Perdamaian dalam Islam merupakan sesuatu yang dianjurkan. Sebagaimana

diungkapkan Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, berdasarkan pada firman Allah SWT

dalam surat Al-Hujuraat (49) 9:500

ا م ه ن ي ب وا ح ل ص أ ف وا ل ت ت ق ا ي ن ؤم م ل ا ن م ان ت ف ائ ط ن ى وإ ل ع اها د ح إ ت غ ب ن إ فرى الخ تم ح ي غ ب ت الميت وا ل ات ق ل ف إ يء ف ت للمه ا ر م وا أ ح ل ص أ ف ت اء ف ن إ ف

وا ط س ق وأ ل د ع ال اب م ه ن ي ي ب ط س ق م ال ب ي اللمه نم إ

Artinya: “Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang

hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu melanggar

perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu

perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau dia telah surut,

damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku

adil; sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil”.

Berdasarkan Risalah Khalifah Umar bin Khatab; perdamaian harus

berdasarkan koridor yang jelas. Perdamaian tidak menghalalkan sesuatu yang

haram ataupun mengharamkan sesuatu yang halal.501

Dasar ini kemudian dilihat

dalam konteks hukum pidana, selama perdamaian ini mengakomodir kepentingan

kedua belah pihak, berdasarkan atas keridhaa keduanya, memahami baik-

buruknya dan keadilan, perdamaian dapat diberlakukan. Penerapan perdamaian

seperti yang diterapkan pada pembunuhan dan penganiayaan, memiliki persamaan

dengan pengerapan keadilan restoratif dalam hukum pidana modern. Terlepas dari

pro-kontra jenis pidana apa yang dapat diterapkan keadilan restoratif seperti

dalam sistem hukum pidana Islam maupun hukum pidana modern, namun yang

500

Al-Hujuraat (49): 9. 501

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Panduan, 94.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

218

harus diakui bahwa Islam telah lama menganut keadilan restoratif sebelum hukum

pidana modern mempergunakannya.

Keadilan restoratif mewujudkan keadilan bagi para pihak, tidak hanya

mewujudkan legaljustice, tetapi juga mempertimbangkan socialjustice, individual

justice dan juga moraljustice. Keadilan yang banyak diterapkan oleh aparat

penegak hukum hanya sebatas legal justice. Ini terbukti dengan banyaknya proses

penyelesaian kasus pidana di masyarakat yang justru mencedera rasa keadilan

dimasyarakat. Sah saat penegakan hukum pidana diterapkan berdasarkan atas apa

yang ditetapkan oleh KUHP atau undang-undang lainnya. Namun yang tidak

disadari adalah kecerdasan aparat penegak hukum dalam melihat mana kasus yang

dapat diteruskan dan yang tidak. Itulah alasan mengapa diberikannya wewenang

seperti diskresi maupun hak opportunitas. Dalam doktrin Islam, sebagaimana

ditegaskan oleh Marcel A. Boisard: keadilan merupakan pusat gerak dari nilai-

nilai moral yang pokok.502

Maka keadilan dalam Islam merupakan salah satu

prinsip pokok yang sangat penting. Keadilan dalam Islam mencakup keadilan

individu (al-ada>lah al-fardiyyah) dan keadilan sosial (al-ada>lah al-ijtima>iyah).

Keadilan dalam hukum Islam selalu mempertimbangkan moralitas, sosial dan

individualitas, bukan hanya sebatas penerapan legal justice.

Sebagai salah satu contoh adalah apa yang pernah dilakukan oleh Umar

bin Khattab dengan melepaskan hukuman pada pencuri. Sebagai salah satu jenis

tindak pidana hudud, pencurian merupakan hak Allah, yang berarti negara tidak

dapat ikut terlibat dalam memutuskan pelepasannya. Namun, dengan

kecerdasannya, Umar melepaskan pencuri udzq (kurma dengan

502

Muhammad Tahir Azhari, Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari

Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini cet. ke-4, Jakarta:

Kencana Prenada Media Group, 2010), 121.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

219

mempertimbangkan masa paceklik yang terjadi kala itu.503

Kisah Umar tersebut

menunjukkan bahwa keadilan tidak didapat dipahami sebagai legal justice semata.

Namun, tetap harus mempertimbangkan keadilan moral, keadilan dimasyarakatan

dan keadilan individu sesuai dengan kondisi dan kasus yang terjadi. Praktek yang

dilakukan Umar tersebut dalam konteks hukum modern saat ini dapat dikenal juga

dengan penerapan diskresi dan diversi.

2. Efektifitas Restorative Justice dalam Penyelesaian Tindak Pidana.

Dalam berbagai wacana aktual, restorative justice atau yang sering di

sebut juga keadilan restoratif merupakan suatu cara khusus untuk menyelesaiakan

kasus pidana diluar pengadilan (Non Litigasi) yang merupakan suata cara khusus

untuk menyelesaikan kasus pidana di luar pengadilan. Walaupun tidak semua

jenis pidana dapat diterapkan dalam sistem ini namun penerapannya bisa

dikatakan jauh lebih efektif dibandingkan peradilan yang konvensional. Dalam

Restorative justice justru akan lebih less upset about the crime, less apprehensive

and less afraid of revictimization (kurang paham tentang kejahatan, kuruang

memperhatikan dan kurang takut reviktimisasi). Manfaat kedua adalah bagi

komunitass sekitarnya. Restorative justice tidak hanya merestorasi pelaku dan

korban, tetapi juga menyembuhkan pengaruh buruk yang dirasakan komunitas.504

Program perdamaian yang menjadi icon restorative justice diharapkan

akan menjamin keselematan, keamanan, dan keharmonisan masyarakat

terdampak. Manfaat ketika adalah mengurangi jumlah narapidana dan rsidivis,

503

Umar juga pernah melepaskan budak-budak Hathib yang mencuri unta laki-laki dari Muzainah.

Hal tersebut dilakukan setelah ia mengetahui penyebab perbuatan itu karena mereka kelaparan.

Umar memerintahkan untuk memberikan ganti atas harga unta kepada pemilik unta, bahkan

lebih tinggi dari nominal awal. Lihat Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Panduan., 430-431. 504

Sefriani, Jurnal Hukum, Urgensi Rekonseptualiasi dan Legislasi Keadilan Restoratif di Indonesia, Jurnal Media Pembinan Hukum Nasional. Vol.2 Nomor 2. Agustus 2013. 12.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

220

dan manfaat keempat adalah menghemat waktu dan biaya.505

Adapun kriteria

yang harus diperhatikan adalah aspek yuridis dan aspek sosiologis. Aspek yuridis

yang dimaksud adalah sifat melawan hukumnya perbutan, sifat berbahayanya

perbuatan, jenis pidananya (Strasoort), Berat ringan pidana (Straffmaat), cara

bagaimana pidana dilaksanakan (Strafmodus), dan kondisi-kondisi yange

diakibatkan oleh tindana itu. Sedangkan asepk sosiologis yang perlu diperhatikan

adalah karakter, umur, keadaan si pelaku, latar belakang terjadinya perilaku

tersebut, kondisi kejiwaan pelaku dan apakah pelaku itu pemula atau

bukankemudian pelaku itu memperbaiki kerugian yang ditimbulkan atas

perilakunya, hingga mengakui kesalahannya, dan meminta maaf kepada korban,

serta menyesali dan tidak mengulaangi perbuatan yang sama.506

Pada intinya pelaksanaaan restorative justice adalah memperbaiki

kerusakan sosial yang diakibatkan pelaku, mengembangkan pemulihan bagi

korban dan masyarakat, serta mengembalikan pelaku dengan masyarakat.

Keadilan restorasi menawarkan suatu yang berbeda karena mekainisme peradilan

yang terfokus kepada pembuktian perkara pidana diubah menjadi proses dialog

dan mediasi. Tujuan akhir dan sistem ini adalah membuktikan kesalahan pelaku

dan menjatuhi hukuman diubah menjadi upaya mencari kesepakatan atas suatu

penyelesaian perkara pidana yang menguntungkan. Adapun beberapa keuntungan

yang didapatkan dalam penyelesaian menggunakan keadilan restorasi. Pertama,

masyarakat diberikan ruang utnuk menangani sendiri permasalahan hukumannya

yang dirasakan lebih adil. Kedua, beban Negara berkurang. Secara adminisratif,

jumlah perkara yang masuk ke dalam sistem peradilan dapat dikurangi sehingga

505

Ibid. 506

Ibnu Artadi, Jurnal Hukum, Dekorstruksi Pemahaman Penyelesaian Perkara Pidana Melalui Prosedur Perdamaian. Jurnal Hukum Pro Justicia Vol 25 No. 1 Januari 2007, 40.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

221

beban institusi pengadilan menjadi berkurang. Dengan begitu maka beban untuk

menyediakan anggaran penyelenggaraan sistem peradilan pidana utamanya dalam

hal penyelenggaraan lembaga pemasyarakatan pun berkurang.507

Selanjutnya akan

kita jelaskan tentang beberapa pendekatan restoratif dalam hukum pidana Islam

antara lain:

a. Is}la>h Sebagai Mediasi dalam Hukum Pidana Islam.

Mediasi dalam konsep Islam di kenal dengan istilah Is}la>h, beberapa ahli

fiqih memberikan definisi yang hampir sama meskipun dalam redaksi yang

berbeda, yaitu yang mudah dipahami dalam suatu akad dengan maksud untuk

mengakhiri suatu persengketaan antara dua orang yang saling bersengketa yang

berakhir dengan perdamaian.508

Dalam termologi fiqih lainnya juga menjelaskan

bahwa mediasi dalam literatur Islam disamakan dengan Tahkim, yang dalam

istilah tersebut melibatkan dua orang atau lebih yang meminta orang lain agar

diputuskan perselisihan yang terjadi diantara mereka dengan hukum syar‟i.509

Tahkim yakni berlindungnya dua pihak yang bersengketa kepada orang yang

mereka sepakati dan setujui serta rela menerima keputusannya untuk

menyelesaikan persengketaan mereka, berlindungnya dua pihak yang bersengketa

kepada orang yang mereka tunjuk (sebagai penengah) untuk memutuskan atau

menyelesaikan perselisihan yang terjadi diantara mereka.

Lembaga tahkim telah dikenal sejak sebelum masa Islam. Orang-orang

Nasrani apabila mengalami perselisihan diantara mereka mengajukan perselisihan

507

Yunan Hilmi, jurnal, Penegakan Hukum Oleh Kepolisian Melalui Pendekatan restorative Justive Dalam Sistem Hukum Nasional. Jurnal Recht Vinding Mediasi Hukum Nasional. Vol. 2 Nomor 2, Agustus 2013, 4.

508 http://www.pa-pekalongan.go.id Mediasi dalam konsep Islam akses 6 september 2020. 509

Samir aliyah, Sistem Pemerintahan Peradilan dan Adat dalam Islam, (jakarata: Khalaifa, 2004), 328.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

222

kepada Paus untuk diselesaikan secara damai.510

Allah SWT telah berfirman

kepada kita terkait posisi antara sesama manusia, hal tersebut tercantum

didalam al-Quran surat al-Hujuraat ayat 10 yang artinya:

م ك وي خ أ ي واب ح ل ص أ ف وة خ إ ون ن ؤم م ل اا نم رحون إ ت م لمك ع ل وااللمه ت مق وا

Artinya : “Orang-orang yang beriman itu sesungguhnya bersaudara,

sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu

itu dan takutlah terhadap Allah“supaya kamu mendaopat rahmat”.511

Ada beberapa bentuk is}la>h dalam Islam yang dikenal antara lain:

1. Is}la>h antara orang Islam dengan orang kafir;

2. Is}la>h antara suami dengan istri;

3. Is}la>h orang yang saling menuntut;

4. Is}la>h dalam hal penganiayaan seperti memaafkan dengan ganti rugi berupa

uang;

5. Is}la>h antara kelompok yang berbuat aniaya dengan orang yang berbuat

adil;

6. Is}la>h untuk memutuskan suatu persengketaan yang terjadi dalam hak

milik.512

b. Ruang Lingkup Is}la> h Dalam Hukum Pidana Islam

Dalam Hukum Islam Ruang Lingkup Mediasi bersumber dalam al-

Mughn>i, Ibnu Quda>mah menjelaskan, bahwa hukum yang ditetapkan oleh

hakam berlaku segala rupa perkara. Terkecuali dalam bidang nikah, li‟an, qadhaf

dan qisas. Dalam hal ini hanya penguasa yang memberi keputusan. Mediasi

terkandung dalam al-Qur‟an Surat Al-Hujurat ayat 9 dan 10. Dalam kandungan

QS. Al Hujurat ayat 9:

ا م ه ن ي ب وا ح ل ص أ ف وا ل ت ت ق ا ي ن ؤم م ل ا ن م ان ت ف ائ ط ن ى وإ ل ع اها د ح إ ت غ ب ن إ فرى االخ ق ف تم ح ي غ ب ت الميت وا ل ل ت إ يء ف ت للمه ا ر م وا أ ح ل ص أ ف ت اء ف ن إ ف

وا ط س ق وأ ل د ع ال اب م ه ن ي ي ب ط س ق م ال ب ي اللمه نم إ 510 Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003), 1750. 511 QS. Al-Hujurat: 10. 512 http://www.pa-pekalongan.go.id

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

223

م ك وي خ أ ي واب ح ل ص أ ف وة خ إ ون ن ؤم م ل اا نم ل إ وااللمه ت مق رحونوا ت م لمك ع

”Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang

hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu

melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar

perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah.

kalau dia Telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan,

dan hendaklah kamu berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-

orang yang berlaku adil.”513

Menurut Imam Bukhari dan Muslim diriwayatkan dari Anas bahwa suatu

ketika Rasullah mengendarai keledainya menemui Abdullah Ubay. Abdullah bin

Ubay lantas berkata: menjauhlah dari saya karena bau keledai Rasullah ini lebih

wangi darimu.514

Akibatnya pertengkaran antara kedua kelompok tersebut tidak

bisa dihindari sehingga mereka saling pukul dengan menggunakan pelepah kurma,

tangan, dan terompah. Tidak lama berselang turunlah ayat tersebut.515

Sedangkan

dalam Q.S Al-Hujurat ayat 10:

“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara, sebab itu

damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan

takutlah terhadap Allah SWT, supaya kamu mendapat rahmat”

Ayat diatas mengisyaratkan dengan sangat jelas bahwa persatuan dan

kesatuan, serta hubungan harmonitas antar anggota masyarakat kecil atau besar,

akan melahirkan limpahan rahmat bagi mereka semua. Sebaliknya, perpecahan

dan keretakan hubungan mengandung lahirnya pertumpahan darah dan perang

saudara sebagaimana dipahami dari kata qital yang puncaknya adalah

peperangan.516

Dalam penafsiran lain menjelaskan bahwa orang-orang mukmin

513 QS Al-Hujurat ayat (9 dan 10). 514 Jalaludin As Suyuti, 2008:56 526). 515 HR. Imam Bukhari dan Muslim melalui Anas bin Malik. 516

Ibid.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

224

berorientasi kepada satu dasar dalam persaudaraan, yaitu Iman. Karena itu kalau

mereka bertengkar, damaikanlah saudara seagamamu itu sama seperti kamu

mendamaikan antara saudara keturunanmu.517

Disamping ayat-ayat yang

menunjuk pada kasus mediasi untuk mendamaikan para pihak yang terlibat

sengketa, juga terdapat hadits yang berbicara dalam kasus yang sama, seperti telah

terjadi tahkim dikalangan para sahabat dan tidak ada yang mempersoalkan dan

tidak ada pula sahabat yang menentangnya.

Contoh ijma>‟ yang melandasi tahki>m adalah peristiwa yang terjadi antara

Umar bin al-Khattab dan seorang penjual kuda. Ketika itu Umar ingin membeli

kuda yang ditawarkan dan Umar mencoba kuda tersebut. Pada waktu ditunggangi

kaki kuda tersebut patah lalu Umar bermaksud untuk mengembalikan kuda

tersebut kepada pemiliknya, tetapi pemiliknya menolak. Kemudian Umar berkata:

Tunjuklah seseorang untuk menjadi hakam yang akan bertindak sebagai penengah

di antara kita berdua. Pemilik kuda berkata: Aku setuju Syuraih al-Iraqy untuk

menjadi hakam. Kemudian mereka berdua bertahkim kepada Syuraih dan Syuraih

menyatakan kepada Umar: Ambillah apa yang telah kamu beli atau kembalikan

seperti keadaan semula (tanpa cacat). Maksudnya, Umar harus membayar harga

kuda tersebut. Cara penyelesaian perselisihan semacam ini tidak ada yang

membantahnya.518

Umar bin Khattab r.a. dalam pendapatnya juga menjelaskan

sebagai berikut: Kembalikanlah penyelesaian perkara, di antara sanak keluarga

517

Bachtiar Surin, Op,cit. 518

http://www.fahmina.or.id/pbl/dfp_indo/husein_muhammad_alquran.pdf.akses 12 September

2020

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

225

sehingga mereka dapat mengadakan perdamaian, karena sesungguhnya

penyelesaian pengadilan itu menimbulkan rasa tidak enak.519

Dalam terminologi Hukum Islam pengertian lain dari mediasi juga bisa

disebut Is}la>h dalam tatanan ilmu fiqih. Yang salah satu akad berupa perjanjian

diantaranya dua orang yang berselisih atau berperkara untuk menyelesaikan

perselisihan diantaranya keduanya. Dibawah ini adalah terkait dengan rukun Is}la>h

diantaranya:

a). Rukun Is}la>h (perdamaian) adalah:

1) Mus}a>lih, yaitu masing-masing pihak yang melakukan akad perdamaian

untuk menghilangkan permusuhan atau sengketa;

2) Mushalih „anhu, yaitu persoalan-persoalan yang diperselisihkan atau

disengketakan;

3) Mus}a>lih ‘alaih, ialah hal-hal yang dilakukan oleh salah satu pihakterhadap

lawannya untuk memutuskan perselisihan. Hal ini disebut juga dengan

istilah badal al-s}ulh;

4) Shigat ijab dan Kabul di antara dua pihak yang melakukan akad

perdamaian. Ijab kabul dapat dilakukan dengan lafadz atau dengan apa

saja yang menunjukan adanya ijab kabul yang menimbulkan perdamaian,

seperti perkataan: “Aku berdamai denganmu” „dan pihak lain menjawab‟

“Telah aku terima”.

Adapun rukun Is}la>h (perdamaian) adalah mus}a>lih, Mus}a>lih ’anhu dan

Shighat ijab Kabul antara kedua belah pihak yang melakukan akad

perdamaian. Apabila rukun tersebut telah terpenuhi maka perdamaian diantara

pihak-pihak yang bersengketa telah berlangsung. Dengan sendirinya dari

perjanjian itu lahirlah suatu ikatan hukum, yang masing-masing pihak untuk

memenuhi/menunaikan pasal-pasal perjanjian perdamaian.520

519

Muhammad Salam Madkur, Peradilan dalam Islam, terj. Imron AM, dari kitab al-Qada' fi al-Islam, 70.

520 Albulumam Albantani. Hukum Islam, Mediasi dalam penyelesaian perkar, Upload,12 Mei

2010. Akses. September 2020.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

226

b). S}ulhu Terbagi Atas Empat Macam, Yaitu:521

1. Perdamaian antara kaum muslimin dengan masyarakat non muslim, yaitu membuat perjanjian untuk meletakkan senjata dalam masa tertentu

(dewasa ini dikenal dengan istilah gencatan senjata), secara bebas atau

dengan jalan mengganti kerugian yang diatur dalam Undang-undang yang

disepakati dua belah pihak;

2. Perdamaian antara penguasa (imam) dengan pemberontak, yakni

membuat perjanjian-perjanjian atau peraturan-peraturan mengenai

keamanan dalam Negara yang harus ditaati, lengkapnya dapat dilihat

dalam pembahasan khusus tentang bugha>t;

3. Perdamaian antara suami dan istri dalam sebuah keluarga, yaitu

membuat perjanjian dan aturan-aturan pembagian nafkah, masalah

durhaka, serta dalam masalah menyerahkan haknya kepada suaminya

manakala terjadi perselisihan;

4. Perdamaian antara para pihak yang melakukan transaksi

(perdamaian dalam mu’amalat), yaitu membentuk perdamaian dalam

masalah yang ada kaitannya dengan perselisihan-perselisihan yang terjadi

dalam masalah mu‟amalat.

c). Hikmah dalam Konsep Is}la>h

Dalam menyelesaikan berbagai masalah yang terjadi antara umat manusia,

Islam telah memberikan beberapa konsep dasar untuk membantu menyelesaikan

sengketa yang terjadi. Penyelesaian masalah ini dapat melalui Is}la>h

(perdamaian). Imam Ash-Shan‟ani menerangkan hadits diatas dengan berkata:

“Para ulama telah membagi ash-shulhu (perdamaian) menjadi beberapa

macam; perdamaian antara muslim dan kafir, perdamaian antara suami

isteri, perdamaian antara kelompok yang bughat dan kelompok yang adil,

perdamaian antara dua orang yang bertahkim kepada qadhi (hakim),

perdamaian dalam masalah tindak pelukaan seperti pemberian maaf

untuk sanksi harta yang mestinya diberikan, dan perdamaian untuk

memberikan sejumlah harta kepada lawan sengketa jika terjadi pada

harta milik bersama (amlaak) dan hak-hak.Pembagian inilah yang

dimaksud di sini, yakni pembagian yang disebut oleh para fuqoha pada

bab ash-shulhu (perdamaian).522

Hikmah Is}la>h dapat mengakibatkan penyelesaian suatu masalah dengan

jalan yang sama-sama adil bagi kedua belah pihak dan tetap berada dijalan Allah

521 Pembelajaran Fiqih, http://azizpwd.wordpress.com/2010/05/31/wakalah-dan-shulhu, Akses

September 2020.

522 Imam Ash-Shan‟ani, Subulus SSalam, 4/247.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

227

SWT serta syariat Islam. Serta melindungi seorang muslim dari penyakit hati

terutama iri dan dengki juga menghindari seseorang dari sikap curiga terhadap

lawannya dalam suatu sengketa atau masalah.

c. Prinsip-Prinsip Perdamaian (Is}la>h) dalam Hukum Pidana Islam

Is}la>h dalam Islam merupakan satu konsep utuh dalam penyelesaian suatu

perkara. Secara mendasar prinsip-prinsip yang harus ada dalam proses ishlah

antara lain adalah pertama, pengungkapan kebenaran, kedua, adanya para pihak

yang meliputi pihak yang berkonflik yang dalam hal kejahatan harus ada korban

dan pelaku, sedangkan pihak yang lain adalah mediator. Yang ketiga, ishlah

merupakan proses sukarela tanpa paksaan, dan keempat adalah keseimbangan hak

dan kewajiban.523

Penulis mencoba membaginya sebagai berikut;

a). Pengungkapan Kebenaran

Konflik terjadi karena kurangnya informasi atau perbedaan informasi yang

didapatkan oleh beberapa pihak. Bermula dari sinilah kemudian terjadi

kesalahpahaman dan dalam bertindak tidak didasarkan fakta yang benar-benar

terjadi. Pengungkapan kebenaran merupakan satu prinsip yang tidak dapat

ditinggalkan. Dalam surat Al-Hujurat ayat 6, yang merupakan satu rangkaian

dengan masalah konflik dan is}la>h, menyatakan dengan jelas bagaimana

pentingnya suatu kebenaran harus diungkap agar tidak melakukan kedzaliman

kepada kaum lain secara keliru.

لم ا ا ي ه أ ا ي ة ال به ا وم ق وا يب ص ت ن أ وا ن ي م ب ت ف إ ب ن ب ق اس ف م اءك ج ن إ وا ن آم ين ذى ل واع ح ب ص ت يف م اد ن م ت ل ع اف م

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orangfasik

membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak

523

Mahrus Ali, Syarif Nurhidayat, Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat In Court System &Out

Court System, Jakarta : Gratama Publishing, 2011, 301.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

228

menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui

keadaanya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”

(QS. Al-Hujurat: 6).

Ayat tersebut di atas bukan hanya kewajiban untuk mendapatkan

informasi yang benar, tetapi juga mengandung satu pesan kewaspadaan kepada

para pihak untuk tidak mudah terprovokasi hanya karena informasi yang belum

jelas kebenarannya, sehinga pengungkapan kebenaran sangat penting dan mutlak

dalam menyelesaikan suatu konflik. Is}la>h merupakan satu proses perdamaian

dimana peran informasi yang benar sangat besar, yaitu dijadikan dasar untuk

membuat satu kesepakatan oleh masing-masing pihak.524

b). Para Pihak dalam Is}la>h

Para pihak dalam ishlah atau perdamaian dapat diketahui dari ayat Al-

Qur‟an sebagai berikut:

ا م ه ن ي ب وا ح ل ص أ ف وا ل ت ت ق ا ي ن ؤم م ل ا ن م ان ت ف ائ ط ن ى وإ ل ع اها د ح إ ت غ ب ن إ فرى الخ تم ح ي غ ب ت الميت وا ل ات ق ل ف إ يء ف ت للمه ا ر م إ أ واف ح ل ص أ ف ت اء ف ن

وا ط س ق وأ ل د ع ال اب م ه ن ي ي ب ط س ق م ال ب ي اللمه نم إ

“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang

hendaklah kamu damaikan antara keduanya! Tapi kalau yang satu

melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar

perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah.

Kalau dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan,

dan hendaklah kamu berlaku adil; sesungguhnya Allah mencintai ornag-

orang yang berlaku adil” (QS. Al-Hujurat:9)

Ayat diatas mengandung perintah kepada pihak ketiga untuk

mendamaikan para pihak yang sedang berselisih. Selain itu juga perintah untuk

melakukan penegakan dari hasil kesepakatan perdamaian, yaitu dengan

524 Ibid, 302.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

229

memerangi pihak yang melanggar kesepakatan damai tersebut. Berdasarkan

pemaknaan tersebut maka ada dua pihak yang dapat diidentifikasi dalam sebuah

proses ishlah, yaitu pihak yang berselisih, dan satu pihak sebagai mediator atau

mushlih (orang yang mendamaikan). Namun, bila melihat konteks surat Al-

Hujurat Ayat 9 yang mengandung perintah kepada pihak ketiga, maka pada

dasarnya mediator sangat penting, bahkan ketika berposisi sebagai pihak ketiga,

menurut ayat tersebut, hukumnya wajib untuk mendamaikan.525

c). Pihak yang Berkonflik

Islam mengatur bahwa perdamaian hanya dapat dilakukan oleh para pihak

yang benar-benar memiliki kepentingan di dalamnya, para pihak yang benar-benar

memiliki kepentingan di dalamnya, dalam hal terjadinya kejahatan, yaitu antara

pihak-pihak pelaku dan korban. Pelaku dan korban dalam proses perdamaian ini

menjadi mutlak adanya. Hal ini dikarenakan ishlah adalah satu proses kesepakatan

antar pihak untuk mendapatkan satu kesepahaman sehinga tidak lagi terjadi

konflik berkepanjangan. Oleh karena itulah, adanya korban dan pelaku adalah

mutlak. Keberadaan pelaku dan korban secara rinci juga ada syarat dan ketentuan

khusus sebagai berikut:

1) Korban, dalam konteks hukum Islam adalah korban secara langsung,

yaitu orang yang mendapat perlakuan kejahatan dari pelaku dan menderita

kerugian. Orang yang menderita secara langsung itulah yang memiliki hak

untuk menuntut atau tidak. Ketika kejahatan yang terjadi berupa

pembunuhan, maka korban yang paling dekat yiatu ahli warishlah yag

memiliki hak untuk melakukan Is}la>h. Korban yang dapat melakukan Is}la>h

juga disyaratkan harus dalam keadaan dapat bertanggung jawab dalam

perbuatannya, yaitu bahwa dia sudah dewasa, tidak dalam keadaan gila,

atau dalam keadaan mabuk, atau dalam keadaan tertekan atau terpaksa.526

525

Ibid, 303.

526

Ahmad Djazuli, Fiqh Jinayah, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta 2000, 168.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

230

2) Pelaku, dalam Is}la>h harus pelaku yang bertanggung jawab secara pribadi

dalam kejahatan yang telah dilakukannya, yaitu orang yang jika tidak ada

ishlah maka dialah yang akan mendapat hukuman sesuai ketentuan. Dalam

ishlah tidak diperkenankan ada perwakilan bagi pelaku oleh pihak lain.

Pelaku sebagai pihak dalam Is}la>h ini adalah orang yang telah jelas sebagai

pelaku kejahatan yang menyebabkan kerugian pada pihak korban, yang

berarti pula harus ada pembuktian atau pengungkapan kebenaran terlebih

dahulu untuk menentukan pelaku yang sebenarnya.

3) Mediator, adalah pihak yang secara independen tanpa memihak kedua

belah pihak membantu penyelesaian sengketa secara aktif. Kebutuhan

akan mediator ditentukan berdasar asas mashlahah.527

Keberadaan hakim

adalah dapat sebagai mediator atau hanya sebatas legitimator hasil

kesepakatan agar pelaksanaan hasil kesepakatan dapat dipaksakan atau

executable.

d). Is}la>h Merupakan Proses Timbal Balik

Prinsip ini merupakan satu kemutlakan, karena akan menentukan

keabsahan dari proses ishlah itu sendiri. Ishlah merupakan kesepakatan dua belah

pihak tanpa paksaan, tapi bukan berarti inisiatif untuk melakukan silah harus dari

kedua belah pihak. Inisiatif dapat muncul dari salah satu pihak dan dapat juga dari

pihak ketiga yang berusaha meng-ishlahkan. Yang jelas, ketika sudah dalam

forum Is}la>h, maka sifatnya sudah suka rela dan tanpa paksaan. Adapun dasar lain

mengenai inisiatif melakukan Is}la>h, yaitu pada ayat sebagai berikut:

ن رد أ ن إ اللمه ب ون ف ل ي وك اء ثمج م يه د ي أ ت م دم ق ا ب ة ب ي ص م م ه ت اب ص أ ا ذ إ ف ي ك افا يق وف وت ا ن ا س ح إ لم ول إ أ م ه ن ع رض ع أ ف وبم ل ق ف ا م للمه ا م ل ع ي ين المذ ك ئ

يغ ل ب ول ق م ه س ف ن أ ف م ل ل وق م ه ظ وع“Maka bagaimanakah halnya apabila mereka (orang-orang munafik)

ditimpa sesuatu musibah disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri,

kemudian mereka datang kepadamu sambil bersumpah:

“Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian

yang baik dan perdamaian yang sempurna. Mereka itu adalah orang-

orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Karena itu

berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan

527

Adi Sulityono, Mengembangkan Paradigma NonLitigasi di Indonesia, (Surakarta: UNS Press,

2006), 401.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

231

katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka.

(QS. An-Nisa: 62-63).

Berdasarkan pada dua ayat tersebut di atas, jelas bahwa proses perdamaian

dapat diinisiatifkan oleh siapa pun, apakah dari korban, pelaku ataukah pihak

ketiga. Dalam implementasinya, proses ini dapat ditolak oleh salah satu pihak

sehingga ketika sudah menerima proses Is}la>h atau perdamaian ini, benar-benar

merupakan pilihan bebasnya, tidak ada paksaan dan tekanan.

e). Keseimbangan Hak dan Kewajiban dalam Islam

Is}la>h merupakan proses mencari penyelesaian antara dua pihak

yangdidalamnya terdapat muatan hak dan kewajiban yang seimbang. Dalam surat

Al- Hujurat ayat 9, jelas dinyatakan bahwa ishlah harus diselesaikan atau

dilaksanakan dengan adil, dalam arti kesepakatan yang diambil bersama tidak

merugikan salah satu pihak. Ini menunjukkan bahwa dalam ishlah konsistensi

keseimbangan para pihak sangat penting eksistensinya. Karena sifatnya konflik,

maka masing-masing memiliki versi kebenaran sehingga Is}la>h akan menyatukan

pandangan mereka dalam satu kerangka bersama sehingga dapat selesai tidak

berkepanjangan.

Islam mengingatkan bahwa dalam konteks masyarakat, dalam

menyelesaikan suatu persoalan yang timbul dalam masyarakat hendaknya dengan

konsep keadilan sosial juga, yaitu dengan meletakkan suatu pada tempatnya,

artinya menggunakan asas proporsionalitas. Memaafkan yang bersalah dan

memberikan bantuan kepada pemalas, disebut sebagai menggoyahkan sendi-sendi

kehidupan masyarakat, karena hal itu sudah melebihi keadilan sosial itu.528

528

M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an Tafsir Maudhu‟I Atas Pelbagai Persoalan Umat,

Bandung: Mizan Cet.XI, 124-127.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

232

Relevansinya dalam pembahasan ini adalah bahwa maaf tidak begitu saja dapat

dijadikan satu metode Is}la>h, harus sangat selektif agar tidak melampaui nilai

keadilan yang itu menggoyahkan sendi kemasyarakatan, dan hanya akan

kontraproduktif terhadap pencapaian perdamaian itu sendiri. Dalam hukum pidana

Islam memberikan satu solusi dua arah yang seimbang dalam hal ishlah, dengan

satu tujuan perdamaian yang sejati, yaitu hilangnya beban dosa bagi pelaku, dan

hilangnya rasa derita dan dendam korban. Is}la>h merupakan perintah dari Allah

yang harus diusahakan secara adil sebagai rahmat dari Allah SWT, yang

mencintai perdamaian.

3. Konsep Al-‘Afwu ‘(Pemaafan) dalam Hukum Pidana Islam.

Dalam Islam aturan hidup telah ditetapkan melalui sumber hukum yang

mutlak, yaitu Al-Qur‟an sebagai sumber ukum pertama, As-Sunnah sebagai

sumber hukum kedua, ijma ulama (konsensus) sebagai sumber hukum ketiga dan

qiyas (analogi hukum) sebagai hukum keempat. Sumber-sumber hukum Islam tadi

merupakan hirarki dalam sistem Hukum Islam. Undang-undang dan peraturan-

peraturan itu tidak bertentangan dengan perintah dan larangan dari norma-norma

Al-Qur‟an, karena seperti kita ketahui Al-qur‟an itu sebagai batu penguji segala

undang-undang dan peraturan.529

Konsep mediasi pidana dikatakan banyak terjadi kemiripan dengan

al‟afwu, bahkan ada beberapa ulama yang menyamakan antara Is}la>h dan al‟afwu.

Namun, ketika menyimak pernyataan Shahrour mengenai sinonimitas dalam Al-

Qur‟an, sejatinya tidak ada sinonimitas dalam Al-Qur‟an. Anggapan adanya

529

T.M. Hasby Ash-Shiddiqiey, Falsafah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang), 119.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

233

sinonimitas dalam Al-Qur‟an akan memberi kemungkinan penggantian firman

Allah dalam Kitab-Nya yang mulia dan anggapan adanya tambahan-tambahan di

dalamnya, di mana pengabaiannya tidak akan merubah atau menambah

kandungan maknanya sedikitpun, dan terhadap hal ini sangat tidak mungkin

terjadi bagi Allah AWT yang maha suci.530

Meski istilah-istilah pemaafan dalam

hukum pidana Islam tidak banyak dirumuskan oleh ulama ahli fiqh, namun tetap

ada penjelasan istilah pengampunan tersebut, dengan maksud untuk mengetahui

batasan dan jenis pengampunan yang dapat diberikan atas jarimah atau tindak

pidana yang dilakukan.

Mengacu pada kajian etimologis di atas maka dapat kita tarik satu

perbedaan secara makna bahasa antara Is}la>h dan al-‟afwu, yaitu bahwa ishlah

adalah proses atau perdamaian itu sendiri, sedangkan al-‟afwu adalah memaafkan,

yang dipersamakan dengan pengampunan. Kata al-„afwu (العف) itu sendiri

merupakan bentuk isim yang mendapat imbuhan kata al (ال) di depannya, atau

disamakan dengan kata afwun (عف) dalam bentuk masdar nya,yang secara segi

bahasa mengandung arti hilang, terhapus dan pemaafan. Sedangkan kata al-afwu

( افعل ) menurut istilah sebagaimana yang didefinisikan oleh ulama ahli us}u>l Abi> al-

Husain Ahmad bin Fa>ris bin Zakariyya> al-Ra>zi> adalah setiap pembuat dosa

(pelaku kejahatan) yang seharusnya menjalani hukuman menjadi terhapuskan

sebab telah mendapatkan pengampunan.531

Dalam konteks jina>ya>t dan lebih khusus lagi persoalan pembunuhan,

secara implisit menarik satu garis pembeda antara al-‟afwu dan s{ulh dengan

530

Muhammad Shahrour, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, Judul Asli: Nahwu Usul, Jadidah

Li al Fiqih al Islami, cet.I, penerbit ELSAQ Press, 2004. 256-257. 531

Abi> al-Husain Ah}mad bin Fa>ris bin Zakariyya> al-Ra>zi>, Mujmal al-Lugha>t, (Beirut: Da>r al-

Fikr, 1414 H/1994 M), 472.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

234

melihat arti mana inisiatif kompensasi itu muncul. Jikalau inisiatif pemberian

kompensasi terhadap hukuman qisa>s tersebut berasal dari kedua belah pihak,

maka itu dikatakan Is}la>h (perdamaian). Sedangkan jika inisiatif pemberian

kompensasi itu hanya berasal dari satu pihak saja (tepatnya pihak korban), maka

yang demikian itu masuk dalam kategori al‟afwu (pemaafan).

Pembedaan antara Is}la>h dengan al‟afwu tersebut dapat dikatakan hanya

pada tataran konsep saja, sedangkan dalam praktek, sangat dimungkinkan terjadi

persamaan teknis dalam pelaksanaan antara Is}la>h dan al‟afwu „sebagai satu

metode penyelesaian suatu jarimah. Bahwa Is}la>h merupakan konsep perdamaian

secara umum untuk masalah keluarga sampai pada masalah politik kenegaraan,

dan mencakup pula dalam bidang hukum pidana dengan menekankan pada hasil

kesepakatan bersama. Sedangkan al‟afwu merupakan satu konsep penyelesaian

perkara praktis berupa pemaafan dengan membebaskan pelaku dari tuntutan

hukuman dengan konsekuensi korban memiliki pilihan untuk meminta diyat

(kompensasi) atau tanpa kompensasi.532

Dalam hukum pidana Islam berlaku hukum qis}a>s{-diyat , hukuman bagi

pelakunya adalah setimpal sesuai perbuatannya (qis}>as}) dan ini sesuai rasa keadilan

korban. Tetapi, perbuatan memaafkan dan perdamaian dari korban/keluarganya

dipandang sebagai suatu yang lebih baik. Pihak pelaku bisa dijatuhi sanksi diyat

(yaitu sejumlah harta tertentu untuk korban dan keluarganya). Hal ini membawa

kebaikan bagi kedua belah pihak dan tidak ada lagi dendam antara kedua pihak

itu. Pihak korban mendapat perbaikan dari sanksi yang dijatuhkan, serta ada

peranan korban dalam sistem dan proses peradilan pidana. Is}la>h sendiri dalam

532 Mahrus Ali, Syarif Nurhidayat, Penyelesaian Pelanggaran.., 290.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

235

Islam merupakan satu konsep utuh dalam penyelesaian suatu perkara. Secara

mendasar prinsip-prinsip yang harus ada dalam proses ini antara lain adalah

pertama, pengungkapan kebenaran, kedua, adanya para pihak yang meliputi pihak

yang berkonflik yang dalam hal kejahatan harus ada korban dan pelaku,

sedangkan pihak yang lain adalah mediator. Yang ketiga, Is}la>h merupakan proses

sukarela tanpa paksaan, dan keempat adalah keseimbangan hak dan kewajiban.533

Sementara itu, Saamikh As Sayyid Jaad,534

mengungkapkan enam syarat

dalam proses al-Is}lah> wal’afwu ‘anil ‘uqu>bah yang dalam masyarakat umum

dikenal sebagairekonsiliasi. Syarat yang terakhir adalah harus adanya legitimasi

berupa putusan pengadilan agar executable. Dalam konteks penelitian yang

penulis inginkan bahwa, peran dari Al-‘afwu ani al-Uqu>bah ini sebagai salah satu

sarana penyelesaian tindak pidana tertentu yang nantinya dapat diklasifikasi dan

menjadikan dasar legitimasi dalam pembaharuan hukum pidana kedepan.

Penerapan lain dalam konsep pemaafan pidana sebenarnya pidana bisa

juga diterapakan pada kasus jarimah ta‟zir dengan syarat juga yakni berupa

adanya aspek direct victim di dalamnya. Al-afwu „anil „uqubah (pemaafan dalam

pidana) merupakan hal serupa tapi tidak sama dengan konsep Rechtelijk Pardon

(kewenangan jalur pemaafan yang dilakukan oleh hakim), karena kewengannya

pengampunan pidana dalam Al-‘afwu ‘anil ‘uqu>bah ditujukan terhadapa korban

533

Ibid..., 301. 534 Enam Syarat yang diajukan oleh Saamikh Sayyid Jaad, yaitu: 1) pengampunan diberikan oleh

pihak yang memang berhak, 2) pihak yang memberikan pengampunan harus cakap hukum (“aqil

dan baligh), 3) pengampunan tidak boleh atas dasar paksaan, 4) pengampunan harus dengan

kata-kata atau kalimat yang shorih (jelas), 5) pengampunan diikuti pemberian ganti rugi (diyat)

oleh pelaku kepada korban atau ahli warisnya, dan 6) pengampunan harus dilegitimasi oleh

putusan pengadilan agar executable. Lihat dalam M. Abdul Kholiq, Impunitas Kejahatan

MasaSilam (Sebuah telaah Menurut Perspektif Hukum Pidana Islam), Pointer diskusi

disampaikan pada forum diskusi Bedah Buku Berjudul Menolak Impunitas, diselenggarakan oleh

LEM FH UII, pada tanggal 27 Februari 2006, hal 5. Sebagaimana dikutip dalam Mahrus Ali,

Syarif Nurhidayat.., 307.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

236

jarimah, sedangkan dalam konsep Rechtelijk Pardon ada pada seorang Hakim. Al-

afwu anil uqubah jika diperbandingkan dengan konsep hukum pidana barat

sebenarnya cenderung bersinergi terhadapa konsep Islam tentang rekonsiliasi,

sebagai suatu media penyelesaian kejahatan yang bersifat Out Cort System, tetapi

tetap dalam koridor/kerangka hukum.535

Jika kita telaah dalam Filosofi konsep Al-„afwu„ an al-uqu>bah,

penjatuhan dan pelaksanaan pidan sesungguhnya hanya merupakan salah satu

media atau cara untuk menyelesaikan berbagai problem kejahatan dengan

berbagai macam orientasi tujuan (tujuan penjatuhan pidana). Secara konseptual

tujuan dari hukum pidana Islam adalah:

1. Dar’ul mafa>sid wa jalbu al mas}a>lih sebagai tujuan umum;

2. Sedangkan tujuan khususnya ialah berupa:

Arrodu wa al-jaza> (pembalasan dan pencegahan kejahatan);

At-ta’di >bu wa al-Isla>hu (pengajaran/pembinaan dan kebaikan

hidup bersama.

Karena dalam proses perbaikan diri pelaku kejahatan yang tumbuh secara

internal menjadi penekanan utama dalam pemidanaan Islam, maka dalam

pemidanaan Islam tidak ada pola pidana yang limitatif atau berpola antara, seperti

yang terdapat dalam KUHP atau UU pidana lainya di luar KUHP.536

Orientasi

tujuan al-Is}la>h}u (perbaikan diri) mengandung makna bahwa dengan hukuman itu

Islam ingin membentuk suatu masyarakat yang baik yang dilandasi rasa saling

menghormati dan mencintai di antara sesama anggota masyarakat, namun dengan

tetap menyadari batas-batas hak dan kewajiban.

535

Muhammad Abdul Kholiq AF, Kumpulan Materi Sistem Pemidanaan Islam Pemaafan pidana. Fak. Hukum. Universitas Islam Indonesia, 1.

536 Ibid.., 4.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

237

Upaya perwujudaan dalam tujuan-tujuan pidana Arrodu wal jaza dan

Atta’di >bu wal Is}lahu adalah bersifat utuh (integral) bahwa pidana Islam tidak

mesti harus berat atau ringan, tetapi yang penting predictable dapat mewujudkan

tujuan-tujuan tersebut. Dengan kata lain, dapat kita simpulkan:

1. Roddu al-mafsadah bi al-‘uqu>bah (mencegah kerusakan dengan hukuman)

2. Wuju>du al-ada>lah bil‘uqu >bah (adanya suatu keadilan dengan hukuman)

3. Wuju>dullmas}lahah bil’uqu >bah (mewujudkan kemaslahatan dengan

hukuman)

Secara kontekstual dalam firman-Nya, Allah Swt telah memaafkan

banyak kedurhakaan dan kesalahan hamba-hambanya. Dalam penggalan arti

surat Asy-Syura (42) ayat 30, Artinya:

ي ث ك ن وع ف ع وي م يك د ي أ ت ب س ك ا م ب ف ة ب ي ص م ن م م ك اب ص اأ وم

“Dan apa yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan

tangan kamu sendiri dan Allah memaafkan banyak.”

Seandainya Allah Swt tidak memaafkan mereka, tentu semuanya akan

binasa bahkan tidak akan ada lagi satu binatang melatapun di dunia ini.537

Oleh

karena itulah Allah Swt memberi gelar diri-Nya al-Afwu, Yang Maha Pemaaf.

Allah Swt berfirman, Artinya:

JIka kamu menyatakan sesuatu kebaikan menyembunyikan atau

memaafkan sesuatu kesalahan (orang lain), maka sesungguhnya Allah

Maha Pemaaf lagi Maha Kuasa. (QS An-Nisa (4) ayat 14. Dan; Artinya:

“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma‟ruf

serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh (QS Al-A‟râf (7):199)

Memaafkan kesalahan dan kezhaliman orang lain kepada kita tidaklah

mudah. Menurut para sufi, memaafkan harus dilatih secara continue dan terus-

537

Ibid.., 169.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

238

menerus. Sifat pemaaf tumbuh karena kedewasaan ruhaniyah. Ia merupakan hasil

perjuangan berat ketika kita mengendalikan kekuatan ghadhab (marah) di antara

dua tekanan yaitu pengecut dan pemberang.Memaafkan juga tidak bisa direkayasa

secara artifisial dengan upacara pemutihan seperti halal bi halal dan lain

sebagainya. Maaf yang tulus lahir dari perkataan yang tulus kepada orang lain.538

Ketika Misthah bin Utsa>tsah (anak bibinya Abu Bakar yang hidupnya miskin dan

tidak punya harta benda) dibantu dan dinafkahi oleh Abu Bakar, namun Misthah

malah menyebarluaskan isu negatif terhadap Âisyah (isteri Nabi Saw dan putri

Abu Bakar,539

yang kemudian sang ayah tidak membantu dan menafkahi lagi.

Kemudian Allah SWT menegurnya dengan ayat:

“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan

di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan)

kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang

yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka mema'afkan dan

berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu?

dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS An-Nûr

(24): 22)

Karena itu, mereka yang enggan memberi maaf, pada hakikatnya

berarti enggan memperoleh pengampunan dari Allah Swt. Dalam pandangan

Islam, mampu memaafkan kesalahan orang lain termasuk sebagian dari akhlak

yang sangat mulia dan luhur.540

Ia merupakan salah satu ciri orang yang bertakwa

538

Jalaluddin Rahmat, Reformasi Sufistik, Bandung: Pustaka Hidayah, 2002, 218. 539

Kisah tersebut terjadi dalam hadîtsul ifki (berita bohong), di mana ketika kaum muslimin

melakukan perjalanan pulang dari perang Bani Musthaliq kemudian tersebar berita bohong

bahwa Aisyah telah melakukan perbuatan keji dengan Shafwan bin Mu‟aththal. Yang pertama

kali menyebarkan berita bohong ini adalah Abdullah bin Ubay bin Salul kemudian Masthah ikut

andil menyebarluaskan berita tersebut. Allah Swt lalu menurunkan surat An- Nur (24); 221

sebagai pembelaan kepada Aisyah dan untuk meyakinkan Rasulullah Saw bahwa berita itu

hanyalah fitnah dan kabar bohong semata. Dalam Muhammad Sa‟îd Ramadhân al-Bûthy, Sirah

Nabawiyah, (Jakarta: Rabbani Press, 1428 H/2007 M), 291-294. 540

Rasulullah Saw sudah sering mencontohkan sikap mulia tersebut, sehingga beliau Saw sangat

terkenal sebagai orang yang pemaaf. Dalam sejarah disebutkan bahwa beliau Saw taburkan

maafnya kepada orang-orang yang menyakiti dan yang mengusirnya dari tanah airnya. Bahkan

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

239

(muttaqi>n) dan ia adalah sikap yang diutamakan di sisi Allah Swt. Kemudian

dalam hadist yang diriwatkan oleh Imam Ahad bin Hanbal. Rasullah SAW telah

menegaskan akan hal tesebut ketika sahabat Uqbah bin Amir541

bertanya

mengenai amalan-amalan yang paling utama. Beliau menyambutnya dengan

bersabda:

“Dari Uqbah bin Amir ia berkata; saya bertemu dengan Rasullah SAW

kemudian saya pegang tangannya dan bertanya; Wahai Rasullah

beritahulah saya yang amalan-amalannya yang paling utama; Beliau

SAW kemudian menjawab. Wahai Uqbah sambunglah tali persaudaraan

dengan orang-orang yang memutuskan hubungan denganmu, berilah

orang yang tidak mau memberi kepadamu dan maafkanlah orang yang

telah mendzalimimu”.

Oleh karena itu, jika ada seseorang yang berbuat zhalim kepada kita, yang

diutamakan dan diperintahkan oleh agama adalah memaafkan kesalahan atau

kezahaliman orang tesebut, walaupun membalas kezhaliman atau keburukan juga

diperbolehkan, namun memaafkan tetap lebih utama. Hal ini tampak jelas dalam

firman Allah SWT;

“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka

barang siapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas

(tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang

zhalim.” (QS. Asy-Syûrâ [42]: 40).

Namun, kalau kita melihat realita kehidupan sehari-hari, yang terjadi justru

sebaliknya. Pemaafan itu biasanya muncul dan terjadi setelah orang yang berbuat

salah atau zhalim meminta maaf terlebih dahulu. Padahal, kalau kita meneliti dan

mengkaji ayat-ayat Al-Qur‟an yang berkaitan dengan masalah maaf memaafkan

(al-„Afwu), akan kita temukan bahwa konsep Al-Qur‟an mengenai al-„Afwu

adalah perintah memberikan maaf kepada orang yang berbuat salah atau zhalim

beliau Saw serahkan sorbannya sebagai tanda maafnya kepada Wahsyi yang telah membunuh

pamannya tercinta Hamzah. Dalam Jalaluddin Rahmat…, 218. 541 Ahmad ibnu Hanbal, Musnad Ahmad, (Beirut: Darul Fikr, T.th), hadits Uqbah ibn Âmir, juz 35,

206.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

240

bukan perintah meminta maaf, sehingga kita perlu menanti permohonan maaf dari

orang yang bersalah, tetapi hendaknya sebelum diminta.

Relevansinya dalam pembahasan ini adalah bahwa maaf tidak begitu saja

dapat dijadikan satu metode mediasi pidana, harus sangat selektif agar tidak

melampaui nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat, dan hanya akan

kontraproduktif terhadap pencapaian perdamaian itu sendiri. Hukum pidana Islam

memberikan solusi untuk dua arah, yang seimbang melalui ishlah, dengan tujuan

perdamaian yang sejati, yaitu hilangnya beban dosa bagi pelaku, dan hilangnya

rasa derita dan dendam korban. Al-„afwu„merupakan perintah dari Allah yang

harus diusahakan secara adil sebagai rahmat dari Allah SWT, yang mencintai

perdamaian.

4. Pembaruan Hukum Pidana Islam dalam Pembangunan Hukum Pidana

Nasional.

Gerakan pembaruan hukum Islam, termasuk hukum publik Islam tidak

dapat dilepaskan dari aspek dan pengaruh pluralitas sosial-budaya, politik dalam

suatu masyarakat dan negara. Para ulamā/fuqāhā seringkali menafsirkan teks-teks

Alqur‟an dan Sunnah dalam konteks sosial-budaya dan politik.542

Fakta sejarah

menunjukkan pada masa Islam yang begitu awal, telah lahir berbagai madzhab

fiqh, ada madzhab Hijaz, madzhab Irak dan Syiria.543

Kendati demikian, rumusan

teori hukum Islam baru ditemukan pada abad ke-2 H.Tercetus oleh seorang

542 A. Qodri A. Azizy, Eklektisisme Hukum Nasional; Kompetisi Antara Hukum Islam dan Hukum

Umum,(Yogyakarta: Gama Media, 2002), 32-33. 543 Abdꞌ al-Wahha>b Ibra>hi>m Abi> Sulaima>n, al-Fikru al-Us}u>li>; Dira>sah Tahli>liyyah Naqdiyyah,

(Jeddah: Da>r al-Syuru>q, 1983), Cet. ke-1, 44-46.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

241

bernama al-Syafi‟i melalui karyanya al-Risālah.544

Selanjutnya, gagasan

pembaruan hukum Islamditeruskan oleh al-Ghazali (w.505/1111) dengan

membangun teori mashlahah, dan kemudian dilanjutkan oleh al-Syāthibi>

(790/1138). Dan, pada awal fase modern muncul Muhammad Abduh (w.1905)

dengan rekonstruksi rasionalisme klasik.545

Secara umum, pola pembaruan hukum Islam, telah terbagi menjadi dua

kelompok:

1. Kelompok ahli hukum Islam (fuqāhā/mujtahid) yang dikategorikan

dengan aliran “tekstual-teosentris”. Kelompok ini selalu menjadikan teks-

teks Alquran dan Sunnah sebagai pijakan utama dalam justifikasi aktivitas

mereka. Artinya, teks-teks yang jelas dan rinci dalam bidang hukum Islam

yang terdapat dalam Alquran dan sunnah dan kitab-kitab karya ahli fiqh

tradisional harus diterima apa adanya tanpa membutuhkan tafsir ulang.546

2. Kelompok ahli hukum yang diidentikkan dengan orang “legal theory”.

Yakni kelompok yang berpandangan bahwa agar hukum Islam selalu

mampu menjawab tantangan zaman dan tak kehilangan peran vitalnya,

maka pintu ijtihad harus dibuka selebar-lebarnya. Mereka ini kelompok

yang mengedepankan peran akal dan memberikan porsi utama dalam

menjawab realitas dan perubahan sosial.547

Pada perjalanan sejarah berikutnya, pembaruan hukum Islam selalu

diwarnai perdebatan antara peran wahyu versus akal (teks versus konteks).

Pertentangan antara Umar dan Sahabat lainnya terkait pembagian ghani>mah ,548

544 Terkait siapa sejatinya penemu ilmu ushul al-fiqh masih menjadi perdebatan. Secara praktis

praktik-praktik hukum berbasis pembaruan telah ada sebelum Asy-Syafi‟i. Tidak mengherankan

jika dari kalangan Ahnaf, mengklaim bahwa Abu Hanifah, Syaibani dan Abu Yusuf adalah

tokoh-tokoh peletak ilmu ushul al-fiqh. Dapat dikatakan pada era mereka memang telah

terbentukmetodologi hukum Islam, namun masih membaur dengan kajian-kajian lainnya,

semisal fiqh dan sebagainya. Baru pada era al-Syafi‟i, beliaulah yang menyusun ilmu Ushul al-

Fiqh secara sistematis dan terpisah dari ilmu-ilmu lainnya. Detailnya lihat karya Abd al-Wahhab

Ibrahim Abi Sulaiman.., 5-6. 545 Syamsul Anwar, Pengembangan Metode Penelitian Hukum Islam, dalam Ainurrofiq (ed.),

Mazhab Jogja; Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer (Yogyakarta: Ar-Ruzz Press

dan Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga, 2002), 148-149. 546 Satria Effendi M, Ijtihad Sepanjang Sejarah Hukum Islam: Memposisikan KH Ali Yafie dalam

Jamal D. Rahman (ed.) Wacana Baru FiqhSosial; 70 Tahun KH Ali Yafie„(Bandung: Mizan,

1997), 154-155. 547 Ibid.., 154. 548

Ghani>mah adalah harta yang diambil secara paksa dari golongan kafir harbi, baik dalam

bentuk benda bergerak maupun benda yang tidak bergerak,baik diambil ketika pada saat

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

242

terkait pemotongan tangan bagi pencuri, pertentangan antara Abu Hanifah dengan

teori istihsān-nya dengan penentangnya Asy-Syafi‟i dengan teori qiyās-nya. Ini

semua membuktikan kepada kita bahwa perdebatan wahyu versus akal, teks

versus konteks, selalu menghiasi sejarah pembaruan hukum Islam, termasuk

upaya-upaya reaktualisasi hukum pidana Islam (HPI). Gelombang pembaruan

hukum pidana Islam (HPI) sejatinya tidak bisa dilepaskan dari metodologi

(epistemologi) yang digunakan para pembaru tersebut. Harus diakui, antara

epistemologi yang dipakai dengan produk ilmu yang dihasilkan mempunyai

keterkaitan yang erat dan keduanya tidak dapat dipisahkan. Artinya, corak hukum

dari seorang mujtahid sangat dipengaruhi metode (episteme) yang dipakai oleh

mujtahid itu sendiri. Keduanya, antara hasil hukum dengan epistemologi

(metodologi) ibarat matahari dengan sinarnya yang tidak bisa dipisahkan.

Membedah tentang aspek epistemologi, maka tidak bisa lepas dari kajian

filsafat. Dan, bagian filsafat yang dengan sengaja berusaha menjalankan refleksi

atas pengetahuan manusia itu disebut epistemologi atau ajaran tentang

pengetahuan. Karenanya, Amin Abdullah memandang bahwa epistemologi

merupakan salah satu cabang dari filsafat ilmu yang memperbincangkan

pengetahuan. Sebagaimana diketahui, bahwa perbincangan epistemologi tidak

dapat meninggalkan persoalan-persoalan yang terkait dengan sumber ilmu

pengetahuan dan beberapa teori tentang kebenaran. Sedangkan menurut

Komaruddin Hidayat epistemologi dimaknai sebagai teori dan sistem tindakan

dan cara pandang seseorang terhadap dunia sekitarnya.549

peperangan masih berlangsung ataupun ketika memburu musuh yang melarikan diri. Sedangkan

fa‟I adalah harta yang diambil secara paksa tanpa melalui peperangan, sementara salab ialah

harta atau senjata pribadi yang ada pada mayat tentara musuh yang terbunuh. 549 Komarudin Hidayat, Memahami Bahasa Agama, (Jakarta: Paramadina, 1996), 56-7.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

243

Sementara Harun Nasution mengatakan bahwa epistemologi merupakan

ilmu yang membahas tentang dua ranah yaitu: apa itu pengetahuan, (hakikat) dan

bagaimana cara memperoleh pengetahuan.550

Sedangkan Harold H. Titus

mengatakan bahwa kajian dalam epistemologi terdapat tiga persoalan yang selalu

diperbincangkan. Pertama, apakah sumber-sumber pengetahuan itu? Dari

manakah pengetahuan yang benar itu datang dan bagaimana mengetahui? Hal ini

adalah persoalan tentang “asal” pengetahuan sendiri. Kedua, apakah watak

pengetahuan itu? Apakah ada dunia yang benar-benar di luar akal-pikiran, dan

kalau ada apakah kita mengetahuinya? Hal ini adalah persoalan tentang, apa yang

kelihatan versus hakekatnya pengetahuan. Ketiga, apakah pengetahuan itu benar

(valid)? Bagaimana dapat membedakan antara benar dan salah dalam

pengetahuan? Hal ini adalah persoalan tentang kebenaran atau verifikasi

pengetahuan yang telah diperoleh manusia.551

Terkait dengan problema-problema dalam epistemologi fiqh al-jina>yah itu

sendiri, dalam hal ini Mohammed Arkoun menegaskan bahwa dalam khazanah

keilmuan ke-Islaman tradisional, yang dimaksud dengan epistemologi dalam

hukum pidana Islam adalah disiplin ilmu us}u>l al-fiqh atau yang dikenal dengan

teori hukum Islam. Us}u>l al-fiqh merupakan metodologi terpenting yang

ditemukan oleh dunia pemikiran Islam dan tidak dimiliki umat lainnya.552

550 Harun Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: UI-Press, 2001), Cet ke-16, 10. Lihat juga dalam

karyanya yang berjudul Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: UI-Press, 1990). 551 Harold H. Titus, dkk. Persoalan-persoalan Filsafat, terj. M. Rasjidi, (Jakarta: Bulan Bintang,

1984), 186-188. 552 Dalam pandangan Arkoun, ilmu (kajian) Ushul al-Fiqh terutama kaitannya dengan kajian

hukum Islam, maka sejatinya Ushul al-Fiqh merepresentasikan kajian epistemologi tersendiri

dalam hukum Islam. Perkembangan dan corak, karakteristik hukum Islam (fiqh) sangat

ditentukan oleh Ushul al-Fiqh itu sendiri. Lihat dalam Muhammed Arkoun, The Concept of

Authority in Islamic Thought dalam Mehdi Mozaffari and Ferdinand (ed.). Islam: State and

Society, (London Curzon-Press, 1988), 62.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

244

Kedudukan us}ūl al-fiqh sebagai epistemologi hukum pidana Islam

(jinayah) bersifat mutlak. Sebab disiplin inilah yang mempunyai kaidah-kaidah

dasar yang harus diperhatikan dalam merumuskan hukum pidana Islam. Selain itu,

us}ūl al-fiqh juga dinilai sebagai metodologi penetapan (itsbāt) sebuahhukum.

Sebagai sebuah epistemologi, ushūl al- fiqh sudah layak dan memadai. Alasannya

pada pertimbangan bahwa us}ūl al-fiqhdi dalamnya memuat kriteria-kriteria yang

dibutuhkanbagi sebuah epistemologi: hakikat (realitas), sumber dan metode serta

validitas (ukuran sebuah kebenaran) yang kesemuanya telah teruji dalam

pembentukan hukum Islam dari waktu ke waktu. Dalam beberapa literatur juga

disepakati bahwa us}ūl al-fiqh sangat identik dengan metodologi hukum Islam.

Proses perjalanan sejarah perumusan dan pembaruan metodologi hukum

Islam (ushūl al-fiqh), paling tidak dijumpai tiga karya besar yang dipandang

merepresentasikan zamannya dan karakteristiknya masing-masing. Pertama,

adalah karya besar al-Syafi‟i yang bernama al-Risālah. Kedua, adalah karya al-

Syathibi dengan al-Muwāfaqāt-nya, dan ketiga adalah karya Sharur yang berjudul

al-Kitāb wa al-Qur‟a>n dan Nahw Us}ūl al-Jadīdah li al-Fiqh al-Islāmī.

Karakteristik yang ada us}ūl al-fiqh karya al-Syafi‟i adalah teologis-deduktif yang

terpaku pada literalisme teks. Corak semacam ini kemudian diikuti oleh para

teoritisi dari kalangan mutakallimūn baik dari Syaf‟iyyah, Malikiyyah maupun

Hanabilah. Sedangkan dari teoritisi Hanafiyah mempunyai corak yang berbeda

dengan menekankan pendekatan induktif-analitis. Kendati demikian, karya-karya

us}ūl al-fiqh dari kalangan Syafi‟iyyah dan Hanafiyyah mempunyai kesamaan

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

245

yaitu sama-sama menekankan paradigma tekstualisme (literalisme).553

Paradigma

tekstual ini berjalan selama berabad-abad kurang lebih lima abad, yaitu dari abad

ke-2 H sampai abad ke-7 H.

Perjalanan sejarah pembaruan us}ūl al-fiqh berikutnya adalah pada awal

abad ke-8 H/14 M. Ini ditandai dengan munculnya paradigma baru dalam us}ūl al-

fiqh yang diusung oleh al-Sya>thibi> (w.790/1388) melalui karya monumental yang

berjudul al-Muwāfaqāt fi Us}ūli al-Syarī‟ah. Melalui karyanya ini al-Syathibi telah

menawarkan teori baru yang mengacu pada maksud Allah yang paling utama

dalam perumusan hukum. Sebuah revolusi teori yang lebih menekankan

pendekatan maqās}idy dari pada pendekatan kebahasaan (lughawi) yang selama ini

banyak digunakan para teoritisi sebelumnya.554

Selepas era al-Syathibi, kajian

us}ūl al-fiqh mengalami stagnasi luar biasa. Ini ditandai dengan kemandegan

kajian dan dinamika metode studi Islam. Gagasan al-Syathibi lahir pada masa

umat Islam larut dalam keterpakuan teks yang kuat. Sehingga, ide-ide cemerlang

yang diretas oleh al-Syathibi pada masanya kurang mendapatkan respon dari umat

Islam saat itu.555

Kendati demikian, apresiasi patut dilayangkan buat al-Syathibi

yang telah merumuskan teori baru di tengah era keterpakuan teks.

Lima abad kemudian, di era modern telah bermunculan para pembaru

ushūl al-fiqh. Sebut saja nama Muhammad Abduh (w. 1905) dengan karyanya

yang telah diedit oleh Dr. Ima>rah yang berjudul al-A‟māl al-Kāmilah li al-Imām

Muhammad Abduh. Berikutnya adalah Rasyid Ridla (w. 1935) dengan karyanya

553 Muhyar Fanani, Metode Studi Islam; Aplikasi Sosiologi Pengetahuan Sebagai Cara Pandang,

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), 163-164. 554 Louay Safi, Ancangan Metodologi Alternatif (The Fondation of Knowledge; A Comparative

Study in Islamic and Western Methods of Inquiry, terj. Imam Khoiri, (Yogyakarta: Tiara

Wacana, 2001), 143. 555 Duski Ibrahim, Metode Penetapan Hukum Islam; Membongkar Konsep al-Istiqra‟ al-Ma‟nawi

al-Syathibi, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), 186-188.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

246

yang berjudul Yusral-Islām wa Us}ūl al-Tasyrī‟ al-Ām, disusul oleh

pembaruberikutnya yaitu Abd al-Wahha>b Khalla>f (w. 1956) dengan karyanya

yang berjudul Mas}a>dir al-Tasyri‟ fi> ma Lā Nas}s}a fī >hi dan Hasan al-Turabi dari

Sudan dengan karyanya Tajdīd Us}ūl al-Fiqh. Ada juga nama al-Fasi (w.1973).

Namun demikian, para teoritisi tersebut dalam pandangan Hallaq, belum

merumuskan teori baru, melainkan hanya melakukan revitalisasi teori mashlahah

yang diretas oleh al-Syathibi. Oleh karena itu, Wael B. Hallaq menyebut bahwa

para teoritisi tersebut termasuk dalam kelompok pembaru penganut aliran

utilitarianisme.556

Di Indonesia sendiri, corak dan karakteristik hukum Islam yang ada

termasuk entitas al-fiqh al-jina>’i> disinyalir masih banyak diwarnai pemikiran

bernuansa Arab dan Timur Tengah yang sejatinya dalam beberapa hal tidak lagi

relevan dengan kesadaran hukum masyarakat Indonesia yang telah melembaga

dalam hukum adat. Akibatnya, menurut sebagian ahli, ada bagian-bagian tetentu

dari hukum Islam yang kurang mendapat sambutan hangat dari masyarakat

Indonesia. Bentuk-bentuk hukuman pidana tersebut, menurut Munawwir Sjadzali,

adalah hukuman bernuansa Arab.557

Realitas-realitas empiris di atas pada gilirannya kemudian mendorong

perlu dilakukannnya rekonstruksi epistemologi-metodologi untuk mewujudkan

fiqh (hukum Islam) bercirikan ke-Indonesiaan. Ide dan gagasan ini banyak

diusung oleh pembaru-pembaru Indonesia seperti Hasbi Ash-Shiddieqy dengan

fikih Indonesia, Hazairin dengan fikih madzhab nasional, Ibrahim Hossein dengan

556

Wael B. Hallaq.., 318-333. 557

Munawwir Sjadzali, Ijtihad Kemanusiaan, (Jakarta: Paramadina, 1997), 4-26. Baca juga buku

karya Muhammad Wahyuni Nafis dkk (ed.), Kontekstualisasi Ajaran Islam 70 Tahun Prof. Dr.

Munawwir Sjadzali, MA, (Jakarta:Paramadina, 1995).

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

247

teori zawājir, Ali Yafie dan Sahal Mahfudh dengan fikih sosial dan Abdurrahman

Wahid dengan pribumisasi Islam, Nurcholis Madjid dengan sekularisasi Islam dan

lain-lainya.558

B. Konstruksi Pendekatan Restorative Justice Hukum Pidana Islam dalam

Pembaruan Hukum Pidana Nasional

Perkembangan kesadaran masyarakat terhadap kebutuhan hukum sebagai

pranata kehidupan bermasyarakat memberikan pengaruh yang sangat kuat

terhadap perkembangan penerapan hukum pidana di Indonesia. Fenomena

menunjukkan munculnya berbagai kontroversi terhadap proses dan putusan sistem

peradilan pidana yang dianggap oleh sebagian pihak tidak memenuhi rasa

keadilan masyarakat. Munculnya Konsep restorative justice yang dianggap

sebagai gagasan baru dalam sistem hukum pidana, pada dasarnya memiliki

metode dengan pola tradisional penyelesaian konflik dan kejatahan yang telah

hadir di berbagai kebudayaan sepanjang sejarah manusia. Sistem hukum pidana di

Indonesia memberikan ruang untuk diterapkannya konsep restorative justice, yang

secara substansial juga tidak bertentangan dengan nilai-nilai hukum pidana Islam.

Oleh karena itu, konsep restorative justice dianggap sebagai konsep yang tepat

dalam proses penyelesaian perkara pidana, dan lebih efektif untuk dapat

memenuhi rasa keadilan masyarakat. Selanjutnya, akan penulis uraikan beberapa

pendekatan dalam pembaruan hukum pidana nasional:

1. Ijtihad Umar bin Khattab

558

Ibnu Burdah (ed.) dalam Muhyar Fanani, Membumikan Hukum Langit: Nasionalisasi Hukum

Islam dan Islamisasi Hukum Nasional pasca Reformasi, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2008),

114.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

248

Ijtihad Umar bin Khattab, yang secara peristiwa terkesan mengalami

evolusi dari teks kepada konteks, dalam waktu yang berbeda, adalah lebih kepada

mempertimbangkan etika dasar kesadaran moral Islam-nya. Jadi, tidak semata-

mata selesai jika hanya dilihat dari teks dan konteks penerapan nas-nas.

Melainkan juga penting dilihat kebutuhan penerapan kesadaran nilai-nilai etika.

Dengan adanya ijtihad Umar, dan dari sudut paradigma lainnya, dapat dinyatakan

bahwa pemikiran Umar, lebih mengedepankan relativisme etika keyakinan moral

berbasis Islam. Sehingga, ada pertimbangan moral yang menghendaki putusan,

yang jauh lebih baik dari putusan moral lainnya, pada waktu itu. Umar bin

Khattab (Umar), sosok yang luar biasa. Kepintaran, gagasan dan ijtihadnya lebih

sering mendapatkan legitimasi dari wahyu. Namun, di masa-masa pasca wafatnya

Nabi Muhammad Saw, yaitu pada masa kekhalifahannya, gagasan ijtihad Umar

bin Khattab memperlihatkan arah yang oleh sebagian ulama dipandang sebagai

progresif, bahkan terkesan berbeda dengan teks Al-Qur‟an dan Hadis,559

sekalipun

hanya pada beberapa musim atau konteks dan kondisi tertentu.

Putusan ijtihad Umar bin Khattab ini, sering disampaikan secara tegas.

Ketegasannya ini cenderung diwarnai oleh karakternya sendiri.560

Dalam beberapa

kasus karakter dalam memberikan ijtihad ataupun putusan justru menguntungkan

bagi kemajuan Islam. Selain umat Islam telah banyak dianut oleh wilayah-wilayah

sekitar jazirah Arab, dan bahkan lebih jauh dari itu sampai ke Spanyol, dan

masalah-masalah sosial kemasyarakatan juga sudah sangat banyak, yang berbeda

dengan masalah pada masa Nabi Muhammad Saw masih hidup, maka ketegasan

559 M.H. Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, (A. Audah, Trans.), (Jakarta, Litera Antar Nusa:

1998), 111. 560 Azumardi Azra, Ensiklopedi Islam, (Jakarta, Intermasa: 1996), 13.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

249

putusan seorang Umar bin Khattab, sangat diperlukan saat itu. Umar bin Khattab

adalah sosok yang sudah banyak mendapatkan pendidikan langsung dari Nabi

Muhammad Saw. Sehingga, sebagaimana Nabi Muhammad Saw mengajarkan

umatnya dalam bermusyawarah dan berpendapat ketika itu, terkait dengan

masalah-masalah yang ada, tak dapat dipungkiri semua itu menjadi modal bagi

seorang Umar bin Khattab untuk terus berusaha memberikan putusan-putusan

dalam pertimbangan-pertimbangannya terhadap kasus atau masalah yang ada,

terutama pasca wafatnya Nabi Muhammad Saw.

Pertimbangan, argumentasi dan solusi-solusi atas masalah yang ada, dalam

perkembangan selanjutnya disebut ijtihad, yang sampai sekarang dikenal dengan

pengetahuan atau kajian fikih dan ushul fikih. Bahkan Umat Islam sangat kental

sekali nuansa kajian fikih, ushul fikihnya. Sehingga tidak heran ada beberapa ahli

yang mengatakan bahwa, jika Yunani pada masanya pernah dikenal memiliki

sejarah dan peradaban filsafat, maka umat Islam bisa dikatakan memiliki sejarah

dan peradaban fikihnya, yang sama sekali tidak dapat dihubung-hubungkan

dengan sejarah dan peradaban lainnya. Artinya kajian pengetahuan fikih, murni

muncul dari umat Islam itu sendiri. Dan yang mencoba-coba menghubungkannya

dengan peradaban lainnya seperti Yunani atau hukum Romawi, adalah hal yang

sia-sia.561

Dalam hal ini objek kajian fikih yang terkait dengan putusan Umar hanya

melihat pada beberapa kasus saja yaitu hukum potong tangan, ghani>mah , talak,

561

Nirwan Syafrin, Konstruk Epistemologi Islam: Telaah bidang Fiqh dan Ushul Fiqh.

TSAQAFAH, 5(2), (2009).., 227.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

250

mualaf, pezina. Pemilihan ini dikarenakan Umar dipandang progresif oleh

sebagian ulama, dari apa yang pernah dilakukan Nabi Muhammad Saw. Misalnya

pada musim paceklik Umar tidak memotong tangan pencuri, Umar tidak lagi

mengasingkan pezina, Umar tidak lagi memberi sedekah kepada mualaf disaat

mualaf berada dalam kondisi yang sudah memadai. Umar menjatuhkan talak ba‟in

bagi yang mengucap satu kali untuk 3 talak, karena banyak suami yang suka

bermain-main, sementara hal tersebut tidak boleh dipermainkan.Mengingat apa

yang diputuskan Umar adalah sangat penting. Dan beberapa pandangannya hanya

dibaca serta dilihat dari kajian fikih (perdebatan antara teks dan konteks), dan juga

legalistik formalistik, maka perlu kajian lain yaitu etika (filsafat moral), sebagai

sebuah kajian interdisipliner dengan fikih. Dimana antara fikih dan etika ada

kesamaan objek kajian yaitu perilaku manusia, namun pada beberapa hal ada

perbedaan. Diantara perbedaannya yaitu etika lebih dominan menonjolkan

pemikiran rasio, dan hati nurani manusia.

Umar merupakan sahabat penting Nabi Muhammad Saw, yang langsung

mendapatkan pendidikan keIslaman dari Beliau. Dan juga, kondisi objektif yang

tengah dihadapi masyarakat terutama saat Umar menjadi seorang khalifah, dimana

wilayah dan masyarakatnya tidak hanya semata-mata masyarakat jazirah Arab,

tapi sudah menyebar ke hampir belahan Barat dan Timur (ekspansi masa Umar),

sehingga sudah mulai terasa banyaknya muncul permasalahan sosial keagamaan

yang sifatnya praksis dari pada permasalahan yang bersifat teologis. Dengan dasar

ini maka kebutuhan hukum sangat dominan, namun semata-mata hukum tanpa

pertimbangan dan menyoal, melihat dari sudut etika, hasil ijtihad Umar akan

menjadi timpang karenanya. Pada akhirnya akan mempertanyakan kredibilitas

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

251

Umar sebagai seorang yang pernah mendapatkan pendidikan langsung dari Nabi

Muhammad Saw. Untuk itu agaknya perlu adanya penilaian etika pada ijtihad

Umar. Sehingga, proses pengembangan kerangka teoritik fikihnya tidak menjadi

terpisah dari etika.

Tujuan yang paling hakiki dari sebuah fikih adalah memberikan

penyadaran, kesadaran akan hakiki seorang manusia. Tujuan hakiki fikih adalah

memposisikan manusia kepada posisi manusia yang sesungguhnya. Karena itu

fikih bisa saja mengalami “pergerakan”. Dan, pergerakan fikih tentu diharapkan

tidak akan menciderai maksud tujuan serta etikanya. Disini penulis ingin

membaca dan melihat bahwa, adanya perubahan fikih itu tidak semata-mata

dilihat dari sisi legalistik formalistik putusan hukum saja, melainkan evolusi itu

juga mesti dibaca dan dilihat dari sisi dan konteks etika.

Dan apa yang dilarang masa Nabi Muhammad Saw menjadi dibolehkan,

atau sebaliknya apa yang dibolehkan menjadi dilarang di masa Umar. Poin ini

sangat penting, dan bukan masalah dilarang ataupun dibolehkan yang terkesan

berganti. Apa sesungguhnya maqas}id syari >’ah yang ada. Hakikat tujuan hukum

sebenarnya tidak hanya tentang hukum. Melainkan ada sisi-sisi pembelajaran,

penyadaran, dan pertimbangan etika. Penelitian ingin melihat sejak kapan sisi-sisi

perubahan etika itu terjadi. Kapan yang dimaksud di sini dalam proses

perubahannya, bukan soal waktu. Epistemologi pertimbangan apa yang ada

sehingga hukum-hukum fikih, sesungguhnya berubah pola menjadi hukum-

hukum etika. Ijtihad Umar bin Khattab pada permasalahan tentang hukum potong

tangan dengan penjelasan sebagai berikut:

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

252

Hukum Potong tangan pernah dipraktikkan dahulu pada masa jahiliyah,

lalu diakui oleh Islam dan ditambahkan syarat-syarat lainnya. Umar tidak

menghukum pencuri unta, yang menyembelihnya untuk makan dengan alasan

kelaparan. Umar hanya memerintahkan agar mereka membayar ganti rugi kepada

pemilik unta dua kali lipat dari harga unta. Umar membatalkan hukum potong

tangan terhadap mereka, karena pencurian terjadi di saat paceklik.562

Jadi sanksi

tidak dijatuhkan masa krisis atau paceklik. Allah berfirman dalam surat Al-

Maidah ayat (38), Artinya:

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan

keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan

sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha

Bijaksana.”

Dalam ayat di atas, Allah Swt telah menetapkan dan memerintahkan untuk

memotong tangan pencuri, baik laki-laki maupun perempuan. Namun, Umar tidak

menjatuhkannya pada sekelompok karyawan yang mencuri seekor unta, karena

majikannya tidak memberikannya upah yang wajar. Bahkan yang dijatuhi

hukuman ketika itu oleh Umar bin Khattab adalah sang majikan, yakni Ibn Hathib

Ibn Abi Balta‟ah, dengan mewajibkan membayar kepada pemilik unta yang dicuri

dua kali lipat harganya.563

Umar pun tidak memotong tangan orang yang mencuri

dari Baitul Mal. Ibnu Mas‟ud bertanya kepada Umar tentang jati diri siapa

pencurinya. Umar berkata, Bebaskanlah dia karena semua orang memiliki hak

dari harta yang terdapat di Baitul Mal ini. Kemudian Umar menghukumnya

dengan hukuman ta’zi >r berupa cambukan.564

562

Ali Muhammad Ash-Shallabi, Biografi Umar bin Al-Khathab, (Jakarta, Pustaka Al-Kautsar:

2008), 438. 563

M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Pesan,Kesan, dan Keserasian Al-Quran, (Jakarta,

Lenteng Hati: 2000), 196. 564 Ibid.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

253

Dapat dipahami bahwa Umar menggugurkan hukuman dari beberapa

kasus yang telah disebutkan terdahulu juga bertolak dari adanya beberapa

pertimbangan. Bagi Umar bin Khattab tidak selamanya hukuman potong tangan

harus dilakukan. Surah al-Maidah ayat 38 dipahami dengan pengecualian seperti

yang dipraktikkan Nabi Muhammad Saw. Penangguhan potong tangan juga

dilakukan dalam peperangan, larangan Nabi Muhammad Saw untuk memotong

tangan-tangan pencuri dalam peperangan diartikan oleh Umar agar pencuri ketika

itu tidak lari dan bergabung kepada musuh. Pertimbangan-pertimbangan semacam

itu jelas mempengaruhi pemikiran Umar dalam menerapkan ketentuan ayat

tersebut, sehingga penafsirannya tidak kering, dan selalu terpaut dengan teks-teks

aturan dalam Islam. Umar menegaskan, saya lebih suka keliru tidak menjatuhkan

sanksi hukum, karena adanya dalih yang meringankan, daripada menjatuhkannya

secara keliru, padahal ada dalih meringankannya.565

Dalam hal ini hukum potong

tangan tidak serta merta dilakukan Umar, namun, juga turut melihat kepada

banyak hal. Situasi dan kondisi politik saat itu, situasi dan kondisi masyarakat

Muslim saat itu.

2. Beberapa Pendekatan Dalam Pembaruan Hukum Pidana Nasional.

Dalam konteks inilah, muncul problema serius yang dirumuskan dalam

pertanyaan mendasar, bagaimana kita memahami dan melaksanakan fiqh

jina>yah sebagai bagian hukum Islam dalam konteks ke-Indonesia-an? Atau

dengan bahasa yang lebih lugas, bagaimana memasukkan (mengintegrasikan) fiqh

jina>yah sebagai bagian dari sistem tata hukum nasional bangsa Indonesia?

565 Ibid.., 198.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

254

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak mudah. Sebab, banyak

asumsi yang berkembang di masyarakat baik dari kalangan umat Islam sendiri

maupun non-muslim terkait fiqh al-jina>yah itu sendiri; Pertama, dari kalangan

umat Islam terutama dari golongan kulturalistik memandang formalisasi hukum

Islam (termasuk fiqh al-jina>yah) akan membuka peluang intervensi negara

terhadap agama. Terlebih formalisasi hukum Islam yang dikhawatirkan akan

dijadikan alat penguasa untuk menindas umat Islam sendiri.566

Kedua,

kekhawatiran dari umat non-muslim jika fiqh al-jina>yah diadopsi menjadi

hukum nasional. Untuk melakukan formalisasi fiqh al-jina>yah sebagai hukum

nasional di Indonesia, bukanlah persoalan yang mudah. Paling tidak dilihat dari

dua aspek;

1. Realitas bangsa Indonesia yang plural harus dipertimbangkan.

2. Pembenahan dari aspek konsepsi, strategi dan metode perumusan fiqh al-

jina>yah, sehingga hukum pidana Islam yang dihasilkan meminjam istilah

Roscuo Pound, yaitu tidak bertentangan dengan kesadaran hukum

masyarakat Indonesia dan kompatibel dengan karakteristik tatanan hukum

nasional yang didambakan.

Disamping itu, upaya integrasi ini berjalan berdampingan pula dengan

upaya pembaharuan KUHP Indonesia yang dianggap sebagai peninggalan

kolonial Belanda dan out of date. KUHP yang berlaku sekarang ini, dianggap

kurang mewakili budaya Indonesia yang ketimuran dan dianggap pula tidak

memadai lagi untuk merespons perkembangan masyarakat dan peradabannya

yang sudah jauh berbeda. Dalam soal kesusilaan misalnya, KUHP masih

membolehkan hubungan seksual yang dilakukan secara suka sama suka, selama

kedua pelaku belum menikah, ataupun sudah menikah tetapi tidak ada aduan dari

suami atau isteri pelaku. Kendati didukung oleh sejumlah alasan kuat untuk

566 Abdul Ghofur, Demokratisasi dan Prospek Hukum Islam di Indonesia: Studi atas Pemikiran

Gus Dur (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002).

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

255

melakukan pembaharuan terhadap KUHP, upaya integrasi fiqh jinayah ke dalam

hukum pidana nasional masih sulit dilakukan. Perjalanan sejarah telah

membuktikan bahwa upaya integrasi tersebut berjalan di tempat. Upaya

penyusunan RUU KUHP yang telah dirintis sejak tahun 1963 sampai sekarang ini

masih belum dibahas di DPR, antara lain;

a. Perbaikan Materi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Sejarah telah mencatat, bahwa setelah merdeka bangsa Indonesia belum

memiliki hukum yang bersumber dari tradisinya sendiri. Tetapi masih

memanfaatkan peraturan perundang-undangan peninggalan kolonial Belanda.

Kendati memang, atas dasar pertimbangan politik dan nasionalisme peraturan

perundang-undangan itu mengalami proses nasionalisasi, semisal pergantian

nama: Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan nasionalisasi

dari Wetboek van Strafrechts, Kitab Undang-undang Hukum Perdata dari

Burgerlijk Wetboek dan lain-lain. Selain penggantian nama, beberapa pasal yang

dianggap tidak lagi sesuai dengan kebutuhan sebuah negara yang merdeka,

berdaulat dan religius turut pula diganti dan ditambahkan yang baru.567

Pendekatan semacam di atas dalam jangka pendek sangat bermanfaat

untuk menghindari terjadinya kekosongan hukum (rechtsvacuum). Akan tetapi,

untuk jangka panjang upaya “tambal sulam” atau transplantasi568

sejatinya kurang

efektif dan cenderung kontra produktif jika diberlakukan terus menerus. Dapat

567 Proses ini disebut Jaspan sebagai penggantian atau penambahan peraturan hukum ad hoc satu

per satu pada hukum kolonial. Lihat dalam M.A Jaspan, Mencari Hukum Baru: Sinkretisme

Hukum di Indonesia yang Membingungkan, dalam Mulyana W. Kusumah dan Paul S. Baut,

Hukum, Politik dan Perubahan Sosial (Jakarta; Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, 1988), 250-

251. 568 Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya (Jakarta:

ELSAM dan HuMa, 2002), 250.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

256

dibayangkan tentunya apa yang akan terjadi jika hukum yang diberlakukan dalam

suatu negara tidak sesuai, menurut Friedrich Karl Von Savigny volksgeist atau an

expression of the common consciousness or spirit of a people.569

Bisa jadi akan

muncul penolakan atau paling tidak diabaikan oleh masyarakat itu sendiri. Tidak

mengherankan jika dalam muatan KUHP belum mengakomodir fiqh jinayah

sebagai hukum masyarakat mayoritas Indonesia. Dalam kasus zina misalnya,

KUHP tidak menganggap kasus zina ghairu muhsan (persetubuhan ilegal antara

dua orang yang belum menikah/tidak terikat dalam perkawinan, atas dasar suka

sama suka) sebagai suatu tindak pidana. “Zina” dalam KUHP hanya mencakup

persetubuhan ilegal antara dua orang, atau salah-satunya, yang sudah menikah.

Nampaknya, KUHP tidak melihat adanya unsur kejahatan pada kasus zina ghairu

muhsan, karena tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Zina dapat merusak

tatanan masyarakat, bertentangan dengan akhlak yang mulia bertentangan dengan

agama, bahkan bertentangan dengan budaya nasional yang ketimuran. Delik zina

ini pun seharusnya bisa diubah dari delik aduan menjadi delik biasa.

Jika ditelusuri lebih dalam, ruang lingkup kajian fiqh Jinayah yang

mencakup aspek-aspek: pencurian, perzinaan, menuduh orang berbuat zina (al-

qadzaf), mengonsumsi barang yang memabukkan (khamr), membunuh atau

melukai, mencuri, merusak harta orang lain, jari>mah (melakukan kekacauan dan

semacamnya berkaitan dengan hukum kepidanaan) dan jarimah dibagi dalam tiga

hal: qisa>s}/diyat , jari>mah hudu>d, dan jari>mah ta‟zi>r.570

Bentuk hukuman

yang diterapkan bagi pelaku pidana dikategorikan dalam dua bentuk yaitu: hudud

569

Edwin M. Schur, Law and Society: A Sociological View (New York:Random House, 1968), 30. 570

Juhaya S. Praja, Teori Hukum dan Aplikasinya (Bandung: Pustaka Setia, 2011), 233. Uraian

lebih detail terkait tentang bidang pemidaan dalam fiqh jinayah bisa dalam karya Abdul Qadir

Audah.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

257

dan ta‟zir. Hudud adalah segala bentuk hukuman yang telah ditentukan oleh al-

Qur‟an dan Sunnah. Sedangkan ta‟zir „adalah bentuk hukuman yang tidak

ditentukan bentuknya oleh al-Quran dan Sunnah. Dalam kasus qisa>s} dan diyat ,

para ulama berbeda pendapat. Ada yang memandang qis}a>s dan diyat masuk

dalam kategori hudu>d. Namun mayoritas ulama berpandangan keduanya tidak

termasuk hudu>d.571

Qis}a>s} terkait dengan pembunuhan dan pencederaan anggota badan yang

pelakunya diancam dengan tindakan yang sama.572

Sementara diyat adalah ganti

rugi (denda) bagi pelaku tindak pidana ketika qis}>as} tidak jadi dilaksanakan karena

pemaafan dan bagi pembunuh semi sengaja dan tidak sengaja. Sedangkan hudu>d

adalah haqqullah yang hukumannya telah pasti ketentuannya. Semisal had zina,573

had al-qadzaf,574

had as-sariqah (pencurian),575

had al-hira>bah (perampokan),576

had syurb al-khamr (pemabuk),577

had riddah (murtad) dan had al-baghyu

(pemberontak). Dan, ada satu bentuk hukuman lagi selain hudu>d dan ta’zi >r yakni

kifa>ra>t. Dari cakupan materi pemidanaan („uqu>bah) dalam fiqh jinayah sebagian

besar belum diakomodir dan dianggap delik pidana. Di antaranya adalah delik

meminum khamr, riddah dan baghyu belum menjadi delik pidana dalam KUHP.

Dan masih banyak pemidaan lainnya yang belum terakomodir.

571 Ahmad Djazuli, Fiqh Jinayah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), 10-14. 572 Lihat QS 2: 178, QS 5: 45, QS 4: 92. Ayat-ayat ini berbicara tentang qis}a>s dan diyat. 573 Had zina ada tiga bentuk hukuman yang diancamkan yaitu: hukum jilid (cambuk), pengasingan

(taghrib) bagi mereka yang ghairu muhshan (pezina yang belum menikah) dan rajam bagi pezina

yang sudah menikah. Lihat QS al-Nur ayat 2. 574 Hukuman (had) bagi qadzaf adalah didera delapan puluh kali dan kesaksiannya ditolak selama

hidup. Lihat QS al-Nur ayat 4. 575 Had pencuri adalah jelas dengan potongan tangan. Lihat QS al-Maidah ayat 38. 576 Had perampokan adalah dengan empat bentuk yaitu: (1) hukuman mati, (2) hukuman mati

dengan penyaliban, (3) potong tangan dan kaki dan (4) pengusiran (al-nafyu). Hukuman ini

disesuaikan dengan kualitas kejahatan pelaku pidana. Lihat dalam QS al-Maidah ayat 33. 577

Had minum khamr tidak dinash-kan dalam Alqur‟an, namun dijelaskan hadits bahwa had-nya

adalah dera. Namun para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah deraannya. Imam Syafi‟i

berpendapat 40 kali dera, ulama lain ada yang mengatakan 80 kali dera.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

258

Tujuh materi pemidanaan („uqu>bah) yang masuk dalam kaegori hudu>d dan

bentuk hukuman yang kategori dalam ta’zi >r dipastikan bersifat delik pidana yang

di dalamnya mengandung motif kemaslahatan. Meski para pakar fiqh jinayah

berbeda pandangan terkait bentuk-bentuk hukuman dalam tujuh materi

pemidanaannya apakah bersifat pasti (qath’i>) ataukah dzanni>. Namun demikian,

dilihat dari jenisnya tujuh pemidanaan tersebut diakui para ulama adalah bersifat

pasti (qath’i>) masuk ke dalam tindakan pidana.578

Dengan demikian,

mengintegrasikan tujuh materi dalam pidana hudud ke dalam KUHP di Indonesia,

bagi penulis merupakan sebuah keniscayaan. Integrasi di sini dimaknai sebagai

upaya menjadikan fiqh jinayah bisa bertemu dengan hukum pidana nasional.

Integrasi jika menggunakan teori Ian G. Barbour adalah hubungan yang bertumpu

pada keyakinan bahwa pada dasarnya kawasan telaah, rancangan penghampiran

dan tujuan fiqh jinayah dan hukum nasional adalah sama dan satu. Singkatnya,

integrasi adalah kemitraan yang sistematis dan ekstensif antara fiqh jinayah yang

berbasis agama dengan hukum nasional sebagai hasil cipta karsa manusia.579

b. Aplikasi Pendekatan

Ketika membedah model ideal penerapan hukum Islam dalam praktik

kenegaraan, Bahtiar Effendy dalam disertasinya mengungkapkan setidaknya

adanya dua spektrum pemikiran yang saling berbeda. Pertama, mengatakan

bahwa Islam harus menjadi dasar negara dan bahwa “Syari‟ah” harus diterima

sebagai konstitusi negara. Aliran ini juga mengatakan bahwa kedaulatan politik

ada di tangan Tuhan, gagasan tentang negara bangsa (nation-state) bertentangan

dengan konsep ummah (komunitas Islam) yang tidak mengenal batas-batas politik

578

Abdul Qa>dir Audah, al-Tasyrî> al-Jina>`î> al-Isla>mi>; Muqa>ranan bi al-Qa>nu>n al-Wadh’i>, Beiru>t:

Mu’assasah ar-Risa>lah, 1996), Juz II. 579

Ian G. Barbour, Juru Bicara Tuhan: antara Sains dan Agama (Bandung: Mizan, 2005), 80-85.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

259

atau kedaerahan dan bahwa aplikasi prinsip syura berbeda dengan gagasan

demokrasi yang dikenal dalam diskursus politik modern dewasa ini. Dengan kata

lain, dalam konteks pandangan seperti ini, sistem politik modern diletakkan dalam

posisi yang berseberangan dengan ajaran-ajaran Islam.580

Kedua, mengatakan bahwa Islam tidak meletakkan suatu pola baku

tentang teori negara yang harus dijalankan oleh ummah. Menurut aliran ini,

bahkan istilah negara (daulah)-pun tidak dapat ditemukan dalam Al-Qur‟an.581

Meskipun terdapat berbagai ungkapan dalam Al-Qur‟an yang merujuk kepada

kekuasaan politik dan otoritas, akan tetapi ungkapan-ungkapan ini hanya bersifat

insidental dan tidak ada pengaruhnya bagi teori politik. Menurut alur pemikiran

ini, Al-Qur‟an bukanlah buku tentang ilmu politik, tetapi lebih kepada kitab yang

mengandung nilai-nilai dan ajaran-ajaran yang bersifat etis yang berkenaan

dengan aktivitas sosial dan politik umat manusia.

Model teoritis yang pertama, seperti yang telah dijelaskan di atas,

merefleksikan adanya kecenderungan untuk menekankan aspek legal dan formal

idealisme politik Islam. Kecenderungan seperti ini biasanya ditandai oleh

keinginan untuk menerapkan “Syari‟ah” secara langsung sebagai konstitusi

negara. Dalam konteks negara-bangsa yang ada dewasa ini seperti Turki, Mesir,

Sudan, Maroko, Pakistan, Malaysia, Aljazair dan Indonesia, model formal ini

mempunyai potensi untuk berbenturan dengan sistem politik modern. Sebaliknya,

model pemikiran yang kedua lebih menekankan substansi dari pada bentuk negara

yang legal dan formal. Karena wataknya yang substansialis itu, kecenderungan ini

mempunyai potensi untuk berperan sebagai pendakatan yang dapat

580 Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di

Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998), iii-ix. 581 Ibid.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

260

menghubungkan Islam dengan sistem politik modern, di mana negara bangsa

merupakan salah-satu unsur utamanya. Hal ini mengingat esensi dari tujuan

disyari‟atkan hukum Islam, termasuk di dalamnya hukum pidana Islam, untuk

menciptakan kemaslahatan dan mencegah kerusakan kehidupan manusia.

Disamping itu, hal lain yang juga tidak boleh diabaikan pertimbangannya

oleh umat Islam ialah bahwa KUHP baru yang diharapkan bisa menjadi wadah

akomodatif bagi pemberlakuan hukum pidana Islam yang dicita-citakan tersebut,

nantinya merupakan produk hukum nasional yang bersifat publik. Sehingga

dengan demikian pemberlakuannya akan menjangkau seluruh golongan penduduk

Indonesia, tidak hanya terhadap golongan umat Islam saja. Berdasarkan

pertimbangan demikian, maka gagasan yang menghendaki pemberlakuan hukum

pidana Islam secara formalistik, tentu harus dipikirkan ulang secara matang.582

Penerapan hukum pidana Islam dalam bentuk yang formal-tekstual, merupakan

sesuatu yang sangat sulit atau bahkan mustahil dan memerlukan perencanaan

yang matang dan berjangka panjang, serta realitas sosial-budaya yang kondusif.

Untuk saat ini, kondisi tersebut belum tercipta dan dengan demikian penerapan

hukum pidana Islam secara substansial-kontekstual merupakan pilihan yang

paling realistis.

c. Model Pendekatan

Integrasi fiqh jinayah dengan hukum pidana nasional, ada beberapa

kendala yang harus dihadapi, yakni; Pertama, kendala historisitas. Berbeda

582

Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam: Penerapan Syari‟at Islam dalam Konteks

Modernitas, (Bandung: Asyaamil Press dan Grafika, 2001).

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

261

dengan hukum-hukum Islam yang lainnya, bidang hukum publik (jinayah),

hukum Islam tidak diakui keberadaannya secara formal oleh Hindia Belanda.

Pemberlakuan hukum pidana Islam secara formal, akan berpotensi konflik dengan

kepentingan penjajah Belanda. Dalam beberapa hal, hukum Islam di bidang

hukum publik yang telah mentradisi dalam masyarakat, diberlakukan sebagai

hukum adat, bukan hukum Islam.583

Kedua, faktor sosial-budaya yang plural.

Pemaksaan penerapan hukum pidana Islam yang‟ “kaku” akan menimbulkan

gelombang protes dan permusuhan yang berkepanjangan, serta melanggar jaminan

negara bagi warga negaranya untuk menjalankan agamanya sesuai dengan

keyakinannya masing-masing.584

Ketiga, faktor internal. Fiqh jinayah yang

dibahas dalam kitab-kitab fiqh klasik, diwarnai dengan perbedaan yang cukup

tajam di antara beberapa mazhab. Hal ini belum ditambah lagi dengan perbedaan

kerangka berfikir di antara pemikir muslim berkaitan dengan hukum yang

ditetapkan dalam nas, al-Quran dan Hadis.

Misalnya penerapan hukuman rajam, potong tangan, cambuk, salib dan

lain sebagainya oleh sebagian fuqaha‟ dianggap sesuatu yang definitif dan tidak

dapat diubah, sedangkan menurut fuqaha yang lain, hukuman-hukuman tersebut

harus dipahami secara kontekstual.585

Dengan kata lain, hukuman-hukuman

tersebut dapat saja diubah, asalkan tujuan penjatuhan hukumannya mengenai

sasaran. Di samping itu juga hukum pidana Islam dianggap statis dan belum

komprehensif, karena kurangnya pengkajian dan pengembangan terhadapnya.

583 Mohammad Idris Ramulyo, Asas-asas Hukum Islam: Sejarah Timbul dan Berkembangnya

Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 1997). 584 Ibid.., 66-67. 585

Hartono Marjono, Menegakkan Syari‟at Hukum Islam dalam Konteks Ke-Indonesiaan,

(Bandung: Mizan, 1997).

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

262

Formalisasi fiqh jinayah sebagai hukum nasional di Indonesia, bukanlah

persoalan yang mudah. Paling tidak dilihat dari dua aspek; Pertama, realitas

bangsa Indonesia yang plural harus dipertimbangkan. Kedua, pembenahan dari

aspek konsepsi, strategi dan metode perumusan fiqh jina>yah, sehingga hukum

Islam yang dihasilkan tidak bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat

Indonesia dan kompatibel dengan karakteristik tatanan hukum nasional yang

didambakan. Berangkat dari realitas di atas, maka agenda yang paling mendesak

untuk dilakukan adalah membongkar dan merajut kembali bangunan fiqh jina>yah.

Disadari bahwa bentuk-bentuk hukum fiqh jina>yah selama ini sarat dengan tradisi

hukum adat Arab pra-Islam. Karenanya untuk mempertemukan fiqh jina>yah dan

hukum nasional adalah mengkaji aspek epistemologi fiqh jina>yah Indonesia itu

sendiri. Karenanya, tulisan ini fokus dengan objek epistemologi.586

Sebab

epistemologi merupakan bagian dari filsafat ilmu yang menjadi pijakan awal

penentuan asal muasal hukum. Singkatnya, sesuai fungsinya epistemologi sebagai

science of knowledge dan ilmu yang paling menentukan corak dan karakteristik

konstruksi sebuah ilmu pengetahuan (hukum).

Dengan demikian, maka terkait dengan metode hukum Islam, epistemologi

fiqh jinayah Indonesia harus mampu mengambil tradisi lama yang tentunya masih

relevan dengan tradisi modern dan sesuai dengan perkembangan ilmu

pengetahuan modern dengan model integrasi maqashidy dan eklektisisme. Dalam

586 Epistemologi adalah salah satu dari tiga tiang penyangga yang dibahas dalam filsafat ilmu. Dua

lainnya yaitu ontologi dan aksiologi. Ontologi menyangkut tentang hakikat apa yang dikaji atau

“science of being qua”. Sedangkan epistemologi adalah bagaimana cara ilmu pengetahuan

melakukan pengkajian dan menyusun tubuh pengetahuannya atau studi filsafat yang membahas

ruang lingkup dan batas-batas pengetahuan. Yang terakhir aksiologi adalah untuk apa ilmu yang

telah tersusun tersebut dipergunakan atau lazim dikenal dengan “theory of value”. Lihat dalam

karya Dagobert D. Runes, Dictionary of Philosophy, (Toronto, New Jersey: Littlefield Adam &

Co, 1976), 32.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

263

rangka memanfaatkan tradisi lama yang baik, epistemologi di Indonesia harus

mampu membangkitkan tiga nalar: bayani, burhani dan irfani sekaligus. Tentunya

dengan fokus pada kajian sosial-historis fiqh jinayah termasuk mengakomodasi

tradisi masyarakat lokal, rasionalisasi hukum Islam dan pengembangan teori

maslahat. Sesuai dengan kaidah al-Muha>faz}atu ala> al-qadi>mi al-s}alih wa al-

akhdzu bi jadi>d al-as}lah. Selain itu, yang tidak kalah penting dalam berijtihad juga

menggunakan ilmu-ilmu alam dan sosial yang berkembang di Barat selama

perangkat keilmuan tersebut sesuai dengan problema hukum pidana yang dikaji.

1).Pendekatan Zawājir Ibra>hi>m Hosse>n.

Ibrahim Hosen lahir di Lampung 1 Januari 1917 dan wafat 7 November

2001.587

Secara formal, Ibrahim Hosen memulai pendidikannya pada Madrasah al-

Sagaf, tingkat Ibtidaiyah di Singapura, kemudian melanjutkan pendidikan di

Mu'awanatul Khaer Arabische School (MAS) di Tanjung Karang Lampung yang

didirikan orang tuanya. Pada tahun 1932 dia melanjutkan sekolahnya di Teluk

Betung. Pada 1934, beliau belajar di beberapa pesantren di Jawa dan pada tahun

1955, ia Studi ke Universitas al-Azhar Kairo. Selama belajar di Mesir inilah, ia

dapat meraih Suahadah Aliyah atau sarjana lengkap dalam bidang Syari'ah

(LML). Ia ditahbiskan sebagai Mujtahid dari Ciputat oleh Majalah Tempo pada 1

Desember 1990. Sembilan belas tahun kemudian, atau tepatnya pada 6 Mei 2009,

Majalah Gatra menahbiskannya sebagai salah satu ilmuwan pelopor Indonesia:

Beliau dikenal sebagai Pakar ushul fikih (filsafat hukum Islam) dan fikih

perbandingan dan memimpin Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dua

dasawarsa (1981- 2000).

587 Panitia Penyusunan Biografi Prof. KH. Ibrahim Hosen, Prof. KH.Ibrahim Hosen dan

Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta; CV. Tiga Sembilan, 1990), 1.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

264

Terkait dengan pendekatan legislasi al-fiqh al-jina>’i> paling tidak ada dua

model pendekatan yang dilakukan oleh para ahli hukum. Yaitu pendekatan

jawâbir (paksaan) dan pendekatan zawâjir (pencegahan). Pendekatan jawâbir

adalah menghendaki pelaksanaan hukuman pidana persis seperti hukuman yang

secara tekstual literal disebutkan di dalam nash al-Qur‟an dan hadits. Semisal

potong tangan bagi pencuri, rajam dan jilid bagi pezina, cambuk bagi peminum

khamr dan sebagainya. Bentuk hukuman semacam ini dilaksanakan dengan tujuan

untuk menebus dosa dan kesalahan yang telah dilakukan.Pendekatan zawaj>ir ini

yang nampaknya dijadikan model penerapan perda syariat di ProvinsiNangroe

Aceh Darussalam yang dalam praktiknya banyak menuai badai kritikan dari para

pemikir hukum Islam khususnya di Indonesia.

Teori zawājir adalah teori yang dicetuskan Ibrahim Hossen seorang

pemikir Hukum Islam dari Indonesia. Terkait pembaruan hukum pidana Islam, ia

kemudian menawarkan pendekatan zawājir.588 Yakni Dalam pendekatan ini

hukuman dalam pidana Islam yang dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana tidak

harus persis atau sama bentuk hukumannya dengan apa yang secara tekstual

termaktub dalam al-Qur‟an dan al-Hadits. Pelaku boleh dihukum dengan bentuk

hukuman apa saja. Dengan catatan hukuman tersebut mampu mencapai tujuan

hukum yaitu membuat jera pelaku dan menimbulkan rasa takut bagi orang lain

untuk melakukan tindakan pidana.589

Pendekatan zawājir memang mirip dengan teori batas (hudūd) yang

ditawarkan Syahrur. Perbedaannya, teori hudūd mempunyai kelemahan pada sisi

588

Nurrohman dan Marzuki Wahid, Formaslisasi Syari‟at Islam dan Fundamentalisme, Kasus

NanggroeAceh Darussalam dalam Jurnal Istiqro, Volume 01, Nomor 1, 2002, 45-74. 589 Juhaya S. Praja, Teori Hukum dan Aplikasinya, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), 86-87. Lihat

juga dalam karya Ibrahim Hosen, Pembaruan Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Putra

Harapan, 1990), 126-128.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

265

penetapan hukum potong tangan bagi pencuri sebagai hukuman maksimal (hadd

a’la>). Dengan model yang demikian maka teori batas tidak bisa diterapkan dalam

segala bentuk ruang dan waktu. Sebab, jika pidana potong tangan dipandang

sebagai pidana yang maksimal, maka tujuan dari pemberian pidana agar membuat

jera bagi pelaku dan orang lain, dimungkinkan tidak tercapai. Dalam kasus

seorang pencuri kambuhan misalnya, tentunya pidana yang tepat tentunya tidak

cukup dengan dipotong tangannya. Pada titik inilah, pendekatan zawājir yang

sifatnya lebih umum akan lebih sesuai diterapkan di Indonesia. Sebab dalam

pendekatan ini, hukuman bisa maksimal dan bisa minimal tergantung pada

kebutuhan.590

Teori zawa>jir ini ternyata sejalan dengan teori behavioral prevention.

Artinya, hukuman pidana harus dilihat sebagai cara agar yang bersangkutan tidak

lagi berada dalam kapasitas untuk melakukan tindak pidana (incapacitation

theory) dan pemidanaan dilakukan untuk memudahkan dilakukannya pembinaan,

yang bertujuan untuk merahibilitasi si terpidana sehingga ia dapat merubah

kepribadiannya menjadi orang baik yang taat pada aturan (rehabilitation theory).

Teori ini merupakan pengembangan dari deterrence theory yang beraharap efek

pencegahan dapat timbul sebelum pidana dilakukan (before the fact inhabition),

misalnya melalui ancaman, contoh keteladanan dan sebagainya; dan intimidation

theory yang memandang bahwa pemidanaan itu merupakan sarana untuk

mengintimidasi mental si terpidana.591

Dalam rumusan ijtihadnya, khususnya pada bidang hukum pidana Islam,

Ibrahim Hosen menggunakan pendekatan taꞌaqqulī dari pada pendekatan

590

Bahtiar Effendy, Bahtiar, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam

di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998). 591

Ibid.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

266

ta‟abbudi (hukum Islam diterima apa adanya tanpa disertai komentar

(rasionalisasi). Pendekatan ta‟aqquli lebih menekankan rasionalisasi ajaran dalam

hukum Islam agar mudah dipahami dan dapat dilaksanakan secara simultan dalam

teori dan praktiknya secara bersamaan. Namun demikian, ia juga mengakui

terdapat ajaran hukum Islam yang bersifat ta‟abbudi> semata. Dan, ia tetap

menekankan agar ajaran yang selama ini dipandang taabbudī agar diteliti ulang

lebih lanjut, sehingga terbuka kesempatan untuk menjadikannya sebagai sesuatu

yang ta’aqquli>’ „dengan tetap berlandaskan pada maqās}id al-syarī’ah, pemahaman

„illat dan hikmah tasyrī‟.592”

Pendekatan taꞌaqqulī tercermin dalam pemikiran Ibrahim Hosen yang

menekankan aspek zawājir dalam penerapan hukum pidana Islam, terutama aspek

hudūd. Yaitu hukuman dilaksanakan dengan tujuan agar si-pelaku kejahatan

merasa jera dan tidak akan mengulangi lahi tindak pidana lagi. Atas dasar ini,

pezina tidak harus dihukum sesuai apa yang tertera dalam al-Qur‟an dan hadits.

Demikian halnya, pencuri bisa saja dihukum dengan hukuman selain potong

tangan, selagi hukuman tersebut mampu membuat jera pelaku. Lebih lanjut, ia

menyatakan bahwa sanksi-sanksi dalam hukum pidana Islam adalah lebih

berfungsi sebagai zawājir (penjeraan) bukan penghapus dosa (jawābir) hal ini bisa

dilihat dari adanya konsep pemaafan, baik dalam pertaubatan maupun pemaafan

dari korban, dalam hukum pidana Islam tersebut. Dalam pidana potong tangan

misalnya, hukum potong tangan hanya sebatas wasīlah (instrumen) bukan tujuan

utama (ghāyah).593

592

Juhaya S. Praja.., 95.

593 Ibid.., 96.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

267

Adapun metode ijtihad yang dipakai oleh Ibrahim Hosen adalah: (a)

Pemahaman kontekstual Alqur‟an dan Hadits (b) hanya menggunakan ijma

sahabat yang sharīh (jelas) (c) lebih menggunakan kaidah fiqh irtikāb akhaff al-

d}ararain dan kaidah hukm al-hākim ilzāmun wa yarfa’u al-khilāf dan (d) mem-

„fiqhkan hukum yang qath‟ī. Khusus metode terakhir, Ibrahim memandang bahwa

tidak semua hukum qath‟ī dalam ranah aplikasinya berlaku dalam segala ruang

danwaktu. Terkadang ia hanya berlaku dalam kondisi ruang, waktu dan kondisi

tertentu saja.

Terkait dengan pendekatan legislasi fiqh jinayah, ada dua model

pendekatan yang dilakukan oleh para ahli hukum. Yaitu pendekatan jawabir

(paksaan) dan pendekatan zawajir (pencegahan).594

Pendekatan jawabir adalah

menghendaki pelaksanaan hukuman pidana persis seperti hukuman yang secara

tekstual literal disebutkan di dalam nash al-Qur‟an dan hadits. Semisal potong

tangan bagi pencuri, rajam dan jilid bagi pezina, cambuk bagi peminum khamr

dan sebagainya. Bentuk hukuman semacam ini dilaksanakan dengan tujuan untuk

menebus dosa dan kesalahan yang telah dilakukan.595

Pendekatan jawabir ini

yang nampaknya dijadikan model penerapan perda syariat di Provinsi Nangroe

594

Juhaya S. Praja, op. cit., 86-87. Lihat juga dalam karya Ibrahim Hosen, Pembaruan Hukum

Islam di Indonesia (Jakarta: Putra Harapan, 1990), 126-128. 595

Disinilah letak perbedaan yang mendasar dalam hal melihat hubungan antara bentuk hukuman

dan tujuan hukuman dalam tradisi hukum pidana Islam dan hukum pidana Barat. Dalam hukum

pidana Islam, bentuk hukuman yang diberikan kepada pelaku kejahatan mempunyai ekses

religius seperti pengampunan atas dosa disamping juga mempunyai motif untuk penjeraan bagi

pelaku supaya tidak melakukan/mengulangi kejahatannya kembali. Berbeda dengan tradisi

hukum pidana Barat yang hanya bertujuan untuk ekses penjeraan. Untuk lebih detail baca

Muhari Agus Susanto, Paradigma Baru Hukum Pidana (Malang: Pustaka Pelajar dan Averroes

Press 2002).

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

268

Aceh Darussalam yang dalam praktiknya banyak menuai badai kritikan dari para

pemikir hukum Islam.596

Pendekatan yang lebih elegan yang lebih kompatibel jika diterapkan di

Indonesia, adalah pendekatan zawa>jir. Dalam pendekatan ini, epistemologi fiqh

jina>yah Indonesia, hukuman dalam pidana Islam yang dijatuhkan terhadap pelaku

tindak pidana tidak harus persis atau sama dengan apa yang secara tekstual

tercantum dalam Alqur‟an dan hadits. Pelaku boleh dihukum dengan bentuk

hukuman apa saja. Dengan catatan hukuman tersebut mampu mencapai tujuan

hukum yaitu membuat jera pelaku dan menimbulkan rasa takut bagi orang lain

untuk melakukan tindakan pidana.

Pendekatan zawa>jir mirip dengan teori batas (hudu>d) yang ditawarkan

Syahrur. Perbedaannya, teori hudud mempunyai kelemahan pada sisi penetapan

hukum potong tangan bagi pencuri sebagai hukuman maksimal (hadd al-a’la>).

Dengan model yang demikian maka teori batas tidak bisa diterapkan dalam segala

bentuk ruang dan waktu. Sebab, jika hukuman potong tangan dipandang sebagai

hukuman yang maksimal, maka tujuan dari pemberian hukuman agar membuat

jera bagi pelaku dan orang lain, dimungkinkan tidak tercapai. Dalam kasus

seorang pencuri kambuhan misalnya, tentunya hukuman yang tepat tentunya tidak

cukup dengan dipotong tangannya. Pada titik inilah, pendekatan zawajir yang

sifatnya lebih umum akan lebih sesuai diterapkan di Indonesia. Sebab dalam

596 Lihat Perda NAD Qanun Provinsi Daerah Istimewa Aceh No.5/2000 tentang Pelaksanaan

Syariat Islam, Perda/Qanun NAD No. 7/2000 tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat, Qanun

No. 11/2002 tentang Syariat Bidang Ibadah, Akidah, dan Syiar Islam di Aceh, Qanun NAD No.

12/2003 tentang Minuman Khamar dan Sejenisnya, Perda/Qanun NAD No. 13/2003 tentang

Maisir (perjudian), Perda/Qanun No. 14/2003 tentang Khalwat (Mesum).

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

269

pendekatan ini, hukuman bisa maksimal dan bisa minimal tergantung pada

kebutuhan.597

Ada korelasi kuat antara bentuk hukuman dan tingkat kejeraan para pelaku

tindak pidana. Hanya saja, dalam kasus hukum potong tangan yang terdapat dalam

fiqh jina>yah, Epistemologi hukum Indonesia tidak menjadikannya sebagai satu-

satunya bentuk hukuman yang diterapkan. Namun bisa saja dalam bentuk yang

lebih berat, hukuman mati misalnya, atau justru bisa jadi lebih ringan. Semuanya

tergantung pada kondisi objektif lingkungan dan pelaku. Kondisi objektif

lingkungan bisa saja berkaitan dengan tradisi (proses pidana) yang terdapat dalam

suatu masyarakat atau kondisi sosial-ekonomi dan faktor lainnya. Sedang kondisi

objektif pelaku bisa saja berkaitan dengan tingkat kesadaran beragama dan tingkat

sosial ekonomi. Kedua kondisi objektif tersebut, merupakan faktor yang paling

menentukan untuk pemberian hukuman berat, sedang atau ringan.

Berbeda lagi jika masalah hukum pidana dibicarakan dalam konteks

keindonesiaan. Di masyarakat Lampung misalnya, orang yang membunuh dapat

dituntut balas untuk dibunuh juga. Demikian di Papua, Madura dan lain-lainnya.

Nyawa harus dibalas dengan nyawa. Dalam perspektif fiqh jinayah ada kesamaan

dengan qis}a>s selain juga harus membayar denda yang sama dengan hukuman

diyat . Dan memungkinkan pula bisa dimaafkan tanpa kompensasi apapun. Dalam

597

Teori zawa>jir ini ternyata sejalan dengan teori behavioral prevention; Artinya, hukuman pidana

harus dilihat sebagai cara agar yang bersangkutan tidak lagi berada dalam kapasitas untuk

melakukan tindak pidana (incapacitation theory) dan pemidanaan dilakukan untuk memudahkan

dilakukannya pembinaan, yang bertujuan untuk merahibilitasi si terpidana sehingga ia dapat

merubah kepribadiannya menjadi orang baik yang taat pada aturan (rehabilitation theory). Teori

ini merupakan pengembangan dari deterrence theory yang beraharp efek pencegahan dapat

timbul sebelum pidana dilakukan (before the fact inhabition), misalnya melalui ancaman, contoh

keteladanan dan sebagainya; dan intimidation theory yang memandang bahwa pemidanaan itu

merupakan sarana untuk mengintimidasi mental si terpidana. Lihat dalam karya Bahtiar Effendy,

Bahtiar, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia,

(Jakarta: Paramadina, 1998).

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

270

kasus masyarakat Lampung dan Papua misalnya seseorang pembunuh bisa bebas

bahkan menjadi kerabat terbunuh setelah sebelumnya melakukan ritual tertentu.

Semisal menyembelih kerbau dalam kasus masyarakat Lampung dan memotong

babi bagi masyarakat Papua. Kesadaran-kesadaran sosiologis-historis semacam

inilah yang mestinya dipahami betul oleh para ahli hukum kita. Dengan model

pendekatan semacam inilah upaya memasukkan fiqh jinayah ke dalam rancangan

KUHP baru lebih mudah dilakukan.

Dalam konteks kajian fiqh jinayah ke-Indonesiaan, epistemologinya lebih

memilih untuk melakukan upaya akomodasi akan adat dan tradisi hukum pidana

lokal (local wisdom) yang berkembang. Tentunya setelah dilakukannya

objektivikasi baik dari aspek istilah-istilah teknis dan bentuk-bentuk hukumannya.

Dari apek peristilahan sedapat mungkin tidak menggunakan istilah atau huruf

Arab dan dari aspek bentuk dapat dikompromikan dengan teori-teori pemidanaan

modern. Upaya objektivikasi ini bukan bertuj uan untuk menghilangkan fiqh

jinayah itu sendiri. Melainkan semata-mata untuk menghindari kesalahpahaman

yang tiada perlu. Dengan metode ini diharapkan fiqh jinayah secara substansial

tetap bisa menjadi bagian dari masyarakat muslim, meski simbol-formal tidak

begitu nampak di permukaan. Inilah yang menurut penulis sesuai dengan kaidah

ma> la> yudraku kulluhu> la yutraku kulluhu>.

2). Teori Dekonstruksi Syari’ah al-Naꞌim

Abdullahi Ahmed An-Naꞌim, lahir 6 April 1946 di daerah Mawaqier 200

km dari utara Khartoum Sudan. Setamat dari pendidikan SLTA, ia melanjutkan

studi di fakultas Hukum Universitas Khartoum (1965-70) dengan gelar LL.B dan

pada 1973 meraih gelar LL.M dan gelar MA diraihnya pada tahun 1976. Dan

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

271

puncaknya, pada 1976 Abdullahi mampu meraih gelar Ph.D dalam bidang ilmu

hukum dari Universitas Edinburg, Skotlandia.598

Teori yang diusungnya dikenal dengan konsep “dekonstruksi syari‟ah”.

Menurutnya, syariꞌah bukanlah keseluruhan Islam itu sendiri, melainkan hanya

interpretasi terhadap teks dasarnya sebagaimana dipahami dalam konteks historis

tertentu. Penafsiran dan praktik keberagamaan, tidak dapat dilepaskan dari kondisi

sosiologis, ekonomi dan politik masyarakat tertentu, tentu saja ada variasi dan

kekhasan lokal, demikian hal-nya sistem hukum agama seperti syariah. dengan

demikian, syariah yang telah disusun oleh para ahli hukum perintis dapat

direkonstruksi pada aspek-aspek tertentu, dengan catatan tetap berdasarkan pada

sumber dasar Islam yang sama dan sepenuhnya sesuai dengan pesan moral dan

agama. Karenanya, An-Na‟im menggugat sakralisasi hasil pemahaman syariah

historis, terlebih ia menilai syariah, sudah tidak lagi memadai dan tidak adil,

padahal syariah dipandang umat Islam merupakan bagian dari keimanan.599

Dalam melakukan pembaruan teori-teori hukum publik Islam, An-Na‟im

berangkat dan menggunakan teori gurunya Mahmoud Mohammed Taha yang

dikenal dengan teori naskh atau teori “naskh terbalik”. Teori ini sejatinya

merupakan bentuk upaya rekonstruksi dari metode nasakh600

yang sudah mapan

598 Abdullahi Ahmed An-Na‟im, Mahmud Muhammad Taha and Crisis in Islamic Law Reform:

Implications for Interreligious Relations, Journalof Ecumential Studies 25: 1 (1988), 177. 599 Abdullahi Ahmed An-Na‟im, Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights

and International Law‟ „(New York: Syracuse UniversityPress, 1996), xiv dan Lihat juga

Abdullahi Ahmed An-Na‟im, Islam dan NegaraSekuler; Menegosiasikan Masa Depan Syari‟ah,

terj. Sri Murniati (Bandung: Mizan,1997), 27. 600

Ada beberapa ayat dalam al-Qur‟an yang muatan hukumnya muncul belakangan, maksudnya

ayat turunnya terlebih dahulu, kemudian hukum-hukum syariah dan fiqh yang terkandung di

dalamnya baru bisa diterapkan belakangan. Sehingga melahirkan metode naskh. Termasuk

kesepakatan bahwa banyak ayat-ayat makkiyah yang dihapus oleh ayat-ayat madaniyyah. Terkait

kategorisasi di atas, ada tiga pandangan ulama ushul fiqh ketika mendiskusikan ayat-ayat

makkiyyah dan madaniyyah dengan pandangan sebagai berikut: pertama, sebagian ulama

berpendapat bahwa ayat-ayat makkiyah diturunkan sebelum Nabi Hijrah, sedang ayat-ayat

madaniyyah diturunkan sesudah Hijrah. Kedua, Sebagian ulama berpandangan bahwa ayat-ayat

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

272

dalam kajian us}ūl al-fiqh. Pendekatan rekonstruktif ini, An-Na‟im tempuh dalam

rangka menyesuaikan nash-nash al-Qur‟an dan al-Sunnah dengan kondisi modern.

Hal ini dilakukan guna memenuhi tuntutan penerapan Alqur‟an dan al-Sunnah.

Karenanya, perlu interpretasi yang memadai agar semangat yang dikandungnya

dapat ditangkap.601

An-Na‟im berpendapat bahwa hukum publik (pidana) Islam terutama

aspek hudu>d, qisās dan yang sejenisnya, dinilai dapat dijadikan landasan dan

konsisten dengan konteks historisnya. Namun, menurutnya, tidak dapat dijadikan

alasan dan (tidak secara) konsisten bersesuaian dengan konteks kekinian.

Berbagai aspek pada hukum publik syariah dalam konteks politik tidak lagi akurat

atau tidak lagi fungsional.602

Baginya yang sempurna adalah yang selalu

melakukan perubahan dan perkembangan. Kesempurnaan manusia ia ilustrasikan

dengan kondisi Tuhan yang selalu memperbarui diri-Nya. Sebagaimana dalam

surat ar-Rahman ayat 29.

An-Na‟im berpendapat bahwa hukum publik terutama pidana, yang tepat

untuk di implementasikan saat ini adalah hukum Islam yang berdasarkan realitas

konkret, bukan hukum Tuhan semata. Sehingga dapat menyelesaikan masalah dan

tepat sasaran. Standar kesahihan dan ketepatannya adalah pembelaan nilai-nilai

kemanusiaan dengan didukung oleh dua argumen: argumen yang bersifat moral

dan argumen yang bersifat empiris. Dalam teori dekonstruksinya, an-Na‟im

menekankan prinsip resiprositas dan mengikuti praktik-praktik kehidupan bangsa-

makkiyah adalah ayat-ayat yang diturunkan di kota Makkah, meski Nabi sudah hijrah. Ketiga,

sebagian lagi ulama menentukan dari sisi isi dan tujuan ayat-ayat tersebut. Biasanya ayat-ayat

makkiyyah diawali dengan redaksi “ya ayyuha al-nas” sedangkan ayat-ayat madaniyyah diawali

dengan ya ayyuhal ladzina amanu.. Lihat dalam Mabahist fi Ulum al-Qur‟an, karya Manna‟ al-

Qathhan, (t.tp, Mansyurat al-„Ashr al-Hadits, t.th.), 56. 601 A.Luthfi Assyaukanie, Tipologi dan wacana Pemikiran Arab Kontemporer dalam Jurnal

Pemikiran Islam Paramadina, vol. 1, No. 1, 1998. 602

Abdullahi Ahmed am-Na‟im.., 34.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

273

bangsa modern. Umat Islam boleh menerapkan hukum Islam dengan catatan tidak

melanggar legitimasi hak perorangan dan kolektif pihak lain. Karena itu, yang

bisa dilakukan adalah membangun hukum pidana Islam alternatif. Dalam

kerangka inilah maka yang dibutuhkan adalah melakukan reinterpretasi teks-teks

hukum publik (pidana) syari‟ah.

3. Prospek Pendekatan Restoratif Hukum Pidana Islam dalam Pembaruan

Hukum Pidana Nasional.

Pemberlakuan hukum Islam di Indonesia agak tersendat dengan

berkuasanya pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia. Pemerintah Belanda

berusaha menekan umat Islam dengan menghambat pemberlakuan hukum Islam

secara resmi dengan dibuatnya aturan-aturan yang sangat merugikan umat Islam.

Dinamika pemberlakuan hukum Islam di Indonesia digambarkan dengan

munculnya berbagai teori yang dikemukakan oleh para ahli (sejarawan), seperti

teori penerimaan autoritas hukum dari H.A.R. Gibb, teori receptio in complexu

dari L.W.C. van den Berg, teori receptie dari C. Snouck Hurgronje yang

kemudian dikembangkan oleh C. van Vollenhoven dan Ter Haar,603

teori receptie

exit dari Hazairin, dan teori receptio acontrario dari Sajuti Thalib.604

Sejak pemerintah Belanda hengkang dari bumi nusantara, keberadaan

hukum Islam mulai dianggap signifikan dan mendapat perhatian yang baik di

dalam penyusunan peraturan perundang-undangan nasional. Usaha

mengembalikan dan menempatkan hukum Islam dalam kedudukannya seperti

semula terus dilakukan oleh para pemimpin Islam dalam berbagai kesempatan.

603

Ichtijanto, Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia, (Bandung: Remaja

Rosdakarya, 1991), 122. 604 Ibid.., 133.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

274

Perjuangan mereka dimulai sejak peletakan hukum dasar bagi negara kita, yaitu

ketika mereka dalam wadah Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan

Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Setelah bertukar pikiran melalui musyawarah,

para pemimpin Indonesia yang menjadi perancang dan perumus UUD Republik

Indonesia yang kemudian dikenal dengan UUD 1945 mencapai persetujuan yang

dituangkan ke dalam satu piagam yang kemudian dikenal dengan nama Piagam

Jakarta (22 Juni 1945). Dalam Piagam Jakarta, yang kemudian diterima menjadi

Pembukaan UUD 1945, dinyatakan antara lain bahwa negara berdasar kepada

ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-

pemeluknya. Tujuh kata terakhir ini kemudian oleh Panitia Persiapan

Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dihilangkan dan diganti dengan kata Yang Maha

esa.605

Meskipun usaha menjadikan hukum Islam sebagai sumber hukum dasar

nasional tidak berhasil pada waktu itu, akan tetapi pada perkembangan selanjutnya

berbagai upaya dilakukan oleh para pemimpin dan pemikir Islam untuk

menjadikan hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum dalam pembangunan

hukum nasional. Dalam hal ini hukum Islam banyak memberi kontribusi yang

berarti bagi pembangunan hukum nasional. Beberapa contoh mengenai hal ini bisa

disebutkan seperti dalam pembuatan UU Perkawinan (UU No. 1 tahun 1974, UU

Pokok Kekuasaan Kehakiman (UU No. 14 tahun 1970) yang dilanjutkan dengan

pemberlakuan UU Peradilan Agama (UU No. 7 tahun 1989), UU Pokok Agraria

(UU No. 5 tahun 1960), UU Pokok Kejaksaan (UU No. 15 tahun 1961), dan UU

Pokok Kepolisian (UU No. 13 tahun 1961).

605 Mohammad Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Indonesia, (Jakarta:

LP3ES, 1989), 231.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

275

Pada tahun 1991 pemerintah Indonesia memberlakukan Kompilasi Hukum

Islam (KHI) melalui Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 tahun 1991. KHI ini terdiri

dari tiga buku yang semuanya merupakan bagian dari hukum perdata Islam, yakni

buku I tentang Hukum Perkawinan, buku II tentang Hukum Kewarisan, dan buku

III tentang Hukum Perwakafan. KHI ini merupakan pegangan para hakim agama

dalam memeriksa dan mengadili perkara-perkara yang menjadi wewenangnya di

Pengadilan Agama. KHI ini hanya berlaku bagi umat Islam yang berperkara

dalam hal perkawinan, kewarisan, dan perwakafan.

Dengan demikian, jelaslah bahwa KHI yang merupakan kumpulan aturan-

aturan mengenai hukum Islam di Indonesia belum menjangkau semua bidang

yang ada dalam bagian hukum Islam. Salah satu bidang yang sama sekali tidak

disinggung dalam hal ini adalah hukum pidana Islam. Oleh karena itu, jika umat

Islam berperkara dalam hal pidana atau kriminal, tidak bisa ditemukan aturannya

dalam KHI tersebut, bahkan Pengadilan Agama, tempat diterapkannya KHI, tidak

mempunyai wewenang mengadili masalah-masalah yang menyangkut pidana

yang dilakukan oleh umat Islam. Hukum pidana yang diberlakukan sekarang

nampaknya belum dapat membuat para pelaku tindak kriminal jera dan takut,

tetapi sebaliknya malah memberi peluang untuk melakukannya dengan cara dan

taktik yang lebih canggih untuk dapat terhindar dari jeratan hukum pidana yang

ada. Kalaupun sampai dipidana, para pelaku kejahatan tidak mendapatkan sanksi

hukum yang berat.

a. Perkembangan Restorative Justice.

Kemajauan di bidang Ilmu hukum pengetahuan hukum pada akhir abad 20

memiliki ciri sebagai berikut;

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

276

1. Humanittarian Law, hukum tidak bebas nilai dari asaskemanusiaan bagi

semua individu (Human Right), baik yang dirumuskan dalam konvensi

maupun hukum positif yng berlaku;

2. Law and Civilizasions, bukan hukum yang bersifat konfrontatif,melainkan

hukum yang mengadung unsur peradaban yang semakin maju;

3. Law as a part on human welfare, hukum harus dapatmemberikan

kesejahteraan bersama (sosial welfare) dan pelayanan hukum bagi

masyarakat banyak dengan merasionalisasikan sanksi penal;

4. Law and Morral, tatanan hidup mansusia tidak dapatmengesampingkan

begitu saja terhadap norma dan moral, yang dikomplementasikan dengan

norma hukum.606

Menarik sekali jika ini, dikiaskan kepada hukum di Indonesia sebagai

bahan dalam rangka pembaharuan hukum pidana nasional dengan penerapan

konsep penal mediations/restorative justice. Mediasi sebagai salah satu

pendekatan restorative justice memiliki akar sejarah yang panjang dalam

menaggulangi tindak pidana. Mediasi pidana merupakan bentuk kuno dari

penanganan perkara pidana di dalam masyarakat. Pendekatan restorative justice607

sering dipertentangkan dengan pendekatan retributive justice dalam

penanggulangan tindak pidana. Pertentang tersebut terlihat dari sudut pandang

kedua pendekatan tersebut. Para pendukung restorative justice berpendapat respon

utama Negara pada kejahatan seharusnya adalah menghukum pelaku kejahatan

setimpal dengan perbuatannya.608

606

Imron Anwari, Penerapan Hukum pidana Kini dan Masa Mendatang, (Genta Publishing

Yogyakarta, 2014), 176. 607

Seumas Miller dan John Blackler, Restorative Justice: Retribution, Confession and Shame,

sebagaimana dirangkum dalam buku Restorative Justice Philosophy to Practice, editor: Heather

Strang dan John Braitwaite, (Inggris: Dartmouth Publishing Company, 2000), 88. Terjemahan

bebas dari penulis yaitu: Keadilan restoratif sering berbanding terbalik dengan keadilan

retributif, dengan alasan bahwa dasar retributive itu diadakan untuk berkomitmen kepada

hukuman untuk kepentingan diri sendiri, kemudain meninggalkan hukuman yang membuat

malu, rekonsiliasi dan pengampunan. Kami akan berpendapat bahwa ada peran ineliminable

untuk prinsip-prinsip keadilan retributif, termasuk hukuman, dalam konsep keadilan restoratif.

Kami selanjutnya akan berpendapat bahwa konsep rasa malu yang lebih dekat terkait dengan

hukuman. Akibatnya, rasa malu dan hukuman bukan alternatif, namun berjalan beriringan dalam

kerangka keadilan restoratif dapat diterima. 608 R.A. Duff, “Restorations and Retribution”, dalam Von Hirschi et.el.,Restoration Justice and

Criminal Justice, (Hart Publishing, 2003), 43.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

277

Sistem peradilan pidana dianggap kurang mendominasi semua

kepentingan masyarakat, dan mengabaikan kepentingan korban. Korban hampir

tidak memiliki peran atau kontrol dalam proses peradilan pidana yang pada

akhirnya tidak puas dengan hasil yang diberikan oleh pengadilan. Melalui

restorasi terdapat pengakuan oleh pelaku tindak pidana sebagai penyebab

terjadinya luka terhadap diri korban tindak pidana. Pelaku tindak pidana

memberikan kepada korban apa yang diperlukan untuk menghilangkan rasa sakit.

Pelaku tindak pidana pada akhirnya akan memberikan tanggung jawab secara

langsung kepada korban tindak pidana, sehingga membuat segalanya menjadi

lebih baik kembali.609

Artinya pendekatan restorative justice melihat tindak

pidana sebagai bentuk pelanggaran kepada manusia sebagai individu dan

merupakan hubungan interpersonal.610

“Pendekatan restorative justice melihat adanya kerugian yang diderita

akibat tindak pidana oleh para pihak baik korban, masyarakat dan pelaku tindak

pidana. Pendekatan restorative justice mengupayakan keseimbangan kepentingan

para pihak dalam tidak pidana dan memberikan ganti kerugian yang muncul dari

adanya tindak pidana guna mencapai keadilan. Pendekatan tersebut yang

mengutamakan keseimbangan ini mengingatkan peran korban, masyarakat dan

pelaku tindak pidana. Pendekatan yang seimbang tersebut mempunyai tiga tujuan:

pertama, tanggung jawab pelaku tindak pidana kepada korban dan masyarakat;

609

Mark S. Umbreit et al, Responsive Justice in the Twenty-first Century: A Sosial Movement Full

of Opportunitas and Piffalls, Sysmposium: Restorative Justice in actions, (Marquette Law

Riview, 2005), 257. 610

Pendekatan restorative Justice yang menekankan pada hubungan interpersonal, bertentangan

dengan pelaksanaan penegakan hukum dalam sistem peradilan yang diselenggarakan oleh

Negara, sebab tindak pidana telah berubah menjadi perbutan yang merusak dan menggangu

kedamaian Negara secara umum, Negara sacara pasti mengambil alih konflik antara pelaku dan

koabn tindak pidana dari permasalahan antara individu menjadi permasalahan publik.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

278

kedua, kemampuan pelaku untuk berkembang dan ketiga, perlindungan pada

masyarakat.611

Sementara ini, di di Indonesia sendiri hukum pidana lebih difokuskan pada

persoalan penanganan pelaku. Hukum pidana diorientasikan memberikan

hukuman yang mampu mendidik pelaku, mengembalikannya sebagai seorang

yang bermanfaat dalam masyarakat selaindia menjadi jera. Ternyata dalam

praktek tujuan tersebut tidak juga terwujud karena pihak-pihak yang langsung

bersinggungan tidak pernah dilibatkan langsung dalam proses penyelesaian

persoalan seperti korban maupun masyarakat. Seorang penjahat yang selesai

menjalani hukuman seringkali masih menerima hukuman dari masyarakat berupa

pengecilan dan stigma buruk. Hal ini terjadi, karena masyarakat tidak

pernahterlibat dalam proses perbaikan diri pelaku kejahatan.

Restorative justice memberikan satu alternatif penyelesaian pidana dengan

cara yang lebih bernilai kepada perdamaian dan pemulihan. Berdasarkan pada

perkembangan falsafah pemidanaan di atas, maka sudah semestinya saat ini ide

pemidanaan harus terus berkembang seiring dengan berkembangnya falsafah

pemidanaan tersebut. Perspektif pembalasan menurut hemat penulis semata-mata

sudah lama ditinggalkan, pespektif relatif sudah mulai kehilangan relevasansinya

karena masalah efektifitas pada aspek penjeraan bagi pelaku tindak pidana.

Sementara perspektif gabungan dipertanyakan konsistensinya karena memiliki

dua dasar asumsi yang berbeda. Sementara restoratif yang berorientasi kepada

korban dan penyelesaian bersama dengan tujuan pemulihan masih perlu diuji

efektifitasnya di Indonesia.

611

Kathy Elton dan Michele M Rybal, Restorative a Componentof Justice, (Utah Law Riview,

2003), 50.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

279

C. Restorative Justice Dalam Pembaruan Hukum Pidana Nasional

Fenomena penegakan hukum di Indonesia dalam satu dekade terakhir telah

memberikan gambaran tentang proses penegakan hukum yang menimbulkan

kontroversi, polemik, bentuk perlawanan, protes atau kritik tajam dari berbagai

pihak. Misalnya, berbagai kasus aktual yang menarik seperti : Kasus nenek Minah

yang berusia lima puluh lima tahun, Warga Desa Darmakradenan, Kecamatan

Ajibarang, Kabupaten Banyumas yang dituduh mencuri 3 biji buah kakao di PT.

Rumpun Sari Antan 4 di desa Darmakradenan yang kemudian Pengadilan Negeri

Purwokerto, Jawa Tengah menvonis pidana penjara selama satu bulan lima belas

hari dengan ketentuan pidana tersebut tidak usah dijalani terdakwa.

Kasus tersebut merupakan masalah aktual hukum pidana yang bersifat

represif, tanpa memperhatikan kepentingan korban dan pelaku. Hal ini seringkali

menimbulkan reaksi, kontroversi dan sorotan yang sangat tajam kepada aparat

penegak hukum dengan berbagai sudut pandang dan argumentasi masing-masing.

Sebagian pihak menganggap bahwa aparat penegak hukum terjebak dalam

pikiran-pikiran hukum normatif, bahwa hukum memberi kesan angker dan

menakutkan untuk masyarakat.

1. Transformasi Restorative Justice Hukum Pidana Islam Bagi Pembaruan

Hukum Pidana Nasional.

Transformasi fiqh jina>yah ke dalam hukum pidana nasional saat ini

sesuatu yang seharusnya niscaya.612

Hal tersebut bukan saja karena mayoritas

612

Pada tahun 2001, pemerintah Indonesia telah membuat rancangan undang-undang Hukum

Pidana terdiri dari 647 pasal yang dalam beberapa pasalnya telah memasukkan fiqh jinayah ke

dalam kitab tersebut. Namun demikian, hingga saat ini kitab undang-undang tersebut masih

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

280

masyarakat Indonesia adalah muslim, tetapi juga karena secara historis fiqh

jina>yah Islam pernah hidup di bumi Indonesia. Namun demikian, hukum pidana

Islam (fiqh al-jina>yah) yang ditawarkan harus hukum pidana yang dinamis, elastis

sejalan dengan karakteristik bangsa Indonesia yang pluralistik, tanpa mengabaikan

tujuan-tujuan syariah. Upaya ini akan menemui sejumlah problem, semisal

problem historisitas, sosial-budaya, institusional dan kendala internal hukum

pidana Islam sendiri. Kendala-kendala ini harus dicarikan solusinya agar

transformasi ini dapat berjalan dengan baik. Mempertimbangkan problem-

problem di atas, maka model penerapan hukum pidana Islam yang paling tepat

adalah dengan mengkompromikan fiqh al-jina>yah dengan hukum pidana (warisan

Belanda) yang berlaku saat sekarang ini. Artinya, penerapannya tidak harus

formal-tekstual, akan tetapi substansial-kontekstual. Dengan demikian, hukum

pidana Indonesia mendatang benar-benar dapat diterima oleh seluruh lapisan

masyarakat dan diharapkan mampu membentuk masyarakat Indonesia, yang taat

hukum serta berakhlak mulia. Dengan metode ini diharapn diharapkan fiqh

jinayah secara substansial tetap bisa menjadi bagian dari masyarakat muslim,

meski simbol-formal tidak begitu nampak di permukaan. Inilah yang paling sesuai

dengan kaidah ma> la> yudraku kulluhu> la yutraku kulluhu>.

Dalam Rekonstruksi epistemologi fiqh jinayah Indonesia, gagasan

transformasi tersebut harus dipetakan, mana wilayah fiqh jinayah yang substansial

(qath‟i) dan mana yang parsial (dzanny). Dalam konteks dan dan bidang hudud

misalnya, tujuh bidang: zina, qadzaf, syurb al-khamr dan yang lainnya delik

sebatas draf yang belum disahkan oleh DPR. Lebih detainya lihat Ahmad Djazuli, Ilmu fiqh;

Penggalian dan Penerapan Hukum Islam, (Jakarta: Kencana, 2010), 193-194.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

281

pidana sudah saatnya dicover dalam hukum pidana nasional. Namun dalam hal

bentuk hukuman tidak harus sama dengan tawaran al-Qur‟an. Sebab hukuman

potong tangan, rajam dan sebagainya merupakan wasilah bukan ghayah.

Dalam titik inilah menarik mencermati gagasan Ibrahim Hosen yang

menekankan pendekatan ta‟aqquli> dalam hukum pidana Islam. Pendekatan ini

sangat penting dalam mengedepankan aspek zawajir-nya.613

Yakni hukuman

dilakukan agar pelaku pidana merasa jera, tidak akan mengulangi perbuatan

tersebut. Dengan demikian maka bentuk hukuman tidak terikat pada bunyi teks

(nash). Atas dasar ini seorang pencuri bisa saja dihukum selain potong tangan.

Asalkan hukuman tersebut mampu membuat jera pelaku dan tidak akan

mengulanginya lagi dan membuat orang lain takut. Demikian halnya dengan

hukuman pelaku tindak pidana hudud lainnya. Ibrahim Hosen dipandang orang

yang setuju bahwa sanksi hukum bentuk potong tangan dan rajam tidak relevan

diterapkan di Indonesia. Menurutnya, potong tangan, dera dan rajam bukanlah

tujuan hukum itu sendiri, melainkan sebagai instrumen agar membuat pelaku

pidana jera. Karenanya dalam konteks ini, syariat menjadi relatif, bisa dirubah dan

dikontekstualisasikan.614

Lebih lanjut, menurut Hosen, hukum tidak bergantung

pada sebuah benda atau barang yang dihasilkan, tetapi terkait dengan perbuatan

manusia (mukallaf). Dan, pemutusan sebuah hukum sangat terkait dengan masa>lik

al-‘illat.

613

http://fai.uhamka.ac.id diunduh tanggal 20 September 2020.

614 http://fai.uhamka.ac.id diunduh tanggal 20 September 2020. Pandangan Hosen tentang zawajir

ditentang keras oleh Satria Effendi. Menurut Effendi, dalam hukum potong tangan terdapat

fungsi jawabir dan zawajir. Menanggapi reaksi ini Hosen mengatakan bahwa ia merupakan

wasilah bukan tujuan atau ghayah.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

282

Dengan epistemologi demikian, maka transformasi fiqh jinayah menjadi

hukum nasional terbuka untuk diterima masyarakat Indonesia. Dalam kasus zina

misalnya, KUHP tidak menganggap kasus zina ghairu muhsan (persetubuhan

ilegal antara dua orang yang belum menikah atau tidak terikat dalam perkawinan,

atas dasar suka sama suka) sebagai suatu tindak pidana. Zina dalam KUHP hanya

mencakup persetubuhan ilegal antara dua orang, atau salah-satunya, yang sudah

menikah. Tampaknya, KUHP tidak melihat adanya unsur kejahatan pada kasus

zina ghairu muhsan, karena tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Secara sekilas

mungkin benar, akan tetapi jika dikaji lebih jauh, perbuatan tersebut bukan saja

akan merugikan keluarga dan masyarakat setempat, bahkan kedua pelaku tersebut.

Delik zina ini pun seharusnya bisa diubah dari delik aduan menjadi delik biasa.

Dilihat dari segi bentuk hukuman fiqh jinayah sering mendapat kritik

akibat masih diterapkannya ketentuan rajam (melempar dengan batu sampai

terpidana meninggal) dan jilid (cambuk). Dalam hukum Islam belakangan ini

diusulkan adanya perubahan orientasi jinayat. Dahulu, pemidanaan dalam Islam

dimaksudkan sebagai unsur pembalasan dan penebusan dosa. Inilah yang

melatarbelakangi lahirnya teori jawabir . Namun, telah muncul teori baru yang

menyatakanbahwa tujuan jinayat itu adalah untuk menimbulkan rasa ngeri bagi

orang lain agar tidak berani melakukan tindak pidana. Teori yang belakangan ini

dikenal dengan teori zawajir. Jadi, bagi penganut teori jawabir, hukuman potong

tangan dan qisas itu diterapkan apa adanya sesuai bunyi nash, sedangkan penganut

teori zawajir berpendapat bahwa hukuman tersebut bisa saja diganti dengan

hukuman lain, semisal hukuman penjara, asalkan efek yang ditimbulkan mampu

membuat orang lain jera untuk melakukan tindak pidana.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

283

Dengan demikian, bentuk-bentuk hukuman fisik, seperti rajam dan potong

tangan, sedapat mungkin dihindari atau diberikan kriteria yang ekstra ketat dan

memenuhi tujuan penjatuhan hukuman tersebut yaitu represif dan preventif. Di

samping hal-hal di atas, konstribusi hukum pidana Islam juga bisa diberikan

dalam bentuk asas-asas yang disarikan dari hukum pidana Islam. Asas-asas ini

kemudian dijadikan sebagai asas hukum materiil yang konstitutif, artinya masuk

dalam KUHP, dan dijadikan perspektif dalam pembentukan hukum pidana

nasional. Berdasarkan uraian diatas, maka;

1. Teori pembaruan dalam hukum pidana Islam mempunyai daya murunah

(dinamis) dalam merespons dinamika perubahan hukum yang begitu cepat;

2. Pembaruan teori pemidanaan dalam hukum Islam merupakan jalan yang

ideal dalam menemukan “titik temu” antara pemidanaan Islam dengan

teori pemidanaan kontemporer. Dengan demikian pada gilirannya, hukum

pidana Islam dapat dikembangkan dalam konteks pembangunan hukum

nasional;

3. Pembangunan hukum Pidana Islam paling ideal dilakukan dengan

pendekatan maqashidy istishlahy; Artinya, untuk menyatukan fiqh jinayah

dengan hukum pidana nasional.

Dengan demikian maka epistemologi fiqh jinayah Indonesia mendukung

desimbolisasi dan objektivikasi pidana Islam selama dalam koridor menjaga dan

meruwat maqashid al-syari‟ah. Dengan metode penentuan prinsip-prinsip

fundamental dan universal inilah, niscaya fiqh jinayah dapat ditransformasikan ke

dalam Hukum Pidana Nasional.

2.Restorative Justice dalam Peradilan di Indonesia.

Peradilan pidana di Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang Nomor

8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang semula dianggap sebagai karya

agung ternyata masih ada kekurangan. Hal ini nampak dari ketentuan tambahan di

luar KUHAP seperti P18, P19 dan P21 untuk mengatur hubungan kerja antara

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

284

penyidik (polisi) dan penuntut umum (jaksa) yang seharusnya saling tergantung

menjadi penyidik ”tergantung” „kepada penuntut umum. Di sisi lain dalam

praktek penegakan hukum, secara substantif terdapat ketidakmampuan (unability)

dan ketidakmauan (unwillingness) aparat dalam memahami filosofi perubahan

acara pidana dari inquisatoir ke accusatoir. Perubahan ini menuntut integritas

moral, profesionalisme, dan independensi yang kuat dari penegak hukum dalam

menjalankan tugas.

a. Peradilan Anak Menuju Keadilan Restoratif.

Dalam kajian sistem peradilan pidana anak, Gordon Bazomore

memperkenalkan tiga model peradilan anak, yaitu (a) model pembinaan pelaku

perorangan (individualtreatmentmodel); (b) model retributif; (c) model restoratif.615

Persidangan anak pada model pidana pelaku perorangan dilihat sebagai satu

agensi quasi kesejahteraan dengan mandat peradilan yang samar-samar.

Pembinaan dilandaskan pada asumsi model medik terapeutik tentang sebab-sebab

delinkuensi anak. Atas dasar asumsi tersebut, delinkuensi anak dianggap sebagai

simptomatik dan gangguan, dan hakikat serta tingkat keseriusannya dilihat tidak

lebih sebagai persoalan terapeutik untuk mengkoreksi dan memperbaiki

gangguan-gangguan yang ada sebelumnya.

Secara legal formal penerapan keadilan restoratif di Indonesia belum

diatur dalam bentuk undang-undang. Aturan yang jelas mengenai hal tersebut

hanya terdapat dalam SKB tahun 2009 tentang Penangan Anak Yang Berhadapan

615

Paulus Hadisuprapto, Peradilan Restorative: Model Peradilan Anak Indonesia Masa Datang pidato

pengukuhan diucapkan pada Upacara Penerimaan Jabatan Guru Besar dalam Bidang Kriminologi

Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 18 Februari 2006, cet.ke-1, (Semarang:

Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2006), 26-27.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

285

Dengan Hukum. Penanganan ABH menurut SKB mengenal dua jalur yaitu: jalur

formal dan non formal.616

Dalam ketentuan SKB memerintahkan kepada MA dan

Kejagung untuk menyusun standar operasional prosedur penanganan ABH dengan

pendekatan keadilan restoratif. Konsep ini bertujuan untuk mencari jalan keluar

dari model keadilan tradisional yang berpusat pada punishment menuju kepada

keadilan masyarakat (community justice) yang berpusat pada pemulihan korban dan

pelaku. Tidak hanya pada legal justice, tetapi juga mempertimbangkan sosial

justice dan moral justice.617

Pada dasarnya konsep keadilan restoratif terkait dengan konsep diversi dan

diskresi.618

Diversi didefinisikan sebagai bentuk pengalihan proses yang

merupakan program yang hanya dilakukan pada tahap praajudikasi dalam sistem

peradilan pidana. Bentuk pengalihan perkara ini biasanya memang berhubungan

dengan kewenangan diskresi yang dimiliki aparat penegak hukum. Diskresi

merupakan wewenang petugas kepolisian untuk mengambil tindakan meneruskan

perkara atau menghentikan perkara sesuai dengan kebijakan yang dimilikinya.

Proses diskresi ini berlangsung secara spontan yang timbul dalam diri pribadi

seorang aparat penegak hukum tanpa direncanakan terlebih dahulu.

Kewenangan diskresi berdasarkan Pasal 1 butir (1) dan Pasal 2 UU No. 2

Tahun 2002 tentang Kepolisian RI.619

Terlihat jelas bahwa Polri dalam

616

Paul McCold, The Recent History of Restorative Justice: Mediation, Circles, and

Conferencing, dalam Hand book of Restorative Justice: A Global Prespective, 23. Lihat

juga Trisno Raharjo, Mediasi, 33. 617

D.S. Dewi dan Fatahillah A. Syukur, Mediasi, 45. 618

Marlina, Pengembangan.., 40. Lihat juga Naskah Akademik Peraturan Perundang-Undangan

tentang RUU Pengadilan Anak Tahun 2009, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional

Depkumham RI, 2009), 49. 619

Pasal 1 butir (1) UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI: Kepolisian adalah segala hal

ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

286

kedudukannya sebagai aparat penegak hukum mempunyai fungsi menegakkan

hukum dibidang yudisial, tugas preventif maupun represif. Sehingga sebagai

garda terdepat penegakan hukum, kepolisian harus diberikan kewenangan untuk

melihat suatu tindak pidana dari sudut pandang yang komperehensif. Oleh karena

itu, diberikanlah kewenangan diskresi dibidang yudisial kepada kepolisian.620

‟„Hal

ini yang kemudian mendorong untuk diaturnya keadilan restoratif dan diversi

dalam RUU Sistem Peradilan Pidana Anak.‟„

Pendekatan restorative dan asas diversi sebagai roh UU No. 11 tahun 2012

untuk menyelesaikan secara manusiawi kasus hukum anak. Diversi adalah

pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di

luar peradilan pidana. Atau dapat dikatakan asas diversi menekankan penyelesaian

di luar pengadilan, dengan pendekatan kekeluargaan dan pembinaan, bukan lagi

dengan penjara atau hukuman. Sebagaimana tujuan asas diversi diatur Pasal 6 UU

No. 11 tahun 2012 adalah mencapai perdamaian antara korban dan anak,

menyelesaikan perkara anak diluar pengadilan, menghindarkan anak dari

perampasan kemerdekaan, mendorong masyarakat berpartipasi, menanamkan rasa

tanggung jawab kepada anak.Proses hukum terhadap anak, seharusnya dilakukan

melalui pendekatan restorative, dengan tetap berpegang pada undang–undang

yang dapat menjadi tolak ukur untuk mengambil suatu kebijakan pidana (penal

policy) antara lain; Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan

anak, diubah dengan Undang-undang nomor 35 tahun 2014, Undang-undang

undangan. Pasal 2 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI: Fungsi kepolisian adalah

salah satu fungsi pemerintahan negara dibidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban

masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada

masyarakat. 620

Sebagaimana tertuang pada Pasal 18 ayat (1) UU No 2 tahun 2002 tentang Kepolisan RI:

Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam

melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

287

Nomor 3 Tahun 1997 telah diubah dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012

Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak selanjutnya disebut sebagai Undang-

undang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Apabila dilihat dari filosofi yang mendasari lahirnya undang-undang

peradilan anak adalah karena anak belum dapat memahami apa yang

dilakukannya serta mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak dan sesuai

dengan Konvensi Hak Anak 1990 yang diratifikasi oleh Indonesia selaku anggota

United Nations (PBB) melalui Keppres Nomor 36 Tahun 1990 menyatakan bahwa

pidana merupakan upaya terakhir karena anak adalah aset bangsa dan generasi

penerus, berdasarkan undang-undang tersebut pemerintah melakukan upaya

hukum untuk mencari jalan terbaik bagi anak dengan menerbitkan suatu peraturan

yang disebut dengan peraturan mahkamah agung nomor 4 tahun 2014 tentang

pedoman pelaksanaan diversi dalam sistem peradilan pidana anak, mengacu

dengan peraturan perundang-undangan yang ada, bahwa setiap perkara atau

perbuatan pidana anak wajib diberikan perlindungan hukum, dan tidak melihat

dari jumlah ancaman yang timbul dari perbuatan anak.

1). Diversi dan Diskresi Kepolisian Perspektif Keadilan Restoratif.

Sehubungan kewenangan yang dimiliki polisi, maka dalam penanganan

ABH, aparat kepolisian dapat melakukan atau menggunakan kewenangan diskresi

dari pada harus melanjutkan proses hukumnya. Dalam hal ini dikenal dengan

istilah diskresi kepolisian, yang merupakan kewenangan polisi untuk

menghentikan penyidikan perkara dengan membebaskan tersangka ataupun

melakukan pengalihan (diversi), dan tujuannya agar anak terhindar dari proses

hukum lebih lanjut. Polisi mempunyai kewenangan diskresi, seperti yang diatur

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

288

dalam Pasal 18 UU No. 2 Tahun 2002, yang menentukan bahwa untuk

kepentingan umum, pejabat Polri dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya

dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri. Salah satu kewenangan diskresi ini

adalah melalui tindakan diversi dan tentunya tindakan diversi yang dilakukan

tidak boleh melanggar aturan hukum yang berlaku. Dasar hukum bagi aparat

kepolisian melakukan tindakan pengalihan (diversi), sejalan dengan ketentuan

yang terdapat dalam Pasal 40 ayat (3) Konvensi Hak Anak (KHA), yang

menentukan bahwa negara-negara peserta harus berupaya meningkatkan

pembentukan hukum, prosedur, kewenangan dan lembaga yang secara khusus

berlaku untuk anak-anak yang diduga, disangka, dituduh atau dinyatakan

melanggar hukum pidana dan khususnya:

1. Menetapkan usia minimum sehingga anak-anak yang berusia di bawahnya

dianggap tidak mempunyai kemampuan untuk melanggar hukum pidana;

2. Bilamana layak dan diinginkan, melakukan langkah untuk menangani

anak- anak seperti itu tanpa harus menempuh jalur hukum, dengan syarat

bahwa HAM dan perangkat pengamanan hukum sepenuhnya dihormati.

Berdasarkan Resolusi PBB No. 40/33 Tahun 1985 (The Beijing Rules),

bagi aparat polisi yang menangani perkara tindak pidana anak juga diberikan

kewenangan untuk melakukan pengalihan. Ketentuannya dapat dilihat pada:

a. Butir 6, disebutkan bahwa:

1. Mengingat kebutuhan khusus yang beragam dari anak-anak

maupun keragaman langkah yang tersedia, ruang lingkup yang

memadai bagi kebebasan anak, untuk membuat keputusan

diizinkan pada seluruh tahap proses peradilan bagi anak dan pada

tahap-tahap berbeda dari administrasi peradilan bagi anak,

termasuk dalam penyidikan, penuntutan, pengambilan keputusan

dan pengaturan-pengaturanlanjutannya;

2. Upaya-upaya dilakukan untuk memastikan adanya

pertanggungjawaban yang cukup pada seluruh tahap dan tingkat

dalam pelaksanaan kebebasan untuk membuat keputusan;

3. Mereka yang melaksanakan kebebasan untuk membuat

keputusan, berkualifikasi atau terlatih secara khusus untuk

melaksanakannya secara bijaksana dan sesuai dengan fungsi-

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

289

fungsi serta tugas-tugas mereka.

b. Butir 11, ditegaskan bahwa:

1) Pertimbangan diberikan untuk menangani pelanggar-pelanggar

hukum berusia muda tanpa menggunakan peradilan formal oleh

pihak berwenang yang berkompeten;

2) Polisi, penuntut umum atau badan-badan lain yang menangani

perkara-perkara anak diberikan kuasa untuk memutuskan perkara

demikian menurut kebijaksanaan mereka, tanpa menggunakan

pemeriksaan awal yang formal, sesuai dengan kriteria yang

ditentukan untuk tujuan itu dalam sistem hukum masing-masing

dan sesuai dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam

peraturan-peraturan ini.

Pengalihan apapun yang melibatkan perujukan kepada pelayanan-

pelayanan masyarakat atau pelayanan lain, memerlukan persetujuan anak tersebut

atau orang tua walinya, dengan syarat keputusan merujuk pada perkara dan

tergantung pada kajian pihak berwenang yang berkompeten atas permohonan.

Berdasarkan ketentuan ini, maka kepada aparat kepolisian diberikan kewenangan

khusus (diskresi) untuk melakukan pengalihan (diversi) yang menjauhkan ABH

dari proses peradilan formal, penahanan ataupun pemenjaraan. Program diversi ini

dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, antara lain adalah dengan

menempatkan ABH di bawah pengawasan badan-badan sosial tertentu guna

membantu anak tersebut memecahkan masalah yang dihadapinya. Secara khusus,

tidak ada ketentuan undang-undang di Indonesia yang menetapkan standar

tindakan diversi untuk pelaksanaan penanganan ABH, tetapi merujuk pada

ketentuan yang terdapat dalam Pasal 18 UU No. 2 Tahun 2002, maka penanganan

ABH tidak seharusnya dilakukan dengan mengikuti sistem peradilan pidana

formal.

Selain itu, berdasarkan Telegram Kabareskrim Polri No. Pol.: TR/1124/

XI/2006, tindakan diversi dapat dilakukan dalam bentuk pengembalian kepada

orang tua si anak, baik tanpa maupun disertai peringatan informal ataupun

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

290

melaksanakan mediasi, seperti menjadi perantara guna mengkomunikasikan atau

memfasilitasi pemenuhan kebutuhan korban dan perlindungan terhadap ABH

dalam bingkai tujuan menyelesaikan persoalan yang timbul akibat perbuatannya.

Penanganan ABH melalui tindakan diversi sebagai upaya untuk mewujudkan

keadilan. Bahwa keadilan adalah suatu yang sukar didefinisikan, tetapi dapat

dirasakan dan merupakan unsur yang tidak dapat dipisahkan dari hukum sebagai

perangkat asas dan kaidah yang menjamin adanya keteraturan dan ketertiban

dalam masyarakat.621

Proses diversi wajib memperhatikan kepentingan korban,

kesejahteraan dan tanggung jawab anak, penghindaran stigma negatif,

penghindaran pembalasan, keharmonisan masyarakat serta memperhatikan

kepatutan, kesusilaan dan ketertiban umum.

2). Diversi sebagai Penyembuh bagi Pelaku Anak dan Korban.

Pelaksanaan diversi dalam hal ini hanya dapat dilaksanakan kepada anak

yang diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun dan bukan

merupakan pengulangan tindak pidana (residive). Hal ini perlu menjadi fokus

perhatian untuk dapat memperkecil potensi pemaksaan dan intimidasi pada semua

tahap proses diversi. Anak tidak boleh merasa tertekan atau ditekan untuk

menyetujui program diversi. Pelaksanaan diversi harus mendapatkan persetujuan

korban dan/atau keluarga anak korban serta kesediaan anak dan keluarganya,

kecuali untuk tindak pidana yang berupa pelanggaran, tindak pidana ringan tindak

pidana tanpa korban atau nilai kerugian korban tidak lebih dari nilai upah

minimum provinsi setempat.

621

Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta. Pengantar Ilmu Hukum, Suatu Pengenalan

Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Hukum. Buku I. (Bandung: Alumni, 2000), 52.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

291

Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 4 Tahun 2014 tentang

Pedoman Pelakanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak juga

menegaskan pemberlakuan diversi terhadap anak yang didakwa dengan tindak

pidana yang diancam dengan pidana penjara 7 (tujuh) tahun atau lebih dalam

bentuk surat dakwaan subsidiaritas, alternatif, kumulatif maupun kombinasi

(gabungan). Pelaksanaan diversi ini hanya dapat diberlakukan terhadap anak yang

telah berumur 12 (dua belas) tahun tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun

atau telah berumur 12 (dua belas) tahun meskipun pernah kawin tetapi belum

berumur 18 (delapan) belas tahun, yang diduga melakukan tindak pidana. Namun

demikian, dalam hal anak belum berumur 12 (dua belas) tahun tetapi melakukan

atau diduga melakukan tindak pidana, maka Penyidik, Pembimbing

Kemasyarakatan dan Pekerja Sosial Profesional dapat mengambil keputusan

untuk menyerahkannya kembali kepada orang tua/wali atau dapat

mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan dan pembimbingan

di instansi pemerintah atau LPKS di instansi yang menangani bidang

kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah paling lama 6 (enam)

bulan.

Pelaksanaan diversi ini wajib diupayakan pada tingkat penyidikan,

penuntutan dan pemeriksaan perkara anak di pengadilan negeri. Penyidik,

penuntut umum dan hakim dalam melakukan proses diversi harus

mempertimbangkan beberapa hal diantaranya:

1. Kategori tindak pidana;

2. Umur anak;

3. Hasil penelitian kemasyarakatan; dan

4. Dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

292

Proses diversi ini dilakukan melalui musyawarah diversi dan dilaksanakan

dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal

dimulainya diversi. Pelaksanaan diversi melibatkan penegak hukum dalam tiap

proses peradilan (penyidik, penuntut umum, hakim), anak dan/atau orang tua/wali,

korban atau anak korban dan/atau orang tua/wali,pembimbing kemasyarakatan

serta pekerja sosial profesional. Selain itu, dalam hal dikehendaki oleh anak

dan/atau orang tua/wali, pelaksanaan musyawarah diversi dapat melibatkan

masyarakat yang terdiri dari tokoh agama, guru, tokoh masyarakat, pendamping

dan/atau advokat atau pemberi bantuan hukum. Setelah dilaksanakannya

musyawarah diversi maka hasil kesepakatan diversi dapat berbentuk:

1. Perdamaian dengan atau tanpa ganti rugi;

2. Penyerahan kembali kepada orangtua/wali;

3. Keikutsertaan dalam pendidikan atau pelatihan di lembaga pendidikan

atau LPKS paling lama 3 (tiga) bulan;

4. Pelayanan masyarakat.

Hasil kesepakatan diversi ini dituangkan dalam bentuk Surat Kesepakatan

Diversi, serta hasil kesepakatan diversi harus ditetapkan oleh Ketua Pengadilan

Negeri di wilayah tempat terjadinya perkara atau di wilayah tempat kesepakatan

diversi dibuat. Pelaksanaan diversi dapat menjadi bentuk restoratif justice apabila

pelaksanaan diversi ini dapat mendorong anak untuk bertanggung jawab atas

perbuatannya, memberikan kesempatan bagi anak untuk mengganti kesalahan

yang dilakukan dengan berbuat kebaikan bagi si korban, memberikan kesempatan

bagi si korban untuk ikut serta dalam proses, memberikan kesempatan bagi si

anak untuk dapat mempertahankan hubungan keluarga serta memberikan

kesempatan bagi rekonsiliasi dan penyembuhan dalam masyarakat yang dirugikan

oleh tindak pidana.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

293

Untuk dapat lebih memaksimalkan penerapan diversi sebagai perwujudan

keadilan restorative, maka diperlukan adanya komitmen yang kuat dari para

penegak hukum dalam menangani ABH. Hal ini dapat dilakukan dengan

membentuk tim khusus dalam penanganan ABH dalam setiap tingkatan

pemeriksaan, yang mana tim ini harus diberi pendidikan dan pelatihan sertifikasi

secara optimal dan berkesinambungan mengenai penerapan diversi. Pendidikan

dan pelatihan ini tidak hanya diberikan kepada Hakim Anak yang menangani

perkara tetapi juga diberikan kepada Penyidik serta Penuntut Umum karena proses

diversi wajib dilakukan di tiap tingkatannya. Selain itu juga disarankan agar guru

bimbingan konseling yang ada di sekolah mendapatkan pelatihan khusus terkait

penangangan anak yang bermasalah dengan hukum.

3. Praktik Restorative Justice Arab Saudi dan Prancis.

Pada bagian ini, kita akan membahas praktik restorative justice pada

Lembaga Pemasyarakatan di dua negara: Arab Saudi dan Perancis. Pemilihan tiga

negara ini berdasarkan pada dua alasan, pertama: kedua negara mewakili dua

sistem hukum yang berbeda: sistem hukum Islam, sistem hukum kontinental.

Kedua, kedua negara yang disebutkan diatas memilki kapasitas untuk mewakili

gagasan yang dikembangkan masing-masing sistem hukum. Arab Saudi

merupakan negara yang dianggap sebagai negara Islam yang paling konsisten

menerapkan hukum pidana Islam yang memiliki konsepsi restorative justice,

Perancis merupakan negara tua yang memberikan kontribusi yang tidak sedikit

dalam membangun gagasan restorative justice.

A. Praktik Restorative Justice di Arab Saudi.

Arab Saudi adalah negara yang tidak pernah dijajah, namun sebagian dari

wilayahnya, seperti Mekah, Madinah dan Jedah pernah diduduki oleh kekuasaan

Otoman Turki. Namun akhinya ottoman Turki mampu menyingkir pada tahun

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

294

1871 setelah semakin meluasnya pengaruh inggris di Perbatasan Teluk Arab.

Saudi Arabia lahir tahun 1902 dan menjadi Kerajaan Arab saudi sejak 22

September 1933. Berdasarkan Hukum Dasar Arab saudi yang disyahkan oleh

Dekrit Kerajaan, Raja harus patuh dengan syariah (hukum Islam), yang bersandar

pada al-Qur‟an dan Hadist. Arab Saudi merupakan negara Islam yang paling

konsisten dalam menerapkan hukum pidana Islamnya dalam hukum positifnya.

Berbeda dengan sistem hukum kontinental yang berpedoman semata-mata

berdasarkan kehendak pemerintah, parlemen dan badan peradilan. Hukum pidana

Islam utamanya bersandar pada aturan transendental, yaitu al-Quran dan Hadist

serta diskresi hakim. Selain itu dalam prakteknya, hukum pidana Islam juga

berpedoman pada pendapat mahzab,622

terutama empat mahzab utama, yaitu

Maliki, Hambali, Syafi‟i dan Hanafi. Tujuan pemidanaan dalam hukum pidana

Islam, yaitu:

1) Pencegahan dan memberikan efek jera. Penerapan hukum pidana islam

dimaksudkan untuk memberikan efek jera, bukan hanya bagi pelaku

namun juga bagi mereka yang bermaksud melakukan hal yang serupa.

Selain itu ada kepentingan dan keselamatan masyarakat juga yang

dilindungi dengan penerapan hukuman ini.

2) MerehabilItasi dan Mereformasi.Prinsip taubat (repentance) dikenal dalam

Islam, hal inilah yang medorong konsep rehabilitas dan reformasi

narapidana. Bahwa tindak pidana seberat apapun yang dilakukan, apabila

pelaku bertaubat dan berjanji tidak akan mengulangi, akan mendapatkan

ampunan dari Tuhan. Mengenai hukuman ta’zi >r dan hukuman hadd, Al

Mawardi623

berpendapat: hukuman ta’zi >r dan hukuman hadd adalah untuk

mendisiplinkan, memperbaiki, merehabilitasi.

3) Mencegah, mengeliminasi balas dendam dan rekonsiliasi terhadap korban

atau kerabatnya. Bentuk hukuman dalam Islam sangat bervariatif,

sehingga memungkinkan berbagai macam tujuan dapat dicapai.

622

Empat mazhab yang banyak diikuti umat Islam, yaitu mazhab Hanafi, Hambali, Maliki, dan

Syafii). Lihat: http://www.kamus besar.Com/ 25247/mazhab#nomina. 623

Al Mawardi adalah ahli hukum Islam. Sebagaimana dikutip dari Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh

Islam, jilid 7, (Jakarta: Gema Infsan, 2011), 271.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

295

Dalam hukum pidana Islam, secara garis besar terdapat tiga bentuk

hukuman, yaitu qis}a>s h, hudud, dan ta‟zir. Untuk lebih jelasnya akan dibahas

satu persatu secara singkat:

a. Hukuman qis}a>s}

Qis}a>s dalam arti bahasa berarti tatba‟al atsar pengertian tersebut

digunakan untuk arti hukuman, karena orang yang berhak atas qis}a>s> mengikuti

dan menelusuri jejak tindak pidana pelaku. Qis}a>s} juga berarti almumatsalatu

yaitu keseimbangan dan kesepadanan. Dari pengertian kedua ini diambil

pengertian menurut istilah, yaitu muja>za>tu al-ja>ni> bimitsli fi’lihi > berarti

memberikan balasan kepada pelaku sesuai dengan perbuatannya.624

Senada

dengan hal tersebut, Ibrahim Unais memberikan definisi, qis}a>s adalah

menjatuhkan hukuman kepada pelaku persis seperti apa yang dilakukannya.

1) Pelaksanaan hukuman qis}a>s dilakukan oleh ahli waris. Tidak ada keutamaan

antara satu ahli waris dengan ahli warisnya, setiap ahli waris memiliki hak yang

sama, tujuannya adalah untuk mengobati rasa duka. Apabila korban tidak

memiliki ahli waris atau ahli warisnya merupakan memiliki agama yang berbeda,

menurut kesepakatan ulama, maka jenis hukuman diserahkan kepada pemerintah

(sulthan), yang akan menentukan hukuman yang paling tepat, qis}a>s h atau

hukuman lainnya seperti pemaafan.

2). Hal-hal yang menggugurkan pelaksanaan qis}a>s}.

a. Hilangnya objek qis}a>s . Objek qishahs dalam tindak pidana adalah jiwa

(nyawa pelaku), sehingga apabila pelaku meningal dunia maka secara

otomatis pelaksanaan qis}a>s batal.

b. Pengampunan dari Ahli Waris. Pengampunan terhadap qishahs dibolehkan

menurut kesepakatan para ulama, sebagaimana terdapat dalam ketentuan

Quran Surat Al Maidah 45: barang siapa yang melepaskan (hak

qishahsnya) melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya.

c. S}ulh (Perdamaian) menurut bahasa berarti Qot }’u al-muna>aza’ah atau yang

memutuskan perselisihan. Apabila dikaitkan dengan qis}a>s , maka

perjanjian yang dimaksud adalah perjanjian perdamaian antara pihak ahli

624

Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2005 ), 149.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

296

waris/wali korban dengan pihak pembunuh dalam membebaskan qis}a>s

dengan imbalan. Diyat sebagai Hukuman Pengganti Qis}a>s}.

b. Hukuman Diyat .

Diyat menurut bahasa sejumlah harta yang diberikan sebagai ganti

kerugian bagi tindakan membunuh atau melukai orang.625

Adapun hal-hal yang

mewajibkan diyat , diantaranya: bila wali atau ahli waris yang terbunuh

memaafkan si pembunuh dari pembalasan jiwa, pembunuhan yang tidak

disengaja, dan pembunuhan yang tidak ada unsur membunuh. Diyat terbagi

menjadi dua, yaitu diyat ringan dan diyat berat. Diyat ringan untuk

pembunuhan tanpa sengaja, sedangkan berat pembunuhan sengaja tanpa

terencana. Diyat berat adalah 100 ekor unta; 40 ekor diantaranya sedang

mengandung.626

Apabila luka ringan, diselesaikan melalui keputusan yang adil

dari pemerintah (adil), sebagian mengatakan dibayar sebesar biaya pengobatan

dokter. Namun apabila luka yang ditimbulkandiakibatkan perbuatan yang

disengaja, maka diyat nya sebayak 5 ekor unta.627

c. ‘Hukuman Hudu>d’

Hudu>d (merupakan bentuk plural dari had) berarti mencegah, melarang.

Menurut istilah sebuah aturan atau ketetapan Allah yang mengkategorikan sesuatu

sebagai legal atau illegal. Hudu>d merupakan jenis hukuman yang sudah

ditentukan dalam Al-Qur‟an terhadap tujuh jenis tindak pidana (lihat tabel), yaitu:

zina, pencurian, penghinaan, murtad, perampokan, menggunaan alkohol, dan

625

M. Abdul Mujieb, et al, Kamus Istillah fiqh, (PT Pustaka Firdaus: Jakarta), 1994, 61. 626

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Jakarta: Al i‟tishom, 2010), 48. 627

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, 57.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

297

pemberontakan. Dalam prakteknya, hakim tidak serta merta menjatuhkan

hukuman apabila unsur tindak pidana terpenuhi. Apabila terdapat faktor yang

memaafkan, misalnya, hukuman yang semestinya dijatuhkan dapat ditunda. Hal

ini pernah dicontohkan pada masa kekhalifahan Umar Bin Khatab.

d. Hukuman Ta’zi >r

Menurut bahasa ta‟zir artinya menolak. Namun menurut istilah adalah

pencegahan dan pengajaran terhadap tindak pidana yang tidakmempunyai

hukuman had, qis}a>sh/diyat .628

Ta‟zir mengandung unsur pengajaran, baik yang

diputuskan oleh hakim ataupun yang dilakukan orangtua terhadap anak, dan

seterusnya. Bentuk tindak pidana apa saja yang masuk dalam kategori ta‟zir ini

dapat dikategorikan atau dikualifikasikan oleh perundang-undangan di suatu

negara dan sangat memungkinkan adanya perubahan seiring dengan

perkembangan zaman, teknologi, dan ilmu pengetahuan. Bentuk-bentuk hukuman

yang diberikan juga sangat beragam: mulai dari penjara, pengasingan pelaku ke

suatu tempat, perampasan harta, denda, dan sebagainya.

e. Penjara sebagai Salah Satu Bentuk Hukuman

Hukum pidana Islam memiliki berbagai macam bentuk hukuman. Penjara

hanya merupakan satu dari bagian hukumannya. Keberadaan penjara dimulai pada

saat kekhalifaan Umar bin Khatab (634-644 M), sebagai salah satu bentuk

kebijakan yang dibuatnya. Penjara pertama dibeli di sebuah tempat di Madinah

yang kemudian diikuti oleh para Gubernur ketika itu. Digunakan untuk

menumbuhkan kedisiplinan dan memperbaiki diri pelaku. Masa penahanan

628

M. Abdul Mujieb, et al, Kamus Istillah fiqh.., 384.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

298

beragam tergantung dari berat ringannya tindak pidana yang dilakukan, mulai dari

satu hari hingga seumur hidup. Namun terdapat perbedaan pandangan dalam

menerapkan lamanya masa penahanan.

B. Praktik Restorative Justice di Perancis

Perancis merupakan negara dengan sistem kontinental yang memiliki

sejarah cukup panjang dalam merintis restorative justice pada sistem peradilan

pidananya, termasuk lembaga pemasyarakatannya. Perancis pernah dikecam oleh

European Human Rights Court (Pengadilan HAM Eropa) karena adanya

penganiayaan dalam Lembaga Pemasyarakatannya.629

Namun, kontribusi Perancis

terhadap dunia dalam membangun sistem peradilan dan pembinaan bagi para

narapidana tetap dapat memberikan inspirasi dalam penerapan restorative justice.

Salah satu bentuk restorative justice yang mendapatkan perhatian khusus di

Perancis adalah pemberian ganti kerugian bagi korban kejahatan. Undang-Undang

17 Januari 2008 tentang Penggantian Kerugian Kepada Korban mempermudah

pelaksanaan putusan pengadilan yang memberikan hak kepada korban untuk

mendapat ganti kerugian. Korban mendapatkan ganti kerugian paling lama dua

bulan setelah putusan pengadilan.630

Beberapa hal penting terkait dengan

pemberian ganti kerugian kepada korban tindak pidana di Perancis yaitu:

1. Pemberian Ganti Rugi bagi Korban melalui Pengadilan.

Perancis mengakui proses kompensasi penggantian kerugian bagi korban

dalam lingkup hukum pidana. Pemberian ini bahkan tidak hanya diberikan kepada

korban individu, tetapi juga kepada asosiasi karena kerugian yang ditimbulkan

629

Report attacks french‟s human rights record, lihat: http://www.guardian.co.uk/world/2006/feb/

13/france.mainsection. 630

http://www.textes.justice.gouv.fr/dossiers-thematiques-10083/loi-du-10708-sur-les-droits-des-v

ctimes -11315.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

299

secara kolektif. Kerugian secara kolektif dapat menimpa anggota assosiasi secara

langsung, yaitu contohnya asosiasi pekerja atau kerugian yang tidak menyangkut

secara langsung anggota assosiasi yaitu contohnya: asosiasi untuk melindungi

binatang. Dalam konteks pembahasan ini, akan difokuskan pada pemberian ganti

kerugian kepada korban individu, yaitu;

1. Syarat pemberian Ganti rugi yaitu: pertama, tindak pidana yang dilakukan

tersebut dapat dihukummenurut hukum perancis. Kedua, tindak

pidana/kejahatan tersebut menyerang kepentingan yang dilindungi oleh

hukum. Ketiga, kerusakan (penderitaan) yang diderita korban memiliki

hubungan yang langsung dengan tindak pidana yang terjadi;631

2. Pihak yang Mengajukan Ganti Kerugian. Pengajuan ganti kerugian oleh

korban dapat diwakilkan oleh ahli warisnya (la reparation de la victim par

richochet) sebagaimana putusan Mahkamah Agung Perancis (Cour de

Cassation). Pengajuan ganti kerugian oleh ahli waris akan lebih mungkin

diterima apabila telah dimulai terlebih dahulu pengajuan ganti kerugian

oleh korban sebelum meninggal. Adapun pengajuan ganti kerugian yang

bersifat immaterial ditolak oleh Mahkamah Agung Perancis;632

3. Kapasitas Terdakwa. Apabila terdakwa memiliki gangguan psikologis,

terdakwa masih tetap bisa dimintakan pertanggungjawaban terhadap

perbuatannya yang menimbulkan kerugian terhadap korban. Adapun

terhadap anak yang masih dibawah umur atau belum dewasa, Mahkamah

Agung Perancis (sebagaimana dalam sebuah putusan tanggal 9 Mei 1984)

menganggap bahwa mereka tetap bisa dituntut untuk mengganti kerugian

yang diderita korban;

4. Proses Pengajuan Gugatan Ganti Kerugian. Pada dasarnya korban dapat

mengajukan gugatan melalui jalur pengadilan pidana atau pengadilan

perdata. Pengajuan gugatan ganti kerugian memiliki masa daluarsa. Untuk

jenis tindak pidana masa daluarsanya setelah 10 tahun terjadinya

kejahatan, adapun untuk tindak pidana ringan selama 3 tahun, dan untuk

pelanggaran selama satu tahun. Pengajuan gugatan prinsipnya diajukan di

Pengadilan tempat kediaman terdakwa atau salah satu dari terdakwa.

2. Restorative Justice di Lembaga Pemasyarakatan Perancis.

Sejarah keberadaan Lembaga Pemasyarakatan di Perancis telah berlangsung

sejak abad ke-17. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Perancis tahun

1791 menegaskan bahwa penjara adalah tempat untuk memberikan hukuman bagi

631

Jacques Borricand, World Factbook of Criminal Justice System in France, lihat: http://www

.police.online.fr/lawfr.htm 632

Yvles-Louis Sage, The Operation of the Law of civil Liability in France as am menas of

providing compensatin for persons who suffer loss. Lihat: www.upf.pf/IMG/doc/8Sage.doc

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

300

terpidana sekaligus tempat perubahan mereka melalui pekerjaan dan pendidikan.

Selanjutnya, pada tahun 1795 ditentukan pengelolaan penjara berada dibawah

Menteri Dalam Negeri (Ministre de l‟interiuer). Namun sejak tahun 1911,

pengelolaan ini dialihkan ke Menteri Keadilan (Minsitre de la justice).633

Seiring dengan berjalannya waktu, terdapatKomite Percobaan dan

Pertolongan untuk Membebaskan Narapidana (Comite de Probation et

d‟Assistance aux Liberes atau disingkat CPAL) yang dibentuk tahun 1958.

Komite ini lahir sebagai respon atas sangat banyaknya narapidana yang

ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan dan pada umumnya hidup dalam

kondisi yang mengenaskan. Pada tahun 1945 dalam Lembaga Pemasyarakatan

terdapat sekitar 60.000 narapidana.634

Hal ini mendorong Direktur Pelayanan

Lembaga Pemasayarakan ketika itu, Paul Amor, untuk menggagas reformasi

Lembaga Pemasyarakatan. Reformasi Lembaga Pemasyarakatan yang digagas

terdiri dari 14 poin, diantara poin penting tersebut adalah menyiapkan pelepasan

terpidana dengan sistem Release On Parole dan pengawasan paska pemenjaraan

(post-sentence supervision).635

Setelah itu, berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas lembaga

pemasyarakatan dan persiapan terpidana untuk dapat hidup ditengah masyarakat

diwujudkan melalui penguatan kelembagaan dan perundang-undangan, seperti:636

1. Pelaksanaan penangguhan hukuman dengan syarat (1959);

2. Pembentukan Pusat Penahanan yang bertujuan untuk pengintegrasian

danPengembangan Hukuman Pengganti (Création des centres de détention

633

Bruno Pellisier dan Yves Perrier, probation in France, 3. lihat: http://www.cepprobation. org/

uploaded_ files/France%281%29.pdf 634

Ibid. 635 http://www.justice.gouv.fr/histoire-et-patrimoine-10050/le-ministere-dans-lhistoire-0289/histoir

e-de-ladministration-penitentiaire-16945.html 636 http://www.justice.gouv.fr/histoire-et-patrimoine-10050/le-ministere-dans-lhistoire-0289/histoir

e-de- ladministration-penitentiaire-16945.html

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

301

orientés vers la réinsertion et le développement des peines de substitution)

tahun 1975;

3. Pembentukan Hukuman Kerja Sosial dan Reformasi Hak-Hak Narapidana

tahun 1983;

4. Reformasi Perawatan Kesehatan bagi tahanan tahun 1994;

5. Pembentukan Pelayanan Lembaga Pemasyarakatan dan Percobaan tahun

1999;

6. Undang-Undang Tentang Orientasi dan Program Untuk Keadilan:

Peningkatan Keamanan dan Kemanusiaan Bangunan Lembaga

Pemasyarakatan tahun 2002 (loi d'orientation et de programmation pour

la justice: sécurisation et humanisation renforcées des établissements

pénitentiaires);

7. Undang-Undang yang mendukung perwujudan keadilan terhadap

perubahan kriminalitas melalui pengaturan hukuman untuk memberantas

tindakan residivis (la loi portant adaptation de la justice aux évolutions de

la criminalité développe les aménagements de peine pour lutter contre la

récidive) tahun 2004;

8. Pengesahan Piagam Aksi Pengelolaan Lembaga Pemasyarakatan (la

charte d'action de l'administration pénitentiaire) Tahun 2007;

9. Undang-Undang Lembaga Pemasyarakatan yang baru tahun 2009 (la loi

pénitentiaire) tanggal 24 November 2009.

Pasal 1 Undang-Undang Lembaga Pemasyarakatan tanggal 24 November

2009 menyatakan bahwa keberadaan Lembaga Pemasyarakatan memiliki

beberapa tujuan sekaligus yaitu: melindungi masyarakat, memberikan sanksi bagi

terpidana, menjaga kepentingan korban dan mempersiapkan narapidana tersebut

untuk dapat berintegrasi dengam masyarakat setelah keluar dari penjara.637

Salah

satu tujuan penempatan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan adalah agar dapat

berintegrasi dengan masyarakat selepas menjalani hukumannya. Untuk mencapai

tujuan ini, salah satu hal yang dipersiapkan adalah memfasilitasi kebutuhan

narapidana di penjara dengan menyediakan lapangan pekerjaan agar mereka tetap

dapat hidup dan menghidupi diri dan keluarganya selepas ditahan.

637

http://www.justice.gouv.fr/prison-et-reinsertion-10036

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

302

3. Release On Parole sebagai Gagasan Perancis.

Tidak semua narapidana harus menjalankan masa tahanannya hingga

selesai. Sebagian dari mereka mendapatkan dispensasi sehingga dapat keluar dari

Lembaga Pemasyarakatan sebelum waktunya. Dalam konteks ini, Perancis

memiliki jasa dalam merintis kebijakan ini sehingga diadopsi di banyak negara.

Parole berasal dari bahasa perancis yang artinya kata, yang digunakan terkait

dengan bebasnya tahanan. Terdapat gagasan bahwa bebasnya mereka atas dasar

kata-kata terhormat mereka, bahwa mereka tidak akan mengulangi kejahatannya.

Hal ini telah dipraktikkan sejak abad ke 18 yang membolehkan narapidana untuk

dibebaskan sebelum menjalani masa hukumannya secara penuh.638

Menurut kamus hukum, release on parole:639

the release of a convicted

criminal defendant after he/she has completed part of his/her prison

sentence, based on the concept that during the period of parole, the released

criminal can prove he/she is rehabilitated and can "make good" in society.

A parole generally has a specific period and terms such as reporting to a

parole officer, not associating with other ex-convicts, and staying out of

trouble. Violation of the terms may result in revocation of parole and a

return to prison to complete his/her sentence.

Jadi release on parole adalah pembebasan terpidana setelah narapidana

tersebut menjalani sebagian masa hukumannya dengan syarat. Berlandaskan

pada konsepsi bahwa pada masa periodepembebasan (on Parole) yang

bersangkutan dapat membuktikan dirinya telah berubah dan dapat menjadi

anggota masyarakat yang baik. Terhadap pelangaran ini maka pembebasan

ini akan dicabut dan yang bersangkutan akan dkembalikan ke Lembaga

Pemasyarakatan.

Release on parole berakar dari Perancis sejak abad ke-18. Gagasan release

on parole datang dari seorang hakim yang bernama Arnauld Bonneville yang

mengenalkan dan mensistematiskan ide tentang pembebasan bersyarat

(conditional liberation) selama pertengahan abad ke-19. Tahun 1846 Hakim

Bonneville memaparkan idenya di depan Parlemen Perancis tentang konsepsi

638

http://www.britannica.com/EBchecked/topic/444506/parole 639

http://dictionary.law.com/Default.aspx?selected=1451

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

303

pembebasan bersyarat, bagi mereka yang telah menjalani hukuman setengah dari

yang semestinya. Setelah terpidana menyampaikan bukti-bukti yang tak

terbantahkan kalau narapidana tersebut layak untuk keluar sebelum waktunya,

maka terpidana diijinkan untuk dibebaskan setelah bersedia pula mematuhi syarat-

syarat yang ditetapkan sebelum pembebasannya.

Terdapat empat hal yang menjadi point penting gagasan Hakim

Bonnevile640

terkait dengan rehabilitasi korban dan perlindungan masyarakat pada

saat bersamaan, yaitu: pertama, memotivasi terpidana untuk merubah hidupnya

sebelum keluar dari lembaga pemasyarakatan. Kedua, perlindungan dan dukungan

fisik dan psikologis bagi terpidana dan keluarganya selama periode pembebasan

bersyarat. Ketiga, pemantauan dan pengawasan selama periode pembebasan

bersyarat. Keempat, penghukuman kembali (kembali ke Lembaga

Pemasyarakatan) ketika ada perilaku yang buruk atau pelanggaran terhadap

syarat-syarat yang ditetapkan selama periode pembebasan bersyarat.

Walaupun beranjak dari sistem hukum yang berbeda, terdapat benang

merah dari praktik restorative justice pada kedua negara: bahwa keduanya

berupaya untuk memenuhi tujuan yang sama melalui pemberian hukuman atas

perbuatan tindak pidana yang dilakukan seseorang: yaitu memenuhi

keseimbangan dalam memperbaiki terpidana agar tidak mengulangi perbuatan

serupa dan dapat diterima masyarakat, melindungi masyarakat, memkompensasi

kehilangan yang diderita korban atau ahli warisnya. Dalam konteks pemberian

hukuman berupa pemenjaraan, Lembaga Pemasyarakatan dirancang sedemikian

rupa agar dapat memenuhi kebutuhan narapidana sehingga pada saat terpidana

640

Christopher L., "Conditional Liberation (Parole) in France" (1978). Scholarly Works.Paper 315.

lihat: http://scholars.law.unlv.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1336&context=facpub

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

304

menyelesaikan masa tahanannya, dia dapat siap tinggal dan hidup di tengah

masyarakat. Hal yang perlu dilakukan adalah sebagaimana praktek di Perancis,

negara harus dapat melakukan reformasi dalam berbagai aspek, seperti

mempermudah ruang bagi korban untuk mendapatkan ganti kerugian atas

kerugian yang diderita sehingga hubungan korban dan terpidana tereparasi,

memfasilitasi narapidana untuk beraktualisasi dalam Lembaga Pemasyarakatan

khususnya sesuatu yang bersifat produktif dan dapat dikomersilkan, pembenahan

administrasi Lembaga Pemasyarakatan, perawatan kesehatan bagi terpidana, dan

pemenuhan hak-hak narapidana seperti memfasilitasi kebutuhan narapidana

bersama istri/suaminya sebagiamana yang dilakukan di Arab Saudi.

Selain perbaikan terhadap hukuman pada Lembaga Pemasyarakatan,

praktik yang dijalankan di Selandia Baru dan Arab Saudi melalui implementasi

hukuman lain selain pemenjaraan, yaitu hukuman yang berbasis masyarakat

(community based sentences) dan bentuk hukuman lain seperti diyat (membayar

denda), perampasan aset, hukuman cambuk merupakan berbagai jenis hukuman

alternatif yang dapat dipelajari implementasinya di Indonesia. Berbagai jenis

hukuman tersebut, pada hakikatnya dapat mengurangi beban negara terutama

secara finansial tanpa secara bersamaan mengurangi hakikat tujuan pemidanaan

sebagaimana disebutkan sebelumnya.

Namun begitu pelaksanaan terhadap hukuman pengganti tersebut perlu

persiapan yang memadai. Bukan hanya pengelolaan manajemen Lembaga

Pemasyarakatan yang sudah baik, perlunya pembentukan lembaga-lembaga

pendukung (semacam Community Probation Service), namun juga perlunya

dukungan yang besar darimasyarakat, misalnya melalui lembaga-lembaga

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

305

(perkumpulan masyarakat) yang dapat menerima keberadaan narapidana di

tengah-tengah mereka.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

306

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah meneliti dan mencermati dinamika perkembangan restorative

justice dalam hukum pidana Islam dengan pendekatan filsafat hukum Islam dan

hubungannya dengan pembaruan hukum pidana di Indonesia, penulis

menyimpulkan bahwa:

1. Pendekatan keadilan restoratif dalam hukum Islam dikenal dengan istilah

al- afwu dan s}ulh, memberikan kesempatan dan kemungkinan bagi korban

kejahatan untuk memperoleh reparasi dan rasa aman, pelaku dapat

memahami sebab dan akibat perbuatannya dan bertanggung jawab dengan

cara yang berarti, serta masyarakat dapat memahami sebab utama

terjadinya kejahatan, untuk memajukan kesejahteraan masyarakat dan

mencegah kejahatan. Perbuatan memaafkan dan perdamaian dari

korban‟„atau keluarganya dipandang sebagai suatu yang lebih baik. Pihak

pelaku bisa dijatuhi sanksi diyat (yaitu sejumlah harta tertentu untuk

korban dan keluarganya). Pihak korban mendapat perbaikan dari sanksi

yang dijatuhkan, serta ada peranan korban dalam sistem dan proses

peradilan pidana.

2. Hukum Islam merupakan Living laws di Indonesia. Hukum Islam bisa

dipakai sebagai bahan atau sumber hukum bagi pembaruan hokum pidana

nasional. Hukum pidana Islam sangat menganjurkan penyelesaian perkara

pidana dengan cara perdamaian. Terdapat perbedaan yang sangat besar

antara penyelesaian perkara pidana menurut hukum pidana Islam dan

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

307

hukum pidana nasional tentang Restorative Justice mengenai tindak-tindak

pidana yang dapat dilaksanakan pemaafan dan perdamaian, ini bisa

menjadi komparasi untuk sistem peradilan pidana yang berada di

Indonesia. Sehingga semangat untuk menyelesaikan permasalahan dengan

pemaafan dan perdamaian bisa membawa kemaslahatan bagi seluruh

rakyat Indonesia.

3. Konstruksi pendekatan restoratif hukum pidana Islam dilakukan dengan

mengintegrasikan nilai-nilai hukum pidana Islam kedalam hukum pidana

nasional. Hukum pidana nasional tidak harus sama persis dengan hukum

piana Islam, melainkan hukum pidana Islam menjiwai produk pembaruan

hukum pidana nasional. Dengan metode za>wa>jir dan pendekatan ta’aqquli >,

maka diharapkan proses pembaruan hukum pidana nasional bisa

memenuhi rasa keadilan, kepastian dan kemaslahatan hukum, serta lebih

mudah diterima oleh seluruh masyarakat Indonesia.

B. Implikasi Teoritik

Disertasi ini berusaha untuk menampilkan teori yang pas dan cocok untuk

digunakan sebagai pendekatan dalam merumuskan dan merancang pembaruan

hukum pidana Indonesia. Proses pembaruan hukum pidana Indonesia tidak bisa

dilakukan hanya melalui satu pendekatan, karena kompleksitas problem yang

dihadapi, mulai dari perbedaan agama, ras, suku bangsa, Bahasa, adat istiadat dan

lainnya. Oleh karena itu, disertasi ini menawarkan beberapa pendekatan yaitu;

Teori dekonstruksinya an-Naiem dan teori Zawajir-nya Ibrahim Hosen.

Dalam melakukan pembaruan teori hukum publik Islam, An-Na‟im

menawarkan teori naskh atau teori “naskh terbalik”. Teori ini sejatinya

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

308

merupakan bentuk upaya rekonstruksi dari metode nasakh yang sudah mapan

dalam kajian ushūl al-fiqh. Pendekatan rekonstruktif ini, An-Na‟im tempuh dalam

rangka menyesuaikan nash-nash Alqur‟an dan al-Sunnah dengan kondisi modern.

Hal ini dilakukan guna memenuhi tuntutan penerapan al-Qur‟an dan al-Sunnah.

Karenanya, perlu interpretasi yang memadai agar semangat yang dikandungnya

dapat ditangkap.

Teori berikutnya diambil dari Ibrahim Hossen, seorang pemikir Hukum

Islam dari Indonesia. Terkait pembaruan hukum pidana Islam, Ia menawarkan

pendekatan zawājir; yakni hukuman dalam pidana Islam yang dijatuhkan terhadap

pelaku tindak pidana tidak harus persis atau sama bentuk hukumannya dengan apa

yang secara tekstual termaktub dalam Alqur‟an dan al-Hadits. Pelaku boleh

dihukum dengan bentuk hukuman apa saja. Dengan catatan hukuman tersebut

mampu mencapai tujuan hukum yaitu membuat jera pelaku dan menimbulkan rasa

takut bagi orang lain untuk melakukan tindakan pidana. Dalam rumusan

ijtihadnya pada bidang hukum pidana Islam, Ibrahim Hosen menggunakan

pendekatan ta‟aqqulī dari pada pendekatan ta‟abbudi> (hukum Islam diterima apa

adanya tanpa disertai komentar (rasionalisasi). Pendekatan ta‟aqqulī lebih

menekankan rasionalisasi ajaran dalam hokum pidana Islam agar mudah dipahami

dan dapat dilaksanakan secara simultan dalam teori dan praktiknya secara

bersamaan.

Restorative Justice dalam hukum pidana Islam dapat berimplikasi pada

efektifitas penegakan hukum di Indonesia. Kejahatan akan berkurang, penjara

tidak akan over capacity serta terciptanya keamanan dan ketentraman dalam

masyarakat.Hukum pidana Islam dapat dijadikan sebagai bahan atau sumber

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

309

hukum dalam pembaruan hukum pidana Indonesia. Penyerapan nilai-nilai hukum

pidana Islam dapat terlaksana dengan baik melalui proses objektifikasi istilah-

istilah teknis dan bentuk-bentuk hukuman dari hukum pidana Islam. Dengan

metode ini, diharapkan hukum pidana Islam secara subtansial-kontekstual tetap

menjadi bagian dari jiwa pembaruan hukum pidana Indonesia, meskipun secara

formal-tekstual tidak nampak di permukaan, sesuai dengan kaidah, “Ma laa

yudraku kulluhu, la yutraku kulluhu” (sesuatu yang tidak mungkin terwujud

seluruhnya, tidak boleh ditinggalkan (yang terpenting didalamnya) seluruhnya”.

C. Keterbatasan Penelitian.

Dalam melakukan penelitian ini dari awal hingga hasil akhir penelitian,

tentu terdapat banyak sekali kekurangan dan keterbatasan-keterbatasan yang

penulis rasakan, antara lain:

Pertama, lingkup penelitian. Lingkup penelitian ini hanya terfokus pada

studi kepustakaan dan sejarah saja, yaitu berupa kajian literature dan pemikiran

para tokoh. Namun, hasil penelitian ini bisa dijadikan acuan atau perbandingan

bagi akademisi, pemerintah, penegak hukum dan masyarakat, mengingat

pentingnya konsep restoratif ini.

Kedua, penelitian pembanding dan lanjutan. Jika ditelisik lebih dalam,

penelitian tentang restorative justice perspektif filsafat hukum Islam belum

banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti lainnya, sehingga penelitian ini bersifat

temuan baru dan bisa dijadikan tambahan referensi bagi peneliti lainnya.

Ketiga, penelitian tentang restorative justice perspektif filsafat hukum

Islam ini belum komprehensip. Maka perlu pemetaan secara historis, sehingga ada

kajian historis yang representative yang dapat menggambarkan proses masuknya

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

310

nilai-nilai hukum pidana islam dalam pembaruan hukum pidana Indonesia,

khususnya nilai-nilai restorative justice dalam hukum pidana Islam.

D. Rekomendasi.

Konsep restorative justice belum diatur secara jelas dalam sistem

peradilan pidana kita sehingga menempatkan penegak hukum dalam posisi yang

sulit dan dilematis mengingat penyelesaian perkara dalam perkara pidana kita

sangat formalistik legalistik. Konsep ini harus diberi payung/kerangka hukum

yang dintegerasikan dalam hukum pidana materiil (KUHP) dan hukum pidana

formil (KUHAP). Agar konsep ini dapat digunakan dalam menyelesaikan perkara

tindak pidana ringan, harta kekayaan dan badan serta jiwa, maka seyogyanya

konsep ini dirumuskan dalam suatu perundang-undangan nasional. Hal itu

diperlukan karena tanpa suatu undang-undang yang mengatur secara tegas konsep

restorative justice atau perdamaian, maka aparat penegak hukum akan

menghadapi kesulitan dalam penerapannya. Politik hukum dalam kebijakan

legislasi mengenai restorative justice merupakan jawaban atau solusi untuk

mengatasi masalah yang timbul dalam praktek yang diakibatkan bekerjanya

sistem peradilan pidana. Oleh karena itu adanya payung hokum diperlukan agar

restorative justice memperoleh akar yang lebih kuat dalam implementasinya,

sehingga mengembalikan tujuan hukum pidana sebagai ultimum remedium.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

311

Daftar Kepustakaan

Abdullah, M. Amin, Preliminary Remarks on The Philoshophy of Islamic

Religious Science dalam al-Jami‟ah: Journal of Islamic Studies No. 61

tahun 1998.

Abdullah, Musthafa. dkk. Intisari Hukum Pidana, (Jakarta; Ghalia Indonesia,

1983).

Abi> Sulaima>n, Abd al-Wahha>b Ibra>hi>m, al-Fikru al-Us}u>li> : Dira>sah Tahli>liyyah Naqdiyyah, Jeddah: Da>r al-Syuru>q,1983.

Aertsen, Ivo. et.al, Restorative Justice and the Active Victim: Exploring the

Concept of Empowerment, (Journal TEMIDA, Mart 2011).

al-Ghaza>li>, Abu> Ha>mid. al-Mustasyfa> min Ilm al-Us}u>l, Beirut: Da>r al-Fikr, t.th.,

Ali, Mohammad Daud. Hukum Islam; Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum

Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet. ke-11,2004).

Al-Qat}t}a>n, Manna>’. Maba>hist fi> Ulu>m al-Qur’a>n, t.tp, Mansyu>ra>t al-As}r al-

Hadits>, t.th.

Amal, Taufik Adnan, Islam dan Tantangan Modernitas, Studi Atas Pemikiran

Hukum Fazlur Rahman, Bandung: Mizan, 1994.

An-Na‟im, Abdullahi Ahmed. Islam dan Negara Sekuler; Menegosiasikan Masa

Depan Syari‟ah, terj. Sri Murniati Bandung: Mizan, 1997.

An-Na‟im, Abdullahi Ahmed. Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties,

Human Rights and International Law New York: Syracuse University

Press, 1996.

Anwar, Syamsul. Studi Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: RM. Books,

2007).

Arief, Barda Nawawi. 2010, Mediasi Penal dalam Penyelesaian Perkara Di Luar

Pengadilan, Semarang: Pustaka Magister.

Arief, Barda Nawawi. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana; Perkembangan

Penyusunan Konsep KUHP Baru, (Jakarta: Kencana, 2010).

Ash-Shidiqie, Tengku Muhammad Hasbi, Pengantar Hukum Islam, Semarang:

PT. Pustaka Rizki Mulia, 2001.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

312

Atmasasmita, Romli. Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System):

Perspektif Eksisten sialisme dan Abolisionisme, Bandung; Bina Cipta.

1996.

‘Audah, Jasser. Maqa>s}id al- Shari>’ah Falsafah Li al-Tashri >’ al-Isla>mi> (London:

The International Institute Of Islamic Thought, 2007).

Audah, Jasser. Maqasid As Philoshophy Of Islamic Law (London: The

International Institute Of Islamic Thought, 2008).

Audah, Abd al-Qadir al-Tasyri> al-Jina>’i > al-Isla>mi> Muqa>ranan bi al-Qa>nu>n al-Wadh’i >, Jilid I, (Beiru>t: Muasasah al-Risa>lah Litiba >’ah wa al-Nasyr wa al-

Tauzi>’i, 1992).

Azhari, Muhammad Tahir, Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-

Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode

Negara Madinah dan Masa Kini, cet ke-4, Jakarta: Kencana Prenada

Media Group, 2010.

Azizy, Qodri Abdillah. Membangun Integritas Bangsa, (Jakarta: Renaisan, 2004).

Azizy, A. Qodri A. Eklektisisme Hukum Nasional; Kompetisi Antara Hukum

Islam dan Hukum Umum, Yogyakarta: Gama Media, 2002.

Bruinessan, Martin Van, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, Bandung: Mizan,

1995.

Burdah, Ibnu (ed.), Membumikan Hukum Langit: Nasionalisasi Hukum Islam dan

Islamisasi Hukum Nasional Pasca Reformasi, Yogyakarta: Tiara Wacana,

2008.

Dahlan, Mohammad,Abdullah Ahmed An-Naim: Epistimologi Hukum Islam, cet.

ke-1, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.

Djazuli, A. Fiqh siyasah: implementasi kemaslahatan umat dalam rambu syariat.

Jakarta: Predana Media. 2003.

Djazuli, Ahmad, Ilmu fiqh; Penggalian dan Penerapan Hukum Islam, Jakarta:

Kencana, 2010.

Effendy, Bahtiar, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik

Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina,1998.

Fanani, Muhyar, Metode Studi Islam; Aplikasi Sosiologi Pengetahuan Sebagai

Cara Pandang, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013.

H. Strang, J. Braitwaite (eds), Restorative Justice: Philosophy to Practice.

Journal TEMIDA Mart 2011.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

313

Hamzami, Achmad Irwan. Pendekatan Restorative Justice dalam Pembangunan

Hukum Pidana Nasional Berbasis Ketentuan Qis}a>s -Diyat dalam

Hukum Pidana Islam, Semarang: PPs. Universitas Diponegoro, Desertasi,

2015.

Hosen, Ibrahim, Pembaruan Hukum Islam di Indonesia Jakarta: Putra Harapan,

1990.

Ibrahim, Duski, Metode Penetapan Hukum Islam;Membongkar Konsep al-Istiqra‟

al-Ma‟nawi al-Syathibi Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008.

Jauziyah, Ibnu Qayyim al-, Panduan Hukum Islam, alih bahasa Asep Saefullah

FM dan Kamaluddin Sa‟adiyat uharamain, cet. ke-2, Jakarta: Pustaka

Azam, 2007.

Juhaya S. Praja. Filsafat Hukum Islam. Dalam Tjun Surjaman (ed.). Hukum Islam

di Indonesia: Pemikiran dan Praktik, Bandung: Remaja Rosdakarya.,1991.

Katsir, I. Tafsir Ibnu Katsir. (A. Ghoffar & M. Abdul, Trans.). Bogor: Pustaka

Imam asy Syafi‟I, 2003.

Khalla>f, Abd al-Wahha>b. Ilm Us}u>l al-Fiqh. Al-Qa>hirah: Da>r al-‘Ilm‘li al-

Thiba>’ah wa al-Nasyr wa al-Tawz>i’, 1978.

Khallaf, Abdul Wahhab, Sumber-Sumber Hukum Islam, alih bahasa Bahrun Abu

Bakar, cet. ke-1, Bandung: Risalah, 1984.

Levin, Marc. Restorative justice in Texas: Past, Present and Future, Texas: Texas

Public Policy Foundation, 2005.

M. Sularno, Syari‟at Islam dan Upaya Pembentukan Hukum Positif di Indonesia,

dalamJurnal al-Mawardi, Edisi XVI, 2006.

Mahfud MD, Moh. Politik Hukum dalam Perda Berbasis Syari‟ah,,Jurnal Hukum,

No. 1 Vol. 14, Januari 2007.

Mathew Lipman et all, Islamic Criminal Law and Procedure, New York: Praeger,

1988.

Mawardi, Imam al-, Al-Ahkam As-Sulthaniyyah, alih bahasa Fadli Bahri, cet ke-

3, Jakarta: Darul Falah, 2007.

Mohammad Daud Ali. Kedudukan Hukum Islam dal am Sistem Hukum

Indonesia, Dalam Taufik Abdullah dan sharon Siddiq ue (ed.). Tradisi dan

Kebangkitan Islam di Asia Tenggara. Terj. oleh Rochman Achwan.

Jakarta: LP3ES, 1989.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

314

Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja

Rosdakarya, 2001).

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung:

Alumni, 1992.

Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik, dan Sistem Peradilan Pidana,

Semarang:Badan Penerbit Universitas Diponegoro. 1997.

Muslich, Ahmad Wardi. Pengantar dan Asas Hukum Islam, Jakarta: Sinar

Grafika, 2004.

Nawawi, Hadari. Metode Penelitian Bidang Sosial,Yogyakarta: Gajah Mada

University Press, 1991.

Nazir, Moh. Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998.

Nu‟mani, S. M. S. Serial Lelaki yang Dijamin Masuk Surga, Best Stories of Umar

bin Khaththab. (A. Aziz, Trans.). Jakarta: Kaysa Media. 2015.

O‟ Connell, & Morris and Max-well, Restorative or Community Conferencing,

The IIRP, 2001.

Poerwandari, E. Kristi. Pendekatan Kualitatif Untuk Perilaku Manusia, 3rd

ed.

Jakarta: LPSP3, 2009.

Praja, Juhaya S., Teori Hukum dan Aplikasinya, Bandung: Pustaka Setia, 2011.

R. Bogdan dan Steven Taylor, Introduction to Qualitative Research Methods,

John Wiley & Sons, 1984.

Rahmat, Pupu Saeful. Penelitian Kualitatif, Equilibrium 5, no. 9, 2009.

Ritzer, Goerge, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Jakarta:

Penerbit CV. Rajawali, 1985.

Rofiq, Ahmad. Kritik Metodologi Hukum Islam Indonesia, dalam Anang Haris

Himawan (ed.) dalam Epistemologi Syara‟ Semarang: IAIN Walisongo

Press, 1998.

Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah. (K. A. Marzuki, Trans.). Bandung: Al-Ma‟arif.1987.

Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah, alih bahasa H. A. Ali, cet ke-7, Bandung: Alma‟arif,

1995, 12 Jilid.

Safi, Louay, Ancangan Metodologi Alternatif (The Fondation ofKnowledge; A

Comparative Study in Islamic and Western Methods of Inquiry, terj. Imam

Khoiri Yogyakarta: TiaraWacana, 2001.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

315

Shihab, M. Q. Tafsir Al-Mishbah Pesan,Kesan, dan Keserasian Al-Quran.

Jakarta: Lenteng Hati.2000.

Sjadzali, Munawwir, Ijtihad Kemanusiaan, Jakarta: Paramadina, 1997.

Soeroso, Moerti Hadiati. Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Perspektif

Yuridis-Viktimologis, Jakarta: Sinar Grafika.2010.

Sudarto. Hukum Pidana 1, Semarang: Yayasan Sudarto. 2013.

Summa, Muhammad Amin dkk, Pidana Islamdi Indonesia; Peluang, Prospek dan

Tantangan, Jakarta: Pustaka Firdaus,2001.

Sunaryo, Sidik. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Malang: UMM Pres,

2005.

Sutrisno, Fazlur Rahman; Kajian Kritis terhadap Metode, Epistemologi dan

sistem Pendidikan, Yogyakarta: PustakaPelajar, 2006.

Syahrur, Muhammad, al-Kitāb wa al-Qur’ān, Damaskus: al-Ahali li al-Thiba’ah

wa al-Nasyr wa al-Tauzi’, 1992.

Syahrur, Muhammad, al-Kita>b wa al-qur’a>n; Qira>‟ah Mu‟a>s}irah, Damaskus: al-

Ahali, 1990.

Syahrur, Muhammad, Dira>sah Islāmiyyah, Mu’a>s}irah Damaskus: al-Ahali li al-

Thiba’ah wa al-Nasyr wa al-Tauzi’, cet. 1, 1994.

Syalt}u>t, Mahmu>d. al-Isla>m Aqi>dah wa as-Syari>’ah. Kairo: Da>r al-Qalam. Cet.

III.1966.

Syaukani, Imam. Rekonstruksi Epistemologi Hukum Islam Indonesia, Jakarta:

Raja Grafindo Persada, 2006.

Tamrin, Dahlan, Filsafat Hukum Islam, Malang: UIN Malang Press, 2007.

Tanya, Bernard T. dkk.,Teori Hukum; Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan

Generasi, Yogyakarta: Genta Publishing, 2010.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar

Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Cet. IX.1997.

Turner, Jonathan H. The Structure of Sociological Theory,Homewood Illinois:

The Dorsey Press, 1975.

Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Islam, jilid 7, Jakarta: Gema Infsan, 2011.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

316

Wirawan, Teori-Teori Sosial Dalam Tiga Paradigma: Fakta Sosial, Definisi

Sosial dan Perilaku Sosial, Jakarta: Prenada Media Group, 2012.

Peraturan Perundang-undangan:

Republik Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2014 tentang

Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak.

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2015 tentang

Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang Belum

Berumur 12 (Dua Belas)Tahun.

Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem

Peradilan Pidana Anak.

Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian

Negara Republik Indonesia.

Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2004 tentang

Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 13 Tahun 2006 tentang

Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 16 Tahun 2004 tentang

Kejaksaan Republik Indonesia.

Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia.

Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian

Republik Indonesia.

Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan

Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia.

Republik Indonesia, Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum

Acara Pidana.

Republik Indonesia, Keputusan Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum

Mahkamah Agung Nomor 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 tentang

Permberlakuan Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

317

Laporan Penelitian/Makalah:

Mudzakir. Viktimologi Studi Kasus di Indonesia, Makalah, disampaikan pada

Penataran Hukum Pidana dan Kriminologi Ke-XI, Surabaya.2005.

Rena Yulia Nuryani. Restorative Justice Sebagai Alternatif Perlindungan Hukum

Terhadap Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Jurnal, Universitas

Islam Bandung, Bandung.2009.

Taufik Hidayat, Restorative Justice Sebuah Alternatif, dalam Jurnal Restorasi,

Edisi IV, Volume 1. 2005.

Jurnal

Diana, Rika. Kekerasan dalam Rumah Tangga, JIA/Juni 2010/Th. XI/Nomor

1/71-84.

Fox, Darrell. Social Welfare and Restorative Justice, Journal Kriminologija

Socijalna Integracija Year 2009 Vol 17 Issue 1 Pagesrecord No. 55-68,

(London Metropolitan University: Department of Applied Social Sciences,

2009).

Kryger, Martin. Law as Tradition, Journal of Law and Philosophy, Vol. 5 No. 2

August 1986.

Mudzakir. Perkembangan Viktimologi dan Hukum Pidana, Makalah disampaikan

pada‟“Pelatihan Hukum Pidana dan Kriminologi: Kerjasama Fakultas

Hukum UGM dan Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia

(MAHUPIKI), di University Club UGM Yogyakarta: 23-27 Februari 2014.

Mulyadi, Lilik. Mediasi Penal dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia:

Pengkajian Asas, Norma, Teori, dan Praktik, Yustitia Edisi 85 Januari-

April. 2013.

Prayitno, Kuat Puji. Restorative Justice untuk Peradilan Pidana di Indonesia,

Jurnal Dinamika Hukum Vol. 12. 2012.

Rahman, Fazlur, Islamic Modernism: Its Scope, Method and Alternatives, dalam

International Journals of Middle East Studies, Vol. I, tahnun 1970.

Rahman, Fazlur, The Concept of Hadd in Islamic Law, dalam Islamic Studies

Journal, Vol. IV, No. 3 September 1965.

Saloko, Murniati. Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Perspektif Hak Asasi

Manusia, Jurnal Ilmiah Islah Vol. 13 No. 02/ Mei-Agustus. 2011.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

318

Website

Admin (Ed), Hukum Progresif: Belajar dari Kasus Sudarta, http://harnas.

co/2014/ 12/22/belajar-dari-kasus-sudarta, diakses tanggal 05 Oktober

2020.

Christopher L. Conditional Liberation (Parole) in France, (1978). Scholarly Works.

Paper 315. lihat: http://scholars.law.unlv.edu/cgi/viewcontent.cgi? article=

1336&context=facpub.

http://www.corrections.govt.nz/careers/opportunities-at-corrections/cpps-jobs.html.

Ettienne verges, procedure penale, Litec: Paris, 2005.

http://152.118.58.226 - Powered by Mambo Open Source Generated; 2019/02 /21.

http://books.google.co.id, Keadilan yang lebih mendekatkan diri dan mendengar

jeritan korban.

http://dictionary.law.com/Default.aspx?selected=1451.

http://www.britannica.com/EBchecked/topic/444506/parole://www.corrections.govt.z/

http://www.corrections.govt.nz/about-us/corrections-vision.html

http://www.corrections.govt.nz/careers/opportunities-at-corrections/cpps-jobs/probation-

officer.html.

http://www.corrections.govt.nz/community-assistance/corrections-in-thecommunity/int

roduction.html

http://www.justice.gouv.fr/prison-et-reinsertion-10036/les-chiffres-clefs-10041/

http://www.menulisproposal.penelitian.compendekatanfenomenologidalam.html.

(2019/12/21).

http://www.paroleboard.govt.nz/about-us/cases-and-eligibilit. html. http://www.parole

board.govt.nz/utility/privacy-statement.html

https//id.m.wikipedia.org.Program Legislasi Nasional 2015-2019, (2019/02/21).

Jacques Borricand, World Factbook of Criminal Justice System in France, lihat:

http://www.police.online.fr/lawfr.htm.

Medan Bisnis, Mahkamah Agung: UU KDRT Berkiblat ke Asing,http://www.

medanbisnisdaily.com/news/read/2014/12/22/137020/mahkamah-agung-

uu-kdrt-berkiblat-ke-asing/#.VMkqfXufhVc, 05 Oktober 2020.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

319

Poernomo Gontha Ridho. Indonesia Bisa Terapkan Sanksi Pidana Tanpa Penjara,

http://www.infoanda.com., diakses tanggal 29 Oktober 2020.

Report attacks french‟s human rights record, lihat: http://www.guardian.co.uk/

world/ 2006/feb/13/france.mainsection.

Widodo. Diversi dan Keadilan Restoratif dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di

Indonesia: Urgensi dan Implikasinya. http://id.portalgaruda.org. diakses

pada tanggal 5 Oktober 2020.

Wikipedia,the free encyclopediahttp://en.wiki-pedia.org/wiki/Restorative justice;

(2019/02/21).

www.kompas.com. Keadilan prosedural, (2019/02/21).

www.suaramerdeka.com. Keadilan prosedural, (2019/02/21).

Yvles-Louis Sage, The Operation of the Law of civil Liability in France as am

menas of providing compensatin for persons who suffer loss. www.upf.pf/IMG/doc/8Sage.doc