i
PENGARUH TERAPI KOMBINASI 5-FLUOROURACIL DENGAN EKSTRAK ETHANOL DAUN BENALU MANGGA
(Dendropthoe pentandra L.) TERHADAP EFEK SITOTOKSIK DAN PERSENTASE SURVIVIN
PADA SEL HeLa
TESIS
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Magister
OLEH : RABIAH UMANAILO
166070400111015
PROGRAM STUDI MAGISTER KEBIDANAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
BRAWIJAYA MALANG
2018
v
Halaman Peruntukan
Karya ilmiah ini kutujukan kepada
Ayahanda dan Ibunda Tercinta
H. Yusuf Umagapi dan (Alm) Sarifa Yusuf,
Kakak-kakak dan adikku tersayang
vi
RINGKASAN
Rabiah Umanailo Pengaruh Terapi Kombinasi 5-Fluorouracil dengan Ekstrak Ethanol Daun Benalu Mangga (Dendrophthoe pentandra L.) terhadap Efek Sitotoksik dan Persentase Survivin pada Sel HeLa, Program Studi Magister Kebidanan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya. Ketua Komisi Pembimbing: Agustina Tri Endharti, S.Si, Ph.D; Anggota: Dr.dr. Umi Kalsum, M.Kes.
Kanker serviks adalah salah satu jenis kanker yang umumnya mengenai wanita di seluruh dunia. Infeksi persisten oleh HPV (Human Papilloma Virus) tipe onkogenik tertentu merupakan penyebab terjadinya premalignan dan lesi epitel ganas pada serviks. HPV16 dan 18 merupakan jenis onkogenik yang paling umum menyebabkan sekitar 70% dari seluruh kanker serviks di seluruh dunia. Wanita yang memiliki risiko tinggi mengalami kanker serviks antara lain perilaku seksual individu yaitu usia yang terlalu muda saat melakukan hubungan seksual pertama kali dan sering berganti-ganti pasangan, wanita dengan pasangan pria yang tidak sirkumsisi dan tidak digunakannya kondom. Pada stadium awal, kanker serviks tidak menimbulkan gejala sehingga penderita yang datang untuk memeriksakan diri biasanya sudah berada pada stadium lanjut. Gejala kanker serviks pada stadium lanjut antara lain munculnya rasa sakit dan adanya perdarahan saat melakukan hubungan seksual, keputihan yang abnormal dalam jumlah yang banyak, perdarahan di luar siklus menstruasi, adanya penurunan berat badan yang signifikan dan apabila kanker telah menyebar ke daerah panggul dapat menyebabkan nyeri panggul hebat.
Kanker pada umumnya mengalami hambatan pada apoptosis sehingga terjadi peningkatan proliferasi sel, salah satu penghambat apoptosis yaitu survivin. Survivin adalah anggota dari IAP (Inhibitor Apoptosis Protein) yang berperan penting dalam pembelahan dan pertahanan sel kanker. Survivin didefinisikan pula sebagai TAA (Tumor associated antigen) universal karena diekspresikan pada berbagai jenis kanker. Pengobatan kanker pada umumnya mengalami kemajuan namun terdapat kelemahan, salah satu agen kemoterapi konvensional untuk kanker serviks yaitu 5-Fluorouracil. Selain memiliki efek terapi juga memiliki efek samping karena dapat membunuh sel normal, sehingga diperlukan pengobatan kombinasi 5-Fu dengan fitokimia alami untuk meningkatkan efek antikanker dan mengurangi efek samping.
Benalu mangga (Dendrophthoe pentandra L.) atau DPE sebagai salah satu bahan alam telah teruji memiliki efek sitotoksik terhadap sel kanker. Kandungan flavonoid paling banyak ditemukan pada DPE dibandingkan benalu teh (Scurrula oortina) dan benalu nangka (Macrosolen cochinchinensis). Salah satu senyawa aktif yang dimiliki DPE sebagai antikanker yaitu quercetin. Quercetin merupakan golongan flavonoid yang dapat menghambat proliferasi sel kanker antara lain kanker prostat, kanker serviks, kanker paru, kanker payudara dan kanker kolon. Pada penelitian ini, DPE digunakan sebagai ko-kemoterapi untuk meningkatkan efektivitas 5-Fu dengan variasi dosis DPE yaitu 12,5, 25 dan 50 µg/mL.
Tujuan pada penelitian ini yaitu untuk mengetahui pengaruh terapi kombinasi 5-Fu dengan DPE terhadap efek sitotoksik dan persentase survivin pada sel HeLa. Metode yang digunakan yaitu eksperimental dengan rancangan true experimental post test only with control group. Sampel pada penelitian ini adalah sel HeLa, pelaksanaan kultur dilakukan sesuai dengan prosedur, selanjutnya dibagi menjadi 6 kelompok yang terdiri dari kelompok kontrol negatif, kontrol positif yang diberi terapi tunggal 5-Fu, terapi tunggal DPE, dan terapi kombinasi 5-Fu dengan variasi dosis DPE (12,5, 25 dan 50 µg/mL). Untuk mengidentifikasi efek sitotoksik digunakan metode MTT dilanjutkan dengan ELISA reader untuk mengukur absorbansi dan menghitung IC50. Pada penelitian ini didapatkan bahwa terapi tunggal baik 5-Fu maupun DPE sudah memiliki efek sitotoksik masing-masing 54,2% dan 51,9%, semakin tinggi dosis DPE pada terapi kombinasi maka semakin tinggi persentase kematian sel yaitu
vii
68%, 85,3% dan 86,5%. Hasil analisis statistik dengan uji Kruskal-Wallis, didapatkan kelompok yang diberi terapi tunggal maupun kombinasi meningkatkan efek sitotoksik sel HeLa dengan p-value = 0,002 (<0,05). Selanjutnya dilakukan pengujian dengan Mann Whitney test untuk mengetahui perbedaan antar kelompok perlakuan diperoleh hasil terapi
kombinasi 5-Fu+DPE dosis 25 dan 50 µg/mL efektif dalam meningkatkan efek sitotoksik
dibandingkan terapi tunggal 5-Fu maupun DPE dengan p-value = 0,019 (<0,05). Sedangkan untuk mengetahui persentase survivin dilakukan pemeriksaan
Flowsitometri. Analisa statistik menggunakan uji Kruskal-Wallis untuk identifikasi perbedaan persentase survivin antar kelompok dengan p-value = 0,001 (<0,05), dilanjutkan dengan uji lanjut Mann Whitney test untuk mengetahui perbedaan nyata antar kelompok dan didapatkan bahwa terapi tunggal DPE, terapi kombinasi 5-Fu dengan DPE dosis 25 serta 50
µg/mL efektif dalam menurunkan persentase survivin masing-masing 23,91%, 28,47% dan
21,10% dengan p-value = 0,021(<0,05). Dapat disimpulkan bahwa pemberian terapi kombinasi 5-Fluorouracil dengan ekstrak
ethanol daun benalu mangga (Dendrophthoe pentandra L.) memberikan pengaruh terhadap peningkatan efek sitotoksik dan menurunkan persentase survivin, semakin tinggi dosis maka semakin tinggi efek sitotoksik dan semakin menurun persentase survivin pada sel HeLa.
viii
SUMMARY
Rabiah Umanailo Effect Combination Therapy of 5-Fluorouracil and Ethanol Extract from Mango Leaves (Dendrophthoe pentandra L.) Mistletoe on the Cytotoxic Effect and Percentage of Survivin in HeLa Cell, Master of Midwifery Program, Faculty of Medicine, Universitas Brawijaya. Chairman of the Advisory Committees: Agustina Tri Endharti, S.Si, Ph.D; Member: Dr. dr. Umi Kalsum, M.Kes.
Cervical cancer is one cancers generally affecting women in the world. Persistent infection by certain Human Papilloma Virus (HPV) oncogenic types causes premalignant and malignant epithelial lesions in cervix. HPV16 and 18 are the most common oncogenic species triggering 70 percent of cervical cancers globally. Women who have a high risk of cervical cancer are whom experiencing first sexual intercourse when still too young, whom interchanging the sexual partner, and women whose uncircumcised male partners or not using contraceptions. In early stages, cervical cancer does not appear any symptoms, therefore patients checking themselves to doctor will already be at advanced stage. Symptoms in advanced stage of cervical cancer include the appearance of pain and blood during sexual intercourse, abnormal vaginal discharge in large quantities, bleeding outside the menstrual cycle, a significant weight loss and if the cancer has spread to the pelvic area, it can cause severe pelvis pain.
Generally, cancer experiences interference in apoptosis resulting on the increase of cell proliferation; one of the apoptotic inhibitors is survivin. Survivin is a member of the Inhibitor Apoptosis Protein (IAP) that plays an important role in cleavage and defense mechanisms of cancer cells. Survivin is also defined as universal Tumor Associated Antigen (TAA) due to expressions in various types of cancers. Cancer treatment is advancing but there is a weakness. One of the conventional chemotherapy agents for cervical cancer is 5-Fluorouracil. Apart from having therapeutic effects, it also has side effects as it can kill normal cells. Thus, 5-Fu combination treatment with natural phytochemicals is needed to enhance the anticancer effect and reduce the side effects.
Mango (Dendrophthoe pentandra L.) mistletoe or DPE, as one of the natural ingredients, has been tested to have cytotoxic effects on cancer cells. Flavonoid compound is mostly found in DPE compared to tea (Scurrula oortina) and jackfruit mistletoes (Macrosolen cochinchinensis). One of the anticancer active compounds contained in DPE is quercetin. Quercetin is a class of flavonoids that can inhibit the proliferation of cancer cells such as prostate, cervical, lung, breast and colon cancers. In this study, DPE was used as aa co-chemotherapy to increase the effectiveness of 5-Fu with dose variations of 12.5, 25 and 50 μg/mL.
The aim of this research was to discover the effect of combined 5-Fu with DPE therapy on cytotoxic effect and survivin percentage on HeLa cell. This study experimented with true experimental post-test only with control group method. Samples were HeLa cells that were cultured according to the procedure, then they were divided into six groups consisting of negative control group, positive control treated with 5-Fu single therapy, DPE single therapy, and 5-Fu combination therapy with variation dose of DPE (12.5, 25 and 50 μg/mL). MTT method was used to identify the cytotoxic effect, then followed by ELISA reader to measure absorbance and calculate IC50. In this study, we found that both 5-Fu and DPE had a cytotoxic effect of 54.2% and 51.9% respectively. Thus, the higher the dose of DPE in combination therapy, the higher percentage of cell death was occured which were 68%, 85.3 % and 86.5%. The result of statistical analysis, using Kruskal-Wallis test, depicted that all single and combined therapy groups increased the cytotoxic effect of HeLa cells (p = 0.002; p < 0.05). Furthermore, Mann Whitney test was conducted to determine the differences between treatment groups. The result discovered that combination of 5-Fu + DPE dosage of 25 and 50 μg/mL was significantly effective in increasing the cytotoxic effect compared to single 5-Fu and DPE therapy (p = 0.019; p < 0.05).
ix
Meanwhile, percentage of survivin was examined using Flowcitometry examination. The statistical analysis used was Kruskal-Wallis test to identify the difference of survivin percentage between groups (p = 0.001; p < 0.05). Then, followed by further test of Mann-Whitney test to know the real differences between groups revealing that DPE single therapy, combined 5-Fu with DPE 25 and 50 μg/mL were effective in decreasing the survivin percentage by 23.91%, 28.47% and 21.10% respectively (p = 0.021; p < 0.05).
It can be concluded that the combination of 5-Fluorouracil with ethanol extract from leaves of mango (Dendrophthoe pentandra L.) mistletoe has an effect on increasing the cytotoxic effect and decreasing the percentage of survivin.
x
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karuniaNya
sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis dengan judul “Pengaruh
terapi kombinasi 5-Fluorouracil dengan ekstrak ethanol daun benalu mangga
(Dendrophthoe pentandra L.) terhadap efek sitotoksik dan penurunan
persentase survivin pada sel HeLa”.
Di dalam tulisan ini, disajikan pokok-pokok bahasan yang meliputi
pendahuluan, tinjauan pustaka terkait kanker serviks, sel HeLa, survivin, uji
sitotoksik, 5-Fluorouracil, benalu mangga, kerangka konsep penelitian, metodologi
penelitian, hasil penelitian, pembahasan serta kesimpulan dan saran.
Penyelesaian tesis ini tidak terlepas dari bimbingan, bantuan dan dukungan
dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Prof. Dr. Ir. Nuhfil Hanani AR., MS., selaku Rektor Universitas Brawijaya
Malang beserta segenap jajarannya atas kesempatan dan fasilitas pendidikan
yang diberikan selama menempuh pendidikan di Program Studi Magister
Kebidanan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang.
2. Prof. Dr. Ir. Mohammad Bisri, MS., selaku Rektor Universitas Brawijaya
Malang periode 2014-2018 beserta segenap jajarannya atas kesempatan dan
fasilitas pendidikan yang diberikan selama menempuh pendidikan di Program
Studi Magister Kebidanan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang.
3. Dr. dr. Sri Andarini, M.Kes., selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Brawijaya, atas izin yang diberikan sehingga penulis dapat menempuh
xi
pendidikan di Program Studi Magister Kebidanan Fakultas Kedokteran
Universitas Brawijaya Malang.
4. Dr. dr. Bambang Rahardjo, Sp.OG (K), selaku Ketua Program Studi Magister
Kebidanan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya yang telah memberikan
dukungan dan motivasi selama penulis menempuh pendidikan di Program
Studi Magister Kebidanan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang.
5. Kepala Badan PPSDM Kesehatan yang telah memberikan bantuan biaya
selama penulis menempuh pendidikan di Program Studi Magister Kebidanan
Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang.
6. Kartini M. Ali, S.Pd, M.Kes selaku Direktur Poltekkes Kemenkes Ternate, yang
telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan.
7. Agustina Tri Endharti, S.Si, Ph.D, selaku ketua komisi pembimbing dan Dr. dr.
Umi Kalsum, M.Kes, selaku anggota pembimbing yang senantiasa
meluangkan waktu dalam membimbing dan mengarahkan penulis sehingga
penyusunan tesis ini dapat terselesaikan.
8. Dr. dr. Tatit Nurseta, Sp.OG (K) selaku penguji 1 dan dr. Eviana Norahmawati,
Sp.PA (K) selaku penguji 2 yang telah banyak memberi saran dan masukan
demi kesempurnaan tesis ini.
9. Seluruh dosen Program Studi Magister Kebidanan Fakultas Kedokteran
Universitas Brawijaya Malang yang telah memberi pengetahuan, bimbingan
serta arahan selama proses pendidikan.
10. Teristimewa kepada kedua orangtua, kakak, adik dan keluarga yang
senantiasa mendoakan, memberi dukungan dan motivasi selama penulis
mengikuti pendidikan.
xii
11. Sahabat tim penelitian (Yunialce dan Eni Sulastri) serta teman-teman
angkatan 2016 Program Studi Magister Kebidanan yang telah berjuang
bersama dalam melalui proses pendidikan.
12. Semua pihak yang telah membantu dalam proses pendidikan dan penyusunan
proposal ini.
Menyadari sepenuhnya bahwa penulisan tesis ini masih terdapat banyak
kekurangan dan keterbatasan, untuk itu kritik dan saran sangat diharapkan dari
semua pihak untuk perbaikan agar tulisan ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Malang, Juli 2018
Penulis
xiii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN ..................................................................... ii LEMBAR PENGESAHAN ...................................................................... iii PERNYATAAN ORISINALITAS TESIS .................................................. iv HALAMAN PERUNTUKAN .................................................................... v RINGKASAN ......................................................................................... vi SUMMARY ............................................................................................ viii KATA PENGANTAR .............................................................................. x DAFTAR ISI ........................................................................................... xiii DAFTAR TABEL .................................................................................... xvi DAFTAR GAMBAR ................................................................................ xvii DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. xviii DAFTAR SINGKATAN ........................................................................... xix BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................................ 1
1.1 Latar Belakang....................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah ................................................................. 5 1.3 Tujuan Penelitian ................................................................... 6
1.3.1 Tujuan Umum .............................................................. 6 1.3.2 Tujuan Khusus ............................................................. 6
1.4 Manfaat Penelitian ................................................................. 7 1.4.1 Manfaat Akademik ....................................................... 7 1.4.2 Manfaat Praktis ............................................................ 7
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................ 8 2.1 Kanker Serviks ..................................................................... 8
2.1.1 Definisi Kanker Serviks ............................................... 8 2.1.2 Etiologi dan Patofisiologi Kanker Serviks .................... 9 2.1.3 Klasifikasi Kanker Serviks ........................................... 12 2.1.4 Penanganan Kanker Serviks ....................................... 13
2.2 Sel HeLa ............................................................................... 14 2.3 Survivin ................................................................................. 15
2.3.1 Definisi Survivin .......................................................... 15 2.3.2 Struktur dan Fungsi Survivin ....................................... 16 2.3.3 Hubungan Survivin dengan Apoptosis ........................ 16 2.3.4 Survivin pada Siklus Sel ............................................. 19
xiv
2.3.5 Survivin pada Kanker Serviks ..................................... 21 2.4 Uji Sitotoksik ......................................................................... 22 2.4.1 Definisi Uji Sitotoksik .................................................. 22 2.4.2 Penentuan IC50 ........................................................... 22
2.5 5-Fluorouracil ........................................................................ 23 2.5.1 Definisi........................................................................ 23 2.5.2 Mekanisme kerja 5-Fluorouracil .................................. 24
2.6 Benalu Mangga .................................................................... 25 2.6.1 Definisi........................................................................ 25 2.6.2 Fitokimia Benalu Mangga ........................................... 26 2.6.3 Quercetin pada Benalu Mangga ................................. 27 2.6.4 Quercetin terhadap sel HeLa ...................................... 29
BAB 3 KERANGKA KONSEP PENELITIAN ......................................... 31 3.1 Kerangka Teori ..................................................................... 31 3.2 Kerangka Konsep ................................................................. 32 3.3 Hipotesis Penelitian .............................................................. 35
BAB 4 METODE PENELITIAN .............................................................. 36 4.1 Desain Penelitian .................................................................. 36 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ............................................... 37 4.3 Sampel Penelitian dan Replikasi ........................................... 37 4.4 Variabel Penelitian ................................................................ 38
4.5.1 Variabel Independent ................................................... 38 4.5.2 Variabel Dependent...................................................... 38
4.5 Definisi Operasional .............................................................. 39 4.6 Bahan dan Alat Penelitian ..................................................... 39
4.6.1 Kultur Sel HeLa .......................................................... 39 4.6.2 Ekstrak Ethanol Benalu Mangga ................................. 40 4.6.3 5-Fluorouracil.............................................................. 40
4.7 Prosedur Penelitian dan Pengumpulan Data ........................ 41 4.7.1 Kultur Sel .................................................................... 41 4.7.2 Pembuatan Ekstrak Ethanol Benalu Mangga .............. 42 4.7.3 5-Fluorouracil.............................................................. 44 4.7.4 Prosedur Perlakuan dan Kontrol ................................. 44 4.7.5 Uji Efek Sitotoksik ....................................................... 45 4.7.6 Pemeriksaan Persentase Survivin .............................. 46
4.8 Analisa Data ......................................................................... 46 4.9 Alur Penelitian ...................................................................... 48
BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN ANALISA DATA ................................. 49 5.1 Pengaruh Terapi 5-Fluorouracil dan/atau Terapi Kombinasi dengan DPE terhadap Efek Sitotoksik Sel HeLa .............................................................. 49
5.2 Pengaruh Terapi 5-Fluorouracil dan/atau Terapi Kombinasi dengan DPE terhadap Persentase Survivin Sel HeLa ................................................................ 54
5.3 Pengujian Asumsi Data ......................................................... 55
xv
5.4 Analisis Statistik Efek Sitotoksik dan Persentase Survivin Sel HeLa .................................................................. 56
BAB 6 PEMBAHASAN ........................................................................... 60
6.1 Pengaruh Terapi Tunggal 5-Fluorouracil terhadap Efek Sitotoksik pada Sel HeLa.............................................. 60
6.2 Pengaruh Terapi Tunggal 5-Fluorouracil terhadap Persentase Survivin pada Sel HeLa ..................................... 61
6.3 Pengaruh Terapi Tunggal DPE terhadap Efek Sitotoksik pada Sel HeLa.............................................. 62
6.4 Pengaruh Terapi Tunggal DPE terhadap Persentase Survivin Sel HeLa .............................................. 62
6.5 Pengaruh Terapi Kombinasi 5-Fluorouracil dan DPE terhadap Efek Sitotoksik pada Sel HeLa .............................................................................. 63
6.6 Pengaruh Terapi Kombinasi 5-Fluorouracil dan DPE terhadap Persentase Survivin pada
Sel HeLa .............................................................................. 65 6.7 Keterbatasan Penelitian ........................................................ 67 6.8 Implikasi Kebidanan .............................................................. 67
BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................... 68 7.1 Kesimpulan ........................................................................... 68 7.2 Saran .................................................................................... 69
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 70 LAMPIRAN ............................................................................................ 75 RIWAYAT HIDUP .................................................................................. 110
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Klasifikasi Stadium kanker serviks ................................................. 12
Tabel 2.2 Penanganan Kanker serviks .......................................................... 13
Tabel 4.1 Definisi Operasional ....................................................................... 39
Tabel 5.1 Perbandingan Rata-rata Persentase Kematian Sel HeLa ........................................................................................ 52 Tabel 5.2 Hasil Uji Kruskal-Wallis Efek Sitotoksik .......................................... 56
Tabel 5.3 Hasil Uji Kruskal-Wallis Persentase Survivin .................................. 58
xvii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Zona Transformasi Serviks..................................... 9
Gambar 2.2 Mekanisme Infeksi HPV ........................................ 10
Gambar 2.3 Spesimen Biopsi Sel HeLa ..................................... 15
Gambar 2.4 Skema Peran Survivin ............................................ 18
Gambar 2.5 Struktur CPC .......................................................... 21
Gambar 2.6 Benalu Mangga ...................................................... 26
Gambar 2.7 Struktur Kimia Quercetin ....................................... 28
Gambar 2.8 Efek Dan Mekanisme Kerja Quercetin .................... 30
Gambar 3.1 Kerangka Teori....................................................... 31
Gambar 3.2 Kerangka Konsep ................................................... 32
Gambar 4.1 Alur Penelitian ........................................................ 48
Gambar 5.1 Sel HeLa Yang Diberi Perlakuan ............................ 50
Gambar 5.2 Pembentukkan Formazan Pada Sel HeLa Setelah Diberi MTT Solution ................... 51 Gambar 5.3 Kurva Regresi Linier ............................................... 53
Gambar 5.4 Hasil Analisis Survivin Menggunakan Flowsitometri .......................................................... 55 Gambar 5.5 Rata-Rata Persentase Kematian Sel HeLa ............ 57
Gambar 5.6 Rata-Rata Persentase Survivin .............................. 58
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Surat Keterangan Kelaikan Etik .................................................... 75
Lampiran 2 Surat Keterangan Bebas Plagiasi ................................................. 76
Lampiran 3 Bukti Accepted Jurnal .................................................................. 77
Lampiran 4 Prosedur Kultur Sel HeLa ............................................................. 78
Lampiran 5 Prosedur MTT .............................................................................. 82
Lampiran 6 Rata-Rata Persentase Survivin .................................................... 84
Lampiran 7 Hasil Pemeriksaan Survivin Menggunakan Flowsitometri………………………………………………………….. 85 Lampiran 8 Output SPSS Kematian Sel .......................................................... 91
Lampiran 9 Output SPSS Persentase Survivin…………………………………100
xix
DAFTAR SINGKATAN
ABK : Aurora B Kinase
ATCC : American type culture collection
Anova : Analisis of variance
APAF1 : Apoptotic protease activating factor 1
Bax : Bcl-2 assosiated x protein
BrdU : Bromodeoxyuridine
Bcl-2 : B cell Limphoma 2
BIR : Baculoviral IAP Repeat
BB : Berat Badan
Caspase : Cystein Aspartyl Specific Protease
CDK : Cyclin Dependent Kinase
CIN : Cervical intraepithelial neoplasma
CPC : Chromosomal Passanger Complex
DHFU : Dyhydrofluorouracil
DMSO : Dimethyl sulfoxide
DNA : Deoxyribose nucleat acid
DPE : Dendrophthoe pentandra extract
DR : Death Receptor
dTTP : deoxythymidine Triphosphate
EBRT : External Beam Radiation Therapy
ECM : Ekstraseluler matriks
EDTA : Ethylenediaminetetraacetic acid
ER : Estrogen Receptor
E6 : Early Protein 6
xx
E6AP : E6 Associated Protein
FADD : Fas associated Death Domain Protein
FUTP : Fluorouridine Triphosphate
FUDP : Fluorouridine Diphosphate
FUMP : Fluorouridine Monophosphate
FdUTP : Fluorodeoxyuridine Triphosphate
FdUMP : Fluorodeoxyuridine Monophosphate
FdUDP : Fluorodeoxyuridine Diphosphate
FBS : Fetal Bovine Serum
FIGO : The International Federation of Gynaecology and Obsterics
G : Gravity
g : Gram
G1/S : Gap 1/Syntesis
G2/M : Gap 2/Mitosis
HBIXP : Hepatitis B X-Linked Interacting Protein
HDAC : Histone Deacetylases
HeLa : Henrietta Lacks
HPV : Human Papillomavirus
HSILs : High Squamous Intraepithelial Lesions
IAP : Inhibitor of Apoptosis Protein
ICTV : International Council on Taxonomy of Virusses
IC50 : Inhibitor of Concentration 50
INCENP : Inner Centromer Protein
Kg : Kilo Gram
MAP3 : Mitogen Activating Protein Kinase
xxi
MCL-1 :Myeloid Cell Leukemia Factor 1
MDM2 : Mouse Double Minute 2
mM : Mili Mol
mg : Mili Gram
mL : Mili LITER
ML-1 : Mistel Lektin 1
MOM : Mitochondrial Outer Membran
mRNA : Massanger Ribonucleat Acid
MTT : 3(4,5 dimethyltiazol 2-yl) (-2,5 diphenyltetrazolium bromide)
LPS : Lipopolisakarida
LSILs : Low Squamous Intraepithelial Lesions
nm : Nano Meter
NaCl : Natrium Chlorida
NCCN : National Comprehensif Cancer Network
NF-kβ : Nuclear Factor Kappa Beta
NO : Nitrit Oxide
OPRT : Orotate Phosphoribosyltransferase
ORFs : Open Reading Frames
PARP : Poly ADP-Ribose Polymerase
PBS : Phosphate Buffer Saline
PRPP : Phosphoribosyl Pyhrophosphate
pRB : Protein Retinoblastoma
RNA : Ribonucleic Acid
Rpm : Rotasi per Menit
RPMI : Roswell Park Memorial Institute
xxii
ROS : Reactive Oxydation Species
RNS : Species Nitrogen Reaktif
SCC : Squamous Cell Carcinoma
SIL : Squamous Intraepithelial Lesion
SMAC/DIABLO:Second Mitochondria Derived Activator of Caspase/Direct IAPs Binding Protein with Low PI
SPSS : Statistical Package For Social Sciences
TAA : Tumor Associated Antigen
TERT : Telomerase Reverse Transcriptase
TLC : Thin Layer Chromatography
TNF : Tumor Necrosis Factor
TS : Thymidilate Synthase
UK : Uridine Kinase
UTP : Uridine Triphosphate
WHO : World Health Organization
XIAP : X-Linked Inhibitor Apoptosis Protein
5-Fu : 5-Fluorouracil
µM : Mikro Mol
µL : Mikro Liter
µg : Mikro Gram
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kanker serviks adalah salah satu jenis kanker yang umumnya mengenai
wanita di seluruh dunia, dan bertanggungjawab untuk 529.000 kasus baru serta
275.000 kematian tiap tahun. Lebih dari 80% kasus terjadi di negara berkembang,
dimana program pencegahan dan pengendalian terhadap kanker serviks tidak
berjalan efektif atau tidak ada sama sekali (de Freitas et al, 2014). Infeksi persisten
oleh HPV (Human Papilloma Virus) tipe onkogenik tertentu merupakan penyebab
terjadinya premalignan dan lesi epitel ganas pada serviks. Terdapat lebih dari 100
jenis genotipe HPV, 15 diantaranya menyebabkan kanker serviks. HPV16 dan 18
merupakan jenis onkogenik yang paling umum menyebabkan sekitar 70% dari
seluruh kanker serviks (Castellsague, 2008). Di Indonesia, kanker serviks berada
pada posisi kedua dari segi jumlah penderita kanker pada perempuan, akan tetapi
menjadi penyebab kematian nomor satu. Berdasarkan data WHO (World Health
Organization) pada tahun 2008 diperkirakan setiap harinya terdapat 38 kasus baru
dan 21 orang perempuan meninggal karena kanker serviks dan akan meningkat
sebesar 74%, prevalensinya juga akan meningkat sebesar 49% (Ocviyanti &
Handoko, 2013).
Di Indonesia, jenis HPV yang paling banyak menginfeksi dan menyebabkan
kanker serviks adalah HPV16 dan 18 (Vet et al, 2008). Untuk mengidentifikasi
perkembangan HPV onkogen dan pengujian agen terapi biasanya digunakan cell
line salah satunya yaitu sel HeLa yang merupakan sel adenokarsinoma serviks yang
terinfeksi HPV18 (Xue, et al, 2011). Adanya invasi HPV onkogen menyebabkan
2
terjadinya ikatan antara onkoprotein E6 dari HPV dengan tumor suppressor gene
yaitu p53 yang mengakibatkan penurunan apoptosis dan cell cycle arrest (Jiang &
Yue, 2014).
Hambatan apoptosis dan cell cycle arrest pada kanker serviks sama seperti
kanker secara umum, adanya gangguan mekanisme apoptosis menyebabkan
peningkatan jumlah proliferasi sel kanker. Hambatan apoptosis selain disebabkan
degradasi p53 juga dipengaruhi oleh berbagai faktor salah satunya oleh karena
adanya protein penghambat apoptosis yaitu survivin. Survivin merupakan salah satu
protein penghambat apoptosis (IAP/ inhibitor of apoptosis protein) dan diekspresikan
dalam jumlah yang besar pada malignansi, ekspresi survivin juga berhubungan
dengan prognosis maupun diagnosis tumor dan merupakan target untuk terapi
antikanker. Ekspresi survivin yang berlebihan pada kanker juga dapat menghambat
checkpoint pada siklus sel sehingga memfasilitasi perkembangan transformasi sel
yang menyimpang melalui mitosis (Jaiswal et al, 2015). Sebagai penghambat
apoptosis, survivin mempengaruhi aktivitas caspase (cytoplasmic aspartate-specific
cysteine proteases). Apoptosis terjadi melalui dua jalur yakni intrinsik dan ekstrinsik,
kedua jalur ini diperankan oleh caspase, baik yang bersifat inisiator yaitu caspase 8
dan caspase 9 maupun sebagai efektor oleh caspase 3, 6 dan 7 (Rahman et al,
2017).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Xue et al (2011) didapatkan ekspresi
mRNA survivin pada nukleus dan sitoplasma pada sel HeLa. Temme et al, (2007)
melalui penelitian yang dilakukannya menyatakan adanya peningkatan regulasi
mRNA survivin pada sel HeLa di fase G2/M menyebabkan terjadinya gangguan
pada siklus sel sehingga meningkatkan proliferasi sel kanker. Oleh karena survivin
memiliki peran penting dalam perkembangan sel kanker maka survivin dijadikan
3
target pengobatan yang bertujuan menghambat pertumbuhan sel kanker melalui
induksi apoptosis. Hasil penelitian oleh Tan et al (2009) menunjukkan bahwa
quercetin menyebabkan terjadinya cell cycle arrest pada fase G2/M yang
mengakibatkan penurunan jumlah survivin. Penurunan jumlah survivin disebabkan
pula oleh jalur p53 independent yang diatur secara langsung oleh p53 dengan
menurunkan persentase sel pada fase G2/M.
Pengobatan kanker pada umumnya mengalami kemajuan namun terdapat
kelemahan karena timbulnya resistensi pada obat kemoterapi konvensional oleh
karena perkembangan sel kanker. Agen kemoterapi konvensional pada kanker salah
satunya adalah dengan 5-Fluorouracil (5-FU) (Hemaiswarya & Doble, 2013). 5-FU
merupakan obat antimetabolit yang bekerja dengan cara menghambat proses
biosintesis RNA virus dan menstimulasi terjadinya cell cycle arrest atau berhentinya
siklus sel pada fase G1/S sehingga menginduksi apoptosis pada sel kanker (Dun et
al, 2015). 5-FU merupakan salah satu agen kemoterapi yang digunakan pada
umumnya, namun memiliki efek samping karena dapat membunuh sel normal. Oleh
karena itu, diperlukan pengobatan kombinasi 5-FU dengan fitokimia alami untuk
meningkatkan efek antikanker dan mengurangi efek samping dari kemoterapi 5-FU.
Hasil penelitian Hemaiswarya & Doble (2013) menyatakan bahwa terapi kombinasi
5-FU dengan flavonoid lebih efektif dalam menghambat malignansi dibandingkan
terapi tunggal. Kombinasi terapi kanker serviks 5-FU dengan bahan alam jenis
flavonoid juga dapat meningkatkan efektivitas pengobatan, karena masing-masing
terapi memiliki mekanisme kerja yang berbeda dalam mengurangi perkembangan
sel kanker.
Pada pengobatan kanker, obat atau bahan yang digunakan diharapkan
memiliki efek sitotoksik terhadap sel kanker sehingga menghambat proliferasi sel
4
kanker. Benalu mangga (Dendrophthoe pentandra L.) sebagai salah satu bahan
alam telah teruji memiliki efek sitotoksik terhadap sel kanker. Uji sitotoksik
Dendrophthoe pentandra L. menggunakan metode MTT [3(4,5 dimethyltiazol 2-yl)(-
2,5-diphenyltetrazolium bromide)] yang dilakukan oleh Widowati et al, (2013)
didapatkan hasil bahwa ekstrak air benalu mangga (Dendrophthoe pentandra L.)
memiliki efek sitotoksik yaitu dapat menurunkan viabilitas sel kanker payudara
dengan nilai IC50 (Inhibitor of Concentration 50%) sebesar 1,2%.
Kandungan flavonoid paling banyak ditemukan pada benalu mangga
(Dendrophthoe pentandra L.) dibandingkan benalu teh (Scurrula oortina) dan benalu
nangka (Macrosolen cochinchinensis) (Ikawati et al, 2014). Oleh sebab itu, tanaman
ini dijadikan target penelitian untuk terapi kanker karena memiliki kemampuan
sebagai antiinflamasi dan antikanker. Salah satu senyawa aktif yang dimiliki benalu
mangga (Dendrophthoe pentandra L.) sebagai antikanker yaitu quercetin. Quercetin
merupakan golongan flavonoid yang dapat menghambat proliferasi sel kanker antara
lain kanker prostat, kanker serviks, kanker paru, kanker payudara dan kanker kolon
(Endharti et al, 2016).
Penelitian terkait terapi kombinasi ekstrak daun benalu mangga dengan
berbagai dosis yang dikombinasikan dengan 5-Fluorouracil sampai saat ini belum
dilakukan di Indonesia, sehingga perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh
terapi kombinasi 5-Fluorouracil dengan ekstrak ethanol daun benalu mangga
terhadap efek sitotoksitas dan penurunan persentase survivin pada sel HeLa.
5
1.2 Rumusan Masalah
Apakah terdapat pengaruh terapi kombinasi 5-Fluorouracil dengan ekstrak
ethanol daun benalu mangga (Dendrophthoe pentandra L.) terhadap efek sitotoksik
dan persentase survivin pada sel HeLa?
1.2.1 Rumusan Sub Masalah
1. Apakah terdapat pengaruh terapi tunggal 5-Fluorouracil terhadap efek
sitotoksik pada sel HeLa?
2. Apakah terdapat pengaruh terapi tunggal 5-Fluorouracil terhadap
persentase survivin pada sel HeLa?
3. Apakah terdapat pengaruh terapi tunggal ekstrak ethanol daun benalu
mangga (Dendrophthoe pentandra L.) terhadap efek sitotoksik pada sel
HeLa?
4. Apakah terdapat pengaruh terapi tunggal ekstrak ethanol daun benalu
mangga (Dendrophthoe pentandra L.) terhadap persentase survivin pada
sel HeLa?
5. Apakah terdapat pengaruh terapi kombinasi 5-Fluorouracil dengan
ekstrak ethanol daun benalu mangga (Dendrophthoe pentandra L.)
terhadap efek sitotoksik pada sel HeLa?
6. Apakah terdapat pengaruh terapi kombinasi 5-Fluorouracil dengan
ekstrak ethanol daun benalu mangga (Dendrophthoe pentandra L.)
terhadap persentase survivin pada sel HeLa?
6
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui pengaruh terapi kombinasi 5-Fluorouracil dengan ekstrak
ethanol daun benalu mangga (Dendrophthoe pentandra L.) terhadap efek sitotoksik
dan persentase survivin pada sel HeLa.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk membuktikan apakah terapi tunggal 5-Fluorouracil dapat
meningkatkan efek sitotoksik pada sel HeLa.
2. Untuk membuktikan apakah terapi tunggal 5-Fluorouracil dapat
menurunkan persentase survivin pada sel HeLa.
3. Untuk membuktikan apakah terapi tunggal ekstrak ethanol daun benalu
mangga (Dendrophthoe pentandra L.) dapat meningkatkan efek sitotoksik
pada sel HeLa.
4. Untuk membuktikan apakah terapi tunggal ekstrak ethanol daun benalu
mangga (Dendrophthoe pentandra L.) dapat menurunkan persentase
survivin pada sel HeLa.
5. Untuk membuktikan apakah terapi kombinasi 5-Fluorouracil dengan
ekstrak ethanol daun benalu mangga (Dendrophthoe pentandra L.) dapat
meningkatkan efek sitotoksik pada sel HeLa.
6. Untuk membuktikan apakah terapi kombinasi 5-Fluorouracil dengan
ekstrak ethanol daun benalu mangga (Dendrophthoe pentandra L.) dapat
menurunkan persentase survivin pada sel HeLa.
7
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Akademis
Dapat digunakan sebagai literatur ilmiah dalam bidang pendidikan dan
sebagai bahan rujukan untuk penelitian lebih lanjut.
1.4.2 Manfaat Praktis
Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar ilmiah
penggunaan ekstrak ethanol daun benalu mangga (Dendrophthoe pentandra
L.) untuk terapi alternatif pada terapi kombinasi guna mengatasi kanker
serviks.
8
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kanker Serviks
2.1.1 Definisi
Kanker serviks merupakan kanker yang biasanya timbul pada cincin mukosa
yang disebut zona transformasi serviks atau squamous columnar junction, yang
bersifat dinamis, dimana terjadi pergeseran secara bertahap mulai dari ektoserviks
hingga ke dalam kanalis endoserviks atau dari epitel skuamosa bertingkat berpindah
ke mukosa penghasil kelenjar epitel. Kanker serviks disebabkan infeksi oleh HPV
terutama tipe onkogenik secara persisten (Schiffman et al, 2007). Terdapat empat
tahap dalam perkembangan kanker serviks mulai dari infeksi metaplasia epitel pada
zona transformasi serviks, persistensi virus, perkembangan infeksi persisten pada
epitel menjadi prakanker serviks dan invasi melalui epitel membran basalis
(Schiffman et al, 2007).
Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa kanker serviks menyebabkan
529.000 kasus baru dan 275.000 kematian setiap tahunnya, wanita yang berisiko
tinggi mengalami kanker serviks antara lain perilaku seksual individu yaitu usia yang
terlalu muda saat melakukan hubungan seksual pertama kali dan sering berganti-
ganti pasangan, pasangan pria yang tidak sirkumsisi dan tidak digunakannya
kondom (Castellsague, 2008). Pada stadium awal, kanker serviks tidak
menimbulkan gejala sehingga penderita yang datang untuk memeriksakan diri
biasanya sudah berada pada stadium lanjut. Keluhan yang dirasakan pada stadium
lanjut antara lain munculnya rasa sakit dan adanya perdarahan saat melakukan
hubungan seksual, keputihan yang abnormal dalam jumlah yang banyak,
9
perdarahan di luar siklus haid, adanya penurunan berat badan yang signifikan dan
jika kanker telah menyebar hingga daerah panggul dapat menyebabkan nyeri
panggul hebat (Arisusilo, 2012).
Gambar 2.1 Zona transformasi serviks Zona transformasi serviks adalah cincin metaplasia skuamosa aktif
dimana epitel skuamosa stratifikasi dari ektoserviks diserang secara progresif hingga epitel glandular endoserviks. Jaringan metaplastik sangat rentan terhadap potensi karsinogenik oleh infeksi HPV yang persisten (Schiffman et al, 2007).
.
Kanker serviks memiliki stadium lesi prakanker yang panjang, disebut juga
CIN (cervical intraephitelial neoplasia) atau neoplasia intraepitelial serviks. CIN
diklasifikasikan menjadi tiga tingkatan yaitu CIN I, CIN II dan CIN III yang merupakan
SIL (squamous intraephitelial lesion) tahap dimana lesi prakanker berubah menjadi
karsinoma serviks yang invasif yang pada akhirnya menjadi SCC (squamous cell
carcinoma atau sel skuamosa invasif) yang sulit diobati dan dapat menyebabkan
kematian (Niu, et al, 2017).
2.1.2 Etiologi dan Patofisiologi Kanker Serviks
Kanker serviks disebabkan adanya infeksi persisten HPV onkogen. Terdapat
lebih dari 120 tipe HPV yang diklasifikasikan sebagai HPV risiko tinggi dan HPV
risiko rendah dan tergantung potensi onkogen masing-masing individu. Sekitar 15
10
tipe HPV risiko tinggi (16, 18, 31, 33, 35, 39, 45, 51, 52, 56, 58, 59, 68, 73 dan 82)
yang berhubungan dengan malignansi pada daerah genitalia, HPV16 dan HPV18
merupakan tipe HPV risiko tinggi yang ditemukan lebih dari 70% pada kasus kanker
serviks (de Freitas et al, 2014). HPV merupakan virus dengan DNA beruntai ganda,
memiliki genom berukuran kecil yaitu 8 kb dan mengkode 6 protein awal atau early
protein nonstructural yang berfungsi mengatur sintesis protein di awal antara lain E1,
E2, E4, E5, E6 dan E7 serta 2 protein akhir atau late protein yaitu L1 dan L2 yang
berfungsi membentuk struktur protein pada genom host (Paavonen, 2007).
Virion dirakit dan dirilis
Ekpresi gen akhir, amplifikasi genom virus Ekspresi gen awal E1, E2, E6 & E7
Gambar 2.2 Mekanisme infeksi HPV (Moody & Laimins, 2010)
HPV menginfeksi jaringan keratinosit pada lapisan basal epitel melalui luka kecil yang terbuka. Jaringan yang tidak terinfeksi ditunjukkan pada gambar bagian kiri dan jaringan terinfeksi HPV ditunjukkan pada gambar bagian kanan. Pada bagian yang terinfeksi, genom virus dibentuk pada nukleus sebagai penggandaan episom yang rendah dan adanya ekspresi gen awal virus. Genom virus kemudian direplikasi sejalan dengan replikasi DNA seluler. Setelah pembelahan, sel anakan berpindah dari lapisan basal dan selanjutnya berdiferensiasi. Diferensiasi sel yang telah positif HPV menginduksi fase produksi dari siklus hidup virus yang membutuhkan mesin sintesis DNA seluler. Ekspresi E6 dan E7 meregulasi kontrol siklus sel, mendorong diferensiasi sel menuju fase S, diikuti pula amplifikasi genom virus pada sel normal yang keluar dari siklus sel. Pada tahap akhir, sintesis protein L1 dan L2 enkapsidasi oleh genom virus dan virion diturunkan dari bagian atas lapisan epitel yang ditandai dengan heksagon merah pada gambar (Moody & Laimins, 2010).
Cornified
Dermis
Spinous
Basal
Granula
Epitel normal Epitel terinfeksi HPV
11
Onkoprotein E6 dari HPV berikatan dan mengganggu fungsi p53, dimana
p53 merupakan faktor transkripsi yang mengatur ekspresi gen yang mengkode
regulator siklus sel, dengan adanya cell cycle arrest untuk dilakukannya DNA repair
atau perbaikan DNA dan apoptosis sehingga mencegah terjadinya replikasi DNA
yang rusak sebelum masuk ke fase S (Tommasino, 2014). Sedangkan E7 berikatan
dengan protein tumor suppressor RB (retinoblastoma) sehingga menurunkan
aktivasi faktor transkripsi E2F yang merangsang ekspresi gen yang terlibat pada
fase S (Sintesis). Selanjutnya E7 berinteraksi dengan p21 dan p27 yang merupakan
inhibitor CDK (cyclin-dependent kinase). Sasaran utama CDK adalah cyclin CDK-2
pada jaringan keratinosit untuk mengatur transisi dari fase G1 ke fase S (de Freitas,
2014).
Perkembangan infeksi HPV onkogen menjadi kanker serviks apabila
paparannya bersifat persisten. Sel abnormal pada epitel serviks kemudian
berkembang menjadi lesi prakanker yang disebut juga sebagai CIN, perkembangan
untuk menjadi kanker adalah sebagai berikut (Rahman, et al, 2017) :
1. CIN I/low-grade squamous intraephitelial lesion (LSILs), pada tahap ini perubahan
pada sel terinfeksi HPV akan membentuk partikel baru dari virus.
2. CIN II/high-grade squamous intraephitelial lesion (HSILs), sel terus menunjukkan
gejala abnormal prakanker.
3. CIN III, permukaan lapisan serviks dipenuhi sel abnormal dan menyebabkan
terjadinya penebalan. CIN III biasanya disebabkan oleh jenis HPV tertentu, bila
tidak diobati maka sel abnormal akan menjadi kanker dan menginfeksi sel normal.
4. Invasi sel kanker
Klasifikasi prakanker hingga kanker diidentifikasi dengan pemeriksaan
12
mikroskopik. Jenis kanker yang sering ditemukan adalah sel karsinoma
skuamosa/SCC (squamous cell carcinoma) dan adenokarsinoma. SCC
berkembang dari ektoserviks dan memulai transformasi abnormal dalam area
ektoserviks menuju endoserviks. Disisi lain, adenokarsinoma berkembang dari sel
glandula di daerah endoserviks. Baik SCC maupun adenokarsinoma akan
berkembang menjadi kanker serviks, selain itu terdapat pula kombinasi antara
keduanya yang disebut karsinoma adenoskuamosa.
2.1.3 Klasifikasi Kanker Serviks
Klasifikasi kanker serviks menurut FIGO (Federation International of
Gynocology and Obstetrics) yang dtuangkan dalam NCCN (National Comprehensive
Cancer Network) guidelines version 1. 2017 adalah sebagai berikut :
Tabel 2.1 Klasifikasi Kanker Serviks
Stadium Karakteristik
I Karsinoma serviks hanya terbatas pada serviks IA Karsinoma serviks yang didiagnosa dengan pemeriksaan mikroskop,
stroma dengan kedalaman 5.0 mm diukur dari epitel basal. Penyebarannya horizontal ≤7.0 mm, keterlibatan vaskuler, vena atau limfa tidak mempengaruhi klasifikasi.
IA1 Invasi stroma ≤3.0 mm, penyebaran horisontal dengan kedalaman ≤7.0 mm.
IA2 Invasi stroma >3.0 mm dan tidak lebih dari 5.0 mm, penyebaran horisontal dengan kedalaman ≤7.0 mm.
IB Lesi yang terlihat secara klinis terbatas pada serviks atau pemeriksaan secara mikroskopik didapatkan lesi lebih besar dibandingkan stadium IA.
IB1 Secara klinis lesi terlihat ≤4.0 cm. IB2 Secara klinis lesi terlihat >4.0 cm. II Karsinoma serviks menginvasi serviks lebih jauh namun tidak ke dinding
pelvis atau sepertiga bagian bawah vagina IIA Tumor tanpa invasi parametrium.
IIA1 Secara klinis lesi terlihat ≤4.0 cm. IIA2 Secara klinis lesi terlihat >4.0 cm. IIB Tumor disertai invasi parametrium. III Tumor meluas ke dinding pelvis dan menyerang sepertiga bagian bawah
vagina dan/atau menyebabkan hidronefrosis atau tidak berfungsinya ginjal.
IIIA Tumor menyerang sepertiga bagian bawah vagina, tidak ada ekstensi ke dinding pelvis.
13
IIIB Tumor meluas ke dinding pelvis dan/atau menyebabkan hidronefrosis atau ginjal tidak berfungsi.
IVA Tumor menyerang kandung kemih atau rektum dan/atau melewati panggul.
IVB Metastasis luas (termasuk penyebaran pada peritoneal, supraklavikula, mediastinum, limfanud paraaotik, paru-paru, hati atau tulang).
2.1.4 Penanganan Kanker Serviks
Pasien dengan kanker serviks biasanya akan mengalami kekambuhan
berulang, metastasis atau kombinasi keduanya. Menurut FIGO tingkat kekambuhan
sekitar 11 hingga 22% untuk stadium IB sampai IIA dan 28 hingga 64% untuk
stadium IIB sampai IVA. Penanganan untuk kanker serviks menurut NCCN
Guidelines Version 1. 2017 adalah sebagai berikut :
Tabel 2.2 Penanganan Kanker Serviks
Stadium Hasil Biopsi Penanganan
IA1 Tanpa LVSI
(lymphovascular space invasion)
Batas negatif dan tidak memerlukan operasi
Observasi
Batas negatif dan memerlukan operasi
Histerektomi ekstrafasial
Batas positif displasia atau karsinoma
Pertimbangan Cone biopsy ulangan untuk
mengevaluasi kedalaman invasi atau ekstrafasial atau histererektomi radikal yang dimodifikasi + diseksi limfonud pelvik bila terdapat batas positif karsinoma
IA1 dengan LVSI dan IA2
Sama dengan stadium IA1 Modified radical hysterectomy atau histererektomi radikal yang dimodifikasi - Diseksi limfonud pelvik. - Pengambilan sampel limfonud para aorta
atau EBRT (External Beam Radiation Therapy) pelvik - Brachyterapy
IB1 dan IIA1 Histerektomi radikal + diseksi limfonud pelvik. - Pengambilan sampel limfonud para aorta
(kategori 2B) atau EBRT pelvik - Brachiterapy (dosis A : 80-85 Gy)
(kategori 1 untuk kemoradiasi primer) - Kemoterapi (Cisplatin)
IB2 dan IIA2 EBRT pelvik definitif - Kemoterapi (Cisplatin) - Brachiterapy (total dosis A : ≥85 Gy) atau Histerektomi radikal (kategori 2B)
14
- Diseksi limfonud pelvik - Pengambilan sampel limfonud para aorta
(kategori 2B) EBRT pelvik - Kemoterapi (cisplatin) - Adjuvant histerektomi (kategori 3)
IIB, IIIA, IIIB dan IVA
Berdasarkan hasil pemeriksaan Radiologi : Adenopati (-)
EBRT pelvik definitif - Kemoterapi (Cisplatin) - Brachiterapy (kategori 1)
Adenopati (+) Pelviknud
(-) Adenopati (+) Pelviknud (+)
EBRT pelvik definitif - Kemoterapi (Cisplatin) - Brachiterapy (kategori 1) - EBRT limfonud para aorta Ekstraperitoneal atau diseksi laparaskopi limfanud Pertimbangkan ekstraperitoneal atau diseksi laparaskopi limfanud
Metastasis luas Kemoterapi. Radioterapi (individual) (IMRT/internalty-modulate radiation therapy)/SBRT:
Streotastic Body Radiotherapy. Stadium bedah (kategori 2B)
: ekstraperitoneal atau diseksi laparaskopi limfanud : bila hasil negatif
EBRT pelvic - Kemoterapi (Cisplatin) - Brachiterapy (kategori 1)
Stadium bedah (kategori 2B) : ekstraperitoneal atau diseksi laparaskopi limfanud : bila hasil positif
EBRT pelvic - Kemoterapi (Cisplatin) - Brachiterapy (kategori 1) Extended field EBRT (bila perluasan metastasis negatif) - Kemoterapi (Cisplatin) - Brachiterapy Kemoterapi (bila perluasan metastasis positif) dan radioterapi (individual)
2.2 Sel HeLa
Sel HeLa adalah cell line yang sering digunakan untuk mengidentifikasi
etiologi, patogenesis maupun terapi untuk kanker serviks. Sel HeLa berasal dari
kanker serviks seorang pasien yang bernama Henrietta Lacks yang kemudian
meninggal akibat kanker serviks pada tahun 1951 (Landry et al, 2013). Sel HeLa
merupakan sel adenokarsinoma serviks akibat infeksi HPV18 (Xue, et al, 2011).
Protein E6 dan E7 pada HPV mempengaruhi peran protein apoptosis dan
meningkatkan aktivitas proliferasi sel kanker. Aktivitas proliferasi pada sel HeLa oleh
15
karena adanya ikatan E6 dengan p53 menyebabkan penurunan fungsi p53 dalam
menginduksi apoptosis, sedangkan E7 berikatan dengan protein RB menyebabkan
hiperfosforilasi p105RB sehingga terjadi peningkatan proliferasi sel (Fatmawati et al,
2011).
Gambar 2.3 Spesimen biopsi sel HeLa. Pada gambar A menunjukkan hasil biopsi spesimen yang diambil dari serviks Henrietta Lacks. Epitel skuamosa pada bagian kanan atas tampak normal. Gambar B menunjukkan adanya karsinoma in situ dengan reaksi inflamasi sel pada stroma, bagian epitel di kiri atas mengandung karsinoma in situ sedangkan bagian epitel kiri bawah menunjukkan infiltrasi karsinoma. Gambar C merupakan pembesaran dari gambar B (khususnya bagian kiri atas) yang mengandung infiltrasi karsinoma. Gambar D, terdapat infiltrasi karsinoma yang menunjukkan pleomorfisma sel malignan (spesimen epitel diberi pewarna HE (Hematoxylin-Eosin), pembesaran 5x (A), pembesaran 64x (B dan C) dan pembesaran 100x (D) (Lucey et al, 2009).
2.3 Survivin
2.3.1 Definisi
Survivin adalah anggota dari IAP (Inhibitor Apoptosis Protein) berperan
penting dalam pembelahan dan pertahanan sel kanker (Athanasoula et al, 2014).
Survivin didefinisikan pula sebagai TAA (Tumor associated antigen) universal karena
16
diekspresikan pada berbagai jenis kanker. Selain pada sel kanker, survivin juga
diekspresikan pada sel normal dalam jumlah yang sedikit (Temme et al, 2007).
Menurut penelitian Liu et al (2015), ekspresi survivin pada jaringan normal, CIN
(Cervical Intraephitelial Neoplasia) dan sel karsinoma skuamosa serviks mengalami
peningkatan secara bertahap, ekspresi survivin pada CIN I, CIN II dan CIN III juga
mengalami peningkatan secara signifikan, survivin merupakan penanda diagnosis
dan perbandingan antara stadium CIN, semakin besar ekpresi survivin maka
semakin tinggi stadium CIN. Selain itu, ekspresi survivin juga merupakan biomarker
patologi klinis sel karsinoma skuamosa serviks. Survivin terdapat pada nukleus,
sitoplasma, mitokondria dan daerah ekstraseluler. Hasil penelitian Xue et al (2011),
didapatkan ekspresi mRNA survivin di nukleus dan sitoplasma pada sel HeLa.
2.3.2 Struktur dan Fungsi Survivin
Survivin memiliki berat molekul 16,5 kDa dan memiliki 140 asam amino
(Jaiswal et al, 2015). Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa survivin ditemukan
pada nukleus yang berfungsi mengatur regulasi mitosis antara lain sebagai protein
kromosomal kompleks pembentuk kromosom, membentuk ikatan kromatin dengan
spindle dan pelengkap kinetokor mikrotubul. Pada sitoplasma, survivin berfungsi
sebagai regulator penghambat apoptosis dengan adanya interaksi dan fosforilasi
XIAP (X-linked Inhibitor Apoptosis Protein) dalam menghambat caspase 3 dan
caspase 9. Adanya survivin di mitokondria dan daerah ekstraseluler, mendukung
kelangsungan hidup sel, meningkatkan proliferasi dan invasi (Khan, et al, 2010).
2.3.3 Hubungan Survivin dengan Apoptosis
Apoptosis adalah kematian sel terprogram merupakan proses kompleks yang
melibatkan banyak faktor termasuk enzim telomerase dan GSTMs (glutathione
17
S-transferase) yang berperan pada beberapa molekul kaskade. Terdapat dua jalur
utama yang mengarah pada apoptosis yaitu jalur ekstrinsik dan instrisik. Jalur
ekstrinsik diprakarsai oleh ligasi reseptor kematian TNF (tumor necrosis factor) dan
jalur instrinsik yang terjadi akibat dirilisnya sitokrom C ke sitoplasma dan aktivasi
apoptosom. Dengan adanya ekspresi survivin yang berlebihan menyebabkan jalur
apoptosis baik instrinsik maupun ekstrinsik terhambat. Secara khusus, survivin dapat
menghambat sinyal apoptosis oleh apoptosom, caspase 3, 7 dan 9 melalui interaksi
antara survivin dengan XIAP yang dikodekan oleh gen BIRC4. Survivin tidak dapat
mengikat langsung caspase, namun berfungsi sebagai pelindung XIAP. XIAP
antagonis terhadap pro-apoptosis SMAC/DIABLO (second mitochondria derived
activator of caspase) yang dilepaskan di mitokondria menyebabkan interaksi
kompleks SMAC-XIAP yang selanjutnya berinteraksi dengan caspase. Selain itu,
kompleks survivin-XIAP dapat menyebabkan ekspresi gen yang menyimpang pada
invasi sel dan meningkatkan motilitas dan potensi metastasis sel tumor (Brany et al,
2017).
18
Gambar 2.4 Skema peran survivin dalam menghambat apoptosis pada sel kanker.
Pada bagian A, survivin menganggu jalur intrinsik maupun ekstrinsik pada mekanisme apoptosis sehingga sel kanker menjadi terlindungi. Bagian B, setelah menerima death signal, survivin sitoplasma meningkat dengan cepat. Survivin sitoplasma berinteraksi dengan XIAP, HBIXP dan SMAC/DIABLO untuk menstabilkan XIAP agar menghambat caspase 9 yang mengakibatkan apoptosis tidak terjadi. Ekspresi survivin yang berlebihan juga dapat menginduksi aktivasi ABK (Aurora B Kinase) sehingga menurunkan maturasi sel dan peningkatan proliferasi yang mengakibatkan propagasi atau perkembangan sel tumor (Athanasoula et al, 2014).
Protein p53 adalah faktor transkripsi yang dapat menginduksi apoptosis
dengan mengatur gen apoptosis. Survivin adalah target p53 untuk diturunkan
regulasinya dengan menginduksi apoptosis untuk melawan aktivitas anti-apoptosis
dari survivin. Survivin juga dapat mempengaruhi aktivitas p53 melalui regulasi
MDM2/mouse double minute 2 homolog dan proteosom. Promotor survivin memiliki
19
unsur pengikatan p53 sehingga memungkinkan p53 secara langsung terikat oleh
promotor survivin atau karena dikombinasikan dengan protein lain untuk menahan
survivin. Aktivator transkripsional yaitu E2F yang dapat mengikat promotor survivin.
Karena p53 memiliki afinitas dengan E2F sehingga memungkinkan keduanya
membentuk kompleks (p53-E2F) yang menekan ekspresi gen survivin. Kompleks Ini
juga akan berinteraksi dengan represor transkripsional yaitu sin3 dan HDAC/histone
deasetylases yang bersama-sama dapat membentuk kompleks p53-sin3-HDAC dan
mengikat promotor survivin sehingga aktivitasnya dapat ditekan. Protein p53
menekan survivin melalui kaskade yang melibatkan protein p21 kompleks atau
p21/cip1 yang merupakan gen penginduksi p53 yang menghambat cyclin dependent
kinase 2 (CDK2) yang berperan dalam mencegah terjadinya fosforilasi protein
retinoblastoma (RB). Hal ini menyebabkan akumulasi fosforilasi pRB (protein RB),
protein ini mengikat faktor transkripsi E2F dan membentuk kompleks pRB-E2F, yang
dapat menekan ekspresi gen survivin (Jaiswal et al, 2015).
2.3.4 Survivin pada Siklus Sel
Selain sebagai penghambat apoptosis survivin juga berperan dalam
pembelahan sel, ekspresi survivin meregulasi siklus sel selama fase G2/M dan
menurun selama fase G1. Survivin berada pada kromosom selama siklus sel.
Survivin merupakan anggota dari CPC (chromosomal passenger complex) pada
saat mitosis. Anggota lain dari CPC yaitu borealin, INCENP (inner centromer protein)
dan aurora B kinase. Sebagai anggota CPC, survivin berperan dalam menstabilkan
mikrotubulus pada akhir mitosis dan menjaga segregasi kromatid. Survivin memiliki
peran dalam menghubungkan CPC dengan spindle. Survivin merupakan post-
transcriptionally yang dimodifikasi oleh fosforilasi Threonin3 sehingga membuat
20
survivin menjadi lebih stabil (Brany et al, 2017). CPC terdiri dari modul lokalisasi dan
modul kinase yang berhubungan dengan INCENP sedangkan modul lokalisasi
menyusun N-terminal INCENP dan borealin serta terminal C yang mengatur CPC
menjadi sentromer dan selanjutnya mengatur spindle mitosis. Survivin berperan
dalam pengaturan CPC menjadi sentromer pada awal profase. Domain BIR
mengikat N-terminal dari histon hialin terfosforilasi menjadi H3 pada Threonin3,
dimana terjadi fosforilasi mitosis spesifik yang menandai bagian dalam sentromer.
Survivin terakumulasi di sentromer selama fase G2 kemudian berdifusi dengan
lengan kromosom dan menjadi banyak di bagian tengah sentromer selama profase
dan metafase. Pada anafase, survivin dilokalisasi pada bagian tengah spindle
karena gagal mengikat sentromer. Selama sitokenesis, survivin terkonsentrasi di
bagian tengah untuk mengatur siklus sel dan memainkan peran penting dalam
proliferasi sel kanker. Survivin difosforilasi oleh CDK1 yang merupakan kinase untuk
regulasi siklus sel (Athanasoula et al, 2014).
21
Gambar 2.5 Struktur CPC (Chromosomal Passanger Complex) Domain BIR mengandung molekul survivin yang berperan penting dalam proses pembelahan sel (mitosis). CPC merupakan kunci pengatur mitosis, kompleks ini terdiri dari survivin, borealin, INCENP dan aurora B kinase. Secara struktural, survivin dapat berikatan dengan Thr3 yang terfosforilasi dari histon H3. Setelah pembentukan CPC pada fase G2/M, survivin membaca histon H3 terfosforilasi dan selanjutnya mengaktifkan aurora B kinase yang kemudian berinteraksi dengan CPC untuk menyelesaikan mitosis dan segregasi sister chromatid. Ekspresi berlebihan dari survivin mengurangi mikrotubula sentrosom dan menyebabkan ketidakstabilan dinamika mikrotubula pada spindle mitosis dan pertumbuhan mikrotubula selama sitokinesis (Coumar et al, 2013).
2.3.5 Survivin pada Kanker Serviks
Survivin ditemukan pada sebagian besar jenis kanker dan berperan pada
regulasi kanker, berhubungan dengan peningkatan hambatan apoptosis dan
menurunnya kelangsungan hidup pasien. Salah satu jenis kanker yang ditemukan
ekspresi survivin yaitu kanker serviks. Kanker serviks dibagi menjadi dua kelompok
yaitu karsinoma sel skuamosa dan adenokarsinoma. Adenokarsinoma umumnya
memberikan prognosis yang lebih buruk dan cenderung metastasis. Survivin lebih
banyak ditemukan pada adenokarsinoma. Selain itu, lebih dari setengah presentasi
survivin ditunjukkan pada Lesi CIN dan akan semakin meningkat seiring
perkembangan stadium CIN menjadi karsinoma sel skuamosa serviks. Ekspresi
22
survivin pada nodus metastasis selaput lendir pelvik secara signifikan lebih tinggi
dibandingkan nodus non metastasis selaput lendir pelvik (Brany et al, 2017).
2.4 Uji Sitotoksik
2.4.1 Definisi
Uji sitotoksik adalah uji toksisitas untuk mendeteksi adanya aktivitas
antineoplastik suatu senyawa dengan kata lain untuk mengidentifikasi kemampuan
senyawa dalam merusak atau membunuh sel kanker (Haryoto et al, 2013).
Penggunaan uji sitotoksik pada kultur sel adalah untuk mendapatkan senyawa yang
memiliki potensi sitotoksik dengan menggunakan jumlah kematian sel sebagai
indikator untuk mengukur hasil uji. Semakin banyak sel kanker yang mati
menandakan senyawa yang digunakan sangat efektif.
Uji sitotoksik yang umumnya digunakan yaitu metode kolorimetri dengan
substrat MTT [3(4,5-dimethyltiazol-2-yl)(-2,5-diphenyltetrazolium bromide)].
Parameter untuk uji sitotoksik yaitu nilai IC50 (inhibitor of concentration), yang
menunjukkan konsentrasi yang menghasilkan hambatan proliferasi sel sebanyak
50% dan menunjukkan potensi toksik terhadap sel. Nilai IC50 adalah dasar dalam
pengamatan kinetika sel dan fungsi sel secara biologis. Semakin besar nilai IC50
maka semakin tidak toksik senyawa tersebut.
2.4.2 Penentuan IC50
Obat kemoterapi merupakan terapi utama yang memiliki efek sitotoksik untuk
sel kanker, namun perlu diuji terlebih dahulu untuk memastikan bahwa obat tersebut
efektif dan memiliki potensi sitotoksik. Uji in vitro pada sel kultur merupakan cara
yang cepat dan tepat untuk menentukan efek sitotoksik suatu senyawa. Uji in vitro
juga berguna untuk mengidentifikasi variasi kerentanan beberapa senyawa sel target
23
terhadap agen kemoterapi. Indeks sitotoksitas ditentukan menggunakan sel yang
tidak diberi perlakuan dan medium kontrol (Florento et al, 2012). Persentase
sitotoksitas atau kematian sel dihitung menggunakan absorbansi dengan rumus
sebagai berikut :
(Kontrol sel – Kontrol medium) – (Perlakuan – Kontrol medium) x 100% Kontrol sel – Kontrol medium
Selanjutnya, dibuat grafik log konsentrasi dan persentase sel yang mati.
Menambahkan trendline regresi linear untuk mencari persamaan linear atau nilai R.
Jika nilai R lebih besar dari nilai R tabel maka persamaan regresi linier memenuhi
standar untuk mencari nilai IC50. Setelah itu, masukkan nilai y pada persamaan
regresi linear dan cari nilai x dan hitung anti log dari konsentrasi tersebut sehingga
didapatkan nilai IC50.
2.5 5-Fluorouracil
2.5.1 Definisi
5-Fluorouracil (5-FU) merupakan antimetabolit spesifik yang telah digunakan
lebih dari 60 tahun untuk pengobatan kanker dan memberikan peran penting dalam
perawatan pada tumor padat antara lain pada kanker gastrointestinal, kanker
payudara, kanker kulit, kanker kandung kemih maupun kanker serviks. Senyawa
5-FU menyebabkan cell cycle arrest pada fase G1/S siklus sel sehingga
menginduksi apoptosis dan menghambat proses biositesis esensial sel kanker (Dun
et al, 2015).
5-FU menginduksi apoptosis melalui aktivasi p53 baik pada jalur instrinsik
24
maupun ekstrinsik dengan mengaktivasi caspase. Pada jalur instrinsik, protein Bcl-2
memodulasi permebialitas membran mitokondria sehingga terjadi pelepasan
sitokrom C dan terjadi aktivasi caspase 9, selanjutnya caspase 9 mengaktifkan
efektor caspase 3 dan aktivasi death receptor pada membran sel (jalur ekstrinsik),
selanjutnya terjadi aktivasi caspase 8 dan caspase 3 sehingga terjadi apoptosis
(Xavier et al, 2011).
2.5.2 Mekanisme Kerja 5-Fluorouracil
5-FU merupakan analog urasil dengan sebuah atom fluor di posisi C-5 pada
tempat hidrogen. Lebih dari 80% jumlah 5-FU yang diberikan biasanya
dikatabolisme di hati, tempat yang banyak terekspresinya DPD (dihydropirimidine
dehidrogenase) dan mengubah 5-FU menjadi DHFU (dihydrofluorouracil). Masuknya
5-FU ke sel berlangsung cepat dengan mekanisme transportasi urasil. 5-FU diubah
secara intraseluler menjadi 3 (tiga) metabolit aktif yaitu FdUMP (fluorodeoxyuridine
monofosfat), FdUTP (fluorodeoxyuridine trifosfat) dan FUTP (fluorouridine trifosfat).
Mekanisme kerja 5-FU adalah konversi langsung FUMP (fluorouridine
monophosphate) dengan OPRT (orotate phosphoribosyltransferase) dan PRPP
(phosphoribosyl phyrophosphate) sebagai kofaktor, atau secara tidak langsung
melalui FUR (fluorouridine) melalui tindakan sekuensial dari UP (uridine
phosphorylase) dan UK (uridine kinase). FUMP selanjutnya difosforilasi menjadi
FUDP yang dapat terfosforilasi dengan metabolit yang lebih aktif yaitu FUTP. FUTP
berfungsi merusak RNA sel kanker. Selain FUDP diubah menjadi FdUDP
(fluorodeoksiuridine diphosphate) oleh RR (ribonucleotide reductase). FdUDP dapat
difosforilasi atau defosforilasi menghasilkan metabolit aktif yaitu FdUTP dan FdUMP.
FdUTP dapat merusak DNA. Jalur aktivasi alternatif lainnya melibatkan konversi
25
fosforilasi timidin yang mengkatalisis 5-FU menjadi FUDR (fluorodeoxyuridine) yang
selanjutnya terfosforilasi oleh TK (timidine kinase) menjadi FdUMP, selanjutnya
FdUMP berfungsi sebagai penghambat TS (thymidylate synthase) sehingga
merusak DNA sel kanker (Longley et al, 2003).
2.6 Benalu Mangga (Dendrophthoe pentandra L.)
2.6.1 Definisi
Benalu mangga dengan nama latin Dendrophthoe pentandra L. merupakan
tumbuhan semiparasit dari keluarga Loranthaceae. Di Indonesia, benalu dinamai
sesuai tumbuhan inang tempat benalu tumbuh misalnya benalu yang tumbuh pada
pohon mangga maka disebut benalu mangga. Taksonomi benalu mangga adalah
sebagai berikut (Tyas, 2011) :
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Subkelas : Rosidae
Ordo : Santalales
Family : Loranthaceae
Genus : Dendrophthoe
Spesies : Dendrophthoe pentadra (L.) Miq
Sekitar 1500 spesies benalu telah ditemukan di dunia. Oleh karena bersifat
semiparasit sehingga dapat mengurangi produktivitas tanaman inangnya.
Dendrophthoe pentandra L. hidup pada tanaman inang untuk mendapat suplai
makanan, air dan pendukung lainnya dengan cara menghubungkan ke xylem inang
melalui haustorium sehingga bioaktivitas Dendrophthoe pentandra L tergantung
pada inangnya (Elsyana et al, 2016).
26
Dendrophthoe pentandra L. telah digunakan untuk berbagai pengobatan
antara lain diabetes, hipertensi, diuretik bahkan digunakan untuk pengobatan kanker
di beberapa negara. Kompleks perseitol (D-glycero-D-galactoheptitol) dan ion K+
dengan perbandingan molar 20 : 1 yang diisolasi dari daun (Zainudin & Sul’ain,
2015)
Gambar 2.6 Benalu Mangga (Dendrophthoe pentandra L) (Zainudin & Sul’ain, 2015).
Benalu mengandung senyawa aktif biologis seperti karbohidrat, lemak, asam
amino, oligosakarida, polisakarida, glikoprotein (Lektin), polipeptida (viscotoxin),
vesikula, dan asam triterpen. Komposisi kimia benalu bervariasi tergantung pada
teknik persiapan ekstrak, musim dan waktu pemanenan, tahap pertumbuhan, lokasi
serta jenis pohon inangnya. Lektin merupakan konstituen utama benalu yang
bertanggungjawab atas efek antikanker dan imunomodulatornya. Beberapa peneliti
menggunakan benalu yang dikombinasikan dengan pengobatan konvensional
kanker sebagai terapi suportif dan untuk mengurangi efek samping dari terapi
konvensional (Yee et al, 2017).
2.6.2 Fitokimia Benalu Mangga (Dendrophthoe pentandra L.)
Benalu mangga (Dendrophthoe pentandra L.) memiliki kandungan metabolit
sekunder antara lain flavonoid, tanin, alkaloid, saponin, dan triterpenoid. Kadar
27
flavonoid sangat tinggi pada Benalu mangga (Dendrophthoe pentandra L.).
Flavonoid diketahui memiliki aktivitas antioksidan, antikanker dan antimikroba.
Flavonoid yang telah diisolasi memiliki kandungan senyawa quercetin yang efektif
sebagai antikanker. Tanin merupakan polifenol tanaman yang memiliki banyak
aktivitas biologis antara lain sebagai antitumor, anti-plasmin inhibitor, antioksidan
dan dapat mengikat protein. Alkaloid adalah senyawa alkali yang memiliki satu atau
lebih atom nitrogen yang merupakan bagian dari sistem siklik. Alkaloid memiliki efek
antinflamasi, antidiabetes, antioksidan serta antimikroba. Saponin adalah glikosida
yang terdiri dari aglikon steroid atau terpenoid yang memiliki satu rantai gula.
Saponin memiliki aktivitas biologis seperti antioksidan dan antikanker. Sedangkan
triterpenoid merupakan senyawa organik yang terbentuk secara alami pada
tanaman, aktivitas biologis yang dimiliki antara lain sebagai antioksidan, antiglikasi
dan antidiabetes (Fitrilia et al, 2015).
2.6.3 Quercetin pada Benalu Mangga (Dendrophthoe pentandra L.)
Quercetin merupakan senyawa flavonoid utama yang memiliki potensi
sebagai antiinflamasi, antikanker dan efek modulator imunitas (Endharti et al, 2016).
Quercetin (3,3’,4’,5,7-pentahydroxyflavone) adalah suatu aglikon, bila berikatan
dengan glikon akan membentuk glikosida. Quercetin memiliki efek antikanker pada
siklus sel, melakukan interaksi dengan ER (estrogen receptor) tipe II serta
menghambat aktivitas enzim tirosin kinase (Ikawati et al, 2014).
28
Gambar 2.7 Struktur kimia Quercetin (Ikawati et al, 2014).
Aktivitas biologis utama dari quercetin antara lain sebagai berikut :
1. Antioksidan
Hasil penelitian in vitro menunjukkan bahwa quercetin merupakan pengangkut
ROS (reactive oxidative species) yang paling kuat, ROS terdiri dari O2+, NO+ dan
NOO-. Kerusakan oksidatif yang diinduksi oleh O2+, NO+ dan NOO- menyebabkan
rusaknya sel dan jaringan tubuh manusia yang mengakibatkan berbagai penyakit
seperti kardiovaskuler, diabetes dan kanker. Peroksidasi dapat diatasi dengan
antioksidan seperti quercetin yang dapat mengganggu peroksidasi dengan cara
adanya reaksi antara peroksidasi dan radikal yang terbentuk (Wang et al, 2016).
2. Antiinflamasi
Quercetin merupakan antiinflamasi yang kuat, dapat menekan produksi LPS
(lipopolisakarida) pada sel yang berbeda. Efek antiinflamasi quercetin
berhubungan dengan antioksidan yang dimiliki sebagai penangkal radikal bebas.
ROS tidak hanya dalam proses oksidasi namun terlibat juga dalam respon
inflamasi dengan aktivasi faktor transfer seperti NFkB (Nuclear Factor Kappa B)
yang dapat menginduksi produksi sitokin TNF (Tumor Necrosis Factor). Oleh
karena itu, oksidasi dan inflamasi dapat dicegah secara bersamaan. Quercetin
dapat menghambat ekspresi gen TNF-α dengan menyesuaikan NFkB sel
29
mononuklear darah perifer (Wang et al, 2016).
3. Antikanker
Quercetin terbukti menjadi agen antikanker yang kuat pada berbagai sel
kanker. Quercetin dapat mencegah terjadinya stress oksidatif kanker oleh
aktivitas antioksidannya dan penghambatan kinase yang terlibat dalam
pertumbuhan sel kanker, proliferasi dan metastasis. Quercetin dapat menginduksi
kematian sel kanker yang dimediasi oleh reseptor apoptosis dan dapat menahan
aktivitas protein C kinase yang berperan dalam perkembangan sel kanker (Wang
et al, 2016).
2.6.4 Quercetin terhadap sel HeLa
Sebagai antikanker, quercetin berperan pada fase G2/M yang merupakan
fase penting sebelum masuk ke mitosis yang dikendalikan oleh cyclin dan CDK.
Sementara cyclin dan CDK mengatur perkembangan siklus sel dari fase G2 ke fase
M, p53 dan p21 yang merupakan penekan tumor menghambat cyclin dan CDK
sehingga terjadi cell cycle arrest pada fase G2/M. Selain itu, quercetin menyebabkan
perubahan karakteristik morfologi apoptosis seperti eksternalisasi phospatidylserine,
fragmentasi nukleus, dan penurunan potensi membran mitokondria dan kondensasi
kromatin. Quercetin juga menginduksi penurunan rasio Bcl-2 (B-cell lymphoma
2)/Bax (Bcl-2 associated X protein) dan survivin. Defosforilasi Bad (Bcl-2 associated
domain) berkontribusi pada apoptosis mitokondria dengan memfasilitasi Bax dari
Bcl-xL, dan oligomerisasi Bax berikutnya ke dalam membran mitokondria.
Peningkatan regulasi sitokrom C, Apaf-1 dan caspase bersama pembelahan PARP
(poly ADP-ribose polymerase), mendukung pembentukan kompleks apoptosom dan
aktivasi kaskade caspase (Priyadarsini et al, 2010).
30
Gambar 2.8 Efek dan mekanisme kerja Quercetin. Quercetin menginduksi terjadinya apoptosis yang menyebabkan sitotoksik. Pengobatan sel kanker dengan quercetin menyebabkan apoptosis melalui aktivasi jalur intrinsik mitokondria. Quercetin merupakan interkalator DNA yang menginduksi kerusakan DNA dan meningkatkan regulasi p53, sehingga menyebabkan penurunan regulasi protein antiapoptosis, BCL-2 dan pembelahan MCL-1 (Myeloid Cell Leukemia factor 1) yang menginduksi mitokondria merilis sitokrom c dan SMAC/DIABLO. SMAC/DIABLO menghambat IAP atau protein antiapoptosis sedangkan Sitokrom C mengaktivasi caspase 9 yang selanjutnya menginduksi caspase 3, selanjutnya caspase 3 mengaktivasi PARP 1 dan menyebabkan fragmentasi dan degradasi seluler DNA sehingga terjadi apoptosis (Srivastava et al, 2016).
31
BAB 3
KERANGKA KONSEP
3.1 Kerangka Teori
Gambar 3.1 Kerangka Teori
Invasi HPV onkogen
Squamous columnar
junction
Integrasi HPV ke DNA
Replikasi HPV
E6 berikatan
dengan p53
Transkripsi onkoprotein
E6 & E7
E7 berinteraksi
dengan pRB
Fungsi p53
menurun
nmeningkat
Fungsi pRB
menurun
Apoptosis Cell cycle arrest
Proliferasi sel
E6 +
E6AP NF-X1
menurun
Aktivitas
Telomer
meningkat
Survivin
Transkripsi
TERT
E7 meregulasi cyclin
dan CDK
Mutasi DNA
Malignansi Pertumbuhan sel kanker
Kanker Serviks
32
3.2 Kerangka Konsep
Gambar 3.2 Kerangka Konsep
Invasi HPV onkogen
Squamous columnar
junction
Integrasi HPV ke DNA Onkoprote
in E6 & E7
Proliferasi sel
Peningkatan
persentase survivin
Mutasi DNA
Kanker serviks sel HeLa
Protein kinase
Ekstrak ethanol
daun benalu
mangga
pRB-E2F
binding Sitokrom c &
Apaf 1 meningkat
Caspase 9
caspase 3,6, 7 Apoptosis
Kerusakan DNA
sel kanker
Thymidilate
synthase 5-Fluorouracil
Malignansi
Apoptosis
Penurunan fungsi
p53 dan pRB
Pertumbuhan sel
Kompleks p53-E2F
Peningkatan
permeabilitas
Mitokondria p21
meningkat
SMAC/DIABLO
dirilis
Persentase
Survivin menurun
Efek sitotoksik
Interkalasi DNA
sel HeLa
Kerusakan DNA
Meningkatkan
fungsi p53
meningkat
Kompleks p53-sin3-
HDAC
33
Keterangan :
: variabel yang diteliti
: variabel yang tidak diteliti
: perlakuan
: menginduksi
: menghambat
Invasi HPV onkogen pada jaringan keratinosit lapisan basal epitel
menyebabkan terjadinya replikasi DNA HPV dan terbentuknya genom virus. Adanya
interaksi E6 dari HPV menurunkan fungsi p53 sebagai checkpoint dan regulator
siklus sel sehingga sel yang seharusnya diperbaiki bila terjadi kerusakan DNA atau
apoptosis akan melewati fase G1 menuju fase S. Selain itu, onkoprotein E6
berinteraksi pula dengan E6AP (early protein 6 associated protein) dan menurunkan
NF-X1 (Nuclear Transcriptions Factor X-Box binding 1) sehingga terjadi transkripsi
TERT (Telomerase Reverse Transcriptase) yang dapat meningkatkan aktivitas
telomer yang berfungsi menfosforilasi survivin. Dengan adanya fosfrorilasi survivin
sebagai anti-apoptosis menyebabkan hambatan apoptosis. Sedangkan onkoprotein
E7 berinteraksi dengan pRB menyebabkan penurunan fungsi pRB yang seharusnya
berinteraksi dengan E2F menjadi terganggu, E2F yang merupakan faktor transkripsi
kemudian berinteraksi dengan E7 dan meningkatkan transkripsi DNA HPV.
Onkoprotein E7 juga meningkatkan regulasi cyclin dan membentuk kompleks cyclin-
CDK sehingga terjadi progresi siklus sel menyebabkan proliferasi sel kanker dan
peningkatan mutasi DNA. Proliferasi menyebabkan pertumbuhan sel kanker yang
berlebihan sedangkan adanya mutasi pada DNA sel normal menyebabkan
34
malignansi. Dengan adanya pertumbuhan sel dan malignansi menyebabkan
terjadinya kanker yang timbul pada zona transformasi serviks.
Sebagai terapi konvensional kanker, 5-FU dapat menyebabkan cell cycle
arrest pada fase G1/S dan menghambat proses sintesis DNA virus. Selain itu, 5-FU
juga dapat menurunkan survivin dan menginduksi terjadinya apoptosis. 5-FU yang
masuk ke sel berlangsung secara cepat dengan mekanisme transportasi urasil. 5-FU
diubah secara intraseluler menjadi FUMP oleh OPRT yang merupakan ko-faktor.
FUMP selanjutnya difosforilasi menjadi FUDP dan FUDP kemudian diubah lagi
menjadi FdUDP. Selanjutnya FdUDP difosforilasi untuk menghasilkan metabolit aktif
yaitu FdUTP dan FdUMP. FdUTP yang aktif merusak DNA sel kanker, sedangkan
FdUMP menghambat aktivitas tymidylate synthase sehingga merusak DNA sel
kanker. Dengan adanya kerusakan pada DNA sel kanker menyebabkan terhentinya
sintesis DNA dan meningkatkan fungsi p53 yang dapat menghambat BCL-2 dan
menyebabkan pembelahan MCL-1 sehingga terjadi peningkatan permeabilitas
membran mitokondria. Selanjutnya mitokondria merilis sitokrom c, APAF-1 dan
SMAC/DIABLO yang merupakan proapoptosis serta dapat menurunkan jumlah
survivin. Penurunan jumlah survivin oleh SMAC/DIABLO dan dirilisnya sitokrom C
menyebabkan teraktivasinya caspase 9 yang merupakan inisiator apoptosis.
Selanjutnya caspase 9 menginduksi caspase 3 sehingga terjadi apoptosis oleh
karena adanya degradasi seluler DNA.,
Benalu mangga (Dendrophthoe pentandra L.) yang memiliki senyawa aktif
quercetin dengan mekanisme kerjanya adalah menyebabkan terjadinya cell cycle
arrest pada fase G2/M. Quercetin juga menyebabkan interkalasi DNA sel kanker
sehingga terjadi mutasi DNA oleh karena adanya perubahan susunan basa
nukleotida sel kanker serviks atau sel HeLa. Terjadinya interkalasi DNA
35
mengakibatkan kerusakan DNA sehingga meningkatkan fungsi p53, selanjutnya p53
membentuk kompleksitas dengan E2F yang merupakan faktor transkripsi menjadi
p53-E2F, pembentukkan kompleksitas ini menginduksi terbentuknya kompleks p53-
sin3-HDAC yang dapat menurunkan persentase survivin. Selain itu, peningkatan p53
juga menginduksi peningkatan p21 yang merupakan inhibitor CDK2 (protein kinase
yang dapat menghambat fosforilasi pRB), dengan dihambatnya CDK2 maka terjadi
ikatan pRB dengan E2F yang dapat menurunkan survivin. Penurunan persentase
survivin mengaktivasi caspase 9 dan caspase 3 untuk menginduksi terjadinya
apoptosis.
Dengan adanya kombinasi terapi 5-FU dengan Benalu mangga
(Dendrophthoe pentandra L.) dapat memberikan efek sitotoksik dan menurunkan
persentase survivin terhadap sel HeLa melalui mekanisme kerja dari masing-masing
agen untuk menginduksi terjadinya cell cycle arrest, apoptosis dan menghambat
proliferasi sel.
3.3 Hipotesis Penelitian
Pemberian terapi kombinasi 5-FU dengan ekstrak ethanol daun benalu
mangga (Dendrophthoe pentandra L.) meningkatkan efek sitotoksik dan
menurunkan persentase survivin pada sel HeLa.
36
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan true experimental post test only with
control group design. Penelitian true experimental merupakan penelitian yang
bertujuan melihat hubungan sebab akibat dengan membandingkan kelompok kontrol
dan kelompok perlakuan sedangkan post test only with control group design yaitu
desain yang pengujiannya dilakukan setelah pemberian perlakuan (Sastroasmoro,
2011). Tahapan pada penelitian ini yaitu pemberian terapi pada kultur sel HeLa,
terdapat 6 (enam) kelompok yang terdiri dari kelompok kontrol negatif (K-) adalah
kultur sel HeLa yang hanya diberi medium komplit, kelompok kontrol positif (K+)1 sel
yang diberi terapi tunggal 5-FU dosis 5 µg/mL dan kontrol positif (K+) 2 sel yang
diberi terapi tunggal ekstrak ethanol daun benalu mangga (Dendrophthoe pentandra
L.) dengan dosis 50 µg/mL. Kelompok perlakuan 1 (P1) yaitu kultur sel HeLa yang
diberi terapi kombinasi 5-FU dengan dosis 5 µg/mL dan DPE dengan dosis 12,5
µg/mL, kelompok P2 dosis DPE 25 µg/mL dan kelompok P3 dengan dosis DPE 50
µg/mL.
Dosis 5-FU pada penelitian ini sesuai hasil penelitian sebelumnya oleh Liu et
al (2017) yang menggunakan dosis efektif 5-FU sebesar 5 µg/mL. Untuk dosis
ekstrak ethanol daun benalu mangga (Dendrophthoe pentandra L.) sebesar 12,5
µg/mL, 25 µg/mL dan 50 µg/mL sesuai hasil penelitian Elsyana et al (2016) yang
menyatakan bahwa dosis-dosis tersebut efektif sebagai antiproliferatif pada sel
kanker.
37
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di laboratorium Biomedik serta laboratorium
Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang Jawa Timur, mulai
tanggal 27 Desember 2017 sampai dengan 19 Februari 2018.
4.3 Sampel penelitian dan Replikasi
Sampel dalam penelitian ini menggunakan sel line HeLa yang diperoleh dari
ATCC (American Type Culture Collection). Penelitian ini menggunakan plate 24 well
kultur sel HeLa pada medium RPMI (Roswell Park Memorial Institute) 1640. Masing-
masing well berisi 5 x 105 sel/100 µL. Sampel pada penelitian ini terdiri dari satu
kelompok kontrol negatif yang tidak diberi perlakuan atau terapi, dua kelompok
kontrol positif yang diberi 5-FU dengan dosis 5 µg/mL dan kelompok kontrol positif
yang diberi ekstrak ethanol benalu mangga dengan dosis 50 µg/mL serta tiga
kelompok perlakuan yang diberi terapi kombinasi 5-FU 5 µg/mL dengan ekstrak
ethanol benalu mangga dengan masing-masing dosis yang telah ditentukan
menggunakan deret ukur (2N) yaitu 12,5, 25 dan 50 µg/mL.
Pada penelitian ini diperlukan replikasi untuk memastikan pemberian dosis
yang tepat pada perlakuan, menggunakan rumus dibawah ini (Sani, 2016) :
Keterangan : t : banyaknya treatment atau perlakuan r : jumlah replikasi
(t-1) (r-1) ≥15
38
Pada penelitian ini terdapat 6 kelompok yang terdiri dari 1 kelompok kontrol negatif,
2 kelompok kontrol positif dan 3 kelompok perlakuan dengan dosis masing-masing
12,5 µg/mL, 25 µg/mL dan 50 µg/mL. Maka dapat dihitung sebagai berikut :
(t-1) (r-1) ≥15
(6-1) (r-1) ≥15
5 (r-1) ≥15
5r = 15 +5
r = 20/5 = 4
jadi jumlah replikasi yang dilakukan pada penelitian ini adalah sebanyak 4 kali.
4.4 Variabel Penelitian
4.4.1 Variabel Independent (Bebas)
Variabel independent pada penelitian ini adalah terapi tunggal 5-FU, terapi
tunggal ekstrak ethanol benalu mangga (Dendrophthoe pentandra L.) serta terapi
kombinasi 5-FU dengan ekstrak ethanol daun benalu mangga (Dendrophthoe
pentandra L.).
4.4.2 Variabel Dependent (Terikat)
Variabel dependent yang digunakan yaitu efek sitotoksik dan persentase
survivin pada kultur sel HeLa.
39
4.5 Definisi Operasional
Tabel 4.1 Definisi Operasional Penelitian Variabel Definisi Operasional
Hasil Ukur Skala Data
Sel HeLa Sel epitel dari sel kanker serviks HeLa (Heinrietta Lacks) yang diperoleh dari ATCC, dikultur untuk mendapatkan sub kultur sel yang konfluen 70%.
Pertumbuhan sel (konfluen 70%)
Nominal
5-Fluorouracil Agen kemoterapi konvensional sediaannya dalam bentuk bubuk di dalam vial (Sigma Aldrich).
Dosis pemberian 5 µg/mL
Rasio
Ekstrak ethanol benalu mangga
Daun benalu mangga (Dendrophthoe pentandra L.) varian Probolinggo Jawa Timur yang didapat dari Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Brawijaya (nomor spesimen 0170/identifikasi taksonomi/03/2015). Ekstrak daun benalu mangga dimaserasi menggunakan ethanol 80%, sediaannya dalam bentuk pasta yang akan dilarutkan dengan medium.
Dosis pemberian 50 µg/mL
Rasio
Terapi kombinasi 5-FU dengan ekstrak ethanol benalu mangga
Terapi kombinasi diberikan pada 3 kelompok perlakuan dengan dosis 5-FU 5 µg/mL dan ekstrak ethanol daun benalu mangga (Dendrophthoe pentandra L.) pada masing-masing kelompok yaitu 12,5, 25 dan 50 µg/mL.
Dosis pemberian 5-FU (5 µg/mL), DPE (12,5, 25 dan 50 µg/mL)
Rasio
Efek sitotoksik Efek yang dapat merusak atau membunuh sel kanker melalui terapi kombinasi 5-FU dengan ekstrak ethanol daun benalu mangga yang diuji dengan metode MTT assay kit (Bioscience). Jumlah sel yang mati dihitung dengan ELISA plate reader.
Persentase (%) sel yang
mengalami kematian
Rasio
Persentase survivin
Persentase sel yang mengekspresikan survivin pada kultur sel Hela yang dideteksi menggunakan survivin antibody yang selanjutnya diukur dengan metode Flowcytometry.
Persentase (%) Rasio
4.6 Bahan dan Alat Penelitian
4.6.1 Alat dan Bahan Kultur Sel HeLa
Alat yang digunakan untuk kultur sel HeLa yaitu LAF (laminar air flow),
inkubator dan tabung gas CO2, mikropipet, plate 24 well, sentrifuge, membran filter
0,2 µm, burner Bunsen dan mikroskop inverted. Oleh karena penelitian ini
40
menggunakan sel HeLa maka perlu dilakukan kultur sel yang bertujuan untuk
membiakkan sel guna mendapatkan jumlah sel yang cukup untuk diteliti. Bahan
yang diperlukan untuk kultur sel meliputi : sel HeLa, medium RPMI 1640, 10% FBS
(Fetal Bovine Serum), 100 U/ml Penicilin (Sigma), 100 U/ml Streptomycin (Sigma),
PBS (Phosphate Buffer Saline) 20%, Tripsin/EDTA, Ethanol 70%, T-flask (Tissue
Culltur Flask), tabung konikal steril, mikropipet, surgical masker dan handscoen.
4.6.2 Pembuatan Ekstrak Etanol Benalu Mangga (Dendrophthoe pentandra L.) Alat yang digunakan untuk membuat ekstrak ethanol benalu mangga yaitu
rotary evaporator dan TLC (Thin Layer Chromatography). Bahan yang diperlukan
untuk membuat ekstrak ethanol benalu mangga (Dendrophthoe pentandra L.) yaitu
daun benalu mangga dan ethanol 80%.
4.6.3 5-Fluorouracil
Agen kemoterapi yang digunakan pada penelitian ini adalah 5-FU (5-
Fluorouracil) sediaan bubuk dalam kemasan vial. Alat yang diperlukan untuk
pengambilan 5-FU yaitu spatula atau sendok ukur.
4.6.4 Uji Efek Sitotoksik
Uji efek sitotosik menggunakan metode MTT cell viability assay kit
(Bioscience) dengan nomor katalog MT01000. Bahan yang diperlukan yaitu MTT
solution dan reagen stopper.
4.6.5 Pemeriksaan Persentase Survivin
Untuk mengidentifikasi persentase survivin pada sel HeLa digunakan metode
Flowcitometry dengan survivin antibody (D-8) (Santa Cruz Biotechnology) , bahan
yang diperlukan antara lain : PBS (Phosphate Buffer Saline), FCS (Fetal Calf Serum)
41
FBS (Fetal Bovine serum), fixation buffer (sc-3622), stainning buffer (sc-3624),
mikropipet, yellow tip dan tabung eppendorf.
4.7 Prosedur Penelitian
4.7.1 Prosedur Kultur Sel
Langkah-langkah dalam prosedur kultur sel adalah sebagai berikut :
1. Aktivasi dan pembiakan sel HeLa (Thawing cell)
Menyiapkan bahan-bahan yang akan digunakan untuk media sel
yaitu RPMI (Roswell Part Memorial Institute), penicillin-streptomycin 1%,
FBS 10%. Media yang telah dicampur ditandai dengan medium komplit
dan difilter dengan membran ukuran 0,2 µm, selanjutnya vial sel HeLa
diambil dari tabung nitrogen cair, direndam dalam wadah steril berisi air
hingga sel mencair. Masukkan medium komplit 5 mL ke dalam T-flask 25
cm2, ambil sel HeLa sebanyak 200 µL dan masukkan ke dalam T-flask.
Setelah 24 jam lakukan pengamatan viabilitasnya, jika sel mengalami
pertumbuhan yang baik dengan kerapatan 80-90% maka dapat dilakukan
sub kultur.
2. Sub kultur sel
Medium sebelumnya dibuang, sel diberi tripsin/EDTA sebanyak 1,5
mL dan inkubasi dalam inkubator CO2 5% selama 5 menit hingga sel
lepas dari dinding T-flask, lakukan sentrifugasi dengan kecepatan 800
rpm selama 8 menit, supernatant dibuang kemudian pellet
diresuspensikan dengan medium komplit 2 mL, cuci T-flask dengan PBS
1,5 mL sebanyak 2 kali lalu sel dimasukkan kedalam T-flask dan
tambahkan kembali 4 mL medium komplit, sel diamati dengan mikroskop
42
dan inkubasi dalam inkubator CO2 5% suhu 37ºC. Pembiakan sel
dilakukan dengan mengganti media secara berkala hingga diperoleh
kerapatan sel atau konfluen yang diinginkan yaitu 70%.
3. Penanaman sel HeLa dalam well
Setelah sel konfluen dalam T-flask, medium dikeluarkan dan sel
ditambahkan tripsin/EDTA 1,5 mL, inkubasi 5 menit pada inkubator
selanjutnya sel dituang pada tabung konikal dan disentrifugasi dengan
kecepatan 800 rpm selama 8 menit. Pellet didispersikan dengan medium
komplit 1 mL sel dimasukkan ke dalam well 24 plate dengan perkiraan
seeding 500.000 sel/well dan diinkubasi selama 24 jam. Selanjutnya
diamati, jika sel sudah menempel pada well dan pertumbuhannya baik
maka dilanjutkan dengan pemberian perlakuan.
4. Pemanenan sel HeLa
Sel pada well plate dikeluarkan dari inkubator, lakukan
pengamatan dan dokumentasikan kondisi sel. Selanjutnya sel dipanen,
media yang lama dibuang, sel dicuci dengan PBS, tambahkan
tripsin/EDTA dan inkubasi selama 5 menit, serta disentrifugasi,
selanjutnya pellet diresuspensi dan dipindahkan ke dalam tabung
eppendorf.
4.7.2 Pembuatan Ekstrak Etanol Benalu Mangga
Daun benalu mangga diperoleh dari kota Probolinggo Jawa Timur dan telah
diidentifikasi dan dibuktikan oleh ahli dari Jurusan Biologi Fakultas MIPA
(Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam) Universitas Brawijaya (nomor spesimen
0170/identifikasi taksonomi/03/2015). Daun mentah sebanyak 1,5 kg dikeringkan
43
selama 5 hari dalam suhu ruangan kemudian dihancurkan hingga berbentuk bubuk
atau simplisia. Simplisia daun benalu mangga dimaserasi dengan etanol 80%
selama 72 jam kemudian disaring. Hasil dari penyaringan kemudian dievaporasi
hingga ekstrak berbentuk padat. Kandungan quercetin dari ekstrak benalu mangga
adalah sebesar 0,57 µg/g berat kering yang diukur dengan TLC (Thin Layer
Chromatography).
Pada penelitian ini ekstrak ethanol benalu mangga dengan sediaan pasta
dilarutkan dengan medium. Prosedur pembuatan larutan stok untuk ekstrak benalu
mangga diawali dengan pengambilan ekstrak sebanyak 1 mg dimasukkan ke dalam
tabung dan ditambahkan 1 mL medium komplit. Untuk membuat larutan stok dengan
konsentrasi 50 µg/mL dalam 5 mL volume larutan yang berisi volume larutan ekstrak
ethanol benalu mangga dan volume medium komplit digunakan rumus sebagai
berikut :
Keterangan : V1 : Volume larutan sebelum diencerkan V2 : Volume larutan setelah diencerkan M1 : Molaritas larutan sebelum diencerkan M2 : Molaritas larutan setelah diencerkan
V1 = V2.M2 M1 = 5 mL . 1 mg
1 mL = 5 mL
Untuk melarutkan 0,5 mg ekstrak ethanol benalu mangga maka diperlukan 5 mL
medium komplit sehingga didapatkan konsentrasi larutan yaitu 0,1 mg/mL atau 100
µg/mL. Jadi untuk mendapatkan volume larutan 5 mL dengan konsentrasi 100
V1.M1 = V2.M2
44
µg/mL maka diambil 1 mL volume ekstrak ethanol daun benalu mangga dan
ditambahkan 4 mL medium komplit. Selanjutnya, untuk mendapatkan 5 mL volume
larutan dengan konsentrasi 50 µg/mL maka diambil ekstrak ethanol benalu mangga
dari volume larutan sebelumnya sebanyak 2,5 mL dan ditambahkan 2,5 mL medium
komplit. Untuk konsentrasi 25 µg/mL, diambil 2,5 mL dari volume konsentrasi 50
µg/mL dan ditambahkan medium sebanyak 2,5 mL. Sedangkan untuk konsentrasi
12,5 µg/mL maka diambil 2,5 mL dari volume konsentrasi 25 µg/mL dan
ditambahkan 2,5 mL medium komplit.
4.7.3 5-Fluouracil
Dosis 5-FU yang digunakan pada sel HeLa adalah 5 µg/mL. Dosis ini
berdasarkan hasil penelitian Liu et al (2017) yang diberikan pada sel HCC
(Hepatocelluler carcinoma). Diawali dengan pembuatan larutan stok, 5-FU diambil
sebanyak 0,05 mg dan dilarutkan dengan 5 mL medium sehingga didapatkan
konsentrasi larutan yaitu 0,01 mg/mL atau 10 µg/mL, sehingga untuk mendapatkan
5 mL dengan konsentrasi 10 µg/mL maka diambil 1 mL 5-FU ditambah 4 mL medium
dan untuk mendapatkan konsentrasi 5 µg/mL maka diambil 2,5 mL 5-FU ditambah
2,5 mL medium.
4.7.4 Prosedur Perlakuan dan Kontrol
Setelah sel konfluen 70% selanjutnya dilakukan prosedur pemberian terapi
pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol positif. Oleh karena menggunakan
well plate 24, maka dibagi 4 well untuk masing-masing kelompok. Untuk kelompok
kontrol negatif, sel tidak diberi terapi hanya diberi medium komplit. Pada kelompok
kontrol positif 1, sel diberi terapi tunggal 5-FU dengan dosis perlakuan 5 µg/mL.
Pada kelompok kontrol positif 2, sel diberi terapi tunggal ekstrak ethanol daun
45
benalu mangga dosis 50 µg/mL berdasarkan konsentrasi larutan yang telah dibuat
sebelumnya yaitu volume ekstrak sebesar 2,5 mL dicampurkan dengan volume
medium sebesar 2,5 mL. Sedangkan untuk 3 kelompok perlakuan, sel diberi terapi
kombinasi 5-FU dosis 5 µg/mL dan ekstrak ethanol daun benalu mangga dosis 12,5,
25 dan 50 µg/mL pada masing-masing kelompok. Untuk membuat konsentrasi
larutan 50 µg/mL maka diambil 2,5 mL dari larutan stok 100 µg/mL ditambahkan 2,5
mL medium komplit sehingga volume larutan menjadi 5 mL dengan konsentrasi 50
µg/mL. Untuk konsentrasi 25 µg/mL, diambil 2,5 mL dari konsentrasi larutan 50
µg/mL kemudian ditambahkan dengan 2,5 mL medium komplit. Dan untuk dosis
12,5 mL, diambil 2,5 mL dari konsentrasi larutan 25 µg/mL yang ditambahkan
dengan 2,5 mL medium komplit, selanjutnya sel diinkubasi selama 24 jam.
4.7.5 Uji Efek Sitotoksik
Uji efek sitotoksik menggunakan MTT assay kit (Bioscience) dilakukan sesuai
protokol. Well plate yang digunakan adalah well plate 96 yang dapat menampung
kepadatan sel antara 5000 hingga 10.000 sel per well dengan kepadatan optimal
selama 48 hingga 72 jam. Diawali dengan penyiapan reagen, stok larutan MTT
solution diencerkan dengan PBS 1 mL, stok ini dapat disimpan pada suhu 4oC
dalam waktu singkat (1 minggu) atau -20 oC untuk digunakan dalam waktu <3 bulan.
Langkah-langkah yang dilakukan untuk uji sitotoksik yaitu MTT solution atau stok
larutan yang telah disiapkan dimasukkan sebanyak 20 µL pada masing-masing well
kemudian diinkubasi selama 2 hingga 4 jam pada inkubator CO2 5% suhu 37oC,
amati pembentukan formazan. Setelah itu ditambahkan 150 µL reagen stopper dan
inkubasi kembali selama 30 menit. Absorbansi larutan diukur menggunakan ELISA
46
plate reader dengan panjang gelombang 570 nm. Nilai absorbansi yang didapat
selanjutnya digunakan untuk menghitung persentase sel yang mengalami kematian.
4.7.6 Pemeriksaan Persentase Survivin
Persentase survivin pada sel HeLa diidentifikasi menggunakan metode
flowcytometry dengan survivin antibody (D-8) (Santa Cruz Biotechnology) dengan
prosedur sebagai berikut : sel dibilas dengan PBS masing-masing 200 µL tiap well,
selanjutnya ditripsinasi 120 µL dan inkubasi 5 menit, sel dipindahkan ke tabung
eppendorf kemudian disentrifugasi 2500 rpm 3 menit, fixation buffer ditambahkan
pada pellet lakukan pipeting dan inkubasi kembali 30 menit, sel dicuci dengan
stainning buffer dan disentrifugasi 2500 rpm 3 menit, pellet ditambahkan antibodi
survivin inkubasi 20 menit, selanjutnya sel dianalisis dengan flowcytometer.
4.8 Analisa Data
4.8.1 Uji Parametrik
Pengolahan data hasil penelitian ini menggunakan teknik analisa data
dengan bantuan software SPSS versi 23.0. Sebelum dilakukan uji statistik,
sebelumnya dilakukan uji normalitas data untuk mengetahui apakah data yang
digunakan terdistribusi normal atau tidak menggunakan Saphiro Wilk dan uji
homogenitas ragam data antar kelompok menggunakan Levene test. Dengan
melihat nilai probabilitas kesalahan empirik pada nilai Sig atau p-value. Jika nilai Sig
atau p-value lebih dari taraf signifikansi α = 0,05, maka data yang digunakan
terdistribusi normal dan/atau ragam data homogen sehingga uji statistik parametrik
dapat digunakan. Sedangkan bila p-value <0,05 maka data tidak terdistribusi normal
maka uji statistik parametrik tidak dapat digunakan (Santoso, 2005).
47
4.8.2 Uji Komparasi
Setelah dilakukan uji normalitas dan homogenitas untuk data sitotoksik dan
persentase survivin, didapatkan data tidak terdistribusi normal dengan p-value <0,05
sehingga analisa data yang digunakan yaitu uji Kruskal-Wallis. Jika hasil analisa
data didapatkan nilai p <0,05, maka hipotesis penelitian diterima yang berarti terapi
kombinasi 5-FU dengan ekstrak ethanol daun benalu mangga (Dendrophthoe
pentandra L.) memiliki efek sitotoksik dan menurunkan persentase survivin.
Selanjutnya analisis dilanjutkan dengan uji Mann-Whitney test. Uji ini dilakukan
untuk mengetahui kelompok perlakuan mana yang berbeda secara bermakna,
perbedaan yang bermakna jika didapatkan nilai p <0,05 (Dahlan, 2011).
48
4.9 Alur Penelitian
Gambar 4.1 Alur penelitian
Sampel : Sel HeLa
Kriteria sampel : hasil subkultur yang
konfluen dan tidak terkontaminasi
Kelompok kontrol (-) : subkultur sel HeLa tanpa terapi dan kelompok kontrol (+) : subkultur HeLa yang
diberi 5-FU dan subkultur HeLa yang diberi DPE dosis 50 µg/mL
Kelompok perlakuan : subkultur sel
HeLa diberi 5-FU+ DPE
Perlakuan 1 5-FU 5 µg/mL + DPE 12,5 µg/mL
Perlakuan 2 5-FU 5 µg/mL + DPE 25 µg/mL
Perlakuan 3 5-FU 5 µg/mL + DPE 50 µg/mL
Inkubasi sel selama ±24 jam
Uji efek sitotoksik Persentase survivin
Analisa data
Uji statistik
MTT assay Flowcytometry
49
BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN ANALISA DATA
5.1 Pengaruh Pemberian 5-Fluorouracil dan/atau Kombinasi dengan Ekstrak Ethanol Daun Benalu Mangga terhadap Efek Sitotoksik pada Sel HeLa
Sel HeLa diaktivasi dan dikultur pada T-flask berisi medium komplit yang
mengandung protein, asam amino, antibiotik serta antijamur, sel diamati pada hari
pertama, ketiga, keenam dan keenam belas. Media sel diganti setiap dua hingga tiga
hari untuk memenuhi kebutuhan dan mendukung pertumbuhan sel dengan baik.
Pada hari pertama atau setelah 24 jam diaktivasi, didapatkan sel belum menempel
pada dinding T-flask. Pada hari ketiga, sel mulai menempel pada dinding T-flask. Sel
menunjukkan pertumbuhan yang baik, sel sudah mulai tumbuh namun belum
konfluen dan tidak terkontaminasi bakteri atau jamur saat diamati di hari keenam.
Pada hari keenam belas, sel konfluen 80-90% dan mulai disubkultur, ditanam di well
plate, setelah 24 jam sel HeLa diberi perlakuan terapi tunggal 5-Fluorouracil, ekstrak
ethanol daun benalu mangga (Dendrophthoe pentandra L.) atau DPE dan terapi
kombinasi dengan variasi dosis DPE yaitu 12,5, 25 dan 50 µg/mL setelah itu sel
diinkubasi kembali, selanjutnya sel dipanen untuk pemeriksaan MTT dan persentase
survivin.
50
Gambar 5.1. Sel HeLa yang diberi perlakuan
Kelompok kontrol (-) : sel HeLa tidak diberi DPE atau 5-FU, sel hidup nampak bergerombol dan dalam jumlah banyak, sel HeLa yang diberi 5-FU 5 µg/mL mengalami perubahan bentuk dan jumlahnya mulai berkurang, tanda panah menunjukkan adanya pembentukkan apoptotic body ditandai dengan blebbing. Kelompok terapi tunggal DPE dosis 50 µg/mL jumlah selnya makin berkurang. Pada kelompok terapi kombinasi 5-FU dengan DPE, jumlah selnya makin berkurang. Pengamatan dengan mikroskop menggunakan pembesaran 200x.
DPE 5-FU+DPE 12,5µg/mL
5-FU+DPE 25 µg/mL
5-FU+DPE 50 µg/mL
Kontrol - 5-FU
51
Pengujian efek sitotoksik dilakukan menggunakan metode MTT [3(4,5-
dimetyltiazol-2-yl)(-2,5-diphenyltetrazolium bromide)]. Sel pada tiap well diberi MTT
solution kemudian diinkubasi selama 4 jam di inkubator CO2 sambil diamati
pembentukkan formazan yang merupakan senyawa nitrogen organik (H2NN = CHN
= NH). Formazan terbentuk karena adanya reaksi reduksi di dalam sel oleh enzim
suksinat dehidrogenase yang terdapat di dalam mitokondria sel hidup, sehingga
semakin sedikit formazan yang terbentuk maka semakin banyak sel yang mati.
Kontrol - 5-FU+DPE 50 µg/mL
Gambar 5.2. Pembentukkan kristal formazan pada sel HeLa setelah diberi MTT solution.
Pada kelompok kontrol(-), nampak formazan yang terbentuk lebih banyak yang menandakan banyak sel hidup, sedangkan kelompok yang diberi terapi kombinasi 5-FU+DPE 50 µg/mL, formazan yang terbentuk hanya sedikit. Gambaran terbentuknya formazan diamati menggunakan mikroskop Olympus yang terkoneksi komputer pada pembesaran 200x pada kelompok kontrol(–) dan pembesaran 100x pada kelompok 5-FU+DPE 50 µg/mL.
52
Selanjutnya diberi reagen stopper yaitu SDS 10% yang dicampur dengan
isopropanol dan HCl, kemudian diinkubasi kembali selama 30 menit dan dibaca
dengan ELISA reader sehingga didapatkan nilai absorbansi dari tiap well. Nilai
absorbansi yang didapat selanjutnya digunakan untuk menghitung persentase
kematian sel dan dilanjutkan dengan menghitung nilai IC50. Rumus %kematian sel
adalah sebagai berikut :
(Kontrol sel – Kontrol medium) – (Perlakuan – Kontrol medium) x 100% Kontrol sel – Kontrol medium
Dari perhitungan tersebut didapatkan rata-rata %kematian sel setiap kelompok
dengan 4 (empat) kali pengulangan yang dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 5.1 Perbandingan Rata-Rata %Kematian Sel HeLa Pada Tiap Kelompok
Sampel %Kematian sel Rata-Rata %kematian sel
Replikasi I Replikasi II Replikasi III Replikasi IV
Kontrol(-) -0.5% -0.4% -0.4% -0.5% 0%
5-FU 39.6% 60.6% 41.7% 74.9% 54.2%
DPE 49.4% 49.4% 50.6% 58.1% 51.9%
P1 70.8% 70.8% 83.6% 84.7% 68%
P2 89% 73.5% 89.3% 89.3% 85.3%
P3 83.2% 83.2% 89.8% 89.8% 86.5%
Keterangan : P1 : kombinasi 5-FU+DPE dosis 12,5µg/mL, P2 : kombinasi 5-FU+DPE dosis 25 µg/mL,P3 : kombinasi 5-FU+DPE dosis 50 µg/mL.
53
Tabel 5.1 menunjukkan bahwa rata-rata %kematian sel mengalami
peningkatan pada tiap kelompok perlakuan, semakin tinggi dosis yang digunakan
maka semakin besar pula sel mengalami kematian. Dari keenam kelompok, rata-rata
%kematian sel dari empat kali replikasi yang terbanyak pada kelompok perlakuan
yaitu pada P3 sebesar 86,5% sedangkan kelompok perlakuan dengan %kematian
sel yang paling sedikit adalah pada terapi tunggal DPE sebesar 51,9% dan untuk
kelompok yang tidak terdapat kematian sel yaitu kelompok kontrol negatif yaitu 0%.
Selanjutnya dibuat grafik perbandingan kelompok perlakuan dengan
%kematian sel dan dicari persamaan regresi linier dari grafik tersebut, jika nilai r
lebih besar dari r tabel maka persamaan regresi linier memenuhi standar untuk
mencari nilai IC50. Kurva regresi linier dapat dilihat dibawah ini :
Gambar 5.3 Kurva regresi linier perbandingan kelompok perlakuan
dengan %kematian sel HeLa. Kelompok 1 : kontrol positif DPE, kelompok 2 : kontrol positif 5-FU, kelompok 3 : kombinasi 5-FU+DPE 12,5 µg/mL, kelompok 4 : kombinasi 5-FU+DPE 25 µg/mL dan kelompok 5 : kombinasi 5-FU+DPE 50 µg/mL.
y = 10.03x + 39.09 R² = 0.9279
0
20
40
60
80
100
0 1 2 3 4 5 6
%ke
mat
ian
se
l
Kelompok
54
Berdasarkan grafik persamaan diatas, didapatkan nilai r lebih besar dari r tabel yaitu
0,9279 dengan nilai a (slope) sebesar 10,03 dan nilai intercept 39,09 sehingga dapat
dilanjutkan untuk menghitung nilai IC50 sebagai berikut :
y = ax + b
50 = ax + b
50 = 10,03x + 39,09
50 – 39,09 = 10,03x
x = (50 – 39,09)/10,03
x = 1,229
Antilog x = 12,2
IC50 = 12,2 µg/mL
Jadi nilai IC50 yang diperoleh adalah 12,2 µg/mL, yang artinya pada kombinasi terapi
5-FU dengan DPE dosis 12,2 µg/mL sudah mampu menghambat atau membunuh
50% sel HeLa.
5.2 Pengaruh Pemberian 5-Fluorouracil dan/atau Kombinasi dengan Ekstrak
Ethanol Daun Benalu Mangga terhadap Persentase Survivin pada Sel
HeLa
Setelah diberi perlakuan, baik terapi tunggal 5-Fluouracil, ekstrak ethanol daun
benalu dan terapi kombinasi dengan variasi konsentrasi ekstrak ethanol daun benalu
mangga yaitu 12,5, 25 dan 50 µg/mL dilanjutkan dengan pemeriksaan survivin
menggunakan metode Flowcytometry untuk mengetahui persentase survivin pada
sel HeLa, hasilnya adalah sebagai berikut :
55
Survivin
Gambar 5.4. Hasil analisis Flowcytometry persentase survivin pada 6 (enam) kelompok replikasi ke-4.
Pada keenam kelompok terlihat bahwa persentase survivin paling sedikit adalah pada kelompok terapi kombinasi 5-FU +DPE 50µg/mL yaitu 22,91% sedangkan persentase survivin paling banyak pada kelompok kontrol negatif yaitu 50,97%. Perbandingan antar kelompok yang diberi perlakuan, persentase survivin yang paling banyak adalah pada kelompok yang diberi terapi tunggal 5-FU yaitu 43,70%.
5.3 Pengujian Asumsi Data
Pengujian efek sitotoksik dan persentase survivin pada kelompok kontrol
negatif, kelompok kontrol positif yaitu 5-FU dan DPE serta 3 kelompok perlakuan
dengan berbagai konsentrasi DPE menggunakan uji rata-rata one way ANOVA.
Sebelum diuji, terlebih dahulu dilakukan pengujian asumsi data yakni normalitas
data menggunakan Saphiro-Wilk dan uji homogenitas ragam data antar kelompok
menggunakan Levene test. Data dinyatakan terdistribusi normal jika p-value hasil
perhitungan lebih besar dari α=0,05 menggunakan bantuan software SPSS versi
23.0. Hasil uji normalitas data menunjukkan nilai signifikansi kurang dari α=0,05
Kontrol - 5-FU DPE
5-FU+DPE 12,5 µg/mL 5-FU+DPE 25 µg/mL 5-FU+DPE 50 µg/mL
50,97% 43,70% 25,72%
22,91% 39,90% 28,88%
Co
un
ts
56
yaitu 0,002 untuk efek sitotoksik dan 0,047 untuk persentase survivin yang berarti
data tidak terdistribusi normal. Sedangkan hasil uji homogenitas ragam data
diperoleh lebih dari α=0,05 yaitu masing-masing 0,010 dan 0,097 sehingga
disimpulkan bahwa ragam data tidak homogen pada efek sitotoksik dan homogen
pada persentase survivin. Oleh karena data yang digunakan tidak memenuhi asumsi
normalitas maka digunakan uji pengganti dengan Kruskal-Wallis.
5.4 Analisis Statistik Efek Sitotoksik dan Persentase Survivin Pada Kultur Sel HeLa
Penelitian ini membandingkan efek sitotoksik dengan melihat persentase
kematian sel dan persentase survivin pada berbagai kelompok menggunakan uji
Kruskal-Wallis dengan hasil sebagai berikut :
Tabel 5.2 Hasil uji Kruskal-Wallis Efek Sitotoksik
Chi-square hitung Signifikansi Chi-square tabel Kesimpulan
18.458 0.002 11.071 Signifikan
Berdasarkan hasil pada tabel 5.2, diperoleh nilai chi-square hitung lebih besar
dari chi-square tabel dan nilai signifikansi yang lebih kecil dari α (0,05), sehingga
dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan rata-rata angka
persentase kematian sel pada masing-masing kelompok. Semua kelompok
perlakuan mengalami peningkatan efek sitotoksik dibandingkan kelompok kontrol
negatif. Untuk melihat letak perbedaan antar kelompok perlakuan, dilakukan uji
lanjutan dengan Mann-Whitney test dengan hasil sebagai berikut :
57
Gambar 5.5. Rata-rata persentase kematian sel pada masing-masing kelompok.
Perbandingan efek sitotoksik pada semua kelompok berdasarkan rata-rata %kematian sel, yang terendah adalah pada kelompok kontrol negatif (-0.450±0.058), pada terapi kombinasi semua dosis terjadi peningkatan %kematian sel yang signifikan dibandingkan kelompok kontrol (5-FU dan DPE), dan yang tertinggi pada kelompok terapi kombinasi 5-FU+DPE dosis 50 µg/mL (86.464±3.826). Notasi menunjukan perbedaan antar kelompok dari jumlah %kematian sel yang paling sedikit hingga yang paling banyak.
Dapat disimpulkan bahwa terjadi peningkatan efek sitotoksik berdasarkan
%kematian sel HeLa pada terapi kombinasi 5-FU dengan DPE dosis 25 dan 50
µg/mL berbeda signifikan dibandingkan terapi tunggal (5-FU atau DPE) dengan
p<0,05, sedangkan terapi kombinasi dengan dosis DPE 12,5 µg/mL tidak berbeda
secara signifikan p >0,05 dalam meningkatkan efek sitotoksik.
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Kontrol - 5-Fu DPE 12,5 µg/mL 25 µg/mL 50 µg/mL
Ke
mat
ian
se
l (%
)
a
b bc
c
d d
58
Tabel 5.3 Hasil Uji Kruskal-Wallis Persentase Survivin
Chi-square hitung
Signifikansi
Chi-square tabel
Kesimpulan
21.470 0.001 11.071 Signifikan
Berdasarkan tabel 5.3, diperoleh nilai chi-square hitung yang lebih besar dari
chi-square tabel dan nilai signifikansi yang kurang dari α (0,05), sehingga dapat
disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan rata-rata persentase survivin
pada masing-masing kelompok yang diberi perlakuan. Untuk melihat letak
perbedaannya, dilakukan uji lanjut menggunakan Mann-Whitney test dengan hasil
notasi seperti yang terlihat pada gambar dibawah ini :
Gambar 5.6 Rata-Rata Persentase Survivin Pada Masing-Masing Perlakuan. Sel HeLa yang diberi perlakuan 5-FU, DPE dan terapi kombinasi menunjukan penurunan persentase survivin dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif. Semua dosis pada terapi kombinasi menunjukan penurunan yang signifikan.
0
10
20
30
40
50
60
Kontrol - 5-Fu DPE 12,5 µg/mL 25 µg/mL 50 µg/mL
Su
rviv
in (
%)
c
b
a
c
b
d
59
Gambar 5.6 menunjukkan bahwa rata-rata persentase survivin tertinggi pada
kelompok kontrol negatif (a) sebesar 53,73±5,885, dan rata-rata persentase survivin
terendah pada perlakuan 5-FU+DPE 50 µg/mL (d) sebesar 21,10±1,359. Pada
penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terjadi penurunan secara signifikan
persentase survivin pada kultur sel HeLa yang diberi terapi tunggal DPE dan terapi
kombinasi 5-FU+DPE dosis 25 dan 50 µg/mL dibandingkan terapi tunggal 5-FU
dengan p<0,05, sedangkan terapi kombinasi 5-FU+DPE 12,5 µg/mL tidak berbeda
secara signifikan p>0,05 dalam menurunkan persentase survivin.
60
BAB 6
PEMBAHASAN
6.1 Pengaruh Pemberian Terapi Tunggal 5-Fluorouracil terhadap Efek
Sitotoksik pada Sel HeLa
Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan pengaruh 5-Fluorouracil (5-FU)
dalam menghambat sel HeLa, parameter yang diukur yaitu efek sitotoksik guna
mengetahui seberapa besar hambatan yang dihasilkan. Pengujian efek sitotoksik
merupakan uji in vitro yang umumnya menggunakan kultur sel dan merupakan uji
awal untuk mengidentifikasi potensi ketoksikan suatu senyawa terhadap sel kanker.
Potensi sitotoksik senyawa diuji dengan metode MTT, cara kerjanya yaitu
untuk mengetahui aktivitas enzim yang mereduksi warna kuning MTT menjadi kristal
formazan berwarna ungu (Ganesh et al, 2014). Pada penelitian ini didapatkan
bahwa terapi tunggal 5-FU dosis 5 µg/mL menyebabkan rata-rata persen kematian
sel sebesar 54,21% dengan nilai p=0,019 dari populasi sel yaitu 5x103 tiap well,
sehingga dapat disimpulkan bahwa terapi tunggal 5-FU dapat meningkatkan efek
sitotoksik pada sel HeLa secara signifikan. Dosis 5-FU yang digunakan berdasarkan
penelitian sebelumnya oleh Liu et al (2015). 5-FU merupakan antimetabolit spesifik
yang telah digunakan lebih dari 60 tahun untuk pengobatan kanker dan memiliki
peran penting dalam perawatan pada tumor padat antara lain kanker
gastrointestinal, kanker payudara, kanker kulit, kanker kandung kemih maupun
kanker serviks (Dun et al, 2015).
Terapi tunggal 5-FU memiliki efek sitotoksik dengan mekanisme kerja yaitu
dapat menghentikan produksi enzim tymidilate synthase yang diperlukan untuk
mensintesis DNA sel kanker sehingga terjadi kerusakan DNA yang berdampak pada
61
penurunan proliferasi sel. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya
oleh Xavier et al (2011) yang menyatakan bahwa 5-FU dapat menghambat lebih dari
50% sel HCT15 (colorectal cancer cell line).
6.2 Pengaruh Pemberian Terapi Tunggal 5-Fluorouracil terhadap Persentase
Survivin pada Sel HeLa
Sebagian besar agen antikanker menghambat pertumbuhan sel melalui induksi
apoptosis, oleh karena proses karsinogenesis menekan apoptosis dan
meningkatkan proliferasi sel kanker sehingga induksi apoptosis menjadi salah satu
target terapi kanker. IAP (Inhibitor Antiapoptosis protein) berperan penting dalam
menghambat apoptosis, salah satu anggota IAP yaitu survivin berperan secara tidak
langsung dalam menghambat caspase 3, 7 dan 9 sehingga tidak terjadi apoptosis
(Yang et al, 2013).
Penelitian ini membuktikan bahwa terapi tunggal 5-FU mampu menurunkan
rata-rata persentase survivin pada sel HeLa sebesar 53,73% dengan nilai p=0,021,
maka disimpulkan bahwa 5-FU dapat menurunkan persentase survivin secara
signifikan. Masuknya 5-FU ke dalam sel berlangsung cepat melalui mekanisme
transportasi urasil dan selanjutnya diubah secara intraseluler menjadi 3 (tiga)
metabolit aktif yang dapat merusak DNA sel kanker. Kerusakan DNA sel kanker
menginduksi apoptosis melalui aktivasi p53 dan memodulasi permeabilitas membran
mitokondria untuk melepas SMAC-DIABLO yang dapat menghambat aktivitas
survivin (Xavier et al, 2011).
62
6.3 Pengaruh Pemberian Terapi Tunggal Ekstrak Ethanol Daun Benalu
Mangga (Dendrophthoe pentandra L.) terhadap Efek Sitotoksik pada Sel
HeLa
Pada penelitian ini didapatkan terapi tunggal ekstrak ethanol daun benalu
mangga (Dendrophthoe pentandra L.) atau DPE meningkatkan efek sitotoksik pada
sel HeLa yang ditunjukkan dengan rata-rata persen kematian sel sebesar 51,85%
dengan nilai p=0,019 (<0,05) yang artinya secara signifikan meningkatkan efek
sitotoksik. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian sebelumnya yang dilakukan
Zainudin & Sul’ain (2015) yang menyatakan bahwa DPE dapat menghambat 50%
sel MCF-7.
Benalu mangga memiliki banyak manfaat untuk pengobatan berbagai macam
penyakit karena adanya kandungan metabolit sekunder salah satunya yaitu
flavonoid. Kadar flavonoid yang telah diisolasi memiliki kandungan senyawa
quercetin yang berpotensi sebagai antikanker dengan mekanisme kerjanya sebagai
interkalator DNA sel kanker sehingga mengubah susunan basa nukleotida yang
berakibat pada kerusakan DNA sel kanker sehingga terjadi hambatan aktivitas
proliferatif sel kanker.
6.4 Pengaruh Pemberian Terapi Tunggal Ekstrak Ethanol Daun Benalu
Mangga (Dendrophthoe pentandra L.) terhadap Persentase Survivin pada
Sel HeLa
Penelitian ini membuktikan bahwa terapi tunggal ekstrak ethanol daun benalu
mangga (Dendrophthoe pentandra L.) efektif dalam menurunkan rata-rata
persentase survivin sebesar 23,91% (p=0,021) sehingga dapat disimpulkan bahwa
ekstrak ethanol daun benalu mangga secara signifikan menurunkan persentase
survivin pada sel HeLa. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya
63
oleh Han et al (2016) yang menyatakan bahwa quercetin secara signifikan
menurunkan mRNA survivin pada sel kanker ginjal.
Ekstrak ethanol daun benalu mangga yang memiliki senyawa aktif quercetin
menginduksi apoptosis sehingga terjadi perubahan karakteristik morfologi apoptosis
sel seperti eksternalisasi phospatidylserine, fragmentasi nukleus, dan penurunan
potensi membran mitokondria dan kondensasi kromatin. Quercetin juga menginduksi
penurunan rasio Bcl-2 (B-cell lymphoma 2)/Bax (Bcl-2 associated X protein) dan
survivin. Defosforilasi Bad (Bcl-2 associated domain) berkontribusi pada apoptosis
mitokondria dengan memfasilitasi Bax dari Bcl-xL, dan oligomerisasi Bax berikutnya
ke dalam membran mitokondria. Peningkatan regulasi sitokrom c, Apaf-1 dan
caspase bersama pembelahan PARP (poly ADP-ribose polymerase), mendukung
pembentukan kompleks apoptosom dan aktivasi kaskade caspase.
6.5 Pengaruh Pemberian Terapi Kombinasi 5-Fluorouracil dengan Ekstrak
Ethanol Daun Benalu Mangga (Dendrophthoe pentandra L.) terhadap Efek
Sitotoksik pada Sel HeLa
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh 5-Fluorouracil yang
dikombinasikan dengan ekstrak ethanol daun benalu mangga (Dendrophthoe
pentandra L.) dalam menghambat sel kanker serviks. Dosis ekstrak daun benalu
mangga yang digunakan berdasarkan hasil penelitian Elsyana et al, 2016, diperoleh
LC50 benalu mangga sebesar 55,31 µg/mL sehingga dosis yang digunakan pada
penelitian ini adalah 12,5, 25 dan 50 µg/mL. Pada penelitian ini nilai IC50 terapi
kombinasi 5-Fluorouracil dengan ekstrak ethanol daun benalu mangga yang
diperoleh sebesar 12,2 µg/mL, sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh NCI
(National Cancer Institute) bahwa syarat ekstrak yang baik adalah yang memiliki
aktivitas antiproliferatif dengan nilai IC50 ≤ 20 µg/mL (Zainudin & Sul’ain, 2015).
64
Quercetin dapat mencegah terjadinya stress oksidatif kanker oleh aktivitas
antioksidannya dan penghambatan C kinase yang terlibat dalam pertumbuhan sel
kanker, proliferasi dan metastasis. Quercetin juga dapat menginduksi kematian sel
kanker yang dimediasi oleh reseptor apoptosis dan dapat menahan aktivitas protein
C kinase yang berperan dalam perkembangan sel kanker (Wang et al, 2016).
Terapi kombinasi 5-FU dan ekstrak ethanol daun benalu mangga terbukti
sangat efektif dalam membunuh sel HeLa, semakin tinggi dosis ekstrak ethanol daun
benalu mangga maka semakin tinggi pula persentase sel yang mati. Pada penelitian
ini selain terapi kombinasi, terapi tunggal baik 5-FU (5 µg/mL) maupun ekstrak
ethanol daun benalu mangga (50 µg/mL) juga dapat membunuh lebih dari 50% sel
HeLa oleh karena keduanya merupakan kandidat antikanker yang telah terbukti
efektif, namun karena selain memiliki efek terapi 5-FU juga memiliki efek samping
yang dapat membunuh sel normal sehingga bila dikombinasikan dengan ekstrak
ethanol daun benalu mangga maka efek terapi 5-FU dapat ditingkatkan dengan
tetap mempertahankan 5-FU dalam dosis rendah. Hasil penelitian ini membuktikan
bahwa terapi kombinasi 5-FU dan ekstrak ethanol daun benalu mangga dengan
konsentrasi berbeda (12,5, 25 dan 50 µg/mL) mampu membunuh sel HeLa masing-
masing 68%, 85,3% dan 86,5%.
Hasil analisis menunjukkan bahwa semua kelompok perlakuan signifikan
dalam meningkatkan efek sitotoksik pada sel HeLa dengan nilai p=0,002 lebih kecil
dari α=0,05. Bila dibandingkan antar kelompok, terapi tunggal 5-FU menyebabkan
kematian sel sebesar 54,210±16,747 dan terapi tunggal ekstrak ethanol daun benalu
mangga sebesar 51,858±4,218, angka tersebut masih lebih rendah bila
dibandingkan dengan terapi kombinasi, dimana terjadi peningkatan kematian sel
seiring meningkatnya dosis. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian sebelumnya yang
65
menyatakan bahwa terapi kombinasi 5-FU dengan bahan alam jenis flavonoid
signifikan dalam meningkatkan kematian sel kanker kolon (Xavier et al, 2011).
6.6 Pengaruh Pemberian Terapi Kombinasi 5-Fluorouracil dengan Ekstrak
Ethanol Daun Benalu Mangga (Dendrophthoe pentandra L.) terhadap
Persentase Survivin pada Sel HeLa
Penelitian ini membuktikan bahwa terapi 5-Fluorouracil yang dikombinasikan
dengan ekstrak ethanol daun benalu mangga dapat menurunkan persentase survivin
pada sel HeLa. Berdasarkan hasil analisis, semua kelompok terapi kombinasi
signifikan dalam menurunkan persentase survivin pada sel HeLa dengan nilai
p=0,001 lebih kecil dari α=0,05. Kelompok yang paling signifikan dalam menurunkan
persentase survivin adalah kelompok terapi kombinasi (5-FU+DPE 50 µg/mL)
sebesar 21,10±1,359. Selain itu, hasil penelitian juga menunjukkan bahwa terapi
tunggal ekstrak ethanol daun benalu mangga lebih efektif dalam menurunkan
persentase survivin dibandingkan kelompok P1 (5-Fu+DPE 12,5 µg/mL) dan P2
(5-Fu+DPE 25 µg/mL). Hal ini dikarenakan konsentrasi yang digunakan pada terapi
tunggal ekstrak ethanol daun benalu mangga atau DPE adalah konsentrasi
maksimum yaitu 50 µg/mL dan oleh karena DPE yang memiliki kandungan quercetin
terbanyak telah terbukti efektif menurunkan jumlah survivin, sesuai dengan hasil
penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa quercetin secara signifikan
menurunkan ekspresi survivin pada sel glioma (Siegelin et al, 2008).
Mekanisme kerja 5-Fluorouracil adalah dengan merusak DNA sel kanker.
Kerusakan DNA sel kanker menginduksi apoptosis melalui aktivasi p53 dan
memodulasi permeabilitas membran mitokondria untuk melepas SMAC-DIABLO
yang dapat menghambat aktivitas survivin (Xavier et al, 2011). Sama halnya dengan
5-FU, DPE juga memiliki mekanisme kerja yang hampir sama yaitu dengan
66
interkalasi DNA yang menyebabkan kerusakan DNA sel kanker dan meningkatkan
fungsi p53 sebagai tumor suppressor gene yang mengakibatkan persentase survivin
dihambat oleh adanya pembentukkan kompleks p53-E2F yang selanjutnya
membentuk kompleks p53-sin3-HDAC (Jaiswal et al, 2015). Sin3 merupakan
protein ko-repressor yang kemudian berikatan dengan HDAC yang merupakan
repressor transkripsi, adanya pembentukkan kompleks p53-sin3-HDAC
meningkatkan fosforilasi dan stabilitas p53 serta mengikat promotor survivin
sehingga menurunkan persentase survivin dan selanjutnya menginduksi jalur
mitokondria sehingga terjadi apoptosis (Chan et al, 2013). Sel HeLa memiliki alel
p53 wild type (Correa et al, 2002), apabila diinduksi oleh agen kemoterapi maka p53
akan teraktivasi dan menjalankan fungsinya sebagai tumor suppressor gene dengan
menginduksi terjadinya apoptosis dan cell cycle arrest.
Dapat disimpulkan bahwa terapi kombinasi sangat efektif dalam menurunkan
persentase survivin, meskipun terapi tunggal ekstrak ethanol daun benalu mangga
efektif dalam menurunkan persentase survivin namun akan lebih baik jika
dikombinasikan dengan 5-FU agar lebih efektif dalam penurunan survivin yang
merupakan salah satu biomarker pertumbuhan sel kanker. Penelitian ini sejalan
dengan hasil studi sebelumnya yang menyatakan bahwa terapi kombinasi 5-Fu
dengan agen lainnya secara signifikan mengurangi ekspresi survivin pada sel kanker
kolon (Cai et al, 2009).
Persentase survivin lebih banyak pada fase G2/M karena difosforilasi oleh
CDK1 sedangkan pada fase G1/S persentase survivin lebih sedikit. DPE selain
memiliki mekanisme penurunan persentase survivin seperti yang telah dijelaskan
diatas, juga memiliki mekanisme kerja yaitu pada fase G2/M dengan cara
menghambat fungsi CDK1 sehingga survivin tidak dapat difosforilasi dan
67
persentasenya menurun, sedangkan 5-FU bekerja pada fase G1/S dimana
persentase survivin hanya sedikit sehingga hanya sedikit pula yang dihambat.
6.7 Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan secara efektif dan efisien oleh karena
pelaksanaannya sesuai dengan jadwal dan rencana yang telah ditentukan, akan
tetapi masih terdapat beberapa keterbatasan antara lain :
1. Penelitian ini tidak mengukur reaksi dari kedua bahan yang dikombinasikan
dalam menghambat sel HeLa sehingga tidak dapat dipastikan reaksi yang
ditimbulkan apakah sinergis atau aditif.
2. Tidak meneliti secara lanjut faktor-faktor yang mempengaruhi penurunan
persentase survivin salah satunya yaitu peran SMAC-DIABLO dalam
menghambat aktivitas survivin.
6.8 Implikasi Kebidanan
Bidan sebagai pemberi layanan primer di masyarakat memiliki kewenangan
untuk memberikan penyuluhan kesehatan salah satunya yang terkait kesehatan
reproduksi perempuan, oleh karena itu informasi mengenai agen kemoterapi dari
bahan alam sebagai terapi pendukung dalam meningkatkan efektivitas agen
kemoterapi konvensional guna mengatasi kanker serviks dapat disampaikan secara
ilmiah.
68
BAB 7
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa :
1. Terapi tunggal 5-Fluorouracil dapat menimbulkan efek sitotoksik pada sel
HeLa sebesar 54,21% dibandingkan kelompok kontrol negatif (0%)
2. Terapi tunggal 5-Fluorouracil dapat menurunkan persentase survivin pada
sel HeLa yaitu 45,10% dibandingkan kelompok kontrol negatif (53,72%).
3. Terapi tunggal ekstrak ethanol daun benalu mangga (Dendrophthoe
pentandra L.) dapat menimbulkan efek sitotoksik pada sel HeLa (51,85%)
namun lebih rendah dibandingkan efek sitotoksik terapi tunggal
5-Fluorouracil.
4. Terapi tunggal ekstrak ethanol daun benalu mangga (Dendrophthoe
pentandra L.) dapat menurunkan persentase survivin pada sel HeLa
sebesar 23,91% dibandingkan terapi tunggal 5-Fluorouracil.
5. Terapi kombinasi 5-Fluorouracil dengan ekstrak ethanol daun benalu
mangga (Dendrophthoe pentandra L.) lebih efektif dalam meningkatkan efek
sitotoksik pada sel HeLa dibandingkan terapi tunggal 5-Fluorouracil maupun
ekstrak ethanol daun benalu mangga (Dendrophthoe pentandra L.).
6. Terapi kombinasi 5-Fluorouracil dengan ekstrak ethanol daun benalu
mangga (Dendrophthoe pentandra L.) lebih efektif dalam menurunkan
persentase survivin pada sel HeLa dibandingkan terapi tunggal
5-Fluorouracil maupun ekstrak ethanol daun benalu mangga (Dendrophthoe
pentandra L.).
69
7.2 Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk pengukuran reaksi terapi
kombinasi 5-Fluorouracil dengan ekstrak ethanol daun benalu mangga
apakah sinergis, aditif maupun antagonis dalam menghambat sel HeLa.
2. Pada penelitian selanjutnya diharapkan agar dosis 5-Fluorouracil diturunkan
untuk mengurangi efek samping, karena selain membunuh sel kanker
5-Fluorouracil juga dapat membunuh sel normal.
3. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang
mempengaruhi penurunan persentase survivin.
4. Penelitian lebih lanjut secara in vivo untuk membuktikan terapi kombinasi
5-Fluorouracil dengan ekstrak ethanol daun benalu mangga dalam
penurunan persentase survivin.
70
DAFTAR PUSTAKA
Arisusilo C., 2012. Kanker Serviks Sebagai Pembunuh Wanita Terbanyak di Negara Berkembang. Sainstis. 1 (1) : 112-123. Athanasoula K.C., Gogas H., Polonifi K., Vaiopoulos A.G., Polyzos A., Mantzourani
M, 2014. Cancer Letters 347 (2014) : 175-182. Brany D., Dvorska D., Slaviks P., Skolka R., Adamkov M., 2017. Survivin and
Gynaecological Tumours. Pathology – Research and Practice 213 (2017) : 295-300.
Cai M., Wang G-b., Tao K-x., Cai C-x., 2009. Enhanced Chemotherapy
Sensitivity of Human Colon Cancer Cells to 5-Fluorouracil by siRNA Recombinant Expression Vector Targeting Survivin Gene. Chin Med Sci J 24(2) : 97-101.
Castellsague X., 2008. Natural History and Epidemiology of HPV Infection and
Cervical Cancer. Gynecologic Oncology 110 (2008) : S4–S7.
Chan S-T., Yang N-Y., Huang C-S., Liang J-W., Yeh S-L., Quercetin Enhances the Antitumor Activity of Trichostatin a through Upregulation of p53 Protein Expression In Vitro and In Vivo. Plos one 8(1) : 1-10.
Coumar M.J., Tsai F.Y., Kanwar J.R., Sarvagalla S., Cheung C.H.A, 2013. Treat
Cancers by Targeting Survivin: Just a Dream or Future Reality?. Cancer
Treatment Reviews 39 (2013) : 802–811.
Dahlan S, 2011. Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta : Salemba
Medika.
de Freitas A.C., Coimbra A.C., Leitao M.d.C.G., 2014. Molecular Target on HPV Oncoproteins: Potential Biomarkers Cervical Carcinogenesis. Biochimica et
Biophysica Acta 1845 (2014) 91–103. Dun J., Chen X., Gao H., Zhang Y., Zhang H., Zhang Y., 2015. Resveratrol
Synergistically Augments Anti-Tumor Effect of 5-FU In Vitro and In Vivo by Increasing S-phase Arrest and Tumor Apoptosis. Experimental Biology and Medicine 240 (2015) : 1672-1681.
Elsyana V., Bintang M., Priosoeryanto B.P., 2016. Cytotoxicity and Antiproliferative
Activity Assay of Clove Mistletoe (Dendrophthoe pentandra (L.) Miq.) Leaves Extracts. Hindawi Publishing Corporation Advances in Pharmacological Sciences. 2016 : 1-6.
71
Endharti A.T., Wulandari A., Listyana A., Norahmawati E., Permana S., 2016. Dendrophthoe pentandra (L.) Miq Extract Effectively Inhibits Inflammation, Proliferation and Induces p53 Expression on Colitis-Associated Colon Cancer. BMC Complementary and Alternative Medicine 16 (374) : 1-8.
Fatmawati D., Puspitasari P.K., Yusuf I., 2011. Efek Sitotoksik Ekstrak Etanol
Sarang Semut (Myrmecodia pendens) pada Sel Line Kanker Serviks HeLa Uji Eksperimental Secara In Vitro. Sains Medika, 3(2):112-120.
Fitrilia L., Bintang M., Safithri M., 2015. Phytochemical Screening and Antioxidant
Activity of Clove Mistletoe Leaf Extracts (Dendrophthoe pentandra (L.) Miq). IOSR Journal Of Pharmacy 5 (8) : 13-18.
Florento L., Matias R., Tuano E., Santiago K., Cruz F.D., Tuazon A., 2012.
Comparison of Cytotoxic Activity of Anticancer Drugs against Various Human Tumor Cell Lines Using In Vitro Cell-Based Approach. International Journal of Biomedical Science 8 (1) : 76-80.
Ganesh G., Abhishek T., Saurabh M., Sarada N.C., 2014. Cytotoxic and Apoptosis
Induction Potential of Mimusops elengi L. in Human Cervical Cancer (SiHa) Cell Line. Journal of King Saud University-Science 26 : 333-337.
Han C., Gao H., Zhang X., 2016. The Anti-Cancer Effect of Quercetin in Renal
Cancer Through Regulating Survivin Expression and Caspase 3 Activity. Med One 1(1) : 1-7.
Haryoto, Muhtadi, Indrayhuda P., Azizah T., Suhendi A., 2013. Jurnal Penelitian
Saintek. 18 (2) : 21-28. Hemaiswarya S., & Doble M., 2013. Combination of Phenylpropanoids with 5-
Fluorouracil as Anti-Cancer Agents Against Human Cervical Cancer (HeLa) Cell Line. Phytomedicine 20 (2013) :151–158.
Ikawati M., Wibowo A.E., Octa N.S., Adelina R., 2014. Pemanfaatan Benalu Sebagai
Agen Antikanker. Research Publication : 1-9. Jaiswal P.K., Goel A., Mittal R.D., 2015. Survivin : A Molecular Biomarker in Cancer.
Indian J. Med.Res 141 (4) : 387-397. Jiang P. & Yue Y., 2014. Human papillomavirus oncoproteins and apoptosis
(Review). Experimental And Therapeutic Medicine 7 : 3-7. Kashafi E., Moradzadeh M., Mohamadkhani A., Erfanian S., 2017. Kaemferol
Increases Apoptosis in Human Cervical Cancer HeLa Cells via PI3K/AKT and Telomerase Pathway. Biomedicine & Pharmacotherapy 89 (2017) : 573-577.
Khan S., Jutzy J.M.S., Aspe J.R., McGregor D.W., Neidigh J.W., Wall N.R., 2010.
Survivin is Released from Cancer Cells Via Exosomes. Apoptosis 16 (2010) :1–12.
72
Landry et al, 2013. The Genomic and Transcriptomic Landscape of a HeLa Cell Line.
Manuscript. 3 : 1213-1224. Liu H.Q., Wang Y.H., Wang L.L., Hao M., 2015. P16INK4A and Survivin: Diagnostic
and Prognostic Markers in Cervical Intraepithelial Neoplasia and Cervical Squamous Cell Carcinoma. Experimental and Molecular Pathology 99 (2015) : 44-49.
Liu Y., Bi T., Dai W., Wang G., Qian L., Gao Q., et al, 2015. Oxymatrine
Synergistically Enhances the Inhibitory Effect of 5-Fluorouracil on Hepatocellular Carcinoma In Vitro and In Vivo. Tumor Biol : 1-9.
Longley B.D., Harkin D.P., Johnston P.G., 2003. 5-Fluorouracil: Mechanisms of
Action and Clinical Strategies. Nature reviews Cancer 3 (2003) : 330-338. Lucey B.P., Walter M.D., Rees N., Hutchins G., 2009. Henrietta Lacks, HeLa Cells,
and Cell Culture Contamination. Arch Pathol Lab Med. 133 (2009) :1463-1467. Moody C.A., Laimins L.A., 2010. Human Papillomavirus Oncoproteins: Pathways to
Transformation. Nature reviews Cancer. 10 (2010) : 550-560. NCCN org, 2016. Cervical Cancer. NCCN Guideline Version I 2017. Niu G., Wang D., Pei Y., Sun L., 2017. Systematic Identification of Key Genes and
Pathways in the Development of Invasive Cervical Cancer. Gene 618 (2017) : 28–41. Ocviyanti D. & Handoko Y., 2013. Peran Dokter Umum dalam Pencegahan Kanker
Serviks di Indonesia. J. Indon. Med. Assoe 63 (1) : 1-3. Paavonen J., 2007. Human Papillomavirus Infection and The Development of
Cervical Cancer and Related Genital Neoplasias. International Journal of Infectious Diseases 11 (2) : 3-9.
Priyadarsini P.R., Murugan R.S., Maitreyi S., Ramalingam K., Karunagaran D.,
Nagini S., 2010. The Flavonoid Quercetin Induces Cell Cycle Arrest and Mitochondria-Mediated Apoptosis in Human Cervical Cancer (HeLa) Cells Through P53 Induction and NF-κB Inhibition. European Journal of Pharmacology 649 (2010) : 84–91.
Rahman M.N., Novalentina M., Wijaya C.R., 2017. Survivin Clinical Features in
Cervical Cancer. Mol Cell Biomed Sci 1(1) : 6-16. Sani Fathnur K., 2016. Metode Penelitian Farmasi Komunitas dan Eksperimental.
Yogyakarta : Deepublish. Santoso, 2005. Menguasai Statistik di Era Informasi dengan SPSS. Jakarta : PT
Bumi Aksara.
73
Sastroasmoro S., 2011. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi Keempat.
Jakarta : CV. Sagung Seto. Schiffman M., Castle E.P., Jeronimo J., Rodriguez A.C., Wacholder S., 2007. Human
Papilomma Virus and Cervical Cancer. Lancet 370 : 890-907. Srivastava S., Somasagara R.R., Hegde M., Nishana M., Tadi S.T., Srivastava M.,
et al, 2016. Quercetin, a Natural Flavonoid Interacts with DNA, Arrests Cell Cycle and Causes Tumor Regression by Activating Mitochondrial Pathway of Apoptosis. Scientific reports 6 : 1-13.
Tan J., Wang B., Zu L., 2009. Regulation of Survivin and Bcl-2 in HepG2 Cell
Apoptosis Induced by Quercetin. Chemistry & Biodiversity 6 : 1101-1110. Temme A., Rodriguez J.A., Hendruschk S., Günes S., Weigle B., Schäkel K., et al,
2007. Nuclear Localization of Survivin Renders HeLa Tumor Cells More Sensitive to Apoptosis by Induction of p53 and Bax. Cancer Letters 250 : 177-193.
Tommasino M., 2014. The Human Papillomavirus Family and its Role in
Carcinogenesis Seminars in Cancer Biology 26 :13–21. Tyas A.N, 2011. Aktivitas Penangkapan Radikal Bebas Fraksi Semipolar Ekstrak
Ethanol Benalu Mangga (Dendrophthoe pentandra L.) http://eprints.ums.ac.id/15022/2/BAB_I.pdf diakses 24 Desember 2017.
Vet J.N.I., de Boer M.A., van den Akker B.E.M.W., Siregar B., Lisnawati, Budiningsih
S., et al, 2008. Prevalence of Human Papillomavirus in Indonesia: a Population-Based Study in Three Regions. British Journal of Cancer 99 : 214 – 218.
Wang W., Sun C., Mao L., Ma P., Liu F., Yang J., et al, 2016. The Biological
Activities, Chemical Stability, Metabolism and Delivery Systems of quercetin: a Review. Trends in Food Science & Technology 56 : 21-38.
Widowati W., Mozef T., Risdian C., Yellianty, 2013. Anticancer and free radical
scavenging potency of Catharanthus roseus, Dendrophthoe petandra, Piper betle and Curcuma mangga Extracts in Breast Cancer Cell Lines. Oxid Antioxid Med Sci 2(2):137-142.
Xavier C.P.R., Lima C.F., Rohde M., Wilson C.P., 2011. Quercetin enhances 5-
Fuorouracil-induced Apoptosis in MSI Colorectal Cancer Cells Through P53 Modulation. Cancer Chemother Pharmacol 68:1449–1457.
Xue Y., An R., Zhang D., Zhao J., Wang X., Yang L., et al, 2011. Detection of
Survivin Expression in Cervical Cancer Cells Using Molecular Beacon Imaging: New Strategy for the Diagnosis of Cervical Cancer. European Journal of Obstetrics & Gynecology and Reproductive Biology 159 : 204–208.
74
Yang P-Y., Hu D-N., Liu F-S., 2013. Cytotoxic Effect and Induction of Apoptosis in
Human Cervical Cancer Cells by Antrodia camphorata. The American Journal of Chinese Medicine 41(5) : 1169–1180.
Yee L.S., Fauzi N.F.M., Najihah N.N., Daud N.M., Sulain D., 2017. Study of
Dendrophthoe Pentandra Ethyl Acetate Extract as Potential Anticancer Candidate on Safety and Toxicity Aspects. Journal of Analytical & Pharmaceutical Research 6 (1) : 1-11.
Zainudin N.A.S.N & Sul’ain M.D., 2015. Phytochemical Analysis, Toxicity and
Cytotoxicity Evaluation of Dendropthoe pentandra Leaves Extracts. International Journal of Applied Biology and Pharmaceutical Technology 6 (1) : 108-116.
77
Lampiran 3. Bukti Accepted Jurnal
----- Forwarded message -----
From: Journal of Applied Pharmaceutical Science <[email protected]>
To: "[email protected]" <[email protected]>
Sent: Saturday, 9 June 2018, 5:47:03 PM GMT+7
Subject: Decision Letter to Authors - Acceptance - (JAPS-2018-04-551)
Dear Agustina Tri Endharti,
I am pleased to inform you that your manuscript titled as "Mango mistletoe Dendrophthoe
pentandra leaf extract acts synergistically with 5-Fu to induce apoptosis and increase p21
expression in human cervical adenocarcinoma HeLa cells by reducing survivin expression"
(Manuscript Number: JAPS-2018-04-551) was accepted for publication in the Journal of
Applied Pharmaceutical Science. You are required to submit article processing charges
within next three days of receiving this mail through Banking/Paypal. Payment details will be
sent in a separate email.
Please send a scanned copy of the deposition receipt of amount transferred to
You could check your possible publication date at your author page.
You may login to your author account page, and visit accepted articles section in order to get
official/formal acceptance letter as PDF.
I would like to remind that you could send your future manuscripts to Journal of Applied
Pharmaceutical Science.
Sincerely yours,
Paras Sharma
Associate Editor
Journal of Applied Pharmaceutical Science
http://japsonline.com/index.php
_______________________________
http://www.ejmanager.com
78
Lampiran 4. Prosedur Kultur Sel HeLa
No Langkah Kerja Dokumentasi
Prosedur Thawing :
1 Menyiapkan bahan untuk medium komplit yang terdiri dari : a. RPMI 1640 b. Penicillin-Streptomycin 1% c. FBS 10%
2 Membuat medium komplit dan menyaringnya menggunakan membran filter 0,2 µM
3 Mengambil vial yang berisi sel HeLa dari
tabung nitrogen cair dan menghangatkan vial dalam waterbath suhu 37
oC
4 Memasukkan medium komplit sebanyak 5 mL ke dalam T-flask menggunakan membran filter
5 Memasukkan sel HeLa dari vial sebanyak 20 µL ke dalam T-flask yang telah berisi medium komplit
6
Menginkubasi sel di dalam inkubator CO2 suhu 37
oC
79
7 Mengamati sel setelah 24 jam menggunakan mikroskop untuk mengevaluasi viabilitasnya
Prosedur sub kultur :
1 Membuang medium sel yang ada di dalam T-flask
2 Menambahkan Tripsin/EDTA sebanyak 2 mL ke dalam T-flask dan menginkubasinya di dalam inkubator selama 5 menit
3 Menuang sel dan Tripsin/EDTA ke dalam tabung konikal steril dan melakukan sentrifugasi dengan kecepatan 800 rpm selama 8 menit
80
4 Membuang supernatant dan menambahkan medium komplit sebanyak 2 mL ke dalam tabung konikal
5 Memasukkan 5 mL medium komplit ke
dalam T-flask
6 Memasukkan sel berisi medium komplit ke
dalam T-flask
7 Mengamati sel di mikroskop sebelum diinkubasi
8 Menginkubasi sel di inkubator CO2 suhu 37
oC
Prosedur penanaman sel :
1 Membuang medium sel
2 Melakukan tripsinisasi dan sentrifugasi
3 Memindahkan sel ke dalam well plate 24 dengan perkiraan seeding 5x10
5 sel/well
dan menginkubasinya selama 24 jam
4 Setelah 24 jam, medium sel dibuang dan
ditambahkan ekstrak ethanol daun benalu mangga, 5-Fu maupun kombinasi keduanya pada masing-masing kelompok
5 Menginkubasi kembali sel selama 24 jam
Prosedur Harvesting (pemanenan) sel :
1 Mengamati dan mendokumentasikan sel
2 Membuang medium dan menambahkan PBS steril ke dalam well plate
3 Menambahkan Tripsin/EDTA dan
81
menginkubasi sel selama 5 menit
4
Memindahkan sel ke dalam tabung eppendorf
5 Melakukan sentrifugasi dengan kecepatan
2500 rpm selama 3 menit
6 Membuang supernatant, pellet sel ditambahkan antibodi survivin kemudian diinkubasi 20 menit dan selanjutnya dianalisis dengan flowsitometer
82
Lampiran 5. Prosedur MTT
No Langkah Kerja Dokumentasi
Membuat MTT solution
1 Menyiapkan bahan untuk pembuatan MTT solution yaitu MTT powder dan PBS steril
2 Mencampurkan MTT powder 0,001 gram dengan PBS steril 1 mL di dalam tabung eppondorf
Membuat reagen stopper atau MTT
solvent
1 Menyiapkan bahan untuk MTT solvent yaitu SDS powder, Isopropanol dan HCl
2 Mencampurkan SDS powder sebanyak 0,01 gram dengan Isopropanol 10 mL di dalam tabung konikal steril,
selanjutnya menambahkan 40 µL HCl
Panen sel untuk uji MTT
1
Memasukkan 20 µL MTT solution pada
tiap well kecuali kontrol medium
2 Menginkubasi sel 2-4 jam sambil diamati terbentuknya formazan
83
3 Mengamati dan dokumentasikan sel
4 Membuang medium sel yang
tercampur MTT solution dari tiap well
5 Menambahkan MTT solvent atau
reagen stopper sebanyak 150 µL
6 Menginkubasi sel selama 30 menit
7 Mengamati dan dokumentasikan sel
8 Mengukur absorbansi tiap well
menggunakan ELISA reader
84
Lampiran 6. Rata-Rata Persentase Survivin pada Tiap Kelompok
Sampel Replikasi Survivin (%)
Kontrol –
Kontrol + (5-Fu)
K-1 K-2 K-3 K-4
Rata-rata K+1 K+2 K+3 K+4
51,94 62,34 49,56 50,97
53,73±5,885 45,40 45,68 45,65 43,70
Rata-rata 45,11±0,947
Kontrol + (DPE)
K+1 K+2 K+3 K+4
21,45 24,19 24,28 25,72
Perlakuan 1
(5-Fu+12,5µg/mL)
Rata-rata P1-1 P1-2 P1-3 P1-4
23,91±1,784 38,25 37,30 39,90 45,80
Perlakuan 2
(5-Fu+25µg/mL)
Perlakuan 3
((5-Fu+50µg/mL)
Rata-rata P2-1 P2-2 P2-3 P2-4
Rata-rata P3-1 P3-2 P3-3 P3-4
Rata-rata
40,32 ±3,882 24,25 32,75 28,01 28,88
28,47 ±3,488 20,74 19,64 21,09 22,91
21,10 ±1,359
91
Lampiran 8. Output SPSS Uji Efek Sitotoksik
Uji normalitas
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnov
a Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Persentase kematian sel .151 24 .164 .849 24 .002
a. Lilliefors Significance Correction
Uji homogenitas ragam
Test of Homogeneity of Variances
Persentase kematian sel
Levene Statistic df1 df2 Sig.
4.209 5 18 .010
Deskriptif
Descriptives
Persentase kematian sel
N Mean Std. Deviation Std. Error
95% Confidence Interval for Mean
Minimum Maximum Lower Bound Upper Bound
kontrol - 4 -.4500 .05774 .02887 -.5419 -.3581 -.50 -.40
5-Fu 4 54.2101 16.74725 8.37362 27.5615 80.8587 39.59 74.93
DPE 4 51.8583 4.21803 2.10901 45.1465 58.5702 49.35 58.12
5-Fu + DPE 12.5 4 68.0304 16.54170 8.27085 41.7089 94.3520 45.29 84.74
5-Fu + DPE 25 4 85.2804 7.84083 3.92041 72.8039 97.7570 73.52 89.30
5-Fu + DPE 50 4 86.4637 3.82568 1.91284 80.3762 92.5512 83.15 89.78
Total 24 57.5655 31.23090 6.37498 44.3778 70.7531 -.50 89.78
92
Uji Kruskal wallis
Kruskal-Wallis Test
Ranks
kelompok N Mean Rank
Persentase kematian sel kontrol - 4 2.50
5-Fu 4 9.75
DPE 4 9.50
5-Fu + DPE 12.5 4 13.25
5-Fu + DPE 25 4 19.50
5-Fu + DPE 50 4 20.50
Total 24
Test Statisticsa,b
Persentase kematian
sel
Chi-square 18.458
df 5
Asymp. Sig. .002
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: kelompok
Uji lanjut mann whitney
Mann-Whitney Test
Ranks
kelompok N Mean Rank Sum of Ranks
Persentase kematian sel
kontrol - 4 2.50 10.00
5-Fu 4 6.50 26.00
Total 8
Test Statisticsb
Persentase kematian sel
Mann-Whitney U .000
Wilcoxon W 10.000
Z -2.337
Asymp. Sig. (2-tailed) .019
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .029a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: kelompok
93
Mann-Whitney Test
Ranks
kelompok N Mean Rank Sum of Ranks
Persentase kematian sel
kontrol - 4 2.50 10.00
DPE 4 6.50 26.00
Total 8
Test Statisticsb
Persentase kematian sel
Mann-Whitney U .000
Wilcoxon W 10.000
Z -2.352
Asymp. Sig. (2-tailed) .019
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .029a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: kelompok
Mann-Whitney Test
Ranks
kelompok N Mean Rank Sum of Ranks
Persentase kematian sel kontrol - 4 2.50 10.00
5-Fu + DPE 12.5 4 6.50 26.00
Total 8
Test Statisticsb
Persentase kematian sel
Mann-Whitney U .000
Wilcoxon W 10.000
Z -2.337
Asymp. Sig. (2-tailed) .019
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .029a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: kelompok
94
Mann-Whitney Test
Ranks
kelompok N Mean Rank Sum of Ranks
Persentase kematian sel kontrol - 4 2.50 10.00
5-Fu + DPE 25 4 6.50 26.00
Total 8
Test Statisticsb
Persentase kematian sel
Mann-Whitney U .000
Wilcoxon W 10.000
Z -2.352
Asymp. Sig. (2-tailed) .019
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .029a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: kelompok
Mann-Whitney Test
Ranks
kelompok N Mean Rank Sum of Ranks
Persentase kematian sel kontrol - 4 2.50 10.00
5-Fu + DPE 50 4 6.50 26.00
Total 8
Test Statisticsb
Persentase kematian sel
Mann-Whitney U .000
Wilcoxon W 10.000
Z -2.366
Asymp. Sig. (2-tailed) .018
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .029a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: kelompok
95
Mann-Whitney Test
Ranks
kelompok N Mean Rank Sum of Ranks
Persentase kematian sel
5-Fu 4 4.50 18.00
DPE 4 4.50 18.00
Total 8
Test Statisticsb
Persentase kematian sel
Mann-Whitney U 8.000
Wilcoxon W 18.000
Z .000
Asymp. Sig. (2-tailed) 1.000
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] 1.000a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: kelompok
Mann-Whitney Test
Ranks
kelompok N Mean Rank Sum of Ranks
Persentase kematian sel 5-Fu 4 3.50 14.00
5-Fu + DPE 12.5 4 5.50 22.00
Total 8
Test Statisticsb
Persentase kematian sel
Mann-Whitney U 4.000
Wilcoxon W 14.000
Z -1.155
Asymp. Sig. (2-tailed) .248
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .343a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: kelompok
96
Mann-Whitney Test
Ranks
kelompok N Mean Rank Sum of Ranks
Persentase kematian sel 5-Fu 4 2.75 11.00
5-Fu + DPE 25 4 6.25 25.00
Total 8
Test Statisticsb
Persentase kematian sel
Mann-Whitney U 1.000
Wilcoxon W 11.000
Z -2.033
Asymp. Sig. (2-tailed) .042
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .057a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: kelompok
Mann-Whitney Test
Ranks
kelompok N Mean Rank Sum of Ranks
Persentase kematian sel 5-Fu 4 2.50 10.00
5-Fu + DPE 50 4 6.50 26.00
Total 8
Test Statisticsb
Persentase kematian sel
Mann-Whitney U .000
Wilcoxon W 10.000
Z -2.337
Asymp. Sig. (2-tailed) .019
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .029a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: kelompok
97
Mann-Whitney Test
Ranks
kelompok N Mean Rank Sum of Ranks
Persentase kematian sel DPE 4 3.50 14.00
5-Fu + DPE 12.5 4 5.50 22.00
Total 8
Test Statisticsb
Persentase kematian sel
Mann-Whitney U 4.000
Wilcoxon W 14.000
Z -1.162
Asymp. Sig. (2-tailed) .245
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .343a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: kelompok
Mann-Whitney Test
Ranks
kelompok N Mean Rank Sum of Ranks
Persentase kematian sel DPE 4 2.50 10.00
5-Fu + DPE 25 4 6.50 26.00
Total 8
Test Statisticsb
Persentase kematian sel
Mann-Whitney U .000
Wilcoxon W 10.000
Z -2.337
Asymp. Sig. (2-tailed) .019
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .029a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: kelompok
98
Mann-Whitney Test
Ranks
kelompok N Mean Rank Sum of Ranks
Persentase kematian sel DPE 4 2.50 10.00
5-Fu + DPE 50 4 6.50 26.00
Total 8
Test Statisticsb
Persentase kematian sel
Mann-Whitney U .000
Wilcoxon W 10.000
Z -2.352
Asymp. Sig. (2-tailed) .019
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .029a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: kelompok
Mann-Whitney Test
Ranks
kelompok N Mean Rank Sum of Ranks
Persentase kematian sel 5-Fu + DPE 12.5 4 2.75 11.00
5-Fu + DPE 25 4 6.25 25.00
Total 8
Test Statisticsb
Persentase kematian sel
Mann-Whitney U 1.000
Wilcoxon W 11.000
Z -2.033
Asymp. Sig. (2-tailed) .042
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .057a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: kelompok
99
Mann-Whitney Test
Ranks
kelompok N Mean Rank Sum of Ranks
Persentase kematian sel 5-Fu + DPE 12.5 4 3.00 12.00
5-Fu + DPE 50 4 6.00 24.00
Total 8
Test Statisticsb
Persentase kematian sel
Mann-Whitney U 2.000
Wilcoxon W 12.000
Z -1.753
Asymp. Sig. (2-tailed) .080
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .114a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: kelompok
Mann-Whitney Test
Ranks
kelompok N Mean Rank Sum of Ranks
Persentase kematian sel 5-Fu + DPE 25 4 4.00 16.00
5-Fu + DPE 50 4 5.00 20.00
Total 8
Test Statisticsb
Persentase kematian sel
Mann-Whitney U 6.000
Wilcoxon W 16.000
Z -.588
Asymp. Sig. (2-tailed) .557
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .686a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: kelompok
100
Lampiran 9. Output SPSS uji perbedaan rata-rata
Uji normalitas
Tests of Normality
Kolmogorov-Smirnov
a Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
Survivin .159 24 .118 .916 24 .047
a. Lilliefors Significance Correction
Uji homogenitas ragam
Test of Homogeneity of Variances
Survivin
Levene Statistic df1 df2 Sig.
2.222 5 18 .097
Deskriptif
Descriptives
Survivin
N Mean Std. Deviation Std. Error
95% Confidence Interval for Mean
Minimum Maximum Lower Bound Upper Bound
K - 4 53.7250 5.88502 2.94251 44.3606 63.0894 49.56 62.43
K+ (5-Fu) 4 45.1075 .94669 .47335 43.6011 46.6139 43.70 45.68
P1 (12.5) 4 40.3225 3.83197 1.91599 34.2250 46.4200 37.30 45.84
P2 (25) 4 28.4725 3.48838 1.74419 22.9217 34.0233 24.25 32.75
P3 (50) 4 21.0950 1.35859 .67929 18.9332 23.2568 19.64 22.91
P4 (DPE) 4 23.9100 1.78354 .89177 21.0720 26.7480 21.45 25.72
Total 24 35.4388 12.43742 2.53878 30.1869 40.6906 19.64 62.43
101
Uji Kruskal wallis
Ranks
Kelompok
N Mean Rank
Survivin
K - 4 22.50
K+ (5-Fu) 4 17.50
P1 (12.5) 4 15.50
P2 (25) 4 10.00
P3 (50) 4 2.75
P4 (DPE) 4 6.75
Total 24
Test Statisticsa,b
Survivin
Chi-square 21.470
df 5
Asymp. Sig. .001
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: Kelompok
Uji lanjut dengan mann whitney
Mann-Whitney Test
Ranks
Kelompok
N Mean Rank
Survivin
K - 4 22.50
K+ (5-Fu) 4 17.50
P1 (12.5) 4 15.50
P2 (25) 4 10.00
P3 (50) 4 2.75
P4 (DPE) 4 6.75
Total 24
Test Statisticsa,b
Survivin
Chi-square 21.470
df 5
Asymp. Sig. .001
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: Kelompok
102
Mann-Whitney Test
Ranks
Kelompok N Mean Rank Sum of Ranks
Survivin
K - 4 6.50 26.00
K+ (5-Fu) 4 2.50 10.00
Total 8
Test Statisticsb
Survivin
Mann-Whitney U .000
Wilcoxon W 10.000
Z -2.309
Asymp. Sig. (2-tailed) .021
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .029a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Kelompok
Mann-Whitney Test
Ranks
Kelompok N Mean Rank Sum of Ranks
Survivin
K - 4 6.50 26.00
P1 (12.5) 4 2.50 10.00
Total 8
Test Statisticsb
Survivin
Mann-Whitney U .000
Wilcoxon W 10.000
Z -2.309
Asymp. Sig. (2-tailed) .021
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .029a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Kelompok
103
Mann-Whitney Test
Ranks
Kelompok N Mean Rank Sum of Ranks
Survivin
K - 4 6.50 26.00
P2 (25) 4 2.50 10.00
Total 8
Test Statisticsb
Survivin
Mann-Whitney U .000
Wilcoxon W 10.000
Z -2.309
Asymp. Sig. (2-tailed) .021
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .029a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Kelompok
Mann-Whitney Test
Ranks
Kelompok N Mean Rank Sum of Ranks
Survivin
K - 4 6.50 26.00
P3 (50) 4 2.50 10.00
Total 8
Test Statisticsb
Survivin
Mann-Whitney U .000
Wilcoxon W 10.000
Z -2.309
Asymp. Sig. (2-tailed) .021
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .029a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Kelompok
104
Mann-Whitney Test
Ranks
Kelompok N Mean Rank Sum of Ranks
Survivin
K - 4 6.50 26.00
P4 (DPE) 4 2.50 10.00
Total 8
Test Statisticsb
Survivin
Mann-Whitney U .000
Wilcoxon W 10.000
Z -2.309
Asymp. Sig. (2-tailed) .021
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .029a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Kelompok
Mann-Whitney Test
Ranks
Kelompok N Mean Rank Sum of Ranks
Survivin
K+ (5-Fu) 4 5.50 22.00
P1 (12.5) 4 3.50 14.00
Total 8
Test Statisticsb
Survivin
Mann-Whitney U 4.000
Wilcoxon W 14.000
Z -1.155
Asymp. Sig. (2-tailed) .248
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .343a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Kelompok
105
Mann-Whitney Test
Ranks
Kelompok N Mean Rank Sum of Ranks
Survivin
K+ (5-Fu) 4 6.50 26.00
P2 (25) 4 2.50 10.00
Total 8
Test Statisticsb
Survivin
Mann-Whitney U .000
Wilcoxon W 10.000
Z -2.309
Asymp. Sig. (2-tailed) .021
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .029a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Kelompok
Mann-Whitney Test
Ranks
Kelompok N Mean Rank Sum of Ranks
Survivin
K+ (5-Fu) 4 6.50 26.00
P3 (50) 4 2.50 10.00
Total 8
Test Statisticsb
Survivin
Mann-Whitney U .000
Wilcoxon W 10.000
Z -2.309
Asymp. Sig. (2-tailed) .021
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .029a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Kelompok
106
Mann-Whitney Test
Ranks
Kelompok N Mean Rank Sum of Ranks
Survivin
K+ (5-Fu) 4 6.50 26.00
P4 (DPE) 4 2.50 10.00
Total 8
Test Statisticsb
Survivin
Mann-Whitney U .000
Wilcoxon W 10.000
Z -2.309
Asymp. Sig. (2-tailed) .021
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .029a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Kelompok
Mann-Whitney Test
Ranks
Kelompok N Mean Rank Sum of Ranks
Survivin
P1 (12.5) 4 6.50 26.00
P2 (25) 4 2.50 10.00
Total 8
Test Statisticsb
Survivin
Mann-Whitney U .000
Wilcoxon W 10.000
Z -2.309
Asymp. Sig. (2-tailed) .021
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .029a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Kelompok
107
Mann-Whitney Test
Ranks
Kelompok N Mean Rank Sum of Ranks
Survivin
P1 (12.5) 4 6.50 26.00
P3 (50) 4 2.50 10.00
Total 8
Test Statisticsb
Survivin
Mann-Whitney U .000
Wilcoxon W 10.000
Z -2.309
Asymp. Sig. (2-tailed) .021
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .029a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Kelompok
Mann-Whitney Test
Ranks
Kelompok N Mean Rank Sum of Ranks
Survivin
P1 (12.5) 4 6.50 26.00
P4 (DPE) 4 2.50 10.00
Total 8
Test Statisticsb
Survivin
Mann-Whitney U .000
Wilcoxon W 10.000
Z -2.309
Asymp. Sig. (2-tailed) .021
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .029a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Kelompok
108
Mann-Whitney Test
Ranks
Kelompok N Mean Rank Sum of Ranks
Survivin
P2 (25) 4 6.50 26.00
P3 (50) 4 2.50 10.00
Total 8
Test Statisticsb
Survivin
Mann-Whitney U .000
Wilcoxon W 10.000
Z -2.309
Asymp. Sig. (2-tailed) .021
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .029a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Kelompok
Mann-Whitney Test
Ranks
Kelompok N Mean Rank Sum of Ranks
Survivin
P2 (25) 4 6.00 24.00
P4 (DPE) 4 3.00 12.00
Total 8
Test Statisticsb
Survivin
Mann-Whitney U 2.000
Wilcoxon W 12.000
Z -1.732
Asymp. Sig. (2-tailed) .083
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .114a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Kelompok
109
Mann-Whitney Test
Ranks
Kelompok N Mean Rank Sum of Ranks
Survivin
P3 (50) 4 2.75 11.00
P4 (DPE) 4 6.25 25.00
Total 8
Test Statisticsb
Survivin
Mann-Whitney U 1.000
Wilcoxon W 11.000
Z -2.021
Asymp. Sig. (2-tailed) .043
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .057a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Kelompok
110
RIWAYAT HIDUP
Rabiah Umanailo, lahir di Ternate, 13 Juni 1986
anak keenam dari delapan bersaudara dari Bapak H.
Yusuf Umagapi dan Ibu (Alm) Sarifa Yusuf. Lulus SD
Negeri 1 Sanana tahun 1998, lulus SMP Negeri 1 Sanana
tahun 2001 dan lulus SMA Negeri 1 Sanana tahun 2004.
Tahun 2004 mengikuti pendidikan D III Kebidanan di
Poltekkes Kemenkes Ternate dan lulus pada tahun 2007.
Melanjutkan pendidikan D IV Bidan Pendidik di Poltekkes Kemenkes Makassar
tahun 2008, lulus tahun 2009. Pada tahun 2016 mengambil pendidikan Program
Studi Magister Kebidanan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang.
Tahun 2010 sampai 2016 penulis bekerja di Poltekkes Kemenkes Ternate dan Klinik
Bersalin Permata Hati Ternate
Top Related