DISERTASI - Universitas Brawijaya

417
i IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KAWASAN TANPA ROKOK (Studi terhadap Peraturan Daerah Kota Palembang No. 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok pada Instansi Pemerintahan Kota Palembang) DISERTASI Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Doktor Oleh: ATRIKA IRIANI 137030201111001 PROGRAM DOKTOR ILMU ADMINISTRASI MINAT ADMINISTRASI PUBLIK FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2018

Transcript of DISERTASI - Universitas Brawijaya

i

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KAWASAN TANPA ROKOK (Studi terhadap Peraturan Daerah Kota Palembang No. 7 Tahun 2009

tentang Kawasan Tanpa Rokok pada Instansi Pemerintahan Kota Palembang)

DISERTASI

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Doktor

Oleh:

ATRIKA IRIANI 137030201111001

PROGRAM DOKTOR ILMU ADMINISTRASI MINAT ADMINISTRASI PUBLIK

FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG 2018

ii

LEMBAR PENGESAHAN

iii

IDENTITAS TIM PENGUJI DISERTASI

Judul Disertasi : IMPLEMENTASI KEBIJAKAN KAWASAN TANPA ROKOK (Studi terhadap Peraturan Daerah Kota Palembang No. 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok pada Instansi Pemerintahan Kota Palembang)

Nama : ATRIKA IRIANI Nim : 137030201111001 Program Studi : Ilmu Administrasi Minat : Administrasi Publik Komisi Promotor:

Promotor : Prof. Dr. Sumartono, MS

Ko-Promotor 1 : Dr. Suryadi, MS

Ko-Promotor 2 : Dr. Endah Setyowati, S.Sos., M.Si

Tim Penguji:

: 1. Prof. Dr. Soesilo Zauhar, MS

: 2. Dr. Lely Indahmindarti, M.Si

: 3. Dr. Bambang Santoso Haryono, MS

: 4. Dr. Chairul Saleh, MS

: 5. Prof. Dr. Hary Yuswadi, MA

: 6. Prof. Dr. P. Israwan Setyoko, MS

Tanggal Ujian : 28 Desember 2018

iv

PERNYATAAN ORISINALITAS DISERTASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa sepanjang pengetahuan Saya, di dalam naskah Disertasi ini tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik di suatu Perguruan Tinggi, dan tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis dikutip dalam naskah ini dan disebutkan dalam sumber kutipan dan daftar pustaka.

Apabila pernyataan di dalam naskah disertasi ini dapat dibuktikan terdapat

unsur-unsur PLAGIASI, Saya bersedia DISERTASI ini digugurkan dan gelar akademik yang telah Saya peroleh (DOKTOR) dibatalkan, serta diproses sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Malang, 2019 Mahasiswa,

Nama : Atrika Iriani NIM : 137030201111001

Program Doktor Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya

v

DISERTASI INI KUPERSEMBAHKAN KEPADA:

Keluarga besar Universitas Brawijaya Malang

dan

Keluarga Besar Pascasarjana STISIPOL CANDRADIMUKA Palembang khususnya Direktur Pascasarjana STISIPOL CANDRADIMUKA Palembang

Dr. Hj. Nurmah Semil, M.Si yang senantiasa mensupport studiku

serta

Orang Tuaku Terkasih Ayahku Riza Kadarisman dan Ibuku Nursinah untuk Do’a yang selalu dipanjatkan dan dukungan moral maupun material

Saudara-saudaraku tersayang: Bambang Try Sutrina, S.Pd & Misla Nurhasanah, S.Pdi,

Muhammad Riansyah, Amd M. Akbar Shaleh

Kekasihku Herdhika Handoko Kridho, ST yang selalu menginspirasi, memotivasi dan mendukung studiku

Keponakanku yang menggemaskan dan selalu mengingatkanku untuk pulang, Baby twin Adrian Akbar Gouzan dan Adila Nisa Ardani

Keluarga besar dan Teman-teman yang telah mendukung dalam studiku

vi

RIWAYAT HIDUP PENULIS

Atrika Iriani, S.IP., M.Si lahir di Palembang 18 Januari 1987, merupakan anak kedua dari lima bersaudara, pasangan Bapak Riza Kadarisman dan Ibu Nursinah dan bertempat tinggal di Kelurahan Lebung Gajah Kecamatan Sematang Borang Palembang.

Riwayat Pendidikan formal dilalui dari TK Bunda Kandung lulus tahun 1992, SDN 406 Palembang lulus tahun 1998, SMPN 14 Palembang lulus tahun 2001, SMAN 14 Palembang lulus tahun 2004, kemudian melanjutkan pendidikan Sarjana (S1) di Universitas Sriwijaya Inderalaya pada Jurusan Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dan lulus pada tahun 2008 dengan predikat cumlaude. Selanjutnya menempuh Pendidikan Magister (S2) Jurusan Administrasi Publik pada tahun 2011 di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sriwijaya dan lulus pada tahun 2013 dengan predikat cumlaude. Ditahun yang sama melanjutkan Pendidikan Program Doktor (S3) di Program Doktor Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya Malang dan lulus tahun 2018

Riwayat Pekerjaan diawali dengan menjadi peserta Cooperative Education (Co Op) PT PLN KIT SBS, tahun 2007 hingga 2009. Selanjutnya menjadi Dosen LB di Universitas PGRI Palembang Tahun 2009-2013. Sejak Tahun 2013 hingga saat ini menjadi Dosen Tetap di Pasca Sarjana Stisipol Candradimuka Palembang.

Malang, 2019 Penulis, Atrika Iriani, S,IP., M.Si

vii

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis memanjatkan puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala

karunia, rahmat dan hidayahNya sehingga Disertasi yang berjudul ”Implementasi

Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (Studi terhadap Peraturan Daerah Kota

Palembang No. 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok pada Instansi

Pemerintahan Kota Palembang)” dapat diselesaikan dengan baik.

Penulis menyadari betul bahwa tanpa adanya bimbingan dan dukungan

dari berbagai pihak, Disertasi ini tidak dapat terselesaikan dengan baik. Untuk itu,

Penulis dengan segala hormat dan penuh rendah hati menyampaikan

penghargaan dan rasa terima kasih yang tulus dan tak terhingga kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Nuhfil Hanani A.R., M.S. selaku Rektor Universitas

Brawijaya Malang yang telah menerima dan memberikan waktu dan

kesempatan untuk mengikuti pendidikan Program Doktor minat Ilmu

Administrasi Publik

2. Bapak Prof. Dr. Bambang Supriyono, MS, selaku Dekan Fakultas Ilmu

Administrasi Universitas Brawijaya Malang

3. Bapak Prof. Dr Sumartono, MS selaku Ketua Program Studi Ilmu

Administrasi Universitas Brawijaya Malang, sekaligus sebagai Promotor

yang penuh kesabaran dan perhatian memberikan bimbingan dalam

penulisan Disertasi ini

4. Bapak Dr. Suryadi, MS sebagai Ko-Promotor yang penuh kesabaran

dan perhatian memberikan bimbingan dalam penulisan Disertasi ini

5. Ibu Dr. Endah Setyowati, S.Sos., M.Si sebagai Ko-Promotor yang penuh

kesabaran dan perhatian memberikan bimbingan dalam penulisan

Disertasi ini

viii

6. Ibu Dr. Hj. Nurmah Semil, M.Si selaku Direktur Pascasarjana Stisipol

Candradimuka Palembang yang telah memberikan kesempatan, dan

dukungan untuk mengikuti pendidikan Program Doktor minat Ilmu

Administrasi Publik Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya

Malang

7. Dinas Kesehatan Kota Palembang yang telah memberikan izin

penelitian, izin mengikuti supervisi KTR dan memberikan data-data

penelitian dalam rangka penyempurnaan penulisan Disertasi

8. Kedua Orang Tua, untuk kasih sayang yang tanpa batas, untuk do’a-

do’a yang senantiasa dipanjatkan, serta dukungan moril dan materiil

sehingga Penulis dapat menyelesaikan studi sampai Program Doktor

9. Saudara-saudaraku tersayang serta keponakanku yang

menggemaskan, yang senantiasa memotivasi Penulis untuk segera

menyelesaikan studi

10. Kekasihku Herdhika Handoko Kridho, ST, untuk perhatian dan tempat

mencurahkan segala keluh kesah sekaligus memotivasi dan

menginspirasi Penulis sehingga dapat menyelesaikan Disertasi

11. Seluruh rekan-rekan mahasiswa Program Doktor khususnya angkatan

2013, minat Ilmu Administrasi Publik Fakultas Ilmu Administrasi

Universitas Brawijaya Malang, untuk kebersamaannya serta perjuangan

yang tak kenal lelah dalam menyelesaikan Studi

12. Seluruh rekan-rekan civitas akademika Pascasarjana Stisipol

Candradimuka Palembang

ix

13. Seluruh rekan-rekan civitas akademika Program Doktor khususnya

angkatan 2013, minat Ilmu Administrasi Publik Fakultas Ilmu

Administrasi Universitas Brawijaya Malang

14. Semua pihak yang telah memberikan bantuan, baik secara langsung

maupun tidak langsung atas selesainya proses pendidikan dan

penulisan Disertasi ini, yang tidak bisa disebutkan satu persatu, semoga

bantuannya menjadi amal baik dan mendapatkan balasan disisi Allah

SWT, Amin.

Malang, 2019 Penulis, Atrika Iriani, S,IP., M.Si

x

RINGKASAN

Atrika Iriani, Program Doktor Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya Malang, 2018. Judul Kajian “Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (Studi Terhadap Peraturan Daerah Kota Palembang No. 7 tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok pada Instansi Pemerintahan Kota Palembang)”. Promotor: Prof. Dr. Sumartono, MS; Ko. Promotor: Dr. Suryadi, MS dan Dr. Endah Setyowati, S.Sos., M.Si.

Latar belakang penelitian ini, peneliti memahami fenomena kesenjangan empirik/realitas, teoritik, dan normatif permasalahan Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok Kota Palembang. Berangkat dari permasalahan tersebut, peneliti merumuskan kajian tentang Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok, faktor-faktor yang menjadi pendukung dan penghambat kepatuhan pegawai dalam implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Instansi Pemerintahan Kota Palembang, serta model Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang yang ideal.

Landasan teori yang digunakan untuk melakukan analisis data dalam penelitian ini diantaranya tentang model Implementasi kebijakan yang menyebutkan berbagai macam dimensi tersebut. Pada penelitian ini peneliti menggunakan tiga unsur yang relevan dengan penelitian, yakni pertama Proses Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang, yang terdiri dari isi kebijakan, konteks implementasi dan Hasil Kebijakan; kedua Faktor pendukung dan penghambat dalam proses Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang; serta ketiga, Eksisting Model Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang yang ideal

Metode penelitian menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan teknik pengumpulan data dengan indepth interview, observasi, dan dokumentasi untuk menganalisis implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Instasi Pemerintahan Kota Palembang. Selanjutnya analisis data yang digunakan adalah analisis data model interaktif yang digagas oleh Miles, Huberman, dan Saldana (2014), dimana setelah data dikumpulkan, dikondensasi kemudian disajikan maka dilakukan penarikan kesimpulan mengenai implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Instasi Pemerintahan Kota Palembang

Hasil penelitian ini, mengungkapkan bahwa Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang telah dilaksanakan namum masih ditemukan berbagai kendala dalam konteks implementasinya antara lain kurangnya SDM, dan dana pelaksanaan Perda KTR, kurangnya koordinasi antara Pimpinan Instansi dan para Pegawai serta pelaksanaan Sidang Yustisi kepada pelanggar KTR hanya sebatas pemberian teguran saja, belum ada yang diberikan sanksi administratif. Sehingga masih ditemukan pelanggaran didalam Kawasan Tanpa Rokok. Faktor yang mendukung Implementasi Perda KTR, meliputi: telah mengakomodir Kepentingan Pelaksana Kebijakan, Pimpinan Instansi serta Kepentingan Masyarakat. Tersedianya sticker-sticker Perda KTR maupun Pembentukan Tim Pengawas Internal di Instansi Pemerintahan dalam rangka dengan melibatkan seluruh security/Petugas Keamanan tanpa kecuali. Faktor yang menghambat keberhasilan Implementasi Perda KTR, meliputi: Beban Kerja Personil Satpol PP maupun Dinas Kesehatan Kota Palembang cukup banyak, Kurangnya dana publikasi penegakan Perda KTR, Layanan Informasi masih terbatas. Model Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Kota

xi

Palembang yang ideal, berupa implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok dengan yang tidak hanya melihat pada isi kebijakan, konteks implementasi maupun hasil kebijakan, tetapi juga harus memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan terhadap kabijakan kawasan tanpa rokok yang meliputi faktor predisposisi, faktor pemungkin dan faktor penguat.

Temuan penelitian ini, bahwa menganalisis implementasi kebijakan tidak hanya dilihat dari sisi konten kebijakan, konteks implementasi maupun hasil kebijakan seperti yang diungkapkan Grindle (1980), tetapi juga harus memperhatikan pada faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan meliputi faktor predisposisi, faktor pemungkin dan faktor penguat implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok, serta penerapan sanksi ekonomis pada akhirnya akan menumbuhkan kesadaran, dukungan pegawai maupun masyarakat sehingga implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang dapat optimal.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut di atas, maka peneliti memberikan rekomendasi sebagai berikut: Pertama, menambah penyediaan personil khususnya di Dinas Kesehatan Kota Palembang maupun Sat Pol PP Palembang sehingga pelaksanaan inspeksi, survei maupun Sidang Yustisi dapat dilaksanakan secara terus-menerus. Kedua, meningkatkan dana publikasi penegakan KTR. Ketiga, meningkatkan partisipasi publik melalui sosialisasi Perda No. 7 Tahun 2009 tentang kawasan tanpa rokok ke media massa melalui berita di televisi, Koran dan radio. Menghadirkan mantan perokok aktif di pertemuan selanjutnya. Keempat, penyediaan sticker yang ditempel dilokasi strategis kawasan tanpa rokok yang juga mencantumkan telp/sms/alat email pengaduan bagi masyarakat mengenai pelanggaran Perda KTR. Kelima, perlu dilakukannya terminasi kebijakan untuk meninjau Perda KTR serta upaya untuk menumbuhkan komitmen yang tegas dari satuan Polisi Pamong Praja untuk melakukan tipiring terhadap pelanggaran Kawasan Tanpa Rokok termasuk pemberlakukan sanksi administratif maupun pidana. Keenam, menerapkan teknik tatap muka secara langsung, pembentukan Tim Pengawas Internal serta pelaksanaan supervisi dan pemberian sanksi yang tegas, diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan dalam Penerapan kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang. Ketujuh, penyediaan Klinik Kesehatan bagi Perokok supaya berhenti merokok yang lebih efektif serta melibatkan stakeholder serta masyarakat umum untuk mengingatkan Perda KTR.

Kata Kunci: Implementasi, Instansi Pemerintahan, Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok

xii

SUMMARY

Atrika Iriani, Doctoral Program of Administration Sciences Universitas Brawijaya Malang, 2018. Title of Study "Implementation of Non-Smoking Area Policy (Study of Local Regulation of Palembang City No. 7 Year 2009 about Non-Smoking Area at Palembang City Government Institution)". Promoter: Prof. Dr. Sumartono, MS; Co. Promoter: Dr. Suryadi, MS and Dr. Endah Setyowati, S.Sos., M.Si.

The background of this study, researchers understand the phenomenon of empirical/reality, theoretical, and normative gaps in the problem of the Implementation of the Non-Smoking Area Policy in the City of Palembang. Departing from these problems, the researchers formulated a study of Non-Smoking Area Policy Implementation, factors that became supporters and inhibitors of employee compliance in the implementation of non-smoking area policies in the Palembang City Government Agency, as well as the ideal Non-Smoking Policy Implementation model in Palembang City.

The theoretical foundation used to conduct data analysis in this study includes the policy implementation model that mentions various dimensions. In this study the researcher used three elements that were relevant to the research, namely the first process of implementing the no-smoking area policy in the city of Palembang, which consisted of the contents of the policy, the context of implementation and policy outcomes; second supporting and inhibiting factors in the process of implementing non-smoking area policies in the city of Palembang, as well as; third, the Existing Model for the Implementation of Non-Smoking Area Policies in the ideal city of Palembang.

The research method uses a type of qualitative research with data collection techniques with independent interviews, observations, and documentation to analyze the implementation of non-smoking area policies in the Palembang City Government Instation. Furthermore, the data analysis used is an interactive model data analysis initiated by Miles, Huberman, and Saldana (2014), where after data is collected, data condensation and data display, conclusions drawing are made regarding the implementation of non-smoking area policies in Palembang City Government Instation.

The results of this study revealed that Implementation of Non-Smoking Regions Policy in Palembang City has been implemented but there are still obstacles in the context of implementation such as lack of human resources, and implementation of Perda KTR, lack of coordination between the Head of Institution and employees and the implementation of Justice Session to KTR offenders only limited to the provision of a reprimand, no one has been given administrative sanctions. So it is still found violations in the Region Without Cigarettes. Factors that support the Implementation of Perda KTR, including: has accommodated the Implementers of Policy Implementation, Head of Agencies and Public Interest. Availability of Perda KTR stickers or the establishment of Internal Supervisory Team in Government Agencies in order to involve all security/Security Officers without exception. Factors that hampered the success of the Implementation of Perda KTR, include: Workload Personnel Satpol PP and Health Office Palembang quite a lot, Lack of funds publication enforcement Perda KTR, Information Services is still limited. The ideal model for the implementation of non-smoking policies in the city of Palembang is in the form of implementing non-smoking regional policies

xiii

with not only looking at the contents of the policy, the context of implementation and policy outcomes, but also taking into account the factors affecting compliance with the non-smoking policy predisposing factors, enabling factors and reinforcing factors.

Novelty of this study, that analyzing policy implementation is not only seen in terms of policy content, implementation context and policy outcomes as expressed by Grindle (1980), but also must consider the factors that influence compliance including predisposing factors, enabling factors and implementation reinforcement factors Non-smoking regional policies, as well as the implementation of economic sanctions will ultimately foster awareness, support for employees and the public so that the implementation of non-smoking area policies in Palembang City can be optimal.

Based on the results of the above research, the researcher recommends as follows: First, increase the provision of personnel, especially in the Health Office of Palembang and Sat Pol PP Palembang so that the inspection, survey and Justice Session can be carried out continuously. Secondly, increasing the KTR enforcement publication fund. Third, to increase public participation through the socialization of Local Regulation No.7 Year 2009 on non-smoking areas to the mass media through news on television, newspapers and radio. Presenting former active smokers at the next meeting. Fourth, the provision of stickers placed in strategic areas without cigarettes that also include phone / sms / email complaint tool for the community regarding violations of the Local Regulation KTR. Fifth, the firm commitment of the Pamong Praja Police Unit to tipiring violations of Non-Cigarette Regions including the imposition of administrative and criminal sanctions. Sixth, applying direct face-to-face techniques, the establishment of Internal Supervisory Team and the implementation of strict supervision and sanction, are expected to improve compliance in Implementation of non-smoking area policy in Palembang City. Seventh, the provision of Health Clinic for Smokers to stop smoking more effectively and involving stakeholders and the general public to remind the Local Regulation KTR.

Keywords:, Government Institution, Implementation, Smokefree Policy

xiv

KATA PENGANTAR

Tiada kata yang patut dan indah untuk diucapkan selain Puji dan Syukur

Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkah, rahmat dan

hidayahNya, Penulis dapat menyelesaikan Disertasi ini dengan judul

”Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (Studi terhadap Peraturan

Daerah Kota Palembang No. 7 tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok pada

Instansi Pemerintahan Kota Palembang)”. Disertasi ini disusun untuk memenuhi

syarat ujian akhir Disertasi pada Program Doktor (S3) Program Studi Ilmu

Administrasi Minat Ilmu Administrasi Publik Fakultas Ilmu Administrasi Universitas

Brawijaya Malang.

Disertasi ini bertujuan untuk menjelaskan Implementasi Kebijakan

Kawasan Tanpa Rokok, khususnya di Instansi Pemerintahan Kota Palembang.

Secara terperinci, penelitian ini memiliki beberapa tujuan: 1. Mendeskripsikan dan

menganalisis proses Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Instansi

Pemerintahan Kota Palembang. 2. Mendeskripsikan dan menganalisis faktor

pendukung dan penghambat dalam Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa

Rokok di Instansi Pemerintahan Kota Palembang. 3. Menemukan model

Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang yang ideal.

Adapun isi disertasi ini terdiri dari Bab I Pendahuluan, mendeskripsikan gap

normatif, gap teoritik dan gap empirik terkait Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di

Kota Palembang; Bab II Tinjauan Pustaka, memuat penelitian terdahulu dan teori

implementasi kebijakan; Bab III Analisis Sosial dan Setting Penelitian, memuat

tentang kondisi riil lokus dan situs penelitian terkait Implementasi Kebijakan

Kawasan Tanpa Rokok di Instansi Pemerintahan Kota Palembang; Bab IV Metode

xv

Penelitian, memuat tentang jenis penelitian, fokus dan lokus penelitian, sumber

data, teknik pengumpulan data, analisis data dan metode keabsahan data; Bab V

Hasil Penelitian terkait: 1. Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di

Instansi Pemerintahan Kota Palembang; 2. Faktor Pendukung dan Penghambat

dalam Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang; 3.

Eksisting Model Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Kota

Palembang; Bab VI Pembahasan Hasil Penelitian, mendeskripsikan, menganalisis

dan menginterpretasikan hasil penelitian melalui diskursus teori dan hasil temuan

terdahulu dan Bab VII Penutup, menguraikan kesimpulan, implikasi teoritis dan

implikasi praktis hasil-hasil penelitian.

Dari hasil penulisan disertasi ini, penulis sangat mengharapkan saran,

kritik, dan masukan yang konstruktif dari berbagai pihak demi penyempurnaan

disertasi ini.

Malang, 2019 Penulis, Atrika Iriani, S,IP., M.Si

xvi

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ...................................................................................................... i LEMBAR PENGESAHAN............................................................................................. ii IDENTITAS TIM PENGUJI DISERTASI ....................................................................... iii PERNYATAAN ORISINALITAS .................................................................................. iv HALAMAN PERUNTUKAN ......................................................................................... v RIWAYAT HIDUP ........................................................................................................ vi UCAPAN TERIMAKASIH ............................................................................................ vii RINGKASAN ............................................................................................................... ix SUMMARY .................................................................................................................. xi KATA PENGANTAR ................................................................................................... xiv DAFTAR ISI ................................................................................................................ xvi DAFTAR TABEL ......................................................................................................... xix DAFTAR GAMBAR ..................................................................................................... xx DAFTAR ISTILAH ....................................................................................................... xxii DAFTAR SINGKATAN ................................................................................................ xxiv

BAB I : PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah ......................................................... 1 1.2 Perumusan Masalah Penelitian ............................................... 27 1.3 Tujuan Penelitian ..................................................................... 28 1.4 Manfaat Penelitian ................................................................... 38

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kajian Penelitian Terdahulu .................................................... 30 2.2 Pemetaan Hasil Penelitian Terdahulu .................................... 54 2.3 Kebijakan Publik ...................................................................... 73

2.3.1.Pengertian Kebijakan Publik ......................................... 73 2.3.2 Urgensi Kebijakan Publik .............................................. 76 2.3.3 Karakteristik Kebijakan Publik ...................................... 77 2.3.4 Jenis-jenis Kebijakan Publik ......................................... 81

2.4 Implementasi Kebijakan Publik ............................................... 86 2.4.1 Model Implementasi Kebijakan Publik .......................... 87 2.4.2 Faktor yang mempengaruhi Keberhasilan .................. 117

Implementasi Kebijakan Publik 2.4.3 Model Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa ........ 118 Rokok di Instansi Pemerintahan Kota Palembang

2.5 Local Government .................................................................. 122 2.5.1 Pengertian Local Government ..................................... 122 2.5.2 Peran Local Government ............................................. 124 2.5.3 Manfaat Local Government .......................................... 124 2.5.4 Teori Local Government ............................................... 126

2.6 Kepatuhan ............................................................................... 129 2.6.1 Pengertian Kepatuhan .................................................. 129 2.6.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi Kepatuhan ............. 130

2.7 Hubungan Administrasi Publik dengan Implementasi Kebijakan ....................................................................................... 132

xvii

2.8 Kawasan Tanpa Rokok ........................................................... 134 2.8.1 Ruang lingkup Asap Rokok .......................................... 134

2.8.2 Dasar Hukum Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok ........ 135 2.9 Kerangka Pikir/Konseptual...................................................... 136

BAB III : ANALISIS SOSIAL DAN SETTING PENELITIAN

3.1 Analisis Sosial Wilayah Kota Palembang ............................... 138 3.1.1 Sejarah Singkat ............................................................. 138 3.1.2 Pemerintahan ................................................................ 138 3.1.3 Penduduk ...................................................................... 139

3.1.4 Konsumsi Rokok Masyarakat Kota Palembang ........... 140 3.1.5 Konsumsi Rokok menurut Karakter Populasi ............... 140

3.2 Setting Penelitian .................................................................... 142 3.2.1 Profil Dinas Kesehatan Kota Palembang ..................... 144 3.2.2 Profil Satuan Polisi Pamong Praja Kota Palembang ... 151

BAB IV : METODE PENELITIAN

4.1 Jenis Penelitian ....................................................................... 159 4.2 Fokus Penelitian ..................................................................... 160 4.3 Lokasi Penelitian ..................................................................... 161 4.4 Jenis Data ............................................................................... 163 4.5 Sumber Data ........................................................................... 164 4.6 Teknik Pengumpulan Data ..................................................... 165 4.7 Teknik Analisis Data................................................................ 166 4.8 Metode Keabsahan Data ........................................................ 170

BAB V : HASIL PENELITIAN

5.1 Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok ................. 175 di Kota Palembang 5.1.1 Isi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok .......................... 176

di Kota Palembang 5.1.1.1 Kepentingan yang di Pengaruhi ....................... 177 5.1.1.2 Manfaat ............................................................. 182 5.1.1.3 Derajad Perubahan yang di harapkan ............. 185 5.1.1.4 Letak Pengambilan Keputusan ........................ 188 5.1.1.5 Pelaksanaan Program ...................................... 192 5.1.1.6 Sumber Daya yang Dilibatkan.......................... 196

5.1.2 Konteks Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa ..... 199 Rokok di Kota Palembang

5.1.2.1 Kekuasaan, Kepentingan dan Strategi Aktor .. 199 yang dilibatkan

5.1.2.2 Karakteristik Lembaga & Penguasa................. 210 5.1.2.3 Kepatuhan & Daya Tanggap ............................ 216

5.1.3 Hasil Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok Kota ............. 236 Palembang 5.1.3.1 Pengaruh pada Masyarakat ............................. 236 5.1.3.2 Perubahan dan Penerimaan oleh Masyarakat 239

xviii

5.2 Faktor Pendukung dan Penghambat dalam .......................... 242 Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang 5.2.1 Faktor Pendukung dalam Proses Implemetasi ........... 244

Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang 5.2.2 Faktor Penghambat dalam Proses Implemetasi ......... 249

Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang 5.3 Eksisting Model Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa ... 251 Rokok di Kota Palembang 5.4 Matriks Hasil Penelitian .......................................................... 247

BAB VI : PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN

6.1 Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok .................. 256 di Kota Palembang 6.1.1 Isi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok .......................... 267

di Kota Palembang 6.1.2 Konteks Implementasi Kebijakan Kawasan ................. 285

Tanpa Rokok di Kota Palembang 6.1.3 Hasil Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok ..................... 305

di Kota Palembang 6.2 Faktor Pendukung dan Penghambat dalam Implementasi .... 309 Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Instansi Pemerintahan Kota Palembang

6.2.1 Faktor Pendukung dalam proses Implementasi .......... 310 Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang 6.2.2 Faktor Penghambat dalam proses Implementasi ....... 311 Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang

6.3 Matriks Analisis Temuan, Proposisi dan Implikasi Teoritis .... 316 6.4 Model Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok ....... 339 di Kota Palembang

6.4.1 Kelemahan Eksisting Model Implementasi Kebijakan 339 Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang 6.4.2 Rekomendasi Model Implementasi Kebijakan ............ 342 Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang

BAB VII : PENUTUP

7.1 Kesimpulan ............................................................................. 347 7.2 Saran ...................................................................................... 348 7.3 Implikasi Teoritik .................................................................... 349 7.4 Implikasi Praktis ..................................................................... 358

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 359

xix

DAFTAR TABEL

1.1 10 Besar Negara Pengkonsumsi Rokok di Dunia ................................ 1 2.1 Matriks Hasil Penelitian Terdahulu ...................................................... 54 3.1 Tingkat Pendidikan Pegawai Negeri Sipil Dinas Kesehatan .............. 149 Kota Palembang Tahun 2016 3.2 Jumlah Pegawai Negeri Sipil Dinas Kesehatan Tahun 2016 ............. 150 Berdasarkan Kelompok Umur 3.3 Jumlah Pegawai Satuan Polisi Pamong Praja Kota Palembang ....... 157 Tahun 2016 3.4 Sarana dan Prasarana Satuan Polisi Pamong Praja Kota ................ 158

Palembang Tahun 2016 5.1 Pengawas Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009 ............................... 190

Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang dari Dinas Kesehatan Kota Palembang

5.2 Tim Penegakan Hukum Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009 .......... 191 Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang dari Satuan Polisi Pamong Praja Kota Palembang

5.3 Data Hasil Kegiatan penempelan stiker Perda No 7 Tahun 2009 ..... 203 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Angkutan Umum Kota Palembang 5.4 Pelaksanaan UBM di Tempat Belajar Mengajar Tahun 2017 ............. 248 5.5 Tempat Proses Belajar Mengajar dan Tempat Umum yang ............... 250 mendapat SP1 Pelanggaran Perda KTR 5.6 Instansi Pemerintahan yang mendapat SP1 Pelanggaran Perda KTR 250 5.7 Tempat Proses Belajar Mengajar dan Tempat Umum yang .............. 251 mendapat SP2 Pelanggaran Perda KTR 5.8 Instansi Pemerintahan yang mendapat SP2 Pelanggaran ................ 251 Perda KTR

6.1 Isi Kebijakan berdasarkan Pasal-pasal yang tercantum dalam ......... 261 Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang

6.2 Matriks Analisis Temuan, Proposisi dan Implikasi Teoritis ................. 317

xx

DAFTAR GAMBAR

1.1 Jumlah Kebutuhan Utama Warga Palembang ............................... 19 2.1 Model Implementasi Kebijakan Edwards III (1990: 150) ................ 88 2.2 Model Implementasi Kebijakan dari Van Meter dengan ......... 90 dengan Van Horn (1975) 2.3 Model Kerangka Analisis Implementasi dari Mazmanian dan ....... 94

dan Sebatier (1987) 2.4 Model Implementasi Kebijakan menurut Grindle (1980) ................ 101 2.5 Perspektive- Perspektives on Managing Implementation Michael Hill and Peter Hupe (2002) ............................................... 109 2.6 Ambiguity-Conflict Matrix: Policy Implementation Processes ......... 111

Matland, (1995: 160) 2.7 Implementation Network Approach, Xiongwei Song (2018: 105) .. 115 2.8 Kerangka Pikir ................................................................................. 137 3.1 Jumlah Kebutuhan Utama Warga Palembang ................................ 140 3.2 Susunan Organisasi Dinas Kesehatan Kota Palembang ................ 148 3.3 Susunan Organisasi Satuan Polisi Pamong Praja Kota.................. 156 Palembang 4.1 Components of Data Analysis: Interactive Model............................ 167 5.1 Pemberian Materi KTR oleh Kadinkes ........................................... 202 5.2 Penyerahan Pin Simbolis kepada Peserta Sosialisasi KTR ........... 200 5.3 Sosialisasi KTR oleh Satpol PP ....................................................... 202 5.4 Sosialisasi KTR oleh dr. Paru RSMH .............................................. 202 5.5 Penempelan Stiker KTR oleh Kadinkes, Personil Dinas ................. 204

Perhubungan dan DPC Organda di Angkutan Kota

5.6 Penempelan Stiker KTR oleh Personil Dishub & Satpol PP ........... 204 5.7 Penempelan Stiker KTR oleh Personil Satpol PP di Trans Musi .... 204 5.8 Pemasangan Iklan KTR di Surat Kabar ........................................... 205 5.9 Baliho tentang KTR di Jalan Protokoler Kota Palembang .............. 206 5.10 Pelaksanaan Tipiring Perda No 7 Tahun 2009 tentang ................. 207 Kawasan Tanpa Rokok 5.11 Pelaksanaan Sidang Yustisi Perda No 7 Tahun 2009 tentang ...... 208

Kawasan Tanpa Rokok 5.12 Pak RT yang merokok di Kantor Kelurahan Kertapati .................... 213 5.13 Korek Api di meja Lurah Kelurahan Kemas Rindo .......................... 214 5.14 Kasi Pembinaan Kawasan dan Penyuluhan Perda Sat Pol PP ..... 214 Kota Palembang yang merokok sebelum wawancara KTR 5.15 Pegawai Kelurahan yang asik merokok dihadapan Sat Pol PP .... 215

Kota Palembang yang melakukan supervisi KTR 5.16 Pegawai Satpol PP, Pegawai Dinkes & Peneliti yang .................... 216 menempelkan Stiker KTR di Instansi Pemerintahan Kota Palembang 5.17 Pelaksanaan Survei Penegakan Hukum Perda KTR di Palembang 217 menempelkan Stiker 5.18 Pelaksanaan Sidang Yustisi Penegakan Hukum Perda KTR ......... 218

di Internasional Plaza 5.19 Lokasi Klinik UBM yang digabung dengan Poli Haji dan PTM di .... 229 Puskesmas Dempo Palembang

xxi

5.20 Daftar Pasien yang mengunjungi Klinik UBM di Puskesmas .......... 230 Dempo Palembang 5.21 Contoh kuesioner yang digunakan untuk konseling Pasien .......... 231 pada Klinik UBM di Puskesmas Dempo Palembang 5.22 Contoh kuesioner yang digunakan untuk konseling Pasien ........... 231 pada Klinik UBM di Puskesmas Merdeka Palembang 5.23 Pasien yang melakukan konseling pada Klinik UBM ...................... 232

di Puskesmas Merdeka Palembang 5.24 Kemasan Rokok yang menyertakan PHW ....................................... 245 5.25 Pemberian Materi UBM di Sekolah .................................................. 246 5.26 Kegiatan UBM: Pengukuran Kadar CO dalam Paru di Sekolah ...... 247 5.27 Eksisting Model Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok .. 255 di Kota Palembang 6.1 Model Rekomendasi Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa ..... 343 Rokok

xxii

DAFTAR ISTILAH

Air Quality Monitoring : memantau perkembangan kualitas udara secara terus-menerus di dalam ruangan (indoor) maupun di luar ruangan, berguna untuk menganalisis kualitas udara sehingga dapat melakukan pencegahan seperti memasang poster larangan merokok di tempat atau ruangan kerja agar nyaman dan konsentrasi terjaga.

Compliance : suatu kepatuhan yang didasarkan pada

harapan akan suatu imbalan dan usaha untuk menghindarkan diri dari hukuman yang mungkin dijatuhkan.

Enabling Factor : diterjemahkan sebagai faktor pemungkin

merupakan faktor yang memungkinkan terjadinya perilaku

Inspeksi : tindakan untuk melihat sesuatu dari dekat, guna mempelajari sesuatu hal secara lebih lanjut untuk melihat apakah aturan sedang diikuti atau tidak serta menemukan berbagai masalah yang ada.

Predisposing Factor : diterjemahkan sebagai faktor predisposisi

merupakan faktor yang mempermudah terjadinya perilaku seseorang. Faktor ini meliputi: Pengetahuan, Sikap Komitmen serta Perilaku

Prevalensi : konsep statistik yang mengacu pada jumlah

kasus penyakit yang hadir dalam populasi tertentu pada waktu tertentu, sedangkan insiden mengacu pada jumlah kasus baru yang berkembang dalam periode waktu tertentu

Reinforcing Factor : diterjemahkan sebagai faktor penguat meliputi:

Himbauan Organisasi, Pengawasan Internal serta Penerapan Sanksi

xxiii

Roadshow UBM : merupakan aktivitas Roadshow Usaha Berhenti Merokok (UBM) di Sekolah yang dilaksanakan oleh Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit seksi Penyakit Tidak Menular (PTM) Dinas Kesehatan Kota Palembang, meliputi kegiatan penyampaian materi tentang UBM Tahun 2017, wawancara tentang perilaku merokok, pengaturan pemberian kuesioner dan Pemeriksaan Kadar Co dalam paru

Sidang Yustisi : suatu upaya penegakan hukum yang

dilakukan oleh para penegak hukum dengan menggunakan sistem peradilan ditempat

Sosialisasi : proses penanaman atau transfer kebiasaan

atau nilai dan aturan dari satu generasi ke generasi lainnya dalam sebuah kelompok atau masyarakat

Supervisi : salah satu strategi untuk memastikan bahwa seluruh langkah pada proses penyelenggaraan dan semua komponen hasil kebijakan kawasan tanpa rokok yang akan dicapai memenuhi target, melalui pengawasan tetapi sifatnya lebih human, manusiawi. Kegiatan supervisi bukan mencari-cari kesalahan tetapi lebih banyak mengandung unsur pembinaan, agar kawasan yang sedang disupervisi dapat diketahui kekurangannya (bukan semata-mata kesalahannya) untuk dapat diberitahu bagian yang perlu diperbaiki

:

: :

:

xxiv

DAFTAR SINGKATAN

ADP : Areal Division of Power APBN : Anggaran Pendapatan Belanja Negara APBD : Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Bakesbangpol : Badan Kesatuan Bangsa dan Politik BPLHD : Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah CDP : Capital Division of Power Dinkes : Dinas Kesehatan FCTC : Framework Convention on Tobacco Control ITC : International Tobacco Control LDUI : Lembaga Demografi Universitas Indonesia KDM : Kawasan Dilarang Merokok KLB : Kejadian Luar Biasa KPAID : Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah KTR : Kawasan Tanpa Rokok MOU : Memorandum of Understanding NoTC : No Tobacco Community NSP : No-Smoking Policy TCSC-IAKMI : Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia UBM : Upaya Berhenti Merokok Perda : Peraturan Daerah PERSI : Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia PHRI : Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia PHW : Pictorial Healt Warning PMK : Pengendalian Masalah Kesehatan Riskesdas : Riset Kesehatan Dasar Satpol PP : Satuan Polisi Pamong Praja SP : Surat Peringatan Susenas : Survei Sosial Ekonomi Nasional YLKI : Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Konsumsi rokok di dalam Masyarakat dewasa ini sudah sangat

memprihatinkan, bahkan kebiasaan merokok di Indonesia cenderung meningkat.

Berdasarkan hasil laporan WHO (World Health Organization) tahun 2009 dengan

statistik jumlah perokok 1.35 miliar orang menyatakan peringkat negara dengan

konsumsi rokok dan Indonesia menempati urutan ketiga. Hal ini dapat dilihat

pada tabel berikut ini:

Tabel 1.1 10 Besar Negara dengan Konsumsi Rokok di Dunia

Negara Jumlah Perokok

(orang)

Persentase (%)

per Penduduk

China 390.000.000 29 %

India 114.000.000 12.5 %

Indonesia 65.000.000 28 %

Rusia 61.000.000 43 %

Amerika Serikat 58.000.000 19 %

Jepang 49.000.000 38 %

Brazil 24.000.000 12,5 %

Bangladesh 23.300.000 23.5 %

Jerman 22.300.000 27 %

Turki 21.500.000 30.5 %

Sumber: http://nusantaranews.wordpress.com/2009/05/31/10-negara-jumlah perokok-terbesar-di-dunia/ diakses tanggal 2 Januari, 2015

Penelitian yang dilakukan Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia

(IAKMI) menyebutkan bahwa 25% (persen) asap rokok dihisap oleh si perokok

sedangkan sisanya 75% (persen) menyebar di udara bebas dan berpotensi

terhisap oleh orang lain yang tidak merokok atau yang lebih dikenal dengan

sebutan perokok pasif. Penelitian lain menyebutkan bahwa perokok pasif tiga

kali lebih berbahaya ketimbang perokok aktif, hal ini terjadi karena asap

1

rokok yang terhisap oleh perokok pasif lebih banyak bersumber dari ujung batang

rokok yang terbakar tanpa melalui filter di ujung yang lainnya

(http://ubalinwebblog.blogspot.com/2012/04/bahaya-merokok-bagi-kesehatan

diri.html, diakses tanggal 2 Januari 2015)

Pengendalian kegiatan merokok tidak akan efektif tanpa disertai dengan

adanya norma yang akan membebani nestapa/sanksi atas perilaku yang

dipandang menyimpang. Penggunaan rokok semakin dirasakan bahayanya

ketika fakta menunjukan bahwa rokok justru membudaya dan menjadi kebutuhan

pokok bagi kelompok miskin dan anak-anak. Tidak terkendalinya kebutuhan

merokok dikalangan ini seringkali menjadi pemicu terjadinya kekerasan dalam

rumah tangga atau kejahatan. Untuk dapat memenuhi hasratnya merokok

mereka tidak segan-segan melakukan kejahatan atau kekerasan yang

sasarannya tidak saja orang lain tetapi juga anggota keluarganya. Keberadaan

rokok pada akhirnya akan lebih dipahami dari sisi negatifnya daripada

manfaatnya setelah rokok juga dijadikan sebagai sarana peredaran obat-obatan

terlarang (http://eprints.upnjatim. ac.id/1486/1/File_1.pdf diakses tanggal

2 Januari 2015).

Salah satu upaya pengendalian dari paparan asap rokok dilakukan

dengan penetapan Kawasan Tanpa Rokok. Kawasan Tanpa Rokok sebenarnya

selama ini telah banyak diupayakan oleh berbagai pihak baik Lembaga/Institusi

Pemerintah maupun swasta dan masyarakat. Namun pada kenyataannya upaya

yang telah dilakukan tersebut jauh tertinggal dibandingkan dengan penjualan,

periklanan/promosi dan atau penggunaan rokok. Asumsi lain adalah perokok

membebankan biaya keuangan dan risiko fisik kepada orang lain yang berarti

bahwa seharusnya perokoklah yang menanggung semua ”biaya” atau kerugian

akibat merokok. Tetapi pada kenyataannya perokok membebankan secara fisik

dan ekonomi kepada orang lain juga. Beban ini meliputi risiko orang lain yang

terkena asap rokok di lingkungan sekitarnya dan biaya yang dibebankan pada

Masyarakat untuk pelayanan kesehatan. Agar permasalahan dan kondisi

tersebut di atas dapat dikendalikan maka perlu dilakukan upaya membatasi

ruang gerak para perokok serta pengamanan terhadap bahaya merokok melalui

penetapan Kawasan Tanpa Rokok yang selayaknya dilakukan oleh Pemerintah.

Dye (1995) menyatakan “Public Policy is whatever government choose to

do or not to do”. Batasan ini tidak cukup mengakui bahwa mungkin terdapat

perbedaan antara apa yang diputuskan oleh Pemerintah dengan apa yang

dilakukan oleh Pemerintah. Selanjutnya Islamy (1997: 17) mengemukakan

bahwa Kebijakan adalah “a purpose course of action followed by an actor or set

actors in dealing with a problem or matter of concern”. Dalam hal ini Konsep

Kebijakan memusatkan perhatiannya pada apa saja yang dilakukan bukan pada

apa yang diusulkan atau dimaksudkan. Selanjutnya, Winarno (2007: 14)

mengemukakan bahwa kebijakan atau policy digunakan untuk menunjuk perilaku

seorang aktor (misalnya seorang pejabat, suatu kelompok, maupun suatu

Lembaga Pemerintah) atau sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu.

Definisi lain tentang kebijakan publik seperti dikemukakan Soenarko

(1998) yang mengutip pendapat H. Hugh Heclo sebagai berikut:

“Policy is a course of action intended to accomplish some end. A policy may usefully be considered as a course of action or inaction rather than specific decisions or actions, and such a course has to be perceived and indentified by the analyst in question”.

Isworo (1996: 229) menyebutkan bahwa kebijakan merupakan hasil dari

suatu keputusan setelah melalui pemilihan alternatif yang tersedia dilakukan oleh

seorang atau sekelompok orang untuk mencapai tujuan tertentu secara efektif.

Demikian juga Dunn (1994) menyatakan bahwa Kebijakan Publik merupakan

serangkaian pilihan yang berhubungan (termasuk keputusan untuk tidak berbuat)

yang dibuat, dalam hal ini oleh Badan atau Kantor Pemerintah, yang di

formulasikan dalam bidang-bidang isu (issue areas) yaitu arah tindakan aktual

atau potensial dari Pemerintah yang didalamnya terkandung konflik diantara

kelompok Masyarakat. Konsep ini melihat kebijakan publik sebagai serangkaian

pilihan tindakan Pemerintah (termasuk pilihan untuk tidak bertindak) guna

menjawab tantangan yang menyangkut kehidupan Masyarakat.

Winarno (2007: 14) menyarankan bahwa kebijakan dipahami sebagai

serangkaian kegiatan yang saling berhubungan serta konsekuensi bagi yang

bersangkutan dari pada sebagai suatu keputusan tersendiri. Beberapa konsep

kebijakan publik pada dasarnya memandang kebijakan publik sebagai tujuan

untuk memenuhi tuntutan aktor kebijakan. Hal yang sama dikemukakan oleh

Abdul Wahab (1997: 4) Kebijakan yakni serangkaian keputusan yang diambil

oleh seorang atau sekelompok aktor politik yang saling berkaitan mengenai

tujuan yang dipilih serta cara-cara untuk mencapainya. Dalam hal ini keputusan–

keputusan yang diambil pada prinsipnya masih berada dalam batas-batas

kewenangan kekuasaan dari para aktor tersebut.

Lebih lanjut Isworo (1996: 229), mengemukakan bahwa proses kebijakan

publik terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut: identifikasi masalah, formulasi

kebijakan, legitimasi dari kebijakan, implementasi serta evaluasi. berdasarkan

konsep di atas diketahui bahwa kebijakan publik terjadi karena tindakan-tindakan

pemerintah dalam mengatasi masalah yang timbul di masyarakat sehingga

melahirkan keputusan-keputusan. Sehingga dapat dikatakan bahwa kebijakan

publik sebagai serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan atau

tidak dilaksanakan oleh Pemerintah yang bertujuan atau berorientasi pada

tujuan tertentu demi kepentingan seluruh Masyarakat, implikasi pengertian

tersebut adalah:

a. kebijakan publik adalah penetapan tindakan-tindakan Pemerintah

b. kebijakan publik tidak hanya dinyatakan tetapi juga dilaksanakan

c. setiap kebijakan publik dilandasi maksud dan tujuan tertentu

d. hakekat kebijakan publik ditujukan untuk kepentingan seluruh Masyarakat.

Dalam penelitian ini difokuskan pada implementasi kebijakan. Konsep

implementasi kebijakan, merupakan tahapan dalam implementasi sebuah

kebijakan, tahapan merupakan suatu yang krusial yang menentukan sebuah

kebijakan. Tahapan implementasi perlu dipersiapkan dengan baik pada tahap

perumusan dan pembuatan kebijakan. Secara Konseptual Implementasi

merupakan sebuah proses pengumpulan sumber daya (alam, manusia maupun

biaya) yang diikuti penentuan tindakan-tindakan yang harus diambil untuk

mencapai tujuan kebijakan. Rangkaian tindakan merupakan bentuk transformasi

rumusan-rumusan yang diputuskan dalam kebijakan menjadi pola-pola

operasional yang akan menimbulkan perubahan sebagaiman diamanatkan dalam

kebijakan yang telah diambil sebelumnya. Hakekat Implementasi merupakan

pemahaman atas apa yang harus dilakukan setelah kebijakan diputuskan yang

melibatkan seluruh stakeholder yang ada.

Implementasi kebijakan memiliki 3 unsur yang meliputi:

a. tindakan yang diambil oleh lembaga/badan administratif

b. tindakan yang mencerminkan ketaatan kelompok target

c. jejaring sosial politik dan ekonomi yang mempengaruhi tindakan para

stakeholder interaksi

Dimana ketiga unsur di atas pada akhirnya akan menimbulkan dampak,

baik yang diharapkan ataupun tidak. Hasil akhir implementasi kebijakan paling

tidak terwujud dalam beberapa hasil/output yang biasanya terwujud dalam

bentuk konkret misalnya dokumen, jalan, orang dan lembaga. Keluaran/outcome

yang biasanya berwujud rumusan target misalnya tercapainya pengertian

Masyarakat/Lembaga. Manfaat wujudnya beragam, dampaknya yang diinginkan

maupun tidak serta kelompok target baik individu maupun kelompok.

Implementasi kebijakan tidak hanya terbatas pada tindakan atau perilaku

Instansi yang bertanggung jawab untuk melaksanakan program dan

menimbulkan kepatuhan dari target group, namun berlanjut hingga jaringan

kekuatan politik sosial ekonomi yang berpengaruh pada perilaku semua pihak

yang terlibat. Hingga menimbulkan dampak yang diharapkan maupun yang tidak

diharapkan. Hal tersebut sekaligus memberikan gambaran bahwa implementasi

suatu kebijakan tak selamanya dapat berjalan dengan baik. Pasti terdapat

berbagai kendala, permasalahan, ataupun kegagalan mencapai tujuan. Apabila

suatu kebijakan tidak dikondisikan sedemikian rupa sebagaimana tersebut di

atas tentu kebijakan tersebut memiliki kemungkinan untuk gagal dalam arti tujuan

kebijakan tidak tercapai.

Hoogwood dan Gunn (1984) membagi pengertian kegagalan kebijakan

(policy failure) sebagai berikut:

a) tidak terimplementasikan (non implementation), kegagalan yang

disebabkan faktor teknis pelaksanaan dan unsur pelaksana

b) implementasi yang tidak berhasil (unsuccessful implementation),

kegagalan yang disebabkan faktor eksternal berupa pergantian

kekuasaan, bencana alam dan lain-lain

c) kebijakan yang memiliki resiko untuk gagal, dikarenakan faktor

bad execution, bad policy ataupun bad luck

Faktor-faktor penyebab kegagalan implementasi yang dikemukakan oleh

Hoogerwerf (1983), sebagai berikut:

1. Isi Kebijakan

Implementasi kebijakan dapat gagal karena; (1) samar-samarnya isi

kebijakan (tujuan-tujuan tidak dapat terinci), sarana dan penentuan

prioritas, program kebijakan yang terlalu umum atau sama sekali tidak ada,

(2) kurangnya ketetapan intern dan ekstern dari kebijakan yang akan

dilaksanakan, (3) kadang-kadang perundang-undangan mempunyai begitu

banyak lubang, sehingga tanpa banyak kesulitan obyek-obyek kebijakan

dapat mengelaknnya, hal mana dapat mematahkan semangat para

pelaksana, (4) kurang sumber-sumber pembantu (waktu, uang dan tenaga

manusia).

2. Informasi

Kurangnya informasi dari para faktor terhadap ojek kebijakan dan struktur

komunikasi yang serba kurang antara organisasi pelaksana dan obyek

dukungan.

3. Dukungan

Pelaksana suatu kebijakan akan dipersulit jika pelaksana tidak cukup

dukungan untuk suatu kebijakan. Juga kurang kesediaan obyek-obyek

kebijakan untuk kerja sama pada pelaksana, serta obyek-obyek kebijakan

“terikat” kepada kegiatan-kegiatan tertentu oleh kewajiban-kewajiban

sesuai dengan undang-undang, kepatuhan dari obyek-obyek kebijakan

sedikit, jika peraturan-peraturan ini bertentangan dengan pendapat yang

dianut oleh obyek-obyek kebijakan atau keputusan mereka.

4. Pembagian potensi

Gagalnya suatu kebijakan dapat pula disebabkan karena adanya

pembagian potensi diantara aktor-aktor yang terlibat didalamnya dan

adanya pembagian wewenang dan tanggung jawab yang tidak disertai

dengan pembatasan-pembatasan yang jelas, serta adanya desentralisasi

dalam pelaksanaan

Kebijakan kawasan tanpa rokok, merupakan sebuah Kebijakan di bidang

Kesehatan sebagai hak fundamental setiap individu dinyatakan secara global

dalam Konstitusi Organisasi Kesehatan Sedunia. Lingkungan yang sehat

merupakan hak setiap individu. Setiap orang di dunia ini tentunya sangat

mendambakan lingkungan sekitar dimana ia tinggal dapat menjadi lingkungan

yang sehat. Kesehatan menjadi salah satu unsur kebutuhan manusia yang

penting. Keadaan lingkungan yang tidak sehat secara otomatis dapat

mempengaruhi individu yang ada di lingkungan tersebut. Sehingga tidak heran

lagi kalau akhir-akhir ini banyak ditemui penyakit atau gangguan kesehatan yang

ada di dalam Masyarakat. Salah satu yang menjadi penyebab gangguan

kesehatan tersebut adalah pola hidup atau gaya hidup yang tidak sehat. Pola

hidup sehat sangat mempengaruhi keadaan jasmani seseorang. Salah satu pola

hidup tidak sehat yang semakin marak ialah merokok. Pola hidup tidak sehat ini

hampir menyentuh semua kalangan mulai tua, muda, miskin, kaya, bahkan

sudah menjadi hal yang biasa kita temui khusunya di kota-kota besar adanya

wantia yang menjadi perokok aktif. Merokok sudah menjadi kebiasaan yang

meluas di Masyarakat tetapi kebiasaan merokok ini jarang diakui orang sebagai

kebiasaan yang buruk.

Implementasi kebijakan tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota

Palembang telah menggambarkan pendekatan multi aktor dan stakeholder, akan

tetapi penerapannya belum maksimal. Implementasi kebijakan memang tidak

mudah dilakukan, hal ini dipengaruhi oleh sifat dari kebijakan tersebut.

Implementasi juga melibatkan banyak aktor kebijakan sehingga menimbulkan

kerumitan dalam tahap implementasi kebijakan, yang bukan hanya dikarenakan

banyaknya aktor kebijakan yang terlibat, melainkan juga variabel-variabel yang

terkait didalamnya.

Secara akademik, model implementasi yang lebih tepat digunakan dalam

kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang adalah Model Grindle.

Diketahui bahwa model Grindle ini memiliki aspek yang hampir mirip dengan

model Van Meter dan Van Horn. Aspek yang sama adalah bahwa baik model

Van Meter dan Van Horn maupun model Grindle sama-sama memasukkan

elemen lingkungan kebijakan sebagai faktor yang mempengaruhi implementasi

kebijakan. Van Meter dan Van Horn mengikutsertakan ‘kondisi sosial, politik,

dan ekonomi’ sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi implementasi

kebijakan, dan Grindle mengikutsertakan variabel besar ‘konteks kebijakan’

atau ‘lingkungan kebijakan’. Kelebihan dari model Grindle dalam variabel

lingkungan kebijakan adalah model ini lebih menitikberatkan pada politik dari

para pelaku kebijakan. Unsur pertama dari variabel lingkungan yaitu power,

interest and strategies of actors involved yang menjelaskan bahwa isi

kebijakan sangat dipengaruhi oleh peta politik dari para pelaku kebijakan.

Dalam hal ini, Aktor-aktor penentu kebijakan akan berusaha menempatkan

kepentingan mereka pada kebijakan-kebijakan yang melibatkan minat

mereka, sehingga kepentingan mereka terakomodasi di dalam kebijakan.

Unsur kedua dari Grindle yaitu institution and regime characteristics

maupun unsur ketiga yaitu compliance and responsiveness memiliki

kesamaan dengan faktor disposisi dari model Edwards III. Pada unsur

kedua (karakteristik lembaga dan rezim) ini dijelaskan oleh Suwitri

(2008: 88) bahwa “implementasi suatu program tentu akan mendatangkan

konflik pada kelompok-kelompok yang kepentingannya dipengaruhi”.

Unsur ketiga dari variabel lingkungan dari model Grindle, yaitu

compliance and responsiveness selain merujuk pada disposisi. Perbedaan

dengan model Edwards III dalam hal ini adalah Grindle memfokuskan pada

disposisi penguasa/rezim/pembuat kebijakan, sedangkan Edwards lebih

menekankan pada disposisi implementor. Suwitri (2008: 76) menyatakan

“...proses pemilihan alternatif yang memuaskan itu bersifat obyektif dan subyektif,

dipengaruhi oleh dispositions (Edwards III, 1980:89), compliance and

responsiveness (Grindle, 1980: 11) dari perumus kebijakan”. Selain disposisi,

compliance and responsiveness juga merujuk pada politik. Suwitri (2008: 88-89)

menyatakan “...Tanpa daya tanggap yang cukup dalam implementasi,

implementor akan kehilangan informasi untuk mengevaluasi pencapaian program

dan kehilangan dukungan yang penting bagi keberhasilan implementasi”.

Pelibatan politik dalam unsur ini, agaknya masih berkaitan dengan unsur

pertama yang menyebutkan unsur kekuasaan, minat dan strategi aktor-aktor,

karena jika suatu isu melibatkan kepentingan dan minat dari pembuat

kebijakan dan atau implementor kebijakan tersebut, maka responsivitas dari

pembuat kebijakan maupun implementor semestinya juga lebih tinggi. Pada

variabel konten atau isi kebijakan, Grindle juga memandang bahwa

implementasi kebijakan masih melibatkan politik. Pada unsur pertama

hingga keempat yaitu interest affected, type of benefits, extent of change

envisioned, dan site if decision making, kita dapat melihat bahwa peran

politik masih kuat. Sebagai contoh pada unsur pertama, Suwitri (2008: 86)

menyatakan “...jenis kebijakan publik yang dibuat akan membawa dampak

tertentu terhadap macam kegiatan politik”. Peran politik juga masih dapat

ditelusuri pada unsur kedua hingga keempat.

Pada variabel konten/isi kebijakan, Grindle juga memiliki kesamaan

pandangan dengan Edwards III maupun Van Meter dan Van Horn. Pada

unsur kelima yaitu programe implementors disebutkan oleh Suwitri (2008:

88) bahwa “Kemampuan pelaksana program akan mempengaruhi keberhasilan

implementasi program tersebut”. Hal ini sebangun dengan faktor sumber

daya yang dikemukakan oleh Edwards III maupun Van Meter dan Van Horn.

Lebih lanjut, Grindle membedakan ‘sumber daya’ dari model Edwards III maupun

Van Meter dan Van Horn. Unsur keenam yaitu resources committed

dinyatakan oleh Suwitri (2008: 88) sebagai “Tersedianya sumber-sumber

secara memadai...”. Dengan demikian dua unsur (unsur kelima dan

keenam) dari model Grindle dapat kita simpulkan sama dengan faktor

sumber daya sebagaimana dikemukakan Edwards III maupun Van Meter dan

Van Horn, tetapi Grindle membedakan sumber daya sebagai SDM dan non

SDM. Oleh karena itu, model implementasi yang lebih tepat digunakan dalam

kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang adalah Model Grindle karena

lebih menitikberatkan pada politik dari para pelaku kebijakan, khususnya dalam

implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang.

Selain itu, adanya unsur compliance and responsiveness (kepatuhan

dan daya tanggap) sebagai unsur ketiga dalam konteks implementasi, berkaitan

dengan fokus penelitian yang menganalisis implementasi kebijakan kawasan

tanpa rokok di Instansi Pemerintahan Kota Palembang. Kepatuhan berasal dari

kata patuh. Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), patuh berarti suka

menurut perintah, taat kepada perintah atau aturan dan berdisiplin. Kepatuhan

berarti bersifat patuh, ketaatan, tunduk, patuh pada ajaran dan aturan. Faktor-

faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang untuk Patuh menurut Green

(1999) yaitu faktor predisposisi, faktor pendukung dan faktor penguat. Menurut

Smet (1994), faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan adalah: Komunikasi,

Pengetahuan, dan Sarana Prasarana Pendukung. Faktor-faktor yang

mempengaruhi kepatuhan menurut Niven (2002) adalah individu, dukungan

keluarga, dukungan sosial dan dukungan petugas.

Secara nasional dalam Amandemen UUD 1945 Pasal 28 H dan UU

No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, menguraikan bahwa perilaku yang sehat

dan baik merupakan dambaan semua orang dan telah menjadi kebutuhan dasar

derajat kesehatan Masyarakat. Hal ini dapat dilakukan, salah satunya dengan

menghindarkan paru-paru dari asap rokok baik secara langsung maupun tidak

langsung. Pengendalian kegiatan merokok diharapkan akan efektif manakala ada

kesadaran, kemauan dan kemampuan Masyarakat untuk memahami bahaya

yang ditimbulkan oleh asap rokok terutama dalam bingkai keberlanjutan masa

depan generasi penerus bangsa yang sehat dan smart. Diperlukan adanya

keikhlasan dari berbagai pihak ketika dalam rangka melaksanakan kewajibannya

untuk melindungi sebagian besar warga dari bahaya yang ditimbulkan oleh asap

rokok Pemerintah harus membentuk kebijakan yang terkesan mengesampingkan

hak sebagian warga lainnya untuk menikmati rokok.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2003 tentang

Pengamanan Rokok bagi Kesehatan, diketahui bahwa Rokok merupakan hasil

olahan tembakau terbungkus, dalam hal ini termasuk cerutu atau bentuk lainnya

yang dihasilkan dari tanaman Nicotiana Tabacum, Nicotiana Rustica dan spesies

lainnya atau sintetisnya yang mengandung nikotin dan tar dengan atau tanpa

bahan tambahan. Diketahui bahwa Nikotin merupakan zat, atau bahan senyawa

pirrolidin yang terdapat dalam Nikotiana Tabacum, Nicotiana Rustica dan spesies

lainnya atau sintetisnya yang bersifat adiktif serta dapat mengakibatkan

ketergantungan. Sedangkan Tar adalah senyawa polinuklir hidrokarbon

aromatika yang bersifat karsinogenik. Sehingga perlu dilakukan pengamanan

rokok dalam rangka mencegah dan/atau menangani dampak penggunaan rokok

baik langsung maupun tidak langsung terhadap kesehatan.

Salah satu terobosan penting yang dilakukan oleh Pemerintah baru-baru

ini adalah perumusan MOU (Memorandum of Understanding) antara

Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Kesehatan yang menekankan

pemberlakuan Kawasan Tanpa Rokok. Peraturan bersama antara Menteri

Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri dituangkan dalam Surat bernomor

188/MENKES/PB/I/2011 dan No. 7 Tahun 2011 tentang Pedoman Pelaksanaan

Kawasan Tanpa Rokok. Peraturan bersama ini sebenarnya sudah menyebutkan

adanya sanksi bagi pihak pelanggar, namun masih perlu diperkuat dengan

petunjuk operasional dan konsistensi implementasinya dilapangan. Selain itu,

berdasarkan surat fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat

Muhammadiyah/Surat Fatwa Haram No. 6/SM/MTT/III/2010 tentang Hukum

Merokok pada tanggal 8 April 2008 bagian pertama poin kedua, diketahui bahwa

merokok benar-benar dinyatakan haram. Sayangnya, Indonesia bukan negara

Islam sehingga fatwa tidak begitu mengikat kepada warga negaranya.

Pemerintah memiliki fungsi regulasi khususnya dalam rangka

mengendalikan suatu kegiatan yang menyangkut dan berdampak luas pada

Masyarakat. Menyadari pentingnya perlindungan terhadap bahaya rokok maka

perlu disusun suatu bentuk kebijakan yang bentuk dan substansinya memiliki

daya laku efektif. Rokok merupakan benda yang sudah tak asing lagi bagi kita.

Merokok sudah menjadi kebiasaan di Masyarakat, meskipun bahaya merokok

sudah diketahui dengan jelas. Hasil penelitian membuktikan bahwa kebiasaan

merokok dapat meningkatkan risiko timbulnya berbagai penyakit seperti penyakit

jantung, bronkhitis, tekanan darah tinggi, impotensi, berbagai jenis kanker pada

paru-paru, rongga mulut, laring, osefagus serta gangguan kehamilan dan cacat

pada janin. Namun pada kenyataannya kebiasaan merokok sangat sulit

dihilangkan dan jarang diakui sebagai suatu kebiasaan buruk. Hal ini dipahami

bahwa merokok dilakukan untuk mengalihkan diri dari stress dan tekanan emosi.

Ironisnya berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa asap rokok yang

terhirup oleh orang-orang bukan perokok namun berada di sekitar perokok

(perokok pasif) lebih membahayakan karena dalam asap rokok terdapat berbagai

zat kimia yang berbahaya bagi tubuh jika dihirup oleh perokok pasif. Hal ini

merupakan sebuah fenomena sosial yang terjadi pada lingkungan sekitar kita

yang perlu ditanggapi dan dicari solusinya. Pada tahun 2007, Indonesia

menduduki peringkat ke-5 konsumen rokok terbesar setelah China, Amerika

Serikat, Rusia dan Jepang. Pada tahun yang sama, Riset Kesehatan Dasar

menyebutkan bahwa penduduk berumur di atas 10 tahun yang merokok sebesar

29,2% dan angka tersebut meningkat sebesar 34,7% pada tahun 2010 untuk

kelompok umur di atas 15 tahun. Pada tahun 2007 hingga 2010 peningkatan

prevalensi perokok terjadi pada kelompok umur 15-24 tahun, dari 17,3% menjadi

18,6% atau naik hampir 10% dalam kurun waktu 3 tahun. Peningkatan prevalensi

perokok juga terjadi pada kelompok umur produktif, yaitu 25-34 tahun dari 29,0%

menjadi 31,1%. Rendahnya kesadaran Masyarakat tentang bahaya merokok pun

menjadi alasan sulitnya penetapan Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Selain itu,

konsumsi rokok kebanyakan adalah generasi muda atau usia produktif.

(http://indonews.org/asap-rokok-telah-mengepung-kita/diakses tanggal 2 Januari,

2015)

Berdasarkan hasil jejak pendapat yang dilakukan oleh Badan Pengelola

Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta dan Swisscontact Indonesia

Foundation bekerja sama dengan Lembaga Demografi Universitas Indonesia

(LDUI) menunjukkan bahwa 98% responden menyatakan dukungannya terhadap

peraturan Kawasan Dilarang Merokok (KDM), diikuti dengan 93% responden

menyatakan telah mengetahui adanya Peraturan Daerah ini. Saat ini kebijakan

larangan merokok di tempat umum di Indonesia menjadi kebijakan daerah,

meskipun belum semua daerah sudah membuat kebijakan ini. Hanya ada

23 wilayah yang sudah membuat peraturan tentang KTR. Ada pula beberapa

Kabupaten Kota yang membuat semacam peraturan dari Walikota atau Bupati,

namun hal ini belum terlalu kuat dalam penerapan sanksi dan juga

implementasinya.

Gafar (2011) telah melakukan penelitian di Padang Panjang, dalam hal ini

Peraturan Kawasan Tanpa Rokok sudah berjalan karena adanya komitmen dari

Walikota dan DPR. Di Padang Panjang tidak ditemukan lagi Iklan rokok, adanya

sanksi bagi Perokok terutama bagi Pegawai yang merokok di Kantor atau di

Sekolah. Selanjutnya Komunitas No Tobacco Community (NoTC) pada Tahun

2011 juga telah melakukan penelitian tentang Kepatuhan terhadap kebijakan

kawasan tanpa rokok di Kota Bogor. Berdasarkan hasil penelitian diketahui

bahwa tingkat kepatuhan pada awal tahun 2011 hanya sebesar 26%, sedangkan

pada akhir tahun 2011 meningkat menjadi 78%. Penelitian ini memonitor semua

jenis kawasan dengan jumlah gedung yang diobservasi sebanyak 4.453 gedung

yang ada di Kota Bogor.

Selanjutnya, Ana Zaina Triana (2014) juga telah melakukan penelitian

yang berjudul Analisis Implementasi Peraturan Daerah Kota Palembang No. 07

Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok di SMK Muhammadiyah 2 Kota

Palembang Tahun 2014. Hasil penelitian menunjukan komitmen pelaksana

implementasi KTR diwujudkan dengan kesediaan dan kemauan oleh pihak

pelaksana untuk melaksanakan KTR. Konteks situasional adalah adanya fatwa

haram mengenai rokok dari organisasi Muhammadiyah yang mendukung KTR,

konteks struktural adalah adanya peraturan sekolah yang selaras dengan

implementasi KTR, Kegiatan mengimplementasikan KTR adalah dengan

meletakkan plang KTR, sosialisasi, pembinaan dan pengawasan, tetapi belum

ada pengaturan tugas dan tanggung jawab pelaksanaan KTR. Bentuk

pembinaan KTR berupa sosialisasi Bentuk pengawasan yaitu pengawasan

langsung berupa inspeksi langsung ke lokasi. Sanksi yang diberikan berupa

sanksi administratif. Penyidikan KTR diadakan bersamaan dengan kegiatan

supervisi.

Hendry Eka Prasetya, Aufarul Marom, Ari Subowo (2015) melakukan

penelitian dengan judul Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di

Stasiun Tawang Kota Semarang. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa

pelaksanaan kebijakan ini dikatakan sudah berhasil akan tetapi masih kurang

optimal, dikarenakan beberapa kendala, yakni tidak tersedianya dana dari

pemerintah daerah untuk mendukung pelaksanaan kebijakan tentang KTR di

Stasiun Tawang, Jumlah sumber daya manusia yang terlibat masih kurang,

masih adanya pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat, dengan berbagai

alasan seperti lokasi smoking area yang terlalu jauh, kondisi smoking area yang

kurang nyaman, kurangnya sosialisasi terhadap pengunjung terhadap

pelaksanaan kebijakan ini, adanya benturan kepentingan antara pemerintah

daerah dengan pihak PT. KAI dalam hal ini Stasiun Tawang dalam hal

pelarangan pemasangan iklan rokok di stasiun, hal ini terkait dengan Pendapatan

Asli Daerah dari sektor pajak reklame, pengaruh perusahan rokok yang terlalu

besar kepada pemerintah daerah sehingga menghambat implementasi kebijakan

tentang Kawasan Tanpa Rokok di Stasiun Tawang, kurang efektifnya strategi

kebijakan yang sudah dilaksanakan di stasiun tawang terutama dalam hal

pembuatan smoking area dan pemasangan tanda larangan merokok, adanya

kelemahan dan ancaman yang mungkin muncul dari regulasi tentang pelarangan

merokok di tempat umum, diantaranya ringannya hukuman yang berdampak

pada semakin besarnya pelanggaran karena hukuman yang diberikan tidak

memberikan efek jera dan kemungkinan berkurangnya jumlah penumpang yang

kurang nyaman dengan adanya peraturan pelarangan merokok di tempat umum,

serta minimnya koordinasi dan daya tanggap yang ditunjukkan oleh pemerintah

daerah tidak sebanding dengan apa yang dilakukan oleh pihak stasiun.

Meskipun demikian terdapat beberapa perubahan positif yang dirasakan

baik oleh pegawai maupun oleh masyarakat seperti Stasiun Tawang menjadi

lebih rapi dan nyaman dengan berkurangnya polusi udara akibat paparan asap

rokok, berkurangnya sampah yang berserakan akibat rokok, dan berkurangnya

jumlah iklan rokok. Hal ini tentunya membawa manfaat bagi masyarakat

(pengunjung) baik dari segi sosial, lingkungan maupun kesehatan.

Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran

Universitas Udayana (PSIKM FK Unud) juga melakukan penelitian mengenai

tingkat kepatuhan kawasan terhadap Perda KTR tingkat provinsi yang mulai

ditetapkan tahun 2011. Dalam hal ini, Peneliti telah mengobservasi 1.394 gedung

secara acak maka didapatkan tingkat kepatuhan yang masih relatif rendah yaitu

11,8%. Georgina (1996), telah melakukan penelitian yang berjudul Successful

Implementation of a No-Smoking Policy. Temuan dalam penelitian ini

menunjukkan bahwa pengenalan program NSP dan pendidikan yang disebabkan

perubahan perilaku dan sikap positif untuk merokok. Pada bulan Agustus 1994

hasil kunci dari survei merokok kedua menunjukkan bahwa 5 persen dari

karyawan berhenti merokok, 43 persen mengurangi jumlah rokok yang dihisap

per hari, 1,6 persen merokok lebih dan 30 persen melaporkan tidak ada

perubahan. Hasil ini menunjukkan bahwa program berhenti merokok multifaset

jangka pendek dilaksanakan selama 5 bulan dapat menghasilkan penurunan

merokok.

Pemerintah Indonesia telah mulai memberikan perhatian terhadap

bahaya merokok sehingga penetapan Kawasan Tanpa Rokok merupakan hal

yang harus dilakukan, dalam hal ini di Kota Palembang juga telah mengatur

pembatasan wilayah merokok bagi perokok di Kota Palembang. Berdasarkan

hasil survei sosial ekonomi yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik

Palembang pada tahun 2009 menyatakan bahwa kebutuhan akan rokok di Kota

Palembang sendiri menempati posisi yang kedua sebesar 18 persen. Hal ini

dapat dilihat pada gambar berikut ini:

Gambar 1.1 Jumlah Kebutuhan Utama Warga Palembang Tahun 2009 Sumber: Badan Pusat Statistik Palembang

Berdasarkan Gambar 1.1 dapat diketahui bahwa rokok merupakan

kebutuhan kedua setelah makanan jadi. Hal ini menunjukan semakin

meningkatnya individu yang memkonsumsi rokok di Kota Palembang, seolah-

olah rokok sudah menjadi kebutuhan yang utama. Oleh karena ini, Kota

Palembang juga turut melaksanakan kebijakan kawasan tanpa rokok dengan

mengeluarkan Peraturan Daerah Kota Palembang No. 7 Tahun 2009 tentang

Kawasan Tanpa Rokok ini berisikan tentang berbagai aturan yang mengatur bagi

si perokok agar tidak merokok di tempat-tempat tertentu yang telah ditetapkan

sebagai kawasan dilarang merokok, serta sanksi yang dijatuhkan bila melanggar

aturan ini dalam Peraturan Daerah Kota Palembang No. 7 Tahun 2009 tentang

Kawasan Tanpa Rokok juga dicantumkan tujuan pemberlakuan peraturan ini

sebagai upaya menekan jumlah pengkonsumsi rokok di wilayah Palembang serta

mengatasi pencemaran udara di Palembang yang tidak terkendali lagi.

Sehubungan dengan penelitian ini, maka implementasi Peraturan Daerah

No. 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang,

dilaksanakan dengan berazaskan:

a. keseimbangan kesehatan manusia dan lingkungan;

b. kemanfaatan umum;

c. keterpaduan dan keserasian;

d. keadilan; dan

e. transparansi dan akuntabilitas.

Adapun tujuan Peraturan Daerah Kota Palembang No. 7 Tahun 2009

tentang Kawasan Tanpa Rokok:

a. memberikan perlindungan yang efektif dari bahaya paparan asap rokok

orang lain;

b. memberikan ruang dan lingkungan yang bersih dan sehat bagi masyarakat;

c. melindungi kesehatan masyarakat secara umum dari dampak buruk

merokok baik langsung maupun tidak langsung

Kawasan Tanpa Rokok adalah tempat atau ruangan yang dinyatakan

dilarang untuk merokok, menjual, mengiklankan, dan/atau mempromosikan

rokok, meliputi: tempat umum; tempat kerja; tempat ibadah; arena kegiatan anak-

anak; angkutan umum; kawasan proses belajar mengajar; dan tempat pelayanan

kesehatan. Salah satu kawasan tanpa rokok di Kota Palembang adalah tempat

Kerja. Peraturan Walikota Palembang No. 18 Tahun 2010 tentang Pengawasan

Kawasan Tanpa Rokok, mendefiniskan tempat kerja sebagai ruang tertutup

bergerak atau tidak bergerak dimana tenaga kerja bekerja atau tempat yang

sering dimasuki tenaga kerja dan tempat-tempat sumber bahaya termasuk

kawasan pabrik, perkantoran, ruang rapat, ruang sidang/seminar dan sejenisnya.

Dalam hal ini, tempat kerja berupa Instansi Pemerintahan yang sekaligus

memberikan pelayanan kepada masyarakat, diharapkan dapat mematuhi Perda

Kawasan Tanpa Rokok, sehingga dapat memberikan kenyamanan bagi para

Pegawai untuk bekerja maupun Masyarakat yang dilayani.

Berdasarkan hasil survey kepatuhan kawasan tanpa rokok yang di

laksanakan Dinas Kesehatan Kota Palembang tahun 2012 di 279 tempat kerja,

masih ditemukan orang yang merokok sebesar 24,7%. Di dalam Peraturan

Daerah No. 7 Tahun 2009 seharusnya tempat kerja menerapkan 100 % kawasan

tanpa rokok dengan tidak ditemukan lagi orang yang merokok di tempat kerja.

Selanjutnya Survey yang dilakukan oleh Lembaga Survey Universitas Indonesia

pada tahun 2013 didapatkan hasil bahwa hanya 8,5% Kantor Pemerintahan Kota

Palembang yang mematuhi Perda No. 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa

Rokok. Hasil Supervisi yang dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Kota

Palembang tahun 2014 ke 149 Kantor di lingkungan Pemerintah Kota Palembang

yang tidak mematuhi Perda No. 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok

ada 81 atau 54 % Kantor.

Dalam jangka waktu satu tahun sejak berlakunya Peraturan Daerah ini,

setiap pemilik, pengelola, manajer, pimpinan dan penanggung jawab Kawasan

Tanpa Rokok, harus mengadakan penyesuaian dengan ketentuan Peraturan

Daerah ini. Pelanggaran atas ketentuan Peraturan Daerah ini, diancam dengan

hukum pidana kurungan paling lama tiga bulan atau denda paling banyak

Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).

Celah bagi pecandu rokok untuk merokok di ranah publik nyaris tertutup.

Selain di tujuh kawasan tanpa rokok, Pemerintah juga dalam aturan itu (pada

Pasal 9), telah melarang orang merokok di tempat-tempat umum yang dianggap

perlu oleh Pemerintah. Namun demikian, aturan tersebut tidak secara detail

menyebutkan apa saja tempat-tempat yang dianggap perlu itu.

Semua hal seputar merokok di kawasan tanpa rokok akan disanksi keras

pada Pasal 7 huruf (a), disebutkan bahwa pemilik, pengelola, manajer, pimpinan

dan penanggung jawab, dilarang menyediakan tempat untuk merokok di dalam

gedung dan menyediakan rokok (menjual, mengiklankan dan mempromosikan

rokok). Selain itu, mereka juga perlu mengingatkan semua orang untuk tidak

merokok di kawasan tanpa rokok yang menjadi tanggung jawabnya, melarang

adanya asbak di kawasan itu, serta wajib meletakkan tanda-tanda dilarang

merokok di semua pintu masuk utama dan tempat lain yang mudah terbaca. Bila

aturan ini dilanggar, terancam denda adminstratif. Tidak melarang adanya tempat

untuk merokok atau penyediaan rokok, sanksinya denda paling banyak

Rp 10 juta rupiah (Pasal 19). Tidak melarang asbak di kawasan tanpa rokok

didenda paling banyak Rp 500 ribu (Pasal 20). Begitu pula jika pemilik,

pengelola, manajer, pimpinan dan penanggung jawab tidak meletakkan tanda

dilarang merokok, didenda paling banyak Rp 1 juta rupiah (Pasal 21). Kemudian,

jika mereka tidak melarang orang merokok di kawasan tanpa rokok, maka

didenda paling banyak Rp 500 ribu (Pasal 22). Jika aturan ini sampai tiga kali

dilanggar, sesuai Pasal 23, sanksi administratifnya berupa pencabutan izin dan

penutupan tempat usaha. Selain denda administrasi, pelanggaran atas perda No.

7 Tahun 2009 ini juga disanksi pidana, dengan ancaman kurungan paling lama

tiga bulan dan atau denda paling banyak Rp 50 juta (Pasal 27).

Penerapan kawasan tanpa rokok (KTR) di Kota Palembang ternyata

belum mendapatkan dukungan sepenuhnya dari sejumlah pihak yang

seharusnya ditetapkan sebagai kawasan tanpa rokok (KTR). Seperti yang

termuat dalam koran harian Sumatera Ekspres yang terbit pada hari Kamis,

22 September 2011 dengan judul berita “Puluhan Instansi Langgar Perda KTR”.

Didalam berita ini dikatakan bahwa berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota

Palembang, pelanggaran Perda kawasan tanpa rokok ditemukan pada 35 lokasi

dengan instansi yang berbeda mulai dari area sekolah, mall, hotel, rumah sakit

Pemerintah dan swasta, rumah makan dan restoran. Pembinaan dan

pengawasan dilakukan dengan baik secara persuasif melalui sosialisasi,

himbauan atau inspeksi mendadak akan tetapi masih ada saja yang melanggar.

Pihaknya telah beberapa kali memberikan teguran, rata-rata ke-35 pengelola

atau penanggung jawab tempat yang dinyatakan tidak mematuhi Perda Kawasan

Tanpa Rokok ini sudah diberikan peringatan lebih dari 3 kali baik itu melalui dua

survei kepatuhan dan sidak rutin yang telah digelar tiga kali sebulan.

Berdasarkan data mengenai banyaknya pelanggaran yang terjadi di

Kawasan Tanpa Rokok khususnya Instansi Pemerintahan Kota Palembang, jika

dianalisis berdasarkan model implementasi Grindle, maka berdasarkan konten

kebijakan, dalam hal ini kepentingan yang dipengaruhi; Pelaksana kebijakan

kawasan tanpa rokok dalam hal ini Dinas Kesehatan Kota Palembang, maupun

Pimpinanan dan para Pegawai Instansi Pemerintahan dan Masyarakat telah

mengetahui dan mendukung pelaksanaan Perda KTR, meski masih ditemukan

pelanggaran dikawasan tersebut. Dalam hal ini, Sat Pol PP dan jajarannya

bertugas pada fungsi pada larangan dan penerapan sanksi, sedangkan untuk

Dinas Kesehatan Kota Palembang berfungsi pada penekanan bahaya merokok

pada orang-orang yang ada di Kawasan Tanpa Rokok.

Berdasarkan konteks implementasinya, strategi aktor yang dilibatkan

dalam implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok khususnya di Instansi

Pemerintahan Kota Palembang masih belum maksimal. Kepatuhan terhadap

cara/proses pelaksanaan Kebijakan masih rendah, terbukti dari banyaknya

pelanggaran yang terjadi seperti di tahun 2014, berdasarkan hasil supervisi, dari

149 Kantor di lingkungan Pemerintah Kota Palembang, setidaknya ada 81 Kantor

yang tidak mematuhi Perda No. 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok

ada (54% Kantor yang tidak patuh). Berdasarkan hasil kebijakan berupa Dampak

implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok khususnya di Instansi

Pemerintahan Kota Palembang belum cukup baik/maksimal. Namun, mereka

yang merokok didalam gedung perkantoran sudah berkurang.

Berdasarkan hasil observasi, diketahui bahwa Faktor yang mendukung

Implementasi Perda KTR, khususnya di Instansi Pemerintahan meliputi: telah

mengakomodir Kepentingan Pelaksana Kebijakan, Pimpinan Instasi serta

Kepentingan Masyarakat. Tersedianya sticker-sticker Perda KTR khususnya di

Instansi Pemerintahan maupun Pembentukan Tim Pengawas Internal dari

Instansi Pemerintahan dengan melibatkan seluruh security/Petugas Keamanan

tanpa terkecuali. Faktor yang menghambat keberhasilan Implementasi Perda

KTR, meliputi: Beban Kerja Personil Satpol PP maupun Dinas Kesehatan Kota

Palembang selaku Tim Penegakan Perda KTR cukup jika harus ditambah

dengan pelaksanaan supervisi KTR secara terus menerus, kurangnya dana

publikasi penegakan Perda KTR, dan layanan Informasi pengaduan jika terjadi

pelanggaran di Instansi Pemerintahan yang masih terbatas.

Diharapkan kegiatan merokok di Instansi Pemerintahan tidak terjadi lagi.

Hal ini dikarenakan Pemerintah Kota Palembang telah mengeluarkan Peraturan

Daerah No. 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR). KTR, dalam

ketentuan umum peraturan itu, adalah tempat atau ruang yang dinyatakan

dilarang untuk merokok, menjual, mengiklankan atau mempromosikan rokok.

Pemerintah menghendaki, penerapan peraturan daerah ini dapat melindungi

warga yang tak merokok tidak terkena paparan asap rokok dari si perokok, dan

memberi ruang dan lingkungan yang sehat kepada warga secara langsung dan

tak langsung.

Indikator Kepatuhan untuk Kawasan Tanpa Rokok berdasarkan Peraturan

Daerah No. 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok, ada 6 hal yaitu:

a. ada tidaknya papan pengumuman (plang KTR)

b. ada tidaknya tanda dilarang merokok

c. ada tidaknya ruang untuk merokok

d. ada tidaknya asbak

e. ada tidaknya orang merokok di ruang merokok, dan

f. ada tidaknya penjualan/promosi/iklan rokok di kawasan tanpa rokok.

Jika salah satu indikator tidak terpenuhi maka dianggap tidak mematuhi

Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009.

Ada tiga prinsip yang ditetapkan Pemerintah dan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah Kota Palembang dalam penerapan KTR ini, yaitu:

a. 100 persen tak ada lagi kawasan asap rokok

b. tidak ada ruang merokok di tempat umum atau di tempat kerja tertutup

c. pemaparan asap rokok kepada orang lain, maupun meingizinkan atau

membiarkan orang merokok di kawasan yang terlarang untuk merokok.

Upaya penanggulangan bahaya akibat merokok dan agar

implementasinya lebih efektif, efisiensi dan terpadu, di perlukan Peraturan

Daerah Kawasan Tanpa Rokok yang tercantum pada Peraturan Daerah Kota

Palembang No. 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok. kebijakan

kawasan tanpa rokok ini dapat ditujukan untuk mencapai kriteria responsivitas

dalam mengimplementasikan Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009 Tentang

Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang yaitu langkah-langkah pengamanan

rokok bagi kesehatan, diantaranya melalui penetapan Kawasan Tanpa Rokok.

Abdul Wahab (1997: 272) menguraikan, agar kebijakan dapat dilaksanakan

dengan baik, maka kebijakan hendaknya: dirancang sesuai dengan kerangka

acuan dan teori yang kuat, disusun korelasi yang jelas antara kebijakan dan

implementasinya, adanya organisasi yang mengkoordinir pelaksanaan kebijakan

sehingga proses implementasi dapat berjalan dengan baik, dilakukan sosialisasi

kebijakan yang akan diterapkan sampai organisasi pelaksana tingkat terbawah

(street level bureaucracy), dilakukan pemantauan terus menerus (monitoring)

serta diberi bobot yang sama penting antara kebijakan dan implementasinya.

Maksudnya, pembuat kebijakan harus menilai sama penting antara kebijakan

dan implementasinya. sehingga antara kebijakan dan implementasinya tidak

terjadi kesenjangan yang menyulitkan dalam pelaksanaan. Dengan demikian,

proses (implementasi) kebijakan baru akan dimulai apabila tujuan-tujuan

kebijakan telah ditetapkan.

Peraturan Daerah Kota Palembang No. 7 Tahun 2009 tentang Kawasan

Tanpa Rokok ini berisikan tentang berbagai aturan yang mengatur bagi si

perokok agar tidak merokok di tempat-tempat tertentu yang telah ditetapkan

sebagai kawasan dilarang merokok, serta sanksi yang dijatuhkan bila melanggar

aturan ini dalam Peraturan Daerah Kota Palembang No. 7 Tahun 2009 tentang

Kawasan Tanpa Rokok juga dicantumkan tujuan pemberlakuan peraturan ini

sebagai upaya menekan jumlah pengkonsumsi rokok di wilayah Palembang serta

mengatasi pencemaran udara di Palembang yang tidak terkendali lagi.

Pelanggaran atau Ketidakpatuhan akan Kawasan Tanpa Rokok yang

terjadi di Kota Palembang menjadi sangat menarik untuk diteliti lebih jelas lagi.

Karena itu perlu diteliti bagaimana implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok

khususnya kepatuhan pegawai di Instansi Pemerintahan Kota Palembang.

Diharapkan pada akhir penelitian nanti dapat merekomendasikan model

implementasi kebijakan yang dapat memberikan perlindungan kepada

Masyarakat yang tidak merokok serta penegakan hukum terhadap pelanggaran

Perda Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Kota Palembang.

1.2 Perumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang berkaitan dengan upaya

Pemerintah Kota Palembang dalam menciptakan Kawasan Tanpa Rokok, maka

rumusan penelitian ini menyangkut persoalan sebagai berikut:

(1) Bagaimanakah implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Instansi

Pemerintahan Kota Palembang?

(2) Apakah faktor-faktor yang menjadi pendukung dan penghambat

kepatuhan pegawai dalam implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok

di Instansi Pemerintahan Kota Palembang?

(3) Bagaimanakah model implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di

Kota Palembang yang ideal?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka studi ini

bertujuan untuk menjelaskan implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok,

khususnya di Instansi Pemerintahan Kota Palembang. Secara terperinci,

penelitian ini memiliki beberapa tujuan:

(1) Mendeskripsikan dan menganalisis implementasi kebijakan kawasan

tanpa rokok di Instansi Pemerintahan Kota Palembang

(2) Mendeskripsikan dan menganalisis faktor pendukung dan penghambat

dalam kepatuhan pegawai dalam implementasi kebijakan kawasan tanpa

rokok di Instansi Pemerintahan Kota Palembang

(3) Menemukan model implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota

Palembang yang ideal

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk:

(1) Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu kontribusi dalam

mengembangkan konsep atau teori tentang kebijakan publik, khususnya

dalam implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok tidak hanya terpaku

pada teori-teori yang berkaitan dengan implementasi kebijakan berupa

George C. Edwards III (1980), Donald Van Meter dan Carl Van Horn

(1975), Merilee S. Grindle (1980), dan lain-lain, melainkan harus

ditelaah juga faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang untuk

Patuh menurut Green (1980), yang selanjutnya dapat dijadikan referensi

untuk penelitian-penelitian lainnya.

(2) Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi bagi Pemerintah Daerah

sebagai perumus implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok. Selain itu

penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi secara menyeluruh bagi

Pegawai akan pentingnya menjaga lingkungan kerja yang sehat dan

bebas dari asap rokok.

(3) Manfaat Metodologis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam

pengembangan metodologi penelitian sosial yang berbasis implementasi

kebijakan kawasan tanpa rokok di Instansi Pemerintahan Kota

Palembang

30

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kajian Penelitian Terdahulu

Untuk menghindari duplikasi penelitian yang sudah dilakukan, serta

sebagai pembanding maka perlu dikemukakan gambaran hasil penelitian

terdahulu yang relevan dan memiliki kedekatan dengan tema disertasi yakni:

implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok khususnya berkaitan dengan

kepatuhan pegawai di Instansi Pemerintahan Kota Palembang, maka Penulis

mencoba untuk mencari celah diantara penelitian yang telah ada untuk dijadikan

sebuah karya disertasi. Untuk menambah referensi penulisan disertasi ini maka

penulis mencoba untuk melihat kembali beberapa penelitian yang telah dilakukan

dan dipublikasikan khususnya mengenai implementasi kebijakan kawasan tanpa

rokok yang dapat mendukung penelitian, diantaranya:

2.1.1 Per Nilsen, Christian Ståhl, Kerstin Roback and Paul Cairney (2013): Never the twain shall meet? - a comparison of implementation science and policy implementation research

Banyak masalah kesehatan masyarakat memerlukan pengetahuan

berbasis penelitian yang ditindaklanjuti oleh perawatan kesehatan praktisi

bersama dengan implementasi langkah-langkah politik dari lembaga pemerintah.

Namun, ada keterbatasan pengetahuan antara ilmu implementasi dan penelitian

implementasi kebijakan, yang telah dilakukan sejak awal 1970-an. Berdasarkan

tinjauan narasi literatur selektif tentang implementasi penelitian sains dan

implementasi kebijakan, tujuan makalah ini adalah untuk mendeskripsikan

karakteristik kebijakan riset implementasi, analisis persamaan utama dan

30

31

perbe daan antara bidang ini dan sains penerapan, dan mendiskusikan

bagaimana pengetahuan yang dikumpulkan dalam penelitian implementasi

kebijakan dapat menginformasikan ilmu implementasi.

Mengikuti ikhtisar singkat dari riset implementasi kebijakan, beberapa

aspek dari kedua bidang tersebut dijelaskan dan dibandingkan: tujuan dan asal

riset; karakteristik penelitian; pengembangan dan penggunaan teori; determinan

perubahan (variabel independen); dan dampak implementasi (variabel

dependen). Analisis komparatif menunjukkan bahwa ada banyak kesamaan

antara dua bidang, namun ada juga perbedaan besar. Namun, pembelajaran

penting dapat berasal dari beberapa aspek penelitian implementasi kebijakan,

termasuk isu-isu yang berkaitan dengan pengaruh konteks implementasi dan

nilai-nilai dan norma-norma pelaksana (praktisi perawatan kesehatan) pada

proses implementasi. Penelitian yang relevan tentang berbagai topik kebijakan

yang terkait, termasuk Kerangka Koalisi Advokasi, Teori Tata Kelola, dan Teori

Kelembagaan, juga dapat berkontribusi untuk meningkatkan pemahaman tentang

kesulitan menerapkan bukti dalam perawatan kesehatan.

Ada banyak masalah umum dalam implementasi kebijakan penelitian

dan implementasi sains. Penelitian dikedua bidang membahas tantangan

menerjemahkan niat menjadi perubahan yang diinginkan. Namun, sementara

implementasi kebijakan didirikan dalam ilmu sosial, implementasi sains telah

mengadopsi banyak prinsip dari evidencebased obat dan gerakan praktik

berbasis bukti diambil dari ilmu alam. Namun, kedua bidang itu menekankan

pentingnya penelitian interdisipliner menggunakan berbagai metodologi

penelitian dalam penyelidikan ini. Para peneliti di kedua bidang telah banyak

berkembang model dan kerangka kerja spesifik bidang, tetapi implementasi

32

Peneliti sains juga secara pragmatis tampak ke bidang dan disiplin lain untuk

meminjam teori, model dan kerangka kerja. Peneliti implementasi kebijakan

muncul lebih berhati-hati dalam menggunakan teori diturunkan di bidang lain.

Peneliti sains implementasi telah dibedakan antara sejumlah penentu

individu yang secara kausal terkait dengan keluaran dan hasil dan cukup besar

upaya penelitian telah dikhususkan untuk menyelidiki efektivitas strategi khusus

untuk mempengaruhi hasil ini. Peneliti implementasi kebijakan harus ditingkat

yang lebih besar menekankan interdependensi yang melekat di antara keduanya

berbagai faktor serta sangat penting konteksnya, yang membuatnya sulit untuk

menyamaratakan temuan tentang kepentingan relatif penentu individu. Riset

implementasi kebijakan telah ditangani kedua output (perubahan di antara

pelaksana) dan hasil (perubahan di antara mereka yang ditargetkan dengan

kebijakan). Sebaliknya, ilmu implementasi telah terfokus sangat banyak pada

output daripada hasil, yaitu pada praktisi kesehatan daripada pasien.

2.1.2 James F. Thrasher, Erika Nayeli Abad-Vivero, Ernesto M. Sebrie,

Tonatiuh Barrientos-Gutierrez, Marcelo Boado, Hua Hie Yong, Edna Arillo-Santillan and Eduardo Bianco (2013): Tobacco smoke exposure in public places and workplaces after smoke-free policy implementation: a longitudinal analysis of smoker cohorts in Mexico and Uruguay

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan prevalensi, berkorelasi dan

perubahan paparan asap rokok bekas (SHS) selama periode setelah

implementasi kebijakan bebas asap rokok yang komprehensif di dua Negara

Amerika Latin yaitu Meksiko dan Uruguay

Penelitian ini menggunakan metode data dianalisis dari sampel

perwakilan berbasis populasi perokok dewasa dan pendatang baru-baru ini dari

gelombang 2008 dan 2010 dari Survei Evaluasi Kebijakan Pengendalian

33

Tembakau Internasional di Meksiko (masing-masing n = 1766 dan 1840,) dan

Uruguay (masing-masing n = 1379 dan 1411,). Prevalensi paparan SHS

diperkirakan untuk tempat yang diatur, dan persamaan estimasi umum

digunakan untuk menentukan korelasi paparan SHS.

Hasil penelitian ini diketahui bahwa eksposur SHS di tempat kerja pada

bulan lalu serupa di dalam dan di seluruh Negara (rentang: Meksiko 20-25%;

Uruguay 14–29%). Pada kunjungan restoran terbaru, paparan SHS lebih rendah

di mana kebijakan bebas asap rokok yang komprehensif diterapkan (kisaran:

Uruguay 6-9%; Kota Meksiko 5-7%) dibandingkan dengan kota-kota Meksiko

dengan kebijakan yang lebih lemah, di mana paparan tetap lebih tinggi tetapi

menurun selama waktu (32-17%). Pada kunjungan bar terbaru, paparan SHS

adalah umum (kisaran: Uruguay 8–36%; Mexico City 23–31%), meskipun

tertinggi di yurisdiksi dengan kebijakan yang lebih lemah (berkisar di kota-kota

Meksiko lainnya: 74-86%). Di Uruguay, laki-laki lebih mungkin dibandingkan

perempuan yang terpapar dengan SHS di berbagai tempat, karena lebih muda

dibandingkan dengan perokok yang lebih tua di Meksiko. Kebijakan bebas asap

rokok secara komprehensif lebih efektif daripada kebijakan yang lebih lemah,

meskipun kepatuhan di Meksiko dan Uruguay tidak setinggi yang diinginkan.

2.1.3 Pieroni, Luca (2013): The role of anti-smoking legislation on

cigarette and alcohol consumption habits in Italy Penelitian ini bertujuan untuk mengukur efek pada kedua partisipasi

merokok dan intensitas dan efek tidak langsung pada konsumsi alkohol di Itali.

Dataset yang digunakan dalam makalah ini adalah survei ELA, yang dilakukan di

Italia oleh Italian Institute of Statistics (ISTAT). Survei ELA dilakukan pada

Perwakilan sampel penampang penduduk Italia dan memberikan informasi rinci

34

tentang demografi, karakteristik sosial dan kesehatan 20.000 rumah tangga

setiap tahun, sesuai dengan sekitar 50.000 catatan individu tahunan.

Pengenalan Undang-undang Bebas Asap Rokok di Italia secara signifikan

mempengaruhi perilaku merokok. Selain itu, mendokumentasikan efek tidak

langsung signifikan terhadap konsumsi alkohol untuk kategori minuman

beralkohol utama. Sebuah analisis ketahanan juga dilakukan, untuk menguji

sejauh mana variabel teramati, mungkin bias parameter kami

diperkirakan. Hasilnya kemudian digunakan untuk melakukan analisis efektivitas

biaya dari Undang-undang Anti-Merokok di Italia.

2.1.4 Thomson, George (2013): Informing Outdoor Smokefree Policy: Methods for Measuring the Proportion of People Smoking in Outdoor Public Areas Tujuan penelitian ini untuk mengembangkan, metode murah sederhana

untuk mengukur merokok di berbagai tempat umum. Dua metode yang

dikembangkan dan digunakan oleh pengamat tunggal selama Maret 2011-

Februari 2012 untuk mengukur proporsi orang merokok di 58 situs di Inggris dan

New Zealand dan 33 situs di Selandia Baru diamati, dengan perbedaan yang

signifikan ditemukan antara merokok di jenis situs dan antar negara.

Untuk kedua Negara gabungan, proporsi orang yang merokok (di antara

mereka lebih dari 12 tahun) di area bermain anak-anak secara signifikan lebih

rendah dibandingkan dengan semua gabungan situs lain (rasio risiko = 0,39;

95% CI: 0,20-0,76; p = 0,002). Pengamat dapat menetapkan proporsi orang

merokok di berbagai situs luar. Metode tersebut dapat menginformasikan

kebijakan bebas asap luar daerah dengan memberikan Data dasar dan pasca-

kebijakan untuk memungkinkan penargetan lokasi dan evaluasi kebijakan.

35

2.1.5 Charupash, Rujee (2014): The Effectiveness of Law Enforcement: The Notfication of Minister of Public Health (No.18) B.E.2550 (A.D.2007): Pursuant to The Protection of Non-Smokers Health Act B.E.2535 (1992): A Case Study of Market at Khon Kaen Municipality Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengukur informasi yang diterima,

pasar sebagai daerah bebas asap, dari Pemberitahuan Departemen Kesehatan

Masyarakat, sesuai dengan Undang-undang Perlindungan Kesehatan Non-

Perokok (1992), dan efektivitas saluran media. Penegakan Hukum UU

Kesehatan dan Perlindungan Non Perokok di Pasar Kota Khon Kaen dilakukan

melalui survei cross sectional, total sampel adalah 764 orang.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 51,1% dari pasar vendor dan

45,6% dari pembeli menerima informasi bahwa pasar adalah area bebas asap

rokok. Saluran media besar bahwa sampel menerima informasi dari poster

(37,7%). Meskipun ukuran denda tidak dapat dilaksanakan, 51,6% perokok tidak

merokok di pasar. Meskipun beberapa perokok menerima informasi, mereka

mengabaikan Pemberitahuan, khususnya pasar vendor itu. Rekomendasi

penelitian ini untuk membuat pasar daerah bebas merokok adalah peningkatan

promosi, meningkatkan tindakan sosial, dan menyisihkan area merokok khusus

untuk perokok

2.1.6 Hulton L, Matthews Z, Martin-Hilber A, Adanu R, Ferla C, Getachew A, Makwenda C, Segun B, Yilla M. (2014): Using Evidence to Drive Action: A “Revolution in Accountability” to Implement Quality Care for Better Maternal and Newborn Health in Africa Penelitian ini dilakukan untuk menguji pengaruh pada pengembangan

kebijakan daerah bebas asap kontemporer di Selandia Baru. Wawancara semi-

terstruktur dilakukan dengan 62 orang Politisi dan Pejabat Senior Selandia

Baru. Mereka ditanya tentang pandangan mereka tentang intervensi yang

36

mungkin untuk mengurangi merokok di sekitar anak-anak, dan bagaimana untuk

mencapai kemajuan pada rumah, mobil dan tempat-tempat umum yang bebas

asap. Data ditranskripsikan dianalisis untuk tema, beberapa di antaranya

ditentukan oleh pertanyaan yang diajukan, dan beberapa muncul dari sifat

dinamis dari wawancara.

Kebijakan untuk area bebas asap terlihat oleh Peserta sebagai kegiatan

kompleks yang sangat dipolitisasi, berkaitan dengan menyeimbangkan sejumlah

faktor termasuk bukti, pengalaman pribadi, kepedulian terhadap perokok, dan

keinginan dukungan publik untuk kebijakan. Mayoritas Peserta berhati-hati

tentang membuat langkah kebijakan substantif pada tempat-tempat bebas

merokok karena persepsi mereka tentang isu yang sangat kontroversial,

keinginan mereka untuk menghindari resistensi publik dan keinginan mereka

untuk keterlibatan masyarakat. Preferensi ditunjukkan untuk pendekatan

kebijakan berdasarkan persuasi daripada Undang-undang, sebagai sarana untuk

membuat kemajuan pada mobil bebas asap dan ruang luar. Hasil menunjukkan

perlunya komunikasi yang baik dari penerimaan dan manfaat dari perubahan

legislatif bebas merokok untuk kedua arena politik dan publik.

2.1.7 Nazar GP, Lee JT, Glantz SA, Arora M, Pearce N, Millett C (2014): Association Between Being Employed in a Smoke-Free Workplace and Living in a Smoke-Free Home: Evidence from 15 low and Middle Income Countries Penelitian ini dilakukan untuk menilai apakah Pekerja yang bekerja di

tempat kerja di area bebas asap rokok terkait dengan Pekerja yang tinggal di

rumah bebas asap rokok. Survey cross-sectional (2008-2011) dari 15 LMICs

dilakukan dengan menggunakan regresi logistik ganda. Variabel terikat adalah

tinggal di rumah bebas asap rokok; Variabel independen yang bekerja di tempat

37

kerja yang bebas asap rokok. Analisis disesuaikan dengan usia, jenis kelamin,

tempat tinggal, daerah, pendidikan, pekerjaan, merokok saat ini, saat ini

penggunaan tembakau tanpa asap dan jumlah anggota rumah tangga. Hasil

masing-masing negara yang dikombinasikan dengan efek acak meta-analisis.

Di setiap negara, persentase peserta yang bekerja di tempat kerja yang

bebas asap rokok yang dilaporkan tinggal di rumah bebas asap rokok lebih tinggi

dari mereka yang bekerja di tempat kerja yang tidak bebas asap. Odds ratio yang

disesuaikan (AORs) hidup di rumah bebas asap rokok antara peserta bekerja di

tempat kerja yang bebas asap rokok (vs mereka yang bekerja di mana merokok

terjadi) secara statistik signifikan di 13 dari 15 negara, mulai dari 1,12 [95% CI

0,79-1,58] di Uruguay menjadi 2,29 [1,37-3,83] di Cina. Yang dikumpulkan AOR

adalah 1,61 [1,46-1,79]. Dalam LMICs, kerja di tempat kerja yang bebas asap

rokok terkait dengan tinggal di rumah bebas asap rokok. Percepatan

pelaksanaan kebijakan bebas asap rokok yang komprehensif kemungkinan akan

menghasilkan manfaat kesehatan penduduk substansial dalam pengaturan ini.

2.1.8 H. Strehlenert, L. Richter-Sundberg, M. E. Nyström, and H. Hasson (2015): Evidence-Informed Policy Formulation and Implementation: a Comparative Case Study of Two National Policies for Improving Health and Social Care in Sweden

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi dan

membandingkan dua kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan perawatan

kesehatan dan sosial di Swedia dan menguji secara empiris model konseptual

baru untuk perumusan kebijakan dan implementasi bukti-informasi.

Penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus longitudinal

dan komparatif. Data dikumpulkan melalui wawancara, observasi, dan

dokumen. Model konseptual untuk perumusan kebijakan dan implementasi

38

kebijakan terbukti dikembangkan berdasarkan kerangka kerja sebelumnya untuk

pembuatan kebijakan dan penyebaran informasi. Model konseptual digunakan

untuk mengatur dan menganalisis data.

Kebijakan berbeda mengenai penggunaan bukti dalam perumusan

kebijakan dan sejauh mana formulasi kebijakan dan fase implementasi tumpang

tindih. Kesamaan antar kasus adalah penekanan pada penilaian kapasitas,

kegiatan yang dimodifikasi berdasarkan penilaian dan pendekatan implementasi

yang sangat aktif yang mengandalkan jaringan para pemangku

kepentingan. Model Konseptual untuk Perumusan Kebijakan dan Implementasi

Bukti-Informasi secara empiris berguna untuk mengatur data.

Peran dan fungsi aktor kebijakan ditemukan memiliki pengaruh besar

pada pilihan strategi dan kolaborator di semua fase kebijakan. Model Konseptual

untuk Perumusan Kebijakan dan Implementasi Bukti-Informasi ditemukan

bermanfaat. Namun, itu memberikan panduan yang tidak memadai untuk

menganalisis aktor yang terlibat dalam proses kebijakan, strategi pembangunan

kapasitas dan fase kebijakan yang tumpeng tindih. Versi revisi dari model yang

mencakup aspek-aspek ini disarankan.

2.1.9 Per Nilsen (2015): Making Sense of Implementation Theories, Models

and Frameworks

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengusulkan taksonomi yang

membedakan antara berbagai kategori teori, model dan kerangka kerja dalam

ilmu implementasi, untuk memfasilitasi pemilihan yang tepat dan penerapan

pendekatan yang relevan dalam penelitian dan praktik implementasi dan untuk

mendorong dialog lintas-disiplin di kalangan peneliti implementasi.

39

Pendekatan teoritis yang digunakan dalam ilmu implementasi memiliki

tiga tujuan menyeluruh: menggambarkan dan/atau membimbing proses

menerjemahkan penelitian ke dalam praktek (model proses); memahami dan/

atau menjelaskan apa yang mempengaruhi hasil implementasi (kerangka

determinan, teori klasik, teori implementasi); dan mengevaluasi implementasi

(kerangka kerja evaluasi).

Penelitian ini mengusulkan lima kategori pendekatan teoritis untuk

mencapai tiga tujuan menyeluruh. Kategori ini tidak selalu diakui sebagai jenis

pendekatan yang terpisah dalam literatur. Meskipun ada tumpang tindih di antara

keduanya. Beberapa teori, model dan kerangka kerja, kesadaran akan

perbedaan penting untuk memfasilitasi pemilihan pendekatan yang relevan.

Kerangka kerja yang paling determinan memberikan dukungan yang terbatas

"bagaimana" untuk melaksanakan implementasi, karena determinan biasanya

terlalu umum untuk memberikan detail yang cukup untuk memandu proses

implementasi. Sementara relevansi mengatasi hambatan dan kemungkinan

untuk menerjemahkan penelitian ke dalam praktik disebutkan dalam banyak

model proses, model ini tidak mengidentifikasi atau secara sistematis menyusun

determinan spesifik yang terkait dengan keberhasilan implementasi. Selanjutnya,

model proses mengenali urutan temporal dari upaya implementasi, sedangkan

kerangka kerja determinan tidak secara eksplisit mengambil perspektif proses

implementasi.

40

2.1.10 Afifa Aisha Rahmat (2015): Policy Implementation: Process and Problems

Implementasi kebijakan sangat penting untuk keberhasilan pemerintah.

Tidak ada kebijakan yang dapat berhasil jika implementasi tidak memikul

hubungan apa pun dengan niat pengadopsi kebijakan. Penelitian ini mencoba

untuk memahami proses implementasi dan menyoroti kontribusi berbagai

lembaga yang terlibat di dalamnya tahap implementasi. Terlepas dari ini juga

berfokus pada berbagai masalah seperti komunikasi, koordinasi, desain

kelembagaan, partisipasi publik dan korupsi dan lain-lain yang menghambat

pelaksanaan dan juga menyarankan langkah-langkah untuk mengatasi rintangan

ini.

Donald Van Meter dan Carl Van Horn mengamati: "Implementasi

Kebijakan meliputi tindakan-tindakan oleh individu atau individu publik (dan

kelompok) yang diarahkan pada pencapaian tujuan dan sasaran yang ditetapkan

dalam keputusan kebijakan sebelumnya". Tugas implementasi adalah untuk

membentuk jembatan yang memungkinkan tujuan kebijakan publik untuk dicapai

sebagai hasil dari kegiatan Pemerintah. Implementasi melibatkan "penciptaan

sistem pengiriman kebijakan di mana mekanisme khusus dirancang dan dikejar

dengan harapan mencapai tujuan tertentu". Dengan demikian, kebijakan publik

dalam bentuk pernyataan tujuan dan sasaran dimasukkan ke dalam program aksi

dengan bertujuan untuk mewujudkan tujuan yang tercantum dalam kebijakan.

Pembuatan kebijakan publik di negara-negara demokratis adalah

proses yang kompleks yang memiliki sejumlah tidak hanya lembaga dan aktor

pemerintah tetapi juga lembaga non-pemerintah dan aktor memainkan peran

penting, sampai kebijakan yang dirumuskan dilaksanakan dengan cara yang adil,

tidak memihak dan efektif, seberapa baik maksud kebijakan itu mungkin hasilnya

41

tidak akan pernah tercapai. Konstitusi India, yang dimodelkan pada sistem

parlemen Inggris, telah mempercayakan tanggung jawab dasar untuk

melaksanakan kebijakan yang disetujui oleh legislatif, dan diawasi oleh lembaga

peradilan, kepada eksekutif. Peran kunci dari tata kelola dan manajemen urusan

negara adalah dengan eksekutif, kepada siapa semua keberhasilan dan

kegagalan yang sama diatributkan. Eksekutif politik pada dasarnya sama dengan

dewan direksi dalam kerja sama yang besar, dengan para pejabat, yaitu posisi

pelaksanaan jabatan eksekutif permanen di semua tingkatan. Ini adalah mesin

besar dengan struktur internal yang rumit.

Implementasi kebijakan sangat penting. Sekalipun sistem politik itu adil,

sekalipun tujuannya mulia dan jika struktur organisasinya sangat kuat; tidak ada

kebijakan yang dapat berhasil jika bagian implementasi tidak sesuai dengan

sasaran. Koordinasi yang buruk dan mata rantai yang hilang di antara lembaga-

lembaga administratif kadang menghalangi jalannya implementasi tindakan

kebijakan. Implementasi kebijakan di tingkat tertinggi tidak dicirikan oleh

koordinasi dan kerja sama yang efektif. Pelaksanaan program dan kebijakan

pembangunan di India telah menimbulkan ketegangan pada berbagai kapasitas

mesin pemerintah dan kelembagaan lainnya. Dapat dibayangkan ada banyak

faktor yang dapat mempengaruhi proses implementasi kebijakan. Faktor-faktor

penting adalah; struktur organisasi untuk implementasi, ada lokasi dalam sistem

pemerintahan, sifat berbagai kewenangan dan tanggung jawab yang diberikan

kepada mereka, berbagai kontrol yang diberikan kepada pelaksana untuk

merencanakan koordinasi dan mengelola sumber daya program kritis, dalam

kualifikasi teknis pelaksana utama, dan sifat dari program yang dilakukan. Ini

adalah upaya untuk mengidentifikasi masalah dan kekurangan dalam proses

42

implementasi kebijakan India. Yang pertama adalah struktur terlalu banyak

fragmentasi, terlalu banyak beban kerja implementasi pada pembuat kebijakan,

struktur yang buruk dan proses untuk melibatkan ahli dari luar dan pemegang

saham. Jenis masalah kedua dikaitkan dengan kompetensi orang-orang yang

memiliki struktur profesionalisme yang tidak memadai dari staf pembuat

kebijakan, dan kompetensi yang tidak mencukupi dari spesialis serta bidang staf.

Kegagalan menyebabkan pemborosan keuangan, frustrasi politik dan gangguan

bagi warga biasa, seperti yang ditunjukkan dalam serangkaian kegagalan

kebijakan.

2.1.11 Amanda Fallin, Amie Goodin, Mary Kay Rayens, Sarah Morris, Ellen

J. Hahn, RN, FAAN (2015): Smoke-Free Policy Implementation: Theoretical and Practical Considerations

Penelitian ini bertujuan menyajikan pertimbangan teoritis dan praktis

dalam implementasi kebijakan bebas asap rokok di tiga komunitas Kentucky

yang dipandu oleh the Institutional Analysis and Development (IAD) Framework.

(Kerangka Kerja Analisis dan Pengembangan Kelembagaan/IAD). Meskipun

kedua Danville dan Lexington-Fayette County, Kentucky memiliki kebijakan

bebas asap rokok yang komprehensif, Danville memiliki lebih banyak

implementasi yang efektif, serta hasil yang lebih baik. Penelitian lebih lanjut

diperlukan untuk memahami unsur-unsur kritis implementasi kebijakan bebas

asap rokok dan hubungannya dengan hasil populasi.

Penelitian ini menggunakan studi kasus eksplorasi menggunakan

metode campuran untuk menilai konstruksi IAD terpilih pada dua level (kolektif

pilihan dan operasional) dan kesehatan penduduk, terkait dengan efektivitas

implementasi kebijakan bebas asap rokok. Tiga komunitas di Kentucky secara

43

sengaja dipilih, karena mereka berbeda dalam kekuatan dan durasi kebijakan

bebas asap rokok. Dua komunitas, Danville dan Lexington-Fayette County,

memiliki hukum 100% tempat kerja bebas asap rokok (Kentucky Center untuk

Kebijakan Bebas Asap, 2013). Hukum Danville diimplementasikan pada Agustus

2008 dan sudah ada selama 3 tahun ketika data dikumpulkan. Tata cara

Lexington-Fayette County dilaksanakan pada April 2004 dan telah ada selama 7

tahun sebelum pengumpulan data. Komunitas ketiga, Kenton County, memiliki

peraturan bebas asap rokok yang lemah dengan beberapa pengecualian besar.

Hukum Kenton County, yang diimplementasikan pada bulan April 2010, telah

berlaku untuk 6 bulan ketika data dikumpulkan. 5 (lima) restoran dan 5 (lima) bar

secara acak dari daftar semua tempat makan dan minum departemen kesehatan

di Danville dan Lexington-Fayette, sesuai protokol yang digunakan sebelumnya

oleh tim. Data dikumpulkan di 19 tempat di Kenton County, sebagai bagian dari

evaluasi peraturan bebas asap rokok oleh koalisi lokal. Data dikumpulkan dari

39 tempat termasuk pengamatan kepatuhan masyarakat terhadap kebijakan

(pilihan kolektif arena aksi) dan menilai polusi udara partikel halus (PM2.5)

terhadap paparan asap rokok (kesehatan penduduk). Data pada tingkat

operasional dikumpulkan melalui wawancara informan kunci, dan analisis data

sekunder untuk menilai aturan yang digunakan serta populasi yang hasil

kesehatan dipilih. Langkah-langkah dikembangkan dan diuji dalam eksplorasi

dalam studi kasus dipilih berdasarkan Kerangka IAD, dan mereka menilai tingkat

pilihan kolektif dan operasional, serta hasil kesehatan penduduk. Ada atau tidak

adanya hukum negara yang melarang merokok di dalam ruangan ditentukan

berdasarkan ulasan Kentucky Regulatory Statutes.

44

Hasil kerangka kerja IAD sebagai model yang digunakan untuk

memandu studi adopsi kebijakan dan efektivitas implementasi. Danville memiliki

hasil yang lebih baik dibandingkan dengan Lexington-Fayette County, keduanya

menerapkan kebijakan bebas asap rokok di tempat kerja yang komprehensif.

Meski Lexington memiliki hukum yang komprehensif, namun indikator

pelaksanaannya lebih mirip dengan Kenton, dengan hukum parsial, dan

selanjutnya, hasil populasi di dua komunitas ini lebih negatif dibandingkan

Danville yang menerapkan hokum yang lebih kuat dan indikator implementasi

positif. Hal ini penting bagi perawat kesehatan masyarakat untuk tetap aktif

terlibat dalam proses kebijakan di luar periode adopsi kebijakan, untuk

memastikan implementasi yang memadai.

2.1.12 Xiaohua Ye, Sidong Chen, Zhenjiang Yao, Yanhui Gao, Ya Xu, Shudong Zhou, Zhengwei Zhu, Liang Wang and Yi Yang, (2015) Smoking behaviors before and after implementation of a smoke-free legislation in Guangzhou, China

Menurut Undang-undang bebas asap parsial yang diterapkan pada

1 September 2010 di Guangzhou, Cina, bebas asap rokok tidak mencakup

semua area dalam ruangan. Beberapa tempat memiliki larangan merokok penuh

(100% bebas rokok), lainnya tempat-tempat memiliki larangan merokok parsial,

dan rumah-rumah tidak memiliki larangan. Penelitian ini bertujuan untuk

membandingkan perilaku merokok sebelum dan sesudah penerapan Undang-

undang bebas asap rokok.

Penelitian ini melakukan sebuah survei cross-sectional berulang

dilakukan pada perilaku yang berhubungan dengan merokok dengan total 4.900

responden sebelumnya, dan 5.135 responden setelah Undang-undang itu

dilembagakan. Untuk setiap gelombang survei, proses sampling berstrata tiga

45

tahap digunakan untuk mendapatkan sampel yang representatif. Uji Chi-square

Pearson digunakan untuk menentukan perbedaan prevalensi merokok dan rasio

berhenti antara dua sampel. Model regresi logistik digunakan untuk memeriksa

asosiasi Undang-undang bebas asap rokok dengan perilaku merokok.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa tingkat merokok harian

secara keseluruhan menurun secara signifikan dari 20,8% menjadi 18,2%

(p <0,05), terutama di antara mereka yang berusia 15–24 tahun. Rasio berhenti

meningkat secara signifikan (dari 14,5% menjadi 17,9%), tetapi tetap rendah di

antara usia 15–44 tahun. Perilaku merokok yang dilaporkan secara keseluruhan

di lokasi dengan larangan merokok penuh menurun secara signifikan dari 36,4%

menjadi 24,3% dengan penurunan lebih besar yang terjadi di tempat-tempat

budaya, kendaraan angkutan umum, dan Kantor-kantor Pemerintah. Merokok di

tempat-tempat dengan larangan merokok sebagian tetap tinggi (89,6% vs

90,4%), meskipun ada sedikit penurunan diamati di beberapa daerah ini.

Pelaksanaan undang-undang bebas asap rokok tidak mengarah pada

peningkatan merokok di rumah (91,0% vs 89,4%), tetapi merokok di rumah tetap

tinggi. Temuan ini menyoroti kebutuhan mendesak untuk undang-undang bebas

asap rokok komprehensif yang mencakup semuanya tempat umum di

Guangzhou, intervensi pendidikan dan kampanye secara bersamaan

mempromosikan perubahan perilaku untuk tidak merokok di rumah perlu

dilakukan.

46

2.1.13 Joaquín Barnoya, Jose C. Monzon, Paulina Briz, and Ana Navas-Acien (2016): Compliance to the smoke-free law in Guatemala 5-years after implementation

Kawasan bebas asap rokok dapat mengurangi prevalensi merokok dan

akibat timbulnya penyakit jantung dan kanker paru-paru. Karena masalah yang

terkait dengan penegakan hukum yang buruk, hanya sedikit data yang tersedia

dari negara berpenghasilan menengah/rendah mengenai kepatuhan terhadap

Undang-undang bebas asap rokok jangka panjang. Pada tahun 2006 paparan

Asap (SHS) di bar dan restoran di Guatemala City ditemukan cukup tinggi, enam

bulan setelah larangan merokok diterapkan pada tahun 2009, tingkat tersebut

menurun secara signifikan. Namun, pada tahun 2010, kepatuhan hukum

terhadap kawasan bebas asap rokok diamati makin buruk. Oleh karena itu, kami

berusaha menilai kepatuhan jangka panjang terhadap larangan menggunakan

pengukuran SHS.

Pada tahun 2014 kami menilai paparan SHS menggunakan monitor

nikotin udara di bar (n = 9) dan restoran (n = 12) selama 7 hari menggunakan

protokol yang sama seperti pada tahun 2006 dan tahun 2009. Nikotin diukur

menggunakan kromatografi gas (µg / m3) dan dibandingkan dengan level pra-

(2006) dan post-ban (2009). Karyawan menanggapi survei tentang paparan SHS,

dilihat dari dampak ekonomi yang dirasakan dari larangan dan penggunaan

rokok elektronik pelanggan. Selain itu, penelitian ini juga memperkirakan denda

yang bisa dikumpulkan untuk setiap pelanggaran hukum.

Berdasarkan hasil peneliian, diketahui bahwa sebagian besar (71%)

kawasan melanggar hukum karena masih menyediakan tempat merokok.

Persentase sampel dengan terdeteksi konsentrasi nikotin pada tahun 2006, 2009

dan 2014 masing-masing adalah 100, 85 dan 43%. Di bar, median (25 dan 75

47

persentil) konsentrasi nikotin adalah 4,58 µg / m3 (1,71, 6,45) pada tahun 2006,

0,28 (0,17, 0,66) pada tahun 2009, dan 0,59 (0,01, 1,45) pada tahun 2014. Di

restoran, median yang sesuai adalah 0,58 µg / m3 (0,44, 0,71), 0,04 (0,01, 0,11),

dan 0,01 (0,01, 0,09). Dukungan hukum terus meningkat (88%) di antara

karyawan bar dan restoran. Sebagian besar karyawan melaporkan tidak dampak

ekonomi dari penerapan aturan larangan merokok dan bahwa proporsi

pelanggan yang tinggi (78%) menggunakan e-rokok. Sebanyak US $ 50.012 bisa

dikumpulkan dalam denda. Meskipun dukungan untuk Undang-undang bebas

asap terus berlanjut menjadi tinggi, Kepatuhan jangka panjang terhadap

larangan merokok di Guatemala menurun, terutama di bar. Pembuat kebijakan

dan pendukung pengawasan tembakau perlu untuk merevisi undang-undang

untuk memasukkan e-cigs sebagaimana adanya sekarang digunakan untuk

menghindari hukum. Fakta bahwa pemilik/manajer dan karyawan mengaku tidak

akrab dengan hukum bebas asap rokok layak mendapat perhatian oleh

pendukung dan pendukung pengawasan tembakau, otoritas pemerintah yang

harus terlibat dalam pendidikan kampanye dan penegakan hukum yang ketat.

Penelitian tambahan itu mengevaluasi faktor-faktor penentu ketidakpatuhan

diperlukan dan juga dapat berkontribusi untuk meningkatkan penegakan hukum

dan penerapan hukum bebas rokok di Guatemala.

2.1.14 Levy, David T., Tam, Jamie, Kuo, Charlene, Fong, Geoffrey T.,

Chaloupka, Frank (2017): The Impact of Implementing Tobacco Control Policies: The 2017 Tobacco Control Policy Scorecard

Kontrol Tembakau Scorecard, diterbitkan pada tahun 2004, disajikan

perkiraan efektivitas kebijakan pada tingkat merokok yang berbeda. Sejak

penerbitannya, Scorecard diperbaharui untuk memasukkan studi terbaru tentang

permintaan pengurangan kebijakan tembakau untuk negara-negara

48

berpenghasilan tinggi, termasuk pajak rokok, Undang-undang bebas asap rokok,

kampanye media, program pengendalian tembakau yang komprehensif, larangan

pemasaran, peringatan kesehatan, dan kebijakan pengobatan penghentian.

Untuk memperbaharui Scorecard 2004, ulasan narasi dilakukan pada ulasan dan

penelitian yang diterbitkan setelah tahun 2000, dengan fokus tambahan pada

3 kebijakan di mana bukti sebelumnya terbatas: program pengendalian

tembakau, peringatan kesehatan grafis, dan larangan pemasaran, dengan

mempertimbangkan studi evaluasi yang mengukur efek kebijakan pada perilaku

merokok.

Penelitian ini membatasi tinjauan terhadap analisis intervensi secara

tradisional yang digunakan untuk mengurangi permintaan rokok, termasuk pajak

rokok, smokefree air laws (SFAL), pembatasan pemasaran, program

pengendalian tembakau komprehensif, kampanye media, peringatan kesehatan

grafis, dan kebijakan pengobatan penghentian. Kebijakan-kebijakan ini telah

menerima paling banyak perhatian dalam literatur kontrol tembakau dan secara

eksplisit diakui di Organisasi Kesehatan Dunia (Laporan MPOWER).

Berdasarkan temuan ini, diketahui taksiran perkiraan ukuran efek

kebijakan jangka pendek dan jangka panjang. Pajak rokok, Undang-undang

udara bebas rokok, pembatasan pemasaran, dan program pengendalian

tembakau yang komprehensif masing-masing ditemukan memainkan peran

penting dalam mengurangi prevalensi merokok. Kebijakan pengobatan

penghentian dan peringatan, kesehatan grafis juga mengurangi kebiasaan

merokok dan ketika digabungkan dengan kebijakan dapat meningkatkan

keberhasilan upaya berhenti merokok. Ukuran efek secara umum konsisten

dengan yang dilaporkan sebelumnya untuk Scorecard 2004 tetapi sekarang

49

mencerminkan basis bukti yang lebih besar yang mengevaluasi dampak

peringatan kesehatan dan pembatasan periklanan.

2.1.15 Kimberley Martin, Joanne Dono, Greg Sharplin, Jacqueline Bowden, Caroline Miller (2017): Staff and Patient Perspectives of a Smoke-Free Health Services Policy in South Australia: A State-Wide Implementation

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perspektif Staf dan Pasien

tentang kebijakan layanan kesehatan tanpa asap rokok di Australia Selatan dan

implementasinya di seluruh Negara Bagian.

Prosedur dilakukan antara November 2010 dan Mei 2011, sampel acak

pasien rawat inap saat ini (N = 2307) dari Rumah Sakit Umum SA Health yang

diambil dari dataset metropolitan dan regional yang ada (yaitu Open Architect

Clinical Information System (OACIS) dan Country Data Mart) dan diundang untuk

berpartisipasi dalam Survei Pengalaman Pasien Rumah Sakit Publik Australia

Selatan. Analisis Data survei didasarkan pada usia dan jenis kelamin untuk

mencermin kan struktur populasi rawat inap rumah sakit umum di SA. Analisis

data dilakukan mengguna kan SPSS Versi 17.0 Hasil deskriptif disediakan

secara keseluruhan dan oleh kelompok demografi jika berlaku. Uji chi-square

digunakan untuk membandi ngkan perbedaan antara kelompok dengan nilai p

kurang dari 0,05 ditentukan menjadi signifikan secara statistik.

Dua per tiga staf melaporkan telah menyaksikan beberapa

ketidakpatuhan kebijakan, dan paparan yang dilaporkan sendiri terhadap perokok

pasif sebanding pra-pelaksanaan hingga 15 bulan setelah

pelaksanaan. Berdasarkan kebijakan tersebut, 56,3% pasien merokok abstain

sepenuhnya saat dirawat di rumah sakit dan 37,6% mengurangi jumlah yang

mereka hisap. Selanjutnya, 34,7% melaporkan telah ditawarkan dukungan

50

berhenti selama rawat inap. Sementara kebijakan bebas asap rokok dipandang

positif dan bermanfaat bagi staf dan pasien, laporan mengindikasikan beberapa

ketidakpatuhan adalah lazim. Meskipun tingkat ketidakpatuhan tidak diketahui,

dan ukuran yang digunakan adalah sensitif, strategi pelengkap mungkin

diperlukan untuk mengurangi paparan terhadap perokok pasif, khususnya di

pintu masuk.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kebijakan bebas asap rokok

yang diamanatkan dapat diimplementasikan di berbagai pengaturan kesehatan

dengan dukungan tinggi dari staf dan pasien. Pendekatan ini merupakan cara

yang efisien untuk menerapkan kebijakan dan mengharuskan setiap pengaturan

untuk mengadopsi pendekatan praktik terbaik, daripada memodifikasi kebijakan

agar sesuai dengan kebutuhan mereka sendiri. Implementasi kebijakan dapat

lebih ditingkatkan dengan secara pre-emptive mengatasi alasan umum untuk

menentang kebijakan bebas asap rokok. Namun, potensi penuh dari kebijakan

layanan kesehatan bebas asap rokok, khususnya yang berkaitan dengan

paparan asap rokok pasif, tidak dapat sepenuhnya disadari sampai hambatan

untuk pelaksanaan yang efektif dapat diatasi, yaitu: kurangnya penyediaan

dukungan penghentian kepada pasien yang bergantung pada nikotin serta sering

terjadinya ketidakpatuhan dan pengelompokan perokok di pintu masuk

fasilitas. Oleh karena itu, pengembangan dan evaluasi strategi untuk mengatasi

hambatan ini harus menjadi prioritas untuk penelitian masa depan di bidang

kebijakan bebas asap rokok.

51

2.1.16 Z. L. Zheng, H. Y. Deng, C. P. Wu, W. L. Lam, W. S. Kuok, W. J. Liang, H. L. Wang (2017): Secondhand Smoke Exposure of Children at Home and Prevalence of Parental Smoking Following Implementation of The New Tobacco Control Law in Macao

Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki paparan asap rokok (SHS)

anak-anak dirumah dan prevalensi merokok orang tua setelah penerapan UU

Pengendalian Tembakau yang baru di Macao.

Penyebaran kuesioner dilakukan untuk memperoleh informasi tentang

paparan SHS anak-anak di rumah, serta kebiasaan merokok orang tua.

Pertanyaan untuk membatasi paparan SHS dan perokok dikutip dari bagian

pertanyaan kunci dari Global Adult Tobacco Survey (edisi ke-2) untuk

membandingkan data dengan lebih baik dengan informasi terkait yang dilaporkan

oleh Biro Kesehatan Macao SAR. Paparan anak-anak ke SHS di rumah

ditentukan oleh pertanyaan, 'Seberapa sering seseorang merokok di dalam

rumah Anda?'. Analisis chi-kuadrat digunakan untuk menganalisis hubungan

antara status paparan SHS anak-anak dan prevalensi merokok orang tua.

Analisis regresi logistik digunakan untuk menganalisis hubungan antara usia

anak dan status pemaparan SHS. CTA digunakan untuk mengidentifikasi

dampak paparan SHS pada anak-anak yang lebih cenderung terkena SHS. CTA

adalah alat analitik yang berguna yang bisa mengenali sub kelompok anak kecil

yang spesifik. Anggota masing-masing sub kelompok memiliki fitur serupa untuk

menunjukkan faktor risiko spesifik dari paparan SHS. Model CTA dibangun

dengan Chisquared Methode, penularan Interaksi Otomatis dimulai pada proporsi

anak-anak yang terpapar dengan SHS dan tidak terpapar ke SHS (root node,

node 0). Node root dibagi ke node anak dan simpul induk. Simpul orangtua

adalah dibagi lagi dan membuat simpul anak atau simpul induk tingkat berikutnya

hingga tidak ada simpul orang tua yang bisa dibuat. Aturan terminatif mencakup

52

kedalaman pohon maksimum tiga tingkat, dengan nomor kasus minimum dari

simpul induk dan simpul anak masing-masing 100 dan 50. Proses pemisahan ini

membentuk pohon klasifikasi terakhir. Tingkat signifikan penggabungan dan

pemisahan adalah 0,05. SPSS Versi 21.0 digunakan untuk semua analisis.

Prevalensi paparan SHS pada anak-anak di rumah adalah

41,3%. Tingkat prevalensi paternal dan ibu merokok masing-masing adalah

43,7% dan 3,8%,. Dibandingkan dengan data yang dilaporkan oleh Biro

Kesehatan Macao SAR pada 2011, prevalensi merokok orang tua dan prevalensi

paparan SHS anak-anak di rumah belum menurun sejak larangan

merokok. Analisis faktor-faktor yang meningkatkan prevalensi paparan SHS

anak-anak menunjukkan bahwa ayah dengan tingkat pendidikan di bawah

sekolah menengah lebih mungkin berkontribusi terhadap peningkatan ini,

dibandingkan dengan ayah dengan pendidikan sekolah menengah atau lebih

(48,2% vs 32,4%, masing-masing) . Selain itu, ayah mewakili mayoritas perokok

di rumah, terhitung 92,0% dari 415 orang tua yang merokok. Prevalensi perokok

ayah (82.P = 0,000). Paparan SHS anak-anak meningkat secara konsisten

dengan penurunan tingkat pendidikan paternal. Hal ini konsisten dengan

meningkatnya prevalensi perokok ayah sebagai tingkat pendidikan paternal

menurun. Paparan SHS adalah yang paling umum di antara anak-anak yang

ayahnya memiliki tingkat pendidikan di bawah SMA dan yang ibunya berusia

≤29 tahun (75,0%). Studi ini tidak menemukan penurunan dalam prevalensi

merokok orang tua setelah larangan merokok. Orang tua ini lebih cenderung

merokok di rumah setelah pelarangan, yang menyebabkan lebih seringnya

paparan SHS untuk anak-anak mereka.

53

2.1.17 Sarah E. Seidel, Kristi Metzger, Andrea Guerra, Jessie Patton-Levine, Sandeepkumar Singh, William T. Wilson, Philip Huang (2017): Effects of a Tobacco-Free Work Site Policy on Employee Tobacco Attitudes and Behaviors, Travis County, Texas, 2010–2012

Penerapan kebijakan bebas tembakau dalam pengaturan perilaku

kesehatan merupakan langkah penting dalam mengurangi penggunaan

tembakau oleh Staf serta tingginya tingkat penggunaan tembakau di antara

orang-orang dengan penyakit mental dan gangguan perilaku. Studi telah

menunjukkan pentingnya dukungan staf ketika menerapkan kebijakan tempat

kerja bebas tembakau, tetapi ada penelitian terbatas yang memeriksa prevalensi

penggunaan tembakau di antara staf dan sikap staf sebelum dan setelah adopsi

kebijakan. Penelitian ini bertujuan untuk menilai sikap staf dan penggunaan

tembakau terhadap kebijakan bebas tembakau, mengkomunikasikan kebijakan

kepada staf, memberikan pendidikan dan pelatihan staf, dan menyediakan

sumber daya penghentian konsumsi tembakau.

Penelitian ini menggunakan metode Perawatan Integral dan Kesehatan

Publik Austin dengan melakukan survei karyawan berbasis web selama 6 bulan

sebelum dan 6 hingga 12 bulan setelah penerapan kebijakan untuk mengukur

prevalensi penggunaan tembakau dan sikap di antara karyawan.

Hasil penelitian diketahui bahwa Karyawan mengalami peningkatan

signifikan dalam prevalensi penggunaan tembakau dan sikap terhadap kebijakan

bebas tembakau dari pra-pelaksanaan hingga pasca-implementasi. Prevalensi

penggunaan tembakau di kalangan staf menurun dari 27,6% menjadi 13,8%, dan

dukungan untuk kebijakan meningkat dari 60,6% menjadi 80,3% pada 12 bulan

setelah pelaksanaan. Adopsi kebijakan bebas tembakau 100% dalam

pengaturan perilaku kesehatan dapat menghasilkan pengurangan signifikan

dalam penggunaan tembakau bagi para staf. Kepemimpinan harus menyediakan

54

dukungan pendidikan, pelatihan, dan penghentian merokok bagi para staf

sebelum adopsi kebijakan tempat kerja bebas tembakau untuk memastikan

keberhasilan kebijakan bebas tembakau di tempat kerja.

2.2 Pemetaan Hasil Penelitian Terdahulu

Adapun matrik kesebelas penelitian tersebut disajikan dalam tabel berikut

ini:

Tabel 2.1 Matriks Hasil Penelitian Terdahulu

No Nama &

Judul Penelitian

Tujuan Penelitian

Metode/ Pendeka

tan

Kontribusi dan Hasil Penelitian

Perbedaan dengan

Penelitian ini

1 Per Nilsen, Christian Ståhl, Kerstin Roback and Paul Cairney (2013): Never the twain shall meet? - a comparison of implementation science and policy implementation research

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan karakteris tik kebijakan riset implemen tasi, analisis persamaan utama dan perbedaan antara bidang ini dan sains penerapan, dan mendiskusikan bagaimana pengeta huan yang dikumpul kan dalam penelitian implementasi kebijakan dapat menginfor

Penelitian ini mengguna kan metode deskripsi riset implemen tasi kebijakan, beberapa aspek dari kedua bidang tersebut dijelaskan dan disbanding kan: tujuan dan asal riset; karak teristik penelitian; pengemba ngan dan pengguna an teori; determinan perubahan (variabel indepen den); dan dampak

Riset implementasi kebijakan telah ditangani kedua output (perubahan di antara pelaksana) dan hasil (perubahan di antara mereka yang ditargetkan dengan kebijakan). Sebaliknya, ilmu implementasi telah terfokus sangat banyak pada output daripada hasil, yaitu pada praktisi kesehatan daripada pasien.

Peneliti implementasi kebijakan harus ditingkat yang lebih besar menekankan interdependensi yang melekat di antara keduanya berbagai faktor serta sangat penting konteksnya, yang membuatnya sulit untuk menyamaratakan temuan tentang kepentingan relatif penentu individu

55

No Nama &

Judul Penelitian

Tujuan Penelitian

Metode/ Pendeka

tan

Kontribusi dan Hasil Penelitian

Perbedaan dengan

Penelitian ini

masikan ilmu implemen tasi

implementasi (variabel dependen)

2 James F. Thrasher, Erika Nayeli Abad-Vivero, Ernesto M. Sebrie, Tonatiuh Barrientos-Gutierrez, Marcelo Boado, Hua Hie Yong, Edna Arillo-Santillan and Eduardo Bianco, (2013) Tobacco smoke exposure in public places and workplaces after smoke-free policy implementation: a longitudinal analysis of smoker cohorts in Mexico and Uruguay

Penelitian ini bertujuan untuk menentu kan prevalensi, berkorelasi dan perubahan paparan asap rokok bekas (SHS) selama periode setelah implementasi kebijakan bebas asap rokok yang komprehensif di dua Negara Amerika Latin yaitu Meksiko dan Uruguay

Penelitian ini mengguna kan metode data dianalisis dari sampel perwakilan berbasis populasi perokok dewasa dan pendatang baru-baru ini dari gelombang 2008 dan 2010 dari Survei Evaluasi Kebijakan Pengendalian Tembakau Internasio nal di Meksiko (masing-masing n = 1766 dan 1840,) dan Uruguay (masing-masing n = 1379 dan 1411,). Prevalensi paparan SHS diperkira kan untuk tempat yang diatur, dan

Hasil penelitian ini diketahui bahwa eksposur SHS di tempat kerja pada bulan lalu serupa di dalam dan di seluruh Negara (rentang: Meksiko 20-25%; Uruguay 14–29%). Pada kunjungan restoran terbaru, paparan SHS lebih rendah di mana kebijakan bebas asap rokok yang komprehensif diterapkan (kisaran: Uruguay 6-9%; Kota Meksiko 5-7%) dibandingkan dengan kota-kota Meksiko dengan kebijakan yang lebih lemah, di mana paparan tetap lebih tinggi tetapi menurun selama waktu (32-17%). Pada kunjungan bar terbaru, paparan SHS adalah umum (kisaran: Uruguay 8–36%; Mexico City 23–31%), meskipun tertinggi di yurisdiksi dengan kebijakan yang lebih lemah (berkisar di kota-kota Meksiko lainnya: 74-86%). Di Uruguay, laki-laki lebih mungkin dibandingkan

Penelitian terdahulu bertujuan untuk menentukan prevalensi, berkorelasi dan perubahan paparan asap rokok bekas (SHS) setelah implementasi kebijakan bebas asap rokok yang komprehensif. Dalam hal ini kebijakan bebas asap rokok secara komprehensif lebih efektif daripada kebijakan yang lebih lemah, meskipun kepatuhan di Meksiko dan Uruguay tidak setinggi yang diinginkan. Penelitian ini dapat digunakan refensi dalam mengimplementasikan kebijakan kawasan tanpa rokok di instansi Pemerintahan secara komprehensif

56

No Nama &

Judul Penelitian

Tujuan Penelitian

Metode/ Pendeka

tan

Kontribusi dan Hasil Penelitian

Perbedaan dengan

Penelitian ini

persamaan estimasi umum digunakan untuk menentu kan korelasi paparan SHS

perempuan yang terpapar dengan SHS di berbagai tempat, karena lebih muda dibandingkan dengan perokok yang lebih tua di Meksiko.

3 Pieroni, Luca. (2013) The role of anti-smoking legislation on cigarette and alcohol consump tion habits in Italy

Untuk mengukur efek pada partisipasi merokok dan intensitas serta efek tidak langsung pada konsumsi alkohol di Itali

Dataset yang digunakan dalam makalah ini adalah survei ELA, yang dilakukan di Italia oleh Italian Institute of Statistics (ISTAT).

Pengenalan Undang-undang Bebas Asap Rokok di Italia secara signifikan mempengaruhi perilaku merokok. Selain itu, mendokumentasi kan efek tidak langsung signifikan terhadap konsumsi alkohol untuk kategori utama minuman beralkohol. Sebuah analisis ketahanan juga dilakukan, untuk menguji sejauh mana variabel teramati mungkin bias. Hasil nya kemudian digunakan untuk melakukan analisis efektivitas biaya dari Undang-undang Anti-Merokok di Italia.

Penelitian terdahulu bertujuan untuk mengukur efek pada partisipasi merokok dan intensitas serta efek tidak langsung pada konsumsi alkohol di Itali Penelitian ini mendeskripsi kan dan menganalisis kepatuhan pegawai dalam mematuhi kebijakan kawasan tanpa rokok di instansi Pemerintahan Kota Palembang

4 Thomson, George. (2013) Informing outdoor smokefree policy: Methods for measuring the proportion of

Untuk mengem bangkan, metode murah sederhana untuk mengukur proporsi orang merokok di

Dua metode yang dikembang kan dan digunakan oleh pengamat tunggal selama Maret 2011-

Untuk kedua Negara gabungan, proporsi orang yang merokok (di antara mereka lebih dari 12 tahun) di area bermain anak-anak secara signifikan lebih rendah dibandingkan

Penelitian terdahulu bertujuan untuk mengembang kan, metode murah sederhana untuk mengukur proporsi orang merokok di berbagai tempat

57

No Nama &

Judul Penelitian

Tujuan Penelitian

Metode/ Pendeka

tan

Kontribusi dan Hasil Penelitian

Perbedaan dengan

Penelitian ini

people smoking in outdoor public areas

berbagai tempat umum

Februari 2012 untuk mengukur proporsi orang merokok di berbagai situs

dengan semua situs lain gabungan (rasio risiko = 0,39; 95% CI: 0,20-0,76; p = 0,002). Pengamat dapat menetapkan proporsi orang merokok di berbagai situs luar. Metode tersebut dapat menginformasikan kebijakan bebas asap luar daerah dengan memberikan data dasar dan pasca-kebijakan untuk memungkinkan penargetan lokasi dan evaluasi kebijakan

umum di 58 situs Inggris, New Zealand dan 33 situs di Selandia Baru Penelitian ini bertujuan untuk menemukan model implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok khususnya di Instansi Pemerintahan yang ideal

5 Charupash, Rujee (2014) The Effective ness of Law Enforce ment: The Notfication of Minister of Public Health (No.18) B.E.2550 (A.D.2007): Pursuant to The Protection of Non-Smokers Health Act B.E.2535 (1992): A Case Study of Market at Khon Kaen Municipality.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengukur informasi yang diterima, pasar sebagai daerah bebas asap, dari Pemberita huan Departe men Kesehatan Masyarakatsesuai dengan Undang-Undang Perlindu ngan Kesehatan Non-

Penelitian ini adalah survei cross sectional total sampel adalah 764 orang

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 51,1% dari pasar vendor dan 45,6% dari pembeli menerima informasi bahwa pasar adalah area bebas asap rokok. Saluran media besar bahwa sampel menerima informasi dari poster (37,7%). Meskipun ukuran denda tidak dapat dilaksanakan, 51,6% perokok tidak merokok di pasar. Meskipun beberapa perokok menerima informasi, mereka mengabaikan Pemberitahuan,

Penelitia terdahulu memiliki fokus pada Penegakan Hukum UU Kesehatan dan Perlindungan Non Perokok di Pasar Kota Khon Kaen Fokus penelitian ini pada kepatuhan pegawai serta penegakan hukum kebijakan kawasan tanpa rokokkhususnya di Instasi Pemerinta han Kota Palembang

58

No Nama &

Judul Penelitian

Tujuan Penelitian

Metode/ Pendeka

tan

Kontribusi dan Hasil Penelitian

Perbedaan dengan

Penelitian ini

Perokok (1992), dan efektivitas saluran media

khususnya pasar vendor itu. Rekomendasi penelitian ini untuk membuat pasar daerah bebas merokok adalah peningkatan promosi, meningkatkan tindakan sosial, dan menyisihkan area merokok khusus untuk perokok

6 Hulton Louise, Matthews Z, Martin-Hilber A, Adanu R, Ferla C, Getachew A, Makwenda C, Segun B, Yilla M. (2014) Using evidence to drive action: A “revolution in accountability” to implement quality care for better maternal and newborn health in Africa

Untuk menguji pengaruh pada pengembangan kebijakan daerah bebas asap kontempo rer di Selandia Baru

Wawancara semi-terstruktur dilakukan dengan 62 orang politisi dan pejabat senior Selandia Baru. Mere ka ditanya tentang pandangan mereka tentang intervensi yang mungkin untuk mengurangi merokok di sekitar anak-anak, dan bagaimana untuk mencapai kemajuan pada rumah bebas asap, mobil dan tempat-tempat umum. Da

Kebijakan untuk area bebas asap terlihat oleh Peserta sebagai kegiatan kompleks yang sangat dipolitisasi, berkaitan dengan menyeimbangkan sejumlah faktor termasuk bukti, pengalaman pribadi, kepedulian terhadap perokok, dan keinginan dukungan publik untuk kebijakan. Mayori tas Peserta berhati-hati tentang membuat langkah kebijakan substantif pada tempat-tempat bebas merokok karena persepsi mereka tentang isu yang sangat kontroversial, keinginan mereka untuk menghindari resistensi publik dan keinginan mereka untuk keterlibatan

Penelitian terdahulu bertujuan untuk menguji pengaruh pada pengembangan kebijakan daerah bebas asap kontempo rer di Selandia Baru Penelitian ini dilakukan untuk mendeskripsikan dan menganalisis proses Implemetasi kebijakan kawasan tanpa rokokyang khususnya di Instansi Pemerintahan Kota Palembang

59

No Nama &

Judul Penelitian

Tujuan Penelitian

Metode/ Pendeka

tan

Kontribusi dan Hasil Penelitian

Perbedaan dengan

Penelitian ini

ta ditranskrip sikan dianalisis untuk tema, beberapa di antaranya ditentukan oleh pertanyaan yang diajukan, dan beberapa muncul dari sifat dinamis dari wawancara.

masyarakat. Preferensi ditunjukkan untuk pendekatan kebijakan berdasarkan persuasi daripada Undang-undang, sebagai sarana untuk membuat kemajuan pada mobil bebas asap dan ruang luar. Hasil menunjukkan perlunya komunikasi yang baik dari penerimaan dan manfaat dari perubahan legislatif bebas merokok untuk kedua arena politik dan publik.

7 Nazar, Gaurang P, John Tayu Lee, Stanton A. Glantz, Monika Arora,

Neil Pearce,

Christopher Millett. (2014) Association between being employed in a smoke-free workplace and living in a smoke-free home: Evidence from 15 low and middle income countries

Untuk menilai apakah Pekerja yang bekerja di tempat kerja di area bebas asap rokok terkait dengan Pekerja yang tinggal di rumah bebas asap rokok.

Survey cross-sectional (2008-2011) dari 15 LMICs dilakukan dengan menggunakan regresi logistik ganda. Va ria bel terikat adalah tinggal di rumah bebas asap rokok; Va ria bel independen yang bekerja di tempat kerja yang bebas asap rokok. Analisis disesuai

Di setiap negara, persentase peserta yang bekerja di tempat kerja yang bebas asap rokok yang dilaporkan tinggal di rumah bebas asap rokok lebih tinggi dari mereka yang bekerja di tempat kerja yang tidak bebas asap. Odds ratio yang disesuaikan (AORs) hidup di rumah bebas asap rokok antara peserta bekerja di tempat kerja yang bebas asap rokok (vs mereka yang bekerja di mana merokok terjadi) secara statistik signifikan di 13 dari 15 negara, mulai dari 1,12 [95% CI

Penelitian terdahulu bertujuan menilai apakah Pekerja yang bekerja di tempat kerja di area bebas asap rokok terkait dengan Pekerja yang tinggal di rumah bebas asap rokok. pada 15 negara berpenghasilan rendah dan menengah (LMICs) Penelitian ini dilakukan, untuk mendeskripsikan dan menganalisis kepatuhan pegawai dalam Implemetasi kebijakan kawasan tanpa

60

No Nama &

Judul Penelitian

Tujuan Penelitian

Metode/ Pendeka

tan

Kontribusi dan Hasil Penelitian

Perbedaan dengan

Penelitian ini

kan dengan usia, jenis kelamin, tempat tinggal, daerah, pendidikan, pekerjaan, merokok saat ini, saat ini pengguna an tembakau tanpa asap dan jumlah anggota rumah tangga. Ha sil masing-masing Negara yang dikombina sikan dengan efek acak meta-analisis.

0,79-1,58] di Uruguay menjadi 2,29 [1,37-3,83]di Cina. Yang dikumpulkan AOR adalah 1,61 [1,46-1,79]. Dalam LMICs, kerja di tempat kerja yang bebas asap rokok terkait dengan tinggal di rumah bebas asap rokok. Percepatan pelaksanaan kebijakan bebas asap rokok yang komprehensif kemungkinan akan menghasilkan manfaat kesehatan penduduk substansial dalam pengaturan ini

rokok yang khususnya di Instansi Pemerintahan Kota Palembang

8 H. Strehlenert, L. Richter-Sundberg, M. E. Nyström, and H. Hasson (2015): Evidence-Informed Policy Formulation and Implementation: a Comparative Case Study of Two National Policies for Improving

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi dan membandi ngkan dua kebijakan yang bertujuan untuk meningkat kan perawatan kesehatan dan sosial di Swedia dan menguji secara

Penelitian ini mengguna kan pendekatan studi kasus longitudinal dan komparatif. Data dikumpul kan melalui wawancara, observasi, dan dokumen. Model konseptual untuk perumusan kebijakan

Kebijakan berbeda mengenai penggunaan bukti dalam perumusan kebijakan dan sejauh mana formulasi kebijakan dan fase implementasi tumpang tindih. Kesamaan antar kasus adalah penekanan pada penilaian kapasitas, kegiatan yang dimodifikasi berdasarkan penilaian, dan pendekatan implementasi yang sangat aktif yang

Peran dan fungsi aktor kebijakan ditemukan memiliki pengaruh besar pada pilihan strategi dan kolaborator di semua fase kebijakan. Model Konseptual untuk Perumusan Kebijakan dan Implementasi Bukti-Informasi ditemukan bermanfaat. Namun, itu memberikan panduan yang

61

No Nama &

Judul Penelitian

Tujuan Penelitian

Metode/ Pendeka

tan

Kontribusi dan Hasil Penelitian

Perbedaan dengan

Penelitian ini

Health and Social Care in Sweden

empiris model konseptual baru untuk perumusan kebijakan dan implementasi bukti-informasi.

dan implementasi kebijakan terbukti dikembang kan berdasarkan kerangka kerja sebelumnya untuk pembuatan kebijakan dan penyebaran informasi. Model konseptual digunakan untuk mengatur dan menganali sis data

mengandalkan jaringan para pemangku kepentingan. Model Konseptual untuk Perumusan Kebijakan dan Implementasi Bukti-Informasi secara empiris berguna untuk mengatur data.

tidak memadai untuk menganalisis aktor yang terlibat dalam proses kebijakan, strategi pembangunan kapasitas dan fase kebijakan yang tumpeng tindih. Versi revisi dari model yang mencakup aspek-aspek ini disarankan

9 Per Nilsen (2015): Making Sense of Implementation Theories, Models and Frameworks

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengusul kan taksonomi yang membeda kan antara berbagai kategori teori, model dan kerangka kerja dalam ilmu implementasi, untuk memfasilitasi pemilihan yang tepat dan penerapan pendekatan yang

Pendekatan teoritis yang digunakan dalam ilmu implementasi memiliki tiga tujuan menyeluruh: menggam barkan dan/ atau membim bing proses menerjemahkan penelitian ke dalam praktek (model proses); memahami dan/ atau menjelas kan apa yang mempenga

Penelitian ini mengusulkan lima kategori pendekatan teoritis untuk mencapai tiga tujuan menyeluruh. Kategori ini tidak selalu diakui sebagai jenis pendekatan yang terpisah dalam literatur. Meskipun ada tumpang tindih di antara keduanya. Beberapa teori, model dan kerangka kerja, kesadaran akan perbedaan penting untuk memfasilitasi pemilihan pendekatan yang relevan. Kerangka kerja yang paling determinan

Model proses implementasi mengenali urutan temporal dari upaya implementasi, sedangkan kerangka kerja determinan tidak secara eksplisit mengambil perspektif proses implementasi.

62

No Nama &

Judul Penelitian

Tujuan Penelitian

Metode/ Pendeka

tan

Kontribusi dan Hasil Penelitian

Perbedaan dengan

Penelitian ini

relevan dalam penelitian dan praktik implementasi dan untuk mendorong dialog lintas-disiplin di kalangan peneliti implement tasi

ruhi hasil implementasi (kerangka determinan, teori klasik, teori implementasi); dan mengevaluasi implementasi (kerangka kerja evaluasi).

memberikan dukungan yang terbatas "bagaimana" untuk melaksanakan implementasi, karena determinan biasanya terlalu umum untuk memberikan detail yang cukup untuk memandu proses implementasi. Sementara relevansi mengatasi hambatan dan kemungkinan untuk menerjemahkan penelitian ke dalam praktik disebutkan dalam banyak model proses, model ini tidak mengidentifikasi atau secara sistematis menyusun determinan spesifik yang terkait dengan keberhasilan implementasi.

10 Afifa Aisha Rahmat (2015): Policy Implementation: Process and Problems

Penelitian ini mencoba untuk memahami proses implementasi dan menyoroti kontribusi berbagai lembaga yang terlibat di dalamnya tahap implementasi. Terlepas

Donald Van Meter dan Carl Van Horn mengamati: "Implemen tasi Kebijakan meliputi tindakan-tindakan oleh individu atau individu publik (dan kelompok) yang diarahkan

Implementasi kebijakan sangat penting. Sekalipun sistem politik itu adil, sekalipun tujuannya mulia dan jika struktur organisasinya sangat kuat; tidak ada kebijakan yang dapat berhasil jika bagian implementasi tidak sesuai dengan sasaran. Koordinasi yang buruk dan mata rantai yang hilang di antara

Berbagai masalah dan kekurangan dalam proses implementasi kebijakan. Yang pertama adalah struktur terlalu banyak fragmentasi, terlalu banyak beban kerja implementasi pada pembuat kebijakan, struktur yang buruk dan proses untuk

63

No Nama &

Judul Penelitian

Tujuan Penelitian

Metode/ Pendeka

tan

Kontribusi dan Hasil Penelitian

Perbedaan dengan

Penelitian ini

dari ini juga berfokus pada berbagai masalah seperti komunikasi, koordinasi, desain kelembagaan, partisipasi publik dan korupsi dan lain-lain yang menghambat pelaksana an dan juga menyaran kan langkah-langkah untuk mengatasi rintangan ini.

pada pencapaian tujuan dan sasaran yang ditetapkan dalam keputusan kebijakan sebelum nya". Tugas implementasi adalah untuk membentuk jembatan yang memungkinkan tujuan kebijakan publik untuk dicapai sebagai hasil dari kegiatan Pemerintah. Implementasi melibatkan "penciptaan sistem pengiriman kebijakan di mana mekanisme khusus dirancang dan dikejar dengan harapan mencapai tujuan tertentu".

lembaga-lembaga administratif kadang menghalangi jalannya implementasi tindakan kebijakan. Implementasi kebijakan di tingkat tertinggi tidak dicirikan oleh koordinasi dan kerja sama yang efektif. Dapat dibayangkan ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi proses implementasi kebijakan. Faktor-faktor penting adalah; struktur organisasi untuk implementasi, ada lokasi dalam sistem pemerintahan, sifat berbagai kewenangan dan tanggung jawab yang diberikan kepada mereka, berbagai kontrol yang diberikan kepada pelaksana untuk merencanakan koordinasi dan mengelola sumber daya program kritis, dalam kualifikasi teknis pelaksana utama, dan sifat dari program yang dilakukan.

melibatkan ahli dari luar dan pemegang saham. Jenis masalah kedua dikaitkan dengan kompetensi orang-orang yang memiliki struktur profesionalisme yang tidak memadai dari staf pembuat kebijakan, dan kompetensi yang tidak mencukupi dari spesialis serta bidang staf. Kegagalan menyebabkan pemborosan keuangan, frustrasi politik dan gangguan bagi warga biasa, seperti yang ditunjukkan dalam serangkaian kegagalan kebijakan. Pembuatan kebijakan publik di negara-negara demokratis adalah proses yang kompleks yang memiliki sejumlah tidak hanya lembaga dan aktor pemerintah tetapi juga lembaga non-pemerintah dan aktor memainkan peran penting, sampai kebijakan yang dirumuskan

64

No Nama &

Judul Penelitian

Tujuan Penelitian

Metode/ Pendeka

tan

Kontribusi dan Hasil Penelitian

Perbedaan dengan

Penelitian ini

dilaksanakan dengan cara yang adil, tidak memihak dan efektif, seberapa baik maksud kebijakan itu mungkin hasilnya tidak akan pernah tercapai.

11 Amanda Fallin, Amie Goodin, Mary Kay Rayens, Sarah Morris, Ellen J. Hahn, RN, FAAN (2015) Smoke-Free Policy Implementa tion: Theoretical and Practical Considera tions

Penelitian ini bertujuan menyajikan pertimbangan teoritis dan praktis dalam implementasi kebijakan bebas asap rokok di tiga komunitas Kentucky yang dipandu oleh the Institutional Analysis and Develop ment (IAD) Framework. (Kerangka Kerja Analisis dan Pengembangan Kelembagaan/IAD).

Penelitian ini mengguna kan studi kasus eksplorasi mengguna kan metode campuran untuk menilai konstruksi IAD terpilih pada dua level (kolektif pilihan dan operasional) dan kesehatan penduduk, terkait dengan efektivitas implementasi kebijakan bebas asap rokok. Tiga komunitas di Kentucky secara sengaja dipilih, karena mereka berbeda dalam kekuatan dan durasi

Hasil kerangka kerja IAD sebagai model yang digunakan untuk memandu studi adopsi kebijakan dan efektivitas implementasi. Danville memiliki hasil yang lebih baik dibandingkan dengan Lexington-Fayette County, keduanya menerapkan kebijakan bebas asap rokok di tempat kerja yang komprehensif. Meski Lexington memiliki hukum yang komprehensif, namun indikator pelaksanaannya lebih mirip dengan Kenton, dengan hukum parsial, dan selanjutnya, hasil populasi di dua komunitas ini lebih negatif dibandingkan Danville yang menerapkan hokum yang lebih kuat dan indikator implementasi positif. Hal ini penting bagi

Meskipun kedua Danville dan Lexington-Fayette County, Kentucky memiliki kebijakan bebas asap rokok yang komprehensif, Danville memiliki lebih banyak implementasi yang efektif, serta hasil yang lebih baik. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memahami unsur-unsur kritis implementasi kebijakan bebas asap rokok dan hubungannya dengan hasil populasi.

65

No Nama &

Judul Penelitian

Tujuan Penelitian

Metode/ Pendeka

tan

Kontribusi dan Hasil Penelitian

Perbedaan dengan

Penelitian ini

kebijakan bebas asap rokok.

perawat kesehatan masyarakat untuk tetap aktif terlibat dalam proses kebijakan di luar periode adopsi kebijakan, untuk memastikan implementasi yang memadai.

12 Xiaohua Ye, Sidong Chen, Zhenjiang Yao, Yanhui Gao, Ya Xu, Shudong Zhou, Zhengwei Zhu, Liang Wang and Yi Yang, (2015) Smoking behaviors before and after implementation of a smoke-free legislation in Guangzhou, China

Penelitian ini bertujuan untuk membandi ngkan perilaku merokok sebelum dan sesudah penerapan Undang-undang bebas asap rokok

Penelitian ini melakukan sebuah survei cross-sectional berulang dilakukan pada perilaku yang berhubu ngan dengan merokok setelah Undang-undang itu dilembagakan. Untuk setiap gelombang survei, proses sampling berstrata tiga tahap digunakan untuk mendapat kan sampel yang represen tatif. Uji Chi-square Pearson digunakan untuk menentukan

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa tingkat merokok harian secara keseluruhan menurun secara signifikan dari 20,8% menjadi 18,2% (p <0,05), terutama di antara mereka yang berusia 15–24 tahun. Rasio berhenti meningkat secara signifikan (dari 14,5% menjadi 17,9%), tetapi tetap rendah di antara usia 15–44 tahun. Perilaku merokok yang dilaporkan secara keseluruhan di lokasi dengan larangan merokok penuh menurun secara signifikan dari 36,4% menjadi 24,3% dengan penurunan lebih besar yang terjadi di tempat-tempat budaya, kendaraan angkutan umum, dan Kantor-kantor Pemerintah. Merokok di tempat-tempat dengan larangan merokok sebagian tetap

Temuan ini menyoroti kebutuhan mendesak untuk undang-undang bebas asap rokok komprehensif yang mencakup semuanya tempat umum di Guangzhou, intervensi pendidikan dan kampanye secara bersamaan mempromosikan perubahan perilaku untuk tidak merokok di rumah perlu dilakukan

66

No Nama &

Judul Penelitian

Tujuan Penelitian

Metode/ Pendeka

tan

Kontribusi dan Hasil Penelitian

Perbedaan dengan

Penelitian ini

perbedaan prevalensi merokok dan rasio berhenti antara dua sampel. Model regresi logistik digunakan untuk memeriksa asosiasi Undang-undang bebas asap rokok dengan perilaku merokok.

tinggi (89,6% vs 90,4%), meskipun ada sedikit penurunan diamati di beberapa daerah ini. Pelaksanaan undang-undang bebas asap rokok tidak mengarah pada peningkatan merokok di rumah (91,0% vs 89,4%), tetapi merokok di rumah tetap tinggi.

13 Joaquín Barnoya, Jose C. Monzon, Paulina Briz, and Ana Navas-Acien (2016): Compliance to the smoke-free law in Guatemala 5-years after implementa tion

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kepatuhan hukum terhadap kawasan bebas asap rokok. Selain itu, penelitian ini juga memperkirakan denda yang bisa dikumpul kan untuk setiap pelangga ran hukum.

Penelitian ini menilai paparan SHS menggunakan monitor nikotin udara di bar (n = 9) dan restoran (n = 12) selama 7 hari menggunakan protokol yang sama seperti pada tahun 2006 dan tahun 2009. Nikotin diukur mengguna kan kromatografi gas (µg / m3) dan dibanding kan dengan

Berdasarkan hasil peneliian, diketahui bahwa sebagian besar (71%) kawasan melanggar hukum karena masih menyediakan tempat merokok. Persentase sampel dengan terdeteksi konsentrasi nikotin pada tahun 2006, 2009 dan 2014 masing-masing adalah 100, 85 dan 43%. Dukungan hukum terus meningkat (88%) di antara karyawan bar dan restoran. Sebagian besar karyawan melaporkan tidak dampak ekonomi dari penerapan aturan larangan merokok dan bahwa proporsi

Fakta bahwa pemilik/manajer dan karyawan mengaku tidak akrab dengan hukum bebas asap rokok layak mendapat perhatian oleh pendukung dan pendukung pengawasan tembakau, otoritas pemerintah yang harus terlibat dalam pendidikan kampanye dan penegakan hukum yang ketat. Penelitian tambahan itu mengevaluasi faktor-faktor penentu ketidakpatuhan diperlukan dan juga dapat

67

No Nama &

Judul Penelitian

Tujuan Penelitian

Metode/ Pendeka

tan

Kontribusi dan Hasil Penelitian

Perbedaan dengan

Penelitian ini

level pra- (2006) dan post-ban (2009). Karyawan menanggapi survei tentang paparan SHS, dilihat dari dampak ekonomi yang dirasakan dari larangan dan penggunaan rokok elektronik pelanggan.

pelanggan yang tinggi (78%) menggunakan e-rokok. Sebanyak US $ 50.012 bisa dikumpulkan dalam denda. Meskipun dukungan untuk Undang-undang bebas asap terus berlanjut menjadi tinggi, Kepatuhan jangka panjang terhadap larangan merokok di Guatemala menurun, terutama di bar. Pembuat kebijakan dan pendukung pengawasan tembakau perlu untuk merevisi undang-undang untuk memasukkan e-cigs sebagaimana adanya sekarang digunakan untuk menghindari hukum.

berkontribusi untuk meningkatkan penegakan hukum dan penerapan hukum bebas rokok di Guatemala.

14 Levy, David T., Tam, Jamie, Kuo, Charlene, Fong, Geoffrey T., Chaloupka, Frank (2017): The Impact of Implementing Tobacco Control Policies: The 2017 Tobacco Control Policy Scorecard

Penelitian ini bertujuan untuk melihat kebijakan pengendalian tembakau melalui standar scorecard tentang permintaan pengurangan kebijakan tembakau untuk

Penelitian ini membatasi tinjauan terhadap analisis intervensi secara tradisional yang digunakan untuk mengurangi permintaan rokok, termasuk pajak rokok, (SFAL), pembatasan

Berdasarkan temuan ini, diketahui taksiran perkiraan ukuran efek kebijakan jangka pendek dan jangka panjang. pajak rokok, undang-undang udara bebas rokok, pembatasan pemasaran, dan program pengendalian tembakau yang komprehensif masing-masing ditemukan memainkan peran

Untuk memperbaharui Scorecard 2004, ulasan narasi dilakukan pada ulasan dan penelitian yang diterbitkan setelah tahun 2000, dengan fokus tambahan pada 3 kebijakan di mana bukti sebelumnya terbatas: program pengendalian tembakau,

68

No Nama &

Judul Penelitian

Tujuan Penelitian

Metode/ Pendeka

tan

Kontribusi dan Hasil Penelitian

Perbedaan dengan

Penelitian ini

negara-negara berpengha silan tinggi, termasuk pajak rokok, Undang-undang bebas asap rokok, kampanye media, program pengendalian tembakau yang komprehensif, larangan pemasaran, peringatan kesehatan, dan kebijakan pengobatan

pemasaran, program pengendalian tembakau komprehen sif, kampanye media, peringatan kesehatan grafis, dan kebijakan pengobatan penghentianKebijakan-kebijakan ini telah menerima paling banyak perhatian dalam literatur kontrol tembakau dan secara eksplisit diakui di Organisasi Kesehatan Dunia

penting dalam mengurangi prevalensi merokok. Kebijakan pengobatan penghentian dan peringatan, kesehatan grafis juga mengurangi kebiasaan merokok dan ketika digabungkan dengan kebijakan dapat meningkatkan keberhasilan upaya berhenti merokok. Ukuran efek secara umum konsisten dengan yang dilaporkan sebelumnya untuk Scorecard 2004 tetapi sekarang mencerminkan basis bukti yang lebih besar yang mengevaluasi dampak peringatan kesehatan dan pembatasan periklanan

peringatan kesehatan grafis, dan larangan pemasaran, dengan mempertimbangkan studi evaluasi yang mengukur efek kebijakan pada perilaku merokok.

15 Kimberley Martin, Joanne Dono, Greg Sharplin, Jacqueline Bowden, Caroline Miller (2017) Staff and patient perspectives of a smoke-free health services policy in South Australia:

Untuk mengetahui perspektif Staf dan Pasien tentang kebijakan layanan kesehatan tanpa asap rokok di Australia Selatan dan implementasinya di seluruh Negara

Analisis Data survei didasarkan pada usia dan jenis kelamin untuk mencermin kan struktur populasi rawat inap rumah sakit umum di SA. Analisis data dilakukan mengguna kan SPSS

Prosedur antara November 2010 dan Mei 2011, sampel acak pasien rawat inap saat ini (N = 2307) dari Rumah Sakit Umum SA Health yang diambil dari dataset metropolitan dan regional yang ada (yaitu Open Architect Clinical Information System (OACIS) dan Country Data Mart) dan diundang untuk

Penelitian terdahulu bertujuan untuk mengetahui perspektif staf dan persepsi pasien serta pengalaman dari kebijakan bebas asap rokok yang diamanatkan dan diterapkan di semua fasilitas kesehatan Pemerintah Australia Selatan, termasuk tempat

69

No Nama &

Judul Penelitian

Tujuan Penelitian

Metode/ Pendeka

tan

Kontribusi dan Hasil Penelitian

Perbedaan dengan

Penelitian ini

A state-wide implementa tion

Bagian

Versi 17.0 Hasil deskriptif disediakan secara keseluruhan dan oleh kelompok demografi jika berlaku. Uji chi-square digunakan untuk membandi ngkan perbedaan antara kelompok dengan nilai p kurang dari 0,05 ditentukan menjadi signifikan secara statistik.

berpartisipasi dalam Survei Pengala man Pasien Rumah Sakit Publik Australia Selatan. Dua per tiga staf melaporkan telah menyaksikan beberapa ketidakpatuhan kebijakan, dan paparan yang dilaporkan sendiri terhadap perokok pasif sebanding pra-pelaksanaan hingga 15 bulan setelah pelaksanaan. Berdasarkan kebijakan tersebut, 56,3% pasien merokok abstain sepenuhnya saat dirawat di rumah sakit dan 37,6% mengurangi jumlah yang mereka hisap. Selanjutnya, 34,7% melaporkan telah ditawarkan dukungan berhenti selama rawat inap. Sementara kebijakan bebas asap rokok dipandang positif dan bermanfaat bagi staf dan pasien, laporan mengindikasikan beberapa ketidakpatuhan adalah lazim. Meskipun tingkat ketidakpatuhan tidak diketahui, dan ukuran yang digunakan adalah

kesehatan mental. Dalam penelitian ini, tempat pelayanan kesehatan juga merupakan salah satu kawasan tanpa rokok meski bukan termasuk locus penelitian. Namun demikian penelitian ini juga melihat perspektif pegawai maupun perokok dalam Implemetasi kebijakan kawasan tanpa rokok yang khususnya di Instansi Pemerintahan Kota Palembang

70

No Nama &

Judul Penelitian

Tujuan Penelitian

Metode/ Pendeka

tan

Kontribusi dan Hasil Penelitian

Perbedaan dengan

Penelitian ini

sensitif, strategi pelengkap mungkin diperlukan untuk mengurangi paparan terhadap perokok pasif, khususnya di pintu masuk.

16 Z. L. Zheng, H. Y. Deng, C. P. Wu, W. L. Lam, W. S. Kuok, W. J. Liang, H. L. Wang (2017) Secondhand smoke exposure of children at home and prevalence of parental smoking following implementa tion of the new tobacco control law in Macao

Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki paparan asap rokok (SHS) anak-anak dirumah dan prevalensi merokok orang tua setelah penerapan UU Pengendalian Tembakau yang baru di Macao

Data diperoleh dari penyebaran kuesioner mengenai informasi demografis dan informasi tentang paparan SHS anak-anak di rumah, serta kebiasaan merokok orang tua. Analisis chi-kuadrat digunakan untuk menganali sis hubungan antara status paparan SHS anak-anak dan prevalensi merokok orang tua. Analisis regresi logistik digunakan untuk menganali sis hubungan

Analisis faktor-faktor yang meningkatkan prevalensi paparan SHS anak-anak menunjukkan bahwa ayah dengan tingkat pendidikan di bawah sekolah menengah lebih mungkin berkontribusi terhadap peningkatan ini, dibandingkan dengan ayah dengan pendidikan sekolah menengah atau lebih (48,2% vs 32,4%, masing-masing) . Selain itu, ayah mewakili mayoritas perokok di rumah, terhitung 92,0% dari 415 orang tua yang merokok. Prevalen si perokok ayah (82.P = 0,000). Paparan SHS anak-anak meningkat secara konsisten dengan penurunan tingkat pendidikan paternal. Hal ini konsisten dengan meningkatnya prevalensi perokok ayah sebagai tingkat pendidikan

Penelitian terdahulu bertujuan untuk memperoleh informasi tentang paparan SHS anak-anak di rumah, serta kebiasaan merokok orang tua setelah penerapan UU Pengendalian Tembakau yang baru di Macao. Dalam hal ini, Orang tua ini lebih cenderung merokok di rumah setelah pelarangan, yang menyebabkan lebih seringnya paparan SHS untuk anak-anak mereka. Dalam penelitian ini memang belum membahas paparan asap rokok (SHS) yang diterima anggota keluarga, bila orang tua atau anggota keluarga lainnya merokok, sehingga dapat

71

No Nama &

Judul Penelitian

Tujuan Penelitian

Metode/ Pendeka

tan

Kontribusi dan Hasil Penelitian

Perbedaan dengan

Penelitian ini

antara usia anak dan status pemaparan SHS. CTA digunakan untuk mengidentifikasi dampak paparan SHS pada anak-anak yang lebih cenderung terkena SHS

paternal menurun. Paparan SHS adalah yang paling umum di antara anak-anak yang ayahnya memiliki tingkat pendidikan di bawah SMA dan yang ibunya berusia ≤29 tahun (75,0%). Studi ini tidak menemukan penurunan dalam prevalensi merokok orang tua setelah larangan merokok. Orang tua ini lebih cenderung merokok di rumah setelah pelarangan, yang menyebabkan lebih seringnya paparan SHS untuk anak-anak mereka

dijadikan referensi

17 Sarah E. Seidel, Kristi Metzger, Andrea Guerra, Jessie Patton-Levine, Sandeepkumar Singh, William T. Wilson, Philip Huang, (2017), Effects of a Tobacco-Free Work Site Policy on Employee Tobacco Attitudes and Behaviors, Travis County, Texas,

Penelitian ini bertujuan untuk menilai sikap staf dan pengguna an tembakau terhadap kebijakan bebas tembakau, mengkomunikasikan kebijakan kepada staf, memberi kan pendidikan dan pelatihan staf, dan

Penelitian ini mengguna kan metode Perawatan Integral dan Kesehatan Publik Austin dengan melakukan survei karyawan berbasis web selama 6 bulan sebelum dan 6 hingga 12 bulan setelah penerapan kebijakan untuk

Hasil penelitian diketahui bahwa Karyawan mengalami peningkatan signifikan dalam prevalensi penggunaan tembakau dan sikap terhadap kebijakan bebas tembakau dari pra-pelaksanaan hingga pasca-implementasi. Prevalensi penggunaan tembakau di kalangan staf menurun dari 27,6% menjadi 13,8%, dan dukungan untuk kebijakan meningkat dari 60,6% menjadi

Adopsi kebijakan bebas tembakau 100% dalam pengaturan perilaku kesehatan dapat menghasilkan pengurangan signifikan dalam penggunaan tembakau bagi para staf. Kepemimpinan harus menyediakan dukungan pendidikan, pelatihan, dan penghentian merokok bagi para staf sebelum adopsi kebijakan tempat kerja bebas tembakau untuk

72

No Nama &

Judul Penelitian

Tujuan Penelitian

Metode/ Pendeka

tan

Kontribusi dan Hasil Penelitian

Perbedaan dengan

Penelitian ini

2010–2012

menyediakan sumber daya penghen tian konsumsi tembakau

mengukur prevalensi penggunaan tembakau dan sikap di antara karyawan

80,3% pada 12 bulan setelah pelaksanaan. Adopsi kebijakan bebas tembakau 100% dalam pengaturan perilaku kesehatan dapat menghasilkan pengurangan signifikan dalam penggunaan tembakau bagi para staf. Kepemimpinan harus menyediakan dukungan pendidikan, pelatihan, dan penghentian merokok bagi para staf sebelum adopsi kebijakan tempat kerja bebas tembakau untuk memastikan keberhasilan kebijakan bebas tembakau di tempat kerja

memastikan keberhasilan kebijakan bebas tembakau di tempat kerja

Sumber: Hasil Analisa

Hal-hal yang dapat dikemukakan dari hasil penelitian terdahulu antara

lain: pertama, sebagian besar negara maupun kota telah menerapkan kebijakan

kawasan tanpa rokok ditempat umum antara lain di Rumah, Sekolah, Pusat

Perbelanjaan, Perkantoran dan lain-lain. Kedua, kebijakan kawasan tanpa rokok

dalam rangka menciptakan area bebas rokok untuk meningkatkan kesehatan dan

lingkungan yang sehat masih sering ditemukan pelanggaran. Ketiga,

pelaksanaan kebijakan kawasan tanpa rokok membutuhkan komitmen dari Tim

Pelaksana maupun Masyarakat untuk menegakkan sanksi bila terjadi

pelanggaran di kawasan tanpa rokok. Dalam hal ini aspek yang akan diteliti oleh

73

peneliti nanti berkaitan dengan implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok

yang akan dilihat dari sisi Pelaksana Kebijakan maupun Respon Masyarakat

terhadap implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok, khususnya di Instansi

Pemerintahan Kota Palembang.

2.3 Kebijakan Publik

2.3.1 Pengertian Kebijakan Publik

Berbagai konsep kebijakan publik yang dikemukakan oleh para ahli

sangat bervariatif bentuknya. Secara sederhana Dye (1995) menyatakan “public

policy is whatever government choose to do or not to do” yang jika diterjemahkan

Kebijakan Publik adalah apapun yang dipilih untuk dilakukan atau tidak dilakukan

oleh Pemerintah. Batasan ini tidak cukup mengakui bahwa mungkin terdapat

perbedaan antara apa yang diputuskan oleh Pemerintah dengan apa yang

dilakukan oleh Pemerintah. Sedangkan Islamy (1997: 17) mengemukakan bahwa

Kebijakan adalah “a purpose course of action followed by an actor or set actors in

dealing with a problem or matter of concern”. Dalam hal ini kebijakan merupakan

arah tindakan sejumlah aktor dalam mengatasi masalah serta memusatkan

perhatian pada apa yang sebenarnya dilakukan bukan apa yang diusulkan atau

dimaksudkan. Selanjutnya, Winarno (2002: 14) mengemukakan bahwa kebijakan

atau policy dipergunakan untuk menunjuk perilaku seorang aktor (misalnya

seorang pejabat, suatu kelompok maupun suatu lembaga Pemerintah) atau

sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu.

74

Definisi lain tentang kebijakan publik seperti dikemukakan Soenarko

(1998) sebagai berikut:

“Policy is a course of action intended to accomplish some end. A policy may usefully be considered as a course of action or inaction rather than specific decisions or actions, and such a course has to be perceived and indentified by the analyst in question”.

Hoogerwerf (1983: 3) melukiskan kebijaksanaan sebagai usaha mencapai

tujuan tertentu dengan sarana tertentu dan dalam urutan waktu tertentu.

Sedangkan Isworo (1996: 229) menyebutkan bahwa kebijakan merupakan hasil

dari suatu keputusan setelah melalui pemilihan alternatif yang tersedia dilakukan

oleh seorang atau sekelompok orang untuk mencapai tujuan tertentu secara

efektif. Disisi lain Budiardjo (1992: 12) mendefinisikan kebijaksanaan sebagai

suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang pelaku dan atau oleh

kelompok politik dalam usaha memilih tujuan–tujuan dan cara–cara untuk

mencapai tujuan-tujuan ini.

Demikian juga Dunn (1994) menyatakan bahwa Kebijakan Publik

merupakan serangkaian pilihan yang kurang lebih berhubungan, dibuat oleh

Badan atau Kantor Pemerintah, di formulasikan dalam bidang-bidang isu (issue

areas) yaitu arah tindakan aktual atau potensial dari Pemerintah yang

didalamnya terkandung konflik diantara kelompok Masyarakat. Konsep ini

melihat kebijakan publik sebagai serangkaian pilihan tindakan Pemerintah

(termasuk pilihan untuk tidak bertindak) guna menjawab tantangan yang

menyangkut kehidupan Masyarakat. Kebijakan publik ini selain berkaitan dengan

peranan institusi administratif, juga dengan Masyarakat sebagai pihak yang

menjadi sasaran kebijakan. Berdasarkan hal tersebut, maka Isworo (1996: 229)

menjelaskan bahwa kebijakan publik akan menjawab pertanyaan tentang apa

yang harus dilakukan oleh administrator. Dalam hal ini menyangkut bukan hanya

75

substansi akan tetapi juga proses pelaksanaan dinamis serta akibat terhadap

Masyarakat

Santoso (1988: 5) menyatakan bahwa, kebijaksanaan publik terdiri dari

serangkaian keputusan yang dibuat oleh Pemerintah untuk mencapai tujuan

tertentu,dan petunjuk–petunjuk yang diperlukan terutama dalam bentuk

peraturan–peraturan atau dekrit-dekrit Pemerintah. Karena kebijakan publik

selalu dihubungkan dengan kegiatan publik tidak bisa dipisahkan dengan

birokrasi. Kebijakan publik berkaitan secara spesifik dengan tujuan yang telah

ditetapkan melalui proses politik yang dilakukan oleh seluruh atau sebagian

Masyarakat dalam yuridiksi Pemerintah tertentu. Sedangkan Kebijaksanaan

Pemerintah, menurut Hoogerwef (1983: 9) merupakan kebijaksanaan para aktor

dari golongan tertentu yaitu pejabat-pejabat Pemerintah dan instansi–instansi

Pemerintah.

Selanjutnya menurut Islamy (1997: 19) Kebijaksanaan Negara itu

ditetapkan secara jelas dalam peraturan perundang–perundangan atau dalam

bentuk pidato pejabat teras Pemerintah ataupun berupa program–program dan

tindakan–tindakan yang dilakukan Pemerintah. Abdul Wahab (1997: 31)

mendefinisikan kebijaksanaan Negara sebagai suatu tujuan tertentu, atau

serangkaian azas tertentu atau tindakan yang dilaksanakan oleh Pemerintah

pada subjek atau respon terhadap suatu keadaan kritis. Dunn (1994: 1)

mendefinisikan analisis kebijakan sebagai aktivitas menciptakan pengetahuan

tentang dan dalam proses pembuatan kebijakan). Ada beberapa tahap yang

harus dilakukan dalam Perumusan Kebijakan, yaitu penyusunan agenda,

formulasi kebijakan, adopsi/legitimasi kebijakan, implementasi kebijakan,

evaluasi kebijakan. Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa Analisis

76

Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok merupakan suatu prosedur yang rasional

untuk menelaah secara kritis isu-isu kebijakan sehingga menghasilkan pemikiran

terbaik sebagai informasi bagi analis dalam merumuskan Kebijakan Kawasan

Tanpa Rokok.

2.3.2 Urgensi Kebijakan Publik

Suharno (2010) mengungkapkan studi kebijakan publik mencakup

menggambarkan upaya kebijakan publik, penilaian mengenai dampak dari

kekuatankekuatan yang berasal dari lingkungan terhadap isi kebijakan publik,

analisis mengenai akibat berbagai pernyataan kelembagaan dan proses-proses

politik terhadap kebijakan publik; penelitian mendalam mengenai akibat-akibat

dari berbagai kebijakan politik pada masyarakat, baik berupa dampak kebijakan

publik pada masyarakat, baik berupa dampak yang diharapkan (direncanakan)

maupun dampak yang tidak diharapkan. Oleh karena itu ada beberapa alas an

mengapa kebijakan publik menjadi urgen untuk dipelajari, antara lain:

a) Alasan Ilmiah

Kebijakan publik dipelajari dengan maksud untuk memperoleh

pengetahuan yang luas tentang asal-muasalnya, proses

perkembangannya, dan konsekuensi-konsekuensinya bagi masyarakat.

Dalam hal ini kebijakan dapat dipandang sebagai variabel terikat

(dependent variable) maupun sebagai variabel independen (independent

variable). Kebijakan dipandang sebagai variabel terikat, maka perhatian

akan tertuju pada faktor-faktor politik dan lingkungan yang membantu

menentukan substansi kebijakan atau diduga mempengaruhi isi kebijakan

piblik. Kebijakan dipandang sebagai variabel independen jika fokus

77

perhatian tertuju pada dampak kebijakan tertuju pada sistem politik dan

lingkungan yang berpengaruh terhadapo kebijakan publik.

b) Alasan Professional

Studi kebijakan publik dimaksudkan sebagai upaya untuk menetapkan

pengetahuan ilmiah dibidang kebijakan publik guna memecahkan masalah-

masalah sosial sehari-hari.

c) Alasan Politik

Mempelajari kebijakan publik pada dasarnya dimaksudkan agar pemerintah

dapat menempuh kebijakan yang tepat guna mencapai tujuan yang tepat

pula.

2.3.3 Karakteristik Kebijakan Publik

Adapun ciri-ciri Kebijaksanaan Negara menurut Abdul Wahab (1997: 6)

yaitu:

a. Lebih merupakan tindakan yang mengarah pada tujuan dari pada sebagai

pelaku atau tindakan yang serba acak dan kebetulan

b. Kebijaksanaan pada hakekatnya terdiri atas tindakan- tindakan yang saling

terkait dan berpola yang mengarah pada tujuan tertentu yang dilakukan

oleh pejabat-pejabat Pemerintah dan bukan merupakan keputusan-

keputusan yang berdiri sendiri.

c. Kebijaksanaan bersangkut paut dengan apa yang senyatanya dilakukan

Pemerintah dalam bidang-bidang tertentu.

Sehingga dapat diketahui bahwa kebijakan publik terjadi karena tindakan-

tindakan Pemerintah yang dilakukan guna mengatasi masalah yang timbul dalam

Masyarakat, melalui keputusan-keputusan yang dilahirkan.

78

Menurut Suharno (2010: 22-24), ciri-ciri khusus yang melekat pada

kebijakan publik bersumber pada kenyataan bahwa kebijakan itu dirumuskan.

Ciri-ciri kebijakan publik antara lain:

a) Kebijakan publik lebih merupakan tindakan yang mengarah pada tujuan

daripada sebagai perilaku atau tindakan yang serba acak dan kebetulan.

Kebijakan-kebijakan publik dalam system politik modern merupakan suatu

tindakan yang direncanakan.

b) Kebijakan pada hakekatnya terdiri atas tindakan-tindakan yang saling

berkait dan berpola yang mengarah pada tujuan tertentu yang dilakukan

oleh pejabat-pejabat pemerintah dan bukan merupakan keputusan yang

berdiri sendiri. Kebijakan tidak cukup mencakup keputusan untuk membuat

undang-undang dalam bidang tertentu, melainkan diikuti pula dengan

keputusan-keputusan yang bersangkut paut dengan implementasi dan

pemaksaan pemberlakuan.

c) Kebijakan bersangkut paut dengan apa yang senyatanya dilakukan

pemerintah dalam bidang tertentu.

d) Kebijakan publik mungkin berbentuk positif, munkin pula negatif,

kemungkinan meliputi keputusan-keputusan pejabat pemerintah untuk tidak

bertindak atau tidak melakukan tindakan apapun dalam masalah-masalah

dimana justru campur tangan pemerintah diperlukan

79

Suharno (2010: 25- 27) mengisyaratkan bahwa pemahaman yang lebih

baik terhadap hakikat kebijakan publik sebagai tindakan yang mengarah pada

tujuan, ketika kita dapat memerinci kebijakan tersebut kedalam beberapa

kategori, yaitu:

a) Tuntutan kebijakan (policy demands)

yaitu tuntutan atau desakan yang diajukan pada pejabat-pejabat

pemerintah yang dilakukan oleh actor-aktor lain, baik swasta maupun

kalangan pemerintah sendiri dalam sistem politik untuk melakukan tindakan

tertentu atau sebaliknya untuk tidak melakukan tindakan pada suatu

masalah tertentu. Tuntutan ini dapat bervariasi, mulai dari desakan umum,

agar pemerintah berbuat sesuatu hingga usulan untuk mengambil tindakan

konkret tertentu terhadap suatu masalah yang terjadi di dalam masyarakat

b) Keputusan kebijakan (policy decisions)

Keputusan yang dibuat oleh para pejabat pemerintah yang dimaksudkan

untuk memberikan arah terhadap pelaksanaan kebijakan publik. Dalam hal

ini, termasuk didalamnya keputusan-keputusan untuk menciptakan statuta

(ketentuan-ketentuan dasar), ketetapan-ketetapan, ataupun membuat

penafsiran terhadap undang-undang.

c) Pernyataan kebijakan (policy statements)

Pernyataan resmi atau penjelasan mengenai kebijakan publik tertentu.

Misalnya; ketetapan MPR, Keputusan Presiden atau Dekrit Presiden,

keputusan peradialn, pernyataan ataupun pidato pejabat pemerintah yang

menunjukkan hasrat, tujuan pemerintah, dan apa yang dilaksanakan untuk

mencapai tujuan tersebut.

80

d) Keluaran kebijakan (policy outputs)

Merupakan wujud dari kebijakan publik yang paling dapat dilihat dan

dirasakan, karena menyangkut hal-hal yang senyatanya dilakukan guna

merealisasikan apa yang telah digariskan dalam keputusan dan pernyataan

kebijakan. Secara singkat keluaran kebijakan ini menyangkut apa yang

ingin dikerjakan oleh pemerintah.

e) Hasil akhir kebijakan (policy outcomes)

adalah akibat-akibat atau dampak yang benar-benar dirasakan oleh

masyarakat, baik yang diharapkan atau yang tidak diharapkan sebagai

konsekuensi dari adanya tindakan atau tidak adanya tindakan pemerintah

dalam bidang-bidang atau masalah-masalah tertentu yang ada dalam

masyarakat.

Dunn (2000: 21) membedakan tipe-tipe kebijakan menjadi lima bagian,

yaitu:

a) Masalah kebijakan (policy public)

Nilai, kebutuhan dan kesempatan yang belum terpuaskan, tetapi dapat

diidentifikasi dan dicapai melalui tindakan publik. Pengetahuan apa yang

hendak dipecahkan membutuhkan informasi mengenai kondisi-kondisi

yang mendahului adanya problem maupun informasi mengenai nilai yang

pencapaiannya menuntut pemecahan masalah.

b) Alternative kebijakan (policy alternatives)

Arah tindakan yang secara potensial tersedia yang dapat member

sumbangan kepada pencapaian nilai dan pemecahan masalah kebijakan.

Informasi mengenai kondisi yang menimbulkan masalah pada dasarnya

juga mengandung identifikasi terhadap kemungkinan pemecahannya.

81

c) Tindakan kebijakan (policy actions)

Adalah suatu gerakan atau serangkaian gerakan sesuai dengan alternatif

kebijakan yang dipilih, yang dilakukan untuk mencapai tujuan bernilai.

d) Hasil kebijakan (policy outcomes)

Adalah akibat-akibat yang terjadi dari serangkaian tindakan kebijakan yang

telah dilaksanakan. Hasil dari setiap tindakan tidak sepenuhnya stabil atau

diketahui sebelum tindakan dilakukan, juga tidak semua dari hasil tersebut

terjadi seperti yang diharapkan atau dapat diduga sebelumnya.

e) Hasil guna kebijakan

adalah tingkat seberapa jauh hasil kebijakan memberikan sumbangan pada

pencapaian nilai. Pada kenyataanya jarang ada problem yang dapat

dipecahkan secara tuntas, umumnya pemecahan terhadap suatu problem

dapat menumbuhkan masalah sehingga perlu pemecahan kembali atau

perumusan kembali.

2.3.4 Jenis-jenis Kebijakan Publik

Ahli-ahli ini selanjutnya memandang kebijakan publik sebagai keputusan-

keputusan pemerintah yang mempunyai tujuan atau maksud-maksud tertentu,

dan mereka yang menganggap kebijakan publik memiliki akibat-akibat yang bisa

diramalkan. Mewakili kelompok tersebut Nakamura dan Smallwood (1980) dalam

bukunya yang berjudul The Politics of Policy Implementation, melihat kebijakan

publik dalam ketiga lingkungannya yaitu:

1) Lingkungan perumusan kebijakan (Formulation)

2) Lingkungan penerapan (Implementation), dan

3) Lingkungan penilaian (Evaluation) kebijakan.

82

Bagi mereka suatu kebijakan melingkupi ketiga lingkungan tadi ini berarti

kebijakan publik adalah: A set of instruction from policy makers to policy

implementers that spell out both goals and the mean for achieving those goals”.

Beberapa lingkungan kebijakan dalam proses kelembagaan terdiri dari

lingkungan pembuatan; lingkungan implementasi dan lingkungan

evaluasi” (Nakamura, 1980: 31).

a) Perumusan Kebijakan (Formulation)

Formulasi kebijakan sebagai bagian dalam proses kebijakan publik

merupakan tahap yang paling krusial karena implementasi dan evaluasi

kebijakan hanya dapat dilaksanakan apabila tahap formulasi kebijakan

telah selesai, disamping itu kegagalan suatu kebijakan atau program dalam

mencapai tujuan-tujuannya sebagian besar bersumber pada

ketidaksempurnaan pengolaan tahap formulasi (Wibawa, 1994: 2)

Winarno (2007: 53), Formulasi kebijakan sebagai suatu proses, dapat

dipandang dalam 2 (dua) macam kegiatan. Kegiatan pertama adalah

memutuskan secara umum apa yang apa yang harus dilakukan atau

dengan kata lain perumusan diarahkan untuk memperoleh kesepakatan

tentang suatu alternatif kebijakan yang dipilih, suatu keputusan yang

menyetujui adalah hasil dari proses seluruhnya. Sedangkan kegiatan

selanjutnya diarahkan pada bagaimana keputusan-keputusan kebijakan

dibuat, dalam hal ini suatu keputusan kebijakan mencakup tindakan oleh

seseorang pejabat atau lembaga resmi untuk menyetujui, mengubah atau

menolak suatu alternatif kebijakan yang dipilih

Aktivitas-aktivitas sekitar formulasi adalah interaksi peranan antar peserta

perumusan kebijakan pendidikan baik yang formal maupu yang tidak

83

formal. Peserta perumusan kebijakan tersebut sangat bergantung

seberapa besar para peserta dapat memainkan peranannya masing-

maisng dalam memformulasikan kebijakan. Dengan demikian rumusan

kebijakan adalah karya group, baik group yang menjadi penguasa formal

maupun yang menjadi mitra dan rivalnya. Mereka saling mengintervensi,

Saling melobi bahkan saling mengadakan bargaining

b) Penerapan (Implementation)

Konsep implementasi berasal dari bahasa inggris yaitu to implement.

Dalam kamus besar webster, to implement (mengimplementasikan)

berarti to provide the means for carrying out (menyediakan sarana untuk

melaksanakan sesuatu); dan to give practical effect (untuk menimbulkan

dampak/akibat terhadap sesuatu (Abdul Wahab, 2006: 64)

Menurut Grindle (1980) implementasi kebijakan sesungguhnya bukanlah

sekedar bersangkut paut dengan mekanisme penjabaran keputusan-

keputusan politik ke dalam prosedur-prosedur rutin lewat saluran-saluran

birokrasi, melainkan lebih dari itu, ia menyangkut masalah konflik,

keputusan dan siapa yang memperoleh apa dari kebijakan. Oleh karena itu

tidak terlalu salah jika dikatakan implementasi kebijakan merupakan aspek

yang penting dari keseluruhan proses kebijakan. Sebaik apapun sebuah

kebijakan tidak akan ada manfaatnya bila tidak dapat diterapkan sesuai

dengan rencana. Penerapan adalah suatu proses yang tidak sederhana

(Abdul Wahab, 1997: 45).

84

Untuk mengimplementasikan suatu kebijakan diperlukan lebih banyak yang

terlibat baik tenaga kerja maupun kemampuan organisasi. Penerapan

kebijakan bersifat interaktif dalam proses perumusan kebijakan. Penerapan

sebagai sebuah proses interaksi antara suatu tujuan dan tindakan yang

mampu untuk meraihnya. Penerapan merupakan kemampuan untuk

membentuk hubungan-hubungan lebih lanjut dalam rangkaian sebab akibat

yang menghubungan tindakan dengan tujuan.

Mengimplementasikan sebuah kebijakan bukanlah masalah yang mudah

terutama dalam mencapai tujuan bersama, cukup sulit untuk membuat

sebuah kebijakan publik yang baik dan adil. Dan lebih sulit lagi untuk

melaksanakannya dalam bantuk dan cara yang memuaskan semua orang

termasuk mereka yang dianggap klien. Masalah lainnya adalah kesulitan

dalam memenuhi tuntutan berbagai kelompok yang dapat menyebabkan

konflik yang mendorong berkembangnya pemikiran politik sebagai konflik

c) Penilaian (Evaluation) Kebijakan

Menurut Arikunto (2004: 1) evaluasi adalah kegiatan untuk mengumpulkan

informasi tentang bekerjanya sesuatu, yang selanjutnya informasi tersebut

digunakan untuk menentukan alternatif yang tepat dalam mengambil

keputusan. Fungsi utama evaluasi dalam hal ini adalah menyediakan

informasi-informasi yang berguna bagi pihakdecision maker untuk

menentukan kebijakan yang akan diambil berdasarkan evaluasi yang telah

dilakukan. Sedangkan Gibson (2000: 374) mengemukakan bahwa evaluasi

adalah proses penilaian dengan jalan membandingkan antara tujuan yang

diharapkan dengan kemajuan atau prestasi nyata yang dicapai. Proses

evaluasi adalah untuk mencoba menyesuaikan data objektif dari awal

85

hingga akhir pelaksanaan program sebagai dasar penilaian terhadap tujuan

program

Evaluasi kebijakan adalah kegiatan yang menyangkut estimasi atau

penilaian kebijakan yang mencakup substansi, implementasi dan dampak

(Anderson: 1975). Evaluasi kebijakan dipandang sebagai suatu kegiatan

fungsional. Artinya, evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan pada tahap

akhir saja melainkan kepada seluruh proses kebijakan. Jadi dapat

dikatakan bahwa evaluasi kebijakan merupakan kegiatan yang

membandingkan antara hasil implementasi kebijakan dengan kriteria dan

standar yang telah ditetapkan untuk melihat keberhasilannya. Dari evaluasi

kebijakan kemudian akan tersedia informasi mengenai sejauh mana suatu

kegiatan tertentu telah dicapai sehingga bisa diketahui bila terdapat selisih

antara standar yang telah ditetapkan dengan hasil yang bisa dicapai

Dalam penelitian ini, difokuskan pada Implementasi kebijakan.

Implementasi sering dianggap hanya merupakan pelaksanaan dari apa yang

telah diputuskan oleh legislatif atau para pengambil keputusan, seolah-olah

tahapan ini kurang berpengaruh. Akan tetapi dalam kenyataannya, tahapan

implementasi menjadi begitu penting karena suatu kebijakan tidak akan berarti

apa-apa jika tidak dapat dilaksanakan dengan baik dan benar. Dengan kata lain

implementasi merupakan tahap dimana suatu kebijakan dilaksanakan secara

maksimal dan dapat mencapai tujuan kebijakan itu sendiri.

86

2.4 Implementasi Kebijakan Publik

Alexander (2003: 23) menguraikan implementasi sebagai proses

konvigensi (Implementation as Contigency Theory) yang selalu melibatkan

interaksi secara kesinambungan dengan lingkungan, stimulus, program kebijakan

dan hasil kebijakan serta elemen maupun ketetapan waktu atau timing dari

interaksi-interaksi tersebut. Implementasi kebijakan tidak hanya terbatas pada

tindakan atau perilaku Instansi yang bertanggung jawab untuk melaksanakan

program dan menimbulkan kepatuhan dari target group, namun berlanjut hingga

jaringan kekuatan politik sosial ekonomi yang berpengaruh pada perilaku semua

pihak yang terlibat. Hingga menimbulkan dampak yang diharapkan maupun yang

tidak diharapkan. Van Meter dan Van Horn (1978) menguraikan implementasi

kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang dilaksanakan oleh individu-individu

dan kelompok-kelompok Pemerintah dan swasta yang diarahkan pada

pencapaian tujuan dan sasaran yang menjadi prioritas dalam keputusan

kebijakan. Sukses gagalnya suatu kebijakan atau implementasinya dipengaruhi

oleh seberapa besar dukungan lingkungan terhadap kebijakan tersebut, adanya

sumber daya dan pemahaman dan kepatuhan dari para pelaku kebijakan.

Sehubungan dengan hal itulah sosialisasi kebijakan, konteks isi kebijakan,

strategi, sinergisitas kegiatan/proses dari para pelaku kebijakan dan monitoring

serta evaluasi pelaksanaan kebijakan akan menjadi penting dalam implementasi

kebijakan. Hal tersebut sekaligus memberikan gambaran bahwa implementasi

suatu kebijakan tak selamanya dapat berjalan dengan baik. Pasti terdapat

berbagai kendala, permasalahan, ataupun kegagalan mencapai tujuan. Apabila

suatu kebijakan tidak dikondisikan sedemikian rupa sebagaimana tersebut di

87

atas tentu kebijakan tersebut memiliki kemungkinan untuk gagal dalam arti tujuan

kebijakan tidak tercapai.

2.4.1 Model Implementasi Kebijakan Publik

Sebelumnya memahami lebih jauh model-model implementasi, perlu

diketahui konsep model. Model pada hakekatnya merupakan visualisasi atau

kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan

kegiatan. Sagala (2005: 175) berpendapat bahwa model dapat dipahami sebagai

(1) suatu tipe atau disain; (2) suatu deskripsi atau analogi yang dipergunakan

untuk membantu proses visualisasi sesuatu yang tidak dapat dengan langsung

diamati; (3) suatu sistem asumsi-asumsi, data-data dan inferensi-inferensi yang

dipakai untuk menggambarkan secara matematis suatu obyek atau peristiwa;

(4) suatu disain yang disederhanakan dari suatu sistem kerja, suatu terjemahan

realitas yang disederhanakan; (5) suatu deskripsi dari suatu sistem yang

mungkin atau imajiner; (6) penyajian yang diperkecil agar dapat menjelaskan dan

menunjukan sifat bentuk aslinya.

Anwar (2003: 38) mendefinisikan model sebagai bentuk representasi

akurat proses aktual yang memungkinkan seseorang atau kelompok orang

mencoba bertindak berdasarkan pijakan yang terpresentasi dari model itu.

Berdasarkan definisi tersebut, dapat dikatakan bahwa model di disain untuk

mewakili realitas sesungguhnya dari dunia sebenarnya. Implementasi itu sendiri

merupakan tahapan yang paling penting dari suatu kebijakan. Akan tetapi dalam

kenyataannya betapapun hebatnya suatu kebijakan/rencana yang dibuat tidak

akan ada gunanya jika tidak direalisasikan dengan baik dan benar. Berikut ini

beberapa model implementasi Kebijakan dari beberapa tokoh, antara lain:

88

a) Model Implementasi Kebijakan dari Edwards III (1980)

Model ini memperlihatkan adanya hubungan antar berbagai faktor yang

mempengaruhi hasil atau kinerja suatu kebijakan, dalam rangka meraih kinerja

yang baik diantara faktor-faktor yang saling berhubungan satu sama lain. Model

ini melihat implementasi kebijakan dari sisi pelaksana atau implementor,

sehingga dapat diketahui bagaimana penyebab berhasil atau tidaknya

implementasi kebijakan. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi terlaksana

atau tidaknya suatu kebijakan. Menurut Edwards faktor yang dapat

mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan, yaitu: komunikasi,

sumberdaya, disposisi, dan struktur birokrasi.

Empat faktor yang berpengaruh terhadap implementasi kebijakan bekerja

secara simultan dan berinteraksi satu sama lain untuk membantu dan

menghambat implementasi kebijakan.

Tangkilisan (2003: 11), mengatakan bahwa:

“Karena keempat faktor ini sedang beroperasi secara simultan dan berinteraksi satu sama lain untuk membantu atau bersifat merintangi implementasi kebijakan, pendekatan yang ideal akan harus merefleksikan kompleksitasnya dengan membicarakan sekaligus”

KOMUNIKASI

STRUKTUR BIROKRASI

SUMBERDAYA

DISPOSISI

IMPLEMENTASI

Bagan: 2.1 Model Implementasi Kebijakan Edwards III (1990: 150).

89

Komunikasi menjamin bahwa pelaksana yang harus mencapai suatu

kebijakan mengetahui apa yang seharusnya dilakukan, dengan sumberdaya

sebagai unsur kritis lain dalam implementasi kebijakan. Pentingnya disposisi

untuk mengetahui sikap pelaksana yang terlibat dalam proses implementasi.

Struktur birokrasi yang umum terjadi juga menjadi variabel yang penting, karena

birokrasi merupakan salah satu badan yang secara keseluruhan menjadi

pelaksana kebijakan.

b) Model Implementasi Kebijakan dari Van Meter dengan Van Horn (1975)

Model kebijakan ini mengarah kepada ”mekanisme paksa” dari pada

”mekanisme pasar”. Beberapa variabel yang mempengaruhi kebijakan publik

meliputi:

1) Aktivitas implementasi dan komunikasi antar organisasi

2) Karakteristik agen pelaksana/implementor

3) Kondisi ekonomi, sosial dan politik

4) Kecenderungan dari pelaksana/implementor

Model kebijakan ini dapat digambarkan sebagaimana bagan berikut:

90

Bagan 2.2. Model Implementasi Kebijakan dari Van Meter dengan Van Horn (1975)

Berdasarkan bagan, diketahui bahwa variabel-variabel implementasi

kebijakan yang dikemukakan oleh Van Meter dengan Van Horn (1975), meliputi:

(1) Standar dan Sasaran Kebijakan. Standar dan sasaran kebijakan harus jelas

dan terukur sehingga dapat direalisir. Apabila standar dan sasaran kebijakan

kabur, maka akan terjadi multiinterpretasi dan mudah menimbulkan konflik di

antara para agen implementasi. (2) Sumber Daya. Implementasi kebijakan perlu

dukungan sumberdaya baik Sumber Daya Manusia (human resources)

maupun sumberdaya non manusia (non-human resources). (3) Hubungan

antar Organisasi. Dalam banyak program, implementasi sebuah program

perlu dukungan dan koordinasi dengan Instansi lain. Untuk itu, diperlukan

koordinasi dan kerjasama antar Instansi bagi keberhasilan suatu program.

(4) Karakteristik Agen Pelaksana. Yang dimaksud Karakteristik Agen

Pelaksana mencakup birokrasi, norma-norma dan pola-pola hubungan yang

terjadi dalam birokrasi, yang semuanya itu akan memengaruhi implementasi

suatu program. (5) Kondisi sosial, politik, dan ekonomi. Variabel ini mencakup

KEBIJKAN PUBLIK

Standard dan

tujuan

Sumber Daya

Aktivitas implementasi dan komunikasi antar

organisasi

Karakteristik dari agen pelaksana/

implementor

Kondisi ekonomi, sosial dan politik

Kecenderungan dari pelaksana

KINERJA KEBIJA- KAN PUBLIK

91

sumberdaya ekonomi lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan

implementasi kebijakan; sejauhmana kelompok-kelompok kepentingan

memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan; karakteristik para

partisipan, yakni mendukung atau menolak; bagaimana sifat opini publik

yang ada di lingkungan; dan apakah elite politik mendukung

implementasi kebijakan. (6) Disposisi implementor. Disposisi implementor ini

mencakup tiga hal yang penting, yakni: (a) respons implementor terhadap

kebijakan, yang akan memengaruhi kemauannya untu melaksanakan

kebijakan; (b) kognisi, yakni pemahamannya terhadap kebijakan; dan

(c) intensitas disposisi implementor, yakni preferensi nilai yang dimiliki oleh

implementor.

Perbedaan-perbedaan yang terjadi dalam implementasi akan dipengaruhi

oleh sifat kebijakan yang meliputi aktivitas implementasi dan komunikasi antar

organisasi hingga kecenderungan dari pelaksana/implementor. Dalam hal ini

standar, tujuan dan sumber daya serta sifat kebijakan diposisikan sebagai

variabel yang mempengaruhi kebijakan dan dihubungkan ke dalam suatu model

konseptual (implementasi) yang mengaitkan kebijakan dengan kinerja kebijakan.

Jika kita berpatokan pada teori yang diajukan oleh Edwards III,

maka, variabel (1) standar dan sasaran kebijakan dapat kita masukkan

dalam variabel “komunikasi” dalam model Edwards III. Hal ini dikarenakan

penjelasan yang ada menunjukkan bahwa diperlukan adanya standar dan

sasaran kebijakan yang jelas sehingga tidak menimbulkan multi interpretasi

maupun konflik. Variabel (2) sumber daya sejalan dengan variabel “sumber daya”

pada model Edwards III, yaitu mencakup SDM dan non-SDM. Variabel (3)

hubungan antar organisasi dapat dimasukkan dalam variabel “struktur

92

organisasi” dari model Edwards III. Variabel (4) karakteristik agen pelaksana dan

variabel (6) disposisi implementor, dapat dimasukkan pada variabel “disposisi”

dalam model Edwards III. Hal ini dikarenakan variabel (4) membicarakan tentang

‘norma-norma’ dan ‘pola-pola hubungan’ yang terjadi pada implementor yang

dapat mengacu pada preferensi nilai atau sikap yang ada pada

implementor dalam menyikapi nilai-nilai yang dibawa oleh kebijakan.

Dari keenam variabel yang dikemukakan oleh Van Meter dan Van

Horn, hanya variabel (5) kondisi sosial, politik, dan ekonomi, yang tidak

terdapat dalam model Edwards III. Pada variabel (5) ini terlihat bahwa

model yang dikemukakan oleh Van Meter dan Van Horn juga

mempertimbangkan faktor eksternal. Dilihat dari teori sistem kebijakan dari Dye

yang melibatkan tiga elemen dalam sistem kebijakan, maka faktor sosial, politik

dan ekonomi dapat kita masukkan dalam elemen lingkungan kebijakan/

policy environment.

Namun demikian ada satu hal yang terlihat menonjol pada gambar model

implementasi menurut Van Meter dan Van Horn, yaitu model ini memperlihatkan

bahwa implementasi kebijakan akan menuju “kinerja”. Kebanyakan ahli

yang mengemukakan model proses kebijakan (Easton, Anderson, Patton &

Savicky, dan Dunn) tidak memasukkan “kinerja kebijakan” dalam model proses

kebijakan.

93

c) Model Kerangka Analisis Implementasi (Framework for Implementation Analysis) dari Mazmanian dan Sebatier (1983)

Model implementasi kebijakan ini berada pada kuadran ’puncak ke

bawah” dan lebih berada di ”mekanisme paksa” daripada ”mekanisme pasar”.

Proses implementasi kebijakan ke dalam tiga variabel berikut:

1) Variabel independen yakni mudah tidaknya masalah dikendalikan yang

berkenaan dengan indikator masalah teori dan teknis pelaksanaan,

keragaman objek dan perubahan seperti apa yang dikehendaki.

2) Variabel intervening, yaitu variabel kemampuan kebijakan untuk

menstrukturkan proses implementasi dengan indikator kejelasan dan

konsistensi tujuan, dipergunakannya teori kausal, ketepatan alokasi

sumber dana, keterpaduan hirarkis diantara lembaga pelaksana, aturan

pelaksana dari lembaga pelaksana, dan perekrutan pejabat pelaksana dan

keterbukaan kepada pihak luar dan variabel diluar kebijakan yang

mempengaruhi proses implementasi yang berkenaan dengan indikator

kondisi sosioekonomi dan teknologi, dukungan publik, sikap risorsis dari

konstituen, dukungan pejabat yang lebih tinggi, dan komitmrn dan kualitas

kepemimpinan dari pejabat pelaksana.

3) Variabel dependen, yaitu tahapan dalam proses implementasi dengan lima

tahapan, yaitu pemahaman dari lembaga/badan pelaksana dalam bentuk

disusunnya kebijakan pelaksana, kepatuhan objek, hasil nyata, penerimaan

atas hasil nyata tersebut, dan akhirnya mengarah kepada revisi atas

kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan tersebut ataupun keseluruhan

kebijakan yang bersifat mendasar.

94

Bagan 2.3. Model Kerangka Analisis Implementasi dari Mazmanian dan Sebatier (1987)

Dari bagan tersebut, terlihat bahwa proses implementasi kebijakan tidak

terlepas dari faktor atau variabel yang mempengaruhi tercapainya tujuan proses

implementasi, yaitu mudah tidaknya masalah dikendalikan, kemampuan

kebijakan menstrukturkan proses implementasi, dan pengaruh faktor luar

kebijakan. Semua hal tersebut berpengaruh pada proses implementasi yang

dimulai dengan dihasilkannya keluaran (output) kebijakan dari organisasi,

kemudian menuju kepada kesediaan kelompok sasaran mematuhi output

kebijakan. Setelah itu menghasilkan pengaruh nyata output kebijakan, sehingga

hasilnya terlihat melalui perbaikan mendasar terhadap peraturan yang telah atau

belum dilaksanakan, yang berguna untuk menilai kinerja implementasi kebijakan

untuk selanjutnya dapat diputuskan untuk direvisi atau tidak.

Sebagaimana model implementasi kebijakan Van Meter dan Van Horn,

Mazmanian dan Sabatier juga memasukkan variabel lingkungan kebijakan

Mudah tidaknya masalah dikendalikan: 1. Dukungan teori dan teknologi 2. Keragaman perilaku kelompok

sasaran 3. Tingkat perubahan perilaku yang

dikehendaki

Kemampuan kebijakan menstrukturkan proses implementasi: 1. Kejelasan dan konsistensi tujuan. 2. Dipergunakannya teori kausal. 3. Ketepatan alokasi sumber dana. 4. Keterpaduan hirarkis diantara lembaga

pelaksana 5. Aturan pelaksana dari lembaga pelaksana 6. Perekrutan pejabat pelaksana 7. Keterbukaan kepada pihak luar

Variabel diluar kebijakan yang mempengaruhi proses implementasi: 1. Kondisi sosio-ekonomi dan teknologi 2. dukungan publik 3. Sikap resorsis dari konstituen 4. Dukungan pejabat yang lebih tinggi. 5. Komitmren dan kualitas kepemimpinan dari

pejabat pelaksana

Tahapan dalam proses Implementasi

Output kebijakan Kepatuhan target Hasil nyata Diterimanya Revisi

dari lembaga untuk mematuhi output kebijakan hasil tersebut Undang-

pelaksana output kebijakan undang

95

sebagai variabel yang mempengaruhi implementasi kebijakan. Konten/isi

kebijakan yang oleh Mazmanian dan Sabatier dikelompokkan sebagai

kemampuan statuta untuk menstrukturisasi implementasi (ability of statute to

structurize implementation), mereka juga memperluas variabel yang

mempengaruhi kebijakan menjadi tingkat kesulitan masalah (tractability of

the problem) dan variabel di luar kebijakan yang mempengaruhi

implementasi/nonstatutory variables affecting implementation.

Pada variabel tingkat kesulitan masalah (tractability of the problem),

Mazmanian dan Sabatier memperhitungkan tingkat kesulitan teknis

(technical difficulties), keberagaman kelompok sasaran (diversity of target group

behavior), persentase kelompok sasaran terhadap total populasi (target

group as a percentage of the population), serta tingkat perubahan perilaku

yang diharapkan (extent of behavioral change required). Unsur keempat

yaitu tingkat perubahan perilaku yang diharapkan (extent of behavioral

change required) memiliki kesamaan dengan salah satu unsur dari variabel

isi kebijakan dari Grindle yaitu extent of change envisioned.

Pada nonstatutory variable, unsur pertama yaitu socioeconomic

conditions and technology memiliki kesamaan dengan variabel Van Meter

dan Van Horn yaitu keadaan sosial, politik, dan ekonomi. Perbedaan

utamanya adalah Mazmanian dan Sabatier menyebutkan kata ‘teknologi’

sebagai satu kesatuan dengan sosioekonomi. Sebagaimana Grindle,

Mazmanian dan Sabatier juga memperhatikan politik. Pada unsur kedua

yaitu public support maupun unsur keempat yaitu support from sovereigns

memperlihatkan bahwa dukungan publik (bottom) maupun dukungan dari

penguasa (top) ikut menentukan implementasi. Tanpa dukungan dari kedua

96

pihak (top dan bottom) maka implementasi akan menghadapi kendala. Dan

dukungan dari atas maupun bawah ini melibatkan proses politik. Publik

yang memiliki kepentingan lebih cenderung akan mendukung suatu kebijakan

yang mengutamakan kepentingan mereka. Demikian juga penguasa juga akan

cenderung mendukung kebijakan yang sesuai dengan kepentingan mereka.

Unsur kedua yaitu attitudes and resources of constituency groups

memiliki kesamaan dengan faktor disposisi dari model Edwards III.

Perbedaannya adalah Edwards III memfokuskan pada sikap/attitudedari

implementor, sedangkan Mazmanian dan Sabatier lebih fokus pada sikap dari

konstituen/pemilih. Pada unsur kelima yaitu commitment and leadership skill

of implementing officials, model Mazmanian dan Sabatier juga memfokuskan

pada komitmen dan kemampuan kepemimpinan dari implementor. Keunggulan

model ini adalah barangkali hal ini (kepemimpinan) belum dibahas pada model-

model sebelumnya.

Pada variabel kemampuan kebijakan untuk menstrukturisasi

implementasi (ability of statute to structure implementation), model

Mazmanian dan Sabatier memiliki beberapa kesamaan dengan model

Edwards III. Unsur pertama yaitu clear and consistent objectives bersesuaian

dengan faktor komunikasi dari model Edwards III. Kejelasan dan konsistensi

tujuan merupakan salah satu faktor yang dimaksudkan oleh Edwards III dalam

faktor komunikasi. Tanpa tujuan yang jelas dan konsisten, agen-agen

implementor akan menemui kesulitan mengimplementasikan kebijakan.

Unsur kelima yaitu decision rules of implementing agencies juga

serupa dengan faktor komunikasi dari model Edwards III. Unsur kelima ini juga

menuntut adanya kejelasan aturan/rules dari agen-agen pelaksana. Kesesuaian

97

antara model Mazmanian dan Sabatier dengan model Edwards III juga

dapat kita lihat pada unsur ketiga yaitu initial allocation of financial

resources, maupun unsur keenam yaitu recruitment of implementing officials.

Baik unsur alokasi dana maupun unsur rekruitmen petugas implementasi

memiliki kesamaan dengan faktor sumber daya dari model Edwards III,

Van Meter dan Van Horn, maupun Grindle. Mirip dengan model Grindle,

model Mazmanian dan Sabatier juga memisahkan SDM dan non SDM dari

faktor sumber daya.

Unsur lain yang sesuai dengan model Edwards III adalah unsur

keempat yaitu hierarchical integration within and among implementing

institutions, unsur ini serupa dengan faktor struktur birokrasi dalam model

Edwards III. Integrasi hierarkis di dalam dan di antara lembaga

implementor merupakan hal yang mutlak diperlukan, seperti dikatakan

Edwards III, implementasi kebijakan tidak saling overlap. Di samping hal-hal

yang kita dapati dari model-model lain, terdapat unsur-unsur yang tidak kita

dapati di variabel ini (kemampuan kebijakan untuk menstruktrurisasi

kebijakan). Hal yang agak berbeda tersebut adalah pada unsur kedua yaitu

incorporation of adequate causal theory. Model ini menuntut adanya kajian

ilmiah maupun empiris agar sebuah kebijakan dinilai layak dikatakan

mampu menstrukturisasi implementasi. Dengan adanya landasan teori kausal

yang kuat maupun kajian ilmiah dan bukti empiris, sebuah kebijakan sudah

melewati fit and proper test sebelum menjadi kebijakan yang memungkinkan

untuk dilaksanakan. Selain itu, perbedaan dengan model lain juga terdapat

pada unsur ketujuh yaitu formal access by outsiders.

98

Keunggulan model Mazmanian dan Sabatier adalah bahwa model ini

juga memperhitungkan peran serta publik dalam implementasi kebijakan.

Implementasi akan berjalan relatif lebih lancar apabila publik diberi

kesempatan untuk mengakses proses kebijakan, atau paling tidak dalam

salah satu prosesnya seperti penentuan agenda atau evaluasi kebijakan.

Oleh karena itu, beberapa kajian mengkategorikan model Mazmanian dan

Sabatier ini memiliki pendekatan bottom-upper, atau pendekatan kebijakan dari

bawah (publik) ke atas (penentu kebijakan).

d) Model Implementasi Kebijakan dari Grindle (1980)

Model ini berada pada mekanisme paksa dan pada mekanisme pasar.

Model grindle ditentukan oleh isi kebijakan dan konteks implementasinya. Ide

dasarnya adalah bahwa setelah kebijakan ditransformasikan, maka implementasi

kebijakan dilakukan.

Keberhasilannya ditentukan oleh derajad implementability dari kebijakan

tersebut, yaitu bagaimana konten (isi) dan konteks kebijakan tersebut.

a. Isi Kebijakan (content of policy) mencakup:

1) Kepentingan yang terpengaruhi oleh kebijakan (Interest Affected)

yakni kepentingan berkaitan dengan berbagai kepentingan yang

mendukung dan menghambat suatu implementasi kebijakan. Indikator

ini berargumen bahwa suatu kebijakan dalam pelaksanaannya pasti

melibatkan banyak kepentingan dan sejauhmana kepentingan-

kepentingan tersebut membawa pengaruh terhadap implementasinya

99

2) Jenis manfaat yang akan dihasilkan (Type of Benefits)

Bahwa dalam suatu kebijakan berupaya untuk menunjukan atau

menjelaskan bahwa dalam suatu kebijakan harus terdapat beberapa

jenis manfaat yang menunjukan dampak positif yang dihasilkan oleh

pengimplementasian kebijakan yang hendak dilaksanakan

3) Derajad perubahan yang diinginkan (Extent of Change Envision)

bahwa seberapa besar perubahan yang hendak atau ingin dicapai

melalui suatu implementasi kebijakan harus mempunyai skala yang

jelas.

4) Kedudukan pembuat kebijakan (Site of Decision Making)

suatu kebijakan memegang peranan penting dalam pelaksanaan suatu

kebijakan, maka pada bagian ini harus dijelaskan dimana letak

pengambilan keputusan dari suatu kebijakan yang akan

diimplementasikan

5) (Siapa) pelaksana program (Program Implementer)

kebijakan harus didukung dengan adanya pelaksana kebijakan yang

kompeten dan kapabel demi keberhasilan suatu kebijakan

6) Sumber daya yang dikerahkan (Resources Committed)

pelaksanaan suatu kebijakan juga harus memiliki sumber-sumber daya

yang mendukung agar pelaksanaan kebijakannya berjalan dengan baik

b. Konteks Implementasinya (Resources Committed) meliputi:

1) Kekuasaan, kepentingan dan strategi aktor yang terlibat (Power,

Interest, and Strategy of Actor Involved)

Dalam suatu kebijakan perlu diperhitungkan termasuk pula kekuatan

atau kekuasaan, kepentingan serta strategi yang digunakan oleh para

100

aktor yang terlibat guna memperlancar jalannya pelaksanaan suatu

implementasi

2) Karakteristik Lembaga dan Penguasa (Institution and Regime

Characteristic)

keberhasilan implementasi kebijakan ditentukan oleh sinergisitas

kerjasama atau hubungan diantara aktor-aktor kebijakan yaitu yang

membuat/melaksanakan kebijakan dengan yang dikenai kebijakan.

Lingkungan dimana suatu kebijakan tersebut dilaksanakan juga

berpengaruh terhadap keberhasilannya

3) Kepatuhan dan daya tanggap (Compliance and Responsiveness)

hal lain yang dirasa penting dalam proses pelaksanaan suatu kebijakan

adalah kepatuhan dan respon dari para pelaksana, sejauhmana

kepatuhan dan respon dari para pelaksana dalam menanggapi suatu

kebijakan

101

Model implementasi kebijakan Grindle dapat digambarkan dalam bentuk

bagan berikut:

Tujuan Kebijakan

Bagan 2.4. Model Implementasi Kebijakan menurut Grindle (1980)

Keberhasilan dari implementasi kebijakan diukur dengan melihat gap

(kesenjangan) antara tujuan yang ingin dicapai dengan hasil yang dicapai melalui

pelaksanaan program aksi atau proyek yang dijalankan. Sehingg ini mengartikan,

apakah hasil yang dicapai sesuai dengan tujuan (hasil) yang direncanakan?.

Sementara itu, tujuan yang ingin dicapai akan dipengaruhi oleh isi kebijakan dan

konteks implementasi sehingga keberhasilan atau kegagalan dalam

implementasi dapat dideteksi dari konten (isi) dan konteks kebijakan.

Melaksanakan Kegiatan dipengaruhi oleh: a. Konten Kebijakan

1. Kepentingan yg dipengaruhi 2. Tipe manfaat 3. Derajat perubahan yg diharapkan 4. Letak pengambilan keputusan 5. Pelaksanaan program 6. Sumber daya yg dilibatkan

b. Konteks Implementasi 1. Kekuasaan,kepentingan dan

strategi aktor yang dlibatkan 2. karakteristik lembaga &

penguasa 3. Kepatuhan dan daya tanggap

Hasil kebijakan a. Pengaruh pada

Masyarakat individu & kelompok

b. Perubahan dan penerimaan oleh Masyarakat

Tujuan yang ingin dicapai

Program aksi dan proyek individu yang didesain dan

dibiayai

Apakah program yang dijalankan seperti

yang direncanakan?

Keberhasilan implementasi kebijakan

102

Diketahui bahwa model Grindle ini memiliki aspek yang hampir mirip

dengan model Van Meter dan Van Horn. Aspek yang sama adalah bahwa baik

model Van Meter dan Van Horn maupun model Grindle sama-sama

memasukkan elemen lingkungan kebijakan sebagai faktor yang mempengaruhi

implementasi kebijakan. Van Meter dan Van Horn mengikutsertakan ‘kondisi

sosial, politik, dan ekonomi’ sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi

implementasi kebijakan, dan Grindle mengikutsertakan variabel besar ‘konteks

kebijakan’ atau ‘lingkungan kebijakan’.

Kelebihan dari model Grindle dalam variabel lingkungan kebijakan adalah

model ini lebih menitikberatkan pada politik dari para pelaku kebijakan.

Unsur pertama dari variabel lingkungan yaitu power, interest and strategies

of actors involved yang menjelaskan bahwa isi kebijakan sangat dipengaruhi

oleh peta perpolitikan dari para pelaku kebijakan. Dalam hal ini, Aktor-aktor

penentu kebijakan akan berusaha menempatkan kepentingan mereka pada

kebijakan-kebijakan yang melibatkan minat mereka, sehingga kepentingan

mereka terakomodasi di dalam kebijakan. Unsur kedua dari Grindle yaitu

institution and regime characteristics maupun unsur ketiga yaitu compliance

and responsiveness memiliki kesamaan dengan faktor disposisi dari model

Edwards III. Pada unsur kedua (karakteristik lembaga dan rezim) ini

dijelaskan oleh Suwitri (2008: 88) bahwa “implementasi suatu program tentu

akan mendatangkan konflik pada kelompok-kelompok yang kepentingannya

dipengaruhi”.

Unsur ketiga dari variabel lingkungan dari model Grindle, yaitu

compliance and responsiveness selain merujuk pada disposisi. Perbedaan

dengan model Edwards III dalam hal ini adalah Grindle memfokuskan pada

103

disposisi penguasa/rezim/pembuat kebijakan, sedangkan Edwards lebih

menekankan pada disposisi implementor. Suwitri (2008: 76) menyatakan “...

proses pemilihan alternatif yang memuaskan itu bersifat obyektif dan subyektif,

dipengaruhi oleh dispositions (Edwards III, 1980:89), compliance and

responsiveness (Grindle, 1980: 11) dari perumus kebijakan”. Selain disposisi,

compliance and responsiveness juga merujuk pada politik. Suwitri (2008: 88-89)

menyatakan “...Tanpa daya tanggap yang cukup dalam implementasi,

implementor akan kehilangan informasi untuk mengevaluasi pencapaian program

dan kehilangan dukungan yang penting bagi keberhasilan implementasi”.

Pelibatan politik dalam unsur ini, agaknya masih berkaitan dengan unsur

pertama yang menyebutkan unsur kekuasaan, minat, dan strategi aktor-aktor,

karena jika suatu isu melibatkan kepentingan dan minat dari pembuat

kebijakan dan atau implementor kebijakan tersebut, maka responsivitas dari

pembuat kebijakan maupun implementor semestinya juga lebih tinggi. Pada

variabel konten atau isi kebijakan, Grindle juga memandang bahwa

implementasi kebijakan masih melibatkan politik. Pada unsur pertama

hingga keempat yaitu interest affected, type of benefits, extent of change

envisioned, dan site if decision making, kita dapat melihat bahwa peran

politik masih kuat. Sebagai contoh pada unsur pertama, Suwitri (2008: 86)

menyatakan “... jenis kebijakan publik yang dibuat akan membawa dampak

tertentu terhadap macam kegiatan politik”. Peran politik juga masih dapat

ditelusuri pada unsur kedua hingga keempat.

Pada variabel konten/isi kebijakan, Grindle juga memiliki kesamaan

pandangan dengan Edwards III maupun Van Meter dan Van Horn. Pada

unsur kelima yaitu programe implementors disebutkan oleh Suwitri (2008:

104

88) bahwa “Kemampuan pelaksana program akan mempengaruhi keberhasilan

implementasi program tersebut”. Hal ini sebangun dengan faktor sumber

daya yang dikemukakan oleh Edwards III maupun Van Meter dan Van Horn.

Lebih lanjut, Grindle membedakan ‘sumber daya’ dari model Edwards III maupun

Van Meter dan Van Horn. Unsur keenam yaitu resources committed

dinyatakan oleh Suwitri (2008: 88) sebagai “Tersedianya sumber-sumber

secara memadai...”. Dengan demikian dua unsur (unsur kelima dan

keenam) dari model Grindle dapat kita simpulkan sama dengan faktor

sumber daya sebagaimana dikemukakan Edwards III maupun Van Meter dan

Van Horn, tetapi Grindle membedakan sumber daya sebagai SDM dan non

SDM.

Secara akademik, model implementasi yang lebih tepat digunakan dalam

kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang adalah Model Grindle, karena

lebih menitikberatkan pada Politik dari para Pelaku Kebijakan, khususnya dalam

implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang. Selain itu,

adanya unsur compliance and responsiveness (kepatuhan dan daya tanggap)

sebagai unsur ketiga dalam konteks implementasi, berkaitan dengan fokus

penelitian yang menganalisis implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di

Instansi Pemerintahan Kota Palembang.

e) Model Implementasi Kebijakan Publik dari Ripley dan Franklin (1986)

Implementasi sebuah kebijakan selalu dipengaruhi oleh hal-hal yang

dapat menyebabkan berhasil atau tidaknya sebuah implementasi kebijakan.

Dalam buku yang berjudul Policy Implementation and Bureaucracy, Randall B.

105

Ripley dan Grace A. Franklin menuliskan tentang 2 pendekatan untuk menilai

implementasi kebijakan, di lihat dari:

(1) Compliance (kepatuhan)

Tingkat keberhasilan implementasi kebijakan dapat di ukur dengan

melihat tingkat kepatuhan (baik tingkat kepatuhan bawahan kepada

atasan, atau kepatuhan implementor terhadap peraturan) dalam

mengimplementasikan sebuah program. Kepatuhan tersebut mengacu

pada perilaku implementor itu sendiri sesuai dengan standar dan

prosedur serta aturan yang ditetapkan oleh kebijakan.

Implementasi kebijakan akan berhasil apabila para implementornya

mematuhi aturan-aturan yang diberikan.

Berdasarkan hal tersebut terdapat 2 indikator dalam pendekatan

kepatuhan:

(a) Perilaku Implementor

(b) Pemahaman Implementor terhadap Kebijakan

(2) What’s Happening and Why? (Apa yang Terjadi dan Mengapa?)

Pendekatan ini melihat bagaimana implementasi berlangsung serta untuk

melihat faktor-faktor penyebab yang mempengaruhi suatu program.

Ripley dan Franklin menjelaskan ada 5 indikator dalam menjelaskan

pendekatan ini yaitu: banyaknya aktor yang terlibat, kejelasan tujuan,

kompleksitas program pemerintah, partisipasi unit pemerintahan di semua

tingkat wilayah, dan faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi

106

Dari uraian tersebut, maka indikator untuk pendekatan ini yaitu:

(a) The Profusion of Actors (Banyaknya Aktor yang Terlibat)

Proses implementasi melibatkan banyak aktor. Dengan kata lain,

semakin kompleks suatu program yang dijalankan oleh pemerintah,

maka semakin banyak aktor yang terlibat. Pelaksana kebijakan harus

memiliki keterampilan yang diperlukan untuk melaksanakan

pekerjaan. Kurangnya personil yang terlatih dengan baik akan

menghambat pelaksanaan kebijakan. Ada beberapa hal yang

menjelaskan lebih lanjut mengenai indikator ini: pertama Number and

Identity (Jumlah dan Identitas); Kedua The Role of Interest

Group (Peran dari Pihak yang Berkepentingan); ketiga

Lock of Hierarchy (Ketiadaan Hirarki).

(b) The Multiplicity and Vagueness of Goals (Kejelasan Tujuan)

Kejelasan dan konsistensi tujuan dapat dipahami sebagai kejelasan

isi kebijakan. Semakin jelas dan rinci isi sebuah kebijakan, maka

kebijakan tersebut akan mudah diimplementasikan karena

implementor mudah memahami dan menerjemahkan dalam tindakan

nyata, sebaliknya ketidakjelasan isi kebijakan merupakan potensi

lahirnya distorsi dalam implementasi kebijakan.

(c) The Proliferation and Complexity of Government Programs

(Perkembangan dan Kerumitan Program)

Kerumitan program dilihat dari tingkat kerumitan aturan program yang

bersangkutan. Dinamisnya petunjuk pelaksanaan yang dibuat akan

mempengaruhi berhasil atau tidaknya program diimplementasikan.

107

(d) The Participation of Governmental Units at All Territorial

Levels (Partisipasi pada Semua Unit Pemerintahan). Partisipasi pada

semua unit pemerintahan yang dimaksud adalah partisipasi dari

semua aktor yang terlibat dalam implementasi program tersebut

(e) The Uncontrollable Factors That All Affect Implementation (Faktor-

Faktor yang Tidak Terkendali yang Mempengaruhi Implementasi).

Faktor yang tidak terkendali ini yaitu apakah ada faktor-faktor di luar

teknis (yang telah melampaui batas kontrol dari implementor) yang

secara tidak langsung berhubungan dengan pengimplementasian

program, sehingga dapat menghambat, bahkan menggagalkan

implementasi program yang telah dirancang sebelumnya.

f) Model Implementasi Kebijakan Publik dari Michael Hill and Peter Hupe

(2002)

Michael Hill and Peter Hupe (2002) dalam bukunya yang berjudul

Implementing Public Policy: Governance Theory and in Practice menyikapi

secara eksplisit berkaitan dengan implementasi akan menjadi pengakuan tiga

fakta. Yang pertama adalah bahwa fenomena 'implementasi' berorientasi pada

masalah sampai taraf tertentu. Kedua diakui bahwa implementasi itu dan terus

menjadi perhatian banyak penulis yang tidak berbicara tentang 'implementasi' per

se, dan memang mungkin mendekatinya dari latar belakang yang sangat

berbeda. Fakta ketiga adalah implementasi itu mau tidak mau mengambil bentuk-

bentuk yang berbeda dalam budaya dan pengaturan kelembagaan yang

berbeda. Poin terakhir ini sangat penting di era di mana proses ‘pemerintah’ telah

dilihat sebagai diubah menjadi ‘pemerintahan’. Yang terakhir berarti bahwa lebih

108

banyak aktor dapat berpartisipasi dan model hirarkis yang sederhana sedang

ditinggalkan. Karenanya menghubungkan implementasi dengan tata kelola

merupakan elemen sentral dalam buku ini.

Implementasi yang berhasil, membutuhkan kepatuhan dengan arahan

dan tujuan undang-undang; pencapaian derajat perubahan tertentu; dan

peningkatan iklim politik di sekitar program. Hill dan Hupe (2002) juga menyoroti

bencana dan kegagalan implementasi dan memberikan kesan yang menyimpang

dari kesulitan implementasi. Alternatif lain dari penilaian Implementation gap

untuk mengukur hasil dan keluaran secara implisit atau eksplisit dari sebuah

kebijakan adalah dengan menggunakan istilah 'kegagalan implementasi'. Dalam

praktek sehari-hari kualifikasi tersebut mudah digunakan. Demikian pula dalam

studi pelaksanaan kualifikasi dalam hal 'sukses' atau 'kegagalan' umumnya

diberikan. Dan memang kadang-kadang penggunaan istilah 'kegagalan

kebijakan' tampaknya dibenarkan, namun untuk memberikan istilah kegagalan

kebijakan tersebut harus melalui analisis yang normatif dan empiris. Hal tersebut

diuraikan pada bagan 2.5 berikut ini:

109

Bagan 2.5. Perspektive- Perspektives on Managing Implementation

Michael Hill and Peter Hupe (2002)

Dari sudut pandang analitis semua dari tiga mode ideal-khas tata

kelola dan perspektif terkait pengelolaan implementasi yang dikembangkan

memiliki nilai yang sama. Diberikan normatif umum prinsip-prinsip yang diacu,

penerapan yang tepat dari moda tata kelola ini/mode kombinasi tindakan

tergantung pada konfigurasi spesifik faktor dalam berbagai konteks di mana

praktisi administrasi publik harus bertindak. Dengan demikian, jelas bahwa

proses kebijakan dunia nyata dijalankan dalam konstruksi analitis yang disajikan

dalam berbagai cara. Kemudian, alternatif yang kongruen dan non-kongruen

akan terbukti, keganjilan akan datang dalam berbagai bentuk dan kemauan, dari

satu kasus ke kasus lain, yang disebabkan oleh masalah yang lebih besar atau

lebih kecil. Pilihan yang tersedia, akan meminimalkan ketidaksesuaian daripada

memetakan suatu proses implementasi yang ideal yang hanya meniru resep top-

down terlepas konteksnya. Pada dasarnya, permohonan untuk kontekstualisasi

dibuat di sini berarti mengakui mode alternatif pemerintahan.

110

g) Model Implementasi Kebijakan Publik sebuah pendekatan alternatif dari

Peter deLeon dan Linda deLeon (2002)

Dalam artikel yang berjudul What Ever Happened to Policy

Implementation? An Alternative Approach, Peter deLeon dan Linda deLeon

(2002) memeriksa tiga generasi penelitian teori implementasi kebijakan,

menekankan ketergantungan dasar pada suatu orientasi perintah (yaitu, top-

down), dan berpendapat mengenai kerangka kerja alternatif, yang menekankan

pada pendekatan demokratis (yaitu, bottom-up).

Secara khusus, Peter deLeon dan Linda deLeon (2002) berpendapat

bahwa implementasi kebijakan sering dipraktekkan sebagai fenomena top-down

atau pemerintahan elit, padahal praktiknya akan jauh lebih baik jika praktisi

mengadopsi yang lebih partisipatif, orientasi demokratis. Teori implementasi

seharusnya lebih hati-hati melaksanakan proses demokrasi dengan

memvariasikan kondisi spesifik. Meskipun implementasi mungkin merupakan

suatu masalah namun tetap menjadi bagian penting dari studi kebijakan publik.

Matland (1995: 150) telah menunjukkan dalam kritiknya tentang analisis

bottom-up "Struktur kelembagaan, sumber daya yang tersedia, dan akses ke

arena implementasi dapat ditentukan secara terpusat, dan secara substansial

dapat mempengaruhi hasil kebijakan”. Tetapi Peter deLeon dan Linda deLeon

(2002) menyarankan bahwa identifikasi konvensional keamanan nasional, krisis,

dan urgensi politik tidak seharusnya secara otomatis diidentifikasi sebagai

kondisi di mana demokrasi seharusnya terhindarkan; terlalu sering otomatis

ditafsirkan sebagai nyaman. Secara bersamaan, Mungkin juga ada kondisi-

kondisi di mana pendekatan demokrasi akan menjadi strategi dominan. Peter

deLeon dan Linda deLeon (2002) mengajukan premis berikut: ketika strategi

111

implementasi kebijakan dirancang, pendekatan demokratis harus menjadi pilihan

(yaitu, default) pilihan. Implementasinya harus mengikuti demokrasi prosedur

(dan lebih disukai dalam praktik demokrasi langsung) kecuali analisis

sebelumnya menunjukkan bahwa model lain (misalnya top-down, atau perintah,

implementasi) lebih unggul. Dengan kata lain, pendekatan demokratis

implementasi kebijakan harus menjadi fokus utama dari implementasi.

Dalam hal ini, Peter deLeon dan Linda deLeon (2002) menguraikan

begitu keputusan telah disepakati, implementasi menjadi lebih banyak taktik

daripada strategi, sementara taktik bisa berubah menjadi masalah. Seperti yang

kami sarankan, penerapan prinsip demokrasi teori implementasi membutuhkan

pemahaman yang baik tentang kemungkinan yang mengatur pilihan strategi.

Keterlibatan warga negara dalam proses pemerintahan (termasuk politik

elektoral, pembuatan kebijakan, dan administrasi) dapat mengambil banyak

bentuk, dan bahkan dengan pedoman generik bahwa demokrasi lebih baik

daripada kurangnya pilihan strategis. Beberapa kemungkinan Matriks telah

diusulkan dengan memanfaatkan matriks ambiguitas/konflik oleh Matland (1995),

berikut ini:

Bagan 2.6. Ambiguity-Conflict Matrix: Policy Implementation Processes Matland, (1995: 160)

112

Matland, (1995) menguraikan Implementasi dalam sel ini adalah latihan

dasar dalam praktek administrasi publik tradisional, sebagian besar karena

rendahnya tingkat konflik dan ambiguitas. Dalam ambiguitas rendah/sel konflik

tinggi, Matland mengistilahkan implementasi politik, mungkin ada perselisihan

tentang tujuan kebijakan tersebut. Atau, jika para pemain setuju untuk

meningkatkan pendidikan publik, mungkin ada ketidakpastian yang besar

(mengarah ke konflik) sebagai cara terbaik untuk mencapai tujuan tersebut.

"Pusat prinsip dalam implementasi politik adalah hasil implementasi diputuskan

oleh kekuasaan. "Di arena seperti itu, implementasi berbahaya kecuali sampai

kompromi entah bagaimana bisa dipalsukan. Matland berpendapat bahwa

sebuah orientasi top-down paling baik untuk menangkap elemen daya dalam sel

ini, tetapi kami berpendapat bahwa metode demokratis mungkin menghasilkan

lebih baik, keputusan yang kurang kontroversial.

Linda deLeon dan Peter deLeon (2002) menyatakan bahwa banyak

elemen manajemen publik memiliki pendekatan yang jelas demokratis (misalnya,

umpan balik 360 derajat dan demokrasi tempat kerja). Jika kita telah belajar

sedikit dari dekade terakhir studi implementasi kebijakan, kita harus belajar

bahwa satu ukuran tidak pernah cocok untuk semua, konteks itu penting, dan

ketika kita menghadapi kondisi yang sangat kompleks, lebih baik jika kita

mencoba untuk mengerti masalah tertentu daripada jika kami mengusulkan

beberapa bentuk generik metateori. Namun, kami percaya bahwa pendekatan

demokratis terhadap implementasi kebijakan merupakan pilihan yang terbaik.

113

h) Model Implementasi Kebijakan dari Xiongwei Song (2018)

Xiong Wei Song (2018) dalam bukunya yang berjudul Implementing

Sure Start Policy Context, Networks and Discretion, menguraikan Kebijakan Sure

Start, sebagai salah satu inisiatif kebijakan terpenting dari Pemerintah Buruh,

telah dilihat sebagai kebijakan kunci untuk mengatasi masalah pengucilan sosial

dan kemiskinan. Sure Start telah menjadi salah satu kebijakan unggulan di

bawah pemerintahan Buruh Baru, dan Sure Start Children's Centers telah

menjadi kendaraan untuk mengurangi kesenjangan antara anak yang kurang

beruntung di bawah lima tahun dan populasi anak yang lebih luas. Sure Start

juga mencerminkan keyakinan Buruh dalam 'kerja multi-agensi'. Selain itu,

Prinsip Sure Start disebutkan juga mencerminkan ‘Pendekatan campuran’ untuk

meningkatkan layanan anak-anak yang tidak hanya menekankan ‘Layanan yang

berfokus pada pelanggan’ tetapi menyoroti pentingnya ‘pemeriksaan dan

kualitas’ jaminan 'dalam penyediaan layanan. Dalam kebijakan Sure Start,

Pemerintah Buruh juga menganggap memberdayakan staf garis depan sebagai

kendaraan terbaik untuk menyediakan layanan standar.

Pendekatan jaringan implementasi menganalisis hubungan interaktif

antara konteks dan jaringan, struktur dan agensi, serta jaringan dan hasil, yang

menawarkan perspektif untuk membongkar kerumitan yang terlibat dalam proses

implementasi. Secara tradisional, sebagaimana dibahas di atas, studi tentang

proses implementasi telah tertanam baik dengan pendekatan ‘top-down’ atau

‘bottom-up’. Studi implementasi kebijakan mengambil analisis jaringan ke dalam

pertimbangan dalam menganalisis proses implementasi dan mengenali

pentingnya dari proses interaktif aktor dalam jaringan kebijakan. Kickert, Klijn dan

Koppenjan menawarkan penjelasan yang sangat meyakinkan tentang pentingnya

114

isu-isu tentang manajemen jaringan dalam implementasi (Hill and Hupe 2002:

77). Ide bahwa proses kebijakan pada umumnya merupakan interaksi antara

berbagai aktor dan bukan diatur secara terpusat oleh pemerintah sekarang

diterima secara luas (Rhodes 1997). Maret dan Olsen berpendapat bahwa

'selama pertandingan, aktor beroperasi di dalam distribusi sumber daya yang

mapan dan seperangkat aturan, dan mereka memilih strategi berdasarkan

persepsi mereka tentang sifat masalah, solusi yang mereka inginkan, dan solusi

dari aktor lain (Maret dan Olsen 1984). Meskipun mereka berusaha mempelajari

implementasi kebijakan di luar pendekatan top-down atau bottom-up, mereka

gagal untuk memberikan kerangka teoritis holistik untuk menjelaskan proses

implementasi dengan cara analisis yang terintegrasi tingkat meso dan mikro

melalui pendekatan dialektik.

Pendekatan jaringan implementasi adalah konsep yang dinamis dan

dapat diadaptasi untuk menjelajahi berbagai bidang kebijakan. Cairney

berpendapat bahwa: ‘Jika jaringan kebijakan harus jelas, maka seseorang harus

menunjukkan bahwa mereka bertindak, atau menjalankan kekuasaan, untuk

memengaruhi hasil kebijakan '(Cairney 1999). Karena itu, bagaimana caranya

menganalisis perilaku aktor yang berbeda dalam proses implementasi

merupakan kunci pertanyaan karena perilaku ini cenderung mempengaruhi

proses implementasi dan bisa mengalihkan makna asli dari kebijakan yang

dirumuskan dalam tahap awal. Ada dua jenis aktor dalam proses implementasi:

organisasi dan individu. Cara mereka berinteraksi satu sama lain sangat penting

untuk memahami proses penerapannya. Akhirnya, ketika menganalisis perilaku

aktor dalam proses pelaksanaannya, kita juga tidak bisa melupakan faktor-faktor

115

lain, seperti konteks implementasi dan hasil implementasi, yang dapat dilihat

pada gambar berikut ini:

Bagan 2.7. Implementation Network Approach, Xiongwei Song (2018: 105)

Secara keseluruhan, tiga hubungan interaktif disajikan dalam

implementasi pendekatan jaringan: struktur dan agensi, jaringan dan konteks,

dan jaringan dan hasil. Dalam hal hubungan antara jaringan dan konteks:

Pertama, jaringan kebijakan mencerminkan struktur eksogen; kedua, struktur

jaringan, jaringan perubahan dan hasil kebijakan dapat dijelaskan sebagian oleh

referensi faktor eksogen ke jaringan, tetapi faktor kontekstual ini secara dialektis

terkait dengan jaringan struktur dan interaksi jaringan (Marsh dan Smith 2000: 7).

Pendekatan jaringan implementasi juga memberi kami kesempatan

untuk meletakkan proses implementasi ke dalam siklus kebijakan untuk

menganalisa bagaimana tahapan kebijakan yang lain, seperti pengaturan

agenda, pembuatan kebijakan dan evaluasi kebijakan, mempengaruhi jaringan

implementasi sebagai faktor politik, khususnya dalam kaitannya dengan para

116

aktor di Indonesia, tahap perumusan kebijakan dan pengaruhnya terhadap

mereka yang beroperasi pada saat tahap implementasi.

Kedua, pendekatan jaringan implementasi juga mempertimbangkan

hubungan interaktif antara jaringan dan hasil. Ketika membawa ini ke dalam studi

proses implementasi, kami harus mempertimbangkan peran hasil implementasi

pada proses implementasi. Pertama, hasil implementasi tertentu dapat

menyebabkan perubahan dalam keanggotaan jaringan implementasi atau pada

keseimbangan sumber daya di dalamnya. Kedua, hasil implementasi dapat

berdampak pada struktur sosial yang lebih luas, yang melemahkan posisi

kepentingan tertentu dalam kaitannya dengan aktor tertentu dalam jaringan

implementasi.

Ketiga, hubungan interaktif antara struktur dan agensi yang diusulkan

oleh pendekatan jaringan implementasi memberikan kesempatan untuk

mengintegrasikan pendekatan top-down dan pendekatan dari bottom-up. Dalam

pendekatan jaringan implementasi, umumnya ada dua jenis aktor organisasi dan

individu yang melaksanakan kebijakan bersama. Dalam analisis interaktif

hubungan antara struktur dan agensi, peran struktur dan agen ditekankan.

Artinya, untuk memahami proses interaktif dari berbagai aktor dalam proses

implementasi, penting untuk mempertimbangkan peran struktur organisasi, tetapi

juga untuk memperhitungkan peran agen ketika menganalisis proses

implementasi. Namun bahkan jika pendekatan jaringan implementasi

menekankan hubungan interaktif antara struktur dan agensi, masih perlu

kekuatan untuk menjelaskan bagaimana berbagai aktor berinteraksi satu sama

lain dalam proses implementasi.

117

Sejauh ini, belum ada elemen analitik yang membahas bagaimana

organisasi atau individu yang berbeda saling berinteraksi satu sama lain atau di

antara mereka dalam jaringan implementasi

2.4.2 Faktor yang mempengaruhi keberhasilan Implementasi Kebijakan Publik

Untuk mengantisipasi agar suatu kebijakan atau implementasi tidak gagal,

maka ada hal-hal yang perlu diketahui yang dapat membuat suatu pelaksanaan

kebijakan menjadi gagal, yaitu:

1) Kebijakan yang dibuat spesifikasinya tidak lengkap yang membuat bingung

dan membuat penafsiran sendiri-sendiri oleh para pelaksana kebjakan.

2) Instansi tujuan yang saling berlawanan.

3) Adanya tujuan yang saling berlawanan.

4) Insentif tidak memadai. Maksudnya para pelaksana kebijakan merasa

bahwa upah tambahan/intensif untuk melaksanakan kebijakan tidak

seimbang dengan jerih payahnya sehingga mereka tidak sungguh-sungguh

melaksanakannya.

5) Ketidakjelasan arah kebijakan dasar dengan kebijakan implementasinya.

6) Katerbatasan keahlian

7) Sumber daya administrasi yang terbatas.

8) Kegagalan komunikasi (Abdul Wahab, 1997: 273)

Berdasarkan pendapat tersebut, jelas bahwa keberhasilan suatu

kebijakan ditentukan oleh dukungan lingkungan, kepatuhan serta dukunggan dari

pihak-pihak yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung atau yang

terkana pengaruh kebijakan, ketersediaan sumber daya secara kualitas maupun

kuantitas, serta alat kontrol kebijakan berupa instrumen hukum terhadap

118

pelanggaran kebijakan. Kesemuanya harus disusun dan direncanakan dengan

baik dengan memperhatikan kondisi, kemampuan, ataupun potensi yang dimiliki.

Berbagai teori yang dikemukakan tersebut telah banyak memberikan gambaran

kepada kita khususnya dikalangan pada implementator dalam rangka

mengimplementasikan suatu kebijakan dan meminimalkan adanya kegagalan

dari implementasi. Oleh karena itu dari sudut pandang efektivitas, implementasi

masing-masing teori tersebut mengandung keunggulan dan kelemahan. Namun

situasi dan kondisi dimana teori itu dipakai tergantung pada permasalahan yang

dihadapi dalam mengimplementasikan suatu kebijakan sehingga model

implementasi menjadi penting untuk dikaji.

2.4.3 Model Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Instansi Pemerintahan Kota Palembang

Teori-teori yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas

dalam suatu penelitian sangat diperlukan dan mutlak sifatnya. Teori dalam suatu

penelitian ilmiah diperlukan untuk menganalisis suatu fakta yang timbul dalam

rangkaian penelitian secara empiris. Selain itu teori diperlukan untuk

mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta-fakta yang hendak diselidiki dan

juga digunakan untuk mencari keterkaitan antara fakta yang di dapat di lapangan

dengan permasalahan yang timbul, sehingga dapat memberikan arah bagi

peneliti untuk melakukan analisis dan pembahasan lebih lanjut. Oleh karena itu

untuk melakukan penelitian ini.

Jika dikaitkan dengan penelitian ini yang menganalisis implementasi

kebijakan kawasan tanpa rokok di Instansi Pemerintahan Kota Palembang

berdasarkan Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa

Rokok di Kota Palembang, maka dapat dipahami bahwa kebijakan ini dapat

119

ditujukan untuk mencapai kriteria responsivitas dalam mengimplementasikan

Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota

Palembang yaitu langkah-langkah pengamanan rokok bagi kesehatan,

diantaranya melalui penetapan Kawasan Tanpa Rokok.

Peraturan Daerah Kota Palembang No. 7 Tahun 2009 tentang Kawasan

Tanpa Rokok ini berisi tentang berbagai aturan yang mengatur perokok agar

tidak merokok di tempat-tempat tertentu yang telah ditetapkan sebagai kawasan

dilarang merokok serta sanksi yang dijatuhkan bila melanggar aturan ini dalam

Peraturan Daerah Kota Palembang No. 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa

Rokok juga dicantumkan tujuan pemberlakuan peraturan ini sebagai upaya

menekan jumlah pengkonsumsi rokok di wilayah Palembang serta mengatasi

pencemaran udara di Palembang yang tidak terkendali lagi.

Sehubungan dengan penelitian ini, maka implementasi Peraturan Daerah

No. 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang,

dilaksanakan dengan berazaskan:

a. Keseimbangan kesehatan manusia dan lingkungan;

b. Kemanfaatan umum;

c. Keterpaduan dan keserasian;

d. Keadilan; dan

e. Transparansi dan akuntabilitas.

Penetapan Kawasan Tanpa Rokok bertujuan untuk:

1. Memberikan perlindungan yang efektif dari bahaya paparan asap rokok

orang lain;

2. Memberikan ruang dan lingkungan yang bersih dan sehat bagi Masyarakat;

120

3. Melindungi kesehatan Masyarakat secara umum dari dampak buruk

merokok baik langsung maupun tidak langsung.

Prinsip Penetapan Kawasan Tanpa Rokok adalah:

a. 100 % kawasan tanpa asap rokok

b. Tidak ada ruang merokok di tempat umum/tempat kerja tertutup

c. Pemaparan asap rokok pada orang lain melalui kegiatan merokok, atau

tindakan mengizinkan dan atau membiarkan orang merokok di kawasan

tanpa rokok adalah bertentangan dengan hukum.

Kawasan Tanpa Rokok adalah tempat atau ruangan yang dinyatakan

dilarang untuk merokok, menjual, mengiklankan, dan/atau mempromosikan

rokok, meliputi: tempat umum; tempat kerja; tempat ibadah; arena kegiatan anak-

anak; angkutan umum; kawasan proses belajar mengajar; dan tempat pelayanan

kesehatan.

Adapun petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengawasan Kawasan Tanpa

Rokok ini sesuai dengan Peraturan Walikota Palembang No. 67 Tahun 2010

Pasal 6, maka Tim Pengawas Kawasan Tanpa Rokok melaksanakan tugasnya

dengan petunjuk sebagai berikut:

a. Meletakkan tanda-tanda larangan merokok di semua pintu masuk uatama

dan ditempat-tempat yang di pandang perlu dan mudah terbaca;

b. Mengingatkan semua orang untuk tidak merokok di tempat umum;

c. Melarang adanya tempat merokok di tempat umum;

d. Melarang menyediakan rokok di tempat umum;

e. Melarang menjual atau mengiklankan atau mempromosikan rokok yang

tidak sesuai dengan izinnya.

f. Melarang adanya asbak

121

g. Melaporkan adanya pelanggaran ke Tim Pengawas Pelaksana KTR

h. Berkoordinasi dengan tim pengawas pelaksana

i. Melaporkan secara rutin setiap 3 bulan sekali.

Dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak berlakunya Peraturan Daerah

ini, setiap Pemilik, Pengelola, Manajer, Pimpinan, dan Penanggung Jawab

Kawasan Tanpa Rokok, harus mengadakan penyesuaian dengan ketentuan

Peraturan Daerah ini. Pelanggaran atas ketentuan Peraturan Daerah ini,

diancam dengan hukum pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda

paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).

Kepatuhan terhadap Perda KTR pada dasarnya merupakan perilaku

orang-orang yang berada pada suatu kawasan untuk tidak merokok di dalam

ruangan. Kepatuhan pelaksanaan Perda KTR sangat dipengaruhi oleh perilaku

masyarakat yang merupakan Pengunjung atau Pengguna dan faktor Pimpinan

yang merupakan Penanggung jawab pelaksanaan Perda KTR di Instansi

Pemerintahan Kota Palembang. Adapun analisis kepatuhan pegawai didasarkan

pada Teori Green (Notoadmojo S, 2010: 186) membagi faktor yang

mempengaruhi perilaku kesehatan masyarakat khususnya dalam mematuhi

Perda KTR di Instansi Pemerintahan Kota Palembang, menjadi 3 faktor utama,

faktor predisposisi (predisposing factor), faktor pemungkin (enabling factor) dan

faktor penguat (reinforcing factor)

Selanjutnya penelitian ini akan mengidentifikasi, menganalisis,

menemukan dan merekomendasikan hal-hal yang berkaitan dengan:

(1) Implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Instansi Pemerintahan

Kota Palembang

122

(2) Kepatuhan pegawai dalam implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok

di Instansi Pemerintahan Kota Palembang

(3) Faktor pendukung dan penghambat kepatuhan pegawai dalam

implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Instansi Pemerintahan

Kota Palembang

(4) Model implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang

yang ideal

2.5 Local Government

2.5.1 Pengertian Local Government

Penyelenggaraan Negara mencakup dimensi mengenai formulasi

kebijakan dan implementasi kebijakan. Sentralisasi identik bagaimana formulasi

dan implementasi kebijakan dilakukan oleh central government, sedangkan

desentralisasi yaitu formulasi dan implementasi kebijakan dilakukan oleh local

government.

Kata local dalam kaitannya dengan local government dan local autonomy

tidak dicerna sebagai daerah, tetapi merupakan masyarakat setempat. Urusan

dan kepentingan yang menjadi perhatian local government dan tercakup dalam

local autonomy bersifat locality. Basis politiknya adalah lokalitas dan bukan

bangsa. Pemerintahan lokal adalah representasi dari eksistensi lokalitas,

sekaligus sebagai agen negara (Pemerintah Pusat).

Pengertian local government yang diberikan oleh United Nation bahwa

daerah otonom mengelola local affairs sebagaimana dikemukakan oleh Hampton

bahwa: local authority are elected bodies and expected to develop policies

appropriate to their localities whitin the framework of national legislation. Selain

123

itu, juga ditegaskan bahwa daerah otonom harus diberikan hak untuk mengatur

urusan-urusan yang bersifat lokal. Daerah otonom adalah daerah di dalam suatu

negara yang memiliki kekuasaan otonom, atau kebebasan dari pemerintah di luar

daerah tersebut. Biasanya suatu daerah diberi sistem ini karena keadaan

geografinya yang unik atau penduduknya merupakan minoritas negara tersebut,

sehingga diperlukan hukum-hukum yang khusus, yang hanya cocok diterapkan

untuk daerah tersebut. Menurut jenisnya, daerah otonom dapat berupa otonomi

teritorial, otonomi kebudayaan dan otonomi lokal.

Muthalib dan Ali Khan (1982: 2-18), menjelaskan secara komprehensif

pemahaman tentang arti dari konsep local government. Dinyatakan bahwa

secara konseptual local government harus dimaknai secara multi-dimensional.

Makna multi-dimensional tersebut meliputi: (1) social dimension; (2) economic

dimension; (3) geografic dimension; (4) legal dimension; (5) political dimension;

dan (6) administrative dimension.

Organisasi sektor publik secara sederhana dapat dipahami sebagai

organisasi yang berada dalam ranah publik dan bertugas melayani masyarakat.

Walsh, Leach and Stewart (1994: 4) mengungkapkan sifat khusus dari organisasi

publik tersebut tentunya juga melekat pada organisasi publik yang berada pada

tataran local government atau birokrasi tingkat lokal. Mereka berada dalam

tujuan, kondisi dan tugas-tugas khusus menyangkut kepentingan publik.

Sehingga, tanggung jawab organisasi publik secara umum maupun tingkat lokal

akan berkaitan pada tujuan-tujuan publik. Berkaitan dengan local government,

baik institusi dan manajemennya, perlu dipahami sebagai local government

dalam arti yang sesungguhnya. Bukan hanya sebagai penyedia layanan, tapi

juga sebagai institusi politik untuk pilihan dan aspirasi lokal.

124

2.5.2 Peran Local Government

Jha dan Mathur (1999: 60) menguraikan beberapa peran Pemerintahan

Daerah (the role of local government) yang dapat ditemukan dalam sistem

pemerintahan yang terdesentralisasi. Peran pemerintahan daerah yang

dimaksud, sebagai berikut:

a) Menjadi senjata efektif dalam menghadapi tekanan lokal dengan

menampung dan mengartikulasikan kepentingan lokal, menjadi media

pendidikan politik bagi masyarakat yang merasakan langsung pelaksanaan

fungsi pemerintahan;

b) Karena kedekatannya secara lokasi, dalam hal penyediaan pelayanan jasa

dapat berlangsung lebih efisien;

c) Perencanaan dapat lebih baik karena lebih mengetahui kondisi lokalnya,

dengan penggunaan tenaga lokal yang lebih efisien pula;

d) Pejabat pemerintah bertanggung jawab lebih baik karena hubungan

dengan publik lebih dekat;

e) Pemerintah daerah dapat menjadi medium komunikasi efektif antara pusat

dengan masyarakat lokal terkait dengan program pemerintah pusat di

daerah

2.5.3 Manfaat Local Government

Manfaat yang dapat dipetik dari local government, yaitu pertama, adanya

daya tanggap publik (pemerintah daerah) terhadap preferensi individual (public

responsiveness to individual preferences). Kedua, local government memiliki

kemampuan untuk memenuhi permintaan akan barang-barang publik (demand

for public goods). Desentralisasi meningkatkan unit-unit pemerintahan dan

125

derajat spesialisasi fungsinya sehingga meningkatkan kemampuan pemerintah

dalam memenuhi permintaan publik. Hal ini untuk mengatasi kesulitan dalam

mengetahui preferensi masyarakat, karena adanya relasi yang rumit antara

barang, harga, pajak, pemilihan dan preferensi politik, partisipasi, dan

kepemimpinan. Ketiga, desentralisasi mampu memberikan kepuasan yang lebih

baik dalam menyediakan penawaran barang-barang publik (supply of public

goods). Terdapat banyak persoalan jika penyediaan pelayanan dan barang

publik diselenggarakan secara tersentralisasi.

Semakin besar organisasinya maka semakin besar pula kecenderungan

untuk memberi pelayanan. Semakin monopolistis suatu pemerintah maka

semakin kecil insentif dan inovatifnya. Berdasarkan teori, yurisdiksi yang

terfragmentasi akan memberikan kepuasan kepada konsumen daripada

kewenangan yang terkonsolidasi. Desentralisasi akan memberikan peluang

antaryurisdiksi yang berbeda untuk bersaing dalam memberikan kepuasan

kepada publik atas penyediaan barang dan layanan.

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa konsep local

government juga menyangkut dimensi Administrasi pada birokrasi tingkat lokal,

termasuk dalam penerapan kebijakan kawasan tanpa rokokyang dikeluarkan

melalui Peraturan Daerah Kota Palembang No. 7 Tahun 2009 tentang Kawasan

Tanpa Rokok yang berisi tentang berbagai aturan yang mengatur perokok agar

tidak merokok di tempat-tempat tertentu yang telah ditetapkan sebagai kawasan

dilarang merokok serta sanksi yang dijatuhkan bila melanggar aturan tersebut.

126

2.5.4 Teori Local Government

Pemerintahan daerah pada awalnya lahir dan berangkat dari beberapa

konsep dan teori yang telah ada yaitu: dari teori kekuasaan, konsep

pembentukan negara, dan konsep kedaulatan. Berdasarkan teori kekuasaan,

yang dicetuskan oleh Montesquei (seorang Perancis) yang kemudian oleh

Immanuel Kant disebut sebagai Trias Politica, bahwa pemisahan kekuasaan

dalam suatu negara dipisahkan ke dalam 3 bagian besar yaitu: legislatif,

eksekutif, dan yudikatif.

John Locke (Inggris) mengatakan bahwa kekuasaan dalam suatu negara

di pisahkan dalam 3 lembaga besar juga yaitu legislatif, eksekutif dan federatif.

Pemisahan kekuasaan cara ini biasanya diterapkan pada lembaga-lembaga

negara yang satu dengan yang lain tidak ada intervensi. Berangkat dari filosofi

Montesquei dan John Locke, Arthur Maas (1959) membagi kekuasaan

pemerintah menjadi 2 bagian besar yaitu:

a) Capital Division of Power (CDP)

Pembagian terhadap kapasitas menyeluruh untuk memerintah diantara

pejabat dan badan pejabat pemerintahan di ibukota dari masyarakat politik

(pembagian kekuasaan dalam bidang). Dalam model ini dikenal pemisahan

kekuasaan yang dibuat oleh Montesquei yang disebut dengan separation

of power. Separation of power diberi arti sebagai suatu sistem pemisahan

kekuasaan yang satu lembaga dengan lembaga lain tidak ada hubungan

interpedensi. Artinya kekuasaan legislatif dipegang oleh lembaga legislatif

demikian juga pada eksekutif dan judikatif, mengurusi kewenangan yang

menjadi kekuasaannya.

127

b) Areal Division of Power (ADP)

Pembagian kekuasaan menurut wilayah-wilayah lebih kecil di wiyah

teritorial nasional. Pembagian kekuasaan ini didasarkan kepada fungsi atau

aktivitas berdasarkan ketentuan konstitusi serta pendelegasian.

Pelaksanaannya dilakukan melalui dua cara yaitu desentralisasi dan

dekosentrasi. Desentralisasi merupakan penyerahan kekuasaan secara

legal untuk melaksanakan fungsi tertentu atau fungsi yang tersisa kepada

otoritas lokal yang secara formal diakui oleh konstitusi yang diwujudkan

dengan pembagian kekuasaan bidang politik maupun administrasi menurut

wilayah yang lebih kecil didalam suatu wilayah negara. Sedangkan

dekosentrasi merupakan pendelegasian kekuasaan untuk melaksanakan

fungsi-fungsi tertentu kepada staf pemerintah pusat yang berada diluar

kantor pusat yang berwujud dalam bentuk pembagian wilayah kekuasaan

administrasi menurut wilayah yang lebih kecil dalam suatu negara. Dari

areal division of power inilah kemudian lahir konsep pemerintahan daerah.

Selanjutnya dalam menjalankan urusan penyelenggaraan pemerintahan

melalui desentralisasi, dikenal 4 varian struktur dan elemen desentralisasi.

Keempat varian struktur dan elemen desentralisasi itu adalah :

1) Comprehensive Local Government System

yakni memperlihatkan bahwa sebagian besar urusan pengelolaan daerah

diberikan kepada pemerintah daerah (baik itu mengenai urusan pusat

maupun urusan daerah). Model ini banyak dianut di negara India, Sudan,

Pakistan dan Uni Arab Republik

128

2) Partnership Local Government System

Ditandai bahwa beberapa fungsi tertentu pelayanan dilakukan oleh

pemerintah daerah dan sebagian urusan pusat dilakukan oleh perwakilan

pemerintah pusat di daerah

3) Dual System of Local Government

memperlihatkan dimana pemerintah daerah melakukan fungsinya demikian

juga pemerintah pusat melakukan fungsinya melalui perwakilannya di

daerah. Fungsi akan sama, akan tetapi aspek berbeda. Dalam hal ini

pemerintah daerah lebih berperan sebagai alat political decentralization

dari pada sebagai alat pembangunan sosial-ekonomi

4) Integrated Administrative Government System.

Ditandai bahwa pemerintah daerah dan unsur wilayah administrasi sama-

sama melakukan tugas dalam satu wilayah (wakil pemerintah pusat yang

berada di wilayah bertanggung jawab kepada pemerintah pusat).

Pemerintahan daerah tidak senantiasa berbicara mengenai pendelegasian

urusan yang dilakukan dalam pelaksanaan desentralisasi maupun

dekonsentrasi. Dalam pengembangan suatu wilayah, perlu dipersatukan

beberapa unsur juga untuk memudahkan penyelenggaraan tugas-tugas

pemerintahan. Keadaan ini pertama kali diterapkan oleh Jenderal Prancis

yakni Napoleon Bonaparte. Bonaparte melakukannya untuk memperluas

ekspansi wilayah yang dilakukannya di Eropa Barat pada abad kelima

belas melalui kekuatan militer yang bersifat komando, sehingga melahirkan

kesetiaan yang utuh terhadap instruksi yang dibuatnya. Teori ini kemudian

dikenal dengan nama Integrated Perfectoral System.

129

Pemerintahan daerah merupakan salah satu sistem penyelenggaraan

pemerintahan yang kita anut, dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas

pelayanan publik kepada masyarakat. Seyogianya dengan pemerintahan

daerah maka tujuan pembangunan nasional dan cita-cita bangsa Indonesia

dapat kita wujudkan. Semoga melalui berbagai azas penyelenggaran

pemerintahan yang kita laksanakan bukan membuat stereotype yang

berlebihan antar daerah yang bisa menimbulkan gerakan separatisme,

namun semakin menumbuhkan kesadaran antar daerah untuk saling

berlomba-lomba membangun dan memajukan daerahnya yang secara

tidak langsung mewujudkan pemerataan pembangunan di berbagai sektor.

2.6 Kepatuhan

2.6.1 Pengertian Kepatuhan

Kepatuhan berasal dari kata patuh. Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa

Indonesia), patuh berarti suka menurut perintah, taat kepada perintah atau aturan

dan berdisiplin. Kepatuhan berarti bersifat patuh, ketaatan, tunduk, patuh pada

ajaran dan aturan. Hal ini sesuai dengan Teori Kepatuhan (Compliance Theory)

yang telah diteliti pada ilmu-ilmu sosial khususnya di bidang psikologis dan

sosiologi yang lebih menekankan pada pentingnya proses sosialisasi dalam

mempengaruhi perilaku kepatuhan seorang individu.

Menurut Lunenburg (2012) Teori Kepatuhan (Compliance Theory) adalah

sebuah pendekatan terhadap struktur organisasi yang mengintegrasikan ide-ide

dari model klasik dan partisipasi manajemen. Sedangkan menurut Kelman (1958:

51-60), Compliance diartikan sebagai suatu kepatuhan yang didasarkan pada

130

harapan akan suatu imbalan dan usaha untuk menghindarkan diri dari hukuman

yang mungkin dijatuhkan.

2.6.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi Kepatuhan

Untuk mempelajari faktor yang mempengaruhi kepatuhan pelaksanaaan

Perda KTR, teori yang paling cocok digunakan adalah Teori Green tentang

Perilaku Kesehatan. Teori Green (1999) membagi faktor yang mempengaruhi

perilaku kesehatan masyarakat menjadi 3 faktor utama, faktor predisposisi

(predisposing factor), faktor pemungkin (enabling factor) dan faktor penguat

(reinforcing factor)

Kepatuhan terhadap Perda KTR pada dasarnya merupakan perilaku

orang-orang yang berada pada suatu kawasan untuk tidak merokok di dalam

ruangan. Kepatuhan pelaksanaan Perda KTR sangat dipengaruhi oleh perilaku

masyarakat yang merupakan Pengunjung atau Pengguna dan faktor Pengelola

yang merupakan Penanggung jawab pelaksanaan Perda KTR pada masing-

masing kawasan

Faktor predisposisi (predisposing factor), merupakan faktor yang

mempermudah terjadinya perilaku seseorang. Faktor ini meliputi: Pengetahuan,

Sikap Komitmen serta Perilaku Pelaksana Perda KTR. Pengetahuan merupakan

faktor penting yang mempengaruhi prilaku seseorang karena prilaku terbentuk

didahului oleh pengetahuan dan sikap yang positif (Notoatmojo S, 2010).

Pengetahuan tentang pelaksanaan Perda KTR bisa didapat melalui penglihatan

seperti melihat dan membaca berita tentang Perda KTR melalui media televisi,

radio maupun media massa. Pengetahuan dinilai menggunakan pertanyaan

untuk mengukur tingkat pengetahuan pengelola tentang pelaksanaan Perda KTR

131

di Kantor Kelurahan. Pengetahuan pengelola meliputi tujuan pelaksanaan Perda

KTR, tempat-tempat yang diatur, kriteria kepatuhan dan sanksi terhadap

Pelanggaran. Pengelola yang telah mempunyai pemahaman dan pengetahuan

yang cukup diharapkan kawasan yang dikelolanya akan patuh terhadap Perda

KTR. Selanjutnya sikap juga merupakan kesiapan seseorang untuk berprilaku.

Sikap yang positif terhadap sesuatau (setuju, senang, mau) akan memicu prilaku

yang postif pula (Notoadmojo S, 2010). Sikap tentang Perda KTR adalah sikap

pengelola terhadap penerapan Perda KTR di Instansi Pemerintahan yang

meliputi Pendapat Pimpinan/ Pegawai terhadap dampak asap rokok terhadap

orang disekitarnya, kebijakan pelarangan kegiatan merokok di dalam ruangan di

tempat manapun Instansi Pemerintahan, tujuan pelaksanaan Perda KTR,

pendapat tentang tanggung jawab mereka sebagai pelaksana kebijakan

kawasan tanpa rokok dikawasan yang dikelola dan pendapat mereka terhadap

dampak pelaksanaan Perda KTR terhadap pemberian Pelayanan di Instansi

Pemerintahan. Pimpinan Instansi Pemerintahan yang mempunyai sikap postif

terhadap pelaksanaan Perda KTR diharapkan kawasan yang dikelolanya akan

patuh pula terhadap Perda KTR.

Komitmen Pimpinan Instansi Pemerintahan mempunyai pengaruh yang

besar dalam mewujudkan kepatuhan kawasan terhadap Perda KTR. Dalam buku

pedoman pengembangan KTR disebutkan bahwa melakukan advokasi untuk

membangun komitmen bersama antara segenap masyarakat, pemerintah dan

pengelola kawasan sangat penting dalam kesuksesan pelaksanaan kebijakan

kawasan tanpa rokok. Perilaku merokok dari pengelola merupakan faktor yang

dapat menghambat pelaksanaan Perda KTR di Instansi Pemerintahan. Pimpinan

Instansi Pemerintahan adalah role model atau teladan bagi bawahannya

132

sehingga seorang Pimpinan yang dikenal mempunyai perilaku merokok tidak

akan bisa menjadi contoh yang baik. Pimpinan tersebut akan kehilangan wibawa

saat menginisiasi pelaksanaan Perda KTR di Instansi Pemerintahannya. Selain

itu, dalam melakukan tindakan pengawasan akan cenderung tidak tegas dan

sangat mungkin tidak dituruti oleh orang lain. Penilaian terhadap prilaku merokok

dapat dilakukan dengan bertanya langsung apakah merokok atau tidak, apakah

merokok ditempat kerja atau di rumah.

Faktor pemungkin (enabling factor), merupakan faktor yang

memungkinkan terjadinya perilaku, meliputi: Penyediaan Fasilitas Pendukung

pelaksanaan Perda KTR berupa: penyediaan stiker, leaflet maupun spanduk

tanda larangan merokok, buku pedoman larangan merokok serta penyediaan

klinik kesehatan untuk terapi bagi perokok

Faktor penguat (reinforcing factor), meliputi: Himbauan Organisasi,

Pengawasan Internal serta Penerapan Sanksi. Himbauan dapat didefinisikan

sebagai anjuran yang diterima oleh pengelola dari organisasi dan merupakan

salah satu bentuk tindakan nyata dari organisasi setelah mendukung keberadaan

perda. Pengawasan Internal berupa pembentukan tim penegakan hukum Perda

khususnya di Instansi Pemerintahan di Kota Palembang.

2.7 Hubungan Administrasi Publik dengan Implementasi Kebijakan

Mempelajari implementasi kebijakan publik sangat krusial dan komplek

dalam prespektif administrasi publik dan kebijakan publik, hal ini berkaitan

dengan aspek kebijakan itu sendiri yang tidak terlepas hubungannya dengan

berbagai kelembagaan dalam suatu sistem pemerintahan dan aspek masyarakat

sebagai objek kebijakan, sebagaimana dikemukakan oleh Edwards III, (1980:1),

133

bahwa: The study of policy implementation is crucial for the study of public

administration and public policy. Policy implementation, as we have seen, is the

stage of policy making between the establishment of a policy-such as the

passage of a legislative act, the issuing of an executive order, the handing down

of judicial decesion, or the promulgation of a regulatory rule and the

consequences of the policy of the poeple whom it affects.

Tachjan, (2006: 74), mengemukakan bahwa: Studi Implementasi

Kebijakan publik pengembanganya dilatarbelakangi oleh pengalaman mengenai

pelaksanaan program-program kebijakan pembangunan baik di negara-negara

Dunia Ketiga maupun di negara maju, yaitu adanya gap atau perbedaan antar

apa yang diharapkan tercapai dengan apa yang sesungguhnya dapat diterima

oleh masyarakat sebagai kelompok sasaran.

Implementasi kebijakan pada dasarnya juga mengukur akan

keberhasilan atau kegagalan suatu hasil kebijakan yang secara nyata

dilaksanakan dilapangan oleh para implementator dan bagaimana dampaknya

terhadap masyarakat maupun stakeholdernya, sebagaimana dikemukakan oleh

Saefullah (2007: 39): pemahaman tentang pelaksanaan kebijakan bukan hanya

dimiliki oleh aparat lembaga dan aparat pelaksana, tetapi juga oleh masyarakat

atau pihak Implementasi kebijakan ini merupakan fungsi dan tugas administrator

publik dalam mengaplikasikan lebih lanjut kebijakan yang telah ditetapkan oleh

para perumus kebijakan (policy makers) tersebut, yang suka tidak suka bagi para

administrator harus menjalankanya, sebagaimana ditegaskan oleh Pfiffner and

Presthus, (1960: 4) bahwa Administrator mempunyai tugas secara akuntabilitas

dan responsibilitas setiap kebijakan yang diamanatkan untuk diimplementasikan

secara nyata terhadap masyarakatnya.

134

Kemampuan dan pengetahuan administrator untuk menjembatani

setiap implementasi kebijakan yang akan dilaksanakan dalam setiap

programnya, akan berjalan sesuai dengan yang diharapkan, sebagaimana

dikemukakan oleh Grindle (1980: 6), bahwa keterkaitan suatu kebijakan dengan

program yang diimplementasikan oleh pemerintah sebagai fungsi

implementatornya, selanjutnya pencapain tujuan yang telah diprogramkan dalam

pelaksanaanya harus menyeluruh dan dievaluasi melalui pengukuran hasil

program dalam pencapaian tujuan kebijakannya.

2.8 Kawasan Tanpa Rokok

2.8.1 Ruang Lingkup Asap Rokok

Levy and Sarnat (1994) menguraikan bahwa Asap rokok selain

merugikan diri sendiri juga dapat merugikan orang lain yang berada disekitarnya.

Perilaku merokok dipahami sebagai suatu kegiatan atau aktivitas membakar

rokok kemudian menghisap dan menghembuskannya keluar serta menghasilkan

asap yang dapat terhisap oleh orang-orang disekitarnya. Bahaya merokok

terhadap kesehatan tubuh telah diteliti dan dibuktikan banyak orang. Efek-efek

yang merugikan akibat merokok pun sudah diketahui dengan jelas. Banyak

penelitian membuktikan kebiasaan merokok meningkatkan resiko timbulnya

berbagai penyakit seperti penyakit jantung dan gangguan pembuluh darah,

kanker paru-paru, kanker rongga mulut, kanker laring, kanker oesofagus,

bronchitis, tekanan darah tinggi, impotensi serta gangguan kehamilan dan cacat

pada janin.

135

Kerugian yang di timbulkan rokok sangat banyak bagi kesehatan, tetapi

sayangnya masih saja banyak orang yang tetap memilih untuk menikmatinya.

Dalam asap rokok terdapat 4000 zat kimia berbahaya untuk kesehatan, dan

setidaknya 200 diantaranya dinyatakan sangat berbahaya bagi kesehatan.

Racun utama pada rokok adalah Tar, Nikotin dan Karbon Monoksida. Namun

pada kenyataannya kebiasaan merokok ini sulit dihilangkan dan jarang diakui

orang sebagai suatu kebiasaan buruk. Apalagi orang yang merokok untuk

mengalihkan diri dari stress dan tekanan emosi, lebih sulit melepaskan diri dari

kebiasaan ini dibanding perokok yang tidak memiliki latar belakang depresi.

2.8.2 Dasar Hukum Kebijakan tentang Kawasan Tanpa Rokok

Kesehatan merupakan hak azasi manusia yang diamanatkan oleh

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945. Amanat Undang-

undang Kesehatan No 36 Tahun 2009 Pasal 115 menetapkan kebijakan

kawasan tanpa rokok (KTR). Kawasan Tanpa Rokok antara lain:

a. Fasilitas pelayanan kesehatan;

b. Tempat proses belajar mengajar;

c. Tempat anak bermain;

d. Tempat ibadah;

e. Angkutan umum;

f. Tempat kerja; dan

g. Tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan

136

2.9 Kerangka Pikir/Konseptual

Kerangka Pikir/Konseptual implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok

di Instansi Pemerintahan Kota Palembang dilandasi oleh UUD 1945 Pasal 28 H,

UU No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan serta PP No. 19 Tahun 2003 tentang

Pengamanan Rokok bagi Kesehatan. Hal ini di dasarkan keprihatinan atas

bahaya merokok terhadap kesehatan tubuh. Oleh karena itu Pemerintah Kota

Palembang juga berpartisipasi dalam meningkatkan kesehatan warganya dengan

mengeluarkan Peraturan Daerah Kota Palembang No. 7 Tahun 2009 tentang

Kawasan Tanpa Rokok yang berisi tentang berbagai aturan yang mengatur

perokok agar tidak merokok di tempat-tempat tertentu yang telah ditetapkan

sebagai kawasan dilarang merokok serta sanksi yang dijatuhkan bila melanggar

aturan tersebut.

Dalam penelitian ini akan dianalisis implementasi kebijakan kawasan

tanpa rokok di Instansi Pemerintahan Kota Palembang melalui isi kebijakan,

konteks implementasi serta hasil kebijakan. Selain itu akan di analisis pula peran

dari masing-masing aktor dalam proses implementasi kebijakan kawasan tanpa

rokok di Instansi Pemerintahan Kota Palembang, meliputi Pemerintah, Pimpinan

Instansi Pemerintahan, Masyarakat serta pengaruh dari lingkungan kebijakan

tersebut. Hal ini dapat dilihat pada bagan berikut ini:

137

BAB III

ANALISIS SOSIAL DAN SETTING PENELITIAN

Implementasi Kebijakan berdasarkan model Grindle (1980)

c. Hasil Kebijakan 1. Pengaruh pada Masyarakat 2. Perubahan dan Penerimaan oleh Masyarakat

a. Konten Kebijakan 1. Kepentingan yg dipengaruhi 2. Tipe manfaat 3. Derajat Perubahan yg diharapkan 4. Letak Pengambilan Keputusan 5. Pelaksanaan Program 6. Sumber Daya yg dilibatkan

b. Konteks Implementasi 1. Kekuasaan, Kepentingan dan Strategi aktor yang

dlibatkan 2. Karakteristik Lembaga & Penguasa 3. Kepatuhan dan Daya Tanggap

Faktor Pemungkin: Penyediaan Fasilitas

Landasan Normatif • UUD 1945 Pasal 28 H • UU No. 36 Tahun 2009

tentang Kesehatan • PP No. 19 Tahun 2003

tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan

• Peraturan Daerah Kota Palembang No. 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok

Implementasi Kebijakan Publik

Faktor Predisposisi: 1. Pengeta

huan 2. Sikap 3. Komitmen 4. Perilaku

Faktor Penguat: 1. Himbauan

Organisasi 2. Pengawasan

Internal 3. Penerapan

Sanksi

Rekomendasi Model

Bagan 2.8. Kerangka Pikir Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Instansi Pemerintahan Kota Palembang

138

BAB III

ANALISI SOSIAL DAN SETTING PENELITIAN

3.1 Analisis Sosial Wilayah Kota Palembang

3.1.1 Sejarah Singkat

Kota Palembang adalah Ibukota Provinsi Sumatera Selatan. Palembang

merupakan Kota terbesar kedua di Sumatera setelah Medan. Kota Palembang

memiliki luas wilayah 358,55 km² yang dihuni 1,7 juta orang dengan kepadatan

penduduk 4.800 per km². Diprediksikan pada tahun 2030 mendatang Kota ini

akan dihuni 2,5 Juta orang.

3.1.2 Pemerintahan

Kota Palembang dibagi ke dalam 16 Kecamatan dan 107 Kelurahan,

Kecamatan-kecamatan tersebut yaitu:

1. Alang-Alang Lebar

2. Bukit Kecil

3. Gandus

4. Ilir Timur I

5. Ilir Timur II

6. Ilir Barat I

7. Ilir Barat II

8. Kalidoni

9. Kemuning

10. Kertapati

11. Plaju

138

139

12. Sako

13. Seberang Ulu I

14. Seberang Ulu II

15. Sematang Borang

16. Sukarame

3.1.3 Penduduk

Penduduk Palembang merupakan etnis Melayu dan menggunakan

Bahasa yang telah disesuaikan dengan dialek setempat yang kini dikenal

sebagai Bahasa Palembang. Namun para pendatang seringkali menggunakan

bahasa daerahnya sebagai bahasa sehari-hari, seperti bahasa Komering,

Rawas, Musi, Pasemah, dan Semendo. Pendatang dari luar Sumatera Selatan

kadang-kadang juga menggunakan bahasa daerahnya sebagai bahasa sehari-

hari dalam keluarga atau komunitas kedaerahan. Namun untuk berkomunikasi

dengan warga Palembang lain, penduduk umumnya menggunakan bahasa

Palembang sebagai bahasa pengantar sehari-hari.

Selain penduduk asli, di Palembang terdapat pula warga pendatang dan

warga keturunan, seperti dari Jawa, Minangkabau, Madura, Bugis dan Banjar.

Warga keturunan yang banyak tinggal di Palembang adalah Tionghoa, Arab dan

India. Kota Palembang memiliki beberapa wilayah yang menjadi ciri khas dari

suatu komunitas seperti Kampung Kapitan yang merupakan wilayah Komunitas

Tionghoa serta Kampung Al Munawwar, Kampung Assegaf, Kampung Al Habsyi,

Kuto Batu, 19 Ilir Kampung Jamalullail dan Kampung Alawiyyin Sungai Bayas 10

Ilir yang merupakan wilayah Komunitas Arab.

140

Agama mayoritas di Palembang adalah Islam. Di dalam catatan

sejarahnya, Palembang pernah menerapkan Undang-undang tertulis

berlandaskan Syariat Islam, yang bersumber dari kitab Simbur Cahaya. Selain itu

terdapat pula penganut Katolik, Protestan, Hindu, Buddha dan Konghucu.

3.1.4 Konsumsi Rokok Masyarakat Kota Palembang

Hasil survei sosial ekonomi yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik

Palembang pada tahun 2009 menyatakan bahwa kebutuhan akan rokok di Kota

Palembang sendiri menempati posisi yang kedua sebesar 18 persen. Hal ini

menunjukkan bahwa semakin meningkatnya individu yang mengkonsumsi rokok

di Kota Palembang, seolah-olah rokok sudah menjadi kebutuhan yang utama.

Diagram 3.1 Jumlah Kebutuhan Utama Warga Palembang

3.1.5 Konsumsi Rokok menurut Karakter Populasi

a. Konsumsi Rokok berdasarkan Jenis Kelamin (Gender)

Menurut data Susenas tahun 2004, rata-rata jumlah konsumsi rokok

dewasa meliputi laki-laki sebanyak 11 batang rokok per hari, sedangkan

141

perempuan mengkonsumsi 10 batang rokok per hari. Selanjutnya menurut data

Riskesdas tahun 2010, diketahui bahwa persentase jumlah perokok laki-laki lebih

tinggi yakni 65,9% dibandingkan perokok perempuan yakni sebesar 4,2%

b. Konsumsi Rokok berdasarkan Usia

Usia mulai merokok yang tertinggi pada kelompok umur 15-19 tahun

dengan persentase sebesar 63,7%, diikuti kelompok usia 20-24 tahun (17,2%)

dan kelompok usia 10-14 tahun (12,6%). Konsumsi rokok terendah pada

kelompuk usia +55 tahun (Susenas 2004)

c. Konsumsi Rokok berdasarkan Tingkat Pendidikan

Menurut TCSC-IAKMI tahun 2004, prevalensi perokok dewasa dengan

pendidikan rendah lebih besar dari pada perokok dewasa dengan pendidikan

tinggi. Data tahun 2004 menunjukan bahwa sebanyak 67% laki-laki tidak

bersekolah atau tidak lulus SD adalah perokok aktif, di sisi lain perokok aktif

lulusan pendidikan tinggi sebanyak 47,8%.

Sedangkan menurut hasil Susenas 2004 dikatakan bahwa pada laki-laki

tidak ada perbedaan konsumsi rokok antar tingkat pendidikan, sedangkan pada

perempuan tidak ada pola tertentu konsumsi rokok yang berhubungan dengan

pendidikan.

d. Konsumsi Rokok berdasarkan Status Perkawinan

Perokok yang tidak/belum menikah, mengkonsumsi lebih banyak rokok

dari pada perokok yang menikah (Susenas 2004)

e. Konsumsi Rokok berdasarkan Pendapatan (Income)

Berdasarkan jumlah pendapatan, semakin tinggi pendapatan maka

semakin banyak konsumsi rokok (antara 8-13 batang per hari), sedangkan bila

142

ditinjau dari sudut prevalensi jumlah perokok, semakin rendah pendapatan maka

semakin tinggi prevalansi perokok (Susenas, 1995, 2001 dan 2004)

f. Konsumsi Rokok berdasarkan Tingkat Sosial Ekonomi

Menurut Susenas tahun 2004, prevalensi merokok pada kelompok sosial

ekonomi terendah (termiskin) lebih tinggi, dari pada sosial ekonomi tertinggi

(terkaya). Sedangkan menurut Riskesdas 2007, prevalensi perokok berdasarkan

tingkat sosial ekonomi hampir tidak menunjukkan adanya perbedaan. Tahun

2007 prevalensi perokok kelompok sosial ekonomi terendah 35,8% sementara

kelompok sosial ekonomi tertinggi 31,5%.

3.2 Setting Penelitian

Kota Palembang merupakan Kota pertama di Indonesia yang memiliki

Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok secara eksklusif dan menerapkan

100% Kawasan Tanpa Rokok yaitu tanpa menyediakan ruang merokok.

Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok Kota

Palembang merupakan satu-satunya Perda Kawasan Tanpa Rokok di Indonesia

yang sesuai dengan standar internasional yaitu menciptakan 100% Kawasan

Tanpa Rokok dengan tidak menyediakan ruang untuk merokok. Selain itu, sanksi

terhadap pelanggaran Perda KTR, tidak dikenakan kepada si Perokok,

melainkan kepada pimpinan dan penanggung jawab Kawasan Tanpa Rokok.

Berdasarkan Pasal 7 huruf (a), disebutkan bahwa pemilik, pengelola, manajer,

pimpinan dan penanggung jawab, dilarang menyediakan tempat untuk merokok

di dalam gedung dan menyediakan rokok (menjual, mengiklankan dan

mempromosikan rokok). Selain itu, mereka juga perlu mengingatkan semua

orang untuk tidak merokok di kawasan tanpa rokok yang menjadi tanggung

143

jawabnya, melarang adanya asbak di kawasan itu, serta wajib meletakkan tanda-

tanda dilarang merokok di semua pintu masuk utama dan tempat lain yang

mudah terbaca. Bila aturan ini dilanggar, terancam denda adminstratif. Tidak

melarang adanya tempat untuk merokok atau penyediaan rokok, sanksinya

denda paling banyak Rp 10 juta rupiah (Pasal 19). Tidak melarang asbak di

kawasan tanpa rokok didenda paling banyak Rp 500 ribu (Pasal 20). Begitu pula

jika pemilik, pengelola, manajer, pimpinan dan penanggung jawab tidak

meletakkan tanda dilarang merokok, didenda paling banyak Rp 1 juta rupiah

(Pasal 21). Kemudian, jika mereka tidak melarang orang merokok di kawasan

tanpa rokok, maka didenda paling banyak Rp 500 ribu (Pasal 22). Jika aturan ini

sampai tiga kali dilanggar, sesuai Pasal 23, sanksi administratifnya berupa

pencabutan izin dan penutupan tempat usaha. Selain denda administrasi,

pelanggaran atas perda No. 7 Tahun 2009 ini juga disanksi pidana, dengan

ancaman kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda paling banyak

Rp 50 juta (Pasal 27). Sehingga Kota Palembang dipilih menjadi lokasi penelitian

dalam implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok.

Kawasan Tanpa Rokok adalah tempat atau ruangan yang dinyatakan

dilarang untuk merokok, menjual, mengiklankan, dan/atau mempromosikan

rokok, meliputi: Tempat Umum; Tempat Kerja; Tempat Ibadah; Arena Kegiatan

Anak-Anak; Angkutan Umum; Kawasan Proses Belajar Mengajar; dan Tempat

Pelayanan Kesehatan. Salah satu kawasan tanpa rokok di Kota Palembang

adalah tempat Kerja. Penelitian ini memilih lokasi penelitian hanya pada kawasan

tempat kerja khususnya Instansi Pemerintahan Kota Palembang

Peraturan Walikota Palembang No. 18 Tahun 2010 tentang Pengawasan

Kawasan Tanpa Rokok, mendefiniskan tempat kerja sebagai ruang tertutup

144

bergerak atau tidak bergerak dimana tenaga kerja bekerja atau tempat yang

sering dimasuki tenaga kerja dan tempat-tempat sumber bahaya termasuk

kawasan pabrik, perkantoran, ruang rapat, ruang sidang/seminar dan sejenisnya.

Dalam hal ini, tempat kerja berupa Instansi Pemerintahan yang sekaligus

memberikan pelayanan kepada masyarakat, diharapkan dapat mematuhi Perda

Kawasan Tanpa Rokok, sehingga dapat memberikan kenyamanan bagi para

Pegawai untuk bekerja maupun Masyarakat yang dilayani. Dalam hal ini

penelitian mengenai implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok dilakukan

pada Instansi Pemerintahan, Kota Palembang. Adapun Instansi Penegakan

implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok dilakukan pada Instansi

Pemerintahan. Adapun Instansi penegakan Kawasan Tanpa Rokok di Kota

Palembang meliputi Dinas Kesehatan Kota Palembang dan Satuan Polisi

Pamong Praja (Satpol PP) Kota Palembang.

3.2.1 Profil Dinas Kesehatan Kota Palembang

a. Visi dan Misi

Visi Dinas Kesehatan Kota Palembang, yakni: “Tercapainya Palembang

Sehat”.

Misi Dinas Kesehatan Kota Palembang, yakni:

a) Meningkatkan kemitraan dan pemberdayaan masyarakat

b) Meningkatkan profesionalitas Sumber Daya Manusia

c) Memelihara dan meningkatkan pelayanan kesehatan serta sarana dan

prasarana yang bermutu prima

d) Menurunkan resiko kesakitan dan kematian

145

b. Kedudukan Tugas Pokok dan Fungsi

Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Palembang Nomor 12 Tahun 2012

Tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Daerah Kota Palembang No. 9 Tahun

2008 Pembentukan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Kota

Palembang. Dinas Kesehatan Kota Palembang unsur pelaksana urusan daerah

dibidang kesehatan berdasarkan kewenangan yang dimiliki berada dibawah dan

bertanggung jawab kepada Walikota melalui Sekretaris Daerah. Dinas

Kesehatan Kota Palembang mempunyai tugas membantu Walikota Palembang

dalam melaksanakan sebagian urusan pemerintahan daerah berdasarkan azas

otonomi dan tugas pembantuan dibidang kesehatan.

Dalam melaksanakan tugas pokok tersebut, Dinas Kesehatan Kota

Palembang menyelenggarakan fungsi:

1) Perumusan kebijakan teknis dibidang kesehatan,

2) Penyelenggaraan sebagian urusan pemerintahan dan pelayanan umum

dibidang kesehatan,

3) Pembinaan dan pelaksanaan tugas di bidang kesehatan

4) Pengaturan, pengawasan dan pemberian perizinan dibidang kesehatan

5) Pelaksanaan pelayanan tekhnis ketatausahaan dinas

6) Penyelenggaraan monitoring dan evaluasi

7) Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Walikota sesuai dengan

tugas dan fungsinya.

Dalam hal ini pelaksanaan kebijakan kawasan tanpa rokok Kota

Palembang dilaksanakan oleh Bidang Pengendalian Masalah Kesehatan yang

mempunyai tugas pokok menyusun dan menyelenggarakan program

pengendalian dan pemberantasan penyakit, surveilans epidemologi dan

146

penanggulangan kejadian luar biasa (KLB) atau wabah bencana atau kesehatan

matra dan penyebaran informasi serta penyelenggaraan kesehatan lingkungan.

Untuk melaksanaan tugas sebagaimana dimaksud Bidang Pengendalian

Masalah Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Palembang mempunyai fungsi:

1) Penyusunan rencana program dan petunjuk teknis dibidang

pengendalian masalah kesehatan

2) Pelaksanaan program dan petunjuk teknis di bidang pengendalian

masalah kesehatan

3) Pengawasan, pembinaan dan pengendalian di bidang pengendalian

masalah kesehatan

4) Pelaksanaan monitoring, evaluasi dan pelaporan pelaksanaan tugas

5) Pelaksanaan koordinasi dan kerjasama dengan lembaga/instansi lain di

bidang pengendalian masalah kesehatan

6) Pelaksanaan tugas-tugas lain yang diberikan oleh Kepala Dinas sesuai

dengan tugas dan fungsinya

c. Struktur Organisasi

Untuk melaksanakan tugas, fungsi, susunan organisasi dan tata kerja

tersebut, sesuai Peraturan Daerah Kota Palembang No. 9 Tahun 2014 Tentang

Pembentukan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Kota, Kepala

Dinas Kesehatan Kota Palembang, dibantu oleh:

1. Sekretariat, yang membawahi :

1) Sub Bagian Penyusunan Program

2) Sub Bagian Tata Usaha

3) Sub Bagian Keuangan dan Perlengkapan

147

2. Bidang Pelayanan Kesehatan, membawahi :

1) Seksi Kesehatan Dasar

2) Seksi Kesehatan Rujukan

3) Seksi Kesehatan Khusus

3. Bidang Pengendalian Masalah Kesehatan, membawahi :

1) Seksi Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit

2) Seksi Pengendalian Wabah dan Bencana

3) Seksi Penyehatan Lingkungan

4. Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia, membawahi

1) Seksi Perencanaan Pendidikan dan Pelatihan

2) Seksi Data dan Informasi Kesehatan

3) Seksi Registrasi, Perizinan dan Akreditasi

5. Bidang Jaminan dan Sarana Kesehatan, membawahi :

1) Seksi Jaminan Kesehatan

2) Seksi Sarana dan Peralatan Kesehatan

3) Seksi Kefarmasian

6. Unit Pelaksana Tekhnis Dinas,

7. Kelompok Jabatan Fungsional.

Susunan organisasi Dinas Kesehatan Kota Palembang tersebut dapat

dilihat dalam bentuk gambar berikut ini:

148

Gambar 3.2 Susunan organisasi Dinas Kesehatan Kota Palembang Sumber: Dinas Kesehatan Kota Palembang

Bidang Pelayanan Kesehatan

Bid. Jaminan & Sarana Kesehatan

Bid. Pengendalian Masalah Kesehatan

Bid. Pengembang SDM

Kepala Dinas

Subbag Peny.Program

Sekretariat

Subbag Tata Usaha

Subbag Keu. & Perlengkapan

Seksi Kesehatan Dasar

Seksi Pelayanan Rujukan

Seksi Kesehatan Khusus

Kel. Jabfung

Seksi Pengend. & Pencegahan Penyakit

Seksi Pengendalian Wabah dan Bencana

Seksi Kesehatan Lingkungan

Seksi Perencanaan Diklat

Seksi Data dan Informasu Kesehatan

Seksi Registrasi, Perizinan & Akreditas

Seksi Jaminan Kesehatan

Seksi Sarana & Peralatan Kes

Seksi Kefarmasian

Kel. Jabfung Kel. Jabfung

UPTD Puskesmas

Kel. Jabfung Kel. Jabfung

Dokter; Dokter Gigi; Nutrisionist; Bidan; Perawat; Perawat Gigi

Epidemiolog; Entomolog; Laboratorian; Sanitarian; Penyuluh Kesehatan

Administrator Kesehatan Perekam Medis

Apoteker; Administrator Kesehatan

Perekam Medis; Administrator Kesehatan

148

149

d. Deskripsi Pegawai

Deskripsi pegawai merupakan gambaran mengenai keberadaan pegawai

dan kekuatan pegawai Dinas Kesehatan Kota Palembang berdasarkan tingkat

pendidikan, jenis kelamin dan golongan.

1. Jumlah Pegawai berdasarkan Tingkat Pendidikan

Adapun jumlah Pegawai Negeri Sipil Dinas Kesehatan Kota Palembang

berdasarkan Tingkat Pendidikan hingga Tahun 2016, dapat dilihat pada tabel

berikut ini:

Tabel 3.1 Tingkat Pendidikan Pegawai Negeri Sipil

Dinas Kesehatan Kota Palembang Tahun 2016

No Tingkat Pendidikan Jumlah (orang) Persentase

(%)

1 < SLTA 3 2,94

2 SLTA 13 12,75

3 DI/DII/DIII/DIV 19 18,63

4 S1 42 41,18

5 S2/S3 25 24,51

Jumlah 102 100

Sumber: Data dari Dinas Kesehatan Kota Palembang Tahun 2016

Berdasarkan tabel 4.1 diketahui bahwa dari jumlah keseluruhan

102 orang PNS Dinas Kesehatan Kota Palembang Tahun 2016 Tahun 2016,

paling banyak berpendidikan S1 sebanyak 42 orang atau 41,18%, di ikuti dengan

pegawai yang berpendidikan S2 sebanyak 25 orang atau 24,51%. Selanjutnya

pegawai yang berpendidikan DI/DII/DIII/DIV sebanyak 19 orang atau 18,63%,

serta pegawai yang berpendidikan SLTA sebanyak 13 orang atau 12,75%.

Sementara itu, masih ada pegawai yang berpendidikan dibawah SLTA sebanyak

150

3 orang dengan persentase 2,94%. Hal ini memperlihatkan bahwa PNS Dinas

Kesehatan Kota Palembang memiliki tingkat pendidikan yang cukup tinggi.

2. Jumlah Pegawai berdasarkan Jenis Kelamin

Berdasarkan jenis kelamin, Dinas Kesehatan Kota Palembang Tahun

2016 memiliki pegawai wanita lebih banyak dibandingkan pegawai pria yakni

69 orang pegawai wanita dan 33 orang pegawai pria.

3. Jumlah Pegawai berdasarkan Kelompok Umur

Berdasarkan kelompok umur, Jumlah Pegawai Dinas Kesehatan Kota

Palembang Tahun 2016, dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 3.2 Jumlah Pegawai Dinas Kesehatan Kota Palembang Tahun 2016

berdasarkan Kelompok Umur

No Kelompok Umur Jumlah

(orang)

Persentase

(%)

1 30 Tahun Kebawah (Th Lahir ... 1980) 20 19,61

2 31 - 40 Tahun (Th Lahir 1979-1970) 36 35,29

3 41 - 50 Tahun (Th Lahir 1969-1960) 29 28,43

4 Diatas 51 Tahun (Th Lahir ... 1959) 17 16,67

Jumlah 102 100

Sumber: Data dari Dinas Kesehatan Kota Palembang Tahun 2016

Berdasarkan Kelompok Umur, Dinas Kesehatan Kota Palembang Tahun

2012 memiliki pegawai berusia antara 31 - 40 Tahun (Th Lahir 1979-1970) yakni

sebanyak 36 orang. Selanjutnya pegawai yang berusia antara 41 - 50 Tahun

(Th Lahir 1969-1960) 29 orang; pegawai yang berusia antara 30 Tahun

Kebawah (Th Lahir ... 1980) sebanyak 20 orang, sedangkan pegawai yang

berusia diatas 51 Tahun (memasuki masa pensiun) hanya sebanyak 17 orang

151

saja. Sehingga dapat dikatakan bahwa pegawai Dinas Kesehatan Kota

Palembang mayoritas berada pada usia produktif.

4. Jumlah Pegawai berdasarkan Golongan

Berdasarkan golongan kepangkatan, Dinas Kesehatan Kota Palembang

Tahun 2016 memiliki kekuatan pegawai paling banyak pada golongan III

berjumlah 78 orang pegawai. Hal ini menggambarkan orientasi Dinas Kesehatan

Kota Palembang Tahun 2016 akan memaksimalkan kemampuannya melalui

fungsi manajemen kepemimpinan.

3.2.2 Profil Satuan Polisi Pamong Praja Kota Palembang

a. Visi dan Misi

Satuan Polisi Pamong Praja Kota Palembang Dibentuk berdasarkan

Perda No. 6 Tahun 2012 Tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja

Satuan Polisi Pamong Praja Kota Palembang. Satuan Polisi Pamong Praja

Merupakan Bagian Perangkat Daerah Dibidang Penegakan Perda, Ketertiban

Umum, Ketentraman Masyarakat serta Perlindungan Masyarakat. Satuan Polisi

Pamong Praja Kota Palembang Dipimpin oleh Seorang Kepala Satuan yang

berkedudukan dibawah Walikota Palembang dan Bertanggung Jawab Kepada

Walikota Palembang melalui Sekretaris Daerah.

Dalam rangka mendukung Visi Pemerintah Kota Palembang “Palembang

Emas Tahun 2018 dan Asian Games 2018”, maka ditetapkan Visi yang Ingin

diwujudkan oleh Satuan Polisi Pamong Praja Kota Palembang Tahun 2013-2018

sebagai berikut: ”Terwujudnya Keamanan dan Ketertiban di Masyarakat”

152

Visi Satuan Polisi Pamong Praja Kota Palembang, yakni:

1. Meningkatkan keamanan dan ketertiban serta kenyamanan dalam wilayah

Kota Palembang.

2. Menciptakan Pelayanan yang prima serta professional terhadap

masyarakat khususnya di Bidang Ketertiban Umum dan Ketentraman

Masyarakat.

3. Sat Pol PP bukan lagi sebagai musuh atau antipati di mata Masyarakat,

namun sebagai Petugas yang dibutuhkan, dihormati, dan dicintai di

Masyarakat.

Motto Sat Pol PP Kota Palembang “Bertakwa, Berwibawa, Humanis”.

b. Tujuan dan Sasaran

Tujuan Satuan Polisi Pamong Praja Kota Palembang, antara lain:

a. Meningkatkan ketaatan dan kepatuhan masyarakat terhadap ketentuan

peraturan daerah dan peraturan perundang-undangan lainnya

b. Menciptakan Palembang sebagai Kota yang aman dan tertib menuju Kota

Internasional dan Berbudaya

c. Meningkatkan disiplin aparatur baik mental spiritual, bermasyarakat, berlalu

lintas dan disiplin terhadap keberadaan lingkungan sekitarnya

d. Meningkatkan pelayanan prima demi terwujudnya Palembang sebagai Kota

Internasional yang sejahtera dan berbudaya

Sesuai dengan Visi, Misi, dan Tujuan yang telah ditetapkan, Sasaran

yang akan dicapai oleh Satuan Polisi Pamong Praja Kota Palembang adalah:

1. Terwujudnya pelayanan prima kepada masyarakat

153

2. Meningkatnya kinerja aparatur

3. Terciptanya situasi yang tentram, tertib dan nyaman di masyarakat

c. Tugas Pokok, Fungsi, Kewenangan dan Kewajiban

Tugas Pokok Satuan Polisi Pamong Praja Sebagai Perangkat Daerah

adalah Menyelenggarakan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat serta

Perlindungan Masyarakat, Menegakan Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala

Daerah (Perda 44 Tahun 2002 Jo Perda 13 Tahun 2007), meliputi:

1. Melaksanakan Operasional Penertiban Tempat Usaha, Bangunan dan

Reklame, Usaha Informal serta Sarana/Prasarana Umum dan Hiburan

2. Membina dan Menata Masyarakat agar mentaati Peraturan Daerah dan

Keputusan Kepala Daerah

3. Menertibkan dan menindak warga masyarakat yang menganggu

ketentraman dan ketertiban umum, antara lain:

a. Pol. PP melakukan Penertiban PK

b. Pol. PP melakukan Sidang Yustisi baik secara mobile maupun sidang di

tempat setiap hari selasa, dan

c. Pelanggaran Perda lainnya

4. Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat

mengganggu ketentraman dan ketertiban umum

5. Melaporkan kepada Kepolisian Negara atas ditemukannya atau patut

diduga adanya tindak pidana atau kejahatan

154

6. Menyerahkan kepada PPNS atas ditemukannya atau patut diduga adanya

pelanggaran terhadap Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah

7. Membina satlinmas dalam rangka pelaksanaan kebijakan linmas dan siap

dimobilisasi pada saat tanggap bencana

d. Struktur Organisasi

Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Palembang No. 06 Tahun 2012

tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Satuan Polisi Pamong Praja

Kota Palembang, maka struktur organisasi Satuan Polisi Pamong Praja Kota

Palembang, sebagai berikut:

a. Kepala Satuan

b. Kelompok Jabatan Fungsional

c. Sekretariat

1) Sub Bagian Program

2) Sub Bagian Keuangan

3) Sub Bagian Umum & Kepegawaian

d. Bidang Penegakan Perundang-Undangan Daerah

1) Seksi Pembinaan, Pengawasan dan Penyuluhan

2) Seksi Penyelidikan dan Penyidikan

e. Bidang Bina Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat

1) Seksi Operasi dan Pengendalian

2) Seksi Kerjasama

155

f. Bidang Sumber Daya Aparatur

1) Seksi Pelatihan Dasar

2) Seksi Teknis Fungsional

g. Bidang Perlindungan Masyarakat

1) Seksi Satuan Perlindungan Masyarakat

2) Seksi Bina Potensi Masyarakat

h. Ka. Unit Pelaksana Sat Pol PP Kecamatan

Susunan organisasi Satuan Polisi Pamong Praja Kota Palembang

tersebut dapat dilihat dalam bentuk gambar 3.3, berikut ini:

156

Gambar 3.3: Susunan Organisasi Satuan Polisi Pamong Praja Kota Palembang Sumber: Satuan Polisi Pamong Praja Kota Palembang

Bid. Penegakan Per-UU an daerah

Bid. Perlindungan Masyarakat

Bid. Bina Ketertiban Umum & Ketentraman Masy

Bid. Sumber Daya Aparatur

Kepala Satuan

Sub Bagian Program

Sekretariat

Sub Bagian Keuangan

Subbag Umum & Kepegawaian

Seksi Pembinaan, Pengawasan & Penyu

Seksi Penyelidikan & Penyidikan

Seksi Operasi & Pengendalian

Seksi Kerjasama

Seksi Pelatihan Dasar

Seksi Teknis Fungsional

Seksi Satuan Perlindungan Masy.

Seksi Bina Potensi Masyarakat

Ka. Unit Pelaksana Sat Pol PP Kecamatan

Kelompok Jabatan Fungsional

156

157

e. Deskripsi Pegawai

Deskripsi pegawai merupakan gambaran mengenai keberadaan pegawai

dan kekuatan pegawai Satuan Polisi Pamong Praja Kota Palembang

berdasarkan jumlah keseluruhan kekuatan pegawai, dan jenis kelamin. Adapun

Jumlah Pegawai Satuan Polisi Pamong Praja Kota Palembang Tahun 2012,

dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 3.3 Jumlah Pegawai Satuan Polisi Pamong Praja Kota Palembang

Tahun 2016

No Status Jumlah (orang)

1

2

3

PNS

Honorer

TKS

238

239

7

Total 403

Sumber: Data dari Satuan Polisi Pamong Praja Tahun 2016

f. Sarana dan Prasarana

Adapun sarana dan prasarana yang dimiliki Satuan Polisi Pamong Praja

Kota Palembang Tahun 2016, dalam melaksanakan tugasnya dapat dilihat pada

tabel berikut ini:

158

Tabel 3.4 Sarana dan Prasarana

Satuan Polisi Pamong Praja Kota Palembang Tahun 2016

No Jenis Jumlah Kondisi Operasi Dibutuhkan Kurang

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

15

16

17

18

19

Mobil Inova

Mobil Carens

Mobil Kijang

Dump Truck

Bus Tim Yustisi

Pick Up Patroli

Pick Up

Mobil Patwal

Sepeda Motor

Handy Talky

Pistol

Handy Camp

Sepeda Motor

Bajaj

Mobil Dalmas

Mobil Eselon III

Tameng

Gudang

Tustel

Pesawat Rig

1

1

1

3

2

3

1

1

9

41

30

1

1

2

-

31

-

1

3

B

B

B

B

B

B

KB

B

B

B

B

B

KB

B

-

B

-

TB

B

1

1

1

3

2

3

1

1

8

33

30

1

1

2

-

31

-

-

3

1

1

1

4

2

6

6

2

10

41

35

2

2

2

6

250

2

2

3

-

-

-

1

-

3

5

1

2

8

5

1

1

-

6

219

2

2

-

Sumber: Data dari Satuan Polisi Pamong Praja Tahun 2016

Berdasarkan Tabel 3.4 mengenai Sarana dan Prasarana Satuan Polisi

Pamong Praja Kota Palembang Tahun 2012 diketahui masih mengalami

kekurangan khususnya penyediaan tameng, handy talkie, mobil pick up, mobil

Eselon III, pistol, pick up patroli, sepeda motor, gudang, tustel, handy camp,

sepeda motor bajaj, dump truck serta mobil patwal.

159

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian

Berdasarkan jenis data dan analisisnya, penelitian ini merupakan

deskriptif kualitatif, yang bertujuan untuk menggambarkan dan menganalisis

implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Instansi Pemerintahan Kota

Palembang. Moleong (2014: 6) menguraikan penelitian kualitatif merupakan

penelitian yang bertujuan untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami

oleh subjek penelitian seperti persepsi, motivasi, tindakan, perilaku dan lain

sebagainya secara holistik/menyeluruh dengan cara mendeskripsikan dalam

bentuk kata-kata dan bahasa pada konteks yang alamiah dan memanfaatkan

berbagai metode alamiah.

Penelitian kualitatif bersifat terbuka, artinya masalah penelitian disajikan

didepan bersifat fleksibel dan subject to change, sesuai dengan proses kerja yang

terjadi dilapangan sehingga fokus penelitiannya ikut berubah menyesuaikan diri

dengan masalah penelitian yang berubah. Moleong mendefinisikan Metodologi

kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa

data-data tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.

160

4.2. Fokus Penelitian

Fokus Penelitian ini adalah studi implementasi kebijakan kawasan tanpa

rokok di Instansi Pemerintahan Kota Palembang yang mencakup:

1. Implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang, meliputi:

a. Isi Kebijakan, terdiri dari:

1) Kepentingan yang dipengaruhi kebijakan kawasan tanpa rokok di

Kota Palembang

2) Manfaat kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang

3) Derajat perubahan yang dicapai

4) Letak Pengambilan Keputusan

5) Mekanisme pelaksanaan kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota

Palembang

6) Sumber Daya yang dilibatkan

b. Konteks Implementasi, terdiri dari:

1) Strategi aktor yang dilibatkan

2) Karakteristik Lembaga dan Penguasa

3) Kepatuhan terhadap cara/proses pelaksanaan kebijakan kawasan

tanpa rokok di Kota Palembang, meliputi:

a) Faktor Predisposisi, terdiri dari:

(1) Pengetahuan

(2) Sikap

(3) Komitmen

(4) Perilaku

b) Faktor Pemungkin, berupa penyediaan fasilitas

161

c) Faktor Penguat, terdiri dari:

(1) Himbauan Organisasi

(2) Pengawasan Internal

(3) Penerapan Sanksi

c. Hasil Kebijakan, yakni:

Perubahan perilaku masyarakat setelah di implementasikan kebijakan

kawasan tanpa rokok di Kota Palembang.

2. Faktor pendukung dan penghambat dalam implementasi kebijakan

kawasan tanpa rokok di Kota Palembang, meliputi:

a. Faktor pendukung implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota

Palembang

b. Faktor penghambat implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di

Kota Palembang

3. Model implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang

yang ideal

4.3. Lokasi Penelitian

Kota Palembang merupakan Kota pertama di Indonesia yang memiliki

Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok secara eksklusif dan menerapkan

100% Kawasan Tanpa Rokok yaitu tanpa menyediakan ruang merokok.

Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok Kota

Palembang merupakan satu-satunya Perda Kawasan Tanpa Rokok di Indonesia

yang sesuai dengan standar internasional yaitu 100% Kawasan Tanpa Rokok

dengan tidak menyediakan ruang untuk merokok.

162

Selain itu, sanksi terhadap pelanggaran Perda KTR, tidak dikenakan

kepada si Perokok, melainkan kepada pimpinan dan penanggung jawab

Kawasan Tanpa Rokok. Berdasarkan Pasal 7 huruf (a), disebutkan bahwa

pemilik, pengelola, manajer, pimpinan dan penanggung jawab, dilarang

menyediakan tempat untuk merokok di dalam gedung dan menyediakan rokok

(menjual, mengiklankan dan mempromosikan rokok). Sehingga Kota Palembang

dipilih menjadi lokasi penelitian dalam implementasi kebijakan kawasan tanpa

rokok.

Kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang, meliputi 7 (tujuh)

Kawasan, terdiri dari:

a. fasilitas pelayanan kesehatan;

b. tempat proses belajar mengajar;

c. tempat anak bermain;

d. tempat ibadah;

e. angkutan umum;

f. tempat kerja; dan

g. tempat umum

Penelitian ini dilakukan pada salah satu kawasan yakni tempat kerja,

khususnya Instansi Pemerintahan. Peraturan Walikota Palembang No. 18 Tahun

2010 tentang Pengawasan Kawasan Tanpa Rokok, mendefiniskan tempat kerja

sebagai ruang tertutup bergerak atau tidak bergerak dimana tenaga kerja bekerja

atau tempat yang sering dimasuki tenaga kerja dan tempat-tempat sumber

bahaya termasuk kawasan pabrik, perkantoran, ruang rapat, ruang sidang/

seminar dan sejenisnya. Tempat kerja berupa Instansi Pemerintahan yang

sekaligus memberikan pelayanan kepada masyarakat, diharapkan dapat

163

mematuhi Perda Kawasan Tanpa Rokok, sehingga dapat memberikan

kenyamanan bagi para Pegawai untuk bekerja maupun Masyarakat yang

dilayani. Dalam hal ini penelitian mengenai implementasi kebijakan kawasan

tanpa rokok dilakukan pada Instansi Pemerintahan di Kota Palembang.

4.4. Jenis Data

Data dalam konteks penelitian ini dimaknai sebagai deretan informasi

yang diperoleh melalui berbagai metode pengumpulan data di lapangan terkait

dengan rumusan masalah yang diajukan. Jenis data berdasarkan bentuknya

dikelompokkan menjadi dua, yakni data verbal, meliputi kata-kata lisan dan

tertulis, dan data non-verbal berupa tindakan yang mengandung informasi terkait

dengan kajian penelitian berupa implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di

Instansi Pemerintahan Kota Palembang. Sedangkan berdasarkan sumber

datanya, jenis data penelitian ini dibagi menjadi dua, yakni data primer, yakni

data yang diperoleh peneliti langsung dari sumber pertamanya, baik yang

melekat pada kata-kata maupun tindakan terkait dengan implementasi kebijakan

kawasan tanpa rokok di Instansi Pemerintahan Kota Palembang maupun data

sekunder, yaitu data yang didapatkan peneliti secara tidak langsung dari sumber

utamanya karena berbagai peristiwa yang terkait dengan masalah kajian

penelitian terebut sudah terjadi atau berakhir, namun ada pihak kedua yang

sengaja mencatat dan menyimpan data tersebut, baik berupa media massa

maupun arsip lainnya mengenai implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di

Instansi Pemerintahan Kota Palembang

164

4.5. Sumber Data

Sumber Data yang digunakan dalam Penelitian ini meliputi:

a. Informan

Informant (pemberi informasi) pada penelitian ini ditentukan berdasarkan

kemampuan/kapabilitas yang dimiliki yaitu pihak-pihak yang mengerti benar

atau terkait dengan permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.

Miles, Huberman & Saldana (2014) berpendapat bahwa informan juga

berfungsi sebagai pemberi umpan balik terhadap data penelitian dalam

rangka kroscek data. Informan dalam penelitian ini, meliputi: Kepala Dinas

Kesehatan Kota Palembang, Kepala Dinas Satuan Polisi Pamong Praja

Kota Palembang, para Pegawai Dinas Kesehatan, para Pegawai Satuan

Polisi Pamong Praja Kota Palembang, Tim Penegakan Perda KTR, serta

wawancara kepada Pimpinanan dan para Pegawai Instansi Pemerintahan

di Kota Palembang, serta masyarakat yang menerima pelayanan di

Instansi Pemerintahan di Kota Palembang

b. Tempat dan Peristiwa

Sumber data didapat pada Instansi Pemerintahan yang dijadikan tempat

penelitian, serta aktivitas kegiatan supervisi, penyediaan fasilitas

kelengkapan Kawasan Tanpa Rokok, serta aktivitas/kepatuhan para

Pegawai, dan masyarakat maupun bentuk pelanggaran dan sanksi yang

diberikan

c. Dokumentasi

Dokumentasi yang relevan dengan masalah penelitian yakni Peraturan

Daerah No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok Kota

Palembang, Peraturan Walikota Palembang No. 18 Tahun 2010 tentang

165

Pengawasan Kawasan Tanpa Rokok, petunjuk pelaksanaan kegiatan

supervisi, laporan pelaksanaan kegiatan serta dokumen lain yang dianggap

penting dalam penelitian ini

4.6. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

dengan menggunakan teknik:

1. Wawancara

Wawancara dilakukan untuk mendapatkan data lapangan

guna memperdalam pengetahuan tentang objek penelitian. Langkah

ini dilakukan Peneliti untuk meminimalisir kesalahan dalam

menginterpretasikan makna simbol-simbol atau kegiatan subjek penelitian

yang berkaitan dengan masalah penelitian. Dalam hal ini pengumpulan

data lebih lengkap, mendalam dan akurat sehingga membantu peneliti

untuk menganalisis permasalahan penelitian secara lebih tajam mengenai

fokus penelitian pertama berupa implementasi kebijakan kawasan tanpa

rokok serta fokus penelitian kedua berupa faktor pendukung dan

penghambat dalam implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota

Palembang, dengan Informan penelitian, meliputi: Kepala Dinas Kesehatan

Kota Palembang, Kepala Dinas Satuan Polisi Pamong Praja Kota

Palembang, para Pegawai Dinas Kesehatan, para Pegawai Satuan Polisi

Pamong Praja Kota Palembang, Tim Penegakan Perda KTR, serta

wawancara kepada Pimpinanan dan para Pegawai Instansi Pemerintahan

Kota Palembang serta masyarakat yang menerima pelayanan di Instansi

Pemerintahan di Kota Palembang

166

2. Observasi

Observasi yang dilakukan dalam penelitian ini merupakan observasi non

partisipan yakni peneliti mengamati secara langsung dan mencatat

informasi yang berkaitan dengan objek yang akan diteliti secara sistematik

yakni implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang,

baik pada saat supervisi maupun perilaku merokok pegawai yang terjadi di

Instansi Pemerintahan Kota Palembang yang berkaitan dengan fokus

penelitian kedua berupa faktor pendukung dan penghambat dalam

implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang

3. Dokumentasi

Dokumentasi dilaksanakan peneliti untuk menemukan Peraturan Daerah

No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok Kota Palembang,

Peraturan Walikota Palembang No. 18 Tahun 2010 tentang Pengawasan

Kawasan Tanpa Rokok, petunjuk pelaksanaan kegiatan supervisi, laporan

pelaksanaan kegiatan serta dokumen lain yang berkaitan dengan penelitian

terutama, Arsip Dinas Kesehatan Kota Palembang, dokumentasi, maupun

jurnal-jurnal dari internet yang berkaitan dengan fokus penelitian pertama

berupa implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok dan fokus penelitian

kedua berupa faktor pendukung dan penghambat dalam implementasi

kebijakan kawasan tanpa rokok di Instansi Pemerintahan Kota Palembang

4.7. Teknik Analisis Data

Teknik analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah teknik analisis

data kualitatif. Menurut Miles, Huberman dan Saldana (2014: 31-33) di dalam

analisis data kualitatif terdapat tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan.

167

Aktivitas dalam analisis data yaitu: Data Condensation, Data Display, dan

Conclusion Drawing/Verifications. Adapun teknik analisa data yang digunakan

dalam implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok dilakukan pada Instansi

Pemerintahan Kota Palembang, yakni teknik analisa data kualitatif yang

dikemukakan oleh Miles, Huberman dan Saldana (2014). Berikut gambar Model

Interaktif Analisis Data Kualitatif yang digunakan:

Gambar 4.1: Components of Data Analysis: Interactive Model Sumber: Miles, Huberman, Saldana (2014)

Berdasarkan gambar diketahui bahwa komponen analisis data terdiri dari:

1. Pengumpulan Data (Data Collection)

Pada analisis model pertama dilakukan pengumpulan data hasil wawancara,

hasil observasi, dan berbagai dokumen mengenai implementasi kebijakan

kawasan tanpa rokok di Kota Palembang, berdasarkan kategorisasi yang

sesuai dengan masalah penelitian yang kemudian dikembangkan penajaman

data melalui pencarian data selanjutnya. Adapun langkah-langkah yang

dilakukan selama pengumpulan data sesuai tahapan Miles, Huberman dan

Saldana (2014), meliputi:

a. meringkaskan data kontak langsung dengan orang, kejadian dan situasi

di lokasi penelitian kawasan tanpa rokok di Kota Palembang. Pada

168

langkah pertama ini termasuk pula memilih dan meringkas dokumen

mengenai laporan pelaksanaan kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota

Palembang yang relevan.

b. pengkodean data melalui symbol-simbol yang keseluruhannya dibangun

dalam suatu sistem yang integratif.

c. menganalisis selama pengumpulan data dengan membuat catatan

obyektif, sekaligus mengklasifikasikan dan mengedit jawaban atau situasi

sebagaimana adanya fakta dilapangan

2. Kondensasi Data (Data Condensation)

Kondensasi data merujuk pada proses memilih, menyederhanakan,

mengabstrakkan, dan atau mentransformasikan data yang mendekati

keseluruhan bagian dari catatan-catatan lapangan secara tertulis, transkip

wawancara, dokumen-dokumen dan materi-materi empiris lainnya,

selanjutnya melakukan organisir data, sehingga kesimpulan ‘final’ bisa ditarik

atau diverifikasi sesuai dengan fokus penelitian yang mencakup empat aspek,

yakni implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang

(meliputi: isi kebijakan, konteks implementasi, dan hasil kebijakan), kepatuhan

pegawai dalam implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Instansi

Pemerintahan Kota Palembang (meliputi: faktor predisposisi, faktor

pemungkin, faktor penguat), faktor pendukung dan penghambat dalam

implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang serta

eksisting model implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota

Palembang yang ideal.

Selanjutnya melakukan analisis antar lokasi kawasan kawasan tanpa rokok di

Kota Palembang serta membuat ringkasan sementara antar lokasi. Isinya

169

lebih bersifat matriks tentang ada tidaknya data kawasan tanpa rokok pada

setiap lokasi.

3. Penyajian Data (Data Display)

Penyajian data adalah sebuah pengorganisasian, penyatuan dari infomasi

yang memungkinkan penyimpulan dan aksi. Penyajian data membantu dalam

memahami apa yang terjadi dan untuk melakukan sesuatu, termasuk analisis

yang lebih mendalam atau mengambil aksi berdasarkan pemahaman, untuk

merakit informasi yang terorganisir ke dalam bentuk yang padat dan langsung

dapat diakses sehingga analis dapat melihat apa yang sedang terjadi dan

dapat menarik kesimpulan yang benar atau pun melangkah ketahap analisa

berikutnya. Data-data yang disajikan tentang implementasi kebijakan kawasan

tanpa rokok di Kota Palembang, kepatuhan pegawai dalam implementasi

kebijakan kawasan tanpa rokok di Instansi Pemerintahan Kota Palembang,

faktor pendukung dan penghambat dalam implementasi kebijakan kawasan

tanpa rokok di Kota Palembang serta eksisting model implementasi kebijakan

kawasan tanpa rokok di Kota Palembang yang ideal.

4. Penarikan Kesimpulan (Conclusions Drawing)

Kegiatan analisis ketiga yang penting adalah menarik kesimpulan dan

verifikasi. Dari permulaan pengumpulan data, seorang penganalisis kualitatif

mulai mencari arti benda-benda, mencatat keteraturan penjelasan,

konfigurasi-koritigurasi yang mungkin, alur sebab-akibat, dan proposisi.

Kesimpulan-kesimpulan “final” mungkin tidak muncul sampai pengumpulan

data berakhir, tergantung pada besarnya kumpulan-kumpulan catatan

lapangan, pengkodeannya, penyimpanan dan metode pencarian ulang yang

digunakan, kecakapan peneliti dan tuntutan-tuntutan pemberi dana.

170

Kualitas suatu data dapat dinilai melalui beberapa metode, yaitu:

a. mengecek representativeness atau keterwakilan data

b. mengecek data dari pengaruh peneliti

c. mengecek melalui triangulasi

d. melakukan pembobotan bukti dari sumber data-data yang dapat dipercaya

e. membuat perbandingan atau mengkontraskan data

f. menggunakan kasus ekstrim yang direalisasi dengan memaknai data negatif

4.8. Metode Keabsahan Data

Pemeriksaan keabsahan data telah dilakukan sejak pengumpulan data di

lapangan hingga pembuatan laporan. Untuk menetapkan keabsahan

(trustworthiness) data diperlukan teknik pemeriksaan. Dalam hal ini Moleong

(2014: 324) menguraikan empat kriteria pemeriksaan yang digunakan antara lain:

1) Credibility (Derajat Kepercayaan)

Teknik pemeriksanaan yang digunakan untuk meningkatkan derajat

kepercayaan terhadap data adalah dengan memperpanjang keikutsertaan

pada latar penelitian dan ketekunan pengamatan yang memungkinkan

kedalam penelitian. Agar dapat memperoleh kriteria kredibilitas, teknik

pemeriksaaan keabsahan data penulis melakukan:

a) Perpanjangan pengamatan

Perpanjangan pengamatan berarti peneliti kembali ke lapangan,

melakukan pengamatan, wawancara lagi dengan sumber data yang

pernah ditemui maupun yang baru. Dengan perpanjangan pengamatan

ini berarti hubungan peneliti dengan nara sumber akan semakin

terbentuk rapport, semakin akrab (tidak ada jarak lagi), semakin terbukti,

171

saling mempercayai sehingga tidak ada informasi yang disembunyikan

lagi (Sugiyono, 2005: 122-123). Bila telah terbentuk raport, maka telah

terjadi kewajaran dalam penelitian, dimana kehadiran peneliti tidak lagi

mengganggu perilaku yang dipelajari. Peneliti memperpanjang waktu

penelitian dengan maksud memperoleh data yang lengkap. Upaya ini

dilakukan dengan pertimbangan bahwa waktu yang diberikan untuk izin

penelitian masih belum cukup untuk mendapatkan data yang lengkap.

Pihak Bakesbangpol (Badan Kesatuang Bangsa dan Politik) Kota

Palembang, melalui surat izin penelitian yang disampaikan kepada

peneliti hanya memberikan waktu 3 (tiga) bulan saja untuk melakukan

penelitian. Akan tetapi dalan jangka waktu 3 bulan tersebut, ternyata

data yang terkumpul belum memenuhi target ketersediaan data yang

dibutuhkan, sehingga mengharuskan peneliti untuk memperpanjang

waktu penelitian.

b) Ketekunan pengamatan

Kegiatan ini dilakukan pada saat mengadakan pengamatan lapangan

sehingga dapat menemukan ciri-ciri dan unsur situasi yang sangat

relevan dengan masalah atau isu yang diperlukan. Dalam hal ini peneliti

memusatkan diri pada hal-hal tersebut secara teliti, rinci, dan

berkesinambungan terhadap faktor-faktor yang menonjol dalam

implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang, serta

kepatuhan pegawai dalam implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok

di Instansi Pemerintahan Kota Palembang. Pengumpulan data

mengenai respon kepatuhan yang mengandung perbedaan juga

172

digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam merancang strategi yang

diperlukan.

c) Pengecekan sejawat

Diskusi dilakukan untuk mengekspos hasil sementara atau hasil akhir

yang diperoleh dalam bentuk diskusi analtik dengan teman sejawat.

Diskusi teman sejawat (peer debriefing), diantaranya dengan Bapak

H. Asnawi, SKM., M.Kes selaku koordinator Kegiatan KTR sekaligus

Kepala Seksi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Bidang

Pengendalian Masalah Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Palembang

serta teman sejawat dilingkungan PDIA FIA Universitas Brawijaya guna

mempertajam analisis penelitian sesuai dengan fokus penelitian. Selain

ditelaah, bahan hasil diskusi juga dapat dijadikan masukan dalam

mengklarifikasi panfsiran data.

d) Triangulasi

Teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang

lain, diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai

pembanding terhadap data tersebut dengan jalan membandingkannya

dengan berbagai sumber, metode maupun teori. Dalam hal ini peneliti

membandingkan hasil observasi saat sosialisasi maupun supervisi KTR

yang kemudian dikroscek melalui dokumentasi dari instansi terkait

berupa laporan pelaksanaan KTR maupun hasil wawancara dengan

informan dan yakni Dinas Kesehatan dan Sat Pol PP Kota Palembang

selaku pelaksana KTR serta Instansi Pemerintahan serta sesuai dengan

fokus penelitian yang digali berupa implementasi kebijakan KTR,

173

kepatuhan pegawai dalam implementasi kebijakan KTR serta faktor

pendukung dan penghambat di Instansi Pemerintahan Kota Palembang

2) Transferability (Keteralihan)

Konsep ini menyatakan bahwa generalisasi suatu pertemuan dapat berlaku

atau diterapkan pada semua konteks dalam populasi yang sama atas

dasar penemuan yang diperoleh pada sampel yang secara representatif

mewakili populasi itu. Untuk melakukan proses keteralihan, peneliti

mengumpulkan data kejadian empiris dalam konteks yang sama untuk

menguji konsistensi data. Selanjutnya keteralihan hasil penelitian ini

berkaitan dengan pertanyaan, sampai sejauh manakah hasil penelitian

tentang implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang

ini dapat dipublikasikan atau digunakan sebagai acuan ditempat atau

situasi lain, selama memiliki kesamaan ciri atau karakteristik. Upaya untuk

menjamin keabsahan data melalui transferability dilakukan peneliti dengan

cara memberikan deskripsi yang lebih lengkap tentang metode

pengumpulan data, misalnya dalam pengumpulan data primer yang

mengharuskan peneliti untuk menentukan informan dan melakukan

wawancara. Sedangkan dalam pengumpulan data sekunder,

mengharuskan peneliti mencari dokumen dan melakukan dokumentasi

sehingga data yang disajikan dalam penelitian ini memang sesuai menurut

sumber datanya.

3) Dependability (Ketergantungan)

Untuk menentukan ketergantungan data, peneliti menggunakan teknik

audit ketergantungan dengan mengecek sejauh mana data digunakan

dalam analisis. Teknik terbaik yang digunakan adalah dependability audit

174

dengan meminta dependent dan independent auditor, yakni tim promotor

(Prof. Dr. Sumartono, MS., Dr. Suryadi, MS, dan Dr. Endah Setyowati,

S.Sos., M.Si) untuk meninjau aktivitas peneliti.

4) Confirmability (Kepastian)

Untuk menentukan kepastian data, maka peneliti menggunakan teknik

audit kepastian dengan menelusuri kembali jejak penelitian mulai dari

catatan wawancara, dokumen sampai analisis datanya. Jika dependabilitas

digunakan untuk menilai kualitas dari proses yang ditempuh oleh peneliti,

maka konfirmabilitas untuk menilai kualitas hasil penelitian, dengan

tekanan pertanyaan apakah dat dan informasi serta interpretasi didukung

oleh materi yang ada dalam audit trail (Lincoln & Guba, 1985:300-325).

Artinya bahwa kepastian tentang sesuatu itu objektif atau tidak tergantung

pada persetujuan terhadap pandangan, pendapat dan penemuan

seseorang. Oleh karena itu confirmability, dilakukan peneliti melalui diskusi

dengan tim pembimbing penelitian, para kolega peneliti, tim pemberi sara

pada seminar hasil maupun ujian hasil, mengkajinya berdasarkan

pendekatan teoritis dan menyandingkannya dengan hasil-hasil penelitian

sebelumnya yang memiliki relevansi dengan penelitian tentang

implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Instansi Pemerintahan

Kota Palembang

175

BAB V

HASIL PENELITIAN

Sistematika penulisan data hasil temuan penelitian disajikan dengan

mengacu pada 3 (tiga) fokus penelitian, pertama implementasi kebijakan

kawasan tanpa rokok di Kota Palembang, yang terdiri dari isi kebijakan, konteks

implementasi termasuk kepatuhan pegawai dalam implementasi kebijakan

kawasan tanpa rokok di Instansi Pemerintahan Kota Palembang yang di analisis

dari faktor predisposisi, faktor pemungkin dan faktor penguat dan Hasil

Kebijakan; kedua, faktor pendukung dan penghambat dalam implementasi

kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang serta ketiga Eksisting Model

implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang yang ideal.

Data mengenai implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok (Studi

Terhadap Peraturan Daerah Kota Palembang No. 7 Tahun 2009 Tentang

Kawasan Tanpa Rokok Pada Instansi Pemerintahan Kota Palembang)

5.1 Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang

Implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok (Studi Terhadap Peraturan

Daerah Kota Palembang No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok

Pada Instansi Pemerintahan Kota Palembang) ditujukan untuk mencapai krteria

resposivitas dalam mengimplementasikan Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009

Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang yaitu langkah-langkah

pengamanan rokok bagi kesehatan, diantaranya melalui penetapan Kawasan

Tanpa Rokok.

175

176

Keberhasilan implementasi kebijakan diukur dengan melihat gap

(kesenjangan) antara tujuan yang ingin dicapai dengan hasil yang dicapai melalui

pelaksanaan program aksi atau proyek yang dijalankan. Sementara itu, tujuan

yang ingin dicapai akan dipengaruhi oleh isi kebijakan dan konteks implementasi

sehingga keberhasilan atau kegagalan dalam implementasi dapat dideteksi dari

konten dan konteks kebijakan. Untuk mengetahui kegagalan atau keberhasilan

suatu implementasi, menurut Model Implementasi Kebijakan Marilee S. Grindle

(1980) mengemukakan tiga perspektif yang dapat dipakai sebagai pedoman

untuk mengukur keberhasilan suatu implementasi, yaitu:

1. Isi Kebijakan

2. Konteks Implementasi

3. Hasil Kebijakan

Keberhasilan implementasi Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009 Tentang

Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang dapat diketahui dari perspektif yang

dikemukakan oleh Marilee S. Grindle tersebut. Hasil penelitian yang telah

dilakukan oleh Peneliti adalah sebagai berikut:

5.1.1 Isi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang

Isi Kebijakan selalu merujuk pada apakah pelaksanaan kebijakan sesuai

dengan yang ditentukan dengan melihat aksi kebijakan Peraturan Daerah

No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang. Adapun

indikator yang dapat mengukur isi kebijakan adalah a) Kepentingan yang

dipengaruhi, b) Manfaat, c) Derajad perubahan yang diharapkan, d) Letak

pengambilan keputusan, e) Pelaksanaan program, f) Sumber daya yang

dilibatkan, semua indikator diuraikan dalam hasil penelitian sebagai berikut:

177

5.1.1.1 Kepentingan yang dipengaruhi

Variabel isi kebijakan, berupa kepentingan yang dipengaruhi (Interest

Affected) berkaitan dengan berbagai kepentingan yang mendukung dan

menghambat suatu implementasi kebijakan atau mencangkup sejauh mana

kepentingan kelompok sasaran termuat dalam isi kebijakan. Indikator ini

berargumen bahwa suatu kebijakan dalam pelaksanaannya pasti melibatkan

banyak kepentingan, dan sejauh mana kepentingan-kepentingan tersebut

membawa pengaruh terhadap implementasinya, hal inilah yang ingin diketahui

lebih lanjut.

Kebijakan kawasan tanpa rokok yang tertuang dalam Perda No. 7 Tahun

2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang khususnya di Instansi

Pemerintahan memuat kepentingan kelompok sasaran atau target groups dalam

isi kebijakan, kepentingan kelompok sasaran meliputi: 1) perlindungan terhadap

mereka yang tidak merokok; 2) menciptakan lingkungan yang sehat;

3) menertibkan perokok aktif dimana dia merokok bukan melarang mereka yang

merokok. Perda ini berupaya untuk mencerdaskan masyarakat dan meluruskan

bahwa setiap orang memiliki hak azazi untuk menghirup udara yang bersih.

Sehingga bagi mereka si perokok harus tertib, harus tahu dimana tempat mereka

rokok. Setidaknya ada 4 (empat) kepentingan kelompok sasaran yang

mempengaruhi implementasi Perda 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa

Rokok di Kota Palembang khususnya di Instansi Pemerintahan, terdiri dari:

1) kepentingan perokok aktif, 2) kepentingan perokok pasif (yang terdiri dari

pegawai maupun masyarakat yang menerima pelayanan di lingkungan Instansi

Pemerintahan Kota Palembang), 3) kepentingan pimpinan Instansi Pemerintahan

dan 4) kepentingan pelaksana kebijakan kawasan tanpa rokok.

178

Berdasarkan hasil wawancara dengan Informan S.H, diketahui bahwa:

“Saya selaku perokok aktif yang menerima layanan dilingkungan Instansi Pemerintahan Kota Palembang, mengetahui Perda No. 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang, dari sticker yang ditempel di pintu masuk Instansi Pemerintahan ini. Sebelumnya saya pernah ditegur Pegawai karena merokok di dalam ruangan, saya diberitahu larangan merokok di dalam ruangan dilingkungan Instansi Pemerintahan Kota Palembang dilingkungan Instansi Pemerintahan Kota Palembang, jika tidak mematuhi maka saya tidak akan diberikan pelayanan. Setelah mendapat peringatan tersebut, saya langsung mematikan rokok jika memasuki ruangan Instansi Pemerintah Kota Palembang”. (Hasil wawancara tanggal 17 Oktober 2016) Informan J.P, juga menguraikan bahwa: “Saya selaku perokok pasif yang menerima layanan dilingkungan Instansi Pemerintahan Kota Palembang sangat mendukung dikeluarkannya Perda No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang. Sehingga orang yang merokok juga tidak sembarang tempat. Saya tidak merokok, tentu saja sangat terganggu jika harus menghirup asap rokok, apalagi didalam ruangan” (Hasil wawancara tanggal 18 Oktober 2016) Sejalan dengan hal tersebut Informan A.B, menguraikan bahwa:

“Saya sangat mendukung Perda No. 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang. Sehingga saya dapat menerima pelayanan yang nyaman di Kantor Kelurahan, karena semenjak adanya Perda KTR, asap rokok di ruangan ini sangat berkurang” (Hasil wawancara tanggal 18 Oktober 2016) Pendapat berbeda diungkapkan oleh Informan C.M berikut ini:

“Awalnya saya kurang sependapat dengan adanya Perda No. 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang, khususnya yang melarang merokok ditempat kerja, karena rokok dibutuhkan untuk tetap produktif, menjaga performa dalam bekerja, jika setelah istirahat (makan siang) akan merasa kantuk, maka rokok dapat menghilangkan kantuk tersebut, begitu pula saat kerja lembur, rokok merupakan teman yang setia menemani” (Hasil wawancara tanggal 18 Oktober 2016) Berdasarkan hasil wawancara diatas, diketahui bahwa Perda KTR telah

memuat kepentingan kelompok sasaran atau target groups termuat dalam isi

kebijakan, selain itu telah menumbuhkan partisipasi baik dari Pimpinan Instansi,

Pegawai maupun Masyarakat Kota Palembang. Partisipasi dalam arti kesediaan

Pimpinan Instansi untuk melarang adanya tempat untuk merokok di dalam

179

gedung dan penyediaan rokok, termasuk menjual/mengiklankan atau

mempromosikan rokok dan lain sebagainya.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Informan A.S, diketahui bahwa:

“Perda KTR telah memuat kepentingan kelompok sasaran atau target groups termuat dalam isi kebijakan. Kepentingan kelompok sasaran meliputi: 1) perlindungan terhadap mereka yang tidak merokok; 2) menciptakan lingkungan yang sehat; 3) menertibkan perokok aktif dimana dia merokok bukan melarang mereka yang merokok. Perda ini berupaya untuk mencerdaskan masyarakat dan meluruskan bahwa setiap orang memiliki hak azazi untuk menghirup udara yang bersih. Sehingga bagi mereka si perokok harus tertib, harus tahu dimana tempat mereka rokok” (Hasil wawancara tanggal 29 Agustus 2016) Hal serupa juga diungkapkan Informan M.A, diketahui bahwa:

“Kepentingan Pelaksana dalam rangka Implementasi Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang, yakni membatasi ruang gerak si perokok. Dalam hal ini kita tidak melarang orang merokok, silahkan bagi mereka yang ingin merokok tetapi harus diluar 7 kawasan yang dilarang dalam Perda KTR (ruang tertutup). Jika melanggar maka akan dikenakan sanksi, namun bukan bagi si perokok melainkan pemilik, pengelola, maupun manager, maupun penanggung jawab ditempat/bangunan di 7 kawasan tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan kontrol yang efektif dalam penegakan Perda KTR. Oleh karena itu diharapkan para Pimpinan dalam hal ini di Instansi Pemerintah mampu berkoordinasi dengan Tim Penegak KTR (Dinas Kesehatan Kota Palembang, Satuan Pol PP Kota Palembang, serta Pengawas Internal (security bangunan setempat) untuk sama-sama melaksanakan Perda KTR” (Hasil wawancara tanggal 31 Agustus 2016) Berdasarkan pendapat tersebut, dapat diketahui bahwa Peraturan Daerah

No. 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang, tidak

bertujuan untuk melarang orang merokok, melainkan dimaksudkan untuk

membatasi ruang gerak si perokok. Perda ini juga berupaya untuk mencerdaskan

masyarakat dan meluruskan bahwa setiap orang memiliki hak azazi untuk

menghirup udara yang bersih.

180

Hal tersebut juga selaras dengan Perda No. 7 Tahun 2009 tentang

Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang, bahwa Penetapan Kawasan Tanpa

Rokok bertujuan untuk:

a) Memberikan perlindungan yang efektif dari bahaya paparan asap rokok

orang lain;

b) Memberikan ruang dan lingkungan yang bersih dan sehat bagi masyarakat;

dan

c) Melindungi kesehatan masyarakat secara umum dari dampak buruk

merokok baik langsung maupun tidak langsung

Upaya menciptakan ruang dan lingkungan yang bersih dan sehat bagi

masyarakat serta bebas dari asap rokok, bukan hanya demi kepentingan

Pemerintah. Dalam hal ini para Pemilik, Pengelola, Manajer, Pimpinan, dan

Penanggung Jawab tempat serta masyarakat telah mengetahui serta wajib

mendukung dan bertanggung jawab atas pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok.

Hal tersebut kemudian dikonfirmasikan dengan Informan M.E, berikut ini:

“Saya mengetahui tentang Perda KTR, karena seringkali mendapat undangan dari Kota Palembang tentang sosialisasi Perda KTR. Setelah mendapat pengarahan khususnya Dinas Kesehatan Kota Palembang saya mengetahui bahwa Perda KTR ini ditujukan untuk masyarakat yang menerima layanan di Kelurahan, bahwa di 7 kawasan salah satunya di instansi pemerintah ini tidak diperbolehkan menyediakan tempat untuk merokok. Saya mendukung Perda KTR, salah satunya dengan menempelkan sticker-sticker Perda KTR dan larang merokok di tempat-tempat yang strategis” (Hasil wawancara tanggal 17 Oktober 2016) Bagi Pemilik, Pengelola, Manajer, Pimpinan dan Penanggung Jawab

tempat, alasan mereka mau melaksanakan Perda No. 7 Tahun 2009 Tentang

Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang, antara lain:

181

a) Hal ini merupakan Peraturan Pemerintah, yang juga sudah diatur melalui

Peraturan Walikota Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang,

sehingga harus dipatuhi

Setelah mendapat pengarahan khususnya Dinas Kesehatan Kota

Palembang, Pimpinan Instansi baru mengetahui bahwa Perda KTR ini

ditujukan untuk masyarakat yang menerima layanan di Kelurahan, bahwa

di 7 kawasan salah satunya di Instansi Pemerintahan ini tidak

diperbolehkan menyediakan tempat untuk merokok. Sehingga di dalam

kantor harus bebas asap rokok.

b) Sanksi terhadap Pelanggaran Perda No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan

Tanpa Rokok di Kota Palembang langsung ditujukan kepada Pemilik,

Pengelola, Manajer, Pimpinan, dan Penanggung Jawab Tempat

c) Manfaatnya juga positif bagi masyarakat/pengunjung yakni akan

menciptakan suasana yang nyaman dan udara yang segar saat

memberikan layanan di Kelurahan ini.

Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa Perda No. 7 Tahun

2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang telah mengakomodir

kepentingan Pelaksana kebijakan kawasan tanpa rokok dalam hal ini Dinas

Kesehatan Kota Palembang, maupun Pimpinan Kelurahan dan Masyarakat.

Dalam hal ini semua Pihak umumnya telah mengetahui Perda No. 7 Tahun 2009

tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang serta memberikan dukungan

terhadap pelaksanaan Perda KTR tersebut.

182

5.1.1.2 Manfaat

Type of Benefits (tipe manfaat) pada Isi Kebijakan berupaya untuk

menunjukan atau menjelaskan bahwa dalam suatu kebijakan harus terdapat

beberapa jenis manfaat yang menunjukan dampak positif yang dihasilkan oleh

pengimplementasian kebijakan yang hendak dilaksanakan. Dalam hal ini sebuah

kebijakan yang memberikan manfaat faktual (bukan hanya sekedar formal, ritual

maupun simbolis semata) kepada banyak pelaku lebih mudah diimplementasikan

dibanding dengan kebijakan yang kurang bermanfaat. Berdasarkan indikator

kepentingan yang dipengaruhi oleh kebijakan kawasan tanpa rokok yang telah

dipaparkan sebelumnya jelaslah bahwa kebijakan kawasan tanpa rokok sangat

bermanfaat dan memiliki dampak positif dalam menciptakan lingkungan yang

sehat dan bersih dari asap rokok.

Hasil wawancara dengan Informan A.S, diketahui bahwa:

“Manfaat Perda No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang besar sekali. Pertama: mereka akan terhindar dari bahaya asap rokok; Kedua: membuat nyaman lingkungan tempat kerja karena udara bersih dari pencemaran asap rokok” (Hasil wawancara tanggal 29 Agustus 2016) Hal serupa juga diungkapkan oleh Informan Y.D, berikut ini:

“Manfaat Perda KTR ini adalah untuk kesehatan, baik itu kesehatan diri sendiri maupun kesehatan orang lain. Saya membaca buku Jantung Sehat, dari situ saya ketahui bahwa orang yang merokok pasif ternyata lebih berbahaya dari perokok aktif. Jadi asap rokok yang ditimbulkan itu tidak hanya racun bagi dirinya sendiri tetapi juga bagi orang lain, jadi sangat tidak bermanfaat Diharapkan dengan adanya Perda KTR ini, jumlah Perokok berkurang sehingga dapat meningkatkan kesehatan masyarakat” (Hasil wawancara tanggal 16 September 2016).

183

Sejalan dengan hal tersebut dengan Informan N.R, mengungkapkan: ”Saya mengakui, semenjak diberlakukannya Perda KTR, ruang kerja menjadi lebih bersih karena tidak ada lagi puntung rokok maupun abu rokok yang berserakan, ruang kerja pun terasa nyaman karena bebas asap rokok. Terlebih sebagian ruangan menggunakan AC, sehingga akan sangat terganggu (tidak sehat) jika merokok dalam ruangan” (Hasil wawancara tanggal 16 September 2016). Informan B.S juga menambahkan: ”Dengan adanya Perda KTR, saya selaku Pegawai memiliki justifikasi untuk melarang teman kerja merokok diruang kerja, sedangkan bagi Pegawai yang sudah memiliki niat berhenti merokok, aturan larangan Perda KTR, justru membantu untuk benar-benar membulatkan tekad untuk berhenti merokok” (Hasil wawancara tanggal 14 September 2016). Hal tersebut dikonfirmasikan Informan A.G berikut ini: ”Rokok bagi sesama perokok sebenarnya berfungsi sebagai alat interaksi sosial yang mampu mencairkan suasana maupun menambah keakraban. Dalam lingkungan perokok, sudah menjadi ritual umum jika tidak ditawari rokok ya menawarkan rokok, jika tidak dimintain rokok ya meminta rokok. Namun semenjak diberlakukannya Perda KTR, saya dan teman-teman perokok berusaha untuk tidak merokok diruangan” (Hasil wawancara tanggal 14 September 2016) Informan S.H juga menambahkan:

“Ruang pelayanan yang telah ditempeli stiker larangan merokok, menjadi lebih nyaman. Dahulu sebelum adanya Perda KTR, masyarakat maupun Pegawai yang memberikan pelayanan sambil merokok, sehingga ruang pelayanan terasa sesak dipenuhi asap rokok, sekarang sudah mulai berkurang yang merokok, sehingga ruang pelayanan terasa lebih nyaman” (Hasil wawancara tanggal 16 September 2016). Berdasarkan hasil wawancara dapat diketahui bahwa manfaat kebijakan

kawasan tanpa rokok, antara lain:

(a) Terciptanya kawasan tanpa rokok khususnya di Instansi Pemerintahan,

sehingga membuat nyaman lingkungan tempat pelayanan masyarakat

karena udara bersih dari pencemaran asap rokok

(b) Meningkatkan kesadaran masyarakat untuk tidak merokok dikawasan

tanpa rokok khususnya di Instansi Pemerintahan. Diharapkan dengan

184

adanya Perda KTR ini, jumlah Perokok berkurang sehingga dapat

meningkatkan kesehatan masyarakat.

Pasal 2 Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa

Rokok di Kota Palembang, diketahui bahwa: Penetapan Kawasan Tanpa Rokok

berazaskan:

a. Keseimbangan Kesehatan Manusia dan Lingkungan;

b. Kemanfaatan Umum;

c. Keterpaduan dan Keserasian;

d. Keadilan; dan

e. Transparansi dan Akuntabilitas.

Pasal 3 Perda Kota Palembang No. 7 Tahun 2009 tentang Kawasan

Tanpa Rokok, menjelaskan Penetapan Kawasan Tanpa Rokok bertujuan untuk:

a. Memberikan perlindungan yang efektif dari bahaya paparan asap

rokok orang lain;

b. Memberikan ruang dan lingkungan yang bersih dan sehat bagi

masyarakat; dan

c. Melindungi kesehatan masyarakat secara umum dari dampak buruk

merokok baik langsung maupun tidak langsung.

Dengan demikian manfaat kebijakan ini juga sudah cukup jelas yakni

terciptanya kawasan tanpa rokok khususnya di Instansi Pemerintahan, Kota

Palembang sehingga membuat nyaman lingkungan tempat pelayanan

masyarakat karena udara bersih dari pencemaran asap rokok serta

meningkatkan kesadaran masyarakat untuk tidak merokok dikawasan tanpa

rokok khususnya di Instansi Pemerintahan.

185

5.1.1.3 Derajad Perubahan yang Diharapkan

Extent of Change Envision (derajat perubahan yang ingin dicapai). Setiap

kebijakan mempunyai target yang hendak dan ingin dicapai. Content of policy

yang ingin dijelaskan pada poin ini adalah bahwa seberapa besar perubahan

yang hendak atau ingin dicapai melalui suatu implementasi kebijakan harus

mempunyai skala yang jelas. Dalam hal ini sebuah kebijakan yang terlalu

menuntut adanya perubahan sikap dan perilaku yang signifikan akan lebih sulit

untuk diimplementasikan, disamping itu kebijakan yang direncanakan untuk

mencapai tujuan-tujuan jangka panjang juga akan menemui kesulitan dalam

proses implementasi dibandingkan dengan kebijakan yang secara nyata

memberikan dampak keuntungan langsung terhadap kelompok sasaran.

Setiap kebijakan mempunyai target yang hendak dicapai, seberapa besar

perubahan yang hendak atau diinginkan melalui suatu implementasi Kebijakan

Perda No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang,

mempunyai hasil sebagai berikut:

(1) 100 % kawasan tanpa asap rokok

(2) Tidak ada ruang merokok di tempat umum/tempat kerja tertutup

(3) Pemaparan asap rokok pada orang lain melalui kegiatan merokok, atau

tindakan mengizinkan dan atau membiarkan orang merokok di kawasan

tanpa rokok adalah bertentangan dengan hukum

Berdasarkan hasil wawancara dengan Informan H.A, diketahui bahwa:

“Indikator apa yang digunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan Kebijakan Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Instansi Pemerintahan Kota Palembang didasarkan pada hasil observasi dan wawancara. Indikator Observasi meliputi: ada tidaknya orang merokok, ruang khusus merokok, tanda larangan merokok, tercium bau asap rokok, asbak dan korek api, puntung rokok dalam gedung, indikasi kerjasama dengan industri tembakau serta penjualan rokok dalam gedung…”

186

Selanjutnya beliau menambahkan:

“Sedangkan Indikator wawancara meliputi: Pengetahuan tentang Kebijakan Perda KTR, mendukung dan melaksanakan Perda KTR, Pelaksanaan Kebijakan KTR oleh Pimpinan Kantor, Pimpinan Kantor mengetahui bahwa akan terkena sanksi jika tidak mematuhi Perda KTR. Namun demikian Pimpinan Kantor seringkali tidak tahu mengenai sanksi yang akan dikenakan kepadanya jika Pegawai maupun masyarakat yang mendapat pelayanan di kantornya melakukan pelanggaran terhadap Perda KTR” (Hasil wawancara tanggal 23 Agustus 2016). Berdasarkan Hasil Survey Kepatuhan Tahap IV pelaksanaan Kebijakan

Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota

Palembang, diketahui bahwa Indikator untuk mengukur tingkat keberhasilan

Kebijakan Perda KTR ini, antara lain:

(a) Indikator Observasi meliputi:

(1) Orang yang merokok

(2) Ruang khusus merokok

(3) Tanda larangan merokok

(4) Tercium bau asap rokok

(5) Penyediaan asbak dan korek api

(6) Puntung rokok dalam gedung

(7) Indikasi kerjasama dengan industri tembakau

(b) Indikator wawancara meliputi:

(1) Pengetahuan tentang Kebijakan Perda KTR

(2) Mendukung dan melaksanakan Perda KTR

(3) Pelaksanaan Kebijakan KTR oleh Pengelola Gedung

(4) Pimpinan Kantor mengetahui bahwa akan terkena sanksi jika tidak

mematuhi Perda KTR.

187

Hal tersebut dikonfirmasikan dengan Informan A.T, menguraikan bahwa:

“Survei Perda No. 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok dilakukan dengan mengamati Pegawai maupun Masyarakat yang merokok, ada tidaknya asbak rokok maupun ada tidaknya sticker larangan merokok di Instansi Pemerintahan Kota Palembang.” (Hasil wawancara tanggal 23 Agustus 2016). Selanjutnya hasil wawancara dengan Informan K.P, berikut ini:

“Saya ketahui dari Perda KTR hal-hal yang dilarang dalam pelaksanaan Perda KTR, salah satunya menempelkan sticker larangan merokok, tidak menyediakan tempat maupun asbak untuk merokok. Sticker larangan merokok diperoleh secara gratis pada saat melakukan sosialisasi ataupun diberikan/ditempelkan langsung oleh Petugas Sat Pol PP Kota Palembang” (Hasil wawancara tanggal 23 Agustus 2016) Informan K.R juga menambahkan: “Untuk mendukung Perda KTR, kami telah memasang stiker ditempat-tempat strategis di lingkungan Kelurahan Kemas Rindo, misalnya Stiker KTR ditempel di pintu masuk ruang pelayanan masyarakat, maupun di pintu masuk ruang kerja. Asbak untuk menampung abu rokok juga tidak disediakan” (Hasil wawancara tanggal 24 Agustus 2016) Hal serupa juga diungkapkan oleh Informan I.L berikut ini: “Saya sangat mendukung Perda KTR, salah satunya dengan tidak menyediakan ruang merokok di lingkungan Kelurahan 23 Ilir, baik untuk Pegawai maupun di ruang pelayanan masyarakat. Tidak ada kerja sama dengan perusahaan rokok, asbak maupun tempat untuk menampung puntung rokok tidak disediakan” (Hasil wawancara tanggal 25 Agustus 2016) Berdasarkan hasil wawancara dan kesimpulan maka diketahui bahwa

Indikator apa yang digunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan Kebijakan

Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Instansi

Pemerintahan Kota Palembang didasarkan pada hasil observasi dan wawancara.

Indikator Observasi meliputi: orang yang merokok, ruang khusus merokok, tanda

larangan merokok, tercium bau asap rokok, penyediaan asbak dan korek api,

puntung rokok dalam gedung serta indikasi kerjasama dengan industri tembakau.

Sedangkan Indikator wawancara meliputi: pengetahuan tentang Kebijakan Perda

188

KTR, mendukung dan melaksanakan Perda KTR, pelaksanaan Kebijakan KTR

oleh Pengelola Gedung, serta Pimpinan Kantor mengetahui bahwa akan terkena

sanksi jika tidak mematuhi Perda KTR. Sehingga derajat perubahan yang

diharapkan berupa berkurangnya pelanggaran Perda KTR di Kota Palembang

sesuai dengan pencapaian derajat perubahan Kebijakan Peraturan Daerah No. 7

Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Instansi Pemerintahan Kota

Palembang.

5.1.1.4 Letak Pengambilan Keputusan

Site of Decision Making (Letak Pengambilan Keputusan) dalam suatu

kebijakan memegang peranan penting dalam pelaksanaan suatu kebijakan,

maka pada bagian ini harus dijelaskan dimana letak pengambilan keputusan dari

suatu kebijakan yang akan diimplementasikan. Keputusan merupakan pilihan

yang dibuat dari dua atau lebih lebih alternatif. Pengambilan keputusan dalam

suatu kebijakan memegang peranan penting dalam pelaksanaan suatu

kebijakan, Letak Pengambilan Keputusan dalam pelaksanaan kebijakan kawasan

tanpa rokok di Instansi Pemerintahan Kota Palembang, diuraikan pada hasil

wawancara dengan Informan A.S, berikut ini:

“Letak pengambilan keputusan ditentukan oleh Pelaksana dalam hal ini Pemerintah Kota Palembang melalui Dinas Kesehatan Kota Palembang dan Satuan Polisi Pamong Praja dengan melibatkan Pimpinan dan Pegawai Instansi Pemerintahan, serta Satpam. Tim Pengawas dalam hal ini Satpol PP memberikan Pengawasan sekaligus Penindakan terhadap pelanggaran. Selanjutnya Dinas Kesehatan memberikan penyuluhan/ sosialiasi Perda KTR, membantu mengeluarkan sticker larangan merokok yang wajib ditempel diarea KTR. Namun sering dilepas oleh oknum yang tidak bertanggung Jawab. Dinas Kesehatan memberikan sticker tersebut secara gratis, dan bisa di perbanyak sendiri untuk ditempel di lokasi-lokasi strategis Kawasan Tanpa Rokok, bentuk modifikasi sticker/l arangan merokok sudah ditentukan sesuai dengan Peraturan Wali Kota No. 18 Tahun 2010 tentang Pengawasan Kawasan Tanpa Rokok” (Hasil wawancara tanggal 29 Agustus 2016).

189

Hal tersebut juga diungkapkan oleh Informan P.T, Palembang berikut ini:

“Dinas Kesehatan Kota Palembang yang mengawasi serta Satuan Polisi Pamong Praja sebagai Tim Penegak Hukum. Sedangkan untuk di Instansi Pemerintahan tentu saja harus dbentuk Pengawas Internal ataupun Tim Penegakan Hukum Perda KTR (biasanya terdiri dari Satpam) yang berkoordinasi dengan Pimpinan Instansi, yang akan memantau keamanan sekaligus mengamankan mereka yang merokok baik itu pegawai maupun masyarakat yang menerima pelayanan di Instansi Pemerintahan. Sehingga Perda KTR bisa dilaksanakan tergantung komitmen mereka” (Hasil wawancara tanggal 26 Agustus 2016). Berdasarkan Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan

Tanpa Rokok di Kota Palembang, Pasal 30 menguraikan bahwa:

(1) Dinas Kesehatan Kota Palembang adalah Instansi teknis pelaksana

pengawasan kawasan tanpa rokok sesuai dengan tugas pokok dan

fungsinya, berkoordinasi dengan Instansi terkait.

(2) Satuan Polisi Pamong Praja Kota Palembang adalah Instansi teknis yang

diberikan kewenangan untuk menertibkan dan mengawasi kawasan tanpa

rokok sesuai dengan ketentuan Peraturan Daerah ini dan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

(3) Hal-hal yang bersifat teknis yang belum cukup diatur dalam Peraturan

Daerah ini, sepanjang mengenai pelaksanaannya akan ditetapkan lebih

lanjut oleh Walikota

Selanjutnya Informan H.A, diketahui bahwa:

“Dalam hal ini Dinas Kesehatan Kota Palembang membentuk Tim Pengawas yang kemudian berkoordinasi dengan Bagian Hukum Sat Pol PP, Dinas Perhubungan (khusus untuk sosialisasi di Angkutan Umum), IAKMI (Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia) serta Mahasiswa ikut survei Perda KTR. Dalam hal ini IAKMI (dokter) yang memaparkan bahaya rokok bagi kesehatan, kemudian Dinas Kesehatan yang menguraikan tentang Kebijakan Perda Rokok. Selanjutnya pada saat survei baru melibatkan Sat Pol PP selaku Tim Penegakan Hukum Perda KTR” (Hasil wawancara tanggal 23 Agustus 2016).

190

Untuk tim pengawasan dari Dinas Kesehatan Kota Palembang dibentuk

sesuai dengan Surat Keputusan Kepala Dinas Kesehatan Kota Palembang

No. 1662 Tahun 2009 Tentang Tim Pelaksana Pengawasan Kawasan Tanpa

Rokok yaitu:

Tabel 5.1 Tim Pengawas Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang

dari Dinas Kesehatan Kota Palembang

No Nama Jabatan

1 dr. Anton Suwindro Ketua Umum

2 dr. Hj. Letiza, M.Kes Wakil Ketua I

3 M. Yamin, SIP., M.Si Wakil ketua II

4 dr. Afrimelda, M.Kes Sekretaris

5 Yulyana Kusuma Dewi, SKM Wakil Sekretaris

6 Rosita, SKM Bendahara

7 Asnawi, SKM., M.Kes Koordinator I

8 Desi Purnama Sari, SKM Koordinator II

9 Asupina M.SKM Koordinator III

10 Uca Ayu FD, SKM., MKM Koordinator IV

Sumber: Dinas Kesehatan Kota Palembang

Hal tersebut dikonfirmasikan dengan Informan R.S, berikut ini:

“Kami membentuk Tim Penegakan Hukum Perda KTR termasuk dalam melakukan survei di Instansi Pemerintahan Kota Palembang. Jadwal kegiatan dilaksanakan pada hari selasa, namun lokasi yang disurvei belum dijadwalkan sehingga untuk kegiatan ini kami selaku Aparat Satpol PP hanya menunggu surat tugas yang dikeluarkan oleh atasan” (Hasil wawancara tanggal 26 Agustus 2016).

Tim pengawasan dibentuk Satuan Polisi Pamong Praja (Sat Pol PP) Kota

Palembang dibentuk berdasarkan Surat Tugas Nomor: 730/2607/PP/2011, dapat

dilihat pada tabel berikut ini:

191

Tabel 5.2 Tim Penegakan Hukum Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009

Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang dari Satuan Polisi Pamong Praja Kota Palembang

No Nama Jabatan

1 H.M. Sabar,SH, MM Kasatpol PP

2 Ahyar Heryanto, SE Kabid Penegakan Per Undang-

undangan Daerah

3 Tubagus, S.Sos Kabid Perlindungan Masyarakat

4 Samsuriah, SH Kabid Sumber Daya Aparatur

5 Heru Setia Budi, SSTP., M.Si Kabid Ketertiban Umum & Ketentraman Masyarakat

6 Dedi Harapan, M,Si Kasi Penyelidikan & Penyidikan

7 M. Iqbal Kasi Pembinaan, Pengawasan &

Penyuluhan

8 Jajaran Anggota Patroli Satpol PP

9 Unsur Polresta, Kodim 0418, Denpom II/Swj

Sumber: Satuan Polisi Pamong Praja Kota Palembang

Berdasarkan tabel dan uraian di atas dapat dikatakan bahwa letak

pengambilan keputusan berasal dari, Tim Penegakan Hukum Sat Pol PP

berjumlah 7 orang ditambah dengan anggota jajaran patroli beserta utusan dari

pihak-pihak yang membantu pengawasan Perda No. 07 Tahun 2009 ini yaitu dari

pihak Polresta, Kodim 0418, Denpom II/Swj. Sedangkan untuk Dinas Kesehatan

Kota Palembang sendiri berjumlah 11 orang ditambah dengan beberapa anggota

yang ditugaskan untuk ikut serta dalam pengawasan Kawasan Tanpa Rokok.

Untuk Sat Pol PP dan jajarannya sendiri lebih bertugas pada fungsi pada

larangan dan penerapan sanksi, sedangkan untuk Dinas Kesehatan Kota

Palembang lebih berfungsi pada penekanan bahaya merokok pada orang-orang

yang ada di Kawasan Tanpa Rokok.

192

5.1.1.5 Pelaksanaan Program

Program Implementor (Pelaksana Program) harus didukung dengan

adanya pelaksana kebijakan yang kompeten dan kapabel demi keberhasilan

suatu kebijakan. Program Implementor (Pelaksana Program) harus didukung

dengan adanya pelaksana kebijakan yang kompeten dan kapabel demi

keberhasilan suatu kebijakan. Dalam menjalankan suatu kebijakan atau program

harus didukung dengan adanya pelaksana kebijakan yang kompeten dan

kapabel demi keberhasilan suatu kebijakan. Dan ini sudah harus terpapar atau

terdata dengan baik, apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan

implementornya dengan rinci. Pelaksanaan Program dalam kebijakan kawasan

tanpa rokok di Instansi Pemerintahan Kota Palembang, diuraikan pada hasil

wawancara dengan Informan A.S, berikut ini:

“Untuk menindaklanjuti pelaksanaan Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang, maka berdasarkan disusunlah Peraturan Walikota No. 949 Tahun 2010, tentang Tim Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok Kota Palembang yang menguraikan susunan keanggotaan Tim Pelaksana Pengawas Kawasan Tanpa Rokok Kota Palembang” (Hasil wawancara tanggal 29 Agustus 2016). Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa Pelaksanaan Peraturan

Daerah No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang,

dibentuk Peraturan Walikota No. 949 Tahun 2010, tentang Tim Pelaksanaan

Kawasan Tanpa Rokok Kota Palembang. Adapun susunan keanggotaan Tim

Pelaksana Pengawas Kawasan Tanpa Rokok Kota Palembang, antara lain

sebagai berikut:

Pengarah : 1. Walikota Palembang 2. Ketua DPRD Kota Palembang 3. Wakil Walikota Palembang.

Penanggung Jawab : Sekretaris Daerah Kota Palembang

193

Koordinator : 1. Asisten Pemerintahan Sekda Kota Palembang

2. Asisten Kesejahteraan Rakyat Sekda Kota Palembang.

Ketua Pelaksana : Kepala Dinas Kesehatan Kota Palembang Wakil Ketua Pelaksana : Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Kota

Palembang Sekretaris : Kepala Bidang Pengendalian Masalah Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Palembang. Bendahara : Kasubbag. Keuangan Dinas Kesehatan Kola Plg Anggota : 1. Kepala Inspektorat Kota Palembang

2. Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Kota Plg.

3. Kepala Dinas Perhubungan Kota Palembang.

4. Kepala Dinas Komunikasi dan Infonnatika Kota Plg.

5. Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kola Plg.

6. Kepala Dinas Tata Kota Palembang. 7. Kabag. Hukum dan Ortala Setda Kota

Palembang. 8. Kabag. Kesejahteraan Sosial Setda Kota

Palembang. 9. Kabag. Humas dan Protokol Setda Kota

Palembang. 10. Kabag. Umum Setda Kota Palembang. 11. Kabag. Keuangan Setda Kota Palembang 12. Sekretaris Dinas Kesehatan Kota Plg 13. Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan Dinas

Kesehatan Kota Palembang. 14. Kepala Bidang Jaminan dan Sarana Dinas

Kesehatan Kota Palembang. 15. Ketua Ikatan Dokter Indonesia Kota

Palembang. 16. Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat

Indonesia (IAKMl) Kota Palembang. 17. Ketua Yayasan Lembaga Konsumen

Indonesia (YLKI) Kota Palembang. 18. Kelua Perhimpunan Hotel dan Restoran

Indonesia (PHRI) Kota Palembang. 19. Ketua Persatuan Rumah Sakit Seluruh

Indonesia (PERSI) Kota Palembang. 20. Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia

Daerah (KPAID) Kota Palembang. 21. Camat Se-Kota Palembang.

194

Selanjutnya Informan H.A, menambahkan:

“Tim Pelaksana Pengawas Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang, selanjutnya melakukan beberapa tahap pelaksanaan kebijakan kawasan tanpa rokok Kota Palembang, meliputi: tahap pembinaan, tahap pengawasan serta tahap koordinasi dan evaluasi” (Hasil wawancara tanggal 23 Agustus 2016). Sejalan dengan hal tersebut Informan M.I menambahkan: ”Satpol PP Kota Palembang juga dilibatkan dalam pengawasan Perda KTR melalui pelaksanaan supervisi di kawasan tanpa rokok Kota Palembang, termasuk saat pelaksanaan sidang Yustisi. Dalam hal ini Satpol PP Kota Palembang Satpol PP Kota Palembang berperan mendampingi Dinas Kesehatan Kota Palembang untuk mengarahkan pimpinan instansi pemerintahan untuk mengefektifkan kawasannya sehingga benar-benar bebas dari asap rokok” (Hasil wawancara tanggal 23 Agustus 2016). Dalam hal ini, Tim Pelaksana Kawasan Tanpa Rokok Kota Palembang,

melakukan tahap pembinaan, tahap pengawasan serta tahap koordinasi dan

evaluasi, antara lain:

(a) Tahap Pembinaan, meliputi:

(1) Penyebarluasan informasi dan sosialisasi melalui media cetak dan

elektronik;

(2) Koordinasi dengan seluruh Instansi, elemen organisasi masyarakat,

kalangan pendidikan, tokoh-tokoh masyarakat dan tokoh-tokoh

agama;

(3) Memotivasi dan membangun partisipasi, prakarsa masyarakat untuk

hidup sehat tanpa asap rokok dengan melakukan kampanye

Kawasan Tanpa Asap Rokok dan Kawasan Tanpa Rokok;

(4) Merumuskan kebijakan-kebijakan yang terkait dengan perlindungan

masyarakat dari paparan asap rokok; dan

195

(5) Bekerja sama dengan badan-badan atau lembaga-lembaga nasional

maupun Internasional dalam upaya melindungi masyarakat dari

paparan asap rokok

(b) Tahap Pengawasan, meliputi:

(1) Walikota melakukan pengawasan terhadap Kawasan Tanpa Asap

Rokok dan Kawasan Tanpa Rokok.

(2) Untuk melaksanakan tugas pengawasan Walikota dapat

mendelegasikan kewenangannya kepada Dinas Kesehatan Kota

Palembang dan Satuan Polisi Pamong Praja Kota Palembang.

(3) Pengawasan dilakukan dalam upaya mengarahkan pemilik,

pengelola dan penanggung jawab Kawasan Tanpa Rokok untuk

mengefektifkan tempat-tempat yang dimiliki atau dikelolanya benar-

benar bebas dari asap rokok.

(4) Pengawas mempunyai kewenangan untuk masuk ke Kawasan Tanpa

Rokok baik siang maupun malam atau selama jam kerja untuk

melakukan inspeksi atau supervisi pelaksanaan Peraturan Daerah ini.

(c) Tahap Koordinasi dan Evaluasi, meliputi:

(1) Tim Pengawas Internal Kawasan Tanpa Rokok wajib menyampaikan

laporan kepada Dinas Kesehatan melalui Tim Pelaksanaan

Pengawasan Kawasan Tanpa Rokok Palembang setiap akhir bulan

(2) Dinas Kesehatan mengevaluasi laporan-laporan yang diterima yang

dijadikan referensi dalam pelaksanaan dan pengawasan Kawasan

Tanpa Rokok

196

(3) Tim Pengawas Kawasan Tanpa Rokok melalui Dinas Kesehatan

secara berkala mengirimkan laporan per triwulan kepada Walikota

Palembang

Sehingga berdasarkan hasil wawancara dan data dapat dikatakan bahwa

Pelaksanaan Program dalam kebijakan kawasan tanpa rokok di Instansi

Pemerintahan Kota Palembang, meliputi pembentukan Peraturan Walikota

No. 949 Tahun 2010, tentang Tim Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok Kota

Palembang yang menguraikan susunan keanggotaan Tim Pelaksana Pengawas

Kawasan Tanpa Rokok Kota Palembang, untuk selanjutnya Tim Pelaksana

Pengawas Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang, melakukan beberapa

tahap pelaksanaan kebijakan kawasan tanpa rokok Kota Palembang, meliputi:

tahap pembinaan, tahap pengawasan serta tahap koordinasi dan evaluasi

5.1.1.6 Sumber Daya yang Dilibatkan

Resources Committed (sumber-sumber daya yang digunakan). Dalam hal

ini pelaksanaan suatu kebijakan juga harus memiliki sumber-sumber daya yang

mendukung agar pelaksanaan kebijakannya berjalan dengan baik. Pelaksanaan

kebijakan harus didukung oleh sumberdaya-sumberdaya yang mendukung agar

pelaksanaannya berjalan dengan baik. Berdasarkan hasil wawancara dengan

Informan A.S, berikut ini:

“Sumber daya yang dilibatkan dalam pelaksanaan kebijakan kawasan tanpa rokok meliputi tim pengawas internal kawasan tanpa rokok. Masing-masing tim pengawas internal dari 7 Kawasan tersebut, diberikan pelatihan pengawasan internal dan penegakan hukum kawasan tanpa rokok. Jika di Instansi Pemerintahan maka yang diberi Pelatihan adalah pegawai dan petugas keamanan (security), untuk pengawasan internal di lokasi tersebut, karena baik Dinas Kesehatan maupun Sat Pol PP tidak bisa mengcover seluruh wilayah KTR setiap saat…”

197

Selanjutnya beliau menambahkan:

“…Memang pada kenyataannya pengawas internal di Instansi Pemerintahan ini belum dilakukan sepenuhnya, dikarenakan tingkat kesadaran baik Pegawai, maupun masyarakat untuk mematuhi Perda KTR masih rendah” (Hasil wawancara tanggal 29 Agustus 2016).

Hal tersebut juga diungkapkan oleh Informan H.A, diketahui bahwa:

“Masing-masing Tim dari 7 Kawasan tersebut, diberikan Pelatihan Pengawasan Internal dan Penegakan Hukum Kawasan Tanpa Rokok. Jika di Instansi Pemerintahan maka yang diberi Pelatihan adalah petugas keamanan (security), untuk Pengawasan Internal di lokasi tersebut, karena baik Dinas Kesehatan maupun Sat Pol PP tidak bisa mengcover seluruh wilayah KTR setiap saat” (Hasil wawancara tanggal 23 Agustus 2016). Selanjutnya hasil wawancara dengan Informan M.I, diketahui bahwa:

“Dalam melaksanakan penegakan seluruh Perda maupun Peraturan Walikota dengan menurunkan sejumlah Personil kurang lebih 60 orang Personil Sat Pol PP tergantung lokasi yang disurvei termasuk di Instansi Pemerintahan. Sat Pol PP membantu Dinas Kesehatan melaksanakan penegakan Perda KTR. Dalam hal ini Tugas Pokok dan Fungsi Sat Pol PP melakukan kebijakan Walikota dalam melakukan pemeliharaan dan penyelenggaraan ketentraman, ketertiban umum; melakukan perlindungan terhadap masyarakat dan Penegakan Peraturan Daerah dan Peraturan Walikota dengan Aparatur Kepolisian, PPNS dan atau Aparatur lainnya” (Hasil wawancara tanggal 8 September 2016).

Hal tersebut juga diungkapkan oleh Informan A.T, berikut ini:

“Survei Penegakan Perda KTR ini dilaksanakan di Instansi Pemerintahan secara bertahap melalui supervisi, pemberian Surat Peringatan (SP) 1 maupun SP 2. Petugas Sat Pol PP yang dilibatkan dalam penegakan Perda KTR itu (include) termasuk juga penegakan Perda lainnya. Personil di Sat Pol PP sebagai Penegakan Hukum Perda KTR sudah cukup. Dalam melaksanakan tugas mereka juga diberikan uang lelah untuk memotivasi personil. Hasil Survei disertai dengan gambar-gambar penegakan Perda KTR. Dalam hal ini Survei maupun Sidang Yustisi biasa dilaksanakan hari Selasa, pada lokasi-lokasi yang telah ditentukan sesuai jadwal” (Hasil wawancara tanggal 26 Agustus 2016). Berdasarkan hasil wawancara dapat diketahui bahwa dalam

melaksanakan penegakan seluruh Perda maupun Peraturan Walikota dengan

Sat Pol PP Kota Palembang menurunkan sejumlah Personil kurang lebih

60 orang Personil tergantung lokasi yang disurvei termasuk di Instansi

198

Pemerintahan. Sat Pol PP membantu Dinas Kesehatan melaksanakan

penegakan Perda KTR. Survei Penegakan Perda KTR ini dilaksanakan di

Instansi Pemerintahan secara bertahap melalui supervisi, pemberian Surat

Peringatan (SP) 1 maupun SP 2. Petugas Sat Pol PP yang dilibatkan dalam

penegakan Perda KTR itu (include) termasuk juga penegakan Perda lainnya.

Personil di Sat Pol PP sebagai Penegakan Hukum Perda KTR sudah cukup.

Dalam melaksanakan tugas mereka juga diberikan uang lelah untuk memotivasi

personil. Hasil Survei disertai dengan gambar-gambar penegakan Perda KTR.

Dalam hal ini Survei maupun Sidang Yustisi biasa dilaksanakan hari Selasa,

pada lokasi-lokasi yang telah ditentukan sesuai jadwal.

Selain itu, di Instansi Pemerintahan sendiri dibentuk Tim Pengawas

Internal yang sebelumnya telah, diberikan Pelatihan Pengawasan Internal dan

Penegakan Hukum Kawasan Tanpa Rokok. Tim Pengawas Internal di Instansi

Pemerintahan adalah petugas keamanan (security), yang bertugas melakukan

pengawasan internal di lokasi tersebut, karena baik Dinas Kesehatan maupun

Sat Pol PP tidak bisa mengcover seluruh wilayah KTR setiap saat. Memang

pada kenyataannya pengawas internal di Instansi Pemerintahan ini belum

dilakukan sepenuhnya, dikarenakan tingkat kesadaran baik pegawai maupun

masyarakat yang menerima pelayanan untuk mematuhi Perda KTR masih

rendah.

199

5.1.2 Konteks Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Kota

Palembang

Konteks implementasi sebagai faktor yang mempengaruhi aktivitas

implementasi menurut Grindle mencirikan adanya interaksi antara pengambil

kebijakan, pelaksana kebijakan dan pengguna kebijakan dalam model interaktif

yang dipengaruhi oleh variabel lingkungan kebijakan. Dalam hal ini konteks

implementasi dalam kebijakan Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009 Tentang

Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang, dianalisis melalui indikator antara

lain: a) Kekuasaan, Kepentingan dan Strategi aktor yang dlibatkan,

b) Karakteristik Lembaga & Penguasa dan c) Kepatuhan dan Daya Tanggap,

semua indikator diuraikan dalam hasil penelitian sebagai berikut:

5.1.2.1 Kekuasaan, Kepentingan dan Strategi aktor yang dilibatkan

Power, Interest and Strategy of Actor Involved (Kekuasaan, kepentingan-

kepentingan dan strategi dari aktor yang dilibatkan). Dalam suatu kebijakan perlu

diperhitungkan termasuk pula kekuatan atau kekuasaan, kepentingan serta

strategi yang digunakan oleh para aktor yang terlibat guna memperlancar

jalannya pelaksanaan suatu implementasi.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Informan A.S, diketahui bahwa:

“Berdasarkan Perwako No. 67 Tahun 2010 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengawasan Kawasan Tanpa Rokok, maka dibentuklah Dinas Kesehatan Kota Palembang dan Satpol PP Kota Palembang sebagai Tim Pengawas Kawasan Tanpa Rokok Kota Palembang untuk melakukan pengawasan kawasan tanpa rokok yang dilaksanakan persuasif maupun represif, dalam rangka melindungi kepentingan kelompok sasaran meliputi: perlindungan terhadap mereka yang tidak merokok; menciptakan lingkungan yang sehat; dan menertibkan perokok aktif dimana dia merokok bukan melarang mereka yang merokok” (Hasil wawancara tanggal 29 Agustus 2016)

200

Sejalan dengan hal tersebut Informan H.A, diketahui bahwa:

“Strategi dari aktor yang dilibatkan, dalam hal ini aktor yang dimaksud Dinas Kesehatan Kota Palembang dan Satpol PP Kota Palembang melakukan penyebarluasan informasi tentang Perda KTR kepada masyarakat dilakukan melalui sosialisasi dengan melibatkan media TV, Radio, Koran sehingga lebih efektif. Karena mengubah mindset masyarakat memang membutuhkan waktu yang lama dan proses yang terus menerus” (Hasil wawancara tanggal 23 Agustus 2016) Hal tersebut juga diungkapkan oleh Informan A.S, diketahui bahwa:

“Penerapan strategi tersebut terhadap implementasi Kebijakan Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Instansi Pemerintahan Kota Palembang sebenarnya sudah cukup baik. Namun untuk Instansi Pemerintahan sendiri belum maksimal. Berdasarkan hasil supervisi di Instansi Pemerintahan hanya sekedar memasang sticker larangan merokok saja, dan seringkali dilepaskan (hilang karena renovasi ruang kantor). Perda KTR juga tidak diumumkan melalui bagian Informasi, sehingga Pegawai seringkali lupa, masyarakat yang menerima pelayanan juga tidak membaca ataupun mengetahui tentang Perda KTR” (Hasil wawancara tanggal 29 Agustus 2016).

Berdasarkan Laporan dari Dinas Kesehatan Kota Palembang, diketahui

bahwa Pelaksanaan Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009 tentang Kawasan

Tanpa Rokok di Kota Palembang, strategi dari aktor yang dilibatkan antara lain

dengan melakukan kegiatan sebagai berikut:

1) Sosialisasi

(a) Secara Langsung, meliputi:

(1) Talkshow melalui Radio

a. Eljhon FM: Dilaksanakan Tahun 2009 (1 kali) dan Tahun 2010

(2 kali)

b. Trijaya FM: Dilaksanakan Tahun 2009 (1 kali) dan Tahun

2010 (3 kali)

c. RRI: Dilaksanakan Tahun 2010 (1 kali)

d. Smart FM: Dilaksanakan Tahun 2010 (1 kali)

e. Sriwijaya FM): Dilaksanakan Tahun 2010 (1 kali)

201

(2) Talkshow melalui TV Swasta: Pal TV, dilaksanakan Tahun 2010

(2 kali)

(3) Mobil keliling dari Dinas Informasi dan Komunikasi (Infokom) ke

salah satu terminal angkutan umum

(4) Workshop terhadap kawasan pelayanan kesehatan, para Camat

dan para Lurah

(b) Secara Tidak Langsung, meliputi:

(1) Penyebaran Surat Instruksi tentang pemasangan papan

pengumuman Kawasan Tanpa Rokok

(2) Penyebaran Leaflet Kawasan Tanpa Rokok

(3) Pembuatan papan pengumuman Kawasan Tanpa Rokok

Selanjutnya Sosialisasi dilakukan kembali tahun 2014, dengan kegiatan

sebagai berikut:

(a) Sosialisasi Perda No 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok

(b) Penempelan Stiker Perda No 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa

Rokok di angkot

(c) Iklan Surat kabar dan Televisi Perda No 7 Tahun 2009 tentang

Kawasan Tanpa Rokok

(d) Supervisi Perda No 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok

Berikut foto pelaksanaan sosialisasi berupa pemberian materi mengenai

kawasan tanpa rokok oleh Kepala Dinas Kesehatan Kota Palembang, Satpol PP

dan Dr Spesialis Paru RSMH Kota Palembang

202

Sumber: Dokumentasi Dinas Kesehatan Kota Palembang Tahun 2014

Berdasarkan gambar diatas, diketahui bahwa sosialisasi KTR

dilaksanakan di beberapa tempat di Instansi Pemerintahan Kota Palembang,

yang dihadiri oleh perwakilan pimpinan di 7 kawasan tanpa rokok, meliputi:

fasilitas pelayanan kesehatan; tempat proses belajar mengajar; tempat anak

bermain; tempat ibadah; angkutan umum; tempat kerja; dan tempat umum

Gambar 5.2 Penyerahan pin Simbolis kepada Peserta Sosialisasi KTR

Gambar 5.4 Sosialisasi KTR oleh dr. Paru RSMH

Gambar 5.1 Pemberian Materi KTR oleh Kadinkes

Gambar 5.3 Sosialisasi KTR oleh Satpol PP

203

Beberapa agenda yang dilaksanakan berupa pemberian materi

mengenai bahaya rokok yang disampaikan oleh Dr Spesialis Paru RSMH Kota

Palembang, serta materi mengenai maksud, tujuan maupun operasionalisasi

Kawasan tanpa Rokok oleh Kepala Dinas Kesehatan Kota Palembang serta

utusan dari Satpol PP Kota Palembang. Setelah pemberian materi dilanjutkan

dengan penyerahan pin, stiker maupun buku pedoman pelaksanaan yang berisi

Perda maupun aturan pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang.

Dalam hal ini diharapkan Sosialisasi Perda No. 7 Tahun 2009 tentang KTR perlu

digencarkan lagi, dengan melibatkan masyarakat terutama Perguruan Tinggi

untuk sosialisasi kawasan tanpa rokok. Melibatkan seluruh lapisan untuk

melaksanakan Perda No.7 Tahun 2009 tentang KTR melalui kerja sama lintas

program dan sektor.

Selanjutnya penempelan stiker Perda No. 7 Tahun 2009 tentang

Kawasan Tanpa Rokok di Angkutan Umum Kota Palembang, telah dilakukan

tahun 2014, berdasarkan tabel berikut ini:

Tabel 5.3 Data Hasil Kegiatan penempelan stiker Perda No 7 Tahun 2009

tentang Kawasan Tanpa Rokok di Angkutan Umum Kota Palembang

No Lokasi Penempelan Stiker KTR Jumlah Angkot yang telah

dilakukan Penempelan Stiker KTR

1

2

3

4

5

6

Di Bawah Jembatan Ampera

Terminal Pasar Lemabang

Pasar Kuto

Jalan Merdeka

Terminal Alang-alang Lebar

Terminal Perumnas

558 Angkot

160 Angkot

78 Angkot

287 Angkot

89 Angkot

75 Angkot

Sumber: Laporan Dinas Kesehatan Kota Palembang

204

Berikut gambar penempelan stiker Perda No. 7 Tahun 2009 tentang

Kawasan Tanpa Rokok di Angkutan Umum Kota Palembang

Gambar 5.5 Penempelan Stiker KTR oleh Kadinkes, Personil Dinas Perhubungan dan DPC Organda di Angkutan Kota

Sumber: Dokumentasi Dinas Kesehatan Kota Palembang tahun 2009

Gambar 5.6 Penempelan Stiker KTR oleh Personil Dishub & Satpol PP Dinas Perhubungan di Bus Kota

Gambar 5.7 Penempelan Stiker KTR oleh Personil Satpol PP di Trans Musi

205

Penempelan stiker secara simbolis dilakukan oleh personil Kadinkes,

Personil Dinas Perhubungan dan DPC Organda di Angkutan Kota Palembang, ini

merupakan perwakilan dari angkutan umum yang termasuk dalam salah satu

kawasan tanpa rokok di Kota Palembang. Agenda awal sosialisasi dilakukan

dengan memberi pengetahuan dan pemahaman mengenai Perda Kawasan

Tanpa Rokok kepada supir maupun masyarakat yang menggunakan angkutan

umum. Dalam hal ini bagi supir maupun masyarakat yang kedapatan merokok

belum dikenakan sanksi melainkan hanya diberi peringatan berupa teguran lisan

Pemasangan Iklan Surat kabar, baliho dan Televisi Perda No 7 Tahun

2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok, juga telah dilakukan di Koran Sumatera

Ekspress dengan jenis iklan kolom dan berita di society, yang dapat dilihat pada

gambar berikut ini:

Gambar 5.8 Pemasangan Iklan KTR Surat Kabar

206

Pemasangan Iklan Surat kabar, baliho dan Televisi Perda No 7 Tahun

2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok, juga telah dilakukan pada beberapa media

massa lokal salah satunya di Koran Sumatera Ekspress dengan jenis iklan kolom

dan berita di society. Meskipun masih kurang efektif karena posisinya bukan

menjadi headline surat kabar tersebut. Namun demikian usaha Pemerintah ini

sudah selayaknya diapresiasi dalam rangka memberi infomasi kepada

masyarakat mengenai Perda No 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok di

Kota Palembang. Selain itu, Sosialisasi Perda No 7 Tahun 2009 tentang

Kawasan Tanpa Rokok, juga dilakukan melalui pemasangan baliho di pusat Kota

Palembang, yang dapat dilihat pada gambar berikut ini:

Gambar 5.9 Baliho tentang KTR di Jalan Protokoler Kota Palembang Sumber: Dokumentasi Dinas Kesehatan Kota Palembang tahun 2014

Pemasangan Baliho tentang Kawasan Tanpa Rokok di Jalan Protokoler

Kota Palembang, dirasakan cukup efektif. Sebagian besar Masyarakat

mengapresiasi pemasangan baliho tersebut yang bertujuan memberi infomasi

kepada masyarakat mengenai Perda No 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa

Rokok di Kota Palembang.

207

2) Kegiatan Pemeriksaan Air Quality Monitoring, telah dilaksanakan

pemeriksaan sampel udara indoor di 30 titik pemeriksaan, dimana tidak

ada pembatasan ruang antara ruang merokok dan ruang tanpa rokok

3) Pembahasan Pembuatan Perwali tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota

Palembang, Pertemuan sosialisasi Perwali tentang Kawasan Tanpa Rokok

bersama Asisten 4 dan Bagian Hukum Pemerintah Kota Palembang

4) Pelatihan Tim Penegakan Hukum Perda KTR

5) Selain itu juga dilakukan Survei dan Sidang Yustisi dengan menggunakan

Mobil Keliling dari Satuan Polisi Pamong Praja Kota Palembang.

Sidang Yustisi dilakukan oleh Tim dari Sat Pol PP dan dibantu dengan

pihak kepolisian, kejaksaan setelah pelaksanaan Tipiring. Sidang Yustisi

dilakukan dengan menggunakan Mobil Keliling dari Satuan Polisi Pamong Praja

Kota Palembang untuk menyidang ditempat. Dalam hal ini Survei maupun

Sidang Yustisi biasa dilaksanakan hari Selasa, pada lokasi-lokasi yang telah

ditentukan sesuai jadwal untuk menindak pelanggaran terhadap Perda KTR,

yang dapat dilihat pada gambar berikut ini:

Gambar 5.10 Pelaksanaan Tipiring Perda No 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok Sumber: Dokumentasi Dinas Kesehatan Kota Palembang tahun 2014

208

Gambar 5.11 Pelaksanaan Sidang Yustisi Perda No 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok Sumber: Dokumentasi Dinas Kesehatan Kota Palembang tahun 2014

Berdasarkan gambar di atas, diketahui bahwa kegiatan Tipiring dilakukan

untuk menegakkan Perda No 7 tahun 2009 tentang kawasan tanpa

rokok. Pemerintah kota Palembang ingin menunjukkan kepada masyarakat, jika

Perda yang dibuat untuk ditaati. Mereka yang kedapatan tangan langsung digelar

sidang yustisi ditempat oleh Hakim. Sesungguhnya ini dilakukan untuk membuat

efek jera kepada pelanggar atau masyarakat yang merokok tidak pada

tempatnya, sebanyak 20 yang melanggar KTR. Dengan efek jera ini, mereka

langsung disidang dilapangan sehingga akan menjadi kenangan seumur hidup

bagi para pelanggar. Tim gabungan yang diturunkan dalam penertiban tersebut,

sebanyak 70 personil. Tim dari Sat Pol PP dan dibantu dengan pihak kepolisian,

kejaksaan. Selain itu, 1 bus untuk menyidang ditempat. Untuk sanksi bagi

pelanggar mereka akan dikenakan ancaman pidana kurungan paling lama tiga

bulan dan denda paling banyak Rp 50 juta. Namun untuk pelanggar yang

kedapatan pada saat pelaksanaan tipiring ini hanya membayar Rp 50.000,- untuk

selanjutnya disetor ke Kas Negara. Hal ini dikarenakan, kegiatan ini masih dalam

209

bentuk dari sosialisasi untuk masyarakat Kota Palembang dan masyarakat luar

Kota Palembang.

Adapun sumber keuangan pelaksanaan kebijakan kawasan tanpa roko

kini, antara lain bersumber dari:

a) APBN Depkes

Sebagian kecil pada dana kegiatan Program Promosi Kesehatan Dinas

Kesehatan Provinsi Sumatera Selatan

b) APBD

Program penyebaran informasi dan program PTM di seksi P2P Bidang

Pengendalian Masalah Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Palembang

c) Support dana dari:

(1) World Lung Foundation

(2) Union

Berdasarkan hasil wawancara dapat dikatakan bahwa Strategi aktor yang

dilibatkan dalam pelaksanaan Kebijakan kawasan tanpa rokok, antara lain

meliputi pelaksanaan sosialisasi, kegiatan pemeriksaan Air Quality Monitoring,

kliping koran yang berhubungan dengan rokok, pembahasan pembuatan perwali

tentang kawasan tanpa rokok di kota palembang, pertemuan sosialisasi perwali

tentang kawasan tanpa rokok bersama asisten 4 dan bagian hukum pemerintah

kota palembang serta pelatihan Tim Penegakan Hukum Perda KTR. Namun

untuk Instansi Pemerintahan sendiri belum maksimal. Di Instansi Pemerintahan

hanya sekedar memasang sticker larangan merokok saja. Perda KTR tidak

diumumkan melalui bagian Informasi, sehingga tidak semua masyarakat tahu

tentang Perda KTR. Oleh karena itu, perlu dilaksanakan sosialisasi dan

210

penegakan hukum Perda KTR secara terus menerus karena mengubah mindset

masyarakat memang membutuhkan waktu yang lama dan proses yang lama.

5.1.2.2 Karakteristik Lembaga & Penguasa

Institution and Regime Characteristic (Karakteristik lembaga dan rezim

yang berkuasa). Lingkungan dimana suatu kebijakan tersebut dilaksanakan juga

berpengaruh terhadap keberhasilannya. Keberhasilan implementasi kebijakan

ditentukan oleh sinergisitas kerjasama atau hubungan diantara aktor-aktor

kebijakan yaitu yang membuat/melaksanakan kebijakan dengan yang dikenai

kebijakan. Berdasarkan hasil wawancara dengan Informan A.S, berikut ini:

“Para pelaku kebijakan dalam melaksanakan Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Instansi Pemerintahan Kota Palembang, cukup maksimal. Namun diharapkan tidak hanya melibatkan instansi yang berwenang, maupun Pengawas Internal saja melainkan juga melibatkan seluruh lapisan masyarakat dengan menyediakan pengaduan terhadap pelanggaran Perda KTR” (Hasil wawancara tanggal 29 Agustus 2016). Dalam hal ini Dinas Kesehatan Kota Palembang serta Satuan Polisi

Pamong Praja Kota Palembang, selaku pihak yang berwenang, bertugas:

(a) Mengefektifkan informasi yang disampaikan kepada masyarakat

mengenai larangan merokok di Instansi Pemerintahan Kota Palembang

melalui sosialisasi Peraturan Daerah Kota Palembang No. 7 Tahun 2009

tentang Kawasan Tanpa Rokok

(b) Memberikan kejelasan sanksi kepada pihak yang melanggar Peraturan

Daerah Kota Palembang No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa

Rokok baik bagi Instansi Pemerintahan dan pertokoan maupun

pengawasan tanpa rokok, yang diuraikan sebagai berikut:

211

(1) Setiap Pemilik, Pengelola, Manager, Pimpinan dan Penanggung

Jawab:

(i) Apabila tidak melarang adanya tempat untuk merokok di dalam

gedung dan/atau penyediaan rokok, dikenakan sanksi

admnistratif dan/atau denda paling banyak sebesar

Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah).

(ii) Tidak meletakkan tanda-tanda dilarang merokok di semua pintu

masuk utama dan di tempat-tempat yang dipandang perlu dan

mudah terbaca, dikenakan sanksi administratif dan/atau denda

paling banyak sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah).

(iii) Tidak melarang orang merokok di Kawasan Tanpa Rokok,

dikenakan sanksi administratif dan/atau denda paling banyak

sebesar Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah).

(iv) Melakukan pelanggaran sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut,

dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan izin usaha

dan penutupan tempat usahanya

(2) Pengawas atau Petugas yang berwenang tidak mengawasi Kawasan

Tanpa Rokok, dikenakan sanksi administratif dibidang kepegawaian

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku

(c) Penerapan sanksi bagi pelanggar kawasan tanpa rokok secara

konsekuen

212

Sejalan dengan hal tersebut Informan M.I, menambahkan:

“Awalnya sudah cukup maksimal. Mayoritas Pihak Pimpinan Instasi sudah berkomitmen untuk melaksanakan Perda KTR. Ini terbukti pada saat supervisi cukup bersih dari asap rokok, namun ada beberapa Instansi yang makin makin banyak melakukan pelanggaran Perda KTR. Mungkin karena hanya diberikan surat peringatan, sehingga masih saja ada pegawai maupun masyarakat yang menerima pelayanan merokok, khususnya di ruang pelayanan masyarakat” (Hasil wawancara tanggal 23 Agustus 2016). Hal tersebut kemudian dikonfirmasikan dengan Informan R.S, berikut ini:

“Pada saat kita melaksanakan penegakan Perda, KTR. Dalam hal ini setiap ditemukan pelanggaran di Instansi Pemerintahan melalui pelaksanaan supervisi, maka aparat Pol PP wajib menegur/menindak. Sudah ada yang ditegur ditempat kejadian, namun masih ditemukan pelanggaran” (Hasil wawancara tanggal 26 Agustus 2016). Senada dengan hal tersebut Informan D.P, berikut ini:

“Masih banyak terjadi pelanggaran yakni Pegawai maupun Masyarakat yang merokok. Pimpinan beralasan tidak pernah menerima pemberitahuan supervisi. Dalam hal ini supervisi yang dilakukan di hampir disemua Instansi Pemerintahan secara bertahap, umumnya telah ditemukan sticker Perda KTR pada Instansi Pemeritahan, namun untuk plank Perda KTR sangat jarang di temukan. Selain itu masih banyak terjadi pelanggaran Perda KTR, berupa penyediaan piring yang menampung abu rokok, bahkan pegawai maupun masyarakat yang merokok diruangan. Dalam hal ini pihak Instansi yang melakukan pelanggaran terhadap Perda KTR telah mendapat SP1” (Hasil wawancara tanggal 23 Agustus). Selanjutnya hasil wawancara dengan Informan M.E, berikut ini:

“Kami sudah mengetahui Perda KTR. Saya Pribadi merokok bersama 1 (satu) staf saya, kami biasa merokok diluar, karena di ruangan telah dipasang AC. Stiker larangan merokok juga telah di tempel. Asbak untuk menampung abu rokok juga sudah tidak ada namun mengenai piring yang dialihfungsikan untuk menampung abu rokok, hal ini diluar pengetahuan kita karena dilakukan oleh oknum RT bukan Pegawai Kelurahan, padahal sudah di tempel stiker larangan merokok dan sudah diberitahukan, namun mungkin karena RTnya baru menjabat jadi masih tahu betul mengenai Perda KTR” (Hasil wawancara tanggal 17 Oktober 2016)

213

Berikut gambar pelanggaran KTR yang terjadi di Instansi Pemerintahan

Berdasarkan gambar diatas diketahui bahwa Pak RT selaku masyarakat

yang menerima pelayanan di Kantor Kelurahan, kedapatan melanggar Perda

Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang, hal ini terbukti dengan adanya

bungkus rokok, penyediaan asbak/tempat untuk menampung abu/puntung rokok.

Meskipun beliau beralasan tidak mengetahui Perda Kawasan Tanpa Rokok di

Kota Palembang serta tidak adanya larangan dari pegawai di Instasi

pemerintahan tersebut, namun tidak memungkiri bahwa telah terjadi pelanggaran

di Instansi Pemerintahan Kota Palembang. Sehingga diharapakan perlu adanya

tindakan tegas untuk melarang pegawai maupun masyarakat yang kedapatan

merokok di Instansi Pemerintahan Kota Palembang. Upaya yang dapat dilakukan

antara lain dengan tidak memberikan pelayanan kepada masyarakat yang

bersangkutan sebelum berhenti/mematikan rokoknya.

Gambar 5.12 Pak RT yang merokok di Kantor Kel. Kertapati

214

Gambar 5.14 Kasi Pembinaan Kawasan dan Penyuluhan Perda Sat Pol PP

Kota Palembang yang merokok sebelum wawancara KTR Sumber: Dokumentasi Peneliti Tahun 2016

Gambar 5.13 Korek Api di meja Lurah Kelurahan Kemas Rindo

215

Gambar 5.15 Pegawai Kelurahan yang asik merokok dihadapan Sat Pol PP Kota Palembang yang melakukan supervisi KTR Sumber: Dokumentasi Peneliti Tahun 2016

Berdasarkan hasil wawancara dan gambar dapat dikatakan bahwa para

pelaku kebijakan dalam melaksanakan Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009

Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Instansi Pemerintahan, belum cukup

maksimal. Dalam hal ini setiap ditemukan pelanggaran di Instansi Pemerintahan

melalui pelaksanaan supervisi, maka aparat Pol PP wajib menegur/ menindak.

Sudah ada yang ditegur ditempat kejadian, namun masih ditemukan

pelanggaran. Masih banyak terjadi pelanggaran yakni Pegawai maupun

Masyarakat yang merokok. Pimpinan beralasan tidak pernah menerima

pemberitahuan supervisi. Dalam hal ini supervisi yang dilakukan di hampir

disemua Instansi Pemerintahan secara bertahap, umumnya telah ditemukan

sticker Perda KTR pada Instansi Pemeritahan, namun untuk plank Perda KTR

sangat jarang di temukan. Selain itu masih banyak terjadi pelanggaran Perda

KTR, berupa penyediaan piring yang menampung abu rokok, bahkan pegawai

maupun masyarakat yang merokok diruangan. Dalam hal ini pihak Instansi yang

melakukan pelanggaran terhadap Perda KTR telah mendapat SP1

216

5.1.2.3 Kepatuhan dan Daya Tanggap

Complience and Responsiveness (Tingkat kepatuhan dan adanya respon

dari pelaksana). Dalam hal ini sejauhmana kepatuhan dan respon dari para

pelaksana dalam menanggapi suatu kebijakan. Kepatuhan terhadap Cara/Proses

Pelaksanaan kebijakan kawasan tanpa rokok di Instansi Kota Palembang, dilihat

dari:

(1) Sosialisasi Peraturan Daerah Kota Palembang No. 7 Tahun 2009

Tentang Kawasan Tanpa Rokok khususnya Instansi Pemerintahan Kota

Palembang. Hasil wawancara dengan Informan M.E, berikut ini:

“Saya mengetahui isi dari Perda Kawasan Tanpa Rokok, salah satunya menempelkan sticker larangan merokok. Sticker larangan merokok diperoleh secara gratis pada saat melakukan sosialisasi ataupun pada saat surpervisi. Dalam Perda tersebut juga menguraikan hal-hal yang dilarang antara lain tidak menyediakan tempat maupun asbak untuk merokok”. (Hasil wawancara tanggal 17 Oktober 2016)

Berikut ini adalah dokumentasi pemasangan sticker Perda KTR dan

larangan merokok di beberapa sudut Instansi Pemerintahan oleh

Pegawai Dinkes, Satpol PP dan Peneliti

Gambar 5.16 Pegawai Satpol PP, Pegawai Dinkes & Peneliti yang Menempelkan stiker KTR di Instansi Pemerintahan Kota Palembang Sumber: Dokumentasi Peneliti Tahun 2016

217

(2) Pembentukan Tim Pengawas Internal Kawasan Tanpa Rokok

Pembentukan Tim Pengawas Internal Kawasan Tanpa Rokok di

Instansi Pemerintahan dilakukan setelah terlebih dahulu mendapat

Pelatihan Tim Penegakan Hukum Kawasan Tanpa Rokok Kota

Palembang yang dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Kota Palembang.

(3) Penyusunan Jadwal inspeksi atau supervisi pelaksanaan Peraturan

Daerah Kota Palembang No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa

Rokok

Selanjutnya hal tersebut dikonfirmasikan dengan Informan R.S,

diketahui bahwa:

“Personil Sat Pol PP diturunkan sebagai Penegakan Hukum Perda KTR. Hasil Survei disertai dengan gambar-gambar penegakan Perda KTR termasuk di Instansi Pemerintahan. Dalam hal ini Survei maupun Sidang Yustisi biasa dilaksanakan hari Selasa, pada lokasi-lokasi yang telah ditentukan sesuai jadwal” (Hasil wawancara tanggal 26 Agustus 2016).

Berikut ini adalah dokumentasi Survei maupun Sidang Yustisi

Penegakan Hukum Perda KTR

Gambar 5.17 Pelaksanaan Survei Penegakan Hukum Perda KTR di Palembang Sumber: Dokumentasi Dinas Kesehatan Kota Palembang

218

Berdasarkan gambar 5.17 terlihat bahwa pelaksanaan survei dilakukan

di depan Internasional Plaza, dengan menggelar meja dan kursi untuk

mendata masyarakat yang melanggar Perda. Tidak hanya razia

terhadap Perda KTR, melainkan juga Perda Sampah maupun KTP.

Gambar 5.18 Pelaksanaan Sidang Yustisi Penegakan Hukum Perda KTR di Internasional Plaza Sumber: Dokumentasi Dinas Kesehatan Kota Palembang

Berdasarkan tabel 5.4 diketahui bahwa masyarakat yang melanggar

Perda langsung disidangkan ditempat (di dalam mobil keliling Sidang

Yustisi) oleh Hakim. Berdasarkan hasil wawancara dengan Informan

M.I, diketahui bahwa:

“Penegakan Perda KTR telah dilaksanakan sesuai ketentuan, mulai dari pelaksanaan survei hingga Sidang Yustisi. Adapun besaran denda administratif yang diberikan kepada si pelanggar didasarkan pada Keputusan Hakim. Namun untuk Pimpinan Instansi sendiri belum pernah dikenakan sanksi, hanya berupa pemberian Surat Peringatan (SP1)” (Hasil wawancara tanggal 8 September 2016).

Berdasarkan hasil wawancara dan data dengan Informan diketahui

bahwa Inspeksi KTR di Internasional Plaza dilaksanakan pada hari

Jum’at, dengan melibatkan Personil Sat Pol PP. Selanjutnya Sat Pol PP

juga melaksanakan Penegakan Hukum Perda KTR maupun Perda-

perda lainnya melalui Survei maupun Sidang Yustisi biasa dilaksanakan

219

hari Selasa, pada lokasi-lokasi yang telah ditentukan sesuai jadwal,

termasuk di Instansi Pemerintahan. Ditemukan seorang pelanggar

Perda KTR yang merokok di luar gedung namun hanya mendapat

teguran. Sedangkan untuk Pimpinan Instansi sendiri belum pernah

dikenakan sanksi hanya berupa pemberian Surat Peringatan (SP1)

(4) Penerapan Saksi bagi pelanggar Peraturan Daerah Kota Palembang

No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok

Berdasarkan hasil wawancara dengan Informan M.I, berikut ini:

“Pada saat kita melaksanakan penegakan Perda, antara lain tentang Kepegawaian, tentang sampah termasuk juga di Instansi Pemerintah, kami juga sekaligus melakukan penegakan Perda KTR. Dalam hal ini setiap ditemukan pelanggaran di Instansi Pemerintahan maka aparat Pol PP wajib menegur/menindak. Sudah ada yang ditegur ditempat kejadian” (Hasil wawancara tanggal 8 September 2016).

Hal serupa juga diungkapkan oleh Informan PT, diketahui bahwa:

“Dalam melakukan penegakan Perda KTR, kami sisir dari lantai bawah sampai atas, pada saat itu tidak ada satupun baik asbak maupun orang yang merokok. Maka Tim tidak bisa melakukan tindakan hukum, karena apabila terdapat perokok yang berada di Instansi Pemerintahan, maka yang ditindak Pimpinan Instansi Pemerintahan itu sendiri, namun jika ditemukan pelanggaran diluar lingkungan dalam, tapi masih dalam lingkungan Kantor, maka pelanggarnya yang kami tindak/kami lakukan pembinaan, selanjutnya kami buat berita acara agar yang bersangkutan tidak merokok” (Hasil wawancara tanggal 26 Agustus 2016).

Berdasarkan hasil wawancara dapat dikatakan bahwa dalam penegakan

Perda KTR. Dalam hal ini setiap ditemukan pelanggaran di Instansi

Pemerintahan maka aparat Pol PP wajib menegur/menindak. Sudah ada

yang ditegur ditempat kejadian. Sat Pol PP Kota Palembang melakukan

penyisiran dari lantai bawah sampai atas, pada saat itu tidak ada

satupun baik asbak maupun orang yang merokok. Maka Tim tidak bisa

melakukan tindakan hukum, karena apabila terdapat perokok yang

220

berada di Instansi Pemerintahan, maka yang ditindak Pimpinan Instansi

Pemerintahan itu sendiri, namun jika ditemukan pelanggaran diluar

lingkungan dalam, tapi masih dalam lingkungan Kantor, maka

pelanggarnya yang kami tindak/kami lakukan pembinaan, selanjutnya

kami buat berita acara agar yang bersangkutan tidak merokok

(5) Laporan kepada Dinas Kesehatan melalui Tim Pelaksanaan

Pengawasan Kawasan Tanpa Rokok Palembang setiap akhir bulan.

Selanjutnya Tim Pengawas Kawasan Tanpa Rokok melalui Dinas

Kesehatan secara berkala mengirimkan laporan per triwulan kepada

Walikota Palemban

Berdasarkan hasil wawancara dan gambar dapat dikatakan bahwa

masyarakat pada umumnya mengetahui isi dari Perda Kawasan Tanpa Rokok

termasuk hal-hal yang dilarang dalam pelaksanaan Perda KTR, melalui

pelaksanaan sosialisasi maupun informasi media cetak dan elektronik, isi Perda

salah satunya memuat tentang penempelan sticker larangan merokok, tidak

menyediakan tempat maupun asbak untuk merokok maupun sanksi pelanggaran

Perda KTR itu sendiri.

Personil Sat Pol PP diturunkan sebagai Penegakan Hukum Perda KTR,

melalui pelaksanaan supervisi maupun Sidang Yustisi biasa dilaksanakan hari

Selasa, pada lokasi-lokasi yang telah ditentukan sesuai jadwal. Dalam hal ini,

kepatuhan dan daya tanggap Petugas sudah cukup baik, meskipun masih

banyak terjadi pelanggaran. Penegakan Perda KTR telah dilaksanakan sesuai

ketentuan, mulai dari pelaksanaan survei hingga Sidang Yustisi. Adapun besaran

denda administratif yang diberikan kepada si pelanggar didasarkan pada

221

Keputusan Hakim. Namun untuk Pimpinan Instansi sendiri belum pernah

dikenakan sanksi, hanya berupa pemberian Surat Peringatan (SP1).

Selanjutnya untuk mengetahui faktor yang mempengaruhi kepatuhan

pelaksanaaan Perda KTR, teori yang paling cocok digunakan adalah Teori Green

tentang Perilaku Kesehatan. Teori Green (1999) membagi faktor yang

mempengaruhi perilaku kesehatan masyarakat menjadi 3 faktor utama, faktor

predisposisi (predisposing factor), faktor pemungkin (enabling factor) dan faktor

penguat (reinforcing factor). Faktor predisposisi (predisposing factor), merupakan

faktor yang mempermudah terjadinya perilaku seseorang. Faktor ini meliputi:

Pengetahuan, Sikap Komitmen serta Perilaku Pelaksana Perda KTR. Faktor

pemungkin (enabling factor), merupakan faktor yang memungkinkan terjadinya

perilaku, meliputi: Penyediaan Fasilitas Pendukung pelaksanaan Perda KTR

berupa: penyediaan stiker, leaflet maupun spanduk tanda larangan merokok,

buku pedoman larangan merokok serta penyediaan klinik kesehatan untuk terapi

bagi perokok. Faktor penguat (reinforcing factor), meliputi: Himbauan Organisasi,

Pengawasan Internal serta Penerapan Sanksi. Himbauan dapat didefinisikan

sebagai anjuran yang diterima oleh pengelola dari organisasi dan merupakan

salah satu bentuk tindakan nyata dari organisasi setelah mendukung keberadaan

perda. Pengawasan Internal berupa pembentukan tim penegakan hukum Perda

KTR di Kota Palembang.

a. Faktor Predisposisi dalam Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa

Rokok di Kota Palembang

Faktor predisposisi (predisposing factor), merupakan faktor yang

mempermudah terjadinya perilaku seseorang. Faktor ini meliputi: Pengetahuan,

222

Sikap Komitmen serta Perilaku Pelaksana Perda KTR. Pengetahuan tentang

pelaksanaan Perda KTR bisa didapat melalui penglihatan seperti melihat dan

membaca berita tentang Perda KTR melalui media televisi, radio maupun media

massa. Pengetahuan dinilai menggunakan pertanyaan untuk mengukur tingkat

pengetahuan pengelola tentang pelaksanaan Perda KTR di Kantor Kelurahan.

Pengetahuan pengelola meliputi tujuan pelaksanaan Perda KTR, tempat-tempat

yang diatur, kriteria kepatuhan dan sanksi terhadap Pelanggaran. Pengelola

yang telah mempunyai pemahaman dan pengetahuan yang cukup diharapkan

kawasan yang dikelolanya akan patuh terhadap Perda KTR. Selanjutnya sikap

juga merupakan kesiapan seseorang untuk berprilaku. Sikap yang positif

terhadap sesuatau (setuju, senang, mau) akan memicu prilaku yang postif pula.

Pengetahuan mengenai Perda Kawasan Tanpa Rokok berpengaruh

terhadap kepatuhan Pegawai terhadap Perda KTR di Instansi Pemerintah Kota

Palembang. Berdasarkan hasil wawancara dengan Informan A.S, diketahui

bahwa:

“Untuk meningkatkan pengetahuan pegawai mengenai Perda KTR, Dinas Kesehatan Kota Palembang melakukan sosialisasi berupa leaflet, brosur, pemberian dan pemasangan tanda Kawasan Tanpa Rokok, pembinaan dan pendampingan dalam melaksanakan Peraturan daerah kawasan tanpa rokok di kawasan tempat kerja” (Hasil wawancara 29 Agustus 2016) Dalam hal ini pengetahuan pegawai mengenai Peraturan Daerah No.7

Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok di peroleh dari sosialisasi dan

pelatihan penegakan peraturan daerah. Menurut Green faktor pengetahuan

mempunyai pengaruh yang sangat besar, karena pengetahuan dapat sebagai

motivasi awal bagi seseorang dalam berperilaku. Pengetahuan merupakan hasil

“tahu” dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu

objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera

223

penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar

pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga.

Berdasarkan Laporan dari Dinas Kesehatan Kota Palembang, diketahui

bahwa Pelaksanaan Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan

Tanpa Rokok di Kota Palembang, antara lain berupa:

(a) Sosialisasi Perda No 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok

(b) Penempelan Stiker Perda No 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa

Rokok di angkot

(c) Iklan Surat kabar dan Televisi Perda No 7 Tahun 2009 tentang Kawasan

Tanpa Rokok

(d) Supervisi Perda No 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam

membentuk tindakan seseorang. Pengetahuan yang baik tentang Peraturan

Daerah No.7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok akan meningkatkan

kepatuhan pegawai, karena pegawai mengetahui secara jelas tujuan dan

manfaat dari penerapan Peraturan Daerah No.7 Tahun 2009 tentang Kawasan

Tanpa Rokok, akan tetapi jika responden merupakan seorang perokok yang

sudah adiktif, akan mengalami kesulitan untuk menahan hasrat ingin merokok

sehingga akan merokok di setiap tempat dan setiap waktu termasuk di ruang

kerja.

Informan H.A, menguraikan:

“Pada umumnya para Pegawai telah mengetahui adanya Perda KTR, yakni Perda yang melarang merokok di ruang yang masih ada atap namun demikian para pegawai tetap bersikap tidak peduli sehingga komitmen untuk mematuhi Perda KTR belum ada, sehingga perilaku merokok khususnya di kantor (Instansi Pemerintah) terus menerus terjadi” (Hasil wawancara tanggal 23 Agustus 2016).

224

Hal tersebut dikonfirmasikan dengan Informan A.G berikut ini: ”Stiker larangan merokok telah ditempel di lokasi strategis ruang kerja, namun untuk mengubah untuk mengubah perilaku merokok, terus terang masih sangat sulit. Karena dalam lingkungan perokok, sudah menjadi ritual umum jika tidak ditawari rokok ya menawarkan rokok, jika tidak dimintain rokok ya meminta rokok” (Hasil wawancara tanggal 14 September 2016)

Informan B.S juga menambahkan: ”Merokok atau tidaknya Pegawai di ruang kerja juga tergantung komitmen pimpinan, biasanya jika pimpinan tidak merokok maka akan memberikan sanksi yang tegas kepada Pegawai yang merokok di ruang kerja, namun sebaliknya jika pimpinan juga seorang perokok, dan merokok diruang kerja otomatis pegawai juga akan mengikuti” (Hasil wawancara tanggal 14 September 2016). Hal tersebut dikonfirmasikan dengan Informan S.M berikut ini: ”saya selaku pimpinan Instansi yang merokok juga baru mengetahui jika sanksi yang dikenakan bagi pelanggaran Perda KTR adalah Pimpinan Instansinya. Oleh karena itu, saya akan berusaha untuk mematuhi Perda KTR dengan tidak merokok di ruang kerja dan memberi contoh bagi Pegawai di lingkungan Instansi yang saya pimpin” (Hasil wawancara tanggal 14 September 2016).

Sikap tentang Perda KTR adalah sikap pengelola terhadap penerapan

Perda KTR di Instansi Pemerintahan yang meliputi Pendapat Pimpinan/Pegawai

terhadap dampak asap rokok terhadap orang disekitarnya, kebijakan pelarangan

kegiatan merokok di dalam ruangan di tempat manapun Instansi Pemerintahan,

tujuan pelaksanaan Perda KTR, pendapat tentang tanggung jawab mereka

sebagai pelaksana kebijakan kawasan tanpa rokok dikawasan yang dikelola dan

pendapat mereka terhadap dampak pelaksanaan Perda KTR terhadap

pemberian Pelayanan di Instansi Pemerintahan. Pimpinan Instansi Pemerintahan

yang mempunyai sikap postif terhadap pelaksanaan Perda KTR diharapkan

kawasan yang dikelolanya akan patuh pula terhadap Perda KTR.

225

Komitmen Pimpinan Instansi Pemerintahan mempunyai pengaruh yang

besar dalam mewujudkan kepatuhan kawasan terhadap Perda KTR. Dalam buku

pedoman pengembangan KTR disebutkan bahwa melakukan advokasi untuk

membangun komitmen bersama antara segenap masyarakat, pemerintah dan

pengelola kawasan sangat penting dalam kesuksesan pelaksanaan kebijakan

kawasan tanpa rokok.

Perilaku merokok dari pengelola merupakan faktor yang dapat

menghambat pelaksanaan Perda KTR di Instansi Pemerintahan. Pimpinan

Instansi Pemerintahan adalah role model atau teladan bagi bawahannya

sehingga seorang Pimpinan yang dikenal mempunyai perilaku merokok tidak

akan bisa menjadi contoh yang baik. Pimpinan tersebut akan kehilangan wibawa

saat menginisiasi pelaksanaan Perda KTR di Instansi Pemerintahannya. Selain

itu, dalam melakukan tindakan pengawasan akan cenderung tidak tegas dan

sangat mungkin tidak dituruti oleh orang lain. Penilaian terhadap prilaku merokok

dapat dilakukan dengan bertanya langsung apakah merokok atau tidak, apakah

merokok ditempat kerja atau di rumah.

Sehingga berdasarkan hasil wawancara dan data dapat dikatakan bahwa

pada umumnya para Pegawai telah mengetahui adanya Perda KTR, melalui

sosialisasi berupa leaflet, brosur, pemberian dan pemasangan tanda Kawasan

Tanpa Rokok, pembinaan dan pendampingan dalam melaksanakan Peraturan

daerah kawasan tanpa rokok di Kawasan Tempat Kerja. Dalam hal ini, Perda

KTR melarang merokok di ruangan tertutup mupun ruang terbuka yang masih

ada atap. Akan tetapi masih banyak pegawai yang bersikap tidak peduli

sehingga komitmen untuk mematuhi Perda KTR belum ada, sehingga perilaku

merokok khususnya di Kantor (Instansi Pemerintah) terus menerus terjadi

226

b. Faktor Pemungkin dalam Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa

Rokok di Kota Palembang

Faktor pemungkin (enabling factor), merupakan faktor yang

memungkinkan terjadinya perilaku, meliputi: Penyediaan Fasilitas Pendukung

pelaksanaan Perda KTR berupa: penyediaan stiker, leaflet maupun spanduk

tanda larangan merokok, buku pedoman larangan merokok serta penyediaan

klinik kesehatan untuk terapi bagi perokok.

Enabling factor diwujudkan dalam lingkungan fisik, tersedianya atau tidak

tersedianya fasilitas kesehatan. Dalam hal ini telah tersedia stiker, leaflet maupun

spanduk tanda larangan merokok, buku pedoman larangan merokok serta

penyediaan klinik kesehatan untuk terapi bagi perokok berupa Klinik Upaya

Berhenti Merokok (Klinik UBM) yang terdapat pada 5 (lima) puskesmas yang

ditunjuk untuk menyediakan klinik kesehatan khusus bagi perokok, yaitu

Pembina Puskesmas, Puskesmas Dempo, Puskesmas Merdeka, Puskesmas

Sako dan Puskesmas Sukarame. Berdasarkan pengamatan, diketahui bahwa

tidak ada ruang terpisah untuk klinik kesehatan dengan pelayanan umum di

Puskesmas, karena pelayanan kesehatan di Klinik UBM hanya menyediakan

konseling terbatas untuk mengurangi perilaku merokok. Selain itu, Fasilitas

untuk menampung pengaduan publik atas pelanggaran undang-undang KTR

masih belum tersedia secara maksimal.

227

Berdasarkan hasil wawancara dengan Informan A.S, diketahui bahwa:

“Penyediaan fasilitas dalam implementasi Kebijakan Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Instansi Pemerintahan Kota Palembang sebenarnya sudah cukup baik. Masing-masing Instansi sudah kita berikan stiker, leaflet maupun buku pedoman larangan merokok pada saat sosialisasi maupun supervisi, dan untuk selanjutnya stiker dapat memperbanyak sendiri. Selain itu, berdasarkan Instruksi Walikota Palembang No. 3 Tahun 2009 tentang Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok, Instansi Pemerintahan diinstruksikan untuk membuat papan pengumuman Kawasan Tanpa Rokok dan diletakkan di depan gedung perkantoran. Namun untuk Instansi Pemerintahan sendiri belum maksimal. Berdasarkan hasil supervisi di Instansi Pemerintahan hanya sekedar memasang sticker larangan merokok saja, dan seringkali dilepaskan (hilang karena renovasi ruang kantor). Papan pengumuman Kawasan Tanpa Rokok juga masih jarang di temukan di Instansi Pemerintahan. Selain itu, perda KTR juga tidak diumumkan melalui bagian Informasi, sehingga Pegawai seringkali lupa, masyarakat yang menerima pelayanan juga tidak membaca ataupun mengetahui tentang Perda KTR. ” (Hasil wawancara tanggal 29 Agustus 2016). Hal tersebut dikonfirmasikan dengan Informan M.E, berikut ini: “Stiker larangan merokok yang kami dapatkan saat sosialisasi Perda KTR telah di tempel di lokasi-lokasi strategis pelayanan, namun dikarenakan adanya renovasi ruangan, stiker KTR banyak yang dilepaskan, hanya beberapa yang masih dapat ditempel kembali. sedangkan untuk buku pedoman larangan merokok baru kami dapatkan saat pelaksanaan supervisi. Namun untuk memperbanyak stiker maupun penyediaan papan pengumuman Kawasan Tanpa Rokok sesuai dengan ketentuan Instruksi Walikota Palembang No. 3 Tahun 2009 tentang Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok, terus terang kantor kami masih kekurangan dana, kami berharap Pemerintah dalam hal ini Dinas Kesehatan Kota Palembang dapat menyediakan stiker maupun papan pengumuman Kawasan Tanpa Rokok, sehingga dapat kami pasang di depan kantor” (Hasil wawancara tanggal 17 Oktober 2016) Hasil wawancara dengan Informan M.A, diketahui bahwa:

“Minimnya fasilitas yang tersedia berupa Klinik Kesehatan gratis bagi Perokok supaya berhenti merokok. Dalam hal ini 5 Puskesmas yang ditunjuk untuk menyediakan klinik kesehatan khusus bagi perokok, yakni Puskesmas Pembina, Puskesmas Dempo, Puskesmas Merdeka, Puskesmas Sako dan Puskesmas Sukarame maupun fasilitas pengaduan masyarakat tentang pelanggaran Perda KTR” (Hasil wawancara tanggal 8 September 2016).

228

Hal tersebut dikonfirmasikan dengan Informan H.A berikut ini: “Awalnya saat mengetahui adanya klinik UBM, saya sangat antusias karena saya berkeinginan untuk berhenti merokok, namun saat saya datang ke Puskesmas Merdeka, awalnya saya kesulitan menemukan lokasi klinik UBM, namun setelah bertanya dengan Petugas, Klinik UBM yang dimaksud tidak ada ruang khusus, melainkan digabung dengan dengan poli Umum. Pelayanan yang diberikan hanya sebatas konseling dengan jadwal yang telah ditentukan” (Hasil wawancara tanggal 25 Agustus 2016). Hal serupa juga diungkapkan oleh Informan T.A berikut ini: “Pelayanan klinik UBM bukan pelayanan kesehatan berupa penanganan penyakit TBC, paru-paru, atau penyakit lainnya yang ditimbulkan karena merokok, melainkan hanya sebatas konseling. Pelayanannya juga tidak dilaksanakan setiap hari, melainkan sesuai dengan jadawal yang telah ditetapkan. Sejujurnya saya ragu apakah dapat berhenti merokok jika hanya dilakukan konseling tanpa menjalani pengobatan. Namun petugas menjelaskan jika kebiasaan merokok telah dapat dihentikan, maka keinginan merokok sudah pasti hilang, baru dilanjutkan dengan pengobatan namun pengobatan tidak termasuk dalam klinik UBM melainkan dirujuk ke poli umum dan penyakit dalam” (Hasil wawancara tanggal 25 Agustus 2016). Selanjutnya hal tersebut dikonfirmasikan dengan Informan M.Y berikut

ini:

“Puskesmas Merdeka masih memiliki keterbatasan dalam menyediakan klinik UBM, sehingga untuk sementara lokasinya digabung dengan poli Umum. Pelayanan yang diberikan memang bukan pengobatan melainkan hanya sebatas konseling dengan jadwal yang telah ditentukan, yang bertujuan untuk mengubah kebiasaan perokok terlebih dahulu. Pada tahap awal pasien akan mengisi kuesioner untuk mengetahui tingkat kecanduan rokok, kemudian dilakukan pemeriksaan umum sekaligus menentukan jadwal maupun langkah konseling yang dilakukan” (Hasil wawancara tanggal 25 Agustus 2016).

Hasil observasi, diketahui bahwa tidak ada ruang terpisah untuk klinik

kesehatan. Karena pelayanan kesehatan yang diberikan hanya sebatas

konseling untuk mengurangi perilaku merokok. Hal ini dapat dilihat pada gambar

berikut ini:

229

Gambar 5. 19 : Lokasi Klinik UBM yang digabung dengan Poli Haji dan PTM di Puskesmas Dempo Palembang Sumber: Dokumentasi Peneliti tahun 2016

230

Gambar 5. 20 : Pasien yang melakukan konseling pada Klinik UBM di Puskesmas Merdeka Palembang Sumber: Dokumentasi Peneliti tahun 2016

231

Gambar 5. 21 : Contoh kuesioner yang digunakan untuk konseling Pasien Pada Klinik UBM di Puskesmas Dempo Palembang

Sumber: Dokumentasi Peneliti tahun 2016

Gambar 5. 22 : Contoh kuesioner yang digunakan untuk konseling Pasien Pada Klinik UBM di Puskesmas Merdeka Palembang

Sumber: Dokumentasi Peneliti tahun 2016

232

Gambar 5. 23 : Daftar Pasien yang mengunjungi Klinik UBM di Puskesmas Dempo Palembang Sumber: Dokumentasi Peneliti tahun 2016

Selanjutnya mengenai pelayanan pengaduan diungkapkan oleh Informan

M.I berikut ini:

“Tidak ada kontak layanan pengaduan yang tertera di stiker larangan merokok sehingga saat terjadi pelanggaran Perda KTR khususnya di Instansi Pemerintahan Kota Palembang, kami bingung mengadukan kemana” (Hasil wawancara 9 September 2016) Hal serupa juga diungkapkan oleh Informan A.B berikut ini: “Baik itu Dinas Kesehatan Kota Palembang, Satpol PP Kota Palembang ataupun Instansi terkait, tidak mencantumkan kontak layanan pengaduan, sehingga pelanggaran terhadap Perda KTR seringkali terjadi. Kami juga ragu akan direspon dengan cepat jika tidak ada layanan pengaduan khusus yang menangani pelanggaran Perda KTR” (Hasil wawancara 9 September 2016)

233

Hal tersebut dikonfirmasikan dengan D.P berikut ini: “Jika terjadi pelanggaran Perda KTR dapat menghubungi Dinas Kesehatan Kota Palembang, maupun Satpol PP Kota Palembang, namun memang kami belum mencantumkan kontak layanan pengaduan, karena memang belum ada SDM yang nantinya akan merespon pengaduan tersebut. Semoga kedepannya bisa ditampilkan kontak pada stiker larangan merokok, sekaligus SDM yang responsif dalam menanggapi pengaduan masyarakat” (Hasil wawancara 12 September 2016) Sehingga berdasarkan hasil wawancara dan data dapat dikatakan bahwa

minimnya fasilitas yang tersedia berupa Papan pengumuman Kawasan Tanpa

Rokok di depan Instansi Pemerintahan Kota Palembang, penyediaan klinik

kesehatan gratis bagi Perokok supaya berhenti merokok. Dalam hal ini

5 Puskesmas yang ditunjuk untuk menyediakan klinik kesehatan khusus bagi

perokok, yakni Puskesmas Pembina, Puskesmas Dempo, Puskesmas Merdeka,

Puskesmas Sako dan Puskesmas Sukarame maupun fasilitas pengaduan

masyarakat tentang pelanggaran Perda KTR

c. Faktor Penguat dalam Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa

Rokok di Kota Palembang

Faktor penguat (reinforcing factor), meliputi: Himbauan Organisasi,

Pengawasan Internal serta Penerapan Sanksi. Himbauan dapat didefinisikan

sebagai anjuran yang diterima oleh pengelola dari organisasi dan merupakan

salah satu bentuk tindakan nyata dari organisasi setelah mendukung keberadaan

perda. Pengawasan Internal berupa pembentukan tim penegakan hukum Perda

khususnya di Instansi Pemerintahan di Kota Palembang.

234

Hasil wawancara dengan Informan M.I, diketahui bahwa:

“Pembentukan tim penegakan hukum Perda khususnya di Instansi Pemerintahan di Kota Palembang, biasanya melibatkan Satpam yang bertugas untuk mengawasi dan menegur jika masih ada Petugas yang merokok di dalam ruang kerja” (Hasil wawancara tanggal 8 September 2016). Hasil wawancara dengan Informan A.S, diketahui bahwa:

“Diharapkan penegakan Perda KTR, tidak hanya menyangkut pembentukan tim pengawas Internal, melainkan juga himbauan organisasi maupun penerapan sanki yang tegas. Dalam hal ini, pimpinan Instansi terlebih dahulu harus mematuhi Perda KTR, yakni tidak merokok di ruang kerja, tidak menyediakan asbak untuk menampung abu maupun puntung rokok serta tidak bekerja sama dalam bentuk apapun dengan perusahaan rokok. Pimpinan Instansi diharapkan juga dapat bertindak tegas terhadap Pegawai maupun tamu yang melanggar Perda KTR di lingkungan Instansinya” (Hasil wawancara tanggal 29 Agustus 2016)

Reinforcing factors meliputi: Himbauan Organisasi, Pengawasan Internal

dan Penerapan Sanksi. Salah satu cara untuk meningkatkan kepatuhan adalah

harapan atau keinginan orang yang menempati posisi tertentu/memiliki legitimasi

kekuasaan akan mengakibatkan kepatuhan. Kepemimpinan dalam sebuah

organisasi memiliki peran penting untuk mempengaruhi anggotanya, jika

pemimpin mematuhi peraturan maka akan diikuti oleh anggotanya dan

sebaliknya jika pemimpin tidak mematuhi peraturan maka akan diikuti juga oleh

anggotanya. Dengan dukungan atasan untuk mematuhi peraturan area bebas

rokok akan diikuti oleh bawahan. Seorang pemimpin adalah teladan bagi

bawahannya, jika atasan berperilaku positif maka akan diikuti oleh bawahannya

dan sebaliknya.

235

Hasil wawancara dengan Informan R.S, diketahui bahwa:

“Berdasarkan hasil supervisi di Instansi Pemerintahan Kota Palembang, masih banyak sekali terjadi pelanggaran Perda KTR antara antara lain diteukan pegawai maupun tamu yang merokok diruang kerja, terciup bau asap rokok, ditemukanya tempat menampung abu maupun puntung rokok. Pihak instansi juga tidak memberikan himbauan baik berupa informasi Perda KTR dari pengeras suara, tidak adanya pemasangan plank di depan kantor, yang tersedia hanya stiker larangan merokok saja. Selain itu pengawas internal juga masih belum tersedia. Sehingga setiap Instansi yang melanggar Perda KTR diberikan Surat Peringatan (SP)” (Hasil wawancara tanggal 26 Agustus 2016). Hal tersebut dikonfirmasikan dengan Informan K.R berikut ini: “Untuk pemasangan plank Perda KTR, terus terang Kelurahan Kemas Rindo masih memiliki keterbatasan dana, kecuali jika plank diberikan oleh Dinas Kesehatan Kota Palembang, maka tentu akan kami pasang. Selanjutnya stiker larangan merokok juga sudah dipasang di lokasi-lokasi strategis, namum memang untuk menghilangkan kebiasan merokok sangat sulit dilakukan. Kami tidak menyediakan asbak sama sekali, namun tamu yang datang dalam hal ini Ketua RT sering menggunakan piring untuk menampung abu maupun puntung rokok, meski sudah sering diingatkan” (Hasil wawancara tanggal 24 Agustus 2016)

Sejlan dengan hal tersebut Informan S.M juga menambahkan: ”Sulit sekali menyadarkan perokok untuk tidak merokok diruang kerja. Tindakan yang dapat dilakukan adalah dengan tidak memberikan pelayanan jika masyarakat yang datang merokok di ruang kerja. Sedangkan untuk Pegawai, terus terang saya selaku Lurah hanya bisa menegur” (Hasil wawancara tanggal 14 September 2016) Berdasarkan hasil wawancara dan data dapat dikatakan bahwa

Pembentukan tim penegakan hukum Perda khususnya di Instansi Pemerintahan

di Kota Palembang, biasanya melibatkan Satpam yang bertugas untuk

mengawasi dan menegur jika masih ada Petugas yang merokok di dalam ruang

kerja Hasil Survey Kepatuhan pelaksanaan Kebijakan Peraturan Daerah No. 7

Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang, diketahui bahwa

penerapan sanksi yang diberikan masih sebatas pemberian Surat Peringatan

(SP1 maupun SP2).

236

5.1.3 Hasil Kebijakan Kawasan Tanpareko Rokok di Kota Palembang

Hasil suatu kebijakan dalam kurun waktu tertentu yang ditetapkan akan

ditinjau kembali, untuk selanjutnya menjadi umpan balik bagi semua level

kebijakan yang diharapan terjadi perbaikan atau peningkatan kebijakan.

implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok (Studi Terhadap Peraturan Daerah

Kota Palembang No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok Pada

Instansi Pemerintahan Kota Palembang), ini menguraikan indikator hasil

kebijakan antara lain berupa a) Pengaruh pada Masyarakat dan b) Perubahan

dan Penerimaan oleh Masyarakat, semua indikator diuraikan dalam hasil

penelitian sebagai berikut:

5.1.3.1 Pengaruh pada Masyarakat

Setelah kegiatan pelaksanaan kebijakan yang dipengaruhi oleh isi atau

konten dan lingkungan atau konteks diterapkan, maka akan dapat diketahui

apakah para pelaksana kebijakan dalam membuat sebuah kebijakan sesuai

dengan apa yang diharapkan, juga dapat diketahui pada apakah suatu kebijakan

dipengaruhi oleh suatu lngkungan, sehingga terjadinya tingkat perubahan yang

terjadi.. Berdasarkan hasil wawancara dengan Informan A.S, diketahui bahwa:

“Kami menyadari untuk pelaksanaan Perda KTR ini masih kurang personil khususnya di Dinas Kesehatan Kota Palembang. Mengingat kegiatan yang kami lakukan juga cukup banyak. Namun sejauh ini sosialisasi juga sudah dilaksanakan. Selain itu masih kurangnya dukungan media baik Televisi (seperti: Pal TV/Sriwijaya) untuk mendukung sosialisasi serta informasi kepada masyarakat tentang Perda KTR secara terus menerus. Begitu pula dengan penyediaan Iklan Tandingan seperti penyediaan Baliho untuk Kawasan Tanpa Rokok. Selain itu produksi sticker larangan merokok juga kurang. Pada sticker juga tidak dicantumkan telp/sms/alat email pengaduan bagi masyarakat yang akan memberikan pengaduan terhadap pelanggaran Perda KTR” (Hasil wawancara tanggal 29 Agustus 2016)

237

Sejalan dengan hal tersebut Informan M.I, diketahui bahwa:

“Sulitnya menimbulkan kesadaran masyarakat untuk mematuhi perda KTR Satpam (Pengawas Internal) maupun Pegawai di Instansi Pemerintahan juga tidak memiliki keberanian untuk menegakkan Perda KTR karena masih terlalu banyak yang merokok. Sat Pol PP juga beranggapan Perda KTR ini harus disosialisasikan terlebih dahulu, sehingga belum dilaksanakan hingga ke tahap denda administratifnya” (Hasil wawancara tanggal 23 Agustus 2016). Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat diketahui bahwa kendala

yang dialami Dinas Kesehatan Kota Palembang dalam Pelaksanaan Perda No. 7

Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Instansi Pemerintahan Kota

Palembang, antara lain:

(1) Kurangnya dukungan media baik Televisi (seperti: Pal TV/Sriwijaya)

dalam melakukan sosialisasi serta informasi kepada masyarakat tentang

Perda KTR secara terus menerus.

(2) Belum adanya Penyediaan Iklan Tandingan seperti penyediaan Baliho

untuk Kawasan Tanpa Rokok.

(3) Produksi sticker larangan merokok juga kurang.

(4) Kurangnya informasi pada sticker mengenai cara pengaduan masyarakat

telp/sms/alat email terhadap pelanggaran Perda KTR

(5) Pengawas Internal di Instansi Pemerintahan juga tidak memiliki

keberanian untuk menegakkan Perda KTR karena masih terlalu banyak

yang merokok.

(6) Anggapan Sat Pol PP bahwa Perda KTR ini harus disosialisasikan

terlebih dahulu, sehingga belum dilaksanakan hingga ke tahap denda

administratifnya

238

Hal tersebut kemudian dikonfirmasikan dengan Informan M.I, berikut ini:

“Dampak Perda KTR di IP sudah cukup baik. Jika kami datang, masyarakat cepat-cepat berhenti merokok. Minimal sudah ada efek jera bagi masyarakat yang merokok disembarang tempat. Meski belum maksimal, karena kesadaran masyarakat masih kurang. Perda KTR ini harus mendapat dukungan penuh dari masyarakat dimanapun mereka berada untuk kebaikan bersama dalam menciptakan lingkungan sehat. Belum adanya fasilitas pengaduan bagi masyarakat terkait Perda KTR, dan itu menjadi masukan bagi kami kedepan. Untuk menyempurnakan Perda KTR. Kurangnya Pendanaan bagi kami untuk melaksanakan penegakan Perda KTR, dana yang ada sebesar 9,3 juta masih dirasakan kurang (sangat minim) untuk membiayai operasional survei Perda KTR, mengingat tempat yang disurvei juga cukup banyak” (Hasil wawancara tanggal 8 September 2016). Berdasarkan hasil wawancara dengan Informan H.A, diketahui bahwa:

“Dampak/hasil yang telah dicapai dari implementasi Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Instansi Pemerintahan Kota Palembang sudah dirasakan meski belum cukup baik/maksimal. Mereka yang merokok didalam gedung sudah berkurang. Pimpinan Instansi juga cukup kooperatif dan mendukung pelaksanaan Perda KTR. Syarat-syarat penegakan Perda KTR juga sudah dipenuhi. Satpam sebagai Pengawas Internal juga sudah diberi pengarahan dan juga sudah mengingatkan masyarakat untuk tidak merokok didalam ruangan” (Hasil wawancara tanggal 15 Oktober 2012). Selanjutnya hal tersebut dikonfirmasikan dengan Informan K.R, berikut ini:

“Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok sudah cukup dipatuhi. Pegawai dan Masyarakat yang merokok di dalam ruangan juga sudah jauh berkurang dibandingkan sebelum Perda ditetapkan. Hal ini didukung dengan sticker larangan merokok. Apalagi ternyata sanksi yang dikenakan bukan untuk perokok melainkan kepada kami selaku Pimpinan” (Hasil wawancara tanggal 18 Oktober 2016) Berdasarkan hasil wawancara dapat dikatakan bahwa dampak/hasil yang

telah dicapai dari implementasi Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009 tentang

Kawasan Tanpa Rokok di Instansi Pemerintahan Kota Palembang sudah

dirasakan meski belum cukup baik/maksimal. Mereka yang merokok didalam

ruangan sudah berkurang. Pimpinan Kantor juga cukup kooperatif dan

mendukung pelaksanaan Perda KTR. Syarat-syarat penegakan Perda KTR juga

sudah dipenuhi. Satpam sebagai Pengawas Internal juga sudah diberi

239

pengarahan dan juga sudah mengingatkan para pengunjung untuk tidak merokok

didalam ruangan. Hal ini juga didukung dengan sticker larangan merokok.

Apalagi ternyata sanksi yang dikenakan bukan untuk si perokok melainkan

kepada kami selaku Pimpinan Instansi Pemerintahan Kota Palembang.

5.1.3.2 Perubahan dan Penerimaan oleh Masyarakat

Semakin luas dan besar perubahan yang diinginkan, biasanya semakin

sulit untuk diimplementasikan. Lingkup perubahan dapat didasarkan pada

konteks kewilayahan, cakupan dampak, dan lain sebagainya. Hal ini berkaitan

dengan tantangan yang dihadapi berbanding lurus dengan lingkup

perubahannya. Pada lingkup perubahan yang kecil, tantangannya pun relatif

kecil. Sebaliknya, pada lingkup perubahan yang lebih besar, maka tantangannya

pun relatif lebih besar juga.

Outcomes tersebut harus memenuhi dua unsur, yaitu terdapat dampak

positif bagi masyarakat, individu, dan kelompok dan terjadi perubahan dan

penerimaan dari program yang telah dijelaskan. Pendapat atas kedua unsur

tersebut murni harus berasal dari masyarakat, buka pandangan subjektif dari

pelaksana program. Hal ini karena, sebagai sebuah proses yang

berkesinambungan, pendapat masyarakat tersebut merupakan evaluasi atas

pelaksanaan Perda KTR yang telah dilakukan. Hasil evaluasi tersebut kemudian

menjadi feedback untuk merumuskan tujuan dan kebijakan yang lebih efektif di

waktu yang akan datang.

240

Berdasarkan hasil wawancara dengan Informan H.A, diketahui bahwa:

“Menurunnya jumlah perokok, sehingga kualitas udara semakin baik dan

masyarakat bisa menjadi lebih sehat” (Hasil wawancara tanggal 23 Agustus

2016).

Selanjutnya Informan M.I, menguraikan bahwa:

“Penegakan Perda KTR di Instansi Pemerintahan diharapkan dapat mengurangi jumlah perokok. Mereka yang merokok menjadi berhenti merokok karena telah mengetahui bahaya yang ditimbulkan akibat merokok yang tidak hanya merugikan diri sendiri tetapi juga membahayakan orang lain. Pelaksanaan Perda KTR juga melibatkan stakeholder baik dari luar maupun dari dalam harus terlibat, dari Pemuka Agama Kiai, Pendeta, Tokoh Masyarakat serta masyarakat umum berhak untuk mengingatkan Perda KTR. Jika situasinya (pelanggaran) sudah terlampau kronis silahkan melapor ke Sat Pol PP, karena Kami siap untuk melakukan penindakan apabila si perokok masih merokok ditempat yang terlarang” (Hasil wawancara tanggal 8 Sep 2016). Hal tersebut juga diungkapkan oleh Informan M.J., berikut ini:

“Saya sangat mendukung pelaksanaan Perda KTR. Saya memang tidak merokok sehingga dengan diterapkannya Perda ini, baik saya maupun masyarakat pada umumnya akan sangat mudah memperoleh udara yang bersih dan terhindar dari bahaya asap rokok” (Hasil wawancara tanggal 18 Oktober 2016). Informan RS, menambahkan bahwa:

“Masyarakat sangat mendukung. Karena jika ada yang merokok di dalam ruangan, tentu akan menyebabkan penyakit bagi orang banyak. Bau yang ditimbulkan juga tidak enak. Semoga masyarakat sadar akan bahaya rokok sehingga Kota Palembang memiliki suasana yang kondusif, jauh dari asap rokok. Termasuk mematuhi Perda KTR dan Perda Lainnya. Selain itu, masyarakat diharapkan proaktif dalam penegakan Perda KTR termasuk memberikan pengaduan terhadap pelanggaran Perda KTR di 7 kawasan tersebut” (Hasil wawancara tanggal 26 Agustus 2016).

241

Adapun hal-hal yang perlu dibenahi atau diperbaiki sehubungan dengan

implementasi Kebijakan Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009 tentang Kawasan

Tanpa Rokok di Kota Palembang, diungkapkan oleh Informan A.S, berikut ini:

“Penyediaan personil khususnya di Dinas Kesehatan Kota Palembang. Mengingat kegiatan yang kami lakukan juga cukup banyak; Pemanfaatan media Televisi (seperti: Pal TV/Sriwijaya) untuk mendukung sosialisasi serta menginformasikan kepada masyarakat tentang Perda KTR; Penyediaan Iklan Tandingan seperti penyediaan Baliho untuk Kawasan Tanpa Rokok; Penyediaan sticker yang juga mencantumkan telp/sms/alat email pengaduan bagi masyarakat yang akan memberikan pengaduan terhadap pelanggaran Perda KTR; Meningkatkan harga rokok secara progresif, serta cara mendapatkan rokok yang lebih selektif” (Hasil wawancara tanggal 29 Agustus 2016).

Berdasarkan hasil wawancara dapat dikatakan bahwa Kebijakan

Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota

Palembang sudah dapat diterima oleh masyarakat dan mampu mengubah

perilaku masyarakat, dengan menurunnya jumlah perokok, sehingga kualitas

udara semakin baik dan masyarakat bisa menjadi lebih sehat. Masyarakat

mengetahui jika ada yang merokok di dalam ruangan, tentu akan menyebabkan

penyakit bagi orang banyak, sehingga mendukung untuk menciptakan suasana

yang kondusif, jauh dari asap rokok. Termasuk mematuhi Perda KTR dan Perda

Lainnya. Pelaksanaan Perda KTR juga melibatkan stakeholder baik dari luar

maupun dari dalam harus terlibat, dari Pemuka Agama Kiai, Pendeta, Tokoh

Masyarakat serta masyarakat umum berhak untuk mengingatkan Perda KTR.

Adapun hal-hal yang perlu dibenahi atau diperbaiki sehubungan dengan

implementasi Kebijakan Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009 tentang Kawasan

Tanpa Rokok di Kota Palembang, antara lain:

(1) Penyediaan personil khususnya di Dinas Kesehatan Kota Palembang

maupun Sat Pol PP Palembang sehingga pelaksanaan inspeksi, survei

maupun Sidang Yustisi dapat dilaksanakan secara terus-menerus

242

(2) Pemanfaatan Media Televisi (seperti: Pal TV/Sriwijaya) untuk mendukung

sosialisasi serta menginformasikan kepada masyarakat tentang Perda

KTR;

(3) Penyediaan Iklan Tandingan seperti penyediaan Baliho untuk Kawasan

Tanpa Rokok;

(4) Penyediaan sticker yang juga mencantumkan telp/sms/alat email

pengaduan bagi masyarakat yang akan memberikan pengaduan terhadap

pelanggaran Perda KTR;

(5) Meningkatkan harga rokok secara progresif, serta cara mendapatkan

rokok yang lebih selektif

(6) Penyediaan Klinik Kesehatan bagi Perokok supaya berhenti merokok

5.2 Faktor Pendukung dan Penghambat dalam Implementasi Kebijakan

Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang

Untuk mengantisipasi agar suatu kebijakan atau implementasi tidak gagal,

maka ada hal-hal yang perlu diketahui yang dapat membuat suatu pelaksanaan

kebijakan menjadi gagal, yaitu:

1) Kebijakan yang dibuat spesifikasinya tidak lengkap yang membuat

bingung dan membuat penafsiran sendiri-sendiri oleh para pelaksana

kebjakan.

2) Instansi tujuan yang saling berlawanan.

3) Adanya tujuan yang saling berlawanan.

4) Insentif tidak memadai. Maksudnya para pelaksana kebijakan merasa

bahwa upah sambahan/intensif untuk melaksanakan kebijakan tidak

243

seimbang dengan jerih payahnya sehingga mereka tidak sungguh-

sungguh melaksanakannya.

5) Ketidakjelasan arah kebijakan dasar dengan kebijakan

implementasinya.

6) Katerbatasan keahlian

7) Sumber daya administrasi yang terbatas.

8) Kegagalan komunikasi (Abdul Wahab, 1997: 273)

Berdasarkan pendapat tersebut, jelas bahwa keberhasilan suatu

kebijakan ditentukan oleh dukungan lingkungan, kepatuhan serta dukunggan dari

pihak-pihak yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung atau yang

terkana pengaruh kebijakan, ketersediaan sumber daya secara kualitas maupun

kuantitas, serta alat kontrol kebijakan berupa instrumen hukum terhadap

pelanggaran kebijakan. Kesemuanya harus disusun dan direncanakan dengan

baik dengan memperhatikan kondisi, kemampuan, ataupun potensi yang dimiliki.

Berbagai teori yang dikemukakan tersebut telah banyak memberikan gambaran

kepada kita khususnya dikalangan pada implementator dalam rangka

mengimplementasikan suatu kebijakan dan meminimalkan adanya kegagalan

dari implementasi. Oleh karena itu dari sudut pandang efektivitas, implementasi

masing-masing teori tersebut mengandung keunggulan dan kelemahan. Namun

situasi dan kondisi dimana teori itu dipakai tergantung pada permasalahan yang

dihadapi dalam mengimplementasikan suatu kebijakan sehingga model

implementasi menjadi penting untuk dikaji.

244

5.2.1 Faktor Pendukung Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di

Kota Palembang

Faktor pendukung implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota

Palembang, antara lain:

1) Implementasi Perda KTR telah mengakomodir Kepentingan Pelaksana

Kebijakan, Kepentingan Pimpinan Instansi serta Kepentingan Masyarakat

2) Pelaksana kebijakan kawasan tanpa rokok cukup kompeten dalam

pelaksanaan tugasnya

3) Tersedianya Sticker-sticker Perda KTR pada disemua sudut-sudut strategis

di Instansi Pemerintahan

4) Penggunaan Media Massa dalam rangka penyampaian informasi kepada

masyarakat baik melalui Media TV maupun Radio

5) Pembentukan Tim Pengawas Internal dari Instansi Pemerintahan dalam

rangka pelaksanaan Perda KTR

6) Pelaksanaan Pictorial Healt Warning (PHW)

Beberapa upaya telah dilakukan melalui amandemen UU Kesehatan

tahun 2009 dengan adanya ketentuan bebas rokok dan peringatan kesehatan

bergambar. Peraturan pelaksanaan selanjutnya telah dikeluarkan pada tahun

2012 yang memungkinkan pelaksanaan peringatan kesehatan bergambar

40% pada kemasan rokok sejak bulan Juni 2014. Kita dapat mengamati

adanya kemajuan penerapan peringatan kesehatan bergambar pada

kemasan rokok namun banyak celah yang masih terlihat. Oleh karena itu,

penting untuk menilai status terkini pelaksanaan peringatan kesehatan

bergambar dari sudut pandang masyarakat dan penjual/pengecer serta

245

kepatuhan industri tembakau terhadap peraturan peringatan kesehatan

bergambar. Berikut PHW pada kemasan rokok yang dijual di Kota Palembang

Gambar 5. 24 : Kemasan Rokok yang menyertakan PHW Sumber: Dinas Kesehatan Kota Palembang tahun 2017

246

7) Pelaksanaan Upaya Berhenti Merokok (UBM)

Untuk penanggulangan bahaya rokok bagi perokok aktif perlu

diberlakukan Upaya Berhenti Merokok baik di Puskesmas maupun sekolah,

Upaya Berhenti Merokok masih membutuhkan sosialisasi di masyarakat

dalam hal manfaat dan kegiatannya. Untuk maksud tersebut perlu

dilaksanakan kegiatan Roadshow Upaya Berhenti Merokok di sekolah yang

ditetapkan dengan keputusan Kepala Dinas Kesehatan Kota Palembang.

Roadshow Usaha Berhenti Merokok (UBM) di Sekolah Tahun 2017

dilaksanakan oleh Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit seksi

Penyakit Tidak Menular (PTM) Dinas Kesehatan Kota Palembang Nara

Sumber Roadshow UBM, menyampaikan materi tentang UBM Tahun 2017.

Petugas yang melakukan wawancara, pengaturan pemberian Quisioner dan

Pemeriksaan Kadar Co dalam paru.

Gambar 5.25: Pemberian Materi UBM di Sekolah Sumber: Dinas Kesehatan Kota Palembang tahun 2017

247

Gambar 5.26: Kegiatan UBM: Pengukuran Kadar CO dalam Paru di Sekolah Sumber: Dinas Kesehatan Kota Palembang Tahun 2017

Adapun rekapitulasi pengisian kuesioner dan pengukuran CO dalam Paru

yang dilakukan pada siswa laki-laki di sekolah dapat dilihat pada tabel berikut ini:

248

Tabel 5.4 Pelaksanaan UBM di Tempat Belajar Mengajar Tahun 2017

No Nama Sekolah

Jumlah Siswa < 18

Tahun

Jumlah Perokok

Jml Batang Rokok yg dihisap

Hasil CO

Aktif Pasif <5

Batang >5

Batang ≤ 6 6-10 ≥10

1 SMP N 11 46 24 22 14 10 43 - - 2 SMP N 50 34 18 16 18 - 32 2 - 3 MTS Mujahiddin 41 13 28 12 1 - - - 4 SMP N 36 40 38 2 38 - 32 2 - 5 SMP N 25 34 9 26 9 - 2 - - 6 SMP Pembangunan 39 29 10 29 - 37 2 - 7 SMP N 3 39 14 25 14 - 38 1 - 8 SMP Aziziah 40 3 37 2 1 16 2 - 9 SMP N 29 49 7 42 7 - 37 2 - 10 MTS N 1 40 40 - - - - - - 11 SMP Yulis 21 12 9 7 5 12 6 3 12 SMP IT Harapan

Mulia 36 - 36 - - 30 5 1

13 SMP N 23 39 7 32 2 - 39 - - 14 SMP N 55 41 41 - 38 3 35 4 2 15 SMP Gama 29 20 9 20 - 27 2 - 16 Methodist 2 40 7 33 6 1 30 10 - 17 SMP IT Izzudin 44 29 15 28 1 44 - - 18 SMP Advent 47 13 34 11 - - 3 - 19 SMP N 2 34 22 12 15 2 27 6 1 20 SMP Muh 6 40 40 - 39 1 33 5 1 21 SMP N 17 36 2 34 1 - 36 - - 22 SMP N 14 40 7 33 7 - 36 4 - 23 SMP N 26 40 20 20 20 - 39 1 - 24 SMP N 9 40 1 39 - - 38 2 - 25 SMP Muh 10 36 14 23 10 4 26 8 3 26 SMP N 42 32 12 20 12 - 32 - - 27 SMK PGRI 2 37 15 22 10 5 27 3 0 28 SMA N 22 41 41 - 38 3 35 4 2 29 SMK N 5 30 17 13 25 2 28 2 - 30 SMA Muh 8 40 17 23 16 1 29 9 2 31 SMA Muh 9 38 35 3 25 10 10 14 32 SMA PGRI 4 47 18 29 14 4 23 11 3 33 SMA NU 47 44 3 31 13 8 24 15 34 SMK Wardi Wacana 36 26 10 22 4 13 10 3

Sumber: Dinas Kesehatan Kota Palembang

249

5.2.2 Faktor Penghambat Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok

di Kota Palembang

Faktor Penghambat dalam Pelaksanaan Perda No. 7 Tahun 2009 tentang

Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang, antara lain:

1) Beban Kerja Personil Satpol PP maupun Dinas Kesehatan Kota

Palembang cukup banyak sehingga Pelaksanaan Perda KTR belum cukup

maksimal

2) Kurangnya dana publikasi penegakan Perda KTR

3) Kurangnya dukungan media baik Televisi (seperti: Pal TV/Sriwijaya) dalam

melakukan sosialisasi serta informasi kepada masyarakat tentang Perda

KTR secara terus menerus.

4) Produksi sticker larangan merokok juga kurang.

5) Kurangnya informasi pada sticker mengenai cara pengaduan masyarakat

telp/sms/alat email terhadap pelanggaran Perda KTR

6) Pengawas Internal juga tidak memiliki keberanian untuk menegakkan

Perda KTR, hanya sebatas pemberian teguran saja, belum ada yang

diberikan sanksi administratif sehingga masih terlalu banyak yang merokok.

7) Anggapan Sat Pol PP bahwa Perda KTR ini harus disosialisasikan terlebih

dahulu, sehingga belum dilaksanakan hingga ke tahap denda

administratifnya

8) Alat penunjang kesehatan berupa Klinik Kesehatan gratis bagi Perokok

sudah tersedia namun belum maksimal

250

Tabel 5.5 Tempat Proses Belajar Mengajar dan Tempat Umum yang mendapat SP1

Pelanggaran Perda KTR

No Tempat Proses Belajar Mengajar No Tempat Umum

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

SMP 23

SMP N 29

SMP Patra Mandiri

SMA N 14

SMP YWKA

SMP N 14

SMP N 19

SMP Tridharma

MTS Ar-Rahman

SMK Pelita

SMA Taman Siswa

Universitas Tridinanti

Universitas Bina Darma

1

2

3

4

5

6

7

Indah Raso

Bakul Desa

Steak and Shake

Batagor Ikhsan

Lele Lela cab. PTC

RM Palapa km.5

RM Kejora Indah km.7

Sumber: Dinas Kesehatan Kota Palembang tahun 2016

Tabel 5.6 Instansi Pemerintahan yang mendapat SP1 Pelanggaran Perda KTR

No Instansi No Instansi

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

Kantor Camat Sako

Kantor Camat Sukarami

Kantor Camat Kalidoni

Kantor Camat Sematang Borang

Kantor Lurah Keramasan

Kantor Lurah Sako

Kantor Lurah Sako Baru

Kantor Lurah Sukamaju

Kantor Lurah Sukamulya

Kantor Lurah 5 Ulu

Kantor Lurah 8 Ulu

Kantor Lurah Tangga Takat

Kantor Lurah Sukabangun

Kantor Lurah 9 Ilir

15

16

17

18

19

20

21

22

23

24

25

26

27

28

29

Kantor Lurah 3 Ilir

Kantor Lurah Kemas Rindo

Kantor Lurah Bagus Kuning

Kantor Lurah 23 Ilir

Kantor Lurah 1 Ulu

Kantor Lurah 2 Ulu

Kantor Lurah Srilaberanti

Kantor Lurah 20 Ilir

Kantor Lurah 18 Ilir

Kantor Lurah 2 Ilir

Kantor Lurah Pipa Reja

Kantor Lurah Ario Kemuning

Kantor Lurah Lorok Pakjo

Kantor Lurah Pahlawan

Kantor Lurah Kertapati

Sumber: Dinas Kesehatan Kota Palembang tahun 2016

251

Tabel 5.7 Tempat Proses Belajar Mengajar dan Tempat Umum yang mendapat SP2

Pelanggaran Perda KTR

No Tempat Proses Belajar Mengajar No Tempat Umum

1

2

3

4

5

6

7

8

9

SMP YWKA

SMP N 14

SMP N 19

SMP Tridharma

MTS Ar-Rahman

SMK Pelita

SMA Taman Siswa

Universitas Tridinanti

Universitas Bina Darma

1

2

RM Palapa km.5

RM Kejora Indah km.7

Sumber: Dinas Kesehatan Kota Palembang tahun 2016

Tabel 5.8 Instansi Pemerintahan yang mendapat SP2 Pelanggaran Perda KTR

No Instansi No Instansi

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

Kantor Camat Sako

Kantor Camat Sukarami

Kantor Camat Kalidoni

Kantor Camat Sematang Borang

Kantor Lurah Keramasan

Kantor Lurah Sako

Kantor Lurah Sako Baru

Kantor Lurah Sukamaju

Kantor Lurah Sukamulya

Kantor Lurah 5 Ulu

11

12

13

14

15

16

17

18

19

20

Kantor Lurah 8 Ulu

Kantor Lurah Tangga Takat

Kantor Lurah Sukabangun

Kantor Lurah 9 Ilir

Kantor Lurah 3 Ilir

Kantor Lurah Kemas Rindo

Kantor Lurah Bagus Kuning

Kantor Lurah 23 Ilir

Kantor Lurah 1 Ulu

Kantor Lurah 2 Ulu

Sumber: Dinas Kesehatan Kota Palembang tahun 2017

5.3 Eksisting Model implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di

Kota Palembang

Berdasarkan hasil penelitian tentang pelaksanaan kebijakan kawasan

tanpa rokok di Instansi Pemerintahan Kota Palembang yang diuraikan pada

252

Bab V di atas, maka dapat ditarik kesimpulan untuk menggambarkan konten,

konteks dan hasil kebijakan dalam implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok

di Instansi Pemerintahan Kota Palembang, antara lain sebagai berikut:

1) Berdasarkan konten implementasi kebijakan, diketahui bahwa Pelaksana

kebijakan kawasan tanpa rokok dalam hal ini Dinas Kesehatan Kota

Palembang, Satpol PP Kota Palembang maupun Pimpinan Instansi

Pemerintahan dan Masyarakat telah mengetahui dan mendukung

pelaksanaan Perda No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok di

Kota Palembang, melalui pelaksanaan sosialisasi, supervisi maupun

workshop KTR, namun pelanggaran terhadap Perda KTR masih terus

terjadi dikarenakan tingkat kesadaran masyarakat untuk mematuhi Perda

KTR masih rendah.

2) Berdasarkan konteks implementasi kebijakan, diketahui bahwa Strategi

aktor yang dilibatkan masih belum maksimal. Instansi Pemerintahan masih

banyak yang mendapatkan SP2, serta Kepatuhan Pegawai yang

dipengaruhi faktor predisposisi, faktor pemungkin dan faktor penguat juga

masih rendah. Berdasarkan faktor predisposisi, meski telah mengetahui

Perda KTR, baik pegawai maupun masyarakat tetap melakukan

pelanggaran. Berdasarkan faktor pemungkin, masih kurangnya fasilitas

berupa pengaduan masyarakat tentang pelanggaran Perda KTR serta

penyediaan Klinik Kesehatan gratis bagi Perokok supaya berhenti

merokok, Di Instansi Pemerintahan hanya sekedar memasang sticker

larangan merokok saja. Perda KTR tidak diumumkan melalui bagian

Informasi, sehingga tidak semua masyarakat tahu tentang Perda KTR.

Selain itu masih banyak terjadi pelanggaran Perda KTR, berupa

253

penyediaan piring yang menampung abu rokok, bahkan pegawai maupun

masyarakat yang merokok diruangan. Berdasarkan faktor penguat, pihak

Instansi yang melakukan pelanggaran terhadap Perda KTR hanya

mendapat SP1 maupun SP2 saja, belum pernah diterapkan sanksi berupa

hukum pidana kurungan paling lama tiga bulan atau denda paling banyak

Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). Seperti yang tertuang pada Perda

Kota Palembang No. 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok

3) Berdasarkan hasil implementasi kebijakan, diketahui bahwa Dampak/hasil

yang telah dicapai dari implementasi Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009

tentang Kawasan Tanpa Rokok di Instansi Pemerintahan Kota Palembang

sudah dirasakan meski belum cukup baik/maksimal. Mereka yang merokok

didalam ruangan sudah berkurang. Pimpinan Kantor juga cukup kooperatif

dan mendukung pelaksanaan Perda KTR. Syarat-syarat penegakan Perda

KTR juga sudah dipenuhi. Satpam sebagai Pengawas Internal juga sudah

diberi pengarahan dan juga sudah mengingatkan para pengunjung untuk

tidak merokok didalam ruangan. Hal ini juga didukung dengan sticker

larangan merokok. Apalagi ternyata sanksi yang dikenakan bukan untuk si

perokok melainkan kepada kami selaku Pimpinan Instansi Pemerintahan

Kota Palembang.

4) Faktor pendukung implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota

Palembang, antara lain: Implementasi Perda KTR telah mengakomodir

Kepentingan Pelaksana Kebijakan, Kepentingan Pimpinan Instansi serta

Kepentingan Masyarakat; Pelaksana kebijakan kawasan tanpa rokok cukup

kompeten dalam pelaksanaan tugasnya; Tersedianya Sticker-sticker Perda

KTR pada disemua sudut-sudut strategis di Instansi Pemerintahan;

254

Penggunaan Media Massa dalam rangka penyampaian informasi kepada

masyarakat baik melalui Media TV maupun Radio; Pembentukan Tim

Pengawas Internal dari Instansi Pemerintahan dalam rangka pelaksanaan

Perda KTR; Pelaksanaan Pictorial Healt Warning (PHW)

5) Faktor Penghambat dalam Pelaksanaan Perda No. 7 Tahun 2009 tentang

Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang, antara lain: Beban Kerja

Personil Satpol PP maupun Dinas Kesehatan Kota Palembang cukup

banyak sehingga Pelaksanaan Perda KTR belum cukup maksimal;

Kurangnya dana publikasi penegakan Perda KTR; Kurangnya dukungan

media baik Televisi (seperti: Pal TV/Sriwijaya) dalam melakukan sosialisasi

serta informasi kepada masyarakat tentang Perda KTR secara terus

menerus; Produksi sticker larangan merokok juga kurang; Kurangnya

informasi pada sticker mengenai cara pengaduan masyarakat telp/sms/alat

email terhadap pelanggaran Perda KTR; Pengawas Internal juga tidak

memiliki keberanian untuk menegakkan Perda KTR,hanya sebatas

pemberian teguran saja, belum ada yang diberikan sanksi administratif

sehingga masih terlalu banyak yang merokok; Anggapan Sat Pol PP

bahwa Perda KTR ini harus disosialisasikan terlebih dahulu, sehingga

belum dilaksanakan hingga ke tahap denda administratifnya; serta Alat

penunjang kesehatan berupa Klinik Kesehatan gratis bagi Perokok sudah

tersedia namun belum maksimal

Adapun eksisting model implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di

Instansi Pemerintahan Kota Palembang dapat dilihat pada gambar berikut ini:

255

Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok UUD 1945 Pasal 28 H,

UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, PP No. 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan,

Perda Kota Palembang No. 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok

Faktor Penghambat 1) Beban Kerja Personil Satpol PP maupun Dinas

Kesehatan Kota Palembang cukup banyak sehingga Pelaksanaan Perda KTR belum cukup maksimal

2) Kurangnya dana publikasi penegakan Perda KTR 3) Kurangnya dukungan media baik Televisi (seperti:

Pal TV/Sriwijaya) dalam melakukan sosialisasi serta informasi kepada masyarakat tentang Perda KTR secara terus menerus.

4) Produksi sticker larangan merokok juga kurang. serta kurangnya informasi pada sticker mengenai cara pengaduan masyarakat telp/sms/alat email terhadap pelanggaran Perda KTR

5) Pengawas Internal juga tidak memiliki keberanian untuk menegakkan Perda KTR,hanya sebatas pemberian teguran saja, belum ada yang diberikan sanksi administratif sehingga masih terlalu banyak yang merokok.

6) Anggapan Sat Pol PP bahwa Perda KTR ini harus disosialisasikan terlebih dahulu, sehingga belum dilaksanakan hingga ke tahap denda administratifnya

7) Alat penunjang kesehatan berupa Klinik Kesehatan gratis bagi Perokok sudah tersedia namun belum maksimal

Faktor Pendukung 1) Implementasi Perda KTR telah

mengakomodir Kepentingan Pelaksana Kebijakan, Kepentingan Pimpinan Instansi serta Kepentingan Masyarakat

2) Pelaksana kebijakan kawasan tanpa rokok cukup kompeten dalam pelaksanaan tugasnya

3) Tersedianya Sticker-sticker Perda KTR pada disemua sudut-sudut strategis di Instansi Pemerintahan

4) Penggunaan Media Massa dalam rangka penyampaian informasi kepada masyarakat baik melalui Media TV maupun Radio

5) Pembentukan Tim Pengawas Internal dari Instansi Pemerintahan dalam rangka pelaksanaan Perda KTR

6) Pelaksanaan Pictorial Healt Warning (PHW) 7) Pelaksanaan Upaya Berhenti Merokok

(UBM)

Masih banyaknya terjadi pelanggaran Kawasan Tanpa Rokok

Hasil Kebijakan: Belum Optimalnya implementasi Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang

a. Tujuan

1) Memberi ruang dan lingkungan yang bersih dan sehat bagi masyarakat

2) Melindungi kesehatan masyarakat dari bahaya paparan asap rokok

b. Prinsip 1) 100 % Kawasan Tanpa Asap Rokok 2) Tidak ada ruang merokok di tempat

umum/tempat kerja tertutup

Mekanisme Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang:

1. Sosialisasi Perda No 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok

2. Penempelan Stiker Perda No 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok

3. Supervisi Perda No 7 Tahun 2009 tentang kawasan tanpa rokok

4. Penggunaan Media Massa

5. Pembentukan Tim Pengawas Internal

6. Pelaksanaan Pictorial Healt Warning (PHW)

7. Pelaksanaan Upaya Berhenti Merokok (UBM)

a. Isi Kebijakan 1) Perda KTR telah mengakomodir kepentingan berbagai pihak terkait 2) Manfaat Perda KTR sudah mulai dirasakan Pegawai maupun masyarakat 3) Pencapaian data perubahan Perda KTR masih rendah 4) Letak Pengambilan Keputusan berada pada Tim Penegakan Hukum Perda KTR 5) Mekanisme pelaksanaan telah dilakukan 6) Sumber daya yang dilibatkan, yang bertugas melakukan pengawasan internal

KTR, tidak bisa mengcover seluruh wilayah KTR setiap saat. b. Konteks Implementasi

1) Strategi aktor yang dilibatkan masih belum maksimal. 2) Instansi Pemerintahan masih banyak yang mendapatkan SP2. 3) Kepatuhan Pegawai masih rendah

Bagan 5.27. Eksisting Model Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang Sumber: Hasil Analisis Penelitian

256

BAB VI

PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN

Bab ini merupakan pembahasan atas hasil penelitian sesuai dengan

fokus penelitian yang telah ditetapkan, adapun fokus penelitian studi

implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Instansi Pemerintahan Kota

Palembang adalah sebagai berikut:

1. Implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang

2. Faktor pendukung dan penghambat dalam implementasi kebijakan

kawasan tanpa rokok di Kota Palembang

3. Eksisting Model implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota

Palembang yang ideal

Dalam membahas fokus penelitian ini disertai dengan dukungan teori

yang telah di dialogkan dalam kajian pustaka. Adapun hasil penelitian ini dibahas

berdasarkan rujukan teori sebagai berikut;

6.1 Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang

Implementasi kebijakan tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota

Palembang telah menggambarkan pendekatan multi aktor dan stakeholder, akan

tetapi penerapannya belum maksimal. Implementasi kebijakan memang tidak

mudah dilakukan, hal ini dipengaruhi oleh sifat dari kebijakan tersebut.

Implementasi juga melibatkan banyak aktor kebijakan sehingga menimbulkan

kerumitan dalam tahap implementasi kebijakan, yang bukan hanya dikarenakan

banyaknya aktor kebijakan yang terlibat, melainkan juga variabel-variabel yang

terkait didalamnya.

256

257

Secara akademik, model implementasi yang lebih tepat digunakan dalam

kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang adalah Model Grindle.

Diketahui bahwa model Grindle ini memiliki aspek yang hampir mirip dengan

model Van Meter dan Van Horn. Aspek yang sama adalah bahwa baik model

Van Meter dan Van Horn maupun model Grindle sama-sama memasukkan

elemen lingkungan kebijakan sebagai faktor yang mempengaruhi implementasi

kebijakan. Van Meter dan Van Horn mengikutsertakan ‘kondisi sosial, politik,

dan ekonomi’ sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi implementasi

kebijakan, dan Grindle mengikutsertakan variabel besar ‘konteks kebijakan’ atau

‘lingkungan kebijakan’. Kelebihan dari model Grindle dalam variabel lingkungan

kebijakan adalah model ini lebih menitikberatkan pada politik dari para

pelaku kebijakan. Unsur pertama dari variabel lingkungan yaitu power,

interest and strategies of actors involved yang menjelaskan bahwa isi

kebijakan sangat dipengaruhi oleh peta politik dari para pelaku kebijakan.

Dalam hal ini, Aktor-aktor penentu kebijakan akan berusaha menempatkan

kepentingan mereka pada kebijakan-kebijakan yang melibatkan minat

mereka, sehingga kepentingan mereka terakomodasi di dalam kebijakan.

Unsur kedua dari Grindle yaitu institution and regime characteristics

maupun unsur ketiga yaitu compliance and responsiveness memiliki

kesamaan dengan faktor disposisi dari model Edwards III. Pada unsur

kedua (karakteristik lembaga dan rezim) ini dijelaskan oleh Suwitri (2008:

88) bahwa “implementasi suatu program tentu akan mendatangkan konflik pada

kelompok-kelompok yang kepentingannya dipengaruhi”.

258

Unsur ketiga dari variabel lingkungan dari model Grindle, yaitu

compliance and responsiveness selain merujuk pada disposisi. Perbedaan

dengan model Edwards III dalam hal ini adalah Grindle memfokuskan pada

disposisi penguasa/rezim/pembuat kebijakan, sedangkan Edwards lebih

menekankan pada disposisi implementor. Suwitri (2008: 76) menyatakan “...

proses pemilihan alternatif yang memuaskan itu bersifat obyektif dan subyektif,

dipengaruhi oleh dispositions (Edwards III, 1980:89), compliance and

responsiveness (Grindle, 1980: 11) dari perumus kebijakan”. Selain disposisi,

compliance and responsiveness juga merujuk pada politik. Suwitri (2008: 88-89)

menyatakan “...Tanpa daya tanggap yang cukup dalam implementasi,

implementor akan kehilangan informasi untuk mengevaluasi pencapaian program

dan kehilangan dukungan yang penting bagi keberhasilan implementasi”.

Pelibatan politik dalam unsur ini, agaknya masih berkaitan dengan unsur

pertama yang menyebutkan unsur kekuasaan, minat dan strategi aktor-aktor,

karena jika suatu isu melibatkan kepentingan dan minat dari pembuat

kebijakan dan atau implementor kebijakan tersebut, maka responsivitas dari

pembuat kebijakan maupun implementor semestinya juga lebih tinggi. Pada

variabel konten atau isi kebijakan, Grindle juga memandang bahwa

implementasi kebijakan masih melibatkan politik. Pada unsur pertama

hingga keempat yaitu interest affected, type of benefits, extent of change

envisioned, dan site if decision making, kita dapat melihat bahwa peran

politik masih kuat. Sebagai contoh pada unsur pertama, Suwitri (2008: 86)

menyatakan “... jenis kebijakan publik yang dibuat akan membawa dampak

tertentu terhadap macam kegiatan politik”. Peran politik juga masih dapat

ditelusuri pada unsur kedua hingga keempat.

259

Pada variabel konten/isi kebijakan, Grindle juga memiliki kesamaan

pandangan dengan Edwards III maupun Van Meter dan Van Horn. Pada

unsur kelima yaitu programe implementors disebutkan oleh Suwitri (2008:

88) bahwa “Kemampuan pelaksana program akan mempengaruhi keberhasilan

implementasi program tersebut”. Hal ini sebangun dengan faktor sumber

daya yang dikemukakan oleh Edwards III maupun Van Meter dan Van Horn.

Lebih lanjut, Grindle membedakan ‘sumber daya’ dari model Edwards III maupun

Van Meter dan Van Horn. Unsur keenam yaitu resources committed

dinyatakan oleh Suwitri (2008: 88) sebagai “Tersedianya sumber-sumber

secara memadai...”. Dengan demikian dua unsur (unsur kelima dan

keenam) dari model Grindle dapat kita simpulkan sama dengan faktor

sumber daya sebagaimana dikemukakan Edwards III maupun Van Meter dan

Van Horn, tetapi Grindle membedakan sumber daya sebagai SDM dan non

SDM. Oleh karena itu, model implementasi yang lebih tepat digunakan dalam

kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang adalah Model Grindle karena

lebih menitikberatkan pada politik dari para pelaku kebijakan, khususnya dalam

implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang.

Selain itu, adanya unsur compliance and responsiveness (kepatuhan

dan daya tanggap) sebagai unsur ketiga dalam konteks implementasi, berkaitan

dengan fokus penelitian yang menganalisis implementasi kebijakan kawasan

tanpa rokok di Instansi Pemerintahan Kota Palembang. Kepatuhan berasal dari

kata patuh. Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), patuh berarti suka

menurut perintah, taat kepada perintah atau aturan dan berdisiplin. Kepatuhan

berarti bersifat patuh, ketaatan, tunduk, patuh pada ajaran dan aturan. Faktor-

faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang untuk Patuh menurut Green

260

(1999) yaitu faktor predisposisi, faktor pendukung dan faktor penguat. Menurut

Smet (1994), faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan adalah: Komunikasi,

Pengetahuan, dan Sarana Prasarana Pendukung. Faktor-faktor yang

mempengaruhi kepatuhan menurut Niven (2002) adalah individu, dukungan

keluarga, dukungan sosial dan dukungan petugas.

Jika dikaitkan dengan implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di

Instansi Pemerintahan Kota Palembang berdasarkan Peraturan Daerah No. 7

Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang, maka dapat

dipahami bahwa kebijakan ini dapat ditujukan untuk mencapai kriteria

responsivitas dalam mengimplementasikan Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009

Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang yaitu langkah-langkah

pengamanan rokok bagi kesehatan, diantaranya melalui penetapan Kawasan

Tanpa Rokok, maka model implementasi kebijakan dirumuskan berdasarkan

model implementasi dari Marilee S. Grindle (1980), sebagai berikut:

Implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang,

meliputi:

a. Isi Kebijakan, terdiri dari:

1) Kepentingan yang dipengaruhi oleh kebijakankawasan tanpa rokok di

Kota Palembang

2) Manfaat kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang

3) Derajat perubahan yang dicapai

4) Letak Pengambilan Keputusan

5) Mekanisme pelaksanaan kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota

Palembang

6) Sumber Daya yang dilibatkan

261

b. Konteks Implementasi, terdiri dari:

1) Strategi aktor yang dilibatkan

2) Karakteristik Lembaga dan Penguasa

3) Kepatuhan terhadap cara/proses pelaksanaan kebijakan kawasan tanpa

rokok di Kota Palembang

c. Hasil Kebijakan, yakni:

Perubahan perilaku masyarakat setelah di implementasikan kebijakan

kawasan tanpa rokok di Kota Palembang.

Sebelum menganalisis implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di

Kota Palembang, maka perlu ditelaah terlebih dahulu isi Kebijakan berdasarkan

Pasal-pasal yang tercantum dalam Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009 Tentang

Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang, berdasarkan tabel berikut ini:

Tabel 6.1

Isi Kebijakan berdasarkan Pasal-pasal yang tercantum dalam Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok

di Kota Palembang

No Isi Kebijakan Peraturan

Daerah No. 7 Tahun 2009

Analisis

a) Kepentingan yang dipengaruhi

Pasal 1, Pasal 3 Pasal 5 dan

Pasal 6

Masyarakat Kota Palembang

b) Manfaat Pasal 2 dan Pasal 3

1) Terciptanya kawasan tanpa rokok khususnya di Instansi Pemerintahan Kota Palembang

2) Timbulnya kesadaran masyarakat untuk tidak merokok dikawasan tanpa rokok

c) Derajad perubahan yang diharapkan

Pasal 4 dan Pasal 7

1) Peletakkan tanda-tanda larangan merokok disemua pintu masuk utama dan ditempat-tempat yang dipandang perlu dan mudah terbaca oleh pengunjung/ masyarakat

262

No Isi Kebijakan Peraturan

Daerah No. 7 Tahun 2009

Analisis

2) Tidak adanya aktivitas penjualan, iklan maupun promosi rokok yang tidak sesuai dengan izinnya

3) Tidak adanya penyediaan asbak

atau sarana rokok lainnya 4) Tidak adanya tempat merokok di

tempat umum

d) Letak pengambilan keputusan

Pasal 30 1) Dinas Kesehatan Kota Palembang sebagai Instansi teknis pelaksana pengawasan kawasan tanpa rokok sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya, berkoordinasi dengan Instansi terkait.

2) Satuan Polisi Pamong Praja Kota Palembang sebagai Instansi teknis yang diberikan kewenangan untuk menertibkan dan mengawasi kawasan tanpa rokok sesuai dengan ketentuan Peraturan Daerah ini dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

e) Pelaksanaan

program Pasal 11, 12 dan Pasal 13

1) Tahap Pembinaan 2) Tahap Pengawasan 3) Tahap Koordinasi dan Evaluasi

f) Sumber daya

yang dilibatkan Pasal 7,

Pasal 14, dan Pasal 30

Ditugaskan kepada: 1) Bidang Pengendalian Masalah

Kesehatan di Dinas Kesehatan Kota Palembang

2) Bidang Penegakan Peraturan Per UUan Daerah Satuan Polisi Pamong Praja

3) Tim Pengawas Perda KTR serta 4) Pimpinan Instansi 5) Masyarakat

Sumber: Analisis Hasil Penelitian

263

Berdasarkan Perda Kota Palembang No. 7 Tahun 2009 tentang Kawasan

Tanpa Rokok, Pasal I diketahui bahwa: “Kawasan Tanpa Rokok adalah tempat

atau ruangan yang dinyatakan dilarang untuk merokok, menjual, mengiklankan,

dan/atau mempromosikan rokok”. Pasal 3 Perda Kota Palembang No. 7 Tahun

2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok, menjelaskan Penetapan Kawasan Tanpa

Rokok bertujuan untuk:

a. Memberikan perlindungan yang efektif dari bahaya paparan asap

rokok orang lain;

b. Memberikan ruang dan lingkungan yang bersih dan sehat bagi

masyarakat; dan

c. Melindungi kesehatan masyarakat secara umum dari dampak buruk

merokok baik langsung maupun tidak langsung.

Berdasarkan kedua pendapat tersebut, dapat diketahui bahwa Peraturan

Daerah No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang,

tidak bertujuan untuk melarang orang merokok, melainkan dimaksudkan untuk

membatasi ruang gerak si perokok. Perda ini juga berupaya untuk mencerdaskan

masyarakat dan meluruskan bahwa setiap orang memiliki hak azazi untuk

menghirup udara yang bersih.

Hal tersebut juga selaras dengan Perda No. 7 Tahun 2009 Tentang

Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang, bahwa Penetapan Kawasan Tanpa

Rokok bertujuan untuk:

a) Memberikan perlindungan yang efektif dari bahaya paparan asap rokok

orang lain;

b) Memberikan ruang dan lingkungan yang bersih dan sehat bagi masyarakat;

dan

264

c) Melindungi kesehatan masyarakat secara umum dari dampak buruk

merokok baik langsung maupun tidak langsung

Upaya menciptakan ruang dan lingkungan yang bersih dan sehat bagi

masyarakat serta bebas dari asap rokok, bukan hanya demi kepentingan

Pemerintah. Dalam hal ini para Pemilik, Pengelola, Manajer, Pimpinan, dan

Penanggung Jawab tempat serta masyarakat sendiri wajib mendukung dan

bertanggung jawab atas pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok.

Bagi Pemilik, Pengelola, Manajer, Pimpinan, dan Penanggung Jawab

tempat, alasan mereka mau melaksanakan Perda No. 7 Tahun 2009 Tentang

Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang, antara lain:

a) Hal ini merupakan Peraturan Pemerintah, yang juga sudah diatur melalui

Peraturan Walikota Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang,

sehingga harus dipatuhi.

b) Sanksi terhadap Pelanggaran Perda No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan

Tanpa Rokok di Kota Palembang langsung ditujukan kepada Pemilik,

Pengelola, Manajer, Pimpinan, dan Penanggung Jawab Tempat

c) Manfaatnya juga positif bagi masyarakat yakni akan menciptakan

suasana yang nyaman dan udara yang segar.

Berdasarkan Pasal 4 Perda No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa

Rokok di Kota Palembang, diketahui bahwa Prinsip Penetapan Kawasan Tanpa

Rokok adalah:

a. 100 % kawasan tanpa asap rokok.

b. Tidak ada ruang merokok di tempat umum/tempat kerja tertutup.

265

c. Pemaparan asap rokok pada orang lain melalui kegiatan merokok,

atau tindakan mengizinkan dan atau membiarkan orang merokok di

kawasan tanpa rokok adalah bertentangan dengan hukum

Selanjutnya Pasal 7, Perda No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa

Rokok di Kota Palembang, mengemukakan bahwa:

(1) Pemilik, Pengelola, Manajer, Pimpinan, dan Penanggung Jawab

wajib bertanggung jawab atas pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok.

(2) Pemilik, Pengelola, Manajer, Pimpinan dan Penanggung Jawab

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib untuk melakukan

pengawasan internal atas terselenggaranya Kawasan Tanpa Rokok.

(3) Tanggung jawab Pemilik, Pengelola, Manajer, Pimpinan dan

Penanggung Jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah:

a. Melarang adanya tempat untuk merokok di dalam gedung dan

penyediaan rokok, termasuk menjual/mengiklankan atau

mempromosikan rokok;

b. Mengingatkan semua orang untuk tidak merokok di kawasan

tanpa rokok yang menjadi tanggung jawabnya:

c. Melarang adanya asbak di kawasan tanpa rokok;

d. Meletakkan tanda-tanda dilarang merokok di semua pintu masuk

utama dan di tempat-tempat yang dipandang perlu dan mudah

terbaca.

266

Derajad perubahan yang diharapkan implementasi Kebijakan Perda No. 7

Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang, sebagai

berikut:

(1) 100 % kawasan tanpa asap rokok

(2) Tidak ada ruang merokok di tempat umum/tempat kerja tertutup

(3) Pemaparan asap rokok pada orang lain melalui kegiatan merokok, atau

tindakan mengizinkan dan atau membiarkan orang merokok di kawasan

tanpa rokok adalah bertentangan dengan hukum

Pelaksana kebijakan kawasan tanpa rokok di Instansi Pemerintahan Kota

Palembang, meliputi Tim Pelaksana Pengawas Kawasan Tanpa Rokok Kota

Palembang, yang terdiri dari Walikota beserta jajarannya sebagai pengarah serta

yang Dinas Kesehatan Kota Palembang dan Kepala Satuan Polisi Pamong Praja

Kota sebagai pelaksana dengan melibatkan Instansi terkait.

Berdasarkan Pasal 12 Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009 Tentang

Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang, menguraikan bahwa:

(1) Walikota melakukan pengawasan terhadap Kawasan Tanpa Asap Rokok

dan Kawasan Tanpa Rokok.

(2) Untuk melaksanakan tugas pengawasan Walikota dapat mendelegasikan

kewenangannya kepada Dinas Kesehatan Kota Palembang dan Satuan

Polisi Pamong Praja Kota Palembang.

(3) Ketentuan teknis pelaksanaan pengawasan kawasan tanpa asap rokok

dan kawasan tanpa rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur

lebih lanjut oleh Walikota

267

Selanjutnya berdasarkan Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009 Tentang

Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang Pasal 13 diketahui bahwa:

(1) Pengawasan dilakukan dalam upaya mengarahkan pemilik, pengelola

dan penanggung jawab Kawasan Tanpa Rokok untuk mengefektifkan

tempat-tempat yang dimiliki atau dikelolanya benar-benar bebas dari asap

rokok.

(2) Pengawas mempunyai kewenangan untuk masuk ke Kawasan Tanpa

Rokok baik siang maupun malam atau selama jam kerja untuk melakukan

inspeksi atau supervisi pelaksanaan Peraturan Daerah ini

6.1.1 Isi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang

Dalam Isi Kebijakan selalu merujuk pada apakah pelaksanaan kebijakan

sesuai dengan yang ditentukan dengan melihat aksi dari kebijakan tersebut.

Adapun indikator yang dapat mengukur isi kebijakan adalah a) Kepentingan yang

dipengaruhi, b) Manfaat, c) Derajad perubahan yang diharapkan, d) Letak

pengambilan keputusan, e) Pelaksanaan program, f) Sumber daya yang

dilibatkan. Berikut tabel yang menguraikan Isi Kebijakan berdasarkan Pasal-

pasal yang tercantum dalam Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009 Tentang

Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang.

Berdasarkan analisis Isi Kebijakan, ternyata secara tersurat kepentingan

yang dipengaruhi adalah masyarakat dalam hal ini diketahui bahwa setiap orang

berhak atas udara bersih dan menikmati udara yang bebas dari asap rokok dan

berhak atas informasi dan edukasi yang benar mengenai rokok atau merokok

dan bahayanya untuk kesehatan. Oleh karena itu setiap orang wajib memelihara

lingkungan yang bersih dan sehat, yang bebas dari asap rokok diruang atau area

268

yang dinyatakan kawasan tanpa rokok. Selain itu, manfaat kebijakan ini juga

sudah cukup jelas yakni terciptanya kawasan tanpa rokok di Kota Palembang

serta timbulnya kesadaran masyarakat untuk tidak merokok dikawasan tanpa

rokok. Derajad perubahan yang diharapkan, Letak pengambilan keputusan,

Pelaksanaan program, serta Sumber daya yang dilibatkan juga sudah diuraikan

dalam Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok di

Kota Palembang, yang pelaksanaannya dirumuskan kembali berdasarkan

Peraturan Walikota maupun Instruksi Walikota Palembang tentang Pelaksanaan

maupun Pengawasan Kawasan Tanpa Rokok. Setelah penelitian dilakukan

terungkap beberapa hal sebagai berikut:

1) Kepentingan yang Dipengaruhi

Berdasarkan teori Grindle, Interest Affected (kepentingan-kepentingan

yang mendukung dan menghambat) berkaitan dengan berbagai kepentingan

yang mendukung dan menghambat suatu implementasi kebijakan. Indikator ini

berargumen bahwa suatu kebijakan dalam pelaksanaannya pasti melibatkan

banyak kepentingan dan sejauhmana kepentingan-kepentingan tersebut

membawa pengaruh terhadap implementasinya. Berbagai kelompok

kepentingan, termasuk masyarakat sipil, memainkan peran yang lebih penting

dalam membentuk dan menyampaikan kebijakan kesehatan masyarakat baik di

tingkat nasional dan internasional di banyak negara. Meskipun dalam proses ini

pembuatan kebijakan kesehatan masyarakat lebih kompleks dan kurang dapat

diprediksi. [Nicholas Mays. (2016)]

269

[Karla S.Bartholomew. (2015)] Paparan Asap rokok (SHS) dikaitkan

dengan berbagai risiko yang merugikan kesehatan, termasuk: asma, otitis media,

infeksi saluran pernapasan, pertumbuhan dan fungsi paru-paru terganggu,

gangguan kognitif, masalah perilaku, dan sindrom kematian bayi mendadak.

Selama tiga dekade terakhir, langkah besar telah dilakukan dalam membangun

kawasan tanpa asap rokok untuk mengurangi eksposur SHS. Peraturan telah

dibuat diberbagai organisasi, lokal dan tingkat negara yang semakin melarang

merokok di tempat kerja dan tempat umum.

Berdasarkan Perda Kota Palembang No. 7 Tahun 2009 tentang Kawasan

Tanpa Rokok tersebut, maka Kepentingan yang dipengaruhi dalam rangka

implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Instansi Pemerintahan Kota

Palembang, meliputi:

a) Kepentingan Pelaksana Kebijakan kawasan tanpa rokok

b) Kepentingan Pimpinan Instansi Kota Palembang

c) Kepentingan Masyarakat

Berdasarkan temuan penelitian diketahui bahwa dalam implementasi

kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang telah memuat kepentingan

kelompok sasaran atau target groups dalam isi kebijakannya. Dalam hal ini

Perda No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang

telah mengakomodir berbagai kepentingan yakni Kepentingan Pelaksana

Kebijakan kawasan tanpa rokok, Kepentingan Pemimpin/Pengelola serta

Kepentingan Masyarakat

Hal tersebut dapat dilihat dari Perda KTR yang merupakan bentuk

perlindungan terhadap mereka yang tidak merokok; menciptakan lingkungan

yang sehat; serta menertibkan perokok aktif dimana dia merokok bukan

270

melarang mereka yang merokok. Perda KTR ini telah berupaya untuk

mencerdaskan masyarakat dan meluruskan bahwa setiap orang memiliki hak

azazi untuk menghirup udara yang bersih. Sehingga bagi mereka si perokok

harus tertib, harus tahu dimana tempat mereka rokok.

Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa pelaksanaan suatu

kebijakan pasti melibatkan banyak kepentingan dan sejauhmana kepentingan-

kepentingan tersebut membawa pengaruh terhadap implementasinya. Berbagai

kelompok kepentingan, termasuk masyarakat sipil, memainkan peran yang lebih

penting dalam membentuk dan menyampaikan kebijakan kesehatan masyarakat

baik di tingkat nasional dan internasional. Meskipun dalam proses ini pembuatan

kebijakan kesehatan masyarakat lebih kompleks dan kurang dapat diprediksi.

Dalam hal ini kepentingan Pelaksana kebijakan kawasan tanpa rokokdalam hal

ini Dinas Kesehatan Kota Palembang, maupun Kepentingan Pemimpin/Pengelola

dan kepentingan Masyarakat telah diakomodir melalui bentuk partisipasi mereka

masing-masing yang telah diatur dalam Perda No. 7 Tahun 2009 Tentang

Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang.

2) Tipe Manfaat

Dari kepentingan yang dipengaruhi kebijakan kawasan tanpa rokok yang

telah dipaparkan sebelumnya jelaslah bahwa kebijakan kawasan tanpa rokok

sangat bermanfaat dan memiliki dampak positif dalam menciptakan lingkungan

yang sehat dan bersih dari asap rokok. Berdasarkan teori Grindle, Type of

Benefits (tipe manfaat) pada Isi Kebijakan berupaya untuk menunjukan atau

menjelaskan bahwa dalam suatu kebijakan harus terdapat beberapa jenis

manfaat yang menunjukan dampak positif yang dihasilkan oleh

271

pengimplementasian kebijakan yang hendak dilaksanakan. Pada regulasi

kebijakan kesehatan masyarakat, regulator dapat mengembangkan pedoman,

membuat rekomendasi, dan membuat keputusan untuk membantu

masyarakat. Kebijakan ini juga berfungsi untuk menjelaskan bagaimana regulator

berpikir dan membuat keputusan. Keputusan dalam kebijakan tertulis dapat

membantu untuk mendorong harmonisasi internasional, kebijakan atau prosedur

yang berbeda dapat didiskusikan, dirasionalisasi (yaitu, telaah alasan-alasan

ilmiah yang diberikan), dengan selaras. [Rebecca Sheets. (2018)]

Kebijakan untuk area bebas asap terlihat sebagai kegiatan kompleks

yang sangat dipolitisasi, berkaitan dengan menyeimbangkan sejumlah faktor

termasuk bukti, pengalaman pribadi, kepedulian terhadap perokok, dan keinginan

dukungan publik untuk kebijakan. Mayoritas. Pemerintah berhati-hati tentang

membuat langkah kebijakan substantif pada tempat-tempat bebas merokok

karena persepsi mereka tentang isu yang sangat kontroversial, keinginan mereka

untuk menghindari resistensi publik dan keinginan mereka untuk keterlibatan

masyarakat. Preferensi ditunjukkan untuk pendekatan kebijakan berdasarkan

persuasi dari pada Undang-undang, sebagai sarana untuk membuat kemajuan

kawasan bebas asap rokok. Hasil menunjukkan perlunya komunikasi yang baik

dari penerimaan dan manfaat dari perubahan legislatif bebas merokok untuk

kedua arena politik dan publik. [Hulton, L, Matthews Z, Martin-Hilber A, Adanu

R, Ferla C, Getachew A, Makwenda C, Segun B, Yilla M. (2014)]

Kebijakan kawasan tanpa rokok sangat mungkin dipolitisasi, antara

kepedulian terhadap perokok maupun dukungan publik dalam menciptakan

kawasan tanpa rokok. Mayoritas pelaku kebijakan berhati-hati untuk

merumuskan kebijakan subtanstif pada kawasan tanpa rokok karena persepsi

272

tentang isu ini sangat kontroversial. Oleh karena itu perlu adanya komunikasi

yang baik antara pelaku kebijakan dan masyarakat sebagai penerima manfaat

kebijakan kawasan tanpa rokok. [Helen Wilson, GeorgeThomson. (2011)]

Temuan penelitian diketahui bahwa dalam implementasi kebijakan

kawasan tanpa rokok di Kota Palembang telah memiliki manfaat yang positif,

antara lain terciptanya kawasan tanpa rokok di 7 Kawasan Kota Palembang,

sehingga membuat nyaman lingkungan tempat kerja karena udara bersih dari

pencemaran asap rokok serta berkurangnya jumlah perokok sehingga dapat

meningkatkan kesehatan pegawai/masyarakat.

Sehingga dapat dikatakan bahwa kebijakan kawasan tanpa rokok sangat

mungkin dipolitisasi, antara kepedulian terhadap perokok maupun dukungan

publik dalam menciptakan kawasan tanpa rokok. Oleh karena itu perlu adanya

komunikasi yang baik antara pelaku kebijakan dan masyarakat sebagai penerima

manfaat kebijakan kawasan tanpa rokok. Dalam hal ini implementasi kebijakan

kawasan tanpa rokok di Kota Palembang telah memiliki manfaat yang positif,

antara lain terciptanya kawasan tanpa rokok, sehingga membuat nyaman

lingkungan karena udara bersih dari pencemaran asap rokok serta meningkatkan

kesadaran masyarakat untuk tidak merokok dikawasan tanpa rokok khususnya di

Instansi Pemerintahan.

273

3) Derajad Perubahan yang diharapkan

Berdasarkan teori Grindle, Extent of Change Envision (derajat perubahan

yang ingin dicapai). Setiap kebijakan mempunyai target yang hendak dan ingin

dicapai. Content of policy yang ingin dijelaskan pada poin ini adalah bahwa

seberapa besar perubahan yang hendak atau ingin dicapai melalui suatu

implementasi kebijakan harus mempunyai skala yang jelas.

Penerapan kebijakan kawasan tanpa rokok mungkin memiliki dampak

kecil, namun menguntungkan terhadap upaya pemberhentian keinginan

merokok. [Barbara, Paula A. Keller, Anne E. Betzner, Lija Greenseid, Matthew

Christenson, Michael G. Luxenberg (2012)]. Di Uruguay, penerapan 100%

Kawasan Tanpa Rokok terbukti dapat mengurangi perawatan darurat ke RS

khususnya rawat inap untuk bronkospasme. Sehingga kebijakan kawasan tanpa

rokok sangat disarankan khususnya bagi Negara-negara dengan mayoritas

penduduk berpenghasilan rendah dan menengah untuk mengurangi beban

penyakit dan biaya kesehatan terkait merokok. [Sara Kalkhoran, Ernesto M

Sebrié, Edgardo Sandoya, and Stanton A. Glantz. (2015)]

Program Lingkungan Bebas Asap Tembakau untuk mencegah kebijakan

bebas asap yang efektif. Penghalang di kawasan itu, masyarakat sipil lokal yang

lemah dan terpecah-pecah. Peluang di wilayah tersebut yang harus

diperhitungkan adalah dukungan publik yang tinggi untuk lingkungan bebas

rokok dan meningkatkan pembangunan kapasitas yang tersedia dari kerjasama

internasional tentang pengendalian tembakau. Para pembuat kebijakan dan

pendukung pengendalian tembakau harus memprioritaskan pelaksanaan

kebijakan bebas asap untuk melindungi non-perokok, mengurangi prevalensi

274

merokok dengan beban ekonomi dan penyakit di wilayah tersebut. [Ernesto

M.Sebrié, VerónicaSchoj, Stanton A.Glantz (2008)]

Adapun derajat perubahan yang ingin dicapai diuraikan melalui dua

indikator yakni indikator observasi yang meliputi tidak ditemukannya orang yang

merokok, ruang khusus merokok, tanda larangan merokok, tercium bau asap

rokok, penyediaan asbak dan korek api, puntung rokok dalam gedung, indikasi

kerjasama dengan industri tembakau. Selanjutnya Indikator wawancara yang

meliputi: Pengetahuan tentang Kebijakan Perda KTR, Mendukung dan

melaksanakan Perda KTR, Pelaksanaan Kebijakan KTR oleh Pengelola Gedung,

serta Pengelola Gedung mengetahui bahwa akan terkena sanksi jika tidak

mematuhi Perda KTR.

Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa kebijakan kawasan

tanpa rokok sangat disarankan khususnya bagi Negara-negara dengan

mayoritas penduduk berpenghasilan rendah dan menengah untuk mengurangi

beban penyakit dan biaya kesehatan terkait merokok. Dalam hal ini derajat

perubahan yang ingin dicapai dalam implementasi kebijakan kawasan tanpa

rokok di Kota Palembang antara lain terciptanya 100% kawasan tanpa asap

rokok, tidak ada ruang merokok tertutup serta tidak ada pemaparan rokok pada

orang lain melalui kegiatan merokok, atau tindakan mengizinkan dan atau

membiarkan orang merokok di Kawasan Tanpa Rokok. Adapun indikator yang

digunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan Kebijakan Peraturan Daerah

No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang

didasarkan pada hasil observasi dan wawancara. Indikator Observasi meliputi:

orang yang merokok, ruang khusus merokok, tanda larangan merokok, tercium

bau asap rokok, penyediaan asbak dan korek api, puntung rokok dalam gedung

275

serta indikasi kerjasama dengan industri tembakau. Sedangkan Indikator

wawancara meliputi: pengetahuan tentang Kebijakan Perda KTR, mendukung

dan melaksanakan Perda KTR, pelaksanaan Kebijakan KTR oleh Pengelola

Gedung, serta Pimpinan Kantor mengetahui bahwa akan terkena sanksi jika tidak

mematuhi Perda KTR.

4) Letak Pengambilan Keputusan

Berdasarkan teori Grindle, Site of Decision Making (Letak Pengambilan

Keputusan) dalam suatu kebijakan memegang peranan penting dalam

pelaksanaan suatu kebijakan, maka pada bagian ini harus dijelaskan dimana

letak pengambilan keputusan dari suatu kebijakan yang akan diimplementasikan.

Keputusan merupakan pilihan yang dibuat dari dua atau lebih lebih alternatif.

Proses Pengambilan Keputusan merupakan serangkaian langkah

mengidentifikasi masalah, memilih alternatif dan mengevaluasi efektivitas suatu

keputusan.Tingkat keputusan juga dapat dilihat seperti yang ada pada spektrum

dari strategi hingga operasional. Keputusan strategis dapat didefinisikan sebagai

keputusan yang berkaitan dengan penentuan tujuan organisasi, sumber daya

yang digunakan untuk mencapai tujuan dan kebijakan yang mengatur perolehan,

penggunaan, dan disposisi sumber daya tersebut. Disisi lain keputusan

operasional, memastikan bahwa sumber daya digunakan secara efisien dalam

pencapaian tujuan organisasi.

276

Panduan WHO FCTC (Framework Convention on Tobacco Control)

mengidentifikasi empat tugas yang harus ditempatkan pada Pelaksana kebijakan

kawasan tanpa rokok yang bertanggung jawab atas di Kawasan Tanpa Rokok

(KTR), antara lain:

a) Kewajiban untuk menggunakan tanda larangan merokok secara jelas;

b) Kewajiban untuk menghilangkan asbak dari tempat KTR;

c) Mengawasi ketaatan Peraturan KTR; dan

d) Kewajiban untuk mengambil langkah-langkah yang ditentukan secara

wajar untuk mencegah individu merokok di Kawasan Tanpa Rokok

Tugas yang diberikan pada perokok adalah mematuhi larangan merokok

secara ketat. Untuk pelanggaran terhadap tugas-tugas ini, Panduan WHO FCTC

merekomendasikan hukuman moneter untuk perusahaan bisnis dan membiarkan

pihak yang melanggar untuk menjatuhkan denda moneter pada perokok

perorangan. Denda harus cukup besar untuk mencegah pelanggaran, dengan

denda yang lebih tinggi untuk bisnis daripada perokok perorangan yang diberi

sumber daya tersedia untuk masing-masing, dan harus ditingkatkan untuk

pelanggaran berulang. Panduan ini juga memberi kemungkinan sanksi

administratif dan sanksi pidana di samping denda moneter, tergantung pada apa

yang akan sesuai dengan praktik umum dan sistem hukum masing-masing

Pihak. Sanksi administratif mungkin termasuk suspensi atau pembatalan lisensi

bisnis dan akan menjadi "upaya terakhir penerapan sanksi”. [Lambert Patricia

and Donley, Kaitin, (2013)].

277

Diketahui bahwa Pelaksana kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota

Palembang, antara lain Dinas Kesehatan Kota sebagai Instansi teknis pelaksana

pengawasan kawasan tanpa rokok serta Satuan Polisi Pamong Praja Kota

Palembang sebagai Instansi teknis yang diberikan kewenangan untuk

menertibkan dan mengawasi kawasan tanpa rokok

Berdasarkan temuan penelitian diketahui bahwa letak pengambilan

keputusan dalam implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota

Palembang, berada pada Dinas Kesehatan Kota Palembang yang mengawasi

serta Satuan Polisi Pamong Praja sebagai Tim Penegak Hukum. Untuk

melaksanakan kebijakan kawasan tanpa rokok tentu saja harus dibentuk

Pengawas Internal ataupun Tim Penegakan Hukum Perda KTR (biasanya terdiri

dari Satpam) yang berkoordinasi dengan Pimpinan atau Pengelola kawasan,

yang akan memantau keamanan sekaligus mengamankan mereka yang

merokok.

Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa letak pengambilan

keputusan dalam implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok Kota Palembang

terdiri dari Dinas Kesehatan Kota Palembang lebih berfungsi pada penekanan

bahaya merokok pada orang-orang yang ada di Kawasan Tanpa Rokok, serta

Sat Pol PP Kota Palembang dan jajarannya sebagai Penegak Hukum Perda KTR

dan bertugas melakukan survei dan penerapan sanksi terhadap pelanggaran

Perda KTR.

278

5) Pelaksana Kebijakan

Berdasarkan teori Grindle, Program Implementor (Pelaksana Program)

harus didukung dengan adanya pelaksana kebijakan yang kompeten dan

kapabel demi keberhasilan suatu kebijakan. Rekomendasi FCTC WHO salah

satunya dengan menentukan siapa yang memiliki wewenang untuk melakukan

inspeksi dan garis besar kekuatan mereka. Pada Pertemuan Regional Afrika

tentang Implementasi FCTC WHO pada bulan Oktober 2012, titik fokus

pengendalian tembakau di Kementerian Kesehatan mengakui kebutuhan untuk

mengklarifikasi penegakan wewenang di bawah Undang-undang. Hal ini penting

dilakukan agar Petugas penegak hukum mendapatkan pelatihan mengenai tugas

mereka. untuk melakukan inspeksi dan lingkup kekuasaan mereka. Selain itu,

memantau kepatuhan dan memperkuat penegakan hukum Kawasan Tanpa

Rokok. Pemantauan kepatuhan terhadap Peraturan Kawasan Tanpa Rokok

dapat membantu mengidentifikasi kelemahan dalam sistem penegakan hukum.

Setelah diidentifikasi, sumber daya dapat dialihkan dan pelatihan tambahan

dapat diberikan kepada Pelaksana Kebijakan untuk membantu meningkatkan

penegakan dan kepatuhan secara keseluruhan. [Lambert Patricia and Donley,

Kaitin, (2013)].

279

Dalam hal ini, Tim Pelaksana Kawasan Tanpa Rokok Kota Palembang,

melakukan tahap pembinaan, tahap pengawasan serta tahap koordinasi dan

evaluasi, yang meliputi:

(a) Tahap Pembinaan, meliputi:

(1) Penyebarluasan informasi dan sosialisasi melalui media cetak dan

elektronik;

(2) Koordinasi dengan seluruh Instansi, elemen organisasi masyarakat,

kalangan pendidikan, tokoh-tokoh masyarakat dan tokoh-tokoh

agama;

(3) Memotivasi dan membangun partisipasi, prakarsa masyarakat untuk

hidup sehat tanpa asap rokok dengan melakukan kampanye

Kawasan Tanpa Asap Rokok dan Kawasan Tanpa Rokok;

(4) Merumuskan kebijakan-kebijakan yang terkait dengan perlindungan

masyarakat dari paparan asap rokok; dan

(5) Bekerja sama dengan badan-badan atau lembaga-lembaga nasional

maupun Internasional dalam upaya melindungi masyarakat dari

paparan asap rokok.

(b) Tahap Pengawasan, meliputi:

(1) Walikota melakukan pengawasan terhadap Kawasan Tanpa Asap

Rokok dan Kawasan Tanpa Rokok.

(2) Untuk melaksanakan tugas pengawasan Walikota dapat

mendelegasikan kewenangannya kepada Dinas Kesehatan Kota

Palembang dan Satuan Polisi Pamong Praja Kota Palembang.

(3) Pengawasan dilakukan dalam upaya mengarahkan pemilik,

pengelola dan penanggung jawab Kawasan Tanpa Rokok untuk

280

mengefektifkan tempat-tempat yang dimiliki atau dikelolanya benar-

benar bebas dari asap rokok.

(4) Pengawas mempunyai kewenangan untuk masuk ke Kawasan Tanpa

Rokok baik siang maupun malam atau selama jam kerja untuk

melakukan inspeksi atau supervisi pelaksanaan Peraturan Daerah ini.

(c) Tahap Koordinasi dan Evaluasi, meliputi:

(1) Tim Pengawas Internal Kawasan Tanpa Rokok wajib menyampaikan

laporan kepada Dinas Kesehatan melalui Tim Pelaksanaan

Pengawasan Kawasan Tanpa Rokok Palembang setiap akhir bulan

(2) Dinas Kesehatan mengevaluasi laporan-laporan yang diterima yang

dijadikan referensi dalam pelaksanaan dan pengawasan Kawasan

Tanpa Rokok

(3) Tim Pengawas Kawasan Tanpa Rokok melalui Dinas Kesehatan

secara berkala mengirimkan laporan per triwulan kepada Walikota

Palembang

Berdasarkan temuan penelitian diketahui bahwa pelaksana kebijakan

kawasan tanpa rokok di Kota Palembang, meliputi Tim Pelaksana Pengawas

Kawasan Tanpa Rokok Kota Palembang, yang terdiri dari Walikota beserta

jajarannya sebagai pengarah serta yang Dinas Kesehatan Kota Palembang dan

Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Kota sebagai pelaksana dengan melibatkan

Instansi terkait. Pelaksana kebijakan kawasan tanpa rokok cukup kompeten dan

kapabel dalam pelaksanaan tugasnya yang telah melakukan tahap pembinaan,

tahap pengawasan serta tahap koordinasi dan evaluasi.

281

6) Sumber Daya yang dilibatkan

Berdasarkan teori Grindle, Resources Committed (sumber-sumber daya

yang digunakan). Dalam hal ini pelaksanaan suatu kebijakan juga harus memiliki

sumber-sumber daya yang mendukung agar pelaksanaan kebijakannya berjalan

dengan baik. Berdasarkan temuan penelitian diketahui bahwa dalam

melaksanakan penegakan seluruh Perda maupun Peraturan Walikota dengan

Sat Pol PP Kota Palembang menurunkan sejumlah Personil kurang lebih 60

orang Personil tergantung lokasi yang disurvei termasuk di Instansi

Pemerintahan. Sat Pol PP membantu Dinas Kesehatan melaksanakan

penegakan Perda KTR. Survei Penegakan Perda KTR ini sudah sering

dilaksanakan. Petugas Sat Pol PP yang dilibatkan dalam penegakan Perda KTR

itu (include) termasuk juga penegakan Perda lainnya. Personil di Sat Pol PP

sebagai Penegakan Hukum Perda KTR sudah cukup. Dalam melaksanakan

tugas mereka juga diberikan uang lelah untuk memotivasi personil. Hasil Survei

disertai dengan gambar-gambar penegakan Perda KTR. Dalam hal ini Survei

maupun Sidang Yustisi biasa dilaksanakan hari Selasa, pada lokasi-lokasi yang

telah ditentukan sesuai jadwal.

Selain itu, dibentuk Tim Pengawas Internal yang sebelumnya telah,

diberikan Pelatihan Pengawasan Internal dan Penegakan Hukum Kawasan

Tanpa Rokok. Tim Pengawas Internal di Instansi Pemerintahan adalah petugas

keamanan (security), yang bertugas melakukan pengawasan internal di lokasi

tersebut, karena baik Dinas Kesehatan maupun Sat Pol PP tidak bisa mengcover

seluruh wilayah KTR setiap saat. Memang pada kenyataannya pengawas

internal ini belum dilakukan sepenuhnya, dikarenakan tingkat kesadaran

masyarakat untuk mematuhi Perda KTR masih rendah.

282

Pada Pertemuan Regional Afrika tentang Implementasi FCTC WHO pada

bulan Oktober 2012, titik fokus pengendalian tembakau di Kementerian

Kesehatan mengakui kebutuhan untuk mengklarifikasi penegakan wewenang di

bawah Undang-undang. Menentukan siapa yang memiliki wewenang untuk

melakukan inspeksi dan pihak yang berwenang menjatuhkan sanksi, artinya

penting juga agar Petugas penegak hukum mendapatkan pelatihan mengenai

tugas mereka. untuk melakukan inspeksi dan lingkup kekuasaan mereka. Selain

itu melakukan memantau kepatuhan dan memperkuat penegakan hukum, yakni

memantau kepatuhan dan memperkuat penegakan hukum. Pemantauan

kepatuhan terhadap undang-undang dapat membantu mengidentifikasi

kelemahan dalam sistem penegakan hukum. Setelah diidentifikasi, sumber daya

dapat dialihkan dan pelatihan tambahan dapat diberikan kepada inspektur

(Pelaksana Kebijakan KTR) untuk membantu meningkatkan penegakan dan

kepatuhan secara keseluruhan. Sebuah studi kepatuhan di bawah Undang-

undang dilakukan segera setelah diimplementasikannya Kebijakan KTR; sebuah

studi lanjutan harus dilakukan sekarang karena undang-undang tersebut telah

ada selama beberapa tahun. [Lambert Patricia and Donley, Kaitin, (2013)].

Sumber keuangan pelaksanaan kebijakan kawasan tanpa rokok ini,

antara lain bersumber dari APBN Depkes, APBD serta Support Dana dari: World

Lung Foundation dan Union, Dana tersebut digunakan untuk pembuatan sticker-

sticker Perda KTR yang nantinya akan dibagikan secara gratis ke 7 Kawasan

Tanpa Rokok, serta Dana pelaksanaan survei penegakan hukum Perda KTR

sebesar 9,3 juta yang diberikan kepada Satpol PP. Diketahui bahwa dana yang

digunakan sangat terbatas mengingat tempat yang akan disurvei juga cukup

banyak. Selain itu, Pelaksanaan Perda KTR ini masih kurang fasilitas berupa

283

pengaduan masyarakat tentang pelanggaran Perda KTR serta penyediaan Klinik

Kesehatan gratis bagi Perokok supaya berhenti merokok.

Dalam hal ini pelaksanaan dan penegakan kebijakan kawasan tanpa

rokok sebagaimana di tentukan panduan FCTC WHO mendorong para Pihak

untuk mempertimbangkan untuk menggunakan mekanisme inspeksi yang sudah

ada, jika mungkin untuk memantau kepatuhan terhadap dan menerapkan

ketentuan Undang-undang bebas asap. Penggunaan mekanisme yang sudah

ada sebelumnya mengurangi biaya yang terkait dengan penegakan hukum

dengan menghilangkan kebutuhan untuk menyewa dan melatih sejumlah besar

personil baru. Mekanisme pemeriksaan yang mungkin ada sebelumnya dapat

mencakup: inspeksi perizinan usaha, pemeriksaan kesehatan dan sanitasi,

inspeksi untuk kesehatan dan keselamatan di tempat kerja, dan inspeksi

keselamatan kebakaran. Pedoman tersebut juga menyoroti cara-cara di mana

Undang-undang bebas asap dimulai dari kesadaran diri sendiri dan diberlakukan

oleh publik, mencatat bahwa di banyak wilayah hukum, keluhan masyarakat

adalah “sarana utama untuk menjamin kepatuhan”. Selain itu, Untuk

memfasilitasi penegakan hukum oleh Publik, panduan FCTC WHO

merekomendasikan untuk menetapkan nomor telepon bebas pulsa yang dapat

digunakan oleh masyarakat untuk melaporkan suatu pelanggaran kepada

Instansi terkait. [Lambert Patricia and Donley, Kaitin, (2013)].

Selanjutnya hal yang perlu diperhatikan dalam implementasi kebijakan

meliputi implementasi context, implementation network dan implementation

outcomes. Secara keseluruhan, tiga hubungan interaktif disajikan dalam

implementasi pendekatan jaringan: struktur dan agensi, jaringan dan konteks,

dan jaringan dan hasil. Pendekatan jaringan implementasi juga memberi

284

kesempatan untuk meletakkan proses implementasi ke dalam siklus kebijakan

untuk menganalisa bagaimana tahapan kebijakan yang lain, seperti pengaturan

agenda, pembuatan kebijakan dan evaluasi kebijakan, mempengaruhi jaringan

implementasi sebagai faktor politik, khususnya dalam kaitannya dengan para

aktor di Indonesia, tahap perumusan kebijakan dan pengaruhnya terhadap

mereka yang beroperasi pada saat tahap implementasi. Selain itu, pendekatan

jaringan implementasi juga mempertimbangkan hubungan interaktif antara

jaringan dan hasil. [Xiong Wei Song, (2018)].

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat dikatakan bahwa pembentukan

Tim Pengawas Internal dan Penegakan Hukum Kawasan Tanpa Rokok di

Instansi tidak bisa mengcover seluruh wilayah KTR setiap saat. Memang pada

kenyataannya pengawas internal di Instansi Pemerintahan ini belum dilakukan

sepenuhnya, dikarenakan tingkat kesadaran baik pegawai maupun masyarakat

yang menerima pelayanan untuk mematuhi Perda KTR masih rendah. Untuk itu

pelaksanaan kebijakan kawasan tanpa rokok perlu menentukan siapa yang

memiliki wewenang untuk melakukan inspeksi dan pihak yang berwenang

menjatuhkan sanksi, artinya penting juga agar Petugas penegak hukum

mendapatkan pelatihan mengenai tugas mereka. untuk melakukan inspeksi dan

lingkup kekuasaan mereka. Selanjutnya perlu memperhatikan pengaturan

agenda, pembuatan kebijakan dan evaluasi kebijakan kawasan tanpa rokok,

sebagai faktor politik, khususnya dalam kaitannya dengan para aktor kebijakan

kawasan tanpa rokok di Indonesia, tahap perumusan kebijakan dan pengaruhnya

terhadap mereka yang beroperasi pada saat tahap implementasi kebijakan

kawasan tanpa rokok. Pemantauan kepatuhan terhadap undang-undang dapat

membantu mengidentifikasi kelemahan dalam sistem penegakan hukum. Selain

285

itu, membangun kesadaran diri sendiri dan diberlakukan oleh publik, mencatat

bahwa di banyak wilayah hukum, keluhan masyarakat adalah sarana utama

untuk menjamin kepatuhan. Untuk memfasilitasi penegakan hukum oleh Publik

dilakukan dengan menetapkan nomor telepon bebas pulsa yang dapat

digunakan oleh masyarakat untuk melaporkan suatu pelanggaran kepada

Instansi terkait.

6.1.2 Konteks Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Kota

Palembang

Dalam Konteks Kebijakan selalu merujuk pada apakah pelaksanaan

kebijakan sesuai dengan yang ditentukan dengan melihat aksi dari kebijakan

tersebut. Adapun indikator yang dapat mengukur isi kebijakan adalah a) Strategi

Aktor Yang dilibatkan, b) Karakteristik Lembaga/Penguasa, c) Kepatuhan

terhadap cara/proses Pelaksanaan Kebijakan.

1) Strategi Aktor yang dilibatkan

Jemsly Hutabarat dan Martani Huseini (2006: 17), strategi dapat

dijelaskan sebagai suatu rangkaian yang dapat ditelaah sebagai suatu prinsip

dasar utama (content) strategi yang selalu memikirkan bagaimana sebuah

organisasi dapat hidup dan berkembang pada suatu konteks (contex) apapun.

Jadi, strategi merupakan suatu langkah cara mencapai tujuan yang menyangkut

aspek berpikir yang menjelaskan paradigma berpikir tentang bagaimana

mempertahankan eksistensi suatu organisasi (survive) dan mengembangkannya

dalam situasi dan kondisi apapun.

286

Berdasarkan teori Grindle, Power, Interest and Strategy of Actor Involved

(Kekuasaan, kepentingan-kepentingan dan strategi dari aktor yang dilibatkan).

Dalam suatu kebijakan perlu diperhitungkan termasuk pula kekuatan atau

kekuasaan, kepentingan serta strategi yang digunakan oleh para aktor yang

terlibat guna memperlancar jalannya pelaksanaan suatu implementasi.

Ketika strategi implementasi kebijakan dirancang, pendekatan

demokratis harus menjadi pilihan, begitu keputusan telah disepakati,

implementasi menjadi lebih banyak taktik daripada strategi, sementara taktik bisa

berubah menjadi masalah. [Linda deLeon dan Peter deLeon (2002)]

Sehingga strategi yang dilakukan dalam implementasi kebijakan

kawasan tanpa rokok, antara lain Negara dapat menggunakan beberapa

kebijakan pengendalian tembakau untuk mengurangi perokok. Dalam hal ini

meningkatkan pajak yang lebih tinggi dalam penerapan kebijakan kawasan tanpa

rokok dirasa efektif. [E. Kathleen Adams (2012)]

Program berhenti merokok multifaset jangka pendek dilaksanakan selama

5 bulan dapat menghasilkan penurunan merokok [Shirres, Georgina (1996)],

selain itu, pembatasan ada pada perilaku industri tembakau, iklan, dan promosi.

Relevansi dan prospek maju tindakan bagi komunitas kesehatan masyarakat

melalui empat strategi pengendalian tembakau meliputi: tindakan harga dan

pajak, larangan iklan, undang-undang udara bersih, dan pendidikan

masyarakat. [Achadi, Anhari. (2005)]

Berdasarkan Laporan dari Dinas Kesehatan Kota Palembang, diketahui

bahwa Pelaksanaan Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan

Tanpa Rokok di Kota Palembang, antara lain sebagai berikut: Sosialisasi secara

Langsung, meliputi: Talkshow melalui Radio, Talkshow melalui TV Swasta: Pal

287

TV, dilaksanakan Tahun 2010 (2 kali); Sosialisasi secara Tidak Langsung,

meliputi: Penyebaran Surat Instruksi tentang pemasangan papan pengumuman

Kawasan Tanpa Rokok, Penyebaran Leaflet Kawasan Tanpa Rokok, Pembuatan

papan pengumuman Kawasan Tanpa Rokok; Kegiatan Pemeriksaan Air Quality

Monitoring, telah dilaksanakan pemeriksaan sampel udara indoor di 30 titik

pemeriksaan, dilaksanakan Tahun 2010, salah satunya di Texas IP dimana tidak

ada pembatasan ruang antara ruang merokok dan ruang tanpa rokok; Kliping

koran yang berhubungan dengan rokok, dilaksanakan Tahun 2010; Pembahasan

Pembuatan Perwali tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang,

dilaksanakan selama 2 minggu, dilaksanakan Tahun 2010; Pertemuan sosialisasi

Perwali tentang Kawasan Tanpa Rokok bersama Asisten 4 dan Bagian Hukum

Pemerintah Kota Palembang yang dilaksanakan Tahun 2010 selama 2 minggu;

serta Pelatihan Tim Penegakan Hukum Perda KTR. Selain itu juga dilakukan

Survei dan Sidang Yustisi di depan International Plaza dengan menggunakan

Mobil Keliling dari Satuan Polisi Pamong Praja Kota Palembang.

Berdasarkan temuan penelitian diketahui bahwa Strategi aktor yang

dilibatkan dalam pelaksanaan Kebijakan kawasan tanpa rokok, antara lain

meliputi pelaksanaan sosialisasi, kegiatan pemeriksaan Air Quality Monitoring,

kliping koran yang berhubungan dengan rokok, pembahasan pembuatan perwali

tentang kawasan tanpa rokok di kota palembang, pertemuan sosialisasi perwali

tentang kawasan tanpa rokok bersama asisten 4 dan bagian hukum pemerintah

kota palembang serta pelatihan Tim Penegakan Hukum Perda KTR. Selain itu

juga dilakukan Survei dan Sidang Yustisi di depan International Plaza dengan

menggunakan Mobil Keliling dari Satuan Polisi Pamong Praja Kota Palembang.

Namun untuk Instansi Pemerintahan sendiri belum maksimal. Sehingga

288

berdasarkan hasil uraian dapat dikatakan bahwa Strategi aktor yang dilibatkan

dalam pelaksanaan Kebijakan kawasan tanpa rokok, belum maksimal. 7

kawasan yang ditetapkan sebagai Kawasan Tanpa Rokok hanya sekedar

memasang sticker larangan merokok saja. Perda KTR tidak diumumkan melalui

bagian Informasi, sehingga tidak semua masyarakat tahu tentang Perda KTR.

Pelaksanaan Sidang Yustisi kepada pelanggar KTR hanya sebatas pemberian

teguran saja, belum ada yang diberikan sanksi administratif.

Dalam hal ini, kewajiban hukum terhadap Aktor yang bertanggung jawab

atas Kawasan Tanpa Rokok yakni memberi tanda-tanda yang menunjukkan

bahwa merokok dilarang dan mengambil langkah-langkah untuk meminta

seseorang berhenti merokok, termasuk kewajiban untuk membuang asbak.

termasuk mencantumkan hukuman atas pelanggaran tugas yang dikenakan

meliputi denda dan/atau pemenjaraan. [Lambert Patricia and Donley, Kaitin,

(2013)]

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat dikatakan bahwa Strategi aktor

yang dilibatkan dalam pelaksanaan Kebijakan kawasan tanpa rokok, antara lain

meliputi pelaksanaan sosialisasi, kegiatan pemeriksaan Air Quality Monitoring,

kliping koran yang berhubungan dengan rokok, pembahasan pembuatan Perwali

tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang, pertemuan sosialisasi

Perwali tentang Kawasan Tanpa Rokok serta pelatihan Tim Penegakan Hukum

Perda KTR. Namun untuk Instansi Pemerintahan sendiri belum maksimal. Di

Instansi Pemerintahan hanya sekedar memasang sticker larangan merokok saja.

Perda KTR tidak diumumkan melalui bagian Informasi, sehingga tidak semua

masyarakat tahu tentang Perda KTR. Oleh karena itu, perlu dilaksanakan

sosialisasi dan penegakan hukum Perda KTR secara terus menerus karena

289

mengubah mindset masyarakat memang membutuhkan waktu yang lama dan

proses yang lama. Lebih lanjut, strategi yang efektif dilaksanakan yakni

pengendalian tembakau untuk mengurangi perokok, melalui peningkatan pajak

yang lebih tinggi dalam penerapan Kebijakan kawasan tanpa rokok. Selain itu,

kewajiban hukum terhadap Aktor yang bertanggung jawab atas Kawasan Tanpa

Rokok yakni memberi tanda-tanda yang menunjukkan bahwa merokok dilarang

dan mengambil langkah-langkah untuk meminta seseorang berhenti merokok,

kewajiban untuk membuang asbak, termasuk mencantumkan hukuman atas

pelanggaran tugas yang dikenakan meliputi denda administratif maupun sanksi

pidana.

2) Karakteristik Lembaga dan Penguasa

Keberhasilan implementasi kebijakan ditentukan oleh sinergisitas

kerjasama atau hubungan diantara aktor-aktor kebijakan yaitu yang

membuat/melaksanakan kebijakan dengan yang dikenai kebijakan. Berdasarkan

teori Grindle, Institution and Regime Characteristic (Karakteristik lembaga dan

rezim yang berkuasa). Lingkungan dimana suatu kebijakan tersebut

dilaksanakan juga berpengaruh terhadap keberhasilannya. Berdasarkan temuan

penelitian diketahui bahwa, dalam melakukan penegakan Perda KTR di Kota

Palembang, pada saat itu tidak ada satupun baik asbak maupun orang yang

merokok. Maka Tim dari Sat Pol PP tidak bisa melakukan tindakan hukum,

kepada Pimpinan/Manajer/Pengelola. Dalam hal ditemukan pelanggaran diluar

lingkungan dalam, tapi masih dalam lingkungan IP, maka pelanggarnya yang

kami tindak/kami lakukan pembinaan. Dalam hal ini kami buat berita acara agar

yang bersangkutan tidak merokok. Namun pada saat survei belum terjadi. Oleh

290

karena itu diharapkan, penegakan Perda KTR tidak hanya melibatkan instansi

yang berwenang, maupun Pengawas Internal saja melainkan juga melibatkan

seluruh lapisan masyarakat dengan menyediakan pengaduan terhadap

pelanggaran Perda KTR.

Penerapan Kebijakan KTR sebagai upaya membangun kesadaran diri

sendiri dan diberlakukan oleh publik, mencatat bahwa di banyak wilayah hukum,

keluhan masyarakat adalah sarana utama untuk menjamin kepatuhan. Selain itu,

Untuk memfasilitasi penegakan hukum oleh Publik, panduan FCTC WHO

merekomendasikan untuk menetapkan nomor telepon bebas pulsa yang dapat

digunakan oleh masyarakat untuk melaporkan suatu pelanggaran kepada

Instansi terkait. [Lambert Patricia and Donley, Kaitin, (2013)]

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat dikatakan bahwa Karakteristik

lembaga dan rezim yang berkuasa maupun lingkungan dalam melaksanakan

Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota

Palembang, belum cukup kondusif. Dalam hal ini setiap ditemukan pelanggaran

di Instansi Pemerintahan melalui pelaksanaan supervisi, maka Aparat Pol PP

wajib menegur/menindak. Sudah ada yang ditegur ditempat kejadian, namun

masih ditemukan pelanggaran. Masih banyak terjadi pelanggaran yakni Pegawai

maupun Masyarakat yang merokok. Pimpinan beralasan tidak pernah menerima

pemberitahuan supervisi. Dalam hal ini supervisi yang dilakukan dihampir

disemua Instansi Pemerintahan secara bertahap, umumnya telah ditemukan

sticker Perda KTR pada Instansi Pemeritahan, namun untuk plank Perda KTR

sangat jarang di temukan. Selain itu masih banyak terjadi pelanggaran Perda

KTR, berupa penyediaan piring yang menampung abu rokok, bahkan pegawai

maupun masyarakat yang merokok diruangan. Dalam hal ini pihak Instansi yang

291

melakukan pelanggaran terhadap Perda KTR telah mendapat SP1. Upaya yang

perlu dilakukan yakni penerapan KTR dimulai dari diri sendiri (kesadaran diri) dan

diberlakukan oleh publik, mencatat bahwa di banyak wilayah hukum, keluhan

masyarakat adalah sarana utama untuk menjamin kepatuhan. Selain itu, Untuk

memfasilitasi penegakan hukum oleh Publik dilakukan dengan menetapkan

nomor telepon bebas pulsa yang dapat digunakan oleh masyarakat untuk

melaporkan suatu pelanggaran kepada Instansi terkait. Dalam hal ini Penegakan

Perda KTR tidak hanya melibatkan instansi yang berwenang, maupun Pengawas

Internal saja melainkan juga melibatkan seluruh lapisan masyarakat dengan

mempersilahkan masyarakat memberikan pengaduan terhadap pelanggaran

Perda KTR. Sehingga dapat mengurangi pelanggaran kawasan tanpa rokok

3) Kepatuhan terhadap Cara/Proses Pelaksanaan kebijakan kawasan

tanpa rokok di Instansi Pemerintahan Kota Palembang

Berdasarkan teori Grindle, Complience and Responsiveness (Tingkat

kepatuhan dan adanya respon dari pelaksana). Dalam hal ini sejauhmana

kepatuhan dan respon dari para pelaksana dalam menanggapi suatu kebijakan.

Untuk mempelajari faktor yang mempengaruhi kepatuhan pelaksanaaan Perda

KTR, teori yang paling cocok digunakan adalah Teori Green tentang Perilaku

Kesehatan. Teori Green (1999) membagi faktor yang mempengaruhi perilaku

kesehatan masyarakat menjadi 3 faktor utama, faktor predisposisi (predisposing

factor), faktor pemungkin (enabling factor) dan faktor penguat (reinforcing factor).

Dalam hal ini analisis kepatuhan pegawai dalam implementasi kebijakan

kawasan tanpa rokok di Kota Palembang, antara lain: Kepatuhan pegawai dalam

292

implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Instansi Pemerintahan Kota

Palembang, meliputi:

a. Faktor Predisposisi, antara lain:

(1) Pengetahuan

(2) Sikap

(3) Komitmen

(4) Perilaku

b. Faktor Pemungkin, berupa penyediaan fasilitas

c. Faktor Penguat, antara lain:

(1) Himbauan Organisasi

(2) Pengawasan Internal

(3) Penerapan Sanksi

Kepatuhan terhadap Perda KTR pada dasarnya merupakan perilaku

orang-orang yang berada pada suatu kawasan untuk tidak merokok di dalam

ruangan. Kepatuhan pelaksanaan Perda KTR sangat dipengaruhi oleh perilaku

masyarakat yang merupakan Pengunjung atau Pengguna dan faktor Pengelola

yang merupakan Penanggung jawab pelaksanaan Perda KTR pada masing-

masing kawasan.

a) Faktor Predisposisi dalam Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa

Rokok di Kota Palembang

Faktor predisposisi (predisposing factor), merupakan faktor yang

mempermudah terjadinya perilaku seseorang. Faktor ini meliputi: Pengetahuan,

Sikap Komitmen serta Perilaku Pelaksana Perda KTR. Pengetahuan merupakan

faktor penting yang mempengaruhi prilaku seseorang karena prilaku terbentuk

293

didahului oleh pengetahuan dan sikap yang positif (Notoatmojo S, 2010).

Pengetahuan tentang pelaksanaan Perda KTR bisa didapat melalui penglihatan

seperti melihat dan membaca berita tentang Perda KTR melalui media televisi,

radio maupun media massa. Pengetahuan dinilai menggunakan pertanyaan

untuk mengukur tingkat pengetahuan pengelola tentang pelaksanaan Perda KTR

di Kantor Kelurahan. Pengetahuan pengelola meliputi tujuan pelaksanaan Perda

KTR, tempat-tempat yang diatur, kriteria kepatuhan dan sanksi terhadap

Pelanggaran. Pengelola yang telah mempunyai pemahaman dan pengetahuan

yang cukup diharapkan kawasan yang dikelolanya akan patuh terhadap Perda

KTR. Selanjutnya sikap juga merupakan kesiapan seseorang untuk berprilaku.

Sikap yang positif terhadap sesuatau (setuju, senang, mau) akan memicu prilaku

yang postif pula (Notoadmojo S, 2010).

Sikap tentang Perda KTR adalah sikap pengelola terhadap penerapan

Perda KTR di Instansi Pemerintahan yang meliputi Pendapat Pimpinan/ Pegawai

terhadap dampak asap rokok terhadap orang disekitarnya, kebijakan pelarangan

kegiatan merokok di dalam ruangan di tempat manapun Instansi Pemerintahan,

tujuan pelaksanaan Perda KTR, pendapat tentang tanggung jawab mereka

sebagai pelaksana kebijakan kawasan tanpa rokok dikawasan yang dikelola dan

pendapat mereka terhadap dampak pelaksanaan Perda KTR terhadap

pemberian Pelayanan di Instansi Pemerintahan. Pimpinan Instansi Pemerintahan

yang mempunyai sikap postif terhadap pelaksanaan Perda KTR diharapkan

kawasan yang dikelolanya akan patuh pula terhadap Perda KTR.

Komitmen Pimpinan Instansi Pemerintahan mempunyai pengaruh yang

besar dalam mewujudkan kepatuhan kawasan terhadap Perda KTR. Dalam buku

pedoman pengembangan KTR disebutkan bahwa melakukan advokasi untuk

294

membangun komitmen bersama antara segenap masyarakat, pemerintah dan

pengelola kawasan sangat penting dalam kesuksesan pelaksanaan kebijakan

kawasan tanpa rokok.

Perilaku merokok dari pengelola merupakan faktor yang dapat

menghambat pelaksanaan Perda KTR di Instansi Pemerintahan. Pimpinan

Instansi Pemerintahan adalah role model atau teladan bagi bawahannya

sehingga seorang Pimpinan yang dikenal mempunyai perilaku merokok tidak

akan bisa menjadi contoh yang baik. Pimpinan tersebut akan kehilangan wibawa

saat menginisiasi pelaksanaan Perda KTR di Instansi Pemerintahannya. Selain

itu, dalam melakukan tindakan pengawasan akan cenderung tidak tegas dan

sangat mungkin tidak dituruti oleh orang lain. Penilaian terhadap prilaku merokok

dapat dilakukan dengan bertanya langsung apakah merokok atau tidak, apakah

merokok ditempat kerja atau di rumah.

Predisposing factor, berupa faktor pengetahuan memiliki pengaruh yang

sangat besar, karena pengetahuan bisa menjadi motivasi awal seseorang untuk

berperilaku. Pengetahuan adalah hasil dari "tahu" dan ini terjadi setelah orang

merasakan objek tertentu, melalui lima indera, yaitu indera penglihatan,

pendengaran, penciuman, rasa dan sentuhan. Sebagian besar pengetahuan

manusia didapat melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif adalah

domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang

(Notoatmodjo, 2000). Dalam hal ini, Karakteristik masyarakat memainkan peran

kunci dalam status dan kekuatan peraturan Kawasan Tanpa Rokok, karena

larangan merokok terus berlanjut di seluruh dunia di bawah Kerangka Konvensi

Pengendalian Tembakau, Pengetahuan tentang kondisi yang mendorong

keberhasilan kebijakan akan sangat penting bagi mereka yang memerlukan

295

informasi untuk segera memaksimalkan Peraturan Kawasan Tanpa Rokok di

lingkungan mereka sendiri [Nykiforuk, Candace. (2007)].

Pengetahuan yang baik tentang Perda No. 7 Tahun 2009 tentang

Kawasan Bebas Merokok Kota Palembang akan meningkatkan kepatuhan

pegawai, karena pegawai mengetahui dengan jelas tujuan dan manfaatnya,

namun jika informan adalah perokok yang sudah kecanduan, akan mengalami

kesulitan untuk menahan keinginan untuk merokok sehingga mereka akan tetap

merokok di setiap tempat dan setiap waktu termasuk di tempat kerja. Gambaran

Pegawai ini yang melanggar Perda KTR Kota Palembang dengan cara merokok

di tempat kerja.

Laventhal & Cleary (1980) bahwa kemungkinan besar subjek telah masuk

ke tahap bukan saja dalam perokok pemula tetapi telah masuk ke dalam tahap

pecandu rokok. Merokok sudah menjadi salah satu bagian dari cara pengaturan

diri (self regulating). Perilaku merokok informan ditempat kerja karena untuk

mencari kenikmatan ataupun menghilangkan ketegangan karena stres kerja

sehingga membuat informan tetap merokok di ruang kerja ataupun di lingkungan

tempat kerja. Perbedaan pra-undang-undang di masyarakat tampaknya

mempengaruhi tingkat perubahan perilaku merokok masyarakat. Konteks budaya

dan sosial penting dalam membentuk perilaku merokok dan menemukan

perubahan perilaku merokok di tempat umum [Ritchie, Deborah. (2010)].

Komunitas kesehatan masyarakat harus secara terbuka melarang campur

tangan industri tembakau dalam pembuatan kebijakan Smoke-Free Policy (SFP),

sesuai dengan Pasal 5.3 perjanjian WHO-FCTC 5; dan menuntut bebas asap

100% tanpa pengecualian atau penundaan [Ravara, S.B., Miranda, N., Calheiros,

J. M. (2014)].

296

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat dikatakan bahwa pada

umumnya para Pegawai telah mengetahui adanya Perda KTR, melalui sosialisasi

berupa leaflet, brosur, pemberian dan pemasangan tanda Kawasan Tanpa

Rokok, pembinaan dan pendampingan dalam melaksanakan Peraturan Daerah

Kawasan Tanpa Rokok di Kawasan Tempat Kerja. Dalam hal ini, Perda KTR

melarang merokok di ruangan tertutup maupun ruang terbuka yang masih ada

atap. Akan tetapi masih banyak pegawai yang bersikap tidak peduli sehingga

komitmen untuk mematuhi Perda KTR belum ada, sehingga perilaku merokok

khususnya di Kantor (Instansi Pemerintah) terus menerus terjadi. Pengetahuan

tentang bahaya rokok itu sendiri, sangat mendorong keberhasilan Peraturan

Kawasan Tanpa Rokok. Perilaku merokok ditempat kerja untuk mencari

kenikmatan ataupun menghilangkan ketegangan karena stress kerja membuat

informan tetap merokok di ruang kerja ataupun di lingkungan tempat kerja,

kemungkinan besar subjek telah masuk ke tahap bukan saja dalam perokok

pemula tetapi telah masuk ke dalam tahap pecandu rokok. Merokok sudah

menjadi salah satu bagian dari cara pengaturan diri (self regulating). Konteks

budaya dan sosial penting dalam membentuk perilaku merokok dan menemukan

perubahan perilaku merokok di tempat umum. Oleh karena itu, Komunitas

kesehatan masyarakat harus secara terbuka melarang campur tangan industri

tembakau dalam pembuatan kebijakan Smoke-Free Policy (SFP), dalam rangka

mewujudkan kawasan bebas asap 100%.

297

b) Faktor Pemungkin dalam Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa

Rokok di Kota Palembang

Faktor pemungkin (enabling factor), merupakan faktor yang

memungkinkan terjadinya perilaku, meliputi: Penyediaan Fasilitas Pendukung

pelaksanaan Perda KTR berupa: penyediaan stiker, leaflet maupun spanduk

tanda larangan merokok, buku pedoman larangan merokok serta penyediaan

klinik kesehatan untuk terapi bagi perokok.

Enabling factor diwujudkan dalam lingkungan fisik, tersedianya atau tidak

tersedianya fasilitas kesehatan. Dalam hal ini telah tersedia Klinik Upaya

Berhenti Merokok (Klinik UBM) yang terdapat pada 5 (lima) puskesmas yang

ditunjuk untuk menyediakan klinik kesehatan khusus bagi perokok, yaitu

Pembina Puskesmas, Puskesmas Dempo, Puskesmas Merdeka, Puskesmas

Sako dan Puskesmas Sukarame. Berdasarkan pengamatan, diketahui bahwa

tidak ada ruang terpisah untuk klinik kesehatan dengan pelayanan umum di

Puskesmas, karena pelayanan kesehatan di Klinik UBM hanya menyediakan

konseling terbatas untuk mengurangi perilaku merokok. Selain itu, Fasilitas

untuk menampung pengaduan publik atas pelanggaran undang-undang KTR

masih belum tersedia secara maksimal.

Upaya berhenti merokok dilakukan Pemerintah dengan melibatkan

Stakeholder-Kesehatan, Pengusaha, Dokter, dan Perokok, melalui rencana

kesehatan dengan memahami bahwa konseling dan farmakoterapi akan

meningkatkan biaya tanpa menghasilkan penghematan perawatan kesehatan

sepadan, dalam hal ini Dokter merasa tidak siap dan tanpa kompensasi untuk

melaksanakan konseling. Dalam hal ini Pemerintah membantu memperbaiki

status ini dengan meningkatkan cakupan perawatan medis dan perluasan

298

cakupan tenaga medis dengan mengembangkan kampanye media untuk

mendorong penghentian merokok, termasuk manfaat penghentian dalam semua

rencana asuransi yang didanai pemerintah, menciptakan infrastruktur penelitian

untuk meningkatkan tingkat penghentian merokok, mengembangkan agenda

pelatihan dokter, dan menciptakan dana untuk meningkatkan kegiatan

penghentian merokok, dengan mengadopsi kebijakan seperti pajak rokok lebih

tinggi dan hukum yang melarang merokok di tempat kerja dan tempat umum.

kebijakan kawasan tanpa rokokmerupakan tanggung jawab bersama seluruh

masyarakat untuk berhenti merokok, termasuk kepemimpinan yang lebih agresif

dalam penerapan sanksi pelanggaran kawasan tanpa rokok, serta melalui

advokasi, kesehatan masyarakat, dan organisasi dokter. [Sarah E Gollust,

Steven A. Schroeder and Kenneth E. Warner. (2008)].

Untuk memahami bahwa kebiasaan merokok adalah ketergantungan

kronis yang dapat kambuh namun dapat diyakinkan untuk pengobatan berulang,

dan untuk menggabungkan pengobatan ketergantungan ini ke dalam kegiatan

kesehatan rutin. Maka dilaksanakan Program Terapi yang berhubungan dengan

penghentian merokok berdasarkan pendekatan yang digunakan ilmu perilaku

dan farmakologi dan nampak jelas efektivitas biaya pengobatan semacam itu

sangat tinggi di antara berbagai jenis program kesehatan tersedia dengan

memperkenalkan sebuah pendekatan Program Terapi 5 langkah, yang dapat

diimplementasikan dalam waktu singkat di Klinik Rawat Jalan dan membahas

penggunaan terapi pengganti nikotin. Pengobatan ketergantungan nikotin adalah

anti rokok yang dilaksanakan oleh tenaga profesional kesehatan dalam

pengaturan klinis secara rutin dan diharapkan untuk memiliki efek langsung yang

lebih besar untuk mengurangi prevalensi merokok daripada pencegahan

299

merokok. Kami telah mengembangkan materi pendidikan untuk institusi medis

dan profesional kesehatan di bawah the Osaka Executive Committee of the

Cancer Prevention Campaign (Komite Eksekutif Osaka untuk Kampanye

Pencegahan Kanker), yang bertujuan untuk mempromosikan pengendalian

penggunaan tembakau di Indonesia melalui penyediaan fasilitas medis.

Larangan merokok di Institusi medis, menyediakan lingkungan Rumah Sakit

"lebih bersih, lebih nyaman" dan juga diharapkan bisa meningkatkan motivasi

pasien dan perokok untuk melepaskan ketergantungan merokok. Selain itu,

memberikan kepercayaan yang lebih besar pada Medical Programs yang

ditujukan untuk mengobati ketergantungan nikotin. [Masakazu NAKAMURA.

(2004)].

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat dikatakan bahwa faktor

pemungkin berupa penyediaan fasilitas Salah satunya dalam bentuk Klinik

Kesehatan gratis bagi Perokok supaya berhenti merokok. Dalam hal ini 5 (lima)

Puskesmas yang ditunjuk untuk menyediakan klinik kesehatan khusus bagi

perokok, yakni Puskesmas Pembina, Puskesmas Dempo, Puskesmas Merdeka,

Puskesmas Sako dan Puskesmas Sukarame maupun fasilitas pengaduan

masyarakat tentang pelanggaran Perda KTR masih dirasakan kurang maksimal.

Untuk memahami bahwa kebiasaan merokok adalah ketergantungan kronis yang

dapat kambuh maka dilaksanakan pendekatan Program Terapi 5 langkah yang

dapat diimplementasikan dalam waktu singkat di Klinik Rawat Jalan dan

membahas penggunaan terapi pengganti nikotin. Pengobatan ketergantungan

nikotin adalah anti rokok yang dilaksanakan oleh Tenaga Profesional Kesehatan

dalam pengaturan klinis secara rutin dan diharapkan untuk memiliki efek

langsung yang lebih besar untuk mengurangi prevalensi merokok daripada

300

pencegahan merokok, meliputi larangan merokok di Institusi medis, menyediakan

lingkungan Rumah Sakit "lebih bersih, lebih nyaman" dan juga diharapkan bisa

meningkatkan motivasi pasien dan perokok untuk melepaskan ketergantungan

merokok. Selain itu, memberikan kepercayaan yang lebih besar pada Program

Medis yang ditujukan untuk mengobati ketergantungan nikotin. Meningkatkan

cakupan perawatan medis dan perluasan cakupan tenaga medis dengan

mengembangkan kampanye media untuk mendorong penghentian merokok,

menciptakan infrastruktur penelitian untuk meningkatkan tingkat penghentian

merokok, mengembangkan agenda pelatihan dokter, dan menciptakan dana

untuk meningkatkan kegiatan penghentian merokok, dengan mengadopsi

kebijakan seperti pajak rokok lebih tinggi dan hukum yang melarang merokok di

tempat kerja dan tempat umum, maka diharapkan bisa meningkatkan motivasi

pasien dan perokok untuk melepaskan ketergantungan merokok.

c) Faktor Penguat dalam Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa

Rokok di Kota Palembang

Faktor penguat (reinforcing factor), meliputi: Himbauan Organisasi,

Pengawasan Internal serta Penerapan Sanksi. Himbauan dapat didefinisikan

sebagai anjuran yang diterima oleh pengelola dari organisasi dan merupakan

salah satu bentuk tindakan nyata dari organisasi setelah mendukung keberadaan

perda. Pengawasan Internal berupa pembentukan tim penegakan hukum Perda

khususnya di Instansi Pemerintahan di Kota Palembang.

Reinforcing factors meliputi: Himbauan Organisasi, Pengawasan Internal

dan Penerapan Sanksi. Menurut Sears (1994) salah satu cara untuk

meningkatkan kepatuhan adalah harapan atau keinginan orang yang menempati

301

posisi tertentu/memiliki legitimasi kekuasaan akan mengakibatkan kepatuhan.

Kepemimpinan dalam sebuah organisasi memiliki peran penting untuk

mempengaruhi anggotanya, jika pemimpin mematuhi peraturan maka akan diikuti

oleh anggotanya dan sebaliknya jika pemimpin tidak mematuhi peraturan maka

akan diikuti juga oleh anggotanya. Dengan dukungan atasan untuk mematuhi

peraturan area bebas rokok akan diikuti oleh bawahan. Seorang pemimpin

adalah teladan bagi bawahannya, jika atasan berperilaku positif maka akan

diikuti oleh bawahannya dan sebaliknya.

Implementasi yang berhasil, membutuhkan kepatuhan dengan arahan

dan tujuan undang-undang; pencapaian derajat perubahan tertentu; dan

peningkatan iklim politik di sekitar program [Hill dan Hupe (2002)]. Dalam hal ini

kepatuhan anggota dalam organisasi dapat diklasifikasikan berdasarkan jenis

kekuasaan yang digunakan organisasi untuk mengarahkan perilaku anggota dan

jenis keterlibatan anggota organisasi tersebut [Lunenburg, Fred C. (2012)].

Namun hal ini tidak berlaku bagi perokok yang kecanduan nikotin, nikotin

mempengaruhi keseimbangan kimiawi otak. Bila efek nikotin mulai bekerja,

tingkat mood dan konsentrasi akan berubah. reaksi kimia nikotin ini membuat

seseorang merasa tertekan, mood menurun, dan tidak tenang saat tidak

merokok, situasi ini menyebabkan seseorang ingin merokok setiap saat.

Selanjutnya mengenai pengawasan internal KTR di Kota Palembang telah

dilakukan melalui Pembentukan Tim Pengawas dari Dinas Kesehatan Kota

Palembang, Tim Penegakan Hukum Satpol PP Palembang atau Satuan

Pengawas Internal dari Instansi Pemerintah itu sendiri. Sanksi yang tidak tegas,

membuat Pegawai tetap merokok di tempat kerja. Hal ini terkait dengan tidak

adanya komitmen yang jelas antara Atasan dan pegawai tentang sanksi yang

302

diberlakukan jika merokok di tempat kerja. Diharapkan dengan sanksi tegas,

Pegawai akan mematuhi Perda KTR di tempat kerja. Pemberian sanksi tersebut

diharapkan bisa memperbaiki kepatuhan Informan terhadap Kawasan Tanpa

Rokok di Kota Palembang.

Stagnan awal dalam peningkatan kepatuhan mungkin dikarenakan

kurangnya langkah baru dari kebijakan untuk mencegah merokok. Peningkatan

kepatuhan di terhadap Kawasan Tanpa Rokok mungkin karena intensifikasi

kegiatan penegakan hukum dan kebijakan tambahan seperti undang-undang,

yang dapat meningkatkan kesadaran dan dukungan social [Verdonk-Kleinjan,

Wendy M.I, Rijswijk, P. C., de Vries, H., & Knibbe, R. A. (2013)].

Undang-undang bebas asap rokok secara komprehensif lebih efektif

daripada hukum parsial dalam mengurangi paparan asap rokok. Selain itu, setiap

Undang-undang, tanpa memandang ruang lingkupnya harus diberlakukan secara

aktif agar memiliki dampak yang diinginkan. Ada kebutuhan lanjutan untuk

pengawasan upaya bebas rokok di semua Negara [Ward, Mark. (2013)]. Selain

itu, Teknik tatap muka secara langsung lebih efektif daripada kampanye

informasi larangan merokok di tempat kerja [Pansu, P., Lima L., Fointiat, V.

(2014)]. diharapkan hal ini dapat meningkatkan kepatuhan dalam Penerapan

kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang.

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat dikatakan bahwa dari faktor

penguat, pembentukan Tim Penegakan Hukum Perda khususnya di Instansi

Pemerintahan di Kota Palembang, dengan melibatkan Satpam yang bertugas

untuk mengawasi dan menegur jika masih ada Petugas yang merokok di dalam

ruang kerja. Hasil Survey Kepatuhan pelaksanaan Kebijakan Peraturan Daerah

No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang, diketahui

303

bahwa penerapan sanksi yang diberikan masih sebatas pemberian Surat

Peringatan (SP1 maupun SP2). Dalam hal ini, salah satu cara untuk

meningkatkan kepatuhan adalah harapan atau keinginan orang yang menempati

posisi tertentu/memiliki legitimasi kekuasaan akan mengakibatkan kepatuhan.

Dengan dukungan Pimpinan, Atasan untuk mematuhi peraturan area bebas

rokok akan diikuti oleh bawahan. Seorang pemimpin adalah teladan bagi

bawahannya, jika atasan berperilaku positif maka akan diikuti oleh bawahannya

dan sebaliknya. Namun hal ini tidak berlaku bagi perokok yang kecanduan

nikotin, nikotin mempengaruhi keseimbangan kimiawi otak. Bila efek nikotin mulai

bekerja, tingkat mood dan konsentrasi akan berubah. reaksi kimia nikotin ini

membuat seseorang merasa tertekan, mood menurun, dan tidak tenang saat

tidak merokok, situasi ini menyebabkan seseorang ingin merokok setiap saat.

Stagnan awal dalam peningkatan kepatuhan mungkin dikarenakan kurangnya

langkah baru dari kebijakan untuk mencegah merokok. Dalam hal ini, Teknik

tatap muka secara langsung lebih efektif daripada kampanye informasi larangan

merokok di tempat kerja, diharapkan hal ini dapat meningkatkan kepatuhan

dalam Penerapan kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang.

Dalam hal ini kepatuhan anggota dalam organisasi dapat diklasifikasikan

berdasarkan jenis kekuasaan yang digunakan organisasi untuk mengarahkan

perilaku anggota dan jenis keterlibatan anggota organisasi tersebut [Lunenburg,

Fred C. (2012)]. Namun hal ini tidak berlaku bagi perokok yang kecanduan

nikotin, nikotin mempengaruhi keseimbangan kimiawi otak. Bila efek nikotin mulai

bekerja, tingkat mood dan konsentrasi akan berubah. reaksi kimia nikotin ini

membuat seseorang merasa tertekan, mood menurun, dan tidak tenang saat

tidak merokok, situasi ini menyebabkan seseorang ingin merokok setiap saat.

304

Stagnan awal dalam peningkatan kepatuhan mungkin dikarenakan kurangnya

langkah baru dari kebijakan untuk mencegah merokok. Peningkatan kepatuhan

di terhadap Kawasan Tanpa Rokok mungkin karena intensifikasi kegiatan

penegakan hukum dan kebijakan tambahan, yang dapat meningkatkan

kesadaran dan dukungan social [Verdonk-Kleinjan, Wendy M.I, Rijswijk, P. C., de

Vries, H., & Knibbe, R. A. (2013)]. kebijakan kawasan tanpa rokok secara

komprehensif lebih efektif daripada hukum parsial dalam mengurangi paparan

asap rokok. Selain itu, setiap Undang-undang, tanpa memandang ruang

lingkupnya harus diberlakukan secara aktif agar memiliki dampak yang

diinginkan. Ada kebutuhan lanjutan untuk pengawasan upaya bebas rokok

[Ward, Mark. (2013)]. Selain itu, Teknik tatap muka secara langsung lebih efektif

daripada kampanye informasi larangan merokok di tempat kerja [Pansu, P., Lima

L., Fointiat, V. (2014)]. diharapkan hal ini dapat meningkatkan kepatuhan dalam

Penerapan kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang.

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat dikatakan bahwa dari faktor

predisposisi, masyarakat pada umumnya mengetahui isi dari Perda Kawasan

Tanpa Rokok termasuk hal-hal yang dilarang dalam pelaksanaan Perda KTR,

melalui pelaksanaan sosialisasi maupun informasi media cetak dan elektronik, isi

Perda salah satunya memuat tentang penempelan sticker larangan merokok,

tidak menyediakan tempat maupun asbak untuk merokok maupun sanksi

pelanggaran Perda KTR itu sendiri. Personil Sat Pol PP diturunkan sebagai

Penegakan Hukum Perda KTR, melalui pelaksanaan supervisi maupun Sidang

Yustisi biasa dilaksanakan hari Selasa, pada lokasi-lokasi yang telah ditentukan

sesuai jadwal. Dalam hal ini, kepatuhan dan daya tanggap Petugas sudah cukup

baik, meskipun masih banyak terjadi pelanggaran. Dari faktor pemungkin, telah

305

tersedia klinik UBM meski belum cukup maksimal. Selanjutnya dari faktor

penguat, Penegakan Perda KTR telah dilaksanakan sesuai ketentuan, mulai dari

pelaksanaan survei hingga Sidang Yustisi. Adapun besaran denda administratif

yang diberikan kepada si pelanggar didasarkan pada Keputusan Hakim. Namun

untuk Pimpinan Instansi sendiri belum pernah dikenakan sanksi, hanya berupa

pemberian Surat Peringatan (SP1)

6.1.3 Hasil Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang

Perubahan Perilaku Masyarakat setelah di Implementasikan kebijakan

kawasan tanpa rokok di Kota Palembang. Berdasarkan teori Grindle, Hasil

implementasi Kebijakan berpengaruh pada persoalan masyarakat yang

berhubungan dan melibatkan masyarakat. Dalam hal ini harus didefinisikan siapa

yang terkena pengaruh serta perlu ditentukan hasil kebijakan yang dimaksud.

Apakah undang-undang bebas asap rokok dirasakan meningkatkan

stigmatisasi perokok tergantung pada bagaimana perasaan perokok tentang

merokok di luar. Tingkat stigmatisasi dirasakan tidak berubah setelah

pelaksanaan Undang-undang Bebas Asap Rokok, mungkin karena sebagian

besar perokok tidak merasa dihakimi negatif ketika merokok di luar [Nagelhout

GE, Willemsen MC, Gebhardt WA, van den Putte B, Hitchman SC, Crone

MR, Fong GT, van der Heiden S, de Vries H. (2012)]. Pengenalan Undang-

undang Bebas Asap Rokok secara signifikan mempengaruhi perilaku merokok.

Selain itu, mendokumentasikan secara signifikan efek tidak langsung terhadap

penurunan konsumsi alkohol [Thomson, George. (2013)]

Di setiap negara, persentase pegawai yang bekerja di tempat kerja yang

bebas asap rokok yang dilaporkan tinggal di rumah bebas asap rokok lebih tinggi

306

dari mereka yang bekerja di tempat kerja yang tidak bebas asap. Dalam LMICs,

kerja di tempat kerja yang bebas asap rokok terkait dengan tinggal di rumah

bebas asap rokok.

Percepatan pelaksanaan kebijakan bebas asap rokok yang komprehensif

kemungkinan akan menghasilkan manfaat kesehatan penduduk substansial

dalam pengaturan ini [Nazar, GP., Lee JT, Glantz SA, Arora M, Pearce N, Millett

C. (2014)] Hasil implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota

Palembang, antara lain:

a) Individual

Terciptanya perilaku masyarakat untuk tidak merokok di kawasan tanpa

rokok di Kota Palembang

b) Kelompok

Pimpinan/Pengelola KTR di Kota Palembang berupaya untuk

menciptakan Kawasan Tanpa Rokok dengan mematuhi Peraturan Daerah

Kota Palembang No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok di

Kota Palembang

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa kendala yang dialami Dinas

Kesehatan Kota Palembang dalam Pelaksanaan Perda No. 7 Tahun 2009

tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang, antara lain: Kurangnya

dukungan media baik Televisi (seperti: Pal TV/Sriwijaya) dalam melakukan

sosialisasi serta informasi kepada masyarakat tentang Perda KTR secara terus

menerus; Produksi sticker larangan merokok juga kurang; Kurangya informasi

pada sticker mengenai cara pengaduan masyarakat telp/sms/alat email terhadap

pelanggaran Perda KTR; Pengawas Internal yang juga tidak memiliki keberanian

untuk menegakkan Perda KTR karena masih terlalu banyak yang merokok; serta

307

Anggapan Sat Pol PP bahwa Perda KTR ini harus disosialisasikan terlebih

dahulu, sehingga belum dilaksanakan hingga ke tahap denda administratifnya

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat dikatakan bahwa dampak/hasil

yang telah dicapai dari implementasi Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009

tentang Kawasan Tanpa Rokok di Instansi Pemerintahan Kota Palembang sudah

dirasakan meski belum cukup baik/maksimal. Mereka yang merokok didalam

ruangan sudah berkurang. Pimpinan Kantor juga cukup kooperatif dan

mendukung pelaksanaan Perda KTR. Syarat-syarat penegakan Perda KTR juga

sudah dipenuhi. Satpam sebagai Pengawas Internal juga sudah diberi

pengarahan dan juga sudah mengingatkan para pengunjung untuk tidak merokok

didalam ruangan. Hal ini juga didukung dengan sticker larangan merokok.

Apalagi ternyata sanksi yang dikenakan bukan untuk si perokok melainkan

kepada kami selaku Pimpinan Instansi Pemerintahan Kota Palembang.

Kebijakan Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok

di Kota Palembang sudah dapat diterima oleh masyarakat dan mampu

mengubah perilaku masyarakat, dengan menurunnya jumlah perokok, sehingga

kualitas udara semakin baik dan masyarakat bisa menjadi lebih sehat.

Masyarakat mengetahui jika ada yang merokok di dalam ruangan, tentu akan

menyebabkan penyakit bagi orang banyak, sehingga mendukung untuk

menciptakan suasana yang kondusif, jauh dari asap rokok. Termasuk mematuhi

Perda KTR dan Perda Lainnya. Pelaksanaan Perda KTR juga melibatkan

stakeholder baik dari luar maupun dari dalam harus terlibat, dari Pemuka Agama

Kiai, Pendeta, Tokoh Masyarakat serta masyarakat umum berhak untuk

mengingatkan Perda KTR.

308

Berdasarkan hasil pembahasan implementasi kebijakan kawasan tanpa

rokok di Instansi Pemerintahan Kota Palembang tersebut, maka disusun

proposisi minor 1 (satu) sebagai berikut:

“Jika Implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok dilaksanakan oleh aktor yang memiliki kewenangan yang memadai dan kesadaran tinggi didukung dengan fasilitas pelayanan kesehatan yang memadai serta penerapan sanksi ekonomis maka implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok dapat dilaksanakan secara optimal”

Proposisi tersebut menjelaskan bahwa aktor dalam implementasi

kebijakan kawasan tanpa rokok memiliki kewenangan yang memadai, dalam

melakukan teknik tatap muka secara langsung daripada sekedar kampanye

informasi larangan merokok di tempat kerja termasuk dalam penerapan sanksi

ekonomis yang tidak hanya dikenakan kepada Pimpinan Instansi melainkan

kepada seluruh pegawai dan masyarakat, peningkatan kapasitas sumber daya

pada konten kebijakan dan peningkatan pajak yang lebih tinggi, menerapkan

Kebijakan KTR dimulai dari kesadaran diri sendiri menjadi sarana utama untuk

menjamin kepatuhan, dalam konteks implementasinya serta menuntut kawasan

bebas asap rokok 100% tanpa pengecualian maupun penundaan, melibatkan

Stakeholder-Kesehatan, Pengusaha, Dokter dan Perokok dalam Upaya Berhenti

Merokok melalui sebuah pendekatan Program Terapi 5 langkah yang dapat

diimplementasikan dalam waktu singkat di Klinik Rawat Jalan dan terapi

pengganti nikotin serta maka implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok dapat

dilaksanakan secara optimal

309

6.2 Faktor Pendukung dan Penghambat dalam Implementasi Kebijakan

Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang

Ripley and Fanklin (1986) menguraikan faktor-faktor yang tidak

terkendali yang mempengaruhi implementasi. Faktor yang tidak terkendali ini

yaitu apakah ada faktor-faktor di luar teknis (yang telah melampaui batas kontrol

dari implementor) yang secara tidak langsung berhubungan dengan

pengimplementasian program, sehingga dapat menghambat, bahkan

menggagalkan implementasi program yang telah dirancang sebelumnya.

Untuk mengantisipasi agar suatu kebijakan atau implementasi tidak gagal,

maka ada hal-hal yang perlu diketahui yang dapat membuat suatu pelaksanaan

kebijakan menjadi gagal, yaitu:

1) Kebijakan yang dibuat spesifikasinya tidak lengkap yang membuat

bingung dan membuat penafsiran sendiri-sendiri oleh para pelaksana

kebjakan.

2) Instansi tujuan yang saling berlawanan

3) Adanya tujuan yang saling berlawanan.

4) Insentif tidak memadai. Maksudnya para pelaksana kebijakan merasa

bahwa upah tambahan/intensif untuk melaksanakan kebijakan tidak

seimbang dengan jerih payahnya sehingga mereka tidak sungguh-

sungguh melaksanakannya.

5) Ketidakjelasan arah kebijakan dasar dengan kebijakan

implementasinya.

6) Katerbatasan keahlian

7) Sumber daya administrasi yang terbatas.

8) Kegagalan komunikasi (Abdul Wahab, 1997: 273)

310

Berdasarkan pendapat tersebut, jelas bahwa keberhasilan suatu

kebijakan ditentukan oleh dukungan lingkungan, kepatuhan serta dukungan dari

pihak-pihak yang terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung atau yang

terkana pengaruh kebijakan, ketersediaan sumber daya secara kualitas maupun

kuantitas, serta alat kontrol kebijakan berupa instrumen hukum terhadap

pelanggaran kebijakan. Kesemuanya harus disusun dan direncanakan dengan

baik dengan memperhatikan kondisi, kemampuan, ataupun potensi yang dimiliki.

Berbagai teori yang dikemukakan tersebut telah banyak memberikan gambaran

kepada kita khususnya dikalangan pada implementator dalam rangka

mengimplementasikan suatu kebijakan dan meminimalkan adanya kegagalan

dari implementasi. Oleh karena itu dari sudut pandang efektivitas, implementasi

masing-masing teori tersebut mengandung keunggulan dan kelemahan. Namun

situasi dan kondisi dimana teori itu dipakai tergantung pada permasalahan yang

dihadapi dalam mengimplementasikan suatu kebijakan sehingga model

implementasi menjadi penting untuk dikaji.

6.2.1 Faktor Pendukung Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di

Kota Palembang

Faktor pendukung implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota

Palembang, antara lain:

1) Implementasi Perda KTR telah mengakomodir Kepentingan Pelaksana

Kebijakan, Kepentingan Pimpinan Instansi serta Kepentingan Masyarakat

2) Pelaksana kebijakan kawasan tanpa rokok cukup kompeten dalam

pelaksanaan tugasnya

311

3) Tersedianya sticker-sticker Perda KTR pada disemua sudut-sudut strategis

di Instansi Pemerintahan

4) Penggunaan Media Massa dalam rangka penyampaian informasi kepada

masyarakat baik melalui Media TV maupun Radio

5) Pembentukan Tim Pengawas Internal dari Instansi Pemerintahan dalam

rangka pelaksanaan Perda KTR

6) Pelaksanaan Pictorial Healt Warning (PHW)

7) Pelaksanaan Upaya Berenti Merokok (UBM)

6.2.2 Faktor Penghambat Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok

di Kota Palembang

Faktor Penghambat dalam Pelaksanaan Perda No. 7 Tahun 2009 tentang

Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang, antara lain:

1) Beban Kerja Personil Satpol PP maupun Dinas Kesehatan Kota

Palembang cukup banyak sehingga Pelaksanaan Perda KTR belum cukup

maksimal

2) Kurangnya dana publikasi penegakan Perda KTR

3) Kurangnya dukungan media baik Televisi (seperti: Pal TV/Sriwijaya) dalam

melakukan sosialisasi serta informasi kepada masyarakat tentang Perda

KTR secara terus menerus.

4) Produksi sticker larangan merokok juga kurang, serta kurangnya informasi

pada sticker mengenai cara pengaduan masyarakat telp/sms/alat email

terhadap pelanggaran Perda KTR

312

5) Pengawas Internal juga tidak memiliki keberanian untuk menegakkan

Perda KTR, hanya sebatas pemberian teguran saja, belum ada yang

diberikan sanksi administratif sehingga masih terlalu banyak yang merokok.

6) Anggapan Sat Pol PP bahwa Perda KTR ini harus disosialisasikan terlebih

dahulu, sehingga belum dilaksanakan hingga ke tahap denda

administratifnya

7) Alat penunjang kesehatan berupa Klinik Kesehatan gratis bagi Perokok

sudah tersedia namun belum maksimal

Penerapan Peraturan tentang Kawasan Tanpa Rokok secara signifikan

mempengaruhi perilaku merokok [Pieroni, Luca (2013)]. Meskipun beberapa

perokok menerima informasi saluran media informasi dari poster, mereka tetap

mengabaikan pemberitahuan tersebut. Sehingga hal yang perlu dilakukan untuk

menciptakan kawasan tanpa rokok adalah peningkatan promosi, meningkatkan

tindakan sosial, dan menyisihkan area merokok khusus untuk perokok.

[Charupash, Rujee (2014)]

Kebijakan kawasan tanpa rokok dipandang sebagai kegiatan kompleks

yang sangat dipolitisasi, berkaitan dengan menyeimbangkan sejumlah faktor

termasuk bukti, pengalaman pribadi, kepedulian terhadap perokok, dan keinginan

dukungan publik dalam Kebijakan KTR. Preferensi ditunjukkan untuk

pendekatan kebijakan berdasarkan persuasi daripada Undang-undang, sebagai

sarana kebijakan KTR. [Hulton L, Matthews Z, Martin-Hilber A, Adanu R, Ferla

C, Getachew A, Makwenda C, Segun B, Yilla M. (2014)]. Kelemahan

implementasi kebijakan disebabkan oleh struktur terlalu banyak fragmentasi,

beban kerja yang terlalu banyak dalam implementasi kebijakan, struktur yang

buruk dan proses implementasi. Masalah kedua berkaitan dengan kompetensi

313

orang-orang yang memiliki struktur profesionalisme yang tidak memadai sebagai

pembuat kebijakan, dan kompetensi yang tidak mencukupi. Kegagalan

menyebabkan pemborosan keuangan, frustrasi politik dan merugikan masyarakat

yang terlihat dalam serangkaian kegagalan kebijakan. [Afifa Aisha Rahmat

(2015)].

Untuk mengatasi hambatan tersebut, maka perlu diperhatikan faktor-

faktor yang mempengaruhi kepatuhan dan implementasi kebijakan, meliputi:

faktor predisposisi (predisposing factor), meliputi: Pengetahuan, Sikap Komitmen

serta Perilaku Pelaksana Perda KTR. Faktor pemungkin (enabling factor),

meliputi: Penyediaan Fasilitas Pendukung pelaksanaan Perda KTR berupa:

penyediaan stiker, leaflet maupun spanduk tanda larangan merokok, buku

pedoman larangan merokok serta penyediaan klinik kesehatan untuk terapi bagi

perokok. Faktor penguat (reinforcing factor), meliputi: Himbauan Organisasi,

Pengawasan Internal berupa pembentukan tim penegakan hukum Perda

khususnya di Instansi Pemerintahan di Kota Palembang serta Penerapan Sanksi.

Implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok harus dilaksanakan

secara komprehensif yang mencakup semua kawasan, melakukan intervensi

pendidikan serta kampanye secara bersamaan mempromosikan kawasan tanpa

rokok sehingga pada akhirnya tercipta perubahan perilaku untuk tidak merokok

termasuk dirumah. [Xiaohua Ye, Sidong Chen, Zhenjiang Yao, Yanhui Gao, Ya

Xu, Shudong Zhou, Zhengwei Zhu, Liang Wang and Yi Yang, (2015)]

314

Berdasarkan hasil pembahasan faktor pendukung dan penghambat dalam

implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Instansi Pemerintahan Kota

Palembang tersebut, maka disusun proposisi minor 2 (dua) sebagai berikut:

“Jika faktor predisposisi, faktor pemungkin dan faktor penguat mampu dipenuhi maka implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok dapat dilaksanakan secara optimal”

Preposisi tersebut menjelaskan bahwa, implementasi kebijakan

kawasan tanpa rokok, tidak hanya dilakukan sebata pada sosialisasi, penyediaan

infomasi berupa pemasangan spanduk maupun stiker serta pelaksanaan

supervisi yang pada akhirnya menambah beban Kerja Personil Satpol PP

maupun Dinas Kesehatan Kota Palembang selaku Tim Penegakan Hukum Perda

KTR, melainkan juga harus memperhatikan faktor predisposisi, faktor pemungkin

dan faktor penguat.

Faktor predisposisi dilakukan melalui upaya melarang campur tangan

industri tembakau dalam pembuatan kebijakan Smoke-Free Policy (SFP), dan

menuntut kawasan bebas asap rokok 100% tanpa pengecualian maupun

penundaan. Faktor pemungkin dilaksanakan dengan penyediaan fasilitas KTR

tidak hanya sebatas penyediaan stiker maupun spanduk larangan merokok,

melainkan lebih lanjut kepada tindakan pengobatan perokok melalui penyediaan

klinik UBM. Dengan demikian diharapkan akan tercipta kesadaran dan dukungan

dari pegawai maupun masyarakat serta perubahan perilaku pegawai dan

masyarakat untuk tidak merokok disembarang tempat.

315

Faktor penguat dilakukan melalui legitimasi aktor, meningkatkan

dukungan publik dalam Kebijakan KTR melalui pendekatan kebijakan persuasi

juga efektif dilakukan termasuk dengan mengintervensi pendidikan, dalam hal ini

pengetahuan bahaya rokok terus menerus dilakukan mulai dari tahap Sekolah

Dasar sehingga memutus tunas atau cikal bakal perokok, salah satunya melalui

kegiatan UBM, pembentiukan tim pengawas internal, meningkatkan tindakan

sosial dengan memberi sanksi yang tegas salah satunya berupa sanksi

ekonomis yang tidak hanya dikenakan kepada Pimpinan Instansi, melainkan

kepada pegawai dan seluruh masyarakat sehingga menumbuhkan kesadaran

untuk tidak merokok disembarang tempat bagi perokok aktif, dan keberanian

melaporkan pelanggaran Perda KTR bagi perokok pasif.

Berdasarkan beberapa proposisi-proposisi minor yang telah disusun

terdahulu, maka diusulkan sebuah proposisi mayor sebagai berikut:

“Jika Implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok dilaksanakan oleh aktor yang memiliki kewenangan yang memadai dan kesadaran tinggi di dukung dengan fasilitas pelayanan kesehatan yang memadai, penerapan sanksi ekonomis serta faktor predisposisi, faktor pemungkin dan faktor penguat mampu dipenuhi, maka implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok dapat optimal” Berdasarkan proposisi mayor tersebut, diformulasikan teori substantif

berupa peningkatan kapasitas sumber daya pada konten kebijakan dan

peningkatan pajak yang lebih tinggi, menerapkan Kebijakan KTR dimulai dari

kesadaran diri sendiri menjadi sarana utama untuk menjamin kepatuhan, dalam

konteks implementasinya serta meningkatkan kepatuhan Pegawai dalam

implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Instansi Pemerintahan Kota

Palembang melalui analisis faktor predisposisi, faktor pemungkin dan faktor

penguat melalui upaya melarang campur tangan industri tembakau dalam

pembuatan kebijakan Smoke-Free Policy (SFP), dan menuntut kawasan bebas

316

asap rokok 100% tanpa pengecualian maupun penundaan, melibatkan

Stakeholder-Kesehatan, Pengusaha, Dokter dan Perokok dalam Upaya Berhenti

Merokok melalui sebuah pendekatan Program Terapi 5 langkah yang dapat

diimplementasikan dalam waktu singkat di Klinik Rawat Jalan dan terapi

pengganti nikotin serta teknik tatap muka secara langsung daripada sekedar

kampanye informasi larangan merokok di tempat kerja maka diharapkan hal ini

dapat meningkatkan kepatuhan sehingga penerapan Kebijakan kawasan tanpa

rokok dapat optimal.

6.3 Matriks Analisis Temuan, Proposisi dan Implikasi Teoritis

Berdasarkan pembahasan dari hasil penelitian tersebut di atas, berikut

disajikan secara sederhana matriks temuan, proposisi dan implikasi teoritis

dalam tabel sebagai berikut:

317

Tabel 6.2 Matriks Analisis Temuan, Proposisi dan Implikasi Teoritis

No Rumusan Masalah

Fokus Penelitian Hasil Temuan Proposisi Implikasi Teoritis

1 Bagaimanakah implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Instansi Pemerintahan Kota Palembang?

Mendeskripsikan, menganalisis dan menginterpretasikan implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang, meliputi: a. Isi Kebijakan,

terdiri dari: 1) Kepenti

ngan yang dipengaruhi oleh kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang

Perda No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang telah mengakomodir kepentingan Pelaksana kebijakan kawasan tanpa rokok dalam hal ini Dinas Kesehatan Kota Palembang, maupun Pimpinan Kelurahan dan Masyarakat. Dalam hal ini semua Pihak umumnya telah mengetahui Perda No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang serta memberikan dukungan terhadap

Proposisi Minor 1: “Jika Implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok dilaksanakan oleh aktor yang memiliki kewenangan yang memadai dan kesadaran tinggi di dukung dengan fasilitas pelayanan kesehatan yang memadai serta penerapan sanksi ekonomis maka implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok dapat dilaksanakan secara optimal”

Hasil penelitian menunjukan implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang telah memuat kepentingan kelompok sasaran atau target groups dalam isi kebijakannya. Dalam hal ini Perda No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang telah mengakomodir berbagai kepentingan yakni Kepentingan Pelaksana Kebijakan kawasan tanpa rokok, Kepentingan Pemimpin/Pengelola serta Kepentingan Masyarakat. Hal tersebut dapat dilihat dari Perda KTR yang merupakan bentuk perlindungan terhadap mereka yang tidak merokok; menciptakan lingkungan yang sehat; serta menertibkan perokok aktif dimana dia merokok bukan melarang mereka yang

318

No Rumusan Masalah

Fokus Penelitian Hasil Temuan Proposisi Implikasi Teoritis

pelaksanaan Perda KTR tersebut

merokok. Perda KTR ini telah berupaya untuk mencerdaskan masyarakat dan meluruskan bahwa setiap orang memiliki hak azazi untuk menghirup udara yang bersih. Sehingga bagi mereka si perokok harus tertib, harus tahu dimana tempat mereka rokok.

Berbagai kelompok kepentingan, termasuk masyarakat sipil, memainkan peran yang lebih penting dalam membentuk dan menyampaikan kebijakan kesehatan masyarakat baik di tingkat nasional dan internasional di banyak negara. Meskipun dalam proses ini pembuatan kebijakan kesehatan masyarakat lebih kompleks dan kurang dapat diprediksi. [Nicholas Mays. (2016)]

2) Manfaat

kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang

Manfaat Implementasi KTR antara lain: terciptanya kawasan tanpa rokok khususnya di Instansi Pemerintahan Kota Palembang, yakni Kantor Kelurahan di Kota Palembang serta meningkatkan kesadaran masyarakat untuk tidak merokok dikawasan tanpa rokok, sehingga membuat

Temuan penelitian diketahui bahwa dalam implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang telah memiliki manfaat yang positif, antara lain terciptanya kawasan tanpa rokok di 7 Kawasan Kota Palembang, sehingga membuat nyaman lingkungan tempat kerja karena udara bersih dari pencemaran asap rokok serta berkurangnya jumlah perokok sehingga dapat meningkatkan kesehatan pegawai/ masyarakat. Kebijakan kawasan tanpa

319

No Rumusan Masalah

Fokus Penelitian Hasil Temuan Proposisi Implikasi Teoritis

nyaman lingkungan tempat kerja karena udara bersih dari pencemaran asap rokok

rokok sangat mungkin dipolitisasi, antara kepedulian terhadap perokok maupun dukungan publik dalam menciptakan kawasan tanpa rokok. Mayoritas pelaku kebijakan berhati-hati untuk merumuskan kebijakan subtanstif pada kawasan tanpa rokok karena persepsi tentang isu ini sangat kontroversial. Oleh karena itu perlu adanya komunikasi yang baik antara pelaku kebijakan dan masyarakat sebagai penerima manfaat kebijakan kawasan tanpa rokok. [Helen Wilson, GeorgeThomson. (2011)]

3) Derajat

perubahan yang dicapai

Indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan Kebijakan Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Instansi Pemerintahan Kota Palembang didasarkan pada hasil observasi dan wawancara. Indikator Observasi meliputi: orang yang merokok, ruang khusus merokok, tanda larangan merokok,

Derajat perubahan yang ingin dicapai dalam implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang antara lain terciptanya 100% kawasan tanpa asap rokok, tidak ada ruang merokok tertutup serta tidak ada pemaparan rokok pada orang lain melalui kegiatan merokok, atau tindakan mengizinkan dan atau membiarkan orang merokok di Kawasan Tanpa Rokok. Penerapan kebijakan kawasan tanpa rokok mungkin memiliki dampak kecil, namun menguntungkan terhadap upaya pemberhentian keinginan merokok. [Barbara, Paula A. Keller, Anne E. Betzner, Lija Greenseid, Matthew

320

No Rumusan Masalah

Fokus Penelitian Hasil Temuan Proposisi Implikasi Teoritis

tercium bau asap rokok, penyediaan asbak dan korek api, puntung rokok dalam gedung serta indikasi kerjasama dengan industri tembakau. Sedangkan Indikator wawancara meliputi: pengetahuan tentang Kebijakan Perda KTR, mendukung dan melaksanakan Perda KTR, pelaksanaan Kebijakan KTR oleh Pengelola Gedung, serta Pimpinan Kantor mengetahui bahwa akan terkena sanksi jika tidak mematuhi Perda KTR. Sehingga derajat perubaan yang diharapkan berupa berkurangnya pelanggaran Perda KTR di Kota Palembang sesuai dengan pengukuran derajat perubahan yang dicapai Kebijakan Peraturan Daerah No. 7 Tahun

Christenson, Michael G. Luxenberg (2012)]. Sehingga kebijakan kawasan tanpa rokok sangat disarankan khususnya bagi Negara-negara dengan mayoritas penduduk berpenghasilan rendah dan menengah untuk mengurangi beban penyakit dan biaya kesehatan terkait merokok. [Sara Kalkhoran, Ernesto M Sebrié, Edgardo Sandoya, and Stanton A. Glantz. (2015)]

321

No Rumusan Masalah

Fokus Penelitian Hasil Temuan Proposisi Implikasi Teoritis

2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Instansi Pemerintahan Kota Palembang

4) Letak Pengam bilan Keputusan

Letak pengambilan kepututusan berasal dari, Tim Penegakan Hukum Sat Pol PP berjumlah 7 orang ditambah dengan anggota jajaran patroli beserta utusan dari pihak-pihak yang membantu pengawasan Perda No. 07 Tahun 2009 ini yaitu dari pihak Polresta, Kodim 0418, Denpom II/Swj. Sedangkan untuk Dinas Kesehatan Kota Palembang sendiri berjumlah 11 orang ditambah dengan beberapa anggota yang ditugaskan untuk ikut serta dalam pengawasan Kawasan Tanpa Rokok. Untuk Sat Pol PP dan jajarannya sendiri lebih

Berdasarkan temuan penelitian diketahui bahwa letak pengambilan keputusan dalam implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang, berada pada Dinas Kesehatan Kota Palembang yang mengawasi serta Satuan Polisi Pamong Praja sebagai Tim Penegak Hukum. Untuk melaksanakan kebijakan kawasan tanpa rokok tentu saja harus dibentuk Pengawas Internal ataupun Tim Penegakan Hukum Perda KTR (biasanya terdiri dari Satpam) yang berkoordinasi dengan Pimpinan atau Pengelola kawasan, yang akan memantau keamanan sekaligus mengamankan mereka yang merokok. Pemberian sanksi administratif mungkin termasuk suspensi atau pembatalan lisensi bisnis dan akan menjadi "upaya terakhir penerapan sanksi”. [Lambert Patricia and Donley, Kaitin, (2013)].

322

No Rumusan Masalah

Fokus Penelitian Hasil Temuan Proposisi Implikasi Teoritis

bertugas pada fungsi pada larangan dan penerapan sanksi, sedangkan untuk Dinas Kesehatan Kota Palembang lebih berfungsi pada penekanan bahaya merokok pada orang-orang yang ada di Kawasan Tanpa Rokok.

5) Mekanisme

pelaksana an kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang

Pelaksanaan Program dalam kebijakan kawasan tanpa rokok di Instansi Pemerintahan Kota Palembang, meliputi pembentukan Peraturan Walikota No. 949 Tahun 2010, tentang Tim Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok Kota Palembang yang menguraikan susunan keanggotaan Tim Pelaksana Pengawas Kawasan Tanpa Rokok Kota Palemban, untuk selanjutnya Tim Pelaksana Pengawas

Berdasarkan temuan penelitian diketahui bahwa pelaksana kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang, meliputi Tim Pelaksana Pengawas Kawasan Tanpa Rokok Kota Palembang, yang terdiri dari Walikota beserta jajarannya sebagai pengarah serta yang Dinas Kesehatan Kota Palembang dan Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Kota sebagai pelaksana dengan melibatkan Instansi terkait. Pelaksana kebijakan kawasan tanpa rokok cukup kompeten dan kapabel dalam pelaksanaan tugasnya yang telah melakukan tahap pembinaan, tahap pengawasan serta tahap koordinasi dan evaluasi. Sumber daya dapat dialihkan dan pelatihan tambahan dapat diberikan

323

No Rumusan Masalah

Fokus Penelitian Hasil Temuan Proposisi Implikasi Teoritis

Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang, melakukan beberapa tahap pelaksanaan kebijakan kawasan tanpa rokokKota Palembang, meliputi: tahap pembinaan, tahap pengawasan serta tahap koordinasi dan evaluasi

kepada Pelaksana Kebijakan untuk membantu meningkatkan penegakan dan kepatuhan secara keseluruhan. [Lambert Patricia and Donley, Kaitin, (2013)].

6) Sumber Daya yang dilibatkan

Sumber Daya KTR meliputi: Tim Pengawas Internal di Instansi Pemerintahan adalah petugas keamanan (security), yang bertugas melakukan pengawasan internal di lokasi tersebut, karena baik Dinas Kesehatan maupun Sat Pol PP tidak bisa mengcover seluruh wilayah KTR setiap saat. Memang pada kenyataannya pengawas internal ini belum dilakukan sepenuhnya, dikarenakan tingkat

Hasil penelitian menunjukan menentukan siapa yang memiliki wewenang untuk melakukan inspeksi dan pihak yang berwenang menjatuhkan sanksi, artinya penting juga agar Petugas penegak hukum mendapatkan pelatihan mengenai tugas mereka. untuk melakukan inspeksi dan lingkup kekuasaan mereka. Selain itu melakukan memantau kepatuhan dan memperkuat penegakan hukum. Pemantauan kepatuhan terhadap undang-undang dapat membantu mengidentifikasi kelemahan dalam sistem penegakan hukum. Setelah diidentifikasi, sumber daya dapat dialihkan dan pelatihan tambahan dapat diberikan kepada (Pelaksana Kebijakan KTR) untuk

324

No Rumusan Masalah

Fokus Penelitian Hasil Temuan Proposisi Implikasi Teoritis

kesadaran masyarakat untuk mematuhi Perda KTR masih rendah. Sumber keuangan pelaksanaan kebijakan kawasan tanpa rokok ini, antara lain bersumber dari APBN Depkes, APBD serta Support Dana dari: World Lung Foundation dan Union, Dana tersebut digunakan untuk pembuatan sticker-sticker Perda KTR yang nantinya akan dibagikan secara gratis ke 7 Kawasan Tanpa Rokok, serta Dana pelaksanaan survei penegakan hukum Perda KTR sebesar 9,3 juta yang diberikan kepada Satpol PP. Diketahui bahwa dana yang digunakan sangat terbatas mengingat tempat yang akan disurvei juga cukup banyak. Selain itu, Pelaksanaan Perda KTR ini masih kurang fasilitas berupa

membantu meningkatkan penegakan dan kepatuhan secara keseluruhan. [Lambert Patricia and Donley, Kaitin, (2013)]

325

No Rumusan Masalah

Fokus Penelitian Hasil Temuan Proposisi Implikasi Teoritis

pengaduan masyarakat tentang pelanggaran Perda KTR serta penyediaan Klinik Kesehatan gratis bagi Perokok supaya berhenti merokok.

b. Konteks Implementasi, terdiri dari: 1) Strategi

aktor yang dilibatkan

Strategi aktor yang

dilibatkan dalam pelaksanaan Kebijakan kawasan tanpa rokok, antara lain meliputi pelaksanaan sosialisasi, kegiatan pemeriksaan Air Quality Monitoring, kliping koran yang berhubungan dengan rokok, pembahasan pembuatan Perwali tentang kawasan tanpa rokok di Kota Palembang, pertemuan sosialisasi perwali tentang kawasan tanpa rokok bersama asisten 4 dan bagian hukum pemerintah kota palembang serta

Hasil penelitian menunjukan kebijakan pengendalian tembakau untuk mengurangi perokok, melalui peningkatan pajak yang lebih tinggi dalam penerapan kebijakan kawasan tanpa rokok dirasa efektif. [E. Kathleen Adams, Sara Markowitz, Viji Kannan, Patricia M. Dietz, Van T. Tong, Ann M. Malarcher (2012)]. Kewajiban hukum terhadap Aktor yang bertanggung jawab atas Kawasan Tanpa Rokok yakni memberi tanda-tanda yang menunjukkan bahwa merokok dilarang dan mengambil langkah-langkah untuk meminta seseorang berhenti merokok, termasuk kewajiban untuk membuang asbak. termasuk mencantumkan hukuman atas pelanggaran tugas yang dikenakan meliputi denda dan/atau pemenjaraan. [Lambert Patricia and

326

No Rumusan Masalah

Fokus Penelitian Hasil Temuan Proposisi Implikasi Teoritis

pelatihan Tim Penegakan Hukum Perda KTR. Namun untuk Instansi Pemerintahan sendiri belum maksimal. Di Instansi Pemerintahan hanya sekedar memasang sticker larangan merokok saja. Perda KTR tidak diumumkan melalui bagian Informasi, sehingga tidak semua masyarakat tahu tentang Perda KTR.

Donley, Kaitin, (2013)]

2) Karakteris tik Lembaga dan Penguasa

Para pelaku kebijakan dalam melaksanakan Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok di Instansi Pemerintahan, belum cukup maksimal. Dalam hal ini setiap ditemukan pelanggaran di Instansi Pemerintahan melalui pelaksanaan supervisi, maka aparat Pol PP wajib menegur/ menindak.

Hasil penelitian menunjukan, penerapan Kebijakan KTR sebagai dimulai dari kesadaran diri sendiri dan diberlakukan oleh publik, mencatat bahwa di banyak wilayah hukum, keluhan masyarakat adalah sarana utama untuk menjamin kepatuhan. Selain itu, Untuk memfasilitasi penegakan hukum oleh Publik, panduan FCTC WHO merekomendasikan untuk menetapkan nomor telepon bebas pulsa yang dapat digunakan oleh masyarakat untuk melaporkan suatu pelanggaran kepada Instansi terkait. [Lambert Patricia and

327

No Rumusan Masalah

Fokus Penelitian Hasil Temuan Proposisi Implikasi Teoritis

Sudah ada yang ditegur ditempat kejadian, namun masih ditemukan pelanggaran. Masih banyak terjadi pelanggaran yakni Pegawai maupun Masyarakat yang merokok. Pimpinan beralasan tidak pernah menerima pemberitahuan supervisi. Dalam hal ini supervisi yang dilakukan di hampir disemua Instansi Pemerintahan secara bertahap, umumnya telah ditemukan sticker Perda KTR pada Instansi Pemeritahan, namun untuk plank Perda KTR sangat jarang di temukan. Selain itu masih banyak terjadi pelanggaran Perda KTR, berupa penyediaan piring yang menampung abu rokok, bahkan pegawai maupun masyarakat yang merokok diruangan.

Donley, Kaitin, (2013)]

328

No Rumusan Masalah

Fokus Penelitian Hasil Temuan Proposisi Implikasi Teoritis

Dalam hal ini pihak Instansi yang melakukan pelanggaran terhadap Perda KTR telah mendapat SP1

3) Kepatuhan

terhadap cara/proses pelaksana an kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang, meliputi: faktor predis posisi, faktor pemungkin dan faktor penguat

Dalam hal ini setiap ditemukan pelanggaran di Instansi Pemerintahan maka aparat Pol PP wajib menegur/menindak. Sudah ada yang ditegur ditempat kejadian. Sat Pol PP Kota Palembang melakukan penyisiran dari lantai bawah sampai atas, pada saat itu tidak ada satupun baik asbak maupun orang yang merokok. Maka Tim tidak bisa melakukan tindakan hukum, karena apabila terdapat perokok yang berada di Instansi Pemerintahan, maka yang ditindak Pimpinan Instansi Pemerintahan itu sendiri, namun jika ditemukan pelanggaran

Hasil penelitian menunjukan pengetahuan tentang kondisi yang mendorong keberhasilan kebijakan akan sangat penting bagi mereka yang memerlukan informasi untuk segera memaksimalkan Peraturan Kawasan Tanpa Rokok di lingkungan mereka sendiri [Nykiforuk, Candace. (2007)]. Perilaku merokok informan ditempat kerja karena untuk mencari kenikmatan ataupun menghilangkan ketegangan karena stress kerja sehingga membuat informan tetap merokok di ruang kerja ataupun di lingkungan tempat kerja, kemungkinan besar subjek telah masuk ke tahap bukan saja dalam perokok pemula tetapi telah masuk ke dalam tahap pecandu rokok. Merokok sudah menjadi salah satu bagian dari cara pengaturan diri. Laventhal & Cleary (dalam Cahyani, 1995) Perbedaan pra-undang-undang di masyarakat tampaknya mempengaruhi tingkat perubahan perilaku merokok masyarakat. Konteks budaya dan sosial

329

No Rumusan Masalah

Fokus Penelitian Hasil Temuan Proposisi Implikasi Teoritis

diluar lingkungan dalam, tapi masih dalam lingkungan Kantor, maka pelanggarnya yang kami tindak/kami lakukan pembinaan, selanjutnya kami buat berita acara agar yang bersangkutan tidak merokok

Laporan kepada Dinas Kesehatan melalui Tim Pelaksanaan Pengawasan Kawasan Tanpa Rokok Palembang setiap akhir bulan. Selanjutnya Tim Pengawas Kawasan Tanpa Rokok melalui Dinas Kesehatan secara berkala mengirimkan laporan per triwulan kepada Walikota Palembang

Kepatuhan Pegawai yang dipengaruhi faktor predisposisi, faktor pemungkin dan faktor penguat juga masih rendah. Berdasarkan

penting dalam membentuk perilaku merokok dan menemukan perubahan perilaku merokok di tempat umum [Ritchie, Deborah. (2010)]. Komunitas kesehatan masyarakat harus secara terbuka melarang campur tangan industri tembakau dalam pembuatan kebijakan Smoke-Free Policy (SFP), sesuai dengan pasal 5.3 perjanjian WHO-FCTC5; dan menuntut bebas asap 100% tanpa pengecualian atau penundaan [Ravara, S.B., Miranda, N., Calheiros, J. M. (2014)].

330

No Rumusan Masalah

Fokus Penelitian Hasil Temuan Proposisi Implikasi Teoritis

faktor predisposisi, meski telah mengetahui Perda KTR, baik pegawai maupun masyarakat tetap melakukan pelanggaran. Berdasarkan faktor pemungkin, masih kurangnya fasilitas berupa pengaduan masyarakat tentang pelanggaran Perda KTR serta penyediaan Klinik Kesehatan gratis bagi Perokok supaya berhenti merokok, Di Instansi Pemerintahan hanya sekedar memasang sticker larangan merokok saja. Perda KTR tidak diumumkan melalui bagian Informasi, sehingga tidak semua masyarakat tahu tentang Perda KTR. Selain itu masih banyak terjadi pelanggaran Perda KTR, berupa penyediaan piring yang menampung abu rokok, bahkan pegawai

331

No Rumusan Masalah

Fokus Penelitian Hasil Temuan Proposisi Implikasi Teoritis

maupun masyarakat yang merokok diruangan. Berdasarkan faktor penguat, pihak Instansi yang melakukan pelanggaran terhadap Perda KTR hanya mendapat SP1 maupun SP2 saja, belum pernah diterapkan sanksi berupa hukum pidana kurungan paling lama tiga bulan atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). Seperti yang tertuang pada Perda Kota Palembang No. 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok.

c. Hasil

Kebijakan, yakni: Perubahan perilaku masyarakat setelah di implementasikan kebijakan

Dampak/hasil yang telah dicapai dari implementasi Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Instansi Pemerintahan Kota Palembang sudah dirasakan meski belum

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat dikatakan bahwa dampak/hasil yang telah dicapai dari implementasi Peraturan Daerah No. 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Instansi Pemerintahan Kota Palembang sudah dirasakan meski belum cukup baik/maksimal. Mereka yang merokok didalam ruangan sudah

332

No Rumusan Masalah

Fokus Penelitian Hasil Temuan Proposisi Implikasi Teoritis

kawasan tanpa rokok di Kota Palembang

cukup baik/ maksimal. Mereka yang merokok didalam ruangan sudah berkurang. Pimpinan Kantor juga cukup kooperatif dan mendukung pelaksanaan Perda KTR. Syarat-syarat penegakan Perda KTR juga sudah dipenuhi. Satpam sebagai Pengawas Internal juga sudah diberi pengarahan dan juga sudah mengingatkan para pengunjung untuk tidak merokok didalam ruangan. Hal ini juga didukung dengan sticker larangan merokok. Apalagi ternyata sanksi yang dikenakan bukan untuk si perokok melainkan kepada kami selaku Pimpinan Instansi Pemerintahan Kota Palembang.

berkurang. Pimpinan Kantor juga cukup kooperatif dan mendukung pelaksanaan Perda KTR. Syarat-syarat penegakan Perda KTR juga sudah dipenuhi. Satpam sebagai Pengawas Internal juga sudah diberi pengarahan dan juga sudah mengingatkan para pengunjung untuk tidak merokok didalam ruangan. Tingkat stigmatisasi dirasakan tidak berubah setelah pelaksanaan Undang-undang Bebas Asap Rokok, mungkin karena sebagian besar perokok tidak merasa dihakimi negatif ketika merokok di luar [Nagelhout GE, Willemsen MC, Gebhardt WA, van den Putte B, Hitchman SC, Crone MR, Fong GT, van der Heiden S, de Vries H. (2012)]. Pengenalan Undang-undang Bebas Asap Rokok secara signifikan mempengaruhi perilaku merokok. [Thomson, George. (2013)]

Percepatan pelaksanaan kebijakan bebas asap rokok yang komprehensif kemungkinan akan menghasilkan manfaat kesehatan penduduk substansial dalam pengaturan ini [Nazar, GP., Lee JT, Glantz SA, Arora M, Pearce N, Millett C. (2014)]

333

No Rumusan Masalah

Fokus Penelitian Hasil Temuan Proposisi Implikasi Teoritis

Kebijakan Peraturan

Daerah No. 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang sudah dapat diterima oleh masyarakat dan mampu mengubah perilaku masyarakat, dengan menurunnya jumlah perokok, sehingga kualitas udara semakin baik dan masyarakat bisa menjadi lebih sehat. Masyarakat mengetahui jika ada yang merokok di dalam ruangan, tentu akan menyebabkan penyakit bagi orang banyak, sehingga mendukung untuk menciptakan suasana yang kondusif, jauh dari asap rokok. Termasuk mematuhi Perda KTR dan Perda Lainnya. Pelaksanaan Perda KTR juga melibatkan stakeholder baik dari luar maupun dari dalam harus

334

No Rumusan Masalah

Fokus Penelitian Hasil Temuan Proposisi Implikasi Teoritis

terlibat, dari Pemuka Agama Kiai, Pendeta, Tokoh Masyarakat serta masyarakat umum berhak untuk mengingatkan Perda KTR

2 Apakah faktor-faktor yang menjadi pendukung dan penghambat kepatuhan pegawai dalam implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Instansi Pemerintahan Kota Palembang?

Faktor pendukung dan penghambat dalam implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang, meliputi: a. Faktor

pendukung implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang

Faktor pendukung

implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang, antara lain: 1) Implementasi Perda

KTR telah mengakomodir Kepentingan Pelaksana Kebijakan, Kepentingan Pimpinan Instansi serta Kepentingan

Proposisi Minor 2: “Jika faktor predisposisi, faktor pemungkin dan faktor penguat mampu dipenuhi maka implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok dapat dilaksanakan secara optimal”

Implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok, tidak hanya dilakukan sebatas pada sosialisasi, penyediaan infomasi berupa pemasangan spanduk maupun stiker serta pelaksanaan supervisi yang pada akhirnya menambah beban Kerja Personil Satpol PP maupun Dinas Kesehatan Kota Palembang selaku Tim Penegakan Hukum Perda KTR. Upaya meningkatkan dukungan publik dalam Kebijakan KTR melalui pendekatan kebijakan persuasi juga efektif dilakukan termasuk dengan mengintervensi

335

No Rumusan Masalah

Fokus Penelitian Hasil Temuan Proposisi Implikasi Teoritis

Masyarakat 2) Pelaksana kebijakan

kawasan tanpa rokokcukup kompeten dalam pelaksanaan tugasnya

3) Tersedianya sticker-sticker Perda KTR pada disemua sudut-sudut strategis di Instansi Pemerintahan

4) Penggunaan Media Massa dalam rangka penyampaian informasi kepada masyarakat baik melalui Media TV maupun Radio

5) Pembentukan Tim Pengawas Internal dari Instansi Pemerintahan dalam rangka pelaksanaan Perda KTR

6) Pelaksanaan Pictorial Healt Warning (PHW)

7) Pelaksanaan Upaya Berenti Merokok (UBM)

pendidikan, dalam hal ini pengetahuan bahaya rokok terus menerus dilakukan mulai dari tahap Sekolah Dasar sehingga memutus tunas atau cikal bakal perokok, salah satunya melalui kegiatan UBM, meningkatkan tindakan sosial dengan memberi sanksi yang tegas sehingga menumbuhkan kesadaran untuk tidak merokok disembarang tempat bagi perokok aktif, dan keberanian melaporkan pelanggaran Perda KTR bagi perokok pasif.

336

No Rumusan Masalah

Fokus Penelitian Hasil Temuan Proposisi Implikasi Teoritis

b. Faktor

penghambat implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang

Faktor Penghambat dalam Pelaksanaan Perda No. 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang, antara lain: 1) Beban Kerja Personil

Satpol PP maupun Dinas Kesehatan Kota Palembang cukup banyak sehingga Pelaksanaan Perda KTR belum cukup maksimal

2) Kurangnya dana publikasi penegakan Perda KTR

3) Kurangnya dukungan media baik Televisi (seperti: Pal TV/Sriwijaya) dalam melakukan sosialisasi serta informasi kepada masyarakat tentang Perda KTR secara terus menerus.

4) Produksi sticker larangan merokok juga kurang, serta

Selain itu penyediaan fasilitas KTR tidak hanya sebatas penyediaan stiker maupun spanduk larangan merokok, melainkan lebih lanjut kepada tindakan pengobatan perokok melalui penyediaan klinik UBM. Dengan demikian diharapkan akan tercipta kesadaran dan dukungan dari pegawai maupun masyarakat serta perubahan perilaku pegawai dan masyarakat untuk tidak merokok disembarang tempat. Faktor yang tidak terkendali ini secara tidak langsung berhubungan dengan pengimplementasian program, sehingga dapat menghambat, bahkan menggagalkan implementasi program yang telah dirancang sebelumnya. [Ripley and Fanklin (1986)]

337

No Rumusan Masalah

Fokus Penelitian Hasil Temuan Proposisi Implikasi Teoritis

kurangnya informasi pada sticker mengenai cara pengaduan masyarakat telp/sms/alat email terhadap pelanggaran Perda KTR

5) Pengawas Internal juga tidak memiliki keberanian untuk menegakkan Perda KTR, hanya sebatas pemberian teguran saja, belum ada yang diberikan sanksi administratif sehingga masih terlalu banyak yang merokok.

6) Anggapan Sat Pol PP bahwa Perda KTR ini harus disosialisasikan terlebih dahulu, sehingga belum dilaksanakan hingga ke tahap denda administratifnya

338

No Rumusan Masalah

Fokus Penelitian Hasil Temuan Proposisi Implikasi Teoritis

7) Alat penunjang

kesehatan berupa Klinik Kesehatan gratis bagi Perokok sudah tersedia namun belum maksimal

3 Proposisi Mayor:

“Jika Implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok dilaksanakan oleh aktor yang memiliki kewenangan yang memadai dan kesadaran tinggi di dukung dengan fasilitas pelayanan kesehatan yang memadai, penerapan sanksi ekonomis serta faktor predisposisi, faktor pemungkin dan faktor penguat mampu dipenuhi, maka implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok dapat optimal”

Sumber: Analisis Data

339

6.4 Model Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Kota

Palembang

6.4.1 Kelemahan Eksisting Model Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa

Rokok di Kota Palembang

Berdasarkan ilustrasi existing model kerjasama antar pemerintah daerah

dan hasil elaborasi temuan, proposisi, dan implikasi teoritis pada gambar 6.23

dan tabel 6.2 tersebut di atas, dapat diidentifikasi beberapa kelemahan dari

temuan hasil penelitian dilapangan. Pertama, bahwa berdasarkan konten

implementasi kebijakan, diketahui bahwa Pelaksana kebijakan kawasan tanpa

rokok dalam hal ini Dinas Kesehatan Kota Palembang, Satpol PP Kota

Palembang maupun Pimpinan Instansi Pemerintahan dan Masyarakat telah

mengetahui dan mendukung pelaksanaan Perda No. 7 Tahun 2009 Tentang

Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang, melalui pelaksanaan sosialisasi,

supervisi maupun workshop KTR, namun pelanggaran terhadap Perda KTR

masih terus terjadi dikarenakan tingkat kesadaran masyarakat untuk mematuhi

Perda KTR masih rendah.

Kedua, berdasarkan konteks implementasi kebijakan, diketahui bahwa

Strategi aktor yang dilibatkan masih belum maksimal. Instansi Pemerintahan

masih banyak yang mendapatkan SP2, serta Kepatuhan Pegawai yang

dipengaruhi faktor predisposisi, faktor pemungkin dan faktor penguat juga masih

rendah. Berdasarkan faktor predisposisi, meski telah mengetahui Perda KTR,

baik pegawai maupun masyarakat tetap melakukan pelanggaran. Berdasarkan

faktor pemungkin, masih kurangnya fasilitas berupa pengaduan masyarakat

tentang pelanggaran Perda KTR serta penyediaan Klinik Kesehatan gratis bagi

Perokok supaya berhenti merokok, Di Instansi Pemerintahan hanya sekedar

340

memasang sticker larangan merokok saja. Perda KTR tidak diumumkan melalui

bagian Informasi, sehingga tidak semua masyarakat tahu tentang Perda KTR.

Selain itu masih banyak terjadi pelanggaran Perda KTR, berupa penyediaan

piring yang menampung abu rokok, bahkan pegawai maupun masyarakat yang

merokok diruangan. Berdasarkan faktor penguat, pihak Instansi yang melakukan

pelanggaran terhadap Perda KTR hanya mendapat SP1 maupun SP2 saja,

belum pernah diterapkan sanksi berupa hukum pidana kurungan paling lama tiga

bulan atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). Seperti

yang tertuang pada Perda Kota Palembang No. 7 Tahun 2009 tentang Kawasan

Tanpa Rokok.

Ketiga, berdasarkan hasil implementasi kebijakan, diketahui bahwa

dampak/hasil yang telah dicapai dari implementasi Peraturan Daerah No. 7

Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Instansi Pemerintahan Kota

Palembang sudah dirasakan meski belum cukup baik/maksimal. Mereka yang

merokok didalam ruangan sudah berkurang. Pimpinan Kantor juga cukup

kooperatif dan mendukung pelaksanaan Perda KTR. Syarat-syarat penegakan

Perda KTR juga sudah dipenuhi. Satpam sebagai Pengawas Internal juga sudah

diberi pengarahan dan juga sudah mengingatkan para pengunjung untuk tidak

merokok didalam ruangan. Hal ini juga didukung dengan sticker larangan

merokok. Apalagi ternyata sanksi yang dikenakan bukan untuk si perokok

melainkan kepada kami selaku Pimpinan Instansi Pemerintahan Kota

Palembang.

Keempat, faktor pendukung implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok

di Kota Palembang, antara lain: Implementasi Perda KTR telah mengakomodir

Kepentingan Pelaksana Kebijakan, Kepentingan Pimpinan Instansi serta

341

Kepentingan Masyarakat; Pelaksana kebijakan kawasan tanpa rokok cukup

kompeten dalam pelaksanaan tugasnya; Tersedianya Sticker-sticker Perda KTR

pada disemua sudut-sudut strategis di Instansi Pemerintahan; Penggunaan

Media Massa dalam rangka penyampaian informasi kepada masyarakat baik

melalui Media TV maupun Radio; Pembentukan Tim Pengawas Internal dari

Instansi Pemerintahan dalam rangka pelaksanaan Perda KTR; Pelaksanaan

Pictorial Healt Warning (PHW).

Kelima, Faktor Penghambat dalam Pelaksanaan Perda No. 7 Tahun 2009

tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang, antara lain: Beban Kerja

Personil Satpol PP maupun Dinas Kesehatan Kota Palembang cukup banyak

sehingga Pelaksanaan Perda KTR belum cukup maksimal; Kurangnya dana

publikasi penegakan Perda KTR; Kurangnya dukungan media baik Televisi

(seperti: Pal TV/Sriwijaya) dalam melakukan sosialisasi serta informasi kepada

masyarakat tentang Perda KTR secara terus menerus; Produksi sticker larangan

merokok juga kurang; Kurangnya informasi pada sticker mengenai cara

pengaduan masyarakat telp/sms/alat email terhadap pelanggaran Perda KTR;

Pengawas Internal juga tidak memiliki keberanian untuk menegakkan Perda

KTR, hanya sebatas pemberian teguran saja, belum ada yang diberikan sanksi

administratif sehingga masih terlalu banyak yang merokok; Anggapan Sat Pol PP

bahwa Perda KTR ini harus disosialisasikan terlebih dahulu, sehingga belum

dilaksanakan hingga ke tahap denda administratifnya; serta Alat penunjang

kesehatan berupa Klinik Kesehatan gratis bagi Perokok sudah tersedia namun

belum maksimal.

342

6.4.2 Rekomendasi Model Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok

di Kota Palembang

Perubahan Perilaku Masyarakat setelah di Implementasikan kebijakan

kawasan tanpa rokok di Kota Palembang. Berdasarkan teori Grindle, Hasil

implementasi Kebijakan berpengaruh pada persoalan masyarakat yang

berhubungan dan melibatkan masyarakat. Dalam hal ini harus didefinisikan siapa

yang terkena pengaruh serta perlu ditentukan hasil kebijakan yang dimaksud.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa kendala yang dialami Dinas

Kesehatan Kota Palembang dalam Pelaksanaan Perda No. 7 Tahun 2009

tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang, antara lain: Kurangnya

dukungan media baik Televisi (seperti: Pal TV/Sriwijaya) dalam melakukan

sosialisasi serta informasi kepada masyarakat tentang Perda KTR secara terus

menerus; Produksi sticker larangan merokok juga kurang; Kurangya informasi

pada sticker mengenai cara pengaduan masyarakat telp/sms/alat email terhadap

pelanggaran Perda KTR; Pengawas Internal yang juga tidak memiliki keberanian

untuk menegakkan Perda KTR karena masih terlalu banyak yang merokok; serta

Anggapan Sat Pol PP bahwa Perda KTR ini harus disosialisasikan terlebih

dahulu, sehingga belum dilaksanakan hingga ke tahap denda administratifnya

Berdasarkan fenomena tersebut di atas, dapat direkomendasikan model

implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang sebagai

berikut:

343

a. Isi Kebijakan 1) Perda KTR mengakomodir

kepentingan berbagai pihak 2) Manfaat Perda KTR sudah mulai

dirasakan 3) Indikator Keberhasilan KTR yang

digunakan tepat 4) Letak Pengambilan Keputusan berada

pada Tim Penegakan Hukum Perda KTR

5) Mekanisme pelaksanaan telah dilakukan

6) Sumber daya yang dilibatkan mampu mengcover seluruh wilayah KTR

b. Konteks Implementasi 1) Penerapan strategi kebijakan KTR,

melalui peningkatan pajak, penerapan kewajiban hukum terhadap aktor yang bertanggung jawab atas KTR dengan melaksanakan hukuman atas pelanggaran meliputi denda dan/atau pemenjaraan

2) Kebijakan KTR dimulai dari kesadaran diri sendiri, menjadi sarana utama untuk menjamin kepatuhan

3) Peningkatan Kepatuhan melalui:

Faktor Predisposisi Penerapan Kebijakan 100% KTR tanpa campur tangan Industri tembakau

Faktor Pemungkin: a. Penyediaan fasilitas

KTR b. Meningkatkan skill

stakeholder Kesehatan

c. Program Terapi untuk mengobati ketergantungan nikotin

Faktor Penguat: a. Legitimasi

kekuasaan aktor b. Penerapan teknik

tatap muka secara langsung

c. Pembentukan Tim Pengawas Internal

d. Pelaksanaan

Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok UUD 1945 Pasal 28 H, UU No. 36/2009, PP No. 19/2003, Perda Kota Palembang No. 7/2009

Mekanisme Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang: 1. Sosialisasi Perda No 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa

Rokok 2. Penempelan Stiker Perda No 7 Tahun 2009 tentang Kawasan

Tanpa Rokok 3. Supervisi Perda No 7 Tahun 2009 tentang kawasan tanpa rokok 4. Penggunaan Media Massa 5. Pembentukan Tim Pengawas Internal 6. Pelaksanaan Pictorial Healt Warning (PHW) 7. Pelaksanaan Upaya Berhenti Merokok (UBM)

a. Tujuan 1) Memberi ruang dan lingkungan yang

bersih dan sehat bagi masyarakat 2) Melindungi kesehatan masyarakat

dari bahaya paparan asap rokok

b. Prinsip 1) 100 % Kawasan Tanpa Asap Rokok 2) Tidak ada ruang merokok di tempat

umum/tempat kerja tertutup

Pelanggaran Kawasan Tanpa Rokok berkurang karena timbulnya kesadaran dan Dukungan dari Pegawai & Masyarakat

Implementasi Kawasan Tanpa Rokok terlaksana secara optimal

Bagan 6.1. Model Rekomendasi Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok Sumber: Hasil Analisis Penelitian

344

Implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang tidak

cukup jika dianalisis melalui model implementasi kebijakan dirumuskan

berdasarkan model implementasi dari Marilee S. Grindle (1980) yang terdiri dari

isi kebijakan, konteks implementasi serta hasil kebijakan. Melainkan juga perlu

memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku kesehatan masyarakat

menjadi 3 faktor utama, faktor predisposisi (predisposing factor), faktor

pemungkin (enabling factor) dan faktor penguat (reinforcing factor).

Diketahui bahwa berdasarkan eksisting model diketahui bahwa pertama

dari aspek Isi Kebijakan; Tim Pengawas Internal di Instansi Pemerintahan, yang

bertugas melakukan pengawasan internal KTR, baik dari Dinas Kesehatan

maupun Sat Pol PP tidak bisa mengcover seluruh wilayah KTR setiap saat serta

ingkat kesadaran masyarakat untuk mematuhi Perda KTR masih rendah. Kedua,

dari aspek Konteks Implementasi; Strategi aktor yang dilibatkan masih belum

maksimal. Selain itu, Lembaga dan Penguasa, masih banyak melakukan

pelanggaran yakni Pegawai maupun Masyarakat yang merokok. Sehingga

Dampak/hasil yang telah dicapai dari implementasi Peraturan Daerah No. 7

Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Instansi Pemerintahan Kota

Palembang sudah dirasakan meski belum cukup baik/maksimal. Oleh karena itu

perlu dilakukan upaya menentukan siapa yang memiliki wewenang untuk

melakukan inspeksi dan pihak yang berwenang menjatuhkan sanksi serta

memantau kepatuhan dan memperkuat penegakan hukum. Penerapan strategi

pengendalian tembakau serta pemberlakukan sanksi yang tegas. Kebijakan KTR

dimulai dari kesadaran diri sendiri menjadi sarana utama untuk menjamin

kepatuhan.

345

Dalam penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya yang hanya

menganalisis pelaksanaan kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang

melalui isi kebijakan, konteks implementasi serta hasil kebijakan, melainkan juga

dianalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan kebijakan itu sendiri,

sekaligus sebagai novelty penelitian. Bahwa kepatuhan juga turut mempengaruhi

pelaksanaan kebijakan kawasan tanpa rokok, yang pada akhirnya akan

menumbuhkan kesadaran, dukungan pegawai maupun masyarakat sehingga

implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang dapat optimal.

Teori yang paling cocok digunakan adalah Teori Green (1999) tentang Perilaku

Kesehatan, yang membagi faktor yang mempengaruhi perilaku kesehatan

masyarakat menjadi 3 faktor utama, faktor predisposisi (predisposing factor),

faktor pemungkin (enabling factor) dan faktor penguat (reinforcing factor). Maka

upaya yang dilakukan antara lain dari faktor predisposisi, jika perokok bukan saja

menjadi perokok pemula tetapi telah masuk ke dalam tahap pecandu rokok,

maka merokok sudah menjadi salah satu bagian dari cara pengaturan diri, maka

perlu memaksimalkan Peraturan Kawasan Tanpa Rokok di lingkungan mereka

sendiri dengan memperhatikan konteks budaya dan sosial dalam membentuk

perilaku merokok dan menemukan perubahan perilaku merokok di tempat umum.

Berdasarkan Faktor Pemungkin, penyediaan fasilitas perlu ditingkatkan

berupa penyediaan stiker, leaflet maupun spanduk tanda larangan merokok,

buku pedoman larangan merokok serta penyediaan klinik kesehatan untuk terapi

bagi perokok melalui sebuah pendekatan Program Terapi 5 langkah yang dapat

diimplementasikan dalam waktu singkat di Klinik Rawat Jalan dan terapi

pengganti nikotin, antara lain meliputi: menciptakan lingkungan Rumah Sakit

"lebih bersih, lebih nyaman", meningkatkan cakupan perawatan medis dan

346

perluasan cakupan untuk tenaga medis dengan mengembangkan kampanye

media untuk mendorong penghentian merokok, menciptakan infrastruktur

penelitian untuk meningkatkan tingkat penghentian merokok, mengembangkan

agenda pelatihan dokter, serta mengadopsi kebijaka pajak rokok yang tinggi.

Selanjutnya untuk Faktor Penguat, Penerapan teknik tatap muka secara

langsung lebih efektif daripada kampanye informasi larangan merokok di tempat

kerja, pembentukan Tim Pengawas Internal serta pelaksanaan Supervisi,

pemberian SP dan penerapan sanksi yang tegas, diharapkan dapat

meningkatkan kepatuhan dalam Penerapan Kebijakan kawasan tanpa rokok.

Diketahui bahwa hasil yang telah dicapai dari implementasi Peraturan

Daerah No. 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang

sudah dirasakan. Mereka yang merokok didalam gedung sudah berkurang.

Pimpinan Instansi KTR cukup kooperatif dan mendukung pelaksanaan Perda

KTR. Syarat-syarat penegakan Perda KTR juga sudah dipenuhi. Hal ini juga

didukung dengan sticker larangan merokok. Apalagi ternyata sanksi yang

dikenakan bukan untuk si perokok melainkan kepada Pimpinan Instansi

Pemerintahan. Pelaksanaan Perda KTR juga melibatkan stakeholder baik dari

luar maupun dari dalam harus terlibat, dari Pemuka Agama Kiai, Pendeta, Tokoh

Masyarakat serta masyarakat umum berhak untuk mengingatkan Perda KTR.

347

BAB VII

PENUTUP

7.1 Kesimpulan

Berdasarkan data hasil dan pembahasan temuan penelitian yang telah

diuraikan pada bab-bab sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa Implementasi

kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang tidak cukup jika dianalisis

melalui model implementasi kebijakan dirumuskan berdasarkan model

implementasi dari Marilee S. Grindle (1980) yang terdiri dari isi kebijakan,

konteks implementasi serta hasil kebijakan, melainkan juga perlu memperhatikan

faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku kesehatan masyarakat meliputi: faktor

predisposisi (predisposing factor), faktor pemungkin (enabling factor) dan faktor

penguat (reinforcing factor). Selanjutnya disajikan beberapa detail kesimpulan

penelitian Implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Instansi Pemerintahan

Kota Palembang, diuraikan sebagai berikut:

a. Implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok di Instansi Pemerintahan

Kota Palembang telah dilaksanakan namum masih ditemukan berbagai

kendala dalam konteks implementasinya antara lain kurangnya SDM, dan

dana pelaksanaan Perda KTR, kurangnya koordinasi antara Pimpinan

Instansi dan para Pegawai serta pelaksanaan Sidang Yustisi kepada

pelanggar KTR hanya sebatas pemberian teguran saja, belum ada yang

diberikan sanksi administratif. Sehingga masih ditemukan pelanggaran

didalam Kawasan Tanpa Rokok.

b. Faktor yang mendukung Implementasi Perda KTR, meliputi: telah

mengakomodir Kepentingan Pelaksana Kebijakan, Pimpinan Instansi

347

348

serta Kepentingan Masyarakat. Tersedianya sticker-sticker Perda KTR

maupun Pembentukan Tim Pengawas Internal di Instansi Pemerintahan

dalam rangka dengan melibatkan seluruh security/Petugas Keamanan

tanpa kecuali. Faktor yang menghambat keberhasilan Implementasi

Perda KTR, meliputi: Beban Kerja Personil Satpol PP maupun Dinas

Kesehatan Kota Palembang cukup banyak, Kurangnya dana publikasi

penegakan Perda KTR, Layanan Informasi masih terbatas.

c. Model Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Kota

Palembang yang ideal, berupa implementasi kebijakan kawasan tanpa

rokok dengan yang tidak hanya melihat pada isi kebijakan, konteks

implementasi maupun hasil kebijakan, tetapi juga harus memperhatikan

faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan terhadap kabijakan kawasan

tanpa rokok yang meliputi faktor predisposisi, faktor pemungkin dan faktor

penguat sehingga implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok dapat

dilaksanakan secara optimal.

7.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan hasil penelitian tersebut di atas, peneliti

memberikan saran-saran sebagai berikut:

1. Menambah penyediaan personil khususnya di Dinas Kesehatan Kota

Palembang maupun Sat Pol PP Palembang sehingga pelaksanaan

inspeksi, survei maupun Sidang Yustisi dapat dilaksanakan secara terus-

menerus.

2. Meningkatkan dana publikasi penegakan KTR, baik melalui pengajuan

proposal APBN Depkes, APBD maupun Support dana stakeholder,

349

sehingga dapat meningkatkan penyediaan fasilitas maupun kegiatan

pengobatan bagi perokok.

3. Meningkatkan partisipasi publik melalui sosialisasi Perda No.7 Tahun

2009 tentang kawasan tanpa rokok ke media massa melalui berita di

televisi, koran dan radio. Menghadirkan mantan perokok aktif di

pertemuan selanjutnya.

4. Penyediaan stiker yang ditempel dilokasi strategis kawasan tanpa rokok

yang juga mencantumkan telp/sms/alat email pengaduan bagi

masyarakat mengenai pelanggaran Perda KTR

5. Perlu dilakukannya terminasi kebijakan untuk meninjau Perda KTR serta

upaya untuk menumbuhkan komitmen yang tegas dari satuan Polisi

Pamong Praja untuk melakukan tipiring terhadap pelanggaran Kawasan

Tanpa Rokok termasuk pemberlakukan sanksi administratif maupun

pidana

6. Menerapkan teknik tatap muka secara langsung, pembentukan Tim

Pengawas Internal serta pelaksanaan supervisi dan pemberian sanksi

yang tegas, diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan dalam Penerapan

kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang.

7. Penyediaan Klinik Kesehatan bagi Perokok supaya berhenti merokok

yang lebih efektif serta melibatkan stakeholder serta masyarakat umum

untuk mengingatkan Perda KTR.

7.3 Implikasi Teoritik

Untuk lebih mengembangkan studi implementasi kebijakan publik

khususnya Kebijakan kawasan tanpa rokok, maka Penulis mengharapkan

350

adanya penelitian lanjutan dengan menggunakan metode kualitatif terkait dengan

faktor-faktor yang mendorong dan menghambat implementasi kebijakan kawasan

tanpa rokok, pada 6 (enam) kawasan lainnya di Kota Palembang sehingga

bermanfaat sebagai benchmark bagi Instansi terkait.

Dalam menganalisis suatu implementasi kebijakan tidak hanya dilihat dari

sisi konten kebijakan, konteks implementasi maupun hasil kebijakan seperti yang

diungkapkan Grindle (1980), tetapi juga harus memperhatikan pada faktor-faktor

yang mempengaruhi kepatuhan meliputi faktor predisposisi, faktor pemungkin

dan faktor penguat implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok, serta

penerapan sanksi ekonomis pada akhirnya akan menumbuhkan kesadaran,

dukungan pegawai maupun masyarakat sehingga implementasi kebijakan

kawasan tanpa rokok di Kota Palembang dapat optimal.

Pada isi kebijakan, berupa kepentingan yang dipengaruhi, berbagai

kelompok kepentingan, termasuk masyarakat sipil, memainkan peran yang lebih

penting dalam membentuk dan menyampaikan kebijakan kesehatan masyarakat

baik di tingkat nasional dan internasional di banyak negara. Meskipun dalam

proses ini pembuatan kebijakan kesehatan masyarakat lebih kompleks dan

kurang dapat diprediksi. [Nicholas Mays. (2016)], dalam hal ini implementasi

kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang telah memuat kepentingan

kelompok sasaran atau target groups dalam isi kebijakannya. Dalam hal ini

Perda No. 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang

telah mengakomodir berbagai kepentingan yakni Kepentingan Pelaksana

Kebijakan kawasan tanpa rokok, Kepentingan Pemimpin/Pengelola serta

Kepentingan Masyarakat. Hal tersebut dapat dilihat dari Perda KTR yang

merupakan bentuk perlindungan terhadap mereka yang tidak merokok;

351

menciptakan lingkungan yang sehat; serta menertibkan perokok aktif dimana dia

merokok bukan melarang mereka yang merokok. Perda KTR ini telah berupaya

untuk mencerdaskan masyarakat dan meluruskan bahwa setiap orang memiliki

hak azazi untuk menghirup udara yang bersih. Sehingga bagi mereka si perokok

harus tertib, harus tahu dimana tempat mereka rokok.

Dari sisi manfaat kebijakan diketahui bahwa dalam implementasi

kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang telah memiliki manfaat yang

positif, antara lain terciptanya kawasan tanpa rokok di 7 Kawasan Kota

Palembang, sehingga membuat nyaman lingkungan tempat kerja karena udara

bersih dari pencemaran asap rokok serta berkurangnya jumlah perokok sehingga

dapat meningkatkan kesehatan pegawai/ masyarakat. Kebijakan kawasan tanpa

rokok sangat mungkin dipolitisasi, antara kepedulian terhadap perokok maupun

dukungan publik dalam menciptakan kawasan tanpa rokok. Mayoritas pelaku

kebijakan berhati-hati untuk merumuskan kebijakan subtanstif pada kawasan

tanpa rokok karena persepsi tentang isu ini sangat kontroversial. Oleh karena itu

perlu adanya komunikasi yang baik antara pelaku kebijakan dan masyarakat

sebagai penerima manfaat kebijakan kawasan tanpa rokok. [Helen Wilson,

GeorgeThomson. (2011)]

Derajat perubahan yang ingin dicapai dalam implementasi kebijakan

kawasan tanpa rokok di Kota Palembang antara lain terciptanya 100% kawasan

tanpa asap rokok, tidak ada ruang merokok tertutup serta tidak ada pemaparan

rokok pada orang lain melalui kegiatan merokok, atau tindakan mengizinkan dan

atau membiarkan orang merokok di Kawasan Tanpa Rokok. Penerapan

kebijakan kawasan tanpa rokok mungkin memiliki dampak kecil, namun

menguntungkan terhadap upaya pemberhentian keinginan merokok. [Barbara,

352

Paula A. Keller, Anne E. Betzner, Lija Greenseid, Matthew Christenson, Michael

G. Luxenberg (2012)]. Sehingga kebijakan kawasan tanpa rokok sangat

disarankan khususnya bagi Negara-negara dengan mayoritas penduduk

berpenghasilan rendah dan menengah untuk mengurangi beban penyakit dan

biaya kesehatan terkait merokok. [Sara Kalkhoran, Ernesto M Sebrié, Edgardo

Sandoya, and Stanton A. Glantz. (2015)].

Letak pengambilan keputusan dalam implementasi kebijakan kawasan

tanpa rokok di Kota Palembang, berada pada Dinas Kesehatan Kota Palembang

yang mengawasi serta Satuan Polisi Pamong Praja sebagai Tim Penegak

Hukum. Untuk melaksanakan kebijakan kawasan tanpa rokok tentu saja harus

dibentuk Pengawas Internal ataupun Tim Penegakan Hukum Perda KTR

(biasanya terdiri dari Satpam) yang berkoordinasi dengan Pimpinan atau

Pengelola kawasan, yang akan memantau keamanan sekaligus mengamankan

mereka yang merokok. Pemberian sanksi administratif mungkin termasuk

suspensi atau pembatalan lisensi bisnis dan akan menjadi "upaya terakhir

penerapan sanksi”. [Lambert Patricia and Donley, Kaitin, (2013)].

Pelaksana kebijakan kawasan tanpa rokok di Kota Palembang, meliputi

Tim Pelaksana Pengawas Kawasan Tanpa Rokok Kota Palembang, yang terdiri

dari Walikota beserta jajarannya sebagai pengarah serta yang Dinas Kesehatan

Kota Palembang dan Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Kota sebagai

pelaksana dengan melibatkan Instansi terkait. Pelaksana kebijakan kawasan

tanpa rokok cukup kompeten dan kapabel dalam pelaksanaan tugasnya yang

telah melakukan tahap pembinaan, tahap pengawasan serta tahap koordinasi

dan evaluasi. Sumber daya dapat dialihkan dan pelatihan tambahan dapat

diberikan kepada Pelaksana Kebijakan untuk membantu meningkatkan

353

penegakan dan kepatuhan secara keseluruhan. [Lambert Patricia and Donley,

Kaitin, (2013)] serta peningkatan iklim politik di sekitar program [Hill dan Hupe

(2002)].

Sumber daya yang dilibatkan diharapkan memiliki wewenang untuk

melakukan inspeksi dan pihak yang berwenang menjatuhkan sanksi, artinya

penting juga agar Petugas penegak hukum mendapatkan pelatihan mengenai

tugas mereka. untuk melakukan inspeksi dan lingkup kekuasaan mereka. Selain

itu melakukan memantau kepatuhan dan memperkuat penegakan hukum.

Pemantauan kepatuhan terhadap undang-undang dapat membantu

mengidentifikasi kelemahan dalam sistem penegakan hukum. Setelah

diidentifikasi, sumber daya dapat dialihkan dan pelatihan tambahan dapat

diberikan kepada (Pelaksana Kebijakan KTR) untuk membantu meningkatkan

penegakan dan kepatuhan secara keseluruhan. [Lambert Patricia and Donley,

Kaitin, (2013)] Setelah diidentifikasi, sumber daya dapat dialihkan dan pelatihan

tambahan dapat diberikan kepada (Pelaksana Kebijakan KTR) untuk membantu

meningkatkan penegakan dan kepatuhan secara keseluruhan. [Lambert Patricia

and Donley, Kaitin, (2013)].

Selanjutnya dari aspek konteks implementasi, ketika strategi

implementasi kebijakan dirancang, pendekatan demokratis harus menjadi pilihan,

begitu keputusan telah disepakati, implementasi menjadi lebih banyak taktik

daripada strategi, sementara taktik bisa berubah menjadi masalah. [Linda

deLeon dan Peter deLeon (2002)]. Sehingga strategi yang dilakukan dalam

implementasi kebijakan kawasan tanpa rokok, antara lain Negara dapat

menggunakan beberapa kebijakan pengendalian tembakau untuk mengurangi

perokok. Dalam hal ini meningkatkan pajak yang lebih tinggi dalam penerapan

354

kebijakan kawasan tanpa rokok dirasa efektif. [E. Kathleen Adams, Sara

Markowitz, Viji Kannan, Patricia M. Dietz, Van T. Tong, Ann M. Malarcher

(2012)]. Kewajiban hukum terhadap Aktor yang bertanggung jawab atas

Kawasan Tanpa Rokok yakni memberi tanda-tanda yang menunjukkan bahwa

merokok dilarang dan mengambil langkah-langkah untuk meminta seseorang

berhenti merokok, termasuk kewajiban untuk membuang asbak. termasuk

mencantumkan hukuman atas pelanggaran tugas yang dikenakan meliputi denda

dan/atau pemenjaraan. [Lambert Patricia and Donley, Kaitin, (2013)]. Penerapan

Kebijakan KTR sebagai dimulai dari kesadaran diri sendiri dan diberlakukan oleh

publik, mencatat bahwa di banyak wilayah hukum, keluhan masyarakat adalah

sarana utama untuk menjamin kepatuhan. Selain itu, Untuk memfasilitasi

penegakan hukum oleh Publik, panduan FCTC WHO merekomendasikan untuk

menetapkan nomor telepon bebas pulsa yang dapat digunakan oleh masyarakat

untuk melaporkan suatu pelanggaran kepada Instansi terkait. [Lambert Patricia

and Donley, Kaitin, (2013)]

Untuk mempelajari faktor yang mempengaruhi kepatuhan pelaksanaaan

Perda KTR, teori yang paling cocok digunakan adalah Teori Green tentang

Perilaku Kesehatan. Teori Green (1999) membagi faktor yang mempengaruhi

perilaku kesehatan masyarakat menjadi 3 faktor utama, faktor predisposisi

(predisposing factor), faktor pemungkin (enabling factor) dan faktor penguat

(reinforcing factor). Pengetahuan tentang kondisi yang mendorong keberhasilan

kebijakan akan sangat penting bagi mereka yang memerlukan informasi untuk

segera memaksimalkan Peraturan Kawasan Tanpa Rokok di lingkungan mereka

sendiri [Nykiforuk, Candace. (2007)]. Perilaku merokok informan ditempat kerja

karena untuk mencari kenikmatan ataupun menghilangkan ketegangan karena

355

stress kerja sehingga membuat informan tetap merokok di ruang kerja ataupun di

lingkungan tempat kerja, kemungkinan besar subjek telah masuk ke tahap bukan

saja dalam perokok pemula tetapi telah masuk ke dalam tahap pecandu rokok.

Merokok sudah menjadi salah satu bagian dari cara pengaturan diri. Laventhal &

Cleary (dalam Cahyani, 1995) Perbedaan pra-undang-undang di masyarakat

tampaknya mempengaruhi tingkat perubahan perilaku merokok masyarakat.

Konteks budaya dan sosial penting dalam membentuk perilaku merokok dan

menemukan perubahan perilaku merokok di tempat umum [Ritchie, Deborah.

(2010)]. Komunitas kesehatan masyarakat harus secara terbuka melarang

campur tangan industri tembakau dalam pembuatan kebijakan Smoke-Free

Policy (SFP), sesuai dengan pasal 5.3 perjanjian WHO-FCTC5; dan menuntut

bebas asap 100% tanpa pengecualian atau penundaan [Ravara, S.B., Miranda,

N., Calheiros, J. M. (2014)].

Upaya Berhenti Merokok dilakukan Pemerintah dengan melibatkan

Stakeholder-Kesehatan, Pengusaha, Dokter, dan Perokok, dengan

meningkatkan cakupan Medicaid coverage of treatment and expanding coverage

for state employees dengan mengembangkan kampanye media untuk

mendorong penghentian merokok, termasuk manfaat penghentian dalam semua

rencana asuransi yang didanai pemerintah, menciptakan infrastruktur penelitian

untuk meningkatkan tingkat penghentian merokok, mengembangkan agenda

pelatihan dokter, dan menciptakan dana untuk meningkatkan kegiatan

penghentian merokok, dengan mengadopsi kebijakan seperti pajak rokok lebih

tinggi dan hukum yang melarang merokok di tempat kerja dan tempat umum.

kebijakan kawasan tanpa rokok merupakan tanggung jawab bersama seluruh

masyarakat untuk berhenti merokok, termasuk kepemimpinan yang lebih agresif

356

dalam penerapan sanksi pelanggaran kawasan tanpa rokok, serta melalui

advokasi, kesehatan masyarakat, dan organisasi dokter. [Sarah E Gollust,

Steven A. Schroeder and Kenneth E. Warner. (2008)]. Untuk memahami bahwa

kebiasaan merokok adalah ketergantungan kronis yang dapat kambuh maka

dilaksanakan sebuah pendekatan Program Terapi 5 langkah yang dapat

diimplementasikan dalam waktu singkat di Klinik Rawat Jalan dan membahas

penggunaan terapi pengganti nikotin. Pengobatan ketergantungan nikotin adalah

anti rokok yang dilaksanakan oleh Tenaga Profesional Kesehatan dalam

pengaturan klinis secara rutin dan diharapkan untuk memiliki efek langsung yang

lebih besar untuk mengurangi prevalensi merokok daripada pencegahan

merokok. Kami telah mengembangkan materi pendidikan untuk Institusi Medis

dan Profesional Kesehatan di bawah the Osaka Executive Committee of the

Cancer Prevention Campaign (Komite Eksekutif Osaka untuk Kampanye

Pencegahan Kanker), yang bertujuan untuk mempromosikan pengendalian

penggunaan tembakau di Indonesia melalui penyediaan fasilitas medis.

Larangan merokok di Institusi medis, menyediakan lingkungan Rumah Sakit

"lebih bersih, lebih nyaman "dan juga diharapkan bisa meningkatkan motivasi

pasien dan perokok untuk melepaskan ketergantungan merokok. Selain itu,

memberikan kepercayaan yang lebih besar pada Medical Programs yang

ditujukan untuk mengobati ketergantungan nikotin. [Masakazu NAKAMURA.

(2004)].

Salah satu cara untuk meningkatkan kepatuhan adalah harapan atau

keinginan orang yang menempati posisi tertentu/memiliki legitimasi kekuasaan

akan mengakibatkan kepatuhan. Kepemimpinan dalam sebuah organisasi

memiliki peran penting untuk mempengaruhi anggotanya, jika pemimpin

357

mematuhi peraturan maka akan diikuti oleh anggotanya dan sebaliknya jika

pemimpin tidak mematuhi peraturan maka akan diikuti juga oleh anggotanya.

Dengan dukungan atasan untuk mematuhi peraturan area bebas rokok akan

diikuti oleh bawahan. Seorang pemimpin adalah teladan bagi bawahannya, jika

atasan berperilaku positif maka akan diikuti oleh bawahannya dan sebaliknya.

Sears (1994). Dalam hal ini kepatuhan anggota dalam organisasi dapat

diklasifikasikan berdasarkan jenis kekuasaan yang digunakan organisasi untuk

mengarahkan perilaku anggota dan jenis keterlibatan anggota organisasi

tersebut [Lunenburg, Fred C. (2012)]. Namun hal ini tidak berlaku bagi perokok

yang kecanduan nikotin, nikotin mempengaruhi keseimbangan kimiawi otak. Bila

efek nikotin mulai bekerja, tingkat mood dan konsentrasi akan berubah. reaksi

kimia nikotin ini membuat seseorang merasa tertekan, mood menurun, dan tidak

tenang saat tidak merokok, situasi ini menyebabkan seseorang ingin merokok

setiap saat. Stagnan awal dalam peningkatan kepatuhan mungkin dikarenakan

kurangnya langkah baru dari kebijakan untuk mencegah merokok. Peningkatan

kepatuhan di terhadap Kawasan Tanpa Rokok mungkin karena intensifikasi

kegiatan penegakan hukum dan kebijakan tambahan, yang dapat meningkatkan

kesadaran dan dukungan social [Verdonk-Kleinjan, Wendy M.I, Rijswijk, P. C., de

Vries, H., & Knibbe, R. A. (2013)].

Kebijakan kawasan tanpa rokok secara komprehensif lebih efektif

daripada hukum parsial dalam mengurangi paparan asap rokok. Selain itu, setiap

Undang-undang, tanpa memandang ruang lingkupnya harus diberlakukan secara

aktif agar memiliki dampak yang diinginkan. Ada kebutuhan lanjutan untuk

pengawasan upaya bebas rokok [Ward, Mark. (2013)]. Selain itu, Teknik tatap

muka secara langsung lebih efektif daripada kampanye informasi larangan

358

merokok di tempat kerja [Pansu, P., Lima L., Fointiat, V. (2014)]. Temuan

penelitian ini bahwa kepatuhan juga turut mempengaruhi pelaksanaan kebijakan

kawasan tanpa rokok, menumbuhkan kesadaran, menambah dukungan serta

mengubah pola perilaku pegawai dan masyarakat dalam Penerapan kebijakan

kawasan tanpa rokok di Kota Palembang.

Selanjutnya hal yang perlu diperhatikan dalam implementasi kebijakan

meliputi implementasi context, implementation network dan implementation

outcomes. Secara keseluruhan, tiga hubungan interaktif disajikan dalam

implementasi pendekatan jaringan: struktur dan agensi, jaringan dan konteks,

dan jaringan dan hasil. Pendekatan jaringan implementasi juga memberi

kesempatan untuk meletakkan proses implementasi ke dalam siklus kebijakan

untuk menganalisa bagaimana tahapan kebijakan yang lain, seperti pengaturan

agenda, pembuatan kebijakan dan evaluasi kebijakan, mempengaruhi jaringan

implementasi sebagai faktor politik, khususnya dalam kaitannya dengan para

aktor di Indonesia, tahap perumusan kebijakan dan pengaruhnya terhadap

mereka yang beroperasi pada saat tahap implementasi. Selain itu, pendekatan

jaringan implementasi juga mempertimbangkan hubungan interaktif antara

jaringan dan hasil. [Xiong Wei Song, (2018)].

7.4 Implikasi Praktis

Penyediaan personil khususnya di Dinas Kesehatan Kota Palembang

maupun Sat Pol PP Palembang sehingga pelaksanaan inspeksi, survei maupun

Sidang Yustisi dapat dilaksanakan secara terus-menerus. Pemanfaatan Media

Televisi untuk mendukung sosialisasi serta menginformasikan kepada

masyarakat tentang Perda KTR; Penyediaan Iklan Tandingan seperti penyediaan

359

Baliho untuk Kawasan Tanpa Rokok; Penyediaan sticker yang juga

mencantumkan telp/sms/alat email pengaduan bagi masyarakat mengenai

pelanggaran Perda KTR; Penyediaan Klinik Kesehatan bagi Perokok supaya

berhenti merokok serta melibatkan stakeholder serta masyarakat umum untuk

mengingatkan Perda KTR.

360

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahab, Solichin. 1997. Analisis Kebijaksanaan dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Bumi Aksara

Achadi, Anhari. 2005. The relevance and prospects of advancing tobacco control

in Indonesia. Health Policy Journal. 3, June 2005, Pages 333-349 Alexander, Ernest R. 2003. Introducing Current Planning Theories. Concepts and

Issue. Edition, reprint. Publisher, Gordon and Breach Science Publishers, 1986. Original from, the University of Michigan

Anderson, James A. 1975. Public Policy Making: Basic Concept in Political.

Sciences. New York: Praeger University Series Anwar. 2003. Perencanaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia.

Bandung: Refika Aditama. Arikunto, Suharsimi. 2004. Prosedur Penelitian: Suatu pendekatan Praktek.

Bandung: Rineka Cipta Barbara A. Schillo, Paula A. Keller, Anne E. Betzner, Lija Greenseid, Matthew

Christenson, Michael G. Luxenberg,. 2012. Minnesota's Smokefree Policies: Impact on Cessation Program Participants. American Journal of Preventive Medicine Volume 43, Issue 5, Supplement 3, November 2012, Pages S171-S178

Barnoya, Joaquín., Jose C. Monzon, Paulina Briz, and Ana Navas-Acien. 2016.

Compliance to the smoke-free law in Guatemala 5-years after implementation. BMC Public Health. 2016. 16: 318

Bartholomew, Karla S. 2015. Policy Options to Promote Smokefree Environments

for Children and Adolescents. Current Problems in Pediatric and Adolescent Health Care Vol.45, Issue 6, June 2015, Pages 146-181

Budiardjo, Miriam. 1992. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama Charupash, Rujee. 2014. The Effectiveness of Law Enforce ment: The Notfication

of Minister of Public Health (No.18) B.E.2550 (A.D.2007): Pursuant to The Protection of Non-Smokers Health Act B.E.2535 (1992): A Case Study of Market at Khon Kaen Municipality. Procedia Social and Behavioral Sciences. 116 February 2014, Pages 929-933

360

361

Dunn, William. N. 1994. Public Policy Analysis, Englewood Chief, New Jersey: Prentice-Hall Inc.

---------. 2000. Pengantar Analisis Kebijakan Publik Edisi Kedua. Yogyakarta:

Gadjahmada Dye, Thomas R. 1995. Understanding Public Policy. Englewood Cliffs, NJ:

Prentice Hall Edward III, George C. 1990. Implementing Public Policy. Washington DC:

Congressional Quartely. Press. Gibson, J.L. Ivanicevich, J.M and Donnelly. J. 2000. Organizational Behavior

Structur, Processes. Boston:Orwin Mcgraw-Hill Green, Lawrence W., Marchel W Kreuter. 1999. Health Promoting Planning an

educational and environmental aproach. Second Edition. Mayfield Publishing Company: Mountain View.

Grindle, Marille, S. 1980. Politics and Policy Implementation in The Third World.

New York: Princeton Unversity Press. Gollust, E Sarah. Schroeder, A Steven and Warner, Kenneth E. 2008. Helping

Smokers Quit: Understanding the Barriers to Utilization of Smoking Cessation Services. The Milbank Quarterly (A Multidiciplinary Journal of Population Health and Health Policy). 2008 Dec; 86(4): 601–627

Helen Wilson, George Thomson. 2010. Balancing acts’: The politics and

processes of smokefree area policymaking in a small state. Health Policy Volume 101, Issue 1, June 2011, Pages 79-86

Hoogerwerf. 1983. Ilmu Pemerintahan (terj.). Jakarta: Erlangga Hogwood, Brian W., dan Lewis A. Gunn. 1984. Policy Analysis for The Real.

World. Oxford: Oxford University Press. Howlett Hulton, L, Matthews Z, Martin-Hilber A, Adanu R, Ferla C, Getachew

A, Makwenda C, Segun B, Yilla M. 2014. Using evidence to drive action: A “revolution in accountability” to implement quality care for better maternal and newborn health in Africa. PMC. US National Library Medicine national Institutes of Health. Volume 3, Issue 1, July 2014, Pages 96-101

Fallin, Amanda., Amie Goodin, Mary Kay Rayens, Sarah Morris, Ellen J. Hahn,

RN, FAAN. 2015. Smoke-Free Policy Implementation: Theoretical and Practical Considerations. Policy, Politics, & Nursing Practice. 2014. Vol. 15 (3–4) 81–92

Islamy, Irfan M. 1997. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijakan Negara. Jakarta:

Bumi Aksara.

362

Isworo, W. I. 1996. Beberapa Pendekatan dalam Analisis dan Implementasi Kebijakan. Jakarta: PT. Rajawali Pers

Jha, S.N. & Mathur, P.C. (Eds.). 1999. Decentraliztion and Local Politics;

Reading in Indian Government and Politics-2. London: Sage Publications. Kathleen, Adams. E, Sara Markowitz, Viji Kannan, Patricia M. Dietz, Van T. Tong,

Ann M. Malarcher. 2012. Reducing Prenatal Smoking: The Role of State Policies. American Journal of Preventive Medicine. Volume 43, Issue 1, July 2012, Pages 34-40

Kelman, HC. 1958. Compliance, identification, and internalization: Three

processes of attitude change. Journal of Conflict Resolution; 2 (1): 51-60. Kemenkes. 2011. Pedoman Pengembangan Kawasan Tanpa Rokok. Jakarta:

Pusat Promosi Kesehatan Lambert, Patricia and Donley, Kaitlin. 2013. Best practices in implementation of

Article 8 of the WHO FCTC Case study: Seychelles. National Best Practices series paper N/3 FCTC Who framework convention on Tobacco control. July 2013

Leventhal, H., & Cleary, P. D. 1980. The smoking problem: A review of research

and theory in behavioral risk modification. Psychological Bulletin, 88, 370-405.

Levy and Sarnat. 1994. Capital Investment and Financial Decision. Edition. New

Jersey: Prentice Hall Levy, David T., Tam, Jamie, Kuo, Charlene, Fong, Geoffrey T., Chaloupka,

Frank. 2017. The Impact of Implementing Tobacco Control Policies: The 2017 Tobacco Control Policy Scorecard. Wolters Kluwer Health, Inc. 2018

Lincoln, Yvon Lis and Egon G. Guba. 1985. Naturalistic Inquiry. Beverly Hills.

Sage Publications Maas, Arthur. 1959. Division of Powers: an Areal Analysis. Area and Power:

a Theory of Local Government. New York: Glencoe, The Free Press Martin, Kimberley., Joanne Dono, Greg Sharplin, Jacqueline Bowden, Caroline

Miller. 2017. Staff and patient perspectives of a smoke-free health services policy in South Australia: A state-wide implementation. Health Policy 121 (2017) 895–902

Mays, Nicholas. 2017. Reference Module in Biomedical Sciences. International

Encyclopedia of Public Health (Second Edition) 2017, Pages 296–303 Mazmanian, Daniel H., dan Paul A. Sabatier. 1987. Implementation and Public

Policy. New York: HarperCollins.

363

Meter, Donald S. Van and Carl E Van Horn. 1978. The Policy Implementation Process: A Concep-tual Framework Administration & Society. Sage Publication, Inc.

Miles, Matthew. B., & Huberman, A. Michael. & Saldana Johnny. Qualitative Data

Analysis. A Methods Sourcebook Edition 3. Sage Publications Moleong, Lexy J. 2014. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya Muthalib, MA & Mohd. Akbar Ali Khan.1982. Theory of Local Government. New

Delhi: Starling Publisher Private Limited Lunenburg, F. C. 2012. Compliance Theory and Organizational

Effectiveness. International journal of scholarly academic intellectual diversity, 14 (1), 1-4.

Nagelhout GE, Willemsen MC, Gebhardt WA, van den Putte B, Hitchman

SC, Crone MR, Fong GT, van der Heiden S, de Vries H. 2012. Does smoke-free legislation and smoking outside bars increase. Health & Place Journal. Volume 18, Issue 6, November 2012, Pages 1436-1440

Nakamura, Robert. T dan Frank Smallwood. 1980. The Politics of Policy

Implementation. New York: St Martin Press Nakamura, Masakazu. 2004. Effective intervention for smoking cessation —

practical guidance for medical facilities including smoking cessation clinics. Department of Health Promotion and Education, Osaka Medical Center for Health Science and Promotion. JMAJ 47(2): 97–104, 2004

Nazar, GP., Lee JT, Glantz SA, Arora M, Pearce N, Millett C. 2014. Association

between being employed in a smoke-free workplace and living in a smoke-free home: Evidence from 15 low and middle income countries. PMC. US National Library Medicine national Institutes of Health. Volume 111, Issue 2, February 2014, Pages 47-53

Nilsen, Per., Ståhl, Christian., Roback, Kerstin and Cairney., Paul. 2013. Never

the twain shall meet? - a comparison of implementation science and policy implementation research. Implementation Science. BMC Part of Springer Nature 2013. 8: 63

Nilsen, Per. 2015. Making Sense of Implementation Theories, Models and

Frameworks. Implementation Science. BMC Part of Springer Nature 2015. 10: 53

Niven, Neil., 2002. Psikologi Kesehatan. Jakarta: Buku Kedokteran EGC Notoadmojo, S. 2010. Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta

364

Nykiforuk, C., Campbell, S., Cameron, R., Brown, S., & Eyles, J. 2007. Relationships between community characteristics and municipal smoke-free bylaw status and strength. Health Policy, 80 (2), 358-368

Pansu, P., Lima, L., & Fointiat, V. 2014. When saying no leads to compliance:

The door-in-the-face technique for changing attitudes and behaviors towards smoking at work. Revue Européenne de Psychologie Appliquée/European Review of Applied Psychology, 64(1), 19-27

Pieroni, Luca. 2013. The role of anti-smoking legislation on cigarette and alcohol

consump tion habits in Italy. PMC. US National Library Medicine national Institutes of Health. Volume 111, Issue 2, July 2013, Pages 116-126

Pfiffner, John M and Presthus, Robert V. 1960. Public Administration. New York:

The Ronald Press Company Prasetya, Hendry Eka., Marom, Aufarul., Subowo, Ari. 2015. Implementasi

Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok Di Stasiun Tawang Kota Semarang. Journal of Public Policy and Management Review. Volume 3 No 4, 2014

Rahmat, Afifa Aisha. 2015. Policy Implementation: Process and Problems.

International Journal of Social Science and Humanities Research. 2015. Vol. 3, Issue 3, 306-311)

Randall B. Ripley & Grace A. Franklin. 1986. Policy Implementation and

Bureaucracy. The Dorsey Press: Chicago, Illinois Ravara, S. B., Miranda, N., & Calheiros, J. M. 2014. Towards a 100% smoke-free

Portugal: No more delays. Revista portuguesa de pneumologia, 20, 282-283.

Rebecca, Sheets. 2018. Regulatory Policy and Public Health Policy.

Fundamentals of Biologicals Regulation Vaccines and Biotechnology Medicine 2018, Pages 365–373

Ritchie, D., Amos, A., & Martin, C. 2010. Public places after smoke-free—a

qualitative exploration of the changes in smoking behaviour. Health & Place, 16 (3), 461-469.

Saefullah, H.A.Djadja. 2007. Pemikiran Kontreporer Administrasi Publik,

Prespektif Manajemen Sumber Daya Manusia Dalam Era Desentralisasi. Bandung: LP3AN FISIP UNPAD.

Sagala. Syaiful 2005. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Alfabeta Santoso, Tri Wibowo Budi Penerjemah. 1988. Kebijaksanaan Negara:

Konsistensi dan Implementasi. Jakarta: Gramedia

365

Sara, Kalkhoran, Ernesto M Sebrié, Edgardo Sandoya, and Stanton A. Glantz. 2015. Effect of Uruguay’s National 100% Smokefree Law on Emergency Visits for Bronchospasm. American Journal of Preventive Medicine. Volume 49, Issue 1, July 2015, Pages 85-88

Sebrie, Ernesto M.,VerónicaSchoj, Stanton A.Glantz. 2008. Smoke free environ

ments in Latin America:on the road to real change?. PMC. US National Library Medicine national Institutes of Health. Volume 3, Issue 1, January 2008, Pages 21-35

Seidel, Sarah E. Kristi Metzger, Andrea Guerra, Jessie Patton-Levine,

Sandeepkumar Singh, William T. Wilson, Philip Huang. 2017. Effects of a Tobacco-Free Work Site Policy on Employee Tobacco Attitudes and Behaviors, Travis County, Texas, 2010–2012. Preventing Chronic Disease. Public Health Research, Practice and Policy. 2017. Vol 14 E.133

Shirres, Georgina. 1996.Successful Implementation of a No-Smoking Policy.

Collegian The Australian Journal of Nursing Practice, Scholarship & Research. Sciencedirect. Volume 3, Issue 4, 1996, Pages 30-38

Smet, Bart. 1994. Psikologi Kesehatan. PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.

Jakarta Soenarko, 1998. Public Policy, Pengertian Pokok untuk Memahami dan Analisa

Kebijaksanaan Pemerintah. Surabaya: CV. Papyrus. Strehlenert, H., L. Richter-Sundberg, M. E. Nyström, and H. Hasson (2015):

Evidence-Informed Policy Formulation and Implementation: a Comparative Case Study of Two National Policies for Improving Health and Social Care in Sweden. Implementation Science. 2015, 10:169

Subarsono. 2005. Analisa Kebijakan Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Sugiyono. 2005. Metode Penelitian Administrasi. Bandung: CV. Alfabeta Suharno. 2010. Dasar-Dasar Kebijakan Publik. Yogyakarta:UNY Press Suwitri, Sri. 2008. Konsep Dasar Kebijakan Publik. Semarang: Universitas

Diponegoro Semarang. Tachjan. 2006. Implementasi Kebijakan Publik. Bandung: AIPI Bandung Puslit

KP2W Lemlit Unpad Tangkilisan. 2003. Kebijakan. Jakarta: Media Pesada. Thomson, George. 2013. Informing outdoor smokefree policy: Methods for

measuring the proportion of people smoking in outdoor public areas. PMC. US National Library Medicine national Institutes of Health. Volume 11, Issue 6, March 2013, Pages 19-24

366

Thrasher, James F., Erika Nayeli Abad-Vivero, Ernesto M. Sebrie, Tonatiuh Barrientos-Gutierrez, Marcelo Boado, Hua Hie Yong, Edna Arillo-Santillan and Eduardo Bianco. 2010. Perceived justice and popular support for public health laws: A case study around comprehensive smoke-free legislation in Mexico City. PMC. US National Library Medicine national Institutes of Health. Volume 70, Issue 5, March 2010, Pages 78-93

Verdonk-Kleinjan, W. M., Rijswijk, P. C., de Vries, H., & Knibbe, R. A. 2013.

Compliance with the workplace-smoking ban in the Netherlands. Health Policy, 109(2), 200-206.

Ward, M., Currie, L. M., Kabir, Z., & Clancy, L. 2013. The efficacy of different

models of smoke-free laws in reducing exposure to second-hand smoke: a multi-country comparison. Health Policy, 110(2), 207-213.

Walsh, Kieron, Steve Leach and John Stewart. 1994. The Changing Organisation

and Management of Local Government. London: MacMillan Press Wibawa, Samodra. 1994. Evaluasi Kebijakan Publik. Yogyakarta: PT Raja

Grafindo Persada Winarno, Budi. 2007. Kebijakan Publik: Teori & Proses. Yogyakarta: Media

Pressindo Ye, Xiaohua., Sidong Chen, Zhenjiang Yao, Yanhui Gao, Ya Xu, Shudong Zhou,

Zhengwei Zhu, Liang Wang and Yi Yang, 2015. Smoking behaviors before and after implementation of a smoke-free legislation in Guangzhou, China. BMC Public Health (2015) 15: 982

Zheng, Z. L., H. Y. Deng, C. P. Wu, W. L. Lam, W. S. Kuok, W. J. Liang, H. L.

Wang. 2017. Secondhand smoke exposure of children at home and prevalence of parental smoking following implementa tion of the new tobacco control law in Macao. Public Health. 2017. 144. 57-63

Peraturan Perundangan: Undang-undang Dasar 1945 Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok bagi

Kesehatan Peraturan Daerah Kota Palembang No. 7 Tahun 2009 tentang Kawasan Tanpa

Rokok Peraturan Walikota Palembang No. 18 Tahun 2010 tentang Pengawasan

Kawasan Tanpa Rokok

367

Instruksi Walikota Palembang No. 3 Tahun 2009 tentang Pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok

Surat Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah/Surat

Fatwa Haram No. 6/SM/MTT/III/2010 Tentang Hukum Merokok

Pustaka Elektronik: http://indonews.org/asap-rokok-telah-mengepung-kita/diakses tanggal 2 Januari,

2015 http://nusantaranews.wordpress.com/2009/05/31/10-negara-jumlah perokok-

terbesar-di-dunia/ diakses tanggal 2 Januari, 2015 http://ubalinwebblog.blogspot.com/2012/04/bahaya-merokok-bagi-kesehatan diri.html, diakses tanggal 2 Januari 2015 http://eprints.upnjatim. ac.id/1486/1/File_1.pdf diakses tanggal 2 Januari 2015 Daniel Adetoritse Tonwe. 2011. Conceptualizing Local Government from a Multi-

Dimensional Perspective tp://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/ ht123456789/5878/BAB%20II%20(REVISI%20PROPOSAL_2012_oke).pdf?sequence=4 diakses tanggal 5 September 2015

368

WAWANCARA TERTULIS UNTUK PELAKSANA/PEMBINA KEBIJAKAN PERATURAN DAERAH NO. 7 TAHUN 2009 TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK

DI INSTANSI PEMERINTAHAN KOTA PALEMBANG

(Dalam Rangka Studi Penelitian)

Identitas Peneliti: Nama Peneliti : ATRIKA IRIANI NIM : 20102511016 Program studi : Program Doktor Ilmu Administrasi FIA

Brawijaya Malang Judul Penelitian : Implementasi Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok

(Studi Terhadap Peraturan Daerah Kota Palembang No. 7 tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok pada Instansi Pemerintahan Kota Palembang)

Identitas Informan:

Nama : …………………………………………………............................. Pendidikan : …………………………………………………............................. Jabatan/Bidang : ………………………………………………................................. Tanggal Pengisian :…………………………………………………..............................

Petunjuk:

1. Isilah terlebih dahulu identitas Anda pada identitas informan di atas. 2. Pertanyaan pada wawancara ini hanya akan digunakan untuk kepentingan studi.

Jawaban Anda akan sangat besar manfaatnya bagi keakuratan data dalam penelitian ini. Oleh karena itu, mohon Anda dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dengan jelas, rinci dan sejujurnya atau sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.

3. Satukan lembar jawaban Anda dengan lembar soal. 4. Terima kasih atas kejasamanya.

369

PERTANYAAN

A. Konteks Isi Kebijakan Peraturan Daerah Kota Palembang No. 7 tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok pada Instansi Pemerintahan Kota Palembang:

1. Apa yang dimaksud dengan Kebijakan Peraturan Daerah Kota Palembang No. 7

tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok pada Instansi Pemerintahan Kota Palembang? Tolong jelaskan!

2. Apa tujuan dan sasaran Kebijakan Peraturan Daerah Kota Palembang No. 7 tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok pada Instansi Pemerintahan Kota Palembang?

3. Apa saja manfaat/dampak yang diharapkan tercapai dari pelaksanaan Kebijakan Peraturan Daerah Kota Palembang No. 7 tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok pada Instansi Pemerintahan Kota Palembang, baik manfaat jangka pendek/menengah/panjang, langsung maupun tak langsung?

4. Siapa saja pelaku kebijakan yang terlibat dalam implementasi Kebijakan Peraturan Daerah Kota Palembang No. 7 tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok pada Instansi Pemerintahan Kota Palembang (baik subjek/pelaksana atau objek/ penerima kebijakan)?

5. Apa saja hak dan kewajiban masing-masing pelaku kebijakan tersebut di atas? 6. Apa saja kompetensi atau kualifikasi yang harus dimiliki/dijalani oleh organisasi

pelaksana Kebijakan Kenaikan Subsidi Pupuk dalam upaya peningkatan produksi padi?

7. Apa saja tugas dan tanggung jawab yang harus dijalani oleh unsur-unsur organisasi pelaksana program tersebut di atas?

8. Indikator apa yang digunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan Kebijakan Peraturan Daerah Kota Palembang No. 7 tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok pada Instansi Pemerintahan Kota Palembang? Tolong jelaskan!

9. Tolong jelaskan ketentuan proses pelaksanaan Kebijakan Peraturan Daerah Kota Palembang No. 7 tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok pada Instansi Pemerintahan Kota Palembang dimulai dari dari tahap teknis hingga tahap regulasi!

10. Apa saja sumber daya (fisik dan nonfisik) yang dilibatkan/diperlukan untuk keberhasilan Kebijakan Peraturan Daerah Kota Palembang No. 7 tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok pada Instansi Pemerintahan Kota Palembang? Jelaskan!

11. Bagaimana ketersediaan sumber daya-sumber daya yang diperlukan tersebut?

370

B. Konteks Implementasi Kebijakan Peraturan Daerah Kota Palembang No. 7 tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok pada Instansi Pemerintahan Kota Palembang:

1. Apa dan bagaimana strategi yang dipakai untuk keberhasilan pelaksanaan

Kebijakan Peraturan Daerah Kota Palembang No. 7 tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok pada Instansi Pemerintahan Kota Palembang?

2. Bagaimana hasil/dampak penerapan strategi tersebut terhadap implementasi Kebijakan Peraturan Daerah Kota Palembang No. 7 tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok pada Instansi Pemerintahan Kota Palembang?

3. Bagaimana para pelaku kebijakan (pemerintah, organisasi pelaksana program, dan para petani tersebut) menjalankan fungsi dan perannya dalam Kebijakan Peraturan Daerah Kota Palembang No. 7 tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok pada Instansi Pemerintahan Kota Palembang? Apakah telah maksimal? Tolong Jelaskan!

4. Apakah proses pelaksanaan Kebijakan Peraturan Daerah Kota Palembang No. 7 tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok pada Instansi Pemerintahan Kota Palembang (dari tahap teknis hingga tahap regulasi) telah berjalan efektif atau sesuai ketentuan? Tolong jelaskan bagaimana proses tersebut!

5. Bagaimana tingkat pencapaian indikator pengukur keberhasilan implementasi Kebijakan Peraturan Daerah Kota Palembang No. 7 tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok pada Instansi Pemerintahan Kota Palembang? Tolong jelaskan (jika perlu ada data yang mendukung)!

6. Bagaimana kepatuhan pegawai maupun masyarakat dalam pelaksanaan Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok di Kota Palembang, meliputi:

(a) Faktor Predisposisi, antara lain: (1) Pengetahuan (2) Sikap (3) Komitmen (4) Perilaku

(b) Faktor Pemungkin, berupa penyediaan fasilitas (c) Faktor Penguat, antara lain:

(1) Himbauan Organisasi (2) Pengawasan Internal (3) Penerapan Sanksi

7. Apa saja kendala/permasalahan yang dihadapi dalam implementasi Kebijakan Peraturan Daerah Kota Palembang No. 7 tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok pada Instansi Pemerintahan Kota Palembang?

371

C. Hasil/Dampak Pelaksanaan Kebijakan Peraturan Daerah Kota Palembang No. 7 tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok pada Instansi Pemerintahan Kota Palembang:

1. Bagaimana penerimaan dan dukungan/partisipasi para pegawai dan masyarakat

terhadap Kebijakan Peraturan Daerah Kota Palembang No. 7 tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok pada Instansi Pemerintahan Kota Palembang?

2. Bagaimana dampak/hasil yang telah dicapai dari implementasi Kebijakan Peraturan Daerah Kota Palembang No. 7 tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok pada Instansi Pemerintahan Kota Palembang dalam upaya peningkatan perilaku sehat pegawai?

3. Bagaimana dampak/hasil yang telah dicapai dari implementasi Kebijakan Peraturan Daerah Kota Palembang No. 7 tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok pada Instansi Pemerintahan Kota Palembang bagi kesehatan masyarakat?

4. Bagaimana dampak/hasil yang telah dicapai dari implementasi Kebijakan Peraturan Daerah Kota Palembang No. 7 tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok pada Instansi Pemerintahan Kota Palembang terhadap perubahan perilaku masyarakat?

5. Hal apa saja yang perlu dibenahi atau diperbaiki sehubungan dengan implementasi Kebijakan Peraturan Daerah Kota Palembang No. 7 tahun 2009 Tentang Kawasan Tanpa Rokok pada Instansi Pemerintahan Kota Palembang?

372

LEMBAR JAWABAN:

1

PERATURAN DAERAH KOTA PALEMBANG

NOMOR 07 TAHUN 2009

TENTANG

KAWASAN TANPA ROKOK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WALIKOTA PALEMBANG,

Menimbang: a. bahwa dalam upaya preventif guna memberikan perlindungan kesehatan bagimasyarakat perokok dan bukan perokok, karena asap rokok merupakan salah satuzat adiktif yang dapat membahayakan kesehatan manusia baik selaku perokokaktif maupun perokok pasif, perlu adanya pengaturan mengenai kawasan tanparokok ;

b. bahwa sehubungan dengan huruf a, sejalan dengan ketentuan Pasal 140 danPasal 141 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,melalui hak inisiatifnya Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Palembang telahmenyampaikan Rancangan Peraturan Daerah tentang Kawasan Tanpa Rokok ;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan b,perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Kawasan Tanpa Rokok.

Mengingat: 1.

2.

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1959 tentang Pembentukan Daerah Tingkat IIdan Kotapraja di Sumatera Selatan (Lembaran Negara RI Tahun 1959 Nomor 73,Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 1821);Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara RITahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3495);

3.

4.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (LembaranNegara RI Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209);Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen(Lembaran Negara RI Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara RINomor 3821);

5.

6.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (lembaranNegara RI Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor4235);Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan PeraturanPerundang-undangan (Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 53, TambahanLembaran Negara RI Nomor 4389);

7. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (LembaranNegara RI Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 4437)sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun2008 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentangPemerintahan Daerah (Lembaran Negara RI Tahun 2008 Nomor 59, TambahanLembaran Negara RI Nomor 4844);

8.

9.

Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Hukum AcaraPidana (Lembaran Negara RI Tahun 1983 Nomor 36, Tambahan Lembaran NegaraRI Nomor 3258);Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok bagiKesehatan (Lembaran Negara RI Tahun 2003 Nomor 36, Tambahan LembaranNegara RI Nomor 4276 );

10.

11.

Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian UrusanPemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, danPemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara RI Tahun 2007 Nomor82, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4737 );Peraturan Daerah Kota Palembang Nomor 44 Tahun 2002 tentang Ketentramandan Ketertiban (Lembaran Daerah Kota Palembang Tahun 2002 Nomor 76)sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kota Palembang Nomor 13Tahun 2007 tentang Ketentraman dan Ketertiban (Lembaran Daerah KotaPalembang Tahun 2007 Nomor 13);

2

12.

13.

14.

15.

Peraturan Daerah Kota Palembang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pembinaan danPedoman Operasional Penyidik Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Daerah KotaPalembang Tahun 2004 Nomor 31);Peraturan Daerah Kota Palembang Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pembentukan,Susunan Organisasi dan Tata Kerja Satuan Polisi Pamong Praja Kota Palembang(Lembaran Daerah Kota Palembang Tahun 2006 Nomor 6);Peraturan Daerah Kota Palembang Nomor 6 Tahun 2008 tentang UrusanPemerintahan Kota Palembang (Lembaran Daerah Kota Palembang Tahun 2008Nomor 6);Peraturan Daerah Kota Palembang Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembentukan,Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah Kota Palembang (LembaranDaerah Kota Palembang Tahun 2008 Nomor 9).

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA PALEMBANG

dan

WALIKOTA PALEMBANG

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG KAWASAN TANPA ROKOK.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan :

1. Daerah adalah Kota Palembang2. Pemerintah Kota adalah Pemerintah Kota Palembang3. Walikota adalah Walikota Palembang4. Rokok adalah hasil olahan tembakau terbungkus termasuk cerutu atau bentuk lainnya

yang dihasilkan dari tanaman nicotiana tabacum, nicotiana rustica dan spesieslainnya atau sintetisnya yang mengandung nikotin dan tar dengan atau tanpa bahantambahan.

5. Merokok adalah kegiatan membakar dan atau mengisap rokok.6. Kawasan Tanpa Asap Rokok adalah ruangan atau area yang dinyatakan dilarang

untuk kegiatan merokok.7. Kawasan Tanpa Rokok adalah tempat atau ruangan yang dinyatakan dilarang untuk

merokok, menjual, mengiklankan, dan/atau mempromosikan rokok.8. Paparan asap rokok adalah asap yang keluar dari rokok yang menyala atau dari

produk tembakau lain yang biasanya dengan kombinasi asap rokok yangdihembuskan oleh perokok.

9. Perokok Pasif adalah orang yang bukan perokok namun terpaksa menghisap asaprokok yang dikeluarkan oleh perokok.

10. Tempat Tertutup adalah tempat atau ruang yang ditutup oleh atap dan atau dibatasioleh satu dinding dan atau lebih terlepas dari material yang digunakan dan strukturpermanen atau sementara.

11. Tempat Umum adalah sarana yang diselenggarakan oleh pemerintah, swasta atauperorangan berupa ruang tertutup yang digunakan untuk kegiatan bagi masyarakattermasuk tempat umum milik Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kota,Gedung Perkantoran Umum, Tempat Pelayanan Umum antara lain terminal,termasuk terminal bus, bandara, stasiun kereta api, mall, pusat perbelanjaan, hotel,restoran dan sejenisnya.

3

12. Tempat Kerja adalah ruang tertutup bergerak atau tidak bergerak dimana tenaga kerjabekerja atau tempat yang sering dimasuki tenaga kerja dan tempat-tempat sumberbahaya termasuk kawasan pabrik, perkantoran, ruang rapat, ruang sidang/seminar dansejenisnya.

13. Kawasan Proses Belajar Mengajar adalah tempat yang dimanfaatkan untuk kegiatanbelajar dan mengajar atau pendidikan dan pelatihan.

14. Tempat Pelayanan Kesehatan adalah tempat tertutup yang digunakan untukmenyelenggarakan upaya kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakatseperti rumah sakit, Puskesmas, tempat praktik dokter, tempat praktik bidan, tokoobat/apotek, laboratorium dan tempat kesehatan lainnya antara lain balai pengobatan,rumah bersalin, balai kesehatan ibu dan anak.

15. Arena Kegiatan Anak-anak adalah tempat atau arena tertutup yang diperuntukanuntuk kegiatan anak-anak, seperti tempat penitipan anak, tempat pengasuhan anak,arena bermain anak-anak dan sejenisnya.

16. Tempat Ibadah adalah bangunan atau tempat tertutup yang memiliki ciri-ciri tertentuyang khusus dipergunakan untuk beribadah bagi para pemeluk masing-masing agamasecara permanen, tidak termasuk tempat ibadah keluarga.

17. Angkutan Umum adalah alat angkutan bagi masyarakat berupa kendaraan darat, airdan udara yang merupakan ruang tertutup termasuk didalamnya taksi, bus umum,angkutan kota dan sejenisnya.

18. Penetapan Kawasan Tanpa Rokok adalah peluang untuk memilih tempat/sarana yangdinyatakan sebagai kawasan tanpa rokok yang dilaksanakan secara bertahap disertaipenetapan waktu mulai berlakunya.

BAB IIAZAS, TUJUAN DAN PRINSIP

Bagian KesatuAzas

Pasal 2

Penetapan Kawasan Tanpa Rokok berazaskan:

a. keseimbangan kesehatan manusia dan lingkungan ;b. kemanfaatan umum ;c. keterpaduan dan keserasian ;d. keadilan ; dane. transparansi dan akuntabilitas.

Bagian Kedua

Tujuan

Pasal 3

Penetapan Kawasan Tanpa Rokok bertujuan untuk:

a. memberikan perlindungan yang efektif dari bahaya paparan asap rokok orang lain ;b. memberikan ruang dan lingkungan yang bersih dan sehat bagi masyarakat ; danc. melindungi kesehatan masyarakat secara umum dari dampak buruk merokok baik

langsung maupun tidak langsung.

Bagian Ketiga

Prinsip

Pasal 4

Prinsip Penetapan Kawasan Tanpa Rokok adalah:

a. 100 % kawasan tanpa asap rokok.b. Tidak ada ruang merokok di tempat umum/tempat kerja tertutup.c. Pemaparan asap rokok pada orang lain melalui kegiatan merokok, atau tindakan

mengizinkan dan atau membiarkan orang merokok di kawasan tanpa rokok adalahbertentangan dengan hukum.

4

BAB IIIHAK DAN KEWAJIBAN

Pasal 5

Setiap orang berhak atas udara bersih dan menikmati udara yang bebas dari asap rokok,dan berhak atas informasi dan edukasi yang benar mengenai rokok atau merokok danbahayanya untuk kesehatan.

Pasal 6

Setiap orang wajib memelihara lingkungan yang bersih dan sehat yang bebas dari asaprokok di ruang atau area yang dinyatakan kawasan tanpa rokok.

Pasal 7

(1) Pemilik, Pengelola, Manajer, Pimpinan, dan Penanggung Jawab wajib bertanggungjawab atas pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok.

(2) Pemilik, Pengelola, Manajer, Pimpinan dan Penanggung Jawab sebagaimanadimaksud pada ayat (1), wajib untuk melakukan pengawasan internal atasterselenggaranya Kawasan Tanpa Rokok.

(3) Tanggung jawab Pemilik, Pengelola, Manajer, Pimpinan dan Penanggung Jawabsebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah :

a. melarang adanya tempat untuk merokok di dalam gedung dan penyediaan rokok,termasuk menjual/mengiklankan atau mempromosikan rokok ;

b. mengingatkan semua orang untuk tidak merokok di Kawasan Tanpa Rokok yangmenjadi tanggung jawabnya ;

c. melarang adanya asbak di Kawasan Tanpa Rokok ;d. meletakkan tanda-tanda dilarang merokok di semua pintu masuk utama dan di

tempat-tempat yang dipandang perlu dan mudah terbaca.

BAB IVKAWASAN TANPA ROKOK

Pasal 8

(1) Pemerintah Kota menetapkan Kawasan Tanpa Rokok di wilayah pemerintahannya.

(2) Kawasan Tanpa Rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi :

a. tempat umum;b. tempat kerja;c. tempat ibadah ;d. arena kegiatan anak-anak;e. angkutan umum;f. kawasan proses belajar mengajar; dang. tempat pelayanan kesehatan.

(3) Ketentuan mengenai tempat umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf ayang memiliki izin usaha untuk menjual, wajib untuk melaksanakan KawasanTanpa Rokok.

BAB VLARANGAN-LARANGAN

Pasal 9

Setiap orang dilarang merokok di Kawasan Tanpa Rokok dan ditempat-tempat umumlainnya yang dianggap perlu oleh Pemerintah Kota.

5

Pasal 10

Setiap Pemilik, Pengelola, Manajer, Pimpinan dan Penanggung Jawab Kawasan yangtelah ditetapkan sebagai Kawasan Tanpa Rokok, wajib melarang orang merokok diKawasan Tanpa Rokok.

BAB VIPEMBINAAN, PENGENDALIAN DAN PENGAWASAN

Bagian KesatuPembinaan

Pasal 11

(1) Walikota melakukan pembinaan umum atas :

a. Perlindungan terhadap warga masyarakat dari bahaya rokok.b. Terwujudnya Kawasan Tanpa Rokok.

(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi:

a. penyebarluasan informasi dan sosialisasi melalui media cetak dan elektronik ;b. koordinasi dengan seluruh Instansi, elemen organisasi masyarakat, kalangan

pendidikan, tokoh-tokoh masyarakat dan tokoh-tokoh agama ;c. memotivasi dan membangun partisipasi, prakarsa masyarakat untuk hidup sehat

tanpa asap rokok dengan melakukan kampanye Kawasan Tanpa Asap Rokok danKawasan Tanpa Rokok ;

d. merumuskan kebijakan-kebijakan yang terkait dengan perlindungan masyarakatdari paparan asap rokok ; dan

e. bekerja sama dengan badan-badan atau lembaga-lembaga nasional maupunInternasional dalam upaya melindungi masyarakat dari paparan asap rokok.

Bagian KeduaPengawasan

Pasal 12

(1) Walikota melakukan pengawasan terhadap Kawasan Tanpa Asap Rokok danKawasan Tanpa Rokok.

(2) Untuk melaksanakan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)Walikota dapat mendelegasikan kewenangannya kepada Dinas Kesehatan KotaPalembang dan Satuan Polisi Pamong Praja Kota Palembang.

(3) Ketentuan teknis pelaksanaan pengawasan kawasan tanpa asap rokok dan kawasantanpa rokok sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut oleh Walikota.

Pasal 13

(1) Pengawasan dilakukan dalam upaya mengarahkan pemilik, pengelola danpenanggung jawab Kawasan Tanpa Rokok untuk mengefektifkan tempat-tempatyang dimiliki atau dikelolanya benar-benar bebas dari asap rokok.

(2) Pengawas mempunyai kewenangan untuk masuk ke Kawasan Tanpa Rokok baiksiang maupun malam atau selama jam kerja untuk melakukan inspeksi atausupervisi pelaksanaan Peraturan Daerah ini.

6

BAB VIIPERANSERTA MASYARAKAT

Pasal 14

Masyarakat memiliki kesempatan untuk berperanserta dalam terbentuk dan terwujudnyaKawasan Tanpa Rokok.

Pasal 15

Peranserta masyarakat dapat dilakukan secara :

a. perorangan ;b. kelompok ;c. badan hukum ;d. badan usaha ;e. lembaga ; danf. organisasi.

Pasal 16

Peranserta masyarakat diarahkan untuk :

a. menggunakan hak azasinya agar terlindungi dari paparan asap rokok orang lain ;b. ikut memfasilitasi dan membantu Instansi yang berwenang atau pengawas dalam

mengawasi terlaksananya Kawasan Tanpa Rokok.

Pasal 17

Peranserta masyarakat dilaksanakan melalui :

a. saran, pendapat dan pemikiran, usulan dan pertimbangan berkenaan denganpemantauan dan pelaksanaan kebijakan Kawasan Tanpa Rokok ;

b. keikutsertaan dalam pemberian bimbingan dan penyuluhan serta penyebarluasaninformasi kepada masyarakat mengenai Kawasan Tanpa Rokok ;

c. mengingatkan atau menegur perokok untuk tidak merokok di Kawasan TanpaRokok ;

d. memberitahu pemilik, pengelola dan penanggung jawab Kawasan Tanpa Rokok jikaterjadi pelanggaran ;

e. melaporkan kepada Instansi berwenang jika terjadi pelanggaran.

Pasal 18

Pemerintah Kota bertanggungjawab menyebarluaskan informasi yang berkenaan denganketerlibatan masyarakat dalam terwujudnya Kawasan Tanpa Rokok.

BAB VIIISANKSI ADMINISTRATIF DAN DENDA

Pasal 19

Setiap Pemilik, Pengelola, Manager, Pimpinan dan Penanggung Jawab, apabila tidakmelarang adanya tempat untuk merokok di dalam gedung dan/atau penyediaan rokoksebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) huruf a, dikenakan sanksi admnistratifdan/atau denda paling banyak sebesar Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah).

7

Pasal 20

Setiap Pemilik, Pengelola, Manager, Pimpinan dan Penanggung Jawab, yang tidakmelarang adanya asbak di Kawasan Tanpa Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7ayat (3) huruf c, dikenakan sanksi administratif dan/atau denda paling banyak sebesarRp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah).

Pasal 21

Setiap Pemilik, Pengelola, Manager, Pimpinan dan Penanggung Jawab, yang tidakmeletakkan tanda-tanda dilarang merokok di semua pintu masuk utama dan di tempat-tempat yang dipandang perlu dan mudah terbaca sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7ayat (3) huruf d, dikenakan sanksi administratif dan/atau denda paling banyak sebesarRp. 1.000.000,- (satu juta rupiah).

Pasal 22

Setiap Pemilik, Pengelola, Manajer, Pimpinan, dan Penanggung Jawab, yang telahditetapkan sebagai Kawasan Tanpa Rokok dan tidak melarang orang merokok diKawasan Tanpa Rokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, dikenakan sanksiadministratif dan/atau denda paling banyak sebesar Rp. 500.000,- (lima ratus riburupiah).

Pasal 23

Setiap Pemilik, Pengelola, Manajer, Pimpinan, dan Penanggung Jawab yang telahmelakukan pelanggaran sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut, dikenakan sanksiadministratif berupa pencabutan izin usaha dan penutupan tempat usahanya.

Pasal 24

Pengawas atau Petugas yang berwenang tidak mengawasi Kawasan Tanpa Rokoksebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, dikenakan sanksi administratif dibidangkepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 25

Mekanisme dan pelaksanaan penetapan sanksi administratif dan/atau dendadilaksanakan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 danPasal 28.

BAB IX

PENYIDIKAN

Pasal 26

(1) Penyidikan terhadap pelanggaran Peraturan Daerah ini dilakukan oleh penyidiksebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

(2) Selain Penyidik Umum, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Pemerintah Kotadiberikan kewenangan untuk melakukan penyidikan atas pelangaran PeraturanDaerah ini.

8

(3) Apabila undang-undang yang menjadi dasar hukum tidak mengatur secara tegaskewenangan yang diberikannya, maka Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dalammelaksanakan tugas penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), berwenang :

a. menerima laporan atau pengaduan dari orang atau badan hukum tentang adanyadugaan tindak pidana terhadap kawasan tanpa rokok ;

b. melakukan tindakan pertama dan pemeriksaan pada saat itu ditempat kejadian;c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri

tersangka;d. melakukan penyitaan benda atau surat ;e. mengambil sidik jari dan memotret seseorang;f. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi ;g. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan

pemeriksaan perkara;h. mengadakan penghetian penyidikan setelah mendapat petunjuk dari penyidik

bahwa tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindakpidana dan selanjutnya penyidik memberitahukan hal tersebut kepada PenuntutUmum, tersangka atau keluarganya;

i. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.

(4) Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) harus memberitahukandimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada PenuntutUmum sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentangHukum Acara Pidana.

BAB X

KETENTUAN PIDANA

Pasal 27

(1) Pelanggaran atas ketentuan Peraturan Daerah ini, diancam dengan hukum pidanakurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp.50.000.000,- (limapuluh juta rupiah).

(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), adalah pelanggaran.

BAB XI

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 28

Dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak berlakunya Peraturan Daerah ini, setiapPemilik, Pengelola, Manajer, Pimpinan, dan Penanggung Jawab Kawasan Tanpa Rokok,harus mengadakan penyesuaian dengan ketentuan Peraturan Daerah ini.

BAB XII

PENUTUP

Pasal 29

Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka segala ketentuan yang bertentangandengan Peraturan Daerah ini, dinyatakan tidak berlaku.

9

Pasal 30

(1) Dinas Kesehatan Kota Palembang adalah Instansi teknis pelaksana pengawasankawasan tanpa rokok sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya, berkoordinasidengan Instansi terkait.

(2) Satuan Polisi Pamong Praja Kota Palembang adalah Instansi teknis yang diberikankewenangan untuk menertibkan dan mengawasi kawasan tanpa rokok sesuaidengan ketentuan Peraturan Daerah ini dan peraturan perundang-undangan yangberlaku.

(3) Hal-hal yang bersifat teknis yang belum cukup diatur dalam Peraturan Daerah ini,sepanjang mengenai pelaksanaannya akan ditetapkan lebih lanjut oleh Walikota.

Pasal 31

Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerahini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kota Palembang.

Ditetapkan di Palembangpada tanggal 2009

WALIKOTA PALEMBANG,

H. EDDY SANTANA PUTRA