pengaruh terapi kombinasi 5-fluorouracil - Universitas Brawijaya

132
i PENGARUH TERAPI KOMBINASI 5-FLUOROURACIL DENGAN EKSTRAK ETHANOL DAUN BENALU MANGGA (Dendropthoe pentandra L.) TERHADAP EFEK SITOTOKSIK DAN PERSENTASE SURVIVIN PADA SEL HeLa TESIS Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Magister OLEH : RABIAH UMANAILO 166070400111015 PROGRAM STUDI MAGISTER KEBIDANAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2018

Transcript of pengaruh terapi kombinasi 5-fluorouracil - Universitas Brawijaya

i

PENGARUH TERAPI KOMBINASI 5-FLUOROURACIL DENGAN EKSTRAK ETHANOL DAUN BENALU MANGGA

(Dendropthoe pentandra L.) TERHADAP EFEK SITOTOKSIK DAN PERSENTASE SURVIVIN

PADA SEL HeLa

TESIS

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Magister

OLEH : RABIAH UMANAILO

166070400111015

PROGRAM STUDI MAGISTER KEBIDANAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS

BRAWIJAYA MALANG

2018

ii

iii

iv

v

Halaman Peruntukan

Karya ilmiah ini kutujukan kepada

Ayahanda dan Ibunda Tercinta

H. Yusuf Umagapi dan (Alm) Sarifa Yusuf,

Kakak-kakak dan adikku tersayang

vi

RINGKASAN

Rabiah Umanailo Pengaruh Terapi Kombinasi 5-Fluorouracil dengan Ekstrak Ethanol Daun Benalu Mangga (Dendrophthoe pentandra L.) terhadap Efek Sitotoksik dan Persentase Survivin pada Sel HeLa, Program Studi Magister Kebidanan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya. Ketua Komisi Pembimbing: Agustina Tri Endharti, S.Si, Ph.D; Anggota: Dr.dr. Umi Kalsum, M.Kes.

Kanker serviks adalah salah satu jenis kanker yang umumnya mengenai wanita di seluruh dunia. Infeksi persisten oleh HPV (Human Papilloma Virus) tipe onkogenik tertentu merupakan penyebab terjadinya premalignan dan lesi epitel ganas pada serviks. HPV16 dan 18 merupakan jenis onkogenik yang paling umum menyebabkan sekitar 70% dari seluruh kanker serviks di seluruh dunia. Wanita yang memiliki risiko tinggi mengalami kanker serviks antara lain perilaku seksual individu yaitu usia yang terlalu muda saat melakukan hubungan seksual pertama kali dan sering berganti-ganti pasangan, wanita dengan pasangan pria yang tidak sirkumsisi dan tidak digunakannya kondom. Pada stadium awal, kanker serviks tidak menimbulkan gejala sehingga penderita yang datang untuk memeriksakan diri biasanya sudah berada pada stadium lanjut. Gejala kanker serviks pada stadium lanjut antara lain munculnya rasa sakit dan adanya perdarahan saat melakukan hubungan seksual, keputihan yang abnormal dalam jumlah yang banyak, perdarahan di luar siklus menstruasi, adanya penurunan berat badan yang signifikan dan apabila kanker telah menyebar ke daerah panggul dapat menyebabkan nyeri panggul hebat.

Kanker pada umumnya mengalami hambatan pada apoptosis sehingga terjadi peningkatan proliferasi sel, salah satu penghambat apoptosis yaitu survivin. Survivin adalah anggota dari IAP (Inhibitor Apoptosis Protein) yang berperan penting dalam pembelahan dan pertahanan sel kanker. Survivin didefinisikan pula sebagai TAA (Tumor associated antigen) universal karena diekspresikan pada berbagai jenis kanker. Pengobatan kanker pada umumnya mengalami kemajuan namun terdapat kelemahan, salah satu agen kemoterapi konvensional untuk kanker serviks yaitu 5-Fluorouracil. Selain memiliki efek terapi juga memiliki efek samping karena dapat membunuh sel normal, sehingga diperlukan pengobatan kombinasi 5-Fu dengan fitokimia alami untuk meningkatkan efek antikanker dan mengurangi efek samping.

Benalu mangga (Dendrophthoe pentandra L.) atau DPE sebagai salah satu bahan alam telah teruji memiliki efek sitotoksik terhadap sel kanker. Kandungan flavonoid paling banyak ditemukan pada DPE dibandingkan benalu teh (Scurrula oortina) dan benalu nangka (Macrosolen cochinchinensis). Salah satu senyawa aktif yang dimiliki DPE sebagai antikanker yaitu quercetin. Quercetin merupakan golongan flavonoid yang dapat menghambat proliferasi sel kanker antara lain kanker prostat, kanker serviks, kanker paru, kanker payudara dan kanker kolon. Pada penelitian ini, DPE digunakan sebagai ko-kemoterapi untuk meningkatkan efektivitas 5-Fu dengan variasi dosis DPE yaitu 12,5, 25 dan 50 µg/mL.

Tujuan pada penelitian ini yaitu untuk mengetahui pengaruh terapi kombinasi 5-Fu dengan DPE terhadap efek sitotoksik dan persentase survivin pada sel HeLa. Metode yang digunakan yaitu eksperimental dengan rancangan true experimental post test only with control group. Sampel pada penelitian ini adalah sel HeLa, pelaksanaan kultur dilakukan sesuai dengan prosedur, selanjutnya dibagi menjadi 6 kelompok yang terdiri dari kelompok kontrol negatif, kontrol positif yang diberi terapi tunggal 5-Fu, terapi tunggal DPE, dan terapi kombinasi 5-Fu dengan variasi dosis DPE (12,5, 25 dan 50 µg/mL). Untuk mengidentifikasi efek sitotoksik digunakan metode MTT dilanjutkan dengan ELISA reader untuk mengukur absorbansi dan menghitung IC50. Pada penelitian ini didapatkan bahwa terapi tunggal baik 5-Fu maupun DPE sudah memiliki efek sitotoksik masing-masing 54,2% dan 51,9%, semakin tinggi dosis DPE pada terapi kombinasi maka semakin tinggi persentase kematian sel yaitu

vii

68%, 85,3% dan 86,5%. Hasil analisis statistik dengan uji Kruskal-Wallis, didapatkan kelompok yang diberi terapi tunggal maupun kombinasi meningkatkan efek sitotoksik sel HeLa dengan p-value = 0,002 (<0,05). Selanjutnya dilakukan pengujian dengan Mann Whitney test untuk mengetahui perbedaan antar kelompok perlakuan diperoleh hasil terapi

kombinasi 5-Fu+DPE dosis 25 dan 50 µg/mL efektif dalam meningkatkan efek sitotoksik

dibandingkan terapi tunggal 5-Fu maupun DPE dengan p-value = 0,019 (<0,05). Sedangkan untuk mengetahui persentase survivin dilakukan pemeriksaan

Flowsitometri. Analisa statistik menggunakan uji Kruskal-Wallis untuk identifikasi perbedaan persentase survivin antar kelompok dengan p-value = 0,001 (<0,05), dilanjutkan dengan uji lanjut Mann Whitney test untuk mengetahui perbedaan nyata antar kelompok dan didapatkan bahwa terapi tunggal DPE, terapi kombinasi 5-Fu dengan DPE dosis 25 serta 50

µg/mL efektif dalam menurunkan persentase survivin masing-masing 23,91%, 28,47% dan

21,10% dengan p-value = 0,021(<0,05). Dapat disimpulkan bahwa pemberian terapi kombinasi 5-Fluorouracil dengan ekstrak

ethanol daun benalu mangga (Dendrophthoe pentandra L.) memberikan pengaruh terhadap peningkatan efek sitotoksik dan menurunkan persentase survivin, semakin tinggi dosis maka semakin tinggi efek sitotoksik dan semakin menurun persentase survivin pada sel HeLa.

viii

SUMMARY

Rabiah Umanailo Effect Combination Therapy of 5-Fluorouracil and Ethanol Extract from Mango Leaves (Dendrophthoe pentandra L.) Mistletoe on the Cytotoxic Effect and Percentage of Survivin in HeLa Cell, Master of Midwifery Program, Faculty of Medicine, Universitas Brawijaya. Chairman of the Advisory Committees: Agustina Tri Endharti, S.Si, Ph.D; Member: Dr. dr. Umi Kalsum, M.Kes.

Cervical cancer is one cancers generally affecting women in the world. Persistent infection by certain Human Papilloma Virus (HPV) oncogenic types causes premalignant and malignant epithelial lesions in cervix. HPV16 and 18 are the most common oncogenic species triggering 70 percent of cervical cancers globally. Women who have a high risk of cervical cancer are whom experiencing first sexual intercourse when still too young, whom interchanging the sexual partner, and women whose uncircumcised male partners or not using contraceptions. In early stages, cervical cancer does not appear any symptoms, therefore patients checking themselves to doctor will already be at advanced stage. Symptoms in advanced stage of cervical cancer include the appearance of pain and blood during sexual intercourse, abnormal vaginal discharge in large quantities, bleeding outside the menstrual cycle, a significant weight loss and if the cancer has spread to the pelvic area, it can cause severe pelvis pain.

Generally, cancer experiences interference in apoptosis resulting on the increase of cell proliferation; one of the apoptotic inhibitors is survivin. Survivin is a member of the Inhibitor Apoptosis Protein (IAP) that plays an important role in cleavage and defense mechanisms of cancer cells. Survivin is also defined as universal Tumor Associated Antigen (TAA) due to expressions in various types of cancers. Cancer treatment is advancing but there is a weakness. One of the conventional chemotherapy agents for cervical cancer is 5-Fluorouracil. Apart from having therapeutic effects, it also has side effects as it can kill normal cells. Thus, 5-Fu combination treatment with natural phytochemicals is needed to enhance the anticancer effect and reduce the side effects.

Mango (Dendrophthoe pentandra L.) mistletoe or DPE, as one of the natural ingredients, has been tested to have cytotoxic effects on cancer cells. Flavonoid compound is mostly found in DPE compared to tea (Scurrula oortina) and jackfruit mistletoes (Macrosolen cochinchinensis). One of the anticancer active compounds contained in DPE is quercetin. Quercetin is a class of flavonoids that can inhibit the proliferation of cancer cells such as prostate, cervical, lung, breast and colon cancers. In this study, DPE was used as aa co-chemotherapy to increase the effectiveness of 5-Fu with dose variations of 12.5, 25 and 50 μg/mL.

The aim of this research was to discover the effect of combined 5-Fu with DPE therapy on cytotoxic effect and survivin percentage on HeLa cell. This study experimented with true experimental post-test only with control group method. Samples were HeLa cells that were cultured according to the procedure, then they were divided into six groups consisting of negative control group, positive control treated with 5-Fu single therapy, DPE single therapy, and 5-Fu combination therapy with variation dose of DPE (12.5, 25 and 50 μg/mL). MTT method was used to identify the cytotoxic effect, then followed by ELISA reader to measure absorbance and calculate IC50. In this study, we found that both 5-Fu and DPE had a cytotoxic effect of 54.2% and 51.9% respectively. Thus, the higher the dose of DPE in combination therapy, the higher percentage of cell death was occured which were 68%, 85.3 % and 86.5%. The result of statistical analysis, using Kruskal-Wallis test, depicted that all single and combined therapy groups increased the cytotoxic effect of HeLa cells (p = 0.002; p < 0.05). Furthermore, Mann Whitney test was conducted to determine the differences between treatment groups. The result discovered that combination of 5-Fu + DPE dosage of 25 and 50 μg/mL was significantly effective in increasing the cytotoxic effect compared to single 5-Fu and DPE therapy (p = 0.019; p < 0.05).

ix

Meanwhile, percentage of survivin was examined using Flowcitometry examination. The statistical analysis used was Kruskal-Wallis test to identify the difference of survivin percentage between groups (p = 0.001; p < 0.05). Then, followed by further test of Mann-Whitney test to know the real differences between groups revealing that DPE single therapy, combined 5-Fu with DPE 25 and 50 μg/mL were effective in decreasing the survivin percentage by 23.91%, 28.47% and 21.10% respectively (p = 0.021; p < 0.05).

It can be concluded that the combination of 5-Fluorouracil with ethanol extract from leaves of mango (Dendrophthoe pentandra L.) mistletoe has an effect on increasing the cytotoxic effect and decreasing the percentage of survivin.

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karuniaNya

sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis dengan judul “Pengaruh

terapi kombinasi 5-Fluorouracil dengan ekstrak ethanol daun benalu mangga

(Dendrophthoe pentandra L.) terhadap efek sitotoksik dan penurunan

persentase survivin pada sel HeLa”.

Di dalam tulisan ini, disajikan pokok-pokok bahasan yang meliputi

pendahuluan, tinjauan pustaka terkait kanker serviks, sel HeLa, survivin, uji

sitotoksik, 5-Fluorouracil, benalu mangga, kerangka konsep penelitian, metodologi

penelitian, hasil penelitian, pembahasan serta kesimpulan dan saran.

Penyelesaian tesis ini tidak terlepas dari bimbingan, bantuan dan dukungan

dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan

terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Nuhfil Hanani AR., MS., selaku Rektor Universitas Brawijaya

Malang beserta segenap jajarannya atas kesempatan dan fasilitas pendidikan

yang diberikan selama menempuh pendidikan di Program Studi Magister

Kebidanan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang.

2. Prof. Dr. Ir. Mohammad Bisri, MS., selaku Rektor Universitas Brawijaya

Malang periode 2014-2018 beserta segenap jajarannya atas kesempatan dan

fasilitas pendidikan yang diberikan selama menempuh pendidikan di Program

Studi Magister Kebidanan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang.

3. Dr. dr. Sri Andarini, M.Kes., selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas

Brawijaya, atas izin yang diberikan sehingga penulis dapat menempuh

xi

pendidikan di Program Studi Magister Kebidanan Fakultas Kedokteran

Universitas Brawijaya Malang.

4. Dr. dr. Bambang Rahardjo, Sp.OG (K), selaku Ketua Program Studi Magister

Kebidanan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya yang telah memberikan

dukungan dan motivasi selama penulis menempuh pendidikan di Program

Studi Magister Kebidanan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang.

5. Kepala Badan PPSDM Kesehatan yang telah memberikan bantuan biaya

selama penulis menempuh pendidikan di Program Studi Magister Kebidanan

Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang.

6. Kartini M. Ali, S.Pd, M.Kes selaku Direktur Poltekkes Kemenkes Ternate, yang

telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan.

7. Agustina Tri Endharti, S.Si, Ph.D, selaku ketua komisi pembimbing dan Dr. dr.

Umi Kalsum, M.Kes, selaku anggota pembimbing yang senantiasa

meluangkan waktu dalam membimbing dan mengarahkan penulis sehingga

penyusunan tesis ini dapat terselesaikan.

8. Dr. dr. Tatit Nurseta, Sp.OG (K) selaku penguji 1 dan dr. Eviana Norahmawati,

Sp.PA (K) selaku penguji 2 yang telah banyak memberi saran dan masukan

demi kesempurnaan tesis ini.

9. Seluruh dosen Program Studi Magister Kebidanan Fakultas Kedokteran

Universitas Brawijaya Malang yang telah memberi pengetahuan, bimbingan

serta arahan selama proses pendidikan.

10. Teristimewa kepada kedua orangtua, kakak, adik dan keluarga yang

senantiasa mendoakan, memberi dukungan dan motivasi selama penulis

mengikuti pendidikan.

xii

11. Sahabat tim penelitian (Yunialce dan Eni Sulastri) serta teman-teman

angkatan 2016 Program Studi Magister Kebidanan yang telah berjuang

bersama dalam melalui proses pendidikan.

12. Semua pihak yang telah membantu dalam proses pendidikan dan penyusunan

proposal ini.

Menyadari sepenuhnya bahwa penulisan tesis ini masih terdapat banyak

kekurangan dan keterbatasan, untuk itu kritik dan saran sangat diharapkan dari

semua pihak untuk perbaikan agar tulisan ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Malang, Juli 2018

Penulis

xiii

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN ..................................................................... ii LEMBAR PENGESAHAN ...................................................................... iii PERNYATAAN ORISINALITAS TESIS .................................................. iv HALAMAN PERUNTUKAN .................................................................... v RINGKASAN ......................................................................................... vi SUMMARY ............................................................................................ viii KATA PENGANTAR .............................................................................. x DAFTAR ISI ........................................................................................... xiii DAFTAR TABEL .................................................................................... xvi DAFTAR GAMBAR ................................................................................ xvii DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. xviii DAFTAR SINGKATAN ........................................................................... xix BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................................ 1

1.1 Latar Belakang....................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah ................................................................. 5 1.3 Tujuan Penelitian ................................................................... 6

1.3.1 Tujuan Umum .............................................................. 6 1.3.2 Tujuan Khusus ............................................................. 6

1.4 Manfaat Penelitian ................................................................. 7 1.4.1 Manfaat Akademik ....................................................... 7 1.4.2 Manfaat Praktis ............................................................ 7

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................ 8 2.1 Kanker Serviks ..................................................................... 8

2.1.1 Definisi Kanker Serviks ............................................... 8 2.1.2 Etiologi dan Patofisiologi Kanker Serviks .................... 9 2.1.3 Klasifikasi Kanker Serviks ........................................... 12 2.1.4 Penanganan Kanker Serviks ....................................... 13

2.2 Sel HeLa ............................................................................... 14 2.3 Survivin ................................................................................. 15

2.3.1 Definisi Survivin .......................................................... 15 2.3.2 Struktur dan Fungsi Survivin ....................................... 16 2.3.3 Hubungan Survivin dengan Apoptosis ........................ 16 2.3.4 Survivin pada Siklus Sel ............................................. 19

xiv

2.3.5 Survivin pada Kanker Serviks ..................................... 21 2.4 Uji Sitotoksik ......................................................................... 22 2.4.1 Definisi Uji Sitotoksik .................................................. 22 2.4.2 Penentuan IC50 ........................................................... 22

2.5 5-Fluorouracil ........................................................................ 23 2.5.1 Definisi........................................................................ 23 2.5.2 Mekanisme kerja 5-Fluorouracil .................................. 24

2.6 Benalu Mangga .................................................................... 25 2.6.1 Definisi........................................................................ 25 2.6.2 Fitokimia Benalu Mangga ........................................... 26 2.6.3 Quercetin pada Benalu Mangga ................................. 27 2.6.4 Quercetin terhadap sel HeLa ...................................... 29

BAB 3 KERANGKA KONSEP PENELITIAN ......................................... 31 3.1 Kerangka Teori ..................................................................... 31 3.2 Kerangka Konsep ................................................................. 32 3.3 Hipotesis Penelitian .............................................................. 35

BAB 4 METODE PENELITIAN .............................................................. 36 4.1 Desain Penelitian .................................................................. 36 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ............................................... 37 4.3 Sampel Penelitian dan Replikasi ........................................... 37 4.4 Variabel Penelitian ................................................................ 38

4.5.1 Variabel Independent ................................................... 38 4.5.2 Variabel Dependent...................................................... 38

4.5 Definisi Operasional .............................................................. 39 4.6 Bahan dan Alat Penelitian ..................................................... 39

4.6.1 Kultur Sel HeLa .......................................................... 39 4.6.2 Ekstrak Ethanol Benalu Mangga ................................. 40 4.6.3 5-Fluorouracil.............................................................. 40

4.7 Prosedur Penelitian dan Pengumpulan Data ........................ 41 4.7.1 Kultur Sel .................................................................... 41 4.7.2 Pembuatan Ekstrak Ethanol Benalu Mangga .............. 42 4.7.3 5-Fluorouracil.............................................................. 44 4.7.4 Prosedur Perlakuan dan Kontrol ................................. 44 4.7.5 Uji Efek Sitotoksik ....................................................... 45 4.7.6 Pemeriksaan Persentase Survivin .............................. 46

4.8 Analisa Data ......................................................................... 46 4.9 Alur Penelitian ...................................................................... 48

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN ANALISA DATA ................................. 49 5.1 Pengaruh Terapi 5-Fluorouracil dan/atau Terapi Kombinasi dengan DPE terhadap Efek Sitotoksik Sel HeLa .............................................................. 49

5.2 Pengaruh Terapi 5-Fluorouracil dan/atau Terapi Kombinasi dengan DPE terhadap Persentase Survivin Sel HeLa ................................................................ 54

5.3 Pengujian Asumsi Data ......................................................... 55

xv

5.4 Analisis Statistik Efek Sitotoksik dan Persentase Survivin Sel HeLa .................................................................. 56

BAB 6 PEMBAHASAN ........................................................................... 60

6.1 Pengaruh Terapi Tunggal 5-Fluorouracil terhadap Efek Sitotoksik pada Sel HeLa.............................................. 60

6.2 Pengaruh Terapi Tunggal 5-Fluorouracil terhadap Persentase Survivin pada Sel HeLa ..................................... 61

6.3 Pengaruh Terapi Tunggal DPE terhadap Efek Sitotoksik pada Sel HeLa.............................................. 62

6.4 Pengaruh Terapi Tunggal DPE terhadap Persentase Survivin Sel HeLa .............................................. 62

6.5 Pengaruh Terapi Kombinasi 5-Fluorouracil dan DPE terhadap Efek Sitotoksik pada Sel HeLa .............................................................................. 63

6.6 Pengaruh Terapi Kombinasi 5-Fluorouracil dan DPE terhadap Persentase Survivin pada

Sel HeLa .............................................................................. 65 6.7 Keterbatasan Penelitian ........................................................ 67 6.8 Implikasi Kebidanan .............................................................. 67

BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................... 68 7.1 Kesimpulan ........................................................................... 68 7.2 Saran .................................................................................... 69

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 70 LAMPIRAN ............................................................................................ 75 RIWAYAT HIDUP .................................................................................. 110

xvi

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Klasifikasi Stadium kanker serviks ................................................. 12

Tabel 2.2 Penanganan Kanker serviks .......................................................... 13

Tabel 4.1 Definisi Operasional ....................................................................... 39

Tabel 5.1 Perbandingan Rata-rata Persentase Kematian Sel HeLa ........................................................................................ 52 Tabel 5.2 Hasil Uji Kruskal-Wallis Efek Sitotoksik .......................................... 56

Tabel 5.3 Hasil Uji Kruskal-Wallis Persentase Survivin .................................. 58

xvii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Zona Transformasi Serviks..................................... 9

Gambar 2.2 Mekanisme Infeksi HPV ........................................ 10

Gambar 2.3 Spesimen Biopsi Sel HeLa ..................................... 15

Gambar 2.4 Skema Peran Survivin ............................................ 18

Gambar 2.5 Struktur CPC .......................................................... 21

Gambar 2.6 Benalu Mangga ...................................................... 26

Gambar 2.7 Struktur Kimia Quercetin ....................................... 28

Gambar 2.8 Efek Dan Mekanisme Kerja Quercetin .................... 30

Gambar 3.1 Kerangka Teori....................................................... 31

Gambar 3.2 Kerangka Konsep ................................................... 32

Gambar 4.1 Alur Penelitian ........................................................ 48

Gambar 5.1 Sel HeLa Yang Diberi Perlakuan ............................ 50

Gambar 5.2 Pembentukkan Formazan Pada Sel HeLa Setelah Diberi MTT Solution ................... 51 Gambar 5.3 Kurva Regresi Linier ............................................... 53

Gambar 5.4 Hasil Analisis Survivin Menggunakan Flowsitometri .......................................................... 55 Gambar 5.5 Rata-Rata Persentase Kematian Sel HeLa ............ 57

Gambar 5.6 Rata-Rata Persentase Survivin .............................. 58

xviii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Surat Keterangan Kelaikan Etik .................................................... 75

Lampiran 2 Surat Keterangan Bebas Plagiasi ................................................. 76

Lampiran 3 Bukti Accepted Jurnal .................................................................. 77

Lampiran 4 Prosedur Kultur Sel HeLa ............................................................. 78

Lampiran 5 Prosedur MTT .............................................................................. 82

Lampiran 6 Rata-Rata Persentase Survivin .................................................... 84

Lampiran 7 Hasil Pemeriksaan Survivin Menggunakan Flowsitometri………………………………………………………….. 85 Lampiran 8 Output SPSS Kematian Sel .......................................................... 91

Lampiran 9 Output SPSS Persentase Survivin…………………………………100

xix

DAFTAR SINGKATAN

ABK : Aurora B Kinase

ATCC : American type culture collection

Anova : Analisis of variance

APAF1 : Apoptotic protease activating factor 1

Bax : Bcl-2 assosiated x protein

BrdU : Bromodeoxyuridine

Bcl-2 : B cell Limphoma 2

BIR : Baculoviral IAP Repeat

BB : Berat Badan

Caspase : Cystein Aspartyl Specific Protease

CDK : Cyclin Dependent Kinase

CIN : Cervical intraepithelial neoplasma

CPC : Chromosomal Passanger Complex

DHFU : Dyhydrofluorouracil

DMSO : Dimethyl sulfoxide

DNA : Deoxyribose nucleat acid

DPE : Dendrophthoe pentandra extract

DR : Death Receptor

dTTP : deoxythymidine Triphosphate

EBRT : External Beam Radiation Therapy

ECM : Ekstraseluler matriks

EDTA : Ethylenediaminetetraacetic acid

ER : Estrogen Receptor

E6 : Early Protein 6

xx

E6AP : E6 Associated Protein

FADD : Fas associated Death Domain Protein

FUTP : Fluorouridine Triphosphate

FUDP : Fluorouridine Diphosphate

FUMP : Fluorouridine Monophosphate

FdUTP : Fluorodeoxyuridine Triphosphate

FdUMP : Fluorodeoxyuridine Monophosphate

FdUDP : Fluorodeoxyuridine Diphosphate

FBS : Fetal Bovine Serum

FIGO : The International Federation of Gynaecology and Obsterics

G : Gravity

g : Gram

G1/S : Gap 1/Syntesis

G2/M : Gap 2/Mitosis

HBIXP : Hepatitis B X-Linked Interacting Protein

HDAC : Histone Deacetylases

HeLa : Henrietta Lacks

HPV : Human Papillomavirus

HSILs : High Squamous Intraepithelial Lesions

IAP : Inhibitor of Apoptosis Protein

ICTV : International Council on Taxonomy of Virusses

IC50 : Inhibitor of Concentration 50

INCENP : Inner Centromer Protein

Kg : Kilo Gram

MAP3 : Mitogen Activating Protein Kinase

xxi

MCL-1 :Myeloid Cell Leukemia Factor 1

MDM2 : Mouse Double Minute 2

mM : Mili Mol

mg : Mili Gram

mL : Mili LITER

ML-1 : Mistel Lektin 1

MOM : Mitochondrial Outer Membran

mRNA : Massanger Ribonucleat Acid

MTT : 3(4,5 dimethyltiazol 2-yl) (-2,5 diphenyltetrazolium bromide)

LPS : Lipopolisakarida

LSILs : Low Squamous Intraepithelial Lesions

nm : Nano Meter

NaCl : Natrium Chlorida

NCCN : National Comprehensif Cancer Network

NF-kβ : Nuclear Factor Kappa Beta

NO : Nitrit Oxide

OPRT : Orotate Phosphoribosyltransferase

ORFs : Open Reading Frames

PARP : Poly ADP-Ribose Polymerase

PBS : Phosphate Buffer Saline

PRPP : Phosphoribosyl Pyhrophosphate

pRB : Protein Retinoblastoma

RNA : Ribonucleic Acid

Rpm : Rotasi per Menit

RPMI : Roswell Park Memorial Institute

xxii

ROS : Reactive Oxydation Species

RNS : Species Nitrogen Reaktif

SCC : Squamous Cell Carcinoma

SIL : Squamous Intraepithelial Lesion

SMAC/DIABLO:Second Mitochondria Derived Activator of Caspase/Direct IAPs Binding Protein with Low PI

SPSS : Statistical Package For Social Sciences

TAA : Tumor Associated Antigen

TERT : Telomerase Reverse Transcriptase

TLC : Thin Layer Chromatography

TNF : Tumor Necrosis Factor

TS : Thymidilate Synthase

UK : Uridine Kinase

UTP : Uridine Triphosphate

WHO : World Health Organization

XIAP : X-Linked Inhibitor Apoptosis Protein

5-Fu : 5-Fluorouracil

µM : Mikro Mol

µL : Mikro Liter

µg : Mikro Gram

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kanker serviks adalah salah satu jenis kanker yang umumnya mengenai

wanita di seluruh dunia, dan bertanggungjawab untuk 529.000 kasus baru serta

275.000 kematian tiap tahun. Lebih dari 80% kasus terjadi di negara berkembang,

dimana program pencegahan dan pengendalian terhadap kanker serviks tidak

berjalan efektif atau tidak ada sama sekali (de Freitas et al, 2014). Infeksi persisten

oleh HPV (Human Papilloma Virus) tipe onkogenik tertentu merupakan penyebab

terjadinya premalignan dan lesi epitel ganas pada serviks. Terdapat lebih dari 100

jenis genotipe HPV, 15 diantaranya menyebabkan kanker serviks. HPV16 dan 18

merupakan jenis onkogenik yang paling umum menyebabkan sekitar 70% dari

seluruh kanker serviks (Castellsague, 2008). Di Indonesia, kanker serviks berada

pada posisi kedua dari segi jumlah penderita kanker pada perempuan, akan tetapi

menjadi penyebab kematian nomor satu. Berdasarkan data WHO (World Health

Organization) pada tahun 2008 diperkirakan setiap harinya terdapat 38 kasus baru

dan 21 orang perempuan meninggal karena kanker serviks dan akan meningkat

sebesar 74%, prevalensinya juga akan meningkat sebesar 49% (Ocviyanti &

Handoko, 2013).

Di Indonesia, jenis HPV yang paling banyak menginfeksi dan menyebabkan

kanker serviks adalah HPV16 dan 18 (Vet et al, 2008). Untuk mengidentifikasi

perkembangan HPV onkogen dan pengujian agen terapi biasanya digunakan cell

line salah satunya yaitu sel HeLa yang merupakan sel adenokarsinoma serviks yang

terinfeksi HPV18 (Xue, et al, 2011). Adanya invasi HPV onkogen menyebabkan

2

terjadinya ikatan antara onkoprotein E6 dari HPV dengan tumor suppressor gene

yaitu p53 yang mengakibatkan penurunan apoptosis dan cell cycle arrest (Jiang &

Yue, 2014).

Hambatan apoptosis dan cell cycle arrest pada kanker serviks sama seperti

kanker secara umum, adanya gangguan mekanisme apoptosis menyebabkan

peningkatan jumlah proliferasi sel kanker. Hambatan apoptosis selain disebabkan

degradasi p53 juga dipengaruhi oleh berbagai faktor salah satunya oleh karena

adanya protein penghambat apoptosis yaitu survivin. Survivin merupakan salah satu

protein penghambat apoptosis (IAP/ inhibitor of apoptosis protein) dan diekspresikan

dalam jumlah yang besar pada malignansi, ekspresi survivin juga berhubungan

dengan prognosis maupun diagnosis tumor dan merupakan target untuk terapi

antikanker. Ekspresi survivin yang berlebihan pada kanker juga dapat menghambat

checkpoint pada siklus sel sehingga memfasilitasi perkembangan transformasi sel

yang menyimpang melalui mitosis (Jaiswal et al, 2015). Sebagai penghambat

apoptosis, survivin mempengaruhi aktivitas caspase (cytoplasmic aspartate-specific

cysteine proteases). Apoptosis terjadi melalui dua jalur yakni intrinsik dan ekstrinsik,

kedua jalur ini diperankan oleh caspase, baik yang bersifat inisiator yaitu caspase 8

dan caspase 9 maupun sebagai efektor oleh caspase 3, 6 dan 7 (Rahman et al,

2017).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Xue et al (2011) didapatkan ekspresi

mRNA survivin pada nukleus dan sitoplasma pada sel HeLa. Temme et al, (2007)

melalui penelitian yang dilakukannya menyatakan adanya peningkatan regulasi

mRNA survivin pada sel HeLa di fase G2/M menyebabkan terjadinya gangguan

pada siklus sel sehingga meningkatkan proliferasi sel kanker. Oleh karena survivin

memiliki peran penting dalam perkembangan sel kanker maka survivin dijadikan

3

target pengobatan yang bertujuan menghambat pertumbuhan sel kanker melalui

induksi apoptosis. Hasil penelitian oleh Tan et al (2009) menunjukkan bahwa

quercetin menyebabkan terjadinya cell cycle arrest pada fase G2/M yang

mengakibatkan penurunan jumlah survivin. Penurunan jumlah survivin disebabkan

pula oleh jalur p53 independent yang diatur secara langsung oleh p53 dengan

menurunkan persentase sel pada fase G2/M.

Pengobatan kanker pada umumnya mengalami kemajuan namun terdapat

kelemahan karena timbulnya resistensi pada obat kemoterapi konvensional oleh

karena perkembangan sel kanker. Agen kemoterapi konvensional pada kanker salah

satunya adalah dengan 5-Fluorouracil (5-FU) (Hemaiswarya & Doble, 2013). 5-FU

merupakan obat antimetabolit yang bekerja dengan cara menghambat proses

biosintesis RNA virus dan menstimulasi terjadinya cell cycle arrest atau berhentinya

siklus sel pada fase G1/S sehingga menginduksi apoptosis pada sel kanker (Dun et

al, 2015). 5-FU merupakan salah satu agen kemoterapi yang digunakan pada

umumnya, namun memiliki efek samping karena dapat membunuh sel normal. Oleh

karena itu, diperlukan pengobatan kombinasi 5-FU dengan fitokimia alami untuk

meningkatkan efek antikanker dan mengurangi efek samping dari kemoterapi 5-FU.

Hasil penelitian Hemaiswarya & Doble (2013) menyatakan bahwa terapi kombinasi

5-FU dengan flavonoid lebih efektif dalam menghambat malignansi dibandingkan

terapi tunggal. Kombinasi terapi kanker serviks 5-FU dengan bahan alam jenis

flavonoid juga dapat meningkatkan efektivitas pengobatan, karena masing-masing

terapi memiliki mekanisme kerja yang berbeda dalam mengurangi perkembangan

sel kanker.

Pada pengobatan kanker, obat atau bahan yang digunakan diharapkan

memiliki efek sitotoksik terhadap sel kanker sehingga menghambat proliferasi sel

4

kanker. Benalu mangga (Dendrophthoe pentandra L.) sebagai salah satu bahan

alam telah teruji memiliki efek sitotoksik terhadap sel kanker. Uji sitotoksik

Dendrophthoe pentandra L. menggunakan metode MTT [3(4,5 dimethyltiazol 2-yl)(-

2,5-diphenyltetrazolium bromide)] yang dilakukan oleh Widowati et al, (2013)

didapatkan hasil bahwa ekstrak air benalu mangga (Dendrophthoe pentandra L.)

memiliki efek sitotoksik yaitu dapat menurunkan viabilitas sel kanker payudara

dengan nilai IC50 (Inhibitor of Concentration 50%) sebesar 1,2%.

Kandungan flavonoid paling banyak ditemukan pada benalu mangga

(Dendrophthoe pentandra L.) dibandingkan benalu teh (Scurrula oortina) dan benalu

nangka (Macrosolen cochinchinensis) (Ikawati et al, 2014). Oleh sebab itu, tanaman

ini dijadikan target penelitian untuk terapi kanker karena memiliki kemampuan

sebagai antiinflamasi dan antikanker. Salah satu senyawa aktif yang dimiliki benalu

mangga (Dendrophthoe pentandra L.) sebagai antikanker yaitu quercetin. Quercetin

merupakan golongan flavonoid yang dapat menghambat proliferasi sel kanker antara

lain kanker prostat, kanker serviks, kanker paru, kanker payudara dan kanker kolon

(Endharti et al, 2016).

Penelitian terkait terapi kombinasi ekstrak daun benalu mangga dengan

berbagai dosis yang dikombinasikan dengan 5-Fluorouracil sampai saat ini belum

dilakukan di Indonesia, sehingga perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh

terapi kombinasi 5-Fluorouracil dengan ekstrak ethanol daun benalu mangga

terhadap efek sitotoksitas dan penurunan persentase survivin pada sel HeLa.

5

1.2 Rumusan Masalah

Apakah terdapat pengaruh terapi kombinasi 5-Fluorouracil dengan ekstrak

ethanol daun benalu mangga (Dendrophthoe pentandra L.) terhadap efek sitotoksik

dan persentase survivin pada sel HeLa?

1.2.1 Rumusan Sub Masalah

1. Apakah terdapat pengaruh terapi tunggal 5-Fluorouracil terhadap efek

sitotoksik pada sel HeLa?

2. Apakah terdapat pengaruh terapi tunggal 5-Fluorouracil terhadap

persentase survivin pada sel HeLa?

3. Apakah terdapat pengaruh terapi tunggal ekstrak ethanol daun benalu

mangga (Dendrophthoe pentandra L.) terhadap efek sitotoksik pada sel

HeLa?

4. Apakah terdapat pengaruh terapi tunggal ekstrak ethanol daun benalu

mangga (Dendrophthoe pentandra L.) terhadap persentase survivin pada

sel HeLa?

5. Apakah terdapat pengaruh terapi kombinasi 5-Fluorouracil dengan

ekstrak ethanol daun benalu mangga (Dendrophthoe pentandra L.)

terhadap efek sitotoksik pada sel HeLa?

6. Apakah terdapat pengaruh terapi kombinasi 5-Fluorouracil dengan

ekstrak ethanol daun benalu mangga (Dendrophthoe pentandra L.)

terhadap persentase survivin pada sel HeLa?

6

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui pengaruh terapi kombinasi 5-Fluorouracil dengan ekstrak

ethanol daun benalu mangga (Dendrophthoe pentandra L.) terhadap efek sitotoksik

dan persentase survivin pada sel HeLa.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk membuktikan apakah terapi tunggal 5-Fluorouracil dapat

meningkatkan efek sitotoksik pada sel HeLa.

2. Untuk membuktikan apakah terapi tunggal 5-Fluorouracil dapat

menurunkan persentase survivin pada sel HeLa.

3. Untuk membuktikan apakah terapi tunggal ekstrak ethanol daun benalu

mangga (Dendrophthoe pentandra L.) dapat meningkatkan efek sitotoksik

pada sel HeLa.

4. Untuk membuktikan apakah terapi tunggal ekstrak ethanol daun benalu

mangga (Dendrophthoe pentandra L.) dapat menurunkan persentase

survivin pada sel HeLa.

5. Untuk membuktikan apakah terapi kombinasi 5-Fluorouracil dengan

ekstrak ethanol daun benalu mangga (Dendrophthoe pentandra L.) dapat

meningkatkan efek sitotoksik pada sel HeLa.

6. Untuk membuktikan apakah terapi kombinasi 5-Fluorouracil dengan

ekstrak ethanol daun benalu mangga (Dendrophthoe pentandra L.) dapat

menurunkan persentase survivin pada sel HeLa.

7

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Akademis

Dapat digunakan sebagai literatur ilmiah dalam bidang pendidikan dan

sebagai bahan rujukan untuk penelitian lebih lanjut.

1.4.2 Manfaat Praktis

Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar ilmiah

penggunaan ekstrak ethanol daun benalu mangga (Dendrophthoe pentandra

L.) untuk terapi alternatif pada terapi kombinasi guna mengatasi kanker

serviks.

8

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kanker Serviks

2.1.1 Definisi

Kanker serviks merupakan kanker yang biasanya timbul pada cincin mukosa

yang disebut zona transformasi serviks atau squamous columnar junction, yang

bersifat dinamis, dimana terjadi pergeseran secara bertahap mulai dari ektoserviks

hingga ke dalam kanalis endoserviks atau dari epitel skuamosa bertingkat berpindah

ke mukosa penghasil kelenjar epitel. Kanker serviks disebabkan infeksi oleh HPV

terutama tipe onkogenik secara persisten (Schiffman et al, 2007). Terdapat empat

tahap dalam perkembangan kanker serviks mulai dari infeksi metaplasia epitel pada

zona transformasi serviks, persistensi virus, perkembangan infeksi persisten pada

epitel menjadi prakanker serviks dan invasi melalui epitel membran basalis

(Schiffman et al, 2007).

Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa kanker serviks menyebabkan

529.000 kasus baru dan 275.000 kematian setiap tahunnya, wanita yang berisiko

tinggi mengalami kanker serviks antara lain perilaku seksual individu yaitu usia yang

terlalu muda saat melakukan hubungan seksual pertama kali dan sering berganti-

ganti pasangan, pasangan pria yang tidak sirkumsisi dan tidak digunakannya

kondom (Castellsague, 2008). Pada stadium awal, kanker serviks tidak

menimbulkan gejala sehingga penderita yang datang untuk memeriksakan diri

biasanya sudah berada pada stadium lanjut. Keluhan yang dirasakan pada stadium

lanjut antara lain munculnya rasa sakit dan adanya perdarahan saat melakukan

hubungan seksual, keputihan yang abnormal dalam jumlah yang banyak,

9

perdarahan di luar siklus haid, adanya penurunan berat badan yang signifikan dan

jika kanker telah menyebar hingga daerah panggul dapat menyebabkan nyeri

panggul hebat (Arisusilo, 2012).

Gambar 2.1 Zona transformasi serviks Zona transformasi serviks adalah cincin metaplasia skuamosa aktif

dimana epitel skuamosa stratifikasi dari ektoserviks diserang secara progresif hingga epitel glandular endoserviks. Jaringan metaplastik sangat rentan terhadap potensi karsinogenik oleh infeksi HPV yang persisten (Schiffman et al, 2007).

.

Kanker serviks memiliki stadium lesi prakanker yang panjang, disebut juga

CIN (cervical intraephitelial neoplasia) atau neoplasia intraepitelial serviks. CIN

diklasifikasikan menjadi tiga tingkatan yaitu CIN I, CIN II dan CIN III yang merupakan

SIL (squamous intraephitelial lesion) tahap dimana lesi prakanker berubah menjadi

karsinoma serviks yang invasif yang pada akhirnya menjadi SCC (squamous cell

carcinoma atau sel skuamosa invasif) yang sulit diobati dan dapat menyebabkan

kematian (Niu, et al, 2017).

2.1.2 Etiologi dan Patofisiologi Kanker Serviks

Kanker serviks disebabkan adanya infeksi persisten HPV onkogen. Terdapat

lebih dari 120 tipe HPV yang diklasifikasikan sebagai HPV risiko tinggi dan HPV

risiko rendah dan tergantung potensi onkogen masing-masing individu. Sekitar 15

10

tipe HPV risiko tinggi (16, 18, 31, 33, 35, 39, 45, 51, 52, 56, 58, 59, 68, 73 dan 82)

yang berhubungan dengan malignansi pada daerah genitalia, HPV16 dan HPV18

merupakan tipe HPV risiko tinggi yang ditemukan lebih dari 70% pada kasus kanker

serviks (de Freitas et al, 2014). HPV merupakan virus dengan DNA beruntai ganda,

memiliki genom berukuran kecil yaitu 8 kb dan mengkode 6 protein awal atau early

protein nonstructural yang berfungsi mengatur sintesis protein di awal antara lain E1,

E2, E4, E5, E6 dan E7 serta 2 protein akhir atau late protein yaitu L1 dan L2 yang

berfungsi membentuk struktur protein pada genom host (Paavonen, 2007).

Virion dirakit dan dirilis

Ekpresi gen akhir, amplifikasi genom virus Ekspresi gen awal E1, E2, E6 & E7

Gambar 2.2 Mekanisme infeksi HPV (Moody & Laimins, 2010)

HPV menginfeksi jaringan keratinosit pada lapisan basal epitel melalui luka kecil yang terbuka. Jaringan yang tidak terinfeksi ditunjukkan pada gambar bagian kiri dan jaringan terinfeksi HPV ditunjukkan pada gambar bagian kanan. Pada bagian yang terinfeksi, genom virus dibentuk pada nukleus sebagai penggandaan episom yang rendah dan adanya ekspresi gen awal virus. Genom virus kemudian direplikasi sejalan dengan replikasi DNA seluler. Setelah pembelahan, sel anakan berpindah dari lapisan basal dan selanjutnya berdiferensiasi. Diferensiasi sel yang telah positif HPV menginduksi fase produksi dari siklus hidup virus yang membutuhkan mesin sintesis DNA seluler. Ekspresi E6 dan E7 meregulasi kontrol siklus sel, mendorong diferensiasi sel menuju fase S, diikuti pula amplifikasi genom virus pada sel normal yang keluar dari siklus sel. Pada tahap akhir, sintesis protein L1 dan L2 enkapsidasi oleh genom virus dan virion diturunkan dari bagian atas lapisan epitel yang ditandai dengan heksagon merah pada gambar (Moody & Laimins, 2010).

Cornified

Dermis

Spinous

Basal

Granula

Epitel normal Epitel terinfeksi HPV

11

Onkoprotein E6 dari HPV berikatan dan mengganggu fungsi p53, dimana

p53 merupakan faktor transkripsi yang mengatur ekspresi gen yang mengkode

regulator siklus sel, dengan adanya cell cycle arrest untuk dilakukannya DNA repair

atau perbaikan DNA dan apoptosis sehingga mencegah terjadinya replikasi DNA

yang rusak sebelum masuk ke fase S (Tommasino, 2014). Sedangkan E7 berikatan

dengan protein tumor suppressor RB (retinoblastoma) sehingga menurunkan

aktivasi faktor transkripsi E2F yang merangsang ekspresi gen yang terlibat pada

fase S (Sintesis). Selanjutnya E7 berinteraksi dengan p21 dan p27 yang merupakan

inhibitor CDK (cyclin-dependent kinase). Sasaran utama CDK adalah cyclin CDK-2

pada jaringan keratinosit untuk mengatur transisi dari fase G1 ke fase S (de Freitas,

2014).

Perkembangan infeksi HPV onkogen menjadi kanker serviks apabila

paparannya bersifat persisten. Sel abnormal pada epitel serviks kemudian

berkembang menjadi lesi prakanker yang disebut juga sebagai CIN, perkembangan

untuk menjadi kanker adalah sebagai berikut (Rahman, et al, 2017) :

1. CIN I/low-grade squamous intraephitelial lesion (LSILs), pada tahap ini perubahan

pada sel terinfeksi HPV akan membentuk partikel baru dari virus.

2. CIN II/high-grade squamous intraephitelial lesion (HSILs), sel terus menunjukkan

gejala abnormal prakanker.

3. CIN III, permukaan lapisan serviks dipenuhi sel abnormal dan menyebabkan

terjadinya penebalan. CIN III biasanya disebabkan oleh jenis HPV tertentu, bila

tidak diobati maka sel abnormal akan menjadi kanker dan menginfeksi sel normal.

4. Invasi sel kanker

Klasifikasi prakanker hingga kanker diidentifikasi dengan pemeriksaan

12

mikroskopik. Jenis kanker yang sering ditemukan adalah sel karsinoma

skuamosa/SCC (squamous cell carcinoma) dan adenokarsinoma. SCC

berkembang dari ektoserviks dan memulai transformasi abnormal dalam area

ektoserviks menuju endoserviks. Disisi lain, adenokarsinoma berkembang dari sel

glandula di daerah endoserviks. Baik SCC maupun adenokarsinoma akan

berkembang menjadi kanker serviks, selain itu terdapat pula kombinasi antara

keduanya yang disebut karsinoma adenoskuamosa.

2.1.3 Klasifikasi Kanker Serviks

Klasifikasi kanker serviks menurut FIGO (Federation International of

Gynocology and Obstetrics) yang dtuangkan dalam NCCN (National Comprehensive

Cancer Network) guidelines version 1. 2017 adalah sebagai berikut :

Tabel 2.1 Klasifikasi Kanker Serviks

Stadium Karakteristik

I Karsinoma serviks hanya terbatas pada serviks IA Karsinoma serviks yang didiagnosa dengan pemeriksaan mikroskop,

stroma dengan kedalaman 5.0 mm diukur dari epitel basal. Penyebarannya horizontal ≤7.0 mm, keterlibatan vaskuler, vena atau limfa tidak mempengaruhi klasifikasi.

IA1 Invasi stroma ≤3.0 mm, penyebaran horisontal dengan kedalaman ≤7.0 mm.

IA2 Invasi stroma >3.0 mm dan tidak lebih dari 5.0 mm, penyebaran horisontal dengan kedalaman ≤7.0 mm.

IB Lesi yang terlihat secara klinis terbatas pada serviks atau pemeriksaan secara mikroskopik didapatkan lesi lebih besar dibandingkan stadium IA.

IB1 Secara klinis lesi terlihat ≤4.0 cm. IB2 Secara klinis lesi terlihat >4.0 cm. II Karsinoma serviks menginvasi serviks lebih jauh namun tidak ke dinding

pelvis atau sepertiga bagian bawah vagina IIA Tumor tanpa invasi parametrium.

IIA1 Secara klinis lesi terlihat ≤4.0 cm. IIA2 Secara klinis lesi terlihat >4.0 cm. IIB Tumor disertai invasi parametrium. III Tumor meluas ke dinding pelvis dan menyerang sepertiga bagian bawah

vagina dan/atau menyebabkan hidronefrosis atau tidak berfungsinya ginjal.

IIIA Tumor menyerang sepertiga bagian bawah vagina, tidak ada ekstensi ke dinding pelvis.

13

IIIB Tumor meluas ke dinding pelvis dan/atau menyebabkan hidronefrosis atau ginjal tidak berfungsi.

IVA Tumor menyerang kandung kemih atau rektum dan/atau melewati panggul.

IVB Metastasis luas (termasuk penyebaran pada peritoneal, supraklavikula, mediastinum, limfanud paraaotik, paru-paru, hati atau tulang).

2.1.4 Penanganan Kanker Serviks

Pasien dengan kanker serviks biasanya akan mengalami kekambuhan

berulang, metastasis atau kombinasi keduanya. Menurut FIGO tingkat kekambuhan

sekitar 11 hingga 22% untuk stadium IB sampai IIA dan 28 hingga 64% untuk

stadium IIB sampai IVA. Penanganan untuk kanker serviks menurut NCCN

Guidelines Version 1. 2017 adalah sebagai berikut :

Tabel 2.2 Penanganan Kanker Serviks

Stadium Hasil Biopsi Penanganan

IA1 Tanpa LVSI

(lymphovascular space invasion)

Batas negatif dan tidak memerlukan operasi

Observasi

Batas negatif dan memerlukan operasi

Histerektomi ekstrafasial

Batas positif displasia atau karsinoma

Pertimbangan Cone biopsy ulangan untuk

mengevaluasi kedalaman invasi atau ekstrafasial atau histererektomi radikal yang dimodifikasi + diseksi limfonud pelvik bila terdapat batas positif karsinoma

IA1 dengan LVSI dan IA2

Sama dengan stadium IA1 Modified radical hysterectomy atau histererektomi radikal yang dimodifikasi - Diseksi limfonud pelvik. - Pengambilan sampel limfonud para aorta

atau EBRT (External Beam Radiation Therapy) pelvik - Brachyterapy

IB1 dan IIA1 Histerektomi radikal + diseksi limfonud pelvik. - Pengambilan sampel limfonud para aorta

(kategori 2B) atau EBRT pelvik - Brachiterapy (dosis A : 80-85 Gy)

(kategori 1 untuk kemoradiasi primer) - Kemoterapi (Cisplatin)

IB2 dan IIA2 EBRT pelvik definitif - Kemoterapi (Cisplatin) - Brachiterapy (total dosis A : ≥85 Gy) atau Histerektomi radikal (kategori 2B)

14

- Diseksi limfonud pelvik - Pengambilan sampel limfonud para aorta

(kategori 2B) EBRT pelvik - Kemoterapi (cisplatin) - Adjuvant histerektomi (kategori 3)

IIB, IIIA, IIIB dan IVA

Berdasarkan hasil pemeriksaan Radiologi : Adenopati (-)

EBRT pelvik definitif - Kemoterapi (Cisplatin) - Brachiterapy (kategori 1)

Adenopati (+) Pelviknud

(-) Adenopati (+) Pelviknud (+)

EBRT pelvik definitif - Kemoterapi (Cisplatin) - Brachiterapy (kategori 1) - EBRT limfonud para aorta Ekstraperitoneal atau diseksi laparaskopi limfanud Pertimbangkan ekstraperitoneal atau diseksi laparaskopi limfanud

Metastasis luas Kemoterapi. Radioterapi (individual) (IMRT/internalty-modulate radiation therapy)/SBRT:

Streotastic Body Radiotherapy. Stadium bedah (kategori 2B)

: ekstraperitoneal atau diseksi laparaskopi limfanud : bila hasil negatif

EBRT pelvic - Kemoterapi (Cisplatin) - Brachiterapy (kategori 1)

Stadium bedah (kategori 2B) : ekstraperitoneal atau diseksi laparaskopi limfanud : bila hasil positif

EBRT pelvic - Kemoterapi (Cisplatin) - Brachiterapy (kategori 1) Extended field EBRT (bila perluasan metastasis negatif) - Kemoterapi (Cisplatin) - Brachiterapy Kemoterapi (bila perluasan metastasis positif) dan radioterapi (individual)

2.2 Sel HeLa

Sel HeLa adalah cell line yang sering digunakan untuk mengidentifikasi

etiologi, patogenesis maupun terapi untuk kanker serviks. Sel HeLa berasal dari

kanker serviks seorang pasien yang bernama Henrietta Lacks yang kemudian

meninggal akibat kanker serviks pada tahun 1951 (Landry et al, 2013). Sel HeLa

merupakan sel adenokarsinoma serviks akibat infeksi HPV18 (Xue, et al, 2011).

Protein E6 dan E7 pada HPV mempengaruhi peran protein apoptosis dan

meningkatkan aktivitas proliferasi sel kanker. Aktivitas proliferasi pada sel HeLa oleh

15

karena adanya ikatan E6 dengan p53 menyebabkan penurunan fungsi p53 dalam

menginduksi apoptosis, sedangkan E7 berikatan dengan protein RB menyebabkan

hiperfosforilasi p105RB sehingga terjadi peningkatan proliferasi sel (Fatmawati et al,

2011).

Gambar 2.3 Spesimen biopsi sel HeLa. Pada gambar A menunjukkan hasil biopsi spesimen yang diambil dari serviks Henrietta Lacks. Epitel skuamosa pada bagian kanan atas tampak normal. Gambar B menunjukkan adanya karsinoma in situ dengan reaksi inflamasi sel pada stroma, bagian epitel di kiri atas mengandung karsinoma in situ sedangkan bagian epitel kiri bawah menunjukkan infiltrasi karsinoma. Gambar C merupakan pembesaran dari gambar B (khususnya bagian kiri atas) yang mengandung infiltrasi karsinoma. Gambar D, terdapat infiltrasi karsinoma yang menunjukkan pleomorfisma sel malignan (spesimen epitel diberi pewarna HE (Hematoxylin-Eosin), pembesaran 5x (A), pembesaran 64x (B dan C) dan pembesaran 100x (D) (Lucey et al, 2009).

2.3 Survivin

2.3.1 Definisi

Survivin adalah anggota dari IAP (Inhibitor Apoptosis Protein) berperan

penting dalam pembelahan dan pertahanan sel kanker (Athanasoula et al, 2014).

Survivin didefinisikan pula sebagai TAA (Tumor associated antigen) universal karena

16

diekspresikan pada berbagai jenis kanker. Selain pada sel kanker, survivin juga

diekspresikan pada sel normal dalam jumlah yang sedikit (Temme et al, 2007).

Menurut penelitian Liu et al (2015), ekspresi survivin pada jaringan normal, CIN

(Cervical Intraephitelial Neoplasia) dan sel karsinoma skuamosa serviks mengalami

peningkatan secara bertahap, ekspresi survivin pada CIN I, CIN II dan CIN III juga

mengalami peningkatan secara signifikan, survivin merupakan penanda diagnosis

dan perbandingan antara stadium CIN, semakin besar ekpresi survivin maka

semakin tinggi stadium CIN. Selain itu, ekspresi survivin juga merupakan biomarker

patologi klinis sel karsinoma skuamosa serviks. Survivin terdapat pada nukleus,

sitoplasma, mitokondria dan daerah ekstraseluler. Hasil penelitian Xue et al (2011),

didapatkan ekspresi mRNA survivin di nukleus dan sitoplasma pada sel HeLa.

2.3.2 Struktur dan Fungsi Survivin

Survivin memiliki berat molekul 16,5 kDa dan memiliki 140 asam amino

(Jaiswal et al, 2015). Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa survivin ditemukan

pada nukleus yang berfungsi mengatur regulasi mitosis antara lain sebagai protein

kromosomal kompleks pembentuk kromosom, membentuk ikatan kromatin dengan

spindle dan pelengkap kinetokor mikrotubul. Pada sitoplasma, survivin berfungsi

sebagai regulator penghambat apoptosis dengan adanya interaksi dan fosforilasi

XIAP (X-linked Inhibitor Apoptosis Protein) dalam menghambat caspase 3 dan

caspase 9. Adanya survivin di mitokondria dan daerah ekstraseluler, mendukung

kelangsungan hidup sel, meningkatkan proliferasi dan invasi (Khan, et al, 2010).

2.3.3 Hubungan Survivin dengan Apoptosis

Apoptosis adalah kematian sel terprogram merupakan proses kompleks yang

melibatkan banyak faktor termasuk enzim telomerase dan GSTMs (glutathione

17

S-transferase) yang berperan pada beberapa molekul kaskade. Terdapat dua jalur

utama yang mengarah pada apoptosis yaitu jalur ekstrinsik dan instrisik. Jalur

ekstrinsik diprakarsai oleh ligasi reseptor kematian TNF (tumor necrosis factor) dan

jalur instrinsik yang terjadi akibat dirilisnya sitokrom C ke sitoplasma dan aktivasi

apoptosom. Dengan adanya ekspresi survivin yang berlebihan menyebabkan jalur

apoptosis baik instrinsik maupun ekstrinsik terhambat. Secara khusus, survivin dapat

menghambat sinyal apoptosis oleh apoptosom, caspase 3, 7 dan 9 melalui interaksi

antara survivin dengan XIAP yang dikodekan oleh gen BIRC4. Survivin tidak dapat

mengikat langsung caspase, namun berfungsi sebagai pelindung XIAP. XIAP

antagonis terhadap pro-apoptosis SMAC/DIABLO (second mitochondria derived

activator of caspase) yang dilepaskan di mitokondria menyebabkan interaksi

kompleks SMAC-XIAP yang selanjutnya berinteraksi dengan caspase. Selain itu,

kompleks survivin-XIAP dapat menyebabkan ekspresi gen yang menyimpang pada

invasi sel dan meningkatkan motilitas dan potensi metastasis sel tumor (Brany et al,

2017).

18

Gambar 2.4 Skema peran survivin dalam menghambat apoptosis pada sel kanker.

Pada bagian A, survivin menganggu jalur intrinsik maupun ekstrinsik pada mekanisme apoptosis sehingga sel kanker menjadi terlindungi. Bagian B, setelah menerima death signal, survivin sitoplasma meningkat dengan cepat. Survivin sitoplasma berinteraksi dengan XIAP, HBIXP dan SMAC/DIABLO untuk menstabilkan XIAP agar menghambat caspase 9 yang mengakibatkan apoptosis tidak terjadi. Ekspresi survivin yang berlebihan juga dapat menginduksi aktivasi ABK (Aurora B Kinase) sehingga menurunkan maturasi sel dan peningkatan proliferasi yang mengakibatkan propagasi atau perkembangan sel tumor (Athanasoula et al, 2014).

Protein p53 adalah faktor transkripsi yang dapat menginduksi apoptosis

dengan mengatur gen apoptosis. Survivin adalah target p53 untuk diturunkan

regulasinya dengan menginduksi apoptosis untuk melawan aktivitas anti-apoptosis

dari survivin. Survivin juga dapat mempengaruhi aktivitas p53 melalui regulasi

MDM2/mouse double minute 2 homolog dan proteosom. Promotor survivin memiliki

19

unsur pengikatan p53 sehingga memungkinkan p53 secara langsung terikat oleh

promotor survivin atau karena dikombinasikan dengan protein lain untuk menahan

survivin. Aktivator transkripsional yaitu E2F yang dapat mengikat promotor survivin.

Karena p53 memiliki afinitas dengan E2F sehingga memungkinkan keduanya

membentuk kompleks (p53-E2F) yang menekan ekspresi gen survivin. Kompleks Ini

juga akan berinteraksi dengan represor transkripsional yaitu sin3 dan HDAC/histone

deasetylases yang bersama-sama dapat membentuk kompleks p53-sin3-HDAC dan

mengikat promotor survivin sehingga aktivitasnya dapat ditekan. Protein p53

menekan survivin melalui kaskade yang melibatkan protein p21 kompleks atau

p21/cip1 yang merupakan gen penginduksi p53 yang menghambat cyclin dependent

kinase 2 (CDK2) yang berperan dalam mencegah terjadinya fosforilasi protein

retinoblastoma (RB). Hal ini menyebabkan akumulasi fosforilasi pRB (protein RB),

protein ini mengikat faktor transkripsi E2F dan membentuk kompleks pRB-E2F, yang

dapat menekan ekspresi gen survivin (Jaiswal et al, 2015).

2.3.4 Survivin pada Siklus Sel

Selain sebagai penghambat apoptosis survivin juga berperan dalam

pembelahan sel, ekspresi survivin meregulasi siklus sel selama fase G2/M dan

menurun selama fase G1. Survivin berada pada kromosom selama siklus sel.

Survivin merupakan anggota dari CPC (chromosomal passenger complex) pada

saat mitosis. Anggota lain dari CPC yaitu borealin, INCENP (inner centromer protein)

dan aurora B kinase. Sebagai anggota CPC, survivin berperan dalam menstabilkan

mikrotubulus pada akhir mitosis dan menjaga segregasi kromatid. Survivin memiliki

peran dalam menghubungkan CPC dengan spindle. Survivin merupakan post-

transcriptionally yang dimodifikasi oleh fosforilasi Threonin3 sehingga membuat

20

survivin menjadi lebih stabil (Brany et al, 2017). CPC terdiri dari modul lokalisasi dan

modul kinase yang berhubungan dengan INCENP sedangkan modul lokalisasi

menyusun N-terminal INCENP dan borealin serta terminal C yang mengatur CPC

menjadi sentromer dan selanjutnya mengatur spindle mitosis. Survivin berperan

dalam pengaturan CPC menjadi sentromer pada awal profase. Domain BIR

mengikat N-terminal dari histon hialin terfosforilasi menjadi H3 pada Threonin3,

dimana terjadi fosforilasi mitosis spesifik yang menandai bagian dalam sentromer.

Survivin terakumulasi di sentromer selama fase G2 kemudian berdifusi dengan

lengan kromosom dan menjadi banyak di bagian tengah sentromer selama profase

dan metafase. Pada anafase, survivin dilokalisasi pada bagian tengah spindle

karena gagal mengikat sentromer. Selama sitokenesis, survivin terkonsentrasi di

bagian tengah untuk mengatur siklus sel dan memainkan peran penting dalam

proliferasi sel kanker. Survivin difosforilasi oleh CDK1 yang merupakan kinase untuk

regulasi siklus sel (Athanasoula et al, 2014).

21

Gambar 2.5 Struktur CPC (Chromosomal Passanger Complex) Domain BIR mengandung molekul survivin yang berperan penting dalam proses pembelahan sel (mitosis). CPC merupakan kunci pengatur mitosis, kompleks ini terdiri dari survivin, borealin, INCENP dan aurora B kinase. Secara struktural, survivin dapat berikatan dengan Thr3 yang terfosforilasi dari histon H3. Setelah pembentukan CPC pada fase G2/M, survivin membaca histon H3 terfosforilasi dan selanjutnya mengaktifkan aurora B kinase yang kemudian berinteraksi dengan CPC untuk menyelesaikan mitosis dan segregasi sister chromatid. Ekspresi berlebihan dari survivin mengurangi mikrotubula sentrosom dan menyebabkan ketidakstabilan dinamika mikrotubula pada spindle mitosis dan pertumbuhan mikrotubula selama sitokinesis (Coumar et al, 2013).

2.3.5 Survivin pada Kanker Serviks

Survivin ditemukan pada sebagian besar jenis kanker dan berperan pada

regulasi kanker, berhubungan dengan peningkatan hambatan apoptosis dan

menurunnya kelangsungan hidup pasien. Salah satu jenis kanker yang ditemukan

ekspresi survivin yaitu kanker serviks. Kanker serviks dibagi menjadi dua kelompok

yaitu karsinoma sel skuamosa dan adenokarsinoma. Adenokarsinoma umumnya

memberikan prognosis yang lebih buruk dan cenderung metastasis. Survivin lebih

banyak ditemukan pada adenokarsinoma. Selain itu, lebih dari setengah presentasi

survivin ditunjukkan pada Lesi CIN dan akan semakin meningkat seiring

perkembangan stadium CIN menjadi karsinoma sel skuamosa serviks. Ekspresi

22

survivin pada nodus metastasis selaput lendir pelvik secara signifikan lebih tinggi

dibandingkan nodus non metastasis selaput lendir pelvik (Brany et al, 2017).

2.4 Uji Sitotoksik

2.4.1 Definisi

Uji sitotoksik adalah uji toksisitas untuk mendeteksi adanya aktivitas

antineoplastik suatu senyawa dengan kata lain untuk mengidentifikasi kemampuan

senyawa dalam merusak atau membunuh sel kanker (Haryoto et al, 2013).

Penggunaan uji sitotoksik pada kultur sel adalah untuk mendapatkan senyawa yang

memiliki potensi sitotoksik dengan menggunakan jumlah kematian sel sebagai

indikator untuk mengukur hasil uji. Semakin banyak sel kanker yang mati

menandakan senyawa yang digunakan sangat efektif.

Uji sitotoksik yang umumnya digunakan yaitu metode kolorimetri dengan

substrat MTT [3(4,5-dimethyltiazol-2-yl)(-2,5-diphenyltetrazolium bromide)].

Parameter untuk uji sitotoksik yaitu nilai IC50 (inhibitor of concentration), yang

menunjukkan konsentrasi yang menghasilkan hambatan proliferasi sel sebanyak

50% dan menunjukkan potensi toksik terhadap sel. Nilai IC50 adalah dasar dalam

pengamatan kinetika sel dan fungsi sel secara biologis. Semakin besar nilai IC50

maka semakin tidak toksik senyawa tersebut.

2.4.2 Penentuan IC50

Obat kemoterapi merupakan terapi utama yang memiliki efek sitotoksik untuk

sel kanker, namun perlu diuji terlebih dahulu untuk memastikan bahwa obat tersebut

efektif dan memiliki potensi sitotoksik. Uji in vitro pada sel kultur merupakan cara

yang cepat dan tepat untuk menentukan efek sitotoksik suatu senyawa. Uji in vitro

juga berguna untuk mengidentifikasi variasi kerentanan beberapa senyawa sel target

23

terhadap agen kemoterapi. Indeks sitotoksitas ditentukan menggunakan sel yang

tidak diberi perlakuan dan medium kontrol (Florento et al, 2012). Persentase

sitotoksitas atau kematian sel dihitung menggunakan absorbansi dengan rumus

sebagai berikut :

(Kontrol sel – Kontrol medium) – (Perlakuan – Kontrol medium) x 100% Kontrol sel – Kontrol medium

Selanjutnya, dibuat grafik log konsentrasi dan persentase sel yang mati.

Menambahkan trendline regresi linear untuk mencari persamaan linear atau nilai R.

Jika nilai R lebih besar dari nilai R tabel maka persamaan regresi linier memenuhi

standar untuk mencari nilai IC50. Setelah itu, masukkan nilai y pada persamaan

regresi linear dan cari nilai x dan hitung anti log dari konsentrasi tersebut sehingga

didapatkan nilai IC50.

2.5 5-Fluorouracil

2.5.1 Definisi

5-Fluorouracil (5-FU) merupakan antimetabolit spesifik yang telah digunakan

lebih dari 60 tahun untuk pengobatan kanker dan memberikan peran penting dalam

perawatan pada tumor padat antara lain pada kanker gastrointestinal, kanker

payudara, kanker kulit, kanker kandung kemih maupun kanker serviks. Senyawa

5-FU menyebabkan cell cycle arrest pada fase G1/S siklus sel sehingga

menginduksi apoptosis dan menghambat proses biositesis esensial sel kanker (Dun

et al, 2015).

5-FU menginduksi apoptosis melalui aktivasi p53 baik pada jalur instrinsik

24

maupun ekstrinsik dengan mengaktivasi caspase. Pada jalur instrinsik, protein Bcl-2

memodulasi permebialitas membran mitokondria sehingga terjadi pelepasan

sitokrom C dan terjadi aktivasi caspase 9, selanjutnya caspase 9 mengaktifkan

efektor caspase 3 dan aktivasi death receptor pada membran sel (jalur ekstrinsik),

selanjutnya terjadi aktivasi caspase 8 dan caspase 3 sehingga terjadi apoptosis

(Xavier et al, 2011).

2.5.2 Mekanisme Kerja 5-Fluorouracil

5-FU merupakan analog urasil dengan sebuah atom fluor di posisi C-5 pada

tempat hidrogen. Lebih dari 80% jumlah 5-FU yang diberikan biasanya

dikatabolisme di hati, tempat yang banyak terekspresinya DPD (dihydropirimidine

dehidrogenase) dan mengubah 5-FU menjadi DHFU (dihydrofluorouracil). Masuknya

5-FU ke sel berlangsung cepat dengan mekanisme transportasi urasil. 5-FU diubah

secara intraseluler menjadi 3 (tiga) metabolit aktif yaitu FdUMP (fluorodeoxyuridine

monofosfat), FdUTP (fluorodeoxyuridine trifosfat) dan FUTP (fluorouridine trifosfat).

Mekanisme kerja 5-FU adalah konversi langsung FUMP (fluorouridine

monophosphate) dengan OPRT (orotate phosphoribosyltransferase) dan PRPP

(phosphoribosyl phyrophosphate) sebagai kofaktor, atau secara tidak langsung

melalui FUR (fluorouridine) melalui tindakan sekuensial dari UP (uridine

phosphorylase) dan UK (uridine kinase). FUMP selanjutnya difosforilasi menjadi

FUDP yang dapat terfosforilasi dengan metabolit yang lebih aktif yaitu FUTP. FUTP

berfungsi merusak RNA sel kanker. Selain FUDP diubah menjadi FdUDP

(fluorodeoksiuridine diphosphate) oleh RR (ribonucleotide reductase). FdUDP dapat

difosforilasi atau defosforilasi menghasilkan metabolit aktif yaitu FdUTP dan FdUMP.

FdUTP dapat merusak DNA. Jalur aktivasi alternatif lainnya melibatkan konversi

25

fosforilasi timidin yang mengkatalisis 5-FU menjadi FUDR (fluorodeoxyuridine) yang

selanjutnya terfosforilasi oleh TK (timidine kinase) menjadi FdUMP, selanjutnya

FdUMP berfungsi sebagai penghambat TS (thymidylate synthase) sehingga

merusak DNA sel kanker (Longley et al, 2003).

2.6 Benalu Mangga (Dendrophthoe pentandra L.)

2.6.1 Definisi

Benalu mangga dengan nama latin Dendrophthoe pentandra L. merupakan

tumbuhan semiparasit dari keluarga Loranthaceae. Di Indonesia, benalu dinamai

sesuai tumbuhan inang tempat benalu tumbuh misalnya benalu yang tumbuh pada

pohon mangga maka disebut benalu mangga. Taksonomi benalu mangga adalah

sebagai berikut (Tyas, 2011) :

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Subkelas : Rosidae

Ordo : Santalales

Family : Loranthaceae

Genus : Dendrophthoe

Spesies : Dendrophthoe pentadra (L.) Miq

Sekitar 1500 spesies benalu telah ditemukan di dunia. Oleh karena bersifat

semiparasit sehingga dapat mengurangi produktivitas tanaman inangnya.

Dendrophthoe pentandra L. hidup pada tanaman inang untuk mendapat suplai

makanan, air dan pendukung lainnya dengan cara menghubungkan ke xylem inang

melalui haustorium sehingga bioaktivitas Dendrophthoe pentandra L tergantung

pada inangnya (Elsyana et al, 2016).

26

Dendrophthoe pentandra L. telah digunakan untuk berbagai pengobatan

antara lain diabetes, hipertensi, diuretik bahkan digunakan untuk pengobatan kanker

di beberapa negara. Kompleks perseitol (D-glycero-D-galactoheptitol) dan ion K+

dengan perbandingan molar 20 : 1 yang diisolasi dari daun (Zainudin & Sul’ain,

2015)

Gambar 2.6 Benalu Mangga (Dendrophthoe pentandra L) (Zainudin & Sul’ain, 2015).

Benalu mengandung senyawa aktif biologis seperti karbohidrat, lemak, asam

amino, oligosakarida, polisakarida, glikoprotein (Lektin), polipeptida (viscotoxin),

vesikula, dan asam triterpen. Komposisi kimia benalu bervariasi tergantung pada

teknik persiapan ekstrak, musim dan waktu pemanenan, tahap pertumbuhan, lokasi

serta jenis pohon inangnya. Lektin merupakan konstituen utama benalu yang

bertanggungjawab atas efek antikanker dan imunomodulatornya. Beberapa peneliti

menggunakan benalu yang dikombinasikan dengan pengobatan konvensional

kanker sebagai terapi suportif dan untuk mengurangi efek samping dari terapi

konvensional (Yee et al, 2017).

2.6.2 Fitokimia Benalu Mangga (Dendrophthoe pentandra L.)

Benalu mangga (Dendrophthoe pentandra L.) memiliki kandungan metabolit

sekunder antara lain flavonoid, tanin, alkaloid, saponin, dan triterpenoid. Kadar

27

flavonoid sangat tinggi pada Benalu mangga (Dendrophthoe pentandra L.).

Flavonoid diketahui memiliki aktivitas antioksidan, antikanker dan antimikroba.

Flavonoid yang telah diisolasi memiliki kandungan senyawa quercetin yang efektif

sebagai antikanker. Tanin merupakan polifenol tanaman yang memiliki banyak

aktivitas biologis antara lain sebagai antitumor, anti-plasmin inhibitor, antioksidan

dan dapat mengikat protein. Alkaloid adalah senyawa alkali yang memiliki satu atau

lebih atom nitrogen yang merupakan bagian dari sistem siklik. Alkaloid memiliki efek

antinflamasi, antidiabetes, antioksidan serta antimikroba. Saponin adalah glikosida

yang terdiri dari aglikon steroid atau terpenoid yang memiliki satu rantai gula.

Saponin memiliki aktivitas biologis seperti antioksidan dan antikanker. Sedangkan

triterpenoid merupakan senyawa organik yang terbentuk secara alami pada

tanaman, aktivitas biologis yang dimiliki antara lain sebagai antioksidan, antiglikasi

dan antidiabetes (Fitrilia et al, 2015).

2.6.3 Quercetin pada Benalu Mangga (Dendrophthoe pentandra L.)

Quercetin merupakan senyawa flavonoid utama yang memiliki potensi

sebagai antiinflamasi, antikanker dan efek modulator imunitas (Endharti et al, 2016).

Quercetin (3,3’,4’,5,7-pentahydroxyflavone) adalah suatu aglikon, bila berikatan

dengan glikon akan membentuk glikosida. Quercetin memiliki efek antikanker pada

siklus sel, melakukan interaksi dengan ER (estrogen receptor) tipe II serta

menghambat aktivitas enzim tirosin kinase (Ikawati et al, 2014).

28

Gambar 2.7 Struktur kimia Quercetin (Ikawati et al, 2014).

Aktivitas biologis utama dari quercetin antara lain sebagai berikut :

1. Antioksidan

Hasil penelitian in vitro menunjukkan bahwa quercetin merupakan pengangkut

ROS (reactive oxidative species) yang paling kuat, ROS terdiri dari O2+, NO+ dan

NOO-. Kerusakan oksidatif yang diinduksi oleh O2+, NO+ dan NOO- menyebabkan

rusaknya sel dan jaringan tubuh manusia yang mengakibatkan berbagai penyakit

seperti kardiovaskuler, diabetes dan kanker. Peroksidasi dapat diatasi dengan

antioksidan seperti quercetin yang dapat mengganggu peroksidasi dengan cara

adanya reaksi antara peroksidasi dan radikal yang terbentuk (Wang et al, 2016).

2. Antiinflamasi

Quercetin merupakan antiinflamasi yang kuat, dapat menekan produksi LPS

(lipopolisakarida) pada sel yang berbeda. Efek antiinflamasi quercetin

berhubungan dengan antioksidan yang dimiliki sebagai penangkal radikal bebas.

ROS tidak hanya dalam proses oksidasi namun terlibat juga dalam respon

inflamasi dengan aktivasi faktor transfer seperti NFkB (Nuclear Factor Kappa B)

yang dapat menginduksi produksi sitokin TNF (Tumor Necrosis Factor). Oleh

karena itu, oksidasi dan inflamasi dapat dicegah secara bersamaan. Quercetin

dapat menghambat ekspresi gen TNF-α dengan menyesuaikan NFkB sel

29

mononuklear darah perifer (Wang et al, 2016).

3. Antikanker

Quercetin terbukti menjadi agen antikanker yang kuat pada berbagai sel

kanker. Quercetin dapat mencegah terjadinya stress oksidatif kanker oleh

aktivitas antioksidannya dan penghambatan kinase yang terlibat dalam

pertumbuhan sel kanker, proliferasi dan metastasis. Quercetin dapat menginduksi

kematian sel kanker yang dimediasi oleh reseptor apoptosis dan dapat menahan

aktivitas protein C kinase yang berperan dalam perkembangan sel kanker (Wang

et al, 2016).

2.6.4 Quercetin terhadap sel HeLa

Sebagai antikanker, quercetin berperan pada fase G2/M yang merupakan

fase penting sebelum masuk ke mitosis yang dikendalikan oleh cyclin dan CDK.

Sementara cyclin dan CDK mengatur perkembangan siklus sel dari fase G2 ke fase

M, p53 dan p21 yang merupakan penekan tumor menghambat cyclin dan CDK

sehingga terjadi cell cycle arrest pada fase G2/M. Selain itu, quercetin menyebabkan

perubahan karakteristik morfologi apoptosis seperti eksternalisasi phospatidylserine,

fragmentasi nukleus, dan penurunan potensi membran mitokondria dan kondensasi

kromatin. Quercetin juga menginduksi penurunan rasio Bcl-2 (B-cell lymphoma

2)/Bax (Bcl-2 associated X protein) dan survivin. Defosforilasi Bad (Bcl-2 associated

domain) berkontribusi pada apoptosis mitokondria dengan memfasilitasi Bax dari

Bcl-xL, dan oligomerisasi Bax berikutnya ke dalam membran mitokondria.

Peningkatan regulasi sitokrom C, Apaf-1 dan caspase bersama pembelahan PARP

(poly ADP-ribose polymerase), mendukung pembentukan kompleks apoptosom dan

aktivasi kaskade caspase (Priyadarsini et al, 2010).

30

Gambar 2.8 Efek dan mekanisme kerja Quercetin. Quercetin menginduksi terjadinya apoptosis yang menyebabkan sitotoksik. Pengobatan sel kanker dengan quercetin menyebabkan apoptosis melalui aktivasi jalur intrinsik mitokondria. Quercetin merupakan interkalator DNA yang menginduksi kerusakan DNA dan meningkatkan regulasi p53, sehingga menyebabkan penurunan regulasi protein antiapoptosis, BCL-2 dan pembelahan MCL-1 (Myeloid Cell Leukemia factor 1) yang menginduksi mitokondria merilis sitokrom c dan SMAC/DIABLO. SMAC/DIABLO menghambat IAP atau protein antiapoptosis sedangkan Sitokrom C mengaktivasi caspase 9 yang selanjutnya menginduksi caspase 3, selanjutnya caspase 3 mengaktivasi PARP 1 dan menyebabkan fragmentasi dan degradasi seluler DNA sehingga terjadi apoptosis (Srivastava et al, 2016).

31

BAB 3

KERANGKA KONSEP

3.1 Kerangka Teori

Gambar 3.1 Kerangka Teori

Invasi HPV onkogen

Squamous columnar

junction

Integrasi HPV ke DNA

Replikasi HPV

E6 berikatan

dengan p53

Transkripsi onkoprotein

E6 & E7

E7 berinteraksi

dengan pRB

Fungsi p53

menurun

nmeningkat

Fungsi pRB

menurun

Apoptosis Cell cycle arrest

Proliferasi sel

E6 +

E6AP NF-X1

menurun

Aktivitas

Telomer

meningkat

Survivin

Transkripsi

TERT

E7 meregulasi cyclin

dan CDK

Mutasi DNA

Malignansi Pertumbuhan sel kanker

Kanker Serviks

32

3.2 Kerangka Konsep

Gambar 3.2 Kerangka Konsep

Invasi HPV onkogen

Squamous columnar

junction

Integrasi HPV ke DNA Onkoprote

in E6 & E7

Proliferasi sel

Peningkatan

persentase survivin

Mutasi DNA

Kanker serviks sel HeLa

Protein kinase

Ekstrak ethanol

daun benalu

mangga

pRB-E2F

binding Sitokrom c &

Apaf 1 meningkat

Caspase 9

caspase 3,6, 7 Apoptosis

Kerusakan DNA

sel kanker

Thymidilate

synthase 5-Fluorouracil

Malignansi

Apoptosis

Penurunan fungsi

p53 dan pRB

Pertumbuhan sel

Kompleks p53-E2F

Peningkatan

permeabilitas

Mitokondria p21

meningkat

SMAC/DIABLO

dirilis

Persentase

Survivin menurun

Efek sitotoksik

Interkalasi DNA

sel HeLa

Kerusakan DNA

Meningkatkan

fungsi p53

meningkat

Kompleks p53-sin3-

HDAC

33

Keterangan :

: variabel yang diteliti

: variabel yang tidak diteliti

: perlakuan

: menginduksi

: menghambat

Invasi HPV onkogen pada jaringan keratinosit lapisan basal epitel

menyebabkan terjadinya replikasi DNA HPV dan terbentuknya genom virus. Adanya

interaksi E6 dari HPV menurunkan fungsi p53 sebagai checkpoint dan regulator

siklus sel sehingga sel yang seharusnya diperbaiki bila terjadi kerusakan DNA atau

apoptosis akan melewati fase G1 menuju fase S. Selain itu, onkoprotein E6

berinteraksi pula dengan E6AP (early protein 6 associated protein) dan menurunkan

NF-X1 (Nuclear Transcriptions Factor X-Box binding 1) sehingga terjadi transkripsi

TERT (Telomerase Reverse Transcriptase) yang dapat meningkatkan aktivitas

telomer yang berfungsi menfosforilasi survivin. Dengan adanya fosfrorilasi survivin

sebagai anti-apoptosis menyebabkan hambatan apoptosis. Sedangkan onkoprotein

E7 berinteraksi dengan pRB menyebabkan penurunan fungsi pRB yang seharusnya

berinteraksi dengan E2F menjadi terganggu, E2F yang merupakan faktor transkripsi

kemudian berinteraksi dengan E7 dan meningkatkan transkripsi DNA HPV.

Onkoprotein E7 juga meningkatkan regulasi cyclin dan membentuk kompleks cyclin-

CDK sehingga terjadi progresi siklus sel menyebabkan proliferasi sel kanker dan

peningkatan mutasi DNA. Proliferasi menyebabkan pertumbuhan sel kanker yang

berlebihan sedangkan adanya mutasi pada DNA sel normal menyebabkan

34

malignansi. Dengan adanya pertumbuhan sel dan malignansi menyebabkan

terjadinya kanker yang timbul pada zona transformasi serviks.

Sebagai terapi konvensional kanker, 5-FU dapat menyebabkan cell cycle

arrest pada fase G1/S dan menghambat proses sintesis DNA virus. Selain itu, 5-FU

juga dapat menurunkan survivin dan menginduksi terjadinya apoptosis. 5-FU yang

masuk ke sel berlangsung secara cepat dengan mekanisme transportasi urasil. 5-FU

diubah secara intraseluler menjadi FUMP oleh OPRT yang merupakan ko-faktor.

FUMP selanjutnya difosforilasi menjadi FUDP dan FUDP kemudian diubah lagi

menjadi FdUDP. Selanjutnya FdUDP difosforilasi untuk menghasilkan metabolit aktif

yaitu FdUTP dan FdUMP. FdUTP yang aktif merusak DNA sel kanker, sedangkan

FdUMP menghambat aktivitas tymidylate synthase sehingga merusak DNA sel

kanker. Dengan adanya kerusakan pada DNA sel kanker menyebabkan terhentinya

sintesis DNA dan meningkatkan fungsi p53 yang dapat menghambat BCL-2 dan

menyebabkan pembelahan MCL-1 sehingga terjadi peningkatan permeabilitas

membran mitokondria. Selanjutnya mitokondria merilis sitokrom c, APAF-1 dan

SMAC/DIABLO yang merupakan proapoptosis serta dapat menurunkan jumlah

survivin. Penurunan jumlah survivin oleh SMAC/DIABLO dan dirilisnya sitokrom C

menyebabkan teraktivasinya caspase 9 yang merupakan inisiator apoptosis.

Selanjutnya caspase 9 menginduksi caspase 3 sehingga terjadi apoptosis oleh

karena adanya degradasi seluler DNA.,

Benalu mangga (Dendrophthoe pentandra L.) yang memiliki senyawa aktif

quercetin dengan mekanisme kerjanya adalah menyebabkan terjadinya cell cycle

arrest pada fase G2/M. Quercetin juga menyebabkan interkalasi DNA sel kanker

sehingga terjadi mutasi DNA oleh karena adanya perubahan susunan basa

nukleotida sel kanker serviks atau sel HeLa. Terjadinya interkalasi DNA

35

mengakibatkan kerusakan DNA sehingga meningkatkan fungsi p53, selanjutnya p53

membentuk kompleksitas dengan E2F yang merupakan faktor transkripsi menjadi

p53-E2F, pembentukkan kompleksitas ini menginduksi terbentuknya kompleks p53-

sin3-HDAC yang dapat menurunkan persentase survivin. Selain itu, peningkatan p53

juga menginduksi peningkatan p21 yang merupakan inhibitor CDK2 (protein kinase

yang dapat menghambat fosforilasi pRB), dengan dihambatnya CDK2 maka terjadi

ikatan pRB dengan E2F yang dapat menurunkan survivin. Penurunan persentase

survivin mengaktivasi caspase 9 dan caspase 3 untuk menginduksi terjadinya

apoptosis.

Dengan adanya kombinasi terapi 5-FU dengan Benalu mangga

(Dendrophthoe pentandra L.) dapat memberikan efek sitotoksik dan menurunkan

persentase survivin terhadap sel HeLa melalui mekanisme kerja dari masing-masing

agen untuk menginduksi terjadinya cell cycle arrest, apoptosis dan menghambat

proliferasi sel.

3.3 Hipotesis Penelitian

Pemberian terapi kombinasi 5-FU dengan ekstrak ethanol daun benalu

mangga (Dendrophthoe pentandra L.) meningkatkan efek sitotoksik dan

menurunkan persentase survivin pada sel HeLa.

36

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Penelitian ini menggunakan rancangan true experimental post test only with

control group design. Penelitian true experimental merupakan penelitian yang

bertujuan melihat hubungan sebab akibat dengan membandingkan kelompok kontrol

dan kelompok perlakuan sedangkan post test only with control group design yaitu

desain yang pengujiannya dilakukan setelah pemberian perlakuan (Sastroasmoro,

2011). Tahapan pada penelitian ini yaitu pemberian terapi pada kultur sel HeLa,

terdapat 6 (enam) kelompok yang terdiri dari kelompok kontrol negatif (K-) adalah

kultur sel HeLa yang hanya diberi medium komplit, kelompok kontrol positif (K+)1 sel

yang diberi terapi tunggal 5-FU dosis 5 µg/mL dan kontrol positif (K+) 2 sel yang

diberi terapi tunggal ekstrak ethanol daun benalu mangga (Dendrophthoe pentandra

L.) dengan dosis 50 µg/mL. Kelompok perlakuan 1 (P1) yaitu kultur sel HeLa yang

diberi terapi kombinasi 5-FU dengan dosis 5 µg/mL dan DPE dengan dosis 12,5

µg/mL, kelompok P2 dosis DPE 25 µg/mL dan kelompok P3 dengan dosis DPE 50

µg/mL.

Dosis 5-FU pada penelitian ini sesuai hasil penelitian sebelumnya oleh Liu et

al (2017) yang menggunakan dosis efektif 5-FU sebesar 5 µg/mL. Untuk dosis

ekstrak ethanol daun benalu mangga (Dendrophthoe pentandra L.) sebesar 12,5

µg/mL, 25 µg/mL dan 50 µg/mL sesuai hasil penelitian Elsyana et al (2016) yang

menyatakan bahwa dosis-dosis tersebut efektif sebagai antiproliferatif pada sel

kanker.

37

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di laboratorium Biomedik serta laboratorium

Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang Jawa Timur, mulai

tanggal 27 Desember 2017 sampai dengan 19 Februari 2018.

4.3 Sampel penelitian dan Replikasi

Sampel dalam penelitian ini menggunakan sel line HeLa yang diperoleh dari

ATCC (American Type Culture Collection). Penelitian ini menggunakan plate 24 well

kultur sel HeLa pada medium RPMI (Roswell Park Memorial Institute) 1640. Masing-

masing well berisi 5 x 105 sel/100 µL. Sampel pada penelitian ini terdiri dari satu

kelompok kontrol negatif yang tidak diberi perlakuan atau terapi, dua kelompok

kontrol positif yang diberi 5-FU dengan dosis 5 µg/mL dan kelompok kontrol positif

yang diberi ekstrak ethanol benalu mangga dengan dosis 50 µg/mL serta tiga

kelompok perlakuan yang diberi terapi kombinasi 5-FU 5 µg/mL dengan ekstrak

ethanol benalu mangga dengan masing-masing dosis yang telah ditentukan

menggunakan deret ukur (2N) yaitu 12,5, 25 dan 50 µg/mL.

Pada penelitian ini diperlukan replikasi untuk memastikan pemberian dosis

yang tepat pada perlakuan, menggunakan rumus dibawah ini (Sani, 2016) :

Keterangan : t : banyaknya treatment atau perlakuan r : jumlah replikasi

(t-1) (r-1) ≥15

38

Pada penelitian ini terdapat 6 kelompok yang terdiri dari 1 kelompok kontrol negatif,

2 kelompok kontrol positif dan 3 kelompok perlakuan dengan dosis masing-masing

12,5 µg/mL, 25 µg/mL dan 50 µg/mL. Maka dapat dihitung sebagai berikut :

(t-1) (r-1) ≥15

(6-1) (r-1) ≥15

5 (r-1) ≥15

5r = 15 +5

r = 20/5 = 4

jadi jumlah replikasi yang dilakukan pada penelitian ini adalah sebanyak 4 kali.

4.4 Variabel Penelitian

4.4.1 Variabel Independent (Bebas)

Variabel independent pada penelitian ini adalah terapi tunggal 5-FU, terapi

tunggal ekstrak ethanol benalu mangga (Dendrophthoe pentandra L.) serta terapi

kombinasi 5-FU dengan ekstrak ethanol daun benalu mangga (Dendrophthoe

pentandra L.).

4.4.2 Variabel Dependent (Terikat)

Variabel dependent yang digunakan yaitu efek sitotoksik dan persentase

survivin pada kultur sel HeLa.

39

4.5 Definisi Operasional

Tabel 4.1 Definisi Operasional Penelitian Variabel Definisi Operasional

Hasil Ukur Skala Data

Sel HeLa Sel epitel dari sel kanker serviks HeLa (Heinrietta Lacks) yang diperoleh dari ATCC, dikultur untuk mendapatkan sub kultur sel yang konfluen 70%.

Pertumbuhan sel (konfluen 70%)

Nominal

5-Fluorouracil Agen kemoterapi konvensional sediaannya dalam bentuk bubuk di dalam vial (Sigma Aldrich).

Dosis pemberian 5 µg/mL

Rasio

Ekstrak ethanol benalu mangga

Daun benalu mangga (Dendrophthoe pentandra L.) varian Probolinggo Jawa Timur yang didapat dari Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Brawijaya (nomor spesimen 0170/identifikasi taksonomi/03/2015). Ekstrak daun benalu mangga dimaserasi menggunakan ethanol 80%, sediaannya dalam bentuk pasta yang akan dilarutkan dengan medium.

Dosis pemberian 50 µg/mL

Rasio

Terapi kombinasi 5-FU dengan ekstrak ethanol benalu mangga

Terapi kombinasi diberikan pada 3 kelompok perlakuan dengan dosis 5-FU 5 µg/mL dan ekstrak ethanol daun benalu mangga (Dendrophthoe pentandra L.) pada masing-masing kelompok yaitu 12,5, 25 dan 50 µg/mL.

Dosis pemberian 5-FU (5 µg/mL), DPE (12,5, 25 dan 50 µg/mL)

Rasio

Efek sitotoksik Efek yang dapat merusak atau membunuh sel kanker melalui terapi kombinasi 5-FU dengan ekstrak ethanol daun benalu mangga yang diuji dengan metode MTT assay kit (Bioscience). Jumlah sel yang mati dihitung dengan ELISA plate reader.

Persentase (%) sel yang

mengalami kematian

Rasio

Persentase survivin

Persentase sel yang mengekspresikan survivin pada kultur sel Hela yang dideteksi menggunakan survivin antibody yang selanjutnya diukur dengan metode Flowcytometry.

Persentase (%) Rasio

4.6 Bahan dan Alat Penelitian

4.6.1 Alat dan Bahan Kultur Sel HeLa

Alat yang digunakan untuk kultur sel HeLa yaitu LAF (laminar air flow),

inkubator dan tabung gas CO2, mikropipet, plate 24 well, sentrifuge, membran filter

0,2 µm, burner Bunsen dan mikroskop inverted. Oleh karena penelitian ini

40

menggunakan sel HeLa maka perlu dilakukan kultur sel yang bertujuan untuk

membiakkan sel guna mendapatkan jumlah sel yang cukup untuk diteliti. Bahan

yang diperlukan untuk kultur sel meliputi : sel HeLa, medium RPMI 1640, 10% FBS

(Fetal Bovine Serum), 100 U/ml Penicilin (Sigma), 100 U/ml Streptomycin (Sigma),

PBS (Phosphate Buffer Saline) 20%, Tripsin/EDTA, Ethanol 70%, T-flask (Tissue

Culltur Flask), tabung konikal steril, mikropipet, surgical masker dan handscoen.

4.6.2 Pembuatan Ekstrak Etanol Benalu Mangga (Dendrophthoe pentandra L.) Alat yang digunakan untuk membuat ekstrak ethanol benalu mangga yaitu

rotary evaporator dan TLC (Thin Layer Chromatography). Bahan yang diperlukan

untuk membuat ekstrak ethanol benalu mangga (Dendrophthoe pentandra L.) yaitu

daun benalu mangga dan ethanol 80%.

4.6.3 5-Fluorouracil

Agen kemoterapi yang digunakan pada penelitian ini adalah 5-FU (5-

Fluorouracil) sediaan bubuk dalam kemasan vial. Alat yang diperlukan untuk

pengambilan 5-FU yaitu spatula atau sendok ukur.

4.6.4 Uji Efek Sitotoksik

Uji efek sitotosik menggunakan metode MTT cell viability assay kit

(Bioscience) dengan nomor katalog MT01000. Bahan yang diperlukan yaitu MTT

solution dan reagen stopper.

4.6.5 Pemeriksaan Persentase Survivin

Untuk mengidentifikasi persentase survivin pada sel HeLa digunakan metode

Flowcitometry dengan survivin antibody (D-8) (Santa Cruz Biotechnology) , bahan

yang diperlukan antara lain : PBS (Phosphate Buffer Saline), FCS (Fetal Calf Serum)

41

FBS (Fetal Bovine serum), fixation buffer (sc-3622), stainning buffer (sc-3624),

mikropipet, yellow tip dan tabung eppendorf.

4.7 Prosedur Penelitian

4.7.1 Prosedur Kultur Sel

Langkah-langkah dalam prosedur kultur sel adalah sebagai berikut :

1. Aktivasi dan pembiakan sel HeLa (Thawing cell)

Menyiapkan bahan-bahan yang akan digunakan untuk media sel

yaitu RPMI (Roswell Part Memorial Institute), penicillin-streptomycin 1%,

FBS 10%. Media yang telah dicampur ditandai dengan medium komplit

dan difilter dengan membran ukuran 0,2 µm, selanjutnya vial sel HeLa

diambil dari tabung nitrogen cair, direndam dalam wadah steril berisi air

hingga sel mencair. Masukkan medium komplit 5 mL ke dalam T-flask 25

cm2, ambil sel HeLa sebanyak 200 µL dan masukkan ke dalam T-flask.

Setelah 24 jam lakukan pengamatan viabilitasnya, jika sel mengalami

pertumbuhan yang baik dengan kerapatan 80-90% maka dapat dilakukan

sub kultur.

2. Sub kultur sel

Medium sebelumnya dibuang, sel diberi tripsin/EDTA sebanyak 1,5

mL dan inkubasi dalam inkubator CO2 5% selama 5 menit hingga sel

lepas dari dinding T-flask, lakukan sentrifugasi dengan kecepatan 800

rpm selama 8 menit, supernatant dibuang kemudian pellet

diresuspensikan dengan medium komplit 2 mL, cuci T-flask dengan PBS

1,5 mL sebanyak 2 kali lalu sel dimasukkan kedalam T-flask dan

tambahkan kembali 4 mL medium komplit, sel diamati dengan mikroskop

42

dan inkubasi dalam inkubator CO2 5% suhu 37ºC. Pembiakan sel

dilakukan dengan mengganti media secara berkala hingga diperoleh

kerapatan sel atau konfluen yang diinginkan yaitu 70%.

3. Penanaman sel HeLa dalam well

Setelah sel konfluen dalam T-flask, medium dikeluarkan dan sel

ditambahkan tripsin/EDTA 1,5 mL, inkubasi 5 menit pada inkubator

selanjutnya sel dituang pada tabung konikal dan disentrifugasi dengan

kecepatan 800 rpm selama 8 menit. Pellet didispersikan dengan medium

komplit 1 mL sel dimasukkan ke dalam well 24 plate dengan perkiraan

seeding 500.000 sel/well dan diinkubasi selama 24 jam. Selanjutnya

diamati, jika sel sudah menempel pada well dan pertumbuhannya baik

maka dilanjutkan dengan pemberian perlakuan.

4. Pemanenan sel HeLa

Sel pada well plate dikeluarkan dari inkubator, lakukan

pengamatan dan dokumentasikan kondisi sel. Selanjutnya sel dipanen,

media yang lama dibuang, sel dicuci dengan PBS, tambahkan

tripsin/EDTA dan inkubasi selama 5 menit, serta disentrifugasi,

selanjutnya pellet diresuspensi dan dipindahkan ke dalam tabung

eppendorf.

4.7.2 Pembuatan Ekstrak Etanol Benalu Mangga

Daun benalu mangga diperoleh dari kota Probolinggo Jawa Timur dan telah

diidentifikasi dan dibuktikan oleh ahli dari Jurusan Biologi Fakultas MIPA

(Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam) Universitas Brawijaya (nomor spesimen

0170/identifikasi taksonomi/03/2015). Daun mentah sebanyak 1,5 kg dikeringkan

43

selama 5 hari dalam suhu ruangan kemudian dihancurkan hingga berbentuk bubuk

atau simplisia. Simplisia daun benalu mangga dimaserasi dengan etanol 80%

selama 72 jam kemudian disaring. Hasil dari penyaringan kemudian dievaporasi

hingga ekstrak berbentuk padat. Kandungan quercetin dari ekstrak benalu mangga

adalah sebesar 0,57 µg/g berat kering yang diukur dengan TLC (Thin Layer

Chromatography).

Pada penelitian ini ekstrak ethanol benalu mangga dengan sediaan pasta

dilarutkan dengan medium. Prosedur pembuatan larutan stok untuk ekstrak benalu

mangga diawali dengan pengambilan ekstrak sebanyak 1 mg dimasukkan ke dalam

tabung dan ditambahkan 1 mL medium komplit. Untuk membuat larutan stok dengan

konsentrasi 50 µg/mL dalam 5 mL volume larutan yang berisi volume larutan ekstrak

ethanol benalu mangga dan volume medium komplit digunakan rumus sebagai

berikut :

Keterangan : V1 : Volume larutan sebelum diencerkan V2 : Volume larutan setelah diencerkan M1 : Molaritas larutan sebelum diencerkan M2 : Molaritas larutan setelah diencerkan

V1 = V2.M2 M1 = 5 mL . 1 mg

1 mL = 5 mL

Untuk melarutkan 0,5 mg ekstrak ethanol benalu mangga maka diperlukan 5 mL

medium komplit sehingga didapatkan konsentrasi larutan yaitu 0,1 mg/mL atau 100

µg/mL. Jadi untuk mendapatkan volume larutan 5 mL dengan konsentrasi 100

V1.M1 = V2.M2

44

µg/mL maka diambil 1 mL volume ekstrak ethanol daun benalu mangga dan

ditambahkan 4 mL medium komplit. Selanjutnya, untuk mendapatkan 5 mL volume

larutan dengan konsentrasi 50 µg/mL maka diambil ekstrak ethanol benalu mangga

dari volume larutan sebelumnya sebanyak 2,5 mL dan ditambahkan 2,5 mL medium

komplit. Untuk konsentrasi 25 µg/mL, diambil 2,5 mL dari volume konsentrasi 50

µg/mL dan ditambahkan medium sebanyak 2,5 mL. Sedangkan untuk konsentrasi

12,5 µg/mL maka diambil 2,5 mL dari volume konsentrasi 25 µg/mL dan

ditambahkan 2,5 mL medium komplit.

4.7.3 5-Fluouracil

Dosis 5-FU yang digunakan pada sel HeLa adalah 5 µg/mL. Dosis ini

berdasarkan hasil penelitian Liu et al (2017) yang diberikan pada sel HCC

(Hepatocelluler carcinoma). Diawali dengan pembuatan larutan stok, 5-FU diambil

sebanyak 0,05 mg dan dilarutkan dengan 5 mL medium sehingga didapatkan

konsentrasi larutan yaitu 0,01 mg/mL atau 10 µg/mL, sehingga untuk mendapatkan

5 mL dengan konsentrasi 10 µg/mL maka diambil 1 mL 5-FU ditambah 4 mL medium

dan untuk mendapatkan konsentrasi 5 µg/mL maka diambil 2,5 mL 5-FU ditambah

2,5 mL medium.

4.7.4 Prosedur Perlakuan dan Kontrol

Setelah sel konfluen 70% selanjutnya dilakukan prosedur pemberian terapi

pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol positif. Oleh karena menggunakan

well plate 24, maka dibagi 4 well untuk masing-masing kelompok. Untuk kelompok

kontrol negatif, sel tidak diberi terapi hanya diberi medium komplit. Pada kelompok

kontrol positif 1, sel diberi terapi tunggal 5-FU dengan dosis perlakuan 5 µg/mL.

Pada kelompok kontrol positif 2, sel diberi terapi tunggal ekstrak ethanol daun

45

benalu mangga dosis 50 µg/mL berdasarkan konsentrasi larutan yang telah dibuat

sebelumnya yaitu volume ekstrak sebesar 2,5 mL dicampurkan dengan volume

medium sebesar 2,5 mL. Sedangkan untuk 3 kelompok perlakuan, sel diberi terapi

kombinasi 5-FU dosis 5 µg/mL dan ekstrak ethanol daun benalu mangga dosis 12,5,

25 dan 50 µg/mL pada masing-masing kelompok. Untuk membuat konsentrasi

larutan 50 µg/mL maka diambil 2,5 mL dari larutan stok 100 µg/mL ditambahkan 2,5

mL medium komplit sehingga volume larutan menjadi 5 mL dengan konsentrasi 50

µg/mL. Untuk konsentrasi 25 µg/mL, diambil 2,5 mL dari konsentrasi larutan 50

µg/mL kemudian ditambahkan dengan 2,5 mL medium komplit. Dan untuk dosis

12,5 mL, diambil 2,5 mL dari konsentrasi larutan 25 µg/mL yang ditambahkan

dengan 2,5 mL medium komplit, selanjutnya sel diinkubasi selama 24 jam.

4.7.5 Uji Efek Sitotoksik

Uji efek sitotoksik menggunakan MTT assay kit (Bioscience) dilakukan sesuai

protokol. Well plate yang digunakan adalah well plate 96 yang dapat menampung

kepadatan sel antara 5000 hingga 10.000 sel per well dengan kepadatan optimal

selama 48 hingga 72 jam. Diawali dengan penyiapan reagen, stok larutan MTT

solution diencerkan dengan PBS 1 mL, stok ini dapat disimpan pada suhu 4oC

dalam waktu singkat (1 minggu) atau -20 oC untuk digunakan dalam waktu <3 bulan.

Langkah-langkah yang dilakukan untuk uji sitotoksik yaitu MTT solution atau stok

larutan yang telah disiapkan dimasukkan sebanyak 20 µL pada masing-masing well

kemudian diinkubasi selama 2 hingga 4 jam pada inkubator CO2 5% suhu 37oC,

amati pembentukan formazan. Setelah itu ditambahkan 150 µL reagen stopper dan

inkubasi kembali selama 30 menit. Absorbansi larutan diukur menggunakan ELISA

46

plate reader dengan panjang gelombang 570 nm. Nilai absorbansi yang didapat

selanjutnya digunakan untuk menghitung persentase sel yang mengalami kematian.

4.7.6 Pemeriksaan Persentase Survivin

Persentase survivin pada sel HeLa diidentifikasi menggunakan metode

flowcytometry dengan survivin antibody (D-8) (Santa Cruz Biotechnology) dengan

prosedur sebagai berikut : sel dibilas dengan PBS masing-masing 200 µL tiap well,

selanjutnya ditripsinasi 120 µL dan inkubasi 5 menit, sel dipindahkan ke tabung

eppendorf kemudian disentrifugasi 2500 rpm 3 menit, fixation buffer ditambahkan

pada pellet lakukan pipeting dan inkubasi kembali 30 menit, sel dicuci dengan

stainning buffer dan disentrifugasi 2500 rpm 3 menit, pellet ditambahkan antibodi

survivin inkubasi 20 menit, selanjutnya sel dianalisis dengan flowcytometer.

4.8 Analisa Data

4.8.1 Uji Parametrik

Pengolahan data hasil penelitian ini menggunakan teknik analisa data

dengan bantuan software SPSS versi 23.0. Sebelum dilakukan uji statistik,

sebelumnya dilakukan uji normalitas data untuk mengetahui apakah data yang

digunakan terdistribusi normal atau tidak menggunakan Saphiro Wilk dan uji

homogenitas ragam data antar kelompok menggunakan Levene test. Dengan

melihat nilai probabilitas kesalahan empirik pada nilai Sig atau p-value. Jika nilai Sig

atau p-value lebih dari taraf signifikansi α = 0,05, maka data yang digunakan

terdistribusi normal dan/atau ragam data homogen sehingga uji statistik parametrik

dapat digunakan. Sedangkan bila p-value <0,05 maka data tidak terdistribusi normal

maka uji statistik parametrik tidak dapat digunakan (Santoso, 2005).

47

4.8.2 Uji Komparasi

Setelah dilakukan uji normalitas dan homogenitas untuk data sitotoksik dan

persentase survivin, didapatkan data tidak terdistribusi normal dengan p-value <0,05

sehingga analisa data yang digunakan yaitu uji Kruskal-Wallis. Jika hasil analisa

data didapatkan nilai p <0,05, maka hipotesis penelitian diterima yang berarti terapi

kombinasi 5-FU dengan ekstrak ethanol daun benalu mangga (Dendrophthoe

pentandra L.) memiliki efek sitotoksik dan menurunkan persentase survivin.

Selanjutnya analisis dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney test. Uji ini dilakukan

untuk mengetahui kelompok perlakuan mana yang berbeda secara bermakna,

perbedaan yang bermakna jika didapatkan nilai p <0,05 (Dahlan, 2011).

48

4.9 Alur Penelitian

Gambar 4.1 Alur penelitian

Sampel : Sel HeLa

Kriteria sampel : hasil subkultur yang

konfluen dan tidak terkontaminasi

Kelompok kontrol (-) : subkultur sel HeLa tanpa terapi dan kelompok kontrol (+) : subkultur HeLa yang

diberi 5-FU dan subkultur HeLa yang diberi DPE dosis 50 µg/mL

Kelompok perlakuan : subkultur sel

HeLa diberi 5-FU+ DPE

Perlakuan 1 5-FU 5 µg/mL + DPE 12,5 µg/mL

Perlakuan 2 5-FU 5 µg/mL + DPE 25 µg/mL

Perlakuan 3 5-FU 5 µg/mL + DPE 50 µg/mL

Inkubasi sel selama ±24 jam

Uji efek sitotoksik Persentase survivin

Analisa data

Uji statistik

MTT assay Flowcytometry

49

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN ANALISA DATA

5.1 Pengaruh Pemberian 5-Fluorouracil dan/atau Kombinasi dengan Ekstrak Ethanol Daun Benalu Mangga terhadap Efek Sitotoksik pada Sel HeLa

Sel HeLa diaktivasi dan dikultur pada T-flask berisi medium komplit yang

mengandung protein, asam amino, antibiotik serta antijamur, sel diamati pada hari

pertama, ketiga, keenam dan keenam belas. Media sel diganti setiap dua hingga tiga

hari untuk memenuhi kebutuhan dan mendukung pertumbuhan sel dengan baik.

Pada hari pertama atau setelah 24 jam diaktivasi, didapatkan sel belum menempel

pada dinding T-flask. Pada hari ketiga, sel mulai menempel pada dinding T-flask. Sel

menunjukkan pertumbuhan yang baik, sel sudah mulai tumbuh namun belum

konfluen dan tidak terkontaminasi bakteri atau jamur saat diamati di hari keenam.

Pada hari keenam belas, sel konfluen 80-90% dan mulai disubkultur, ditanam di well

plate, setelah 24 jam sel HeLa diberi perlakuan terapi tunggal 5-Fluorouracil, ekstrak

ethanol daun benalu mangga (Dendrophthoe pentandra L.) atau DPE dan terapi

kombinasi dengan variasi dosis DPE yaitu 12,5, 25 dan 50 µg/mL setelah itu sel

diinkubasi kembali, selanjutnya sel dipanen untuk pemeriksaan MTT dan persentase

survivin.

50

Gambar 5.1. Sel HeLa yang diberi perlakuan

Kelompok kontrol (-) : sel HeLa tidak diberi DPE atau 5-FU, sel hidup nampak bergerombol dan dalam jumlah banyak, sel HeLa yang diberi 5-FU 5 µg/mL mengalami perubahan bentuk dan jumlahnya mulai berkurang, tanda panah menunjukkan adanya pembentukkan apoptotic body ditandai dengan blebbing. Kelompok terapi tunggal DPE dosis 50 µg/mL jumlah selnya makin berkurang. Pada kelompok terapi kombinasi 5-FU dengan DPE, jumlah selnya makin berkurang. Pengamatan dengan mikroskop menggunakan pembesaran 200x.

DPE 5-FU+DPE 12,5µg/mL

5-FU+DPE 25 µg/mL

5-FU+DPE 50 µg/mL

Kontrol - 5-FU

51

Pengujian efek sitotoksik dilakukan menggunakan metode MTT [3(4,5-

dimetyltiazol-2-yl)(-2,5-diphenyltetrazolium bromide)]. Sel pada tiap well diberi MTT

solution kemudian diinkubasi selama 4 jam di inkubator CO2 sambil diamati

pembentukkan formazan yang merupakan senyawa nitrogen organik (H2NN = CHN

= NH). Formazan terbentuk karena adanya reaksi reduksi di dalam sel oleh enzim

suksinat dehidrogenase yang terdapat di dalam mitokondria sel hidup, sehingga

semakin sedikit formazan yang terbentuk maka semakin banyak sel yang mati.

Kontrol - 5-FU+DPE 50 µg/mL

Gambar 5.2. Pembentukkan kristal formazan pada sel HeLa setelah diberi MTT solution.

Pada kelompok kontrol(-), nampak formazan yang terbentuk lebih banyak yang menandakan banyak sel hidup, sedangkan kelompok yang diberi terapi kombinasi 5-FU+DPE 50 µg/mL, formazan yang terbentuk hanya sedikit. Gambaran terbentuknya formazan diamati menggunakan mikroskop Olympus yang terkoneksi komputer pada pembesaran 200x pada kelompok kontrol(–) dan pembesaran 100x pada kelompok 5-FU+DPE 50 µg/mL.

52

Selanjutnya diberi reagen stopper yaitu SDS 10% yang dicampur dengan

isopropanol dan HCl, kemudian diinkubasi kembali selama 30 menit dan dibaca

dengan ELISA reader sehingga didapatkan nilai absorbansi dari tiap well. Nilai

absorbansi yang didapat selanjutnya digunakan untuk menghitung persentase

kematian sel dan dilanjutkan dengan menghitung nilai IC50. Rumus %kematian sel

adalah sebagai berikut :

(Kontrol sel – Kontrol medium) – (Perlakuan – Kontrol medium) x 100% Kontrol sel – Kontrol medium

Dari perhitungan tersebut didapatkan rata-rata %kematian sel setiap kelompok

dengan 4 (empat) kali pengulangan yang dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 5.1 Perbandingan Rata-Rata %Kematian Sel HeLa Pada Tiap Kelompok

Sampel %Kematian sel Rata-Rata %kematian sel

Replikasi I Replikasi II Replikasi III Replikasi IV

Kontrol(-) -0.5% -0.4% -0.4% -0.5% 0%

5-FU 39.6% 60.6% 41.7% 74.9% 54.2%

DPE 49.4% 49.4% 50.6% 58.1% 51.9%

P1 70.8% 70.8% 83.6% 84.7% 68%

P2 89% 73.5% 89.3% 89.3% 85.3%

P3 83.2% 83.2% 89.8% 89.8% 86.5%

Keterangan : P1 : kombinasi 5-FU+DPE dosis 12,5µg/mL, P2 : kombinasi 5-FU+DPE dosis 25 µg/mL,P3 : kombinasi 5-FU+DPE dosis 50 µg/mL.

53

Tabel 5.1 menunjukkan bahwa rata-rata %kematian sel mengalami

peningkatan pada tiap kelompok perlakuan, semakin tinggi dosis yang digunakan

maka semakin besar pula sel mengalami kematian. Dari keenam kelompok, rata-rata

%kematian sel dari empat kali replikasi yang terbanyak pada kelompok perlakuan

yaitu pada P3 sebesar 86,5% sedangkan kelompok perlakuan dengan %kematian

sel yang paling sedikit adalah pada terapi tunggal DPE sebesar 51,9% dan untuk

kelompok yang tidak terdapat kematian sel yaitu kelompok kontrol negatif yaitu 0%.

Selanjutnya dibuat grafik perbandingan kelompok perlakuan dengan

%kematian sel dan dicari persamaan regresi linier dari grafik tersebut, jika nilai r

lebih besar dari r tabel maka persamaan regresi linier memenuhi standar untuk

mencari nilai IC50. Kurva regresi linier dapat dilihat dibawah ini :

Gambar 5.3 Kurva regresi linier perbandingan kelompok perlakuan

dengan %kematian sel HeLa. Kelompok 1 : kontrol positif DPE, kelompok 2 : kontrol positif 5-FU, kelompok 3 : kombinasi 5-FU+DPE 12,5 µg/mL, kelompok 4 : kombinasi 5-FU+DPE 25 µg/mL dan kelompok 5 : kombinasi 5-FU+DPE 50 µg/mL.

y = 10.03x + 39.09 R² = 0.9279

0

20

40

60

80

100

0 1 2 3 4 5 6

%ke

mat

ian

se

l

Kelompok

54

Berdasarkan grafik persamaan diatas, didapatkan nilai r lebih besar dari r tabel yaitu

0,9279 dengan nilai a (slope) sebesar 10,03 dan nilai intercept 39,09 sehingga dapat

dilanjutkan untuk menghitung nilai IC50 sebagai berikut :

y = ax + b

50 = ax + b

50 = 10,03x + 39,09

50 – 39,09 = 10,03x

x = (50 – 39,09)/10,03

x = 1,229

Antilog x = 12,2

IC50 = 12,2 µg/mL

Jadi nilai IC50 yang diperoleh adalah 12,2 µg/mL, yang artinya pada kombinasi terapi

5-FU dengan DPE dosis 12,2 µg/mL sudah mampu menghambat atau membunuh

50% sel HeLa.

5.2 Pengaruh Pemberian 5-Fluorouracil dan/atau Kombinasi dengan Ekstrak

Ethanol Daun Benalu Mangga terhadap Persentase Survivin pada Sel

HeLa

Setelah diberi perlakuan, baik terapi tunggal 5-Fluouracil, ekstrak ethanol daun

benalu dan terapi kombinasi dengan variasi konsentrasi ekstrak ethanol daun benalu

mangga yaitu 12,5, 25 dan 50 µg/mL dilanjutkan dengan pemeriksaan survivin

menggunakan metode Flowcytometry untuk mengetahui persentase survivin pada

sel HeLa, hasilnya adalah sebagai berikut :

55

Survivin

Gambar 5.4. Hasil analisis Flowcytometry persentase survivin pada 6 (enam) kelompok replikasi ke-4.

Pada keenam kelompok terlihat bahwa persentase survivin paling sedikit adalah pada kelompok terapi kombinasi 5-FU +DPE 50µg/mL yaitu 22,91% sedangkan persentase survivin paling banyak pada kelompok kontrol negatif yaitu 50,97%. Perbandingan antar kelompok yang diberi perlakuan, persentase survivin yang paling banyak adalah pada kelompok yang diberi terapi tunggal 5-FU yaitu 43,70%.

5.3 Pengujian Asumsi Data

Pengujian efek sitotoksik dan persentase survivin pada kelompok kontrol

negatif, kelompok kontrol positif yaitu 5-FU dan DPE serta 3 kelompok perlakuan

dengan berbagai konsentrasi DPE menggunakan uji rata-rata one way ANOVA.

Sebelum diuji, terlebih dahulu dilakukan pengujian asumsi data yakni normalitas

data menggunakan Saphiro-Wilk dan uji homogenitas ragam data antar kelompok

menggunakan Levene test. Data dinyatakan terdistribusi normal jika p-value hasil

perhitungan lebih besar dari α=0,05 menggunakan bantuan software SPSS versi

23.0. Hasil uji normalitas data menunjukkan nilai signifikansi kurang dari α=0,05

Kontrol - 5-FU DPE

5-FU+DPE 12,5 µg/mL 5-FU+DPE 25 µg/mL 5-FU+DPE 50 µg/mL

50,97% 43,70% 25,72%

22,91% 39,90% 28,88%

Co

un

ts

56

yaitu 0,002 untuk efek sitotoksik dan 0,047 untuk persentase survivin yang berarti

data tidak terdistribusi normal. Sedangkan hasil uji homogenitas ragam data

diperoleh lebih dari α=0,05 yaitu masing-masing 0,010 dan 0,097 sehingga

disimpulkan bahwa ragam data tidak homogen pada efek sitotoksik dan homogen

pada persentase survivin. Oleh karena data yang digunakan tidak memenuhi asumsi

normalitas maka digunakan uji pengganti dengan Kruskal-Wallis.

5.4 Analisis Statistik Efek Sitotoksik dan Persentase Survivin Pada Kultur Sel HeLa

Penelitian ini membandingkan efek sitotoksik dengan melihat persentase

kematian sel dan persentase survivin pada berbagai kelompok menggunakan uji

Kruskal-Wallis dengan hasil sebagai berikut :

Tabel 5.2 Hasil uji Kruskal-Wallis Efek Sitotoksik

Chi-square hitung Signifikansi Chi-square tabel Kesimpulan

18.458 0.002 11.071 Signifikan

Berdasarkan hasil pada tabel 5.2, diperoleh nilai chi-square hitung lebih besar

dari chi-square tabel dan nilai signifikansi yang lebih kecil dari α (0,05), sehingga

dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan rata-rata angka

persentase kematian sel pada masing-masing kelompok. Semua kelompok

perlakuan mengalami peningkatan efek sitotoksik dibandingkan kelompok kontrol

negatif. Untuk melihat letak perbedaan antar kelompok perlakuan, dilakukan uji

lanjutan dengan Mann-Whitney test dengan hasil sebagai berikut :

57

Gambar 5.5. Rata-rata persentase kematian sel pada masing-masing kelompok.

Perbandingan efek sitotoksik pada semua kelompok berdasarkan rata-rata %kematian sel, yang terendah adalah pada kelompok kontrol negatif (-0.450±0.058), pada terapi kombinasi semua dosis terjadi peningkatan %kematian sel yang signifikan dibandingkan kelompok kontrol (5-FU dan DPE), dan yang tertinggi pada kelompok terapi kombinasi 5-FU+DPE dosis 50 µg/mL (86.464±3.826). Notasi menunjukan perbedaan antar kelompok dari jumlah %kematian sel yang paling sedikit hingga yang paling banyak.

Dapat disimpulkan bahwa terjadi peningkatan efek sitotoksik berdasarkan

%kematian sel HeLa pada terapi kombinasi 5-FU dengan DPE dosis 25 dan 50

µg/mL berbeda signifikan dibandingkan terapi tunggal (5-FU atau DPE) dengan

p<0,05, sedangkan terapi kombinasi dengan dosis DPE 12,5 µg/mL tidak berbeda

secara signifikan p >0,05 dalam meningkatkan efek sitotoksik.

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

Kontrol - 5-Fu DPE 12,5 µg/mL 25 µg/mL 50 µg/mL

Ke

mat

ian

se

l (%

)

a

b bc

c

d d

58

Tabel 5.3 Hasil Uji Kruskal-Wallis Persentase Survivin

Chi-square hitung

Signifikansi

Chi-square tabel

Kesimpulan

21.470 0.001 11.071 Signifikan

Berdasarkan tabel 5.3, diperoleh nilai chi-square hitung yang lebih besar dari

chi-square tabel dan nilai signifikansi yang kurang dari α (0,05), sehingga dapat

disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan rata-rata persentase survivin

pada masing-masing kelompok yang diberi perlakuan. Untuk melihat letak

perbedaannya, dilakukan uji lanjut menggunakan Mann-Whitney test dengan hasil

notasi seperti yang terlihat pada gambar dibawah ini :

Gambar 5.6 Rata-Rata Persentase Survivin Pada Masing-Masing Perlakuan. Sel HeLa yang diberi perlakuan 5-FU, DPE dan terapi kombinasi menunjukan penurunan persentase survivin dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif. Semua dosis pada terapi kombinasi menunjukan penurunan yang signifikan.

0

10

20

30

40

50

60

Kontrol - 5-Fu DPE 12,5 µg/mL 25 µg/mL 50 µg/mL

Su

rviv

in (

%)

c

b

a

c

b

d

59

Gambar 5.6 menunjukkan bahwa rata-rata persentase survivin tertinggi pada

kelompok kontrol negatif (a) sebesar 53,73±5,885, dan rata-rata persentase survivin

terendah pada perlakuan 5-FU+DPE 50 µg/mL (d) sebesar 21,10±1,359. Pada

penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terjadi penurunan secara signifikan

persentase survivin pada kultur sel HeLa yang diberi terapi tunggal DPE dan terapi

kombinasi 5-FU+DPE dosis 25 dan 50 µg/mL dibandingkan terapi tunggal 5-FU

dengan p<0,05, sedangkan terapi kombinasi 5-FU+DPE 12,5 µg/mL tidak berbeda

secara signifikan p>0,05 dalam menurunkan persentase survivin.

60

BAB 6

PEMBAHASAN

6.1 Pengaruh Pemberian Terapi Tunggal 5-Fluorouracil terhadap Efek

Sitotoksik pada Sel HeLa

Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan pengaruh 5-Fluorouracil (5-FU)

dalam menghambat sel HeLa, parameter yang diukur yaitu efek sitotoksik guna

mengetahui seberapa besar hambatan yang dihasilkan. Pengujian efek sitotoksik

merupakan uji in vitro yang umumnya menggunakan kultur sel dan merupakan uji

awal untuk mengidentifikasi potensi ketoksikan suatu senyawa terhadap sel kanker.

Potensi sitotoksik senyawa diuji dengan metode MTT, cara kerjanya yaitu

untuk mengetahui aktivitas enzim yang mereduksi warna kuning MTT menjadi kristal

formazan berwarna ungu (Ganesh et al, 2014). Pada penelitian ini didapatkan

bahwa terapi tunggal 5-FU dosis 5 µg/mL menyebabkan rata-rata persen kematian

sel sebesar 54,21% dengan nilai p=0,019 dari populasi sel yaitu 5x103 tiap well,

sehingga dapat disimpulkan bahwa terapi tunggal 5-FU dapat meningkatkan efek

sitotoksik pada sel HeLa secara signifikan. Dosis 5-FU yang digunakan berdasarkan

penelitian sebelumnya oleh Liu et al (2015). 5-FU merupakan antimetabolit spesifik

yang telah digunakan lebih dari 60 tahun untuk pengobatan kanker dan memiliki

peran penting dalam perawatan pada tumor padat antara lain kanker

gastrointestinal, kanker payudara, kanker kulit, kanker kandung kemih maupun

kanker serviks (Dun et al, 2015).

Terapi tunggal 5-FU memiliki efek sitotoksik dengan mekanisme kerja yaitu

dapat menghentikan produksi enzim tymidilate synthase yang diperlukan untuk

mensintesis DNA sel kanker sehingga terjadi kerusakan DNA yang berdampak pada

61

penurunan proliferasi sel. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya

oleh Xavier et al (2011) yang menyatakan bahwa 5-FU dapat menghambat lebih dari

50% sel HCT15 (colorectal cancer cell line).

6.2 Pengaruh Pemberian Terapi Tunggal 5-Fluorouracil terhadap Persentase

Survivin pada Sel HeLa

Sebagian besar agen antikanker menghambat pertumbuhan sel melalui induksi

apoptosis, oleh karena proses karsinogenesis menekan apoptosis dan

meningkatkan proliferasi sel kanker sehingga induksi apoptosis menjadi salah satu

target terapi kanker. IAP (Inhibitor Antiapoptosis protein) berperan penting dalam

menghambat apoptosis, salah satu anggota IAP yaitu survivin berperan secara tidak

langsung dalam menghambat caspase 3, 7 dan 9 sehingga tidak terjadi apoptosis

(Yang et al, 2013).

Penelitian ini membuktikan bahwa terapi tunggal 5-FU mampu menurunkan

rata-rata persentase survivin pada sel HeLa sebesar 53,73% dengan nilai p=0,021,

maka disimpulkan bahwa 5-FU dapat menurunkan persentase survivin secara

signifikan. Masuknya 5-FU ke dalam sel berlangsung cepat melalui mekanisme

transportasi urasil dan selanjutnya diubah secara intraseluler menjadi 3 (tiga)

metabolit aktif yang dapat merusak DNA sel kanker. Kerusakan DNA sel kanker

menginduksi apoptosis melalui aktivasi p53 dan memodulasi permeabilitas membran

mitokondria untuk melepas SMAC-DIABLO yang dapat menghambat aktivitas

survivin (Xavier et al, 2011).

62

6.3 Pengaruh Pemberian Terapi Tunggal Ekstrak Ethanol Daun Benalu

Mangga (Dendrophthoe pentandra L.) terhadap Efek Sitotoksik pada Sel

HeLa

Pada penelitian ini didapatkan terapi tunggal ekstrak ethanol daun benalu

mangga (Dendrophthoe pentandra L.) atau DPE meningkatkan efek sitotoksik pada

sel HeLa yang ditunjukkan dengan rata-rata persen kematian sel sebesar 51,85%

dengan nilai p=0,019 (<0,05) yang artinya secara signifikan meningkatkan efek

sitotoksik. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian sebelumnya yang dilakukan

Zainudin & Sul’ain (2015) yang menyatakan bahwa DPE dapat menghambat 50%

sel MCF-7.

Benalu mangga memiliki banyak manfaat untuk pengobatan berbagai macam

penyakit karena adanya kandungan metabolit sekunder salah satunya yaitu

flavonoid. Kadar flavonoid yang telah diisolasi memiliki kandungan senyawa

quercetin yang berpotensi sebagai antikanker dengan mekanisme kerjanya sebagai

interkalator DNA sel kanker sehingga mengubah susunan basa nukleotida yang

berakibat pada kerusakan DNA sel kanker sehingga terjadi hambatan aktivitas

proliferatif sel kanker.

6.4 Pengaruh Pemberian Terapi Tunggal Ekstrak Ethanol Daun Benalu

Mangga (Dendrophthoe pentandra L.) terhadap Persentase Survivin pada

Sel HeLa

Penelitian ini membuktikan bahwa terapi tunggal ekstrak ethanol daun benalu

mangga (Dendrophthoe pentandra L.) efektif dalam menurunkan rata-rata

persentase survivin sebesar 23,91% (p=0,021) sehingga dapat disimpulkan bahwa

ekstrak ethanol daun benalu mangga secara signifikan menurunkan persentase

survivin pada sel HeLa. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya

63

oleh Han et al (2016) yang menyatakan bahwa quercetin secara signifikan

menurunkan mRNA survivin pada sel kanker ginjal.

Ekstrak ethanol daun benalu mangga yang memiliki senyawa aktif quercetin

menginduksi apoptosis sehingga terjadi perubahan karakteristik morfologi apoptosis

sel seperti eksternalisasi phospatidylserine, fragmentasi nukleus, dan penurunan

potensi membran mitokondria dan kondensasi kromatin. Quercetin juga menginduksi

penurunan rasio Bcl-2 (B-cell lymphoma 2)/Bax (Bcl-2 associated X protein) dan

survivin. Defosforilasi Bad (Bcl-2 associated domain) berkontribusi pada apoptosis

mitokondria dengan memfasilitasi Bax dari Bcl-xL, dan oligomerisasi Bax berikutnya

ke dalam membran mitokondria. Peningkatan regulasi sitokrom c, Apaf-1 dan

caspase bersama pembelahan PARP (poly ADP-ribose polymerase), mendukung

pembentukan kompleks apoptosom dan aktivasi kaskade caspase.

6.5 Pengaruh Pemberian Terapi Kombinasi 5-Fluorouracil dengan Ekstrak

Ethanol Daun Benalu Mangga (Dendrophthoe pentandra L.) terhadap Efek

Sitotoksik pada Sel HeLa

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh 5-Fluorouracil yang

dikombinasikan dengan ekstrak ethanol daun benalu mangga (Dendrophthoe

pentandra L.) dalam menghambat sel kanker serviks. Dosis ekstrak daun benalu

mangga yang digunakan berdasarkan hasil penelitian Elsyana et al, 2016, diperoleh

LC50 benalu mangga sebesar 55,31 µg/mL sehingga dosis yang digunakan pada

penelitian ini adalah 12,5, 25 dan 50 µg/mL. Pada penelitian ini nilai IC50 terapi

kombinasi 5-Fluorouracil dengan ekstrak ethanol daun benalu mangga yang

diperoleh sebesar 12,2 µg/mL, sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh NCI

(National Cancer Institute) bahwa syarat ekstrak yang baik adalah yang memiliki

aktivitas antiproliferatif dengan nilai IC50 ≤ 20 µg/mL (Zainudin & Sul’ain, 2015).

64

Quercetin dapat mencegah terjadinya stress oksidatif kanker oleh aktivitas

antioksidannya dan penghambatan C kinase yang terlibat dalam pertumbuhan sel

kanker, proliferasi dan metastasis. Quercetin juga dapat menginduksi kematian sel

kanker yang dimediasi oleh reseptor apoptosis dan dapat menahan aktivitas protein

C kinase yang berperan dalam perkembangan sel kanker (Wang et al, 2016).

Terapi kombinasi 5-FU dan ekstrak ethanol daun benalu mangga terbukti

sangat efektif dalam membunuh sel HeLa, semakin tinggi dosis ekstrak ethanol daun

benalu mangga maka semakin tinggi pula persentase sel yang mati. Pada penelitian

ini selain terapi kombinasi, terapi tunggal baik 5-FU (5 µg/mL) maupun ekstrak

ethanol daun benalu mangga (50 µg/mL) juga dapat membunuh lebih dari 50% sel

HeLa oleh karena keduanya merupakan kandidat antikanker yang telah terbukti

efektif, namun karena selain memiliki efek terapi 5-FU juga memiliki efek samping

yang dapat membunuh sel normal sehingga bila dikombinasikan dengan ekstrak

ethanol daun benalu mangga maka efek terapi 5-FU dapat ditingkatkan dengan

tetap mempertahankan 5-FU dalam dosis rendah. Hasil penelitian ini membuktikan

bahwa terapi kombinasi 5-FU dan ekstrak ethanol daun benalu mangga dengan

konsentrasi berbeda (12,5, 25 dan 50 µg/mL) mampu membunuh sel HeLa masing-

masing 68%, 85,3% dan 86,5%.

Hasil analisis menunjukkan bahwa semua kelompok perlakuan signifikan

dalam meningkatkan efek sitotoksik pada sel HeLa dengan nilai p=0,002 lebih kecil

dari α=0,05. Bila dibandingkan antar kelompok, terapi tunggal 5-FU menyebabkan

kematian sel sebesar 54,210±16,747 dan terapi tunggal ekstrak ethanol daun benalu

mangga sebesar 51,858±4,218, angka tersebut masih lebih rendah bila

dibandingkan dengan terapi kombinasi, dimana terjadi peningkatan kematian sel

seiring meningkatnya dosis. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya yang

65

menyatakan bahwa terapi kombinasi 5-FU dengan bahan alam jenis flavonoid

signifikan dalam meningkatkan kematian sel kanker kolon (Xavier et al, 2011).

6.6 Pengaruh Pemberian Terapi Kombinasi 5-Fluorouracil dengan Ekstrak

Ethanol Daun Benalu Mangga (Dendrophthoe pentandra L.) terhadap

Persentase Survivin pada Sel HeLa

Penelitian ini membuktikan bahwa terapi 5-Fluorouracil yang dikombinasikan

dengan ekstrak ethanol daun benalu mangga dapat menurunkan persentase survivin

pada sel HeLa. Berdasarkan hasil analisis, semua kelompok terapi kombinasi

signifikan dalam menurunkan persentase survivin pada sel HeLa dengan nilai

p=0,001 lebih kecil dari α=0,05. Kelompok yang paling signifikan dalam menurunkan

persentase survivin adalah kelompok terapi kombinasi (5-FU+DPE 50 µg/mL)

sebesar 21,10±1,359. Selain itu, hasil penelitian juga menunjukkan bahwa terapi

tunggal ekstrak ethanol daun benalu mangga lebih efektif dalam menurunkan

persentase survivin dibandingkan kelompok P1 (5-Fu+DPE 12,5 µg/mL) dan P2

(5-Fu+DPE 25 µg/mL). Hal ini dikarenakan konsentrasi yang digunakan pada terapi

tunggal ekstrak ethanol daun benalu mangga atau DPE adalah konsentrasi

maksimum yaitu 50 µg/mL dan oleh karena DPE yang memiliki kandungan quercetin

terbanyak telah terbukti efektif menurunkan jumlah survivin, sesuai dengan hasil

penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa quercetin secara signifikan

menurunkan ekspresi survivin pada sel glioma (Siegelin et al, 2008).

Mekanisme kerja 5-Fluorouracil adalah dengan merusak DNA sel kanker.

Kerusakan DNA sel kanker menginduksi apoptosis melalui aktivasi p53 dan

memodulasi permeabilitas membran mitokondria untuk melepas SMAC-DIABLO

yang dapat menghambat aktivitas survivin (Xavier et al, 2011). Sama halnya dengan

5-FU, DPE juga memiliki mekanisme kerja yang hampir sama yaitu dengan

66

interkalasi DNA yang menyebabkan kerusakan DNA sel kanker dan meningkatkan

fungsi p53 sebagai tumor suppressor gene yang mengakibatkan persentase survivin

dihambat oleh adanya pembentukkan kompleks p53-E2F yang selanjutnya

membentuk kompleks p53-sin3-HDAC (Jaiswal et al, 2015). Sin3 merupakan

protein ko-repressor yang kemudian berikatan dengan HDAC yang merupakan

repressor transkripsi, adanya pembentukkan kompleks p53-sin3-HDAC

meningkatkan fosforilasi dan stabilitas p53 serta mengikat promotor survivin

sehingga menurunkan persentase survivin dan selanjutnya menginduksi jalur

mitokondria sehingga terjadi apoptosis (Chan et al, 2013). Sel HeLa memiliki alel

p53 wild type (Correa et al, 2002), apabila diinduksi oleh agen kemoterapi maka p53

akan teraktivasi dan menjalankan fungsinya sebagai tumor suppressor gene dengan

menginduksi terjadinya apoptosis dan cell cycle arrest.

Dapat disimpulkan bahwa terapi kombinasi sangat efektif dalam menurunkan

persentase survivin, meskipun terapi tunggal ekstrak ethanol daun benalu mangga

efektif dalam menurunkan persentase survivin namun akan lebih baik jika

dikombinasikan dengan 5-FU agar lebih efektif dalam penurunan survivin yang

merupakan salah satu biomarker pertumbuhan sel kanker. Penelitian ini sejalan

dengan hasil studi sebelumnya yang menyatakan bahwa terapi kombinasi 5-Fu

dengan agen lainnya secara signifikan mengurangi ekspresi survivin pada sel kanker

kolon (Cai et al, 2009).

Persentase survivin lebih banyak pada fase G2/M karena difosforilasi oleh

CDK1 sedangkan pada fase G1/S persentase survivin lebih sedikit. DPE selain

memiliki mekanisme penurunan persentase survivin seperti yang telah dijelaskan

diatas, juga memiliki mekanisme kerja yaitu pada fase G2/M dengan cara

menghambat fungsi CDK1 sehingga survivin tidak dapat difosforilasi dan

67

persentasenya menurun, sedangkan 5-FU bekerja pada fase G1/S dimana

persentase survivin hanya sedikit sehingga hanya sedikit pula yang dihambat.

6.7 Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan secara efektif dan efisien oleh karena

pelaksanaannya sesuai dengan jadwal dan rencana yang telah ditentukan, akan

tetapi masih terdapat beberapa keterbatasan antara lain :

1. Penelitian ini tidak mengukur reaksi dari kedua bahan yang dikombinasikan

dalam menghambat sel HeLa sehingga tidak dapat dipastikan reaksi yang

ditimbulkan apakah sinergis atau aditif.

2. Tidak meneliti secara lanjut faktor-faktor yang mempengaruhi penurunan

persentase survivin salah satunya yaitu peran SMAC-DIABLO dalam

menghambat aktivitas survivin.

6.8 Implikasi Kebidanan

Bidan sebagai pemberi layanan primer di masyarakat memiliki kewenangan

untuk memberikan penyuluhan kesehatan salah satunya yang terkait kesehatan

reproduksi perempuan, oleh karena itu informasi mengenai agen kemoterapi dari

bahan alam sebagai terapi pendukung dalam meningkatkan efektivitas agen

kemoterapi konvensional guna mengatasi kanker serviks dapat disampaikan secara

ilmiah.

68

BAB 7

KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa :

1. Terapi tunggal 5-Fluorouracil dapat menimbulkan efek sitotoksik pada sel

HeLa sebesar 54,21% dibandingkan kelompok kontrol negatif (0%)

2. Terapi tunggal 5-Fluorouracil dapat menurunkan persentase survivin pada

sel HeLa yaitu 45,10% dibandingkan kelompok kontrol negatif (53,72%).

3. Terapi tunggal ekstrak ethanol daun benalu mangga (Dendrophthoe

pentandra L.) dapat menimbulkan efek sitotoksik pada sel HeLa (51,85%)

namun lebih rendah dibandingkan efek sitotoksik terapi tunggal

5-Fluorouracil.

4. Terapi tunggal ekstrak ethanol daun benalu mangga (Dendrophthoe

pentandra L.) dapat menurunkan persentase survivin pada sel HeLa

sebesar 23,91% dibandingkan terapi tunggal 5-Fluorouracil.

5. Terapi kombinasi 5-Fluorouracil dengan ekstrak ethanol daun benalu

mangga (Dendrophthoe pentandra L.) lebih efektif dalam meningkatkan efek

sitotoksik pada sel HeLa dibandingkan terapi tunggal 5-Fluorouracil maupun

ekstrak ethanol daun benalu mangga (Dendrophthoe pentandra L.).

6. Terapi kombinasi 5-Fluorouracil dengan ekstrak ethanol daun benalu

mangga (Dendrophthoe pentandra L.) lebih efektif dalam menurunkan

persentase survivin pada sel HeLa dibandingkan terapi tunggal

5-Fluorouracil maupun ekstrak ethanol daun benalu mangga (Dendrophthoe

pentandra L.).

69

7.2 Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk pengukuran reaksi terapi

kombinasi 5-Fluorouracil dengan ekstrak ethanol daun benalu mangga

apakah sinergis, aditif maupun antagonis dalam menghambat sel HeLa.

2. Pada penelitian selanjutnya diharapkan agar dosis 5-Fluorouracil diturunkan

untuk mengurangi efek samping, karena selain membunuh sel kanker

5-Fluorouracil juga dapat membunuh sel normal.

3. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang

mempengaruhi penurunan persentase survivin.

4. Penelitian lebih lanjut secara in vivo untuk membuktikan terapi kombinasi

5-Fluorouracil dengan ekstrak ethanol daun benalu mangga dalam

penurunan persentase survivin.

70

DAFTAR PUSTAKA

Arisusilo C., 2012. Kanker Serviks Sebagai Pembunuh Wanita Terbanyak di Negara Berkembang. Sainstis. 1 (1) : 112-123. Athanasoula K.C., Gogas H., Polonifi K., Vaiopoulos A.G., Polyzos A., Mantzourani

M, 2014. Cancer Letters 347 (2014) : 175-182. Brany D., Dvorska D., Slaviks P., Skolka R., Adamkov M., 2017. Survivin and

Gynaecological Tumours. Pathology – Research and Practice 213 (2017) : 295-300.

Cai M., Wang G-b., Tao K-x., Cai C-x., 2009. Enhanced Chemotherapy

Sensitivity of Human Colon Cancer Cells to 5-Fluorouracil by siRNA Recombinant Expression Vector Targeting Survivin Gene. Chin Med Sci J 24(2) : 97-101.

Castellsague X., 2008. Natural History and Epidemiology of HPV Infection and

Cervical Cancer. Gynecologic Oncology 110 (2008) : S4–S7.

Chan S-T., Yang N-Y., Huang C-S., Liang J-W., Yeh S-L., Quercetin Enhances the Antitumor Activity of Trichostatin a through Upregulation of p53 Protein Expression In Vitro and In Vivo. Plos one 8(1) : 1-10.

Coumar M.J., Tsai F.Y., Kanwar J.R., Sarvagalla S., Cheung C.H.A, 2013. Treat

Cancers by Targeting Survivin: Just a Dream or Future Reality?. Cancer

Treatment Reviews 39 (2013) : 802–811.

Dahlan S, 2011. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta : Salemba

Medika.

de Freitas A.C., Coimbra A.C., Leitao M.d.C.G., 2014. Molecular Target on HPV Oncoproteins: Potential Biomarkers Cervical Carcinogenesis. Biochimica et

Biophysica Acta 1845 (2014) 91–103. Dun J., Chen X., Gao H., Zhang Y., Zhang H., Zhang Y., 2015. Resveratrol

Synergistically Augments Anti-Tumor Effect of 5-FU In Vitro and In Vivo by Increasing S-phase Arrest and Tumor Apoptosis. Experimental Biology and Medicine 240 (2015) : 1672-1681.

Elsyana V., Bintang M., Priosoeryanto B.P., 2016. Cytotoxicity and Antiproliferative

Activity Assay of Clove Mistletoe (Dendrophthoe pentandra (L.) Miq.) Leaves Extracts. Hindawi Publishing Corporation Advances in Pharmacological Sciences. 2016 : 1-6.

71

Endharti A.T., Wulandari A., Listyana A., Norahmawati E., Permana S., 2016. Dendrophthoe pentandra (L.) Miq Extract Effectively Inhibits Inflammation, Proliferation and Induces p53 Expression on Colitis-Associated Colon Cancer. BMC Complementary and Alternative Medicine 16 (374) : 1-8.

Fatmawati D., Puspitasari P.K., Yusuf I., 2011. Efek Sitotoksik Ekstrak Etanol

Sarang Semut (Myrmecodia pendens) pada Sel Line Kanker Serviks HeLa Uji Eksperimental Secara In Vitro. Sains Medika, 3(2):112-120.

Fitrilia L., Bintang M., Safithri M., 2015. Phytochemical Screening and Antioxidant

Activity of Clove Mistletoe Leaf Extracts (Dendrophthoe pentandra (L.) Miq). IOSR Journal Of Pharmacy 5 (8) : 13-18.

Florento L., Matias R., Tuano E., Santiago K., Cruz F.D., Tuazon A., 2012.

Comparison of Cytotoxic Activity of Anticancer Drugs against Various Human Tumor Cell Lines Using In Vitro Cell-Based Approach. International Journal of Biomedical Science 8 (1) : 76-80.

Ganesh G., Abhishek T., Saurabh M., Sarada N.C., 2014. Cytotoxic and Apoptosis

Induction Potential of Mimusops elengi L. in Human Cervical Cancer (SiHa) Cell Line. Journal of King Saud University-Science 26 : 333-337.

Han C., Gao H., Zhang X., 2016. The Anti-Cancer Effect of Quercetin in Renal

Cancer Through Regulating Survivin Expression and Caspase 3 Activity. Med One 1(1) : 1-7.

Haryoto, Muhtadi, Indrayhuda P., Azizah T., Suhendi A., 2013. Jurnal Penelitian

Saintek. 18 (2) : 21-28. Hemaiswarya S., & Doble M., 2013. Combination of Phenylpropanoids with 5-

Fluorouracil as Anti-Cancer Agents Against Human Cervical Cancer (HeLa) Cell Line. Phytomedicine 20 (2013) :151–158.

Ikawati M., Wibowo A.E., Octa N.S., Adelina R., 2014. Pemanfaatan Benalu Sebagai

Agen Antikanker. Research Publication : 1-9. Jaiswal P.K., Goel A., Mittal R.D., 2015. Survivin : A Molecular Biomarker in Cancer.

Indian J. Med.Res 141 (4) : 387-397. Jiang P. & Yue Y., 2014. Human papillomavirus oncoproteins and apoptosis

(Review). Experimental And Therapeutic Medicine 7 : 3-7. Kashafi E., Moradzadeh M., Mohamadkhani A., Erfanian S., 2017. Kaemferol

Increases Apoptosis in Human Cervical Cancer HeLa Cells via PI3K/AKT and Telomerase Pathway. Biomedicine & Pharmacotherapy 89 (2017) : 573-577.

Khan S., Jutzy J.M.S., Aspe J.R., McGregor D.W., Neidigh J.W., Wall N.R., 2010.

Survivin is Released from Cancer Cells Via Exosomes. Apoptosis 16 (2010) :1–12.

72

Landry et al, 2013. The Genomic and Transcriptomic Landscape of a HeLa Cell Line.

Manuscript. 3 : 1213-1224. Liu H.Q., Wang Y.H., Wang L.L., Hao M., 2015. P16INK4A and Survivin: Diagnostic

and Prognostic Markers in Cervical Intraepithelial Neoplasia and Cervical Squamous Cell Carcinoma. Experimental and Molecular Pathology 99 (2015) : 44-49.

Liu Y., Bi T., Dai W., Wang G., Qian L., Gao Q., et al, 2015. Oxymatrine

Synergistically Enhances the Inhibitory Effect of 5-Fluorouracil on Hepatocellular Carcinoma In Vitro and In Vivo. Tumor Biol : 1-9.

Longley B.D., Harkin D.P., Johnston P.G., 2003. 5-Fluorouracil: Mechanisms of

Action and Clinical Strategies. Nature reviews Cancer 3 (2003) : 330-338. Lucey B.P., Walter M.D., Rees N., Hutchins G., 2009. Henrietta Lacks, HeLa Cells,

and Cell Culture Contamination. Arch Pathol Lab Med. 133 (2009) :1463-1467. Moody C.A., Laimins L.A., 2010. Human Papillomavirus Oncoproteins: Pathways to

Transformation. Nature reviews Cancer. 10 (2010) : 550-560. NCCN org, 2016. Cervical Cancer. NCCN Guideline Version I 2017. Niu G., Wang D., Pei Y., Sun L., 2017. Systematic Identification of Key Genes and

Pathways in the Development of Invasive Cervical Cancer. Gene 618 (2017) : 28–41. Ocviyanti D. & Handoko Y., 2013. Peran Dokter Umum dalam Pencegahan Kanker

Serviks di Indonesia. J. Indon. Med. Assoe 63 (1) : 1-3. Paavonen J., 2007. Human Papillomavirus Infection and The Development of

Cervical Cancer and Related Genital Neoplasias. International Journal of Infectious Diseases 11 (2) : 3-9.

Priyadarsini P.R., Murugan R.S., Maitreyi S., Ramalingam K., Karunagaran D.,

Nagini S., 2010. The Flavonoid Quercetin Induces Cell Cycle Arrest and Mitochondria-Mediated Apoptosis in Human Cervical Cancer (HeLa) Cells Through P53 Induction and NF-κB Inhibition. European Journal of Pharmacology 649 (2010) : 84–91.

Rahman M.N., Novalentina M., Wijaya C.R., 2017. Survivin Clinical Features in

Cervical Cancer. Mol Cell Biomed Sci 1(1) : 6-16. Sani Fathnur K., 2016. Metode Penelitian Farmasi Komunitas dan Eksperimental.

Yogyakarta : Deepublish. Santoso, 2005. Menguasai Statistik di Era Informasi dengan SPSS. Jakarta : PT

Bumi Aksara.

73

Sastroasmoro S., 2011. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi Keempat.

Jakarta : CV. Sagung Seto. Schiffman M., Castle E.P., Jeronimo J., Rodriguez A.C., Wacholder S., 2007. Human

Papilomma Virus and Cervical Cancer. Lancet 370 : 890-907. Srivastava S., Somasagara R.R., Hegde M., Nishana M., Tadi S.T., Srivastava M.,

et al, 2016. Quercetin, a Natural Flavonoid Interacts with DNA, Arrests Cell Cycle and Causes Tumor Regression by Activating Mitochondrial Pathway of Apoptosis. Scientific reports 6 : 1-13.

Tan J., Wang B., Zu L., 2009. Regulation of Survivin and Bcl-2 in HepG2 Cell

Apoptosis Induced by Quercetin. Chemistry & Biodiversity 6 : 1101-1110. Temme A., Rodriguez J.A., Hendruschk S., Günes S., Weigle B., Schäkel K., et al,

2007. Nuclear Localization of Survivin Renders HeLa Tumor Cells More Sensitive to Apoptosis by Induction of p53 and Bax. Cancer Letters 250 : 177-193.

Tommasino M., 2014. The Human Papillomavirus Family and its Role in

Carcinogenesis Seminars in Cancer Biology 26 :13–21. Tyas A.N, 2011. Aktivitas Penangkapan Radikal Bebas Fraksi Semipolar Ekstrak

Ethanol Benalu Mangga (Dendrophthoe pentandra L.) http://eprints.ums.ac.id/15022/2/BAB_I.pdf diakses 24 Desember 2017.

Vet J.N.I., de Boer M.A., van den Akker B.E.M.W., Siregar B., Lisnawati, Budiningsih

S., et al, 2008. Prevalence of Human Papillomavirus in Indonesia: a Population-Based Study in Three Regions. British Journal of Cancer 99 : 214 – 218.

Wang W., Sun C., Mao L., Ma P., Liu F., Yang J., et al, 2016. The Biological

Activities, Chemical Stability, Metabolism and Delivery Systems of quercetin: a Review. Trends in Food Science & Technology 56 : 21-38.

Widowati W., Mozef T., Risdian C., Yellianty, 2013. Anticancer and free radical

scavenging potency of Catharanthus roseus, Dendrophthoe petandra, Piper betle and Curcuma mangga Extracts in Breast Cancer Cell Lines. Oxid Antioxid Med Sci 2(2):137-142.

Xavier C.P.R., Lima C.F., Rohde M., Wilson C.P., 2011. Quercetin enhances 5-

Fuorouracil-induced Apoptosis in MSI Colorectal Cancer Cells Through P53 Modulation. Cancer Chemother Pharmacol 68:1449–1457.

Xue Y., An R., Zhang D., Zhao J., Wang X., Yang L., et al, 2011. Detection of

Survivin Expression in Cervical Cancer Cells Using Molecular Beacon Imaging: New Strategy for the Diagnosis of Cervical Cancer. European Journal of Obstetrics & Gynecology and Reproductive Biology 159 : 204–208.

74

Yang P-Y., Hu D-N., Liu F-S., 2013. Cytotoxic Effect and Induction of Apoptosis in

Human Cervical Cancer Cells by Antrodia camphorata. The American Journal of Chinese Medicine 41(5) : 1169–1180.

Yee L.S., Fauzi N.F.M., Najihah N.N., Daud N.M., Sulain D., 2017. Study of

Dendrophthoe Pentandra Ethyl Acetate Extract as Potential Anticancer Candidate on Safety and Toxicity Aspects. Journal of Analytical & Pharmaceutical Research 6 (1) : 1-11.

Zainudin N.A.S.N & Sul’ain M.D., 2015. Phytochemical Analysis, Toxicity and

Cytotoxicity Evaluation of Dendropthoe pentandra Leaves Extracts. International Journal of Applied Biology and Pharmaceutical Technology 6 (1) : 108-116.

75

Lampiran 1. Surat Keterangan Laik Etik

76

Lampiran 2. Surat Keterangan Bebas Plagiasi

77

Lampiran 3. Bukti Accepted Jurnal

----- Forwarded message -----

From: Journal of Applied Pharmaceutical Science <[email protected]>

To: "[email protected]" <[email protected]>

Sent: Saturday, 9 June 2018, 5:47:03 PM GMT+7

Subject: Decision Letter to Authors - Acceptance - (JAPS-2018-04-551)

Dear Agustina Tri Endharti,

I am pleased to inform you that your manuscript titled as "Mango mistletoe Dendrophthoe

pentandra leaf extract acts synergistically with 5-Fu to induce apoptosis and increase p21

expression in human cervical adenocarcinoma HeLa cells by reducing survivin expression"

(Manuscript Number: JAPS-2018-04-551) was accepted for publication in the Journal of

Applied Pharmaceutical Science. You are required to submit article processing charges

within next three days of receiving this mail through Banking/Paypal. Payment details will be

sent in a separate email.

Please send a scanned copy of the deposition receipt of amount transferred to

[email protected]

You could check your possible publication date at your author page.

You may login to your author account page, and visit accepted articles section in order to get

official/formal acceptance letter as PDF.

I would like to remind that you could send your future manuscripts to Journal of Applied

Pharmaceutical Science.

Sincerely yours,

Paras Sharma

Associate Editor

Journal of Applied Pharmaceutical Science

[email protected]

http://japsonline.com/index.php

_______________________________

http://www.ejmanager.com

78

Lampiran 4. Prosedur Kultur Sel HeLa

No Langkah Kerja Dokumentasi

Prosedur Thawing :

1 Menyiapkan bahan untuk medium komplit yang terdiri dari : a. RPMI 1640 b. Penicillin-Streptomycin 1% c. FBS 10%

2 Membuat medium komplit dan menyaringnya menggunakan membran filter 0,2 µM

3 Mengambil vial yang berisi sel HeLa dari

tabung nitrogen cair dan menghangatkan vial dalam waterbath suhu 37

oC

4 Memasukkan medium komplit sebanyak 5 mL ke dalam T-flask menggunakan membran filter

5 Memasukkan sel HeLa dari vial sebanyak 20 µL ke dalam T-flask yang telah berisi medium komplit

6

Menginkubasi sel di dalam inkubator CO2 suhu 37

oC

79

7 Mengamati sel setelah 24 jam menggunakan mikroskop untuk mengevaluasi viabilitasnya

Prosedur sub kultur :

1 Membuang medium sel yang ada di dalam T-flask

2 Menambahkan Tripsin/EDTA sebanyak 2 mL ke dalam T-flask dan menginkubasinya di dalam inkubator selama 5 menit

3 Menuang sel dan Tripsin/EDTA ke dalam tabung konikal steril dan melakukan sentrifugasi dengan kecepatan 800 rpm selama 8 menit

80

4 Membuang supernatant dan menambahkan medium komplit sebanyak 2 mL ke dalam tabung konikal

5 Memasukkan 5 mL medium komplit ke

dalam T-flask

6 Memasukkan sel berisi medium komplit ke

dalam T-flask

7 Mengamati sel di mikroskop sebelum diinkubasi

8 Menginkubasi sel di inkubator CO2 suhu 37

oC

Prosedur penanaman sel :

1 Membuang medium sel

2 Melakukan tripsinisasi dan sentrifugasi

3 Memindahkan sel ke dalam well plate 24 dengan perkiraan seeding 5x10

5 sel/well

dan menginkubasinya selama 24 jam

4 Setelah 24 jam, medium sel dibuang dan

ditambahkan ekstrak ethanol daun benalu mangga, 5-Fu maupun kombinasi keduanya pada masing-masing kelompok

5 Menginkubasi kembali sel selama 24 jam

Prosedur Harvesting (pemanenan) sel :

1 Mengamati dan mendokumentasikan sel

2 Membuang medium dan menambahkan PBS steril ke dalam well plate

3 Menambahkan Tripsin/EDTA dan

81

menginkubasi sel selama 5 menit

4

Memindahkan sel ke dalam tabung eppendorf

5 Melakukan sentrifugasi dengan kecepatan

2500 rpm selama 3 menit

6 Membuang supernatant, pellet sel ditambahkan antibodi survivin kemudian diinkubasi 20 menit dan selanjutnya dianalisis dengan flowsitometer

82

Lampiran 5. Prosedur MTT

No Langkah Kerja Dokumentasi

Membuat MTT solution

1 Menyiapkan bahan untuk pembuatan MTT solution yaitu MTT powder dan PBS steril

2 Mencampurkan MTT powder 0,001 gram dengan PBS steril 1 mL di dalam tabung eppondorf

Membuat reagen stopper atau MTT

solvent

1 Menyiapkan bahan untuk MTT solvent yaitu SDS powder, Isopropanol dan HCl

2 Mencampurkan SDS powder sebanyak 0,01 gram dengan Isopropanol 10 mL di dalam tabung konikal steril,

selanjutnya menambahkan 40 µL HCl

Panen sel untuk uji MTT

1

Memasukkan 20 µL MTT solution pada

tiap well kecuali kontrol medium

2 Menginkubasi sel 2-4 jam sambil diamati terbentuknya formazan

83

3 Mengamati dan dokumentasikan sel

4 Membuang medium sel yang

tercampur MTT solution dari tiap well

5 Menambahkan MTT solvent atau

reagen stopper sebanyak 150 µL

6 Menginkubasi sel selama 30 menit

7 Mengamati dan dokumentasikan sel

8 Mengukur absorbansi tiap well

menggunakan ELISA reader

84

Lampiran 6. Rata-Rata Persentase Survivin pada Tiap Kelompok

Sampel Replikasi Survivin (%)

Kontrol –

Kontrol + (5-Fu)

K-1 K-2 K-3 K-4

Rata-rata K+1 K+2 K+3 K+4

51,94 62,34 49,56 50,97

53,73±5,885 45,40 45,68 45,65 43,70

Rata-rata 45,11±0,947

Kontrol + (DPE)

K+1 K+2 K+3 K+4

21,45 24,19 24,28 25,72

Perlakuan 1

(5-Fu+12,5µg/mL)

Rata-rata P1-1 P1-2 P1-3 P1-4

23,91±1,784 38,25 37,30 39,90 45,80

Perlakuan 2

(5-Fu+25µg/mL)

Perlakuan 3

((5-Fu+50µg/mL)

Rata-rata P2-1 P2-2 P2-3 P2-4

Rata-rata P3-1 P3-2 P3-3 P3-4

Rata-rata

40,32 ±3,882 24,25 32,75 28,01 28,88

28,47 ±3,488 20,74 19,64 21,09 22,91

21,10 ±1,359

85

Lampiran 7. Hasil Pemeriksaan Persentase Survivin menggunakan Flowcytometer

86

87

88

89

90

91

Lampiran 8. Output SPSS Uji Efek Sitotoksik

Uji normalitas

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnov

a Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

Persentase kematian sel .151 24 .164 .849 24 .002

a. Lilliefors Significance Correction

Uji homogenitas ragam

Test of Homogeneity of Variances

Persentase kematian sel

Levene Statistic df1 df2 Sig.

4.209 5 18 .010

Deskriptif

Descriptives

Persentase kematian sel

N Mean Std. Deviation Std. Error

95% Confidence Interval for Mean

Minimum Maximum Lower Bound Upper Bound

kontrol - 4 -.4500 .05774 .02887 -.5419 -.3581 -.50 -.40

5-Fu 4 54.2101 16.74725 8.37362 27.5615 80.8587 39.59 74.93

DPE 4 51.8583 4.21803 2.10901 45.1465 58.5702 49.35 58.12

5-Fu + DPE 12.5 4 68.0304 16.54170 8.27085 41.7089 94.3520 45.29 84.74

5-Fu + DPE 25 4 85.2804 7.84083 3.92041 72.8039 97.7570 73.52 89.30

5-Fu + DPE 50 4 86.4637 3.82568 1.91284 80.3762 92.5512 83.15 89.78

Total 24 57.5655 31.23090 6.37498 44.3778 70.7531 -.50 89.78

92

Uji Kruskal wallis

Kruskal-Wallis Test

Ranks

kelompok N Mean Rank

Persentase kematian sel kontrol - 4 2.50

5-Fu 4 9.75

DPE 4 9.50

5-Fu + DPE 12.5 4 13.25

5-Fu + DPE 25 4 19.50

5-Fu + DPE 50 4 20.50

Total 24

Test Statisticsa,b

Persentase kematian

sel

Chi-square 18.458

df 5

Asymp. Sig. .002

a. Kruskal Wallis Test

b. Grouping Variable: kelompok

Uji lanjut mann whitney

Mann-Whitney Test

Ranks

kelompok N Mean Rank Sum of Ranks

Persentase kematian sel

kontrol - 4 2.50 10.00

5-Fu 4 6.50 26.00

Total 8

Test Statisticsb

Persentase kematian sel

Mann-Whitney U .000

Wilcoxon W 10.000

Z -2.337

Asymp. Sig. (2-tailed) .019

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .029a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: kelompok

93

Mann-Whitney Test

Ranks

kelompok N Mean Rank Sum of Ranks

Persentase kematian sel

kontrol - 4 2.50 10.00

DPE 4 6.50 26.00

Total 8

Test Statisticsb

Persentase kematian sel

Mann-Whitney U .000

Wilcoxon W 10.000

Z -2.352

Asymp. Sig. (2-tailed) .019

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .029a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: kelompok

Mann-Whitney Test

Ranks

kelompok N Mean Rank Sum of Ranks

Persentase kematian sel kontrol - 4 2.50 10.00

5-Fu + DPE 12.5 4 6.50 26.00

Total 8

Test Statisticsb

Persentase kematian sel

Mann-Whitney U .000

Wilcoxon W 10.000

Z -2.337

Asymp. Sig. (2-tailed) .019

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .029a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: kelompok

94

Mann-Whitney Test

Ranks

kelompok N Mean Rank Sum of Ranks

Persentase kematian sel kontrol - 4 2.50 10.00

5-Fu + DPE 25 4 6.50 26.00

Total 8

Test Statisticsb

Persentase kematian sel

Mann-Whitney U .000

Wilcoxon W 10.000

Z -2.352

Asymp. Sig. (2-tailed) .019

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .029a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: kelompok

Mann-Whitney Test

Ranks

kelompok N Mean Rank Sum of Ranks

Persentase kematian sel kontrol - 4 2.50 10.00

5-Fu + DPE 50 4 6.50 26.00

Total 8

Test Statisticsb

Persentase kematian sel

Mann-Whitney U .000

Wilcoxon W 10.000

Z -2.366

Asymp. Sig. (2-tailed) .018

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .029a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: kelompok

95

Mann-Whitney Test

Ranks

kelompok N Mean Rank Sum of Ranks

Persentase kematian sel

5-Fu 4 4.50 18.00

DPE 4 4.50 18.00

Total 8

Test Statisticsb

Persentase kematian sel

Mann-Whitney U 8.000

Wilcoxon W 18.000

Z .000

Asymp. Sig. (2-tailed) 1.000

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] 1.000a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: kelompok

Mann-Whitney Test

Ranks

kelompok N Mean Rank Sum of Ranks

Persentase kematian sel 5-Fu 4 3.50 14.00

5-Fu + DPE 12.5 4 5.50 22.00

Total 8

Test Statisticsb

Persentase kematian sel

Mann-Whitney U 4.000

Wilcoxon W 14.000

Z -1.155

Asymp. Sig. (2-tailed) .248

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .343a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: kelompok

96

Mann-Whitney Test

Ranks

kelompok N Mean Rank Sum of Ranks

Persentase kematian sel 5-Fu 4 2.75 11.00

5-Fu + DPE 25 4 6.25 25.00

Total 8

Test Statisticsb

Persentase kematian sel

Mann-Whitney U 1.000

Wilcoxon W 11.000

Z -2.033

Asymp. Sig. (2-tailed) .042

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .057a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: kelompok

Mann-Whitney Test

Ranks

kelompok N Mean Rank Sum of Ranks

Persentase kematian sel 5-Fu 4 2.50 10.00

5-Fu + DPE 50 4 6.50 26.00

Total 8

Test Statisticsb

Persentase kematian sel

Mann-Whitney U .000

Wilcoxon W 10.000

Z -2.337

Asymp. Sig. (2-tailed) .019

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .029a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: kelompok

97

Mann-Whitney Test

Ranks

kelompok N Mean Rank Sum of Ranks

Persentase kematian sel DPE 4 3.50 14.00

5-Fu + DPE 12.5 4 5.50 22.00

Total 8

Test Statisticsb

Persentase kematian sel

Mann-Whitney U 4.000

Wilcoxon W 14.000

Z -1.162

Asymp. Sig. (2-tailed) .245

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .343a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: kelompok

Mann-Whitney Test

Ranks

kelompok N Mean Rank Sum of Ranks

Persentase kematian sel DPE 4 2.50 10.00

5-Fu + DPE 25 4 6.50 26.00

Total 8

Test Statisticsb

Persentase kematian sel

Mann-Whitney U .000

Wilcoxon W 10.000

Z -2.337

Asymp. Sig. (2-tailed) .019

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .029a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: kelompok

98

Mann-Whitney Test

Ranks

kelompok N Mean Rank Sum of Ranks

Persentase kematian sel DPE 4 2.50 10.00

5-Fu + DPE 50 4 6.50 26.00

Total 8

Test Statisticsb

Persentase kematian sel

Mann-Whitney U .000

Wilcoxon W 10.000

Z -2.352

Asymp. Sig. (2-tailed) .019

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .029a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: kelompok

Mann-Whitney Test

Ranks

kelompok N Mean Rank Sum of Ranks

Persentase kematian sel 5-Fu + DPE 12.5 4 2.75 11.00

5-Fu + DPE 25 4 6.25 25.00

Total 8

Test Statisticsb

Persentase kematian sel

Mann-Whitney U 1.000

Wilcoxon W 11.000

Z -2.033

Asymp. Sig. (2-tailed) .042

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .057a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: kelompok

99

Mann-Whitney Test

Ranks

kelompok N Mean Rank Sum of Ranks

Persentase kematian sel 5-Fu + DPE 12.5 4 3.00 12.00

5-Fu + DPE 50 4 6.00 24.00

Total 8

Test Statisticsb

Persentase kematian sel

Mann-Whitney U 2.000

Wilcoxon W 12.000

Z -1.753

Asymp. Sig. (2-tailed) .080

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .114a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: kelompok

Mann-Whitney Test

Ranks

kelompok N Mean Rank Sum of Ranks

Persentase kematian sel 5-Fu + DPE 25 4 4.00 16.00

5-Fu + DPE 50 4 5.00 20.00

Total 8

Test Statisticsb

Persentase kematian sel

Mann-Whitney U 6.000

Wilcoxon W 16.000

Z -.588

Asymp. Sig. (2-tailed) .557

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .686a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: kelompok

100

Lampiran 9. Output SPSS uji perbedaan rata-rata

Uji normalitas

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnov

a Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

Survivin .159 24 .118 .916 24 .047

a. Lilliefors Significance Correction

Uji homogenitas ragam

Test of Homogeneity of Variances

Survivin

Levene Statistic df1 df2 Sig.

2.222 5 18 .097

Deskriptif

Descriptives

Survivin

N Mean Std. Deviation Std. Error

95% Confidence Interval for Mean

Minimum Maximum Lower Bound Upper Bound

K - 4 53.7250 5.88502 2.94251 44.3606 63.0894 49.56 62.43

K+ (5-Fu) 4 45.1075 .94669 .47335 43.6011 46.6139 43.70 45.68

P1 (12.5) 4 40.3225 3.83197 1.91599 34.2250 46.4200 37.30 45.84

P2 (25) 4 28.4725 3.48838 1.74419 22.9217 34.0233 24.25 32.75

P3 (50) 4 21.0950 1.35859 .67929 18.9332 23.2568 19.64 22.91

P4 (DPE) 4 23.9100 1.78354 .89177 21.0720 26.7480 21.45 25.72

Total 24 35.4388 12.43742 2.53878 30.1869 40.6906 19.64 62.43

101

Uji Kruskal wallis

Ranks

Kelompok

N Mean Rank

Survivin

K - 4 22.50

K+ (5-Fu) 4 17.50

P1 (12.5) 4 15.50

P2 (25) 4 10.00

P3 (50) 4 2.75

P4 (DPE) 4 6.75

Total 24

Test Statisticsa,b

Survivin

Chi-square 21.470

df 5

Asymp. Sig. .001

a. Kruskal Wallis Test

b. Grouping Variable: Kelompok

Uji lanjut dengan mann whitney

Mann-Whitney Test

Ranks

Kelompok

N Mean Rank

Survivin

K - 4 22.50

K+ (5-Fu) 4 17.50

P1 (12.5) 4 15.50

P2 (25) 4 10.00

P3 (50) 4 2.75

P4 (DPE) 4 6.75

Total 24

Test Statisticsa,b

Survivin

Chi-square 21.470

df 5

Asymp. Sig. .001

a. Kruskal Wallis Test

b. Grouping Variable: Kelompok

102

Mann-Whitney Test

Ranks

Kelompok N Mean Rank Sum of Ranks

Survivin

K - 4 6.50 26.00

K+ (5-Fu) 4 2.50 10.00

Total 8

Test Statisticsb

Survivin

Mann-Whitney U .000

Wilcoxon W 10.000

Z -2.309

Asymp. Sig. (2-tailed) .021

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .029a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: Kelompok

Mann-Whitney Test

Ranks

Kelompok N Mean Rank Sum of Ranks

Survivin

K - 4 6.50 26.00

P1 (12.5) 4 2.50 10.00

Total 8

Test Statisticsb

Survivin

Mann-Whitney U .000

Wilcoxon W 10.000

Z -2.309

Asymp. Sig. (2-tailed) .021

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .029a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: Kelompok

103

Mann-Whitney Test

Ranks

Kelompok N Mean Rank Sum of Ranks

Survivin

K - 4 6.50 26.00

P2 (25) 4 2.50 10.00

Total 8

Test Statisticsb

Survivin

Mann-Whitney U .000

Wilcoxon W 10.000

Z -2.309

Asymp. Sig. (2-tailed) .021

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .029a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: Kelompok

Mann-Whitney Test

Ranks

Kelompok N Mean Rank Sum of Ranks

Survivin

K - 4 6.50 26.00

P3 (50) 4 2.50 10.00

Total 8

Test Statisticsb

Survivin

Mann-Whitney U .000

Wilcoxon W 10.000

Z -2.309

Asymp. Sig. (2-tailed) .021

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .029a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: Kelompok

104

Mann-Whitney Test

Ranks

Kelompok N Mean Rank Sum of Ranks

Survivin

K - 4 6.50 26.00

P4 (DPE) 4 2.50 10.00

Total 8

Test Statisticsb

Survivin

Mann-Whitney U .000

Wilcoxon W 10.000

Z -2.309

Asymp. Sig. (2-tailed) .021

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .029a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: Kelompok

Mann-Whitney Test

Ranks

Kelompok N Mean Rank Sum of Ranks

Survivin

K+ (5-Fu) 4 5.50 22.00

P1 (12.5) 4 3.50 14.00

Total 8

Test Statisticsb

Survivin

Mann-Whitney U 4.000

Wilcoxon W 14.000

Z -1.155

Asymp. Sig. (2-tailed) .248

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .343a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: Kelompok

105

Mann-Whitney Test

Ranks

Kelompok N Mean Rank Sum of Ranks

Survivin

K+ (5-Fu) 4 6.50 26.00

P2 (25) 4 2.50 10.00

Total 8

Test Statisticsb

Survivin

Mann-Whitney U .000

Wilcoxon W 10.000

Z -2.309

Asymp. Sig. (2-tailed) .021

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .029a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: Kelompok

Mann-Whitney Test

Ranks

Kelompok N Mean Rank Sum of Ranks

Survivin

K+ (5-Fu) 4 6.50 26.00

P3 (50) 4 2.50 10.00

Total 8

Test Statisticsb

Survivin

Mann-Whitney U .000

Wilcoxon W 10.000

Z -2.309

Asymp. Sig. (2-tailed) .021

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .029a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: Kelompok

106

Mann-Whitney Test

Ranks

Kelompok N Mean Rank Sum of Ranks

Survivin

K+ (5-Fu) 4 6.50 26.00

P4 (DPE) 4 2.50 10.00

Total 8

Test Statisticsb

Survivin

Mann-Whitney U .000

Wilcoxon W 10.000

Z -2.309

Asymp. Sig. (2-tailed) .021

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .029a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: Kelompok

Mann-Whitney Test

Ranks

Kelompok N Mean Rank Sum of Ranks

Survivin

P1 (12.5) 4 6.50 26.00

P2 (25) 4 2.50 10.00

Total 8

Test Statisticsb

Survivin

Mann-Whitney U .000

Wilcoxon W 10.000

Z -2.309

Asymp. Sig. (2-tailed) .021

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .029a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: Kelompok

107

Mann-Whitney Test

Ranks

Kelompok N Mean Rank Sum of Ranks

Survivin

P1 (12.5) 4 6.50 26.00

P3 (50) 4 2.50 10.00

Total 8

Test Statisticsb

Survivin

Mann-Whitney U .000

Wilcoxon W 10.000

Z -2.309

Asymp. Sig. (2-tailed) .021

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .029a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: Kelompok

Mann-Whitney Test

Ranks

Kelompok N Mean Rank Sum of Ranks

Survivin

P1 (12.5) 4 6.50 26.00

P4 (DPE) 4 2.50 10.00

Total 8

Test Statisticsb

Survivin

Mann-Whitney U .000

Wilcoxon W 10.000

Z -2.309

Asymp. Sig. (2-tailed) .021

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .029a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: Kelompok

108

Mann-Whitney Test

Ranks

Kelompok N Mean Rank Sum of Ranks

Survivin

P2 (25) 4 6.50 26.00

P3 (50) 4 2.50 10.00

Total 8

Test Statisticsb

Survivin

Mann-Whitney U .000

Wilcoxon W 10.000

Z -2.309

Asymp. Sig. (2-tailed) .021

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .029a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: Kelompok

Mann-Whitney Test

Ranks

Kelompok N Mean Rank Sum of Ranks

Survivin

P2 (25) 4 6.00 24.00

P4 (DPE) 4 3.00 12.00

Total 8

Test Statisticsb

Survivin

Mann-Whitney U 2.000

Wilcoxon W 12.000

Z -1.732

Asymp. Sig. (2-tailed) .083

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .114a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: Kelompok

109

Mann-Whitney Test

Ranks

Kelompok N Mean Rank Sum of Ranks

Survivin

P3 (50) 4 2.75 11.00

P4 (DPE) 4 6.25 25.00

Total 8

Test Statisticsb

Survivin

Mann-Whitney U 1.000

Wilcoxon W 11.000

Z -2.021

Asymp. Sig. (2-tailed) .043

Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .057a

a. Not corrected for ties.

b. Grouping Variable: Kelompok

110

RIWAYAT HIDUP

Rabiah Umanailo, lahir di Ternate, 13 Juni 1986

anak keenam dari delapan bersaudara dari Bapak H.

Yusuf Umagapi dan Ibu (Alm) Sarifa Yusuf. Lulus SD

Negeri 1 Sanana tahun 1998, lulus SMP Negeri 1 Sanana

tahun 2001 dan lulus SMA Negeri 1 Sanana tahun 2004.

Tahun 2004 mengikuti pendidikan D III Kebidanan di

Poltekkes Kemenkes Ternate dan lulus pada tahun 2007.

Melanjutkan pendidikan D IV Bidan Pendidik di Poltekkes Kemenkes Makassar

tahun 2008, lulus tahun 2009. Pada tahun 2016 mengambil pendidikan Program

Studi Magister Kebidanan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang.

Tahun 2010 sampai 2016 penulis bekerja di Poltekkes Kemenkes Ternate dan Klinik

Bersalin Permata Hati Ternate